REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN PARTISIPATIF: Pengalaman Restorasi Danau Toba, Sumatera Utara 1 Oleh: Subarudi 2
Ringkasan Berbagai hasil penelitiannya menegaskan bahwa kegagalan pelaksanaan RHL yang dilaksanakan oleh pemerintah disebabkan pelaksanaanya masih bersifat instruksi (top-down approach), keproyekan dan kurang melibatkan masyarakat. Oleh karena perencanaan dan pelaksanan RHL partisipatif sebagai salah satu jalan keluar yang ditawarkan perlu mendapat perhatian seksama dari para pengambil keputusan di bidang RHL. Uji coba pelaksanaan RHL partisipatif di sekitar Danau Toba telah dilakukan oleh proyek ITTO-Danau Toba dengan sembilan tahapan: (i) pelaksanaan PRA, (ii) penyiapan kelembagaan, (iii) pelaksanaan training di lokasi kelompok tani, (iv) pembangunan persemaian sederhana, (v) penyiapan lahan penanaman, (vi) pemberian insentif pemeliharaan tanaman, (vii) pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan RHL, (viii) pelaksanaan studi banding, dan (ix) pemberian penghargaan bagi kelompok tani yang berhasil dalam pelaksanaan RHL. Perjalanan pelaksanaan RHL partisipatif ternyata membutuhkan waktu yang lama, kesabaran dan kerja keras untuk mewujudkan proses membangun kepercayaan (trust building) di tingkat petani di saat menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Persoalan pendanaan dan sistem administrasi proyek pemerintah yang membatasi ruang gerak pelaksanaan RHL partisipatif dapat diantisipasi dengan merancang program RHL multi-years dan disertai dengan pembuatan prosedur pelaksanaan RHL partisipatif yang jelas dan terarah. Key words: Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Partisipatif, dan Restorasi Danau Toba. Pendahuluan Selama ini hambatan dan kendala tersebar dalam pembangunan kehutanan adalah masalah perencanaan kehutanan yang benar, tepat dan akurat. Perencanaan kehutanan seringkali dilakukan secara “dari atas ke bawah” (topdown approach), sehingga realisasi pelaksanaan dari perencanaan tersebut kurang realitis dan sulit dilaksanakan di lapangan. Perencanaan makro kehutanan dapat saja dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan aspek politis, budaya, dan sosial ekonomi masyarakat. Namun seharusnya rencana makro tersebut disusun berdasarkan rencana-rencana mikro sehingga keberhasilan dalam pelaksanaan perencanaan tersebut lebih mudah dicapai dan dimonitor perkembangannya (Subarudi dan Darmanto, 2007). 1
Makalah Disajikan pada FGD Di Perpustakaan Ardi Koesuma, Badan Litbang Kehutanan, tanggal 24 Januari 2011. 2 Mantan Team Leader Project ITTO PD 294/06 Rev.1 (F), di Sumatera Utara
1
Tingkat perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang tepat dan benar seharusnya berasal dari perencanaan RHL di tingkat yang paling bawah, yaitu petani hutan rakyat dan kelompok taninya sehingga jumlah bibit yang diminta dan ditanaman dapat dipantau dan dievaluasi tingkat keberhasilan tanamnya. Berbagai hasil penelitiannya menegaskan bahwa kegagalan pelaksanaan RHL yang dilaksanakan oleh pemerintah disebabkan pelaksanaanya masih bersifat instruksi (top-down approach), keproyekan dan kurang melibatkan masyarakat dari mulai perencanaan hingga pelaksanaannya (Sianturi, 2002; Darwo, dkk., 2005; Hendarto, 2005; Subarudi dan Alvia, 2005), sehingga perencanaan dan pelaksanaan RHL tersebut harus dirubah dengan menggunakan pendekatan dari bawah ke atas (buttom-up approach) dan bersifat partisipatif (participatory oriented). Proyek ITTO PD 394/06 Rev. 1 (F) “Restorasi Fungsi Ekosistem Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba Melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Penguatan Kapasitas Lokal untuk RHL” telah melakukan uji coba pelaksanaan RHL partisipatif dengan hasil yang cukup menggembirakan. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas tentang perencanaan dan pelaksanaan RHL partisipatif dengan mengambil pengalaman dari proyek ITTO terkait restorasi fungsi ekosistem DTA danau Toba.melalui kegiatan RHL di lahan masyarakat dan lahan marga. Tulisan ini akan menguraikan lebih detail tentang perencanaan dan pelaksanaan RHL partisipatif dengan tujuan untuk: (i) memahami tentang pengertian perencanaan dan pelaksanaan RHL partisipatif, (ii) menganalisis manfaat dari RHL partisipatif, (iii) menjelaskan pelaksanaan RHL partisipatif, dan (iv) menyusun mekanisme check and recheck dalam RHL partisipatif
Pengertian Perencanaan dan Pelaksanaan RHL Partisipatif Secara harfiah perencanaan diartikan menyusun rencana suatu kegiatan secara detail, baik, benar, dan akurat. Sedangkan pelaksanaan adalah upaya mewujudkan perencanaan secara operasional untuk mencapai tujuan perencanaan yang telah ditetapkan RHL adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi lahan dan hutan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (PP No. 76/2008: Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan).
2
Partisipatif merupakan terjemahan langsung dari kata bahasa Inggris, yaitu “Participatory” yang artinya share in by common action or position or by sympathy. Terjemahan bebasnya adalah memberikan andil dengan melakukan aksi bersama atau posisi yang sama atau dengan simpati (Fowler and Fowler, 1969), Dalam hal ini pengertian perencanaan dan pelaksanan RHL partisipatif adalah usaha untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaan RHL yang baik yang didasari atas data dan informasi yang benar dan akurat serta melibatkan para pemangku kepentingannya dari mulai perencanaan, pengaturan, pelaksanaan dan pemantauannya. Sistem perencanaan RHL partisipatif harus disusun dengan pendekatan bottomup dan dilakukan secara berjenjang dari mulai petani hutan rakyat, kelompok tani, desa kecamatan, dan kabupaten sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Gambar 1 menujukkan bahwa mekanisme dan alur penyusunan kebutuhan RHL dapat dilakukan secara berjenjang dari tingkat petani, eklompok tani, desa, ekcamatan, kabupaten dan hingga provinsi. Mekanisme ini juga dapat dimanfaatkan dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan RHL. Manfaat RHL Partisipatif Adapun manfaat dari keberadaan RHL partisipatif adalah sebagai berikut: (i) perencanaan dan pelaksanaan RHL disesuaikan dengan kebutuhan kelompok dan atau individu kelompok tani, (ii) memudahkan petani dalam merencanakan pengelolaan lahan milikinya secara efektif dan efisien, (ii) memudahkan kelompok tani untuk memobilisir para anggotanya dan melaksanakan RHL secara partisipatif, (iii) memudahkan sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan RHL di tingkat individu, kelompok tani dan desa, (iv) memudahkan pelaksanaan RHL di tingkat kelompok tani, (v) meringankan tugas desa dalam menerima dan mensinergikan berbagai program RHL di desa yang dikelolanya. Manfaat besar lainnya dari penerapan RHL partisipatif adalah tersedianya data dan informasi kegiatan RHL yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga kualitas perencanaan dan pelaksanaan RHL di tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat dapat lebih diandalkan dan menjamin tingkat keberhasilan berbagai program RHL yang diluncurkan karena sistem perencanaannya bersifat bottom up dan partisipatif.
3
KEBUTUHAN RHL INDIVIDU/PETANI
KEBUTUHAN RHL KELOMPOK PETANI
PERENCANAAN RHL TINGKAT PEDESAAN PERENCANAAN RHL TINGKAT KECAMATAN PERENCANAAN RHL TINGKAT KABUPATEN
PERENCANAAN RHL TINGKAT PROVINSI
PERENCANAAN RHL KEMENTERIAN KEHUTANAN
Gambar 1.
Keterangan:
Sistem perencanaan RHL partisipatif
Mekanisme Laporan Mekanisme Pemanfaatan
Pelaksanaan RHL Partisipatif Secara umum pelaksanaan RHL partisipatif di sekitar Danau Toba dilakukan dengan sembilan tahapan: (i) pelaksanaan PRA, (ii) penyiapan kelembagaan, (iii) pelaksanaan training di lokasi kelompok tani, (iv) pembangunan persemaian sederhana, (v) penyiapan lahan penanaman, (vi) pemberian insentif
4
pemeliharaan tanaman, (vii) pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan RHL, (viii) pelaksanaan studi banding, dan (ix) pemberian penghargaan bagi kelompok tani yang mengalami kemajuan pesat dalam kegiatan RHL.
1. Pelaksanaan PRA Pelaksanaan Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan langkah awal yang harus dilaksanakan dalam perencanaan RHL partisipatif. Dalam PRA akan dibahas permasalahan umum dan khusus (terkait RHL) secara terbuka dan bebas dari para anggota kelompok tani baik yang pria maupun wanita. Fasilitator PRA sebaiknya dapat memahami tugas dan fungsinya sehingga diskusi dapat lebih diarahkan kepada prinsip semua peserta yang hadir punya hak berbicara dan mengungkapkan pendapatnya tanpa perlu dikomentari oleh yang lain. Fasilitator harus dapat menghentikan peran peserta-peserta yang mendominasi diskusi dengan mengalihkan pertanyaan atau pendapat kepada peserta lainnya. Hal ini sungguh penting agar masukan yang diterima dapat lebih beragam dan bernuansa lebih membumi. Terkait dengan perencanaan RHL partisipatif, fasilitator dapat terlebih dahulu memberikan pengertian apa itu RHL dan apa manfaatnya. Kemudian baru ditanyakan kepada mereka sebenarnya jenis bibit apa yang dibutuhkan untuk RHL di lahan miliknya dan ditanya alasannya kenapa memilih bibit tersebut. Pada saat itu juga fsilkitator dapat memverifikasi kepada peserta lainnya (umumnya orang-orang tua) apakah di desa ini pernah tumbuh jenis pohon yang diminta oleh petani tersebut dan bagaimana pertumbuhannya? Dalam PRA juga perlu ditanyakan apakah sudah terbentuk kelompok-kelompok tani di desa ini? Ada berapa jumlahnya dan bagaimana tingkat keaktifannya? Jika belum ada perlu juga ditawarkan apakah mereka berkeingan untuk membentuk kelompok tani? Perlu juga dimintakan nama kelompok tani yang mencerminkan situasi dan permasalahan yang ada atau tujuan yang hendak mereka capai? 2. Penyiapan Kelembagaan Seringkali istilah kelembagaan dirancukan dengan istilah organisasi. Djogo, dkk (2003) menegaskan bahwa organisasi hanyalah wadahnya saja, sedangkan pengertian kelembagaan mencakup juga aturan main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi seandainya di dalam suatu tim kerja, kelompok masyarakat atau tim olah raga tertentu ada organisasinya tetapi tidak tersedia aturan mainnya.
5
Istilah kelembagaan sebenarnya mencakup 4 hal utama yang harus menjadi titik tolak, yaitu: (i) adanya aturan main, (ii) adanya struktur organisasi, (iii) adanya kebutuhan SDM, dan (iv) perlunya skema pembiayaan untuk opersional kelembagaan yang ada. Khusus kelembagaan kelompok tani hutan rakyat di Jawa seringkali kesuksesan suatu kelompok tani menjadi rebutan dan kebanggaan dari beberapa sektor pembangunan yang terkait, yaitu pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan seringkali bersumber dari kegagalan negara dan pemerintah dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang benar serta mengabaikan pembangunan kelembagaan yang seharusnya menjadi dasar dari seluruh proses pembangunan baik sosial, ekonomi, politik, teknologi dan pengelolaan sumberdaya alam (Djogo, dkk., 2003). Pemilihan kelompok tani dilakukan pendekatan terhadap kelompok tani yang memang mau melaksanakan kegiatan RHL di lahan miliknya. Kita tidak dapat memaksakan kegiatan RHL pada kelompok tani yang memang enggan lebih jauh terlibat dalam kegiatan RHL. 3. Pembangunan Persemaian Pembangunan persemaian merupakan asset penting dan sekaligus langkah strategis dalam kegiatan RHL. Selama ini dalam pelaksanaan RHL masyarakat hanya menerima bibit dari Dinas Kehutanan setempat untuk ditanam di lahan miliknya. Kadangkala jenis bibit yang diberikan tidak sesuai dengan jenis bibit yang diinginkan, sehingga tidak mustahil jenis bibit yang diberikan dibiarkan begitu saja tanpa ditanam di lahannya. Persoalan akan lain jika petani dibangunkan unit persemaian sederhana yang dibangun secara partisipatif dengan menggunaka tenaga dari para anggota kelompok taninya. Dalam hal ini petani yang terlibat tidak pernah dijanjikan akan dibayar, tetapi kita bekerjasama dan proyek hanya menyediakan snak, makan siang dan minuman. Persemaian ini akan menjadi milik kelompok dan kelompok bebas memanfaatkan fasilitas ini untuk membibitkan jenis-jenis tanaman apapun baik tanaman buah-buahan, tanaman kehutanan dan tanaman perkebunan lainnya seperti cengkeh, kopi dan coklat. Dalam hal pemilihan jenis tanaman, kegiatan RHL tidak bisa terlalu kaku dengan menetapkan jenis-jenis tanaman kehutanan yang boleh untuk kegiatan RHL tetapi lebih menekankan kepada jenis-jenis campuran. Hal ini mengingat jenis tanaman kehutanan perlu waktu yang lama (7-10 tahun) untuk dapat dipetik hasil panennya sehingga secara logis tidak akan ada orang yang mau menanam
6
pohon kehutanan karena mereka didesak oleh kebutuhan hidup sehari-hari dan eknomi jangka pendek. Pemilihan jenis campuran harus menjadi pilihan utama dalam pelaksanaan RHL yang penting tujuan utamanya lahan masyarakat tertanami dan hijau sehingga dapat memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi lahan dan hutan dalam rangka mempertahankan daya dukung, produktivitas dan peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan. Berkaitan dengan jumlah bibit yang perlu disemaikan, kelompok tani harus melakukan inventarisasi kebutuhan bibit di masing-masing anggota kelompoknya dengan menggunakan pemetaan sederhana pada lahan milik anggotanya. Pemetaan partisipatif di lahan petani dapat dilakukan dengan bimbingan dari para penyuluh kehutanan lapangan (PKL) dalam upaya melakukan pengelolaan lahan mereka secara efektif dan efisien. Petani diberikan bimbingan teknis tentang bagaimana menggambarkan peta sederhana atas lahan yang dimilikinya sebagai diilustrasikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema Pengelolaan Lahan Individu petani Keterangan: Pohon Sengon sebagai penanda batas luar dari lahan milik Pohon penghasil buah-buahan (alpukat, jengkol, petai, nangka, rambutan, dll) Petak-petak tumbuhan obat keluarga (toga)
7
Hasil inventarisasi tanaman di lahan milik individu menjadi bahan masukan atau informasi berharga bagi kelompok tani sehingga kelompok tani tinggal merekap data individu milik anggotanya. Kelompok tani juga memiliki data dan informasi umum tentang luas lahan yang dikelola (rekapitulasi luas lahan milik anggota KT), pola pengelolaan lahannya (peta lahan sederhana), lahan milik anggota lainnya yang berdekatan/berbatasan, asal usul perolehan lahan (warisan/membeli) dan bukti kepemilikan yang dipunyai, dan sudah terdaftar di desa atau belum. Hasil rekapitulasi data dan informasi individu akan menjadi dasar perencanaan program RHL di tingkat kelompok tani, seperti (i) jenis dan jumlah tanaman yang dibutuhkan oleh kelompok tani, (ii) penyaluran bibit yang diterimanya sesuai dengan kebutuhan dan permintaan anggotanya, dan (iii) rencana monitoring atas penanaman bibit yang telah diberikan kepada masing-masing anggotanya. Dalam kasus di DTA Danau Toba, kegiatan pemetaan sederhana tidak dilakukan karena banyak lahan milik petani adalah lahan kosong yang luas dan belum ada tanaman yang tumbuh diatasnya kecuali rerumputan dan alang-alang. 4. Penyiapan Lahan Penanaman Hal pertama yang harus menjadi perhjatian dalam penyiapan lahan adalah kejelasan tentang kepemilikan lahan tersebut (tenurial). Konflik lahan banyak terjadi di Kabupaten Samosir karena hingga saat ini lahan-lahan marga belum dibagi-bagi dan jika lahan tersebut akan dikelola oleh salah satu anggota marga harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari semua anggota marga. Jika salah satu marga tidak setuju, maka lahan tersebut tidak boleh diolah dan dibiarkan kosong dan terlantar. Setelah status lahan jelas, maka kegiatan penyiapan lahan penanaman dilakukan oleh kelompok tani dengan dipinjamkan 2 buah mesin pemotong rumput untuk jangka waktu 1-2 minggu untuk membersihkan rerumputan dan alang-alang. Kemudian mesin pemotong akan dipindahkan secara bergiliran ke tujuh kelompok tani lainnya. Bagi kelompok tani yang sudah mendapat pinjaman mesin potong harus menunggu lama (14 minggu) untuk dapat menggunakan kembali dalam penyiapan lahan. Setelah merasakan manfaat dan kemudahan menggunakan alat potong mesin, ada juga kelompok tani yang membeli sendiri untuk keperluan kelompoknya. Dalam kegiatan penyiapan lahan penanaman, petani tidak diberikan upah sama sekali, tetapi dibantu konsumsi selama pembukaan lahan dan terus didampingi dan dimonitor oleh tenaga penyuluh dari proyek.
8
5. Pemberian Insentif Dalam Pemeliharaan Tananaman Sianturi (2003) menyatakan bahwa upaya rehabilitasi hutan dengan Inpres Reboisasi yang dilakukan sejak tahun 1970 an telah menghabiskan dana yang begitu besar namun luas lahan kritis bukannya berkurang malahan bertambah. Hal ini terjadi karena rehabilitasi yang dilakukan dengan sistem keproyekan tidak diikuti dengan kegiatan pemeliharaan dan perlindungan tanaman (tidak ada pengelola hutan). Sebaik apapun penanaman pohon yang diproyekkan, jika setelah proyek selesai dan tanaman dibiarkan tanpa pemeliharaan dan perlindungan akan mengakibatkan tanaman tumbuh kerdil dan mati karena gulma tumbuh lebih banyak dan pada musim kemarau sering mengalami kebakaran. Seiring dengan hal tersebut diatas, proyek ITTO mencoba memberikan insentif kepada petani dengan membayarkan uang sebesar Rp. 1.000 per pohon kehutanan yang tumbuh. Untuk jenis tanaman kopi dan coklat yang tumbuh tidak dibayarkan karena mereka sudah dapat menghasilkan pada bulan ke delapan untuk kopi Ateng (Aceh Tenggara). Tanaman kopi ini di wilayah Danau Toba dikenal sebagai tanaman sigarutang (pembayar hutang) karena produktivitas menghasilkan kopi yang cepat dijual dan menghasilkan uang untuk bayar hutang. Insentif lainnya dapat dilakukan melalui negosiasi dengan masyarakat yang meminta tanaman alpukat. Proyek menawarkan akan memberikan bibit alpukat, tetapi petani diharuskan menanam paling sedikit 2-3 tanaman kehutanan sebagai hasil trade off terhadap keinginan masyarakat. Hal ini penting untuk keberhasilan pelaksanaan RHL partisipatif. Namun skema trade off ini tidak atau belum pernah dilakukan dalam pelaksanaan RHL yang konvensional (keproyekan) oleh berbagai pihak. 6. Pelaksanaan Training di Lokasi Kelompok Tani Pelaksanaan training dilakukan terkait dengan kegiatan persemaian dari mulai pembuatan pupuk organik (bokashi), pengisian kantong plastik, penyemaian bibit, penyapihan bibit dan pemeliharaan bibit serta cara pengangkutan bibit dan penanaman bibit. Pelaksanaan training ini dirancang untuk dilaksanakan di lokasi kelompok tani dengan tujuan agar target jumlah peserta training semakin banyak dan biaya yang dikeluarkan juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan memanggil mereka untuk ikut training di pusat-pusat pelatihan. Sebagai contoh pelatihan teknik RHL partisipatif di BDK Pematang Siantar membutuhkan dana sekitar Rp. 70 juta untuk 20 orang peserta dalam waktu 4 hari (Rp. 850.000/orang/hari).
9
Pelaksanaan training di lokasi kelompok tani lebih efektif dilaksanakan karena fleksibilitas waktunya yang disesuaikan dengan waktu luang yang dimiliki petani tersebut. Kadangkala proyek harus mengikuti jadwal petani berkumpul yang sudah rutin dilaksanakan, yaitu pada hari sabtu, minggu pertama setiap bulan. 7. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Untuk memantau dan mengevaluasi hasil tindak lanjut training, maka staff proyek secara rutin akan berkunjung ke lokasi kelompok tani binaan dengan melihat langsung dan berdiskusi dengan kelompok tani terkait permasalahanpermasalahan yang dihadapinya. Kadangkala mereka menyampaikan permasalahan yang tidak terkait dengan kegiatan program ITTO, misalnya tentang rendahnya produktivitas pohon mangga mereka untuk berbuah. Dalam hal ini, Team Leader dan Staff ITTO tidak bisa hanya mengatakan bahwa hal itu bukan urusan ITTO, tetapi permintaan petani tersebut harus direspon dengan mencarikan solusi atas permasalahan tersebut. Hal ini dilakukan dalam upaya menjaga hubungan baik dan sambung rasa yang sudah terbentuk agar tujuan RHL partisipatif dapat tercapai. Hasil monitoring dan evaluasi (monev) lapangan kemudian dibuatkan laporannya dan termasuk dengan usulan tindak lanjut atas masalah yang dihadapi kelompok tani binaan. Jika memang ada yang perlu didiskusikan lebih lanjut, maka akan diadakan rapat tindak lanjut oleh pengelola ITTO. Kegiatan monev juga dilakukan setelah kegiatan penanaman dengan melihat perkembangan langsung pertumbuhan tanaman di lapangan. Jika ada tanaman yang mati, maka tanaman tersebut harus diganti atau disulam dengan tanaman baru. Jika tumbuhnya merana, maka perlu diberikan pupuk. Untuk mengantisipasi musim kemarau, ITTO juga membangun embung-embung air sehingga petani dapat melakukan menyiraman tanaman pada saat tanaman membutuhkan air di musim kemarau. 8. Pelaksanaan Studi Banding Kegiatan pelaksanaan studi banding dilakukan setelah serangkaian kegiatan dan program ITTO dilaksanakan. Studi banding dilakukan dengan mengunjungi daerah-daerah yang terbukti sukses melaksanakan kegiatan RHL. Pada saat menentukan daerah-daerah yang sukses melaksanakan RHL di wilayah Sumatera, ternyata biayanya hampir sama dengan membawa mereka studi banding ke Pulau Jawa, sehingga diputuskan studi banding ke Pulau Jawa. Melihat begitu banyaknya anggota kelompok tani dan penyuluh kehutanan yang akan menjadi peserta, maka ITTO meminta usulan 2 orang PKL dari masingmasing Dinas Kehutanan contoh (Samosir, Simalungun, dan Karo). Demikian juga dengan kelompok tani binaan ITTO harus mengusulkan 2 orang anggotanya. Calon peserta studi banding diseleksi terkait dengan keaktifan
10
mereka dalam mendukung pelaksanaan program ITTO dan kemungkinan mereka untuk menyebarkan hasil dan pengalaman studi banding kepada para anggota kelompok taninya. Penentuan waktu studi banding dirancang sedemikian rupa sehingga mereka mendapatkan informasi yang utuh dan lengkap terkait pembangunan kehutanan dan RHL. Obyek-obyek yang dikunjungi adalah kegiatan riset di P3KR (Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi) terkait dengan teknologi persemaian Koffco, proyek gaharu ITTO, ke P3KPH2 (Puslitbang Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan), ke gelar teknologi Badan Litbang di Jakarta, ke kelompok tani Makmur (Bapak Asuh Suren), Cibigel di Sumedang, ke UPTD Perbenihan Maloya (Proyek ITTO PD 271/04 Rev. 2 (F) di Ciamis, ke Kelompok Tani Cisaga, Buana Harja di Ciamis, dan ke Hutan Desa Wonosadi di Yogyakarta. Hasil evaluasi studi banding menunjukkan bahwa peserta menyadari apa yang telah dilakukan di wilayah sekitar Danau Toba masih jauh dari apa yang sudah dilakukan di Pulau Jawa. Mereka kagum terhadap perkembangan kelompok tani di Jawa yang sudah sedemikian maju dibandingkan dengan perkembangan kelompok tani mereka yang cenderung stagnan dan terkungkun oleh rutinitas kelompok. 9. Pemberian Penghargaan Atas Kelompok Tani Berprestasi Selama kegiatan ITTO berlangsung, sudah diberikan informasi bahwa kelompok tani yang berprestasi akan mendapatkan penghargaan dari ITTO atas jerih payahnya melaksanakan RHL partisipatif. Pada saat penutupan proyek ITTO, 2 orang dari masing-masing kelompok tani binaan, wakil-wakil dinas kehutanan contoh dan instansi/UPT kehutanan dan LSM lokal diundang dalam acara tersebut. Pada saat itu diberikan piagam penghargaan kepada masing-masing kolaburator proyek ITTO dan sekaligus diumumkan terkait dengan kelompok tani berprestasi yang jatuh kepada kelompok tani Mandiri dan Guru Sekolah SMPN I Parapat. Kelompok tani Mandiri dipilih dari 8 kelompok tani binaan karena sudah berhasil menjual bibit dan pupuk bokashi produksi kelompok taninya kepada kelompok tani lainnya di desa tersebut atau di desa tetangganya. Guru Sekolah SMPN I Parapat, Drs. Charles Sialagan, terpilih karena upayanya untuk mewujudkan sekolahnya bernuansa lingkungan dengan mengadakan perlombaan baca pusi dan penulisan artikel bernuansa pelestarian DTA Danau Toba. Guru tersebut juga telah diundang oleh British Council untuk memaparkan rencana pengelolaan sekolah bernuansa lingkungan. Akhirnya SMPN I dan SMAN I Parapat terlpilih untuk diikutsertakan dalam program ”Climate for Classroom” yang diikuti oleh sekolah-sekolah di 166 negara. Alasan
11
pemilihannya dikarenakan sekolah tersebut unik dan berbeda dengan sekolah lainnya, dimana sekolah tersebut langsung mengelola persemaian dan bibit-bibit hasil persemaiannya dibagikan kepada setiap murid di sekolah tersebut. Disamping itu, proyek ITTO juga telah memberikan kantong plastik bagi setiap kelompok tani binaan untuk produksi bibit mereka tahun 2011 dengan harapan jenis bibit mereka dapat beli sendiri karena mereka sudah menguasai teknik pembibitannya.
Mekanisme Chek dan Rechek Pelaksanaan RHL Partisipatif Sistem chek and recheck terhadap semua kegiatan RHL partisipatif sangat dibutuhkan dalam upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dari kegiatan RHL partisipatif. Sistem ini akan memperoleh data dan informasi yang tepat dan akurat serta sesuai dengan kebutuhan dan waktu pemanfaatanya dari masing-masing sumber informasi (baca: administrasi) terkait. Sebagai contoh dalam kegiatan pengecekan keberhasilan penanaman di lapangan, maka individu petani harus membuat laporan kepada kelompok tani bahwa bibit yang diterimanya sudah ditanam di areal miliknya dan diserahkan kepada kelompok taninya (Alur 1). Kemudian kelompok tani tersebut akan mengecek kebenaran laporan anggotanya (Alur 2). Hasil pengencekan selanjutnya dilaporkan ke desa (Alur 3) sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3. Berdasarkan laporan realisasi penanaman oleh kelompok tani tersebut, Kepala Desa memerintahkan aparatnya untuk mengecek ke areal anggota kelompok taninya secara acak (Alur 4). Apakah benar jumlah dan jenis bibit yang ditanam dan tidak dibiarkan begitu saja. Berdasarkan hasil chek dan recheck tersebut, maka Kepala Desa akan mengirimkan kembali laporan ketua kelompok tani untuk diperbaiki dan disempurnakan (Alur 5) dan jika hasil chek and rechek benar, maka Kepala Desa dakan memberikan laporan hasil kemajuan kegiatan penanaman di wilayah desanya kepada pihak kecamatan (Alur 6). Secara berjenjang pihak kecamatan akan melanjutkan laporan kemajuan penanaman kepada Dinas Kehutanan Kabupaten (7), Dinas Kehutanan Kabupaten akan meneruskan laporan tersebut ke Dinas Kehutanan Provinsi (Alur 8) dan dapat juga langsung ke Dirjen Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial (Alur 9). Dinas Kehutanan Provinsi dapat memberikan laporan kemajuan penanaman dari masing-masing kabupaten ke Dirjen PDASPS (Alur 10).
12
4
1
INDIVIDU PETANI HUTAN RAKYAT
KELOMPOK PETANI
3
KEPALA DESA
2 5
DINAS KEHUTANAN PROVINSI
8
DINAS KEHUTANAN KABUPATEN
7
6
KANTOR KECAMATAN
9 10
DIRJEN PENGELOAAN DAS DAN PS
Gambar 3.
Mekanisme dan alur pengecekan keberhasilan tanaman (Modifikasi dari Subarudi (2006))
Untuk menyakinkan bahwa laporan yang diberikan oleh desa, baik pihak kecamatan, dinas kehutanan kabupaten dan provinsi dapat melakukan pengecekan langsung ke lahan milik anggota kelompok tani secara acak sebagaimana digambarkan sebagai garis terputus-putus (Gambar 3). Mekanisne pemantauan dan pengendalian kegiatan RHL dapat juga dilakukan secara berjenjang sesuai dengan struktur kepemerintahan. Sebagai contoh pihak kecamatan dapat saja difungsikan sebagai unit pengawasan dan pengendalian pelaksanaan RHL di tingkat desa. Demikian juga pihak provinsi dapat juga berperan ganda sebagai unit pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan RHL di tingkat kabupaten. Hal ini berlaku juga bagi pihak Kementerian Kehutanan yang punya hak dan kewenangan dalam mengawasi dan mengendalikan kinerja dinas kehutanan provinsi. Pengawasan dan pengendalian
13
berjenjang sesuai dengan nafas otonomi daerah karena setiap daerah otonom (desa, kabupaten, dan provinsi) merupakan daerah yang mengelola daerahnya sendiri dan juga melaksanakan tugas perbantuan baik dari pemerintah daerah ataupun dari pemerintah pusat. Dirjen PDASPS dapat melakukan rekonsiliasi data kemajuan penanaman dari laporan dinas kehutanan kabupaten dengan laporan yang diberikan oleh dinas kehutanan provinsi apakah sudah klop antara laporan keduanya. Penutup Kegagalan pelaksanaan proyek-proyek RHL yang banyak digagas oleh pemerintah seringkali mengalami kegagalan dikarenakan rendahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut. Makna partisipasi masyarakat perlu diwujudkan dari saat perencanaan, pengaturan, pelaksanaan dan hingga pemantauannya. Pelaksanaan RHL partisipatif yang digagas oleh proyek ITTO-Danau Toba membutuhkan waktu yang lama, kesabaran dan kerja keras dalam operasionalnya untuk mewujudkan proses membangun kepercayaan (trust building) di tingkat petani di saat menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Persoalan pendanaan dan sistem administrasi proyek pemerintah yang membatasi ruang gerak pelaksanaan RHL partisipatif dapat diantisipasi dengan merancang program RHL multi-years tentunya diawali terlebih dahulu dengan pembuatan prosedur pelaksanaan RHL partisipatif yang jelas dan terarah. Semoga tulisan singkat tentang pelaksanaan RHL partisipatif berdasarkan pengalaman dari proyek ITTO terkait restorasi Danau Toba dapat dijadikan bahan pelajaran dan pengalaman berharga serta salah satu alternatif solusi untuk pelaksanaan program-program RHL di masa datang. Program kebun bibit rakyat (KBR) yang diluncurkan oleh pemerintah sebenarnya telah lebih dulu dilaksanakan oleh proyek ITTO-Toba. Perbedaaanya terletak pada proses pembangunannya KBR Dirjen PDASPS menggunakan upah kerja, KBR proyek ITTO tanpa upah kerja karena dibangun secara partisipatif sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Daftar Pustaka Darwo, A.P. Tampubolon dan A. Sukmana. 2005. Hasil Evaluasi Tanaman GERHAN di DTA Danau Toba, Provinsi Sumatera Utara. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Sumatera Tahun 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi alam, Hal: 56-76.
14
Djogo, T., Sunaryo, D. Suharjito, dan M. Sirait. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF). South East Asia. Fowler, F.G., and H.W. Fowler. 1969. The Pocket Oxford Dictionary. Oxford University Press, UK. Hendarto, K.A. 2005. Kajian Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. Sianturi, A. 2002. Beberapa Aspek Penting dalam Rehabilitasi Sumber daya Hutan Indonesia. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Volume 4 No. 2, 127-134. Puslitbang Hutan dan Koservasi Alam. Bogor.
Subarudi dan Sudarmanto. 2007. Perencanaan RHL Berbasis Pemberdayaan Kelompok Tani: Dalam Mendukung Suatu Kerangka SIMHUT yang Benar dan Akurat. Prosiding Workshop Perencanaan RHL Berbasis Pemberdayaan Kelompok Tani. Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis dan Proyek ITTO PD 271/04 Rev. 3 (F) di Hotel Tyara, Ciamis, tanggal 25 Pebruari 2007. Subarudi dan Alvia, I. 2005. Kajian Kebijakan RHL: Studi Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. Subarudi. 2006. Pembangunan Sistem Administrasi Kehutanan di Pedesaan: Suatu Proses Pencerdasan Desa dan Masyarakatnya. Makalah Disajikan dalam Forum Konsultasi Publik, Proyek ITTO PD 271/04 Rev. 3 (F) di Hotel Galeria Topaz, Bandung, 8 Agustus 2006.
15