PEMANFATAAN POD KAKAO UNTUK PRODUKSI ETANOL MELALUI HIDROLISIS MENGGUNAKAN KAPANG Aspergillus niger DAN Trichoderma viride
BAHADERI COUPIDO SAPAY F34052340
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PEMANFATAAN POD KAKAO UNTUK PRODUKSI ETANOL MELALUI HIDROLISIS MENGGUNAKAN KAPANG Aspergillus niger DAN Trichoderma viride
BAHADERI COUPIDO SAPAY F34052340
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi
: Pemanfaatan Pod Kakao untuk Produksi Etanol melalui Hidrolisis Menggunakan Kapang Aspergillus niger dan Trichoderma viride
Nama
: Bahaderi Coupido Sapay
NRP
: F34052340
Menyetujui:
Pembimbing Akademik
(Dr. Ir. Erliza Noor) NIP : 19600201 198703 2 002
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus :
Bahaderi Coupido Sapay. F34052340. Pemanfaatan Pod Kakao untuk Produksi Etanol melalui Hidrolisis Menggunakan Kapang Aspergillus niger dan Trichoderma viride. Di bawah bimbingan Erliza Noor. 2010
RINGKASAN Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kakao terbesar di dunia dan berdasarkan data tahun panen 2005, Indonesia menghasilkan 13% kakao dari total kebutuhan kakao dunia. Buah kakao segar terdiri dari 75,50% persen cangkang buah, 21,18 % biji dan 2,60% plasenta. Pod kakao merupakan salah satu limbah lignoselulosik yang mengandung 31,25% selulosa. Kandungan selulosa yang cukup besar pada pod kakao menjadikan pod kakao potensial untuk diolah menjadi etanol. Selama ini produksi etanol lebih difokuskan pada bahan baku seperti singkong, ubi jalar, tebu, sagu, dan beberapa jenis pati yang sebenarnya kurang efektif karena bahan-bahan tersebut berkompetisi dengan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis substrat pod kakao, jenis kapang, dan waktu hidrolisis optimal untuk menghasilkan kadar gula pereduksi tertinggi dan memproduksi etanol dari hidrolisat terbaik. Tahapan penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan. Tahapan pertama yaitu tahapan pendahuluan yang meliputi karakterisasi bahan baku pod kakao dan perlakuan pendahuluan pada pod kakao (pengecilan ukuran, degumming, dan delignifikasi). Tahapan kedua meliputi hidrolisis pod kakao menggunakan dua jenis kapang yaitu Aspergillus niger dan Trichoderma viride, dua jenis substrat yaitu pod kakao tanpa delignifikasi dan pod kakao delignifikasi, dengan waktu hidrolisis 11 hari dan sampling dilakukan pada hari ke-1, 3, 5, 7, 9, dan 11. Tahapan terakhir adalah fermentasi menggunakan hidrolisat terbaik dari hasil hidrolisis dengan menggunakan kultur Saccharomyces cerevisiae. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga faktor dan dua kali ulangan. Faktor pertama adalah jenis kapang, yang terdiri dari dua taraf yaitu Aspergillus niger dan Trichoderma viride. Faktor kedua adalah waktu hidrolisis dengan 6 taraf yaitu hari ke-1, 3, 5, 7, 9, dan 11. Faktor ketiga adalah jenis substrat dengan dua taraf yaitu substrat pod kakao tanpa delignifikasi dan substrat kakao delignifikasi. Pada pengujian karakterisasi bahan baku diperoleh hasil kandungan selulosa pada pod kakao adalah 28,78% (b.k), hemiselulosa 8,70% (b.k) dan lignin 42,90% (b.k). Setelah dilakukan delignifikasi diperoleh hasil kandungan selulosa 32,23% (b.k) dan lignin 31,00% (b.k). Efisiensi delignifikasi yang dihasilkan adalah sebesar 27,74%. Berdasarkan hasil analisis ragam dengan α <0,05 pada tahapan hidrolisis diperoleh hasil perlakuan jenis substrat berpengaruh nyata terhadap konsentrasi gula pereduksi, sedangkan perlakuan jenis kapang dan lama hidrolisis tidak berpengaruh nyata.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar gula pereduksi tertinggi dihasilkan oleh hidrolisis menggunakan Aspergillus niger pada substrat pod kakao delignifikasi, dengan waktu hidrolisis 7 hari yaitu 0,352 mg/ml. Pada tahapan fermentasi menggunakan hasil hidrolisis Aspergillus niger diperoleh konsentrasi etanol yang dihasilkan sebesar 0,1184% (b/v) dengan efisiensi pemanfaatan substrat sebesar 69,75% dan rendemen sebesar 3,946% (b/b).
Bahaderi Coupido Sapay. F34052340. The Utilization of Cocoa Pod for Ethanol Production through Hydrolysis Using Aspergillus niger and Trichoderma viride. Under the guidance of Erliza Noor. 2010.
SUMMARY Indonesia is one of the largest cocoa producing country in the world, and according to harvest data from 2005, Indonesia produces 13% cocoa from the total world cocoa demand. Fresh cocoa fruit consists of 75.50% of the fruit shells, 21.18% of seeds and 2.60% of placenta. Cocoa pod is one of lignoselulosic waste containing of 31.25% cellulose. The cellulose composition large enough to make cocoa pod potential to be processed into ethanol. So far, ethanol production is more focused on raw materials such as cassava, sweet potatoes, sugar cane, sago, and several types of starch which is less effective because these materials compete with food. This research aimed to find out the effects of substrate’s type of cocoa pod, the type of mold, and time of hydrolysis optimized to produce high levels of reducing sugar and producing ethanol from the best hydrolisate. This research were performed into three stages. The first stage was the preliminary stage that includes the characterization of cocoa pods and pretreatment on cocoa pod including reduction in size, degumming, and delignification. The second stage was the hydrolysis of cocoa pod using two types of fungus (Aspergillus niger and Trichoderma viride), two types of substrates (non-delignified and delignified cocoa pods), hydrolysis time (11 days), sampling on days 1, 3, 5, 7, 9, and 11. Last stage was the fermentation using the best hydrolisate, using Saccharomyces cerevisiae culture. This research utilized completely randomized factorial design with three factors and two replications. The first factor was the type of fungus, which consists of two levels of Aspergillus niger and Trichoderma viride. The second factor was the hydrolysis time with 6 degree of day (1, 3, 5, 7, 9, and 11). The third factor was the type of substrate with two levels of the substrate non-delignified and delignified cocoa pods. Material characterization results obtained the cellulose content of cocoa pods is 28.78% (wb), Hemicellulose 8.70% (wb) and 42.90% lignin (wb). After delignification the results obtained cellulose content is 32.23% (wb) and 31.00% lignin (wb). The delignification efficiency was 27,74%. Based on the results of range analysis with α <0.05 at the hydrolysis stage substrate types affected significantly on reducing sugar concentration, whereas the type of fungus and hydrolysis time does not affect real.
Duncan's test showed that the highest levels of reducing sugar produced by hydrolysis using Aspergillus niger is 0.352 mg / ml in the delignified cocoa pods substrates, with hydrolysis time 7 days. On the stage of fermentation using the hydrolysate of Aspergillus niger obtained ethanol concentration was 0.1184% (b/v), the efficiency of substrate utilization was 69,75% with yield 3,946% (w/w).
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pemanfaatan Pod Kakao untuk Produksi Etanol melalui Hidrolisis Menggunakan Kapang Aspergillus niger dan Trichoderma viride adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2010
Bahaderi Coupido Sapay F34052340
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di SoE, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 26 Agustus 1988. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Marten Sapay dan Dafrosa Rosina Elu. Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1992 di Taman Kanak-Kanak Pelita Oekamusa dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1993 sampai 1999 penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri Oekamusa. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Katolik Widyatama Batu Jawa Timur dari tahun 1999 hingga 2002, lalu melanjutkan studi di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 SoE-TTS-NTT pada tahun 2002 hingga 2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor di Tingkat Persiapan Bersama melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) PEMDA Timor Tengah Selatan-NTT. Pada tahun 2006 penulis masuk ke Mayor Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis aktif mengikuti kepanitiaan dan seminar. Penulis menjadi
anggota
Himpunan
Mahasiswa
Teknologi
Industri
Pertanian
(HIMALOGIN) dari tahun 2006 hingga sekarang. Penulis pernah menjadi sekretaris komisi diaspora UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB periode 2007/2008. Pada periode yang sama penulis menjadi sekretaris OMDA NTT Bogor. Pada tahun 2008 penulis menyelesaikan praktek lapang di PT PG Krebet II Malang- Jawa Timur dengan topik Mempelajari Aspek Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Gula di PT PG Krebet II Malang Jawa Timur. Penulis mengakhiri masa studi di IPB setelah menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Pod Kakao untuk Produksi Etanol melalui Hidrolisis Menggunakan Kapang Aspergillus niger dan Trichoderma viride “ di bawah bimbingan Dr. Ir. Erliza Noor.
i
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kasih karunia dan anugerah-Nya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Pemanfaatan Pod Kakao untuk Produksi Etanol melalui Hidrolisis Menggunakan Kapang Aspergillus niger dan Trichoderma viride. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, April 2010
Penulis
ii
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus atas segala kasih karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini telah berhasil diselesaikan. Hal ini juga tidak lepas dari dukungan banyak pihak yang turut membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Keluarga tercinta, Ayah Marten Sapay dan Ibu Dafrosa Rosina Elu, Kakak Susanti Coupido Sapay, Raymond Tigepah dan adik Marlin Sapay atas doa, kasih sayang, motivasi yang sangat luar biasa, dukungan spiritual dan material yang telah diberikan kepada penulis. 2. Dr. Ir Erliza Noor selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, motivasi dan semua masukan serta kritik yang diberikan kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik. 3. Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc.St dan Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si sebagai dosen-dosen penguji yang telah memberikan kritik dan masukan yang sangat bermanfaat. 4. Pemerintah Daerah Timor Tengah Selatan khususnya bagian Badan Kepegawaian Daerah yang telah memberikan beasiswa melalui Ikatan Dinas kepada penulis selama di IPB. 5. Tante Ester Sapay, Kakak Oktovianus Nabuasa dan semua keluarga besar yang telah memberikan dukungan doa, nasehat dan motivasi selama ini. 6. Saudari-saudariku Risna Aprilia Ataupah, Marina Yeti Lak’apu, Sri Rahayu Nuban, Esther Afania Ataupah dan keluarga besar Wisma Jenius (Mei, Kak Tiur, Debora, Jessi, Kak Elsa, Dewi, Loretta, Christin, Mettha, Christa, Leny dan Kade atas segala keceriaan, sukaduka dan rasa kekeluargaan yang diberikan kepada penulis. 7. Sahabat-sahabatku selama di TIN Fitriana Sabarina Manik, Novi Saputra, Wenny Silvia Loren Br. Sinaga dan Eka Puspitasari atas segala keceriaan, kerja sama, dan kebersamaan selama ini.
iii
8. Teman-teman seperjuangan selama penelitian (Lily Kurniaty Syam dan Jihan Farikha) atas bantuan, kerjasamanya, dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 9. Para laboran TIN atas dukungan, kerja sama, bantuan yang diberikan kepada penulis. 10. Keluarga Besar Fakultas Teknologi Pertanian, khususnya TIN 42 atas kebersamaan selama ini di bangku perkuliahan, kekompakan, kerjasama selama ini. 11. Keluarga besar PMK IPB khususnya komisi diaspora atas sukacita, sharing, dukungan doa dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 12. Keluarga besar GAMANUSRATIM atas keceriaan, kekeluargaan, dukungan doa dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu baik secara langsung maupun tidak langsung membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.
iv
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................ i UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... viii I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ......................................................................................... 1 B. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2 C. Manfaat Penelitian .................................................................................... 2 D. Ruang Lingkup ........................................................................................ 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pod Kakao ................................................................................................. 4 B. Selulosa ...................................................................................................... 6 C. Hemiselulosa.............................................................................................. 9 D. Lignin dan Delignifikasi ............................................................................ 9 E. Degradasi Selulosa Secara Enzimatik ....................................................... 13 F. Kulitivasi Pada Media Cair ....................................................................... 15 G. Aspergillus niger ...................................................................................... 16 H. Trichoderma viride ................................................................................... 17 I. Saccharomyces cerevisiae.......................................................................... 19 J. Fermentasi Etanol ...................................................................................... 20 III METODOLOGI A. Waktu dan Tempat ................................................................................... 24 B. Alat dan Bahan ........................................................................................ 24 C. Metode Penelitian 1. Penelitian Pendahuluan a. Karakterisasi Kimiawi Pod Kakao ........................................... 25 b. Perlakuan Pendahuluan dan Delignifikasi ................................ 25 2. Penelitian Utama
v
a. Persiapan Media ........................................................................ 25 b. Aktivasi dan Inokulasi Kapang ................................................. 26 c. Fermentasi ................................................................................ 26 IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisa Kimiawi Pod Kakao ............................................................. 28 2. Perlakuan Pendahuluan dan Delignifikasi ........................................ 30 B. Penelitian Utama 1. Kultivasi Aspergillus niger dan Trichoderma viride ........................ 31 2. Hidrolisis pada Substrat Pod Kakao Tanpa Delignifikasi dan Substrat Pod Kakao Delignifikasi..................................................... 32 a. pH ............................................................................................ 32 b. Gula Pereduksi .......................................................................... 34 c. Total Gula .................................................................................. 38 d. Aktivitas Enzim FP-ase ............................................................. 42 e. Perubahan Kandungan Kimia Substrat Pod Kakao Sebelum dan Setelah Hidrolisis ............................................................... 43 3. Fermentasi ......................................................................................... 45 V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................................. 51 B. Saran …….. ............................................................................................ 51
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 52 LAMPIRAN ...................................................................................................... 56
vi
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Luas area dan jumlah produksi kakao Indonesia tahun 2004 - 2008 .............. 4 2. Komposisi kimia pod kakao ............................................................................ 5 3. Komposisi beberapa limbah lignoselulosik ..................................................... 6 4. Beberapa referensi yang menggunakan kapang untuk menghasilkan gula pereduksi ................................................................................................ 15 5. Perolehan etanol dari beberapa jenis bahan mentah di Indonesia .................. 21 6. Sifat fisika dan kimia etanol absolut dan etanol teknis .................................. 22 7. Beberapa referensi yang berhubungan dengan etanol .................................... 22 8. Komposisi kimia pod kakao hasil penelitian ................................................. 28 9. Komposisi kimiawi serat kasar pod kakao ..................................................... 29 10. Komposisi serat kasar pod kakao sebelum dan setelah delignifikasi ........... 31 11. Konversi gula pereduksi dari bahan baku pod kakao................................... 37 12. Konversi total gula dari bahan baku pod kakao ........................................... 39 13. Hasil analisa kandungan serat kasar pod kakao delignifikasi sebelum dan setelah dihidrolisis........................................................................................ 44 14.Hasil analisa kandungan serat kasar beberapa bahan sebelum dan setelah dihidrolisis dengan menggunakan kapang Neurospora sitophila .... 44 15. Perhitungan efisiensi pemanfataan susbtrat ................................................. 46 16. Perhitungan rendemen berdasarkan basis konsentrasi etanol % (b/v) ......... 47 17. Perbandingan hasil jenis hidrolisis pod kakao dan fermentasi menjadi etanol………………………………………………… …………………… 47 18. Potensi kandungan energi beberapa bahan tanaman untuk bahan bakar nabati (BBN) ………………………………………………… 49
vii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Pod kakao ...................................................................................................... 4 2. Skema selulosa .............................................................................................. 7 3. Rumus bangun monomer-monomer pembentuk polimer hemiselulosa........ 9 4. Struktur lignin .............................................................................................. 10 5. Skema tujuan delignifikasi biomassa lignoselulosa ..................................... 11 6. Biakan Aspergillus niger hasil penelitian ................................................... 17 7. Aspergillus sp. .............................................................................................. 17 8. Biakan Trichoderma viride hasil penelitian ................................................. 18 9. Kurva pertumbuhan mikroba ....................................................................... 20 10. Pod kakao sebelum dan setelah didelignifikasi ............................................ 30 11. Grafik perubahan nilai pH selama hidrolisis ................................................ 33 12. Grafik perubahan nilai gula pereduksi selama hidrolisis ............................. 35 13. Hidrolisat A.niger dan T. viride pada substrat pod kakao delignifikasi ...... 37 14. Grafik perubahan nilai total gula selama hidrolisis...................................... 39 15. Grafik perubahan nilai DE selama hidrolisis ............................................... 41 16. Grafik perubahan aktivitas enzim FP-ase selama hidrolisis ........................ 42
viii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Diagram alir proses penelitian ..................................................................... 57 2. Analisis proksimat........................................................................................ 58 3. Diagram alir proses delignifikasi ................................................................. 63 4. Komposisi media Andreotti ......................................................................... 64 5. Prosedur analisis hasil hidrolisis .................................................................. 65 6. Pengujian aktivitas enzim total FP-ase ........................................................ 67 7. Prosedur analisa jenis gula menggunakan kromatografi kertas ................... 68 8. Nilai pH, Gula Pereduksi, Total Gula dan Aktivitas enzim FP-ase produk hidrolisis pod kakao menggunakan kapang ..................................... 69 9. Uji statistik nilai gula pereduksi pada α = 5 % ............................................ 72 10. Hasil analisa jenis gula menggunakan kromatografi kertas ......................... 73 11. Uraian perhitungan rendemen etanol (Tabel 15 dan Tabel 16).................... 74
I. PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini energi merupakan persoalan yang krusial di dunia. Peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan menipisnya sumber cadangan minyak dunia serta permasalahan emisi dari bahan bakar fosil memberikan tekanan kepada setiap negara untuk segera memproduksi dan menggunakan energi terbaharukan. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak. Bioetanol berbahan dasar limbah lignoselulosik merupakan salah satu sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui, ramah lingkungan, yang terpenting yaitu tidak berkompetisi dengan pangan. Limbah lignoselulosik merupakan limbah hasil pertanian yang mengandung bahan lignoselulosa yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Lignoselulosa merupakan komponen yang memiliki energi cukup besar yang dimiliki oleh biomassa, yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol, menghindari persaingan dengan bahan pangan dan berperan dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, karena CO2 yang dilepaskan
dari
degradasi biomassa alam akan tersedia sebagai karbon dalam energi. Selama ini produksi bioetanol lebih difokuskan pada bahan baku singkong, ubi jalar, tebu, sagu, dan beberapa jenis pati yang sebenarnya kurang efektif karena bahan-bahan tersebut berkompetisi dengan pangan. Lignoselulosa memiliki tiga penyusun utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin, yang saling terikat erat membentuk satu kesatuan yang sangat kuat. Biokonversi lignoselulosa menjadi etanol jauh lebih sulit daripada dari gula atau pati karena harus ada perlakuan untuk menghilangkan kandungan lignin dan hemiselulosa (delignifikasi) yang akan menghambat
2
proses hidrolisis selulosa menjadi monomernya glukosa. Delignifikasi dapat dilakukan secara fisik, kimiawi dan menggunakan mikroba. Pod kakao merupakan salah satu limbah lignoselulosik yang mengandung 31,25% selulosa. Selama ini bagian dari kakao yang digunakan untuk industri adalah biji kakao sedangkan kulit bagian luar atau disebut pod dibuang begitu saja sebagai limbah dan jika dimanfaatkan, pemanfaatannya hanya sebagai pakan ternak. Kandungan selulosa yang cukup besar pada pod kakao menjadikan pod kakao potensial untuk diolah menjadi bioetanol. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kakao terbesar di dunia. Menurut data tahun panen 2005, Indonesia menghasilkan 13% kakao dari total kebutuhan kakao dunia. Sentra kakao di Indonesia terbesar berada di Sulawesi yang setiap tahunnya menghasilkan 60% dari total produksi kakao nasional. Sisanya berasal dari perkebunan kakao di Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa, dan Kalimantan. Departemen Pertanian, melalui gerakan nasional meningkatkan produksi dan kualitas kakao yang dicanangkan oleh mantan Wapres Yusuf Kalla, telah memproyeksikan produksi kakao pada tahun 2013 sebanyak satu juta ton. Perkebunan kakao di Sulawesi telah mencapai 912,000 hektar, atau 63 persen dari perkebunan kakao nasional seluas 1.4 juta ha, sementara produksi kakao Sulawesi mencapai 508,135 ton per tahun dan 779,186 ton pada skala nasional (Anonim b, 2008).
B.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh jenis substrat pod kakao, jenis kapang, dan waktu hidrolisis optimal untuk menghasilkan kadar gula pereduksi tertinggi 2. Memproduksi etanol dari hidrolisat terbaik.
C.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan nilai tambah hasil samping kakao dengan mengkonversi pod kakao menjadi etanol
3
2. Sebagai salah satu jalan penerapan produksi bersih pada industri pengolahan berbahan baku kakao.
D.
Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bahan baku penelitian ini adalah pod kakao atau kulit buah kakao. 2. Kapang yang digunakan adalah Aspergillus niger dan Trichoderma viride. 3. Hidrolisis selulosa dilakukan dengan kultivasi media cair. 4. Fermentasi menggunakan kultur Saccharomyces cerevisiae.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA A.
Pod Kakao Indonesia merupakan eksportir keempat terbesar dengan pangsa 11,73 persen dari total ekspor kakao dunia. Dari sisi produksi tahun 2003-2004, Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia, setelah Pantai Gading dan Ghana dengan pangsa 14,18 ketiga di dunia dari total produksi dunia (Ditjenbun Deptan, 2009). Luas area dan jumlah produksi kakao Indonesia tahun dari tahun 2004 hingga 2008 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas area dan jumlah produksi kakao Indonesia tahun 2004 - 2008 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009* PR PBN PBS *
Luas area (Ha) PR PBN PBS 1081102 38668 49040 1219633 38295 47649 1272781 48930 52257 1364408 57343 49155 1364408 57395 51456 1476753 61831 54398
Jumlah (Ha) 1168810 1305577 1373968 1470906 1473259 1592982
Produksi (Ton) PR PBN PBS 636783 25830 29091 693701 25494 29633 702207 33795 33384 671370 34643 33993 721413 36226 35122 773858 38138 37879
Jumlah (Ton) 691704 748828 769386 740006 792761 849875
: Perkebunan Rakyat : Perkebunan Besar Negara : Perkebunan Besar Swasta : Estimasi
Sumber : Ditjenbun Deptan, 2009
Pod kakao adalah bagian mesokarp atau bagian dinding buah kakao (Theobroma cacao) yang mencakup kulit terluar sampai daging buah sebelum kumpulan biji. Menurut Opeke (1984), pod kakao merupakan 52 -60% dari buah, dan kandungan serat kasar dari pod kakao adalah 33.90%. Bentuk dari pod kakao dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pod kakao (Anonim a, 2008)
5
Pod kakao mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan oleh mikroorganisme penghasil selulase untuk pertumbuhannya. Mineral yang terdapat pada pod kakao adalah P, K, Na, Ca, Mg, Mn dan Fe. Komposisi kimia pod kakao dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia pod kakao Komponen Air Kadar lemak Kadar abu Kadar protein Serat kasar Kadar pati Kadar selulosa Kadar hemiselulosa Lignin Silika a) Ashadi (1988) b) Ramayanti (2004)
Persentase % (bk) a b 12,96 1,11 1,20 11,10 9,22 8,75 8,94 33,15 36,52 16,27 31,25 30,41 11,82 20,11 31,15 0,05 -
Pod kakao merupakan salah satu limbah lignoselulosik yang cukup potensial. Produksi kakao yang terus meningkat mengakibatkan semakin meningkatnya pod kakao yang dihasilkan. Departemen Pertanian telah memproyeksikan produksi kakao pada tahun 2013 sebanyak satu juta ton. Perkebunan kakao di Sulawesi telah mencapai 912.000 hektar, atau 63 persen dari perkebunan kakao nasional seluas 1,4 juta ha, sementara produksi kakao Sulawesi mencapai 508.135 ton per tahun dan 779.186 ton pada skala nasional (Anonim
b
, 2008). Perbandingan kandungan beberapa limbah
lignoselulosik dapat dilihat pada Tabel 3.
6
Tabel 3. Komposisi beberapa limbah lignoselulosik Macam Limbah Selulosa (%bk) Hemiselulosa (%bk) 40 24 Tandan kosong kelapa sawit 3 53 15 Batang jagung1 1 32 44 Tongkol jagung 76 13 Industri kertas1 2 90 Serat kapas 25-40 25-50 Bagasse2 Jerami Gandum2 40 29,2 Batang kayu 40-50 20-40 keras2 Batang kayu 45-50 25-35 2 lunak Sumber: 1 . S. R. Bull (1991) dalam Brown (2003) 2 . Hardjo et al., (1989) 3 . Azemi et al., 1994 B.
Lignin (%bk) 21 16 13 11 13-30 19,8 18-25 25-35
Selulosa Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, melainkan berikatan dengan bahan lain, yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk suatu lignoselulosa. Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al., 2002). Selulosa adalah polimer glukosa yang membentuk rantai linier dan dihubungkan dengan ikatan β-1,4-glikosidik. Struktur linear ini menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya Van der Waals (Lynd et al., 2002). Selulosa tidak mudah didegradasi baik secara kimia maupun mekanis. Selulosa sangat erat berasosiasi dengan hemiselulosa dan lignin. Isolasi selulosa membutuhkan perlakuan kimia yang intensif. Residu glukosa tersusun dengan posisi 180oβ ikatan
antara satu dengan yang lain, dan
selanjutnya pengulangan unit dari rantai selulosa membantuk unit selobiosa. Derajat polimerisasi (DP) selulosa bervariasi antara 7000 – 15000 unit
7
glukosa, tergantung pada bahan asalnya (Anonimc,2008). Skema selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema selulosa (http://www.scientificpsychic.com/) Gugus –OH pada atom C1 berasal dari hidrat aldehida yang terbentuk pada saat pembentukan cincin secara intermolekuler oleh ikatan hemiasetal. Hal ini menyebabkan grup –OH pada ujung C1 memiliki sifat pereduksi. Gugus OH pada ujung C4 dari selulosa merupakan gugus hidroksil alkohol, sehingga bersifat non reduksi (Achmadi, 1989). Terdapat dua macam ikatan hidrogen yang terdapat pada struktur selulosa, yaitu: ikatan hidrogen intramolekular dan ikatan hidrogen intermolekular. Ikatan hidrogen yang dibentuk dari O(6) pada satu residu glukosa dengan O(2)H pada glukosa di sebelahnya dan juga dari O(3)H dengan oksigen O(5)H cincin, merupakan ikatan hidrogen intramolekul. Ikatan hidrogen intramolekular terjadi akibat ikatan O(3’’) pada suatu rantai dengan O(6) pada rantai di sampingnya (Achmadi, 1989). Ikatan hidrogen intramolekular mempertahankan kekakuan rantai selulosa, sedangkan ikatan intermolekular menyebabkan rantai selulosa saling berikatan membentuk suatu mikrofibril (Achmadi, 1989). Beberapa mikrofibril ini kemudian membentuk fibril dan akhirnya menjadi serat selulosa. Struktur fibril dan kuatnya ikatan hidrogen menyebabkan selulosa bersifat tidak larut dalam berbagai pelarut. Bagian selulosa yang mudah dihidrolisis disebut bagian amorf dari selulosa. Umumnya selulosa mengandung 15% bagian amorf dan 85% kristalin. Setelah selulosa amorf dipisahkan, akan diperoleh partikel berbentuk batang dari selulosa kristalin (Fengel dan Wegener, 1984). Pengembangan polimer biasanya diikuti dengan pelarutan, tetapi banyak senyawa yang mengembangkan selulosa tanpa menghasilkan
8
pelarutan. Apabila selulosa mengembang karena gaya pelarutan, maka gaya antar molekul menurun sehingga molekul akan lebih mudah bereaksi. Selulosa yang telah kembang lebih rentan terhadap degradasi termal, mungkin karena lebih mudahnya gerakan translasi dari segmen (Ahmadi, 1989). Cairan akan menginduksi selulosa untuk mengembang (swelling). Sejumlah cairan dapat memasuki struktur selulosa secara sempurna dan sekaligus akan menyebabkan pengembangan intrakristalin dan interkristalin. Pengembangan interkristalin terjadi bila cairan tidak dapat memasuki daerahdaerah
kristalin
interkristalin.
dan
hanya
menyebabkan
mengembangnya struktur
Interaksi selulosa dan air umumnya terjadi pada daerah
interkristalin atau permukaan kristalit. Bentuk kristal air yang kaku, yang terbentuk diantara molekul-molekul air mempengaruhi interaksi air dengan selulosa (Zeronian, 1985 Di dalam T.T. Irawadi). Ikatan hidrogen selain terdapat diantara gugus –OH dari selulosa juga terdapat di antara gugus OH-selulosa dan OH-air. Absorbsi air pada selulosa tergantung pada jumlah OH bebas atau pada gugus OH-selulosa yang tidak digunakan berikatan diantara struktur selulosa. Air dalam bentuk uap, secara normal tidak dapat menetrasi ke dalam kristal selulosa secara baik. Begitu juga interaksi selulosa dengan pelarut-pelarut organik tidak sebaik interaksi selulosa dengan air, karena pelarut-pelarut organik tidak dapat menetrasi ke dalam kristalit. Terdapat beberapa tipe pereaksi yang dapat menyebabkan selulosa mekar secara intrakristalin. Pereaksi-pereaksi yang dapat memekarkan selulosa antara lain hidroksida logam alkali, garam-garam dalam larutan basa kuat, beberapa garam dari asam anorganik, senyawa amina dan sejenisnya. Dari sekian banyak pereaksi tersebut, hidroksida logam alkali merupakan pereaksi yang paling banyak digunakan dalam industri. Apabila ion alkali bereaksi dengan selulosa,
maka air hidrasi akan tertinggal dalam ion,
selanjutnya rantai selulosa akan tertekan dan pemekaran akan terjadi (Zeronian, 1985 Di dalam T.T. Irawadi).
9
C.
Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15 dan 30 persen dari berat kering bahan lignoselulosa (Taherzadeh 1999). Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat. Hemiselulosa umumnya dikelompokkan berdasarkan residu gula utama yang menyusun rangkanya, seperti: xylan, mannan, galactan, dan glucan, dengan xylan dan mannan adalah gugus utama dari hemiselulosa. Polimer hemiselulosa sebagian besar terdiri dari monosakarida; D-xylosa, Dmanosa, D-glukosa, L-arabinosa, D-galaktosa, asam D-gluko, dan asam Dgalakturonat (Janes, 1969 Di dalam Mc. Donald). Rumus bangun monomermonomer pembentuk polimer hemiselulosa dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Rumus bangun monomer-monomer pembentuk polimer hemiselulosa (http://www.scientificpsychic.com/) D.
Lignin dan Delignifikasi Lignin adalah polimer tiga dimensi dengan struktur aromatik yang terdiri dari unit fenil propana yang diikat oleh ikatan eter (C-O-C) dan ikatan karbon (C-C). Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen. Lebih dari 30 persen tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap
10
serangga dan patogen (Orth, 1993). Lignin bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter, serta tidak larut dalam air, dalam larutan asam dan larutan hidrokabon (Judoamidjojo et al., 1989). Struktur lignin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur lignin (http://www.scientificpsychic.com/) Proses delignifikasi merupakan perlakuan pendahuluan terhadap bahan baku sehingga mempermudah pelepasan lignin dan hemiselulosa. Selain itu tujuan utama delignifikasi adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula. Berbagai perlakuan delignifikasi dapat dilakukan secara fisik (penggilingan, pemanasan dengan uap, radiasi atau pemanasan dengan udara kering) dan secara kimia (pelarut, larutan pengembang, gas SO2 ) (Frida 1989). Bahan kimia yang digunakan untuk delignifikasi diantaranya NaOH, sulfur diokasida, hidrogen peroksida (H 2O2), dan MnSO4 serta beberapa pelarut seperti cadoxen. Lignin juga dapat didegradasi oleh sekelompok mikroorganisme seperti kapang pelapuk putih, bakteri Streptomyces sp. dan Actinomycetes. Serangan kapang merupakan proses
11
oksidatif dan tak spesifik, dengan mengurangi kandungan metoksi, fenolik, dan alifatik lignin, memecah cincin aromatik dan membentuk grup karbonil baru. Perubahan molekul lignin ini mengakibatkan depolimerisasi dan produksi karbondioksida (Hatakka, 2001). Menurut (Sun dan Cheng, 2002) delignifikasi seharusnya memenuhi kebutuhan berikut ini:1) meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula pada proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik; 2) menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat; 3) menghindari pembentukan produk samping yang dapat menghambat proses hidrolisis dan fermentasi, 4) biaya yang dibutuhkan ekonomis karena mengurangi penggunaan enzim untuk proses hidrolisis. Skema tujuan dari delignifikasi dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Skema tujuan delignifikasi biomassa lignoselulosa (Mosier et al., 2005) Perlakuan dengan menggunakan NaOH menyebabkan gangguan pada kristal dan bahan amorfous, beberapa derajat polimerisasi, peningkatan luas permukaan dalam serta hidrasi dan pembengkakan pada selulosa (Shuler, 1984). Pembengkakan yang terjadi dapat diterangkan dengan beberapa teori. Teori pertama menyatakan bahwa permukaan serta bagian dalam berlaku sebagai membran semipermeabel, dimana tekanan osmosis terjadi akibat melarutnya rantai-rantai selulosa dalam pelarut. Teori lain menyatakan terjadi penolakan elektrostatis antara partikel-partikel selulosa. Melarutnya bahanbahan selulosa oleh NaOH disebabkan terjadinya proses penyabunan dari grup-grup ester.
12
Perlakuan delignifikasi menggunakan larutan H2O2 dan senyawa mangan akan mempertinggi kerentanan bahan terhadap enzim selulosa (Takagi, 1986). Lignin menghambat degradasi selulosa karena berfungsi sebagai benteng antara substrat dan enzim. Oleh karena itu kecepatan dan jumlah bahan yang terdegradasi oleh enzim berbanding terbalik dengan jumlah lignin yang dikandung. Degradasi selulosa akan maksimum jika setelah 50% lebih lignin dihilangkan (Gould, 1985). Peroksida alkali digunakan sebagai pemutih pada produksi pulp dan kertas. Peroksida biasanya dinetralkan dengan menggunakan MgSO4. Bila bahan penstabil ini tidak ditambahkan, maka H2O2 akan bereaksi dengan bahan-bahan lignoselulosik membentuk produk-produk terdegradasi dengan berat molekul rendah. Menurut Gould (1985) mekanisme reaksi delignifikasi yang terjadi oleh peroksida alkali adalah sebagai berikut. Pada kondisi alkali H2O2 akan terdisosiasi membentuk anion hidroperoksi (HOO-) dengan pKa 11,6. H2O2
HOO- + H+
Anion hidroperoksi dapat kembali bereaksi dengan H2O2 yang tidak terdisosiasi membentuk radikal-radikal hidroksil yang reaktif (.OH) dan oksida super (.O-) seperti pada reaksi di bawah ini: H2O2 + HOO-
.OH +O2- + H2O
Apabila tidak terdapat reaktan-reaktan lain, radikal-radikal hidroksil dan super oksida akan bereaksi membentuk O2 dan air. .OH +O2- + H+
H2O
Apabila keseluruhan reaksi ini digabung akan menjadi: H2O2 + HOO- + H+
O2 + 2H2O
Adanya senyawa-senyawa lain yang terdapat dalam larutan misalnya lignin, bereaksi dengan .OH dan atau O2-, sehingga menurunkan jumlah O2 yang dihasilkan. Reaksi ini optimum pada pH 11,5-11,6.
13
E.
Degradasi Selulosa Secara Enzimatik Proses konversi selulosa menjadi glukosa pada hidrolisis dengan enzim berlangsung secara bertahap. Tahap pertama adalah proses konversi selulosa menjadi selobiosa, dan tahap berikutnya adalah proses konversi selobiosa menjadi glukosa. Hidrolisis sempurna akan menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa dan hidrolisis tidak sempurna akan menghasilkan disakarida dari selulosa yang disebut selobiosa. Beberapa
karakteristik
fisik
struktural
lignoselulosa
yang
menghambat hidrolisis enzimatis antara lain: kristalinitas (crystalinity), derajat polimerasi, susunan struktur selulosa (I, II, III, V, atau X), ukuran dan distribusi pori-pori, luas permukaan kontak, derajat pemekaran (swelling), dan komposisi struktural (kandungan dan distribusi lignin) (Palonen, 2004). Dari seluruh faktor yang paling berpengaruh terhadap degradasi hidrolisis oleh enzim maupun asam adalah struktur kristal selulosa. Enzim selulase adalah nama umum bagi semua enzim yang dapat memutuskan ikatan glikosidik β-1,4 dalam selulosa, selodekstrin, selobiosa dan turunan selulosa yang lain (Enari, 1983 Di dalam W.M. Fogarty). Nama sistematik enzim selulase adalah β -1,4
glukan -4-glukanohidrolase
(EC.3.2.1.4). Selulase sesungguhnya merupakan suatu kompleks enzim yang terdiri dari beberapa enzim yang bekerja bertahap atau bersama-sama menguraikan selulosa menjadi glukosa. Menurut (Enari, 1983 Di dalam W.M. Fogarty) ada empat kelompok enzim utama yang menyusun selulase berdasarkan spesifitas substrat masing-masing enzim. Endo- β -1,4-glukonase (β -1,4-D-glukan-4glukanohidrolase
EC
3.2.1.4)
atau
biasa
disebut
endoglukonase
menghidrolisis ikatan glikosidik β-1,4 secara acak. Enzim ini tidak menyerang selobiosa tetapi menghidrolisis selodekstrin, selulosa yang telah dilunakkan dengan asam fosfat dan selulosa yang telah disubstitusi seperti CMC (Carboxy Methyl Cellulose) dan HEC (Hidroxy Ethyl Cellulose). Enzim ini kurang aktif menyerang selulosa kristal, tetapi sangat aktif menyerang selulosa yang telah disubstitusi.
14
β -1,4-D-glukan selobiohidrolase (EC 3.2.1.91) atau eksoglukonase menyerang ujung rantai selulosa non pereduksi dan menghasilkan selobiosa. Enzim ini dapat menyerang selodekstrin tapi tidak menyerang selulosa yang disubstitusi serta tidak dapat menghidrolisis selobiosa. β -1,4-glukosidase (β 1,4-D-glukosidase glukohidrolase, EC 3.2.1.21) menghidrolisis selobiosa dan rantai pendek selo-oligosakarida dan menghasilkan glukosa. Enzim ini tidak menyerang selulosa atau selodekstrin. Mekanisme kerja selulase adalah sebagai berikut: 1. Endoglukonase menyerang bagian selulosa yang amorf, membuka jalan bagi eksoglukonase. 2. Eksoglukonase (Selobiohidrolase) menyerang bagian selulosa yang telah terbuka oleh endoglukonase membebaskan selobiosa dari serat selulosa. 3. Terjadi kerjasama antara endoglukonase dan eksoglukonase merombak selulosa menjadi selo-oligoakarida dan selobiosa. 4. β-glukosidase mengubah selobiosa yaitu hasil kerjasama antara endoglukonase dan eksoglukonase menjadi glukosa. Aktivitas enzim selulase didefinisikan sebagai jumlah gula pereduksi yang dihasilkan dari hidrolisis selulosa oleh enzim selulase per menit per milliliter filtrat enzim. Satuan aktivitas enzim dinyatakan dalam IU per menit per milliliter, dimana satu IU sama dengan satu mikromol glukosa. Pengukuran aktivitas selulase lengkap dilakukan untuk mengukur aktivitas campuran enzim yang menghidrolisis bahan yang mengandung selulosa dan menghasilkan glukosa sebagai produk akhirnya (Darwis et al., 1995). Substrat yang biasa digunakan untuk penentuan aktivitas enzim lengkap adalah kertas saring, oleh sebab itu disebut dengan aktivitas filter paperase (FP-ase). Pengujian aktivitas enzim Carboxy Methyl Cellulose (CMC-ase) dapat mencerminkan aktivitas enzim endoglukonase yang menyerang selulosa yang telah diregangkan struktur seratnya ataupun selulosa yang telah tersubstitusi. Selobiosa merupakan penginduksi bagi semua sintesis selulase. Efek penginduksi selulosa disebabkan karena adanya produk akhir hasil hidrolisis yang terlarut misalnya selobiosa (Gong dan Tsao, 1979 di dalam Perlman).
15
Penginduksi selulase yang lain adalah laktosa. Mekanisme penginduksi laktosa belum jelas benar tetapi laktosa merupakan penginduksi selulase yang baik. Induksi ini terjadi pada konsentrasi rendah (0,01%) tetapi pada konsentrasi tinggi tidak menghambat pembentukan selulase. Perbandingan beberapa hasil penelitian yang menggunakan kapang untuk menghasilkan gula pereduksi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Beberapa referensi yang menggunakan kapang untuk menghasilkan gula pereduksi Referensi Metode Hasil Chandra Dewi Tjahjadi, Produksi Gula Reduksi oleh Gula reduksi tertinggi Purwoko dan Artini Rhizopus oryzae dari diperoleh dari medium Pangastuti Substrat Bekatul bubur bekatul 20% pada hari pertama sakarifikasi, yaitu sebesar 15,347 mg/mL. Hery Murphi Pemanfaatan Kulit Buah Aktivitas enzim selulase Fakultas Teknologi Pisang Untuk Produksi tertinggi FP-ase diperoleh Pertanian IPB. Enzim Selulase Oleh dari Trichoderma viride Trichoderma viride, dengan substrat kulit pisang Aspergillus niger dan nangka pada hari ke-12 dan Aspergillus oryzae nilai gula pereduksi tertinggi diperoleh dari kapang Trichoderma viride pada substrat kulit pisang nangka hari ke-6 sebesar 7, 6907 mg/ml.
F.
Kulitivasi pada media cair Keuntungan kultivasi pada media cair dibanding media padat antara lain komposisi dan komponen media dapat diatur dengan mudah, kondisi optimum bagi pertumbuhan mikroba dapat dikendalikan, penggunaan substrat efisien, aerasi dapat disesuaikan, dan resiko kontaminasi kecil. Namun kekurangannya adalah terbentuk buih, membutuhkan sterilisasi yang tinggi, konsentrasi produk rendah dan pemanenan produk mahal . Dalam pembuatan media hidrolisis, beberapa mineral tambahan ditambahkan. Tujuannya adalah untuk mendukung pertumbuhan kapang dan sintesis enzim. Beberapa mineral yang digunakan diantaranya ammonium
16
sulfat dan urea sebagai sumber nitrogen anorganik. Mineral lainnya meliputi komponen yang umumnya terdapat dalam media fungi seperti kalium dihidgoren fosfat (KH2PO4) dan magnesium sulfat (MgSO4). Penambahan kobalt (Co) dan kalsium (Ca) tidak merupakan suatu keharusan untuk pertumbuhan kapang tetapi meningkatkan produksi selulase. Selain unsurunsur tersebut, kapang membutuhkan unsure - unsur kelumit seperti Fe++, Cu++, Zn++, Mn++, Mg++ dan lain-lain. Magnesium dan kalsium dapat berfungsi sebagai pengendap senyawa kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan kapang. Dalam media juga ditambahkan pepton yang berfungsi sebagai sumber nitrogen organik yang siap di pakai untuk pertumbuhan kapang. G.
Aspergillus niger Aspergillus niger termasuk genus Aspergillus, famili Euroticeae dan ordo Eurotiales. Kapang ini mempunyai miselium bercabang dan berseptat. Kapang umumnya bersifat aerob dan tumbuh baik pada kisaran suhu 25 30oC, namun genus Aspergillus dapat tumbuh pada kisaran suhu 35oC - 37oC. Kapang ini dapat tumbuh dengan baik pada pH optimum 7,0 atau agak asam dan bersifat tidak tahan panas. Aspergillus niger dalam media pertumbuhan dapat langsung mengkonsumsi molekul-molekul sederhana seperti gula dan komponen lain yang larut di sekitar hifa, namun untuk molekul-molekul yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam sel. Pembentukan enzim ekstraseluler Aspergillus niger berlangsung lebih baik pada suhu kamar yaitu 25 - 28oC dari pada suhu optimum pertumbuhannya. Sintesis enzim akan menurun pada suhu lebih dari 30oC karena energi respirasi lebih banyak dipergunakan untuk pembentukan spora dari pada untuk membentuk miselium. Biakan Aspergillus niger yang berumur 6 hari dapat dilihat pada Gambar 6.
17
Gambar 6. Biakan Aspergillus niger hasil penelitian A.niger dikenal sebagai kapang penghasil asam sitrat, aniline, pektinase,
selulase,
β-1,4-glikan
hidrolase,
protease,
α-amylase,
glukoamilase, maltase, β-galaktosidase, α-glukosidase, asam glukonat, glukosa oksidase, asam oksalat, fosfodiestrase, ribonuklease, pupulan 4glukonahidrolase, β-xilosidase, xilanase dan lipase (Selvakumar et al., 1996). Tahapan perkembangan spora Aspergillus dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Aspergillus sp.
H.
Trichoderma viride Trichoderma viride termasuk dalam genus Trichoderma, famili Moniliceae dan ordo Monilialse. Kapang ini mudah dilihat karena penampakannya berserabut seperti kapas, namun jika spora telah timbul akan tampak berwarna hijau tua. Trichoderma viride mampu memproduksi kompleks enzim yang lengkap yaitu endoselulase dan eksoselulase yang dapat menghidrolisis selulosa kristalin dan selulosa non kristalin. Pada enzim selulase dapat terjadi sinergisme antara eksoselulase dengan endoselulase,
18
melainkan juga antar eksoselulase. Gambar 8 menunjukkan biakan Trichoderma viride yang berumur 6 hari.
Gambar 8. Biakan Trichoderma viride hasil penelitian Pertumbuhan Trichoderma viride optimal pada pH sekitar 4,0, sedangkan untuk produksi enzim selulase mendekati pH 3,0. Selama produksi enzim, pH harus dipertahankan dalam kisaran pH 3,0 - 4,0, karena inaktivasi enzim akan terjadi di bawah pH 2,0. Menurut Tangnu et al., (1981) dalam Murphi (1994), nilai pH optimum untuk memproduksi enzim bervariasi tergantung pada jenis kapang, macam fermentasi dan substrat yang digunakan. Bagi pertumbuhan kapang diperlukan pH yang berbeda dengan produksi enzim. Penggunaan pH rendah menyebabkan aktivitas maksimum enzim endo dan eksoselulase dapat lebih cepat dicapai. Suhu optimum pertumbuhan sekitar 32 - 35oC dan untuk produksi enzim sekitar 25 - 27oC. Karakteristik dari enzim selulase Trichoderma viride adalah memiliki pH optimum 4,0 dan akan tetap stabil ada pH 3 - 7. Suhu optimum adalah 50oC dan aktivitasnya akan menurun jika suhunya lebih dari 50oC. Trichoderma mampu secara simultan melakukan proses detoksifikasi dan produksi enzim secara simultan pada hidrolisat asam yang mengandung senyawa-senyawa inhibitor seperti furfural dan HMF. Kapang ini juga mampu memetabolisme gula dari golongan pentose maupun heksosa dan tidak terlalu sensitif terhadap material-material lignoselulosik.
19
I.
Saccharomyces cerevisiae Saccharomyces cerevisiae termasuk ke dalam kelas Ascomycetes yang dicirikan dengan pembentukan askus yang merupakan tempat askospora. Setiap askus mengandung satu sampai empat spora dengan berbagai bentuk spora yang dapat berkonjugasi. Saccharomyces cerevisiae memperbanyak diri secara aseksual yaitu dengan bertunas (Pelczar dan Chan, 1986). Saccharomyces cereviseae adalah salah satu spesies khamir yang memiliki daya konversi gula menjadi etanol sangat tinggi. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik dan memerlukan suhu 30oC dan pH 4,0 - 4,5 agar dapat tumbuh dengan baik. Saccharomyces cereviseae bersifat fermentatif kuat sehingga jika diberi aerasi aktivitas fermentasinya akan menurun dan sebagian glukosanya akan direspirasi menjadi karbondioksida dan air. Batas aktivitas air terendah untuk pertumbuhan khamir berkisar antara 0,88 - 0,94. Tetapi banyak juga khamir bersifat osmofilik yaitu dapat tumbuh pada medium dengan aktivitas air relatif rendah, yaitu sekitar 0,62 - 0,65. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan khamir adalah 25 - 30oC dan suhu maksimum 35 - 47 oC. Kebanyakan khamir lebih menyukai tumbuh pada keadaan asam yaitu sekitar 4 - 5 (Frazier dan Westhoff, 1978). Laju pertumbuhan mikrobial dapat dibagi menjai empat fase, yaitu fase pertumbuhan lambat (lag phase), fase pertumbuhan cepat (exponential phase), fase pertumbuhan statis (stationer phase) dan fase kematian (death phase). Laju pertumbuhan mikroorganisme dapat dilihat pada Gambar 9. Fase Fase Fase
Stationer
Eksponensial
Lag
Gambar 9. Kurva pertumbuhan mikroba
Fase Kematian
20
Fase lag merupakan fase dimana khamir beradaptasi untuk menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan sekitarnya. Pada fase ini belum mengalami pembelahan sel karena beberapa enzim belum disintesis. Pada fase ini juga terjadi pertumbuhan yang masih lambat. Fase eksponensial merupakan fase dimana khamir membelah dengan cepat dan konstan. Fase statis merupakan fase dimana populasi sel khamir tetap karena jumlah sel yang mati sama dengan jumlah sel yang tumbuh. Ukuran sel pada fase ini lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun zat nutrisi sudah mulai habis. Fase kematian merupakan fase dimana sebagian populasi khamir mulai mengalami kematian yang disebabkan karena nutrien sudah habis dan energi cadangan dalam sel sudah habis (Fardiaz, 1992). J.
Fermentasi Etanol Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik karbohidrat, protein, lemak atau lainnya, melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal sebagai enzim dan dihasilkan oleh mikroba spesifik (Prescott dan Dunn, 1981). Pada awal proses fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya oleh karena itu perlu diberikan oksigen. Sesudah terjadi akumulasi CO2 dan reaksi berubah menjadi anaerob, alkohol akan mengalami fermentasi lebih lanjut setelah mencapai konsentrasi antara 13 - 15% volume (Prescott dan Dunn, 1981). Menurut Paturau (1969) Di dalam H. Dellweg, waktu fermentasi etanol yang optimum berada diantara 30 - 72 jam. Walaupun laju awal produksi etanol meningkat pada suhu lebih tinggi, produktivitas keseluruhan menurun karena efek penghambatan etanol meningkat (Ratledge, 1991). Menurut Frazier dan Westhoff (1978) suhu optimum untuk fermentasi antara 25 - 30oC dan kadar gula 10 - 18%. Etanol merupakan produk biokonversi dari proses fermentasi. Etanol mempunyai rumus kimia C2H5OH yang berupa cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap, memiliki bau yang sangat halus. Sifat fisika dari etanol adalah bersifat polar oleh karena gugus hidroksilnya (R-OH). Seperti air, etanol dapat membentuk ikatan hidrogen sehingga etanol mempunyai titik didih yang lebih tinggi dari senyawa lain yang mempunyai berat formula
21
yang sama. Etanol mudah menguap pada suhu rendah, mudah terbakar dan mendidih pada suhu 78oC. Gambaran dan perbandingan perolehan etanol dari beberapa jenis bahan mentah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perolehan etanol dari beberapa jenis bahan mentah di Indonesia Sumber
Singkong Tetes Tebu Ubi Jalar Sagu Tebu Nipah
Produktivitas (ton/ha/thn) 25 3,6 62,5 6,8 75 27
Perolehan Etanol Liter/ton 180 270 125 608 67 93
Liter/ha/ton 4500 93 7812 4133 5025 2500
Sumber: Hambali et al., 2007 Sebagai bahan pensubstitusi bensin, bioetanol dapat diaplikasikan dalam bentuk bauran dengan minyak bensin (EXX), misalnya 10% etanol dicampur dengan 90% bensin (gasohol E10) atau digunakan 100% (E100) sebagai bahan bakar. Hambali et al., (2007) menyatakan bahwa berdasarkan jenis dan manfaatnya etanol digolongkan menjadi tiga golongan yaitu: 1.
Etanol prima Etanol prima adalah etanol mutu tinggi dengan kadar 96 - 96,5% (v/v), disebut juga etanol murni dengan kadar minyak fusel yang sangat rendah (< 10 mg/l). Etanol ini biasanya digunakan untuk minuman keras mutu tinggi, industri farmasi dan industri kosmetik.
2.
Etanol teknis Etanol teknis adalah etanol dengan kadar 92 – 94% (v/v) dan memiliki kadar minyak fusel antara 15 – 30 mg/ml. Etanol teknis ini digunakan dalam industri untuk bahan bakar, bahan pelarut organik, bahan baku spritus dan bahan produk lain.
3.
Etanol absolut Etanol absolut adalah etanol dengan kadar yang sangat tinggi (> 99,5% v/v) dan digunakan untuk obat-obatan, bahan pelarut dan bahan produksi senyawa lain). Sifat fisika dan kimia etanol absolut dan etanol teknis dapat dilihat pada Tabel 6.
22
Tabel 6. Sifat fisika dan kimia etanol absolut dan etanol teknis Parameter Titik beku (oC) Titik didih (oC) Spesifik gravity Indeks bias Viskositas pada 20oC (P) Tegangan permukaan (dyne/cm) Panas spesifik Panas fusi (kal/g) Panas evaporasi (kal/g) Kondukstivitas elektrik pada 25oC (ohm-1/cm) Sumber: SNI (1994)
Etanol absolut -112,3 78,4 0,7851 1,3633 0,0122 22,3 0,581 24,9 204 1,35 x 10-9
Etanol teknis 1,3651 0,0141 22,8 0,618 -
Perbandingan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan etanol dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 . Beberapa referensi yang berhubungan dengan etanol Referensi Ratna Putri Puspita Sari Jurusan Teknik Kimia, FakultasTeknik, Universitas Diponegoro (Anonim d)
Metode Pembuatan Etanol dari Nira Sorgum dengan Proses Fermentasi
Aldi Ismoyo Kurniadi Institut Teknologi Bandung (Anonim e)
Fermentasi Gliserol menjadi Etanol
Diah Rochana Puspitasari Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Kinerja Dua Strain Khamir Terhadap Produksi Etanol Menggunakan Dekstrin dan Sirup Glukosa dari Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)
Hasil Proses fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae pada waktu fermentasi 7 hari, kadar glukosa 14,5 %, serta penambahan starter 9 % dari volume total, menghasilkan etanol dengan kadar 11,82 %. Dengan konversi etanol yang didapat adalah 46,21 %. Kondisi optimum untuk fermentasi gliserol menjadi etanol oleh Bacillus macerans yang diperoleh pada percobaan adalah pada konsentrasi gliserol awal 15%, pH medium 6 dan temperatur fermentasi 26oC. Perolehan etanol pada kondisi optimum ini adalah 0,025 g/L. Penelitian ini menggunakan khamir S.cerevisiae dan S.cerevisiae var ellipsoideus. Kadar etanol tertinggi sebesar 17,49 g/l dihasilkan dari fermentasi
23
Wilse Rinaldy Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Pemanfaatan Onggok Singkong (Manihot esculenta Crantz) sebagai Bahan Pembuatan Etanol
menggunakan S.cerevisiae var ellipsoideus pada konsentrasi sirup glukosa 27%. Penelitian ini menggunakan khamir S.cerevisiae var ellipsoideus dan Schizosaccharomyces sp. Kadar etanol tertinggi sebesar 1,61% (v/v) diperoleh dari fermentasi menggunakan khamir Schizosaccharomyces sp pada konsentrasi glukosa 7%.
24
III. METODOLOGI A.
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2009 – Januari 2010 di Laboratorium Bioindustri, Laboratorium Instrumen dan Laboratorium Teknologi Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
B.
Alat dan Bahan Alat-alat
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
diantaranya
Erlenmeyer, tabung ulir, pipet mikro, timbangan analitik, Clean Bench, timbangan digital, hammer mill, pH meter, shaker, gelas ukur, saringan, kertas saring, pipet volumetrik, autoclave, inkubator, tabung reaksi, refraktometer,
oven,
sarung
tangan,
jarum
ose,
bunsen,
vortex,
spektofotometer, cawan porselen, desikator, tabung kjeldahl, tabung soxhlet, pemanas, buret, tanur. Bahan-bahan yang digunakan antara lain pod kakao 40 mesh, biakan kapang Trichoderma viride dan Aspergillus niger dari Laboratorium Teknologi Kimia Departemen TIN IPB, NaOH 0.68%, NaOH 10%, H2O2 30%, buffer sitrat (pH 4,8) khamir Saccharomyces cereviseae, PDA (Potato Dextrose Agar), pupuk NPK (Nitrogen, Fosfor, Kalium) dan urea dari Laboratorium DIT Departemen TIN IPB. Bahan kimia untuk analisa H2SO4 pekat, fenol 5%, larutan DNS, Pb asetat setengah basa, (NH4)2SO4, KH2PO4, Urea, CaCl2, MgSO4, stok mineral, aquades, pepton, laktosa) dari Laboratorium DIT Departemen TIN IPB. C.
Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan mencakup karakterisasi kimiawi pod kakao dan
perlakuan pendahuluan.
Penelitian utama yang akan
dilakukan yaitu hidrolisis pod kakao menggunakan kapang Aspergillus niger dan Trichoderma viride dan fermentasi hidrolisat yang diperoleh menjadi etanol. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
25
1.
Penelitian Pendahuluan
a.
Karakterisasi Kimiawi Pod Kakao Analisa kimia pod kakao meliputi analisa kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar yang meliputi selulosa, hemiselulosa dan lignin. Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 2.
b.
Perlakuan Pendahuluan dan Delignifikasi Perlakuan pendahuluan meliputi pengecilan ukuran pod kakao dan delignifikasi. Pod kakao kering dikecilkan ukurannya menggunakan hammer mill. Kemudian digunakan saringan 40 mesh untuk memisahkan bubuk pod kakao. Pod kakao berukuran 40 mesh kemudian ditimbang sebanyak 100 g, direndam dalam larutan Ca(OH)2 10% (b/v) selama 12 jam kemudian dicuci dan disaring lalu dilarutkan dalam aquades sebanyak 1550 ml, kemudian ditambahkan NaOH 0,68% (b/v) dan diatur pHnya menjadi 12 dan didiamkan selama 12 jam. Setelah itu ditambahkan H2O2 sebanyak 51 ml dan diatur pHnya menjadi 11,5 menggunakan NaOH 0,68% (b/v) dan didiamkan selama 12 jam. Setelah itu pod kakao disaring dan dilakukan pencucian menggunakan air hangat beberapa kali. Pod kakao kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC selama 24 jam. Diagram alir delignifikasi dapat dilihat pada Lampiran 3.
2.
Penelitian Utama
a.
Persiapan Media Media yang digunakan dalam kultivasi cair ini adalah media Andreotti (1980) dalam Jennie (1991) yang dimodifikasi. Komposisi media dapat dilihat pada Lampiran 4. Dalam penelitian ini dilakukan modifikasi terhadap komposisi media di atas yaitu selulosa yang digunakan adalah sebesar 3% (b/v). Setiap bahan ditimbang disiapkan menurut komposisinya. Sebanyak 50 ml media yang telah dibuat kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml yang telah diisi dengan bubuk pod kakao sebanyak 1,5 g. Kemudian diatur pH awalnya
26
yaitu 6 dengan menambahkan HCl 1N. Medium selanjutnya disterilkan di autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit dan siap untuk diinokulasi. b.
Aktivasi dan Inokulasi Kapang Biakan murni kapang Trichoderma viride dan Aspergillus niger diperbanyak pada agar miring PDA (Potato Dextrose Agar). Sebelum melakukan penggoresan, semua alat dan bahan termasuk agar miring disterilisasi UV di dalam clean bench selama 15 menit. Penggoresan dilakukan secara steril agar kapang yang ditumbuhkan tidak terkontaminasi. Kapang selanjutnya dimasukkan dalam inkubator pada suhu 30oC selama 6 hari. Setelah itu kapang siap untuk digunakan. Jika tidak langsung digunakan, kapang dibungkus dengan plastik dan disimpan di lemari pendingin. Suspensi kapang dibuat dari biakan Trichoderma viride dan Aspergillus niger pada agar miring. Caranya dengan menambahkan aquades steril sebanyak 10 ml untuk setiap tabung biakan Trichoderma viride dan Aspergillus niger, lalu diaduk dengan ose steril sehingga spora kapang tersuspensikan. Suspensi kapang sebanyak 5% (v/v) diinokulasikan ke dalam 50 ml media yang telah ditambahkan
dengan 1,5 gram pod kakao tanpa
delignifikasi yang telah disterilkan. Hal yang sama dilakukan terhadap pod kakao yang telah didelignifikasi. Selanjutnya diinkubasi pada suhu kamar pada inkubator goyang selama 11 hari dan dilakukan sampling pada hari 1, 3, 5, 7, 9, dan 11. Sampel kemudian dianalisis pH, Total gula, Gula pereduksi (Lampiran 5) dan Aktivitas enzim FP-ase (Lampiran 6). Hasil hidrolisis yang diperoleh dianalisis komposisi sakaridanya secara kualitatif menggunakan metode kromatografi kertas. Prosedur kromatografi kertas dapat dilihat pada Lampiran 7. c.
Fermentasi •
Persiapan media Media fermentasi berasal dari substrat glukosa hasil hidrolisis selulosa pod kakao menggunakan kapang. Fermentasi dilakukan pada Erlenmeyer 300 ml dengan volume media yang digunakan adalah 200 ml v/v. Ke dalam
27
media ditambahkan nutrien berupa pupuk NPK sebanyak 0,2 g/100 ml dan urea sebanyak 0,15 g/100 ml. Substrat glukosa akan menjadi sumber karbon, sedangkan pupuk merupakan sumber nutrien yaitu fosfor, nitrogen dan kalium bagi pertumbuhan khamir. Setelah itu dilakukan penyesuaian pH awal yaitu 4,8 - 5,0. •
Persiapan kultur Khamir Saccharomyces cerevisiae diremajakan pada media PDA dan diinkubasi selama 48 jam. Setelah itu khamir ditumbuhkan lagi pada 50 ml media YMGP yang terdiri dari ekstrak yeast 5 g/l, malt 5 g/l. glukosa 10 g/l, dan pepton 5 g/l di dalam Erlenmeyer 250 ml. Inkubasi dilakukan pada shaker berkecepatan 125 rpm pada suhu 30oC selama 24 jam.
Kultur
Saccharomyces cerevisiae sebanyak 10% dari volume substrat siap di inokulasikan dalam media yang telah disiapkan. •
Fermentasi Kultur Saccharomyces cerevisiae yang telah siap, diinokulasikan sebanyak 10% dari volume subsrat ke dalam substrat. Fermentasi dilakukan selama 48 jam dan pada 12 jam pertama digoyang pada shaker pada kondisi suhu ruang dengan kecepatan 100 rpm. Sampel hasil fermentasi kemudian dianalisis total gula menggunakan metode Phenol H2SO4 (Dubois et al., 1956) dan kadar etanolnya menggunakan refraktometer merk ATACO. Sampel yang diuji harus dalam keadaan jernih sehingga sebelumnya harus disaring terlebih dahulu menggunakan filter dan kertas milipore berukuran 0,22 mikron.
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan meliputi karakterisasi pod kakao dan perlakuan pendahuluan. Analisa kimia pod kakao dapat diketahui melalui analisa proksimat. Selain itu juga dilakukan analisis komposisi serat kasar yang terdiri dari lignin, hemiselulosa dan selulosa.
1.
Analisis Kimia Pod Kakao Komposisi kimia pod kakao yang dianalisis diantaranya kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan serat kasar. Hasil analisis komponen kimia pod kakao dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Komposisi kimiawi pod kakao hasil penelitian Komponen Kimia 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat Serat kasar
Persentase % (bb) 6,32 1,75 2,11 2,81 87,01 50,41
Persentase % (bk) 1,87 2,25 2,99 92,84 53,79
Serat kasar pod kakao terdiri dari beberapa komponen utama penyusunnya diantaranya selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selain itu terdapat pula beberapa jenis mineral dan silika. Komposisi kimiawi serat kasar pod kakao dapat dilihat pada Tabel 9.
29
Tabel 9. Komposisi kimiawi serat kasar pod kakao Komponen Kimia 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Persentase % (bk)
ADF NDF Hemiselulosa Selulosa Lignin Silika Mineral lain
71,80 80.50 8.70 28,78 42.90 0,07 0,05
Nilai kadar air pada pod kakao hasil analisis cukup rendah yaitu 6, 32% (bb). Hal ini baik untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme pada pod kakao, sehingga pod kakao dapat bertahan lama sebelum digunakan. Kadar abu dalam bahan berkaitan dengan kandungan mineral-mineral anorganik sisa pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550oC (Apriyantono et al., 1988). Berdasarkan hasil analisa, kadar abu pada pod kakao yang digunakan adalah 1,87% (bk). Kadar protein hasil penelitian adalah 2,25% (bk). Pada Tabel 8 diketahui kandungan serat kasar pod kakao cukup tinggi yaitu 53,79% (bk). Serat kasar adalah residu dari bahan pertanian setelah diperlakukan dengan asam/alkali mendidih. Fraksi serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan homopolimer glukosa yang jika dihidrolisis akan menghasilkan glukosa, xilosa, galaktosa, arabinopiranosa dan manosa. Glukosa, manosa dan galaktosa merupakan gula dari golongan heksosa, sedangkan xylosa dan arabinopinosa merupakan gula dari golongan pentose (Irawadi, 1990). Serat kasar hasil penelitian terdiri dari selulosa sebesar 28,78% (bk) hemiselulosa 8,70% (bk)% dan lignin sebesar 42,90% (bk). Menurut penelitian Ramayanti (2004) didapatkan kandungan serat kasar pada pod kakao yaitu selulosa sebesar 30,41% (bk), hemiselulosa 11,82% (bk) dan lignin sebesar 31,15% (bk). Perbedaan dalam komposisi serat kasar dapat disebabkan oleh adanya perbedaan varietas, umur panen dan musim panen. Selain itu mungkin disebabkan kurang terkontrolnya bahan baku sehingga
30
pod kakao sudah terdegradasi terlebih dahulu ketika dalam keadaan basah. Kandungan lignin yang cukup tinggi harus dikurangi melalui perlakuan pendahuluan (delignifikasi), karena akan menghambat proses hidrolisis.
2.
Perlakuan Pendahuluan dan Delignifikasi Perlakuan pendahuluan dalam penelitian ini meliputi pengecilan ukuran pod kakao menjadi 40 mesh dan kemudian dilanjutkan dengan proses degumming menggunakan Ca(OH)2, dilanjutkan dengan delignifikasi menggunakan NaOH dan H2O2. Pengecilan ukuran bertujuan untuk memperluas permukaan yang akan kontak dengan kapang. Pengecilan ukuran dan delignifikasi menyebabkan terputusnya rantai polimer yang panjang menjadi rantai polimer yang lebih pendek, meningkatkan daerah amorf dan memisahkan bagian lignin dari selulosa. Pemutusan ikatan dan degradasi lignin merupakan jalur dalam meningkatkan aksebilitas dan penetrasi enzim ke dalam substrat. Pod kakao mengandung getah/gum yang relatif banyak. Getah/gum ini baru tampak (terekstraksi) bila bubuk pod kakao dimasukkan dalam air. Gum dalam air akan membentuk senyawa koloid dengan viskositas yang tinggi. Setelah proses penghilangan lendir dengan menggunakan Ca(OH)2 selesai, proses selanjutnya adalah pencucian menggunakan aquades. Melarutnya bahan-bahan selulosa oleh NaOH disebabkan terjadinya proses penyabunan dari grup-grup ester. Larutan H2O2 alkalis berfungsi sebagai oksidator kuat yang akan mengoksidasi lignin pada kondisi basa. Tampilan warna pod kakao yang digunakan sebelum dan setelah delignifikasi dapat dilihat pada Gambar 10.
Sebelum
Setelah
Gambar 10. Pod kakao sebelum dan setelah didelignifikasi
31
Terdapat perbedaan warna pada pod kakao yang tidak didelignifikasi dan yang telah didelignifikasi. Hal ini disebabkan karena dalam proses delignifikasi digunakan H2O2 yang dapat mendegradasi warna sehingga warna pod kakao terlihat lebih cerah. Jika pod kakao yang tidak didelignifikasi dilarutkan dalam air, maka gum-gum yang ada akan terlepas sehingga terbentuk larutan kental. Komposisi serat kasar pod kakao sebelum dan setelah didelignifikasi dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Komposisi serat kasar pod kakao sebelum dan setelah delignifikasi Komponen
Sebelum Delignifikasi % (bk) 28,78
Setelah Delignifikasi % (bk) 32,23
Hemiselulosa
8,70
-
Lignin
42,90
31,00
Selulosa
Derajat delignifikasi = ((42,90-31,00)/42,90) x 100 = 27,74%
Berdasarkan hasil di atas, terlihat bahwa selulosa pod kakao setelah didelignifikasi naik menjadi 32,23% dari kandungan awalnya yaitu 28,78%. Kandungan lignin yang semula sebesar 42,90% turun menjadi 31%. Derajat delignifikasi dari pod kakao dalam penelitian ini adalah 27,74%. Menurut Gould (1985), proses hidrolisis atau sakarifikasi akan efisien apabila minimal 50% lignin dapat dihilangkan. Derajat delignifikasi yang belum optimal ini kemungkinan
disebabkan
pada waktu
pengaturan
pH pada waktu
delignifikasi tidak tepat 11,5. Menurut Gould (1985), pengaturan pH harus tepat 11,5 untuk mendapatkan derajat delignifikasi minimal 50%. Jika derajat delignifikasi hanya berkisar 20-30% maka efisisiensi hidrolisis atau sakarifikasi hanya bisa mencapai ± 40%. B.
Penelitian Utama
1.
Kultivasi Aspergillus niger dan Trichoderma viride Sebelum digunakan, kapang diremajakan pada media agar miring PDA agar dapat memproduksi selulase dengan optimal. Kapang digoreskan dalam media PDA (Potato Dextrose Agar) yang dibuat miring pada tabung
32
reaksi dan dibiarkan tumbuh dalam inkubator dengan suhu 30oC. Penyegaran dilakukan selama 6 hari. Hal ini merujuk pada penelitian Arnata (2009), yang melakukan kultivasi pertumbuhan untuk menentukan waktu optimum bagi Aspergillus niger dan Trichoderma viride dalam menghasilkan spora maksimum. Kultivasi dilakukan selama 7 hari dan jumlah spora maksimum dengan rata-rata 1,58 x 109 terjadi pada hari ke-6. Aktivitas maksimal enzim selulase dihasilkan pada hari ke-7 dan namun berdasarkan hasil uji Duncan, aktivitas FP-ase ini tidak berbeda nyata dengan hari ke-6. Oleh karena itu dalam penelitian ini, penyegaran kapang dilakukan selama 6 hari. 2.
Hidrolisis pada Substrat Pod Kakao Tanpa Delignifikasi dan Substrat Pod Kakao Delignifikasi
a.
pH Pengukuran pH selama waktu hidrolisis dimaksudkan untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama hidrolisis apakah cenderung meningkat atau cenderung menurun dari pH awal hidrolisis. Pada waktu hidrolisis pH awal diatur sebesar ± 6,0 dengan penambahan HCl 1N. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa pH hidrolisat Aspergillus niger pada susbtrat pod kakao tanpa delignifikasi berkisar antara 5,24 hingga 6,05, sedangkan pada substrat delignifikasi berkisar antara 5,01 - 5,85. Hidrolisat Trichoderma viride pada susbtrat pod kakao tanpa delignifikasi pHnya berkisar 4,95 - 5,82. Pada subsrat pod kakao delignifikasi, nilai pH berada pada rentang 4,88 - 6,08. Aktivitas selulase memiliki pH optimum untuk sekitar 4,5 - 6,5 dan selulase yang diperoleh dari Aspergillus niger dan Trichoderma viride menunjukkan aktivitas optimum pada kisaran pH 4,5 5,5 (Kulp,1975 Di dalam G. Reed). Nilai pH dari hidrolisat kedua jenis kapang yang berada di luar rentang pH yang ada pada literatur mungkin disebabkan oleh jenis substrat yang berbeda, media yang digunakan dan jenis kultivasi. Namun rentang nilai pH ini masih masuk dalam rentang nilai pH secara umum untuk aktivitas selulase. Histogram perubahan nilai pH selama hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 11.
33
Gambar 11. Grafik perubahan nilai pH selama hidrolisis Keterangan: TD
: Substrat pod kakao tanpa delignifikasi
D
: Substrat pod kakao delignifikasi Nilai pH yang terlihat menurun pada setengah tahap hidrolisis.
berkaitan dengan penggunaan (NH4)2SO4 sebesar 0,14% (b/v) yang ada pada media (media Andreotti) sebagai sumber nitrogen. Menurut Said (1987), jika ammonia adalah sumber nitrogen maka pH cenderung menurun, dimana ammonia pada larutan (media) ada pada keadaan NH4+. Mikroorganisme kemudian menggabungkannnya dengan sel sebagai R-NH3+, dimana R adalah sebuah gugus karbon. Pada proses, sebuah ion H+ tertinggal dalam medium yang mengakibatkan menurunnya pH. Perubahan pH akan menyebabkan perubahan dalam aktivitas enzim, karena perubahan pH akan menyebabkan perubahan ioniasi pada protein enzim, subsrat dan kompleks enzim subsrat pH menyebabkan ionisasi gugus asam dan basa suatu enzim. Semakin rendahnya nilai pH cenderung mempermudah pelepasan enzim selulase pada media karena pada saat diproduksi oleh mikroorganisme, enzim selulase masih terikat pada membran sel dan akan dilepaskan oleh suatu mekanisme pelepasan yang spesifik yaitu pada kondisi pH rendah. Oleh karena itu perubahan nilai pH ini mempengaruhi nilai aktivitas total selulase FP-ase.
34
b.
Gula Pereduksi Gula pereduksi ialah gula-gula yang mengandung gugus aldehid atau keton bebas misalnya glukosa dan fruktosa. Pada penelitian ini pengukuran kadar gula pereduksi dilakukan dengan menggunakan metoda DNS. Metode ini tidak spesifik dan akan mengukur seluruh senyawa pereduksi. Jika glukosa digunakan sebagai standar, maka untuk menentukan selobiosa, nilai yang diperoleh 15% lebih rendah dari yang sebenarnya, sedangkan untuk silosa 15% lebih tinggi. Glukosa maupun gula sederhana lainnya dimanfaatkan sebagai sumber karbon bagi kapang Aspergillus niger dan Trichoderma viride. Glukosa maupun gula – gula sederhana tersebut berasal dari hasil hidrolisis dan mungkin telah terdapat pada awal hidrolisis dalam media seperti laktosa. Laktosa yang digunakan dalam media adalah sebesar 0,1% (b/v). Penambahan laktosa menyebabkan nilai gula pereduksi pada hari pertama cenderung lebih tinggi karena laktosa belum dikonsumsi seluruhnya oleh kapang untuk pertumbuhannya. Kadar gula pereduksi hasil hidrolisis oleh Aspergillus niger dan Trichoderma viride terlihat polanya hampir sama.
Untuk hidrolisis
menggunakan Aspergillus niger pada substrat pod kakao tanpa delignifikasi terjadi penurunan kadar gula pereduksi hingga hari ke-3 yaitu sebesar 0,156 mg/ml dan meningkat pada hari ke-5 sebesar 0,208 mg/ml
kemudian
menurun hingga hari ke-11 sebesar 0,099 mg/ml. Pada hari ke-1 sampai hari ke-3 hidrolisis, glukosa maupun gula sederhana pada media dimanfaatkan untuk pertumbuhan kapang maupun sintesis enzim. Pada hari ke-3 sampai ke5 enzim yang dihasilkan semakin meningkat sehingga glukosa yang terbentuk semakin besar. Besarnya glukosa yang terbentuk merupakan indikator tingginya aktivitas enzim. Selanjutnya mulai hari ke-5 hingga ke-11 terjadi penurunan kadar glukosa yang menunjukkan bahwa penggunaan glukosa sebagai sumber karbon lebih besar dibandingkan dengan pembentukan gula oleh kapang Aspergillus niger. Pada hidrolisis menggunakan Aspergillus niger pada substrat pod kakao delignifikasi terlihat bahwa kadar gula pereduksi menurun hingga hari
35
ke-3 sebesar 0,290 mg/ml kemudian cenderung meningkat dan mencapai nilai tertinggi pada hari ke-7 yaitu sebesar 0,352 mg/ml kemudian cenderung menurun hingga hari ke-11 yaitu 0,300 mg/ml. Perubahan nilai gula pereduksi selama hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Grafik perubahan nilai gula pereduksi selama hidrolisis Keterangan: TD
: Substrat pod kakao tanpa delignifikasi
D
: Substrat pod kakao delignifikasi Untuk hidrolisis menggunakan Trichoderma viride pada substrat pod
kakao tanpa delignifikasi terjadi penurunan kadar gula pereduksi hingga hari ke-3 yaitu sebesar 0,230 mg/ml dan meningkat pada hari ke-5 sebesar 0,249 mg/ml kemudian menurun hingga hari ke-11 sebesar 0,184 mg/ml. Pada hidrolisis menggunakan Trichoderma viride pada substrat pod kakao delignifikasi terlihat bahwa kadar gula pereduksi menurun hingga hari ke-5 sebesar 0,279 mg/ml kemudian cenderung meningkat dan mencapai nilai tertinggi pada hari ke-9 yaitu sebesar 0,350 mg/ml kemudian cenderung menurun hingga hari ke-11 yaitu 0,325 mg/ml. Dari gambar terlihat jelas bahwa baik hidrolisat menggunakan Aspergillus niger maupun Trichoderma viride, kedua-duanya menunjukkan hasil yang sama yaitu gula pereduksi tertinggi dihasilkan pada substrat pod kakao delignifikasi. Hal ini lebih diyakinkan dengan hasil analisis ragam dengan α <0,05
pada tahapan hidrolisis diperoleh hasil perlakuan jenis
substrat berpengaruh nyata terhadap konsentrasi gula pereduksi. Dari hasil di
36
atas dapat dilihat bahwa lignin yang tidak dihilangkan atau dikurangi pada persiapan bahan baku akan menghalangi sintesis enzim dan penetrasi enzim ke substrat yang menyebabkan rendahnya nilai gula pereduksi yang dihasilkan. Hal ini juga dapat dibandingkan dengan nilai aktivitas enzim FPase pada substrat pod kakao tanpa delignifikasi yang sangat rendah. Selulosa yang seharusnya bisa dikonversi menjadi gula pereduksi, masih terikat kuat dengan lignin dan hemiselulosa. Sebagian selulosa berhasil terlepas ikatannya dengan lignin pada waktu pengecilan ukuran dilakukan hingga 40 mesh. Inilah yang menyebabkan sebagian kecil selulosa dikonversi menjadi gula pereduksi. Jika dilihat dari jenis kapang yang digunakan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai gula pereduksi yang dihasilkan oleh Aspergillus niger dan Trichoderma viride. Hal ini sesuai dengan analisis ragam dengan α <0,05 pada tahapan hidrolisis diperoleh hasil perlakuan jenis kapang dan lama hidrolisis tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi gula pereduksi. Oleh karena itu, kedua kapang ini sering digunakan untuk mengkonversi selulosa menjadi glukosa. Menurut Gong dan Tsao (1979) Di dalam Perlman, kapang Trichoderma viride pada awal fermentasi dapat memproduksi enzim selulase karena pada kapang tersebut selulase basal selalu disintesa, tidak tergantung pada sumber karbon yang digunakan dan tetap aktif walaupun dalam keadaan kelaparan. Cairan hidrolisat yang menggunakan Aspergillus niger tampak berwarna gelap agak kehitaman. Hal ini dipengaruhi oleh pigmen warna dari kapang Aspergillus niger yang berwarna hitam. Cairan hidrolisat yang menggunakan kapang Trichoderma viride warnanya agak kuning kehijauan. Hal ini dipengaruhi oleh pigmen warna hijau yang dihasilkan oleh kapang ini. Tampilan hidrolisat yang menggunakan Aspergillus niger dan Trichoderma viride dapat dilihat pada Gambar 13.
37
A.niger
T.viride
Gambar 13. Hidrolisat A.niger dan T. viride pada substrat pod kakao delignifikasi. Derajat delignifikasi dalam penelitian ini belum begitu efektif karena hanya menghilangkan lignin sebesar 27,74%, sedangkan menurut Gould (1985), proses hidrolisis atau sakarifikasi akan efisien apabila minimal 50% lignin dapat dihilangkan. Hal ini menyebabkan kadar gula pereduksi yang yang dihasilkan pada subsrat pod kakao delignifikasi pun tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu perlu ditinjau lagi metode delignifikasi yang optimal untuk menghilangkan lignin. Konversi gula pereduksi dari bahan baku yang tertinggi baik oleh Aspergillus niger maupun oleh Trichoderma viride dihasilkan pada substrat pod kakao delignifikasi. Konversi gula pereduksi oleh A.niger pada substrat pod kakao delignifikasi adalah sebesar 1, 173% b/b. Nilai ini menyatakan bahwa dari 1 g pod kakao, dapat menghasilkan 0,01173 g gula pereduksi. Nilai gula pereduksi tertinggi oleh Trichoderma viride yaitu 0,350 mg/ml, sehingga konversinya ke bahan baku adalah sebesar 1,167% b/b yang artinya dari 1 g pod kakao dapat dihasilkan 0,01167 g gula pereduksi. Besarnya nilai konversi gula pereduksi dari bahan baku dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Konversi gula pereduksi dari bahan baku pod kakao Jenis Kapang; Substrat A.niger; D A.niger;TD T.viride;D T.viride;TD
Kondisi Terbaik Hari ke 7 Hari ke 5 Hari ke 9 Hari ke 5
Nilai Gula Pereduksi (mg/ml) 0,352 0,208 0,350 0,249
Persen Konversi (%b/b) 1,173 0,693 1,167 0,830
38
Dalam penelitian ini dilakukan analisa kualitatif jenis monosakarida hasil hidrolisis menggunakan kromatografi kertas. Jenis standar gula yang digunakan adalah xylosa, sukrosa, glukosa, mannosa dan di-Galaktosa. Dari hasil analisa terlihat bahwa pada hidrolisat yang menggunakan kapang Aspergillus niger, mengandung glukosa dan mannosa, terlihat dari spot yang terbentuk dan nilai rf yang diperoleh. Pada hidrolisat menggunakan kapang Trichoderma viride menunjukkan kandungan glukosa dan mannosa. Glukosa dan manosa merupakan gula golongan heksosa. Hasil analisa dapat dilihat pada Lampiran 10. c.
Total Gula Pengukuran total gula dalam penelitian ini menggunakan metode Phenol H2SO4. Prinsip pengukuran total gula adalah semua gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat sehingga menghasilkan warna orange kekuningan stabil. Pada hidrolisis menggunakan Aspergillus niger pada subsrat pod kakao tanpa delignifikasi terlihat bahwa total gula yang dihasilkan berkisar antara 1,216 – 1,430 mg/ml. Total gula yang dihasilkan menggunakan kapang yang sama pada substrat pod kakao didelignifikasi berkisar antara 0,645- 0,909 mg/ml. Pada hidrolisis menggunakan Trichoderma viride pada subsrat pod kakao tanpa delignifikasi terlihat bahwa total gula yang dihasilkan berkisar antara 1,298 – 2,021 mg/ml. Pada substrat pod kakao yang didelignifikasi, total gula yang dihasilkan berkisar antara 0,746 – 1,023 mg/ml. Dari hasil tersebut terlihat bahwa nilai total gula pada hidrolisat pod kakao tanpa delignifikasi cenderung lebih tinggi dibandingkan dari pada substrat pod kakao yang didelignifikasi. Perubahan nilai total gula selama hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 14, serta konversi total gula dari bahan baku pod kakao dapat dilihat pada Tabel 12.
39
Gambar 14. Grafik perubahan nilai total gula selama hidrolisis Keterangan: TD
: Substrat pod kakao tanpa delignifikasi
D
: Substrat pod kakao delignifikasi
Tabel 12. Konversi total gula dari bahan baku pod kakao Jenis Kapang; Substrat A.niger; D A.niger;TD T.viride;D T.viride;TD
Kondisi Terbaik Hari ke 7 Hari ke 5 Hari ke 9 Hari ke 9
Nilai Total Gula (mg/ml) 0,909 1,430 1,014 2,021
Persen Konversi (%b/b) 3,03 4,77 3,38 6,74
Dari hasil tersebut terlihat bahwa nilai total gula pada hidrolisat pod kakao tanpa delignifikasi cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan substrat pod kakao yang didelignifikasi, sehingga konversi total gula dari pod kakao pun lebih tinggi pada substrat pod kakao tanpa delignifikasi. Hal ini disebabkan karena dalam pengukuran total gula semua gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat, sehingga pektin dan gum yang terdapat pada pod kakao, hemiselulosa dan turunannya, selulosa dan turunannya juga ikut bereaksi dengan fenol sehingga menghasilkan total gula yang lebih tinggi. Pada pod kakao yang telah didelignifikasi total gulanya lebih kecil karena pada waktu degumming dan delignifikasi, gum dan pektin telah terdegradasi, serta sebagian besar hemiselulosa telah dipisahkan menggunakan NaOH
40
sehingga kemungkinan gula-gula yang bereaksi adalah gula-gula sederhana dan juga selulosa serta turunannya, sehingga total gula yang dihasilkan dan konversinya dari pod kakao lebih kecil. Kemungkinan lain disebabkan karena pada substrat yang tanpa didelignifikasi dari keseluruhan gula yang dihasilkan, sebagian besar gula yang dihasilkan adalah dalam bentuk selobiosa, dan oleh karena kandungan ligninnya masih tinggi enzim yang telah dihasilkan sulit mengkonversi bentuk selobiosa menjadi glukosa dan gula-gula yang lebih sederhana. Hal ini berhubungan erat dengan nilai gula pereduksi yang kecil. Pada susbrat pod kakao yang didelignifikasi, nilai total gula dan konversinya dari bahan baku pod kakao kecil, karena hampir sebagian besar gula yang dihasilkan dikonversi menjadi gula-gula yang lebih sederhana. Kemungkinan lain disebabkan karena Aspergillus niger menggunakan substrat tidak hanya untuk pertumbuhan sel, tetapi juga untuk memproduksi asam-asam organik. Menurut Fardiaz (1989), Aspergillus niger mampu menghasilkan asam sitrat dan asam glukonat. Aspergillus niger dapat juga menghasilkan asam oksalat. Asam-asam inilah yang menyebabkan penurunan pH dan total gula. Hasil analisa total gula yang dihasilkan oleh Aspergillus niger pada kedua substrat tersebut menunjukkan bahwa terlihat kecenderungan pada hari ke-9 hingga ke-11 terjadi penurunan total gula yang disertai dengan kecenderungan penurunan nilai pH. Pada substrat pod kakao delignifikasi, nilai total gula tertinggi yang dihasilkan oleh Aspergillus niger adalah pada hari ke-7 yang sesuai dengan nilai gula pereduksi yang dihasilkan. Begitu pula dengan Trichoderma viride yang memiliki nilai total gula tertinggi pada hari ke-9 sesuai dengan gula pereduksi yang dihasilkan. Dextrose
Equivalent
(DE)
adalah
nilai
yang
menunjukkan
kemampuan mereduksi setara dengan yang dimiliki oleh glukosa/dekstrosa murni. Nilai DE menyatakan berapa persen bagian gula pereduksi yang dihasilkan dari keseluruhan total gula yang ada. Pada Gambar 15. disajikan nilai DE yang dihasilkan selama proses hidrolisis berlangsung.
41
Gambar 15. Grafik perubahan nilai DE selama hidrolisis Keterangan: TD
: Substrat pod kakao tanpa delignifikasi
D
: Substrat pod kakao delignifikasi Jika dilihat dari nilai DE yang dihasilkan, maka terlihat perbedaan
yang sangat signifikan antara nilai DE yang dihasilkan oleh kedua kapang pada substrat pod kakao tanpa delignifikasi dan pod kakao delignifikasi. Nilai DE yang dihasilkan oleh kedua kapang pada substrat pod kakao delignifikasi jauh lebih tinggi dibandingkan pada substrat pod kakao tanpa delignifikasi. Semakin besar nilai DE berarti semakin besar juga persentase selulosa yang berubah menjadi gula pereduksi. Dari nilai DE ini terlihat bahwa walaupun total gula yang dihasilkan pada substrat pod kakao tanpa delignifikasi lebih tinggi, namun nilai gula pereduksinya sangatlah kecil yang berarti bahwa selulosa yang berubah menjadi gula pereduksi sangatlah kecil. Nilai DE terbesar dihasilkan oleh kapang Aspergillus niger pada substrat pod kakao delignifikasi pada hari ke-5 yaitu sebesar 54,37%. Nilai DE terkecil dihasilkan oleh kapang Aspergillus niger pada substrat pod kakao delignifikasi sebesar 7,44%.
42
d.
Aktivitas Enzim FP-ase Aktivitas enzim yang diukur dalam penelitian ini adalah aktivitas total selulase menggunakan metode pengujian Filter Paperase (FP-ase). Dengan metode ini, filtrat enzim diinkubasikan pada kertas saring Whatman No.1 sebagai sumber selulosa. Perubahan aktivitas total selulase selama hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Grafik perubahan aktivitas enzim FP-ase selama hidrolisis Keterangan: TD
: Substrat pod kakao tanpa delignifikasi
D
: Substrat pod kakao delignifikasi
Aktivitas FP-ase tertinggi dihasilkan oleh kapang Trichoderma viride pada substrat pod kakao delignifikasi pada hari ke-9 sebesar 0,267 IU/ml pada nilai pH 5,23. Nilai ini dihasilkan pada hari ke-9 sesuai dengan nilai gula pereduksi tertinggi yang dihasilkan oleh kapang ini. Hal ini sesuai dengan penelitian Jenie (1991) yaitu aktivitas maksimum FP-ase dari T.reesei tercapai pada hari ke-9. Suhu yang digunakan untuk hidrolisis adalah suhu ruangan sekitar 25 - 28oC. Nilai pH ini masuk dalam kisaran pH untuk aktivitas enzim selulase menurut Kulp (1975) Di dalam G. Reed yaitu 4,5 – 5,5. Tingginya aktivitas enzim yang dihasilkan oleh Trichoderma viride disebabkan
karena
genus
Trichoderma
mempunyai
komponen
selobiohidrolase terbanyak dan menghasilkan selulase yang lengkap dengan semua komponen yang dibutuhkan untuk hidrolisis total selulosa kristal.
43
Aspergillus niger menghasilkan aktivitas enzim tertinggi pada substrat pod kakao delignifikasi pada hari ke-5 yaitu sebesar 0,222 IU/ml pada kondisi pH 5,85 dan nilai ini tidak berbeda nyata dengan aktivitas enzim FPase yang dihasilkan pada hari ke-7 yaitu sebesar 0,221. Nilai ini sesuai dengan nilai gula pereduksi tertinggi yang dihasilkan oleh kapang ini yaitu pada hari ke-7. Aktivitas enzim yang dihasilkan pada substrat pod kakao tanpa delignifikasi sangat kecil baik oleh Aspergillus niger maupun oleh Trichoderma viride. Hal ini disebabkan karena masih tingginya kandungan lignin sehingga menghambat proses sintesis dan penetrasi enzim ke dalam substrat. Pada awal hidrolisis, aktivitas enzim FP-ase masih rendah karena mikroba masih beradaptasi dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Lamanya fase adaptasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain medium dan lingkungan pertumbuhan serta jumlah inokulum yang ditambahkan (Fardiaz, 1989). Produksi enzim selulase berkaitan langsung dengan fungsi regulasi pertumbuhan sel, germinasi spora dan kemampuan penetrasi miselium mikroba tersebut ke dalam sel inangnya. Semakin banyak spora dan miselium yang dihasilkan kemungkinan enzim yang dikeluarkan oleh sel kapang semakin besar. Tiga faktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim diantaranya pH, suhu dan adanya inhibitor. Dalam penelitian ini, pH awal diatur pada 6,0 merujuk pada pada hasil penelitian Arnata (2009) dan Jennie (1991). Suhu yang digunakan adalah suhu ruangan yang berkisar antara 28 29oC. Menurut Mandels dan Reese (1957), suhu optimum medium fermentasi untuk memproduksi enzim selulase dari berbagai macam kapang, termasuk Trichoderma dan Aspergillus dengan kultur bergoyang adalah sekitar 28 - 29 o
C dengan pH awal medium 5,3.
e.
Perubahan Kandungan Kimia Substrat Pod Kakao Sebelum dan Setelah Hidrolisis Setelah selesai dihidrolisis, pod kakao dianalisis lagi kandungan serat kasarnya untuk mengetahui sisa selulosa, hemiselulosa dan lignin. Hasil analisis kandungan serat kasar pod kakao dapat dilihat pada Tabel 12. Pod
44
kakao yang telah dihidrolisis oleh Aspergillus niger mengalami penurunan kandungan selulosa sebanyak 6,88% dan lignin sebesar 6,1%, sedangkan yang dihidrolisis menggunakan Trichoderma viride mengalami penurunan selulosa sebesar 3,12% dan lignin sebesar 4,25%. Dengan melihat kandungan selulosa yang masih berkisar pada 20% maka sangat dimungkinkan pod kakao hasil hidrolisis bisa digunakan lagi untuk hidrolisis berikutnya. Hasil analisa kandungan serat kasar pod kakao sebelum dan setelah dihidrolisa dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil analisa kandungan serat kasar pod kakao delignifikasi sebelum dan setelah dihidrolisis Bahan Pod kakao dihidrolisis
Selulosa (%)
Hemiselulosa (%)
Lignin (%)
sebelum
32,23
-
31
Pod kakao setelah dihidrolisis menggunakan A.niger Pod kakao setelah dihidrolisis menggunakan T.viride
25,35
20,11
24,90
29,11
26,59
26,75
Pada Tabel 14 dapat dilihat data perbandingan penurunan kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin pada beberapa jenis bahan yang dihidrolisis menggunakan kapang Neurospora sitophila. Semakin tinggi lignin yang terdegradasi maka semakin mudah selulosa terurai membentuk gula pereduksi selama hidrolisa. Tabel 14. Hasil analisa kandungan serat kasar beberapa bahan sebelum dan setelah dihidrolisa dengan menggunakan kapang Neurospora sitophila Bahan Jerami sebelum dihidrolisa Jerami setelah dihidrolisa Serbuk gergaji sebelum dihidrolisa Serbuk gergaji setelah dihidrolisa Sabut sebelum dihidrolisa Sabut setelah dihidrolisa Sumber: Dewi K.H (2002)
Selulosa
Hemiselulosa
Lignin
37,71
21,99
16,62
32,10 52,50
18,53 13,78
14,95 20,55
43,40 42,73 28,60
10,45 24,17 14,67
16,10 19,70 12,05
45
3.
Fermentasi Sebelum fermentasi dilakukan, yang harus disiapkan terlebih dahulu adalah starter. Starter adalah sel-sel khamir yang selanjutnya akan diinokulasikan ke dalam media fermentasi. Pada pembuatan starter, media yang digunakan adalah Glucose Yeast Extract cair. Kultur murni Saccharomyces cerevisiae diinokulasikan ke dalam media kemudian diinkubasi pada shaker dengan kecepatan 125 rpm pada suhu kamar selama 24 jam. Waktu 24 jam merupakan waktu yang umumnya digunakan untuk menginkubasi khamir karena waktu tersebut dianggap sebagai waktu (fase) eksponensial dalam daur hidup khamir. Pada fase eksponensial ini diharapkan jumlah sel-sel khamir mencapai maksimum dengan mengoptimalkan kondisi seperti pengaturan pH pada 4,8-5,0 dan penambahan pupuk NPK dan urea. Hidrolisat yang digunakan untuk fermentasi adalah hidrolisat menggunakan Aspergillus niger pada subsrat pod kakao delignifikasi. Pada tahap fermentasi, pH awal diatur sebesar 4,8 – 5,0 agar penurunan pH selama fermentasi tidak sampai di bawah pH 3,0 karena pada keasaman di bawah 3,0 kecepatan proses fermentasi akan berkurang. Fermentasi dilakukan selama 48 jam tanpa pengambilan sampel. Hanya kondisi awal dan akhir yang diperhatikan. pH akhir fermentasi yaitu 4,18 cenderung menurun dari pH awal. Menurut Judoamidjojo et al (1992), bila sumber nitrogen yang ditambahkan adalah ammonia seperti pupuk ZA atau pupuk urea maka pH akan cenderung menurun selama fermentasi. Mekanisme penurunan pH selama fermentasi menurut Hardjo et al., (1989) adalah karena ammonia dalam larutan (di bawah pH 9) berwujud sebagai RNH4+. Mikroorganisme akan menggabungkannya ke dalam sel sebagai RNH3+ dengan R sebagai kerangka karbon. Dalam proses fermentasi, H+ akan ditinggalkan dalam media sehingga pH akan turun. Sebaliknya bila sumber nitrogen yang ditambahkan adalah nitrat maka ion H- akan disingkirkan dari media untuk mereduksi NO32- mejadi R-NH3 sehingga pH akan meningkat. Pengukuran kadar etanol hasil fermentasi adalah menggunakan refraktometer merk ATACO yang dapat membaca kadar etanol dan kadar gula. Alat ini lebih efisien digunakan untuk mengukur hasil fermentasi
46
dengan kadar etanol yang kecil. Karena jika hasil fermentasi dengan kadar etanol yang kecil didistilasi, maka kemungkinan besar etanol yang ada akan menguap semua sehingga hasil distilasi yang diperoleh sangat sedikit atau mungkin tidak ada. Kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi menggunakan hidrolisat Aspergillus niger adalah 0,15% (v/v) atau 0,1184% (b/v). Efisiensi pemanfaatan substrat yang dihasilkan adalah sebesar 69,75 %. Rendemen yang dihasilkan dari fermentasi ini adalah sebesar 3,946% (b/b). Selain glukosa, jenis monosakarida lainnya yang dapat masuk dalam jalur glikolisis adalah manosa dan galaktosa. Hal ini yang kemungkinan besar menyebabkan nilai kadar etanol yang dihasilkan lebih besar dari perhitungan secara teoritis. Walaupun kadar etanol yang dihasilkan masih sangat kecil, namun yang ingin dilihat dalam penelitian ini adalah bagaimana konversinya dari bahan baku pod kakao yang digunakan. Untuk meningkatkan kadar etanol, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan konsentrasi selulosa yang digunakan dalam hidrolisis serta pemekatan substrat sebelum fermentasi sehingga gula pereduksi yang dihasilkan juga semakin tinggi. Selain itu bisa juga
diterapkan
metode
sakarifikasi
fermentasi
simultan
untuk
mengoptimalkan proses hidrolisis dan fermentasi. Perhitungan efisiensi pemanfataan substrat dan rendemen etanol yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 15 dan Perhitungan rendemen berdasarkan basis konsentrasi etanol % (b/v) dapat dilihat pada Tabel 16. Uraian Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 11. Tabel 15. Perhitungan efisiensi pemanfataan susbtrat Jenis Perhitungan
Jumlah
% EtOH di substrat (v/v)
0,15
% EtOH di substrat (b/v)
0,1184
Total gula awal (mg/ml)
0,909
Total gula akhir (mg/ml)
0,275
Efisiensi substrat (%)
69,75
47
Tabel 16. Perhitungan rendemen berdasarkan basis konsentrasi etanol % (b/v) Jenis Perhitungan
Jumlah
Total volume substrat (ml)
200
% EtOH di substrat (b/v)
0,1184
Volume EtOH dalam substrat (g)
0,2368
Berat tepung pod kakao (g)
6
Rendemen (% b/b)
3,946
Rendemen (% v/b)
5
Kebutuhan tepung pod kakao
20
untuk 1 liter EtOH (kg)
Produksi etanol oleh khamir adalah proses anaerobik meskipun pertumbuhan sel baru membutuhkan oksigen. Sedikit oksigen masih diperlukan untuk menunjang kehidupan sel penghasil etanol. Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa menjadi asam piruvat melalui tahapan reaksi Embden-Meyerhoff Parnas Pathway. Asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehid yang kemudian mengalami dehigrogenasi menjadi etanol. Selain hidrolisis menggunakan kapang, hidrolisis pod kakao juga ditinjau menggunakan hidrolisis asam dan enzim selulase komersial. Berikut dapat dilihat perbandingan hasilnya. Tabel 17. Perbandingan hasil jenis hidrolisis pod kakao dan fermentasi menjadi etanol Jenis Hidrolisis Parameter
Kondisi Terbaik Hidrolisis
Gula Pereduksi (mg/ml) Total gula (mg/ml) Pod kakao yang digunakan (g/100 ml)
Aspergillus niger, substrat pod kakao delignifikasi, 7 hari 0,352 0,909
Selulase komersial, 40IU, 5 hari
Asam (c) Tahap 1 Tahap 2 H2SO4 H2SO4 1%, 4 5%, 4 jam jam
1,12 1,6
27,31 32,74
15,91 29,26
3
5
12,5
-
Kapang (a)
Enzim(b)
48
Konversi gula pereduksi dari pod kakao (%b/b) Konversi total gula dari pod kakao (%b/b) Etanol yang dihasilkan (mg/ml) Konversi etanol dari pod kakao (%b/b) a: Hasil penelitian b: (Farikha, 2010) c: (Syam, 2010)
1, 1173
2,24
21,85
12,73
3,03 1,184
3,2 1,58
26,19 11,06
23,41 18,96
3,946
3,16
8,85
15,17
Dari tabel di atas terlihat bahwa hidrolisis dengan menggunakan asam menghasilkan gula pereduksi tertinggi. Namun hidrolisis menggunakan asam memiliki beberapa kekurangan. Proses ini bersifat korosif karena adanya pemanasan asam. Proses ini membutuhkan peralatan yang metal yang mahal atau dibuat secara khusus. Recovery asam juga membutuhkan energi yang besar. Di sisi lain, jika menggunakan asam sulfat, dibutuhkan proses netralisasi yang menghasilkan limbah gypsum/kapur yang sangat banyak. Hidrolisis asam pekat juga membutuhkan biaya investasi dan pemeliharaan yang tinggi, hal ini mengurangi ketertarikan untuk komersialisasi proses ini. Degradasi gula hasil di dalam reaksi hidrolisis dan pembentukan produk samping yang tidak diinginkan sehingga dapat menghambat pembentukan etanol pada tahap fermentasi selanjutnya. Hidrolisis menggunakan kapang dan enzim selulase komersial memiliki beberapa kelebihan antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu rendah, pH netral), berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan relative rendah karena tidak ada bahan yang korosif. Hidrolisis menggunakan enzim selulase komersial menghasilkan nilai gula pereduksi yang lebih tinggi dari pada menggunakan kapang, namun kekurangannya adalah harga enzim selulase yang mahal. Hidrolisis menggunakan kapang menghasilkan gula pereduksi yang kecil yang dipengaruhi oleh penggunaan selulosa (pod kakao) yang hanya sebesar 3%, lebih kecil dibandingan dengan konsentrasi yang digunakan enzim komersial 5% dan asam 12,5%. Namun jika dibandingkan dengan hidrolisis menggunakan enzim komersial, nilai yang dihasilkan tidak berbeda
49
jauh. Dari segi harga, kapang bisa diisolasi dari alam, kemudian bisa diperbanyak pada media agar miring tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Jika dilihat dari sisi limbah, hidrolisis menggunakan kapang tidak menghasilkan limbah yang berbahaya bagi lingkungan. Oleh karena itu, hidrolisis menggunakan kapang mempunyai peluang untuk dikembangkan dalam skala besar, dengan biaya produksi yang rendah. Kekurangannya adalah perlu suatu kondisi proses yang steril agar tidak terkontaminasi dengan mikroorganisme lain yang tidak diinginkan. Selain itu salah satu aspek penting yang harus diperhatikan yaitu mengenai rasio energi dalam proses hidrolisis dan fermentasi. Sampai saat ini ada dua teknologi utama yang telah mapan untuk produksi etanol, yaitu dengan menggunakan bahan baku tepung atau gula seperti jagung, sagu, tetes tebu, ubi jalar. Sementara teknologi untuk bahan baku berlignoselulosa masih perlu penyempurnaan agar lebih efisien. Namun penggunaan bahan baku berlignoselulosa untuk produksi etanol mendapat perhatian khusus karena dapat menekan biaya produksi karena harganya murah dan bahan baku ini akan mengurangi kekuatiran adanya persaingan penggunaan tanaman untuk pangan. Pada Tabel 17 dapat dilihat konversi energi yang dihasilkan etanol dari berbagai tanaman. Tabel 18. Potensi kandungan energi beberapa bahan tanaman untuk bahan bakar nabati (BBN) Bahan
Massa tanaman (ton3/tahun)
• Jagung
696
8
5,80
Rasio net energy balance3(out put/input) 1,25
• Tebu
1.324
2
2,80
8
• Selulosa
Konversi BBN kotor (GJ/t)1
Energi BBN kotor (EJ/tahun)2
5
Energi BBN bersih 4 (EJ/tahun)
2,40
1,20
-
6
-
5,44
-
• Minyak kedelai
35
30
1
1,93
0,50
• Minyak kelapa
36
30
1,10
2,50
1
biomassa
1
Energi BBN yang berguna per ton tanaman untuk konversi ke BBN (1GJ = 109J). Produksi massa bahan dan konversi BBN kasar (1EJ = 1018J). 3 Rasio energi yang terkandung dalam bahan bakar dari biomassa terhadap input energi yang berasal dari bahan baku fosil. 2
50
4
Hasil energi di atas energi yang berasal dari fosil yang digunakan dalam pertanaman, transportasi, proses produksi, dihitung sebagai gross energy biofuel x (net energy balance ratio-1)/net energy balance ratio. 5 Belum dicapai pada skala industri. Sumber: Field et al. (2007)
Dengan rasio net energy balance yang lebih besar, biomassa berselulosa berpeluang besar untuk dimanfaatkan menjadi bahan bakar nabati. Banyak sekali potensi bahan baku berlignoselulosa di Indonesia baik yang berasal dari limbah pertanian, kehutanan, limbah industri pertanian dan kehutanan maupun sampah rumah tangga. Penggunaan biomassa limbah lignoselulosa untuk produksi etanol masih menghadapi beberapa tantangan pada perbaikan pada proses sakarifikasi atau hidrolisis. Perlu dilakukan tinjauan mengenai metode untuk menghilangkan lignin secara optimal baik secara fisik, kimia maupun biologi. Selain itu, diharapkan tantangan ini dapat dijawab oleh penelitian di bidang bioteknologi dan rekayasa genetik untuk menghasilkan enzim rekayasa yang mampu mendegradasi bahan berlignoselulosa (Riyanti, 2009).
51
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Pod kakao yang merupakan 75,50 % dari bagian buah kakao adalah limbah yang cukup potensial untuk dimanfaatkan untuk memproduksi etanol melalui hidrolisis menggunakan kapang. Pada penelitian ini, substrat pod kakao yang telah didelignifikasi merupakan substrat yang paling baik untuk digunakan dalam hidrolisis untuk menghasilkan gula pereduksi yang tinggi. Derajat delignifikasi yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebesar 27,74%. Dari kedua jenis kapang yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Aspergillus niger dan Trichoderma viride, berdasarkan hasil analisis ragam jenis kapang tidak berpengaruh nyata terhadap gula pereduksi yang dihasilkan. Kandungan gula pereduksi tertinggi dihasilkan dari hidrolisis menggunakan Aspergillus niger pada substrat pod kakao delignifikasi pada hari ke-7 yaitu sebesar 0,352 mg/ml. Konversi gula pereduksi dari bahan baku pod kakao adalah sebesar 1,173% (b/b) dan konversi total gulanya dari bahan baku pod kakao adalah sebesar 3,03% (b/b). Fermentasi dilakukan menggunakan hasil hidrolisis oleh Aspergillus niger pada substrat pod kakao delignifikasi. Kadar etanol yang dihasilkan adalah sebesar 0,1184 %(b/v). Efisiensi pemanfaatan substrat adalah sebesar 69,75% dan rendemen etanol yang dihasilkan sebesar 3,946% (b/b).
B.
Saran Perlu dilakukan penelitian mengenai metode delignifikasi yang optimal untuk menghilangkan lignin pada pod kakao. Selain itu perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai peningkatan konsentrasi selulosa dalam hidrolisis, hidrolisis pada media padat, serta adanya pemisahan dan pemurnian enzim selulase yang dihasilkan.
52
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, S.S. 1989. Kimia Kayu. Diktat PAU Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Anonim a.2008. Industri Coklat Mati Suri. http://www.davomas.com diakses tanggal 7 Februari 2008 pukul 15.15. Anonim b. 2008. Laporan ANTARA. http://www.indonesia.go.id/id/ diakses tanggal 7 Februari 2008 pukul 15.43. Anonim c. 2008. http://www.scientificpsychic.com/ diakses tanggal 7 Februari 2008 pukul 16.20. Anonim d. 2010. http://eprints.undip.ac.id/ diakses tanggal 15 Februari 2010 pukul 14.10. Anonim e. 2010. http://digilib.itb.ac.id/ diakses tanggal 15 Februari 2010 pukul 14.30. Apriyantono, A., D. Fardiaz., N.L Puspitasari., Sedarnawati dan S. Budiyanto.1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. IPB Bogor. Arnata, I Wayan. 2009. Pengembangan Teknologi Bioproses Pembuatan Bioetanol dari Ubi Kayu Menggunakan Trichoderma viride, Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ashadi, 1988. Pembuatan Gula Cair dari Pod Cokelat dengan Menggunakan Asam Sulfat, Enzim serta Kombinasi Keduanya. Skripsi. Fateta-IPB. Bogor. Azemi, B.M.N.M., A.A Astimar M. Anis dan K. DAs. 1994. An Overview of Process Studies of Palm Waste Info Useful Products. Proc of Inter. Bioproduct Processing 4-7 Januari 2004. Brown, Robert C. 2003. Biorenewable Resources:Engineering New Products From Agriculture. Lowa State Press. Darwis, A. A., I. Sailah, T.T. Irawadi, dan Safriani. 1995. Kajian Kondisi Fermentasi Produksi Selulase dari Limbah Kelapa Sawit (Tandan Kosong dan Sabut) oleh Neurospora sitophila. J. Teknol. Ind. Pert. 5(3) : 199-207. Dewi, K. H. 2002. Hidrolisis Limbah Pertanian Secara Enzimatik. Akta Agrosia Vol. 5 No 2 Hal 67-71 Jul- Des 2002. Devendra, C. 1977. The Utilization of Cocoa Pod Husk by Sheep. The Malaysian Agricultural Journal. Malaysia.
53
Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. 2009. Pentingnya Pasar Terorganisir Kakao. http://www.bappebti.go.id/ diakses tanggal 11 Januari 2010. Domino, F.A. 1979. Energy From Solids Wastes Recent Development. Noyes Data Corporation, Park Ridger, New York. Enari, 1983. Microbial Cellulose. Di dalam W.M. Fogarty [ed]. Microbial Enzyme and Biotechnology Applied Science Published, New York. Farikha, Jihan. 2010. Hidrolisis Enzimatik Pada Pod Coklat Untuk Produksi Etanol. Skripsi. Fateta-IPB. Bogor Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Depdikbud Ditjend pendidikan tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Field, C.B., J. E. Campbell, dan D.B. Lobell.2007. Biomass Energy: the scale of the potential resource. Trends in Ecology and Evolution 23(2): 65-72. Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff.1978. Food Microbiology 4th [ed]. McGraw-Hill Book. Publishing. Co. Ltd. New York. Frida, T. 1989. Pengaruh Cara Delignifikasi Terhadap Sakarifikasi Limbah Ligniselulolitik. Skripsi. Fateta-IPB. Bogor. Gong, C.S dan G.T Tsao. 1979. Cellulase and Biosynthesis Regulation. Di dalam D. Perlman [ed] Annual Report of Fermentation process. Academic Press, New York. Gould, J.M. 1985. Studies on the Mechanism of Alkaline Peroxide Delignification of Agricultural Residues. Biotechnol. Bioeng. XXVII. 225-231. Hambali, E., Siti Mujdalipah., Armansyah Tambunan dan Abdul W. Pratiwiri. 2007. Pengantar Teknologi Bioenergi. Pusat Penelitian Surfaktan Bioenergi LPPM IPB Bogor. Hardjo, S., N.S Indrasti dan T. Bantacut. 1989. Biokonversi:Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian.PAU Pangan dan Gizi IPB Bogor. Hattaka, A.2001. Biodegradation of Lignin. In: Steinbuchel A.[ed] Biopolymers. Vol 1: Lignin, Humic Substances and Coal. Germany: Wiley VCH.pp.129-180. Irawadi, T. T. 1990. Selulase. PAU-Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
54
Janes, F. 1969. The Chemistry of Wood and Fibers. Di dalam Mc. Donald [ed]. Pulp and Fiber Manufacture. Vol. 1. Mc. Grow Hill Book Company New York. Jennie LSB. 1990. Kajian Teknik Imobilisasi Kapang Penghasil Selulase dan Asam Sitrat Dalam Spons Untuk Pemanfaatan Onggok Menjadi Asam Sitrat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Judoamidjojo., E.G. Said dan L. Hartono. 1989. Biokonversi. Dept. Dikbud, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, PAU Boteknologi-IPB, Bogor. Kulp K. 1975. Carbohydrates. Di dalam G. Reed [ed]. Enzyme in Food Processing. Academic Press, New York. Lynd L.R., P.J. Weimer, W.H. van Zyl WH and I.S. Pretorius.2002. Microbial Cellulose Utilization: Fundamentals and Biotechnology. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 66(3): 506-577. Mandels, M dan Reese. 1957. Induction of Cellulose in Trichoderma viride as Influenced by Carbon Source and Metals. J. Bacteriol. 73:269. Mosier, N., Wyman, C., Dale, B., Elander, R., Lee, Y.Y., Holtzapple, M., Ladish, M., 2005. Features of Promising Technologies for Pretreatment of Lignocellulosic Biomass. Bioresource Technology 96, 673–686. Opeke, L.K. 1984. Optimizing Economic Return from Cacao Cultivation. International Cocoa Conference. Cocoa Product, Allience. Orth A.B., D.K. Royse, M. Tien.1993. Ubiquity of Lignin-degrading Peroxidases among Various Wood-degrading Fungi. Appl Environ Microbiol 59:40174023. Paturau, J.M. 1969. By Product Of Yeast Fermentation. Di dalam H. Dellweg [ed]. Biotechnology Volume III. Academic Press, New York. Pelczar MJ, Jr. dan ECS Chan.1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi Edisi 2. Jakarta: Universitas Indonesia. Prescott, S. C dan C. G Dunn. 1981. Industrial Microbiology. The AVI. Publ. CO., Inc., West Port Connecticut. Puspitasari, Diah Rochana. 2008. Kinerja Dua Strain Khamir Terhadap Produksi Etanol Menggunakan Dekstrin dan Sirup Glukosa dari Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). Skripsi. Fateta-IPB. Bogor.
55
Ramayanti, N. 2004. Kajian Fermentabilitas dan Kecernaan in vitro Kulit Buah Kakao Yang Difermentasi dengan Menggunakan Isolat Kapang Pestaloptiosis gupenii. Skripsi. Fakultas Peternakan. IPB Bogor. Ratledge, C. 1991. Yeast Physiology-a Micro-synopsis. Bioprocess Engineering. 6:195-203. Rinaldy, Wilse. 1987. Pemanfaatan Onggok Singkong (Manihot esculenta Crantz) sebagai Bahan Pembuatan Etanol. Skripsi. Fateta-IPB. Bogor Riyanti, Eny Ida. 2009. Biomassa Sebagai Bahan Baku Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian, 28(3):101-110. Sa’id. E.G. 1987. Bioindustri Penerapan Teknologi Fermentasi. PT Madyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Selvakumar P, L Ashakumary, A Helen, P Ashok. 1996. Puriification and Characteristic of Glucoamylase by Aspergillus niger in Solid State Fermentation. Appl. Microbiol 23: 403-406. Shuler, M.L. 1984. Utilization and Recycle of Agricultural Wastes and Residues. CRC Press. Florida. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1994. Standar Nasional Indonesia SNI 06-35651994. Alkohol Teknis. Jakarta: Dewan Standar Nasional Indonesia. Sun, Y. dan J Cheng. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Material for Ethanol Production: areview. Biores. Technol. 83:1-11. Syam, Lily Kurniaty. 2010. Kajian Pemanfaatan Pod Kakao Melalui Hidrolisis Asam Lignoselulosa Untuk Menghasilkan Etanol. Skripsi. Fateta-IPB. Bogor. Takagi, M. 1987. Pretreatment of Lignocellulosic Materials with Hydrogen Peroxide in Presenc of Manganese Compounds. Biotech Bioengr. 29: 165-170. Tjahjadi, Chandra Dewi., Purwoko dan Artini Pangastuti. 2005. Produksi Gula Reduksi oleh Rhizopus oryzae dari Substrat Bekatul. Bioteknologi 2(1):21-26, Mei 2005, ISSN:0216-6867 ©2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. Zeronian, S. H. 1985. Intercrystalline Swelling of Cellulose. Di dalam T.T. Irawadi [ed]. Laporan Penelitian Analisis Produk Hidrolisis Enzim Pada Limbah Berserat dari Industri Pertanian dengan Menggunakan Metode HPLC. FMIPA IPB Bogor.
56
LAMPIRAN
57
Lampiran 1. Diagram alir proses penelitian
Pod Kakao
Pengecilan ukuran dan Delignifikasi Penyegaran kapang pada media agar miring 6 hari
Penyiapan media hidrolisis (Media Andreotti, 1980)
Substrat Pod Kakao D dan TD Hidrolisis menggunakan kapang A.niger dan T. viride
Hidrolisat terbaik
Penambahan NPK 0,04 g dan urea 0,15 g pada 100 ml substrat
Penyegaran kultur khamir pada PDA 48 jam suhu 30oC
Pengaturan pH 4,8 – 5,0
Inkubasi kultur khamir pada media YMGP 24 jam suhu kamar, 125 rpm
Inokulasi dengan starter 10% volume substrat
Starter S.cerevisiae
Fermentasi pada suhu kamar Pasteurisasi 65oC, 5 menit
Analisa produk
58
Lampiran 2. Analisis proksimat 1.
Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan kosong dipanaskan dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebanyak 5 g sampel kemudian dimasukkan dalam cawan. Sampel dalam cawan dipanaskan dalam oven selama 2 jam pada suhu 105oC. Setelah itu cawan dimasukkan ke desikator dan ditimbang. Pemanasan dilakuan berulang-ulang untuk mendapatkan berat konstan.
KA = W1: Berat sampel sebelum dikeringkan (g) W2: Berat sampel setelah dikeringkan (g) KA: Kadar Air
2.
Kadar Protein (AOAC, 1984) Sampel sebanyak 0,1 g dimasukkan ke dalam labu kjeldahl dengan CuSO4 dan Na2SO4 katalisator masing-masing 1 g serta H2SO4. Labu kjeldahl yang berisi sampel dipanaskan selama 1-1,5 jam sampai cairan jernih kemudian didinginkan. Isi labu dipipet dan dimasukkan dalam labu destilasi. Setelah itu ditambah 15 ml NaOH 50% kemudian dibilas dengan aquades. Labu Erlenmeyer berisi HCl 0,02 N 25 ml ditambah 2 - 4 tetes indikator (campuran metal merah 0,02% dalam alkohol dan metal biru 0,02% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) diletakkan di bawah kondensor dengan ujungnya terendam dalam labu larutan HCl. Destilasi hingga 25 ml destilat dalam labu Erlenmeyer. Titrasi dengan NaOH 0,02N (sampai warna hijau menjadi ungu).
%Total N =
% Protein = % Total N x faktor konversi
59
3.
Kadar Abu (AOAC, 1995) Contoh sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas Bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin yang berisi contoh (B) yang sudah diarangkan kemudian diabukan dalam furnace pada suhu 600oC selama 2 jam atau sampai diperoleh abu berwarna putih (C). Setelah itu cawan didinginkan dalam desikator sampai suhu ruang dan ditimbang. Kadar abu =
4.
Kadar Lemak (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organic heksan dalam alat soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan pada suhu 105oC. Contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar lemak =
5.
Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh dimasukkan dalam Erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml H2SO4 dihidrolisis dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 105oC dan didinginkan serta ditambahkan NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml. Selanjutnya larutan dihidrolisis kembali dalam autoklaf selama 15 menit. Contoh disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kertas saring dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 0,325 N lalu dengan air panas dan terkahir menggunakan aseton/alkohol 25 ml. Kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 1 jam dan dilanjutkan sampai bobotnya tetap. Kadar serat kasar =
60
Ket:
a: bobot residu serat dalam kertas saring (g) b: bobot kertas saring kering (g) c: bobot bahan awal (g)
6.
Kadar Lignin (AOAC, 1984) Sampel sebanyak 1 g di timbang dalam labu Erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan H2SO4 20 ml. Selanjutnya didiamkan selama 2 jam dan di kocok perlahan-lahan. Sampel kemudian ditambahkan aquades sebanyak 250 ml, kemudian dipanaskan dalam waterbath pada suhu 1000C selama 3 jam. Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui bobotnya (A ). Erlenmeyer dan corong dibilas dengan aquades sebanyak 3 kali. Kertas saring dan residu diovenkan pada suhu 1050C selama 1-2 jam atau pada suhu 500C selama 24 jam. Kertas saring didinginkan dan ditimbang bobotnya ( B ). Kertas saring dengan residu diabukan dengan muffle furnace pada suhu 6000C selama 24 jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang (C ).
Kadar lignin = Keterangan: A: bobot sampel (g) B: bobot filter glass (g) C: bobot filter glass dan sampel setelah dioven
7.
Kadar NDF (Van Soest, 1963) Sampel sebanyak A g, dimasukkan ke dalam gelas piala berukuran 500 ml serta ditambahkan dengan larutan NDS. Larutan NDS terdiri dari bahan kimia sebagai berikut: aquades 1 l; Natrium sulfat 30 g; EDTA 18,81 g; Natrium Borat 10H2O 6,81 g; di-Na-HPO4 anhidrat 4,5 g dan 2 etoksi etanol murni 1 ml. Selanjutnya menimbang filter glass G-3 (B). Sampel yang telah ditambahkan larutan NDS disaring dengan bantuan pompa vakum, dibilas dengan air panas dan aseton. Hasil penyaringan tersebut dikeringkan
61
dalam oven 105oC, setelah itu dimasukkan dalam desikator selama 1 jam, kemudian dilakukan penimbangan akhir (C). %NDF = Keterangan: A = bobot sampel (g) B = bobot filter glass (g) C = bobot filter glass dan sampel setelah dioven (g)
8.
Kadar ADF dan Hemiselulosa (Van Soest, 1963) Sampel sebanyak A g, dimasukkan ke dalam gelas piala berukuran 500 ml serta ditambahkan dengan 50 ml larutan ADS. Larutan ADS terdiri dari: H2SO4; CTAB (cethyle trimethyl ammonium bromide). Sampel yang telah ditambahkan larutan tersebut dipanaskan selama 1 jam di atas penangas listrik. Penyaringan dilakukan dengan bantuan pompa vakum dengan menggunakan filter glass yang telah ditimbang (B). Pencucian dilakukan dengan aseton dan air panas. Dilakukan pengeringan dengan memasukkan hasil penyaringan ke dalam oven. Setelah itu dimasukkan lagi ke dalam desikator untuk melakukan pendiginan dan ditimbang (C). %NDF = Keterangan: A = bobot sampel (g) B = bobot filter glass (g) C = bobot filter glass dan sampel setelah dioven (g) Kadar Hemiselulosa = % NDF - % ADF
9.
Kadar Selulosa Residu ADF (C) yang berada di dalam filter glass diletakkan di atas nampan yang berisi air setinggi kira-kira 1 cm. Kemudian ditambahkan H2SO4 setinggi
bagian filter glass dan dibiarkan selama 3 jam sambil
diaduk-aduk. Penyaringan dilakukan dengan bantuan pompa vakum dengan menggunakan filter glass. Pencucian dilakukan dengan aseton dan air panas.
62
Dilakukan pengeringan dan memasukkan hasil penyaringan tersebut ke dalam oven. Setelah itu dimasukkan lagi ke dalam desikator untuk melakukan pendinginan dan ditimbang (D) %Selulosa = Keterangan: A = bobot sampel (g) D = bobot filter glass dan residu ADF setelah dioven (g) C = bobot filter glass dan residu ADF awal (g)
63
Lampiran 3. Diagram alir proses delignifikasi
Pod Kakao
Pengecilan ukuran 40 mesh
Ca(OH)2
Penghilangan gum
Filtrasi
Penambahan NaOH 0,68% pH 12 selama 12 jam Penambahan H2O2 30% pH 11,5 selama 12 jam Pencucian dan Penyaringan
Pengeringan hingga bobot konstan
Pod kakao hasil delignifikasi
Getah/gum
64
Lampiran 4. Komposisi media Andreotti
Bahan
Komposisi (%)
(NH4)2SO4
0.14 (b/v)
KH2PO4
0.20 (b/v)
Urea
0.03 (b/v)
CaCl2
0.03 (b/v)
MgSO4
0.03 (b/v)
Selulosa
1 (b/v)
Stok mineral
1 ml
Air suling
1000 ml
Pepton
0,1 (b/v)
Laktosa
0,1 (b/v)
Komposisi stok mineral: 495 ml air suling dilarutkan 5 ml HCl pekat, 2,5 g FeSO4.7H2O, 0,98 g MnSO4.H2O atau 0,89 g MnCl2.H2O, 0,83 g ZnCl2 atau 1,76 g ZnSO4.H2O dan 1 g CoCl2 atau 1,25 grCo(NO3)2.6H2O
65
Lampiran 5. Prosedur analisis hasil hidrolisis
1.
Penentuan Total Gula, Metode Phenol H2SO4 (Dubois et al., 1956) Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Pembuatan kurva standar fenol adalah sebagai berikut: 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0,10,20,30,40, dan50 µg masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambahkan 1 ml larutan fenol 5% dan dikocok. Kemudian 5 ml asam sulfat pekat ditambahkan dengan cepat. Biarkan selama 10 menit, kocok lalu tempatkan pada penangas air selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol hanya 2 ml larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel.
2.
Gula Pereduksi metode DNS (Miller, 1959) Prinsip metode ini adalah dalam suasana alkali gula pereduksi akan mereduksi asam 3,5-dinitrolisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm. •
Penyiapan Pereaksi DNS Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10,6 g asam 3,5dinitrolisilat dan 19,8 NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu ditambahkan 306 g Na-K Tatrat, 7,6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50oC dan 8,3 g NaMetabisulfit. Larutan ini diaduk rata, kemudian 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCl 0,1 N dengn indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkisar 5 – 6 ml. Jika kurang dari itu harus ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap kekurangan HCl 0,1 N.
•
Penentuan Kurva Standar Kurva standar dibuat dengan mengukur nilai gula pereduksi pada glukosa pada selang 0,2 – 0,5 mg/l. Kemudian nilai gula pereduksi dicari dengan metode DNS. Hasil yang diperoleh diplotkan dalam grafik secara linear.
66
•
Penetapan Gula Pereduksi Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS dengan prosedur sebagai berikut: 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Biarkan sampai dingin pada suhu ruang. Ukur absorbansi pada panjang gelombang 550 nm.
67
Lampiran 6. Pengujian aktivitas enzim total FP-ase
a.
Pembuatan Pereaksi •
Buffer sitrat Larutan 0,05 M Na-sitrat dicampur degan larutan 0,05 M asam sitrat dengan perbandingan 27 : 23, maka akan diperoleh larutan buffer sitrat dengan pH 4,8 pada konsentrasi 0,05M.
•
Pereaksi DNS Prosedur pembuatan pereaksi DNS sama dengan penetapan gula pereduksi.
b.
Pengujian Aktivitas FP-ase Pengujian
aktivitas
enzim
Filter
Paperase
(FP-ase)
dapat
mencerminkan aktivitas umum enzim selulase, karena substrat untuk pengujiannya menggunakan serat yang masih bersifat kristal sehingga melibatkan aktivitas C1 yang berperan sebagai pengaktif selulosa kristal menjadi selulosa reaktif (Reese et al., 1950). Substrat yang digunakan untuk pengujian ini adalah kertas saring Whatman No. 1,berukuran 1cm x 6 cm, sedangkan pereaksinya adalah DNS. Sebagai standar digunakan aquades. Bagan alir pengujiannya adalah sebagai berikut: 1 ml filtrat
1 ml buffer
Kertas saring Whatman No. 1
Inkubasi pada suhu 50oC selama 60 menit Ditambahkan 3 ml pereaksi DNS Ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit
Dibaca absorbansi pada panjang gelombang 550 nm
68
Lampiran 7. Prosedur analisa jenis gula menggunakan kromatografi kertas
Standar
: Glukosa, xylosa, manosa, sukrosa dan di- Galaktosa
Eluen
: Butanol – asam asetat – air (4:1:5)
Pewarna
: Urea 5% dalam 0,4 NH4Cl dalam 80% etanol
Cara Pewarnaan
: Disemprotkan
Waktu elusi
: 2 – 6 jam
Prosedur: 1.
Isi tabung kromatografi dengan 50 – 100 ml eluen. Tutup rapat dan kocok, biarkan agar ruangan di dalamnya jenuh dengan uap pelarut.
2.
Buat garis start dengan pensil (jarak 3 cm dari tepi bawah kertas) dan garis front (1-3 cm dari tepi atas kertas).
3.
Pada garis start buat titik-titik dengan pensil dengan jarak 2,5 – 3 cm.
4.
Pada garis front buat titik-titik dengan pensil tepat di atas titik-titik pada garis start. Beri kode / nama pada setiap titik.
5.
Dengan pipa kapiler, teteskan larutan analat dan standar pada titik-titik di garis start. Keringkan dengan lampu (lebar spot 3 mm).
6.
Ulangi penetesan 2-3 kali. Keringkan sebelum penetesan ulangan dan sesudahnya.
7.
Bentuk kertas menjadi silinder dengan bagian start sebagai alas dan bagian front sebagai puncak silinder dengan cara menghubungkannya dengan jepitjepit plastik.
8.
Masukkan silinder kertas ke dalam tabung kromatografi yang telah berisi eluen dengan garis start di bawah. Perhatikan garis start tidak boleh tertutup dalam eluen.
9.
Tutup rapat tabung kromatografi. Biarkan eluen naik sampai garis front (1-6 jam).
10.
Angkat dan kering udarakan kertas kromatografi.
69
Lampiran 8. Nilai pH, Gula Pereduksi, Total Gula dan Aktivitas enzim FP-ase produk hidrolisis pod kakao menggunakan kapang
pH Jenis Substrat Tanpa Delignifikasi
Delignifikasi
Hari
A.niger Ul.1 Ul.2
Jenis Kapang T.viride A.niger T.viride Ul.1 Ul.2 Rataan
H1 H3 H5 H7 H9 H11 H1 H3 H5 H7 H9 H11
4.60 4.57 5.77 5.37 5.80 5.68 5.24 5.29 5.80 5.50 5.40 5.08
4.92 4.84 5.14 5.16 4.59 3.61 6.11 5.40 5.23 5.29 5.62 4.79
6.00 5.91 6.32 6.30 5.90 5.80 5.08 5.80 5.90 5.60 5.48 4.93
6.00 6.30 6.50 6.20 6.30 6.30 6.05 5.92 5.14 5.90 4.85 4.96
5.30 5.24 6.05 5.84 5.85 5.74 5.16 5.55 5.85 5.55 5.44 5.01
5.46 5.57 5.82 5.68 5.45 4.96 6.08 5.66 5.19 5.60 5.24 4.88
Gula Pereduksi (mg/ml) Jenis Kapang Jenis Substrat Tanpa Delignifikasi
Delignifikasi
Hari H1 H3 H5 H7 H9 H11 H1 H3 H5 H7 H9 H11
A.niger Ul.1
Ul.2
0.151 0.160 0.214 0.176 0.110 0.091 0.607 0.286 0.307 0.375 0.411 0.371
0.142 0.152 0.203 0.136 0.119 0.108 0.300 0.297 0.387 0.329 0.289 0.249
T.viride Ul.1 Ul.2
0.170 0.183 0.243 0.164 0.143 0.129 0.448 0.316 0.305 0.329 0.352 0.305
0.341 0.277 0.255 0.247 0.247 0.239 0.348 0.331 0.254 0.339 0.347 0.345
A.niger T.viride Rataan
0.146 0.156 0.208 0.156 0.115 0.099 0.453 0.292 0.347 0.352 0.350 0.310
0.256 0.230 0.249 0.205 0.195 0.184 0.398 0.324 0.280 0.334 0.350 0.325
70
Jenis Substrat Tanpa Delignifikasi
Delignifikasi
Hari H1 H3 H5 H7 H9 H11 H1 H3 H5 H7 H9 H11
Total Gula (mg/ml) Jenis Kapang A.niger T.viride Ul.1 Ul.2 Ul.1 Ul.2
1.259 1.110 1.330 1.241 1.217 1.128 0.864 0.814 0.682 1.186 0.918 0.757
1.411 1.571 1.530 1.190 1.503 1.583 0.839 0.768 0.607 0.632 0.696 0.543
1.693 1.886 1.836 1.429 1.804 1.900 0.671 0.764 0.643 0.811 1.000 0.914
1.107 1.582 1.261 1.168 2.239 1.714 0.868 0.793 0.850 0.875 1.029 1.132
A.niger T.viride Rataan
1.335 1.341 1.430 1.216 1.360 1.356 0.852 0.791 0.645 0.909 0.807 0.650
1.400 1.734 1.548 1.298 2.021 1.807 0.770 0.779 0.746 0.843 1.014 1.023
FPase (IU/ml) Jenis Substrat Tanpa Delignifikasi
Delignifikasi
Hari H1 H3 H5 H7 H9 H11 H1 H3 H5 H7 H9 H11
A.niger Ul.1
Ul.2
0.055 0.074 0.061 0.052 0.068 0.065 0.097 0.190 0.209 0.178 0.200 0.137
0.065 0.049 0.040 0.065 0.045 0.046 0.223 0.158 0.235 0.264 0.160 0.153
Jenis Kapang T.viride Ul.1 Ul.2
0.056 0.059 0.076 0.072 0.065 0.051 0.093 0.124 0.192 0.238 0.268 0.248
0.025 0.050 0.041 0.059 0.056 0.069 0.157 0.229 0.231 0.291 0.265 0.243
A.niger T.viride Rataan
0.060 0.061 0.050 0.059 0.056 0.056 0.160 0.174 0.222 0.221 0.180 0.145
0.041 0.054 0.058 0.065 0.060 0.060 0.125 0.176 0.212 0.264 0.267 0.246
71
DE (%) Jenis Substrat
Tanpa Delignifikasi
Delignifikasi
Hari
Jenis Kapang T.viride A.niger T.viride Ul.1 Ul.2 Rataan 10.062 30.770 11.021 20.416 9.687 17.529 12.062 13.608 13.237 20.253 14.657 16.745 11.457 21.121 12.835 16.289 7.929 11.045 8.483 9.487 6.807 13.961 7.442 10.384 66.723 40.099 52.969 53.411 41.346 41.790 36.923 41.568 47.496 29.882 54.370 38.689 40.540 38.705 41.848 39.623 35.200 33.769 43.144 34.484
H1 H3 H5 H7 H9 H11 H1 H3 H5 H7 H9
A.niger Ul.1 Ul.2 11.981 10.062 14.438 9.687 16.078 13.237 14.213 11.457 9.037 7.929 8.077 6.807 70.193 35.745 35.123 38.722 45.054 63.686 31.598 52.098 44.742 41.545
H11
48.956 45.807 33.396 30.444
47.382
31.920
72
Lampiran 9. Uji statistik nilai gula pereduksi pada α = 5 % 1. a Tabel hasil analisa keragaman nilai gula pereduksi pada α = 5 % Sumber Substrat Kapang Hari Substrat*Kapang Substrat*Hari Kapang*Hari Substrat*Kapang*Hari * berpengaruh nyata
Db 1 1 5 1 5 5 5
R-square Coeff. Var
JK 0.00178894 0.00000893 0.00052514 0.00000595 0.00016109 0.00008593 0.00002165
KT 0.00178894 0.00000893 0.00010503 0.00000595 0.00003222 0.00001719 0.00000433
F hitung 29.44* 0.15 1.73 0.10 0.53 0.28 0.07
= 0,640428 = 27,67
a. Uji lanjut Duncan faktor substrat pada α = 5 % Perlakuan D TD
N 24 24
Rata-rata 0.034278 0.022068
Kelompok Duncan A B
F tabel <.0001 0.7049 0.1665 0.7570 0.7512 0.9179 0.9960
73
Lampiran 10. Hasil analisa jenis gula menggunakan kromatografi kertas
Lampiran 11. Uraian perhitungan rendemen etanol (Tabel 15 dan Tabel 16) % EtOH di substrat (%b/v)
= 0,15 ml/100 ml x berat jenis etanol pada T 25oC = 0,15 ml/100 ml x 0,789 g/ml = 0,1184 g/100 ml
Efisiensi pemanfaatan substrat(%)
=
x 100% x 100%
= = 69,75%
Volume EtOH dalam substrat (g)
= 0,1184
x 200 ml
= 0,2368 g
Rendemen (%b/b)
x 100%
=
= 3,946%
Volume EtOH dalam substrat (ml)
= 0,15
x 200 ml
= 0,3 ml
Rendemen (%v/b)
=
x 100%
= 5% Kebutuhan tepung pod kakao untuk 1 l EtOH (kg) =
x 1000 ml
= 20000 g = 20 kg