REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS PADA TAHUN 2011-2015 Hanan Rananta Arbi
Abstract Islamophobia is an excessive feeling of fear towards Muslims. This tendency has been emerged in the Europe for a long term of period which then trigger the emergence of discrimination toward Muslim community that lived in that region. Although the contact between European and Islam civilization has been occur even before the appearing of nationstate concept, yet this situation is not capable to prevent the different treatment to the Muslim imigrant in almost every sector. This Islamophobia was becoming obvious after the bombing incident that destroy the World Trade Center Buliding in 2001. The radical incident which behalf in the name of Islam then increase the abusive activity both physically and verbally towards Muslim. European Union as the regional institution, by all means, its policy is being influenced by the political situation in the member states. The emerging of Islamophobia in the member states, especially in France pushed the European Union to create policy alike. This paper will give explanation regarding response of European Union towards Islamophobia and the influence of this negative stereotype to the Muslim community.
Keywords: Islamophobia, European Union, Immigration,Terrorism
Pendahuluan Ajaran Islam di Eropa telah masuk dan berkembang sejak berabad-abad yang lalu. Diawali oleh penaklukan negara Andalusia pada tahun 756-1492 di Semenanjung Iberia, dan kemudian melalui Sisilia, serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah pada tahun 1389. Kehadiran Islam di Eropa kemudian berlanjut melalui imigrasi umat Islam dari negara-negara Islam ke Eropa pasca Perang Dunia Kedua. Walaupun masyarakat Eropa mayoritas memeluk ajaran agama non Islam, namun perkembangan Islam di Eropa sendiri terbilang cukup pesat. Namun demikian, hingga saat ini penduduk yang beragama Islam masih menjadi minoritas di tanah Eropa. Pasca Perang Dunia Kedua yang telah meluluh lantahkan sebagian besar negaranegara di Eropa, pembangunan di Eropa membutuhkan tenaga pekerja dari luar Eropa untuk membangun kembali infrastruktur negara mereka yang telah hancur. Negara-negara di wilayah Eropa Barat mempekerjakan para pekerja dari negara-negara yang mayoritas berpenduduk dan berbudaya Islam, seperti Aljazair, Maroko, India, dan juga Turki. 1 Para pekerja asing ini semakin hari semakin besar jumlahnya, bahkan tidak jarang diantara mereka yang hidup hingga berkeluarga di tempat mereka bekerja. Sebagian besar pekerja asing beserta keluarga kurang bisa membaur dengan kebiasaan dan kebudayaan asli negara tempat 1
Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Hlm. 110. 2008.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS mereka bekerja. Hal ini tidak jarang menyebabkan konflik di masyarakat yang berujung pada kerusuhan dan kekerasan. Kejadian-kejadian seperti ini yang semakin memupuk stigma negatif terhadap Islam. Sentimen terhadap Islam inilah yang sering disebut dengan Islamophobia. Istilah Islamophobia sendiri adalah perasaan ketakutan atau kebencian terhadap Islam, orang-orang yang memeluk ajaran Islam, maupun budaya Islam. 2 Istilah Islamophobia muncul pertama kali pada tahun 1922 dalam sebuah essai yang berjudul L’Orient vu del’Occident karya Etienne Dinet, seorang tokoh orientalis asal Perancis. Seiring berkembangnya waktu, pada sekitar tahun 1990-an Islamophobia dijadikan sebuah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan perlakuan diskriminatif yang diterima oleh umat Islam di wilayah Eropa Barat. Walaupun definisi dari istilah Islamophobia masih menjadi perdebatan, namun secara garis besar memiliki maksud dan makna yang mengarah pada suatu keseragaman mengenai terbentuknya ideologi atau sebuah pemikiran ketakutan yang dianggap tidak wajar terhadap Islam. Perasaan ketakutan inilah yang menjadi akar dari pemikiran yang menganggap bahwa seluruh kaum muslim atau pemeluk agama Islam merupakan pengikut fanatik ajarannya, yang mempunyai potensi untuk melakukan kekerasan terhadap orang yang tidak menganut ajaran Islam dan juga meyakini bahwa ajaran Islam menolak nilai-nilai seperti toleransi antarumat, belas kasihan, bahkan demokrasi. 3 Pada tahun 2001 di Amerika Serikat terjadi peristiwa 9/11 yang telah memberikan dampak buruk terhadap citra Islam di dunia Barat. Tindakan radikal ini tidak hanya membuat kerugian kepada kelompok garis keras. Lebih lanjut, terorisme dan radikalisme menyebabkan meningkatnya Xenophobia di Eropa terhadap Islam. Hingga saat ini, Islamophobia masih terus berkembang di Eropa. Pelarangan pembangunan menara Masjid di Swiss menjadi pemicu berkembangnya hal serupa.4 Hal ini tentu memberikan dampak yang negatif terhadap kebebasan beragama bagi umat muslim di benua tersebut. Di kawasan Eropa, Islamophobia bukanlah sebuah fenomena baru. Sekitar semenjak abad delapan masehi gejala kebencian terhadap Islam telah muncul di Eropa, dan hingga saat ini telah berkembang dalam berbagai bentuk. Namun fenomena Islamophobia di Eropa kian hari kian menjadi lebih kompleks semenjak tragedi 9/11 yang terjadi di Amerika Serikat, Bom Bunuh Diri di London, Inggris pada 7 Juli 2005, Bom Bunuh Diri di Spanyol, serta pembunuhan politikus Belanda, Pim Fortuyn oleh seorang warga Belanda keturunan Maroko. Ketika beberapa tragedi teror mulai menyebar di Eropa, masyarakat Eropa mulai kembali terprovokasi untuk memandang Islam dengan penuh ketakutan dan kecurigaan. Beberapa kalangan yang tidak bertanggung jawab yang mayoritas berasal dari kelompokkelompok kanan konservatif seperti beberapa partai politik semisal Barisan Nasional Perancis (French National Front), Partai Nasional Inggris (British National Party) dan Partai Pim Fortuyn List Belanda menjadikan isu-isu teror tersebut sebagai isu politik mereka sehingga semakin menciptakan prasangka buruk serta ketakutan terhadap orang-orang Islam. 5 Sentimen terhadap Islam kerap dijadikan sebagai alat untuk memperoleh simpati dan dukungan dari para simpatisan partai-partai tersebut. Indikasi mengenai penyebaran Islamophobia di Eropa, terutama di Eropa Barat, telah diperkuat oleh adanya laporan dari The European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia (EUMC), sebuah LSM pemantau Uni Eropa, mengenai “Laporan Islamophobia 2
Muhammad Qobidl „Ainul Arif. Politik Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen Anti-Islam Dalam Isu Keanggotaan Turki. Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 1. 2014. 3 Daniel Norman. Islam and West, the Making of an Image. Scotland: Edinburgh University Press. Vide. 1980. 4 Okezone. 20 April, 2010. “Belgia Larang Penggunaan Cadar.” http://international.okezone.com/read/2010/04/01/18/318365/belgia-larang-penggunaan-cadar, diakses 17 Juni 2015 pukul 19:45 WIB, Surakarta. 5 „Ainul Arif. Op. Cit. Hlm. 2.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS di UE pascatragedi 9/11.”6 Dalam laporan tersebut disampaikan bahwa kondisi yang kurang menguntungkan sedang dialami oleh kaum muslim minoritas di Eropa. Bukti-bukti mengenai merebaknya Islamophobia di Eropa serta pengucilan terhadap komunitas muslim di Eropa yang mengarah terhadap radikalisasi semakin meningkatkan perdebatan di Uni Eropa. 7 Salah satu negara Eropa Barat yang memiliki sentimen negatif terhadap Islam ini adalah Perancis. Meskipun Islamophobia di Perancis ini sudah tumbuh sepanjang sejarah, namun peristiwa pengeboman World Trade Center pada 11 September 2001 menjadi salah satu isu yang memicu munculnya Islamophobia dalam bentuk aksi. Pasca peristiwa 9/11 tersebut Islam di Perancis mengalami perlakuan rasisme hampir di semua sektor sosial. 8 Hal ini dapat dilihat dari data, bahwa dari tahun 2001 hingga 2004, terdapat banyak sekali penyerangan yang dilakukan terhadap tempat ibadah Islam. Lebih jauh lagi, berbagai website yang mengumandangkan anti-Islam pun mulai bermunculan di lingkungan masyarakat Perancis. Sejalan dengan berbagai aksi pengrusakan Masjid, jumlah penyerangan terhadap individu pun juga semakin meningkat, terutama terhadap para perempuan yang menggunakan hijab. Fenomena ini kemudian disebut sebagai hijabophobia. 9 Bahkan bagi masyarakat Perancis sendiri, hijab merupakan salah satu simbol fundamentalis Islam yang terkesan mengancam dan membahayakan nilai-nilai dasar republik dan sekular.10 Jika melihat sejarah kebelakang, Uni Eropa tentunya sudah cukup akrab dengan kebudayaan Islam. Walaupun pada awal pembentukan Uni Eropa memang hanya berdasar pada pertimbangan ekonomi semata. Dimulai sejak tahun 1951 dengan berdirinya European Coal and Steel Community yang kemudian berkembang menjadi European Economic Community pada tahun 1957, setiap aktivitas institusi maupun permasalahan perluasan keanggotaan pada saat itu semuanya berdasarkan pada pertimbangan ekonomi semata. 11 Namun, seiring dengan perubahan dunia yang terjadi serta globalisasi yang juga mulai meluas, isu-isu kontemporer mengenai identitas juga semakin berkembang di dalam tubuh Uni Eropa sendiri. Merujuk pada berbagai peristiwa sentimen terhadap agama Islam di Perancis yang memang lebih terlihat memburuk dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat lainnya, Uni Eropa sebagai organisasi kawasan induk di Eropa sudah seharusnya memiliki porsi dan peranannya dalam merespon munculnya fenomena anti-Islam tersebut. Sebagai sebuah organisasi kawasan yang telah berhasil mengintegrasikan banyak negara dengan latar belakang sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang berbeda-beda, Uni Eropa harus mampu membuat formulasi kebijkan yang dapat diterima oleh seluruh negara anggotanya. Proses pembuatan kebijakan tersebut tentunya sangat penting karena mengingat Uni Eropa menganut asas common security and foreign policy, sehingga akan mengikat seluruh negara anggota untuk menerapkannya. Selain itu, munculnya Islamophobia di Perancis, juga dianggap penting oleh Uni Eropa karena isu tersebut dianggap sangat sensitif dan mudah menyebar, sehingga dikhawatirkan akan menyebar dan mengganggu stabilitas di negaranegara lainnya. Hal ini apabila sampai terjadi tentunya akan menjadi ancaman serius bagi Uni Eropa itu sendiri.
6
Chris Allen dan Jorgen S. Nielsen. “Summary Report on Islamophobia in the EU after 11 September 2001.” http://fra.europe.eu/sites/default/files/fra_uploads/199-Synthesis-report_en.pdf, diakses 14 Juni 2015 pukul 8:21 WIB, Surakarta. 7 Stephen Castle. T.t. “Islamophobia Takes a Grip Across Europe”. http://www.islamophobia.org/readarticle.php?article_id=76, diakses 14 Juni 2015 pukul 13:11 WIB, Surakarta. 8 Vincent Geisser. Islamohobia: A French Specifity in Europe?. Human Architecture: Journal of the Sociology of Self Knowledge. Hlm. 39-46. 2010. 9 Geisser. Op. Cit. 10 Ibid. 11 „Ainul Arif. Op. Cit. Hlm. 4.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS
Politik Luar Negeri Uni Eropa Terhadap Negara-Negara Islam Kontak pertama Eropa dengan masyarakat Muslim pada dasarnya sudah dimulai bahkan sebelum munculnya negara-negara berdaulat. Komunitas Islam telah lama tinggal di wilayah Balkan dan Baltik selama berabad-abad, sehingga interaksi dalam bentuk perdagangan ataupun pendidikan menjadi hubungan yang lazim ditemukan pada masa itu. Menilik pada sejarah, peradaban Islam merupakan salah satu peradaban yang memberikan pengaruh besar bagi kemajuan di Eropa. Wilayah Mediterania dan Timur Tengah bahkan telah tumbuh menjadi kota perdagangan yang lebih tua dibandingkan dengan Italia. 12 Pemikir-pemikir modern Eropa pun sedikit banyak dipengaruhi pula oleh pemikir-pemikir Arab. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya berbagai karya dan buku yang merupakan terjemahan dari Bahasa Arab. 13 Selain itu, negara-negara di Eropa juga sudah menjalin kontak dengan lingkungan Muslim dalam bentuk negara kolonial. Hal ini didasarkan oleh adanya fakta bahwa sebagian tanah jajahan Inggris, Perancis, dan Belanda merupakan wilayah-wilayah dengan populasi Muslim yang memiliki jumlah cukup signifikan.14 Keruntuhan peradaban Islam Agung yang berpusat di Turki yang diikuti dengan kebangkitan masyarakat Eropa pasca Perjanjian Westphalia yang mengawali munculnya konsep akan negara berdaulat menjadi titik balik bagi komunitas Islam. Interaksi yang dulunya bersifat satu arah15 berubah menjadi komunikasi dua arah yang didominasi oleh Eropa. Pada pertengahan abad 20, masyarakat Muslim mulai berdatangan ke Eropa yang dipicu oleh motif ekonomi untuk mencari pekerjaan dan kesejahteraan. Kebanyakan dari mereka merupakan pekerja yang berasal dari daerah-daerah urban, guna memenuhi kebutuhan Eropa akan pekerja murah.16 Wilayah-wilayah yang dulunya dikolonisasi oleh negara-negara Eropa juga memainkan peranan signifikan dalam fenomena migrasi dan persebaran demografi Muslim di Eropa. Di Perancis misalnya, masyarakat Muslim migran didominasi oleh orang-orang yang berasal dari daerah protektorat Perancis, seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia. 17 Sedangkan di Inggris migran Muslim kebanyakan berasal dari Bangladesh dan Pakistan. Pada tahun 1980-an, gelombang migrasi kedua pun muncul yang didominasi oleh para pencari suaka. Kemudian memasuki tahun 1990-an, migrasi dari negara-negara Muslim yang memasuki kawasan Eropa dapat dikategorikan secara umum sebagai berikut:18 1. Di wilayah Eropa Utara, migrasi komunitas Muslim didominasi oleh para imigran yang secara resmi melalui pengajuan aplikasi pencarian suaka dan didorong oleh perang sipil yang berkepanjangan di daerah perbatasan Eropa. 2. Sedangkan di Eropa bagian selatan, migrasi kebanyakan terjadi secara ilegal seperti praktek-praktek perdagangan manusia dan umumnya juga didorong oleh motif ekonomi. Berdasarkan pada paparan tersebut dapat dilihat bagaimana, pada dasarnya Eropa sudah terhubung cukup kuat dengan budaya-budaya Islam. Meskipun demikian, hal ini 12
Michelin R. Ishay. The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization Era. Barkeley and Los Ageles: University of California Press. Hlm. 67. 2004. 13 Ibid. 14 EUMC. “Muslim in the European Union: Discrimination and Islamophobia.” http://fra.europa.eu/sites/default/files/fra_uploads/156-Manifestations_EN.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul 11:07 WIB, Surakarta. 15 Michelin R. Ishay, loc. cit. 16 EUMC, loc. cit. 17 Ibid. 18 Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS ternyata tidak mampu menghindarkan berbagai tindak diskriminasi oleh warga kulit putih terhadap minoritas Muslim yang tinggal di Eropa. Diskriminasi ini mencakup berbagai sektor mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga dalam sektor perumahan. Data resmi menunjukkan bagaimana indikator pekerjaan di berbagai negara Eropa dalam situasi normal tidak ditargetkan untuk masyarakat Muslim. Beberapa penelitian yang dilakukan di Inggris, Perancis, dan Belanda berhasil memberikan informasi yang cukup akurat bahwa warga yang beragama Islam dan berlatarbelakang dari negara-negara Magribi memiliki kesempatan lebih kecil untuk diterima dalam sebuah perusahaan. 19 Negara-negara anggota Uni Eropa yang memiliki komunitas Muslim cukup banyak, seperti komunitas Turki di Jerman dan komunitas Afrika Utara di Perancis; masyarakat Muslim ini memiliki aktivitas dalam sektor pekerjaan yang hanya mencapai 15 hingga 40 persen dibandingkan dengan warga asli berkulit putih. 20 Selain kesempatan kerja yang sangat minim, diskriminasi terhadap kaum Muslim yang tinggal di Eropa juga terjadi dalam hal aktivitas keagamaan di lingkungan kerja. Kebanyakan negara anggota Uni Eropa memang sudah cukup toleran terhadap aktivitas keagamaan di lingkungan kerja, namun hal ini juga tidak menutup kemungkinan adanya keterbatasan bagi kaum Muslim untuk memproleh hak beribadah mereka. Belgia, Denmark, dan Jerman tidak memiliki kesulitan yang cukup signifikan dalam hal pengaturan pekerja yang beragama Islam. Akan tetapi, kondisi yang sama agaknya tidak dapat ditemukan di Perancis yang menganut tradisi sekuler republik. Pada tahun 2005, Perancis bahkan mengeluarkan aturan yang membatasi ekspresi simbolsimbol keagamaan di tempat kerja, yang mencakup juga pemakaian hijab. 21 Masyarakat migran di Eropa yang mana kebanyakan dari mereka juga merupakan komunitas Muslim, pada umumnya tidak mendapatkan akses memadai terhadap fasilitas perumahan. Hal ini didorong oleh keadaan ekonomi yang tidak baik serta adanya berbagai aturan yang menghambat komunitas Muslim memperoleh rumah secara layak. Meskipun terdapat banyak diskriminasi terhadap kaum minoritas Muslim di Eropa, akan tetapi pada dasarnya marjinalisasi terhadap mereka tidak terjadi karena agama, melainkan karena situasi mereka sebagai migran yang berstatus sosial rendah. 22 Sentimen negatif terhadap minoritas Islam di Eropa ini kemudian dikenal sebagai Islamophobia. Muncul pertama kali dalam sebuah esai di tahun 1992, Islamophobia kemudian berkembang sangat cepat pasca peristiwa pengeboman gedung WTC di Washington D.C. pada tahun 2001. Kejadian yang dikenal pula sebagai 9/11 tersebut meningkatkan aktivitas negatif terhadap kaum Islam di Eropa, utamanya di Perancis yang memiliki populasi Islam terbesar di Eropa. Hal ini kemudian diperparah pula oleh adanya peristiwa pengeboman di Inggris pada 7 Juli 2005. Terorisme yang membawa nama Islam tersebut telah menciptakan sentimen berlebihan terhadap minoritas Muslim di Eropa. Apabila sebelumnya diskriminasi hanya terjadi di sektor layanan publik, pasca kedua peristiwa tersebut diskriminasi yang dilakukan di beberapa negara-negara Eropa mengarah pada kekerasan secara fisik. Segera setelah peristiwa 9/11, 80 insiden penyerangan dengan target Islam terjadi di Belanda. Pembunuhan Theo Van Gogh pada tahun 2004, bahkan memicu dampak yang lebih masif seperti pembakaran sekolah Islam dan penghancuran tempat peribadatan. 23 Kemudian di Inggris, Skotlandia, dan Irlandia Utara, beberapa masjid ditutup dan berbagai bentuk 19
Ibid. Ibid. 21 Ibid. 22 Jocelyne Cesari. “Securitization and Religious Divides in Europe, Muslim in Western Europe After 9/11: Why the Term Islamophobia is more Predicament than an Explanation?.” http://www.euro-islam.info/wpcontent/uploads/pdfs/securitization_and_religious_divides_in_europe.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul 11:09 WIB, Surakarta. 23 Ibid. 20
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS vandalisme yang merendahkan Islam pun bermunculan. Bahkan di Perancis dari tahun 2003 hingga 2004 terdapat insiden terkait dengan tindakan anti-Muslim sebanyak 182 kasus.24 Munculnya sentimen yang berlebihan terhadap kaum minoritas Muslim di Eropa utamanya di Perancis, tentu saja memberikan dampak bagi pembentukan kebijakan luar negeri di tingkat Uni Eropa itu sendiri. Walaupun pada dasarnya Uni Eropa pada tahun 1995-2004 memandang bahwa negara-negara Islam yang membentang dari Maroko, Tunisia, samapi Turki di Sebelah tenggara merupakan tetangga dekat yang harus selalu diajak bekerja sama. 25 Kebijakan Uni Eropa sebagai sebuah organisasi suprapolitik sedikit banyak dipengaruhi oleh situasi domestik negara-negara anggotanya. Dengan kemunculan sentimen negatif terhadap minoritas Islam, kebijakan luar negeri terhadap negara-negara Islam itu sendiri mengalami pergeseran. Meskipun demikian, pergesaran politik luar negeri Uni Eropa terhadap negara-negara Islam tersebut tidak hanya diakibatkan oleh keberadaan sentimen negatif kebanyakan negara anggota terhadap Islam, melainkan juga karena kemunculan politik Islam di kawasan Mediterania dan Arab yang mayoritas berbasis Islam. 26 Uni Eropa dan negara-negara Arab Mediterania telah menjalin relasi dalam jangka waktu yang cukup lama, yang telah dimulai sejak pembentukan European Economic Community pada tahun 1995, dan mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2000 melalui European Neighboorhood Policy dan Union for Mediterranean.27 Efek krisis pada tahun 1980-an yang menimpa negara-negara di kawasan Arab dan Mediterania serta distribusi bantuan global yang tidak merata sebagai akibat dari berakhirnya Perang Dingin telah menyebabkan banyak negara di wilayah tersebut mengalami degradasi ekonomi politik yang memicu melemahnya pemerintahan otoriter.28 Adanya prospek bantuan dari Uni Eropa serta munculnya kemungkinan akan peningkatan stabilitas politik, membuat kerjasama dengan Eropa menjadi sebuah konteks yang diterima secara meluas oleh pemerintahan Arab Mediterania pada masa itu.29 Madrid Peace Conference di tahun 1992 menjadi salah satu instrumen yang mampu menghangatkan kembali hubungan antara Uni Eropa dan negara-negara Arab. Kemunculan Uni Eropa yang secara signifikan memberikan pengaruh terhadap menyebarnya paham demokrasi dan liberal di daratan Mediterania berjalan lebih lancar daripada yang diharapkan dengan adanya adopsi negara-negara Arab terhadap poin-poin yang terdapat dalam Barcelona Declaration.30 Secara umum, Uni Eropa memiliki dominasi yang kuat di kawasan Timur Tengah dan Mediterania pada masa itu. Awal tahun 1990-an harus dipahami pula sebagai era kemunculan politik Islam. Pada mulanya gerakan-gerakan yang berbasis Islam ini hanya menjadi gerakan sosial tanpa adanya agenda politik yang jelas. Namun seiring dengan berjalannya waktu, berbagai agenda politik dan penyebaran Islamisasi mulai terlihat lebih nyata. Hal ini sedikit banyak memberi pengaruh bagi hubungan antara Uni Eropa dan negara-negara di kawasan Arab dan Mediterania. Kemunculan politik Islam pada akhirnya juga memberikan pengaruh terhadap 24
Ibid. William Rogers Perlmutter. EUROPEAN UNION FOREIGN POLICY: QUIETLY COLLAPSING DEMOCRACY. diterbitkan dalam Chapel Hill Journal of Political Science. Volume III. 2014. Hlm. 27. 26 Elisabeth Johansson-Nogues. “The Decline of the EU’s Magnetic Attraction? The European Union in the Eyes of Neighboring Arab Countries and Russia,” European Foreign Policy Unit Working Paper No 2011/1. http://www.lse.ac.uk/internationalRelations/centresandunits/EFPU/EFPUpdfs/EFPUworkinpaper2011-1.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul 11:13 WIB, Surakarta. 27 Ibid. 28 Ibid. 29 Jon Mark. High Hopes and Low Motives: The New Euro-Mediterranean Partnership Initiative. New: York: Mediterranean Politics. Hlm. 1-24. 1996. 30 Elisabeth Johansson-Nogues, loc. cit. 25
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS kehidupan sosial masyarakat di kawasan tersebut, yang akhirnya membuat persepsi negaranegara Arab Mediterania terhadap Uni Eropa sendiri mengalami perubahan. Di satu sisi, politik Islam telah membuat interaksi dengan Uni Eropa melibatkan tingkat nasionalistik yang kuat dan cenderung anti-kolonial. Namun disisi lain, banyak kelompok-kelompok politik Islam yang telah menerima secara pragmatis nilai-nilai barat seperti Hak Asasi Manusia dan demokrasi. 31 Perubahan pola politik di Arab Mediterania ini telah membuat politik luar negeri Uni Eropa terhadap negara-negara di kawasan tersebut cenderung mengalami stagnansi. Kemunculan politik Islam membuat nilai-nilai Uni Eropa yang sempat tumbuh subur di dekade 1980-an mulai memudar dan tidak lagi mengalami pengembangan yang signifikan di daratan Mediterania.32 Ketakutan negara-negara ini akan nilai-nilai Islam yang terpolarisasi menjadi Barat, membuat kebanyakan negara menutup diri terhadap Barat pada umumnya dan Uni Eropa pada khususnya. Pada akhirnya Uni Eropa sendiri pun tidak menjalin interaksi yang signifikan dengan kawasan Arab Mediterania. Bahkan dengan kemunculan berbagai aktivitas radikalisme seperti Taliban dan ISIS membuat Uni Eropa cenderung menempatkan kawasan Timur Tengah dan Mediterania sebagai bagian dari kontra politik. Munculnya Islamophobia di Perancis akibat adanya berbagai tindak terorisme yang mengatasnamakan Islam telah berhasil menciptakan kekacauan dan sentimen negatif terhadap masyarakat Muslim itu sendiri. Keberadaan politik domestik yang kemudian mengedepankan prasangka buruk ketika berinteraksi dengan Muslim berdampak pula pada kebijakan di tingkat regional. Politik luar negeri Uni Eropa yang cenderung stagnan dengan adanya keberadaan politik Islam, dalam titik tertentu bergeser ke sifat yang lebih tegas. Secara umum, Uni Eropa melihat kawasan Timur Tengah dan Mediterania sebagai kawasan yang tidak stabil, sehingga tujuan interaksi dalam wilayah tersebut adalah peace building dan stabilitas. Hal ini tentu saja sejalan dengan upaya kontra terorisme sebagai reaksi terhadap munculnya Islamophobia. Beberapa pendekatan yang dijalankan di kawasan negara Islam ini antara lain dilakukan terhadap Iran dan konflik Israel-Palestina. Uni Eropa memberikan sanksi embargo pada Iran pada pertengahan tahun 2012 sebagai respon atas pengembangan nuklir sebagai senjata di negara tersebut.33 Uni Eropa merupakan salah satu konsumen minyak terbesar bagi Iran dengan jumlah permintaan yang mampu mencapai 600.000 barel setiap harinya. 34 Sanksi embargo yang dikenakan terhadap Iran ini juga meliputi larangan penggunaan teknologi nuklir; embargo gas alam dan larangan aktivitas bisnis yang berhubungan dengan sektor energi; embargo senjata; larangan transaksi finansial dengan pemerintah Iran, Bank Iran, serta lembaga finansial lainnya. 35 Sanksi yang tidak hanya diberikan oleh Uni Eropa akan tetapi juga Amerika Serikat ini telah berhasil membuat Iran terisolasi dan akhirnya bersedia untuk melakukan perundingan. Ketika Iran mengalami pergantian kursi jabatan, pemilihan umum yang menempatkan Hassan Rouhani sebagai Presiden Iran sejak tahun 2013, agaknya tensi hubungan antara Iran dengan Uni Eropa maupun Amerika Serikat sedikit mereda dan kedua pihak bersedia melaksanakan Joint Plan of Action (JPA).36 JPA merupakan sebuah pendekatan untuk menciptakan kerjasama komprehensif yang bersifat jangka panjang terkait dengan program nuklir yang tengah dikembangkan oleh Iran. JPA juga memaksa Iran untuk menghentikan sementara program nuklirnya dan meminta Iran 31
Ibid. Ibid. 33 Derek A. Mix. “The United States and Europe: Current Issues, Congressional Research Service.” https://www.fas.org/sgp/crs/row/RS22163.pdf, dilihat 26 Juni 2016 pukul 11:19 WIB, Surakarta. 34 Ibid. 35 Ibid. 36 Ibid. 32
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS untuk bersifat lebih kooperatif terhadap program monitoring yang dilakukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Pada pertengahan tahun 2015, JPA berhasil mencapai kesepakatan akhir. Meskipun dinilai tidak efektif untuk mengurangi potensi Iran dalam mengembangkan nuklir sebagai senjata, akan tetapi dalam hal ini, situasi yang demikian tersebut menunjukkan bagaimana Uni Eropa memiliki komitmen yang tinggi untuk menciptakan stabilitas di kawasan Arab dan Mediterania. Upaya peace building ini dapat dilihat pula sebagai upaya untuk mencegah penyebaran radikalisme sehingga terorisme dalam kadar tertentu dapat dicegah. Kerjasama yang terjalin antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat yang terjalin dalam bentuk JPA tersebut tentunya dapat terwujud karena kedua negara menghadapi dilema dan permasalahan yang sama. Di satu sisi ke dua aktor tersebt membutuhkan negara-negara Islam baik dalam bidang ekonomi maupun dukungan politisnya. Namun, di sisi lain mereka juga menghadapi tekanan berupa aksi-aksi terorisme yang mengatas namakan Islam, yang hal ini tentunya secara langsung maupun tidak langsung akan semakin meningkatkan tensi Islamophobia di kedua kawasan tersebut.37 Selain terhadap Iran, politik luar negeri Uni Eropa di kawasan Arab yang berfungsi untuk meningkatkan stabilitas di regional tersebut juga ditujukan kepada Israel utamanya dalam konflik Israel-Palestina. Uni Eropa bersama dengan Amerika Serikat, Rusia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa aktif melakukan dialog yang diharapkan dapat menciptakan Palestina yang berkelanjutan dan Irak yang lebih aman. 38 Beberapa negosiasi yang dilakukan pada tahun 2014 tidak menemui hasil yang baik, dan diperparah oleh adanya konflik antara Israel dan Hamas yang semakin memanas. Upaya mendamaikan kedua belah pihak ini juga disertai pula oleh adanya ancaman ekonomi terhadap Israel.39 Terlepas dari kurang efektifnya platform kerjasama yang dicanangkan oleh Uni Eropa, akan tetapi pendekatan yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap negara-negara Islam tersebut diatas, menunjukkan bagaimana fokus politik luar negeri Uni Eropa memang ditujukan untuk menciptakan stabilitas politik kawasan. Uni Eropa menyadari bahwa keamanan di tingkat regionalisme Eropa memiliki keterkaitan dengan regionalisme tetangganya. Apalagi dengan munculnya sentimen negatif terhadap kaum Muslim, persepsi dan tujuan Uni Eropa terhadap negara Islam pun mengalami pergeseran. Peace building dan penciptaan stabilitas kemudian dirasa perlu untuk mencegah meluasnya radikalisme yang merupakan akar dari terorisme.
Kebijakan Pengetatan Imigrasi Uni Eropa Terhadap Imigran Muslim Fenomena migrasi menjadi salah satu fokus problematika yang harus dihadapi oleh Eropa hingga saat ini. Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lainnya memang telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. Meskipun demikian perubahan dalam perihal rute, kuantitas, dan aturan mewarnai gelombang migrasi yang terjadi pada era modern saat ini, sehingga dirasa sangat perlu untuk diterapkannya kebijakan pengetatan kedatangan daripada para imigran itu sendiri. 40 Dengan kemunculan konsep negara bangsa serta sekularisasi antara agama dengan pemerintahan pada abad ke-19 migrasi ke kawasan Eropa menjadi lebih
37
L Carl Brown. Middle East; Crescent of Crisis: U.S.-European Strategy for the Greater Middle East, dipublikasikan dalam Council on Foreign Relations Journal. Volume 85. Hlm. 170. 2012. 38 Ibid. 39 Ibid. 40 S. Peers. EU Justice and Home Affairs Law. Oxford: Oxord University Publishing. Hlm.24. 2011.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS “bureaucratised, directed, limited, and defined – through passports, visas, border control, institution, and sharp distinction between the rights of the citizen and those of non-member.”41 Pernyataan tersebut memberikan penekanan bagaimana di era modern saat ini, migrasi ke wilayah Eropa menjadi isu yang lebih diperhatikan dengan adanya upaya pembuatan aturan terkait dengan migrasi itu sendiri. Gelombang migrasi ke Eropa yang didominasi oleh komunitas Muslim telah dimulai sejak pertengahan abad ke-20. Meskipun pada akhir dekade tersebut, laju migrasi mulai mengalami penurunan, akan tetapi perpindahan penduduk utamanya dari wilayah Mediterania ke kawasan Eropa tidak menemui titik henti hingga di era modern saat ini. Bahkan memasuki tahun 2010-an gelombang migrasi dari regional Arab ke Eropa mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Situasi ini didorong oleh adanya ketidakstabilan politik di negara asal karena konflik internal yang sering terjadi. Mengatasi gejolak perpindahan penduduk dalam jumlah masif, Uni Eropa pun mulai mengeluarkan berbagai kebijakan dan berupaya untuk menyeragamkan kebijakan terkait migrasi di semua negara anggota. Terdapat setidaknya tiga negara yang memiliki peranan besar dalam proses pembentukan kebijakan migrasi di Uni Eropa, salah satunya adalah Perancis. Sebagai negara penerima migrasi terbesar di Eropa, Perancis berhasil menempatkan fokus kebijakan nasionalnya dalam tingkatan Uni Eropa, terutama ketika Nicholas Sarkozy menjabat sebagai Presiden. Mayoritas masyarakat migran yang berada di Perancis berasal dari negara-negara Islam, utamanya bekas negara protektorat Perancis, seperti Maroko dan Tunisia. Sebagai negara yang menganut paham sekuler republik, Perancis merupakan salah satu negara yang cenderung terbuka terhadap keberadaan imigran. Melalui para pendatang yang banyak berasal dari Afrika Utara, Islam pun mengalami perkembangan cukup signifikan di negara tersebut, terbukti dengan tumbuhnya Perancis sebagai negara Eropa dengan populasi Muslim terbanyak. Walaupun cenderung terbuka, bukan berarti stereotype tidak muncul diantara negara Perancis. Imigran Muslim yang seringkali berstatus sosial rendah, membuat mereka pun akhirnya termarjinalkan secara sosial dan politik. Peristiwa 9/11 yang terjadi di Amerika Serikat telah memicu tumbuhnya prasangka yang kian memburuk dari masyarakat asli terhadap kaum minoritas Muslim di Perancis. Diskriminasi pun berubah menjadi Islamophobia – sebuah ketakutan berlebihan terhadap kaum Muslim yang kemudian mendorong berbagai tindak kekerasan terhadap penganut Islam. Selain itu, Islamophobia yang terjadi di Perancis telah mendorong negara ini membuat berbagai legislasi yang cenderung kontroversial. Pada tahun 2003, Presiden Perancis pada saat itu, Jaques Chiraq, membuat sebuah rancangan Undang-Undang yang melarang penggunaan simbol-simbol agama seperti hijab untuk kaum Muslim dan kippa untuk kaum Yahudi. Kemunculan aturan ini sekaligus memberikan secara tegas bahwa Perancis adalah negara tempat lahirnya ide-ide besar dan negara yang memiliki sejarah dan warisan budaya dengan pluralitas budaya, suku serta agama tidak boleh mengkotak-kotakan masyarakatnya dalam berbagai komunitas. 42 Rancangan Undang-Undang yang kemudian disahkan pada tahun 2004 tersebut, diharapkan mampu mengembalikan dan menegakkan kembali tradisi Perancis yang sekuler dengan memberikan garis pemisahan secara tegas antara agama dengan pemerintahan negara. 41
Adrian Favell dan Randal Hansen. Markets Againts Politics: Migration, EU Enlargement and the Idea of Europe, Journal of Ethnic and Migration Studies. Volume 28. Nomor 4. Hlm. 584. 2002. 42 Roosi Rahmawati. Undang-Undang Laicite, Jurnal Kajian Wilayah Eropa. Volume V. Nomor 1. Hlm. 132. 2009.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS Pengesahan rancangan Undang-Undang tersebut kemudian diikuti berbagai aktivitas yang cenderung merugikan komunitas Muslim, seperti penutupan sekolah Islam dan keharusan penggunaan bahasa Perancis ketika melakukan khotbah. Lebih jauh lagi, tindak kekerasan baik dalam bentuk fisik maupun verbal terhadap kaum minoritas Muslim pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Puncaknya di tahun 2012, ketika Nicholas Sarkozy menjabat, Perancis akan memberlakukan kebijakan pengurangan setengah dari jumlah penduduk imigran Muslim. 43 Berbagai kebijakan Nicholas Sarkozy terkait dengan pengetatan imigran Muslim di tataran nasional ini mampu dibawa ke lingkungan regional ketika Sarkozy menjabat sebagai Pemimpin Dewan Uni Eropa periode Juli-Desember tahun 2008. Sejak saat itu, Perancis memainkan peranan yang lebih signifikan untuk membentuk kebijakan imigrasi di Uni Eropa. Diawali pada tahun 2008 dengan dimunculkannya The European Act on Immigration and Asylum yang berisikan seperangkat aturan dan pedoman terkait dengan pengembangan kebijakan imigrasi suaka di Eropa. Pembentukan dokumen ini didasari oleh adanya tekanan migrasi dan kesenjangan pembangunan di berbagai wilayah di Eropa, yang akhirnya membuat keberadaan migrasi berdampak buruk bagi negara penerima. Dalam The European Act on Immigration and Asylum, negara-negara anggota Uni Eropa berkomitmen penuh pada lima hal, yaitu sebagai berikut:44 a.
b. c. d. e.
Mengatur hukum imigrasi dengan mempertimbangkan prioritas kebutuhan dan kemampuan penerimaan yang ditentukan oleh masing-masing negara anggota dan mendorong adanya integrasi; Mengontrol imigrasi ilegal dengan memastikan kembalinya imigran ilegal ke negara asal mereka atau negara transit; Mengefektifkan kontrol terhadap perbatasan; Membangun sebuah suaka Eropa; Menciptakan kemitraan yang komprehensif dengan negara asal dan transit agar mendorong sinergi antara migrasi dan pembangunan.
Pakta Imigrasi yang dicanangkan oleh Nicholas Sarkozy dan diimplementasikan oleh seluruh negara-negara anggota Uni Eropa merupakan salah satu kebijakan pengetatan yang secara tidak langsung bertujuan pula untuk mengurangi jumlah imigran Muslim di wilayah Eropa. Hal ini tentu saja berkaitan dengan munculnya Islamophobia pasca insiden pengeboman yang terjadi di tahun 2001, terulang kembali pada tahun 2005, dan kemudian mulai muncul secara tidak teratur dan terus menerus di beberapa negara Eropa. Intisari dari The European Act on Immigration and Asylum tersebut adalah untuk mengatur lima prioritas yaitu; imigrasi legal dan integrasi; pengaturan imigrasi ilegal; pengaturan batas wilayah yang lebih efektif; sistem pemberian suaka Eropa; serta migrasi dan pembangunan. 45 Dalam kesepakatan bersama terkait dengan imigrasi ini terdapat dua poin pokok kebijakan yang gencar dipromosikan oleh Uni Eropa yaitu: 46
43
BBC. “Imigran di Perancis.” http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/03/120307_prancis.shtml, diakses 27 Juni 2016 pukul 11:23 WIB, Surakarta. 44 Sabir E. Bab I Pendahuluan. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/7681/SABIR%20E%2013108278%20(%20BAB%201%20 -%20DAFTAR%20PUSTAKA%20).pdf?sequence=2, dilihat 27 Juni 2016 pukul 11:24 WIB, Surakarta. 45 Elizabeth Collet. “The EU Immigration Pact – From Hague to Stockholm.” http://www.epc.eu/TEWN/pdf/304970248_EU%20Immigration%20Pact.pdf, dilihat 27 Juni 2016 pukul 11:26 WIB, Surakarta. 46 Sabir E., loc. cit.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS 1.
Return Directive Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan Uni Eropa yang dinilai sangat kontroversial dan mendapatkan banyak kritik dari berbagai NonGovernmental Organization (NGO) karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kebijakan Return Directive ini merupakan bentuk kebijakan pengembalian langsung imigran ilegal ke negara asalnya seperti yang tercantum dalam Immigration Pact sebagai berikut; “irregular aliens on member states’ territory must leave that territory.” Kebijakan ini sudah ditandatangani sejak tahun 2008, namun baru mulai berlaku pada tahun 2010 dan telah diterapkan di beberapa negara anggota, salah satunya adalah Perancis. Adapun pelaksanaan kebijakan Return Directive yang berlaku di Uni Eropa sendiri memiliki teknis pelaksanaan yang mirip dengan kebijakan Return Directive di Perancis, yang mana dilakukan dengan dua cara yaitu secara sukarela dari imigran itu sendiri atau dengan menggunakan campur tangan pemerintah negara masing-masing.
2. Blue Card Scheme Skema Kartu Biru merupakan kebijakan yang dimaksudkan untuk mengatur masuknya tenaga kerja di Eropa. Kebijakan ini pada dasarnya mengadopsi kebijakan greencard di Amerika Serikat yang difungsikan untuk menarik masuknya tenaga kerja ahli ke Uni Eropa. Skema Kartu Biru ini kemudian akan memberikan kemudahan bagi pemegangnya untuk memperoleh tempat tinggal serta untuk membawa anggota keluarganya berpindah ke wilayah Eropa. Blue Card Scheme merupakan salah satu cara Uni Eropa untuk memperoleh imigran yang berkompeten sehingga tidak menjadi tanggungan bagi negara penerima. Dengan adanya kebijakan ini, maka komitmen utama dalam The European Pact yaitu menyelaraskan migrasi dan pembangunan dapat dilaksanakan. Blue Card Scheme juga merupakan bukti keberhasilan Perancis untuk membawa kebijakan domestik ke tingkat internasional. Dalam tingkatan kebijakan nasional, Perancis telah menerapkan undang-undang yang membatasi pekerja imigran yang tidak terlatih ataupun terdidik untuk memasuki Eropa dengan adanya pembedaan antara visa dan stay document. Kebijakan ini mengindikasikan bahwa pemerintah Perancis hanya akan memberikan hak tinggal kepada migran yang tidak mengurangi produktivitas rata-rata di Perancis. 47 Blue Card Scheme memungkinkan kebijakan ini diterapkan secara menyeluruh di antara negaranegara anggota Uni Eropa. Kebijakan Uni Eropa yang demikian tersebut, menunjukkan bagaimana situasi politik dalam negeri di negara anggota dapat mempengaruhi kebijakan terhadap Uni Eropa secara keseluruhan. Didasarkan pada Decision Making Process oleh David Easton, maka sentimen negatif terhadap kaum minoritas muslim yang sudah terdapat di Perancis menjadi salah satu input bagi pembentukan kebijakan pengetatan imigrasi. Pemerintahan Nicholas Sarkozy yang secara intensif mengembangkan kebijakan yang kontra terhadap imigran terutama imigran muslim seperti dengan pembatasan jumlah imigran, serta munculnya tuntutan masyarakat akan situasi yang aman dari gangguan terorisme akhirnya berhasil dibawa ke lingkup kawasan ketika Sarkozy menduduki jabatan tertinggi dalam Uni Eropa. Munculnya kebijakan The European Act on Immigration and Asylum menjadi reaksi terhadap input dari Perancis 47
Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS yang didorong oleh keinginan akan peningkatan human security. Akhirnya, pengetatan kebijakan di tingkat Uni Eropa pun secara tidak langsung berhasil memenuhi tujuan yang ingin dicapai Perancis. Dengan demikian adanya pelanggaran terhadap aturan tersebut tentunya akan dipandang sebagai sebuah aksi kejahatan kriminal transnasional. 48
Upaya Peningkatan Kontra Terorisme Sama halnya dengan kemunculan Islamophobia yang meningkat secara signifikan pasca pengeboman gedung World Trade Center pada tahun 2001, kebijakan kontra terorisme pun muncul sejalan dengan adanya propaganda besar-besaran Amerika Serikat akan Global War on Terrorism. Selain menyampaikan kabar duka yang diwakili oleh Javier Solana, Uni Eropa menanggapi insiden berdarah tersebut dengan memberikan reaksi terhadap terorisme sebagai sebuah kejahatan luar biasa sehingga perlu adanya penguatan badan-badan hukum, penegakan hukum dan perundangan, serta penghormatan terhadap HAM sesuai Resolusi PBB 1373.49 Reaksi tersebut kemudian mendasari organisasi ini untuk mengembangkan platform kerjasama terkait dengan penumpasan terorisme dengan berbagai negara, utamanya dengan Amerika Serikat. Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa Uni Eropa memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi salah satu aktor dalam hal usaha melawan terorisme. 50 Hal ini diimplementasikan pada berbagai kebijakan luar negerinya yang telah terlebih dahulu dikoordinasinakan negara-negara anggotanya.51 Peranan utama Uni Eropa dalam agenda kontra terorisme di atas terkait dengan segala bentuk kebijakan melawan terorisme yang dapat berupa tiga cara yakni pencegahan penyebaran teorisme, perlawanan terhadap aksi terorisme, dan penggagalan aksi teorisme yang telah direncanakan. Ketiga cara tersebut ditujukan untuk menjaga ketertiban umum, melindungi masyarakat dari rasa takut, dan mencegah digunakannya senjata kimia dan biologis oleh kelompok teroris. Selain itu, tujuan lain dari diterapkannya ketiga cara tersebut ialah untuk meyakinkan bahwa batas-batas negara Uni Eropa aman dan tidak disusupi oleh kelompok-kelompok terorisme.52 Menghadapi penyebaran terorisme, Uni Eropa membangun kerjasama dengan regional ASEAN yang mana kerjasama tersebut mencerminkan makna strategis dan keseimbangan antara kepentingan ekonomi serta keamanan. 53 Dalam kerjasama antarregional ini pula terlihat preferensi Uni Eropa yang lebih memfokuskan kerjasama kontra teror dengan menghormati HAM, good governance, memperkuat badan penegak hukum, dan memandang upaya kontra teror sebagai bagian dari konsep keamanan komprehensif atau comprehensive security. 54 Dengan demikian Uni Eropa berusaha mengkonstruksikan atau menjaga citra 48
N Boister. Illegal Migration on Transnational Criminal Law, dipublikasikan dalam European Journal of International Law. Volume 14. Hlm. 953. 2011. 49 Vitri Mayastuti. Analisis Budaya Strategis dalam Kerjasam Kontra Teror AS-Uni Eropa. Jakarta: Universitas Indonesia. 50 C. de Vries. EU Counter-Terrorism Coordinator, Terrorism, Islam and Democracy. Basingstoke: Macmillan. Hlm. 167. 2011. 51 Marianne L. Wade. The European Union As A Counter–Terrorism Actor: Right Path, Wrong Direction?, diterbitkan dalam Springer Science and Business Media Journal. Volume X. Hlm.360. 2013. 52 Wojciech J. Janik. The threat of Islamic terrorism in Europe, dipublikasikan dalam Elbalg World Scientific Journal. Hlm. 53. 2016. 53 Frank Umbach. EU-ASEAN Political and Security Dialogue at the Begining of 21 Century: Prospect of Interregional Cooperation on International Terrorism, Panorama: Insight into Southeast Asian and European Affairs. Hlm. 11. 2004 54 Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS dirinya sebagai sebuah entitas yang tetap berlandaskan pada demokrasi dalam setiap pembuatan kebijakannya. 55 Pendekatan yang dilakukan terhadap kawasan ASEAN ini pada kenyataannya juga dilakukan terhadap kawasan negara Arab Mediterania. Melalui kerjasama di bidang reformasi peradilan, kepolisian, sistem penjara, dan keamanan perbatasan, Uni Eropa berinisiatif untuk melakukan pencegahan terhadap penyebaran paham radikalisme di negara-negara Magribi, yang meliputi Aljazair, Tunisia, dan Maroko.56 Kerjasama kontra teror yang dijalankan oleh Uni Eropa dengan kawasan negara Arab merupakan bagian dari European Neighborhood Policy, yang mana lebih bersifat legal konstitusional. Dalam wadah kerjasama ini pula, Uni Eropa memiliki peranan yang besar untuk membantu negara-negara Afrika Utara agar menerapkan Resolusi PBB 1267 (1999) dan 1373 (2001). Secara umum, kedua Resolusi tersebut meminta negara-negara anggota PBB untuk melakukan langkah-langkah demi meningkatkan kemampuan di bidang penegakan hukum dalam melawan terorisme di tingkat nasional, regional, maupun global. 57 Kontra terorisme di daratan Eropa pada dasarnya merupakan salah satu kebijakan yang sudah cukup lama. Kebijakan pertahanan untuk melawan berbagai aksi teror sudah tumbuh di lingkungan Uni Eropa bahkan jauh sebelum munculnya War on Terrorism pada pemerintahan Geroge W. Bush, Jr. di Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bagaimana Uni Eropa telah lama menyadari dirinya sebagai sebuah target yang potensial bagi berabagai aksi teror.58 Beberapa negara seperti Jerman, Italia, Spanyol, dan Perancis merupakan beberapa contoh negara anggota Uni Eropa yang telah mengalami berbagai aksi terorisme domestik. 59 Tentunya segala macam pendekatan terhadap usaha kontra terorisme tersebut dirancang dengan mempertimbangkan aspek komunikasi strategis yang ditujukan baik untuk target eksternal maupun domestik.60 Spanyol mengalami serangan dari kelompok teror Euskadi Ta Askatasuna (ETA) yang berasal dari Bosque sampai kelompok tersebut akhirnya mengalami kemunduran dan berubah menjadi aksi kekerasan secara sporadis pada tahun 1990-an.61 Perancis yang memberikan dukungan terhadap pemerintahan Aljazair mendapatkan banyak serangan terorisme domestik utamanya pada tahun 1995 hingga 1996, sementara itu Jerman memperoleh ancaman terorisme akibat dari besarnya komunitas Kurdi dan Turki di negara tersebut.62 Meskipun negara-negara anggota Uni Eropa mengalami ancaman terorisme yang berbeda-beda akan tetapi kebijakan kontra teror yang dikeluarkan oleh Uni Eropa sudah dibentuk pada tahun 1970-an. Kemudian pada tahun 1980-an, seiring dengan munculnya European Common Market, organisasi regional ini memiliki sebuah wadah yang bernama kelompok Terrorism, Radicalism, Extremisme et Violence Internationale (TREVI) yang dibentuk pada tahun 1976 sebagai forum diskusi dan kerjasama antarkepolisian serta intelijen.63 Kerangka TREVI ini kemudian dijadikan dasar pembentukan Justice and Home Affairs pada tahun 1993. 55
H.Fenwick. Civil Liberties & Human Rights. Oxon: Cavendlish Publishing. Hlm. 52. 2013. Vitri Mayastuti, loc. cit. 57 Lisa Watanabe. EU-Maghreb Counter-terrorism Cooperation: The Need for More Comprehensive Approach. Jenewa: GCSP. Hlm. 2. 2011. 58 Vitri Mayastuti, loc. cit. 59 Ibid. 60 Darya Yu. Bazarkina, Strategic Communication of the EU: The Counter‐Terrorist Aspect, diterbitkan dalam Sholokov Moscow Journal of Humanitarian Affairs. Volume VI. Hlm. 31. 2014. 61 Peter Chalk. West European and Counter-terrorism: The Evolving Dynamic. Basingstoke: Macmillan. Hlm. 66. 1996. 62 Vitri Mayastuti, loc. cit. 63 Ibid. 56
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS Sebelum adanya peristiwa 9/11, Uni Eropa pada dasarnya memiliki keengganan untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat terkait dengan upaya kontra terorisme. Hal ini didasarkan pada pandangan Uni Eropa bahwa, ancaman terorisme yang dialami oleh Amerika Serikat merupakan harga yang harus dibayar oleh negara tersebut karena aktivitasnya yang begitu ekstrem di Timur Tengah serta pemberian dukungan secara terbuka kepada Israel. 64 Namun, serangan terorisme yang mampu menghancurkan Gedung World Trade Center di tahun 2001, akhirnya berhasil merubah persepsi Uni Eropa bahwasanya mereka pun rapuh terhadap terorisme dengan modus operandi yang radikal oleh kelompok Islam semacam itu. 65 Persepsi ini kemudian diperkuat dengan serangan terorisme di Madrid pada tahun 2004 yang menewaskan 200 jiwa. 66 Munculnya aktivitas terorisme yang merupakan bagian dari gerakan Islam radikal, memunculkan sentimen negatif terhadap imigran Muslim yang tinggal di Eropa. Berbagai peristiwa pengeboman yang mengatasnamakan Islam, membuat banyak warga Muslim Eropa memperoleh diskriminasi dan kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Ketakutan warga Eropa memunculkan tuntutan akan peningkatan keamanan, yang kemudian direspon oleh Uni Eropa dengan melakukan pengetatan terhadap kebijakan kontra terorisme.67 Perlawanan terhadap terorisme itu sendiri oleh Uni Eropa tidak dilihat sebagai perang, melainkan sebagai tantangan jangka panjang yang membutuhkan penanganan secara komprehensif. 68 Dengan pandangan yang demikian, maka dalam penumpasan terorisme, Uni Eropa cenderung menggunakan berbagai instrumen soft politic dengan menempatkan terorisme sebagai sebuah kejahatan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai dokumen legislasi Uni Eropa, yaitu European Union Action Plan on Combating Terrorism dan European Union Counterterrorism Strategy yangmana lebih menekankan upaya untuk mengkriminalkan terorisme.69 Kemajuan dalam bidang kontra terorisme di Uni Eropa ini baru terlihat lebih nyata setelah adanya serangan 9/11 di Washington D.C. pada tahun 2001, yang disusul dengan insiden Madrid tahun 2004. Keengganan untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat mengalami perubahan dengan mulai mengikutsertakan pemerintahan George W. Bush, Jr. pada masa, itu ke dalam berbagai pembahasan European Security Strategy (ESS).70 Meskipun upaya kontra terorisme mulai terlihat lebih nyata, akan tetapi upaya Uni Eropa tersebut masihlah bersifat defensif. Situasi yang demikian ini dipengaruhi oleh pandangan Uni Eropa, yang memiliki persepsi bahwa terorisme merupakan sebuah problematika internal, sehingga dalam berbagai kebijakan kontra terorisme-nya, organisasi ini lebih menekankan pilar pencegahan. 71 Aktivitas defensif ditujukan untuk mencegah serangan teroris dengan cara mengidentifikasi dan menangkap teroris saat menuju sasaran, mencegah akses untuk menyerang target, dan meminimalkan kerusakan dari serangan, serta berupaya untuk menangkap pelaku tindak terorisme tersebut untuk kemudian dihadirkan ke hadapan pengadilan. 72 Uni Eropa juga lebih menekankan aktivitas defensif yang berpusat pada sipil serta melibatkan kepolisian dan
64
Ibid. M.O’Neil. The Evolving EU Counter-terrorism Legal Framework. Oxon: Routledge. Hlm. 156. 2011. 66 Wyn Rees. Transatlantic Counter-terrorism Cooperation: The New Imperative. Oxon: Routledge. Hlm. 60. 2006. 67 N.Kaizer & Van Sliedregt. The European Arrest Warrant in Practice. The Hague: TMC Asser Press. Hlm. 88. 2014. 68 Ibid. Wyn Rees, hal. 72. 69 Vitri Mayastuti, loc. cit. 70 Ibid. 71 Ibid. 72 Ibid. 65
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS departemen terkait. Council of European Union menetapkan empat pilar dalam aktivitas counter-terrorism, yaitu:73 1.
73
Pencegahan (Prevention) Berdasarkan dokumen formal EU Counter-Terrorism Strategy, prevention merupakan tindak pencegahan agar orang tidak mengambil jalan terorisme dengan menangani berbagai faktor atau akar penyebab yang memicu munculnya radikalisme. Dengan demikian, pilar prevent ini ditujukan untuk melawan radikalisasi dan perekrutan kelompok teror seperti Al-Qaeda ataupun Taliban. Selanjutnya prioritas utama dalam pilar ini dijabarkan antara lain sebagai berikut:74 1) Mengembangkan pendekatan bersama untuk mengetahui dan menangani masalah perilaku, terutama penyalahgunaan internet; 2) Menangani masalah penyebaran kebencian dan perekrutan, terutama di tempat-tempat penting, misalnya penjara, tempat pelatihan keagamaan, atau tempat ibadah dengan menerapkan UU yang membuat perilaku ini sebagai pelanggaran; 3) Mengembangkan strategi media dan komunikasi untuk menjelaskan kebijakan Uni Eropa dengan lebih baik; 4) Memajukan pemerintahan yang baik, demokrasi, pendidikan, dan kemakmuran ekonomi melalui program bantuan Komunitas dan Negara Anggota; 5) Mengembangkan dialog antarbudaya di dalam dan di luar Uni Eropa; 6) Mengembangkan kosak kata yang non-emosional untuk membahas masalah tersebut; 7) Terus melakukan riset, berbagi analisis dan pengalaman dalam upaya untuk memajukan pemahaman mengenai masalah terorisme dan kemudian mengembangkan respon kebijakan. Prevention atau pencegahan merupakan salah satu strategi utama Uni Eropa dalam usahanya untuk meningkatkan upaya kontraterorisme. Berbagai macam bentuk pencegahan berkembangnya bibit-bibit terorisme dan usaha untuk terus mencari solusi terbaik dalam memerangi terorisme juga dilakukan melalui pendekatan ilmiah dan akademis. Bentuk nyata dari usaha kontraterorisme yang dilakukan oleh Uni Eropa melalui pendekatan ilmiah dan akademik tersebut ialah sering diselenggarakannya konferensi atau pertemuan yang membahas mengenai pencegahan terorisme maupun mencari solusi terbaik dalam melawan terorisme global. Berbagai macam konferensi dan pertemuan tersebut dapat berupa acara internal Uni Eropa maupun acara bersama antara Uni Eropa dengan pihak eksternal lainnya. Adapun contoh dari konferensi dan pertemuan tersebut antara lain: The Hague Conference Center for International Counter Terrorism yang diselenggarakan di Den Hag, Belanda 75, International Conference on Engaging Partners for Capacity-Building: United Nations‟ Collaboration with CounterTerrorism Centres yang merupakan kolaborasi antara Uni Eropa dan PBB diselenggarakan di Brussel, Belgia 76, ASEM Counter-Terrorism yang merupakan
Ibid. Council of European Union. The European Union Counter Terrorisme Strategy. Brussel. 2005. 75 ICCT. “The Hague Conference Center for International Counter Terrorism.” https://icct.nl/, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:31 WIB, Bekasi. 76 UNCCT. “EU and UNCCT convene Global Network of Counter-Terrorism Centres in Brussels.” https://www.un.org/counterterrorism/ctitf/en/uncct/eu-and-uncct-convene-global-network-counterterrorism-centres-brussels, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:32 WIB, Bekasi. 74
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS pertemuan besar antara Uni Eropa dan negara-negara Asia diselenggarakan di Brussel77, The EU Security, Migration and Borders Conference yang diselenggarakan di Cardiff, Inggris 78, The Global Counterterrorism Forum merupakan forum kajian bersama Uni Eropa dan 29 negara lainnya diselenggarakan secara bergantian oleh Belanda dan Maroko, serta masih banyak lagi. Berbagai macam konferensi dan pertemuan tadi diselenggarakan setiap tahunnya bahkan dapat diselenggarakan secara mendadak apabila ada sesuatu yang mendesak.
77
2.
Perlindungan (Protection) Sementara pilar kedua yaitu protection dimaksudkan sebagai upaya untuk melindungi warga negara dan infrastruktur, serta mengurangi kerapuhan Uni Eropa terhadap serangan dengan memperbaiki keamanan di perbatasan, transportasi, dan infrastruktur vital. Salah satu bentuk realisasi dari pilar ini adalah keberadaan European Borders Agency atau Frontex yang berperan dalam menyediakan penilaian resiko sebagai upaya untuk memperketat pengendalian dan pengawasan perbatasan eksternal Uni Eropa.79 Uni Eropa juga memiliki Visa Information System dan Schengen Information System yang akan memastikan pejabat berwenang dapat berbagi dan mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan serta menghentikan individu yang ingin masuk ke wilayah Schengen. Beberapa prioritas utama dalam pilar protect ini adalah sebagai berikut:80 1) Melakukan perbaikan keamanan dalam pembuatan paspor Uni Eropa dengan memperkenalkan biometrik; 2) Mengembangkan analisis resiko melalui Frontex terhadap perbatasan eksternal Uni Eropa; 3) Menerapkan standar bersama yang disepakati di bidang penerbangan, sipil, pelabuhan, dan keamanan maritim; 4) Menyepakati program Uni Eropa di bidang perlindungan infrastruktur; 5) Memanfaatkan aktivitas riset di Uni Eropa.
3.
Pengejaran (Pursuit) Pilar ketiga dalam kebijakan kontra terorisme yang digalakkan oleh Uni Eropa yaitu pursuit merupakan upaya untuk mengejar dan menyelidiki teroris di wilayah Uni Eropa dan secara global; menghambat perencanaan, perjalanan, dan komunikasi; mengganggu jaringan pendukung mereka; menghentikan pendanaan dan akses ke bahan peledak, serta membawa pelaku tindak terorisme ke muka hukum. Salah satu langkah penting dalam realisasi pilar ini adalah pemberlakukan European Arrest Warrant yang menjadi instrumen penting dalam mengejar dan menyelidiki teroris. Beberapa prioritas utama dalam pilar ini dijabarkan antara lain sebagai berikut:81
ASEM8. “ASEM Conference on Counter-Terrorism.” http://www.asem8.be/event/8th-asem-conference-counter-terrorism.html, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:33 WIB, Bekasi. 78 Eu-EMS. ”The EU Security, Migration and Borders Conference.” https://www.eu-ems.com/summary.asp?event_id=2287&page_id=4660, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:33 WIB, Bekasi. 79 Vitri Mayastuti, loc. cit. 80 Council of European Union, loc. cit. 81 Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS 1) Memperkuat kapabilitas nasional untuk melawan terorisme; 2) Memanfaatkan sepenuhnya Europol dan Eurojust untuk memudahkan kerjasama antarbadan kepolisian dan yudisial serta terus mengintegrasikan ancaman dari Joint Situation Center ke dalam pembuatan kebijakan kontrateror di tingkat nasional; 3) Mengembangkan pengakuan putusan yudisal lebih jauh, termasuk mengadopsi European Evidence Warrant; 4) Memastikan penerapan dan evaluasi sepenuhnya perundangan yang ada serta melakukan ratifikasi berbagai perjanjian dan konvensi internasional yang berhubungan dengan kontraterorisme; 5) Mengembangkan ketersediaan informasi penegakan hukum; 6) Mencegah akses teroris terhadap senjata dan bahan peledak, dari komponen bahan peledak rakitan hingga peledak dari kimia, biologi, radiologi, dan nuklir. 7) Mencegah pendanaan teror, termasuk menerapkan perundang-undangan yang disepakati untuk mencegah penyelewengan dana di sektor nirlaba dan mengkaji kinerja Uni Eropa secara keseluruhan di bidang ini; 8) Memberikan bantuan teknis untuk memperkuat kapabilitas negara-negara di luar Uni Eropa. 4.
Respon (Response) Sementara itu, yang dimaksud dengan respon dalam hal ini adalah mempersiapkan Uni Eropa dalam semangat solidaritas untuk mengelola dan memimalisir konsekuensi serangan teroris dengan meningkatkan kapabilitas untuk menghadapi kondisi pascaserangan, koordinasi respon, dan kebutuhan korban. Untuk merespon keadaan darurat yang disebabkan oleh serangan terorisme, Uni Eropa lebih mengandalkan peranan negara-negara anggota di wilayah bersangkutan. Prioritas utama dalam pilar respon ini antara lain sebagai berikut:82 1) Menyepakati European Union Crisis Coordination Agreements dan mendukung prosedur operasionalnya; 2) Merevisi peraturan perundangan tentang Community Mechanism untuk perlindungan warga sipil; 3) Mengembangkan penilaian resiko sebagai instrumen untuk meningkatkan kapabilitas dalam merespon serangan; 4) Meningkatkan koordinasi dengan organisasi internasional dalam mengelola respon serangan teroris dan bencana lainnya; 5) Berbagi latihan terbaik dan mengembangkan pendekatan untuk memberikan bantuan kepada korban terorisme beserta keluarga mereka.
Komitmen Uni Eropa untuk memerangi terorisme dapat dilihat sebagai akibat munculnya Islamophobia yang meningkat secara signifikan pascatragedi pengeboman World Trade Center. Tindakan terorisme yang mengatasnamakan Islam membuat masyarakat Muslim menjadi target stereotype negatif. Masyarakat Eropa mengalami penurunan tingkat human security serta adanya degradasi terhadap perdamaian sebagai akibat munculnya pandangan buruk yang memicu tindak kekerasan terhadap Muslim, terutama di Perancis dengan tingkat populasi Muslim terbesar di Eropa. Kebijakan kontraterorisme yang dijalankan oleh Uni Eropa merupakan salah satu respon terhadap Islamophobia yang 82
Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS sekaligus ditujukan untuk mengembalikan situasi damai di kawasan tersebut. Hingga saat ini, kontraterorisme masih menjadi agenda politik dan isu yang penting di Eropa. Terlebih lagi setelah kemunculan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Tumbuhnya ISIS sebagai organisasi teroris radikal yang menguasai sebagaian wilayah Irak dan Suriah, bahkan telah membuat kebijakan defensif Uni Eropa berubah menjadi ofensif. Hal ini dapat dilihat dengan keikutsertaan sebagian anggota Uni Eropa, yang antara lain adalah; Belgia, Denmark, Perancis, dan Belanda, dalam sebuah serangan udara gabungan bersama dengan NATO di Irak.83 Meskipun demikian Uni Eropa pun juga tidak meninggalkan pendekatan secara defensif dalam isu yang terjadi di Timur Tengah ini. Uni Eropa meningkatkan kerjasama dengan Amerika Serikat untuk aktif melakukan dialog dalam level internasional yang bertujuan untuk mendorong pemerintahan Assad di Suriah agar bersedia ke meja perundingan.84 Dalam hal ini, Uni Eropa pun ikut memberikan sanksi embargo kepada pemerintahan Bashar al-Assad pada tahun 2012. Insiden terakhir di tahun 2015, yaitu serangan secara sporadis di Paris telah meningkatkan kekhawatiran Uni Eropa terkait dengan serangan terorisme. Sebagai akibat dari serangan yang diyakini berasal dari kelompok ISIS, Islamophobia di Perancis mengalami peningkatan yang sangat signifikan sehingga mendorong adanya kebijakan pengetatan imigrasi terutama bagi imigran yang berasal dari Suriah serta penguatan kebijakan kontra terorisme. Secara umum, berbagai respon yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap munculnya Islamophobia yang mulai berkembang secara signifikan merupakan seperangkat kebijakan yang saling berhubungan. Islamophobia telah membuat tingkat human security dan perdamaian di Eropa terutama di wilayah Perancis mengalami penurunan. Sebagai komitmen Uni Eropa untuk melindungi warga negaranya, dengan menciptakan keamanan, organisasi ini mengeluarkan seperangkat kebijakan untuk mengurangi tingkat stereotype terhadap Muslim dengan pengetatan kebijakan imigran terutama yang berasal dari negara-negara Islam. Secara tidak langsung pengetatan kebijakan imigrasi tersebut juga bagian dari upaya kontra terorisme, yaitu pada pilar prevent. Mengingat bagaimana sumber-sumber terorisme utamanya berasal dari negara Islam, pergerakan imigran Islam yang dipersempit melalui kebijakan imigrasi yang lebih ketat difungsikan untuk mengurangi potensi sumber-sumber terorisme itu sendiri. Sehingga kemungkinan akan terjadi serangan terorisme di lingkup domestik dapat dikurangi. Memasuki tahun 2012, kebijakan kontra terorisme yang digalakkan oleh Uni Eropa ini pun juga mulai mengalami pergeseran. Kebijakan awal yang bertumpu pada pilar defensif telah meningkat menjadi ofensif dengan keterlibatan Uni Eropa dalam serangan udara untuk memberantas terorisme dari sumbernya. Kebijakan ini sejalan dengan politik luar negeri yang diusung oleh Uni Eropa terhadap negara-negara Arab Mediterania. Uni Eropa memandang kawasan Timur Tengah sebagai wilayah yang tidak stabil, sehingga politik luar negeri terhadap kawasan ini seringkali ditujukan untuk menciptakan stabilitas dan peace building. Melalui tujuan yang demikian ini diharapkan radikalisme dapat dikurangi sehingga, akar terorisme itu sendiri sedikit demi sedikit dapat diberantas. Pada akhirnya berbagai kebijakan yang digalakkan oleh Uni Eropa ini sendiri membawa dampak bagi komunitas Muslim yang tinggal di Eropa, utamanya Muslim di Perancis yang memegang proporsi terbesar komunitas Muslim di Eropa. Kebijakan yang sifatnya internasional dan meluas seperti kontra terorisme dan politik luar negeri Uni Eropa memang tidak begitu memberikan dampak secara langsung, akan tetapi kebijakan pengetatan imigrasi dengan mengeluarkan Skema Kartu Biru dan pengembalian secara langsung imigran yang tidak memiliki dokumen lengkap memberikan dampak cukup signifikan bagi komunitas 83 84
Derek A. Mix, loc. cit. Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS Muslim. Pengaruh ini dapat dilihat dari berbagai segi, seperti sosial, politik, dan bahkan hukum.
Kesimpulan Islamophobia telah membuat tingkat human security dan perdamaian di Eropa terutama di wilayah Perancis mengalami penurunan. Sebagai komitmen Uni Eropa untuk melindungi warga negaranya, dengan menciptakan keamanan, organisasi ini mengeluarkan seperangkat kebijakan untuk mengurangi tingkat stereotype terhadap Muslim dengan pengetatan kebijakan imigran terutama yang berasal dari negara-negara Islam. Secara tidak langsung pengetatan kebijakan imigrasi tersebut juga bagian dari upaya kontra terorisme, yaitu pada pilar prevent. Mengingat bagaimana sumber-sumber terorisme utamanya berasal dari negara Islam, pergerakan imigran Islam yang dipersempit melalui kebijakan imigrasi yang lebih ketat difungsikan untuk mengurangi potensi sumber-sumber terorisme itu sendiri. Sehingga kemungkinan akan terjadi serangan terorisme di lingkup domestik dapat dikurangi. Pada akhirnya berbagai kebijakan yang digalakkan oleh Uni Eropa ini sendiri membawa dampak bagi komunitas Muslim yang tinggal di Eropa, utamanya Muslim di Perancis yang memegang proporsi terbesar komunitas Muslim di Eropa. Kebijakan yang sifatnya internasional dan meluas seperti kontra terorisme dan politik luar negeri Uni Eropa memang tidak begitu berdampak langsung, akan tetapi kebijakan pengetatan imigrasi dengan mengeluarkan Skema Kartu Biru dan pengembalian secara langsung imigran yang tidak memiliki dokumen lengkap memberikan dampak cukup signifikan bagi komunitas Muslim. Pengaruh ini dapat dilihat dari berbagai segi, seperti sosial, politik, dan bahkan hukum.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS
DAFTAR PUSTAKA Buku Arif, Muhammad Qobidl „Ainul. Politik Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen Anti-Islam Dalam Isu Keanggotaan Turki. Yogyakarta: Deepublish. 2014. Chalk, Peter. West European and Counter-terrorism: The Evolving Dynamic. Basingstoke: Macmillan. 1996. Council of European Union. The European Union Counter Terrorisme Strategy. Brussel. 2005. Fenwick, H. Civil Liberties & Human Rights. Oxon: Cavendlish Publishing. 2013. Ishay, Michelin R. The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization Era. Barkeley and Los Ageles: University of California Press. 2004. Kaizer, N & Van Sliedregt. The European Arrest Warrant in practice. The Hague: TMC Asser Press. 2014. Norman, Daniel. Islam and West, the Making of an Image. Scotland: Edinburgh University Press. Vide. 1980. O‟Neil, M. The Evolving EU Counter-terrorism Legal Framework. Oxon: Routledge. 2011. Peers, S. EU Justice and Home Affairs Law. Oxford: Oxord University Publishing. 2011. Rees, Wyn. Transatlantic Counter-terrorism Cooperation:The New Imperative. Oxon: Routledge. 2006. Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008. Vries, C. de. EU Counter-Terrorism Coordinator, Terrorism, Islam and Democracy. Basingstoke: Macmillan. 2011. Watanabe, Lisa. EU-Maghreb Counter-terrorism Cooperation: The Need for More Comprehensive Approach. Jenewa: GCSP. 2011.
Artikel Jurnal Boister, N. “Illegal Migration on Transnational Criminal Law”. European Journal of International Law, Volume 14. 2011. Brown, L. Carl. Middle East; Crescent of Crisis: U.S.-European Strategy for the Greater Middle East. Council on Foreign Relations Journal, Volume 85. 2012. Favell, Adrian dan Randal Hansen. “Markets Againts Politics: Migration, EU Enlargement and the Idea of Europe.” Journal of Ethnic and Migration Studies. Volume 28. Nomor 4. 2002.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS Geisser, Vincent. “Intellectual and Ideological Debates on Islamophobia: A French Specifity in Europe,” Institute of Researches and Studies on the Arabic and Muslim World. ____________. “Islamohobia: A French Specifity in Europe?” Human Architecture: Journal of the Sociology of Self Knowledge. Hlm. 39-46. 2010. Janik, Wojciech J. “The threat of Islamic terrorism in Europe.” Elbalg World Scientific Journal, 2016. Mark, Jon. “High Hopes and Low Motives: The New Euro-Mediterranean Partnership Initiative.” Mediterranean Politics . Hlm. 1-24. 1996. Perlmutter, William Rogers. “EUROPEAN UNION FOREIGN POLICY: QUIETLY COLLAPSING DEMOCRACY.” Chapel Hill Journal of Political Science, Volume III. 2014. Rahmawati, Roosi. “Undang-Undang Laicite.” Jurnal Kajian Wilayah Eropa. Volume V. Nomor 1. 2009. Umbach, Frank. “EU-ASEAN Political and Security Dialogue at the Begining of 21 Century: Prospect of Interregional Cooperation on International Terrorism.” Panorama: Insight into Southeast Asian and European Affairs. 2004. Wade, Marianne L. “The European union as a counter–terrorism actor: right path, wrong direction?”. Springer Science and Business Media Journal. Volume X. 2013. Yu. Darya. “Strategic Communication of the EU: The Counter‐Terrorist Aspect.” Sholokov Moscow Journal of Humanitarian Affairs. Volume VI. 2014.
Internet Allen, Chris dan Jorgen S. Nielsen. “Summary Report on Islamophobia in the EU after 11 September 2001.” http://fra.europe.eu/sites/default/files/fra_uploads/199-Synthesisreport_en.pdf, diakses 14 Juni 2015 pukul 8:21 WIB, Surakarta. BBC. “Imigran di Perancis.” http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/03/120307_prancis.shtml, diakses pada 27 Juni 2016 pukul 15:16 WIB, Surakarta. Castle, Stephen T.t. “Islamophobia Takes a Grip Across Europe”. http://www.islamophobia.org/readarticle.php?article_id=76, diakses 14 Juni 2015 pukul 13:11 WIB, Surakarta. Cesari, Jocelyne. “Securitization and Religious Divides in Europe, Muslim in Western Europe After 9/11: Why the Term Islamophobia is more Predicament than an
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS Explanation?”. http://www.euro-islam.info/wpcontent/uploads/pdfs/securitization_and_religious_divides_in_europe.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul 15:21 WIB, Surakarta. Collet, Elizabeth. “The EU Immigration Pact – From Hague to Stockholm.” http://www.epc.eu/TEWN/pdf/304970248_EU%20Immigration%20Pact.pdf, diakses 27 Juni 2016 pukul 15:24, Surakarta. E., Sabir. “Bab I Pendahuluan.” http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/7681/SABIR%20E%2013 108278%20(%20BAB%201%20%20DAFTAR%20PUSTAKA%20).pdf?sequence=2, diakses 27 Juni 2016 pukul 15:28 WIB, Surakarta. European Comission. http://ec.europa.eu/public_opinion/archives/ebs/ebs_225_report_en.pdf, diakses 9 April 2016 pukul 15:36 WIB, Surakarta. European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia. “Muslim in the European Union: Discrimination and Islamophobia.”. http://fra.europa.eu/sites/default/files/fra_uploads/156-Manifestations_EN.pdf, diakses 25 Juni 2016 pukul 15:38 WIB, Surakarta. Johansson-Nogues, Elisabeth. “The Decline of the EU‟s Magnetic Attraction? The European Union in the Eyes of Neighboring Arab Countries and Russia” European Foreign Policy Unit Working Paper No 2011/1. http://www.lse.ac.uk/internationalRelations/centresandunits/EFPU/EFPUpdfs/EFPU workinpaper2011-1.pdf, diakses 25 Juni 2016 pukul 15:46 WIB, Surakarta. Mansfiled, Edward D. dan Etel Solingen, “Regionalism,” Annual Reviews Political Science. http://www.waseda.jp/gsaps/eaui/educational_program/PDF_2/KU_KIM%20DongH un_Reading2_Regionalism.pdf, dilihat pada 20 Juni 2016 18:02 WIB, Surakarta Mix, Derek A. 2015. “The United States and Europe: Current Issues,” Congressional Research Service. https://www.fas.org/sgp/crs/row/RS22163.pdf, diakses 26 Juni 2015 pukul 15:44 WIB, Surakarta. Okezone. 20 April, 2010. “Belgia Larang Penggunaan Cadar.” http://international.okezone.com/read/2010/04/01/18/318365/belgia-larangpenggunaan-cadar, diakses 17 Juni 2015 pukul 19:45 WIB, Surakarta.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS
Skripsi dan Tesis Mayastuti, Vitri. Analisis Budaya Strategis dalam Kerjasam Kontra Teror AS-Uni Eropa. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta.