REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA
PROSIDING SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN 9 OKTOBER 2014
Editor: Ir. A. Thomas, MP. Lis Nurrani, S.Hut. Nurlita Indah Wahyuni, S.Hut.
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Balai Penelitian Kehutanan Manado
i
ISBN 978-602-96800-8-9
PROSIDING SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN “REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA” Manado, 2014 Terbit Tahun 2015
Foto Sampul oleh: Ady Suryawan Arif Irawan Hendra S. Mokodompit Harwiyaddin Kama
Tata letak dan desain sampul: Hendra S. Mokodompit dan Lulus Turbianti
Diterbitkan oleh: Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget, Manado - Sulawesi Utara Telp. 085100666683 Email:
[email protected];
[email protected] Website: www.bpk-manado.litbang.dephut.go.id
Dicetak oleh: IPB Press
ii
KATA PENGANTAR Seminar dengan tema “Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara” diselenggarakan bertepatan dengan ulang tahun emas Provinsi Sulawesi Utara. Adapun tujuan dari dilaksanakannya seminar ini adalah memfasilitasi tukar pendapat serta informasi dari para peneliti mengenai hasil-hasil penelitian dalam rangka restorasi hutan Indonesia. Seminar ini juga melibatkan para pembuat kebijakan, ilmuwan, praktisi dan stakeholders lainnya dalam rangka menyusun strategi rehabilitasi dan restorasi hutan Indonesia. Latar belakang pelaksanaan seminar ini adalah pemanfaatan hutan Indonesia selama ini lebih terfokus pada pemanfaatan kayu saja sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan baik di kawasan hutan maupun kawasan di sekitarnya. Kerusakan dalam kawasan hutan pada umumnya berupa semakin luasnya kawasan hutan bekas tebangan yang tidak produktif yang seharusnya segera kembali dipulihkan dengan melakukan kegiatan pemulihan ekosistem, terutama untuk kawasan hutan produksi yang memiliki ekosistem penting. Prosiding ini memuat 10 judul materi yang dibahas dan 2 materi penunjang serta rumusan seminar berdasarkan hasil diskusi. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada penyaji materi, panitia penyelenggara, moderator, peserta serta semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan kegiatan seminar. Semoga prosiding ini bermanfaat.
Manado, Mei 2015 Kepala BPK Manado TTD Ir. Muh. Abidin, M.Si.
iii
TIM PENYUNTING Penanggung Jawab
: Ir. Muh. Abidin, M.Si.
Redaktur
: Rinto Hidayat, S.Hut.
Editor
: Ir. A. Thomas, M.P. Lis Nurrani, S.Hut. Nurlita Indah Wahyuni, S.Hut.
Sekretariat
: Lulus Turbianti, S.Hut. Hendra Susanto Mokodompit Rinna Mamonto
iv
DAFTAR ISI Kata Pengantar........................................................................... Daftar Isi ................................................................................... Laporan Penyelenggaraan............................................................ Sambutan Kepala Badan Litbang ................................................. Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara ............. Rumusan ...................................................................................
iii v viii x xiv xvii
Restorasi Ekosistem Hutan Martina A. Langi .................................................................................
01-08
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan Pemanfaatannya Bagi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata Lis Nurrani dan Supratman Tabba .........................................................
09-26
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang: “Aplikasi Fungi Mikoriza Untuk Mempercepat Keberhasilan Revegetasi Retno Prayudyaningsih ........................................................................
27-42
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Kristian Mairi, Iwanuddin, dan Isdomo Yuliantoro ..................................
43-62
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) Berbasis Perilaku Petani (Studi Kasus RLKT pada Lahan Kering Berlereng di DTA Tondano) Hengki Djemie Walangitan ...................................................................
63-82
Teknik Pembibitan Meranti Putih (Shorea assamica Dyer) dari Anakan Hasil Permudaan Alam Arif Irawan dan Ady Suryawan .............................................................
83-92
Peran Persemaian Permanen Kima Atas dalam Rehabilitasi Lahan Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Ady Suryawan dan Arif Irawan ............................................................. 93-106
v
Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng) pada Tempat Sapih Politub dan Polibag Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan ..................................................... 107-112 Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni ........................................................................ 113-124 Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Jafred E. Halawane dan Julianus Kinho .................................................. 125-132
PRESENTASI NARASUMBER TAMU Restorasi Ekosistem di Daerah Penting bagi Burung dan Keanekaragaman Hayati Ria Saryanthi ...................................................................................... 133-144 Reklamasi Lahan Bekas Tambang Nikel Syaiful Habib ...................................................................................... 145-164
vi
LAPORAN PENYELENGGARAAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO PADA SEMINAR REHABILITASI DAN RESTORASI HUTAN MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA MANADO 9 OKTOBER 2014 Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Yang terhormat: 1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara 3. Para Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan lingkup Kementerian Kehutanan 4. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan 5. Para Akademisi 6. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan 7. Para Pejabat Struktural dan Fungsional 8. Para Tamu Undangan dan Peserta Seminar yang berbahagia Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua Syallom, Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari yang baik ini kita semua dapat menyelenggarakan seminar “Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara”. Seminar kita ini mengambil tema “Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara” menjadi semakin istimewa karena diselenggarakan bertepatan dengan ulang tahun emas Provinsi Sulawesi Utara. Adapun tujuan dari dilaksanakannya seminar ini adalah memfasilitasi tukar pendapat serta informasi dari para peneliti mengenai hasil-hasil penelitian dalam rangka restorasi hutan Indonesia. Seminar ini juga melibatkan para pembuat kebijakan, ilmuwan, praktisi, dan stakeholders lainnya dalam rangka menyusun strategi rehabilitasi dan restorasi hutan Indonesia. Latar belakang pelaksanaan seminar ini adalah pemanfaatan hutan Indonesia selama ini lebih terfokus pada pemanfaatan kayu saja sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan baik di kawasan hutan maupun kawasan di sekitarnya. Kerusakan dalam kawasan hutan pada umumnya berupa semakin luasnya kawasan hutan bekas tebangan yang tidak produktif yang seharusnya segera kembali dipulihkan dengan
vii
melakukan kegiatan pemulihan ekosistem, terutama untuk kawasan hutan produksi yang memiliki ekosistem penting. Kementerian Kehutanan menerbitkan Permenhut No: SK.159/MenhutII/2004 tentang Restorasi Ekosistem di kawasan Hutan Produksi yang kemudian dirubah dengan Permenhut Nomor: P.61/Menhut-II/2008 tanggal 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah dan air) pada suatu kawasan dengan jenis asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Melalui seminar ini Bapak/Ibu akan mendengarkan paparan oleh para penyaji yang kompeten dibidang rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan. Hadirin dan peserta seminar yang berbahagia, Adanya kerjasama yang baik antara panitia, peserta dan semua pendukung acara seminar sehingga kegiatan ini dapat diselenggarakan pada hari Kamis, 9 Oktober 2014 bertempat di Hotel Sintesa Peninsula. Seminar ini dihadiri oleh 145 orang peserta, termasuk 8 orang pemakalah dari 6 instansi. Tamu undangan yang terhormat, Pada kesempatan ini saya selaku penanggung jawab acara ini mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Litbang Kehutanan yang berkenan membuka seminar ini, Kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara dan Kepala UPT lingkup Kementerian Kehutanan yang telah menghadiri seminar ini. Terimakasih juga kami ucapkan kepada Universitas Sam Ratulangi, Burung Indonesia, TBI dan PT. Antam atas pertisipasi dan kerjasama sehingga seminar ini dapat teraksana dengan lebih baik. Tidak lupa ucapan terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pemakalah dan tamu undangan yang telah mendukung berlangsungnya kegiatan ini dari awal hingga akhir dan kepada semua panitia penyelenggara seminar dari Balai Penelitian Kehutanan Manado yang telah menyelenggarakan acara ini dengan baik dari awal persiapan hingga pada berlangsungnya acara pada hari ini. Akhir kata semoga hasil dari seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara ini diharapkan mampu membuka dan meningkatkan wawasan kita bersama akan pentingnya rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan, serta meningkatkan kerjasama berbagai sektor dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari.
viii
Demikian laporan penyelenggaraan seminar ini, semoga Allah SWT senantiasa memberikan bimbingan kepada kita semua. Billahit Taufiq wal Hidayah Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado TTD Ir. Muh. Abidin, M.Si NIP 19600611 198802 1 001
ix
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN SEMINAR REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA MANADO, 9 OKTOBER 2014 Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Yang saya hormati: 1. Sdr. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara 2. Para Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan lingkup Kementerian Kehutanan 3. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan 4. Para Akademisi 5. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan 6. Para Pejabat Struktural dan Fungsional 7. Para Tamu Undangan dan Peserta Seminar yang berbahagia Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua, Syallom, Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita semua dapat hadir untuk mengikuti acara seminar “Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara”. Pada kesempatan ini, saya mengucapkan selamat hari jadi ke 50 Provinsi Sulawesi Utara, 23 September 2014, teriring doa serta harapan semoga Sulawesi Utara ke depan mengalami pertumbuhan ekonomi pesat yang berkeadilan dan bisa mensejahterakan masyarakatnya. Hadirin yang saya hormati, 1. Tema seminar ini dapat diartikan sebagai upaya untuk mendukung rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan yang diarahkan sebagai kontribusi bagi pembangunan Provinsi Sulawesi Utara. Upaya ini harus direalisasikan berdasarkan pada kondisi terkini. Apabila telah kita ketahui bahwa luas kawasan hutan di Sulut ini berkisar 814.579 ha, dan berdasarkan data terbaru, luas lahan kritis di Provinsi Sulawesi Utara 265.540 ha. Ternyata sebagian besar lahan kritis ( 251.724 ha) termasuk di dalam kawasan, dan hanya 13.816 ha di luar kawasan. Maka makin jelaslah bahwa dalam konteks rehabilitasi dan restorasi kita harus tetap bekerja keras.
x
2. Pada forum seminar ini saya juga ingin menekankan bahwa upaya rehabilitasi dan restorasi tidak cukup hanya dengan diskusi dan menghasilkan formulasi rumusan saja, tetapi harus ditindaklanjuti secara sistematis untuk implementasinya. Era pemerintahan sekarang ini adalah era kerja keras dan berorintasi pada pelaksanaan. Orientasi pembangunan sebagai agenda prioritas Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang tertuang dalam NAWA CITA, yaitu menghadirkan negara dalam kehidupan masyarakat kemandirian, mensejahterakan, dan melakukan revolusi mental. Oleh karena itu format kegiatan rehabilitasi dan restorasi yang menjadi pokok bahasan hari ini harus dirancang agar bisa memberikan benefit yang sebesar-besarnya untuk rakyat melalui peningkatan produktivitas. Upaya rehabilitasi dan restorasi tanpa dibarengi dengan upaya peningkatan produksi tidak akan pernah berhasil untuk diaplikasikan, dan justru akan selalu menjadi beban penerintah. Di sisi lain bila upaya rehabilitasi dan restorasi harus dilaksanakan ditempat yang terdegradasi, maka kegiatan ini harus dipandang sebagai subsidi untuk peningkatan produksi. Para peserta yang berbahagia, 1. Pada kesempatan ini saya ingin mengemukakan fokus kegiatan penelitian kehutanan yang sejalan dengan cita-cita pemerintahan baru nanti yang menjadi mandat Badan Litbang Kehutanan beserta jajaran Unit Pelaksana Teknis di bawahnya yaitu; 1) Energi terbarukan 2) Kedaulatan pangan, 3) Konservasi dan rehabilitasi, 4) Perubahan iklim, dan 5) KPH. 2. Di sektor energi terbarukan Litbang kehutanan telah menghasilkan IPTEK yang dikemas dalam bentuk mikrohidro yaitu hasil listrik dari air kepada masyarakat. Selain itu telah dihasilkan pula biodisel dari tanaman nyamplung (Callophyllum inophyllum) dan akhir-akhir ini telah dihasilkan Carbonsphere nano porous untuk baterai lithium sekunder yang digunakan pada mobil listrik. 3. Di bidang kedaulatan pangan, melalui pendekatan bentang alam yang terintegrasi (integrated landscape) telah dilakukan riset agroforestry. Namun riset ini perlu terus ditingkatkan agar diperoleh formula atau teknologi yang memberikan benefit untuk peningkatan produktivitas pertanian dan pangan, memperbaiki hutan dan memberikan keuntungan bagi petani. 4. Selain agroforestry, upaya penangkaran satwa juga dapat dipandang sebagai kegiatan yang sangat menjanjikan untuk memperkuat
xi
kemandirian pangan, misal penangkaran rusa. Selain rusa, penangkaran satwa yang prospektif dan relevan untuk SULUT adalah penangkaran anoa. Untuk memberikan masukan IPTEK kepada masyarakat, maka dipandang perlu membangun breeding centre of anoa di Balai Penelitian Kehutanan Manado. 5. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah isu perubahan iklim. Sektor kehutanan mempunyai peran penting dalam pengurangan laju degradasi dan deforestasi lahan melalui kegiatan rehabilitasi dan restorasi. Disamping itu, salah satu upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan adalah melakukan moratorium ijin usaha pengelolaan hutan di hutan primer, dan menata kembali kawasan hutan yang open akses. Dengan Skema REDD+ yang telah dilakukan ini diharapkan dapat mengurangi laju emisi sekitar 26 % dengan kegiatan BAU (Bussines As Usual). Dalam hal ini sektor kehutan diharapkan dapat menyumbang pengurangan emisi sebesar 14 %. Di Provinsi Sulawesi Utara dengan kegiatan rehabilitasi dan reklamasi lahan yang sangat intensif, diharapkan dapat berperan dalam laju penurunan emisi gas rumah kaca. Saudara peserta seminar yang kami hormati, 1. Disamping perlunya prioritas kegitan di sektor kehutanan tersebut, maka orientasi pembangunan kehutanan ke depan harus difokuskan untuk memfungsikan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai satuan pengelolaan terkecil. Tujuan KPH adalah tertatanya kawasan hutan produksi/lindung/konservasi dalam unit-unit kelestarian usaha yang rasional dan menguntungkan. Jadi, seluruh KPH yang sudah terbentuk harus didorong oleh semua pihak, menuju pada tujuan yang sama, agar dapat berfungsi penuh dalam berproses mencapai tujuannya. 2. Bagian yang penting adalah mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Semua program rehabilitasi hutan dalam kawasan hutan negara dan diatas lahan rakyat sudah saatnya menggunakan bibit tanaman yang cepat tumbuh dan bernilai ekonomi tinggi, lebih baik lagi mengembangkan bibit Tanaman Unggulan Lokal (TUL). Pemerintah daerah bersama dengan pihak swasta sudah mulai membangun konsep Industri Kehutanan dan Pemasaran hasil Hutan Terpadu dengan melibatkan aktif masyarakat.
xii
3. Dari uraian saya dapat disimpulkan bahwa, kegiatan rehabilitasi dan restorasi di kawasan hutan di Provinsi Sulut harus menjadi kegiatan pra kondisi yang memungkinkan upaya lain dapat berjalan dengan baik, dan memberikan manfaat bagi rakyat. Dengan prakondisi yang berupa pemulihan kawasan hutan, dan dilakukan pada kawasan KPH, saya yakin sektor kehutanan di provinsi ini akan dapat memberikan manfaat yang sebesar besarnya bagi masyarakat. Peserta yang berbahagia, Akhirnya dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohim, seminar ini secara resmi saya nyatakan dibuka. Selamat berdiskusi dan berkarya, semoga seminar ini berlangsung dengan baik dan lancar.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepala Badan Litbang Kehutanan TTD Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, MSc
xiii
SAMBUTAN KEPALA DINAS KEHUTANAN SULAWESI UTARA PADA SEMINAR REHABILITASI DAN RESTORASI HUTAN MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA MANADO 9 OKTOBER 2014
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Yang terhormat: 1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2. Para Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan lingkup Kementerian Kehutanan 3. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan 4. Para Akademisi 5. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan 6. Para Pejabat Struktural dan Fungsional 7. Para Tamu Undangan dan Peserta Seminar yang berbahagia Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua Syallom, Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita semua dapat bersama-sama hadir dalam seminar “Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara”. Hadirin yang berbahagia, Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya terlebih dulu mengucapkan selamat datang di Provinsi Sulawesi Utara, tanah nyiur melambai yang indah kepada semua peserta seminar, pemakalah, dan semua hadirin yang saya hormati. Peserta seminar yang saya hormati, Saya sangat mengapresiasi seminar ini yang diselenggarakan dalam menyongsong ulang tahun emas Provinsi Sulawesi Utara tercinta ini. Seperti kita ketahui bersama, Provinsi Sulawesi Utara telah banyak melakukan pembangunan wilayah yang tentunya meninggalkan efek negatif terhadap kawasan hutan baik berupa penurunan luas kawasan hutan, kerusakan ekosistem dan berkurangnya keanekaragaman hayati yang terkandung di
xiv
dalamnya. Penyelenggaraan konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan secara terus-menerus dan menjadi salah satu fokus kegiatan kehutanan untuk menjaga keseimbangan ekologi, khususnya dalam hal penyedia sumber air, pencegah banjir, tanah longsor, dan sedimentasi. Rehabilitasi dan restorasi hutan adalah kebutuhan mendesak yang harus dilakukan untuk memperbaiki kawasan hutan, serta mengembalikan fungsi hutan sebagai penyangga wilayah beserta ekosistemnya. Hadirin sekalian yang berbahagia, Adalah tanggung jawab kita bersama untuk terus menjaga kelestarian alam ini, salah satunya melalui pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan lestari yang baik pada saat ini juga telah melibatkan masyarakat sebagai stakeholder, bukan hanya sebagai obyek semata. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan telah banyak dilakukan di Sulawesi Utara dan telah mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kelestarian kawasan hutan, meningkatnya luasan kawasan hutan yang telah direhabilitasi adalah tolak ukur dari awal keberhasilan pengelolaan hutan yang telah kita lakukan. Kita tentu tidak dapat berpuas diri dengan capaian tersebut, sebaliknya kita harus terus berjuang untuk meningkatkan pengelolaan kawasan hutan demi tercapainya kesejahteraan bersama. Pada masa kini, pengelolaan hutan tidak cukup dilakukan secara tradisional tetapi juga harus dilakukan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Para pemakalah yang saya hormati, Seminar ini merupakan upaya awal dalam pengelolaan kawasan hutan berbasis IPTEK. Saya berharap, hasil dari seminar ini tidak berhenti pada tataran diskusi dan perumusan saja, tetapi harus dapat diaplikasikan dalam pengelolaan hutan yang sesungguhnya dan dapat dilakukan transfer informasi berbasis IPTEK tersebut kepada masyarakat umum, khususnya di Provinsi Sulawesi Utara. Peserta seminar yang berbahagia, Ucapan selamat saya ucapkan kepada seluruh panitia pelaksana seminar dari Balai Penelitian Kehutanan Manado, yang telah mempersiapkan seminar ini dari awal hingga terselenggara dengan baik pada hari ini. Semoga seminar ini dapat meningkatkan wawasan dan kerjasama antar lembaga
xv
dalam mewujudkan masyarakat.
pengelolaan
hutan
lestari
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara TTD Ir. Herry Rotinsulu NIP. 19591018 198903 1 007
xvi
untuk
kesejahteraan
RUMUSAN Dengan memperhatikan arahan Kepala Badan Litbang Kehutanan, penyampaian materi dari “Keynote speech”, presentasi dan diskusi yang berkembang dalam persidangan serta saran-saran dari peserta, maka Seminar yang bertema “REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA” yang diselenggarakan pada 9 Oktober 2014 di Manado, merumuskan hal-hal sebagai berikut: 1. Kegiatan rehabilitasi dan restorasi lahan atau kawasan hutan tidak dapat lepas dari 3 aspek utama yaitu aspek ekologis, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya. Aspek ekologis menjadi aspek utama yang perlu diperhatikan. Bagaimana kegiatan pengelolaan termasuk juga kegiatan rehabilitasi dan restorasi harus memperhatikan faktor lingkungan, habitat dll. Dalam kegiatan pembangunan kehutanan selain memperhatikan aspek ekologis juga harus bisa memberikan efek ekonomi terutama bagi masyarakat sekitar kawasan. Selama ini kegiatan pembangunan kehutanan dianggap kurang memberikan dampak yang positif bagi masyarakat. Aspek sosial budaya: aspek sosial budaya adalah aspek yang seringkali dilupakan. Penentuan kebijakan harus melibatkan partisipasi masyarakat. 2. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai tidak perlu membuat institusi baru tetapi yang diperlukan adalah membangun kesepahaman dari institusi yang ada. Dengan kata lain pengelolaan harus dilakukan secara terpadu antara berbagai pihak terkait. 3. Kegiatan rehabilitasi lahan pada areal hutan bekas tambang yang dikelola oleh perusahaan besar pada umumnya sudah cukup baik dan telah melakukan tahapan-tahapan rehabilitasi yang sesuai dengan ketentuan. Yang masih menjadi masalah adalah lahan tambang yang dikelola oleh perusaan-perusahaan kecil, hal ini mungkin disebabkan oleh biaya yang cukup besar untuk melakukan rehabilitasi seperti yang disyaratkan. 4. Dalam kegiatan rehabilitasi dan restorasi perlu mengutamakan pemanfaatan spesies lokal yang mampu beradaptasi dengan lahan marjinal. Kegiatan rehabilitasi tidak hanya cukup membuat lahan kembali tumbuh vegetasi tetapi juga harus mampu mengembalikan fungsi dari lahan atau kawasan tersebut.
xvii
5. Kegiatan produksi pada lahan hutan harus memikirkan fauna yang ada di dalamnya. Kegiatan pra kondisi menjadi hal yang sangat penting, sehingga ke depannya kegiatan rehabilitasi dan restorasi mampu mengembalikan kondisi fauna ke kondisi sebelumnya. 6. Kearifan lokal masyarakat yang positif bisa dimanfaatkan untuk mendorong kegiatan rehabilitasi dan restorasi kawasan kehutanan. Kebijakan yang tepat untuk mendorong terimplementasinya pembangunan kehutanan secara berkesinambungan,hanya dapat dikembangkan jika didukung oleh informasi yang lengkap terutama berkaitan dengan perilaku sosial ekonomi dan budaya. 7. Eksplorasi (penebangan/pertambangan) di kawasan hutan perlu meninggalkan/menyisakan spot-spot lahan yang tidak terganggu agar proses rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan di kemudian hari bisa berjalan lebih cepat. 8. 4 faktor yang penting untuk diperhatikan dalam kegiatan rehabilitasi dan restorasi adalah: a. Kondisi aktual lahan b. Status hutan c. Regulasi pemerintah d. Tata ruang dan perencanaan wilayah 9. Fokus badan litbang kehutanan ke depan adalah menyelenggarakan penelitian kehutanan yang mendorong pemanfaatan energi baru, kedaulatan pangan, konservasi dan rehabilitasi, dan perubahan iklim, sosial ekonomi dan kebijakan. Litbang kehutanan harus punya sumbangsih terhadap pemecahan masalah tersebut. 10.Dalam hal mendorong pemanfaatan energi baru yang terpulihkan, Badan Litbang melalui kegiatan penelitiannya telah memperoleh informasi 4 jenis kayu penghasil biomas dengan nilai kalor tinggi yaitu: akor, kaliandra, gamal dan lamtoro gung. Keempat jenis kayu tersebut dapat ditanam dilahan kritis di Sulawesi Utara, sebagai tanaman yang sekaligus mengurangi luasan lahan kritis dan membantu mengurangi krisis energi yang ada pada saat ini. Dirumuskan di Pada Tanggal
xviii
: Manado : 9 Oktober 2014
Tim Perumus: 1. Dr. Ir. Johan Rombang, M.Sc. 2. Dr. Nur Sumedi, S.Pi, MP 3. Dr. Fabiola R. Saroinsong, S.P., MAL 4. Ir. Syarif Hidayat, M.Sc.
xix
Restorasi Ekosistem Hutan……. Martina A. Langi
Restorasi Ekosistem Hutan1
Martina A. Langi2
I.
Latar Belakang dan Rasionalisasi Berbagai kegiatan “pembangunan” yang memicu terjadinya operasi pengambilan produk hutan yang tak terkendali, penebangan liar, kebakaran hutan, invasi dan extensifikasi lahan pertanian, ekstensifikasi fungsi produksi hutan, perkebunan industri, perladangan berpindah, transmigrasi, operasi penambangan padatan-minyak-gas ternyata berjalan paralel dengan terjadinya degradasi atau kemerosotan fungsi hutan, terutama di wilayah hutan tropis. Explorasi sumber-sumber alam “menemukan” fakta bahwa hutan mengandung pula potensi industri lain seperti nikel, emas, tembaga, batubara, timah, minyak, gas, tenaga uap yang tentu saja bersentuhan dengan kepentingan publik. Dalam hal ini tak dapat tidak, pengelolaan harus dilakukan secara terpadu serta “taat ekologis”. Dengan kata lain, perencanaan serta implementasinya harus komprehensif, dapat dimonitor, dan bertanggung jawab. Akan tetapi, dalam prakteknya keterpaduan antara berbagai pihak yang terkait belum juga mencapai bentuk yang optimal dalam aspek manajerial, apalagi taat azas ekologis. Antar berbagai unit kerja dalam sektor yang sama pun (sebagai contoh: Kehutanan) masih rentan konflik, terlebih lagi antar sektor. Inilah salah satu tantangan kita yang nyata. Sementara itu, degradasi hutan yang mengancam: (a) produktivitas sandang-pangan-papan; (b) keamanan hidup bermasyarakat dari bencana lingkungan; serta (c) kenyamanan atas berbagai jasa lingkungan terus terjadi dalam laju yang memprihatinkan. Beberapa indikator teknis terhadap permasalahan di atas adalah a.l. berkurangnya komposisi komunitas hutan secara signifikan; terjadinya kerusakan/eliminasi fungsi ekosistem;
1
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014 2 Program Studi Ilmu Kehutanan, Universitas Sam Ratulangi Manado, email :
[email protected]
1
bertambahnya limpasan permukaan serta laju erosi tanah yang mengakibatkan pemiskinan hara tanah, sedimentasi, dan kontaminasi; berkurangnya biodiversitas spesies lokal; menurunnya kualitas habitat satwa liar; menurunnya daya tangkap air hujan; berubahnya bentangan alam (natural landscape). Selanjutnya, kondisi lahan yang juga sering ditemui setelah kegiatan penambangan dalam hutan adalah bukaan hutan yang luas serta menyebabkan hilangnya fungsi ekologis tajuk dan perakaran yang sangat penting. Jika dibiarkan, lahan cenderung menjadi marginal sehingga sulit ditanami. Dampak lainnya adalah berkurangnya biodiversitas (dengan rusaknya habitat). Tanah akan kehilangan topsoil (dan sub-soil) yang relatif lebih subur, dan konsekuensinya produktivitas tanah akan semakin bergantung pada inputs dari luar (pupuk sintetis). Dampak serius lainnya akibat berbagai kegiatan ekstraksi adalah labilnya tanah, sehingga memperbesar peluang terjadinya erosi dan longsor, sekaligus memperkecil peluang survival dari permudaan hutan. Membuka mata terhadap berbagai dampak destruktif di atas, upaya pemulihan fungsi-fungsi hutan sudah harus menjadi prioritas. Pada prinsipnya laju pemulihan harus sedapatnya mengimbangi laju degradasi fungsi hutan agar kemorosatan yang tak terkendali tidak perlu teralami. Beberapa bentuk dan metode pemulihan (rehabilitasi, remediasi) ekosistem hutan telah dikenal dan diimplementasikan dalam skala yang berbeda-beda. Secara mendasar semua dapat dikelompokkan ke dalam dua pendekatan yakni yang bersifat Reklamasi serta Revegetasi. Reklamasi melibatkan kegiatan civil engineering serta berhubungan dengan pemulihan kondisi tanah hingga cocok untuk ditanami. Adapun revegetasi menginisiasi tahapan-tahapan ekologis hutan seperti mengakomodasi percepatan suksesi komunitas hutan; dan termasuk di dalamnya a.l.: restorasi (penanaman yang menjamin terbentuknya struktur dan fungsi hutan mendekati kondisi awal) reboisasi/reforestasi (penghutanan kembali dalam kawasan hutan negara) aforestasi (penanaman di luar kawasan hutan negara menggunakan tanaman hutan) penghijauan (dilakukan di luar kawasan hutan negara, menggunakan tanaman umum menurut kebutuhan masyarakat).
2
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Restorasi Ekosistem Hutan……. Martina A. Langi
Restorasi dilaksanakan jika kerusakan telah sampai pada taraf struktur dan fungsi suatu ekosistem, umumnya terjadi akibat operasi penambangan, peristiwa kebakaran, perambahan, pemukiman, tsunami, gempa, dan sebagainya. Taruhan atas kegagalan restorasi sungguh besar. Berbagai FUNGSI hutan yang bernilai vital seperti habitat flora dan fauna, sumber genetik, kestabilan tanah-air-iklim, gudang keanekaragaman hayati, topangan dasar bagi kelangsungan sumber daya alam lainnya, jaminan terhadap berbagai siklus kimia penting untuk kehidupan, dan penariksimpan Karbon yang akselerasi emisinya sekarang ini tengah mengancam peradaban dunia. II. Implementasi Restorasi Hutan Inti restorasi adalah mengakselerasi regenerasi alami. Terdapat beberapa pendekatan seperti penanaman pengayaan (enrichment planting), penerapan teknik silvikultur yang teruji di tapak yang dituju (site-specific), pemilihan jenis yang tepat secara ekologis (species-site matching), akseptabilitas sosial-ekonomi, hingga jejaring profesional yang kesemuanya akan membangun pendekatan yang tersistem, makro, dan berjangka panjang. Setidaknya empat faktor berikut layak dipertimbangkan sebelum upaya restorasi dilakukan: 1) Kondisi aktual lahan setelah suatu operasi atau peristiwa; 2) Status hutan menurut fungsi peruntukannya (lindung, produksi, atau konservasi); 3) Regulasi pemerintah terbaru (peraturan, kriteria, pedoman, dsb.); 4) Tata ruang dan perencanaan wilayah. Selanjutnya, kegiatan revegetasi dapat mengikuti prosedur berikut.
A
A. B. C. D.
B
C
seleksi jenis lokal produksi bibit persiapan lokasi pengkondisian tanah
D
E
F
E. F. G. H.
G
H
teknik penanaman pemeliharaan monitor dan evaluasi pelatihan
3
Pertimbangan jenis tanaman. Jenis-jenis pohon/vegetasi lokal sangat direkomendasikan karena kelompok ini telah teruji adaptasinya terhadap kondisi tanah serta iklim lokal (Lamb et al. 2005). Demikian pula ketahanannya terhadap hama dan penyakit setempat. Kompilasi manfaat lainnya berdasarkan penelitian di beberapa negara Asia menunjukkan bahwa penggunaan spesies lokal dapat mengurangi peluang meledaknya populasi hama dan gulma; sekaligus meminimasi kontaminasi identitas genetik. Sekalipun demikian, kendala yang sering ditemui mengenai jenis-jenis lokal adalah terbatasnya informasi ekologis dan teknik silvikultur jenis-jenis tersebut (dibandingkan dengan jenis-jenis industri komersil yang beredar); disamping itu bibitnya pun biasanya tidak tersedia di pasar benih. Sebagai pegangan, dalam pemilihan jenis-jenis tumbuhan lokal, beberapa hal berikut penting dipertimbangkan: relatif cepat tumbuh dapat tumbuh pada cahaya penuh serta tanah minim hara laju produksi serasah tinggi serta mudah terdekomposisi dapat berperan sebagai katalis bagi jenis-jenis lain (non alelopati) mudah memperbanyak diri, dan mudah dikulturkan low-cost dalam penanaman dan pemeliharaan pertumbuhan mudah dikelola sesuai dengan perencanaan hutan (fungsi) Berikut ini jenis-jenis pohon yang telah teruji dapat ditanam pada lahan marjinal bekas tambang dengan pH tanah rendah (2,8 – 5,5); kekompakan tanah tinggi; status hara sangat rendah, CEC rendah, dsb. (Setiadi 2012). 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
4
Acacia auriculiformis Acacia crassicarpa Acacia mangium Agathis spp. Aleurites mollucana Alstonia scholaris Anthocephalus cadamba Antidesma bunius Arenga pinata Artocarpus sp. Cananga odorata Casia turangensis Casuarina equisetifolia Cratoxylon spp.
19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Eugenia spp. Eusideroxcylon swagerii Ficus spp. Ficus benyamina Fragea fragrans Glyricidia sepium Gmelina arborea Hevea braziliensis Hibiscus tiliacues Leucaena leucocephala Macaranga hypoeleuca Mallotus spp. Melalueca leucadendron Melastoma spp.
Restorasi Ekosistem Hutan……. Martina A. Langi
15. 16. 17. 18. 37. 38. 39. 40. 41.
Duabanga mollucana Dyera constulata Enterolobium sp. Erytrhina spp. Parkia roxburgii Peronema canesten Sena siamea Shorea spp. Syzigium spp.
33. 34. 35. 36. 42. 43. 44. 45.
Michelia champaka Nauclea spp. Octomeles sumatrana Paraserianthes falcataria Tectona grandis Trema orientalis Tricospermum burretii Vitex pubecens
Pertimbangan media tumbuh. Pelaku restorasi mutlak mengenali serta mengelola sifat-sifat tanah sebagai media tumbuh. Sifat fisik tanah menyangkut tekstur (ukuran partikel), kesarangan/porositas, kedalaman tanah yang dapat dijangkau akar, kekompakan tanah yang dapat menghambat pertumbuhan akar, kelengasan (kandungan air), suhu permukaan, dst. Sifat kimia tanah yang penting dikuasai adalah ketersediaan hara, reaksi tanah (status pH), kapasitas tukar kation (CEC), mineral beracun, dsb. Sifat biologi tanah mencakup tutupan vegetasi, kandungan karbon, populasi serta aktivitas mikroba tanah. Perbaikan tanah (soil amendments) selalu dibutuhkan untuk memperbesar peluang keberhasilan revegetasi dalam berbagai bentuknya. Tindakan yang terkait di dalamnya a.l. aplikasi tanah organik ( topsoil), pupuk, kompos, lime, humic acid, bio-enzim, bio-remedy, mikoriza, tera buster/brik untuk memecah tanah. Soil amendments menjadi sangat strategis dalam setiap upaya restorasi hutan karena secara langsung dapat memperbaiki: pengembangan jaringan akar ketersediaan mineral yang tadinya terikat kapasitas pertukaran kation kapasitas penyerapan air pemanfaatan hara populasi dan aktivitas mikroba tanah ketersediaan hara makro. Selanjutnya “manipulasi” lingkungan dapat dilakukan untuk menjamin kegiatan mikroba tanah dalam menyediakan hara (makanan) secara semakin mandiri. Tanah kompak yang didominasi oleh komposisi tanah liat
5
tentu akan membuat akar sulit berkembang; dalam hal ini air mudah tergenang sehingga akar mudah layu atau membusuk. Cara yang sering digunakan dalam upaya restorasi adalah teknologi riping atau penggemburan tanah menggunakan alat mekanik agar tanah menjadi remah, diikuti dengan pembuatan drainase untuk menghilangkan genangan air. Penggemburan tanah dapat pula dilakukan secara kimiawi, yakni dengan menggunakan humid acid (contoh “terrabric”), namun hal ini harus dilakukan secara seksama mempertimbangkan aspek dosis serta aspek finansial. Kondisi fisik lainnya yang sering ditemui adalah suhu permukaan tanah, terutama pada lahan bekas tailing dan surpentin. Kondisi ini sering mengancam akar tanaman untuk berkembang. Jika ini terjadi maka penambahan bahan organik sebagai soil conditioner menjadi salah satu opsi strategis. Selanjutnya karakteristik kimia tanah menjadi isu penting terutama jika lahan tersebut merupakan kawasan bekas tambang. Aspek-aspek penting yang menjadi perhatian adalah keasaman tanah ( kadar pH), CEC, EC, dan ketersediaan hara. Ketika keasaman tanah tinggi, banyak unsur penting berada dalam keadaan terikat sebagai senyawa (tidak “siap pakai” oleh perakaran). Penambahan zat kapur (phoelime dll.) dapat dilakukan jika dana memungkinkan, cara lainnya yang lebih terjangkau adalah penggunaan terra buster. Selain dapat menghemat biaya, penggunaannya lebih fleksibel dan langsung ke sasaran misalnya dapat langsung diaplikasikan di daun atau bagian tanaman lainnya. Pendekatan lainnya adalah dengan menanam jenis-jenis pionir yang tahan asam seperti johar dan bungur. CEC/KTK. Standar nilai CEC yang ideal adalah 16. Sehingga jika bekas tambang akan direstorasi maka salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan memperbaiki KTK nya. Peningkatan nilai KTK melalui penambahan bahan organis, menambah mineral tanah, dan menggunakan geolite. Jika semua usaha di atas tidak memungkinkan, maka dapat mengggunakan terra buster yang dapat menyebabkan tanah dengan CEC sangat rendah pun dapat mengikat pupuk yang diberikan (tidak loss). Guna menumbuhkan tanaman dalam kegiatan restorasi keberadaan unsur hara esensial sangat penting dan keberadaaannya harus terjamin, seimbang, dan kontinu. Unsur hara esensial tidak bisa digantikan dengan unsur yang lain, a.l. N yang terdapat dalam urea (NO3= dan NH4-), unsur P dalam TSP dalam bentuk PO4+ dan HPO4-, K dalam KCl (K+, Cl=), Ca+, Mg+, Ni+,Cu+, Z+, dan S. Keberadaan unsur-unsur tersebut harus kontinu, untuk itu keberadaan mikroba menjadi vital. Saat ini terdapat mikroba yang
6
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Restorasi Ekosistem Hutan……. Martina A. Langi
diproduksi bukan di alam yaitu “terra remed” yang merupakan bahan organik mengandung mikroba dan stimulannya. Kriteria keberhasilan. Keberhasilan upaya restorasi hutan dapat dilihat melalui berbagai indikator seperti tingginya laju seedling survival (di atas 80 %); pertumbuhan normal dan tidak terinterupsi; jaringan perakaran tumbuh meluas; penutupan tajuk relatif cepat, berstratifikasi, dan beragam; tingginya produksi serta dekomposisi serasah; permudaan terjadi secara alami; terbentuknya habitat yang memadai untuk wildlife; lahan stabil, aman, serta minim erosi [lihat skema berikut]. KEMAMPUAN BERADAPTASI • keberhasilan pertumbuhan semai > 80 % • pertumbuhan umum: normal dan berlanjut • pengembangan akar: ekstensif
KEBERLANJUTAN
• biodiversitas (index shannon, species richness) • kolonisasi alami (kelimpahan) • konservasi hara (dekomposisi serasah) • wildlife status (species richness)
STRUKTUR TEGAKAN
KESTABILAN LAHAN
• kerapatan tanaman: 8001000/ha • struktur tajuk: 3-5 strata • tutupan tajuk: 60-70 %) • komposisi jenis: pioner 40 %, primer 50 %, wildlife 10 %
• kelerengan: <300 • status erosi: di bawah standar minimal setempat • kestabilan lahan: terkendali
Aspek legal pelaksanaan. Hal ini merupakan langkah yang tak kalah penting, legalitas kawasan yang akan direstorasi harus dipastikan, demikian pula aksesibilitas. Pedoman penilaian keberhasilan reklamasi hutan berdasarkan Permenhut Nomor P.60/Menhut-II/2009 masih mengacu pada aspek penataan lahan, aspek erosi dan sedimentasi, serta aspek revegetasi dan penanaman pohon. Sebelumnya dikenal pula Peraturan Menteri Kehutanan P.03/Menhut-V/2004 tentang formulasi kebijakan dan kelembagaan yang meliputi pembatasan penggunaan sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak; pengaturan kepemilikan lahan yang mendukung pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan swasta dan masyarakat
7
yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. Selanjutnya kebijakan lainnya yang terkait dengan restorasi hutan a.l. PP 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. PP 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. PerMenHut (revisi) no. 18 tahun 2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. PerMenHut (revisi) no 4 tahun 2011 tentang Pedoman Reklamasi. PerMenhut no 60 tahun 1999 tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan. PerMenESDM no 18 tahun 2008 tentang Rencana Reklamasi dan Rencana Penutupan Tambang Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan Perhutanan Sosial Nomor : P. 4/V-Set/2013 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis DAFTAR PUSTAKA
Kartawinata, K., S. Riswan, A.N. Ginting, dan T. Puspitojati. 2001. An Overview of Post-Extraction Secondary Forest in Indonesia. Center for Social Economic Research and Development, Forest Research and Development Agency (Forda), Ministry of Forestry Indonesia. Lamb, D., P.D. Erskine, and J.A. Parrotta. 2005. Restoration of degraded tropical forest landscapes. Science 310:1628-1632. Sayer, J., U. Chokkaligam, dan J. Poulsen. 2011. The restoration of forest biodiversity and ecological values. Springer, Berlin. Setiadi, Y. 2012. Rehabilitat [presentation material]. Fakultas Kehutanan IPB,
8
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan Pemanfaatannya Bagi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata1 Lis Nurrani dan Supratman Tabba2
ABSTRAK Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) merupakan kawasan dengan potensi keragaman hayati yang tinggi baik jenis-jenis pohon komersial maupun fauna yang eksotik dan endemik serta keberadaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis HHBK yang dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan kontribusinya terhadap pendapatan masyarakat. Kajian ini juga mengidentifikasi kebijakan-kebijakan dalam pemanfaatan HHBK. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu pengamatan lapangan, wawancara dan teknik kuesioner. Wawancara dilakukan terhadap tokoh kunci, antara lain Kepala Balai TNAL, Kepala SPTN, Kepala Desa, Tokoh masyarakat dan responden yang ditentukan secara purposive random sampling. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa HHBK yang berkontribusi secara signifikan terhadap pendapatan masyarakat yaitu penyadapan getah Agathis dammara dan budidaya Myristica fragrans. Jenis HHBK yang intensif dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain sagu (Metroxylon sagoo), daun woka (Livistona rotundifolia), talas (Xanthosoma sp.), rotan (Calamus sp.), bambu (Bambusa spp.), pandan (Pandanus sp.) dan tumbuhan obat. Kebijakan terkait pemanfaatan HHBK antara lain TNAL mengizinkan masyarakat memanfaatkan getah A. dammara karena dianggap tidak merusak lingkungan, melaksanakan sosialisasi mengenai pemanfaatan HHBK secara lestari. Selain ini melaksanakan kursus pencegahan kebakaran dan membentuk masyarakat peduli api mengingat habitat A. dammara sangat rentan terhadap kebakaran serta usulan zona tradisional terhadap sebagian wilayah yang terdapat potensi dan pemanfaatan HHBK.
Kata kunci: HHBK, kebijakan, Taman Nasional Aketajawe Lolobata
1
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2
Balai Penelitian Kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado; Telp (0431) 3666683 email :
[email protected]
9
I. PENDAHULUAN Kekayaan sumber daya alam hayati Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) tidak hanya terbatas pada potensi jenis-jenis pohon kemersial dan keragaman faunanya saja. Kawasan ini juga menawarkan wisata budaya dan pengetahuan tradisional, dimana TNAL merupakan tempat bagi komunitas tradisional Suku Togutil dalam menjalani kehidupan. Suku Togutil adalah komunitas masyarakat berkarakteristik unik namun memiliki eksotisme budaya dan kearifan lokal dalam mempertahankan kelestarian TNAL (Nurrani dan Tabba, 2011). Selain itu pada kawasan ini juga terdapat potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang sangat beragam jenisnya. Umumnya sebagian besar masyarakat yang bermukim di sekitar TNAL memanfaatkan beragam jenis HHBK untuk berbagai keperluan. Ketergantungan masyarakat terhadap kawasan TNAL masih sangat tinggi khususnya pada pemanfaatan hasil hutan kayu, perburuan satwa liar dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (Nurrani dan Tabba, 2013). Keberadaan TNAL sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat yang ada disekitarnya, sebab kawasan ini menjadi peyangga kehidupan. Sebagian besar masyarakat sangat mengantungkan hidupnya pada kekayaan hayati TNAL berupa HHBK, umumnya sumber daya tersebut dikonsumsi sendiri namun pada jenis-jenis tertentu ada yang dijual. Potensi besar yang terkandung pada kawasan dan belum teridentifikasi dengan baik menyebabkan pengelolaan HHBK cenderung masih terabaikan, disisi lain karena banyaknya jenis sehingga sulit menentukan prioritas pengelolaan. Hal ini penting dilakukan untuk kelestarian kawasan konservasi mengingat pengalihan energi manusia dari pola merusak hutan ke pengelolaan HHBK akan mereduksi tekanan dan hambatan pada pemulihan hutan (Prayitno, 2009). Penelitian ini dilakukan pada kawasan TNAL dengan tujuan untuk mengetahui jenis-jenis HHBK yang banyak dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kontribusinya terhadap pendapatan. Selain itu kajian ini untuk mengidentifikasi kebijakan-kebijakan dalam pemanfaatan HHBK. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada TNAL yang keselurahan arealnya merupakan wilayah kawasan Hutan Aketajawe di Provinsi Maluku Utara. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada Hutan Akejawi di Desa
10
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
Akejawi Kecamatan Wasile Selatan Kabupaten Halmahera Timur yang merupakan wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah III Subaim. Dua Sampel lainnya yaitu Hutan Bukit Durian di Desa Gosale Kecamatan Oba Utara dan Hutan Tayawi di Dusun Tayawi Desa Koli Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan yang merupakan wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Weda. Penelitian ini dimulai dengan kegiatan survei pada bulan April serta pelaksanaan pada Bulan Juni dan Oktober 2013.
Gambar 1. Lokasi penelitian B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kawasan TNAL, peta indikatif usulan zonasi. Alat yang digunakan antara lain, GPS, tally sheet, kamera, plaging tab, kuesioner, papan data, baterai A2, baterai A3, spidol permanen, dan alat tulis menulis. C. Rancangan Penelitian Jenis-jenis data yang diperlukan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu kombinasi teknik observasi (pengamatan lapangan), wawancara secara mendalam (indepth interview), dan teknik kuesioner. Wawancara dilakukan terhadap beberapa tokoh kunci, antara lain Kepala Balai TNAL, Kepala SPTN, Kepala Desa, Tokoh masyarakat dan responden yang ditentukan secara purposive random sampling. Data primer yang diperlukan antara lain Potensi
11
HHBK yang terdiri dari jenis dan manfaat. Serta mengidentifikasi kebijakan terkait HHBK dari institusi pemangku kawasan maupun pemerintah desa. Studi literatur digunakan untuk mendapatkan data sekunder yang mendukung data primer dari sumber-sumber yang akurat dan terpercaya. Dokumentasi data dilakukan dengan tally sheet untuk mengarahkan proses kerja di lapangan serta memudahkan pengendalian data. D. Analisis Data Analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dimana data potensi dan nilai jual ditabulasi serta interaksi masyarakat dianalisis secara deskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pemanfaatan HHBK Oleh Masyarakat 1. Pengolahan Sagu Sagu (Metroxylon sagoo) merupakan potensi HHBK yang menjadi primadona masyarakat Maluku sejak dahulu kala. Olahan makanan yang umum dikonsumsi oleh masyarakat dari bahan dasar sagu antara lain popeda, roti sagu (sagu lempeng) dan berbagai jenis penganan tradisional Maluku Utara. Sagu menjadi bahan makanan pokok masyarakat Maluku Utara terutama bagi mereka yang bermukim di wilayah pedesaan. Menurut masyarakat bahwa meski mengkonsumsi banyak nasi namun hal tersebut tidak akan mengeyangkan seperti halnya ketika mengkonsumsi makanan dari olahan sagu. Jika tidak mengkonsumsi sagu masyarakat merasa tidak memiliki energi cukup untuk beraktivitas dan terasa lebih cepat lelah serta lemas ketika sedang bekerja. Dengan kata lain energi yang dihasilkan dari mengkonsumsi sagu lebih tinggi dibandingkan dengan bahan karbohidrat lainnya. Selain dikonsumsi sendiri sagu dan produk olahannya juga dijual oleh masyarakat, 1 kg sagu tumang dijual dengan harga Rp. 24.000 dan untuk 5 buah sagu lempeng dijual seharga Rp. 7.500 – Rp. 10.000. Sagu umum ditemukan pada wilayah Maluku Utara khususnya pada Pulau Halmahera, sagu merupakan jenis penghuni habitat hutan rawa. Pada kawasan TNAL jenis ini biasanya ditemukan di sepanjang aliran sungai atau wilayah yang memiliki kandungan air berlebih. Sagu merupakan salah satu jenis HHBK yang intensif dipanen pada wilayah Tayawi, sebab sagu adalah makanan pokok bagi Suku Togutil dan masyarakat asli Pulau Halmahera lainnya. Umumnya jenis ini tumbuh berumpun dengan stratum yang jelas dari anakan hingga tingkat yang lebih besar dan telah siap panen. Sagu
12
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
termasuk jenis famili palem yang mudah untuk dibudidayakan dan dikembangbiakkan. Menurut Miftahorrachman et al. (1996) terdapat sedikitnya lima jenis sagu yang diketahui tumbuh di Kepulauan Maluku yaitu tuni, ihur, makanora, duri rotan dan molat.
Gambar 2. Sagu dan makanan tradisional olahannya Sagu merupakan sumber karbohidrat dan bahan makanan tradisional suku asli Pulau Halmahera. Tanaman khas asal Maluku ini potensial untuk dikembangkan bukan hanya sebagai komoditi nasional tapi juga internasional. Menurut Rostiwati et al. (2008) sebaran terluas hutan alam sagu di Indonesia berada di Provinsi Papua dan Maluku, yang merupakan pusat keragaman tertinggi di dunia. Selain sebagai bahan pangan tradisional, sagu juga berpotensi sebagai bahan baku energi biomassa, dimana teknologi pengolahan bioethanol sagu telah banyak dan berhasil dikembangkan oleh berbagai pihak. 2. Pemanfaatan Daun Woka Woka adalah sebutan lokal masyarakat Maluku Utara untuk jenis Palem Serdang (Livistona rotundifolia Mart). Woka merupakan salah satu jenis palem dari famili Arecaceae dan masuk ke dalam ordo Arecales. Beberapa sinonim nama daerah Woka antara lain dalam bahasa Jawa dikenal dengan sebutan Serdang dan pada komunitas masyarakat Ambon disebut Salbu. Secara morfologi woka dewasa nampak kokoh dengan batang lurus dan besar, berwarna coklat, serta memiliki pelepah yang jatuh seperti pada pelepah kelapa. Tinggi total bisa mencapai hingga 25-30 m, bentuk daun membulat dengan pelepah daun bagian tepi berduri kasar dan berada pada sisi-sisi pelepah tangkai daun. Woka umum ditemukan pada Kawasan TNAL, jenis ini hidup diberbagai habitat dan tipe ekosistem dari hutan dataran tinggi hingga hutan dataran rendah.
13
Daun woka adalah HHBK yang sangat intensif dimanfaatkan dan lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Maluku Utara. Daun ini banyak dipergunakan untuk membungkus makanan, bahan dasar atap rumah ataupun untuk keperluan lainnya. Untuk membungkus makanan biasanya menggunakan daun muda karena pada kondisi tersebut daun masih sangat elastis dan anti lengket. Selain itu, daun woka juga dapat dibuat sebagai media tempat makan atau piring tradisional yang dipergunakan oleh petani pada saat berkebun ataupun pada saat masuk hutan. Berdasarkan informasi dari Masyarakat Akejawi bahwa daun woka dipergunakan sebagai media tempat makan ketika pelaksanaan ritual adat budaya masyarakat di Maluku Utara. Selain itu daun woka yang telah dibentuk seperti mangkuk tersebut juga digunakan sebagai wadah untuk menyajikan berbagai hidangan makanan saat prosesi ritual adat berlangsung. Kondisi yang sama juga dapat dilihat ketika pelaksanaan hajatan besar seperti syukuran dan pesta resepsi pernikahan. Sedangkan pada masyarakat Desa Gosale daun woka biasanya dipergunakan sebagai media untuk mengangkut potongan daging satwa hasil buruan dari dalam hutan.
Gambar 3. Morfologi woka dan pemanfaatannya Bagi Suku Togutil Tayawi daun woka memiliki peran vital dalam kehidupan sehari-hari, daun ini diperuntukkan sebagai atap rumah tradisional. Daun ini juga digunakan sebagai bahan dasar dinding, media untuk memasak, media makan, media minum dan sebagai media untuk mengangkut hasil buruan. Selain itu daun ini juga dapat digunakan sebagai payung tradisional untuk berlindung dari hujan ketika berada didalam hutan. Daun Woka merupakan HHBK multiguna yang umum digunakan oleh
14
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
masyarakat Sulawesi Utara sebagai pembungkus makanan khususnya jajanan nasi kuning dan kue dodol (Tabba dan Nurrani, 2012). 3. Talas Talas termasuk kategori tumbuhan bawah yang umum ditemukan pada Desa-desa di sekitar zona peyangga TNAL. Tumbuhan ini bahkan dapat ditemukan tumbuh di sekitar pemukiman Masyarakat Akejawi dan Masyarakat Suku Togutil Tayawi. Terdapat dua jenis talas yang umum ditemukan pada wilayah TNAL yaitu Colocasia esculenta dan Xanthosoma sp. Talas digunakan sebagai bahan makanan tradisional pengganti karbohidrat seperti halnya sagu oleh masyarakat Pulau Halmahera. Biasa talas direbus dan disajikan sebagai makanan saat sarapan dan cemilan di sore hari, sedangkan bagi masyarakat Suku Togutil talas termasuk salah satu makanan pokok. Olahan lain dari talas yang menjadi kegemaran serta kebiasaan masyarakat yaitu dibuat kolak dan kripik. Batang Talas Colocasia esculenta dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Duri di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan sebagai sayur, namun pengolahannya memiliki teknik khusus sebab jika salah mengolah maka sayur tersebut akan terasa gatal. Colocasia esculenta memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai bahan pangan alternatif, seperti di Wamena Papua digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan mie (Yulifianti dan Ginting, 2013). 4. Tumbuhan Obat Tradisional Berdasarkan hasil penelitian teridentifikasi sebanyak 81 jenis tumbuhan hutan berkhasiat obat yang digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional. Sebanyak 15 jenis ditemukan pada Desa Gosale, 20 jenis pada Desa Akejawi dan 46 jenis pada Dusun Tayawi (Nurrani et al., 2013). Umumnya tumbuhan tersebut digunakan untuk pengobatan alergi dan luka ringan (29 jenis); penyakit dalam dan peningkatan stamina tubuh (47 jenis); penyakit kronis (12 jenis); serta penyakit akibat kekuatan mistik (3 jenis). 5. Buah-Buahan dan Sayuran Kawasan TNAL juga menjadi sumber penghasil buah-buahan dan sayuran bagi masyarakat. Sebagai tumbuhan penghasil protein nabati, sayuran digunakan untuk konsumsi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun tidak jarang beberapa jenis sayuran seperti rebung bambu (Bambusa sp.), kangkung (Ipomoea reptans), daun kasbi (Mannihot utilisima), daun batatas (Ipomoea batatas) dan daun paku (Pterophyta sp.) diperjualbelikan oleh
15
masyarakat. Beberapa pasar tempat memperjualbelikan sayuran tersebut yaitu pasar tradisional binagara di sekitar pemukiman Desa Akejawi dan pasar woda di sekitar pemukiman Masyarakat Tayawi. Tumbuhan paku merupakan herba yang banyak tumbuh dalam kawasan hutan dan sangat sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai menu sayuran. Saat ini kebutuhan akan sayuran dari tumbuhan paku hanya dapat diperoleh dari habitat alaminya di hutan. Tingginya minat masyarakat terhadap sayuran tumbuhan paku sangat memungkinkan untuk segera mengkaji mengenai prilaku jenis ini di alam,. Sehingga nantinya tumbuhan paku dapat didomestikasi dan dikembangkan melalui teknik budidaya pada lahan-lahan masyarakat agar dalam pemanfaatannya tidak perlu lagi mengambil dari hutan (Oka dan Suhartono, 2014). Masyarakat juga seringkali memanfaatkan buah-buahan seperti langsat (Lansium domesticum), rambutan (Nephelum lappaceum) dan matoa (Pometia pinnata) yang tumbuh pada daerah peyangga dan Kawasan Tayawi. Selain untuk dikonsumsi sendiri dalam skala rumah tangga, umumnya buah-buahan juga diperdagangkan pada pasar tradisional.
Gambar 4. Tumbuhan paku dan menu olahannya 6. Jenis HHBK Potensial Lainnya Beberapa jenis HHBK yang sering kali dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu rotan (Calamus sp.), bambu (Bambusa spp.) dan pandan (Pandanus sp.). Rotan banyak dicari oleh masyarakat di tiga lokasi penelitian untuk digunakan sebagai tali pengikat rumah dan perabot rumah tangga lainnya. Selain digunakan sebagai tali masyarakat juga biasa memanfaatkan batang rotan sebagai alat pemikul, karena jenis ini termasuk kategori keras namun cukup lentur serta dibuat keranjang pengangkut (bika). Bambu dimanfaatkan untuk membuat kerajinan alat rumah tangga seperti penapis beras (susiru), ayakan untuk proses pembuatan sagu dan alat pengikat atap
16
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
rumbia. Sedangkan daun pandan umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan, peyadan dan pembungkus makanan serta dianyam untuk keperluan atap rumah. B. Nilai Ekonomi HHBK Bagi Masyarakat 1. Penyadapan Getah Kopal TNAL merupakan wilayah di Provinsi Maluku Utara yang menjadi habitat alamiah dan penyebaran Agathis dammara (Lambert) L.Rich, potensi tersebut berada pada wilayah Hutan Bukit Durian dan Hutan Tayawi. Menurut Nurrani et al. (2014) Potensi A. dammara pada hutan bukit durian sangat besar dengan kerapatan pohon berdiameter ≥ 20 cm dbh mencapai ± 86 pohon/ha di Hutan Bukit Durian, sedangkan kerapatan pohon di Hutan Tayawi mencapai ± 37 pohon/ha. Hasil perhitungan INP pohon A. dammara di Hutan Bukit Durian sebesar 56,47 %, kondisi ini didukung dengan dominasi jenis sebesar 33,96 %, Frekuensi relatif 9,52 % dan Kerapatan relatif 12,99 %. Sedangkan untuk hutan tayawi Dominasi A. dammara sebesar 24,28 %, frekuensi relatif 12,50 %, kerapatan relatif 12,23 % dan nilai INP sebesar 49,01 %. Tingginya potensi A. dammara dimanfaatkan oleh dua komunitas masyarakat berbeda sebagai sumber mata pencaharian yaitu Masyarakat Desa Gosale di wilayah Hutan Bukit Durian dan masyarakat tradisional Suku Togutil di wilayah Hutan Tayawi. Penyadapan dan pemanfaatan getah kopal telah dilakukan dari sejak dahulu kala bahkan teknologi yang saat ini masyarakat lakukan merupakan warisan dari para leluhur mereka. Kopal merupakan sebutan untuk produk akhir dari getah yang disadap dari batang tegakan A. dammara. Atas dasar itulah sebagian Masyarakat Gosale mengklaim bahwa A. dammara yang berada di Hutan Bukit Durian merupakan tempat leluhur mereka mencari nafkah dan saat ini secara otomatis menjadi warisan terun temurun terhadap mereka. Penyadapan getah damar memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Dari penjualan getah damar, masyarakat Gosale memperoleh keuntungan antara Rp.18.900.000Rp.37.800.000 per tahun. Artinya bahwa keuntungan tersebut memberikan kontribusi sebesar 57,80 % - 86,22 % terhadap pendapatan total masyarakat. Sedangkan pada masyarakat Suku Togutil hasil penjualan getah damar berkontribusi sebesar 11,77 % - 30,17 % dari pendapatan total masyarakat. Artinya bahwa masyarakat memperoleh keuntungan rata-rata
17
Rp. 7.200.000-Rp. 43.200.000 pertahun dari hasil penjualan getah kopal (Tabba dan Nurrani, 2014).
Gambar 5. Getah kopal hasil sadapan 2. Budidaya Pala (Myristica fragrans) Pala adalah salah satu komoditi pertanian unggulan yang dibudidayakan oleh masyarakat pada lahan-lahan perkebunan di wilayah Desa Gosale. Jenis ini menjadi primadona dan sumber pendapatan penopang kebutuhan ekonomi masyarakat Gosale karena penguasaan terhadap teknologi pembudidayaannya. Pala adalah tumbuhan asli Kepulauan Maluku (Pulau Banda) yang tumbuh dengan baik di daerah tropis pada ketinggian di bawah 700 m dpl, beriklim lembab dan panas, curah hujan 2.000-3.500 mm tanpa mengalami periode musim kering secara nyata (Nurdjannah, 2007). Pala termasuk salah satu jenis potensial yang dikembangkan oleh sekitar 88,89 % masyarakat Desa Woda dengan sistem penggunaan lahan kebun campuran (Nurrani et al., 2012). Dimana wilayah tersebut merupakan daerah peyangga kawasan TNAL dan masyarakatnya adalah suku asli Pulau Halmahera.
Gambar 6. Buah dan fuli pala Saat ini harga pala berdasarkan satuan harga pasar di Kota Ternate mencapai harga Rp 140.000/kg untuk buah pala kering sedangkan fulinya
18
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
mencapai kisaran harga Rp. 170.000-180.000/kg. Lahan masyarakat dengan luas 1 ha mampu menghasilkan buah pala sebanyak 150-200 kg dengan rata-rata umur pala antara 30-35 tahun. Sedangkan dalam 100 kg buah pala kering akan menghasilkan 25-30 kg fuli, dengan demikian pemanfaatan HHBK pala memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan masyarakat. Tabel 1. Harga Jual Pala No
Produk Pala
Berat (kg)
Harga Pasar (Rp)
1
Buah Mentah
1
30.000
2
Buah Kering
1
140.000
3
Fuli
1
170.000-180.000
Sumber : Analisis Data Primer 2014
C. Potensi dan Prospek Pengembangan Gaharu Gaharu merupakan HHBK yang telah dikenal secara luas dikalangan masyarakat Indonesia bahkan komoditi ini menjadi salah satu produk berkelas dunia. Potensi tegakan penghasil Gaharu pada TNAL banyak ditemukan pada wilayah Hutan Akejawi, adapun jenis yang teridentifikasi yaitu Aquilaria filarial Oken. Menurut Sumarna (2002) terdapat sekitar 16 jenis pohon yang dapat menghasilkan gaharu di Indonesia, enam jenis tumbuh di wilayah Maluku dan tiga jenis diantaranya yang berkualitas baik yaitu Aquilaria malaccensis, Aquilaria filarial dan Aetoxylon sympethallum Berdasarkan analisis potensi diketahui bahwa pada tingkatan pohon, tegakan penghasil gaharu telah langka bahkan sudah sulit ditemukan. Namun potensi tersebut sangat dominan pada tingkatan tiang, pancang, dan semai. Meski pada tingkatan tiang telah dapat memproduksi gaharu, namun menurut masyarakat hasil produksinya tidak maksimal. Secara umum karakteristik pemanfaatan komoditas HHBK oleh masyarakat di Desa Akejawi dapat dilihat pada Tabel 2. Ketika gaharu masih intensif dipanen biasanya masyarakat masuk hutan satu bulan sekali untuk mencari gaharu kemudian memasarkannya pada pengepul di Kota Ternate. Berdasarkan informasi masyarakat hingga kini masih ada kelompok masyarakat tertentu yang masuk hutan untuk mencari gaharu. Kelompok tersebut berasal dari luar Desa Akejawi dan akan masuk hutan apabila ada pesanan khusus, sehingga intensitas masyarakat pemanen gaharu tersebut sangat sulit untuk ditemukan. Lokasi pencaharian gaharu pun sangat jauh kedalam kawasan, karena untuk memperoleh hasil sesuai target pesanan harus memasuki kawasan primer selama berhari-hari.
19
Tingginya potensi tegakan penghasil gaharu pada kawasan TNAL sehingga sangat memungkinkan untuk dilakukan pengembangan jenis baik dari sisi teknologi maupun budidaya. Pengembangan tersebut diperuntukkan sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bermukim disekitar kawasan nantinya. Selain itu mendorong masyarakat untuk melakukan pembudidayaan gaharu pada lahan-lahan tidur dan areal tidak produktif di wilayah-wilayah penyangga kawasan. Kegiatan ini diharapkan akan menjadi media pengalihan bagi masyarakat agar tidak melakukan aktivitas negatif ke dalam kawasan TNAL. Peningkatan teknologi berkaitan dengan okulasi gaharu yang lebih modern untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal perlu disosialisasikan. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat metode pemanenan akhir gaharu dengan cara ditebang. Sosialisasi tersebut dipandang penting sebab jika potensi gaharu tersebut nantinya telah siap panen maka masyarakat telah memperoleh cara-cara pemanenan yang lebih konservatif. Melalui metode tersebut produksi gaharu diharapkan lebih meningkat dengan hasil yang lebih maksimal, selain itu kuantitas dan kualitas gaharu yang dihasilkan akan lebih banyak serta sortimen-sortimen pemanenan yang akan terbuang dapat diminimalkan. Bagi masyarakat Akejawi tumbuhan berkhasiat obat adalah sisi lain dari manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan hutan. Masyarakat melakukan pengambilan tumbuhan pada saat sakit saja dan sesuai dengan kebutuhan hingga sembuh. Metode pengambilannya pun sangat selektif yaitu dengan cara dipetik, dikikis dan dipotong sesuai bagian tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat.
20
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
Tabel 2. Karakteristik pemanfaatan HHBK oleh Masyarakat Akejawi No
Lokasi
Bagian yang dimanfaatkan
Lokasi Pemanfaatan
Frekuensi pengambilan
Volume produksi per tahun
1.
Hutan Akejawi
Gaharu
Hutan sekitar Akejawi
1 bulan sekali
Tumbuhan obat
Hutan sekitar Akejawi
Jika dibutuhkan (sakit) saja
Harga (Rp/kg)
Metode pemanfaatan (ekstraksi – pengolahan)
Jenis produk akhir yang dihasilkan
Pohon gaharu sudah sulit ditemukan, yang ada tinggal anakan yang belum menghasilkan
Tebang dan potong
Bagian kayu yang mengandung gaharu
Sesuai kebutuhan hingga sembuh
Petik, kikis dan potong
Bagian tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat
Biaya ekstraksi, budidaya, pengolahan
-
Sistem pemasaran
Permasalahan, isu di sekitar terkait pelestarian HHBK
Pengepul dari ternate
Potensi pohon gaharu telah langka bahkan sulit ditemui
-
Sumber : Analisis data primer tahun 2013
21
D. Kebijakan Pemanfaatan Dan Pengelolaan HHBK Kebijakan terkait pemanfaatan dan pengelolaan HHBK sangat penting dilakukan mengingat tingginya intensitas masyarakat dalam memanfaatkannya. Hal ini dipandang penting agar potensi tersebut dapat dikelola secara berkelanjutan dan mencegah terjadinya eksploitasi secara berlebihan serta membatasi ruang gerak bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam mengelola HHBK di alam. Dengan demikian diharapkan tercapainya tujuan pengelolaan kawasan konservasi secara lestari dan meningkatnya taraf hidup masyarakat yang bermukim disekitarnya. Secara umum kebijakan terkait pengelolaan HHBK yang teridentifikasi dilapangan berasal dari institusi pengelola TNAL dan pemerintah Desa setempat. 1. Kebijakan Institusi TNAL Terhadap pemanfaatan HHBK yang dilakukan oleh masyarakat, Balai TNAL sebagai institusi yang diberi kewenangan terhadap pengelolaan kawasan telah melakukan beberapa alternatif solusi agar masyarakat mendapat manfaat tanpa melakukan pengrusakan kawasan. Pimpinan TNAL mengeluarkan kebijakan untuk mengizinkan masyarakat memanfaatkan getah damar karena diasumsikan bahwa kondisi tersebut tidak merusak lingkungan kawasan (tidak menebang pohon). Selain itu Balai TNAL telah menyusun zonasi kawasan dimana sebagian dari wilayah yang terdapat potensi dan pemanfaatan HHBK diusulkan sebagai zona tradisional. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai HHBK Balai TNAL juga memfasilitasi masyarakat dengan melaksanakan sosialisasi mengenai pemanfaatan HHBK secara lestari pada bulan September 2013. Sedangkan untuk perlindungan kawasan dilaksanakan kursus pencegahan kebakaran hutan dengan membentuk masyarakat peduli api pada bulan Desember tahun 2013, mengingat habitat pohon damar sangat rentan terhadap kebakaran. Merancang kesepakatan bersama atau Momerandum of Understanding (MOU) antara Balai TNAL dengan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Kesultanan Tidore mengenai pemanfaatan HHBK. Diharapkan pada tahun 2014 telah tercapai kesepahaman mengenai permasalahan tersebut sehingga pengelolaan kawasan secara lestari, arif dan bijaksana dapat terealisasikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara baik.
22
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
2. Kebijakan Pemerintah Desa Pemerintah Desa sangat mendukung masyarakat untuk menyadap getah damar, dukungan tersebut berupa ijin secara lisan. Beberapa asumsi sebagai dasar dukungan pemerintah desa yaitu bahwa menyadap getah damar dan teknologi penyadapannya merupakan warisan leluhur. Cara ini juga dilakukan sebagai bagian dari program perangkat desa untuk meningkatkan ekonomi masyarakatnya. Selain itu Pemerintah Desa tidak membebani atau memungut kontribusi pada masyarakat petani damar. 3. Kelembagaan Secara umum belum ada kelembagaan khusus yang menangani terkait hasil-hasil produksi panen masyarakat seperti badan usaha pemerintah (koperasi), badan usaha daerah ataupun badan usaha yang dibentuk atas prakarsa Pemda pada tingkat kecamatan yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Pemasaran produk masih terpusat pada pengepul sehingga masyarakat tidak memiliki nilai tawar terhadap produk yang dijualnya. Dengan adanya badan usaha tersebut diharapkan masyarakat memiliki alternatif lain untuk menjual produknya sehingga masyarakat turut andil dalam menentukan harga. Badan usaha ini juga bertujuan sebagai media untuk meningkatkan kualitas panen masyarakat dan sebagai alat kontrol terhadap penentuan harga pasar. E. Nilai Ekonomi dari Berburu Selain mamanfaatkan HHBK masyarakat di lokasi penelitian khusunya para petani damar juga sering berburu babi hutan (Sus scrofa) dan rusa (Cervus timorensis) untuk dijual dan dikonsumsi sendiri. Daging rusa biasanya diolah menjadi dendeng dan dijual dengan harga Rp. 20.000 – Rp. 25.000 per lembarnya (± 2 kg). Masyarakat juga seringkali memperdagangkan Rusa yang masih hidup dengan harga jual berkisar antara Rp. 500.000 - Rp. 1.200.000 per ekor. Sus Scrofa biasanya dijual dalam kondisi hidup, harga babi remaja berkisar antara Rp. 200.000 - Rp. 500.000 sedangkan babi dewasa berkisar antara Rp. 750.000 - Rp 1.000.000. Dalam sebulan terkadang masyarakat Desa Gosale dapat menangkap sebanyak 3-5 ekor babi hutan, dari hasil buruan tersebut biasa sebanyak 2-3 ekor yang dijual dan selebihnya dikonsumsi sendiri. Biasanya masyarakat mengkonsumsi daging babi tersebut ketika berada di dalam hutan saat melakukan penyadapan getah damar dan selebihnya dibawah pulang kerumah. Sedangkan pada masyarakat Suku Togutil dapat menangkap
23
sebanyak rata-rata 10-16 ekor per bulan, dimana lima ekor dijual dan selebihnya dikonsumsi sendiri. Untuk jenis rusa masyarakat biasanya hanya dapat menangkap rata-rata satu ekor perbulannya, hal ini disebabkan karena prilaku rusa yang sangat liar dan pergerakan yang sangat cepat berbeda dengan babi yang cenderung lambat. Rusa ditangkap dengan cara membuat perangkap tradisional yang oleh masyarakat setempat menyebutnya dengan nama dodeso. Ketika pengambilan data dilapangan teramati kawanan babi hutan sebanyak ± 10 ekor yang terdiri dari empat ekor babi dewasa dan selebihnya masih kecil. Selain Babi juga teramati dua ekor rusa yang terdiri dari induk dan anak. Kedua jenis mamalia tersebut termasuk kategori satwa yang sangat sensitif, hal ini terbukti ketika tim peneliti melakukan perjumpaan saat berjalan menuju kawasan A. dammara. Ketika tersadar teramati oleh tim peneliti maka kawanan babi dan rusa tersebut kemudian berlari dengan cepat, bahkan hanya dengan hitungan detik kawanan tersebut telah hilang dari pandangan mata. Cervus timorensis dan Sus scrofa umum ditemukan dalam kawasan hutan di maluku Utara, kedua mamalia ini merupakan jenis introduksi (Poulsen et al., 1999).
Gambar 7. Tengkorak babi hutan hasil buruan masyarakat Desa Gosale (kiri) dan tengkorak babi hutan hasil buruan Masyarakat Dusun Tayawi (kanan)
Phalanger ornatus atau yang oleh masyarakat Halmahera sebutan dengan nama Kuso juga sering diburu untuk dikonsumsi. Telur Burung Gosong (Megapodius freycinet) merupakan hasil ikutan satwa yang paling banyak dicari oleh masyarakat karena memiliki harga jual yang cukup tinggi. Selain itu telur ini banyak dikonsumsi pada tingkat rumah tangga untuk
24
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ukuran telurnya yang lebih besar. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kawasan TNAL mendukung potensi HHBK yang secara substansial memiliki peranan penting bagi kehidupan masyakat yang bermukim disekitarnya. Komoditi HHBK menjadi pilar utama dalam membangun perekonomian masyarakat lokal dan menjadi salah satu media untuk menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem kawasan. Sebab kelestarian kawasan juga ditentukan dari tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar yang senantiasa bergantung dan memperoleh manfaat dari keberadaan kawasan. Dukungan institusi TNAL terkait pemanfaatan HHBK oleh masyarakat merupakan bentuk sinergi dalam pengelolaan kawasan secara arif dan bijaksana namun tetap berada dalam tatanan hukum dan ketentuan yang berlaku. B.
Saran Meski telah mendapatkan metode kesepahaman pengelolaan kawasan dengan masyarakat namun kegiataan pemanfaatan HHBK harus senantiasa mendapatkan kontroling dan pengawasan secara periodik. Sebab perubahan pola prilaku masyarakat yang sulit diprediksi mengingat adanya cukong dan oknum yang senantiasa ingin memperoleh keuntungan besar dari hasil hutan. DAFTAR PUSTAKA Miftahorrahman., H. Novarianto dan D. Allolerung. 1996. Identificatin of sago species and rehabilitation to increase productivity on sago (Metroxylon sp.) in Irian Jaya. Proceedings of Sixth International Sago Symposium Sago : The Future Source of food and feed. Pp 79-95. Pekanbaru Nurdjannah, N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Karawang. Nurrani, L. dan S. Tabba. 2011. Kearifan suku togutil dalam konservasi Taman Nasional Aketajawe di wilayah Hutan Tayawi Provinsi Maluku Utara. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Hal (227-244). Nurrani, L. dan S. Tabba. 2013. Persepsi dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Provinsi Maluku Utara. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi 30(1):227-244.
25
Nurrani, L., Halidah, S. Tabba dan S. N. Patandi. 2012. Karakteristik kualitatif tipe penggunaan lahan di zona peyangga Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea 1(2):227-244. Nurrani, L., S. Tabba, S. Shabri, Y. Kafiar, H.S. Mokodompit dan R. Mamonto. 2013. Kajian Daya Dukung Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Pengembangan Pemanfaatan Biodiversitas Secara Lestari di Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Laporan Hasil Penelitian (Tidak Dipublikasikan). Manado. Oka, N.P. dan Suhartono. 2014. Keanekaragaman jenis dan sebaran tumbuhan paku (pteridophyta) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin. Makalah Presentasi pada Pertemuan Ilmiah Komunitas Manajemen Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Poulsen, Michael K., F.R. Lambert, dan Y. Cahyadin. 1999. Evaluasi Terhadap Usulan Taman Nasional Lalobata dan Aketajawe : dalam konteks prioritas konservasi keanekaragaman hayati di Halmahera. Kerjasama Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Bird Life International Indonesian Programme dan Loro Parque Fundacion. Bogor. Prayitno, T.A. 2009. Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Bukan Kayu Melalui Pendekatan Teknologi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Rostiwati, T., Y. Lisnawati, S. Bustomi, B. Leksono, D. Wahyono, S. Pradjadinata, R. Bogidarmanti, D. Djaenudin, E. Sumadiwangsa, N. Haska. 2008. Sagu (Metroxylon spp.) sebagai Sumber Energi Bioetanol Potensial. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor. Sumarna, Yana. 2002. Budidaya Gaharu. PT. Niaga Swadaya. Jakarta. Tabba, S. dan L. Nurrani. 2012. Jasa Hasil Hutan Non Kayu Daun Woka Bagi Masyarakat Sulawesi Utara. Majalah Silvika 71:227-244. Tabba, S. dan L. Nurrani. 2014. Daya Dukung pemanfaatan getah Agathis dammara (lambert) L.rich terhadap masyarakat dan kelestarian Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Makalah Presentasi pada Pertemuan Ilmiah Komunitas Manajemen Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Yulifianti, R dan E. Ginting. 2013. Talas Wamena sebagai Bahan Baku Mie Basah. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang Dan Umbi. Disarikan dan Diedit oleh Eriyanto Yusnawan Ph.D. Malang.
26
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang: “Aplikasi Fungi Mikoriza untuk Mempercepat Keberhasilan Revegetasi” 1 Retno Prayudyaningsih2 ABSTRAK Kegiatan penambangan pada umumnya merupakan penambangan terbuka yang dilakukan melalui proses pembukaan lahan yang membersihkan seluruh vegetasi, pengikisan lapisan-lapisan tanah, pengerukan dan penimbunan. Pada akhirnya kegiatan penambangan meninggalkan lahan dengan kondisi tanah tanpa lapisan top soil dan bahan organik. Ditinjau dari persyaratan pertumbuhan tanaman, faktor-faktor yang menjadi pembatas pada lahan tersebut adalah kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah rendah karena kandungan unsur hara tersedia rendah, tanah yang padat, suhu tanah tinggi, pH tanah yang ekstrim dan rendahnya diversitas mikroba tanah. Faktor-faktor tersebut merupakan masalah yang harus dihadapi dalam upaya pemulihan lahan bekas tambang. Salah satu alternatif untuk memulihkan unsur dan fungsi ekologi akibat kegiatan penambangan adalah melalui bioreklamasi yang memanfaatkan mikroba (fungi mikoriza). Fungi mikoriza adalah salah satu bagian komunitas mikroba yang mempunyai peran penting dalam keberhasilan pertumbuhan tanaman terutama pada kondisi lahan yang marginal seperti lahan bekas tambang. Aplikasi fungi mikoriza pada kegiatan reklamasi dapat mempercepat keberhasilan revegetasi, yang diharapkan akan mempercepat pula proses suksesi alami sehingga pada akhirnya pemulihan unsur dan fungsi ekologi akan tercapai. Kata kunci: Lahan bekas tambang, mikoriza, revegetasi, bioreklamasi, suksesi I. Pendahuluan Sektor pertambangan merupakan salah satu sumber devisa bagi Indonesia. Setiap tahunnya usaha pertambangan menunjukkan
1
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014 2 Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16,5 Makassar, 90243, telp. (0411) 554049, fax. (0411) 554058; e-mail:
[email protected]
27
pertumbuhan yang pesat. Saat ini lebih dari 1500 perusahaan pertambangan beroperasi di Indonesia (Mansur, 2011). Kegiatan penambangan umumnya dilakukan dengan cara pembukaan hutan yang dilanjutkan dengan pengikisan lapisan-lapisan tanah, pengerukan dan penimbunan. Kegiatankegiatan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa menurunnya kualitas tanah, rusaknya habitat satwa dan hilangnya jenis-jenis flora/fauna endemik. Dengan demikian kegiatan penambangan mempunyai 2 dampak yang bertolak belakang. Dampak yang pertama adalah merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara, dan dampak yang kedua adalah kerusakan lingkungan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2010 mengenai reklamasi dan pasca tambang dinyatakan bahwa setiap pemegang IUP (Ijin Usaha Penambangan) wajib melakukan reklamasi pada lahan bekas tambangnya. Selanjutnya sesuai Permenhut No. 4 tahun 2011 mengenai pedoman reklamasi hutan, dinyatakan bahwa kegiatan reklamasi lahan hutan bekas penambangan di antaranya adalah penataan lahan, pengisian kembali lubang di lahan-lahan bekas tambang, dan penaburan atau pengolahan top soil. Reklamasi lahan bekas penambangan dengan menimbun lahan bekas tambang menggunakan top soil dilakukan dalam rangka membentuk atau menyiapkan tapak aman sehingga mendukung perkembangan tumbuhan. Namun demikian, permasalahan timbul ketika penimbunan tidak mengunakan top soil. Hal tersebut terjadi karena jumlah material top soil tidak mencukupi kebutuhan penutupan lahan bekas tambang, sehingga penimbunan menggunakan material yang ada seperti limbah bahan galian ataupun limbah bekas olahan (tailing). Lapisan permukaan tanah yang demikian tidak memenuhi persyaratan sebagai tapak yang mendukung kolonisasi tumbuhan dari beberapa aspek baik fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik, tapak tidak mempunyai lapisan/horizon tanah yang jelas, rusaknya struktur tanah, dan terjadi pemadatan. Ditinjau dari aspek kimia, terjadi kekurangan bahan organik dan unsur hara esensial. Sedangkan dari aspek biologi, terjadi penurunan populasi dan tidak meratanya distribusi mikroba tanah. Lahan yang mengalami kerusakan seperti lahan bekas tambang, secara alami dapat pulih melalui proses suksesi alami. Suksesi merupakan proses perubahan komunitas biotik yang saling menggantikan dan lingkungan fisik menjadi berubah selama periode waktu tertentu setelah terjadi gangguan (Krebs, 1972). Proses suksesi yang terjadi pada lahan bekas tambang merupakan suksesi primer, karena terjadi pada areal dengan permukaan
28
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
terbuka dan kekurangan bahan organik, serta belum terjadi perubahan oleh aktivitas organisme (Kimmin, 1997). Dengan demikian proses suksesi alami berjalan lambat, terlebih lagi dengan karakter lahan bekas tambang yang sangat ekstrim dan tidak mendukung perkembangan tumbuhan/komunitas biotik yang mengolonisasi lahan tersebut. Pada sisi lain upaya kegiatan reklamasi lahan bekas tambang juga belum mencapai keberhasilan karena tidak disertai upaya untuk memperbaiki kualitas tapak sehingga pertumbuhan tanaman terhambat. Selain itu kegiatan reklamasi yang dilakukan tidak memperhatikan urutan komunitas biotiknya atau langsung menggunakan jenis-jenis tanaman dari komunitas akhir seperti mahoni, atau jati. Hal tersebut tentu saja tidak mendukung perkembangan komunitas biotik selanjutnya sehingga proses suksesi alamipun tidak berjalan dengan baik karena tidak terjadi pemulihan unsur dan fungsi ekologinya. Salah satu alternatif untuk memulihkan unsur dan fungsi ekologi akibat kegiatan penambangan adalah melalui bioreklamasi. Bioreklamasi adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi melalui proses-proses biologi dalam kawasan hutan yang rusak akibat kegiatan penambangan agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya (Turjaman et al., 2009). Proses biologi yang dimaksud adalah memanfaatkan semaksimal mungkin kemampuan tumbuh vegetasi yang berasosiasi dengan mikroba. Menurut Weissenhorn et al. (1995), suksesi yang dipercepat dengan melibatkan mikroba dan jenis tumbuhan setempat yang terbukti cocok dengan kondisi lahan merupakan tantangan yang harus dijawab dalam mereklamasi lahan bekas tambang. Selanjutnya menurut Smith dan Read (2008), keberhasilan rekamasi lahan bergantung kepada pemahaman terhadap suksesi tanaman yang dipengaruhi oleh komponen tanah yang dinamis, misalnya bahan organik dan komunitas mikroba. Fungi mikoriza adalah salah satu bagian komunitas mikroba yang mempunyai peran penting dalam keberhasilan pertumbuhan tanaman dalam proses suksesi. Dengan demikian bioreklamasi lahan bekas tambang yang memanfaatkan fungi mikoriza untuk mempercepat keberhasilan revegetasi, diharapkan akan mempercepat pula proses suksesi alami yang terjadi sehingga pada akhirnya pemulihan fungsi ekologi akan tercapai. II. Karakteristik Lahan Bekas Tambang Pada umumnya lahan bekas tambang mempunyai karakterisitik tanah dengan tingkat kesuburan yang sangat rendah baik secara fisik, kimia dan
29
biologi. Kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi perkembangan tanaman yang selanjutnya juga akan menyebabkan proses suksesi alami terhambat dan gagalnya kegiatan reklamasi. Untuk dapat mengatasi masalah ini, maka karakteristik kimia, biologi dan fisik tanah lahan bekas tambang perlu diketahui. Pada lapisan tanah atas (top soil) terkandung berbagai unsur hara makro dan mikro esensial bagi pertumbuhan tanaman. Hilangnya top soil akibat kegiatan penambangan merupakan penyebab utama buruknya tingkat kesuburan tanah pada lahan bekas tambang. Kekahatan unsur hara esensial seperti nitrogen dan fosfor, toksisitas mineral dan kemasaman tanah (pH yang rendah dan tinggi) sebagai karakter kimia tanah yang merupakan kendala umum yang ditemui pada tanah-tanah bekas kegiatan pertambangan. Selain itu, lahan bekas tambang biasanya berupa campuran dari berbagai bentuk bahan galian yang ditimbun satu sama lainnya secara tidak beraturan. Hal tersebut tentu saja semakin memperburuk kualitas kimia tanah karena semakin bervariasinya reaksi tanah (pH) dan kandungan unsur haranya. Karakteristik kimia tanah pada lahan bekas tambang kapur misalnya menunjukkan pH tanah tinggi (8,14), kandungan bahan organik (C-organik) rendah, kandungan hara makro terutama N (0,12%), P tersedia (19,2 ppm) dan K rendah. Kandungan kalsium (115,75 me/100g) yang sangat tinggi menyebabkan tanah bersifat alkalis dan ketersediaan unsur hara makro terutama fosfat menjadi rendah (Prayudyaningsih, 2008). Menurut Hardjowigeno (2003), pada pH yang tinggi (alkalis) unsur P tidak dapat diserap tumbuhan karena difiksasi oleh kalsium. Karakteristik kimia tanah dari lahan bekas tambang emas menunjukkan kandungan C-organik (0,32 %) sangat rendah, unsur hara N (0,04 %) dan P tersedia (9,20 ppm) sangat rendah, sementara kandungan kalsium (29,27) dan logam berat Pb (132 ppm) sangat tinggi (Setyaningsih, 2007). Karakteristik kimia tanah pada lahan bekas tambang nikel menunjukkan pH tanah agak masam (6,44), kandungan C organik (1,60 %) rendah, kandungan hara makro terutama N (0,14 %) dan P tersedia (12,55 ppm) rendah (Jaya, 2011). Hilangnya lapisan top soil dan serasah yang merupakan sumber karbon untuk menyokong kehidupan mikroba potensial merupakan penyebab utama buruknya kondisi populasi mikroba tanah (biologi tanah). Hal ini secara tidak langsung akan sangat mempengaruhi kehidupan tanaman yang tumbuh di permukaan tanah tersebut. Jenis-jenis mikroba tanah yang memberikan banyak manfaat diantaranya bakteri penambat nitrogen, bakteri pelarut
30
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
fosfat, jamur dan bakteri dekomposer serta fungi mikoriza. Kepadatan spora fungi mikoriza pada lahan bekas tambang timah di Bangka sangat rendah. Lahan bekas tambang timah umur 11 tahun kepadatan sporanya 69 - 72 per 50 gram tanah dan 1 per 50 gram tanah pada lahan bekas tambang timah umur 1 tahun (tidak bervegetasi) (Nurtjaja, 2008). Kerapatan fungi mikoriza di lahan bekas tambang kapur juga tergolong rendah yaitu berkisar 19 – 116 buah spora per 100 gram sampel tanah (Prayudyaningsih, 2008). Demikian juga kerapatan spora fungi mikoriza di lahan bekas tambang nikel (33 – 52 per 100 g tanah) rendah (Jaya, 2011). Rusaknya struktur, tekstur, porositas dan kepadatan tanah sebagai karakter fisik tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman disebabkan oleh berbagai aktivitas dalam kegiatan penambangan. Kondisi tanah yang kompak karena pemadatan berdampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar karena buruknya sistem tata air dan aerasi tanah. Akar tidak dapat berkembang dengan sempurna sehingga fungsinya sebagai alat absorpsi unsur hara akan terganggu. Akibatnya tanaman tidak dapat berkembang dengan normal tetapi tetap kerdil dan tumbuh merana. Rusaknya struktur dan tekstur juga menyebabkan tanah tidak mampu untuk menyimpan dan meresap air pada musim hujan, sehingga aliran air permukaan menjadi tinggi. III. Fungi Mikoriza dan Peranannya terhadap Pertumbuhan Tanaman pada Lahan Bekas Tambang Mikoriza adalah simbiosis mutualisme antara jamur tular tanah (non patogen) dengan akar tanaman (Quilambo, 2003). Berdasarkan struktur tumbuh dan cara kolonisasinya pada sistem perakaran tumbuhan inang, mikoriza dikelompokkan dalam 2 golongan besar yaitu Fungi Ektomikoriza dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Sekitar 95 % jenis tumbuhan vascular berasosiasi dengan fungi mikoriza, dimana 80 % nya membentuk asosiasi dengan FMA, sedangkan sekitar 7 % - 10 % nya berasosiasi dengan fungi ektomikoriza, terutama tanaman kehutanan dari jenis dipterokarpa (Shorea, Diptetocarpus dan Hopea), pinus dan ekaliptus (Quilambo, 2003; Santoso et al., 2003; Setiadi, 2006). Lahan bekas tambang umumnya mempunyai kandungan hara dan air yang rendah. Fungi mikoriza merupakan salah satu mikroorganisme tanah yang mempunyai peran penting dalam keberlanjutan sistem tanah – tanaman (Duponnois et al., 2005). Fungi mikoriza dapat meningkatkan penyerapan unsur hara P oleh tanaman. Aktivitas fosfatase juga meningkat
31
sehingga hidrolisis P organik juga meningkat. Selain itu juga meningkatkan penyerapan unsur hara lain seperti NO3 (nitrat), Cu, Zn dan K (Smith dan Read, 2008; Duponnois et al., 2005; Bertham, 2006). Fungi mikoriza juga mempengaruhi penyerapan air sehingga memberikan ketahanan tanaman terhadap kekeringan (Duponnois et al., 2005; Setiadi, 2006). Fungi mikoriza yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa ekternal yang intensif, yang memperluas permukaan absorbsi akar sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air (Smith dan Read, 2008; Abbot dan Robson dalam Delvian, 2005; Harakarti, 2006). Tanaman bermikoriza lebih tahan kekeringan daripada yang tidak bermikoriza dan akan cepat kembali pulih setelah periode kekeringan berakhir. Hal ini dimungkinkan karena hifa fungi mikoriza masih mampu menyerap air dari pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah tidak mampu. Penyebaran hifa eksternal sangat luas sehingga dapat mengambil air relatif lebih banyak pada kondisi kekeringan (Bowen, 1980; Munyaziza et al. dalam Delvian, 2005). Selain itu, hifa fungi mikoriza berukuran diameter sepersepuluh diameter rambut akar (Orcutt dan Nielsen, 2000) dan luas permukaan penyerapan akar 80 kali lebih luas dibandingkan akar tidak bermikoriza Bowen (1980). Dengan demikian hifa fungi mikoriza mampu mencapai bagian tanah yang tidak dapat dicapai lagi oleh rambut akar, terutama pori tanah yang kecil. Selain mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman di lahan bekas tambang, fungi mikoriza juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Tanah pada lahan bekas tambang umumnya mempunyai kepadatan tanah (bulk density) tinggi yang menyebabkan terhambatnya penetrasi dan respirasi akar. Fungi mikoriza dapat membentuk agregat tanah lebih baik dibanding fungi tanah lain. Fungi mikoriza arbuskula mengeluarkan subtansi seperti lem yang disebut glomalin (glikoprotein) yang mengikat partikel tanah menjadi mikroagregat. Selanjutnya hifa fungi mikoriza dan akar tanaman mengikat mikroagregat tanah menjadi makroagreagat tanah. Hal inilah yang membuat tanaman bermikoriza sangat dibutuhkan pada rehabilitasi lahan bekas penambangan karena agregasi tanah akan mempercepat penetrasi air, memelihara kapasitas pengikatan air (water holding capacity) dan meningkatkan aerasi tanah (Mosse dan Hayman, 1980; Smith dan Read, 2008) tetapi mengurangi hambatan penetrasi dan respirasi akar. Seringkali dilaporkan bahwa tanah-tanah pertambangan mengandung logam-logam berat beracun (Cu, Zn, Ni, Fe, Co, Pb, Cd, dan Ba) dalam
32
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
konsentrasi tinggi. Golden dan Tinker dalam Delvian (2005) melaporkan bahwa pada kondisi yang sangat masam, rerumputan yang bermikoriza mengakumulasi Cu dan Ni dalam level yang tinggi dibanding tanaman yang tidak bermikoriza sehingga disimpulkan bahwa simbion mikoriza harus dipertimbangkan sebagai komponen dari toleransi tanaman terhadap logamlogam berat yang toksik. Mekanisme simbiosis FMA dalam memperbaiki toleransi tanaman terhadap logam berat diduga karena (a) terjadi pengenceran unsur-unsur toksik dengan membaiknya serapan unsur hara lainnya, (b) terjadi penangkapan logam-logam oleh polifosfat, yang akumulasinya terjadi karena membaiknya status fosfor dalam fungi, dapat menurunkan perpindahan unsur toksik ke tanaman sehingga terjadi penurunan toksisitas, (c) simbiosis FMA memperbaiki pertumbuhan tanaman sehingga tanaman meningkat toleransinya terhadap logam berat (Bertham, 2006). Menurut Smith dan Read (2008), penting artinya mengetahui potensi dan peran fungi mikoriza untuk pengelolaan lahan terdegradasi seperti lahan bekas penambangan. Aplikasi fungi mikoriza perlu dilakukan pada lahan yang memiliki propagul fungi mikoriza rendah. Penelitian menunjukkan kepadatan spora fungi mikoriza pada lahan bekas tambang timah, kapur dan nikel sangat rendah (Nurtjahya et al., 2006; Prayudyaningsih, 2008; Jaya, 2011 ). Selain itu hasil pengamatan kolonisasi FMA secara alami pada tumbuhan pioner yang menginvasi lahan bekas tambang kapur menunjukkan 21 jenis dari 22 jenis tumbuhan pioner berasosiasi dengan FMA (Prayudyaningsih, 2011c). Pengamatan kolonisasi FMA di lahan bekas tambang nikel menunjukkan 20 jenis tumbuhan yang tumbuh di lahan tersebut berasosiasi dengan FMA (Jaya, 2011). Demikian juga pengamatan kolonisasi FMA pada 22 jenis tumbuhan di lahan bekas tambang batu bara menunjukkan semua sampel berasosiasi dengan FMA (Turjaman et al., 2009). Hal ini menunjukkan kolonisasi fungi mikoriza sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan pertumbuhan tumbuhan pioner tersebut di lahan bekas tambang. Mosse et al. (1981) menyatakan bahwa fase bibit merupakan fase yang sangat tergantung pada mikoriza. Inokulasi mikoriza pada bibit tanaman terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan bibit. Inokulasi Fungi mikroza indigen dari tanah bekas tambang kapur terhadap bibit bitti (Vitex cofassus), pulai (Alstonia scholaris) dan jati (Tectona grandis) yang ditumbuhkan pada media dari tanah bekas tambang kapur mampu meningkatkan pertumbuhan
33
tinggi (30-635 %), diameter batang (47-275 %), indek mutu bibit (140-829 %) dan serapan P (187-2313 %) dibanding pertumbuhan semai bitti yang tidak diinokulasi fungi mikoriza (Prayudyaningsih dkk., 2009; Prayudyanigsih, 2013). Inokulasi FMA juga meningkatkan pertumbuhan semai mindi yang ditumbuhkan pada media dari tanah bekas tambang emas. Pertumbuhan tinggi semai mindi pada media tailing bekas tambang emas yang diinokulasi FMA meningkat 22,4 % dan diameter 11,4 % dibanding yang tidak diinokulasi (Setyaningsih, 2007). Dengan demikian inokulasi fungi mikoriza pada bibit tanaman mampu menghasilkan bibit yang berkualitas karena mempunyai pertumbuhan yang lebih baik sehingga mempunyai daya hidup di lapangan yang lebih baik pula. Asosiasi fungi mikoriza dengan akar tanaman mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Untuk itu pengadaan bibit dari jenis tumbuhan yang sesuai dengan tapak dan berasosiasi dengan fungi mikoriza merupakan salah satu kunci dalam keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang. Menurut De La Cruz (1998) dalam Setiadi (2006), asosasi fungi mikoriza dengan akar tanaman dapat meningkatkan daya hidup dan pertumbuhan tanaman terutama pada tanah marginal seperti lahan bekas tambang sehingga aplikasi fungi mikoriza dapat membantu keberhasilan rehabilitasi lahan kritis dan marginal seperti lahan bekas pertambangan. IV. Aplikasi Teknologi Bioreklamasi Fungi Mikoriza pada Revegetasi Lahan Bekas tambang Seiring dengan berjalannya waktu, pada lahan-lahan yang mengalami kerusakan seperti lahan bekas tambang akan terjadi proses suksesi alami. Namun proses suksesi alami akan berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, terlebih lagi suksesi yang terjadi merupakan suksesi primer. Oleh karena itu, kegiatan revegatasi yang dilakukan pada lahan bekas tambang sebaiknya tidak hanya bertujuan untuk penghijauan tetapi juga mampu memfasilitasi tahapan suksesi alami sehingga proses suksesi dapat dipercepat. Kehadiran fungi mikoriza sebagai salah satu komponen komunitas mikroba tanah mempengaruhi koeksistensi dominan tumbuhan, struktur komunitas dan kemajuan suksesi vegetasi pada lahan yang rusak (Puschel et al., 2007) seperti lahan bekas tambang. Dengan demikian diduga fungi mikoriza mempunyai peran penting bagi keberhasilan pertumbuhan tanaman dalam proses suksesi vegetasi di lahan bekas tambang. Kehadiran fungi mikoriza mempengaruhi kolonisasi vegetasi di lahan bekas tambang (Busby
34
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
et al., 2011). Namun, populasi FMA di lahan bekas tambang rendah dan distribusinya tidak merata sehingga tidak semua tumbuhan pioner herba dan perenial awalnya berasosiasi dengan FMA (Nurtjahja, 2008; Prayudyaningsih, 2008; Jaya, 2011; Singh dan Jamaluddin, 2011; CohenFernandez, 2012). Rendahnya populasi FMA dan menurunnya infektivitas menghambat mineralisasi dan imobilisasi hara, sehingga akan menghambat pembentukan tanaman dan proses suksesi ekologi pada akhirnya (Singh dan Jamauddin, 2011). Untuk itu input teknologi bioreklamasi fungi mikoriza diperlukan agar keberhasilan pertumbuhan tanaman di lahan bekas tambang meningkat (Ervayenri, 2005; Puchel et al., 2006; Setyaningsih, 2007; Prayudyaningsih et al., 2009; 2010; 2011a; 2012). Aplikasi teknologi bioreklamasi fungi mikoriza pada revegetasi lahan bekas tambang sebaiknya juga sejalan dengan kaidah-kaidah yang diisyaratkan oleh hukum alam (tahapan proses suksesi alami). Tahap pertama dalam revegetasi lahan bekas tambang adalah penanaman cover crop untuk memperbaiki kondisi mikroklimat setempat sehingga mendukung kehidupan mikroorganisme yang berperan aktif dalam proses dekomposisi dan pembentukan bahan organik tanah. Jenis tumbuhan cover crop yang dapat digunakan adalah jenis rumput-rumputan dan legum. Penggunaan legum cover crop juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur nitrogen tanah karena akar tanaman legum berasosiasi dengan bakteri Rhizobium. Selain itu, penanaman cover crop juga meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Banyaknya bahan organik dapat menurunkan suhu tanah dan meningkatkan kelembaban tanah. Selain itu bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro-fauna tanah. Meningkatnya kandungan bahan organik pada tanah di lahan bekas tambang akan menyebabkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Beberapa mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi bahan organik adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes. Hasil penelitian di lahan bekas tambang menunjukkan adanya peningkatan jumlah populasi bakteri dan jamur setelah 3 bulan dilakukan revegetasi dengan tanaman cover crop jenis Mucuna sp. dan Centrocema pubescen (Prayudyaningsih dkk., 2010). Tahap kedua adalah penanaman jenis pioner (nurse plant) dan pembelukaran. Jenis-jenis pioner lokal dan legum (fiksasi N) dapat mempercepat keberhasilan revegatasi. Tumbuhan pioner mempunyai sistem perakaran yang lebih dalam dan volume perakaran yang lebih luas.
35
Demikian juga dengan pertumbuhan tajuknya sehingga menyumbangkan seresah yang lebih besar. Adanya ruang tumbuh yang lebih besar baik di bawah dan di atas tanah maka kehidupan mikrofauna, mikroflora dan mikroorganismenyapun lebih komplek sehingga proses dekomposisinya juga lebih intensif. Penanaman pioner jenis Sesbania sericea di lahan bekas tambang kapur, selain meningkatkan jumlah populasi bakteri dan jamur tanah, bahkan meningkatkan kualitas kimia tanah dimana kadar unsur hara makro (N, P, dan K) mengalami perubahan harkat dari sangat rendah menjadi rendah (Prayudyaningsih dkk., 2010). Walaupun kualitas kimia tanahnya masih tergolong rendah. Revegetasi tanaman pioneer menambah sumbangan bahan organik ke tanah sehingga berpengaruh pada ketersediaan unsur hara. Terlebih lagi dengan inokulasi fungi mikoriza yang meningkatkan pertumbuhan tanaman pioneer, maka menghasilkan biomassa yang lebih banyak. Banyaknya biomassa akan menyumbangkan bahan organik yang lebih banyak pula. Pada akhirnya kandungan unsur hara tersedia juga meningkat dan kualitas tanahpun ikut meningkat. Tahap ketiga adalah penanaman jenis cepat tumbuh atau fast growing seperti sengon dan eukaliptus. Tahap keempat adalah penanaman jenis klimaks atau slow growing seperti meranti, jati, bitti atau eboni yang sesuai dengan kondisi setempat. Namun demikian tahap ketiga dan keempat ini dapat dijadikan satu tahap tergantung dari perkembangan kondisi tapak yang telah terbentuk. Pada prinsipnya setiap tahap yang diterapkan bertujuan untuk memfasilitasi kondisi tempat tumbuh bagi tahap selanjutnya. Aplikasi teknologi bioreklamasi fungi mikoriza dapat dimulai sejak penanaman cover crop apabila alat yang tersedia cukup memadai yaitu dengan teknik hidroseeding. Namun apabila tidak, aplikasi fungi mikoriza dilakukan pada saat penanaman jenis pioner dan jenis akhir atau target. Aplikasi fungi mikoriza dilakukan pada tahap pembibitan sehingga diharapkan bibit yang dihasilkan merupakan bibit yang berkualitas dan tahan terhadap kondisi lapangan yang ekstrim seperti lahan bekas tambang. Tanaman bermikoriza mempunyai resistensi terhadap kondisi hara rendah dan kekeringan yang biasanya merupakan kondisi yang umum dijumpai pada lahan bekas tambang. Dengan demikian asosiasi mikoriza akan meningkatkan pertumbuhan dan daya hidup tanaman pada kegiatan revegetasi lahan bekas tambang.
36
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
Inokulasi fungi mikoriza pada tanaman pioneer jenis Sesbania sericea di lahan bekas tambang kapur meningkatkan pertumbuhan tanaman. Inokulasi fungi mikoriza, mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman S. sericea pada umur 3 sampai 21 bulan di lapangan sebesar 4-13 %, pertumbuhan diameter meningkat sebesar 5-14% dan kadar P daun meningkat sebesar 3-27 % dibanding tanaman yang tidak bermikoriza (Prayudyaningsih dkk., 2010; Prayudyaningsih dkk., 2011a; Prayudyaningsih dkk., 2011b Prayudyaningsih dkk., 2012). Lebih cepatnya pertumbuhan tanaman S. sericea yang diinokulasi fungi mikoriza akan menghasilkan biomassa lebih banyak pula. Dengan demikian juga akan menyumbangkan bahan organik ke tanah yang lebih banyak dan pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas tanah (Prayudyaningsih dkk., 2010). Setiap tahapan seral pada proses suksesi bertujuan untuk menfasilitasi/menyiapkan tapak aman bagi tahap seral selanjutnya. Hasil penelitian di lahan bekas tambang kapur menunjukkan penanaman jenis cover crop mampu menyediakan tapak aman bagi pertumbuhan tanaman pioner (S. sericea) dan selanjutnya keberhasilan pertumbuhan tanaman pioner mampu menyediakan tapak aman bagi pertumbuhan jenis selanjutnya yaitu tanaman bitti (Vitex cofassus). Inokulasi fungi mikoriza diharapkan lebih mendukung pertumbuhan tanaman sehingga meningkatkan survival tanaman dan membantu menyiapkan tapak aman bagi sere selanjutnya. Inokulasi Fungi mikoriza terbukti meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman bitti umur 3 – 18 bulan di lapangan sebesar 8 – 14 %, diameter batang sebesar 8 – 9 % dan kadar P daun sebesar 3 – 13 % dibanding tanaman yang tidak bermikoriza (Prayudyaningsih dkk., 2011a; Prayudyaningsih dkk., 2012) Fungi mikoriza juga memiliki sinergisme dengan mikroorganisme lain. Untuk tanaman leguminose keberadaan fungi mikoriza sangat diperlukan karena pembentukan bintil akar dan efektivitas penambatan nitrogen oleh bakteri Rhizobium yang terdapat di dalamnya dapat ditingkatkan. Keberadaanya juga bersifat sinergis terhadap bakteri pelarut fosfat dan dekomposer (selulolitik). Berdasarkan kemampuannya tersebut maka fungi mikoriza dapat berfungsi untuk meningkatkan biodiversitas mikroba potensial di sekitar tanaman. Keberadaan mikroba tanah potensial dapat memainkan peranan sangat penting bagi perkembangan dan kelangsungan hidup tanaman. Aktivitasnya tidak saja terbatas pada penyediaan unsur
37
hara, tetapi juga aktif dalam dekomposisi serasah dan bahkan dapat memperbaiki struktur tanah. Menurut Smith dan Read (2008), dalam revegetasi lahan bekas tambang, FMA memengaruhi komposisi komunitas tanaman yang dibangun. Komunitas jamur yang kompleks memacu kompleksitas komunitas tanaman bermikoriza sehingga menghasilkan biomassa tanaman yang tinggi. Dengan kata lain lebih banyak jenis tanaman yang mampu bertahan hidup dan total karbon organik yang terfiksasi meningkat. Inokulasi FMA pada bibit dibutuhkan untuk menjamin pembentukan dan ketahanan hidup FMA karena penyebaran secara alami dari FMA pada lahan kritis/bekas tambang sangat lambat. Penanaman dengan bibit yang diinokulasi mikroba dapat mempercepat proses regenerasi alami pada lahan bekas tambang (Singh dan Jamaluddin, 2011). Dengan demikian interaksi antara tanaman dengan FMA diduga tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang diinokulasi tetapi juga mendukung perkembangan komunitas biotik selanjutnya dan perbaikan kondisi tapak lahan bekas tambang kapur secara umum sehingga pada akhirnya mempercepat proses suksesi alami. Dengan kata lain input teknologi bioreklamasi fungi mikoriza pada pembentukan pertanaman di lahan bekas tambang berfungsi sebagai katalis (memberikan efek katalitik) sehingga proses suksesi alami dapat dipercepat. Pada akhirnya pemulihan unsur dan fungsi ekologi yang menjadi tujuan dari reklamasi lahan bekas tambang akan terwujud. V. PENUTUP Kegiatan penambangan meninggalkan lahan bekas tambang dengan karakteristik tapak tanpa top soil, tingkat kepadatan tanah tinggi, miskin hara, pH ekstrim dan populasi mikorba tanah rendah yang menyebabkan terhambatnya perkembangan vegetasi alami. Sampai saat ini upaya pemulihan lahan bekas tambang (reklamasi) hanya memfasilitasi jenis target, belum banyak diarahkan pada fasilitasi tapak untuk perkembangan komunitasi biotik selanjutnya. Aplikasi bioreklamasi fungi mikoriza pada lahan bekas tambang dapat mempercepat keberhasilan revegetasinya. Fungi mikoriza tidak hanya meningkatkan pertumbuhan tanaman tetapi juga dapat meningkatkan kualitas tanah lahan bekas tambang baik secara fisik, kimia dan biologi tanahnya. Dengan demikian aplikasi bioreklamasi fungi mikoriza pada revegetasi lahan bekas tambang tidak hanya sekedar memfasilitasi tanaman
38
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
target tetapi juga memfasiltasi perkembangan tapak sehingga dapat memacu proses suksesi alaminya. DAFTAR PUSTAKA Bowen GD. 1980. Mycorrhizal Roles in Tropical Plants and Ecosystem. Di dalam : Mikola P (ed). Tropical Mycorrhiza Research. New York: Clarendon Press. hlm 166 – 185. Bertham, Y.H. 2006. Intreraksi mikoriza arbuskula dengan tanaman pangan dan hortikultura. dalam Workshop Mikoriza: Teknik Baru Bekerja Dengan Cendawan Mikoriza. Bogor. Busby, R.R., D.L. Gebhart, M.E. Stromberger, P.J. Meiman dan M.W. Paschke. 2011. Early seral plant species‟ interactions with an arbuscular mycorrhizal fungi community are highly variable. Applied Soil Ecology 48:257 – 262. Cohen-Fernandes, A.C. 2012. Reclamation of a Limestone Quarry to a Natural Plant Community. Dissertation. Departemen of Renewable Resources. University of Alberta. Delvian, 2005. Aplikasi cendawan mikoriza arbuskula dalam reklamasi lahan kritis pasca tambang. Jurusan Kehutanan Fakultas pertanian. Universitas Sumatra Utara Medan. http: // library . usu . ac . id / download / fp / hutan-delvian . pdf. Duponnois, P., A. Colombet., V. Hien and J. Thioulouse. 2005. The fungus Glomus intraradices and rock phosphate amendment influence plant growth and microbial activity in the rhizosphere of Acacia holosecea. Journal of Soil Biology and Biochemistry 37:1460-1468. Ervayenri. 2005. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Tanaman Indigenous untuk Revegetasi Lahan Tercemar Minyak Bumi. Disertasi .Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta. Akademik Press. Harakarti, PDM. 2006. Interaksi tanaman inang dengan mikroorganisme potensial tanah dan pembenah tanah. Di dalam: Prosiding Workshop Teknik Baru Bekerja Dengan Mikoriza. Bogor: Asosiasi Mikoriza Indonesia. Jaya, I.K. (2011). Aplikasi Mikoriza Arbuskula dengan Merevegetasi Lahan Bekas Tambang Nikel di Kabupaten Kolaka (Tesis). Makassar. Universitas Hasanuddin. (Tidak dipublikasikan). Krebs, C.J. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution Abudance. Harper International Edition. Singapore. Kimmin, J.P. 1997. Forest Ecology. Prentice – Hall, Inc. New Jersey. Mansur,I. 2011. Konsep dan contoh implementasi green mining untuk pembangunan berkelanjutan. Workshop: Benarkah Tambang Mensenjahterakan ? Telaah Sulawesi Tenggara menjadi Pusat Industri Pertambangan Nasional. Tidak dipublikasikan Mosse, B and D.S. Hayman. 1980. Mycorrhizal in Agricultural Plants. dalam: Tropical Mycorrhiza Research. Ed. Mikola.P. Clarendon Press Oxford. New York. 211226.
39
Mosse, B., D.P.Stribley and F. Le-Tucon.1981. Ecology of Mycorrhizae and Mycorrhizal Fungi. Adv. Microb. Ecology 5:137-210. Nurtjahca, E. 2008. Revegetasi Lahan Pasca Tambang Timah dengan Beragam Jenis Pohon Lokal di Pulau Bangka. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Orcutt DM and Nielsen ET. 2000. Physiology of Plants Under Stress : Biotic Factor. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Prayudyaningsih, R. 2007. Efektivitas mikoriza arbuskula terhadap pertumbuhan bibit bitti (Vitex cofassus Reinw). Dalam: Prosiding Seminar NAsional Mikoriza II. Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza Untuk Mendukung Revitalisasi Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Bogor. 17 – 21 Juli 2007. SEAMEO BIOTROP. Bogor Prayudyaningsih, R. 2008. Keragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Lahan Bekas Tambang Kapur, PT. Semen Tonasa dan Efektivitasnya Terhadap Pertumbuhan Semai Kersen (Muntingia calabura L.). Tesis. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta. Tidak dipublikasikan Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha.2009. Efektivitas Inokulum Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dari Lahan Bekas Tambang Kapur, PT. Semen Tonasa terhadap Pertumbuhan 5 jenis semai. Laporan Hasil Penelitian. Balai Kehutanan Makassar. Tidak dipublikasikan Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha. 2010. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak di publikasikan Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha. 2010. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak di publikasikan. Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha. 2011a. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak di publikasikan. Prayudyaningsih, R. 2011b. Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) terhadap pertumbuhan Sesbania sericea di lahan bekas tambang kapur PT Semen Tonasa, Prosiding Ekspose BPK Makassar, Hasil-Hasil litbang mendukung Kemanfaatan Hutan, Makassar 27 Oktober 2011, ISBN 978-979-3145-92-1. Prayudyaningsih, R. 2011c. Status Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di lahan bekas tambang kapur PT. Semen Tonasa. Dalam: Prosiding Seminar Nasional “Benarkah Tambang Mensejahterakan? Telaah Sulawesi Tenggara Menjadi Pusat Industri Pertambangan Nasional. Kendari. 24 – 25 Juni 2011. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha. 2012. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak di publikasikan
40
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
R. 2013. Pertumbuhan semai Alstonia scholaris, Acacia auriculiformis dan Muntingia calabura yang diinokulasi Fungi Mikoriza
Prayudyaningsih,
Arbuskula pada media tanah bekas tambang kapur. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallaceae 3(1). April 2004. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar. Puchel, D., J. Rydlova dan M. Vosatka. 2007. Mycorrhiza Influence Plant Community Structure in Succession on Spoil Bank. Basic And Applied Ecology 8:510-520. Quilambo, O. 2003. The Vesicular-Arbuscular Mycorrhizae Symbiosis. African Journal of Biotechnology 2(12):539-546 Santoso, E., M. Turjaman., Y. Sumarna. 2003. Adopsi teknologi perakaran tanaman dalam menunjang keberhasilan GERHAN. Laboratorium Mikrobiologi Hutan,P3H&KA. Bogor. Setyaningsih, L. 2007. Pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula dan kompos aktif untuk meningkatkan pertumbuhan semai mindi (Melia azerdarach Linn.) pada media tailing tambang emas pongkor. Tesis. Institut Pertanian Bogor. (tidak dipublikasi). Setiadi, 2006. Pengembangan cendawan mikoriza arbuskula untuk merehabilitasi lahan marginal. Di dalam: Prosiding Workshop Teknik Baru Bekerja dengan Mikoriza. Bogor: Asosiasi Mikoriza Indonesia. Singh, A.J dan Jamaluddin. 2011. Status and Diversity Arbuscular Mycorrhizal Fungu and its Role in Natural Regeneration on Limestone Mined Spoils. Biodiversitas 12(2):107-111. Smith, S.E dan D.J. Read. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Ed ke-3. Academic Press. California. Turjaman, M., I.R. Sitepu, R.S.B.Irianto, E. Santoso. 2009. Aplikasi teknologi biorehabilitasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk mempercepat keberhasilan di lahan bekas tambang. Makalah Gelar Teknologi Hasil-Hasil Penelitian: Iptek untuk Kesejahteraan Masyarakat Belitung. Tanjung Pandan, 11-12 Agustus 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Tidak diterbitkan Weissenhorn, I., C. Levyal. and J. Berthelin. 1995. Bioavailability of heavymetals and abundance of arbuscular mycorrhizal (AM) in soil polluted by atmospheric deposition from a smelter. Biol.Fertil. Soil.
41
42
| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten1 Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro2 ABSTRAK Penelitian Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten dirancang untuk mengidenfikasi lembaga/institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS lintas kabupaten, mengkaji tupoksi lembaga/institusi terkait, mengkaji peraturan perundangan yang terkait pengelolaan DAS, mengkaji sistem perencanaan pengelolaan DAS lintas kabupaten. Hasil kajian berupa data dan informasi digunakan sebagai bahan untuk memformulasi sistem kelembagaan pengelolaan DAS yang fungsional yang dapat diterima semua pihak. Pengumpulan data primer menggunakan teknik purposive sampling. Responden adalah para pemangku kebijakan di semua institusi yang terlibat baik di lembaga eselon II, III, dan IV serta tokoh kunci NGO yang konsern dengan pengelolaan DAS. Teknik wawancara adalah deep interview (wawancara mendalam) menggunakan kuesioner dan tape recorder. Jumlah responden sebanyak 42 pejabat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk lembaga yang paling sesuai untuk diterapkan dalam pengelolaan DAS terpadu adalah bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric. Bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric adalah kelembagaan bersama (colaborative) seperti forum DAS atau LKPDAS (Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS) tingkat Provinsi. Anggota lembaga ini adalah pimpinan instansi di daerah/SKPD. Lembaga ini bersifat non struktural dan bertanggung jawab langsung ke Gubernur sebagai pemegang otoritas kebijakan. Forum DAS/LK-PDAS berfungsi sebagai wadah komunikasi, konsultasi dan koordinasi antar para pihak terkait untuk membantu Gubernur merumuskan kebijakan pengelolaan DAS di lintas kabupaten. Kata kunci: Kelembagaan, DAS .
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa batas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan batas administrasi pemerintahan tidak selalu kompatibel. Oleh karena DAS merupakan kesatuan sistem alami dari hulu, tengah sampai daerah hilirnya 1
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2
Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget, Kota Manado Telp. 0431-3666683
43
yang tidak dibatasi oleh wilayah administrasi pemerintahan. Untuk itu diperlukan tindakan kolektif semua pengguna sumberdaya untuk mengelola proses hidrologis agar memperoleh produktivitas maksimum seluruh sistem DAS. Dengan demikian kesepakatan antar stake holders tentang peraturan akses sumber daya, alokasi, dan kontrol menjadi hal yang sangat penting dalam pengelolaan DAS (Steins dan Edwards 1999a dalam Kerr, 2007). Pada tataran inilah institusi atau lembaga pengelola DAS menjadi prasyarat utama dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS. Oleh sebab itu penelitian ini menjadi penting untuk mengkaji kelembagaan yang tepat agar tujuan pengelolaan DAS bisa terwujud. Mengingat hingga sekarang belum ada institusi yang menjadi pemegang otoritas dalam pengelolaan DAS baik di tingkat kabupaten, tingkat provinsi dan tingkat nasional. Payung hukum pengelolaan DAS sesungguhnya sudah ada terutama setelah terbitnya PP No. 37 tahun 2012. Pemerintah Daerah juga sudah mulai menindak lanjuti peraturan tersebut dengan menerbitkan Perda yang mendukung pengelolaan DAS. Juga sudah terbentuk Forum DAS di hampir seluruh provinsi di Indonesia yang surat keputusannya ditandatangani oleh Gubernur di masing-masing provinsi. Namun faktanya hingga sekarang payung hukum tersebut berserta turunannya belum terimplementasi secara riil di lapangan. Program pengelolaan DAS terpadu baru sampai pada produk peraturan perundangannya dan belum sampai pada tahap implementasi sesuai dengan maksud peraturan perundangan tersebut. Implementasi pengelolaan DAS selama ini masih dilaksakanakan secara parsial dan bersifat sektoral. Belum mengacu pada prinsip pengelolaan DAS yaitu “ one river one plan one management” dan KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasasi dan Sinergitas) diantara pemangku kepentingan. Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji lebih jauh akar masalah penyebab sulitnya implementasi pengelolaan DAS terpadu dari sisi perspekftif kelembagaan birokrasi. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penyelenggaraan penelitian adalah untuk memperoleh sistem kelembagaan pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA) yang selaras dengan sistem pemerintahan otonomi daerah berdasarkan hierarki sistem pengelolaan DAS yang meliputi wilayah lintas provinsi. Sasaran yang dibidik dalam penelitian ini adalah menemukan suatu sistem kelembagaan pengelolaan DAS lintas provinsi.
44| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian Sistem kelembagaan pengelolaan DAS dilaksanakan mulai dari tahun 2012 s/d 2013. Sedangkan lokasi penelitian dilaksanakan sesuai dengan lokus penelitian yaitu di DAS Tondano di Provinsi Sulawesi Utara dan DAS Limboto di Provinsi Gorontalo dengan sasaran pada instansi pemerintah tingkat propinsi dan LSM tingkat provinsi serta Forum DAS dan DSDA tingkat kabupaten. B.
Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian survey. Teknik pengumpulan data primer adalah wawancara secara mendalam (deep interview) dengan menggunakan kuesioner dan perekam suara. Sedangkan teknik pengumpulan data sekunder adalah menghimpun data-data yang relevan dari instansi/institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS baik dengan cara mengkopi maupun dengan cara mencatat langsung. Data primer yang menyangkut pandangan, saran, usul dan pendapat mengenai struktur kelembagaan, mekanisme kerja kelembagaan, sistem pendanaan, sistem koodinasi dan payung hukum/legalitas kelembagaan dalam rangka mendapatkan suatu konsep kelembagaan yang baik untuk mencapai kelembagaan pengelolaan DAS terpadu dalam wilayah kabupaten dominan. Data sekunder yang dikumpulkan dari instansi responden adalah struktur organisasi, AD/ART, TUPOKSI, program dan rencana kegiatan/aksi, PERDA, SK Gubernur, laporan kegiatan SKPD dan UPT Pusat, serta data statistik Kabupaten Dalam Angka, Provinsi Dalam Angka dll. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi (contents analysis) khususnya untuk data sekunder. Contents analysis menyangkut Peraturan perundang-undangan, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Perencanaan Pengelolaan DAS terpadu. Teknik analisis lain yang digunakan adalah analisis stakeholder (stkeholder analysis) untuk keperluan mengetahui sejauh mana tingkat kepentingan dan wewenang tiap institusi dalam pengelolaan DAS. Untuk menganalisis data primer mengenai preferensi responden digunakan analisis sebab-akibat terutama soal masalah kelembagaan DAS terpadu hubungannya dengan peraturan yang relevan di era desentralisasi.
45
III. HASIL PENELITIAN A. Institusi Pengelola DAS Kelembagaan merupakan unsur utama dalam pengelolaan DAS terpadu, karena tanpa kelembagaan maka semua program dan kegiatan pengelolaan DAS tidak bisa berjalan dengan efektif dan optimal. Oleh karena itu Kementerian kehutanan memprakarsai embrio kelembagaan DAS terpadu. Sejak tahun 2003 Departemen Kehutanan (Dephut) cq. Dirjen RLPS, cq. BPDAS terus mensosialisasikan kelembagan DAS terpadu dan membentuk secara sistematis mulai dari pusat, provinsi sampai ke kabupaten. Hasilnya adalah terbentuknya Forum-forum DAS yang meliputi hampir seluruh provinsi di Indonesia. Dalam perkembangannya, mulai tahun 2010 sampai sekarang ini oleh Kementerian Kehutanan cq. Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial cq. BPDAS telah menginisiasi lagi lembaga koordinasi pengelolaan DAS terpadu yang disebut LK-PDAS baik di tingkat nasional, provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Hasil penelusuran ke semua instansi di tingkat kabupaten diperoleh stakeholder pengelola DAS. Penentuan stakeholder pengelola DAS di tingkat kabupaten didasarkan pada tupoksi dan program kerja yang berhubungan dengan pengelolaan DAS. Berdasarkan hasil analisis tupoksi dan program kerja instansi pemerintah maka dapat diklasifikasikan institusi pengelola DAS kedalam dua kategori yaitu stakeholder utama dan stakeholder penunjang. Stakeholder utama adalah institusi teknis yang tupoksinya dan program kerjanya sangat erat dan berhubungan langsung dengan kegiatan di lapang. Sedangkan stakeholder penunjang adalah institusi yang non teknis yang tupoksi dan program kerjanya berhubungan dengan pengelolaan DAS tapi tidak melakukan secara intens kegiatan di lapang. Berikut ini adalah stakeholder utama dan penunjang dalam pengelolaan DAS. Tabel 1. Stakeholder Pengelolaan DAS Tondano dan DAS Limboto No. 1
Provinsi Staheholder Utama Sulawesi Utara 1. BPDAS Tondano 2. Forum DAS 3. Dinas Kehutanan 4. BWS-1 Manado 5. Bappeda Provinsi 6. BLH 7. Dinas Pertanian, Perkebunan dan peternakan
46| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Stakeholder Penunjang 1. BALITBANGDA 2. BPN 3. PLN 4. PDAM 5. Perguruan Tinggi (UNSRAT, dll)
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro No.
2
Provinsi
Gorontalo
Staheholder Utama 8. Dinas Kelautan dan perikanan 9. Dinas PU Provinsi 10. Dinas Pariwisata 1. BPDAS Tondano 2. Forum DAS 3. Dishuttamben 4. BWS-2 Gorontalo 5. BLH 6. Bappeda Provinsi 7. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan 8. Dinas peternakan dan perikanan 9. Dinas PU Provinsi 10. Dinas Pariwisata
Stakeholder Penunjang
1. BAPPPEDA/BALIHRIS TI 2. BPN 3. PLN 4. PDAM 5. Perguruan Tinggi (UNG, UG)
B. Analisis Stakeholder Analisis stakeholder dilakukan untuk mengetahui minat/kepentingan dan peranan masing-masing stakeholder dan wewenang mereka dalam pengelolaan DAS. Keberhasilan dari penanganan suatu masalah yang kompleks dan terkait dengan banyak pihak, bergantung pada pemahaman yang jelas pada minat dan hubungan antar stakeholder (pihak terkait). Ada delapan teknik analisis stakeholder menurut Bryson (2003), diantaranya adalah teknik Power versus Interest Grids yang digunakan pada penelitian ini. Analisis ini dimulai dengan menyusun stakeholder pada matrix dua kali dua menurut Interest (minat) stakeholder terhadap suatu masalah dan Power (kewenangan) stakeholder dalam mempengaruhi masalah tersebut. Interest adalah minat atau kepentingan stakeholder terhadap pengelolaan DAS. Hal ini bisa dilihat dari tupoksi masing-masing instansi. Power adalah kekuasaan/wewenang stakeholder untuk mempengaruhi atau membuat kebijakan maupun peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS. Berikut ini disajikan matriks analisis stakeholder pengelola DAS.
47
B. Players - BPDAS* - BWSS I dan II* - Dishut Kabupaten* - Dinas PU Kabupaten* - Dinas Pertanian dan perkebunan** - Dinas Perikanan dan pariwisata** - Balitbangda** - BPLH/BLH Kab**
D. Crowd - Masyarakat umum
C. Contest setter -Bappeda/Bappelitbangda**
Interest
High
A. Subject - Forum DAS/LK-PDAS** - LSM dan masyarakat yang peduli terhadap pengelolaan DAS* - Akademisi/Perguruan Tinggi**
Low
Power Keterangan : * = sangat penting
High ** = penting
Gambar 1. Matriks analisis stakeholder (kedudukan stakeholder dalam pengelolaan DAS) Gambar 1 menunjukkan bahwa kuadran subjek merupakan kelompok stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi namun memiliki kewenangan dan pengaruh yang rendah terhadap pengelolaan DAS. Kelompok stakeholder ini terdiri dari individu atau kelompok yang memiliki kegiatan pelestarian lingkungan, pengambil manfaat dari sumberdaya alam dalam DAS, akan tetapi stakeholder ini tidak memiliki kewenangaan dalam pengambilan keputusan ataupun perencanaan dalam kebijakan program pengelolaan DAS. Kelompok masyarakat menjadi salah satu stakeholder kunci yang memiliki kepentingan terhadap kelestarian sumberdaya alam karena mereka mendapatkan manfaat langsung dari kelestarian DAS, Namun secara kewenangan mereka memiliki kekuatan rendah dalam menentukan kebijakan pengelolaan DAS terpadu. Selain itu keberadaan forum DAS baik Forum DAS Limboto maupun Tondano dianggap tidak mempunyai kewenangan dan pengaruh yang besar dalam kegiatan pengelolaan DAS karena forum ini hanya sebatas tempat bertukar pikiran dan diskusi yang tidak didukung oleh payung hukum yang jelas. Yang
48| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
termasuk kedalam subyek dalam pengelolaan DAS ini adalah Forum DAS dan Masyarakat yang peduli terhadap pengelolaan DAS serta akademisi. Kuadran players merupakan kelompok stakeholder yang memiliki tingkat minat/kepentingan dan kewenangan yang tinggi dalam mewujudkan keberhasilan pengelolaan DAS. Pemerintah pusat dan pemerintah provinsi memiliki otoritas yang tinggi dalam perumusan kebijakan, perencanaan serta penganggaran dalam pengelolaan. Selain itu stakeholder tersebut juga memiliki peran mengorganisir, mengkoordinasikan serta mensinkronkan program kegiatan dalam pengelolaan DAS. Stakeholder yang termasuk dalam kategori players antara lain : a. BPDAS Bone-Bolango/ Tondano b. Dinas Kehutanan Provinsi c. Dinas Kehutanan Kabupaten. d. Dinas Pertanian e. BLH f. Balitbangpedalda g. Dinas PU Prop/Kab Stakeholder yang masuk dalam kuadran contest setter memiliki minat/kepentingan yang rendah dengan pengaruh yang tinggi dalam proses penentuan kebijakan. Tingkat pengaruh yang tinggi terkait dengan terselenggaranya perencanaan pembangunan di daerah, memiliki minat/kepentingan yang rendah karena dalam perencanaan belum mendorong secara optimal pengelolaan DAS terpadu. Selain itu, pengaruh yang tinggi karena perguruan tinggi melakukan penelitian, melakukan ekspose hasil penelitian yang dapat mempengaruhi pengambil kebijakan. a. Bappeda Provinsi b. Universitas/Perguruna Tinggi c. Bappppeda Kabupaten Sedangkan stakeholder yang masuk dalam kuadran crowd memiliki pengaruh yang rendah dan kepentingan yang rendah pula. Dengan adanya stakeholder yang masuk dalam crowd ini menghambat terwujudnya pengelolaan. C.
Sistem Pendanaan Kelembagaan Pengelolaan DAS Terpadu Pada akhirnya keterpaduan pengelolaan DAS akan jelas terlihat bila program dan perencanaan pengelolaan DAS terpadu dapat diimplementasikan ditingkat tapak. Untuk keperluan tersebut dukungan penganggaran merupakan kebutuhan mutlak. Dari uraian latarbelakang di
49
atas telah dikemukakan bahwa salah satu kendala tidak berjalannya konsep pengelolaan DAS terpadu adalah dukungan dana yang tidak jelas. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk menyusun sistem pendanaan yang tepat sebagai motor penggerak kelembagaan pengelolaan DAS terpadu. Berdasarkan ketersediaan dana, maka hampir dipastikan bahwa untuk kepentingan teknis pengelolaan DAS Tondano, kabupaten minahasa sangat tergantung dengan bantuan pendanaan dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat dan luar negeri. Sebab anggaran daerah yang bersumber dari DAU, 70-80 % hanya habis untuk pembiayaan belanja pegawai. Berdasarkan hal itu, dengan memandang DAS Tondano dan DAS Limboto sebagai DAS Strategis nasional dengan Danau Tondano dan Danau Limboto didalamnya maka pemerintah pusat berkewajiban memberikan perhatian yang serius terhadap upaya pelestarian DAS khususnya di hulu. Yang berjalan selama ini adalah; program pembantuan pemerintah pusat terhadap upaya pelestarian DAS langsung dilaksanakan oleh instansi terkait dengan Kementerian pemberi program dan tentunya akan mengikuti standard dan kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian yang bersangkutan karena pertanggungjawabannya pun kepada Kementerian bersangkutan. Yang menjadi permasalahan adalah karena kadang-kadang program pembantuan tersebut tidak sinkron dengan program pembangunan yang disusun oleh pemerintah daerah. Bila memandang DAS Tondano dan DAS Limboto berdasarkan letak administrasinya serta peran DAS Tondano bagi pembangunan Sulawesi utara dan DAS Limboto di Gorontalo, maka pemerintah provinsi bertanggung jawab penuh dan berkewajiban memberikan perhatian bagi penyelamatan DAS Tondano dan DAS Limboto. Yang dirasakan oleh pemerintah Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Gorontalo adalah bahwa pemerintah provinsi belum ada perhatian khusus dan terkesan membiarkan tanggung jawab pelestarian DAS bahkan hasil retribusi dari PLN dan PDAM serta perusahaan air minum lainnya yang langsung maupun tidak langsung menggunakan sumberdaya air DAS Tondano tidak jelas pembagian dan peruntukannya. Padahal kewenangan pemungutan retribusi ditangani oleh pemerintah provinsi. Berdasarkan hasil wawancara dengan SKPD di tingkat kabupaten bahwa mekanisme pendanaan dalam rangka pengelolaan DAS yang memungkinkan bisa dilaksanakan sekarang ini adalah sebagai berikut: - Menggunakan skema DIPA di masing-masing SKPD teknis yang bersumber dari APBD. Kendala yang dihadapi dengan cara ini adalah
50| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
bahwa dana APBD sangat terbatas sedang program prioritas daerah sangat banyak khususnya untuk sektor infrastruktur, pertanian, kesehatan dan pendidikan. - Anggaran tugas pembantuan dari pusat/kementerian berupa DAK (Dana Aloksi Khusus). Skema ini bagi daerah sangat memungkinkan karena disamping bisa mengeleminir keterbatasan dana daerah juga koordinasi pusat dan daerah bisa terjalin dengan baik. Hal ini sudah dibuktikan dalam implementasi GERHAN di lapangan. Kelemahan skema ini hanya melibatkan kementerian tertentu saja dan SKPD tertentu saja. Belum melibatkan semua pemangku di dalam DAS. - Anggaran dari UPT Kementerian seperti dana dari Kemenhut cq. BPDAS; dari Kemen. PU cq. BWS; dana dari Kemeneg. Lingkungan Hidup, cq BLH. SKPD siap memfasilitasi dan membantu di daerah. - Anggaran dari lembaga donor dan pihak ketiga. Menurut pandangan dan pendapat pimpinan SKPD bahwa yang paling penting adalah sumber dananya jelas dulu, baru membahas siapa, berbuat apa, dimana, kapan, bagimana dalam suatu DAS tertentu. Bila ini semua jelas maka tentu KISS dalam konsep pengelolaan terpadu dengan sendirinya akan terwujud karena KISS merupakan dampak dari berjalannya kegiatan kolaboratif. D.
Keterkaitan RPDAS Terpadu dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Secara ringkas sistem perencanaan pembangunan nasional berdasarkan UU no. 25 tahun 2004 adalah sebagai berikut: Tabel 2. Hierarki sistem perencanaan pembangunan nasional No
Tingkat Nasional
Tingkat Daerah (Provinsi dan Kabupaten/ kota
Kementerian dan Lembaga
SKPD
1 2
RPJP Nasional RPJM Nasional
RPJP Daerah RPJP Daerah
Rentra-KL
3
RKP
RKPD
Renja-KL
RentraSKPD RenjaSKPD
Periode
20 tahun 5 tahun 1 tahun
51
Proses penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD dilakukan melalui urutan kegiatan sebagai berikut: a. Penyiapan rancangan awal rencana pembangunan; b. Penyiapan rancangan rencana kerja; c. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) d. Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan. Adapun penyusun dan pengesahaan sistem perencanaan pembangunan nasional seuai dengan UU no. 25 tahun 2004 adalah sebagai berikut: Tabel 3. Penyusun dan pengesahan perencanaan pembangunan nasional di berbagai level pemerintahan No 1
2
3
4
Level Pemerintahan Nasional
Kementerian/ Lembaga (KL)
Daerah ( Provinsi dan Kebupaten/ kota)
SKPD (Provinsi dan Kabupaten/ Kota)
Jenis Perencanaan (Periode) RPJP-Nas (20 tahun) RPJM -Nas (5 tahun) RKP(1 tahun) RENSTRA- KL (5 tahun)
Penyusun
sda Menteri/kepala lembaga sektoral
PERPRES Peraturan Pimpinan Kementerian/ Lembaga
RENJA - KL (1 tahun)
sda
RPJP-Daerah (20 tahun) RPJM-Daerah (5 tahun) RKPD ( 1 tahun) RENSTRA SKPD (5 tahun)
Kepala Bappeda sda
Peraturan Pimpinan Kementerian/ Lembaga PERDA
RENJA SKPD (1 tahun)
sda
Menteri/Kepala Bappenas sda
sda Kepala SKPD
Penetapan/ Pengesahan Undang-undang PERPRES
Peraturan Kepala Daerah Peraturan Kepala Daerah Peraturan Pimpinan SKPD Peraturan Pimpinan SKPD
Setelah RKP ditetapkan dan disahkan maka RKP menjadi pedoman Penyusunan RAPBN oleh DPR. Demikian pun dengan RKPD menjadi pedoman penyusunan RAPBD oleh DPRD.
52| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
Berdasarkan hierarki, proses penyusunan dan penetapan rencana pembangunan nasional bila dikaitkan dengan RPDAS terpadu maka hingga saat ini belum masuk dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Oleh karena itu bila RPDAS terpadu bisa diterapkan secara nasional maka RPDAS tersebut harus masuk dalam sistem perencanaan pembangunan nasional sebagaimana diatur dalam UU no. 25 tahun 2004 yang selama ini dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah. Sesungguhnya RPDAS terpadu dapat diakomodasi dalam sistem perencanaan pembangunan nasional kerena dalam pasal 1 UU no. 25 tahun 2004 disebutkan bahwa Program Kewilayahan dan Lintas Wilayah adalah sekumpulan rencana kerja terpadu antar-Kementerian/Lembaga dan Satuan Kerja Perangkat Daerah mengenai suatu atau beberapa wilayah, daerah, atau kawasan. Program kewilayahan dan lintas wilayah dimaksud sangat sesuai dengan program pengelolaan DAS. Untuk itu maka hanya dibutuhkan usaha berupa mekanisme pengaturannya agar RPDAS masuk dalam sistem perencanaan pembangunan nasional karena perangkat peraturan perundang-undangan memungkinkan untuk itu. Untuk tingkat kabupaten/kota, RPDAS harus masuk dalam RPJP daerah, RPJM daerah dan RKPD. Dengan demikian maka akan dapat dituangkan dalam Renstra dan Renja SKPD agar bisa terimplementasi secara formal. Bila hal ini sudah berjalan maka kendala mengenai RPDAS tidak diakomodir oleh Pemda dan sumber pendanannya yang dialami selama ini dapat tereleminir. E. Respon Pemda terhadap RPDAS Terpadu Pertanyaan pokok yang perlu dijawab dalam analisis ini adalah mengapa Pemda terkesan sulit mengadomodasi RPDAS terpadu yang telah dibuat oleh kementerian kehutanan cq. BPDAS Tondano di Sulut dan BPDAS Bonebolango di Gorontalo. Untuk menjawab pertanyaan ini peneliti menggunakan pendekatan kajian peraturan perundangan yang berlaku dan pendapat para pimpinan stakeholder pengelola DAS di Kabupaten Minahasa, Bolmong, dan Kabupaten Gorontalo. Bila ditinjau dari segi peraturan perundangan-undangan bahwa sistem perencanaan pembangunan di daerah mengacu pada UU no. 25 tahun 2004. Dengan demikian maka semua program pembangunan di daerah termasuk mengenai program pengelolaan DAS terpadu seharusnya masuk dalam proses penyusunan dan penetapan RPJP, RPJM, RPKD, Renstra dan Renja SKPD. Namun dalam kenyataannya bahwa proses penyusunan RPDAS terpadu ternyata terpisah dengan proses penyusunan rencana
53
pembangunan di daerah. Penyusunan RPDAS terpadu disusun oleh Kementerian Kehutanan cq. BPDAS. Dengan demikian maka posisi pemda dalam hal mengakomodasi RPDAS sangat sulit karena bila RPJP, RPJM, RPKD, Renstra dan Renja SKPD telah ditetapkan sedangkan RPDAS hendak masuk maka hal ini tidak memungkinkan. Hal ini sangat terkait dengan alokasi pendanaan karena dalam UU no 25 tahun 2004 juga telah diatur bahwa bila RKPD telah ditetapkan dan disahkan maka RKPD tersebut menjadi pedoman penyusunan RAPBD oleh DPRD. Konsekuensinya bila RPDAS tidak masuk dalam RKPD maka tentu tidak akan mendapat alokasi anggaran dari APBD. Dengan demikian maka RPDAS tidak bisa dijalankan oleh SKPD dengan menggunakan APBD. Hal inilah yang mengakibatkan sikap Pemda/SKPD terkesan sulit mengadomodasi RPDAS terpadu. Dengan kondisi demikian sikap SKPD hanya menunggu bila program dan kegiatan RPDAS terpadu dilengkapi dengan dana dari inisiator itu sendiri, posisi SKPD siap membantu mengimplementasikannya. Bila inisiator mengharapkan dana dari APBD maka hal ini sulit terealisasi. F. Alternatif Kelembagaan Pengelolaan DAS Dalam menentukan dan mengembangkan bentuk kelembagaan pengelolaan DAS, ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan. Pertimbangan tersebut didasarkan pada kekuatan dan kelemahan yang ada pada setiap bentuk kelembagaan tersebut (Kartodihadrjo, 2004). Secara umum ada tiga bentuk kelembagaan yaitu (Yudono dan Iwanuddin, 2008): a. Bentuk kelembagaan Polycentric, yaitu kelembagaan yang menganggap individu sebagai dasar dari unit analisis. Otoritas yang dimiliki seseorang itulah yang diartikulasikan kedalam tindakan. Tidak ada supremasi otoritas, otoritas tergantung pada bagaimana mempertemukan kepentingan dalam suatu struktur pengambilan keputusan antar pihak (Kartodihardja, 2004). Kelebihan dari sebuah sistem polycentric yaitu masing-masing wilayah dan masing-masing sektor berkedudukan setara, salah satu ciri polycentric adalah mampu untuk menangani sistem yang kompleks dan sistem biofisik yang dinamik. Kelemahan dari sistem polycentric adalah belum adanya saling percaya baik secara hierarki, maupun secara horizontal, lemahnya asas timbal balik, kurangnya arahan sentral dan permasalahan yang terlalu kompleks. b. Bentuk kelembagaan Monocentric; dalam kelembagaan ini otoritas terpusat di satu titik, hubungan antar anggota tidak setara, tetapi
54| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
dibawah komando dari pusat. Kelebihan sistem ini adalah bersifat sentralistik sehingga memungkinkan dilaksanakannya konsep one river, one plan and multi management. Ada arahan yang jelas dari pusat. Kelemahan kelembagaan Monocentric, antara lain pengelolaan DAS hanya sampai pada tataran formal, kurang implementatif dan mengurangi kewenangan wilayah administrasi, padahal yang diinginkan adalah kerjasama dari mereka. c. Bentuk kelembagaan gabungan Polycentric dan Monocentric; kelembagaan ini merupakan kombinasi antara bentuk lembaga Polycentric dengan Monocentric, artinya masing-masing pihak mempunyai kedudukan yang setara, tetapi masih ada beberapa arahan dari pusat, misalnya dalam hal kebijakan, penyusunan pola perencanaan dan pedoman monitoring dan evaluasi. Dari tiga bentuk kelembagaan yang disebutkan di atas maka bentuk lembaga yang paling sesuai untuk diterapkan dalam pengelolaan DAS terpadu adalah bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric. Bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric adalah kelembagaan bersama (colaborative), baik dengan membentuk lembaga baru atau memanfaatkan kelembagaan yang sudah ada. Bentuk kelembagaan bersama (dalam bentuk forum/badan koordinasi) merupakan salah satu alternatif yang paling memungkinkan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS saat ini. Secara faktual untuk mendapatkan suatu kelembagaan pengelolaan DAS yang baik dan diakui oleh semua pihak tidak bisa instan. Lembaga bukanlah blue print karena bersifat dinamis. Seiring dengan waktu maka sambil jalan dengan kegiatan di lapang, lembaga yang mengawal kegiatan tersebut akan mengalami proses penyempurnaan. Untuk itu lembaga pengelolaan DAS terpadu dirancang agar bisa mengikat semua pemangku DAS. Sebagai langkah awal perlu dibuat prototipe lembaga pengelolaan DAS terpadu yang legitimate. Artinya bahwa perlu suatu “payung hukum” yang mengikat semua pemangku berupa peraturan perundangan-undangan serta turunannya sebagai pedoman dalam menjalankannya. Dengan demikian maka kendala utama yang selama ini dirasakan soal koordinasi, integrasi, sinkronisasi, sinergitas (KISS) yang lemah dan sulit terlaksana serta dukungan dana yang tidak jelas bisa tereleminasi. Disamping itu slogan “siabudiba” (siapa, berbuat apa, dimana, dan bilamana) dalam pengelolaan
55
DAS akan lebih jelas dan bisa terlaksana dengan baik. Prakondisi pembentukan prototipe kelembagaan DAS terpadu adalah: - Adanya peraturan perundangan-undangan serta turunannya sebagai pedoman dalam menjalankannya yang bersifat mengikat semua pemangku DAS - Memanisme penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu harus link dengan proses perencanaan di Pemda/SKPD sebagai bagian dari pemangku DAS. Dengan demikian dihasilkan perencanaan yang dapat dijalankan oleh semua pemangku, baik itu intansi pusat maupun instansi daerah. - Hal yang paling krusial adalah adanya dukungan dana yang jelas, kontinu, legal dan akuntabel. Bila prakondisi diatas sudah dilakukan maka berlanjut kepada pembentukan Prototipe Kelembagaan DAS terpadu. Prototipe Kelembagaan DAS terpadu bisa berjalan secara baik bila: - Ada issu pokok yang menjadi prioritas penanganan - Ada role of the game yang jelas - Kualifikasi SDM yang memadai - Ada sumber dana yang jelas, kontinu dan legal. G.
Strategi Pengelolaan DAS Lintas Daerah Penggunaan SDA yang meliputi beberapa wilayah perlu diatur oleh strategi pengelolaan DAS secara terpadu, menyeluruh, fleksibel, efisien, dan berkeadilan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Dari uraian diatas terlihat bahwa kapasitas untuk mengelola DAS secara berkelanjutan masih lemah . Untuk itu diperlukan kegiatan peningkatan kapasitas (Capacity building) yang sistematis secara terus menerus. Strategi yang dapat ditempuh dalam peningkatan kapasitas dan untuk menghindari terjadinya konflik antar wilayah adalah : 1. Membangun Kesepahaman dan Kesepakatan Masing-masing daerah otonom perlu memahami mekanisme hidrologis yang berjalan secara alami dalam penggunaan SDA lintas regional. Mekanisme hidrologis menekankan adanya karakteristik ketergantungan/interdependensi (interdependency) antar spasial. Sebagai contoh terjadi penurunan penutupan lahan di bagian hulu DAS dapat mengakibatkan terjadinya banjir saat musim hujan di bagian hilir, dan meningkatnya buangan limbah di bagian hulu dapat menurunkan kualitas air aliran sungai di hilirnya.
56| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
Masalah ketidakmerataan dan ketidakefisienan penggunaan alokasi SDA yang mencakup kuantitas dan kualitasnya sering memicu timbulnya konflik antar daerah. Daerah yang memiliki sumberdaya lebih dan cenderung menguasainya secara eksklusif akan mengancam daerah-daerah lainnya sepanjang DAS. Penguasaan secara eksklusif bersifat kaku akan memicu terjadinya inefisiensi sumberdaya dan meningkatkan biaya pemakaian sumberdaya serta memicu konflik. Beragam aktifitas pembangunan yang dilakukan sepanjang DAS selalu saling terkait, sehingga untuk menghindari terjadinya konflik dalam pemanfaatan SDA perlu dibangun kesepakatan antar daerah otonom. Dasar kesepakatan adalah komitmen bersama untuk membangun sistem pengelolaan DAS yang berkelanjutan yang melandaskan setiap strategi pada upaya untuk mencapai keseimbangan dan keserasian antara kepentingan ekonomi, ekologis, dan sosial budaya. Komitmen bersama antar daerah otonom adalah strategi awal yang perlu dilakukan untuk menyusun langkahlangkah pengelolaan DAS. Salah satu faktor dari ketidakberhasilan pengelolaan DAS selama ini adalah tidak dibangunnya komitmen bersama antar daerah secara baik. Wujud dari komitmen bersama adalah munculnya perhatian dan tanggung-jawab bersama terhadap kelestarian SDA pada setiap unit kegiatan pembangunan di daerah masing-masing. Proses untuk mencapai komitmen bersama dapat ditempuh dengan melakukan negosiasi politik antar daerah yang didasarkan pada adanya kepentingan bersama dalam memanfaatkan SDA, sehingga alokasi dan distribusi SDA dapat ditetapkan secara adil. Kerjasama antar daerah otonom dapat diwujudkan dengan membentuk Badan Kerjasama antar Daerah (Pasal 87 ayat 2, UU No. 22/1999). Keputusan bersama yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapat persetujuan DPRD masing-masing. Jika Kabupaten/Kota tidak dapat melaksanakan kerjasama antar daerah, maka kewenangan penyediaan pelayanan lintas kabupaten/kota dilaksanakan oleh Provinsi. Apabila kerjasama antar Provinsi diperlukan maka kerjasama tersebut harus dibawah koordinasi pemerintah pusat. Kewenangan provinsi juga mencakup kewenangan yang tidak dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota karena dalam pelaksanaannya dapat merugikan Kabupaten/Kota masing-masing. Jika pelaksanaan kewenangan Kabupaten/Kota dapat menimbulkan konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota, maka Kabupaten dan Kota dapat membuat kesepakatan agar kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Provinsi.
57
2. Membangun Sistem Legislasi yang Kuat Kebijakan publik dalam aspek pengelolaan sumberdaya alam akan memiliki kekuatan untuk mengendalikan perilaku masyarakat (publik) apabila dikukuhkan oleh sistem legal (hukum) yang memadai. Legislasi dalam pengelolaan DAS sangat diperlukan terutama dalam merancang dan mendukung pelaksanaan kebijakan pengelolaan DAS. Beberapa peran legislasi dalam menjamin pelaksanaan pengelolaan DAS yang baik adalah : a. Adanya Undang-undang, keputusan presiden, atau produk hukum lainnya yang dapat dijadikan dasar untuk membentuk institusi dan perangkat organisasi yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan pengelolaan DAS berkelanjutan. b. Untuk melegalisasi mandat yang diterima oleh institusi yang dibentuk dan menjamin sahnya alokasi anggaran rutin yang diberikan oleh pemerintah c. Untuk mengurangi aktivitas yang menimbulkan kerusakan lingkungan dalam DAS dan “memaksa” publik untuk mentaati prinsip-prinsip pengelolaan DAS berkelanjutan. Legislasi lingkungan dapat mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya alam, seperti lahan, air, udara, mineral, hutan dan lanskap alam. Perilaku manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam diberi pedoman agar tidak menimbulkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Legislasi memberikan kekuatan (power) dan kewenangan (authorities) kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk berdasarkan undangundang untuk melakukan pengaturan, penguasaan, pengusahaan, pemeliharaan, perlindungan, rehabilitasi, pemberian sanksi, penyelesaian konflik dan sebagainya, dalam mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alam dan lingkungan untuk mewujudkan tujuan pengelolaan sumberdaya alam yang dikehendaki (sustainable natural resources development) Produk legal harus menempatkan prinsip keadilan dan kemanfaatan sebagai pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan DAS. 3. Meningkatkan Peranan Institusi Pengelolaan DAS. Institusi atau kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mengatur apa yang dilarang untuk dikerjakan oleh individu atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, institusi adalah
58| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
instrumen yang mengatur antar individu. Institusi sebagai modal dasar masyarakat (social capital) dapat dipandang sebagai aset produktif yang mendorong anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktifitas anggotanya secara keseluruhan. Ikatan institusi masyarakat yang rusak secara langsung akan menurunkan produktifitas masyarakat dan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam disekitarnya (Kartodihardjo et al., 2000). Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat kepemilikan (property rights) sumberdaya, batas-batas kewenangan (jurisdiction boundary) masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya, dan aturan-aturan perwakilan (rules of representation) dalam memanfaatkan sumberdaya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi pemerintah merupakan institusi formal yang menjadi agen pembangunan dan berperan sentral dalam menentukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kinerja institusi sangat tergantung dari kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya. Penguatan institusi dalam pengelolaan DAS dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan DAS. Kondisi institusi yang kuat merupakan prasyarat penyelenggaraan pengelolaan DAS yang baik. Kinerja institusi pengelolaan DAS di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, bahkan Thailand. Ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang masih tinggi dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan merupakan indikator lemahnya institusi pengelolaan DAS di Indonesia. Institusi pengelolaan DAS yang ada di Indonesia belum memiliki peranan yang kuat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam DAS. Pengembangan kelembagaan masih bersifat keproyekan, sehingga intervensi penguatan institusi hanya berjalan selama proyek masih ada. Instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS di Indonesia sebagai institusi formal cukup beragam. Kendala yang sering dihadapi antara lain adalah masalah koordinasi program; seringkali program yang sama atau mirip diusulkan oleh instansi yang berbeda. Duplikasi program akan menyebabkan ketidakefisienan anggaran berupa pemborosan dan mark-up, ketidaksinambungan pembinaan program, serta ketidakjelasan rentang kewenangan pengelolaan DAS. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS di Indonesia belum menerapkan
59
prinsip strategi satu perencanaan (one plan strategy) dengan baik, sehingga tingkat keberhasilan program pengelolaan DAS masih rendah. Prinsip one river one plan belum diimplementasikan secara menyeluruh. 4. Meningkatkan Kualitas SDM Kualitas sumberdaya manusia untuk pengelolaan SDA secara umum masih rendah dan terdapat kesenjangan di seluruh daerah otonom. Kemampuan petani, perencana pengelolaan DAS, pejabat yang melaksanakan pengelolaan DAS masih sangat rendah untuk mengelola SDA secara berkelanjutan dan menerapkan prinsip one river one plan. Petani tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang tindakan tepat apa yang harus dia lakukan didalam usahataninya agar tidak terjadi degradasi lahan yang dapat menurunkan produktivitas lahannya. Para penyuluh pun tidak dibekali pengetahuan dan pedoman yang memadai untuk membimbing petani dalam memilih dan menerapkan agroteknologi atau teknik-teknik konservasi yang memadai. Pejabat yang berwenang menentukan kebijakan pun tidak punya pemikiran dan konsep yang menyeluruh (holistic) untuk mengelola SDA secara berkelanjutan dalam suatu DAS. Oleh sebab itu diperlukan program pelatihan yang sistematis secara terus menerus untuk meningkatkan kapasitas individu/SDM dalam pengelolaan SDA agar prinsip pembangunan berkelanjutan terlaksana diseluruh DAS dan daerah otonom. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Bentuk kelembagaan yang paling sesuai dalam pengelolaan DAS lintas kabupaten saat ini adalah kelembagaan kolaboratif baik itu berupa Forum DAS atau Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS (LK-PDAS). Anggota lembaga ini adalah pimpinan instansi di daerah/SKPD. Lembaga ini bersifat non struktural dan bertanggung jawab langsung ke Gubernur sebagai pemegang otoritas kebijakan. Forum DAS/LKPDAS berfungsi sebagai wadah komunikasi, konsultasi dan koordinasi antar para pihak terkait untuk membantu Gubernur merumuskan kebijakan pengelolaan DAS lintas kabupaten. 2. Forum/Lembaga Koordinasi DAS bukan lembaga eksekutif pengelolaan DAS karena pelaksanaan pengelolaan DAS tetap dilakukan oleh lembaga atau instansi teknis kementerian dan satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) sesuai kewenangan dan tupoksinya masing-masing.
60| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
3.
4.
5.
6.
7.
8.
B. 1.
2.
Perencanaan pengelolaan DAS terpadu yang telah disusun harus masuk dalam tahapan dan mekanisme penyusunan rencana pembangunan nasional sesuai dengan UU. No.25 tahun 2004 yaitu melalui MUSRENBANGDA. Program pengelolaan DAS terpadu mau tidak mau harus masuk dalam program pembangunan nasional jangka panjang dan menengah (RPJP & RPJM) sehingga dapat dijalankan di level kabupaten maupun provinsi (sikron dengan RKPD) dan disyahkan oleh pejabat yang berotoritas tinggi agar mendapat legitimasi yang kuat dan dapat diikuti instansi SKPD dan instansi vertikal kementerian teknis. Optimalisasi peran dan fungsi Forum DAS atau LK-PDAS sangat ditentukan oleh dukungan intansi pemerintah terutama soal kebijakan dan pendanaannya. Sumber perdanaan pengelolan DAS terpadu untuk SKPD adalah APBD dan dana tugas pembantuan dari pusat berupa DAK serta pihak ketiga/lembaga donor, sedangkan UPT kementerian bersumber dari APBN. Semua sumber pendanaan untuk pengelolaan DAS dikoordinasikan melalui forum DAS atau LK-PDAS untuk mensinkronkan dengan kegiatan agar prinsip one river, one plan, multi manajemen bisa terealisasi. Strategi pengelolaan DAS dalam era otonomi daerah harus dilakukan melalui peningkatan kapasitas (capacity building) daerah yang meliputi : (a) membangun kesepahaman dan kesepakatan antar daerah otonom dalam pengelolaan SDA; (b) membangun sistem legislasi yang kuat; dan (c) meningkatkan peranan institusi (kelembagaan) dalam pengelolaan SDA dan (d) meningkatkan kapasitas SDM melalui pelatihan (training). Saran Keterpaduan pengelolaan DAS akan jelas terlihat bila program dan perencanaan pengelolaan DAS terpadu dapat diimplementasikan ditingkat tapak. Untuk itu dukungan penganggaran yang jelas dan kontinyu dari institusi yang terlibat merupakan kebutuhan mutlak sebagai motor penggerak kelembagaan pengelolaan DAS terpadu. Perlu ada suatu pilot project implementasi pengelolaan DAS terpadu dimana dalam satu DAS prioritas tertentu semua unsur terkait terlibat melaksanakan kegiatan pengelolaan DAS secara bersama-sama sesuai
61
dengan tupoksi dan rencana kerjanya dalam satu bingkai rencana untuk membuktikan sejauh mana keterpaduan seperti dalam konsep pengelolaan DAS terpadu dapat diwujudkan. DAFTAR PUSTAKA Bryson, J,M. 2003. ”what to do when stakeholder matter; a guide to stakeholder identification and analysis techniques. University of minnoseta Kementerian Kehutanan. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ditjen RLPS Dit. RLKT. Kementerian Kehutanan –a. 2001. Eksekuitf. Planologi Kehutanan. Jakarta.
Data Strategis Kehutanan.
Badan
Kementerian Kehutanan –b. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. DitJen. RLPS. Dit. RLKT. Jakarta. Kementerian Kehutanan dan Perkebunan RI. 2000. Pedoman Survey Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia (PSSEKI). P2SE. Bogor Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu, U. Sudadi, dan N. Nuryantono. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS danKonservasi Tanah. K3SB. Bogor. Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, dan U. Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Kerr, John. 2007. “Watershed management; Lessons from common property theory”. International Journal of The Commons 1(1):89-109. publisher: Igitur Utrecht Publishing & Archiving Services For IASC. Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri; Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum, No.19 tahun 1984 – No.059/Kpts-II/1984 – No.124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984, tentang Penanganan Konservasi Tanah dalam Rangka Pengamanan Daerah Aliran Sungai Prioritas. Yudono, H. dan Iwanuddin. 2008. Kelembagaan dan nilai air DAS: Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai saat ini (Pengalaman dari Sub DAS Mararin, DAS Saddang, Tana Toraja). Prosiding Penelitian Puslit Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
62| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah ( RLKT ) Berbasis Perilaku Petani (Studi Kasus RLKT pada Lahan Kering Berlereng di DTA Tondano)1 Hengki Djemie Walangitan2 ABSTRAK Perilaku petani sebagai faktor non ekonomi seringkali diabaikan dalam perumusan kebijakan akibatnya program rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) tidak sepenuhnya diadopsi dan terimplementasi secara berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan keragaan usahatani konservasi serta menganalisis kebijakan RLKT yang bersesuaian dengan perilaku petani di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Tondano. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 77 % keragaan usahatani konservasi di DTA Danau Tondano tergolong kategori sedang hingga baik. Keragaan tersebut dipengaruhi oleh faktor umur, persepsi, dan luas aset lahan kering dan sawah yang dikuasai. Keragaan konservasi tanah juga berbeda secara signifikan antar wilayah sub DTA. Berdasarkan analisis perilaku tersebut maka strategi perbaikan kualitas konservasi tanah dilakukan dengan pendekatan sub DTA sebagai berikut : (1) sub DTA bagian timur adalah pengembangan sistem agroforestry tertata dengan tanaman cengkeh sebagai komoditas basis, (2) di sub DTA bagian barat adalah pengembangan sistem usahatani konservasi berbasis pangan dan ternak sapi (jagung-strip rumput hijauan ternak), dan (3) di sub DTA selatan dirancang dalam sistem agroforestry basis tanaman hortikultura. Penanaman pohon penghasil serasah/bahan organik untuk menjamin kesehatan tanah dalam jangka panjang. Kata kunci: perilaku, keragaan, agroforestry
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano memiliki peran vital dan strategis bagi perekonomian wilayah. Fungsi ekonomi dan ekologis tersebut telah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Utara, melalui manfaat langsung (tangible) dan tidak langsung 1
2
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014. Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Unsrat Manado; Jln. Kampus Unsrat Kleak Manado 95115 phone 0431-862768 fax 0431-86278; Email: hengki
[email protected].
63
(intangible). Kebijakan pemerintah untuk mempertahankan eksistensi ekosistem DAS Tondano khususnya pada wilayah DTA Danau Tondano dilakukan dengan menetapkan DAS Tondano sebagai satu diantara 22 DAS prioritas di Indonesia pada Tahun 1984, selanjutnya pada tahun 2012 pemerintah mempertegas status DAS Tondano sebagai DAS strategis nasional. Upaya pengelolaan DAS Tondano telah dimulai jauh sebelum negara Indonesia merdeka yaitu melalui kegiatan relokasi penduduk di sekitar danau ke wilayah baru dalam program kolonisasi sekitar tahun 1930-an. Rehabilitasi lahan telah dilakukan sejak Repelita I, melalui program penyelamatan tanah dan air (Inpres Reboisasi dan Penghijauan Tahun 1976–1998) hingga program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) tahun 2003–2009. Realisasi program GNRHL di wilayah DAS Tondano sejak tahun 2003 hingga tahun 2005 meliputi 93 lokasi hutan rakyat dan 37 lokasi reboisasi (BPDAS Tondano, 2008). Sasaran rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) pada kawasan budidaya DAS Tondano tercantum dalam dokumen Rencana Pengelolaan DAS Terpadu (RPDAST) Tahun 2008 adalah sebagai berikut : (1) memperbaiki kualitas lahan (kesuburan biologis dan kimia) dalam mendukung produktivitas pertanian berkelanjutan, (2) menurunnya laju erosi tanah pada lahan pertanian hingga pada kategori sangat ringan, (3) meningkatkan kesadaran dan keterampilan masyarakat dalam upaya mengimplementasikan konservasi dan rehabilitasi lahan dalam sistem usaha tani, dan (4) terwujudnya sistem pemanfaatan lahan pertanian berdasarkan kemampuan lahan untuk mendukung pemanfaatan lahan yang lestari (BPDAS Tondano, 2008). Lebih lanjut diuraikan bahwa kebijakan yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan DAS terpadu adalah sebagai berikut : (1) mengintegrasikan sistem konservasi tanah dan air dalam program revitalisasi pertanian yang dicanangkan pemerintah, (2) mengembangkan sistem usahatani ramah lingkungan seperti pertanian organik dan usahatani konservasi, (3) revitalisasi peran penyuluh pertanian, (4) membatasi konversi lahan pertanian produktif untuk tujuan non produksi pertanian, dan (5) menciptakan nilai tambah produk pertanian dengan mengembangkan industri-industri yang berbasis hasil pertanian. Menurut Soemarno (2004), terdapat dua sub sistem yang harus dipelajari dalam rangka pengembangan kebijakan RLKT secara
64| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
berkelanjutan yaitu : (a) sosio-sistem, ditelusuri melalui pola hidup masyarakat, tingkat pengetahuan dan pendidikan, kesehatan, pendapatan perkapita dan tingkat kepedulian terhadap potensi sumberdaya alam dan lingkungannya, serta (b) tekno-sistem, ditelusuri berdasarkan aspek penggunaan tanah baik untuk penerapan teknologi budidaya, industri, maupun pemanfaatan lainnya yang erat kaitannya dengan konservasi tanah. Kebijakan yang tepat untuk mendorong terimplementasinya konservasi tanah pada tingkat usahatani secara berkesinambungan, hanya dapat dikembangkan jika didukung oleh informasi yang lengkap terutama berkaitan dengan perilaku sosial ekonomi dan budaya konservasi masyarakat suatu wilayah. Pagiola (1998) mengatakan bahwa tanpa pemahaman yang jelas mengenai alasan petani mengadopsi konservasi tanah dalam sistem penggunaan lahan tidak mungkin membuat kebijakan yang tepat bagi terlaksananya sistem usahatani konservasi secara berkelanjutan. Perilaku petani sebagai faktor non ekonomi dalam farming sistem telah menjadi bahan kajian yang menarik pada beberapa tahun terakhir. Hal ini terkait dengan fenomena adanya perbedaan yang sangat mencolok produktivitas lahan antara negara maju dan negara berkembang. Demikian juga dalam konteks lokal, sering dijumpai perbedaan produktivitas dan kesejahteraan petani pada suatu agroekosistem yang sama. Kajian perilaku usahatani konservasi berkaitan dengan apa yang dilakukan pada masa lalu, masa sekarang dan apa yang mereka rencanakan untuk dilakukan pada masa yang akan datang. Menurut Silalahi (2010) kajian perilaku mempertanyakan siapa mengerjakan apa, kapan, dimana dan mengapa. Wujud aktual sistem usahatani termasuk teknik konservasi tanah yang diterapkan petani pada suatu wilayah dan waktu tertentu dapat menjadi gambaran perilaku petani. Studi keragaan usahatani konservasi sebagai potret perilaku petani umumnya menggunakan pendekatan logit atau probit (Pereira, 2010). Model logit dan probit pada prinsipnya hanya menilai keragaan konservasi tanah dengan melihat apakah petani mengadopsi atau tidak mengadopsi (adopters or non-adopters) terutama teknik konservasi mekanis. Pada kenyataannya berbagai penelitian menyimpulkan bahwa tingkat adopsi teknologi konservasi sangat bervariasi baik mekanis maupun vegetatif. Oleh sebab itu penilaian tingkat adopsi harusnya yang mencakup semua parameter konservasi tanah dalam model intensitas adopsi yang dinyatakan
65
dalam bentuk nilai indeks keragaan tidak hanya dalam model logit dan probit. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi keragaan usahatani konservasi pada lahan kering berlereng di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Tondano sebagai wujud aktual perilaku petani dan menjadi dasar dalam pengembangan kebijakan perbaikan kualitas konservasi tanah dan air untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. B. Tujuan Penelitian Secara spesifik penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis keragaan usahatani konservasi sebagai wujud aktual perilaku petani dalam menerapkan konservasi tanah dan air, (2) menganalisis hubungan antara aspek sosial ekonomi dengan keragaan usahatani konservasi di DTA Danau Tondano, dan (3) Mengelaborasi perilaku usahatani konservasi dalam rangka pengembangan kebijakan konservasi tanah dan air secara berkelanjutan. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah daerah tangkapan air (DTA) Danau Tondano wilayah DAS Tondano Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Secara geografis wilayah studi terletak antara 10 06' - 10 20' LU dan 1240 45' - 1240 58' BT, terletak pada ketinggian 700-1000 m dpl dengan luas 18.466,95 ha. Berdasarkan administrasi pemerintahan wilayah studi mencakup 9 kecamatan yang terdiri atas 69 desa. Wilayah studi terbagi atas tiga sub DTA yaitu: sub DTA bagian Timur Danau, sub DTA bagian Barat dan sub DTA bagian Selatan. Secara spasial wilayah studi disajikan pada Gambar 1. Dari aspek sosial budaya ke tiga wilayah sub DAS mewakili tiga sub etnis di Minahasa. Sub Etnis Tolour di sub DAS Timur dan sebagian besar DTA Barat, sub etnis Tontemboan di DTA Selatan dan sub etnis Tombulu di daerah penggunungan DTA Barat. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan dimulai pada bulan Agustus 2010 hingga bulan Mei 2011. B. Metode Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey dan pengamatan lapangan. Unit analisis sosial ekonomi adalah rumah tangga petani lahan kering di daerah hulu pada beberapa zona agroekosistem di DTA danau Tondano. Penentuan sampel ditetapkan dengan metode cluster sampling.
66| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
Wilayah studi dibagi atas tiga wilayah pertanian lahan kering berdasarkan jenis tanaman budidaya dominan serta perbedaan fisik lahan (lereng dan tekstur tanah) sebagai gambaran perbedaan agroekosistem. Sampel diambil dengan teknik kombinasi antara stratified sampling dan cluster sampling (Siregar, 2010). Pada setiap zona tersebut ditetapkan desa-desa sampel secara proporsional selanjutnya di tingkat desa sampel responden ditetapkan secara purposif sesuai dengan nama pemilik yang telah disurvey kebunnya. Penentuan Jumlah sampel ditetapkan dengan menggunakan rumus (Parel et al., 1973) sebagai berikut :
n=
………………………………………………………….(1) dimana,
n N
: :
z d p
: : :
jumlah responden yang akan diambil Jumlah seluruh unit populasi (Nh1 + Nh2 + Nh3 = Jumlah petani lahan kering pada masing-masing zona/cluster) nilai variable random (dikehendaki signifinance level 95%, maka z = ,960) Maksimum error yang masih diterima 10 %, maka d = 0,10 proporsi perkiraan yang bisa dijangkau adalah 50 % sehingga p = 0,5
Jumlah responden pada masing masing zona ditetapkan dengan rumus sebagai berikut :
N1 =
…………………………………………………………….…….….(2)
dimana, n1 Nh1 n
: : :
Jumlah sampel yang diambil pada kluster ke 1 Jumlah unit populasi pada cluster 1 jumlah seluruh sampel yang diambil berdasarkan rumus
Selanjutnya jumlah sampel untuk cluster/zona 2 dan 3 dihitung sebagai berikut :
N2 =
;
N3 =
………………………………………..(3)
67
Hasil perhitungan jumlah sampel pada setiap cluster berdasarkan persamaan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perhitungan jumlah responden rumah tangga (RT) tani. Wilayah DTA Sub DTA Selatan (N-i) Sub DTA Barat (N2) sub DTA Timur (N3) Jumlah (N)
Jumlah RT
% RT Tani
9961
80
Jumlah RT Tani (Nhi) 7968
Jumlah RT Contoh 48
5426
75
4069
24
5172
80
4137
25
19659
-
15030
97
Keterangan : Jumlah rumahtangga tani diperoleh dari data kecamatan dalam angka tahun 2010
C. Analisis Data Penilaian keragaan usahatani konservasi dilakukan dengan metode skoring dan pembobotan terhadap komponen usahatani konservasi yang menggambarkan efektifitas pengelolaan tanah dan tanaman serta perlakuan lainnya dalam mengendalikan erosi dan perlindungan kesuburan tanah. Unsur sub sistem usahatani meliputi jenis tanaman dan sistem penanaman (pengaturan ruang), persentase tanaman permanen, pemupukan dan pemberian mulsa. Sedangkan sub sistem konservasi tanah meliputi terasering dan intensitas pengolahan tanah. Metode penilaian keragaan usahatani konservasi tanah dibuat dengan memodifikasi cara penilaian dan pembobotan tingkat adopsi teknologi konservasi yang dikembangkan Departemen Kehutanan (1998) dalam Pedoman Penyusunan RTL-RKLT serta metode Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan (Lampiran 1 Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.60/Menhut-II/2009). Secara garis besar pembobotan setiap indikator dan kriteria disajikan pada Tabel 2. Selanjutnya nilai keragaan usahatani konservasi tanah pada suatu unit usahatani dihitung dengan rumus berikut :
∑
................................................................(4)
dimana, KTAi = Nilai keragaan konservasi tanah dan air suatu unit usahatani/kebun ke i Tsi = Total skor penilaian kriteria i Nmi = Nilai maksimum kriteria i N = Jumlah kriteria Bi = Bobot untuk kriteria I
68| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
Nilai interval kelas untuk penentuan kriteria ditentukan melalui pengurangan nilai skor tertinggi dikurangi nilai skor terendah dibagi jumlah kriteria : dimana, I = Interval Kelas Nt = Nilai skor tertinggi Nr = Nilai Skor terendah K = Jumlah kriteria Analisis data menggunakan statistik deskriptif untuk mengekplorasi perbedaan keragaan konservasi tanah antar wilayah sub DTA dan statistik non parametrik (Rank Spearman) digunakan untuk analisis korelasi antara keragaan dengan faktor sosial ekonomi. Analisis tersebut menggunakan paket program SPSS 18. Tabel 2. Metode penilaian keragaan konservasi tanah pada satuan unit usahatani lahan kering kriteria indikator 1. Perlakuan Mekanis Efektivitas pengendalian erosi secara mekanis
Intensitas pengolahan tanah
Parameter
Bentuk, ukuran dan kesesuaian dengan Lereng
Pengolahan tanah (frekwensi pengolaha tanah/tahun) 2. Perlakuan Agronomis Tingkat penutupan Komposisi lahan oleh tanaman tanaman permanen dan tanaman semusim yang dinyatakan dalam persentase
Standar penilaian
Nilai
a. b. c. d.
Tanpa teras teras sederhana teras gulud baik Teras bangku
0 1 2 3
a. b. c. d.
Intensif Agak intensif Minimal Tanpa olah tanah
0 1 2 3
a. b. c. d.
1-25 26-50 51-75 76-100
1 2 3 4
Bobot nilai 40 25
15
60 25
69
kriteria indikator
Pemeliharaan kesuburan tanah
Parameter
Standar penilaian
Pengaturan ruang tanaman dan sistem penanaman
a. Penanaman memotong kontur b. Tanam acak c. Sistem penanaman teratur menurut kontur a. Tanpa pupuk b. Pupuk c. Pupuk anorganik
Tingkat penggunaan Pemupukan organik dan anorganik Pemberian mulsa
a. Tanpa mulsa b. Mulsa anorganik c. Mulsa organik
Nilai 0
Bobot nilai 15
2 A4 0 2 A
10
0 2 4
10
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kuantifikasi Keragaan Usahatani Konservasi Secara umum keragaan konservasi tanah di wilayah studi ditentukan oleh jenis komoditas utama yang dibudidayakan, kondisi lereng dan sifat fisik tanah (khususnya tekstur dan struktur). Fenomena ini dapat dijelaskan melalui social judgment theory (Pareira 2011). Asumsi teori tersebut adalah bahwa alternatif yang dipilih petani ditentukan oleh persepsi. Persepsi tersebut dibentuk oleh kondisi lingkungan serta pengalaman petani. Wujud aktual bentuk konservasi tanah yang diaplikasikan dilapangan menggambarkan perilaku petani. Berdasarkan hasil inventarisasi dan pengamatan lapangan sistem usahatani di DTA Danau Tondano, dapat dibedakan dalam 3 bentuk yaitu (1) usahatani tanaman semusim berteras (hortikultura dan palawija), (2) usahatani tanaman perkebunan campuran (cengkeh+pangan+buah-buahan) dan (3) usahatani tanaman kayu-kayuan (hutan rakyat). Hasil analisis keragaan rentang nilai keragaan maksimum bernilai 80 dan minimum bernilai 27,9. Nilai Indeks keragaan maksimum bila pada suatu unit usahatani dari aspek konservasi secara mekanis menerapkan terasering yang sesuai, pengolahan tanah minimal, dan dari aspek vegetatif/agronomis penggunaan lahan sesuai lereng (perbandingan tanaman semusim dan tanaman permanen (pohon), terdapat pengaturan tanaman yang ideal serta ada upaya pemeliharaan kesuburan tanah seperti
70| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
penggunaan pupuk organik dan anorganik yang berimbang dan penggunaan mulsa alamiah. Nilai skor minimum adalah kondisi sebaliknya, dimana usahatani yang dilakukan tanpa terasering, penggunaan lahan tidak sesuai lereng, pengaturan tanaman dalam ruang lahan tidak teratur serta tidak ada upaya pemeliharaan kesuburan tanah (pemberian mulsa dan bahan organik), walaupun terdapat penanaman pepohonan di lahan milik. Nilai keragaan konservasi tanah selanjutnya diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kategori berdasarkan persamaan (4) yaitu keragaan Baik (Indeks >75.96), Keragaan sedang (indeks 52 - 75.96), dan keragaan jelek (indeks < 52 ). Tabel 3. Keragaan Konservasi Tanah Menurut Wilayah sub DTA Kategori keragaan Baik Sedang Jelek T Hasil analisis ot al
Barat 0 7 13 20
Wilayah SUB DTA Selatan ...Jumlah unit usaha Tani... 1 27 2 30
Timur 1 18 1 20
Total 2 52 16 70
Selanjutnya dilakukan analisis Chi-Square untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan nilai keragaan konservasi tanah pada setiap sub DTA. Hasil uji Pearson Chi-Square (Tabel 4) didapatkan nilai X2 hitung > X2 tabel 4 (005) dengan probabilitas (p 0.00 < 0.05) dengan berarti bahwa terdapat perbedaan sangat signifikan tingkat persepsi masyarakat di 3 (tiga) wilayah sub DTA. Tabel 4. Hasil analisis Chi-Square perbedaan keragaan usahatani konservasi tanah menurut wilayah sub DTA. Statistik uji
Nilai
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio N of Valid Cases
28.505a 27.367 70
4 4
.000 .000
a. 5 cells (55.6%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .57.
Kualitas konservasi secara mekanis dalam bentuk terasering ada hubungannya dengan jenis tanaman yang dibudidayakan, kondisi lereng, tekstur dan kedalaman tanah. DTA Selatan didominasi tanah tekstur lempung berpasir dengan kedalaman tanah >100 cm dengan lereng landai hingga agak curam, sangat cocok untuk budidaya tanaman palawija dan
71
hortikultura. Petani di sub DTA Selatan telah menerapkan sistem terasering guludan kategori cukup baik pada usahatani palawija (jagung dan kacangkacangan) demikian juga pada usahatani hortikultura. Sebaliknya di DTA Barat lahan berlereng didominasi oleh tekstur tanah liat berbatu halus sampai kasar. Kondisi fisik tanah tersebut membatasi pilihan jenis tanaman yang dibudidayakan serta memiliki kendala dalam mengembangkan sistem teras yang lebih baik. Tanaman yang banyak dibudidayakan di DTA Barat adalah jagung dan kacang tanah dengan sistem terasering sederhana dengan kategori jelek.
Gambar 18. Perbedaan keragaan usahatani konservasi pada setiap wilayah Sub DTA Unsur pohon sebagai tanaman permanen merupakan komponen penting dalam sistem usahatani konservasi karena berpengaruh pada proses biofisik dan biokimia tanah dan sangat menentukan kesehatan tanah (Subhrendu and Mercer, 1996). Keputusan petani menanam pohon memiliki tujuan sederhana. Umumnya berorientasi pada tujuan ekonomi, estetika dan tujuan lingkungan (pengendalian erosi dan peneduh). Di sub DTA bagian barat, pohon ditanam sebagai tanaman tepi dan sebagian besar adalah ditanam untuk kebutuhan kayu bakar seperti gamal (Glirisidia sp.) dan jeunjing (Caliandra sp.), sedangkan di sub DTA Selatan, pohon ditanam lebih teratur baik sebagai pohon peneduh, penyubur tanah juga untuk tujuan ekonomi yaitu untuk kayu bangunan dan kayu bakar. Sebaliknya di sub DTA Timur, pohon untuk penghasil kayu perkakas seperti nantu (Palaqium sp.) dan cempaka (Magnolia campaca) sebagian besar ditanam sebagai sisipan di antara tanaman cengkeh atau dalam bentuk hutan tanaman monokultur (hutan rakyat). Penanaman pohon sebagai bagian dari sistem usahatani yang bertujuan agar kesuburan tanah tetap terjaga telah dipahami secara baik oleh petani hortikultura di DTA Selatan khususnya di daerah lahan kering
72| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
berlereng (Desa Tumaratas, Toure dan Noongan). Berdasarkan hasil wawancara petani secara sengaja menanam pohon kanonang (Cordia blancoi) diantara tanaman hortikultura (tomat) untuk tujuan peneduh sekaligus konservasi tanah khususnya terkait dengan bahan organik tanah. Pohon kanonang pada dasarnya memiliki kualitas kayu yang tidak cocok untuk dijadikan bahan bangunan, namun tumbuh subur dan tahan pangkas. Pohon tersebut ditanam dengan jarak sekitar 10 x 10 m dan pada saat telah tumbuh dipangkas secara periodik mengikuti pola rotasi tanam. Pada saat tanaman akan diolah kembali untuk penanaman pada rotasi berikutnya pohon tersebut dipangkas dan hasil pangkasan dibiarkan selama beberapa hari hingga daun rotok kemudian kayunya diambil sebagai kayu bakar. Inovasi agroteknologi petani di DTA selatan tergolong maju, tingkat adopsi teknologi produksi pertanian terlihat dari penggunaan pupuk anorganik dan organik yang diaplikasikan lewat daun, penggunaan pestisida, herbisida serta teknik konservasi tanah sistem teras dengan konstruksi tergolong baik. Bahkan petani melakukan eksperimen untuk mencoba hal-hal baru (mencampur berbagai pupuk yang tidak direkomendasikan secara umum) untuk mendapatkan produksi tertinggi walaupun secara ekonomi merugikan. Sebaliknya di DTA Timur dan Barat inovasi teknologi relatif lambat dilihat dari jenis komoditas yang terbatas pada budidaya tanaman jagung dan cengkeh yang merupakan komoditas tradisional di wilayah tersebut. Pilihan jenis pohon yang ditanam dalam kaitan dengan rehabilitasi lahan di DTA Danau Tondano juga dipengaruhi oleh aspek sosial budaya. Walangitan (2007) melakukan wawancara terhadap 250 responden dalam rangka monitoring dan evaluasi aspek sosial ekonomi dan budaya pengelolaan DAS Tondano. Hasil survey (Tabel 5), diperoleh informasi bahwa tanaman yang paling disukai petani sebagai pohon penghijauan adalah cempaka (Magnolia campaca) yaitu sebesar 45,16 % dari responden, diikuti tanaman mahoni (Switenia macrophyla) sebesar 29,03 % dan nantu (Palaqium sp.) sebesar 11,69 %. Tabel 5. Jenis-jenis pohon yang disukai masyarakat untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi di DAS Tondano Jenis Pohon Cempaka (M. campaca) Mahoni (S. macrophllya) Nantu (Palaqium sp.)
Jumlah responden 112 72 29
Persentase (%) 45,16 29,03 11,69
73
Jenis Pohon
Jumlah responden
Persentase (%)
Buah-buahan Rotan (Calamus sp.) Aren (Arenga pinnata) Jati (Tectona grandis) Jenis lainnya Jumlah
21 1 2 3 9 248
8,67 0,40 0,80 1,20 3,62 100
Penerapan usahatani konservasi dengan teras guludan dengan kualitas sedang sampai baik , dijumpai pada usahatani hortikultura di Kecamatan Langowan dan Tompaso (sub DTA bagian Selatan). Lahan dengan kemiringan lereng > 25 % ditanami sayur-sayuran dan bedengannya dibuat searah kontur dengan lebar bedeng bervariasi tergantung kemiringan lahan. Namun demikian, aplikasi terasering tersebut belum dilengkapi dengan saluran pembuangan, sehingga erosi dan runoff yang terjadi masih cukup besar. Teras tradisional adalah bentuk teras paling umum diaplikasikan petani terutama dalam usahatani jagung pada lereng > 8 %. Bentuk teras sederhana terbentuk karena pengolahan tanah yang menggunakan cangkul rumput ditimbun membentuk teras searah garis kontur dengan jarak 50-75 cm atau dengan membajak searah garis kontur sehingga membentuk terasering sederhana. Tanaman jagung ditanam di antara barisan teras tersebut dan pada saat penyiangan guludan tersebut dipindahkan sebagai bumbunan di bawah barisan tanaman jagung. Kebiasaan jenis alat pertanian yang digunakan diduga mempengaruhi bentuk teras. Petani di DTA Selatan menggunakan tembilang (sekop) dalam mengolah tanah dan merupakan ciri khas petani di wilayah Selatan. Sebaliknya petani di wilayah DTA Timur dan sub DTA Barat menggunakan cangkul. Perbedaan alat yang digunakan berimplikasi pada cara mengolah tanah. Husain dkk. (2006) melaporkan bahwa cara pengolahan tanah dengan menggunakan cangkul dalam pembuatan teras pada usahatani hortikultura di areal model mikro DAS Rurukan mengakibatkan terjadi tillage erosion yaitu tanah bagian lereng atas suatu unit usahatani berpindah ke bagian bawah. Dengan demikian permukaan tanah di lereng bagian atas mengalami degradasi baik fisik maupun kimia tanah. Penggunaan tembilang (sekop) sebagai alat pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman hortikultura oleh petani di DTA Selatan tidak menyebabkan tillage erosion karena tanah hanya di bolak-balik pada areal
74| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
olah. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa petani sadar bahwa sisa tanaman dan gulma bila telah dibenamkan akan menjadi sumber hara dan dapat mempertahankan kesuburan tanah. Praktek sistem usahatani konservasi tersebut menguntungkan baik dalam pengendalian erosi, juga dalam pengelolaan bahan organik tanah yang berasal dari humifikasi gulma yang dibenamkan dalam tanah pada saat pemeliharaan tanaman. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa menunjukkan bahwa 98 % responden sudah mengaplikasikan sistem terasering dalam sistem usahatani. Teras tradisional umumnya diaplikasikan pada usahatani jagung. Bentuk teras tersebut dijumpai pada lahan datar hingga curam. Sedangkan teras guludan diaplikasikan pada usahatani sayuran serta usahatani kacang tanah. Tabel 6. Hasil wawancara bentuk konservasi tanah secara mekanis diaplikasikan responden Di DTA Danau Tondano Bentuk Konservasi tanah mekanis Teras Tradisional
Jumlah responden 68
Persentase (%) 70.10
Teras Bangku Terasering guludan
4 23
4.12 23.71
Tanpa teras
2
2.00
Jumlah
97
100
Sumber : Hasil survey 2011
B. Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Keragaan Usahatani Konservasi Analisis korelasi (Rank Spearman) untuk mengetahui faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi keragaan konservasi tanah. Hasil analisis korelasi dan tingkat signifikansi masing-masing faktor sosial ekonomi dimaksud secara rinci disajikan pada Tabel 7. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa keragaan konservasi tanah berkorelasi positif dengan faktor karakteristik diri responden yaitu umur dan persepsi serta kondisi aset rumah tangga tani yaitu : luas sawah, luas hutan rakyat, dan luas lahan kering. Faktor umur responden berkorelasi positif dengan keragaan usahatani konservasi. Pengaruh faktor umur tersebut dapat diinterpretasi bahwa makin bertambah umur akan diikuti oleh bertambanya pengalaman bertani serta keearifan dan tanggungjawab dalam pemanfaatan lahan pertanian secara lestari. Namun sebaliknya Nngo Chi dan Yamada (2002) melaporkan bahwa faktor umur berpengaruh negatif terhadap penerapan teknologi baru
75
karena petani berumur lebih tua cenderung mempertahankan kebiasaan bertani yang telah berlangsung lama. Tabel 7. Hasil analisis korelasi keragaan konservasi tanah dengan faktor sosial ekonomi responden Koefisien Korelasi
Sig.
Keterangan
Umur
Faktor Sosial Ekonomi
0.295"
0.007
Sangat signifikan
Pendidikan
0.191
0.133
Tidak signifikan
JATK
-0.95
0.90
Tidak signifikan
Luas Sawah
0.328"
0.03
Sangat signifikan
Luas lahan kering
0.232"
0.27
Signifikan
Luas hutan rakyat
0.284"
.0.007
Sangat signifikan
0.280**
0.350
Sangat signifikan
Pen.non pertanian
0.61
.0.307
Tidak signifikan
Pengeluaran non Pertanian
0.030
0.403
Tidak signifikan
Persepsi
Keterangan : *. Correlation is significant at the 0.05 level (1 -tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Tingkat pendidikan nampaknya tidak memiliki hubungan dengan keragaan usahatani konservasi. Hal ini disebabkan karena rata-rata tingkat pendidikan formal petani di wilayah studi sudah tergolong baik, ditambah lagi dengan informasi yang dapat diterima dari berbagai media pendidikan informal maupun aktivitas penyuluhan yang dilakukan. Walaupun dalam beberapa penelitian menyatakan bahwa faktor pendidikan memberi pengaruh yang sangat signifikan pada adopsi teknologi pertanian sebagaimana dilaporkan Sumantri dan Sukiyono (2011) dan Hossein and Ajoudani (2012). Luas lahan kering berkorelasi positif dengan keragaan usahatani konservasi. Responden yang memiliki lahan kering lebih luas cenderung mengaplikasikan konservasi tanah dan air pada lahan usahanya lebih baik dibandingkan dengan responden yang memiliki lahan sempit. Dari hasil pengamatan di lapangan petani yang memiliki lahan kering yang luas menanami sebagian lahannya dengan pepohonan selain sebagai investasi jangka panjang juga disebabkan oleh keterbatasan biaya dan tenaga kerja untuk mengolah lahan yang luas. Faktor luas hutan rakyat yang dimiliki responden sangat signifikan berkorelasi positif dengan keragaan usahatani konservasi, umur, luas sawah dan luas lahan kering. Responden yang memiliki sawah memiliki persepsi yang lebih baik tentang hubungan antara keberlangsungan produksi
76| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
usahatani sawah dengan ketersediaan air, sebaliknya terdapat pemahaman bahwa ketersediaan air yang kontinyu merupakan prasyarat untuk menjamin produktivitas lahan sawah. Alasan tersebut menjadi dasar untuk melakukan penanaman pohon/rehabilitasi lahan. Dengan demikian temuan dari penelitian ini sejalan dengan Teory of Planned Behavior (Pereira, 2011). Tindakan konservasi tanah didasarkan pada alasan sosial ekonomi untuk mempertahankan produktivitas padi sawah dan persepsi seseorang terhadap pentingnya konservasi tanah bagi perlindungan kesuburan lahan sebagai asset rumahtangga tani dan manfaat yang diberikan bagi pelestarian ekosistem danau Tondano. Kedua alasan tersebut membentuk keyakinan petani untuk bertindak dalam wujud perilaku usahatani konservasi tanah. Persepsi yang telah terbangun tentunya melalui suatu proses baik melalui pendidikan formal maupun informal. Aktivitas penyuluhan dan kampanye pelestarian DAS Tondano yang telah dilakukan sejak ditetapkannya DAS Tondano sebagai DAS Prioritas pada tahun 1980-an. Tingkat kepedulian individu petani terhadap pentingnya pelestarian ekosistem DAS Tondano tergolong tinggi, hal ini dapat dilihat dari bertambahnya animo masyarakat untuk menanam pepohonan di tanah milik serta meningkatnya kesadaran akan pentingnya mejaga kebersihan lingkungan pemukiman. Hampir di semua desa di wilayah DTA Danau Tondano saat ini tergerak secara mandiri maupun lewat program pemerintah untuk menanam pohon. C. Implikasi Hasil Penelitian dalam Pengembangan Kebijakan RLKT Aspek persepsi dan perilaku manusia merupakan sifat inheren yang pada dasarnya bersifat dinamis dan tidak mudah dipahami secara menyeluruh, namun aspek tersebut dapat dinilai dari wujud tindakan. Keragaan usahatani konservasi adalah bentuk atau wujud tindakan yang dengan mudah dapat dinilai. Tindakan ini dilakukan secara sadar oleh petani pada suatu tempat dengan kondisi lahan tertentu. Wujud usahatani konservasi di lapangan bervariasi mulai dari bentuk sederhana berdasarkan kebiasaan turun temurun hingga bentuk ideal yang merupakan hasil dari proses adopsi. Hasil penelitian perilaku usahatani yang telah diuraikan di atas disimpulkan bahwa keragaan usahatani konservasi yang sedang berlangsung saat ini secara kualitatif sudah cukup memadai. Namun perilaku tersebut harus terus didorong kearah yang lebih produktif, efektif
77
dan efisien. Tingkat pendidikan dan pengaruh budaya konservasi masyarakat serta kontribusi kebijakan dan program pemerintah yang dilakukan selama ini di wilayah DTA Danau Tondano telah berhasil meningkatkan persepsi dan memperbaiki keragaan konservasi tanah yang ada. Dinamika perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DTA Danau Tondano dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor internal diantaranya adalah tekanan penduduk, tingkat penguasaan teknologi pertanian, ekspektasi hidup, pola konsumsi dan lainnya. Sedangkan dari aspek eksternal dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam penciptaan lapangan kerja non pertanian serta kebijakan yang terkait dengan pembangunan pertanian. Sebagai contoh, kebijakan pengembangan infrastruktur pertanian (penyediaan irigasi dan jalan kebun) pada kawasan pertanian hortikultura di DTA Selatan telah terbukti mampu mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan kawasan hutan lindung. Dimana dengan kebijakan tersebut telah berhasil meningkatkan produktivitas lahan, sekaligus memperbaiki pendapatan petani dan penyediaan lapangan kerja. Dilain pihak lahan dalam kawasan hutan lindung yang dahulunya sudah dikonversi menjadi lahan pertanian, ditinggalkan dan akhirnya secara suksesif berubah kembali menjadi hutan belukar dan hutan sekunder sehingga fungsi hidrologi dapat dipulihkan. Wilayah DTA Danau Tondano terbagi atas tiga sub DTA yang menggambarkan perbedaan faktor biofisik yang tergambar dalam perbedaan kelas kemampuan lahan. Perbedaan faktor biofisik lahan menghasilkan perbedaan perilaku usahatani konservasi. Pendekatan yang lebih spesifik dalam perencanaan pengelolaan DAS khususnya pada wilayah DTA Danau Tondano harus dilakukan agar program pelestarian hutan tanah dan air lebih efektif dan efisien. Berdasarkan temuan dari penelitian ini baik aspek sosial, ekonomi maupun aspek biofisik, maka pendekatan yang spesifik untuk sub DTA Timur adalah bagaimana merancang pola usahatani konservasi lahan kering berbasis pohon tanpa meninggakan fungsi produksi pangan dalam jangka pendek. Sebaliknya untuk wilayah DTA Selatan pola usahatani berbasis tanaman semusim (tegalan palawija dan hortikultura) dirancang dalam sistem agroforestri agar kesehatan tanah terutama kandungan bahan organik tanah dapat dipertahankan untuk mendukung pertanian berkelanjutan.
78| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
Di wilayah sub DTA Barat kebijakan perbaikan konservasi tanah dilakukan secara bertahap menuju sistem usahatani yang lebih produktif stabil dan lestari dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan kemampuan petani. Kebijakan diarahkan pada perbaikan penutupan lahan oleh vegetasi (konservasi vegetatif) dengan penanaman rumput pada lahan yang rawan erosi. Kebijakan pengelolaan lahan berkelanjutan yang dimaksud diwujudkan dalam bentuk pengembangan usahatani terpadu berbasis ternak sapi tanpa mengabaikan produksi pangan dan fungsi pengendalian erosi. Pola yang sesuai untuk daerah tersebut adalah pengembangan strip rumput hijauan ternak diantara pertanaman jagung khususnya pada lahan dengan kelas kemampuan IVL3. Untuk mendukung usahatani konservasi basis ternak tersebut dan memudahkan diadopsinya teknologi konservasi yang ditawarkan maka perlu dilakukan kegiatan yang bersifat prakondisi sebagai berikut : a. Pengembangan demplot usahatani terpadu ternak sapi dan penanaman rumput. b. Penyuluhan dan pendampingan sistem pemeliharaan ternak sapi yang baik; c. Mengembangkan skema kredit usahatani terpadu yang berbunga rendah; d. Menyiapkan sarana pendukung untuk menjamin perawatan kesehatan ternak. Rumah tangga tani merupakan subjek sekaligus objek dari hasil skenario dalam penelitian ini. Untuk menjalankan solusi usahatani konservasi tersebut petani dihadapkan pada kendala pembiayaan terutama pada tahap investasi. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana skenario ini dapat dilaksanakan dengan kebijakan skema kredit usahatani konservasi sebagaimana yang pernah dijalankan pemerintah pada tahun 1990-an. Beberapa penelitian terkait dengan pemberian kredit usahatani konservasi tersebut menunjukkan prospek dan layak secara ekonomi, sebagaimana dilaporkan Setiawan (1987) dalam perencanaan agroforestri di DAS Konto Jawa Timur dan Tatuh (1986) dalam pengembangan usahatani konservasi lahan kering di hulu DAS Citanduy Jawa Barat. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa 77 % keragaan usahatani konservasi di DTA Danau Tondano tergolong kategori sedang hingga baik. Keragaan tersebut dipengaruhi oleh faktor umur, persepsi dan luas aset lahan kering dan sawah yang dikuasai. Keragaan konservasi tanah juga
79
berbeda secara signifikan antar wilayah sub DTA. Berdasarkan analisis perilaku tersebut maka strategi perbaikan kualitas konservasi tanah dilakukan dengan pendekatan sub DTA sebagai berikut : (1) sub DTA bagian Timur adalah pengembangan sistem agroforestry tertata dengan tanaman cengkeh sebagai komoditas basis, (2) di sub DTA bagian Barat adalah pengembangan sistem usahatani konservasi berbasis pangan dan ternak sapi (jagung - strip rumput hijauan ternak), dan (3) di sub DTA Selatan dirancang dalam sistem agroforestri basis tanaman hortikultura. Penanaman pohon penghasil serasah/bahan organik untuk menjamin kesehatan tanah dalam jangka panjang. DAFTAR PUSTAKA Balai Pengelolaan DAS Tondano. 2008. Rencana Pengelolaan DAS Tondano Terpadu. Laporan perencanaan kerjasama PPLH SDA Lemlit Unsrat dengan BPDAS Tondano. Manado. Departemen Kehutanan. 1989. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Kep. Dirjen RLL no.041/Kpts/1998. Jakarta. Kementerian Kehutanan, 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :P.60/Menhut-II/2009. Tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan dan Reklamasi Hutan. Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Reklamasi Hutan. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Ngoc Chi, T.T., and Yamada R. 2002. Factors affecting farmers' adoption of technologies infarming sistem: A case study in Omon district, Can Tho province, Mekong Delta. Omonrice 10: 94–100. Pagiola, S. 1998. Economic Analysis of Incentives for Soil Conservation. Environment Department, World Bank1 the World Association of Soil and Water Conservation, the International Board for Soil Research and Management, and the Soil and Water Conservation Society of Thailand. Parel C.P., G.C. Caldito, P.L. Ferrer, G.G. De Gusman, C.S. Sinsioco, R.H. Tan. 1973. Sampling and Procedures. http://eprint.icrisat.ac.in/13228/1/P23036.pdf diakses tgl 30 januari 2015 Pereira, M. A. 2011. Understanding adoption and non-adoption of technology: a case study of study of innovative beef farmers from Mato Grnsso do Sul State, Brazil. Innovative beef farmers from Mato Grnsso do Sul State, Brazil. Thesis the Degree of Doctor of Philosophy. Lincoln University. Christchurch-NewZealand. http://researcharchive.lincoln.ac.nz/. Diakses tanggal 31 januari 2015 Hosseini, S. J. and Zahra A., 2012 Affective factors in adopting organic farming in Iran. Annals of Biological Research 3(1):601-608. Husain, J., Hengki W., dan Nordi W. 2006. Perencanaan Pengelolaan Model DAS Mikro Rurukan sub DAS Tondano SWP DAS Tondano. Laporan penelitian
80| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan kerjasama PPLH SDA Lemlit Unsrat dengan BPDAS Tondano p 221. Tidak dipublikasi. Setiawan, B. 1987. Perencanaan Model Agroforestry di Wilayah Daerah Aliran Sungai Konto Kabupaten Malang JawaTimur. Thesis. Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Silalahi, U. 2010. Metode Penelitian Sosial. PT.Refika Aditama. Bandung. p 518. Siregar, H. 2006. Social - Economic reasons to soil conservation : An econometric analysis on cross-setion Lore Lindu Data. Jurnal Agro Ekonomi 24(1):1-20. Siregar, S., 2010. Statistika Deskriptif untuk Penelitian. Dilengkapi Perhitungan Manual dan Aplikasi SPSS Versi 17. PT. Rajagrafindo Persada Jakarta. Cetakan ke -1. p 323 Subhrendu I. P and D. E. Mercer. 1996. Valuing soil conservation benefits of agroforestry practices. Southeastern Center for Forest Economics Research, Research Triangle Park, NC. FPEI Working Paper No. 59. 21 p. Sumantri B., K. Sukiyono. 2011. Persepsi dan Perilaku konservasi lahan pada berbagai kemiringan dan dampaknya pada produksi usahatani sayuran. Studi kasus di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Jurnal Bumi 11(1):138146. Sumarno. 2004. Pendekatan Ekologi-Ekonomi dalam Pengembangan Sumberdaya Hutan. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Tatuh, J. 1986. Kredit untuk Usaha Konservasi Tanah dan Pengembangan Usahatani Lahan Kering di Bagian Hulu DAS Citanduy. Tesis Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Walangitan, H. D. 2007. Laporan Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS Tondano. Hasil penelitian kerjasama PSL Unsrat dan BP-DAS Tondano. Tidak dipublikasikan. p 95.
81
82| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan
Teknik Pembibitan Meranti Putih (Shorea assamica Dyer) dari Anakan Hasil Permudaan Alam1
Arif Irawan dan Ady Suryawan2
ABSTRAK Meranti putih (Shorea assamica Dyer) merupakan salah satu dari 6 jenis anggota famili Dipterocarpaceae yang dilaporkan terdapat di Sulawesi. S. asamica tergolong rekalsitran, pengadaan bibit yang tepat adalah pemanfaatan cabutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pembibitan cabutan alam anakan S. assamica. Percobaan Faktorial dengan rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan faktor pemotongan daun, penyungkupan dan lama waktu simpan cabutan. Jumlah ulangan 3 (tiga) dengan populasi persampel sebanyak 20 bibit. Parameter yang diamati adalah persen hidup pada 2 bulan di persemaian. Perlakuan penyungkupan berpengaruh nyata terhadap persen hidup S. assamica dengan nilai rata-rata persen hidup mencapai 91,67 %. Pemotongan daun tidak berpengaruh nyata dalam kondisi penyungkupan. Persen hidup berdasar perlakuan penyimpanan cabutan secara nyata menurun pada hari ke 13 dan dibawah 70 %. Kata Kunci: Shorea assamica, permudaan alam, meranti, dipterocarpaceae I. PENDAHULUAN Meranti putih (Shorea assamica Dyer) merupakan salah satu dari 6 (enam) jenis anggota famili Dipterocarpaceae yang dilaporkan terdapat di Sulawesi (Pitopang et al., 2008). Tinggi pohon jenis ini dapat mencapai hingga 55 m dengan diameter (dbh) 150 cm, bentuk batang lurus dan silindris dengan banir yang dapat mencapai tinggi 3,5 m. Kayu meranti putih
1
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2
Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado; Telp : (0431) 3666683 Email:
[email protected]
83
dapat digunakan sebagai bahan venir, kayu lapis, papan partikel, lantai, bangunan, perkapalan, dan mebel (Martawijaya et al., 2005). Menurut Atmoko (2011) pembangunan hutan tanaman Dipterocarpaceae masih mengalami kendala pada ketersediaan benih berkualitas dan jumlahnya. Hal ini disebabkan karena benih famili Dipterocarpaceae bersifat rekalsitran, sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu lama. Selain itu menurut Yasman dan Smits (1988) jenis family Dipterocarpaceae mengalami masa berbuah yang cukup bervariasi yaitu tiap 4–5 tahun atau bahkan ada yang memiliki waktu berbuah hingga 13 tahun. Menurut Halawane (2010) untuk jenis rekalsitran, alternatif budidaya yang tepat adalah dengan cara cabutan dan diperlukan penyungkupan untuk persen hidup lebih tinggi. Waktu yang dibutuhkan untuk sistem cabutan hingga bibit siap ditanam 4–5 minggu dengan kriteria cabutan berdaun 2–5 helai atau tinggi cabutan kurang dari 20 cm (Nurhasybi et al., 2010). Bibit hasil cabutan dapat digunakan untuk bahan riset sebagaimana Omon (2006) menggunakan hasil cabutan S. parvifolia untuk pembuatan stek dengan persen hidup mencapai 90 %. Namun teknik cabutan untuk jenis selain Shorea leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. smithiana dan S. platyclados masih harus dikaji (Adman, 2011). Kelebihan perbanyakan dengan cara ini adalah bibitnya telah tumbuh dan tersedia di alam, waktu yang dibutuhkan dalam pembibitan relatif singkat. Sementara itu kelemahannya adalah diperlukan keahlian dan perlakuan khusus dalam pelaksanannya (Kemenhut dan JICA, 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pembibitan jenis meranti putih (S. assamica) di persemaian yang meliputi pengaruh perlakuan pemotongan daun dan perlakuan penyungkupan serta pengaruh waktu simpan cabutan terhadap persen hidupnya di persemaian. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni–Agustus 2014 di Persemaian Balai Penelitian Kehutanan Manado yang terletak di Kecamatan Mapanget Kota Manado. Area persemaian berada pada ketinggian 70 m dpl, dengan suhu rata-rata 34 derajat celcius, dan tingkat kelembaban 40 %. Rata-rata curah hujan bulanan yaitu 270 milimeter (Badan Meteorologi dan Geofisika, 2011).
84| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan
B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bibit cabutan meranti putih (S. assamica) yang berasal dari Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Sulawesi Utara), media tanam (tanah top soil), sarlon net dengan intensitas pencahayaan 65 %, label plastik, dan polibag. Peralatan yang digunakan antara lain luxmeter, thermohygrometer, gembor, spidol permanen, gunting stek, plastik sungkup, dan alat tulis. C. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan 2 (dua) jenis uji coba yaitu uji coba pengaruh perlakuan pemotongan daun dan pengaruh penyungkupan serta uji coba pengaruh waktu simpan. Anakan alam S. assamica dari lapangan yang telah diseleksi dengan tinggi 10 cm dan memiliki sepasang daun dibagi pada masing-masing uji coba. Pada ujicoba pengaruh perlakuan pemotongan daun dan pengaruh penyungkupan dilakukan dengan membandingkan persen hidup antara daun yang dipotong dan tidak dipotong serta membandingkan antara bibit yang disungkup dan tidak disungkup. Pemotongan daun dilakukan dengan mengurangi 3/4 daun yang ada dengan menyisakan 1/3 nya. Selanjutnya penyungkupan dilakukan dengan memberikan sungkup setengah lingkaran menggunakan plastik transparan dan memberikan naungan tambahan berupa sarlon net. Perbandingan kondisi lingkungan antara bibit yang disungkup dan tidak disungkup ditampilkan pada Lampiran 1. Sedangkan pada uji coba pengaruh waktu simpan, cabutan disimpan dalam plastik kedap udara untuk selanjutnya akan disapih (tanpa pemotongan daun) sesuai waktu yang ditentukan yaitu 2, 5, 9, 13, 17, dan 21 hari setelah dicabut dari lantai hutan. Masing-masing perlakuan pada kedua uji coba diulang sebanyak 3 (tiga) kali dan tiap ulangan terdiri dari 20 bibit. Dua bulan setelah disapih, dilakukan pengamatan persen hidup pada kedua uji coba dengan rumus sebagai berikut : Persen hidup =
x 100%
D. Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada uji coba pengaruh perlakuan pemotongan daun dan pengaruh penyungkupan adalah Percobaan Faktorial dengan rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sedangkan pada uji coba waktu simpan cabutan, rancangan yang
85
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang terkumpul dianalisis dengan uji F dan yang menunjukkan perbedaan nyata dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan Uji Beda Nyata Duncan (Duncan Multiple Range Test). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji F untuk mengetahui pengaruh perlakuan pemotongan daun dan penyungkupan serta pengaruh waktu simpan ditampilkan pada lampiran 2. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa perlakuan pemotongan daun, penyungkupan dan interaksi keduanya serta perlakuan waktu simpan memberikan pengaruh yang nyata terhadap persen hidup cabutan meranti putih. 1. Perlakuan Pemotongan Daun dan Penyungkupan Hasil uji lanjut untuk mengetahui rata-rata persen hidup tertinggi pada perlakuan ini ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Uji lanjut perlakuan pemotongan daun No
Perlakuan
1. 2.
Potong daun Tanpa potong daun
Rata-Rata Persen Hidup (%) 70,83 58,33
Taraf 5% A B
Grouping 1 2
Keterangan : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 95%
Berdasarakan Tabel 1 dapat diketahui bahwa cabutan dengan perlakuan pemotongan daun memiliki nilai persen hidup yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemotongan daun. Uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa kedua perlakuan memiliki persen hidup yang berbeda nyata. Persen hidup bibit cabutan paling tinggi diperoleh dari perlakuan pemotongan daun yaitu sebesar 70,83 %, sedangkan tanpa pemotongan daun hanya 58,33 %. Pemotongan 3/4 bagian daun pada cabutan meranti putih dilakukan untuk mengurangi penguapan (evaporasi) agar tidak kehilangan tekanan tugor secara cepat yang mengakibatkan keringnya jaringan tumbuhan. Semakin banyak daun, maka evaporasi akan semakin tinggi karena bidang permukaan dari tanaman yang akan terpapar oleh sinar matahari lebih luas. Daniel et al. (1987) menyatakan bahwa transpirasi adalah peristiwa evaporasi air dari tumbuhan termasuk gerakan air melalui seluruh kesatuan tanah–tumbuhan–atmosfir. Evaporasi mengakibatkan tambahan air dalam tumbuhan diserap melalui batang dan akar dalam bentuk kolom yang
86| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan
kontinu. Pada fase awal pembibitan dengan teknik cabutan organ akar belum dapat melakukan fungsinya secara optimal, sehingga langkah pemotongan daun diharapkan dapat menjaga ketersediaan air dalam tanaman. Daniel et al. (1987) juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pertumbuhan semai adalah faktor ketersediaan air. Air memiliki peran sangat penting dalam tanaman, karena tanpa air tanaman akan mati akibat kekeringan dan menyebabkan sel-sel tanaman menjadi kering dan metabolisme sel menjadi sangat terganggu. Selanjutnya untuk mengetahui rata-rata terbaik dari perlakuan penyungkupan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Uji lanjut perlakuan penyungkupan No 1. 2.
Perlakuan Penyungkupan Tanpa penyungkupan
Rata-Rata Persen Hidup (%) 91,67 37,50
Taraf 5 %
Grouping
A B
1 2
Keterangan : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 95%
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa perlakuan penyungkupan plastik dengan tambahan naungan memberikan nilai persen hidup lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa penyungkupan. Keduanya diketahui berbeda secara statistik, dengan nilai persen hidup berturut-turut adalah 91,67 % dan 37,50 %. Hasil penelitian Rayan (2008) menyimpulkan bahwa dari 4 jenis Dipterocapaceae yang diberikan sungkup sederhana setengah lingkaran akan memberikan tingkat hidup bibit yang tinggi hingga 93,96 %. Beberapa manfaat penyungkupan dalam penanganan bibit cabutan antara lain menjaga kelembaban udara, menciptakan kondisi panas yang merata dan mengurangi tingkat penguapan (evaporasi) pada tanaman. Penggunaan sungkup dan penambahan naungan yang telah dilakukan dapat menurunkan tingkat kelembaban dan suhu secara efektif. Berdasarkan hasil pengukuran dapat diketahui bahwa rata-rata suhu dan kelembaban didalam sungkup selalu lebih rendah jika dibandingkan dengan suhu dan kelembaban diluar sungkup. Smits (1990) menyatakan bahwa faktor kelembaban memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan pembibitan melalui cabutan semai alami. Penambahan naungan dilakukan untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk. Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat penguapan pada tanaman. Intensitas
87
cahaya yang tinggi akan mendorong kenaikan suhu, sehingga akan meningkatkan laju evapotranspirasi tanaman, sehingga proses kehilangan air akan semakin cepat. Evapotranspirasi merupakan gabungan antara proses evaporasi dan transpirasi tumbuhan yang hidup di permukaan bumi. Peranan naungan disamping mengurangi kecepatan angin dan laju transpirasi, juga dapat mengurangi laju evaporasi air dari permukaan tanah karena daya evaporasi udara yang menimbulkan kompetisi dalam pengambilan air dan nutrisi. Hal ini sebagaimana Irwanto (2006), proses evaporasi dari semai dapat dikurangi dengan penggunaan naungan. Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara perlakuan pemotongan daun dan penyungkupan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Uji lanjut perlakuan interaksi pemotongan daun dan penyungkupan No 1. 2. 3. 4.
Perlakuan Tanpa potong daun*Penyungkupan Potong daun*Penyungkupan Potong daun*Tanpa penyungkupan Tanpa potong daun*Tanpa penyungkupan
Rata-Rata Persen Hidup (%) 93,33 90,00 51,67 23,33
Taraf 5%
Grouping
A A B C
1 1 2 3
Keterangan : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 95%
Berdasarkan tabel 3 tersebut dapat diketahui bahwa interaksi perlakuan yang memiliki rata-rata persen hidup tertinggi adalah perlakuan tanpa pemotongan daun*penyungkupan. Nilai persen hidup dari perlakuan interaksi ini adalah sebesar 93,33 %. Persen hidup pada interaksi tersebut secara statistik tidak memberikan hasil terbaik karena memiliki nilai yang tidak berbeda dengan interaksi antara pemotongan daun*penyungkupan (90 %). Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh pemotongan daun tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap persen hidup cabutan meranti putih yang berada dalam sungkup. Sedangkan pada perlakuan tanpa penyungkupan, perlakuan pemotongan daun memberikan pengaruh yang nyata. Persen hidup perlakuan interaksi pemotongan daun*tanpa penyungkupan memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan perlakuan interaksi tanpa pemotongan daun*tanpa penyungkupan. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengaruh paling utama dalam usaha pembibitan cabutan meranti putih adalah faktor perlakuan penyungkupan. Kondisi kelembaban yang tinggi dan cenderung konstan dapat mempertahankan persen hidup cabutan meranti di persemaian.
88| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan
Hendromono dan Effendi (2002) menyatakan bahwa faktor yang menunjang keberhasilan pembibitan, baik pengakaran stek maupun menumbuhkan cabutan adalah diperlukannya kelembaban lebih dari 80 %. Selain itu Smits (1990) juga menyatakan bahwa semakin tinggi kelembaban maka keberhasilan cabutan juga akan semakin besar. 2. Perlakuan Waktu Simpan Secara umum bahan cabutan tidak dapat disimpan dalam jangka waktu terlalu lama, sehingga usaha perbaikan metode penyimpanan untuk mengurangi penurunan daya tumbuhnya menjadi sesuatu yang penting. Melalui perlakuan lama waktu simpan diharapkan akan tercapai suatu keadaan cabutan pada berbagai tingkat ketersediaan cadangan karbohidrat. Hasil uji lanjut untuk mengetahui rata-rata persen hidup terbaik pada perlakuan ini ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Uji lanjut perlakuan waktu simpan No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perlakuan 2 hari 5 hari 9 hari 13 hari 17 hari 21 hari
Rata-Rata Persen Hidup (%) 93,33 81,67 73,33 71,67 30,00 1,67
Taraf 5% A A A A B C
Grouping 1 1 1 1 2 3
Keterangan : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 95%
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa waktu simpan untuk cabutan meranti putih terbaik adalah selama 2 hari (93,3 %) dan terus mengalami penurunan hingga waktu simpan selama 21 hari (1,67 %). Hasil uji lanjut tersebut juga menyatakan bahwa waktu simpan hingga 13 hari menghasilkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan waktu simpan sebelumnya. Secara fisiologis pertumbuhan dapat diartikan sebagai pertumbahan ukuran dan berat kering. Faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan cabutan dapat dikategorikan sebagai faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam terdiri dari umur cabutan, cadangan makanan, dan kandungan air dalam cabutan. Sedangkan faktor luar terdiri dari cahaya, suhu dan kelembaban. Perlakuan penyimpanan akan berpengaruh nyata terhadap kondisi fisiologi dan biokimia suatu tumbuhan, sehingga akan didapat titik kritis pada waktu tertentu untuk dapat mempertahankan daya hidup (Rohandi
89
dan Widyani, 2010). Cabutan yang disimpan akan mengalami stres air karena transpirasi tetap berlangsung dengan menggunakan air yang ada dalam sel, sehingga akan mengalami defisit air. Selama penyimpanan cabutan aktif melakukan metabolisme, energi yang digunakan untuk kegiatan tersebut berasal dari cadangan yang terdapat dalam akar. Semakin lama tanaman disimpan, maka energi dan cadangan makanan yang digunakan akan semakin banyak, sehingga saat penyapihan terdapat cabutan yang telah kehilangan daya tumbuh akibat kekurangan energi atau cadangan makanan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Perlakuan penyungkupan berpengaruh nyata dalam teknik pembibitan jenis meranti putih. 2. Perlakuan pemotongan daun memberikan pengaruh secara nyata pada kondisi lingkungan tanpa penyungkupan, sedangkan pada kondisi dengan penyungkupan perlakuan pemotongan tidak memberikan pengaruh yang nyata. 3. Penyimpanan cabutan meranti putih lebih dari 13 hari tidak dianjurkan karena semakin menurunkan persen hidupnya (dibawah 70 %). B. Saran Perlu dilakukan teknik penyimpanan cabutan meranti putih (S. assamica) menggunakan beberapa media penahan kelembaban (kapas, serbuk gergaji, sabut kelapa, kertas koran, atau pelepah pisang) untuk meningkatkaan lama waktu simpan cabutan. DAFTAR PUSTAKA Adman, B. 2011. Pengaruh bahan kemasan dan waktu penyimpanan bahan stek terhadap persentase berakar stek Shorea johorensis dan S. smithiana. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8(20):97-109. Atmoko, T. 2011. Potensi regenerasi dan penyebaran Shorea balangeran (korth.) Burck di Sumber Benih Saka Kajang, Kalimantan Tengah. JURNAL PENELITIAN DIPTEROKARPA 5(2):21-36. Badan Meteorologi dan Geofisika Kota Manado. 2011. Laporan Tahunan Curah Hujan. Daniel, T., John, W., dan Helms, A., 1978. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Marsono, D. (penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Halawane, J. E. (2010). Pengaruh sungkup sederhana terhadap keberhasilan cabutan anakan eboni (Diospyros pilosanthera dan Diospyros sp.) di persemaian. Sintesis Hasil Penelitian Hutan Tanaman 2010, 375 - 378.
90| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan Hendromono & R. Effendi. 2002. Pembangunan Persemaian Dipterocarpaceae. Manual Persemaian Dipterocarpaceae. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Irwanto .2006. Pengaruh Perbedaan Naungan terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp. di Persemaian.[Tesis].Institut Pertanian Bogor. Kemenhut dan JICA.2014. Panduan Teknis Restorasi di Kawasan Konservasi. Jakarta Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A.Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Nurhasybi, Hero Dien PK, M. Zanzibar, Dede J. Sudradjat, Agus A. Prmono, Buharman, Sudrajat, dan Suhariyanto. 2010. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Bogor: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Omon, R. M. 2006. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan tablet mikoriza terhadap pertumbuhan stek meranti merah. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 3(2):129 -138. Pitopang, R. Khaerruddin, I. Tjoa, A. Burhanuddin, I,F. 2008. Pengenalan Jenis-Jenis Pohon yang Umum di Sulawesi. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah & Herbarium Celebence Universitas Taduluko Rayan. 2008. Pengaruh sungkup setengah lingkaran dan sungkup kotak terhadap persentase hidup cabutan anakan alam jenis Dipterocarpaceae di persemaian. JurnaL DIPTEROKARPA VOL 2(1). Rohand, A dan Widyan, N. 2010. Dampak penurunan kadar air terhadap respon fisiologis dan biokimia propagul Rhizophora apiculata Bl. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7(4):167-179. Smits.W.T.M. 1990. Pedoman Sistem Cabutan Bibit Dipterocarpaceae. Asosiasi Panrl Kayu Indonesia. Jakarta. Yasman, I dan W.T.M. Smits, 1988. Metode Pembuatan Stek Dipterocarpaceae. Balai Penelitian Kehutanan. Samarinda.
91
Lampiran 1. Rata-rata kelembaban, suhu dan intensitas cahaya di dalam dan luar sungkup Di dalam sungkup
Di luar sungkup
Kelembaban (%)
Suhu (celcius)
Intensitas cahaya (lux)
Kelembaban (%)
Suhu (celcius)
Intensitas cahaya (lux)
75
29,46
3.617
62,89
33,16
30.408
Lampiran 2.
Hasil analisis ragam teknik pembibitan meranti putih (S. assamica) Sumber Keragaman
Uji Coba Pemotongan Penyungkupan Pemotongan daun Penyungkupan Pemotongan daun*penyungkupan Uji Coba Waktu simpan Waktu simpan Keterangan :
daun
db
Jumlah Kuadrat
F hitung
1 1 4
468,75 8802,09 752,09
10,71* 201,19* 17,19*
5
18556,94
24,52*
dan
* = berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 5% tn = tidak berpengaruh nyata
92| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
Peran Persemaian Permanen Kima Atas dalam Rehabilitasi Lahan melalui Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat1 Ady Suryawan dan Arif Irawan2 ABSTRAK Sulawesi Utara memiliki lahan kering kritis mencapai 776.913 ha (53 %). Rehabilitasi secara vegetatif perlu dilakukan karena dinilai memiliki keuntungan secara ekonomi dan ekologis. Kebijakan revitalisasi sektor kehutanan telah menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Adanya Persemaian Permanen Kima Atas memiliki tujuan meningkatkan minat masyarakat untuk menanam. Tujuan tulisan ini untuk memaparkan data-data kuantitatif dan deskripsi tentang peran persemaian permanen terhadap kegiatan rehabilitasi di Sulawesi Utara. Data diperoleh dengan merekapitulasi produksi dan distribusi bibit. Hasil kajian menyimpulkan beberapa poin antara lain : 1) Produksi dan distribusi bibit mencapai 2.500.015 didominasi dengan jenis tanaman lokal unggulan, 2) Diperkirakan sedikitnya 2.008,04 ha lahan milik pribadi dan areal perlindungan setempat telah dilakukan penanaman, 3) Keberadaan persemain permanen menjadi sumber referensi di Sulawesi Utara tentang pembibitan tanaman hutan, lokasi pendidikan lingkungan dan study banding, 4) Masyarakat lokal telah berinisiatif mengembangkan penanaman campuran. Hal ini dapat menurunkan laju erosi tanah dan meningkatkan infiltrasi. Kata Kunci : rehabilitasi, hutan rakyat, persemaian permanen.
I.
PENDAHULUAN Hasil rekapitulasi lahan agak kritis hingga sangat kritis di Sulawesi Utara mencapai 776.913 ha (53 %) (Wahyuni, 2012). Kondisi berkurangnya tutupan lahan baik di hutan negara maupun lahan milik masyarakat telah menyebabkan bencana banjir, longsor dan kekeringan. Selain itu kontribusi 1
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2
Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado; Telp : (0431) 3666683 e-mail :
[email protected]
93
Sektor Kehutanan dalam pembangunan nasional mengalami penurunan akibat pasokan bahan baku industri yang berkurang. Arah kebijakan dalam pengelolaan hutan dan kehutanan saat ini adalah rehabilitasi lahan terdegradasi dan konservasi sumberdaya hayati dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif dalam setiap kegiatan. Rehabilitasi secara vegetatif memiliki keuntungan antara lain dapat melindungi struktur tanah dan kinetik hujan, melindungi terhadap aliran permukaan, dan memperbesar kapasitas infiltrasi (Njurumana et al., 2008). Visi revitalisasi sektor kehutanan berprinsip pada 3 (tiga) prinsip utama yaitu pro poor untuk mengentaskan kemiskinan, pro job untuk menciptakan lapangan pekerjaan, dan pro growth untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sejak tahun 2007 Kementerian Kehutanan mencanangkan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) mana implementasinya diatur dalam Kepmenhut No. P.55/Menhut-II/2011. Program ini berjalan mulus pada beberapa daerah, namun sebagian lain mengalami kendala baik teknis maupun secara administrasi. Hutan rakyat memegang peranan penting dalam kegiatan rehabilitasi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan kayu rakyat (Widiarti dan Prajadinata, 2008) Upaya BPDAS PS dalam meningkatkan minat masyarakat untuk menanam yaitu dengan memberikan kemudahan akses untuk mendapatkan bibit yang berkualitas melalui pembangunan 50 persemaian permanen yang tersebar di Indonesia (BPDAS, 2013). Salah satunya yaitu Persemaian Permanen Kima Atas yang dibangun pada tahun 2011. Persemaian ini merupakan hasil kerjasama antara Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano dan Balai Penelitian Kehutanan Manado. Tujuan tulisan ini untuk memaparkan data-data kuantitatif dan deskripsi tentang peran persemaian permanen terhadap kegiatan rehabilitasi di Sulawesi Utara. Diharapkan dapat menjadi acuan dalam mereboisasi dan rehabilitasi lahan khususnya di Sulawesi Utara. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di Persemaian Permanen Kima Atas dan Kabupaten Minahasa Utara. Waktu Penelitian Januari 2012 sampai dengan Agustus 2014. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah Berita Acara Serah Terima (BAST) distribusi bibit, produksi bibit dan tanaman dilapangan di Kabupaten
94| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
Minahasa Utara. Sedangkan alat yang digunakan antara lain Tally Sheet dan Kamera. C. Prosedur Kerja Penelitian diawali dengan melakukan rekapitulasi jumlah bibit yang diproduksi dan didistribusi berdasarkan berita acara serah terima (BAST) bibit. Berdasarkan BAST, dilakukan peninjauan lapangan terhadap bibit yang telah didistribusikan ke masyarakat untuk mengetahui kondisi tanaman dilapangan. Peninjauan atau monitoring dilakukan terhadap 30 masyarakat yang telah mengambil bibit dalam 2 tahun terakhir di Kabupaten Minahasa Utara. Kajian dilakukan secara deskriptif berdasar data yang diperoleh. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Persemaian dan Produksi Bibit Persemaian Permanen Kima Atas berlokasi di Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Kota Manado. Lokasi persemaian berada pada titik kordinat Lintang Utara antara 1o 0, 56185 s/d 1o 0, 5632 (N) dan Bujur Timur antara 124o 0,9010 s/d 124o 0,9022 (E) dengan luas keseluruhan sekitar 2,5 ha. Area persemaian berada pada ketinggian 70 m dpl, dengan suhu rata-rata 34 derajat celcius, dan tingkat kelembaban 40 % dengan rata-rata curah hujan bulanan yaitu 270 milimeter (Badan Meteorologi dan Geofisika, 2011). Sarana dan prasarana yang digunakan dalam operasional pelaksanaan persemaian pemanen antara lain : Mother Plan Greenhouse, Production House, Rooting Area, dan Open Area. Mother Plan Greenhouse merupakan area sumber tunas yang akan digunakan sebagai bahan baku untuk produksi cutting/stek. Total jumlah produksi bibit dari tahun 2011 hingga tahun 2013 adalah 2,5 juta bibit yang terdiri dari 13 jenis tanaman. Produksi bibit dilakukan secara generatif, dengan benih diperoleh dari sumber benih yang telah disertifikasi oleh BPTH Makassar. Hasil rekapitulasi data produksi bibit tersaji pada Gambar 1 di bawah ini.
95
2013 2011 Cem paka Wasi an (Elm erelli a ovali s)
Nant u (Pala quiu m sp)
Mah oni (Swe tania sp)
Jati Jabo Putih n (Gm puti elina h arbo (Ant rea) hoce palu s cada mba)
Trem Seng Jabo besi on n (Sam (Para mera anea seria h sam nthe (Ant an) s hoce falca palu taria s ) macr ophy llus) 2011 150.0 120. 125.0 35.0 210. 50.0 310.0
Pako ba (Tric alysi a mina hasa e)
Kayu mani s (Cinn amo mum sp.)
Mat oa (Po meti a pinn ata)
Duri an (Duri o sp.)
Duku (Lans ium dom estic um)
2012 165.0 190.0 190.0 95.00 160.0 65.00 100.0 16.00 7.000 10.00 1.000 1.000 2013 217.8 35.00 83.60 76.51 asal
1
1
1
2
118.2 3
3
3
4
17.66 1
1
5
1
1
Keterangan Asal : 1. Minahasa, 2. Minahasa Utara, 3. Jawa, 4. Bolaangmongondow, 5. Manado.
Gambar 1. Produksi bibit per jenis per tahun persemaian permanen kima atas Berdasarkan Gambar 1, telah terjadi peningkatan produksi bibit yang cukup tinggi pada jenis cempaka dan jabon merah. Cempaka dan jabon merah merupakan jenis asli dari Sulawesi Utara dengan sebaran di Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow. Jenis cempaka wasian merupakan jenis unggulan lokal yang memiliki nilai cultural historis serta benilai ekonomi cukup tinggi bagi masyarakat Sulawesi Utara. Sedangkan jabon merah sangat diminati oleh masyarakat karena masa panennya yang cukup singkat (5-6 tahun). Sehingga dilakukan peningkatan produksi terhadap 2 jenis tersebut seiring dengan pencanangan Gerakan Masyarakat Menanam Cempaka dan Jabon (Gemastacempabon) oleh Gubernur Sulut pada Tahun 2012. Peningkatan produksi bibit yang signifikan pada jabon merah merupakan hasil dari penelitian selama 2 tahun. Penelitian dimulai dari pemilihan buah, ekstraksi benih, pemilihan benih, penaburan, penyapihan
96| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
hingga pemeliharaan di persemaian yang pada awalnya telah mengalami berbagai kegagalan. Hingga pada tahun 2013 akhirnya didapatkan teknik pembibitan yang tepat dari pemilihan buah hingga bibit siap tanam di lapangan. Sedangkan tantangan pada pembibitan cempaka antara lain : sifat benih rekalsitran, disukai hama seperti semut dan tikus, penyapihan dan pemeliharaan di persemaian. Teknik pembibitan kedua jenis ini telah dipublikasikan dan dilakukan alih teknologi kepada masyarakat melalui berbagai kesempatan sebagaimana dipaparkan oleh Halawane et al. (2011), Yudohartono (2013), Hidayah dan Irawan (2012), Irawan et al. (2012), Irawan dan Suryawan (2013) dan bimbingan teknis yang tidak dipublikasikan. Sedangkan untuk jenis jabon putih dan sengon mengalami penurunan produksi dan berhenti diproduksi pada tahun 2013. Hal ini sengaja dilakukan karena kedua jenis ini merupakan jenis introduksi dari Jawa, yang secara produktivitas belum diketahui secara pasti dibandingkan jenis asli. Begitupula dengan jenis trembesi yang sudah tidak diproduksi lagi, karena merupakan jenis introduksi, masyarakat juga enggan menanam karena dinilai kurang menguntungkan secara ekonomi, cabang mudah rapuh dan merusak jalan. B. Distribusi Bibit Bibit didistribusikan ke masyarakat secara gratis dengan prosedur sebagai berikut : 1) Pemohon melengkapi berkas yang berisi : a) surat permohonan yang ditujukan kepada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano, berisi tentang identitas pemohon, luas lahan yang tersedia, jumlah dan jenis bibit yang dibutuhkan dan mengetahui kepala desa, b) Fotokopi identitas (KTP), c) Denah lokasi penanaman. 2) Berkas dikirim ke Kantor BPDAS Tondano setelah mendapat disposisi kemudian di bawa ke Persemaian Permanen Kima Atas, 3) Pemohon mengambil sendiri bibit sesuai permohonan, mengisi berita acara serah terima dan memberikan dokumentasi penanaman sebagai bentuk pertanggung jawaban bibit yang diberikan. Berdasarkan hasil rekapitulasi bibit yang telah tersalurkan per september 2014 sebanyak 2.500.015 bibit. Hasil rekapitulasi distribusi bibit per tahun berdasar kabupaten/kota penerima ditunjukkan Gambar 2.
97
438679 301347
2744
3200
10105
10200
10700
24250
25550
38580
52660
86185
259.126 269.859
296.214
Gambar 2. Distribusi bibit per Kabupaten/Kota per Tahun
350
3.700
2.500
5.000 12.500 12.764 20.407
52.070 56.140
109.178 514
1.541
4.110
12.330
14.282
29.233
132.292
154.096
42.436
Gambar 2. Distribusi bibit per Kabupaten/Kota per tahun Berdasarkan Gambar 2, dari 17 Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara hanya Kabupaten Sitaro yang belum pernah mendapatkan bibit dari persemaian. Jumlah Kabupaten/Kota penerima bibit pertahun mengalami penurunan, dimana tahun 2012 dan 2013 terdistribusi ke 12 kabupetan/kota, sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 10 kabupetan/kota yang mengambil bibit. Pada tahun 2013, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara dan Bolaang Mongondow Selatan, distribusi bibit sudah dilayani oleh persemaian permanen BPDAS Tondano di Toraout (PP Toraout), Kabupaten Bolaang Mongondow. Berdasar Kabupetan/Kota, distribusi bibit didominasi oleh Kota Manado, Kabupatan Minahasa Utara dan Minahasa dengan total distribusi selama 3 tahun berturut-turut yaitu 844.071 (33 %), 725.302 (29 %) dan 477.603
98| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
(19 %). Berdasarkan BAST, dominasi distribusi bibit berdasarkan administratif ini disebabkan penyaluran dilakukan melalui kantor pemerintahan yang ada di Kota Manado antara lain : Lantamil, Kodim, Balai Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Provinsi, Balai Penelitian Kehutanan Manado, Sekolahan dan Universitas, LSM, BUMN dan Swasta yang ada di Manado. Lebih jelasnya instansi penerima disajikan pada Gambar 3 di bawah ini.
487581 3400
18640
78650
27600
26900
22944
119975
218510
418038
370
2500
2510
3200
14995
20636
71700
90555
91525
125861 148740
235.450
6.820
22.640
24.470
28.320
40.815
swasta
sekolah
Aparat
lsm
kth
51.050
90.450
KeagamaanPemerintah
pribadi
Gambar 3. Distribusi bibit per instansi penerima per tahun Gambar 3 menunjukkan bahwa distribusi paling tinggi dilakukan kepada masyarakat secara perorangan atau pribadi yaitu 1.141.069 (45,6 %), kemudian Intansi Pemerintah 456.700 (18 %) dan Aparat TNI – Polri sebanyak 235.000 (9,3 %). Sedangkan Kelompok Tani Hutan atau KTH sebesar 191165 (7,6 %). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi Utara secara mandiri sangat peduli terhadap lingkungan atau kebun-kebun yang masing kosong.
99
Luas lahan milik masyarakat penerima bibit berkisar antara 1-35 ha/ orang. Masyarakat mulai sadar dengan kebutuhan kayu dan harga per m3 yang meningkat, adanya jenis yang cepat panen dan berkualitas, sehingga sebagian masyarakat telah merelakan kebun kelapa untuk diganti dengan tanaman kehutanan. Pertimbangan yang diambil yaitu dalam jangka waktu 12 tahun tanaman kehutanan sudah dipanen 2 kali sedangkan kelapa baru belajar berbuah. Gencarnya promosi tentang persemaian permanen yang menyediakan bibit gratis merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan distribusi. Dibawah kendali BPDAS Tondano dan BPK Manado promosi berjalan sukses. Salah satu skenario yang mudah ditangkap masyarakat adalah bahwa dalam 1 ha dengan jarak tanam 5x4 maka akan ada 500 batang tanaman, semisal 1 tanaman menghasilkan 1 m3 kayu dengan harga kayu minimal 1 juta maka dalam jangka 5 tahun akan didapat panen 500 juta. C. Kondisi Tanaman di Lapangan Monitoring dilakukan hanya di Kabupaten Minahasa Utara (Minut), dengan pertimbangan bahwa Minut merupakan lokasi distribusi terbesar ke dua dan paling banyak dilakukan oleh masyarakat secara pribadi. Hasil monitoring didapat umur tanaman antara 1 bulan s/d 2 tahun. Namun ada juga bibit yang belum ditanam disebabkan oleh mahalnya biaya pembersihan lahan, pengangkutan, dan musim hujan. Berdasarkan hasil survey biaya pembersihan dan penanaman untuk 1 ha, berkisar 3-6 juta rupiah tergantung lokasi. Pengangkutan dilakukan menggunakan tenaga manusia, grobak sapi, motor dan mobil. Sedangkan musim hujan di Sulawesi Utara antara bulan oktober hingga mei. Adanya penanaman pada lahan milik telah merubah tutupan lahan kosong menjadi hutan sebagaimana Gambar 4 poin 1. Nampak perbedaan kebun sengon dengan areal alang-alang yang menandakan bahwa 2 tahun yang lalu lokasi kebun tersebut tidak jauh beda dengan kondisi alang-alang. Bibit yang ditanam di kebun pribadi relatif lebih subur dan persen keberhasilan lebih tinggi dibanding tanaman penghijauan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh rasa kepemilikan, harapan akan keuntungan dan pengaruh adanya sistem tumpang sari dengan palawija sehingga tanaman lebih terawat. Tumpang sari umumnya dilakukan dengan jenis jagung, cabe, pisang, empon-empong (jahe) dan kelapa sebagaimana mana poin 2, 5, dan 6 pada Gambar 4.
100| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
2
1
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Keterangan : 1) Sengon umur 2 tahun di Air Madidi, 2). Cempaka 1,5 tahun di , 3) Jabon merah 1 minggu di Talawaan, 4). Jabon putih 2 Tahun di Wori, 5). Jabon putih 1 tahun, 6). cempaka 6 bulan di Wori, 7). Jabon 6 bulan di Wori, 8). Bibit belum ditanam di Talawaan, 9). Kebun campuran sengon, Jabon dan Gmelina umur 5 bulan di Wori, 10). Penghijauan jalan di Kikavser, 11) Penghijauan Jalan di Likupang dan 12). Penghijauan sempadan sungai di Talawaan.
Gambar 4. Kondisi tanaman hasil distribusi di Kabupaten Minahasa Utara D. Kajian Dampak Persemaian Permanen Terhadap Sektor Kehutanan Hasil evaluasi selama 3 tahun terhadap pendistribusian bibit dan kunjungan ke lokasi persemaian, menunjukkan antusiasme masyarakat Sulawesi Utara akan adanya persemaian permanen dan bibit gratis cukup
101
tinggi. Diketahui hampir seluruh lapisan masyarakat pernah mendapatkan bibit secara gratis untuk ditanam di lingkungannya. Lokasi persemaian juga digunakan sebagai lokasi belajar untuk mengenal dunia kehutanan baik untuk siswa maupun masyarakat secara umum.
a
b Sekola h 42%
Swast a 5%
Pemer intah 52%
LSM 1%
Total 171 orang
Swast Pemer a intah 2% 18%
LSM 4%
Sekola h 76%
Total 566 orang
Gambar 5. Diagram persentase pengunjung tahun 2012 (a) dan 2013 (b). Berdasarkan catatan pengunjung hingga akhir 2013 sebagaimana tergambar pada Gambar 5, terdapat sedikitnya 737 orang pengunjung baik lokal maupun manca negera. Persentase pengunjung yaitu 68 % sekolahan, 26 % pemerintah, 2,9 % LSM dan 2,5 % Swasta. Sebuah terobosan untuk menggugah kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar dan merubah cara pandang akan pentingnya manfaat hutan sejak dini. Jumlah masyarakat Sulawesi Utara yang bekerja di bidang agro (pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan) menurut BPS (2013) mencapai 333.103 orang atau 34,5 %. Jumlah ini merupakan potensi dalam melakukan rehabilitasi lahan-lahan kosong sekaligus memberikan tambahan pengahasilan dari sektor kehutanan. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan prospek hutan tanaman dan pentingnya hutan perlu disebarluaskan sejak dini. Menurut penelitian Supangat et. al. (2002) dalam Rahmayanti (2012) kecenderungan petani memilih jenis tanaman kehutanan untuk kebun antara lain karena bibitnya tidak membeli (41 %), pemasaran bagus 38 %), nilai jual tinggi (17 %) dan tradisi (4 %). Berdasarkan penjelasan tersebut nampak bahwa dengan bibit gratis, memiliki jual cukup tinggi dan adanya usaha pemerintah daerah untuk mendirikan pabrik kayu
102| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
di Sulut merupakan faktor utama yang mempengaruhi keinginan menanam kayu kehutanan. Menurut Asir (2012) masyarakat Sulut telah membudidayakan tanaman kehutanan di areal kebun kelapa. Hasil penelitian menunjukkan sistem ini tidak menurunkan produktifitas kopra dari kepala, justru pada waktu panen akan didapat keuntungan 2-5 kali lebih besar modal. Selain itu dapat mengurangi curah hujan sebagai air limpasan yang dapat menimbulkan erosi pada tanah miring. Tanaman yang dapat dicampur dengan kelapa antara lain cempaka, mahoni, dan nyatoh. Setelah 6 tahun rata-rata diameter tanaman kehutanan berkisar 21-31 cm dan tinggi 6-20 meter, volume rata-rata per hektar 65,46 m3 (cempaka), 194,86 m3 (nantu) dan 257,73 m3 (mahoni). Menurut Widiarti dan Prajadinata (2008) karakteristik penutupan lahan pada sistem kebun campuran mendekati ekosistem hutan berdasarkan tutupan tajuknya dan secara ekologis akan lebih baik dibanding kebun homogen. Produktivitas lahan akan lebih tinggi bila dilakukan penanaman campuran yang terdiri dari kayu-kayuan, buah-buahan / tanaman industri, dan tumbuhan bawah tahan naungan. Penanaman yang bersifat rehabilitasi pada lahan non milik dilakukan oleh kelompok masyarakat seperti atas nama desa, Lembaga Swadaya Masyarakat, kelompok pencinta alam, kelompok tani hutan, kelompok keagamaan, instansi pemerintah dan aparat keamanan. Rehabilitasi dilakukan pada sempadan sungai, jalan, mata air dan areal hutan lindung. Jumlah bibit yang terdistribusi untuk tujuan rehabilitasi lahan non milik + 337.650 (13 %) berdasar data rekapitulasi distribusi ke LSM, aparat, sekolah, universitas dan BUMN. Bibit yang terdistribusi tersebut sedikitnya akan dapat menutup lahan seluas 182,33 ha dengan tingkat keberhasilan 60 % dan jarak tanam 3x3 meter. Sedangkan penutupan hutan pada lahan milik perorangan diperkirakan akan dapat mencapai 1.825,71 ha dengan keberhasilan 80 % dan jarak tanam 4 x 5 meter. Berdasarkan uraian Asir (2012) hal ini akan dapat menurunkan laju erosi tanah mengingat topografi Sulawesi Utara dominan berbukit-bukit. Selain itu dengan pemanfaatan lahan secara optimal di bawah tegakan akan berpengaruh terhadap menurunnya konversi lahan hutan, mengurangi konflik tata batas hutan rakyat dan hutan lindung (HB et al. 2012). Menurut Njurumana et. al. (2008) upaya rehabilitasi dengan pola hutan rakyat memerlukan dukungan pemerintah pada beberapa sektor antara lain : 1) Kebijakan yaitu keberpihakan peraturan rehabilitasi yang dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan meningkatkan fungsi ekologis
103
secara sinergis. Pola pendekatan dengan cara meningkatkan kualitas tapak melalui hutan rakyat, hutan campuran dan agroforestry sehingga akan menciptakan diversifikasi pendapatan masyarakat. 2) Aspek Sosial dan Ekonomi mempertimbangkan mata pencaharian, ternak dan kebutuhan kayu. Adanya ternak dan kebutuhan kayu merupakan ancaman terhadap tanaman muda, belum lagi adanya kebiasaan membakar lahan untuk pertanian. Strategi yang digunakan adalah pengembangan hutan rakyat yang berbasis inisiatif lokal, sehingga akan mudah disosialisasikan karena sudah mengakar dan menjadi bagian kehidupan dan budaya lokal. Kondisi masyarakat Sulawesi Utara yang menyadari pentingnya hutan perlu dibarengi dengan keseriusan pemerintah daerah dalam membina petani kehutanan. Menurut Yumi et. al. (2011) petani memerlukan pembelajaran dalam mengelola hutan rakyatnya, sehingga diperlukan peningkatan kompetensi baik teknis maupun manajerial tentang pengelolaan hutan berkelanjutan. Pemerintah sangat diharapkan dalam hal pembentukan kelembagaan dan pendampingan baik melalui penyuluh maupun pendampingan yang melibatkan swasta dan lembaga swadaya masyarakat. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Produksi dan distribusi bibit mencapai 2.500.015 bibit. Keberhasilan pembibitan cempaka dan jabon telah menjadikan persemaian permanen sebagai sumber referensi pembibitan kedua jenis tersebut. 2. Diperkirakan hasil distribusi bibit yang dilakukan telah ditanam pada areal kebun pribadi dan areal perlindungan setempat (mata air, sempadan sungai, penghijauan jalan) seluas 2.008, 04 ha. 3. Antusiasme masyarakat terhadap persemaian permanen mengalami peningkatan selama 2 tahun, hal ini merupakan peluang untuk mentransformasi peluang usaha dan pentingnya manfaat hutan bagi kehidupan, serta teknik dalam budidaya tanaman kehutanan. 4. Masyarakat secara inisiatif telah melakukan budidaya secara campuran. Model ini dapat menjadi model rehabilitasi lahan kosong yang tepat karena terbukti mampu menurunkan laju erosi tanah dan meningkatkan infiltrasi. Penyediaan bibit unggul gratis, jaminan pemasaran, nilai jual perlu diusahakan bersama. Pemerintah Daerah perlu mengeluarkan kebijakan rehabilitasi yang dapat memfasilitasi kebutuhan dasar masyarakat. Strategi yang dikembangkan yaitu hutan rakyat yang
104| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
berbasis inisiatif lokal akan mudah disosialisasikan karena sudah mengakar dan menjadi bagian kehidupan dan budaya lokal. B. Saran 1. Perekonomian di sektor kehutanan di Sulawesi Utara akan mampu menaikan PAD dengan jalan pemerintah segera membangun industri kayu dengan jalan menarik investor maupun UPTD. 2. Masyarakat perlu didampingi dalam pengelolaan hutan dan lingkungan sekitar, sehingga disamping masyarakat mendapat keuntungan dengan kebun tanaman, areal perlindungan setempat seperti mata air, sempadan sungai dan jalan raya pun akan terlindungi dengan vegetasi. Pendampingan dapat berasal dari penyuluh maupun Lembaga Swadaya Masyarakat dan Swasta. DAFTAR PUSTAKA Abdurahman. 2012. Kebijakan pembangunan kehutanan bidang perbenihan tanaman hutan, dalam Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitasi dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. Asir, L. O. 2012. Analisis finansial kombinasi tanaman kayu-kayuan dengan pertanaman kelapa (Cocos nucifera) di Sulut (Studi Kasus di Kecamatan Mapanget Kota Manado), dalam Prosiding Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitas dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. BPS. (2014, September 20). Jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Sulawesi Utara Tahun 2013. Retrieved from Badan Pusat Statistik Propinsi SUlawesi Utara: http://sulut.bps.go.id/index.php?hal=tabel&id=14 Halawane J. E., H. N. Hidayah dan J. Kinho. 2011. Prospek Pengembangan Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil), Solusi Kebutuhan Kayu Masa Depan. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. HB, A.R., Nurhaedah, dan E. Hapsari. 2012. Kajian strategi optimalisasi pemanfaatan lahan hutan rakyat di Provinsi SUlawesi Selatan. Jurnal peneltian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 9(4):216-228. Hidayah, H. N. dan A. Irawan. 2012. Kesesuaian media sapih terhadap persentase hidup semai jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (ROXB.) Havil). dalam Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitas dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. Irawan, A. dan A. Suryawan. 2013. Pengaruh aplikasi zat pengatur tumbuh (RootonF) terhadap respon pertumbuhan stek pucuk cempaka wasian, dalam
Prosiding Nasional Optimasi Silvikultur I dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Silvikultur Indonesia, (pp. 165 - 171). Makasar.
105
Irawan, A., H. N. Hidayah dan J. E. Halawane. 2012. Pengaruh tingkat kerapatan naungan pada beberapa kelompok pemupukan terhadap pertumbuhan semai cempaka wasian (Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy) di persemaian, dalam Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitas dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. Njurumana G. N. D., B. A. Victoria dan Pratiwi. 2008. Potensi pengembangan mamar sebagai model hutan rakyat dalam rehabilitasi lahan kritis di Timor Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 5(5):473-484. Rahmayanti, S. 2012. Respon masyarakat terhadap pola agroforestri pada hutan rakyat penghasil pulp. Mitra Hutan Tanaman 7(2): 39-50. Wahyuni, N. I. 2012. Rehabilitasi Hutan dan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan di Sulawesi Utara dalam Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitas dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. pp. 49-60 Widiarti A. dan S. Prajadinata. 2008. Karakteristis hutan rakyat pola kebun campuran. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 5(2):145-156. Yudohatono, P. T. 2013. Potensi dan penanganan benih jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) dari provenan Sulawesi Utara. Tekno Hutan Tanaman 6(1):21-27. Yumi, Sumardjo, D.S. Gani, B.S. Sugihen. 2011. Model pengembangan pembelajaran petani dalam mengelola hutan rakyat lestari : Kasus di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 8(3):196210.
106| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.)H.Keng)……. Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan
Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng) pada Tempat Sapih Politub dan Polibag1
Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan2
ABSTRAK Kegiatan penyapihan adalah salah satu bagian penting dalam kegiatan pembibitan. Penggunaan tempat sapih dengan kapasitas volume media yang berbeda akan mempengaruhi efesiensi penggunaan media dan pengangkutan bibit ke lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan bibit cempaka pada tempat sapih politube dan polibag. Bibit cempaka umur satu minggu setelah perkecambahan disapih menggunakan media top soil pada wadah politube dan polibag. Pada umur empat bulan dilakukan pengamatan pertumbuhan bibit meliputi persen hidup (%), tinggi (cm), dan diameter (cm). Jumlah bibit pada masingmasing perlakuan adalah 96 bibit sehingga jumlah total bibit yang diamati adalah 192 bibit. Dari hasil pengamatan dan analisis menggunakan uji t, diketahui bahwa pertumbuhan bibit cempaka pada politub menghasilkan pertumbuhan yang lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan cempaka pada polibag. Parameter pertumbuhan diameter dan tinggi pada politube dan polibag memiliki nilai perbandingan sebesar 45 % dan 119 %. Kata Kunci : cempaka, politube, penyapihan I. PENDAHULUAN Cempaka (Magnolia elegans. (Blume) H. Keng) adalah salah satu dari beberapa jenis kayu cempaka yang dikenal di Sulawesi Utara (Kinho & Irawan, 2011). Kayu ini memiliki klasifikasi kelas awet II dan kelas kuat III, berat jenis 0,41-0,61, kerapatan kayu 400-500 kg/m3 (Langi, 2007). Kayu 1
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2
Balai Penelitian Kehutanan Manado ; Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado; Telp : (0431) 3666683 Email :
[email protected]
107
cempaka memiliki serat yang halus, sehingga sangat sesuai digunakan sebagai bahan baku industri meubel, kusen, alat musik, perahu, alat olahraga, plywood, dll. Pada umumnya masyarakat Minahasa menggunakan kayu cempaka sebagai bahan baku utama dalam pembuatan konstruksi rumah panggung Minahasa atau yang lebih dikenal dengan sebutan rumah
woloan. Kegiatan penyapihan adalah salah satu bagian penting dalam kegiatan pembibitan. Penggunaan tempat sapih dengan kapasitas volume media yang berbeda akan mempengaruhi efesiensi penggunaan media dan pengangkutan bibit ke lapangan. Media tanam adalah salah satu faktor eksternal yang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Media tanam yang baik adalah media yang mampu menyediakan air dan unsur hara dalam jumlah cukup bagi pertumbuhan tanaman. Durahim dan Hendromono (2001) menyatakan bahwa untuk menghasilkan bibit yang berkualitas diantaranya diperlukan media tanam yang kaya dengan bahan organik dan mempunyai unsur hara yang diperlukan tanaman. Tempat bibit yang lebih besar (polibag) akan membutuhkan lebih banyak media dan juga ruang pada saat pengangkutan ke lapangan sehingga mempunyai efesiensi yang lebih rendah dibandingkan tempat bibit yang lebih kecil (politube). Padahal dengan menggunakan tempat bibit dengan kapasitas volume media yang lebih kecil, pada umur tertentu performa pertumbuhan dan mutu bibitnya mungkin telah memadai untuk siap tanam (Junaedi, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan bibit cempaka pada tempat sapih politub dan polibag. Data dan informasi pertumbuhan tersebut diperlukan sebagai bagian yang diperhitungkan dalam pemilihan tempat sapih bibit yang paling sesuai dalam proses pembibitan cempaka. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-November 2012 di Persemaian Permanen BPDAS Tondano yang terletak di Kecamatan Mapanget Kota Manado. Area persemaian berada pada ketinggian 70 m dpl, dengan suhu rata-rata 34 derajat celcius, dan tingkat kelembaban 40 % dengan rata-rata curah hujan bulanan yaitu 270 milimeter (Badan Meteorologi dan Geofisika, 2011).
108| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.)H.Keng)……. Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan
B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain benih cempaka yang berasal dari Kabupaten Minahasa Selatan, media tabur (pasir), media sapih (tanah top soil), tempat sapih politube dengan volume 60 cm3 dan tempat sapih polibag dengan volume 300 cm3. Peralatan yang digunakan antara lain kaliper, penggaris, dan alat tulis. C. Metode Perkecambahan benih dilakukan pada bak plastik menggunakan media pasir. Perkecambahan benih berlangsung pada 10 (sepuluh) hari setelah penaburan dan bibit siap disapih 1 (satu) minggu setelahnya. Bibit disapih pada tempat politube dan polibag menggunakan media tanah top soil. Pada waktu bibit berumur 4 bulan dilakukan pengamatan parameter pertumbuhan bibit yang meliputi persen hidup (%), tinggi (cm), dan diameter (cm). Jumlah bibit pada masing-masing perlakuan adalah 96 bibit sehingga jumlah total bibit yang diamati adalah 192 bibit. D. Analisis Data Untuk membandingkan perbedaan besaran parameter pertumbuhan bibit cempaka pada tempat sapih politub dan polibag maka dilakukan uji t dua sampel bebas. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbandingan besaran parameter pertumbuhan bibit cempaka pada polibag dan politub menggunakan uji t ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Besaran parameter pertumbuhan bibit cempaka umur empat bulan di polibag dan politub Parameter Pertumbuhan Diameter (cm) Tinggi (cm) Persen hidup (%) Keterangan :
Bibit A 0,29 ± 0,003 10,48 ± 0,20 90,63 ± 1,80
Bibit B 0,20 ± 0,002 * 4,77 ± 0,072 * 96,88 ± 1,80 ns
Bibit A = Bibit di polibag; Bibit B = Bibit di politub; * = berbeda nyata pada taraf uji 5% ; ns = tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
Penggunaan tempat sapih polibag dan politub memberikan nilai yang berbeda nyata tehadap pertumbuhan diameter dan tinggi bibit, sedangkan untuk parameter persen hidup tidak memberikan nilai yang berbeda nyata. Hasil perhitungan perbedaan besaran parameter pertumbuhan bibit antara tempat sapih politub dan tempat sapih polibag menunjukkan bahwa perbedaan pertumbuhan diameter memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan perbedaan pertumbuhan tinggi bibit. (Tabel 2).
109
Tabel 2. Perbedaan besaran pertumbuhan antara bibit cempaka di tempat sapih polibag dengan politub Parameter Pertumbuhan Diameter Tinggi Keterangan :
Besar Perbedaan (cm) 0,09 5,71
Presentase Perbedaan 45 % 119 %
Besar perbedaan = pertumbuhan bibit di polibag - pertumbuhan bibit di politub
Pertumbuhan cempaka pada politub menghasilkan pertumbuhan yang lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan cempaka pada polibag. Perbandingan parameter pertumbuhan diameter dan tinggi pada politub dengan tempat sapih polibag memiliki nilai perbandingan sebesar 45 % dan 119 % (Tabel 2). Media berperan seperti halnya tanah di lapangan yakni berfungsi sebagai ruang tempat tumbuh akar serta menyediakan air dan nutrisi bagi tanaman/bibit. Pertumbuhan bibit dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas media yang digunakan. Kualitas media dapat dicerminkan oleh kandungan unsur hara yang dikandung dalam media. Dalam penelitian ini, kualitas media tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bibit cempaka pada polibag dan politub, karena media yang digunakaan adalah sama. Selanjutnya kuantitas media dicerminkan oleh banyaknya (volume) media yang disediakan untuk pertumbuhan bibit. Dengan volume media pada tempat sapih polibag sebesar 300 cm, maka kuantitas medianya akan lebih tinggi lima kali dibandingkan bibit pada tempat sapih politub (volume 60 cm). Hal ini mengakibatkan kuantitas ruang tumbuh, air dan nutrisi yang disediakan untuk pertumbuhan bibit pada tempat sapih polibag lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bibit pada tempat sapih politub. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan diameter dan tinggi bibit cempaka pada polibag lebih tinggi dibandingkan dengan bibit cempaka pada politub. Junaedi (2010) dalam penelitiannya terhadap bibit jabon (Anthocephalus cadamba. Miq) umur 4 bulan yang dicobakan pada tempat sapih polibag dan politub juga menghasilkan nilai perbandingan yang tidak jauh berbeda. Perbandingan pertumbuhan diameter yang dihasilkan adalah sebesar 50 % dan pertumbuhan tinggi sebesar 199 %. Dalam penelitiannya yang lain, Junaedi (2012) juga menyatakan bahwa media dalam polibag dengan volume media 500 cm3 secara signifikan memberikan pertumbuhan lebih baik pada bibit merawan asal sistem KOFFCO umur enam bulan dibandingkan potray (potray kotak volume 350 cm3 dan potray bulat 300 cm3).
110| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.)H.Keng)……. Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan
Penggunaan polibag sebagai tempat sapih bibit sudah banyak dilakukan dan merupakan tempat yang paling umum digunakan karena memiliki harga jual yang relatif murah dan mudah diperoleh. Komaryati dan Gusmailina (2010) menyatakan bahwa keunggulan penggunaan tempat sapih polibag dibandingkan dengan tempat sapih politub adalah pertumbuhan akar tanaman yang ada dalam polibag lebih leluasa berkembang dibandingkan dengan akar tanaman yang berada dalam politub. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam hasil penelitiannya tempat sapih polibag memberikan kelebihan tinggi dan diameter pada Eucalyptus urophylla sebesar 7,57 cm dan 0,24 cm daripada politub. Sedangkan pada Eucalyptus pellita, polibag memberikan kelebihan tinggi dan diameter sebesar 7,62 cm dan 0,37 cm. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Bibit cempaka pada tempat sapih politub memiliki pertumbuhan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan bibit cempaka pada tempat sapih polibag. B. Saran Perlu dilakukan aplikasi penggunaan media lain serta penambahan pupuk yang sesuai sehingga dapat menghasilkan bibit cempaka yang memiliki pertumbuhan lebih optimal pada tempat sapih politub. DAFTAR PUSTAKA Durahim dan Hendromono. 2001. kemungkinan penggunaan limbah organik sabut kelapa sawit dan sekam padi sebagai campuran top soil untuk media pertumbuhan bibit mahoni (Swietenia macrophylla King). Buletin Penelitian Hutan 628:13-26. Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Melton Putra. Jakarta Hendromono. 2003. Kriteria peniliaian mutu bibit dalam wadah yang siap tanam untuk rehabilitasi hutan dan lahan. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 4(1):11-20. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta Junaedi, A. 2012. Pertumbuhan dan mutu fisik bibit merawan (Hopea odorata roxb.) asal sistem KOFFCO di polibag dan potray. Jurnal Penelitian Dipterokarpa 6(1). Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Junaedi, A. 2010. Pertumbuhan dan mutu fisik bibit jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di polibag dan politub. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7(1). Pusat Litbang Produktifitas Hutan. Bogor. Langi, Y.A.R. 2007. model penduga biomassa dan karbon pada tegakan hutan rakyat cempaka (Elmrerillia ovalis) dan wasian (Elmerrillia celebica) di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Thesis. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
111
Kinho, J. dan Mahfudz, 2011. Prospek Pengembangan Cempaka di Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Kinho, J. dan A. Irawan. 2011. Studi keragaman jenis cempaka berdasarkan karakteristik morfologi di Sulawesi Utara. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Hal 61-78 Komarayati, S dan Gusmailina. 2010. Pengaruh Media dan Tempat Tumbuh terhadap Pertumbuhan Anakan Eucalyptus urophylla dan Eucalyptus pellita. Mattjik, A.A. & I.M. Sumertajaya. 1999. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab (jilid 1). Jurusan Statistik, FMIPA-IPB. Bogor. Pratisto. 2004. Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. Elex Media Komputindo. Jakarta.
112| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon 1
Nurlita Indah Wahyuni2
ABSTRAK Kebutuhan akan data perubahan stok karbon hutan yang memenuhi syarat pengukuran, pelaporan dan verifikasi (Measurement, Reporting and Verification, MRV) merupakan salah satu alasan dilakukannya desain ulang Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest Inventory, NFI). Sehingga dari satu data inventarisasi bisa diperoleh beberapa informasi sekaligus seperti potensi tegakan, struktur dan komposisi vegetasi serta biomasa dan karbon hutan. Tulisan ini akan memaparkan tentang korelasi Indeks Nilai Penting (INP) suatu jenis pohon dengan biomasa yang tersimpan di dalamnya. Kajian dilakukan di SPTN III Maelang, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Biomasa pohon dihitung menggunakan persamaan alometrik, sedangkan INP diperoleh dengan menghitung parameter penyusun INP yaitu Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). Uji korelasi menggunakan data biomasa dan INP satu jenis pohon yang sama. Berdasarkan hasil analisis vegetasi Alangium javanicum memiliki INP tertinggi sebesar 29,34 %. Sedangkan jenis pohon dengan rata-rata biomasa terbesar adalah Calophyllum soulattri dengan biomasa sebesar 96,53 Mg/ha. Analisis korelasi dengan taraf nyata 0,01 menunjukkan bahwa INP berpengaruh nyata terhadap nilai biomasa dengan nilai korelasi sebesar 0,752 yang berarti terdapat hubungan signifikan antara INP dengan biomasa. Kata kunci: korelasi, indeks nilai penting, biomasa, pohon
1
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2
Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Manado Telp. 0431-3666683; Email:
[email protected]
113
I. PENDAHULUAN Dalam rangka pengumpulan data dan informasi terkait sumber daya hutan, khususnya stok kayu dan penyebarannya, Kementerian Kehutanan telah menerapkan Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest Inventory, NFI) sejak tahun 1990-an. Kurang lebih 3000 plot contoh telah dibuat dan dimonitor, yang tersebar secara sistematik di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian dari plot contoh juga telah dilakukan pengukuran ulang (re-enumerasi). Terkait dengan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK), plot-plot contoh ini merupakan sumber potensi data yang baik untuk pendugaan stok karbon hutan dan perubahannya. Terlebih dengan adanya syarat pengukuran, pelaporan dan verifikasi (Measurement, Reporting and Verification, MRV) untuk menghitung seberapa besar penurunan emisi (Ruslandi, 2012). Inventarisasi hutan merupakan salah satu kegiatan yang selalu dilaksanakan dalam pengelolaan hutan baik di kawasan produksi maupun konservasi. Secara umum, inventarisasi bertujuan untuk memperoleh informasi dan memantau kondisi sumberdaya hutan. Data yang diperoleh dalam inventarisasi antara lain topografi, jenis tanah, curah hujan, jenis pohon, dimensi pohon (diameter, tinggi, lebar tajuk), jumlah spesies pada tiap tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang, dan pohon), serta kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Inventarisasi di awal kegiatan dapat memberikan informasi awal kondisi hutan, sedangkan inventarisasi secara berkala dapat menggambarkan pertumbuhan tegakan dan hasil kayu (growth and yield) (Simon, 2007). Data hasil inventarisasi ini selain digunakan untuk mengetahui potensi tegakan, juga untuk mengetahui kondisi vegetasi dengan cara menganalisis struktur dan komposisi vegetasi dalam pengolahan data lebih lanjut yaitu analisis vegetasi. Analisis vegetasi biasa dilakukan untuk mempelajari komposisi jenis dan struktur vegetasi pada satu wilayah. Dalam analisis vegetasi, terdapat dua parameter yang biasa digunakan yaitu parameter kuantitatif dan parameter kualitatif. Analisis vegetasi akan menjawab jenis tumbuhan yang dominan dan memberi ciri utama komunitas hutan. Ukuran dominansi vegetasi dinyatakan dalam beberapa parameter antara lain biomasa, penutupan tajuk, luas basal area, indeks nilai penting dan perbandingan nilai penting (Indriyanto, 2010). Dalam proses hidupnya, vegetasi hutan melakukan proses fotosintesis (metabolisme) untuk petumbuhan dan penambahan biomasa. Biomasa diperoleh dari hasil proses fotosintesis tumbuhan dan berguna untuk
114| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni
menambah massa tumbuhan. Dalam ekosistem hutan, biomasa dideskripsikan sebagai jumlah energi yang terikat per satuan luas per satuan waktu pada tiap tingkat trofik dan dapat digambarkan dalam piramida biomasa (Indriyanto, 2010). Sedangkan dalam perubahan iklim khususnya di sektor kehutanan, biomasa erat kaitannya dengan jumlah gas karbondioksida (CO2) yang diserap dan disimpan oleh tumbuhan. Biomasa didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas (Brown, 1997). Biomasa pohon merupakan penyusun utama biomasa dalam tegakan hutan. Penghitungan biomasa pohon dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung (destruktif) dan tidak langsung (non-destruktif). Metode destruktif dilakukan dengan memanen seluruh bagian pohon, mengeringkan dan menimbang berat biomasanya. Sedangkan dengan metode nondestruktif, biomasa pohon diperoleh dari persamaan alometrik dengan menggunakan variabel diameter dan tinggi baik persamaan spesifik tiap jenis maupun persamaan umum (Sutaryo, 2009). Salah satu data yang dihasilkan dalam inventarisasi hutan adalah diameter (d) atau diameter setinggi dada (dbh). Data diameter ini antara lain dapat digunakan untuk menghitung volume pohon (penaksiran potensi tegakan), Indeks Nilai Penting (INP) dalam analisis vegetasi hutan, serta penghitungan biomasa pohon dengan menggunakan persamaan alometrik. Dalam tulisan ini akan dipaparkan tentang korelasi INP suatu jenis pada fase pertumbuhan pohon dengan biomasa yang tersimpan di dalamnya. Sehingga dari data INP dapat diketahui jenis pohon apa yang menyimpan biomasa terbesar. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data dilaksanakan pada bulan September 2012 di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) III Maelang, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dan menjadi obyek dalam kegiatan penelitian ini terdiri dari tegakan hutan kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di SPTN III Maelang. Peralatan yang digunakan pada saat pengambilan data di lapangan antara lain peta kerja, tali rafia, tali tambang, plastik spesimen,
115
gunting tanaman, timbangan digital, pita ukur, Global Positioning System (GPS), pita penanda, tally sheet , alat tulis dan perangkat lunak analisis statistik. C. Prosedur Penelitian Pengumpulan data untuk menghitung INP dan mengetahui jumlah biomasa tersimpan diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan. Total dibuat sebanyak 30 plot ukur biomasa yang ukurannya mengacu pada Hairiah dan Rahayu (2007), yaitu 1 plot berukuran 5x40 m (pohon dengan diameter 5-30 cm) dan 29 plot berukuran 20x100 m (pohon berdiameter >30 cm). Data yang dikumpulkan adalah nama jenis dan diameter (dbh) setiap pohon di dalam plot. D. Analisis Data Analisis data meliputi data hasil pengukuran untuk memperoleh nilai biomasa tiap pohon serta penghitungan Indeks Nilai Penting (INP). Penghitungan biomasa pohon dilakukan secara non destruktif melalui persamaan alometrik. Berdasarkan data curah hujan di lokasi penelitian, sebesar 1.200-2.000 mm/tahun, maka digunakan persamaan alometrik zona lembab yang telah dikembangkan oleh Brown (1997) dimana: Y = biomasa per pohon (kg) dan D = dbh (cm). Sedangkan INP tiap jenis pohon diperoleh dengan menghitung parameter penyusun INP yaitu Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). Persamaan untuk menghitung KR, FR, DR dan INP terdapat dalam Tabel 1. Kerapatan menyatakan jumlah satu jenis individu dalam plot pengukuran. Frekuensi suatu jenis tumbuhan adalah jumlah plot pengukuran tempat ditemukannya suatu jenis dari sejumlah plot pengukuran yang dibuat. Frekuensi menggambarkan tingkat penyebaran jenis dalam ekosistem yang dipelajari. Dominansi merupakan nilai luas bidang dasar individu pohon, sedangkan dominansi relatif persentase bidang dasar suatu jenis terhadap jumlah bidang dasar seluruh jenis. Sebagian besar kajian dan pustaka merumuskan INP sebagai penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). Biomasa dan INP dihitung pada setiap jenis pohon yang ditemukan dalam plot. Untuk mengetahui adanya korelasi antara biomasa dan INP satu jenis pohon yang sama, digunakan uji korelasi Spearman dengan bantuan perangkat lunak analisis statistik.
116| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni
Tabel 1. Persamaan untuk menghitung Indeks Nilai Penting No
Faktor
Persamaan
Keterangan
K-i : Kerapatan jenis ke-i
1.
Kerapatan Relatif
KR-i : kerapatan relatif setiap jenis ke-i terhadap kerapatan total
F-i : frekuensi jenis ke-i
2.
Frekuensi Relatif
FR-i : frekuensi relatif setiap jenis ke-i terhadap frekuensi total
D-i : dominansi jenis ke-i
3.
Dominansi Relatif
4.
Indeks Nilai Penting
DR-i : dominansi relatif setiap jenis ke-i terhadap dominansi total
Sumber: Indriyanto (2007)
117
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TN BNW) secara geografis terletak antara 0⁰20‟ – 0⁰51‟ LU dan 123⁰06‟ – 123⁰18‟ BT, serta masuk dalam wilayah dua provinsi yaitu Sulawesi Utara dan Gorontalo. Dari luas keseluruhan 287.115 ha, seluas 117.115 ha (62,32 %) berada di Sulawesi Utara dan 110.000 ha (37,68 %) termasuk dalam wilayah Gorontalo. Berdasarkan Schmidt dan Ferguson, wilayah TN BNW termasuk dalam tipe iklim A, B dan C, dengan curah hujan rata-rata antara 1.700-2.200 mm per tahun dan suhu rata- rata antara 20 ⁰C-28 ⁰C. Sedangkan topografi kawasan ini sangat beragam mulai dari datar, bergelombang ringan sampai berat dan berbukit terjal dengan ketinggian antara 50 – 1.970 m dpl. Beberapa tipe hutan yang terdapat di dalamnya adalah hutan lumut, hutan hujan pegunungan rendah, hutan hutan dataran rendah dan hutan sekunder (BTN BNW, 2006). Lokasi pengambilan data terletak pada kawasan SPTN III Maelang, kawasan di Puncak Biyango (600 m dpl) dan Kayu Lawang (7001000 m dpl). A. Indeks Nilai Penting dan Biomasa Pohon Indeks Nilai Penting (INP) menyatakan peran suatu tumbuhan di dalam komunitas. Makin besar INP suatu jenis tumbuhan, maka makin besar pula peranan jenis tersebut di dalam komunitas yang diukur. Jika INP merata pada banyak jenis, dapat dikatakan keanekaragaman hayati di komunitas tersebut semakin tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data, ditemukan terdapat 58 jenis pohon dalam plot pengukuran. Jumlah jenis pohon ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan kajian yang dilakukan oleh Irawan (2011) yaitu sebanyak 98 jenis. Walaupun kajian tersebut juga dilakukan dalam kawasan TN BNW, namun berbeda lokasi dan tipe hutan yang terletak lebih tinggi serta termasuk hutan primer. Jenis- jenis pohon yang ditemukan dalam plot pengukuran sebagian besar merupakan jenis yang sering ditemukan di dalam hutan di Sulawesi Utara. Karena lokasi penelitian merupakan hutan alam, maka pohon yang berada dalam plot cukup beragam. Hasil analisis vegetasi menunjukkan jenis pohon dengan INP tertinggi sebesar 29,34 % adalah Alangium javanicum. Sedangkan pohon dengan INP terendah adalah Pangium edule dan Ficus sp. dengan INP masing-masing sebesar 0,25 %. Bahkan hanya terdapat 11 jenis pohon dengan INP > 10, hal ini menunjukkan tegakan tersebut tidak didominasi oleh beberapa jenis pohon saja. Meski untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan perhitungan Indeks Dominansi dan Indeks
118| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni
Keanekaragaman. Nilai Frekuensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR) dan INP masing-masing jenis pohon terdapat Tabel 2. Jenis pohon dengan rata-rata biomasa terbesar adalah Calophyllum soulattri dengan biomasa sebesar 96,53 ton/ha. Sedangkan pohon dengan biomasa terkecil 0,04 ton/ha adalah jenis Albizia lebeck. Jika nilai biomasa tiap jenis pohon disusun dengan urutan terbesar hingga terkecil, maka dapat dilihat bahwa hanya 21 jenis pohon dengan rata-rata biomasa > 10 ton/ha. Penyusunan INP dan rata-rata biomasa dari nilai terbesar hingga terkecil menunjukkan pohon dengan INP tertinggi tidak secara otomatis memiliki biomasa tertinggi. Misalnya jenis pohon dengan INP tertinggi adalah A. javanicum namun rata-rata biomasanya 88,65 ton/ha, atau terbesar kedua setelah C. soulattri yang berada pada urutan keempat dengan INP sebesar 15,61 %. Tabel 2. Indeks Nilai Penting dan biomasa pohon dalam plot pengukuran No
Jenis Pohon
FR (%)
KR (%)
DR (%)
INP (%)
Biomasa (Mg/ha)
1
Alangium javanicum
4.85
12.74
11.75
29.34
88.65
2
Meliosma nitida
3.81
7.82
7.73
19.36
41.78
3
Myristica fatua
4.16
5.94
6.16
16.26
63.56
4
Calophyllum soulattri.
3.99
4.6
7.02
15.61
96.53
5
Cratoxylum celebicum
4.16
6.64
3.46
14.25
50.86
6
Psychotria sp.
4.51
5.94
2.7
13.15
30.88
7
Ardisia villosa
2.95
2.73
5.64
11.32
30.60
8
Canarium indicum
3.64
3.48
4.17
11.28
26.33
9
Syzygium glomeratum
3.47
4.07
3.7
11.23
67.99
10
Dillenia suffruticosa
4.16
2.62
4.27
11.06
65.65
11
Mangifera sp.
3.47
3.85
2.75
10.07
12.72
12
Polyalthia glauca
3.64
4.07
1.98
9.69
12.40
13
Pterospermum spp.
2.43
2.78
3.22
8.43
56.02
14
Palaqium obtusifolium
3.47
2.09
2.09
7.64
25.24
15
Talauma candolei
1.39
1.18
4.88
7.45
85.80
16
Turpinia sphaerocarpa
3.64
2.46
1.23
7.33
8.81
17
Drypetes longifolia
2.77
2.94
1.18
6.9
6.57
18
Bischoffia javanica
1.56
0.96
4.02
6.54
17.03
119
No
Jenis Pohon
FR (%)
KR (%)
DR (%)
INP (%)
Biomasa (Mg/ha)
19
Sandoricum koetjape
2.77
1.98
0.78
5.54
4.07
20
Aglaia tomentosa
2.43
2.3
0.58
5.31
0.25
21
Agathis philippensis .
1.21
1.07
2.71
4.99
16.24
22
Vitex cofassus
0.17
1.34
3.31
4.83
62.86
23
Eugenia sp.
1.21
1.23
2.23
4.68
20.25
24
Iilex cymosa
2.08
1.55
0.8
4.43
2.44
25
Zyzygium sp.
2.95
1.07
0.33
4.35
0.06
26
Knema sp.
1.39
1.66
0.99
4.04
6.87
27
Podocarpus neriifolius
1.21
0.48
1.87
3.57
13.06
28
Garcinia deodalanthera
2.08
0.86
0.33
3.26
8.40
29
Heritiera sp.
1.56
0.7
0.87
3.12
3.29
30
Pometia pinñata
1.73
0.64
0.72
3.09
2.91
31
x5*
1.39
0.91
0.26
2.55
1.43
32
Ailanthus integrifolia
1.21
0.59
0.68
2.49
3.45
33
Celtis sp.
1.56
0.43
0.21
2.2
2.09
34
Cananga odorata
1.04
0.7
0.46
2.19
2.76
35
Ficus sp.
1.21
0.59
0.21
2.01
1.29
36
Gnetum sp.
1.91
0.05
0.03
1.99
1.36
37
Tetrameles nudiflora
0.35
0.21
1.37
1.93
5.93
38
Hibiscus tiliaceus
1.04
0.59
0.19
1.82
3.28
39
Pterospermum spp.
0.87
0.21
0.61
1.69
2.60
40
x3*
0.17
1.18
0.24
1.59
3.08
41
Ficus sp.
0.69
0.16
0.14
0.99
6.31
42
Bischoffia javanica
0.17
0.05
0.55
0.77
2.41
43
Artocarpus sp.
0.52
0.16
0.05
0.73
0.40
44
Merintek*
0.35
0.11
0.21
0.67
48.82
45
Alstonia
0.35
0.11
0.19
0.64
8.43
46
Aglaia sp.
0.35
0.11
0.15
0.6
6.47
47
Spondias amara
0.35
0.11
0.08
0.53
2.02
48
Paraseriantes falcataria
0.35
0.16
0.02
0.53
0.04
49
Pete*
0.35
0.11
0.06
0.52
2.59
50
x2*
0.35
0.11
0.03
0.48
1.08
120| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni
No
Jenis Pohon
FR (%)
KR (%)
DR (%)
INP (%)
Biomasa (Mg/ha)
51
Ternstroemia elongata
0.17
0.05
0.2
0.43
9.04
52
Garuga floribunda Koordesiodendron celebicum
0.35
0.05
0.01
0.41
0.07
0.17
0.05
0.12
0.34
0.46
54
Macaranga sp.
0.17
0.11
0.05
0.33
0.25
55
x1*
0.17
0.05
0.1
0.33
4.48
56
x6*
0.17
0.05
0.03
0.26
0.11
57
Pangium edule
0.17
0.05
0.02
0.25
0.06
58
x4*
0.17
0.05
0.03
0.25
0.08
53
Sumber: diolah dari data primer Keterangan: FR=Frekuensi Relatif, KR= Kerapatan Relatif, DR= Dominansi Relatif Jenis pohon diurutkan berdasarkan INP terbesar hingga terkecil * jenis pohon yang tidak teridentifikasi nama ilmiahnya
B. Korelasi Indeks Nilai Penting dengan Biomasa Analisis korelasi merupakan salah satu metode untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua peubah, besarnya diukur dengan sebuah bilangan yang disebut koefisien korelasi (r). Nilai koefisien korelasi ini berkisar antara 1 sampai -1, yang diartikan apabila nilai r mendekati 1 atau 1, dapat dikatakan hubungan antara dua peubah tersebut semakin kuat. Sedangkan bila r mendekati 0, maka hubungan antara dua peubah semakin lemah. Koefisien positif atau negatif menunjukkan hubungan searah (bila X naik maka Y naik) dan terbalik (bila X naik maka Y turun) antara dua peubah (Walpole, 1982). Hasil analisis korelasi antara INP dengan biomasa pohon menunjukkan INP berpengaruh nyata terhadap nilai biomasa (taraf nyata 0,01) dengan nilai korelasi sebesar 0,752 seperti tertera dalam Gambar 1 dan Tabel 3. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara INP dengan biomasa yang bernilai positif, yang berarti peningkatan INP sebanding dengan biomasa. Pada Gambar 1 terlihat sebagian besar data terkelompok di kiri bawah dan beberapa data terpencar menjauhi garis imajiner. Sedangkan garis imajiner bernilai positif dengan kemiringan dari sudut kiri bawah ke kanan atas, yang berarti INP berasosiasi positif terhadap biomasa pohon.
121
120,00
100,00
Biomasa (ton/ha)
80,00
60,00 Rata-rata biomasa (ton/ha)
40,00
20,00
0,00
5,00
10,00
15,00 20,00 INP (%)
25,00
30,00
35,00
Gambar 1. Diagram pencar korelasi antara INP dengan biomasa pohon Meskipun menurut hasil perhitungan, pohon dengan INP dan biomasa tertinggi merupakan jenis berbeda. Lebih lanjut dapat ditelaah dari persamaan untuk menghitung biomasa pohon dan INP. Biomasa pohon dihitung menggunakan persamaan Brown (1997) , di mana Y adalah biomasa per pohon (kg) dan D merupakan diameter setinggi dada (cm). Sedangkan INP merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). Kerapatan menunjukkan jumlah individu yang ditemukan, frekuensi menunjukkan intensitas ditemukannya suatu jenis atau penyebaran jenis tersebut dan dominansi menunjukkan dominansi suatu jenis terhadap komunitas yang diamati. Dari persamaan untuk menghitung INP dan biomasa pohon terdapat satu data yang sama, yaitu data diameter pohon. Dalam perhitungan INP, peubah diameter digunakan untuk menghitung dominansi dari luas bidang dasar (basal area) dengan persamaan . Penyusunan ulang data dengan mengurutkan DR dari nilai terbesar hingga terkecil
122| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni
menunjukkan beberapa pohon memiliki DR yang berbanding lurus dengan INP dan biomasa. Jenis-jenis pohon tersebut antara lain Alangium javanicum, Meliosma nitida, Calophyllum soulattri, Myristica fatua dan Ardisia villosa. Tabel 3. Korelasi Indeks Nilai Penting (INP) dengan biomasa pohon INP Spearman's rho INP
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Biomass
Biomass
1.000
.752**
.
.000
58
58
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Total biomassa dan stok karbon yang tersimpan dalam ekosistem hutan sangat bervariasi di antara tipe dan kondisi hutan. Hasil kajian yang dilakukan oleh Krisnawati dkk (2012) menyebutkan pool karbon pada biomassa di atas permukaan tanah merepresentasikan proporsi terbesar dari total stok karbon, yaitu antara 53,6 % sampai dengan 70,6 %. Sedangkan pohon (DBH ≥ 10 cm) merupakan komponen yang memberikan kontribusi stok karbon terbesar pada ekosistem hutan, yaitu dari 44 % sampai 65 %. Bervariasinya proporsi ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi jenis yang berkorelasi erat dengan kerapatan kayu, khususnya kerapatan kayu pohon-pohon besar dengan volume kayu yang besar. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil analisis vegetasi menunjukkan jenis pohon dengan INP tertinggi sebesar 29,34 % adalah Alangium javanicum. Sedangkan jenis pohon dengan rata-rata biomasa terbesar adalah Calophyllum soulattri dengan biomasa sebesar 96,53 ton/ha. Analisis korelasi dengan taraf nyata 0,01 menunjukkan bahwa INP berpengaruh nyata terhadap nilai biomasa dengan nilai korelasi sebesar 0,752. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara INP dengan biomasa yang bernilai positif, yang berarti peningkatan INP sebanding dengan biomasa. Terdapat satu peubah yaitu diameter pohon yang sama-sama digunakan untuk menghitung biomasa dan
123
dominansi dalam INP. Sehingga besar biomasa secara tidak langsung berkorelasi dengan dominansi jenis pohon tersebut. B. Saran Kajian ini hanya dilakukan pada tingkat pohon yang berada pada tegakan hutan alam di SPTN III Maelang TN Bogani Nani Wartabone. Hasil analisis korelasi mungkin akan berbeda bila dilakukan kajian pada lokasi dan jenis tegakan yang lain serta penggunaan persamaan alometrik yang berbeda. Sedangkan untuk mengetahui struktur dan komposisi tumbuhan perlu dilakukan analisis vegetasi pada tiap fase pertumbuhan. DAFTAR PUSTAKA Badan Standardisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia 7724:2011 tentang pengukuran dan penghitungan cadangan karbon – pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground based forest carbon accounting) Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. 2006. Revisi Zonasi Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Brown, S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forests: a Primer. FAO Forestry Paper – 134. FAO, Rome. Hairiah K., S. Rahayu. 2007. Pengukuran „Karbon Tersimpan‟ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre – ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Indonesia. 77 p. Irawan, A. 2011. Keterkaitan struktur dan komposisi vegetasi terhadap keberadaan anoa di kompleks Gunung Poniki Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara. Info Balai Penelitian Kehutanan Manado 1(1). Manado Krisnawati, H., W.C. Adinugroho, R. Imanuddin, dan S. Hutabarat. 2014. Pendugaan Biomassa Hutan untuk Perhitungan Emisi CO2 di Kalimantan Tengah: Pendekatan komprehensif dalam penentuan faktor emisi karbon hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan. Kehutanan, Bogor, Indonesia. Ruslandi. 2012. Penyempurnaan National Forest Inventory untuk Inventarisasi Stok dan Estimasi Emisi Karbon Hutan Tingkat Provinsi. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, UN-REDD, FAO, UNDP dan UNEP. Jakarta. Simon, H. 2007. Metode Inventore Hutan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sutaryo, D. 2009. Penghitungan biomasa: sebuah pengantar untuk studi karbon dan perdagangan karbon. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor. Walpole, R.E. 1982. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
124| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh… Jafred E. Halawane dan julianus Kinho
Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck) Umur 6 Bulan di Bitung, Sulawesi Utara1 Jafred E. Halawane dan Julianus Kinho2 ABSTRAK Nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck) adalah salah satu jenis tanaman asli Indonesia bernilai ekonomi dan memiliki berbagi kegunaan. Jenis ini sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat, namun sampai saat ini penggunaan benih berkualitas masih sangat minim sehingga tegakan yang dihasilkan memiliki produktivitas dan kualitas yang rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui taksiran awal parameter genetik sifat pertumbuhan tinggi dan diameter dari tanaman uji keturunan nyatoh di Hutan Penelitian Batuangus. Objek penelitian ini adalah tanaman uji keturunan nyatoh umur 6 bulan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok yang terdiri atas 45 famili, 5 tree plot dan 5 blok. Jarak tanam yang digunakan 4 x 5 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, secara genetik faktor famili berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman nyatoh umur 6 bulan, taksiran nilai heritabilitas famili (h²f) pertumbuhan tinggi adalah 0,54 dan diameter 0,47. Taksiran nilai heritabilitas individu (h²i) pertumbuhan tinggi 0,28 dan diameter 0,21. Korelasi genetik (rG) antara sifat pertumbuhan tinggi dan diameter adalah 0,74 dan korelasi fenotipe (rP) adalah 0,72. Kata kunci : nyatoh, uji keturunan, heritabilitas dan korelasi genetik. I. PENDAHULUAN Nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck) adalah salah satu jenis tanaman asli Indonesia yang tumbuh pada tanah berawa dan pada tanah kering dengan ketinggian 20 - 500 m dpl. Jenis ini termasuk dalam famili Sapotaceae dan memiliki daerah sebaran di seluruh Indonesia. Kayu nyatoh dikenal dengan berbagai nama yang berbeda-beda di berbagai daerah di 1
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2
Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget, Manado, 95259, Sulawesi Utara. Tel. +62-431-3666683; Email :
[email protected]
125
Indonesia seperti: balam, bengku, sau payo (Sumatera); Getah perca, jengkot, kawang dan tanjungan (Jawa); katiau, margetahan (Kalimantan); nantu, kume, nato, sodu-sodu (Sulawesi); Siki, gofiri, arupa (Maluku) dan maneo keaaf (Nusa tenggara) Martawijaya dkk. (2005). Nyatoh termasuk dalam klasifikasi klas kuat II dan klas awet IV sampai V, (Martawijaya dkk., 2005). Kayu nyatoh banyak digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti: bahan baku konstruksi, papan, lantai dan panel. Menurut Mandang dan Suhendra (2003), kayu nyatoh dapat dijadikan alternatif bahan pembuatan pensil yang cukup potensial. Secara umum kayu nyatoh juga digunakan sebagai bahan veneer, meubelair, kertas bungkus (kraft paper) dan bahan konstruksi rumah (Samingan, 1982). Kayu nyatoh di Sulawesi Utara banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan rumah adat minahasa yang dikenal dengan sebutan rumah Woloan. Pemenuhan kebutuhan kayu untuk pembuatan rumah Woloan sampai saat ini tidak hanya berasal dari hutan-hutan alam yang tersebar di Sulawesi Utara, tapi juga berasal dari hutan-hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat. Tegakan nyatoh banyak ditemukan hampir pada setiap hutan rakyat, kebun campuran dan hutan keluarga (hutan pasini) di kabupaten Minahasa Utara (Kema), Kabupaten Minahasa (Kaima, Kapataran, Tondano), Kabupaten Minahasa Selatan (Tareran, Kapoya), Kabupaten Bolaang Mongondow (Bantik, Otam), dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Molibagu). Namun demikian, sampai saat ini produktivitas kayu nyatoh yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman masih belum dapat mencukupi kebutuhan kayu untuk rumah Woloan secara khusus dan permintaan masyarakat di pasaran pada umumnya. Hal ini disebabkan karena permintaan kayu di pasaran dan permintaan kayu bagi industri rumah Woloan yang terus mengalami peningkatan, sementara potensi kayu nyatoh di hutan alam terus mengalami penurunan dan benih yang digunakan selama ini untuk mendukung tindakan budidaya lewat pembangunan hutan tanaman masih bersumber dari tegakan benih teridentifikasi, bahkan sebagian besar masih berasal dari hutan rakyat atau hutan alam yang kurang berkualitas sehingga produktivitas tegakan yang dihasilkan juga rendah. Demplot kebun benih nyatoh yang telah dibangun merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka menyediakan benih unggul untuk meningkatkan produktivitas hutan tanaman nyatoh yang akan dibangun. Penggunaan benih unggul terutama benih hasil pemuliaan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tanaman nyatoh. Menurut Zobel dan Talbert
126| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh… Jafred E. Halawane dan julianus Kinho
(1984) menyebutkan bahwa kegiatan pemuliaan bertujuan untuk memaksimalkan perolehan genetik untuk sifat-sifat tertentu seperti persentase hidup tanaman, kecepatan pertumbuhan, bentuk batang, kemampuan adaptabilitas dan sifat-sifat lain yang diinginkan. Salah satu kegiatan pemuliaan yang dapat dilakukan adalah melalui uji keturunan yang selanjutnya diharapkan dapat dikonversi menjadi Kebun Benih Semai (KBS). Dalam upaya tersebut, Balai Penelitian Kehutanan Manado pada tahun 2012 telah membangun uji keturunan nyatoh di Hutan Penelitian Batuangus, Bitung, Sulawesi Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui taksiran awal parameter genetik sifat pertumbuhan tinggi dan diameter dari tanaman uji keturunan nyatoh yang telah dibangun. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan sejak Desember 2012 sampai Juni 2013 di Hutan Penelitian Batuangus, Kelurahan Kasawari, Kecamatan Aertembaga, Kota Bitung Sulawesi Utara seluas 2,5 ha. B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: kaliper, meteran, mistar, altimeter, GPS, Thermohigrometer, peta tanaman, tally sheet dan alat tulis-menulis. Bahan penelitian yaitu tanaman uji keturunan nyatoh halfshib umur 6 bulan. C. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Complete Blok Design) yang terdiri atas 45 famili, 5 tree plot dan 5 blok. Jarak tanam yang digunakan 4 x 5 m. Informasi mengenai asal usul famili-famili yang diuji ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Informasi asal famili-famili uji keturunan nyatoh No
Asal Famili
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bantik Kapataran Kaima Kapoya Molibagu Tadoy
Jumlah Famili
Lintang (LS)
Bujur (BT)
Ketinggian Tempat (mdpl)
6 11 17 3 2 6
000 54‟ 01 09-010 10‟ 010 22-010 23‟ 010 15‟ 000 23‟ 000 54‟
1240 06‟ 1250 01‟ 1250 01‟ 1240 39‟ 1230 59‟ 1240 06‟
11 17-48 115-243 308-313 40-43 11
0
127
D. Analisis Data Data hasil pengukuran selanjutnya ditabulasi dan dianalisis menggunakan program SAS ver 19. Jika terdapat perbedaan yang nyata akan dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Model matematis yang digunakan untuk uji keturunan half-sib dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Yijk = µ + Ri + Fj + BFij + εijk Keterangan : Yijk : Pengamatan pada individu pohon ke-k, dari famili ke-j dalam blok ke-i µ : Rerata umum Ri : Pengukuran Blok ke-i Fj : Pengukuran Famili ke-j BFij : Pengaruh Interaksi blok ke-j pada famili ke-i Fi : efek famili ke-i εijk : eror random Besarnya faktor genetik terhadap variabel total dianalisis dengan menghitung nilai heritabilitas individu dan famili dengan menggunakan persamaan Zobel and Talbert (1984) sebagai berikut : Heritabilitas Individu
Heritabilitas family ⁄
⁄
Keterangan : = Heritabilitas individu = Heritabiltas famili = Komponen varians famili = Komponen varians interaksi famili dan blok = Komponen varians error Sedangkan untuk mengetahui korelasi antar genotipe menggunakan persamaan sebagai berikut:
128| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh… Jafred E. Halawane dan julianus Kinho
√ Keterangan : = Korelasi genetik =Komponen kovarian antar dua sifat = Komponen varian aditif untuk sifat x = Komponen varian aditif untuk sifat y III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Variasi Genetik Pertumbuhan Tinggi dan Diameter. Salah satu faktor yang sangat penting dalam program pemuliaan pohon yaitu adanya variabilitas di antara famili yang diuji. Informasi mengenai variabilitas yang terjadi pada berbagai sifat yang ditampilkan oleh pohon dapat diketahui dengan melakukan analisis varians terhadap sifat-sifat yang diukur. Sifat-sifat yang diukur dalam penelitian ini adalah sifat pertumbuhan (tinggi dan diameter). Menurut Nai‟em (2004), faktor yang menyebabkan terjadinya variasi antara pohon adalah perbedaan genetik antar pohon, perbedaan lingkungan tempat tumbuh dan interaksi antara keduanya. Analisis varians yang dilakukan terhadap sifat-sifat yang diukur ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis varians sifat tinggi dan diameter tanaman nyatoh uji keturunan Half-sib di Hutan Penelitian Batuangus. Parameter yang diukur A.
B.
Diameter
Tinggi
Sumber Variasi
Derajat bebas
Kuadrat Rerata
4
0,034 **
Fam
44
0,570 **
Blok*Fam
174
0,006 ns
Error
568
0,006
Blok
4
0,072 ns
Fam
44
0,224**
Blok*Fam
174
6,751 ns
Error
568
0,030
Blok
Keterangan : ns = tidak signifikan ** = signifikan pada taraf uji 0,05
129
Berdasarkan hasil analisis varians pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada umur 6 bulan, faktor famili berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter, sedangkan faktor blok signifikan terhadap sifat diameter dan tidak signifikan terhadap sifat tinggi. Interaksi antara sifat tinggi dan diameter tidak signifikan terhadap sifat tinggi maupun diameter. Hasil analisis varians yang signifikan dari faktor famili terhadap sifat pertumbuhan tinggi dan diameter menunjukkan bahwa tanaman nyatoh umur 6 bulan yang diuji telah menunjukkan variabilitas secara genetik terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman yang diuji. Menurut Wright (1976), selain pengaruh faktor genetik, faktor yang mempengaruhi keragaman geografis adalah besarnya pebedaan lingkungan. Keadaan ekologis lingkungan yang berperan penting antara lain: iklim, tanah, cahaya matahari dan ketinggian tempat. B. Heritabilitas Heritabilitas diartikan sebagai perbandingan antara besarnya varians genetik dengan varians total di dalam suatu populasi, dimana varians total adalah penjumlahan antara varians genetik dengan varians lingkungan, (Wright 1976; Zobel dan Talbert, 1984; Fins et al. 1991). Menurut Hardiyanto (2010), heritabilitas merupakan proporsi variasi dalam populasi yang disebabkan oleh perbedaan genetik diantara individu atau parameter yang mengkuantifikasikan seberapa besar suatu sifat dikendalikan oleh faktor genetik. Nilai heritabilitas sifat tinggi dan diameter ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Taksiran nilai heritabilitas sifat tinggi dan diameter tanaman uji keturunan Half-sib nyatoh umur 6 bulan di Hutan Penelitian Batuangus. Heritabilitas Sifat h²i h²f Tinggi
0,28
0,54
Diameter
0,21
0,47
Hasil yang ditampilkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa taksiran nilai heritabilitas famili untuk sifat tinggi dan diameter lebih tinggi dibandingkan dengan taksiran nilai heritabilitas individu. Hal ini sesuai dengan Zobel dan Talbert (1984), yang menyebutkan bahwa nilai heritabilitas famili biasanya lebih besar dari nilai heritabilitas individu, karena pendugaan nilai heritabilitas famili didasarkan pada nilai rata-rata famili dari sejumlah
130| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh… Jafred E. Halawane dan julianus Kinho
individu, sehingga pengaruh lingkungan dapat diperkecil, terutama bila jumlah tree-plotnya besar. Sedangkan antara sifat tinggi dan diameter menunjukkan bahwa sifat tinggi memiliki taksiran nilai heritabilitas yang lebih tinggi, baik pada taksiran nilai heritabilitas famili maupun taksiran nilai heritabilitas individu. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor genetik yang mempengaruhi pertumbuhan sifat tinggi lebih besar diwariskan induk dibandingkan dengan sifat diameter. Menurut Hardiyanto (2010), Taksiran heritabilitas hanya berlaku bagi suatu populasi tertentu dan terdapat pada suatu lingkungan tertentu dan pada saat waktu tertentu. Hasil penelitian yang ditampilkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa heritabilitas individu sifat tinggi 0,28 dan diameter 0,21 sedangkan heritabilitas famili untuk sifat tinggi dan diameter 0,54 dan 0,47. Hal ini menunjukkan bahwa baik heritabilitas individu maupun heritabilitas famili untuk sifat tinggi dan diameter termasuk dalam kategori moderat atau sedang, hal ini didasarkan pada Cotteril dan Dean (1990), yang menyatakan bahwa nilai heritabilitas individu (h²i) ≤ 0,1 (rendah); 0,1 – 0,3 (moderat/sedang); > 0,3 (tinggi), sedangkan untuk nilai heritabilitas famili (h²f) ≤ 0,4 (rendah), 0,4-0,6 (moderat/sedang); lebih dari 0,6 (tinggi). C. Korelasi Genetik Korelasi genetik menggambarkan hubungan secara genetik antara sifat atau karakter dari suatu jenis tanaman. Nilai korelasi yang positif (+) menggambarkan hubungan yang searah antara kedua sifat yang diamati dan sebaliknya. Hasil perhitungan korelasi genetik antara sifat tinggi dan diameter pada uji keturunan nyatoh umur 6 bulan adalah 0,74 dengan nilai positif (+) dan masuk dalam kategori tinggi, dengan demikian hal ini mengindikasikan bahwa gen yang berperan dalam meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman juga berperan dalam pertumbuhan diameter tanaman. Dalam program pemuliaan apabila korelasi yang dihasilkan searah dan bernilai positif (+) akan sangat bermanfaat dalam melakukan seleksi. Hal ini disebabkan karena berdasarkan nilai korelasi yang demikian menyeleksi suatu sifat, akan langsung menyeleksi sifat yang lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, seleksi berdasarkan sifat diameter akan ikut menyeleksi sifat tinggi seperti dikemukakan oleh Hardiyanto (2010). IV. KESIMPULAN 1. Faktor famili berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman uji keturunan nyatoh umur 6 bulan.
131
2. 3.
Nilai heritabilitas famili dari parameter pertumbuhan yang ditaksir lebih tinggi dibandingkan dengan nilai heritabilitas individu. Korelasi genetik antara sifat pertumbuhan tinggi dan diameter yang dihasilkan lebih tinggi dari korelasi fenotip dengan nilai korelasi genetik (rG) adalah 0,74 dan korelasi fenotipe 0,72.
DAFTAR PUSTAKA Falconer, D.S. 1960. Introduction to Quantitative Statistics. The Ronald Press Co. New York. Lamadji. 1982. Pendugaan Heritabilitas F3 dan F4 dalarn Penambahan Kuantitas dan Kualitas Hasil Kedelai (Glycine ma L. Men). Laporan Penelitian Tahun ke-11. Fakultas Pertanian Universitas Negeri Jember. Mandang, Y.I., Suhendra, H. 2003. Sifat-Sifat Kayu Nyatoh (Palaquium Obtusifolium Burck.) Sehubungan dengan Kemungkinan Penggunaannya sebagai Bahan Bilah Pensil. Buletin Hasil Hutan 21(1): 1-14. Martawaijaya, A., Kartasujana I., Kadir, K., dan Prawira S.A. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Samingan, T. 1982. Dendrologi. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. Setiadi, D. 2010. Taksiran Parameter Genetik untuk Pertumbuhan dan Kelurusan Batang Uji Keturunan Araucaria cunninghamii Umur 5 Tahun di Bondowoso, Jawa Timur. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 4(3). BBPBPTH, Yogyakarta. Soerianegara, I. dan E. Djamhuri. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Wright, J.W. 1976. Introduction to Forest Genetics. London: Academic Press. Zobel, B.J. dan J.T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvment. New York: John Wiley dan Sons.
132| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
PRESENTASI NARASUMBER TAMU
133
134 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Restorasi Ekosistem di Daerah Penting bagi Burung dan Keanekaragaman Hayati Ria Saryanthi Head of Communication and Knowledge Center Burung Indonesia
135
136 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
137
138 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
139
140 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
141
142 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
143
144 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Reklamasi Lahan Bekas Tambang Nikel Syaiful Habib PT. Antam (Persero) Tbk
145
146 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
147
148 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
149
150 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
151
152 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
153
154 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
155
156 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
157
158 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
159
160 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
161
162 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
163
164 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
DISKUSI SEMINAR REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA
Beberapa hal yang dapat dikutip dari Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara, meliputi: 1. Membangun hutan dapat diilustrasikan dengan membangun sebuah rumah. Membangun rumah itu sangat sulit. Lebih sulit adalah merehabilitasi rumah itu. Dan lebih sulit lagi kita memelihara dan menjaga rumah itu agar nyaman dihuni. 2. Ke depan bidang kehutanan memiliki modal dan kekuatan yang baik karena negara ini dipimpin oleh presiden dengan latar belakang pendidikan kehutanan. Dan juga didukung oleh Ketua MPR yang merupakan mantan menteri kehutanan. Sehingga ke depan permasalahan kehutanan akan menjadi isu yang penting. Mudah-mudahaan seminar hari ini bisa memberikan sumbangsih pemikiran dalam memecahkan permasalahan rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan di Sulawesi Utara. 3. Menyongsong 50 tahun kehutanan Dinas kehutanan bersama-sama dengan rekan-rekan rimbawan se-sulawesi Utara menyusun sebuah buku Kiprah kehutanan 50 tahun Sulawesi Utara. Diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi teman-teman yang bekerja di bidang kehutanan. Pembukaan dan Keynote Speech oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan Persoalan rehabilitasi dan restorasi itu hal yang sangat penting bukan hanya bagi kita tapi juga bagi dunia. Salah satu masalah utama dalam kaitannya dengan rehailitasi dan restorasi ini adalah permasalahan data yang seringkali berbeda-beda. Dari tahun ke tahun luas lahan kritis terus bertambah, sehingga seolah-olah intervensi pemerintah dalam kaitannya rehabilitasi lahan tidak terasa. Padahal seharusnya dengan adanya intervensi pemerintah dalam kaitannya rehabilitasi akan mengurangi luasan lahan kritis. Luas lahan kritis di Sulut sebesar 251.724 ha. Sebagian besar lahan kritis berada di kawasan hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas. Padahal di kawasan tersebut seharusnya mendapat perlindungan yang tegas dari permasalahan tersebut.
165
Selama 5 tahun terakhir ini dana 30 Trilyun tidak ada dampak bagi kesejahteraan masyarakat. Sehingga menjadi pertanyaan apakah proyekproyek pembangunan itu mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu untuk pembangunan sektor kehutanan ke depan diupayakan selaras dengan program dan visi misi presiden terpilih. Bagi programprogram yang belum sesuai dengan visi misi presiden agar disesuaikan. Badan Litbang memiliki peran yang penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kegiatan penelitian juga perlu melakukan upaya-upaya penyelesaian konflik dengan masyarakat. Fokus Badan Litbang meliputi upaya-upaya penelitian kehutanan mendorong energi baru, kedaulatan pangan, konservasi dan rehabilitasi, perubahan iklim, sosial ekonomi dan kebijakan. Berikut adalah beberapa contoh sumbangsih Badan Litbang Kehutanan yang dapat diupayakan untuk kesejahteraan masyarakat: Pada sektor energi terbarukan Badan Litbang telah menghasilkan teknologi mikro hidro, biodisel, baterai litium nano teknologi. Terkait krisis energi. Litbang kehutanan harus bisa memberikan sumbangsih dalam pemecahan permasalahan krisis energi tersebut. Banyak pembangkit listrik di Indonesia kurang lebih 240 tempat menggunakan biodisel. Dengan adanya teknologi blower dari PLN, maka bidang kehutanan diharapkan mampu menyuplai bahan bakar untuk teknologi tersebut. Gambarannya adalah 2 mega watt=300 ha tanah. Dengan banyaknya luasan lahan kritis di Sulut, jika dijadikan lahan produktif maka akan mampu untuk memenuhi kebutuhan energi. Orientasi pembangunan kehutanan ke depan harus difungsikan KPH sebagai satuan unit terkecil pengelola hutan. KPH yang sudah terbentuk agar didorong bersama agar mampu untuk menghasilkan. Upaya penangkaran satwa penting untuk konservasi flora fauna. Selain itu dapat digunakan untuk memperkuat ketahanan pangan. Misalnya penangkaran rusa. Pemerintah daerah dan swasta harus memikirkan konsep industri kehutanan Presentasi Dr. Ir. Martina Langi, M.Sc (Keynote speaker) Berbagai kegiatan pembangunan yang memicu terjadinya operasi pengambilan produk hutan yang tak terkendali, penebangan liar, kebakaran hutan, invasi dan dll ternyata berjalan paralel dengan terjadinya degradasi atau kemerosotan fungsi hutan. Explorasi sumber-sumber alam
166 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
“menemukan” fakta bahwa hutan mengandung potensi industri lain seperti nikel, emas, tembaga, batubara, timah, minyak, gas, tenaga uap yang tentu saja bersentuhan dengan kepentingan publik Inti restorasi adalah mengakselerasi regenerasi alami. Setidaknya empat faktor berikut layak dipertimbangkan sebelum upaya restorasi dilakukan: 1. Kondisi aktual lahan setelah suatu operasi atau peristiwa; 2. Status hutan menurut fungsi peruntukannya (lindung, produksi, atau konservasi); 3. Regulasi pemerintah terbaru (peraturan, kriteria, pedoman, dsb.); 4. Tata ruang dan perencanaan wilayah. Dalam pemilihan jenis-jenis tumbuhan lokal, beberapa hal berikut penting dipertimbangkan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Relatif cepat tumbuh. Dapat tumbuh pada cahaya penuh serta tanah minim hara. Laju produksi serasah tinggi serta mudah terdekomposisi. Dapat berperan sebagai katalis bagi jenis-jenis lain (non alelopati). Mudah memperbanyak diri, dan mudah dikulturkan. Low-cost dalam penanaman dan pemeliharaan. Pertumbuhan mudah dikelola. Sesuai dengan perencanaan hutan (fungsi).
Diskusi Sesi I Pertanyaan 1. Nur semedi Pada era rehabilitasi dan konservasi, pengalaman kasus di Kalimantan Timur. Hutan yg tersisa tekanannya sudah sangat berat. Overlap antara sawit dan pertambangan jika ditambahkan bisa melebihi luasan daratannya. Di samboja, banyak pertambangan baik besar maupun kecil, yang bermasalah adalah pertambangan skala kecil. Hampir tidak ada reklamasi. Oleh karena itu reklamasi bekas tambang yang dilakukan adalah yang murah meriah. Kalau dibiarkan akan ada suksesi sendiri. Yang kita lakukan untuk mempercepat reklamasi tidak hanya untuk menghijaukan tetapi juga untuk memulihkan fungsi hutannya, biodiversitasnya dll. Yang perlu diperhatikan bagi peneliti rehabilitasi bekas tambang adalah tidak hanya dari aspek teknisnya tetapi juga dari aspek ekonomisnya.
167
2. Sudiyono Bapak Syaiful Habib: terkait dengan reklamasi atau rehabilitasi lahan bekas tambang ada yang perlu diperhatikan yaitu pra operasional. Bagaimana penanganan terhadap vegetasi sebelum operasi. Karena itu menjadi referensi sebelum dilakukan restorasi. Selain itu juga bagaimana Penanganan terhadap satwa. Bu retno: kegiatan rehabilitasi dengan melibatkan fungi perlu ditingkatkan dengan sponsor. sehingga mikoriza atau fungi bisa dikemas lebih baik. Agar masyarakat awam lebih mudah mengenali dan dapat mudah untuk digunakan bagi masyarakat luas. 3. Iwanuddin Apakah jamur itu permanen atau tidak. Apakah penggunaan hidrojel dalam rehabilitasi lahan bekas tambang memiliki efek negatif atau tidak? Terkait dengan penggunaan kokomes dalam kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang. Bagaimana pengelolaannya. Jawaban: 1. Habib Keberhasilan reklamasi tidak hanya diukur dari keberhasilan menanam vegetasinya seperti trembesi, sengon dll tetapi juga pulihnya fungsi hutan. PT. ANTAM juga telah mengajak tim independen untuk menilai keberhasilan reklamasi. Di antam juga sudah mulai menggunakan mikoriza, Pengelolaan top soil dan sub soil. Pengelolaan satwa yang telah dilakukan adalah konservasi rusa timur bekerjasama dengan UNHAS. Kokomes masih mendatangkan dari luar terutama dari jawa tengah dan jogja. Rencana ke depan akan dilakukan swakelola dgn masyarakat. 2. Bu Retno Permasalahan bekas tambang khususnya tambang kecil atau liar, apalagi peti, lahan yang ditinggalkan rusak dan beracun. Fungi mikoriza bisa diterapkan pada tambang-tambang kecil. Agen hayati sifatnya aktif. Sekali simbiosis dengan tanaman selamanya akan ada terus. Biaya yang dikeluarkan pun cukup murah. Satu bibit hanya butuh 5 gram. 1 kg untuk 200 bibit. 1 ha butuh 5 kg. BPK Makassar sudah memproduksi dijual 25 ribu per kilogram. Isomik MK1. Hidrojel bentuknya tepung. Tidak mengandung bahan kimia. Bisa menyerap air sampai 3 kali lipat. Efeknya tidak mengandung bahan kimia. Hanya
168 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
sebagai penyerap air. Mampu mempertahankan kelembaban. Di lahan bekas tambang sangat ekstrim, kita membantu untuk diawal pertumbuhan. Hidrojel 2-3 tahun terdekomposisi. Diskusi Sesi II Pertanyaan 1. Forum DAS ternate Apakah suku togutil itu hidupnya nomaden. Suku togutil memanfaatkan talas secara langsung tidak mungkin sempat untuk mengolah. Kedepan ketika melakukan penelitian di sana agar melepaskan identitas diri. Dan melihat dari sudut pandang suku asli. Perangkat pendukung forum DAS Tondano. Forum DAS diperkuat pondasinya AD/ART nya. Agar bisa mengajukan APBD. Forum DAS bukan hanya simbol tapi lebih berperan 2. Pak Nur Semedi Pada kawasan bekas tambang, adanya spot-spot yang tersisa dapat mempercepat proses pemulihan kawasan. Maka perlu kiranya revisi tentang permenhut pinjam pakai, agar jangan dihabiskan semua (terbuka semua). Agroforestry antara sengon dan cengkih perlu dikembangkan Penataan kelembagaan forum DAS 3. Bapak Modi Kelembagaan Pengelolaan DAS tondano bukan hal abstrak, sudah nyata. Karena sudah ada SK Gubernur dan aturan lainnya. Mengubah perilaku atau mengikuti perilaku masyarakat? Jawaban 1. Ria Perlunya baseline dalam diskusi terbaru di Gorontalo Burung memang indikator lingkungan yang baik. Karena burung memiliki korelasi yang erat dengan jenis-jenis yang lain. Misal untuk melihat kualitas air bisa kita lihat jenis-jenis burungnya. Burung hidup di berbagai habitat. Ada beberapa lokasi yang disebut key biodiversity area. Ada beberapa lokasi yang penting untuk keanekaragaman hayati, dan salah satunya Sulawesi Utara baik darat dan laut.
169
2. Pak Hengki Studi pada unit kebun menggambarkan perilakunya. Potensi masyarakat sebagai dasar dan indikator untuk pengembangannya. Kearifan lokal berkembang seiring waktu. Das Tondano di daerah tangkapan air telah ada sejak lama, tetapi respon masyarakat berbeda. Idealnya menuju agroforestry tetapi belum maksimal, Di daerah timur Sulut (sub etnis tulour) petani dan aktivitas danau pengolah hasil kayu. Dalam kegiatan rehabilitasi dan konservasi harus memperhatikan prilaku dasar. Jadi program-program pemberdayaan yang mengena dengan perilaku masyarakat. 3. Lis Nurrani Tidak semua suku Togutil hidup nomaden, ada beberapa yang sudah hidup menetap. Contoh di tajawi dll. 4. Kritian Mairi Forum DAS seharusnya membawa keterpaduan. Forum DAS yang bertransformasi menjadi LKPDAS hanya menjadi macan ompong. Ditakuti karena substansinya ada akademisi, kepala UPT dll. Forum DAS hanya konsultan saja. Think thank saja. Bukanlah sebuah lembaga yang membawa keterpaduan pengelolaan.
170 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
TOPIK PRESENTASI DAN JADWAL ACARA SEMINAR WAKTU
ACARA
08.00-08.30
Registrasi
08.30-08.35
Pembacaan Doa
08.35-08.45
Laporan Penyelenggaraan Sambutan dan Ucapan Selamat Datang Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara Pembukaan dan Keynote Speech oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan Keynote Speech Dr. Ir. Martina A. Langi, M.Sc, Ph.D
08.45-09.05 09.05-09.35 09.35-09.45
Universitas Sam Ratulangi
09.45-10.00
Coffee Break
10.00-10.15
Pemakalah dari TBI Indonesia
11.00-12.00
Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manado Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manado Diskusi
12.00-13.00
ISHOMA
13.00-13.15
Pemakalah dari Burung Indonesia
13.15-13.30
Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manado
13.30-13.45
Pemakalah dari Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi
13.45-14.00
Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manado
14.00-14.15
Pemakalah dari PT. Antam
14.15-15.30
Diskusi
15.30-15.45
Coffee Break
Panitia
15.45-16.00
Pembacaan Rumusan dan Penutupan
Tim Perumus
10.15-10.30 10.30-10.45 10.45-11.00
Moderator : Dr. Ir. Mahfudz, MP
Moderator : Dr. Ir. JS. Tasirin, M.Sc
171
172 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
DAFTAR PESERTA SEMINAR No
Nama
Instansi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan PT. Aneka Tambang Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
1
Prof. San Afri Awang
2
Syaiful Habib
3
Syarif Hidayat
4
Mahfudz
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
5
Safrudin M.
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
6
Adang Sopandi
7
Iwanuddin
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Balai Penelitian Kehutanan Manado
8
C. Nugroho
Sekretariat Badan Litbang Kehutanan
9
Edyson M.
Selamatkan Yaki
10
Herry Rotinsulu
Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara
11
Muh. Abidin
Balai Penelitian Kehutanan Manado
12
Suud B
Bakorluh Prov. Gorontalo
13
Eva B. Sinaga
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
14
Esti R. Catiti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
15
Tini Hartiningsih
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
16
Retno Prayudyaningsih
Balai Penelitian Kehutanan Makassar
17
Supratman Tabba
Balai Penelitian Kehutanan Manado
18
Lis Nurrani
Balai Penelitian Kehutanan Manado
19
Kritian Mairi
Balai Penelitian Kehutanan Manado
20
Arif Irawan
Balai Penelitian Kehutanan Manado
21
Nur Sumedi
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Solo
22
C.H.V. Lakumpoh
Dinas Kehutanan Kab. Talaud
23
Ishak Ismail
Balai Penelitian Kehutanan Manado
24
Yusuf T.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
173
No 25
Verico N.
Nama
Instansi PT. Tirta Investama
26
Diah Irawati
Balai Penelitian Kehutanan Manado
27
Selvie Lasut
28
Harju M.
29
Servie Katuuk
30
M.Y.M.A. Sumakud
31
M.J. Rumondor
32
Syamsuddin Hadju
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
33
Nur Asmadi
Balai Penelitian Kehutanan Manado
34
Ir. Sudiyono
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
35
Abdul Halim
36
Yermias Kafiar
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Balai Penelitian Kehutanan Manado
37
Rachman
Balai Penelitian Kehutanan Makassar
38
Harwiyaddin Kama
Balai Penelitian Kehutanan Manado
39
Jafaruddin
Balai Penelitian Kehutanan Manado
40
Syamsir Shabri
Balai Penelitian Kehutanan Manado
41
Jafred E. Halawane
Balai Penelitian Kehutanan Manado
42
M. Saparis
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bone Bolango
43
J.I. Kalangi
44
Sahyudin
45
Askhari
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
46
Santiago P.
Balai Taman Nasional Bunaken
47
Novita Tandi
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
48
Adampe A. Soni
49
Meiyer F.M.B.
Badan Koordinasi Penyuluh Prov. Sulawesi Utara Dinas Kehutanan Kab. Minahasa Utara
50
Moody C.K.
Balai Penelitian Kehutanan Manado
Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi Universitas Sam Ratulangi
Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
174 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
No 51
Nama Ani Mariani
Instansi Balai Penelitian Kehutanan Manado
52
Desly R.M.
53
Elsye
54
Masrum
Balai Penelitian Kehutanan Manado Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado Balai Penelitian Kehutanan Makassar
55
Rantje Lilly Worang
56
Muji Rahayu
57
I Made Same
58
Rumce
59
Johanes Wiharisno
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
60
Hemobicas R.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
61
Micron R. Binambuni
Dinas Kehutanan Kab. Sitaro
62
Yopi Golioth
Forum DAS
63
Moudy Gerungan
TELAPAK
64
Obed Edom
65
Ir. Reynold P. Kainde
Balai Penelitian Kehutanan Manado Fak. Pertanian Universitas Sam Ratulangi
66
Franky Tampi, SE
Dinas Kehutanan Perkebunan Kab. Minahasa Tenggara
67
Boy A. Marpaung
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ake Malamo
68
Martina Langi
69
Ria Saryanthi
70
Yenny P.
71
Sammy
Program Sudi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi Burung Indonesia Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado Manado Post
72
Meike T.
Kompas TV Manado
73
Nur Asmadi
Balai Penelitian Kehutanan Manado
74
Willy Nur Effendi
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
75
Melky R. Senewa
Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara
Universitas Manado Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Tomohon Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
175
No 76
Nama Domianus Manaya
Instansi Bakorluh Prov. Sulawesi Utara
77
Eko W. Handoyo
78
Johan Rombang
79
F.B. Saroinsong
80
Manina Korompis
Balai Taman Nasional Bunaken Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Dinas Pertanian Manado
81
Rini L. Rauli
Bakorluh Prov. Sulawesi Utara
82
Manuel P.W.
83
Agnes Indawardhani
84
Nani Nurcahyawati
85
F. Reni N.
86
Gatot S.
87
Yanuar
Bakorluh Prov. Sulawesi Utara Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Balai Taman Nasional Bunaken Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Dinas Kehutanan Kabupaten Minahasa
88
W. Talemo
89
Melkianus S. Dwi
Balai Penelitian Kehutanan Manado
90
Hanif Nurul H.
Balai Penelitian Kehutanan Manado
91
Ady Suryawan
Balai Penelitian Kehutanan Manado
92
Dwi Yardhi F.
Macaca Nigra Project
93
Stephan M. Lenteg
Macaca Nigra Project
94
Jafaruddin
Balai Penelitian Kehutanan Manado
95
Ari Subiantoro
Balai Taman Nasional Bunaken
96
Christny F. E. Rompas
FMIPA/UNIMA
97
Elvie Nelwan
Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Ketahanan Pangan Kota Bitung
98
M. Arba'in
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ake Malamo
99
FR. Oman R.
Bakorluh Prov. Sulawesi Utara
100
Didi
Hotel Sintesa Peninsula
101
Hengki Walangitan
Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi
102
Aswady Wumu
Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Ketahanan Pangan Kota Bitung
176 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
No
Nama
Instansi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Balai Penelitian Kehutanan Manado
103
Aris Sutjipto
104
Anita Mayasari
105
Y. B. Tri
106
Erwin H. Putra
107
Wahyu. B
108
William Tengker
109
Petrus Pajan
110
Rudy Bedjo
111
Allcas Tanusu
112
Puji Hari Purnomo
113
Pamekas
114
Novlin Surentu
Balai Taman Nasional Bunaken Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Manado Post
115
Christiany T.
Manado Post
116
Bil Languju
Kompas TV
117
Nina Sudarwati
Balai Penelitian Kehutanan Manado
118
Rini L. Ramli
Bakorluh Manado
119
Imanuel
Bakorluh Manado
120
Nova I.
Bakorluh Manado
121
Fifi S
Bakorluh Manado
122
Nur Fatmah
Balai Penelitian Kehutanan Makassar
123
Handrik L.
Balai Penelitian Kehutanan Makassar
124
Hendra S. M.
Balai Penelitian Kehutanan Manado
125
Novita E. Losu
Balai Penelitian Kehutanan Manado
126
Ferry F.
Balai Penelitian Kehutanan Manado
127
Albert Lala
Balai Penelitian Kehutanan Manado
128
Steven K.
Balai Penelitian Kehutanan Manado
129
Felicia Mangiri
Balai Penelitian Kehutanan Manado
130
Lulus Turbianti
Balai Penelitian Kehutanan Manado
131
Henri S.
Balai Penelitian Kehutanan Manado
Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
177
No 132
Ester
Nama
Instansi Balai Penelitian Kehutanan Manado
133
Nurhayati S.
Balai Penelitian Kehutanan Manado
134
Rifai
Balai Penelitian Kehutanan Manado
135
Yusran
Balai Penelitian Kehutanan Manado
136
Margaretta Christita
Balai Penelitian Kehutanan Manado
137
Bambang Setiyono
Balai Penelitian Kehutanan Manado
138
Rudy Suryadi
Balai Penelitian Kehutanan Manado
139
Jony Mura
Balai Penelitian Kehutanan Manado
140
Ventje Runtuwarow
Bakorluh Prov. Sulawesi Utara
141
Sumarno
Balai Penelitian Kehutanan Manado
142
Roviyana V.
Bakorluh Gorontalo
143
Yohanis
Balai Penelitian Kehutanan Manado
144
Tinus Sanda Liling
Balai Penelitian Kehutanan Manado
145
Rinto H.
Balai Penelitian Kehutanan Manado
178 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014