PENGARUH PEMANASAN GELOMBANG MIKRO DUA TAHAP PADA HIDROLISIS ASAM EMPULUR SAGU UNTUK PRODUKSI BIOETANOL
SKRIPSI
SRI DEWI YANTI F34070105
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
1
EFFECT OF TWO STEPS MICROWAVE HEATING IN ACID HYDROLYSIS OF SAGO PITH FOR BIOETHANOL PRODUCTION Sri Dewi Yanti and Titi Candra Sunarti Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor 16002, West Java, Indonesia Phone 081287605337, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Sago is a genus of palm that can be utilized to produce fermentable sugars as substrate for bioethanol. Sago pith is a heterogeneous substrate consists of starch and fiber. Acid hydrolysis by microwave heating radiation can break down starch and fibers together in a very short time, so it is considered to be very efficient. The use of microwave energy (as power level) and variation of heating time can produce fermentable sugar with certain characteristics. This study included the preparation of sago pith flour, pith composition analysis including proximate components, starch, and fiber components, the process of acid hydrolysis (0.3 M and 0.5 M sulphuric acid) with two steps microwave heating (power level 30% with time variation 1 minute, 2 minutes and 3 minutes the next step followed by power level 70% for 3 minutes), and characterization of fermentable sugar. As comparison, conventional treatment carried out using the autoclave on 121oC for 15 minutes. The highest sugar (105.7 g/l) contents of fermentable sugar is produced from microwave heating with power level 30% for 2 minutes followed by the power level 70% for 3 minutes. This hydrolyzate then used as substrate fermentation for Issatchenkia orientalis with different acidity (pH 3, 4 and 5), but highest ethanol produced from substrate with pH 5. Ethanol produced is still low (2.8 g/l) compared with autoclave treatment (14.5 g/). Not all sugar were consumed and it is proved that Issatchenkia orientalis only consumed glucose for growth and ethanol production.
Keyword: sago pith, acid hydrolysis, microwave treatment, Issatchenkia orientalis, ethanol
2
SRI DEWI YANTI. F34070105. Pengaruh Pemanasan Gelombang Mikro Dua Tahap Pada Hidrolisis Asam Empulur Sagu untuk Produksi Bioetanol. Di bawah bimbingan Titi Candra Sunarti. 2011
RINGKASAN Pemanfaatan tanaman berpati seperti sagu untuk produksi bioetanol merupakan suatu cara yang dapat dilakukan untuk mencari solusi terhadap menipisnya bahan bakar fosil. Pati yang merupakan komponen utama pada empulur sagu harus dikonversi menjadi gula fermentasi (fermentable sugar) sebelum digunakan dalam pembuatan etanol. Namun, pengolahan tanaman sagu untuk mendapatkan pati harus melewati tahapan ekstraksi dan pengeringan pati sehingga memerlukan air dan energi yang sangat besar. Oleh karena itu, bagian sagu yang digunakan dalam pembuatan fermentable sugar pada penelitian ini adalah empulur sagu yang terdiri dari pati dan serat. Manfaat lain dari penggunaan empulur sagu adalah mengurangi pembentukan limbah dan mendapatkan rendemen gula yang lebih tinggi karena serat dalam empulur sagu seperti selulosa dan hemiselulosa juga dapat dikonversi menjadi gula sederhana. Empulur sagu merupakan substrat heterogen, sehingga perlu perlakuan untuk menurunkan kristalinitas serat dan melarutkan pati, misalnya dengan proses hidrolisis. Hidrolisis dapat dilakukan secara enzimatis, kimiawi dan kombinasi keduanya. Hidrolisis secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan asam kuat berkonsentrasi rendah (encer). Perlakuan hidrolisis secara asam menghasilkan fermentable sugar dengan tingkat keasaman yang tinggi. Tingginya tingkat keasaman pada fermentable sugar dapat menghambat pertumbuhan mikroba perombak gula sehingga berpotensi untuk mengembangkan sistem produksi bioetanol yang tidak memerlukan tahapan sterilisasi. Dengan demikian, proses hidrolisis secara asam empulur sagu dapat menekan energi dan biaya pada proses pembuatan etanol. Pemanasan pati dan serat dapat mempercepat proses hidrolisis, salah satunya adalah dengan menggunakan pemanasan gelombang mikro. Hidrolisis asam dengan pemanasan gelombang mikro dapat memecah polimer pati dan serat sekaligus hanya dalam waktu beberapa menit, sehingga dinilai lebih efisien. Pada penelitian ini hidrolisis asam dilakukan terhadap suspensi empulur sagu 10% (b/b) dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) konsentrasi 0.3 M dan 0.5 M pada pemanasan gelombang mikro dua tahap. Pemanasan gelombang mikro tahap 1 menggunakan power level (PL) 30% dengan perlakuan waktu pemanasan 1 menit, 2 menit dan 3 menit, sedangkan pemanasan tahap 2 menggunakan PL 70% selama 3 menit. Adanya perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap membuat pati dan serat lebih banyak terhidrolisis dibandingkan hanya menggunakan pemanasan satu tahap (kontrol: PL 70% selama 3 menit). Hal ini disebabkan karena penggunaan pemanasan tahap 1 (PL 30%) dapat membuat pati tergelatinisasi dan serat menjadi amorf sehingga memudahkan kerja asam dalam menghirolisis pati dan serat pada tingkat pemanasan yang lebih tinggi. Sebagai pembanding perlakuan pemanasan, dilakukan juga hidrolisis terhadap suspensi empulur sagu dengan konsentrasi asam yang sama menggunakan otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Berdasarkan hasil penelitian, semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis menggunakan gelombang mikro pada tahap 1 (PL 30%), maka pembentukan total gula dan gula pereduksi semakin tinggi, namun jika waktu hidrolisis semakin diperpanjang menyebabkan produk terdegradasi lebih lanjut sehingga terbentuk senyawa inhibitor yang tidak diinginkan seperti hidroksimetilfurfural (HMF) dan furfural yang semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah HMF terbesar adalah pada perlakuan otoklaf (65.64 mg/l) karena waktu hidrolisis cukup lama
3
(15 menit), sedangkan perlakuan gelombang mikro dengan waktu hidrolisis relatif singkat (3-6 menit) hanya menghasilkan HMF sekitar 0.28-1.88 mg/l. Dari perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap terhadap empulur sagu, perlakuan yang menghasilkan fermentable sugar dengan karakteristik terbaik dilihat dari jumlah total gula, gula pereduksi, nilai DE dan DP adalah hidrolisis empulur sagu pada konsentrasi asam 0.5 M dengan pemanasan tahap 1 (PL 30%) selama 2 menit yang dilanjutkan dengan PL 70% selama 3 menit. Akan tetapi, perlakuan terbaik ini belum memberikan hasil yang maksimum bila dibandingkan dengan perlakuan otoklaf karena masih mengandung oligosakarida dengan DP 2.16, sedangkan pemanasan otoklaf menyebabkan proses hidrolisis terjadi lebih sempurna dengan nilai DP mencapai 1 (monosakarida). Besarnya ukuran partikel (35 mesh) dan tingginya kandungan lignin empulur sagu diduga menjadi penyebab tidak terjadinya proses hidrolisis secara sempurna. Fermentable sugar dengan karakteristik terbaik selanjutnya difermentasi dengan menggunakan khamir unggul untuk menghasilkan bioetanol. Khamir yang dipakai untuk fermentasi adalah Issatchenkia orientalis karena memiliki toleransi terhadap pH rendah. Namun, untuk melihat pengaruh pH pada pertumbuhan dan kemampuan I. orientalis dalam memproduksi etanol, maka dilakukan variasi pH substrat menjadi pH 3, 4 dan 5. Sebagai kontrol digunakan substrat dari glukosa teknis pH 5 dan sebagai pembanding substrat dari perlakuan otoklaf pH 5. Berdasarkan hasil fermentasi, peningkatan pH menyebabkan tingkat pertumbuhan khamir lebih baik sehingga kadar etanol yang dihasilkan semakin tinggi. Namun, kadar etanol tertinggi dari proses fermentasi oleh I. orientalis pada substrat perlakuan gelombang mikro (2.816 g/l pada pH 5) jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan substrat perlakuan otoklaf (14.525 g/l) karena gula yang terkandung pada substrat perlakuan otoklaf sudah berbentuk monosakarida (glukosa). Hal ini memperlihatkan I. orientalis hanya mampu mengkonsumsi glukosa untuk pertumbuhan sel dan produksi etanol.
4
PENGARUH PEMANASAN GELOMBANG MIKRO DUA TAHAP PADA HIDROLISIS ASAM EMPULUR SAGU UNTUK PRODUKSI BIOETANOL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh SRI DEWI YANTI F34070105
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
5
Judul Skripsi
:
Pengaruh Pemanasan Gelombang Mikro Dua Tahap pada Hidrolisis Asam Empulur Sagu untuk Produksi Bioetanol
Nama
: Sri Dewi Yanti
NIM
: F34070105
Menyetujui
Pembimbing,
(Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si) NIP 19661219 199103 2001
Mengetahui:
Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP 19621009 198903 2001
Tanggal Lulus: 27 Oktober 2011
6
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Pemanasan Gelombang Mikro Dua Tahap pada Hidrolisis Asam Empulur Sagu untuk Produksi Bioetanol adalah benarbenar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2011
Sri Dewi Yanti F34070105
7
RIWAYAT HIDUP Sri Dewi Yanti. Lahir di Sungai Apit, Riau pada tanggal 27 Desember 1988 dari ayah Muisar Tholib dan ibu Daryam Yani. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di SDN 015 Tualang (1995-2001), SMPN 1 Tualang (2001-2004), dan SMAN 2 Tualang (20042007). Pada tahun 2007 penulis masuk IPB melalui jalur Beasiswa Undangan Daerah (BUD). Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama masa perkuliahan, penulis terlibat dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Riau Bogor (IKPMR Bogor), Ikatan Mahasiswa Siak Anak Negeri Agung (Istana Mas Bogor), Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian (HIMALOGIN), serta aktif di berbagai kepanitiaan. Penulis menjadi asisten praktikum Teknologi Pati, Gula dan Sukrokimia dan menjadi asisten praktikum Bioindustri pada tahun 2011. Penulis melakukan praktik lapang pada tahun 2010 di PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) Perawang di Riau.
8
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Allah SWT atas hidayah, kesempatan dan kemudahan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemanasan Gelombang Mikro Dua Tahap pada Hidrolisis Asam Empulur Sagu untuk Produksi Bioetanol” sebagai syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam senantiasa selalu tercurahkan kepada baginda Rosulullah Muhammad SAW yang telah membawa risalah iman dan Islam kepada manusia. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si sebagai Dosen Pembimbing atas kesempatan, arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama ini dalam kegiatan akademik 2. Dr. Ir. Indah Yuliasih, M.Si sebagai Dosen Penguji atas saran dan masukan yang telah diberikan 3. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si sebagai Dosen Penguji atas saran dan masukan yang telah diberikan 4. Ayah dan Bunda serta adik-adik tercinta yang senantiasa memberikan dukungan dan doa-doanya sehingga penulis selalu termotivasi untuk memberikan yang terbaik dalam menyelesaikan masa studi termasuk penelitian dan skripsi 5. Sahabat terbaikku Hasim Mudin yang selalu memotivasi dan memberikan dukungan moril selama penulis menyelesaikan masa studi 6. Para Laboran dan Teknisi Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian: Bapak Gunawan, Bapak Edi, Bapak Dicky, Bapak Yogi, Ibu Ega, Ibu Rini, dan Ibu Sri yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian. 7. Teman-teman seperjuangan, Raiza Mutia, Eki Hercules, Farid Abdul Qohar, dan Jacqualine yang selalu memberi semangat, dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian, seminar dan ujian skripsi 8. Kakak-kakakku tersayang Febri, Syofia dan Rovanti yang telah menemani dan memberikan semangat kepada penulis dalam menghadapi ujian skripsi 9. Teman-teman TIN 44 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas pengalaman yang menyenangkan dan waktu yang telah dilewatkan bersama penulis selama lebih kurang 3 tahun masa perkuliahaan 10. Dosen, Staf Administrasi di UPT, Staf Perpustakaan PITP, LSI, dan PAU atas bantuannya bagi kelancaran selama penulis kuliah di IPB 11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan tidak lepas dari berbagai kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan Ilmu dan Teknologi, khususnya bidang Teknologi Industri Pertanian Bogor, November 2011
Sri Dewi Yanti
9
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................................
v
I.
PENDAHULUAN ............................................................................................................
1
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................................
1
1.2 TUJUAN.......................................................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................
3
2.1 TANAMAN SAGU .....................................................................................................
3
2.2 SIFAT FISIK DAN KIMIA EMPULUR SAGU .........................................................
4
2.3 PERLAKUAN PENDAHULUAN DENGAN GELOMBANG MIKRO ...................
6
2.4 HIDROLISIS ASAM ..................................................................................................
8
2.5 PRODUKSI BIOETANOL ..........................................................................................
9
III. METODOLOGI ................................................................................................................
12
3.1 BAHAN DAN ALAT ..................................................................................................
12
3.2 METODE PENELITIAN ............................................................................................
12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................................................
17
4.1 KARAKTERISTIK EMPULUR SAGU .....................................................................
17
4.2 HIDROLISIS EMPULUR SAGU SECARA ASAM DENGAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO DUA TAHAP ............................................
18
4.3 PRODUKSI BIOETANOL .........................................................................................
32
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................................
40
5.1 KESIMPULAN ...........................................................................................................
40
5.2 SARAN ........................................................................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................
41
10
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Perbandingan komposisi kimia empulur sagu dan ampas sagu ...........................
5
Tabel 2.
Komposisi kimia empulur sagu kering ................................................................
6
Tabel 3.
Perbandingan hidrolisis asam dan enzimatis .......................................................
8
Tabel 4.
Konversi power level oven microwave ................................................................
14
Tabel 5.
Faktor kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan pemanasan ............................
15
Tabel 6.
Komposisi proksimat dan pati empulur sagu .......................................................
17
Tabel 7.
Komposisi serat empulur sagu .............................................................................
18
Tabel 8.
Nilai bobot residu, gula pereduksi, total gula, volume filtrat, kejernihan filtrat, DE, DP, HMF, dan furfural hasil hidrolisis asam dengan berbagai perlakuan pemanasan ...........................................................................................................
24
Tabel 9.
Nilai total nitrogen pada substrat dengan pH yang berbeda ................................
34
Tabel 10.
Nilai peningkatan total asam dan penurunan pH selama proses fermentasi .........
35
Tabel 11.
Nilai Total Gula dan DP sebelum dan sesudah proses fermentasi .......................
36
Tabel 12.
Nilai kadar etanol dan nilai parameter kinetika fermentasi .................................
37
11
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Penampang membujur batang sagu ................................................................
Gambar 2.
Proses perusakan lignin oleh gelombang mikro .............................................
7
Gambar 3.
Proses pembuatan tepung empulur sagu .......................................................
13
Gambar 4.
Proses hidrolisis empulur sagu secara asam menggunakan perlakuan gelombang mikro dua tahap ..........................................................
14
Penampakan visual hidrolisat sebelum hidrolisis, hidrolisis dengan H2SO4 0.3 M pada gelombang mikro satu tahap dan hidrolisis dengan H2SO4 0.5 M pada gelombang mikro dua tahap ................................
20
Penampakan mikroskopik empulur sagu sebelum dan sesudah pemanasan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi perbesaran 200x ...................
22
Nilai bobot residu pada kombinasi perlakuan pemanasan dan waktu pada konsentrasi asam 0.3 M dan konsentrasi asam 0.5 M ...........................
25
Nilai gula pereduksi pada kombinasi perlakuan pemanasan dan waktu pada konsentrasi asam 0.3 M dan konsentrasi asam 0.5 M ..........
26
Nilai volume filtrat pada kombinasi perlakuan pemanasan dan waktu pada konsentrasi asam 0.3 M dan konsentrasi asam 0.5 M ............................
29
Akumulasi pertambahan volume CO2 pada fermentasi substrat yang berbeda selama 72 jam oleh Issatchenkia orientalis ............................
34
Gambar 5.
Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10.
5
12
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Prosedur analisis komponen empulur sagu ....................................................
46
Lampiran 2.
Prosedur analisis karakteristik fermentable sugar .........................................
50
Lampiran 3.
Prosedur analisis cairan fermentasi ................................................................
52
Lampiran 4.
Volume CO2 yang terbentuk selama proses fermentasi .................................
53
Lampiran 5.
Hasil uji homogenitas berbagai parameter hidrolisis .....................................
54
13
I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Cepat atau lambat cadangan minyak bumi dunia pasti akan habis. Hal ini disebabkan oleh jumlahnya yang terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Keadaan ini mendorong banyak negara di dunia meningkatkan upaya untuk menggunakan biofuel sebagai bahan bakar alternatif. Biofuel adalah bahan bakar atau sumber energi yang berasal dari bahan organik. Jadi, biofuel merupakan bahan bakar yang dapat dibuat dari tumbuhan maupun hewan. Biofuel mempunyai sifat dapat diperbaharui, artinya bahan bakar ini dapat dibuat oleh manusia dari bahan-bahan yang bisa ditumbuhkan atau dibiakkan. Salah satu biofuel yang paling banyak digunakan adalah etanol. Etanol diperoleh dari proses fermentasi terhadap bahan dari tanaman yang banyak mengandung pati atau serat. Bahan berpati dan berserat dikonversi menjadi gula fermentasi (fermentable sugar) sebelum digunakan dalam pembuatan etanol. Komoditas yang banyak digunakan untuk pembuatan bioetanol misalnya ubi kayu dan tebu. Akan tetapi, apabila ubi kayu dan tebu dijadikan bahan utama untuk produksi etanol, dikhawatirkan akan mengakibatkan berkurangnya penyediaan bahan pangan karena penggunaan ubi kayu masih diarahkan untuk bahan baku industri pangan, sedangkan tebu diarahkan untuk menghasilkan gula demi keperluan dalam negeri yang masih belum mencukupi. Berdasarkan fakta-fakta di atas, muncul sebuah gagasan dalam pemilihan bahan baku untuk produksi bioetanol, yaitu sagu. Sagu mengandung pati dan serat tinggi, sumbernya sangat melimpah tetapi belum termanfaatkan secara optimal. Luas penyebaran hutan dan kebun sagu di Indonesia mencapai 56.5% dari penyebaran sagu dunia, namun selama ini pemanfaatannya masih sangat rendah. Selama ini sagu hanya dijadikan sebagai bahan pangan oleh sebagian kecil masyarakat bagian Timur Indonesia dan sebagai pelengkap tepung lainnya dalam pembuatan makanan tradisional. Jadi, potensi sagu untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produksi bioetanol sangat besar. Sagu merupakan genus Palmae yang dapat dimanfaatkan untuk membuat fermentable sugar sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Tanaman ini banyak jenisnya dan masing-masing jenis memiliki karakter fisik dan kimia yang berbeda-beda. Penggunaan empulur sagu sebagai bahan baku pembuatan fermentable sugar dilatarbelakangi untuk mengurangi penggunaan energi dan air karena tidak melewati proses ekstraksi dan pengeringan pati. Selain itu, penggunaan empulur sagu diharapkan dapat menghasilkan rendemen gula yang lebih tinggi dibandingkan hanya menggunakan komponen pati, sebab di dalam empulur sagu terkandung komponen serat yang cukup tinggi seperti selulosa dan hemiselulosa yang juga dapat dikonversi menjadi gula sederhana. Empulur sagu merupakan substrat heterogen sehingga perlu perlakuan untuk menurunkan kristalinitas serat dan melarutkan pati, misalnya dengan proses hidrolisis. Hidrolisis dapat dilakukan secara enzimatis, kimiawi dan kombinasi keduanya. Hidrolisis secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan asam kuat berkonsentrasi rendah (encer). Perlakuan hidrolisis secara asam menghasilkan fermentable sugar dengan tingkat keasaman yang tinggi. Tingginya tingkat keasaman pada fermentable sugar dapat menghambat pertumbuhan mikroba perombak gula sehingga berpotensi untuk mengembangkan sistem produksi bioetanol yang tidak memerlukan tahapan sterilisasi. Dengan demikian, proses hidrolisis empulur sagu secara asam dapat menekan energi dan biaya pada proses pembuatan etanol.
14
Hidrolisis secara asam yang diiringi dengan proses pemanasan dapat memecah polimer pati dan serat sekaligus. Pemanasan secara konvensional untuk proses hidrolisis adalah dengan menggunakan otoklaf. Adanya upaya untuk mengefisienkan proses hidrolisis, membuat banyak orang berpikir untuk mengganti pemanasan konvensional dengan pemanasan yang memerlukan waktu lebih singkat, salah satunya adalah dengan menggunakan pemanasan gelombang mikro. Hidrolisis dengan pemanasan gelombang mikro hanya memerlukan waktu kurang dari 10 menit. Walaupun proses hidrolisis dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, namun penggunaan energi pemanasan yang dinyatakan dengan power level memegang peranan penting dalam proses hidrolisis. Penggunaan energi yang kecil (power level rendah) tidak dapat membuat bahan terhidrolisis secara sempurna, sebaliknya kelebihan enengi (power level tinggi) membuat bahan menjadi rusak akibat produk yang terbentuk ikut terdegradasi dan terbentuk produk samping yang tidak diinginkan seperti hidroksimetilfurfural (HMF) dan furfural. Pada penelitian ini hidrolisis asam dilakukan dengan perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap, yaitu power level rendah dan sedang untuk mendapatkan fermentable sugar. Fermentable sugar yang dihasilkan dari proses hidrolisis digunakan sebagai substrat fermentasi etanol. Pada tahap fermentasi, banyak faktor yang menjadi pertimbangan untuk menghasilkan yield etanol yang lebih tinggi, misalnya jenis mikroba dan kondisi proses fermentasi. Hal ini perlu dipertimbangkan karena masing-masing mikroba memiliki faktor pertumbuhan optimum yang berbeda-beda. Penggunaan khamir lebih disukai daripada bakteri karena ukuran sel besar dan dinding sel lebih padat, sehingga memudahkan saat pemanenan dan daur ulang. Selain itu, khamir tidak mudah terkontaminasi oleh bakteri dan virus. Secara kuantitatif, rendemen alkohol dari heksosa dalam fermentasi menggunakan khamir pada kondisi optimal dapat mencapai 90% (Boyles 1984), dan menurut Campbell dan Priest (1996), efisiensi proses pengubahan energi dari gula menjadi etanol dapat mencapai 97%. Pada penelitian ini dipilih jenis khamir yang memiliki toleransi tinggi terhadap pH rendah untuk memproduksi bioetanol karena fermentable sugar diperoleh dengan cara hidrolisis menggunakan asam. Khamir yang dipakai untuk fermentasi etanol adalah Issatchenkia orientalis. Walaupun I. orientalis memiliki toleransi terhadap pH yang rendah, namun perlu dilakukan penentuan pH optimal pertumbuhannya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini juga dilakukan perlakuan pH terhadap fermentable sugar pada proses fermentasi.
1.2 TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses produksi bioetanol dari empulur sagu melalui hidrolisis asam dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh kombinasi pemanasan gelombang mikro dua tahap dan konsentrasi asam terhadap fermentable sugar yang dihasilkan dari hidrolisis empulur sagu. 2. Mendapatkan pH optimal pertumbuhan I. orientalis dalam mengkonversi fermentable sugar dari empulur sagu menjadi etanol.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TANAMAN SAGU 2.1.1 Jenis dan Budidaya Sagu Tanaman sagu dengan bahasa latin Metroxylon sagu, merupakan tanaman yang menyimpan pati pada batangnya (metro: empulur, xylon: xylem, sagu: pati). Klasifikasi tanaman sagu berdasarkan database tanaman dari Pelayanan Konservasi Sumber Daya Alam (USDA 2005) menyebutkan bahwa sagu termasuk dalam Famili Arecaceae-palm, Genus Metroxylon dan Spesies Metroxylon sagu. Terdapat beberapa genus Palmae yang patinya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, Corypha, Euqeissona, dan Caryota. Genus yang banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga karena kandungan patinya cukup tinggi. Sagu dari genus Metroxylon secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu tanaman sagu yang berbuah atau berbunga hanya sekali (Hapaxanthic) dan tanaman sagu yang berbuah atau berbunga dua kali atau lebih (Pleonanthic). Sagu dari golongan Hapaxanthic terdiri dari lima varietas penting, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Metroxylon sagu, Rottboell atau sagu Molat 2. Metroxylon rumphii, Martius atau sagu Tuni 3. Metroxylon rumphii, Martius varietas Sylvestre Matrius atau sagu Ihur 4. Metroxylon rumphii, Martius varietas Longispinum Matrius atau sagu Makanaru 5. Metroxylon rumphii, Martius varietas Microcanthum Matrius atau sagu Rotan (Haryanto dan Pangloli 1992). Bagian yang terpenting dalam pembentukan pati sagu adalah daun sebagai tempat fotosintesis. Pertumbuhan dan perkembangan daun yang baik akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organ-organ lainnya seperti batang, kulit dan empulur, sehingga pembentukan pati dapat berlangsung optimal. Batang sagu merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati sagu. Ukuran batang sagu dan kandungan patinya bergantung pada jenis sagu, umur dan habitat pertumbuhannya. Pada umur panen sagu sekitar 11 tahun ke atas, empulur sagu mengandung pati sekitar 15-20%. Pada umur setelah masa panen, sagu akan mengalami penurunan kandungan pati. Penurunan kandungan pati biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga. Setelah melewati fase primordia, kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi untuk pembentukan bunga dan buah. Setelah terbentuk bunga dan buah, batang akan menjadi kosong dan tanaman sagu akan mati. Keadaan tersebut mempermudah petani dalam mengetahui rendemen pati sagu maksimal. Ciri-ciri pohon sagu yang kandungan patinya mencapai maksimum dan siap panen adalah pangkal daun yang terletak di bawah pelepah daun berwarna kelabu biru. Ukuran diameter batang sagu siap panen bisa mencapai 80-90 cm dan rata-rata sekitar 50 cm. Pada umumnya, kandungan pati bagian bawah batang lebih besar dari pada bagian atas (Haryanto dan Pangloli 1992).
2.1.2 Potensi Sagu Menurut Flach (1979) dalam Haryanto dan Pangloli (1992), sagu merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK). Tumbuhan ini merupakan tumbuhan penghasil karbohidrat yang cukup tinggi dibanding dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Potensi sagu di Indonesia mencapai kurang lebih 50% dari sagu dunia. Secara alami tumbuhan sagu tersebar
16
hampir di setiap pulau di Indonesia dengan luasan terbesar berpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Areal tanaman sagu di Indonesia diperkirakan 95.9% tersebar di Kawasan Timur Indonesia dan 4.1% di Kawasan Barat Indonesia. Produksi tepung sagu kering di Maluku kurang lebih 4.4 ton per hektar per tahun dan di daerah Selat Panjang Riau mencapai 25 ton per hektar per tahun. Areal hutan sagu di Indonesia sekitar 1,250,000 hektar dengan kepadatan anakan 1,480 per hektar yang setiap panen menghasilkan 125-140 pohon per tahun. Hutan sagu tersebut tersebar di Papua seluas 1,200,000 hektar dan Maluku seluas 50,000 hektar serta 148,000 hektar hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat). Akan tetapi, dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang merupakan areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton per hektar per tahun, hal ini ditandai dengan banyaknya tanaman sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen sehingga akhirnya rusak. Pemanfaatan sagu di Indonesia hanya terbatas pada skala petani atau industri kecil dengan cara pengolahan manual dan memiliki harga jual yang rendah (Suryana 2007). Terdapat sekitar 1,406,469 hektar tegakan sagu di Irian Jaya. Setiap hektar tegakan sagu per tahun paling sedikit menghasilkan 2.5 ton pati sagu. Dengan demikian, di Irian Jaya terdapat potensi pati sagu sekitar 3,516,173 ton sagu per tahun. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat Irian membutuhkan sekitar 150,000 ton sagu per tahun. Dari data ini, di Irian Jaya terdapat potensi sagu sekitar 3,400,000 ton yang belum termanfaatkan. Terdapat sekitar 56,100 hektar tegakan sagu di Mentawai dengan produksi sekitar 1,200 ton. Potensi pati sagu di daerah Mentawai ini mencapai 139,000 ton per tahun. Terdapat tegakan sagu sekitar 95,790 hektar di Padang Pariaman dengan produksi 5,063 ton per tahun, di daerah ini terdapat potensi sagu yang belum termanfaatkan sebanyak 234,412 ton sagu per tahun. Dari penjelasan tersebut, potensi sagu di Indonesia sangat tinggi dan sudah saatnya dilakukan pemanfaatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah merintis pemanfaatan sagu menjadi bioetanol, baik skala laboratorium maupun skala usaha kecil. Hal ini merupakan penelitian awal dalam rangka menuju optimalisasi produksi bioetanol dari sagu (Haryanto dan Pangloli 1992).
2.2 SIFAT FISIK DAN KIMIA EMPULUR SAGU Secara umum, penampakan fisik dari tanaman sagu varietas Metroxylon sagu adalah daun berujung runcing panjang dan tajam, batang tidak terlalu tinggi, namun dapat menghasilkan pati paling banyak dibandingkan varietas sagu lainnya. Metroxylon rumphii merupakan sagu yang paling banyak tumbuh di Maluku dan sekitarnya, tangkai daunnya berduri banyak dengan susunan berbaris melintang. Duri-duri sagu varietas Metroxylon rumphii berbentuk lurus sepanjang 1-4 cm dan memiliki mutu sagu sangat baik (Anonim 2010). Menurut Rumalatu (1981), batang sagu terdiri dari lapisan luar yang keras dan bagian dalam yang mengandung serat dan pati. Tebal kulit luar yang keras mencapai 3-5 cm. Struktur batang sagu dari permukaan luarnya meliputi lapisan sisa-sisa pelepah daun, lapisan kulit luar yang tipis dan berwarna kemerah-merahan, lapisan kulit dalam yang keras dan padat berwarna coklat, lapisan serat dan empulur. Penampang membujur batang sagu disajikan pada Gambar 1.
17
sisa-sisa daun kulit tipis kulit keras serat-serat empulur
Gambar 1. Penampang membujur batang sagu (Ramalatu 1981) Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), empulur sagu merupakan bagian batang sagu yang mengandung serat dan pati. Pati sagu diambil dengan cara mengekstrak batang sagu dan menyisakan ampas sebagai limbah yang kemudian hanya dimanfaatkan sebagai media tumbuh jamur. Ampas memiliki kandungan terbesar berupa selulosa, hemiselulosa dan lignin. Lignin memiliki struktur yang sulit untuk dihidrolisis sehingga umumnya ampas hanya dimanfaatkan dengan menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. Perbandingan komposisi kimia antara empulur sagu dan ampasnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan komposisi kimia empulur sagu dan ampas sagu Komposisi
Empulur sagu
Ampas sagu
Air (%)
64.80
78.34
Lemak (%)
0.41
0.20
Protein (%)
2.14
1.31
Serat kasar (%)
6.56
13.48
Karbohidrat (%)
26.81
6.67
Sumber: Haryanto dan Pangloli (1992) Empulur sagu akan cepat menjadi coklat di sepanjang vaskular dan timbul bintik coklat di bagian intinya (pith). Selama perjalanan menuju tempat pengolahan dan menunggu saat pengolahan, empulur sagu yang telah terkupas kulitnya akan segera mangalami perubahan warna yang semakin lama akan semakin meningkat. Perubahan warna ini disebabkan oleh reaksi pencoklatan. Reaksi pencoklatan ini bisa terjadi secara enzimatik dan non enzimatik. Warna coklat pada empulur sagu disebabkan oleh terlukanya jaringan hingga akhirnya rusak. Kerusakan jaringan ini terjadi karena penebangan dan pengangkutan yang kurang baik saat pemanenan, sehingga jaringan akan menjadi memar, terpotong atau terkelupas (Eskin et al. 1971). Selain sifat fisik tersebut, empulur sagu juga memiliki komponen kimia seperti yang telah diteliti oleh Safitri et al. (2009), empulur sagu terdiri atas pati sebanyak 57.25%, serat 31.59% dan memiliki kadar air 11.16%. Fujii et al. (1986) telah meneliti komposisi kimia empulur sagu dan membaginya ke dalam tiga bagian, yaitu empulur bagian luar, bagian tengah dan bagian dalam. Karakteristik empulur sagu yang diuji meliputi komponen proksimat, pati dan beberapa komponen mikro lainnya seperti asam organik. Data hasil pengujian tersebut disajikan pada Tabel 2.
18
Tabel 2. Komposisi kimia empulur sagu kering Komponen
Empulur Utuh
Bagian Luar
Bagian Tengah
Bagian Dalam
Pati (%)
83.50
81.51
83.20
84.72
Lemak kasar (%)
0.38
0.49
0.38
0.31
Serat kasar (%)
3.32
4.20
3.33
3.20
Abu (%)
3.80
4.00
3.50
3.20
Protein (%)
1.15
1.76
1.27
1.06
Pentosan (%)
2.87
-
-
-
Asam malat (%)
1.02
-
-
-
Air (%)
9.79
12.03
12.74
12.67
Sumber: Fujii et al. (1986), data dalam % basis kering, kecuali kadar air Komponen utama tepung empulur sagu yang akan dihidrolisis selain pati adalah serat yang tergabung dalam bahan lignoselulosa. Komponen utama dalam bahan lignoselulosa adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Ketiganya membentuk suatu ikatan kimia kompleks yang menjadi bahan dasar dinding sel tumbuhan. Selulosa adalah karbohidrat kompleks dengan rumus empiris C6H10O5. Selulosa merupakan polimer linier dengan berat molekul tinggi yang seluruhnya tersusun atas β-D-glukosa. Selulosa tidak larut dalam air, biasanya hanya dapat larut dengan alkohol dan eter. Selulosa sangat bersifat resisten untuk bereaksi dengan basa, tetapi memiliki kalarutan yang baik dengan asam kuat. Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan mempunyai kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intramolekul dan intermolekul. Molekulmolekul selulosa secara agregat membentuk mikrofibril yang sangat teratur (kristalin) diselingi dengan bagian-bagian yang kurang teratur (amorf). Mikrofibril membentuk fibril-fibril dan akhirnya membentuk serat-serat selulosa. Dilihat dari sifat kimia, fisik maupun struktur supramolekulnya, maka selulosa dapat memenuhi fungsinya sebagai komponen struktur utama dinding sel tumbuhan (Fengel dan Wegener 1984). Hemiselulosa merupakan istilah umum bagi polisakarida yang larut dalam alkali. Hemiselulosa sangat dekat asosiasinya dengan selulosa dalam dinding sel tanaman. Konstituen utama hemiselulosa adalah lima gula netral, yaitu glukosa, mannosa, galaktosa (heksosan), xilosa, dan arabinosa (pentosan). Hemiselulosa berbeda dari selulosa yang merupakan homopolisakarida dengan monomer glukosa dan memiliki derajat polimerisasi yang tinggi. Rantai utama hemiselulosa terdiri atas hanya satu jenis monomer (homopolimer), seperti xilan atau terdiri atas dua jenis atau lebih monomer (heteropolimer) seperti glukomannan. Rantai molekul hemiselulosa lebih pendek daripada selulosa. Berbeda dengan selulosa dan hemiselulola, lignin terdiri atas struktur molekul aromatik yang tersusun atas unit-unit fenil propana yang merupakan senyawa keras yang menyelimuti dan mengeraskan dinding sel (Fengel dan Wegener 1984).
2.3 PERLAKUAN PENDAHULUAN DENGAN GELOMBANG MIKRO Perlakuan pendahuluan bertujuan untuk perusakan lignin, mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Penggunaan gelombang mikro merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam proses hidrolisis karbohidrat. Gelombang mikro merupakan gelombang
19
elektromagnetik yang mempunyai panjang gelombang antara 1.0 cm - 1.0 m dan frekuensi antara 0.3-30 GHz (Taylor dan Atri 2005). Menurut Copson (1975), frekuensi gelombang mikro mempunyai kesamaan dengan gelombang pada radar dan telekomunikasi sehingga untuk menghindari gangguan pada pemakaian radar dan telekomunikasi, maka pada tahun 1859 di Genewa, Federal Communications and International Radio Regulation menyetujui tiga frekuensi gelombang mikro untuk digunakan dalam industri, sains, kedokteran, dan aplikasi lainnya, yaitu 915 ± 25, 2450 ± 13, dan 5800 ± 125 MHz. Diantara frekuensi-frekuensi tersebut yang paling banyak digunakan untuk oven gelombang mikro adalah 2.45 GHz, yaitu pada panjang gelombang 12.25 cm. Sumber tenaga bagi gelombang mikro adalah magnetron. Pada frekuensi 2.45 GHz magnetron bisa menghasilkan daya antara 500-2000 W bahkan dapat mencapai tingkat maksimum 6-10 kW. Pemanasan dengan gelombang mikro terjadi karena adanya mekanisme pemanasan berbentuk polar. Molekul polar seperti air akan mengikuti gerakan elektromagnet pada frekuensi tertentu, sehingga timbul gerakan intermolekul pada molekul air yang berbentuk acak dan menghasilkan panas (Corsaro et al. 2004). Pemanasan dengan mengunakan gelombang mikro dapat mengkonversi langsung pati menjadi gula dalam waktu yang singkat. Laju reaksi pengubahan pati menjadi glukosa menggunakan gelombang mikro adalah 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan pemanasan konvensional. Paparan bahan dengan pemanasan gelombang mikro dalam waktu yang singkat dapat memperkecil kemungkinan terjadinya hasil samping yang tidak diinginkan (Kunlan et al. 2001). Struktur lignin yang keras dan tingginya sifat kristalin serat pada empulur sagu menyulitkan kerja asam atau penetrasi enzim ke dalam substrat. Namun, menurut Nicolic et al. (2008), perlakuan awal menggunakan gelombang mikro dapat merusak struktur pati dalam waktu paparan yang singkat. Proses perusakan yang diharapkan adalah seperti Gambar 2, dimana lignin rusak dan terputus-putus sehingga selulosa dan hemiselulosa yang terlindungi lignin ikut rusak. Rantai lignin, selulosa dan hemiselulosa yang telah rusak diharapkan memudahkan kerja asam membentuk gula sederhana.
Gambar 2. Proses perusakan lignin oleh gelombang mikro (Anonim 2008) Menurut Taylor dan Atri (2005), penggunaan energi gelombang mikro termasuk mekanisme perpindahan panas secara radiasi. Radiasi merupakan perpindahan panas dari suatu benda ke benda lain tanpa ada kontak fisik, tetapi melalui gerakan gelombang. Mekanisme dasar dari pemanasan gelombang mikro disebabkan oleh agitasi molekul-molekul polar atau ion-ion yang bergerak karena adanya gerakan medan magnetik atau elektrik. Adanya gerakan medan magnetik dan elektrik menyebabkan partikel-partikel bahan di dalam air (molekul polar) dibatasi oleh gaya pembatas. Hal
20
ini menyebabkan gerakan partikel tertahan dan membangkitkan gerakan acak sehingga menghasilkan panas. Radiasi gelombang mikro berbeda dengan metode pemanasan konvensional. Radiasi gelombang mikro memberikan pemanasan yang merata pada campuran reaksi. Pada pemanasan konvensional, dinding oil bath atau heating mantel dipanaskan terlebih dahulu kemudian pelarutnya. Akibat distribusi panas seperti ini selalu terjadi perbedaan suhu antara dinding dan pelarut (Taylor dan Atri 2005).
2.4 HIDROLISIS ASAM Hidrolisis karbohidrat merupakan reaksi kimia menggunakan air untuk memutus rantai polisakarida menjadi rantai-rantai pendek karbohidrat sederhana. Hasil hirolisis ditentukan oleh nilai DE (Dextrose equivalent) yaitu suatu nilai yang mencerminkan derajat hirolisis. Derajat hirolisis tertinggi dinyatakan dengan nilai DE 100, yaitu nilai yang menggambarkan terjadinya hirolisis sempurna pada pati menjadi glukosa. Sirup glukosa mempunyai nilai DE 20-91 (Zamora 2005). Sebagai bahan baku bioetanol, pati sagu harus dihidrolisis untuk mendapatkan glukosa, kemudian dilakukan fermentasi untuk mendapatkan bioetanol. Hidrolisis pati sagu akan menghasilkan hidrolisat yang berbentuk cairan kental dengan komponen utama glukosa. Berbagai cara hidrolisis pati telah banyak dikembangkan, diantaranya hidrolisis asam, hidrolisis enzim dan kombinasi asam dan enzim. Hidrolisis pati menggunakan katalis asam memiliki diagram proses yang sederhana, namun memerlukan persyaratan peralatan yang rumit, yaitu harus tahan panas dan tekanan tinggi. Berbeda dengan hidrolisis menggunakan asam, selain kondisi proses yang tidak ekstrim, pemakaian enzim dapat menghasilkan rendemen dan mutu larutan glukosa yang lebih tinggi. Pada hidrolisis secara enzimatis, ikatan pati dipotong sesuai dengan jenis enzim yang digunakan, sedangkan hidrolisis menggunakan asam pemotongan dilakukan secara acak (Griffin dan Brooks 1989). Perbandingan hirolisis menggunakan asam dan enzim dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan hidrolisis asam dan enzimatis Variabel Pembanding
Hidrolisis Asam
Enzimatis
Kondisi hidrolisis yang lunak
Tidak
Ya
Hasil hidrolisis tinggi
Tidak
Ya
Penghambatan produk selama hidrolisis
Tidak
Ya
Pembentukan produk samping yang menghambat
Ya
Tidak
Katalis yang murah
Ya
Tidak
Waktu hidrolisis yang singkat
Ya
Tidak
Sumber : Karimi et al. (2006) Asam kuat berkonsentrasi rendah (encer) pada kondisi reaksi moderat akan mudah menghidrolis hemiselulosa, tetapi diperlukan kondisi yang lebih ekstrim untuk dapat menghidrolisis selulosa. Keuntungan utama hidrolisis dengan asam encer adalah tidak diperlukannya recovery asam dan tidak adanya kehilangan asam dalam proses (Iranmahboob et al. 2002). Pada umumnya, asam yang digunakan untuk menghidrolisis bahan berlignoselulosa adalah H2SO4 atau HCl pada konsentrasi antara 2-5% (Mussatto dan Roberto 2004).
21
Penggunaan asam H2SO4 dan HCl sebagai katalis dalam hidrolisis asam menghasilkan gula sederhana yang berbeda, dimana pada konsentrasi dan waktu hidrolisis yang sama, H2SO4 memberikan hasil yang lebih tinggi daripada HCl. Menurut Choi dan Mathews (1996), hidrolisis pati dengan menggunakan H2SO4 2% selama 40 menit pada suhu 132oC mengakibatkan 92% bagian pati terkonversi menjadi glukosa, sedangkan HCl 2% dengan waktu dan suhu yang sama mengakibatkan 86% bagian pati terkonversi menjadi glukosa. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sari (2009), bahwa H2SO4 menghasilkan total gula sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan HCl pada konsentrasi, waktu dan suhu yang sama karena sifat HCl lebih kuat dengan reaktivitas yang lebih tinggi daripada H2SO4. Katalis asam dapat dicampurkan pada bahan lignoselulosa sebelum atau sewaktu perlakuan pemanasan. Untuk menghidrolisis hemiselulosa, konsentrasi asam yang digunakan antara 0.10%0.35%, akan tetapi konsentrasi asam yang dipakai biasanya tidak lebih dari 0.30%. Untuk menghidrolisis selulosa, konsentrasi asam H2SO4 yang digunakan biasanya 0.5% sampai 5%. Katalis asam ditambahkan pada bahan lignoselulosa dengan pH antara 1-5, kadang-kadang pH 2-4.5 dan lebih sering pada pH 2.5-3.5 saat pemanasan dimulai. Pada hidrolisis asam, hemiselulosa dapat efektif dipecah menjadi monomer-monomer gula seperti arabinosa, manosa, xilosa, dan galaktosa sedangkan selulosa terdegradasi menjadi glukosa. Terbentuknya monomer-monomer dari komponen serat empulur sagu dapat meningkatkan rendemen gula selain konversi glukosa yang hanya berasal dari komponen pati (Sun dan Cheng 2005). Proses hidrolisis dengan menggunakan asam kuat berkonsentrasi rendah selain memberikan hasil penguraian glukosa juga menghasilkan produk samping yang dapat menghambat proses fermentasi. Penghambatan yang potensial adalah 5-hydroxymethilfurfural (HMF), furfural, asam levulenat, asam asetat, asam format, asam uronat, dan lain-lain (Taherzadeh dan Karimi 2007). Banyaknya inhibitor yang terbentuk pada hidrolisis asam dipengaruhi oleh suhu, waktu dan konsentrasi asam yang digunakan. Pada suhu dan tekanan yang tinggi, xilosa dan glukosa akan terdegradasi menjadi furfural dan HMF, sedangkan lignin dapat terpecah (terdekomposisi) menjadi senyawa-senyawa fenol yang juga terbentuk selama proses degradasi karbohidrat. Inhibitor tersebut akan mengurangi hasil dan produktivitas mikroorganisme yang digunakan selama proses fermentasi karena bersifat toksik (Palmqvist dan Hahn-Hagerdal 2000).
2.5 PRODUKSI BIOETANOL Etanol (C2H5OH) adalah zat kimia organik berbentuk cairan pada suhu kamar, berwarna jernih, berbau khas alkohol, memiliki berat molekul 46.07, mudah terbakar dan dapat dibuat dari biomassa maupun fraksi minyak bumi. Bioetanol merupakan etanol yang terbuat dari bahan nabati yang mengandung gula (nira tebu, aren, molases), pati (ubi kayu, ubi jalar, sorgum, jagung) atau lignoselulosa (jerami padi, tongkol jagung, tandan kosong kelapa sawit, bambu, kayu) (Kadam et al. 2000). Proses konversi bahan berpati dan berlignoselulosa menjadi etanol secara garis besar terdiri atas tiga tahap, yaitu perlakuan pendahuluan, hidrolisis komponen pati dan serat menjadi gula-gula sederhana, dan fermentasi gula-gula sederhana menjadi etanol. Etanol dapat diproduksi dari gula yang difermentasi oleh khamir pada kondisi yang sesuai. Penambahan khamir dapat dilakukan dalam bentuk kering atau sebagai suspensi. Bahan-bahan yang mengandung monosakarida seperti glukosa dapat langsung difermentasi, sedangkan pati, disakarida, selulosa, ataupun karbohidrat kompleks harus dihidrolisis menjadi komponen sederhana (monosakarida) terlebih dahulu untuk kemudian difermentasi (Sa`id 1987).
22
Metode hidrolisis dan jenis karbohidrat yang digunakan sebagai substrat digunakan untuk menentukan jenis mikroba yang akan dipakai dalam proses fermentasi, sebab berbeda metode hidrolisis dan kandungan gula yang terdapat pada substrat, maka berbeda jenis mikroba yang digunakan. Pada umumnya khamir digunakan untuk melakukan fermentasi menghasilkan etanol karena dalam proses metabolismenya khamir mengkonsumsi gula dari pemecahan karbohidrat membentuk etanol. Khamir atau yeast merupakan mikroba bersel satu yang bersifat mikroskopik; berbentuk bulat (speroid), elips, batang atau silindris; dan tidak mempunyai flagel, tetapi beberapa jenis tertentu dapat membentuk filamen (pseudomiselium). Khamir dengan bentuk yang tetap dapat digunakan untuk identifikasi. Khamir dapat dimasukkan ke dalam klas Ascomycetes, Basidiomycetes dan Deuteromycetes. Khamir hidup di dalam tanah, debu di udara, daun-daun, nektar bunga, permukaan buah-buahan, tubuh serangga, dan cairan yang mengandung gula seperti sirup, madu dan lain-lain. Cara hidup khamir bersifat saprofit dan parasit (Campbell dan Priest 1996). Khamir dapat tumbuh dan memfermentasi gula menjadi etanol secara efisien pada pH 3.5-6.0 dan suhu 28-35oC. Walaupun laju awal produksi etanol meningkat pada suhu lebih tinggi, produktifitas keseluruhan akan menurun karena efek penghambatan etanol yang meningkat (Ratledge 1991). Menurut Paturau (1969), fermentasi etanol memakan waktu 30-72 jam. Frazier dan Westhoff (1978) menambahkan bahwa suhu optimum untuk fermentasi antara 25-30oC dan kadar gula antara 10-18%. Jika konsentrasi gula terlalu tinggi, aktivitas khamir dapat terhambat dan waktu fermentasi menjadi lebih lama serta tidak semua gula difermentasi. Kebutuhan nutrien dan kofaktor juga penting bagi kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus disediakan dan biasanya diberikan pada tekanan 0.05-0.10 mmHg, jika tekanan lebih besar dari nilai tersebut, maka konversi gula akan cenderung kearah pertumbuhan sel. Khamir memerlukan media dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, zat besi dan magnesium. Unsur karbon banyak diperoleh dari gula, sumber nitrogen didapatkan dari amonia, asam amino, peptida, pepton, nitrat atau urea bergantung pada jenis khamir. Fosfor merupakan unsur penting dalam kehidupan khamir terutama untuk pembentukan alkohol dari gula (Kosaric et al. 1983 dalam Ruriani 2010). Pada permulaan proses fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga fermentasi terjadi secara aerobik. Setelah terbentuk karbondioksida (CO2), reaksi akan berubah menjadi anaerobik. Alkohol yang terbentuk akan menghalangi fermentasi lebih lanjut setelah tercapai konsentrasi antara 13-15% volume. Konsentrasi alkohol akan menghalangi fermentasi bergantung pada suhu dan jenis khamir yang digunakan. Khamir tumbuh dengan baik pada kondisi aerobik, walaupun demikian beberapa khamir dapat tumbuh pada kondisi anaerobik. Proses respirasi pada kondisi aerobik digantikan dengan proses fermentasi pada kondisi anaerobik. Khamir akan selalu berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada respirasi jauh lebih besar daripada energi yang dihasilkan pada fermentasi. Bila terdapat udara pada proses fermentasi, maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit karena terdapat proses respirasi sehingga terjadi konversi gula menjadi CO2 dan air (Campbell dan Priest 1996). Suhu optimum pertumbuhan khamir adalah pada rentang 25-30oC dan maksimum pada 35-47oC, sedangkan pH optimum adalah 4-5. Batas minimal aw untuk khamir biasanya adalah 0.880.94, sedangkan untuk khamir osmofilik dapat tumbuh pada aw yang lebih rendah yaitu sekitar 0.320.65. Namun demikian banyak juga khamir osmofilik yang pertumbuhannya terhenti pada aw 0.78 seperti pada larutan garam ataupun sirup (Frazier dan Westhoff 1978). Khamir dapat tumbuh dengan baik pada rentang pH antara 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi. pH pertumbuhan berhubungan positif dengan
23
pembentukan asam piruvat. Pada pH tinggi, maka lag phase (fase penyesuaian) akan berkurang dan aktifitas fermentasi akan naik. Pengaruh pH pada pertumbuhan khamir juga bergantung pada konsentrasi gula substrat dan etanol yang terbentuk. Untuk menurunkan pH dapat digunakan asam sitrat sedangkan untuk menaikkan pH dapat digunakan natrium benzoat (Prescott dan Dunn 1981 dalam Dwiko 2010). Proses pemecahan gula menjadi etanol dan CO2 dilakukan oleh sel khamir. Enzim yang berperan dalam pembuatan etanol dari glukosa antara lain adalah heksosinase, fosfoheksoisomerase, fosfofruktokinase, aldose, triosefospate isomerase, gliseraldehid fosfat dehydrogenase, phospho glycerokinase, piruvat karboksilase, dan alkohol dehidrogenase (Campbell dan Priest 1996). Menurut Fardiaz (1988), secara teoritis konversi 1 molekul gula akan menghasilkan 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2. Pemecahan gula menjadi etanol dapat dilihat pada reaksi berikut: C6H12O6 (gula)
2 C2H5OH (etanol)
+
2 CO2 (karbondioksida)
Pada proses fermentasi, yang perlu dikembangkan adalah khamir yang memiliki toleransi terhadap suhu dan etanol yang tinggi. Selain itu, diperlukan juga khamir yang dapat memfermentasi gula yang berasal dari hemiselulosa, seperti xilosa, arabinosa, galaktosa, dan mannosa agar diperoleh rendemen etanol yang lebih tinggi. Saccharomyces cerevisiae lebih sering digunakan dalam proses fermentasi etanol karena memiliki banyak keunggulan antara lain: mampu memproduksi etanol dari gula C6 (heksosa), memiliki toleransi terhadap konsentrasi etanol yang tinggi dan senyawa inhibitor yang terdapat di dalam hidrolisat biomassa lignoselulosa. Namun, galur liar dari S. cerevisiae tidak dapat memfermentasi gula pentosa (C5) seperti: xilosa, arabinosa dan selooligosakarida, sehingga menjadi salah satu kendala pemanfaatannya. Beberapa upaya rekayasa genetika juga telah dilakukan untuk membuat S. cerevisiae dapat memfermentasi xilosa dan glukosa (Govindaswamy dan Vane 2007 dalam Dwiko 2010). Mosier et al. (2005) dalam Ruriani (2010) menyatakan bahwa ketosa dari xilosa, yaitu xilulosa dapat dikonversi menjadi etanol oleh S. pombe, S. cerevisiae, S. amucae, dan Klueveromyces lactis. Selama proses fermentasi, terjadi penurunan pH akibat pembentukan asam piruvat sebagai produk antara etanol. Kondisi pH yang sangat rendah dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba, dengan demikian diperlukan mikroba yang memiliki toleransi terhadap pH rendah. Menurut Seo et al. (2007), Issatchenkia orientalis mampu mempertahankan viabilitasnya pada pH 3. Kemampuan mikroba bertahan hidup pada pH yang sangat rendah sangat diharapkan karena proses hidrolisis yang dipilih merupakan hidrolisis secara asam.
24
III. METODOLOGI 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah empulur sagu yang diperoleh dari industri rumah tangga di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan untuk proses fermentasi adalah Issatchenkia orientalis. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah akuades, glukosa standar, NaOH, DNS, H2SO4, bufer serta larutan ADF dan NDF. Untuk fermentasi etanol, dibutuhkan PDA (Potato Dextose Agar), PDB (Potato Dextose Broth), dan NH4OH sebagai sumber nutrien dalam fermentasi etanol. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah saringan 35 mesh, hammer mill, microwave oven dengan output 1000 W, otoklaf, kertas saring whatman 41, timbangan, neraca analitik, termometer, pipet, buret, labu soxhlet, stirer, jarum ose, bunsen, pH meter, kertas pH, inkubator, penangas listrik, tanur, waterbath, desikator, destilator, clean bench, lemari pendingin, spektrofotometer, filter glass 2G3 dan 2G4, pompa vakum, leher angsa, cawan aluminium, oven, sentrifuse, Gas Chromatography (GC), mikroskop cahaya, dan peralatan gelas lainnya.
3.2 METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu: persiapan bahan dan pembuatan tepung empulur sagu, karakterisasi tepung empulur sagu, proses hidrolisis asam dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap, dan produksi bioetanol.
3.2.1 Persiapan Bahan dan Pembuatan Tepung Empulur Sagu Bahan baku sagu diperoleh dari industri sagu di daerah Cimahpar, Bogor. Proses pembuatan tepung empulur diawali dengan memotong-motong batang sagu menjadi lebih pendek agar memudahkan proses pemarutan. Bahan yang diperoleh untuk penelitian ini adalah empulur sagu yang telah diparut. Tepung hasil parutan yang masih kasar selanjutnya diperkecil ukurannya dengan menggunakan hammer mill hingga diperoleh ukuran tepung empulur sagu ± 35 mesh. Tahapan pembuatan tepung empulur sagu secara lengkap disajikan pada Gambar 3.
3.2.2 Karakterisasi Empulur Sagu Tepung empulur sagu yang telah dipersiapkan selanjutnya dikarakterisasi dengan beberapa uji pendahuluan seperti uji komponen proksimat (air, abu, protein, lemak, serat kasar, amilosa, dan karbohidrat by difference) dengan metode AOAC 1999, uji kadar pati dengan metode Luff Schoorl, dan uji komponen serat (selulosa, hemiselulosa dan lignin) menggunakan metode ADF (Acid Detergent Fiber) dan NDF (Neutral Detergent Fiber) (Van 1969) dalam Apriyantono et al. (1989). Prosedur analisa komponen proksimat, pati dan komponen serat disajikan pada Lampiran 1.
25
Batang tanaman sagu
Pembelahan batang sagu
Pemarutan empulur sagu
Tepung empulur sagu kasar
Pengeringan
Penggilingan dengan hammer mill
Tepung empulur sagu ± 35 mesh Gambar 3. Proses pembuatan tepung empulur sagu
3.2.3 Hidrolisis Empulur Sagu secara Asam dengan Pemanasan Gelombang Mikro Dua Tahap Sebelum melakukan proses hidrolisis, perlu dilakukan penyiapan larutan H2SO4 sebagai katalis, yaitu dengan melakukan pengenceran H2SO4 pekat menjadi konsentrasi 0.3 M dan 0.5 M. Selanjutnya slurry empulur sagu disiapkan dengan konsentrasi 10% (b/b) basis kering atau sebanyak 10 g tepung empulur sagu ke dalam 90 g larutan asam. Slurry selanjutnya diberi perlakuan gelombang mikro menggunakan microwave oven. Tahapan penggunaan gelombang mikro untuk proses hidrolisis dinyatakan dengan power level. Power level menggambarkan besarnya energi yang digunakan dalam menghidrolisis bahan menggunakan microwave oven. Konversi power level terhadap besarnya energi yang digunakan disajikan pada Tabel 4. Setelah bahan terhidrolisis dengan gelombang mikro, selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memisahkan filtrat dari residu yang kemudian dilanjutkan dengan proses penetralan dengan NH4OH untuk menghentikan proses hidrolisis. Fermentable sugar yang diperoleh selanjutnya dikarakterisasi untuk mengetahui hasil perlakuan terbaik. Proses pembuatan fermentable sugar secara lengkap disajikan pada Gambar 4.
26
Tabel 4. Konversi power level oven microwave Power Level % Power Output Wattage (Watts) High
100
800-850
Medium High
70
650
50-60
500
Medium Low / Defrost
30
350
Low
20
160
Very Low
10
90
Medium
Sumber: Anonim (2010), http://ile-maurice.tripod.com/conversion.htm
10 g (bk) tepung empulur 90 g larutan asam (0.3 M dan 0.5 M)
Pencampuran
Slurry empulur sagu
Pemanasan dengan Gelombang Mikro Dua Tahap (oven microwave): 1. Tahap 1: Power level 30% (waktu: 1 menit, 2 menit dan 3 menit) 2. Tahap 2: Power level 70% (waktu: 3 menit)
Hidrolisat
Penyaringan
Residu
Filtrat NH4OH
Penetralan
Fermentable sugar
Gambar 4. Proses hidrolisis empulur sagu secara asam menggunakan perlakuan gelombang mikro dua tahap
27
3.2.4 Rancangan percobaan Penelitian ini dilakukan untuk mengamati pengaruh kombinasi power level gelombang mikro dua tahap dan konsentrasi asam terhadap fermentable sugar yang dihasilkan dari hidrolisis tepung empulur sagu. Rancangan percobaan yang dilakukan adalah uji beda antar perlakuan dengan dua kali ulangan. Dari tiap perlakuan kemudian diuji homogenitasnya menggunakan Program SAS dimana tiap-tiapnya dianggap sebagai perlakuan yang berbeda dan terpisah. Desain percobaannya adalah sebagai berikut: A: Konsentrasi Asam A1: 0.3 M H2SO4 A2: 0.5 M H2SO4 B: Perlakuan Pemanasan B0: Pemanasan otoklaf (pembanding) B1: Power level 70% (3`) (kontrol) B2: Power level 30% (1`) + Power level 70% (3`) B3: Power level 30% (2`) + Power level 70% (3`) B4: Power level 30% (3`) + Power level 70% (3`) Kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan pemanasan yang digunakan dalam proses hidrolisis merupakan satu kesatuan perlakuan. Faktor kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan pemanasan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Faktor kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan pemanasan Faktor Konsentrasi Asam (A)
Perlakuan Pemanasan (B) Otoklaf (pembanding)
0.3 M
0.5 M
Kode A1B0
Power level 70% (3`)
A1B1
Power level 30% (1`) + Power level 70% (3`)
A1B2
Power level 30% (2`) + Power level 70% (3`)
A1B3
Power level 30% (3`) + Power level 70% (3`)
A1B4
Otoklaf (pembanding)
A2B0 Power level 70% (3`)
A2B1
Power level 30% (1`) + Power level 70% (3`)
A2B2
Power level 30% (2`) + Power level 70% (3`)
A2B3
Power level 30% (3`) + Power level 70% (3`)
A2B4
Parameter yang diamati meliputi pengamatan mikroskopik terhadap hidrolisat, bobot residu, dan pengamatan terhadap filtrat seperti: total gula, gula pereduksi, DE, DP, volume filtrat, kejernihan sirup, kadar HMF, dan furfural. Untuk melihat adanya perbedaan antar perlakuan, dilakukan uji lanjut menggunakan uji Duncan.
28
Model matematika untuk rancangan percobaan penelitian ini adalah: Yijk = µ + (AB)ij + Ԑijk Keterangan: = Parameter yang diuji dengan perlakuan interaksi konsentrasi asam ke-i dan pemanasan Yijk ke-j, serta ulangan ke-k µ = Nilai tengah populasi = Pengaruh perlakuan interaksi konsentrasi asam ke-i dan pemanasan ke-j (AB)ij = Efek galat pada konsentrasi asam ke-i, pemanasan ke-j, dan ulangan ke-k. Ԑ(ij)k
3.2.5 Produksi Bioetanol Fermentable sugar dari perlakuan hidrolisis terbaik selanjutnya dijadikan substrat fermentasi. Berdasarkan uji statistik diperoleh perlakuan yang menghasilkan karakteristik substrat terbaik terutama yang memiliki gula pereduksi, total gula dan DE tertinggi, serta memiliki nilai DP terendah. Untuk memproduksi etanol perlu dilakukan persiapan kultur yang akan digunakan pada tahapan fermentasi. a. Persiapan Kultur Khamir I. orientalis disegarkan dan diperbanyak pada medium agar miring PDA (Potato Dextose Agar) yang diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Pembuatan starter dilakukan dengan memindahkan kultur (1 ose untuk 50 ml) pada medium agar PDB (Potato Dextrose Broth) dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam pada inkubator goyang. Setelah diinkubasi selama 24 jam, masing-masing kultur dapat digunakan dalam proses fermentasi sebanyak 10 ml tiap 100 ml substrat. b. Tahapan Fermentasi Pada tahap fermentasi diamati pembuatan bioetanol dengan substrat fermentable sugar dari: (1) perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap terbaik, (2) sirup dari pemanasan menggunakan otoklaf sebagai pembanding, dan (3) sirup dari glukosa teknis 10%. Substrat dari sirup glukosa teknis 10% bertindak sebagai kontrol. Sirup tersebut diperoleh dengan cara melarutkan glukosa teknis ke dalam akuades. Fermentasi berlangsung pada sistem tertutup tanpa aerasi dengan inkubator goyang. Substrat dari glukosa teknis dan perlakuan dengan otoklaf diatur pHnya sehingga konstan pada pH 5, sedangkan substrat dari pemanasan gelombang mikro divariasikan pHnya menjadi pH 3, 4 dan 5. Substrat glukosa teknis disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit, sedangkan substrat dari perlakuan otoklaf dan gelombang mikro tidak perlu disterilkan dengan asumsi tidak ada mikroba yang mampu bertahan hidup pada pH yang sangat rendah. Substrat selanjutnya ditambahkan inokulum I. orientalis hasil biakan dari PDB. Volume pembentukan CO2 yang dilepaskan dari sistem fermentasi diukur dan dihitung sebagai laju pembentukan gas CO2 setiap 3 jam hingga jam ke-12, kemudian pengukuran dilakukan setiap 6 jam hingga jam ke-48, dan setiap 12 jam sampai jam ke-72. Setelah 72 jam, kultur ditetapkan pHnya, kandungan total gula residu, gula pereduksi, DP, total asam, konsentrasi etanol (produk), dan parameter fermentasi seperti Yp/s (perolehan g produk per g substrat) dan ∆s/s (penggunaan substrat). Konsentrasi etanol ditentukan dengan metode Gas Chromatography. Prosedur analisa cairan fermentasi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISTIK EMPULUR SAGU Bahan baku empulur sagu diperoleh dari industri rumah tangga di daerah Cimahpar, Bogor. Bahan baku awal memiliki kadar air yang cukup tinggi karena masih dalam keadaan basah. Empulur sagu tersebut selanjutnya dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari. Empulur sagu yang telah kering diperkecil lagi ukurannya dengan menggunakan hammer mill hingga lolos ayakan 35 mesh. Warna empulur sagu awal secara visual adalah putih agak kecoklatan. Namun, seiring dengan lamanya waktu pengeringan, tepung empulur sagu berubah menjadi coklat karena telah mengalami reaksi pencoklatan (browning). Reaksi pencoklatan ini dapat terjadi karena rentang waktu yang lama antara waktu panen dengan waktu pengolahan pati sagu. Warna coklat yang terbentuk akan terikat kuat dengan pati, sehingga mempengaruhi kualitas pati. Reaksi pencoklatan terjadi karena adanya kandungan fenol dan oksidasi fenol (Ozawa dan Arai 1986 dalam Derosya 2010). Empulur sagu selanjutnya dikarakterisasi untuk mengetahui komposisi yang ada di dalamnya. Karakteristik kimiawi empulur sagu meliputi komponen proksimat, kadar pati dan komponen serat. Komposisi proksimat dan pati empulur sagu disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi proksimat dan pati empulur sagu Komponen Nilai Air (%)
14.52
Abu (% bk)
5.16
Lemak (% bk)
3.72
Protein (% bk)
1.59
Serat kasar (% bk)
7.93
Karbohidrat (by difference) (% bk)
81.6
Pati (% bk)
55.86
Dari hasil analisa proksimat, komponen bahan tertinggi adalah karbohidrat, yaitu sebesar 81.6% yang sebagian besar terdiri atas pati sebesar 55.86%. Pati merupakan karbohidrat yang akan dikonversi menjadi glukosa sebagai substrat khamir dalam fermentasi. Komponen bahan lainnya seperti lemak, protein dan abu tergolong kecil sehingga empulur sagu yang digunakan pada penelitian ini cocok untuk dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan fermentable sugar. Kadar air yang diperoleh dari penelitian Fujii et al. (1986) berkisar antara 9-12%. Kandungan air empulur sagu pada penelitian ini cukup tinggi disebabkan oleh kondisi bahan awal yang diperoleh dari industri rumah tangga di daerah Cimahpar Bogor masih dalam keadaan basah. Kadar air empulur sagu yang telah melewati tahap pengeringan adalah sebesar 14.52%. Kadar abu pada bahan menunjukkan bahan anorganik yang tidak ikut terbakar saat bahan organik dibakar. Menurut Fengel dan Wegener (1984), abu merupakan sisa setelah pembakaran sempurna dari kayu. Abu terdiri dari garam-garam kalsium, kalium dan magnesium, serta terdapat sedikit natrium, aluminium, besi, mangan sulfat, klor, dan silikat. Kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral, kemurnian dan kebersihan suatu bahan yang dihasilkan (Harijadi 1993 dalam
30
Dwiko 2010). Kadar abu empulur sagu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5.16%, jumlahnya lebih tinggi daripada kadar abu empulur sagu dari penelitian Fujii et al. (1986) yang hanya sebesar 3.80%. Kadar abu yang lebih tinggi menunjukkan rendahnya kemurnian pada empulur sagu. Hal ini wajar karena sagu belum diolah menjadi pati sehingga masih banyak terdapat bahan mineral dan anorganik terutama yang terdapat pada kulit batang sagu. Komponen lain yang akan dikonversi menjadi gula sederhana selain pati adalah serat. Komponen serat pada empulur sagu tergolong kecil, hanya sekitar 8%. Bagian utama dari komponen serat terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Hasil analisa komponen serat empulur sagu disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi serat empulur sagu Komponen
Nilai (%)
NDF (Neutral Detergent Fiber)
14.51
ADF (Acid Detergent Fiber)
9.79
Selulosa
2.93
Hemiselulosa
4.72
Lignin
6.86
Berdasarkan hasil analisa komponen serat metode ADF (Acid Detergent Fiber) dan NDF (Neutral Detergent Fiber) dari Tabel 7, lignin merupakan komponen terbesar pada empulur sagu, yaitu 6.86%, diikuti oleh hemiselulosa sebesar 4.72% dan selulosa sebesar 2.93%. Jumlah lignin yang cukup besar dan selulosa yang sangat kecil membuat komponen serat pada empulur sagu kurang berpotensi untuk dikonversi menjadi gula sederhana karena komponen utama yang akan diubah menjadi gula sederhana adalah selulosa dan hemiselulosa. Lignin merupakan senyawa yang melapisi komponen serat dan pati, dengan demikian tingginya kadar lignin pada empulur sagu dapat menghambat proses hidrolisis. Tingginya kadar lignin disebabkan oleh umur dari tanaman sagu, semakin tua umur tanaman, maka kadar lignin akan semakin tinggi. Menurut Hermiati et al. (2010), lignoselulosa yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin berfungsi untuk membentuk kerangka struktrual dari dinding sel tumbuhan dan jumlahnya beragam pada berbagai jenis tumbuhan. Komposisi lignoselulosa pada tumbuhan bergantung dari spesies, umur dan kondisi pertumbuhan. Oleh karena itu, pemanfaatan karbohidrat yang terkandung di dalamnya membutuhkan metode hidrolisis yang tepat sehingga dapat menghasilkan rendemen gula yang tinggi.
4.2 HIDROLISIS EMPULUR SAGU SECARA ASAM PEMANASAN GELOMBANG MIKRO DUA TAHAP
DENGAN
Asam kuat berkonsentrasi rendah (encer) merupakan salah satu alternatif hidrolisis bahan berkarbohidrat dan berserat yang banyak digunakan saat ini. Di dalam struktur tanaman, karbohidrat terutama pati dan komponen serat diselubungi oleh lignin yang merupakan senyawa yang menyelimuti dan mengeraskan dinding sel. Agar asam dapat menghidrolisis serat dan pati, lignin harus diputus terlebih dahulu. Penggunaan gelombang mikro merupakan salah satu pemanasan yang dapat memutus ikatan lignin sekaligus dapat mendegradasi pati. Penelitian tentang penggunaan gelombang mikro untuk mendegradasi pati telah digunakan pada bahan seperti kentang, jagung, beras, dan gandum, baik dalam larutan air maupun asam.
31
Proses hidrolisis biasanya dilakukan dengan menggunakan pemanasan konvensional, yaitu dengan menggunakan otoklaf. Namun, pada penelitian ini pemanasan dilakukan dengan menggunakan microwave oven dan menggunakan otoklaf sebagai pembanding. Penggunaan gelombang mikro sebagai perlakuan pendahuluan hidrolisis dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, hal ini merupakan salah satu keunggulan penggunaan gelombang mikro dibandingkan otoklaf yang membutuhkan waktu tidak kurang dari 15 menit untuk proses hidrolisis. Waktu terlama yang telah digunakan untuk melarutkan pati pada suhu tinggi dengan menggunakan gelombang mikro adalah kurang dari 10 menit, namun dalam prosesnya mengakibatkan produk hasil hidrolisis terdekomposisi menjadi produk sekunder yang memberikan warna gelap (Koroskenyi dan Charti 2002). Proses hidrolisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah hidrolisis asam menggunakan katalis asam sulfat (H2SO4) dengan konsentrasi rendah. Konsentrasi H2SO4 yang digunakan adalah 0.3 M dan 0.5 M. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dwiko (2010), konsentrasi H2SO4 terbaik yang dapat menghasilkan total gula terbanyak dari hidrolisis empulur sagu menggunakan pemanasan gelombang mikro adalah 0.3 M. Oleh karena itu, pada penelitian ini konsentrasi H2SO4 sedikit ditingkatkan menjadi 0.5 M dengan harapan total gula yang dihasilkan lebih tinggi, namun tetap menggunakan konsentrasi asam 0.3 M sebagai pembanding. Dari hasil penelitian yang dilakukan Dwiko (2010), penggunaan gelombang mikro pada power level 10% dan 30% sebagian besar pati dan serat empulur sagu belum terhidrolisis, sedangkan penggunaan gelombang mikro pada power level 100% membuat hidrolisat menjadi hitam (gosong) karena besarnya paparan energi yang diterima oleh empulur sagu. Dari permasalahan tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan kombinasi penggunaan power level rendah (power level 30%) dan sedang (power level 70%). Modifikasi pemanasan gelombang mikro bertahap ini dilakukan dengan tujuan agar ikatan lignin dapat terputus, mengurangi tingkat kristalinitas serat selulosa menjadi lebih amorf sehingga memudahkan penetrasi asam ke dalam pati, namun tetap tidak menimbulkan kegosongan akibat kelebihan energi panas yang diterima bahan. Untuk melihat perbedaan hasil hidrolisis dari perlakuan gelombang mikro pada power level dua tahap tersebut, maka dilakukan pula hidrolisis hanya menggunakan power level satu tahap, yaitu power level 70% selama 3 menit sebagai kontrol yang merupakan perlakuan terbaik dari penelitian yang dilakukan Dwiko (2010). Waktu hidrolisis antara empulur sagu dengan asam pada paparan panas dari gelombang mikro juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil hidrolisis. Pada penelitian ini perlakuan waktu hidrolisis antara empulur sagu dengan asam dan panas hanya dilakukan pada pemanasan gelombang mikro tahap 1 (power level 30%), yaitu 1 menit, 2 menit dan 3 menit. Tujuan dari perlakuan waktu pada pemanasan tahap 1 ini adalah untuk mengetahui waktu optimal dalam menghasilkan fermentable sugar dengan karakteristik terbaik, terutama yang menghasilkan kadar gula tertinggi. Pemakaian konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada perlakuan gelombang mikro dua tahap memperlihatkan perbedaan hasil terhadap perlakuan gelombang mikro satu tahap. Pada perlakuan konsentrasi asam lebih tinggi yang diikuti pemanasan gelombang mikro dua tahap dengan waktu kontak yang lebih lama membuat empulur sagu terhidrolisis lebih sempurna daripada perlakuan konsentrasi asam rendah yang diikuti pemanasan gelombang mikro satu tahap dengan waktu kontak yang singkat. Perbedaan hasil hidrolisis antara kedua perlakuan tersebut terhadap empulur sagu secara visual dapat dilihat pada Gambar 5, dan ditampilkan juga gambar empulur sagu sebelum hidrolisis sebagai pembanding.
32
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. Penampakan visual hidrolisat sebelum hidrolisis (a), hidrolisis dengan H2SO4 0.3 M pada gelombang mikro satu tahap (power level 70% (3`)) (b), dan hidrolisis dengan H2SO4 0.5 M pada gelombang mikro dua tahap (power level 30% (2`) dan power level 70% (3`)) (c) Pada Gambar 5 terlihat perbedaan hasil secara visual dari kombinasi perlakuan seperti konsentrasi asam H2SO4, waktu, dan energi gelombang mikro yang diterima oleh bahan. Gambar (a) yang merupakan empulur sagu sebelum dihidrolisis terlihat warna alami bahan masih coklat muda, serat-serat dan air bebas masih dalam jumlah yang banyak. Gambar (b) yang merupakan hasil hidrolisis dengan kombinasi perlakuan konsentrasi asam rendah (0.3 M), waktu kontak yang singkat (3`), dan hanya menggunakan pemanasan gelombang mikro satu tahap (power level 70%) terlihat perubahan warna hidrolisat menjadi coklat tua serta jumlah serat dan air bebas berkurang. Gambar (c) merupakan hasil hidrolisis dengan kombinasi perlakuan konsentrasi asam yang lebih tinggi (0.5 M), waktu kontak lebih lama (total waktu 5`), dan menggunakan pemanasan gelombang mikro dua tahap (power level 30% dilanjutkan dengan power level 70%) terlihat warna hidrolisat berubah menjadi coklat kehitaman, serat dan air bebas berkurang dalam jumlah yang banyak, selain itu pada pinggir wadah terlihat bahan berwarna hitam yang mengindikasikan telah terbentuknya produk samping yang tidak diinginkan seperti hidroksimetilfurfural (HMF) dan furfural. Semakin tinggi konsentrasi asam, maka semakin gelap warna hirolisat yang dihasilkan. Menurut Yu et al. (1996), konsentrasi asam yang tinggi menyebabkan selulosa dan hemiselulosa lebih mudah terdegradasi menjadi glukosa dan senyawa gula lainnya, terlebih lagi diiringi waktu kontak yang lama. Namun, seiring dengan tingginya konsentrasi asam dan waktu reaksi, inhibitor yang dihasilkan juga semakin banyak. Semakin tinggi power level yang digunakan dan semakin lama waktu kontak dengan bahan, semakin gelap warna hidrolisat yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena dengan jumlah bahan yang sama tapi penerimaan energi panas yang lebih besar pada power level yang lebih tinggi membuat lebih banyak komponen pati dan serat terdegradasi yang akhirnya pembentukan produk samping seperti HMF dan furfural yang menyebabkan warna gelap juga semakin banyak. Pada proses hidrolisis asam bahan berpati dan berserat, variabel seperti konsentrasi asam, waktu hidrolisis dan energi gelombang mikro yang diberikan harus disesuaikan kombinasi penggunaannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik fermentable sugar dengan
33
kandungan gula sederhana tinggi tetapi tetap rendah produk inhibitor yang tidak diinginkan seperti HMF dan furfural. Untuk melihat pengaruh kombinasi antara variabel konsentrasi asam, waktu dan energi panas yang diberikan pada proses hidrolisis empulur sagu, dapat juga dilakukan pengamatan secara mikroskopik. Hasil pengamatan secara mikroskopik dari kombinasi perlakuan yang diberikan disajikan pada Gambar 6. Pada Gambar 6 terlihat pengaruh berbagai kombinasi perlakuan konsentrasi asam, waktu dan energi panas yang digunakan terhadap perubahan struktur pati dan serat empulur sagu. Sebelum dilakukan hidrolisis, komponen serat dan pati masih utuh, serat masih tersusun rapat dan granulagranula pati belum pecah. Pati dan serat masih diselimuti oleh komponen lignin yang keras. Proses hidrolisis berjalan secara sempurna ketika asam mampu memutus ikatan lignin yang menyelimuti serat dan pati. Saat ikatan lignin terputus, komponen serat mengembang dan diikuti dengan terlepasnya granula pati dari komponen serat hingga akhirnya hancur atau terdegradasi. Bila proses hidrolisis terus berlanjut, asam mampu memutus polimer-polimer pati menjadi lebih kecil sehingga terbentuklah monomer-monomer atau gula sederhana dan serat-serat juga ikut terdegradasi menjadi monomer-monomer penyusunnya. Kombinasi perlakuan terhadap empulur sagu pada konsentrasi H2SO4 0.3 M, waktu total hidrolisis 3 menit dan menggunakan pemanasan gelombang mikro satu tahap (A1B1), ternyata masih terdapat granula pati yang utuh walaupun telah terjadi pembengkakan granula pati. Hal ini menunjukkan masih diperlukan kombinasi penggunaan konsentrasi asam, waktu dan power level yang lebih baik agar pati terdegradasi atau hancur. Perlakuan dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap terbukti lebih efektif dalam menghidrolisis pati dan serat daripada perlakuan pemanasan gelombang mikro satu tahap. Walaupun masih terdapat pati dan serat setelah proses hidrolisis, namun semua granula pati sudah hancur dan mengembang. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada penggunaan pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin banyak pati yang terdegradasi, ditandai dengan pengembangan pati dan serat. Pembengkakan ukuran yang merupakan perbesaran pori akibat iradiasi gelombang mikro dijelaskan oleh Warrand dan Janssen (2006), hilangnya kekuatan antar makro molekul disebabkan oleh gelombang mikro membuat bagian kristalin pada pati dan serat menjadi lebih amorf. Pada kondisi serat dan pati menjadi lebih amorf, maka katalis mampu menembus pori granula pati sehingga struktur pati mengembang. Energi panas menyebabkan hidrasi pada bagian amorf diikuti dengan distorsi dari bagian kristalin yang kemudian merusak struktur granular, dan pada saat energi panas semakin besar menyebabkan granula pati pecah. Pemanasan gelombang mikro pada tahap 1 (power level 30%) diduga dapat membuat pati sagu mengembang pada saat tergelatinisasi. Hal ini didukung oleh Karim et al. (2008) yang menyatakan suhu gelatinasi pati sagu sekitar 72-90oC. Power level 30% yang dikonversi dalam satuan energi (W), mengandung energi sekitar 350 W (Anonim 2010) dan tergolong rendah, sehingga dapat diasumsikan dengan penggunaan power level 30% mampu membuat granula pati sagu mengembang pada saat gelatinisasi.
34
Slurry sebelum pemanasan (0.3 M)
A1B1
A1B3
A1B0
A1B2
A1B4
Slurry sebelum pemanasan (0.5 M)
A2B1
A2B3
A1B0
A2B2
A2B4
Keterangan: A: Konsentrasi asam (A1: 0.3 M, A2: 0.5M) B: Perlakuan pemanasan (B0: otoklaf (15`), B1: PL 70% (3`), B2: PL 30% (1`) + PL 70% (3`), B3: PL 30% (2`) + PL 70% (3`), B4: PL 30% (3`) + PL 70% (3`) Gambar 6. Penampakan mikroskopik empulur sagu sebelum dan setelah pemanasan menggunakan Mikroskop Cahaya terpolarisasi perbesaran 200x
35
Hidrolisis menggunakan otoklaf masih lebih efektif daripada menggunakan gelombang mikro dua tahap. Hidrolisis menggunakan otoklaf mampu mengubah sebagian besar pati yang ada pada bahan menjadi gula sederhana, terbukti pada Gambar 6 perlakuan pemanasan menggunakan otoklaf (A1B0 dan A2B0) sudah tidak terdapat granula pati ditandai dengan bagian ungu kebiruan telah memudar dan hilang. Selain itu serat juga ikut terputus-putus dan hancur. Walaupun pemanasan otoklaf memerlukan waktu yang relatif lama, namun dengan suhu yang tidak terlalu tinggi (121oC) ditambah dengan adanya tekanan saat pemanasan, proses hidrolisis asam lebih terkontrol dalam menghasilkan gula sederhana dari komponen pati, sedangkan serat belum dapat terkonversi menjadi unit monomernya walaupun sebagian besar sudah mengembang dan terputus-putus. Selain pengamatan secara visual dan mikroskopik terhadap hidrolisat, perlu dilakukan juga analisa kuantitatif untuk melihat pengaruh perlakuan gelombang mikro dua tahap secara hidrolisis asam terhadap fermentable sugar yang dihasilkan. Analisa yang dilakukan meliputi analisa terhadap bobot residu, analisa gula, dan analisa filtrat seperti kejernihan filtrat, volume filtrat, HMF dan furfural. Analisa gula meliputi perhitungan total gula dan gula pereduksi, Dextrose equivalent (DE), dan Derajat polimerisasi (DP) untuk melihat kesempurnaan proses hidrolisis. Semua data hasil perlakuan terhadap empulur sagu diolah dengan menggunakan perhitungan statistik melalui software program SAS 9.1.3. Dari hasil perhitungan statistik, untuk melihat homogenitas dari masing-masing perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hampir seluruh parameter yang diamati pada perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap dengan variabel pembeda konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada power level 30%, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Namun, secara keseluruhan perlakuan gelombang mikro dua tahap menunjukkan perbedaan hasil terhadap pemanasan gelombang mikro satu tahap pada beberapa parameter. Sebagian besar hasil pengamatan parameter memperlihatkan perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap lebih baik daripada pemanasan gelombang mikro satu tahap. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan perlakuan pemanasan otoklaf, semua parameter menunjukkan perlakuan otoklaf jauh lebih baik dalam menghasilkan fermentable sugar dari empulur sagu daripada perlakuan gelombang mikro. Data hasil homogenitas dengan uji lanjut Duncan secara lengkap disajikan pada Lampiran 5. Untuk memudahkan pembacaan hasil homogenitas antar perlakuan, maka dilakukan penyimbolan pada data hasil pengolahan statistik. Penyimbolan ini dilakukan berdasarkan simbol hasil output uji lanjut Duncan. Data dengan simbol yang sama atau yang mengandung huruf yang sama dengan perlakuan lainnya, berarti perbedaan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan hasil dilihat dari parameter tertentu. Nilai semua parameter dari hasil pengolahan statistik dengan uji lanjut Duncan disajikan secara tabulasi pada Tabel 8. Analisa residu dilakukan dengan menghitung bobot residu setelah proses hidrolisis. Untuk melihat efektivitas hidrolisis, pati dan serat yang tidak terhidrolisis terhitung sebagai bobot residu. Perlakuan dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap terbukti lebih efektif dalam menurunkan bobot residu empulur sagu daripada perlakuan gelombang mikro satu tahap. Pada Tabel 8, perbedaan variabel konsentrasi asam menghasilkan bobot residu yang berbeda antara perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap dengan pemanasan gelombang mikro satu tahap. Pada konsentrasi asam yang lebih rendah (0.3 M), perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap mampu menurunkan nilai bobot residu sekitar 4.62-11.85% lebih tinggi daripada pemanasan gelombang mikro satu tahap. Namun, peningkatan konsentrasi asam menjadi 0.5 M tidak terlalu memperlihatkan perbedaan hasil dalam menurunkan bobot residu dari kedua perlakuan pemanasan gelombang mikro, yaitu hanya berbeda sekitar 1.2-4.19%. Hal ini menunjukkan dengan kombinasi konsentrasi asam yang lebih tinggi, perlakuan gelombang mikro satu tahap sama baiknya dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap dalam menurunkan bobot residu.
36
Tabel 8. Nilai bobot residu, gula pereduksi, total gula, volume filtrat, kejernihan filtrat, DE, DP, HMF, dan furfural hasil hidrolisis asam dengan berbagai perlakuan pemanasan Perlakuan
Bobot Residu (%)
Gula Pereduksi (g/l)
Total Gula (g/l)
DE
DP
Volum Filtrat (ml)
Kejernihan Filtrat (%T)
HMF (mg/l)
Furfural (mg/l)
A1B0
24.01 ef
83.17 b
90.50 bac
91.90 a
1.08 e
75.75 b
89.85 a
8.10 b
0.06 b
A1B1
47.10a
18.85 e
68.38 c
27.57 f
3.63 a
59.75 fe
79.35 b
0.28 d
0.00 b
A1B2
42.48 b
24.40 de
80.81 bc
30.20 fed
3.32 ba
56.50 fg
87.05 a
0.45 d
0.00 b
A1B3
37.00 c
26.87 dce
81.20 bc
33.09 cbd
3.03 b
54.00 g
89.50 a
0.48 d
0.00 b
A1B4
35.25 c
33.24 dc
82.93 bc
40.08 b
2.49 dc
49.00 h
76.30 cb
0.63 cd
0.00 b
A2B0
20.63 f
106.20 a
111.61a
95.15 a
1.05 e
80.00 a
87.15 a
65.64 a
1.71 a
A2B1
30.62 d
23.34 de
80.69 bc
28.93 fe
3.46 ba
67.50 c
65.60 d
0.96 cd
0.04 b
A2B2
29.42 d
30.33 dce
92.83 bac
32.67 ced
3.06 b
65.50 c
72.15 c
1.46 c
0.05 b
A2B3
28.14 ed
48.86 c
105.66 ba
46.24 b
2.16 d
64.00 dc
76.15 cb
1.56 c
0.05 b
A2B4
26.43 ed
37.41 dc
102.39 ba
37.51 cb
2.74 c
61.00 de
61.30 d
1.88 c
0.06 b
24
37
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Bobot Residu (%)
Bobot Residu (%)
Secara keseluruhan dapat dilihat semakin tinggi konsentrasi asam, semakin lama waktu hidrolisis, dan semakin besar energi panas dari gelombang mikro yang diterima bahan, semakin menurunkan bobot residu, ini artinya semakin banyak bahan yang terhidrolisis. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8 nilai bobot residu yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pada pemanasan gelombang mikro dua tahap mampu menurunkan bobot residu hingga 26.43%, sedangkan kombinasi perlakuan pada pemanasan gelombang mikro satu tahap bobot residu terkecil masih sebesar 30.62%. Walaupun masing-masing kombinasi perlakuan yang diberikan pada empulur sagu dengan gelombang mikro dua tahap dapat menurunkan nilai bobot residu, namun memperpanjang waktu satu menit pada proses hidrolisis tidak terlalu menurunkan nilai bobot residu secara signifikan. Kecenderungan penurunan nilai bobot residu dari kombinasi perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Gambar 7.
B0
B1
B2
B3
B4
Perlakuan Pemanasan (a) Keterangan:
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 B0
B1
B2
B3
B4
Perlakuan Pemanasan (b)
B: Perlakuan pemanasan B0: otoklaf (15`), B1: PL 70% (3`), B2: PL 30% (1`) + PL 70% (3`), B3: PL 30% (2`) + PL 70% (3`), B4: PL 30% (3`) + PL 70% (3`)
Gambar 7. Nilai bobot residu pada kombinasi perlakuan pemanasan dan waktu pada konsentrasi asam 0.3 M (a) dan konsentrasi asam 0.5 M (b) Pada Gambar 7, semakin tinggi konsentrasi asam, semakin lama waktu hidrolisis dan semakin besar energi panas dari gelombang mikro, maka nilai bobot residu semakin kecil, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian, nilai bobot residu dipengaruhi oleh konsentrasi asam, lama waktu pemanasan dan energi panas dari gelombang mikro yang diterima bahan. Semakin kecil nilai bobot residu, maka pati dan serat yang terdegradasi semakin banyak. Akan tetapi, nilai bobot residu hasil hidrolisis dengan pemanasan otoklaf jauh lebih kecil dibandingkan semua perlakuan pemanasan gelombang mikro, yaitu dapat menurunkan bobot residu hingga 20-24%. Hal ini menunjukkan hidrolisis menggunakan otoklaf masih lebih efektif daripada menggunakan gelombang mikro. Gula pereduksi dan total gula merupakan parameter penting yang diukur pada proses hidrolisis. Kedua parameter inilah yang mengindikasikan produk yang terbentuk. Gula pereduksi dan total gula dihitung dengan spektrofotometer yang merupakan fungsi dari absorbansi pada panjang gelombang 550 nm. Semakin tinggi absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer, maka semakin tinggi gula pereduksi dan total gula hidrolisat, demikian juga sebaliknya. Semakin tinggi gula pereduksi dan total gula yang ada pada hidrolisat, maka semakin baik untuk dijadikan substrat fermentasi etanol.
38
120
120
100
100
Gula Pereduksi (g/l)
Gula Pereduksi (g/l)
Gula pereduksi merupakan golongan gula yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron, contohnya adalah glukosa dan fruktosa. Ujung dari suatu gula pereduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehida atau keton bebas. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa, maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula pereduksi (Lehninger 1982). Dari Tabel 8 terlihat bahwa perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap menghasilkan gula pereduksi lebih tinggi daripada pemanasan gelombang mikro satu tahap. Kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menghasilkan gula pereduksi 24.40-48.86 g/l, sedangkan kombinasi konsentrasi asam dengan lama waktu hidrolisis 3 menit pada pemanasan gelombang mikro satu tahap hanya menghasilkan gula pereduksi sebesar 18.85-23.34 g/l. Dari hasil tersebut terlihat bahwa konsentrasi asam, waktu hidrolisis, dan besarnya energi gelombang mikro yang diberikan pada empulur sagu berpengaruh terhadap gula pereduksi. Semakin tinggi konsentrasi asam, semakin lama waktu hidrolisis, dan semakin besar energi gelombang mikro yang diterima empulur sagu, maka semakin tinggi gula pereduksi yang terbentuk. Konsentrasi asam yang lebih tinggi dan waktu hidrolisis yang lebih lama pada paparan energi panas dari gelombang mikro yang lebih besar mampu mendegradasi karbohidrat pada bahan, tidak hanya pati namun juga serat, dengan demikian diperoleh rendemen gula pereduksi yang lebih tinggi. Namun, variabel waktu pada konsentrasi asam yang lebih tinggi dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap tidak selalu menghasilkan peningkatan gula pereduksi. Perubahan kecenderungan menurunnya jumlah gula pereduksi dengan semakin memperpanjang waktu hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 8.
80 60 40
80 60 40
20
20
0
0 B0
B1
B2
B3
Perlakuan Pemanasan (a) Keterangan:
B4
B0
B1
B2
B3
B4
Perlakuan Pemanasan (b)
B: Perlakuan pemanasan B0: otoklaf (15`), B1: PL 70% (3`), B2: PL 30% (1`) + PL 70% (3`), B3: PL 30% (2`) + PL 70% (3`), B4: PL 30% (3`) + PL 70% (3`)
Gambar 8. Nilai gula pereduksi pada kombinasi perlakuan pemanasan dan waktu pada konsentrasi asam 0.3 M (a) dan konsentrasi asam 0.5 M (b) Pada Gambar 8 terlihat kecenderungan yang berbeda bila dilihat dari variabel konsentrasi asam terhadap gula pereduksi yang dihasilkan. Pada konsentrasi asam yang lebih rendah (0.3 M) kecenderungan gula pereduksi semakin meningkat jumlahnya seiring lamanya waktu hidrolisis pada 46
pemanasan gelombang mikro dua tahap. Namun, penggunaan asam yang lebih tinggi (0.5 M), saat jumlah gula pereduksi yang dihasilkan sudah banyak, perpanjangan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap justru mengurangi jumlah gula pereduksi. Hal ini diduga telah terjadinya dekomposisi produk (gula sederhana) yang sudah terbentuk menjadi inhibitor seperti hidroksimetilfurfural (HMF) dan furfural pada suhu yang sangat tinggi. Jadi, dapat dikatakan pemakaian konsentrasi asam memiliki waktu optimum untuk menghasilkan gula pereduksi pada suhu yang tinggi. Hal ini seperti yang dijelaskan Mussatto dan Roberto (2004), bahwa konsentrasi asam dan suhu reaksi merupakan variabel penting yang dapat mempengaruhi terbentuknya senyawasenyawa yang bersifat racun pada proses fermentasi. Suhu moderat (kurang dari 160oC) harus dijaga untuk dapat menghidrolisis pati dan menekan dekomposisi gula sederhana. Suhu yang lebih tinggi akan mempermudah dekomposisi gula sederhana dan senyawa lignin. Pada suhu dan tekanan tinggi, glukosa dan xilosa akan terdegradasi menjadi hidroksimetilfurfural (HMF) dan furfural. Pemanasan gelombang mikro dua tahap belum mampu menghasilkan jumlah gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan pemanasan otoklaf. Gula pereduksi yang diperoleh dari pemanasan otoklaf mencapai 83.17-106.20 g/l, hal ini menunjukkan bahwa hidrolisis menggunakan otoklaf masih lebih efektif daripada menggunakan gelombang mikro dalam menghasilkan gula pereduksi yang lebih tinggi. Selain gula pereduksi, dalam proses hidrolisis juga terbentuk gula non-pereduksi. Kedua jenis gula tersebut dinyatakan dengan total gula. Analisis total gula dilakukan untuk melihat jumlah gula secara keseluruhan di dalam suatu hidrolisat. Perlakuan dengan kombinasi konsentrasi asam yang lebih tinggi dan waktu hidrolisis yang lebih lama pada perlakuan gelombang mikro dua tahap menghasilkan total gula yang lebih tinggi daripada perlakuan gelombang mikro satu tahap dalam menghidrolisis empulur sagu. Proses hidrolisis pada kombinasi perlakuan konsentrasi asam yang tinggi, waktu kontak yang lebih lama, dan energi gelombang mikro yang lebih besar mampu mengkonversi pati dan serat dalam jumlah yang lebih banyak. Hal ini terbukti dari nilai total gula yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro dua tahap mampu menghasilkan total gula 80.81-105.66 g/l, sedangkan kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro satu tahap nilai total gula tertinggi hanya sebesar 80.69 g/l. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa konsentrasi asam, waktu hidrolisis dan besarnya energi yang diterima empulur sagu dari pemanasan gelombang mikro dua tahap berpengaruh terhadap total gula yang terbentuk. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin tinggi kemampuannya untuk mengkonversi polisakarida menjadi gula sederhana, sehingga total gula semakin tinggi, demikian juga sebaliknya. Walaupun masing-masing kombinasi perlakuan yang diberikan pada empulur sagu dengan gelombang mikro dua tahap dapat meningkatkan jumlah total gula, namun perpanjangan waktu satu menit pada proses hidrolisis tidak dapat meningkatkan jumlah total gula hidrolisat secara signifikan. Nilai total gula yang terbentuk memiliki kecenderungan yang sama dengan gula pereduksi. Pada konsentrasi asam yang lebih tinggi (0.5 M) perpanjangan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap justru menurunkan total gula yang sudah terbentuk akibat terjadinya dekomposisi gula pada keadaan asam dan suhu yang tinggi. Dekomposisi gula tersebut menghasilkan produk samping berupa HMF dan furfural. Pada Tabel 8, jumlah total gula tertinggi yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pada pemanasan gelombang mikro dua tahap tidak jauh berbeda dengan pemanasan otoklaf. Hal ini menunjukkan perlakuan kombinasi konsentrasi asam dan lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap lebih efektif dan efisien dalam menghidrolisis pati daripada pemanasan
47
otoklaf. Jumlah gula yang sama dihasilkan hanya dalam waktu total 5 menit pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, sedangkan 15 menit pada pemanasan otoklaf. Kesempurnaan proses hidrolisis tergambar dari nilai Dekstrose Equivalent (DE) yang menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi pati. Semakin tinggi nilai DE, maka semakin sempurna proses hidrolisis yang terjadi. Nilai DE tertinggi adalah 100 yang berarti 100% hidrolisis berupa gula pereduksi atau glukosa. Proses hidrolisis pada kombinasi perlakuan konsentrasi asam yang tinggi, waktu kontak yang lebih lama, dan energi gelombang mikro yang lebih besar mampu mengkonversi pati dan serat dalam jumlah yang lebih banyak. Hal ini terbukti dari nilai DE yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro dua tahap sebesar 30.20-46.24, sedangkan kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro satu tahap nilai DE hanya sebesar 27.5728.93. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa konsentrasi asam, waktu hidrolisis dan besarnya energi yang diterima empulur sagu dari pemanasan gelombang mikro dua tahap berpengaruh terhadap nilai DE. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin tinggi kemampuannya untuk mengkonversi polisakarida menjadi gula sederhana, sehingga nilai DE semakin tinggi, demikian juga sebaliknya. Walaupun masing-masing kombinasi perlakuan yang diberikan pada empulur sagu dengan gelombang mikro dua tahap dapat meningkatkan nilai DE, namun perpanjangan waktu satu menit pada proses hidrolisis tidak dapat meningkatkan nilai DE secara signifikan. Oleh karena proses hidrolisis yang terjadi pada perlakuan otoklaf lebih sempurna dalam menghasilkan gula sederhana, maka nilai DE jauh lebih besar dibandingkan perlakuan pemanasan gelombang mikro, yaitu 91.90-95.15. Tingginya nilai DE pada perlakuan pemanasan otoklaf karena waktu hidrolisis yang lama (15 menit) akan membuat sebagian besar pati dan serat mampu dipecah menjadi gula-gula sederhana. Hal ini mengikuti teori hidrolisa yang mengatakan bahwa terdapat kecenderungan seiring dengan bertambahnya waktu maka nilai DE juga akan semakin naik karena semakin lama waktu hidrolisa, maka semakin banyak pula bahan yang terhidrolisa (Griffin dan Brooks 1989). Menurut Kuntz (1997), DE berhubungan dengan Derajat Polimerisasi (DP). DP menyatakan jumlah unit monomer dalam satu molekul. Semakin rendah nilai DP, maka semakin sempurna proses hidrolisis yang terjadi karena sebagian besar polimer telah terhidrolisis menjadi monomer (DP=1). Dari kombinasi perlakuan yang diberikan pada proses hidrolisis empulur sagu, nilai DP yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap mampu mencapai DP = 2.16, sedangkan kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro satu tahap nilai DP = 3.63. Jenis gula sederhana yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap masih berbentuk oligosakarida. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa konsentrasi asam, waktu hidrolisis dan besarnya energi yang diterima empulur sagu dari pemanasan gelombang mikro dua tahap berpengaruh terhadap nilai DP. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin tinggi kemampuannya untuk mengkonversi polisakarida menjadi gula-gula sederhana, sehingga nilai DP semakin rendah, demikian juga sebaliknya. Walaupun masing-masing kombinasi perlakuan yang diberikan pada empulur sagu dengan gelombang mikro dua tahap dapat menurunkan nilai DP, namun peningkatan waktu satu menit pada proses hidrolisis tidak dapat menurunkan nilai DP secara signifikan. Oleh karena proses hidrolisis yang terjadi pada perlakuan otoklaf lebih sempurna dalam menghasilkan gula-gula sederhana, maka nilai DP perlakuan pemanasan otoklaf jauh lebih rendah dibandingkan perlakuan pemanasan gelombang mikro, yaitu 1.05-1.08. Kecilnya nilai DP pada perlakuan pemanasan otoklaf disebabkan waktu hidrolisis yang lama (15 menit) membuat sebagian besar pati dan serat mampu dipecah menjadi gula sederhana.
48
Banyak faktor yang menyebabkan proses hidrolisis dari perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap ini tidak menghasilkan DP terendah yang artinya sebagian besar gulanya belum berbentuk monomer (glukosa). Salah satu faktor yang menyebabkan masih tingginya nilai DP adalah tingginya kadar lignin sehingga menghambat proses hidrolisis meskipun telah diberi perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap. Selain itu, besarnya ukuran partikel bahan (35 mesh) membuat katalis asam belum mampu sepenuhnya memecah polimer karbohidrat empulur sagu pada pemanasan gelombang mikro. Hal ini seperti yang dijelaskan Jamil et al. (2010), gelombang mikro dapat membantu proses pemanasan material tidak hanya bergantung pada muatan dielektrik bahan, tetapi juga ketebalan atau ukuran bahan agar proses perpindahan panas lebih merata. Faktor lainnya adalah terbentuknya HMF dari degradasi monomer (glukosa) sehingga mengurangi jumlah gula sederhana yang sudah terbentuk akibat hidrolisis menggunakan asam pada suhu yang tinggi. Volume filtrat merupakan salah satu parameter yang dianggap penting dalam proses hidrolisis karena dapat menggambarkan rendemen produk walaupun belum tentu mencerminkan jumlah gula yang ada di dalamnya. Pada Tabel 8 terlihat perbedaan volume filtrat yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan asam dan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap dengan pemanasan gelombang mikro satu tahap. Volume filtrat yang dihasilkan dari perlakuan gelombang mikro dua tahap adalah 49-65.6 ml, sedikit lebih rendah daripada pemanasan gelombang mikro satu tahap, yaitu 59.75-67.5 ml. Hal ini disebabkan karena energi yang besar diterima bahan pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menyebabkan penguapan yang tinggi. Volume filtrat dipengaruhi oleh penguapan akibat lamanya pemanasan dan kelarutan komponen bahan terutama pati dan serat di dalam larutan. Kecenderungan penurunan volume filtrat yang diperoleh dari perlakuan gelombang mikro dua tahap dapat dilihat pada Gambar 9.
100 Volume Filtrat (ml)
Volume Filtrat (ml)
100 80 60 40 20 0
60 40 20 0
B0
B1
B2
B3
Perlakuan Pemanasan (a) Keterangan:
80
B4
B0
B1
B2
B3
B4
Perlakuan Pemanasan (b)
B: Perlakuan pemanasan B0: otoklaf (15`), B1: PL 70% (3`), B2: PL 30% (1`) + PL 70% (3`), B3: PL 30% (2`) + PL 70% (3`), B4: PL 30% (3`) + PL 70% (3`)
Gambar 9. Nilai volume filtrat pada kombinasi perlakuan pemanasan dan waktu pada konsentrasi asam 0.3 M (a) dan konsentrasi asam 0.5 M (b) Dari Gambar 9 terlihat semakin lama waktu pemanasan pada perlakuan gelombang mikro dua tahap, maka semakin sedikit volume filtrat yang dihasilkan, hal ini disebabkan oleh waktu pemanasan yang lama mengakibatkan penguapan yang terjadi cukup besar. Pada konsentrasi asam yang lebih tinggi, kemampuan asam menghidrolisis pati dan serat lebih besar dibandingkan konsentrasi asam 49
rendah. Swift (2002) menyatakan bahwa sifat kelarutan komponen serat dalam air bergantung pada pH, semakin rendah pH semakin mudah larut. Nilai kelarutan serat juga dipengaruhi oleh jumlah komponen penyusun serat pangan yang larut. Kelarutan serat menunjukkan sifat daya larut partikelpartikel serat. Peningkatan konsentrasi asam pada proses hidrolisis akan meningkatkan degradasi molekul polisakarida menjadi partikel yang lebih kecil sehingga lebih mudah larut. Menurut Gong (1981), kelarutan tergantung pada suhu, tekanan, konsentrasi bahan lain dalam larutan dan komposisi kelarutannya. Berdasarkan kelarutan dalam air, serat pangan terbagi dua yaitu serat larut dan tidak larut. Struktur dominan selulosa berupa kristal adalah bagian yang bersifat sukar larut sedangkan bagian lain berupa non-kristal lebih mudah larut. Semakin banyak partikel yang larut di dalam air atau larutan asam, maka semakin sedikit jumlah air yang terikat pada residu, dengan demikian volume filtrat yang dihasilkan lebih besar. Jadi dapat dikatakan bahwa kelarutan bahan berdasarkan konsentrasi asam berhubungan erat dengan bobot residu dan volume filtrat yang dihasilkan. Semakin mudah bahan larut, maka semakin kecil bobot residu dan semakin tinggi volume filtrat yang dihasilkan dari proses hidrolisis, demikian pula sebaliknya. Kecenderungan berkurangnya volume filtrat dengan semakin lamanya waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap tidak terjadi pada perlakuan pemanasan otoklaf. Volume filtrat yang dihasilkan pada perlakuan pemanasan otoklaf mampu mencapai 75.75-80 ml. Walaupun waktu hidrolisis dengan menggunakan otoklaf jauh lebih lama, yaitu 15 menit, namun volume filtrat yang dihasilkan sangat tinggi, hal ini disebabkan oleh pada pemanasan otoklaf tidak terjadi penguapan, selain itu proses hidrolisis yang sempurna menyebabkan bagian terlarut pada bahan lebih banyak yang akhirnya meningkatkan volume filtrat yang dihasilkan. Tingkat kejernihan filtrat dinyatakan dengan nilai transmitan (%T) yang diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 650 nm. Kejernihan filtrat merupakan fungsi dari nilai transmitan. Semakin besar nilai transmitan, maka semakin jernih filtrat karena hampir mendekati kejernihan air (100%). Kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menghasilkan nilai kejernihan filtrat tertentu. Kejernihan filtrat dipengaruhi oleh partikel tidak terlarut dan komponen degradasi gula (HMF dan furfural) pada hidrolisat. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap akan mengurangi jumlah partikel tidak terlarut pada bahan, akan tetapi meningkatkan jumlah produk inhibitor seperti HMF dan furfural akibat degradasi gula sehingga menyebabkan perubahan warna filtrat menjadi kecoklatan. Warna yang semakin kecoklatan ini menyebabkan nilai kejernihan sirup menjadi rendah saat dibaca dengan spektrofotometer, hal ini terbukti dari nilai kejernihan filtrat pada pemanasan gelombang mikro dua tahap semakin meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis. Konsentrasi asam yang tinggi dan waktu hidrolisis yang lama pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menyebabkan partikel tidak terlarut menjadi berkurang, namun saat waktu hidrolisis diperpanjang terjadi penurunan kejernihan filtrat, hal ini disebabkan oleh jumlah bahan inhibitor akibat degradasi gula meningkat yang pada akhirnya membuat filtrat berwarna lebih gelap (tidak jernih). Adanya perubahan warna dari faktor konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap diduga karena sebagian besar pati dan serat telah larut dan terkonversi menjadi gula sederhana. Selain itu, warna filtrat yang semakin kecoklatan menunjukkan telah terbentuknya produk samping atau inhibitor. Winarno (1995) menyebutkan bahwa warna coklat pada filtrat dapat disebabkan oleh reaksi antara gula pereduksi dengan senyawa nitrogen (reaksi Maillard). Hasil reaksi Maillard gula pentosa menghasilkan furfural dan gula heksosa menghasilkan
50
hidroksimetilfurfural (HMF) yang berwarna coklat. Filtrat berwarna kuning kecoklatan mengindikasikan terdapatnya senyawa HMF dan furfural. Pada Tabel 8, nilai kejernihan filtrat dari perlakuan otoklaf masih lebih tinggi dibandingkan dengan pemanasan gelombang mikro, yaitu mencapai 89.85%, hal ini berarti perlakuan otoklaf mampu menurunkan partikel tidak terlarut pada empulur sagu jauh lebih tinggi daripada HMF dan furfural yang dihasilkan. Tidak demikian yang terjadi pada perlakuan gelombang mikro, proses hidrolisis yang terjadi belum sempurna mengakibatkan partikel tidak terlarut seperti oligosakarida pada filtrat lebih banyak. Dengan banyaknya partikel tidak terlarut pada filtrat mengakibatkan kejernihan filtrat berkurang walaupun jumlah HMF dan furfural yang juga mengakibatkan kekeruhan pada filtrat jumlahnya sedikit. Hidrolisis yang dilakukan dengan menggunakan asam memiliki kekurangan jika dilihat dari produk yang dihasilkan. Perlakuan asam dengan suhu yang tinggi dapat menimbulkan produk samping yang merupakan produk inhibitor pada saat proses fermentasi. Salah satu inhibitor tersebut adalah hidroksimetilfurfural (HMF). HMF merupakan senyawa yang dihasilkan dari dekomposisi glukosa, galaktosa dan manosa. Senyawa ini merupakan inhibitor dalam proses fermentasi karena dapat menghalangi proses konversi glukosa menjadi etanol. Pada penelitian ini, HMF yang terbentuk dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menghasilkan HMF yang semakin meningkat, dan nilainya lebih tinggi daripada hidrolisat perlakuan pemanasan gelombang mikro satu tahap. Perlakuan dengan pemanasan gelombang dua tahap menghasilkan nilai HMF tertinggi 1.88 mg/l, sedangkan perlakuan gelombang mikro satu tahap hanya 0.96 mg/l. Walaupun terjadi peningkatan HMF pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, namun kombinasi dengan konsentrasi asam dan perpanjangan waktu hidrolisis satu menit tidak menyebabkan nilai HMF meningkat secara signifikan. Nilai HMF pada perlakuan otoklaf jauh lebih besar dibandingkan dengan perlakuan gelombang mikro, yaitu mencapai 65.64 mg/l, hal ini disebabkan karena hidrolisis dengan menggunakan otoklaf memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan gelombang mikro. Semakin lama waktu hidrolisis, maka semakin banyak HMF yang terbentuk karena waktu yang lebih lama membuat semakin banyak gula sederhana yang terdekomposisi menjadi HMF. Menurut Purwadi (2006), HMF dihasilkan dari degradasi berbagai jenis gula seperti manosa, galaktosa dan glukosa. Reaksi pembentukan HMF dijelaskan oleh Fennema (1985), yaitu terjadi pembentukan produk antara pada reaksi dehidrasi intramolekular, yaitu 3-deoksioson, bentukan dari D-glukosa. Reaksi β-eliminasi diteruskan dengan bentuk enol pada 3-deoksiglukoson. Cis-3.4-ene gula selanjutnya mengalami perputaran cincin dan dehidrasi untuk menghilangkan HMF. Selain HMF, produk inhibitor akibat dekomposisi gula adalah furfural. Furfural merupakan dekomposisi gula dari xilosa. Furfural sama halnya dengan senyawa HMF, furfural merupakan senyawa inhibitor dalam proses fermentasi. Dari Tabel 8 terlihat adanya kecenderungan semakin tingginya jumlah furfural yang terbentuk akibat semakin banyaknya gula pentosa yang terdekomposisi. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin banyak jumlah furfural yang terbentuk, hal ini disebabkan oleh konsentrasi asam yang lebih tinggi dan waktu hidrolisis yang lama pada penerimaan energi panas yang lebih besar akan lebih cepat mendegradasi gula-gula sederhana sehingga lebih banyak furfural yang terbentuk. Perlakuan yang menghasilkan furfural tertinggi adalah dengan pemanasan otoklaf, yaitu sebesar 1.71 mg/l, sedangkan beberapa perlakuan pada konsentrasi asam 0.3 M tidak menghasilkan furfural. Oleh karena adanya proses penetralan dengan basa, maka proses pembentukan furfural dapat dihambat atau bahkan dihentikan sama sekali seperti perlakuan dengan menggunakan
51
asam 0.3 M. Peningkatan pH bertujuan untuk menghambat pembentukan produk inhibitor karena produk inhibitor hanya terjadi pada tingkat keasaman yang tinggi. Dari jumlah HMF dan furfural yang terbentuk pada fermentable sugar, masih terlalu kecil untuk mempengaruhi proses fermentasi. Nigam (2001) dalam Mussato dan Roberto (2004) menemukan bahwa konsentrasi furfural sebesar 0.25 g/l dalam media fermentasi tidak cukup untuk mengurangi produksi etanol, tetapi konsentrasi setinggi 1.5 g/l dapat mengganggu respirasi dan pertumbuhan mikroorganisme sehingga produksi etanol menurun. Efek inhibisi furfural dan HMF berbeda terhadap pertumbuhan khamir, yaitu furfural lebih menghambat dibandingkan dengan HMF. Furfural dengan konsentrasi 1 g/l dalam substrat fermentasi sudah menghambat enzim-enzim mikroba untuk menghasilkan etanol seperti alkohol dehidrogenasi, aldehid dehidrogenasi dan piruvat dehidrogenasi, sedangkan HMF pada konsentrasi 2 g/l (Modig et al. 2002). Pembentukan jumlah HMF jauh lebih banyak daripada furfural baik pada perlakuan pemanasan gelombang mikro maupun otoklaf. Hal ini disebabkan karena empulur sagu memang sebagian besar terdiri dari pati, yaitu sebesar 55.86%. Oleh karena kandungan pati lebih tinggi daripada serat, terutama hemiselulosa yang dapat terdiri dari monomer xilosa, maka peluang pembentukan HMF dari dekomposisi glukosa memang lebih tinggi daripada dekomposisi xilosa yang menghasilkan furfural. Dari semua perlakuan, jumlah HMF dan furfural yang terdapat dalam hidrolisat masih tergolong kecil, hal ini disebabkan karena penetralan yang dilakukan dengan penambahan basa. Hidrolisis asam memiliki kisaran pH 0.5-0.7, sehingga dengan penambahan basa, pH menjadi lebih tinggi. Tingginya pH menghambat terjadinya dekomposisi gula karena dekomposisi gula hanya terjadi pada tingkat keasaman dan suhu yang tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yu et al. (1996), penetralan (detoksifikasi) bertujuan agar hidrolisat yang dihasilkan mempunyai kandungan inhibitor yang lebih kecil dan bertujuan untuk mengatur pH agar tidak mengganggu pertumbuhan mikroba pada proses fermentasi pembentukan etanol.
4.3 PRODUKSI BIOETANOL Substrat yang dipakai untuk proses fermentasi etanol diperoleh dari empulur sagu yang dihidrolisis secara asam. Oleh karena proses hidrolisis dilakukan dengan menggunakan katalis asam H2SO4, maka pH substrat sangat rendah, berkisar antara pH 0.5-0.7. Kelebihan proses hidrolisis secara asam dalam menghasilkan substrat untuk fermentasi etanol adalah tidak perlu melewati tahapan sterilisasi substrat sebelum fermentasi. Proses sterilisasi hanya diperlukan untuk substrat yang rentan terhadap perusakan gula oleh mikroba, sedangkan kondisi substrat yang sangat asam membuat mikroba perombak gula pada umumnya tidak dapat tumbuh. Oleh karena itu, proses hidrolisis secara asam untuk menghasilkan fermentable sugar berpotensi untuk mengembangkan sistem produksi bioetanol yang tidak memerlukan kondisi steril, dengan demikian dapat menekan penggunaan energi dalam menghasilkan etanol. Penentuan substrat dari perlakuan terbaik pada penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah gula pereduksi dan total gula serta jumlah HMF karena tahapan hidrolisis dilakukan secara asam. Dari hasil karakterisasi terhadap hidrolisat (produk), maka perlakuan hidrolisis pada konsentrasi asam 0.5 M dengan pemanasan gelombang mikro Tahap 1 pada power level 30% (2`) yang dilanjutkan dengan gelombang mikro Tahap 2 pada power level 70% (3`) terpilih sebagai perlakuan terbaik karena dari kombinasi perlakuan tersebut menghasilkan gula pereduksi, total gula dan DE tertinggi dibandingkan perlakuan gelombang mikro dua tahap lainnya dan merupakan
52
perlakuan yang menghasilkan DP terendah walaupun belum mencapai 1. Hidrolisat dari kombinasi perlakuan terbaik ini selanjutnya digunakan sebagai substrat untuk produksi etanol. Pada tahap fermentasi, selain jenis gula yang menjadi penentu utama keberhasilan dalam memproduksi etanol, jenis mikroba juga merupakan salah faktor utama yang menjadi perhatian. Oleh karena hidrolisat yang diperoleh untuk substrat fermentasi adalah dari hidrolisis secara asam, maka dipilih jenis mikroba yang dapat memproduksi etanol pada pH rendah. Tujuannya agar tidak perlu dilakukan penetapan pH yang terlalu tinggi, sehingga penambahan basa untuk meningkatkan pH dapat dikurangi. Penambahan basa yang terlalu tinggi untuk menaikkan pH dapat meningkatkan jumlah garam pada substrat yang dapat menghambat proses fermentasi. Dengan demikian, pemilihan mikroba yang tahan terhadap pH rendah pada substrat yang diperoleh dari hidrolisis secara asam dinilai lebih efisien. Fermentasi yang dilakukan untuk menghasilkan etanol pada penelitian ini adalah dengan menggunakan khamir, yaitu Issatchenkia orientalis. Substrat yang digunakan pada tahap fermentasi adalah hidrolisat (sirup) dari perlakuan terbaik yang diatur pHnya dengan tujuan untuk mengetahui pH optimal pertumbuhan I. orientalis dalam memproduksi etanol. Adapun pengaturan pH yang dilakukan adalah pH 3, pH 4 dan pH 5 dengan menambahkan amoniak (NH4OH). Selain sirup dari perlakuan gelombang mikro tersebut digunakan juga sirup dari hidrolisis dengan otoklaf sebagai pembanding dan sirup glukosa teknis sebagai kontrol. Sirup glukosa teknis dibuat dengan konsentrasi 10% dan ditambahkan pupuk NPK dan ZA sebagai sumber nitrogen, sedangkan sirup dari perlakuan gelombang mikro dan otoklaf tidak perlu ditambahkan pupuk NPK dan ZA karena sumber nitrogen sudah didapatkan dari pengaturan pH menggunakan amoniak (NH4OH). Dalam larutan, NH4OH akan terurai menjadi NH3 dan H2O. NH3 selanjutnya akan bereaksi dengan asam sulfat menghasilkan garam (NH4)2SO4. Selain unsur karbon, mikroorganisme juga membutuhkan unsur nitrogen sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Sumber nitrogen untuk fermentasi pada penelitian ini diperoleh dari pembentukan amonium sulfat akibat penambahan amoniak. Pemilihan amoniak untuk menghasilkan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen didasari oleh penelitian yang dilakukan Renilaili (2011), yang menyebutkan bahwa jenis sumber nitrogen yang paling optimal dalam fermentasi adalah (NH4)2SO4. Untuk mengetahui jumlah nitrogen yang terdapat pada masing-masing sirup yang telah diatur pHnya dengan penambahan amoniak, maka dilakukan uji kadar protein kasar. Melalui uji protein ini dapat diketahui kadar nitrogen pada sirup karena pada prinsipnya analisa protein kasar menggunakan asam sulfat pekat dengan katalisator, sehingga dapat memecah ikatan N organik dalam bahan menjadi ammonium sulfat, kecuali ikatan N; NO; dan NO2. Ammonium sulfat dalam suasana basa akan melepaskan NH3. Senyawa NH3 yang dilepaskan diikat kembali oleh H2SO4 membentuk ammonium sulfat. Selanjutnya asam borat akan menangkap semua N yang terdistilasi untuk kemudian dititrasi dengan H2SO4 (Renilaili 2011). Reaksi yang terbentuk adalah sebagai berikut. 2 NH3 + 2 H2SO4
(NH4)2SO4 + H2SO4
Pengaturan pH yang dilakukan pada substrat perlakuan gelombang mikro dua tahap terbaik menghasilkan nilai nitrogen yang berbeda-beda. Semakin tinggi pH yang diinginkan, maka penambahan basa (amoniak) semakin banyak, sehingga kadar nitrogen yang terukur semakin tinggi. Kadar nitrogen dari masing-masing substrat disajikan pada Tabel 9.
53
Tabel 9. Nilai total nitrogen pada substrat dengan pH yang berbeda Substrat Total Nitrogen (%) pH 3
11
pH 4
13
pH 5
20
Otoklaf (pH 5)
19
Pada Tabel 9, semakin tinggi pH, maka semakin tinggi kadar nitrogen yang terbentuk. Hal ini disebabkan karena untuk menaikkan pH yang lebih tinggi diperlukan penambahan amoniak yang lebih banyak. Penambahan amoniak yang lebih banyak menyebabkan nitrogen yang terbentuk menjadi lebih banyak. Substrat dari perlakuan otoklaf sebagai pembanding perlakuan gelombang mikro dibuat pada kondisi pH 5 sehingga jumlah total nitrogen yang terukur hampir sama dengan jumlah total nitrogen pada substrat pH 5.
4.3.1 Volume Pembentukan CO2 Pengamatan terhadap peningkatan volume CO2 dilakukan pada lima substrat yang berbeda yaitu substrat dari perlakuan gelombang mikro dua tahap terbaik pH 3, 4, 5, glukosa teknis dan perlakuan otoklaf. Volume CO2 yang terbentuk selama fermentasi dari berbagai substrat diperlihatkan pada Lampiran 4, sedangkan pola akumulasi CO2 diperlihatkan pada Gambar 10.
70
Volume CO2 (ml)
60 50
pH 3 40
pH 4
30
pH 5
20
Otoklaf
10
Glukosa Teknis
0 0
3
6
9
12 18 24 30 36 42 48 60 72
Lama fermentasi (jam)
Gambar 10. Akumulasi pertambahan volume CO2 pada fermentasi substrat yang berbeda selama 72 jam oleh Issatchenkia orientalis Pengamatan terhadap pertambahan CO2 digunakan sebagai data pendukung bahwa khamir yang digunakan mampu menghasilkan CO2 sebagai produk samping dari fermentasi, sedangkan etanol sebagai produk utama dianalisa menggunakan Gas Chromatography (GC) yang datanya disajikan pada Tabel 11. Hasil pengamatan terhadap proses fermentasi menunjukkan bahwa khamir dengan berbagai perlakuan substrat (pH 3-5), mampu menghasilkan CO2 dan diduga hasil tersebut sebanding dengan etanol yang dihasilkan karena sistem fermentasi disusun agar reaksi berlangsung secara anaerobik. Seiring dengan lamanya waktu fermentasi, terjadi peningkatan volume CO2 yang dihasilkan hingga pada waktu tertentu peningkatan tersebut tidak terlalu signifikan. Hal ini dapat diartikan bahwa I. orientalis mampu mengkonversi gula dari substrat hasil hidrolisis secara asam
54
perlakuan gelombang mikro dua tahap menjadi etanol dan ketika substrat mulai habis terjadi penurunan laju pembentukan etanol. Pada Gambar 10 terlihat bahwa volume CO2 tertinggi yang dihasilkan dari fermentasi substrat yang berbeda oleh I. orientalis adalah pada substrat pH 5. Dengan demikian, laju fermentasi pada substrat pH 5 lebih tinggi dibandingkan laju fermentasi menggunakan substrat pH 3 dan 4. Hal ini diduga karena I. orientalis memiliki viabilitas yang lebih tinggi pada kondisi lingkungan pertumbuhan yang tidak terlalu asam, selain itu pada substrat pH 5, sumber nitrogen (N) yang berfungsi sebagai pembentukan sel lebih banyak jumlahnya dibandingkan substrat pada pH yang lebih rendah. Dengan demikian, fermentasi dari substrat terbaik pada penelitian ini adalah pada pH 5 jika diukur dengan pendekatan pembentukan CO2. Pengukuran volume CO2 pada proses fermentasi merupakan pendekatan pengukuran kadar etanol secara tidak langsung. Bonciu et al. (2010) juga melakukan pengamatan terhadap perubahan volume CO2 yang dihasilkan dalam proses fermentasi. Perubahan CO2 tersebut secara tidak langsung digunakan untuk menentukan kadar bioetanol yang dihasilkan oleh isolat khamir dari hidrolisat inulin. Kadar bioetanol ditentukan dari volume CO2 dikalikan dengan koefisien 1.045 hasil persamaan GayLussac. Pada awal fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhan, tetapi setelah terjadi akumulasi CO2, reaksi berubah menjadi anaerobik. Pada kondisi anaerobik, khamir memetabolisme glukosa menjadi etanol sebagian besar melalui jalur Embden Meyerhof Parnas (EMP). Setiap mol glukosa terfermentasi menghasilkan dua mol etanol, CO2 dan ATP. Oleh karena itu, secara teoritis setiap g glukosa menghasilkan 0.51 g etanol. Pada kenyataannya, etanol yang dihasilkan biasanya tidak melebihi 90-95% dari hasil teoritis karena sebagian nutrisi digunakan untuk sintesa biomassa dan memelihara reaksi. Reaksi samping juga dapat terjadi dan menghasilkan gliserol dan suksinat yang dapat mengkonsumsi 4-5% substrat (Oura 1983). Etanol yang dihasilkan dapat menghalangi fermentasi lebih lanjut saat konsentrasinya mencapai 13-15% volume, tetapi hal ini dipengaruhi oleh suhu dan jenis khamir (Prescott dan Dunn 1981 dalam Dwi Ko 2010).
4.3.2 Pembentukan Asam dan Penurunan pH Nilai pH awal pada setiap perlakuan dalam penelitian ini diatur menjadi 3, 4, dan 5 sesuai dengan pH toleransi pertumbuhan I. orientalis. Selama proses fermentasi akan terjadi peningkatan total asam yang diiringi dengan penurunan pH. Pada pH yang lebih rendah, kecepatan fermentasi akan menurun sedangkan pada pH yang lebih tinggi terbentuk asam-asam organik dan gliserol lebih banyak yang merupakan hasil samping fermentasi. Total asam memperlihatkan jumlah seluruh asam yang terbentuk selama proses fermentasi. Asam-asam organik yang merupakan hasil samping fermentasi antara lain adalah asam piruvat, asam suksinat dan asam laktat. Peningkatan nilai total asam dan penurunan pH pada substrat selama proses fermentasi disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai peningkatan total asam dan penurunan pH selama proses fermentasi Substrat
Peningkatan Total Asam (g/l)
Penurunan pH
pH 3
0.18
0.18
pH 4
0.24
0.27
pH 5
0.32
0.86
Otoklaf pH 5 (pembanding)
0.36
2.65
Glukosa teknis pH 5 (kontrol)
0.18
0.69
55
Selama proses fermentasi akan terbentuk asam-asam organik hasil metabolisme dari khamir. Asam-asam organik yang terbentuk tersebut menyebabkan kadar keasaman substrat pada akhir proses fermentasi lebih tinggi daripada substrat sebelum fermentasi. Dilihat dari nilai penurunan pH pada masing-masing substrat dari Tabel 10, substrat dari perlakuan pemanasan otoklaf merupakan substrat yang paling tinggi tingkat penurunan pHnya, hal ini diduga karena pada substrat tersebut khamir dapat langsung mengkonsumsi gula sederhana menjadi etanol yang diiringi dengan pembentukan asam dari metabolisme pertumbuhannya, sedangkan substrat lainnya dari proses pemanasan gelombang mikro dua tahap, metabolisme sedikit terhambat akibat gula yang dikonsumsi oleh khamir masih berbentuk oligosakarida. Dengan terhambatnya proses konsumsi gula mengakibatkan terhambatnya metabolisme pertumbuhan khamir, terbukti dari nilai total asam hasil metabolisme I. orientalis berjumlah sedikit pada substrat perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap. Pembentukan total asam pada substrat glukosa teknis sangat sedikit, yaitu hanya sebesar 0.18 g/l, hal ini diguga pada substrat glukosa teknis juga terjadi penghambatan metabolisme akibat telah terjadi karamelisasi substrat pada saat sterilisasi. Selain itu, substrat dari glukosa teknis yang ditambahkan NPK dan ZA diduga dapat menyebabkan reaksi Maillard. Adanya karamelisasi dan reaksi Maillard dapat menghambat konsumsi khamir pada substrat sehingga terhambat juga proses metabolisme khamir dan akhirnya menyebabkan jumlah total asam yang terbentuk juga sedikit.
4.3.3 Penurunan Total Gula dan Peningkatan Nilai DP Setelah Fermentasi Selama fermentasi, sel khamir akan mengkonversi sumber karbon menjadi biomassa dan produk. Hal ini menyebabkan berkurangnya kadar gula pada substrat yang digunakan sebagai sumber karbon. Penurunan total gula ditandai dengan adanya perbedaan kadar total gula pada substrat awal dan akhir fermentasi akibat adanya konsumsi oleh khamir I. orientalis. Konsumsi terhadap gula sederhana pada substrat menyebabkan peningkatan nilai DP karena gula yang tersisa di dalam substrat adalah gula kompleks yang tidak mampu lagi untuk dikonsumsi oleh khamir. Nilai total gula dan DP sebelum dan sesudah fermentasi disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai Total Gula dan DP sebelum dan sesudah proses fermentasi Sebelum Fermentasi Setelah Fermentasi Substrat
TG (g/l)
DP
TG (g/l)
DP
pH 3
77.97
2.15
68.18
2.65
pH 4
77.53
2.14
63.56
2.62
pH 5
77.63
2.04
58.22
2.40
Otoklaf pH 5 (pembanding)
78.30
1.21
65.19
1.58
Glukosa teknis pH 5 (kontrol)
72.62
1.64
64.05
2.81
Dari Tabel 11 terlihat nilai total gula yang tersisa pada akhir fermentasi berkisar antara 58 g/l hingga 68 g/l. Penurunan gula pada substrat berbanding lurus dengan biomassa dan kadar etanol yang dihasilkan, yaitu semakin tinggi tingkat penurunan total gula pada substrat, maka semakin tinggi jumlah biomassa dan kadar etanol yang dihasilkan. Pada kenyataannya jumlah penurunan total gula tidak menggambarkan besarnya konsumsi gula oleh khamir, karena komposisi gula di dalam masingmasing substrat berbeda. Dalam suatu substrat terkadang jumlah polisakarida (gula kompleks) lebih banyak dibandingkan monosakarida (gula sederhana), sedangkan kebanyakan khamir tidak mampu
56
mengkonsumsi gula yang lebih kompleks. Substrat dengan jumlah total gula yang sama tapi komposisi antara gula kompleks dan gula sederhana yang berbeda, akan menyebabkan penurunan total gula yang berbeda. Jika jumlah gula kompleks lebih banyak daripada gula sederhana, maka penurunan total gula sangat kecil, sebaliknya ketika jumlah gula sederhana lebih banyak daripada gula kompleks, maka akan terjadi penurunan total gula yang lebih tinggi. Penurunan jumlah total gula berbanding terbalik dengan nilai DP pada substrat, setelah proses fermentasi nilai DP menjadi meningkat. Hal ini disebabkan oleh khamir hanya mampu mengkonsumsi gula sederhana sedangkan gula kompleks masih tertinggal di dalam substarat. Dari Tabel 11 terlihat teori penurunan total gula akibat konsumsi gula yang lebih sederhana oleh khamir tidak berlaku. Substrat dengan penurunan total gula tertinggi adalah pada substrat pH 5, yaitu 19.41 g/l. Penurunan total gula tertinggi seharusnya terjadi pada substrat perlakuan otoklaf dan glukosa teknis karena kedua substrat ini mengandung gula sederhana yang lebih banyak (DP≈1). Adanya ketidaksesuaian dengan teori ini karena metabolisme khamir berubah ke arah aerobik. Ketika gula dikonsumsi pada keadaan aerobik, maka metabolisme diarahkan pada pembentukan biomassa yang lebih banyak, akibatnya jumlah CO2 hasil respirasi menjadi lebih tinggi dan etanol yang dihasilkan sangat sedikit. Fenomena ini dapat dilihat pada Gambar 10, substrat yang menghasilkan akumulasi CO2 tertinggi adalah substrat pH 5 diikuti oleh substrat pH 4. Adanya perubahan arah metabolisme ini diduga pada kedua substrat tersebut kondisi fermentasi tidak sepenuhnya anaerobik. Selama proses fermentasi berjalan, kemungkinan ada oksigen dari luar masuk ke media fermentasi yang mengakibatkan gula yang dikonsumsi lebih banyak menghasilkan biomassa dan CO2 sebagai hasil respirasi. Sementara itu, walaupun penurunan total gula pada substrat otoklaf dan glukosa teknis lebih rendah dibandingkan substrat pH 5, proses fermentasi berjalan sempurna dan efisien pada keadaan anaerobik. Hal ini terbukti dari jumlah CO2 yang dihasilkan tidak terlalu tinggi (Gambar 10) dan jumlah etanol yang diperoleh sebanding dengan pembentukan CO2.
4.3.4 Kinetika Fermentasi Analisa kadar etanol dilakukan dengan metode Gas Chromatography (GC). Hasil analisa disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai kadar etanol dan nilai parameter kinetika fermentasi Karakteristik Kadar Etanol (%)
Kadar Etanol (g/l)
∆s/s
Y p/s
pH 3
0.220
1.738
0.126
0.022
pH 4
0.314
2.481
0.180
0.032
pH 5
0.361
2.852
0.250
0.036
Otoklaf pH 5 (pembanding)
1.840
14.536
0.167
0.186
Glukosa teknis pH 5 (kontrol)
1.611
12.727
0.118
0.175
Substrat
Dari Tabel 12 dapat dilihat kadar etanol yang dihasilkan pada substrat dari perlakuan hidrolisis dengan pemanasan gelombang mikro (substrat pH 3, 4 dan 5) sangat rendah dibandingkan substrat perlakuan otoklaf dan glukosa teknis. Hal ini diduga karena gula sederhana yang menjadi sumber karbon bagi pertumbuhan khamir jumlahnya sedikit dan sebagian besar masih berbentuk gula kompleks (oligosakarida) yang dapat dilihat dari nilai DP = 2.04-2.15 (Tabel 11) sehingga tidak dapat langsung dikonsumsi oleh khamir. Jadi, perlakuan hidrolisis dengan menggunakan otoklaf lebih baik 57
dibandingkan gelombang mikro dua tahap dalam menghasilkan fermentable sugar karena mampu memecah pati menjadi glukosa (DP=1). Substrat fermentasi yang merupakan produk dari hidrolisis menggunakan otoklaf lebih baik diduga karena dengan pemanasan yang lebih lama membuat proses hidrolisis lebih sempurna menghasilkan gula-gula sederhana dari pada hidrolisis dengan gelombang mikro yang hanya beberapa menit. Dengan demikian terlihat bahwa I. orientalis hanya mampu mengkonsumsi glukosa untuk pertumbuhan dan pembentukan etanol. Hal ini didukung oleh Shin et al. (2002), bahwa I. orientalis tumbuh dengan baik pada medium pertumbuhan dengan unsur karbon dari glukosa pada keadaan aerobik, sedangkan dengan menggunakan fruktosa (disakarida) tidak dapat tumbuh. Pada pH yang lebih tinggi, kadar etanol yang dihasilkan menjadi lebih tinggi karena pH yang rendah akan menghambat proses fermentasi akibat banyaknya jumlah sel yang mati, dan seiring lamanya waktu fermentasi, pH akan semakin rendah sehingga proses pertumbuhan sel akan semakin terhambat. Hal ini seperti yang diungkapkan Prescott dan Dunn (1981) dalam Dwiko (2010), pada pH tinggi maka fase penyesuaian (lag phase) akan berkurang dan aktifitas fermentasi akan naik. Hidrolisis dengan menggunakan asam pada suhu tinggi dapat membentuk produk samping (inhibitor) seperti hidroksimetilfurfural (HMF) dan furfural pada substrat sehingga dapat menghambat proses fermentasi. Walaupun jumlah inhibitor sangat kecil (HMF kecil dari 2 g/l dan furfural kecil dari 1.5 g/l ) sehingga masih mampu ditoleransi oleh mikroba, namun adanya kombinasi penghambatan lainnya seperti rendahnya kadar gula sederhana dan kondisi media pertumbuhan yang semakin asam dapat menghambat laju pertumbuhan khamir. Empulur sagu yang menjadi bahan baku pembuatan fermentable sugar pada penelitian ini mengandung komponen lignin yang cukup tinggi, yaitu 6.86%. Proses hidrolisis secara asam dengan energi panas yang sangat tinggi menyebabkan dekomposisi produk, salah satunya adalah dekomposisi dari senyawa lignin. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Palmqvist dan Hahn-Hagerdal (2000), bahwa inhibitor yang terbentuk pada hidrolisis asam dipengaruhi oleh suhu, waktu dan konsentrasi asam yang digunakan. Pada suhu dan tekanan yang tinggi, xilosa dan glukosa akan terdegradasi menjadi furfural dan HMF, sedangkan lignin dapat terpecah (terdekomposisi) menjadi senyawa-senyawa fenol yang juga terbentuk selama proses degradasi karbohidrat. Inhibitor tersebut akan mengurangi hasil dan produktivitas mikroorganisme yang digunakan selama proses fermentasi karena bersifat toksik. Pada penelitian ini kadar pembentukan senyawa fenol akibat degradasi lignin tidak dihitung secara kuantitatif. Adanya dugaan di dalam fermentable sugar terdapat senyawa fenol didukung oleh kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi substrat perlakuan gelombang mikro sangat sedikit, hal ini menandakan telah terjadinya penghambatan produktivitas, karena dalam jumlah yang kecil senyawa fenol sudah perpotensi toksik terhadap pertumbuhan khamir. Parajo (1998) melaporkan bahwa produk degradasi lignin lebih bersifat toksik dibandingkan HMF dan furfural walaupun konsentrasinya sangat rendah. Konsentrasi produk dari degradasi senyawa lignin sebesar 0.2 g/l bisa sangat menghambat pertumbuhan sel khamir karena bersifat racun, menyebabkan kehilangan integritas dinding sel (membran), dan mengurangi kemampuan sel untuk menghasilkan enzim pada metabolisme pertumbuhan dan pembentukan produk (Villa et al. 1998). Rendahnya konsentrasi etanol yang terbentuk dari substrat perlakuan gelombang mikro dapat juga disebabkan oleh komposisi kimiawi nutrien yang kurang seimbang pada substrat. Tidak tersedianya sumber nitrogen yang cukup karena proses pembentukan nutrien (nitrogen) hanya diharapkan dari penambahan amoniak, tidak disertai dengan penambahan NPK dan ZA seperti halnya pada substrat glukosa teknis (kontrol). Selain itu, tidak adanya penambahan unsur nutrien lain seperti magnesium, posfor, Fe, Zn dan Cu juga dapat menghambat pertumbuhan khamir, hal ini seperti yang dijelaskan oleh Sa`id (1987), media kultur harus mengandung semua elemen yang dibutuhkan untuk
58
pertumbuhan mikroba dalam proporsi yang serupa dengan yang ada pada sel mikroba tersebut. Umumnya yang disebut sebagai makronutrien adalah elemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang besar seperti unsur C, H, O, dan N. Mikronutrien merupakan elemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang lebih sedikit seperti Mg, P dan S, sedangkan unsur Fe, Cu dan Zn dibutuhkan dalam jumlah yang sangat sedikit namun dianggap penting untuk mendukung pembentukan dan pertumbuhan sel. Kualitas kultur mikroba yang digunakan juga mempunyai peran penting terhadap penentuan mutu produk etanol yang dihasilkan seperti yang dinyatakan oleh Underkofler dan Hickey (1954), bahwa konsentrasi alkohol yang dihasilkan dalam fermentasi bergantung pada jenis khamir yang dipakai dan kadar gula, sedangkan konsentrasi produk samping dipengaruhi oleh temperatur, aerasi, kadar gula dan keasaman. Nilai ∆s/s menunjukkan pemanfaatan substrat menjadi etanol. Dari Tabel 12, pemanfaatan substrat perlakuan gelombang mikro pada pH 5 jauh lebih tinggi dibandingkan substrat perlakuan otoklaf yang secara jelas lebih tinggi kadar gula sederhananya (glukosa). Hal ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pemanfaatan gula oleh khamir pada substrat perlakuan gelombang mikro telah berubah ke arah pembentukan biomassa dan respirasi sebab kondisi fermentasi kemungkinan terjadi pada keadaan earobik. Yield produk (Yp/s) adalah rendemen produk yang terbentuk per substrat yang dikonsumsi. Yield tertinggi diperoleh dari perlakuan otoklaf, yaitu 0.186. Tingginya yield yang diperoleh dari perlakuan otoklaf dibandingkan dengan perlakuan gelombang mikro karena produk etanol yang terbentuk dari fermentasi menggunakan substrat otoklaf lebih tinggi dibandingkan fermentasi dengan perlakuan gelombang mikro. Perolehan etanol dari substrat glukosa teknis sedikit lebih rendah dibandingkan substrat dari perlakuan otoklaf. Hal ini diduga karena pada substrat glukosa teknis telah terjadi proses karamelisasi pada saat sterilisasi, terbukti terjadi perubahan warna pada substrat menjadi lebih gelap setelah sterilisasi. Karamelisasi ini dapat terjadi walaupun tanpa ada senyawa amino. Adanya proses karamelisasi ini dapat juga dilihat dari jumlah total gula yang turun sekitar 8 g/l karena kadar total gula awal fermentasi yang diatur sebesar 80 g/l turun menjadi 72 g/l setelah sterilisasi. Namun, walaupun pemanfaatan substrat dalam proses fermentasi paling rendah nilainya ∆s/s ( = 0.118) daripada substrat perlakuan gelombang mikro, proses fermentasi berjalan sangat efisien dan sempurna karena sebagian besar komposisi gula terdiri dari glukosa sehingga dapat langsung dikonsumsi oleh I. orientalis untuk pertumbuhan dan pembentukan etanol. Bila dilihat dari yield dan etanol yang terbentuk selama proses fermentasi pada substrat perlakuan gelombang mikro, jumlahnya semakin meningkat dengan semakin tingginya pH. Hal ini menunjukkan bahwa khamir memiliki kondisi optimal pertumbuhan yang lebih baik pada pH yang tidak terlalu asam, yaitu pada pH 5. Selain itu, pH substrat otoklaf dan glukosa teknis yang diatur menjadi pH 5 menghasilkan etanol terbanyak, hal ini mendukung pernyataan bahwa I. orientalis dapat tumbuh dengan baik pada pH 5 untuk memproduksi etanol.
59
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Empulur sagu mengandung karbohidrat sekitar 81.6% terutama pati sebesar 55.86%. Komponen serat terbesar dari empulur sagu adalah lignin mencapai 6.86%, diikuti oleh hemiselulosa sebesar 4.72% dan selulosa 2.93%. Dari jumlah kandungan pati, empulur sagu berpotensi untuk dijadikan sebagai substrat fermentasi, namun lebih kecilnya kandungan serat daripada lignin membuat komponen lignoselulosa pada bahan kurang berpotensi untuk dikonversi menjadi gula sederhana. Perlakuan gelombang mikro dua tahap terbukti mampu menghasilkan fermentable sugar dengan karakteristik yang lebih baik daripada perlakuan pemanasan gelombang mikro satu tahap. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, fermentable sugar yang dihasilkan memiliki total gula dan gula pereduksi yang semakin tinggi, sekaligus semakin meningkatkan nilai DE dan memperkecil nilai DP karena proses hidrolisis berjalan lebih sempurna. Memperpanjang waktu hidrolisis pada perlakuan gelombang mikro dua tahap dapat menurunkan jumlah gula yang dihasilkan karena hidrolisis lebih lanjut menyebabkan dekomposisi gula. Kombinasi perlakuan konsentrasi asam, waktu hidrolisis, dan energi yang diterima bahan terbaik adalah pada konsentrasi asam 0.5 M pada power level 30% (2`) dilanjutkan dengan power level 70% (3`). Fermentable sugar yang dihasilkan dari perlakuan ini memiliki DP terkecil yaitu 2.16. Namun, perlakuan hidrolisis dengan menggunakan otoklaf masih memberikan hasil yang lebih baik karena DP mendekati 1. Tingginya kandungan lignin pada empulur sagu dan besarnya ukuran partikel bahan (35 mesh) membuat proses hidrolisis dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap berjalan tidak sempurna. Berdasarkan hasil fermentasi dapat disimpulkan semakin tinggi pH, maka semakin banyak etanol yang dihasilkan. Kadar etanol yang diperoleh dari substrat pH 3 adalah 0.220%, sedangkan kadar etanol hasil fermentasi substrat pH 5 adalah 0.361%. Jadi, substrat pH 5 merupakan substrat pH optimal pertumbuhan I. orientalis. Namun, kadar etanol yang dihasilkan menggunakan substrat perlakuan otoklaf lebih tinggi dibandingkan perlakuan gelombang mikro yaitu 1.84%, sedangkan kadar etanol perlakuan gelombang mikro hanya berkisar antara 0.220-0.361%. Rendahnya kadar etanol yang dihasilkan disebabkan oleh substrat yang menjadi sumber karbon masih dalam bentuk oligosakarida yang sekaligus menunjukkan bahwa I. orientalis hanya mampu mengkonsumsi glukosa untuk pertumbuhan dan pembentukan etanol, selain itu hidrolisis menggunakan asam dapat membentuk produk samping seperti HMF dan furfural yang dapat menghambat proses fermentasi.
5.2 SARAN Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk: 1. Melakukan pengecilan ukuran empulur sagu untuk pemerataan energi panas gelombang mikro dan kontak dengan katalis asam yang lebih sempurna dalam proses hidrolisis 2. Melakukan proses detoksifikasi terhadap fermentable sugar yang diperoleh dari bahan baku dan proses hidrolisis yang berpotensi menghasilkan senyawa inhibitor tinggi 3. Melakukan pemilihan mikroba yang tidak hanya tahan pada kondisi asam tinggi, tetapi juga mampu mengkonsumsi gula selain glukosa dan gula kompleks agar diperoleh rendemen etanol yang lebih tinggi. 60
DAFTAR PUSTAKA Ameur LA, Trystram G and Birloues AI. 2006. Accumulation of 5-hydroxymethyl-2-furfural in cookies during the baking process: Validation of an extraction method. J Food Chem 98: 790-796. Anonim. 2008. Struktur pati. http://isroi.wordpress.com/2010/02/24/gambar-model-lignoselulosa/. [8 Pebruari 2011]. ______.
2010. Tepung aren. http://umum.kompasiana.com/2009/02/08/melongok-pembuatantepungpati-aren/. [8 Pebruari 2011].
______. 2010. Konversi daya oven microwave. http://ile-maurice.tripod.com/conversion.htm. [24 Juni 2011]. AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of Assosiation of Analytical Chemist. New York: AOAC, Inc. Apriyantono A, Dedi F, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Bonciu C, Cristiana T, Gabriela B. 2010. Yeast isolation and selection for bioethanol production from inulin hydrolysates. Innovative Romanian Food Biotechnol 25 (6) :1-38. Boyles D. 1984. Bio energy-Technology, Thermodynamics, and Cost. West Sussex: Ellis Horwood Limited. Campbell I dan Priest FG. 1996. Brewing Microbiology. Second Edition. New York: Aspen Publishers Inc. Choi CH dan AP Mathews. 1996. Two-step acid hidrolysis process kinetics in the saccharification of low-grade biomassa: I. Experimental studies on the formation and degradation of sugars. J Biores Technol 58: 101-106. Copson DA. 1975. Microwave Heating. Second Edition. The AVI Publishing Company, Inc. Connecticut. Corsaro U, Chiacchio V, Pistara and Romeo G. 2004. Microwave assisted chemistry of carbohydrates. J Organic Chem 8: 511–538. Derosya V. 2010. Sakarifikasi empulur sagu (Metroxylon sagu) dengan konsorsium enzim amilolitik dan holoselulolitik untuk produksi bioetanol [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, dan Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugar and related substances. J Anal Chem 28 (3): 350-356. Dwiko M. 2010. Pengaruh gelombang mikro pada hidrolisis asam empulur sagu untuk produksi bioetanol [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Eskin NAM, Anderson HM, dan Townsend RJ. 1971. Biochemistry of Food. London: Academic Press. Fardiaz S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
61
Fennema OR. 1985. Food Chemistry. New York: Aspen Publishers Inc. Fengel D dan Wegener G. 1984. Kimia Kayu, Reaksi Ultrastruktur. Terjemahan S. Hardjono. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Flach M. 1979. The Sago Palm: Domestication exploitation and product. Paper presented at the FAO sponsored expert consultation on the sago palm and it product, Jakarta. Frazier WC dan Westhoff DC. 1978. Food Microbiology. New York: Tata Mc.Graw-Hill Publ.Co.Ltd. Fujii S, Kishihara S, Komoto M. 1986. Studies on improvement of sago starch quality. Proceeding. 3rd International Sago Symposium: 186-192. Gong LF. 1981. Conversion of hemicellulose carbohydrates. J Biochem Eng 20: 93-118. Govindaswamy S, Vane LM. 2007. Kinetics of growth and ethanol production on different carbon substrates using genetically engineered xylose-fermenting yeast. J Biores Technol 98: 677685. Griffin VK dan Brooks JR. 1989. Production and size distribution of rice maltodextrins hydrolyzed from milled rice flour using heat-stable alpha-amylase. J Food Sci 54:190-191. Harijadi W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia. Haryanto B dan Pangloli P. 1992. Potensi Pemanfaatan Sagu. Yogyakarta: Kanisius. Hermiati, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, dan Prasetya B. 2010. Pemanfaatan biomassa lignoselulosa ampas tebu untuk produksi bioetanol. J Litbang Pertanian 29 (4): 121-130. Iranmahboob J, Nadim F, Monemi S. 2002. Optimizing acid-hydrolysis: a critical step for production of ethanol from mixed wood chips. Biomass and Bioenergy 22: 401–404. Jamil A, Shafique U, Rehman R, Salman M, Dar A, Anzano JM, Ashraf U, Ashraf S. 2010. Microwave chemistry: Effect of ions on dielectric heating in microwave ovens. J of Chem 6:1-29. Kadam KL, Forrest LH, and Jacobson WA. 2000. Rice straw as lignocellulosic resource collection, processing, transportation, and environmental aspects. J Biomass Bioenergy 8: 369-389. Karim A, Tie PL, Manan DMA, Zaidul ISM. 2008. Starch from the Sago (Metroxylon sagu) palm tree properties, prospects, and challenges as a new industrial source for food and other uses. Comprehensive reviews in Food Sci and Food Safety 7: 1-14. Karimi K, Emtiazi G, Taherzadeh M. 2006. Ethanol production from dilute-acid pretreated rice straw by simultaneous saccharification and fermentation with Mucorindicus, Rhizopus oryzae, and Saccharomyces cerevisiae. J of Enzyme and Microbial Technol 40: 138-144. Koroskenyi B dan Charty SP. 2002. Microwave-assisted solvent-free or aqueous-based synthesis of biodegradable polymers. J Polym and the Environ 10: 93–104. Kosaric H, Wieczorec A, Cosentino GP, Magee RJ, Presonil JE. 1983. Ethanol Fermentation. Di dalam H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume III. Weinheim: Verlag Cheme. Kunlan L, Lixin X, Jun P, Guoying C, Zuwei X. 2001. Salt-assisted acid hydrolysis of starch to Dglucose under microwave irradiation. Carbohydrate research 331: 9-12.
62
Kuntz L. 1997. Making the most of maltodextrins. www. foodproductdesign.com. [12 Juli 2011]. Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Suhartono MT, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Miller GL. 1959. Use of dinitrosalicylic acid reagent for determinationof reducing sugar. J Anal Chem 31: 426-428. Modig T, Liden G dan Taherzadeh J. 2002. Inhibition effects of furfural on alcohol dehydrogenase, aldehyde dehydrogenase and pyruvate dehydrogenase. J Biochem 363: 769-776. Mosier N. 2005. Features of promising technologies for pretreatment of lignocellulosic biomass. J Biores Technol 96: 673–686. Mussatto SI dan Roberto IC. 2004. Alternatives for detoxification of dilute-acid lignocellulosic hydrolyzates for use in fermentative process: a review. Biores Technol 93: 1-10. Nicolic S, Mojovic L, Rakin M, Pejin D. 2008. A microwave-assisted liquefaction as a pretreatment for the bioethanol by the simultaneous sacharification and fermentation of corn meal. J Chem Industry and Chem Eng Quart 14 (4): 231-234. Nigam JN. 2001. Ethanol production from wheat straw hemicellulose hydrolysate by Pichia stipitis. J Biotechnol 87: 17–27. Oura E. 1983. Reaction Product of Yeast Fermentation. Di dalam H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume III. New York: Academic Press. Ozawa T dan Arai Y. 1986. Phenolic substances from sago palm pith. Proceeding. 3rd International Sago Symposium: 197-200. Palmqvist E dan Hahn-Hagerdal. 2000. Fermentation of lignocellulosic hydrolysates. II: inhibitors and mechanism of inhibition. J Biores Technol 74: 17-24. Parajo H. 1998. Biotechnological production of xylitol. Part 3: Operation in culture media made from lignocellulose hydrolysates. J Biores Technol 66: 25–40. Paturau JM. 1969. By Product of The Cane Sugar Industry: An Introduction to their Industrial Utilization. Amsterdam: Elsevier Scientific Publ Co. Prescott SC dan Dunn CG. 1981. Industrial Microbiology. New York: MC Graw-Hill Book Co Ltd. Purwadi R. 2006. Continuous detoxification of dilute-acid hydrolyzates by Ca(OH)2. 28th Symposium on Biotechnology for Fuels and Chemicals. April 30 - May 3. Ramalatu FJ. 1981. Distribusi dan potensi produk pati dari batang beberapa jenis sagu (Metroxylon sp.) di daerah Seram Barat [tesis]. Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura. Ratledge C. 1991. Yeast physiology a micro-synopsis. J Bioproc Eng 6:195-203. Renilaili. 2011. Pengaruh vitamin B dan nitrogen dalam peningkatan kandungan protein kulit ubi kayu melalui fermentasi. http://blog.binadarma.ac.id/reni/?p=22. [15 agustus 2011]. Ruriani E. 2010. Rekayasa proses produksi bioetanol dari tongkol jagung melalui sakarifikasi dan fermentasi secara simultan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
63
Safitri R, Suroso l, Supitasari NS. 2009. Pengaruh berbagai konsentrasi asam sulfat dan enzim pada hidrolisis tepung empulur sagu (Metroxylon sagu rottb.), kombinasi hidrolisis kimiawi dan enzimatis terhadap kandungan gula pereduksi. Prosiding. Seminar Nasional Teknik Kimia 2009: 314-321. Sa`id
EG. 1987. Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sari FA. 2009. Pengaruh jenis asam pada hidrolisis pati sagu untuk pembuatan etanol [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Seo SH, Rhee CH, Park HD. 2007. Degradation of malic acid by Issatchenkia orientalis KMBL 5774, an acidophilic yeast strain isolated from Korean grape wine pomace. J Microbiol 45:521527. Shin HT, Lim YB, Koh JH, Kim JY, Baig SY, dan Lee JH. 2002. Growth of Issatchenkia orientalis in aerobic batch and fed-batch cultures. J Microbiol 40: 82-85. Sun Y dan Cheng J. 2005. Dilute acid pretreatment of straw and bernudagrass for ethanol production. J Biores Technol 96: 1599-1606. Suryana A. 2007. Arah dan strategi pengembangan sagu di Indonesia. Prosiding. Lokakarya pengembangan Sagu di Indonesia, 25-26 Juli 2007, Batam. Swift G. 2002. Environmentally biodegradable water-soluble polymers. J Polym and Envir 4(2): 8589. Taherzadeh MJ dan Karimi K. 2007. Acid-based hydrolysis processes for ethanol from lignocellulosic material: a review, J Biores 2(3): 472-499. Taylor M dan Atri S. 2005. Development in Microwave Chemistry. Evalueserve, United Kingdom. Underkofler LA dan Hickey RJ. 1954. Industrial Fermentations. New York: Chemical Publishing. USDA.
2005. Metroxylon sagu, Sago palm. Natural resources conservation service. http://plants.usda.gov:8080/plants/nameSearch?keywordquery=metroxylon+sagu&mode=s ciname [15 Maret 2011].
Van S. 1969. Use of detergent in analysis of fibrous feeds III. Di dalam: ML Dreher (ed.2). The Handbook of Dietary Fiber. New York, USA. Villa P, Felipe MGA, Rodriguez RCL, Vitolo M, Luis RE, Silva SS, Napoles AI, Mancilha IM. 1998. Influence of phenolic compounds on the bioprocess of xylitol production by Candida guilliermondii. In: Esbes-2 European Symposium On Biochemical Engineering Science, 2. Porto-Portugal, 1998. Warrand J dan Janssen HG. 2006. Controlled production of oligosaccharides from amylose by acid hydrolysis under microwave treatment: Comparison with conventional heating. J Carbohyd Polym 69: 353-362. Winarno FG. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yu ST, Chen P, Suree R, Nuansri and Wang KT. 1996. Effect of microwave irradiation on acidcatalyzed hydrolysis of starch. J Organic Chem 61: 9608–9609. Zamora
A. 2005. Carbohydrat chemical structure. fitness/carbohydrates.html. [10 Agustus 2011].
http://www.scientificpsychic.Com/
64
LAMPIRAN
65
Lampiran 1. Prosedur analisis komponen empulur sagu 1. Analisis Proksimat a. Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat (% b/b) = 100 % - (kadar abu + kadar air + kadar protein + kadar lemak + kadar serat)
b. Kadar Lemak (Metode Soxhlet) Labu dikeringkan dengan oven bersuhu 100-102oC selama ± 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak ± 5 g kemudian dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet kemudian direfluxs selama 5-6 jam. Pelarut dalam labu lemak didestilasi dan ditampung hasilnya. Labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah pelarut menguap semua, labu lemak diangkat dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Nilai kadar lemak dapat diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut:
c. Kadar Air (AOAC 1999) Sampel sebanyak 2 g ditimbang dan ditaruh dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobot keringnya. Bahan kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 100oC selama 5 jam. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator. Bobot akhir ditimbang dan diulang hingga konstan.
Keterangan: A= bobot awal sampel (g) B = bobot akhir sampel (g)
d. Kadar Abu (AOAC 1999) Bahan sebanyak 3-5 g ditimbang dalam cawan porselen yang kering dan telah diketahui beratnya. Bahan dipijarkan dalam tanur pada suhu 550oC selama ± 4 jam sampai diperoleh abu berwarna keputih-putihan. Selanjutnya bahan didinginkan pada desikator kemudian ditimbang dan diulang hingga bobot konstan.
e. Kadar Serat Kasar (AOAC 1999) Sebanyak 2 g contoh dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml H2SO4 0.325 N. Campuran dihidrolisis dalam otoklaf selama 15 menit pada suhu 105oC, didinginkan dan ditambahkan NaOH 1.25 N sebanyak 50 ml. Sampel dihidrolisis kembali dalam otoklaf selama 66
15 menit. Sampel disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kertas saring tersebut dicuci berturut-turut dengan air panas 25 ml H2SO4 0,325 N lalu dengan air panas dan terakhir dengan menggunakan alkohol 25 ml. Kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 1 jam dan dilanjutkan sampai bobotnya tetap.
Keterangan : a = bobot residu dalam kertas saring (g) b = bobot kertas saring kering (g) c = bobot bahan awal (g)
f. Kadar Protein (AOAC 1999) Sebanyak 0.1 g contoh dimasukkan ke dalam labu kjeldahl lalu ditambahkan 2.5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis dan beberapa butir batu didih. Larutan didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih kemudian didinginkan. Larutan hasil destruksi dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0.02 N dan 2-4 tetes indikator mengsel (campuran metil merah 0.02 % dalam alkohol dan metil biru 0.02 % dalam alkohol (2:1)) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan dengan akuades (ditampung dalam erlenmeyer). Larutan yang berada dalam erlenmeyer dititrasi dengan NaOH 0.02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Setelah itu dilakukan pula penetapan blanko.
Keterangan : a = ml NaOH untuk titrasi blanko b = ml NaOH untuk titrasi contoh N = normalitas NaOH W = bobot contoh (g)
g. Kadar Pati (Metode Luff Schroll) (AOAC 1999) Bahan ditimbang sebanyak 1 g kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml HCl 3%. Sampel selanjutnya dihidrolisis selama 1-3 jam di dalam otoklaf dengan suhu 105oC. Setelah terhidrolisis, sampel selanjutnya dinetralkan dengan NaOH 40%. Sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml dan ditambahkan air destilata sampai mencapai tanda tera. Sampel sebanyak 10 ml dipipet kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan 25 ml larutan luff schroll. Larutan dididihkan selama 10 menit pada pendingin tegak. Setelah itu, sampel didinginkan di bawah air mengalir (jangan dikocok). Kemudian pada sampel ditambahkan 20 ml H2SO4 25%. Larutan dititrasi menggunakan Na2S2O3 0.1 N dengan indikator kanji (3-5 tetes) sampai hilang warnanya. Blanko dibuat dengan sampel berupa 25 ml air destilata dan 25 ml larutan Luff Schroll. Kadar pati (%) = (a x 0.9 x p) / (mg contoh) x 100% Keterangan: a = Jumlah glukosa, fruktosa, gula invert (C6H12O6)
67
p = faktor pengenceran (jumlah mg C6H12O6 ditentukan berdasarkan selisih titrasi larutan tiosulfat antara blanko dan contoh)
2. Analisis Komponen Serat a. Penetapan NDF (Neutral Detergent Fiber) (Van Soest 1969) Sampel sebanyak 0.5 g (A) dimasukkan ke dalam gelas piala berukuran 250 ml serta ditambahkan dengan larutan NDF. Larutan NDF terdiri atas bahan kimia sebagai berikut: akuades 1 l; natrium sulfat 30 g; EDTA 18.81 g; natrium borat 10 H2O 6.81 g; di-Na-HPO4 anhidrat 4.5 g dan 2etoksietanol murni 10 ml. Sampel yang mengandung pati ditambahkan dengan α-amilase 30 ml dalam bufer fosfat pH 7 0.067 N selama 16 jam dalam inkubator 40oC. Sampel kemudian ditambahkan larutan NDF disaring dengan bantuan pompa vakum, dibilas bergantian dengan air panas dan aseton. Hasil penyaringan tersebut dikeringkan dalam oven 105oC hingga stabil, setelah itu dimasukkan dalam desikator selama satu jam, kemudian dilakukan penimbangan (B). Filter dilabukan pada tanur suhu 450-500oC sampai diperoleh bobot setimbang, kemudian ditimbang (C). Persen kadar NDF = (B-C) / A x 100 Keterangan : A = bobot sampel (g) B = bobot filter glass dan sampel setelah dioven (g) C = bobot filter glass dan sampel setelah ditanur (g)
b. Penetapan ADF dan Hemiselulosa (Van Soest 1969) Sampel sebanyak 1 g (A), dimasukkan ke dalam gelas piala serta ditambahkan dengan 50 ml larutan ADF. Larutan ADF terdiri atas 1 l H2SO4 1 N dan 20 g CTAB (Cethyle Trimethyl Ammonium Bromide). Sampel yang telah ditambahkan larutan tersebut dipanaskan selama satu jam di atas pendingin balik. Penyaringan dilakukan dengan bantuan pompa vakum dengan menggunakan filter glass. Pencucian dilakukan bergantian dengan aseton dan air panas. Hasil penyaringan tersebut dikeringkan dalam oven 105oC hingga stabil, setelah itu dimasukkan dalam desikator selama satu jam, kemudian dilakukan penimbangan (B). Filter diabukan pada tanur dengan suhu 450-500oC sampai diperoleh bobot setimbang, kemudian ditimbang (C). Persen kadar ADF = (B-C) / A x 100 Keterangan : A = bobot sampel (g) B = bobot filter glass dan sampel setelah dioven (g) C = bobot filter glass dan sampel setelah ditanur (g) Maka: Kadar hemiselulosa = % NDF - % ADF Kadar selulosa = % ADF - % lignin
68
c. Kadar Selulosa Residu ADF (C) yang berada dalam filter glass diletakkan di atas nampan yang berisi air setinggi kira-kira 1 cm, kemudian ditambahkan H2SO4 setinggi ¾ bagian filter glass dan dan dibiarkan selama 3 jam sambil diaduk-aduk. Penyaringan dengan filter glass dibantu dengan pompa vakum. Pencucian dilakukan dengan aseton dan air panas. Sampel diletakkan ke dalam oven dan dimasukkan ke dalam desikator untuk melakukan pendinginan dan ditimbang (D). % selulosa = (D-C) / A x 100 % Keterangan : A= bobot sampel (g) B= bobot filter glass dan residu ADF setelah dioven (g) C= bobot filter glass dan residu ADF awal (g)
69
Lampiran 2. Prosedur analisis karakteristik fermentable sugar 1. Penentuan Total Gula dan Kurva Standar Total Gula a. Analisis Total Gula (Dubois et al. 1956) Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Pembuatan kurva standar fenol adalah sebagai berikut: 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 μg glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung ulir, kemudian ditambahkan 1 ml fenol 5% dan dikocok. Kemudian ditambahkan 5 ml H2SO4 pekat dengan cepat. Sampel selanjutnya dibiarkan selama 10 menit, dikocok dan dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada panjang gelombang 490 nm. Total gula sagu diukur dengan menggunakan metode fenol sulfat. Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol tetapi 2 ml larutan glukosa standar diganti dengan 2 ml sampel.
Absorbansi
b. Kurva Standar Total Gula
1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
y = 0.014x - 0.023 R² = 0.996
0
10
20
30
40
50
60
70
Konsentrasi (ppm)
2. Penentuan Gula Pereduksi dan Kurva Standar Glukosa a. Analisis Gula Pereduksi (Metode asam Dinitro salisilat (DNS)) (Miller 1959 ) Sebelum sampel diuji, perlu diketahui kurva standar glukosa yang akan digunakan persamaannya. Pembuatan kurva standar glukosa adalah sebagai berikut: 1 ml larutan glukosa standar dengan 0, 100, 150, 200, 250, dan 300 ppm masing-masing dimasukkan ke dalam tabung ulir kemudian ditambahkan dengan 3 ml DNS dan dikocok. Campuran tersebut dipanaskan selama 5 menit dalam air mendidih. Setelah itu, campuran diangkat dan didinginkan kemudian diukur pada 550 nm.
70
b. Kurva Standar Glukosa 1,2
y = 0.004x - 0.447 R² = 0.996
Absorbansi
1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
50
100
150
200
250
300
350
400
Konsentrasi (ppm)
3. Ekuivalen Dekstrosa (Dextrose Equivalent / DE) Ekuivalen dekstrosa (DE) diperoleh dengan membagi nilai gula pereduksi contoh dengan nilai total gula contoh tersebut. DE (%)
4. Derajat Polimerisasi Derajat polimerisasi (DP) adalah jumlah unit monomer rata-rata dalam suatu campuran. Derajat polimerisasi diperoleh dengan membagi nilai total gula (metode fenol sulfat) dengan nilai gula pereduksi contoh.
5. Kadar Hidroksi metilfurfural (HMF) (Metode HPLC) (Ameur et al. 2006) Sampel diinjeksikan sebanyak 20 µl pada suatu Kontron auto-sampler dan suatu C18 Reversed-Phase Kolom dihubungkan ke suatu UV detektor dengan panjang gelombang 284 nm. Identitas dan kemurnian HMF telah ditetapkan oleh suatu photodiode detektor array. Fase laju alir terdiri atas sodium asetat 0.04 M dan metanol (80:20) kemudian ditambahkan dengan asam cuka (99.8%) hingga pH 3.6. Pembacaan ditentukan dengan membuat standar HMF dan Furfural terlebih dahulu.
71
Lampiran 3. Prosedur analisis cairan fermentasi 1. pH (AOAC 1995) Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter. Setelah dicuci dengan aquades, elektroda dapat dimasukkan ke dalam contoh yang akan diukur pH-nya. Nilai pH adalah nilai yang ditampilkan setelah menunjukkan nilai konstan.
2. Total Asam Total asam ditentukan dengan cara titrasi dan dinyatakan sebagai asam laktat. Sebanyak 1 ml contoh dipipet ke dalam erlenmeyer 50 ml dan ditambahkan dengan 9 ml air destilata kemudian dipanaskan untuk menghilangkan untuk menghilangkan CO2 yang ada. Campuran kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N dengan indikator fenofftalein.
3. Efisiensi Pemanfaatan Substrat Efisiensi pemanfaatan substrat diperoleh dengan membagi selisih nilai gula pereduksi awal (A dan gula pereduksi akhir fermentasi (B)). Nilai gula pereduksi diukur dengan menggunakan metode DNS. Efisiensi pemanfaatan substrat (%) =
4. Kadar Etanol Penentuan kadar etanol diukur dengan metode Gas Chromatography (GC), dilakukan dengan membandingkan waktu retensi contoh dengan waktu retensi standar etanol. Konsentrasi standar etanol diinjeksikan adalah 1% (v/v). Kadar etanol yang terdapat dalam contoh dihitung menggunakan persamaan berikut. Kadar etanol =
72
Lampiran 4. Volume CO2 yang terbentuk selama proses fermentasi Volume Pembentukan CO2 Fermentasi
Otoklaf
Glukosa Teknis
Jam ke-
pH 3
pH 4
pH 5
(pH 5)
(pH 5)
0
0
0
0
0
0
3
1
1
1
1
1
6
3
3
3
2
2
9
4
43
47
3
2
12
5
61
62
3
3
18
6
62
63
3
3
24
7
62
63.5
3
3
30
7
62
64
3
3
36
7
62
64
3
3
42
7
62
64
3
3
48
7
62
64
3
3
60
7
62
64
3
3
72
7
62
64
3
3
73
Lampiran 5. Hasil uji homogenitas berbagai parameter hidrolisis 1. Bobot Residu (%) Sumber Keragaman
DF
Konsentrasi asam*Pemanasan
9
Grup Duncan
Jumlah Kuadrat 1241.718592
Kuadrat Tengah 137.968732
F Hitung
Pr > F
42.39
<.0001
Rata-Rata
N
Konsentrasi asam*Pemanasan
A
47.099
2
A1B1
B
42.478
2
A1B2
C
37.003
2
A1B3
C
35.254
2
A1B4
D
30.620
2
A2B1
29.425
2
A2B2
28.140
2
A2B3
C
D D D E
D
E
D
E
D
26.430
2
A2B4
F
24.011
2
A1B0
20.630
2
A2B0
E E
F F
74
2. Gula Perduksi (g/l) Sumber Keragaman
DF
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
Pr > F
9
14948.85950
1660.98439
60.54
<.0001
Konsentrasi asam*Pemanasan
Grup Duncan
Rata-Rata
N
Konsentrasi asam*Pemanasan
A
106.204
2
A2B0
B
83.173
2
A1B0
C
48.860
2
A2B3
37.410
2
A2B4
33.243
2
A1B4
30.326
2
A2B2
26.867
2
A1B3
24.404
2
A1B2
23.337
2
A2B1
18.854
2
A1B1
C D
C
D
C
D
C
D
C
D
C
E
D
C
E
D
C
E
D
E
D
E
D
E
D
E E E
75
3. Total Gula (g/l) Sumber Keragaman
DF
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
Pr > F
9
3278.238628
364.248736
3.08
0.0471
Konsentrasi asam*Pemanasan Grup Duncan
Rata-Rata
N
Konsentrasi asam*Pemanasan
A
111.61
2
A2B0
105.66
2
A2B3
102.39
2
A2B4
92.83
2
A2B2
90.50
2
A1B0
82.93
2
A1B4
81.20
2
A1B3
80.81
2
A1B2
80.69
2
A2B1
68.38
2
A1B1
A B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
C
B
A
C
B
A
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C C C
76
4. DE (%) Sumber Keragaman
DF
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
Pr > F
9
12094.86263
1343.87363
209.00
<.0001
Konsentrasi asam*Pemanasan
Grup Duncan
Rata-Rata
N
Konsentrasi asam*Pemanasan
A
95.154
2
A2B0
A
91.905
2
A1B0
B
46.245
2
A2B3
40.077
2
A1B4
37.513
2
A2B4
33.089
2
A1B3
32.672
2
A2B2
30.204
2
A1B2
28.934
2
A2B1
27.572
2
A1B1
A
B B B C
B
C
B
C
B
C C
D D
E
D
E
D
F
E
D
F
E
F
E
F F
77
5. DP Sumber Keragaman Konsentrasi asam*Pemanasan
DF 9
Grup Duncan A
Jumlah Kuadrat 15.34387731
Kuadrat Tengah 1.70487526
F Hitung 47.68
Rata-Rata
N
Konsentrasi asam*Pemanasan
3.632
2
A1B1
3.457
2
A2B1
3.3138
2
A1B2
3.0584
2
A2B2
3.0269
2
A1B3
2.7365
2
A2B4
2.4880
2
A1B4
2.1621
2
1.0878
2
A1B0
1.0546
2
A2B0
Pr > F <.0001
A B
A
B
A
B
A
B
A
B B B C C D
C
D
C
D D E
A2B3
E E
78
6. Volume Filtrat (ml) Sumber Keragaman
DF
Konsentrasi asam*Pemanasan
9
Grup Duncan
Jumlah Kuadrat 1623.950000
Kuadrat Tengah 180.438889
F Hitung
Pr > F
60.65
<.0001
Rata-Rata
N
Konsentrasi asam*Pemanasan
A
80.000
2
A2B0
B
75.750
2
A1B0
C
67.500
2
A2B1
65.500
2
A2B2
C
64.000
2
A2B3
E
61.000
2
A2B4
E
59.750
2
A1B1
G
56.500
2
A1B2
G
54.000
2
A1B3
H
49.000
2
A1B4
C C C D D D
E F F F
G
79
7. Kejernihan Hidrolisat (%T) Sumber Keragaman
DF
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
Pr > F
Konsentrasi asam*Pemanasan
9
1822.738000
202.526444
25.09
<.0001
Grup Duncan
Rata-Rata
N
Konsentrasi asam*Pemanasan
89.850
2
A1B0
89.500
2
A1B3
87.150
2
A2B0
A
87.050
2
A1B2
B
79.350
2
A1B1
76.300
2
A1B4
76.150
2
A2B3
72.150
2
A2B2
65.600
2
A2B1
61.300
2
A2B4
A A A A A A
B C
B
C
B
C
B
C C
D D D
80
8. HMF (mg/l) Sumber Keragaman
DF
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
Pr > F
9
0.00744199
0.00082689
1.26
0.3583
Konsentrasi asam*Pemanasan
Grup Duncan
Rata-Rata
N
Konsentrasi asam*Pemanasan
A
65.642
2
A2B0
B
8.099
2
A1B0
1.883
2
A2B4
1.559
2
A2B3
1.465
2
A2B2
0.956
2
A2B1
0.626
2
A1B4
0.484
2
A1B3
0.455
2
A1B2
0.276
2
A1B1
C C C C C C C C
D
C
D
C
D
C
D D D D D D
81
9. Furfural (mg/l) Sumber Keragaman
DF
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
Pr > F
9
5.0507434E-6
5.6119371E-7
5.07
0.0120
Konsentrasi asam*Pemanasan
Grup Duncan
Rata-Rata
N
Konsentrasi asam*Pemanasan
A
1.714
2
A2B0
B
0.064
1
A1B0
0.058
2
A2B4
0.053
2
A2B3
0.051
2
A2B2
0.041
2
A2B1
0.000
2
A1B2
0.000
2
A1B3
0.000
2
A1B4
0.000
2
A1B1
B B B B B B B B B B B B B B B B
82