MAKNA DAN KONTEKS DALAM BAHASA BATAK TOBA
Roswita Silalahi Universitas Sumatera Utara Abstract The aim of this study is to find out how ‘the meaning and context’ used in Batak Toba language. It covers the discussion of semantic and pragmatic meaning, deixis, reference and context, knowledge as context, and inference. The framework used to analyse the data, got from books and informants, and the theory used based on Saeed (2000). The conclusion is that, the meaning in Batak Toba language is much influenced by the context. 1. PENDAHULUAN Manusia menggunakan bahasa dalam berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat. Apa yang disampaikannya melalui bahasa, sebenarnya adalah pesan atau keinginannya yang merupakan makna bahasa itu. Berbagai jenis makna telah dikemukakan orang dalam buku linguistik atau semantik. Pikiran atau maksud yang hendak kita sampaikan itu, bisa disampaikan secara lisan atau tertulis melalui bentuk bahasa. Kita menuangkan pikiran, atau makna, ke dalam bentuk bahasa, dan pendengar mengartikan bentuk yang didengar atau dibacanya. Hal ini mungkin terjadi karena setiap bentuk mengandung makna (atau fungsi) dan pendengar atau pembaca mengenal arti bentuk‐ bentuk yang kita gunakan. Kata (atau leksikon) rumah, misalnya, mempunyai makna leksikal ‘rumah’ dan mempunyai acuan dalam dunia kenyataaan yang dapat dipegang. Ada juga kata yang acuan atau referennya abstrak, misalnya cinta dan pikiran. Ada pula kata yang tidak mempunyai makna leksikal, misalnya, kata‐kata tugas seperti dan, di, oleh, akan, dsb, dan kata‐ kata serupa ini pun tidak ada acuannya (Simatupang 2000:8). Makna semantik adalah makna komposisional atau makna linguistik, di mana makna kalimat
tergantung pada atau berhubungan dengan teks sebelumnya. Secara umum semantik dapat didefinisikan sebagai kajian makna dalam bahasa atau kajian makna kebahasaan. Kajian makna bahasa tentu dapat dilakukan dari berbagai segi, misalnya, ahli filsafat akan mengkaji makna bahasa dari segi hubungan antara kata dengan benda atau peristiwa di alam semesta. Ahli bahasa akan mengkaji makna dari segi, misalnya, bagaimana makna dibentuk menurut struktur atau tata bahasa. Sementara itu, kajian makna bahasa dalam kaitannya dengan tindak komunikasi akan sangat dipengaruhi, misalnya oleh hubungan antara ujaran atau kalimat dengan konteks situasi tempat kalimat itu terungkapkan. Konteks baik linguistik maupun konteks nonlinguistik memang sangat berperan dalam memaknai suatu teks atau dapat juga disebutkan bahwa suatu bentuk disebut bermakna komunikatif bila berada dalam konteks. Pemahaman tentang deiksis, referensi dan konteks, pengetahuan sebagai konteks, implikatur, dan tindak tutur sangat berperan dan merupakan syarat utama untuk keberhasilan tindak komunikasi berbahasa. Itulah sebabnya penelitian tentang makna dan konteks perlu terus dilakukan, yang kali ini yang terdapat dalam daerah yaitu bahasa Batak Toba.
Makna dan Konteks Dalam Bahasa Batak Toba (Roswita Silalahi) 7
Pembinaan dan pengembangan bahasa‐ bahasa daerah sangat penting karena di samping sebagai pemerkaya kebudayaan nasional, nilai‐nilai kebudayaan tradisional juga diungkapkan di dalam bahasa‐bahasa daerah. Konsep kebudayaan tradisional hanya dapat dimengerti melalui ungkapan bahasa daerah masyarakatnya (Sibarani 2003:1). Karenanya, bahasa daerah harus tetap dipelihara, dibina agar tetap dapat berkembang. Tambahan pula bahwa melalui pasal 36, bab XV, Undang‐ Undang Dasar 1945 jelas mengatakan bahwa bahasa‐bahasa daerah itu akan tetap dihormati dan dipelihara. Salah satu upaya melestarikan eksistensi bahasa‐bahasa daerah itu adalah dengan cara melakukan kajian tentang bahasa‐ bahasa tersebut. Kajian yang simultan tentang bahasa‐bahasa daerah itu dapat menyebarluaskan informasi tentang bahasa‐ bahasa daerah tersebut ke berbagai komunitas di dunia. Dengan berkembangnya bahasa‐ bahasa daerah, maka budaya etnis penutur tersebut akan dikenal dan kemungkinan pengkajian serta pengembangan budaya masyarakat penutur bahasa tersebut akan lebih cepat dilakukan. Suku Batak terdiri atas lima subsuku yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak Dairi, dan Batak Angkola Mandailing. Tiap‐tiap subsuku itu memiliki bahasanya sendiri, yang disebut dengan bahasa Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak Dairi, dan Batak Angkola‐Mandailing. Dalam pemakaian sehari‐hari, istilah Batak sering hanya berasosiasi dengan Batak Toba, baik untuk menyebutkan bahasa maupun sukunya. Anggapan itu sebenarnya kurang tepat karena istilah Batak merupakan milik kelima subsuku tersebut di atas. Bahasa Batak Toba, selanjutnya disingkat BBT, terutama yang digunakan di kabupaten Tapanuli Utara dan kabupaten Toba Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Di samping digunakan di kabupaten tersebut, bahasa itu digunakan oleh sesama suku Batak Toba yang tinggal di daerah lain. Namun, tidak dapat disangkal bahwa sering terjadi kendala‐kendala makna (semantis) di dalam penggunaan bahasa
8
ini sebagai alat komunikasi, terutama ketika bahasa tersebut digunakan oleh generasi muda. Oleh karena itu perlu terus diadakan penelitian semantik BBT, dalam hal ini dibatasi pada kajian semantik leksikal, semantik kalimat, serta makna dan konteks. Dalam penelitian makna dan konteks bahasa Batak Toba ini, diterapkan teori Saeed dalam bukunya Semantics (2000). 1.1 Masalah dan Tujuan Artikel ini membahas tentang bagaimana makna dan konteks dalam bahasa Batak Toba. 1.2 Tinjauan Pustaka Odgen dan Richards dalam bukunya ‘The Meaning of Meaning’ (Odgen dalam Palmer 1977:3) membicarakan makna dengan panjang lebar dan mampu mendaftarkan 22 batasan makna yang berbeda. Fries membagi makna atas 2 bagian yaitu makna linguistik dan makna sosial (kultural) dan selanjutnya membagi makna linguistik atas 2 bagian pula yaitu makna leksikal dan makna struktural. (Fries dalam Tarigan 1987:21). Sibarani (2003:6) menuliskan pembagian makna yaitu: makna leksikal dan makna gramatikal serta makna denotatif dan makna asosiatif, tematik, interpretatif, dan idiomatik. Dapatlah disimpulkan bahwa semantik adalah kajian makna bahasa pada tataran bahasa yang memiliki makna, yaitu kata dan kalimat. Jadi sesuai dengan yang dikajinya, semantik terdiri dari semantik kata (semantik leksikal) dan semantik kalimat (semantik komposisional). Makna semantik adalah makna yang didasarkan pada makna bahasa atau makna komposisional. Pragmatik adalah syarat‐syarat yang mengakibatkan serasi‐tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi (Kridalaksana 1983:137). Yule (1996:3) mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang makna yang dikomunikasikan oleh pembicara (atau penulis) dan diinterpretasikan oleh pendengar (atau pembaca). Menurut Yule, pragmatik meliputi kajian empat bidang, yaitu: (1) Pragmatik lebih banyak melibatkan analisis terhadap apa yang
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005: 7‐18
dimaksudkan pembicara dengan ujaran‐ ujarannya daripada makna kata atau frasa itu sendiri. Karenanya pragmatik adalah kajian tentang makna pembicara; (2) Kajian pragmatik meliputi interpretasi tentang bagaimana interpretasi makna pada konteks tertentu dan bagaimana pula bagian konteks mempengaruhi ujaran‐ujarannya; tentang bagaimana pembicara menyusun apa yang akan disampaikannya kepada petutur, di mana, bilamana, dan pada situasi yang bagaimana. Dalam hal ini pragmatik diartikan kajian tentang makna kontekstual; (3) Pendekatan yang menyelidiki bagaimana pendengar membuat arti terhadap apa yang didengar agar sesuai dengan makna yang ingin disampaikan pembicara. Studi ini menyelidiki bagaimana sesuatu yang tidak diucapkan tetapi merupakan bagian komunikasi. Pragmatik adalah kajian tentang sesuatu yang tidak tertulis (atau diucapkan), tetapi berpengaruh pada komunikasi; (4) Perspektif ini menimbulkan pertanyaan bagaimana menentukan arti terhadap apa yang diujarkan dan yang tidak diujarkan. Jawaban mendasar adalah pada nosi jarak. Hubungan yang dekat, apakah secara fisik, sosial, atau konseptual membuat pengalaman yang sama. Asumsi tentang berapa dekat jarak pembicara dan pendengar menentukan berapa banyak yang perlu diucapkan. Pragmatik adalah kajian ekspresi hubungan jarak. Konteks dapat digunakan untuk menyusun dan menafsirkan makna karena secara alamiah penutur bahasa berbahasa dalam konteks. Konteks dapat membantu kita dalam memaknai atau memahami makna yang tertuang dalam bahasa. Secara umum, konteks yang dimaksudkan adalah konteks linguistik dan konteks nonlinguistik. Konteks yang pertama, konteks linguistik, dapat muncul baik sebelum maupun sesudah kata, frasa, kalimat atau teks atau konteks yang berhubungan dengan konteks tuturan. Sementara itu pada konteks kedua, yakni konteks nonlinguistik, dapat berupa latar belakang sosial, budaya, situasi, dan sebagainya membantu kita dalam memahami makna kata atau frasa tertentu. Konteks juga dibedakan dari segi konteks fisik, psikologi, epistemik.
Makna dan Konteks Dalam Bahasa Batak Toba (Roswita Silalahi)
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa bahasa bermakna bila berada dalam konteks, baik konteks linguistik atau lazim dikenal konteks struktur bahasa maupun konteks nirlinguistik (lepas dari/tanpa struktur bahasa), yakni konteks situasi penggunaan bahasa. Sebagaimana disebut di atas, bahwa kajian makna bahasa yang menitikberatkan pada konteks bahasa disebut semantik bahasa; sedangkan yang menitikberatkan pada situasi penggunaan bahasa disebut pragmatik. Deiksis adalah hal atau fungsi menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk, promina, ketakrifan, dsb. mempunyai fuungsi deiksis (Kridalaksana, 1983:32). Crystal (1989) mengemukakan bahwa setiap bahasa mempunyai seperangkat leksem yang dapat ditafsirkan dengan mengacu pada posisi pembicara di dalam konteks ruang dan waktu. Deiksis adalah ciri‐ciri bahasa yang mengacu secara langsung kepada karakteristik personal temporal atau lokasional. Saeed (2000) membicarakan deiksis, yaitu alat untuk mengacu pembicara di dalam situasi ruang atau tempat, persona, dan sosial yang dimiliki oleh setiap bahasa. Levinson kemudian menambahkan dua kategori deiksis, yaitu deiksis waktu dan deiksis wacana. Nababan (1987) mengkategorikan deiksis atas lima jenis, yaitu deiksis orang, tempat, waktu, wacana, dan sosial. Dari berbagai pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa deiksis adalah kata atau kelompok kata yang menunjukkan atau mengacu kepada kata atau kelompok kata yang sebelumnya atau sesudahnya yang terdapat dalam tuturan berdasarkan ciri‐ciri konteksnya; dan hanya dapat dipahami di dalam kaitannya dengan konteksnya berupa karakteristik personal, temporal, lokasional, wacana, dan sosial. 1.3 Metode Pengumpulan Data dan Metode Analisis Penulis menerapkan metode pengamatan untuk data tertulis dengan mencatat dan menduplikasi dan metode wawancara untuk data lisan. Jadi ada dua jenis
9
sumber data, yaitu data tertulis dan data lisan. Data tertulis diambil dari buku‐buku berbahasa Batak Toba dan data lisan diperoleh dari para informan, yang memenuhi persyaratan yaitu: (i) penutur asli; (ii) umur antara 45‐60 tahun; (iii) masih normal alat ucapnya; (iv) belum pindah atau menetap di daerah lain untuk waktu lama; (v) sehat jasmani dan rohani; (vi) memiliki pengetahuan yang luas tentang bahasa dan kebudayaan Batak Toba. Metode analisis yang diterapkan adalah metode deskriptif dan metode analisis komponen dengan tehnik urai untuk mendeskripsikan dan menguraikan makna dan konteks dalam bahasa Batak Toba. 2. MAKNA SEMANTIK DAN MAKNA PRAGMATIK Semantik adalah studi tentang makna bahasa. Begitu banyak makna yang dapat ditemukan di mana‐mana sehingga perlu ditegaskan bahwa hanya makna yang dikomunikasikan melalui bahasa yang dipelajari dalam semantik. Sayangnya, makna mencakup berbagai aspek bahasa, dan belum ada kesepakatan apakah yang dimaksud dengan makna atau bagaimana makna dideskripsikan. Tidak ditemukan kesepakatan tentang pengertian makna karena makna dilihat dari pandangan yang berbeda‐beda. Pendekatan referensial melihat makna kata sebagai objek yang dituju oleh kata itu. Pandangan konseptual menganggap makna kata merupakan konsep, ide, gagasan yang berhubungan dengan kata itu. Teori komponensial berpendapat bahwa makna kata terdiri dari sejumlah fitur semantik Secara umum semantik dapat didefinisikan sebagai kajian makna dalam bahasa atau kajian makna kebahasaan. Kajian makna bahasa tentu dapat dila kukan dari berbagai segi, misalnya, ahli filsafat akan mengkaji makna bahasa dari segi hubungan antara kata dengan benda atau peristiwa di alam semesta. Ahli bahasa akan mengkaji makna dari segi, misalnya, bagaimana makna dibentuk menurut struktur atau tata bahasa. Sementara itu, kajian makna bahasa dalam kaitannya dengan tindak komunikasi lisan akan
10
sangat dipengaruhi, misalnya oleh hubungan antara ujaran atau kalimat dengan konteks situasi tempat kalimat itu terungkapkan. John I Saeed (2000:18) mengatakan bahwa makna semantik adalah makna yang didasarkan pada makna bahasa atau komposisional, sedangkan makna pragmatik merupakan makna yang disusun dan ditafsirkan melalui konteks. Konsep pemakaian bahasa dibatasi sebagai segala sesuatu yang berada di luar teks atau pemakaian bahasa. Kedua jenis makna ini juga didapati dalam bahasa Batak Toba. Contoh makna semantik: 1. Unang parsigundal horbonghi! jangan menunggang kerbauku‐itu ‘Jangan tunggangi kerbauku itu’ 2. Aha ma boi diula ibana? Apa P bisa dikerjakan dia ‘Apa yang bisa dia kerjakan? Contoh makna pragmatik: 1. Situasi: Satu keluarga sedang menonton TV di ruang keluarga. Lalu si ayah berkata kepada putrinya: Adong do pe tes ta? Ada masih teh kita ‘Masih ada teh kita ?’ Bentuknya pertanyaan, tetapi maknanya adalah menyuruh putrinya mengambilkan teh untuk sang ayah. 2.Situasi: Ada pesta adat perkawinan di gedung. Ketika kedua belah pihak akan memulai perundingan, lalu protokol akan mengatakan kepada ibu‐ibu: Mardemban jolo hamu inang Bersirih dulu kamu ibu ‘Silakan para ibu bersirih’ Makna kalimat di atas bukanlah menyuruh para ibu untuk bersirih, tetapi supaya tenang dan diam. 3.Situasi: Si ibu, seorang janda, melihat anak lajangnya masih duduk‐duduk bermalas‐malasan di rumah dalam keadaan sehat, belum berangkat menjalankan tugas sebagai supir
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005: 7‐18
penumpang umum mobilnya sendiri. Mobil masih belum dibereskan, parkir di depan rumah. Lalu si ibu berkata pada anaknya: Ndang mardalan motor i? Tak jalan motor itu ‘Tak berjalankah mobil itu?’ Makna kalimat di atas bukanlah bertanya si anak, tetapi menyuruh anaknya agar segera bekerja membawa mobil, mencari penumpang. 3. DEIKSIS Deiksis adalah kata atau kelompok kata yang mengacu kepada kata atau kelompok kata yang sebelumnya atau sesudahnya, di dalam tuturan berdasarkan ciri‐ciri konteksnya, yang hanya dapat dipahami dalam konteksnya, berupa karakteristik personal, temporal, lokasional, wacana, dan sosial. Pembahasan deiksis di sini disesuaikan dengan jenis deiksis yang terdapat dalam buku Saeed (2000) yaitu tentang deiksis tempat atau spasial, persona, dan sosial dalam bahasa Batak Toba. 3.1 Deiksis Tempat Pembicara menempati titik referensi: sesuatu yang dekat dengannya dideskripsikan dengan on / di son / tu son ‘ini / di sini / ke sini’, sesuatu yang jauh darinya dideskripsikan dengan an / di san / di si/ tu san / di sadui / ‘itu / di sana / di situ / ke situ / di sana’. Di samping pembagian lokalisasi, penggunaannya harus dikalkulasi oleh partisipan pada konteks yang tepat, misalnya seberapa luas atau besar lokasi atau tempat dapat disebut dengan on / di son / tu son/ , an / di si /di san / tu san /di sadui tergantung konteks: pembicara dapat memakai kata on / di son mengacu kepada negara, kota, ruangan, dan lain‐lain, malah boleh saja tidak mengacu ke lokasi langsung, tetapi hanya lokasi di dalam peta; juga dapat mengacu ke objek abstrak seperti kata dan lain‐lain. Kata on / an sebagai kata penunjuk yang biasanya didahului atau mendahului nomina; sedangkan kata di son /di si 3.2 Deiksis Persona Deiksis persona adalah kata atau kelompok kata yang mengacu kepada kata atau
Makna dan Konteks Dalam Bahasa Batak Toba (Roswita Silalahi)
/tu son / di san/ tu san menunjukkan tempat atau lokasi. Contoh: 1. Lehon jolo surat on tu ibana Beri dulu surat ini kepada dia ‘Berikan dulu surat ini kepadanya’ 2. On do dohononku: ”Burju‐burju hamu marsikkola” ini P katakan ku baik‐baik kalian bersekolah ‘Inilah pesanku: “Baik‐baik kalian belajar” 3. Manganma jo hita di lapo on Makanlah dulu kita di kedai ini ‘Mari makan dulu kita di kedai ini’ 4. Beta tu lapo an Ayo ke kedai itu ‘Ayo ke kedai itu’ 5. Di jabu an do nasida marpungu Di rumah itu P mereka berkumpul ‘Mereka berkumpul di rumah itu’ 6. Di son ma jolo ho satongkin Di sini P dulu kau sebentar ‘Kau tunggu dulu sebentar di sini’ 7. Di son do anon hita marrapot Di sini P nanti kita berrapat ‘Kita nanti rapat di sini’ 8. Di san do nasida paimahon hita Di sana P mereka menunggu kita ‘Mereka menunggu kita di sana’ 9 Boasa dang togihononmuna ibana tu son? Kenapa tidak diajak kamu dia ke sini? ‘Mengapa dia tidak kalian ajak ke sini?’ 10. Boan anggimi tu sadui marmeam Bawa adikmu ke sana bermain ‘Bawa adikmu bermain‐main ke sana’ 11. Nungnga loja hami tu san tu son mangalului baju na Sudah capek kami ke sana ke mari mencari baju nya ‘Kami sudah capek ke sana ke mari mencari bajunya’ 12. Tarleleng do au di si paimahon Agak lama P aku di situ menunggu ‘Saya agak lama di situ menunggu’
kelompok kata peran atau peserta dalam peristiwa berbahasa. Dalam BBT, sistem gramatikal deiksis lainnya adalah peranan
11
partisipan: pembicara, pendengar, dan yang lain, yang digramatikalisasi dengan pronomina atau kata ganti, sebagai berikut: Au, iba sebagai kata ganti orang pertama tunggal. Hami sebagai kata ganti orang pertama jamak. Ho sebagai kata ganti orang kedua tunggal. Hamu sebagai kata ganti orang kedua tunggal, lebih formal. Hamu sebagai kata ganti orang kedua jamak. Ibana sebagai kata ganti orang ketiga tunggal. Nasida sebagai kata ganti orang ketiga tunggal, lebih formal. Nasida sebagai kata ganti orang ketiga jamak. Contoh: 1. Au do na ro tu jabum nantoari Aku P yang datang ke rumahmu semalam ‘Aku datang ke rumahmu semalam’ 2. Tarleleng do iba di si paimahon Agak lama P aku di situ menunggu ‘Saya agak lama di situ menunggu’ 3. Marborngin do ho di jabu ni tulangmi? Bermalam P kau di rumah pamanmu? ‘Apakah kau menginap di rumah pamanmu? 4. Santabi, taruhon hamu jolo tandok on Maaf, antar kamu dulu sumpit pandan ini ‘Maaf, tolong antarkan dulu sumpit pandan ini’ (dalam hal ini meminta tolong secara halus kepada orang kedua tunggal yang dihormati tuturnya) 5. Hami pe mamboan barangmi haduan Kami P membawa barangmu besok lusa ‘Kami membawa barangmu besok lusa’ 6. Unang gabusihamu dirimuna Jangan bohongi kalian diri kalian ‘Jangan kalian bohongi diri kalian’ 7. Lehon jolo panggu on tu ibana Berikan dulu cangkul ini kepada dia ‘Berikan dulu cangkul ini kepadanya’ 8. Borhat do nasida tu Kalimantan nuaeng Pergi P beliau ke Kalimantan sekarang ‘Beliau berangkat ke Kalimantan sekarang’
12
(nasida sebagai kata ganti orang ketiga tunggal yang halus, kepada seseorang yang dihormati baik dari sisi tutur, maupun jabatannya) 9. Unang dongani hamu nasida Jangan kawani kalian mereka ‘Jangan kalian temani mereka’ 10. Andigan nasida ro? Kapan mereka datang? ‘Kapan mereka datang? 3.3 Deiksis Sosial Sistem pronomina beberapa bahasa secara gramatikal memberi informasi tentang identitas sosial atau hubungan partisipan dalam pembicaraan, yang disebut dengan deiksis sosial (Levinson dalam Saeed 2000:179). Hal ini terlihat jelas pada beberapa bahasa Indo‐ Eropah, membedakan pronominal ‘biasa/umum’ dengan ‘sopan/khusus’ seperti tu / vous dalam bahasa Perancis, tu / usted dalam bahasa Spanyol dan du / sie dalam bahasa Jerman. Penutur bahasa‐bahasa tersebut sepakat mengungkapkan perhitungan mereka tentang sebutan kepada yang relatif ‘dekat’ atau ‘jauh/ formal’ terhadap petuturnya. Beberapa bahasa di Asia juga mempunyai sistem untuk menggramatikalisasi hubungan sosial seperti bahasa Jepang, Korea, Bali. Dalam bahasa Batak Toba, dikenal pronomina hamu ‘kamu’ dan nasida ‘beliau’ kepada seseorang yang disegani, dihormati, dituakan baik dari segi tutur, umur maupun jabatannya. Hamu ‘kata ganti orang kedua tunggal yang digunakan kepada: lae, bao, tulang, Nantulang, mertua, hela, parumaen (oleh mertua laki‐laki), anggi boru, Haha doli, dan seseorang yang lebih tua dan disegani. Nasida ‘kata ganti orang ketiga tunggal bila yang dimaksud adalah: lae, bao, tulang, Nantulang, mertua, anggi boru, hela. Lae ‘ipar’ (bagi ego laki‐laki—istilah kekerabatan bagi laki‐laki) yaitu suami saudari, putra saudari‐ayah, putra saudara‐ibu, mertua laki‐ laki putra, mertua laki‐laki putri, saudara istri, laki‐laki marga lain.
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005: 7‐18
Amang Bao (bagi ego perempuan—istilah kekerabatan bagi laki‐laki) yaitu suami saudari‐ suami, mertua laki‐laki putri. Inang Bao (bagi ego laki‐laki—istilah kekerabatan bagi perempuan) yaitu istri saudara‐istri, mertua perempuan putra. Tulang ‘paman’—saudara ibu Nantulang ‘tante’—istri saudara‐ibu Anggi boru (bagi ego laki‐laki—istilah kekerabatan bagi perempuan ) yaitu istri adik laki‐laki. Haha doli (bagi ego perempuan—istilah kekerabatan bagi laki‐laki) yaitu abang suami. Hela ‘menantu laki‐laki’. Parumaen’menantu perempuan’ 4. REFERENSI DAN KONTEKS Referensi adalah hubungan antara referen (unsur luar bahasa yang dirujuk oleh unsur bahasa) dengan lambang yang dipakai untuk mewakilinya (Kridalaksana 1983:144). Lyons dalam Brown&Yule (1996) mengatakan bahwa hubungan yang ada antara kata‐kata dan barang‐barang adalah hubungan referensi. Referensi yang berhasil tergantung kepada bagaimana pendengar mengidentifikasikan referen yang dimaksudkan penutur, berdasarkan ungkapan referensial yang dipakai, dengan tujuan memehami pesan bahasa yang berlangsung. Anggapan adanya pengalaman umum yang sama mengenai dunia, adat kebiasaan budaya, kesadaran akan konteks dan kebiasaan‐kebiasaan komunikatif merupakan sebagian dari ciri‐ciri yang relevan. Pendengar sendiri umumnya juga akan menganggap bahwa penutur bekerja dengan anggapan‐ anggapan itu dan akan mendasarkan identifikasi referen yang dimaksudkan pada tafsiran ungkapan (atau tanda) bahasa yang konsisten dengan ciri‐ciri yang merupakan
Makna dan Konteks Dalam Bahasa Batak Toba (Roswita Silalahi)
dasar dunia yang diciptakan oleh pengembangan realisasi wacananya. Saeed (2000) menuliskan bahwa banyak referensi tergantung pada konteks, bersama dengan pertimbangan si penutur dan petutur. Ekspresi deiktik juga telah dipelajari secara luas dan tergantung pada konteks sebagai bagian khusus bahasa. Clark mengajukan contoh short hands ‘bentuk singkat’ sebagai referensi. Lebih jelasnya, terlihat dari kalimat‐kalimat dalam bahasa Batak Toba di bawah ini. Contoh: 1. Tuhor jo bintang i Beli dulu bintang itu ‘Beli dulu bir bintang itu’ Situasi: Ada acara pesta adat batak, si penutur menyuruh petutur membeli bir merk bintang. Tetapi cukup mengatakannya dengan bintang saja, sebagai bentuk singkatnya, karena Situasi, tempat, sudah sesuai serta penutur dan petutur paham maksudnya. 2. Tajaloma dekke sian hula‐hula Kita mintalah ikan dari hula‐hula ‘Mari kita terima ikan mas dari hula‐hula’ ( hula‐hula ‘marga dari pihak istri’) Situasi: Pada suatu pesta adat, rombongan hula‐ hula membawa ikan mas yang ‘di arsik’, masakan khas ikan mas untuk adat, dan ikan itu tidak dipotong, utuh per ekor dan harus diserahkan dulu dengan menghadapkannya ke pihak penerima yaitu boru ‘marga yang mengawini putri’, dengan jumlah ganjil. Cukup dengan bentuk singkat dekke, tetapi masyarakat Batak paham akan apa yang dimaksudkan. Bentuk singkat ini terkadang dikelompokkan ke dalam kelompok retorikal (sistem dan penyelidikan mengenai alat‐alat stilistis ragam bahasa resmi), metonimi (pemakaian nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi attributnya), dan sinekdoki (bentuk referensi di mana sebagian digunakan untuk menyatakan keseluruhan). Contoh bentuk sinekdoki: Situasi: Terjadi gempa di suatu kabupaten, misalnya di daerah kabupaten Tapanuli Utara,
13
sehingga hampir seluruh penduduk kabupaten mengungsi, tetapi diucapkan dengan kata saluat ’sekampung/sedesa’ saja, mewakili satu kabupaten. Na saluat on mangungsi alani lalo Yang sekampung mengungsi karena gempa ‘Seisi kampung/desa mengungsi karena gempa’ Deskripsi nonformal Referensi Manusia berbicara tentang objek fisik, wujud abstrak, tempat, negara, peristiwa yang terjadi pada waktu lampau, saat ini, dan yang diprediksi terjadi pada hari yang akan datang. Mereka yang berbicara tentang hal‐hal yang mungkin kalau dunia ini berbeda atau dibayangkan berbeda, juga tentang fiksi, dan lain‐lain yang tidak pernah ada. Referensi sebagai ekspresi yang digunakan dalam ujaran suatu bahasa adalah apa yang penutur sedang bicarakan ketika menggunakan ekspresi itu dalam ujaran, misalnya si penutur merujuk pada wujud, peristiwa dan waktu tertentu dalam dunia nyata dan waktu ketika penutur mengujarkannya. Jadi referensi/perujukan adalah sesuatu yang penutur lakukan dan sangat berhubungan erat dengan makna penutur. 5. PENGETAHUAN SEBAGAI KONTEKS Pengetahuan tentang sesuatu konteks dalam berkomunikasi merupakan hal yang mutlak harus dimiliki oleh penutur dan petutur. Penutur harus mampu menaksir atau menduga bahwa dia memiliki referensi yang sama dengan petutur tentang topik pembicaraan. Apabila mereka memiliki referensi yang berbeda, akan terjadi kegagalan berkomunikasi. Saeed (2000:180) mengatakan bahwa seorang penutur harus mampu mengestimasi referensi yang diketahui petutur tentang wujud (entity) yang sedang dikomunikasikan. Hymes dalam Brown&Yule (1996:38) mulai memerinci cirri‐ciri konteks yang mungkin relevan dengan identifikasi tipe peristiwa bahasa dengan cara menangani lebih
14
dahulu orang‐orang yang turut dalam peristiwa bahasa (sesuai pendapat Firth). Dengan membuat generalisasi atas peristiwa‐peristiwa bahasa, ia memisahkan dan meringkas peranan‐ peranan penutur dan petutur. Pengetahuan tentang penutur pada peristiwa komunikatif tertentu memungkinkan penganalisis membayangkan apa yang mungkin akan dikatakan oleh penutur tersebut. Pengetahuan tentang petutur, lebih lanjut, justru membatasi ekspektasi (harapan) penganalisis. Jadi, jika kita mempunyai pengetahuan tentang penutur dan petutur, ekspektasi kita akan berbeda mengenai macam bahasa yang akan diucapkannya, baik berkenaan dengan bentuk maupun isi. Jika selanjutnya kita tahu apa yang dibicarakan (topik), mendapat informasi tentang latar yaitu berdasar situasi peristiwa pada tempat dan waktu, dan berdasarkan hubungan‐hubungan fisik orang‐orang yang berinteraksi berkenaan dengan sikap tubuh, gerakan tangan, dan air muka, hal itu semua akan membatasi ekspektasi kita. Hymes menambahkan ciri‐ciri konteks meliputi ciri‐ciri berskala besar seperti saluran, kode, bentuk pesan, dan peristiwa. Dalam resensi‐resensi kemudian beliau menambahkan lagi ciri‐ciri lain, seperti kunci dan tujuan sebagai hasil peristiwa komunikatif. Ada tiga peranan pengetahuan yang diestimasi agar komunikasi dapat berjalan dengan baik, yaitu: a. melalui konteks fisik b. karena pengetahuan itu sudah disebutkan sebelumnya c. pengetahuan itu sudah diketahui sebagai latar belakang dan pengetahuan umum Wacana dapat juga sebagai konteks. Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis (Tarigan, 1993:27). Partisipan akan mengalami kesulitan untuk memahami kalimat Si Anna do mambaen i , karena wacana yang menjadi konteks pengetahuan diisolasi, namun apabila wacana kalimat tersebut diberikan
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005: 7‐18
lengkap, penutur dan petutur akan dapat memahaminya, seperti berikut ini. A: Ise do mangaloppa lappet on? Siapa P memasak lepat ini ‘Siapa yang memasak lepat ini?’ B: Si Anna do mambaen i Si Anna P membuat itu ‘Si Anna yang masak itu’ Jelaslah, pengetahuan sebagai konteks memang merupakan keharusan demi keberhasilan komunikasi. Di samping latar belakang pengetahuan sebagai konteks yang sangat diperlukan, seperti yang diterangkan di atas, Saeed (2000) menambahkan bahwa setiap komunitas harus memiliki latar belakang pengetahuan yang sama tentang sesuatu masalah yang dibicarakan, agar terjalin interaksi dalam berkomunikasi. Setiap komunitas memiliki cara tersendiri dalam menyatakan pendapatnya, ada yang langsung dan ada pula secara tidak langsung. Berikut ini beberapa contoh yang tidak langsung. A: Male au Lapar aku ‘Aku lapar’ b: Na hepeng on Nah uang ini ‘Terima uang ini’ Dari dialog di atas disimpulkan bahwa latar belakang pengetahuan membuat pemahaman adanya hubungan ‘lapar’ dengan ‘uang’, karena uang dapat dipertukarkan dengan makanan di kedai; walau di kamus tidak terdapat hubungan makna seperti itu. Saeed (2000) menambahkan bahwa ujaran yang dipahami dengan melakukan inferensi adalah latar belakang pengetahuan sebagai konteks, yang berguna untuk memahami komunikasi antara penutur dan petutur. Contoh: A: Nga male au bah Sudah lapar aku bah ‘Aku sudah lapar’ B: Beta tu lapo an Ayo ke kedai itu ‘Mari kita ke kedai itu’
Makna dan Konteks Dalam Bahasa Batak Toba (Roswita Silalahi)
Kata male pada kalimat di atas, di respon dengan beta tu lapo an, menunjukkan bahwa latar belakang pemahaman mereka tentang makna kata male dan tu lapo an sama yang merupakan inferensi bahwa kata tu lapo an bermakna dapat makanan. 6. INFERENSI Yang dimaksud dengan inferensi ialah setiap kesimpulan yang dapat digambarkan dari satu kalimat atau ujaran. Adakalanya penganalisis wacana, seperti pendengar, tidak dapat langsung memahami arti yang dimaksudkan penutur ketika mengucapkan ujaran, sering ia harus mengandalkan usaha menarik kesimpulan untuk dapat menafsirkan ujaran‐ujaran atau hubungan antar‐ujaran. Inferensi‐inferensi seperti itu ternyata bermacam‐macam. Mungkin kita dapat menarik kesimpulan tertentu melalui inferensi deduktif atau bentuk inferens yang agak longgar. Seperti apa yang dituliskan dalam sub‐ bab sebelumnya, setiap perikutan adalah inferensi, tetapi tidak setiap inferensi dapat dikatakan sebagai perikutan. Implikatur yang tergolong inferensi adalah yang berbeda dengan perikutan. Inferensi ini dapat dikatakan sebagai pengetahuan tentang sejauh mana si petutur dapat mengerti akan ujaran si penutur dalam konteks percakapan tertentu. Inferensi dan anafora berkaitan, di mana anafora merupakan bagian inferensi. Anafora adalah (1) pengulangan bunyi, kata, atau struktur sintaksis pada larik‐larik atau kalimat‐kalimat yang berurutan untuk memperoleh efek tertentu; (2) hal atau fungsi menunjuk kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana (yang disebut anteseden) dengan pengulangan atau dengan substitusi (Kridalaksana 1983:10). Berikut contoh inferensi dan anafora dalam bahasa Inggris: a. I felt down a hole yesterday. The hole was very deep. b. I looked into the room. The ceiling was very high. c. John went walking out at noon. The park was beautiful
15
Penutur dan petutur di atas sudah mengetahui makna referensi yang memakai kata the. Pengetahuan dan latar belakang pengetahuan penutur dan petuturlah yang memungkinkan dapat terjadi inferensi. Contoh dalam BBT: 1. A: Nungnga dilehon ho hepeng i tu nantulangmi? Sudah diberikan kau uang itu kepada nantulang‐mu ‘Sudah kau berikan uang itu sama nantulangmu?’ B: Ndang mulak dope nantulang i Tidak pulang belum nantulang itu ‘Nantulang itu belum pulang’ Inferensinya ialah B belum memberikan uang itu kepada nantulangnya. 2. A: So huboto di dia jabu nasida Tidak kutahu di mana rumah mereka ‘Aku tak tahu di mana rumah mereka’ B: Huaruhon pe ho tu si Kuantar pun kau ke sana ‘Kau akan kuantar ke rumah itu’ Inferensinya ialah B mengantarkannya ke rumah mereka. 7. KESIMPULAN 1.Kajian semantik sangat penting dalam penelitian bahasa Batak Toba dan bahasa lainnya karena peranan makna sangat besar dalam penentuan unsur‐unsur linguistik dan dalam fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. 2.Makna semantik dan makna pragmatik sering dipergunakan dalam BBT, walaupun suku Batak bertendensi lebih suka berterus terang, ternyata masih banyak kalimat dengan makna pragmatik. 3.Deiksis ada tiga macam yaitu deiksis tempat, persona dan deiksis sosial. 4.Pemahaman tentang referensi dan konteks, pengetahuan sebagai konteks, inferensi, sangat diperlukan, terbukti dari banyaknya tindak komunikasi yang memerlukan pengetahuan tentang hal‐hal tersebut di atas demi suksesnya suatu komunikasi.
16
5.Kajian semantik sangat penting dalam penelitian bahasa Batak Toba dan bahasa lainnya karena peranan makna sangat besar dalam penentuan unsur‐unsur linguistik dan dalam fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. 6.Makna semantik dan makna pragmatik sering dipergunakan dalam BBT, walaupun suku Batak bertendensi lebih suka berterus terang, ternyata masih banyak kalimat dengan makna pragmatik. 7. Deiksis ada tiga macam yaitu deiksis tempat, persona, dan deiksis sosial. 8. Pemahaman tentang referensi dan konteks, pengetahuan sebagai konteks, inferensi, sangat diperlukan, terbukti dari banyaknya tindak komunikasi yang memerlukan pengetahuan tentang hal‐hal tersebut di atas demi suksesnya suatu komunikasi . DAFTAR PUSTAKA Allan, Keith. 1986. Linguistic Meaning. London: Routledge and Kegan Paul. Allan, Keith. 2001. Natural Language Semantics. Oxford: Blackwell. Alwi, Hasan. 1992. Modalitas Dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 1999. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Austin. 1965. How to Do Things with Words. Cambridge: Harvard University Press. Baldinger, Kurt. 1980. Semantic Theory: Towards a Modern Semantics. Oxford: Basil Blackwell. Brown, G. 1996. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Brown and Yule. 1983. Analisis Wacana. (Terjemahan) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Chaer Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 2002. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Cruse, D.Alan. 1991. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. Crystal, Dound. 1986. The Cambridge Encyclopedia of Language.
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005: 7‐18
Faller, Martina T. 2002. Semantics and Pragmatics of Evidentials in Cuzco Quechea. Disertasi (Tidak diterbitkan). Filmoere. 1997. Pragmatic and Description of Discourse. Munchen: Willhem Fink Verlag. Fromkin V. Et al. 1983. An Introduction to Language. Sydney: Holt, Rinehart and Winston. Halin, Amran. 1976. Bahasa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Halliday, M.A.K. 1975. Learning How to Mean: Explorations in the Development of Language. London: Edward Arnold. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 1978. Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. London: Edward Arnold. Harimurti Kridalaksana. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Kamus Besar bahasa Indonesia, ed.kedua. 1995. Jakarta: Depdikbud. Kaswanti, Purwo Bambang.2000. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Katz Jerrold J. 1972. Semantic Theory. New York: Harper & Row. Kearns, Keith. 2000. Semantics. New York: Macmillan. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Leech Geoffrey. 1993. Prinsip‐prinsip Pragmatik (Terjemahan). Jakarta: Universitas Indonesia. Lyons, John. 1977. Linguistic Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Departemen P&K. Palmer. 1977. Semantics: A New Outlina. Cambridge: Cambridge University Press. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Purba, Antilan. 2000. Semantics. Oxford: Blackwell. Palmer, F.R. 1977. Semantics: A New Outline. Great Britain: Cambridge University Press.
Makna dan Konteks Dalam Bahasa Batak Toba (Roswita Silalahi)
Purba, Artilan. 2002. Pragmatik Bahasa Indonesia. Medan: USU Press. Saeed, John. 2000. Semantics. Oxford: Blackwell Publishers Ltd. Sandayana, W dan Aziz, A. 2003. Semantics. Jakarta: Universitas Terbuka (Modul 1‐ 6). Saragih, Amrin. 2003. Bahasa Dalam Konteks Sosial. Medan: PPs USU. Saussure, Ferdinanad de. 1974. Course in General Linguistics. New York: McGraw Hill Book. Seaton, Brean. 1992. A Hand Book of English Teaching: Term and Practice. Sibarani, Robert. 2003. Semantik Bahasa Batak Toba. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Sibarani , Robert. 1997. Sintaksis Bahasa Batak Toba. Medan: USU Press. Simatupang, Maurits D.S. 2000. Pengantar Teori Terjemahan. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. Sinaga, Richard. 1994. Kamus Batak Toba – Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Utama. Siregar, Bahren Umar. 2002. Pemerolehan Tindak Tutur dan Siasat Kesantunaan: Suatu Ancangan Teoritis. Audio Kultura No.2 Tahun I Agustus. Medan: USU Press. Soemarmo, Marmo. 1988. Pragmatik dan Perkembangan Mutahirnya. Dalam Dardjowidjojo, S. (ed.), PELLBA I (hal. 157‐215). Jakarta: Lembaga Bahasa UNIKA Atmajaya. Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana Universitas. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana Universitas. Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 1993. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa. Verhaar J.W.M. 1978. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 2001. Asas‐Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Wahab Abdul. 1995. Teori Semantik. Surabaya: Airlangga University Press.
17
Warneck J. 2001. Kamus Batak Toba Indonesia. Medan: Bina Media. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar‐Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi. Yule, George. 2000. Pragmatics. New York: Oxford University Press.
18
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005: 7‐18