PENINGKATAN KUALITAS NUTRITIF PUTAK MELALUI FERMENTASI CAMPURAN Trichoderma reesei dan Aspergillus niger SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA
MARITJE ALEONOR HILAKORE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai Pakan Ruminansia adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2008
Maritje Aleonor Hilakore NIM D061030171
ABSTRACT MARITJE A HILAKORE. Improving Putak Nutritive Quality Using Mixed Culture Trichoderma reesei and Aspergillus niger As Ruminant Feed. Under the supervisions of SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN, and DJUMALI MANGUNWIDJAJA
Putak is a local feed in East Timor, East Nusa Tenggara Province. It is obtained from the pit of palm tree which is called gewang tree (Corypha elata robx). Putak contains high carbohydrate and fiber but low in protein. The evaluation of putak potency as a feed source and co-cultured of Trichoderma reesei and Aspergillus niger as an inoculants to improve the nutritive quality of the putak for use in goats diets were carried out in a series of 3 experiments. The first experiment was conducted to determine the inoculum optimum level and incubation time of each microbe on nutrient composition. Aspergillus niger contained 2.4 x 107 g-1 cfu with inoculum levels were 0.5, 1.0, 1.5 and 2.0% (w/w), whereas Trichoderma reesei contained 1.98 x 105 g-1 cfu and 5.0, 7.5, 10% (w/w) inoculum levels. Incubation time were 2, 3 and 4 days. This study showed that the best content of crude protein and true protein was at three days incubation and the inoculum level was 1.5% (w/w) for A.niger, while, T.reesei at four days and 7.5% (w/w) inoculum. Second experiment conducted to determine delay time to combine both microbes in mixed culture on nutrient composition and rumen fermentability. The best result of this study was when A.niger was inoculated two days after T.reesei, where crude protein and true protein was higher and crude fiber was lower than monoculture. Level of volatile fatty acids (VFA) and ammonia ( N-NH3) were suitable to support microbial production. The last experiment to test goats response to diets containing putak fermentation and fed on rice straw based ration on daily gain, ration and rice straw consumption, N retention and fiber digestibility. The result showed that using 40% putak fermentation in goat diets give the best response to all variables measured.
Key words : Corypha, putak, A.niger, T.reesei, Mixed culture
ABSTRAK
MARITJE ALEONOR HILAKORE. Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai Pakan Ruminansia. Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN dan DJUMALI MANGUNWIDJAJA.
Putak merupakan nama pakan lokal di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata robx), mengandung pati serta serat kasar tinggi dan protein yang rendah. Penelitian yang bertujuan guna memperbaiki kualitas putak melalui kultur campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai pakan kambing dilaksanakan dalam tiga tahap. Percobaan pertama dilakukan untuk mendapatkan level kultur serta lama inkubasi optimum dari masing-masing kapang terhadap perubahan komposisi nutrisi putak. Konsentrasi masing-masing kultur, A.niger adalah 2.4 x 107 cfu per g dengan level yang dicobakan 0.5, 1.0, 1.5 dan 2.0% (b/b), sedangkan T.reesei 1.98 x 105 cfu per g dan level 5.0, 7.5 dan 10.0% (b/b). Lama inkubasi yang dicobakan 2, 3 dan 4 hari. Hasil percobaan menunjukkan level kultur dan lama inkubasi optimum adalah 1.5% dan 3 hari untuk A.niger serta level 7.5% dan 4 hari untuk T.reesei berdasarkan peningkatan kadar protein kasar dan protein murni substrat tertinggi. Percobaan kedua dilakukan untuk menentukan waktu pencampuran terbaik dari kedua kapang dalam kultur campuran yang diukur dari kadar nutrien serta fermentabilitas in vitro substrat. Lama penundaan yang dicobakan adalah 0, 1 dan 2 hari. Berdasarkan peubah yang diukur maka hasil terbaik dari percobaan ini adalah bilamana A.niger diinokulasikan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari, dan hasil tahap ini lebih tinggi dari tahap sebelumnya (kultur tunggal). Percobaan tahap 3 dilakukan untuk mengkaji respon ternak terhadap pemberian putak fermentasi hasil perlakuan terbaik percobaan tahap 2, yang diukur dari konsumsi dan kecernaan nutrien, pertambahan bobot badan harian serta efisiensi penggunaan ransum. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dengan penggunaan 40% putak fermentasi dalam konsentrat memberi respon yang positip terhadap konsumsi ransum basal dan semua peubah dibanding penggunaan 10% putak tanpa olah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa fermentasi campuran T.reesei dan A.niger dapat meningkatkan kualitas nutritif putak serta penggunaannya dalam ransum tanpa memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ternak.
Kata kunci : Corypha, putak, kultur campuran, A.niger, T.reesei
RINGKASAN MARITJE A HILAKORE. Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai Pakan Ruminansia. Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN dan DJUMALI MANGUNWIDJAJA. Putak adalah nama pakan lokal di Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur yang diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata robx). Kandungan pati dan serat kasar yang tinggi tetapi rendah protein merupakan kendala utama penggunaannya sebagai pakan. Proses pengolahan biologi melalui fermentasi dapat memberi hasil yang positif terhadap kualitas bahan. Kapang Trichoderma reesei dan Aspergillus niger secara kultur tunggal sering digunakan dalam pengolahan pakan karena kemampuannya dalam degradasi selulosa maupun pati menjadi protein. Penggunaan kultur campuran dalam fermentasi dapat memberi hasil yang lebih menguntungkan. Penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Pada habitat alaminya, beberapa organisme hidup bersama memiliki hubungan yang dapat saling merugikan dan juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi. Kondisi tersebut yang diadopsi dalam penelitian penerapan kultur campuran (Hesseltine 1991). Potensi T. reesei menghasilkan enzim selobiohidrolase dan A. niger dalam menghasilkan enzim selobiase yang bermanfaat dalam degradasi substrat menjadi protein sel untuk meningkatkan kandungan protein putak yang dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I, Optimasi Proses Fermentasi Putak secara Tunggal oleh T.reesei atau A.niger, bertujuan mengkaji kemampuan masing-masing kapang secara tunggal pada level kultur dan lama inkubasi yang berbeda guna meningkatkan kualitas nutrien putak terutama kadar protein kasar (PK), protein murni (PM), serta serat kasar (SK). Level kultur yang dicobakan terdiri dari 4 level A1, A2, A3 dan A4 adalah 0.5, 1.0, 1.5 dan 2.0% (b/b) untuk A.niger dengan kepadatan koloni per gram adalah 2.4 x 107 sedangkan level T1, T2, dan T3 masing-masing 5.0, 7.5 dan 10% (b/b) untuk T.reesei dengan kepadatan koloni 1.98 x 105. Lama inkubasi (W) pada masing-masing kapang adalah 2, 3, dan 4 hari (W2,W3 dan W4 ). Hasil percobaan menunjukkan, kadar PK, PM serta SK terbaik diperoleh T.reesei masing-masing adalah 20.60, 13.25 dan 9.08%, pada level kultur T2 (1.48 x 106 ) setelah 4 hari inkubasi, sedangkan A.niger 19.81, 12.53 dan 12.22%, pada level A3 (0.36 x 108 ) dengan 3 hari lama inkubasi. Percobaan tahap II, Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger dengan Putak sebagai Substrat bertujuan untuk mengkaji kemampuan kedua kapang secara bersama-sama dalam meningkatkan kualitas kimiawi maupun fermentabilitas in vitro. Pada tahap ini dicobakan 12 kombinasi level masingmasing kapang tahap sebelumnya dengan penundaan pencampuran 0 (D0), 1 (D1) dan 2 hari (D2). D0 adalah T.reesei dan A.niger diinokulasikan bersamaan, tanpa penundaan; D1 adalah pencampuran A.niger dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan satu (1) hari; dan adalah pencampuran A.niger dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan dua (2) hari. Hasil optimal yang diperoleh untuk PK,
78 PM dan SK adalah 23.62, 14.92 dan 10.17% bilamana pencampuran A.niger dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari (D2) pada kombinasi level A.niger 1.5% dan T.reesei 7.5% (A3T2). Hasil tersebut lebih baik daripada kultur tunggal. Hasil uji in vitro menunjukkan kisaran konsentrasi asam lemak terbang (VFA) dan amonia (NH3) masing-masing adalah 91.14 – 119.58 mM dan 14.94 – 19.04 mM, berada pada kisaran optimum untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme rumen. Percobaan tahap III, Respon Ternak Kambing Jantan Lokal terhadap Pemberian Putak Fermentasi, bertujuan untuk menguji tingkat pemberian putak fermentasi hasil percobaan terbaik Tahap II yakni 0, 10, 20, 30 dan 40% dalam konsentrat terhadap kinerja ternak kambing lokal jantan yang diberi jerami padi ad libitum sebagai pakan dasar. Semakin tinggi penggunaan putak fermentasi (mencapai 40%), kinerja ternak kambing meningkat lebih baik yang terdeteksi dari retensi nitrogen, konsumsi dan kecernaan nutrien, pertambahan bobot badan harian (PbbH ) dan efisiensi penggunaan ransum Fermentasi kultur campuran menggunakan T.reesei dan A.niger pada putak sebagai substrat memberikan hasil yang lebih baik dibanding fermentasi kultur tunggal T.reesei atau A.niger. Peningkatan kualitas nutrisi tersebut terdeteksi dengan terjadinya peningkatan penampilan produksi ternak.
Kata kunci : Corypha, putak, kultur campuran, A.niger, T.reesei
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008
Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun, tanpa izin IPB
PENINGKATAN KUALITAS NUTRITIF PUTAK MELALUI FERMENTASI CAMPURAN Trichoderma reesei dan Aspergillus niger SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA
MARITJE ALEONOR HILAKORE
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.AgrSc
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Abdullah M Bamualim, MSc 2. Dr. Ir. Dwierra Evvyernie, MS. MSc
Judul Disertasi
Nama NIM
: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai Pakan Ruminansia : Maritje Aleonor Hilakore : D061030171
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Suryahadi, DEA Ketua
Dr. Ir. Komang G. Wiryawan Anggota
Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA Anggota
Diketahui
Ketua Departemen INTP
Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc
Tanggal Ujian : 7 November 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah Bapa didalam Jesus Kristus Tuhan, karena oleh kekuatan serta hikmatNYA karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengoptimalkan potensi pakan lokal seperti putak yang sangat potensil tetapi masih mengalami kendala dalam penggunaan akibat keterbatasan kandungan nutrien yang dimilikinya. Oleh karena itu topik penelitian ini diberi judul Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai Pakan Ruminansi. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulisan sampaikan kepada Dr. Ir. Suryahadi, DEA, Dr. Ir. Komang G Wiryawan serta Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA, selaku pembimbing, yang telah meluangkan waktu memberi arahan serta koreksi selama proses penyelesaian penulisan ini. Ucapan terima kasih yang sama juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fapet IPB dan seluruh staf Dosen Fapet atas kesempatan memperoleh ilmu dan wawasan yang telah diberikan. Terima kasih juga kepada Departemen Pendidikan Nasional melalui DITJEN DIKTI atas beasiswa yang diberikan dalam mengikuti pendidikan di IPB. Terima kasih yang sama juga disampaikan kepada Rektor Universitas Nusa Cendana dan Dekan Fakultas Peternakan atas kesempatan mengikuti pendidikan yang diberikan. Juga kepada Direktur Politeknik Pertanian Negeri Kupang atas ijin menggunakan fasilitas Laboratorium selama proses penelitian ini.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada teman-teman se perjuangan, Thom Mata Hine sekeluarga, Poppy Ralahalu, Insun Sangaji, Yan Masrikat, James yang dengan tulus membantu berupa saran dan masukan-masukan yang sangat bermanfaat selama proses penulisan.Untuk papa dan mama serta adik-adik tersayang Buang, Aty, Jacqualine, Ledy, Seny, Boby dan Evy, yang selalu setia dan tekun mendukung dengan doa yang tulus, terima kasih. Dan yang paling akhir dan yang sangat tak terlupakan buat suami tercinta Adrianus Boeky serta buah hati kami tersayang Daniella Leonor Adelin, Melida Andrea dan Elena Giardini Adinda, tulisan ini dipersembahkan untukmu berempat atas pengorbanan luar biasa yang diberikan selama pendidikan. Tuhan memberkati kita sekalian Kiranya karya sederhana ini bermanfaat.
Bogor, September 2008 Maritje Aleonor Hilakore
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 4 Pebruari 1961, sebagai anak kedua dari empat saudara dari ayah Romelus Hilakore (Alm) dan ibu Mathelda Talo. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, lulus tahun 1984. Pada tahun 1985 - 1987 mengikuti program Pendidikan Calon Pengajar Politeknik Pertanian (PEDCA) di Universitas Padjadjaran Bandung. Pada tahun 1994, penulis diterima di Program Magister Program Studi Ilmu Ternak Program Pasacasarjana
IPB dengan
Beasiswa TMPD Ditjen Dikti, dan menyelesaikannya pada tahun 1997. Kesempatan melanjutkan program doktor diperoleh pada tahun 2003 dengan Beasiswa BPPS Ditjen Dikti Depdiknas. Saat ini penulis terdaftar sebagai dosen tetap Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana sejak 1 Maret 1985.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………….....
iii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………..
iv
DAFTAR LAMPIRAN.. …………………………………….. .. v PENDAHULUAN ………………………………………………… Latar Belakang …………………………………………... .. Tujuan …………………………………………………. .. .. Hipotesis ………………………………………………….. . Manfaat ……………………………………………………..
1 1 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………… Pohon Gewang (Corypha elata robx) dan Produksinya….. . Fermentasi dan Medium Fermentasi ................................... Trichoderma reesei ............................................................ . Aspergillus niger ................................................................. Fermentasi Kultur Campuran .............................................. Sumber Nutrien pada Ruminansia ........................................ Metabolisme Protein pada Ruminansia ............................... Metabolisme Karbohidrat pada Ruminansia ....................... Ternak Kambing Kacang .....................................................
5 5 7 11 12 14 16 17 19 22
BAHAN DAN METODA .............................................................. Penyiapan Proses Fermentasi ............................................................ Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh T.reesei dan A.niger ................................................................. Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger dalam Putak sebagai Substrat ............................................... Percobaan III : Respon Ternak Kambing Lokal Jantan terhadap Pemberian Putak Fermentasi.....................................
24 24
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh T.reesei dan A.niger .......................................................... .... Kualitas Nutrien Putak hasil Fermentasi oleh A.niger ..... ...... Kualitas Nutrien Putak hasil Fermentasi oleh T.reesei............ Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger pada Medium Putak .................................................. Protein...................................................................................... Kecernaan Bahan Kering dan Organik .................................. Total Asam Lemak Atsiri (VFA) dan Amonia (NH3)............
26 27 27 34 34 36 41 45 45 50 51
Percobaan III : Respon Ternak Kambing Lokal Jantan terhadap Pemberian Putak Fermentasi .................................... Konsumsi Nutrien ................................................................... Konsumsi Bahan Kering dan Organik ................................... Kecernaan Nutrien (BO,BK,Protein dan SK) ......................... Retensi Nitrogen ................................................................... Pertambahan Bobot Badan .................................................... Efisiensi Penggunaan Ransum ...............................................
53 55 55 56 60 60 62
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................
64
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
66
LAMPIRAN ....................................................................................
72
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1 Komposisi bahan pakan konsentrat percobaan... .........
28
2
Komposisi nutrien konsentrat percobaan...................
28
3
Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh A.niger dengan level kultur dan lama inkubasi berbeda ......................
37
Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh T.reesei dengan level kultur dan lama inkubasi berbeda .....................
43
Komposisi nutrien putak fermentasi kultur campuran A.niger dan T.reesei dengan lama penundaan pencampuran 2 hari (D2) ..........................................................................
47
6 Komposisi nutrien putak sebelum dan sesudah fermentasi. ......
50
7 Fermentabilitas in vitro putak fermentasi campuran A.niger dan T.reesei dengan lama penundaan pencampuran 2 hari .. ................................................................................
52
8
Rataan konsumsi nutrien ransum ...........................................
54
9
Rataan kecernaan nutrien ransum..........................................
56
10
Kadar VFA total dan partial dan NH3 cairan rumen dari pakan konsentrat .................................................................
57
Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertumbuhan dan efisiensi ransum .......................................................
63
Perhitungan ekonomis pakan terhadap pertumbuhan ternak percobaan .............................................................
63
4
5
11
12
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1 Pohon gewang (Corypha elata robx) .......................................
6
2 Metabolisme protein pada ruminansia ......................................
18
3 Metabolisme karbohidrat pada ruminansia ...............................
21
4 Kambing kacang .........................................................................
23
5 Proses penyiapan putak dari batang pohon gewang ....................
25
6 Kultur hasil biakan pada substrat putak .......................................
26
7 Putak hasil fermentasi A.niger umur 1 dan 3 hari .......................
36
8 Putak hasil fermentasi T.reesei umur 2 dan 4 hari .......................
43
9 Putak fermentasi campuran T.reesei dan A.niger siap panen ........
46
10 Komposisi nutrien putak sebelum dan sesudah fermentasi ..........
48
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
1
2
Halaman
Komposisi nutrien putak fermentasi campuran T.reesei dan A.niger dengan lama penundaan pencampuran berbeda…...........
71
Fermentabilitas in vitro putak fermentasi campuran T.reesei dan A.niger dengan lama penundaan pencampuran berbeda… ........
72
3 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level kultur A.niger terhadap kadar protein kasar putak ........... 4
73
Daftar analisis sdik ragam dan uji Duncan pengaruh level kultur A.niger terhadap kadar protein murni putak .........
75
5 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level kultur A.niger terhadap kadar bahan kering putak ........
77
6 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level kultur A.niger terhadap kadar bahan organik putak ........
79
7 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level kultur A.niger terhadap kadar serat kasar putak .............
81
8 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level kultur T.reesei terhadap kadar protein kasar putak ..........
83
9 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level kultur T.reesei terhadap kadar protein murni putak .........
85
10 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level kultur T.reesei terhadap kadar bahan kering putak ........
89
11 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level kultur T.reesei terhadap kadar bahan organik putak ............
91
12 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level kultur T.reesei terhadap kadar serat kasar putak .........
93
13 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap kadar protein kasar putak .....................................................
96
14
15
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap kadar protein murni putak ....................................................
97
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap kadar serat kasar putak .......................................................
98
16 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap kecernaan bahan kering putak ............................................
99
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Daftar analisis aidik ragam dan uji Duncan pengaruh kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap kecernaan bahan organik putak ............................................
100
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap kadar total VFA...................................................................
101
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap kadar amonia putak .......................................................
102
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi jerami padi
103
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan kering ...........
104
Daftar analisis Sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan organik.......
105
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi protein..............
106
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi serat kasar .........
107
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi ransum per kg bobot badan 0.75 ....................................................
108
26
27
28
29
30
31
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi jerami padi per kg bobot badan 0.75 .................................................
109
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan kering per kg bobot badan 0.75 .............................................
110
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan organik per kg bobot badan 0.75 ...................................................
111
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi protein kasar per kg bobot badan 0.75 ..................................................
112
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi serat kasar per kg bobot badan 0.75 ...............................................
113
Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan Bahan kering......
114
32 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan bahan organik ......
115
33 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan protein.................
116
34 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan serat kasar...........
117
35 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap retensi nitrogen .....................
118
36 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan........
119
37 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap efisiensi ransum ......................
120
PENDAHULUAN
Latar Belakang Potensi peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat besar yang ditunjukkan oleh populasi ternak ruminansia khususnya, sebanyak 700 363 ekor ruminansia besar (sapi dan kerbau), dan 571 014 ekor ruminansia kecil (kambing dan domba). Pulau Timor merupakan salah satu daerah di NTT yang memiliki populasi ternak tertinggi yaitu 427 343 ekor ruminansia besar dan 178 427 ekor ruminansia kecil atau sekitar 61% dan 31% dari populasi ternak di NTT (Ditjennak 2007). Kendala utama pengembangan adalah ketersediaan dan kualitas pakan. Kondisi alam yang kering (8 – 9 bulan kering) mengakibatkan kontinuitas ketersediaan pakan sangat fluktuatif sehingga pertumbuhan ternak sangat tergantung pada musim. Padang penggembalaan umum seluas 24 382.04 ha (Ditjennak 2007) yang merupakan tulang punggung sumber pakan ruminansia utamanya, hanya bisa diandalkan selama kurang lebih 3 - 4 bulan. Hasil penelitian Bamualim et al. (1993) menunjukkan bahwa pada musim kemarau, bobot ternak di P. Timor akan mengalami penyusutan sebanyak 50% dari bobot yang dicapai selama musim hujan. Dalam keadaan demikian memaksimumkan sumber pakan lokal merupakan solusi terbaik. Salah satu pakan lokal yang cukup dikenal masyarakat setempat adalah Putak. Putak diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata robx) dan telah lama digunakan sebagai pakan sumber karbohidrat meski dalam jumlah terbatas. Menurut perkiraan sekitar 5 – 10% dari luasan padang penggembalaan yang ada di P.Timor ditumbuhi pohon gewang. Nulik et al. (1988) melaporkan bahwa dengan tinggi pohon rata-rata 13 meter (12.9 ± 3.3 ) dapat dihasilkan sebanyak 663 ± 124 kg putak basah atau 396 kg berat kering (kadar air 40%). Sebagai pakan, putak sangat potensial karena ketersediaannya cukup disamping tidak bersaing dengan manusia karena tidak digunakan untuk makanan manusia. Penggunaan putak sebagai pakan belum maksimal akibat keterbatasan nutrisi yang dikandungnya seperti, protein yang rendah ( 2.23%) serta serat kasar
2 tinggi (12.04%), disamping unsur-unsur nutrien lainnya yang juga minim tetapi kandungan energinya tinggi (4 210 kkal/g) (Ginting 2000). Upaya yang telah dilakukan guna memaksimalkan pengguaan putak sebagai pakan telah dilakukan melalui penelitian misalnya, melalui suplementasi urea sebagai sumber nitrogen bagi ternak ruminansia selama musim kemarau (Bamualim et al. 1993, Kana Hau et al. 1993). Pembuatan produk pemasakan putak-urea (Purea) yang dilakukan Wie Lawa (1996) dapat meningkatkan kecernaan in vitro. Penelitian pengolahan secara biologis yakni fermentasi putak oleh Saccharomyces cereviciae sebagaimana dilaporkan hasilnya oleh Ginting (2000), nyata meningkatkan kadar protein kasar putak dari 2.23 % menjadi 8.94% meski tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar serat kasar (12.02% vs 11.97%) setelah diinkubasi selama 14 hari dengan respon pertumbuhan terbaik dari ternak babi adalah pada penggunaan 10% menggantikan jagung. Pengolahan biologi yang bertujuan meningkatkan kualitas suatu bahan sebagai pangan maupun pakan telah lama dikenal dan dilakukan, namun sejauh ini hanya dengan penggunaan kultur tunggal. Padahal menurut Hesseltine (1991), fermentasi biakan campuran dapat memberikan hasil yang lebih menguntungkan dibanding biakan tunggal karena komponen metabolit yang dihasilkan masingmasing mikroba dalam substrat yang sama akan saling menunjang dan melengkapi kebutuhan lingkungan yang baik bagi pertumbuan mikroba-mikroba tersebut. Penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Pada habitat alaminya, organisme yang hidup bersama memiliki hubungan yang bisa saling merugikan dan juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi. Kondisi tersebut yang ingin diadopsi dalam penelitian penerapan kultur campuran. Trichoderma reesei merupakan salah satu jenis kapang
yang banyak
diteliti terutama karena kemampuannya menghasilkan enzim selulase seperti endoglukanase dan selobiohidrolase tetapi sedikit memproduksi selobiase (Panda et al. 1989, Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005). Aspergillus niger memiliki kemampuan lebih dalam menghasilkan enzim selobiase atau β-glukosidase dibanding T.reesei (Panda et al. 1989, Saha 1991) disamping itu kapang juga
3 menghasilkan
banyak
macam
enzim
ekstraseluler,
seperti
α-amilase,
glukoamilase, α- dan β- glukosidase serta selulase (Saha 1991), oleh karena itu sering digunakan dalam pengolahan pangan untuk pengkayaan protein dari bahan berpati (Moo-Young 1983). Menurut Hesseltine (1991) bahwa kultur campuran memungkinkan penggunaan substrat yang bervariasi dalam hal komposisi bahan sehingga akan memungkinkan mikroba selulolitik tidak hanya menggunakan selulosa saja tetapi juga pati maupun gula. Kapang selulolitik bersama-sama kapang pengguna pati dan gula akan memberikan proses yang lebih efisien dalam menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Hasil-hasil
penelitian
kultur
campuran
yang
pernah
dilakukan
menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding kultur tunggal, dalam hal biomassa sel maupun produk fermentasi. Seperti yang dilaporkan oleh Correa et al. (1999), bahwa jumlah biomassa sel dan aktifitas enzim-enzim selulase lebih tinggi pada biakan campuran T. reesei dan A. niger dibanding kultur tunggal dengan substrat bagas tebu. Selanjutnya Saha (1991) menggunakan kultur campuran A.niger dan S.cereviciae pada substrat kentang menghasilkan etanol yang lebih tinggi. Panda et al. (1989) melaporkan, laju pertumbuhan kapang T. reesei dan A. wentii lebih baik pada biakan campuran daripada biakan terpisah. Demikian juga Viesturs et al. (1980) yang dikutip Moo-Young (1983) memperoleh kadar protein murni 18% pada jerami gandum yang difermentasi oleh T.liqnorum dan Candida lipolytica selama 5 hari pada suhu inkubasi 30oC, sedangkan T. liqnarum sendiri hanya menghasilkan 11%. Teknologi fermentasi merupakan teknologi yang murah dan aman dalam menjawab masalah keterbatasan nutrisi terutama protein substrat dan telah banyak dilakukan baik dalam penelitian maupun di masyarakat terutama menggunakan kultur tunggal. Sedangkan kultur campuran yang juga dapat memberi hasil yang lebih baik karena dapat memaksimumkan peran masing-masing mikrob dalam proses fermentasi guna mendapatkan hasil yang lebih baik dan waktu yang singkat, belum umum dilakukan.
4 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengkaji kemampuan T reesei dan A. niger secara kultur tunggal dalam memperbaiki kualitas nutrien putak terutama kadar protein dan serat kasar. b. Mengkaji kemampuan T reesei dan A. niger secara kultur campuran dalam memperbaiki kualitas nutrien putak terutama kadar protein dan serat kasar serta pengaruhnya terhadap fermentabilitas in vitro. c. Mengkaji respon ternak kambing lokal jantan terhadap penggunaan putak terfermentasi dengan kultur campuran T reesei dan A. niger sebagai pakan penyusun konsentrat
berdasarkan parameter pertumbuhan, jumlah
konsumsi ransum dan nutrien serta kecernaan nutrien, efisiensi penggunaan ransum.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Fermentasi putak dengan kapang A.niger maupun T.reesei secara tunggal dapat meningkatkan kualitas putak 2. Kultur campuran A.niger dan T.reesei akan lebih baik kemampuannya dalam meningkatkan kualitas putak fermentasi dibanding dengan kultur tunggal 3. Penggunaan putak hasil fermentasi sebagai pakan akan memberi respon positif terhadap pertumbuhan ternak.
Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat : 1. Memberi informasi mengenai manfaat putak yang difermentasi sebagai sumber pakan baru yang prospektif 2. Memberi informasi tentang keuntungan fermentasi menggunakan kultur campuran, sebagai alternatif teknologi tepat guna tentang pemanfaatan pakan lokal
5 TINJAUAN PUSTAKA
Pohon Gewang ( Corypha elata robx) dan Produksinya Pohon gewang (Corypha elata robx) merupakan genus palam-palaman. Khusus di Nusa Tenggara Timur, tanaman ini banyak dijumpai terutama di P. Timor dan Rote. Tumbuh baik pada dataran rendah (kurang dari 400 m dpl), tinggi batang mencapai 15 meter dan tumbuh secara tunggal, batang besar dan lurus, tahan kering dan dapat tumbuh dengan baik pada tanah kurang subur dengan pH 6 – 8. Isi (empulur) batang gewang telah lama dikenal masyarakat setempat dengan nama putak dan digunakan sebagai pakan sumber karbohidrat untuk ternak ruminansia maupun non ruminansia terutama ternak babi. Putak sangat potensil sebagai pakan karena tidak digunakan sebagai pangan, demikian juga jumlah dan ketersediaannya masih cukup terjamin. Berdasarkan data yang dilaporkan Ditjennak (2007) bahwa luas padang penggembalaan alam di P. Timor adalah 24 382 04 ha dan diperkirakan sekitar 5 – 10% dari luasan tersebut ditumbuhi pohon gewang. Nulik et al. (1988) melaporkan bahwa dengan tinggi pohon rata-rata 13 meter (12.9 ± 3.3 ), dapat dihasilkan sebanyak 663 ± 124 kg putak basah atau 396 kg berat kering (kadar air 40%). Waktu terbaik untuk pemotongan adalah saat tanaman menjelang berbunga yang dapat diketahui dari posisi pelepah daun paling bawah membentuk garis horisontal. Tingginya kadar serat kasar serta minimnya kandungan protein serta nutrisi lainnya menjadi kendala penggunaan pakan lokal ini sebagai sumber pakan alternatif yang prospektif. Penggunannya sebagai pakan masih sangat terbatas. Penelitian pemberian putak sebagai pakan juga terbatas baru pada ternak ruminansia yakni sebagai pakan sumber karbohidrat mudah tersedia yang dikombinasikan dengan penambahan urea sebagai sumber nitrogen. Pengolahan lainnya dengan membuat produk gabungan pati dari putak dengan urea (purea) serta pengolahan secara biologis melalui fermentasi sebagai pakan babi, namun pemanfaatannya sebagai pakan belum maksimal.
6
Gambar 1 Pohon gewang (Corypha elata robx)
Penerapan teknologi pengolahan untuk meminimalisir keterbatasan yang dimiliki putak yang pernah dilakukan misalnya, dengan penambahan urea; (Bamualim et al. 1993, Nulik et al. 1993, Kana Hau et al. 1993), pembuatan produk pemasakan putak-urea (Purea) (Wie Lawa 1996), semuanya sebagai pakan ruminansia, serta pengolahan secara biologis, yaitu fermentasi dengan Saccharomyces cereviciae (Ginting 2000) untuk pakan ternak babi. Bamualim et al. (1993) melaporkan penelitian yang dilakukan pada ternak sapi dengan pemberian putak dicampur urea sebanyak 30 g/e/h diperoleh tingkat penurunan bobot badan selama musim kemarau adalah sebesar -0.16 kg/e/h dibanding pemberian jerami yang mencapai -0.39 kg/e/h, sedangkan pada musim hujan tingkat pertambahan bobot badan mencapai 370 g/e/h vs jerami 170 g/e/h. Hasil penelitian lainnya dilakukan oleh Kana Hau et al. (1993) pada ternak kambing yang diberi jerami sebagai pakan dasar, suplemen putak dan urea tidak menyebabkan perbedaan konsumsi pakan dasar akan tetapi kecernaan bahan kering meningkat dari 45.1% menjadi 62.6%, dengan pertambahan bobot harian 42 g/e/h. Penelitian lain seperti dilakukan oleh Wie Lawa (1996) yakni membuat produk pemasakan putak-urea dapat meningkatkan nilai nutrisi in vitro dengan hasil terbaik adalah pada perlakuan lama pemasakan 2 jam dengan level penambahan urea 4% BK. Selanjutnya Hilakore et al. (1999) mencoba
7 penggunaan Purea (produk pemasakan putak-urea) pada ternak kambing jantan lokal yang diberi rumput alam sebagai hijauan tunggal dengan maksimal penggunaan purea 20% memberikan pertambahan bobot badan sebesar 36 g/e/h. Penelitian pengolahan secara biologis yakni fermentasi putak oleh Saccharomyces cereviciae sebagaimana dilaporkan hasilnya oleh Ginting (2000). Level kultur terbaik adalah sel 0.75 x 106 unit sel, dan lama inkubasi 2 minggu menghasilkan kenaikan kadar protein kasar nyata lebih baik (8.92%) dari pada kontrol (2.63%), tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar serat kasar (12.01 % turun menjadi 11.97%). Maksimal penggunaannya untuk ternak babi adalah 10% menggantikan jagung.
Fermentasi dan Medium Fermentasi Fermentasi merupakan aktifitas mikroorganisme untuk memperoleh energi yang dibutuhkan dalam metabolisme dan pertumbuhannya melalui pemecahan atau katabolisme terhadap senyawa-senyawa organik secara aerob dan anaerob, dimana enzim dari mikroorganisme menstimulasi reaksi oksidase, reduksi, hidrolisis dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu. Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikrob penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermenasi menurut Winarno (1981), dapat menyebabkan perubahan sifat bahan sebagai akibat dari pemecahan kandungan bahan (pangan) tersebut. Hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis substrat, macam mikroba dan kondisi sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikrob tersebut. Menurut Rachman (1989), pemilihan jenis mikrob dalam proses fermentasi merupakan salah satu unsur penentu terhadap berhasil atau tidaknya proses fermentasi bersangkutan. Proses fermentasi akan terjadi apabila terdapat aktifitas enzim. Dalam proses fermentasi, peranan substrat yang digunakan sangat besar. Faktor yang ikut mempengaruhi pemilihan substrat untuk fermentasi adalah ketersediaan, sifat fermentasi dan harga substrat (Fardiaz 1988). Selain itu senyawa-senyawa sumber karbon dan nitrogen merupakan komponen paling penting dalam medium
8 fermentasi, karena sel-sel mikroba dan berbagai produk fermentasi sebagian besar terdiri dari unsur-unsur karbon dan nitrogen. Makanan produk fermentasi biasanya memiliki nilai nutrisi yang lebih tinggi dibanding bahan makanan asalnya. Hal ini disebabkan mikroba telah memecah komponen kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna. Pada proses fermentasi akan terjadi perubahan-perubahan terhadap komposisi kimia antara lain kandungan lemak, karbohidrat, asam amino, mineral dan vitamin sebagai akibat dari aktifitas dan perkembang biakan mikroorganisme selama fermentasi berlangsung (Winarno 1992). Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua macam yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat adalah suatu jenis fermentasi yang menyerupai habitat alami dimana terjadi degradasi komponen kimia padat oleh mikrob dalam media yang cukup mengandung air tanpa ada air bebas dalam sistem fermentasi tersebut (Murthy et al. 1993, Correa et al. 1998). Selanjutnya, fermentasi media cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair (Fardiaz 1988). Pada dasarnya fermentasi medium padat didasarkan pada pembentukan ekosistem untuk pertumbuhan mikroba yang diinokulasikan. Sifat porositas medium merupakan faktor penting dalam menunjang pertumbuhan mikroba yang ditumbuhkan. Medium dengan porositas yang baik akan memungkinkan penetrasi udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan dapat terjadi di seluruh bagian medium (Hardjo et al. 1989 ). Fermentasi media padat memiliki beberapa keuntungan seperti : a). menggunakan substrat tunggal seperti biji-bijian utuh atau limbah padat yang mengandung karbohidrat, protein dan lain-lain dan hanya ditambahkan air; b). kepekatan produk yang dihasilkan lebih tinggi; c) pertumbuhan kapang menyerupai habitatnya di alam; d) tidak diperlukan kontrol pH dan suhu yang teliti. Kelemahan jenis fermentasi ini adalah terbatasnya jenis mikrob yang dapat digunakan, kebutuhan inokulum cukup besar serta agak sulit dalam pengaturan kadar air, pH, dan lainnya (Muchtadi et al. 1992).
9 Beberapa keuntungan fermentasi medium padat dibanding medium cair adalah penggunaan substrat alami yang sifatnya tunggal, persiapan inokulum lebih sederhana, dapat menghasilkan produk dengan kepekatan yang lebih tinggi, kontrol terhadap kontaminan lebih mudah, kondisi inkubasi hampir menyerupai kondisi alami sehingga tidak memerlukan kontrol suhu dan pH yang teliti dan aerasi dapat berlangsung lebih optimum karena ruang lebih besar, fermentasi media padat memiliki produktivitas yang tinggi serta hasil yang sama dapat terulang pada kondisi yang sama (Setiawiharja 1984, Hardjo et al. 1989 ). Knapp dan Howell (1975) mengemukakan bahwa faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan proses fermentasi medium padat adalah : 1) sifat medium, terutama yang berhubungan dengan derajat kristalisasi dan polimerisasi 2). sifat organisme, karena masing-masing mikroba memiliki kemampuan yang berbeda dalam memecahkan komponen medium untuk keperluan metabolisme 3). kinetika metabolisme dan enzim, karena pada umumnya produksi enzim pada medium padat bersifat non konstitutif sehingga represi katabolik dan penghambatan oleh produk akhir menjadi aspek yang sangat penting dalam menguraikan medium. Proses fermentasi medium padat dapat dikatakan sebagai proses pengkayaan
protein
(protein
enrichment)
bahan
dengan
menggunakan
mikroorganisme tertentu. Proses pengkayaan protein identik dengan pembuatan protein sel tunggal akan tetapi pada pengkayaan tidak dilakukan pemisahan sel mikrob dari substrat (Gushairiyanto 2004). Secara umum medium fermentasi menyediakan semua nutrien yang dibutuhkan mikrob untuk memperoleh energi, pertumbuhan, bahan pembentuk sel dan biosintesa produk-produk metabolisme, tergantung kepada jenis mikroba dan produk yang akan dihasilkan maka setiap fermentasi memerlukan medium yang juga tertentu. Dalam pertumbuhannya, mikroorganisme membutuhkan zat-zat untuk sintesa komponen sel dan menghasilkan energi untuk menghasilkan ATP yang berasal dari karbohidrat dan atau protein. Menurut Peppler (1973), penambahan bahan-bahan sumber nutrien ke dalam media fermentasi dapat menyokong dan merangsang
pertumbuhan
mikroorganisme.
Selanjutnya
Fardiaz
(1988)
10 mengemukakan
bahwa
nitrogen
mempunyai
fungsi
fisiologis
bagi
mikroorganisme yaitu merupakan bagian dari protein, asam nukleat dan koenzim, sedangkan karbon merupakan bagian dari senyawa organik sel. Menurut Fardiaz (1988) bahwa laju pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi
oleh
konsentrasi
komponen-komponen
penyusun
media
pertumbuhannya. Karbon adalah elemen terbanyak dalam sel mikroorganisme meliputi kira-kira 50% dari biomassanya, karena itu sumber karbon merupakan bahan terbesar yang harus tersedia dalam media karena merupakan sumber nutrien utama dalam pertumbuhan mikrob. Dikemukakan oleh Wang et al. (1979) bahwa konsentrasi sumber nutrien juga mempunyai batas maksimum, garam ammonium dan nitrat mulai menimbulkan penghambatan pada konsentrasi lima gram per liter dan garam phospat pada 10 gram per liter. Oleh karena itu Litchfield (1979) menyarankan penambahan nutrien ke dalam substrat dilakukan pada range yang sesuai antara unsur karbon dan nitrogen. Dalam hubungan dengan peningkatan kadar protein substrat (PST), tergantung kepada jenis mikrob, dimana ratio C terhadap N (C : N ratio) dapat berkisar antara 20 : 1 tetapi ratio C : N yang paling sering digunakan adalah antara 5 : 1 hingga 15 : 1 Efisiensi penggunaan sumber karbon seperti karbohidrat dalam fermentasi dapat bertambah bila dilakukan pemanasan. Pemanasan dapat merubah bentuk fisik bahan padat dan kering menjadi lebih lunak serta meningkatkan kadar air bahan. Disamping itu pemanasan juga mengakibatkan terjadi gelatinisasi terutama pada karbohidrat dan menyebabkan pati menjadi lebih mudah dihidrolisis sehingga proses pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan menjadi lebih baik (Ginting 2000). Produk fermentasi menurut Gushairiyanto (2004) dapat dikelompokkan menjadi empat macam yaitu sel mikrobia/biomassa sel, senyawa molekul besar/enzim, metabolit primer (asam amino, nukleatida, vitamin dan asam organik) dan metabolit sekunder (antibiotik, toksin,alkoloid dan hormon tanaman). Sel mikrob secara komersil dapat berfungsi sebagai : 1). makanan ternak atau yang dikenal sebagai protein sel tunggal (PST); 2). sebagai alat
11 konversi, proses yang dapat mengubah suatu senyawa menjadi senyawa lain oleh enzim yang dihasilkan oleh sel tersebut. Besarnya pemanfaatan sumber pati bagi sintesa protein menurut Wang et al. (1979), dipengaruhi oleh beberapa proses yang berlangsung dalam sistem fermentasi itu sendiri yaitu a), proses penguraian pati menjadi monomer sederhana; b), proses penguraian urea menjadi NH3 sebagai sumber nitrogen siap pakai; dan c), proses pembentukan protein melalui ikatan karbon-amonia (R-NH3). Ketiga proses di atas harus terjadi sinergi dan serentak agar diperoleh hasil yang maksimal. Keuntungan penggunaan mikroorganisme dalam mencerna pakan terutama substrat berserat menurut Suhartati et al. (2003) adalah tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dibanding penggunaan bahan kimia atau perlakuan lainnya. Selain itu secara ekonomis lebih murah dan penanganan lebih mudah. Sedangkan menurut Winarno (1992) bahwa keuntungan pengolahan dengan cara fermentasi yaitu memperbanyak jumlah mikroorganisme dan menggiatkan metabolisme di dalam substrat sehingga substrat mempunyai nilai gizi lebih tinggi daripada asal.
Trichoderma reseei Trichoderma merupakan salah satu dari banyak kapang lain yang dapat menghasilkan enzim selulase dan telah digunakan dalam penelitian degradasi enzimatik bahan-bahan berselulosa menjadi glukosa. Menurut Frazier dan Westhoff (1978) bahwa Trichoderma aktif dalam proses dekomposisi selulosa. Bagian-bagian yang menjadi cirinya adalah miselium berseptat, konidiofora bercabang banyak, membentuk konidia bulat atau oval berwarna hijau terang dan membentuk bola-bola berlendir. Trichoderma reesei telah lama dikenal sebagai mikroba selulolitik yang potensial dalam memecah selulosa bentuk kristalin dan amorf (Simpson dan Oldman 1984).
Pada sistem selulase, enzim selulase yang dihasilkan genus
Trichoderma adalah endoglukanase, eksoglukanase atau selobiohidrolase serta sedikit selobiase atau β-glukosidase.
12 Selobiohidrolase merupakan selulase utama yang diproduksi oleh T.reesei dan meliputi lebih dari 80% protein selulase. Enzim ini memecah selulosa menjadi selobiosa sebagai satu-satunya produk akhir hidrolisis. Selobiohidrolase dihambat secara kompetitif oleh selobiosa (Juhasz et al. 2003). Kapang T.reesei menghasilkan enzim selulolitik seperti endo dan eksoglukanase (selobiohidrolase) juga memberikan keuntungan dalam hal produksi protein. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pakula et al. (2005) bahwa kapang mampu memproduksi enzim dalam jumlah yang tinggi, dan produksi ini setara dengan 40 g/l
protein ekstraseluler. Selobiohidrolase I (CBH I) merupakan
komponen enzim terbanyak yang diproduksikan dan menyumbang ke dalam substrat sekitar 60% dari total protein yang disekresikan. Kondisi optimum yang dibutuhkan T.reesei untuk bertumbuh berbeda dengan untuk produksi enzim. Selama fase pertumbuhan, terjadi akumulasi massa sel dan setelah massa sel mencapai konsentrasi optimum, produksi enzim baru dimulai. Temperatur dan pH yang optimum pada kedua fase ini juga berbeda yakni untuk pertumbuhan adalah 31-35oC dan pH 4 sedangkan untuk produksi enzim 26-28oC dengan pH 3. Aerasi merupakan faktor yang sangat penting pada semua fase oleh karena oksigen diperlukan untuk metabolisme energi agar produk fermentasi yang dihasilkan maksimal (Tsao et al. 1983).
Aspergillus niger Aspergillus niger merupakan salah satu kapang genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Moniliales, dan subdivisi Eumycophyta yang bersifat aerobik sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup dan untuk pertumbuhan memerlukan suhu optimum sekitar 35 - 37oC (Frazier and Westhoff 1981) sedangkan untuk menghasilkan enzim selulase diperlukan suhu 25 - 28 oC (Enari 1983). Ditambahkan oleh Laskin dan Heuber ( 1978) bahwa A.niger disebut juga sebagai jamur hitam karena warnanya yang coklat kehitaman. Berkembang biak secara vegetatif dan generatif dengan spora (Dwidjoseputro 1984), serta dapat tumbuh pada suhu 35 – 37oC atau lebih dengan suhu maksimum 65oC dan pH 2.8 – 8.8. Untuk pertumbuhannya A. niger menggunakan nutrisi yang ada di
13 sekitarnya misalnya molekul-molekul sederhana seperti gula yang terlarut dapat langsung diserap oleh hifa, tetapi polimer-polimer seperti pati dan selulosa akan dipecah terlebih dahulu oleh enzim-enzim ekstraseluler yang dihasilkannya menjadi molekul sederhana baru diserap (Moore and Landacker 1983). Miselium dapat bersifat vegetatif dan reproduktif. Sebagian besar miselium vegetatif menembus ke dalam medium untuk mendapatkan makanan sedangkan miselium reproduksi bertanggung jawab dalam pembentukan spora dan biasanya tumbuh menjulang ke udara (Pelczar 1986). Aspergillus niger merupakan jenis kapang yang menghasilkan banyak macam
enzim
ekstraseluler,
seperti
α-amilase,
glukoamilase,
α-
dan
β- glukosidase serta selulase (Saha 1991). Senada dengan hal di atas Kompiang et al. (1995) menyatakan bahwa A.niger memproduksi enzim pendegradasi pati yang akan memecah pati menjadi glukosa yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon oleh kapang selama proses fermentasi. A. niger juga merupakan kapang aerobik yang dapat menghasilkan enzim selulase untuk membantu pencernaan dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Kompiang et al. 1994). Dalam kaitannya dengan enzim selulase, genus Trichoderma memproduksi enzim selobiohidrolase merupakan komponen terbanyak, sedangkan pada enzim selulase dari genus Aspergillus, komponen terbanyak adalah enzim β-glukosidase (Gong dan Tsao 1979). Enzim ini berperan dalam hirolisis selobiose menjadi glukosa. Moo-Young et al. (1983) melaporkan bahwa, fermentasi media padat dengan menggunakan kultur A.niger pada substrat beras menghasilkan 400 g protein serta aktifitas amylase 1380 U/ml pada lama inkubasi tiga hari. Konsentrasi ini 80 kali lebih tinggi dari pada yang dihasilkan dengan fermentasi terrendam. Menurut Valdivia et al. (1983) bahwa dalam fermentasi yang bertujuan menghasilkan protein sel tunggal, maka penggunaan bahan yang mengandung pati adalah yang terbaik. Sedangkan A.niger merupakan kapang yang paling sering dipilih dalam fermentasi karena kemampuannya yang baik dalam biokonversi pati menjadi protein.
14 Fermentasi Kultur Campuran Penggunaan dua atau lebih mikroba sebagai inokulum dalam proses fermentasi disebut sebagai biakan campuran, yang diklasifikasikan oleh Hesseltine (1991) ke dalam empat jenis yakni : (1) monokultur; bila hanya satu strain mikrob yang digunakan; (2) multikultur, bila menggunakan lebih dari satu mikrob termasuk bila digunakan dua spesies yang berbeda; (3) unimultikultur, bila menggunakan dua atau lebih strain dari spesies yang sama; (4) polikultur, bila menggunakan banyak mikrob yang berbeda. Menurut Hesseltine (1991), penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Organisme-organisme tersebut hidup bersama dalam hubungan yang bisa saling merugikan, juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi. Selanjutnya Correa et al. (1999) memberi contoh pada fermentasi pangan oriental sebagai contoh terbaik dalam menggambarkan kelebihan fermentasi kultur campuran. Menurut Correa et al. (1999), kesesuaian atau kecocokan strain dan kebutuhan nutrien yang sama merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan biakan campuran karena interaksi sinergis antara pasangan mikrob yang sesuai dapat mengatasi keterbatasan nutrisi substrat. Fermentasi biakan campuran dapat memberikan hasil yang lebih menguntungkan dibanding biakan tunggal karena komponen metabolit yang dihasilkan masing-masing mikrob dalam substrat yang sama akan saling menunjang dan melengkapi kebutuhan lingkungan yang baik bagi pertumbuan mikrob-mikrob tersebut (Hesseltine 1991). Ditambahkan selanjutnya bahwa ada beberapa keuntungan dari biakan campuran seperti: a) memberikan peningkatan hasil yang lebih baik; b) lebih stabil dan dengan cepat akan normal kembali bila kondisi tumbuhnya terganggu; c) resisten terhadap kontaminan; d) lebih mampu menggunakan substrat berkualitas sangat rendah. Sedangkan kerugiannya adalah : a) produk dari kultur campuran lebih bervariasi dalam jumlah dan komposisi; b) sulit mendeteksi terjadinya kontaminasi; c) sulit mengontrol keseimbangan optimum antara mikrob yang terlibat.
15 Penggunaan polisakarida seperti selulosa, hemiselulosa dan pati dalam fermentasi campuran untuk menghasilkan enzim, protein sel tunggal, etanol, biogas dan sebagainya yang pernah dilakukan, disimpulkan bahwa ada berragam enzim yang dibutuhkan dalam degradasi polisakarida dan bekerja secara sinergis dalam degradasi bahan-bahan tersebut secara efisien. Disamping itu produk akhir dari masing-masing mikrob dalam medium dapat membatasi proses fermentasi, dan dalam kultur campuran pengaruh tersebut dapat diminimalisir karena masingmasing mikroba dapat memanfaatkan produk akhir yang dihasilkan sehingga proses fermentasi akan berlangsung pada kondisi yang lebih sesuai. Komponen utama tanaman seperti selulosa dan hemiselulosa dapat didegradasi secara efisien oleh enzim selulase yakni endo-β-glukanase, exo-βglukanase dan β-glukosidase. T.reesei merupakan kapang yang sangat potensil dalam menghasilkan enzim endo- dan exo-glukanase tetapi jumlah β-glukosidase lebih sedikit dari pada yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa yang efisien menjadi glukosa (Panda et al. 1989, Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005). Selanjutnya Saha (1991) dan Juhasz et al. (2003 ) menyatakan bahwa A.niger memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan β-glukosidase. Menurut Enari (1983) bahwa enzim selobiase atau β-glukosidase yang dihasilkan oleh T.reesei sangat sensitif terhadap inhibisi produk akhir dibandingkan enzim yang sama dari A.niger. Dengan demikian maka kombinasi kedua kapang ini akan meningkatkan efisiensi degradasi selulosa yang pada gilirannya meningkatkan kualitas substrat. Laporan hasil-hasil penelitian berkaitan dengan penggunaan kedua mikrob di atas dalam kultur campuran, ternyata memberikan hasil yang lebih baik daripada kultur tunggal. Jumlah biomassa sel dan aktifitas enzim-enzim selulase lebih tinggi pada biakan campuran T. reesei dan A. niger dengan substrat bagas tebu (Correa et al. 1999). Demikian juga halnya dengan laju pertumbuhan kapang T. reesei dan A. wentii lebih baik pada biakan campuran daripada biakan terpisah (Panda et al. 1989). Viesturs et al. (1980) dalam Moo-Young (1983), memperoleh kadar 18% protein murni pada jerami gandum yang difermentasi oleh T.liqnorum dan Candida lipolytica selama 5 hari pada suhu inkubasi 30oC, sedangkan T. liqnarum sendiri hanya menghasilkan 11%. Penelitian lain oleh Saha (1991)
16 menggunakan kultur campuran A.niger dan S.cereviciae pada substrat kentang menghasilkan etanol yang lebih tinggi. Mishra et al. (2004) melaporkan, pada pengolahan air limbah industri kentang, biomassa sel biakan campuran A.foetidus dan A. niger lebih tinggi dibanding pada masing-masing kultur tunggal.
Sumber Nutrien pada Ternak Ruminansia Kelompok ternak ruminansia memiliki keunikan dalam hal pemanfaatan sumber-sumber pakan yang sangat beragam secara kualitas. Proses pencernaan fermentatif yang terjadi di dalam lambung depan dan dengan kapasitas yang sangat besar sangat menguntungkan ternak ini karena : (1) pakan dapat diubah dan tersedia dalam bentuk produk fermentasi yang mudah diserap, (2) ternak ruminansia menjadi mampu memanfaatkan pakan serat dalam jumlah lebih banyak dan lebih efisien. Kebutuhan nutrien pada ternak ruminansia dipenuhi dari 3 sumber, yakni : nutrien hasil fermentasi rumen, nutrien pakan yang lolos degradasi rumen, serta dari mikroba rumen yang masuk usus halus dan mengalami pencernaan. Ternak yang mendapat ransum dengan bahan utama pakan serat berkualitas rendah, pemenuhan kebutuhan nutrien diharapkan berasal dari mikroba rumen dan produk fermentasi seperti asam lemak volatil (VFA) ( Sutardi 1995). Oleh karena itu ternak yang mendapat ransum pakan serat berkualitas rendah, salah satu aspek penting yang perlu ditingkatkan adalah pertumbuhan mikroba. Untuk pertumbuhan mikroba yang optimal, semua nutrien prekursor seperti energi, nitrogen, asam-asam amino, mineral dan vitamin harus tersedia dalam konsentrasi yang optimum di dalam rumen. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Huber dan Kung (1981) bahwa efisiensi fermentasi dan sintesis protein mikroba rumen dapat dimaksimumkan bila semua nutrien prekursor tersedia dalam jumlah yang cukup. Hal ini bermakna suplementasi suatu nutrien harus diselaraskan dengan ketersediaan nutrien lainnya. Laju pertumbuhan mikroba rumen sangat tergantung pada ketersediaan karbohidrat dan nitrogen. Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu produksi protein mikroba rumen karena disamping sebagai sumber kerangka karbon juga merupakan sumber energi. Produk fermentasi pencernaan
17 karbohidrat oleh mikroba rumen yakni VFA merupakan sumber energi utama bagi ruminansia. Kadar VFA antara 8 –16 Mmol/100 ml cairan rumen telah mencukupi kebutuhan sintesis protein mikrob rumen yang optimal (Sutardi 1995). Kandungan nitrogen, baik yang bersumber dari nitrogen bukan protein (NPN) maupun protein murni, juga sangat berguna untuk merangsang pertumbuhan mikroba. Konsentasi NH3 rumen sebesar 5 mg% atau 3,57 mM cukup untuk pertumbuhan mikroba (Satter dan Roffler 1976).
Metabolisme Protein pada Ruminansia Laju pertumbuhan mikroba rumen sangat tergantung kepada ketersediaan karbohidrat dan sumber nitrogen yang tersedia dalam rumen. Laju pencernaan unsur-unsur tersebut merupakan faktor penentu produksi protein mikroba. Menurut Sutardi (1979), protein pakan di dalam rumen akan mengalami hidrolisis menjadi asam-asam amino dan oligopeptida. Selanjutnya asam amino akan mengalami katabolisme dan menghasilkan amonia, VFA dan CO2. Proses proteolisis oleh mikrob rumen menghasilkan peptida dan asam amino (Nolan 1993) yang bisa digunakan oleh sebagian mikrob rumen untuk pertumbuhannya (Wallace dan Cotta 1988). Oleh karena tidak semua peptida dan asam amino yang terbentuk dalam rumen digunakan oleh mikroba, sebagian akan mengalir ke usus halus. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Russel et al. (1992) bahwa pemberian ransum yang berkualitas tinggi pada sapi perah, 30% dari NAN (Non Amonia Nitrogen) yang masuk ke dalam usus halus dalam bentuk peptida dan asam amino. Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikrob rumen. Jika pakan defisiensi protein atau proteinnya tahan degradasi, konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikrob rumen menjadi lambat sehingga menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonalld et al. 1988). Bila kecepatan degradasi melebihi kecepatan sintesis protein mikrob akan terjadi akumulasi NH3 dalam rumen. Amonia yang berlebihan akan diserap oleh dinding rumen masuk ke dalam aliran darah, sebagian akan difiltrasi oleh ginjal dan dikeluarkan melalui urine dan sebagian lagi masuk ke rumen melalui dinding rumen dan saliva, yang kemudian
18 akan menjadi sumber nitrogen lagi pada sintesis protein mikrob (Preston and Leng 1987, Tillman et al. 1988, Preston and Leng 1987, Nolan 1993 ).
Protein pakan
Protein endogen
RUMEN Asam amino
NH3 diabsorbsi
Tak terdegradasi
Protein mikrob
Protein pakan
Protein endogen
Protein mikrob
USUS HALUS Asam amino
diabsorbsi
Protein tak tercerna Protein endogen NH3 diabsorbsi Protein mikrob SEKUM
feses
Gambar 2 Metabolisme protein pada ruminansia (Kempton et al. 1978)
19 Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi sintesis asam amino pada mikroorganisme rumen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nutrisi protein ternak ruminansia sangat tergantung kepada proses sintesis protein mikrob rumen. Protein mikrob rumen mempunyai kualitas yang sangat baik, dan menurut Sniffen dan Robinson (1987) bahwa sumbangan protein asal mikrob rumen terhadap kebutuhan asam amino ternak ruminansia mencapai 40–80% dan fraksi nitrogen total asam-asam amino (TAAN= total amino acids nitrogen) yang masuk usus sebagian besar berasal dari protein mikrob rumen. Artinya bahwa keberhasilan memacu pertumbuhan mikrob rumen akan sangat besar pengaruhnya terhadap terpenuhinya kebutuhan asam amino ternak inang. Kebutuhan asam amino ternak ruminansia dipenuhi dari protein pakan yang lolos degradasi dalam rumen kemudian mengalami pencernaan dan diserap dalam usus. Selain itu juga berasal dari protein mikrob rumen yang tercerna dan terserap dalam usus, serta berasal dari cadangan protein tubuh (protein endogenous). Menurut Buttery (1976) jumlah protein pakan yang mengalami degradasi dalam rumen cukup banyak dan laju degradasi tergantung kepada kelarutan protein dan laju aliran digesta. Variasi derajat ketahanan protein terhadap degradasi mikrob rumen sangat besar yakni antara 12-90%.
Metabolisme Karbohidrat pada Ruminansia Karbohidrat merupakan komponen utama dalam ransum ruminansia yakni mencapai 60 – 75% dari total bahan kering ransum dimana dalam makanan kasar (hijauan) sebagian besar terdapat dalam bentuk selulosa dan hemiselulosa, sedangkan dalam konsentrat umumnya terdapat dalam bentuk pati (Sutardi 1979). Senada dengan pernyataan tersebut Russel dan Hespel (1981) menyatakan bahwa pakan ternak ruminansia sebagian besar berupa polimer kompleks seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, pati dan lain-lain sehingga menyebabkan jenis pakan ruminansia memiliki nilai kelarutan yang rendah. Proses metabolisme yang terjadi dalam retikulorumen sangat kompleks. Partikel pakan yang terutama berupa polimer karbohidrat, mengalami degradasi (hidrolisis) menjadi bentuk monomer. Bentuk monomer tersebut oleh mikroba
20 rumen difermentasi menjadi piruvat melalui lintasan Embden Meyerhoff dan lintasan pentosa fosfat. Piruvat adalah bentuk produk intermedier yang
akan
segera dimetabolis untuk membentuk produk utama pencernaan fermentatif dalam rumen, yaitu asam lemak rantai pendek (short chain fatty acids) atau lebih dikenal sebagai asam lemak terbang (volatile fatty acids = VFA) (France dan Siddons 1993). Karbohidrat dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan yaitu pencernaan oleh enzim ekstraseluler dan intraseluler mikrob. Tahap pencernaan oleh enzim ekstraseluler, karbohidrat yang masuk rumen difermentasi menjadi monomer berupa oligosakarida, disakarida dan gula sederhana. Tahap kedua, monomer difermentasi lebih lanjut oleh enzim intraseluler membentuk piruvat melalui jalur Embden Meyerhoff dan pentosa fosfat (Baldwin dan Allison 1983, France dan Siddons 1993). Piruvat merupakan produk intermedier akan dimetabolisasi menjadi VFA. Perubahan asam piruvat menjadi VFA melalui beberapa lintasan. Oksidasi asam piruvat menjadi asam asetat dan butirat terjadi melalui lintasan asetil-KoA, untuk pembentukan asam propionat ada dua lintasan yaitu lintasan suksinat dan laktat atau akrilat (Baldwin dan Allison 1983, France dan Siddons 1993). Proses fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan energi dalam bentuk VFA mencapai 80% dan 20% merupakan energi yang terbuang dalam bentuk gas CO2, CH4 dan energi dalam bentuk ATP (France dan Siddons 1993). Energi dalam bentuk ATP hanya 6.2% dari total energi yang hilang. Hanya energi dalam bentuk ATP ini yang digunakan oleh mikrob rumen untuk pertumbuhannya sedangkan VFA merupakan produk sampingan dari aktifitas mikrob rumen (Hvelpund 1991). Menurut Clark dan Davis (1983) dalam Erwanto (1995), pada kondisi pola produksi VFA utama dalam cairan rumen 65% asetat, 25% propionat dan 10% butirat, maka energi yang berasal dari pakan (heksosa) yang muncul dalam bentuk VFA mencapai 75%, sisanya berupa gas metan 12.4%, sebagai panas fermentasi 6.4% dan sekitar 6.2% dimanfaatkan oleh mikroba rumen sebagai sumber energi dalam bentuk ATP. Hal tersebut menurut Sutardi (1995) mencerminkan bahwa mikroba rumen memproduksi VFA bukan untuk kepentingannya melainkan sebagai proses electron sink dalam menjaga potensial
21 redoks dalam rumen, sehingga tetap berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan dan perkembangan mikrob rumen sendiri. Laju pertumbuhan mikrob rumen sangat tergantung kepada ketersediaan karbohidrat. Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu produksi protein mikroba rumen. Selain sebagai sumber kerangka karbon, karbohidrat adalah sumber energi bagi mikrob rumen dalam bentuk ATP (Adenosine Tryphosphate) (Sutardi 1979).
Selanjutnya menurut
Russel dan
Wallace (1988) bahwa pertumbuhan mikrob rumen proporsional terhadap jumlah ATP yang dihasilkan dari katabolisme energi. Maksimum sintesis sel mikrob yang dihasilkan dalam rumen mendekati 25 gram per mol ATP. Selulosa
Pati
Hemiselulosa
Pektin
Pentosa Heksosasa LINTASAN EMBDEN MEYERHOFF
LINTASAN PENTOSA
Piruvat Format Asetil Ko-A CO2 + H2O
LINTASAN AKRILAT
LINTASAN SUKSINAT Metan
Asetat
Butirat
Propionat
Gambar 3 Metabolisme karbohidrat pada ruminansia (France and Siddons 1993)
22 Asam lemak terbang rumen terdiri dari asam asetat (CH3COOH), asam propionat (CH3CH2COOH), asam butirat (CH3(CH2)2COOH), asam valerat (CH3(CH2)3COOH) dan asam-asam lemak rantai cabang (asam iso-butirat, asam 2-metilbutiat dan isovalerat). Asam-asam lemak rantai cabang berasal dari katabolisme protein. Gas produk fermentasi meliputi gas CO2, CH4 dan H2 akan dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Sutardi 1979). Ternak kambing memproduksi gas CO2 sekitar 90 liter dan gas CH4 sekitar 30 liter per hari (Czerkawski 1986).
Ternak Kambing Kacang Kambing kacang adalah kambing lokal yang banyak terdapat di Indonesia, termasuk tipe daging dengan bobot badan dewasa jantan sekitar 25 kg dan betina 20 kg. Kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan dan pakan sangat baik, serta lebih efisien dalam menggunakan pakan menjadikan ternak ini sangat digemari untuk diternakkan (Devendra dan Burns 1994). Selain merumput, kambing juga memakan berbagai jenis hijauan sehingga membedakannya dengan sapi maupun domba. Kambing juga mampu merumput di padang dengan rumput yang terlalu pendek bagi ternak sapi dan di tempat-tempat yang kurang tersedia pakan atau hijauan berkualitas baik bahkan mengkonsumsi serat kasar yang tidak dapat dicerna oleh domba (Devendra dan Burns 1994). Konsumsi bahan kering ternak kambing relatif lebih banyak untuk ukuran tubuhnya yakni 5 – 7% dari bobot badan, juga lebih efisien dalam mencerna pakan yang mengandung serat kasar dibanding sapi dan domba (Luginbuhl dan Poore 2005). Konsumsi bahan kering kambing pedaging daerah tropis beragam antara 1.8 – 3.8% bobot badan, atau setara dengan konsumsi bahan kering 40.5 – 127.3 g/kg bobot badan0.75. Konsumsi bahan kering juga dipengaruhi oleh pemberian hijauan saja atau bersama dengan konsentrat, oleh karena penambahan konsentrat protein tinggi pada hijauan rendah protein berpengaruh terhadap konsumsi. Konsumsi bahan kering kambing kacang yang hanya diberi hijauan berkisar antara 1.4 – 1.7% bobot badan atau setara dengan 43.5 – 46.9g/kg bobot badan , sedangkan bila ditambah konsentrat maka konsumsi dapat mencapai 2.5% bobot badan atau 63.4 g/kg bobot badan0.75 (Devendra dan Burns 1994).
23 Menurut NRC (1981), konsumsi bahan kering ternak kambing berkisar antara 2 – 3%, sedangkan menurut Peterson (2005) adalah 3.5 – 5.0% namun pada umumnya antara
3.0 – 3.8% bobot badan.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan dari Pebruari 2006 sampai dengan Januari 2008, yang terdiri dari serangkaian percobaan: (I) optimasi proses fermentasi putak oleh T.reesei dan A.niger, (II) fermentasi kultur campuran T.reesei dan A.niger dalam putak sebagai substrat, (III) respon ternak kambing jantan lokal terhadap pemberian putak fermentasi. Pelaksanaan percobaan I dan II adalah uji in vitro dilaksanakan di Laboratorium Biotek Politeknik Pertanian Negeri Kupang dan Balitnak Ciawi Bogor sedangkan percobaan III yaitu uji in vivo dilaksanakan di peternakan rakyat di kelurahan Lasiana, Kecamatan Lasiana, Kota Kupang, dengan menggunakan 20 ekor ternak kambing jantan lokal. Putak diperoleh dari penjual putak di Desa NoElbaki Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang. Semua bahan pakan yang digunakan seperti jerami padi, dedak padi, jagung kuning, bungkil kelapa adalah bahan lokal yang diperoleh dari pasar tradisional setempat, sedangkan daun gamal diambil dari sekitar lokasi peternakan tempat percobaan dilaksanakan selama musim hujan dan dikeringkan.
Penyiapan Proses Fermentasi a. Penyiapan Putak Putak yang digunakan adalah dalam bentuk cacahan berukuran ±1,0x1,5 cm, setelah dicacah dijemur matahari selama 3 hari agar tidak berjamur. Putak kering ini selanjutnya digunakan dalam pembuatan putak fermentasi. b.Penyiapan Larutan Inokulum Kultur murni T. reesei strain FNCC 6012 dan A. niger strain FNCC 6041 diperoleh dari Laboratorium Pangan dan Gizi PAU UGM Yogyakarta. Selanjutnya dilakukan penyegaran dengan cara dipelihara pada PDA (potato dextrose agar) miring selama 7 hari, kemudian spora dipanen dengan cara menambahkan 9 ml aquades steril dan disentrifus pada kecepatan 1500 rpm selama 15 menit, supernatan digunakan dalam pembuatan bubuk inokulum.
25
Gambar 5 Proses penyiapan putak dari batang pohon gewang hingga menjadi putak cacah c.Pembuatan Bubuk Inokulum.
Sebanyak 100 g putak direndam dalam air selama 30 menit kemudian ditiriskan, dimasukkan kedalam plastik tahan panas. Sebanyak 2 g mineral KH2PO4, 4.62 g (NH4)2SO4 dan 3.15 g Urea dicampur air menjadi 100 ml kemudian dimasukkan kedalam plastik berisi putak, selanjutnya disterilisasi dalam autoclave pada tekanan 1 Atm selama 30 menit. Setelah dingin diletakkan dalam baki plastik steril, kemudian dicampurkan 9 ml larutan inokulum dan diinkubasi pada suhu kamar selama 5 hari, selanjutnya dikeringkan dalam oven dengan suhu 40oC selama 3 hari, kemudian digiling untuk digunakan sebagai kultur. Hasil propagasi diperoleh jumlah koloni (cfu) per gram kultur masing-masing untuk T.reesei adalah 1.98x105 dan A.niger 2.4x107 cfu/g.
26
Kultur T. reesei
Kultur A. niger
Gambar 6 Kultur hasil pembiakan pada substrat putak
Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh Trichoderma reesei dan Aspergillus niger Untuk mengkaji kemampuan masing-masing kapang secara kultur tunggal dalam memperbaiki kualitas substrat, maka percobaan dilaksanakan dengan membandingkan beberapa level inokulan dan lama waktu fermentasi dalam meningkatkan nilai nutrien putak yang paling optimum. Oleh karena itu pada T. reesei dicobakan 9 kombinasi yakni 3 level kultur T1 , T2 dan T3 yaitu 5, 7.5 dan 10% (b/b), sedangkan untuk A.niger terdapat 12 kombinasi yaitu empat (4) kombinasi level kultur A1, A2, A3 dan A4 yakni : 0.5, 1.0, 1.5 dan 2% (b/b) masing-masing dengan tiga lama inkubasi W2, W3 dan W4 yaitu 2, 3 dan 4 hari. Penyiapan putak dan larutan mineral sama seperti pada pembuatan bubuk inokulum. Putak yang telah dicampur larutan mineral dikukus selama 30 menit. Setelah dingin diletakkan dalam baki steril dan dicampur bubuk kultur sesuai perlakuan, diaduk hingga rata kemudian ditutup dan diinkubasi sesuai lama waktu perlakuan. Produk hasil fermentasi, selanjutnya dikukus selama 15 menit untuk menghentikan proses fermentasi kemudian dikeringkan untuk dianalisa komposisi nutrien melalui analisa Proksimat. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 3X3 pada T.reesei dan 4X3 pada A.niger dengan masing-masing 3 kali ulangan. Faktor A adalah level inokulan dan faktor B adalah lama waktu inkubasi.
27 Peubah yang dikaji adalah kadar komposisi nutrien substrat (Proksimat) dan protein murni
Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger dalam Putak sebagai Substrat Percobaan bertujuan mengkaji kemampuan mikroba secara bersama-sama untuk meningkatkan kualitas putak. Salah satu faktor yang menentukan dalam fermentasi campuran adalah waktu pencampuran, karena masing-masing mikrob mempunyai kemampuan fisiologis yang berbeda. Berdasarkan pengamatan pertumbuhan T.reesei dan A.niger secara tunggal serta hasil terbaik yang diperoleh pada percobaan I, maka ditentukan lama waktu penundaan pencampuran kedua kapang pada kultur campuran adalah 0, 1 dan 2 hari. Penundaan pencampuran 0 hari (D0), adalah bila kultur T.reesei dan A.niger dinokulasikan pada waktu yang bersamaan; penundaan pencampuran 1 hari (D1) bila inokulasi kultur A.niger dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 1 hari; dan penundaan pencampuran 2 hari (D2) bila inokulasi dengan kultur A.niger dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari. Percobaan dirancang dengan RAL dengan 12 kombinasi perlakuan dan 3 ulangan, masing-masing untuk
D0, D1 dan D2. Pengukuran peubah dilakukan
melalui analisis Proksimat untuk komposisi nutrien putak fermentasi, protein murni, serta fermentabilitas in vitro VFA, NH3, KcBK, KcBO. Percobaan III Respon Pertumbuhan Kambing Jantan Lokal terhadap Pemberian Putak Fermentasi Tujuan percobaan adalah memperoleh tingkat penggunaan putak hasil fermentasi campuran (hasil terbaik percobaan 2) dalam konsentrat yang dapat menunjang
pertumbuhan optimum ternak kambing yang diberi jerami padi
sebagai hijauan tunggal. Ternak yang digunakan adalah 20 ekor kambing kacang (lokal) jantan periode pertumbuhan berumur antara 7 – 10 bulan. Semua petak kandang yang digunakan dilengkapi dengan harness untuk koleksi feses dan urin. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan
28 4 ulangan. Perlakuan terdiri dari 5 macam ransum dengan tingkat penggunaan putak fermentasi (PF) yang berbeda yaitu, R0, R1, R2, R3 dan R4. Sebelum pelaksanaan penelitian semua ternak diberi obat cacing dan vitamin. Ransum perlakuan terdiri dari : R0 R1 R2 R3 R4
= jerami padi + konsentrat yang mengandung 10% putak tanpa olah = jerami padi + konsentrat yang mengandung 10% putak fermentasi = jerami padi + konsentrat yang mengandung 20% putak fermentasi = jerami padi + konsentrat yang mengandung 30% putak fermentasi = jerami padi + konsentrat yang mengandung 40% putak fermentasi
Percobaan berlangsung selama 12 minggu yang terdiri dari dua minggu pra penelitian (preliminary period) dan 10 minggu pengumpulan data (collecting period). Pemberian ransum berdasarkan kebutuhan bahan kering ternak yaitu 3% bobot badan. Konsentrat disusun isoenergi–protein yakni protein 17% dan TDN 75% dengan ratio pemberian hijauan dan konsentrat 40 % : 60 %, hijauan adalah jerami padi sedangkan konsentrat adalah campuran jagung, dedak halus, bungkil kelapa, tepung daun gamal serta putak terfermentasi sesuai perlakuan. Komposisi bahan pakan konsentrat perlakuan hasil perhitungan disajikan pada Tabel 1 sedangkan kandungan nutrien hasil analisis proksimat disajikan pada Tabel 2. Perubahan konsumsi pakan diamati secara berkala dari perubahan bobot badan melalui penimbangan pada setiap minggu. Jerami padi dan air minum diberikan secara ad libitum. Konsentrat diberikan sebanyak 60% dari kebutuhan BK yakni 3% bobot badan. Peubah yang diamati adalah pertambahan bobot badan harian, efisiensi penggunaan ransum, konsumsi dan kecernaan nutrien serta retensi nitrogen.
Pembuatan Putak Fermentasi Untuk pembuatan putak fermentasi dalam jumlah banyak yang akan digunakan sebagai bahan campuran konsentrat, dilakukan prosedur yang sama dengan tahap sebelumnya. Satu kilogram putak ditambah 1000 ml larutan nutrien (ammoniumsulfat, kaliumphosphat dan urea), dikukus 30 menit, setelah dingin dimasukkan baki plastik dicampur kultur T. reesei sebanyak 75g dengan ketebalan
29 media 4 cm, kemudian diinkubasi selama dua (2) hari, pada hari ketiga dicampur lagi dengan 15 g kultur A. niger selanjutnya diinkubasi lagi selama 2 hari. Setelah masa inkubasi selesai putak fermentasi dikukus 15 menit untuk menghentikan proses fermentasi selanjutnya dijemur matahari selama 2 hari kemudian digiling untuk dicampur dalam ransum. Tabel 1. Komposisi bahan makanan konsentrat percobaan Bahan (%) Dedak padi Jagung kuning Putak tanpa olah Putak fermentasi Daun gamal kering Bungkil kelapa Jumlah Vitamin
R0 15.19 17 10 0 16.16 41.66 100 2
R1 36.44 14 0 10 6.45 33.11 100 2
R2 41.97 11 0 20 4.45 22.57 100 2
R3 47.51 8 0 30 2.45 12.04 100 2
R4 53.04 5 0 40 0.46 1.5 100 2
Tabel 2 Komposisi nutrien konsentrat percobaan Nutrien (%) Bahan kering Bahan organik Protein Lemak Serat kasar Abu Energi (kkal) Bahan Kering Protein kasar TDN
R0 88.76 81.35 17.38 11.24 8.67 7.41 4228 88.7 17 75
R1 88.84 80.43 17.73 11.16 9.28 8.41 4041 88.4 17 75
R2 89.74 81.05 17.21 10.26 9.08 8.69 4043 89 17 75
R3 88.12 81.47 17.11 9.88 8.81 8.65 3847 89.5 17 75
R4 89.45 82.74 17.05 8.55 9.61 8.71 3601 90 17 75
Pengukuran Peubah
Fermentasi in vitro Teknik fermentasi in vitro yang digunakan adalah metode batch culture (GLP 1966). Sebanyak 3 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 24 ml cairan inokulum dari rumen kambing dengan menggunakan stomach tube dan 36 ml larutan penyangga McDougall lalu dikocok yang sebelumnya dijenuhkan dengan CO2 agar pH berkisar antara 6.8 - 6.9. Sebelum difermentasi isi fermentor juga dialiri CO2 agar terjadi suasana anaerob dan kemudian fermentor ditutup rapat dengan tutup karet berventilasi. Selanjutnya diinkubasi dalam shaker bath pada temperatur 40oC. Proses fermentasi dihentikan
30 dengan menggunaan 0.2 ml HgCl2 jenuh, kemudian sampel cairan rumen tersebut diambil untuk dianalisis konsentrasi VFA dan NH3. Pengukuran Asam Lemak Terbang (VFA) Total Penentuan kadar VFA dengan cara penyulingan sesuai General Laboratory Procedure (1966). Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung khusus dan ditambahkan 1 ml H2SO4 15% lalu ditutup. Tabung dihubungkan dengan labu pendingin tegak dan labu yang berisi air dan dipanaskan. Hasil distilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N. Proses distilasi berakhir bila distilat yang ditampung mencapai volume 300 ml, kemudian ditambahkan 1 – 2 tetes indikator penopthalien dan dititer dengan HCl 0.5 N hingga warnanya berubah dari merah jambu menjadi bening. VFA Total dihitung dengan rumus : VFA = { ( a – b ) x N HCl x 1000/5 mM } Dimana : a = ml HCl yang diperlukan untuk titrasi blanko ( 5 ml NaOH) b = ml HCl yang diperlukan unutk titrasi hasil distilasi Pengukuran VFA partial ditentukan dengan metode gas kromatografi.
Pengukuran VFA Partial Analisis konsentrasi VFA individual dengan menggunakan teknik kromatografi gas. Cairan rumen diambil dengan stomach tube segera disentrifuse pada kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4oC kemudian diambil supernatannya. Sebanyak 2 ml supernatan dipipet ke dalam tabung plastik kecil yang tertutup. Selanjtnya ke dalam tabung tersebut ditambahkan sebanyak 30 mg 5-sulphosalicylic
acid
(C6H3(OH)SO3H2H2O)
lalu
dikocok,
selanjutnya
disentrifus 3000 rpm selama 10 menit pada suhu 4oC lalu disaring dengan milipori untuk memperoleh cairan jernih. Cairan ini kemudian diinjeksi sebanyak 1 ml ke gas kromatograph. Sebelum injeksi terlebih dahulu diinjeksikan larutan standar VFA. Kondisi alat : kolom (packing 10% sp-1200/1% H3PO4, 80/100 mesh Chromosorb WAW) suhu 105oC, suhu injector 160oC, suhu detector (FID) 200oC,
31 kecepatan grafik 0,5 cm/menit, laju aliran gas N2 30ml/menit, laju aliran gas H2 30 ml/menit dan laju aliran gas O2 300 ml/menit. Perhitungan konsentrasi VFA sample menggunakan rumus : C (cM) = Tinggi sampel / tinggi standar x konsentrasi standar
Pengukuran Kadar N-NH3 Kadar N-NH3 ditentukan dengan teknik Mikro Difusi Conway (General Laboratory Procedure 1966). Cairan rumen diambil dengan stomach tube, masukkan dalam termos. Timbang 1 g sampel, masukan dalam tabung fermentasi (dibuat duplo), tambahkan larutan McDougall 12 ml (suhu 39oC, pH 6.6 – 6.8) selanjutnya tambahkan 8 ml cairan rumen lalu aliri gas CO2 selama 30 detik, ditutup dengan penutup karet berventilasi, kemudian tabung dimasukkan dalam waterbath bersuhu 39 – 40oC, fermentasi selama 1 jam. Setelah itu penutup tabung dibuka, ditambahkan HgCl2 dan disentrifus pada kecepatan 10 000 rpm. Sebanyak 1 ml supernatan diletakkan pada salah satu sekat cawan Conway dan 1 ml Na2CO3 jenuh pada sekat yang lainnya. Pada cawan kecil bagian tengah diisi asam borat (HBO3) berindikator merah methil, mulut cawan diolesi vaselin dan ditutup selanjutnya digoyang-goyang agar kedua cairan bercampur, biarkan pada suhu kamar selama 24 jam. Selanjutnya amonia yang terikat asam borat dititrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai titik awal perubahan warna biru menjadi kemerah-merahan. Kadar
N-NH3 dihitung dengan rumus :
N-NH3 = ( ml titrasi x N H2SO4 x 1000) mM Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Organik (KcBO) Kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro dilakukan dengan metode Tilley and Terry (1966). Sebanyak 1 g sample dimasukkan dalam tabung fermentor, ditambah dengan saliva buatan (larutan McDougall) 12 ml pada suhu 39oC dan pH 6.5 – 6.9 dan cairan rumen 8 ml, diinkubasikan secara anaerob selama 24 jam dalam shakerbath. Setelah itu tutup tabung dibuka dan ditambahkan 0.2 ml HgCL2 jenuh untuk membunuh mikroba. Tabung kemudian disentrifus pada kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan endapan ditambahkan 20 ml larutan pepsin 0.2 % dalam suasana asam.
32 Inkubasikan dalam suasana anaerob selama 24 jam. Endapan disaring dengan kertas saring no. 41. Analisis kadar bahan kering dan organiknya dengan analisis proksimat (AOAC 1980). Sebagai blanko digunakan cairan rumen tanpa perlakuan.
Koefisien Cerna dihitung dengan rumus : BK awal – (BK residu – BK blanko) KcBK = ------------------------------------------------- x 100 BK awal BO awal – (BO residu – BO blanko) KcBO = ------------------------------------------------ x 100 BO awal
Protein Murni Nilai protein murni dianalisis dengan metode yang dimodifikasi dari metode Kjeldahl. Untuk mengetahui nilai protein murni dilakukan 2 macam analisis nitrogen, yaitu: kandungan nitrogen total (Kjeldahl) dan kandungan nitrogen terlarut, yaitu menentukan kandungan nitrogen yang terlarut dalam air, untuk mengetahui “nitrogen non-protein” yang mungkin berasal dari nitrogen anorganik yang tidak dimanfaatkan selama proses fermentasi. Protein sejati (murni) diperoleh dengan cara mengurangi protein kasar dengan protein terlarut.
Percobaan in vivo
Konsumsi Ransum dan Pertambahan Bobot Badan Harian Konsumsi ransum diketahui dengan mengurangi jumlah pemberian dan sisa setiap hari, dan pertambahan bobot badan adalah selisih bobot minggu penimbangam dengan minggu sebelumnya. Penimbangan dilakukan tiap minggu.
Konsumsi Nutrien Konsumsi nutrien diperoleh dengan menimbang pakan yang diberikan dikalikan dengan kandungan nutrien (BK, BO, PK) kemudian dikurangi sisa pakan dikalikan dengan kandungan nutrien sisa pakan tersebut.
33 Kecernaan Nutrien Kecernaan ditentukan dengan mengurangi nutrien yang dikonsumsi dengan yang terdapat dalam feses dengan analisa proksimat, sedang energi diukur dengan Bomb kalorimeter. Feses dikoleksi total selama 24 jam selama 10 hari, diambil 5% sampel, dikeringkan dan dikomposit untuk analisis nutrien. Kecernaan ransum/nutrisi ( metode koleksi total) KC = I – F / I x 100% Dimana : Nutrien = BO, BK, Protein kasar, lemak kasar serat kasar I = Jumlah nutrien yang dikonsumsi F = Jumlah nutrien yang terbuang dalam feses Analisis Data Semua data yang diperoleh diolah dan dianalisa keragaman
menggunakan
ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan’s Multiple Random Tests = DMRT) menurut petunjuk Gasperz (1991) serta Mattjik dan Sumertajaya (2006). Data dalam tabel disajikan dalam nilai rataan dan standar deviasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh Kapang Trichoderma reesei dan Aspergillus niger
Pengamatan Umum Proses Fermentasi Faktor lingkungan fisik seperti kadar air substrat, suhu ruang inkubasi, bentuk dan ukuran partikel substrat, keseimbangan dan ketersediaan nutrien serta konsentrasi inokulum, merupakan faktor yang berpengaruh terhadap fungsi fisik dan aktifitas fisiologis mikrob selama proses fermentasi media padat. Kadar air awal substrat adalah 75%, pada kadar air tersebut pertumbuhan kapang terlihat cukup baik, berarti kadar air tidak menjadi faktor penghambat aktifitas metabolisme kedua kapang. Hasil penelitian Sinurat et al. (1998) pada fermentasi lumpur sawit oleh A.niger, diperoleh adanya peningkatan protein sejati substrat lebih tinggi bila kadar air awal substrat 60% daripada 50%. Sedangkan menurut Yang et al. (1993), kadar air substrat pada awal fermentasi yang baik dalam menghasilkan protein tertinggi adalah lebih besar dari 68%. Suhu merupakan faktor lain yang ikut mempengaruhi efisiensi konversi substrat menjadi massa sel (protein). Suhu kamar inkubasi pada saat percobaan berlangsung berkisar 29 – 32oC dengan kelembaban udara 62 – 78%. Pengaruh suhu juga pernah dilaporkan Sinurat et al. (1998) pada penelitian dengan lumpur sawit dimana kadar protein sejati lebih tinggi pada suhu inkubasi 32oC dibanding 29oC. Suhu optimum pertumbuhan A.niger maupun T.reesei menurut Frazier dan Westhoff (1981) adalah antara 35 - 37 oC. Sifat porositas medium merupakan faktor yang penting dalam menunjang pertumbuhan mikrob yang diinokulasikan. Medium dengan porositas yang baik memungkinkan penetrasi udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan kapang dapat terjadi pada seluruh bagian medium. Porositas medium percobaan cukup baik karena di dukung oleh bentuk serta ukuran partikel medium. Cacahan putak berukuran ±1.0x1.5cm cukup ideal dalam mendukung porositas medium untuk terjadinya penetrasi oksigen yang dibutuhkan kapang guna merangsang proses metabolismenya. Moo-Young (1983) serta Tsao dan Chiang (1983) menyatakan bahwa aerasi sangat penting bagi pertumbuhan dan produksi enzim,
35
sebab oksigen dibutuhkan dalam metabolisme energi untuk menjamin biosintesa selulase, selanjutnya menurut Moo-Young (1983) bahwa tekanan O2 (pO2) yang tinggi dapat menstimulir produksi enzim amilase. Menurut Aunstrup et al. (1979) bahwa pertumbuhan mikrob dipengaruhi secara langsung oleh nutrien yang ada di dalam medium. Rasio karbon dan nitrogen yang sesuai sangat diperlukan dalam pertumbuhan kapang. Selanjutnya dikemukakan oleh Litchfield (1979) bahwa rasio C : N untuk pertumbuhan kapang adalah 20 : 1 akan tetapi rasio 5 : 1 hingga 15 : 1 paling sering digunakan Dikemukakan lebih lanjut oleh Moo-Young (1983) bahwa indikator penting regulasi nutrisional terhadap pertumbuhan kapang pada fermentasi substrat padat adalah ketersediaan unsur C dan N lebih penting daripada rasio. Artinya bahwa rasio C : N, 13:1, sebagaimana pada percobaan ini mampu mendukung kebutuhan pertumbuhan kapang yang diinokulasikan hingga hari ke tiga untuk A.niger dan hari ke empat untuk T.reesei. Laju pertumbuhan kapang A.niger dalam substrat cukup cepat terlihat dari waktu inkubasi satu hari, pada permukaan substrat telah nampak miselium putih, berarti kapang telah memasuki fase tumbuh eksponensial. Hari kedua inkubasi seluruh permukaan substrat telah tertutup miselium putih keabu-abuan serta mulai nampak adanya spora, dan pada hari ketiga spora berwarna hitam telah menutupi hampir seluruh permukaan substrat. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan maksimal dari A.niger pada substrat ini terjadi pada hari kedua, sama dengan pada substrat ampas sagu sebagaimana yang dilaporkan oleh Supriyati et al. (1995). Sebaliknya dengan T.reesei, pertumbuhannya lebih lambat karena pada hari kedua setelah inokulasi baru terlihat adanya miselium putih tipis, dan hari keempat mulai tumbuh spora yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau pada permukaan substrat. Jaelani (2007) melaporkan bahwa maksimal pertumbuhan jumlah koloni kapang T.reesei terjadi pada 60 jam setelah inokulasi. Hari ketiga inkubasi kapang pada A.niger dan empat hari pada T.reesei mungkin telah berada pada fase stasioner pertumbuhan. Kemungkinan tersebut didasarkan pada kadar protein terutama protein murni putak yang maksimum, disamping itu pertumbuhan spora juga telah menutupi permukaan substrat. Fase stasioner merupakan fase dimana jumlah kapang tidak bertambah akibat jumlah
36
kapang yang tumbuh sama dengan jumlah yang mati. Menurut Fardiaz (1988) bahwa fase stasioner terjadi karena nutrien dalam medium sudah sangat berkurang juga karena terjadi akumulasi metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan. Alexopolous et al. (1997) menyatakan bahwa awal pembentukan spora mengisyaratkan proses metabolisme kapang menjadi minimal serta produksi enzim juga mulai berhenti. Sporulasi merupakan respon kapang terhadap kondisi lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan yang dapat disebabkan oleh kekurangan nutrien, perubahan suhu, pH dan faktor lainnya. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa pada medium seperti putak, waktu inkubasi tiga hari merupakan waktu yang optimum bagi proses fermentasi oleh A.niger, dan empat hari pada T.reesei.
Kualitas Nutrien Putak Hasil Fermentasi oleh A.niger Hasil analisis proksimat substrat sebelum dan sesudah difermentasi dengan kapang A.niger disajikan pada Tabel 3. Secara keseluruhan, hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah kultur mempangaruhi lama inkubasi.
Gambar 7 Putak fermentasi A.niger umur 1 hari dan 3 hari
Protein Kasar Kadar protein kasar (PK) putak pada level kultur A3 (3.6 x 107 per gram) adalah 19.81% nyata lebih tinggi (P≤0.05) dibandingkan level A1 (1.2 x 107) dan A2 (2.4 x 107 ) masing-masing 16.36 dan 17.67% tetapi tidak beda dengan level A4 (4.8 x 107) yaitu 19.52% pada lama inkubasi yang sama maupun semua perlakuan lama inkubasi. Pada level kultur rendah lama inkubasi nyata mempengaruhi kadar protein substrat, karena masih terjadi kenaikan kadar protein
37
hingga inkubasi hari keempat dan nyata lebih tinggi dibanding dua dan tiga hari inkubasi. Hal ini mungkin disebabkan masa adaptasi yang lebih lama pada level kultur rendah seperti dikemukakan oleh Fardiaz (1988) bahwa jumlah awal sel yang semakin tinggi akan mempercepat masa adaptasi, disamping itu pemanfaatan nutrien yang tersedia dalam substrat juga rendah akibat kepadatan kultur yang longgar. Tabel 3 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh A. niger dengan level kultur dan lama inkubasi yang berbeda Level A.niger ( %) 2.4x107 cfu/g
Lama Inkubasi (hari) (W) 0
PK 14.17
PM 3.25
SK 9.70
BK 91.05
BO 84.11
0.5 (A1)
2 3 4
15.47a 16.36a 17.15a
7.86a 9.28a 9.92a
7.49a 10.79c 9.46a
93.56 b 93.68 c 92.19 b
87.23 b 87.0 b 85.52 d
1.0 (A2)
2 3 4
16.70 b 17.67b 18.18b
9.59b 10.67b 10.64a
8.91b 9.96a 9.39a
93.15 b 92.72 b 91.58 a
86.69 b 86.07 b 84.96 c
1.5 (A3)
2 3 4
17.47c 19.81c 19.73c
9.01b 12.53c 11.18a
11.85d 12.22d 10.00a
92.25 b 92.24 b 91.59 a
85.84 b 85.51 b 84.84 b
2.0 (A4)
2 3 4
18.78d 19.52c 19.16c
9.47b 10.69b 11.25b
9.55c 10.47c 10.52a
91.34 a 90.70 c 90.4 a
84.20 a 83.38 a 82.84 a
(A)
Kadar Nutrien Putak (% BK)
Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) antara lama inkubasi.
Level kultur A3 dengan lama inkubasi tiga hari (W3) menghasilkan protein kasar terbaik yakni 19.81% dari sebelumnya 2.53%. Oleh karena itu lama inkubasi dan level kultur ini (A3W3) merupakan perlakuan terbaik dalam memperbaiki kualitas (PK, PM dan SK) putak. Kandungan pati substrat yang cukup tinggi turut menunjang terjadinya konversi putak menjadi protein yang tercermin dari tingginya peningkatan protein putak. Pati mudah dimanfaatkan oleh kapang,
karena A. niger
merupakan jenis
kapang
yang
juga mampu
menghasilkan banyak macam enzim ekstraseluler, seperti α-amilase, selulase,
38
glukoamilase, α- dan β- glukosidase, sehingga terjadinya peningkatan protein kasar tersebut boleh jadi karena terkonversinya pati menjadi protein. Proses biokonversi pati sebagai sumber karbon serta adanya sumber nitrogen bukan protein (NBP) asal ammonium sulfat dan urea yang ditambahkan ke dalam media menyebabkan proses metabolisme kapang berjalan selaras dalam mendukung pertumbuhan kapang sehingga meningkatkan kandungan protein kasar substrat. Hasil tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kompiang et al. (1995) bahwa A.niger memproduksi enzim pendegradasi pati yang akan memecah pati menjadi glukosa yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon oleh kapang selama proses fermentasi. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Ginting (2000) dengan menggunakan khamir Saccharomyces cerevisiae pada substrat yang sama yakni 8.92% (dari 2.53%). Supriyati et al. (1993) melaporkan hasil penelitiannya menggunakan umbi ketela pohon kupas sebagai medium fermentasi oleh A.niger dengan kenaikan protein kasar dari 1.73% menjadi 18.44%. Selanjutnya hasil penelitian Biyatmoko (2002) pada ampas sagu juga meningkatkan protein kasar dari 5.19 menjadi 13.19% dengan lama inkubasi tiga hari. Penelitian
Gushairiyanto (2004) pada kulit
singkong yang difermentasi A.niger selama empat hari mengalami peningkatan kadar protein kasar dari 4.41 menjadi 15.81%. . Protein Murni Kadar protein murni (PM) pada level kultur A3 sebesar 12.53%, nyata berbeda (P≤0.05) dari level A1 ( 9.28%) dan A2 (10.67%) tetapi tidak berbeda (P>0.05) dengan level A4 (10.69). Artinya bahwa pada level tersebut jumlah kultur dan ketersediaan nutrien substrat berada pada level optimum bagi berlangsungnya proses metabolisme guna mendukung pertumbuhan kapang hingga pada hari ketiga inkubasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Fardiaz (1988), pertumbuhan adalah pertambahan jumlah massa sel atau organisme, selanjutnya dengan adanya kenaikan jumlah massa sel kapang akibat pertumbuhan akan meningkatkan kadar protein medium (Wang et al. 1979). Kadar PM yang dihasilkan menunjukkan peningkatan protein sesungguhnya yang dapat digunakan oleh ternak yang bukan berasal dari nitrogen bukan protein.
39
Lechninger (1991) menyatakan bahwa sumber N anorganik dimanfaatkan oleh mikrob dalam sintesis protein setelah terlebih dahulu diubah menjadi amonium dan karbondioksida oleh enzim ureasenya dan selanjutnya digunakan untuk membentuk asam amino. Kandungan pati putak yang tinggi serta adanya sumber nitrogen an organik asal amonium sulfat dan urea yang ditambahkan ke dalam substrat menyebabkan proses konversi pati menjadi protein sel berlangsung seimbang dalam meningkatkan kualitas putak. Sebagaimana dinyatakan oleh Wang et al. (1979) bahwa besarnya pemanfaatan sumber pati bagi sintesa protein dipengaruhi oleh beberapa proses yang berlangsung dalam sistem fermentasi itu sendiri, yaitu a), proses penguraian pati menjadi monomer sederhana; b), proses penguraian urea menjadi NH3 sebagai sumber nitrogen siap pakai; dan c), proses pembentukan protein melalui ikatan karbon-amonia (R-NH3). Ketiga proses diatas harus terjadi secara sinergi dan serentak agar diperoleh hasil yang maksimal. Peningkatan protein murni di atas lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Biyatmoko (2002) menggunakan kapang A.niger pada ampas sagu yang dapat meningkatkan protein murni dari 2.16% menjadi 9.55%. Demikian juga yang dilaporkan oleh Sinurat et al. (1998) dengan menggunakan lumpur sawit sebagai substrat menunjukkan pertumbuhan kapang dalam menghasilkan protein sejati terbaik (dari 10.44% menjadi 16.70%). Perbedaan tersebut mungkin disebabkan perbedaan jenis maupun kualitas substrat. Penggunaan bahan yang mengandung pati untuk menghasilkan protein sel tunggal merupakan pilihan, oleh karena pati lebih cepat dan mudah didegradasi dan dimanfaatkan oleh banyak kelompok mikrob (Valdivia et al. 1983) dimana kadar pati bahan berpengaruh terhadap kadar protein yang dihasilkan. . Bahan Kering Tabel 3 menunjukkan terjadi peningkatan kadar BK dan BO, hal ini mungkin dapat dijelaskan bahwa secara numerik ada peningkatan tetapi secara absolut terjadi penurunan kedua komponen tersebut, oleh karena saat percobaan tidak dilakukan penimbangan akhir terhadap sampel.
40
Bahan kering maupun bahan organik merupakan sumber nutrien bagi kapang dan penggunaannya sangat dipengaruhi oleh kemampuan metabolisme serta daya larut unsur nutrien tersebut. Kapang memanfaatkan nutrien yang tersedia dalam medium untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dimana molekul-molekul sederhana yang larut sekitar hifa dapat langsung dimanfaatkan, sedangkan komponen yang lebih kompleks seperti protein, selulosa, pati dan lain-lain harus didegradasi terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam sel (Rahman 1992). Peningkatan suhu medium selama proses fermentasi merupakan tanda adanya kegiatan metabolisme kapang yang ditumbuhkan dan hal ini terlihat dari banyaknya titik-titik air yang menempel pada dinding wadah. Meningkatnya suhu medium menyebabkan terjadinya penguapan air substrat dan selanjutnya mempengaruhi komposisi substrat secara keseluruhan.
Bahan Organik Kehilangan bahan organik pada proses fermentasi disebabkan bahan organik dirombak oleh enzim mikroba guna memenuhi kebutuhan energi bagi pertumbuhan kapang dan akan dihasilkan panas, air dan karbondioksida, akibatnya terjadi perubahan komposisi bahan. Data juga memperlihatkan bahwa level kultur dan lama inkubasi yang makin tinggi menyebabkan kehilangan BK dan BO juga makin banyak. Pada level kultur A4 dengan lama inkubasi W2, W3, dan W4, berturut-turut adalah 91.34, 90.70 dan 90.41% sedangkan pada level A1, 93.56, 93.68 dan 92.19%. Waktu inkubasi yang makin panjang akan memberi kesempatan kepada kapang untuk merombak BO yang tersedia dalam substrat.
Serat Kasar Perubahan kadar serat kasar sebelum dan sesudah difermentasi menunjukkan peningkatan khususnya pada level kultur terpilih (A3) yaitu 12.22% dari sebelumnya 9.7%, dan nyata (P≤0.05) lebih tinggi dari level rendah A1 (10.79%) atau A2 (9.96%) tetapi sama dengan A4 (10.47%). Hal ini dapat terjadi
41
karena pertumbuhan kapang ikut menyumbangkan serat kasar yang berasal dari miselium sehingga makin banyak massa sel makin tinggi kadar serat. Kadar serat substrat yang meningkatt merupakan indikasi adanya pertumbuhan kapang. Menurut Fardiaz (1988) bahwa kapang adalah organisme eukariotik yang tumbuh dengan cara perpanjangan hifa. Dikemukakan lebih lanjut oleh Gandjar et al. (2006) bahwa salah satu komponen penting dinding sel kapang adalah kitin dan kitosan. Dalam analisis proksimat komponen tersebut terhitung sebagai serat kasar. Dengan demikian akibat pertumbuhan akan meningkatkan serat dalam substrat. Selain itu perombakan media untuk memperoleh nutrien bagi pertumbuhan kapang menyebabkan terjadi perubahan komposisi media karena terjadi kehilangan komponen non serat selama proses inkubasi. Kehilangan tersebut menyebabkan komposisi medium secara kseluruhan ikut berubah. Meski demikian peningkatan serat kasar yang terjadi hanya kecil, kemungkinan karena serat kasar dalam substrat juga didegradasi oleh kapang mengingat A.niger merupakan mikrob selulolitik yang juga mampu mendegradasi serat meski pertumbuhannya sendiri menyumbangkan serat kasar ke dalam substrat. Meningkatnya serat kasar putak akibat fermentasi juga dilaporkan oleh Ginting (2000) yakni dari 12.01 menjadi 12.12%. Perbedaan ini mungkin sebagai akibat dari perbedaan jenis mikrob yang digunakan. Selanjutnya penelitian Biyatmoko (2002) menggunakan A.niger menyebabkan kadar serat ampas sagu meningkat dari 24.18% menjadi 25.95% setelah inkubasi tiga hari. Demikian juga penelitian Supriyati et al. (1995) pada ampas sagu terjadi peningkatan dari 18.48% menjadi 22.29%. Berbeda dengan hasil-hasil di atas, penelitian Suryahadi dan Amrullah (1989) menggunakan kapang A.niger dapat menurunkan kadar serat kasar onggok dari 14.24% menjadi 13.72%.
Kualitas Nutrien Putak Hasil Fermentasi oleh T.reesei
Protein Kasar Secara umum A.niger maupun T.reesei mempunyai kecenderungan yang sama dalam hal kemampuan memperbaiki kualitas substrat. Kadar protein kasar
42
putak pada level kultur T2 (1.485 x 106) dengan lama inkubasi empat hari (W4) sebesar 20.60%, nyata lebih tinggi (P≤0.05) dari level T1 (0.99 x 106) dan T3 (1.98 x106) masing-masing 17.40 dan 20.53%. Nilai tersebut lebih tinggi dari yang dilaporkan Suhartati et al. (2003) menggunakan T.reesei pada fermentasi pod coklat mampu meningkatkan kadar protein kasar dari 5.53% menjadi 6.5%, juga Jaelani (2007) pada fermentasi bungkil inti sawit dapat meningkatkan kadar protein kasar dari 16.5% menjadi 24.37%. Demikian halnya dengan Noviati (2002) yang menggunakan T.harzianum juga mampu meningkatkan protein kasar ampas tahu dari 24.57% menjadi 32.83% setelah diinkubasi enam hari. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan jenis dan komposisi substrat yang digunakan.
Gambar 8 Putak fermentasi T.reesei pada umur 2 hari (kiri) dan 4 hari (kanan)
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada level kultur rendah (T1) membutuhkan waktu inkubasi lebih lama daripada level tinggi, berarti pada kultur rendah membutuhkan fase adaptasi (lag) yang lebih lama. Dikemukakan oleh Fardiaz (1988) bahwa jumlah awal sel mempengaruhi kecepatan fase adaptasi. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi kultur awal yang tinggi memungkinkan pertumbuhan juga semakin besar. Pertumbuhan mikrob yang cepat juga turut meningkatkan kandungan protein substrat karena banyak terbentuk miselium.
43
Tabel 4 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh T.reesei dengan level kultur dan lama inkubasi yang berbeda Level T.reesei (%) 1.98x105 cfu/g T
Lama Inkubasi (hari) W 0
PK 14.17
PM 3.25
SK 9.70
BK 91.05
BO 84.11
5.0 (T1)
2 3 4
15.60a 16.45a 17.40a
4.95a 5.82a 7.32a
7.14a 8.32b 6.61a
95.22 b 95.62 b 94.61 c
90.62 c 90.54 a 87.95 c
7.5 (T2)
2 3 4
17.74b 19.52b 20.60b
7.83b 11.32c 13.25b
8.03b 8.60c 9.08b
93.60 a 92.77 a 92.63 b
88.87 b 86.25 a 85.78 b
10.0 (T3)
2 3 4
19.29c 20.44c 20.33b
10.60c 11.04c 12.09b
7.05a 7.93a 10.57c
93.86 a 92.87 a 90.79 a
87.49 a 86.17 a 83.26 a
Kadar Nutrien Putak (%BK)
Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan interaksi (P<0.05) antar perlakuan
nyata
Laju pertumbuhan kapang yang cepat tergambar dari terjadinya peningkatan kadar protein kasar medium. Pada level kultur rendah (T1), laju pertumbuhan kapang juga lambat yang ditandai oleh peningkatan kadar protein yang kecil dan masih terus bertambah hingga inkubasi hari ke-4. Akibat rendahnya kepadatan kultur dalam medium maka tingkat pemanfaatan nutrien yang tersedia juga melebihi kebutuhan sehingga pertumbuhan kapang masih terus terjadi hingga hari keempat inkubasi. Sebaliknya dengan perlakuan level T2 dan T3 dimana pertumbuhan terjadi lebih cepat, pemanfaatan sumber-sumber nutrien juga tinggi oleh karena itu lebih cepat mencapai fase stasioner yang mungkin disebabkan persediaan nutrien mulai berkurang serta terjadi akumulasi zat-zat metabolik yang dapat menghambat pertumbuhan. Kemampuan kapang T.reesei menghasilkan enzim selulolitik seperti Endo dan Ekso-glukanase (selobiohidrolase) memberikan keuntungan dalam hal produksi protein. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pakula et al. (2005) bahwa kapang mampu memproduksi enzim dalam jumlah yang tinggi, dan produksi ini setara dengan 40 g/l protein ekstraseluler. Selobiohidrolase I (CBHI) merupakan komponen enzim terbanyak yang diproduksikan dan menyumbang ke dalam substrat sekitar 60% dari total protein yang disekresikan. Artinya bahwa
44
disamping protein massa sel yang disumbangkan pada medium juga dihasilkan protein ekstraseluler dari enzim.
Protein Murni Peningkatan kandungan protein kasar sejalan dengan peningkatan protein murni. Hal tersebut disebabkan kapang dapat memanfaatkan sumber-sumber nutrien yang tersedia dalam substrat bagi pertumbuhannya. Dikemukakan oleh Rahman (1992) bahwa akibat pertumbuhan mikrob dalam substrat kadar protein substrat meningkat. Kadar PM terbaik 13.25%, diperoleh dari level kultur yang sama dengan protein kasar yakni T2 dan W4 dan nyata lebih tinggi bila dibanding T1W4 (7.32%) atau T3W4 (12.09%). Hal ini menunjukkan proses konversi pati menjadi protein sel kapang juga terjadi dengan baik pada T.reesei. Menurut Valdivia et al. (1983) bahwa penggunaan bahan berpati dalam menghasilkan protein sel tunggal merupakan pilihan yang tepat karena pati mudah digunakan oleh banyak mikrob. Proses sterilisasi medium dengan cara dikukus turut menunjang ketersediaan substrat sebagai sumber nutrien bagi mikrob yang ditumbuhkan. Sebagaimana dikemukakan oleh Isaac dan Jennings (1995) bahwa efisiensi penggunaan sumber karbon seperti karbohidrat dalam fermentasi dapat bertambah bila dilakukan pemanasan. Pemanasan dapat mengubah bentuk fisik bahan padat dan kering menjadi lebih lunak serta meningkatkan kadar air bahan. Disamping itu pemanasan juga mengakibatkan terjadi gelatinisasi terutama pada karbohidrat dan menyebabkan pati menjadi lebih mudah dihidrolisis sehingga proses pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan menjadi lebih baik.
Serat Kasar Fermentasi putak dengan T.reesei pada level terpilih (T2W4) menyebabkan penurunan kadar serat kasar substrat yakni 9.70% sebelum difermentasi menjadi 9.08% setelah difermentasi. Hal ini berbeda dengan kapang A.niger yang kadar serat kasar substrat lebih tinggi setelah difermentasikan. Secara keseluruhan kadar serat kasar hasil fermentasi dengan T.reesei lebih rendah daripada dengan A.niger.
45
Kenyataan ini menunjukkan kemampuan kapang dalam menghasilkan enzim selulase untuk mendegradasi komponen selulosa yang ada dalam medium. Enzim selobiohidrolase (C1 =CBH) yang dihasilkan kapang berfungsi untuk menghidrolisis selulosa yang ada dalam substrat. Fungsi utama enzim ini adalah mendegradasi
selulosa
menjadi
selobiosa.
Seperti
dikemukakan
bahwa
Trichoderma reesei merupakan kapang yang sangat potensil dalam menghasilkan enzim endo- dan ekso-glukanase (Panda et al. 1988, Pakula et al. 2000, Pakula et al. 2005) dan enzim ini akan mendegradasi selulosa menjadi selobiosa sebagai satu-satunya produk akhir hidrolisis (Tsao dan Chiang 1983, Juhasz et al. 2003), tetapi akumulasi selobiosa dalam medium dapat menghambat kerja enzim yang bersangkutan.
Bahan Kering dan Organik Kemampuan kapang memanfaatkan BK dan BO sebagai sumber nutrien sama dengan kapang sebelumnya. Kehilangan BK dan BO sangat tergantung pada jumlah kultur serta lama inkubasi. Hal ini dapat dipahami karena untuk pertumbuhannya kapang memerlukan nutrien dan nutrien tersebut ada dalam BO atau BK yang mana semakin tinggi volume kultur maka perombakan BO terutama juga makin banyak. Demikian juga dengan bertambahnya waktu inkubasi maka makin banyak kesempatan bagi kapang untuk mendegradasi unsur-unsur organik substrat guna memenuhi kebutuhannya untuk bertumbuh sehingga mengakibatkan berkurangnya kedua unsur tersebut, disamping faktor lain dari proses fermentasi itu sendiri.
Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran A.niger dan T.reesei dalam Putak sebagai Substrat Protein Rataan komposisi nutrien putak hasil fermentasi kultur campuran seperti tergambar pada Tabel 5. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa jumlah awal kultur yang tinggi menyebabkan laju pertumbuhan kapang juga lebih cepat yang ditandai oleh tingginya kadar protein substrat. Demikian halnya dengan kadar BK dan BO yang juga semakin berkurang dengan makin besarnya level kultur. Hal
46
tersebut terjadi karena dalam pertumbuhannya, kapang merombak komponen substrat dalam memenuhi kebutuhan pertumbuhannya.
Gambar 9 Putak fermentasi campuran T.reesei dan A.niger siap panen
Berdasarkan pengamatan tahap sebelumnya terhadap kemampuan tumbuh masing-masing kultur dalam substrat yang dicobakan (putak), dimana A.niger lebih cepat tumbuh dibanding T.reesei, maka pada perlakuan penundaan pencampuran kedua kultur, T.reesei yang terlebih dahulu diinokulasikan. Kultur campuran T.reesei dan A.niger diperoleh dengan cara penundaan pencampuran pada nol, satu, dan dua hari. Hasil analisis terhadap komposisi nutrien putak terfermentasi (PF) serta fermentabilitas rumen in vitro tersaji pada Tabel 5 dan 7. Pada semua peubah yang diukur, secara keseluruhan menunjukkan hasil yang lebih baik bila dilakukan penundaan pencampuran dua hari, yakni bila A.niger diinokulasikan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari (D2). Kombinasi kultur T2A3 (level 7.5% T.resei dan 1.5% A.niger) dengan D2 (dua hari lama penundaan pencampuran) menghasilkan kadar protein kasar 23.62% dan murni 14.92%, terbaik dan nyata lebih tinggi (P≤0.05) dari semua kombinasi level yang dicobakan. Hasil tersebut juga lebih baik daripada kultur tunggal masing-masing kapang seperti pada Percobaan I. Peningkatan kadar protein substrat dengan kombinasi level kultur rendah (T1 dan A1 atau A2) terlihat hanya kecil perubahannya yakni berkisar antara 18.61 – 18.81% dan 10.02 – 11.79% masing-masing untuk kadar PK dan PM. Hal ini menunjukkan kombinasi level kultur rendah membutuhkan waktu inkubasi yang lebih panjang akibat masa adaptasi (fase lag) yang juga lebih lama.
47
Sebaliknya dengan kombinasi kultur tinggi (T2 dan A3 atau A4) peningkatan kadar kedua unsur di atas lebih baik yakni berkisar antara 22.71 – 23.62% dan 13.39 – 14.92% masing-masing untuk PK dan PM. Menurut Fardiaz (1988) bahwa jumlah awal sel yang semakin tinggi akan mempercepat fase adaptasi, demikian juga semakin tinggi kecepatan pertumbuhan akan meningkatkan jumlah massa sel. Fenomena ini menggambarkan bahwa kombinasi level T.reesei dan A.niger yang sesuai pada fermentasi campuran menggunakan putak sebagai substrat perlu dipertimbangkan agar efek sinergisme dalam proses fermentasi menjadi lebih bermanfaat. Tabel 5 Komposisi nutrien putak fermentasi campuran A.niger dan T.reesei dengan lama penundaan pencampuran 2 hari (D2) Kombinasi
0 T1A1 T2A1 T3A1 T1A2 T2A2 T3A2 T1A3 T2A3 T3A3 T1A4 T2A4 T3A4
Lama delay (hari)
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Peubah (% BK) BK 91.05 92.52 ± 0.26 91.56 ± 0.74 92.42 ± 0.06 92.40 ± 0.07 91.47 ± 0.45 91.17 ± 0.03 91.83 ± 0.02 90.78 ± 0.13 90.30 ± 0.07 92.55 ± 0.23 91.29 ± 0.09 90.58 ± 0.11
BO 84.11 84.94 ± 0.25 83.91 ± 0.72 84.06 ± 0.03 84.65 ± 0.02 82.62 ± 0.35 82.11 ± 0.02 84.46 ± 0.03 82.90 ± 0.22 82.04 ± 0.09 84.61 ± 0.22 83.13 ± 0.05 81.72 ± 0.05
PK 14.17 18.61±0.48 18.01±2.61 19.20±0.32 18.81±0.26 22.41±0.15 21.72±0.13 19.09±0.35 23.62±0.27 22.21±0.15 19.31±0.28 22.71±0.06 19.54±0.07
PM 3.25 11.79 ± 0.47 13.01 ± 0.17 11.94 ± 0.51 10.02 ± 0.74 11.88 ± 0.13 14.58 ± 0.12 12.59 ± 0.63 14.92 ± 0.27 12.89 ± 0.16 13.10 ± 0.28 13.39 ± 0.05 13.28 ± 0.12
SK 9.70 9.19 ± 0.03 9.54 ± 0.05 10.26 ±0.01 9.56 ± 0.02 9.08 ± 0.03 9.70 ± 0.02 9.4 ± 0.00 10.17 ±0.01 10.06 ±0.05 9.06 ± 0.00 10.24 ±0.07 9.07 ± 0.02
Aspergillus niger tergolong kapang yang cepat tumbuh dan mudah beradaptasi, sebaliknya T.reesei lebih lambat, dengan demikian inokulasi T.reesei dua (2) hari mendahului A.niger (perlakuan D2) tidak mempengaruhi laju pertumbuhan masing-masing kapang tetapi menunjukkan adanya sinergi metabolik antar spesies dalam memanfaatkan komponen substrat dan hasil metabolit untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya sesuai kelebihan masing-masing kapang. Efek sinergisme tersebut mungkin berjalan dengan baik dan optimum pada kombinasi T2A3 yang dapat diprediksikan dari kadar protein kasar dan murni
48
pada kombinasi ini yang terbaik dari kombinasi-kombinasi lainnya. Diduga bahwa kombinasi level tersebut adalah optimum dalam memanfaatkan sumber-sumber nutrien yang ada, disamping itu tidak terjadi akumulasi metabolit yang dapat mengganggu aktifitas masing-masing mikrob di dalam medium karena metabolit tersebut digunakan oleh mikroba lainnya yang hidup bersama dalam medium. 23.62
25
14.17
15
12.22 9.24
10 5
20.6
19.81
20 9.7
13.25 9.08
14.92 10.17
12.53 2.5
PK PM SK
3.25
0 Awal
Tanpa Kultur
An
Tr
An+Tr
Gambar 10 Komposisi nutrien putak sebelum dan sesudah fermentasi
Trichoderma reesei potensil dalam menghasilkan enzim endoglukanase Cx=CMC-ase), eksoglukanase (cellobiohydrolase) yang akan menghidrolisis selulosa menjadi selobiosa. Akumulasi selobiosa dalam medium akan menghambat aktifitas kedua enzim tersebut. A.niger potensil dalam menghasilkan enzim β-glukosidase. Enzim ini berperan dalam hidrolisis selobiosa menjadi glukosa (Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005). Oleh karena itu kombinasi kedua kapang dapat bersinergi dalam proses degradasi selulosa secara sempurna. Dikemukakan lebih lanjut oleh Juhasz et al. (2003) bahwa interaksi antara dua spesies mikrob yang berbeda dapat dieksploitir dalam menghasilkan produk fermentasi yang lebih baik. Interaksi ini terbukti pada kadar protein kasar maupun murni yang lebih tinggi pada kultur campuran dibanding kultur tunggal masingmasing kapang. Faktor-faktor fisik medium seperi aerasi, suhu, serta ketersediaan nutrien cukup seimbang turut menunjang interaksi metabolisme pada kedua kapang. Alasan ini didasarkan pada jumlah nutrien dalam substrat kultur campuran sama dengan kultur tunggal, selanjutnya pada level terbaik kultur tunggal (T2 dan A3 )
49
kombinasi level tersebut juga yang terbaik dalam kultur campuran (T2A3). Moo-Young (1983) mengemukakan bahwa tekanan O2 (pO2) meningkat dapat menstimulir produksi enzim amilase. Artinya bahwa kebutuhan oksigen kapang cukup, sehingga proses metabolisme pati dalam substrat menjadi glukosa dapat berjalan baik guna menunjang pertumbuhan kapang yang lebih baik. Hommel (1993) mengemukakan bahwa glukosa merupakan sumber karbon dan energi utama bagi sebagian besar mikrob. Perlakuan sterilisasi terhadap substrat bukan hanya untuk membunuh mikrob lain yang tidak diinginkan tetapi juga ikut menyebabkan longgarnya ikatan partikel pati sehingga lebih mudah diinvasi oleh enzim ekstraseluler kapang terutama dalam pertumbuhan awal. Menurut Sofyan (1989) bahwa apabila suspensi pati dipanaskan hingga 65oC atau lebih maka akan terjadi pengembangan serta penguraian granula pati sehingga akan lebih mudah dicerna. Akibat perlakuan yang dikenakan serta sinergisme yang terjalin di antara kapang dalam substrat menyebabkan mikrob cukup mendapatkan nutrien bagi pertumbuhan dan dapat dilihat dari kualitas putak yang dihasilkan pada fermentasi campuran lebih baik ditinjau dari peningkatan kadar PK dan PM serta penurunan kadar SK. Fermentasi medium padat didasarkan pada pembentukan ekosistim untuk pertumbuhan mikrob yang diinokulasikan. Sifat porositas medium merupakan faktor yang penting dalam menunjang pertumbuhan mikrob yang ditambahkan. Medium dengan porositas yang baik dapat memungkinkan penetrasi udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan dapat terjadi di seluruh bagian medium. Hal di atas diduga dari jumlah dan komposisi nutrien medium yang sama dengan kultur tunggal, meskipun kepadatan kultur meningkat ternyata dapat memberikan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan mikrob tersebut. Kombinasi kultur yang lebih tinggi seperti T3A4 mempengaruhi pertumbuhan kapang akibat ketidak seimbangan antara faktor nutrisi dan jumlah sel dalam medium. Efek sinergisme antar kultur juga mungkin kurang bermanfaat karena kepadatan kultur yang tinggi dan tidak diimbangi dengan ketersediaan nutrien sehingga terjadi persaingan dalam memanfaatkan sumber nutrisi yang tersedia, akibatnya pertumbuhan kapang menjadi terhambat. Dengan demikian
50
dapat dikatakan bahwa, pada fermentasi campuran, kombinasi jumlah kultur yang sesuai menyebabkan penggunaan substrat menjadi produk lebih efisien. Faktor nutrisi biasanya merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mikrob terutama pada medium padat. Kultur campuran memungkinkan penggunaan substrat yang bervariasi dalam hal komposisi bahan sehingga kapang selulolitik tidak hanya menggunakan selulosa saja tapi bisa juga pati. Oleh karena itu kapang amilolitik seperti A.niger bersama selulolitik seperti T.reesei dapat menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dalam waktu yang singkat seperti hasil percobaan ini. Gambar 10 menggambarkan tahapan perubahan substrat (putak) sebelum dan sesudah fermentasi secara tunggal oleh T.reesei (Tr) atau A.niger (An) serta dalam kultur campuran T.reesei dan A.niger (Tr+An). Data memperlihatkan perubahan kualitas substrat yang cukup signifikan akibat fermentasi baik pada kultur tunggal maupun campuran. Sebagaimana dikemukakan oleh Winarno (1992) bahwa substrat hasil fermentasi lebih baik dari substrat sebelumnya.
Fermentabilitas in vitro Putak Hasil Fermentasi Campuran
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Tabel 7 menunjukkan fermentabilitas putak fermentasi secara in vitro. Kecernaan bahan kering dan bahan organik PF hasil percobaan cukup tinggi, yaitu 82.96 – 89.15% dan 80.12 – 89.73%.
Nilai kecernaan merupakan indikator
adanya aktifitas mikrob rumen. Tingginya angka tersebut memberi indikasi bahwa produk dapat memberikan pengaruh baik terhadap aktifitas mikroba rumen. Angka kecernaan bahan kering maupun organik putak dalam percobaan ini lebih tinggi dibandingkan produk gabungan urea-putak dalam penelitian yang dilakukan Wie Lawa (1996) yakni sebesar 73.09% dan 62.03% masing-masing untuk kecernaan bahan kering dan organik bila produk dimasak selama 2 jam dan ditambahkan urea 4% BK. Perbedaan ini membuktikan peran kapang pada proses fermentasi dalam mengkonversi substrat menjadi komponen nutrisi yang lebih sederhana dan mudah dicerna.
51
Selama proses fermentasi berlangsung, mikroorganisme menghasilkan enzim untuk memecah komponen kompleks seperti selulosa atau polisakarida lainnya menjadi bentuk yang lebih sederhana, oleh sebab itu menurut Winarno (1992) bahwa makanan produk fermentasi memiliki nilai yang lebih baik dari asalnya. Hal tersebut dapat terjadi karena mikroorganisme, selain bersifat katabolik yaitu memecah senyawa kompleks menjadi sederhana, tetapi juga karena mikroorganisme dapat mensintesa beberapa vitamin yang dapat menstimulir pertumbuhan mikrob. Bagi ternak ruminansia, tingginya tingkat kecernaan suatu bahan pakan merupakan faktor penentu produksi mikrob rumen karena di dalam rumen pakan akan lebih tersedia dan lebih mudah difermentasi guna menjamin ketersediaan nutrien yang dibutuhkan mikrob rumen dalam proses prolifikasi sel yang pada gilirannya merupakan sumber protein berkualitas tinggi bagi ternak inang. Sebagaimana dikemukakan oleh Savvant et al. (1985) bahwa besarnya bahan organik yang didegradasi merupakan indikator sintesa protein mikroba apabila tersedia cukup N dan mineral. Fermentabilitas BO dan BK ransum dicerminkan oleh produksi ammonia dan asam lemak terbang (VFA). Produksi VFA menggambarkan fermentabilitas ransum atau pakan karena VFA merupakan hasil proses fermentasi dan merupakan sumber energi utama bagi ruminansia (Owen dan Begen1983, Preston dan Leng 1991).
Total Asam Lemak Terbang (VFA) dan Ammonia (N-NH3) Rataan kadar VFA total, NH3, KcBK dan KcBO putak fermentasi sebagaimana terlihat pada Tabel 7 untuk semua kombinasi perlakuan dengan lama penundaan pencampuran dua hari (D2). Data lengkap peubah-peubah tersebut dengan lama penundaan pencampuran 0, 1 dan 2 hari ada pada Lampiran 1 dan 2. Konsentrasi asam lemak terbang (VFA) hasil percobaan berkisar antara 91.1 – 119.6 mM dan berada pada kisaran normal untuk menunjang pertumbuhan mikrob rumen yang optimum sebagaimana dikemukakan oleh Sutardi (1995) yakni 80 – 160 mM VFA. Hasil tersebut menunjukkan kualitas putak hasil fermentasi sangat baik ditinjau dari fermentabilitas. Hal ini didukung oleh kecernaan BK maupun BO yang juga tinggi. Pencernaan BO erat kaitannya
52
dengan produksi VFA dan sintesa protein mikrob, dengan demikian tingginya kadar VFA pakan menggambarkan potensinya untuk mengubah amonia menjadi protein mikrob. Fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan VFA sebagai produk utama guna menyediakan energi dan karbon bagi pertumbuhan dan mempertahankan komunitas mikrob.
Tabel 7 Fermentabilitas in vitro putak fermentasi campuran A.niger dan T.reesei dengan lama penundaan pencampuran 2 hari Kombinasi
T1A1 T2A1 T3A1 T1A2 T2A2 T3A2 T1A3 T2A3 T3A3 T1A4 T2A4 T3A4
Lama delay (hari) 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Peubah KcBK (%) 82.96 ± 0.11 88.73 ± 1.29 89.25 ± 0.41 89.15 ± 0.24 89.92 ±0.83 84.44 ± 0.36 84.43 ± 0.12 84.89 ± 0.74 87.47 ± 0.03 86.15 ± 0.56 88.36 ± 0.34 84.66 ± 0.03
KcBO (%) 82.19 ± 0.13 89.20 ± 1.2 89.73 ± 0.82 88.93 ± 0.11 89.74 ± 0.13 84.21 ± 0.57 83.89 ± 0.32 80.12 ± 0.07 87.62 ± 0.17 84.98 ± 0.13 88.72 ± 0.14 80.72 ± 0.04
N-NH3 (mM) 14.94 ± 0.18 16.14 ± 0.4 16.4 ± 0.48 15.53 ± 0.39 16.95 ± 0.89 18.46 ± 0.11 15.87 ± 0.39 19.04 ± 0.09 18.51 ± 0.28 16.69 ± 0.17 18.65 ± 0.45 19.09 ± 0.59
VFA Total mM) 91.14 ± 1.52 114.05 ± 2.17 108.33 ± 0.06 94.94 ± 1.11 100.63 ± 5.61 112.47 ± 1.33 108.07 ± 1.99 107.82 ± 5.23 119.58 ± 3.12 99.01 ± 0.63 108.08 ± 1.95 117.18 ± 0.46
Sebaliknya kadar NH3 14.9 – 19.0 mM lebih tinggi dari yang disarankan Sutardi (1979) yakni 4 – 12 mM. Kadar amonia yang cukup tinggi ini mungkin disebabkan tingginya kandungan sumber nitrogen bukan protein yang masih tersisa dalam putak disamping kadar protein putak akibat fermentasi, sehingga perombakannya dalam rumen menghasilkan amonia yang tinggi. Kemungkinan lainnya adalah karena pada pengukuran in vitro, sebagaimana hasil ini diperoleh, proses fermentasi berlangsung dalam tabung sehingga aktifitas penyerapan hanya terbatas pada penggunaannya oleh mikroorganisme dan tidak ada yang terserap melalui dinding rumen atau terbuang lewat urine, sehingga amonia yang terbentuk terakumulasi dan cenderung meningkat. Menurut Sutardi (1979) bahwa dalam merombak protein, mikrob rumen tidak mengenal batas karena produksi akan terus terjadi meskipun kadarnya dalam rumen sudah cukup tinggi. Tingginya konsentrasi amonia di atas mencerminkan kecepatan produksi pencernaan nitrogen asal putak yang juga menunjukkan tingginya fermentabilitas
53
pakan tersebut. Kecukupan menyediakan amonia untuk pertumbuhan mikrob rumen merupakan salah satu patokan dalam mengevaluasi protein pakan pada ruminansia. Peningkatan populasi mikrob sangat menguntungkan bagi hewan ternak, sebab selain meningkatkan kecernaan pakan dalam rumen, ternak juga akan mendapat pasokan mikrob yang telah mati dan mengalir ke usus. Amonia, bersama dengan VFA merupakan bahan utama pembentuk protein mikrob yang berguna bagi induk semang. Dengan demikian, ditinjau dari kadar amonia dan VFA substrat maka dapat dikatakan bahwa putak hasil fermentasi dapat menyediakan prekursor nutrien yang baik untuk menunjang sintesis protein mikrob rumen. Dengan demikian kemungkinan PF dapat digunakan sebagai konsentrat tunggal dalam menciptakan ekosistim rumen yang baik bagi perkembangbiakan mikroorganisme rumen, cukup terbuka. Fermentabilitas
suatu
pakan
diukur
dari
kemampuannya
dalam
menghasilkan VFA yang ditunjang oleh ketersediaan NH3 yang cukup dalam rumen. Menurut Suryahadi dan Amrullah (1984) bahwa sebagian besar mikroba rumen menggunakan ammonia (NH3) untuk prolifikasi terutama untuk sintesa protein tubuhnya. Sedangkan ketersediaan karbohidrat asal pakan akan dihidrolisa menjadi VFA sebagai sumber energi. Hal tersebut menunjukkann hubungan antara kedua unsur ini dalam menunjang pertumbuhan yang optimum bagi mikrob rumen. Hasil terbaik pada percobaan II yakni putak hasil fermentasi campuran
T.reesei dan A.niger yakni kombinasi T2A3 selanjutnya digunakan dalam uji biologis dengan menggunakan ternak kambing jantan lokal sebagai ternak coba.
Percobaan III : Respon Ternak Kambing Jantan Lokal terhadap Pemberian Putak Fermentasi
Konsumsi Pakan Basal Jerami padi merupakan pakan basal yang diberikan secara ad libitum kepada ternak percobaan. Perlakuan menyebabkan peningkatan konsumsi pakan basal (jerami padi), dimana secara statistik perlakuan R4 yakni konsentrat yang mengandung 40% putak terfermentasi nyata lebih tinggi (P<0.05) dari R0, R1, dan
54
R2 tetapi tidak beda dengan R3. Hasil penelitian Bamualim et al. (1993) pada sapi Bali Timor yang diberi jerami padi dan suplemen putak ditambah urea menyebabkan berkurangnya konsumsi jerami dari 2.16 menjadi 1.87kg/e/h, demikian halnya pada ternak kambing dari 215 menjadi 190 g/e/h (Kana Hau
et al. (1993). Hal ini menggambarkan kemampuan putak terfermentasi (PF) bukan hanya sebatas menyediakan nitrogen dan sumber karbon yang dibutuhkan ekosistem rumen tetapi mungkin prekusor nutrien lainnya seperti asam amino dan vitamin sehingga kondisi rumen menjadi lebih kondusif dalam memacu pertumbuhan mikrob rumen sebagaimana pernyataan McAllan dan Smith (1983) serta Wallace et al. (2001) bahwa meskipun mikroba selulolitik dikenal mampu menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen utama, protein (true protein) dalam ransum lebih baik dibanding urea dalam memacu perumbuhan mikrob. Meningkatnya pertumbuhan mikrob rumen akan diikuti oleh meningkatnya kecernaan pakan serta pergerakan makanan dalam saluran pencernaan menjadi lebih cepat dan pada akhirnya ternak akan terangsang untuk mengkonsumsi ransum. Leng (1991) mengemukakan bahwa tingkat konsumsi sangat dipengaruhi oleh koefisien cerna, kualitas ransum, fermentasi dalam rumen serta status fisiologis ternak. Perbedaan konsumsi pakan basal pada percobaan ini menyebabkan perbedaan konsumsi ransum serta nutrien lainnya karena konsentrat diberikan dalam jumlah yang sama pada seluruh ternak perlakuan. Tabel 8 memperlihatkan rataan konsumsi ransum dan nutrien (bahan kering, bahan organik dan protein), yang ditampilkan berdasarkan konsumsi nyata (as fed) serta berdasarkan bobot metabolis. Terlihat bahwa perlakuan mempengaruhi konsumsi bahan kering dan bahan organik serta nutrien lainnya, karena meningkatnya penggunaan PF mengakibatkan peningkatan konsumsi nutrien baik secara as fed maupun bobot metabolis.
Bahan Kering dan Bahan Organik Konsumsi bahan kering merupakan salah satu ukuran dalam mengetahui konsumsi zat-zat makanan oleh
ternak yang dideposit dalam tubuh. Rataan
jumlah konsumsi bahan kering per ekor per hari berkisar antara 408.04 g (R0) –
55
463.13 g (R4). Jumlah konsumsi R3 dan R4 nyata (P<0.05) lebih tinggi dari perlakuan R0, R1 dan R2, demikian halnya dengan konsumsi bahan organik. Konsumsi bahan kering ransum pada percobaan ini masih lebih tinggi daripada yang dilaporkan Gushairiyanto (2004) yang berkisar antara 353.52 - 430.84 g pada kambing kacang yang diberi 30% kulit umbi ketela pohon yang difermentasi dengan A.niger tetapi lebih rendah dari hasil penelitian Uhi (2005) yakni 533.23 572.98 g pada domba yang diberi 30% suplemen katalitik gelatin sagu sebagai sumber protein
Tabel 8 Rataan konsumsi nutrien ternak kambing PEUBAH
PERLAKUAN R1
R0
R2
R3
R4
Berdasarkan konsumsi pakan (g/e/h) Kons.Ransm
455.69±7.99a
461.60±7.37a
476.15±3.38b
498.10 ±3.06c
510.75±6.83 c
Kons Jerami
163.80±1.8 a
168.34±9.35 a
187.02±8.04b
214.19±14.04c
218.59±19.18 c
Kons. BK
408.04 ± 7.08a
411.13±3.69 a
425.92±3.5b
457.02 ± .85c
463.13 ± 3.87 d
Kons. BO
326.88±5.4 a
329.35±2.8a
342.44 ±1.46b
368.71 ±4.87c
374.02±2.44d
Kons. PK
49.69± 0.24 a
50.58 ±0.49b
50.65 ±0.43b
51.41 ±0.22c
51.80 ±0.13d
Kons. SK
53.76±1.38a
56.27±0.85 b
58.77±0.16 c
64.93 ± 1.47d
67.53±0.73e
Berdasarkan bobot metabolis (g/kg BB0.75/h) Kons.Ransm
57.6±2.5a
59.43±4.5a
58.33±1.9a
61.97 ±5.5 ab
63.28±1.5b
Kons Jerami
20.67±1.0 a
21.71±2.5 a
22.94±1.8ab
26.58±1.1bc
27.03±1.6 c
Kons. BK
51.58±2.33a
52.93±3.89 b
52.20±2.40b
56.79 ± .1.82c
57.40± 2.25c
Kons. BO
42.58±2.02a
43.68±3.06a
43.19 ±1.82b
47.07 ±1.86c
47.6±1.43d
Kons. PK
6.28±0.35a
6.51 ±0.50a
6.21 ±0.23a
6.39 ±0.29 ab
6.42 ±0.20b
Kons. SK
6.79±0.27a
7.24±0.56 b
7.20±0.28 b
8.07 ± 0.24b
8.37±0.33c
Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat 2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) antara perlakuan
56
Data konsumsi nutrien berdasarkan bobot metabolis (BB0.75) seperti tersaji dalam Tabel 8 memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan konsumsi ril pemberian. Hal
tersebut menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruhi positip
terhadap konsumsi nutrien. Putak fermentasi mengandung protein organik berupa protein sel tunggal (PST) dan kadarnya bertambah seiring peningkatan kadar PF dalam ransum. Disamping mengandung protein berkualitas tinggi sebagai sumber nitrogen untuk mikrob, putak fermentasi juga masih mengandung sumber nitrogen lain yakni nitrogen bukan protein dari urea dan amonium sulfat yang tidak termanfaatkan oleh kapang saat proses fermentasi putak berlangsung. Disamping itu karbohidrat mudah tersedia dalam bentuk pati yang dapat dimanfaatkan oleh mikrob rumen sebagai sumber kerangka karbon dalam proses prolifikasi sel. Akibatnya, populasi mikrob rumen mungkin bertambah sehingga pencernaan ransum meningkat, pergerakan ingesta meningkat, ternak mau mengkonsumsi lebih banyak jerami padi sebagai sumber hijauan tunggal yang tersedia. Dugaan di atas didukung oleh hasil percobaan tahap sebelumnya (Tahap II) dimana kadar VFA dan NH3 putak terfermentasi terpilih untuk uji respon ternak masing-masing adalah 107.82 mM dan 19.04 mM, berada pada kisaran normal
untuk
menunjang pertumbuhan
mikrob
rumen
yang optimum.
sebagaimana yang dkemukakan oleh Sutardi (1979) yakni kisaran VFA 80 – 160 mM dan konsentrasi NH3 berkisar antara 4.00 – 12.00 mM. Hasil penelitian lain seperti yang dilaporkan Mehrez et al. (1977) bahwa untuk memaksimumkan laju fermentasi diperlukan konsentrasi amonia yang lebih tinggi yakni 16.78 mM. Sedangkan Leng (1991) berpendapat bahwa kebutuhan amonia sangat bergantung kepada jenis pakan. Konsentrasi amonia yang lebih tinggi diperlukan bila ternak mendapatkan pakan dengan kecernaan rendah seperti jerami padi.
Kecernaan Nutrien Unsur-unsur nutrien yang terdapat dalam ransum tidak seluruhnya dapat dicerna, diserap dan digunakan oleh ternak sehingga ada yang dikeluarkan melalui feses dan. urine. Rataan kecernaan nutrien ransum perlakuan disajikan pada Tabel 9.
57
Tabel 9 Rataan kecernaan nutrien PERLAKUAN R0 R1 R2
PEUBAH
R3
R4
Kecernaan BK (%) 63.89 ±0.31a 65.4 ±5.49a 68.33±1.05b 72.48±1.77c 72.75 ±1.55c a a Kecernaan BO,(%) 70.96 ±4.19 71.67±1.79 73.30±1.14b 74.63±0.92b 77.12 ±1.40c a a Kecernaan PK, (%) 67.80 ±0.65 69.19±1.05 71.23±0.24a 74.50±1.09b 76.65 ±0.88b a b Kecernaan SK (%) 38.80± 0.69 39.75± 1.67 45.34±1.09c 52.20±3.35d 60.31±8.03e a a Retensi N (g/e/h) 10.80±0.56 10.22± 0.65 12.04±0.35b 12.89± 0.53c 12.98± 0.45c Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat 2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) antara perlakuan
Bahan Kering Nilai rataan kecernaan bahan kering adalah 63.89% pada perlakuan tanpa putak terfermentasi dan tertinggi 72.75% pada perlakuan dengan kadar 40% putak terfermentasi. Kisaran nilai tersebut berada di atas nilai kecernaan yang dianggap cukup baik untuk ruminansia menurut Djajanegara (1983) yaitu sekitar 50 – 55%. Nilai ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Kana Hau et al. (1993) yang berkisar antara 45. hingga 67.4% masing-masing pada ternak kambing yang diberi jerami padi saja serta jerami padi ditambah suplemen putak dan urea. Juga lebih tinggi dari kambing yang diberi ransum dengan 10% kulit umbi ketela pohon hasil fermentasi dengan A.niger yakni 62.56 – 69. 61% (Gushairiyanto 2004). Tampak dari Tabel 9, pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan bahan kering dimana ransum dengan kadar 30 dan 40% putak fermentasi berbeda nyata (P<0.05) dari perlakuan 0, 10 dan 20%. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan
putak
terfermentasi
yang
makin
tinggi
dalam
konsentrat
menyebabkan perbaikan mutu ransum menjadi lebih baik. Kecernaan bahan secara in vitro (Percobaan tahap II) juga menunjukkan hasil yang saling menunjang. Ransum perlakuan memberikan pengaruh positif terhadap kecernaan nutrien (bahan kering, bahan organik, protein kasar, serat kasar), yakni dengan bertambahnya kadar putak fermentasi dalam ransum maka kecernaan secara keseluruhan ikut meningkat. Tingginya nilai kecernaan menunjukkan tingginya aktifitas mikrob dalam rumen karena salah satu cara mengukur adanya aktivitas mikroba rumen adalah dari nilai kecernaan komponen nutrien dalam ransum. Aktifitas
mikrob
meningkat
berarti
populasinya
meningkat
karena
58
pertumbuhannya dipacu oleh NH3 dan VFA yang disediakan oleh putak terfermentasi, akibatnya enzim pencerna nutrien yang dihasilkan juga menjadi lebih banyak dalam mencerna komponen nutrisi yang ada.
Bahan Organik Tabel 9 memperlihatkan rataan kecernaan bahan organik akibat perlakuan yaitu terrendah pada R0 (70.96%) seterusnya hingga tertinggi pada R4 (77.12%). Nilai ini lebih tinggi dari kecernaan bahan organik pada kambing yang diberi 10% kulit umbi ketela pohon dan rumput gajah yakni 67.98% (Gushairiyanto 2004). Tingginya nilai kecernaan bahan organik menunjukkan bahan organik yang terdapat dalam putak mengalami degradasi secara sempurna baik dalam rumen maupun dalam usus, sedang yang tidak tercerna adalah jaringan jerami padi yang sulit didegradasi akibat kuatnya ikatan ligno-selulosa maupun hemiselulosa. Hasil ini turut didukung oleh kecernaan bahan kering yang juga makin tinggi sejalan dengan meningkatnya kadar putak terfermentasi dalam konsentrat.
Protein Nilai kecernaan protein sejalan dengan kecernaan bahan kering dan bahan organik yang semakin meningkat dengan bertambahnya kadar putak terfermentasi. Tabel 9 memperlihatkan bahwa kecernaan protein yang paling rendah adalah perlakuan tanpa putak terfermentasi (R0) yaitu 67.80% dan yang paling tinggi adalah R4 yang mengandung 40% putak terfermentasi yakni 76.65%. Artinya bahwa putak fermentasi mampu merangsang pertumbuhan mikrob proteolitik rumen yang merombak komponen protein pakan. Pemanasan merupakan salah satu cara guna melindungi protein berkualitas tinggi dari degradasi rumen tetapi tetap dapat dicerna dalam usus halus. Guna menghentikan proses fermentasi pada putak sebelum digunakan sebagai bahan pakan,
maka
dilakukan
pengukusan.
Perlakuan
tersebut
kemungkinan
menyebabkan protein bahan tahan degradasi rumen. Islam et al. (2002) menyatakan bahwa pemanasan terhadap bahan pakan dapat menyebabkan protein atau pati bahan mengalami denaturasi sehingga akan melalui rumen ke organ berikutnya tanpa mengalami degradasi oleh mikrob. Dengan demikian putak
59
fermentasi mampu memasok protein pasca rumen yang juga tinggi karena protein murni putak hasil fermentasi mampu dicerna oleh enzim pepsin dan pancreas sebagaimana dikemukakan oleh Huang dan Kinsella (2005) bahwa protein asal kapang memiliki tingkat kecernaan yang tinggi dalam usus halus. Selanjutnya Spark et al. (2006) menyatakan bahwa protein kapang memiliki kualitas yang tinggi yang dapat dibuktikan dengan tingkat kecernaan N serta Retensi N yang juga tinggi. Pernyataan di atas terbukti dari nilai retensi N (Tabel 9) yang juga terus meningkat sejalan dengan bertambahnya penggunaan putak fermentasi dalam ransum. Hasil ini lebih baik dari yang dilaporkan oleh Uhi (2005) yakni 43.13% pada domba yang diberi 20% suplemen katalitik gelatin sagu dan NPN dengan ransum dasar rumput kualitas rendah, juga 61.29% pada kambing yang diberi kulit umbi ketela pohon hasil fermentasi A.niger (Gushairiyanto 2004).
Serat Kasar Sebagaimana nilai kecernaan nutrien sebelumnya yang semakin baik bersamaan dengan bertambahnya putak terfermentasi (PF), kecernaan serat juga menunjukkan hal serupa yaitu nilai terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah pada perlakuan tanpa putak terfermentasi R0 (PF 0%), R1 (PF 10%), R2 (PF 20%), R3(PF 30%), dan R4 (PF 40%), yaitu 38.8, 39.75, 45.34, 52.20, dan 60.31% dan secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05), dimana peningkatan level PF diikuti meningkatnya kecernaan serat ransum. Hasil percobaan sebelumnya (Tahap I dan II) menunjukkan kadar protein kasar dan murni PF cukup tinggi. Protein tersebut diduga merupakan sumber asam amino di antaranya valin, iso-leusin dan leusin. Ketiga asam amino tersebut dalam rumen akan mengalami dekarboksilasi dan deaminasi menjadi asam lemak rantai cabang yaitu isobutirat, 2-metilbutirat dan isovalerat, dimana ketiganya sangat dibutuhkan untuk merangsang pertumbuhan mikroorganisme rumen. Dalam hubungannya dengan dugaan tersebut, Wallace et al. (2001) menyatakan bahwa meskipun bakteri selulolitik rumen dapat menggunakan urea sebagai sumber N guna sintesa protein, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa asam amino merupakan nutrien yang signifikan dalam merangsang pertumbuhan bakteri
60
selulolitik. Populasi bakteri yang meningkat akan mengakibatkan banyak diproduksikan ensim selulase sehingga kecernaan serat pakan turut meningkat Oleh karenanya pertumbuhan mikrob perlu dirangsang pertumbuhannya, karena dengan meningkatnya jumlah mikrob selulolitik rumen, proses pencernaan pakan terutama pakan serat ikut meningkat. Sutardi (1997) mengemukakan bahwa semakin baik pertumbuhan mikrob rumen semakin tinggi nilai manfaat pakan serat.
Retensi Nitrogen Perbedaan antara jumlah N yang dikonsumsi dengan N yang dikeluarkan tubuh melalui feses dan urine merupakan gambaran ketersediaan N dan efisiensi pemanfaatannya oleh ternak. Data menunjukkan penggunaan PF yang semakin meningkat dalam ransum mengakibatkan nilai retensi N juga meningkat. Rataan retensi nitrogen terendah adalah perlakuan R1 (10.22 g/e/h) dan tertinggi adalah R4 (12.98 g/e/h). Nilai retensi nitrogen pada R3 dan R4 sama dan nyata lebih tinggi (P<0.05) dibanding R2 serta R1 dan R0. Artinya bahwa pada level pemberian PF lebih dari 30% menyebabkan retensi nitrogen meningkat yang juga berarti terjadi deposit protein dalam bentuk daging yang makin tinggi. Tingginya nilai retensi nitrogen yang diperoleh sejalan dengan tingkat konsumsi dan kecernaan nutrien yang lebih tinggi sehingga pasokan protein untuk membentuk jaringan lebih tinggi dan diwujudkan oleh rataan pertambahan bobot yang juga lebih baik pada perlakuan tersebut. Nilai di atas lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Simanihuruk (2005) pada kambing kacang yang diberi ransum mengandung 15% kulit buah markisa (PK ransum 14.13%) yakni 8.42%, tetapi lebih rendah dari hasil penelitian Kaunang (2004) pada domba yang diberi pakan hijauan yang dipupuk belerang yakni 20.13%.
Pertambahan Bobot Badan Tabel 11 menunjukkan pertambahan bobot ternak percobaan. Pertambahan bobot badan merupakan manifestasi dari akumulasi konsumsi ransum, kecernaan zat-zat makanan, fermentasi, metabolisme dan penyerapan nutrien oleh tubuh ternak. Pertambahan bobot badan harian hasil percobaan berkisar antara 51.40 g
61
pada perlakuan tanpa putak terfermentasi (R0) hingga 54.54 g pada perlakuan level 40% putak terfermentasi (R4). Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P≤0.05) terhadap pertambahan bobot badan. Hasil tersebut menunjukkan manfaat putak fermentasi dalam memperbaiki kecernaan nutrien ransum serta menyediakan nutrien sehingga kebutuhan pertumbuhan ternak terpenuhi, terlihat dari penggunaan hingga level 40% putak terfermentasi dalam konsentrat masih belum sampai pada taraf yang mengganggu pertumbuhan dan data kecernaan juga mendukung hal tersebut. Meski demikian, bila dicermati dari hasil pertambahan bobot badan ternak masih tergolong kecil. Hal ini disebabkan kebutuhan bahan kering ternak tidak terpenuhi. Penyebabnya adalah tidak terpenuhinya konsumsi bahan kering asal hijauan yakni jerami padi. Komposisi ransum percobaan adalah 60% konsentrat dan 40% hijauan dengan perhitungan kebutuhan BK/e/h adalah 3% dari bobot badan. Sebagai pakan jerami padi memiliki kelemahan baik secara kualitas maupun palatabilitas. Oleh karena sifat jerami yang bulky maka membatasi kemampuan konsumsi ternak sebagaimana dikemukakan oleh Sutardi (1979) bahwa kemampuan maksimal ternak dalam mengkonsumsi jerami padi hanya 2.5% dari bobot badan. Data konsumsi pada Tabel 8 memperlihatkan konsumsi ransum berdasarkan bobot metabolis berkisar 57.6 – 63.2 g/kg bobot metabolis lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Devendra dab Burns (1994) yakni sebanyak 63.4g/kg bobot badan 0.75. Hasil pertambahan bobot badan yang diperoleh ini lebih tinggi dari penelitian Gushairiyanto (2004) yang berkisar antara 37.3g pada kambing kacang yang mendapat ransum yang mengandung 30% kulit umbi ketela pohon terfermentasi, demikian juga yang dilaporkan oleh Kana Hau et al. (1993) yakni 42 g/e/h pada ternak kambing yang diberi ransum jerami padi dan putak tambah urea serta penelitian Hilakore et al. (1999) yakni 36 g/e/h dengan pemberian ransum yang mengandung 20% produk pemasakan putak-urea. Dikemukakan oleh Devendra dan Burns (1994) bahwa kambing periode tumbuh dengan bobot awal 10 kg, pertambahan bobot badannya yaitu 55 g/e/h, juga NRC (1981) pada ternak
62
kambing dengan bobot awal 20 kg maka pertambahan bobot badan minimal adalah 50 g/e/h. Kecernaan nutrien yang juga makin tinggi mendukung peningkatan bobot badan. Akibat kecernaan yang meningkat pasokan nutrisi untuk ternak ikut bertambah sehingga perletakan jaringan juga bertambah yang terwujud dalam pertambahan bobot badan. Peningkatan ini disebabkan meningkatnya proses fermentasi rumen, konsumsi dan kecernaan nutrien.
Efisiensi Penggunaan Ransum Berdasarkan data efisiensi dan konversi ransum yang meskipun sama antar perlakuan, ada beberapa hal positif yang diperoleh yakni (1) penggunaan putak fermentasi dalam ransum jauh lebih banyak (40%) dibanding sebelum diolah yang hanya 10%; (2) penggunaan putak fermentasi dapat meminimalisir penggunaan bahan pakan lain terutama sumber protein atau bahan pangan seperti jagung. Halhal tersebut akan dapat memberi keuntungan ekonomis pada usaha ternak.
Tabel 11 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertumbuhan dan efisiensi ransum PEUBAH
PERLAKUAN
R0
R1
R2
R3
R4
Berat Awal (kg) 11.77±1.29 11.52±1.51 12.40±0.85 12.03±0.97 11.91±0.75 Berat akhir (kg) 15.82±1.27 15.48±1.50 16.46±0.83 16.16±1.06 16.21±0.69 LajuPertmbhan (kg) 4.04±0.04 a 3.96±0.04 a 4.06±0.04a 4.13±0.13a 4.30± 0.11a b a b b PBB, (g/e/h) 51.4±0.59 50.4±0.43 51.64±0.62 52.49±1.69 54.54±1.20 c a a a a Konversi Ransum 8.87±0.22 9.20±0.20 9.22±0.17 9.36±0.74 9.37±0.24 a a a a a EPR 0.11±0.003 0.11±0.002 0.11±0.002 0.11±0.10 0.11±0.003 a Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat 2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) antara perlakuan
Efisiensi penggunaan pakan merupakan rasio antara pertambahan bobot badan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi, dengan demikian kegunaannya adalah untuk mengukur efisiensi ternak dalam mengubah pakan menjadi produk. Tabel 11 menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan ransum yang sama (P>0.05) pada semua perlakuan yang dicobakan yakni 11%. Hasil tersebut mencerminkan
63
bahwa konsumsi ransum akibat penambahan putak terfermentasi hingga mencapai 40% memberikan pengaruh yang sama dengan tanpa putak fermentasi dalam meningkatkan pertambahan bobot badan. Hal ini disebabkan penyusunan ransum percobaan yang isoprotein-energi mengakibatkan efisiensi penggunaan protein dan karbohidrat oleh mikrob rumen sama antar perlakuan. Demikian juga dengan nilai konversi ransum yang tidak berbeda antar perlakuan. Keuntungan ekonomis dapat dilihat dari harga ransum paling rendah adalah pada perlakuan R4 (40% PF) yakni Rp 936/kg dibanding Rp 1 124/kg pada perlakuan R0 (0% PF) dengan nilai keuntungan juga tertinggi yakni Rp 1 073 sedangkan Rp 948/e/h pada R0. Maknanya adalah penggunaan 40% putak fermentasi dalam komposisi ransum ternak kambing tidak mempengaruhi performans pertumbuhan ternak tapi memberikan keuntungan yang lebih besar, mengingat biaya pakan merupakan biaya terbesar dalam manajemen usaha ternak. Perbedaan harga ransum diakibatkan perbedaan komposisi ransum perlakuan.
Tabel 11 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertumbuhan dan efisiensi ransum PEUBAH
PERLAKUAN
R0
R1
R2
R3
R4
Berat Awal (kg) 11.77±1.29 11.52±1.51 12.40±0.85 12.03±0.97 11.91±0.75 Berat akhir (kg) 15.82±1.27 15.48±1.50 16.46±0.83 16.16±1.06 16.21±0.69 LajuPertmbhan (kg) 4.04±0.04 a 3.96±0.04 a 4.06±0.04a 4.13±0.13a 4.30± 0.11a b a b b PBB, (g/e/h) 51.4±0.59 50.4±0.43 51.64±0.62 52.49±1.69 54.54±1.20 c a a a a Konversi Ransum 8.87±0.22 9.20±0.20 9.22±0.17 9.36±0.74 9.37±0.24 a a a a a EPR 0.11±0.003 0.11±0.002 0.11±0.002 0.11±0.10 0.11±0.003 a Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat 2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) antara perlakuan
Income Over Feed Cost (IOFC) seperti tergambar pada Tabel 12 merupakan analisis ekonomi sederhana yang digunakan untuk melihat keuntungan dari usaha ternak kambing. Pendapatan kotor diperoleh dari pendapatan yang diperoleh dari nilai jual ternak setelah dikurangi biaya pakan. Nilai tersebut dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan, harga bahan pakan, besarnya pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan.
64
Tabel 12 Perhitungan ekonomis pakan terhadap pertumbuhan ternak percobaan Parameter Ransum Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 Harga ransum/ 1 124 1 192 1 106 1 022 936 kg- (Rp) Total biaya 337 361 334 314 290 ransum (Rp/e/h) Nilai ternak (Rp) 1 285 1 260 1 291 1 312 1 363 IOFC Rp/ekor 948 899 957 998 1 073 Ket : Harga bahan per kg (Rp): jagung 3000, dedak 1000, putak tanpa olah 500, PF 600, bungkil kelapa 1000, daun gamal 250 dan jerami padi 100. Harga jual ternak Rp. 25 000 per kg hidup (harga yang berlaku pada tahun 2007)
Berdasarkan Tabel 12 terlihat nilai IOFC semakin tinggi seiring dengan makin bertambahnya penggunaan putak fermentasi (PF) hingga 40% dalam ransum. Hal ini memperlihatkan bahwa ransum yang mengandung PF memberikan keuntungan cukup baik yang dilihat dari mutu pakan itu sendiri maupun penghasilan peternak.
65
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1. Fermentasi putak dengan kultur tunggal T.reesei atau A.niger dapat meningkatkan kualitas substrat yang ditandai dengan meningkatnya kadar protein kasar masing-masing kapang menjadi 20. 60 dan 19.81% , protein murni 13.25 dan 12.53% serta diikuti peningkatan kadar serat kasar 12.22% pada A.niger tetapi turun menjadi 9.08% pada T.reesei. 2. Fermentasi campuran T.reesei dan A.niger dengan lama penundaan pencampuran dua hari dapat memperbaiki kualitas substrat lebih tinggi jika dibanding kultur tunggal ditinjau dari kadar protein kasar 23.62%, protein murni 14.92% dan serat kasar 10.17%. 3. Penggunaan putak fermentasi dapat mencapai 40% dalam campuran konsentrat, jauh lebih tinggi dibanding 10% putak tanpa fermentasi (kontrol) serta memberi respon yang lebih baik terhadap performans ternak ditinjau dari konsumsi dan kecernaan nutrien, retensi nitrogen, serta pertambahan bobot badan harian 4. Penggunaan pakan lokal seperti putak dapat ditingkatkan dalam ransum melalui proses pengolahan biologi secara fermentasi campuran dan dapat diaplikasikan pada ruminansia.
Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh yang berhubungan dengan kualitas nutrien maupun fermentabilitas substrat maka perlu dikaji lebih lanjut kemampuan putak fermentasi sebagai konsentrat tunggal pada ruminansia. Demikian juga penggunaannya dengan hijauan yang berbeda serta jenis ternak ruminansia yang juga berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Alexopolous JC, Mins CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. New York. J Willey and Sons. Aunstrup K.1979. Production, Isolation and Economic of Extracellulair Enzymes. Di dalam: Wingart LE, Katzir EK, Godstein, editor. Applied Biochemistry Bioengineering Enzyms Technology. New York: Academic Press. Baldwin RL, Allison MJ. 1983. Rumen Metabolism. J Anim Sci 57 Suppl. 2:461-477. Bamualim A, Kale Taek J, Nulik J,Wirdahayati RB. 1993. Pengaruh suplemen daun kedondong hutan (Lannea grandis), turi (Sesbania grandiflora), putak (Corypha gebanga) dan putak campur urea terhadap pertumbuhan ternak sapi bali di musim kemarau. Publikasi Wilayah Kering 1:1-5 Biyatmoko D. 2002. Penggunaan ampas sagu fermentasi dalam ransum itik alabio jantan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Buttery PJ.1976. Protein Synthesis in the Rumen: Its Implication in the Feeding of Non-Protein Nitrogen to Ruminants. Di dalam: Swan H, Broster WH, editor. Principles of Cattle Production. London: Butterworth Cheng
KJ, McAllister TA, Kudo H, Forsberg CW, Costerton JW. 1991. Microbial Strategy in Feed Digestion. Di dalam: Ho YW, Wong HK, Abdullah N, Tajuddin ZA, editor. Recent Advances on the Nutrition of Herbivores. Kualalumpur: Malaysian Soc.Anim Prod.
Correa GM, Portal L, Moreno P, Tengerdy RP. 1999. Mixed culture solid substrate fermentation of Trichoderma reesei and Aspergillus niger on sugar cane bagasse. Bioresource Technology 68:173-178. Danial M. 1996. Evaluasi potensi hidrolitik enzim selulase dan glukoamilase dari campuran filtrat kultur Aspergillus niger dan Trichoderma koningii [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Devendra C, Burns M. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan Harya Putra. Bandung: ITB Press [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan 2007. Statistik Peternakan. Jakarta: Dirjen Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI Dwidjoseputro D. 1985. Dasar-dasar Mikrobiologi. Malang: CV Djembatan. Enari TM. 1983. Microbial Cellulase. Di dalam : Fogarty WM, editor. Microbial Enzymes and Biotechnology. New York: Applied Sci. Publisher.
67 Erwanto. 1995. Optimalisasi sistim fermentasi rumen melalui suplementasi sulfur, defaunasi, reduksi emisi metan dan stimulasi pertumbuhan mikroba pada ternak ruminansia [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB. France J, Siddons RC. 1993. Volatile Fatty Acids Productions. Di dalam: Forbes JM, France J, editor. Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. CAB International Frazier WC, Westhoff DC. 1981. Food Microbiology. New York: Tata McGrowHill Publ. Co. Ltd. Gandjar I, Sjamsuridzal W, Oetari A. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung: CV Armico Ginting MU. 2000. The influence of fermented putak in pig diets digestibility and growth performance of weanling pigs [disertasi]. Gottingen/Germany: Institute of Animal Physiology and Animal Nutrition Georg-AugustUniversity . Gong CS, Tsao GT. 1979. Cellulase and Biosynthesis Regulation. Di dalam: Pearlman D, editor. Animal Report on Fermentation Process. New York: Academic Press Gushairiyanto. 2004. Detoksikasi dan fermentasi kulit umbi ketela pohon dengan kapang Aspergillus niger serta implikasinya terhadap performan kambing kacang jantan [disertasi]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran. Hartono L. 2002. Perancangan proses dan penggandaan skala produksi biosurfaktan oleh isolat lokal Bacillus sp. BMN 14 dengan substrat tetes tebu [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Henning PH, Steyn DG, Meissner HH. 1991. The effect of energy and nitrogen supply pattern on rumen bacterial growth in vitro. Anim Prod 51:165-175. Hesseltine C W. 1991. Mixed-Culture Fermentations: An Introduction to Oriental Food Fermentations. Di dalam : Zeikus JG, Johnson EA, editor. Mixed Cultures in Biotechnology. New York: McGraw-Hill Inc. Howard MD, Muntifering RB, Howard MM, Hayek MG. 1992. Effect of time and level energy supplementation on intake and digestability of low quality tall fescue hay by sheep. Can J Anim Sci 72:51-60.
68 Huang YT, Kinsella JE. 2006. Effects of phosphorylation on emulsifying and foaming properties and digestibility of yeast protein. J Food Sci 52:1684-1688 Huber JT, L Kung Jr. 1981. Protein and non protein utilization in dairy cattle. J Dairy Sci 75:2165-2168 Hvelpund,T. 1991. Volatile fatty acids and protein production in rumen. Di dalam: Jouany, editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminal Digestion. Paris INRA Islam MR, Ishida M, Ando S, Nishida T. 2002. In sittu dry matter and Phosphorous disappearance of diffrerent feeds for ruminants. Asian-Aust J Anim Sci 15:793-799 Jaelani A. 2007. Hidrolisis bungkil inti sawit oleh kapang Trichoderma reesei sebagai pendegradasi polisakarida mannan dan pengaruhnya terhadap penampilan ayam pedaging [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Juhasz T, Kozma K, Zsolt Szengyel, Reczey K. 2003. Production of β-glucosidase in mixed culture of Aspergillus niger BKMF 1305 and Trichoderma reesei RUT C30. Food Technol Biotechnol 41:49-53. Kana Hau D, Bamualim A, Kale Taek J, Nulik J. 1993. Pengaruh suplemen putak, putak campur urea dan biji kapas terhadap pertumbuhan ternak kambing yang diberi jerami padi di musim kemarau. Publikasi Wilayah Kering 1:49-52. Kaunang ChL. 2004. Respon ruminansia terhadap pemberian hijauan pakan yang di pupuk air belerang [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kempton TJ, Nolan JV, Leng RA.1978. Principles for the use non-protein nitrogen and by-pass protein in diets of ruminant. World Anim Review 12:84-92. Kompiang IP, Sinurat A, Supriyati. 1995. Pengaruh protein enriched sagu/limbah sagu terhadap kinerja ayam pedaging [laporan penelitian]. Laskin AI, Heubert AL.1978. Handbook of Food Technology. Wesport: AVI. Lawa EDW. 1996. Pengaruh lama pemasakan campuran tepung putak (Corypha gebanga) dengan berbagai level urea terhadap nilai nutrisi in vitro [thesis]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran. Leng RA. 1991. Applications of Biotechnology to Nutrition of Animals in Developing Countries. Rome: FAO
69 Litchfield JH. 1979. Production of Single-Cell Protein for Use in Food or Feed. Di dalam : Peppler HJ, Perlman D, editor. Microbial Technology. New York. Academic Press. Luginbuhl JM, Poore MH. 2005. Nutrition of Meat Goats. EAH Webmaster, Department of Animal Science, NCSU. www.ncsu.edu/forage/nutpubs.htm [12 Sept 2006] Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press McAllan AB, Smith RH. 1983. Factors influencing the digestion of dietary carbohydrates between the mouth and abomasums of steers. Br J Nutr 50:445-450 McDonalld P, Edward RA, Greenhalgh JFD. 1988. Animal Nutrition. New York: Longman Inc. Mehrez AZ, Orskov ER.1977. A study of the artificial fiber bag technique for determining the digestibility of feed in the rumen. J Agric Sci Camb 88: 645-650 Mishra BK, Anju A, Lata. 2004. Optimization of a biological process for treating potato chips industry wastewater using a mixed culture of Aspergillus foetidus and A. niger. Bioresource Technology. 94:9-12. Montenecourt BS. 1983. Strain Improvement for the Production of Microbial Enzymes for Biomass Conversion. Di dalam: Ferranti MP, Fiechter A, editor. Production and Feeding of Single Cell Protein. London and New York: Applied Sci Publishers. Moore E, Landecker. 1982. Fundamentals of Fungi. New Jersey: Prentice Hall Inc. Moo-Young M, Moreira AR, Tengerdy RP. 1983. Priciples of Solid-Substrate Fermentation. Di dalam: Smith JE, Berry DR, Bjorn K, editor. The Filamentous Fungi. Vol 4 Fungal Technology. London: Edward Arnold Publs. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Enzim dalam Industri Pangan. Bogor: PAU IPB. Nolan JV. 1993. Nitrogen Kinetics. Di dalam: Forbes JM dan France J, editor. Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. CAB International.
70 Noviati A. 2002. Fermentasi Bahan Pakan Limbah Industri Pertanian dengan Menggunakan Trichoderma harzianum [skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, IPB. [NRC] Nutrient Requirements of Domestic Animals. 1981 Nutrient Requirements of Goats.Washington DC National Academy Press. Nulik J, Fernandez PTh, Bamualim A. 1988. Pemanfaatan dan produksi putak sebagai sumber energi makanan ternak sapi dan kambing. Laporan Penelitian Komponen Teknologi Peternakan, Main Base Kupang 1987 – 1988. Proyek NTASP. BPPP Deptan. Nurjanah. 2006. Evaluasi nutrisi hijauan lahan gambut Kalimantan Tengah pada kambing kacang [thesis]. Bogor: Sekolah Pasacsarjana, IPB Nur YS. 1993. Penggunaan kultur campuran terhadap peningkatan nilai gizi onggok sebagai pakan broiler. [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB Pakula TM, Uusitalo J, Saloheimo M, Salonen K, Robert JA, Penttilä M. 2000. Monitoring the kinetics of glycoprotein synthesis snd secretion in the filamentous fungus Trichoderma reesei: cellobiohydrolase I (CBHI) as a model protein. Microbiology 146:223-232. __________, Laxell M, Huuskonen A, Uusitalo J, Saloheimo M, Penttilä M 2003. The effects of drugs inhibiting protein secretion in the filamentous fungus Trichoderma reesei. The Journal of Biological Chemistry 278: 45011-45020. __________, Salonen K, Uustalo J, Penttilä M. 2005. The effect of specific growth rate on protein synthesis and secretion in the filamentous fungus Trichoderma resei. Microbiology 151:135-143. Panda T, Bisaria VS, Ghose TK. 1989. Method to estimate growth of Trichoderma reesei and Aspergillus wentii in mixed culture on cellulosic substrates. Appl Environ Microbiol 55:1044-1046. Pantoja J, Firkins JL, Estridge ML, Hull BL. 1994. Effects of fat saturation and source of fiber on site of nutrient digestion and milk production by lactating dairy cows. J Dairy Sci 77:2341-2356. Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Ratna Siri Hadioetomo, editor. Terjemahan dari: Element of Microbiology. Bagian Mikrobiologi Fakultas Pertanian IPB. Peterson PR. 2005. Forage for goat production. Blacksburg: Dept. Virginia Tech. University. www.boergoat.htm [12 Sept 2006]
71 Preston TR, Leng RA. 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resources in the Tropics. Armidale: Penambul Books Puastuti W. 2005. Tolok ukur mutu protein ransum dan relevansinya dengan retensi nitrogen serta pertumbuhan domba [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Russel JB, Connor JDO, Fox DG, Van Soest PJ, Sniffen CJ. 1992. A net carbohydrate and protein system for evaluating cattle diets: I. Ruminal fermentation. J Anim Sci 70:3551-3561 Rachman Ansori. 1992. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor: PAU IPB Saha BC. 1991. Mixed Cultures in Enzymatic Degradation of Polysaccharides. Di dalam : Zeikus JG, Johnson EA, editor. Mixed Cultures in Biotechnology. New York: McGraw-Hill Inc. Satter LD, Roffler RE. 1981. Influence of Nitrogen and Carbohydrates Inputs on Rumen Fermentation. Di dalam: Haresign W, Cole DJA, editor. Recent Developments in Ruminants Nutrition. London: Butterworth Senez JC. 1983. Protein Enrichment of Starchy Materials by Solid State Fermentation. Di dalam: Ferranti MP, Fiechter A, editor. Production and Feeding of Single Cell Protein. London and New York: Applied Sci Publishers. Setiawiharja B. 1984. Fermentasi Media Padat dan Manfaatnya. Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Shurtleff W, Aoyagi A. 1979. The Book of Tempeh : A Super Soy Food from Indonesia. New York : Harper and Row. Simanihuruk K. 2005. Pemanfaatan kulit buah markisa (Passiflora edulis Sims f. edulis Deg) sebagai campuran pakan pelet komplit untuk kambing kacang [thesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB Sinurat AP, Purwadaria T, Rosida J, Surachman H, Hamid H, Kompiang IP. 1998. Pengaruh suhu ruang fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi lumpur sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (JITV) 3:225-229. Sniffen CJ, Robinson PH. 1987. Microbial growth and flow as influenced by dietary manipulations. J Dairy Sci 70:425-442. Spark M, Paschertz H, Kamphues J. 2005. Yeast (different sources and level) as protein source in diets of reared piglets: effects on protein digestibility and N-metabolism). J Anim Physiology and Anim Nutrition 89:184-188.
72 Suhartati F.M, Suryapratama W, Ning Iriyanti. 2003. Sintesis asam amino metionin pada Trichoderma reesei dan pengaruhnya terhadap sintesis protein mikroba rumen. Jurnal Peternakan dan Lingkungan 9:12-16. Supriyati, Pasaribu T, Hamid H, Sinurat A. 1999. Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat padat menggunakan Aspergillus niger. JTIV 3:165-170 Suryahadi, I K Amrullah. 1989. Pembuatan “Ogrea” sebagai pakan dari hasil ikutan tanaman dan pengolahan ubi kayu yang difermentasi dengan Aspergillus niger [laporan penelitian]. Bogor: DP4M IPB. Sutardi T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Pros. Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan. Bogor: LPP IPB _________. 1995. Peningkatan produksi ternak ruminansia melalui amoniasi pakan serat bermutu rendah, defaunasi dan suplementasi sumber protein tahan degradasi dalam rumen [laporan penelitian]. Bogor: DP4M IPB. Tamminga S, Doreau M. 1991. Lipids and rumen digestion. Di dalam: JP Jouany, editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminal Digestion. Paris: INRA. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Torres EF, Cordova LJ, Garcia RM, Gutierrez RM. 1998. Kinetics of growth of Aspergillus niger during submerged, agar surface and solid state fermentations process. Biochemistry 33:103-107. Tsao GT, Lin-Chang Chiang. 1983. Principles of Solid-Substrate Fermentation. Di dalam: Smith JE, Berry DR, Bjorn K, editor. The Filamentous Fungi. Vol 4 Fungal Technology. London: Edward Arnold Publs. Uhi HT. 2005. Suplemen katalitik berbahan dasar gelatin sagu, NPN dan mineral mikro untuk ruminansia di daerah marjinal [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Valdivia AR, de la Torre M, Campillo CC. 1983. Solid State Fermentation of Cassava with Rhizopus Oligosporus NRRL 2710. Di dalam: Ferranti MP, Fiechter A, editor. Production and Feeding of Single Cell Protein. London and New York: Applied Sci Publishers. Wallace RJ, Cotta AM. 1997. Metabolism of nitrogen containing compounds. Di dalam: Hobson PN, Stewart CS, editor. The Rumen Microbial Ecosystem. London: Blackie Academic & Professional.
73 _________, Newbold CJ, Bequette BJ, MacRae JC, Lobley GE. 2001. Increasing the flow of protein from ruminal fermentation. Review. Asian-Aust J Anim Sci 14:885-893. Wang DTC, Conney CL, Demain AL, Dunnill P, Humpherey AF, Lilly MD. 1979. Fermentation and Enzymes Technology. New York: John Willey and Sons. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia