MODEL KEBIJAKAN RESTORASI KAWASAN HUTAN KONSERVASI
WAWAN GUNAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini. Bogor,
Januari 2012
Wawan Gunawan P061060081
ABSTRACT WAWAN GUNAWAN. Model of Policy on the Restoration of Conservation Forest Area. Under the direction of SAMBAS BASUNI, ANDRY INDRAWAN, LILIK BUDI PRASETYO, and HERWASONO SOEDJITO. Forest restoration is required to cope with the damages of conservation forest areas because the rate of forest destruction in Indonesia is still inclining. This study aims is creating a model of policy on the restoration of conservation forest areas, among others by (1) formulation of criteria of areas that urgently be restored, (2) formulation of criteria of sites or parts of conservation areas to be restored, (3) determination of reference for restoration, (4) determination of selected priority species, and (5) implemented the model. It employs some methods including survey by interview using questionnaire, field observation and literature study. The research reveals that there are eight criteria on the aspect of importance and seven criteria of urgency for a conservation area to be restored. There are ten criteria of sites or parts of conservation area that urgently need restoration. Each of these criteria includes the aspects of biology, socialeconomy, and culture. The dimensions of restoration references include the richness of endemic flora species and the parameter of vegetative horizontal structure taken from the ecosystems or bioregions that the same those to be restored. The species are selected in accordance with the reference species that are capable to live and grow in the sites urgently requiring restoration. According to the criteria of conservation forest area that needs urgent restoration, the area of Gunung Gede Pangrango National Park (GGPNP) is classified as Priority III. The top priority of sites or parts of area of GGPNP that need urgent restoration are commonly located in the outer parts/edges of GGPNP area that consist of submontaine ecosystem. There are 78 tree species in the natural forest vegetation types in the submontaine ecosystem of GGPNP that becomes the restoration reference. The number of selected priority species for restoration activity in GGPNP is 15 tree species. The highest priority of restoration activity/action for the GGPNP area is artificial restoration by enrichment planting with an involvement of community. Keywords: Model, policy, restoration, conservation forest
RINGKASAN WAWAN GUNAWAN. Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, ANDRY INDRAWAN, LILIK BUDI PRASETYO, dan HERWASONO SOEDJITO. Saat ini, hutan di Indonesia termasuk hutan di kawasan hutan konservasi mengalami kerusakan hutan yang cukup berat. Sampai tahun 2000 diperkirakan hutan yang rusak di Indonesia lebih dari 59 juta ha, termasuk 4,69 juta ha di dalam kawasan hutan konservasi. Untuk mengatasi kondisi tersebut, maka perlu dilakukan upaya restorasi kawasan hutan konservasi. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membuat model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi. Untuk mencapai tujuan umum penelitian tersebut ditetapkan beberapa tujuan antara, yaitu: (1) merumuskan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, (2) merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, (3) menentukan acuan restorasi, (4) menentukan prioritas jenis terpilih, dan (5) menerapkan/ menguji coba model. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survai, yaitu melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, observasi lapangan, dan studi literatur. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Kegiatan penelitian ini terdiri atas 2 tahap, yaitu: (1) tahap pembangunan model: perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, penentuan acuan restorasi, dan penentuan prioritas jenis terpilih; (2) tahap uji coba model: lokasi uji coba model dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Propinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan terdapat 8 (delapan) kriteria, yaitu keberadaan jenis langka dan dilindungi, keanekaragaman tipe ekosistem, potensi keanekaragaman jenis, ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir, pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari, lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam, tempat peninggalan budaya, dan logistik bagi penelitian dan pendidikan dengan bobot masing-masing sebesar 0,310; 0,181; 0,142; 0,127; 0,122; 0,050; 0,035; dan 0,033. Berdasarkan aspek tingkat kemendesakan ditemukan 7 (tujuh) kriteria, yaitu akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi, besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi, bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi, persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi, macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi, luasan suatu kawasan hutan konservasi, dan keberadaan hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi dengan bobot masing-masing sebesar 0,287; 0,182; 0,162; 0,132; 0,106; 0,069; dan 0,062. Kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi ditemukan 10 kriteria, yaitu luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kekayaan jenis tumbuhan, sebaran satwaliar langka atau dilindungi, penutupan lahan, lereng (slope), intensitas hujan, kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi, jenis tanah, elevasi/ketinggian, dan luas
pemilikan/ penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi dengan bobot masing-masing sebesar 0,219; 0,151; 0,128; 0,117; 0,110; 0,065; 0,063; 0,054; 0,051; 0,041. Dimensi-dimensi acuan restorasi terdiri atas kekayaan jenis flora asli dan parameter struktur horizontal vegetasi yang didapat dari ekosistem atau bioregion yang sama dengan ekosistem yang akan direstorasi. Jenis terpilih didasarkan pada jenis-jenis yang termasuk jenis acuan yang mampu hidup dan berkembang pada lokasi-lokasi yang perlu segera direstorasi. Hasil uji coba model menunjukkan bahwa kawasan TNGGP tergolong ke dalam Prioritas III kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi menunjukkan bahwa Prioritas I dan Prioritas II banyak terdapat di bagian terluar/tepi kawasan TNGGP yang termasuk ekosistem hutan pegunungan bawah (submontana) dan merupakan eks hutan produksi Perum Perhutani, sedangkan Prioritas III dan Prioritas IV banyak terdapat di bagian terdalam/tengah kawasan TNGGP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis pohon pada tipe vegetasi hutan alam yang terdapat pada ekosistem hutan pegunungan bawah TNGGP yang menjadi acuan restorasi adalah sebanyak 78 jenis pohon. Prioritas jenis terpilih untuk kegiatan restorasi TNGGP adalah sebanyak 15 jenis pohon. Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP secara garis besar sesuai urutannya adalah sebagai berikut: enrichment planting restorasi buatan, tebang pilih restorasi buatan, tebang pilih restorasi alami, tebang habis skala kecil restorasi buatan, restorasi alami, dan tebang habis skala besar restorasi buatan. Berkaitan dengan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi, alternatif kegiatan restorasi yang melibatkan masyarakat lebih mendapatkan prioritas apabila dibandingkan dengan alternatif kegiatan/tindakan restorasi yang tidak melibatkan masyarakat. Simpulan dari penelitian ini adalah bahwa model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi yang terbangun adalah sebagai berikut: (1) prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi ditentukan oleh 8 (delapan) kriteria kepentingan dan 7 (tujuh) kriteria kemendesakan; (2) prioritas lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi ditentukan oleh 10 kriteria; (3) acuan restorasi dapat dibangun berdasarkan dimensi kekayaan jenis flora asli dan parameter struktur horizontal vegetasi asli yang didapat dari ekosistem atau bioregion yang sama dengan ekosistem yang akan direstorasi; dan (4) jenis terpilih didasarkan pada jenis-jenis yang termasuk jenis acuan yang mampu hidup dan berkembang pada lokasi-lokasi yang perlu segera direstorasi. Berdasarkan penelitian ini maka disarankan: (1) mengingat banyaknya kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, maka model ini dapat digunakan untuk membuat prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, prioritas lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, penentuan acuan restorasi, dan prioritas jenis terpilih; (2) jenis terpilih diprioritaskan jenis yang bernilai langsung bagi masyarakat sekitar kawasan hutan konservasi; (3) dalam mengimplementasikan model agar dapat efektif dan efisien, hendaknya dilakukan sesuai dengan urutan model yang dihasilkan dalam penelitian ini. Selain itu, khusus untuk mengimplementasikan model dalam penentuan lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi diperlukan personil yang mampu menggunakan aplikasi GIS dan memahami prinsip-prinsip konservasi; dan (4) perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk terus memperbaiki model, seperti pengelompokan kriteria prioritas lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi ke dalam aspek tingkat kepentingan dan aspek tingkat kemendesakan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
MODEL KEBIJAKAN RESTORASI KAWASAN HUTAN KONSERVASI
WAWAN GUNAWAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. M. Bismark, M.S. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi
:
Nama Mahasiswa NRP Program Studi
: : :
Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi Wawan Gunawan P061060081 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. Ketua
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S Anggota
Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota
Dr. Herwasono Soedjito, M.Sc., APU Anggota
Mengetahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 27 Januari 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang berjudul ”Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi” ini berlangsung sejak bulan Januari 2010 sampai Juli 2011. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S., Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S., Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc., dan Dr. Herwasono Soedjito, M.Sc., APU selaku komisi pembimbing. 2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. selaku penguji pada ujian tertutup. 3. Prof. Dr. M. Bismark, M.S. dan Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F. selaku penguji pada ujian terbuka. 4. Prof. Dr. Ir. Abdullah S. Mukhtar, M.S., Prof. Dr. M. Bismark, M.S., Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto, Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo, Kuswata Kartawinata, Ph.D., Ir. Sonny Partono, MM., Ir. Adi Susmianto, M.Sc., Ir. Jajat Jatnika Holil, MM., dan drh. Indra Exploitasia, DVM selaku nara sumber. 5. Kedua orang tua (H. Arim Karimudin Achmadibrata dan Hj. Ai Rasmini) tercinta atas segala do’a dan kasih sayangnya. 6. Istri (Febriany Iskandar, S.Pi., M.Si.) dan anak (Azkanaya Michelle Gunawan) tersayang atas segala dukungan dan kesabarannya. 7. Dr. Ir. Erly Sukrismanto, M.Sc., Indrawan Suryadi, S.Hut., Keni Sultan, S.Pt., M.Si., Wahyu Catur Adinugroho, S.Hut., M.Si., dan Rizqiah, S.Hut. yang banyak membantu selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi, serta rekan-rekan PSL 2006 dan IPK 2006 atas dukungan dan kebersamaannya selama ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan Disertasi ini, oleh karena itu segala saran dan masukan yang bersifat konstruktif akan sangat berharga bagi penyempurnaan lebih lanjut. Semoga karya ilmiah yang dituangkan dalam Disertasi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, Januari 2012 Penulis,
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 27 Mei 1976 sebagai anak kelima dari lima bersaudara keluarga Bapak H. Arim Karimudin Achmadibrata dan Ibu Hj. Ai Rasmini. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kehutanan IPB, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, lulus pada tahun 2000. Pendidikan pascasarjana (S2) ditempuh di Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi ke Program Doktor (S3) pada Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan melalui program tugas belajar dari Kementerian Kehutanan. Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Loka Penelitian dan Pengembangan Satwa Primata, Departemen Kehutanan sejak tahun 2002; kemudian pada tahun 2006 berubah menjadi Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja, Kementerian Kehutanan; dan sejak tahun 2011 berubah menjadi Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam, Kementerian Kehutanan. Selama mengikuti program S3, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan seminar dan kursus/pelatihan yang berkaitan dengan bidang keilmuan ataupun penelitian yang dilakukan. Selain itu, penulis juga berkesempatan mengikuti program exchange student pada Department of Forest Ecology, Faculty of Agriculture and Forestry, University of Helsinki di Finlandia pada bulan Nopember 2007 – Januari 2008. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Karakteristik Rumahtangga, Persepsi, dan Partisipasi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango pada Jurnal Ilmiah Agropolitan Vol.4 No.2 September 2011. Artikel lain berjudul Analisis Komposisi dan Struktur Vegetasi terhadap Upaya Restorasi Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango diterbitkan pada Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol.1 No.2 Desember 2011. Artikel lainnya berjudul Perumusan Kriteria Prioritas Kawasan Hutan Konservasi yang Perlu Segera Direstorasi akan diterbitkan pada Jurnal Inovasi Gorontalo Vol.7 No.1 Tahun 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
xvii
I.
1 1 2 6 6 7 7
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1.2. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 1.3. Perumusan Masalah .......................................................................... 1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................... 1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................. 1.6. Kebaruan (Novelty) ............................................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 2.1. Restorasi Ekologi ............................................................................... 2.2. Jenis Eksotik (Exotic Species) dan Jenis Asli (Native Species) ........ 2.3. Kawasan Konservasi .......................................................................... 2.3.1. Kategorisasi Kawasan Konservasi ......................................... 2.3.2. Fungsi dan Manfaat Kawasan Konservasi ............................. 2.3.3. Pengelolaan Kawasan Konservasi ......................................... 2.3.4. Taman Nasional ...................................................................... 2.4. Persepsi ............................................................................................. 2.5. Partisipasi .......................................................................................... 2.6. Model ................................................................................................. 2.7. Kriteria dan Indikator .........................................................................
9 9 14 15 15 16 17 18 21 21 23 24
III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 3.2. Desain dan Tahapan Penelitian ........................................................ 3.3. Pembangunan Model ........................................................................ 3.3.1. Perumusan Kriteria Kawasan Hutan Konservasi yang Perlu Segera direstorasi ......................................................... 3.3.2. Perumusan Kriteria Lokasi/Bagian Kawasan Hutan Konservasi Tertentu yang Perlu Segera Direstorasi ............... 3.3.3. Penentuan Acuan Restorasi ................................................... 3.3.4. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih .......................................... 3.4. Uji Coba Model .................................................................................. 3.4.1. Lokasi Uji Coba Model ............................................................ 3.4.2. Penentuan Kategori Prioritas Restorasi TNGGP .................... 3.4.3. Penentuan Lokasi TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi .... 3.4.3.1. Penutupan Lahan di Kawasan TNGGP .................... 3.4.3.2. Kondisi Kriteria Lainnya di Kawasan TNGGP ........... 3.4.3.3. Lokasi/Bagian TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi ................................................................. 3.4.4. Penentuan Acuan Restorasi TNGGP ..................................... 3.4.5. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih di TNGGP ........................ 3.4.6. Prioritas Kegiatan/Tindakan Restorasi TNGGP ...................... 3.4.6.1. Persepsi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP ..................................... 3.4.6.2. Partisipasi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP .....................................
25 25 25 27 27 30 32 32 32 32 34 34 34 36 37 37 39 40 42 43
xii
3.5. Definisi Operasional ..........................................................................
43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 4.1. Pembangunan Model ........................................................................ 4.1.1. Perumusan Kriteria Kawasan Hutan Konservasi yang Perlu Segera Direstorasi ......................................................... 4.1.2. Perumusan Kriteria Lokasi/Bagian Kawasan Hutan Konservasi Tertentu yang Perlu Segera Direstorasi ............... 4.1.3. Penentuan Acuan Restorasi ................................................... 4.1.4. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih .......................................... 4.2. Uji Coba Model .................................................................................. 4.2.1. Lokasi Uji Coba Model di TNGGP .......................................... 4.2.1.1. Letak dan Aksesibilitas ............................................. 4.2.1.2. Kondisi Fisik .............................................................. 4.2.1.3. Kondisi Biotik ............................................................ 4.2.1.4. Kondisi Sosial ........................................................... 4.2.1.5. Kawasan Perluasan TNGGP .................................... 4.2.2. Kategori Prioritas Restorasi TNGGP ...................................... 4.2.3. Penentuan Lokasi TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi .... 4.2.3.1. Penutupan Lahan di Kawasan TNGGP .................... 4.2.3.2. Kondisi Kriteria Lainnya di Kawasan TNGGP ........... 4.2.3.3. Lokasi/Bagian TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi ................................................................. 4.2.4. Penentuan Acuan Restorasi TNGGP .................................... 4.2.4.1. Vegetasi Tingkat Pohon di Hutan Alam TNGGP ...... 4.2.4.2. Vegetasi Tingkat Permudaan Hutan Alam TNGGP .. 4.2.5. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih di TNGGP ........................ 4.2.5.1. Vegetasi Tingkat Pohon di Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus ....................................................... 4.2.5.2. Vegetasi Tingkat Permudaan di Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus ....................................................... 4.2.5.3. Komposisi Jenis Tumbuhan pada Kelima Lokasi Anveg di Kawasan TNGGP ...................................... 4.2.5.4. Ekologi 15 Jenis Tumbuhan yang Ditemukan pada Kelima Lokasi Anveg di Kawasan TNGGP ............... 4.2.6. Prioritas Kegiatan/Tindakan Restorasi TNGGP ...................... 4.2.6.1. Persepsi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP ...................................... 4.2.6.2. Partisipasi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP ....................... 4.2.7. Rekomendasi Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP ............. 4.2.7.1. Upaya Restorasi Kondisi Hutan di TNGGP ............... 4.2.7.2. Upaya Pemberdayaan/Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Kawasan TNGGP ...................... 4.3. Implikasi Model ..................................................................................
49 49 49 63 70 71 71 71 71 72 75 77 78 81 83 84 87 96 99 100 103 106 108 110 117 120 124 133 136 139 140 141 143
V. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 5.1. Simpulan ............................................................................................ 5.2. Saran .................................................................................................
144 144 145
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
146
LAMPIRAN ......................................................................................................
153
xiii
DAFTAR TABEL No.
Uraian
1.
Skala perbandingan nilai dan definisi pendapat kualitatif ...............
41
2.
Indeks acak (Random Index) ..........................................................
42
3.
Kriteria dalam merumuskan kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi …......................................................
57
Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi ..........................................................
64
Jalur, jarak, dan waktu tempuh untuk mencapai lokasi uji coba model ......................................................................
72
6.
Penilaian kategori prioritas restorasi TNGGP ……….……….........
82
7.
Luas penutupan lahan kawasan TNGGP tahun 2010 ....................
85
8.
Luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP ........................
98
9.
INP tertinggi vegetasi tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP ...............................................................
100
Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Alam di TNGGP .......................................................................................
102
INP tertinggi vegetasi tingkat semai, pancang, dan tiang pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP ......................
103
Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat permudaan pada tipe vegetasi Hutan Alam TNGGP .......................................................................
106
INP tertinggi vegetasi tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus .............................................................................
108
Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat pohon pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP .................................................................................
110
INP tertinggi vegetasi tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus .............................................................................
111
INP tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus .............................................................................
113
INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus .............................................................................
114
4. 5.
10.
11. 12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat permudaan pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar,
Hal.
xiv
No.
Uraian
Hal.
dan Hutan Pinus .............................................................................
116
Matrik komposisi jenis hasil analisis vegetasi pada plot pengamatan ....................................................................................
117
Daftar jenis tumbuhan yang ditemukan pada kelima lokasi analisis vegetasi di kawasan TNGGP .............................................
120
Pengetahuan beralih fungsinya kawasan hutan eks Perum Perhutani menjadi bagian dari kawasan TNGGP (kawasan perluasan TNGGP) …………...….......
133
22.
Alasan perbandingan kondisi hutan TNGGP 8 tahun yang lalu …..
135
23.
Manfaat restorasi (pemulihan) kawasan hutan TNGGP ….............
135
24.
Karakteristik vegetasi yang cocok dalam kegiatan restorasi ….......
136
25.
Keikutsertaan dalam upaya restorasi (pemulihan) kawasan TNGGP …………………………………………………………….......
136
Sistem pengelolaan dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP …………………………………………………………….......
137
Kompensasi untuk tidak menggarap/memanfaatkan SDA di kawasan hutan TNGGP ......................................................
139
19. 20. 21.
26. 27.
xv
DAFTAR GAMBAR No.
Uraian
1.
Kerangka pemikiran penelitian .......................................................
5
2.
Reklamasi, rehabilitasi, dan restorasi ekologi (diadopsi dari Lamb et al., 2003) ....................................................
11
Ilustrasi sederhana dari kegunaan restorasi dalam konservasi ekosistem hutan (diadopsi dari Kuuluvainen et al., 2002) ..............
13
4.
Tipe-tipe model (diadopsi dari Hartrisari, 2007) ..............................
24
5.
Posisi kuadran prioritas suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi .......................................................................................
29
Diagram matriks prioritas suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi .......................................................................................
30
7.
Proses pengolahan citra .................................................................
36
8.
Bentuk dan ukuran petak pengamatan analisis vegetasi dengan metode jalur berpetak ....................................................................
37
9.
Struktur hierarki AHP ......................................................................
40
10.
Bobot kriteria dalam menentukan proritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan suatu kawasan hutan konservasi ...................
3.
6.
11.
Bobot kriteria dalam menentukan proritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kemendesakan suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi ...........................................................
Hal.
49
54
Bobot kriteria dalam menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi ..........................................................
64
13.
Peta elevasi/ketinggian di kawasan hutan TNGGP ........................
73
14.
Peta lereng (slope) di kawasan hutan TNGGP ...............................
73
15.
Peta jenis tanah di kawasan hutan TNGGP ...................................
74
16.
Peta intensitas hujan di kawasan hutan TNGGP ............................
75
17.
Peta kekayaan jenis tumbuhan di kawasan hutan TNGGP ............
76
18.
Peta sebaran satwaliar langka atau dilindungi di kawasan hutan TNGGP .................................................................................
77
Peta kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP .................................................................................
78
Peta luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan ...........................
79
21.
Peta luas kerusakan hutan di kawasan hutan TNGGP ..................
80
22.
Peta sebaran jenis tumbuhan eksotik dan asli di kawasan perluasan TNGGP ..........................................................................
81
12.
19. 20.
xvi
No.
Uraian
23.
Posisi kuadran kategori prioritas kawasan TNGGP untuk direstorasi .......................................................................................
83
24.
Citra landsat kawasan TNGGP tahun 2010 ....................................
84
25.
Penutupan lahan hasil interpretasi citra landsat di kawasan hutan TNGGP tahun 2010 ..............................................................
85
Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria penutupan lahan di kawasan TNGGP...............................................................
87
Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kekayaan jenis tumbuhan di kawasan TNGGP ...............................................
89
Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria sebaran satwaliar langka atau dilindungi di kawasan TNGGP .....................
89
Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria lereng (slope) di kawasan TNGGP .................................................
90
Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria elevasi/ketinggian di kawasan TNGGP ..........................................
91
Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria jenis tanah di kawasan TNGGP ............................................................................
92
Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria intensitas hujan di kawasan TNGGP ..............................................................
93
Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas kerusakan hutan di kawasan TNGGP ............................................
94
Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan TNGGP ..........................
94
26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
Hal.
Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan TNGGP ................................................................
95
36.
Peta prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP .........................
97
37.
Grafik hubungan kerapatan dengan tingkat pertumbuhan pada hutan alam .............................................................................
99
35.
38.
39. 40. 41. 42.
Grafik hubungan kerapatan dengan tingkat pertumbuhan pada hutan rasamala campuran, hutan puspa campuran, hutan damar, dan hutan pinus ........................................................
107
Struktur AHP prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP ...........................................................................................
129
Bobot kriteria dan subkriteria dalam menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP ............................
131
Prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP ...........................................................................................
132
Histogram perbandingan kondisi kawasan hutan TNGGP, terutama di kawasan perluasan TNGGP, 8 tahun yang lalu ...........
134
xvii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Uraian
Hal.
1.
Peta lokasi analisis vegetasi di kawasan TNGGP ..........................
154
2.
Jumlah dan luas plot anveg di kawasan hutan TNGGP .................
155
3.
Kondisi taman nasional yang memiliki tipe ekosistem hutan dataran rendah di Indonesia .................................................
156
Kondisi taman nasional yang memiliki tipe ekosistem hutan pegunungan di Indonesia .....................................................
165
Perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi ...........................................................................
177
Perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi ..........................................
181
Perumusan kriteria, subkriteria, dan alternatif kegiatan/ tindakan restorasi kawasan TNGGP .............................................
183
Daftar jenis tumbuhan di kawasan hutan TNGGP berdasarkan tipe vegetasi hutan ..........................................................................
187
Hasil analisis vegetasi pada hutan alam di kawasan hutan TNGGP ...........................................................................................
194
Hasil analisis vegetasi pada hutan rasamala campuran di kawasan hutan TNGGP ..............................................................
201
Hasil analisis vegetasi pada hutan puspa campuran di kawasan hutan TNGGP ..............................................................
206
Hasil analisis vegetasi pada hutan damar di kawasan hutan TNGGP .................................................................................
210
Hasil analisis vegetasi pada hutan pinus di kawasan hutan TNGGP ...........................................................................................
215
14.
Penilaian kategori prioritas restorasi kawasan TNGGP ..................
217
15.
Confusion matrix dalam uji akurasi klasifikasi dengan metode overall accuracy ..............................................................................
221
Luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP menurut resort dan penutupan lahan ............................................................
222
Perhitungan perbandingan berpasangan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi .............................
225
Perhitungan perbandingan berpasangan kriteria lokasi/ bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi ...........................................................................
227
Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP per subkriteria ...................................................................
228
Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP ........................................................................
230
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
16. 17. 18.
19. 20.
xviii
No.
Uraian
Hal.
21.
Kuesioner perumusan kriteria, variabel penilaian, dan skala Intensitas dalam menentukan prioritas lokasi dan kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi ...............................................
231
Kuesioner penelitian pada masyarakat sekitar ...............................
239
22.
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha.
Tujuh belas persen dari luas kawasan hutan tersebut atau sebesar
20,50 juta ha merupakan kawasan hutan konservasi (Baplan, Dephut, 2006). Kawasan hutan konservasi didefinisikan sebagai kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang terdiri atas: kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, taman buru (UU RI No. 41/1999, Pasal 1 dan Pasal 7). Kawasan hutan konservasi merupakan bagian dari kawasan konservasi yang berada pada kawasan hutan. Kawasan konservasi di Indonesia sampai akhir Desember 2007 berjumlah 530 buah dengan luas 28.007.753 ha, yang terdiri atas cagar alam sebanyak 245 unit dengan luas 4,61 juta ha, suaka margasatwa sebanyak 77 unit dengan luas 5,43 juta ha, taman nasional sebanyak 50 unit dengan luas 16,38 juta ha, taman wisata alam sebanyak 123 unit dengan luas 1,03 juta ha, taman hutan raya sebanyak 21 unit dengan luas 332 ribu ha, dan taman buru sebanyak 14 unit dengan luas 225 ribu ha (Ditjen PHKA, Dephut, 2008). Keberadaan kawasan hutan konservasi memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya yang dihasilkan oleh kawasan tersebut. Saat ini, kawasan hutan di Indonesia, termasuk kawasan hutan konservasi mengalami kerusakan hutan yang cukup besar. Baplan, Dephut (2008) menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia selama periode 1985-1997 tercatat sebesar 1,8 juta ha per tahun, selama periode 1997-2000 laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2,84 juta ha per tahun, dan selama periode 20002005 laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,08 juta ha per tahun. Lebih lanjut, Baplan, Dephut (2006) menyebutkan bahwa sampai tahun 2000 diperkirakan hutan yang rusak di Indonesia lebih dari 59 juta ha, termasuk 4,69 juta ha kawasan hutan konservasi yang mengalami kerusakan. Sementara itu, Ditjen PHKA, Dephut (2007) menyebutkan bahwa kerusakan kawasan konservasi berdasarkan laporan yang masuk dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah (Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan
2
Balai Taman Nasional) sampai tahun 2005 mencapai 772.832,90 ha. Adapun kerusakan kawasan konservasi untuk setiap kategori adalah sebagai berikut: kerusakan kawasan cagar alam mencapai 15.033,5 ha, kerusakan kawasan suaka margasatwa mencapai 78.314,34 ha, kerusakan kawasan taman buru mencapai 14.612,82 ha, kerusakan kawasan taman wisata alam mencapai 150.797,15 ha, dan kerusakan kawasan taman nasional mencapai 514.075,09 ha. Terdapatnya perbedaan data kerusakan kawasan hutan konservasi tersebut, yakni data kerusakan kawasan hutan konservasi yang dikeluarkan oleh Ditjen PHKA lebih kecil apabila dibandingkan dengan data kerusakan kawasan hutan konservasi yang dikeluarkan oleh Baplan disebabkan data kerusakan kawasan yang dilaporkan oleh UPT di daerah belum seluruhnya masuk, mengingat jumlah kawasan hutan konservasi yang cukup banyak dan tersebar. Berdasarkan data tersebut dan fakta di lapangan dapat diketahui bahwa sebagian besar kawasan hutan konservasi di Indonesia kini mengalami kerusakan kawasan hutan yang disebabkan oleh berbagai permasalahan, seperti: perambahan hutan, penebangan liar (illegal logging), penambangan liar (illegal mining), kebakaran hutan, pengambilan hasil hutan nonkayu, dan perburuan satwaliar. Selain itu, permasalahan lainnya yang terjadi di kawasan hutan konservasi adalah terdapatnya jenis-jenis eksotik, terutama yang bersifat invasif. Untuk mengatasi kondisi tersebut, maka perlu dilakukan upaya restorasi (pemulihan) kawasan hutan konservasi agar kerusakan yang terjadi tidak semakin meluas dan peranan kawasan hutan konservasi bagi kehidupan makhluk hidup yang terdapat di sekitarnya dapat tetap terjaga. Namun demikian, hingga saat ini belum ada peraturan perundangan/kebijakan yang secara khusus menjelaskan/mengatur tentang restorasi kawasan hutan konservasi, sehingga sangat diperlukan adanya suatu penelitian mengenai model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi. 1.2. Kerangka Pemikiran Kawasan hutan didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Kawasan hutan konservasi memiliki ciri utama berupa keaslian
kondisi kawasan hutan tersebut.
Namun kini, keaslian kawasan hutan
konservasi mengalami gangguan (disturbance) baik karena terjadinya kerusakan
3
kawasan hutan konservasi maupun karena terdapatnya jenis-jenis eksotik di kawasan hutan konservasi tersebut. Indrawan et al. (2007) mendefinisikan jenis eksotik (exotic species) sebagai jenis yang terdapat di luar distribusi alaminya. Keberadaan jenis eksotik tersebut dikhawatirkan dapat menginvasi dan mendominasi suatu habitat karena jenis eksotik seringkali dapat beradaptasi lebih cepat daripada jenis asli (native species) atau dengan kata lain jenis eksotik seringkali dapat berkembang biak dengan baik di luar distribusi alaminya dan menjadi jenis pengganggu (invasive species). Antonio et al. (2002) menyatakan bahwa jenis eksotik yang bersifat invasif juga berimplikasi dalam meningkatkan laju erosi tanah, sebagai contoh di Afrika Selatan yang memiliki karakteristik penutupan tanah yang tipis, laju erosi terjadi lebih besar di bawah tegakan Pinus spp. yang merupakan jenis eksotik. Kerusakan kawasan hutan konservasi tersebut perlu segera diatasi melalui upaya restorasi (pemulihan) kawasan hutan konservasi agar kerusakan yang terjadi tidak semakin meluas dan fungsi kawasan hutan konservasi dapat tetap terjaga, yaitu berfungsi sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Restorasi ekologi didefinisikan sebagai suatu proses untuk membantu pemulihan ekosistem yang telah terdegradasi, mengalami kerusakan atau musnah.
Restorasi ekologi harus dapat meningkatkan konservasi keaneka-
ragaman
hayati,
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat,
memperkuat
masyarakat lokal, dan meningkatkan produktivitas ekosistem (SER– IUCN, 2004).
Oleh karena itu, maka dalam restorasi ekologi harus memperhatikan
berbagai aspek yang meliputi aspek biologi (vegetasi, satwaliar, mikroba), aspek fisik (penutupan lahan, tanah, iklim, elevasi, lereng), aspek sosial-budaya (karakteristik
rumahtangga,
persepsi,
partisipasi),
dan
aspek
ekonomi
(peningkatan kesejahteraan). Restorasi ekologi merupakan konsep yang tergolong baru dalam upaya pemulihan kondisi ekosistem yang rusak. Berbeda dengan konsep rehabilitasi hutan yang bertujuan hanya untuk memperbaiki fungsi dan produktivitas hutan tanpa harus membandingkannya dengan kondisi awal (asli) ketika hutan tersebut belum mengalami kerusakan (Wali, 1992), restorasi ekologi hutan bertujuan
4
untuk memulihkan struktur, komposisi, fungsi, dan produktivitas hutan seperti keadaan sebelum hutan mengalami kerusakan (ITTO, 2002; Lamb et al., 2003). Mengingat hingga saat ini belum ada peraturan perundangan/kebijakan yang secara khusus mengatur tentang restorasi kawasan hutan konservasi dan agar kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi dapat efektif (effective) dan dapat diterima (acceptable), maka diperlukan suatu model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi yang meliputi: perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi dengan memperhatikan aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi dan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi, perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, penentuan acuan restorasi, dan penentuan prioritas jenis terpilih. Dengan diperolehnya keempat model kebijakan dari hasil penelitian ini, maka diharapkan restorasi kawasan hutan konservasi dapat diimplementasikan untuk memulihkan kawasan hutan konservasi yang rusak seperti kondisi awal yang diketahui (sesuai kondisi acuan), sehingga fungsi kawasan hutan konservasi dapat tetap terjaga. Sebagai tempat untuk uji coba keempat model kebijakan dipilih Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Adapun kerangka pemikiran penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.
5
Terjadinya Kerusakan Hutan
Terdapatnya Jenis-jenis Eksotik
Perumusan Kriteria Kawasan Hutan Konservasi yang Perlu Segera Direstorasi
Gangguan Terganggunya Fungsi Kawasan Hutan Konservasi
Kawasan Hutan Konservasi
Keaslian: Ciri Utama Kawasan Hutan Konservasi
• Kawasan Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan • Kawasan Pengawetan Keragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa • Kawasan Pemanfaatan Secara Lestari Potensi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Restorasi Kawasan Hutan Konservasi
Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi
Perumusan Kriteria Lokasi/Bagian Kawasan Hutan Konservasi Tertentu yang Perlu Segera Direstorasi Penentuan Acuan Restorasi
Penentuan Prioritas Jenis Terpilih
Biologi Vegetasi
Fisik
Sosial-Budaya
Penutupan Lahan
Karakteristik Rumahtangga
Tanah
Persepsi
Iklim
Partisipasi
Satwaliar Mikroba
Elevasi Lereng
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Ekonomi Peningkatan Kesejahteraan
Kondisi yang Diharapkan: Uji Coba Model
• Kawasan hutan konservasi dapat pulih kembali • Fungsi kawasan hutan konservasi dapat tetap terjaga
6
1.3. Perumusan Masalah Mengingat jumlah kawasan hutan konservasi yang cukup banyak dan tersebar, pendanaan yang terbatas, dan sumberdaya manusia (SDM) yang terbatas dalam kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi, maka perlu adanya prioritas dalam pelaksanaan restorasi kawasan hutan konservasi, baik prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, prioritas lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, penentuan acuan restorasi, maupun penentuan prioritas jenis terpilih. Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah umum yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimanakah model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi, sehingga kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi dapat efektif (effective) dan dapat diterima (acceptable)? Untuk dapat memecahkan permasalahan umum tersebut, maka terlebih dahulu perlu dibuat beberapa rumusan masalah khusus sebagai berikut: 1) Apa kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi? 2) Apa kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi? 3) Bagaimana acuan restorasi? 4) Apa jenis terpilih yang menjadi prioritas dalam restorasi? 5) Bagaimana penerapan/uji coba model tersebut? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk membuat model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi, sehingga kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi dapat efektif (effective) dan dapat diterima (acceptable). Untuk dapat mencapai tujuan umum tersebut ditetapkan beberapa tujuan antara, yaitu sebagai berikut: 1) Merumuskan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi 2) Merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi 3) Menentukan acuan restorasi 4) Menentukan prioritas jenis terpilih 5) Menerapkan/menguji coba model
7
1.5. Manfaat Penelitian Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, manfaat bagi pemerintah, manfaat bagi peneliti, dan manfaat bagi masyarakat lokal, yaitu sebagai berikut: 1) Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya berkaitan dengan restorasi (pemulihan) kawasan hutan konservasi. 2) Manfaat bagi pemerintah Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
sebagai
bahan
pertimbangan/acuan bagi penentuan kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi di Indonesia. 3) Manfaat bagi peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dan referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai restorasi kawasan hutan konservasi lainnya. 4) Manfaat bagi masyarakat lokal Hasil penelitian ini apabila telah diimplementasikan di lapangan diharapkan dapat memulihkan kondisi kawasan hutan konservasi yang rusak, sehingga peranan atau manfaat kawasan hutan konservasi dapat dirasakan oleh masyarakat lokal, terutama sebagai perlindungan fungsi hidroorologis dan keanekaragaman hayati. Selain itu, diimplementasikannya restorasi kawasan hutan konservasi juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal melalui keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut, yaitu dengan bekerja sebagai tenaga penanaman dan pemeliharaan tanaman, serta penyedia bibit tanaman. 1.6. Kebaruan (Novelty) Restorasi merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari preservasi (pengawetan). Restorasi ini sangat penting dalam memulihkan kawasan hutan konservasi di Indonesia yang pada umumnya mengalami kerusakan. Namun demikian, hingga saat ini belum ada peraturan perundangan/kebijakan yang secara khusus mengatur tentang restorasi kawasan hutan konservasi, sehingga restorasi kawasan hutan konservasi belum memiliki aturan main yang jelas.
8
Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan suatu pengetahuan dan konsep-konsep dalam rangka memecahkan permasalahan tersebut. Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini terletak pada hasil dan metode/ pendekatan (approach) yang digunakan untuk menghasilkan model kebijakan restorasi
kawasan
hutan
konservasi,
yang
meliputi
pendekatan
untuk
merumuskan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, pendekatan untuk merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, pendekatan untuk menentukan acuan restorasi, dan pendekatan untuk menentukan prioritas jenis terpilih.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Restorasi Ekologi Basuni (2009) menyatakan bahwa berdasarkan pengertian konservasi dalam pengertian luas, maka kegiatan restorasi tidak dapat dipisahkan dari preservasi.
Lebih lanjut, Basuni (2009) membedakan kedua istilah tersebut
sebagai berikut: 1) Restorasi,
yaitu
tindakan
yang
berusaha
mengubah
struktur
obyek
konservasi untuk menggambarkan keadaan terdahulu yang diketahui; contohnya, mengubah hutan tanaman Pinus (tumbuhan asing) di suatu kawasan hutan konservasi menjadi hutan tanaman Rasamala yang merupakan tumbuhan asli di kawasan hutan konservasi yang bersangkutan. 2) Preservasi, yaitu tindakan tertentu yang bertujuan untuk menjaga selama mungkin fitur-fitur kawasan hutan konservasi yang terlihat jelas seperti keadaannya semula (asli, utuh); suatu tujuan yang biasa dicapai dengan memodifikasi beberapa fitur kawasan hutan konservasi yang semula tidak terlihat. Preservasi ini dapat berupa: a. Preservasi langsung, dilakukan dengan mengubah fitur kawasan hutan konservasi; aktivitas dengan waktu terbatas (misal, menambah atau mengurangi
populasi
untuk
mencapai
populasi
minimum
viable;
pengurangan atau penambahan populasi sampai tingkat daya dukung kawasan hutan konservasi). b. Preservasi lingkungan, dilakukan dengan mengubah lingkungan kawasan hutan konservasi atau fitur-fiturnya; aktivitas yang tidak dibatasi oleh waktu (membersihkan tumbuhan asli yang langka atau dilindungi dari lilitan tumbuhan liana asing, pengendalian predator, mencegah timbulnya wabah penyakit, pembinaan daerah penyangga). c. Preservasi informasional, bekerja dengan merekam atau meniru/ mereproduksi kawasan hutan konservasi dan atau beberapa fiturnya: foto, citra, data (atribut/spasial); membuat replika/tiruan (misalnya membangun taman plasma nutfah Taman Nasional X), tujuannya adalah untuk menyediakan informasi dan pengalaman bagi masyarakat tanpa resiko adanya gangguan pada kawasan hutan konservasi yang asli.
10
Restorasi ekologi berkaitan erat dengan kondisi kawasan hutan yang terdegradasi.
ITTO (2002) menyatakan bahwa terminologi degradasi hutan
mengacu pada penurunan kapasitas hutan untuk memproduksi barang dan jasa. Hutan yang terdegradasi menyebabkan penurunan suplai barang dan jasa serta keanekaragaman hayati yang terbatas.
Hutan yang terdegradasi mengalami
kehilangan struktur, fungsi, komposisi spesies, dan produktivitas normal yang diharapkan dari hutan tersebut. Berkaitan dengan pemulihan/perbaikan ekologi hutan yang terdegradasi, terdapat
tiga
istilah
yang
seringkali
menimbulkan
kebingungan
dalam
penggunaannya, yaitu reklamasi, rehabilitasi, dan restorasi. Lamb et al. (2003) membedakan ketiga istilah tersebut sebagai berikut: •
Reklamasi adalah pemulihan produktivitas pada area terdegradasi yang sebagian besar menggunakan pohon jenis eksotik (exotic spesies). Jenisjenis monokultur juga sering digunakan. Keanekaragaman hayati asli tidak dipulihkan, tetapi fungsi perlindungan dan fungsi jasa-jasa ekologi dipulihkan kembali.
•
Rehabilitasi adalah pemulihan kembali produktivitas tetapi tidak keseluruhan jenis tumbuhan dan satwa asli ada. Untuk kepentingan/alasan ekologi dan ekonomi hutan yang baru dapat terdiri atas jenis yang tidak asli.
Pada
saatnya fungsi asli perlindungan hutan dan jasa ekologis akan kembali pulih. •
Restorasi ekologi adalah pemulihan kembali struktur, produktivitas, dan keanekaragaman jenis asli dari hutan yang ada. Pada saatnya proses dan fungsi ekologi akan kembali sama seperti aslinya/kondisi hutan pada awalnya. Ketiga istilah tersebut (reklamasi, rehabilitasi, dan ekologi restorasi)
diilustrasikan oleh Lamb et al. (2003) seperti tersaji pada Gambar 2.
11
Gambar 2 Reklamasi, rehabilitasi, dan restorasi ekologi: A = kondisi hutan yang dicapai melalui restorasi ekologi, B1 = hutan yang terdegradasi, B2 = hutan yang terdegradasi lebih jauh apabila dibiarkan tanpa perlakuan, D = hutan yang kembali terdegradasi akibat adanya gangguan, E1 = kondisi hutan yang dicapai melalui reklamasi, E2 = kondisi hutan yang dicapai melalui reklamasi dengan adanya pengolahan tanah atau pemupukan, F = kondisi hutan yang dicapai melalui rehabilitasi (diadopsi dari Lamb et al., 2003) Sejalan dengan hal tersebut, Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat empat macam pendekatan yang sering digunakan untuk menangani ekosistem yang terdegradasi, yaitu: 1) Tanpa tindakan (no action), yaitu restorasi tidak dilakukan mengingat biaya pemulihan yang terlalu mahal, atau mungkin upaya restorasi sebelumnya gagal, ataupun berdasarkan pengalaman diperkirakan ekosistem dapat pulih kembali dengan sendirinya. 2) Rehabilitasi, yaitu ekosistem yang rusak diganti dengan ekosistem yang produktif, baik dengan menggunakan beberapa spesies maupun banyak jenis biota. 3) Restorasi parsial (sebagian), yaitu yang diperbaiki adalah sebagian fungsi ekosistem dan beberapa spesies asli yang dominan mungkin dapat dikembalikan. 4) Restorasi lengkap, yaitu restorasi suatu daerah hingga mencapai struktur dan komposisi spesies semula, maupun berbagai proses ekosistem terkait.
12
Restorasi ekologi didefinisikan oleh beberapa pihak sebagai berikut: •
Proses yang secara sengaja mengubah (keadaan lingkungan) suatu lokasi untuk membentuk kembali suatu ekosistem tertentu yang bersifat asli dan bernilai sejarah (Indrawan et al., 2007).
•
Suatu proses untuk membantu pemulihan suatu ekosistem yang telah terdegradasi, mengalami kerusakan, atau mengalami kehancuran.
Hal ini
merupakan suatu kegiatan yang disengaja untuk menginisiasi atau mempercepat proses ekologi (SER – IUCN, 2004). •
Upaya untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim, dan topografi) pada kawasan hutan produksi, sehingga tercapai keseimbangan hayati.
Restorasi ekologi (ekosistem) ini dilakukan melalui
penanaman, pengayaan, permudaan alam, dan atau pengamanan ekosistem (Dephut, 2004a). Lebih lanjut, Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa tujuan restorasi ekologi adalah untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman, serta dinamika dari ekosistem terkait. Pengetahuan tentang komposisi, struktur, dan fungsi dari hutan alami, begitu juga nilai rata-rata dan variasi kisaran, sangat diperlukan untuk menetapkan tujuan restorasi dan untuk mengevaluasi keberhasilan suatu kegiatan restorasi (Kuuluvainen et al., 2002). Oleh karena itu, maka dalam kegiatan restorasi ekologi diperlukan adanya suatu ekosistem acuan yang dapat digunakan untuk menetapkan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan restorasi.
Tujuan restorasi ekologi dapat ditentukan hanya melalui
penetapan kondisi-kondisi acuan (Kamada, 2005). SER – IUCN (2004) mendefinisikan ekosistem acuan sebagai ekosistem yang sesungguhnya atau model konseptual dari suatu ekosistem yang digunakan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan dari suatu proyek restorasi, serta evaluasinya. Kuuluvainen et al. (2002) menyatakan bahwa kegunaan restorasi ekologi dalam konservasi ekosistem hutan adalah sebagai berikut (Gambar 3): 1) Hutan konservasi seringkali jauh dari kondisi alaminya karena pengelolaan sebelumnya. Restorasi dapat digunakan untuk meningkatkan kealamian dari struktur hutan dalam rangka mempertinggi kuantitas dan kualitas bagi jenis fokal (focal species). 2) Kawasan-kawasan konservasi saat ini seringkali berukuran kecil dan terisolasi. Restorasi dapat digunakan untuk memperbesar dan melengkapi
13
kawasan-kawasan konservasi yang berukuran kecil dan terfragmentasi dalam rangka menciptakan unit-unit yang terhubung agar lebih besar dan lebih baik. 3) Prinsip-prinsip restorasi dapat digunakan pada hutan yang dikelola (hutan produksi) yang mengelilingi kawasan konservasi untuk menciptakan daerah penyangga (bufferzone) antara hutan produksi dengan hutan konservasi dan untuk meningkatkan fungsi konservasi dari kawasan konservasi. 4) Prinsip-prinsip restorasi dapat diterapkan pada hutan produksi alam secara keseluruhan untuk meningkatkan kualitas habitat dari matriks hutan. c) Hutan produksi mengelilingi kawasan konservasi baru a) Hutan konservasi b) Penetapan kawasan konservasi baru
d) Hutan produksi alam Kawasan-kawasan konservasi terfragmentasi karena pengelolaan sebelumnya Penggabungan/perluasan kawasan konservasi
Gambar 3 Ilustrasi sederhana dari kegunaan restorasi dalam konservasi ekosistem hutan (diadopsi dari Kuuluvainen et al., 2002) SER – IUCN (2004) menyatakan bahwa restorasi ekologi berkontribusi dalam meningkatkan keanekaragaman hayati pada lansekap yang terdegradasi, meningkatkan populasi dan distribusi jenis yang langka dan terancam, meningkatkan konektifitas lansekap, meningkatkan ketersediaan barang dan jasa lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan kontribusi restorasi ekologi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ITTO (2002) dan Kobayashi (2004) menyatakan bahwa keberhasilan kegiatan restorasi ekologi dan rehabilitasi hutan yang terdegradasi hanya akan tercapai apabila masyarakat lokal berperan serta dalam kegiatan tersebut dan masyarakat pengguna hutan memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek, serta manfaat lain di masa datang. Keberhasilan restorasi menurut Walters (1997) antara lain ditandai dengan indikator sebagai berikut:
14
1) Restorasi dipandang oleh masyarakat lokal dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi mereka. 2) Restorasi disusun sesuai dengan pola pemanfaatan sumberdaya dan lahan oleh masyarakat. 3) Pengetahuan lokal dan keahlian yang terkait dengan restorasi berhasil didokumentasikan oleh proyek. 4) Kelompok masyarakat/organisasi lokal secara efektif dimobilisasi untuk mendukung dan mengimplementasikan kegiatan restorasi. 5) Kebijakan yang terkait dan faktor politik mendukung upaya restorasi. 2.2. Jenis Eksotik (Exotic Species) dan Jenis Asli (Native Species) Indrawan et al. (2007) mendefinisikan jenis eksotik (exotic species) sebagai jenis yang terdapat di luar distribusi alaminya. Jenis eksotik tersebut seringkali berkembang biak dengan pesat di luar distribusi alaminya dan mengganggu jenis lainnya atau bersifat invasif (invasive species). Hal tersebut dikarenakan jenis eksotik seringkali dapat beradaptasi lebih cepat daripada jenis asli (native species) dan tidak adanya predator dan parasit alami mereka di habitat yang baru tersebut. Keberadaan jenis eksotik di kawasan konservasi merupakan hal yang sangat membahayakan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi tersebut karena apabila jenis eksotik telah masuk di kawasan konservasi, maka jenis eksotik tersebut akan berkembang dalam jumlah besar, tersebar luas, dan berbaur di dalam komunitas, sehingga untuk menghilangkannya menjadi sangat sulit dan mahal. Upaya terbaik yang lebih efektif dan lebih murah agar jenis eksotik tidak menyebar luas adalah dengan melakukan pemberantasan dan pengendalian yang cepat pada saat pertama kali terlihat, agar jenis eksotik tersebut tidak sempat berkembang (Indrawan, 2007). Antonio et al. (2002) menyatakan bahwa jenis eksotik secara signifikan meningkatkan permasalahan pengelolaan di kawasan konservasi dan seringkali mempersulit proyek restorasi. Lebih lanjut, Antonio et al. (2002) menyebutkan beragam teknik yang dapat digunakan untuk memindahkan jenis eksotik dari suatu kawasan konservasi yang akan direstorasi, diantaranya yaitu: pemindahan dengan tangan/manual, pemindahan dengan mesin, penggunaan herbisida, penggunaan api, atau dilakukan secara kombinasi.
Adapun teknik yang
15
digunakan pada lokasi yang akan direstorasi tergantung dari biologi jenis tersebut, faktor sosial ekonomi, faktor politik, dan faktor budaya. Pengetahuan terhadap jenis eksotik (exotic species) dan jenis asli (native species) tersebut sangat berguna dalam pemilihan jenis yang dapat digunakan dalam kegiatan restorasi ekologi. Penggunaan jenis asli (native species) sangat diharapkan dalam kegiatan restorasi ekologi, namun informasi mengenai jenis asli (native species) ini seringkali terbatas (Burton, et al., 2006). Setiadi (2002) menyebutkan kriteria pemilihan jenis untuk kegiatan restorasi sebagai berikut: 1) Merupakan jenis asli (native species) yang mampu beradaptasi 2) Memiliki pertumbuhan yang cepat 3) Membutuhkan cahaya dan kebutuhan nutrisi yang rendah 4) Menghasilkan serasah yang berlimpah dan terdekomposisi 5) Jenis yang dapat berfungsi sebagai katalitik (catalytic) 6) Mudah untuk diperbanyak dan dipelihara 7) Biaya yang rendah dalam penanaman dan pemeliharaan 8) Mudah untuk dikelola 2.3. Kawasan Konservasi 2.3.1. Kategorisasi Kawasan Konservasi Kawasan konservasi merupakan suatu kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya), dan taman buru. Ciri khas masing-masing kategori kawasan konservasi tersebut beserta jumlah dan luasannya dapat diuraikan sebagai berikut: a. Cagar alam (CA), merupakan kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Jumlah cagar alam saat ini adalah sebanyak 245 unit dengan luas 4.605.059,88 ha. b. Suaka margasatwa (SM), merupakan kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Jumlah suaka margasatwa saat ini adalah sebanyak 77 unit dengan luas 5.433.337,09 ha.
16
c. Taman
nasional
(TN),
merupakan
kawasan
pelestarian
alam
yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Jumlah taman nasional saat ini adalah sebanyak 50 unit dengan luas 16.383.993,34 ha. d. Taman wisata alam (TWA), merupakan kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Jumlah taman wisata alam saat ini adalah sebanyak 123 unit dengan luas 1.028.912,29 ha. e. Taman hutan raya (THR), merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan
asli,
yang
dimanfaatkan
bagi
kepentingan
penelitian,
ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Jumlah taman hutan raya saat ini adalah sebanyak 21 unit dengan luas 331.634,91 ha. f.
Taman buru (TB), merupakan kawasan hutan konservasi yang ditetapkan sebagai tempat diselenggarakannya perburuan secara teratur. Jumlah taman buru saat ini adalah sebanyak 14 unit dengan luas 224.816,04 ha. (UU RI No. 41/1999 Pasal 7; UU RI No. 5/1990 Pasal 1; Ditjen PHPA, Dephut, 1996; Ditjen PHKA, Dephut, 2008).
2.3.2. Fungsi dan Manfaat Kawasan Konservasi Secara umum, kawasan konservasi memiliki fungsi sebagai: (1) kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ditjen PHPA, Dephut, 1996). MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa kawasan konservasi dapat memberi manfaat yang berharga bagi masyarakat di wilayah tersebut melalui cara: 1) Menstabilkan fungsi hidrologi 2) Melindungi tanah 3) Menjaga stabilitas iklim 4) Pelestarian sumberdaya pulih (renewable) yang dapat dipanen 5) Perlindungan sumberdaya plasma nutfah 6) Pengawetan untuk perkembangbiakan ternak, cadangan populasi, dan keanekaragaman biologis
17
7) Pengembangan kepariwisataan 8) Menyediakan fasilitas rekreasi 9) Menciptakan kesempatan kerja 10) Menyediakan fasilitas bagi penelitian dan pemantauan 11) Menyediakan fasilitas pendidikan 12) Memelihara kualitas lingkungan hidup 13) Keuntungan dari perlakuan khusus 14) Pelestarian nilai budaya dan tradisional 15) Keseimbangan alam lingkungan 16) Nilai warisan dan kebanggaan regional Sejalan dengan hal tersebut, Wiratno et al. (2004) juga menyatakan bahwa banyak manfaat yang disediakan kawasan konservasi, antara lain: (1) manfaat rekreasi; (2) perlindungan daerah aliran sungai, yang meliputi pengendalian erosi, reduksi banjir setempat, pengaturan aliran sungai; (3) proses-proses ekologis, yang meliputi fiksasi dan siklus nutrisi, formasi tanah, sirkulasi dan pembersihan udara dan air, dukungan bagi kehidupan global; (4) keragaman hayati, meliputi sumber genetik, perlindungan spesies, keragaman ekosistem, proses-proses evolusioner; (5) pendidikan dan penelitian; (6) manfaat-manfaat konsumtif; (7) manfaat-manfaat nonkonsumtif, yang meliputi estetika, spiritual, kultural/sejarah, nilai keberadaan; dan (8) nilai masa depan, yang meliputi nilai guna pilihan. 2.3.3. Pengelolaan Kawasan Konservasi MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya hayati di kawasan alami yang dilindungi (kawasan konservasi) meliputi seluruh proses yang berjalan dalam ekosistem. Ini memerlukan pemahaman prinsipprinsip ekologi, suatu apresiasi terhadap proses ekologi yang berjalan dalam kawasan yang dilindungi, dan penerimaan konsep bahwa pengelolaan kawasan yang dilindungi merupakan suatu bentuk khusus dari penggunaan tanah. Pengelolaan yang diperlukan akan ditentukan oleh tujuan yang ditetapkan bagi kawasan tertentu. Dalam banyak hal, suatu pengelolaan yang aktif diperlukan untuk mencapai atau memelihara tujuan tersebut. Didasarkan pada beragamnya fungsi kawasan dengan kekhasan dan keunikannya masing-masing dan total cakupan areal yang relatif luas, dalam mengelola kawasan konservasi diperlukan adanya suatu pola pengelolaan yang
18
jelas, bersifat komprehensif, dan dapat mengakomodasi setiap kemungkinan pengembangannya.
Pola pengelolaan ini diperlukan, baik oleh pengelola
maupun pihak lain yang berminat mengembangkan segala aspek yang terkandung dalam kawasan konservasi (Ditjen PHPA, Dephut, 1996). Dephut (2004b) menyatakan bahwa dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran cara pandang (paradigm shift) pada bidang pengelolaan kawasan yang dilindungi (kawasan konservasi), antara lain: •
Perubahan paradigma terhadap fungsi kawasan yang dilindungi di berbagai negara,
dari
yang
semula
semata-mata
kawasan
perlindungan
keanekaragaman hayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki fungsi sosial ekonomi jangka panjang untuk mendukung pembangunan yang berkesinambungan. •
Beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung pemerintah menjadi beban bersama pemerintah dan penerima manfaat (beneficiary pays principle).
Penentuan
kebijakan
dari
top-down
menjadi
bottom-up
(participatory). •
Pengelolaan berbasis pemerintah (state-based management) menjadi pengelolaan berbasis multi-pihak (multi-stakeholder based management/ collaborative management) atau berbasis masyarakat lokal (local communitybased).
•
Pelayanan pemerintah dari birokratis-normatif menjadi profesional-responsiffleksibel-netral.
Tata pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis
serta peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan facilitator. 2.3.4. Taman Nasional Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 56/Menhut-II/2006, zonasi dalam kawasan taman nasional terdiri atas: a. Zona inti Merupakan bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang
19
mutlak
dilindungi,
berfungsi
untuk
perlindungan
keterwakilan
keanekaragaman hayati yang asli dan khas. b. Zona rimba, zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan Merupakan bagian taman nasional yang karena letak, kondisi, dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. c. Zona pemanfaatan Merupakan bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. d. Zona lain, antara lain: 1) Zona tradisional Merupakan
bagian
dari
taman
nasional
yang
ditetapkan
untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. 2) Zona rehabilitasi Merupakan bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan. 3) Zona religi, budaya dan sejarah Merupakan bagian dari taman nasional yang di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. 4) Zona khusus Merupakan bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi, dan listrik Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007, dinyatakan bahwa organisasi pelaksana teknis pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis taman nasional, yang diklasifikasikan sebagai berikut:
20
1) Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas I, yang disebut dengan Balai Besar Taman Nasional, terdiri atas Balai Besar Taman Nasional Tipe A (5 Balai Besar) dan Balai Besar Taman Nasional Tipe B (3 Balai Besar). 2) Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas II, yang disebut dengan Balai Taman Nasional, terdiri atas Balai Taman Nasional Tipe A (21 Balai) dan Balai Taman Nasional Tipe B (21 Balai). Adapun tujuan pengelolaan taman nasional adalah sebagai berikut: 1) Melindungi wilayah alami dan pemandangan indah yang memiliki nilai tinggi secara nasional atau internasional untuk tujuan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi, dan pariwisata. 2) Melestarikan sealamiah mungkin perwakilan dari wilayah fisiografi, komunitas biotik, sumberdaya genetik dan spesies, untuk memelihara keseimbangan ekologi, dan keanekaragaman hayati. 3) Mengelola penggunaan oleh pengunjung untuk kepentingan inspiratif, pendidikan, budaya, dan rekreasi dengan tetap mempertahankan areal tersebut pada kondisi alamiah atau mendekati alamiah. 4) Menghilangkan dan mencegah eksploitasi atau okupansi yang bertentangan dengan tujuan penunjukannya. 5) Memelihara
rasa
menghargai
terhadap
ciri
ekologi,
geomorfologi,
kekeramatan, atau estetika yang menjadi pertimbangan penunjukannya. 6) Memperdulikan
kebutuhan
masyarakat
lokal,
termasuk
penggunaan
sumberdaya alam secara subsisten, sepanjang tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tujuan pengelolaan (Setyadi, et al., 2006). Saat ini, dari 50 taman nasional yang terdapat di Indonesia, 3 taman nasional diantaranya telah ditetapkan memiliki kawasan perluasan, yaitu: (1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, (2) Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan (3) Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Selain itu, 3 taman nasional lainnya merupakan taman nasional yang baru dibentuk, yaitu: (1) Taman Nasional Gunung Ciremai, (2) Taman Nasional Gunung Merbabu, dan (3) Taman Nasional Gunung Merapi. Kawasan perluasan ketiga taman nasional dan kawasan ketiga taman nasional yang baru dibentuk tersebut sebelumnya berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2003, Perum Perhutani diberi kewenangan mengelola seluruh hutan negara yang berupa kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang terdapat di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur,
21
Jawa Barat, dan Banten, kecuali kawasan hutan konservasi. Dengan adanya perluasan kawasan taman nasional dan kawasan taman nasional yang baru dibentuk, maka kawasan hutan yang menjadi kawasan taman nasional tersebut yang semula berfungsi sebagai kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas, kini beralih fungsi menjadi hutan konservasi. Selain itu, terjadi pula perubahan kewenangan pengelolaan kawasan hutan dari Perum Perhutani kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA), Departemen Kehutanan (Dephut). Secara resmi ketiga kawasan perluasan taman nasional dan ketiga kawasan taman nasional yang baru dibentuk tersebut telah diserahterimakan dari Perum Perhutani kepada Ditjen PHKA, Dephut pada tanggal 29 Januari 2009 (PIK, Dephut, 2009). 2.4. Persepsi Persepsi adalah pandangan dan pengamatan, pengertian dan interpretasi seseorang atau individu terhadap suatu kesan obyek yang diinformasikan kepada dirinya dan lingkungan tempat ia berada sehingga dapat menentukan tindakannya (Kartini, 1984). Calhoun, et al. (1995) menyatakan bahwa persepsi memiliki tiga dimensi yang sama yang menandai konsep diri, yaitu: a. Pengetahuan: Apa yang kita ketahui (atau kita anggap tahu) tentang pribadi lain – wujud lahiriah, perilaku, masa lalu, perasaan, motif, dan sebagainya. b. Pengharapan: Gagasan kita tentang orang itu menjadi apa dan mau melakukan apa dipadukan dengan gagasan kita tentang seharusnya dia menjadi apa dan melakukan apa. c. Evaluasi: Kesimpulan kita tentang seseorang, didasarkan pada bagaimana seseorang
(menurut
pengetahuan
kita
tentang
mereka)
memenuhi
pengharapan kita tentang dia. 2.5. Partisipasi Partisipasi masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Masyarakat secara sukarela memberikan kontribusi dalam program-program masyarakat tanpa adanya keterlibatan di dalam pengambilan keputusan atau pemberian isi pendapat. 2) Masyarakat secara aktif mempengaruhi tujuan dan implementasi proyek untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dalam rangka meningkatkan
22
pendapatan, kebutuhan pribadi, kepercayaan diri atau nilai lain yang berharga. 3) Usaha pembangunan yang melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pembagian keuntungan. 4) Usaha
masyarakat
yang
teratur
untuk
meningkatkan
pengawasan
sumberdaya dalam lingkungan (Widianto, 2000). Hiwasaki
(2005)
menyatakan
bahwa
untuk
menjamin
partisipasi
masyarakat lokal dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan kawasan konservasi, pengelola kawasan harus bertindak sebagai koordinator dan fasilitator dari pendekatan bottom-up untuk membuat keputusan.
Adapun
tahapan yang harus dijalankan untuk melakukan hal tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi berbagai stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi dan mendefinisikan masyarakat lokal. 2) Menjelaskan peran dan tanggung jawab masing-masing stakeholder. 3) Mendukung pembangunan kesepakatan diantara stakeholders mengenai tujuan dan visi jangka panjang dari kawasan konservasi. Terdapatnya kemitraan/partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya alam di kawasan konservasi agar kegiatan tersebut dapat berlangsung secara optimal sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. dalam
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Sharp et al. (1999) bahwa mengembangkan
kegiatan
pengelolaan
hutan
harus
melibatkan
masyarakat lokal dalam proses pembuatan keputusan pengelolaan hutan, meningkatkan tingkat pengetahuan masyarakat lokal mengenai dampak kumulatif
dari
hilangnya
hutan,
dan
memberikan
kewenangan
kapada
masyarakat lokal untuk mengatur akses terhadap hutan. Hadad
(2003) menyatakan bahwa pengelolaan kolaboratif (collaborative
management) merupakan pengelolaan dengan pola kemitraan di antara berbagai pihak
yang
berkepentingan
(multistakeholders
partnership)
atas
dasar
kesepakatan bersama untuk saling berbagi fungsi, wewenang, dan tanggung jawab dalam mengelola kawasan konservasi dan sumberdayanya secara lestari. Pengelolaan kolaboratif (collaborative management) sangat cocok untuk situasi yang sangat kompleks dimana kelompok-kelompok pengguna perlu untuk berinteraksi dengan organisasi-organisasi pemerintah yang tujuannya diputuskan oleh para politisi (Zachrisson, 2007).
23
Selanjutnya,
Hadad (2003),
menyatakan
bahwa
prinsip
dan
pola
pengelolaan kolaboratif adalah sebagai berikut: 1) Pengelolaan kawasan yang berbasis masyarakat lokal dan mengikutsertakan para pihak terkait (community based and multistakeholders management). 2) Para pihak menyepakati visi, misi, dan tujuan yang ingin dicapai bersama. 3) Mengacu pada rencana pengelolaan kawasan (management plan) yang disusun dan disepakati bersama oleh semua pihak. 4) Ada aturan yang jelas dan disepakati bersama oleh para pihak yang berkolaborasi dalam hal: Pembagian peran/tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing pihak. Pembagian beban dan manfaat (cost and benefit) bagi para pihak. 5) Ada dewan perumus/penentu kebijakan (governing board) dan badan pelaksana kebijakan/pengelola kegiatan kawasan (executive management) yang memenuhi persyaratan manajemen profesional. 2.6. Model Model merupakan penyederhanaan dari kondisi yang sebenarnya. Tujuan penyusunan model adalah untuk: (1) pemahaman proses yang terjadi dalam sistem, (2) prediksi, dan (3) menunjang pengambilan keputusan (Hartrisari, 2007). Hartrisari (2007) menggolongkan model ke dalam dua kategori, yaitu: model fisik dan model abstrak/mental. Tipe-tipe model tersebut disajikan pada Gambar 4. Lebih lanjut, Hartrisari (2007) mendefinisikan tipe-tipe model tersebut sebagai berikut: •
Model fisik merupakan model miniatur replika dari keadaan sebenarnya.
•
Model abstrak/mental merupakan model yang bukan fisik, tetapi dapat menjelaskan kinerja dari sistem.
•
Model kuantitatif merupakan model abstrak/mental yang menggunakan perhitungan matematik dan bersifat numerik, sehingga dapat digunakan untuk keperluan prediksi.
•
Model kualitatif merupakan model abstrak/mental yang bersifat deskriptif dan tidak menggunakan perhitungan kuantitatif.
24
•
Model
induktif/empirik
(statistik)
merupakan
model
kuantitatif
yang
memberikan hubungan antara variabel output dan input, tetapi tidak memberikan penjelasan proses atau bagaimana mekanisme hubungan tersebut terjadi. •
Model deduktif/mekanistik (matematik) merupakan model kuantitatif yang memberikan hubungan antara variabel output dan input, serta menjelaskan mekanisme proses yang terjadi tersebut.
•
Model statik merupakan model yang memiliki permasalahan yang bersifat konstan.
•
Model dinamik merupakan model yang memiliki permasalahan yang berubah menurut waktu. Model
Fisik
Statik
Mental
Dinamik
Kuantitatif
Kualitatif
Induktif/Empirik (Statistik)
Statik
Dinamik
Deduktif/Mekanistik (Matematik)
Statik
Dinamik
Gambar 4 Tipe-tipe model (diadopsi dari Hartrisari, 2007) 2.7. Kriteria dan Indikator Kriteria adalah standar untuk penilaian sesuatu (Purnomo, 2005). CIFOR (1999) menyatakan bahwa kriteria merupakan suatu titik tengah dimana informasi yang disediakan dari indikator dapat diintegrasikan dan cara penilaian yang dapat ditafsirkan menjadi semakin jelas. Indikator adalah parameter kualitatif dan atau kuantitatif yang dapat diukur dalam kaitannya dengan kriteria. Indikator merupakan komponen khusus dari suatu kriteria yang dapat diukur dan diuji keabsahannya, dimana melalui indikator dapat diketahui, apakah suatu unit manajemen telah mencapai atau tidak kriteriakriteria pengelolaan (Setyadi, et al., 2006).
25
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di instansi-instansi yang terkait dengan kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi.
Penerapan/uji coba model dilakukan di
kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang secara administratif pemerintahan termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Kegiatan penelitian berlangsung selama 19 bulan (Januari 2010 – Juli 2011), dengan pengambilan data di lapangan selama 8 bulan (Oktober 2010 – Mei 2011). 3.2. Desain dan Tahapan Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian survai. Pengumpulan data dalam penelitian survai ini dilakukan melalui cara: 1) Wawancara (interview) dengan pakar/ahli, dilakukan untuk memperoleh data/persepsi
pakar/ahli
dalam
merumuskan
kriteria
kawasan
hutan
konservasi yang perlu segera direstorasi, merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, dan merumuskan
kriteria,
subkriteria,
alternatif
prioritas
kegiatan/tindakan
restorasi di lokasi uji coba model. Penentuan pakar/ahli sebagai nara sumber dalam penelitian ini dilakukan melalui sampling bola salju (snowball sampling). Pakar/ahli yang dijadikan sebagai nara sumber adalah pakar/ahli yang memiliki keahlian di bidang restorasi hutan dan pengelolaan kawasan hutan konservasi. Jumlah pakar/ahli fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. 2) Wawancara (interview) dengan pengambil kebijakan, dilakukan untuk memperoleh data/persepsi pengambil kebijakan dalam memboboti kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, memboboti kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi,
dan
memboboti
kriteria,
subkriteria,
alternatif
prioritas
kegiatan/tindakan restorasi di lokasi uji coba model. Penentuan pengambil kebijakan sebagai nara sumber dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling, yaitu pimpinan dari instansi yang berkepentingan dengan kegiatan restorasi di kawasan hutan konservasi.
26
3) Wawancara
(interview)
dengan
masyarakat
sekitar,
dilakukan
untuk
memperoleh data tentang persepsi dan partisipasi masyarakat sekitar terhadap kegiatan restorasi kawasan TNGGP.
Penentuan lokasi sampel
dilakukan secara purposive (bertujuan), yaitu desa-desa yang menjadi lokasi sampel adalah desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGGP dan terdapat berbagai upaya yang berhubungan dengan pemulihan ekosistem kawasan TNGGP, baik melalui kegiatan adopsi pohon maupun melalui kegiatan gerakan rehabilitasi hutan (Gerhan).
Adapun desa-desa
yang menjadi lokasi sampel adalah Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur dan Desa Cihanyawar, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi.
Unit contoh pada penelitian ini adalah Kepala Rumahtangga
(KRT) yang terdapat pada kedua desa terpilih. Penarikan contoh dilakukan secara acak (random sampling). Jumlah contoh (responden) yang diambil dalam penarikan contoh ini ditetapkan secara quota, yaitu sebanyak 30 KRT pada setiap desa, sehingga jumlah contoh (responden) keseluruhan adalah sebanyak 60 KRT. 4) Pengamatan langsung di lapangan (direct observation), dilakukan untuk memperoleh data biofisik di lapangan dan sekaligus untuk mengklarifikasi kebenaran dari berbagai informasi yang telah diperoleh. 5) Studi literatur, dilakukan untuk melengkapi data dan informasi yang diperlukan dalam menunjang kegiatan penelitian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer ini diperoleh dari hasil wawancara
(interview) dengan pakar/ahli, wawancara (interview) dengan pengambil kebijakan, serta hasil pengamatan langsung di lapangan (direct observation). Sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur terhadap berbagai laporan dan dokumen, seperti hasil penelitian/publikasi yang berkaitan dengan kegiatan penelitian yang sedang dilakukan, peraturan perundang-undangan, data kependudukan, maupun data lainnya yang dapat menunjang kegiatan penelitian. Kegiatan penelitian ini terdiri atas 2 tahapan penelitian, yaitu: 1) Tahap pembangunan model, meliputi: (1) Perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi (2) Perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi
27
(3) Penentuan acuan restorasi (4) Penentuan prioritas jenis terpilih 2) Tahap uji coba model, meliputi: (1) Lokasi uji coba model (2) Penentuan kategori prioritas restorasi TNGGP (3) Penentuan lokasi/bagian TNGGP yang perlu segera direstorasi a. Penutupan lahan di kawasan TNGGP b. Kondisi kriteria lainnya di kawasan TNGGP c. Lokasi/bagian TNGGP yang perlu segera direstorasi (4) Penentuan acuan restorasi TNGGP (5) Penentuan prioritas jenis terpilih di TNGGP (6) Prioritas kegiatan/tindakan restorasi TNGGP a. Persepsi masyarakat sekitar terhadap kegiatan restorasi kawasan TNGGP b. Partisipasi masyarakat sekitar terhadap kegiatan restorasi kawasan TNGGP Secara lebih detail, metode yang digunakan pada setiap tahapan kegiatan penelitian dijelaskan dalam uraian berikut ini. 3.3. Pembangunan Model 3.3.1. Perumusan Kriteria Kawasan Hutan Konservasi yang Perlu Segera Direstorasi Perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi dilakukan melalui pendekatan dua aspek, yaitu: aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi dan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi. a. Metode Pengumpulan Data: Untuk memperoleh data/persepsi tentang kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan (importance)
suatu
kawasan
hutan
konservasi
dan
aspek
tingkat
kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi dilakukan melalui wawancara (interview) dengan pakar/ahli yang menjadi nara sumber, yaitu berasal dari Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Kemenhut dan Puslit Biologi, LIPI.
Sebagai bahan wawancara (interview) digunakan
kuesioner yang berisi kriteria hipotetik kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan hasil studi literatur (Lampiran 21).
Kriteria
28
hipotetik tersebut berfungsi untuk memudahkan pakar/ahli dalam memahami tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan pengumpulan data yang dilakukan. Pakar/ahli yang menjadi nara sumber kemudian merumuskan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi sesuai dengan persepsinya. Kriteria yang dirumuskan pakar/ahli tersebut bisa sama atau berbeda dengan kriteria hipotetik yang telah disusun karena tergantung pada persepsi pakar/ahli tersebut dalam memandang suatu kriteria (Lampiran 5). Pakar/ahli yang menjadi nara sumber kemudian memberikan arahan terhadap variabel penilaian untuk masing-masing kriteria yang telah dirumuskannya beserta arahan skala intensitas untuk variabel penilaiannya, sedangkan untuk detail variabel penilaiannya dirumuskan melalui hasil studi literatur maupun arahan pakar/ahli tersebut. b. Metode Analisis Data: Jika terdapat beberapa pakar/ahli, maka dilakukan rekapitulasi terhadap rumusan kriteria yang dihasilkan oleh masing-masing pakar tersebut dan untuk kriteria-kriteria yang mirip/serupa digabungkan.
Setelah diperoleh rumusan
kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi yang dihasilkan oleh pakar/ahli, kemudian rumusan kriteria tersebut diboboti oleh pengambil kebijakan yang menjadi nara sumber. Pembobotan terhadap masing-masing kriteria dilakukan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan. Jika terdapat beberapa pengambil kebijakan, maka terlebih dahulu dicari nilai rata-rata geometrik dari nilai perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh para pengambil kebijakan tersebut untuk selanjutnya dilakukan perhitungan bobot masing-masing kriteria dengan menggunakan software Expert Choice 2000. Berdasarkan hasil analisis data tersebut diperoleh matriks kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, yang berisi: kriteria, bobot kriteria, variabel penilaian, dan skala intensitas. Untuk menentukan kategori prioritas suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi dengan memperhatikan aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi dan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
29
1) Berdasarkan matriks kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, plotkan kawasan hutan konservasi yang akan dinilai sesuai dengan nilai kondisi kawasan hutan konservasi tersebut pada masingmasing aspek (tingkat kepentingan dan tingkat kemendesakan). 2) Perhitungan skor masing-masing kriteria pada masing-masing aspek dilakukan dengan cara mengalikan bobot dengan skala intensitas masingmasing kriteria pada masing-masing aspek. 3) Penjumlahan total skor untuk masing-masing aspek. Untuk menentukan prioritas suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi, maka nilai total skor untuk masing-masing aspek tersebut diletakkan pada kuadran yang sesuai (Gambar 5), yaitu sebagai berikut: Prioritas I (Kuadran I), Prioritas II (Kuadran II), Prioritas III (Kuadran III), Prioritas IV (Kuadran IV). 4) Kategori penilaian untuk merumuskan prioritas suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi dapat dilihat pada diagram matriks prioritas suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi (Gambar 6), yaitu sebagai berikut: Prioritas I (tingkat kepentingan tinggi – tingkat kemendesakan tinggi), Prioritas II (tingkat kepentingan rendah – tingkat kemendesakan tinggi), Prioritas III (tingkat kepentingan tinggi – tingkat kemendesakan rendah), Prioritas IV (tingkat kepentingan rendah – tingkat kemendesakan rendah). Tinggi T i n g k a t k e p e n t i n g a n
Kuadran III (Prioritas III)
Kuadran I (Prioritas I)
Kuadran IV (Prioritas IV)
Kuadran II (Prioritas II)
Rendah Rendah
Tingkat kemendesakan
Tinggi
Gambar 5 Posisi kuadran prioritas restorasi suatu kawasan hutan konservasi
30
Tingkat Kemendesakan Mendesak (M)
Tingkat Kepentingan
Tidak Mendesak (TM)
Prioritas I:
Prioritas III:
Penting (P)
(Suatu kawasan hutan konservasi bernilai penting dan mendesak untuk direstorasi)
(Suatu kawasan hutan koservasi bernilai penting, tetapi tidak mendesak untuk direstorasi)
Prioritas II:
Prioritas IV:
Tidak Penting (TP)
(Suatu kawasan hutan konservasi tidak bernilai penting, tetapi mendesak untuk direstorasi)
(Suatu kawasan hutan konservasi tidak bernilai penting dan tidak mendesak untuk direstorasi)
Gambar 6 Diagram matriks prioritas restorasi suatu kawasan hutan konservasi 3.3.2. Perumusan Kriteria Lokasi/Bagian Kawasan Hutan Konservasi Tertentu yang Perlu Segera Direstorasi Perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi dilakukan melalui pendekatan terhadap kriteria yang dapat berlaku umum pada semua kawasan hutan konservasi. a. Metode Pengumpulan Data: Untuk memperoleh kriteria yang dapat berlaku umum pada semua kawasan hutan konservasi dilakukan melalui studi literatur terhadap kondisi kawasan hutan konservasi tersebut, terutama pada
kawasan taman nasional.
Kemudian pada kawasan taman nasional tersebut ditentukan kriteria yang dapat berlaku umum pada semua kawasan taman nasional. Kriteria tersebut dapat dijadikan sebagai kriteria hipotetik yang selanjutnya diajukan kepada pakar/ahli sebagai bahan untuk merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi. Perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi oleh pakar/ahli disajikan pada Lampiran 6. Tahapan metode pengumpulan data selanjutnya sama seperti metode pengumpulan data pada subbab 3.3.1.
31
b. Metode Analisis Data: Metode analisis data untuk merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi sama seperti metode analisis data pada subbab 3.3.1. Untuk menentukan lokasi/bagian kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi dilakukan dengan menggunakan metode Geographical Information System (GIS), yaitu melalui skoring dan overlay.
Model analisis yang
digunakan adalah sebagai berikut: n
Y = ∑ BixSi i =1
dimana: Y = Nilai prioritas lokasi/bagian kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi Bi = Bobot kriteria ke-i Si = Skala intensitas kriteria ke-i Kategori
penilaian
untuk
merumuskan
lokasi/bagian
kawasan
hutan
konservasi yang perlu segera direstorasi adalah sebagai berikut: (1) Prioritas I (Prioritas Sangat Tinggi) (2) Prioritas II (Prioritas Tinggi) (3) Prioritas III (Prioritas Sedang) (4) Prioritas IV (Prioritas Rendah) Untuk kawasan hutan konservasi yang berupa hutan tanaman dengan tegakan penyusunnya jenis eksotik secara otomatis dimasukkan ke dalam kategori Prioritas I (Prioritas Sangat Tinggi), karena menurut kaidah konservasi terdapatnya keaslian di suatu kawasan hutan konservasi merupakan suatu hal yang mutlak. Adapun penentuan panjang selang interval untuk tiap kategori penilaian ditentukan dengan rumus:
P=
Ymax - Ymin ∑n
Dimana: P = Panjang selang interval tiap kategori penilaian Ymax = Nilai maksimum Ymin = Nilai minimum n = Jumlah kategori penilaian Kegiatan analisis data spasial dilakukan dengan menggunakan software Arc GIS version 9.3.
32
3.3.3. Penentuan Acuan Restorasi Untuk memperoleh data dalam menentukan acuan restorasi di kawasan hutan konservasi dilakukan melalui kegiatan analisis vegetasi menggunakan metode jalur berpetak pada ekosistem/tipe vegetasi hutan alam yang menjadi ekosistem acuan bagi kawasan/bagian kawasan hutan konservasi yang akan direstorasi. Metode jalur berpetak merupakan kombinasi antara metode jalur dan metode garis berpetak, yaitu untuk pohon digunakan metode jalur, sedangkan untuk
semai,
pancang,
dan
tiang
digunakan
metode
garis
berpetak
(Soerianegara dan Indrawan, 1998). 3.3.4. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih Untuk menentukan prioritas jenis terpilih dilakukan dengan menyeleksi jenis-jenis tumbuhan asli yang mampu hidup/terdapat pada seluruh tipe vegetasi hutan yang dimiliki oleh kawasan hutan konservasi. Sehingga untuk memperoleh data tersebut, selain dilakukan melalui kegiatan analisis vegetasi pada tipe vegetasi hutan alam, juga dilakukan melalui kegiatan analisis vegetasi pada tipe vegetasi hutan lainnya yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi.
3.4. Uji Coba Model 3.4.1. Lokasi Uji Coba Model Uji coba model dilakukan di kawasan TNGGP. Dari 50 unit taman nasional yang terdapat di Indonesia, 48% (24 unit) tergolong taman nasional yang memiliki ekosistem hutan dataran rendah dan 52% (26 unit) tergolong taman nasional yang memiliki ekosistem hutan pegunungan (Ditjen PHKA, Dephut – LHI – JICA, 2007). Kawasan TNGGP dipilih sebagai tempat uji coba model yang terbaik dalam penelitian ini karena kawasan TNGGP dianggap dapat mewakili kawasan hutan konservasi lainnya.
Keterwakilan kawasan hutan konservasi
lainnya tersebut dapat dilihat dari tipe ekosistem hutan yang cukup lengkap dimiliki TNGGP, sejarah pembentukan kawasan TNGGP yang cukup kompleks, dan keberadaan jenis-jenis eksotik di kawasan TNGGP yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Selain itu, kawasan TNGGP dipilih sebagai tempat uji coba model juga dikarenakan ketersediaan data yang cukup memadai dan luas kawasan yang tidak terlalu besar sehingga dapat memudahkan dalam pelaksanaan uji coba model tersebut.
33
Apabila dilihat dari tipe ekosistem hutan yang dimilikinya, maka kawasan TNGGP memiliki 4 tipe ekosistem hutan yang dapat dibedakan berdasarkan ketinggiannya, yaitu tipe hutan dataran rendah (<1.000 mdpl) terutama pada kawasan perluasan TNGGP wilayah Bogor, tipe hutan hujan pegunungan bawah (submontana) (1.000 – 1.500 mdpl), tipe hutan hujan pegunungan (montana) (>1.500 – 2.400 mdpl), dan tipe hutan hujan subalpin (>2.400 – 4.150 mdpl). Sedangkan apabila dilihat dari sejarahnya, kawasan TNGGP memiliki sejarah pembentukan yang cukup kompleks. Kawasan TNGGP seluas 15.196 ha pada tahun 1982 merupakan penggabungan dari beberapa kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lainnya, yaitu kawasan hutan CA Cibodas, CA Cimungkat, CA Gunung Gede Pangrango, TWA Situ Gunung, dan areal hutan alam di lereng hutan Gunung Gede Pangrango. Pada tahun 2003, kawasan TNGGP ditambah lagi dengan kawasan hutan hasil alih fungsi kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani menjadi kawasan hutan konservasi (kawasan perluasan TNGGP), sehingga luas kawasan TNGGP kini menjadi 22.851,030 ha. Selain itu, pada kawasan TNGGP juga terdapat jenis-jenis eksotik yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kaidah-kaidah konservasi yang mensyaratkan terjaganya keaslian di kawasan hutan konservasi.
Jenis-jenis
eksotik tersebut dapat dijumpai baik pada hutan miskin jenis yang merupakan eks kawasan hutan produksi yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani (jenis pinus dan damar) maupun pada hutan alam di kawasan TNGGP. Basuni (2003) menyebutkan bahwa terdapat 42 jenis eksotik di kawasan TNGGP. Seperti halnya kawasan hutan konservasi lainnya di Indonesia, kawasan TNGGP
pun
tidak
luput
dari
berbagai
gangguan
(disturbance)
menyebabkan terjadinya kerusakan kawasan hutan tersebut.
yang
Berbagai
gangguan (disturbance) yang terjadi di kawasan TNGGP diantaranya adalah penebangan liar, pengambilan hasil hutan nonkayu, pengambilan kayu bakar, dan perambahan lahan (Subdit Pemolaan dan Pengembangan, Direktorat Konservasi Kawasan, Ditjen PHKA, Dephut, 2008). Adapun intensitas gangguan (disturbance) terbesar di kawasan TNGGP terutama terjadi pada kawasan perluasan TNGGP yang memiliki luas 7.655,030 ha dari luas keseluruhan kawasan TNGGP seluas 22.851,030 ha.
Kawasan
hutan perluasan TNGGP tersebut merupakan kawasan hutan yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani sebagai hutan produksi dan hutan lindung yang
34
secara resmi telah diserahterimakan dari Perum Perhutani kepada Departemen Kehutanan c.q. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam pada tanggal 29 Januari 2009 (PIK, Dephut, 2009).
Terdapatnya berbagai
gangguan (disturbance) yang menyebabkan kerusakan kawasan TNGGP dapat mengurangi peranan penting kawasan TNGGP bagi kehidupan masyarakat sekitar. Terjadinya kerusakan hutan dan terdapatnya jenis-jenis eksotik di kawasan TNGGP dapat mengganggu peranan penting kawasan TNGGP bagi kehidupan masyarakat sekitar, terutama dalam perlindungan fungsi hidroorologis dan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, maka perlu adanya upaya restorasi (pemulihan) kawasan TNGGP. 3.4.2. Penentuan Kategori Prioritas Restorasi TNGGP Untuk uji coba model dalam menentukan kategori prioritas restorasi kawasan TNGGP dilakukan penilaian terhadap kondisi nilai variabel penilaian yang dimiliki oleh kawasan TNGGP sesuai dengan model yang telah dirumuskan pada subbab 3.3.1. 3.4.3. Penentuan Lokasi/Bagian TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi Untuk uji coba model dalam menentukan lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi, langkah pertama adalah dikumpulkannya terlebih dahulu data-data yang diperlukan sesuai dengan kriteria yang telah dirumuskan sebelumnya. Data-data tersebut adalah berupa kondisi biologi, fisik, dan sosial kawasan TNGGP yang diperoleh baik melalui pengumpulan data di lapangan maupun melalui pengumpulan data sekunder/studi literatur. 3.4.3.1. Penutupan Lahan di Kawasan TNGGP Penutupan lahan di kawasan TNGGP merupakan salah satu data yang diperlukan untuk melakukan uji coba model dalam menentukan lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi. Adapun metode pengumpulan dan analisis data penutupan lahan di kawasan TNGGP dapat dilihat pada uraian berikut ini. a. Metode Pengumpulan Data: Untuk memperoleh data penutupan lahan di kawasan TNGGP dilakukan melalui kegiatan observasi lapang dan pengumpulan data spasial yang dibutuhkan, yaitu sebagai berikut: citra landsat TM path 122/row 65 tahun
35
2010; peta digital Rupa Bumi Indonesia; dan peta tata batas kawasan hutan TNGGP. Kegiatan observasi lapang dilakukan untuk mengetahui posisi geografis obyek yang diamati dengan menggunakan alat GPS. b. Metode Analisis Data: Citra landsat TM diolah dengan menggunakan software ENVI.
Langkah
pertama yang dilakukan untuk menganalisis citra landsat TM adalah dengan mengadakan koreksi-koreksi dari citra landsat TM tersebut dengan acuan peta rupa bumi. Proses resampling nilai digital citra asli ke dalam citra terkoreksi dengan menggunakan metode nearest neighbourhood interpolation. Penentuan lokasi penelitian (clipping) dilakukan dengan menggunakan peta tata batas kawasan hutan TNGGP. Selanjutnya dilakukan interpretasi citra landsat TM (Thematic Mapper) dengan menggunakan klasifikasi berbasis obyek (object oriented classification). Pembagian kelas klasifikasi dibuat berdasarkan kondisi penutupan lahan sebenarnya di lapangan dan dibatasi menurut kebutuhan pengklasifikasian. Adapun kelas klasifikasi tersebut terdiri atas: hutan primer (hutan alam yang masih alami), hutan sekunder (hutan alam yang terganggu), hutan tanaman, pertanian campur semak, perkebunan, pemukiman, pertanian lahan kering, belukar, sawah, lahan terbuka, badan air, awan dan bayangan awan. Cek lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi saat ini di lapangan. Posisi geografis
obyek
yang
diamati
di
lapangan
dapat
diketahui
dengan
menggunakan alat GPS. Untuk pengujian akurasi digunakan metode overall accuracy dengan menggunakan confusion matrix. Akurasi klasifikasi diukur berdasarkan persentase jumlah piksel yang dikelaskan secara benar dibagi dengan jumlah total piksel yang digunakan (jumlah piksel yang terdapat di dalam diagonal matrik dengan jumlah seluruh piksel yang digunakan). Akurasi dinilai akurat apabila nilai akurasinya ≥ 85. Peta penutupan lahan tersebut merupakan salah satu peta kriteria yang kemudian diberikan skala intensitas sesuai kondisi variabel penilaian pada kriteria tersebut menjadi peta bobot/skala intensitas variabel penilaian. Peta bobot/skala intensitas variabel penilaian untuk kriteria penutupan lahan tersebut kemudian akan dijadikan sebagai input dalam analisis selanjutnya untuk menentukan lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi. Proses pengolahan citra disajikan pada Gambar 7 berikut ini.
36
Citra Landsat TM
Koreksi Radiometrik
Koreksi Geometrik
Peta Rupa Bumi Digital
Pemilihan Daerah Penelitian (Clipping)
Pengumpulan Data Referensi (Reference Data Collection)
Klasifikasi Citra Berbasis Obyek (Object Oriented Classification)
Citra Hasil Klasifikasi
Tidak Diterima Uji Akurasi Diterima Peta Penutupan Lahan Gambar 7 Proses pengolahan citra 3.4.3.2. Kondisi Kriteria Lainnya di Kawasan TNGGP Untuk
memperoleh
data-data
kriteria
lainnya
dalam
menentukan
lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi dilakukan melalui pengumpulan data sekunder.
Data-data kriteria lainnya tersebut kemudian
dijadikan sebagai data spasial berupa peta kriteria, selanjutnya peta kriteria tersebut diberikan skala intensitas sesuai kondisi variabel penilaian pada kriteria tersebut menjadi peta bobot/skala intensitas variabel penilaian. Peta bobot/skala intensitas variabel penilaian tersebut kemudian akan dijadikan sebagai input
37
dalam analisis selanjutnya untuk menentukan lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi. 3.4.3.3. Lokasi/Bagian TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi Untuk uji coba model dalam menentukan lokasi/bagian TNGGP yang perlu segera direstorasi dilakukan overlay terhadap peta-peta skala intensitas/bobot variabel penilaian untuk masing-masing kriteria yang dimiliki oleh kawasan TNGGP sesuai dengan model yang telah dirumuskan pada subbab 3.3.2. 3.4.4. Penentuan Acuan Restorasi TNGGP a. Metode Pengumpulan Data: Kegiatan analisis vegetasi pada ekosistem/tipe vegetasi hutan alam yang menjadi ekosistem acuan/masih baik kondisinya difokuskan pada kawasan hutan TNGGP yang termasuk tipe ekosistem hutan submontana (ketinggian 1.000 - 1.500 mdpl), karena kerusakan hutan yang terjadi pada umumnya terdapat pada tipe ekosistem ini dan pada ketinggian tersebut terdapat kawasan hutan perluasan TNGGP yang sebelumnya merupakan kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung eks Perum Perhutani. Peta lokasi kegiatan analisis vegetasi disajikan pada Lampiran 1. Jumlah jalur dalam pengumpulan data vegetasi adalah sebanyak 3 jalur dengan panjang jalur total 1,5 km dan jumlah petak pada masing-masing jalur sebanyak 25 petak dengan luas petak total 3 ha. Kegiatan analisis vegetasi dilakukan pada petak-petak contoh berukuran tertentu yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan vegetasi (Gambar 8). c
d
b
Arah jalur
a a
b
d
c
Keterangan: a. Semai b. Pancang c. Tiang d. Pohon
: : : :
anakan pohon mulai dari kecambah sampai tinggi < 1,5 m anakan pohon yang tingginya ≥ 1,5 m dengan diameter batang < 10 cm pohon muda yang berdiameter ≥ 10 cm sampai diameter < 20 cm pohon dewasa berdiameter ≥ 20 cm
Gambar 8 Bentuk dan ukuran petak pengamatan analisis vegetasi dengan metode jalur berpetak
38
Adapun ukuran petak-petak contoh tersebut adalah sebagai berikut: (1) petak ukur tingkat semai dengan luasan 2m x 2m, (2) petak ukur tingkat pancang dengan luasan 5m x 5m, (3) petak ukur tingkat tiang dengan luasan 10m x 10m, dan (4) petak ukur tingkat pohon dengan luasan 20m x 20m. b. Metode Analisis Data: Berdasarkan data hasil analisis vegetasi diketahui komposisi dan struktur jenis vegetasi yang ada di kawasan tersebut.
Kemudian setiap jenis vegetasi
dihitung Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (D), dan Dominansi Relatif (DR) dengan rumus sebagai berikut: Jumlah individu suatu jenis Kerapatan Jenis (K)
= Luas plot pengamatan Kerapatan suatu jenis
Kerapatan Relatif (KR) =
x 100% Kerapatan seluruh jenis Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
Frekuensi Jenis (F)
= Jumlah total plot pengamatan Frekuensi suatu jenis
Frekuensi Relatif (FR) =
x 100% Frekuensi seluruh jenis Luas bidang dasar suatu jenis
Dominansi Jenis (D)
= Luas plot pengamatan Dominasi suatu jenis
Dominansi Relatif (DR) =
x 100% Dominasi seluruh jenis
Selanjutnya dihitung nilai Indeks Nilai Penting (INP) untuk mengetahui jenis dan tingkat tumbuhan yang dominan dengan rumus sebagai berikut: • Semai: INP = KR + FR • Pancang, Tiang, Pohon: INP = KR + FR + DR Untuk mengetahui derajat keanekaragaman jenis tumbuhan dilakukan dengan rumus Indeks Shannon sebagai berikut (Whittaker, 1975):
39
⎡⎛ n ⎞ ⎛ n ⎞⎤ H’ = - ∑ ⎢⎜ i ⎟ ln⎜ i ⎟⎥ ⎢⎣⎜⎝ N ⎟⎠ ⎜⎝ N ⎟⎠⎥⎦ dimana : H’ = Derajat keanekaragaman jenis tumbuhan N = Total INP ni = INP suatu jenis Adapun untuk mengetahui tingkat kemerataan jenis tumbuhan pada seluruh petak contoh pengamatan akan digunakan pendekatan Indeks Kemerataan (Fachrul, 2007) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Dmax = ln S J’
= H’ / Dmax
dimana: Dmax: dominansi S : jumlah jenis J’ : nilai evenness (0-1) H’ : derajat keanekaragaman jenis tumbuhan 3.4.5. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih di TNGGP Untuk dapat menentukan prioritas jenis terpilih di TNGGP terlebih dahulu perlu dilakukan kegiatan analisis vegetasi pada tipe vegetasi hutan lainnya di kawasan TNGGP yang dilakukan pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus. a. Metode Pengumpulan Data: Untuk memperoleh data komposisi dan struktur vegetasi pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan hutan TNGGP sama seperti metode pengumpulan data pada subbab 3.4.4. Adapun jumlah jalur analisis vegetasi pada masingmasing tipe vegetasi hutan tersebut adalah sebanyak 3 jalur dengan jumlah petak pada masing-masing jalur sebanyak 11 - 25 petak tergantung kondisi di lapangan. Secara lebih detail, jumlah jalur beserta panjang jalur dan jumlah petak beserta luas petak pada masing-masing tipe vegetasi hutan dapat dilihat pada Lampiran 2. b. Metode Analisis Data: Metode analisis data yang digunakan dalam kegiatan analisis vegetasi pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan hutan TNGGP sama seperti metode analisis data pada subbab 3.4.4.
40
3.4.6. Prioritas Kegiatan/Tindakan Restorasi TNGGP a. Metode Pengumpulan Data: Untuk memperoleh data/persepsi tentang kriteria, subkriteria, dan alternatif prioritas
kegiatan/tindakan
restorasi
TNGGP
sama
seperti
metode
pengumpulan data pada subbab 3.3.1. Perumusan kriteria, subkriteria, dan alternatif prioritas kegiatan/tindakan restorasi TNGGP oleh pakar/ahli disajikan pada Lampiran 7. b. Metode Analisis Data: Metode analisis data untuk merumuskan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP dilakukan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Langkah-langkah yang dilakukan dalam penerapan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Penyusunan hierarki untuk merumuskan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP. Persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria, subkriteria, dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki (Gambar 9). Penentuan kriteria tersebut diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan pakar/ahli (survai pakar) ataupun berdasarkan hasil kajian ilmiah yang telah dilakukan sebelumnya. Tujuan
Kriteria 1
Subkriteria 1
Alternatif 1
Kriteria 2
Kriteria n
Subkriteria 2
Alternatif 2
Subkriteria n
Alternatif 3
Alternatif n
Gambar 9 Struktur hierarki AHP 2) Pembobotan kriteria, subkriteria, dan alternatif untuk merumuskan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP.
Pembobotan
41
kriteria, subkriteria, dan alternatif dilakukan dengan menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) dari metode AHP yang dilakukan oleh pengambil kebijakan. Nilai dan definisi pendapat kualitatif berdasarkan skala perbandingan Saaty (1983), sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1 Skala perbandingan nilai dan definisi pendapat kualitatif Nilai
Keterangan
1
A sama penting dengan B
3
A sedikit lebih penting dari B
5
A jelas lebih penting dari B
7
A sangat jelas lebih penting dari B
9
A mutlak lebih penting dari B
2, 4, 6, 8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Sumber: Saaty (1983) Apabila terdapat lebih dari 1 pengambil kebijakan yang memiliki pendapat yang berbeda tentang penilaian terhadap kriteria dan alternatif, maka digunakan nilai rata-rata geometrik yang diperoleh dengan formula sebagai berikut:
x = n x1 x 2...xn dimana:
x = nilai rata-rata geometrik x1, x2, xn = nilai pengambil kebijakan ke-i n = jumlah pengambil kebijakan
Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut diolah dengan menggunakan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif yang ada. Marimin (2005) menjelaskan bahwa matriks tersebut diolah untuk menentukan bobot dari kriteria, yaitu dengan jalan menentukan nilai eigen (eigenvector). Prosedur untuk mendapatkan nilai eigen adalah sebagai berikut: (1) Mengkuadratkan matriks tersebut. (2) Menghitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian melakukan normalisasi. (3) Proses ini dihentikan apabila perbedaan antara jumlah dari dua perhitungan berturut-turut lebih kecil dari suatu nilai batas tertentu.
42
Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk melihat konsistensi penilaian dengan menggunakan Consistency Index (CI) dan Consistency Ratio (CR) dengan formula sebagai berikut:
CI =
l max - n n -1
dimana: CI
= Consistency Index
l max = eigen value maksimum n
CR =
= jumlah aktivitas atau pilihan
CI RI
dimana: CR = Consistency Ratio CI = Consistency Index RI = Random Index Indeks acak (Random Index) untuk matriks ordo 1 sampai dengan 15 dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Indeks acak (Random Index) n
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
RI
0,00
0,00
0,58
0,90
1,12
1,24
1,32
1,41
1,45
1,49
1,51
1,48
1,56
1,57
1,59
Pada umumnya, untuk jumlah perbandingan berjumlah sembilan elemen atau kurang, maka penilaian dianggap konsisten apabila Consistency Ratio (CR) ≤ 0,1 (Purnomo, 2005; Marimin, 2005). Kegiatan analisis data dalam AHP dilakukan dengan menggunakan software Expert Choice 2000. 3.4.6.1. Persepsi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP a. Metode Pengumpulan Data: Untuk memperoleh data persepsi masyarakat sekitar terhadap kegiatan restorasi kawasan TNGGP dilakukan melalui wawancara (interview) dengan masyarakat sekitar kawasan hutan TNGGP yang tinggal di dua desa yang menjadi sampel dalam penelitian ini, yaitu masyarakat yang tinggal di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar.
Data persepsi yang dikumpulkan meliputi:
pengetahuan terhadap kawasan perluasan TNGGP, manfaat kegiatan restorasi, pemilihan jenis tumbuhan dalam kegiatan restorasi, dan aturanaturan yang diperlukan dalam kegiatan restorasi (Lampiran 22).
43
b. Metode Analisis Data: Data yang diperoleh dari hasil wawancara (interview) dengan menggunakan kuesioner berupa persepsi masyarakat sekitar yang menjadi responden terhadap kegiatan restorasi kawasan TNGGP ditabulasikan dan dijelaskan secara deskriptif. 3.4.6.2. Partisipasi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP a. Metode Pengumpulan Data: Metode
pengumpulan
data
yang
digunakan
sama
seperti
metode
pengumpulan data pada subbab 3.4.6.1. Data partisipasi yang dikumpulkan meliputi: keikutsertaan yang pernah dilakukan dalam kegiatan restorasi, sponsor/penyelenggara kegiatan restorasi, sistem pengelolaan dalam kegiatan restorasi yang diinginkan, dan harapan yang diinginkan dari kegiatan restorasi. b. Metode Analisis Data: Metode analisis data yang digunakan sama seperti metode analisis data pada subbab 3.4.6.1. 3.5. Definisi Operasional Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999, Pasal 1). 2) Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (UU RI No. 41 Tahun 1999, Pasal 1). 3) Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (UU RI No. 41 Tahun 1999, Pasal 1). 4) Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (UU RI No. 41 Tahun 1999, Pasal 1).
44
5) Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (UU RI No. 41 Tahun 1999, Pasal 1). 6) Kawasan konservasi adalah suatu kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya), dan taman buru. 7) Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan (Keppres RI No. 32 Tahun 1990, Pasal 1). 8) Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (PP RI No. 28 Tahun 2011, Pasal 1) 9) Keanekaragaman hayati adalah keseluruhan genus, spesies, dan ekosistem di dalam suatu wilayah (WRI – IUCN – UNEP, 1995). 10) Ekosistem sumberdaya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nirhayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi (UU RI No. 5 Tahun 1990, Pasal 1). 11) Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami (UU RI No. 5 Tahun 1990, Pasal 1). 12) Satwaliar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia (UU RI No. 5 Tahun 1990, Pasal 1). 13) Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian jenisnya (UU RI No. 5 Tahun 1990, Pasal 1). 14) Tumbuh-tumbuhan
adalah
makhluk
yang
mempunyai
kemampuan
menangkap, mengikat, dan mengubah energi sinar matahari menjadi energi bentuk lain yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan itu sendiri dan makhluk lainnya (Fachrul, 2007). 15) Flora adalah kumpulan jenis tumbuhan yang terdapat dalam suatu wilayah (Fachrul, 2007).
45
16) Vegetasi adalah masyarakat tumbuhan yang terbentuk oleh berbagai populasi jenis tumbuhan yang terdapat di dalam satu wilayah atau ekosistem serta memiliki variasi pada setiap kondisi tertentu (Fachrul, 2007). 17) Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan, 1998). 18) Komposisi jenis tumbuhan adalah daftar floristik dari jenis tumbuhan yang ada dalam suatu komunitas (Fachrul, 2007). 19) Struktur ekosistem hutan adalah hasil penataan ruang oleh komponen penyusun tegakan dan bentuk hidup, stratifikasi dan penutupan vegetasi yang digambarkan melalui keadaan diameter, tinggi, penyebaran dalam ruang, keanekaragaman tajuk, serta kesinambungan jenis (Fachrul, 2007). 20) Kerapatan adalah banyaknya individu tumbuhan yang dinyatakan per satuan luas (Fachrul, 2007). 21) Frekuensi adalah parameter vegetasi yang dapat menunjukkan distribusi atau sebaran jenis tumbuhan dalam ekosistem atau memperlihatkan pola distribusi tumbuhan (Fachrul, 2007). 22) Dominansi adalah parameter vegetasi yang dapat menunjukkan suatu jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi dan melaksanakan kontrol terhadap komunitas dengan cara banyaknya jumlah jenis, besarnya ukuran, maupun pertumbuhannya yang dominan (Fachrul, 2007). 23) Indeks Nilai Penting (INP) atau Important Value Index adalah indeks kepentingan
yang
menggambarkan
pentingnya
peranan
suatu
jenis
tumbuhan dalam ekosistemnya (Fachrul, 2007). 24) Indeks keanekaragaman (index of diversity) adalah parameter vegetasi yang berguna untuk membandingkan berbagai komunitas tumbuhan, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan faktor-faktor lingkungan atau abiotik terhadap komunitas atau untuk mengetahui keadaan suksesi atau stabilitas komunitas (Fachrul, 2007). 25) Spesies fokal adalah spesies yang mendorong dibentuknya kawasan yang dilindungi (Indrawan et al., 2007). 26) Spesies indikator adalah spesies yang berkaitan erat dengan komunitas hayati yang rentan maupun proses ekosistem yang unik (Indrawan et al., 2007).
46
27) Spesies payung (umbrella species) adalah spesies yang mempengaruhi keberadaan spesies lainnya (Indrawan et al., 2007). 28) Spesies eksotik (exotic species) adalah spesies yang terdapat di luar distribusi alaminya (Indrawan et al., 2007). 29) Spesies anthropogenik (anthropogenic species) adalah spesies yang penyebarannya dibawa/dibantu oleh manusia. 30) Metode penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian (Eriyatno et al., 2007). 31) Goal atau tujuan adalah keinginan yang paling abstrak dari suatu pengelolaan, umumnya dinyatakan sebagai tujuan akhir yang ingin dicapai oleh pengelolaan dalam jangka waktu yang tak terbatas (Setyadi, et al., 2006). 32) Data adalah catatan atas kumpulan fakta. Dalam penggunaan sehari-hari data berarti suatu pernyataan yang diterima secara apa adanya. Pernyataan ini adalah hasil pengukuran atau pengamatan suatu variabel yang bentuknya dapat berupa angka, kata-kata, atau citra (http://id.wikipedia.org/wiki/Data, 2009). 33) Variabel adalah unit relasional dari analisis yang bisa memikul salah satu kumpulan nilai yang ditunjuk (Black et al., 1992). 34) Metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu (Eriyatno et al., 2007). 35) Teknik adalah cara yang spesifik dalam menyelesaikan masalah tertentu yang ditemui dalam melaksanakan prosedur (Eriyatno et al., 2007). 36) Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan suatu masalah disederhanakan dalam suatu kerangka
berpikir
yang
terorganisir,
sehingga
memungkinkan
dalam
pengambilan keputusan yang efektif atas masalah tersebut (Marimin, 2005). 37) Prinsip adalah landasan kebenaran atau hukum sebagai dasar pemikiran atau tindakan (Purnomo, 2005). 38) Kriteria adalah standar untuk penilaian sesuatu (Purnomo, 2005). 39) Indikator adalah parameter kualitatif dan atau kuantitatif yang dapat diukur dalam kaitannya dengan kriteria.
Indikator merupakan komponen khusus
dari suatu kriteria yang dapat diukur dan diuji keabsahannya, dimana melalui indikator dapat diketahui, apakah suatu unit manajemen telah mencapai atau tidak kriteria-kriteria pengelolaan (Setyadi, et al., 2006).
47
40) Parameter adalah datum hasil pengukuran atribut (Purnomo, 2005). 41) Tegakan pohon eksotik adalah hutan yang didominasi oleh pohon-pohon jenis eksotik (pinus, damar). 42) Tegakan pohon asli adalah hutan yang didominasi oleh pohon-pohon jenis asli (rasamala, puspa, saninten, pasang, manglid, huru) 43) Restorasi
Alami
adalah
kondisi
hutan
yang
dibiarkan
tanpa
ada
tindakan/pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami 44) Restorasi Buatan adalah kondisi hutan yang dipulihkan melalui penanaman pohon jenis asli (native species) 45) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis, dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menganalisis, dan menampilkan informasi yang bereferensi geografis (Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG, 2008). 46) Penutupan lahan adalah istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand et al., 1990). 47) Layer adalah satu set logis dari data tematik yang biasanya diorganisir dengan subyek (Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG, 2008). 48) Coverage adalah layer peta yang diperoleh dari hasil dijitasi atau otomatisasi. Coverage ini didefinisikan juga sebagai sekumpulan data dijital yang mewakili satu tema tertentu pada suatu peta.
Misalnya coverage sungai, jalan,
topografi, penutupan lahan, dan sebagainya baik yang berupa poligon, titik, maupun garis atau kombinasinya (Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG, 2008). 49) Clip adalah ekstraksi spasial dari feature dari suatu coverage yang berada dalam batas poligon clip (Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG, 2008). 50) Overlay
spasial
adalah
operasi
menggabungkan
feature
dari
dua
layer/coverage ke dalam layer baru serta menggabungkan secara relasional tabel atribut feature-nya (Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG, 2008). 51) Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) adalah klasifikasi yang proses pembentukan kelas-kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh komputer (Jaya, 2007).
48
52) Klasifikasi terbimbing (supervised classification) adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analisis (supervised).
Kriteria pengelompokkan
kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas (class signature) yang diperoleh analis melalui pembuatan training area (Jaya, 2007). 53) Klasifikasi berbasis obyek (object oriented clasification) adalah klasifikasi yang dilakukan melalui pendekatan analisis citra yang mengkombinasikan informasi spektral dan informasi spasial.
Pendekatan ini menggolongkan
piksel menjadi obyek sesuai dengan sifat citra dan mengklasifikasikan citra dengan memperlakukan setiap citra sebagai satu kesatuan (Suryadi, 2009).
49
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pembangunan Model 4.1.1. Perumusan Kriteria Kawasan Hutan Konservasi yang Perlu Segera Direstorasi Rumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi meliputi 2 (dua) aspek yang dipertimbangkan, yaitu: aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi dan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan 7 (tujuh) kriteria hipotetik kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan diperoleh 17 kriteria dari rekapitulasi kriteria hasil wawancara pakar yang selanjutnya dirumuskan menjadi 8 (delapan) kriteria (Lampiran 5). Adapun berdasarkan hasil pembobotan terhadap 8 (delapan) kriteria tersebut oleh pengambil kebijakan dapat diketahui bahwa bobot kriteria untuk menentukan prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi (Gambar 10) terdiri atas: keberadaan jenis langka dan dilindungi (bobot: 0,310), keanekaragaman tipe ekosistem (bobot: 0,181), potensi keanekaragaman jenis (bobot: 0,142), ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir (bobot: 0,127), pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari oleh stakeholders (bobot: 0,122), lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam (bobot: 0,050), tempat peninggalan budaya (bobot: 0,035), dan logistik bagi penelitian dan pendidikan (bobot: 0,033).
Gambar 10 Bobot kriteria dalam menentukan proritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan suatu kawasan hutan konservasi
50
Berdasarkan uraian tersebut, nampak jelas bahwa kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan yang memiliki bobot dominan adalah sebanyak 5 (lima) kriteria, yaitu: keberadaan jenis langka dan dilindungi, keanekaragaman tipe ekosistem, potensi keanekaragaman
jenis,
ekosistem
penting
sebagai
penyedia
air
dan
pengendalian banjir, dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari oleh stakeholders. Kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi secara lebih detail dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Keanekaragaman tipe ekosistem Deskripsi kriteria: Keberadaan beberapa tipe ekosistem dalam suatu kawasan hutan konservasi, seperti: ekosistem hutan mangrove, ekosistem hutan pantai, ekosistem hutan rawa, ekosistem hutan gambut, ekosistem hutan musim, ekosistem hutan kerangas, ekosistem padang rumput/savana, ekosistem danau, ekosistem hutan hujan dataran rendah, ekosistem hutan hujan dataran tinggi (500 – 1.000 mdpl), ekosistem hutan hujan pegunungan bawah (submontana) (1.000 – 1.500 mdpl), ekosistem hutan hujan pegunungan (montana) (> 1.500 – 2.400 mdpl), ekosistem hutan hujan subalpin (> 2.400 – 4.150 mdpl), ekosistem hutan hujan alpin (> 4.150 mdpl). Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,181 Persyaratan yang harus dipenuhi: Jumlah tipe ekosistem yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi 2.
Potensi keanekaragaman jenis Deskripsi kriteria: Keberadaan berbagai jenis tumbuhan dan satwaliar di suatu kawasan hutan konservasi Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,142
51
Persyaratan yang harus dipenuhi: Jumlah tumbuhan dan satwaliar yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi 3.
Keberadaan jenis langka dan dilindungi Deskripsi kriteria: Keberadaan jenis-jenis tumbuhan dan satwaliar yang tergolong jenis langka dan dilindungi di suatu kawasan hutan konservasi Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,310 Persyaratan yang harus dipenuhi: Terdapatnya jenis tumbuhan dan satwaliar langka dan dilindungi di suatu kawasan hutan konservasi
4.
Ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir Deskripsi kriteria: Ekosistem yang mempunyai peran dan fungsi penting dalam memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat dan sebagai pengendali banjir bagi daerah-daerah di sekitar suatu kawasan hutan konservasi Ekosistem yang termasuk ke dalam ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir adalah sebagai berikut: hutan berawan; hutan pada punggung gunung (ridge forest); ekosistem riparian; hutan karst/batu kapur; berbagai ekosistem lahan basah, termasuk lahan gambut (terutama yang masih berhutan), hutan rawa air tawar, hutan bakau, danau, dan rawa padang rumput. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,127 Persyaratan yang harus dipenuhi: Jumlah ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi
5.
Lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam Deskripsi kriteria: Keberadaan lansekap atau ciri geofisik yang dapat menjadi obyek wisata alam di suatu kawasan hutan konservasi, seperti: gua, air terjun, danau, mata air panas, puncak gunung, kawah.
52
Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar = 0,050 Persyaratan yang harus dipenuhi: Jumlah lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi 6.
Tempat peninggalan budaya Deskripsi kriteria: Keberadaan situs/tempat peninggalan budaya di suatu kawasan hutan konservasi.
Situs/tempat peninggalan budaya tersebut dapat berupa:
makam keramat, hutan yang dikeramatkan, situs keramat/bersejarah (candi, kuil, galian purbakala), tempat ritual upacara/pemujaan. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar = 0,035 Persyaratan yang harus dipenuhi: Keaktifan/pemanfaatan tempat peninggalan budaya di suatu kawasan hutan konservasi dan keberadaan masyarakat adat yang memanfaatkan tempat peninggalan budaya tersebut 7.
Logistik bagi penelitian dan pendidikan Deskripsi kriteria: Ketersediaan logistik bagi kegiatan penelitian dan pendidikan di suatu kawasan hutan konservasi. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar = 0,033 Persyaratan yang harus dipenuhi: Tersedianya logistik bagi kegiatan penelitian dan pendidikan di suatu kawasan hutan konservasi yang meliputi: tersedianya sarana dan prasarana penelitian, obyek penelitian mudah dijumpai/ditemukan, terdapatnya sistem pengelolaan data base penelitian, tersedianya pendamping lapangan yang profesional, tersedianya peralatan penelitian yang memadai
53
8.
Pemanfaatan SDA secara lestari oleh stakeholders Deskripsi kriteria: Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) secara lestari oleh stakeholders di suatu kawasan hutan konservasi, seperti: pemanfaatan air, jasa wisata alam, panas bumi, penelitian, pendidikan. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,122 Persyaratan yang harus dipenuhi: Terdapatnya beberapa persyaratan agar kegiatan pemanfaatan SDA di suatu kawasan hutan konservasi oleh stakeholders dapat lestari, yaitu: - Adanya MoU (nota kesepakatan) antara stakeholders pemanfaat SDA dengan pihak pengelola suatu kawasan hutan konservasi - Adanya rencana pemanfaatan SDA di suatu kawasan hutan konservasi - Adanya rencana pemulihan SDA di suatu kawasan hutan konservasi apabila terjadi kerusakan SDA akibat kegiatan pemanfaatan SDA tersebut Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan 4 (empat) kriteria
hipotetik kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kemendesakan diperoleh 9 (sembilan) kriteria dari rekapitulasi kriteria hasil wawancara pakar yang selanjutnya dirumuskan menjadi 7 (tujuh) kriteria (Lampiran 5). Adapun berdasarkan hasil pembobotan terhadap 7 (tujuh) kriteria tersebut oleh pengambil kebijakan dapat diketahui bahwa bobot kriteria untuk menentukan prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi (Gambar 11) terdiri atas: akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,287), besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi (bobot: 0,182), bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,162), persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,132), macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,106), luasan suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,069), dan keberadaan hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,062).
Secara detail, perhitungan
perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi disajikan pada Lampiran 17.
54
Gambar 11 Bobot kriteria dalam menentukan proritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kemendesakan suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi Berdasarkan uraian tersebut, nampak jelas bahwa kriteria kawasan hutan konservasi
yang
perlu
segera
direstorasi
berdasarkan
aspek
tingkat
kemendesakan yang memiliki bobot dominan adalah sebanyak 4 (empat) kriteria, yaitu: akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi, besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat, bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi, dan persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi. Kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kawasan hutan konservasi
yang
perlu
segera
direstorasi
berdasarkan
aspek
tingkat
kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi secara lebih detail dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi apabila dibandingkan dengan luas suatu kawasan hutan konservasi tersebut. Kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi didekati dari konsep deforestasi hutan.
Deforestasi berarti terjadinya perubahan dari kondisi
berhutan menjadi kondisi tidak berhutan. Kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi tersebut dapat terjadi karena beberapa hal, seperti: terjadinya
penebangan
liar,
perambahan
hutan,
kebakaran
hutan,
pertambangan, dan bencana alam. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar = 0,132
55
Persyaratan yang harus dipenuhi: Besarnya persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi 2. Bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Bentuk dan sebaran kerusakan hutan yang terjadi di suatu kawasan hutan konservasi. Bentuk kerusakannya dapat membulat, memanjang, tidak beraturan. Sedangkan sebaran kerusakannya dapat menyebar, mengumpul, tidak beraturan. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,162 Persyaratan yang harus dipenuhi: Jenis bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi 3.
Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi dapat berupa terjadinya banjir, erosi, tanah longsor, kekeringan, penurunan kualitas air, maupun bencana alam lainnya. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,287 Persyaratan yang harus dipenuhi: Frekuensi terjadinya bencana alam sebagai akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi.
4.
Luasan suatu kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Luas wilayah suatu kawasan hutan konservasi Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,069 Persyaratan yang harus dipenuhi: Ukuran/luas wilayah suatu kawasan hutan konservasi
56
5.
Keberadaan hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Keberadaan hutan dengan jenis-jenis tumbuhan yang sedikit/cenderung homogen di suatu kawasan hutan konservasi yang tidak alami, misalya berupa hutan eks hutan tanaman yang kemudian beralih fungsi menjadi hutan konservasi. Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,062 Persyaratan yang harus dipenuhi: Besarnya persentase hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi apabila dibandingkan dengan luas seluruh kawasan hutan konservasi tersebut.
6.
Macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Macam aktivitas yang dilakukan masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi.
Macam aktivitas masyarakat tersebut dapat berupa aktivitas
yang berkaitan dengan pengelolaan lahan kawasan hutan (berladang, berkebun, menambang mineral) maupun aktivitas yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan (hasil hutan kayu: mengambil kayu, maupun hasil hutan nonkayu: menyadap getah, mengambil buah, daun, madu, berburu) Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,106 Persyaratan yang harus dipenuhi: Terdapatnya macam aktivitas yang dilakukan masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi 7.
Besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi Deskripsi kriteria: Besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi.
57
Bobot kriteria: Berdasarkan hasil pembobotan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) diperoleh nilai bobot untuk kriteria ini sebesar=0,182 Persyaratan yang harus dipenuhi: Terdapatnya kontribusi stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi seperti yang telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya memiliki variabel penilaian dan skala intensitas seperti terlihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Kriteria dalam merumuskan kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi No. I. 1.
2.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi 0,310 Terdapatnya jenis Tidak terdapat Keberadaan jenis tumbuhan dan tumbuhan langka langka dan satwaliar langka dan dan dilindungi dilindungi *) dilindungi di suatu serta tidak kawasan hutan terdapat satwaliar konservasi langka dan dilindungi Terdapat tumbuhan langka atau dilindungi serta terdapat satwaliar langka atau dilindungi Terdapat tumbuhan langka dan dilindungi serta terdapat satwaliar langka atau dilindungi Terdapat tumbuhan langka atau dilindungi serta terdapat satwaliar langka dan dilindungi Terdapat tumbuhan langka dan dilindungi serta terdapat satwaliar langka dan dilindungi Keanekaragaman tipe ekosistem *)
0,181
Jumlah tipe ekosistem yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi
< 3 tipe ekosistem
Skala Intensitas 1
2
3
4
5
1
58
No.
3.
4.
5.
Kriteria
Potensi keanekaragaman jenis
Ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian *) banjir
Pemanfaatan SDA secara lestari oleh stakeholders
Bobot
0,142
0,127
0,122
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Jumlah tumbuhan dan satwaliar yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi
Jumlah ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi
Terdapatnya beberapa persyaratan agar kegiatan pemanfaatan SDA di suatu kawasan hutan konservasi oleh stakeholders dapat lestari, yaitu: - Adanya MoU (nota kesepakatan) antara stakeholders pemanfaat SDA dengan pihak pengelola suatu kawasan hutan konservasi - Adanya rencana pemanfaatan SDA di suatu kawasan hutan konservasi - Adanya rencana pemulihan SDA di suatu kawasan hutan konservasi apabila
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
3 – 4 tipe ekosistem 5 – 6 tipe ekosistem 7 – 8 tipe ekosistem > 8 tipe ekosistem
2
Tidak terdapat tumbuhan dan tidak terdapat satwaliar < 500 jenis tumbuhan dan < 100 jenis satwaliar ≥ 500 jenis tumbuhan dan < 100 jenis satwaliar < 500 jenis tumbuhan dan ≥ 100 jenis satwaliar ≥ 500 jenis tumbuhan dan ≥ 100 jenis satwaliar
1
3 4 5
2 3 4 5
≤ 1 ekosistem penting 2 ekosistem penting 3 ekosistem penting 4 ekosistem penting > 4 ekosistem penting
1
0% (tidak ada) stakeholders memenuhi persyaratan < 25% stakeholders memenuhi persyaratan 25% - 50% stakeholders memenuhi persyaratan > 50% - 75% stakeholders memenuhi persyaratan > 75% stakeholders memenuhi persyaratan
1
2 3 4 5
2
3
4
5
59
Kriteria
No.
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
≤ 1 lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam 2 lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam 3 lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam 4 lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam > 4 lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam
1
Tidak pernah dikunjungi lagi Kadang-kadang dikunjungi dan tidak terdapat masyarakat adat Kadang-kadang dikunjungi dan masih terdapat masyarakat adat Rutin dikunjungi dan tidak terdapat masyarakat adat Rutin dikunjungi dan masih terdapat masyarakat adat
1
terjadi kerusakan SDA akibat kegiatan pemanfaatan SDA tersebut 6.
Lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam
0,050
*)
7.
8.
Tempat peninggalan budaya *)
Logistik bagi penelitian dan pendidikan
0,035
0,033
Jumlah lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi
Keaktifan/pemanfaatan tempat peninggalan budaya di suatu kawasan hutan konservasi dan keberadaan masyarakat adat yang memanfaatkan tempat peninggalan budaya tersebut
Tersedianya logistik bagi kegiatan penelitian dan pendidikan di suatu kawasan hutan konservasi yang meliputi: - Tersedianya sarana dan prasarana penelitian - Obyek penelitian mudah dijumpai/ditemukan - Terdapatnya sistem pengelolaan data
1 persyaratan terpenuhi 2 persyaratan terpenuhi 3 persyaratan terpenuhi 4 persyaratan terpenuhi 5 persyaratan terpenuhi
2
3
4
5
2
3
4 5
1 2 3 4 5
60
No.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
base penelitian - Tersedianya pendamping lapangan yang profesional - Tersedianya peralatan penelitian yang memadai II. 1.
2.
Aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi direstorasi: Akibat yang 0,287 Frekuensi terjadinya Bencana alam ditimbulkan dari bencana alam sebagai terjadi ≤ 1 kerusakan hutan di akibat yang kali/tahun suatu kawasan ditimbulkan dari Bencana alam hutan konservasi kerusakan hutan di terjadi 2 kali/tahun suatu kawasan hutan Bencana alam konservasi terjadi 3 kali/tahun Bencana alam terjadi 4 kali/tahun Bencana alam terjadi > 4 kali/tahun Besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi
0,182
Terdapatnya kontribusi stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar
0% (tidak ada) stakeholders berkontribusi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar < 25% stakeholders berkontribusi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar 25% - 50% stakeholders berkontribusi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar > 50% - 75% stakeholders berkontribusi terhadap pelestarian
untuk 1 2 3 4 5
1
2
3
4
61
No.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar > 75% stakeholders berkontribusi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar
3.
4.
5.
Bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
Macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi
0,162
0,132
0,106
Jenis bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
Besarnya persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
Terdapatnya macam aktivitas yang dilakukan masyarakat sekitar di suatu
Bentuk kerusakan dan sebaran kerusakan tidak beraturan Bentuk kerusakan memanjang dan sebaran kerusakan menyebar Bentuk kerusakan membulat dan sebaran kerusakan menyebar Bentuk kerusakan memanjang dan sebaran kerusakan mengumpul Bentuk kerusakan membulat dan sebaran kerusakan mengumpul
Skala Intensitas
5
1
2
3
4
5
0% (tidak ada) mengalami kerusakan hutan
1
< 25% mengalami kerusakan hutan 25% - 50% mengalami kerusakan hutan > 50% - 75% mengalami kerusakan hutan > 75% mengalami kerusakan hutan
2
Tidak ada aktivitas pengelolaan lahan dan tidak ada aktivitas
1
3 4 5
62
No.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi kawasan hutan konservasi
6.
7.
Luasan suatu kawasan hutan konservasi
Keberadaan hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi
Keterangan:
*)
0,069
0,062
Ukuran/luas wilayah suatu kawasan hutan konservasi
Besarnya persentase hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi apabila dibandingkan dengan luas seluruh kawasan hutan konservasi tersebut
Variabel Penilaian pemanfaatan hasil hutan Hanya ada aktivitas pemanfaatan hasil hutan nonkayu Tidak ada aktivitas pengelolaan lahan dan ada aktivitas pemanfaatan hasil hutan kayu Ada aktivitas pengelolaan lahan dan tidak ada aktivitas pemanfaatan hasil hutan kayu Ada aktivitas pengelolaan lahan dan ada aktivitas pemanfaatan hasil hutan kayu
Skala Intensitas
2
3
4
5
≥ 40.000 ha 30.000 ha - < 40.000 ha 20.000 ha - < 30.000 ha 10.000 ha - < 20.000 ha < 10.000 ha
1 2
0% (tidak ada) kawasan hutan konservasi berupa hutan miskin jenis (hutan tanaman) < 25% kawasan hutan konservasi berupa hutan miskin jenis (hutan tanaman) 25% - 50% kawasan hutan konservasi berupa hutan miskin jenis (hutan tanaman) > 50% - 75% kawasan hutan konservasi berupa hutan miskin jenis (hutan tanaman) > 75% kawasan hutan konservasi berupa hutan miskin jenis (hutan tanaman)
1
3 4 5
2
3
4
5
Modifikasi dari Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika (MacKinnon, 1993)
63
4.1.2. Perumusan Kriteria Lokasi/Bagian Kawasan Hutan Konservasi Tertentu yang Perlu Segera Direstorasi Berdasarkan hasil studi literatur dapat diketahui bahwa kawasan hutan konservasi berupa taman nasional saat ini berjumlah 50 unit, yang terbagi menjadi 24 unit (48%) tergolong taman nasional yang memiliki ekosistem hutan dataran rendah dan 26 unit (52%) tergolong taman nasional yang memiliki ekosistem hutan pegunungan. Secara umum, ke-50 taman nasional tersebut memiliki kondisi umum yang sama, yaitu berupa: penutupan lahan, kekayaan jenis tumbuhan, sebaran satwaliar langka atau dilindungi, lereng, elevasi, jenis tanah, intensitas hujan, luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kepadatan penduduk
di
desa-desa
sekitar
kawasan
hutan
konservasi,
dan
luas
pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi.
Secara lebih detail kondisi umum ke-50 taman nasional
tersebut disajikan pada Lampiran 3 – Lampiran 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan 9 (sembilan) kriteria hipotetik lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi diperoleh 15 kriteria dari rekapitulasi kriteria hasil wawancara pakar yang selanjutnya dirumuskan menjadi 10 kriteria (Lampiran 6).
Adapun
berdasarkan hasil pembobotan terhadap 10 kriteria tersebut oleh pengambil kebijakan dapat diketahui bahwa bobot kriteria untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi (Gambar 12) terdiri atas: luas kerusakan kawasan hutan konservasi (bobot: 0,219), kekayaan jenis tumbuhan (bobot: 0,151), sebaran satwaliar langka atau dilindungi (bobot: 0,128), penutupan lahan (bobot: 0,117), lereng (slope) (bobot: 0,110), intensitas hujan (curah hujan tahunan rata-rata/hari hujan total dalam satu tahun) (bobot: 0,065), kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi (bobot: 0,063), jenis tanah (kepekaan terhadap erosi) (bobot: 0,054), elevasi/ketinggian (bobot: 0,051), dan luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi (bobot: 0,041).
Dengan demikian kriteria
lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi yang terpenting adalah luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kekayaan jenis tumbuhan, sebaran satwaliar langka dan dilindungi, penutupan lahan, dan lereng.
Secara detail, perhitungan perbandingan berpasangan (pairwise
comparisons) kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi disajikan pada Lampiran 18.
64
Gambar 12 Bobot kriteria dalam menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi seperti yang telah disebutkan dalam uraian sebelumnya memiliki variabel penilaian dan skala intensitas seperti terlihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi No.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
1.
Luas kerusakan kawasan hutan konservasi
0,219
Besarnya/luasnya kerusakan kawasan hutan konservasi
< 0,25 ha 0,25 – 0,5 ha > 0,5 – 0,75 ha > 0,75 – 1 ha > 1 ha
1 2 3 4 5
2.
Kekayaan jenis tumbuhan
0,151
Jumlah jenis tumbuhan di kawasan hutan konservasi
< 31 31 – 60 61 – 91 91 – 120 > 120
5 4 3 2 1
3.
Sebaran satwaliar langka atau dilindungi
0,128
< 2 jenis 2 jenis 3 jenis 4 jenis > 4 jenis
5 4 3 2 1
4.
Penutupan lahan
0,117
Jumlah beserta sebaran (wilayah jelajah) satwaliar langka atau dilindungi di kawasan hutan konservasi Tipe penutupan lahan di kawasan hutan konservasi
Hutan primer Hutan sekunder Hutan tanaman Semak/belukar Lahan terbuka
1 2 3 4 5
5.
Lereng (slope)
Tipe kelas lereng (slope) di kawasan
0–8% > 8 – 15 %
1 2
*)
0,110
65
No.
6.
Kriteria
Bobot
*)
Intensitas hujan
7.
Kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi
8.
Jenis tanah
9.
10.
*) **)
Elevasi/ketinggian
Luas pemilikan/ penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi
0,065
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
hutan konservasi
> 15 – 25 % > 25 – 45 % > 45 %
3 4 5
Curah hujan tahunan rata-rata/hari hujan total dalam satu tahun di kawasan hutan konservasi
< 13,6 mm/hari 13,6 – 20,7 mm/hari > 20,7 – 27,7 mm/hari > 27,7 – 34,8 mm/hari > 34,8 mm/hari
1 2
2
3 4 5
0,063
Jumlah kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi
< 125 jiwa/km 2 125 – 249 jiwa/km 250 – 374 jiwa/km2 375 – 499 jiwa/km2 2 > 499 jiwa/km
1 2 3 4 5
0,054
Tipe kelas jenis tanah berdasarkan kepekaan terhadap erosi di kawasan hutan konservasi
Entisol, aquic, alfisol/aqualf, aquult Ultisol Inceptisol, alfisol Andisol, oxisol, vertisol, spodosol Entisol, histosol, rendoll
1
0,051
0,041
Tipe kelas elevasi/ketinggian di kawasan hutan konservasi
Ukuran/luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi
2 3 4 5
< 1.000 mdpl 1.000 – 1.500 mdpl > 1.500 – 2.000 mdpl > 2.000 – 2.500 mdpl > 2.500 mdpl
1 2 3
< 0,25 ha 0,25 – 0,5 ha > 0,5 – 0,75 ha > 0,75 – 1 ha > 1 ha
5 4 3 2 1
4 5
Keterangan: *) Diadopsi dari SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. **) Nama tanah menurut USDA Soil Taxonomy 1975 (Hardjowigeno, 2003).
Secara lebih detail, kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Penutupan lahan Penutupan
lahan
merupakan
istilah
yang
berkaitan
dengan
kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand et al., 1990).
jenis
66
Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria penutupan lahan untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin buruk kondisi penutupan lahan di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin baik kondisi penutupan lahan di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Hal tersebut
dikarenakan semakin buruknya/tidak adanya tutupan lahan di suatu lokasi dapat mengakibatkan semakin besarnya kerusakan hutan dan lahan yang terjadi di lokasi tersebut. 2. Kekayaan jenis tumbuhan Kekayaan jenis tumbuhan merupakan jumlah jenis tumbuhan yang terdapat pada suatu ekosistem. Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kekayaan jenis tumbuhan untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin rendah kekayaan jenis tumbuhan di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin tinggi kekayaan jenis tumbuhan di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada lokasi-lokasi yang memiliki kekayaan jenis tumbuhan yang rendah cenderung memiliki kondisi ekosistem yang kurang stabil apabila dibandingkan dengan lokasi-lokasi yang memiliki kekayaan jenis tumbuhan yang tinggi. 3. Sebaran satwaliar langka atau dilindungi Sebaran satwaliar langka atau dilindungi merupakan distribusi/penyebaran jenis-jenis satwaliar yang tergolong langka atau dilindungi pada suatu ekosistem berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, baik secara global maupun nasional. Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria sebaran satwaliar langka atau dilindungi untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: semakin sedikit sebaran satwaliar langka atau dilindungi di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Demikian pula sebaliknya, semakin banyak sebaran
satwaliar langka atau dilindungi di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Hal tersebut didasarkan pada
penjelasan berikut ini. Kawasan hutan konservasi pada dasarnya merupakan
67
habitat bagi berbagai jenis satwaliar yang berada di kawasan tersebut, sehingga apabila di suatu lokasi di kawasan hutan konservasi tidak ditemukan satwaliar, maka di lokasi tersebut perlu upaya restorasi hutan agar kondisi habitat satwaliar dapat menjadi lebih baik dan menunjang kehidupan satwaliar di lokasi tersebut. 4. Lereng (slope) Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria lereng (slope) untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin curam lereng di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Demikian pula sebaliknya, semakin
landai lereng di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada lokasi yang memiliki kelerengan yang curam memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap terjadinya erosi dan tanah longsor. 5. Elevasi/ketinggian Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria elevasi/ketinggian untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin tinggi elevasi/ketinggian di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Demikian pula
sebaliknya, semakin rendah elevasi/ketinggian di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada ekosistem yang memiliki elevasi/ketinggian yang tinggi secara ekologis lebih rentan apabila mengalami gangguan.
Sedikit saja terjadi gangguan pada
ekosistem tersebut, maka dapat mengakibatkan dampak yang cukup besar terhadap ekosistem tersebut maupun ekosistem di bawahnya. 6. Jenis tanah Jenis tanah sangat berkaitan erat dengan kepekaan terhadap erosi di suatu lokasi. Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria jenis tanah untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin peka jenis tanah di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Demikian pula sebaliknya,
semakin kurang peka jenis tanah di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Hal tersebut dikarenakan jenis-jenis
68
tanah yang peka memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap terjadinya erosi dan longsor di suatu lokasi. 7. Intensitas hujan Intensitas hujan merupakan curah hujan tahunan rata-rata dibagi dengan hari hujan total dalam satu tahun. Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria intensitas hujan untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin tinggi intensitas hujan, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Demikian pula sebaliknya, semakin
rendah intensitas hujan, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Hal tersebut dikarenakan intensitas hujan yang tinggi di suatu
lokasi dapat mengakibatkan terjadinya erosi, longsor, dan banjir yang lebih besar apabila dibandingkan dengan lokasi yang memiliki intensitas hujan yang lebih rendah. 8. Luas kerusakan kawasan hutan konservasi Kerusakan kawasan hutan konservasi yang terjadi di kawasan konservasi didekati dari konsep deforestasi. Deforestasi berarti terjadinya perubahan dari kondisi berhutan menjadi kondisi tidak berhutan. Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas kerusakan kawasan hutan konservasi untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin besar luas kerusakan kawasan hutan di suatu lokasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil luas kerusakan kawasan hutan di suatu lokasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Hal tersebut dikarenakan pada lokasi yang
memiliki luas kerusakan kawasan hutan yang besar, maka memiliki dampak yang besar terhadap terganggunya fungsi-fungsi suatu ekosistem. Selain itu, pada lokasi yang memiliki luas kerusakan kawasan hutan yang besar akan lebih sulit untuk memulihkan kondisi hutan tersebut melalui proses suksesi alami, sehingga untuk membantu mempercepat proses suksesi pada kawasan hutan tersebut diperlukan adanya upaya restorasi kawasan hutan. 9. Kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi Kepadatan penduduk adalah banyaknya penduduk per km persegi (BPS, 2011).
69
Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin tinggi kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi di lokasi tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi, maka semakin rendah prioritas restorasi di lokasi tersebut.
Hal tersebut dikarenakan pada lokasi yang
memiliki kepadatan penduduk tinggi, jumlah penduduk yang besar tersebut merupakan potensi yang dapat dikelola untuk meningkatkan partisipasi penduduk sekitar dalam kegiatan restorasi kawasan hutan.
Keberadaan
penduduk sekitar jangan dianggap sebagai penghambat kegiatan restorasi, tetapi justru sebaliknya keberadaan penduduk sekitar harus dianggap sebagai suatu hal yang positif dalam menunjang keberhasilan kegiatan restorasi kawasan hutan. Kegiatan restorasi tidak akan berhasil apabila tidak mendapatkan dukungan dari penduduk sekitar. Selain itu, kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi harus mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar. 10. Luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi Luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi merupakan luas lahan yang dimiliki/dikuasai oleh masyarakat sekitar yang terdapat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi. Kartasubrata
Rumahtangga di pedesaan menurut Sajogyo (1978) dalam (1986) dapat
digolongkan
menjadi:
rumahtangga
yang
menguasai kurang dari 0,25 ha atau tak bertanah, rumahtangga yang menguasai lahan antara 0,25 ha – 0,5 ha, dan rumahtangga yang menguasai lahan lebih dari 0,5 ha. Penilaian skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas pemilikan/ penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi untuk menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi adalah sebagai berikut: semakin kecil luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi, maka semakin tinggi prioritas restorasi lokasi tersebut.
Demikian pula
sebaliknya, semakin besar luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi, maka semakin
70
rendah prioritas restorasi lokasi tersebut. Hal tersebut dikarenakan luas pemilikan/penguasaan lahan berkaitan dengan pendapatan yang diperoleh dari hasil pengelolaan lahan yang dikuasai/dimilikinya tersebut. Masyarakat yang menguasai/memiliki lahan yang sempit cenderung memiliki pendapatan yang lebih rendah dari kegiatannya mengelola lahan tersebut. Kondisi demikian dapat mengakibatkan masyarakat tersebut harus mencari tambahan pendapatan melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat di sekitarnya, dalam hal ini kawasan hutan konservasi.
Oleh karena itu,
maka pada lokasi tersebut perlu mendapatkan prioritas yang tinggi untuk dilakukan restorasi hutan.
Restorasi kawasan hutan bukan berarti hanya
menanam pohon saja, tetapi juga harus sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Kegiatan restorasi kawasan hutan harus dilakukan satu paket dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar (community development). 4.1.3. Penentuan Acuan Restorasi Penentuan acuan restorasi dapat didekati melalui kajian komposisi dan struktur jenis vegetasi pada hutan alam yang belum mengalami gangguan di suatu kawasan hutan tertentu. Komposisi dan struktur vegetasi merupakan salah satu parameter yang harus diperhatikan dalam kegiatan restorasi hutan. Whitmore dalam (Lugo dan Lowe, 1995), lebih jauh mengemukakan bahwa perubahan komposisi dan struktur hutan sangat dipengaruhi oleh adanya gangguan baik yang bersifat alami maupun antropogenik. Restorasi hutan yang mengalami
kerusakan
harus
dilakukan
dengan
tujuan
utama
untuk
mengembalikan komposisi dan struktur vegetasi mendekati kondisi semula sebelum terjadi kerusakan, sehingga ekosistem hutan tersebut dapat kembali menjalankan fungsinya sebagai kawasan hutan konservasi. Secara lebih praktis, dimensi-dimensi acuan restorasi terdiri atas kekayaan jenis flora asli dan parameter struktur horizontal vegetasi yang didapat dari ekosistem atau bioregion yang sama dengan ekosistem yang akan direstorasi. Kekayaan jenis flora asli dapat berupa daftar jumlah jenis (species list) flora. Adapun parameter struktur horizontal vegetasi dapat berupa sebaran individu dan kelimpahan tiap jenis tumbuhan yang ada.
Kelimpahan (abundance)
tumbuhan yang ada dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan nilai kerapatan
71
(density) atau berat kering bahan atau bagian tumbuhan yang dihasilkan per satuan luas (Fachrul, 2007). 4.1.4. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih Untuk dapat menentukan prioritas jenis terpilih dalam kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi dapat dilakukan melalui pendekatan terhadap jenisjenis tumbuhan yang termasuk jenis acuan yang mampu hidup dan berkembang pada lokasi-lokasi yang perlu segera direstorasi. Oleh karena itu, maka selain dilakukan analisis vegetasi pada hutan alam sebagai ekosistem/tipe vegetasi hutan acuan restorasi, juga perlu dilakukan analisis vegetasi pada berbagai tipe vegetasi hutan yang ada pada suatu kawasan hutan konservasi.
Hasil dari
kegiatan analisis vegetasi pada berbagai tipe vegetasi hutan tersebut dapat menghasilkan matriks yang berisikan jenis-jenis tumbuhan yang mampu hidup dan berkembang di seluruh lokasi pada suatu kawasan hutan konservasi. Jenisjenis ini diharapkan mampu menjadi vegetasi awal dalam kegiatan restorasi pada suatu kawasan hutan konservasi. 4.2. Uji Coba Model 4.2.1. Lokasi Uji Coba Model di TNGGP 4.2.1.1. Letak dan Aksesibilitas Secara administratif pemerintahan lokasi uji coba model terletak di wilayah Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Secara administratif pengelolaan hutan, lokasi uji coba model termasuk ke dalam wilayah kerja Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sedangkan secara geografis lokasi penelitian terletak pada koordinat 106°51’ 107°02’ BT dan 6°41’ - 6°51’ LS. Untuk mencapai lokasi uji coba model dapat ditempuh melalui enam pintu masuk utama, yaitu:
pintu masuk Cibodas dan pintu masuk Gunung Putri
(Kabupaten Cianjur), pintu masuk Selabintana dan pintu masuk Situ Gunung (Kabupaten Sukabumi), pintu masuk Bodogol dan pintu masuk Cisarua (Kabupaten Bogor). Secara lebih detail, jalur yang ditempuh untuk mencapai lokasi uji coba model melalui masing-masing pintu masuk utama beserta informasi jarak dan waktu tempuhnya disajikan pada Tabel 5 berikut ini.
72
Tabel 5 Jalur, jarak, dan waktu tempuh untuk mencapai lokasi uji coba model Pintu Masuk Cibodas Gunung Putri Selabintana Situ Gunung Bodogol Cisarua
Jalur Jakarta-Ciawi/Bogor-Puncak-Cibodas Bandung-Cianjur-Cipanas-Cibodas Jakarta-Ciawi/Bogor-Puncak-Cipanas-Gn. Putri Bandung-Cianjur-Cipanas-Gn. Putri Jakarta-Ciawi/Bogor-Sukabumi-Selabintana Bandung-Cianjur-Sukabumi-Selabintana Jakarta-Ciawi/Bogor-Cisaat-Situgunung Bandung-Cianjur-Sukabumi-Cisaat-Situ Gunung Jakarta-Ciawi/Bogor-Cicurug-Bodogol Bandung-Cianjur-Puncak-Ciawi/Bogor-Cicurug-Bodogol Jakarta-Ciawi/Bogor-Cisarua Bandung-Cianjur-Puncak-Cisarua
Jarak (km) 103 90 115 93 156 92 135 161 61 125 57 91
Waktu (jam) 2,5 3 2,5 3,5 3,5 3,5 3,5 4 2 4,5 2 3,5
4.2.1.2. Kondisi Fisik 4.2.1.2.1. Topografi dan Kelerengan Berdasarkan peta yang diolah dari data BB TNGGP dan Shuttle Radar Topography Mission, USGS dapat diketahui bahwa topografi di kawasan hutan TNGGP bervariasi mulai dari landai hingga bergunung dengan kisaran ketinggian antara 700 m dpl sampai 3.000 m dpl. Ketinggian yang dominan di kawasan hutan TNGGP terdapat pada kisaran < 1.000 mdpl dan kisaran 1.000 mdpl – 1.500 mdpl, yaitu masing-masing sebesar 29,9% dan 32% dari luas total kawasan hutan TNGGP.
Adapun kawasan TNGGP yang memiliki ketinggian
>1.500 mdpl – 2.000 mdpl, >2.000 mdpl – 2.500 mdpl, dan >2.500 mdpl masingmasing memiliki persentase sebesar 21,4%; 12%; dan 4,7% (Gambar 13). Berdasarkan peta yang diolah dari data BB TNGGP dan Shuttle Radar Topography Mission, USGS juga dapat diketahui bahwa kelerengan di kawasan hutan TNGGP pada umumnya memiliki kelerengan yang curam dengan kelerengan >45%, yaitu sebesar 64,9% dari luas total kawasan hutan TNGGP. Adapun kawasan TNGGP dengan kelerengan 0-8%, 9-15%, 16-25%, dan 2645% masing-masing memiliki persentase sebesar 3,1%; 2,8%; 7,1%; dan 22,1% (Gambar 14). 4.2.1.2.2. Tanah Berdasarkan peta yang diolah dari data BB TNGGP dan Balai Penelitian Tanah Bogor dapat diketahui jenis-jenis tanah yang mendominasi kawasan hutan TNGGP adalah andisol sebesar 43,8%; ultisol sebesar 37,2%; dan entisol sebesar 19%. Peta jenis tanah di kawasan hutan TNGGP dapat dilihat pada Gambar 15.
73
Gambar 13 Peta elevasi/ketinggian di kawasan hutan TNGGP
Gambar 14 Peta lereng (slope) di kawasan hutan TNGGP
74
Gambar 15 Peta jenis tanah di kawasan hutan TNGGP 4.2.1.2.3. Curah Hujan dan Iklim Berdasarkan peta yang diolah dari data BB TNGGP dan Badan Meteorologi dan Geofisika dapat diketahui bahwa kawasan hutan TNGGP berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson termasuk ke dalam tipe iklim A dengan curah hujan yang tinggi. Curah hujan rata-rata di kawasan ini berkisar antara 3.000 – 3.500 mm sebesar 23,8% dan 3.500 – 4.000 mm sebesar 76,2% (BTNGGP, 2007). Adapun intensitas hujan (curah hujan tahunan rata-rata/hari hujan total dalam satu tahun) di kawasan hutan TNGGP ini berkisar antara 18 – 33 mm/hari (Gambar 16). 4.2.1.2.4. Hidrologi Secara hidrologi, kawasan hutan TNGGP dibagi menjadi 4 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terdiri atas: DAS Citarum (Kabupaten Cianjur), DAS Ciliwung (Kabupaten Bogor), DAS Cisadane (Kabupaten Bogor), dan DAS Cimandiri (Kabupaten Sukabumi), yang terdiri atas 58 sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil (BTNGGP, 2007).
75
Gambar 16 Peta intensitas hujan di kawasan hutan TNGGP 4.2.1.3. Kondisi Biotik 4.2.1.3.1. Vegetasi Kawasan hutan TNGGP memiliki potensi kekayaan flora yang tinggi. Kawasan ini memiliki sekitar 1.000 jenis flora dengan 57 famili, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) 925 jenis, tumbuhan paku 250 jenis, lumut 123 jenis, dan jenis ganggang, spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya (BTNGGP, 2007). Kekayaan jenis tumbuhan tertinggi di kawasan hutan TNGGP ini dapat dijumpai pada tipe vegetasi hutan/ekosistem hutan alam, sedangkan kekayaan jenis tumbuhan terendah di kawasan hutan TNGGP ini dapat dijumpai pada tipe vegetasi hutan/ekosistem hutan miskin jenis (hutan tanaman) dengan jenis eksotik (Gambar 17). 4.2.1.3.2. Satwaliar Kawasan hutan TNGGP merupakan habitat bagi beraneka ragam jenis satwaliar, antara lain mamalia, reptilia, amphibia, aves, insect dan kelompok satwa tidak bertulang belakang. Pada kawasan hutan TNGGP tersebut terdapat burung (aves) sebanyak 251 jenis atau lebih dari 50% dari jenis burung yang
76
hidup di Jawa. Beberapa jenis satwaliar yang hidup di kawasan hutan tersebut adalah elang jawa (Spizaetus bartelsi), elang hitam (Ictinaetus malayensis), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), anjing hutan (Cuon alpinus), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus) (BTNGGP, 2007). Sebaran beberapa jenis satwaliar langka atau dilindungi yang terdapat di kawasan hutan TNGGP dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 17 Peta kekayaan jenis tumbuhan di kawasan hutan TNGGP 4.2.1.3.3. Ekosistem Berdasarkan ketinggiannya tipe-tipe ekosistem yang terdapat di kawasan hutan TNGGP terdiri atas: ekosistem hutan dataran tinggi (500 – < 1.000 mdpl), ekosistem submontana (1.000 – 1.500 mdpl), ekosistem montana (> 1.500 – 2.400 mdpl), dan ekosistem subalpin (> 2.400 – 4.150 mdpl).
Ekosistem
submontana dan montana memiliki keanekaragaman hayati vegetasi yang tinggi dengan pohon-pohon besar, tinggi, dan memiliki 3 strata tajuk. Strata paling tinggi (30 – 40 m) didominasi oleh jenis Litsea spp. Selain empat tipe ekosistem tersebut, di kawasan hutan TNGGP ditemukan pula beberapa tipe ekosistem khas lainnya yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat, yang terdiri atas:
77
ekosistem rawa, ekosistem kawah, ekosistem alun-alun, ekosistem danau, dan ekosistem hutan tanaman (BTNGGP, 2007).
Gambar 18 Peta sebaran satwaliar langka atau dilindungi di kawasan hutan TNGGP 4.2.1.4. Kondisi Sosial 4.2.1.4.1. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk merupakan banyaknya penduduk per km persegi. Berdasarkan peta yang diolah dari data BB TNGGP dan Potensi Desa 2009 dapat diketahui bahwa kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP pada umumnya tergolong tinggi, yaitu mencapai > 499 jiwa/km2. Kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP yang tergolong tinggi tersebut pada umumnya termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur. Peta kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP disajikan pada Gambar 19 berikut ini.
78
Gambar 19 Peta kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP
4.2.1.4.2. Luas Pemilikan/Penguasaan Lahan Rata-rata Berdasarkan peta yang diolah dari data BB TNGGP dan Potensi Desa 2009 dapat diketahui bahwa luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP pada umumnya tergolong rendah, yaitu berkisar antara < 0,25 ha dan 0,25 ha – 0,5 ha. Luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP yang tergolong rendah tersebut pada umumnya termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur.
Peta luas
pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP disajikan pada Gambar 20. 4.2.1.5. Kawasan Perluasan TNGGP Sejarah TNGGP mempunyai posisi yang penting dalam sejarah konservasi Indonesia. Sejarah konservasi kawasan TNGGP diawali dengan Cagar Biosfer Cibodas oleh UNESCO melalui Program Man and Biosphere tahun 1977 dan
79
TNGGP sebagai zona inti Cagar Biosfer. Dilanjutkan dengan deklarasi Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980 bahwa kawasan TNGGP ditetapkan sebagai kawasan Pelestarian Alam TNGGP dengan luas 15.196 hektar. Kemudian pada tahun 1995 ditetapkan sebagai Sister Park. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003, tanggal 10 Juni 2003, luas kawasan TNGGP diperluas menjadi kurang lebih 21.975 hektar yang merupakan perluasan area eks Perum Perhutani. Kemudian atas dasar Berita Acara Serah Terima Pengelolaan Nomor002/BAST-HUKAMAS/III/2009 Nomor 1237/II-TU/2//2009 tanggal 6 Agustus 2009 dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan banten Kepada BB TNGGP, luas kawasan yang diserahkan adalah seluas 7.655,030 hektar. Dengan Demikian total luas TNGGP adalah 22.851,030 hektar.
Gambar 20 Peta luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desadesa sekitar kawasan hutan TNGGP Permasalahan yang terjadi di kawasan perluasan TNGGP berkaitan erat dengan perubahan status dan fungsi kawasan hutan dari kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani menjadi kawasan
80
hutan konservasi (taman nasional) yang dikelola oleh Dephut, c.q. Ditjen PHKA. Perubahan status dan fungsi kawasan hutan tersebut juga secara langsung menyebabkan
perubahan
prinsip-prinsip
pengelolaan
hutan
di
kawasan
perluasan TNGGP tersebut. Adapun beberapa permasalahan yang terjadi di kawasan perluasan TNGGP, yaitu berupa gangguan terhadap kawasan perluasan TNGGP, seperti terjadinya pengambilan kayu bakar, pengambilan kayu pertukangan (terutama di Resort Nagrak), pengambilan hasil hutan nonkayu, dan perambahan lahan oleh penggarap,
Permasalahan berupa
gangguan hutan di kawasan perluasan TNGGP dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hutan di kawasan hutan tersebut. Peta kerusakan hutan di kawasan hutan TNGGP, terutama kawasan perluasan TNGGP, disajikan pada Gambar 21 berikut ini. Secara keseluruhan, persentase luas kerusakan hutan di kawasan hutan TNGGP adalah sebesar 8,9%.
Gambar 21 Peta luas kerusakan hutan di kawasan hutan TNGGP Permasalahan lainnya yang terjadi di kawasan perluasan TNGGP adalah terdapatnya hutan tanaman terutama jenis pohon eksotik. Keberadaan hutan tanaman dengan jenis pohon eksotik di kawasan hutan konservasi tersebut tidaklah sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Adapun peta sebaran jenis
81
pohon eksotik dan asli di kawasan perluasan TNGGP berdasarkan data yang diolah dari BB TNGGP dan citra landsat TM 7 disajikan pada Gambar 22.
Gambar 22 Peta sebaran jenis tumbuhan eksotik dan asli di kawasan perluasan TNGGP Hutan tanaman dengan jenis pohon eksotik di kawasan perluasan TNGGP terdiri atas jenis pinus, damar, dan eucalyptus. Sebaran hutan tanaman dengan jenis pohon eksotik, sebagian besar terdapat di wilayah Sukabumi. Sedangkan hutan tanaman dengan jenis pohon asli di kawasan perluasan TNGGP terdiri atas jenis puspa dan rasamala. 4.2.2. Kategori Prioritas Restorasi TNGGP Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian terhadap kondisi nilai variabel penilaian yang dimiliki oleh kawasan TNGGP sesuai dengan model yang telah dirumuskan dapat diketahui bahwa kawasan TNGGP memiliki nilai aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi sebesar 4,427 dan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi sebesar 2,546 (Tabel 6). Secara detail, variabel penilaian kategori prioritas restorasi TNGGP disajikan pada Lampiran 14.
82
Tabel 6 Penilaian kategori prioritas restorasi TNGGP No.
Uraian kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi
Bobot
Skala Intensitas
Skor
Aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi
I 1
Keberadaan jenis langka dan dilindungi
0,310
5
1,550
2
Keanekaragaman tipe ekosistem
0,181
4
0,724
3
0,142
5
0,710
4
Potensi keanekaragaman jenis Ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir
0,127
3
0,381
5
Pemanfaatan SDA secara lestari oleh stakeholders
0,122
5
0,610
6
Lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam
0,050
5
0,250
7
Tempat peninggalan budaya
0,035
2
0,070
Logistik bagi penelitian dan pendidikan
0,033
4
8
Total skor aspek tingkat kepentingan:
1
0,132 4,427
Aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi
II 1
Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
0,287
1
0,287
2
Besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi
0,182
5
0,910
3
Bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
0,162
1
0,162
4
Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
0,132
2
0,264
5
Macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi
0,106
5
0,530
6
Luasan suatu kawasan hutan konservasi
0,069
3
0,207
7
Keberadaan hutan miskin jenis di suatu kawasan hutan konservasi
0,062
3
0,186
Total skor aspek tingkat kemendesakan:
1
2,546
Titik koordinat (4,427; 2,546) yang merupakan hasil penilaian prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi yang diterapkan/ diujicobakan pada kawasan hutan TNGGP terletak pada kuadran III (Gambar 23). Posisi kategori prioritas restorasi yang terletak pada kuadran III tersebut tergolong ke dalam Prioritas III. Hal tersebut memberikan arti bahwa kawasan TNGGP memiliki tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi yang tergolong tinggi, namun memiliki tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi yang tergolong rendah.
83
Tinggi
Posisi prioritas restorasi (4,427; 2,546)
T i n g k a t
Kuadran III (Prioritas III)
k e p e n t i n g a n
1
2
5
Kuadran I (Prioritas I)
4
3
Kuadran IV (Prioritas IV)
4
2
5
Kuadran II (Prioritas II)
1 Rendah Rendah
Tingkat kemendesakan
Tinggi
Gambar 23 Posisi kuadran kategori prioritas kawasan TNGGP untuk direstorasi Kawasan TNGGP memiliki tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi yang cenderung tinggi dikarenakan kawasan tersebut memang memiliki peranan yang cukup penting bagi lingkungan di sekitarnya, terutama dalam mengatur fungsi hidroorologi, menjaga keanekaragaman hayati, dan
menghasilkan
jasa-jasa
lingkungan
lainnya.
Sedangkan
tingkat
kemendesakan suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi yang dimiliki kawasan TNGGP yang cenderung rendah dapat disebabkan oleh karena kawasan TNGGP dijaga dengan baik ataupun gangguan alam yang terjadi sedikit. 4.2.3. Penentuan Lokasi/Bagian TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi Penentuan
lokasi/bagian
TNGGP
yang
perlu
segera
direstorasi
memerlukan beberapa data berupa penutupan lahan, kekayaan jenis tumbuhan, sebaran satwaliar langka atau dilindungi, lereng (slope), elevasi/ketinggian, jenis tanah, intensitas hujan, luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi, dan luas pemilikan/ penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi.
Untuk memperoleh data penutupan lahan dilakukan melalui
84
interpretasi citra landsat, sedangkan untuk memperoleh data lainnya dilakukan melalui pengumpulan data sekunder/studi literatur. 4.2.3.1. Penutupan Lahan di Kawasan TNGGP Penutupan lahan merupakan kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand et al., 1990).
Adapun penutupan lahan di kawasan TNGGP pada
tahun 2010 berdasarkan citra landsat TM 7 dan hasil interpretasi citra landsat tersebut dapat dilihat pada Gambar 24 – Gambar 25 berikut ini.
Gambar 24 Citra landsat kawasan TNGGP tahun 2010 Hasil penelitian (Tabel 7) menunjukkan bahwa penutupan lahan yang dominan di kawasan TNGGP pada tahun 2010 adalah berupa hutan sekunder, yaitu seluas 9.752 ha atau 40%.
Tipe ini merupakan tipe penutupan yang
dominan di kawasan ini. Kawasan TNGGP memiliki penutupan hutan primer dengan kondisi yang cukup baik. Hutan primer di kawasan ini memiliki luasan sekitar 25% dari total luas kawasan TNGGP. Hutan primer di TNGGP menempati wilayah pegunungan (1.500 – 2.400 m dpl) hingga wilayah sub-alpin (2.400 - 3.019 m dpl).
85
Gambar 25 Penutupan lahan hasil interpretasi citra landsat di kawasan hutan TNGGP tahun 2010 Tabel 7 Luas penutupan lahan kawasan TNGGP tahun 2010 (dalam ha) Penutupan Lahan Tahun 2010 Belukar Hutan primer Hutan sekunder Hutan tanaman Pertanian campur semak Perkebunan Pemukiman Pertanian lahan kering Sawah Lahan terbuka Badan air Awan Total
1.090 6.267 9.752 4.055 503 1.046 116 272 734 24 12 465 24.336
Sumber: Citra satelit Landsat 7 tahun 2010
Di sekitar bagian terluar kawasan TNGGP tersebar hutan tanaman eks Perum Perhutani yang terdiri dari jenis pinus dan damar. Kedua jenis tumbuhan
86
ini merupakan tumbuhan jenis eksotik yang ditanam pada saat kawasan tersebut masih dikelola oleh Perum Perhutani sebagai hutan produksi. Persentase hutan tanaman di kawasan TNGGP pada tahun 2010 mencapai 16,6% dari total wilayah dengan sebaran meliputi bagian barat, tenggara, dan timur kawasan TNGGP. Belukar menempati posisi tipe penutupan lahan keempat terluas di kawasan TNGGP. Belukar di kawasan ini memiliki luasan hingga 4,5% dari total luas kawasan TNGGP. Karena struktur vegetasi yang hampir sama, vegetasi eidelweis di TNGGP diidentifikasi oleh citra landsat sebagai belukar, lokasi vegetasi khas ini dijumpai di bagian puncak kawasan TNGGP.
Di luar tipe
vegetasi alami, belukar merupakan indikator yang menunjukkan terganggunya suatu kawasan hutan.
Pada kawasan TNGGP ini tipe belukar banyak
bersanding dengan tipe pertanian lahan kering dan pertanian campur semak. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebaran belukar dipengaruhi oleh tekanan penduduk dan kebutuhan akan lahan pertanian. Peningkatan kepadatan penduduk di sekitar kawasan hutan TNGGP, memberikan dampak tidak langsung berupa peningkatan kebutuhan lahan-lahan pertanian masyarakat sekitar. Hal tersebut dikarenakan matapencaharian utama masyarakat sekitar kawasan hutan TNGGP pada umumnya masih didominasi jenis matapencaharian berupa pertanian dan perkebunan.
Peningkatan
kebutuhan lahan pertanian memberikan tekanan tersendiri bagi kawasan hutan TNGGP dan perlahan tapi pasti perluasan lahan pertanian di luar kawasan hutan TNGGP terus terjadi seiring dengan peningkatan jumlah pemukiman di daerah tersebut. Untuk mengukur keakuratan hasil interpretasi citra landsat tersebut telah dilakukan uji akurasi klasifikasi dengan nilai akurasi sebesar 88,71%. Nilai uji akurasi klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa hasil interpretasi citra landsat cukup akurat karena memiliki nilai ≥ 85%.
Secara lengkap hasil uji akurasi
klasifikasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil penelitian menunjukkan (Gambar 26) bahwa berdasarkan pemberian skala intensitas sesuai kondisi variabel penilaian pada kriteria penutupan lahan dalam
menentukan
lokasi/bagian
kawasan
TNGGP
yang
perlu
segera
direstorasi, maka dapat diketahui bahwa kawasan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria penutupan lahan yang
87
cenderung rendah di bagian terdalam/tengah kawasan hutan dan cenderung tinggi di bagian terluar/tepi kawasan hutan. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi penutupan lahan di bagian terdalam/tengah kawasan TNGGP cenderung lebih baik apabila dibandingkan dengan kondisi penutupan lahan di bagian terluar/tepi kawasan TNGGP. Pada bagian terluar/tepi kawasan TNGGP, terutama pada kawasan perluasan TNGGP eks kawasan hutan produksi Perum Perhutani, pada umumnya banyak mengalami gangguan sebagai akibat dari berbagai aktivitas masyarakat sekitar yang memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di sekitarnya.
Gambar 26 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria penutupan lahan di kawasan TNGGP 4.2.3.2. Kondisi Kriteria Lainnya di Kawasan TNGGP Selain kriteria berupa penutupan lahan, terdapat 9 (sembilan) kriteria lainnya dalam menentukan lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi, yaitu: kekayaan jenis tumbuhan, sebaran satwaliar langka atau dilindungi, lereng (slope), elevasi/ketinggian, jenis tanah, intensitas hujan, luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kepadatan penduduk di desa-desa sekitar
88
kawasan hutan konservasi, dan luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan pemberian skala intensitas sesuai kondisi variabel penilaian pada 9 (sembilan) kriteria tersebut, maka dapat diketahui bahwa peta skala intensitas variabel penilaian pada 9 (sembilan) kriteria tersebut dalam menentukan lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi adalah sebagai berikut: 1. Kekayaan jenis tumbuhan Hasil penelitian (Gambar 27) menunjukkan bahwa kawasan hutan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kekayaan jenis tumbuhan yang cenderung rendah di bagian terdalam/tengah kawasan hutan dan cenderung tinggi di bagian terluar/tepi kawasan hutan. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi kekayaan jenis tumbuhan di bagian terdalam/tengah kawasan hutan TNGGP cenderung lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kekayaan jenis tumbuhan di bagian terluar/tepi kawasan hutan TNGGP. Secara umum, pada bagian terluar/tepi kawasan hutan TNGGP kekayaan jenis tumbuhannya lebih rendah dikarenakan kawasan tersebut sebelumnya merupakan kawasan hutan produksi eks Perum Perhutani yang memiliki jenis-jenis tumbuhan yang sedikit. 2. Sebaran satwaliar langka atau dilindungi Hasil penelitian (Gambar 28) menunjukkan bahwa kawasan hutan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria sebaran satwaliar langka atau dilindungi yang cenderung rendah di bagian terdalam/tengah kawasan hutan, kecuali di bagian puncak gunung skala intensitas variabel penilaiannya cenderung tinggi.
Sedangkan skala
intensitas variabel penilaian pada kriteria sebaran satwaliar langka atau dilindungi di bagian terluar/tepi kawasan hutan TNGGP cenderung tinggi. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi sebaran satwaliar langka atau dilindungi di bagian terdalam/tengah kawasan hutan TNGGP, kecuali di bagian puncak gunung, cenderung lebih tinggi apabila dibandingkan dengan sebaran satwaliar langka atau dilindungi di bagian terluar/tepi kawasan hutan TNGGP.
89
Gambar 27 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kekayaan jenis tumbuhan di kawasan TNGGP
Gambar 28 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria sebaran satwaliar langka atau dilindungi di kawasan TNGGP
90
3. Lereng (slope) Hasil penelitian (Gambar 29) menunjukkan bahwa kawasan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria lereng (slope) yang cenderung tinggi di semua bagian kawasan hutan dan hanya sedikit bagian kawasan hutan yang memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria lereng (slope) yang rendah, yaitu pada umumnya terdapat di bagian terluar/tepi kawasan hutan. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi lereng (slope) di semua bagian kawasan hutan TNGGP cenderung memiliki lereng yang curam dan hanya sedikit saja bagian kawasan hutan TNGGP yang memiliki lereng yang landai, yaitu pada umumnya terdapat di bagian terluar/tepi kawasan hutan.
Gambar 29 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria lereng (slope) di kawasan TNGGP 4. Elevasi/ketinggian Hasil penelitian (Gambar 30) menunjukkan bahwa kawasan hutan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria elevasi/ ketinggian yang cenderung tinggi di bagian utara dan timur kawasan hutan yang mendekati puncak gunung dan cenderung rendah di bagian barat
91
dan selatan kawasan hutan yang menjauhi puncak gunung. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi elevasi/ketinggian di bagian utara dan timur kawasan hutan TNGGP cenderung memiliki elevasi/ketinggian yang tinggi dan kondisi elevasi/ketinggian di bagian barat dan selatan kawasan hutan TNGGP cenderung memiliki elevasi/ketinggian yang rendah.
Gambar 30 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria elevasi/ ketinggian di kawasan TNGGP 5. Jenis tanah Hasil penelitian (Gambar 31) menunjukkan bahwa kawasan hutan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria jenis tanah yang cenderung tinggi di bagian timur kawasan hutan, terutama yang mendekati puncak gunung dan cenderung rendah di bagian barat kawasan hutan. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi jenis tanah di bagian timur kawasan hutan TNGGP, terutama yang mendekati puncak gunung cenderung memiliki jenis tanah yang peka dan jenis tanah di bagian barat kawasan hutan TNGGP cenderung memiliki jenis tanah yang kurang peka.
92
Gambar 31 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria jenis tanah di kawasan TNGGP 6. Intensitas hujan Hasil penelitian (Gambar 32) menunjukkan bahwa kawasan hutan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria intensitas hujan yang cenderung tinggi di bagian timur dan selatan kawasan hutan dan cenderung rendah di bagian utara kawasan hutan. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi intensitas hujan di bagian timur dan selatan kawasan hutan TNGGP cenderung memiliki intensitas hujan yang tinggi dan intensitas hujan di bagian utara kawasan hutan TNGGP cenderung memiliki intensitas hujan yang lebih rendah. 7. Luas kerusakan kawasan hutan konservasi Hasil penelitian (Gambar 33) menunjukkan bahwa kawasan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas kerusakan kawasan hutan konservasi yang cenderung tinggi di bagian terluar/tepi kawasan hutan dan cenderung rendah di bagian terdalam/tengah kawasan hutan. Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi luas kerusakan kawasan hutan konservasi di bagian terluar/tepi kawasan TNGGP cenderung
93
memiliki luas kerusakan kawasan hutan yang lebih besar apabila dibandingkan dengan kondisi luas kerusakan kawasan hutan di bagian terdalam/tengah kawasan TNGGP.
Gambar 32 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria intensitas hujan di kawasan TNGGP 8. Kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi Hasil penelitian (Gambar 34) menunjukkan bahwa kawasan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi yang cenderung tinggi di bagian utara, timur, dan selatan kawasan hutan (wilayah Bogor dan Cianjur) dan cenderung lebih rendah di bagian barat kawasan hutan (wilayah Sukabumi).
Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi kepadatan
penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi di bagian utara, timur, dan selatan kawasan TNGGP (wilayah Bogor dan Cianjur) cenderung memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kondisi kepadatan penduduk di bagian barat kawasan TNGGP (wilayah Sukabumi).
94
Gambar 33 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas kerusakan hutan di kawasan TNGGP
Gambar 34 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan TNGGP
95
9. Luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi Hasil penelitian (Gambar 35) menunjukkan bahwa kawasan TNGGP pada umumnya memiliki skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi yang cenderung tinggi di bagian utara, timur, dan selatan kawasan hutan (wilayah Bogor dan Cianjur) dan cenderung lebih rendah di bagian barat kawasan hutan (wilayah Sukabumi). Hal tersebut memberikan arti bahwa kondisi luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi di bagian utara, timur, dan selatan kawasan hutan TNGGP (wilayah Bogor dan Cianjur) cenderung memiliki luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan kondisi luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata di bagian barat kawasan hutan TNGGP (wilayah Sukabumi).
Gambar 35 Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas pemilikan/ penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan TNGGP
96
4.2.3.3. Lokasi/Bagian TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan pembobotan dan overlay terhadap peta-peta kriteria untuk menentukan lokasi/bagian TNGGP yang perlu segera direstorasi, maka dapat diketahui prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP (Prioritas I, Prioritas II, Prioritas III, dan Prioritas IV) seperti terlihat pada Gambar 36. Rumus yang digunakan dalam menentukan lokasi/bagian TNGGP yang perlu segera direstorasi adalah sebagai berikut: n
Y = ∑ BixSi i =1
dimana: Y = Nilai prioritas lokasi/bagian kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi Bi = Bobot kriteria ke-i Si = Skala intensitas kriteria ke-i Adapun penentuan panjang selang interval untuk tiap kategori penilaian ditentukan dengan rumus:
P=
Ymax - Ymin ∑n
Dimana: P = Panjang selang interval tiap kategori penilaian Ymax = Nilai maksimum Ymin = Nilai minimum n = Jumlah kategori penilaian Kategori penilaian untuk merumuskan lokasi/bagian kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi adalah sebagai berikut: (5)
Prioritas I (Prioritas Sangat Tinggi), nilai selang interval: >4 – 5
(6)
Prioritas II (Prioritas Tinggi), nilai selang interval: >3 – 4
(7)
Prioritas III (Prioritas Sedang), nilai selang interval: >2 – 3
(8)
Prioritas IV (Prioritas Rendah), nilai selang interval: 1 – 2 Untuk kawasan hutan konservasi yang berupa hutan tanaman dengan
tegakan penyusunnya jenis eksotik secara otomatis dimasukkan ke dalam kategori Prioritas I, karena menurut kaidah konservasi terdapatnya keaslian di suatu kawasan hutan konservasi merupakan hal yang mutlak.
97
Gambar 36 Peta prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP Berdasarkan peta prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP tersebut dapat diketahui bahwa Prioritas I dan Prioritas II lokasi restorasi banyak terdapat di bagian terluar/tepi kawasan hutan TNGGP, sedangkan Prioritas III dan Prioritas IV lokasi restorasi banyak terdapat di bagian terdalam/tengah kawasan TNGGP. Sesuai dengan urutan prioritasnya, maka Prioritas I dan Prioritas II lokasi restorasi ini merupakan prioritas lokasi yang perlu diutamakan/didahulukan upaya restorasinya apabila dibandingkan dengan prioritas lokasi lainnya, yaitu Prioritas III dan Prioritas IV lokasi restorasi. Prioritas I dan Prioritas II lokasi restorasi kawasan TNGGP ini pada umumnya terdapat di kawasan perluasan TNGGP, yaitu kawasan yang mengalami alih fungsi dari kawasan hutan produksi eks Perum Perhutani menjadi kawasan hutan konservasi yang kini dikelola sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kawasan TNGGP. Pada lokasi kawasan perluasan TNGGP ini memang banyak mengalami gangguan akibat berbagai aktivitas yang terjadi di kawasan tersebut, seperti: penebangan liar, pengambilan hasil hutan nonkayu, pengambilan kayu bakar, perambahan lahan, dan aktivitas penyadapan getah damar dan pinus serta kegiatan tumpangsari yang masih belum berhenti setelah
98
terjadinya alih fungsi kawasan hutan tersebut. Berbagai gangguan yang terjadi di kawasan hutan tersebut dapat menyebabkan kerusakan kawasan hutan. Selain itu, pada lokasi kawasan perluasan TNGGP ini juga dapat dijumpai jenis-jenis tumbuhan yang tergolong eksotik berupa hutan tanaman miskin jenis. Keberadaan jenis-jenis tumbuhan eksotik di suatu kawasan hutan konservasi tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi yang mensyaratkan terjaganya keaslian jenis tumbuhan di kawasan hutan konservasi tersebut, sehingga untuk mengatasi keberadaan hutan miskin jenis dengan jenis-jenis tumbuhan eksotik di dalamnya tersebut harus direstorasi dengan menggunakan jenis-jenis tumbuhan asli agar dapat kembali seperti kondisi hutan/ekosistem awal yang diketahui. Berbeda dengan Prioritas I dan Prioritas II lokasi restorasi, Prioritas III dan Prioritas IV lokasi restorasi pada umumnya terdapat di bagian terdalam/tengah kawasan TNGGP, yang merupakan kawasan TNGGP awal sebelum adanya perluasan kawasan TNGGP. Adapun luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: Prioritas I lokasi restorasi memiliki luas sebesar 2.622 ha, Prioritas II lokasi restorasi memiliki luas sebesar 3.220 ha, Prioritas III lokasi restorasi memiliki luas sebesar 18.480 ha, dan Prioritas IV lokasi restorasi memiliki luas sebesar 14 ha. Luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 8 Luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP (dalam ha) Luas (ha) Resort
Grand Total
Prioritas I
Prioritas
Prioritas
Prioritas
II
III
IV
Bodogol
342
151
2.373
6
2.872
Cimande
30
119
2.092
2
2.244
Cisarua
113
157
2.031
1
2.302
Gn. Putri
132
330
538
0
1.000
Goalpara
47
124
693
0
865
Mandalawangi
257
296
917
0
1.471
Nagrak
640
428
1.722
0
2.790
Pasir Hantap
159
227
781
1
1.168
Sarongge
226
490
456
0
1
Selabintana
157
204
2.070
1
2.432
Situgunung
294
368
2.751
0
3.414
99
Luas (ha) Resort Tapos Tegallega Grand Total
Grand Total
Prioritas I
Prioritas
Prioritas
Prioritas
II
III
IV
43
89
915
2
1.049
181
237
1.140
1
1.558
2.622
3.220
18.480
14
24.336
Adapun luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP berdasarkan pembagian resort dan penutupan lahan disajikan secara detail pada Lampiran 16. Secara umum, penutupan lahan yang termasuk prioritas I dan prioritas II adalah berupa belukar dan hutan tanaman jenis eksotik, sedangkan penutupan lahan yang termasuk prioritas III dan prioritas IV adalah berupa hutan sekunder dan hutan primer.
Prioritas lokasi restorasi ini juga dapat menjadi indikasi
mengenai sensitifitas suatu lokasi untuk direstorasi, artinya jika suatu lokasi kawasan hutan konservasi tertentu mengalami kerusakan hutan, maka restorasi dilakukan berdasarkan urutan prioritas yang dimiliki oleh lokasi tersebut. 4.2.4. Penentuan Acuan Restorasi TNGGP
Bentuk struktur tegakan horizontal suatu tegakan hutan alam pada umumnya cenderung mendekati bentuk sebaran huruf J-terbalik (eksponensial negatif) seperti terlihat pada Gambar 37. Struktur horizontal tegakan tersebut menunjukkan bahwa pohon berukuran kecil yang menyusun ekosistem tersebut cenderung lebih rapat dibandingkan dengan pohon berukuran besar.
Gambar 37 Grafik hubungan kerapatan dengan tingkat pertumbuhan pada hutan alam
100
Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada plot pengamatan seluas 3 ha di Hutan Alam pada kawasan hutan TNGGP ditemukan 78 jenis asli yang tergolong ke dalam 37 famili. Daftar jenis tumbuhan yang ditemukan di kawasan TNGGP disajikan dalam Lampiran 8.
Sedangkan hasil analisis vegetasi pada tipe
vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP secara detail dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini. 4.2.4.1. Vegetasi Tingkat Pohon di Hutan Alam TNGGP
Hasil perhitungan kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan indeks nilai penting tertinggi vegetasi tingkat pohon pada tipe vegetasi hutan alam di kawasan TNGGP disajikan pada Tabel 9, sedangkan perhitungan analisis vegetasi secara lengkap disajikan pada Lampiran 9. Tabel 9 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP No.
Nama Latin
Nama Lokal
1
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
2
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
19,2555
11,1486
35,9049
66,3090
8,7291
7,9392
5,2493
21,9176
3
Glochidion rubrum Bl.
Ki pare
6,9320
6,5878
4,2930
17,8128
4
Manglietia glauca Bl
Manglid
6,2901
5,5743
5,3992
17,2636
5
Castanopsis argentea (Bl.) DC.
Saninten
3,0809
3,5473
7,9591
14,5873
Keterangan: KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting
Jumlah individu atau pohon dari 78 jenis tumbuhan yang ditemukan pada tipe vegetasi Hutan Alam adalah 260 individu/ha dengan nilai kerapatan tertinggi ditemukan pada jenis Schima wallichii (DC.) Korth sebesar 50 individu/ha atau 19,2555% dari jumlah individu yang menyusun tegakan tersebut. Nilai kerapatan suatu jenis tumbuhan menunjukkan jumlah individu jenis tumbuhan bersangkutan pada satuan luas tertentu, maka nilai kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah jenis tumbuhan tersebut pada suatu ekosistem/tipe vegetasi hutan. Namun demikian, nilai kerapatan belum dapat memberikan gambaran distribusi dan pola penyebaran tumbuhan yang bersangkutan pada lokasi penelitian. Gambaran mengenai distribusi individu pada suatu jenis tumbuhan tertentu dapat dilihat pada nilai frekuensinya. Nilai frekuensi tertinggi pada Hutan Alam ditemukan pada jenis Schima wallichii (DC.) Korth, yaitu sebesar 0,88 atau 11,1486%. Nilai frekuensi tersebut menunjukkan kehadiran jenis pohon tersebut pada 66 plot dari 75 plot yang terdapat di lokasi penelitian. Secara umum, jenis
101
tumbuhan yang memiliki nilai kerapatan tinggi juga memiliki nilai frekuensi yang tinggi, sehingga jenis tumbuhan tersebut selain jumlahnya banyak juga tersebar pada lokasi tersebut. Jenis tumbuhan yang memiliki jumlah banyak dan tersebar pada lokasi penelitian akan memiliki nilai kerapatan dan frekuensi tertinggi. Jenis tumbuhan yang termasuk ke dalam jenis ini biasanya memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungannya. Distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi oleh kondisi lingkungannya. Beberapa jenis tumbuhan di hutan tropika teradaptasi dengan kondisi di bawah kanopi, pertengahan, dan di atas kanopi yang intensitas cahayanya berbeda-beda (Balakrishnan et al., 1994). Keberhasilan setiap jenis tumbuhan untuk mengokupasi suatu area dipengaruhi oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor lingkungan fisik (temperatur, cahaya, struktur tanah, kelembaban), faktor biotik (interaksi antar jenis, kompetisi, parasitisme), dan faktor kimia yang meliputi ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi dalam tanah yang saling berinteraksi (Krebs, 1994). Nilai dominansi masing-masing jenis tumbuhan juga bervariasi pada masing-masing tipe vegetasi hutan. Hutan Alam di kawasan TNGGP memiliki nilai dominansi jenis tumbuhan sebesar 22,0735 m2/ha. Nilai dominansi masingmasing jenis tumbuhan tersebut dihitung berdasarkan besarnya diameter batang setinggi dada, sehingga besarnya nilai dominansi juga dipengaruhi oleh kerapatan jenis dan ukuran rata-rata diameter batang masing-masing pohon pada jenis yang sama. Jenis pohon tertentu memiliki nilai dominansi tertinggi karena rata-rata ukuran diameter batang masing-masing pohon tersebut lebih tinggi dari jenis pohon lainnya serta jumlahnya banyak. Indeks nilai penting (INP) merupakan hasil penjumlahan nilai relatif ketiga parameter (kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif) yang telah diukur sebelumnya, sehingga nilainya juga bervariasi pada setiap jenis tumbuhan. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 11) dapat diketahui bahwa nilai INP tertinggi tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Alam dimiliki oleh jenis Schima wallichii (DC.) Korth. (66,3090%), Macropanax dispermum (Bl.) (21,9176%), Glochidion rubrum Bl. (17,8128%), Manglietia glauca Bl (17,2636%), dan Castanopsis argentea (Bl.) DC (14,5873%).
Menurut Sundarapandian dan Swamy (2000), indeks nilai penting merupakan salah satu parameter yang dapat memberikan gambaran tentang peranan jenis yang bersangkutan dalam komunitasnya atau pada lokasi
102
penelitian. Jenis Schima wallichii (DC.) Korth. (puspa) secara umum merupakan jenis yang mendominasi pada ekosistem Hutan Alam karena memiliki nilai INP tertinggi. Kehadiran suatu jenis pohon pada daerah tertentu menunjukkan kemampuan pohon tersebut untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat, sehingga jenis yang mendominasi suatu areal dapat dinyatakan sebagai jenis yang memiliki kemampuan adaptasi dan toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan. Laporan penelitian terdahulu mengemukakan kondisi pohon pada lokasi Kebun Raya Cibodas dengan ketinggian 1.450-1.500 m dpl bervariasi dengan kerapatan tinggi. Hasil penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa pohonpohon yang dominan di lokasi tersebut adalah Altingia excelsa yang merupakan jenis emergen dengan tinggi mencapai 62-81 m, Castanopsis javanica dengan tinggi mencapai 58 m, Schima wallichii dengan tinggi mencapai 45 m, Villebrunea rubescens, dan beberapa jenis yang tergolong dalam famili Fagaceae pada
strata yang lebih rendah di bawahnya (Jacobs, 1981). Yamada yang melakukan penelitian pada tahun 1975 di lokasi Cibodas juga mencatat bahwa jenis Schima wallichii dan Castanopsis javanica merupakan jenis yang mendominasi pada
lokasi tersebut dan ditemukan pada lapisan tajuk pertama dengan tinggi > 26 m. Sedangkan Meijer (1959) dan Seifriz (1923) mencatat bahwa Altingia excelsa adalah jenis yang mendominasi hutan di daerah Cibodas pada ketinggian 1.4001.660 m dpl. INP seluruh jenis selanjutnya menjadi dasar untuk menghitung indeks keanekaragaman (H’) Shannon, sedangkan nilai kemerataan jenis dalam komunitas tersebut ditentukan berdasarkan nilai indeks keanekaragaman jenisnya. Nilai-nilai parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10 Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Alam di TNGGP Tingkat pertumbuhan
Pohon
Jumlah Jenis (∑) 54
Indeks Indeks Keanekaragaman Kemerataan Jenis (H’) Jenis (J’) 3,2917
0,8252
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 6) dapat diketahui bahwa pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP memiliki jumlah jenis tumbuhan tingkat pohon sebanyak 54 jenis, nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) sebesar
103
3,2917, dan nilai indeks kemerataan jenis (J’) sebesar 0,8252.
Jika
menggunakan kriteria Barbour et al. (1987) maka indeks keanekaragaman jenis sebesar 3,2917 tersebut termasuk dalam kategori tinggi. Nilai indeks diversitas tersebut menggambarkan keanekaragaman jenis pohon yang berada pada tipe vegetasi Hutan Alam TNGGP. Nilai kemerataan suatu jenis ditentukan oleh distribusi setiap jenis pada masing-masing plot secara merata. Semakin merata suatu jenis dalam suatu ekosistem/tipe vegetasi hutan, maka semakin tinggi nilai kemerataannya. Demikian juga sebaliknya, semakin tidak merata suatu jenis dalam suatu ekosistem/tipe vegetasi hutan, maka semakin rendah nilai kemerataannya. 4.2.4.2. Vegetasi Tingkat Permudaan di Hutan Alam TNGGP
Ketersediaan tingkat permudaan yang mencukupi merupakan salah satu prasyarat keberlangsungan regenerasi alami suatu ekosistem.
Hasil analisis
vegetasi permudaan (semai, pancang, dan tiang) pada tipe vegetasi Hutan Alam disajikan pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat semai, pancang, dan tiang pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP No.
Nama Latin
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
0
32,4123
Tingkat Semai: 1
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
18,4397
13,9726
2
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Jirak
14,7754
9,5890
0
24,3645
3
Plectronia didyma Kurz
Ki kopi
6,9740
5,7534
0
12,7274
4
Acronychia laurifolia Bl.
Ki jeruk
4,6099
5,2055
0
9,8154
5
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
3,9007
4,3836
0
8,2843
15,6627
9,2199
5,7961
30,6786
Tingkat Pancang: 1
Plectronia didyma Kurz
Ki kopi
2
Antidesma tetandrum Bl.
Ki seueur
7,6923
5,1418
9,8935
22,7277
3
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
5,2827
5,8511
9,2742
20,4079
4
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Jirak
8,9898
5,6738
4,5313
19,1948
5
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
3,8925
3,9007
8,9731
16,7663
Tingkat Tiang: 1
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
15,6627
13,4884
15,4910
44,6420
2
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
10,0402
8,8372
9,3142
28,1916
3
Polyosma integrifolia Bl.
Ki Jebug
7,2289
6,5116
6,5227
20,2633
4
Antidesma tetandrum Bl.
Ki seueur
6,0241
6,0465
5,4837
17,5544
5
Manglietia glauca Bl
Manglid
5,6225
5,5814
5,6645
16,8684
Keterangan: KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting
104
Nilai kerapatan tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Alam adalah sebesar 28.200 individu/ha.
Adapun nilai kerapatan tertinggi suatu jenis
tumbuhan tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Alam dimiliki oleh Schima wallichii (DC.) Korth. sebesar 5.200 individu/ha.
Perbedaan nilai kerapatan
masing-masing jenis disebabkan karena adanya perbedaan ketersediaan pohon sumber benih, kemampuan reproduksi, penyebaran, dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Secara umum, jenis-jenis tumbuhan yang jumlahnya banyak juga tersebar pada masing-masing tipe vegetasi hutan, hal ini ditunjukkan dengan nilai frekuensi yang berkorelasi dengan nilai kerapatan. Pada masing-masing tipe vegetasi hutan dijumpai jenis tumbuhan dengan kerapatan tertinggi juga mempunyai nilai frekuensi yang tertinggi. Distribusi jenis tumbuhan pada suatu ekosistem tersebut dibatasi oleh kondisi lingkungan, sehingga keberhasilan setiap jenis tumbuhan untuk mengokupasi suatu area menggambarkan kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor biotik dan abiotik pada ekosistem tersebut. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 11) dapat diketahui bahwa INP tertinggi vegetasi tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP dimiliki oleh jenis Schima wallichii (DC.) Korth. (32,4123%), Symplocos cochinchinensis
(Lour.)
S.
Moore
(24,3645%),
Plectronia
didyma
Kurz
(12,7274%), Acronychia laurifolia Bl. (9,8154%), dan Beilschrriedia wightii Benth. (8,2843%). Indeks nilai penting pada tingkat semai merupakan hasil penjumlahan nilai relatif dua parameter (kerapatan relatif dan frekuensi relatif) yang telah diukur sebelumnya, sehingga nilainya sangat tergantung pada kedua parameter tersebut. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa secara umum jenis yang mempunyai kerapatan tertinggi juga mempunyai nilai frekuensi tertinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis tersebutlah yang mempunyai INP tertinggi, yaitu Schima wallichii (DC.) Korth. pada tipe vegetasi Hutan Alam. Besarnya INP jenis tersebut menunjukkan tingkat peranan jenis yang bersangkutan pada ekosistem tersebut. Keberlanjutan pertumbuhan vegetasi dari tingkat semai ke tingkat pertumbuhan berikutnya yaitu pancang, tiang, dan selanjutnya hingga tumbuh menjadi pohon besar sangat dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi jenis tumbuhan tersebut.
Secara umum, jenis-jenis tumbuhan pada tingkat semai
105
yang mempunyai INP tertinggi akan tumbuh menjadi tumbuhan pada tingkat pancang.
Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan dijumpainya jenis-jenis
tumbuhan tersebut pada tingkat pancang meskipun terjadi perbedaan tingkat INP pada tingkat semai dan tingkat pancang. Jenis-jenis tumbuhan yang mempunyai INP tertinggi pada tingkat semai belum tentu mempunyai INP tertinggi pada tingkat pancang. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 11) juga dapat diketahui bahwa INP tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Alam terdiri atas jenis Plectronia didyma Kurz (30,6786%), Antidesma tetandrum Bl. (22,7277%), Schima wallichii (DC.) Korth. (20,4079%), Symplocos cochinchinensis (Lour.) S.
Moore (19,1948%), dan Macropanax dispermum (Bl.) (16,7663%). Jenis tumbuhan yang mempunyai INP tinggi tidak selamanya mempunyai tingkat dominansi yang tinggi. Tingkat dominansi menggambarkan tingkat penutupan areal oleh jenis-jenis tumbuhan tersebut, nilai dominansi diperoleh dari fungsi kerapatan jenis dan diameter batang. Pada suatu jenis tumbuhan yang mempunyai kerapatan tinggi tetapi mempunyai tingkat dominansi yang rendah menunjukkan bahwa rata-rata diameter jenis tersebut kecil tetapi jumlahnya banyak. Sedangkan pada jenis tumbuhan tertentu seperti Antidesma tetandrum Bl. dijumpai mempunyai kerapatan lebih rendah tetapi mempunyai
tingkat dominansi yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis-jenis tumbuhan tersebut mempunyai rata-rata diameter yang lebih besar tetapi jumlahnya lebih sedikit pada lokasi tersebut. Tingkat pertumbuhan berikutnya setelah tingkat pancang adalah tingkat tiang. Beberapa peneliti juga sudah mengklasifikasikan tingkat ini sebagai pohon tetapi berupa pohon kecil. Kemampuan jenis tumbuhan tertentu hingga dapat tumbuh mencapai tingkat tiang menggambarkan semakin tingginya daya adaptabiliti jenis tumbuhan tersebut pada suatu tipe vegetasi hutan. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 11) juga dapat diketahui bahwa INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP terdiri atas jenis Schima wallichii (DC.) Korth. (44,6420%), Macropanax dispermum (Bl.) (28,1916%), Polyosma integrifolia Bl. (20,2633%), Antidesma tetandrum Bl. (17,5544%), dan Manglietia glauca Bl (16,8684%). Jenis Schima wallichii (DC.) Korth. secara konsisten mempunyai INP tertinggi pada tingkat
pertumbuhan semai, pancang, tiang, dan pohon pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP.
106
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 12) dapat diketahui mengenai gambaran keanekaragaman jenis tumbuhan dan kemerataan jenis tumbuhan untuk tingkat permudaan pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP. Keanekaragaman jenis tumbuhan pada tipe vegetasi Hutan Alam memiliki nilai sebesar 3,3084 pada tingkat semai, 3,5350 pada tingkat pancang, dan 3,2984 pada tingkat tiang.
Adapun kemerataan jenis tumbuhan pada tipe vegetasi
Hutan Alam memiliki nilai sebesar 0,8294 pada tingkat semai, 0,8321 pada tingkat pancang, dan 0,8665 pada tingkat tiang. Tabel 12 Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat permudaan pada tipe vegetasi Hutan Alam TNGGP Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang
Jumlah Jenis (∑) 54 70 45
Parameter Keanekaragaman Jenis (H’) 3,3084 3,5350 3,2984
Kemerataan Jenis (J’) 0,8294 0,8321 0,8665
4.2.5. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih di TNGGP
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa secara umum bentuk grafik struktur horisontal tegakan hutan pada ekosistem hutan yang mengalami kerusakan ataupun hutan tanaman eks hutan produksi Perum Perhutani (Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus) berada di bawah grafik struktur horisontal tegakan Hutan Alam yang menjadi ekosistem acuan (Gambar 38). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kerapatan vegetasi pada ekosistem hutan yang rusak ataupun hutan tanaman eks hutan produksi Perum Perhutani telah mengalami penurunan sehingga diperlukan tindakan pengayaan dengan teknik silvikultur yang tepat untuk meningkatan kerapatan mendekati ekosistem hutan alam yang belum mengalami kerusakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum ekosistem hutan yang mengalami kerusakan ataupun hutan tanaman eks hutan produksi Perum Perhutani di kawasan hutan TNGGP mengalami penurunan jumlah jenis dan sangat memungkinkan mengalami perubahan komposisi jenis yang secara jelas dapat dilihat pada ekosistem Hutan Pinus. Ekosistem Hutan Pinus di kawasan hutan TNGGP pada tingkat pohon hanya terdapat satu jenis pohon, yaitu pinus (Pinus merkusii). Ekosistem Hutan Rasamala Campuran memiliki jumlah jenis tertinggi diantara ekosistem hutan lain yang mengalami kerusakan ataupun hutan
107
tanaman lainnya. Namun demikian, upaya pengayaan jenis dengan penanaman jenis-jenis yang hilang mutlak untuk dilakukan.
Gambar 38 Grafik hubungan kerapatan dengan tingkat pertumbuhan pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada ekosistem hutan yang telah mengalami gangguan ataupun hutan tanaman, yaitu 3 ha di Hutan Rasamala Campuran, 2,4 ha di Hutan Puspa Campuran, 2,8 ha di Hutan Damar, dan 2 ha di Hutan Pinus pada kawasan hutan TNGGP masing-masing ditemukan 63 jenis yang tergolong ke dalam 34 famili pada Hutan Rasamala Campuran, 47 jenis yang tergolong ke dalam 25 famili pada Hutan Puspa Campuran, 56 jenis yang tergolong ke dalam 26 famili pada Hutan Damar, serta 26 jenis yang tergolong ke dalam 18 famili pada Hutan Pinus. Hutan Pinus merupakan ekosistem yang memiliki jumlah jenis paling rendah terutama pada tingkat pohon, hal ini dikarenakan kawasan hutan tersebut sebelumnya merupakan hutan produksi eks Perum Perhutani berupa hutan tanaman monokultur jenis pinus (Pinus merkusii), sehingga tindakan pemeliharaan dilakukan secara intensif.
Selain itu,
terdapatnya pengaruh allelopati (pengaruh yang bersifat meracun) yang dihasilkan oleh serasah pinus dapat berdampak pada terhambatnya regenerasi yang dihasilkan. Terdapatnya jenis lain selain pinus pada tingkat permudaan dimungkinkan terjadi setelah alih fungsi hutan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi.
Setelah
beralih
menjadi
hutan
konservasi,
maka
kegiatan
108
pemeliharaan di Hutan Pinus tidak dilakukan lagi, sehingga berdampak pada tumbuhnya jenis-jenis lain yang dapat beradaptasi dengan kondisi tegakan pinus. Secara lebih detail, hasil analisis vegetasi pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan TNGGP dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini. 4.2.5.1. Vegetasi Tingkat Pohon di Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP
Hasil perhitungan kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan indeks nilai penting tertinggi vegetasi tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan hutan TNGGP disajikan pada Tabel 13, sedangkan perhitungan analisis vegetasi secara lengkap disajikan pada Lampiran 10 – Lampiran 13. Tabel 13 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus No.
Nama Latin
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
77,2300
43,6047
89,5170
210,3517
5,6338
13,9535
2,9519
22,5392
Hutan Rasamala Campuran: 1
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
2
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
3
Maesopsis eminii Engl.
Kayu afrika
2,5822
6,3953
1,0164
9,9939
4
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
2,3474
5,8140
0,7777
8,9391
5
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
2,1127
5,2326
1,4120
8,7572
Hutan Puspa Campuran: 1
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
25,0943
21,6102
24,1402
70,8447
2
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
24,7170
20,7627
23,9375
69,4172
3
Manglietia glauca Bl
Manglid
24,7170
10,5932
4,8715
40,1817
4
Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC.
Tunggeureuk
2,8302
3,8136
23,4838
30,1276
5
Castanopsis argentea (Bl.) DC.
Saninten
4,5283
7,2034
6,0310
17,7627
Hutan Damar: 1
Agathis dammara
Damar
93,6306
69,3069
99,1803
262,1178
2
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
0,6369
13,8614
0,4783
14,9767
3
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
1,2739
3,9604
0,1073
5,3416
4
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
0,9554
2,9703
0,0383
3,9640
5
Artocarpus elasticus (Bl.) DC
Teureup
0,6369
1,9802
0,0387
2,6559
100
100
100
300
Hutan Pinus: 1
Pinus merkusii
Pinus
Keterangan: KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting
109
Jenis Schima wallichii (DC.) Korth tercatat memiliki kerapatan tertinggi pada Hutan Puspa Campuran, yaitu sebesar 25,0943 % dari 221 individu/ha yang menyusun tegakan Hutan Puspa Campuran. Pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus ditemukan lebih dari 75% individu yang menyusun tegakan tersebut adalah satu jenis tumbuhan tertentu. Altingia excelsa Noronha menyusun 77,2300% individu yang ada pada tipe
vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Agathis dammara menyusun 93,6306% individu yang ada pada tipe vegetasi Hutan Damar, bahkan pada tipe vegetasi Hutan Pinus 100% individu pohon penyusun tegakan tersebut adalah jenis Pinus merkusii. Hal ini bersesuaian dengan fungsi kawasan hutan sebelumnya sebagai
kawasan hutan produksi yang dikelola sebagai hutan tanaman dimana pohonpohon tersebut merupakan tanaman pokok pada masing-masing tipe vegetasi hutan. Hutan Damar memiliki luas bidang dasar tertutupi oleh tegakan pohon paling tinggi diantara tipe vegetasi hutan lainnya, yaitu 100,2814 m2/ha. Sedangkan nilai dominansi jenis tumbuhan pada tipe vegetasi hutan lainnya adalah sebagai berikut: Hutan Rasamala Campuran memiliki nilai dominansi jenis tumbuhan sebesar 21,2743 m2/ha, Hutan Puspa Campuran memiliki nilai dominansi jenis tumbuhan sebesar 12,5991 m2/ha, dan Hutan Pinus memiliki nilai dominansi jenis tumbuhan sebesar 33,8115 m2/ha. Pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pohon diperoleh dari jenis Altingia excelsa Noronha (210,3517%), Schima wallichii
(DC.)
Korth.
(22,5392%),
Maesopsis
eminii
Engl.
(9,9939%),
Beilschrriedia wightii Benth. (8,9391%), dan Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
(8,7572%).
Pada tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran nilai INP tertinggi
vegetasi tingkat pohon diperoleh dari jenis Schima wallichii (DC.) Korth. (70,8447%), Altingia excelsa Noronha (69,4172%), Manglietia glauca Bl (40,1817%), Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC. (30,1276%), dan Castanopsis argentea (Bl.) DC. (17,7627%).
Pada tipe vegetasi Hutan Damar nilai INP
tertinggi vegetasi tingkat pohon diperoleh dari jenis Agathis dammara (262,1178%), Schima wallichii (DC.) Korth. (14,9767%), Altingia excelsa Noronha (5,3416%), Beilschrriedia wightii Benth. (3,9640%), Artocarpus elasticus (Bl.) DC (2,6559%). Pada tipe vegetasi Hutan Pinus nilai INP tertinggi diperoleh dari jenis Pinus merkusii, yaitu sebesar 300%.
110
Secara umum, pada tipe vegetasi hutan yang telah mengalami gangguan ataupun hutan tanaman terjadi penurunan keanekaragaman jenis tumbuhan. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP (Tabel 14). Tabel 14 Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat pohon pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP Tipe Hutan Hutan Rasamala Campuran Hutan Puspa Campuran Hutan Damar Hutan Pinus
Jumlah Jenis (∑) 17 23 13 1
Indeks Indeks Keanekaragaman Kemerataan Jenis (H’) Jenis (J’) 1,3218 0,4665 2,3056 0,7353 0,6349 0,2475 0 -
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 14) dapat diketahui bahwa pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran dan Hutan Damar terjadi penurunan hampir 50% dari tingkat keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis dibandingkan pada Hutan Alam, bahkan mencapai 100% pada ekosistem/tipe vegetasi Hutan Pinus. 4.2.5.2. Vegetasi Tingkat Permudaan di Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP
Hasil analisis vegetasi permudaan (semai, pancang, dan tiang) secara berturut-turut disajikan pada Tabel 15, Tabel 16, dan Tabel 17. Pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus setelah alih fungsi kawasan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi yang berdampak pada perubahan teknik silvikultur yang dilakukan, mulai ditemukan permudaan jenis-jenis pioner yang pada umumnya ditemukan pada ekosistem yang mengalami gangguan seperti Macaranga sp., Vernonia arborea, Trema sp. serta jenis-jenis tumbuhan sekunder lainnya, seperti: Villebrunea rubescens, Ficus fistulosa, Ficus ribes, bahkan beberapa permudaan
komunitas hutan primer seperti Schima wallichii (DC.) Korth., Macropanax dispermum (Bl.), Glochidion rubrum Bl., Manglietia glauca Bl., dan Castanopsis argentea (Bl.) DC mulai ditemukan pada beberapa tipe ekosistem/tipe vegetasi
hutan yang mengalami gangguan ataupun hutan tanaman sehingga proses regenerasi secara alami sebenarnya mulai terjadi.
Namun demikian, upaya
untuk mempercepat proses suksesi yang terjadi secara alami mutlak diperlukan
111
terlebih pada tipe vegetasi Hutan Pinus yang hanya didominasi oleh Pinus merkusii pada tingkat pohon dimana ketersediaan pohon lain sebagai sumber
benih tidak ada. Proses regenerasi alami ini sangat tergantung dengan jarak dan ketersediaan pohon sumber benih dari ekosistem/tipe vegetasi hutan alam yang ada di dekatnya. Tabel 15 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat semai pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP No.
Nama Latin
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
INP (%)
Hutan Rasamala Campuran: 1
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
9,2511
9,2920
18,5431
2
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
7,4890
7,5221
15,0111
3
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
6,1674
6,1947
12,3621
4
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
4,8458
4,8673
9,7131
5
Polyosma integrifolia Bl.
Ki jebug
4,4053
4,4248
8,8301
21,25
42,3680
Hutan Puspa Campuran: 1
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
21,1180
2
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
9,9379
10
19,9379
3
Ficus lepicarpa Bl.
Bisoro
9,3168
9,375
18,6918
4
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Jirak
6,8323
6,875
13,7073
5
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
4,9689
5
9,9689
Huru Kondang beunying
15,6522
12,6316
28,2838
10,2174
11,0526
21,2700
Hutan Damar: 1
Beilschrriedia wightii Benth.
2
Ficus fistulosa Reiwn.
3
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
4
Litsea monopetala Pers.
Huru manuk
5
Camelia sinensis (L.) O.K.
Ki enteh
7,3913
10,0000
17,3913
13,0435
4,2105
17,2540
4,5652
7,3684
11,9336
Walen
28,7879
28,7879
57,5758
15,1515
Hutan Pinus: 1
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
2
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
15,1515
30,3030
3
Schima wallichii (DC.) Korth.
7,5758
7,5758
15,1515
4
Ficus fistulosa Reiwn. Glycyrrhiza glabra L. var. glandulifera (Waldst. & kit) Regel & Herder
Puspa Kondang beunying
6,0606
6,0606
12,1212
Ki amis
6,0606
6,0606
12,1212
5
Keterangan: KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting
Nilai kerapatan tingkat semai pada berbagai tipe vegetasi hutan tersebut adalah sebagai berikut: 7.567 individu/ha pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, 6.708 individu/ha pada tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran, 16.429 individu/ha pada tipe vegetasi Hutan Damar, dan 3.300 individu/ha pada tipe vegetasi Hutan Pinus. Nilai kerapatan merupakan gambaran jumlah jenis pada
112
masing-masing tipe tipe vegetasi hutan. Tipe vegetasi Hutan Pinus mempunyai jumlah individu suatu jenis yang paling sedikit, sedangkan tipe vegetasi hutan lainnya mempunyai jumlah individu suatu jenis > 5000 individu/ha. Hal yang menarik dapat dilihat pada tipe vegetasi Hutan Pinus dan Hutan Damar dimana tidak dijumpai permudaan tingkat semai tumbuhan pokok pada masing-masing tipe hutan tersebut, tetapi mulai dijumpai jenis-jenis permudaan yang terdapat pada Hutan Alam. Nilai kerapatan tertinggi suatu jenis tumbuhan pada masing-masing tipe vegetasi hutan adalah sebagai berikut: Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. (700 individu/ha) pada tipe vegetasi Hutan
Rasamala Campuran, Schima wallichii (DC.) Korth. (1.417 individu/ha) pada tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran, Beilschrriedia wightii Benth. (2.571 individu/ha) pada tipe vegetasi Hutan Damar, dan Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (950 individu/ha) pada tipe vegetasi Hutan Pinus. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 15) dapat diketahui INP tertinggi vegetasi tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran dimiliki oleh jenis Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. (18,5431%), Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (15,0111%), Beilschrriedia wightii Benth.
(12,3621%), Macropanax dispermum (Bl.) (9,7131%), dan Polyosma integrifolia Bl. (8,8301%). INP tertinggi vegetasi tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran dimiliki oleh jenis Schima wallichii (DC.) Korth. (42,3680%), Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (19,9379%), Ficus lepicarpa Bl.
(18,6918%), Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore (13,7073%), dan Macropanax dispermum (Bl.) (9,9689%). INP tertinggi vegetasi tingkat semai
pada tipe vegetasi Hutan Damar dimiliki oleh jenis Beilschrriedia wightii Benth. (28,2838%), Ficus fistulosa Reiwn. (21,2700%), Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. (17,3913%), Litsea monopetala Pers. (17,2540%), dan Camelia sinensis (L.) O.K. (11,9336%). INP tertinggi vegetasi tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Pinus berasal jenis Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (57,5758%), Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (30,3030%), Schima wallichii (DC.) Korth. (15,1515%), Ficus fistulosa Reiwn. (12,1212%), Glycyrrhiza glabra L. var. glandulifera (Waldst. & kit) Regel & Herder (12,1212%). Hasil perhitungan kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan indeks nilai penting tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan hutan TNGGP disajikan pada Tabel 16 berikut ini.
113
Tabel 16 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP No.
Nama Latin
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%) 29,3772
Hutan Rasamala Campuran: 1
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
8,6826
8,5938
12,1008
2
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
9,5808
6,2500
3,9720
19,8028
3
Cryptocarya tomentosa
Huru tangkil
6,8862
6,6406
5,5476
19,0744
4
Turpinia obtusa
Ki bangkong
3,5928
4,6875
9,0854
17,3657
5
Pygeum latifolium Miq Bl.
Salam banen
6,5868
5,0781
3,7069
15,3719
Hutan Puspa Campuran: 1
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
12,6984
7,6336
14,9162
35,2482
2
Glochidion rubrum Bl.
Ki pare
8,7302
8,3969
4,7234
21,8506
3
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
3,9683
6,1069
10,4101
20,4852
4
Manglietia glauca Bl
Manglid
3,9683
3,8168
10,7245
18,5095
5
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
4,7619
5,3435
6,8759
16,9813
Hutan Damar: 1
Camelia sinensis (L.) O.K.
Ki enteh
15,6934
11,8750
14,0219
41,5904
2
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
13,8686
11,2500
7,8842
33,0028
3
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
5,1095
6,2500
15,8627
27,2222
4
Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
Kopo
11,6788
7,5000
6,9077
26,0865
5
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
3,6496
4,3750
5,8706
13,8952
Hutan Pinus: 1
Cinnamomum parthenoxylon Meissn.
Ki sereh
20,625
18,6047
26,0063
65,2360
2
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
9,375
10,4651
14,2141
34,0542
3
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
13,75
6,9767
10,8587
31,5854
4
Ficus fistulosa Reiwn.
Walen Kondang beunying
5
Macaranga semiglobosa J.J.S
Mara
7,5
13,9535
4,6084
26,0618
10
10,4651
3,1558
23,6209
Keterangan: KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 16) dapat diketahui bahwa INP tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran terdiri atas jenis Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (29,3772%), Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. (19,8028%), Cryptocarya tomentosa (19,0744%), Turpinia obtusa (17,3657%), dan Pygeum latifolium Miq Bl (15,3719%).
INP
tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran terdiri atas jenis Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (35,2482%), Glochidion rubrum Bl. (21,8506%), Schima wallichii (DC.) Korth. (20,4852%), Manglietia glauca Bl (18,5095%), dan Macropanax dispermum (Bl.) (16,9813%).
INP tertinggi
vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Damar terdiri atas jenis Camelia sinensis (L.) O.K. (41,5904%), Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg.
114
(Bl.) M.A. (33,0028%), Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (27,2222%), Eugenia densiflora (Bl.) Duthie (26,0865%), dan Schima wallichii (DC.) Korth.
(13,8952%). INP tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Pinus terdiri atas jenis Cinnamomum parthenoxylon Meissn. (65,2360%), Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (34,0542%), Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex
Blume (31,5854%), Ficus fistulosa Reiwn. (26,0618%), dan Macaranga semiglobosa J.J.S (23,6209%).
Hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan TNGGP dapat dilihat pada Tabel 17 berikut ini. Tabel 17 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat tiang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus No.
Nama Latin
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
Hutan Rasamala Campuran: 1
Turpinia obtusa
Ki bangkong
8,0645
8,3333
8,5549
24,9527
2
Evodia latifola DC
8,0645
8,3333
7,3969
23,7947
3
Dysoxylum excelsum Bl.
Ki sampang Pingku tanglar
8,0645
8,3333
5,7687
22,1665
4
Abarema clypearia (Jack) Kosterm.
Haruman
6,4516
6,6667
8,0713
21,1896
5
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
6,4516
5,0000
8,0641
19,5157
21,9780
14,1593
19,9102
56,0476
1,9442
13,2743
17,5712
32,7897
Hutan Puspa Campuran: 1
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
2
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
3
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
4
Manglietia glauca Bl
Manglid
5
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
9,2984
9,7345
8,1401
27,1730
10,1437
8,8496
7,7575
26,7507
6,7625
5,3097
5,9938
18,0660 42,1792
Hutan Damar: 1
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
13,3333
13,3333
15,5125
2
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
13,3333
13,3333
15,0099
41,6765
3
Evodia latifola DC
Ki sampang
6,6667
6,6667
7,4568
20,7902
4
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
6,6667
6,6667
7,3532
20,6866
5
Laportea stimulans (L.f.) Miq.
Pulus
6,6667
6,6667
5,3453
18,6787
Hutan Pinus: 1
Cinnamomum parthenoxylon Meissn.
Ki sereh
75
75
78,9141
228,9141
2
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
25
25
21,0859
71,0859
Keterangan: KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 17) dapat diketahui bahwa INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran terdiri atas jenis Turpinia obtusa (24,9527%), Evodia latifola DC (23,7947%), Dysoxylum
115
excelsum Bl. (22,1665%), Abarema clypearia (Jack) Kosterm. (21,1896%), Altingia excelsa Noronha (19,5157%). INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada
tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran terdiri atas jenis Altingia excelsa Noronha (56,0476%), Schima wallichii (DC.) Korth. (32,7897%), Ficus alba Burm.f. (27,1730%), Manglietia glauca Bl (26,7507%), dan Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (18,0660%).
INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada tipe
vegetasi Hutan Damar terdiri atas jenis Altingia excelsa Noronha (42,1792%), Schima wallichii (DC.) Korth. (41,6765%), Evodia latifola DC (20,7902%), Ficus alba Burm.f. (20,6866%), dan Laportea stimulans (L.f.) Miq. (18,6787%). INP
tertinggi vegetasi tingkat tiang pada tipe vegetasi Hutan Pinus terdiri atas jenis Cinnamomum parthenoxylon Meissn. (228,9141%) dan Ficus ribes Reinw. Ex. Bl.
Reinw. Ex Blume (71,0859%). Jenis Schima wallichii (DC.) Korth. secara konsisten mempunyai INP tertinggi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang, dan pohon pada tipe vegetasi Hutan Puspa Campuran.
Pada tipe vegetasi Hutan Pinus dijumpai
bahwa Pinus merkusii tidak ditemukan pada tingkat semai, pancang, dan tiang. Pinus merkusii hanya ditemukan pada tingkat pohon. Hal tersebut menunjukkan
kemungkinan akan terjadinya perubahan komposisi jenis tumbuhan penyusun tipe vegetasi hutan tersebut. Jenis tumbuhan Cinnamomum parthenoxylon Meissn. dan Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume merupakan jenis tumbuhan yang berpotensi menggantikan dominansi Pinus merkusii pada tingkat pohon karena jenis-jenis tumbuhan tersebut mempunyai permudaan yang mencukupi dan secara konsisten mempunyai INP tinggi pada tingkat semai dan tingkat pancang. Bahkan pada tingkat tiang 100% individu penyusun tipe vegetasi Hutan Pinus adalah kedua jenis tumbuhan tersebut meskipun dengan kerapatan rendah, yaitu hanya 8 individu/ha. Hal yang berbeda terjadi pada tipe vegetasi Hutan Damar, proses regenerasi tumbuhan pokok penyusun tipe vegetasi hutan tersebut, yaitu Agathis dammara, akan tetap berlangsung karena masih tersedianya permudaan pada
tingkat pancang dan tingkat tiang meskipun dengan tingkat kerapatan yang rendah, yaitu sebesar 11 individu/ha pada tingkat pancang dan hanya 3 individu/ha pada tingkat tiang.
Jenis Altingia excelsa Noronha dan Schima
wallichii (DC.) Korth. merupakan jenis tumbuhan yang berpotensi menggantikan
dominansi Agathis dammara, dimana jenis-jenis tumbuhan tersebut merupakan
116
jenis yang mendominasi pada tingkat tiang, yaitu dengan jumlah individu paling banyak, tersebar, dan luas bidang dasar yang paling besar. Pada tingkat pohon kedua jenis tumbuhan tersebut juga menduduki peringkat kedua dan ketiga jenis tumbuhan yang mempunyai INP tertinggi setelah Agathis dammara. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 18) dapat diketahui mengenai gambaran keanekaragaman jenis tumbuhan dan kemerataan jenis tumbuhan untuk tingkat permudaan pada masing-masing tipe vegetasi hutan di kawasan hutan TNGGP. Secara umum, keanekaragaman jenis tumbuhan untuk tingkat permudaan pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, dan Hutan Damar mendekati keanekaragaman jenis tumbuhan pada Hutan Alam. Hutan Pinus merupakan tipe vegetasi hutan yang memiliki nilai keanekaragaman jenis tumbuhan untuk tingkat permudaan yang paling rendah diantara tipe vegetasi hutan lainnya, yaitu sebesar 2,4063 pada tingkat semai, 2,6087 pada tingkat pancang, dan hanya 0,5475 pada tingkat tiang. Berdasarkan hasil penelitian juga dapat diketahui mengenai gambaran kemerataan jenis atau distribusi jenis pada masing-masing tipe vegetasi hutan untuk tingkat permudaan. Nilai kemerataan jenis tumbuhan pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, dan Hutan Damar mendekati nilai kemerataan jenis tumbuhan pada tipe vegetasi Hutan Alam dan bahkan cenderung lebih tinggi. Tabel 18 Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat permudaan pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus Tipe Hutan Hutan Rasamala Campuran Hutan Puspa Campuran Hutan Damar Hutan Pinus
Semai ∑ H’ J’ 48 3,5221 0,9098
Tingkat Pertumbuhan Pancang ∑ H’ J’ 54 3,5226 0,8831
Tiang ∑ H’ J’ 25 3,0831 0,9578
30 2,9401 0,8644
32 3,2104 0,9263
23 2,7692 0,8832
40 3,1361 0,8502 17 2,4063 0,8493
45 3,2377 0,8505 23 2,6087 0,8320
20 2,8279 0,9440 2 0,5475 0,7899
Keterangan: ∑ = Jumlah jenis, H’ = Keanekaragaman Jenis, J’ = Kemerataan Jenis
Hasil
penelitian
juga
menunjukkan
bahwa
vegetasi
pada
tingkat
pertumbuhan pancang mempunyai tingkat keanekaragaman jenis paling tinggi diantara tingkat pertumbuhan lainnya pada tingkat permudaan bahkan tingkat pohon. Nilai keanekaragaman jenis tumbuhan juga ditemukan semakin menurun pada tingkat pertumbuhan pancang hingga pohon. Hal tersebut menunjukkan
117
bahwa semakin berkurangnya jenis-jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi dan memenangkan kompetisi untuk dapat tumbuh hingga tingkat pertumbuhan pohon. 4.2.5.3. Komposisi Jenis Tumbuhan pada Kelima Lokasi Analisis Vegetasi di Kawasan TNGGP
Hasil penelitian (Tabel 19) menunjukkan bahwa komposisi jenis yang tercatat dari hasil analisis vegetasi pada plot pengamatan Hutan Alam, Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan TNGGP dapat dilihat pada matriks komposisi jenis berikut ini. Tabel 19. Matrik komposisi jenis hasil analisis vegetasi pada plot pengamatan Hutan Alam (HA), Hutan Rasamala Campuran (HRC), Hutan Puspa Campuran (HPC), Hutan Damar (HD), dan Hutan Pinus (HP) No.
Jenis
Tipe Vegetasi HA
HRC
HPC
HD
HP
1
Abarema clypearia (Jack) Kosterm.
S T Ph
SPT
-
SP
-
2
Acer laurinum Hassk.
S P T Ph
-
-
-
-
3
Acronychia laurifolia Bl.
S P T Ph
SP
-
SP
-
4
Agathis dammara
-
-
-
P T Ph
-
5
Alangium chinense (Lour.) Rehder.
6
Alangium villosum Wang
7
Alseodaphne elmeri
-
P
-
SPT
-
8
Altingia excelsa Noronha
S P T Ph
S P T Ph
S P T Ph
S P T Ph
P
S P T Ph
SPT
SPT
SPT
-
-
SP
-
T Ph
-
9
Antidesma tetandrum Bl.
10
Artocarpus elasticus (Bl.) DC
11
Astronia macrophylla Bl.
12
Beilschrriedia wightii Benth.
13
Brassaiopsis glomerulata (BI.) Regel
14
Bridelia glauca Bl.
15
Bruismia styracoides Boerl. & Koord.
16
Buchanania arborescens Bl.
17
Camelia sinensis (L.) O.K.
18
Canarium hirsutum Willd var. hirsutum
19
Carallia brachiata Merr.
S
-
-
-
-
P T Ph
PT
SP
-
-
P
P T Ph
-
-
-
S P T Ph
S P T Ph
S P T Ph
S P Ph
-
SP
-
-
-
-
-
P
-
-
-
Ph
-
-
T
-
S P T Ph
SP
SP
SP
SP
SPT
SP
-
S P T Ph
-
SP
SP
-
P
-
SP
-
-
SP
-
20
Castanopsis argentea (Bl.) DC.
S P T Ph
S
T Ph
SP
-
21
Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.
S P T Ph
SP
S P T Ph
S
SP
22
Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC.
S P T Ph
-
S Ph
-
-
23
Chrysophyllum cainito L.
-
P
-
-
-
24
Cinnamomum parthenoxylon Meissn.
25
Claoxylon polot Merr.
-
-
P T Ph
P
PT
SP
-
-
-
-
26
Cryptocarya tomentosa
P
SPT
-
-
-
27
Daphniphyllum glaucescens Bl.
P
-
-
-
-
118
No.
Jenis
Tipe Vegetasi HA
HRC
HPC
HD
HP
S P Ph
SPT
SP
SP
-
28
Decaspermum fruticosum J.R.& G.
29
Dysoxylum alliaceum Bl.
S P T Ph
SP
-
-
-
30
Dysoxylum excelsum Bl.
-
SPT
SP
P
-
31
Dysoxylum parasiticum (osb.) Kosterm.
32
Elaeocarpus pierrei Kds. & Val.
33
Engelhardia spicata Lech. Ex. Bl.
34
Eounymus javanicus Bl.
35
Eugenia cuprea K.et V.
36
Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
37
Evodia latifola DC
38
Ficus alba Burm.f.
39
Ficus ampelas Burm.f.
40
Ficus fistulosa Reiwn.
41
Ficus hispida
42
Ficus lepicarpa Bl.
43
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
44
Ficus septica Burm.f.
45
Ficus variegata Bl.
46
Flacourtia rukam Zoll. & Mor
47
Ganiothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. & Thoms
48
Gironniera subaequalis Planch
49
Glochidion lucidum
50
Glochidion rubrum Bl.
51
Glycyrrhiza glabra L. var. glandulifera (Waldst. & kit) Regel & Herder
52
Gynotroches axillaris Bl.
53
Laportea stimulans (L.f.) Miq.
54
Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd.
55
Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
56
Litsea cubeba Pers.
57
Litsea javanica Bl.
58
Litsea monopetala Pers.
59
Litsea resinosa Bl.
P
-
-
-
-
P T Ph
-
Ph
-
-
T Ph
S
T
-
-
P T Ph
-
P
-
-
Ph
-
-
-
-
S P T Ph
SPT
SP
SP
-
P T Ph
S P T Ph
-
P T Ph
-
S P T Ph
P T Ph
P T Ph
SPT
SP
-
SP
-
SP
-
S P T Ph
-
SPT
SPT
SP
-
-
-
-
P
S
-
S
SP
-
S P T Ph
SPT
S P T Ph
SPT
SPT
P
S
-
-
-
T Ph
-
Ph
P Ph
-
S P Ph
SPT
-
-
SP
SP
SP
-
-
-
P
-
-
-
-
S P Ph
P
P
P
S
S P T Ph
Ph
SPT
T Ph
-
-
-
-
-
SP
SP
-
-
-
-
-
SPT
-
SPT
-
SPT
P
S
P Ph
-
S P Ph
S P Ph
S Ph
Ph
P
P
-
-
-
-
S P Ph
-
-
-
-
S P Ph
S P T Ph
P
SP
SP
-
-
-
S
-
60
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
S P T Ph
S P T Ph
S T Ph
SPT
-
61
Macaranga semiglobosa J.J.S
-
-
-
-
SP
62
Macropanax dispermum (Bl.)
S P T Ph
SP
S P T Ph
S
SP
63
Maesopsis eminii Engl.
-
P T Ph
-
-
S
64
Magnolia candollii (Bl.) H.Keng
P
-
-
-
-
65
Manglietia glauca Bl
S P T Ph
S
S P T Ph
P Ph
SP
66
Michellia montana Bl.
PT
-
-
-
-
67
Neonauclea lanceolata Merr.
-
P
SP
SP
-
68
Neonauclea obtusa (Bl.) Meer.
-
-
-
P
-
69
Omalanthus populneus (Geisel.) Pax
Ph
S
-
SP
-
119
No.
Tipe Vegetasi
Jenis
HA
HRC
HPC
HD
HP
P T Ph
SPT
-
SP
-
P
-
-
-
P
-
P
-
-
-
S P T Ph
SP
S Ph
S
P
-
-
-
-
Ph
Plectronia didyma Kurz
S P T Ph
SP
P
SP
-
70
Ostodes paniculata Bl.
71
Pavetta indica L.
72
Peronema canescens Jack.
73
Persea excelsa (Bl.) Kost.
74
Pinus merkusii
75 76
Polyosma integrifolia Bl.
S P T Ph
S P T Ph
-
S
-
77
Pygeum latifolium Miq Bl.
-
SPT
-
-
-
78
Quercus tyesmannii Bl.
S P T Ph
S P Ph
S P Ph
SPT
-
79
Rauwolfia javanica K. et V.
SP
SP
SP
-
-
80
Saurauia blumiana Benn.
S P T Ph
SP
S P T Ph
SPT
SP
81
Saurauia cauliflora DC.
S P T Ph
P
SPT
SPT
-
82
Saurauia nudiflora
-
-
-
P
-
83
Sauraunia reinwardtiana Bl.
-
-
-
S
-
84
Schima sp1.
P Ph
-
P
-
-
85
Schima wallichii (DC.) Korth.
S P T Ph
S P Ph
S P T Ph
S P T Ph
SP
86
Sloanea sigun (Bl.) K. Schum
S P T Ph
P
PT
-
SP
87
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
S P T Ph
P Ph
S Ph
S
-
88
Symplocos fasciculata Zoll.
SP
S Ph
S
-
-
89
Syzigium antisepticum (Bl.) Merr. & Perry
P Ph
-
-
-
-
90
Syzygium polyanthum Wight.
S P T Ph
S
P T Ph
-
-
91
Timonius sp.
S P T Ph
-
-
-
-
92
Toona sureni (Bl.) Merr.
-
-
Ph
-
-
93
Trema orientalis (L.) Bl.
Ph
-
Ph
SP
-
94
Turpinia obtusa
S P T Ph
S P T Ph
PT
SP
P
95
Turpinia sphaerocarpa Hassk
P
P
-
-
-
96
Urophyllum arboreum Korth.
S P T Ph
SPT
-
P
P
97
Vernonia arborea Ham.
S P T Ph
ST
T Ph
-
-
98
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
S P T Ph
S P T Ph
SPT
SPT
SP
99
Weinmannia blumei Planch.
S P T Ph
SP
SPT
S P T Ph
-
100
Xanthophylum excelsum miq
SP
SP
-
SP
-
Keterangan : S=Semai, P=Pancang, T=Tiang, Ph=Pohon,
= jenis vegetasi ditemukan pada kelima lokasi
Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa terdapat 15 jenis tumbuhan yang tergolong ke dalam 12 famili dapat ditemukan pada ekosistem Hutan Alam maupun ekosistem hutan lainnya di kawasan hutan TNGGP yang menjadi plot pengamatan atau sekitar 19,23% dari total jenis tumbuhan pada ekosistem Hutan Alam masih dapat ditemukan pada ekosistem hutan yang telah mengalami gangguan ataupun ekosistem hutan tanaman (Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus). Jenis-jenis tumbuhan yang terdapat pada kelima lokasi analisis vegetasi tersebut, yaitu: Altingia
120
excelsa Noronha (rasamala), Buchanania arborescens Bl. (ki tanjung), Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. (riung anak), Ficus alba Burm.f. (hamerang), Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (walen), Glochidion lucidum
(mareme), Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd (pasang kayang), Litsea monopetala Pers.(huru manuk), Macropanax dispermum (Bl.) (ki racun), Manglietia glauca Bl (manglid), Persea excelsa (Bl.) Kost. (huru leueur), Saurauia blumiana Benn. (ki leho), Schima wallichii (DC.) Korth. (puspa), Turpinia obtusa (ki bangkong), dan Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (nangsi).
Keberadaan 15 jenis tumbuhan yang ditemukan pada kelima tipe vegetasi hutan di kawasan TNGGP tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk pemilihan jenis tumbuhan awal yang dapat digunakan dalam kegiatan restorasi kawasan TNGGP.
Hal tersebut dikarenakan ke-15 jenis tumbuhan tersebut
mampu tumbuh pada semua kondisi tipe vegetasi hutan di kawasan TNGGP. Setelah jenis-jenis tumbuhan awal tersebut tumbuh, barulah dapat dimasukkan jenis-jenis tumbuhan lainnya seperti yang terdapat pada tipe vegetasi Hutan Alam sebagai ekosistem acuan di kawasan TNGGP. 4.2.5.4. Ekologi 15 Jenis Tumbuhan yang Ditemukan pada Kelima Lokasi Analisis Vegetasi di Kawasan Hutan TNGGP
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah diuraikan sebelumnya dapat diketahui bahwa terdapat 15 jenis tumbuhan yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan tempat tumbuhnya (Tabel 20). Hal tersebut dikarenakan ke-15 jenis tumbuhan tersebut dapat ditemukan pada seluruh lokasi analisis vegetasi di kawasan hutan TNGGP, baik pada tipe vegetasi Hutan Alam maupun pada tipe vegetasi hutan yang mengalami gangguan ataupun tipe vegetasi hutan tanaman, yaitu Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus yang tentu saja mempunyai kondisi ingkungan baik biotik maupun abiotik yang berbedabeda. Tabel 20 Daftar jenis tumbuhan yang ditemukan pada kelima lokasi analisis vegetasi di kawasan TNGGP No. 1 2 3 4
Nama Ilmiah Altingia excelsa Noronha Buchanania arborescens Bl. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Ficus alba Burm.f.
Nama Lokal Rasamala Ki tanjung Riung anak Hamerang
Famili Hamamelidaceae Anacardiaceae Fagaceae Moraceae
121
No.
Nama Ilmiah
Nama Lokal
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume Glochidion lucidum Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd Litsea monopetala Pers. Macropanax dispermum (Bl.) Manglietia glauca Bl. Persea excelsa (Bl.) Kost. Saurauia blumiana Benn. Schima wallichii (DC.) Korth. Turpinia obtusa Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Walen Mareme Pasang kayang Huru manuk Ki racun Manglid Huru leueur Ki leho Puspa Ki bangkong Nangsi
Famili Moraceae Euphorbiaceae Fagaceae Lauraceae Araliaceae Magnoliaceae Lauraceae Saurauiaceae Theaceae Staphyleacea Urticaceae
Adapun ekologi ke-15 jenis tumbuhan yang ditemukan pada kelima lokasi analisis vegetasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: 1) Altingia excelsa Noronha (Rasamala) Altingia excelsa Noronha menyebar mulai dari Himalaya menuju wilayah
lembab di Myanmar hingga Semenanjung Malaysia, ke Sumatera dan Jawa. Di Jawa, jenis ini hanya tumbuh di wilayah barat dengan ketinggian 500-1.500 m dpl, di hutan bukit dan pegunungan lembab. Jenis ini tumbuh alami terutama pada tapak lembab dengan curah hujan lebih 100 mm per bulan dan tanah vulkanik. Pada ekosistem hutan pegunungan TNGGP, jenis ini merupakan salah satu jenis yang mendominasi tegakan dan secara umum tumbuh mengelompok. Di Jawa, jenis ini berbunga dan berbuah sepanjang tahun, tetapi puncak pembungaannya terjadi pada bulan April – Mei. Puncak pembuahan terjadi pada bulan Agustus – Oktober.
Jenis Altingia excelsa Noronha saat ini banyak
digunakan untuk penanaman terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan teknik silvikultur ditanam pada jarak rapat, karena pohon muda cenderung bercabang jika mendapat banyak sinar matahari. 2) Buchanania arborescens Bl. (Ki tanjung) Buchanania arborescens Bl. atau yang dikenal dengan Ki tanjung di
wilayah Jawa Barat merupakan pohon kecil hingga besar dengan tinggi hingga 35 – 42 m dan diameter hingga 100 cm, pada umumya terdapat banir dengan ketinggian 1 – 4 m. Jenis ini tumbuh di hutan primer dan hutan sekunder hutan hujan dataran rendah dengan ketinggian 600 – 1000 mdpl. Selain itu, jenis ini juga ditemukan di hutan kerangas, daerah pantai berpasir dan berbatu, dan kadang juga di hutan gambut, serta di tepi sungai.
122
3) Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. (Riung anak) Sebaran Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. meliputi Peninsular Malaysia, Sumatra, Borneo, dan Jawa Barat.
Jenis tumbuhan ini dapat mencapai
ketinggian hingga 40 m dengan diameter dapat mencapai 100 – 150 cm. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. tumbuh di hutan dataran rendah hingga
pegunungan,
ditemukan
tumbuh
mengelompok
pada
ekosistem
hutan
pegunungan TNGGP, pada umumnya ditemukan pada ketinggian 1000 – 1500 m, tetapi juga dapat ditemukan pada ketinggian 2500 m. Jenis tumbuhan ini dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah tetapi tidak berbatu (limestone). Jenis tumbuhan ini berbunga pada bulan Januari - Agustus dan berbuah pada bulan April – Nopember. 4) Ficus alba Burm.f. (Hamerang) Ficus alba Burm.f. merupakan tumbuhan kecil, tumbuh pada ketinggian di
bawah 1700 m. 5) Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (Walen) Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume merupakan tumbuhan pohon
dengan tinggi 15 m dan diameter 30 cm, tumbuh pada ketinggian 100 – 1500 m dpl di hutan pegunungan. 6) Glochidion lucidum (Mareme) Glochidion lucidum tersebar di Peninsular Malaysia, Sumatera, Jawa,
Sulawesi, Morotai dan Papua New Guinea. Pohon ini memiliki tinggi hingga 25 m dan diameter 45 cm, tumbuh pada ketinggian kurang dari 900 mdpl. 7) Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd (Pasang kayang) Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd merupakan pohon besar yang pada
umumnya memiliki akar papan, tinggi pohon dapat mencapai hingga 44 m dan diameter 1,5 m, tumbuh pada ketinggian 50 – 1.600 m dpl dalam keadaan lembab. Jenis tumbuhan ini merupakan salah satu karakter jenis tumbuhan pada hutan pegunungan bawah (submontana) sampai hutan pegunungan (montana). Secara umum, Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd ditemukan pada daerah beriklim lembab serta tumbuh pada berbagai tipe tanah (limestone, peat, podsolik). Namun demikian, jenis tumbuhan ini tergolong jenis tumbuhan tidak tahan api. 8) Litsea monopetala Pers. (Huru manuk) Litsea monopetala Pers. tersebar di India, Burma, Indo-china, Thailand,
Peninsular Malaysia, dan Jawa.
Jenis tumbuhan ini merupakan pohon kecil,
tinggi sampai 18 m, dan diameter 60 cm, serta terdapat pada ketinggian 1.250 m
123
dpl. Jenis tumbuhan ini ditemukan pada berbagai tipe habitat, sebagian besar ditemukan di hutan primer dan hutan sekunder dengan drainase yang baik. 9) Macropanax dispermum (Bl.) (Ki racun) Macropanax dispermum (Bl.) ditemukan tumbuh pada hutan primer
pegunungan pada ketinggian 1.750 – 2.050 m dpl dan tumbuh secara mengelompok. 10) Manglietia glauca Bl. (Manglid) Manglietia glauca Bl. tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan sedikit di
Jawa Barat. Pohon ini berukuran besar, tingginya dapat mencapai hingga 40 m dengan tinggi bebas cabang mencapai 25 m dan diameter hingga 150 cm. Manglietia glauca Bl. berbunga dan berbuah hampir setiap tahun. Secara umum,
jenis tumbuhan ini ditemukan di hutan primer dataran rendah dan pegunungan dengan ketinggan 450 – 2.400 m dpl. 11) Persea excelsa (Bl.) Kost. (Huru leueur) Persea excelsa (Bl.) Kost. tersebar di Thailand, Peninsular Malaysia, Jawa,
dan Bali. Jenis tumbuhan ini merupakan pohon evergreen, memiliki tinggi hingga mencapai 30 – 40 m dan diameter 80 – 90 cm. Jenis tumbuhan ini ditemukan pada hutan dataran rendah dan pegunungan dengan ketinggian kurang dari 1.500 m dpl. 12) Saurauia blumiana Benn. (Ki leho) Saurauia blumiana Benn. merupakan jenis pohon yang ditemukan tumbuh
pada hutan pengunungan bawah (submontana) (1.000 – 1.600 m dpl) dengan pola sebaran berkelompok dan berasosiasi dengan Antidesma tetrandrum. 13) Schima wallichii (DC.) Korth. (Puspa) Schima wallichii (DC.) Korth.merupakan pohon sangat tinggi hingga
mencapai 30 m, memiliki batang besar (80 cm) dan tegap seperti tiang, bertajuk lebat, tumbuh di hutan dengan ketinggian 250 – 2.600 m dpl, tetapi lebih banyak ditemukan pada ketinggian 1.300 – 1.600 m dpl. Jenis tumbuhan pohon ini merupakan salah satu jenis yang mendominasi pada ekosistem hutan TNGGP. Jenis tumbuhan ini memiliki musim berbuah pada bulan Agustus – Nopember . 14) Turpinia obtusa (Ki bangkong) Turpinia obtusa merupakan pohon dengan tinggi mencapai hingga 20 m
dan memiliki besar batang hingga 60 cm, tumbuh tersebar di Asia Tenggara pada hutan dataran rendah dan hutan pegunungan. Jenis tumbuhan ini terdapat pada ketinggian 200 – 1.750 m dpl.
124
15) Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (Nangsi) Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. merupakan pohon kecil/perdu yang cepat
tumbuh dengan tinggi 3 – 8 m, tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1.600 m dpl, kecuali di daerah musim kering jenis tumbuhan ini tumbuh di area yang mendapat naungan pada lereng-lereng jurang. 4.2.6. Prioritas Kegiatan/Tindakan Restorasi TNGGP
Kawasan TNGGP sejak tahun 2003 mengalami perluasan kawasan hutan yang berasal dari alih fungsi kawasan hutan produksi dan hutan lindung eks Perum Perhutani menjadi kawasan hutan konservasi seluas 7.655,030 ha, sehingga secara legal kini kawasan TNGGP memiliki luas kawasan hutan sebesar 22.851,030 ha. Perluasan kawasan TNGGP tersebut telah menambah kompleksitas kondisi kawasan TNGGP baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial. Secara ekologi, kawasan TNGGP kini memiliki beberapa tipe vegetasi hutan selain hutan alam yang berasal dari eks kawasan hutan produksi Perum Perhutani, yaitu: hutan tanaman dengan jenis tumbuhan eksotik (pinus, damar, eucalyptus), hutan tanaman dengan jenis tumbuhan asli (rasamala, puspa), dan hutan tanaman dengan jenis tumbuhan campuran (eksotik dan asli).
Secara
ekonomi, kawasan TNGGP yang berasal dari eks kawasan hutan produksi Perum Perhutani hingga kini masih dimanfaatkan oleh masyarakat yang biasanya menggarap lahan di kawasan tersebut melalui pola tumpangsari, yaitu masyarakat penggarap menanami lahan tersebut dengan tanaman-tanaman semusim, seperti sayuran dan palawija di antara tanaman/pohon pokok kehutanan. Secara sosial, masyarakat sekitar yang biasanya memanfaatkan/ menggarap lahan di kawasan TNGGP eks kawasan hutan produksi Perum Perhutani tersebut telah memiliki nilai-nilai tersendiri yang tumbuh dari aktivitasnya mengelola lahan di kawasan hutan tersebut, seperti: tumbuhnya semangat kebersamaan dalam mengolah lahan, terbentuknya kelembagaan kelompok
tani,
dan
tumbuhnya
nilai
sosial
lainnya
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Keberadaan hutan tanaman di kawasan TNGGP dengan jenis eksotik tentunya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi yang mensyaratkan keaslian jenis di suatu kawasan hutan konservasi. Oleh karena itu, maka upaya restorasi hutan selain dilakukan di kawasan-kawasan hutan yang mengalami kerusakan ataupun tidak bervegetasi (kawasan hutan yang gundul) juga perlu
125
dilakukan di kawasan-kawasan hutan tanaman yang terdiri atas jenis eksotik. Melalui upaya restorasi hutan diharapkan agar kondisi kawasan hutan tersebut dapat kembali seperti/mendekati kondisi semula (kondisi awal yang diketahui). Mengingat kompleksnya kondisi kawasan TNGGP setelah
perluasan
kawasan, maka kegiatan restorasi di kawasan TNGGP perlu dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal.
Menghadapi kondisi/keadaan tersebut,
seringkali pengelola kawasan hutan konservasi merasa ragu-ragu untuk bertindak dalam melaksanakan kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan konservasi karena di satu sisi kegiatan/tindakan restorasi hutan perlu dilakukan untuk memenuhi kaidah-kaidah konservasi yang berlaku, namun di sisi lain kegiatan/tindakan restorasi hutan tersebut dapat menimbulkan preseden buruk atau salah pengertian dari masyarakat sekitar maupun institusi lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka diharapkan kajian ini dapat bermanfaat sebagai salah satu acuan yang dapat digunakan bagi pengelola kawasan hutan konservasi dalam melakukan kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan konservasi yang memiliki kondisi/keadaan sama dengan kasus kawasan hutan konservasi yang akan dikaji dalam penelitian ini. diketahui
prioritas
alternatif
kegiatan/tindakan
Melalui kajian ini dapat restorasi
kawasan
hutan
konservasi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria yang dihasilkan melalui survey pakar dan pengambil kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan perumusan yang telah dilakukan oleh pakar/ahli dapat diketahui bahwa kriteria, subkriteria, dan alternatif kegiatan/tindakan yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP dapat dilihat pada uraian berikut ini. Kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: 1. Ekologi Kegiatan/tindakan restorasi secara ekologi diharapkan dapat meningkatkan peran dan fungsi ekologi suatu kawasan hutan konservasi, terutama keanekaragaman hayati dan hidroorologi. 2. Ekonomi Kegiatan/tindakan restorasi secara ekonomi diharapkan dapat memberikan nilai tambah/meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
126
3. Sosial-Budaya Kegiatan/tindakan
restorasi
secara
sosial-budaya
diharapkan
dapat
meningkatkan nilai-nilai sosial budaya di masyarakat Subkriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: 1. Hutan tanaman jenis eksotik Merupakan hutan tanaman yang didominasi oleh pohon-pohon jenis eksotik (hutan jenis pinus eks Perum Perhutani di kawasan TNGGP, hutan jenis damar eks Perum Perhutani di kawasan TNGGP). 2. Hutan tanaman jenis asli Merupakan hutan tanaman yang didominasi oleh pohon-pohon jenis asli (hutan jenis rasamala dan puspa eks Perum Perhutani di kawasan TNGGP). 3. Hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik Merupakan hutan tanaman yang didominasi oleh pohon-pohon jenis asli yang di dalamnya terdapat beberapa pohon jenis eksotik yang letaknya terpencar (hutan jenis asli eks Perum Perhutani di kawasan TNGGP yang memiliki beberapa pohon jenis eksotik). 4. Hutan alam ada jenis eksotik Merupakan hutan alam yang didominasi oleh pohon-pohon jenis asli yang di dalamnya terdapat beberapa pohon jenis eksotik yang letaknya terpencar (hutan primer di kawasan TNGGP yang memiliki beberapa pohon jenis eksotik, hutan sekunder di kawasan TNGGP yang memiliki beberapa pohon jenis eksotik). 5. Tidak bervegetasi pohon Merupakan kawasan hutan yang tidak memiliki pohon (lahan terbuka di kawasan TNGGP, semak/belukar di kawasan TNGGP). Adapun alternatif kegiatan/tindakan yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: 1. Restorasi Alami/Dibiarkan Secara Alami/Tanpa Tindakan (RA) Merupakan kondisi hutan yang dibiarkan tanpa ada tindakan/pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami 2. Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman
secara
selektif/terbatas,
selanjutnya
dibiarkan
tanpa
ada
127
pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami (restorasi alami). Kegiatan/tindakan
restorasi
tersebut
dilakukan
dengan
melibatkan
masyarakat sekitar. 3. Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman
secara
selektif/terbatas,
selanjutnya
dibiarkan
tanpa
ada
pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami (restorasi alami). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. 4. Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman secara selektif/terbatas, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. 5. Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRB-TMM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman secara selektif/terbatas, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. 6. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala kecil, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala kecil tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. 7. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala kecil, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada
128
bekas blok-blok tebangan skala kecil tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. 8. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala besar, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala besar tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. 9. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRB-TMM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala besar, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala besar tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. 10. Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRB-MM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
melakukan penanaman pengayaan jenis (enrichment planting) menggunakan pohon jenis asli (restorasi buatan).
Kegiatan/tindakan restorasi tersebut
dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. 11. Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRBTMM) Merupakan
kegiatan/tindakan
restorasi
yang
dilakukan
dengan
cara
melakukan penanaman pengayaan jenis (enrichment planting) menggunakan pohon jenis asli (restorasi buatan).
Kegiatan/tindakan restorasi tersebut
dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. Adapun struktur hirarki/struktur AHP yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP dapat dilihat pada Gambar 39 berikut ini.
129
Tujuan
Menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP
Kriteria
Ekologi
Ekonomi
Sosial-Budaya
Hutan tanaman jenis asli
Hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik
Hutan alam ada jenis eksotik
Hutan tanaman jenis eksotik
Sub Kriteria
Alternatif Kegiatan/ Tindakan
Restorasi Alami/ Dibiarkan Secara Alami/ Tanpa Tindakan (RA)
Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM)
Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRATMM)
Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM)
Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRBTMM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRBMM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRBTMM)
Gambar 39 Struktur AHP prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRBMM)
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRBTMM)
Tidak bervegetasi pohon
Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRB-MM)
Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRB-TMM)
130
Hasil penelitian (Gambar 40) menunjukkan bahwa pembobotan kriteria dan subkriteria yang telah dilakukan oleh pengambil kebijakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi kawasan TNGGP dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini. Nilai bobot kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: ekologi (bobot: 0,600), ekonomi (bobot: 0,200), sosial-budaya (bobot: 0,200). Nilai bobot subkriteria pada kriteria ekologi yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: hutan tanaman jenis eksotik (bobot: 0,211), hutan tanaman jenis asli (bobot: 0,092), hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik (bobot: 0,160), hutan alam ada jenis eksotik (bobot: 0,121), tidak bervegetasi pohon (bobot: 0,417). Adapun nilai bobot subkriteria pada kriteria ekonomi yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: hutan tanaman jenis eksotik (bobot: 0,123), hutan tanaman jenis asli (bobot: 0,107), hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik (bobot: 0,162), hutan alam ada jenis eksotik (bobot: 0,186), tidak bervegetasi pohon (bobot: 0,423). kriteria
sosial-budaya
yang
Sedangkan nilai bobot subkriteria pada
digunakan
untuk
menentukan
prioritas
kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: hutan tanaman jenis eksotik (bobot: 0,216), hutan tanaman jenis asli (bobot: 0,056), hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik (bobot: 0,132), hutan alam ada jenis eksotik (bobot: 0,056), tidak bervegetasi pohon (bobot: 0,540). Berdasarkan pemilihan kriteria tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam kegiatan/tindakan restorasi di suatu kawasan hutan konservasi (kasus kawasan TNGGP) perlu dilakukan secara holistik dengan memperhatikan berbagai aspek, meliputi aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya agar kegiatan/tindakan restorasi hutan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan di sekitarnya.
Pemilihan subkriteria dengan
memperhatikan kondisi penutupan hutan beserta kondisi vegetasi yang terdapat di dalamnya dapat menjelaskan bahwa kegiatan/tindakan restorasi di suatu kawasan hutan konservasi (kasus kawasan TNGGP) dilakukan untuk mengatasi permasalahan terkait kondisi hutan beserta vegetasi penyusunnya yang saat ini pada umumnya banyak dialami oleh beberapa kawasan hutan konservasi yang mengalami perluasan kawasan. Sebagai akibat terjadinya perluasan kawasan hutan konservasi tersebut, pada umumnya kawasan perluasan tersebut memiliki
131
penutupan hutan beserta tipe vegetasi yang bervariasi bahkan berbeda dengan kawasan hutan konservasi yang ada sebelumnya/awalnya.
Gambar 40 Bobot kriteria dan subkriteria dalam menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP Hasil penelitian (Gambar 41) juga menunjukkan bahwa prioritas alternatif kegiatan/tindakan
restorasi
di
kawasan
TNGGP
yang
telah
diurutkan
berdasarkan ranking-nya adalah sebagai berikut: 1. Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRB-MM) (nilai: 0,225) 2. Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRBTMM) (nilai: 0,158) 3. Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM) (nilai: 0,117) 4. Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRB-TMM) (nilai: 0,087) 5. Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM) (nilai: 0,076) 6. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM) (nilai: 0,066) 7. Restorasi Alami/Dibiarkan Secara Alami/Tanpa Tindakan (RA) (nilai: 0,061) 8. Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM) (nilai: 0,056)
132
9. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM) (nilai: 0,055) 10. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM) (nilai: 0,049) 11. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRB-TMM) (nilai: 0,049)
Gambar 41 Prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP Secara lebih detail, nilai-nilai prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP disajikan pada Lampiran 19 – Lampiran 20. Berdasarkan prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP dapat dijelaskan bahwa prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi secara garis besar sesuai urutannya adalah sebagai berikut: enrichment planting restorasi buatan, tebang pilih restorasi buatan, tebang pilih restorasi
alami, tebang habis skala kecil restorasi buatan, restorasi alami, dan tebang habis skala besar restorasi buatan.
Restorasi buatan mendapatkan prioritas
lebih tinggi daripada restorasi alami dikarenakan saat ini pada umumnya kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi jauh lebih cepat apabila dibandingkan dengan kemampuan hutan tersebut dalam memulihkan sendiri kondisinya akibat gangguan yang terjadi.
Oleh karena itu, maka diperlukan
adanya bantuan dari luar untuk mempercepat proses pemulihan kondisi hutan yang mengalami kerusakan/gangguan tersebut melalui restorasi buatan. Enrichment planting (penanaman pengayaan) restorasi buatan ataupun
penanaman memiliki prioritas tertinggi karena merupakan kegiatan/tindakan teraman/beresiko kecil dalam melakukan kegiatan restorasi di kawasan hutan konservasi. Hal tersebut dikarenakan setiap kegiatan yang dilakukan di suatu
133
kawasan hutan konservasi harus sesuai/tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah/prinsip-prinsip konservasi, termasuk dalam pelaksanaan kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi. Urutan prioritas berikutnya adalah tebang pilih restorasi buatan.
Alternatif kegiatan/tindakan restorasi tersebut pada
umumnya dilakukan terhadap kawasan hutan miskin jenis terutama yang terdiri dari jenis-jenis tumbuhan eksotik. Urutan prioritas terakhir adalah tebang habis skala besar restorasi buatan.
Alternatif kegiatan/tindakan restorasi tersebut
memiliki prioritas terendah dikarenakan beresiko besar dalam kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi dan berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi kondisi lingkungan di sekitarnya. Berkaitan dengan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi, alternatif kegiatan/tindakan restorasi yang melibatkan masyarakat lebih mendapatkan prioritas apabila dibandingkan dengan alternatif kegiatan/tindakan restorasi yang tidak melibatkan masyarakat.
Hal tersebut
dapat dimengerti karena keberhasilan suatu kegiatan di kawasan hutan konservasi sangat tergantung dari dukungan dan partisipasi aktif masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan hutan konservasi tersebut, termasuk juga kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi pada kawasan hutan TNGGP. 4.2.6.1. Persepsi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa masyarakat sekitar di kedua desa yang menjadi lokasi sampel penelitian, yaitu Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar pada umumnya telah mengetahui tentang beralih fungsinya kawasan hutan eks Perum Perhutani menjadi bagian dari kawasan TNGGP (kawasan perluasan TNGGP) (Tabel 21). Tabel 21 Pengetahuan beralih fungsinya kawasan hutan eks Perum Perhutani menjadi bagian dari kawasan TNGGP (kawasan perluasan TNGGP) Jawaban Tahu Tidak Tahu
Desa Ciputri Cihanyawar Jumlah % Jumlah % 27 90,00 30 100,00 3 10,00 0 0,00
Total Jumlah % 57 95,00 3 5,00
Informasi tentang telah beralih fungsinya kawasan hutan eks Perum Perhutani menjadi bagian dari kawasan TNGGP pada umumnya diperoleh masyarakat sekitar dari petugas Balai Besar TNGGP ataupun petugas Perum Perhutani dan dari media massa. Namun demikian, pengetahuan masyarakat
134
tentang telah terjadinya alih fungsi kawasan hutan tersebut tidak serta merta menghentikan aktivitas yang biasa masyarakat sekitar lakukan di kawasan hutan tersebut.
Kondisi demikian dikarenakan masyarakat sekitar masih memiliki
ketergantungan terhadap keberadaan kawasan hutan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sebagian besar masyarakat sekitar yang biasa menggarap kawasan hutan tersebut hingga saat ini masih belum memiliki matapencaharian lain sebagai pengganti matapencaharian yang biasa mereka lakukan di kawasan hutan tersebut. Berkaitan dengan kondisi kawasan TNGGP, terutama di kawasan perluasan TNGGP apabila dibandingkan kondisinya pada saat 8 tahun yang lalu ketika kawasan tersebut baru beralih fungsi dari kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi, masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar menyatakan bahwa kondisinya lebih baik saat ini, yaitu masing-masing sebanyak 76,67% dan 63,33%; kondisinya sama saja, yaitu masing-masing sebanyak 6,67% dan 20%; dan kondisinya lebih buruk saat ini, yaitu masing-masing sebanyak 16,67% dan 16,67% (Gambar 42).
Gambar 42 Histogram perbandingan kondisi kawasan TNGGP, terutama di kawasan perluasan TNGGP, 8 tahun yang lalu Masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar yang berpendapat bahwa kondisi kawasan hutan TNGGP, terutama kawasan perluasan TNGGP lebih baik kondisinya saat ini memiliki alasan bahwa kondisi tersebut dapat tercapai karena adanya program penanaman pohon yang dilakukan oleh pihak Balai Besar TNGGP (masing-masing sebanyak 76,67% dan 46,67%) dan hutan terlihat lebih hijau (masing-masing sebanyak 0% dan 16,67%).
Masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa
135
Cihanyawar yang berpendapat bahwa kondisi kawasan hutan TNGGP, terutama kawasan perluasan TNGGP sama saja kondisinya memiliki alasan bahwa hingga saat ini kondisi di kawasan hutan tersebut belum terlihat adanya perubahan (masing-masing sebanyak 13,33% dan 26,67%). Sedangkan masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar yang berpendapat bahwa kondisi kawasan TNGGP, terutama kawasan perluasan TNGGP lebih buruk kondisinya saat ini memiliki alasan bahwa kondisi tersebut dapat terjadi karena banyak tanaman yang rusak (masing-masing sebanyak 10,00% dan 6,67%) dan kawasan hutan tersebut lebih terbuka (masing-masing sebanyak 0% dan 3,33%) (Tabel 22). Tabel 22 Alasan perbandingan kondisi hutan TNGGP 8 tahun yang lalu Desa Jawaban Adanya program penanaman Belum terlihat perubahan Hutan lebih hijau Banyak tanaman yang rusak Kawasan lebih terbuka
Ciputri Jumlah % 23 76,67 4 13,33 0 0,00 3 10,00 0 0,00
Cihanyawar Jumlah % 14 46,67 8 26,67 5 16,67 2 6,67 1 3,33
Total Jumlah % 37 61,67 12 20,00 5 8,33 5 8,33 1 1,67
Masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar sebagian besar berpendapat bahwa kegiatan restorasi (pemulihan) kawasan hutan TNGGP dapat bermanfaat untuk memperbaiki kondisi hutan (masingmasing sebanyak 86,67% dan 56,67%), menjaga ketersediaan air bersih (masing-masing sebanyak 76,67% dan 70%), dan mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor (masing-masing sebanyak 60% dan 30%) (Tabel 23). Tabel 23 Manfaat restorasi (pemulihan) kawasan hutan TNGGP Jawaban Menjaga ketersediaan air bersih Memperbaiki kondisi hutan Mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor Menyediakan udara yang bersih dan lingkungan yang asri Mencegah terjadinya banjir Manfaat lainnya Tidak ada manfaat
Desa Ciputri Jumlah % 23 76,67 26 86,67
Desa Cihanyawar Jumlah % 21 70,00 17 56,67
Total Jumlah % 44 73,33 43 71,67
18
60,00
9
30,00
27
45,00
5 4 2 1
16,67 13,33 6,67 3,33
3 2 2 0
10,00 6,67 6,67 0,00
8 6 4 1
13,33 10,00 6,67 1,67
Adapun karakteristik pohon yang cocok dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP menurut pendapat sebagian besar masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar adalah jenis pohon yang cepat tumbuh (masing-masing sebanyak 73,33% dan 66,67%), jenis pohon yang
136
mampu beradaptasi (masing-masing sebanyak 46,67% dan 63,33%), dan jenis pohon asli/lokal (masing-masing sebanyak 36,67% dan 20%) (Tabel 24). Tabel 24 Karakteristik pohon yang cocok dalam kegiatan restorasi Jawaban Jenis pohon yang cepat tumbuh Jenis pohon yang mampu beradaptasi Jenis pohon asli/lokal Jenis pohon yang membutuhkan sedikit nutrisi Jenis pohon yang mudah diperbanyak dan dipelihara Jenis pohon yang membutuhkan biaya rendah dalam penanaman dan pemeliharaan
Desa Ciputri Jumlah % 22 73,33
Desa Cihanyawar Jumlah % 20 66,67
Total Jumlah % 42 70,00
14 11
46,67 36,67
19 6
63,33 20,00
33 17
55,00 28,33
2
6,67
3
10,00
5
8,33
1
3,33
4
13,33
5
8,33
0
0,00
1
3,33
1
1,67
Selain itu, masyarakat di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar yang menjadi responden juga berpendapat bahwa agar kegiatan restorasi kawasan TNGGP dapat berjalan baik dan lancar, maka diperlukan adanya aturan-aturan yang mengatur mengenai pemilihan jenis tumbuhan, penanaman (pola tanam), pemeliharaan, penentuan lokasi restorasi, pemberdayaan masyarakat, serta pembagian hak dan tanggung jawab para pihak yang terlibat kegiatan restorasi kawasan TNGGP. 4.2.6.2. Partisipasi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP
Hasil penelitian (Tabel 25) menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar yang menjadi responden, masing-masing sebanyak 80% dan 83,33% pernah ikut serta dalam kegiatan restorasi (pemulihan) kawasan hutan TNGGP. Tabel 25 Keikutsertaan dalam upaya restorasi (pemulihan) kawasan TNGGP Jawaban Ya Tidak
Desa Ciputri Cihanyawar Jumlah % Jumlah % 24 80,00 25 83,33 6 20,00 5 16,67
Total Jumlah % 49 81,67 11 18,33
Bentuk-bentuk kegiatan yang pernah diikuti/dilakukan dalam rangka restorasi (pemulihan) kawasan hutan TNGGP oleh masyarakat Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar pada umumnya adalah kegiatan adopsi pohon (masing-masing sebanyak 76,67% dan 66,67%) dan kegiatan gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan) (masing-masing sebanyak 3,33% dan 30%). Kegiatan adopsi pohon merupakan kegiatan yang disponsori/diselenggarakan oleh Balai Besar
137
TNGGP, CI-Indonesia Program,
dan Green Radio.
Sedangkan kegiatan
gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan) disponsori/diselenggarakan oleh Balai Besar TNGGP dan BPDAS. Jenis-jenis tumbuhan yang ditanam melalui kegiatan ini adalah rasamala, puspa, saninten, pasang, jamuju, huru, suren, manglid, dan ki sireum. Hasil penelitian (Tabel 26) menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar pada umumnya menginginkan agar sistem pengelolaan dalam
kegiatan
restorasi
kawasan
TNGGP
dilaksanakan
secara
bersama/kolaborasi antara pihak Balai Besar TNGGP dengan masyarakat sekitar, yaitu masing-masing sebesar 90% dan 86,67%. Tabel 26 Sistem pengelolaan dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP Jawaban Dilaksanakan secara bersama/kolaborasi antara pihak Balai Besar TNGGP dan masyarakat Dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat Tidak menjawab/tidak tahu Dilaksanakan sepenuhnya oleh Balai Besar TNGGP
Desa Ciputri Jumlah %
Desa Cihanyawar Jumlah %
Total Jumlah %
27
90,00
26
86,67
53
88,33
0 3
0,00 10,00
3 0
10,00 0,00
3 3
5,00 5,00
0
0,00
1
3,33
1
1,67
Adanya keinginan masyarakat sekitar agar sistem pengelolaan dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP dilaksanakan secara bersama/ kolaborasi antara pihak Balai Besar TNGGP dengan masyarakat sekitar menunjukkan bahwa telah terdapat kesadaran masyarakat sekitar untuk turut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP. Terdapatnya partisipasi masyarakat sekitar dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP sangat penting dalam menjamin keberhasilan kegiatan restorasi di kawasan hutan tersebut. ITTO (2002) dan Kobayashi (2004) menyatakan bahwa keberhasilan kegiatan restorasi ekologi dan rehabilitasi hutan yang terdegradasi hanya akan tercapai apabila masyarakat lokal berperan serta dalam kegiatan tersebut dan masyarakat pengguna hutan memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek, serta manfaat lain di masa datang. Keberhasilan restorasi menurut Walters (1997) antara lain ditandai dengan indikator sebagai berikut: 6) Restorasi dipandang oleh masyarakat lokal dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi mereka. 7) Restorasi disusun sesuai dengan pola pemanfaatan sumberdaya dan lahan oleh masyarakat.
138
8) Pengetahuan lokal dan keahlian yang terkait dengan restorasi berhasil didokumentasikan oleh proyek. 9) Kelompok masyarakat/organisasi lokal secara efektif dimobilisasi untuk mendukung dan mengimplementasikan kegiatan restorasi. 10) Kebijakan yang terkait dan faktor politik mendukung upaya restorasi. Berkaitan dengan kegiatan perekonomian ataupun pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, sebagian besar masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar berkeinginan jika memungkinkan dalam kegiatan restorasi ataupun penanaman pohon di kawasan hutan TNGGP masih diperbolehkan menanam tanaman semusim di sela-sela pohon tersebut dengan jenis sayur-mayur maupun jenis palawija. Keinginan masyarakat tersebut dapat dimengerti karena sebelumnya masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar tersebut memanfaatkan lahan di kawasan hutan TNGGP yang merupakan eks hutan produksi Perum Perhutani melalui pola tumpang sari, yaitu masing-masing sebanyak 90% dan 66,67% responden. Hasil penelitian (Tabel 27) menunjukkan bahwa masyarakat yang menjadi responden di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar sebenarnya mau meninggalkan lahan garapannya atau tidak memanfaatkan sumberdaya alam di kawasan hutan TNGGP yang biasa digarapnya/dimanfaatkannya asalkan diberikan kompensasi untuk
menggantikan/mengalihkan
matapencahariannya
dalam
memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari, yaitu berupa: diberikannya ganti rugi berupa uang
(masing-masing
sebanyak
3,33%
dan
0%),
disediakannya
matapencaharian baru (masing-masing sebanyak 0% dan 20%), diberikannya lahan garapan baru di luar kawasan hutan TNGGP (masing-masing sebanyak 63,33% dan 30%), diberikannya bantuan modal usaha (masing-masing sebanyak 3,33% dan 13,33%), diberikannya bantuan sarana produksi pertanian (peralatan, pupuk, bibit), pemasaran, dan bimbingan teknis pertanian (masing-masing sebanyak 26,67% dan 26,67%), dan kompensasi lainnya yang diberikan pemerintah (masing-masing 20% dan 20%). Melalui kegiatan restorasi kawasan TNGGP ini, masyarakat di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar yang menjadi responden berharap agar kawasan hutan TNGGP kembali hijau (masing-masing sebanyak 90% dan 76,67%), masyarakat menjadi sejahtera (masing-masing sebanyak 60% dan 56,67%), dan air bersih tetap berlimpah (masing-masing sebanyak 23,33% dan 20%).
139
Tabel 27 Kompensasi untuk tidak menggarap/memanfaatkan SDA di kawasan hutan TNGGP Desa Ciputri Jumlah %
Jawaban Diberikan lahan garapan baru di luar kawasan TNGGP Diberikan bantuan sarana produksi pertanian (peralatan, pupuk, bibit), pemasaran dan bimbingan teknis pertanian Kompensasi lainnya Disediakan matapencaharian baru Diberikan bantuan modal usaha Diberikan ganti rugi berupa uang
Total Jumlah %
Cihanyawar Jumlah %
19
63,33
9
30,00
28
46,67
8 6 0 1 1
26,67 20,00 0,00 3,33 3,33
8 6 6 4 0
26,67 20,00 20,00 13,33 0,00
16 12 6 5 1
26,67 20,00 10,00 8,33 1,67
4.2.7. Rekomendasi Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP
Keberadaan kawasan hutan konservasi, termasuk kawasan TNGGP, memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat sekitar, terutama dalam perlindungan fungsi hidroorologis dan keanekaragaman hayati.
Namun
demikian, kawasan hutan konservasi di Indonesia pada umumnya mengalami gangguan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan di kawasan hutan konservasi tersebut.
Seringkali laju kerusakan hutan konservasi yang terjadi
lebih cepat daripada kemampuan hutan tersebut untuk memulihkan kondisinya secara alami.
Adapun kerusakan hutan konservasi yang terjadi di kawasan
TNGGP berdasarkan hasil interpretasi citra landsat tahun 2010 adalah sebesar 2.164 ha atau 9,47% dari luas seluruh kawasan hutan TNGGP.
Selain itu,
kawasan TNGGP juga memiliki hutan tanaman yang terdiri atas jenis eksotik maupun jenis asli. Terdapatnya hutan tanaman tersebut berasal dari eks hutan produksi Perum Perhutani yang sejak tahun 2003 dialihfungsikan menjadi hutan konservasi sebagai bagian dari kawasan hutan TNGGP.
Keberadaan hutan
tanaman di suatu kawasan hutan konservasi terutama dengan jenis-jenis eksotik tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi yang mensyaratkan bahwa suatu kawasan hutan konservasi memiliki ciri keaslian jenis yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka kegiatan restorasi kawasan TNGGP sebagai salah satu kawasan hutan konservasi di Indonesia perlu dilakukan mengingat pentingnya peranan kawasan hutan konservasi tersebut bagi lingkungan di sekitarnya.
Kegiatan restorasi hutan konservasi ini pada
hakekatnya adalah untuk membantu percepatan proses suksesi/pemulihan
140
kondisi hutan di suatu kawasan hutan konservasi.
Dalam kegiatan restorasi
kawasan hutan konservasi, tidak hanya kondisi hutannya saja yang perlu dipulihkan seperti kondisi semula (kondisi awal yang diketahui), melainkan juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan hutan konservasi tersebut. Oleh karena itu, agar kegiatan restorasi kawasan TNGGP dapat berhasil, maka kegiatan restorasi kawasan hutan tersebut perlu meliputi 2 hal berikut ini: (1) restorasi (pemulihan) kondisi hutan di kawasan TNGGP, (2) pemberdayaan/ peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan TNGGP. 4.2.7.1. Upaya Restorasi (Pemulihan) Kondisi Hutan di Kawasan TNGGP
Upaya restorasi (pemulihan) kondisi hutan di kawasan TNGGP perlu dilakukan sesuai dengan prioritas lokasi restorasi kawasan TNGGP agar kegiatan restorasi dapat lebih efektif dan efisien. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa prioritas lokasi restorasi kawasan TNGGP yang mendapatkan prioritas tinggi pada umumnya terletak di bagian terluar/tepi kawasan TNGGP yang merupakan eks hutan produksi Perum Perhutani. Upaya
restorasi
kawasan
TNGGP
juga
perlu
dilakukan
dengan
memperhatikan tipe vegetasi hutan/ekosistem dan kondisi vegetasi penyusun tegakan hutan tersebut untuk menentukan jenis kegiatan/tindakan restorasi hutan yang perlu dilakukan serta menentukan jumlah dan jenis tumbuhan yang digunakan dalam kegiatan restorasi berdasarkan komposisi dan struktur vegetasi pada ekosistem acuan (reference ecosystem).
Ekosistem acuan yang dapat
digunakan dalam rangka restorasi kawasan TNGGP adalah berupa ekosistem hutan alam di kawasan TNGGP yang kondisinya masih alami/belum mengalami gangguan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat 15 jenis tumbuhan yang mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai tipe vegetasi hutan/ekosistem sebagai jenis awal, yaitu: Altingia excelsa Noronha (rasamala), Buchanania arborescens Bl. (ki tanjung), Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. (riung
anak), Ficus alba Burm.f. (hamerang), Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (walen), Glochidion lucidum (mareme), Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd (pasang kayang), Litsea monopetala Pers.(huru manuk), Macropanax dispermum (Bl.) (ki racun), Manglietia glauca Bl (manglid), Persea excelsa (Bl.) Kost. (huru leueur), Saurauia blumiana Benn. (ki leho), Schima wallichii (DC.) Korth. (puspa),
141
Turpinia obtusa (ki bangkong), dan Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (nangsi). Ke-
15 jenis tumbuhan tersebut berpotensi tinggi untuk dapat digunakan dalam kegiatan restorasi kawasan hutan TNGGP dan perlu dikembangkan teknik perbanyakannya. Dalam upaya restorasi kawasan TNGGP ini, kegiatan pemeliharaan dan pengamanan hasil restorasi hutan merupakan hal yang penting dilakukan untuk menjamin keberhasilan kegiatan restorasi di kawasan TNGGP.
Selain itu,
pendekatan yang digunakan dalam melihat keberhasilan kegiatan restorasi hutan ini adalah bukan pada jumlah yang berhasil ditanam melainkan jumlah tumbuhan yang berhasil hidup, sehingga apabila terdapat tumbuhan hasil penanaman kegiatan restorasi hutan yang mati, maka tumbuhan yang mati tersebut harus segera disulam/ditanam ulang. 4.2.7.2. Upaya Pemberdayaan/Peningkatan Sekitar Kawasan TNGGP
Kesejahteraan
Masyarakat
Masyarakat sekitar kawasan TNGGP pada umumnya memiliki kondisi sosial ekonomi yang berpotensi tinggi dalam memanfaatkan sumberdaya alam ataupun menggarap lahan kawasan TNGGP untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Potensi tersebut perlu diarahkan atau diubah agar menjadi potensi yang bersifat positif dalam upaya restorasi kawasan TNGGP. Berdasarkan uraian tersebut, masyarakat sekitar kawasan TNGGP perlu dilibatkan secara aktif dalam kegiatan restorasi kawasan TNGGP mulai dari proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, hingga pengamanan hasil restorasi hutan. Berkaitan
dengan
upaya
pemberdayaan/peningkatan
kesejahteraan
masyarakat sekitar kawasan TNGGP, kegiatan restorasi kawasan TNGGP harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Melalui kegiatan
restorasi hutan tersebut, masyarakat sekitar dapat memperoleh pendapatan dari penyediaan bibit untuk kegiatan restorasi dan tenaga kerja dalam kegiatan restorasi, misalnya: tenaga kerja penanaman, tenaga kerja pemeliharaan, dan tenaga kerja pengamanan hasil restorasi. Selain peningkatan kesejahteraan melalui pendapatan secara langsung dari
keikutsertaan
dalam
kegiatan
restorasi
kawasan
TNGGP,
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dalam jangka panjang perlu pula dilakukan pemberdayaan/peningkatan perekonomian masyarakat sekitar melalui pengembangan berbagai kegiatan yang dapat menghasilkan pendapatan
142
masyarakat sekitar sekaligus sebagai upaya untuk memberikan alternatif matapencaharian pengganti agar tidak lagi memanfaatkan/menggarap kawasan TNGGP. Namun demikian, dalam mencari alternatif matapencaharian pengganti bagi masyarakat sekitar, sebaiknya tidak terlalu jauh atau tidak terlalu bertolak belakang dengan keahlian/keterampilan masyarakat sekitar yang biasa mereka lakukan sebelumnya.
Selain itu, dalam mencari alternatif matapencaharian
pengganti bagi masyarakat sekitar, juga perlu memperhatikan kondisi dan potensi yang terdapat di lingkungan sekitar masyarakat tersebut berada dan cukup realistis untuk dapat dilaksanakan saat ini. Beberapa
kegiatan
yang
dapat
dijadikan
sebagai
alternatif
matapencaharian pengganti masyarakat sekitar kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan kebun bibit di lahan desa Desa-desa yang terdapat di sekitar kawasan TNGGP pada umumnya memiliki lahan desa yang dikelola oleh desa tersebut. Keberadaan lahan desa di sekitar kawasan TNGGP dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kebun bibit bagi jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam kegiatan restorasi kawasan TNGGP maupun kegiatan restorasi di kawasan hutan lainnya. Pihak BB TNGGP dapat berperan untuk membina kegiatan usaha pengembangan kebun bibit tersebut melalui pendampingan dan memberikan pelatihan teknik-teknik perbanyakan bibit untuk memperoleh bibit yang berkualitas. 2. Intensifikasi lahan pekarangan untuk kegiatan pertanian Masyarakat sekitar kawasan TNGGP, meskipun tidak memiliki lahan pertanian pada umumnya masih memiliki lahan pekarangan di sekitar rumahnya. Lahan pekarangan tersebut, meskipun sempit, seringkali tidak digunakan oleh masyarakat secara intensif. Untuk mengoptimalkan lahan pekarangan tersebut bagi kegiatan pertanian perlu adanya suatu bimbingan dari
pihak-pihak
terkait
agar
lahan-lahan
pekarangan
yang
dimiliki
masyarakat sekitar dapat dimanfaatkan secara intensif bagi kegiatan pertanian. Masyarakat sekitar dapat membentuk koperasi untuk membantu pengumpulan dan pemasaran hasil-hasil pertanian yang dihasilkan dari pemanfaatan lahan pekarangan mereka secara intensif.
Dengan adanya
intensifikasi lahan pekarangan masyarakat sekitar untuk kegiatan pertanian, maka diharapkan lahan-lahan garapan masyarakat di kawasan hutan
143
TNGGP secara perlahan-lahan dapat ditinggalkan dan direstorasi menjadi hutan kembali sesuai kondisi semula. 3. Pengembangan usaha bunga hias/bunga potong Pengembangan usaha bunga hias/bunga potong juga dapat dilakukan di lahan pekarangan masyarakat yang terletak di daerah yang dingin. Untuk pengembangan usaha bunga hias/bunga potong oleh masyarakat sekitar kawasan TNGGP ini, pihak BB TNGGP perlu membuat kesepakatan (MoU) dengan perusahaan bunga potong/bunga hias yang berusaha di sekitar kawasan hutan TNGGP agar perusahaan tersebut mau menampung bunga hias/bunga potong yang dihasilkan oleh masyarakat sekitar sebagai wujud kepedulian perusahaan tersebut dalam pengembangan perekonomian masyarakat sekitarnya sekaligus sebagai wujud kepedulian perusahaan tersebut dalam menjaga kelestarian kawasan TNGGP.
Untuk menjaga
kualitas bunga potong/bunga hias yang dihasilkan oleh masyarakat sekitar, perusahaan bunga potong/bunga hias tersebut perlu memberikan pelatihan dan pembinaan kepada masyarakat sekitar. 4.3. Implikasi Model
Model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi yang dihasilkan melalui penelitian ini memiliki beberapa implikasi sebagai berikut: 1). Karena variabel penilaian yang dipakai untuk seluruh kriteria bersifat umum, maka model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi hasil penelitian ini berlaku untuk seluruh kawasan hutan konservasi. 2). Model prioritas kegiatan/tindakan restorasi kawasan hutan konservasi yang dikembangkan/dibangun untuk kawasan TNGGP dapat diterapkan untuk kawasan hutan konservasi lainnya yang memiliki atau akan melakukan perluasan kawasan, terutama bagi 2 taman nasional yang saat ini memiliki kawasan perluasan, yaitu: Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, termasuk 3 kawasan taman nasional yang baru dibentuk yang memiliki permasalahan sosial ekonomi yang sama dengan kawasan perluasan TNGGP, yaitu: Taman Nasional Gunung Ciremai, Taman Nasional Merapi, dan Taman Nasional Gunung Merbabu.
144
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi yang terbangun adalah sebagai berikut: 1). Prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi ditentukan oleh 8 (delapan) kriteria kepentingan, yaitu: keberadaan jenis langka dan dilindungi (bobot: 0,310), keanekaragaman tipe ekosistem (bobot: 0,181), potensi keanekaragaman jenis (bobot: 0,142), ekosistem penting sebagai penyedia
air
dan
pengendalian
banjir
(bobot:
0,127),
pemanfaatan
sumberdaya alam secara lestari oleh stakeholders (bobot: 0,122), lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam (bobot: 0,050), tempat peninggalan budaya (bobot: 0,035), logistik bagi penelitian dan pendidikan (bobot: 0,033) dan 7 (tujuh) kriteria kemendesakan, yaitu: akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,287), besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi (bobot: 0,182), bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,162), persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,132), macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,106), luasan suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,069), keberadaan hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi (bobot: 0,062). 2). Prioritas lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi ditentukan oleh 10 kriteria, yaitu: luas kerusakan kawasan hutan konservasi (bobot: 0,219), kekayaan jenis tumbuhan (bobot: 0,151), sebaran satwaliar langka atau dilindungi (bobot: 0,128), penutupan lahan (bobot: 0,117), lereng/slope (bobot: 0,110), intensitas hujan (bobot: 0,065), kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi (bobot: 0,063), jenis tanah (bobot: 0,054), elevasi/ketinggian (bobot: 0,051), dan luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi (bobot: 0,041). 3). Acuan restorasi dapat dibangun berdasarkan dimensi kekayaan jenis flora asli dan parameter struktur horizontal vegetasi asli yang didapat dari
145
ekosistem atau bioregion yang sama dengan ekosistem yang akan direstorasi. 4). Jenis terpilih didasarkan pada jenis-jenis yang termasuk jenis acuan yang mampu hidup dan berkembang pada lokasi-lokasi yang perlu segera direstorasi. 5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1). Mengingat banyaknya kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, maka model ini dapat digunakan untuk membuat prioritas kawasan
hutan
konservasi
yang
perlu
segera
direstorasi,
prioritas
lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, penentuan acuan restorasi, dan prioritas jenis terpilih. 2). Jenis terpilih diprioritaskan jenis yang bernilai langsung bagi masyarakat sekitar kawasan hutan konservasi. 3). Dalam mengimplementasikan model agar dapat efektif dan efisien, hendaknya dilakukan sesuai dengan urutan model yang dihasilkan dalam penelitian ini. Selain itu, khusus untuk mengimplementasikan model dalam penentuan lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi diperlukan personil yang mampu menggunakan aplikasi GIS dan memahami prinsip-prinsip konservasi. 4). Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk terus memperbaiki model, seperti pengelompokan kriteria prioritas lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi ke dalam aspek tingkat kepentingan dan aspek tingkat kemendesakan.
146
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, C. D. and L. A. Meyerson. 2002. Exotic Plant Species as Problems and Solutions in Ecological Restoration: A Synthesis. Restoration Ecology Vol. 10, No. 4:703-713. Balakrishnan, M., R. Borgstrom and S.W. Bie. 1994. Tropical Ecosystem, a synthesis of tropical Ecology and Conservation. International Science Publisher. New York. [Baplan, Dephut] Badan Planologi, Departemen Kehutanan. 2008. Penghitungan Deforestasi Indonesia Tahun 2008. Badan Planologi, Departemen Kehutanan. Jakarta. _______. 2006. Kebijakan Pemanfaatan Kawasan Hutan. Makalah Disampaikan dalam Simposium Agraria Nasional Kedua, 4 Desember 2006, Makassar. PKA/PSP3-IPB, Badan Pertanahan Nasional, dan Lembaga Pengkajian Pertanahan. Bogor. Barbour, G.M., J.K. Burk and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. The Benyamin/Cummings Publishing Company. New York. Basuni, S. 2009. Masa Depan Manajemen Kawasan Hutan Konservasi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. _______. 2003. Inovasi Institusi untuk Meningkatkan Kinerja Daerah Penyangga Kawasan Konservasi (Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat) [disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Black, J. A. dan D. J. Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. PT Eresco. Bandung. [BPS] Badan Pusat Statistik. Statistik. Jakarta.
2011. Statistik Indonesia 2010. Badan Pusat
_______. 2009. Potensi Desa Cihanyawar Tahun 2008. Badan Pusat Statistik. Jakarta. [BPS Kab. Cianjur] Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur. 2009. Kecamatan Pacet dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur. Cianjur. [BBTNGGP] Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2011. Rencana Strategis Invasive Alien Species (IAS) TNGGP 2011 – 2021. Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Cianjur. [BTNGGP] Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2007. Buku Statistik Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Tahun 2006. Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Cianjur.
147
Burton, C. M., P. J. Burton, R. Hebda, and N. J. Turner. 2006. Determining the Optimal Sowing Density for a Mixture of Native Plants Used to Revegetate Degraded Ecosystems. Restoration Ecology Vol. 14, No. 3:379-390. Calhoun, J. F. dan J. R. Acocella. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Satmoko, R. S., penerjemah. IKIP Semarang Press. Semarang. [CIFOR] Center for International Forestry Research. 1999. Panduan Penilaian Dasar Kesejahteraan Manusia: Perangkat Kriteria dan Indikator. Center for International Forestry Research. Bogor. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Departemen Kehutanan. Jakarta. _______ 2006. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Departemen Kehutanan. Jakarta. _______. 2004a. Peraturan Menteri Kehutanan No. SK.159/Menhut-II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta. _______. 2004b. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta. _______. 2003. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Gede Pangrango Seluas ± 21.975 (Dua Puluh Satu Ribu Sembilan Ratus Tujuh Puluh Lima) Hektar di Provinsi Jawa Barat Menjadi Pemerintah Republik Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Indonesia. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian. 1980. SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Departemen Pertanian, Jakarta. [Ditjen PHKA, Dephut] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. 2008. Information of Conservation Areas in Indonesia. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Jakarta. _______. 2007. Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. SK.86/IV-Set/H0/2007 tentang Petunjuk Teknis Direktorat Jenderal Rehabilitasi Habitat di Kawasan Konservasi. Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Jakarta.
148
[Ditjen PHKA, Dephut – LHI – JICA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan – Lestari Hutan Indonesia – Japan International Cooperation Agency. 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan – Lestari Hutan Indonesia – Japan International Cooperation Agency. Jakarta. [Ditjen PHPA, Dephut] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan. 1996. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan Hutan Lindung. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan. Jakarta. Eriyatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor. Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Hadad, I. 2003. Mewujudkan Model Pengelolaan Kolaboratif Berkelanjutan untuk Taman Nasional Gunung Halimun. Makalah Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun, 18 – 19 Pebruari 2003, Bogor. Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Jakarta. Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Pressindo. Jakarta.
Akademika
Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology. Bogor. Hiwasaki, L. 2005. Toward Sustainable Management of National Parks in Japan: Securing Local Community and Stakeholder Participation. Environmental Management Vol. 35, No. 6:753-764. http://id.wikipedia.org/wiki/Data. 2009. Wikipedia Bahasa Indonesia: Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Data [9 Des 2009]. Indrawan, M., R. B. Primack, dan J. Supriatna. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
2007.
Biologi Konservasi.
[ITTO] International Tropical Timber Organization. 2002. ITTO Guidelines for The Restoration, Management and Rehabilitation of Degraded and Secondary Tropical Forests. International Tropical Timber Organization. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Guidelines for Protected Area Management Categories. 1994. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Gland, Switzerland and Cambridge.
149
Jacobs, M. 1981. The Tropical Rain Forest, A First Encounter. Springer-Verlag. New York. Jaya, I. N. S. 2007. Analisis Citra Dijital: Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kamada, M. 2005. Hierarchically Structured Approuch for Restoring Natural Forest-Trial in Tokushima Prefecture, Shikoku, Japan. Landscape Ecology Engineering 1:61-70. Kartasubrata, J. 1986. Partisipasi Rakyat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan di Jawa: Studi Kehutanan Sosial di Daerah Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, dan Hutan Konservasi [disertasi]. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kartini, K. 1984. Psikologi Umum. Penerbit Alumni. Bandung. Kobayashi, S. 2004. Landscape Rehabilitation of Degraded Tropical Forest Ecosystems: Case Study of the CIFOR/Japan Project in Indonesia and Peru. Forest Ecology and Management 201:13-22. Krebs, C.J. 1994. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Addison-Wesley Educational Publishers. New York. Kuuluvainen, T., K. Aapala, P. Ahlroth, M. Kuusinen, T. Lindholm, T. Sallantaus, J. Siitonen, and H. Tukia. 2002. Principles of Ecological Restoration of Boreal Forested Ecosystems: Finland as an Example. Silva Fennica 36 (1):409-422. Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG, Laboratorium Inventarisasi Sumberdaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan: Penuntun Praktis Menggunakan ArcInfo Ver. 7.21 dan ArcView. Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG, Laboratorium Inventarisasi Sumberdaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Lamb, D. and D. Gilmour. 2003. Rehabilitation and Restoration of Degraded Forests. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Gland, Switzerland and Cambridge, UK and The World Wide Fund for Nature, Gland, Switzerland. Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Lugo, A.E. and C. Lowe. 1995. Tropical Forest: Management and Ecology. New York Springer-Verlag. MacKinnon, J., K. MacKinnon, G. Child, dan J. Thorsell. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir, HH., penerjemah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Managing Protected Areas in the Tropics.
150
Marimin. 2005. Jakarta.
Pengambilan Keputusan: Kriteria Majemuk.
PT Grasindo.
Meijer, W. 1959. Plant sociological analysis of montane rainforest near Tjibodas, West Java. Acta Bot. Neerl., 8, pp.277-291. Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta. _______. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta. _______. 1990a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta. _______. 1990b. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta. [PIK, Dephut] Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan. 2009. Siaran Pers Nomor: S.57/PIK-1/2009 tentang Enam Taman Nasional Memperoleh Perluasan Kawasan. Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Purnomo, H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan, dan Simulasi Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saaty, T. L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. [SER – IUCN] The Society for Ecological Restoration International – International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2004. Ecological Restoration: A Means of Conserving Biodiversity and The Society for Ecological Restoration Sustaining Livelihoods. International. Tucson, Arizona, USA and International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Gland, Switzerland. Seifriz, W. 1923. The altitudinal distribution of plants on Mt. Gedeh, Java. Bull. Torrey Bot. Cl.,Vol. 50, pp.283-305. Setiadi, Y. 2002. Revegetation Concepts for Rehabilitated Degraded Land. Laboratory of Forest Biotechnology and Environment, Bogor Agricultural University. Bogor. Setyadi, A., C. Wulandari, H. R. Putro, S. Andayani, T. Nugroho, dan Z. K. Susilo. 2006. Kemitraan dalam Pengelolaan Taman Nasional: Pelajaran untuk
151
Transformasi Kebijakan. Jakarta.
WWF-Indonesia dan MFP Dephut DFID.
Sharp, A., N. Nakagoshi, and C. McQuistan. 1999. Rural Participatory Buffer Zone Management in Northeastern Thailand. J. For. Res. 4:87-92. Soerianegara, I dan A. Indrawan. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Subdit Pemolaan dan Pengembangan, Direktorat Konservasi Kawasan, Ditjen PHKA, Dephut. 2008. Risalah dan Resume Permasalahan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Subdit Pemolaan dan Pengembangan, Direktorat Konservasi Kawasan, Ditjen PHKA, Dephut. Jakarta. Sundarapandian, S.M. and P.S. Swamy. 2000. Forest ecosystem structure and composition along an altitudinal gradient in the Western Ghats, South India. Journal of Tropical Forest Science 12(1):104-123. Suryadi, I. 2009. Technical Guideline to Object Oriented Classification Using Arc GIS and ENVI EX. Daemeter. Bogor. Wali, M. K. 1992. Ecosystem Rehabilitation (Volume 2: Ecosystem Analysis and Synthesis). SPB Academic Publishing. Netherlands. Walters, B. B. 1997. Human Ecological Questions for Tropical Restoration: Experiences from Planting Native Upland Trees and Mangroves in the Philippines. Forestry Ecology and Management 99:275-290. Whittaker, R. H. 1975. New York.
Communities and Ecosystem.
Macmillan Publishing.
Widianto, B. 2000. Public Participation in River Management View from Conceptual Perspective. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan Vol. 20, No. 1. Wiratno, D. Indriyo, A. Syarifudin, dan A. Kartikasari. 2004. Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. FOReST Press, The Gibbon Foundation Indonesia, Departemen Kehutanan, PILI – NGO Movement. Jakarta. [WRI – IUCN – UNEP] World Resources Institute – International Union for Conservation of Nature and Natural Resources – United Nations Environment Programme. 1995. Strategi Keanekaragaman Hayati Global: Panduan bagi Tindakan untuk Menyelamatkan, Mempelajari, dan Memanfaatkan Kekayaan Biotik Bumi secara Berkelanjutan dan Seimbang. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Yamada, Isamu. 1975. Forest Ecological Studies of the Montane Forest of Mt. Pangrango, West Java: I. Stratification and Floristic Composition of the Montane Rain Forest near Cibodas. South East Asian Studies, Vol.13, No.3, December 1975
152
Zachrisson, A. 2007. Who Should Manage Protected Areas in The Swedish Mountain Region? A Survey Approach to Co-Management. Journal of Environmental Management 87:154-164.
153
LAMPIRAN
154
Lampiran 1 Peta lokasi analisis vegetasi di kawasan TNGGP
155
Lampiran 2 Jumlah dan luas plot analisis vegetasi di kawasan TNGGP
Luas Plot (Ha) No. 1
2
3
4
5
Tipe Vegetasi
Jumlah Plot
Hutan Alam (HA):
75
a. Hutan Alam 1
25
b. Hutan Alam 2
25
c. Hutan Alam 3
25
Hutan Rasamala Campuran (HRC):
75
a. Hutan Rasamala Campuran 1
25
b. Hutan Rasamala Campuran 2
25
c. Hutan Rasamala Campuran 3
25
Hutan Puspa Campuran (HPC):
60
a. Hutan Puspa Campuran 1
25
b. Hutan Puspa Campuran 2
18
c. Hutan Puspa Campuran 3
17
Hutan Damar (HD):
70
a. Hutan Damar 1
25
b. Hutan Damar 2
20
c. Hutan Damar 3
25
Hutan Pinus (HP):
50
a. Hutan Pinus 1
25
b. Hutan Pinus 2
14
c. Hutan Pinus 3
11
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
0,03
0,1875
0,75
3
0,03
0,1875
0,75
3
0,024
0,15
0,6
2,4
0,028
0,175
0,7
2,8
0,02
0,125
0,5
2
156
Lampiran 3 Kondisi taman nasional yang memiliki tipe ekosistem hutan dataran rendah di Indonesia
No.
1
2
3
Taman Nasional
Alas Purwo
Berbak
Bukit Dua Belas
Wilayah
Penutupan lahan
Jawa
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Sumatera
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Sumatera
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Kekayaan vegetasi pohon total
n.d
n.d
n.d
Lereng (%)
Elevasi (m dpl)
n.d
lutung budeng (Trachypithecus auratus auratus), banteng (Bos javanicus javanicus), ajag (Cuon alpinus javanicus), burung merak (Pavo muticus), ayam hutan (Gallus gallus), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus melas), dan kucing bakau (Prionailurus bengalensis javanensis). Satwa langka dan dilindungi seperti penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas)
0%15%
0-322
261
bebek hutan (Cairina scutulata), bangau sandang lawe (Ciconia episcopus stormi), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), sempidan biru (Lophura ignita), kuau (Argusianus argus argus), pecuk ular (Anhinga melanogaster)
0%-8%
0-12.5
198
siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), beruk (Macaca nemestrina), macan dahan (Neofelis nebulosa diardi), kancil (Tragulus javanicus kanchil), beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), kijang (Muntiacus muntjak montanus), meong congkok (Prionailurus bengalensis sumatrana),
0%15%
50-450
Sebaran satwa liar langka/dilindungi
157
Lampiran 3 (Lanjutan) Lutra Sumatera (Lutra sumatrana), ajag (Cuon alpinus sumatrensis), kelinci Sumatera (Nesolagus netscheri), elang ular bido (Spilornis cheela malayensis)
4
5
Bukit Tiga Puluh
Bunaken
6
Danau Sentarum
7
Kepulauan Karimun Jawa
Sumatera
Sulawesi
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Kalimantan
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Jawa
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
n.d
n.d
harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus indicus), ungko (Hylobates agilis), beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), sempidan biru (Lophura ignita), kuau (Argusianus argus argus)
0%>45%
60-843
0%45%
0-800
n.d
orangutan (Pongo satyrus), bekantan (Nasalis larvatus), kera ekor panjang (Macaca fascicularis fascicularis), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), arwana (Sclerophagus formosus)
0%-8%
37-40
n.d
Biota laut : kepala kambing (Cassis cornuta), triton terompet (Charonia tritonis), nautilus berongga (Nautilus pompillius), batu laga (Turbo marmoratus), Satwa lain : rusa (Cervus timorensis subspec), kera ekor panjang
0%15%
0-506
176
55
ikan kuda gusumi (Hippocampus kuda), oci putih (Seriola rivoliana), lolosi ekor kuning (Lutjanus kasmira), goropa (Ephinephelus spilotoceps dan Pseudanthias hypselosoma), ila gasi (Scolopsis bilineatus), moluska : kima raksasa (Tridacna gigas), kepala kambing (Cassis cornuta), nautilus berongga (Nautilus pompillius), dan tunikates/ascidian
n.d
168
158
Lampiran 3 (Lanjutan) (Macaca fascicularis karimondjawae, pergam hijau (Ducula aenea), elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), trocokan/merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier), betet (Psittacula alexandri), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas). 8
9
10
Kepulauan Seribu
Kepulauan Taka Bonerate
Kepulauan Togean
Jawa
Sulawesi
Sulawesi
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
n.d
n.d
n.d
n.d
penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas)
0%-8%
0-2
n.d
penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu lekang (Dermochelys coriacea), moluska : lola (Trochus niloticus), kerang kepala kambing (Cassis cornuta), triton (Charonia tritonis), batulaga (Turbo spp.), kima sisik (Tridacna squamosa), kerang mutiara (Pinctada spp.), dan nautilus berongga (Nautilus pompillius)
0%15%
0-50
363
Rusa (Cervus timorensis), Monyet togean (Macaca togeanus), Biawak togean (Varanus salvator togeanesis), Kuskus beruang (Phalanger ursinus), Tarsius (Tarsius spectrum), Babi rusa (Babyrousa babirussa), Ketam kenari (Birgus latro)Kima raksasa (Tridacna gigas), Kima sisik (Tridacna squamosa), Penyu hijau (Chelonia mydas), Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Lola (Trochus niloticus), Dugong (Dugong dugong)
0%>45%
0-542
159
Lampiran 3 (Lanjutan)
11
12
13
14
Kepulauan Wakatobi
Sulawesi
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Komodo
Bali dan Nusa Tenggara
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Kutai
Manupeu Tanah Daru
Kalimantan
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Bali dan Nusa Tenggara
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
n.d
n.d
n.d
118
n.d
Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta caretta), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), angsa-batu coklat (Sula leucogaster plotus), cerek melayu (Charadrius peronii), raja udang erasia (Alcedo atthis)
0%25%
0-274
n.d
Komodo (Varanus komodoensis), rusa (Cervus timorensis floresiensis), babi hutan (Sus scrofa), ajag (Cuon alpinus javanicus), kuda liar (Equus qaballus), kerbau liar (Bubalus bubalis)
0%45%
0-735
n.d
Orangutan (Pongo satyrus), owa kalimantan (Hylobates muelleri), bekantan (Nasalis larvatus), kera ekor panjang (Macaca fascicularis fascicularis), beruk (M. nemestrina nemestrina), kukang (Nyticebus coucang borneanus), banteng (Bos javanicus lowi), rusa sambar (Cervus unicolor brookei), kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), dan kancil (Tragulus javanicus klossi), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus)
0%45%
0-400
n.d
Burung cempaka (Cacatua sulphurea citrinocristata), julang Sumba (Rhyticeros everetti), punai Sumba (Treron teysmannii), sikatan Sumba (Ficedula harterti), kepodangsungu Sumba (Coracina dohertyi) dan madu Sumba (Nectarinia buettikoferi)
0%>45%
0-600
160
Lampiran 3 (Lanjutan)
15
16
17
Rawa Aopa Watumohai
Sebangau
Sembilang
Sulawesi
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
n.d
323
Tangkasi/podi (Tarsius spectrum spectrum), monyet hitam (Macaca nigra nigra), anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis), anoa pegunungan (B. quarlesi), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis celebensis), rusa (Cervus timorensis djonga), babirusa (Babyrousa babyrussa celebensis), dan musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii musschenbroekii), maleo (Macrocephalon maleo), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), bangau sandang lawe (Ciconia episcopus episcopus), raja udang kalung putih (Halcyon chloris chloris), kakatua putih besar (Cacatua galerita triton), elang-alap dada-merah (Accipiter rhodogaster rhodogaster), merpati hitam Sulawesi (Turacoena manadensis), punai emas (Caloena nicobarica), kacamata Sulawesi (Zosterops sp.).
Kalimantan
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
n.d
166
Orangutan (Pongo pygmaeus), Bekantan (Nasalis larvatus), burung Bangau Tong-tong (Leptoptilus javanicus)
nd
501000
Sumatera
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
17
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), tapir (Tapirus indicus), siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), kucing mas (Catopuma temminckii temminckii), rusa sambar (Cervus unicolor equinus),
0%-8%
0-500
n.d
0%>45%
0-981
161
Lampiran 3 (Lanjutan) buaya (Crocodylus porosus), biawak (Varanus salvator), ikan sembilang (Plotusus canius), labi-labi besar (Chitra indica), lumba-lumba air tawar (Orcaella brevirostris) 18
19
20
21
Siberut
Tanjung Puting
Teluk Cendrawasih
Tesso Nillo
Sumatera
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Kalimantan
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
n.d
n.d
4000
Bokkoi (Macaca pagensis), lutung mentawai/joja (Presbytis potenziani siberu), bilou (Hylobates klossii), dan simakobu (Nasalis concolor siberu)
0%45%
0-384
n.d
Orangutan (Pongo satyrus), bekantan (Nasalis larvatus), lutung merah (Presbytis rubicunda rubida), beruang (Helarctos malayanus euryspilus), kancil (Tragulus javanicus klossi), macan dahan (Neofelis nebulosa), dan kucing hutan (Prionailurus bengalensis borneoensis)
0%15%
0-11
0%45%
0-915
nd
100200
Maluku dan Papua
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
7
n.d
Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang (Lepidochelys olivaceae), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Duyung (Dugong dugon), paus biru (Balaenoptera musculus), ketam kelapa (Birgus latro), moluska : keong cowries (Cypraea spp.), keong strombidae (Lambis spp.), keong kerucut (Conus spp.), triton terompet (Charonia tritonis), kima raksasa (Tridacna gigas)
Sumatera
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
n.d
360
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), rusa (Cervus timorensis russa),
162
Lampiran 3 (Lanjutan)
22
23
24
Ujung Kulon
Wasur
Way Kambas
Jawa
Maluku dan Papua
Sumatera
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
n.d
n.d
n.d
700
Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), banteng (Bos javanicus javanicus), ajag (Cuon alpinus javanicus), surili (Presbytis comata comata), lutung (Trachypithecus auratus auratus), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus), kucing batu (Prionailurus bengalensis javanensis), owa (Hylobates moloch), dan kima raksasa (Tridacna gigas)
0%>45%
0-620
n.d
Kanguru pohon (Dendrolagus spadix), kesturi raja (Psittrichus fulgidus), kasuari gelambir (Casuarius casuarius sclateri), dara mahkota/mambruk (Goura cristata), cendrawasih kuning besar (Paradisea apoda novaeguineae), cendrawasih raja (Cicinnurus regius rex), cendrawasih merah (Paradisea rubra), buaya air tawar (Crocodylus novaeguineae), dan buaya air asin (C. porosus)
0%25%
0-90
n.d
Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus indicus), anjing hutan (Cuon alpinus sumatrensis), siamang (Hylobates syndactylus syndactylus); bebek hutan (Cairina scutulata), bangau sandang lawe (Ciconia episcopus stormi), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), sempidan biru (Lophura ignita), kuau (Argusianus argus argus), pecuk ular (Anhinga melanogaster)
0%15%
0-50
163
Lampiran 3 (Lanjutan)
No.
Taman Nasional
Wilayah
1
Alas Purwo
Jawa
2
Berbak
Sumatera
3
Bukit Dua Belas
Sumatera
4
Bukit Tiga Puluh
Sumatera
5
Bunaken
Sulawesi
6
Danau Sentarum Kepulauan Karimun Jawa Kepulauan Seribu Kepulauan Taka Bonerate Kepulauan Togean
7 8 9 10
Jenis tanah Mediteran coklat dan litosol, reusol, grumosol, alluvial hidromorf Organosol
Intensitas hujan (mm/hari)
Curah hujan (mm/thn)
Luas kerusakan (ha)
Kepadatan penduduk (jiwa/km2)
Luas penguasaan lahan (ha)
n.d
1000-1500
10
n.d
n.d
n.d
2300
400
n.d
n.d
n.d
3294-3669
n.d
n.d
n.d
n.d
2577
2
n.d
n.d
n.d
2500-3500
13
n.d
n.d
Kalimantan
Podsolik merah kuning, alluvial Podsolik merah kuning, latosol merah Tanah berbatu dan berpasir, berbatu karang/gamping, andesit, basalt Histosol (Gambut)
n.d
2500-5000
n.d
n.d
n.d
Jawa
Litosol, grumosol kelabu tua
n.d
3000
n.d
n.d
n.d
Jawa
karang
n.d
3.015
n.d
n.d
n.d
Sulawesi
entisol
n.d
1526-1708
n.d
n.d
n.d
n.d
nd
380
n.d
n.d
nd
1000-2200
nd
nd
nd
n.d
800-1000
1
n.d
n.d
Sulawesi
11
Kepulauan Wakatobi
Sulawesi
12
Komodo
Bali dan Nusa Tenggara
Latosol, regosol, alluvial, kambisol, mediteran Kambisol, mediteran, gleisol, podsolik, alluvial, grumosol, regosol Mediteran merah kuning, tanah komplek campuran beberapa jenis tanah termasuk latosol dan grumosol
164
Lampiran 3 (Lanjutan) 13
Kutai
14
Manupeu Tanah Daru
Kalimantan Bali dan Nusa Tenggara
n.d
n.d
1500
1804
n.d
n.d
Alluvial, batuan
n.d
2000
n.d
n.d
n.d
n.d
1500-2000
12125
n.d
n.d
n.d
n.d
55951
n.d
n.d
n.d
2600
n.d
n.d
n.d
n.d
2900-3700
n.d
n.d
n.d
latosol
n.d
2400
n.d
n.d
n.d
Aluvial dan tanah kompleks
n.d
1200-3700
n.d
n.d
n.d
Tropohemist dan paleudults n.d Komplek grumosol, regosol, 22 Ujung Kulon Jawa mediteran, posolik kekuningan n.d dan coklat, latosol Maluku Aluvial, gleisol, kambisol, 23 Wasur n.d dan Papua podsolik Kombinasi podsolik coklat kuning, merah kuning, asosiasi 24 Way Kambas Sumatera n.d aluvial hidromorf, gley humus lascustrin Keterangan: n.d = no data, Sumber data: Ditjen PHKA, Dephut – LHI – JICA, 2007
2000-3000
8427
n.d
n.d
3200
3436
n.d
n.d
2400
n.d
n.d
n.d
2500 -3000
n.d
n.d
n.d
15
Rawa Aopa Watumohai
Sulawesi
16
Sebangau
Kalimantan
17
Sembilang
Sumatera
18
Siberut
Sumatera
19
Tanjung Puting Teluk Cendrawasih Tesso Nillo
Kalimantan Maluku dan Papua Sumatera
20 21
Glei humus, aluvial, hidromorf aluvial, brown forest soil, mediteran merah kuning, podsolik merah kuning, litosol, latosol Histosol (gambut) Typic endoaquaeps, psammaquents, sulfic endoaquents, typic sulfaquents, terric sulfihemist, typic haplo saprists n.d
165
Lampiran 4 Kondisi taman nasional yang memiliki tipe ekosistem hutan pegunungan di Indonesia
Taman Nasional
No.
1
2
3
Aketajawe Lolobata
Bali Barat
Baluran
Wilayah
Maluku dan Papua
Bali dan Nusa Tenggara
Jawa
Penutupan lahan
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Kekayaan vegetasi pohon total
n.d
175
n.d
Sebaran satwaliar langka/dilindungi
Lereng (%)
Elevasi (m dpl)
n.d
Mandar gendang (Habroptila walacii), Cekakak murung (Todiramphus funebris), Kepudang sungu Halmahera (Coracina parvula), Kepudang Halmahera (Oriolus phaeochromus), Kupu-kupu raja (Papilo heringi), berbagai jenis satwa seperti Biawak air (Hydrosaurus werneri), Biawak darat (Varanus sp.), Kuskus Halmahera (Phalanger sp.), Babi hutan (Sus scrofa), Rusa (Cervus timorensis)
n.d
0-3027
n.d
Jalak bali (Leucopsar rothschildi), jalak putih (Sturnus melanopterus), terucuk (Pycnonotus goiavier), ibis putih kepala hitam (Threskiornis melanocephalus), kijang (Muntiacus muntjak nainggolani), luwak (Pardofelis marmorata), trenggiling (Manis javanica), landak (Hystrix brachyura brachyura), kancil (Tragulus javanicus javanicus), banteng (Bos javanicus)
0%>45%
0-1986
423
Banteng (Bos javanicus javanicus), kerbau liar (Bubalus bubalis), ajag (Cuon alpinus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak muntjak), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus melas), kancil (Tragulus javanicus pelandoc), dan kucing bakau (Prionailurus viverrinus), layang-layang api (Hirundo rustica), tuwuk/tuwur asia (Eudynamys
0%>45%
0-1427
166
Lampiran 4 (Lanjutan) scolopacea), burung merak (Pavo muticus), ayam hutan merah (Gallus gallus), kangkareng (Anthracoceros convecus), rangkong (Buceros rhinoceros), dan bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus)
4
5
Bantimurung Bulusarung
Batang Gadis
Sulawesi
Sumatera
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
n.d
63
n.d
Kera hitam (Macaca maura), Kuskus sulawesi (Phalanger celebencis), Musang sulawesi (Macrogolidia mussenbraecki), Rusa (Cervus timorensis), burung Enggang hitam (Halsion cloris), Raja udang (Halsion cloris), Kupu-kupu (Papilio blumei, Papilio satapses, Troides halipton, Troides helena), Ular phyton (Phyton reticulates), Ular daun, Biawak besar (Paranus sp.), Kadal terbang
n.d
601300
225
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Tapir (Tapirus indicus), Beruang Madu (Helarctos Malayanus), Orang Utan (Pongo Pygmaeus) ras Angkola, Siamang (Hylobates syndactylus), amfibi tak berkaki (Ichtyopis glutinosa), katak bertanduk tiga (Megophyris nasuta), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), kucing hutan (Catopuma temminckii), kancil (Tragulus javanicus), binturong (Arctitis binturong) , rusa (Cervus unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjac)dan landak (Hystix brachyura), Burung Lophura inornata (salvadori pheasant) dan Pitta schneiderii (schneider's pitta)
n.d
3002145
167
Lampiran 4 (Lanjutan)
6
7
8
Betung Kerihun
Bogani Nani Wartabone
Bromo Tengger Semeru
Kalimantan
Sulawesi
Jawa
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, semak belukar, lahan terbuka
121
400
102
1.216
Kelasi (Presbytis rubicunda rubicunda), orangutan (Pongo satyrus), klampiau (Hylobates muelleri), kepuh (Presbytis frontata frontata), dan kokah (P. femoralis chrysomelas), rusa sambar (Cervus unicolor brookei), tangkasi (Tarsius bancanus borneanus), owa Kalimantan (Hylobates muelleri) , beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), lutra (Lutra sumatrana), dan kancil (Tragulus napu borneanus)
0%>45%
1502000
> 1000
Maleo (Macrocephalon maleo), dan kelelewar bone (Bonea bidens), monyet hitam/yaki (Macaca nigra nigra), monyet dumoga bone (M. nigrescens), tangkasi (Tarsius spectrum spectrum), musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii musschenbroekii), anoa besar (Bubalus depressicornis), anoa kecil (B. quarlesi), babirusa (Babyrousa babirussa celebensis)
n.d
501954
900
Luwak (Pardofelis marmorata), rusa (Cervus timorensis ), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), kijang (Muntiacus muntjak ), ayam hutan merah (Gallus gallus), macan tutul (Panthera pardus ), ajag (Cuon alpinus ); dan berbagai jenis burung seperti alap-alap burung (Accipiter virgatus ), rangkong (Buceros rhinoceros silvestris), elang ular bido (Spilornis cheela bido), srigunting hitam (Dicrurus macrocercus), elang bondol (Haliastur indus)
0->45%
7503676
168
Lampiran 4 (Lanjutan)
9
10
11
Bukit Baka Bukit Raya
Bukit Barisan Selatan
Gunung Ciremai
Kalimantan
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Sumatera
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Jawa
hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, semak belukar, lahan terbuka
200
163
817
Macan dahan (Neofelis nebulosa), orangutan (Pongo satyrus), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), lutung merah (Presbytis rubicunda rubicunda), kukang (Nyticebus coucang borneanus), rusa sambar (Cervus unicolor brookei), bajing terbang (Petaurista elegans banksi), musang belang (Visvessa tangalunga), enggang gading (Rhinoplax vigil), rangkok badak (Buceros rhinoceros borneoensis), enggang hitam (Anthracoceros malayanus), delimukan zamrud (Chalcophaps indica), uncal kouran (Macropygia ruficeps), kuau raja (Argusianus argus grayi), dan kuau kerdil Kalimantan (Polyplectron schleiermacheri)
0%>45%
1502278
817
Beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), tapir (Tapirus indicus), ungko (Hylobates agilis), siamang (H. syndactylus syndactylus), simpai (Presbytis melalophos fuscamurina), kancil (Tragulus javanicus kanchil), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata)
0%>45%
0-1964
8%>45%
2-3078
n.d
Macan kumbang (Phantera pardus), Kijang (Muntiacus muntjak), Landak (Zaglossus brujini), Surili (Presbytis comata), Elang Jawa (Spizaetus bartelsii), Ular sanca (Phyton sp.)
169
Lampiran 4 (Lanjutan)
12
13
14
15
Gunung Gede Pangrango
Gunung Halimun Salak
Gunung Leuser
Gunung Merapi
Jawa
Jawa
hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, semak belukar, lahan terbuka
Sumatera
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Jawa
hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, semak belukar, lahan terbuka
121
128
127
95
1000
Elang jawa (Spizaetus bartelsi), elang hitam, owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata comata), kijang (Muntiacus muntjak muntjak), macan tutul (Panthera pardus melas), dan anjing hutan (Cuon alpinus javanicus)
0>45%
600 3019
n.d
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), burung cica matahari (Crocias albonotatus), burung poksai kuda (Garrulax rufifrons), owa (Hylobates moloch), kancil (Tragulus javanicus javanicus), surili (Presbytis comata comata), lutung budeng (Trachypithecus auratus auratus), kijang (Muntiacus muntjak muntjak), macan tutul (Panthera pardus melas), dan anjing hutan (Cuon alpinus javanicus)
0>45%
5001929
Mawas/orangutan (Pongo abelii), siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Capricornis sumatraensis), rangkong (Buceros bicornis), rusa sambar (Cervus unicolor), dan kucing hutan (Prionailurus bengalensis sumatrana)
0%>45%
0-3149
Elang jawa (Spizaetus bartelsii), macan tutul (Panthera pardus), kucing besar (Felis sp.), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung kelabu (Presbytis fredericae), babi hutan (Sus sucrofa/vittatus), kijang (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus timorensis)
8% >45%
502500
30004000
n.d
170
Lampiran 4 (Lanjutan)
16
17
18
Gunung Merbabu
Gunung Palung
Gunung Rinjani
Jawa
Kalimantan
Bali dan Nusa Tenggara
hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
n.d
n.d
n.d
Elang jawa (Spizaetus bartelsii) dan macan tutul (Panthera pardus), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung hitam (tracypithecus auratus), lutung kelabu (Presbytis fredericae)
8% >45%
10003142
n.d
Bekantan (Nasalis larvatus), orangutan (Pongo satyrus), bajing tanah bergaris empat (Lariscus hosei), kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), beruk (Macaca nemestrina nemestrina), klampiau (Hylobates muelleri), kukang (Nyticebus coucang borneanus), rangkong badak (Buceros rhinoceros borneoensis), kancil (Tragulus napu borneanus), ayam hutan (Gallus gallus), enggang gading (Rhinoplax vigil), buaya siam (Crocodylus siamensis), kura-kura gading (Orlitia borneensis), dan penyu tempayan (Caretta caretta), tupai kenari (Rheithrosciurus macrotis)
0%>45%
9001116
n.d
Musang rinjani (Paradoxurus hemaproditus rinjanicus), kijang (Muntiacus muntjak nainggolani), lutung budeng (Trachypithecus auratus kohlbruggei), trenggiling (Manis javanica), burung cikukua tanduk (Philemon buceroides neglectus), dawah hutan (Ducula lacernulata sasakensis), kepudang kuduk hitam (Oriolus chinensis broderipii)
n.d
5503726
n.d
171
Lampiran 4 (Lanjutan)
19
Kayan Mentarang
20
Kelimutu
21
Kerinci Seblat
Kalimantan
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Bali dan Nusa Tenggara
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
Sumatera
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
n.d
78
n.d
Macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), lutung dahi putih (Presbytis frontata frontata), dan banteng (Bos javanicus lowi)
0%>45%
3002000
n.d
Punai Flores (Treron floris), burung hantu wallacea (Otus silvicola), sikatan rimba-ayun (Rhinomyias oscillans), kancilan Flores (Pachycephala nudigula), sepah kerdil (Pericrocotus lansbergei), tesia Timor (Tesia everetti), opior jambul (Lophozosterops dohertyi), opior paruh tebal (Heleia crassirostris), cabai emas (Dicaeum annae), kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), burung madu matari (Nectarinia solaris), dan elang Flores (Spizaetus floris), banteng (Bos javanicus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak nainggolani), luwak (Pardofelis marmorata), trenggiling (Manis javanica), landak (Hystrix brachyura brachyura), dan kancil (Tragulus javanicus javanicus)
0%>45%
15001731
4000
Burung rangkong (Buceros rhinoceros sumatranus), julang (Aceros undulatus undulatus), burung gading (Rhinoplax vigil), kucing emas (Catopuma temminckii temminckii)
0%>45%
8001500
172
Lampiran 4 (Lanjutan)
22
23
24
Laiwangi Wanggameti
Lore Lindu
Lorentz
Bali dan Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku dan Papua
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
73
n.d
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis fascicularis), babi hutan (Sus sp.), biawak (Varanus salvator), ular sanca Timor (Phyton timorensis), dan ayam hutan (Gallus gallus), burung walik rawamanu (Ptilinopus dohertyi), punai Sumba (Treron teysmannii), gemak Sumba (Turnix everetti), kakatua cempaka (Cacatua sulphurea citrinocristata), nuri (Lorius domicella), sikatan Sumba (Ficedula harterti), kepodang-sungu Sumba (Coracina dohertyi), dan madu Sumba (Nectarinia buettikoferi)
n.d
501225
n.d
Kera tonkean (Macaca tonkeana tonkeana), babi rusa (Babyrousa babyrussa celebensis), tangkasi (Tarsius diannae dan T. pumilus), kuskus (Ailurops ursinus furvus dan Strigocuscus celebensis callenfelsi), maleo (Macrocephalon maleo), katak Sulawesi (Bufo celebensis), musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii musschenbroekii), tikus Sulawesi (Rattus celebensis), kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus), ular emas (Elaphe erythrura), dan ikan endemik yang berada di Danau Lindu (Xenopoecilus sp.)
0%>45%
3002610
n.d
Cendrawasih ekor panjang (Paradigalla caruneulata) dan puyuh salju (Anurophasis monorthonyx),babi duri moncong panjang (Zaglossus bruijnii), babi duri moncong pendek (Tachyglossus aculeatus), kuskus (Phalanger orientalis), walabi, kucing hutan, kasuari dan kanguru pohon
n.d
0-5030
173
Lampiran 4 (Lanjutan)
25
26
Manusela
Meru Betiri
Maluku dan Papua
Jawa
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka
54
n.d
n.d
Kesturi ternate (Lorius garrulus), nuri tengkuk ungu/nuri kepala hitam (L. domicella), kakatua Seram (Cacatua moluccensis), raja udang (Halcyon lazuli dan H. sancta), burung madu Seram besar (Philemon subcorniculatus), dan nuri raja/nuri ambon (Alisterus amboinensis) rusa (Cervus timorensis moluccensis), kuskus (Phalanger orientalis), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), babi hutan (Sus celebensis), luwak (Pardofelis marmorata), kadal panama (Tiliqua gigas gigas), duyung (Dugong dugon), penyu hijau (Chelonia mydas),
0%>45%
0-3027
n.d
Loreng Jawa (Panthera tigris sondaica), banteng (Bos javanicus javanicus), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), macan tutul (Panthera pardus melas), ajag (Cuon alpinus javanicus), kucing hutan (Prionailurus bengalensis javanensis), rusa (Cervus timorensis russa), bajing terbang ekor merah (Iomys horsfieldii), merak (Pavo muticus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu ridel/lekang (Lepidochelys olivacea)
3%>45%
9001223
174
Lampiran 4 (Lanjutan) No.
Taman Nasional
Wilayah
Jenis tanah
Intensitas hujan (mm/hari)
Curah hujan (mm/thn)
Luas kerusakan (ha)
Kepadatan penduduk (jiwa/km2)
Luas penguasaan lahan (ha)
n.d
2000-2500
960
n.d
n.d
n.d
972 – 1550
n.d
n.d
n.d
n.d
900 - 1600
n.d
n.d
n.d
n.d
n.d
n.d
n.d
n.d
1
Aketajawe Lolobata
Maluku dan Papua
tropopets, rendolls
Bali Barat
Bali dan Nusa Tenggara
alluvial, latosol, mediteran
2
3
Baluran
Jawa
4
Bantimurung Bulusarung
Sulawesi
5
Batang Gadis
Sumatera
n.d
n.d
n.d
932
n.d
n.d
6
Betung Kerihun
Kalimantan
podsolik merah kuning, komplek podsolik merah kuning dan latosol
n.d
2863-5517
1800
n.d
n.d
7
Bogani Nani Wartabone
Sulawesi
dystropepts (brown forest soil/kambisol), humitropepts (brown forest soil/kambisol), tropohumults (podsolik kelabu)
n.d
1200 – 2000
3586
n.d
n.d
8
Bromo Tengger Semeru
Jawa
n.d
6604.4
19
n.d
n.d
9
Bukit Baka Bukit Raya
Kalimantan
n.d
2757
n.d
n.d
n.d
andosol, latosol, mediteran merah kuning, grumusol, alluvium rendolit, eutropepts
regosol dan litosol podsolik merah kuning, latosol,litosol
175
Lampiran 4 (Lanjutan) 10
Bukit Barisan Selatan
Sumatera
alluvial, rensina, latosol, podsolik merah kuning
n.d
1000 4000
57089
n.d
n.d
11
Gunung Ciremai
Jawa
n.d
n.d
2000-4000
2905
250 - >499
n.d
latosol coklat, asosiasi andosol, coklat dan regosol coklat, kompleks regosol kelabu dan litosol, abu pasir, tuf, dan batuan vulkan intermedier sampai dengan basis
18 - 33
3000 4000
2164
250 - >499
<0,25 - >1
n.d
4000 6000
7317
n.d
n.d
n.d
2000 3200
12706
n.d
n.d
12
Gunung Gede Pangrango
Jawa
13
Gunung Halimun Salak
Jawa
andosol dan latosol
14
Gunung Leuser
Sumatera
organosol dan gleihumus, regosol, podsolik merah kuning (batuan endapan), podsolik merah kuning (batuan alluvial), andosol,litosol, komplek podsolik merah kuning, latosol dan litosol, komplek podsolik coklat, komplek resina dan litosol
15
Gunung Merapi
Jawa
regosol, andosol, alluvial dan litosol
n.d
875-2527
n.d
471-967
n.d
16
Gunung Merbabu
Jawa
n.d
n.d
n.d
51
n.d
n.d
17
Gunung Palung
Kalimantan
Organosol, alluvial, regosol, podsol
n.d
3000
143
n.d
n.d
18
Gunung Rinjani
Bali dan Nusa Tenggara
Regosol, Mediteran, Litosol
n.d
2000
2
n.d
n.d
176
Lampiran 4 (Lanjutan) 19
Kayan Mentarang
Kalimantan
ultisol, alluvial
Kelimutu
Bali dan Nusa Tenggara
regosol, mediteran dan latosol
20
n.d
3100
n.d
n.d
n.d
n.d
1600 – 3300
n.d
n.d
n.d
n.d
3000
142519
n.d
n.d
n.d
1900
278
n.d
n.d
n.d
2000 3000
6333
n.d
n.d
21
Kerinci Seblat
Sumatera
andosol, latosol, podsolik, alluvial, komplek (podsolik, latosol dan litosol), komplek (latosol dan litosol)
22
Laiwangi Wanggameti
Bali dan Nusa Tenggara
n.d
23
Lore Lindu
Sulawesi
24
Lorentz
Maluku dan Papua
n.d
n.d
3700 – 10000
n.d
n.d
n.d
25
Manusela
Maluku dan Papua
n.d
n.d
1500 – 2000
100
n.d
n.d
26
Meru Betiri
Jawa
alluvial, regosol, latosol
n.d
2300
n.d
n.d
n.d
entisol, inseptisol, alfisol, ultisol
Keterangan: n. d = no data Sumber data: Ditjen PHKA, Dephut – LHI – JICA, 2007
177
Lampiran 5 Perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi Lampiran 5.1 Perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan suatu kawasan hutan konservasi No.
Kriteria Hipotetik
1.
Karakteristik atau keunikan ekosistem
2.
Spesies khusus yang diminati, nilai kelangkaan, atau terancam Tempat yang memiliki keanekaragama n spesies Landskap atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan Fungsi perlindungan hidrologi
3.
4.
5.
6. 7. 8.
Fasilitas untuk rekreasi alam/wisata Tempat peninggalan budaya
Pakar I Tipe ekosistem hutan dari pegunungan sampai pantai Spesies yang dilindungi oleh peraturan
Pakar II Keanekaragaman jenis satwaliar Habitat satwaliar
Kriteria Pakar Pakar III Keanekaragaman tipe ekosistem Memiliki keunikan jenis
Pakar IV Kerentanan ekosistem
Pakar V Keanekaragaman jenis flora
Rekapitulasi Kriteria
Perumusan Kriteria
Tipe ekosistem hutan dari pegunungan sampai pantai Keanekaragaman tipe ekosistem
Keanekaragaman tipe ekosistem
Kerentanan ekosistem
Keberadaan jenis langka dan dilindungi
Keanekaragaman hayati
Potensi keanekaragaman hayati
Jenis-jenis terancam punah, dilindungi, dan rawan Potensi keanekaragaman hayati
Potensi keanekaragaman jenis
Landskap atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan
Landskap atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan
Landskap atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan
Habitat satwaliar
Ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir
Konservasi tanah dan air di DAS
Fungsi perlindungan hidrologi
Fungsi perlindungan hidrologi
Lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam
Fasilitas untuk rekreasi alam/wisata Tempat peninggalan budaya Manfaat
Fasilitas untuk rekreasi alam/wisata Tempat peninggalan budaya Fungsi logistik
Jenis rekreasi alam yang dapat dilakukan Tempat pemujaan
Potensi keanekaragaman hayati (satwaliar, flora) Memiliki keunikan jenis Spesies yang dilindungi oleh peraturan Jenis-jenis
Logistik bagi penelitian dan pendidikan Pemanfaatan SDA
Tempat peninggalan budaya
178
No.
Kriteria Hipotetik Pakar I keberadaan kawasan hutan konservasi bagi stakeholders
9. 10. 11.
12. 13. 14. 15. 16. 17.
Pakar II
Kriteria Pakar Pakar III bagi penelitian dan pendidikan
Pakar IV
Rekapitulasi Kriteria
Perumusan Kriteria
terancam punah, dilindungi, dan rawan
secara lestari oleh stakeholders
Pakar V
Fungsi perlindungan hidrologi Konservasi tanah dan air di DAS Landskap atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan Jenis rekreasi alam yang dapat dilakukan Fasilitas untuk rekreasi alam/wisata Tempat peninggalan budaya Tempat pemujaan Fungsi logistik bagi penelitian dan pendidikan Manfaat keberadaan kawasan hutan konservasi bagi stakeholders
179
Lampiran 5.2 Perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kemendesakan suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kriteria Hipotetik Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Luasan suatu kawasan hutan konservasi Keberadaan hutan monokultur di suatu kawasan hutan konservasi Terdapatnya aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi
Kriteria Pakar Pakar III Tingkat kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
Pakar IV Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
Luasan suatu kawasan hutan konservasi
Luasan suatu kawasan hutan konservasi
Luasan suatu kawasan hutan konservasi
Keberadaan hutan monokultur di suatu kawasan hutan konservasi
Keberadaan hutan miskin jenis di suatu kawasan hutan konservasi
Keberadaan hutan monokultur di suatu kawasan hutan konservasi
Sebaran kerusakan kawasan hutan konservasi
Terdapatnya aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi Besarnya kepedulian stakeholders sebagai akibat penerima manfaat kawasan hutan konservasi
Terdapatnya aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan
Macam aktivitas masyarakat sekitar di kawasan hutan konservasi
Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan
Luasan suatu kawasan hutan konservasi
Bentuk kerusakan kawasan hutan konservasi
Luasan suatu kawasan hutan konservasi
Keberadaan hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi
Sebaran kerusakan kawasan hutan konservasi
Keberadaan hutan monokultur (miskin jenis) di suatu kawasan hutan
Macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi
Pakar I Kerusakan/degrad asi kawasan hutan konservasi
Pakar II Aktivitas masyarakat
Pakar V Kerusakan kawasan hutan konservasi
Rekapitulasi Kriteria
Perumusan Kriteria
Kerusakan/degrada si kawasan hutan konservasi (tingkatan/persenta senya) Bentuk kerusakan kawasan hutan konservasi
Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
180
No.
Kriteria Hipotetik Pakar I
7.
8.
9.
Pakar II
Kriteria Pakar Pakar III
Rekapitulasi Kriteria Pakar IV
Perumusan Kriteria
Pakar V konservasi Terdapatnya aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi Macam aktivitas masyarakat sekitar di kawasan hutan konservasi Besarnya kepedulian stakeholders sebagai akibat penerima manfaat kawasan hutan konservasi
Besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi
181
Lampiran 6 Perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi No.
Kriteria Hipotetik
Kriteria Pakar Pakar III Penutupan lahan
Rekapitulasi Kriteria
Perumusan Kriteria
Pakar IV Penutupan lahan
Pakar V Ketinggian
Penutupan lahan
Penutupan lahan
Potensi habitat satwaliar Kebutuhan lahan masyarakat
Lereng (slope)
Lereng (slope)
Lereng
Hutan monokultur
Elevasi
Elevasi
Iklim
Kekayaan jenis vegetasi
Wilayah jelajah satwaliar
Jenis tanah (kepekaan terhadap erosi) Intensitas hujan (Curah hujan tahunan ratarata/hari hujan total dalam satu tahun) Kekayaan jenis vegetasi
Jenis tanah (kepekaan terhadap erosi) Intensitas hujan (Curah hujan tahunan ratarata/hari hujan total dalam satu tahun)
Kekayaan jenis vegetasi Sebaran satwaliar langka atau dilindungi Lereng (slope)
Sebaran satwaliar langka dan dilindungi Luas kerusakan kawasan hutan konservasi Kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi
Sebaran satwaliar langka dan dilindungi Luas kerusakan kawasan hutan konservasi Kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi
Luas penguasaan lahan untuk
Komposisi jenis
Pakar II Penutupan lahan
2.
Penutupan lahan Lereng (slope)
Pakar I Penutupan lahan Lereng (slope)
3.
Elevasi
Elevasi
4.
Jenis tanah (kepekaan terhadap erosi) Intensitas hujan (Curah hujan tahunan ratarata/hari hujan total dalam satu tahun) Kekayaan jenis vegetasi
Jenis tanah (kepekaan terhadap erosi) Intensitas hujan (Curah hujan tahunan ratarata/hari hujan total dalam satu tahun) Kekayaan jenis vegetasi
Sebaran satwaliar langka dan dilindungi Luas kerusakan kawasan hutan konservasi Kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi
Sebaran satwaliar langka dan dilindungi Luas kerusakan kawasan hutan konservasi Kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi
1.
5.
6. 7. 8. 9.
10.
Kekayaan jenis vegetasi
Komposisi jenis Potensi habitat satwaliar
Elevasi/ketinggian
Sebaran satwaliar langka dan dilindungi Wilayah jelajah satwaliar
Jenis tanah
Lereng (slope)
Luas kerusakan kawasan hutan konservasi Kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi
Elevasi/ketinggian
Jenis tanah (kepekaan terhadap
Intensitas hujan
Luas pemilikan/ penguasaan lahan
182
No.
Kriteria Hipotetik Pakar I
11.
12. 13. 14.
15.
Pakar II
Kriteria Pakar Pakar III matapencaharian
Pakar IV
Hutan monokultur
Rekapitulasi Kriteria
Perumusan Kriteria
erosi)
rata-rata masyarakat di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi
Pakar V
Intensitas hujan (Curah hujan tahunan ratarata/hari hujan total dalam satu tahun) Iklim Luas kerusakan kawasan hutan konservasi Kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi Luas penguasaan lahan untuk matapencaharian
183
Lampiran 7 Perumusan kriteria, subkriteria, dan alternatif kegiatan/tindakan restorasi kawasan TNGGP Lampiran 7.1 Perumusan kriteria prioritas kegiatan/tindakan restorasi kawasan TNGGP No. 1. 2. 3. 4.
Kriteria Hipotetik Ekologi Ekonomi Sosial
Pakar I Ekologi Ekonomi Sosial
Pakar II -
Kriteria Pakar Pakar III Ekologi Ekonomi Sosial-Budaya
Pakar IV Ekologi Ekonomi Sosial
Pakar V Ekologi Ekonomi Sosial
Rekapitulasi Kriteria
Perumusan Kriteria
Ekologi Ekonomi Sosial Sosial-Budaya
Ekologi Ekonomi Sosial-Budaya
Rekapitulasi Kriteria
Perumusan Kriteria
Tegakan pohon monokultur eksotik
Tegakan pohon eksotik, miskin jenis (Hutan tanaman jenis eksotik) Tegakan pohon asli, miskin jenis (Hutan tanaman jenis asli) Tegakan pohon asli, miskin jenis, ada jenis eksotik (Hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik) Tegakan pohon asli, kaya jenis, ada jenis eksotik (Hutan alam ada jenis eksotik) Tidak bervegetasi
Lampiran 7.2 Perumusan subkriteria prioritas kegiatan/tindakan restorasi kawasan TNGGP No.
Kriteria Hipotetik
1.
Tegakan pohon eksotik
Pakar I Tegakan pohon monokultur
2.
Tegakan pohon asli monokultur
Tegakan pohon campuran
3.
Vegetasi pohon ada jenis-jenis eksotik
Vegetasi pohon ada jenis-jenis eksotik
4.
Tidak bervegetasi pohon
5.
Pakar II -
Kriteria Pakar Pakar III Tegakan/vegetasi dominasi pohon eksotik
Pakar IV Tegakan pohon eksotik
Pakar V -
Tegakan/vegetasi dominasi pohon asli Tegakan/vegetasi pohon campuran, ada jenis-jenis eksotik
Tegakan pohon asli monokultur
Tegakan pohon monokultur asli
Vegetasi pohon ada jenis-jenis eksotik
Tegakan pohon campuran dominasi eksotik
Tidak bervegetasi pohon
Tidak bervegetasi pohon
Tidak bervegetasi pohon
Tegakan pohon campuran dominasi asli
Vegetasi kurang
Tegakan/vegetasi
Vegetasi pohon ada
184
No.
Kriteria Hipotetik Pakar I
Pakar II
jenis
Kriteria Pakar Pakar III miskin jenis
Pakar IV
Rekapitulasi Kriteria
Perumusan Kriteria
jenis-jenis eksotik Tidak bervegetasi pohon Tegakan/vegetasi miskin jenis (kurang jenis)
pohon
Rekapitulasi Kriteria
Perumusan Kriteria
Dibiarkan secara alami/restorasi alami Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM)
Restorasi Alami/ Dibiarkan Secara Alami/ Tanpa Tindakan (RA) Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM)
Pakar V
6. 7.
Lampiran 7.3 Perumusan alternatif kegiatan/tindakan restorasi kawasan TNGGP No. 1.
2.
3.
4.
Kriteria Hipotetik Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM) Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM) Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM) Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan
Kriteria Pakar Pakar III Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM) Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM)
Pakar IV Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM) Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM)
Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM)
Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM)
Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRBMM)
Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM)
Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM)
Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat
Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat
Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRB-
Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-
Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-
Pakar I Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM) Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM)
Pakar II Dibiarkan secara alami
Pakar V Restorasi alami
185
No.
5.
6.
7.
8.
9.
Kriteria Hipotetik Masyarakat (TPRB-TMM) Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM) Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM) Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM) Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRB-TMM) Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan
Pakar I (TPRB-TMM)
Pakar II
Kriteria Pakar Pakar III (TPRB-TMM)
Pakar IV TMM)
Rekapitulasi Kriteria
Perumusan Kriteria
MM)
MM)
Pakar V
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM)
Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRBTMM)
Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRBTMM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM)
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM)
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM)
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM)
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRB-TMM)
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRB-TMM)
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRB-TMM)
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM)
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM)
Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat
Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat
Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRBMM)
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat
186
No.
10.
11.
Kriteria Hipotetik Masyarakat (EPRB-MM) Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRB-TMM)
Pakar I (EPRB-MM) Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRB-TMM)
Pakar II
Kriteria Pakar Pakar III (EPRB-MM) Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRB-TMM)
Rekapitulasi Kriteria
Perumusan Kriteria
(THSBRB-TMM)
(THSBRB-TMM)
Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRBTMM)
Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRBMM)
Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRBMM)
Dibiarkan secara alami
Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRBTMM)
Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRBTMM)
Pakar IV
Pakar V
187
Lampiran 8 Daftar jenis tumbuhan di kawasan TNGGP berdasarkan tipe vegetasi hutan Lampiran 8.1 Daftar jenis tumbuhan pada Hutan Alam No. 1
Nama Latin Abarema clypearia (Jack) Kosterm.
Nama Lokal
Family
Haruman
Mimosaceae
2
Acer laurinum Hassk.
Huru beas
Aceraceae
3
Acronychia laurifolia Bl.
Ki jeruk
Rutaceae
4
Alangium chinense (Lour.) Rehder.
Ki careuh
Alangiaceae
5
Alangium villosum Wang
Ki sauheun
Alangiaceae
6
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
Hamamelidaceae
7
Antidesma tetandrum Bl.
Ki seueur
Euphorbiaceae
8
Astronia macrophylla Bl.
Ki harendong
Melastomataceae
9
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
Lauraceae
10
Brassaiopsis glomerulata (BI.) Regel
Panggang rante
Araliaceae
11
Bruismia styracoides Boerl. & Koord.
Ki dage
Styracaceae
12
Buchanania arborescens Bl.
Ki tanjung
Anacardiaceae
13
Camelia sinensis (L.) O.K.
Ki enteh
Theaceae
14
Canarium hirsutum Willd var. hirsutum
Ki ajag
Burseraceae
15
Carallia brachiata Merr.
Ki kuhkuran
Rhizophoraceae
16
Castanopsis argentea (Bl.) DC.
Saninten
Fagaceae
17
Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.
Riung anak
Fagaceae
18
Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC.
Tunggeureuk
Fagaceae
19
Claoxylon polot Merr.
Talingkup
Euphorbiaceae
20
Cryptocarya tomentosa
Huru tangkil
Lauraceae
21
Daphniphyllum glaucescens Bl.
Ki teja
Daphniphyllaceae
22
Decaspermum fruticosum J.R.& G.
Ipis kulit
Myrtaceae
23
Dysoxylum alliaceum Bl.
Pisitan monyet
Meliaceae
24
Dysoxylum parasiticum (osb.) Kosterm.
Pingku
Meliaceae
25
Elaeocarpus pierrei Kds. & Val.
Janitri
Tiliaceae
26
Engelhardia spicata Lech. Ex. Bl.
Ki hujan
Junglandaceae
27
Eounymus javanicus Bl.
Ki keuyeup
Celastraceae
28
Eugenia cuprea K.et V.
Salam
Myrtaceae
29
Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
Kopo
Myrtaceae
30
Evodia latifola DC
Ki sampang
Rutaceae
31
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
Moraceae
32
Ficus fistulosa Reiwn.
Kondang beunying
Moraceae
33
Ficus lepicarpa Bl.
Bisoro
Moraceae
34
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
Moraceae
35
Ficus septica Burm.f.
Beunying
Moraceae
36
Ficus variegata Bl.
Kondang
Moraceae
37
Flacourtia rukam Zoll. & Mor
Kupa landak
Flacourtiaceae
38
Ganiothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. & Thoms
Ki cantung
Annonaceae
188
No.
Nama Latin
Nama Lokal
Family
39
Gironniera subaequalis Planch
Ki bulu
Ulmaceae
40
Glochidion lucidum
Mareme
Euphorbiaceae
41
Glochidion rubrum Bl.
Ki pare
Euphorbiaceae
42
Gynotroches axillaris Bl.
Bareubeuy
Rhizophoraceae
43
Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd.
Pasang batu
Fagaceae
44
Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
Pasang kayang
Fagaceae
45
Litsea cubeba Pers.
Ki lemoh
Lauraceae
46
Litsea javanica Bl.
Huru hiris
Lauraceae
47
Litsea monopetala Pers.
Huru manuk
Lauraceae
48
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
Euphorbiaceae
49
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
Araliaceae
50
Magnolia candollii (Bl.) H.Keng
Cempaka
Magnoliaceae
51
Manglietia glauca Bl
Manglid
Magnoliaceae
52
Michellia montana Bl.
Cempaka gunung
Magnoliaceae
53
Omalanthus populneus (Geisel.) Pax
Kareumbi
Euphorbiaceae
54
Ostodes paniculata Bl.
Muncang cina
Euphorbiaceae
55
Pavetta indica L.
Ki kopi leutik
Rubiaceae
56
Persea excelsa (Bl.) Kost.
Huru leueur
Lauraceae
57
Plectronia didyma Kurz
Ki kopi
Rubiaceae
58
Polyosma integrifolia Bl.
Ki Jebug
Saxifragaceae
59
Quercus tyesmannii Bl.
Pasang
Fagaceae
60
Rauwolfia javanica K. et V.
Lame
Apocynaceae
61
Saurauia blumiana Benn.
Ki leho
Saurauiaceae
62
Saurauia cauliflora DC.
Ki beureum
Saurauiaceae
63
Schima sp1.
Puspa bedul
Theaceae
64
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
Theaceae
65
Sloanea sigun (Bl.) K. Schum
Beleketebe
Elaeocarpaceae
66
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Jirak
Symplocaceae
67
Symplocos fasciculata Zoll.
Jirak leutik
Symplocaceae
68
Syzigium antisepticum (Bl.) Merr. & Perry
Ki tambaga
Myrtaceae
69
Syzygium polyanthum Wight.
Salam gunung
Myrtaceae
70
Timonius sp.
Sulibra
Rubiaceae
71
Trema orientalis (L.) Bl.
Kuray
Ulmaceae
72
Turpinia obtusa
Ki bangkong
Staphyleacea
73
Turpinia sphaerocarpa Hassk
Ki bancet
Staphyleacea
74
Urophyllum arboreum Korth.
Ki cengkeh
Rubiaceae
75
Vernonia arborea Ham.
Hamirung
Compositae
76
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
Urticaceae
77
Weinmannia blumei Planch.
Ki merak
Cunoniaceae
78
Xanthophylum excelsum miq
Ki endog
Polygalaceae
189
Lampiran 8.2 Daftar jenis tumbuhan pada Hutan Rasamala Campuran No.
Nama Latin
Nama Lokal Haruman
Family
1
Abarema clypearia (Jack) Kosterm.
Mimosaceae
2
Acronychia laurifolia Bl.
Ki jeruk
Rutaceae
3
Alangium villosum Wang
Ki sauheun
Alangiaceae
4
Alseodaphne elmeri
Huru migma
Lauraceae
5
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
Hamamelidaceae
6
Antidesma tetandrum Bl.
Ki seueur
Euphorbiaceae
7
Artocarpus elasticus (Bl.) DC
Teureup
Fagaceae
8
Astronia macrophylla Bl.
Ki harendong
Melastomataceae
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
Lauraceae
10
9
Bridelia glauca Bl.
Kanyere
Euphorbiaceae
11
Buchanania arborescens Bl.
Ki tanjung
Anacardiaceae
12
Camelia sinensis (L.) O.K.
Ki enteh
Theaceae
13
Canarium hirsutum Willd var. Hirsutum
Ki ajag
Burseraceae
14
Castanopsis argentea (Bl.) DC.
Saninten
Fagaceae
15
Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.
Riung anak
Fagaceae
16
Chrysophyllum cainito L.
Sauh hijau
Sapotaceae
17
Cryptocarya tomentosa
Huru tangkil
Lauraceae
18
Decaspermum fruticosum J.R.& G.
Ipis kulit
Myrtaceae
19
Dysoxylum alliaceum Bl.
Pisitan monyet
Meliaceae
20
Dysoxylum excelsum Bl.
Pingku tanglar
Meliaceae
21
Engelhardia spicata Lech. Ex. Bl.
Ki hujan
Junglandaceae
22
Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
Kopo
Myrtaceae
23
Evodia latifola DC
Ki sampang
Rutaceae
24
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
Moraceae
25
Ficus ampelas Burm.f.
Ki hampelas
Moraceae
26
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
Moraceae
27
Ficus septica Burm.f.
Beunying
Moraceae
28
Flacourtia rukam Zoll. & Mor
Kupa landak
Flacourtiaceae
29
Ganiothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. & Thoms
Ki cantung
Annonaceae
30
Glochidion lucidum
Mareme
Euphorbiaceae
31
Glochidion rubrum Bl.
Ki pare
Euphorbiaceae
32
Laportea stimulans (L.f.) Miq.
Pulus
Urticaceae
33
Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd.
Pasang batu
Fagaceae
34
Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
Pasang kayang
Fagaceae
35
Litsea monopetala Pers.
Huru manuk
Lauraceae
36
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
Euphorbiaceae
37
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
Araliaceae
38
Maesopsis eminii Engl.
Kayu afrika
Rhamnaceae
39
Manglietia glauca Bl
Manglid
Magnoliaceae
40
Neonauclea lanceolata Merr.
Anggrit
Rubiaceae
41
Omalanthus populneus (Geisel.) Pax
Kareumbi
Euphorbiaceae
42
Ostodes paniculata Bl.
Muncang cina
Euphorbiaceae
190
No.
Nama Latin
Nama Lokal
Family
43
Peronema canescens Jack.
Sungkai
Verbenaceae
44
Persea excelsa (Bl.) Kost.
Huru leueur
Lauraceae
45
Plectronia didyma Kurz
Ki kopi
Rubiaceae
46
Polyosma integrifolia Bl.
Ki jebug
Saxifragaceae
47
Pygeum latifolium Miq Bl.
Salam banen
Rosaceae
48
Quercus tyesmannii Bl.
Pasang
Fagaceae
49
Rauwolfia javanica K. et V.
Lame
Apocynaceae
50
Saurauia blumiana Benn.
Ki leho
Saurauiaceae
51
Saurauia cauliflora DC.
Ki beureum
Saurauiaceae
52
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
Theaceae
53
Sloanea sigun (Bl.) K. Schum
Beleketebe
Elaeocarpaceae
54
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Jirak
Symplocaceae
55
Symplocos fasciculata Zoll.
Jirak leutik
Symplocaceae
56
Syzygium polyanthum Wight.
Salam gunung
Myrtaceae
57
Turpinia obtusa
Ki bangkong
Staphyleacea
58
Turpinia sphaerocarpa Hassk
Ki bancet
Staphyleacea
59
Urophyllum arboreum Korth.
Ki cengkeh
Rubiaceae
60
Vernonia arborea Ham.
Hamirung
Compositae
61
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
Urticaceae
62
Weinmannia blumei Planch.
Ki merak
Cunoniaceae
63
Xanthophylum excelsum miq
Ki endog
Polygalaceae
Lampiran 8.3 Daftar jenis tumbuhan pada Hutan Puspa Campuran No. 1
Nama Latin
Nama Lokal
Family
Alangium villosum Wang
Ki sauheun
Alangiaceae
2
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
Hamamelidaceae
3
Antidesma tetandrum Bl.
Ki seueur
Euphorbiaceae
4
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
Lauraceae
5
Buchanania arborescens Bl.
Ki tanjung
Anacardiaceae
6
Castanopsis argentea (Bl.) DC.
Saninten
Fagaceae
7
Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.
Riung anak
Fagaceae
8
Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC.
Tunggeureuk
Fagaceae
9
Cinnamomum parthenoxylon Meissn.
Ki sereh
Lauraceae
10
Decaspermum fruticosum J.R.& G.
Ipis kulit
Myrtaceae
11
Dysoxylum excelsum Bl.
Pingku tanglar
Meliaceae
12
Elaeocarpus pierrei Kds. & Val.
Janitri
Tiliaceae
13
Engelhardia spicata Lech. Ex. Bl.
Ki hujan
Junglandaceae
14
Eounymus javanicus Bl.
Ki keuyeup
Celastraceae
15
Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
Kopo
Myrtaceae
16
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
Moraceae
17
Ficus fistulosa Reiwn.
Kondang beunying
Moraceae
18
Ficus lepicarpa Bl.
Bisoro
Moraceae
191
No.
Nama Latin
Nama Lokal
Family
19
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
Moraceae
20
Ficus variegata Bl.
Kondang
Moraceae
21
Glochidion lucidum
Mareme
Euphorbiaceae
22
Glochidion rubrum Bl.
Ki pare
Euphorbiaceae
23
Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd.
Pasang batu
Fagaceae
24
Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
Pasang kayang
Fagaceae
25
Litsea monopetala Pers.
Huru manuk
Lauraceae
26
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
Euphorbiaceae
27
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
Araliaceae
28
Manglietia glauca Bl
Manglid
Magnoliaceae
29
Neonauclea lanceolata Merr.
Anggrit
Rubiaceae
30
Persea excelsa (Bl.) Kost.
Huru leueur
Lauraceae
31
Plectronia didyma Kurz
Ki kopi
Rubiaceae
32
Quercus tyesmannii Bl.
Pasang
Fagaceae
33
Rauwolfia javanica K. et V.
Lame
Apocynaceae
34
Saurauia blumiana Benn.
Ki leho
Saurauiaceae
35
Saurauia cauliflora DC.
Ki beureum
Saurauiaceae
36
Schima sp1.
Puspa bedul
Theaceae
37
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
Theaceae
38
Sloanea sigun (Bl.) K. Schum
Beleketebe
Elaeocarpaceae
39
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Jirak
Symplocaceae
40
Symplocos fasciculata Zoll.
Jirak leutik
Symplocaceae
41
Syzygium polyanthum Wight.
Salam gunung
Myrtaceae
42
Toona sureni (Bl.) Merr.
Suren
Meliaceae
43
Trema orientalis (L.) Bl.
Kuray
Ulmaceae
44
Turpinia obtusa
Ki bangkong
Staphyleacea
45
Vernonia arborea Ham.
Hamirung
Compositae
46
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
Urticaceae
47
Weinmannia blumei Planch.
Ki merak
Cunoniaceae
Lampiran 8.4 Daftar jenis tumbuhan pada Hutan Damar No.
Nama Latin
Nama Lokal
Family
1
Abarema clypearia (Jack) Kosterm.
Haruman
Mimosaceae
2
Acronychia laurifolia Bl.
Ki jeruk
Rutaceae
3
Agathis dammara
Damar
Araucariaceae
4
Alseodaphne elmeri
Huru migma
Lauraceae
5
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
Hamamelidaceae
6
Antidesma tetandrum Bl.
Ki seueur
Euphorbiaceae
7
Artocarpus elasticus (Bl.) DC
Teureup
Fagaceae
8
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
Lauraceae
9
Bruismia styracoides Boerl. & Koord.
Ki dage
Styracaceae
Buchanania arborescens Bl.
Ki tanjung
Anacardiaceae
10
192
No.
Nama Latin
Nama Lokal
Family
11
Camelia sinensis (L.) O.K.
Ki enteh
Theaceae
12
Canarium hirsutum Willd var. hirsutum
Ki ajag
Burseraceae
13
Carallia brachiata Merr.
Ki kuhkuran
Rhizophoraceae
14
Castanopsis argentea (Bl.) DC.
Saninten
Fagaceae
15
Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.
Riung anak
Fagaceae
16
Cinnamomum parthenoxylon Meissn.
Ki sereh
Lauraceae
17
Decaspermum fruticosum J.R.& G.
Ipis kulit
Myrtaceae
18
Dysoxylum excelsum Bl.
Pingku tanglar
Meliaceae
19
Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
Kopo
Myrtaceae
20
Evodia latifola DC
Ki sampang
Rutaceae
21
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
Moraceae
22
Ficus ampelas Burm.f.
Ki hampelas
Moraceae
23
Ficus fistulosa Reiwn.
Kondang beunying
Moraceae
24
Ficus lepicarpa Bl.
Bisoro
Moraceae
25
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
Moraceae
26
Ficus variegata Bl.
Kondang
Moraceae
27
Glochidion lucidum
Mareme
Euphorbiaceae
28
Glochidion rubrum Bl.
Ki pare
Euphorbiaceae
29
Laportea stimulans (L.f.) Miq.
Pulus
Urticaceae
30
Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd.
Pasang batu
Fagaceae
31
Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
Pasang kayang
Fagaceae
32
Litsea monopetala Pers.
Huru manuk
Lauraceae
33
Litsea resinosa Bl.
Huru minyak
Lauraceae
34
Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
Euphorbiaceae
35
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
Araliaceae
36
Manglietia glauca Bl
Manglid
Magnoliaceae
37
Neonauclea lanceolata Merr.
Anggrit
Rubiaceae
38
Neonauclea obtusa (Bl.) Meer.
Cangcaratan
Rubiaceae
39
Omalanthus populneus (Geisel.) Pax
Kareumbi
Euphorbiaceae
40
Ostodes paniculata Bl.
Muncang cina
Euphorbiaceae
41
Persea excelsa (Bl.) Kost.
Huru leueur
Lauraceae
42
Plectronia didyma Kurz
Ki kopi
Rubiaceae
43
Polyosma integrifolia Bl.
Ki jebug
Saxifragaceae
44
Quercus tyesmannii Bl.
Pasang
Fagaceae
45
Saurauia blumiana Benn.
Ki leho
Saurauiaceae
46
Saurauia cauliflora DC.
Ki leho beureum
Saurauiaceae
47
Saurauia nudiflora
Ki leho badak
Saurauiaceae
48
Sauraunia reinwardtiana Bl.
Ki leho leutik
Theaceae
49
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
Theaceae
50
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Jirak
Symplocaceae
51
Trema orientalis (L.) Bl.
Kuray
Ulmaceae
52
Turpinia obtusa
Ki bangkong
Staphyleacea
53
Urophyllum arboreum Korth.
Ki cengkeh
Rubiaceae
193
No.
Nama Latin
Nama Lokal
Family
54
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
Urticaceae
55
Weinmannia blumei Planch.
Ki merak
Cunoniaceae
56
Xanthophylum excelsum miq
Ki endog
Polygalaceae
Lampiran 8.5 Daftar jenis tumbuhan pada Hutan Pinus No. 1
Nama Latin Altingia excelsa Noronha
Nama Lokal
Family
Rasamala
Hamamelidaceae
2
Buchanania arborescens Bl.
Ki tanjung
Anacardiaceae
3
Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.
Riung anak
Fagaceae
4
Cinnamomum parthenoxylon Meissn.
Ki sereh
Lauraceae
5
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
Moraceae
6
Ficus fistulosa Reiwn.
Kondang beunying
Moraceae
7
Ficus hispida
Teuter
Moraceae
8
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
Moraceae
9
Flacourtia rukam Zoll. & Mor
Kupa landak
Flacourtiaceae
Glochidion lucidum Glycyrrhiza glabra L. var. glandulifera (Waldst. & kit) Regel & Herder
Mareme
Euphorbiaceae
Ki amis
Fabaceae
12
Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
Pasang kayang
Fagaceae
13
Litsea monopetala Pers.
Huru manuk
Lauraceae
10 11
14
Macaranga semiglobosa J.J.S
Mara
Euphorbiaceae
15
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
Araliaceae
16
Maesopsis eminii Engl.
kayu afrika
Rhamnaceae
17
Manglietia glauca Bl
Manglid
Magnoliaceae
18
Pavetta indica L.
Ki kopi leutik
Rubiaceae
19
Persea excelsa (Bl.) Kost.
Kuru leueur
Lauraceae
20
Pinus merkusii
Pinus
Pinaceae
21
Saurauia blumiana Benn.
Ki leho
Saurauiaceae
22
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
Theaceae
23
Sloanea sigun (Bl.) K. Schum
Beleketebe
Elaeocarpaceae
24
Turpinia obtusa
Ki bangkong
Staphyleacea
25
Urophyllum arboreum Korth.
Ki cengkeh
Rubiaceae
26
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
Urticaceae
194
Lampiran 9 Hasil analisis vegetasi pada Hutan Alam di kawasan hutan TNGGP Lampiran 9.1 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat semai pada Hutan Alam No. 1
Nama Latin Abarema clypearia (Jack) Kosterm.
Nama Lokal Haruman
2
Acer laurinum Hassk.
Huru beas
3
Acronychia laurifolia Bl.
Ki jeruk
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
H'
233,3333
0,8274
0,0400
0,8219
1,6493
0,0396
100,0000
0,3546
0,0267
0,5479
0,9026
0,0244
1300,0000
4,6099
0,2533
5,2055
9,8154
0,1479
4
Alangium villosum Wang
Ki sauheun
166,6667
0,5910
0,0400
0,8219
1,4129
0,0350
5
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
200,0000
0,7092
0,0133
0,2740
0,9832
0,0261
6
Antidesma tetandrum Bl.
Ki seueur
7
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
8
Buchanania arborescens Bl.
Ki tanjung
9
Ki enteh
10
Camelia sinensis (L.) O.K. Canarium hirsutum Willd var. Hirsutum
11
Carallia brachiata Merr.
Ki kuhkuran
12
Castanopsis argentea (Bl.) DC. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC.
Saninten
2,9551
0,1733
3,5616
6,5167
0,1116
3,9007
0,2133
4,3836
8,2843
0,1319
500,0000
1,7730
0,0800
1,6438
3,4169
0,0695
66,6667
0,2364
0,0267
0,5479
0,7844
0,0217
33,3333
0,1182
0,0133
0,2740
0,3922
0,0122
766,6667
2,7187
0,1467
3,0137
5,7324
0,1018
1100,0000
3,9007
0,1867
3,8356
7,7363
0,1258
100,0000
0,3546
0,0267
0,5479
0,9026
0,0244
Tunggeureuk
66,6667
0,2364
0,0133
0,2740
0,5104
0,0152
Talingkup
66,6667
0,2364
0,0267
0,5479
0,7844
0,0217
16
Claoxylon polot Merr. Decaspermum fruticosum J.R.& G.
Ipis kulit
433,3333
1,5366
0,1067
2,1918
3,7284
0,0742
17
Dysoxylum alliaceum Bl.
Pisitan monyet
333,3333
1,1820
0,0667
1,3699
2,5519
0,0557
18
Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
Kopo
800,0000
2,8369
0,1733
3,5616
6,3985
0,1101
19
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
66,6667
0,2364
0,0267
0,5479
0,7844
0,0217
20
Ficus fistulosa Reiwn.
Kondang beunying
33,3333
0,1182
0,0133
0,2740
0,3922
0,0122
21
Ficus lepicarpa Bl. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Bisoro
33,3333
0,1182
0,0133
0,2740
0,3922
0,0122
Walen
700,0000
2,4823
0,1067
2,1918
4,6741
0,0878
Kupa landak
300,0000
1,0638
0,0800
1,6438
2,7077
0,0582
24
Flacourtia rukam Zoll. & Mor Ganiothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. & Thoms
Ki cantung
100,0000
0,3546
0,0267
0,5479
0,9026
0,0244
25
Glochidion lucidum
Mareme
66,6667
0,2364
0,0133
0,2740
0,5104
0,0152
26
Glochidion rubrum Bl.
Ki pare
266,6667
0,9456
0,0667
1,3699
2,3155
0,0516
27
Gynotroches axillaris Bl.
Bareubeuy
33,3333
0,1182
0,0133
0,2740
0,3922
0,0122
28
Pasang batu
100,0000
0,3546
0,0267
0,5479
0,9026
0,0244
29
Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd. Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
Pasang kayang
300,0000
1,0638
0,0667
1,3699
2,4337
0,0536
30
Litsea javanica Bl.
Huru hiris
33,3333
0,1182
0,0133
0,2740
0,3922
0,0122
31
Huru manuk
200,0000
0,7092
0,0667
1,3699
2,0791
0,0475
32
Litsea monopetala Pers. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
133,3333
0,4728
0,0400
0,8219
1,2947
0,0326
33
Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
800,0000
2,8369
0,1467
3,0137
5,8506
0,1033
34
Manglietia glauca Bl
Manglid
300,0000
1,0638
0,0533
1,0959
2,1597
0,0489
35
Persea excelsa (Bl.) Kost.
Huru leueur
133,3333
0,4728
0,0400
0,8219
1,2947
0,0326
13 14 15
22 23
Ki ajag
833,3333 1100,0000
Riung anak
J'
195
No.
Nama Latin
Nama Lokal
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
H'
1966,6667
6,9740
0,2800
5,7534
12,7274
0,1753
Ki Jebug
933,3333
3,3097
0,2133
4,3836
7,6933
0,1253
Pasang
733,3333
2,6005
0,1333
2,7397
5,3402
0,0967
Rauwolfia javanica K. et V.
Lame
100,0000
0,3546
0,0267
0,5479
0,9026
0,0244
Saurauia blumiana Benn.
Ki leho
200,0000
0,7092
0,0400
0,8219
1,5311
0,0373
41
Saurauia cauliflora DC.
Ki beureum
66,6667
0,2364
0,0133
0,2740
0,5104
0,0152
42
Schima wallichii (DC.) Korth.
Puspa
5200,0000
18,4397
0,6800
13,9726
32,4123
0,2949
43
Beleketebe
33,3333
0,1182
0,0133
0,2740
0,3922
0,0122
44
Sloanea sigun (Bl.) K. Schum Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
4166,6667
14,7754
0,4667
9,5890
24,3645
0,2565
45
Symplocos fasciculata Zoll.
Jirak leutik
566,6667
2,0095
0,1067
2,1918
4,2012
0,0811
46
Syzygium polyanthum Wight.
Salam gunung
100,0000
0,3546
0,0267
0,5479
0,9026
0,0244
47
Timonius sp.
Sulibra
166,6667
0,5910
0,0533
1,0959
1,6869
0,0403
48
Turpinia obtusa
Ki bangkong
300,0000
1,0638
0,0533
1,0959
2,1597
0,0489
49
Turpinia sphaerocarpa Hassk
Ki bancet
133,3333
0,4728
0,0133
0,2740
0,7468
0,0209
50
Urophyllum arboreum Korth.
Ki cengkeh
66,6667
0,2364
0,0267
0,5479
0,7844
0,0217
51
Vernonia arborea Ham.
Hamirung
266,6667
0,9456
0,0533
1,0959
2,0415
0,0468
52
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nangsi
966,6667
3,4279
0,1333
2,7397
6,1676
0,1073
53
Weinmannia blumei Planch.
Ki merak
366,6667
1,3002
0,0667
1,3699
2,6701
0,0576
54
Xanthophylum excelsum miq
Ki endog
66,6667
0,2364
0,0267
0,5479
0,7844
0,0217
28200
100
4,8667
100
200
3,3084
36
Plectronia didyma Kurz
Ki kopi
37
Polyosma integrifolia Bl.
38
Quercus tyesmannii Bl.
39 40
Jirak
Jumlah
J'
0,8294
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
Lampiran 9.2 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat pancang pada Hutan Alam No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Latin Acer laurinum Hassk. Acronychia laurifolia Bl. Alangium chinense (Lour.) Rehder. Alangium villosum Wang Altingia excelsa Noronha Antidesma tetandrum Bl. Astronia macrophylla Bl. Beilschrriedia wightii Benth. Brassaiopsis glomerulata (BI.) Regel Buchanania arborescens Bl. Camelia sinensis (L.) O.K. Canarium hirsutum Willd var. hirsutum
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0339
0,9059
1,1759
0,0217
165,3333
2,8730
0,2400
3,1915
0,1116
2,9789
9,0434
0,1056
Ki careuh
10,6667
0,1854
0,0133
0,1773
0,0387
1,0345
1,3972
0,0250
Ki sauheun
26,6667
0,4634
0,0533
0,7092
0,0147
0,3914
1,5641
0,0274
Rasamala
16,0000
0,2780
0,0267
0,3546
0,0117
0,3133
0,9459
0,0182
Ki seueur Ki harendong
442,6667
7,6923
0,3867
5,1418
0,3705
9,8935
22,7277
0,1955
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0127
0,3383
0,6083
0,0126
Huru
197,3333
3,4291
0,2667
3,5461
0,0696
1,8572
8,8324
0,1038
Panggang rante
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0105
0,2796
0,5496
0,0115
Ki tanjung
160,0000
2,7804
0,2400
3,1915
0,0482
1,2869
7,2587
0,0900
Ki enteh
42,6667
0,7414
0,0800
1,0638
0,0283
0,7549
2,5602
0,0407
Ki ajag
37,3333
0,6487
0,0667
0,8865
0,0087
0,2321
1,7673
0,0302
Nama Lokal Huru beas Ki jeruk
J'
196
No. 13 14 15 16
Nama Latin Carallia brachiata Merr. Castanopsis argentea (Bl.) DC. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC.
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
58,6667
1,0195
0,0933
1,2411
0,0046
0,1231
2,3837
0,0384
Saninten
122,6667
2,1316
0,2133
2,8369
0,0944
2,5210
7,4895
0,0921
Riung anak
149,3333
2,5950
0,2133
2,8369
0,0769
2,0535
7,4854
0,0921
Nama Lokal Ki kuhkuran
Tunggeureuk
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0001
0,0028
0,2728
0,0064
Talingkup
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0004
0,0112
0,2812
0,0065
10,6667
0,1854
0,0133
0,1773
0,0006
0,0167
0,3793
0,0084
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0038
0,1007
0,3706
0,0083
Ipis kulit Pisitan monyet
160,0000
2,7804
0,2267
3,0142
0,0455
1,2139
7,0085
0,0878
21,3333
0,3707
0,0533
0,7092
0,0156
0,4171
1,4970
0,0264
Pingku
10,6667
0,1854
0,0267
0,3546
0,0282
0,7521
1,2921
0,0235
Janitri
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0026
0,0699
0,3399
0,0077
53,3333
0,9268
0,1200
1,5957
0,0301
0,8025
3,3250
0,0499
25
Claoxylon polot Merr. Cryptocarya tomentosa Daphniphyllum glaucescens Bl. Decaspermum fruticosum J.R.& G. Dysoxylum alliaceum Bl. Dysoxylum parasiticum (osb.) Kosterm. Elaeocarpus pierrei Kds. & Val. Eounymus javanicus Bl. Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
245,3333
4,2632
0,2667
3,5461
0,0961
2,5657
10,3750
0,1164
26
Evodia latifola DC
Ki sampang
53,3333
0,9268
0,1200
1,5957
0,0247
0,6585
3,1811
0,0482
27
Ficus alba Burm.f.
16,0000
0,2780
0,0133
0,1773
0,0151
0,4036
0,8590
0,0168
28
Ficus fistulosa Reiwn. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Hamerang Kondang beunying
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0017
0,0447
0,3147
0,0072
149,3333
2,5950
0,2000
2,6596
0,1208
3,2262
8,4808
0,1008
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0009
0,0252
0,2951
0,0068
42,6667
0,7414
0,0667
0,8865
0,0131
0,3495
1,9775
0,0331
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0038
0,1007
0,3706
0,0083
17 18 19 20 21 22 23 24
29 30
Huru tangkil Ki teja
Ki keuyeup Kopo
Walen
33
Ficus septica Burm.f. Flacourtia rukam Zoll. & Mor Ganiothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. & Thoms Gironniera subaequalis Planch
10,6667
0,1854
0,0267
0,3546
0,0005
0,0140
0,5539
0,0116
34
Glochidion lucidum
Mareme
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0001
0,0028
0,2728
0,0064
35
Ki pare
37,3333
0,6487
0,0800
1,0638
0,0730
1,9502
3,6628
0,0538
Bareubeuy
26,6667
0,4634
0,0533
0,7092
0,0573
1,5293
2,7019
0,0424
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0004
0,0112
0,2812
0,0065
38
Glochidion rubrum Bl. Gynotroches axillaris Bl. Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd. Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
53,3333
0,9268
0,1067
1,4184
0,0221
0,5912
2,9364
0,0453
39
Litsea cubeba Pers.
Ki lemoh
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0151
0,4026
0,6726
0,0137
40
Huru hiris
10,6667
0,1854
0,0267
0,3546
0,0024
0,0653
0,6053
0,0125
Huru manuk
10,6667
0,1854
0,0267
0,3546
0,0011
0,0301
0,5701
0,0119
Manggong
21,3333
0,3707
0,0400
0,5319
0,0091
0,2418
1,1444
0,0212
224,0000
3,8925
0,2933
3,9007
0,3361
8,9731
16,7663
0,1612
44
Litsea javanica Bl. Litsea monopetala Pers. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Macropanax dispermum (Bl.) Magnolia candollii (Bl.) H.Keng
Cempaka
10,6667
0,1854
0,0133
0,1773
0,0218
0,5816
0,9442
0,0181
45
Manglietia glauca Bl
53,3333
0,9268
0,1067
1,4184
0,0511
1,3644
3,7096
0,0543
46
Michellia montana Bl.
16,0000
0,2780
0,0400
0,5319
0,0052
0,1398
0,9498
0,0182
47
Ostodes paniculata Bl.
Manglid Cempaka gunung Muncang cina
10,6667
0,1854
0,0267
0,3546
0,0030
0,0811
0,6211
0,0128
31 32
36 37
41 42 43
Beunying Kupa landak Ki cantung Ki bulu
Pasang batu Pasang kayang
Ki racun
J'
197
Nama Lokal
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
Pavetta indica L. Persea excelsa (Bl.) Kost. Plectronia didyma Kurz Polyosma integrifolia Bl. Quercus tyesmannii Bl. Rauwolfia javanica K. Et V. Saurauia blumiana Benn. Saurauia cauliflora DC.
Ki kopi leutik
32,0000
0,5561
0,0533
0,7092
0,0097
0,2579
1,5232
0,0268
Huru leueur
26,6667
0,4634
0,0667
0,8865
0,0614
1,6403
2,9902
0,0459
Ki kopi
901,3333
15,6627
0,6933
9,2199
0,2171
5,7961
30,6786
0,2332
Ki Jebug
112,0000
1,9462
0,2000
2,6596
0,1144
3,0556
7,6615
0,0937
Pasang
192,0000
3,3364
0,2533
3,3688
0,1254
3,3492
10,0544
0,1138
Lame
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0004
0,0112
0,2812
0,0065
Ki leho
53,3333
0,9268
0,0667
0,8865
0,0485
1,2942
3,1075
0,0473
Ki beureum
42,6667
0,7414
0,0667
0,8865
0,0585
1,5629
3,1908
0,0483
Puspa bedul
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0004
0,0112
0,2812
0,0065
304,0000
5,2827
0,4400
5,8511
0,3473
9,2742
20,4079
0,1828
26,6667
0,4634
0,0533
0,7092
0,0717
1,9148
3,0875
0,0471
517,3333
8,9898
0,4267
5,6738
0,1697
4,5313
19,1948
0,1759
Jirak leutik
26,6667
0,4634
0,0667
0,8865
0,0032
0,0847
1,4346
0,0255
Ki tambaga Salam gunung
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0017
0,0447
0,3147
0,0072
62
Schima sp1. Schima wallichii (DC.) Korth. Sloanea sigun (Bl.) K. Schum Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocos fasciculata Zoll. Syzigium antisepticum (Bl.) Merr. & Perry Syzygium polyanthum Wight.
53,3333
0,9268
0,1067
1,4184
0,0086
0,2288
2,5741
0,0408
63
Timonius sp.
Sulibra
112,0000
1,9462
0,0533
0,7092
0,0443
1,1817
3,8372
0,0558
64
Turpinia obtusa Turpinia sphaerocarpa Hassk Urophyllum arboreum Korth. Vernonia arborea Ham. Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Weinmannia blumei Planch. Xanthophylum excelsum miq
Ki bangkong
224,0000
3,8925
0,3200
4,2553
0,3023
8,0709
16,2187
0,1577
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0014
0,0362
0,3062
0,0070
Ki cengkeh
16,0000
0,2780
0,0400
0,5319
0,0049
0,1304
0,9404
0,0181
Hamirung
69,3333
1,2048
0,1333
1,7730
0,0672
1,7931
4,7709
0,0659
229,3333
3,9852
0,3200
4,2553
0,1261
3,3660
11,6065
0,1258
Ki merak
42,6667
0,7414
0,0800
1,0638
0,0238
0,6357
2,4410
0,0391
Ki endog
5,3333
0,0927
0,0133
0,1773
0,0009
0,0252
0,2951
0,0068
5754,6667
100
7,5200
100
3,7453
100
300
3,5350
No. 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61
65 66 67 68 69 70
Nama Latin
Puspa Beleketebe Jirak
Ki bancet
Nangsi
Jumlah
J'
0,8321
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
Lampiran 9.3 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat tiang pada Hutan Alam No. 1 2 3 4 5
Nama Latin Abarema clypearia (Jack) Kosterm. Acer laurinum Hassk. Acronychia laurifolia Bl. Alangium villosum Wang Altingia excelsa Noronha
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
Haruman
1,3333
0,4016
0,0133
0,4651
0,0151
0,2938
1,1605
0,0215
Huru beas
2,6667
0,8032
0,0267
0,9302
0,0373
0,7263
2,4597
0,0394
Ki jeruk
6,6667
2,0080
0,0667
2,3256
0,1094
2,1319
6,4655
0,0827
Ki sauheun
4,0000
1,2048
0,0400
1,3953
0,0487
0,9486
3,5488
0,0525
Rasamala
12,0000
3,6145
0,0933
3,2558
0,2156
4,2009
11,0712
0,1218
Nama Lokal
J'
198
No.
Nama Lokal
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
Ki seueur
20,0000
6,0241
0,1733
6,0465
0,2815
5,4837
17,5544
0,1661
Huru
4,0000
1,2048
0,0400
1,3953
0,0868
1,6912
4,2914
0,0608
Ki tanjung
4,0000
1,2048
0,0400
1,3953
0,0831
1,6198
4,2200
0,0600
Ki enteh
2,6667
0,8032
0,0267
0,9302
0,0516
1,0058
2,7392
0,0429
Saninten
10,6667
3,2129
0,0933
3,2558
0,1257
2,4491
8,9178
0,1045
Riung anak
1,3333
0,4016
0,0133
0,4651
0,0127
0,2469
1,1136
0,0208
Tunggeureuk Pisitan monyet
1,3333
0,4016
0,0133
0,4651
0,0303
0,5896
1,4563
0,0259
2,6667
0,8032
0,0267
0,9302
0,0660
1,2858
3,0192
0,0463
Janitri
5,3333
1,6064
0,0533
1,8605
0,0751
1,4627
4,9296
0,0675
Ki hujan
2,6667
0,8032
0,0267
0,9302
0,0480
0,9344
2,6678
0,0420
Ki keuyeup
1,3333
0,4016
0,0133
0,4651
0,0105
0,2040
1,0707
0,0201
17
Nama Latin Antidesma tetandrum Bl. Beilschrriedia wightii Benth. Buchanania arborescens Bl. Camelia sinensis (L.) O.K. Castanopsis argentea (Bl.) DC. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC. Dysoxylum alliaceum Bl. Elaeocarpus pierrei Kds. & Val. Engelhardia spicata Lech. Ex. Bl. Eounymus javanicus Bl. Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
Kopo
4,0000
1,2048
0,0400
1,3953
0,0732
1,4260
4,0262
0,0579
18
Evodia latifola DC
Ki sampang
4,0000
1,2048
0,0400
1,3953
0,0883
1,7198
4,3200
0,0611
19
Ficus alba Burm.f.
1,3333
0,4016
0,0133
0,4651
0,0339
0,6610
1,5277
0,0269
20
2,6667
0,8032
0,0267
0,9302
0,0607
1,1832
2,9167
0,0450
21
Ficus fistulosa Reiwn. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Hamerang Kondang beunying
10,6667
3,2129
0,1067
3,7209
0,1715
3,3414
10,2752
0,1156
22
Ficus variegata Bl.
Kondang
1,3333
0,4016
0,0133
0,4651
0,0127
0,2469
1,1136
0,0208
23
Ki pare
8,0000
2,4096
0,0667
2,3256
0,1241
2,4180
7,1532
0,0891
Pasang batu
2,6667
0,8032
0,0267
0,9302
0,0325
0,6329
2,3664
0,0382
Manggong
5,3333
1,6064
0,0533
1,8605
0,0852
1,6606
5,1275
0,0695
Ki racun
33,3333
10,0402
0,2533
8,8372
0,4781
9,3142
28,1916
0,2222
Manglid Cempaka gunung Muncang cina
18,6667
5,6225
0,1600
5,5814
0,2908
5,6645
16,8684
0,1618
1,3333
0,4016
0,0133
0,4651
0,0129
0,2514
1,1181
0,0208
4,0000
1,2048
0,0400
1,3953
0,0886
1,7269
4,3270
0,0611
Huru leueur
1,3333
0,4016
0,0133
0,4651
0,0205
0,3999
1,2666
0,0231
Plectronia didyma Kurz Polyosma integrifolia Bl.
Ki kopi
1,3333
0,4016
0,0133
0,4651
0,0303
0,5896
1,4563
0,0259
Ki Jebug
24,0000
7,2289
0,1867
6,5116
0,3348
6,5227
20,2633
0,1820
Quercus tyesmannii Bl. Saurauia blumiana Benn.
Pasang
17,3333
5,2209
0,1467
5,1163
0,2591
5,0472
15,3843
0,1523
Ki leho
2,6667
0,8032
0,0267
0,9302
0,0607
1,1832
2,9167
0,0450
Ki beureum
1,3333
0,4016
0,0133
0,4651
0,0105
0,2040
1,0707
0,0201
52,0000
15,6627
0,3867
13,4884
0,7952
15,4910
44,6420
0,2835
4,0000
1,2048
0,0133
0,4651
0,0563
1,0976
2,7675
0,0432
Jirak Salam gunung
12,0000
3,6145
0,1200
4,1860
0,2195
4,2755
12,0760
0,1293
39
Saurauia cauliflora DC. Schima wallichii (DC.) Korth. Sloanea sigun (Bl.) K. Schum Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Syzygium polyanthum Wight.
2,6667
0,8032
0,0267
0,9302
0,0407
0,7936
2,5270
0,0402
40
Timonius sp.
Sulibra
2,6667
0,8032
0,0133
0,4651
0,0471
0,9180
2,1864
0,0359
41
Turpinia obtusa
Ki bangkong
6,6667
2,0080
0,0667
2,3256
0,0678
1,3204
5,6541
0,0748
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
26
Glochidion rubrum Bl. Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Macropanax dispermum (Bl.)
27
Manglietia glauca Bl
28
Michellia montana Bl.
29
Ostodes paniculata Bl. Persea excelsa (Bl.) Kost.
24 25
30 31 32 33 34 35 36 37 38
Walen
Puspa Beleketebe
J'
199
No. 42 43 44 45
Nama Latin Urophyllum arboreum Korth. Vernonia arborea Ham. Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Weinmannia blumei Planch.
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
1,3333
0,4016
0,0133
0,4651
0,0151
0,2938
1,1605
0,0215
10,6667
3,2129
0,0933
3,2558
0,1584
3,0866
9,5553
0,1098
Nangsi
5,3333
1,6064
0,0533
1,8605
0,0831
1,6183
5,0852
0,0691
Ki merak
6,6667
2,0080
0,0667
2,3256
0,0840
1,6372
5,9708
0,0780
332
100
2,8667
100
5,1331
100
300
3,2984
0,8665
INP (%)
H'
J'
Nama Lokal Ki cengkeh Hamirung
Jumlah
J'
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
Lampiran 9.4 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat pohon pada Hutan Alam No. 1 2
Nama Latin Abarema clypearia (Jack) Kosterm.
Nama Lokal Haruman
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
1,3333
0,5135
0,04
0,5068
0,0594
0,2692
1,2895
0,0234
Huru beas
2
0,7702
0,08
1,0135
0,0917
0,4152
2,199
0,036
Ki jeruk
4
1,5404
0,1467
1,8581
0,2555
1,1573
4,5559
0,0636
Ki sauheun
2
0,7702
0,0667
0,8446
0,0791
0,3584
1,9732
0,033
Rasamala
4,6667
1,7972
0,1867
2,3649
0,2329
1,055
5,2171
0,0705
Ki seueur
2
0,7702
0,08
1,0135
0,0940
0,4256
2,2094
0,0362
4,3333
1,6688
0,16
2,0270
0,5562
2,5197
6,2155
0,0803
2
0,7702
0,0667
0,8446
0,1053
0,4771
2,092
0,0346
1,3333
0,5135
0,0533
0,6757
0,0736
0,3336
1,5227
0,0268
8
3,0809
0,28
3,5473
1,7569
7,9591
14,587
0,147
Riung anak
6,6667
2,5674
0,2533
3,2095
0,4791
2,1706
7,9475
0,0962
Tunggeureuk
7,3333
2,8241
0,2133
2,7027
0,6844
3,1005
8,6273
0,1021
Ipis kulit Pisitan monyet
1,6667
0,6418
0,0667
0,8446
0,0672
0,3045
1,7909
0,0306
1,6667
0,6418
0,0667
0,8446
0,0737
0,3339
1,8203
0,031
Janitri
3,6667
1,4121
0,1333
1,6892
0,1985
0,8992
4,0005
0,0576
Ki hujan
1,6667
0,6418
0,0667
0,8446
0,1428
0,6469
2,1333
0,0352
Ki keuyeup
1,3333
0,5135
0,0533
0,6757
0,0706
0,3199
1,509
0,0266
Salam
1,3333
0,5135
0,0533
0,6757
0,0500
0,2264
1,4156
0,0253
19
Acer laurinum Hassk. Acronychia laurifolia Bl. Alangium villosum Wang Altingia excelsa Noronha Antidesma tetandrum Bl. Beilschrriedia wightii Benth. Bruismia styracoides Boerl. & Koord. Buchanania arborescens Bl. Castanopsis argentea (Bl.) DC. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC. Decaspermum fruticosum J.R.& G. Dysoxylum alliaceum Bl. Elaeocarpus pierrei Kds. & Val. Engelhardia spicata Lech. Ex. Bl. Eounymus javanicus Bl. Eugenia cuprea K.et V. Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
Kopo
1,3333
0,5135
0,0533
0,6757
0,0546
0,2473
1,4364
0,0256
20
Evodia latifola DC
Ki sampang
1,3333
0,5135
0,0533
0,6757
0,0610
0,2763
1,4655
0,026
21
Ficus alba Burm.f.
2
0,7702
0,08
1,0135
0,0805
0,3647
2,1484
0,0354
22
Ficus fistulosa Reiwn. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Hamerang Kondang beunying
0,3333
0,1284
0,0133
0,1689
0,0108
0,0487
0,346
0,0078
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
23 24 25
Ficus variegata Bl. Flacourtia rukam Zoll. & Mor
Huru Ki dage Ki tanjung Saninten
Walen
3,3333
1,2837
0,1333
1,6892
0,1588
0,7193
3,6922
0,0541
Kondang
1,3333
0,5135
0,0533
0,6757
0,0630
0,2855
1,4746
0,0261
Kupa landak
1,3333
0,5135
0,0533
0,6757
0,0451
0,2044
1,3935
0,025
200
26
Glochidion lucidum
Mareme
1
0,3851
0,04
0,5068
0,0373
0,169
1,0609
0,02
27
Glochidion rubrum Bl. Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
Ki pare Pasang kayang
18
6,9320
0,52
6,5878
0,9476
4,293
17,813
0,1677
2,3333
0,8986
0,0933
1,1824
0,3505
1,5881
3,6691
0,0539
Litsea javanica Bl. Litsea monopetala Pers. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Macropanax dispermum (Bl.)
Huru hiris
1,6667
0,6418
0,0667
0,8446
0,0667
0,3023
1,7887
0,0305
2
0,7702
0,08
1,0135
0,0869
0,3938
2,1775
0,0358
9,6667
3,7227
0,28
3,5473
0,6353
2,878
10,148
0,1146
Ki racun
22,6667
8,7291
0,6267
7,9392
1,1587
5,2493
21,918
0,1912
Manglid
16,3333
6,2901
0,44
5,5743
1,1918
5,3992
17,264
0,1643
Kareumbi Muncang cina
1,3333
0,5135
0,0533
0,6757
0,0499
0,2262
1,4153
0,0253
1,3333
0,5135
0,04
0,5068
0,0518
0,2344
1,2547
0,0229
Huru leueur
1,6667
0,6418
0,0533
0,6757
0,1970
0,8924
2,2099
0,0362
Ki kopi
1,6667
0,6418
0,0667
0,8446
0,0720
0,3263
1,8127
0,0309
12,3333
4,7497
0,44
5,5743
0,5708
2,5861
12,91
0,1354
10
3,8511
0,32
4,0541
0,5891
2,6689
10,574
0,1179
Ki leho
2,6667
1,0270
0,08
1,0135
0,1032
0,4677
2,5081
0,04
Ki beureum
1,6667
0,6418
0,0667
0,8446
0,0686
0,3107
1,7972
0,0307
3
1,1553
0,1067
1,3514
0,6805
3,0828
5,5895
0,0742
50
19,2555
0,88
11,1486
7,9255
35,905
66,309
0,3336
4
1,5404
0,0933
1,1824
0,1908
0,8643
3,5871
0,0529
Jirak
3,3333
1,2837
0,1333
1,6892
0,1268
0,5747
3,5475
0,0525
0,8446
0,0673
0,3049
1,7914
0,0306
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Manglietia glauca Bl Omalanthus populneus (Geisel.) Pax Ostodes paniculata Bl. Persea excelsa (Bl.) Kost. Plectronia didyma Kurz Polyosma integrifolia Bl. Quercus tyesmannii Bl. Saurauia blumiana Benn. Saurauia cauliflora DC.
Huru manuk Manggong
Ki Jebug Pasang
Schima sp1. Schima wallichii (DC.) Korth. Sloanea sigun (Bl.) K. Schum Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Syzigium antisepticum (Bl.) Merr. & Perry Syzygium polyanthum Wight.
Puspa bedul
Ki tambaga Salam gunung
1,6667
0,6418
0,0667
1,3333
0,5135
0,0533
0,6757
0,0619
0,2802
1,4694
0,0261
Timonius sp. Trema orientalis (L.) Bl.
Sulibra
2,3333
0,8986
0,08
1,0135
0,1005
0,4553
2,3674
0,0382
Kuray
1,6667
0,6418
0,0667
0,8446
0,1692
0,7667
2,2531
0,0367
2
0,7702
0,08
1,0135
0,0925
0,4193
2,203
0,0361
Ki cengkeh
1,6667
0,6418
0,0667
0,8446
0,1455
0,6591
2,1455
0,0353
Hamirung
6,6667
2,5674
0,2133
2,7027
0,4414
1,9999
7,27
0,0901
2
0,7702
0,0667
0,8446
0,0829
0,3756
1,9904
0,0333
5,6667
2,1823
0,2133
2,7027
0,2668
1,2087
6,0937
0,0791
259,6667
100
7,8933
100
22,0735
100
300
3,2917
Turpinia obtusa Urophyllum arboreum Korth. Vernonia arborea Ham. Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Weinmannia blumei Planch.
Puspa Beleketebe
Ki bangkong
Nangsi Ki merak Jumlah
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
0,8252
201
Lampiran 10 Hasil analisis vegetasi pada Hutan Rasamala Campuran di kawasan hutan TNGGP Lampiran 10.1 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat semai pada Hutan Rasamala Campuran No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Latin Abarema clypearia (Jack) Kosterm.
Nama Lokal Haruman
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
H'
33,3333
0,4405
0,0133
0,4425
0,8830
0,0239
133,3333
1,7621
0,0533
1,7699
3,5320
0,0713
Acronychia laurifolia Bl. Altingia excelsa Noronha
Ki jeruk Rasamala
66,6667
0,8811
0,0267
0,8850
1,7660
0,0418
Antidesma tetandrum Bl. Artocarpus elasticus (Bl.) DC Beilschrriedia wightii Benth. Buchanania arborescens Bl. Camelia sinensis (L.) O.K. Canarium hirsutum Willd var. hirsutum Castanopsis argentea (Bl.) DC. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.
Ki seueur
166,6667
2,2026
0,0667
2,2124
4,4150
0,0842
Teureup
33,3333
0,4405
0,0133
0,4425
0,8830
0,0239
Huru
466,6667
6,1674
0,1867
6,1947
12,3621
0,1721
Ki tanjung
166,6667
2,2026
0,0667
2,2124
4,4150
0,0842
Ki enteh
133,3333
1,7621
0,0533
1,7699
3,5320
0,0713
66,6667
0,8811
0,0133
0,4425
1,3235
0,0332
100
1,3216
0,0400
1,3274
2,6490
0,0573
Riung anak
33,3333
0,4405
0,0133
0,4425
0,8830
0,0239
Huru tangkil
66,6667
0,8811
0,0267
0,8850
1,7660
0,0418
Ipis kulit Pisitan monyet Pingku tanglar
66,6667
0,8811
0,0267
0,8850
1,7660
0,0418
233,3333
3,0837
0,0933
3,0973
6,1810
0,1075
66,6667
0,8811
0,0267
0,8850
1,7660
0,0418
66,6667
0,8811
0,0267
0,8850
1,7660
0,0418
Ki ajag Saninten
13
Cryptocarya tomentosa Decaspermum fruticosum J.R.& G.
14
Dysoxylum alliaceum Bl.
15
Ki hujan
17
Dysoxylum excelsum Bl. Engelhardia spicata Lech. Ex. Bl. Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
300
3,9648
0,1200
3,9823
7,9471
0,1282
18
Evodia latifola DC
Ki sampang
166,6667
2,2026
0,0667
2,2124
4,4150
0,0842
19
Ficus ampelas Burm.f. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Ki hampelas
33,3333
0,4405
0,0133
0,4425
0,8830
0,0239
233,3333
3,0837
0,0933
3,0973
6,1810
0,1075
Ficus septica Burm.f. Flacourtia rukam Zoll. & Mor Ganiothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. & Thoms Laportea stimulans (L.f.) Miq. Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
Beunying
33,3333
0,4405
0,0133
0,4425
0,8830
0,0239
Kupa landak
33,3333
0,4405
0,0133
0,4425
0,8830
0,0239
Ki cantung
33,3333
0,4405
0,0133
0,4425
0,8830
0,0239
Pulus Pasang kayang
166,6667
2,2026
0,0667
2,2124
4,4150
0,0842
166,6667
2,2026
0,0667
2,2124
4,4150
0,0842
Litsea monopetala Pers. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Macropanax dispermum (Bl.)
Huru manuk
166,6667
2,2026
0,0667
2,2124
4,4150
0,0842
700
9,2511
0,2800
9,2920
18,5431
0,2205
Ki racun
366,6667
4,8458
0,1467
4,8673
9,7131
0,1469
Manglid
66,6667
0,8811
0,0267
0,8850
1,7660
0,0418
30
Manglietia glauca Bl Omalanthus populneus (Geisel.) Pax
66,6667
0,8811
0,0267
0,8850
1,7660
0,0418
31
Ostodes paniculata Bl.
Kareumbi Muncang cina
66,6667
0,8811
0,0267
0,8850
1,7660
0,0418
32
Persea excelsa (Bl.)
Huru leueur
66,6667
0,8811
0,0267
0,8850
1,7660
0,0418
16
20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Kopo
Walen
Manggong
J'
202
No.
Nama Latin
Nama Lokal
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
H'
J'
Kost. 33
Plectronia didyma Kurz
Ki kopi
233,3333
3,0837
0,0933
3,0973
6,1810
0,1075
34
Polyosma integrifolia Bl. Pygeum latifolium Miq Bl.
Ki jebug Salam banen
333,3333
4,4053
0,1333
4,4248
8,8301
0,1378
200
2,6432
0,0800
2,6549
5,2980
0,0962
Quercus tyesmannii Bl. Rauwolfia javanica K. et V. Saurauia blumiana Benn. Schima wallichii (DC.) Korth. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocos fasciculata Zoll. Syzygium polyanthum Wight.
Pasang
266,6667
3,5242
0,1067
3,5398
7,0641
0,1181
Lame
166,6667
2,2026
0,0667
2,2124
4,4150
0,0842
Ki leho
333,3333
4,4053
0,1333
4,4248
8,8301
0,1378
Puspa
300
3,9648
0,1200
3,9823
7,9471
0,1282
166,6667
2,2026
0,0667
2,2124
4,4150
0,0842
66,6667
0,8811
0,0267
0,8850
1,7660
0,0418
66,6667
0,8811
0,0267
0,8850
1,7660
0,0418
Turpinia obtusa Urophyllum arboreum Korth.
Ki bangkong
100
1,3216
0,0400
1,3274
2,6490
0,0573
Ki cengkeh
33,3333
0,4405
0,0133
0,4425
0,8830
0,0239
Vernonia arborea Ham. Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Weinmannia blumei Planch. Xanthophylum excelsum miq
Hamirung
33,3333
0,4405
0,0133
0,4425
0,8830
0,0239
566,6667
7,4890
0,2267
7,5221
15,0111
0,1944
33,3333
0,4405
0,0133
0,4425
0,8830
0,0239
100
1,3216
0,0400
1,3274
2,6490
0,0573
7566,6667
100
3,0133
100
200
3,5221
35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Jirak Jirak leutik Salam gunung
Nangsi Ki merak Ki endog Jumlah
0,9098
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
Lampiran 10.2 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat pancang pada Hutan Rasamala Campuran No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama Latin Abarema clypearia (Jack) Kosterm. Acronychia laurifolia Bl. Alangium villosum Wang
Nama Lokal Haruman
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0001
0,0072
0,6972
0,0141
Ki jeruk
37,3333
2,0958
0,0800
2,3438
0,0054
0,3708
4,8103
0,0663
Ki sauheun
26,6667
1,4970
0,0267
0,7813
0,0152
1,0484
3,3266
0,0499
Alseodaphne elmeri Altingia excelsa Noronha Antidesma tetandrum Bl. Artocarpus elasticus (Bl.) DC
Huru migma
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0004
0,0288
0,7188
0,0145
Rasamala
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0339
2,3336
3,0236
0,0463
Ki seueur
32
1,7964
0,0533
1,5625
0,0402
2,7643
6,1232
0,0794
37,3333
2,0958
0,0800
2,3438
0,0274
1,8827
6,3223
0,0813
Astronia macrophylla Bl. Beilschrriedia wightii Benth.
Ki harendong
16
0,8982
0,0400
1,1719
0,0382
2,6289
4,6989
0,0651
58,6667
3,2934
0,1067
3,1250
0,0416
2,8593
9,2778
0,1075
32
1,7964
0,0800
2,3438
0,0131
0,8991
5,0393
0,0686
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0001
0,0072
0,6972
0,0141
85,3333
4,7904
0,1867
5,4688
0,0497
3,4165
13,6757
0,1408
Ki ajag
16
0,8982
0,0400
1,1719
0,0188
1,2961
3,3662
0,0504
Riung anak
48
2,6946
0,0800
2,3438
0,0172
1,1846
6,2230
0,0804
Bridelia glauca Bl. Buchanania arborescens Bl. Camelia sinensis (L.) O.K. Canarium hirsutum Willd var. hirsutum Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.
Teureup
Huru Kanyere Ki tanjung Ki enteh
J'
203
No. 15 16
Nama Latin Chrysophyllum cainito L.
Nama Lokal Sauh hijau
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
10,6667
0,5988
0,0267
0,7813
0,0118
0,8139
2,1939
0,0360
122,6667
6,8862
0,2267
6,6406
0,0807
5,5476
19,0744
0,1752
37,3333
2,0958
0,0667
1,9531
0,0740
5,0921
9,1410
0,1064
21,3333
1,1976
0,0400
1,1719
0,0083
0,5690
2,9385
0,0453
64
3,5928
0,1600
4,6875
0,0455
3,1325
11,4128
0,1244
37,3333
2,0958
0,0933
2,7344
0,0387
2,6588
7,4890
0,0921
H'
17
Cryptocarya tomentosa Decaspermum fruticosum J.R.& G.
18
Dysoxylum alliaceum Bl.
19
Pingku tanglar
20
Dysoxylum excelsum Bl. Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
21
Evodia latifola DC
Ki sampang
32
1,7964
0,0667
1,9531
0,0555
3,8201
7,5697
0,0928
22
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
32
1,7964
0,0533
1,5625
0,0087
0,5978
3,9567
0,0571
23
Ficus ampelas Burm.f. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume Flacourtia rukam Zoll. & Mor Ganiothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. & Thoms
Ki hampelas
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0001
0,0072
0,6972
0,0141
69,3333
3,8922
0,1600
4,6875
0,0607
4,1733
12,7531
0,1342
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0089
0,6096
1,2996
0,0236
10,6667
0,5988
0,0267
0,7813
0,0020
0,1386
1,5186
0,0268
Glochidion lucidum Laportea stimulans (L.f.) Miq. Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd. Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
Mareme
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0017
0,1152
0,8053
0,0159
48
2,6946
0,0667
1,9531
0,1022
7,0307
11,6784
0,1264
Pasang batu Pasang kayang
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0038
0,2593
0,9493
0,0182
21,3333
1,1976
0,0533
1,5625
0,0066
0,4512
3,2113
0,0486
Litsea monopetala Pers. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Macropanax dispermum (Bl.)
Huru manuk
32
1,7964
0,0800
2,3438
0,0344
2,3627
6,5028
0,0831
170,6667
9,5808
0,2133
6,2500
0,0578
3,9720
19,8028
0,1794
16
0,8982
0,0400
1,1719
0,0103
0,7058
2,7759
0,0433
Maesopsis eminii Engl. Neonauclea lanceolata Merr.
Kayu afrika
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0051
0,3529
1,0429
0,0197
Anggrit
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0009
0,0648
0,7548
0,0151
Muncang cina
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0004
0,0288
0,7188
0,0145
21,3333
1,1976
0,0133
0,3906
0,0096
0,6626
2,2508
0,0367
38
Ostodes paniculata Bl. Peronema canescens Jack. Persea excelsa (Bl.) Kost.
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0002
0,0141
0,7041
0,0142
39
Plectronia didyma Kurz
Ki kopi
64
3,5928
0,1333
3,9063
0,0279
1,9161
9,4152
0,1086
40
Polyosma integrifolia Bl. Pygeum latifolium Miq Bl.
Ki jebug
10,6667
0,5988
0,0133
0,3906
0,0040
0,2734
1,2628
0,0230
117,3333
6,5868
0,1733
5,0781
0,0539
3,7069
15,3719
0,1522
Quercus tyesmannii Bl. Rauwolfia javanica K. et V. Saurauia blumiana Benn.
Pasang
16
0,8982
0,0133
0,3906
0,0048
0,3296
1,6184
0,0282
Lame
16
0,8982
0,0267
0,7813
0,0015
0,1008
1,7803
0,0304
42,6667
2,3952
0,0933
2,7344
0,0121
0,8326
5,9622
0,0779
Saurauia cauliflora DC. Schima wallichii (DC.) Korth. Sloanea sigun (Bl.) K. Schum Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Ki beureum
16
0,8982
0,0133
0,3906
0,0033
0,2259
1,5147
0,0267
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0001
0,0072
0,6972
0,0141
10,6667
0,5988
0,0267
0,7813
0,0068
0,4682
1,8482
0,0314
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Turpinia obtusa Turpinia sphaerocarpa Hassk
Huru tangkil
K (ind/ha)
Ipis kulit Pisitan monyet
Kopo
Walen Kupa landak Ki cantung
Pulus
Manggong Ki racun
Sungkai Huru leueur
Salam banen
Ki leho
Puspa Beleketebe Jirak
5,3333
0,2994
0,0133
0,3906
0,0038
0,2593
0,9493
0,0182
Ki bangkong
64
3,5928
0,1600
4,6875
0,1321
9,0854
17,3657
0,1649
Ki bancet
16
0,8982
0,0400
1,1719
0,0132
0,9087
2,9787
0,0458
J'
204
No. 51 52 53 54
Nama Latin Urophyllum arboreum Korth. Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Weinmannia blumei Planch. Xanthophylum excelsum miq
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
21,3333
1,1976
0,0267
0,7813
0,0587
4,0405
6,0194
0,0784
154,6667
8,6826
0,2933
8,5938
0,1759
12,1008
29,3772
0,2275
Ki merak
10,6667
0,5988
0,0267
0,7813
0,0010
0,0720
1,4521
0,0258
Ki endog
10,6667
0,5988
0,0267
0,7813
0,0257
1,7646
3,1446
0,0478
1781,3333
100
3,4133
100
1,4540
100
300
3,5226
0,8831
H'
J'
Nama Lokal Ki cengkeh Nangsi
Jumlah
H'
J'
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
Lampiran 10.3 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat tiang pada Hutan Rasamala Campuran No.
Nama Lokal
K (ind/ha)
1
Nama Latin Abarema clypearia (Jack) Kosterm.
KR (%)
F
FR (%)
Haruman
5,3333
6,4516
0,0533
6,6667
2
Alangium villosum Wang
Ki sauheun
2,6667
3,2258
0,0267
3,3333
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
0,1162
8,0713
21,1896
0,1872
0,0407
2,8231
9,3823
0,1084
3
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
5,3333
6,4516
0,0400
5,0000
0,1161
8,0641
19,5157
0,1778
4
Antidesma tetandrum Bl.
Ki seueur
4
4,8387
0,0267
3,3333
0,0680
4,7210
12,8930
0,1353
5
Astronia macrophylla Bl.
Ki harendong
4
4,8387
0,0400
5,0000
0,0525
3,6448
13,4835
0,1394
6
Beilschrriedia wightii Benth.
Huru
4
4,8387
0,0400
5,0000
0,0744
5,1646
15,0033
0,1498
7
Cryptocarya tomentosa Decaspermum fruticosum J.R.& G.
Huru tangkil
4
4,8387
0,0400
5,0000
0,0524
3,6357
13,4744
0,1394
1,3333
1,6129
0,0133
1,6667
0,0177
1,2289
4,5084
0,0631
6,6667
8,0645
0,0667
8,3333
0,0831
5,7687
22,1665
0,1925
8 9
Ipis kulit Pingku tanglar
10
Dysoxylum excelsum Bl. Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
11
Evodia latifola DC
Ki sampang
12
Ficus alba Burm.f. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume Flacourtia rukam Zoll. & Mor Laportea stimulans (L.f.) Miq.
Hamerang
Pulus Huru manuk
17
Litsea monopetala Pers. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Manggong
18
Maesopsis eminii Engl.
19
Ostodes paniculata Bl.
Kayu afrika muncang cina
20
Polyosma integrifolia Bl.
21 22
Vernonia arborea Ham. Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
13 14 15 16
23 24 25
Kopo
4
4,8387
0,0400
5,0000
0,0606
4,2102
14,0489
0,1434
6,6667
8,0645
0,0667
8,3333
0,1065
7,3969
23,7947
0,2010
4
4,8387
0,0400
5,0000
0,0665
4,6174
14,4561
0,1461
Walen
1,3333
1,6129
0,0133
1,6667
0,0252
1,7470
5,0265
0,0685
Kupa landak
1,3333
1,6129
0,0133
1,6667
0,0378
2,6250
5,9046
0,0773
1,3333
1,6129
0,0133
1,6667
0,0386
2,6806
5,9601
0,0779
2,6667
3,2258
0,0267
3,3333
0,0268
1,8583
8,4174
0,1003
4
4,8387
0,0400
5,0000
0,0667
4,6345
14,4732
0,1463
1,3333
1,6129
0,0133
1,6667
0,0378
2,6250
5,9046
0,0773
1,3333
1,6129
0,0133
1,6667
0,0268
1,8615
5,1411
0,0697
Ki jebug
2,6667
3,2258
0,0267
3,3333
0,0756
5,2500
11,8091
0,1273
Pygeum latifolium Miq Bl.
Salam banen
2,6667
3,2258
0,0267
3,3333
0,0583
4,0502
10,6093
0,1182
Turpinia obtusa Urophyllum arboreum Korth.
Ki bangkong
6,6667
8,0645
0,0667
8,3333
0,1232
8,5549
24,9527
0,2068
Ki cengkeh
1,3333
1,6129
0,0133
1,6667
0,0138
0,9617
4,2412
0,0602
Hamirung
2,6667
3,2258
0,0267
3,3333
0,0328
2,2760
8,8351
0,1038
Nangsi
1,3333
1,6129
0,0133
1,6667
0,0220
1,5288
4,8084
0,0663
82,6667
100
0,8
100
1,4401
100
300
3,0831
Jumlah
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
0,9578
205
Lampiran 10.4 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat pohon pada Hutan Rasamala Campuran No.
K (ind/ha)
KR (%)
109,6667
77,2300
Ki harendong
0,6667
Huru
3,3333
3
Nama Latin Altingia excelsa Noronha Astronia macrophylla Bl. Beilschrriedia wightii Benth.
4
Evodia latifola DC
Ki sampang
5
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
6
Glochidion rubrum Bl. Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd Litsea monopetala Pers. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Maesopsis eminii Engl. Polyosma integrifolia Bl. Quercus tyesmannii Bl. Schima wallichii (DC.) Korth. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocos fasciculata Zoll.
Ki pare Pasang kayang
Jirak leutik
Turpinia obtusa Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Ki bangkong
3 142
1 2
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nama Lokal Rasamala
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
1
43,6047
19,0441
89,5170
210,3517
0,2489
0,4695
0,0267
1,1628
0,0466
0,2192
1,8514
0,0314
2,3474
0,1333
5,8140
0,1655
0,7777
8,9391
0,1047
F
3
2,1127
0,12
5,2326
0,1657
0,7786
8,1239
0,0977
0,3333
0,2347
0,0133
0,5814
0,0121
0,0569
0,8730
0,0170
1
0,7042
0,04
1,7442
0,1538
0,7228
3,1713
0,0481
0,3333
0,2347
0,0133
0,5814
0,0268
0,1260
0,9421
0,0181
Huru manuk
1,6667
1,1737
0,0667
2,9070
0,0573
0,2692
4,3498
0,0614
Manggong
0,6667
0,4695
0,0267
1,1628
0,0285
0,1338
1,7661
0,0302
Kayu afrika
3,6667
2,5822
0,1467
6,3953
0,2162
1,0164
9,9939
0,1133
Ki jebug
1
0,7042
0,04
1,7442
0,0504
0,2369
2,6853
0,0422
pasang
3
2,1127
0,12
5,2326
0,2736
1,2862
8,6314
0,1021
Puspa
8
5,6338
0,32
13,9535
0,6280
2,9519
22,5392
0,1945
0,3333
0,2347
0,0133
0,5814
0,0138
0,0651
0,8812
0,0171
0,6667
0,4695
0,0267
1,1628
0,0231
0,1086
1,7409
0,0299
1,6667
1,1737
0,0667
2,9070
0,0684
0,3217
4,4024
0,0620
2,1127
0,12
5,2326
0,3004
1,4120
8,7572
0,1032
100
2,2933
100
21,2743
100
300
1,3218
Jirak
Nangsi Jumlah
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
J'
0,4665
206
Lampiran 11 Hasil analisis vegetasi pada Hutan Puspa Campuran di kawasan hutan TNGGP Lampiran 11.1 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat semai pada Hutan Puspa Campuran No. 1
Nama Latin
Nama Lokal
K (ind/ha)
KR (%)
125
1,8634
F
FR (%)
0,05
1,875
INP (%)
Alangium villosum Wang
Ki sauheun
2
Altingia excelsa Noronha
Rasamala
41,6667
0,6211
0,0167
0,625
1,2461
0,0316
3
Antidesma tetandrum Bl. Beilschrriedia wightii Benth. Buchanania arborescens Bl. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC. Decaspermum fruticosum J.R.& G.
Ki seueur
208,3333
3,1056
0,0833
3,125
6,2306
0,1081
41,6667
0,6211
0,0167
0,625
1,2461
0,0316
166,6667
2,4845
0,0667
2,5
4,9845
0,0920
83,3333
1,2422
0,0333
1,25
2,4922
0,0546
Tunggeureuk
166,6667
2,4845
0,0667
2,5
4,9845
0,0920
Ipis kulit Pingku tanglar
208,3333
3,1056
0,0833
3,125
6,2306
0,1081
83,3333
1,2422
0,0333
1,25
2,4922
0,0546
Kopo Kondang beunying
166,6667
2,4845
0,0667
2,5
4,9845
0,0920
83,3333
1,2422
0,0333
1,25
2,4922
0,0546
625
9,3168
0,25
9,375
18,6918
0,2215
4 5 6 7 8 9 10
Dysoxylum excelsum Bl. Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
11
Ficus fistulosa Reiwn.
12
Ficus lepicarpa Bl. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
13 14 15 16 17 18 19 20
Glochidion rubrum Bl. Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd. Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Macropanax dispermum (Bl.) Manglietia glauca Bl Neonauclea lanceolata Merr.
Huru Ki tanjung Riung anak
Bisoro
3,7384
H' 0,0744
Walen
666,6667
9,9379
0,2667
10
19,9379
0,2299
Ki pare
291,6667
4,3478
0,1167
4,375
8,7228
0,1366
83,3333
1,2422
0,0333
1,25
2,4922
0,0546
250
3,7267
0,1
3,75
7,4767
0,1229
Manggong
166,6667
2,4845
0,0667
2,5
4,9845
0,0920
Ki racun
333,3333
4,9689
0,1333
5
9,9689
0,1495
Manglid
83,3333
1,2422
0,0333
1,25
2,4922
0,0546
Anggrit
83,3333
1,2422
0,0333
1,25
2,4922
0,0546
Pasang batu Pasang kayang
21
Persea excelsa (Bl.) Kost.
Huru leueur
125
1,8634
0,05
1,875
3,7384
0,0744
22
Pasang
125
1,8634
0,05
1,875
3,7384
0,0744
23
Quercus tyesmannii Bl. Rauwolfia javanica K. et V.
Lame
41,6667
0,6211
0,0167
0,625
1,2461
0,0316
24
Saurauia blumiana Benn.
Ki leho
166,6667
2,4845
0,0667
2,5
4,9845
0,0920
25
Saurauia cauliflora DC. Schima wallichii (DC.) Korth. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Symplocos fasciculata Zoll. Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Weinmannia blumei Planch.
Ki beureum
125
1,8634
0,05
1,875
3,7384
0,0744
1416,6667
21,1180
0,5667
21,25
42,3680
0,3288
458,3333
6,8323
0,1833
6,875
13,7073
0,1837
Jirak leutik
125
1,8634
0,0333
1,25
3,1134
0,0648
Nangsi
125
1,8634
0,05
1,875
3,7384
0,0744
41,6667
0,6211
0,0167
0,625
1,2461
0,0316
6708,3333
100
2,6667
100
200
2,9401
26 27 28 29 30
Puspa Jirak
Ki merak Jumlah
J'
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
0,8644
207
Lampiran 11.2 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat pancang pada Hutan Puspa Campuran No.
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
6,6667
0,3968
0,0167
0,7634
0,0001
0,0090
1,1692
0,0216
Rasamala
20
1,1905
0,05
2,2901
0,0752
5,1625
8,6430
0,1022
Ki seueur
40
2,3810
0,0667
3,0534
0,0454
3,1167
8,5511
0,1014
Huru
26,6667
1,5873
0,0667
3,0534
0,0229
1,5718
6,2126
0,0803
Ki tanjung
26,6667
1,5873
0,05
2,2901
0,0152
1,0419
4,9193
0,0674
Riung anak
26,6667
1,5873
0,0167
0,7634
0,0113
0,7725
3,1231
0,0475
Ki sereh
13,3333
0,7937
0,0167
0,7634
0,0387
2,6587
4,2157
0,0599
Ipis kulit Pingku tanglar
80
4,7619
0,0833
3,8168
0,0176
1,2097
9,7884
0,1117
100
5,9524
0,1167
5,3435
0,0319
2,1873
13,4832
0,1394
20
1,1905
0,0333
1,5267
0,0101
0,6916
3,4088
0,0509
33,3333
1,9841
0,0667
3,0534
0,0064
0,4412
5,4788
0,0731
20
1,1905
0,05
2,2901
0,0360
2,4700
5,9506
0,0778
20
1,1905
0,05
2,2901
0,0066
0,4559
3,9365
0,0569
93,3333
5,5556
0,1333
6,1069
0,0170
1,1659
12,8283
0,1348
11
Nama Latin Alangium villosum Wang Altingia excelsa Noronha Antidesma tetandrum Bl. Beilschrriedia wightii Benth. Buchanania arborescens Bl. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Cinnamomum parthenoxylon Meissn. Decaspermum fruticosum J.R.& G. Dysoxylum excelsum Bl. Eounymus javanicus Bl. Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
12
Ficus alba Burm.f.
13 14
Ficus fistulosa Reiwn. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
15
Glochidion lucidum
Mareme
20
1,1905
0,05
2,2901
0,0067
0,4581
3,9386
0,0569
16
Glochidion rubrum Bl. Litsea monopetala Pers. Macropanax dispermum (Bl.)
Ki pare
146,6667
8,7302
0,1833
8,3969
0,0688
4,7234
21,8506
0,1908
Huru manuk
113,3333
6,7460
0,0833
3,8168
0,0336
2,3041
12,8669
0,1351
Ki racun
80
4,7619
0,1167
5,3435
0,1002
6,8759
16,9813
0,1625
Manglid
66,6667
3,9683
0,0833
3,8168
0,1563
10,7245
18,5095
0,1719
20
Manglietia glauca Bl Neonauclea lanceolata Merr.
Anggrit
26,6667
1,5873
0,0167
0,7634
0,0572
3,9269
6,2776
0,0809
21
Plectronia didyma Kurz
Ki kopi
106,6667
6,3492
0,1
4,5802
0,0417
2,8588
13,7881
0,1416
22
Pasang
20
1,1905
0,0333
1,5267
0,0484
3,3233
6,0405
0,0786
26,6667
1,5873
0,05
2,2901
0,0051
0,3503
4,2277
0,0601
24
Quercus tyesmannii Bl. Rauwolfia javanica K. et V. Saurauia blumiana Benn.
40
2,3810
0,05
2,2901
0,0129
0,8820
5,5531
0,0738
25
Saurauia cauliflora DC.
26
Schima sp1. Schima wallichii (DC.) Korth. Sloanea sigun (Bl.) K. Schum Syzygium polyanthum Wight.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
17 18 19
23
27 28 29 30 31 32
Turpinia obtusa Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Weinmannia blumei Planch.
Nama Lokal Ki sauheun
Ki keuyeup Kopo Hamerang Kondang beunying Walen
Lame Ki leho Ki leho beureum
20
1,1905
0,05
2,2901
0,0161
1,1048
4,5853
0,0639
6,6667
0,3968
0,0167
0,7634
0,0047
0,3234
1,4835
0,0263
Puspa
66,6667
3,9683
0,1333
6,1069
0,1517
10,4101
20,4852
0,1833
Beleketebe Salam gunung
33,3333
1,9841
0,05
2,2901
0,0084
0,5748
4,8491
0,0667
86,6667
5,1587
0,0667
3,0534
0,0705
4,8406
13,0527
0,1364
Ki bangkong
66,6667
3,9683
0,0833
3,8168
0,0954
6,5439
14,3290
0,1453
213,3333
12,6984
0,1667
7,6336
0,2174
14,9162
35,2482
0,2516
13,3333
0,7937
0,0333
1,5267
0,0278
1,9042
4,2245
0,0600
1680
100
2,1833
100
1,4574
100
300
3,2104
Puspa bedul
Nangsi Ki merak Jumlah
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
J'
0,9263
208
Lampiran 11.3 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat tiang pada Hutan Puspa Campuran No.
7
Nama Latin Altingia excelsa Noronha Antidesma tetandrum Bl. Beilschrriedia wightii Benth. Castanopsis argentea (Bl.) DC. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Cinnamomum parthenoxylon Meissn. Engelhardia spicata Lech. Ex. Bl.
8
Ficus alba Burm.f.
9
Ficus fistulosa Reiwn. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
1 2 3 4 5 6
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
Rasamala
43,3333
21,9780
0,2667
14,1593
0,8074
19,9102
56,0476
0,3134
Ki seueur
1,6667
0,8453
0,0167
0,8850
0,0314
0,7755
2,5058
0,0400
Huru
6,6667
3,3812
0,0667
3,5398
0,1206
2,9745
9,8956
0,1125
Saninten
1,6667
0,8453
0,0167
0,8850
0,0401
0,9886
2,7188
0,0426
11,6667
5,9172
0,1
5,3097
0,2337
5,7635
16,9904
0,1626
10
5,0719
0,1
5,3097
0,1478
3,6459
14,0275
0,1432
Nama Lokal
Riung anak Ki sereh Ki hujan
1,6667
0,8453
0,0167
0,8850
0,0365
0,9002
2,6305
0,0415
Hamerang Kondang beunying
18,3333
9,2984
0,1833
9,7345
0,3301
8,1401
27,1730
0,2175
6,6667
3,3812
0,0667
3,5398
0,1061
2,6154
9,5365
0,1096
Walen
13,3333
6,7625
0,1
5,3097
0,2431
5,9938
18,0660
0,1692
5
2,5359
0,05
2,6549
0,0728
1,7955
6,9863
0,0876
6,6667
3,3812
0,0667
3,5398
0,1557
3,8388
10,7599
0,1194
J'
Glochidion rubrum Bl. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Macropanax dispermum (Bl.)
Ki pare
Ki racun
5
2,5359
0,05
2,6549
0,0830
2,0473
7,2381
0,0899
Manglietia glauca Bl Saurauia blumiana Benn. Saurauia cauliflora DC. Schima wallichii (DC.) Korth. Sloanea sigun (Bl.) K. Schum Syzygium polyanthum Wight.
Manglid
20
10,1437
0,1667
8,8496
0,3146
7,7575
26,7507
0,2155
6,6667
3,3812
0,05
2,6549
0,0651
1,6051
7,6412
0,0935
5
2,5359
0,05
2,6549
0,0788
1,9432
7,1340
0,0889
Puspa
3,8333
1,9442
0,25
13,2743
0,7125
17,5712
32,7897
0,2420
Beleketebe Salam gunung
3,3333
1,6906
0,0333
1,7699
0,0693
1,7084
5,1689
0,0700
1,6667
0,8453
0,0167
0,8850
0,0401
0,9886
2,7188
0,0426
Turpinia obtusa Vernonia arborea Ham. Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Weinmannia blumei Planch.
Ki bangkong
1,6667
0,8453
0,0167
0,8850
0,0188
0,4648
2,1951
0,0360
Hamirung
1,6667
0,8453
0,0167
0,8850
0,0473
1,1653
2,8955
0,0448
10
5,0719
0,1
5,3097
0,1315
3,2433
13,6249
0,1404
11,6667
5,9172
0,0833
4,4248
0,1688
4,1632
14,5052
0,1465
197,1667
100
1,8833
100
4,0552
100
300
2,7692
0,8832
J'
Manggong
Ki leho Ki beureum
Nangsi Ki merak Jumlah
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
Lampiran 11.4 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat pohon pada Hutan Puspa Campuran No. 1 2 3
Nama Latin Altingia excelsa Noronha Beilschrriedia wightii Benth. Castanopsis argentea (Bl.) DC.
Nama Lokal
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
Rasamala
54,5833
24,7170
0,8167
20,7627
3,0159
23,9375
69,4172
0,3387
5,4167
2,4528
0,2167
5,5085
0,2283
1,8124
9,7737
0,1116
10
4,5283
0,2833
7,2034
0,7598
6,0310
17,7627
0,1674
Huru Saninten
209
No. 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Nama Latin Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Castanopsis tunggurrut (Bl.) A.DC. Cinnamomum parthenoxylon Meissn. Elaeocarpus pierrei Kds. & Val.
K (ind/ha)
KR (%)
6,6667
3,0189
6,25
Ki sereh
0,4167
Janitri
Nama Lokal Riung anak Tunggeureuk
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
0,2
5,0847
0,4333
3,4394
11,5430
0,1253
2,8302
0,15
3,8136
2,9587
23,4838
30,1276
0,2308
0,1887
0,0167
0,4237
0,0144
0,1145
0,7270
0,0146
1,6667
0,7547
0,0667
1,6949
0,0741
0,5883
3,0379
0,0465
2,5
1,1321
0,1
2,5424
0,0905
0,7185
4,3929
0,0618
F
Ficus alba Burm.f. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Hamerang Walen
0,4167
0,1887
0,0167
0,4237
0,0153
0,1212
0,7336
0,0147
Ficus variegata Bl. Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Macropanax dispermum (Bl.)
Kondang Pasang kayang
0,4167
0,1887
0,0167
0,4237
0,0228
0,1810
0,7934
0,0157
0,4167
0,1887
0,0167
0,4237
0,0158
0,1257
0,7381
0,0148
Manggong
4,5833
2,0755
0,1333
3,3898
0,2885
2,2897
7,7550
0,0945
Ki racun
2,5
1,1321
0,0833
2,1186
0,1412
1,1211
4,3718
0,0616
Manglietia glauca Bl Persea excelsa (Bl.) Kost. Quercus tyesmannii Bl. Saurauia blumiana Benn. Schima wallichii (DC.) Korth. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Syzygium polyanthum Wight. Toona sureni (Bl.) Merr. Trema orientalis (L.) Bl. Vernonia arborea Ham.
Manglid
54,5833
24,7170
0,4167
10,5932
0,6138
4,8715
40,1817
0,2693
Huru leueur
1,6667
0,7547
0,0667
1,6949
0,0679
0,5390
2,9886
0,0459
Pasang
4,5833
2,0755
0,15
3,8136
0,2351
1,8658
7,7548
0,0945
Ki leho
0,4167
0,1887
0,0167
0,4237
0,0239
0,1894
0,8018
0,0158
Puspa
55,4167
25,0943
0,85
21,6102
3,0414
24,1402
70,8447
0,3408
1,25
0,5660
0,05
1,2712
0,0718
0,5699
2,4071
0,0387
2,5
1,1321
0,1
2,5424
0,1181
0,9371
4,6116
0,0642
Suren
0,8333
0,3774
0,0333
0,8475
0,0469
0,3720
1,5968
0,0279
Kuray
1,25
0,5660
0,0333
0,8475
0,1951
1,5483
2,9618
0,0456
2,5
1,1321
0,1
2,5424
0,1263
1,0027
4,6772
0,0649
220,8333
100
3,9333
100
12,5991
100
300
2,3056
Jirak Salam gunung
Hamirung Jumlah
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
J'
0,7353
210
Lampiran 12 Hasil analisis vegetasi pada Hutan Damar di kawasan hutan TNGGP Lampiran 12.1 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat semai pada Hutan Damar No. 1 2 3
Nama Latin Abarema clypearia (Jack) Kosterm. Acronychia laurifolia Bl.
Nama Lokal
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
H'
142,8571
0,8696
0,0571
2,1053
2,9748
0,0626
35,7143
0,2174
0,0143
0,5263
0,7437
0,0208
535,7143
3,2609
0,0429
1,5789
4,8398
0,0901
Rasamala
35,7143
0,2174
0,0143
0,5263
0,7437
0,0208
Ki seueur
35,7143
0,2174
0,0143
0,5263
0,7437
0,0208
2571,4286
15,6522
0,3429
12,6316
28,2838
0,2766
Ki tanjung
142,8571
0,8696
0,0286
1,0526
1,9222
0,0446
Ki enteh
750,0000
4,5652
0,2000
7,3684
11,9336
0,1682
Ki kuhkuran
250,0000
1,5217
0,0429
1,5789
3,1007
0,0646
Saninten
214,2857
1,3043
0,0286
1,0526
2,3570
0,0523
Riung anak
71,4286
0,4348
0,0143
0,5263
0,9611
0,0257
Ipis kulit
71,4286
0,4348
0,0286
1,0526
1,4874
0,0365
428,5714
2,6087
0,0857
3,1579
5,7666
0,1022
Haruman Ki jeruk
K (ind/ha)
Huru migma
13
Alseodaphne elmeri Altingia excelsa Noronha Antidesma tetandrum Bl. Beilschrriedia wightii Benth. Buchanania arborescens Bl. Camelia sinensis (L.) O.K. Carallia brachiata Merr. Castanopsis argentea (Bl.) DC. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Decaspermum fruticosum J.R.& G. Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
14
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
71,4286
0,4348
0,0286
1,0526
1,4874
0,0365
15
Ficus ampelas Burm.f.
71,4286
0,4348
0,0143
0,5263
0,9611
0,0257
16
Ficus fistulosa Reiwn.
Ki hampelas Kondang beunying
1678,5714
10,2174
0,3000
11,0526
21,2700
0,2383
17
Ficus lepicarpa Bl. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume Laportea stimulans (L.f.) Miq. Litsea monopetala Pers.
Bisoro
142,8571
0,8696
0,0429
1,5789
2,4485
0,0539
Walen
857,1429
5,2174
0,0857
3,1579
8,3753
0,1329
Pulus
71,4286
0,4348
0,0286
1,0526
1,4874
0,0365
Huru manuk
2142,8571
13,0435
0,1143
4,2105
17,2540
0,2114
Litsea resinosa Bl. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Macropanax dispermum (Bl.) Neonauclea lanceolata Merr. Omalanthus populneus (Geisel.) Pax
Huru minyak
35,7143
0,2174
0,0143
0,5263
0,7437
0,0208
1214,2857
7,3913
0,2714
10,0000
17,3913
0,2124
Ki racun
464,2857
2,8261
0,0714
2,6316
5,4577
0,0983
Anggrit
250,0000
1,5217
0,0286
1,0526
2,5744
0,0560
Kareumbi
571,4286
3,4783
0,0429
1,5789
5,0572
0,0930
4 5 6 7 8 9 10 11 12
18 19 20 21 22 23 24 25 26
Huru
Kopo
Manggong
Muncang cina
71,4286
0,4348
0,0286
1,0526
1,4874
0,0365
Huru leueur
35,7143
0,2174
0,0143
0,5263
0,7437
0,0208
357,1429
2,1739
0,0714
2,6316
4,8055
0,0896
Ki jebug
35,7143
0,2174
0,0143
0,5263
0,7437
0,0208
30
Ostodes paniculata Bl. Persea excelsa (Bl.) Kost. Plectronia didyma Kurz Polyosma integrifolia Bl. Quercus tyesmannii Bl.
Pasang
392,8571
2,3913
0,0857
3,1579
5,5492
0,0995
31
Saurauia blumiana
Ki leho
535,7143
3,2609
0,1143
4,2105
7,4714
0,1228
27 28 29
Ki kopi
J'
211
No.
32 33 34 35 36 37 38 39 40
Nama Latin Benn. Saurauia cauliflora DC. Sauraunia reinwardtiana Bl. Schima wallichii (DC.) Korth. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Trema orientalis (L.) Bl. Turpinia obtusa Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Weinmannia blumei Planch. Xanthophylum excelsum miq
Nama Lokal
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
H'
Ki leho beureum
142,8571
0,8696
0,0286
1,0526
1,9222
0,0446
Ki leho leutik
107,1429
0,6522
0,0143
0,5263
1,1785
0,0303
Puspa
750,0000
4,5652
0,1857
6,8421
11,4073
0,1634
Jirak
107,1429
0,6522
0,0286
1,0526
1,7048
0,0406
Kuray
214,2857
1,3043
0,0429
1,5789
2,8833
0,0611
Ki bangkong
142,8571
0,8696
0,0286
1,0526
1,9222
0,0446
Nangsi
392,8571
2,3913
0,0714
2,6316
5,0229
0,0925
35,7143
0,2174
0,0143
0,5263
0,7437
0,0208
250,0000
1,5217
0,0143
0,5263
2,0481
0,0469
16428,5714
100
2,7143
100
200
3,1361
Ki merak Ki endog Jumlah
J'
0,8502
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
Lampiran 12.2 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat pancang pada Hutan Damar No.
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
40,0000
2,5547
0,0429
1,8750
0,0123
0,9705
5,4003
0,0723
0,0143
0,6250
0,0103
0,8157
3,2655
0,0492
0,0286
1,2500
0,0380
2,9980
4,9779
0,0680
0,0714
3,1250
0,0182
1,4333
6,7480
0,0854
1,8248
0,0429
1,8750
0,0310
2,4449
6,1447
0,0796
11,4286
0,7299
0,0286
1,2500
0,0232
1,8287
3,8086
0,0554
Huru
17,1429
1,0949
0,0429
1,8750
0,0394
3,1085
6,0784
0,0790
Ki tanjung
22,8571
1,4599
0,0286
1,2500
0,0070
0,5510
3,2608
0,0491
245,7143
15,6934
0,2714
11,8750
0,1776
14,0219
41,5904
0,2739
11,4286
0,7299
0,0286
1,2500
0,0012
0,0981
2,0781
0,0344
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0002
0,0174
1,0073
0,0191
Saninten
11,4286
0,7299
0,0143
0,6250
0,0059
0,4652
1,8202
0,0310
Ki sereh
17,1429
1,0949
0,0143
0,6250
0,0247
1,9481
3,6680
0,0538
Ipis kulit Pingku tanglar
11,4286
0,7299
0,0286
1,2500
0,0063
0,4978
2,4778
0,0396
28,5714
1,8248
0,0571
2,5000
0,0799
6,3057
10,6305
0,1184
182,8571
11,6788
0,1714
7,5000
0,0875
6,9077
26,0865
0,2124
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0004
0,0354
1,0254
0,0194
40,0000
2,5547
0,0714
3,1250
0,0275
2,1724
7,8521
0,0954
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0002
0,0128
1,0027
0,0191
2
Nama Latin Abarema clypearia (Jack) Kosterm. Acronychia laurifolia Bl.
Ki jeruk
28,5714
1,8248
3
Agathis dammara
Damar
11,4286
0,7299
4
Huru migma
34,2857
2,1898
Rasamala
28,5714
Ki seueur
16
Alseodaphne elmeri Altingia excelsa Noronha Antidesma tetandrum Bl. Beilschrriedia wightii Benth. Buchanania arborescens Bl. Camelia sinensis (L.) O.K. Canarium hirsutum Willd var. hirsutum Carallia brachiata Merr. Castanopsis argentea (Bl.) DC. Cinnamomum parthenoxylon Meissn. Decaspermum fruticosum J.R.& G. Dysoxylum excelsum Bl. Eugenia densiflora (Bl.) Duthie
Kopo
17
Evodia latifola DC
Ki sampang
18
Ficus alba Burm.f.
Hamerang
19
Ficus ampelas Burm.f.
Ki hampelas
1
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Lokal Haruman
Ki enteh Ki ajag Ki kuhkuran
J'
212
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
51,4286
3,2847
0,1143
5,0000
0,0281
2,2153
10,4999
0,1173
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0010
0,0797
1,0697
0,0201
80,0000
5,1095
0,1429
6,2500
0,2009
15,8627
27,2222
0,2178
17,1429
1,0949
0,0286
1,2500
0,0608
4,8012
7,1461
0,0890
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0004
0,0354
1,0254
0,0194
45,7143
2,9197
0,0857
3,7500
0,0335
2,6415
9,3112
0,1078
Pasang batu
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0252
1,9931
2,9831
0,0458
Huru manuk
28,5714
1,8248
0,0286
1,2500
0,0032
0,2487
3,3236
0,0499
217,1429
13,8686
0,2571
11,2500
0,0999
7,8842
33,0028
0,2428
Manglid
22,8571
1,4599
0,0143
0,6250
0,0124
0,9776
3,0625
0,0468
Anggrit
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0010
0,0797
1,0697
0,0201
Cangcaratan
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0018
0,1417
1,1317
0,0210
Kareumbi muncang cina
51,4286
3,2847
0,0571
2,5000
0,0051
0,4029
6,1875
0,0801
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0035
0,2778
1,2678
0,0231
Ki kopi
45,7143
2,9197
0,0857
3,7500
0,0138
1,0896
7,7593
0,0945
Pasang
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0004
0,0354
1,0254
0,0194
Ki leho
40,0000
2,5547
0,0714
3,1250
0,0243
1,9162
7,5960
0,0931
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0317
2,5002
3,4901
0,0518
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0018
0,1417
1,1317
0,0210
57,1429
3,6496
0,1000
4,3750
0,0744
5,8706
13,8952
0,1423
No.
Nama Latin
20
Ficus fistulosa Reiwn.
21
Bisoro
22
Ficus lepicarpa Bl. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Walen
23
Ficus variegata Bl.
Kondang
24
Glochidion lucidum Laportea stimulans (L.f.) Miq. Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd. Litsea monopetala Pers. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A.
Mareme
Manglietia glauca Bl Neonauclea lanceolata Merr. Neonauclea obtusa (Bl.) Meer. Omalanthus populneus (Geisel.) Pax
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Ostodes paniculata Bl. Plectronia didyma Kurz Quercus tyesmannii Bl. Saurauia blumiana Benn. Saurauia cauliflora DC. Saurauia nudiflora Schima wallichii (DC.) Korth. Trema orientalis (L.) Bl. Turpinia obtusa Urophyllum arboreum Korth. Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Weinmannia blumei Planch. Xanthophylum excelsum miq
Nama Lokal Kondang beunying
Pulus
Manggong
Ki beureum Ki leho badak Puspa Kuray
J'
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0005
0,0429
1,0328
0,0195
Ki bangkong
11,4286
0,7299
0,0286
1,2500
0,0027
0,2112
2,1911
0,0359
Ki cengkeh
22,8571
1,4599
0,0286
1,2500
0,0138
1,0857
3,7955
0,0553
Nangsi
45,7143
2,9197
0,0714
3,1250
0,0200
1,5789
7,6236
0,0933
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0141
1,1112
2,1011
0,0347
5,7143
0,3650
0,0143
0,6250
0,0018
0,1417
1,1317
0,0210
1565,7143
100
2,2857
100
1,2666
100
300
3,2377
0,8505
J'
Ki merak Ki endog Jumlah
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
Lampiran 12.3 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat tiang pada Hutan Damar No.
Nama Latin
1
Agathis dammara
2
Alseodaphne elmeri
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
Damar
2,8571
6,6667
0,0286
6,6667
0,0272
4,2940
17,6273
0,1665
Huru migma
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0124
1,9563
8,6229
0,1020
Nama Lokal
213
No. 3 4 5 6 7
Nama Latin Altingia excelsa Noronha Antidesma tetandrum Bl. Artocarpus elasticus (Bl.) DC Bruismia styracoides Boerl. & Koord. Camelia sinensis (L.) O.K.
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
Rasamala
5,7143
13,3333
0,0571
13,3333
0,0981
15,5125
42,1792
0,2758
Ki seueur
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0136
2,1470
8,8137
0,1036
Teureup
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0220
3,4778
10,1445
0,1145
Ki dage
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0392
6,2048
12,8715
0,1351
Ki enteh
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0162
2,5551
9,2218
0,1070
Nama Lokal
J'
8
Evodia latifola DC
Ki sampang
2,8571
6,6667
0,0286
6,6667
0,0472
7,4568
20,7902
0,1850
9
Ficus alba Burm.f.
Hamerang Kondang beunying
2,8571
6,6667
0,0286
6,6667
0,0465
7,3532
20,6866
0,1844
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0277
4,3737
11,0403
0,1215
Walen
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0112
1,7744
8,4411
0,1005
Ki pare
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0112
1,7744
8,4411
0,1005
Pulus
2,8571
6,6667
0,0286
6,6667
0,0338
5,3453
18,6787
0,1729
Manggong
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0364
5,7490
12,4157
0,1318
Pasang
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0167
2,6410
9,3077
0,1077
Ki leho
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0309
4,8895
11,5562
0,1254
Ki beureum
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0128
2,0315
8,6982
0,1027
Puspa
5,7143
13,3333
0,0571
13,3333
0,0949
15,0099
41,6765
0,2742
Nangsi
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0112
1,7744
8,4411
0,1005
Ki merak
1,4286
3,3333
0,0143
3,3333
0,0233
3,6794
10,3460
0,1161
42,8571
100
0,4286
100
0,6323
100
300
2,8279
0,9440
J'
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Ficus fistulosa Reiwn. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume Glochidion rubrum Bl. Laportea stimulans (L.f.) Miq. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Quercus tyesmannii Bl. Saurauia blumiana Benn. Saurauia cauliflora DC. Schima wallichii (DC.) Korth. Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Weinmannia blumei Planch.
Jumlah
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
Lampiran 12.4 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat pohon pada Hutan Damar No. 1
Nama Latin
Nama Lokal
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
Damar
105,0000
93,6306
1,0000
69,3069
99,4594
99,1803
262,1178
0,1179
Rasamala
1,4286
1,2739
0,0571
3,9604
0,1076
0,1073
5,3416
0,0717
Teureup
0,7143
0,6369
0,0286
1,9802
0,0388
0,0387
2,6559
0,0418
Huru
1,0714
0,9554
0,0429
2,9703
0,0384
0,0383
3,9640
0,0572
5
Agathis dammara Altingia excelsa Noronha Artocarpus elasticus (Bl.) DC Beilschrriedia wightii Benth. Camelia sinensis (L.) O.K.
Ki enteh
0,7143
0,6369
0,0143
0,9901
0,0236
0,0235
1,6506
0,0286
6
Evodia latifola DC
Ki sampang
0,3571
0,3185
0,0143
0,9901
0,0145
0,0144
1,3230
0,0239
7
Ficus variegata Bl.
Kondang
0,3571
0,3185
0,0143
0,9901
0,0220
0,0219
1,3305
0,0240
8
Ki pare
0,3571
0,3185
0,0143
0,9901
0,0145
0,0144
1,3230
0,0239
Pasang batu Pasang kayang
0,3571
0,3185
0,0143
0,9901
0,0231
0,0230
1,3316
0,0240
10
Glochidion rubrum Bl. Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd. Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
0,3571
0,3185
0,0143
0,9901
0,0200
0,0199
1,3285
0,0240
11
Manglietia glauca Bl
Manglid
0,3571
0,3185
0,0143
0,9901
0,0287
0,0286
1,3372
0,0241
2 3 4
9
214
No. 12 13
Nama Latin Schima wallichii (DC.) Korth. Weinmannia blumei Planch.
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
Puspa
0,7143
0,6369
0,2000
13,8614
0,4797
0,4783
14,9767
0,1496
Ki merak
0,3571
0,3185
0,0143
0,9901
0,0112
0,0112
1,3198
0,0239
112,1429
100
1,4429
100
100,2814
100
300
0,6349
Nama Lokal
Jumlah
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
H'
J'
0,2475
215
Lampiran 13 Hasil analisis vegetasi pada Hutan Pinus di kawasan hutan TNGGP Lampiran 13.1 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat semai pada Hutan Pinus No.
2
Nama Latin Buchanania arborescens Bl. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.
3
Ficus alba Burm.f.
4
Ficus fistulosa Reiwn. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume Flacourtia rukam Zoll. & Mor
1
5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
K (ind/ha)
KR (%)
Ki tanjung
50
1,5152
Riung anak
50
Hamerang Kondang beunying
Nama Lokal
F
FR (%)
INP (%)
H'
0,02
1,5152
3,0303
0,0635
1,5152
0,02
1,5152
3,0303
0,0635
150
4,5455
0,06
4,5455
9,0909
0,1405
200
6,0606
0,08
6,0606
12,1212
0,1699
Walen
950
28,7879
0,38
28,7879
57,5758
0,3585
Kupa landak
100
3,0303
0,04
3,0303
6,0606
0,1060
Glochidion lucidum Glycyrrhiza glabra L. var. glandulifera (Waldst. & kit) Regel & Herder Litsea monopetala Pers. Macaranga semiglobosa J.J.S Macropanax dispermum (Bl.) Maesopsis eminii Engl.
Mareme
50
1,5152
0,02
1,5152
3,0303
0,0635
Ki amis
200
6,0606
0,08
6,0606
12,1212
0,1699
50
1,5152
0,02
1,5152
3,0303
0,0635
Mara
150
4,5455
0,06
4,5455
9,0909
0,1405
Ki racun
100
3,0303
0,04
3,0303
6,0606
0,1060
50
1,5152
0,02
1,5152
3,0303
0,0635
Manglietia glauca Bl Saurauia blumiana Benn. Schima wallichii (DC.) Korth. Sloanea sigun (Bl.) K. Schum Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Manglid
150
4,5455
0,06
4,5455
9,0909
0,1405
Ki leho
200
6,0606
0,08
6,0606
12,1212
0,1699
Puspa
250
7,5758
0,1
7,5758
15,1515
0,1955
Beleketebe
100
3,0303
0,04
3,0303
6,0606
0,1060
Nangsi
500
15,1515
0,2
15,1515
30,3030
0,2859
3300
100
1,32
100
200
2,4063
Huru manuk
Kayu afrika
Jumlah
J'
0,8493
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
Lampiran 13.2 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat pancang pada Hutan Pinus No. 1
Nama Latin
Nama Lokal
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
Rasamala
16
1,25
0,02
1,1628
0,0116
1,6932
4,1060
0,0587
Ki tanjung
16
1,25
0,04
2,3256
0,0121
1,7665
5,3420
0,0717
8
0,625
0,02
1,1628
0,0101
1,4644
3,2522
0,0490
4
Altingia excelsa Noronha Buchanania arborescens Bl. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Cinnamomum parthenoxylon Meissn.
264
20,625
0,32
18,6047
0,1785
26,0063
65,2360
0,3318
5
Ficus alba Burm.f.
48
3,75
0,08
4,6512
0,0318
4,6386
13,0397
0,1363
6
Ficus fistulosa Reiwn.
Hamerang Kondang beunying
96
7,5
0,24
13,9535
0,0316
4,6084
26,0618
0,2123
2 3
Riung anak Ki sereh
J'
216
No.
KR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
32
2,5
0,06
3,4884
0,0879
12,8073
18,7957
0,1736
Walen
176
13,75
0,12
6,9767
0,0745
10,8587
31,5854
0,2370
8
0,625
0,02
1,1628
0,0025
0,3661
2,1539
0,0354
Ki amis Pasang kayang
16
1,25
0,04
2,3256
0,0020
0,2975
3,8730
0,0562
16
1,25
0,02
1,1628
0,0086
1,2539
3,6667
0,0538
Huru manuk
16
1,25
0,02
1,1628
0,0006
0,0915
2,5043
0,0400
128
10
0,18
10,4651
0,0217
3,1558
23,6209
0,2001
14
Litsea monopetala Pers. Macaranga semiglobosa J.J.S Macropanax dispermum (Bl.)
Ki racun
56
4,375
0,06
3,4884
0,0345
5,0266
12,8900
0,1352
15
Manglietia glauca Bl
Manglid
8
0,625
0,02
1,1628
0,0003
0,0448
1,8326
0,0311
16
Pavetta indica L. Persea excelsa (Bl.) Kost.
Ki kopi leutik
8
0,625
0,02
1,1628
0,0006
0,0915
1,8793
0,0318
Huru leueur
8
0,625
0,02
1,1628
0,0006
0,0915
1,8793
0,0318
Saurauia blumiana Benn. Schima wallichii (DC.) Korth. Sloanea sigun (Bl.) K. Schum
Ki leho
152
11,875
0,1
5,8140
0,0377
5,4888
23,1778
0,1978
Puspa
16
1,25
0,02
1,1628
0,0146
2,1317
4,5444
0,0635
Beleketebe
16
1,25
0,04
2,3256
0,0128
1,8681
5,4436
0,0728
Turpinia obtusa Urophyllum arboreum Korth. Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Ki bangkong
8
0,625
0,02
1,1628
0,0057
0,8237
2,6115
0,0413
48
3,75
0,06
3,4884
0,0083
1,2109
8,4493
0,1005
120
9,375
0,18
10,4651
0,0976
14,2141
34,0542
0,2470
1280
100
1,72
100
0,6865
100
300
2,6087
0,8320
J'
9 10 11 12 13
17 18 19 20 21 22 23
Kupa landak
Mara
Ki cengkeh Nangsi Jumlah
F
FR (%)
Teuter
8
Nama Lokal
K (ind/ha)
Ficus hispida Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume Flacourtia rukam Zoll. & Mor Glycyrrhiza glabra L. var. glandulifera (Waldst. & kit) Regel & Herder Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd
7
Nama Latin
J'
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
Lampiran 13.3 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat tiang pada Hutan Pinus No. 1 2
Nama Latin Cinnamomum parthenoxylon Meissn. Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Nama Lokal
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
H'
Ki sereh
6
75
0,06
75
0,0588
78,9141
228,9141
0,2064
Walen
2
25
0,02
25
0,0157
21,0859
71,0859
0,3412
8
100
0,08
100
0,0745
100
300
0,5475
Jumlah
0,7899
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
Lampiran 13.4 Daftar jenis dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat pohon pada Hutan Pinus No. 1
Nama Latin Pinus merkusii
Nama Lokal Pinus
K (ind/ha) 210,5
KR (%) 100
F 1
FR (%)
D (m2/ha)
DR (%)
INP (%)
100
33,8115
100
300
Keterangan: K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis, J’ = Indeks Kemerataan Jenis
H'
J' 0
-
217
Lampiran 14 Penilaian kategori prioritas restorasi kawasan TNGGP
No. I. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi Keanekaragaman 0,181 Jumlah tipe ekosistem Terdapat 8 tipe ekosistem di *) tipe ekosistem yang terdapat di suatu TNGGP, yaitu: kawasan hutan - Ekosistem hutan submontana konservasi (1.000 – 1.500 mdpl) - Ekosistem hutan montana (>1.500 – 2.400 mdpl) - Ekosistem hutan subalpin (>2.400 – 4.150 mdpl) - Ekosistem rawa - Ekosistem kawah - Ekosistem alun-alun - Ekosistem danau - Ekosistem hutan tanaman/ekosistem hutan dataran tinggi (500 – 1.000 mdpl) Potensi 0,142 Jumlah vegetasi dan Terdapat 1.497 jenis vegetasi keanekaragaman satwaliar yang dan 758 jenis satwaliar jenis terdapat di suatu kawasan hutan konservasi 0,310 Terdapatnya jenis Terdapat 8 jenis vegetasi Keberadaan jenis vegetasi dan satwaliar langka, 2 jenis vegetasi langka dan langka dan dilindungi dilindungi, 10 jenis satwaliar dilindungi *) di suatu kawasan langka, 9 jenis satwaliar hutan konservasi dilindungi 0,127 Jumlah ekosistem Terdapat 3 ekosistem penting, Ekosistem penting sebagai yaitu: penting sebagai penyedia air dan - Hutan pada punggung gunung penyedia air dan pengendalian banjir (ridge forest) pengendalian yang terdapat di suatu - Ekosistem rawa banjir *) kawasan hutan - Ekosistem danau konservasi Jumlah lansekap atau Terdapat 9 lansekap atau ciri Lansekap atau ciri 0,050 ciri geofisik sebagai geofisik, yaitu: geofisik sebagai obyek wisata alam - Air terjun obyek wisata *) yang terdapat di suatu - Danau alam kawasan hutan - Puncak gunung konservasi - Gua - Mata air panas - Padang rumput pegunungan - Rawa pegunungan - Kawah - Bumi perkemahan 0,035 Keaktifan/pemanfaatan Terdapat 8 tempat peninggalan Tempat tempat peninggalan peninggalan budaya, kadang-kadang budaya di suatu budaya *) dikunjungi, tidak terdapat kawasan hutan masyarakat adat, yaitu: konservasi dan - Lawang saketeng keberadaan - Batu kukus masyarakat adat yang - Batu dongdang memanfaatkan tempat - Lewit salawe jajar peninggalan budaya - Pasarean tersebut - Batu sujud di Alun-alun Suryakencana
Skala Intensitas
Skor
4
0,724
5
0,710
5
1,550
3
0,381
5
0,250
2
0,070
218
No.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
Skor
4
0,132
- Petilasan Prabu Siliwangi di Gunung Gemuruh - Kerajaan Eyang Suryakancana di Alun-alun Gunung Gede
7.
Logistik bagi penelitian dan pendidikan
0,033
Tersedianya logistik bagi kegiatan penelitian dan pendidikan di suatu kawasan hutan konservasi yang meliputi: - Tersedianya sarana dan prasarana penelitian - Obyek penelitian mudah dijumpai/ditemukan - Terdapatnya sistem pengelolaan data base penelitian - Tersedianya pendamping lapangan yang profesional - Tersedianya peralatan penelitian yang memadai
Tersedia 4 jenis logistik bagi penelitian dan pendidikan, yaitu: - Tersedianya sarana dan prasarana penelitian - Obyek penelitian mudah dijumpai/ ditemukan - Terdapatnya sistem pengelolaan data base penelitian - Tersedianya pendamping lapangan yang profesional
219
No. 8.
II. 1.
2.
3.
4.
Kriteria Pemanfaatan SDA secara lestari oleh stakeholders
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
Skor
0,122
Terdapatnya beberapa persyaratan agar kegiatan pemanfaatan SDA di suatu kawasan hutan konservasi oleh stakeholders dapat lestari, yaitu: - Adanya MoU (nota kesepakatan) antara stakeholders pemanfaat SDA dengan pihak pengelola suatu kawasan hutan konservasi - Adanya rencana pemanfaatan SDA di suatu kawasan hutan konservasi - Adanya rencana pemulihan SDA di suatu kawasan hutan konservasi apabila terjadi kerusakan SDA akibat kegiatan pemanfaatan SDA tersebut
97,87% stakeholders memenuhi persyaratan. Jumlah stakeholders: - 61 pengguna air - 25 mitra domestik - 8 mitra luar negeri
5
0,610
Total skor aspek tingkat kepentingan: Aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi: Persentase 0,132 Besarnya persentase 9,47% kawasan TNGGP kerusakan hutan kerusakan hutan di mengalami kerusakan. di suatu kawasan suatu kawasan hutan - Luas kerusakan hutan di hutan konservasi konservasi kawasan TNGGP: 2.164 ha - Luas kawasan TNGGP: 22.851,030 ha Bentuk dan 0,162 Jenis bentuk dan Bentuk kerusakan: tidak sebaran sebaran kerusakan beraturan kerusakan hutan hutan di suatu Sebaran kerusakan: tidak di suatu kawasan kawasan hutan beraturan hutan konservasi konservasi Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
Luasan suatu kawasan hutan konservasi
0,287
0,069
Frekuensi terjadinya bencana alam sebagai akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Ukuran/luas wilayah suatu kawasan hutan konservasi
Bencana alam terjadi ≤ 1 kali/ tahun - Akibat yang timbul: tanah longsor Frekuensi: ≤ 1 kali/tahun Tahun 2006 = 0,04 ha Tahun 2009 = 0,04 ha Luas kawasan TNGGP: 22.851,030 ha
4,427 2
0,264
1
0,162
1
0,287
3
0,207
220
No.
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang Harus Dipenuhi
Variabel Penilaian
Skala Intensitas
Skor
5.
Keberadaan hutan miskin jenis di suatu kawasan hutan konservasi
0,062
Luas kawasan hutan miskin jenis: 7.655,030 ha (33,50% dari luas kawasan TNGGP)
3
0,186
6.
Macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi
0,106
Besarnya persentase hutan miskin jenis di suatu kawasan hutan konservasi apabila dibandingkan dengan luas seluruh kawasan hutan konservasi tersebut Terdapatnya macam aktivitas yang dilakukan masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi
5
0,530
7.
Besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi
0,182
Terdapat aktivitas pengelolaan lahan dan terdapat aktivitas pemanfaatan hasil hutan - Aktivitas berkaitan dengan pengelolaan lahan kawasan hutan TNGGP: berladang, berkebun - Aktivitas berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan di kawasan hutan TNGGP: mengambil kayu, mengambil kayu bakar, membuat arang, mengambil rotan, mengambil tanaman hias, mengambil pakis, mengambil bambu, mengambil kulit kayu, menangkap burung dan kupukupu, berburu, menyadap getah damar/pinus 100% stakeholders berkontribusi terhadap pelestarian TNGGP dan pembangunan masyarakat sekitar
5
0,910
Terdapatnya kontribusi stakeholders sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi terhadap pelestarian kawasan hutan konservasi dan pembangunan masyarakat sekitar Total skor aspek tingkat kemendesakan:
Keterangan: *) Modifikasi dari Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika (MacKinnon, 1993)
2,546
221
Lampiran 15 Confusion matrix dalam uji akurasi klasifikasi dengan metode overall accuracy
Penutupan lahan B Hs Ht Titik Pc GPS Pk Pm Pt Sw Grand Total
B
Hs 2 1
10 5
Tahun 2010 Ht Pc Pk 1 17
Pm 1
Sw
1
1
17 1
12
20
12
1 2 3 7
20 29
3
15
18
20
29
Keterangan: B = Belukar, Hs = Hutan sekunder, Ht = Hutan tanaman, Pc = Pertanian campur semak, Pk = Perkebunan, Pm = Pemukiman, Pt = Pertanian lahan kering, Sw = Sawah
Titik yang berkesesuaian Total titik Nilai akurasi
Pt
: 110 titik : 124 titik : 88,71%
Grand Total 4 10 25 20 29 18 15 3 124
222
Lampiran 16 Luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP menurut resort dan penutupan lahan Lampiran 16.1 Luas prioritas I lokasi restorasi di kawasan TNGGP Luas Prioritas I (ha) Resort
B
Ht
Pc
Pk
Pm
Pt
Prioritas I Total
Sw
Bodogol
48
224
39
4
8
14
5
342
Cimande
24
0
4
0
1
0
1
30
Cisarua
52
0
8
49
1
3
0
113
Gn Putri
43
12
5
51
2
0
18
132
Goalpara
14
30
2
2
0
0
0
47
Mandalawangi
57
44
5
149
0
1
1
257
Nagrak
62
461
35
0
3
47
31
640
Pasir Hantap
19
117
10
0
0
6
7
159
Sarongge
97
57
7
54
2
4
6
226
Selabintana
26
107
13
10
0
0
1
157
Situ Gunung
56
174
21
36
2
0
5
294
Tapos
15
0
24
0
3
1
0
43
Tegallega
82
12
11
70
3
2
1
181
595
1.238
183
425
24
78
78
2.622
Grand Total
Keterangan: B = Belukar, Ht = Hutan tanaman, Pc = Pertanian campur semak, Pk = Perkebunan, Pm = Pemukiman, Pt = Pertanian lahan kering, Sw = Sawah
Lampiran 16.2 Luas prioritas II lokasi restorasi di kawasan TNGGP Luas Prioritas II (ha) Resort
A
Aw
B
Hs
Ht
Pc
Pk
Pm
Pt
Prioritas II Total
Sw
Bodogol
0
4
63
0
23
26
0
7
7
22
151
Cimande
0
0
5
0
88
7
0
1
4
14
119
Cisarua
0
6
17
1
41
11
64
3
11
4
157
Gn Putri
0
0
2
2
133
13
59
12
11
98
330
Goalpara
0
4
8
20
33
6
36
11
0
7
124
Mandalawangi
0
0
19
6
147
8
97
3
4
13
296
Nagrak
0
7
50
7
113
36
0
24
52
140
428
223
Luas Prioritas II (ha) Resort
A
Aw
B
Hs
Ht
Pc
Pk
Pm
Pt
Prioritas II Total
Sw
Pasir Hantap
0
0
24
0
20
40
0
6
40
96
227
Sarongge
0
2
19
9
66
52
143
9
28
163
490
Selabintana
0
7
14
83
37
7
47
7
0
1
204
Situ Gunung
2
1
30
23
146
39
99
3
7
17
368
Tapos
0
2
6
0
57
8
0
1
7
8
89
Tegallega
0
0
8
10
136
19
44
2
7
10
237
2
32
267
160
1.039
272
589
89
176
594
3.220
Grand Total
Keterangan: A = Badan air, Aw = Awan dan bayangan awan, B = Belukar, Hs = Hutan sekunder, Ht = Hutan tanaman, Pc = Pertanian campur semak, Pk = Perkebunan, Pm = Pemukiman, Pt = Pertanian lahan kering, Sw = Sawah
Lampiran 16.3 Luas prioritas III lokasi restorasi di kawasan TNGGP Luas Prioritas III (ha) Resort
A
Aw
B
Hp
Hs
Ht
Pc
Pk
Pm
Pt
Sw
Prioritas III Total
T
Bodogol
0
3
42
508
1.309
506
1
0
1
0
3
0
2.373
Cimande
0
2
68
725
1.021
264
3
0
0
0
9
0
2.092
Cisarua
0
92
43
575
1.162
120
15
10
0
2
11
0
2.031
Gn Putri
0
108
5
65
289
59
4
1
1
0
6
0
538
Goalpara
0
1
0
340
338
13
0
0
0
0
1
0
693
Mandalawangi
0
21
0
82
685
122
1
1
0
2
3
0
917
Nagrak
0
5
15
236
1.294
147
4
0
0
5
15
0
1.722
Pasir Hantap
0
0
1
16
657
91
2
0
0
5
9
0
781
Sarongge
0
57
6
141
233
8
0
2
0
1
1
7
456
Selabintana
0
18
0
1.281
738
23
0
0
0
0
0
11
2.070
Situ Gunung
10
118
42
1.502
998
50
16
12
0
1
2
0
2.751
Tapos
0
0
5
282
376
249
1
0
0
1
1
0
915
Tegallega
0
7
0
501
489
130
0
5
0
0
0
7
1.140
10
432
229
6.254
9.589
1.781
48
32
2
18
61
24
18.480
Grand Total
Keterangan: A = Badan air, Aw = Awan dan bayangan awan, B = Belukar, Hp = Hutan primer, Hs = Hutan sekunder, Ht = Hutan tanaman, Pc = Pertanian campur semak, Pk = Perkebunan, Pm = Pemukiman, Pt = Pertanian lahan kering, Sw = Sawah, T = Lahan terbuka
224
Lampiran 16.4 Luas prioritas IV lokasi restorasi di kawasan TNGGP Luas Prioritas IV (ha) Resort
Hp
Prioritas IV Total
Hs
Grand Total
Bodogol
6
1
6
2.872
Cimande
2
0
2
2.244
Cisarua
1
0
1
2.302
Gn Putri
0
0
0
1.000
Goalpara
0
0
0
865
Mandalawangi
0
0
0
1.471
Nagrak
0
0
0
2.790
Pasir Hantap
0
1
1
1.168
Sarongge
0
0
0
1.172
Selabintana
1
0
1
2.432
Situ Gunung
0
0
0
3.414
Tapos
2
0
2
1.049
Tegallega
1
0
1
1.558
12
2
14
24.336
Grand Total
Keterangan: Hp = Hutan primer, Hs = Hutan sekunder
225
Lampiran 17 Perhitungan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi Lampiran 17.1 Perhitungan perbandingan berpasangan berdasarkan aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi
226
Lampiran 17.2 Perhitungan perbandingan berpasangan berdasarkan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi
227
Lampiran 18 Perhitungan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi
228
Lampiran 19 Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP per subkriteria
Lampiran 19.1 Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi berdasarkan subkriteria hutan tanaman jenis eksotik
Lampiran 19.2 Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi berdasarkan subkriteria hutan tanaman jenis asli
229
Lampiran 19.3 Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi berdasarkan subkriteria hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik
Lampiran 19.4 Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi berdasarkan subkriteria hutan alam ada jenis eksotik
Lampiran 19.5 Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi berdasarkan subkriteria tidak bervegetasi pohon
230
Lampiran 20 Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP
231
Lampiran 21 Kuesioner perumusan kriteria, variabel penilaian, dan skala intensitas dalam menentukan prioritas lokasi dan kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi
KUESIONER PERUMUSAN KRITERIA, VARIABEL PENILAIAN, DAN SKALA INTENSITAS DALAM MENENTUKAN PRIORITAS LOKASI DAN KEGIATAN RESTORASI KAWASAN HUTAN KONSERVASI Nama
: Wawan Gunawan
NRP
: P061060081
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Judul Penelitian
: Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi
Komisi Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. (Ketua) 2. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. (Anggota) 3. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. (Anggota) 4. Dr. Herwasono Soedjito, M.Sc., APU (Anggota) Kuesioner ini bertujuan untuk merumuskan kriteria, variabel penilaian, dan skala intensitas dalam menentukan prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi, dan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP. Perumusan kriteria, variabel penilaian, dan skala intensitas tersebut dilakukan melalui wawancara dengan pakar/ahli yang menjadi nara sumber. Kuesioner ini terdiri atas 3 bagian, yaitu: I.
Perumusan
kriteria,
variabel
penilaian,
dan
skala
intensitas
dalam
menentukan prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi II. Perumusan
kriteria,
variabel
penilaian,
dan
skala
intensitas
dalam
menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi III. Perumusan kriteria, alternatif, dan struktur hierarki/struktur AHP dalam menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP
232
KUESIONER PENELITIAN I: Perumusan kriteria, variabel penilaian, dan skala intensitas dalam menentukan prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi
•
•
•
Perumusan kriteria, variabel penilaian, dan skala intensitas dalam menentukan prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi dilakukan dengan mempertimbangkan aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi dan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi. Pada kuesioner ini kami telah mencoba untuk merumuskan kriteria, variabel penilaian, dan skala intensitas hipotetik dalam menentukan kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan studi literatur dan pemikiran kami. Mohon kiranya Bapak/Ibu dapat memberikan masukan/revisi/perbaikan terhadap kriteria, variabel penilaian, skala intensitas hipotetik tersebut (Tabel 1) apakah telah sesuai atau belum menurut pendapat/pemikiran Bapak/Ibu sesuai dengan kepakaran Bapak/Ibu. Tabel 1. Kriteria hipotetik dalam merumuskan kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi Kriteria
No.
Variabel Penilaian
Kualitas
Skala Intensitas
I. 1.
Aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi Karakteristik atau keunikan ekosistem
2.
Spesies khusus yang diminati, nilai kelangkaan, atau terancam
3.
Tempat yang memiliki keanekaragaman spesies
4.
Landskap atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan
5.
Fungsi hidrologi
6.
Fasilitas untuk rekreasi alam/wisata
perlindungan
*)
233
Kriteria
No.
Variabel Penilaian
Kualitas
Skala Intensitas
7.
Tempat budaya
II.
Aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi: Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi
1.
peninggalan
2.
Luasan suatu kawasan hutan konservasi
3.
Keberadaan hutan monokultur di suatu kawasan hutan konservasi
4.
Terdapatnya aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi
Keterangan:
*)
Diadopsi dari Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika (MacKinnon, 1993)
234
KUESIONER PENELITIAN II: Perumusan kriteria, variabel penilaian, dan skala intensitas dalam menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi
•
•
Pada kuesioner ini kami telah mencoba untuk merumuskan kriteria, variabel penilaian, dan skala intensitas hipotetik dalam menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi berdasarkan studi literatur dan pemikiran kami. Mohon kiranya Bapak/Ibu dapat memberikan masukan/revisi/perbaikan terhadap kriteria, variabel penilaian, skala intensitas hipotetik tersebut (Tabel 2) apakah telah sesuai atau belum menurut pendapat/pemikiran Bapak/Ibu sesuai dengan kepakaran Bapak/Ibu. Tabel 2. Kriteria hipotetik dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi No. 1.
Kriteria Penutupan lahan
*)
Variabel Penilaian
Kualitas
Skala Intensitas
Hutan primer Hutan sekunder Hutan monokultur jenis asli Semak/belukar Lahan terbuka
Sangat baik Baik Kurang baik
1 2 3
Buruk Sangat buruk
4 5
2.
Lereng (slope)
0–8% 9 – 15 % 16 – 25 % 26 – 45 % > 45 %
Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam
1 2 3 4 5
3.
Elevasi
< 1.000 mdpl
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Tidak peka
1 2 3 4 5 1
Agak peka Kurang peka Peka
2 3 4
Sangat peka
5
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
1
4.
5.
6.
Jenis tanah*) **) (kepekaan terhadap erosi)
1.000 – 1.500 mdpl 1.500 – 2.000 mdpl 2.000 – 2.500 mdpl > 2.500 mdpl Aluvial, gleisol, planosol, podsolik gleiik Latosol Kambisol, mediteran Andosol, lateritik, grumusol, podsol, podsolik Regosol, litosol, organosol, renzina
Intensitas hujan*) (Curah hujan tahunan rata-rata/hari hujan total dalam satu tahun)
< 13,6 mm/hari
Kekayaan jenis vegetasi
< 10
13,6 – 20,7 mm/hari 20,7 – 27,7 mm/hari 27,7 – 34,8 mm/hari > 34,8 mm/hari
10 – 19
Sangat rendah Rendah
2 3 4 5 5 4
235
No.
Kriteria
Variabel Penilaian
Sedang Tinggi Sangat tinggi
3 2 1
Sangat sedikit Sedikit Sedang Banyak Sangat Banyak Tidak Luas Agak Luas Kurang luas Luas Sangat luas
5 4 3 2 1
Sebaran satwaliar langka dan dilindungi
0 jenis 1 jenis 2 jenis 3 jenis > 3 jenis
8.
Luas kerusakan kawasan hutan konservasi
< 0,25 ha 0,25 – 0,5 ha 0,5 – 0,75 ha 0,75 – 1 ha > 1 ha
9.
Kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi
< 250 jiwa/km
*) **)
Skala Intensitas
20 – 29 30 – 39 > 39 7.
Keterangan:
Kualitas
2 2
250 – 499 jiwa/km 2 500 – 749 jiwa/km 750 – 999 jiwa/km2 2 > 999 jiwa/km
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
1 2 3 4 5 5 4 3 2 1
Diadopsi dari SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Nama tanah menurut Sistem Klasifikasi Tanah Pusat Penelitian Tanah Bogor 1982 (Hardjowigeno, 2003).
KUESIONER PENELITIAN III: Perumusan kriteria, alternatif, dan struktur hierarki/struktur AHP dalam menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP
•
Pada kuesioner ini kami telah mencoba untuk merumuskan kriteria, alternatif, dan struktur hierarki/struktur AHP hipotetik dalam menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP berdasarkan studi literatur dan pemikiran kami.
•
Mohon kiranya Bapak/Ibu dapat memberikan masukan/revisi/perbaikan terhadap kriteria, alternatif, dan struktur hierarki/struktur AHP hipotetik tersebut (Gambar 3) apakah telah sesuai atau belum menurut pendapat/pemikiran Bapak/Ibu sesuai dengan kepakaran Bapak/Ibu.
236
Tujuan
Menentukan prioritas kegiatan restorasi di kawasan hutan TNGGP
Kriteria
Ekologi
Sub Kriteria
Alternatif kegiatan
Tegakan pohon eksotik
Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM)
Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRATMM)
Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM)
Ekonomi
Tegakan pohon asli monokultur
Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRBTMM)
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRBMM)
Sosial
Vegetasi pohon ada jenis-jenis eksotik
Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRBTMM)
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRBMM)
Gambar 3 Struktur AHP hipotetik prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP
Tidak bervegetasi pohon
Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRBTMM)
Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRB-MM)
Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRB-TMM)
237
Definisi Operasional yang Terdapat dalam Struktur AHP Hipotetik:
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan suatu masalah disederhanakan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dalam pengambilan keputusan yang efektif atas masalah tersebut (Marimin, 2005). Tegakan pohon eksotik adalah hutan yang didominasi oleh pohon-pohon jenis eksotik (hutan monokultur jenis pinus di kawasan hutan TNGGP, hutan monokultur jenis damar di kawasan hutan TNGGP). Tegakan pohon asli monokultur adalah hutan monokultur yang didominasi oleh pohon-pohon jenis asli (hutan monokultur jenis rasamala, puspa, saninten, pasang, dan huru di kawasan hutan TNGGP). Vegetasi pohon ada jenis-jenis eksotik adalah hutan yang di dalamnya terdapat beberapa vegetasi pohon jenis eksotik yang letaknya terpencar (hutan primer di kawasan hutan TNGGP yang memiliki beberapa vegetasi pohon jenis eksotik, hutan sekunder di kawasan hutan TNGGP yang memiliki beberapa vegetasi pohon jenis eksotik, hutan monokultur jenis asli di kawasan hutan TNGGP yang memiliki beberapa vegetasi pohon jenis eksotik). Tidak bervegetasi pohon adalah kawasan hutan yang tidak memiliki vegetasi pohon (lahan terbuka di kawasan hutan TNGGP, semak/belukar di kawasan hutan TNGGP). Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM) adalah kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman secara selektif/terbatas, selanjutnya dibiarkan tanpa ada pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami (restorasi alami). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM) adalah kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman secara selektif/terbatas, selanjutnya dibiarkan tanpa ada pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami (restorasi alami). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM) adalah kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman secara selektif/terbatas, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRB-TMM) adalah kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman secara selektif/terbatas, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM) adalah kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan
238
•
•
•
•
•
cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala kecil, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala kecil tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM) adalah kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala kecil, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala kecil tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM) adalah kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala besar, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala besar tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRB-TMM) adalah kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala besar, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala besar tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar. Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRB-MM) adalah kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara melakukan penanaman pengayaan jenis (enrichment planting) menggunakan pohon jenis asli (restorasi buatan). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRBTMM) adalah kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara melakukan penanaman pengayaan jenis (enrichment planting) menggunakan pohon jenis asli (restorasi buatan). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar.
239
Lampiran 22 Kuesioner penelitian pada masyarakat sekitar
KUESIONER PENELITIAN (KUESIONER MASYARAKAT SEKITAR) MODEL KEBIJAKAN RESTORASI KAWASAN HUTAN KONSERVASI
Kode Responden
: ……………………......
Nama Responden
: ……………………......
Alamat Responden
:
RT / RW
: ……………………......
Dusun / Desa : ……………………...... Kec. / Kab.
: ……………………......
Propinsi
: ……………………......
Tanggal Wawancara : ………………………… Pewawancara
: …………………………
PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM & LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
240
KUESIONER MASYARAKAT SEKITAR I. Karakteristik rumahtangga masyarakat sekitar
1. Kode responden : .................................................... 2. Jenis kelamin
: L/P
3. Umur
: ......... tahun
4. Jumlah anggota rumahtangga (orang tua + anak + lainnya): .......... orang 5. Pendidikan formal terakhir: Tidak sekolah/SD/SMP/SMA/D1/D2/D3/S1 6. Matapencaharian: a. Matapencaharian pokok
: ................................................
b. Matapencaharian tambahan: ............................................... 7. Pendapatan: a. Pendapatan pokok (Rp/bulan)
: .....................................
b. Pendapatan tambahan (Rp/bulan) : ..................................... 8. Waktu tempuh ke kawasan hutan TNGGP: .......... jam ......... menit 9. Luas pemilikan, penggunaan, dan status Lahan: a. Sawah
: .................. m2/ha; Status lahan: milik/sewa/maro
b. Kebun/Pekarangan: .................. m2/ha; Status lahan: milik/sewa/maro c. Ladang
: .................. m2/ha; Status lahan: milik/sewa/maro
10. Status sosial dalam masyarakat: a. Tokoh masyarakat b. Tokoh adat c. Tokoh agama d. Ketua RW e. Ketua RT f. Lainnya ……………………….. 11. Keanggotaan dalam kelompok/organisasi masyarakat: a. Ya a.1. Nama kelompok/organisasi masyarakat : …………………….. a.2. Jabatan b. Tidak
: ...............................
241
II. Persepsi masyarakat sekitar terhadap kegiatan restorasi di TNGGP
1. Apakah Bapak/Ibu mengetahui bahwa kawasan hutan di sekitar Bapak/Ibu yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani kini telah beralih fungsi menjadi bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (kawasan perluasan TNGGP)? a. Ya b. Tidak (lanjutkan ke pertanyaan nomor 3) 2. Darimana Bapak/Ibu mengetahui informasi tersebut? a. Petugas kehutanan (Balai Besar TNGGP atau Perum Perhutani) b. Aparat pemerintah desa/dusun/RW/RT c. Tokoh masyarakat/tokoh adat d. Masyarakat lainnya e. Media massa (televisi, radio, surat kabar) f.
Lainnya: .................................................
3. Menurut Bapak/Ibu bagaimana kondisi hutan di kawasan TNGGP saat ini, terutama di kawasan perluasan TNGGP, apabila dibandingkan dengan kondisi hutan tersebut pada saat 8 tahun yang lalu? a. Lebih baik, karena:..................................... b. Sama saja c. Lebih buruk, karena: .................................. 4. Menurut Bapak/Ibu apakah kondisi hutan di kawasan TNGGP perlu dipulihkan (direstorasi) seperti kondisi hutan di kawasan TNGGP yang masih baik dan beraneka ragam jenisnya? a. Ya b. Tidak (lanjutkan ke pertanyaan nomor 6) 5. Kondisi hutan yang bagaimanakah yang perlu dipulihkan (direstorasi) di kawasan TNGGP? a. Hutan yang telah rusak/gundul b. Hutan tanaman jenis eksotik (jenis bukan asli), seperti pinus dan damar c. Hutan tanaman jenis asli, seperti rasamala, puspa, dan huru d. Hutan yang berada pada kelerengan curam e. Hutan yang merupakan tempat hidup (habitat) satwaliar langka dan dilindungi 6. Menurut Bapak/Ibu manfaat apa yang dapat diperoleh dari kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP?
242
a. Memperbaiki kondisi hutan b. Menjaga ketersediaan air bersih c. Mencegah terjadinya banjir d. Mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor e. Menyediakan udara yang bersih dan lingkungan yang asri f.
Menyediakan tempat hidup (habitat) bagi satwaliar
g. Lainnya: ……………………………………. 7. Jenis vegetasi (tanaman) yang bagaimanakah yang cocok untuk dipilih dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. Jenis vegetasi (tanaman) yang tergolong asli/lokal b. Jenis vegetasi (tanaman) yang mampu beradaptasi c. Jenis vegetasi (tanaman) yang cepat tumbuh d. Jenis vegetasi (tanaman) yang membutuhkan sedikit nutrisi e. Jenis vegetasi (tanaman) yang dapat hidup tanpa naungan f.
Jenis vegetasi (tanaman) yang mudah untuk diperbanyak dan dipelihara
g. Jenis vegetasi (tanaman) yang membutuhkan biaya rendah dalam penanaman dan pemeliharaan h. Lainnya: ......................................... 8. Menurut Bapak/Ibu kegiatan pemeliharaan vegetasi (tanaman) apa saja yang perlu dilakukan dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. Penyiangan rumput/gulma yang dapat mengganggu vegetasi (tanaman) pokok yang masih kecil b. Pemupukan dengan pupuk organik c. Penyulaman tanaman yang mati/rusak d. Lainnya: ………………………….. 9. Menurut Bapak/Ibu aturan apa saja yang perlu dibuat dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. Aturan dalam pemilihan jenis b. Aturan dalam penanaman (pola tanam) c. Aturan dalam pemeliharaan d. Aturan dalam penentuan lokasi restorasi e. Aturan dalam pemberdayaan masyarakat f.
Aturan dalam pembagian hak dan tanggung jawab para pihak yang terlibat
g. Lainnya: ………………………………………………….
243
10. Mengapa aturan-aturan tersebut perlu dibuat dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. Agar kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP dapat berjalan dengan baik dan lancar b. Agar para pihak yang terlibat dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP dapat memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing c. Agar tidak terjadi konflik diantara para pihak yang terlibat dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP d. Lainnya: ……………………………………….
III. Partisipasi masyarakat sekitar terhadap kegiatan restorasi di TNGGP
1. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan kegiatan yang berkaitan dengan upaya pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. Ya b. Tidak (lanjutkan ke pertanyaan nomor 8) 2. Kegiatan apa yang pernah Bapak/Ibu lakukan/ikuti berkaitan dengan upaya pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. Adopsi pohon b. Gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan) c. Rehabilitasi Hutan dan Lahan Partisipatif (RHLP) d. Lainnya: .................................................... 3. Kapan kegiatan tersebut dilaksanakan? ......................................................... 4. Dimana lokasi kegiatan tersebut? ................................................................... 5. Berapa luas kawasan TNGGP yang Bapak/Ibu tanami pohon dalam kegiatan tersebut? a. < 0,5 ha b. 0,5 ha – < 1 ha c. 1 ha – < 1,5 ha d. 1,5 ha – < 2 ha e. ≥ 2 ha 6. Jenis pohon apa saja yang Bapak/Ibu tanam dalam kegiatan tersebut? a. Rasamala b. Puspa
244
c. Saninten d. Pasang e. Jamuju f.
Huru
g. Lainnya: ..................................................................................... 7. Siapa sponsor/penyelenggara kegiatan tersebut? a. Balai Besar TNGGP b. Pemerintah Daerah c. LSM d. Perguruan Tinggi e. Konsorsium Gedepahala f.
Lainnya: ...................................................
8. Apakah Bapak/Ibu menginginkan berpartisipasi secara lebih aktif dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. Ya b. Tidak (lanjutkan ke pertanyaan nomor 15) 9. Pola tanam apa yang Bapak/Ibu inginkan dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. Tumpangsari b. Tanaman tunggal kehutanan/pohon (lanjutkan ke pertanyaan nomor 11) 10. Jenis tanaman semusim apa saja yang Bapak/Ibu inginkan untuk ditanam sebagai tanaman sela dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. ......................................, alasan: ................................................................. b. ......................................, alasan: ................................................................. c. ......................................, alasan: ................................................................. 11. Jenis pohon apa saja yang Bapak/Ibu inginkan untuk ditanam sebagai tanaman pokok dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. Rasamala, alasan: ....................................................................................... b. Puspa, alasan: ............................................................................................. c. Saninten, alasan: ......................................................................................... d. Pasang, alasan: ........................................................................................... e. Jamuju, alasan: ........................................................................................... f.
Huru, alasan: ...............................................................................................
g. Lainnya: ............................., alasan: ...........................................................
245
12. Bagaimanakah teknik penanaman yang Bapak/Ibu inginkan dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. Sistem cemplongan b. Sistem jalur c. Sistem tugal (zero tillage) 13. Berapakah jarak tanam yang Bapak/Ibu inginkan dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. 5 m x 5 m (400 pohon/ha) b. 5 m x 2,5 m (800 pohon/ha) c. 3 m x 3 m (1.100 pohon/ha) d. 3 m x 2 m (1.666 pohon/ha) e. 3 m x 1 m (3.333 pohon/ha) 14. Bagaimanakah sistem pengelolaan yang Bapak/Ibu inginkan dalam kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? a. Kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP dilaksanakan/dikelola sepenuhnya oleh masyarakat b. Kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP dilaksanakan/dikelola secara bersama-sama (kolaborasi) antara pihak Balai Besar TNGGP dan masyarakat c. Kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP dilaksanakan/dikelola sepenuhnya oleh Balai Besar TNGGP 15. Apa harapan yang Bapak/Ibu inginkan dari kegiatan pemulihan (restorasi) kawasan TNGGP? ….................…………………………………………………… …………………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………………….
246
IV. Pemanfaatan SDA oleh masyarakat sekitar di TNGGP
1. Apakah Bapak/Ibu melakukan kegiatan pemanfaatan SDA di kawasan TNGGP, terutama di kawasan perluasan TNGGP? a. Ya b. Tidak (lanjutkan ke pertanyaan nomor 3) 2. Kegiatan pemanfaatan SDA apa saja yang Bapak/Ibu lakukan di kawasan tersebut? No.
Jenis Pemanfaatan
1.
Pemanfaatan Lahan Melalui Tumpangsari
2.
Penyadapan Getah Pinus
3.
Penyadapan Getah Damar
4.
Budidaya lebah madu
5.
Pengambilan kayu bakar
6.
Pengambilan kayu pertukangan
7.
Pengambilan bambu
8.
Pengambilan rotan
Luas (Ha)
Jumlah/Hasil Pemanfaatan (Unit)
Frekuensi Pemanfaatan (/tahun)
Lokasi Pemanfaatan
Dijual/ Digunakan Sendiri
Harga per Unit (Rp)
9. 10.
3. Kompensasi atau penggantian dalam bentuk apakah yang Bapak/Ibu inginkan apabila Bapak/Ibu tidak diperbolehkan lagi untuk melakukan pemanfaatan SDA di kawasan TNGGP? a. Diberikan insentif berupa uang, sebesar Rp. .............................................. b. Disediakan matapencaharian baru, sebagai ............................................... c. Diberikan lahan garapan baru di luar kawasan TNGGP, seluas ............ ha d. Diberikan bantuan modal usaha, sebesar Rp ............................................. e. Diberikan bantuan sarana produksi pertanian (peralatan, pupuk, bibit), pemasaran, dan bimbingan teknis pertanian. f.
Tidak ingin diberi kompensasi atau penggantian dalam bentuk apapun
g. Lainnya: .......................................................................................................
Tempat Jual