eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3 (4): 707- 720 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2015
REAKSI UNI EROPA TERHADAP KEGIATAN SPIONASE DATA AMERIKA SERIKAT MELALUI PROGRAM PRISM Dimas Vidyandha Lesmana Abstrak After the Second World War, The United States of America has made a good relationship with The European Union. But after the PRISM Program that made by The United States of America’s government exposed to public on June 2013 by former NSA member, Edward Snowden, their relationship has reduced. The purpose from this research is to explain about how The European Union’s reaction toward The United States of America’s spionage data activity through the PRISM Program is. The type of this research is descriptive. This problem is analyzed using the Constructivism theory, the National Security theory and the Globalization theory. The result showed that the European Union’s reaction made a few impacts and changes into The United States of America and The European Union’s protection data agreement and also made The United States of America’s government had to shut down the PRISM Program and its activities. Kata Kunci: PRISM Program, Constructivism, US-EU Relations Pendahuluan Sejak awal abad ke 20, Amerika Serikat dan Uni Eropa telah memiliki hubungan kerjasama yang baik. Akan tetapi peristiwa pemboman gedung World Trade Center dan gedung Pentagon yang terjadi pada tanggal 11 September 2001 menjadi suatu peristiwa yang mengubah pandangan Amerika Serikat (AS) terhadap dunia. Banyaknya korban jiwa dalam serangan teroris itu mendesak AS untuk segera meningkatkan sistem pertahanan negara mereka agar AS tidak mengalami kejadian serupa di kemudian hari. Timbul keinginan dalam pemerintahan AS untuk memperkuat bidang intelejensinya dengan cara memanfaatkan teknologi internet. Setelah upaya ini gagal diwujudkan dalam program Terrorist Surveillance Program, AS memutuskan untuk meluncurkan program yang bernama Planning tool for Resource Integration Synchronization and Management (PRISM) yang berada dibawah kendali National Security Agency (NSA).
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 707 - 720
Program PRISM dibuat pada tahun 2007 pada masa pemerintahan George W. Bush, dan aktivitasnya berada di bawah kendali badan intelenjensi AS (NSA). PRISM dilindungi oleh hukum/undang-undang yang bernama Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA) yang terbentuk pada tahun 1978 dan disahkan oleh Presiden Jimmy Carter. Lewat sistem pengadilan FISA yang bernama Foreign Intelligence Surveillance Court (FISC), Program PRISM diaktifkan dan mendapat jaminan hukum. Landasan hukum program PRISM juga menjadi semakin kuat setelah Presiden Bush menandatangani kebijakan FISA yang disebut dengan Protect America Act pada tahun 2007. Dengan disahkannya Protect America Act, PRISM memiliki kekuasaan serta kemampuan untuk mendapatkan data/informasi yang diinginkan dari suatu perusahaan non pemerintah tertentu. Dan apabila perusahaan tersebut bekerja sama dengan memberikan data yang diinginkan oleh NSA, maka tindakan tersebut dilegalkan dan dibebaskan dari segala macam tuntutan hukum. PRISM menjadi semakin kuat dan memiliki jaringan informasi yang semakin tidak terbatas. Informasi tentang PRISM baru terungkap pada saat Edward Snowden yang kala itu menjabat sebagai salah satu administrator NSA mempublikasikan dokumen rahasia tentang program PRISM kepada wartawan The Guardian dan The Washington Post dalam kunjungannya ke Hongkong 6 Juni 2013. Surat kabar The Guardian merilis data yang berdasarkan pada dokumen Snowden bahwa Amerika Serikat juga menargetkan kurang lebih 38 kantor kedutaan di seluruh dunia seperti Turki, Italia, Jepang, Prancis, Meksiko ataupun Korea Selatan. Bahkan Uni Eropa, sebagai suatu kawasan yang selama ini dianggap oleh dunia sebagai “sahabat karib” Amerika Serikat tidak luput dari kegiatan penyadapan yang dijalankan Amerika Serikat. Salah satu tempat yang menjadi target utama PRISM adalah kantor-kantor delegasi dari negara-negara anggota Uni Eropa seperti Yunani dan Prancis dan juga kantor kedutaan Uni Eropa yang terpusat di Washington dan New York. Selain itu, Amerika Serikat juga terbukti telah melakukan penyadapan ke kantor Dewan Menteri Uni Eropa di Brussels, Belgia dengan tujuan untuk mengintai kegiatan/perundingan yang terjadi di sana. Snowden juga mengungkapkan bahwa kegiatan spionase data terhadap Uni Eropa dimulai sejak 2010. PRISM memulai aksinya dengan cara membajak mesin fax Uni Eropa di Washington lewat program yang disebut dengan “Dropmire”. Setelah itu pada bulan September 2010, PRISM berhasil masuk ke dalam jaringan komputer di kantor diplomat Uni Eropa yang terdapat di Washington dan memantau kantor kedutaan besar beberapa negara tertentu yang berasal dari kawasan Uni Eropa, antara lain Jerman, Italia, Yunani dan Prancis.
708
Reaksi UE Terhadap Kegiatan Spionase Data AS melalui PRISM (Dimas Vidyandha L)
Menurut laporan lebih lanjut juga disebutkan bahwa Jerman merupakan negara yang paling dimata-matai lebih dari negara-negara Eropa lainnya. Tidak kurang dari 20 juta sambungan telepon dan 10 juta data internet dari Jerman diakses setiap harinya oleh NSA lewat PRISM. Setelah kegiatan PRISM terhadap Uni Eropa terungkap, reaksi keras mulai muncul dari Uni Eropa. Timbul ketidakpuasan terhadap pemerintah AS dari para penduduk Uni Eropa di berbagai daerah di Eropa akibat aktivitas yang dilakukan PRISM. Puncaknya, demonstrasi besar terjadi pada tanggal 18 dan 19 Juni 2013 di Berlin yang diprakarsai oleh kelompok Digitalle Gesselchaft. Program PRISM juga merusak kepercayaan Uni Eropa terhadap AS dan juga mempengaruhi jalannya perundingan program Data Protection Umbrella Agreement yang tengah berjalan antara keduanya. Selain itu, terungkapnya kerjasama antara PRISM dengan berbagai situs internet seperti Google, Facebook, Microsoft dan lain sebagainya membuat harga saham dari berbagai perusahaan internet tersebut sempat mengalami penurunan. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana reaksi dari Uni Eropa terhadap kegiatan spionase data AS melalui Program PRISM. Kerangka Dasar Konsep Konstruktivisme Konstruktivisme muncul untuk memberikan suatu pandangan bahwa realitas sosial tidak bisa dilihat sebagai suatu yang secara alamiah (given) ada dengan sendirinya dan independen dari interaksi (rasionalis) dan sebaliknya tidak bisa juga dilihat sebagai sesuatu yang nihil atau tidak ada dan sematamata hanya dilihat sebagai refleksi ide-ide manusia (reflektifis). Pandangan konstruktivis terhadap realitas hubungan internasional pada dasarnya muncul untuk membantah pandangangan neorealis. Sebagai perbandingan dalam hal yang menyangkut tentang anarchy, Neorealis selalu memandang realitas hubungan internasional sebagai sesuatu yang anarkis. Kondisi tersebut sifatnya given (ada dengan sendirinya) baik keberadaannya dan sifatnya yang permissive. Konsep “permissive” merujuk pada kondisi yang memungkinkan negara-negara untuk berperang. Dalam konteks ini perang terjadi karena tidak ada yang mencegah negara-negara untuk berperang. Sifat alamiah manusialah atau keadaan politik domestik negara predator yang menyebabkan terjadinya konflik. Sedangkan menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada pemahamannya (meanings) yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional. Setiap bentuk tindakan negara misalnya melakukan perang atau menjalin hubungan baik, ataupun memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan hubungan dengan negara lain,
709
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 707 - 720
semuanya didasarkan oleh pemahaman negara tersebut yang muncul dari interaksinya dengan negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Dalam pandangan konstruktivisme, tindakan/perilaku negara memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional. Dan sebaliknya, sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan pemahaman bersama atau collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan/perilaku dari setiap negara. Aliran konstruktivisme juga mengungkapkan bahwa material (power and economic distribution, military capabilities, geography capabilites and natural resources, etc.) dan “ideational forces” juga turut menentukan lingkungan sosial aksi politis tersebut. Salah seorang ahli konstruktivis bernama Alexander Wendt mengungkapkan bahwa “Anarchy is what the state make of it”. Wendt mengungkapkan bahwa aksi dan reaksi suatu negara merupakan hasil dari proses interaksi suatu negara itu sendiri dalam interaksi internasionalnya. Jadi aksi dan reaksi inilah yang pada akhirnya mempengaruhi sistem internasional itu sendiri. Lebih lanjut Wendt juga mengungkapkan bahwa pada dasarnya apa yang paling diinginkan oleh individu maupun kelompok bukanlah keamanan atau kekuatan ataupun kekayaan, tetapi pengakuan dan penghargaan akan hak mereka. Maka apabila ditarik kesimpulannya, point-point penting dari pandangan Alexander Wendt adalah sebagai berikut: (1) Menolak pendapat neorealis bahwa sistem anarki untuk self-help, (2) Hasil dari anarki berdasarkan interaksi antar negara, (3) Berbagai collective meanings membentuk struktur bersama. Kesimpulannya adalah interaksi sosial antara negara-negara membentuk persepsi pada masing-masing negara. Persepsi ini kemudian membentuk identitas dan kepentingan dari negara-negara tersebut. Identitas dan kepentingan tersebut kemudian mengatur perilaku dan hubungan yang terjadi antara negara satu dengan negara lainnya, baik itu bersifat permusuhan (enmity) atau sekutu (amity). Konsep Keamanan Nasional Konsepsi keamanan nasional demikian mendapat tantangan serius dengan berakhirnya Perang Dingin. Berbagai upaya untuk memperluas makna keamanan mulai mendapat tempat, baik dalam diskursus akademik maupun di kalangan praktisi. Konsepsi mengenai “keamanan” tidak lagi didominasi oleh pengertian yang bersifat militer, yakni yang menekankan aspek konflik antar negara, khususnya yang berkaitan dengan aspek ancaman terhadap integritas wilayah nasional (konsep keamanan teritorial).
710
Reaksi UE Terhadap Kegiatan Spionase Data AS melalui PRISM (Dimas Vidyandha L)
Namun, berakhirnya Perang Dingin telah memperkuat pemahaman konsep keamanan dari sudut pandang menyeluruh, yakni melalui konsep keamanan komprehensif (comprehensive security). Dengan kata lain, pemahaman konsep “keamanan nasional” tidak tepat jika mengacu kepada dimensi ruang (space), baik internal maupun eksternal, tetapi pada suatu totalitas mengenai “kemampuan negara untuk melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti (core values), yang pencapaiannya merupakan sebuah proses terusmenerus, dengan menggunakan segala elemen power dan resources yang ada serta melingkupi semua aspek kehidupan.” Pemahaman demikian akan membantu kita dalam menempatkan Kebijakan Keamanan nasional sebagai payung bersama dalam merumuskan berbagai strategi majemenen ancaman (threat management), baik ancaman dari dalam maupun dari luar, sehingga tercipta sinergi nasional dalam menyelesaikan berbagai problem yang terus melanda suatu negara itu sendiri. Jadi bisa disimpulkan bahwa pada era globalisasi seperti sekarang, dimana dunia berada pada kekuasaan multipolar, keamanan nasional menjadi suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kepentingan nasional suatu negara itu sendiri. National interest suatu negara selalu berkaitan dan berada pada jalur yang sama dengan upaya mempertahankan keamanan nasional negara itu sendiri. Karena sifat yang kompetitif diantara bangsa-bangsa, keamanan nasional yang dijalankan oleh negara yang mempunyai nilai sumber daya yang signifikan didasarkan kepada tindakan-tindakan teknis dan proses operasional. Strategi ini berpusat kepada perlindungan informasi yang berkaitan dengan rahasia negara untuk persenjataan bagi militer hingga strategi untuk bernegosiasi dengan negara bangsa lain. Konsep Globalisasi Globalisasi merupakan sebuah konsep yang masih diperdebatkan oleh para ahli di bidang ilmu, karena setiap aspek bidang ilmu melihat proses globalisasi melalui beberapa pandangan. Kaum Marxis berpendapat bahwa globalisasi tidaklah membawa suatu perubahan dan peningkatan kualitas tatanan politik dunia, sebaliknya, globalisasi dianggap sebagai wujud baru kapitalisme barat yang hanya semakin memperjelas predikat negara maju dan berkembang. Globalisasi justru pada akhirnya memperlebar jurang di antara negara miskin dan kaya. Tidak terdapat perubahan yang signifikan pada negara-negara terbelakang dari sebelum terjadinya globalisasi hingga saat ini ketika globalisasi gencar dibicarakan. Hal itu disebabkan karena memang modal yang berperan serta keuntungan yang didapat masih terkonsentrasi di negara-negara maju saja seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang dan beberapa negara maju di Eropa.
711
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 707 - 720
Sehingga yang diuntungkan dari globalisasi adalah negara-negara tersebut, sedangkan negara-negara miskin semakin menjadi oleh derasnya arus globalisasi. Menurut kaum liberal, revolusi teknologi dan komunikasi membuat negara bukan lagi sebagai sebuah unit yang tertutup seperti sebelumnya. Hubungan antar negara saat ini dapat dianalogikan seperti sebuah cobweb, dimana interaksi antar negara adalah menjadi bersifat mudah ditembus. Pandangan ini diperkuat dengan Thomas L. Friedman yang menyatakan bahwa globalisasi memiliki dimensi ideologi dan teknlogi. Globalisasi dalam dimensi ideologi yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan globalisasi dalam dimensi teknologi adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia. Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan informasi atau yang dikenal dengan istilah cyber space, sehingga memungkinkan komunikasi bersifat masal, menyentuh hampir di semua bidang kehidupan masyarakat, termasuk aspek kehidupan manusia secara personal. Proses interaksi antarmanusia atau masyarakat menjadi semakin tinggi akibat dari adanya kemajuan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi. Perkembangan ini menyebabkan manusia semakin cepat mengetahui apa yang terjadi di sisi dunia yang letaknya berjauhan serta semakin cepat mencapai wilayah (daerah) yang letaknya berkilo-kilo meter jauhnya. Dunia menjadi sebuah desa global (global village), karena antar bagian dunia, baik pelosok terpencil maupun perkotaan, sudah saling berhubungan dan berkaitan. Metode Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis, dimana penulis menjelaskan bagaimana reaksi Uni Eropa terhadap kegiatan spionase data Amerika Serikat melalui Program PRISM. Data-data yang disajikan adalah data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka dan literatur-literatur seperti buku, internet, dan lain-lain. Teknik analisis data yang digunakan yaitu teknik telaah pustaka. Pembahasan Permasalahan dimulai saat serangan 9/11 memicu perubahan pada kepentingan nasional dan identitas AS. Keamanan nasional AS kini menjadi fokus utama dalam kepentingan nasional AS pasca serangan 9/11. Pemerintah AS menjadi lebih protektif terhadap keamanan nasionalnya dan bertekad untuk menjaga keamanan nasionalnya dari berbagai macam ancaman eksternal, dengan melakukan berbagai macam cara yang dirasa perlu untuk dilakukan demi menjaga keamanan nasional AS. Selain itu, peristiwa 9/11 juga membuat perubahan pada identitas AS. Besarnya akibat dari serangan 9/11 yang dialami AS membuat Pemerintah AS merasa tidak lagi dapat mempercayai siapapun di dunia ini.
712
Reaksi UE Terhadap Kegiatan Spionase Data AS melalui PRISM (Dimas Vidyandha L)
Usaha pemerintah AS untuk melindungi keamanan nasionalnya membuat rasa curiga dan kewaspadaan AS terhadap negara/kawasan lain menjadi semakin meningkat, bahkan negara/kawasan yang selama ini dianggap sebagai sekutu AS sendiri tidak luput dari rasa curiga dan kewaspadaan AS. Tingginya rasa curiga dan kewaspadaan membuat pemerintah AS kini menjadi bersikap lebih keras terhadap negara/kawasan yang menjadi rival/lawan politiknya serta bersikap lebih waspada terhadap negara/kawasan yang selama ini dianggap sebagai sekutunya. Perubahan identitas serta usaha pemerintah AS untuk memperbaiki keamanan nasionalnya inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya program yang diberi nama Planning tool for Resource, Integration, Synchronization and Management (PRISM), yang dalam perkembangannya menjadi sebuah kegiatan spionase data yang menargetkan hampir setiap negara di seluruh dunia. Untuk memahami mengapa dan bagaimana Uni Eropa bereaksi terhadap Program PRISM, penulis memilih untuk menggunakan pendekatan konstruktivis. Menurut pandangan Wendt, anarchy is what the state make of it. Sifat anarki dalam sebuah negara bukan sesuatu yang bersifat given, tapi lebih dikarenakan perbedaan identitas dan meanings yang terdapat antara negara satu dengan negara yang lain. Perbedaan identitas dan meanings ini yang kemudian membuat suatu negara menjadi bersikap tidak patuh terhadap aturan dan membuat negara tersebut menjadi bersifat anarki sehingga membuat negara/kawasan lainnya bereaksi. Setelah peristiwa 9/11, terjadi perubahan pada kepentingan dan identitas AS sebagai suatu negara. Pemerintah AS merasa tidak lagi dapat mempercayai lawan maupun sekutunya sendiri dan memicu AS untuk bersikap anarki demi menjaga keamanan nasionalnya. Menurut AS, Program PRISM adalah sebuah Program yang sah/legal karena dijalankan demi kepentingan nasional AS sendiri, yakni untuk menjaga keamanan nasionalnya dari serangan teroris. Sedangkan menurut Uni Eropa, Program PRISM adalah sebuah program yang melanggar aturan dan dapat mengancam kedaulatan kawasannya sehingga timbul reaksi yang keras dari Uni Eropa terhadap Program PRISM. Selain itu, reaksi keras dari Uni Eropa juga muncul dikarenakan perubahan perilaku AS terhadap Uni Eropa. AS yang sebelumnya memperlakukan Uni Eropa sebagai sekutunya dan hubungan diantara keduanya sebelumnya berjalan dengan baik, kini AS bersikap lebih waspada bahkan cenderung menempatkan Uni Eropa sebagai rival/lawan politiknya pasca serangan teroris 9/11 dan hubungan diantara keduanya mengalami gangguan. Hal ini dibuktikan dengan berjalannya Program PRISM yang menjadikan Uni Eropa sebagai salah satu targetnya.
713
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 707 - 720
Perbedaan pandangan mengenai Program PRISM serta perubahan perilaku AS terhadap Uni Eropa inilah yang kemudian membuat Uni Eropa bereaksi terhadap aktivitas Program PRISM. Aktivitas Program PRISM juga mendorong Uni Eropa untuk lebih meningkatkan keamananan kawasannya demi menjaga kedaulatannya serta melindungi privasi warga kawasan Uni Eropa. Karena itu Uni Eropa bereaksi terhadap program PRISM dengan cara merubah sistem perlindungan data Uni Eropa demi menjaga kedaulatannya, serta menuntut pemberhentian Program PRISM. Merubah Sistem Perlindungan Data Uni Eropa Aktivitas yang dilakukan program PRISM membuat privasi/keamanan dari setiap warga Uni Eropa terancam dan sangat mengganggu kedaulatan Uni Eropa. Selain mengecam dan menuntut agar kegiatan spionase data program PRISM dihentikan, Uni Eropa juga bersiap untuk melakukan perubahan dalam sistem perlindungan data mereka. Sebelum program PRISM terungkap, AS dan Uni Eropa telah menjalin kesepakatan dalam program pertukaran data yang disebut dengan program Safe Harbor sejak tahun 2001. Program ini diajukan oleh AS kepada Uni Eropa pasca serangan teroris 9 November 2001, dengan maksud untuk menghindari dan mencegah terjadinya serangan terorisme. Akan tetapi, Uni Eropa tidak memiliki sebuah program/sistem serta peraturan yang cukup kuat untuk meminimalisasi serta mengawasi data yang keluar masuk dari Uni Eropa. Inilah yang kemudian membuat program PRISM dapat berjalan melalui beberapa perusahaan internet besar seperti Google ataupun Microsoft. PRISM memiliki kebebasan untuk mengakses setiap data pribadi dari warga Uni Eropa dan memberikan sejumlah data/informasi tersebut kepada pemerintah AS. Setelah PRISM terungkap, maka Uni Eropa segera bersiap untuk melakukan perubahan dalam sistem perlindungan data Uni Eropa. Perubahan yang dimaksud adalah penambahan Pasal 42 ke dalam Undang-Undang perlindungan data Uni Eropa serta segera mengaktifkan program Data Protection Umbrella. Apabila pasal 42 disetujui untuk dimasukkan ke dalam Peraturan Perlindungan Data Uni Eropa, maka akan dibutuhkan ijin terlebih dahulu dari Uni Eropa sebelum perusahaan-perusahaan asing yang berada/berlokasi di Uni Eropa dapat menyerahkan data-data pribadi dari warga Uni Eropa yang bekerja di perusahaan tersebut kepada negara/pemerintahan dimana tempat perusahaan asing ini berasal. Pasal 42 ini sebelumnya dicoret dari Peraturan Perlindungan Data Uni Eropa karena banyak keberatan-keberatan yang diajukan oleh negaranegara lain yang memiliki perusahaan di Uni Eropa, salah satunya adalah AS. AS berargumen bahwa Pasal 42 ini akan menghalangi pemerintahan AS dalam usahanya melawan terorisme.
714
Reaksi UE Terhadap Kegiatan Spionase Data AS melalui PRISM (Dimas Vidyandha L)
Selain itu AS juga memberikan argumen lain dengan mengatakan bahwa apabila Pasal 42 ini diberlakukan, maka dikhawatirkan akan menimbulkan perselisihan antara Uni Eropa dengan negara lain apabila saat negara tersebut bermaksud untuk meminta informasi/data yang diinginkan, namun tidak diijinkan oleh Uni Eropa. Hingga memasuki awal tahun 2015, perundingan mengenai Pasal 42 ini masih terus berlangsung dan tengah memasuki tahap akhir. Selain usaha pemberlakuan Pasal 42, Uni Eropa juga masih terus melakukan perundingan dengan AS mengenai program Data Protection Umbrella yang sudah berlangsung sejak Maret 2011. Pasca program PRISM dipublikasikan, Uni Eropa terus menekan pemerintah AS dengan cara terus menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dengan pejabat AS yang bersangkutan agar Data Protection Umbrella segera disahkan. Menurut data yang dirilis oleh Uni Eropa, perundingan mengenai Data Protection Umbrella sudah mencapai 95 persen. Hal ini dikarenakan masih ada satu masalah utama yang belum terselesaikan dalam perundingan ini. Uni Eropa menuntut agar warga negara yang berasal dari kawasan Uni Eropa yang berada di AS mendapat perlindungan yang sama dengan warga negara AS di Uni Eropa, yakni dapat menempuh jalur hukum apabila data pribadinya disalahgunakakan. Sejauh ini AS hanya sepakat untuk memberlakukan aturan itu hanya bagi warga negaranya yang berada di Uni Eropa saja namun tidak demikian sebaliknya. Akan tetapi setelah PRISM terungkap pada publik, Jaksa Agung AS, Eric Holder yang mewakili pemerintahan Barrack Obama telah setuju untuk lebih meningkatkan privasi dan keamanan bagi warga negara Uni Eropa yang berada di AS. Pada pertemuan yang terjadi di Athena November 2014 itu, Holder juga mengungkapkan bahwa hal ini dilakukan untuk mengurangi ketegangan yang meningkat di antara AS dan Uni Eropa pasca Program PRISM terungkap. Dalam pertemuan tersebut Uni Eropa yang diwakili wakil ketua Komisi Eropa, Vivianne Redding juga terus berupaya meyakinkan pemerintah AS bahwa Data Protection Umbrella ini juga akan memberikan manfaat bagi AS untuk dapat menghindari/mengawasi kegiatan terorisme karena Data Protection Umbrella akan mempermudah keluar masuknya informasi/data yang diinginkan oleh pemerintah AS dari Uni Eropa tanpa harus mengancam kedaulatan dari Uni Eropa sendiri, seperti halnya yang dilakukan program PRISM. Sedangkan bagi Uni Eropa sendiri, Data Protection Umbrella akan bermanfaat untuk memperkuat kedaulatan Uni Eropa dan mencegah Uni Eropa menjadi korban dari kegiatan spionase data yang mungkin akan terjadi berikutnya. Selain itu, Uni Eropa juga dapat memiliki kesempatan dan kemampuan yang lebih besar untuk mampu memberikan perlindungan yang maksimal bagi keamanan ataupun privasi dari setiap warga Uni Eropa.
715
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 707 - 720
Tuntutan Penghentian Program PRISM Setelah Program PRISM terungkap, berbagai kecaman dan pernyataan keras bermunculan baik dari Uni Eropa maupun negara-negara anggota Uni Eropa yang menjadi korban dari kegiatan spionase data program PRISM. Dalam konferensi pers dengan seluruh anggota parlemen Uni Eropa tanggal 19 Juni 2013, Presiden Parlemen Eropa Martin Schulz menuntut agar pemerintahan AS memberikan penjelasan kepada Uni Eropa mengenai program PRISM. Lebih lanjut Schulz juga mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan program PRISM telah memberikan dampak negatif terhadap hubungan AS dan Uni Eropa sehingga program PRISM harus segera dihentikan segala aktivitas maupun eksistensinya. Pada tanggal 11 Juni 2013, Parlemen Uni Eropa mengadakan debat bersama mengenai program PRISM yang beranggotakan seluruh anggota Komisi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Urusan Sipil Uni Eropa dan beberapa politikus dari negara-negara di Eropa yang aktif bergerak dalam bidang perlindungan data. Dalam pertemuan ini, kecaman diungkapkan oleh Manfred Weber, anggota dari Komisi Hukum Uni Eropa. Weber mengungkapkan bahwa program PRISM membuat pemerintahan AS dibawah pimpinan Obama menjadi sama buruknya dengan pemerintahan AS dibawah pimpinan George W. Bush. Menteri Luar Negeri Luxembourg, Jean Asselborn mengecam program PRISM sebagai sebuah tindakan yang sudah diluar batas kontrol. Selain mengecam, tindakan lainnya dilakukan oleh pemerintah Rusia, yakni dengan mengijinkan Edward Snowden untuk mencari suaka di Rusia setelah Snowden dinyatakan bersalah karena membongkar rahasia negara kepada publik dan dicari oleh pemerintahan AS untuk menjalani persidangan dan hukuman. Reaksi keras juga dilakukan oleh Vivianne Redding, wakil ketua Komisi Eropa. Dalam jumpa pers di Brussels tanggal 11 Juni 2013, Redding mengungkapkan bahwa dirinya telah memberikan surat kepada Jaksa Agung AS, Jenderal Eric Holder. Dalam surat tersebut Redding yang mewakili Uni Eropa mengungkapkan tujuh pertanyaan yang tidak dipublikasikan kepada publik dan mengharapkan dengan segera balasan dari pemerintah AS terkait pertanyaannya tersebut. Apabila pemerintah AS tidak segera memberikan pernyataan resmi kepada Uni Eropa mengenai program PRISM, Redding mengancam bahwa Uni Eropa akan menghentikan program Safe Harbor dan berbagai kerjasama pertukaran maupun perlindungan data yang lainnya dengan pemerintah AS. Lebih lanjut, Redding juga mengungkapkan kecamannya terhadap aktivitas program PRISM dengan mengungkapkan program PRISM sebagai “sebuah kegiatan yang tidak pantas untuk dilakukan terhadap rekan/sekutu” dan menuntut agar program PRISM segera dihentikan.
716
Reaksi UE Terhadap Kegiatan Spionase Data AS melalui PRISM (Dimas Vidyandha L)
Kecaman dan reaksi dari Uni Eropa terhadap kegiatan spionase data yang dilakukan oleh pemerintah AS melalui program PRISM membuat pemerintah AS segera bereaksi untuk menanggapinya. Secara umum, tanggapan dan reaksi pemerintah AS adalah mengakui keberadaan dan aktivitas PRISM. Namun pemerintah AS menolak anggapan bahwa program PRISM merupakan sebuah program yang melanggar hukum karena dianggap telah melanggar hak asasi manusia. Selain membenarkan keberadaan program PRISM, pemerintah AS juga bereaksi keras terhadap aksi Edward Snowden yang mempublikasikan aktivitas dan keberadaan program PRISM kepada publik. Dalam pertemuan Kongres yang diadakan pada tanggal 14 Juni 2013 di Washington, Direktur Federal Bureau of Investigation (FBI) Robert Muller mengungkapkan pentingnya aktivitas program PRISM untuk melindungi AS dari serangan teroris. Karena itu Robert Muller menegaskan kepada Kongres bahwa Edward Snowden harus ditangkap dan dihukum karena perbuatannya membuat pemerintah AS kini rawan dalam menerima serangan terorisme. Akhirnya pada hari yang sama, jaksa penuntut AS menuntut Edward Snowden dengan tuduhan mencuri properti/dokumen milik negara, dan pelanggaran undang-undang 1917 Espionage Act dengan bersedia berkomunikasi dan berdiskusi dengan pihak tertentu yang tidak terkait mengenai keamanan negara. Sejak saat itu, pemerintah AS menetapkan Edward Snowden sebagai terdakwa dalam kasus publikasi Program PRISM dan menjadi buronan untuk diadili oleh pemerintah AS. Akhirnya pada tanggal 14 Juni 2013, Vivianne Redding dan Eric Holder bertemu di Dublin dalam sebuah pertemuan untuk membahas mengenai program PRISM. Dalam pertemuan tersebut keduanya telah sepakat bahwa solusi terbaik untuk memperbaiki hubungan ini adalah menyelesaikan perundingan Data Protection Umbrella secepat mungkin. Holder juga mengungkapkan bahwa pihak AS akan berusaha untuk bersikap lebih kooperatif dalam perundingan ini agar Data Protection Umbrella bisa cepat terealisasikan. Memasuki tahun 2015, Uni Eropa dan AS masih terlibat dalam perundingan Data Protection Umbrella. Perundingan ini dijadwalkan selesai pada bulan Oktober 2015. Sedangkan perundingan untuk memasukkan pasal 42 ke dalam Peraturan Perlindungan Data Uni Eropa dijadwalkan akan selesai sebelum akhir tahun 2015. Edward Snowden masih berada dalam perlindungan suaka Rusia dan menolak untuk kembali ke AS karena merasa dirinya tidak akan mendapatkan pengadilan yang adil di AS. Pada bulan Desember 2014, Edward Snowden dianugerahi penghargaan medali Carl Von Ossietzky oleh International League For Human Rights di Berlin patas keberaniannya mempublikasikan Program PRISM demi membela hak asasi manusia.
717
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 707 - 720
Meskipun kegiatan spionase data AS di Uni Eropa melalui program PRISM sempat menimbulkan gangguan pada hubungan AS-Uni Eropa dan menyebabkan Uni Eropa sempat bereaksi dengan keras, namun Uni Eropa tidak serta merta memutuskan hubungan dengan AS dan menjadikan AS sebagai musuhnya. Hubungan baik yang sudah terjalin sejak lama antara AS dan Uni Eropa membuat Uni Eropa memilih untuk melakukan perundingan secara damai dan tidak dengan menggunakan kekerasan. Uni Eropa dan AS sepakat untuk tetap mempertahankan hubungan mereka sebagai sekutu (amity). Hal ini dapat dilihat dari kesediaan Uni Eropa untuk tetap melanjutkan perundingan Data Protection Umbrella hingga memasuki tahun 2015 ini. Kesimpulan AS dan Uni Eropa sebenarnya telah menjalin hubungan kerjasama antar negara yang baik. Namun pasca serangan teroris 9 November 2001 yang dialami oleh AS, terjadi perubahan identitas dan pandangan pada pemerintah AS yang membuat AS menjadi lebih bersikap keras terhadap rival/lawan politiknya serta lebih waspada terhadap sekutunya. Perubahan identitas dan pandangan AS inilah yang melatar belakangi terbentuknya Program PRISM yang menargetkan berbagai negara di dunia termasuk sekutu AS, yakni Uni Eropa. Bagi Uni Eropa, aktivitas program PRISM mengubah identitas serta pandangan Uni Eropa terhadap AS yang sebelumnya diperlakukan dengan penuh kepercayaan oleh Uni Eropa. Uni Eropa mulai bersikap lebih waspada terhadap AS dan lebih mengutamakan perlindungan terhadap kedaulatan kawasannya. Inilah yang kemudian mendorong Uni Eropa untuk bereaksi terhadap Program PRISM dengan cara menuntut kepada pemerintah AS agar Program PRISM dihentikan serta merubah sistem perlindungan data Uni Eropa. Akibat reaksi dari Uni Eropa, pemerintah AS mengakui keberadaan Program PRISM dan setuju untuk menghentikan segala kegiatannya. Pemerintah AS juga sepakat untuk bersikap lebih kooperatif dalam perundingan Data Protection Umbrella dengan Uni Eropa yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan dan privasi dari setiap warga negara AS dan Uni Eropa. Referensi Buku Al-Mashat, Abdul-Monem. 1985. National Security in the Third World. USA. Boulder, Col.: Westview Press. Azar, Edward E. dan Moon, Chun-In. 1988. Keamanan nasional in the Third World: The Management of Internal and External Threats. England. Edward Elgar.
718
Reaksi UE Terhadap Kegiatan Spionase Data AS melalui PRISM (Dimas Vidyandha L)
Buzan, Barry. 1987. People, States and Fear: The National Security Problem in The Third World dalam Edward E. Azar dan Chun-In Moon, eds. Third World National Security: Concepts, Issues and Implications. Lexington. University of Kentucky Press. Decron, Chris. 2001. Speed Space. London. Virillio Live : Ed. John Armitage. Giddens, Anthony. 2002. Runaway World. London. Profile Books Ltd Hartman, Frederick H. 1967. The Relations of Nations. New York. Macmillan. Linklater, Andrew. 2005. Theories of International Relations. London. Palgrave Macmillan. Smit, Christian Reus. 2005. Constructivism dalam Andrew Linklater, ed. Theories of International Relations. London. Palgrave Macmillan. E-Journal Pouliot, Vincent. “The Essence of Constructivism” (http://commons.wvc.edu/jminharo/pols101/Articles%20to%20Choose %20From/The%20Essence%20of%20Construcvtivism.pdf, diakses pada tanggal 13 November 2013) Wendt, Alexander. “Anarchy is what states make of it: the social construction of power politics” (http://ic.ucsc.edu/~rlipsch/Pol272/Wendt.Anarch.pdf diakses pada tanggal 13 November 2013) Internet Gates, David E. Through a Glass, Darkly. http://www.sleuthsayers.org/ 2013/ 06/ through -glass- darkly. html (diakses pada tanggal 11Maret 2014) Hammil, Jasper. PRISM leaks: WTF, you don't spy on your friends, splutters EU. http://www. theregister.co.uk /2013/ 07 /01/german _ rage _at_ us_surveillance_project/ (diakses pada tanggal 20 Desember 2013) Levs, Josh and Shoichet, Catherine E. Europe furious, 'shocked' by report of U.S. spying http:// edition. cnn. com / 2013 / 06 / 30 / world / europe / eu - nsa, (diakses pada tanggal 18 Oktober 2013)
719
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 707 - 720
Nakashima, Ellen. For NSA Chief, Terrorist Threat Drives Passion to ‘Collect It All’. http://www.washingtonpost.com/world/national-security/for-nsa-chiefterrorist-threat-drives-passion-to-collect-it-all/2013/07/14/3d26ef80ea49-11e2-a301-ea5a8116d211_story.html (diakses pada tanggal 21 Juni 2014) Poitras, Laura, Rosenbach, Marcel and Stark, Holger. Codename 'Apalachee': How America Spies on Europe and the UN. http://www.spiegel.de/international/world/secret-nsa-documents-showhow-the-us-spies-on-europe-and-the-un-a-918625.html (diakses pada tanggal 11 Maret 2014) Schmitz, Gregor Peter. SWIFT Suspension? EU Parliament Furious about NSA Bank Spying http://www.spiegel.de/international/europe/nsa-spying-europeanparliamentarians–call–for–swift-suspension- a - 922920.html (diakses pada tanggal 21 Oktober 2013) Sugarman, Jacob. “You can’t have a 100 percent security and also have 100 percent privacy”. http:// www.salon.com/ 2013/ 06/ 07/ you_cant_have_100_ percent_security_and_ also_have_100 _percent_ privacy/ Travis, Alan, Ackerman, Spencer and Lewis, Paul. Europe warns US: you must respect the privacy of our citizens. http://www.theguardian.com/world/2013/jun/11/europe-us-privacy (diakses pada tanggal 8 Januari 2015)
720