1
Hubungan marga atak n rumah Toba sebagai Islam selalu modal melakukan Hubungan anak Memelihara Tidak untuk Ciri Kuatnya Terdapat memelihara khas makan Kekerabatan Metode tidak Tidak Sedikitnya binatang rumah adat mengecewakan bersama Doktrinisasi memakai tulisan Bermukim Rumah Batak babi Keluarga Lingkungan ternak tenaga Arab dengan diToba Makan model lingkungan Faktor-faktor yang Anggota berkelompok Batak dalam penyuluh jika sebagai para Mesjid dihalalkan adat Islam tinggal Toba rumah berdakwah kerabat Keluarga Toba rumah aturan keagamaan kendalanya Islam di yang rumah sosial Batak oleh datang Kurangnya Islam Karena kerabatnya di penyuluh Toba masyarakat Perjodohan, Kurangnya ke menjadi Keluarga Batak Toba Non Islam Dakwah rumah. Kurangnya Pendidikan Keluarga Batak Toba Islam Pemahaman Kebutuhan Muslim Pengetahuan dari lingkungan Kontak akhlak lembaga lapangan Dalihan dan Sosial selanjutnya berdomisisli, Penyajian pendidikan Na pekerjaan tolu mereka Makanan Islam perantauan dan Orang menjadi di Kota Tua p an pul luarga emenag pada Pentingnya mengenai Batak Membangun pertanyaan yang Mayoritasnya Toba bertahan ketidak keluarga Melanjutkan Islam keadaan Anak nilai-nilai berhasilan yang dengan kalangan mengenai laki-laki anak Batak beragama Pendidikan Batak sosial melihat Pengalaman yang Batak anaknya. Keluarga sangat Toba pengalaman Toba yang bersangkutan Islam Toba Parmalim persamaan Pendidikan berarti Kristiani Terkadang mewujudkan Batak melaksanakan dapat Memberi Islam dan kehadirannya Toba bertahan Keluarga Keluarga budaya pengetahuan Pendidikan dimanapun akhlak melahirkan contoh Keputusan pelaksanaan pendidikan akhlak terpola Mendapatkan Kristen kemajuan Upacara Silaturrahim ajaran yang lama dalam Akan Batak Tolong Batak kepada dalam Akhlak dan Mendapatkan Budaya Nuansa bersifat keberagamaan tinggal Mendapatkan sikap Islam datanglah Makan Budaya keluarga Toba bersama Toba Menolong bagaimanpun suatu Penghargaan anak-anak Antar pertengakaran Keinginan Hasil dalam Kristen Islam keberagamaan lingkungan universal dan Bersama Agama keluarga Batak kepada menetap Pendidikan Etnis Kekuasaan perbedaan kekayaan mereka untuk Toba Keluarga dari keluarga Batak Bentuk masyarakat atau di memiliki Keluarga Islam daerah akidah Toba sejenisnya Sosialisasi itu dalam Islam, tersebut. hamoraon semangat berdomisili keluarga kelompok pelasanaan Pendidikan berkerja patrilineal pendidika keras Akhlak sM Pengalaman berbudaya sebagai orang Batak Toba BAB IV Metode Akhirnya Pendidikan Metode Metode Melakukan Metode Memperbandingan Relasi/Silaturrahim Akhlak Doktrinisasi metode Keluarga Merantau Batak Batak Toba Melayu Toba Islam Tanggung Tanggung Pendekatan Bentuk Jawab Jawab Ibu Memahami Pendidikan Ayah berkeluarga Batak terhadap Batak Memahami bermasyarakat Pengakuan Pardemban Dalihan Toba Akhlak anak Tuntutan-Tuntutan Harapan-harapan Islam makna muasal Faktor-faktor dongan Natolu hula-hula dongan boru Bona Sebutan marga tubuh sebagai Sahuta Pasogit meminimalisir darimana Peranan ajaran bagi yang nenek kalangan Perpecahan bersangkutan moyang BatakBatak TobaToba KELUARGA BATAK TOBA ISLAM DAN PENDIDIKAN AKHLAK DI SUMATERA UTARA A. Keluarga dalam Pengetahuan Suku Batak Toba a. Fungsi Keluarga
Membahas keluarga menurut pengetahuan setiap individu mengalami perbedaan makna, demikian halnya juga di kalangan individu Batak Toba tetap memiliki perbedaan. Konteks budaya dan sosial mengiringi pengertian keluarga, sebab jika diperhatikan secara mendalam mengenai fungsi keluarga yang terdapat di setiap pengetahuan individu Batak Toba maka akan terlihat jelas perbedaan bentuk pemaknaannya. Perjalanan menemui sejumlah keluarga Batak Toba Islam untuk dijadikan informan dalam penelitian ini terasa cukup mengesankan, bahwa perbedaan informasi dan keterangan yang mereka sampaikan merupakan kekayaan budaya keluarga Batak Toba Islam. Mengkaji seperti apa fungsi keluarga dalam pengetahuan individu
Batak Toba khususnya kalangan keluarga Batak Toba
Islam, maka harus dekat dengan tradisi mereka serta dijadikan sebagai sarana memaknai kehidupan keluarga. Menurut tradisi dan telah menjadi pengetahuan untuk sebahagian besar masyarakat Batak Toba, bahwa semua orang Batak bersaudara dengan lainnya karena mereka berasal dari satu nenek moyang, yaitu si Raja Batak. Mereka tetap mempertahankan tradisi, salah satu tradisi tersebut dapat diketahui berkaitan kebiasaan mereka menggunakan identitas marga sebagai sarana memperkenalkan diri individu Batak Toba. Setiap individu Batak Toba walaupun beragama Islam atau Kristen serta Parmalim
umumnya
mereka
jika
telah
menginjak
dewasa
dimanapun
keberadaannya dipastikan sebahagian besar akan memaknai kekeluargaan menggunakan identitas marga menuju struktur aliansi masyarakat Batak Toba.
2
Adanya marga di kalangan orang Batak Toba sebagaimana keterangan sebelumnya menunjukkan bahwa kekerabatan mereka
memiliki kakek yang
sama, atau mereka percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek bersama menurut perhitungan garis kepabaan. Kalangan keluarga Batak Toba Islam yang terdapat diberbagai daerah dan berdomisili di kalangan etnis lain, mereka masih tetap mempertahankan identitas marga walaupun pengetahuan mereka berkaitan adat dan istiadat Batak Toba tidak demikian sempurna fokusnya menguasai informasi asal-muasal keturunan yang dimilikinya. Wawancara dengan Ibu Manurung yang kebetulan beliau merupakan salah satu guru madrasah diniyah awaliyah perkebunan Pabatu berikut ini: ”….berkeluarga dalam pikiran orang Batak Toba itu harus tahu martarombo, sebab kalau tak tahu maka dia nanti susah menyambung keluarga antara sesama mereka, jadi menurut saya orang Batak Toba itu dalam hidupnya sehari-hari sangat mengandalkan marganya kepada orang lain untuk menunjukkan status dia sebagai orang Batak Toba….”. Berdasarkan keterangan hasil wawancara dengan Ibu Manurung menunjukkan bahwa fungsi keluarga dalam adat Batak Toba lebih cenderung menunjukkan status keluarga. Istilah martarombo yang ditegaskan oleh ibu Manurung, bahwa semua individu Batak Toba yang semarga adalah keluarga, selanjutnya dengan orang lain marganya dapat juga dicari kaitan keluarga, karena mungkin saja dia mempunyai hubungan kekeluargaan dengan bibi, paman atau saudara lain, melalui hubungan perkawinan.
3
Bagan 5 Salah satu Contoh Tarombo Marga Sitorus
Gambar di atas merupakan salah satu tarombu dari marga Sitorus asli dari budaya Batak Toba di ambil dari keluarga Opan Sitorus Status kekeluargaan di kalangan orang Batak Toba tidak perlu disangsikan lagi bahwa menarik garis keturunan sangat berpengaruh terhadap hubungan psikososial di antara anggota-anggota keluarga dalam masyarakat Batak Toba. Sehingga dimungkinkan saja salah satu faktornya melahirkan nilai kasih sayang antara mereka dalam pengembangan berikutnya akan mengarah pada aspek ekonomi, pendidikan, perlindungan keluarga, dan agama. Hasil wawancara dengan bapak Mangunsong yang berdomisili di Serdang Bedagai menuturkan:
4
“….aku dulu sampai di kampung ini karena banyaknya dorongan dari kelurga kampung untuk merantau, di sini aku tinggal dengan keluargaku yang kebetulan adik mamak, dan kadang-kadang tinggal dengan dongan tubuh. Pekerjaanku ini ku dapatkan dari keluarga bapakku mereka sangat sayang samaku sampai aku bisa berhasil. Memang aku sadari saat ini pun aku membantu anak-anak mereka yang mau masuk PNS di kabupaten ini, begitulah lae kami saling bantu membantu karena kalau tidak aku perbuat seperti ini kurasa sangat berdosa sekali aku ini….” Suatu kenyataan yang tidak dapat ditolak oleh fakta di lapangan yakni hubungan kekerabatan dilatar belakangi adanya identitas marga memberikan pengaruh pada pengetahuan individu Batak Toba dalam menentukan kualitas perubahan-perubahan kehidupan mereka sendiri. Oleh karena itu dengan adanya pengetahuan yang kuat memaknai hubungan keluarga maka mempermudah individu-individu Batak Toba melakukan pengembangan diri baik dari aspek sosial, ekonomi maupun pendidikan. Gambar 1 Keluarga Batak Toba Islam
Keluarga Batak Toba Islam sedang berada di bak mobil terbuka menuju
5
tempat pesta, dalam rangka kunjungan keluarga. Pengembangan diri yang dilatar belakangi adanya nilai ekonomi, sosial, pendidikan dan segala hal berkaitan dengan itu, memperingan usaha keluarga Batak Toba untuk perubahan lebih positif lagi sehingga walaupun kehidupan yang mereka jalani diwarnai perbedaan kenyakinan, tidak menjadi rintangan. Gambaran ini akan diuraikan pada lembaran selanjutnya. Pemeliharaan kekerabatan yang tertuang dalam aspek sosial, ekonomi maupun pendidikan pada diri individu Batak Toba
dengan pengalaman nilai-nilai agama serta pengalaman spiritual
dapat ditemukan melalui
wawancara dengan bapak Sianipar yang berprofesi
sebagai Ustad dan memiliki keluarga dari garis bibinya beragama non muslim menuturkan: “….aku dalam memaknai keluarga di tengah-tengah keluarga ini harus ku kedepankan pengalamanku secara bathin, makanya kami bisa bergaul dengan baik. Tapi kalau dengan menggunakan pengetahuan fiqh yang ku pelajari rasarasanya tidak mungkin bisa bergaul, taulah pak namanya kita sebagai orang Batak Toba dipastikan bergaul lebih begitu damai dari pada yang lainnya. Bapak sendirikan tau bahwa orang Batak Toba itu punya kenyakinan nenek moyang Batak Toba, hampir bisa kita katakan kenyakinan itu sangat dekat dengan budaya Batak Toba dan memberikan pengaruh dalam kehidupan orang Batak Toba, bukan begitu pak!!!....” Berdasarkan uraian dari bapak Ustad Sianipar tersebut sesungguhnya secara umum nilai-nilai yang memberikan pengaruh sangat kuat terhadap pembentukan budaya dalam diri individu dan keluarga adalah nilai-nilai agama secara sosial yakni dilengkapi dengan nilai yang berasal dari pemikiran manusia, adat kebiasaan yang baik dan hasil perenungan spiritual, atau yang lainnya. Selanjutnya sesuai uraian di atas bahwa keluarga Batak Toba Islam selalu melakukan
kegiatan
tolong-menolong
antara
sesama
anggota
keluarga.
Sebagaimana yang disampaikan oleh bapak Mangunsong dan ibu Manurung bahwa pada umumnya jika anggota keluarga mereka ingin merubah kehidupan dari kampung ke kota maka biasanya akan di terima oleh kalangan keluarga yang berada di kota, dongan tubuh atau dongan sahuta yang telah berhasil, seperti dikuatkan dari wawancara bapak Pasaribu berikut ini:
6
”….dahulu marga itu selain menunjukkan asal keturunan, ia juga menunjukkan kepribadian orang yang bersangkutan sesuai budaya marganya yang terjadi di kampung. Jadi kalau lae pernah dengar marganya itu Lumban Julu lalu orang tersebut menceritakan tentang kampung Lumbang Julu dan memberikan keterangan begitulah orang-orang yang berasal dari Lumban Julu. Sebenarnya sekarang sudah tidak begitu lagi keadaannya terlebih marga yang dipakai diakhir nama yang bersangkutan hanya untuk menunjukkan marga Bapaknya atau Oppungnya….” Berdasarkan keterangan di atas, maka sesungguhnya potensi hereditas (genetik) sudah tidak begitu menjadi dukungan yang demikian mutlak mengenai keterangan diri seseorang, akan tetapi yang lebih banyak mempengaruhi adalah faktor pendidikan, faktor lingkungan dan masyarakat. Marga yang disandang di akhir nama setiap orang Batak Toba hampir sebahagian besar berasal dari nama kampung asalnya. Sebagaimana wawancara bapak Pasaribu serta hasil pengamatan peneliti di lapangan menunjukkan contoh marga Batak Toba yang mengistilahkan nama kampungnya yakni Banjar, Lumban, Huta dan Sinu atau marga Samosir yang tak begitu asing ditelinga kalangan masyarakat Sumatera Utara. Gambar 2 Keluarga Besar Manurung
7
Gambar Peneliti dengan sejumlah keluarga besar Manurung di Perkebunan Sawit Marihat Marga-marga Toba yang terdapat di atas menunjukkan nama kampung di tanah Batak sebagaimana peneliti temukan data di lapangan. Fakta ini memperlihatkan bahwa setiap individu di antara mereka jika ditanya apakah marga anda ini berasal dari Bona Pasogit?.,
maka individu tersebut secara
otomatis tidak menggelengkan kepala sebagai “jawaban tidak”
tetapi akan
sebaliknya. Hasil wawancara dengan bapak Hasibuan berikut ini: “… Semuanya orang Batak Toba berasal dari yang??!!!... yakni Bona Pasogit kita lae tidak boleh melupakan itu walaupun sudah dimana-dimana dari sanalah kita mendapatkan pengetahuan bagaimana bersaudara sebagai orang Batak, lae tau Dalihan Natolu??.., itu berasal dari ajaran nenek moyang Batak Toba..jadi lae kita harus bangga sebagai orang Batak Toba walaupun berbeda agama tetapi karena adat kita masih tetap saudara yang berasal dari tanah Batak Toba yang sama dan kita cintai…” Mengamati hasil wawancara dari bapak Hasibuan serta sejumlah informan lainnya bahwa informasi-informasi berkaitan fungsi keluarga dalam pengetahuan individu Batak Toba telah memperluas analisis tulisan ini. Informasi yang begitu
8
jelas bahwa seluruh orang Batak Toba harus mengakui muasalnya dari mana dia. Ketika muasal ini telah begitu akrab dalam pengetahuan setiap individu Batak Toba secara tidak langsung berdampak pada pengotrolan hubungan kekeluarga antara sesama mereka sebagai orang Batak Toba. Hasil wawancara dengan bapak Sitorus yang kebetulan beliau memiliki anak melanjutkan pendidikan ke Jakarta, sebagaimana penuturan beliau: ”…anakku pernah cerita samaku mengenai dirinya di rampok di terminal Kali Deres di Jakarta, waktu itu dia menuju toilet lalu ada sekelompok orang ramairamai menodongkan pisau kepada anakku itu lalu anakku tidak bisa apa-apalah, dan diambil dompetnya tapi entah beberapa lama datanglah seseorang yang kebetulan salah satu di antara mereka bilang, ‘begini lae mohon maaf ya!!., aku marga Manurung jadi aku mohon maaf ketika ku tengok lae marga Sitorus jadi ini dompetnya lae aku hanya mengambil 5 ribu aja maaf ya lae sebelumnya!!’. Begitulah peristiwa anakku. Jadi kok ku pikir-pikir sangat berharga sekali kalau kita selalu memakai marga biar selamat…” Hasil pengalaman anak bapak Sitorus yang disampaikan kepada peneliti cukup memberikan inspirasi bahwa akibat marga yang begitu kental hubungan kekeluargaannya dapat berdampak pada menegangkan tersebut.
usaha mencair suasana yang sangat
Pengalaman yang bisa diamati akibat mentradisinya
marga di kalangan keluarga Batak Toba Islam biasanya membentuk perkumpulan marga atau sejenisnya berdasarkan organisasi sosial, bukan yang lainnya. Hasil wawancara dengan bapak Manurung yang berprofesi sebagai guru di SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan menuturkan kepada peneliti sebagaimana beliau beragama kristiani: “….kita sebagai orang Batak harus saling ingat mengingatkan terlebih bapakkan dongan tubuh aku jadi kita harus memberikan nasehat…” Ungkapan yang disampaikan oleh bapak Manurung tersebut menegaskan agar sesama marga Manurung yang disebut dengan dongan tubuh harus saling mengingatkan agar dapat memberikan kebaikan antara sesama marga Manurung. Keterangan di atas memberikan jawaban bahwa hubungan marga dimana saja, pada lapisan sosial dan agama apapun, merasa ada hubungan emosional dan ikatan persaudaraan yang erat. Kekeluargaan dan persaudaraan marga menjadikan Batak Toba tidak terpecah disebabkan oleh perbedaan agama yang dianut.
9
Bagan 6 Faktor-faktor Meminimalisir Perpecahan Keluarga Batak Toba
Sumber: bagan /skema dari hasil wawancara dengan bapak Hasibuan dan bapak Sitorus, bapak Nainggolan dan bapak Manurung Bagan di atas menunjukkan beberapa hal
berkaitan meminimalisir
perpecahan antara kalangan individu Batak Toba. Artinya budaya dan nilai-nilai Batak Toba sangat memberikan andil mengatur serta mengarahkan sistem kekerabatan yang ada dalam pengetahuan orang Batak Toba. Berikut ini wawancara dengan Bapak Nainggolan: “… Bercakap orang Batak Toba itu lae!!!., harus tahu kita benaar-benaar kita pahami, karena itu semua sudah prinsip sebagai orang Toba. Lae kalau pergipergi dan berjumpa dengan orang Toba pasti ditanya marga lae kan??!! Lalu martarombo atau mengetahui silsilah asal marga Lae, kalau Lae tak mau tau sebagai orang Batak Toba, percumalah lae pakai marga Manurung!!!...” Kondisi wawancara yang peneliti amati terhadap kedua informan di atas, yakni bapak Hasibuan serta bapak Nainggolan sangat begitu senang dan gembira ketika menerangkan dan menyampaikan penjelasan berkaitan dinamisasi pengetahuan Batak Toba mengenai arti dan makna keluarga. Hasil wawancara dengan Bapak Hasibuan serta bapak Nainggolan menunjukkan begitu pentingnya untuk diketahui bahwa setiap individu orang Batak Toba apa pun kenyakinannya harus menghargai prinsip dalam berkeluarga. Membangun makna dan nilai berkeluarga dalam kehidupan orang Batak Toba sehingga menjadi pengetahuan dapat ditelusuri dari kondisi geografis berdomisilinya keluarga tersebut. Jika
hidup di perkotaan maka budaya
10
memaknai dan menilai berkeluarga akan berbeda dengan hidup di perkampungan. Orang Batak Toba yang berdomisili di perkampungan kehidupan mereka seharihari sangat bergantung dengan persawahan, sehingga pengetahuan mereka memaknai keluarga cukup begitu fenomenal sebagaimana wawancara dengan ibu Pasaribu berikut ini: “….kehidupan kami semuanya bertani menanam padi di sawah, hasilnya bisa kami pergunakan untuk berpesta, untuk anak di Medan lalu mengasih untuk keluarga terdekat. Seperti marga Sitorus yang anak tau di tetangga depan dia kan sakit!! Kami ke rumahnya datang juga membawa beras untuk mereka jadi kalau kami pikir-pikir kehidupan kami yang bertani ini sangat membantu kami menguatkan berkeluarga antara kami. Dan membawa beras ini sangat lebih terhormat lagi yang menerimanya dari pada membawa duit untuk mereka…” Penjelasan yang dikemukakan oleh Ibu Pasaribu diakhir-akhir pembicaraan peneliti dengan istilah bahwa “membawa beras lebih berharga jika dibandingkan membawa duit kepada keluarga yang dikunjungi”, beras memiliki makna dan nilai yang tinggi di kalangan petani. Beras adalah hasil usaha kehidupan bertani di kalangan orang Batak Toba walaupun beragama Kristen atau Islam sangat memberikan makna simbolik dalam menjaga keharmonisan dalam keluarga. Pengetahuan orang Batak Toba dalam berkeluarga antara sesama sangat berkaitan erat dengan kebiasaan hidup mereka keseharian. Oleh karena itu kebiasaan hidup yang didukung oleh semangat bertani hampir memberikan warna kegiatan sosial yang mereka lakukan, semisal membawa padi untuk dibagikan kepada hula-hula atau yang lainnya. Hasil pertanian berupa beras menjalin hubungan antara anak kepada orang tua atau orang tua kepada anak-anak mereka. Sebagaimana penjelasan yang diberikan oleh ibu Pasaribu ketika melakukan wawancara di kabupaten Samosir. Fakta yang tidak bisa di bantah lagi bahwa individu Batak Toba melakukan semua itu sangat dipengaruhi
latar belakang budaya dan pola mata
pencarian yang dapat membangun pengetahuan setiap individu dalam memaknai arti keluarga, dan lapangan hidup mereka.
11
Wawancara peneliti dengan ibu Gultom ketika beliau baru saja sampai di rumah dari persawahannya yang demikian jauh sebagaimana penuturan beliau kepada peneliti dengan memnggunakan bahasa Batak yang peneliti terjemahkan sebagaimana berikut ini dalam wawancara: ”…hasil panen hami ini untuk dibawa anak-anak marsekolah di Medan, karena mereka tidak bisa hami bantu pakai hepeng, tapi hasil panen inilah untuk makan mereka di sana. Mereka pulang kampung hanya setahun sekali,… jadi beras ini hami kirimkan memakai motor ke Medan. Kalau tidak, apabila ada anak kampung ini yang pulang dan mau pergi ke Medan barulah kami titip dengan dia ke sana…” Mencermati hasil wawancara dengan Ibu Gultom bahwa melalui media mengirim beras dari hasil panen di persawahan kepada anak-anaknya yang sedang merantau untuk meneruskan pendidikan ke Medan menguatkan hubungan kekeluargaanya kepada sejumlah anak-anaknya. Padi dan beras telah dijadikan simbol tali kasih antara orang tua dan anak mereka dirantau Secara tidak langsung sikap dan tingkah laku anak-anak mereka akan tetap terjaga karena setiap memasak dan memakan beras dari hasil panen itu selalu mengingatkan anak-anak mereka kepada orang tuanya yang telah bersusah payah merawat dan memelihara padi hingga menghasilkan panen yang mereka nikmati. Hasil wawancara peneliti dengan Simamora salah seorang mahasiswa Universitas Negeri Medan menuturkan berikut ini: ”….saya pak selalu mengingat pesan-pesan orang tua saya ketika bersekolah di Medan ini. Ketika mengambil beras dari kampung di loket pengiriman motor, atau kawan ku yang membawanya dari kampung ketika kami memasaknya dan makan bersama dengan adik-adik, saya selalu ingat dengan pesan orang tua untuk tidak bermalas-malas dalam belajar dan kamipun tergerak untuk selalu serius untuk belajar di kuliah ini pak…” Demikianlah gambaran yang peneliti temui mengenai profesi bertani dan tradisi merantau sebagai sarana menguatkan hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak-anak mereka. Sisi lainnya juga peneliti menemukan bahwa hampir sebahagian besar orang Batak Toba dalam keseharian mereka menggunakan
12
sistem kekerabatan sebagai modal pengetahuan mereka menghubungkan kekeluarga antara sesama mereka. Peristiwa yang berbeda sebagaimana yang peneliti alami ketika berada di Samosir menyaksikan kegiatan acara pesta perkawinan, hampir sebahagian besar setiap wanita dewasa membawa beras dari rumah dan dijunjung di atas kepala lalu diberikan beras tersebut kepada keluarga yang mengadakan pesta. Selanjutnya disaat acara pesta berlangsung sering kali terdengar dari alat pengeras suara pembawa acara memanggil serta mengenalkan anggota-anggota keluarga mereka yang jauh-jauh datang dengan menyebut nama-nama kota-kota yang ada di Indonesia, sebagai contoh “Ama ni Bonar Tulang ta sian Jakarta”. Hasil wawancara di Samosir bersama bapak Gultom yang berada tidak begitu jauh dari lokasi pesta tepatnya di warung kedai Tuak, menuturkan berikut ini: “…kami hadir mengikuti acara pesta ini lae…. biar mengerti berkeluarga istriistri kami dan keluarga boru kami. Membawa beras dan lain-lainnya dalam acara pesta untuk diloppa dan makan-makan bersama. Lae… dengar!!., tadikan ada dipanggil-panggil marga Samosir, Nainggolan lalu dari Jakarta, Medan, Pekan Baru. Tujuannya lae supaya tahu bahwa keluarga yang berpesta ini banyak dan dari jauh-jauh datang untuk semangat acara ini lae dan mereka sudah berhasil di perantauan…” Suasana meriah pesta memberikan keramaian tempat minuman bersama tradisi Batak Toba yakni warung tuak. Mereka terlihat begitu akrabnya menceritakan hal-hal berkaitan informasi baru. Penjelasan bapak Gultom tersebut menunjukkan bahwa kebersamaan dalam pengetahuan orang Batak Toba cukup memberikan dukungan makna kekeluargaan bagi mereka. Selain bertani, merantau juga merupakan tradisi yang tidak bisa begitu hilang dalam kehidupan orang Batak Toba terlebih ketika individu tersebut mendapatkan keberhasilan maka baginya serta bagi kalangan masyarakat kampung yang ada hubungan keluarga dengannya merasa bangga dengan kondisi seperti itu. Seiring dengan penjelasan di atas dari bapak Gultom yang memiliki hulahula semarga dengan istri dan mertua bermarga Sitorus. Beliau memanggil
13
dengan Oppung Baou dengan panggilan oppung bagi cucunya, mereka berdua sangat begitu akrab posisi hula-hula bapak Gultom berada di sampingnya duduk sambil menikmati minuman tradisi Batak Toba menuturkan kepada peneliti berikut ini: “…Lae marga Manurung!!., tau tidak bagaimana hubungan kita..?, kita ini dongan narasaon, jadi Lae Gultom ini boru kita dan dia harus baik-baik dengan kita., begitulah kita bersaudara orang Batak Toba itu walaupun Lae beragama Islam kita sebagai orang Batak Toba jangan lupa untuk mengingat bahwa kita berasal dari asal yang sama…” Ketika wawancara berlangsung saya merasakan makna kekeluargaan dalam pengetahuan orang Batak Toba di saat itu, artinya keluarga harus berfungsi sebagai perantara sebagai tuntutan-tuntutan dan harapan-harapan semua individu yang ada sebagaimana yang terlihat dari karakter bertuturnya bapak Gultom terhadap Lae-nya Sitorus ketika itu. Hasil wawancara dengan Bapak Sihotang yang berasal dari kota Lubuk Pakam berprofesi sebagai kepala sekolah swasta di kabupaten Simalungun, beliau merupakan anak boru dari kegiatan pesta tersebut. Peneliti
ketika berada dalam
acara pesta di Samosir mendapatkan suasana perhatian yang cukup terharu ketika melihat marga Butar-Butar dengan kerelaan hatinya mengutip piring-piring makanan yang ditinggalkan oleh para undangan pesta. Wawancara dengan bapak Sihotang berikut ini: “…lihat dulu itu lae…!! Itu marga Butar-butar,, beliau itu kata keluarganya kepala sekolah di sekolah dasar swasta di kabupaten Simalungun karena dia itu sebagai anak boru di pesta ini tidak boleh malu-malu tapi kadang-kadang karena ada yang segan dengan dia ada saja orang-orang di sini membantunya mengangkat piring itu...” Gambaran yang dijelaskan oleh bapak Sihotang mengenai bapak ButarButar merupakan salah satu contoh dari sistem kekerabatan dan kekeluargaan yang terbangun dalam keluarga Batak Toba. Bapak Butar-butar sebagai salah satu anggota keluarga dari istrinya walaupun ia berkerja dan menjabat sebagai seorang kepala sekolah, namun dalam sebuah upacara adat, si kepala sekolah tersebut
14
harus mau mengangkat piring kotor yang telah ditinggalkan oleh para tamu undangan. Peristiwa yang dilakukan oleh bapak Butar-Butar merupakan wujud untuk melayani keluarga istrinya karena keluarga istri masuk dalam kelompok atas (Hula-hula) dan si kepala sekolah masuk tersebut dalam posisi bawah (boru).Tetapi yang jelas bahwa semua anggota keluarga Batak Toba suatu ketika pasti mengalami menjadi hula-hula, dongan tubuh, atau boru. Melalui gambaran di atas sesuai hasil wawancara saya dengan bapak Sirait di Sukkean menjelaskan berikut ini: “…dalihan natolu itu betul-betul harus dilakukan bagi kita sebagai orang Batak Toba, tetapi harus juga ditambah dengan dongan sahuta atau saudara sekampung karena kalau kita tinggal dengan kampung yang tidak punya hubungan dengan dalihan natolu contohnya anak saya yang ada di luar negeri hanya dia sendiri, maka aku bilang sama dia carilah dongan sahuta, begitulah lae menurut ku…” Hasil wawancara dengan bapak Sirait menunjukkan bahwa kehidupan bersosial di kalangan Batak Toba secara individu harus mengalami perubahan. Gambaran ini dibuktikan dengan realita di lapangan bahwa individu Batak Toba jika hidup di kalangan orang asing dan jauh dari kalangan masyarakat Batak Toba, maka ia harus memanfaatkan dongan sahuta. Bagan 7 Sebutan Bertutur dalam Keluarga Batak Toba
Sumber: Bagan di atas berasal dari hasil wawancara dengan bapak Butar-butar serta bapak Sirait.
15
Bagan di atas menunjukkan istilah penuturan dalam pengetahuan Batak Toba untuk menghubungkan kekeluargaan di kalangan mereka, sehingga menjadi kuat kualitas kekeluargaan di kalangan mereka sendiri sebagai gambaran bagan di atas. Berangkat dari penjelasan tersebut serta hasil wawancara dengan bapak Sinulingga yang kebetulan berprofesi sebagai guru swasta dan sedang menunggu istrinya membeli gula dengan tujuan mengunjungi famili beliau yang sedang sakit. Pertemuan ini terjadi di pinggiran jalan kecamatan Bamban kabupaten Serdang Bedagai, hasil wawancara berikut ini: ”…kami hidup dalam keluarga selalu setia dengan adat Batak Toba.,, adat sangat mempengaruhi pengetahun kami mengatur hubungan kekeluargaan antara kami sesama orang Batak Toba. Lae lihatlah kalau ada orang Batak Toba tidak melakukan adat maka kami bilang itu orang tak beradat, atau Batak yang sudah lari dari kampung atau kami bilang dengan Batak na Mago…” Selanjutnya peneliti menanyakkan mengenai pengaruh adat
mengatur
hubungan dalam keluarga, bapak Sinulingga memberikan keterangannya berikut ini: ”…setiap hari adat ini menjadi pegangan kami terlebih mengatur hubungan anggota keluarga menyangkut hubungan antara anak dan ayah, anak dengan ibu, saudara dengan saudara, kemenakan dengan paman, hubungan ipar dengan besan, antara menantu dengan mertua, hubungan antara individu dengan individu dan lain-lain…” Hasil wawancara dengan ibu Samosir yang merupakan sosok seorang Ibu bekerja di sawah dan memiliki anak berjumlah sepuluh orang sebagaimana informasi yang saya terima dari tetangga beliau, di sela-sela ia sedang bekerja di sawah itu peneliti melakukan kegiatan wawancara sebagai berikut ini: ” …banyak sekali anak-anak muda kami pergi merantau dan mereka berhasil di perantauan tetapi ketika mereka berhasil dan mendapatkan istri di luar kampung halaman mereka tidak kembali lagi ke kampung halaman. Sehingga wajar saja jika kampung ini tidak banyak yang tinggal dan sunyi tapi kalau sudah tahun baru, kampung ini sangat ramai sekali karena mereka dapat pulang dan bertemu antara sesama keluarga…”
16
Selanjutnya gambaran lainnya yang menjadi bukti peneliti temukan yakni bahwa salah satu anak bapak Gultom yang masih duduk di tingkat SMK saat ini sedang melanjutkan pendidikan dan berdomisili bersama bapak Sitorus di kota Medan. Pemuda-pemudi Batak Toba memiliki motivasi yang sangat tinggi untuk memiliki pengalaman dan pengetahuan yang baru dari kehidupan mereka. Melalui pesan-pesan nasehat budaya yang diturunkan dari orang tua mereka menjadi modal dasar kekuatan mereka di perantauan. Sebagaimana yang di jelaskan oleh Ibu Sinaga sebagai informan berikut ini : …”kami dalam keluarga sangat tidak suka kalau anak-anak kami yang laki-laki besar-besar di rumah..!! bapak tahu? kalau anak kita itu kan harta kita kalau istilah Bataknya Lae ‘Anakkon hamoraon di ahu’ begitulah Lae.,, untuk menjadi banyak harta kita dan di hormati orang kampung makanya anak-anak ini harus pergi merubah hidup di kampung lain. Seperti ini anak saya sudah empat tahun di Makasar di tempat kakaknya di sana…!!! yang kebetulan keluarga di sana satu marga dengan kami. Tujuan kami agar hubungan ini tidak muncul perseteruan antara kami…” Memperhatikan hasil wawancara bersama ibu Sinaga secara hubungan sosial terlihat jelas bahwa status marga sangat mempengaruhi kualitas kekeluargaan antara mereka, gambaran seperti ini tidak lain menjadi pengetahuan mendasar dikalangan orang Batak Toba bagaimana pengambilan sikap serta prilaku yang patut untuk dilakukan ketika melihat harta sebagai status kualitas dalam berkeluarga kalangan orang Batak Toba. Gambar 3 Keluarga Batak Toba Kristen dalam Acara Takjiah
17
Keluarga Batak Toba tetap mengujungi keluarganya disaat kematian walaupun memiliki perbedaan kenyakinan Kondisi seperti keterangan di atas menunjukkan bahwa keluarga yang berada di perantauan tetap menjaga komunikasi dalam berkeluarga sehingga terkesan informasi yang diterima oleh keluarga di kampung mereka walaupun berhasil tetap tidak sombong. Hasil wawancara dengan bapak Simangongsong menguatkan informasi di atas, sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ”…kebetulan lae, kitakan ada sedikit peninggalan tanah warisan di kampung, saudara-saudara di kampung yang kami percayakan mengelolah tanah di sana, sehingga untuk tetap kami juga berbuat baik untuk mereka yang ada di kampung, hampir banyak keluargaku dan keluarga dari isitriku yang menumpang tinggal bersama kami di kota Medan ini, begitulah lae kalau kita sudah dianggap orang kampung berhasil…” Penjelasan bapak Mangungsong ini menegaskan di kalangan keluarga Batak Toba harus saling menunjukkan pengorbanan agar terlihat baik dalam memelihara kekerabatan antara mereka. Memang jika dikaji secara seksama maka
18
akan terlihat bahwa keluarga Batak Toba sangat memperhatikan nilai pengorbanan sebagai kata kunci kesetiaan dalam memelihara kekerabatan. Sebagaimana wawancara peneliti dengan bapak Samosir yang telah lama tinggal di kota Medan dan lahir di kota tersebut. Peneliti menanyakkan tentang wawasan beliau mengenai kekeluargaan yang ia alami, sebagai berikut ini wawancaranya: “…saya pak bermarga Samosir dan saya sangat kurang begitu paham kekeluargaan sebagai orang Batak Toba, tetapi saya terbantu dengan adanya perkumpulan-perkumpulan keluarga marga Samosir. Di dalam perkumpulan inilah saya menerima informasi tentang asal-muasal marga saya dan keturunan saya dan saya sangat berterima kasih dengan keluarga bapak saya yang masih ada di kampung Tanah Batak sana…” Hampir sebahagian besar orang-orang Batak Toba yang lahir dan besar di luar tanah Batak khususnya orang Batak Toba Islam tidak mengetahui mengenai hubungan
kekeluargaan
sebagai
orang
Batak
Toba.
Kalaupun
mereka
mendapatkan informasi sistem kekeluargaan tersebut hanya di temukannya ketika ada acara-acara perkumpulan keluarga. Gambaran ini membuktikan bahwa orang Batak Toba tergolong anggota masyarakat yang hidup bertolong-menolong sehingga mereka suka membentuk atau menciptakan organisasi sosial terutama bagi mereka yang bermukim di perkotaan sebagaimana yang peneliti temukan di kota Medan serta Lubuk pakam. Hasil wawancara dengan bapak Nainggolan yang dikenal dengan sebutan Ama ni Rita atau pak Rita dengan mengikut sertakan nama anaknya Rita, hasil dialog berikut ini: ”…Perkumpulan-perkumpulan keluargalah yang selalu mengajari kita beradat Toba, umpamanya hal-hal apa saja yang patut kami ingat sebagai keluarga Nainggolan, seperti kawin dengan semarga sangat tidak diperbolehkan dan ini pesan leluhur kami dan kamipun selalu mematuhi di kalangan marga Nainggolan sampai sekarang ini…” Penjelasan bapak Nainggolan memperkuat informasi dalam tulisan ini bahwa akibat sejumlah perkumpulan keluarga maka pesan-pesan adat Batak Toba sangat memberikan andil dalam mempengaruhi pengetahuan mereka memaknai hubungan dan larangan yang dilakukan khususnya melaksanakan peranan
19
kekerabatan keluarga, salah satu pesan leluhur itu contohnya tidak diperbolehkan kawin dalam satu marga. Berangkat dari keterangan di atas, maka menjadi jelas bahwa setiap orang Batak Toba yang berada di perantauan dalam pengetahuan mereka memaknai keluarga masih menjaga tradisi marga dan tarombo hingga saat ini. Artinya cara hidup orang Batak Toba sekarang ini tidak jauh berbeda dari cara hidup nenek moyangnya. Sebagaimana ketika saya berada di Samosir menyaksikan masih ada tradisi saling mengawinkan di antara kelompok-kelompok suku bahkan lebih dari itu, mereka masih saling mengunjungi pasar besar lainnya, dan sebagian besar dari mereka juga masih menjalani kehidupan sehari-hari di dalam lingkungan turunan, marga. Gambaran tersebut menjadi dasar dari kualitas hubungan kekeluargaan dalam keluarga Batak Toba. Demikian halnya juga dengan tradisi merantau bagi setiap anggota keluarga Batak Toba, mereka mengalami kemudahan karena keluarga mereka yang telah berhasil diperantauan sebelumnya menerima kedatangan anggota keluarga dari kampung. Keluarga dalam pengetahuan orang Batak Toba memang secara umum menunjukkan berjalannya Dalihan Na Tolu dan konsep ini sangat menjadi modal kalangan orang Batak Toba memperkuat hubungan keluarga. Akan tetapi semisal bapak Silalahi yang tinggal di Tambun Sukkean memahami keluarga itu bukan hanya terletak pada Dalihan Na Tolu
tetapi menurutnya harus ada yang
melengkapi. Hasil wawancara berikut ini: “..Dalihan Na Tolu adalah aturan dalam melaksanakan adat Toba dalam berkeluarga, tetapi itu menurut aku harus di tambah dengan denggan mardongan Sahuta artinya baik-baik dengan tetangga dan teman satu kampung lalu burju mar-Tuhan (maragama) artinya ia harus taat dalam agama. Sebab saat ini paling penting menurut aku kita harus baik-baik dengan tetangga karena mereka adalah saudara kita yang mengetahui bagaimana keadaan kita ketika sakit atau mendapat musibah lalu orang yang selalu melaksanakan ajaran agamanya dengan baik maka orang itu sudah tentu akan baik bergaul dengan manusia…” Bapak tambunan yang telah bermukim hampir 40 tahuan di kampung tersebut sangat begitu paham tentang hubungan kekeluarga selama ini dipelihara,
20
sebab selama ini anak-anaknya telah banyak merantau keberbagai daerah yang ada di Sumatera Utara. Sehingga hanya dia dan istrinya tinggal berdua di tengahtengah masyarakat berlainan akidah akan tetapi perbedaan itu tidak menjadi batasan dalam bersosialisasi antara mereka, sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ”… satu tahun yang lalu aku pernah dimalam hari jatuh sakit, pertama-tama sekali yang datang ya tetanggku sebelumnya memang kami tidak begitu akrab karena mereka baru satu tahun pindah dari kampung sebelah, selain itu juga kami selalu pergi ke ladang sampai sore dan malam harinya istirahat begitulah setiap hari kegiatan kami berdua. Tapi karena musibah aku jatuh sakit istrikupun minta tolong kepada tetanggaku yang berjarak 500 meter dari rumah kami ini. Lalu aku ditolong sampai ke rumah sakit, dan sampai sekarang atas peristiwa itu kami selalu bersama…” Menurut penjelasan di atas sesungguhnya keluarga yang sangat terdekat adalah selain anggota keluarga dalam satu atap, tetangga memiliki peranan yang sangat penting sehingga istilah dalam penjelasan bapak Tambunan tadinya denggan mardongan sahuta. Memang sangat cukup variatif fungsi keluarga dalam pengetahuan orang Batak Toba dari aspek positif hingga aspek yang sangat ekstrem, sebagaimana penjelasan dari bapak Sianipar yang saat ini tinggal sudah 25 tahun di kota Medan berasal dari kota Asahan menuturkan kepada peneliti berikut ini: ”…kalao nak bicara soal keluarga kami orang Batak ni udah saloseh, artinyo kami dulu kata oppung kami kan mereka lari ke arah Asahan untuk merubah nasiblah tapi karena oppung kami ini sudah pindah kenyakinan menjadi Islam dan tak memakai marga Sianipar maka kami dianggap keluarga dari kampung Tanah Batak itu sudah tak keluarga mereka lagi mengenai harta warisan pun tidak mereka bagi untuk oppung saya, dan saya pun tak tau dimana kampung uppung saya itu karenapun hanya menerima kabar dari ayah begitulah ceritonyo kami yang Batak ni.!!. Tapi walaupun begitu saya totap memakai marga Sianipar walaupun saya tak Bisa lagi berbahaso Batak hanya Bahaso Melayu…” Karakter yang melekat dalam kepribadian bapak Sianipar ini menunjukkan kebanggaan beliau menjadi orang Batak Toba, walaupun pengetahuannya tentang Batak Toba masih terbatas untuk tidak mengatakan sama sekali tidak mengetahui Batak Toba, beliau setiap harinya senantiasa disebut dengan panggilan Ustad
21
Sianipar, artinya simbol kekeluargaan dalam pengetahuannya tetap terjaga. Mudah-mudahan bapak al-ustad Sianipar tersebut semakin bangga dan berani mengakui diri sebagai orang Batak Toba. Memang tidak bisa disangkal lagi bahwa kepatuhan orang Batak Toba terhadap adat memelihara keutuhan hubungan kerabatan dan mengangkat derajat keluarga tidak bisa diremehkan lagi. Gambaran ini peneliti saksikan ketika melakukan identifikasi lapangan mengenai perkembangan keluarga Batak Toba di Tanoh Samosir hampir sebahagian besar wilayah daratan Danau Toba khususnya pulo Samosir terlihat kuburan serta tugu sebuah marga menjadi kebanggaan suatu keluarga besar. Mereka memiliki kenyakinan bahwa setiap orang Batak Toba yang meninggal diperantauan hampir sejumlah besar kalangan keluarganya meletakkan peristirahatan yang terakhir atau dikuburkannya di tanah Toba dengan membangun bentuk-bentuk kuburan yang mewah gambaran tersebut berdampak pada sejumlah areal persawahan atau ladang menjadi menyempit. Berikut hasil wawancara dengan bapak Sinaga yang kebetulan beragama Kristiani; ”…kampung kami di sini sangat terlalu banyak makam-makam orang yang sukses di perantauan disaat meninggal dunia mereka ditanam didaratan Danau Toba khususnya pulo Samosir ini, sebab begini lae!!, dari dulu dalam otak pikiran orang Batak Toba yang diperantauan itu berkenyakinan hampir sebagian besar, mereka kalau sudah mati yaaa!! Maunya ditanam di sini makanya mereka seakan-akan telah kembali kepada tanah keluarga yakni Bona Pasogit…” Setiap informan yang peneliti kunjungi hampir keadaan jumlah anggota keluarga Batak Toba di berbagai daerah Sumatera Utara keberadaan mereka tidak lengkap atau salah satu dari mereka melakukan kegiatan merantau. Selanjutnya ketika seseorang menanyakkan salah satu keberadaan anggota keluarga tersebut mereka sangat begitu bangga menceritakan saudaranya tersebut jika dibandingkan keberhasilan yang mereka sendiri di kampung. Tradisi merantau juga merupakan bahagian mengangkat derajat keluarga untuk mencapai cita-cita
mengejar
hamoraon, hagabeon, hasangapon yang merupakan tujuan hidup yang diwariskan nenek moyang orang Batak Toba. Hasil wawancara dengan bapak Sitorus berikut ini:
22
” …aku dengan bapakku datang ke kabupaten ini awal-mula berkeinginan merubah nasib sebab ketika waktu kecil dulu meninggal mamakku hidup kami sangat susah dan akupun tak dapat belajar di sekolah. Ketika kami sudah dianggap berhasil oleh masyarakat kampung disaat meninggalnya bapakku kami lakukan acara adat dengan mengeluarkan biaya mahal. Tetapi ini bermaksud bahwa hamoraon, hagabeon, hasangapon telah kami miliki dan patutlah untuk dibuktikan pada acara kematian bapakku, bertujuan untuk mengangkat derajat keluarga di kalangan masyarakat kampung di Samosir waktu itu…” Memandang wajah bapak Sitorus ketika beliau menerangkan pengalaman hidupnya, memberikan gambaran kepada peneliti bahwa sejarah bapak Sitorus ini diakibatkan keterbatasan kebutuhan hidup di daerah tempat tinggal maka dengan sendirinya mendorong bapak Sitorus dan bapak-bapak lainnya meninggalkan kampung halamannya. Tradisi upacara kematian sebagaimana yang di kemukakan oleh informan di atas menunjukkan bahwa mereka sangat begitu bahagia ketika kemampuan ekonomi yang selama ini mereka dapatkan dan selanjutnya di peruntukkan untuk biaya acara kematian orang tua mereka. Gambaran tersebut jelas-jelas menimbulkan kompetisi di kalangan keluarga Batak Toba
memberikan penghormatan terakhir atas meninggalnya
orang tua atau disebut dengan Saur Matua. Dinamisasi keluarga yang berlangsung dalam pengetahuan orang Batak Toba baik secara individu maupun kelompok saat ini cukup menjadi perhatian yang menarik. Mengapa menjadi menarik untuk diperhatikan?. Salah satu informan seorang anak muda Batak Toba yang beragama Islam bernama Bihtar Sirait kebetulan baru pulang dari Bukit Tinggi menuju Balige untuk menghadiri pesta adat perkawinan, berikut ini hasil wawancaranya: “…bang, saya kebetulan lahir di Bukit Tinggi, dahulu orang tua kami pindah dari Samosir ke Kota Bukit Tinggi sekitar tahun 1950 an”, lalu ia menjawab lagi “alasan utamanya karena di tempat asal ayah saya tinggal di pulau Samosir, tanahnya kering sehingga sulit untuk bercocok tanam dan untuk menghidupi keluarga, sehingga ayah kami menjadikan Pasaman sebagai pilihan untuk keluar dari nasib buruk tersebut…” Keterangan serta kegiatan anak muda di atas dalam mengunjungi keluarga dari pihak bapak di Tanah Batak menunjukkan bahwa setiap orang Batak Toba
23
sebahagian besar dalam pengetahuannya mengenai keluarga masih meninggalkan kesan terhadap unsur-unsur pesan nilai budaya Batak Toba. Terlebih lagi bagi individu yang tetap menggunakan marganya diakhir namanya. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan anak muda yang berasal dari Bukit Tinggi terlihat jelas bahwa suku Batak Toba telah banyak perpindah dari kampung halaman ke berbagai tempat perantauan baik di desa maupun di kota ke berbagai penjuru wilayah di Indonesia bahkan di berbagai tempat di belahan dunia, akan tetapi bagi kelompok Btak Toba tidak serta merta menghilangkan nilai-nilai budaya yang telah menjadi sebuah sistem nilai yang harus dipegang teguh. b. Cita-cita Keluarga
Cita-cita keluarga dari suku Batak Toba yang terbentuk dari adat Batak Toba sebetulnya suatu pranata dalam masyarakat Batak Toba yang memberikan tuntutan bagaimana anggota keluarga Batak Toba berinteraksi dengan yang lainnya menuju suatu keberhasilan hidup, dan menurut penulis gambaran seperti itu amatlah penting untuk dipahami serta dilaksanakan. Salah satunya bercita-cita untuk membangun Tugu di kampung halaman untuk menunjukkan sebagai generasi yang berhasil di perantauan. Salah satu kasus yang peneliti temukan tepatnya di daerah Samosir yakni Tugu keluarga Sitohang tepatnya di Tanah Samosir, sebagaimana hasil wawancara dari seorang Ibu boru Huta Hayan berikut ini: ” …hampir sebahagian besar anggota-anggota keluarga Batak Toba yang telah berhasil mereka membangun tugu, tugu itu menandakan bahwa keluarga Simbolon sudah mendapatkan kesuksesan dari anak-anaknya yang ada diperantauan”, dan keluarga itu telah menunjukkan keluarga sebagai keluarga yang telah mendapatkan keberhasilan…” Memang tidaklah dapat dipungkiri lagi hampir sebahagian besar orang Batak Toba yang ada di luar Tanah Batak telah mendapatkan keberhasilan dan patut dibanggakan. Cita-cita setiap keluarga Batak Toba dalam pengamatan peneliti tidak terlepas dari latar belakang para tokoh-tokoh Batak Toba yang
24
dicontohkan kepada sejumlah generasi muda Batak Toba sebagaimana pelakunya yang bekerja keras, penuh keuletan di dalam mencapai cita-cita, yaitu kemakmuran, kebahagiaan, keturunan dan kehormatan. Gambar 4 Tugu Keluarga Sitohang
Gambar di atas menunjukkan kebangga keluarga Sitohang dan telah sukses di perantauan sehingga membuat tugu untuk sejulah kuburan keluarganya di tanah Samosir Keterangan di atas sesuai hasil wawancara dengan Ibu Pandiangan yang berkerja di salah satu sekolah menegah atas di kota Medan berikut ini: ”…aku dulu pak!!!., selalu dibilangi sama mamakku di kampung untuk betulbetul belajar karena orang yang bodoh itu sama dengan binatang yang tidak punya cita-cita dan di makan sama orang pintar. Supaya keluarga ini disegani oleh orang-orang huta kau harus pergi dari kampung ini kuliah ke Medan. Karena mamak tidak mau anak mamak susah seperti mamak di huta ini…”
25
Keterangan hasil wawancara dari Ibu Pandiangan memberikan informasi bahwa setiap anak-anak mereka selalu diajarkan untuk mencapai cita-cita dan harus meninggalkan kampung halaman. Upaya kerja keras ini menunjukkan suatu etos kerja atau watak yang tidak mudah menyerah pada kalangan Batak Toba. Ungkapan ini sejalan dengan hasil wawancara dengan Ibu Panjaitan yang kebetulan sedang membeli cabai di pasar Sutomo, ketika itu ia menanggapi kawan berbicaranya mengenai banyaknya calon anggota legislatif dari
orang-orang
Toba, ujar Ibu Nainggolan, selanjutnya Ibu Panjaitan memberikan komentar: ”....Saudara-saudara kami dari Porsea pun banyak yang pergi ke Medan untuk Belajar jadi mereka itu menjadi Calon DPRD karena punya pendidikan!!!., karena bagi kita halak Toba pendidikan menjanjikan masa depan yang baik; menjadi pegawai dan terhormat dalam masyarakat. Sehingga wajar saja kalau banyak halak Toba menjadi calon DPRD untuk mendapatkan kedudukan posisi sosial dan ekonomi yang lebih tinggi…” Hutanamora merupakan salah satu kampung yang saya datangi, di sana terdapat sejumlah besar putra-putri di kampung tersebut berhasil di perantauan, sebagaimana hasil wawancara dari seorang Ibu bernama Mestina baru Samosir yang berumur 70 tahun. Saya menanyakkan: “…bagaimana pengalaman opung menasehati anakanak sehingga mereka saat ini berhasil?..adakah hubungannya dengan hamoraon, hagabeon dan hasangapon?,…” lalu oppung itu menjawab dengan bahasa Batak Toba yang saya ketahui maksudknya berikut ini: “…dahulu aku selalu menasehati anak-anak setiap malam sesudah makan dan sebelum makan dan aku memberitahukan agar mereka senantiasa belajar dengan sungguh-sungguh jika tidak sungguh-sungguh maka kau akan seperti kami ini di kampung ke sawah terus dan makan ubi terus dan selalu berteman dengan binatang-binatang ternak yang kotor-kotor ini..!! …”. Berdasarkan keterangan hasil wawancara tersebut hampir sebahagian besar pada tiap keluarga Batak Toba membudayakan adanya ungkapan-ungkapan tradisional yang dapat didengar dari mulut orang tua kepada anak-anaknya, agar sang anak sadar bahwa manusia harus berkarya dengan cara kerja keras dan tidak
26
henti-henti (tidak cepat puas).Cita-cita orang Batak Toba tersebut
telah
membudaya di kalangan masyarakat Toba. Pengalaman bapak Simbolon yang saat ini bekerja perkebunan Pabatu hasil wawancara berikut ini: ” …kami dahulu masih kecil selalu diberikan nasehat oleh orang tua kami dengan pesan-pesan yang ada dalam perkataan bijak Batak Toba umpamanya kalau di perantauan harus pintar-pintar jadi ayam perempuan. Artinya harus pintarpintar bergaul dan jangan memunculkan perselisihan dan harus mampu menjadi orang yang disenangi oleh banyak orang…” Penjelasan bapak Simbolon ini memberikan keterangan kepada peneliti bahwa
hampir sebahagian besar orang Batak Toba yang beragama Kristen
maupun Islam memiliki cita-cita dari pesan budaya sehingga dapat mempengaruhi pemikiran, kenyakinan, pengetahuan, keahlian, pengalaman, dan cara-cara pengungkapan emosi dan keinginan tentang sebuah harapan yang akan dicapainya. Akan tetapi keluarga Batak Toba Islam dalam pengamatan peneliti mereka melakukan proses seleksi, akomodasi dan reintegrasi dengan nilai-nilai adat istiadat (‘uruf) yang sesuai dan relevan dalam keberlangsungan dan perkembangan keluarga mereka masing-masing. Hasil wawancara dengan bapak Aritonang berikut ini: ” …kami orang Batak Toba dan keluarga Batak Toba lainnya mempunyai citacita yang kami harapkan harus dicapai yakni menjadi kaya (hamoraon), banyak keturunan (hagabeon), terhormat dan berkuasa (hasangapon). Ketiga-tiganya kalau tidak salah mempunyai hubungan pada kesempurnaan hidup di dunia nyata dan di dunia gaib kata oppung kami begitu!!! …” Menurut pengamatan peneliti dari gambaran masyarakat kampung yang ada di pedalaman Serdang Bedagai yakni kampung Gempolan mereka sangat bercita-cita sebagaimana keterangan di atas. Oleh karena itu keluarga Batak Toba memiliki motivasi untuk bekerja keras meraih “keberhasilan”, sebagaimana yang peneliti perhatikan. Meraih “keberhasilan”, selain dari dukungan nilai dan makna budaya Batak Toba di dalam keluarga. Kepatuhan mereka kepada kenyakinannya juga
27
memberikan pengaruh kongkret mengubah pola pikir (minset) keluarga Batak Toba baik yang beragama Kristen maupun beragama Islam. Yakni bertumpuh pada keharusan mempercaya dan mengikuti perintah Tuhan dalam arti yang seluas-luasnya. Hampir seluruh seomboyan-semboyan nilai dan makna budaya Batak Toba memberikan contoh-contoh konkret, mempraktikkan dan membiasakan mengikuti perintah Tuhan (Kristen, Islam, Parmalim) tersebut dalam hubungan-Nya dengan berbuat baik kepada sesama manusia, dan dengan alam dimana mereka berdomisili. Contoh dan pembiasaan ini misalnya ia tunjukkan dalam hal berumah tangga, bersikap baik terhadap keluarga, sahabat dan sesama, berjual beli, bergaul dengan komunitas yang berbeda agama. Keberhasilan anak-anak Toba tersebut tidak terlepas dari hubungan kekerabatan keluarga mereka, sebagaimana hasil kunjungan dan wawancara di kampung Raso Sukeang bersama Bapak Ramos Samosir. Saya menanyakkan tentang penerapan Dalihan Natolu dalam pendidikan anak di keluarga. Berikut ini hasil wawancara: ” …aku kalau bilang sama anak-anakku lae pergilah kalian kuliah ke Medan nanti dibantunya kalian sama tulangmu yang bekerja di kantor gubernur. Lae ini kami ingatkan selalu pada anak-anak kami. Contohnya anak adikku yang tamat SMK dibawaknyasama tulang itu ke kantornya menjadi supir dan banyak saudara-saudara kami yang telah dibantunya ke kantornya berkerja akupun tak tahu apa kerjaan yang diberikan oleh Tulang kami itu. Tulang kami seperti itu karena dia berasal dari Raso Sukean kampung yang sangat kuat mempertahan nilai-nilai budaya…” Berdasarkan keterangan di atas maka terlihat jelas bahwa individu keluarga Batak Toba sangat tinggi untuk menolong keluarga khususnya menggapai cita-cita untuk mendapatkan kehidupan lebih baik lagi. Sesuai bagan di atas terlihat jelas bahwa Dalihan Natolu memiliki peranan penting di kalangan orang Batak Toba dengan cita-cita sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Sinaga berikut ini: ”… lae Dalihan Natolu itu fungsinya supaya tahu kita sebagai orang Batak Toba dalam bersaudara kemanapun dan dimanapun kita berada. Ada istilah Batak
28
yang harus lae ketahui ungkapannya begini!!!.,elek marboru asa dapot hamoraon, somba marhula-hula asa dapot hagabeon, jala manat mardongan tubu asa dapot hasangapon….” Berikut ini wawancara dengan bapak Togar Sirait yang kebetulan beragama Kristen menuturkan: “…pengalamanku bisa kerja di pemerintahan kabupaten Samosir ini dulunya karena dibantu oleh adik bapaku sehingga bisa kerja. Katanya sejarahnya ia bisa bersekolah ke Medan dan saat ini bekerja karena kebaikan dari bapaku memberikan jalan mencari pekerjaan sambil membiaya kuliahku dulu. Bapakku katanya memberikan aku kerja di bengkel sepeda di jalan Binjai dari bekerja di bengkel makanya dapat membantuku kuliah di Medan….” Berdasarkan keterangan di atas, sebagaimana penjelasan dari bapak Samosir dan bapak Sinaga, Togar Sirait menunjukkan bahwa pada prinsipnya Batak Toba tergolong anggota masyarakat yang hidup tolong-menolong (bergotong royong), dan untuk sarananya suku membentuk (menciptakan) organisasi terutama bagi yang bermukim di perkotaaan. Sebagai wujud tolongmenolong dari kelompok masyarakat tersebut, maka dalam suatu keluarga adalah kewajiban dari yang paling tua untuk membantu adik-adiknya untuk bersekolah. Paling tidak memberikannya tempat tinggal di kota dan tetap mendapat jatah pengiriman beras dari kampung. Memberikan motivasi belajar sebagaimana yang dilakukan oleh Ibu Panjaitan pada hasil wawancara di atas, dan menunjukkan bahwa keluarga Batak Toba dan sejumlah anggota keluarganya untuk merubah kehidupan dengan cara sekolah di perantauan seakan tidak pernah habis-habisnya. Nasehat itu sendiri sangat dipengaruhi oleh adanya kehidupan yang serba kurang, selanjutnya menceritakan anak-anak Batak Toba yang berhasil sebagai perbandingan diri bagi anak-anaknya. Bukti yang dapat disaksikan atas keinginan kuat merantau dalam pendidikan, sebagaimana yang peneliti temukan di kampung Huta Nainggolan ketika itu mereka berkumpul dalam acara adat dicela-cela pertemuan. Mereka selalu menyampaikan pertanyaan, semisal bagaimana kabar kuliah di Torang?.,” sudah jadi apa si bayang saat ini?., begitulah hampir sejumlah besar pertanyaan
29
antara mereka yang bernuansa motivasi kemajuan atau perubahan hidup untuk yang lebih baik. Terlihat di lapangan sekelompok keluarga Batak Toba yang memiliki kehidupan perekonomian pas-pasan atau ekonomi lemah, maka orang tua akan berupaya mati-matian untuk membanting tulang demi membiayai sekolah anaknya. Gambaran ini tidak lain disebabkan suku Batak Toba memiliki motivasi tentang harga dirinya sangat tinggi, dinamis, dapat dikategorikan agresip, dan tidak mau dilecehkan oleh orang lain. Sebagaimana hasil wawancara saya dengan Ibu Simbolon yang kebetulan peneliti tidak mengetahui agamanya, berikut ini hasil wawancaranya: ” …pak walaupun aku dengan anak-anak sehari-hari dalam keadaan susah dan kami kerja mengumpulkan botot-botot bersama anak-anak naik becak dan pulangpun malam-malam, tapi anak-anak kami ini semuanya masih sekolah. Karena kami tidak mau diremehkan orang karena kami ini tukang botot-botot. Anak-anak pergi sekolah setelah pulang mereka mencari botot-botot dan akupun sudah mencari dari pagi-pagi dan malam hari kami menjual ke tempat bototbotot…” Berdasarkan keterangan-keterangan sebelumnya serta hasil wawancara saya dengan seorang Antropolog yang mengetahui orang Batak menjelaskan berikut ini: ”…kamu manurung mengerjakan disertasi ini jangan lama-lama karena orang Batak itu merupakan
individu petarung, berjuang keras untuk mencapai
hamoraon, dan menjadi kaya secara finansial dan material…” Sebenarnya wawancara tersebut menekankan pada peneliti untuk secepatnya menyelesaikan disertasi. Selanjutnya beliau menjelaskan kepada saya berikut ini : “…bahwa individu orang Batak umumnya dan Batak Toba khususnya tidak akan segan-segan mangaranto, pergi meninggalkan kampung halaman untuk mencari kekayaan material…”
30
Berikut wawancara dengan bapak Ramli Nur, menceritakan mengenai anak-anak Batak Toba di UNIMED: “….pak Manurung, dulunya bapak Syawal itupun dari kampong Toba sananya ia bersekolah ke Medan ini. Karena kegigihannya belajar dan bekerja makanya ia berhasil. Sayapun kadang-kadang menengok anak-anak dari Toba itu banyak yang semangat kuliah ke UNIMED begitulah kegigihan mereka belajar perlu ditiru…” Hasil wawancara dengan seorang anak muda di atas kapal penyeberangan Danau Toba berikut ini: ” …lae aku merantau ini untuk dapat mencapai cita-cita orang yang terhormat di kampungku maka aku berjuang dengan segala usaha dan modal di perantauan untuk bisa mendapatkan kekayaan….,tak kayapun yang penting aku sudah banyak berjalan ke tempat-tempat yang aku inginkan lae untuk menambah wawasan kita bergaul,,!!!kalau perlu lae aku merantau ke seluruh penjuru dunia jadi biar tahu siap orang Batak itu…” Selanjutnya saya menanyakkan kepada anak muda tersebut, dalam wawancara berikut ini : “…Berapa jumlah saudara kandung?...”, Lalu ia menjawab, “…Lae!!!,., kami termasuk keluarga besar, anak orang tuaku ada dua belas aku anak yang kedelapan…”, Lalu saya menanyakkan kepadanya: “…Bagaimana perasaan orang tua dengan anaknya yang banyak?”… Lalu ia menjawab: “…Masakh lae lupa sebagai orang Batak Toba nilai-nilai hidup orang Batak Toba adalah hagabeon yang artinya banyak keturunan dan panjang umur…”
31
Berdasarkan keterangan anak muda tersebut maka tentu saja istilah ini tidak begitu asing di telinga setiap orang Batak Toba, dan dapat saya pastikan bahwa setiap mereka melaksanakan serta memiliki ketercapaian kategori kedua ini akan mendapat pengakuan sebuah keluarga yang berhasil. Ketika saya berjalan mengendarai sepeda motor dengan seorang teman, kami berhenti di sebuah warung makan Batak Toba yang kebetulan yang punya warung beragama Islam dengan melihat penjualannya memakai tudung dan terlihat tulisan-tulisan Arab melekat di diding warung. Warung tersebut berada di Onan Runggu, kelihatannya yang punya warung makan memiliki banyak anggota keluarga faktanya saya melihat foto-foto keluarga yang terpampang di ruangan makan. Saya dan teman mendapatkan hidangan makanan dengan menu Batak Toba yang otomatis halal, kami mempercepat makan dan setelah itu menghampiri ibu yang memiliki warung dan bertanya-tanya sambil mengadakan perkenalan dengan ibu tersebut Berikut wawancara dengan ibu Parangin angin: “…bu..,nampaknya anak-anak ibu banyak ya?”..., Sambil saya melihat kearah dinding,. Selanjutnya ibu itu pun menjawab “iya?”...“Saya mempunyai anak sepuluh yakni enam anak laki-laki dan empat anak perempuan”.Selanjutnya saya bertanya, “bu..! jadi bagaimana komentar orang-orang Batak Toba di sini dengan ibu memiliki anak laki-laki yang lebih banyak dari anak perempuan?!!.Lalu ibu itu menjawab dengan memanggil saya “amang,, anak laki-laki di masyarakat kita sangat bernilai,, maksudnya dapat meneruskan marga.. dan ibu bangga dengan kondisi seperti ini, makanya ibu meletakkan foto-foto tersebut di warung nasi ibu..,”!...” Hasil wawancara saya dengan bapak Simajuntak yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah dasar Deli Serdang tepatnya di daerah Galang mengungkapkan: ” …aku dulu Lae ketika saat proses pesta perkawinan pernah di disampaikan untuk mendapatkan banyak anak, yang mana ungkapan itu mengharapkan agar kelak kami sebagai pengantibaru dikaruniai putra 17 dan putri 16. ya kalau bisa
32
punya banyak anak laki-laki kata orang tua ku kepadaku dulunya, supaya marga Simanjuntak tetap ada, bukankah ada istilah dalam budaya batak Toba “anakonki do hamoraon diahu” yang artinya anakku adalah hartaku. …” Selama dalam perjalanan menuju keluarga Batak Toba maupun Islam atau Kristen terlihat secara tidak langsung bahwa anak laki-laki mendapatkan keistimewaan dalam beberapa hal di rumah.Hal ini mempunyai konsekuensi kepada hak mewarisi, organisasi sosial dan politik, dan penyelesaian banyak hal. Sebagai contoh mengenai hagabeon dalam kehidupan orang Batak Toba adalah sesuatu yang pokok harus ada karena orang Batak selalu memperhatikan garis keturunan dalam silsilah, terlebih memiliki keturunan anak laki-laki. Akan tetapi budaya di luar tanah Batak seperti halnya Sergai, Deli Serdang maupun kota Medan peranan anak laki-laki tidak begitu jauh berbeda dengan peranan anak perempuan di dalam keluarga Batak Toba. Gambaran ini terlihat jelas dan benar ketika saya
memasuki sebuah
perkampungan di pulo Samosir ternyata orang-orang tua di sana berjuang dengan berternak dan bersawah untuk keberhasilan anak-anak mereka di perantauan bersekolah dan peristiwa itu saya dapatkan pada setiap melakukan wawancara yang bertanyaannya tentang anak-anak mereka. Oleh karena itu anak merupakan segalanya bagi suku Batak Toba. Berikut ini hasil wawancara peneliti dengan bapak Limbong yang pekerja di instansi pemerintahan berikut ini: ” …aku pak selama meninggalnya istriku, mengenai perkembangan anak-anak ini untuk masa depannya sangat aku fokuskan, ya tahulah pak anak-anak ini kan kebangga kita kalau sudah berhasil makanya aku untuk saat ini walaupun masih muda belum terpikirkan untuk kawin lagi aku takut nanti anak-anakku ini tidak mau sekolah karena mamak mereka sangat baik sekali kepada mereka ketika hidup dulu…” Sebagaimana yang dicontohkan bapak Simanjuntak dan hasil wawancara bapak Limbong serta keluarga Batak Toba lainnya mereka sangat memfokuskan segala sesuatu untuk pertumbuhan anak, pendidikan anak, tingkah laku anak. Jika diperhatikan lebih mendalam lagi seakan-akan budaya hagabeon merupakan
33
investasi yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya melalui investasi kesehatan, pendidikan, dan sistem nilai yang baik, agar kelak anaknya mendapatkan keberhasilan yang baik pula. Perjalanan saya menuju perbatasan Tarutung dengan Simalungun sangat begitu berat dengan melalui berbagai cuaca yang saat itu saya terkena turunnnya hujan di daerah tersebutakan tetapi kegelisahan ini di obati dengan salah satu informan yang begitu tepat memberikan jawaban dengan sejumlah pertanyaan dari saya. Infroman tersebut adalah oppung Sitorus beliau merupakan salah satu orang tua yang telah banyak mempunyai pengalaman dalam hidup yang saat ini mempunyai usia 120 tahun sebagai muslim mulai usia 35 tahun, beliau menuturkan dengan menggunakan bahasa Batak Toba dan sedikit diterjemahkan oleh anaknya pertama kepada peneliti, berikut ini hasil wawancaranya: ” …anak itu kadang-kadang buat bahagia atau sebaliknya, lalu anak itu masa depan, kalau lae tahu ada umpasan kita orang Batak Toba ..’hosuk humosukkhosuk, hosuk di tombak ni Batang toru. Porsuk ni naporsuk, sai umporsuk dope naso maranak marboru,,, artinya begini lae (anak oppung tersebut) penderitaan yang paling berat di dunia ini adalah jika tidak punya keturunan, dan kehilangan nilai (arti) anak. …”
Gambar 5 Peneliti dengan Seorang Oppung
34
Gambar peneliti dengan seorang oppung setelah melakukan kunjungan dan wawancara Keesok harinya peneliti mendatangi anak beliau yang berada di daerah Porsea dan melakukan wawancara,
beliau memiliki pendidikan tetapi tidak
bekerja di pemerintahan ia menjadi seorang pedagang yang selalu keluar masuk Porsea ke Pekan baru, berikut ini hasil wawancaranya: ” …cita-cita kami kepada anak-anak kami ini sebenarnya ia harus bermanfaat kepada semua orang. Istilah inipun kalau kita lihat dalam pesan-pesan orang tua Batak Tobapun ada Lae!!.., entarnya aku lihat dulu di dalam bukuku yang ada di samping rumahnya kebetulan selalu ku tulis kalau ada acara-acara adat biar tidak lupa Lae!!!.,, begini isinya,, Ijuk di para-para, hotang tu parlabian, Anak Na Bisuk panungkunan ni hata, Anak Na Oto sitongka tu panggadisan. Ruma ijuk jala ruma gorga, nabisuk jala namalo marroha. Artinya begini Lae kalau tidak salahnya anak yang cerdik pandai, bijaksana, berpengetahuan setiap bicaranya diikuti orang lain dan dia tempat bertanya, dan anak yang lemah jangan sampai “terjual” (ketinggalan dari temannya atau terasing, ditipu, diakal-akali, tidak mengiktui kemajuan, tertinggal informasi…”
35
Jika kita perhatikan atas keterangan anak bapak Sitorus ini maka seorang anak yang tidak mampu menjadi tempat belajar bagi orang lain maka iaharus mengevaluasi dirinya dan harus belajar pada yang pintar, jika tidak ingin terjual oleh orang lain. Anak cerdik pandai adalah orang yang penuh kebijaksanaan, maka ia baik dalam memimpin dan sumber belajar bagi orang banyak. Memang kalau tidak salah ketika oppung Sitorus menyarankan peneliti untuk mengunjungi anak beliau yang begitu baik kehidupan ekonominya menjadi seorang pedagang.Terkesan oppung itu sangat bangga mencerita anaknya tersebut.Gambaran ini menunjukkan bahwa orang Batak Toba menganggap bahwa anak-anak keturunan mereka sebagai kekuatan baru bagi kerajaan pribadi (sahala harajaon). Wawancara saya dengan seorang informan di kabupaten Serdang Bedagai yakni Bapak Sitorus dan masih memiliki keluarga besar di Balige, saya menanyakkan kepada beliau tentang nilai-nilai filsafat Batak Toba dalam kategori ketiga yakni hasangapon. “Pak,..!bagaimana pengalaman bapak memberikan pendidikan di rumah dalam menanamkan nilai hasangapon ini..?”. Lalu bapak itu menjawab dengan bahasa tubuh yang semangat dengan memanggil saya menggunakan istilah lae.,berikut ini hasil wawancaranya: “… begini lae.,,!, saya mempunyai anak ada empat jadi dalam keseharian saya menanamkan nilai-nilai hasangapon itu kepada mereka yakni memberikan kemandirian hidup dalam bekerja dan mengambil pelajaran dari itu, contohnya.,, lae!!, si Junaidi pergi ke sawah untuk mencangkul di sela-sela ia bekerja dan ketika istirahat saya memberikan motivasi agar ia jangan punya cita-cita seperti ayahnya menjadi petani tetapi harus berhasil mendapt kehormatan di atas petani.”begitulah saya memberikan arahan dan bimbingan pada anak-anak saya lae…”. Berdasarkan keterangan-keterangan di atas maka tertangkaplah pesan bahwa cita-cita keluarga Batak Toba dari aspek hasangapon, meliputi kehormatan yang didapatnya dari anak-anaknya yang demikian meraih keberhasilan dan kemuliaan yang selalu melekat dalam dirinya akibat masyarakat menjadikan sebagai rujukan atas keberhasilan yang ia capai sehingga kewibawaan timbul
36
dengan sendirinya. Gambaran seperti inilah menurut analisa peneliti yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan sebagai seorang Batak Toba. Saya mendengarkan hasil jawaban Bapak Sitorus sebagaimana keterangan di atas menunjukkan bahwa kehormatan seseorang adalah hasil dari perjalanan panjang yang dibangun melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungannya sebagai masifestasi dari sistem nilai yang ditunjukkan oleh yang bersangkutan. Perjalanan saya menuju pulau Samosir sangat melelahkan sehingga saya beristirahat di pinggir jalan tepatnya di sebuah tugu yang megah dan di kelilingi oleh pohon-pohon yang rindang di dekat tugu tersebut. Lalu saya melihat seorang Bapak yang sudah tua mengembalakan kambing-kambing di sekitar tugu tersebut, saya menghampirinya dan bertanya, yang sebelumnya kami berkenalan terlebih dahulu dan kebetulan bapak tersebut seorang muslim,
berikut ini hasil
wawancaranya: ” …Pak..!! tugu ini punya siapa pak mengapa sangat indah sekali,,?” lalu bapak itu menjawab, “tugu ini milik keturunan Simbolon yang sudah berhasil di Jakarta, keindahan ini sengaja di buat oleh mereka agar kelihatan oleh masyarakat di sini bahwa keluarga Simbolon telah berhasil mendapat hasangapon…!”. Selanjutnya saya menanyakkan, “pak..! bagaimanatanggapan orang-orang di sini dengan adanya keberadaan tugu ini,.?”, lalu bapak tersebut menjawab, “begini ya lae, keluarga Simbolon ini sudah tidak ada di sini yang ada hanya tukang pemelihara tugu saja, ia datang ke sini kira-kira dua minggu sekali untuk membersihkan dan merawat keindahan tugu ini, lalu tanggapan orang-orang di sini sebenarnya hampir sebagian besar tidak begitu baik terhadap yang punya tugu, katanya mereka agak sedikit sombong dengan orang kampong di sini, jika mereka berbahasa Batak Toba sering dijawab dengan bahasa Indonesia….” Hasil wawancara saya dengan seorang informan di atas menunjukkan bahwa mencapai nilai hasangapon ini memiliki nilai ganda yakni dapat bersifat negative dan positif. Artinya jika bersifat negative dengan “mempertontonkan kesuksesan mereka kembali di kampung dengan membangun tugu-tugu yang besar dan megah.Motifnya ialah kesombongan dan kecongkakan.”Selanjutnya bersifat positif yang dapat ditarik dari peristiwa pembangunan tugu di kampung halaman kaitannya pada hasangapon ialah kelompok keturunan mendirikan tugu untuk menaikan prestise mereka.
37
Gambar 6 Bacaan dari sebuah Tugu di Samosir
Gambar di atas merupakan bacaan sebuah tugu keturunan dari marga Manurung Hasil wawancara dengan bapak di atas memberikan gambaran kepada peneliti bahwa Tugu merupakan pernyataan diri, pengenalan diri sebagai kelompok dari satu garis keturunan”. Ungkapan tersebut sesuai hasil wawancara peneliti dengan Ibu Pandiangan yang merupakan seorang kristiani menuturkan: ” …apabila orang Batak Toba yang sukses di perantauan kembali menghidupkan tradisi lama tentang penghormatan nenek moyang, bukan terutama untuk mempertahankan adat kebiasaan lama tetapi untuk memperkuat “imago” mereka sekarang, dengan itu mereka menunjukkan diri sebagai migran yang sukses dan menegaskan hasangapon atau kehormatan orang Batak Toba baik di perantauan atau di kampung halaman…” Pengalaman bapak Sitorus jika ditelaah dari aspek Hasangapon maka terlihat jelas sesungguhnya anaklah sumber dari hasangapon dalam keluarga
38
bapak Sitorus di atas. Semakin tinggi tingkat pendidikan anak-anak suatu keluarga, semakin dianggap terpandang (hasangapon) keluarga itu dalam masyarakat di lingkungan keluarga Batak Toba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka untuk meraih itu semua mereka harus berupaya untuk bekerja keras agar mereka mampu meraihnya antara lain dengan menyekolahkan anak-anaknya. Pada proses itu mereka harus sedapat mungkin berusaha mewujudkan bagaimana menjadi orang pandai melebihi kepandaian orang lain dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, meskipun mayoritas penduduk di daerah Batak Toba hanya bermata pencaharian sebagai petani dengan kehidupan yang sederhana, namun orang tua mereka menunjukkan aspirasi yang tinggi terhadap pendidikan anak, dan anak pun menunjukkan ketekunan dalam menjalani akademik tinggi dan kebutuhan berprestasi yang sangat besar. c. Perbedaan Agama
Perjalanan peneliti menelusuri sejumlah informan menemukan suatu keasyikan tersendiri mengenai orang Batak Toba, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya tentang tradisi orang Batak Toba merantau yang didukung oleh pertaniannya relativ tidak luas dan juga kurang suburnya tanah di kampung halaman, maka secara alami mereka akan meninggalkan kampung halaman dan sudah dipastikan setiap orang Batak Toba
memiliki potensi terbuka dalam
berhubungan dengan orang lain atau di luar etnisnya. Gambaran ini dapat dibuktikan atas informasi bapak Amir Siahaan yang berdomisili di Lubuk Pakam dan telah banyak bergaul dengan kalangan orang Melayu mengungkapkan kepada peneliti: ” …kami datang ke daerah orang-orang Melayu waktu itu masih ada orang Belanda membuka lahan-lahan pertanian, kata orang tua saya mereka merantau ke sini dengan keluarga yang berasal dari tanah Batak untuk merubah nasib.Ada keluarga oppung saya yang masuk agama Islam. Yang masih beragama Kristen ada juga karena takut tidak diakui sebagai keluarga jika pulang kampung ke tanah Batak…”
39
Tanah Deli yang demikian subur dan banyaknya lapangan pekerjaan untuk mencari nafkah dalam sejarahnya orang Batak Toba bertranmigrasi sebagaimana penjelasan oleh bapak Siahaan menunjukkan bahwa orang Batak Toba ketika berada di daerah luar kampungnya maka ia melenturkan adat dan istiadat selanjutnya membuka diri kepada orang lain hingga memeluk kenyakinan orang setempat. Kondisi pertemuan peneliti dengan bapak Siahaan yang memiliki istri boru Simatupang ketika itu rumah beliau dikunjungi oleh sejumlah keluarga istri bapak Siahaan dari kampung halaman. Salah satu keluarga istri bapak Siahaan seorang laki-laki yang sudah tua menanyakkan marga saya, lalu saya menjawab saya marga Manurung lalu dengan tiba-tiba ia memanggil saya dengan sebutan “ tulang”, dalam wawancara berikut ini: ” …Tulang kami di sini sedang melihat-melihat keluarga karena dongan tubuh kami di kampung mau mengadakan pesta perkawinan jadi kami di sini mengundang untuk datang ke kampung nanti, walaupun kami dengan bere ini berbeda agama tetapi kami tetap menganggap mereka ini masih keluarga kami. Tulang kalau bisapun datanglah ke acara kami nanti bulan depan!!!. …” Sebutan tulang untuk memanggil peneliti sebagai marga Manurung dan tetap mengunjungi keluarga Bapak Siahaan memberikan informasi bahwa setiap orang Batak Toba merupakan kelompok masyarakat yang masih memakai hubungan sosial antar marga dengan segala hak dan kewajibannya dalam berinteraksi. Selanjutnya kelompok masyarakat suku Batak mempunyai budaya yang selalu melekat pada dirinya sendiri dan merupakan ciri dari dirinya. Hasil wawancara dengan Bapak Hasrat Efendi Samosir menuturkan berikut ini: ” …Sebetulnya masyarakat Batak Toba ini merupakan masyarakat yang toleran, walaupun memiliki berbagai kenyakinan yang berbeda-beda, namun adat Batak Toba sangat berperan sekali dalam memfasilitasi benturan-benturan masalah kenyakinan. Selanjutnya keluarga Batak Toba lebih takut jika dikatakan dengan tidak beradat daripada tidak beragama…” Bukti yang dapat diambil dari peristiwa pertemuan peneliti dengan sejumlah keluarga dari istri bapak Siahaan yang kebetulan sebahagian mereka
40
beragama Kristen, tetapi mereka tetap menjaga dan memelihara kekerabatan tersebut sehingga memberikan kedudukan terhadap setiap individu dalam suku Batak dalam berinteraksi. Gambar 7 Peneliti dengan Seorang Pendeta
Peneliti dengan seorang Pendeta yang berasal dari Toba dan bertugas di kota Binjai Berdasarkan keterangan tersebut maka ada keseimbangan hubungan antara perorangan dengan kelompok yang menganut garis keturunan kebapakan. Misalnya seorang ayah yang bermarga Hutasoit menikah dengan ibu yang bermarga Silalahi, maka anak mereka akan memakai marga Hutasoit. Untuk seorang wanita yang menikah dengan yang bukan semarga dengannya akan menjadi bagian dari pihak laki-laki yang menjadi suaminya. Gambaran tersebut saya dapatkan pada hari sabtu tanggal 16 Maret 2013 di Tobasa yang ketika itu saya menanyakkan tentang status seorang istri di suku Batak Toba melalui Ibu Sirait yang memiliki suami bermarga Sitorus, kebetulan Ibu tersebut sedang
41
menghadiri atau mengikuti pengajian jumatan di Mesjid Huta Uruk di kampung Sigura-gura Porsea disela-sela itu saya melakukan wawancara : ”…saya merasa bangga mendapatkan suami bermarga Sitorus dan seluruh orang Batak yang bermarga Sitorus merupakan dongan tubuh suami saya. Walaupun kami dalam keluarga suami ada beragama Kristen, itu tidak menjadi masalah untuk kami saling mengunjungi, malah keluarga suami saya sangat mengormati saya terlebih kalau kami pergi mengunjungi saudara kami di amplas yang hampir semuanya beragama kristen…” Jawaban dari ibu tersebut menegaskan bahwa sesungguhnya seorang wanita yang telah menjadi istri dari salah satu marga akan kehilangan segala hak dan kewajibannya dari marga asalnya. Namun marga asal tetap mendapat kehormatan dalam keluarga pihak laki-laki tersebut walaupun ia beragama Islam, buktinya ia “bangga”. Kebiasaan masyarakat yang sering memperbaiki hubungan antara sesama dengan prilaku serta pemikiran positif akan menambah kehangatan hubungan tersebut walaupun perbedaan ras mapun kenyakinan kedua atau ketiganya terlihat jelas, begitulah kondisi yang melatar belakangi kebaikan hubungan. Keterangan tersebut sangat berkaitan erat dengan pengalaman saya menuju desa Nainggolan yang berada di Pulo Samosir, terdapat acara kematian di keramaian itu ada beberapa orang yang memakai tudungan seperti jilbab. Saya menghampiri mereka dan menanyakkan berikut ini hasil wawancara dengan Ibu Gultom: “…setiap ada kematian di kampung ini semua masyarakat kampung menghadiri acara kematian itu, walaupun kami berbeda agama dengan mereka tapi merekapun merasa senang karena kami masih tetap menjaga adat istiadat orang Batak Toba. Makanan yang disiapkan oleh keluarga kematian ini biasanya memotong kerbau…” Selanjutnya saya menanyakkan bagaimana kondisi orang lain yang juga ikut
menghadiri
wawancaranya:
sedangkan
mereka
bukan
muslim,
berikut
ini
hasil
42
” …pak,, merekapun tahu bahwa kami ini juga saudara mereka yang masih tetap menjaga adat, sebenarnya aku ini dengan amang kami ini yang sudah mati aku ini keluarga dari istrinya, walaupun kami Islam kami tetap menjaga persaudaraan ini. Kalaupun keluarga kami yang kristen memakan babi pada acara kematian ini mereka tetap menghormati kami yang Islam untuk memberikan makanan yang cocok untuk orang Islam seperti makanan dagin kerbau maupun kambing. Tetapi pak sebenarnya makanan yang menjadi sebuah kehormatan bagi orang Batak Toba pada setiap acara apapun namanya itu peliharaan kerbaunya lae bukan babi!!! …” Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa perbedaan agama di kalangan orang Batak Toba tidak menjadikan perpecahan jika ada hanya sebahagian kecil saja. Sebagai contoh dengan kegiatan acara kematian yang diselenggarakan oleh sebuah keluarga Batak Toba sebagaimana yang peneliti saksikan di lapangan menunjukkan bahwa secara budaya orang Batak Toba adalah orang-orang yang terikat dengan adat istiadat dan kebudayaan BatakToba, siapapun dan di manapun mereka berada serta apapun afiliasi agama dan politik mereka. Selanjutnya makanan hidangan yang di peruntukan bagi keluarga Batak Toba muslim, kalangan keluarga Batak Toba Kristen menyiapkan berupa makanan daging kerbau yang merupakan penyajian yang paling tinggi nilainya jika dibandingkan daging babi sebagaimana hasil wawancara dengan ibu Gultom. Jika demikian halnya maka pandangan seperti yang dikemukankan di atas meniscayakan bahwa meskipun orang Batak Toba berdiaspora hingga ke seluruh penjuru dunia, namun apabila masih terikat dengan adat istiadat dan kebudayaan Batak Toba seperti masih memakai marga atau hal lainnya maka kekeluargaan antara mereka masih tetap terjaga tau terpelihara kebersamaan tersebut. Salah satu warga Teratai 23 muslim Toba yakni bapak Somen Pasaribu meninggal dunia akibat sakit yang dideritanya. Hampir sebahagian besar keluarga dan kolega almarhum berdatangan yang muslim maupun yang tidak muslim. Seiring acara tersebut peneliti
menemui salah satu keluarga almarhum yang
kebetulan beragama Kristen menuturkan kepada peneliti yakni ibu Sianipar dalam hasil wawancara berikut ini:
43
”…pak kami ini walaupun berbeda agama tetapi jika acara kematian kami tetap jaga, ini saudara suamiku yang telah meninggal dan berduka saat ini di rumahnya, dulu ketika masih hidup almarhum ini baik sekali kepada kami sampai-sampai ia ikut kegiatan kegerejaan dan selalu memberikan dukungan material untuk kesuksesan acara di gereja. Jadi meninggalnya dia ini kami sangat sedih mendengarkannya serta menyaksikan…” Akibat adat di kalangan keluarga Batak Toba masih terjaga maka hal yang sangat dimungkinkan sekali di antara mereka terjadi perselisihan yang benarbenar mengkwatirkan tidak akan terjadi. Kunjungan ibu Sianipar ini membuktikan bahwa kalangan Batak Toba masih tetap memelihara kekerabatan antara mereka. Gambar 8 Kunjungan Keluarga Batak Toba Kristen Menghadiri Acara Takjiah di Rumah Keluarga Batak Toba Islam
Gambar menunjukkan bahwa salah satu anggota dari keluarga bapak almarhum Somen Pasaribu sedang mengungjungi dalam acara takjiah, beliau masih berkenyakinan yang berbeda dengan bapak almarhum Somen Pasaribu.
44
Pengalaman dari Diana Hutapea yang masih menjadi mahasiswi di perguruan tinggi agama Islam di kota Medan, beliau memberikan penjelasan tentang hal-hal yang harus di jaga ketika bergaul dengan keluarga Batak Toba yang beragama Kristen. ”…anak-anak dari bapak kami selalu mengajari kami untuk senantiasa menjaga hubungan dengan keluarga Batak Toba Kristen seperti yang masih tinggal di Tarutung.Contohnya prilaku yang patut dijaga ketika bersama mereka kita jangan merasa jijik ketika sedang melaksanakan adat. Walaupun kami bersaudara tidak begitu paham dengan adat Batak, tetapi akibat pergaulan dengan keluarga yang di Tarutung kami mendapatkan nilai budaya Batak Toba itu…” Mengenai perpindahan agama di kalangan keluarga Batak Toba bisa dikatakan sesuatu yang biasa, sebab antara mereka tidak terjadi tarik menarik. Gambaran ini peneliti temukan dari hasil wawancara keturunan Bapak Hutapea mengungkapkan: ”…alasan keluarga kami di Tarutung awal mulanya Islam lalu menjadi Kristen karena persoalan jodoh dan ini hampir sebahagian besar anak-anak perempuan Batak Toba Islam, karena budaya Batak Toba mengikuti suami maka merekapun peralih agama. Kami tidak merasa keberatan dengan kejadian seperti ini jika menimpa dengan keluarga sebab mereka sangat menjaga adat dari pada pelajaran agama Islam…” Analisa yang dapat ditangkap atas peristiwa di atas, dikarenakan anak perempuan Batak Toba tidak memiliki kemampuan untuk meninggalkan kampung halaman, sedikitnya pengetahuan agama Islam serta budaya paternalistik ini, maka hal yang sangat wajar jika banyaknya murtad bagi anak-anak perempuan Batak Toba. Gambaran ini sejauh pengamatan peneliti tidak terjadi benturan sebab adat sangat memberikan andil dalam kebersamaan di antara mereka. Berdasarkan uraian atau penjelasan di atas, maka sesungguhnya adat dan agama yang di miliki oleh setiap individu Batak Toba memiliki pengaruh yang begitu kuat dalam diri atau kepribadian mereka. bapak Sitorus :
Berikut wawancara dengan
45
“…keluarga kami sangat besar, anak oppung kami ada sepuluh semuanya hidup mereka hidup tidak semuanya tinggal di Samosir tetapi ada yang di Bandung dan Jakarta. Anak oppung kami ada yang beragama Islam seperti yang di Bandung dan Medan, kalau-kalau diperhatikan anak oppung kami yang beragama Islam mereka menjalankan upacara adat Batak Toba tidak begitu berminat mungkin karena mengenai makan bersama dengan kami pun merasa tidak nyaman. Sedangkan anak oppung yang bergama Kristen tetap mau menjalan adat upacara Batak Toba. Akibat perbedaan ini sebanarnya terganggu juganya hubungan kami. Tapi aku pak!!! selalu ku bilang dengan saudara-saudaraku bahwa kita harus bisa saling menghargai karena walaupun berbeda agama tetapi kita memiliki keturunan dan marga yang sama…” Berdasarkan keterangan di atas, maka perbedaan individu Batak Toba yang beragama Islam dan beragama Kristen terletak pada sikap dan prilaku mereka dalam menjalankan
upacara-upacara adat Batak Toba.
Walaupun demikian
perbedaan tetapi jika mereka kalangan individu Batak Toba berada di tengahtengah individu yang berbeda etnis atau etnis lain, maka perbedaan itu terasa kecil hanya kebersamaan yang lebih nampak di kalangan mereka. Pengalaman salah satu ibu guru yang baru saja pindah dari kabupaten Aceh Singkil menuju kabupaten Deli Serdang tepatnya di kecamatan Percut Sei Tuan. Beliau mempunyai suami yang bermarga Manurung, adapun latar belakang perpindahan tugas ibu tersebut karena ikut suami. Tempat bertugas ibu tersebut atas pengalaman beliau sejumlah guru hampir sebahagian besar berasal dari kalangan orang Batak Toba yang masih beragama Kristiani. Ketika perkenalan terjadi kondisi dengan memberitahukan suami beliau bermarga Manurung kepada kalangan guru-guru di sana, dengan tiba-tiba merekapun bukan memanggil ibu kepada Ibu yang baru pindah dari Aceh Singkil tetapi dengan panggilan nang tulang, namboru dan sebagainya. Berikut ini hasil wawancara dengan Ibu Dolok Saribu: ”…walaupun kami beragama Kristen adat ini sangat kami pegang kebetulan orang tua saya yang perempuan boru Manurung jadi saya harus setiap berjumpa dengan marga Manurung memanggil Tulang kalau ada istrinya kami panggil nan Tulang. Agama berbeda tidak ada persoalan agama Islam datang dari luar dan agama Kristen dari luar tetapi adat Batak Toba dari dalam jadi mengapa kita harus bertengkar karena itu…”
46
Akibat pengalaman yang pertama kali diterima oleh ibu tersebut sangat demikian menghargai hubungan kekeluargaan sesama orang Batak Toba, maka hubungan kekerabatan di kalangan orang Batak Toba tidak memandang perbedaan agama sebab kondisi seperti ini di dukung oleh adanya pelestarian nilai-nilai budaya pada kelompok etnik Batak Toba sebagai upaya untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai utama budayanya sebagai kearifan lokal. Seiring keterangan Ibu Dolok Seribu, di sini saya menemukan hasil wawancara dengan seorang anak muda berpenampilan seperti karakter berpendidikan
tinggi yang saat itu sedang menunggu kapal dengan aktivitas
makan siang di pinggir tepi Danau Toba, berikut ini hasil wawancaranya; ”…kami walaupun sudah memiliki pendidikan yang tinggi dan telah banyak merantau keberbagai daerah yang ada di Indoensia ini, saudara-saudara kami masih tetap menjaga hubungan keluarga dalam bermarga paling tidak dongan tubuh, sebab lae dahulu kata inang kita, dimanapun kita berada kau harus memilik prinsip setiap bertemu dengan orang Toba itu saudara dari kampungmu walaupun ia sudah berlainan agama dengan kau,, begitulah inang kita memberikan nasehat kepada kami yang muda-muda ini untuk merantau…” Pesan-pesan nilai budaya yang terdapat di kalangan keluarga Batak Toba memberikan dukungan mewarnai kehidupan mereka dalam memerankan arti kekeluargaan. Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara dengan bapak Fahmi Manurung berikut ini: ”…saya memiliki ipar lima orang dan istri saya ini anak yang pertama, kebetulan hanya istri saya saja yang muslim. Kalau ibu mertua sudah lama meninggal dalam beragama kristen saat ini hampir seluruh kebutuhan berobat dan makan mertua laki-laki kami penuhi karena kewajiban anak boru harus memmberikan makan kepada mertua setelah mertua perempuan meninggal. Jadi akupun sebagai menantu yaa harus patuhlah karena ipar-iparku ini kan hula-hula. Keadaaan seperti ini kami baik-baik saja tidak ada yang memecahkan terlebih berkaitan agama…” Selanjutnya hasil wawancara dari saudara kandung istri bapak Fahmi Manurung yang kebetulan beragama Kristen berikut ini: ” …lae aku inikan hanya supir angkot jadi tidak punya uang untuk membantu bapakku di rumah belum lagi biaya anak-anak sekolah di rumah. Memang selama ini yang membantu keperluan orang tua kami anak boru kami yang baik itu. Makanya kakak kami yang masuk Islam dengannya itu selalui mengatakan kepada kami untuk menjaga kekeluargaan dengan sebaik-baiknya. Anak-anak
47
kamipun walaupun berbeda agama kami tetap menjaga antara sesama mereka…” Pengalaman bapak Simatupang yang kebetulan berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah di Pematang Siantar dan memiliki adik ipar sebagai orang Melayu di kabupaten Serdang Bedagai tepatnya di desa Bamban, beliau sedang sibuk-sibuknya berpartisipasi membantu memasukkan kayu bakar ke tungku pemasakan nasi. Menurut informasi dari kalangan keluarga di tempat tersebut kepada peneliti bahwa Bapak Simatupang itu beragama Kristen tetapi dalam pengamatan peneliti beliau tetap berpartisipasi dengan kegiatan acara pernikahan keluarga dari adik iparnya, berikut ini hasil wawancara peneliti dengan bapak Simatupang: ” …adik ipar kami ini sangat baik bagi kami dan ini bagi kita orang Batak Toba harus membalasanya dengan kebaikan juga sebatas yang mereka tidak terganggu sebagai orang Islam, saya tegaskan ya lae sesungguhnya kita hidup tidak terlepas dari suku kita sebagai orang Batak Toba yang sangat terikat oleh adanya nilai dalam sebuah adat Batak Toba. Itupun bagi yang paham!!!!..Hubungan kekeluargaan ini khususnya dengan adik ipar kami Lae sangat bernilai dan ini bagi kami sudah menjadi prinsip, aturan, pedoman, kenyakinan. Sehingga tidak mungkin jika hanya hidup sendiri sebagai orang Batak Toba…” Perbedaan kenyakinan bagi etnis Batak Toba tidak begitu terlihat pergesekan antara sesama mereka, informasi ini peneliti temukan atas penjelasan bapak Dolok Seribu berikut hasil wawancaranya: ” …di kampung kita ini ada seorang Parmalim yang diketahui oleh masyarakat dapat mengobati penyakit-penyakit orang. Dia didatangi orang-orang yang berbeda-beda agama untuk disembuhkan dari penyakit. Akupun pernah juga ke sana untuk berobat, kalau aku tidak salah semua bacaan-bacaan yang diucapkan oleh bapak itu berasal dari bahasa-bahasa nenek moyang orang Batak Toba. Dia tinggal di pedalaman Samosir jadi aku bilang karena kemampuan bapak itu mengangkat roh-tondi atau sobaon yang merupakan isi dari religi nenek moyang Batak Toba orang yang datangpun dapat disehatkan beliau...” Berikut
wawancara dengan Bapak Ismail Manurung, di Huta Taratak
berikut ini: ”…kami harus selalu berdoa kepada oppung kami yang sudah meninggal, walaupun beragama Islam mengingat orang sudah meninggal itu wajib. Anak-
48
anakku kalau kena sakit, aku bawak saja kekuburan berdoa supaya cucunya ini tidak sakit. Dan Alhamdulillah sehat pula anakku itu.,, begitulah kita harus menghargai orang-orang telah mendahului kita. Dalam pesat adat kita pun harus begitu supaya tondi kita terjaga dengan baik…” Kenyakinan orang Batak Toba terhadap pengalaman-penglaman non rasional yang dijadikan solusi untuk mengatasi problematika sosial masyarakat dalam pengamatan peneliti masih berlangsung walaupun arus perkembangannya tidak seperti pengalaman orang terdahulu.Akan tetapi peristiwa ini menjadi pengikat di kalangan keluarga Batak Toba walaupun terkesan mereka memiliki perbedaan kenyakinan tersebut. Menurut peneliti secara tidak langsung akibat mereka masih tetap menjaga adat, maka kedamaian dan toleransi dalam perbedaan masih tetap terjaga dengan baik, sebagaimana yang dicontohnya melalui hasil wawancara dengan bapak Dolok mengenai kemampuan orang-orang pemangku adat Batak Toba mengatasi segala penyakit dengan mempercayai Mulajadi. Perjalanan saya menuju desa Nainggolan yang berada di Pulo Samosir terdapat sebuah acara pesta kematian, sebagaimana dalam penglihatan saya dikeramaian itu ada beberapa orang yang memakai tudungan seperti jilbab. Saya menghapiri mereka dan melakukan kegiatan wawancara secara sederhana adapun informan tersebut adalah Ibu Simamora: “…kami menghadiri acara kematian keluarga kami yang beragama Kristen, hadirnya kami di acara kematian keluarga kami ini sangat menghibur mereka dan mereka merasa senang sekali, sebab walaupun sudah berbeda agama kami masih tetap mengunjungi mereka sebab pak ini adalah acara adat bukan acara keagamaan, jadi kehadiran kita di sini untuk mempertahankan adat dalam suatu persaudaraan…” Kegiatan acara kematian yang diselenggarakan oleh sebuah keluarga dengan berbagai acara adat sesungguhnya menunjukkan bahwa secara budaya orang Batak Toba adalah orang-orang yang terikat dengan adat istiadat dan kebudayaan BatakToba, siapapun dan di manapun mereka berada serta apapun afiliasi agama dan politik mereka, gambaran ini menunjukkan bahwa hubungan kekeluargaan antara sesama orang Batak Toba masih terpelihara dengan baik
49
walaupun berbeda dalam kenyakinan sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibu Simamora. Informan kami bapak Simamora menuturkan kepada peneliti ketikan melakukan wawancara dengan beliau di Desa Nainggolan: …”selama ini yang aku tahu orang Batak Toba maupun Islam ataupun beragama Kristen mereka masih menghargai prinsip hidup orang Batak Toba”…., selanjutnya bapak Sitorus yang memiliki pendidikan sarjana menuturkan seiring penjelasan dengan bapak Simamora: ”…orang Batak Toba itu memiliki prinsip hidup, aku ada membaca buku dan orang-orang tua bahwa prinsip itu “habatahon” yakni memperhatikan dan melakukan Pesan (Tona), Kesepakatan (Padan), dan Hukum (Uhum), merindukan Tanah Leluhur, menghargai nenek moyang dan adat istiadat, menunjukkan identitas sebagai suku Batak dengan memakai marga, mengetahui silsilahnya, serta berkeinginan melakukan adat-istiadat yang telah diciptakan oleh nenekmoyangnya…” Berdasarkan keterangan di atas maka adat istiadat memang membuktikan efeknya secara positif memelihara hubungan positif di kalangan anggota keluarga Batak Tobayang memiliki perbedaan kenyakinan, sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan bapak Simamora dan bapak Simanjuntak yang kebetulan beliau sosok yang berpendidikan dan sangat berpartisipasi di kalangan masyarakat Batak Toba di Tomok, hasil wawancara berikut ini: ” …kampung kami ini penuh dengan peraturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat yang tinggal di kampung ini, kalau tidak mau patuh dapat menyebabkan beberapa jenis penderitaan terhadap manusia. Juga menimbulkan bala, penyakit, musim yang tidak menentu bilamana manusia tidak taat terhadap peraturan adat istiadat, kebiasaan yang “diciptakan”. Kita di sini mempercayai bahwa adat diciptakan oleh Mulajadi terbukti dari bunyi umpama Batak yang mengatakan: “Adat do ugari, sinihathon ni Mulajadi, Siradotan manipat ari, salaon disiulubalang ari”, artinya “adat ialah ugari, yang diberikan oleh Mulajadi, setiap hari harus dipelihara, setia terhadap alam semesta…” Sejumlah hasil wawancara dengan berbagai informan memberikan pesan bahwa perbedaan keyakinan antara keluarga Batak Toba khususnya yang beragama Islam dan kristen tidak menunjukkan potensi-potensi kerenggaan dalam hubungan kekerabatan antara mereka. Kesepakatan dalam kebersamaan di mata
50
adat menjadi dasar ikatan yang erat di kalangan orang Batak Toba dan kondisi ini di jadikan pada setiap diri individu Batak Toba berpengetahuan, bertindak dan hasil karyanya memahami antara sesama manusia menuju kehidupan keseharian mereka. Setiap orang Batak Toba apapun agamanya paling tidak adat berpengaruh sangat kuat, mengandung nilai positif dan hukuman serta merupakan sikap hidup orang Batak Toba untuk memandang dunianya maka adat bersifat mutlak, sebagai contoh walaupun dalam agama Islam kawin dengan semarga tidak dilarang tetapi tidak ditemukan di kalangan keluarga Batak Toba Islam untuk melakukan itu sehingga bisa dikatakan biarpun orang Batak Toba sudah menjadi kristen atau Islam atau terpelajar atau merantau, mereka tetap menghargai dan melaksanakan adatnya sebagai karakter orang Batak Toba. Mungkin pelaksanaannya tidak seperti dahulu lagi tetapi isinya tetap sama.
d.
Pengaruh Islam Sejarah orang Batak Toba tepatnya masyarakat suku Batak Toba banyak
yang turun dari pegunungan dan mencari tempat-tempat baru untuk dijadikan perkampungan baru. Kota Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai sebagai contoh tempat yang masyarakat Batak Toba kunjungi merupakan daerah yang menjadi tempat baru bagi mereka. Di tempat baru mereka berupaya untuk tetap mempertahankan adat budaya mereka seperti ditempat asal. Namun, pengaruh Islam yang terdapat di daerah tersebut membawa perubahan yang cukup signifikan pada adat budaya masyarakat Batak Toba khususnya keluarga Batak Toba Islam. Faktor-faktor perubahan budaya ini adalah situasi kultural dan agama saling berkaitan dalam perubahan budaya yang terjadi pada keluarga Batak Toba Islam sehingga mereka ketika tidak lagi melaksanakan ritual adat budaya yang bertentangan dengan agama Muslim. Tradisi merantau di kalangan anggota keluarga Batak Toba akan berdampak pada perubahan kehidupan yang ia alami sehingga akan ia bawa perubahan pada diri tersebut ke tempat kampung halaman, kondisi seperti ini
51
secara sosiologis akan memberikan pengaruh terhadap seseorang yang dikunjunginya. Selain itu juga kepentingan kalangan yang mengunjungi kampung halaman masyarakat Batak Toba secara tidak langsung juga memberikan pengaruhnya. Berdasarkan keterangan di atas sesuai wawancara peneliti dengan Bapak Hasibuan selaku staf dan berprofesi sebagai guru di Pulo Samosir menuturkan: ” …di kampung sebelah kami ada di situ keturunan orang Batak Toba yang sudah beragama Islam, menurut keterangan yang kami tahu bahwa nenek moyang mereka dahulunya itu pedagang dan suka berjumpa dengan pedagang-pedagang dari asal Melayu dan Aceh dan aku dapat informasi bahwa keluarga mereka di Barus banyak, di sini mereka hanya menjaga ladang-ladang peninggalan dari orang tua mereka walaupun saat ini dari mereka sudah ada yang menjadi murtad karena masalah perjodohan tetapi buktinya dapat dilihat dari kuburan-kuburan muslim yang berada di samping rumah mereka. … “ Hasil wawancara peneliti dengan bapak Hasibuan dapat dibuktikan melalui kondisi masyarakat Batak Toba yang suka merantau serta selalu memperlihatkan adanya interaksi dan akulturasi terhadap sejumlah etnis lainnya. Oleh karena itu pengaruh Islam di kalangan masyarakat Batak Toba cukup memberikan pengaruh walaupun sedikit. Penuturan bapak Hasibuan juga mengatakan: ” …Danau Toba ini lae merupakan bukti sejarah bahwa waktu dahulu orang Batak Toba sudah mengadakan kontak dagang dengan orang-orang di luar Batak Toba. Kata-katanya lae akupun tak begitu pernah membaca buku sejarah Toba ini dulu tempat keluar- masuk barang dagangan dari Barus. Itupun katanya ya lae karena aku pun hanya seorang guru…” Pengaruh Islam di kalangan masyarakat Batak Toba juga dapat dipengaruhi oleh adanya kemiripan ajaran agama Islam dengan ajaran agama parmalim yang merupakan kenyakinan bangsa Batak Toba. Sebagaimana hasil keterangan di atas dikuatkan oleh hasil wawancara dengan Hasrat Samosir, berikut ini:
52
” …sebenarnya masuknya pengaruh Islam di kalangan orang Batak Toba tidak terlepas dengan kemiripan yang dimiliki oleh agama parmalim. Gambaran ini membuktikan bahwa kemiripan ini menjadi sesuatu yang kuat memberikan pengaruh Islam di kalangan masyarakat Batak Toba, selanjutnya agama parmalimm ini men jaga komunitasnya di tengah-tengah misi agama Kristen.… ” Berdasarkan keterangan di atas memang dapat dilihat dari sudut kesamaan budaya yang dijadikan ajaran bagi kalangan orang Batak Toba. Gambaran seperti ini sesungguhnya tidak begitu berbeda peristiwa dengan daerah lain yang ada di Indonesia. Artinya terjadi usaha tarik menarik dalam kebaikan dan tidak menelurkan benturan-benturan sosial di kalangan orang Batak Toba. Hasil wawancara peneliti dengan pak Sibarani di Porsea menjelaskan sebagai berikut: ” …aku lae beragama Islam ini sudah pada keturunan yang ke lima karena sebelumnya oppung-oppung kami dahulu beragama parmalim, kalau tidak salah ceritanya kami beragama Islam ini karena dahulu ada keluarga dari Oppung yang merantau ke Padang di sana dia berjualan dan bekerja, mungkin karena pengetahuannya begitu kuat mengenai Islam makanya oppung kami bergama Islam karena sering bergaul dengan temannya tersebut…” Keterangan di atas diperkuat dengan keturunan Sibarani di jalan besar Porsea menuturkan kepada peneliti, berikut ini wawancara denganya: ” …Mesjid ini merupakan bukti sejarah bahwa Islam sudah ada di kalangan masyarakat Batak Toba khususnya di Porsea yang mana menurut informasi kalangan keluarga yang menjaga mesjid ini Islam sudah lama juga, akan tetapi mungkin perkembangan agama Islam tidak begitu bernasib baik sebab bentuk hubungannya bukan hanya untuk kebutuhan dakwah terhadap orang lain tetapi karena hubungan perdagangan yang mana bentuk dagangan yang dibawa oleh orang-orang Timur ketika itu adalah pedagang garam…” Selain itu juga pengaruh Islam di Tanah Batak menurut rentang waktu yang tak begitu jauh dalam kontek kekinian dapat juga ditemukan informasi dari masyarakat Islam kampung Tambun Sukkean, yakni berkisar pada waktu penjajahan Jepang di Tanah Batak. Menurut penuturan Bapak Poltak Hasibuhan:
53
” …di kampung kami Sukkean Samosir ini dulu banyak orang beragama Islam tetapi sekarang sudah tidak begitu banyak lagi di usiaku yang sudah berumur mencapai 80 tahun ini orang Islam di kampung ini berkisar 5 kk tetapi kalau lae mau tau ada di kampung sebelah itu bukti kuburan orang Islam yang mana keturunannya mendiami tanah itu telah beragama Kristiani….” Walaupun demikian perkembangan yang peneliti temukan tidak begitu menggembirakan akan tetapi bukti sejarah tetap memberikan informasi atas keberadaan pengaruh Islam di kalangan masyarakat Batak Toba. Perjalanan saya di Tanah Batak bersama dengan saudara Amru Hasibuan hampir beberapa bulan berkisar dari bulan februari hingga bulan juni 2013, di sana masyarakatnya
memberikan informasi yang sangat inspiratif ketika
menemukan fenomena Islam di kalangan orang Batak Toba di Tanah Batak ini, salah satunya di Kampung Tambun Sukkean. Masyarakat Islamnya senantiasa kehidupannya sangat menghargai prinsip-prinsip hidup. Bukti yang bisa kami saksikan tentang masyarakat Batak Toba mereka masih menghargai nenekmoyang dan adat istiadat, menunjukkan identitas sebagai suku batak dengan memakai marga yang tidak terkecuali suku Batak Toba yang beragama Islam. Kehadiran kalangan orang Batak Toba yang memakai jilbab atau sejenis tudungan memberikan pesan bahwa masyarakat Batak Toba sudah menerima budaya Islam yang hadir di tengah-tengah masyarakat Batak Toba Kristen, sebagaimana hasil wawancara dengan Ibu Samosir: ”…kami sudah biasa memakai tutup kepala di kampung ini, walaupun yang beragama Islam hanya sedikit jumlahnya tetapi kami hadir di tengah-tengah mereka tidak menjadi sesuatu yang membatasi hubungan tersebut. Kalau kami mengadakan acara-acara doa bergama Islam mereka juga tetap ada mengiktui undangan kami kondisi ini tetap terpelihara karenakan dalam Islam kita diajarkan untuk menyambung silaturrahmi dengan mereka…” Pernyataan di atas menjelaskan bahwa kalangan masyarakat Batak Toba yang beragama Islam atau anggota keluarga Batak Toba Islam sudah memasuki wilayah yang membudayakan ajaran agama Islam, artinya agama Islam sudah di jadikan sebagai suatu sistem nilai yang dianut oleh sejumlah anggota keluarga Batak Toba Islam dan membentuk sebuah kelompok masyarakat. Oleh karena itu diharapkan keluarga Batak Toba Islam tersebut dapat membentuk corak dan
54
dinamikan kehidupan bermasyarakat selanjutnya menjadi sumber inspirasi, penggerak dan juga berperan sebagai pengontrol bagi kelangsungan dan ketentraman hidup suatu keluarga atau kelompok masyarakat muslim di kalangan masyarakat Batak Toba. Gambar 9 Peneliti dengan Pejabat KUA Samosir
Gambar ini menunjukan peneliti dengan saudara Amru Hasibuan di depan Kantor Urusan Agama Kecamatan Onan Runggu yang bangunan kantortersebut berhadapan langsung ke Danau Toba Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa Islam sebagai agama yang universal yang melintasi batas ruang dan waktu serta bertemu dengan tradisi lokal yang berbeda-beda. Ketika Islam bertemu dengan tradisi lokal semisal etnis Batak Toba, maka wajah Islam tersebut akan berbeda dari tempat satu dengan lainnya. Pengaruh Islam di kalangan masyarakat Batak Toba bukan sesuatu yang asing sebagaimana menurut hasil wawancara peneliti dengan bapak Iwan
55
Situmorang yang saat ini sebagai ustad di wilayah daerah pemandian air panas Berastagi dan beliau masih memiliki keluarga di perbatasan Simalungun dan Porsea. ”…orang parmalim itu tidak mau memakan babi dan ini juga yang tidak diperbolehkan oleh ajaran Islam. Jadi sebenarnya kalau Islam mampu masuk ke tengah-tengah orang Batak Toba sebenarnya sudah saling mendukung itupun menurut ku. Lae….kalauku perhatikan orang parmalim ada mirip-miripnya dengan ajaran Islam…” Seiring keterangan di atas, maka sejumlah kalangan ahli antropologi memandang agama Islam di kalangan keluarga Batak Toba Islam sebagai sistem kenyakinan yang dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi penggerak serta pengontrol bagi anggota masyarakat untuk tetap berjalan sesuai dengan nilainilai kebudayaan dan ajaran agamanya. Sebagaimana hasil wawancara dengan Ustad Aspan Sianipar yang merupakan salah satu tokoh masyarakat di kecamatan Medan Timur menjelaskan: ” …Kalau kita boleh tegaskan bahwa hampir seluruh suku yang ada di Indonesia ini dalam di masuki oleh unsur-unsur budaya Islam dan gambaran ini menunjukkan Islam mampu bertoleransi dengan budaya setempat. Kalau bapak siamu paham kita punya adat istiadat acara upah-upah yang mana di dalamnya keluarga Batak Toba yang muslim akan mengisinya dengan bacaan-bacaan yang terdapat dalam ajaran Islam, inilah bukti bahwa Islam tidak menyulitkan jika dimiliki oleh berbagai ummat manusia yang berbeda…” Sesuai keterangan di atas, di sini dapat dibuktikan beberapa hal kaitannya budaya Batak Toba yang dalam pelaksanaan terjadi adaptasi Islam kepada budaya tersebut. Seiring keterangan ustad Sianipar dan selanjutnya hasil wawancara peneliti dengan informan bapak Sitomorang, bahwa beliau pernah melakukan kegiatan upah-upah yang dalam tradisi Batak Toba untuk terjauh lagi sejumlah malapetaka dan mendapatkan kekuatan motivasi untuk menjadi yang lebih baik lagi.
56
Peneliti menanyakkan kepada beliau yang kebetulan baru pulang dari masjid Suhada, berikut hasil wawancara: Tanya peneliti; …“pak!!,.bagaimana bentuk acara upah-upah yang bapak laksanakan kaitannya dengan bapak adalah seorang muslim?”, lalu bapak tadi menjawab: “…begini di sini kami tetap mengundang sejumlah keluarga-keluarga kami untuk acara ini, baik yang beragama Islam maupun tidak beragama Islam, dan ketika acara berlangsung kami mengganti sajian makanannya dengan gulai arsik ikan mas yang merupakan makanan tradisi orang Batak Toba dalam adat lalu ketika membaca doanya kadang kami menggunakan bahasa Batak Toba. …” Berdasarkan informasi pengalaman bapak ustad Sianipar dan bapak Situmorang memberikan pesan bahwa pengaruh Islam di kalangan masyarakat Batak Toba yang beragama Islam cukup memberikan inspirasi yang paling membanggakan bagi setiap individu Batak Toba Islam. Artinya walaupun secara bungkusan adat tersebut mengalami pergeseran pelaksanaan tetapi secara subtansial acara upah-upah tersebut tetap bagian untuk mengantispasi terjauh dari sejumlah bala dan malapetaka. Uraian di atas menjelaskan bahwa pengalaman keagamaan dan pengalaman budaya dalam keluarga Batak Toba Islam mempunyai hubungan yang sangat erat terhadap penguatan perasaan setiap anggota keluarga Batak Toba Islam dalam memberikan rasa control, penghibur dan arti hidup mereka seharai-hari terlebih dalam keberlangsungan pendidikan ahklak dalam kediaman mereka. Pengamatan peneliti di kampung Nainggolan yang berada di pulo Samosir terlihat beberapa kuburan muslim berada di samping keluarga Batak Toba Kristen. Bukti sejarah di atas menunjukkan bahwa Islam telah ada kehadirannya dengan masyarakat Batak Toba. Hasil wawancara peneliti dengan bapak Nainggolan menuturkan: ”…kuburan ini adalah kuburan oppung kami yang dulu oppung kami itu meninggal sudah lama kira-kira tahun 1900 anlah mereka ini dulu Islam karena selalu berjualan dengan orang-orang Islam dari Barus katanya orang-orang begitu. Aku lae di sini memang keturunan oppung ini tapi aku keturunan yang
57
keempat dan sudah beragama kristen. Walaupun kami beragama kristen dan oppung kami beragama Islam kami harus menghormati mereka dengan tetap berada di lingkungan rumah kami. Dan kalaupun binatang ternak kami jalan dari kuburan itu kadang-kadang kami larang lewat dari kuburan itu…” Inisiatif dari keluarga bapak Nainggolan menunjukkan kepada kita bahwa beliau harus tetap menghargai orang-orang yang telah mendahului beliau, dan dalam adat Batak Toba cukup memberikan perhatian ke sana. Budaya seperti ini memberikan ruang kebersamaan untuk saling menghargai. Pengaruh Islam di kalangan masyarakat Batak Toba khususnya keluarga Batak Toba Islam memiliki corak yang berbeda jika di hubungkan pada pengalaman budaya lainnya. Gambaran ini karena Islam dengan sejumlah ajaranajaran konsep yang dimiliki tetap mengakomodir kebudayan lokal. Maksudnya Islam pada tahap ini lebih sebagai pihak yang menampung dan mengakomodasi budaya lain, bukan pihak yang mengubah atau mengonversikan budaya itu. Berdasarkan keterangan tersebut terdapat beberapa pengalaman khusus mengenai pengaruh Islam di kalangan masyarakat Batak Toba yakni peneliti menemukan sebuah kuburan yang berbentuk mesjid terdapat di perkampungan Porsea menunjukkan simbol Islam yang mampu berelaborasi dengan kebudayaan setempat, artinya walaupun Islam sudah merupakan wahyu Tuhan yang universal, yang gaib, namun akhirnya ia dipersepsi oleh sipemeluk sesuai dengan pengalaman, problem, kapasitas, intelektual, sistem budaya, dan segala keragaman masing-masing pemeluk di dalam komunitasnya.
Gambar 10 Kuburan Anggota Keluarga Batak Toba Islam
58
Foto kuburan orang Batak Toba Islam di Porsea yang tidak begitu beda besar bangunannya dengan kuburan orang Batak Toba yang beragama Kristen Berdasarkan keterangan di atas, saya dengan teman saudara Amru Hasibuan melakukan wawancara dengan pemilik kuburan tersebut menuturkan: …..“Pak.,,,! Kami membuat kuburan seperti ini karena di kampung ini tidak ada kuburan massal muslim. Lalu kuburan seperti ini besarnya di dalamnya ada beberapa almarhum., tapi sebenarnya kami buat seperti ini agar kelihatan indah dan dipandang oleh keluarga kami pak..!!”… lagi pulak pak .. yang beginibeginikan tidak dilarang dalam agama Islam kan pak??!!!”… Menelusuri sejumlah wilayah di pulo Samosir saya menjumpai beberapa tempat ibadah bagi masyarakat Parmalim atau yang dikenal dengan keterangan “agama nenek moyang orang Batak Toba” yakni tepatnya di desa Tambun
59
Sukkean. Hasil dialog saya dengankepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Onan Runggu: “…pak…, di sini masih ada keberlangsungan agama parmalim?., lalu pak., bagaimana cara mereka berpenampilan ketika beribadah?”., lalu bapak itu menjawab, “agama parmalim di sini masih berkembang dengan komunitas tertentu saja, mereka beribadah di hari sabtu dengan memakai pakaian yang berwarna putih hampir mirip dengan pakaian kalangan pembawa pesan agama Islam…” Demikianlah
ungkapan
kepala
Kantor
Urusan
Agama
tersebut.
Berdasarkan keterangan di atas yang pada gilirannya, kemampuan Islam untuk menyerap segala bentuk tradisi tidak terkecuali tradisi Batak Toba, telah menjadikan kebudayaannya semakin kaya dan beragam. Selain itu juga dalam kadar tertentu, pengaruh Islam terhadap kehidupan masyarakat di tanah Batak Toba tiada lain meneguhkan Islam sebagai agama yang universal, kontekstual dan sesuai dengan kondisi zaman dan tempat, walupun di sisi lain terdapatnya informasi mengenai keterpaksaan komonitas Batak Toba untuk beragama Islam dikerenakan upaya menghindari konflik sosial terbuka, khususnya di luar wilayah Tanah Toba. B. Gambaran Keluarga Batak Toba Islam dan Keberlangsungan Pendidikan Akhlak a. Gambaran Umum Keluarga Batak Toba Islam
Kalangan masyarakat Sumatera Utara yang sudah banyak berakulturasi dengan berbagai budaya terlebih berkaitan perbedaan etnik mereka sudah menjadi kebiasaan hidup yang dihadapi setiap harinya, sehingga wajar saja jika dalam suatu keluarga memiliki anggota keluarga yang beragam etnik. Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa etnik yang terbilang signifikan jumlahnya di lapangan dan dapat dibuktikan dengan tumbuhnya berbagai asosiasi dari komunitaskomunitas etnis di Sumatera Utara antara lain etnik Batak, etnik Jawa, etnik Melayu, etnik Nias, etnik Tionghoa, etnik Minang dan etnik Aceh.
60
Tradisi meninggalkan kampung halaman bagi orang Batak Toba baik itu yang beragama Islam maupun Kristen menyatakan bahwa kondisi yang tidak berkecukupan dalam kehidupannya di tanah Batak memotivasinya untuk merantau dalam upaya meraih keberhasilan atau mengubah kehidupan untuk masa depan. Gambar 11 Perkampungan Batak Toba
Salah satu perkampungan etnik Batak Toba yang terdapat di Porsea. Hampir sebahagian anak-anak muda di perkampungan tersebut memiliki tradisi merantau baik itu untuk kebutuhan melanjutkan pendidikan maupun untuk mencari pekerjaaan. Semua itu hanya mencapai cita-cita. Gambaran tersebut berdampak bagi etnik Batak khususnya Batak Toba di Sumatera Utara memberikan pengaruh terhadap jumlah keberadaan mereka yang paling banyak saat ini. Etnis
Batak Toba dengan budaya merantau sangat
berpeluang bagi mereka untuk merubah identitas menjadi muslim. Sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Amir Siahaan berikut ini:
61
”….orang tuaku dulu itu pak berasal dari tanah Batak, dia merantau waktu zaman Belanda bekerja di ladang tembakau punya penjajah. Kehidupan mereka sehari-hari selalu bersama dengan orang-orang etnik Melayu. Karena pergaulan itu pak!!! Yang awalnya membawa agama nenek moyang Batak Toba lalu menjadi muslim. Orang tuaku pak!!! Awal mulanya tak berani pulang kampung karena ia muslim tetapi sudah beberapa tahun di daerah Melayu menjadi orang sukses dengan memiliki banyak tanah di Pakam ini Pak!!!., dan iapun berani mengajak keluarga yang lain datang dengan tidak langsung ia memberitahukan melalui saudara yang datang bahwa ia muslim dan sampailah kabar ini kepada mereka di kampung, begitulahlah pak cerita dari orang tua saya dulu….” Berdasarkan penjelasan bapak Siahaan yang memiliki usia 74 tahun berdomisili di Kota Pakam dan para informan lainnya bahwa etnik Batak Toba yang menjadi muslim jumlahnya hampir seimbang dengan Batak Toba yang beragama Kristen di Sumatera Utara ini. Menurut informasi lainnya juga bahwa terdahulu orang Batak Toba di daerah pesisir Sumatera Utara mereka menjadi Melayu dalam arti meninggalkan marga (klen) mereka, belajar bahasa Melayu, memeluk religi Islam, bersikap sebagai orang Melayu dan mengidentifikasikan diri mereka sebagai Melayu. Walaupun demikian, persamaan serta kedamaian tetap terjaga dan terpelihara dengan baik antara mereka. Bukti yang dapat peneliti temukan dari komunitas etnis Batak Toba semisal Ikatan Keluarga Muslim Limbong sebagaimana penuturan Bapak Dahrin Limbong berikut ini: ”….kami ikatan keluarga muslim Limbong masih menjalin hubungan terhadap saudara-saudara kami yang berbeda kenyakinan. Kami kemarin itu dalam waktu yang belum lama ikatan keluarga ini mengunjungi pusuk buhit yang ada di tanah Batak, kehadiran kami di sana di terima dengan sangat baik walaupun sebahagian besar dari anggota banyak yang tidak bisa berbahasa Batak….” Penjelasan yang dipaparkan oleh bapak Dahrin Limbong di atas berkaitan erat dengan perkembangan keluarga Batak Toba Islam khususnya komunitas Ikatan Keluarga Muslim Limbong. Terpeliharanya keharmonisan di antara keluarga Batak Toba baik itu berkenyakinan Islam mapun Kristen tidak menjadi halangan, mereka sangat mendambakan muasal marga dan kampung halaman para leluhur mereka sehingga berdampak pada usaha menyatu. Demikian halnya juga dari beberapa pihak boru yang berlatar belakang etnik lain tetap berasimilasi
62
sehingga memberikan pengaruh yang begitu kuat di kalangan anak-anak untuk berinterkasi dan merupakan pendidikan akhlak di tengah-tengah keluarga Batak Toba Islam. Gambaran keluarga Batak Toba Islam sebagaimana yang diuraikan di atas sesungguhnya memiliki dukungan asimilasi nilai-nilai yang didasari oleh budaya Batak Toba berkaitan kekerabatan dan budaya Melayu. Keluarga Batak Toba Islam seperti yang diuraikan dapat disebut dengan komunitas yang mengalami sebuah perubahan tetapi tetap mempertahankan nilainilai budaya Batak Toba sebagai motivasi membangun pendidikan khususnya pendidikan akhlak dalam keluarga. Artinya kultur dominan lokal baik agama dan suku tidak mengakibatkan perubahan pada kultur keluarga Batak Toba Islam. Mereka menjadi orang Batak Toba yang selain mempertahankan kesukuan budaya Batak Toba mereka juga tetap sebagai muslim. Gambaran tersebut juga menjadikan keluarga Batak Toba Islam membentuk sebuah perkumpulan mereka juga berdomisili di daerah tertentu sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Irwan Matondang sebagai pengurus Jami’ah Batak Islam Sumatera Utara berikut ini: ”….bahwa hampir sebahagian besar orang Batak Toba yang beragama Islam mereka berdomisili di pinggiran Sumatera Utara, atau disebut dengan pinggiran pantai di Sumatera Utara yang meliputi pantai Bedagai, Batu Bara, Tanjung Balai, Sibolga, dan lain-lainya. berdomisili di pinggiran pantai Sumatera Utara di istilahkan dengan Batak Pardembanan. Batak Perdembanan adalah kelompok masyarakat yang berasal dari Batak Toba, yang hidup di perbatasan antara Batak dengan Melayu.Sesudah pindah daerah Melayu maka mereka menjadi Melayu dan Muslim.Mereka menyebut diri sebagai Melayu Pantai…”. Pesan yang bisa dianalisis dari keterangan sebelumnya serta pemaparan bapak Irwan Matondang, bahwa istilah yang melekat bagi kelompok Batak Toba dan telah menjadi Melayu dengan istilah Batak Pardemban ini menunjukkan letak geografis berdomisili keluarga Batak Toba Islam. Istilah Demban tersebut sebagaimana wawancara dengan bapak Sitorus yang tinggal di Marihat berbatasan Simalungun dengan Asahan mengungkapkan: ”…begini pak!!, kalau kita piker-pikir memang manusia ini tidak bisa dibatasi bergaulnya, terlebih kita sebagai orang Batak Toba. Batak Toba ini punya tradisi
63
merantau jadi wajar saja tradisi masyarakat yang dirantauinya diikuti olehnya salah satunya ada istilah demban artinya sirih jadi kalau digabungkan dengan pardemban maka itu istilah Batak yang digabungkan dengan istilah budaya Melayu yang sering melakukan adat dengan menggunakan sirih, makanya Batak Toba Islam itu mirip dengan orang-orang Melayu dalam berpenampilan keseharian….” Gambar 12 Sekretariat Perkumpulan Batak Muslim Indonesia
Salah satu kantor organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang dakwah dan lebih fokus pada kelompok masyarakat Batak Muslim yang ada di wilayah Sumatera Utara. Selain dari perubahan identitas menjadi muslim dikarenakan kelompok etnik Melayu sebagai tujuan merantau etnis Batak Toba, perkembangannya juga dapat di baca dari keterangan sejarah yang terjadi sekitar pada abad ke 13 dan 14 mengenai kadatangan etnis Minangkabau dan Jawa ke tanah Batak Toba. Keluarga Batak Toba Islam yang berdomisili di luar tanah Batak tetap hidup secara damai dan berdampingan dengan keluarga Batak Toba Kristen. Terlebih lagi perkembangan mereka di daerah mayoritas Kristen khususnya di
64
kota Tarutung yang berdirinya pusat gereja HKBP di Asia Tenggara. Kalangan keluarga Batak Toba Islam dapat berkembang secara berdampingan dengan agama Kristen di kota tersebut dan demikian juga hal dengan kota lainnya yang ada di Sumatera Utara. Suatu hal yang menarik, sebuah kerukunan umat beragama yang berbeda yaitu Kristen dan Islam fakta tersebut dikuatkan dengan adanya Orang Batak Toba baik beragama Islam maupun Kristen tetap menjunjung tinggi nilai religi suku Batak Toba yang ia nyatakan sebagai menghargai nenek moyang. Gambar 13 Masjid dan Gereja
Salah satu bangunan ibadah ummat Islam dan ummat Kristen saling berdekatan.Walaupun demikian gambarannya masyarkat di sekitar rumah ibadah itu tidak pernah menimbulkan gejala pertikaian berkiatan dengan rumah ibadah atau kegiatan di dalamnya. Anggota keluarga Batak Toba Islam yang peneliti temukan di kabupaten di luar Samosir maupun Toba Samosir mereka hampir sebahagian besar tidak begitu menguasai secara baik bahasa Batak Toba, sebagaimana pengalaman
65
peneliti ketika melakukan wawancara dengan beberapa informan yang berada di kabupaten Deli Serdang tepatnya di kecamatan Labuhan Deli, selanjutnya kabupaten Serdang Bedagai tepatnya di kecamatan Sei Rampah dan Sei Bamban terakhir di kota Medan tepatnya di kota Maksum, mereka semuanya ketika hendak mengadakan wawancara dan berkenalan serta memulai wawancara dengan menggunakan bahasa Batak Toba, mereka langsung menjawabnya dengan: “….maaf..ya..pak kami orang Batak yang berasal dari Asahan, kami tidak mengetahui bahasa Batak Toba….”, ujar Ismail Sirait. Respon
yang
langsung
disampaikan
oleh
informan
berdasarkan
pengamatan pribadi penulis membuktikan bahwa keluarga Batak Toba Islam yang berada di pinggiran Sumatera Utara dengan istilah batak pardembanan hampir sebahagian besar mereka tidak mengetahui secara baik bahasa Batak Toba. Gambaran tersebut seiring hasil wawancara dengan bapak Amir Siahaan yang berdomisili di Lubuk Pakam berikut ini: “….Batak yang dimaksud dengan pardemban ini kan, orang yang mampu menggunakan bahasa Batak Toba dan Melayu atau Melayu saja….” Keterangan bapak Amir Siahaan tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya kalangan Dosen-dosen Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Sumatera Utara, mereka memiliki marga layaknya orang Batak Toba semisal Marpaung, Manurung, Tampubolon, Siahaan yang berasal dari pinggiran Pantai Sumatera Utara mereka tidak begitu mapan memiliki kemampuan dalam menggunakan bahasa Batak Toba. Selain tidak berkemampuan menggunakan bahasa Batak Toba, bahwa kalangan keluarga Batak Toba Islam yang terdapat di luar kabupaten Toba Samosir maupun Samosir tersebut, mereka tidak mengetahui asal-usul marga yang mereka miliki serta uraian-uraian ikatan marga dengan marga lainnya. Berikut ini wawancara dengan bapak Sirait yang berasal dari Tanjung Balai dan berdomisili di jalan Tuasan kecamatan Medan Timur:
66
“….begini pak manurung, istilah pardemban ini tidak begitu melekat atau tidak begitu banyak yang tahu. Tetapi istilah ini mengambarkan orang-orang Batak Toba yang berubah identitas menjadi Melayu. Adapun karakter-karakter Batak Toba Pardemban ini diantaranya. Mereka tidak paham kaitannya dengan asalmuasal marga mereka, lalu berbahasa Batak Tobapun bisa dikatkan tak begitu mampu, lalu mereka beragama Islam, pengetahuan mereka kaitannya dengan hubungan-hubugan antara margapun tidak mereka pahami sehingga kalau-kalau bahasa pasarnya pak Batak Pardemban ini seperti sama dengan Batak pasirpasir….” Berdasarkan
keterangan di atas secara umum dapat dikatakan bahwa
budaya Pardembanan dalam keluarga Batak Toba Islam merupakan sebuah bentuk budaya pada posisi transisi. Gambaran ini
dapat buktikan ketika
melakukan wawancara terhadap informan di daerah Medan Amplas yakni bapak Simanjuntak yang beragama Kristen dan memiliki salah satu keluarga beragama Islam, dicela-cela kesibukan beliau menyetir angkot menuju Pinang Baris. Hasil wawancara berikut ini: ” ….aku lae punya keluarga dari istriku yang muslim, mereka dan seluruh anakanaknya ku tengok masih menggunakan marga Toba, hanya saja mereka sudah tidak lagi menggunakan adat Batak Toba, dan mungkin pun mereka juga tidak paham apa itu martarombu atau marsilsilah dalam keluarga kami. Ipar itu punya istri boru butar-butar tetapi muslim dari Tanjung Balai, tahu lah Lae!!! bagaimana pengetahuan Batak Toba yang sudah berketurunan dari Tanjung Balai?, ada istilah untuk orang itu dengan panggilan Pardemban tapi tidak begitu tahu orang-orang Batak lain dengan istilah itu lae….” Ada yang menarik mengenai perkembangan keluarga Batak Toba Islam tersebut, jika mereka berada di tengah-tengah kalangan orang Batak Toba yang beragama Kristen maka istilah Batak Pardembanan sudah pasti julukan bagi keluarga Batak Toba Islam. Gambaran ini sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan bapak Simanjuntak mengenai istri iparnya yang berasal dari Tanjung Balai, bahwa saudara iparnya tersebut terlalu banyak dipengaruhi Melayu-Islam, meskipun mereka menyebut diri Halak Pardembanan, Batak Pardembanan. Sisi lain juga keluarga Batak Toba Islam yang berada di tengah-tengah masyarakat non muslim atau etnis lain, seperti orang Melayu tetap menyebut
67
mereka anggota keluarga Batak Toba Islam sebagai orang Batak karena nenek moyang mereka berasal dari daerah Batak Toba. Bagan 8 Istilah bagi Anggota Keluarga Batak Toba Islam
Bagan tersebut bersumber dari hasil wawancara dengan bapak Simanjuntak, bapak Sofian Sirait, bapak Amir Siahaan. Bagan di atas menunjukkan istilah yang akan melekat bagi anggota keluarga Batak Toba Islam. Sesuai pengalaman peneliti mengidentifikasi perkembangan Batak Toba Islam di Sumatera Utara, sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Situmorang yang berdomisili di Kecamatan Percut Sei Tua menuturkan berikut ini: ” ….kami pak!!!, biasanya dalam pesta selalu membuat gaya seperti pesta orang Batak Toba tetapi kami campurkan dengan adat- Melayu, contohnya pak!!! Kalau mengulosi kami ganti dengan menyarungi lalu kalau memberikan tepung tawar kami masukkan kata horas-horas himma tutu., begitlahpak, lalu ada yang ketiggalan lagi ini pak!!!, ketika kegiatan acara pesta peranan dalihan natolu masih tetap berlangsung….”. Hasil wawancara dengan bapak Situmorang tersebut serta hasil pengamatan peneliti di lapangan sesungguhnya keluarga Batak Toba Islam ketika dalam Pelaksanaan adat bagi mereka yakni keluarga Batak Toba Islam masih ada yang melakukan walaupun dicampur dengan adat-adat dimana mereka berdomisili, atau dengan kata lain mereka tetap melaksanakan adat tetapi hal-hal yang tidak dibolehkan oleh ajaran Islam mereka tinggalkan atau tidak dilaksanakan. Selanjutnya dalam acara pesta keluarga pun peneliti memperhatikan bahwa keluarga
Batak Toba Islam masih melaksanakan prinsip sistem
68
kekerabatan dalihan na tolu dan berperan sebagaimana seharusnya seorang hulahula, boru, dan dongan tubu. Keluarga
Batak Toba Islam berkeinginan untuk meraih hamoraon,
hagabeon, dan hasangapon, dan sebagai cita-cita dan tujuan hidup yang akan membuat dirinya dihormati, dihargai, dan punya pengaruh, selanjutnya keluarga Batak Toba Islam harus berhasil dalam pendidikan dan hal ini sangat ditanamkan oleh orang tua agar tercapai hasangapon. Uraian di atas memberikan pesan kepada para pembaca bahwa budaya yang terbangun dalam keluarga Batak Toba Islam masih tidak begitu jauh berbeda dengan budaya keluarga Batak Toba Kristen dalam mengisi kehidupan ini menju masa depan.
b.
Gambaran Umum Pendidikan Akhlak dalam Keluarga Batak Toba Islam Orang tua yang disebut dengan ayah serta ibu dalam sebuah keluarga
memiliki peranan yang secara alami terbentuk dengan sendiri berfungsi mengiringi perjalanan hidup anak-anak mereka. Tujuan keluarga menjadikan anak memiliki kepribadian muslim merupakan dambaan setiap orang tua, tidak terlebih bagi orang tua-orang tua dalam keluarga Batak Toba Islam yang ada di sejumlah daerah Sumatera Utara. Selama perjalanan peneliti disejumlah daerah Sumatera Utara untuk menemui anggota keluarga Batak Toba Islam yang menunjukkan kepribadian muslim dalam diri, sungguh merupakan pekerjaan yang sangat begitu sulit untuk mendapatkan gambaran bukti sempurna sebagaimana sifat dan sikap kepribadian muslim tercermin dalam akhlak mulia dan termaktub dalam Alquran, atau yang tergambar dalam kepribadian Nabi dan Rasul terakhir, yakni Muhammad saw sebagai uswah al-hasanah. Sebagaimana hasil wawancara dengan beberapa informan salah satunya bapak Sirait menuturkan berikut ini: ” …saya ustad berharap kiranya anak-anak kami ini bisalah paling tidak punya mendoakan aku kelak kalau aku tidak ado lagi. Tapi gimanalah hampir
69
lingkungan saat ini tak begitu memberikan dukungan yang baik, apalagi kita berharap anak-anak itu sesuai pesan alqur’an atau pesan nabi Muhammad berkepribadian mungkin menurut aku ustad bisa saja memilih teman yang baik sajopun udah Alhamdulillah…” Atas keterangan bapak Sirait yang berasal dari Tanjung Balai dan telah menjadi warga Medan ini, nampaknya beliau tidak begitu berharapkan anakanaknya harus mutlak seperti ustad, paling tidak pintar memilih teman sudah merupakan kebahagian beliau sendiri dan paling rendahnya bisa membaca doa ketika beliau meninggal dunia. Gambar 14 Peneliti dengan bapak Sirait
Gambar peneliti dengan bapak Sirait setelah melakukan wawancara dengan beliau mengenai proses keberlangsungan pendidikan akhlak. beliau merupakan salah satu calon Anggota Dewan untuk DPRD Kota Medan. Informasinya beliau tidak mendapat suara terbanyak saat itu. Keterangan di atas menunjukkan informasi besar walaupun akhlak mulia pada anak tidak mungkin didapatkan secara sempurna bukan berarti mewujudkan
70
kepribadian muslim dalam diri individu anak harus berhenti. Oleh karena itu peranan orang tua sebagai “makhluk utama keteladanan anak” menjadi lebih penting dalam proses keberlangsungan pendidikan akhlak di lingkungan keluarga Batak Toba Islam. Hasil wawancara dengan bapak Pasaribu yang saat ini telah pensiun dari kepala sekolah SMAN 1 Percut Sei Tuan dan berdomisili di komplek al-Baroqah menuturkan: ” ….saya kalau melihat-lihat memang sangat berat tanggung jawab orang tua saat ini, makanya di sekolah ini harus dilakukan ektra ketat bimbingan kepada anak-anak. Mau nak Batak Tobalah yang Islam atau tidak yang penting mereka jngan sampai kepada keburukan. Masjid yang kami bangun di lingkungan sekolah ini pak kebutuhan untuk kegiatan keagamaan anak-anak kita di sini….”. Keterangan bapak Pasaribu serta bapak Sirait, memberikan pesan bahwa proses keberlangsungan pendidikan akhlak untuk saat ini sangat cukup melelahkan. Penjelasan tersebut menguatkan analisa peneliti bahwa lingkungan bergaul seorang anak dalam kondisi berteman sangat lebih banyak memberikan pengaruh kepada anak tersebut jika dibandingkan dengan lingkungan keluarga sebagaimana orang tua memberikan pengaruh terhadap anak-anaknya. Gambar 15 Seorang Ayah Memakaikan Sarung
71
Seorang ayah memakaikan sarung kepada anaknya ketika hendak sholat di Mesjid yang dilakukan oleh bapak K.Simanjuntak, gambaran ini menunjukkan bahwa seorang ayah harus selalu membawa anaknya sholat berjamaah di masjid sebagai bagian dari wujud Silaturrahim dan media berdiskusiantara sesama jamaah setelah sholat magrib menuju sholat isya. Di sisi lain anak-anak melakukan kegiatan mengaji bersama. Peranan orang tua meliputi ayah dan ibu dalam keluarga Batak Toba Islam di Sumatera Utara mengenaiproses keberlangsungan pendidikan akhlak menurut identifikasi serta hasil wawancara hampir sebahagian besar tindakan tegas serta keputusan itu diambil alih oleh sang ayah sedangkan ibu hanya pada posisi teknis pelaksanaan pendidikan akhlak di dalam lingkungan rumah.
Berdasarkan
keterangan tersebut yang paling utama adalah fungsi ayah sebagai pengadilan tertinggi dalam mendisiplinkan anak-anak dalam berakhlak. Sedangkan gambaran kondisi dalam rumah khususnya pendidikan akhlak bagi anak-anak peranan sang istri lebih lunak dan lebih lembut. Sisi lainnya juga di temukan adanya kalangan orang tua baik ayah maun ibu berkerja sama dalam melaksanakan proses keberlangsungan pendidikan
72
akhlak di lingkungan keluarga, akan tetapi biasanya usia antara suami dan istri tersebut seimbang atau lebih tua istri. Keterangan bagan di atas seiring dan sejalan dengan hasil wawancara berikut ini dari Ibu Sianturi: ” …aku pak kalau di rumah selalu aja cerewet dengan prilaku anak-anak dan bapaknya diam-diam saja, tapi kalau udah melewati batas contohnya pergi dari rumah lalu pulangnya sampai waktu pagi maka bapaknyalah yang turun tangan. Karena kalau samaku pak…! Mereka ini manja dan tak takut jadi begitulah kami kalau mengajari anak-anak untuk bertingkah laku yang baik atau berakhlak…” Proses keberlangsungan pendidikan akhlak dapat dikatakan dari sejumlah daerah Sumatera Utara cukup memberikan inspirasi bagi peneliti. Kondisi ini dikarenakan keluarga Batak Toba Islam tetap memberikan keterbukaan terhadap berbagai budaya yang masuk untuk mewarnai proses keberlangsungan pendidikan akhlak di lingkungan mereka. Mewujudkan kepribadian muslim dalam diri anak memang sesuatu yang sangat sulit sebagaimana pemaparan di atas, akan tetapi seluruhnya itu akan tercapai dengan baik jika peranan sebagai orang tua memiliki metodologi pendidikan akhlak dalam mempengaruhi kehidupan anak-anaknya. Selain itu juga peranan orang tua untuk memelihara dan mendukung proses keberlangsungan pendidikan akhlak di kalangan anak-anak keluarga batak Toba Islam, para orang tua baik itu ayah atau ibu harus melakukan kegiatan sosialisasi di lingkungan mereka sendiri. 1. Metodologi Pendidikan Akhlak Metodologi pendidikan akhlak dalam sub judul ini memperhatikan tahapan yang dilakukan dalam keberlangsungan pendidikan akhlak bagi sejumlah anakanak keluarga Batak Toba Islam melalui peranan ayah dan ibu di berbagai daerah Sumatera Utara. Berbagai hasil wawancara dari sejumlah informan tidak ditemukan bahwa pengaruh hereditas orang tua dapat memawarnaiproses keberlangsungan
73
pendidikan akhlak dalam lingkungan keluarga Batak Toba Islam terlebih untuk mewujudkan kepribadian muslim dalam diri seorang anak. Adapun peranan ayah dan ibu dari aspek metodologi dapat dilihat dari hasil wawancara peneliti kepada sejumlah informan. Kelompok pertama di Kota Medan; penduduk yang sangat multi etnis ini dalam kesehariannya selalu menunjukkan perilaku kehidupan yang saling memberikan suasana keterbukaan. Gambaran ini dapat diamati di sejumlah keluarga Batak Toba Islam di kota Medan. Mereka dalam melakukan seluruh aktivitas, lebih khususnya berkaitan dengan proses keberlangsungan pendidikan akhlak. Kalangan orang tua untuk menetapkan tahapan apa yang dilakukan tidak ditemukan sesuatu yang kaku atau statik, tetapi tetap waspada dengan pengaruh kehidupan beragama anak-anak mereka. Sebagaimana dari pengalaman Bapak Sihotang yang berdomisili di kecamatan Medan Tenggara mengungkapkan melalui hasil wawancara peneliti berikut ini: ” …karena aku Lae tidak begitu paham mengenai agama Islam, terlebih mendidik anak itu untuk berakhlak baik karena aku seorang supir.Maka yang aku lakukan diawal mendidik anak-anak sebagaimana ayahku dahulu mendidik aku semasa kecil dahulu.memang tidak begitu berhasil sebagaimana yang diharapkan pada anak-anak, tapi gimanalah lae namanya juga aku seorang supir begitulah yang bisa ku lakukan…” Kebutuhan hidup yang demikian tidak memadai akibat pekerjaan yang dijalani hanya sebatas supir angkot, akan tetapi walaupun demikian melalui informasi tetangga beliau, bahwa anak-anak bapak tersebut semuanya masih melanjutkan sekolah di tengah-tengah derasnya kebutuhan ekonomi keluarga sebagaimana yang di alami mereka. Pesan yang dapat di ambil atas pengalaman informan di atas menunjukkan bahwa proses keberlangsungan pendidikan bagi anak-anak harus dapat dilakukan melalui metode pembuktian dengan realitas keadaan ekonomi keluarga yang serba tidak berkecukupan sehingga akan memberikan penghayatan mendalam bagi diri anak memahami pentingnya menjalani kehidupan ini dengan baik. Berikut ini wawancara dengan bapak Sitorus:
74
“…mendidik anak-ank ini pak kita harus beritahu bagaimana sejarahnya kita dulu didik oleh orang tua kita, aku pak membawa anak-anak itu untuk bekerja mengerjakn jualn di pajak supaya merka tahu bagaimana hidup mandiri. Aku dulu pak selalu membawa anak-anak ini ke tempat bapa tuanya di Siantar gara mereka bisa membuktikan langsung dengan orang yang dekat dengan saya menceritakan bagaimana susahnya hidup ini harus ijalani dengan baik, maka kemandirian akan kita dapatkan begitulah pak aku bercerita dengan anak-anak di rumah atau dimana saja….” Selain itu juga pengalaman bapak Sitorus yang menginginkan anaknya mampu menjadi orang berpengetahuan agama dan untuk diterima di tengahtengah masyarakat Islam menuturkan kepada peneliti hasil wawancara berikut ini: ”…saya selalu mengatakan pada anak-anak saya harus memiliki rasa bermasyarakat yang tinggi di kampung orang lain paling tidak kalau mau berhasil dalam bidang agama Islam kalian semuanya harus bermasyarakat serta suka bergaul dengan orang-orang baik, begitulah kita sebagai orang Batak Toba muslim ini. Yaa namanya anak-anak pak kadang mereka sadar kandang juga tidak jadi yang bersabar jugalah…”. Analisa yang dapat di tarik dari penjelasan bapak Sitorus dan Sihotang, mereka melakukan tahapan-tahapan keberlangsungan pendidikan akhlak bagi anak-anak mereka selalu mengedepankan pengalaman hidup yang telah mereka jalani
selanjutnya
mengaitkan
dengan
realita
kehidupan
yang
mereka
hadapi.Antara lainnya seorang anak diharapkan mampu menyeleksikan teman bermainnya tetapi tidak mengganggu perasaan teman yang lainnya.Selanjuntya sebagai orang Batak Toba yang Muslim harus mampu menjalin silaturrahim dengan siapapun juga walaupun ia berlainan agama. Gambar 16 Berbaur Anak-anak Keluarga Batak Toba Islam dan Batak Toba Kristen
75
Anak-anak keluarga Batak Toba Islam dan Batak Toba Kristen berbaur dalam permain bola kaki di halaman depan rumah mereka. Saat melakukan wawancara, peneliti mengamati beberapa kartu undangan pesta salah satunya undangan atas nama perkumpulan marga Sihotang di Samosir serta undangan dari orang Batak Toba yang berlainan akidah. Gambaran ini memberikan sinyal kepada peneliti walaupun keluarga Batak Toba telah menjadi muslim akan tetapi silaturrahim masih mereka jaga karena masih merasa sebagai orang Batak Toba yang berasal dari Bona Basogit. Selanjutnya saya menanyakkan kepada beliau,…“bagaimana peranan ibu kepada anak-anak dalam menjalankan pendidikan akhlak di rumah pak!!.?,… lalu beliau menjawab berikut ini hasil wawancaranya: …“istri saya ini menjadi seorang ibu selalu menaati apa yang saya katakan kepadanya mengenai anak-anak di rumah sebab istri saya tidak bisa tegas dengan anak-anak jikapun ia mengalami sesuatu yang sulit untuk mengajak anakanak beribadah atau menaati waktu-waktu belajar di rumah ia selalu mengatakan ‘awas nanti bapak marah sama kalian kalau ketahuan seperti ini’, lalu anak-anak saya mematuhinya dengan sedikit berdialog dengan ibunya dengan nada merayu bu!!, nanti jangan diberitahu kepada bapak ya?!! …”
76
Demikianlah penuturan bapak Sihotang kepada peneliti. Kondisi marah seorang ayah kepada anak-anak jika ditemukan kesalahan dari keterangan istri pak Sihotang sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan beliau, sesungguhnya dalam analisa peneliti bahwa orang Batak Toba terlihat ekspresif dalam mengungkapkan rasa marahnya dan cukup sering muncul terutama pada Batak Toba laki-laki. Gambaran ini merupakan peranan
ayah dalam menjalankan
ketegasan disiplin di lingkungan rumah dan dijadikan sebagai dasar metodologi keberlangsungan pendidikan akhlak dalam keluarga. Lain halnya dengan bapak Siregar yang berperan sebagai dosen tidak tetap di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Medan menurutnya sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ”…bahwa ketika melaksanakan pendidikan akhlak untuk anak-anak, saya sampaikan kepada anak-anak agar harus dekat dengan Tuhan yakni selalu mengerjakan sholat, selain itu juga saya lakukan kepada anak-anak saya untuk selalu mengikuti saya ketika mengungjungi keluarga agar kelak mereka selain dekat dengan Tuhan ia juga mengerti untuk berkeluarga, dan saya selalu menyuruh istri saya untuk mengajari mengaji anak-anak ketika setelah magrib sebab saya senatiasa pulang di waktu malam, dan bila saya berada di rumah, maka sayalah yang akan mengajari mengaji anak-anak, kalau begini tingkah laku kami sebagai orang tua di rumah maka anak-anakpun akan mengikuti tampa beban yang berat bagi anak-anak kami pak!! …” Hasil wawancara dengan bapak Siregar ini memberikan pesan bahwa kita sebagai orangtua juga harus menanamkan akhlak mulia kepada anak-anak, membimbing mereka tumbuh dengannya, mengajari mereka setiap saat dan menjadi contoh tingkah laku bagi anak-anak, karenanya contoh tingkah ini merupakan faktor penentu baik-buruknya seorang anak, dengan demikian maka hendaknya contoh tingkah laku lebih positif lagi akan berdampak pada ketaatan yang kuat dalam diri anak serta selalu kontinyu dan tunduk pada etika dan agama. Berdasarkan uraian di atas maka pengalaman adik Liana
Hutapea
mengenai peranan orang tuanya dalam melakukan pendidikan akhlak di lingkungan keluarganya menuturkan:
77
”…kami kan!!!., sudah lama tinggal di Medan bang,… jadi mengenai akhlak yang diajarkan kepada kami, kami rasa tak begitu beda dengan keluargakeluarga lainnya bang!!!., tetapi kalau aku perhatikan bang biasanya ayah di rumah selalu menekankan prinsip-prinsip kebaikan, contohnya karena kami masih memiliki keluarga yang kristiani di Tarutung maka ayah selalu bilang sama kami, “kita harus mengunjungi mereka bertamu karena mereka juga keluarga kita”., akan tetapi kalau orang tua dari perempuan atau ibu hanya sebatas tehnis-tehnis berkaitan di rumah, contohnya kalau kita pergi berkunjung harus membawa peralatan masak- sendiri”. Lalu karena kami di sini punya masalah keluarga kadang ayah selalu tegas sekali untuk tidak ikut campur masalah keluarga ini. Sedang ibu diam-diam saja begitulah kalau yang kutahu pengalaman orang tuaku di rumah mengajari kami tentang kebaikan bang!!! …” Uraian hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa mengajarkan kebaikan terhadap anak-anak harus tegas dengan memberikan contoh keteladanan dari orang tua dalam memerankannya. Gambaran
ini merupakan salah satu
metode keberlangsungan pendidikan akhlak di lingkungan keluarga Batak Toba Islam di kota Medan. Tidak ada artinya orang mengajarkan akhlak mulia, sementara kehidupan ia sendiri bertolak belakang dengannya. Akan sulit menanamkan kemuliaan dalam perilaku anak jika
orang tua
tidak
memerankannya dalam kehidupan nyata diri orang tua tersebut. Bapak Marpaung berprofesi pensiunan kementerian perpajakan memiliki peranan yang jauh berbeda dengan bapak Sihotang, sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ”…pengalamanku ya pak!!!.,, mengajari akhlak untuk anak –anak di rumah ini kalau caraku.. akausenantiasa mendatangkan guru-guru mengaji ke rumahku ini. Agar anak-anak di rumah dapat patuh terhadap gurunya maka istriku selalu menemani anak-anaknya ketika mengaji dengan guru mengajinya selanjutnya memberikan informasi kepada guru mengaji tentang perkembangan pengamalan keagamaan anak-anaknya dan mendapat jawaban dari guru mengaji tersebut tentang hal-hal yang patut dikerjakan atau tidak, demikianlah cara aku mendidik anak-anak mengenai pemahaman keagamaan yang merupakan bahagian dari pendidikan akhlak bagi anak…” Bapak Sitorus yang memiliki istri dari etnis Mandailing mempunyai cara yang berbeda mengenai proses keberlangsungan pendidikan akhlak di lingkungan keluarganya. Pengalaman peneliti mengungjungi rumah bapak Sitorus beliau memiliki anak semuanya perempuan lalu saya menanyakkan beliau berhubungan
78
dengan cara beliau mendidik akhlak anak-anaknya agar menjadi anak yang memiliki kepribadian muslim, lalu beliau menjawab berikut ini: “…saya sangat melarang anak-anak untuk memiliki kegiatan di luar rumah sebelum jam 4 sore, dan ketika mereka di rumah selalu aku memberikan nasehat untuk berhati-hati dalam bergaul dan selalu mengaji agar kamu terjauh dari perbuatan jahat dari orang. Suasana yang seperti ini pak….! selalu kami lakukan di rumah pak!!!.. kegiatan ini kami laukan selalu bersama, terkadang kala ibunya juga memberikan nasehat hingga di ruangan tidur anak-anak kami di rumah…” Selanjutnya saya menanyakan kepada bapak Sitorus mengenai kegiatan istrinya dirumah tersebut, “apa saja yang dilakukan ibu pak!!., kepada anak-anak selain dari bapak kemukakan tadinya???, tanya peneliti kembali, lalu bapak Sitorus memalingkan wajahnya kepada istrinya, sebagai sinyal agar istrinya menjawab pertanyaan peneliti. Selanjutnya ibu tersebut menjawabnya berikut ini hasil wawancaranya: “…saya selalu mengajari anak-anak untuk mampu membantu saya di dapur dan mencuci pakaian sebab mereka semuanya perempuan jadi paling tidak jika pun masa depan mereka tak sebaik yang di dapatkankannya paling tidak ia mampu membahagiakan anak-anak dan suaminya dengan berbagai hidangan yang amat enak…” Pengalaman bapak Marpaung yang berprofesi pedagang di instansi swasta dan sebagai orang Batak Toba Islam yang sukses di Medan, peneliti menghampiri beliau dan meminta keterangannya berikut ini hasil wawancara: ” …Pak.,,, anak-anak saya di rumah hampir seluruhnya saya masukkan ke lembaga pendidikan Islam. Dan itu cara saya untuk anak-anak mengetahui ajaran agama Islam. Bagaimanalah pak saya sendiri sibuk. Istri dirumah juga bekerja sebagai guru di Tsawiyah jadi seperti sekolah nurul ilmi ini salah satu usaha saya mendapatkan pendidikan akhlak untuk anak-anak saya kelak nanti mereka dewasa…” Kelurga Batak Toba Islam yang telah memiliki kemampuan keuangan serba memadai, maka untuk memenuhi pengalaman anak mendapatkan pendidikan akhlak orang tua tersebut mengambil proses keberlangsunganya di lembaga pendidikan Islam atau sejenisnya. Kaitannya dengan peranan orang tua
79
tersebut di rumah terlihat tidak begitu optimal kepada anak-anaknya, keakraban antara mereka anggota keluarga tetap mereka jaga dengan mengisi hari libur. Sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Samosir berikut ini: ”…ketika acara libur bersama anak-anak maka ketika di dalam mobillah kami melakukan dialog mengenai perkembangan anak-anak selam belajar mengenai pengetahuan mereka pendidikan akhlak. selanjutnya ketika di tempat rekreasi di sanalah kami saling memberikan canda dan mengisi acara berlibur dengan anakanak. Mengenai pembagian kerja untuk anak-anak sebagai orang tua, tidak begitu mencolok pak!!, sebab apa yang bisa kami lakukan ya tetap kami lakukan begitulah peranan kami sebagai orang tua dalam keluarga kami pak!!!...” Melalui uraian-uraian di atas, maka dapat di analisis bahwa kalangan keluarga Batak Toba Islam yang telah memiliki kemampuan ekonomi yang bisa dikatakan melebihi dari cukup, usaha mereka dalam melaksanakan proses keberlangsungan pendidikan akhlak di kalangan anak-anak di antaranya; Pertama; mendatangkan para guru untuk mengajar anak-anak mereka di rumah. Kedua; memasukkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan Islam swasta yang memiliki
fasilitas
yang
memadai
untuk
kebutuhan
pendidikan
agama
Islam.Biasanya sekolah tersebut disebut dengan sekolah Islam terpadu.Ketiga; jika ditemui sesuatu hal yang patut untuk dibicarakan maka para orang tua selalu mengajak anak-anaknya berrekreasi di tempat-tempat wisata atau makan bersama di luar. Gambaran yang dilakukan oleh orang tua dari keluarga Batak Toba Islam kelas menengah ini merupakan usaha mereka dalam menguatkan pendidikan akhlak di kalangan anak-anak. Para orang tua menyadari
betapa pentingnya
pendidikan akhlak ditanamkan sejak dini, oleh karena itu globalisasi telah membawa kita pada “pemehunan” materi sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat, maka mengantisipasinya pendidikan akhlak harus menjadi perhatian mutlak bagi setaip orang tua, walaupun bagaimana tingkat ekonomi keluarga tersebut. Gambar 17 Suasana Belajar di Lembaga Pendidikan Islam
80
Keluarga Batak Toba Islam yang telah berhasil secara ekonomi akanmenyekolah anak-anaknya kelembaga pendidikan Islam untuk mendapatkan pengetahuan agama Islam serta berakhlak mulia Pengalaman bapak Marpaung menunjukkan kepada peneliti bahwa proses keberlangsungan pendidikan akhlak dalam keluarga beliau tidak melihat situasi dan kondisi bagaimana seharus tempat dan waktu mendidik anak-anak. Akan tetapi menurut beliau yang terpenting senantiasa selalu mengingatkan anakanaknya. Berbagai metodologi patut untuk difungsikan karena kebutuhan memberikan bimbingan anak-anak. Berangkat dari sejumlah hasil wawancara peneliti kepada keluarga Batak Toba Islam bahwa hampir sejumlah besar metodologi pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam bersifat Paternalistik, artinya segala keputusan yang dilaksanakan dalam rumah melihat pengaruh yang disetujui oleh seorang ayah walaupun di sisi lain jika diperhatikan terdapat metode dialog antara orang tua dengan anak-anak mereka bisa terjadi. Suasana budaya yang saling memberikan kebebasan terbatas dalam pendidikan akhlak anak untuk memiliki kepribadian Muslim ini mereka
81
membiarkan anak-anak mengungkapkan pendapat mereka tentang peraturan itu dan mengubah peraturan bila alasannya tampak benar, tapi biasanya ini tidak demikian berpeluang terjadi. Melalui hasil wawancara di atas maka untuk sementara bahwa metodologi pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa tetapi di bawah pengawasan ibu ketika di rumah. Ibu selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya. Peranan bapak hanya sekali-kali saja akan tetapi sangat mendominasi ketika mengambil sebuah keputusan dialog tersebut. Proses keberlangsungan pendidikan akhlak dalam lingkungan keluarga Batak Toba Islam kota Medan, sejauh pengamatan peneliti di lapangan kalangan orang tua memerankan secara bersama-sama baik ayah maupun ibu. Keterbukaan memberikan alasan terhadap anak-anak sebagai bahagian ciri hidup masyarakat perkotaan juga berfungsi dalam keberlangsungan pendidikan akhlak di lingkungan keluarga Batak Toba Islam. Pengalaman informan di atas dengan menggunakan budaya keterbukaan terhadap anak-anak mereka akan mendorong anak saling membantu, dan bertindak secara objektif, tegas, tetapi hangat dan penuh perhatian, demikianlah yang terjadi dalam keluarga Batak Toba Islam di kota Medan. Sesuatu yang sangat menarik mengumpulkan pengalaman-pengalaman orang tua tersebut tentang keberlangsungan pendidikan akhlak di dalam lingkungan keluarga mereka. Adapun pengalaman keluarga Batak Toba Islam yang terletak jauh dari keramaian atau berada di tengah-tengah pertanian, pengamatan peneliti terhadap keluarga Batak Toba Islam disana mereka selalu mengajak anak- anaknya setelah pulang sekolah atau jika tidak sekolah ke areal persawahan mereka. Gambar 18 Seorang Ibu Mengajak Anak-anaknya Ke Sawah
82
Hampir sebahagian besar kegiatan kalangan ibu-ibu memberikan proses pendidikan akhlak di kalangan anak-anak lebih mengarahkan kepada kehidupan bertani. Contohnya persawahan padi yang ada di kampung Gempolan. Berdasarkan keterangan gambar di atas, maka kehidupan bertani sangat mendominasi bentuk serta model proses keberlangsungan pendidikan akhlak di kalangan anak-anak dari keluarga Batak Toba Islam. Secara alami bahwa pendidikan in formal mendesain pendidikan akhlak bagi mereka di kampungkampung. Selanjutnya budaya kehidupan kampung Batak Toba juga memberikan warna mengenai peranan serta tanggung jawab baik sebagai ayah maunpun sebagai ibu dalam keluarga, keterengan tersebut seiring
wawancara peneliti
dengan informan bapak Sijabat berikut ini: ”...kampung ini pak di Gempolan termasuk kampung yang banyak orang Batak Tobanya, kami di sini semuanya petani padi dipersawahan.Anak-anak dalam keluarga saya diajarkan untuk tahu bagaimana kehidupan keseharian orang tua mereka. Kalau di sawah anak-anak tidak kita harapkan mereka harus bekerja
83
seperti kami paling tidak ia merasakan. Sedangkan tugas aku pak!!., nanti di waktu malam hari ku tengoklah air di sawah,,,. Mencari bibit atau acara yang lainnya sudah bahagian aku di rumah...”. Berdasarkan hasil wawancara di atas maka di dalam keluarga serta sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh para orang tua merupakan modal seorang anak belajar bersosialisasi dan berinteraksi agar ketika dewasa mampu melakukan hubungan yang baik dengan lingkungan dan masyarakat sekitar sesuai dengan keinginan dan sistem budaya yang lebih menekankan arti perjuangan hidup. Hampir bisa dikatakan sejumlah anak-anak yang berasal dari kondisi kehidupan yang serba penuh perjuangan hidup akan mendapat hasil yang baik pula ketika diperantau. Peneliti melakukan wawancara ini di sebuah warung dalam pengamatan peneliti didominasi oleh kaum bapak-bapak.Sedangkan istri-istri bersama anakanak mereka masih berada di persawahan, gambaran seperti ini menunjukkan bahwa peranan ibu sangat begitu dekat dengan anak-anak mereka. Tetapi peneliti tetap menanyakkan kepada bapak tersebut, …”mengapa banyak sekali bapakbapak duduk di sini dan begitu cepat pulang dari persawahan?”…, berikut ini hasil wawancaranya: ”...Kebiasaan kita pak!!., di sini berkumpul di warung hanya ngobrol-ngobrol saja tetapi sebenarnya di sinilah keluarga setiap orang mendapatkan informasi atas perkembangan saudara-saudaralainnya, apakah kabar mengenai sekolah atau pekerjaan, atau yang lain-lainnya. Paling tidak nanti kalau anak-anak dan istri telah sampai di rumah, maka akan aku ceritakan yang bisa aku ceritakan kepada mereka. Aku saat ini telah ku dengar anak si Panggabean mau datang besok yang telah berhasil di Jakarta. Nah!!.. nanti aku ceritakan sama anakanakku kalau kau sudah besar harus kau contoh seperti anak si Panggabean itu...” Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan informan di atas ditemukan bahwa peranan ayah terkesan dan terlihat santai, akan tetapi mereka sedang bertukar informasi yang bisa dibawanya berita itu untuk kalangan anggota keluarganya di rumah. Kalangan ibu-ibu hanya sebagai pendukung tetapi sesungguhnya cukup begitu lelah memerankannya. Bukti yang dapat peneliti perhatikan ketika pulangnya istri bapak sijabat dari ladang yang penuh dengan
84
kotoran yang menempel di bajunya, sedangkan pak Sijabat tidak begitu kotor dalam pengamatan peneliti. Bagan 9 Pendidikan Akhlak dan Peranan Orang Tua di Perkampungan
Bagan tersebut bersumber dari hasil wawancara dengan bapak Sijabat serta kalangan salah satu dari bapak-bapak yang duduk di warung kopi Bagan di atas menjelaskan bahwa peranan ayah dan ibu untuk proses keberlangsungan pendidikan akhlak di lingkungan keluarga batak Toba Islam khususnya di wilayah perkampungan sangat menunjukkan bentuk budaya layaknya yang terjadi dalam budaya Batak Toba di kampung muasalnya. Walaupun berstatus dalam identitas beragama Islam, akan tetapi mengenai penampilan dan prilaku tidak begitu berbeda dengan kalangan mayoritas. Wawancara dengan bapak Lumban Raja, yang kebetulan beliau beragama Kristen menuturkan: “...Kehidupan kami di sini sangat tergantung dengan persawahan khususnya di kampung Banjar. Karena kami saling mengetahui berkaitan persawahan maka sangat terjadi keakraban antara kami, walaupun beragama Islam saudara kami, hidup berdampingan antara kami tetap terjaga. Penampilan dan prilaku yang mereka buat tidak begitu jauh berbeda dengan kalangan mayoritas masyarakat bergama Kristen, hanya saja mereka tak mau makan makanan babi begitu saja bedanya pak Manurung....” Seiring keterangan di atas maka proses keberlangsungan pendidikan akhlak di kalangan keluarga Batak Toba Islam di areal persawahan masih memakai sistem budaya kehidupan sosial Batak Toba. Sebagaimana peranan ibuibu yang lebih mendominasi tentang teknis-tehnis keberlangsungan pendidikan akhlak di kalangan anak-anak mereka.Lain halnya juga dengan pengalaman bapak
85
Saragih mengenai proses keberlangsungan pendidikan akhlak yang beliau lakukan terhadap anak-anaknya di rumah, sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ”...aku lae kalau mengajari anak-anak semoga memiliki akhlak yang baik sebenarnya tidak begitu berbeda dengan umumnya orang tua dalam mendidik anak-anak mereka....” Selanjutnya beliau menuturkan kepada peneliti berikut ini: “...salah satu dari kebutuhan kami agar anak-anak di rumah ini mendapatkan pendidikan akhlak dan untuk menambah pengetahuan keagamaan saya menyekolahkan mereka ke madarasah, selanjutnya agar mereka mengerti bersilaturrahmi selain dengan masyarakat di lingkungan rumah ini, saya mengajak anak-anak khususnya yang laki-laki, untuk berlibur sekolah dan madrasah mengunjungi keluarga besar kami yang berada di Kampung Jawa dekat dengan kota Siantar, kegiatan seperti ini juga yang selalu dilakukan oleh saudara-saudara saya kepada anak-anaknya ketika berlibur...” Penjelasan yang disampaikan oleh bapak Saragih ini menunjukkan cara mendidik akhlak selain pentingnya pengetahuan keagamaan juga bersilaturrahim kepada sejumlah keluarga besar khususnya bagi anak laki-laki menjadi penting. Gambaran ini merupakan kegiatan pendidikan akhlak yang disamakan dengan pendidikan partuturan
yakni memahami sopan santun baik tutur kata-kata
maupun bahasa tubuh sejak kecil kepada setiap anak di dalam keluarga Batak Toba Islam. Mengunjungi keluarga besar di kampung halaman sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Saragih menjadi media anak-anak beliau untuk bersosialisasi. Kondisi seperti ini mengakibatkan intensitas keterlibatan emosional tersendiri, yang justru sangat bisa terjadi, atau dengan kata lain, kepribadian yang tumbuh di dalam proses sosialisasi anak-anak mereka yang khas tersebut, akan melahirkan keterlibatan saling hubungan yang sangat intens di dalam partuturan. Alasannya sangat sederhana bahwa
marga yang didapatkan setiap
keturunan dalam keluarga suku Batak Toba adalah marga dari ayah. Menurut pengalaman peneliti dari margalah seseorang dapat kita telusuri siapa dia dan dari mana asalnya, demikianlah yang peneliti alami ketika menemui informan dari keluarga besar bapak Siahaan yang ada di kota Lubuk Pakam.
86
Selanjutnya di sejumlah tempat yang peneliti temui khususnya di lingkungan keluarga Batak Toba Islam hampir sebahagian besar mereka menguatkan pendidikan akhlak dalam keluarga adalah kalangan ibu-ibu atau saudara-saudaranya yang sudah menginjak dewasa. Sebagaimana dalam pengamatan peneliti kepada sejumlah informan bahwa setiap hari setelah sholat magrib kalangan ibu-ibu atau saudara-saudaranya yang sudah menginjak dewasamengajari anak-anak membaca alqur’an di rumah. Selanjutnya di siang harinya mereka di antar ke sekolah agama Islam. Anak-anak keluarga Batak Toba Islam yang ada di kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai ini dalam keseharian mereka untuk berteman dan bergaul selalu bersama-sama dengan anak-anak dari keluarga beretnis lainnya.Sehingga tidak ditemukan perbedaan yang mencolok antara mereka mengenai penampilan sebagaimana orang Batak Toba. Hasil wawancara dengan Lia Hutapea ”...lingkungan tempat kami tinggal hampir semuanya suku Jawa, dan Mandailing jadi waktu kecil dulu kami sehari-hari bermain dengan anak-anak orang Jawa atau orang Mandailing.Jadi saat ini aku tidak bisa berbahasa Batak Toba karena lingkungan kami berbahasa Indonesia, terlebih lagi kedua orangtua ku berbahasa Indonesia kepada anak-anaknya. Sehingga wajar saja bapak bilang tadi kepadaku kalau aku ini tidak seperti penampilan orang Batak Toba atau berwajah Batak Toba...” Berangkat dari keterangan di atas memberikan kejelasan bahwa kehidupan suku Batak Toba umumnya dan keluarga Batak Toba Islam khususnya yang memiliki tradisi merantau keberbagai daerah mengindikasikan bahwa keturunan mereka dari sejumlah anggota keluarga yang dimiliki khususnya dari generasi ketiga atau keempat dapat dikatakan mengalami budaya hetrogen artinya simbolsimbol yang melekat secara penampilan pribadi berkaitan dengan muasal suku tidak ditemukan. Hasil wawancara dengan bapak Saleh Situmorang berikut ini: ”...karena anak-anak di sini banyak sekali, maka kalau saya pak mau menitipkan umpamanya kartu undangan kepada seseorang yang ada di gang depan rumah
87
saya ini saya memanggil salah satu anak tersebut dengan menyebut marga bapaknya...” Peristiwa dari pengalaman bapak Saleh Situmorang dengan memanggil “anaknya siapa itu!!”, maka secara langsung beliau akan menyebutnya dengan marga orang tua yang disandang anak itu, demikianlah yang di gambarkan oleh sejumlah orang di lingkungan keluarga Batak Toba Islam. Berpenampilan sebagai orang Batak Toba bagi sejumlah kalangan anakanak anggota keluarga Batak Toba Islam akan ditemukan atau terlihat ketika sudah menginjak dewasalah karena kondisi kebutuhan identitas dalam diri terhadap seseorang menjadi kebutuhan di saat proses interkasi menjadi sebuah kebutuhan. Ketika salah satu anggota keluarga Batak Toba yang telah menginjak dewasa selanjutnya berumah tangga dengan pasangan etnis lain ataupun etnis yang sama, selanjutnya masih tinggal di sekitar kampung tersebut, maka mereka juga tetap membudayakan
mengaji di rumah. Sebagaimana hasil wawancara
dengan adik Agustina Mangungsong berikut ini: ”....di malam hari hampir setiap hari kami pergi belajar mengaji di rumah ustad Ridwan, tetapi kadang kami malas juga karena kalau ada acara televisi yang bagus kami nggak pergi ke rumah ustad. Aku memang orang Batak Toba itupun kata ayahku tapi aku tak tahu berbahasa Batak Toba, biasalah bang namanya saja Batak yang sudah lama dan lahir di daerah orang Melayu jadi tak tahu ngomong Batak...” Berdasarkan penjelasan adik Agustina di atas sebenarnya akibat wilayah kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai yang penduduknya merupakan etnik Melayu yang berdomisili di daerah perkampungan mereka masih memiliki tradisi untuk senantiasa meninggikan simbol-simbol keagamaan di dalam rumah salah satunya mengaji al-qur’an di rumah masing-masing setelah sholat magrib. Hasil wawancara peneliti dengan ibu Yulia boru Butar-butar berikut ini: ”....kami selalu mengajari anak-anak kami di rumah belajar mengaji selain di sekolah ini, paling tidak mereka di rumah melaksanakan sholat waktu. Nanti kalau ada anak kami yang tamat alqur’an maka akan kami siapkan pulut kuning
88
untuk mensyukuri khataman al-qur’an itu. Dan ini sudah tradisi kami di kampung ini pak!!...” Keberlangsungan pendidikan akhlak yang dilakukan oleh ibu-ibu nampaknya lebih mengena dalam diri sejumlah anak-anak, karena menurut hasil wawancara peneliti dengan adik yang berusia 8 tahun dan kebetulan bermarga Sitorus menyampaikan berikut ini:…”aku bang lebih sayang sama mamak, kalau bapak selalu tidak di rumah”… lalu saya bertanya kepada anak tersebut, “mengapa seperti itu dek?”… lalu ia menjawab dengan tegas, …”mamakku bang selalu menemaniku sekolah dan kalau pulang dijemputnya!!!., dan mamak juga yang kasi uang jajan jadikan mamakku yang baik!!”…. Gambaran di atas menunjukkan bahwa kalangan ayah dalam melakukan kedekatan kepada anak sangat jarang, tetapi semuanya itu kembali kepada seorang ibu untuk memberikan penjelasan mengenai alasan mengapa ayahnya tidak begitu bisa seperti peranan ibu kepadanya. Peranan seorang ibu di dalam keluarga Batak Toba Islam selalu memberikan masukan kepada anak-anaknya berkaitan kehidupan dan suasana perkembangan jiwanya, sehingga wajar saja sebagaimana informasi dan data melalui hasil wawancara yang tertulis di atas menunjukkan secara teknis di rumah peranan seorang ibu lebih mendominasi kehidupan anak-anaknya.
Gambar 19 Ibu-ibu sedang menunggu anak-anaknya pulang sekolah
89
Gambar ini menunjukkan salah satu ibu Butar-butar sedang menunggu pulang sekolah anak-anak mereka yang mereka masukkan ke lembaga sekolah agama Islam sebagaimana anak-anak lainnya. Selanjutnya pak Sijabat memberikan keterangan mengenai upaya yang dilakukan oleh beliau agar-agar anak-anaknya memiliki kepribadian muslim sebagaimana yang peneliti tanyakkan kepada beliau berikut ini wawancara peneliti: “...saya menyuruh anak-anak untuk belajar mengaji ke rumah ibu ustazah setelah sholat magrib mereka pulang kerumah setelah sholat isya di rumah ustazah tersebut....”, selanjutnya peneliti menanyakkan kepada beliau mengenai peranan ibu atau istri bapak dalam mendidik anak-anak di rumah, tanya peneliti. Lalu beliau menjawab ”...ya...,istri saya sebagai ibu rumah tangga bertugas untuk setiap waktu menemani dan senantiasa dekat dengan anak-anak sebab saya sebagai kepala keluarga sering sibuk di luar rumah...”
90
Keluarga pak Sijabat memberikan keterangan peristiwa bahwa seorang ibu memiliki peranan yang cukup komplek untuk anak-anaknya di rumah dan kondisi seperti ini menjadi membudaya di dalam keluarga Batak Toba Islam terlebih akibat kondisi budaya Batak Toba jika seorang wanita yang menikah dengan yang bukan semarga dengannya akan menjadi bagian dari pihak laki-laki yang menjadi suaminya. Hasil wawancara peneliti dengan bapak Sitorus mengenai proses keberlangsungan pendidikan akhlak di rumahnya, berikut ini: ”... lae karena aku ini sudah lama sibuk dalam soal dagang kue-kue dai kampung tempel ini, terlebih istri saya sangat lihai membuat kue untuk didagangkan jadi pendidikan yang banyak saya lakukan kepada anak-anak di rumah ini berkaitan bagaimana baiknya menjadi penjualan yang baik...” Menurut pengamatan peneliti dengan bapak Sitorus serta hasil wawancara yang didapatkan, terlihat jelas bahwa keberlangsungan pendidikan akhlak yang diperan oleh beliau termasuk yang lebih unik. Karena keunikan ini peneliti pun berusaha mengunjungi keluarga tersebut diwaktu sore harinya, ternyata bapak Sitorus merupakan salah satu penjualan kue-kue dan mie pecal, beliau selalu menyuruh anak-anaknya yang sudah mampu untuk menjajalkan dagangan kue dan mie pecal untuk berjualan sebagaimana kaitannya dengan upaya penanaman kepribadian muslim, beliau selalu mengingatkan dan dilakukan oleh anaknya ketika hendak berjualan membaca doa agar jualannya dapat laris, demikian juga halnya yang dilakukan oleh istri beliau kepada anak-anaknya. Metode bapak Sitorus mengajari anak-anaknya untuk senantiasa berdoa dan tetap mendapatkan hasil jualan yang laris sesungguhnya selain ia mengajari anak-anak beragama sebagai ummat muslim juga tidak terlepas dari upaya kerja keras yang menunjukkansuatu etos kerja atau watak tidak mudah menyerah pada kalangan keluarga Batak Toba Islam, tidak lain tujuannya agar mencapai keberhasilan dunia bisa mereka capai. Latar belakang budaya seorang tetap akan memberikan inspirasi baginya ketika mengembangkan berbagai kegiatan yang dicapainya. Demikian halnya juga
91
yang peneliti perhatikan dari bapak Sijabat yang bekerja di kantor Bupati Serdang Bedagai, selain menjadi pegawai di kantor tersebut beliau juga memiliki kegiatan berladang atau bersawah. Hasil wawancara berikut ini: ”...kalau pergi ke sawah bukan karena kami kekurangan dari penghasilan keluarga, tetapi pak shiyamu ini agar anak-anakku tahu diri bahwa hidup ini sangat susah. Kita sebagai orang Batak Toba harus bisa menjadi hamoraon karena kalau kita sudah mampu secara materi maka untuk memberikan kepada orang lain akan terasa ibadah...” Sebenarnya dari penjelasan bapak Sijabat di atas beliau melaksanakan pendidikan akhlak untuk anak-anaknya agar termotivasi dengan sungguh-sungguh meraih keberhasilan. Selanjutnya jika keberhasilan itu dapat diraih maka beribadah sosial akan terasa mudah dan menjadi bagian keberlangsungan pendidikan akhlak di lingkungan keluarga bapak Sijabat. Perjalanan peneliti menuju kecamatan Percut Sei Tuan tepatnya di desa Bandar Khalipah kediaman bapak Samosir berada di tengah-tengah masyarakat di luar etnis lain. Hasil pengamatan dan wawancara dari bapak Samosir peneliti lakukan di Mesjid al-Manar terlihat bahwa anak-anak beliau ketika melaksanakan ibadah sholat tidak begitu terlihat nakal jika dibadingkan dengan anak-anak lainnya. Setelah pelaksanaan sholat magrib berjamaah, beliau menguraikan berikut ini: ”....saya pak kalau mau pergi ke mesjid selalu saya bilangin kepada anak-anak untuk tidak bermain-main di masjid, karena di sana rumah Allah dan banyak orang sholat jadi kalian jangan buat keributan, demikianlah nasehat yang selalu saya sampaikan pada anak pak!!..., alasan saya buat seperti itu agar mereka memiliki akhlak yang baik!!.,,. Lalu ketika mereka bermain-main di rumah ibunya selalu mengingatkan untuk melaksanakan sholat!!,...” Selanjutnya peneliti menanyakkan kepada bapak Samosir kaitannya anak beliau yang lakukan ketika selesai melaksanakan ibadah sholat berjamaah magrib, berikut ini hasil wawancaranya: ”...memang pak setiap harinya saya mengajak mereka sholat berjamaah di mesjid dan ketika menunggu isya anak saya diajari mengaji oleh penjaga mesjid demikianlah setiap harinya saya mengajari anak-anak untuk memiliki akhlak
92
yang baik”, selanjutnya peranan istri saya agar tetap menemaninya ketika hendak belajar malam dan menuju tidur ke ruangan kamar tidur...” Peranan istri bapak Samosir dalam pengamatan peneliti merupakan kegiatan keseharian seorang ibu dalam proses pembinaan tingkah laku serta perbuatan mereka agar anak belajar berfikir, berperasaan dan bertindak lebih sempurna dan baik daripada sebelumnya. Setelah dari masjid kami melanjutkan wawancara ini ke rumah beliau.Menurut pengamatan peneliti bahwa beliau merupakan sosok orang yang sudah serba berkecukupan mengenai kebutuhan dunia atau kebutuhan pendidikan anak-anak beliau. Sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ”...Bapakkan tahu!!!!.., bahwa kekayaan yang kita miliki sesungguhnya tak begitu dapat menandingi dari kekayaan kita tentang kualitas anak kita sebagaimana yang diketahui oleh banyak orang Batak Toba dengan istilah Anakkonhi do hamoraon di ahu, begitulah kata-kata istilah yang selalu kita ingat...” Pengalaman bapak Samosir dan kalangan anak-anak di rumah terkesan memberikan makna bahwa keinginannya agar anak-anaknya memiliki akhlak yang baik sebagaimana yang diingin oleh sejumlah orang tua lainnya.Menurutnya anak sebagai kekayaan, anak sebagai kebesaran, anak sebagai kemuliaan dengan adanya akhlak. Secara keseluruhan berarti anak adalah harta kekayaan yang paling berharga.Keterangan bapak di atas seiring dengan bait syair lagu yang diciptakan oleh Nahum Situmorang. Pengalaman bapak Sinaga yang sudah memiliki anak seusia dewasa atau setarap tingkat perguruan tinggi dan telah menjadiwarga
Batang Kuis
menjelaskan dari hasil wawancara berikut ini: “....saya selalu memberikan cerita dan membandingkan tentang budaya-budaya orang yang mengalami keberhasilan dengan orang-orang yang berbudaya mundur, biar mereka mengetahui untuk bertindak dalam kehidupan keseharian mereka di tengah-tengah masyarakat, sebab anak-anaku inikan lae sudah besarbesar jadi supaya mereka benar-benar serius menjalankannya maka aku harus selalu mengingatkan akan mereka tidak gagal....”
93
Setelah melakukan wawancara dengan bapak Sinaga keesok hariannya peneliti bertemu dengan istri beliau di pusat pasar belanja Medan Mall, ketika pertemuan itu terjadi peneliti menemukan sesuatu yang berbeda dari keterangan suami beliau, berikut ini hasil wawancaranya: “...saya terkandang mendidik anak-anak di rumah selalu mengalami perbedaan pandangan terlebih mengenai cara bapak membimbing anak-anak ketika nakal selau bapak memarahi sehingga terkadang di depan anak-anak saya membela anak-anak dengan kata-kata ,’jangan begitulah bang....” Peristiwa yang dapat dianalisa atas pengalaman bapak Sinaga dengan istri beliau dalam perbedaan pandangan, sesungguhnya merupakan motif dasarnya di karenakan orang Batak Toba terlihat dalam mengungkapkan rasa marahnya dan cukup sering muncul terutama pada Batak Toba yang laki-laki. Gambaran corak keberlangsungan pendidikan akhlak dalam keluarga Bapak Sinaga secara tidak langsung merupakan keluarga (suami-istri) yang memiliki tingkat perbedaan yang tinggi dalam cara berpikir moralnya, maka di antara mereka akan terjadi kondisi saling tarik menarik. Akan berdampak kepada kondisi yang sangat positif artinya akan tumbuh kesadaran pribadi dan bertanggung jawab akibat tingkat perbuatannya. Akan tetapi jika sebaliknya, maka kemampuan orang tua akan mengalami kualitas yang lemah ketika akan melaksanakan pendidikan akhlak untuk selanjutnya.
Keluarga Batak Toba Islam yang berdomisili di kabupaten Samosir dan Toba Samosir kaitannya pada pengalaman mereka mengenai pelaksanaan pendidikan akhlak agar seorang anak memiliki kepribadian muslim di tengahtengah lingkungan mayoritas non muslim. Selama perjalanan peneliti ke sejumlah
94
daerah Sumatera Utara kabupaten Samosir dan Toba Samosir termasuk wilayah yang cukup melelahkan dalam upaya mengumpulkan informasi di lapangan. Selain dari geografis alam yang dimiliki kedua kabupaten ini, peneliti juga jarang menemui anggota keluarga Batak Toba Islam berusia 17 tahun hingga 30 tahun, sebagaimana yang peneliti lakukan menemui kalangan anggota keluarga Batak Toba Islam di kabupaten lainnya. Sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan seorang ibu yang bernama Mia Nainggolan berikut ini: ”...bahwa anak-anak kami hampir semuanya yang sudah besar pergi merantau ke kota-kota untuk sekolah dan mereka pulang hanya saat tahun baru saja...” Walaupun demikian kendala yang peneliti hadapi bukan berarti menyurutkan keinginan saya mengumpulkan informasi. Kendala demi kendala yang peneliti hadapi, paling tidak dari peristiwa keterangan ibu Mia Nainggolan sudah dipatikan bahwa proses keberlangsungan pendidikan akhlak yang dilakukan oleh keluarga Batak Toba Islam di dua kabupaten ini memiliki metode yang bernuansa merantau (berpindah dari kampung halaman ke tempat tertentu) dan ada yang melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Pengamatan peneliti terhadap keluarga bapak togar Sianturi yang berdomisili dekat kantor KUA Samosir menuturkan kepada peneliti berikut ini: ”....anakku lae hanya satu orang itupun boru, saat ini dia sedang ada di Bandung melanjutkan
pendidikannya
di
sana,
dia
tidur
di
rumah
tulangnya.
Kedengarannya anaku itu yang akan selesai S1 dan akan melanjut ke S2. Doakan ya…!! Lae....” Berdasarkan beberapa keterangan di atas, memang sudah dipastikan bahwa meninggalkan kampung halaman sebagai metode yang paling dasar di kalangan keluarga Batak Toba Islam dalam menanamkan akhlak bagi anak-anak mereka. Pengalaman bapak Sirait mengenai cara mewujudkan pendidikan akhlak bagi anak-anaknya di lingkungan mayoritas non muslim ini mengalami atau
95
menghadapi tantangan yang cukup berat, sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan bapak Sirait berikut ini: ”...aku, lae merasa kurang mampu untuk mendidik anak-anak di rumah dengan pendidikan akhlak yang penuh ajaran Islam, gimanalah lae aku sendiripun pengetahuan agama Islam yang cukup kurang, jadi pendidikan akhlak yang saya berikan hanya yang saya tahu, contohnya jangan makan babi, begitulah pak!!., kalaupun mau saya suruh sholat ya!!.. bagaimana!!!., saya sendiri tidak tahu membaca al-Qur’an...” Seiring keterangan bapak Sianturi di atas peneliti mendengar keterangan staf kementerian agama kabupaten Samosir yakni bapak Hasibuan menuturkan berikut ini: “...Bahwa keluarga Batak Toba Islam di sini hampir sebahagian besar mereka cukup kurang pengetahuan agama Islam sehingga upaya-upaya mereka memberikan pendidikan akhlak di lingkungan keluarga bisa di katakan tidak begitu optimal sesuai semangat pesan agama Islam....” Bapak Manalu yang memiliki kemampuan dalam bidang agama Islam dan kebetulan merupakan salah satu anggota tarekat dalam pemaham ke-Islaman menuturkan kepada peneliti hasil wawancara berikut ini: “...bahwa pendidikan akhlak yang saya lakukan kepada anak-anak di dalam keluarga harus keras dengan mendoktrin mereka contohnya yang saya buat, kalian jangan sekali-kali menghadiri acara-acara yang melecehkan ajaran agama kita, nanti kita masuk neraka dan di benci oleh Allah...” Selanjutnya selain dari doktrinisasi keagamaan yang peneliti amati terhadap beliau terdapat juga doktrinisasi mengenai mempererat hubungan silturrahim antara marga orang Batak Toba walaupun non muslim, sebagaimana penuturan beliau hasil wawancara berikut ini: “...anak-anak di rumah ini kan!!!., adek tengok tidak ada yang di rumah mereka semuanya kalau sudah menginjak dewasa saya suruh untuk meninggalkan kampung samosir pergi kota, tetapi sebelum mereka pergi dari rumah sudah saya
96
terangkan mengenai tarombo marga saya, agar kelak anak-anak ini dapat mengetahui tentang saudara-saudara atau dongan sabutuha manalu....” Pengalaman dari hasil wawancara bersama bapak Manalu di atas mengindikasikan bahwa proses keberlangsungan pendidikan akhlak di dalam keluarga beliau, selalu menanamkan nilai-nilai budaya kekeluargaan Batak Toba. Beliau di sini dalam analisa penulis membuat suasana keluarga sangat memiliki peluang untuk mengantisipasi persoalan masa depan kehidupan anak-anaknya. Kondis ini dilator belakangi bahwa beliau sangat merasa sebagai orang pertama yang mengajarkan hal-hal berguna bagi perkembangan dan kemajuan hidup anakanaknya dalam keluarga. Bagan 10 Metodologi Pendidikan Akhlak Keluarga Batak Toba Islam di Kabupaten Samosir dan Toba Samosir
Bagan tersebut bersumber dari hasil wawancara dengan bapak Sianturi, bapak Manalu, selanjutnya bapak Sirait Bagan di atas menunjukkan bahwa metode pendidikan akhlak bagi anakanak keluarga Batak Toba Islam yang berada di tengah-tengah kalangan mayoritas Kristiani menekankan adanya nilai doktirisasi, memperbandingan atas keberhasil, berkunjungan untuk mendapatkan informasi terbaru dalam keluarga tersebut. Lain halnya dengan pengalaman keluarga bapak Nainggolan yang berada di Balige tepatnya daerah pelabuhan kapal transfortasi air kawasan Danau Toba beliau menuturkan kepada peneliti sebagaimana hasil wawancara berikut ini: “...saya banyak mengajarkan kepada anak-anak untuk senantiasa melakukan kunjungan-kunjungan kepada sejumlah keluarga agar kalangan keluarga kami walaupun kita sudah Islam tetapi mereka masih menganggap kita saudaranya...”
97
Gambaran yang dikemukan oleh bapak Nainggolan, bahwa beliau punya pengalaman pahit dengan keluarganya ketika berpindah agama untuk menikah dengan istrinya saat itu.Keadaan keluarga bapak Nainggolan menunjukkan kekhawatiran mereka terhadap diri bapak Nainggolan jika sudah berumah tangga maka akan berpenampilan berbeda tradisi dengan yang lainnya. Untuk mengantisipasi sejumlah asumsi mengenai kekhawatiran para keluarga Batak Toba terhadap anggota keluarga yang telah berubah identitas sebagai muslim, maka proses keberlangsungan pendidikan akhlak yang patut untuk dilaksanakan di kalangan keluarga Batak Toba Islam khususnya bagi kalangan ibu-ibu antara lainnya: -
Mengetahui
segala
keperluan
psikologis
dan
emosi
anak
serta
memenuhinya berkaitan dengan hubungan kekeluargaan. -
Memantau gejala-gejala ketidak nyaman psikologis dan emosi anak serta pemberian nasehat yang tepat, jika ia menemukan hal-hal gambaran yang dimiliki oleh keluarga Batak Toba Kristiani.
-
Memberi kesempatan kepada anak untuk bergaul dan beraktifitas untuk mengembangkan fungsi-fungsi perasaannya di lingkungan keluarga.
-
Membiasakan anak menghargai dirinya dan keluarganya khusus yang berbeda kenyakinan. Uraian sejumlah item-item di atas merupakan hasil pengamatan peneliti
yang dapat dijadikan sebagai pendekatan awal secara mendasar berkaitan proses keberlangsungan pendidikan akhlak
dalam keluarga Batak Toba Islam.
Kemampuan atau menguasai psikolgis anak menjadi suatu keharusan bagi setiap orang tua. Lingkungan mayoritas Kristiani sebagai bagian lingkungan pertumbuhan anak-anak dari keluarga Batak Toba Islam di dua kabupaten tersebut, menjadi sesuatu perhatian yang serius.Artinya kesamaan nilai budaya yang memiliki kontribusi positif bagi diri anak harus dipertahankan, selanjutnya berkaitan ajaran Islam yang diberikan harus senada dengan nilai-nilai budaya yang hidup di kalangan masyarakat Batak Toba.
98
Gambar 20 Mengajak Anak Untuk Jalan Bersama
Seorang anak dari keluarga Batak Toba Islam sedang memakai lobe bersama orang tuanya berkunjung ke rumah family untuk menghadiri acara pesta adat. Gambaran ini diambil ketika peneliti telah selesai melakukan dialog sederhana berkaiatan keluarga Batak Toba Islam yang ada di kedua kabupaten tersebut. Pesan gambar di atas menunjukkan bahwa Bapak Nainggolan mengajak anaknya berkunjung ke tempat keluarganya di Balige Berangkat dari keterangan di atas maka peranan membekali pendidikan akhlak lebih di dominasi oleh kalangan ayah dalam keluarga Batak Toba Islam, kondisi seperti ini tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini laki-laki di keluarga Batak Toba masih memiliki peranan yang sangat penting dan kedudukan yang dianggap lebih tinggi.Sehingga hampir sebahagaian besar keluarga Batak Toba Islam di kedua kabupaten tersebut dalam mengimplementasikan metodologi pendidikan akhlakbagi anak-anak mereka masih terkait dengan manusia bagi kehidupan keluarga mereka sendiri artinya sistem paternalistik.
99
Seiring gambaran di atas upaya-upaya yang dilakukan oleh orang tua khususnya sang ayah dalam keluarga Batak Toba Islam melalui hasil pengamatan peneliti di lapangan yakni kabupaten Samosir dan Toba Samosir, kalangan orang tuamembekali anak-anak mereka dalam hidup di tengah-tengah keluarga dalam posisinya masing-masing, yang pastinya menguasai DalihanNa Tolu. Menguasai Dalihan Na Tolu
dalam pengamatan peneliti merupakan
pendidikan akhlak terkait dengan manusia dalam kehidupan keluarganya. Artinya Dalihan Na Tolu jika dianalogikan dengan pendidikan akhlak, maka bertujuan membekali anggota keluarga Batak Toba Islam dalam hidup di tengah-tengah keluarga dalam posisinya masing-masing. Keterangan tersebut dipertegas melalui hasil wawancara peneliti dengan bapak Ramos Samosir, bahwa, “...keberhasilan anak-anak kami di tanah Toba ini tidak terlepas dari hubungan kekerabatan keluarga kami yang sudah berhasil di perantauan...” Uraian yang disampaikan oleh bapak Ramos Samosir sesungguhnya tidak begitu jauh berbeda dengan semangat dan motivasi keluarga Batak Toba Islam dalam mencapai keberhasilan untuk kalangan anggota keluarganya. Gambaran seperti ini merupakan salah satu indikasi keberhasilan pendidikan akhlak, artinya pendidikan akhlak terkait dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Proses keberlangsungan pendidikan akhlak seperti ini di harapkan mampu mewujudkan keberhasilan sebagaimana anggota keluarga Batak Toba Islam dapat membekali bagaimana iabisa berkiprah di tengah-tengah masyarakatnya dengan baik dan tetap berpegang pada nilai-nilai akhlak yang sudah digariskan oleh ajaran Islam. Selain itu juga sebagaimana pengalaman bapak Hutahayan yang baru beragama Islam ketika hendak berumah tangga, beliau mendidik anak-anaknya termasuk yang lebih unik, yakni dikarenakan beliau merupakan salah satu penjualan baju-baju yang ada di pelabuhan Balige, beliau selalu menyuruh anakanaknya untuk ada di tokoh penjualan agar mereka tahu keadaan sebenarnya kehidupan ini. Di cela-cela itu ia selalu ajarkan anak-anaknya untuk mengajak orang untuk membeli dengan wajah-wajah yang tersenyum, lalu ia mengatakan
100
kepada peneliti “bukankah senyum itu sedekah pak?!!., gambaran ini menunjukkan bahwa pak Hutahayan punya pengetahuan yang sedikit tetapi mengamalkannya kepada anak-anak beliau. Hasil wawancara dengan bapak Hutanayan berikut ini: ”....aku ini baru masuk Islam, waktu itu aku sedang merantau ke Jawa, ku tengok-tengok enak juga hidup orang Islam ini lalu aku belajar Islam sebentar dan dapat jodoh orang Batak Toba tapi lahir di Jawa boru Sinaga. Lalu kami pindah ke sini. Akau selalu mengingatkan kepada anak-anak untuk selalu baca doa ketika berjualan danpun kerjaan lainnya. Aku sebenarnya beluam bisa lancer baca alqur’an, tapikan Allah itukan maha tahu kan Lae!?...” Pengalaman bapak Hutahayan tersebut
kaitannya dengan upaya
penanaman kepribadian muslim, beliau selalu mengingatkan dan dilakukan oleh anaknya ketika hendak berjualan membaca doa agar jualannya dapat laris, demikian juga halnya yang dilakukan oleh istri beliau kepada anak-anaknya. Berangkat dari keterangan di atas, maka akan terlihat bahwa peranan ayah lebih dominan sebagai keputusan mutlak keluarga dalam proses keberlangsungan pendidikan akhlak, karena sistem budaya agama sebagai pendukung pendidikan akhlak ini bersifat paternalistik. Gambaran ini menurut analisa peneliti sangat baik dalam memelihara pendidikan akhlak dalam keluarga sehingga dapat membentuk kepribadian muslim anak. Bertolak dari sejumlah peristiwa-peristiwa yang dijelaskan oleh sebagian besar informan maka didapatkan kesimpulan sementara bahwa peranan seorang ayah harus memiliki peranan yang aktif memfungsikan dirinya menjaga dan mengembangkan keseimbangan keluarga.Artinya seorang ayah harus mampu mengelolah lingkungan keluarga secara internal demi terbentuknya kepribadian muslim oleh tiap anggota keluarga khususnya anak-anak mereka oleh karenanya walaupun menjadi ayah pada generasi sekarang tidak mudah. Selain mencari nafkah, ayah juga diharapkan dapat mengusahakan keutuhan keluarga dan menciptakan kebersamaan dalam keluarga. Sehingga jika dihubungkan pada peranan seorang ayah dalam membentuk kepribadian muslim dalam keluarga batak Toba Islam sebagaimana keterangan di atas, maka antara lainnya:
101
-
Seorang ayah harus mengembangkan sistem disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik, mental, dan sosial segenap warga dalam satu rumah tangga, dengan ayah sebagai pemegang kendalinya.
-
Ayah dapat memberikan pengaruh kepribadian muslim anaknya dengan memberikan dimensi kekuatan dan harga diri.
2. Sosialisasi Pendidikan Akhlak dalam Membentuk Kepribadian Muslim Anak dalam Keluarga Batak Toba Islam Manusia pada dasarnya memiliki bawaan yang termanifestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan akhlak mulia sebagai dasar dari terbentuknya kepribadian muslim. Terkait dengan itu bila potensi tersebut tidak diikuti dengan sosialisasi pendidikan akhlak oleh para orang tua setelah anak lahir, maka anak akan berubah menjadi tidak baik serta meresahkan keluarga dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, sosialisasi pendidikan akhlak untuk mewujudkan kepribadian muslim anak menjadi sangat penting khususnya di lingkungan keluarga. Mengkaji sosialisasi pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam di kabupaten/kota Sumatera Utara selama mengidentifikasi di lapangan secara mendasar bahwa sumbangan keluarga pada perkembangan anak ditentukan sifat hubungan antara anak dengan berbagai anggota keluarga. Gambaran ini dapat dibuktikan dengan kuatnya budaya Batak Toba yang melekat di dalam keluarga Batak Toba Islam, hasil wawancara dengan bapak Sitorus berikut ini: ”...saya menjadi guru ini dahulunya tinggal bersama nantulang di Medan, karena kami dulu susah hidup di Porsea makanya saya pergi bersekolah sampai ke perguruan tinggi di Medan. Nantulanglah yang membiaya hidup saya dan SPP kuliah saya membantu mereka bekerjaan rumah dan menjaga dan mengasuh anak-anaknya, nantulang dan tulang itu bekerja di perusahaan jadi yang di rumah deanagn anak-anak merekalah saya. Saya sangat berterima kasih dengan usaha mereka membantu saya sampai bisa seperti ini...” Berdasarkan uraian-uraian di atas serta hasil wawancara dengan Ibu Sitorus memberikan informasi kepada peneliti bahwa keluarga Batak Toba Islam pada prinsipnya memiliki kesamaan dalam hal hubungan saling membantu antara
102
sesame marga dan gambaran seperti ini juga yang dilakukan oleh sejumlah besar keluarga Batak Toba Kristiani. Analisa yang dapat diambil dari peristiwa keterangan tersebut bahwa pada prinsipnya Batak Toba tergolong anggota masyarakat yang hidup tolongmenolong
(bergotong
royong),
terutama
bagi
yang
bermukim
di
perkotaaan.Sebagai wujud tolong-menolong dari kelompok masyarakat tersebut, maka dalam suatu keluarga adalah kewajiban dari yang paling tua untuk membantu (pembiayaan) adik-adiknya atau hubungan persaudaran lainnya untuk bersekolah. Hubungan tersebut sebaliknya dipengaruhi oleh kehidupan keluarga dan juga sikap dan perilaku berbagai anggota keluarga terhadap anak dalam keluarga tersebut. Tempat anak dibesarkan mempengaruhi perkembangan anak dengan menentukan jenis hubungan antara anak dengan berbagai anggota keluarga. Berangkat dari keterangan di atas menjadi yang sangat menarik di perhatikan pada sejumlah daerah. Bukti yang dapat ditelaah adalah melihat dari kemampuan kalangan orang tua membuat pola pengasuhan kepada anak-anak mereka. Sesuai identifikasi
di lapangan terdapat beberapa
jenis perbedaan
sosialisasi pendidikan akhlak dalam membentuk kepribadian muslim. Menjadi sebuah catatan dalam sub judul ini bahwa perbedaan jenis sosialisasi ini tidak terlepas dari bentuk pola asuhan anak di kalanghan keluarga Batak Toba Islam. Agar memudahkan pengamatan dan mendapatkan informasi tentang sosialisasi pendidikan akhlak di kalangan keluarga Batak Toba Islam di Sumatera Utara, peneliti tetap membaginya menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama di kota Medan bagi keluarga Batak Toba Islam mengenai sosialisasi pendidikan akhlak sangat berkaitan erat dengan sistem sosial yang terbangun dalam keluarga tersebut. Kota Medan merupakan kawasan penduduk yang multi etnis sangat memberikan pengaruh terhadap bentuk dan corak pada tiap keluarga tidak terkecuali keluarga Batak Toba Islam dalam mensosialisasikan pendidikan akhlak. Sebagaimana hasil dari wawancara yang diterima peneliti melalui para informan
103
menunjukkan sesuatu yang sangat menarik perhatian kalangan pengkaji pendidikan akhlak. Hasil wawancara dengan bapak Siahaan serta istri berikut ini: ”....anak-anak saya jika sedang berada di rumah mereka selalu kani suruh untuk mengerjakan sholat dan mengaji karena saya takut pada masa saat sekarang ini anak-anak bisa tergoda dengan kerusakkan moral anak, terlebih lagi ketika saatsaat belajar di rumah. Mereka saya perintahkan untuk mematikan televisi, radio, semua yang mengganggu belajar mereka, salah satunya tentang penggunaan alat komunikasi....” Pesan yang dapat ditarik dari pengalaman bapak Siahaan ini terkesan ketegasan dalam melaksanakan ibadah dan belajar harus menjadi perhatian anakanak beliau, oleh karena itu analisa yang dapat ditarik dengan sosialisasi pendidikan akhlak tersebut bersifat otoriter. Tujuannya dapat melatih anak secara tegas berkaitan latihan yang dirancang untuk membentuk perilaku anak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh orangtua. Selain itu juga bapak Aspan Sianipar yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah swasta yang berada di kecamatan Medan Timur, hasil wawancara berikut ini: “...jika saya memberikan pesan-pesan tentang akhlak yang baik bagi anak-anak di rumah, setiap harinya mendialogkan mengenai hal-hal yang patut untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan karena saya selalu mengatakan kepada anakanak agar tidak membuat malu orang tua di luar rumah...” Demikianlah penuturan bapak Sianipar kepada peneliti ketika itu. Gambaran yang dapat di tarik atas pengalaman bapak Sianipar terhadap anakanaknya di lingkungan keluarga, beliau menanamkan sifat musyawarah untuk menentukan sikap dalam menjaga nama baik keluarga di luar rumah. Artinya beliau menyiapkan iklim yang kondusif agar anak memperoleh nilai-nilai yang berasal dari kesalehan keluarga dan memberikan kesempatan yang baik kepada anak untuk memberikan usulan, perencanaan yang baik, dan melakukan kegiatankegiatan yang bermanfaat untuknya.
104
Bapak Sinaga yang berprofesi sebagai pedagang berdomisili di Medan Tembung tepatnya di jalan Bhayangkara menuturkan kepada peneliti di sela-sela beliau sedang menunggu antrian pangkas di jalan Serdang, hasil wawancara berikut ini: ”...selama ini saya bekerja di luar kota jadi yang banyak memberikan arahanarahan untuk anak-anak di rumah adalah istri saya...” Selanjutnya peneliti menanyakkan kaitannya dengan bentuk sosialisasi pendidikan akhlak dalam keluarga, hasil wawancara berikut ini: “...begini pak anak saya ada empat yang nomor satu sudah kuliah dan paling kecil sedang kelas 2 SMP, jadi di setiap dinding rumah saya gantungkan kalimatkalimat bernuansa bahasa akhlak tujuannya agar anak-anak di rumah terbiasa membacanya dan ingat akan pesan itu...” Beranjak dari peristiwa keluarga bapak Sinaga bahwa sosialisasi yang beliau lakukan terhadap anak-anak agar memiliki kepribadian muslim hanya sebatas himbauan dan kondisi himbauan itu berfungsi sebagai pengingat untuk selalu menjaga dan memelihara kepribadian yang baik dalam diri.Kondisi seperti ini sangat banyak unsur-unsur budaya di luar budaya Batak Toba berlaku di dalam lingkungan keluarga bapak Sinaga.Paling tidak beliau membimbing anak-anak dari pola tertulis dan disetujui oleh perhatian orang tua diharapkan dalam kontek sosial anak-anak beliau mampu menyesuaikan seperti harapan-harapan pesan dari rumah. Peranan sosialisasi pelaksananaan pendidikan akhlak dalam mewujudkan kepribadian muslim bagi anak-anak di lingkungan keluarga Batak Toba Islam tepatnya di kota Medan kecenderungan untuk mengadopsi beberapa unsur budaya lokal(kota Metropolitan) menjadi sesuatu yang penting agar mereka dapat eksis di lingkungan yang multi etnis. Dengan demikian setiap keluarga akan melakukan proses sosialisasi pendidikan akhlak yang berbeda dengan keluarga lain namun tidak meninggalkan substansi dari budaya mereka sebagai orang Batak Toba.
105
Selanjutnya pada kelompok kedua kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai mengenai sosialiasi pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam untuk mewujudkan nilai-nilai kepribadian muslim yang melekatkandalam diri individu anak-anak. Hasil wawancara dengan Ibu Hajar Pasaribu yang memiliki suami bermarga Simangungsong, berikut ini: ”...kami sebagai orang tua sudah tentu berkewajiban untuk memberikan nilainilai pendidikan akhlak untuk mereka akan tetapi karena kehidupan kami yang serba tidak berkecukupan untuk sehari-hari, anak-anak yang sudah sudah menginjak remaja kami sarankan untuk pergi hidup bersama keluarga kami yang lain, sebelum itu ketika anak-anak masih duduk di sekolah dasar sebagai orang tua kami membimbingnya agar dapat hidup tidak tergantung orang lain atau malah sebaliknya harus mampu membantu orang lain....” Seiring hasil wawancara dari Ibu Pasaribu mengenai pengalaman beliau tentang sosialisasi pendidikan akhlak bagi anak-anaknya di lingkungan keluarga terlihat membudayakan sifat hidup mandiri ketika masih usia sekolah dasar, gambaran yang dapat di tarik atas peristiwa ini bahwa keluarga ibu Pasaribu mewujudkan pendidikan akhlak merupakan bagian dari sosial budaya di lingkungan keluarga mereka. Lain halnya dengan bapak Simanjuntak yang berdomisili di Namorambe berprofesi sebagai Supir angkutan kota di Medan menuturkan kepada peneliti sebagaimana hasil wawancara berikut ini: “...saya pak dalam sehari-hari untuk mendidik anak-anak itu istri saya yang tahu, walaupun demikian adanya karena saya sebagai supir tetapi selalu saya beritahukan kepadanya untuk memberitahu bahwa anak laki-laki jangan diajari manja, sebab ia harus mampu merantau...” Selanjutnya peneliti saya menanyakkan kepada beliau, “...jadi apa yang bapak lakukan terhadap anak laki-laki bapak di rumah?...”., ;lalu beliau menjawab: “...saya mengajari tentang
asal-usul marga Simanjuntak sebagai
106
bangsa Batak Toba agar ia mampu menyesuaikan silaturrahim dengan sesama orang Batak Toba...” Gambaran yang dapat ditarik atas pengalaman bapak Simanjuntak yang berprofesi sebagai supir, bahwa
beliau mensosialisasikan pendidikan akhlak
melalui sistem kekerabatan terhadap anak-anaknya, artinya menanamkan pentingnya marga untuk anak laki-lakinya. Garis marga tersebut diteruskan atau diturunkan oleh anak laki-laki, hal ini sesuai dengan sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh suku Batak Toba. Jadi, jika keluarga Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki, maka marga-nya akan punah. Oleh sebab itu, anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga Batak Toba. Sedangkan posisi anak perempuan atau perempuan Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain. Pengalaman bapak Siahaaan yang berdomisili di kota Lubuk Pakam dalam hasil wawancara berikut ini: “...saya pak jika sudah pulang ke rumah di waktu sore hari saya membimbing anak-anak agar cepat-cepat pergi bersama saya ke masjid dan di sana saya suruh anak-anak untuk menyalami jamaah-jamaah agar mereka tahu orangorang yang tinggal disekitar masjid dan jika keluarga mempunyhai keperluan anak-anak kami tidak lagi perlu diberitahu rumah seorang jamaah tersebut...” Berangkat dari hasil wawancara di kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai bahwa peranan orang tua dalam mensosialisasikan pelaksanaan pendidikan akhlak lebih banyak didominasi oleh kalangan kaum Bapak. Gambaran seperti ini menunjukkan bahwa keluarga Batak Toba Islam yang merupakan bagian dari masyarakat kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai dengan lingkungan sosial budaya yang berbeda dengan daerah asal mereka di Tanah Batak diperkirakan proses sosialisasi yang mereka lakukan dalam sebuah keputusan
pelaksanaan
pendidikan
akhlak
terpola
kelompok
patrilineal
sebagaimana di daerah asal mereka. Bagan 11 Sosialisasi Pendidikan Akhlak di Kabupaten Serdang Bedagai
107
Dan Deli Serdang
Bagan tersebut bersumber dari hasil wawancara dengan bapak Siahaan. Bagan di atas menginformasikan bahwa bentuk sifat sosialisasi pendidikan akhlak sangat menekankan pada budaya patrilineal, oleh karena bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat batak toba umumnya dan di lingkungan keluarga Batak Toba Islam dapat dikatakan lebih diutamakan dari
kaum
wanita,
walaupun
bukan
berarti
kedudukan
wanita
lebih
rendah.Apalagi pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam hal pendidikan. Selanjutnya pada kelompok ketiga kabupaten Samosir dan Toba Samosir mengenai sosialiasi pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam untuk mewujudkan nilai-nilai kepribadian Muslim di tengah-tengah kehidupan kaum non muslim, selama pengamatan peneliti di lapangan di dapatkan antara lain hasil wawancara tersebut. Hasil wawancara dengan bapak Sinaga sebagai warga Pangururan berikut ini: …..”para orang tua di daerah kami ni!!, dalam keseharian mereka di tengahtengah lingkungan keluarga memberikan pengaruh pendidikan akhlak untuk mewujudkan adanya nilai kepribadian muslim, kami selalu menyuruh anak-anak untuk menjaga ternak dan mengerjakan pekerjaan di rumah”….. Sela-sela
melakukan
wawancara
dengan
bapak
Sinaga,
peneliti
menemukan peristiwa yang sangat mendukung data penelitian ketika itu beliau mengeluarkan suara yang mungkin menurut orang biasanya sangat luar biasa,
108
yakni meneriakkan dengan kata-kata “kau tengok dulu ayam yang ada di dalam dapur itu”, sedangkan posisi anak beliau saat itu hanya berjarak dua meter di samping rumah beliau. Lain halnya dengan pengalaman bapak Simamora yang berprofesi sebagai peternak ikan dan sapi di kampung pinggiran Pulo Samosir, hasil wawancara berikut ini: ”...pak saya tak tahu apa yang bapak tanyakan tentang sosialisasi, sebab saya pak hanya tamat sekolah dasar dahulu, tapi maksud bapak menanyakkan akhlak ya pak!!?...”, tanya beliau kembali pada peneliti, selanjutnya beliau menjawab: “...pendidikan akhlak yang saya lakukan untuk anak-anak saya, mereka dapat memahami bagaimana keadaan keluarga lalu di saat-saat pulang sekolah mereka saya suruh untuk menjaga ternak di persawahan. Untuk anak-anak perempuan mereka lebih banyak saya pesankan untuk membantu mamaknya di rumah memasak dan mencuci pakaian...” Seluruh keluarga Batak Toba Islam yang telah memiliki anak-anak berusia setingkat perguruan tinggi tidak dapat peneliti temui, sebab mereka hampir sebahagian besar merantau oleh karena itu peneliti hanya mengumpulkan data dari informan masih usia muda dalam keluarga. Seperti halnya hasil wawancara peneliti dengan bapak Hutasuhut menuturkan kepada peneliti “...kalau di rumah yang selalu aku lakukan untuk anak-anak seperti prilaku baik, doa, menasehati yakni poda, selalu istri saya di rumah, sebab saya berjualan ke Balige, tapi saya juga selalu mengajak anak-anak untuk mengetahui apa yang saya kerjakan di luar rumah biar mereka tahu bagaimana kondisi sebenarnya keadaan keluarga ini pak!!...” Analisa yang dapat di tarik dari pengalaman bapak Simamora dan Hutasuhut serta para orang tua lainnya selama pengamatan peneliti, bahwa keluarga Batak Toba Islam memiliki peran dalam membangun pola pewarisan atau nilai-nilai yang memiliki investasi tersendiri untuk mendidik anak mereka sebagaimana pengalaman bapak Simamora dan Hutasuhut. Mulai dari pemberian doa, nasehat (poda), cara pengasuhan otoriter namun demokratis, modeling dari
109
orang tua dalam bentuk perilaku nyata atau cerita, memberikan bantuan berupa materi maupun non materi, memberi dukungan. Bertolak dari keterangan tersebut bahwa sosialisasi pendidikan akhlak dalam mewujudkan kepribadian muslim anak di lingkungan keluarga Batak Toba Islam di tengah-tengah mayoritas Batak Kristen menunjukkan adanya saran dan pemberian penghargaan secara tegas dan terbuka di lingkungan keluarga Batak Toba Islam, walaupun kelompok mayoritas Batak Kristen banyak di tengahtengah keluarga tersebut, namun mereka juga tetap memberikan penghargaan seperti halnya peneliti temukan di warung tuak dekat pelabuhan. Terdengar oleh peneliti ketika sekelompok orang sedang berbicara serta menyaksikan salah seorang anak yang baru kembali dari Palembang bekerja pulang ke rumah orang tuanya, salah satu di antara mengucapkan: “...Songo nima anak la patenii, mulak nungga sukses ni parantauan...”. Peristiwa ini disaksikan oleh kelompok masyarakat atas keberhasilan yang diperoleh oleh anak tersebut. Melalui sejumlah keterangan hasil wawancara dan pengamatan peneliti terhadap para informan maka gambaran tersebut menunjukkan bahwa keluarga Batak Toba Islam mengambil pelajaran sosialisasi dari keberhasilan suku Batak Toba pada umumnya bersumber dari nilai-nilai yang di anut maka dalam upaya meningkatkan sosialisasi pendidikan akhlak di kalangan anggota keluarga khususnya keluarga Batak Toba Islam di kedua kabupaten ini perlu terlebih dahulu disepakati adanya nilai mulia yang berlaku dan didambakan keluarga batak Toba Islam sebagai nilai-nilai yang
menjadi sumber
motivasi dalam
mensosialisasikan pendidikan ahlak sehingga dapat mencapai keberhasilan.
c.
Sebagai Kelompok Minoritas di Lingkungan Mayoritas Muslim dari Suku lain Sub judul ini sebagai informasi keberadaan keluarga Batak Toba Islam
yang berdomisili atau menjalani kehidupan bersama anggota keluarganya di tengah-tengah lingkungan mayoritas muslim dari suku lain. Gambaran ini dapat di lihat secara umum di berbagai daerah Sumatera Utara antara lainnya Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Mereka
110
sebahagian besar mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk tetap memelihara dan menjaga identitas marga sebagai usaha menjaga silaturrahim antara sesama orang Batak Toba. Gambaran seperti ini merupakan ciri-ciri umum individu Batak Toba Islam dalam keluarga. Keluarga Batak Toba Islam di Sumatera Utara setiap anggota keluarganya secara individu walaupun usia muda hingga menginjak dewasa selalu menunjukkan identitas marga sebagai media untuk menjalin hubungan keluarga antara sesama. Sebagaimana yang terangkum dalam wawancara Manurung, beliau merupakan salah satu
dengan Ibu
guru Madrasah Diniyah Awaliyah
perkebunan Pabatu berikut ini: ”….berkeluarga orang Batak Toba itu harus tahu martarombo, sebab kalau tak tahu maka dia nanti susah menyambung ikatan keluarga antara sesama mereka, jadi menurut saya orang Batak Toba itu dalam hidupnya sehari-hari sangat mengandalkan marganya kepada orang lain untuk menunjukkan status dia sebagai orang Batak Toba….”. Berdasarkan keterangan hasil wawancara dengan Ibu Manurung menunjukkan ciri-ciri umum Batak Toba lebih cenderung menunjukkan status keluarga. Istilah martarombo yang ditegaskan oleh ibu Manurung bahwa sebagai ciri-ciri umum individu Batak Toba harus paham berkeluarga dalam arti menguraikan marganya dan berusaha menjelaskan muasal marga dengan orang lain, karena mungkin saja dia mempunyai hubungan kekeluargaan dengan bibi, paman atau saudara lain, melalui hubungan perkawinan. Hasil wawancara dengan bapak Sitorus yang berdomisili di Kecamatan
Bamban
Serdang Bedagai
menuturkan: “…anak-anak kami di rumah selalu kami ajarkan tentang saudara-saudara kami yang telah sukses. Supaya anak-anak itu tahu keluarga, nanti kalau merantaulah mereka kan!. Bisa dia mengenalkan diri lalu nantikan dia disayang diperhatikanlah oleh keluarga itu. Keluarga kami yang ada kaitan marga itupun selalu kami sampaikan ‘nanti beremu itu mau sekolah di tempat kalian tolonglah kalian tengok-tengoklah anak kita itunya…” Sebagai ciri-ciri umum individu Batak Toba Islam di Sumatera Utara menunjukkan bahwa pendidikan akhlak bertujuan menjaga hubungan antara
111
sesama merupakan status kekeluargaan yang tidak perlu disangsikan lagi, mereka secara individu selalu menarik garis keturunan terhadap hubungan psikososial di antara anggota-anggota keluarga dalam masyarakat Batak Toba khususnya keluarga Batak Toba Islam. Sehingga dimungkinkan saja salah satu faktornya melahirkan nilai kasih sayang antara mereka dalam pengembangan berikutnya akan mengarah pada aspek ekonomi, pendidikan, perlindungan keluarga, dan agama. Selanjutnya secara khusus dalam pengamatan peneliti di lapangan bahwa kalangan keluarga Batak Toba Islam yang berada di Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang dan kabupaten Serdang Bedagai membentuk perkumpulan-perkumpulan. Pengalaman yang bisa diamati akibat mentradisinya marga di kalangan keluarga Batak Toba Islam biasanya tercipta perkumpulan marga atau sejenisnya berdasarkan organisasi sosial, bukan yang lainnya. Dampak dari terciptanya perkumpulan keluarga Batak Toba Islam itu sejumlah
kalangan anak-anak mendapatkan pengetahuan pendidikan akhlak
dalam bersilaturrahim. Wawancara dengan bapak Sirait yang berdomisili di kecamatan Tebing Tinggi menuturkan : “… supaya anak-anak tahu bersaudara dengan satu marga dan mengetahui muasal marganya kami selalu berkumpul dengan istilah keluarga Sirait dengan Borunya. Kadang-kadang kami dating keluarga kami yang masih beragama Kristen untuk menyampaikan hal-hal silsilah marga ini. Jadi kami yang dewasa inipun bisa mengulang kembali. Mengapa begitu karena kami yang sudah muslim ini kurang begitu tahu mengenai silsilah jadi paling tidak diapun membantu kami berkeluarga dalam marga ini pak!!...” Wawancara dengan bapak Manurung yang berprofesi sebagai guru di SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan menuturkan kepada peneliti sebagaimana beliau beragama kristiani: “…aku selalu bergaul dengan orang-orang Batak Toba yang muslim dan aku bilangkan sama mereka kita sebagai orang Batak harus saling ingat mengingatkan terlebih bapakkan dongan tubuh aku jadi kita harus memberikan nasehat, kalau bapak sukses iangtalah kami, kalau bapak susah kita cari saudara kita yang sukses biar kita dibantunya bukan begitu dongan tubuh…”
112
Ungkapan yang disampaikan oleh bapak Sirait dan bapak Manurung tersebut menegaskan agar sesama marga yang disebut dengan dongan tubuh harus saling mengingatkan agar dapat memberikan kebaikan antara sesama marga. Uraian yang di sampaikan tersebut menujukkan bahwa cirri-ciri khusus kalangan keluarga Batak Toba Islam menciptakan perkumpulan marga agar selanjutnya anak-anak mereka mendapatkan pengetahuan mengenai muasal dan arti kekerbatan dalam bermarga. Keterangan di atas memberikan jawaban bahwa hubungan marga dimana saja, pada lapisan sosial dan agama apapun, merasa ada hubungan emosional dan ikatan persaudaraan yang erat. Kekeluargaan dan persaudaraan marga menjadikan Batak Toba tidak terpecah disebabkan oleh perbedaan agama yang dianut. Keterangan di atas menunjukkan cirri-ciri khusus kalangan keluarga Batak Toba Islam yang hidup di tengah-tengah etnis lain yang seakidah. 1.
Keluarga Batak Toba Islam di Kota Medan Mengetahuai keberadaan keluarga Batak Toba Islam di kota Medan,
memang sesuatu yang tak begitu mudah, akan tetapi secara umum sebagaimana hasil pengamatan peneliti di lapangan bahwa keberadaan mereka dapat dibagi kepada dua tempat wilayah yang berbeda. Antara lainnya keluarga Batak Toba Islam di tengah-tengah masyarakat yang satu suku dan berbeda kenyakinan di dalam masyarakat kota Medan yang hetrogen, keluarga Batak Toba Islam di tengah-tengah masyarakat yang satu kenyakinan dan berbeda suku di dalam masyarakat kota Medan yang hetrogen. Kota Medan sejak dahulu hingga saat ini masih menjadi tempat bagi setiap kalangan untuk merubah kehidupan menjadi lebih baik lagi dari kehidupan yang pernah mereka jalani ketika di kampung halaman. Medan adalah kota yang tumbuh bersamaan dengan perkembangan masyarakat (warga) yang terus bergerak menuju kehidupan modern. Kota ini sebagai tempat kunjungan individu dari berbagai kabupaten/kota tidak terkecuali anggota keluarga Batak Toba Islam. Tujuan mereka dari keinginan melanjutkan pendidikan yang lebih baik hingga bekerja untuk merubah kehidupan yang lebih baik.
113
Hasil wawancara peneliti dengan bapak Rahmad Manurung berikut ini: ”…Kota Medan ini memang tempat banyaknya perguruan tinggi sehingga anakanak yang berasal dari daerah-daerah kampung berada di sejumlah kota dan kabupaten di Sumatera Utara melanjutkan pendidikan di sini, kalau dulu waktu aku kecil selalu disampaikan oleh abang sepupuku untuk melanjutkan ke Medan. Abangku pun demikian juga jika sudah memasuki waktu libur sekolah hampir sebahagian keluarga kami dari kampung berkunjung pada keluarga ke kota Medan, dan pengalaman ini menjadi cara abangku untuk memotivasi sejumlah kemanakan-kemanakan dari kampung untuk melanjutkan pendidikan ke Medan…”. Berdasarkan hasil penuturan bapak Rahmad Manurung, menjelaskan bahwa kota Medan sudah lama menjadi kebanggaan sejumlah anak-anak muda dari keluarga Batak Toba Islam untuk melanjutkan pendidikan ke kota ini. Penduduk kota Medan yang multi etnis hampir seluruhnya berasal dari luar kota Medan dan telah menjadi warga kota Medan. Bukti bahwa warga asli kota Medan itu sedikit terlihat ketika hari lebaran atau tahun baru hampir bisa dikatakan kota Medan mengalami kelengangan dan tidak ditemukan keramaian seperti biasanya. Sebagaimana pengalaman bapak Rahmad Manurung sebagai warga Medan yang jika datang waktu lebaran hampir seluruh anggota keluarganya lebih khusus anak-anak beliau diajaknya pulang kampung halamannya untuk melakukan kunjungan keberbagai rumah saudara-saudara yang berada di kampung. Hasil wawancara berikut ini: ”…kehidupan kota ini pak sangat mendidik anak-anak tidak mengetahui arti hidup yang sesungguhnya dialami oleh orang-orang yang ada di kampung seperti aku dulu. Jadi untuk anak-anakku aku usahakan mereka setiap liburan harus pulang kampung dan mengetahui siapa-siapa saja saudara mereka di sana.Memang pak banyak orang kampungku yang sudah kubantu mereka untuk hidup di kota Medan ini contohnya mereka mau kuliah sambil berkerja atau mencari tempat tinggal, sehingga pertolonganku ini selalu ku ceritakan pada anak-anak di rumah agar nanti mereka juga bisa menolong keluarganya yang dari kampung untuk ke kota Medan inilah pak!!!...” Diakhir hasil wawancara dengan beliau terlihat bahwa Paling tidak anakanak Batak Toba Islam di ajarkan oleh orang tua mereka untuk melakukan tolong menolong menuju keberhasilan bersama antara sesama keluarga batak Toba Islam.
114
Pengalaman bapak Rahmad Manurung menunjukkan orang Batak Toba secara umum dengan tradisi merantaunya. Hasil wawancara dengan bapak Johan Amri Marpaung yang berdomisili di jalan pasar 3 Kecamatan Medan Timur menuturkan berikut ini: ” ….keluarga Marpaung datang ke kota Medan ini, kamilah khususnya sudah lama pak!!., aku saja yang sudah berumur 74 tahun lahir di kota Medan. Dulu kata oppungku banyak keluarga kami dari tanah Batak pergi ke Medan ini untuk bekerja kalaupun tidak kami banyak yang bersawah kalau aku tidak salah ya!! Pak dulu kami punya sawah yang sudah dibuka oleh oppung kami di pinggiran kota Medan seperti di labuhan, anak-anak oppung kami banyak yang berhasil saat ini karena mereka bekerja disawah-sawah milik orang Melayu atau membuka sendiri, tapi sekarang ini sawah-sawahpun sudah dijadikan perumahan….” Hasil wawancara dengan bapak Johan Amri yang lahir di kota Medan dan sudah memiliki usia setengah abab lebih, bisa dikatakan bahwa orang Batak Toba sudah mampu hidup dengan baik dan memiliki tanah sebagai bahagian menghidupkan keluarga mereka pada tahun 70 an di kota Medan ini. Walaupun kunjungan berbagai kalangan ke kota Medan ini menimbulkan kecenderungan bermukim pada lingkungan yang sama atau satu etnis, tetapi mereka tetap hidup saling berdampingan tampa menimbulkan persoalan sosial antara sesama warga. Hasil wawancara saya dengan bapak Sirait yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di instansi pemerintahan dan memiliki anak yang tidak begitu mengerti tentang bahasa Toba menuturkan beiktu ini: ” ….aku Lae di kota Medan ini sudah tinggal 40 tahun lamanya, aku tak mungkin lagi pulang ke kampung halaman karena bagaimana lagi mau pulang ya pak!!, anak-anak sudah besar mereka semuanya sudah kuliah dan anak nomor satu sudah berkerja jadi sudah tidak dipaksa lagi untuk pulang ke Porsea dimana tempat aku dulu Lae lahir….”. Uraian dari bapak Sirait jelas bahwa alasan beliau tidak lagi kembali ke kampung halamannya karena mereka merasa sudah berhasil di kota Medan dan tetap bertahan serta tak kembali lagi ke Porsea tempat ia dilahirkan, selanjutnya ia menuturkan bahwa di kampung halaman tidak terbuka kesempatan yang lebih besar untuk maju. Jawaban bapak Sirait tersebut mengindikasikan bahwa jumlah
115
penduduk kota Medan dari tahun ke tahun mengalami pertambahan penduduk, terlebih lagi banyaknya usia-usia produktif untuk melanjutkan pendidikan di kota ini dan ketika selesai dalam pendidikan di perguruan tinggi mereka tidak lagi ingin kembali ke kampung halamannya. Berdasarkan kunjungan saya keberbagai kecamatan yang ada di kota Medan ditemui sejumlah besar keluarga Batak Toba Islam memiliki pasangan hidup atau suami-istri dengan etnis lain. Gambaran ini menunjukkan bahwa anggota keluarga Batak Toba Islam sangat terbuka dengan berbagai etnis lain dalam menjalani kehidupan mereka keseharian-hariannya. Sebagai contoh dengan salah satu informan peneliti yakni Sigit Sinaga yang berkerja di salah satu bank swasta sebagai marketing menuturkan kepada peneliti berikut ini: “…aku ini bang memang orang Batak Toba tetapi orangtuaku yang perempuan itu suku Jawa jadi aku ini keturunan sijabat, yang kepanjangannya keturunan dari pasangan Jawa-Batak…” Sudah dipastikan bahwa penduduk kota Medan merupakan penduduk yang hetrogen. Kondisi ini dikarenakan kota Medan merupakan tujuan dari sejumlah pengadu nasib yang menginginkan perubahan hidup, salah satunya sebagaimana keterangan
Sigit Sinaga.
Penduduk kota Medan dalam keseharian mereka
senantiasa berinteraksi antara etnis dalam kehidupan keseharian dan kondisi seperti ini sangat sulit untuk dihindarkan, demikian juga halnya keluarga Batak Toba Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat lainnya di kota Medan. Akibat banyak pengaruh kehidupan yang multi etnis, maka hampir bisa dikatakan tingkat pengamalan keagamaan keluarga Batak Toba Islam di kota Medan tidak begitu memiliki pengaruh yang kuat. Hasil wawancara dengan salah satu mahasiswa di perguruan tinggi agama Islam memiliki boru Hutapea menuturkan berikut ini: ”…pak, kami dalam hidup sehari-hari mengamalkan keagamaan Islam biasabiasa saja, tidak panatik sehingga membatasi diri dengan orang lain. Orang tua
116
kami memang tidak begitu amat-amat pintar pengetahuan agama Islam, terlebih lagi keluarga kami yang baru masuk Islampun kami hanya bisa menyarankan untuk belajar kepada ustad-ustad karena kami orang Batak Toba muslim hanya dapat pengetahuan agama dari orang tua. Pendidikan orangtua kamipun hanya pendidikan umum yang dijalani sehingga wajar saja kalau kami biasa-biasa saja dalam mengamalkan agama Islam…” Akibat hidup yang senantiasa berdampingan dengan budaya lain, individu anggota keluarga Batak Toba Islam hampir sebahagian besar tidak menunjukkan pribadi yang membatasi diri untuk bergaul dengan anggota keluarga Batak Toba Kristen, sebagaimana yang terjadi di kota Medan. Gambaran tersebut sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan Liana Hutapea yang memiliki saudara kandung berkerja di kota Tarutung menjelaskan: ”…bapak kami di rumah selalu mengajari kepada kami untuk tetap menjaga hubungan dengan keluarga Batak Toba Kristen, dengan catatan jika telah berada di kalangan mereka kita jangan tunjukkan sikap jijik dengan pertemuan itu karena kata bapaku bisa menjadikan orang itu tidak senang, karena kami telah dididik seperti itu makanya seperti abangku yang namanya Ihsan Holomoan Hutapea saat ini telah bekerja di Dinas Pendidikan Tarutung bisa hidup bersatu dan berdampingan dengan mereka…” Berdasarkan hasil wawancara dengan Diana Hutapea tersebut jelas bahwa pendidikan akhlak yang ditanamkan kepada anak-anak bapaknya terkesan mengajari nilai siturrahim yang tetap menjaga perbedaan kenyakinan.Selanjutnya secara sosial mereka harus menjaga adat istiadat sebagai media kenyamanan dalam bersilaturrahim. Melihat kedekatan hubungan antara budaya Batak Toba dan ajaran Islam sebagaimana penjelasan sebelumnya membuktikan bahwa Islam dan budaya Batak Toba mampu menciptakan ciri khas keluarga Batak Toba Islam yang secara otomatis menampilkan corak yang berbeda dengan keluarga Islam yang berasal dari etnis lain atau keluarga Batak Toba yang berakidah lainnya. Keluarga Batak Toba Islam yang berada di kota Medan tidak seluruhnya berasal dari Tanah Batak Toba, tetapi terdapat juga yang berasal dari Sumatera bagian Pantai Pesisir. Berikuti ini wawancara dengan bapak Johan Amri Marpaung:
117
“….kisah kami dulu sampai ke Medan ini karena ayah kami menyuruh kami untuk belajar di Al-Wasliyah Medan, yang sekarang ini UNIVA. Hampir di UNIVA itu dulunya banyak anak-anak dari kampung kami belajar setelah itu melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Medan ini juga, hanya sebahagian kecil saja pulang kampung. Aku dan kawan-kawan yang lainnya kebetulan bermarga yang berasal dari Tanjung Balai dapat pula istri orang sini makanya jadi penduduk Medan, begitulah muasal kami masuk ke Medan ini pak!!...” Kota Medan sebagai tempat tujuan mengubah nasib untuk kehidupan di masa mendatang bagi kalangan pendatang khususnya anggota keluarga Batak Toba Islam, perkembangan mereka hidup di kota tersebut saling berdampingan dengan keluarga Batak Toba yang non muslim. Kedamaian dan saling memahami tetap terpelihara dengan baik walaupun berbeda akidah dikarenakan adat sangat berperan aktif memediasinya. Hasil wawancara dengan bapak Manurung merupakan mantan TNI yang berdomisili di komplek TNI kampung Durian Medan menuturkan: ” ….Medan ini aman-aman saja karena orang Medan itu adik!!!., sangat menghormati perbedaaan latar belakang seseorang dan keadaan berdamai seperti ini terbangun secara baik, selain itu juga dek!!., penduduknya dari berbagai etnis berimbang, lalu orang Jawa yang banyak di Medan ini mereka tidak agresif, dan karena penduduk asli Medan Melayu dan beragama Islam!!!!.,,, begitulah dek!!!. ….” Selanjutnya hasil wawancara dengan bapak Sinaga yang kebetulan tinggal Medan hampir 25 tahun menuturkan kepada peneliti: “….kami menjadi Islam ini karena bapak Ustad Kitab yang mungkin bapak kenal saat ini Zending Islam jalan Sisingamangaraja. Dulu kami masih kecil-kecil di sekolah agama Islam oleh bapak ustad itu di sekolah Zending itu, karena lingkungan kami sudah berubah dari lingkungan agama Kristen dan Parmalim di Porsea jadi saat ini kami sudah Islam. Kamipun tidak kembali ke daerah kami hampir sebahagian besar semuanya kawan-kawan saya itu mendapat kerja di Medan ini. Mereka pun jadi warga Medan….”. Sejumlah hasil wawancara yang dapat menjadi keterangan bahwa keluarga Batak Toba Islam yang terdapat di kota Medan ini hingga menjadi penduduk Medan di karenakan sejumlah lembaga-lembaga Pendidikan Islam Medan
118
dahulunya mengajak dan memberikan kesempatan bagi anak-anak di daerah perkampungan untuk melanjutkan pendidikan semisal UNIVA dan Zending Islam. Misi kegiatan dakwah oleh lembaga Pendidikan Islam yang membantu anak-anak Batak Toba Islam belajar telah memberikan informasi mengenai muasal keluarga Batak Toba Islam yang berada di kota Medan ini. Identitas menjadi muslim bagi kalangan keluarga Batak Toba di kota Medan, hampir sebahagian besar tidak mengetahui secara pasti. Akan tetapi dapatlah peneliti letakkan memahaminya dalam kondisi yang mudah sebagaimana tabel berikut ini: Bagan 12 Batak Toba di Kota Medan Berubah Identitas Menjadi Muslim dan Menjadi Warga Kota Medan
Bagan tersebut bersumber dari hasil wawancara dengan bapak Manurung merupakan mantan TNI yang berdomisili di komplek TNI kampung Durian Medan selanjuntya bapak Johan Amri Marpaung, bapak Sinaga dan bapak Sigit Sinaga. Bagan di atas menunjukkan keterangan mengenai identitas anggota keluarga Batak Toba menjadi muslim yang ada di kota Medan. Walaupun perubahan identitas dapat diklasifikasikan akan tetapi setiap mereka ditanya sejak kapan menjadi muslim, maka jawabannya tidak memberikan penjelasan yang demikian pasti pula. Salah satu keterangan yang peneliti temukan dari hasil wawancara bapak Simamora yang berdomisili di Medan Belawan berikut ini: ” ….dulu aku datang ke Belawan ini bekerja di pelabuhan memang aku dulunya beragama non muslim. Karena hidup ini berjodoh dengan gadis yang tempatku
119
makan siang kalau istirahat kerja, makanya aku masuk Islam. Sampaikan sekarang aku pak masih belajar Islam walaupun keluarga istriku tidak sepandai ustad-ustad….”. Berdasarkan penjelasan di atas terbukti bahwa akibat bentuk budaya Batak Toba yang senantiasa mengajari manusianya untuk hidup lebih baik lagi di perantauan, mereka yang berasal dari tanah Toba hampir sebahagian besar menghilang identitas untuk mencapai apa yang mereka tujukan. Gambaran ini sesuai hasil wawancara saya dengan ibu Hutabarat yang kebetulan sedang berada di Bandara Kuala Namu menuju Jakarta dan ketika itu peneliti menuju ke Kuala Lumpur, dan beliau merupakan warga Medan yang kira-kira memiliki usia mencapai 50 tahun ke atas. Berikut ini hasil wawancara : ”….kami sekeluarga sudah menjadi muslim karena bapakku dulu itu masuk Islam ketika mereka bekerja dengan orang-orang Melayu, karena mereka saling bergaul dan mungkin saja selalu mengikuti kegiatan pengajian orang-orang Melayu bapakku dulu mendapat hidayah sehingga menjadi muslim…” Selanjutnya keluarga Batak Toba Islam sebagaimana yang telah disinggung dalam sub bab terdahulu yang mengungkapkan bahwa keluarga Batak Toba Islam yang berada di Kota Medan ini selain dari tanah Batak di daerah Danau Toba sekitar mereka juga berasal dari pinggiran Pantai Sumatera Utara. Keluarga Batak Toba Islam yang berasal dari Tanah Batak dalam pengamatan peneliti masih mempertahan adat Batak Toba sebagai media untuk berhubungan dengan keluarga Batak Toba Kristen dalam kehidupan mereka, dalam hal ini keluarga Batak Toba Islam memiliki pengetahuan yang banyak tentang adat serta bahasa Batak Toba. Akan tetapi Batak Toba Islam yang berasal dari pinggiran pantai Sumatera Utara hampir sebahagian besar tidak mengetahui sebagaimana yang pengetahuan keluarga Batak Toba Islam yang berasal dari Tanah Batak mengenai adat serta Bahasa Batak Toba. Berikut ini hasil wawancara dengan ketua Jam’iyah Batak Islam yakni bapak Panggabean:
120
”…Batak yang ada di kota Medan ini bisa ku katakan Batak yang pardembanan termasuk akulah, aku berasal dari pinggiran pantai Sumatera Utara, Sibolga jadi hampir anggota keluargaku pun sebagai orang Batak Toba yang muslim sudah tidak lagi mampu berbahasa Batak Toba yang baik apalagi mengenal budaya Batak Toba secara sempurna!!!, begitulah nasib kami pak!!!...” Hasil wawancara dengan bapak Panggabean, Ibu Hutabarat serta Bapak Simamora di atas memberikan informasi kepada pembaca bahwa keluarga Batak Toba Islam yang terdapat di kota Medan mengalami perubahan dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari, jika dibandingkan dengan kehidupan mereka dahulunya di kampong halaman. Gambaran ini akibat dari relasi antara orang Batak Toba terhadap seluruh masyarakat kota Medan atau sebaliknya artinya semakin banyak anggota keluarga Batak Toba Islam bergaul
melalui sekolah, pekerjaaan, tetangga, pasar,
perkumpulan sport, rekreasi dan politik, bahkan perjodohan berakibat pada identitas dan pengetahuan mereka tentang budaya Batak Toba tidak begitu sempurna lagi. Kondisi seperti ini dikarena keluarga Batak Toba Islam di kota Medan dalam perjalanan hidup mereka menjalani mata rantai yang berbeda-beda dalam menghadapi perubahan sosial masyarakat kota Medan. Oleh karena itu mereka terbentuk dan memiliki penampilan budaya yang berbeda jika dibandingkan dengan keluarga Batak Toba Kristen serta keluarga Islam dari etnis lainnya di kota Medan ini. Hasil jawaban ketua Jam’iyah Batak Islam membuktikan dalam pengamatan penulis terhadap anggota keluarga Batak Toba Islam yang ada di kota Medan ini. Saat itu saya melaksanakan sholat jumat disalah satu mesjid yang berada di tengah kota di sana terpampang nama seorang khatib bermarga Simanjuntak. Saya mendengarkan khutbahnya sebelum pelaksanaan sholat jumat terlihat jelas dari gayanya menyampaikan memang benar-benar orang Batak Toba yang memiliki suara keras dan bersemangat menyampaikan pesan dakwahnya. Hasil wawancara berikut ini: ”…kabar Ustad!!!.,,, saya tinggal di Medan ini sudah lama juga kira-kira tamat IAIN tahun 1995 kampung kami dari Tanjung Balai, saya kalau berceramah ini
121
bersemangatlah karenakan jamaah banyak yang ngantuk. Ohhh!! Kalau suara keras inikan sudah bawaannyya ustad.,,!!Maksudnya sebagai orang Batak Toba kalau mengeluarkan kata-kata itu harus keras dan jelas dan tak boleh istilah!!,,.. Tangjung Balai lombet-lombet kayo agar-agar!!!...”. Keterangan yang disampaikan oleh bapak ustad Simanjuntak walaupun sedikit dari hasil wawancara peneliti karena beliau terburu-buru akan melakukan kegiatan lain setelah
sholat jumat. Memberikan gambaran bahwa diri yang
dimiliki oleh setiap individu tidak hanya ditentukan oleh dirinya sendiri, akan tetapi gambaran diri akan ditentukan oleh identitas pribadi dan identitas sosial yang dimiliki seseorang/individu. Penjelasan yang demikian itu karena identitas sosial yang dimiliki seseorang akan selalu dipengaruhi oleh identitas pribadi yang melekat dan dipengaruhi
oleh
lingkungan
sosial
dimana
seseorang/individu
tersebut
mengaitkan diri sebagai bagian dari kelompok. Seiring dengan hasil wawancara bapak ustad Sianipar, peneliti juga menemukan seorang ustad yang kebetulan sebagi khotib dalam sholat jumat di pinggiran jalan Sisingamangaraja Medan Amplas, wawancara saya dengan ustad Simanjuntak,“….pak ustad!!!!., sudah berapa lama bapak tinggal di kota Medan ini?...”.lalu ia menjawab “…saya sudah hampir 28 tahun semenjak saya kuliah dari kampung di Tanjung Balai ke IAIN Medan dan saat ini saya berkeluarga dengan orang Melayu Deli…” Selanjutnya saya menanyakkan tentang budaya Batak Toba terhadap beliau, “…pak dalam keseharian apakah menggunakan bahasa Batak Toba sebagai bahasa pengantar berkomunikasi di rumah.?...”, ia menjawab “…kami sesungguhnya sudah tidak tahu lagi berbahasa Batak Toba karena lingkungan kami hampir seluruhnya Melayu….”. Selanjutnya saya bertanya “…tapi., kelihatannya pak al-Ustad tadi ketika menyampaikan khutbah jumat saya mendengarkan dan memperhatikan seperti gaya orang Batak Toba yang penuh dengan semangat?...”, lalu ia menjawab “…iya pak., saya memang selalu semangat mungkin ini karena saya dan lingkungan keluarga kami yang masih terbangun darah Batak Tobanya!!...”. Hasil jawaban dari pak ustad Sianipar serta ustad Simanjuntak tersebut menunjukkan bahwa keluarga Batak Toba Islam di kota Medan ini memiliki gaya
122
yang dapat digunakan sebagai penjejak dengan cara yang mudah mengenali perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Artinya keluarga Batak Toba Islam dapat diketahui secara gampang perbedaannya dengan keluarga Batak Toba yang non Islam. Dikatakan demikian, karena lewat gaya hidup seseorang atau suatu kelompok sosial dapat diidentifikasi kehadirannya. Keluarga Batak Toba Islam yang berasal dari tanah Batak Toba dan berdomisili di kota Medan dalam penampilan kesehariannya masih terlihat jelas seperti orang Batak Toba umumnya jika dibandingkan dengan keluarga Batak Toba Islam yang berasal dari Pardembanan. Gambaran seperti ini saya temukan ketika sejumlah informan dalam berkomunikasi menjawab pertanyaan saya masih ditemukan pertandaan dan penyingkapan seluruh pribadi mereka. Artinya keluarga Batak Toba Islam yang menampakkan suatu perbedaan dengan tindakan keluarga etnis lain meskipun mereka tersebut berada dalam budaya dan ruang yang sama. Perjalanan saya menuju
Medan Amplas dengan mengendarai sepeda
motor terlihat di pinggir jalan ada beberapa papan bunga acara pesta perkawinan, ketika itu saya membaca papan bunga tersebut tertuliskan nama seorang mempelai laki-laki dengan menggunakan marga Sinaga di sisi lainnya sejumlah undangan mengenakan pakaian-pakaian kepesta dengan menggunakan tutup kepala atau disebut dengan jilbab. Peristiwa tersebut memberikan pesan pada saya bahwa acara itu merupakan acara perkawinan keluarga Batak Toba Islam, dicela-cela para undangan berjalan saya berkenalan kepada seorang Bapak yang berpeci hitam.Lalu saya bertanya kepada beliau, “pak ini acara pesta pernikahan ya?”., lalu bapak itu menjawab “iya pak.,!!”, selanjutnya saya mewawancarai bapak tersebut dan kebetulan beliau bermarga Nainggolan yang berasal dari kecamatan Medan Belawan. Seiring dialog yang saya lakukan terhadap Bapak Nainggolan, saya juga mengikuti beliau dalam undangan tersebut ketika acara tempung tawar terdengar oleh saya ada ucapan-ucapan “horas-horas..!!”merupakan istilah-istilah kebiasaan orang Batak Toba secara umum.
123
Berdasarkan pengalaman di atas terlihat jelas bahwa keluarga Batak Toba Islam yang berada di kota Medan masih menggunakan istilah-istilah ucapan yang terdapat pada etnis Batak Toba secara umum dan gambaran seperti itu melalui hasil pengamatan saya terhadap sejumlah keluarga Batak Toba Islam yang berada di berbagai kecamatan kota Medan, mereka menganggap diri mereka bukan lagi sebagai pendatang di kota Medan ini. Gambaran tersebut dapat dibuktikan dengan prilaku kehidupan keseharian anggota keluarga Batak Toba Islam di saat berinteraksi terhadap etnis lainnya tidak begitu terlihat jelas perbedaannya, terlebih lagi mereka berusaha keras untuk bisa berkontribusi terhadap kemajuan kota ini. Perkumpulan-perkumpulan marga Batak Toba baik Islam ataupun non Islam di kota Medan sangat subur hidup di kota Medan. Gambaran ini didapatkan ketika saya bertemu seorang warga Medan Perjuangan dengan baju berseragam yang tertulis di baju sebelah kanannya bermarga Siahaan di dalam angkutan Kota Medan. Seiring perjalanan angkutan tersebut saya menyempatkan diri mewawancari beliau, berikut ini hasil wawancaranya: “…pak!!., baru dari kantor dan menuju pulang ke rumah?”, lalu ia menjawab, “tidak pak, saya bukan pulang ke rumah tetapi pergi menuju acara arisan keluarga yang insyaalllah esok akan dilaksanakan dan keluarga saya sudah berada di Simpang Limun”, lalu saya bertanya, “arisan keluarga bagaimana pak?”, lalu beliau menjawab “arisan keluarga kami yakni perkumpulan marga Siahaan, dan acara ini kami lakukan setahun sekali pada tanggal dan hari yang kami sepakati…”. Selain itu juga sesuai hasil wawancara saya dengan keluarga Batak Toba Islam di kota Medan, baikyang berasal dari Tanah Batak maupun Batak pinggiran Sumatera Utara. Mereka sebagai orang yang meninggalkan kampung halaman, mereka juga ingin mendapatkan pengakuan atas keberhasilannya di perantauan. Peristiwa ini dapat dibuktikan dengan fakta di lapangan melalui hasil wawancara saya dengan bapak Tampubolon berikut ini: “…pak!.. kelihatannya sudah mengalami keberhasilan bapak di kota Medan ini, saya melihat rumah bapak yang sangat megah ini?....., lalu informan saya menjawab, ….“saya membangun rumah ini karena saya memiliki banyak
124
keluarga di kampung halaman yang kebetulan jika mereka pergi ke Medan, maka mereka akan menginap di rumah saya ini, jadi paling tidak dapat menyenangkan mereka di sini!!...”
2. Keluarga Batak Toba Islam di Kabupaten Deli Serdang Perjalanan saya menuju kawasan pesisir Deli Serdang antara lain di Kecamatan Percut Sei Tuan, Pantai Labu ditemukan beberapa warga masyarakat etnis Batak Toba yang telah lama berdomisili di tempat tersebut. Mereka ada yang beragama Islam maupun Kristiani akan tetapi dari segi penampilan maupun berkomunikasi menurut pangamatan saya mereka tidak begitu jauh berbeda dengan masyarakat Melayu pesisir itu sendiri. Analisa yang dapat di ambil atas perubahan identitas tersebut dipastikan akibat banyaknya orang Melayu di daerah Melayu membuat orang Batak Toba maupun beragama Kristen ataupun Islam terpaksa mengalami asimilasi total dengan kultur setempat, yaitu Melayu. Hasil wawancara dengan Taufik Butar-butar berdomisili kecamatan Pantai Labu menuturkan: ”…pak!!.,, aku sendiri marga Butar-butar dan ada juga keluarga dari ipar bermarga Hutabarat ikut dengan mereka mengadu nasib di kampung itu, tapi dia belum Islam dan mengerjakan ajaran agama kristennyapun ia belum pernah aku tengok., begitu juga kata orang tuaku. Memang kampung yang banyak orang Batak beragama kristenpun ada di kecamatan ini, tapi kalau ku tengok-tengok juga pak tidak seperti gaya orang Batak asli dari sana ya Pak!,…” Pemaparan tersebut memberikan pesan bahwa suku Batak Toba yang berada di daerah lain berusaha untuk lebih banyak bersosialisasi
daripada
mempertahankan identitas di tambah lagi melihat gambaran orang Batak Toba di kabupaten ini dengan warga asli etnis Melayu, mereka
sangat memberikan
pengaruh budaya terhadap etnis pendatang tidak terkecuali etnis Batak Toba. Seiring keterangan di atas, maka salah satu kriteria yang peneliti temukan terdapat bukti beberapa orang informan dari kalangan keluarga Batak Toba Islam yang tinggal di pinggiran Pesisir bahwa mereka sudah tidak bisa lagi berbicara dengan bahasa Batak Toba, malah sebaliknya berbicara dengan bahasa Melayu.
125
Kondisi seperti itu akibat mayoritas masyarakat beragama Islam dan sering mengadakan kontak dengan suku Melayu di Deli Serdang, baik di bidang keagamaan maupun perdagangan, secara tak sengaja satu persatu bahasa Melayu pun masuklah ke dalam pengetahuan mereka dan mengfungsikan sebagai bahasa keseharian mereka. Menelusuri keluarga Batak Toba Islam di kabupaten Deli Serdang memang cukup memberikan efek positif bagi pengalaman seorang peneliti, sebagaimana pertemuan peneliti dengan seorang informan yang beragama Kristen dan berasal dari Siantar menuju daerah pesisir masyarakat Melayu di Percut Sei Tuan. Beliau adalah bapak Tampubolon yang baru saja datang dari Siantar menuju Percut Sei Tuan untuk menemui keluarga adik mamaknya yang bermarga Pakpahan. Hasil wawancara berikut ini: ”…bahwa sejak pindah adik mamak ku Tulang hami (paman) ke Percut Sei Tuan pada tahun 1978 dan beristrikan etnis Melayu serta menjadi orang Islam, anakanaknya sudah tidak mengetahui adat Batak Toba terlebih lagi mereka sangat sulit berbicara bahasa Batak Toba, kami dari Siantar selalu menyebut mereka dengan istilah Batak dalle karena dianggap telah memelayukan diri akibat masuk Islam dan tidak lagi mengacuhkan hal-hal yang berhubungan dengan adatistiadat Batak Toba…” Selanjutnya saya bertanya kepada bapak Tampubolon, “…pak ketika bapak!!... berada di rumah mereka dan menginap, bagaimana penerimaan mereka terhadap bapak sedangkan bapak tidak beragama Islam?...”, lalu bapak tersebut menjawab, “…aku sangat istimewa mereka buat bah!!!., tinggal di rumahnya, tapi aku segan karena aku kan!!.. tidak sholat!!...” Peristiwa
kunjungan
yang
dilakukan
oleh
Bapak
Tampubolon
menunjukkan sesuatu yang sangat menarik tentang kepribadian tulangnya. Pak Pakpahan tetap menjadi kemanakannya yakni Bapak Tampubolon sebagai saudara dekat walaupun memiliki keyakinan yang berbeda, demikian juga halnya dengan keluarga Batak Toba Islam lainnya yang saya temui mereka tetap memberikan bentuk kekerabatan terhadap keluarga mereka yang berbeda kenyakinan.
126
Gambaran ini saya dapatkan bukti dari hasil wawacara saya dengan Ibu Manullang sebagai muslimah warga Lubuk Pakam yang bekerja di pemerintahan Kabupaten Deli Serdang.Berikut petikan wawancara dengan Ibu Manullang: “…Ibu!!.. bagaimana hubungan persaudaraan ibu dengan keluarga-keluarga yang berbeda agama dengan Ibu?.., lalu ibu itu menjawab “iya baik-baik saja tidak ada persoalan, malah kalau kami diundang acara pesta mereka memberikan makanan kepada kami dari hasil masakan orang muslim, dan mereka menghargai kami, walaupun ada juga segelitir orang yang tidak menyukai kahadiran kami jika terjadi pesta adat, karena kalau kami hadir di acara pesta maka mereka terpaksa memasak daging kerbau dan itupun harus dimasakkan oleh orang muslim juga, tetapi jika tidak hadir kami maka mereka merasa tidak terbebani sebab seluruh undangan pesta bisa memakan daging babi dan biayanya murah kata mereka…” Saling
memahami
serta
menghargai
untuk
menjaga
hubungan
kekeluargaan di kalangan keluarga Batak Toba antara Islam dan Kristen sudah menjadi kebutuhan, walaupun demikian di sisi lainnya juga otomatis ditemui adanya potensi-potensi yang mengarahkan terjadi konflik hubungan tersebut walaupun tidak berdampak pada benturan fisik. Sebagaimana hasil wawancara kami dengan Ibu Hutasoit yang memiliki keluarga Batak Toba Islam menuturkan kepada peneliti: ”…pengalaman ku mungkin bisa ku bagikan unutk bapak!!!.,, kamipun merasa juganya punya keluarga orang Islam yang kebetulan anak boru kami masuk Islam dengan orang Batak Toba yang dahulunya dari Tanjung Balai. Biasanya kalau ku ingat-ingat ada dulu kami ada persoalan hubungan kami, contoh soal makanan, yang kami pahami kan tidak boleh makan yang haram jadi waktu itu kami menyediakan makanan ayam memakai piring punya tetangga kami yang Kristen lalu di tolaknya makanan itu. Memang salah kami karena tidak cakap dulu bagaimana menlayani mereka. Tapi semuanya itu kalau aku pikir-pikir juga ya pak kembali kepada mentalnya juga terlebih memahami hukum adat Dalihan Na Tolu…” Pengalaman cerita dari ibu Hutasoit itu membuktikan bahwa saling memahami dan menghargai atas perbedaan tersebut, mereka juga menemukan potensi-potensi konplik kecil sebagaimana tertulis dalam gambaran berikut ini: Bagan 13
127
Potensi konflik Keluarga Batak Toba Islam dengan Keluarga Batak Toba Non Islam di Kabupaten Deli Serdang
Bagan di atas bersumber dari hasil wawancara dengan ibu Manullang dan ibu Hutasoit Bagan tersebut menjelaskan kondisi-kondisi terjadinya potensi rawan konflik. Realita di lapangan hubungan mereka tersebut masih berjalan harmonis dengan memfungsikan serta memahami secara arif salah satu dari ketiga potensi konflik tersebut. Artinya keluarga Batak Toba Islam di Kabupaten Deli Serdang masih memiliki keterbukaan menerima saudaranya untuk tinggal di rumah walaupun kenyakinannya berbeda, demikian juga halnya mereka yakin keluarga Batak Toba Non Islam masih tetap menganggap sebagai keluarga walaupun segelitir orang saja yang tak menyukai hubungan tersebut. Berkaitan dengan wawancara saya dengan bapak Tampubolon bahwa keterbukaan
keluarga
Tulangnya
tersebut
memberikan
kesan
kepada
kemanakannya walaupun Tulangnya telah menjadi muslim tetapi ia mampu menciptakan hubungan kekeluargaan yang dibentuk, dimaknai, dan dipraktekkan dalam konteks kesadarannya sebagai orang Batak Toba atau dimaknai dongan sabutuha yang kemudian mereka letakkan dalam ruang sosial bersama, maupun sebagai bagian dari pemeluk agama, yang jika dilihat dari deferensiasi sosial, berbeda. Berdasarkan gambaran di atas dan penelusuran saya di sejumlah wilayah kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, apa yang ingin dikatakan di sini bahwa sebagian besar orang memang mengaku beragama Islam dan lainnya mengaku beragama Kristiani, akan tetapi kedua pemeluk agama tersebut, mencoba memaknai dan memahami berdasarkan kekayaan budaya Batak Toba yang menjunjung tinggi Dalihan Na Tolu. Secara tidak langsung tradisi Batak Toba
128
mengenaiDalihan Na tolu
terbangun dalam praktek sosial, tidak menjadi
rintangan dalam membangun relasi sosial, walaupun mereka tidak memahami adat Batak Toba. Hasil wawancara dengan Ibu Dolok yang kebetulan beragama Kristen dan berkerja di SMA negeri 1 Percut Sei Tuan menuturkan: ”….aku Tulang, walaupun tidak beragama Islam tapi karena ajaran adat di keluarga kami kuat, orang-orang Islam kayak tulang saudara kami dan kita sama-sama berasal dari Bona Pasogit. Agama Islam dan agama Kristen ini kan yang datangnya dia ke kepada orang Batak Toba, jadi kok harus bertengkar kita karena itu. Bukan begitu tulang!!!....” Selanjutnya Ibu Pandia yang kebetulan memiliki suami bermarga Manurung menuturkan dari hasil wawancara berikut ini: ”…keluarga kandungku saat ini juga ada yang muslim dan mereka taat dalam beragama akan tetapi kalau ada acara-acara adat pesta dan apesta kematian mereka itu tetap hadir dan kami sangat kagum dengan penampilan keluarga kami itu pak., kalau bapak bagaimana seperti !?keluarga kami jugakan tetap menjaga adat sebagai ukuran orang Batak Toba asli!?...” Gambaran yang di buktikan oleh Ibu Dolok serta Ibu Pandia di atas dalam pengamatan peneliti merupakan sosok yang begitu kuat memegang adat. Selanjutnya mengamati keluarga Batak Toba Islam yang betul-betul masih memegang adat Batak Toba sangat sulit di temukan di wilayah Kabupaten Deli Serdang ini, hanya beberapa keluarga saja yang masih mewarnai budaya-budaya Batak Toba dalam keluarganya, oleh karena itu dalam mengantisipasi hilangnya adat Batak Toba di kalangan keluarga Batak Toba Islam mereka membentuk kelompok-kelompok etnis, semisal keluarga bapak Amir Siahaan yang merupakan pengurus Jam’iyah Batak Islam kabupaten Deli Serdang beliau berdomisili dekat simpang tugu Lupuk Pakam di samping Bank Sumut cabang Lubuk pakam. Hasil wawancara dengan bapak Siahaan berikut ini: ”…kumpulan-kumpulan keluarga khususnya keluarga kami Batak Toba masih berjalan lae, dari kumpul-kumpul inilah anak-anak kami mengetahui keluarga dan adat Batak Toba, walaupun tidak semuanya kami laksanakan adat Batak Toba itu dalam keluarga. kami masih menggunakan adat untuk mengambil
129
semangat berkeluarga tetapi itu yang boleh dalam ajaran agama Islamlah bukan begitu lae, mungkin lae sendiripun lebih mengerti….” Menurut penuturan bapak Arifin Purba yang memiliki pengalaman berdakwah di kalangan masyarakat Lubuk Pakam, sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ”…begini Siamu, menurut informasi dari orang tuaku dan oppung-oppung dari pengalaman kawan-kawanku di Lubuk pakam ini katanya!!., awal mulanya beragama Islam melalui orang tua mereka yang ketika itu pergi merantau ke Kabupaten Pakam ini bertujuan merubah nasib lebih baik lagi, lalu akibat kebutuhan hidup di wilayah Melayu merekapun beragama Islam…”. Pengamatan peneliti terhadap sejumlah informan menunjukkan bahwa latar belakang mereka beragama Islam atau alasan konversi ke agama Islam mengenai orang tua mereka pada generasi kedua dalam sejarahnya adalah karena kebutuhan keamanan serta kemudahan menjalankan ibadah Islam dari pada Kristiani, dan Parmalim ketika itu. Keterangan di atas menunjukkan bahwa terjadi perubahan identitas keagamaan sesungguhnya akibat implikasi dari interaksi sosial antara etnis Batak Toba sebagai pendatang dan etnis Melayu sebagai warga pribumi.Pola seperti keterangan bapak Arifin Purba didukung oleh sifat etnis Batak Toba sebagai komunitas yang memiliki sifat merantau di negeri orang, sebagaimana mereka menghubungkan aktivitas di perantauan (kabupaten Deli Serdang) dengan keuntungan perubahan hidup yang dapat mereka capai.Artinya aspek ideologis tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan pilihan-pilihan pekerjaan dengan etnis Melayu termasuk dalam memilih jodoh. Keluarga Batak Toba Islam yang berada di Kabupaten Deli Serdang tepatnya daerah pertanian juga menjadi observasi saya. Selama saya berada pada beberapa kecamatan di Kabupaten Deli Serdang terlihat hasil pertanian yang diusahakan oleh warga yakni tanaman padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau dan kacang kedelai, perkebunan sawit dan karet warga, dan lain-lainnya. Penduduk yang melakukan kegiatan pertanian
sebahagian besar adalah suku
jawa, misalnya petani tanamam padi yang ada di kecamatan Beringin.
130
Keluarga Batak Toba Islam yang merupakan etnik minoritas di kawasan pertanian tersebut selalu berinteraksi dengan etniklain semisal etnis Jawa, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu mengalami perbedaan penampilan sebagai orang Batak Toba. Terlebih ketika mereka menghadiri tempat acara peringatan hari Besar Islam yang diadakan oleh beberapa masjid
di daerah
tersebut. Hasil wawancara saya dengan informan bernama Bapak Samsul Sijabat, sebagaimana beliau ketika itu saya melihat pak Sijabat sedang menggiling hasil panennya berupa tanaman padi di sebuah pabrik penggilingan, berikut ini hasil wawancaranya: ”…pak!!., kelihatannya dari tadi saya perhatikan ketika berdialog dengan masyarakat etnik Jawa, bapak mampu berbicara dan tidak begitu bisa saya membedakan dengan etnik Jawa lainnya tentang pribadi bapak sebagai orang Batak Toba!!, sebenarnya mengapa bisa seperti itu pak?...” Selanjutnya bapak tersebut menjawab: ” …kalau sudah tinggal di tempat yang bukan kampung kita dilahirkan ya..!!! harus bisa menguasai bahasa kampung itu!!, jika tidak maka kita tidak akan mungkin mencapai keberhasilan hidup di kampung orang lain, dan saya pun saat ini masih bisa berbicara Batak Toba sebab keluarga saya masih ada di Lumbang Julu Porsea…” Gambaran di atas menunjukkan bahwa orang Batak Toba di kabupaten Deli serdang khususnya di kawasan berdomisilinya bapak Samsul Sijabat, serta keluarga bapak Tampubolon
memberikan kesan pada peneliti bahwa hampir
sebahagian besar orang Batak Toba sangat begitu mampu untuk bersosialisasi dengan masyarakat Deli Serdang, baik pendatang maupun yang asli penduduk tersebut. 3. Keluarga Batak Toba Islam di Kabupaten Serdang Bedagai Perjalanan
saya
menuju
kabupaten
Serdang
Bedagai
dalam
mengidentifikasi sejumlah keluarga Batak Toba Islam di sana ditemukan bahwa
131
hampir sebahagian besar budaya dan bersosial kalangan keluarga Batak Toba Islam tidak begitu berbeda dengan keluarga Batak Toba Islam yang berdomisili diperbatasan Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Selanjutnya di sisi lain informasi sejarah menyebutkan bahwa kabupaten Serdang Bedagai dahulunya merupakan kekuasaan kesultanan Serdang dan kerajaan Padang Bedagai, sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Ustad Kamal Saragih berikut ini: ”….memang kedengaran dari informasi yang saya terima banyak orang Simalungun yang masyarakatnya punya marga yang mirip dengan orang Batak Toba menjadi sebagai pendatang di kabupaten ini.Saya ada membaca bahwa sejarahnya daerah ini merupakan kerajaan atau kesultanan yang memiliki keturunan Batak Simalungun yang berbudaya Melayu dan beragama Islam. Jadi ya!! Wajar sajalah jika kita jumpai masyarakat di sini memakai marga tetapi ia berpenampilan Melayu dan beragama Islam….” Berangkat dari uraian di atas maka dapat disimpulkan untuk sementara ini sebelum informasi terbaru bahwa penduduk asli kabupaten Serdang Bedagai adalah penduduk berdarah Batak Simalungun dan berbudaya Melayu serta secara mayoritas mereka beragama Islam. Selanjutnya berapa banyakkah jumlah keluarga Batak Toba Islam yang berdomisili di kabupaten ini, sebagaimana informasi tersebut peneliti ambil dari hasil wawancara dengan bapak Saragih yang memiliki istri boru Sihotang berasal dari pulau Samosir dan saat ini telah berusia 60 tahun serta berdomisili di Sipispis, berikut ini penuturan beliau: ”…hampir sebahagian besar orang Batak Toba yang beragama Islam sangat sulit untuk dihitung-hitung ada berapa mereka di kabupaten ini, tapi yang jelas pa!!., mereka semuanya dalam sejarah merupakan masyarakat pendatang. Dalam keseharian kalau kutahu bahwa orang Batak Toba yang beragama Islam selalu mengakui sebagai etnis Simalungun sehingga bisa jadi yang beridentitas etnis Batak adalah etnik Simalungun, maka dimungkinkan keluarga Batak Toba Islam berasimilasi dengan etnik Simalungun, begitulah kondisinya pak!!!...” Perubahan identitas bagi kalangan pendatang khususnya keluarga Batak Toba Islam ke kabupaten Serdang Bedagai ini, memang cukup memberikan
132
informasi yang berbeda-beda. Akan tetapi itu semua dapat diidentifikasi beberapa pendekatan yang memungkinkan mereka mengalami perubahan tersebut. Adanya sosialisasi masyarakat lokal dalam hal memberitahukan seluruh kegiatan yang ada dalam masyarakat desa sehingga berakibat banyaknya kalangan pendatang (keluarga Batak Toba) menerima informasi berkaitan agama Islam. Adanya keluarga Batak Toba Islam pardembanan yang berasal dari daerah pesisir Melayu mereka mengalami interaksi dengan kalangan keluarga Batak Toba yang asli sehingga ketika terjadi kontak maka akan dimungkinkan mereka mengalami perubahan identitas. Informasi lain akibat asimilasi dengan etnik Simalungun atau etnik lainnya yang ada di kabupaten Serdang Bedagai, maka keluarga Batak Toba Islam akan mengalami perubahan identitas. Artinya jumlah kecil keluarga Batak Toba Islam yang pindah ke kabupaten Serdang Bedagai ini tidak mempunyai pilihan lain kecuali menjadi bagian dari kultur yang homogen. Tetapi jika jumlah keluarga Batak Toba Islam sudah menjadi besar, mereka akan sanggup mengatur diri dan memperlihatkan identitas mereka sebagai orang Batak Toba atau mereka membuat sebuah perkumpulan. Perubahan identitas ini sangat melekat di kalangan keluarga Batak Toba Islam, sebagaimana perubahan identitas itu dapat diketahui dari sebuah pantun, hasil wawancara dengan bapak Siahaan berikut ini: ”…begini pak!!!., sangkin seringnya orang Batak Toba dikatakan orang yang tidak Islam jika berada di kalangan orang Melayu serta dikatakan Batak Dalle jika berada di kalangan mayoritas non muslim, maka sebenarnya ada pantunnya pak!!!., kampak bukan sembarang kampak, tetapi kampak Siam, Batak bukan sembarang Batak tetapi kami adalah Batak Islam….” Berdasarkan penyampaian pantun di atas, bertujuan untuk menunjukkan identitas dalam mempertahankan dan melestarikan nilai-niai budaya Batak Toba sebagai kearifan tradisional.Akan tetapi di sisi lainnya juga yang patut menjadi cacatan bahwa orang-orang Batak Toba banyak yang tidak diakui sebagai orang Islam bagi orang Islam atau kalangan masyarakat Melayu dan Jawa. Selanjutnya sebaliknya juga jika mereka sudah beragama Islam maka mereka tidak diakui
133
sebagai orang Batak Toba di kalangan mayoritas masyarakat batak Toba non muslim. Berangkat dari latar belakang tersebutlah maka tujuan yang diinginkan dari pantun adalah sebuah pengakuan realitas sosial bahwa orang Batak Toba bukanlah ‘yang lain’ karena sebenarnya kita sama-sama orang Batak Toba ataupun sama-sama orang beragama Islam. Sepanjang perjalanan yang saya
telusuri terhadap sejumlah keluarga
Batak Toba Islam di kabupaten Serdang Bedagai ini, mereka hampir sebahagian besar berprofesi sebagai pegawai negeri sipil dan petani, tetapi yang lebih menjadi perhatian peneliti adalah selain mereka sebagai pegawai negeri sipil mereka juga mengambil kegiatan dari aspek pertanian. Gambaran seperti ini menunjukkan bahwa budaya Batak Toba yang sangat senang bertani tetap terjaga dan terpelihara dengan baik dalam kehidupan mereka. Kondisi seperti ini merupakan sebahagian hidup orang Batak Toba dahulunya merupakan pengelola lahan pertanian yang ada di Bona Pasogit. Hasil wawancara dengan bapak Sitorus Pane yang berasal dari kecamatan yang berbatasan dengan kota Tebing Tinggi berikut ini : ”….pergi ke sawah setelah pulang mengajar itu rasanya nikmat sekali pak, karena melihat begitu menghijau atau menguningnya padi itu membuat hati terasa senang. Aku memang salah satu guru negeri yang ada di sekolah dasar kabupaten Serdang Bedagai, tapi kegiatan ku ini tidak mengganggu pekerjaan, hanya sekedar sampingan saja bukan sebaliknya!!!, jadi pak kalaupun nanti datang saudara dari kampung kitapun akan dikatakan tidak begitu sombong karena juga kita menanam padi di sawah dan merekapun bisa makan nasi sepuasnya di rumah kita ini!!!...” Uraian di atas dari hasil wawancara dengan bapak Sitorus Pane mengindikasikan bahwa kegiatan bersawah bagi kalangan pegawai negeri sipil khususnya bagi keluarga Batak Toba Islam memberikan bukti bahwa kehadiran suadara-saudara dari kampung untuk mengunjungi mereka tidak menjadi kondisi yang di khawatirkan akan kekurangan nasi.
134
Pengalaman Ibu Sihotang yang berprofesi sebagai pedagang sayur mayur di pajak perbaungan menutur kepada saya, sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ”…aku pak!!!., sepanjang hidupku dalam bergaul dengan keluarga Batak Toba Islam yang berada di kabupaten Serdang Bedagai ini baik secara individu maupun kelompok, mereka terkadang kalau ku lihat-lihat sudah tidak kelihatan seperti orang Batak Toba, mungkin kalau tidak salah mereka sudah merubah karakter akibat pergeseran nilai-nilai adat Batak Toba dalam diri mereka setelah beragama Islam…” Selanjutnya ibu tersebut memberikan keterangan dan keterangan ini dikuat oleh sejumlah kawan-kawannya yang kebetulan sedang membeli sayuran, adapun hasil wawancara tersebut: ”….sebenarnya ciri-ciri anggota keluarga Batak Toba Islam di kabupaten Serdang Bedagai ini yang nampaknya sudah tidak seperti orang Batak Toba itu, contoh seperti ustad-ustad yang bermarga, mereka itu kalau dalam pengajian yang saya tau ya pak!!, ketika ia menyampaikan beberapa pendapatnya atau pengetahuannya tentang ajaran Islam, terkesan nilai-nilai ajaran Islam itu sedikitpun tidak ia kaitkan dengan budaya yang relevan tentang Batak Toba…” Selanjutnya ibu Simamora
mengungkapkan dalam hasil wawancara
berikut ini: ”….orang Batak Toba yang beragama Islam itu kalau dilihat dari corak berpakaiannya sedikitpun tidak didapatkan hal-hal yang berhubungan dengan simbol-simbol budaya Batak Toba, dari aspek pergaulan kesehariannya didominasi oleh suku etnik di luar Batak Toba yang sangat mereka jumpai sehingga wajar saja jika keluarga Batak Toba Islam sebahagian besar yang saya temui tidak seperti saya temui di Toba….” Berdasarkan keterangan di atas mengenai perubahan budaya yang dialami keluarga
Batak
Toba
Islam
di
kabupaten
Serdang
Bedagai
sesungguhnyamerupakan sesuatu yang dinamis, selalu berkembang seiring dengan pola prilaku manusia yang terus menerus berubah. Perubahan-perubahan perilaku manusia, baik sengaja maupun tidak, telah membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan manusia termasuk di dalamnya adalah kebudayaan manusia itu sendiri.
135
Sepanjang pengalaman saya mengamati perkembangan keluarga Batak Toba Islam di kabupaten Serdang Bedagai terlihat bahwa mereka sebagai kelompok migran tidak mampu mengoptimalkan simbol-simbol budaya Batak Toba, kondisi ini diakibatkan kultur dominan lokal mempengaruhi mereka, sehingga mereka menjadi Batak ‘seperti Melayu atau Jawa’. Ini terjadi karena orang Batak Toba Islam harus beradaptasikan diri kepada kultur masyarakat kabupaten Serdang Bedagai jika mereka hidup di kalangan masyarakat Islam Melayu atau Jawa, dan ini merupakan patokan cara hidup di kabupaten Serdang Bedagai. Peristiwa ini berpengaruh ‘seperti mayarakat kabupaten Serdang Bedagai’ ini makin kuat dalam generasi yang kedua. Perjalanan di kabupaten Serdang Bedagai memang sangat cukup melelahkan, akan tetapi kelelahan itu dapat diobati oleh adanya informasi mengenai perkembangan keluarga Batak Toba Islam yang berada di tengah-tengah kampung mayoritas Batak Toba non muslim. Tempat tersebut berada di desa Gempolan kecamatan Sei Bamban kira-kira dua jam dari kota Medan. Kampung tersebut sebahagian besar di domisili oleh orang Batak Toba, di sanaterdapat kirakira lima keluarga Batak Toba Islam yang hidup berdampingan dengan mereka. Kampung Gempolan yang berada di kecamatan Sei Bamban merupakan kampung yang memiliki banyak penduduk beretnik Batak Toba sehingga ketika saya mengunjungi kampung tersebut, suasana sosial dan budaya masyarakatnya terkesan seperti yang saya alami ketika berada di daerah asal Batak Toba yakni, Samosir. Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa orang Batak Toba meskipun telah berpindah dari kampung halaman ke berbagai tempat perantauan baik desa maupun kota ke berbagai penjuru wilayah yang ada di Indonesia, akan tetapi bagi kelompok ini tidak serta merta menghilangkan nilai-nilai budaya yang telah menjadi sebuah sistem nilai yang harus dipegang teguh. Oleh karena itu untuk mendapatkan data informasi yang murni saya berupaya mengidentifkasi beberapa keluarga Batak Toba Islam yang berdomisili di tengah-tengah keluarga Batak Toba Kristen.
136
Ibu
Sitorus yang berprofesi sebagai petani setiap harinya berkerja di
sawah, beliau merupakan sosok petani yang memiliki semangat pengelola persawahan yang sangat baik. Gambaran ini saya perhatikan dari beliau bahwa hampir setiap harinya beliau rajin bekerja dan memperhatikan perkembangan tanamannya di sawah yang beliau miliki, selanjutnya beliau selalu membawa anak-anaknya jika anak-anaknya tidak pergi ke sekolah untuk berkerja di sawah sampai sore atau yang tepatnya jam 18.00 Wib mereka kembali ke rumahnya. ”…anak-anak ini selalu aku ajak mereka pergi ke sawah unutk membantu mencabut rumput dan sebagainya. Kalau anak-anak ini tidak seperti ini maka bisa jadi mereka tidak sadar sebenarnya mereka itu siapa!!!., kami hidup di tengah-tengah masyarakat non muslim bukan berarti kami tidak bisa bergaul, malah menjadi lebih enak kalau bergaul dengan orang Batak Toba di sini, karena anak-anak mereka semuanya berhasil jadi contoh-contoh anak mereka ini bisa aku cakapkan sama anak-anak…” Pesan yang dapat diambil dari prilaku Ibu Sitorus terhadap anak-anaknya tidak lain hanyalah untuk melatih, agar berkemampuan mempertahankan hidup bagi anak-anaknya kelak merantau kedaerah lain. Hasil wawancara dengan ibu Sitorus memberikan pesan kepada pembaca bahwa prilaku anak-anak dalam kehidupan sosial perlu untuk dilatih agar membiasakan diri mengamalkan nilai-nilai dan etika yang berlaku, salah satunya menanam padi di sawah dalam mempertahan budaya hidup di perkampungan. Gambar 21 Seorang Ibu Mengajak Anak-anaknya ke Sawah
137
Ibu Sitorus sedang menuju persawahan di belakang rumah bapak Sidabutar bersama anak-anaknya di waktu sore hari. Pengalaman bapak Sinaga yang beragama Islam dan masih memiliki keluarga di Porsea khususnya perkampungan Lumbang Julu, menuturkan dalam hasil wawancara berikut ini: ”…bahwa sejarahku masuk ke kampung ini dulunya ya…!! Lae untuk merubah nasib agar lebih baik lagi kehidupanku di masa mendatang jika dibandingkan dengan kehidupanku ketika di kampung Lumbang Julu dulunya!!!., awal mulanya memang sangat berat rasanya tinggal di kampung orang tapi itu semuanya sudah ku lalui, sekarang anak-anak ku sudah bisa sekolah di tempat yang baik, begitulah lae!!...” Hasil wawancara dengan sejumlah informan khususnya pada generasi pertama yang memiliki usia berkisar 60 ke atas menurut mereka bahwa yang melatar belakangi upaya meninggalkan kampung halaman karena faktor ekonomi
138
dan demografis akan tetapi itu hanya sebagai alasan terkecil tetapi yang sangat mendominan juga faktor budaya memainkan peranan sangat penting. Sehingga meninggalkan kampung halaman merupakan jalan menuju kematangan dan kesuksesan. Bapak Sirait yang berdomisili tidak begitu jauh dengan Bapak Sitorus di kawasan kampung Hapoltahan kecamatan Sei Bamban kabupaten Serdang Bedagai, di sana peneliti melakukan pengamatan dengan tidak langsung dan melakukan wawancara berikut ini: ”…anggota keluarga di rumah ini terdiri dari kami suami-istri dan anak-anak empat orang ditambah dengan anak abang yang datang dari Porsea tinggal di sini untuk sekolah di Tebing Tinggi. Kami dalam sehari-hari bekerja di sawah pak!!.,jadi hampir sering kami tidak tahu waktu sholat, kalau sholat kami bisa tapi untuk rutin melaksanakannya menjadi gendala, ya namannya saja badan kita pakaian kita kotor dari sawah mana mungkin bisa sholat yakan pak!!...” Uraian yang di sampaikan oleh bapak Sirait di atas merupakan problematika yang sering peneliti temukan di kalangan informan. Berlama-lama peneliti di kediaman beliau untuk bersilaturrahim dan mengamati perkembangan salah satu anggota keluarga Batak Toba Islam yakni keluarga bapak Sirait, di sana peneliti melihat untuk keseharian dengan sejumlah anggota keluarga di rumah bahwa mereka tidak begitu taat dalam menjalankan ajaran agama Islam khususnya ibadah sholat. Berikut ini wawancara dengan ibu Sitorus: “…saya pak memang bertetangga dengan orang-orang Batak Toba yang sudah muslim, tapi mereka tidak melakukan perintah Tuhannya. Sama juga kayak kami yang juga jarang pergi ke Gereja, hanya kalau ada tamu mereka yang menginap di rumahnya barulah kadang-kadang kulihat mereka ada pergi ke Masjid hari jumat…” Gambaran ini saya dapatkan dan saya perhatikan ketika setiap waktu sholat mereka hanya sebahagian kecil individu saja melaksanakannya, mereka sibuk dalam kegiatan bersawah dan ketika bersosialpun mereka dalam berpenampilan keseharian
tidak begitu jauh berbeda dengan mereka yang
139
beragama Kristen hanya pada persoalan makan babi saja mereka untuk tidak melakukannya. Ketika itu waktu sholat ashar telah masuk, terdengar azan di kampung sebelah saya langsung bergegas izin kepada pak Sirait sebelum melakukan wawancara untuk melaksanakan sholat ashar. Beliau dengan muka yang tersenyum mempersilakan untuk sholat di rumahnya, terlihatlah gambar-gambar di dinding selain dari foto keluarga beliau, juga adanya tulisan ayat-ayat al-Qur’an seperti ayat kursi dan sebagainya. Setelah melaksanakan sholat saya menemui kembali bapak Sirait yang terlihat ia tidak begitu bisa untuk memahami Islam secara baik. Hasil wawancara berikut ini: ”… Begini dek, saya kan orang Islam tetapi saya tak mengetahui melaksanakan ajaran agama Islam, jadi untuk menunjukkan saya orang Islam kepada mereka (non muslim) di rumah sayalah dibuat tanda-tanda ayat-ayat Arab…” Demikianlah ia menjelaskan alasan kepada saya berkaitan banyak tulisantulisan ayat-ayat disangkutkan didinding rumah, dan ia pun dengan semangat kepada saya menjelaskan alasan tersebut. Gambaran yang dapat ditarik dari hasil wawancara saya dengan bapak Sirait tersebut menunjukkan bahwa lingkungan yang didominasi oleh kalangan non muslimmengakibatkan keluarga Batak Toba Islam, tidak memiliki pengetahuan keagamaan yang kuat terlebih dalam mengamalkan ajaran agama Islam keseharian mereka. Kalau dicermati secara mendalam gambaran yang dialami oleh kalangan informan atas penjelasan mereka mengenai kamampuan menjalankan ibadah sesungguhnya sangat tergantung dari dukungan lingkungan sosial manusia. Selanjutnya lingkungan sosial manusia adalah faktor penting dalam pembentukan ciri khas kejiwaan dan norma manusia, bahasa dan adab serta kearifan lokal. Agama dan mazhablah pada umumnya yang memaksakan lingkungan sosial terhadap manusia. Berangkat dari keterangan di atas maka kondisi yang menyebabkan mereka tidak patuh dalam beragama, salah satunya dalam menjalankan ibadah
140
sholat, karena implikasi dari perkembangan lingkungan yang banyak berlangsung di
dalamanya
hanya
mementingkan
kebutuhan
dunia,
terlebih
sifat
mengumpulkan harta dari hasil persawahan. Meskipun demikian, masih ada keluarga Batak Toba Islam yang berpegang teguh dengan ajaran agamanya yakni Islam yang tidak sepenuhnya ia berbuat menya-yiakan kesempatan berbuat baik di dunia ini. Gambaran tersebut antara lain adalah faktor pendidikan agama Islam yang dimilikinya dan didapatkan pengetahuan keagamaan tersebut melalui pengalaman pendidikan dalam keluarga. Sebuah perbincangan dengan saya, salah seorang anggota keluarga Batak Toba Islam yang miliki marga Sijabat dan berkerja di kantor Bupati Serdang Bedagai, yang mengklaim bahwa keluarganya masih tetap patuh menjalankan atau melaksanakan ajaran Islam, itu menuturkan kepada saya: “…kami, walaupun orang Batak Toba dan masih memiliki keluarga di Pematang Siantar yang beragama Kristen, dalam menjalankan ajaran Islam masih tetap kami perbuat, kondisi ini karena dahulu kami ketika kecil selalu dibelajar agama Islam di sekolah Arab (sekolah madrasah) oleh orang tua kami, sehingga kami masih tetap melaksanakan sholat….” Berdasarkan pemaparan tersebut agama diletakkan sebagai sistem kenyakinan yang dapat menjadi bagian inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi penggerak serta pengontrol bagi anggota masyarakat untuk tetap berjalan sesuai dengan nilainilai kebudayaan dan ajaran agamanya. 4.
Pendidikan Akhlak dalam Keluarga Batak Toba Islam Sebagai Kelompok Minoritas di Lingkungan Mayoritas Muslim dari Suku Lain Setelah uraian gambaran keluarga Batak Toba Islam di kota Medan,
kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai dalam sub judul ini akan dibahas secara menyeluruh di ketiga tempat tersebut berkaitan pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam meliputi konsep dasar dan tujuan pendidikan akhlak, terakhir berkaitan proses keberlangsungan pendidikan akhlak.
141
i.
Konsep dasar dan Tujuan Pendidikan Akhlak Membicarakan tentang konsep dasar pendidikan akhlak dalam keluarga
Batak Toba Islam ini sesungguhnya tidak terlepas dari bentuk pola pengasuhan anak itu sendiri. Seluruh keluarga Batak Toba Islam dalam menetap konsep dasar serta tujuan pendidikan akhlak sebagai
kelompok minoritas di lingkungan
mayoritas muslim dari suku lain cukup memberikan perbedaan yang
patut
menjadi bahan kajian selanjutnya. Sebagaimana keterangan terdahulu bahwa keluarga Batak Toba Islam hampir sejumlah besarnya berada di tengah-tengah etnis Melayu ataupun Jawa. Akan tetapi dari aspek marga yang melekat di akhir istilah nama tiap individu Batak Toba masih melekat. Gambaran ini di temukan ketika mewawancarai sejumlah informan yang berada di lapangan, ketika peneliti mencari keberadaan informan mereka dikenal dengan istilah marga-marga saja semisal “Pak Saragih, Pak Sitorus, Pak Tampubolon, dan seterusnya. Peristiwa di atas memberikan pesan bahwa orang Batak Toba walaupun telah berada di luar Tanah Toba dan beragama Islam mereka tetap memegang tradisi membawa marga sebagai identitas dan status sosial orang Batak Toba yang masih bertahan hingga kini. Hasil wawancara peneliti dari Ibu Butar-butar yang berdomisili daerah Dolok Merawan jalan menuju ke Siantar menguraikan: “…pendidikan akhlak dalam lingkungan keluarga itu sangatlah penting terlebih lagi bagi kami yang saat ini memiliki keluarga dari kalangan non muslim, di sisi lain mereka memang tidak seakidah akan tetapi karena masih memiliki aliran darah atau keturunan dengan mereka maka hubungan ini juga masih kami jaga. Pendidikan akhlak yang kami lakukan untuk anak-anak merupakan modal kami membedakan penampilan anak-anak kami dengan anak-anak yang lainnya, contohnya ketika terjadi bertemuan keluarga kami tetap melaksanakan sholat dan merekapun mempersilakan kami…” Konsep dasar pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam sejauh pengamatan peneliti di lapangan mereka membentuk pendidikan ahklak dalam keluarganya bukan hanya sebuah penampilan, lebih dari itu pendidikan akhlak merupakan sebuah kebutuhan.
142
Hasil wawancara dengan bapak Sitompul berikut ini: ”…mengajari anak-anak untuk patuh kepada orang tua saat ini memang pak tidak mudah tapi itu harus dilaksanakan. Mereka pulang sudah sampai rumah nonton TV sorenya main-mainmalamnya aku wajibkan mereka belajar dan TVpun tak kami hidupkan karena bisa mengganggu anak-anak belajar, tapi kadangkadang TV itupun bisa memberikan inspirasi bagi kami saat acara pengajian agama Islam di waktu pagi, nanti anak-anak yang besar perempuan aku banguni cepat untuk melihat acara tersebut…” Berdasarkan uraian bapak Sitompul di atas, dapatlah ditangkap bahwa penyajian pendidikan akhlak untuk anak-anaknya dengan memfungsikan media massa sebagai pendukung pendidikan akhlak di rumahnya. Gambaran ini menunjukkan sebagaimana anggota keluarga Batak Toba Islam
akan lebih
berkembang dengan adanya pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam tak hanya sebatas ada dalam ajaran Islam saja, akan tetapi segala hal dalam budaya Batak Toba yang positif dan tidak bertentang dengan ajaran Islam juga diistilahkan oleh mereka dengan pendidikan akhlak, sebab mereka memahami bahwa
belajar
mengenai kebaikan prilaku pada hakikatnya, sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak Butar Butar di Kecamatan Sei Bamban mengungkapkan berikut ini: “…kita lahir sampai akhir hayat disuruh untuk belajar tentang sopan santun agar bumi ini bisa dijaga dengan baik juga dan ini dikuatkan dengan adanya usaha melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam…” Pengalaman pada keluarga Batak Toba Islam yang berada di tengah-tengah masyarakat kota Medan, kalangan orang tua memahami konsep dasar melaksanakan pendidikan akhlak bagi anak-anaknya dalam keluarga tidak terlepas dari pengalaman pendidikan akhlak yang dialami dan ditemukannya ketika masih kecil serta profesi yang dimilikinya saat ini oleh sejumlah orang tua keluarga Batak Toba Islam di kota Medan. Sebagaimana hasil wawancara saya salah satu informan yang kebetulan bekerja di Samsat kota Medan dan memiliki orang tua di Sei Bamban yang bernama bapakT. Mangungsong berikut ini: “…pendidikan akhlak di rumah memang sesuatu yang tak perlu untuk dipikirkan lagi untuk dilaksanakan dalam rumah karena sudah menjadi kebutuhan setiap
143
orang tua. Tujuannya ya pak!!!.,agar anak-anak kami memiliki kepribadian yang baik di masa depannya lalu ia juga mampu menunjukkan diri sebagai anak orang Batak Toba yang beragama Islam, pendidikan akhlak yang saya laksanakan pada anak-anak agar kelak mereka dapat mengingat Allah dan tidak meninggalkan sholat…” Lain halnya dengan bapak Basir Panggabeaan yang berdomisili di Medan Tembung yang memiliki latar belakang sarjana hukum S1 di UISU menjelaskan, hasil wawancara berikut ini: “…bahwa pendidikan akhlak bagi anak-anaknya dilakukan sebagai dasar kesadaran diri bahwa anak-anak harus dididik dengan nilai-nilai akhlak mulia, sebab perkembangan zaman saat ini sangat-sangat mengancam masa depan pertumbuhan pengetahuan nilai kebaikan anak-anak, oleh karena segala potensipotensi yang di bawa sejak lahir baik potensi jasmani ataupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh keluarga muslim dan budaya Batak Toba…” Ciri khas keras dan tegas sebagaimana yang dilakukan oleh bapak Basir Panggabean ini misalnya merupakan watak dasar keistimewaan yang dimiliki orang Batak Toba Islam dan keluarga Batak Toba Islam yang lainnya. Hal ini dapat peneliti saksikan ketika di siang hari anak bapak Panggabean belum melaksanakan sholat, lalu ciri khas orang Batak Toba pun muncul dengan nada suara dari bapak tersebut: “ …cepat kalian sholat, memangnya kalian mau jadi preman tak berguna di masyarakat…” lalu anak-anaknya pun bergegas untuk melaksanakan sholat. Ibu Sihombing berprofesi sebagai guru memiliki pengalaman yang demikian berbeda, sebagaimana hasil wawancara dengan beliau berikut ini:
“…bahwa pendidikan akhlak yang saya lakukan untuk anak-anak saya harus memiliki pengetahuan agama lalu ia harus percaya diri menjadi orang Batak Toba setidaknya walaupun tidak mampu ia berbicara bahasa Batak Toba ia memiliki kemampuan menjelaskan silsilah marga dari bapaknya…” Lalu peneliti menanyakkan kepada Ibu tersebut: ”…bagaimana pendidikan akhlak tersebut bu?...”., ia menjawab, “…anak saya untuk mengetahuai pengetahuan ilmu agama saya masukkan mereka ke sekolah agama seperti halnya pondok pesantren, lalu agar ia percaya diri sebagai orang
144
Batak Toba, ketika ia libur pesantren maka akan saya bawa dengan keluarga untuk mengisi liburan ke Pematang Siantar tempat oppongnya…” Pengalaman Ibu Sihombing ini dalam mewujudkan konsep pendidikan akhlak bagi anak-anaknya diharapkan selain berkepribadian muslim juga ia memiliki kepribadian Batak Toba artinya kedalaman/intensitas hubungan partuturan dalam berkeluarga wajib anak-anaknya mengetahuai setidaknya tentang Dalihan Na Tolu tersebut. Sebagai contoh gambaran berfungsinya Dalihan Na Tolu yang diinginkan oleh Ibu Sihombing menjadi konsep akhlak dalam keluarganya. Seandainya seseorang tersebut berhadapan dengan Doli Situmeang sebagai Dongan Subutuha, dia akan menampilkan sikap dan perilaku yang berbeda dibandingkan dengan menghadapi Edward Lumban Tobing dari pihak Hula-hula atau Daulat Aritonang dari pihak Boru.Perlakukan terhadap ketiga kelompok Dalihan Natolu tersebut sangat berbeda dan reaksi yang ditampilkan lawan bicara juga berbeda. Seiring dengan penjelasan di atas, sebagaimana yang ditegaskan oleh bapak Simanjuntak yang berprofesi sebagai guru menuturkan dalam hasil wawancara berikut ini: ”…sesungguhnya lae bahwa Dalihan Na Tolu itu sangat bermanfaat antara kita sebagai orang Batak Toba, walaupun lae sudah Islam tetapi dengan adanya aturan semua perbedaan sikap dan perilaku yang digambarkan dalam Dalihan Na Tolu tersebut telah dibakukan tua-tua pendahulu kita yak an lae!!., Dalihan Na Tolu ini sebagai ketetapan atau petuah agung melestarikan masyarakat agar bergaul dalam keteraturan dan ketertiban…” Analisa yang dapat diambil atas pengalaman sejumlah informan, di atas bahwa lingkungan dapat melahirkan sebuah metodologi pembudayaan subtansi pendidikan akhlak sebagaimana yang dialami oleh bapak Simanjuntak serta kalangan orang tua lainnya. Jika demikian halnya maka dapat mempermudah atau membantu pengembangan proses pendidikan akhlak di lingkungan keluarga Batak Toba Islam. Pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam di kota Medan sebagai kelompok pertama menunjukkan konsep dan tujuannya yang juga
145
meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu kalangan orang tua, dengan demikian juga berfungsi untuk membangun pengalaman terdahulu tentang pendidikannya yang menjadi kehidupan pendidikan akhlak bagi anak-anaknya masa sekarang. Gambaran seperti di atas dapat dijadikan semacam jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang dengan penuh kebijaksanaan tentang konsep dan tujuan pendidikan akhlak tersebut. Bagan 14 Pendidikan Akhlak dalam Keluarga Batak Islam di Pengaruhi oleh Beberapa Hal
Bagan di atas hasil wawancara dengan bapak Sinaga dan Panjaitan Bagan tersebut menjelaskan proses keberlangsungan pendidikan akhlak sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat berdomisilinya keluarga Batak Toba Islam, selanjutnya nuansa dan pengetahuan keagamaan Islam yang dimiliki oleh anggota keluarga Batak Toba Islam. Hasil wawancara peneliti dengan bapak Panjaitan yang kebetulan salah satu konsumen bapak Silalahi menempelkan ban di simpang tersebut menuturkan kepada peneliti: ”….sudah tiga tahun aku masuk Islam lae!!!., sudah banyak ustad-ustad yang kutanyai tentang mendidik anak yang bagus!!., tapi jawaban mereka semuanya isinya sama tapi berbeda cara-caranya. Tapi ada kata ustad semuanya itu tergantung dari lingkungannya, tapi gimananya lae mencari lingkungan sekarang ini untuk mendidik anak-anak sudah sulit. Harus masuk pesantren baru bisa ya!! Lae?!! ….” Ungkapan bapak Panjaitan tersebut mengakui bahwa nasehat para ustad sampai saat ini sudah cukup baik untuk memberikan arahan dalam mendidik anak-anak di rumah. Perkembangan informasi yang di uraikan oleh sejumlah
146
informan berkaitan pendidikan akhlak cukup memberikan gambaran proses keberlangsungan yang tentu akan menemui atau berhadapan kepada sebuah kendala-kendala dan memerlukan upaya penyelesaian secara seksama. Hasil wawancara dengan Ibu Nainggolan yang bekerja di hotel ternama di kota Medan dan memiliki suami orang jawa menuturkan berikut ini: ”….aku dengan suamiku dari suku daerah yang berbeda-beda ketika mengarahkan dan membimbing anak-anak di rumahpun berhadapan dengan dua sudut pandang yang berbeda mengenai keputusan kami kepada anak-anak, tapi itu tidak menimbulkan persoalan di kalangan anak-anak kami di rumah, jadi contohnya anak-anak kami mau belajar di rumah kawannya yang ada di Bandar Khalipah anak-anak itu oleh ibunya diberikan izin pergi dengan alasan supaya berani sedangkan saya sangat khawatir, ntah!! Bagaimana kondisinya di jalan atau bisa jadi nanti ia malah keasyikan tidak belajar karena bersama teman kawan-kawannya. Lalu kalau pulangnya kemalaman ibunya gak mau menjemput kerjaan saya juga padahal masih banyak pekerjaan rumah yang mau saya selesaikan untuk besak, ya namanya saya ini berkeja swasta pak jadi beginilah keadaannya ….” Wawancara di atas menunjukkan bahwa keluarga memiliki struktur nilai, norma dan budaya yang saling mempengaruhi segala tindakan yang akan dilakukan oleh anggota keluarga. Nilai, norma dan budaya ini juga berperan pada keluarga dalam melaksanakan pendidikan akhlak. Selanjutnya suku dan kebudayaan yang dimiliki oleh setiap keluarga akan memiliki pengaruh kuat dalam menentukan corak pendidikan akhlak dan kondisi seperti ini akan melahirkan sesuatu yang unik dan berbeda. Artinya keberlangsungan pendidikan akhlak pada setiap keluarga yang memiliki suku dan budaya tentu akanberbeda. Perbedaan ini menimbulkan keunikan dalam keluarga, baik melaksanakan pendidikan akhlak pada anggotanya maupun mengambil keputusan mengatasi permasalahan akhlak. Oleh karena itu pelaksanaan tugas pendidikan akhlak di dalam suatu keluarga akan mengalami hal yang berbeda pada setiap suku dan budaya. Hal ini dikarenakan budaya mempengaruhi keluarga melakukan kebiasaan yang sudah dikenal untuk memenuhi kebutuhan dasar individu atau kelompok. Selanjutnya sesuai hasil wawancara saya dari sejumlah informan yang dapat dikumpulkan untuk sementara ini bahwa dalam proses keberlangsungan
147
pendidikan akhlak yang dilaksanakanoleh para orang tua di kalangan anggota keluarganya terlihat selain pengaruh nilai pengalaman keberagamaan Islam yang mereka miliki terlihat juga nilai budaya Batak Toba sebagai menjiwainya. Budaya Batak Toba yang bermakna nilai dalam keluarga Batak Toba Islam memiliki andil mewarnai keberlangsungan pendidikan akhlak. Penjelasan bapak Sihotang mengenai pendidikan akhlak yang dilakukan di rumah, berikut ini hasil wawancaranya: ”...kami selalu menanamkan ajaran agama Islam kepada anak-anak dengan pengalaman kami, kebetulan ayah kami salahsatu anggota tarekat jadi kalau memberikan pendidikan selalu diawali dari pengalaman beragama ayah saya selanjutnya di warnai dengan hidup sehari-hari kami sebagai orang Batak Toba. Menjadi anak orang Batak Toba sangat perlu perjuangan yang kuat karena di sisi lain kami harus mempertahankan budaya Batak Toba...” Pengalaman bapak Siahaan, Butar-butar, Sihotang dan bapak Manurung di atas dan para orang tua lainnya dalam pengamatan peneliti, mereka merupakan sosok orang tua yang begitu antusias memberikan pesan-pesan kebaikan kepada anggota keluarganya terlebih dalam beragama Islam dan berbudaya Batak Toba. Keberlangsungan pendidikan akhlak di dalam keluarga batak Toba Islam dapat dikatakan berasal dari integrasi nilai-nilai agama Islam dan nilai-nilai budaya Batak Toba. Menelusuri perkembangan konsep dan tujuan (nilai) Pendidikan akhlak di kalangan keluarga batak Toba Islam
sesungguhnya memiliki sesuatu yang
berbeda dengan gambaran di kota Medan. Kondisi ini dilatar belakangi hampir sejumlah besar informan di sini berprofesi sebagai seorang petani serta nelayan.Profesi bertani dan bernelayan ini di kalangan keluarga Batak Toba Islam melekat di dalam kehidupan mereka keseharian sesungguhnya merupakan sejarah mempertahankan warisan dari pengasuhan orang tua yang sebelumnya yaitu berprofesi sebagai petani atau nelayan jika kita tinjau dari segi etnografinya yang terjadi di kedua kabupaten ini. Hasil wawancara dengan bapak Sitorus, bapak Mangungsong dan bapak Sijabat yang merupakan orang Batak Toba Islam berprofesi sebagai petani dan
148
PNS ini mereka berdomisili di kecamatan Sei Bamban menjelaskan kepada peneliti dengan penjelasan yang sama maknanya dengan bahasa yang berbeda mengungkapkan bahwa mereka ketika melakukan pendidikan akhlak terhadap anak-anaknya sebagaimana isi wawancara tersebut menurut mereka “…berawal dari konsep bahwa anak ini bagi kalangan orang Batak Toba merupakan harta yang sangat berharga maka dalam dirinya kami harus memeliharanya dengan menjiwai dengan sejumlah nilai pengetahuan pendidikan baik agama maupun di bidang lainnya…” Selanjunya salah satu dari mereka yakni bapak Sitorus yang berprofesi sebagai petani menegaskan bahwa pendidikan akhlak dalam keluarga adalah harus berdisiplin dengan baik sebab akhlak kepada Tuhan dan manusia semuanya itu hanya pada disiplin, artinya tujuan tersebut tidak lain untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan jiwa sebagai efek dari adanya pendidikan akhlak. Bukti ini benar-benar peneliti saksikan dalam 24 jam di kediaman beliau menunjukkan bahwa anak-anak dari bapak Sitorus ketika di pagi harinya setelah bangun pagi lalu mandi dan shalat subuh, anak-anak melakukan sarapan dan bersiap pergi ke sekolah, dan ketika siang pulang kembali ke rumah lalu makan siang dan sholat zuhur anak-anak beliau pergi bersekolah agama diistilahkan oleh keluarga bapak Sitorus dengan “Sekolah Arab” sampai di sore harinya pulang ke rumah dan mandi persiapan sholat magrib yang kebetulan masjidnya tidak begitu jauh dari rumah beliau anaknya di sana melaksanakan sholat magrib mengaji dan hingga shalat isya dan setelah kembali ke rumah, anak-anak beliau makan malam dan persiapan belajar atau mengerjakan ‘pekerjaan rumah/PR’ untuk kebutuhan sekolah esok harinya. Gambar 22 Salah satu anak Pak Sitorus
149
Anak-anak dari kalangan keluarga Batak Toba Islam ikut dalam sekolah keagamaan Islam di sekolah MDA Pengalaman bapak Sitorus ini menunjukkan bahwa konsep pendidikan akhlak bagi keluarganya adalah ketaatan pada aturan rumah. Pengalaman dari keluarga Bapak Sitorus ini menunjukkan pendidikan waktu untuk anak-anaknya harus diatur kapan untuk belajar di sekolah dan di rumah, kapan untuk bermain, makan dan tidur oleh karena mereka belum mampu untuk mengatur segala kegiatan mereka sendiri. Untuk itulah perlunya disiplin agar mengetahui kapan untuk tidur dan jam berapa untuk makan. Menegakkan
disiplin
sebagai
konsep
dasar
pendidikan
akhlak
sebagaimana yang dilakukan oleh bapak Sitorus, bapak Mangungsong dan bapak Sitorus Pane jika dihubungkan pada peranan seorang ayah dalam membentuk konsep dasar pendidikan ahklak tersebut maka bahwa seorang ayah harus mengembangkan sistem disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik, mental, dan sosial segenap warga dalam satu rumah tangga, dengan ayah sebagai
150
pemegang kendalinya. Sebagai catatan bersama bahwa faktor ayah dapat memberikan pengaruh kepribadian muslim anaknya dengan memberikan dimensi kekuatan dan harga diri. Keterangan di atas menunjukan bahwa adat kebiasaan keluarga Batak Toba Islam di beberapa daerah harus menguasai sumber ekonomi keluarga untuk terciptanya kesejahteraan anggota keluarga. Terpenting dan sangat mendasar bahwa fungsi ayah selain sebagi kepala keluarga ia berperan sebagai pengadilan tertinggi dalam mendisiplinkan anak-anak mereka dalam keluarga. Artinya ketegasan akhlak itu sangat bersandar pada peranan sang ayah. Kecamatan Sipispis yang merupakan salah satu tempat berdomisilinya informan peneliti yakni bapak Saragih memberikan penjelasan bahwa konsep dasar pendidikan akhlak yang di pahami oleh bapak tersebut, hasil wawancara berikut ini: “….kita sebagai orang tua harus mampu memberikan pendidikan pada anak agar ia dapat memiliki pengetahuan dalam berkeluarga terlebih sebagai orang Batak yang beragama Islam, kalau-kalau kita resapi secara mendalam mengenai agama Islam ini maka bisa kita katakan Islam merupakan agama yang menyajikan pendidikan ahklak anak untuk berbakti kepada orang tua. Jadi kalau sudah begitu ya!!!., kitapun sebagai orangtua harus mampu memberikan contoh kepada mereka,,! Selanjutnya kita harus memberikan contoh yang bisa ditiru oleh anak-anak menjadi baiklah yang harus kita lakukan seperti hal berpakaian dan berbicara kepada orang lain kita harus menunjukkan yang baik, menurutku begitulah pak!!...” Penjelasan yang disampaikan oleh bapak Saragih serta sejumlah kalangan orang tua dari keluarga Batak Toba Islam bahwa pengaruh terbesar dalam proses pendidikan khususnya pendidikan akhlak adalah metode mempercontohkan yang baik maka akan ditiru oleh anak-anak. Disadari atau tidak, bahkan semua mempercontohkan yang baik akan melekat pada dirinya dan perasaannya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, hal yang bersifat material, inderawi maupun spiritual. Karenanya keteladanan merupakan faktor penentu baik-buruknya seorang anak, dengan demikian maka mempercontohkan yang baik adalah yang kontinyu dan tunduk pada etika dan agama.
151
Bapak Penjaitan sebagai warga Sialang Buah yang memiliki sejumlah keluarga di Pantai Labu Deli Serdang mengungkapkan bahwa konsep dasar pendidikan akhlak dalam keluarganya ia menyamakan dengan istilah menabur benih ikan maksud dari istilah ini, sebagaimana hasil wawancara berikut ini: “…bahwa seorang anak itu ibarat sebuah telaga air yang patut diberikan beberapa benih ikan yang baik menurut ukuran telaga tersebut, jadi jika kalau benihnya tidak baik maka besar ikan pun terganggu menjadi turun harganya, demikian juga hal yo pendidikan akhlak hondaknya kito dapat melihat konsep yang membuat anak-anak kito menjadi mulia dan mahal di mata manusia”. Demikianlah ciri khas bicara bapak Penjaitan selakukan orang Batak Toba pardembanan
yang
telah
lama
berdomisili
di
tengah-tengah
orang
Melayu.Berdasarkan pengalaman bapak Panjaitan tersebut menunjukkan bahwa konsep dasar pendidikan akhlak yang diterapkan di kalangan anak-anaknya memiliki kesamaan dengan budaya lokal yakni di tengah-tengah masyarakat Melayu, yakni pendidikan akhlak mewujudkan serta memupuk nilai-nilai budaya Melayu. Sesuai keterangan di atas sebagaimana yang dikemukakan oleh bapak Sirait yang bertempat tinggal di daerah Medan Timur menegaskan dalam hasil wawancara berikut ini: ”…kalaulah aku boleh katakan ya lae dengan adanya Dalihan Na Tolu mengatur kita hidup sesungguhnya merupakan kerinduan akan kesempurnaan telah menjadi cita-cita dari tua-tua pendahulu. Petuah tersebut berbunyi “manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula…” Pengalaman bapak Pulungan yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil di kantor Wali Kota Medan dan berdomisili di Medan Amplas menjelaskan kepada peneliti berikut ini hasil wawancara dengan beliau: ”…aku mendidik anak-anak di rumah sebenarnya tidak begitu jauh isinya dengan pengalaman saya ketika kecil di didik oleh orang tua saya, yakni bahwa dalam kehidupan ini kita harus tahu diri sebagai orang yang masih mudah dan perlu memiliki prilaku yang baik agar kita bisa diajak orang untuk bekerja sehingga
152
bila bekerja kita memiliki nilai yang baik oleh orang lain karena kita baik, maka kita akan sangat dibutuhkan orang-orang yang menjumpai kita…” Demikianlah penuturan bapak Nainggolan kepada penulis. Senada dengan hasil wawancara dengan bapak Nainggolan, ibu Tambunan sebagai seorang pedagang sayur-mayur di Pasar Sambu mengungkapkan bahwa ia ketika mendidik anak-anaknya mengenai akhlak agama Islam, senantiasa mengajarkan tentang bahwa sebagai orang Islam harus mampu berjualan dan mencari duit selain dari belajar. Ketika itu peneliti memperhatikan anak-anak beliau sedang sibuk melayani banyaknya pembeli sayur. Selanjutnya hasil wawancara dari bapak Ibu Tambunan: ….”segala hal yang kami kerjakan sebagai orang tua anak-anak kami harus dapat mereka menyaksikan apa yang kami kerjakan untuk mereka kesehariannya bahwa hidup ini sangat begitu sulit menghadapinya jika kita tidak bersabarsabar ya pak!!...” Pengalaman Ibu Tambunan di atas sesungguhnya sangat memberikan pesan penting bagi setiap orang tua sebagai kepala keluarga untuk memberikan pendidikan yang realistis tentang disiplin hidup yang harus di jiwai yakni mendapat kehidupan dunia akan tetapi kelemahan yang saya perhatikan Ibu Tambunan belum memiliki pertimbangan yang cukup matang dan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, kemudian menjalankan serta menjabarkannya kepada anak-anak mereka. Demikianlah yang saya saksikan ketika itu. Seiring penjelasan-penjelasan hasil wawancara di atas maka konsep dasar dan tujuan (nilai) pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam selain dari pembentukan budaya selanjutnya juga merupakan proses sosialisasi yakni pendidikan akhlak memberikan anak-anak Batak Toba Islam yang berada di kedua kabupaten suatu peluang untuk berinteraksi antara satu sama lain supaya mereka menjadi dewasa yang berfungsi kelak. ii.
Proses Keberlangsungan Pendidikan Akhlak
153
Perjalanan menelusuri proses keberlangsungan pendidikan akhlak di kalangan keluarga Batak Toba Islam sangat membutuhkan suasana serta waktu yang begitu panjang, berbagai tempat di Sumatera Utara. Sebagaimana kota Medan, kabupaten Deli Serdang, dan kabupaten Serdang Bedagai,
peneliti
menemukan usaha-usaha kalangan orang tua dari keluarga Batak Toba Islam melaksanakan pendidikan akhlak bagi anak-anak mereka. Perkembangannya menunjukkan gambaran yang cukup baik, walaupun kondisi realita di lapangan mengenai pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam belum begitu mampu mewarnai perbaikan prilaku kalangan generasi mudah saat ini, akan tetapi hasil-hasil wawancara dan pengamatan peneliti menunjukkan adanya beberapa potensi-potensi kecil yang patut untuk dikembangkan menjadi pendukung pengembangan pendidikan akhlak di tengah-tengah masyarakat. Berikut wawancara dengan ibu Simanjuntak yang berdomisili di kampung Keling Medan menuturkan: “…Pak Ustad., saya dari delapan bersaudara hanya saya saja yang masuk Islam.say berusaha mendidik anak-anak dengan baik, lingkungan sangat mengkhawatirkan tapi tak apalah karena kita sebagai orang tua sudah memiliki kewajiban yang harus di selesaikan nanti kalau anak-anak kita tidak bertingkah laku baik maka kita juga yang malu sebagai orang tua, begitulah pak ustad sebagai orang tua ini…” Selanjutnya bapak Aritonang yang berdomisili di Jalan Sidodadi Krakatau menuturkan: “…menurutku pak hari ini kita tidak bisa membedakan mana anak-anak yang suku Batak Toba dan suku lain, hampir semuanya terkena dengan perkembangan lingkungan yang sangat mengkhawatirkan sehingga sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mendidik anak-anak kita, paling tidak kita bisa menasehati anak-anak kita dan jika berjumpa dengan anak-anak orang lain juga harus memberikan teguran jika mereka tidak berbuat baik…” Berkaitan uraian wawancara di atas maka dapat dipahami bahwa kebutuhan memberikan pesan-pesan nasehat membimbing anak-anak sangat begitu diperlukan dari sejumlah kalangan orang tua.
154
Berdasarkan keterangan di atas sebagaimana hasil dari wawancara dengan bapak Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Percut Sei Tuan yang kebetulan bermarga Manurung di kediamannya perumahan Bandar Setia menuturkan berikut ini: “…saya dibesarkan di Medan, dan saya mempunyai anak dua laki-laki dan perempuan pengalaman saya mendidik anak-anak di rumah ya!!., dengan membagi kerja dengan istri. Tapi anak-anak banyak saya ikutkan dalam kegitankegiatan sekolah dan pengajian-pengajian di sekolah sore. Sebab saya ini pak!!., tidak begitu punya banyak waktu lalu selanjutnya pendidikan akhlak atau agama yang saya miliki hanya terbatas pada pengalaman beragama dan memahami nilai-nilai kebaikan yang ada dalam diri serta di lingkungan saya tinggallah yang banyak mempengaruhi. Lalau anak-anak ini memahami sebagai orang Batak Toba mungkin dari teman-temannya di sekolah sebab saya sendiri dengan pemahaman saya tentang budaya Batak Toba mungkin bisa di katakan banyak di terima informasi atas pergaulan saya dengan orang-orang Batak Toba non muslim…” Setiap keluarga Batak Toba Islam yang berada di kota Medan, kabupaten Deli Serdang dan serdang Bedagai ini untuk melaksanakan pendidikan akhlak dalam keluarga di tengah-tengah lingkungan masyarakatnya, memiliki corak budaya keberagamaan yang berbeda terlebih dalam menentukan bentuk dan implementasi metode pendidikan akhlak bagi anak-anak mereka. Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa pengalaman hidup seseorang dalam melakukan nilai-nilai kebaikan yang dimilikinya tidak terlepas dari lingkungan yang memberikan pengaruh. Demikian halnya juga dengan proses keberlangsungan pendidikan akhlak di kalangan anak-anak keluarga Batak Toba Islam di kota Medan, kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Sesungguhnya akan mengalami perubahan-perubahan menurut sudut pandang kebutuhan pada setiap wilayah menyesuaikan terhadap kondisi dan situasi berdomisili keluarga Batak Toba Islam tersebut. Keluarga Batak Toba Islam secara umum masih memfungsikan pengalaman diri dan pengetahuan agama Islam yang sederhana sebagai bagian mengisi keberlangsungan pendidikan akhlak di kalangan anak-anak mereka. Wawancara dengan bapak sihombing berikut ini: “…anak-anak kami selalu kami suruh ke masjid untuk mengaji karena kami sibuk sekali, lagi pulakkkan pak masjid itu ada yang menjaga jadi kami suruh mereka
155
ke masjid nanti mengenai uang bulanan mengaji kami beri kira-kira kalau tidak salah kata istir saya sekitar tiga ribu perorang, kadang-kadang anak-anakpun ada yang tidak banyar…” Keterangan di atas menujukkan bahwa keberlangsungan pendidikan akhlak dalam keluarga selalu mengalami perubahan, artinya partisispasi lingkungan tetap menjadi dasar keinginan yang lebih posisitif. Penjelasan bapak Butar-butar yang berprofesi sebagai tenaga pendidikan di salah satu lembaga pendidikan swasta di Tebing Tinggi menjelaskan dalam hasil wawancara berikut ini: ”…saya bermarga Sitorus yang besar di Porsea dan saat ini berkeluarga mendapatkan istri dari kota Tebing Tinggi. Jadi pendidikan akhlak yang saya berikan kepada anak-anak tak seperti yang saya alami ketika kecil dan besarnya saya waktu di Porsea. Saat ini anak-anak saya besar di lingkungan kami yang banyak terdapat suku di luar Batak Toba, maka dari aspek kemampuan bahasa sajapun anakku hanya tahu bahasa Jawa.Walaupun demikian pak kalau di rumah masih saya buat acara upah-upah seperti pengalamanku waktu di Porsea dulu tapi doa-doanya kami isi dengan bacaan-bacaan yang sering di pakai ustadustad lalu mengenai makanan yang disajikanpun tetap menampilkan budaya Batak Toba yakni masakan ikan arsik atau ikan mas. Pengalaman yang seperti itulah pak!!., yang bisa saya buat untuk mengisi pengalaman anak-anak saya mengenai orang Batak Toba di rumah. Sebab anakkukan!!!., tetap bawa margaku jadi jangan sampai diapun tak tahu sebagai orang Batak…” Pengalaman bapak Butar-butar mengindikasikan bahwa pendidikan akhlak dalam keluarga menempati tempat utama dan pertama yang strategis dan menentukan dalam kepribadian anak.
Pengalaman bapak Manurung yang
berkerja sebagai kepala di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 di kabupaten Deli Serdang menuturkan kepada peneliti: ”…kami memang bermarga orang Batak Toba, asal keluarga kami dari Mandoge dan saya lahir dan besar di kota Medan ini. Mengenai pendidikan akhlak yang kami dapatkan dari orang tua kami hanya sebatas mengaji al-qur’an di rumah dengan orang tua.Memang mengenai keluarga juga diberitahu oleh orang tua tetapi karena lingkungan kami sudah didominasi oleh suku Jawa.Keadaanpun tidak seperti orang Batak Toba.Nama saya sendiri Mulyadi dan memang saya bermarga Manurung tetapi itupun tidak tercantum dalam ijazah atau identitas kerja saya dalam kesehariannya…”
156
Hasil wawancara dengan beberapa informan di atas dapatlah diketahui bahwa pendidikan akhlak yang dilaksanakan oleh sejumlah keluarga Batak Toba Islam sangat di pengaruhi oleh lingkungan dimana berdomisilinya anggota keluarga Batak Toba Islam itu sendiri. Artinya jika baik lingkungannya maka akhlak yang baikpun akan menjadi terpelihara, oleh karena itu bentuk prilaku yang baik (akhlak) terpuji hendaknya diaplikasikan oleh anggota keluarga Batak Toba Islam
dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi kebudayaan di
kalangan anggota keluarga Batak Toba Islam. Jika akhlak mulia sudah menjadi barometer terhadap lahirnya budaya bercirikan kebahagiaan, keamanan, ketertiban dalam kehidupan manusia, maka secara otomatis anggota keluarga Batak Toba Islam pun senantiasa terjaga pula. Hasil wawancara dengan Masri Sitanggang berikut ini: “…pendidikan akhlak anak-anak saat ini sangat mengkhawatirkan jadi kita harus selalu dekat dengan Agama Islam. Supaya terpelihara keluarga kita sesuai pesan agama. Menjadi orang Batak itu memang sudah pilihan sejak lahir tetapi kita Islam ada dalam diri harus menjadi pilihan terakhir…” Uraian Masri Sitanggang memberikan pesan untuk selalu dekat dan mempelajari Islam secara penuh kesadaran yang mutlak. Hasil wawancara dengan Ibu Tina Tambunan yang memiliki kampung di Porsea dan sudah hampir 26 tahun tinggal di daerah kabupaten Serdang Bedagai tepatnya di kecamatan Sei Bamban, saya menanyakkan kepada beliau tentang nilai-nilai falsafah Batak Toba yakni hamoraon, hagabeon, hasangapon“ berikut ini hasil wawncaranya: Peneliti bertanya, …”ibu selama tinggal di wilayah suku non Batak Tobadan sebagai muslim, bagaimana keberlangsungan nilai-nilai hamoraon, hagabeon, hasangaponyang diterapkan dalam pendidikan anak di keluarga Ibu?”. Lalu ibu itu menjawab “pak bagi kami walaupun sudah beragama Islam cita-cita suku Batak Toba masih menjadi dasar pedoman hidup kami untuk mencapai keberhasilan dan gambaran tersebut sangatlah penting”. Selanjutnya Ibu
157
manurung yang tinggal di Huta Julu menegaskan dalam hasil wawancara dengan beliau saya mendapatkan jawaban berikut ini : ”…biasanya orang Batak Toba di kampung ini sudah memiliki ketiganya maka akan dikatakan orang kampung keluarga yang sudah sempurna dan di kalangan keluarga juga sangat dihormati. Kemudian biasanya bila ada pesta adat keluarga maka perkataannya juga akan didengar orang atau diperhatikan dengan seksama…” Jika diperhatikan lebih seksama lagi mengenai kehidupan orang Batak Toba tidak terkecuali batak Toba yang beragama Islam kehidupan mereka seharihari merupakan misi budaya yang menonjol, salah satunya adalah hamoraon. Sebagaimana hasil wawancara saya dengan Ibu Tambunan yang berada di kabupaten Serdang Bedagai dan masih memiliki keluarga besar dari Porsea mengungkapkan wawancara berikut ini: “…anak-anak kami ini kami ajari bekerja keras tidak boleh malas-malas seperti binatang yang selalu diberi makan, aku bilang sama mereka, kalian !!! lihat itu keluarga Situmorang sudah banyak horbonya karena anak-anaknya semua menjaganya dengan baik, makanya kalian kalau kita mau sperti itu kau jaga horbo ini supaya banyak anaknya kita jual dan dapat uang untuk beli tanah dan kaupun bisa sekolah nanti ke Medan, demikian yang selalu aku bilang sama anak-anak…” Berdasarkan hasil wawancara di atas maka terlihat bahwa anak-anak Batak Toba sangat diajari untuk kerja keras agar mendapatkan hamoraon. Gambaran seperti ini terlihat jelas di lapangan bahwa hamoraon merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak Toba untuk mencari harta benda yang banyak. Wawancara dengan Ibu Tambunan mengungkapkan berikut ini: “…orang tua yang tak mau kerja keras maka hasilnya akan tidak keras sama juga pak Manurung,!!!, dibandingkan ke kita jika kita telah mendidik anak-anak dalam keluarga sejenak awal dengan bekerja keras, maka hamoraon pun akan datang, jadi kalau ku bilang ya Pak Manurung, gagalnya anak-anak di dalam keluarga itu semua karena kelemahan orang tua yang tak mau keras mendidik…” Hasil wawancara dengan ibu Tambunan dengan menggunakan istilah keras, bukan dimaksudkan dengan menyiksa anak tersebut akan tetapi ketegasan
158
orang tua harus lebih cenderung jika dibandingkan dengan toleransi orang tua terhadap anak-anaknya. Demikianlah ungkapan yang terdengar dari Ibu Tambunan yang bersemangat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan saya ajukan padanya. Cukup jelas diingatan bersama bahwa kekayaan bukanlah melulu materi yang berlimpah sebab anakpun bisa menjadi sebuah kekayaan, makanya ada kata “Anakkonhi do hamoraon di ahu” artinya anak sebagai kekayaan, anak sebagai kebesaran, anak sebagai kemuliaan. Secara keseluruhan berarti anak adalah harta kekayaan yang paling berharga. Gambaran ini dapat dilihat pada bait syair lagu yang diciptakan oleh Nahum Situmorang. Bagan 15 Motivasi Kekayaan Orang Batak Toba
Bagan tersebut bersumber dari hasil wawancara dengan ibu Tambunan serta ibu Manurung Bagan di atas menunjukkan bahwa motivasi mendapatkan kekayaan tersebut sangat memberikan pengaruh terhadap pendidikan akhlak di lingkungan mereka sendiri. Gambaran ini dapat dibuktikan melalui hasil wawancara terdahulu bahwa mereka sangat memberikan perbandingan keberhasilan anak orang kepada anaknya sendiri. Lalu keluarga Batak Toba Islam dalam menceritakan tentang nilai-nila kehidupan menuju keberhasilan senantiasa di isi dengan ciri-ciri anak yang memiliki kerja keras yang tinggi. Hasil wawancara dari Agustina Simangungsong yang berprofesi sebagai sales promotion girls di swalayan ternama di Medan menuturkan berikut ini: ” ...pendidikan akhlak yang aku terima dari kedua orang tua ku, karena Ibu ku itu Muallaf maka ayah aku bang selalu menanamkan ajaran agama Islam yang kuat kepada kami lalu mereka selalu mengatakan jangan buat malu menjadi orang Batak Toba karena kita orang Batak itu harus kuat menghadapi hidup. Aku saat ini memang sedang menjalani kuliah di LP3I, jadi sambil bekerja juga aku kuliah juga bang untuk menambah uang kuliah...”.
159
Bertolak hasil wawancara dari sejumlah informan di atas maka bisa dikatakan bahwa pengalaman pendidikan akhlak yang dimiliki oleh seseorang memberikan pengaruh kuat terhadap kualitas keberlangsungan pendidikan akhlak tersebut. Gambaran ini diakibatkan dari pemikiran anggota keluarga Batak Toba Islam, yang selanjutnya diiringi adat kebiasaan yang baik sehingga melahirkan kualitas individu yang baik pula. Oleh karena itu hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa orang Batak Toba Islam dalam melaksanakan pendidikan akhlak cenderung arah yang diinginkan kepada pencapaian kekayaannya hampir sebahagian besar bekerja keras menuntut ilmu agar bisa mamora (kaya). Bagan 16 Keinginan dari Hasil Pendidikan
Bagan di atas hasil analisa dengan sejumlah informan seperti agustina dan Ibu tambunan Bagan di atas menunjukkan adanya keinginan dari sejumlah keluarga Batak Toba baik Islam maupun Kristen bahwa hasil dari tercapainya pendidikan harus menargetkan yang tertinggi yakni salah satu yang penting mendapatkan kekayaan, mendapatkan kekuasaan, mendapatkan penghargaan dari keluarga. Secara umum proses keberlangsungan pendidikan akhlak di kota Medan memiliki pengalaman yang sama artinya masih menilai keluarga sebagai pendukung kelancaran pendidikan akhlak, sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Aritonang yang berdomisili di Mados kecamatan Medan Timur menuturkan:
160
”…anak-anak yang baik budi pekertinya sesungguhnya lae tidak terlepas dari damainya sebuah keluarga, jadi keluarga sangat punya peranan penting untuk mendidik anak-anak…” Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat diistilahkan bahwa keluarga merupakan salah satu tri pusat pendidikan akhlak haruslah dapat diperhatikan secara serius, sebab keluarga merupakan lingkungan utama dan pertama untuk mewarnai anggota keluarga dengan nilai-nilai luhur. Pengalaman bapak Hutapea yang tinggal di kota Medan sesuai hasil wawancara berikut ini: ”…pendidikan akhlak yang kami pahami untuk anak-anak, mereka harus mengabdikan diri kepada orang tua mereka, sebagaimana kami dulunya salah satu yang kami perbuat untuk mereka agar belajar dengan baik-baik tidak menyusahkan orang tua. Selain itu jangan lupa mengerjakan sholat lima waktu karena sembanyang bisa membuatmu baik, begitulah yang selalu kami sampaikan kepada anak-anak…” Berdasarkan pemaparan hasil wawancara di atas terlihat bahwa pendidikan akhlak di kalangan keluarga Batak Toba sangat begitu penting terlebih pendidikan akhlak yang berkaitan mengenai ibadah kepada Allah SWT.Sebagaimana pesan dari pengalaman ibadah kepada Allah SWT diharapkan anak-anak mereka memiliki ingatan kepada Allah SWT.Gambaran seperti ini merupakan sesuatu yang sangat penting terlebih didukung oleh landasan normatif-teologis yang bisa dikatakan melekat sebagai corak khusus dari keluarga Batak Toba Islam. Kota Medan dengan sejumlah suku budaya yang tumbuh di tengah-tengah masyarakatnya sangat memberikan andil dalam mewujudkan kepribadian seorang anak, oleh karena itu memfokuskan pengalaman keberagamaan setiap keluarga dalam menanamkan pendidikan akhlak merupakan sesuatu yang sangat perlu terlebih lagi berdampak pada pemberian nilai positif bagi masyarakat.
161
Hasil wawancara dengan bapak Silalahi sebagai warga Medan Tembung yang berprofesi sebagai penempel ban simpang kantor polisi Batang Kuis menuturkan berikut ini: ”….caraku mendidik anak-anak banyak dari pengalamanku ketika menerima pendidikan dari orang sekitarku, selain itu juga orang tuakupun kadang-kadang kalau mereka ke rumahku dilihatnya aku mengarahkan anak-anak, mereka kadang-kadang memberikan masukan kepadaku, katanya, maunya begini!!, atau begitu!! Demikianlah bentuk pendidikan yang kutahu tentang pendidikan akhlak pak!!!., lebih dan kurang ya!! Namanya tidak banyak pengetahuan agamaku pak!!! ….” Berdasarkan keterangan di atas kaitan hasil wawancara dengan bapak Aritonang dan bapak Silalahi maka dapat diketahui bahwa pendidikan akhlak dalam keluarga merupakan pendidikan non formal artinya proses pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, pada umumnya tidak teratur dan tidak sistematis sejak seseorang lahir sampai mati. Berangkat dari uraian-uraian yang peneliti kemukan di atas maka menjadi sesuatu yang sangat menarik jika membandingkannya pada data informasi di lapangan, sebagaimana hasil observasi saya di kota Medan dari sejumlah kecamatan yang ada bahwa pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam cukup baik. Namun dengan demikian itu tidak bisa lepas dari budaya lingkungan masyarakat dimana keluarga Batak Toba Islam tersebut berdomisili sekaligus nuansa keberagamaan Islam yang berkembang dalam keluarga tersebut. Sejumlah hasil wawancara ditemukan beberapa konsep yang demikian menguatkan anggapan sementara peneliti bahwa pendidikan akhlak yang di lakukan oleh kalangan orang tua dalam keluarga Batak Toba Islam di Kota Medan berupaya agar anak-anak mereka tahu dan mengerti tentang latar belakang dan profesi yang digeluti oleh orang tua mereka, sehingga mereka ketika besar nanti mampu mandiri. Pengalaman hidup ketika masa kecil kalangan orang tua serta bentuk pekerjaan yang mereka lakukan sangat mempengaruhi konsep pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam.
162
Kondisi tersebut membudaya dikalangan keluarga Batak Toba Islam Kota Medan dampak yang dapat saya rasakan ketika mewawancarai beberapa anakanak dari keluarga Batak Toba Islam. Bahwa mereka sangat memahami pendidikan akhlak yang mereka terima dalam kesehariannya walaupun kesannya mereka merasakan sangat keras dan tegasnya pendidikan akhlak tersebut. Kondisi ini tidak lain disebabkan pendidikan akhlak di kalangan keluarga Batak Toba Islam mengajarkan pendidikan akhlak yang selalu lekat dengan situasi konkret anak-anak mereka hadapi untuk kesehariannya. Gambar 23 Anak-anak Batak Toba Islam Belajar Mandiri
Anak-anak Batak Toba Islam melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci pakaian tujuannya untuk mengajari kemandirian. Berikut wawancara dengan ibu Samosir yang kebetulan beliau sedang berjualan di pajak Sambu menuturkan: “…kita orang Toba ini memang sangat begitu sering bangga dengan keberhasilan anak-anaknya sehingga terkesan ya pak anak-anak ini menjadi
163
mengerikan kalau tidak berhasil. Kita bisa malu dengan tentangga kita jadi kalau dia sudah besar sperti remaja maka bagusnyaya pak!! Pergi merantau jadi disanakan dia kalaupun berbuat tak baik atau tak berhasil kita tidak malu dengan keluarga dekat kita, makanya kita harus perhatikan lingkungan keluarga kita, sekolahnya, temannya…” Wawancara mengenai konsep pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam di kota Medan menunjukkan keinginan kalangan orang tua menjadikan anak-anaknya kelak sebagai anak yang baik sehingga di perantauan dapat diterima oleh masyarakat dimana ia berdomisili artinya sepanjang hidupnya. Gambaran ini bertujuan untuk mempersiapkan anak-anak Batak Toba Islam memiliki kemampuan berperan pada berbagai kondisi lingkungan hidup dengan tepat waktu yang akan datang artinya untuk membentuk sikap yang baik, sesuai nilai yang berlaku, atau juga menumbuhkan potensi-potensi yang dimiliki untuk dikembangkan lebih lanjut. Hasil wawancara dengan Bapak Sinaga berikut ini: ”…anak saya kalau pergi sekolah atau bermain di luar rumah ini selalu saya sampaikan kepada mereka agar hati-hati berteman. Namanya juga masa muda pasti mereka akan lalai memilih teman yang baik jadi selalu saya ingatkan pak…” Hasil wawancara tersebut memberikan indikasi bahwa para orang tua saat ini sangat begitu khawatir dengan perkembangan pergaulan anak muda. Rasa resah yang dialami oleh bapak Sinaga melihat perkembangan anaknya bergaul dipastikan demikian juga dirasakan sejumlah orang tua saat ini. Oleh karena itu di sela-sela aktifitas orang tua baik dalam kondisi bekerja, berada di rumah, atau sedang melakukan sesuatu hendaknya harus mengingatkan anaknya dalam beraktifit agar jangan sampai berpengaruh kepada hal-hal pergaulan yang buruk. Melalui keterangan di atas dapatlah ditemukan pada sejumlah keluarga Batak Toba Islam yang berdomisili di luar tanah Batak atau di luar lingkungan masyarakat Batak Toba. Hasil wawancara dengan bapak Siahaan sebagai warga Bandar Khalipah menuturkan sebagai berikut:
164
…..”anak-anakku di rumah selalu ku tanamkan pendidikan agama salah satunya pentingnya mengerjakan sholat lima waktu, lalu kalau mereka di luar saya pesankan agar mau bergaul dan berteman dengan orang-orang yang baik. Karena anak saya sudah layak dan mampu berkeluarga, makanya kemarin itu langsung saya nikahkan supaya tidak berbuat maksiat…” Gambaran
di
atas
pendidikan akhlak dalam
menunjukkan
bahwa
proses
keberlangsungan
keluarga Batak Toba Islam sangat membutuhkan
pengalaman orang tua yang sangat cerdas dalam memilih atau memberikan alternative kepada anak-anaknya nilai-nilai positif dalam interaksi sosial meliputi bimbingan hidup bermasyarakat, hidup bersahabat, hidup bertetangga dan hidup bersaudara dalam satu keluarga. Berdasarkan keterangan di atas maka keberlangsungan pendidikan akhlak mengalami perubahan sesuai dengan warna situasi yang berbeda-beda pula. Kondisi ini dikarenakan kontribusi lingkungan budaya masyarakat yang senantiasa tetap memberikan pengaruh terhadap keluarga Batak Toba Islam tersebut.Gambaran ini membuktikan bahwa penyajian serta pelaksanaan pendidikan akhlak terhadap anak-anak dari keluarga Batak Toba Islam tetap di bungkus oleh budaya yang berbeda-beda. iii.
Budaya Agama sebagai Pendukung Pendidikan Akhlak Hidupnya
budaya
agama
sebagai
pendukung
pendidikan
akhlak
dimaksudkan dalam sub judul ini adalah kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada di masyarakat
sebagai usaha mewarnai proses keberlangsungan pendidikan
akhlak di lingkungan keluarga. Kegiatan-kegiatan keagamaan dalam masyarakat muslim di kota Medan hanya dapat ditemui pada daerah atau kecamatan pinggiran kota Medan. Seiring keterangan di atas Bahwa kegiatan-kegiatan keagamaan yang terdapat di dalam keluarga Batak Toba Islam sangat begitu mendukung dalam proses keberlangsungan pendidikan akhlak bagi anak-anak mereka. Belajar mengaji di Mesjid atau di rumah, sholat berjamaaah di rumah bersama keluarga, membaca doa ketika mau makan, selalu menyediakan dan membiasakan anak-
165
anak untuk memberikan kepada sesama sebagai upaya perintah agama Islam. Gambaran-gambaran seperti itu menunjukkan bahwa pendidikan akhlak harus dimulai dari kebiasaan-kebiasaan keberagamaan yang sederhana di kalangan anak-anak. Berikut ini wawancara dengan bapak Saleh Situmorang yang berdomisili di jalan Letda Sujono tepat kecamatan Medan Tembung: “…mengajak anak saya untuk ikut wirid malam jumat di lingkungan inilah usaha saya agar mereka tahu bagaimana berdoa-doa. Kalau dulu ketika masih kecil mereka selalu diajarkan oleh istri saya berdoa sebelum makan-makan lalu sebelum tidur. Sekarang ini ketika mereka sudah SMA sekarang kadang-kadang mereka ikut wirid malam jumat. Walaupun terkadang menjengkelkan prilaku anak-anak ini paling tidak usaha saya mengajak mereka dapat berpengaruh dalam diri mereka…” Berangkat dari penjelasan yang disampaikan oleh bapak Situmorang tersebut bahwa tradisi keberagamaan semisal wirid malam jumat dapat memberikan suasana lingkungan diri anak mengalami bertambah sedikit mengenai pengamalan agama. Gambaran seperti yang dilaksanakan oleh bapak Situmorang di atas merupakan bahagian kecil dari budaya agama sebagai bentuk prilaku dan sikap atas pengalaman melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam. Selanjuntya bahwa gambaran seperti itu
sangat mendukung sekali terhadap
keberlangsungan pendidikan akhlak, walaupun perkembangan secara non formal dalam rumah tangga tidak begitu rapi dalam penanganannya dan secara formal sejumlah orang memberikan warna keberbagai versi keilmuan untuk dikaji secara ilmiah. Budaya agama yang
seperti itu secara mendasar menjelaskan bahwa
pengalaman keberagamaan seseorang sangat berkaitan erat memberikan bentuk pendidikan akhlak. Berikut ini hasil wawancara peneliti dengan bapak Samosir yang berdomisili Medan Belawan di : ”…saya pak memberikan pendidikan akhlak kepada anak-anak di rumah selalu saya lakukan sesuai pengalaman saya mengetahui pengetahuan agama Islam, paling tidak segala hal berkaitan dengan pengamalan keagamaan seperti mengerjakan sholat limat waktu lalu membaca yasinan setiap malam jumat. Pengalaman seperti inilah yang dapat diperlakukan untuk anak-anak saya.
166
Gimanalah pak!!!, saya inikan hanya punya pendidikan umum yang setiap hari hanya tahu sampul-sampulnya saja tentang ajaran Islam ini…” Berdasarkan keterangan bapak Samosir memberikan informasi bahwa pengalaman keberagamaan seseorang yang diterjemahkan dalam prilaku akhlak mulia dapat melahirkan sebuah istilah yang disebut dengan budaya agama. Memang tidak begitu bisa dipastikan ketika seorang melaksanakan ibadah sholat lalu pengalamannya mengerjakan ibadah sholat secara rutinitas dapat membentuk dirinya berakhlak mulia, akan tetapi kondisi yang seperti itu telah memberikan pengaruh positif bahwa anak tersebut telah mampu memilah-dan memilih lingkungan yang baik bagi dirinya. Kedisiplin anak-anak dari keluarga Batak Toba Islam untuk menaati sejumlah pesan-pesan kebaikan yang diinginkan oleh agama Islam melalui penjelasan-penjelasan orang tua mereka di rumah, jika di biasakan seperti itu maka akan berujung kapada baiknya anak-anak tersebut di luar lingkungan rumah, sebagai contoh di sekolahnya masing-masing. Keteladanan orang tua yang dipertunjukkan dihadapan anak-anak yang sesuai dengan pesan agama Islam dapat berdampak positif menyumbangkan kepekaan dalam diri anak-anak terhadap tata tertib kehidupan baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Contohnya anak-anak memiliki kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi mungkar). Keberagamaan nilai-nilai ke-Islaman dari keluarga Batak Toba Islam dalam melakukan pendidikan akhlak bagi anak-anak mereka di kota Medan ini, sesungguhnya sangat berkaitan erat dengan nilai budaya Melayu atau budaya kehidupan masyarakat perkotaan. Hasil wawancara dari Bapak Johan Amri Marpaung berikut ini: ”…Mengamalkan agama Islam di keluarga ini bisa dikatakan biasa-biasa saja karena kami semua sibuk kegiatan harian. Jadi kalau anak-anak ini melaksanakan ibadah sholat mungkin kalau di rumah bisalah kami lihat-lihat tapi kalau sudah mereka di luaran, apakah sekolah, atau bermain dengan temantemannya ketika libur hanya pesan saja kepada mereka supaya ingat sholat. Bapak sendirikan sudah paham bagaimana kehidupan keseharian di kota Medan
167
ini??...!! jadi kalau masalah ibadah sudah kita sampaikan kepada mereka tetapi jika tak mampu begitulah kemampuan kami pak…” Cukup menjadi perhatian mengenai pengalaman bapak Marpaung tentang upaya beliau tentang pelaksanaan ibadah dalam memelihara pendidikan akhlak di kalangan anggota keluarga. Seiring dengan itu sebagaimana informasi dari hasil wawancara
bapak
K.
Sinaga
yang
berdomisili
di
Medan
Tenggara
mengungkapkan bahwa beliau bersama istrinya boru Mangungsong dari Tanjung Balai, hasil wawancara berikut ini: “…kami ketika di rumah jika waktu tidak sibuk dari pekerjaan, kami mengajari ngaji atau membaca al-Qur’an pada anak-anak ketika mereka sudah mentamatkan bacaan al-Qur’annya, kami membuat penyajian makan pulut kuning ditambah dengan arsik ikan mas yang dimasak oleh Ibu saya, dan kegiatan seperti ini kami lakukan agar anak-anak kami bersemangat dalam membaca al-Qur’annya…” Gambaran di atas menjelaskan bahwa nilai filosofis dari adanya pulut kuning dalam kegiatan acara hatamam al-Qur’an merupakan tradisi budaya Melayu sedangkan penyajian makanan arsik ikan mas merupakan tradisi budaya Batak Toba dalam mengisi acara-acara adat, oleh karena itu nilai yang terkandung dalam penyajian makanan tersebut sesungguhnya memberikan pesan arti kesakralan yang patut menjadi sebuah kebutuhan setiap anggota keluarga Batak Toba Islam dalam melaksanakannya. Acara-acara yang sejenis dengan itu sangat mewarnai keluarga Batak Toba Islam di kota Medan, dan mereka jadikan sebagai budaya agama untuk menguatkan pendidikan akhlak bagi anak-anak mereka ke depan. Uraian di atas diperkuat dari hasil wawancara peneliti dengan bapak Sihombing yang kebetulan beliau sedang melakukan penerimaan kunjungan acara tunangan anak beliau dengan boru Jawa, sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ”…bawaan bungkusan yang dibuat oleh istri saya dari rumah itu pak!!!, hampir semuanya terbuat dari adat Melayu jadi anak-anak adik kami yang masih kecil bertanya di rumah, itu inang boru itu pulut-pulut digunung-gunungi itu buat apa.,
168
lalu istriku menjawab waktu itu saya dengar dia bilang., itu tandanya untuk doa kita supaya sampai yang dimaksud kepada Allah SWT…” Setiap kegiatan keluarga yang memunculkan berbagai pertanyaan setiap anak di rumah haruslah dijawab dengan memberikan keterangan yang jelas, agar mereka tidak begitu menjadi bertanya-tanya dalam hati. Gambar 24 Acara Silaturrahim dalam Keluarga Batak Toba Islam
salah satu bentuk keluarga Batak Toba Islam melakukan acara Silaturrahim antara sesama dan membiarkan seorang anak untuk mendengarkan percakapan orang tuanya. Demikian halnya juga dengan keluarga F. Manurung beristrikan boru Hutasuhut berdomisili di Pancing, beliau mengungkapkan berikut ini: “…saya selalu mengajarkan kepada anak saya untuk selalu baik dengan keluarga dan bersilaturrahim mengunjungi mereka, walaupun keluarga mertua saya masih beragama Kristen tetapi rasa kebersamaan dan saling menghormati tetap kami jaga, salah satu contoh ketika saya sembuh dari sakit sejumlah
169
keluarga dan anak-anak melakukan syukuran atau istilah Bataknya Mangkaroani di sini anak-anak diajarkan arti sebuah hidup yang sehat…”. Selanjutya saya menanyakkan lagi, ...”bagaimana isi syukurannya pak?., beliau menjawab,...“isinya biasa-biasa saja seperti memberikan tepung tawar sedingin kayak orang-orang melayu itulah, istri dan anak saya menyiramkan beras kuning, bunga dan percikan air di atas kepada saya atau dihadapan saya, pokoknya kayak yang kita saksikan selalu itulah”., demikian tegas beliau pada saya. Bertolak dari hasil wawancara dengan bapak F. Manurung di atas memberikan pesan bahwa hampir sejumlah besar keluarga Batak Toba Islam di kota Medan senantiasa menjadikan kegiatan saling mengunjungi bahagian dari melaksanakan ajaran agama Islam walaupun terkesan efeknya terkadang jauh dari pesan keagamaan Islam itu sendiri.Informasi ini diperkuat dari hasil wawancara dengan bapak Marpaung sebagaimana disinggung terdahulu bahwa pengamalan keagamaan Islam sebagai pendukung pendidikan akhlak tidak cukup memadai dengan baik akibat kehidupan kota yang demikian sibuk mengenai urusan dunia. Perkembangan hasil wawancara saya dengan sejumlah informan di atas bahwa budaya agama yang mendukung pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam di kota Medan ini, yakni budaya agama yang mencintai rasa kebersamaan dan persatuan. Selanjutnya budaya agama yang menimbulkan persaudaraan yakni “saling memberikan kepada saudara-saudara” baik itu berupa materi dan makanan menjadi pendukung rasa saling mengerti, kondisi seperti inilah pendukung pendidikan akhlak dalam keluarga batak Toba Islam di kota Medan. Pihak lain terlihat jelas bahwa upaya pengembangan nilai-nilai kebaikan dalam keluarga Batak Toba Islam di kota Medan, bisa saja dilhami oleh lahirnya sebuah
budaya
agama
dari
kelompok
masyarakat
tertentu
semisal
Melayu.Gambaran ini sebagaimana hasil wawancara dari bapak Tobing yang kebetulan tetangga dari bapak Hutapea sebagaimana bapak Tobing tersebut sudah cukup banyak bergaul dengan kalangan masyarakat Melayu menuturkan berikut ini:
170
“…melakukan acara tepung tawar di saat acara khitanan juga kami lakukan untuk anak-anak walaupun peristiwa itu bukan hasil dari adat Batak Toba tetapi ketika acara berlangsung selalu kami sisipkan dengan memberikan kain-kain sarung yang dililitkan ke badan anak dan ini merupakan adat Batak Toba dengan tradisi memberikan sarung dengan membaca-bacakan doa kepadanya…” Berdasarkan pengalaman di atas maka dapatlah diketahui bahwa budaya agama dalam masyarakat penduduk asli Melayu yang berujung menjadi sebuah tradisi masih tetap menjadi nilai budaya dalam keluarga Batak Toba Islam. Pengamatan yang terlihat di kalangan informan sebagaimana dalam keluarga Bapak Manurung daerah Pancing mengadakan acara pesta khitanan beliau membukus acara tersebut dengan beberapa budaya Melayu antara lain yang dapat peneliti uraikan adalah memberikan tepung tawar dengan menggunakan kata-kata horas terhadap anaknya tersebut. Walaupun telah tinggal di kota Medan hampir seperempat abad, serta banyaknya
berbagai
pengamalan
keagamaan
orang-orang
Melayu
yang
memberikan pengaruh terhadap keluarga Batak Toba Islam di kota Medan ini. Tetapi di sisi lain menurut hasil pengamatan peneliti dan hasil wawancara dengan bapak Hutapea berikut ini: ”…membesarkan anak-anak di kota Medan ini hampir sebahagian besar sangat sulit pak, karena banyak sekali tempat-tempat hiburan dan warnet-warnet untuk mengundang anak-anak kami datang kesana. Tetapi pak yang seperti itu tak kami berikan kesempatan kalau saja sempat anak-anak ku tidak patuh samaku maka akan aku rodam anak-anak itu biar mereka takut dan tak mau datang lagi kesana…” Secara sederhana bahwa budaya agama yang di bentuk oleh sejumlah keluarga Batak Toba Islam di kota Medan tetap mengakomodir beberapa budaya agama dalam masyarakat Melayu serta bersifat totaliter, yakni menggunakan metode yang sangat tegas sebagaimana kerasnya kehidupan Batak Toba sehingga melahirkan budaya hidup yang sangat tidak berkompromi dengan yang tidak jelas. Gambaran seperti ini masih terlihat pada setiap keluarga Batak Toba Islam di kota Medan dalam mendidik anak-anak mereka di rumah. Sebagai contoh keluarga dari bapak Rahmad Manurung, hasil wawancara berikut ini:
171
”…pengalamanku dulu pak!!!.,,, sebelum punya keluarga aku dulu tinggal sama keluarga yang berasal dari kampung orang tuaku. Udak itu sangat keras mendidik anak-anak di rumahnya tidak terkecuali anak orang lain yang tinggal bersamanya di rumah beliau, pernah ketika itu anaknya dengan temannya pulang ke rumah jam 1 malam. Lalu bapak itu marah-marah dan tidak diberi masuk sampai besok pagi, yang akhirnya anak tadi tidur di lantai masjid yang dekat dengan rumah beliau…” Hasil wawancara dengan bapak Hutapea serta bapak Rahmad Manurung menunjukkan bahwa pengalaman beragama seseorang yang sudah menginjakusia tua dalam mengamalkan nilai-nilai keagamaan yang terbentuk dalam budaya agama seseorang terkesan tidak mengenal kompromi jika ditemukan hal yang tidak cocok dalam diri terlebih didukung oleh pengalaman budaya sebagai orang Batak Toba, akan tetapi seluruh usaha yang dilakukan bertujuan untuk kebaikan anak-anak yang ada dalam lingkungan keluarga mereka. Berangkat dari penjelasan-penjelasan tersebut maka salah satu cara yang dapat dilakukan melihat budaya agama sebagai pendukung pendidikan akhlak dalam keluarga batak Toba Islam di kota Medan dengan memahami ide-ide atau gagasan-gagasan yang didasari pada nilai-nilai budaya agama Islam itu sendiri. Artinya mereka mengejewentahkan simbol-simbol
keagamaan Islam yang
mereka yakini selanjutnya sebagai dasar proses pendidikan akhlak bagi anak-anak mereka di rumah. Gambaran lain yang dapat di analisis tentang dukungan budaya agama terhadap pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam yakni relasi antar keagamaan, suku dan ras yang melahirkan prilaku damai dan bersilaturrahim sehingga berdampak pada penghormatan kelompok lain, kondisi seperti ini menjadikan diri seorang anak dari keluarga Batak Toba Islam memiliki kemampuan dalam melakukan konsep partuturan yakni sopan santu dalam berbicara, tidak hanya memilih kata-kata tetapi bahasa tubuh. Selama melakukan pengamatan dan wawancara di kota Medan kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai, dijumpai keluarga Batak Toba Islam yang sebahagian besar terlihat seperti orang Melayu. Gambaran ini dapat di perhatikan pada kawasan Sumatera pesisir pantai timur, mereka sangat sungguh lihai
172
menggunakan bahasa penduduk asli. Walaupun di wilayah lain terdapat juga keluarga Batak Toba Islam yang berdomisili di tengah-tengah masayarakat Batak Toba Kristen seperti kampung Gempolan yang berada di kabupaten. Sebagaiamana keluarga Batak Toba Islam yang berbudaya seperti warga asli daerah tersebut dalam hasil wawancara dari bapak Hutapea yang berdomisili di kabupaten Deli Serdang menuturkan: ”…selama ini pendidikan yang kami berikan kepada anak-anak berkaitan dengan akhlak mereka, kami pak!!!.,, banyak memberikannya sesuai budaya yang kami alami, artinya pak!!!., sebagaimana yang kami rasakan ketika keinginan orang tua kami dahulu menjadikan kami untuk menjadi orang baik yang dicintai agama dan bangsa, begitulah pak!!!., …” Pendidikan akhlak yang dilakukan oleh kalangan orang tua
keluarga
Batak Toba Islam hanya terbatas dari pengalaman pengetahuan mereka di masa kecil, sehingga terkesan secara alami berjalan apa adanya pendidikan akhlak itu di lapangan. Akan tetapi disisi lain juga terdapat keluarga Batak Toba Islam yang melakukan pendidikan akhlak terhadap anak-anak mereka melalui pengalaman pengetahuan yang ia dapatkan atas latar belakang pendidikannya sendiri. Sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan bapak Sitorus yang tinggal di daerah agraris tepatnya pada kabupaten Serdang Bedagai yang didominasi oleh masyarakat suku Melayu dan Jawa menuturkan kepada peneliti berikut ini: ” …Pendidikan akhlak yang dilakukan untuk anak-anak kami di rumah, ya kami sekolahkan mereka di sekolah agama sore setelah pulang sekolah”.... Selanjutnya saya menanyakkan kepada informan:..”bagaimana pendidikan akhlak yang bapak lakukan di malam harinya?”… lalu beliau menjawab:…”mereka kalau malam hari belajar mengaji di rumah ustad Ridwan sampai sholah isya, dan mereka pulang kerumah lagi begitulah pak bentuk pendidikan akhlak agama yang kami lakukan untuk anak-anak kami di rumah ini…” Sebagaimana uraian-uraian di atas, sudah cukup jelas sejumlah keluarga Batak Toba Islam yang terlihat layaknya seperti orang Melayu, mereka memiliki marga layaknya orang Batak yang berdomisili di Toba, tetapi dari aspek penggunaan bahasa terkesan mereka sangat lihai menggunakan bahasa Melayu, sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Sijabat berikut ini:
173
”…kami ini apolah pak manurung!!!... margaku Sijabat tetapi karena tinggal yo di kampung Melayu, ondak becakappun kayak orang Melayu, beginilah pak!!...” Berdasarkan keterangan tersebut bahwasanya masyarakat suku Batak Toba mempunyai budaya yang selalu melekat pada dirinya sendiri dan merupakan ciri dari dirinya.Itulah yang disebut dengan marga. Marga lebih ditonjolkan dari pada nama. Apabila orang Batak Toba ingin memperkenalkan dirinya kepada orang lain, dia lebih dahulu menyebut marga, karena dari margalah seseorang dapat kita telusuri siapa dia dan dari mana asalnya khususnya di kedua kabupaten ini. Ketika peneliti melakukan teguran atau menyapa mereka dengan bahasa Batak Toba istilah “…songon dia kabarna lae…”, tanya peneliti, lalu ia menjawab “..kami tak bisa bahaso Batak Pak!!!...”. Gambaran ini membuktikan bahwasanya keluarga besar Batak Toba Islam sebahagian besar dari aspek penggunaan bahasa dan adat Batak Toba kurang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melaksanakan. Hasil wawancara dari Ibu Panjaitan yang kebetulan memiliki suami kelahiran Simalungun bermarga Saragih menuturkan berikut ini: “…bahwa kami ketika mendidik anak-anak di rumah seperti biasanya anak-anak di sekitar lingkungan orang Melayu…”, lalu saya menanyakkan tentang adat Batak Toba dan nilai keagamaan Islam yang tampak mendidik anak-anak mereka, ibu tersebut menuturkan, “…ketika melakukan kegiatan khitanan kepada kedua anak laki-laki, kami mengadakan acara tepung tawar layaknya orang-orang Melayu, hanya saja ketika saudara-saudara saya yang termasuk hula-hula berasal dari Simalungun memberikan tepung tawar mereka meriakkan kata-kata horas!!, horas!!, hemmatutuu, itulah yang sering terdengar dari suara mulutnya pak!!!!...” Analisa yang dapat ditangkap bahwa budaya agama yang menjadi salah satu unsur pendukung pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam, jika di pahami secara mendalam dari peristiwa yang terurai di atas maka akan kita
174
dapatkan citra budaya yang bersifat memaksa untuk membekali anggota-anggota keluarga Batak Toba Islam, salah satunya menyebutkan istilah-istilah yang ada dalam adat Batak Toba dijadikan sebagai pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan duniamakna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggotaanggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka antara sesama keluarga Batak Toba Islam. Lain halnya dengan bapak Sinaga yang kurang lebih hampir 20 tahun tinggal di kalangan orang-orang Melayu berprofesi sebagai nelayan, sebagai warga Tanjung Balai dan sedang berkunjung dalam acara keluargake tebing Tinggi, ketika itu peneliti bertemu dengan beliau sedang berada di motor KUPJ dengan posisi duduk yang berdekatan. Bapak Sinaga ini berkeinginan menghadiri acara keberangkatan umroh adiknya yang berada di desa Kebun Sayur Perbaungan, beliau menuturkan berikut ini: “…dalam mendidik anak-anak di rumah sayaselalu memberikan banyaknya patuah-patuah berhubungan dengan kehidupan akhirat yang berasal dari budaya Melayu sebab hanya itu yang saya miliki dan telah mendarah daging dalam diri saya tentang adat Melayu…” Selanjutnya
peneliti
menanyakkan
mengenai
pelaksanaan
ibadah
keseharian anak-anak beliau di rumah, “…bagaimana bapak mengajarkan kepada anak-anak Bapak?...” tanya saya kembali kepada beliau, lalu bapak Sinaga menjawab sesuai hasil wawancara berikut ini: ”… saya selalu menekankan dengan keras tanpa ada kompromi dengan mereka (anak-anak), contohnya jika tak mau sholat dan mengaji di rumah ustad, anak saya itu tak saya beri uang jajan atau sampai ke rumah akan saya pukul begitulah saya mendidik anak-anak saya di rumah, demikian juga pak Zul yang merupakan adik saya, beliau juga mendidik anak-anaknya sangat ketat seperti yang saya lakukan….” Keluarga Batak Toba Islam yang masih menghormati adat Batak Toba Islam dan dijadikannya sebagai konsep yang sejalan dengan pesan agama Islam. Salah satu yang peneliti amati ketika keluarga batak Toba melakukan acara makan
175
bersama, maka di situlah mereka mengajari dan memberitahu arti sebuah keluarga dan bentuk-bentuk panggilan kepada seseorang diajarkan ketika itu. Hasil wawancara dengan bapak Nainggolan berikut ini: ”…yang paling baik mengajari anak-anak kita supaya tahu mereka bersaudara dan tahu saudara, maka waktu acara-acara kumpul seperti inilah yang sangat pas. Anak-anak ku selalu ku bilang sama mereka contohnya!!!.,, ya pak!!!. ‘ini bapa udamu, ini tulangmu, begitulah cara aku mengajari partuturan untuk mereka. Seperti ini harus kita lestarikan sejak kecil kepada setiap anak beliau di dalam keluarga…” Analisa yang dapat di ambil dari peristiwa bapak Nainggolan di atas merupakan sosialisasi anak-anak yang mengakibatkan intensitas keterlibatan emosional tersendiri dalam diri anak-anak, yang justru sangat bisa terjadi. Oleh karena itu pendidikan akhlak yang terbentuk dari budaya agama di dalam keluarga Batak Toba Islam dan berada di kota Medan terlihat jelas mereka membudayakan nilai agama aspek silaturrahim walaupun isinya tidak begitu banyak mewakili pesan agama, akan tetapi motivasi untuk senantiasa berkumpul kepada sesama sudah merupakan kebiasaan yang ditanamkan oleh sejumlah orang tua kepada anak-anak mereka.
Bagan 17 Budaya Agama Pendukung Pendidikan Akhlak dalam Keluarga Batak Toba Islam kota Medan, kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai
176
Bagan di atas bersumber dari bapak Rahmad Manurung, bapak Nainggolan Berdasarkan bagan di atas, maka budaya agama yang mendukung pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam adalah nilai-nilai keagamaan dari aspek nilai insaniyah sebagai contoh; silaturrahim, persaudaraan, persamaan, dermawan, dan lain-lainya. Pengalaman bapak Sinaga yang berasal dari Tanjung Balai tersebut memberikan inspirasi mengenai perkembangan pendidikan akhlak. Sebagaimana yang dapat ditelusuri
tentang budaya agama sebagai pendukung pendidikan
akhlak memiliki kaitan erat dengan pesan agama Islam “agar orang tua dapat memaksa anaknya untuk melaksanakan sholat”. Hasil wawancara bersama bapak Mangunsong yang merupakan sosok oppung dan di tuakan oleh masyarakat pasar miring di desa kampung Pon menuturkan berikut ini: “…aku oppung!!!!.,,,maka anak-anakku itu menjadi semuanya insyaallah tak tak takabur di hadapan Allah.,,!!! Mereka oppung didik dengan mengerjakan sholat karena sholat itu dapat memelihara hati mereka uny6uk sadar, conothnyo tak melawan orang tua. Lalu kalau mereka ini mengerjakan sholah subuh ku tengoktengok nampaknya tak begitu terlambat pergi kesekolah jadi teratur waktu poginyo!!!!., aku ini Oppung !! mengerjakan sholat buat oppung sehat dan terakhir kito dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar!!!...” Kisah yang diceritakan oleh oppung Mangunsong memperlihatkan kepada peneliti mengenai ajaran sholat untuk anak-anak beliau di rumah.Keinginan serius dalam menjalankan ajaran agama Islam sesungguhnya sangat berkaitan erat dengan potensi-potensi hereditas individu manusia Batak Toba. Sebagaimana tercantum dalam tulisan terdahulu bahwa orang Batak Toba sangat begitu akrab dengan pengalaman-pengalaman religious sebagai solusi mengatasi masalah sosial salah satu mengenai persoalan akhlak anak-anak di rumah.
177
Keluarga bapak Situmorang yang berprofesi sebagai konsultan Pajak di salah satu instansi swasta menuturkan kepada saya mengenai pengalaman beliau dalam mendidik anak kaitan dengan nilai-nilai agama Islam, sebagaimana hasil wawancara berikut ini: “…anak-anak kami setiap harinya kegiatan belajar mulai pukul 07.00 hingga 12.00 mereka belajar di sekolah dasar negeri dan ketika sorenya mereka belajar di sekolah MDA dari pukul 15.00 hingga 17.00 Wib selanjutnya di saat di rumah kami melakukan sholat berjamaah dan makan bersama yang selanjutnya mereka membuka pelajaran untuk esok harinya, demikianlah kegiatan keseharian anakanak saya di dalam lingkungan keluarga saya, yang jelas saya mendidik anakanak dengan mengutamakan belajar sebab saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa Allah Swt tidak menyukai orang-orang yang tak mau belajar atau akan menjadi bodoh!!...” Lalu beliau menegaskan kepada peneliti sebagaimana hasil wawancara berikut ini: “…Gambaran seperti inilah yang saya terima dari orang tua saya dahulu dan tetap akan saya laksanakan kepada anak-anak di rumah, tetapi melalui pendekatan yang berbeda…”
Gambar 25 Suasana Belajar Agama Islam
178
Anak-anak dari keluarga Batak Toba Islam berbaur dengan anakanakEtnisMelayu ketika mereka belajar Sore agama Islam atau yang sering disebut sekolah Arab di sebuah madrasah Strategi yang dilakukan oleh bapak Situmorang merupakan suatu cara hidup yang berkembang mewariskan dari generasi ke generasi, artinya bapak Situmorang menekankan budaya agama sebagai pola hidup menyeluruh. Berdasarkan keterangan-keterangan di atas terlihat jelas bahwa pendidikan akhlak kaitannya dengan budaya agamadalam keluarga Batak Toba Islam, mereka kalangan orang tua senantiasa memberikan budaya ancaman atau kekerasan yang sifatnya mendidik kepada anak-anak mereka walaupun keluarga Batak Toba Islam tersebut telah tinggal di lingkungan mayoritas suku lain. Hasil wawancara dengan bapak Sitorus yang berdomisili di desa Tempel kecamatan Sei Rampah menuturkan berikut ini:
179
”…aku akuilahpak., kadang-kadang dijumpai nakalnya anak-anak ini langsung naik tensi kita kepadanya. Bisa-bisa aku pukulkan pintu rumah di dalam kamar kalau anak-anak malas untuk sholat subuh…” Pengalaman bapak Sitorus ini sesungguhnya hampir dirasakan oleh sejumlah orang tua keluarga Batak Toba Islam, akan tetapi ciri dari pendidikan akhlak yang demikian keras untuk menunjukkan bahwa tujuan adalah ketegasan untuk memberitahukan kepada anak bahwa prilaku ini sesuatu yang sangat penting di laksanakan. Pengalaman bapak Sinaga yang memiliki anak sarjana ekonomi yang saat ini di Banda Aceh, dan beliau memiliki usia hampir 55 tahun menuturkan dalam hasil wawancara berikut ini: ”…aku oppung dulunya mendidik anak-anak ini selalu ku ajarkan mereka untuk mengaji ke masjid. Sampai mereka betul-betul tamat al-Qur’an dan semuanya anak-anak di kampung inipun mengaji ke sana, gurunya bapak ustad dari suku Banjar, jadi walaupun anakku dan aku orang Batak Toba gurunya selalu menasehati dan memberikan acara-acara pengajian itu seperti pengalaman budaya yang ia miliki. Contohnya ya oppung!!.,, kalau anak-anak itu tamat alQur’an maka di buat pulut kuning yang diisi dengan ayam bakar lalu dibaca doa setelah itu dibagi-bagi dengan anak-anak yang lain seperti itulah kadang-kadang anak saya membawa pulut makanan itu ke rumah…” Gambaran yang dapat diambil dari uraian –uraian di atas sesungguhnya sejumlah penelusuran keluarga Batak Toba Islam di Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai ini menunjukkan pentingnya mengambil nilai budaya kebaikan dari pengalaman beragama Islam dan budaya lingkungan setempat. Kondisi ini menjadi sesuatu yang sangat menarik bahwa orang tua-orang tua yang ada dalam keluarga Batak Toba Islam
menjadi budaya agama yang terbentuk dari
pengalaman keberagamaan dan budaya setempat difungsikan sebagai nilai-nilai utama yang dijadikan sebagai kenyakinan dalam bersosialisasi, penghormatan, dan cita-cita mereka. Kalaulah diamati secara mendalam uraian-uraian kalangan informan di atas maka budaya agama dalam keluarga Batak Toba Islam sangat erat hubungannya dengan masyarakat Melayu di kabupaten Deli Serdang dan Serdang
180
Bedagai. Kondisi seperti ini dapat di artikan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Deli Serdang dan Serdang Bedagai itu sendiri, yakni masyarakat Melayu. Hasil wawancara dengan Oppung Mangunsong yang kebetulan beliau merupakan salah satu orang yang di tuakan dalam kampung tersebut. Beliau selalu dibutuhkan masyarakat setempat untuk membaca doa dan selalu dimintai oleh masyarakat mengenai amala-amal yang dapat mereka lakukan unutk mendidik anak-anak mereka di rumah. Di samping itu juga beliau mampu mengobati anakanak dari gangguan-gangguan penyakit yang disebabkan oleh lingkunganlingkungan yang menunjukkan diperlukan berupa doa-doa untuk menyehatkan batin seorang anak.berikut ini petikan wawancara peneliti dengan oppung tersebut: “…orangtua yang datang kemari, mereka itu kadang-kadang bawa anaknya yang deman atau penyakit yang lainnya. Aku bialangin sama mereka, !!anakmu ini,. Haru kau berikan air somburnya biar baik!!!., jadi kadangpun ku tengok-tengok anak-anak yang kusombur itu ada perubahannya. Oppung juga bisa seperti itu!!!.,,tandas beliau kepada peneliti,…”lalu aku berikan lah mereka bacaanbacaan untuk amal mereka di rumah biar tenang hati mereka membimbing anakanaknya di rumah dengan agama begitulah oppung memberikan obat0obat batin mereka oppung!!!...” Gambaran di atas merupakan bukti dari budaya agama yang melahirkan sikap religius kalangan orang tua dalam keluarga Batak Toba Islam di kota Medan, kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Budaya
agama yang
dimiliki oleh kalangan orang tua memiliki bukti walaupun tidak sepenuhnya mewarnai kebaikan. Pengalaman oppung Simangunsong di atas menunjukkan kepada peneliti mengenai peristiwa bentuk mengamalkan penjelmaan keaktifan budi manusia menanggapi persoalan-persoalan kehidupan dan nilai-nilai, dengan corak tertentu, salah satunya mengatasi sejumlah penyakit-penyakit dengan melakukan penyemburan air dari mulut dan di buangkan kepada seluruh badan anak tersebut sebagaimana yang peneliti amati ketika beliau mengobati anak bapak Iwan Purba. Selanjutnya jika kita membuat pertanyaan mengapa demikian?!!, maka
181
jawabannya adalah budaya agama tersebut telah berperan memberikan pengaruh kepada seseorang dalam mencari makna religious bagi tindakan yang dipilihnya. Kehidupan keluarga Batak Toba dengan kondisi pengalaman beragama cukup memberikan inspirasi bahwa tindakan dan pilihan yang diinginkan oleh kalangan anggota keluarganya sangat ditentukan oleh perenungan batin.Gambaran ini dapat dijelaskan dari hasil wawancara Oppung Mangunsong di atas. Keluarga Batak Toba Islam di kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai dalam pengamatan peneliti mereka mendidik anak-anaknya melalui budaya agama terlihat jelas secara kasat mata tidak memakai nilai-nilai identitas sebagai orang Batak Toba walaupun demikian mereka tetap melakukan kegiatan bernuansa pengamalan keagamaan seperti halnya bacaan Yasinan untuk menguatkan niat mengerjakan sesuatu. Sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Situmorang yang kebetulan beliau tinggal di kampung Tempel kecamatan Sei Bamban menuturkan kepada peneliti: ”…setiap ada rezeki di rumah ini, umpamanya panen padi kami selalu mengirim doa kepada oppung yang ada di rumah ini dulunya. Supaya doa itu bisa berguna untuk kesehatan-kesehatn kami di rumah ini, kami undang para orang tua-orang tua untuk membaca doa, istilahnya pak supaya terpeliharalah kehidupan kami di sini dari bala dan petaka, kalau begitu bisakan pak!!?...” Menarik untuk diperhatikan bahwa acara-acara yang sifatnya berkaitan erat dengan
ke-Tuhanan sebagaimana hasil pengalaman bapak Situmorang,
Oppung Mangungsong dan bapak Iwan Purba mereka senantiasa tetap melakukan kegiatan tersebut agar anak-anak mereka dapat memiliki keperibadian baik yang muasalnya terbangun dari hal-hal absolut. Artinya jika diperhatikan berbagai segi kehidupan kemasyarakatan serta beberapa hal penting, seperti pendidikan akhlak dalam keluaraga batak Toba Islam di kedua kabupaten ini maka dapat dilihat adanya benang merah yang terjalin di dalamnya, yaitu kaitannya yang erat hubungan-hubungan pendidikan akhlak dalam semangat spiritual orang Batak Toba lainnya.
182
Selain dari proses pendidikan akhlak didukung oleh pengalaman yang dimiliki sejumlah orang tua terdapat juga kelompok budaya-budaya etnis lain memberikan pengaruh terhadap proses keberlangsungan pendidikan akhlak, sebagai contoh yang peneliti temukan terhadap keluarga bapak Sijabat saat ini bertugas di kantor bupati Serdang Bedagai menjelaskan sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ” …pak Siamu aku ini memang bermarga orang Batak Toba tetapi ketika adanya hubungan kegiatan acara keluarga khususnya berkaitan dengan pendidikan di rumah, saya selalu menasehati mereka dengan pesan-pesan nilai budaya Melayu bagaimanalah pak Siamu, namanya saja!!!., saya ini ‘gerobak pasir’, tahu bapak kepanjangannya ?!!!., kepanjangannya itu pak!!., ‘gerombolan Batak Pesisir!!., …”. Penjelasan bapak Sijabat di atas, memberikan keterangan kepada penulis bahwa suku Batak Toba dan telah beragama Islam serta lama berdomisili di luar tanah Batak mereka tidak begitu ketat mengenai penyaringan terhadap budaya lain terlebih mengenai proses keberlangsungan pendidikan akhlak dalam keluarga. Sebagaimana pak Sijabat memberikan keterangan pada peneliti dan beliaupun demikian lihainya mengistilahkan dirinya dengan perumpamaan “gerobak pasir”, dan ini merupakan ucapan-ucapan budaya Melayu dengan mengistilahkan dalam sebuah peranan kehidupan sehari-hari mereka. Partisipasi kalangan keluarga Batak Toba Islam dalam melaksanakan pendidikan khususnya pendidikan akhlak tidak memandang siapa yang memberikan saran.Bab terdahulu telah disinggung bahwa hubungan kekerabatan antara keluarga Batak Toba Islam dengan keluarga Batak Toba Kristen tidak menjadi suatu halangan. Sebagai contoh hasil wawancara berikut ini dengan bapak Simanjuntak berprofesi sebagai guru yang kebetulan beliau bertetangga dengan bapak Pakpahan yang beragama Islam menuturkan: ”…aku lae kadang-kadang kalau kebetulan berjumpa dengan anaknya pak Pakpahan dan mereka sedang bermain-main bola dari sawah-sawah di sore hari aku selalu bilangin cepat kalian pulang nanti dimarahi sama bapak kalian. Dan akupun pernah menyuruh mereka untuk pergi ke mesjid di hari jumat supaya kalian menjadi anak yang baik…”
183
Pengalaman bapak Simanjuntak dengan anak-anak pak Pakpahan menunjukkan bahwa hubungan antara mereka masih saling memberikan nasehat walaupun mereka berbeda kenyakinan.Selain dari adanya hubungan antara sesama tetangga mereka juga merasakan sebagai orang Batak harus senantiasa menjaga adat.Gambaran ini hanya didapatkan pada keluarga Batak Toba Islam yang berdomisili daerah perkampungan. Selanjutnya bapak Simanjuntak menambahkan dalam wawancara berikut ini: ” …kita walaupun berbeda dalam kenyakinan yang namanya anak tetanggapun harus bisa kita perhatikan, karena hidup bertetangga inikan harus saling menghargai dengan begitukan kita juga akan terjaga, saya ini kerja sebagai guru di SMP Katolik dan bapak Pakpahan pun seorang guru jadi kami harus saling mengingatkan untuk anak-anak kami. Memang kami ini ada kaitan saudara sebab mertua adik saya juga bermarga Pakpahan jadi dia itu hula-hula adikku di kampung…” Setelah di amati lebih dalam lagi ditemukan ikatan emosional dari bapak Simanjutak bahwa tetangga beliau memiliki hubungan marga yang sama dengan mertua adik kandungnya di kampung. Gambaran ini juga memberikan kontribusi atas keberlangsungan pendidikan akhlak dalam keluarga bapak Simajuntak. Bagan 18 Ikatan Emosional Mendukung Pendidikan Akhlak
Bagan bersumber dari hasil wawancara dengan Simanjuntak, bapak Pakpahan serta bapak Sijabat Bagan di atas menjelaskan bahwa proses keberlangsungan pendidikan akhlak bukan harus terjadi dalam internal keluarga saja, akan tetapi di luar
184
lingkungan keluargapun dapat terjadi walaupun berlainan akidah. Artinya ikatan emosional pun dapat mendukung proses keberlangsungan pendidikan akhlak dalam berbedaan kenyakinan antara sesame orang Batak Toba; antara lainnya, a. hubungan marga, b. pengalaman melaksanakan ajaran Islam dalam perbedaan akidah, c. pengalaman berbudaya sebagai orang Batak Toba. Berangkat dari penjelasan-penjelasan informan di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa proses keberlangsungan pendidikan akhlak sangat memadukan antara pengalaman melaksnakan ajaran Islam dan pengalaman bergaul sebagai orang Batak Toba. Gambaran tersebut melahirkan sebuah budaya baru yang memadukankan antara nilai-nilai agama, yang selanjutnya dilengkapi dengan nilai yang berasal dari pemikiran (filsafat) manusia (etika), adat kebiasaan yang baik (u’ruf) dan hasil perenungan spiritual (intuisi), dan lainnya.
d.
Sebagai Kelompok Minoritas di Lingkungan Mayoritas Batak Toba Kristen Sub judul ini akan menyajikan uraian keluarga Batak Toba Islam dan
proses pendidikan akhlak sebagai kelompok minoritas di dua kabupaten yakni Samosir dan Toba Samosir. Perjalanan saya menuju kabupaten Samosir dan kabupaten Toba Samosir melalui jalan darat dengan angkutan L 300 dengan nama angkutan Sampri, tiba di kecamatan Pangururan yang merupakan ibu kota kabupaten pada pukul 17.00 wib di sana saya bermalam di mesjid Al-Hasanah tepatnya di samping pendopo bupati Samosir. Amru Hasibuan merupakan teman yang dituju untuk membantu saya mengumpulkan data penelitian di lapangan. Mesjid itu dengan berbagai tempat hunian sangat ramai oleh sejumlah kalangan yang berkerja yakni komunitas kepolisian dan pegawai negeri sipil, hasil wawancara berikut ini: ....”kami semua di sini pak!!!, muslim dan kami bekerja di pemerintahan tidak membawa keluarga karena tidak tersedia tempat atau perumahan pemerintah sehingga kami tinggal di mesjid. Menurut saya karena secara sosial kami beragama Islam sehingga sangat sulit melaksanakan kewajiban ibadah di tengah mayoritas masyarakat kristen di sini pak!! Walaupun bisa tapi keadaan sangat sulit untuk rutinitas mengerjakan ibadah, lalu kalangan masyarakat Samosir di
185
sini khususnya di Pangururan mereka sama sekali tidak menjual tanah kepada orang lain di luar masyarakat Samosir terlebih untuk kepentingan pemerintah, sehingga kalangan pekerja seperti kami ini tidak mendapatkan sejumlah rumah dinas. Ya!!!..., dan akhirnya mesjid inilah yang kami manfaatkan!!! Dan kami di sini membanyar Pak!! Untuk mesjid sekitar hanya untuk memenuhi pembiayaan listrik, air dan kebersihan mesjid! ”.... Berangkat dari uraian di atas bahwa kalangan masyarakat Samosir dan Toba Samosir tidak berkeinginan menjual tanah leluhurnya kepada orang asing dan ini sudah menjadi kebudayaan mereka di daerah tersebut, dan gambaran seperti ini dapat dipandang sebagai konfogurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya. Gambar 26 Mesjid Al-Hasanah Pangururan
Mesjid al-Hasanah selain sebagai tempat ibadah mesjid ini juga difungsikan sebagai tempat tinggal oleh sejumlah kalangan pekerja muslim di pemerintahan yang berasal dari daerah diluar Samosir
186
Di pagi harinya setelah melaksanakan sholat subuh saya berjalan-jalan dan duduk di depan Masjid Al-Hasanah memandang dan menikmati suasana pagi yang sangat indah melihat pemandangan Danau Toba. Ketika menikmati keindahan alam Danau Toba saya merasa takjub dan memompa semangat saya untuk senantiasa ingin berlama-lama tinggal di tempat ini.
1.
Keluarga Batak Toba Islam di Kabupaten Samosir Selama saya melakukan kegiatan mengunjungi dan bersilaturrahim dengan
sejumlah keluarga Batak Toba Islam untuk melakukan wawancara di Kabupaten Samosir, saya ditemani oleh sahabat setia saya yang bernama Amru Hasibuan, beliau
bertugas sebagai pegawai negeri sipil Kantor Urusan Agama di
Kementerian Agama Kabupaten Samosir. Selama kami bersama banyak informasi-informasi di luar dugaan yang saya dapatkan dari beliau mengenai perkembangan keluarga Batak Toba Islam di tengah-tengah masyarakat Kristen tepatnya Kabupaten Samosir ini.Beberapa ungkapan beliau yang patut menjadi perhatian bersama sebagaimana hasil wawancara dengannya berikut ini: ” ….kami di sini pekerjaan yang diamanahkan dari kantor Kementerian Agama untuk mengurusi orang muslim unutk menikah atau berumah tangga, akan tetapi di sini yang ditanyakan bukan berapa banyak orang Islam yang kami nikahkan dalam setahun, tetapi yang ditanyakan berapa banyak orang Islam yang kembali lagi tidak Isla….” Selanjutnya beliau menuturkan dalam hasil wawancara berikut ini: “….bahwa keluarga Batak Toba Islam yang berada di Kabupaten ini bisa dihitung dengan perumpamaannya ‘jari’ setiap kecamatan hanya ada beberapa keluarga, mereka seluruhnya sangat haus dengan pengetahuan keagamaan Islam, terlebih lagi banyak di kalangan mereka keluarga Batak Toba Islam yang tidak mampu membaca al-Qur’an….” Perkembangan keluarga Batak Toba Islam di Samosir menunjukkan keprihatinan serius bagi saya ketika menyaksikan mereka dalam menjalankan adat-adat upacara kematian khususnya bagi keluarga Batak Toba Islam jika jumlah anggota keluarganya masih banyak yang beragama di luar Islam, maka
187
upacara kematian itu memakai ajaran budaya Batak Toba, sehingga mengenai fardhu kifayah-nya pun tidak menjadi perhatian serius bagi mereka (keluarga Batak Toba Islam yang jumlahnya sedikit). Informasi di atas menunjukkan bahwa budaya Batak Toba sangat memegang erat sejumlah aturan sosial menurut budaya yang mereka yakini, gambaran tersebut tidak hanya terjadi bagi keluarga Batak Toba Islam saja, tetapi di sisi lainnya juga Batak Toba yang beragama Kristen. Salah satu informan yang masih beragama kristen saya temukan di daerah Ajibata ketika melakukan perjalanan menuju Nainggolan menjelaskan dalam hasil wawancara berikut ini: ” ….salah satu anggota keluarga kami ada yang beragama Islam, lae!!., kami sesungguhnya dalam keseharian tidak menunjukkan yang membatasi dalam bergaul kepadanya, tetapi ketika datangnya kalangan penyuluh ataupun sejenis yang memberikan dakwah saudara kami itu sering kali membatasi diri dan tak seperti biasanya untuk saling mengunjungi di antara kami….” Selanjutnya ia mempertanyakan gambaran seperti itu kepada saya dengan penuh sikap yang sangat apatis melihat pengalamannya dengan saudaranya tersebut “….memangnya begitunya ajaran agama lae?!!, lalu saya menjawab “tidak lae, itu hanya oknumnya saja!!!! ….” Pembicaraan kami pun berlanjut dengan suasana yang sangat akrab sehingga kelelahan dalam perjalanan menuju Nainggolan pun tidak terasa lagi. Bagan 19 Faktor-faktor Terkendalanya Ajaran Agama Islam
188
Bagan di atas bersumber dari hasil wawancara dengan ustad Amru Hasibuan dan informan yang tidak mau disebut namanya tetapi berkenyakinan agama Kristen Bagan di atas menunjukkan bahwa terkendalanya ajaran Islam di kalangan keluarga Batak Toba Islam di Samosir antara lainnya; sediktinya pelaksana penyuluh agama Islam di tempat tersebut, kuatnya adat Batak Toba sebagai aturan social di masyarakat Samosir, selanjutnya metode doktrinisasi dalam berdakwah sangat berdampak pada diri individu anggota keluarga Batak Toba Islam dalam berinteraksi antara sesama orang Batak Toba. Keesokan hariannya pada tanggal 12 maret 2013 saya bersama saudara Amru Hasibuan mengelilingi seluruh wilayah Kabupaten Samosir mendatangi sejumlah keluarga Batak Toba Islam dalam kesempatan tersebut saya merasakan sesuatu perbedaan betul dalam berbudaya Batak Toba antara mereka dengan saya yang bermarga Manurung berasal dari kelahiran Serdang Bedagai. Setiap keluarga Batak Toba Islam yang saya wawancarai selalu diawal perkenalan mereka menanyakkan asal marga saya di tanah Batak ini atau di bahasakan dengan Tarombo disebut istilah silsilah marga Manurung, walaupun saya tidak begitu mampu lancar berbahasa Batak Toba ataupun menguasai secara detail adat martarombo Batak Toba tetapi saya dapat menjelaskan asal marga saya dengan bahasa Batak Toba seadanya, sebagaimana pengetahuan ini saya dapatkan melalui informasi ayah sewaktu usia remaja. Keluarga Batak Toba Islam yang kami datangi di tiap rumah merasakan sangat senang sekali dengan kehadiran kami dan saya pun tidak merasakan adanya penolakan sedikitpun dari mereka. Adapun keterangan bagan di atas kaitannya dengan peristiwa di lapangan secara umum menunjukkan antara lainnya: Pertama: Masjid yang di tinggalkan oleh jamaah. Masjid ini awal mulanya memiliki jamaah yang cukup lumayan, tetapi akibat dari kehidupan keluarga Batak Toba Islam yang tak begitu jauh berbudaya dengan Batak Toba umumnya yakni suka merantau ke daerah luar Samosir dan ketika mereka mendapatkan keberhasilan selanjutnya menetap dan tidak kembali daerah asalnya.
189
Kedua; Masjid yang jarang melakukan aktifitas azan.Masjid ini berjarak jauh dengan tempat tinggal keluarga Batak Toba Islam dan jika azanpun hanya disaat petugas penyuluhan datang ke tempat tersebut. Berangkat dari keterangan di atas, bahwa pada point kedua peneliti menerima informasi dari kalangan masyarakat Samosir yang merupakan salah satu anggota keluarga Batak Toba Islam menuturkan dalam hasil wawancara berikut ini: ” ….Ini maaf ya pak!! Hanya sekedar pemberitahuan saja, di sini ada peristiwa yang lebih ekstrim di kalangan komunitas terbanyak beragama Kristen di sekitar masjid pernah mereka melempari seng mesjdi karena mereka merasa terganggu dengan suara azan, ya!! Kamipun tak begitu tahu tetapi setelah azan selesai barulah tak ada lagi suara lemparan yang kami dengar, selanjutnya kami sholat….” Atas peristiwa yang di alami oleh penjaga masjid tersebut, saya melakukan konfirmasi mengenai kejadian yang pernah di alami oleh anggota keluarga Batak Toba Islam kepada informan yang beragama Kristen yakni bapak Nainggolan dalam hasil wawancara berikut ini: “…..kalau dilihat-lihat keluarga Batak Toba Islam di kampung inikan!!, jumlahnya hanya sedikit, tetapi jika mengingatkan waktu sholat mengapa harus azan pakai alat mengeras suara kami di sini pak!! Merasa sangat terganggu sekali terlebih waktu pagi, apa namanay sholat subuh?!!!., ah itulah dia bikin bising lingkungan ini, kalau aku bertanya sama lae, bagaimana toleransi beragama menggangu istirahat orang tidur!!!., dengan mengingat waktu sholat seperti itu, bukan begitu pak?? …” Hasil wawancara ini dilakukan di salah satu perkampungan pulau Samosir, tetapi di perkotaan mengenai permasalah tersebut tidak begitu muncul bukti yang bisa dilihat adalah Masjid di tengah kota Pangururan yang mayoritas penduduknya beragama Kristen serta salah satu kota yang menjadi pusat kebudayaan Batak Toba, terasa menyejukkan. Karena masjid ini juga menjadi perlambang kerukunan beragama di Pangururan dimana bersebelahan dengan Masjid Al-Hasanah, berdiri Gereja HKBP Pangururan Kota.
190
Ketiga, masjid menjadi tempat tinggal orang luar Samosir untuk bekerja. Dikarenakan masyarakat Batak Toba sangat sulit menjual tanahnya kepada kalangan di luar masyarakat Samosir maka hampir sebahagian besar mereka berkerja di Samosir menetap tinggal di masjid-masjid. Menurut informan yang saya wanwancari yakni bapak Situmorang sebagai warga Pangururan menuturkan dalam hasil wawancara berikut ini: “….bahwa hampir sejumlah besar suku Batak Toba khususnya di daerah-daerah kampung pedalaman, masih menganggap hukum adat berfungsi dalam mengatur kehidupan orang Batak Toba sehingga secara hokum adat tanah dengan pemiliknya mempunyai hubungan yang bersifat sakral atau magic-religious sehingga tanah jarang diperjual belikan pak!!...” Data Potensi Rumah Ibadah dan Pengurus Masjid/Nazhir Kabupaten Samosir 2011 No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Mesjid
Alamat
Tahun Berdiri
Mesjid Alhasanah
J. Mesj
Jalan Danau Toba 1965 Kel. Pasar Pengururan Mesjid Al- Kel. Tuk-tuk 1985 Ikhlas
1
Mesjid Nurul Islam Mesjid Nurul Iman Mesjid alBarokah Mesjid AlIkhwan Mesjid Huda
Desa Tambunan 1958 Sukkean Desa Sihotang 1956
1
Desa Holbung
1957
1
Janji 1954
1
Sibolak 1950
1
Desa Martahan Desa Hotang
1
1
Nama Pengurus/ Nadzir Jasman Sitakar H. Mahyudin Siregar Anwar Hasibuan Imam Simbolon Rohul Sitomorang Halomoan Sitanggang Hasim Simbolon
Jumlah Umat 425 284 330 308 143 129 127
Sumber kemenag Samosir Setelah mengetahui perkembangan masjid-masjid di wilayah Samosir, saya melanjutkan perjalanan untuk mencari informan keluarga Batak Toba Islam. Sebagaimana pengalaman kami disetiap rumah keluarga Batak Toba Islam atau jamaah pengajian yang dikunjungi selalu menyediakan makanan hidangan khas
191
masakan ikan orang Batak Toba. Gambaran seperti ini sudah merupakan sesuatu yang sangat rutin kami alami disaat mendatangi beberapa keluarga Batak Toba Islam di sana. Segi penyajian dan rasa ikan hasil masakan mereka dari dapur menurut teman saya tidak begitu jauh dengan orang Batak Toba umumnya di sini.Hanya saja bedanya ketika kita makan dengan seakidah rasanya lebih enak, demikian penuturan teman saya tersebut. Perkembangan keluarga Batak Toba Islam di kabupaten Samosir sangat menjadi perhatian penuh untuk dilakukan bimbingan dan mengarahkan mereka agar tetap menjalankan ajaran-ajaran Islam.Mereka sangat memerlukan sejumlah tenaga-tenaga relawan untuk belajar tentang ke-Islaman. Bukti yang dapat dijadikan penguat bahwa mereka membutuhkan pengetahuan agama Islam, sebagaimana hasil wawancara dengan Ibu Gultom yang merupakan orang tua dari bapak mantan Rektor Unimed yakni bapak Syawal Gultom: ” …kami di sini ada beberapa keluarga yang beragama Islam, kami sangat butuh sekali pengetahuan agama Islam. dulu suami saya ketika masih hidup dia sangat rajin pergi ke Mesjid yang berjarak dua jam dari rumah ini. Jadi kalau ia mau pergi shalat jumat ke masjid dari rumah ini berangkat kira-kira jam sepuluh. Begitu juga kami ibu-ibu di sini yang sudah mencapai usia 60 tahun ke atas tetap semangat menghadiri pengajian di Mesjid dengan jalan kaki melewati jalan-jalan sawah-sawah orang-orang Kristen, Masjid itu ada kampung Sukkean nama masjid itu Nurul Islam, begitulah kehidupan kami bapak!!., ustad kami inilah ustad Hasibuan…” Keseharian keluarga Batak Toba Islam dalam aktifitas tidak begitu berbeda dengan keluarga Batak Toba Kristen, contohnya ketika terjadi upacara adat hampir seluruhnya menghadiri walaupun tidak seakidah. Gambaran ini di kuatkan oleh Ibu Naiggolan yang telah mencapai umur 80 tahun, sebagaimana hasil wawancara berikut ini: “…bagaimana kami harus memisahkan diri dari kegiatan masyarakat kampung, sedangkan kami tinggal di sini, jadi paling tidak sudah merupakan kewajiban kami kunjung mengunjungi, dan merekapun keluarga kami di sini walaupun saudara seakidah dan seiman ada dan jauh tapi mereka juga yang terdekat di sini. Mau tidak mau memang merekalah yang dekat sama kami…”
192
Kampung Sukkean merupakan salah satu perkampungan di Samosir yang menjadi tempat saya untuk menginap tepatnya di masjid Nurul Islam selama saya di kampung tersebut. Hasil wawancara dengan Bapak Hasibuan berikut ini: ” …Masjid Nurul Islam berdiri sejak tahun 1953.Masjid ini merupakan simbol dari kebersamaan warga Sukkean. Dahulu kami jika punya acara peringatan atau perayaan di masjid inikami selalu mengundang saudara-saudara kami yang lain akidah itu dalam acara itu kami membuat makan bersama dengan menyembelih kambing dalam menghadapi bulan Ramadhan, begitulah salah satu kegiatan yang turut di hadiri oleh mereka pak!! ….” Lalu saya bertanya terhadap beliau “….hingga saat ini acara tersebut tetap berlangsung pak? ….”., beliau menjawab, …“tidak pak….” lalu saya menuturkan “mengapa demikian pak!?..”. beliau menjawab dalam hasil wawancara berikut ini: ” …Begini pak beberapa tahun yang lalu pengurus masjid ini mengalami ketidak sepehaman tentang pembangunan masjid, sehingga berdampak pada kurangnya jamaah, dan sampai hari ini masjid tetap sunyi, kalaupun ada azan berarti bapak kua dan stafnya ada di kantor, dan mereka ini tinggal di kantor yang kebetulan di samping masjid nurul Islam ini pak!!! …” Keluarga Batak Toba Islam yang berada di kabupaten Samosir dan memiliki jumlah terbanyak dibandingkan kecamatan lainnya adalah kecamatan Onan Runggu tepatnya di kampung Sukkean, menurut informasi dari bapak Amru Hasibuan sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ……”jumlah keluarga Batak Toba Islam di kabupaten Samosir ini terbanyak ada di kecamatan Onan Runggu tepatnya di kampung Sukkean, kira-kira jumlah mereka berkisar kurang lebih 40 kk, tetapi yang aktif untuk datang ke masjid hanya berkisar 2 atau 4 kk saja yang lainnya ada yang di kampung atau mereka pergi melakukan kegiatan di luar kampung hingga beberapa hari lamanya”….. Awal mulanya sebelum menginjakkan kaki di pulo Samosir, saya beranggapan bahwa wilayah ini tidak akan di jumpai keluarga Batak Toba Islam, namun rupanya sesampainya saya di sini keberadaan Islam dengan sejumlah bangunan masjid menandai bahwa keluarga Batak Toba Islam dapat hidup
193
ditengah-tengah suku Batak Toba yang mayoritas beragama Kristen. Gambaran ini akibat hubungan sosial antara mereka yang terjadi adalah keterikatan emosional sosial merasa sama berasal dari Bona Pasogit. Berikut wawancara dari bapak Samosir: “…aku dengan lae sebenar berhubungan hula-hula, karena mertuaku marga Manurung. Walaupun kita berbeda agama tetapi kita saling menghargai untuk memiliki kesamaan berasal dari bona pasogit, maka darah kitapun bergetar. Kalau sudah menjadi Batak Toba maka haruslah kita patuh paling tidak tidak mencala apa-apa yang telah diciptakan aturan adat ini kepada kita…” Uraian di atas menunjukkan bahwa keluarga Batak Toba Islam dan keluarga Batak Toba beragama Kristen tidak menunjukkan sesuatu yang begitu renggan antara mereka sebab budaya Panuturon atau yang dikenal dengan Dalihan natolu masih berlangsung dengan baik di Tanah Samosir ini. Menemui keluarga Batak Toba Islam di pulau Samosir dapat dilakukan dengan mengunjungi masjid-masjid yang telah terbangun puluhan tahun, di sana akan diketahui keberadaan dan perkembangan keluarga Batak Toba Islam tersebut sebab lokasi masjid biasanya tidak begitu jauh dari rumah-rumah keluarga Batak Toba Islam. Adapun masjid-masjid yang saya kunjungi selain masjid Nurul Islam yang ada di Sukkean, juga masjid masjid Nurul Huda yang menjadi bukti sejarah Islam telah ada di Samosir puluhan tahun yang lampau. Masjid Nurul Huda terdapat di Desa Turpuk Sihotang, Harian, Samosir.Selanjutnya masjid AlHasanah di Pangururan. Bertolak dari keterangan di atas, sebagai contoh Masjid Nurul Huda yang berada di Kampung Harian, sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Sihotang berikut ini: ” …bahwa keberadaan keluarga Batak Toba Islam di lingkungan sekitar masjid Nurul Huda ini sudah dari kakek buyutnya menganut agama Islam. Saat ini keluarga Batak Toba Islam yang berada di sekitar masjid ini berjumlah sekitar 40 kepala keluarga dan semuanya adalah suku Batak asli, ada yang marga Simbolon, Malau ataupun marga-marga lainnya…”
194
Mengunjungi keluarga Batak Toba Islam di Samosir pada
berbagai
wilayah dapat menggunakan transfortasi darat maupun air, tetapi yang paling mendasar untuk menjadi ingatan adalah jadwal keberangkatan tranfortasi air, sebab dengan adanya transfortasi air perjalanan tidak begitu melelahkan jika dibandingkan perjalanan darat. Akan tetapi melalui tranfortasi darat kita sepanjang perjalanan bisa menikmati pemandangan alam pegunungan, dengan sisi jalan yang terkadang memperlihatkan jurang, tebing, atau hamparan tanaman ataupun rumput liar. Mencari keluarga Batak Toba Islam di polu Samosir dalam pengalaman saya selama di lapangan. Jika di wilayah perkotaan yang cukup sedikit ramai dibandingkan daerah lain dapat dilakukan dengan melihat warung makan Islam yang di kelolah oleh orang Batak Toba Islam melalui informasi dari warung tersebut, maka akan mendapatkan keberadaan sejumlah keluarga Batak Toba Islam di Samosir khususnya di perkotaan. Selanjutnya jika menelusuri keluarga Batak Toba Islam yang berada di daerah perkampungan, maka upaya yang harus dilakukan menemui satu keluarga batak Toba Islam di daerah tersebut selanjutnya melalui informasi mereka akan ditemukan keberadaan keluarga Batak Toba Islam lainnya. Keluarga Batak Toba Islam yang berada diperkotaan biasanya berprofesi sebagai pedagang dan pegawai pemerintahan, tetapi di daerah perkampungan mereka berprofesi sebagai petani dan memelihara ternak kerbau atau kambing. Kehidupan keluarga Batak Toba Islam perkampungan dalam kesehariannya mereka dipagi hari pergi ke persawahan/ladang hingga senja hari, sehingga ketika saya hendak melakukan wawancara dengan sejumlah informan harus menunggu mereka pulang dari persawahan/ladang atau jika terjangkau oleh kendaraan maka saya dan teman mengunjung mereka ke persawahan/ladang mereka. Kesempatan ini saya menjumpai Ibu kandung mantan Rektor Unimed yang berdomisili di Pulo Samosir, sebagaimana hasil wawancara dengan beliau berikut ini: ” …aduh ada apa ya!!? Orang kalian datang kesini!!?., oh begitu!!., kalau orang Islam di sini mereka tinggalnya berjauhan sehingga kalaupun hendak
195
mengadakan pengajian di masjid Nurul Islam kampung Sukkean kami harus diberitahukan dua hari sebelumnya agar kami bisa memberitahukan kepada saudara/I kami yang beragama Islam.begitulah kami di sini sebagai orang Islam yang mau bapak ketahui…” Berangkat dari gambaran di atas menunjukkan bahwa mereka sangat begitu antusias untuk mendalami ilmu pengetahuan keagamaan Islam, walaupunn usia dan kemampuan diri sudah tidak mendukung dalam meraihnya. Sesuai informasi saudara Amru selaku ustad dalam pengajian memberikan keterangan dalam wawancara berikut ini: ” ….jumlah orang Islam yang ada di sini dan yang datang untuk mengikuti pengajian di masjid Nurul Islam ini, sudah cukup lumayan dari jumlah mereka yang berada di daerah ini…”
2.
Keluarga Batak Toba Islam di Kabupaten Toba Samosir Perjalanan kami menuju Toba Samosir untuk menemui sejumlah keluarga
Batak Toba Islam tepatnya di kota Balige sangat cukup memberikan inspirasi dalam melakukan perjalanan keberbagai sudut wilayah di daerah tersebut, sebab menurut penuturan bapak Tambunan berikut ini: …”bahwa setiap daerah di Toba ini kalau kita ingin tahu keberadaan mereka, maka menurutku ya!! pak, maunya para bapak- bapak mencarinya dimulai dari mengunjungi sebuah masjid dan rumah makan Islam selanjutnya menanyakan kepada mereka mengenai keberadaan keluarga Batak Toba Islam, maka insyaallah bapak akan mendapatkan informasi perkembangan mereka berdomisili di daerah tersebut”… Hasil wawancara dengan bapak Simanjuntak yang tingal di jalan Besar Porsea, beliau memiliki warung makan Islam menuturkan kepada peneliti mengenai keberadaan keluarga Batak Toba Islam berikut ini: ” ….orang Islam di sini lae selain dari penduduk asli juga, ada pendatang. Lae tahu yang bekerja di kantor KUA, dia marga manurung tetapi kelahirannya dari Tanjung Balai. Yang jelas datang ke sini orang Batak Toba Islam sebahagian besar karena tugas atau berdagang. Ada juga di daerah menuju Lumbang Julu sana Lae!!.., orang –orang Islam yang bisa dikatakan murid-murid dari Oppung
196
Sibarani yang dikenal dengan Guru Kitab. Mereka tinggal disekitar mesjid yang dibangun oleh Guru Kitab. Akupun tak begitu jelas nama mesjidnya….” Berdasarkan pengalaman serta hasil wawancara dari sejumlah informan, maka keberadaaan keluarga Batak Toba Islam di kabupaten Toba Samosir menempati wilayah daerah sekitar masjid lalu tempat warung makan Islam atau sebuah kelompok yang dalam sejarah pernah seseorang mengajarkan Islam kepada mereka. Gambar 27 Ruangan Rumah Makan Islam
Salah satu untuk mengetahui keberadaan sejumlah keluarga Batak Toba Islam yang berada di kalangan mayoritas non muslim. Kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat kristiani sangat begitu memprihatinkan dari aspek pengetahuan agama Islamnya.Sebagaimana yang dicontohkan oleh bapak Simanjuntak mengenai seorang anak murid yang masih duduk di sekolah menengah pertama yang kebetulan bergaul dan belajar berada di
197
sekolah yang mayoritas muridnya beragama kristiani. Menurut informasi bapak Simanjuntak menuturkan berikut ini: ” ….contohnya pak kalau ada murid yang Islam tetapi sedikit maka kami sendiri tak mampu menghadirkan pendidikan agama pada mereka, dan sebetulnya mereka pun tak keberatan untuk masuk tetapi mereka tidak mau menanggung jawabi biaya untuk operasional guru agam Islam…” Bagan 20 Keberadaan Keluarga Batak Toba Islam di Tobasa
Bagan di atas bersumber dari hasil wawancara dengan bapak Simanjuntak Bagan di atas menjelaskan bahwa keberadaan keluarga Batak Toba Islam dapat di temukan melalui beberapa pendekatan sebagai bagan di atas pertama lingkungan masjid, rumah makan Islam selanjutnya bermukimnya sebuah kelompok karena datangnya seseorang yang mengajarkan Islam sehingga mereka masuk Islam. Hasil wawancara dengan bapak Nadeak yang berperan sebagai pengurus salah satu partai politik Nasional yang kebetulan sedang makan siang di rumah makan tersebut menuturkan kepada kami berikut ini: “…bahwa kalangan muslim atau keluarga batak Toba yang beragama Islam mereka sebagian besar bermukim berkelompok di daerah ini pak!!.,”….lalu saya menanyakkan kepada beliau: …”mengapa mereka tinggal berkelompok,.?!, lalu beliau menjawab: …”mereka tidak bisa tinggal di kalangan mayoritas non muslim sebab mereka merasa kurang nyaman ketika melaksanakan kegiatan keagamaannya salah satunya mengadakan pengajian agama Islam…” Selanjutnya hasil wawancara L. Manurung, yang berprofesi sebagai pedagang di Porsea dan sedang menikmati makan siang di sebuah warung yang
198
keberadaannya sama dengan warung yang peneli kunjungi menuturkan berikut ini: “…karena persaudaraan di antara mereka yakni keluarga Batak Toba Islam sangat kuat yang diiringi dengan pengajian agama Islam, maka mereka sebenarnya lae banyak yang bertempat tinggal jikapun tidak dekat dengan masjid mereka berada di satu kelompok sebagaimana yang terdapat pada keluarga oppung Sibarani di kampung Lumbang Julu ke atas sanalah lae…” Gambaran di atas sesungguhnya mereka berkeinginan mendapatkan rasa yang nyaman dalam melaksanakan keagamaannya, sesuai wawancara peneliti dengan bapak Tambunan yang kebetulan sudah memeluk Islam sejak masa mudanya, peneliti bertanya kepada beliau:….“mengapa begitu banyak orang Batak Toba Islam yang tinggalnya berkelompok-kelompok seperti halnya saat ini pak?, Informan ini mengatakan: ” …bahwa mereka yakni orang Batak Toba Islam tidak merencanakan hal itu. Mereka datang kemari pada awalnya hanya meminta informasi tentang sebuah pekerjaan, akan tetapi karena sudah merasa seakidah pertemuan inipun berlanjut kepada pembentukan kelompok-kelompok kecil keagamaan…” Menelusuri berbagai tempat yang ada di kabupaten Toba Samosir, setiap melihat rumah makan yang diperuntukan bagi muslim, peneliti selalu melihat tulisan setelah “Rumah Makan” ditambahkannya dengan tulisan “Islam”. Gambaran seperti ini menunjukkan bahwa kalangan muslim yang ada di kabupaten Samosir harus mampu selektip dalam mengkonsumsi makanan dan menghindari dari makanan-makanan yang haram. Sesuai hasil wawancara peneliti dengan bapak Sitompul di Balige menuturkan berikut ini: ” …kalau lae sebagai pendatang dan berkeinginan makan, maka menurutku lae harus tahu rumah makan muslim, tanda-tandanya itu lae ad kata-kata Islam. Itu berarti makanan yang dijualnya tidak mengandung babi atau anjing atau dia tidak pelihara babi atau anjing di rumahnya,, begitulah lae kalau lae ragu-ragu makan di sini kita harus tahu yang seperti itu…”
199
Berdasarkan keterangan di atas, maka sebenarnya menurut analisa penulis bahwa
disengajanya
sebuah
rumah
makan
dengan
menuliskan
Islam
sesungguhnya memberikan simbol panduan kepada setiap muslim yang datang kedaerah itu untuk jika berkeinginan makan maka harus membaca “Rumah Makan Islam” Melalui keterangan di atas kami mendapatkan beberapa informasi yang sangat begitu memuaskan,
kami memasuki sebuah rumah makan Islam di
pinggiran jalan Porsea untuk makan siang selain itu juga bertujuan menemukan informasi-informasi tentang keluarga Batak Toba Islam di daerah ini. Kebutuhan kami tentang hal itu terbukti mendapat informasi sebagaimana penuturan salah satu pengunjung rumah makan Islam tersebut berketepatan
informan kami
bekerja di Kemenag Tobasa. Sebagaimana hasil wawancara kami dengan beliau: ”….bahwa masyarakat di daerah ini mayoritas penduduknya beragama Protestan. Jumlah umat Islam di Tobasa sebanyak kurang-lebih 11 ribu jiwa atau hanya 10 persen dari total penduduk, dan terdiri dari berbagai etnis lain baik itu masyarakat Jawa, Padang, Melayu, Mandailing, maupun orang Batak Toba yang muslim ….” Keluarga Batak Toba Islam yang berada di wilayah kabupaten Tobasa dalam kesehariannya mereka sebahagian besar berprofesi sebagai petani, peternak dan pedagang hanya beberapa orang saja yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di pemerintahan kabupaten Tobasa dan kementerian agama, sehingga bisa dikatakan kaum muslim di daerah ini sangat minoritas jika dibandingkan dengan ummat Islam di daerah lainnya. Berdasarkan keterangan di atas maka sesuai hasil wawancara dengan bapak Sitompul yang kebetulan merupakan salah satu pengurus partai PKB menuturkan berikut ini: ” ….Walaupun pemimpin kami tidak seakidah dengan kami di sini tetapi mereka tetap senantiasa memberikan perhatian kepada kalangan minoritas, terbukti dengan selalu hadirnya salah satu atau lebih dari itu pejabat pemerintahan kabupaten Tobasa pada setiap acara-acara peringatan hari besar Islam jika mereka diundang. Peristiwa ini dapat di buktikan pada acara peringatan Isra Mi’raj di masjid Al Hadhonah Balige turut hadir bersama Bupati, Asisten Pemerintahan Drs Alberth Sidabutar, Asisten Administrasi umum Drs Arusdin
200
Sagala, Camat Balige Drs Eddy Sihaloho, Kepala Dinas Pasar, serta dihadiri sekitar 500 jiwa ummat Islam. Pada kesempatan tersebut Bupati memberikan bantuan sebesar Rp 5 juta untuk kemaslahatan umat Islam di Kab. Toba Samosir….” Melalui keterangan di atas menurut pengamatan saya sebenarnya konteks interaksi yang digambarkan di atas merupakan interaksi antara pimpinan daerah dan komonitas minoritas muslim di Tobasa, pertimbangan memberikan bantuan secara material dan posisi sosial kurang begitu nampak corak yang ditampilkannya, sebab motivasi interaksi tersebut hanya dilatar belakangi oleh hubungan kelahiran dan tingkat generasi yang kebetulan di dalam kelompok Islam itu sendiri banyak orang-orang yang berasal dari suku Batak Toba. Bapak Sinaga selaku pegawai negeri sipil pada intansi pemerintahan sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan beliau berikut ini: ” ….kalau-kalau kita pahamilah lae maksud itu semua alasan atas kehadiran pemerintahan Tobasa pada setiap acara PHBI tersebut tidak lain adalah bentuk kepeduliaan Pemkab Tobasa kepada kaum muslim di Kab. Tobasa….” Sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan bapak asisten tiga kabupaten Tobasa berkaitan perhatian pemerintah kabupaten terhadap minoritas muslim sebagaimana penuturan berikut ini: ” …. kami juga mengharapkan dukungan agar kita bersama-sama dengan seluruh warga Kabupaten Tobasa dapat mensukseskan dan mewujudkan Kabupaten Tobasa ini kearah yang lebih religius di masa yang akan datang. Sehingga di setiap tindakan dalam kehidupan kepribadian kita sehari-hari tercermin dan terpancar ada ciri-ciri yang mengedepankan nilai-nilai keagamaan. Dukungan dan peran serta masyarakat termasuk ummat muslim sangat diharapkan guna kelanjutan dan percepatan pembangunan di Kabupaten Tobasa…..’’ Kehidupan sehari-hari keluarga Batak Toba Islam senantiasa berinteraksi dengan kalangan non muslim, mereka tetap memiliki keharmonisan sosial yang terjaga antara mereka. Gambaran ini dapat kami lihat ketika mamasuki kawasan pasar Balige yang merupakan tempat penjualan berbagai macam bahan pokok sembako, tidak tampak oleh kami kalangan orang-orang non muslim menjual
201
jenis makanan yang haram. Jika pun ada mereka meletakkannya di ujung-ujung tempat khusus dan hanya di ketahui oleh kalangan mereka sendiri. Seiring keterangan tersebut memotivasi peneliti untuk menanyakkan kepada informan bapak Sinaga yang kebetulan sedang membeli makanan ayam di pasar tersebut. Sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ” ….saling menghormati antara sesama orang Batak Toba menjadi suatu keharusan terlebih berkaitan kehidupan sehari-hari. Di Balige ini penduduknya sudah dianggap mampu memahami perbedaan sehingga ketika kita melihat orang-orang yang berjualan B2 tidak didapatkan. Karena mereka merasa sebagai orang Batak Toba yang memiliki ikatan saudara yang sama dengan kami….” Berangkat dari keterangan bapak Sinaga tersebut, maka budaya yang terbangun di kalangan orang Batak Toba merupakan budaya yang sudah sangat maju, di mana struktur kepemimpinan sosial mereka sudah terbentuk dengan rapi.Wajar jika hingga sekarang sesama orang Batak memiliki ikatan kekerabatan yang kuat, sehingga mereka saling menghargai antara sesama menjadi keharusan terlebih lagi mereka ada dalam satu marga. Secara bergotong-royong melakukan kegiatan pengajian rutin dan mendatangkan ustad-ustad yang memiliki jiwa pengorbanan yang tinggi, sebab hampir banyak ustad-ustad ketika mereka mendapatkan tugas sebagai PNS untuk mengabdikan pekerjaannya di daerah tersebut hanya pada waktu yang tidak begitu lama. Sejauh ini sejumlah keluarga Batak Toba Islam yang berada di Tobasa dalam pengamatan saya mereka sangat antusias melakukan kegiatan pengajianpengajian bidang keagamaan Islam. Peristiwa ini sesuai hasil wawancara saya dengan bapak Nasution yang kebetulan sebagai penceramah pengajian tersebut. ” ….Bahwa keluarga Batak Toba Islam di sini memiliki kebutuhan yang sangat tinggi untuk belajar tentang agama Islam. Dimaksudkan media pengajian seperti ini sangat berfungsi menjadi perantara bagi anggota keluarga Batak Toba Islam antara kebutuhan mereka tentang pengetahuan agama Islam dan harapan mereka ke depan menjadi muslim yang baik. Artinya penampilan muslim yang baik itu dapat di buktikan melalui pembicaraan, tingkah laku, dan sikap anggota keluarga
202
Batak Toba Islam berdasarkan kenyakinan mereka bahwa Islam sebagai pandangan hidup….”. Pengajian rutin yang diadakan oleh sekelompok keluarga Batak Toba Islam
di
pinggiran
jalan
Porsea,
sebagaimana
yang
peneliti
amati
mengindikasikan bahwa mereka sangat begitu membutuhkan. Hampir sebahagian besar kalangan-kalangan pelaksana dakwah di masyarakat minoritas muslim berjuang tampa pamrih, berikut ini wawancara dengan ibu Erni Br Sitorus yang berusia 47 tahun menuturkan: “….kami melaksanakan pengajian dua minggu sekali, adapun yang ikut dalam pengajian dua mingguan ini seluruh ibu-ibu yang berada di Siraituruk ini,, kalau jamaah yang dating hanya 20 orang jumlah yang banyak. Kadang sepuluh atau lima orang saja karena bisa jadi masih sibuk bekerja di ladang. Ustad kami banyak yang sukarela artinya tidak pakai amplop karena uang kamipun hany untuk makan-makan ketika pengajian selesai. Minat kami cukup tinggi pak!!., tapi gimanalah namanya mamak-mamak!....” Penjelasan ibu Br Sitorus ini cukup memberikan perhatian bagi kita untuk dapat membantu, semoga usaha ini dapat berjalan dengan baik. Setelah peneliti menyelesaikan pengamatan dan wawancara berkaitan perkembangan keluarga Batak Toba Islam di daerah tersebut. Selanjutnya peneliti menuju ke Samosir melalui jalan darat. Mengendarai sepeda motor cukup memberikan inspirasi bagi peneliti mengamati sejumlah sejumlah besar bangunan rumah keluarga Batak Toba Islam di wilayah Tanah Batak ini pada umumnya, dan tidak terkecuali di wilayah Tobasa mereka membangun rumah tidak lagi menggunakan model atau motif sebagaimana rumah adat istiadat Batak Toba. Rumah tradisional Batak Toba hanya dimiliki oleh keluarga Batak Toba non muslim. Gambaran tersebut memberikan alasan bahwa selain rumah adat Batak Toba bagi keluarga Batak Toba Islam relatif mahal dalam membangunannya tetapi di sisi lainnya hampir sejumlah besar ruangan-ruangan yang di fungsikan dalam rumah adat Batak Toba, baik di sekitar halaman, di lantai dasar atau bawah rumah, serta sekat-sekat yang ada dalam rumah tradisional tidak mengambarkan
203
kenyamanan dalam melaksanakan ajaran agama Islam. Sebagaimana hasil wawancara saya dengan bapak Amru Hasibuan berikut ini: ” .....hampir sebahagian besar bentuk kediaman atau rumah yang dimiliki oleh keluarga Batak Toba Islam jika amati-amati lebih detai, mereka sudah tidak lagi menggunakan motif budaya Batak Toba, contoh yang jelas mengenai fungsi rumah adat Batak Toba di lantai dasarnya harus difungsikan untuk binatang ternak, semisal Babi ataupun kerbau. Gambaran ini menunjukkan sesuatu yang sangat tidak memungkinkan ada dalam kediaman keluarga muslim.....” Seiring penjelasan bapak Amru Hasibuan melalui hasil wawancara yang peneliti terima mengindikasikan bahwa pengamalan keagamaan keluarga Batak Toba Islam akan mengalami sesuatu yang tidak begitu mendukung dalam pelaksanaan ibadah. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa keluarga Batak Toba Islam menyakini adanya larangan agama yang tidak membolehkan mencampur sesuatu yang najis di dalam kediamanan keluarga muslim. Bagan 21 Ciri Khas Rumah Keluarga Batak Toba Islam di Tobasa
Bagan di atas bersumber dari hasil wawancara dengan bapak Nasution dan bapak Amru Hasibuan yang berkerja sebagai PNS di kabupaten Tobasa Bagan di atas menunjukkan bahwa perkembangan keluarga Batak Toba Islam di kalangan mayoritas kristiani tepatnya kabupaten Samosir dan Tobasa, mereka memiliki karakter yang cukup memadai untuk diketahui semua pihak. Paling tidak diketahui melalui ciri khas rumah keluarga Batak Toba Islam. antara lainnya; a. tidak memakai adat Batak Toba, b.terdapat tulisan Arab di rumah anggota keluarga Batak Toba Islam, c. Tidak memelihara babi di lingkungan
204
rumah, d. Lalu mereka memelihara binatang ternak yang dihalalkan oleh agama Islam. 3. Ciri-ciri Individu Manusia Batak Toba Islam di kalangan Mayoritas
Batak Toba Kristen Sejumlah keluarga Batak Toba Islam yang hidup di tengah-tengah kelompok mayoritas Kristiani memang memberikan informasi yang demikian patut menjadi perhatian bagi peneliti. Melalui informasi dan data yang peneliti kumpulkan terlihat jelas perkembangan ciri khas individu manusia Batak Toba Islam. Sebagaimana pengalaman bapak Hutapea yang berasal dari Medan dan masih memiliki hubungan kuat terhadap keluarga Batak Toba beragama Kristiani menuturkan dalam hasil wawancara berikut ini: ”...saya pak kalau mengajak anak-anak ini berkunjung kekampung halaman sangat senang, tetapi mereka selalu bilang kalau kami ikut ke sana anak-anak saya membawa peralatan dari rumah. Seperti piriuk dan alat-alat makan lainnya. Di sana kami kalau makan selalu masak sendiri kebetulan kami tinggal di rumah oppung kami yang janda dan bergama Kristen. Ia tidak sakit hati dengan penampilan kami seperti ini membawa peralatan dari rumah...” Sub judul ini peneliti hanya memberikan informasi berkaitan keluarga Batak Toba Islam yang berada di kabupaten Samosir dan Toba Samosir, alasan yang dapat ditarik disebabkan kedua kabupaten ini memiliki informasi demikian cocok dengan sub judul di atas, yakni ciri khas individu manusia Toba Islam di kelompok mayoritas Kristiani. Selanjutnya selama pengamatan peneliti di lapangan yakni wilayah kabupaten Samosir dan Toba Samosir untuk mengumpulkan informasi berkaitan dengan ciri khas manusia (individu) Batak Toba Islam di kelompok mayoritas Kristiani, peneliti menemukan beberapa hal yang menjadi perhatian. Berikut ini akan saya tuliskan beberapa gambaran dan analisa berkaitan hasil wawancara dari informan dari lapangan penelitian. Sub judul ini peneliti membaginya dengan beberapa jenis ciri khas individu manusia Batak Toba Islam yang menjadi kepribadian-nya di
tengah-tengah
205
kelompok mayoritas Kristiani. Antara lainnya ciri khas khusus individu dan ciri khas umum individu manusia Batak Toba Islam. Memudahkan pemahaman tulisan ini bahwa kepribadian yang dimaksudkan adalah segala dimiliki oleh setiap individumeliputi ciri dan sifat atau akhlak bawaan (heredity) dan akhlak yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Akhlak
bawaan merupakan
kecenderungan keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis.
i.
Ciri-ciri Khusus Penjelasan dalam sub judul ini penulis berupaya menerangkan aspek ciri
khas khusus yang melekat menjadi sebuah kepribadian yang khas di dalam dirinya yakni kepribadian secara personal anggota keluarga Batak Toba Islam di kalangan mayoritas masyarakat Kristiani. Hasil wawancara dengan Ibu Hutagalung mengenai ciri khas orang Islam di Tanah Batak ini menurut beliau berikut ini: “...membedakan orang Batak Toba yang beragama Islam dengan orang Batak Toba non Muslim dapat diperhatikan dari cara berpenampilan kaitannya dengan pakaian yang dikenakan oleh orang tersebut, lalu orang Batak Toba yang beragama Islam ketika melihat tubuhnya terlihat agak sedikit bersih karena sering mencuci muka dan saat bertemu bau badannya berbeda dengan yang lainnya, mungkin karena orang Islam tidak makan babi ya dan minum-minum tuak, ?!!.,...” Penjelasan Ibu Hutagalung ini diperkuat atas hasil wawancara peneliti dengan bapak Hasibuan berikut ini: “....walaupun budaya berkumpul di kalangan anggota keluarga Batak Toba Islam dengan masyarakat Batak Toba non Muslim masih terjaga, mereka masih bisa menjaga pengalaman keberagamaan mereka...” Seiring keterangan di atas terkesan dari hasil pembicaraan dengan Ibu Hutagalung yang kebetulan beliau tidak beragama Islam dan bapak Hasibuan sebagai Muslim. Sebagai orang Islam masih tetap menjaga hal-hal yang dilarang oleh agama Islam sehingga dampaknya bagi diri individu tersebut disaat berada
206
di tengah-tengah mayoritas kaum Kristiani mereka mengalami hal yang berbeda dalam berpenampilan serta bergaul. Gambaran seperti ini menjelaskan bahwa ajaran agama Islam masih tetap melekat dalam diri individu orang Batak Toba Islam di Tanah Batak walaupun terkesan masih relatif sederhana tingkat pengetahuan keagamaan Islam yang mereka miliki. Analisa yang dapat ditarik atas peristiwa itu bahwa kondisi sosial budaya Batak Toba dan pengetahuan sederhana mereka tentang Islam memberikan pengaruh kuat atas penampilan yang melekat dalam pribadi mereka masing-masing. Selanjutnya ciri khas individu dalam kepribadian Batak Toba Islam adalah senatiasa terbuka dengan saudara-saudaranya yang non muslim tentang ajaran Islam yang mana boleh untuk dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Gambaran ini peneliti dapatkan melalui hasil wawancara dengan Bapak Sianturi yang berdomisili di Sihotang menjelaskan pada peneliti berikut ini: “....salah satu contoh yang pernah saya lakukan ketika ada kegiatan pemotongan hewan di rumah adik saya yang beragama Islam, di sana para masyarakat sangat kuat tradisi tolong menolongnya, akan tetapi peristiwanya waktu itu!!.,saya sangat terbuka pada mereka (kalangan kristiani) untuk tidak membawa alat-alat pemotong dari rumah dan saya yang menyiapkan alat-alat pemotongnya di sini...”. Pengalaman bapak Sianturi ini merupakan ciri khas individu Batak Toba Islam yang prilaku beliau tersebut merupakan salah satu aspek dari sifat budaya orang Batak Toba.Sebagaimana penjelasan Simanjuntak menyatakan bahwa tingginya emosi (emosional) yang ditemukan pada suku bangsa Batak Toba tidak lepas daribudayanya yaitu terbuka dalam segala hal. Hal ini terungkap dalam pribahasaBatak Toba yang berbunyi: “Si boru puasi, si boru bakkara. I si puas i si soadamara”, artinya bila sudah terbuka persoalan maka disitu ada jalan keluarnya. Pengalaman bapak Butar-butar menerangkan kepada peneliti bahwa ciri khas individu Batak Toba Islam ketika sedang berbicara atau berkomunikasi dengan lawan bicara tidak menunjukkan suara yang sangat keras. Hasil wawancara dengan bapak Butar-butar berikut ini:
207
“...saya punya teman kecil yang saat ini sudah menjadi muslim ketika bertemu dengannya saya merasakan sesuatu yang berbeda dahulunya ketika masih pemuda beliau di kampung termasuk teman yang sangat kuat suaranya ketika berbicara, tetapi ketika ia merantau dan mendapatkan istri orang Melayu dan menjadi seorang muslim,,!!kami pernah berjumpa bah!!’, keheranan saya melihatnya sudah berubah...” Melalui pengalaman bapak Butar-butar mengindikasikan bahwa saat ini juga banyak orang Batak Toba umumnya dan khususnya orang Batak Toba Islam yang berbicara pelan dan terdengar lembut, mungkin karena sudah terasimilasi dengan karakter budaya daerah kelahirannya, seperti lahir di pulau Jawa atau di daerah lain yang karakter penduduknya tergolong lemah lembut. Seiring penjelasan di atas jika di tarik melalui aspek sejarah orang Batak Toba, bahwa mereka pernah mengalami pengaruh Islam di Tanah Batak, artinya melalui pendekatan sosial budaya dapat disaksikan bahwa Islam sebagai Agama merupakan implementasi obyektif dan doktrin Islam yang meskipun berdiri di atas kebenaran mutlak dan kokoh, juga memiliki ruang gerak dinamis bagi perkembangan, pembaharuan dan kehidupan sesuai dengan fleksibilitas ruang dan waktu.
ii.
Ciri-ciri Umum Perjalanan peneliti dengan salah satu anggota pegawai negeri sipil
Kementerian Agama Kabupaten Samosir cukup memberikan inspirasi bagi setiap pengunjungProses keberlangsungan pendidikan akhlak di kalangan keluarga Batak Toba Islam terhadap anak-anak mereka, sepanjang pengamatan peneliti di lapangan menunjukkan corak dan bentuk yang begitu unik dan patut memberikan inspirasi bagi sejumlah orang untuk mengkajinya lebih dalam kembali. Penjelasan sub judul ini peneli berupaya menerangkan aspek ciri khas umum yang melekat pada proses keberlangsungan pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam di Sumatera Utara. Artinya, tulisan ini menguraikan usaha-usaha yang dilakukan oleh kalangan orang tua dalam pendidikan akhlak membentuk kepribadian muslim terhadap anak-anak mereka sehingga menjadi ciri khas umum individu manusia Batak Toba Islam di tengah-tengah kalangan mayoritas muslim tetapi
208
berada pada perbedaan suku, dan sebaliknya menjadi ciri khas umum individu Batak Toba Islam berada di tengah-tengah kalangan mayoritas Kristiani tetapi berada pada persamaan suku. Berdasarkan keterangan di atas serta pengalaman peneliti di lapangan di temukan beberapa gambaran proses keberlangsungan pendidikan akhlak keluarga Batak Toba Islam di tengah-tengah mayoritas muslim tetapi berada pada perbedaan suku yakni wilayah kebupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Pengalaman bapak Sijabat yang bekerja di kantor Bupati Serdang Bedagai menuturkan berikut ini: ”....aku pak!!., waktu kecil dulu ketika duduk di sekolah dasar dan SMP, bapakku itu sangat keras mendidik aku di rumah kami anak-anaknya tidak boleh terlalu banyak bermain dengan anak-anak kampung kami di Bedagai, tau lah pak!!!., anak-anak Bedagai itukan kebanyakan anak nelayan, sedangkan bapakku seorang guru SD, mereka itu hampir setiap hari mencari ikan untuk mendapatkan uang. Kalau dipikir-pikir jajan mereka itu banyak dari pada aku, dan aku sendiri tak boleh seperti mereka. Kata bapakku kalau kau banyak jajan nanti kau jadi bodoh dan pemalas kanyak orang-orang itu, kalau aku melanggar pak maka aku akan dilibas pakai tali pinggang, sampai-sampai tetangga kami yang orang Melayu itu menegur bapakku, supaya jangan kejam-kejam sama anaknya. Tapi pak aku karena bapakku makanya bisa sekolah dan sarjana, kalau tidak maka aku bisa jadi nelayan seperti kawan-kawanku saat ini dipantai Bedagai....” Kerasnya pendidikan yang dialami oleh bapak Sijabat dan menurutnya akan dilakukan nya juga kepada anak-anaknya tetapi pada bentuk yang berbeda nampaknya cukup memberikan pesan yang begitu membanggakan dalam diri beliau. Memandang wajah pak Sijabat terlihat ia sangat berterima kasih kepada almarhum bapaknya yang telah mendidiknya seperti itu, dan kondisi seperti ini menurutnya tidak begitu ada pada pengalaman tetangganya ketika itu. Selanjutnya pengalaman bapak Hutapea ketika melakukan pendidikan akhlak di tengah-tengah masyarakat Jawa yang kebetulan hampir sebahagian besar berprofesi sebagai buruh di kota Medan, beliau memberikan tahapan yang begitu strategis. Saat itu peneliti mengunjungi kediaman beliau yang berada di Bandar Setia kecamatan Percut Sei Tuan menuturkan hasil wawancara berikut ini:
209
”...karena kami orang Batak Toba tinggal di lingkungan orang Jawa, ketika anakanakku masih kecil yang jelas pergaulan tidak pernah aku batasi, hanya saja mereka harus tahu waktu pulang ke rumah setelah pulang sekolah. Ketika mereka sudah usia SMP situlah anak-anak kami, kami berikan kesibukan mengikuti pelajaran agama Islam di sekolah MDA lalu ketika pulang di sore harinya mereka kami sibukkkan dengan kegiatan membantu orang tua dan di malam harinya kami datangkan ustad untuk mengajari mengaji di rumah, anak-anak kami jika mau bergaul dengan lingkungan sekitar hanya diperbolehkan ketika mengikuti acara remaja masjid atau kegiatan masyarakat lainnya seperti mempenringati hari besar Islam...” Beranjak dari keterangan di atas bahwa berdomisilinya keluarga Batak Toba Islam di tengah-tengah mayoritas masyarakat muslim tetap berada pada perbedaan suku sebagaimana hasil wawancara dengan sejumlah informan. Mereka tetap menunjukkan ciri khas umum sebagai individu manusia Batak Toba Islam. Antara lainnya penampilan tersebut dalam mendidik anak-anak mereka terkesan bersifat keras sebagaimana yang dimiliki oleh umumnya orang Batak Toba. Selanjutnya memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk berteman kepada sesame usia serta mempersilakan mengikuti acara-acara kemasyarakat yang bernuansa keagamaan tetap menjadi prioritas keluarga Batak Toba Islam tersebut. Berdasarkan keterangan di atas, sebagaimana pengalaman peneliti ketika berada dalam acara peringatan hari besar Islam terdengar di teliga saya pemanggilan beberapa nama anak dari keluarga Batak Toba Islam menampilkan beberapa acara. Lalu peneliti menanyakkan kepada seseorang di samping tempat duduk peneliti mengenai kondisi mengapa terlihat yang menampilkan diri pada acara tersebut dari anak-anak orang Batak Toba sedangkan di sini banyak anakanak dari lingkungan lainnya, selanjutnya beliau menjawab: ”....anak-anak tadi pak!!!., mereka itu kebetulan orang tuanya hampir semua bekerja di pemerintahan lalu kebanyakan dari mereka sering menjadi panitiapanitia acara hari besar Islam jadi mungkin karena anak-anak tadi punya mental seperti orang tuanya, makanya bisa jadi mereka tak takut lagi untuk tampil di depan umum, lalu naka-anak itu sangat lantang suaranya di depan umum jadi terasa enak mendengarkannya pak!!!!...” Hasil wawancara dengan bapak Sijabat, bapak Hutapea serta informan yang kebetulan peneliti tidak sempat menanyakkan identitasnya ketika itu
210
memberikan keterangan bahwa hampir semua keluarga Batak Toba Islam dalam proses keberlangsungan pendidikan akhlak
menunjukkan ciri khas umum
individu manusia Batak Toba Islamnya. Sebagaimana karakter yang dapat ditemui dan tak begitu bedanya dengan budaya umumnya orang Batak Toba mereka bersikap sangat begitu lincah dalam bergaul pada sebuah masyarakat dan kondisi seperti ini dapat di latar belakangi oleh budaya Batak Toba dengan tradisi merantaunya yang otomatis melekat dalam jiwa mereka mudah beradaptasi. Selanjutnya kegemaran dalam seni dan memiliki mental untuk berbicara di depan umum juga menjadi ciri khas umum manusia Batak Toba Islam tersebut. Lain halnya dengan pengalaman bapak Siregar yang memiliki tetangga keluarga Batak Toba Islam
bermarga Pasaribu dan beristrikan muallaf boru
Hutasoit, menurut pengamatan beliau memperhatikan perkembangan bapak Pasaribu yang kebetulan berprofesi sebagai pedagang di pusat pasar terhadap anak-anaknya sangat begitu unik. Hasil wawancara berikut ini: ”...kalau diperhatikan keluarga itu aku tidak begitu tahu entah bagaimana dia mendidik anak-anaknya, bapakkan !!! juga tahu hampir semua anak-anaknya tidak mau sekolah, makanya kalau kita dengar-dengar dia marah sama anakanaknya, aduh!!!.., kepala ini pusing hampir sebagian besar kata-katanya kasar dan kotor. Jadi pak,..kalau ku pikir-pikir begitulah orang Batak, kalau bagus dia maka mantap hidupnya kalau tak bagus maka bisa hancur semuanya. Kan!! Bapak bisa tahu ada istilah GBHN!!!., Gara-gara Batak Hancur Negara!!! Ha… haa haaa....”. Memang sangat cukup beragam perkembangan kehidupan keluarga Batak Toba Islam dalam melakukan pendidikan akhlak untuk anak-anak mereka, dari kehidupan yang tetap dekat dengan budaya agama Islam hingga pada keluarga Batak Toba Islam yang tak begitu terlihat melakukan ajaran Islam. Akan tetapi dari seluruh fenomena di atas ciri khas umum keluarga Batak Toba Islam dalam membimbing anak-anak mereka terkesan keras dengan kata-kata lalu mereka sangat begitu lihai beradaptasi dengan sejumlah keluarga-keluarga Islam yang berlainan suku di kedua kapubaten ini yakni Serdang Bedagai dan Deli Serdang. Selanjutnya di lokasi yang berbeda ciri khas umum individu manusia Batak Toba Islam berada di tengah-tengah kebanyakkan masyarakat Kristiani.
211
Selama perjalanan di dua kabupaten yakni Samosir dan Toba Samosir peneliti secara umum memperhatikan keluarga Batak Toba Islam tersebut menyesuaian diri dengan situasi kelompok mayoritas artinya aspek penyesuaian hidup bermasyarakat yang diatur oleh adat Batak Toba tetap mereka jaga atau pelihara. Memang sangat begitu sulit kalangan keluarga Batak Toba Islam di dua kabupaten ini yang mampu menjaga sholat dalam lima waktu, hanya sebahagian kecil dari mereka melaksanakan sholat. Selain itu aktifitas yang mereka lakukanpun terkesan tidak begitu tertarik untuk mempelajari agama Islam untuk lebih mendalam lagi. Hasil wawancara dengan bapak Damanik berikut ini: ”...kami sudah berapa kali mendatangi orang-orang muslim di sini untuk diajari, ada yang punya waktu tapi ketika selesai mempelajari agama Islam, dalam keseharian tetap juga tak dilaksanakan. Apalagi yang tidak punya waktu. Anggota keluarga batak Toba islam di sini mereka hampir satu harian itu bekerja di ladang yakni pergi pagi dan membawa perbekalan makanan lalu ketika hendak senja baru merek pulang lagi ke rumah. Kalaupun kita datang diwaktu malam untuk mengajari mereka agama Islam.keadaan mereka sudah capek, ya palingpaling dia bilang sama kami besok sajalah ustad kita belajar ya!!?, begitulah gambaran yang kami rasakan dis isni pak!!!...”. Berangkat dari keterangan di atas maka bukti yang dapat peneliti amati di lapangan bahwa keluarga Batak Toba Islam dalam keseharian mereka tetap hidup berdampingan dengan masyakarat Kristiani, mereka membangun relasi sebagai bagian dari bermasyarakat serta tetap menjaga kenyakinan sebagai orang muslim. Kondisi seperti ini menjadi sebuah pilihan utama dalam membangun nilai sosial di tengah-tengah masyarakat Kristiani dengan kemampuan pengetahuan keagamaan Islam yang mereka miliki. Salah satu kegiatan yang mereka lakukan adalah membawa anak-anak mereka ke Posyandu untuk diimunisasi. Anggota keluarga Batak Toba Islam turut serta dalam kegiatan tersebut, tidak didapatkan sesuatu yang menjadi penghalang bagi mereka menghadiri acara tersebut: Wawancara dengan Ibu Butar-butar yang masih berusia 32 tahun menuturkan berikut ini:
212
”...anak-anak kami yang masih Balita diperiksa ke posyandu, hampir semua anak-anak kampung ini di bawa berobat di sini.Memang kami yang beragama Islam di sini hanya ada 10 kk.Tapi karena sudah lama kami tinggal di sini bersama dengan mereka yang agama Kristen satu kampung.Hidup kami sehari tidak pernah bersalah paham. Karena kami juga saudara mereka juga dari Bona Pasogit....” Berangkat dari uraian di atas maka dapat dipahami bahwa secara umum ciri khas individu anggota keluarga Batak Toba Islam, secara umum tetap terpelihara dan masih terjaga sampai saat ini di kalangan masyarakat Batak Toba, sebagaimana yang dilakukan ibu Butar-butar yang tetap berpartisipasi ke posyandu mengantarkan anaknya memeriksa kesehatan, lalu kalangan bapakbapak dari keluarga Batak Toba Islam mereka juga senantiasa berkumpul, baik dalam pesta yang formal, atau di warung secara tidak formal dan mereka dalam pengamatan peneliti tetap bagian dari mayoritas akan tetapi segala hal yang berkaitan dengan dilarang agama tetap mereka patuhi, salah satunya tidak memakan makanan yang haram semisal babi dan anjing. Peristiwa yang sama juga tetap mewarnai proses keberlangsungan pendidikan akhlak di kalangan keluarga Batak Toba Islam di kedua kabupaten tersebut, antara lainya dalam pengamatan peneliti yakni melatih anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya secara baik dan mengajarkan kepadanya agar bisa mengendalikan diri dan lingkungannya dengan tindakannya, baik tindakan yang benar atau dengan kesalahan yang ia bisa belajar darinya. Hasil wawancara dengan Ibu Sianturi berikut ini: ”....aku pak!!, kalau menasehati anak-anaku supaya mereka tetap menjaga adat istiadat di sini, walaupun kita muslim kalau ada acara kematian ayok kita juga menghadiri….!!, mereka walaupun berbeda akidah tetapi mereka juga keluarga dongan sabutuha. Tetapi kalau mereka sudah mau makan babi maka kita sebagai orang muslim tidak memakannya. Begitulah kalau mengajari anak-anak ku pak!!!...” Berdasarkan informasi dari Ibu Sianturi di atas menunjukkan bahwa ia tetap memberikan nasehat kepada anak-anaknya untuk memelihara pergaulan dengan lingkungan sekitar, hanya saja ketika dalam suasana yang dilarang dalam agama Islam ditemukan oleh anaknya, maka anak-anak beliau akan mengingat
213
pesan tersebut. Di sisi lain juga anak-anak kalangan keluarga Batak Toba Kristenpun sudah mengetahui bagaimana mereka bergaul dengan teman-teman mereka yang muslim. Hasil wawancara dengan adek Sinaga yang saat itu ia sedang bermain bola kaki di pinggiran Danau Toba menuturkan: ”....si amat yang anaknya pak Sinaga itu kami tahu dia anak agam Islam, kalau main-main kami selalu sama. Hanya saja kalau kami makan-makan yang ada campuran babinya mereka tidak mau, tapi yang lainnya mau. Kami tidak pernah berkelahi dengannya karena agama Islam, dia itu marga Sinaga sama dengan oppung boruku juga boru Sinaga. Kami bersaudara dengannya pak!!...” Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa kedamaian dan persamaan yang baiak tetap terpelihara natara mereka walaupun di kalangan anak-anak di pulo Samosir tersebut.Pertemuan peneliti dengan Bapak Sinaga di perkampungan Nainggolan yang berpenampilan memakai ulos di samping pundaknya yang baru selesai menghadiri acara pesta dan jalan beriringan dengan anak-anaknya, sedangkan peneliti sedang menunggunya depan rumah beliau menunggu dan memandangnya menuju kerumahnya. Adapun hasil wawancara berikut ini: ”....kalau kami di sini dalam keseharian bergaul dengan kalangan masyarakat non muslim tetap di pelihara sebab bagaimanapun juga merekalah yang dekat dengan kami, hanya saja ketika ada acara-acara pesta atau adat di minta dari kalangan anggota keluarga muslim untuk berbicara maka kami menyesuaikan dengan selera mereka, palin tindak kami tidak memberikan salam seperti orang Islam tetapi dengan ucapan Horas!!!, keseharian kami seperti ini tetap kami mengajak anak-anak untuk menghadirinya tetapi mereka juga kami ingatkan agar tidak melakukan yang dilarang agam Islam, seperti makan babi ketika acara pesta begitulah keadaan kami di sini lae!!!....” Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah informan di atas, maka proses keberlangsungan pendidikan akhlak dengan kondisi keberadaan keluarga Batak Toba Islam di kabupaten Toba Samosir menunjukkan fenomena yang unik jika dikaji lebih mendalam lagi. Pengamatan peneliti kepada proses keberlangsungan akhlak yang mereka budayakan di kalangan anggota keluarganya sangat memfokuskan arti ikatan keluarga antara sesama orang Batak Toba, terutama dalam satu marga.Walaupun
214
perbedaan kondisi kenyakinan terlihat dengan jelas tidak menjadi kendala mereka untuk mengajarkan dan membimbing anak-anak mereka dalam keseharian. Hasil wawancara dengan Ibu kandung mantan Rektor Unimed berikut ini: ”....kalau datang ke sini anakku si Syawal, maka akan datang orang-orang kampung ke rumah ini, meraka semuanya beragama Kristen tapi itu tidak menjadi masalah karena mereka datang karena minta bantuan si Syawal untuk masuk kuliah. Begitulah kuatnya keinginan anak-anak di sini untuk kuliah ke Medan. Hampir bisa dikatakan mereka itu karena menganggap kami itu saudaranya dalam marga orang Batak, begitulah ustad...” Gambaran di atas menunjukkan bahwa walaupun beragama Islam, kristiani maupun parmalim, tetapi pada hakikatnya pendidikan dan bimbingan tersebut selalu menekan arti pentingnya keluarga dengan melihat
persamaan
budaya yang bersifat universal.Sehinggabentuk serta metode keberlangsungan pendidikan akhlak di kalangan keluarga batak Toba Islam tetap mempertahankan nilai aturan-aturan atau norma hidup yang dianut dalam adat Batak Toba demi kebaikan dalam berkeluarga antara sesama mereka tetap terjaga.
Bagan 22 Adat sebagai Budaya Universal
Bagan bersumber dari hasil wawancara dengan Ibu Sinaturi, adek Sinaga serta ibu kandung mantan Rektor Unimed Medan.
215
Bagan di atas menunjukkan keterangan bahwa keluarga Batak Toba yang memiliki perbedaan kenyakinan tidak melahirkan benturan-benturan sosial, dan kondisi tersebut di dukung oleh adanya motivasi setiap individu Batak Toba memegang arti pentingnya keluarga dengan melihat budaya yang bersifat universal. Maka analisa yang dapat diambil atas gambaran di atas menyiapkan iklim yang kondusif agar anak memperoleh nilai-nilai yang berasal dari kesalehan keluarga dan memberikan kesempatan yang baik kepada anak untuk memberikan usulan, perencanaan yang baik, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuknya. Selanjutnya
penuturan bapak Tampubolon yang memiliki keluarga
Muslim, sebagaimana hasil wawancara berikut ini ”....kita lae.,, ada juga keluarga dari adik kami yang beragama Islam, dia dulunya masuk Islam karena mendapat istri diperantau tepatnya di Batam saat ini dia ada di Medan, kalau ada acara- acara adat Batak Toba selalunya kami mengundangnya dan keluarganya yang muslim secara terhormat dengan disediakan makanan khusus yang halal, kalau yang halan itukan dagingnya ternak kerbau, lalu yang masak orang muslim dan makannyapun di tempat orang muslim....” Selanjutnya
bapak
Tambubolonpun
menegaskan
pada
peneliti
sebagaimana hasil wawancara berikut ini: “...tamu kami yang muslim itu biasanya kita sebut dengan Raja Parsubang...” Penjelasan yang dikemukan oleh bapak Tampubolon sesungguhnya disebabkan beliau pernah jatuh sakit dan hampir biaya habis untuk merawat kesehatannya, sedangkan persawahannyapun memerlukan pembiayaan melalui informasi salah satu keluarga bahwa bapak Tampubolon pernah dibantu oleh saudaranya yang Islam itu dengan uang untuk menambah pupuk dipersawahan bapak Tampubolon. Menurut salah satu keluarga tersebut, dahulunya bapak Tampubolon itu sangat begitu marah ketika diketahui saudaranya masuk Islam.Lalu berjalannya waktu suasanapun berganti dengan penuh tidak merasa keberatan
saudaranya
yang
masuk
Islam
tadi
membantu
pembiayaan
216
persawahannya.Setelah dari itu mereka selalu akrab dalam berkunjung antara sesamanya. Ciri khas mengenai teori penyesuaian ini dapat ditemukan ketika salah satu anggota keluarga Batak Toba Islam di minta untuk berbicara dalam acara adat-adat Batak Toba, mereka tidak menggunakan simbol-simbol ke-Islaman sepertinya mengucapkan “assalamu alaikum”. Selanjutnya untuk kalangan ibu-ibu keluarga Batak Toba Islam tidak mengenakan jilbab hanya memakai kain penutup di kepala layaknya ibu-ibu kalangan mayoritas Kristiani. Gambaran tersebut dikarenakan keluarga Batak Toba Islam merupakan kelompok minoritas dan harus menyesuaikan diri dengan kultur yang umumnya dapat disesuaikan. Sedangkan teori toleransi dari kelompok mayoritas kristiani terhadap kelompok minoritas muslim di dapatkan segala unsur berkaitan makanan mereka selalu memberikan hidangan berbeda artinya unsur-unsur haram menurut pemahaman orang Batak Toba Islam. Seiring keterangan di atas bahwa bagi kalangan keluarga Batak Toba Islam dalam berinterkasi dengan sejumlah besar masyarakat Batak Toba non muslim terjalin dengan baik, sebagaimana hasil dari wawancara bapak Tampubolon yang sedang menikmati transfortasi Danau dengan peneliti mengungkapkan bahwa “...bukti damainya kelompok minoritas di tengah-tengah mayoritas Kristiani dapat di lihat dari adanya masjid yang terbangun pada tahunan 60-an di kampung Tambunan dekat dengan kota Balige....” Demikianlah kondisi yang berlangsung tentang teori-teori itu, gambaran tersebut merupakan salah satu bentuk konkret fitrah manusia bersosial dan berbudaya, untuk dapat membangun sosial budaya sebagaimana pengalaman dari keluarga Batak Toba Islam berkaitan dengan ciri khas tersebut mereka mengalami sarat akan nilai, fitrah keluarga Batak Toba Islam itu diuji dan dimatangkan lewat pendidikan akhlak. Pengalaman Ibu Hutasuhut yang berdomisili di pinggiran Danau Toba, sebagaimana hasil wawancara berikut ini:
217
“...prilaku kami sebagai orang Islam di kampung-kampung ini, kami selalu mengadakan perkumpulan mengaji dalam dua minggu sekali kalaupun datang ustad dari KUA di kampung ini...” Menurut peneliti dari hasil wawancara dengan Ibu Hutasuhut, mereka secara periodik melakukan kegiatan berkumpul,
tidak lain tujuan dari
perkumpulan mereka tersebut untuk saling mengenal lebih dalam lagi antara mereka, karena anggota komunitasnya sedikit (keluarga Batak Toba Islam), oleh karena itu dari gejala-gejala yang mereka lakukan ini menjadi identitas sebagai orang Islam di tengah-tengah mayoritas Kristiani. Tujuan dari diadakannya perkumpulan keluarga Batak Toba Islam untuk memperkenalkan diri sebagai orang muslim yang menginginkan adanya saling memberitahukan keadaan sesama baik kerabat dekat maupun jauh. Berkaitan dari informasi di atas bahwa kebiasaan orang Batak Toba umumnya dan keluarga Batak Toba Islam khususnya jika ditelaah secara sosial dan budaya yang memiliki kaitan dengan anjuran agama Islam dalam menjaga silaturrahim antara sesame adalah mereka suka bergaul. Semangat adat memanggil setiap individu keluarga Batak Toba Islam untuk melibatkan diri dalam setiap upacara, apakah yang bersifat budaya, sosial, ritus atau agama.Akan tetapi bagi keluarga Batak Toba Islam di kedua wilayah kabupaten Samosir dan Toba Samosir ini memiliki penampilan yang berbeda sesuai pesan ajaran Islam yang mereka yakini. Artinya ternyata kebudayaan agama Batak kuno mewarnai kehidupan gagasan budaya Dalihan Na Tolu sebagaimana yang dihayati oleh orang Batak Toba umumnya dan keluarga batak Toba Islam khususnya. Analisa yang dapat ditarik dari keterangan di atas menunjukkan bahwa Batak Toba memiliki kecenderungan, setidak-tidaknya secara hipotesis, sekalipun orang Batak Toba telah kosmopolitan lebih dari setengah abad dan banyak berpindah-pindah ke kota meninggalkan kampung halaman, sikap-sikap dasar maupun ideologi terhadap adat ternyata tidak berubah.Demikian juga halnya dengan keluarga Batak Toba Islam di wilayah tersebut.
218
Oleh karena itu maka hikmah yang terkandung dalam falsafah Dalihan Na Tolu memaksa setiap orang harus memadukan diri dengan orang sebagai manifestasi samangat korelasi dan hubungan timbal balik di antara pihakpihak.Demikianlah ciri khas yang masih melekat dalam keluarga batak Toba Islam di tengah-tengah mayoritas Kristiani. Ciri khas umum individu manusia Batak Toba Islam tersebut memiliki kaitan erat dengan budaya Batak Toba yang masih terjaga sampai saat ini di kalangan masyarakat Batak Toba, mereka suka berkumpul, baik dalam pesta yang formal, atau di warung secara tidak formal.Selanjutnya kalangan ibu-ibu tidak terkecuali ibu-ibu dari keluarga Batak Toba Islam selalu mengajak anak-anaknya untuk berpergian dalam acara-acara adat di kampung, tetapi dicela-cela proses keberlangsungan pesta ibu-ibu dari kalangan keluarga Batak Toba Islam mengajari anak-anaknya agar tidak memakan babi sebab agama Islam melarangnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapatlah diketahui bahwa peranan ibu dalam membentuk kepribadian muslim seorang anak sangat berkaitan erat dengan berbagai aspek salah satunya aspek psikologis anak. Untuk itu, maka seorang ibu khususnya dan keluarga pada umumnya harus memberikan kepada anak-anak mereka sebuah pencapaian jiwa yang sehat, dengan demikian diharapkan anak dapat mencapai perkembangan jiwa dan emosi yang sehat, termasuk mencintai makhluk Allah SWT. Hal-hal yang praktis dapat dilakukan oleh seorang ibu antara lainnya: -
Mengetahui
segala
keperluan
psikologis
dan
emosi
anak
serta
memenuhinya -
Memantau gejala-gejala awal penyimpangan psikologis dan emosi anak serta pemberian terapi yang tepat
-
Memberi kesempatan kepada anak untuk bergaul dan beraktifitas untuk mengembangkan fungsi-fungsi psikologisnya.
-
Membiasakan anak menghargai dirinya dan orang lain.
-
Gunakan hukuman badan sebagai alternative terakhir.
219
Gambaran ini juga memberikan pengaruh terhadap generasi ke generasi di lingkungan keluarga Batak Toba Islam, yakni melatih anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya secara baik dan mengajarkan kepadanya agar bisa mengendalikan diri dan lingkungannya dengan tindakannya, baik tindakan yang benar atau dengan kesalahan yang ia bisa belajar darinya.
4.
Pendidikan Akhlak dalam Keluarga Batak Toba Islam Sebagai Kelompok Minoritas di Lingkungan Mayoritas Batak Toba Kristen i. Konsep dasar dan Tujuan Pendidikan Akhlak
Konsep dan tujuan pendidikan akhlak di dalam keluarga Batak Toba Islam sebagai kelompok minoritas yang berada di tengah-tengah kelompok mayoritas Batak Toba Kristen pada umumnya selama pengamatan peneliti di lapangan bahwa kecenderunga mereka sangat menitik beratkan pada kebutuhan hidup di dunia. Sebagaimana hasil wawancara peneliti dari para informan. Hasil wawancara dari bapak Sitorus menuturkan berikut ini: “….anak-anak di rumah banyak menerima didikan dari istri saya, yang selalu saya tekankan kepada istri saya kepada anak-anak mengerti apa-apa yang bisa dikerjakan di rumah…”, demikian penuturan bapak Sitorus, selanjutnya saya bertanya kepada beliau, “…lalu pak!., apa tujuannya mendidik anak-anak sehingga mereka harus tahu mengerjakan pekerjaan yang ada di rumah?!., selanjutnya beliau menjawab dengan nada yang sangat tegas, “begini pak!!., mereka ini kan akan menjadi orang tua juga lalu kalaulah sekarang tidak kita beritahu pekerjaan di rumah apa yang mereka bisa!!?...”. Demikian penuturan bapak Sitorus yang kebetulan peneliti amati beliau lebih banyak anak-anak perempuan yang tinggal di rumah dan bersekolah di kampung tersebut, sedangkan anak laki-lakinya beliau sekolahlah ke Pematang Siantar di tempat Tulangnya sebagaimana keterangan dari bapak Sitorus. Selanjutnya hasil wawancara dengan ibu Hutasohit yang baru memiliki anak pada tingkat sekolah dasar yang berdomisili di Huta Huruk Porsea menuturkan kepada peneliti, berikut hasil wawancara dengan beliau:
220
“…suami saya sebagai petani hampir setiap harinya beliau pergi ke ladang, mendidik anak-anak ya !!mereka selalu ikut dengannya ke ladang, yang kecilpun begitu!!., kami tidak punya pendidikan hanya nantilah kalau ada rezeki kami insyaallah anak-anak kami akan kami sekolah ke Medan seperti bapak!!...” Demikian penjelasan Ibu Pasaribu kepada peneliti. Perjalanan di daerah minoritas muslim di kabupaten Samosir dan Toba Samosir terlihat banyak anakanak yang masih usia tingkatan sekolah dasar bermain-main di depan halaman rumah, demikian halnya juga salah satu anggota keluarga Batak Toba Islam yang merupakan informan peneliti yakni bapak Hasibuan yang berprofesi sebagai pegawai di Kementerian Agama kabupaten Samosir. Di sela-sela kesibukan beliau mengangkat barang menuju ke Balige saya menanyakan mengenai pendidikan akhlak yang berlangsung di lingkungan keluarga beliau, ia menjelaskan kepada peneliti, berikut hasil wawancara tersebut: “….yang jelas pak kami tidak demikian punya pengetahuan agama Islam yang baik sebagaimana orang-orang muslim yang ada di kota Medan sana, jadi kami mendidik anak-anak di sini dengan memberikan semangat agar mereka mau sekolah, dan jangan buat malu keluarga, kan!!., bapak tahu anakhon hi do hamoron di au…” Hanya demikian saja beliau memberikan keterangan kepada peneliti, tetapi yang jelas hampir seluruhnya anak-anak beliau yang tertua tidak berada di rumah. Bertolak dari gambaran di atas serta sejumlah informan yang memberikan keterangan kepada peneliti mengenai
konsep dan tujuan pendidikan akhlak,
didapatkan bahwa menitik beratkan pendidikan akhlak kepada kebutuhan hidup anak manusia yang berhubungan dengan kepentingan dunia artinya pendidikan akhlak dapat dilihat dari tiga aspek yakni pertama berhubungan kepada sesama manusia, kedua terkait dengan kehidupan anak-anaknya
dalam kehidupan
keluarga, ketiga pendidikan akhlak terkait dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
221
Oleh karena itu sesungguhnya keberlangsungan pendidikan akhlak di lingkungan keluarga Batak Toba Islam menurut analisa peneliti bukan berasal dari konsep pengetahuan keagamaan Islam, akan tetapi memang konsep dan tujuan itu lahir dari adanya bentuk-bentuk pembekalan anak-anak keluarga Batak Toba Islam. Gambaran hidup yang diperlihat oleh suasana alam dan kebiasaan para orang tua memperjuangkan kehidupannya untuk mendidik serta membimbing anak-anaknya agar lebih baik lagi di masa mendatang sangat memberikan inspirasi serta motivasi begitu kuat. Kondisi seperti inilah yang melahirkan kebiasaan anggota keluarga Batak Toba Islam meninggalkan kampung halaman berdampak pada banyaknya pengalaman-pengalaman sejumlah orang tua Batak Toba Islam memberikan pendidikan akhlak dengan berbagai pendekatan. Hasil wawancara peneliti dengan Ibu kandung dari mantan Rektor Unimed berikut ini: ”….dulu anak-anak ini kan banyak yang kuliah ke Medan, mereka tinggal di jalan Menteng. Kalau mereka pulang kampung selalu aku nasehati supaya mereka baik-abaik belajar, lalu mereka membawa beras dari kampung ini selalu kuingatkan beginilah hidup di kampung susah, hidupnya selalu ke sawah dan bertani. Kalau kalian berhasil maka kita tidak akan susah lagi. Jangan lupa banyak berdoa sama Tuhan agar kalian di buat berhasil oleh Tuhan….” Artinya bagaimana mereka bisa berkiprah di tengah-tengah masyarakatnya dengan baik dan tetap berpegang pada nilai-nilai harga diri sebagai orang Batak Toba
yang sudah digariskan oleh budaya Batak Toba yakni kebudayaan
sebagaimana yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah keseluruhan sistem, tindakan dan hasil karya manusia (anggota keluarga Batak Toba Islam) dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia (anggota keluarga Batak Toba Islam) dengan belajar, yang mana hal tersebut akan berarti bahwa hampir seluruh manusia (anggota keluarga Batak Toba Islam) adalah kebudayaan Batak Toba. Terbentuknya konsep dasar serta tujuan (nilai) pendidikan akhlak itu sendiri memiliki keberagaman bentuk
di setiap keluarga Batak Toba Islam
222
sebagai kelompok minoritas di kalangan kelompok mayoritas Batak Toba Kristen, tergantung kepada keluarga Batak Toba Islam itu sendiri memandang pendidikan akhlak, ada yang memandang pendidikan akhlak dapat menjadi anak baik dan meraih cita-cita dimasa depan anak, sehingga ia mendapatkan kehidupan yang layak sebagai orang Batak Toba beragama Islam. Sisi lain juga berpendapat bahwa pendidikan akhlak adalah sebuah identitas untuk mengenalkan diri agar diterima menjadi kelompok keluarga-keluarga lainnya dalam bersilaturrahim. Berikut wawancara dengan bapak Sitompul di Balige berikut ini: ”…aku lae selalu mengajari anak-anakku yang laki-laki untuk mau memakai topi lobe kalau mau pergi-pergi. Biar tahu orang di sekitar kami itu orang Islam. Kalo ku tengok-tengok anakku memakai topi lobe itu makin semangat pula aku lae unutk mau tahu bagaimana orang islam sebenarnya bukan seperti aku ini hanya bisa baca alfatihah saja yang lain tidak bisa!!....” Hasil wawancara dengan bapak Sitompul menunjukkan bahwa memakai lobe untuk anak laki-lakinya menunjukkan simbol identitas, sikap, perbuatan, karakter, tingkah laku, atau sebenarnya ia berkepribadian sebagai seorang muslim. Terlepas dari hasil wawancara peneliti di lapangan atas
pandangan
keluarga Batak Toba Islam mengenai pendidikan akhlak bagi anak-anak mereka. itu semua, sebenarnya pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam sebagai kelompok minoritas. Pengalaman bapak Situmorang dan istrinya boru Sianipar yang berkunjung ke Pabatu sebagai warga Samosir menuturkan kepada saya, bahwa beliau berdua dalam menanamkan konsep dan tujuan pendidikan akhlak sangat menekankan arti kehidupan manusia, sebagaimana hasil wawancara tersebut: “…kami pak di mana saja selalu mengajari anak-anak tahu diri sebagai orang yang harus baik, seperti inilah kami pergi mengunjungi saudara-saudara selama dalam perjalanan banyak orang-orang yang dilihat oleh anak-anak kami, saya!!., pak!., langsung saya bilang sama-sama anak, lihat itu kambing di motor gerobak sudah capek-capek mencari makan dia lalu dipotong sama manusia, kita jangan seperti itu ya nak?!., demikianlah pak contoh saya cakapkan dengan anak-anak saya…”
223
Pengalaman bapak Situmorang serta istri terkesan sangat tegas dan baik, gambaran ini merupakan proses usaha sadar, terencana dan sistematis yang dilakukan tidak hanya untuk memanusiakan manusia, tetapi juga agar manusia menyadari posisinya sebagai khalifatullah fil ardhi, yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan dirinya untuk menjadi manusia yang bertakwa, beriman, berilmu dan diwujudkan dalam bentuk tingkah laku yang baik dan dilakukan dalam kehidupan keseharian. Seiring keterangan di atas, maka konsep dan tujuan pendidikan akhlak tersebut melekat di dalamnya dapat dilihat di dalamnya bagian ini dikembangkan lebih lanjut dengan memberikan penekanan pada bagaimana keluarga Batak Toba Islam dengan pengalaman budaya agamanya memahami serta melaksanakan pendidikan akhlak dalam keluarga mereka. Konsep dan tujuan pendidikan akhlak di lingkungan keluarga Batak Toba Islam secara sangat dipengaruhi oleh keberlangsungan budaya Batak Toba pada umumnya, sebagaimana hasil wawancara dan pengamatan peneliti di lapangan bahwa nilai-nilai hagabeon, hamoraon, hasangapon ini pada hakekatnya sangat hidup di kalangan keluarga Batak Toba Islam di kedua kabupaten ini. Internalisasi hagabeon, hamoraon, hasangapon dalam pendidikan akhlak dapat mewarnai konsep dan tujuan pendidikan akhlak tersebut, oleh karena dalam diri anak hendaknya membentuk satu kesadaran yang stabil akan apa-apa yang baik dan apa-apa yang buruk. Pendidikan akhlak juga harus memastikan bahwa nilai-nilai tersebut menemukan perwujudan operasionalnya sehingga secara alamiah dan spontan menjadi bagian dari tingkah laku dalam kehidupan anak. Seiring keterangan di atas, maka dapat di simpulkan untuk sementara bahwa tujuanhidup keduniaan keluarga Batak Toba Islam di kedua kabupaten ini akibat hagabeon, hamoraon, hasangapon sangat tinggi yang akhirnya mengandung prinsip menguasai, menjadi sumber tumbuhnya kekuatan dari dalam sehingga cukup mampu untuk di handalkan. Gambaran seperti ini wajar saja dalam analisa
bahwa sesuatu nilai dapat saja mewujudkan dalam bentuk
operasional tertentu di satu tempat tetapi mengambil bentuk yang berbeda di tempat yang lain.
224
ii.
Proses Keberlangsungan Pendidikan Akhlak Proses pendidikan akhlak yang dilakukan oleh orang tua dalam membangun eksistensi ke-Batakkan-nya, tidak lain para orang tua mengharapkan kepada anak-anak mereka agar kiranya ketika dewasa nanti anak-anak tersebut berkemampuan beradaptasi terlebih ketika merantau kesejumlah wilayah di Indonesia maupun di luar negeri dapat memanfaatkan identitas kesukuan tersebut sebagai alat mencapai tujuan hidup atau dengan istilah memiliki modal sosial. Penjelasan di atas menunjukkan sebuah kepastian yang demikian mengikat di setiap individu Batak Toba Islam, sebagaimana hasil wawancara dari Ibu Sitompul yang berada di Samosir: ”...anakku sekarang sudah berada di Jakarta menjadi seorang yang hebat kata tetanggaku, karena akupun tak tahu apa jabatannya tapi dia dulu dosen di Unimed. Aku selalu berpesan kepadanya, kalau kau pergi kemana-mana jangan lupa kau itu orang Batak yang harus bisa menunjukkan pada orang lain bahwa orang batak itu baik lalu jangan lupa kau harus menolong orang Batak di perantauan karena mereka halak hutata...”. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Sitompul di atas, maka di temukan bahwa beliau sedang memberikan pesan-pesan kebaikan kepada anaknya dari aspek kebutuan fisikis yang berorientasi kepada nilai-nilai sosial. Peranan yang dilakukan oleh Ibu Sitompul merupakan prilaku dan sikap yang harus dimiliki oleh setiap ibu disetiap keluarga, selain dari memberikan kebutuhan fisikis anak, para ibu juga berperan di kalangan anak-anak mereka setidaknya harus memenuhi kebutuhan fisik, sosial, dan spiritual. Pengalaman Ibu Sitompul dengan sejumlah uraian-uraian pendidikan akhlak yang pernah ia lakukan di kalangan anak-anaknya. Gambaran seperti itu membuktikan bahwa ibu punya peran yang menentukan dan strategis dalam pendidikan keluarga, terlebih dalam pembentukan kepribadian muslim anak. Pelaksanaan ajaran akhlak Islami oleh keluarga Batak Toba Islam di tengah-tengah kelompok mayoritas Batak Kristen, sesungguhnya tidak begitu jauh berbeda dengan daerah lainnya, hanya pada aspek kebutuhan lokallah sebagai penekanan bentuk akhlak Islami. Akhlak Islami menurut kebutuhan keluarga Batak Toba Islam adalah sesuatu hal yang melekatnya budaya Batak Toba dalam
225
diri serta tetap menjaga pesan-pesan ajaran Islam. Artinya jika pada masa awal hidup bangsa Batak Toba sudah dikenal dengan budaya pemujaan dengan model meniru (stereotype), seseorang dapat melakukan resistensi ketika sudah mengenal wilayah lain yakni ajaran agama Islam. Wawancara dengan ibu Sitorus yang berdomisili di kabupaten Toba Samosir: “...mendidik anak-anak kita di kampung ini mengenai agama Islam sehingga mereka berakhlak cukup penuh tantangan, karena anak-anak kita berteman dengan akidah yang berbeda, tetapi walaupun demikian untuk anak-anak kami sudah kami usahakan gara mereka tidak meniru penampilan ibadah-ibadah anakanak bergama Kristen, begitu sajalah pak bisa kami buat untuk anak-anak...”
Seiring keterangan tersebut, maka menjalankan akhlak Islami walaupun tak optimal palaing tidak sebagai bagian kehidupan keluarga Batak Toba Islam menjadi sebuah kepastian untuk selanjutnya dalam perkembangannya. Gambaran di atas sesungguhnya memiliki kaitan erat terhadap keberlangsungan pendidikan akhlak dalam lingkungan keluarga dengan berbagai bentuk budaya agama yang ada di tengah masyarakat Islam. Oleh karena itu pendidikan akhlak bersifat terbuka dan adaptif terhadap sumber-sumber moral lainnya hanya dibenarkan manakala dianggap sesuai ajaran agama Islam. Ajaran akhlak Islami merupakan suatu kegiatan dalam keluarga Batak Toba Islam yang dilakukan secara sadar dan disengaja oleh para orang tua untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani anak-anak, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif, yang nantinya dalam diri anak-anak tersebut dapat diaktualisasikan dalam kehidupan mereka di masa depan. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan adalah dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia menurut kebutuhan keluarga Batak Toba Islam yang hidup di tengah-tengah mayoritas Batak Kristen.
226
Kehadiran serta terbentuknya perkembangan anak secara positif dalam keluarga Batak Toba Islam di mata masyarakat tidak terlepas dari kewajiban orang tua memberikan pendidikan akhlak. Kebahagian orang tua ketika mendengar perkembangan anaknya terjauhkan dari keburukan menandakan telah melekat dalam diri anak akan makna dan nilai-nilai kebaikan. Menyampaikan kebaikan atas pengalaman beragama serta diperkaya dengan makna dan nilai lokal menjadi suatu keberhasilan yang cukup berharga mengenai pendidikan akhlak dalam keluarga yakni keluarga Batak Islam. Pendidikan akhlak yang diperkaya oleh pengalaman makna dan nilai budaya suatu keluarga di lingkungan rumah tangga menjadikan informasi data ini semakin terasa menyahuti keragaman, paling tidak jika anak-anak yang mendapatkan pendidikan akhlak di lingkungan keluarga tinggal di daerah persawahan akan mengalami perbedaan dengan anak-anak keluarga Batak Toba Islam yang tinggal di perkotaan atau bentuk kehidupan sosial yang penuh dengan kesibukan. Artinya perbedaan perkembangan jiwa anak sangat memberikan andil dalam mempengaruhi diri anak, terlebih ketika anak-anak Batak Toba Islam hidup bersama anggota keluarga mereka dalam bergaul dan bertutur sapa. Informasi yang dapat peneliti perhatikan salah satuperkampungan tepatnya di perbatasan Porsea dan Simalungun, ketika peneliti beristirahat disebuah warung terlihat kamar mandi umum dan tertulis di dindingnya dibangun oleh PNPM, peneliti menemukan beberapa anak-anak kecil sedang mencuci pakaian, sedangkan ibu mereka sedang sibuk menggali tanah di samping perkarangan rumah yang tidak begitu jauh dari kamar mandi tersebut. Selanjutnya peneliti menghampiri mereka dengan alasan mencari kamar kecil, lalu mereka menjawab,” di sana om”., demikian penuturan mereka. Setelah keluar dari kamar kecil lalu saya memberikan mereka beberapa bonbon permen manis dan mereka menerimanya, di saat itulah peneliti melakukan wawancara berkaitan perasaan dan tujuan mereka mencuci pakaian keluarganya di kamar mandi ini, berikut hasil wawancaranya:
227
“…om!!., setiap hari kami mencuci pakaian setelah pulang sekolah, sambil mainmain air sama adik-adik di sini merekapun senang seperti ini, orang tua kamipun sangat senang kami bantu…” Kegiatan anak-anak tersebut merupakan pendidikan akhlak yang diajarkan oleh orang tua mereka. Berikut wawancara dengan salah seorang ibu yang kebetulan menuju ke kamar mandi: “….anak-anak di sini sudah sering mereka melakukan cuci pakaian di sini, tujuannya agar mereka bisa mandiri dan mengerti mengerjakan pekerjaan rumah. Walaupun masih kecil usia mereka tetapi demi kehidupan mereka ke depan kami sebagai orang tua memberikan pekerjaan itu, tetapi tidak seperti memaksa hanya melepaskan kewajiban saja…” Selanjutnya peneliti tanyakan berkaitan sholat kepada anak-anak tersebut mereka menjawab: ”…disana mesjidnya yang kami selalu sholat magrib sama ustad amir yang mengajari kami mengaji juga om!!! …” Gambar 28 Anak-anak Anggota Keluarga Batak Toba Islam Melakukan Pekerjaan Rumah
228
Anak-anak Batak Toba Islam sedang melakukan kegiatan mencuci pakaian di sebuah tempat pemandian umum. Kegiatan ini merupakan sesuatu yang biasa dilakukan oleh anak-anak. Selanjutnya peneliti melakukan pertemuan dengan mewawancarai mereka. Salah satu Ibu yang kebetulan memakai jilbab disaat itu peneliti mengucapkan salam dan ibu tersebut menjawab kebetulan Ibu memiliki boru Hutanayan, berikut ini hasil wawancaranya: ”…anak-anak kami di sini sudah biasa membantu kami mengerjakan pekerjaan rumah karena itu mereka yang bisa dikerjakan. Kalaupun mereka ikut dengan kami ke ladang anak-anak tidak tahu mengerjakan ladang. Menjadi baik anakanak kami selalu kami ajarkan untuk membantu orang tua karena kalau tidak membantu orang tua kamu nanti tidak di sayangi Tuhan…” Selanjutnya beliau menambahkan berikut wawancaranya: “…Membantu keluarga dengan memahami pekerjaan rumah sudah didikan kami dari dahulu di kampong ini, yang jelas kami tidak memaksa… merekapun senang sambil bermain-main dengan temannya di kamar mandi tetapi tetap menyelesaikan cucian pakain…”
229
Penuturan Ibu Huta Nayan memberikan pesan bahwa pemahaman beliau mengenai pendidikan akhlak itu harus berbuat baik dan senantiasa membantu orang tua mengerjakan pekerjaan rumah. Semakin jelas dalam pemahaman peneliti mengenai penyajian pendidikan akhlak bagi anak-anak Batak Toba di perbagai selalu menunjukkan kegiatan di lingkungan keluarga baik itu pekerjaan rumah, ke ladang atau pekerjaan orang tua selalu di saksikan anak-anak mereka dan orang tua dari keluarga batak Toba Islam menganggap itu seluruhnya sangat mendukung anak-anak mereka mengenai pendidikan akhlak. Oleh karena itu, pendidikan akhlak yang gambar dan diuraikan dalam hasil wawancara beliau merupakan alat untuk menanamkan kemampuan bersikap, bertingkah laku yang segala sesuatu itu diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang disebut dengan sosial budaya. Pengalaman demi pengalaman orang tua keluarga Batak Toba Islam dalam melakukan pendidikan akhlak bagi anak-anak mereka memang bukan sesuatu yang mudah. Informasi itu sebagaimana di kemukakan oleh bapak Sinaga di selasela beliau sedang menghadiri pesta pernikahan saudara beliau menuturkan berikut ini: ” …Memang sangat begitu sulit saat ini kami mendidik anak-anak karena gimanalah!!pak banyak sekali godaan-godaan yang menghambat usaha kami untuk mendidik anak. Contohnya yang jelas ketika di rumah umpamanya saja ada acara di televisi swasta yang menanyangkan tentang kehidupan yang susah, kami sekeluarga menontonnya tetapi ketika masuk pada acara iklan, malah iklannya menunjukkan kepada kami yang tidak begitu memperhatikan nilai-nilai pendidikan akhlak jadi kadang-kadang kami hanya bisa bilang itu acara jualan jadi jangan dikuti ya!!!Nak!!!, demikian lah ungkapan ku kepada anak-anak di rumah untuk mencegah mereka agar tidak menirunya…” Sejumlah problematika serta upaya-upaya untuk memelihara pendidikan akhlak pada kalangan keluarga Batak Toba Islam di Sumatera Utara merupakan sesuatu yang sangat beragam. Keragaman ini memperkaya data atas perkembangan pendidikan akhlak yang mereka perbuat bagi anak-anak mereka. Keinginan peneliti pun tercapai sebagaimana sejumlah informan akan menyampaikan peristiwa pelaksanaan pendidikan akhlak menurut cara pandang mereka sendiri.
230
Anak-anak Batak Toba Islam yang berdomisili di daerah nuansa kehidupan kampung, mereka dengan gaya kenakalannya berlarian keluar masuk rumah, sambil berlarian keliling kampung, bermain, naik turun pohon, berenang di kali, serta berbagai kegiatan lainnya. Sedangkan anak-anak yang tinggal di perkotaan mereka disibukkan dengan kesibukan kota yang otomatis jika mereka pun bermain selalu diiringi dengan kemajuan-kemajuan kehidupan modernnya kota. Perjalanan peneliti di dua kabupaten ini cukup memberikan inspirasi mengenai pendidikan akhlak keluarga Batak Toba Islam yang berdomisili di kalangan mayoritas kristiani. Hasil wawancara peneliti dengan Ibu Minar Harianja yang memiliki suami bermarga Nainggolan yang saat ini tinggal di kampung Onan Runggu menuturkan berikut ini: ”…aku bapak sebagai istri harus sungguh-sungguh memperjuangkan anak-anak dari suamiku untuk kebaikan nama suamiku di masyarakat ini, karena istri orang Batak Toba harus mampu menjaga kewibawaan suamiku. Usiaku yang sudah 50 tahun ini bapak tetap melaksanakan adat istiadat Batak Toba.Aku bapak kalau mendidik anak-anak di rumah ini tidak pernah membicarakan tentang harta warisan suamiku karena kata suamiku dulu yang telah meninggal.Kalau anakanak ikut tahu tentang harta keluarga mereka nanti tidak mau belajar atau tak mau melanjutkan sekolah, begitulah bapak!!!...” Berdasarkan wawancara dengan ibu tersebut terlihat dengan jelas di benak setiap orang bahwa pengalaman diri akan mempengaruhi cara atau metodenya melakukan pendidikan kepada anak-anaknya. Selanjutnya kepatuhan diri kepada adat istiadat sangat mengiringi seseorang istri individu Batak Toba Islam di kabupaten tersebut. Pengamatan demi pengamatan yang peneliti lakukan terhadap sejumlah informan maka akan di temukan bahwa pendidikan akhlak dalam keluarga Batak Toba Islam yang berbentuk nuansa keberagamaan sangat di pengaruhi oleh latar belakang atau nilai budaya masyarakat Batak Toba itu sendiri. Sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Hasibuan selaku staf di Kemenag Samosir menuturkan: ”…lae kalau aku pikir-pikir ajaran agama Islam ini ada mirip-miripnya dengan ajaran agama Batak Toba yaitu parmalim, kata kawanku yang parmalim mereka
231
juga ada membaca mantra-mantra ucapan bismillah., ya!!!., katanya,??.. tapi betul juga itu lae Manurung. Lalu lae… kalau lae…!!! mau tau lebih dalam lagi lae.. bisadatang ke tempat mereka, lae tengoklah mereka itu cara-cara mereka mirip tarekat. Ada berdzikir-zikir sambil mengucapkan mantra-mantra…” Berdasarkan informasi di atas maka pengalaman keagamaan keluarga Batak Toba Islam atau pengalaman melakukan pendidikan akhlak di kalangan anggota keluarganya bisa dikatakan terjadi antara Islam dengan tradisi-tradisi Batak Toba, artinya ajaran-ajaran yang ditekankan dalam Islam cukup hanya berperan dalam kerangka untuk memberikan pondasi dasar terhadap tradisi-tradisi Batak Toba.
iii.
Budaya Agama sebagai Pendukung Pendidikan Akhlak Uraian demi uraian dalam sub judul ini terlihat jelas bahwa pendidikan akhlak yang berlangsung dalam keluarga Batak Toba Islam sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan nilai masyarakat Batak Toba, sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Amru Hasibuan menuturkan: “…Gambaran seperti ini…. yang bapak tanyakan kepada saya…dapat kita baca dalam sejaran Islam di Barus, sejarah terjadi di bagian Barat Toba, yang berbatasan dengan daerah Islam pesisir (Barus) di luar pusat kegiatan Zending, Parmalim di sana ketika itu menyebut diri Parhudamdam…” Hasil wawancara di atas sangat memberikan informasi mengenai perkembangan keluarga Batak Toba Islam dalam mendidik anak-anak mereka dengan menjadikan budaya agama sebagai dukungan terhadap keberlangsungan pendidikan akhlak. Kelompok minoritas yang merupakan predikat bagi komunitas Islam di kedua kabupaten ini merupakan sesuatu hal yang tak dapat dipungkiri lagi terlebih jika melihat pembuktian yang ada di lapangan. Hampir sejumlah besar kehidupan keluarga Batak Toba Islam dalam mengamalkan kebaikan sesuai ajaran Islam menunjukkan kelemahan mereka menguasai pengetahuan keagamaan Islam. Sehingga dapat di sintesiskan bahwa dalam hal pendidikan akhlak selain dari
232
pengalaman beragama Islam menjadi hal pendukung, di sisi lainnya juga adat istiadat Batak Toba mempengaruhi corak pelaksanaan pendidikan akhlak. Kunjungan kami kepada salah satu informan di tanah Batak ini menunjukkan bukti terhadap bapak Samosir di sela-sela keberlangsungan wawancara tersebut bapak Samosir memerintahkan anaknya untuk melakukan pekerjaan di sawah, berikut ini penuturan beliau kepada anaknya: ”…kalau kau mau memotong pohon di pinggir benteng dekat sawah, kau harus membaca doa biar nanti penunggunya tidak membuat kau sakit, apalagi oppung yang sudah mati tidak sakit hati sama kau…” Bertolak dari pengalaman pesan bapak Samosir terhadap anaknya mengenai perintah membaca doa merupakan budaya agama yang telah biasa dilakukan oleh setiap warga di sana, artinya walaupun mereka sudah beragama Islam tetapi pengamalan agama mereka masih memiliki kemiripan dengan peristiwa-peristiwa cerita nenek moyang orang Batak Toba. Pendidikan akhlak dengan membaca doa sebagaimana yang disaran oleh bapak Samosir terhadap anaknya, merupakan kondisi yang selalu peneliti temukan setiap orang tua keluarga Batak Toba Islam. Sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Nainggolan berikut ini: “....aku dahulu lae selalu diajarkan oleh orang tuaku membaca doa, karena nantianya kalau tidak membaca doa maka kami akan didatangi beberapa jenis penderitaan terhadap manusia. Juga menimbulkan bala, penyakit, musim yang tidak menentu bilamana manusia tidak taat terhadap peraturan adat istiadat, kebiasaan yang diciptakan…”. Kehidupan sehari-hari keluarga Batak Toba Islam selama pengamatan di lapangan atas kedua kabupaten ini terbukti mereka senantiasa berinteraksi dengan kalangan non muslim, akan tetapi antara keluarga Batak Toba Islam dengan kalangan mayoritas non muslim tetap memiliki keharmonisan sosial yang terjaga antara mereka sendiri.
233
Keluarga Batak Toba Islam yang berada di wilayah kedua kabupaten ini dalam kesehariannya mereka sebahagian besar berprofesi sebagai petani, peternak dan pedagang hanya beberapa orang saja yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di pemerintahan kabupaten Tobasa dan Kementerian Agama, sehingga bisa dikatakan kaum muslim di daerah ini sangat minoritas jika dibandingkan dengan ummat Islam di daerah lainnya. Hasil wawancara dengan bapak Nainggolan yang bermukim di Sukkean pinggiran Danau Toba menuturkan kepada peneliti: ”…anak-anakku dulunya di sini ketika mereka masih kecil-kecil mendidik mereka dengan berternak kerbau biar mereka tahu bagaimana susahnya seperti kehdiupan ini. Jadi karena kehidupan kami sebagai petani dan memelihara kerbau, makanya mereka anak-anak kami itu merasakan bagaimana sakitnya menjalani kehidupan yang penuh dengan keinginan anak-anak kami untuk berhasil…” Keterangan dari bapak Nainggolan menujukkan bahwa kehidupan keseharian yang mereka hadapi bersama anak-anaknya bertani dan berternak membangkitkan semangat mereka untuk berbuat lebih baik lagi, terlebih merek hidup di tengah-tengah masyarakat mayoritas non muslim. Gambar 29 Anak Perempuan Sedang Mengembalakan Kambing
234
Pekerjaan sehari-hari anak-anak Keluarga Batak Toba Islam di wilayah Tobasa dan Samosir yakni berternak kambing atau kerbau Pengamalan keagamaan dari keluarga Batak Toba Islam yang melahirkan aspek budaya agama di wilayah kelompok kedua ini, peneliti memperhatikan mereka lebih menitik beratkan pada aspek hubungan antara sesama manusia dari pada hubungan kepada Allah. Realita di lapangan membuktikan sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Parapat, tanya peneliti kepada beliau berikut ini hasil wawancara dengan beliau: “….pak!!,.bagaimana pengalaman dan pengetahuan anggota keluarga bapak mengenai ajaran Islam dalam kesehariannya”.,banyak kendala?., atau gimana pak?. Beliau menjawab, …“begini pak!, kami di sini memang dalam keseharian tetap mengalami kendala jika mengamalkan agama Islam. Pengetahuan kami tentang ajaran agama Islam khususnya mengerjakan ibadah sholat sangat kurang paham dan selalu meninggalkan sholat, sebab anggota keluarga saya banyak yang tidak bisa membaca al-Qur’an apalagi mengerjakan sholat!!”.Selanjutnya beliau menjawab …”bahwa hampir sebahagian besar kami
235
di sini mengenai pelaksanaan hubungan kepada Allah SWT tidak mampu menunjukkan yang patuh layaknya sebagai seorang muslim…” Mencerna uraian-uraian bapak Parapat sesungguhnya memberikan pesan kepada peneliti bahwa mereka memiliki kondisi pengalaman keagamaan yang belum begitu mampu secara optimal untuk dijadikan modal mendidik anak-anak mereka mengenai keagamaan Islam di lingkungan mayoritas non muslim. Bagan 23 Kondisi Pengalaman Keagamaan Keluarga Batak Toba Islam di Kabupaten Samosir dan Toba Samosir
Bagan tersebut bersumber dari hasil wawancara dengan bapak Parapat Bagan di atas menjelaskan kondisi kualitas pengetahuan dan pengalaman keberagamaan mereka di tengah-tengah mayoritas masyarakat batak Toba Kristiani dengan perkembangan sejumlah relawan dan PNS Kemenag yang tidak bisa menetap lama berdomisili di daerah tersebut. Mereka sangat membutuhkan adanya relawan-relawan keagamaan yang membantu mereka memhami agama Islam. Sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Damanik yang berkerja sebagai PNS di Kementerian Agama Kabupaten Samosir menuturkan berikut ini hasil wawancaranya: ”…di sini ada beberapa pegawai KUA mengajarkan kepada keluarga-keluarga Batak Toba Islam belajar mengaji dan belajar sholat, mereka semuanya selau bicara mengenai perkembangan keluarga mereka.Baik itu kehidupan keseharian yang mereka hadapi. Informasi ini selalu saya terima dari bapak Amru Hasibuan….”
236
Hasil wawancara saya dengan bapak Aritonang berikut ini: “…Bagaimana bapak mengajarkan mengenai prilaku kebaikan terhadap anakanak, khususnyaajaran agama Islam dalam keseharian di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang tidak seakidah ini pak!!!?.”, lalu beliau menjawab, …“begini ya pak!!., saya memang sudah berupaya untuk mengajarkan anak-anak saya tentang ajaran agama Islam agar mereka dapat menjadi anak yang baik., tetapi mereka tetap saja tidak menghiraukan terlebih lagi saya selalu sibuk pekerja di ladang dan pulang ke rumahpun hingga waktu sudah senja, sehingga anak-anak sering tidak terkontrol oleh saya mengenai pelaksanaan sholat lima waktu, terlebih lagi anak-anak saya yang berjumlah 5 orang hanya yang nomor dua saja yang bisa mengaji atau membaca al-Qur’an”, begitulah kendalakendala yang saya alami selama-lamanya di lingkungan mayoritas non muslim ini pak…” Selanjutnya bapak Manalu sebagai warga Sitinjak memberikan keterangan kepada peneliti sebagaimana hasil wawancara berikut ini: ”…kami dalam mendidik anak-anak kami di sini, agar mereka merasa sebagai anaknya orang muslim selalu saya menyarankan kepadanya untuk berpergian kemanapun kecuali ke ladang untuk memakai simbol-simbol pakaian Islam, memang ketika anak saya berbicara dengan bahasa Toba dengan sejawatnya yang bukan beragama Islam mereka selalu berpenampilan tidak sepenuh hati berbicara, karena mereka anak-anak Batak Toba yang beragama Nasrani tersebut menganggap anak saya sudah orang asing sehingga mereka ketika bertemanpun terkesan terbatas, oleh karena itu saya selalu menasehatinya agar bersabar dan jangan merasa sakit hati karena itu semuanya harus kita hadapi dengan baik, demikianlah nasehat-nasehat agama yang saya berikan kepada anak-anak saya…” Upaya bapak Manalu memberikan nasehat kepada anaknya sudah merupakan gambaran budaya agama yang mendukung pendidikan akhlak. Berangkat dari keterangan di atas dapatlah dipahami bahwa budaya agama yang di lakukan dalam pendidikan akhlak bagi anak-anak keluarga Batak Toba Islam di kedua kabupaten ini adanya unsur membiasakan saja dan bukan merupakan prilaku perubahan atas dasar kesadaran, akan tetapi hal yang demikian itu juga menurutnyamerupakan unsur pendukung pendidikan akhlak. Sebagaiman hasil wawancara peneliti dengan bapak Hutanayan yang berdomisili di Lumban Julu dekat kampung Sirait menuturkan berikut ini:
237
”…mengunjungi orang tua dari saudara kandung oppungku yang saat ini masih beragama Kristen tetap kami lakukan dengan anak-anak, walaupun kami sudah Islam dalam satu keluarga tetapi prilaku kami mengunjungi ini untuk membiasakan anak-anak agar mereka tidak begitu segan-segan dengan keluarga kami, dan harapan ke depan anak-anak pergi mengunjungi oppung tersebut tidak karena kami suruh-suruh lagi tetapi sudah kesadaran mereka dalam menyambung kekeluargaan antara kami bersama….” Hasil wawancara di atas menunjukkan pesan bahwa salah satunya diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulangboleh jadi, pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemudian dilakukan terus menerus, maka jadilah bakat dan akhlak, bagi anak tersebut. Hasil wawancara dengan Ibu Nainggolan yang memiliki empat anak menurut pengalamannya dalam memberikan pendidikan akhlak di rumah, sebagai berikut ini: ”…aku ito kalau di rumah selalu aku mengajarkan kepada anak-anak untuk selalu mengingatkan kepada orang-orang yang telah mendahului agar senantiasa mendoakan mereka semoga mendapatkan pengampunan dari Sang Maha Kuasa walaupun para leluhur kami bukan beragama Islam….” Membudayakan dengan adanya kegiatan berdoa kepada leluhur terdahulu dapat membentuk anggota keluarga khususnya anak-anak menjadi lebih mampu mereka memelihara diri dari rasa tidak bersyukur. Gambaran ini secara tidak langsung menunjukkan tingkah laku sebagai moralitas orang Batak Toba terhadap leluhur sesuai dengan standar masyarakat Batak Toba. Akan tetapi akibat pengalaman keberagamaan yang bersifat sosial ini anak-anak mereka dengan suka rela, bertingkah laku akibat kekuatan yang ada di luar (diri) dan ke dalam (diri) dan ada ketetapan hati dalam melakukan (bertindak) yang diatur dalam diri. Selanjut saya menanyakkan kepada informan yang bernama Beliana Sitorus yang berada di Jalan Besar Porsea, sebagaimana hasil wawancara berikut ini:
238
”…Bagaimana cara ibu membuat suasana keagamaan untuk mendidik anak-anak ibu?” lalu Ibu menjawab,….“saya dan ibu-ibu lainnya sudah terbiasa ketika menghadiri pengajian senantiasa membawa anak-anak agar mereka kelak tetap berpegang teguh dalam agama Islam, walaupun anak-anak yang kami bawa ini belum mengerti tentang kegiatan ini, akan tetapi kelak pasti mereka besar akan mendapat hidayah dari Allah SWT…” Gambaran tersebut menunjukkan kegiatan keagamaan yang menghasilkan budaya agama untuk mendukung pendidikan akhlak di masa balita, dengan harapan jika telah dibiasakan membawa anak-anak yang masih kecil ke dalam mesjid atau pengajian mereka kelak juga akan mendapatkan kebiasaan menyaksikan yang baik, dan selanjutnya mereka besar nanti memiliki kebiasaan melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela. Selain itu juga mereka kelak juga akan dapat menjaga hubungan dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk dengan baik dan harmonis. Berangkat dari penjelasan di atas, maka budaya agama yang diciptakan sebagai pendukung pendidikan akhlak oleh sejumlah keluarga Batak Toba Islam di kabupaten/ kota Sumatera Utara, tidak lain disebabkan agama Islam yang mereka miliki dapat dipelajari dengan berbagai basis. Artinya agama Islam menjadi miliki setiap keluarga Batak Toba Islam yang ingin selamat. Oleh sebab itu, aneka pilihan bentuk budaya agama sebagai pendukung pendidikan akhlak sering diciptakan.Bentuk-bentuk tersebut dimunculkan untuk menjawab tantangan keberagamaan pendidikan akhlak. Hasil wawancara dengan bapak Sidabutar berikut ini: ”…sebenarnya pendidikan akhlak yang kami perbuat untuk anak-anak di rumah sangat didukung adanya pemahaman masyarakat yang dilatar belakangi oleh kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang tidak nyata. Seperti halnya kalau lae!!., mau tau ada istilah dengan adat diupah-upah agar yang diinginkan adanya kedamaian dan ketenangan itu semuanya mengajarkan kepad kita untuk mempercayai sesuatu yang ada di sana!!...” Penuturan bapak Sidabutar yang merupakan salah guru Balige menguraikan bahwa gambaran seperti itu menginginkan adanya menyakini hal-hal yang tidak nyata, jika pengalaman ini berjumpa dengan ajaran Islam maka
239
menjadi sesuatu saling melengkapi, dan begitulah budaya agama yang terbangun dalam keluarga batak Toba Islam di Samosir dan Toba Samosir. Selama ini budaya agama yang diciptakan oleh keluarga Batak Toba Islam sebagai pendukung pendidikan akhlak sudah cukup tepat karena sejalan dengan fenomena yang ada. Fenomena itu tidak lain adalah sebuah konteks. Sehingga pendidikan akhlak semacam itu dengan adanya dukungan budaya agama merupakan model fenomena masyarakat yang harus terpelihara dengan baik.Gambaran ini tidak lain menyahuti pada kesejarahan dan budaya keluarga Batak Toba Islam mengenai pendidikan akhlak untuk semakin mudah dilaksanakan dan terpahami oleh anak-anak mereka. Adapun budaya agama yang memberikan gambaran keberlangsungan pendidikan akhlak antara lain: -
Memakan Makanan yang Halal Akibat kehidupan keluarga Batak Toba Islam berada di tengah-tengah
kelompok mayoritas Batak Toba Kristen, maka salah satu pelaksanaan pendidikan akhlak Islami tersebut adalah menekankan aspek memakan makanan yang halal. Hampir sebahagian besar dalam budaya Batak Toba di isi dengan kegiatan adanya makan bersama, sehingga menjadi sesuatu yang sangat wajib dalam pengamatan peneliti jika orang Batak Toba melakukan
sebuah perkumpulan
untuk menyajikan makanan baik itu berasal dari daging hewan atau ikan. Gambaran ini peneliti amati selama berada di kabupaten Samosir dan Toba Samosir kekhasan dalam acara makan masyarakat Batak Toba ialah ketersediaan daging sehingga daging harus disiapkan oleh yang melakukan acara. Ada dua jenis daging yang khas yang digunakan oleh masyarakat Batak Toba dalam suatu upacara adat yaitu babi dan kerbau. Selain itu juga kebiasaan tradisi budaya Batak Toba menyajikan makanan nasi beserta lauknya untuk dinikmati kalangan para tetamu yang datang sebelum mereka pulang menjadi sesuatu yang membahagiakan perasaan yang dikunjungi. Oleh karena itu keluarga Batak Toba Islam yang selama ini peneliti temui dalam melakukan wawancara, mereka senantiasa sangat memperhatikan proses
240
pembuatannya, bentuknya serta jenis makanan yang ingin mereka konsumsi demi melaksanakan ajaran Islam yakni terjauh dari makanan yang haram. Akan tetapi di sisi lainya keluarga Batak Toba Islam harus tetap menjaga perasaan orang-orang Batak Toba Kristen dalam hal gambaran seperti yang dijelaskan di atas. Kondisi seperti ini
merupakan bahagian pelaksanaan
pendidikan akhlak yang dilakukan oleh para orang tua keluarga Batak Toba Islam terhadap anak-anak mereka. Bapak Simangunsong yang memiliki istri dari etnik jawa, mereka merupakan warga Siantar yang kebetulan bertemu dengan saya di Pulau Samosir, hasil wawancara berikut ini: ”...pak!!!.,,jika saya mengajak anak-anak untuk mengunjungi saudara-saudara di kampung Samosir ini, kalangan keluarga saya di sini sudah tahu kalau kami tidak memakan makanan yang haram. Anak-anak sayapun sudah paham tentang makanan yang patut untuk di konsumsi, akan tetapi kami tidak menguasai bagaimana proses pembuatan dan penyajiannya oleh keluarga saya di sini, apakah alatnya pernah digunakan memotong babi atau tidak!! Tetapi usaha kami sudah ada untuk tidak memakan makanan yang haram...” Analisa yang dapat kita tarik dari pengalaman bapak Simangungsong ini bahwa pelaksanaan pendidikan akhlak Islami dari aspek menjaga makanan yang haram dari kalangan eksternal mereka sudah memiliki pemahaman yang bersifat toleransi khususnya menyajikan makanan.Gambaran tersebut menunjukkan bahwa keluarga Batak Toba Islam ketika melaksanakan pendidikan akhlak dari aspek ini bagi anak-anak mereka mengalami kondisi hal yang mudah. Akan tetapi yang menjadi catatan agar terjaga perasaan keluarga Batak Toba Kristen menyajikan makanan untuk kalangan anggota keluarga Batak Toba Islam, mereka tidak mau terlalu maju memperhatikan cara pengolahan, resep dan cita rasanya umumya sudah bersifat turun temurun, serta sedikit sekali adanya modifikasi. Bapak Nainggolan yang berdomisili di kampung Nainggolan dan memiliki anak tiga, punya pengalaman terhadap keluarga besarnya yang masih berakidah non muslim yakni Batak Toba Kristen dalam membantu acara Mangkaroani. Adapun hasil wawancara saya dari bapak Nainggolan berikut ini:
241
“...kampung ini hampir semuanya bermarga Nainggolan dan kuatnya persaudaraan antara kami, memang di sini hampir sebahagian besar jika mengadakan acara-acara adat harus menyajikan daging kerbau dan bukan membelinya di pasar tetapi disembelih di tempat dimana acara berlangsung, kami saling gotong royong mengerjakan hewan sembelihan itu (kerbau)...” Selanjutnya beliau menambahkan dalam hasil wawancara berikut ini: “...Anak-anak saya juga ikut bagian mengerjakannya di sela-sela gotong royong itu, pengada acara adat menyuarakan pada saya hai!!!.., Nainggolan,, ‘Raja Parsubang’ minum ma aekon’ demikianlah yang selalu saya dengarkan dari ucapan mereka kepada saya,.!! Lalu tanpa basa-basi karena sudah disediakan untuk menikmati makan dan minuman, saya dan anak-anak pun ikut merasakan makanan dan minuman tersebut...” Seiring keterangan wawancara tersebut, maka kemampuan keluarga Batak Toba Islam dalam menyikapi makanan halal hanya dilakukan pada kemampuan kasat mata saja. Bagaimana teknis mencuci tempat atau memasaknya tidak menjadi persoalan, hanya bentuk dan isi penyajian saja yang mereka perhatian dalam menyikapi makanan halal tersebut. -
Memelihara Hubungan Kekerabatan Kalangan keluarga Batak Toba Islam yang berdomisili di tengah-tengah
mayoritas masyarakat Batak Kristen, sampai saat ini masih terlihat rukun dan damai dalam menjalankan aktivitas-aktivitas keseharian mereka.Akan tetapi persoalan yang ditemukan di lapangan tidak menjadi hal-hal yang mengganggu hubungan kekerabatan tersebut. Akibat kuatnya budaya Batak Toba menekankan hubungan marga yang dimiliki terhadap marga lain berdampak pada pentingnya memelihara hubungan kekerabatan antara sesama orang Batak Toba. Oleh karena itu keluarga Batak Toba Islam dalam menjalankan akhlak Islami sangat menekankan aspek pemeliharaan hubungan kekerabatan. Bapak Situmorang selaku warga desa Ulut di Pinggiran Samosir mengungkapkan dalam hasil wawancara berikut ini:
242
“...akhlak yang saya laksanakan untuk anak-anak di rumah ini agar antara sesama mereka bersaudara tetap menjaga keakraban dan jika terjadi pertengkaran antara mereka saya langsung mengingatkan bahwa perilaku seperti itu tidak boleh diteruskan, anak-anak saya yang perempuan selalu membantu mamaknya salah satunya memasak di dapur agar mereka ketika besar nanti tidak mengecewakan keluarga suaminya, untuk anak laki-laki mereka saya suruh untuk menjaga ladang dan ternak bersama dengan anak laki-laki mayoritas Batak Kristen...” Bapak Situmorang ini dalam melaksanakan pendidikan akhlak Islami dari aspek kekrabatan dalam analisa penulis sangat sedikit berhubungan dengan ideologi gender Batak Toba. Anak perempuan harus membantu ibunya. Mereka harus menjaga adik-adiknya, memasak, mengumpulkan kayu bakar, mengambil air dan membantu di sawah. Pengalaman bapak Situmorang dan sejumlah orang tua lainnya di lingkungan keluarga Batak Toba Islam, mereka senantiasa memberikan perintahperintah mengerjakan pekerjaan yang ada di rumah. Gambaran ini secara tidak langsung memberikan pendidikan akhlak dalam pembekalan diri anak agar berkemampuan untuk jauh-jauh hari ke depan jika mereka merantau mampu menguatkan hubungan kekerabatan dan tidak mengecewakan hubungan tersebut. Ketika peneliti berada di salah satu rumah informan saat itu datanglah beberapa tamu kediaman bapak Sitorus yang berasal dari kota Siantar. Beliau mempersilakan tamu tersebut masuk ke dalam ruangan tamu yang hanya duduk di atas tikar plastik.Saya memperhatikan bapak Sitorus sangat sibuk melayani tamu tersebut dan mengajak anak-anak beliau yang sedang bermain-main agar berhenti dan menyalami tamu tersebut. Di sela-sela beliau sedang berada jauh dengan tamunya, saya menanyakkan kepada beliau, “....bapak selalu mengajari anak-anak untuk mengetahui semua famili-famili di rumah ini pak?!!...”, lalu beliau menjawab: ”...agar mereka tahu saudara-saudara yang datang dan saya sangat senang bila datang famili kami ke rumah ini, dan anak-anak saya diharuskan mereka tidak
243
jauh-jauh dari tamu agar mereka bisa akrab dan mengerti tentang tempat tinggal saudara kami itu...” Peristiwa keakraban di atas sesungguhnya hampir sebahagian besar keluarga Batak Toba Islam mengalami hal yang sama. Artinya keluarga Batak Toba Islam memiliki budaya yang sama dengan keluarga Batak Toba Kristen mengenai keakraban. Analisa yang dapat ditarik dari pengalaman-pengalaman tersebut bahwa keluarga Batak Toba Islam dalam melaksanakan pendidikan akhlak dari aspek memelihara hubungan kekerabatan sangat tinggi jika di tinjau pada kondisi sosial budaya masyarakat Batak Toba. Peristiwa seperti ini merupakan dorongan semangat adat yang hidup dalam diri setiap anggota keluarga
Batak Toba,
sehingga melahirkan sikap rukun antara sesama. Gambaran tersebut
merupakan salah satu aspek dari tanggung jawab
orang tua dalam mengoptimalkan fungsi keluarga dalam ajaran Islam yakni menjaga kerukunan, sebab kerukunan merupakan salah satu perwujudan akhlak mulia.Orang yang memiliki akhlak mulia tentu lebih menghargai kerukunan dan kebersamaan daripada perpecahan. Jika sejak dini orang tua dalam keluarga telah menanamkan nilai-nilai kerukunan dan anak dibiasakan menyelesaikan masalah dengan musyawarah maka dalam kehidupan di luar keluarga mereka juga akan terbiasa menyelesaikan masalah berdasarkan musyawarah. Kondisi semangat adat yang hidup dalam diri individu, juga masih di dapatkan dalam keluarga batak Toba Islam, tujuannya agar pelaksanaan pendidikan akhlak dari aspek menjaga kearaban ini merupakan motivasi anggota keluarga Batak Toba Islam untuk memilih tindakan dan perkataan yang sesuai. Bagan 24 Pelaksanaan Pendidikan Akhlak Islami Aspek Hubungan Kekerabatan
244
Bagan tersebut bersumber dari hasil wawancara dengan bapak Situmorang, bapak Sitorus. Bagan di atas menerangkan bahwa hubungan kekerabatan tersebut dilakukan dengan memberikan pekerjaan rumah di sisi lain juga makan bersama. Selain itu juga yang masih tampak hingga saat ini sesuai pengalaman peneliti di lapangan secara sosial budaya mereka adalah etnik Batak Toba yang suka menerima kedatangan tamu di rumah mereka.Mereka merasakan nilai pendidikan akhlak melalui keakraban ini untuk anak-anak keluarga Batak Toba Islam di tengah-tengah mayoritas Batak Kristen . Pengalaman peneliti dan sejumlah informasi dari para informan bahwa kebiasaan menjaga hubungan ini di setiap tamu yang datang harus diberi makan dahulu sebelum mereka pulang. Terutama pada pendatang yang tidak dikenal selalu diberi penghormatan dan penghargaan. Usaha menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan semangat adat itu memberi ciri khusus pada keluarga Batak Toba Islam sebagai masyarakat yang bermoral, dan sifat ini merupakan identitas bagi masyarakat Batak Toba. -
Melaksanakan Ibadah Pelaksanaan pendidikan akhlak pada aspek melaksanakan ibadah bagi
anggota keluarga Batak Toba Islam di tengah-tengah masyarakat mayoritas Batak Toba Kristen menunjukkan perhatian khusus.Kalangan keluarga Batak Toba Islam disejumlah daerah yang ada di wilayah kabupaten Samosir dan Toba Samosir tidak memahami Islam secara baik dan akhirnya mereka dalam melaksanakan ibadah mengalami kendala yang cukup besar. Mereka
berinisiatif
secara
bergotong-royong
melakukan
kegiatan
pengajian rutin dan mendatangkan ustad-ustad yang memiliki jiwa pengorbanan tinggi, sebab hampir banyak ustad-ustad ketika mereka mendapatkan tugas
245
sebagai PNS untuk mengabdikan pekerjaannya di daerah tersebut hanya pada waktu yang tidak begitu lama, demikianlah pengalaman keluarga Batak Toba Islam rasakan di daerah tersebut khususnya daerah terpencil. Sebagaimana beberapa hasil wawancara peneliti
dengan sejumlah
informan antara lainnya dari bapak Butar-butar menuturkan kepada peneliti berikut ini: “...kami dalam mendidik anak-anak untuk melaksanakan ibadah sangat kurang, sebab kami selain dari tidak memiliki pengetahuan agama Islam untuk diberikan kepada anak-anak, kami juga tidak begitu lancar membaca al-Qur’an apalagi untuk melaksanakan ibadah, seperti mengerjakan sholat kami sendiripun masih sering meninggalkan sholat...” Pengalaman dari bapak Butar-butar ini menunjukkan gambaran nyata bahwa kalaulah orang tua dalam keluarga sendiri memiliki benih tidak yang kuat untuk menanamkan ibadah manalah mungkin anak-anak bisa menjadi pintar beribadah. Lain halnya pengalaman Ibu Hutasuhut yang menjadi muallaf karena menikah dengan bapak Sinaga yang memiliki warung nasi di pinggiran pelabuhan Danau Toba menuturkan kepada peneliti berikut ini: “...kami menjalankan ibadah agama Islam ini jika datang ustad dari KUA Kementerian Agama ke rumah kami ini, kalau tidak ya!!.,pun libur beribadah...”, Demikian penuturan ibu Hutasuhut dengan penuh kesadaran atas pengalamannya beragama. Pengalaman Ibu Hutasuhut ini sudah merupakan potensi yang kuat untuk membudayakan ibadah dalam keluarganya dan keluarga ini merupakan ciri keluarga baik, sebab keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu selalu berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya melalui proses belajar dan pendidikan seumur hidup. Pengamatan peneliti atas perkembangan keberagamaan keluarga Batak Toba Islam khususnya melaksanakan ibadah untuk anak-anaknya hanya
246
didapatkan pada kawasan perkotaan Balige, itupun di karenakan mereka sekolah di lembaga pendidikan Islam. Kondisi ini tidak lain karena banyak penduduk etnis lain yang beragama Islam sehingga keluarga Batak Toba Islam yang berada di kawasan tersebut tidak mengalami yang sulit mengajak anak-anaknya untuk sekolah agama ataupun beribadah ke masjid. -
Melanjutkan Pendidikan Memiliki pengetahuan yang demikian luas sangat menjadi perhatian
mendasar bagi anak-anak keluarga Batak Toba Islam yang ada di tengah-tengah kelompok mayoritas Batak Kristen. Menanamkan pentingnya pendidikan formal bagi setiap anak menjadi perhatian peneliti setelah mendapatkan informasi yang sama secara subtansial dari beberapa keluarga Batak Toba Islam di lapangan. Selama pengamatan peneliti dari hasil wawancara pada sejumlah informan dapat menjadi catatan bahwa pendidikan bagi orang Batak Toba khususnya keluarga Batak Toba Islam sangat penting untuk setiap individu. Sebagaimana keterangan dari Ibu kandung bapak Syawal Gultom melalui penerjemah saudara Amru Hasibuan, hasil wawancara berikut ini: ”...anak-anak kami inilah yang bisa memperbaiki hidup orang kampung dengan serba bertani, makanya kami menyekolahkan mereka supaya dengan pendidikan yang mereka miliki akan membawa anak-anak kami berada dalam posisi atau pola kehidupan yang lebih baik dalam meraih cita-citanya, ustad sendiri kan!!, tahu apalah yang bisa diperbuat kalau tinggal di kampung ini, hanya pergi kesawah dan berternak tanpa ada perubahan hidup dan masa depan....” Pengalaman mereka dengan beragama Islam dan memiliki budaya Batak Toba yang kuat serta melahirnya nilai-nilai motivasi atas keduanya telah menjadi instrument pendukung untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi demi memperbaiki kehidupan di masa mendatang dalam lingkungan keluarga Batak Toba Islam tersebut. Analisa yang dapat diambil atas keterangan hasil wawancara dengan Ibu kandung bapak Syawal Gultom menunjukkan bahwa keluarga Batak Toba di sini
247
apapun kenyakinan mau beragama Islam atau Kristen hingga hari ini di Tanah batak bahwa pendidikan merupakan suatu faktor penting untuk maju (upward social mobility) sangat kuat pada masyarakat Batak Toba. Untuk mereka, pendidikan menjanjikan masa depan yang baik: menjadi pegawai dan terhormat dalam masyarakat. Karena itu mereka berlomba-lomba menyekolahkan anakanaknya. Bukti yang dapat peneliti temukan ketika melakukan wawancara dengan kalangan keluarga Batak Toba Islam yang berada di salah satu kampung pulo Samosir mereka memberikan motivasi baik sifatnya positif maupun negative untuk senantiasa belajar dalam merubah kehidupan dengan cara sekolah di perantauan seakan tidak pernah habis-habisnya peristiwa ini terjadi di kampung Huta Nainggolan terlebih ketika mereka berkumpul dalam acara yang adat dicelah-celah pertemuan. Adapun gambaran positif yang indikasinya untuk kemajuan pendidikan anak-anak, mereka selalu menyampaikan pertanyaan, semisal “...bagaimana kabar kuliah di Torang?...”, “...sudah jadi apa si Bayang saat ini?...”, begitulah hampir sejumlah besar pertanyaan antara mereka yang
bernuansa motivasi
kemajuan atau perubahan hidup untuk yang lebih baik”.Sedangkan gambaran yang negative walaupun indikasinya dapat ditarik secara positif, yakni ketika mereka sedang berkumpul di warung tuak atau sedang minum-minum terkadang mereka mengulok-ulok salah satu anak-anak mereka dengan sebutan, “anak kau aja!!!kayak gitu pasti kontoran sampah sajapun makin bau”., atau sejenis lainnya istilah, sehingga terkadang mereka sangat malu untuk bergaul jika anak-anak mereka tidak berhasil atau masih berada di kampung. Bagan 25 Motivasi Negatif dan Positif Melahirkan Kompetisi dalam Melanjutkan Pendidikan
248
Bagan tersebut bersumber dari hasil wawancara dengan bapak Amru Hasibuan serta pengamatan peneliti di lapangan Bagan di atas menjelaskan bahwa melanjutkan pendidikan bagi kalangan anak-anak Batak Toba baik yang beragama Islam maupun Kristen ada yang bersifat negative maupun yang positif. Hasil wawancara dengan bapak Tampubolon yang berada di jalan besar Porsea-Medan menuturkan kepada peneliti, “...melaksanakan pendidikan akhlak dari aspek melanjutkan pendidikan sesungguhnya hampir semuanya kami di sini sangat mementingkan pendidikan, tetapi melanjutkan pendidikan ini anak-anak kami sangat sedikit yang melanjutkan ke jenjang pendidikan agama Islam, aku begitu juga untuk anakanak ini kalau sudah tamat sekolah SMA di kampung ini...” Selanjutnya peneliti menanyakkan ”...mengapa demikian pak??!!...” kembali tanya peneliti kepada beliau?!!,, lalu beliau menjawab, ”...karena melanjutkan pendidikan agama Islam sangat tidak jelas lapangan pekerjaannya, kalaupun nantinya anak-anak kami kembali ke kampung untuk mendapatkan kerja di sini masyarakatnya banyak orang kristen jadi tidak mungkin itu pak!!...” Hasil wawancara peneliti dengan bapak Sitorus yang memiliki adik di kota Medan menceritakan kepada peneliti berikut ini: “....adik saya itu dahulu di kampung ini prilaku-nya baik lalu orang tua saya menyekolahkan di STM di kota Medan, ntah bagaimana!!., ketahuanlah dia tidak sekolah akibat pengaruh temannya!!, dan akhirnya ia dipecat!. Kami suruh ia untuk pulang kampung untuk membantu keluarga di sini memelihara ternak., kok malah ia tidak mau sampai akhir ini ia sudah punya anak tiga di Medan...” Pengalaman bapak Sitorus dan para orang tua lainnya tentang pelaksanaan pendidikan akhlak Islami aspek melanjutkan pendidikan mereka senantiasa membimbing
anak-anaknya
untuk
melanjutkan
sekolah
dengan
metode
249
membanding-bandingkan dengan anak-anak dari kampung itu mengalami keberhasilan di perantauan sehingga mental seorang anak menurut peneliti mengalami kekacauan jika keberhasilan itu tidak didapatkannya. Terlebih menekankan aspek keduniaan sebagai indikator keberhasilan dalam keluarga Batak Toba Islam. Hasil diskusi peneliti dengan para pemuda-pemuda Batak Toba Islam yang berada di Medan: ”....mengapa tidak pulang kampung ke Porsea lalu mereka menjawab?., bang kami pada umumnya tidak pulang kampung halaman karena merasa malu dikatakan sebagai perantau yang gagal. Kalau kami tidak sanggup bertahan hidup di kota Medan ini, maka kami akan pindah ke kota atau kabupaten lain unutk mencari kehidupan yang lebih baik lagi...” Hasil wawancara dengan ibu kandung rektor Unimed menuturkan pengalaman beliau: “...anak-anak kami semua bersekolah ke Medan, bila mereka pulang kampung selalu saya mengajak mereka ke sawah agar mereka tahu bahwa hidup ini harus bekerja keras dan jika malamnya saya dan suami menasehat mereka, kami hanya menasehati baik-baiklah kalian yang marsekolah ingat sama Tuhan agar kalian yang marsekolah di Medan menjadi baik, kalau kalian tidak mau sekolah maka kalian akan seperti kami di kampung ini pergi ke sawah setiap hari untuk mencari kehidupan, anak-anak kami di Medan tinggal dengan keluarga dari suami saya mereka dari kampung ini hanya mendapatkan beras saja untuk makan mereka ketika marsekolah di Medan...” Materi pendidikan akhlak disetiap keluarga Batak Toba Islam sangat menekankan pada upaya melanjutkan pendidikan ke luar daerah Samosir atau Toba Samosir, selain dari keinginan mendapatkan ilmu pengetahuan di daerah lain juga akibat kehidupan ekonomi yang mencukupi atau terbatas. Mereka yang telah dididik dengan akhlak yang baik sesuai budaya Batak Toba melahirkan sifat kegigihan dalam bekerja keras dan berjuang untuk menyelesaikan pendidikannya, merubah kehidupan dan meraih kesuksesan dan keberhasilan disetiap proses kehidupan. Hal ini dapat dijadikan “spirit” akhlak sekaligus “model” pendidikan akhlak untuk melanjutkan pendidikan hingga yang tertinggi bagi setiap keluarga Batak Toba Islam asalkan memiliki kemauan dalam doa dan ketekunan.
250