KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh Estri Hardianti NIM: 1111113000057
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015M
KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh Estri Hardianti NIM: 1111113000057
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015M
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul: KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013
1.
Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya besedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Juni 2015
Estri Hardianti NIM. 1111113000057
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa: Nama
:
Estri Hardianti
NIM
:
1111113000057
Program Studi :
Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul: KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013 dan telah memenuhi syarat untuk diuji.
Jakarta, 13 Juni 2015
Mengetahui,
Menyetujui,
Ketua Program Studi
Pembimbing
Debbie Affianty, M.Si.
Andar Nubowo, DEA.
NIP.
NIP.
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013 oleh: Estri Hardianti 1111113000057
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Juni 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua Sidang,
Debbie Affianty, M.A NIP. Penguji I,
Penguji II,
Eva Mushoffa, M,A.
Ahmad Alfajri, M.A.
NIP.
NIP.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 24 Juni 2015. Ketua Program Studi FISIP UIN Jakarta
Debbie Affianty, M.A NIP.
iv
ABSTRAKSI Penelitian ini menjelaskan kebijakan Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran pada periode tahun 2009-2013. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran dunia internasional terhadap sifat nuklir Iran. Pemerintah Iran secara resmi selalu menyatakan bahwa program nuklir Iran bertujuan damai. Walaupun Iran terikat dengan Non-Proliferation Treaty, hingga saat ini, belum ada satu pun pihak yang mampu mengkonfirmasi bahwa nuklir Iran bersifat damai dan tidak ada keinginan Iran untuk membangun senjata nuklir. Di tengah ketidakpastian keamanan internasional karena proliferasi nuklir Iran, Uni Eropa secara aktif hadir sebagai negosiator utama dalam masalah nuklir Iran. Proliferasi senjata pemusnah masal diidentifikasikan sebagai ancaman paling berbahaya dalam European Security Strategy, hingga Uni Eropa membentuk strategi untuk melawan proliferasi senjata pemusnah masal. Upaya Uni Eropa menghadapi beberapa tantangan dan hambatan internal, maupun eksternal. Namun, ditengah tantangan tersebut, Uni Eropa harus mempunyai sikap dan mampu menjalankan komitmennya yang sejalan dengan kerangka keamanan Uni Eropa dalam bidang proliferasi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kebijakan yang digunakan Uni Eropa untuk menghentikan proliferasi nuklir Iran. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah diplomasi, sanksi, multilateralism, common interest, dan liberalisme institusionalis sebagai paradigma utamanya. Liberalisme institusionalis digunakan untuk memberi gambaran umum bahwa institusi internasional seperti Uni Eropa penting dalam hubungan internasional. Dalam konteks ini, kehadiran Uni Eropa dianggap penting dan mampu untuk menyelesaikan masalah proliferasi nuklir Iran. Common interest atau kepentingan bersama digunakan untuk memberikan latar belakang kesediaan Uni Eropa untuk ikut terlibat dalam masalah nuklir Iran. Dalam hasil penelitian, kebijakan yang digunakan Uni Eropa untuk menghentikan proliferasi nuklir Iran adalah melalui diplomasi dan penjatuhan sanksi ke Iran. Diplomasi dan sanksi termasuk dalam strategi effective multilateralism Uni Eropa. Selain karena Uni Eropa memiliki sumber daya akan soft power, Uni Eropa juga memiliki pandangan bahwa soft power akan lebih efektif daripada hard power untuk mengatasi masalah proliferasi nuklir Iran.
Kata Kunci: Nuklir, Iran, Uni Eropa, Proliferasi, Diplomasi, Sanksi, European Security Strategy.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW beserta para sahabat dan keluarganya. Atas segala rahmat dan karunia-Nya, serta segala petunjuk dan kemudahan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu guna memenuhi
syarat
memperoleh
gelar
S.Sos,
Program
Studi
Hubungan
Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi yang berjudul “Strategi Uni Eropa dalam Menghentikan Proliferasi Nuklir Iran Tahun 2009-2013” tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka, pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Kedua orang tua, adik, dan keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Terutama ibu yang selalu memberikan doa, semangat dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. 2. Ibu Debbie Affianty, M.A., selaku Ketua Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Andar Nubowo, DEA., selaku Dosen Pembimbing Skripsi, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan yang penuh ilmu dan manfaat bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
vi
4. Bapak Ahmad Alfajri, M.A selaku penguji I dan Ibu Eva Mushoffa, M.A selaku penguji II, yang telah menguji kelayakan skripsi ini dan memberikan kritik serta saran untuk perbaikan skripsi ini. 5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan berbagai mata kuliah yang menarik, dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis, baik secara akademik maupun nonakademik. 6. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Yahya Hidayat, Reza Tri Satria, Naeli Fitria, Mawaddah, Fitra Laela, Asriyani Yudhar, Andi Cintana Nurmilad, Sevira Arta, atas dukungan, kebersamaan dan kegembiraan selama menjalani studi. 7. Teman-teman HIVEN B, terima kasih untuk keseruan, keceriaan dan kebersamaan selama masa perkuliahan. Serta terima kasih untuk seluruh teman-teman Program Studi Hubungan Internasional angkatan 2011. Semoga segala bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis akan memperoleh imbalan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi literatur studi hubungan internasional. Jakarta, 24 Juni 2015
Estri Hardianti
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………..………………………………i PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME…..…..……………………………ii PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI…..…………… ………………..iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI…..…………………………….iv ABSTRAKSI……….………………………..………………………………..…v KATA PENGANTAR…………………………….………………..………..…vi DAFTAR ISI………………………………………………………..………….viii DAFTAR TABEL…………………………………………………...……….…xii DAFTAR GAMBAR………………………………………………..…………xiii DAFTAR GRAFIK……………………………………………………………xiv DAFTAR SINGKATAN…………………………………………….….……..xv
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………….1 I.1. Pernyataan Masalah…………………..………………………1 I.2. Pertanyaan Penelitian…………………..……….………..….10 I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………...…………10 I.4. Tinjauan Pustaka………………………...……….………….10 I.5. Kerangka Pemikiran………………………...…….…………12 I.5.1. Common Interest………………………..………..15
viii
I.5.2. Multilateralism………………………….……….17 I.5.3. Diplomasi……………………………….……….18 I.5.4. Sanksi……………………………………..……..20 I.6. Metode Penelitian……………………………...…………....22 I.7. Sistematika Penulisan……………………...………………...23
BAB II
PROLIFERASI NUKLIR IRAN……………………………..25 II.1. Latar Belakang Pengembangan Nuklir Iran………………..25 II.2. Hak Sah Iran Sebagai Penandatangan NPT.…………..…...34 II.3. Keinginan Iran dengan Program Nuklirnya…….…….........38 II.4. Politik Domestik Iran dalam Program Nuklir……………...43 II.5. Kebijakan Nuklir Iran di Era Pemerintahan Ahmadinejad...48
BAB III
PERSPEKTIF
UNI
EROPA
DALAM
PROLIFERASI
NUKLIR…………………………………………………………54 III.1. Kerangka Kebijakan Keamanan Uni Eropa………………..54 III.1.1. Common Foreign and Security Policy……….…..57 III.1.2. European Security Strategy………………………61 III.2. Kebijakan Non Proliferasi Uni Eropa……………………..64 III.2.1. Strategi Melawan Proliferasi Senjata Pemusnah Masal (The Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction)…………………..68
ix
III.2.2. Komitmen Uni Eropa dalam Menciptakan Zona Bebas Senjata Pemusnah Masal di Kawasan Timur Tengah……………………………………………73
BAB IV
STRATEGI
UNI
EROPA
DALAM
MENGHENTIKAN
PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013……..…79 IV.1. Keterlibatan Uni Eropa dalam Proliferasi Nuklir Iran............................................................................79 IV.2. Kepentingan Uni Eropa………………………....................82 IV.3. Upaya Diplomasi Uni Eropa Terhadap Iran……………….89 IV.3.1. Dialog dan Negosiasi Uni Eropa-Iran…………..92 IV.3.2. Diplomasi Koersif……………….…………….....93 IV.4. Penerapan Sanksi Uni Eropa ke Iran…….………..…….…96 IV.4.1. Embargo……………………….………......……101 IV.4.2. Sanksi Finansial…………………………...........104
BAB V
Kesimpulan…………………………………………………….106
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..101
x
DAFTAR TABEL
BAB II Tabel 2.1
Tahapan Program Nuklir Iran……………………..……………26
xi
DAFTAR GAMBAR
BAB II Gambar 2.2
Lokasi Penting Fasilitas Nuklir Iran………………………..34
Gambar 2.3
Poling Opini Publik Iran……………………………………41
xii
DAFTAR GRAFIK
BAB I Grafik 1.1
Ekspor Minyak Iran…………………………………………….4
Grafik 1.2
Mitra Dagang Iran………………….…………………………..6
xiii
DAFTAR SINGKATAN
IAEA
:
International Atomic Energy Agency
PDA
:
Political Dialogue Agreement
NCRI
:
National Council of Resistance of Iran
NPT
:
Non Proliferation Treaty
CFSP
:
Common Foreign and Security Policy
ESS
:
European Security Strategy
WMD
:
Weapon of Mass Destruction
TRR
:
Tehran Research Reactor
HEU
:
Highly Enriched Uranium
LEU
:
Low Enriched Uranium
AEOI
:
Atomic Energy Organization of Iran
WMDFZ
:
Weapon of Mass Destruction Free Zone
xiv
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Pernyataan Masalah Sejak tahun 1998, Iran dan Uni Eropa telah berupaya untuk memformalkan dan meningkatkan hubungan mereka dalam kerjasama ekonomi, politik dan isu-isu lainnya.1 Uni Eropa secara bertahap berupaya untuk mempererat
hubungannya
dengan
Iran,
dan
bertujuan
untuk
tetap
mengembangkan hubungan yang bersifat tahan lama (durable) serta positif dengan Iran untuk mengembangkan potensi kemitraan yang konstruktif, dimana kedua belah pihak bisa mendapat keuntungan. Sebelumnya, Uni Eropa dan Iran berencana untuk membuat sebuah perjanjian untuk membuka jalan bagi kerjasama yang lebih dekat antara Uni Eropa-Iran di berbagai sektor serta isu lain yang menjadi kepentingan bersama. Uni Eropa dan Iran juga mulai menegosiasikan Political Dialogue Agreement (PDA).2 Namun, fase ini mulai terhambat, ketika Iran diduga memiliki kegiatan nuklir rahasia dan menolak untuk bekerja sama dengan International Atomic Energy Agency (IAEA). Sejak tahun 2005, kontroversi nuklir Iran telah melampaui isu strategis lainnya antara Uni Eropa-Iran. Masalah proliferasi nuklir Iran dimulai ketika pada tahun 2002 kelompok oposisi National Council of Resistance of Iran (NCRI), mengungkapkan adanya
1
European Union Center of North Carolina, Europe’s Iran Diplomacy, EU Briefings, (Maret 2008), 1. 2 Council of the European Union, EU-Iran Basic Facts, (April 2009), 1.
1 1
2
program nuklir rahasia, termasuk pembangunan pabrik pengayaan uranium di Natanz dan reaktor air berat di Arak.3 Pengayaan uranium dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir, dan bahan bakar bekas dari reaktor air berat yang berisi plutonium dapat digunakan untuk membuat bom. Iran diduga tidak mematuhi NPT Safeguards Agreement, sehingga kecurigaan mengarah pada adanya upaya Iran untuk melangkah lebih jauh dan mengaya uranium ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir.4 Iran telah menandatangani NPT (Non Proliferation Treaty) pada tahun 1968 sebagai negara nonsenjata nuklir dan meratifikasinya pada tahun 1970.5 Hal tersebut berarti bahwa semua kegiatan nuklir harus dilakukan dengan cara yang transparan kepada masyarakat internasional, dan berada di bawah kontrol penuh dari International Atomic Energy Agency (IAEA). Namun sebaliknya, Iran terus menolak untuk melakukan kewajiban internasionalnya dan enggan bersikap kooperatif dengan IAEA. 6 Selama ini, pemerintah Iran menyatakan bahwa instalasi nuklirnya dibangun sepenuhnya untuk tujuan damai dan tidak pernah berusaha untuk mengembangkan senjata nuklir. Namun, ketika IAEA melakukan inspeksi terhadap Iran, IAEA tidak dapat mengkonfirmasi pernyataan Iran tersebut. Sejauh
3
International Institute for Strategic Studies, Iran's Strategic Weapons Programmes: A Net Assessment, (London: Routledge, 2005), 16. 4 Euro Move Publications, EU Action on Iran, (April 2012) http://www.euromove.org.uk/index.php?id=19016 diakses pada 22 April 2014. 5 Nuclear Threat Initiative, Iran: Nuclear, (terakhir diperbarui pada tahun 2015) http://www.nti.org/country-profiles/iran/nuclear/ diakses pada 21 Februari 2015 6 Paul K. Kerr, Iran’s Nuclear Program: Tehran’s Compliance with International Obligations, Congressional Research Service, (2015), 2.
3
ini, belum ada satu pihakpun yang mampu mengkonfirmasi bahwa nuklir Iran benar-benar bersifat damai. Kekhawatiran serius atas proliferasi nuklir Iran telah mendominasi hubungan Uni Eropa-Iran, dan terus membayang-bayangi hubungan tersebut. Proliferasi nuklir Iran telah memicu Uni Eropa untuk turut serta dalam menekan Iran untuk menghentikan pengayaan uraniumnya. Uni Eropa memang berkomitmen untuk memberikan perhatian besar terhadap standar tertinggi terkait keamanan nuklir di Eropa dan di luar perbatasannya.7 Selain itu, Uni Eropa sangat mendukung Non-Proliferation Treaty (NPT). Uni Eropa juga mempromosikan confidence building dan mendukung proses yang bertujuan untuk mambangun zona bebas senjata pemusnah masal di Timur Tengah.8 Uni Eropa terus mendesak Iran untuk menghentikan proyek nuklirnya dan meminta Iran agar terlibat secara konstruktif dalam negosiasi untuk mengatasi masalah nuklir ini. Namun di sisi lain, Uni Eropa tetap ingin menghormati hak sah Iran sebagai negara penandatangan NTP, untuk penggunaan energi nuklir secara damai di bawah Non Proliferation Treaty (NPT). Setiap tindakan yang dilakukan Uni Eropa akan berdampak pada hubungan Uni Eropa-Iran sehingga Uni Eropa harus memperhatikan posisi Iran. Secara kolektif, Uni Eropa merupakan importir minyak Iran terbesar kedua, setelah Tiongkok. Uni Eropa masih merupakan mitra dagang yang cukup penting bagi Iran, dimana Uni Eropa mengimpor barang senilai 14,5 miliar Euro dari Iran,
7
European Union External Action, Instrument for Nuclear Safety Co-operation, http://eeas.europa.eu/nuclear_safety/index_en.htm diakses pada 22 April 2014. 8 Clara Portela, The Role of the EU in the Non-Proliferation of Nuclear Weapons: The Way to Thessaloniki and Beyond, Peace Research Institute Frankfurt, PRIF Report No. 65, 3.
4
dan mengekspor 11,3 miliar Euro (data tahun 2010). Sedangkan sekitar 90% impor Uni Eropa dari Iran adalah minyak dan produk sejenisnya.9
Grafik 1.1 Ekspor Minyak Iran10
Uni Eropa secara kolektif merupakan importir minyak Iran terbesar kedua
Importir terbanyak *dalam ribu barel per hari
Impor Uni Eropa *dalam ribu barel per hari
Iran juga berada dalam posisi yang kuat, karena harga minyak yang tinggi telah menjadikan Iran salah satu kekuatan besar pada ekonomi dunia.11 Iran merupakan negara yang penting bagi Eropa dan Amerika Serikat. Sejumlah besar perusahaan Eropa memiliki hubungan ekspor yang kuat dengan Iran, sejumlah 9
European Union External Action, The European Union and Iran. Institute of International Trade, 25 Mei 2012, Oil price falls as Iran allows nuclear probe, http://www.iitrade.ac.in/kmarticle.php?topic=Oil%20price%20falls%20as%20Iran%20allows %20nuclear%20probe diakses pada 23 November 2014. 11 European Union Center of North Carolina, Europe’s Iran Diplomacy, 3. 10
5
negara anggota Uni Eropa bergantung pada pasokan minyak Iran (Italia dan Spanyol merupakan importir terbesar), dan Iran merupakan jalur utama untuk pengungsi Afghanistan ke Uni Eropa.12 Uni Eropa memiliki sebuah kebijakan bersama, yaitu Common Foreign and Security Policy, dan framework untuk kepentingan keamanan Uni Eropa yang dikenal dengan European Security Strategy. Namun, masing-masing negara anggota Uni Eropa memiliki hubungan yang berbeda dengan Iran. Seperti Inggris dan Perancis yang bersikap tegas dan vokal, sementara Jerman dan Italia cenderung lebih moderat dikarenakan keduanya merupakan mitra dagang terbesar Iran di Uni Eropa,13 Menteri Luar Negeri Jerman pernah mengatakan bahwa Iran merupakan pasar terpenting bagi Jerman di Timur Tengah.14
12
European Union Center of North Carolina, EU Briefings: The EU and Iran, (2012), 6. Leo Cendrowicz, How Should Europe Respond to Iran?, TIME 2 Juli 2009, http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1908446,00.html diakses pada 22 April 2014. 14 Nicoleta Lasan, European Union’s Approach Towards The Iranian Nuclear Crisis: An Interest-Driven Strategy Combined With The “Approoriate” Means, (Hungary: Central European University, 2007), 29. 13
6
Grafik 1.2 Mitra Dagang Iran15
Perdagangan Jerman dengan Iran tumbuh di tengah ketegangan internasional dengan Iran Ekspor Jerman/Iran *dalam milyar Euro Ekspor Jerman ke Iran Ekspor Iran ke Jerman
Eksportir utama ke Iran tahun 2008 *dalam milyar Euro
Sedangkan Uni Eropa harus bertindak sebagai sebuah institusi internasional dan bertindak melalui tindakan bersama atau collective action. Sementara itu, proses pengambilan keputusan di Uni Eropa seringkali bersifat rumit dan kompleks.
15
Wall Street Journal, 3 Oktober 2009, German Firms Feel Pressure Over Tehran Trade, http://online.wsj.com/articles/SB125453243290661095 diakses pada 2 November 2014.
7
Di sisi lain, Uni Eropa mendapat tekanan-tekanan dari Kongres Amerika Serikat agar Uni Eropa mempertegas upayanya. Sebelumnya, antara tahun 20062010 EU-3 dan Amerika Serikat telah berhasil mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi terkait pengenaan sanksi ke Iran melalui Resolusi 1737, 1747, 1803 dan 1929.16 Resolusi tersebut secara umum memberlakukan sanksi ekonomi, embargo, dan perdagangan serta larangan atas transaksi komoditas yang berhubungan dengan teknologi nuklir terhadap Iran. Sedangkan Uni Eropa cenderung lebih suka melakukan hubungan dengan Iran dalam format dialog.17 Kebijakan Uni Eropa terhadap Iran sangat berbeda dari kebijakan Amerika Serikat yang cenderung mengisolasi Iran. 18 Uni Eropa tidak ingin menggunakan doktrin pre-emptive strike Amerika Serikat yang digunakan saat AS menyerang Irak pada tahun 2003. Uni Eropa juga memiliki kepentingan ekonomi dan strategis tersendiri di wilayah tersebut. Namun di sisi lain, Eropa adalah sekutu Amerika Serikat dan mempunyai hubungan kerja sama Transatlantik. Uni Eropa juga mendukung posisi Amerika Serikat terhadap Iran.19 Nuklir Iran ini menjadi kasus uji diplomatik penting bagi Uni Eropa pasca invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003. Uni Eropa telah dibayangi oleh kekuatan militer dan hak Amerika Serikat untuk bertindak secara sepihak di bawah konsep pre-emption.20
16
Derek E. Mix, The United States and Europe: Current Issues, CRS Report for Congress, (2013), 6. 17 Walter Posch, Iran and the European Union, United States Instutites of Peace: The Iran Primer. 18 Posch, Iran and the European Union. 19 European Union Center of North Carolina, EU and Iran, 4. 20 Gerrard Quille, “The European Security Strategy: A Framework for EU Security Interests?”, International Peacekeeping, Vol.11, No.3, (2004), 10.
8
Beberapa masyarakat Eropa sendiri berpendapat bahwa Uni Eropa harus unjuk gigi, terkait krisis nuklir Iran, untuk mempertahankan kredibilitasnya.21 Namun, Uni Eropa juga harus menghadapi sikap keras dan frontal Iran, dimana pada periode 2009-2013 Iran dipimpin oleh Mahmoud Ahmadinejad pada periode kedua. Sebelumnya pada masa pemerintahan Khatami yang moderat, aktivitas pengayaan nuklir Iran sempat dihentikan sementara. Namun,
di bawah
pemerintahan Ahmadinejad, Iran kembali melakukan pengayaan uranium. Ia dikenal sebagai sosok presiden Iran yang keras dan vokal, bahkan beberapa pihak menyebutnya dengan hard-liner leader atau pemimpin garis keras. Ahmadinejad menjadi faktor penting dalam pecahna upaya Uni Eropa untuk menghentikan proliferasi nuklir Iran. Kelompok garis keras sendiri menyatakan bahwa program nuklir adalah kunci untuk kemajuan teknologi Iran serta simbol kedaulatan dan posisi di dunia internasional. Namun, Uni Eropa terus menekan dan mendesak Iran untuk segera menghentikan program nuklir Iran, sementara kepemilikan nuklir Israel tidak dipertanyakan ataupun diusik. Hal ini membuat Ahmadinejad geram, sehingga ia memperingatkan Uni Eropa bahwa negaranya akan membuat Uni Eropa menyesal. Ia juga mengatakan bahwa siapapun yang mengadopsi langkah-langkah bermusuhan dengan Iran, harus tahu bahwa Iran akan bereaksi dengan cepat.22 Disini terlihat bahwa Uni Eropa menghadapi tantangan tersendiri dan dilema-dilema dalam upayanya untuk menghentikan proyek nuklir Iran. Seperti, kebijakan apa yang harus diambil atau bagaimana langkah-langkah maupun 21
European Union Center of North Carolina, The EU and Iran, (2012), 5. BBC News, 26 Juli 2010, EU Tightens Sanctions Over Iran Nuclear Programme, http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-10758328 diakses pada 23 April 2013. 22
9
respon yang seharusnya diberikan Uni Eropa kepada Iran sesuai dengan framework Uni Eropa, tanpa mengesampingkan segala konsekuensinya. Kasus Iran menjadi menarik karena berfungsi sebagai uji kasus atau test-case bagi peran eksternal Uni Eropa. Kontroversi program nuklir Iran merupakan ujian awal dan penting bagi pendekatan Uni Eropa yang bersifat khas, yaitu effective multilateralism, dalam mengatasi kekhawatiran tentang dugaan dunia internasional bahwa Iran berencana untuk mengembangkan senjata pemusnah masal. Apalagi pendekatan Uni Eropa yang bersifat soft power ini dihadapkan dengan hard security, yaitu nuklir Iran. Berdasarkan latar belakang diatas, maka menarik untuk meneliti bagaimana strategi Uni Eropa di tengah dilema dan tantangan tersebut untuk menghentikan pengembangan nuklir Iran di bawah pemerintahan periode kedua Ahmadinejad (2009-2013), namun tetap berada dalam kerangka kebijakan dan doktrin keamanannya sendiri. Penelitian
ini
berasumsi
bahwa
keterlibatan
Uni
Eropa
dalam
menghentikan proliferasi nuklir Iran didorong oleh kepentingan bersama Uni Eropa sebagai sebuah organisasi. Sehingga, Uni Eropa mengeluarkan beberapa strategi yang strategis dan selaras dengan doktrin keamanan Uni Eropa untuk menghentikan proliferasi nuklir Iran, yaitu melalui diplomasi dan sanksi. Uni Eropa ingin menciptakan kawasan bebas nuklir di Timur Tengah, lebih jauhnya Uni Eropa ingin menciptakan dunia yang lebih aman dari ancaman nuklir. Selain itu, Uni Eropa ingin memainkan peran yang besar sebagai aktor internasional. Sehingga Uni Eropa turut mengintervensi program proliferasi nuklir Iran.
10
I.2.
Pertanyaan Penelitian Bagaimana kebijakan Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir
Iran pada tahun 2009-2013?
I.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kerangka keamanan Uni
Eropa, kebijakan Uni Eropa tentang proliferasi nuklir, dan menganalisa kebijakan Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran pada periode 2009-2013 dengan menggunakan teori dan konsep yang relevan. Penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan literatur, memperkaya hasil penelitian yang telah ada, dan memberikan gambaran secara objektif mengenai strategi Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran pada tahun 2009-2013. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi pengembangan studi Kawasan Eropa dan Keamanan Internasional.
I.4.
Tinjauan Pustaka Dina Esfandiary dalam Non-Proliferation Papers No.34 Desember 2013,
menulis “Assessing The European Union’s Sanction Policy: Iran As A Case Study”.23 Artikel tersebut memaparkan peningkatan penggunakan sanksi oleh Uni Eropa terhadap Iran atas krisis nuklirnya, dimana sanksi tersebut sering digunakan sebagai alat untuk mengubah perilaku negara, dalam konteks ini yaitu Iran.
23
Dina Esfandiary, “Assessing The European Union‟s Sanction Policy: Iran As A Case Study”, Non-Proliferation Papers, No.34 (2013).
11
Artikel ini juga mengkaji efektivitas sanksi yang digunakan sebagai alat kebijakan oleh Uni Eropa dan meneliti langkah-langkah koersif Uni Eropa terhadap Iran. Kemudian, artikel ini membahas sanksi apa yang digunakan Uni Eropa, disertai dasar hukum dan teori penggunaannya. Kemudian artikel ini memberi saran dalam hal perbaikan kebijakan sanksi Uni Eropa saat ini. Aylin Unver Noi dalam jurnal Perceptions edisi musim semi tahun 2005, menulis artikel berjudul “Iran's Nuclear Programme: The EU Approach to Iran in Comparison to the US’ Approach”.24 Artikel tersebut memaparkan perspektif Uni Eropa-Iran dan hubungan antara Amerika Serikat dan Iran pasca Revolusi Islam Iran tahun 1979. Artikel tersebut juga mengkaji perbedaan kebijakan antara Uni Eropa dan Amerika Serikat terhadap Iran, terutama dalam masalah nuklir. Dampak dari dua kebijakan yang berbeda juga dipaparkan disertai dengan alasan-alasan yang membentuk pendekatan yang berbeda dari dua kekuatan besar tersebut. Artikel tersebut memaparkan instrumen luar negeri menggunakan konsep stick and carrot, dengan asumsi Uni Eropa dengan carrot, dan Amerika Serikat dengan stick, dalam hubungannya terhadap Iran. Nicoleta Laşan dalam Romanian Journal Of European Affairs Vol. 14, No. 1, Maret 2014 menulis artikel berjudul “European Union Intervention in the Iranian Crisis - A Sociological Institutionalist Perspective”.25 Artikel ini menganalisis melaui perspektif institusionalisme sosiologis, kemudian mengkaji sejauh mana internalisasi nilai-nilai dan norma-norma dalam identitas 24
Aylin Unver Noi,“Iran's Nuclear Programme: The EU Approach to Iran in Comparison to the US‟ Approach”, Perceptions Journal of International Affairs, SAM Center for Strategic Research, (Spring 2005). 25 Nicoleta Laşan, “European Union Intervention in the Iranian Crisis - A Sociological Institutionalist Perspective”, Romanian Journal Of European Affairs Vol. 14, No. 1, (2014).
12
internasional Uni Eropa. Kemudian proses-proses seperti mobilisasi sosial dan mobilisasi aktor non-negara yang mampu mempengaruhi pendekatan Uni Eropa terhadap krisis nuklir Iran. Sedangkan penelitian ini berusaha untuk mengkaji strategi yang digunakan Uni Eropa ditengah dilemma dan tantangan yang dihadapinya untuk menghentikan program nuklir Iran di bawah pemerintahan periode kedua Ahmadinejad 2009-2013. Penelitian ini mencoba mengkaji upaya Uni Eropa tersebut dalam kerangka European Security Strategy, Common Foreign and Security Policy, dan teori-teori yang relevan, serta bagaimana manajemen konflik yang dilakukan Uni Eropa terhadap Iran.
I.5.
Kerangka Pemikiran Paradigma yang akan digunakan adalah liberal institusional karena
penelitian ini ingin menganalisa strategi negara-negara Eropa yang bertindak melalui institusi, yaitu Uni Eropa untuk menghentikan program nuklir Iran. Liberal
institusional
menekankan
pentingnya
institusi
untuk
membantu
mengurangi ketidakpercayaan dan ketakutan antarnegara yang dianggap sebagai masalah tradisional. Liberal institusional tidak menafikan bahwa dunia adalah anarki, namun ditengah ke-anarki-annya, sangat dimungkinkan terjadinya kerjasama dalam hubungan antarnegara, sehingga anarki sejatinya dapat diatur sedemikian rupa agar menjadi situasi yang kooperatif.26
26
Robert O. Keohane dan Lisa L. Martin, “The Promise of Institusionalist Theory”, International Security, Vol. 20, N0. 1, (1995), 42.
13
Menurut Timothy Dunne, liberal institusional identik dengan liberal fungsional, yang memandang bahwa institusi-institusi internasional menjalankan sejumlah fungsi terbatas, lalu lama-lama berkembang. Contoh kasusnya adalah proses terbentuknya Uni Eropa, yang semula hanya dimulai dari kerjasama perdagangan batu bara antarbeberapa negara di Eropa. Sedangkan
Georg
Sorensen
menulis,
kaum
liberal
institusional
menyatakan bahwa institusi internasional menolong memajukan kerjasama di antara
negara-negara.
institusionalisasi
Liberal
kerjasama
institusional
global.27
juga
Kemudian,
memfokuskan
liberalisme
pada
institusional
memandang bahwa institusi internasional membantu memajukan kerja sama antara negara-negara dan membantu mengurangi ketidakpercayaan antarnegara yang menjadi masalah klasik dikaitkan dengan anarki internasional. Sorensen
juga
mengutip
Nye,
bahwa
institusi
akan
membantu
menciptakan iklim harapan berkembangnya perdamaian yang stabil.28 Liberal institusional berpendapat bahwa dalam rangka menciptakan perdamaian dalam percaturan internasional, negara harus bekerja bersama-sama dan memberikan sebagian kedaulatan mereka untuk menciptakan “masyarakat yang terintegrasi” untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi, dan menghadapi isu-isu keamanan regional dan internasional.29
27
Georg Sorensen, Liberalism of Restraint and Liberalism of Imposition: Liberal Values World Order in the New Millennium, International Relations, (2006), 51. 28 Sorensen, Liberalism of Restraint, 55. 29 J. Caporaso dan J. Jupille, “Institutionalism and the European Union: Beyond International Relations and Comparative Politics”, Annual Review of Political Science, Vol.2, (1999), 432.
14
Liberalisme institutional menekankan pada peran organisasi international dan masyarakat internasional dalam hubungan internasional. Institusi-institusi dapat menyediakan aliran informasi dan forum negoisasi, dan juga membantu meyakinkan bahwa komitmen-komitmen akan dihormati. Dengan mengurangi potensi
kurangnya
kepercayaan
antarnegara,
institusi
akan
membantu
menciptakan iklim yang membangun harapan terbentuknya perdamaian yang stabil.30 Dalam kasus proliferasi nuklir Iran, Uni Eropa sebagai organisasi internasional yang dianggap sudah lebih mapan daripada organisasi lainnya, dianggap penting untuk dapat memainkan peran konstruktif dalam masalah tradisional yang mengancam keamanan bersama, yaitu proliferasi nuklir Iran. Kerja sama perlu dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa untuk memutuskan strategi bersama dalam menghadapi Iran. Institusi akan lebih efektif untuk menekan Iran dibandingkan tindakan individu negara. Liberalisme institusional tidak mengedepankan cara-cara militeristik, ini sesuai dengan prinsip dasar Uni Eropa. Masalah nuklir Iran tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan caracara tradisional, seperti penggunaan kekuatan bersenjata atau militer. Sementara Uni Eropa memberi penekanan besar pada penggunaan soft power dan kerjasama melalui prosedur hukum internasional dan cara-cara diplomasi. Upaya penghentian
proliferasi
nuklir
Iran
yang
mengkhawatirkan
masyarakat
internasional akan lebih efektif jika dilakukan secara kolektif melalui Uni Eropa
30
Sorensen, Liberalism of Restraint, 53.
15
sebagai institusi, dimana Uni Eropa merupakan sebuah wadah untuk menjalankan collective action. Oleh karena itu, Uni Eropa sebagai institusi dianggap penting untuk menyelesaikan kasus nuklir Iran.
I.5.1. Common Interest (Kepentingan Bersama) Konsep common interest menjelaskan perilaku luar negeri sekelompok negara dalam satu wadah politik internasional yang bersifat liberal, dimana menekankan pada kerja sama dan berorientasi kelompok.31 Common interest juga bertujuan mengejar kekuasaan, yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan pengendalian sekelompok negara yang berada dalam suatu wadah atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini bisa diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun kerja sama. Atas dasar itu kepentingan bersama dapat memunculkan kebijakan spesifik terhadap negara lain, baik yang bersifat kerja sama maupun konflik.32 Hedley Bull berpendapat bahwa, negara memiliki kepentingan bersama yang mengarah pada pengembangan seperangkat aturan tertentu.33 Bull mendefinisikan masyarakat internasional terbentuk ketika sekelompok negara tidak hanya membentuk sebuah sistem, namun juga telah dibentuk oleh adanya dialog dan menyetujui aturan bersama, pembentukan institusi untuk menjalankan
31
T.A. Couloumbis dan J.H. Wolff, Introduction to International Relations, (New Jersey: Prentice-Hall, 1986), 113-116. 32 Couloumbis dan Wolff, Introduction to International Relations, 113-116. 33 Hedley Bull, The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics, (London: Macmillan, 1977), 37.
16
hubungan mereka, serta mencatat kepentingan bersama mereka dalam menjaga kesepakatan tersebut.34 Dalam hal ini Uni Eropa memiliki common goals atau tujuan bersama, yaitu Uni Eropa berkomitmen untuk mempromosikan confidence building dan mendukung proses yang bertujuan untuk membangun zona bebas Weapon of Mass Destruction
(senjata
pemusnah
masal)
di
Timur
Tengah.
Uni
Eropa
mengidentifikasi proliferasi senjata pemusnah masal sebagai ancaman bagi negara-negara anggota Uni Eropa. Sejak tahun 2003, Uni Eropa memberika perhatian besar pada isu proliferasi senjata pemusnah masal. Uni Eropa mempunyai sebuah visi bersama, yaitu “A secure Europe in a better world”.35 Uni Eropa memiliki kesatuan pandangan yang akhirnya membuat kebijakan nonproliferasi Uni Eropa dibentuk oleh dua hal penting, yaitu bahwa senjata pemusnah masal tidak boleh jatuh ke tangan teroris dan ancaman senjata pemusnah masal harus ditangani berdasarkan hukum internasional dan sebaiknya tanpa metode yang menggunakan kekerasan.36 Penelitian ini akan mengkaji strategi Uni Eropa sebagai institusi internasional dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran, oleh karena itu strategi dan tindakan yang dilakukan Uni Eropa akan didasarkan pada common interest.
34
Bull, The Anarchical Society, 38. Christer Ahlstrom, “The EU Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction”, Europe and Iran Perspectives on Non-proliferation, Stockholm International Peace Research Institute Research Report No.21, (Oxford University Press, 2005), 30. 36 Tomas Valasek, “The European Union‟s Role in Nonproliferation”, U.S-European Nonproliferation Perspectives, Center for Strategic and International Studies, (2009), 44. 35
17
I.5.2. Multilateralism Robert Keohane mendefinisikan multilateralism sebagai praktik dalam mengkordinasikan kebijakan nasional dalam kelompok yang terdiri dari beberapa negara dalam bentuk aliansi atau institusi internasional.37 Dalam istilah regional multilateralism, masalah-masalah yang berkembang akan lebih baik jika dapat diselesaikan pada tingkat regional daripada tingkat bilateral maupun global.38 Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa Uni Eropa dipandang akan lebih efektif dibandingkan upaya penyelesaian dengan secara bilateral, seperti Iran dengan Amerika Serikat, ataupun secara global, seperti melalui PBB. Uni Eropa sendiri mempunyai pendekatan yang unik terkait proliferasi nuklir, yaitu effective multilateralism. Uni Eropa melihat tindakan unilateralism ala Presiden Bush tidak efektif dan salah, sehingga akhirnya Uni Eropa secara kolektif
merasa
terdorong
untuk
merumuskan
alternatif
lain,
effective
multilateralism.39 Pendekatan ini didasari oleh prinsip bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat mengatasi tantangan keamanan baru, oleh karena itu dibutuhkan kerja sama antarnegara dan penguatan institus internasional.40 Prinsip dasar pendekatan ini adalah mengatasi akar penyebab proliferasi, mengurangi masalah keamanan yang mendorong negara-negara untuk mengembangkan senjata pemusnah masal. Memperkuat perjanjian multilateral seperti NPT, memperkuat kontrol ekspor, melakukan dialog regional, dan menyusun perjanjian baru. Jika langkah-langkah 37
Keohane, The Promise of Institusionalist Theory, 13. Harris Mylonas dan Emirhan Yorulmazlar, Regional multilateralism: The next paradigm in global affairs, CNN 12 Januari 2012. 39 Portela, The Role of the EU in the Non-Proliferation, 24. 40 Valasek, The European Union’s Role, 43. 38
18
politik gagal, maka Uni Eropa akan menggunakan tindakan koersif seperti sanksi atau penggunaan kekuatan melalui PBB.41 Dalam kasus ini, Uni Eropa memiliki komitmen multilateral dan Uni Eropa bekerja dalam kerangka European Security Strategy dan EU Strategy against
Proliferation
yang
menjelaskan
prinsip-prinsip
dasar
effective
multilateralism. Maka, strategi Uni Eropa atas upaya penghentian proliferasi nuklir Iran akan didasarkan pada pendekatan effective multilateralism.
I.5.3. Diplomasi Diplomasi
adalah
instrumen
utama
negara-negara
untuk
saling
berinteraksi. Bahkan ketika sebuah negara sedang berkonflik dengan negara lain dan konflik tersebut terlihat tidak mungkin untuk diselesaikan, dalam banyak kasus, konflik tersebut akan berakhir dengan kompromi atau negosiasi karena pada dasarnya setiap negara mempunyai “common interest” atau kepentingan bersama.
Diplomasi
merupakan
penggunaan
cara-cara
damai
untuk
menyelesaikan konflik. Menurut Sumaryo Suryokusumo, diplomasi adalah kegiatan politik dan merupakan bagian dari kegiatan internasional yang saling berpengaruh dan kompleks, dengan melibatkan pemerintah dan organisasi internasional untuk mencapai tujuan-tujuannya, melalui perwakilan diplomatik atau organ-organ lainnya.42 Sumaryo Suryokusumo mengatakan bahwa diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak, termasuk negosiasi antara 41
Valasek, The European Union’s Role, 45. Sumaryo Kusomo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus; Syahmin, Ak, Hukum Diplomatik: Dalam Kerangka Studi Analisis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 6. 42
19
wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik-praktik negara yang semacam itulah yang sudah melembaga sejak dahulu dan kemudian menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional.43 Dalam upaya menghentikan proliferasi nuklir Iran, selain melalui negosiasi dan dialog, Uni Eropa menggunakan diplomasi koersif. Diplomasi koersif mempunyai tiga elemen, yaitu permintaan, ancaman dan tekanan waktu.44 Pertama, permintaan yang spesifik harus dirumuskan langsung dengan lawan. Tujuan dari permintaan ini adalah untuk menghentikan atau membalikkan tindakan yang telah dimulai oleh lawan. Permintaan harus dipahami sebagai suatu kebutuhan. Alexander George membedakan tiga jenis permintaan dalam diplomasi koersif, yaitu membujuk target untuk menghentikan tujuannya, untuk membatalkan tindakan, dan untuk membuat perubahan dalam pemerintahan.45 Kedua, permintaan tersebut harus didukung dengan ancaman, seperti, “Jika anda tidak setuju dengan permintaan ini saya akan menghukum anda dengan melakukan X atau Y”. Ancaman yang diberikan harus bersifat kredibel dan mampu membujuk target untuk memenuhi permintaan. Pemberian ancaman bertujuan supaya target mengikis motivasinya untuk melanjutkan apa yang dia lakukan.46 Ketiga, tidak cukup hanya dengan permintaan yang dikombinasikan dengan ancaman, namun memerlukan tekanan waktu. Diplomasi koersif juga 43
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, (Bandung: PT Alumni, 2008), 4-5. 44 Alexander George, Forceful Persuasion Coercive Diplomacy as an Alternative to War, (Washington DC: US Institute of Peace, 1997), 7. 45 Alexander George, “Coercive Diplomacy: Definition and Characteristics”; A.L. George & W.E. Simons (eds.), The Limits of Coercive Diplomacy, (Westview Press, 1994), 9 46 George, Forceful Persuasion, 11.
20
memberikan tenggat waktu untuk memenuhi permintaan tersebut. Ada empat kategori tekanan waktu menurut Alexander George, yaitu ultimatum eksplisit yang menetapkan tenggat waktu, ultimatum diam-diam yang menekan rasa urgensi, pendekatan “gradual turning-on-the-screws” dan pendekatan “try-andsee” yang tidak menyebutkan kemungkinan eskalasi.47
I.5.4. Sanksi Penggunaan sanksi merupakan kebijakan yang lebih murah daripada penggunaan kekuatan militer, dan dapat diterapkan dengan cara yang lebih fleksibel. Menurut John Galtung, sanksi adalah tindakan-tindakan yang diprakarsai oleh satu atau lebih aktor internasional („the senders’ atau yang menjatuhi sanksi) terhadap satu atau lebih pihak lain („the receivers’ atau yang dijatuhi sanksi) dengan satu atau keduanya dari dua tujuan, yaitu untuk menghukum „the receivers‟ dengan mencabut mereka dari beberapa nilai dan/atau untuk membuat „the receivers‟ mematuhi norma-norma tertentu yang dianggap penting oleh „the senders’.48 Umumnya kebijakan pemberian sanksi digunakan bersama dengan kebijakan lain. Sanksi dianggap sebagai titik tengah antara diplomasi dan kekuatan militer. Sanksi bekerja dengan cara memaksa (coercing), membatasi (constraining) dan memberi isyarat (signalling) kepada target.49
47
George, Forceful Persuasion, 7-9. John Galtung, “On the Effects of International Economic Sanctions,with Examples from the Case of Rhodesia”, World Politics, Vol. 19, Issue 03, (1967), 378-416. 49 Francesco Giumelli, Coercing, Constraining and Signaling: Explaining UN and EU Sanctions after the Cold War, (ECPR Press: Colchester, 2011), 67. 48
21
Tujuan dari pemaksaan adalah untuk mengubah kalkulasi cost and benefit target dalam mengejar kebijakan tertentu, sementara membatasi bertujuan untuk menghambat kapabilitas target untuk bertindak. Kedua tujuan tersebut dimaksudkan agar target mengubah arah kebijakannya atau terjadi perubahan perilaku (behavior). Perubahan perilaku dapat mencakup berhentinya suatu kebijakan tertentu atau membawa target ke meja perundingan.50 Sanksi juga bertujuan untuk mencegah pelaku lain melanggar norma-norma internasional. Seperti dalam kasus Iran, sanksi menjadi alat pemaksa yang penting bagi Uni Eropa. Sanksi yang diberikan oleh Uni Eropa juga dimaksudkan sebagai isyarat bagi Iran dan seluruh masyarakat internasional bahwa Uni Eropa tidak bisa tetap pasif dalam menghadapi sebuah tindakan atau kebijakan yang tidak dapat diterima, yaitu proliferasi nuklir Iran dan untuk menunjukkan kepada negaranegara lain bahwa Uni Eropa adalah aktor internasional yang kuat dan berpengaruh.
I.6.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. menurut Patton Michael
Quinn penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan kata-kata sebagai penjabaran dari objek yang diteliti.51 Sedangkan Bogdan dan Taylor mendefinisikan
50
metodologi
kualitatif
sebagai
prosedur
penelitian
yang
Esfandiary, Assessing The European Union’s Sanction Policy, 5. Patton Michael Quinn, A Guide To Using Qualitative Research Methodology. Medecins Sans Frontieres, (1990), 2. 51
22
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.52 Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder, kemudian teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Data primer diperoleh dari dokumen-dokumen resmi pemerintah Iran, Uni Eropa dan organisasi internasional lain yang terkait. Sedangkan data sekunder dari penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka dari berbagai literatur yang sudah ada, seperti buku, jurnal, artikel, skripsi mahasiswa, media online dan surat kabar. Adapun perpustakaan yang akan dikunjungi untuk mendapatkan referensi terkait, diantaranya, Perpustakaan FISIP UIN, Perpustakaan Utama, Perpustakaan UI dan Perpustakaan Ali Alatas Kementrian Luar Negeri. Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Data yang diperoleh dari hasil analisis dokumen, catatan lapangan, dan studi pustaka akan dituangkan dalam bentuk kata dan digunakan untuk menjelaskan dan menganalisa masalah yang ada pada pertanyaan penelitian. Penelitian ini akan menganalisis data secara induktif. Dalam penelitian ini, nuklir Iran akan diletakkan sebagai variabel X, dan Uni Eropa akan diletakkan sebagai variabel Y. Landasan teori dan konsep yang relevan akan digunakan untuk mengkaji permasalahan dan sebagai pisau dalam menganalisa hubungan X dan Y.
52
1991), 3.
Lexy J. moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Risdakarya,
23
I.7.
Sistematika Penulisan Bab 1 dalam penelitian ini berisi tentang pendahuluan. Pada bab ini akan
dijelaskan latar belakang masalah yang mendasari signifikansi penelitian, yang diuraikan dalam pernyataan masalah, disertai dengan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan. Kemudian, bab II berisi tentang proliferasi nuklir Iran. Pada bab ini akan dijelaskan proliferasi nuklir Iran sebagai variabel X dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi. Bab ini akan dimulai dengan menguraikan latar belakang pengembangan nuklir iran yang didorong oleh motivasi iran, kapabilitas iran, dan hak sah iran sebagai penandatangan NPT. Kemudian, bab ini akan menganalisa keinginan Iran dengan program nuklirnya, bagaimana politik domestik iran dalam program nuklir, kebijakan iran dalam nuklir era pemerintahan yang disertai dengan faktor pembentuk kebijakan nuklir iran, serta puncak krisis nuklir iran di era pemerintahan Ahmadinejad. Selanjutnya, bab III berisi tentang perspektif Uni Eropa dalam proliferasi nuklir. Pada bab ini akan dijelaskan perspektif Uni Eropa dalam proliferasi nuklir sebagai variabel Y dalam penelitian ini, yaitu variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi. Bab ini akan dimulai dengan menguraikan kerangka kebijakan keamanan Uni Eropa yang terdiri dari Common Foreign and Security Policy dan European Security Strategy, kemudian kebijakan nonproliferasi Uni Eropa yang terdiri dari The Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction
24
dan Komitmen Uni Eropa dalam Menciptakan Zona Bebas Senjata Pemusnah Masal di Kawasan Timur Tengah. Setelah itu, bab IV berisi tentang strategi Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi Nuklir Iran tahun 2009-2013 Bab ini akan menganalisa hubungan variabel X dan variabel Y untuk menjawab pertanyaan penelitian. Maka, bab ini akan menjelaskan strategi yang digunakan Uni Eropa untuk
menghentikan
proliferasi nuklir Iran selama tahun 2009-2013. Bab ini akan dimulai dengan menguraikan hubungan Uni Eropa dan Iran yang kemudian akan melibatkan Uni Eropa dalam Krisis Nuklir Iran dan memunculkan kepentingan Uni Eropa, hingga pendekatan strategis Uni Eropa yaitu Effective Multilateralism. Bab ini juga menjelaskan upaya diplomasi Uni Eropa terhadap Iran melalui negosiasi. dialog politik, hingga penggunaan diplomasi koersif. Kemudian, penerapan sanksi Uni Eropa ke Iran yang berupa embargo dan sanksi finansial. Pada bab terakhir, bab V, berisi tentang kesimpulan. Bab ini akan menjelaskan kesimpulan yang didapat dari keseluruhan penelitian yang ditelah dilakukan.
BAB II PROLIFERASI NUKLIR IRAN
Sifat proliferasi nuklir Iran yang tidak pasti, telah memicu perdebatan internasional. Bab ini akan menjelaskan proliferasi nuklir Iran sebagai variabel X dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi. Bab ini akan dimulai dengan menguraikan latar belakang pengembangan nuklir iran, kapabilitas iran, dan hak sah iran sebagai penandatangan NPT. Kemudian, bab ini akan menganalisa keinginan Iran dengan program nuklirnya, bagaimana politik domestik iran dalam program nuklir, kebijakan iran dalam nuklir era pemerintahan, serta puncak krisis nuklir iran di era pemerintahan Ahmadinejad.
II.1. Latar Belakang Pengembangan Nuklir Iran Para pemimpin Iran telah berupaya untuk mengejar teknologi energi nuklir sejak tahun 1950-an, yang didorong oleh diadakannya perjanjian kerjasama nuklir di bawah program Atom for Peace tahun 1957.49 Upaya pertama Iran dalam memiliki program nuklir terjadi di pemeritahan Syah Reza Pahlevi, dan negara pertama yang membantu Iran dalam mengembangkan program nuklirnya adalah Amerika Serikat.50 Secara umum, evolusi program nuklir Iran dapat diidentifikasi melalui tiga tahap. Pertama, tahap ketergantungan Iran pada Barat ketika Iran masih menjadi 49
Greg Bruno, Iran's Nuclear Program, Council on Foreign Relations, (2010). Gawdat Bahgat, “Iranian Nuclear Proliferation: The Trans-Atlantic Division”, Seton Hall Journal of Diplomacy and International Relation, (2004), 143. 50
25
26
sekutu Barat pada masa pemerintahan Syah Pahlevi. Pada tahap awal membangun program nuklirnya, Iran bergantung pada Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Kedua, tahap ketika Iran berbalik arah dari negara-negara Barat. Pasca Revolusi Islam Iran tahun 1979, program nuklir Iran sempat terhenti dan negaranegara Barat menghentikan bantuannya terhadap program nuklir Iran hingga akhirnya Iran memutuskan untuk bekerja sama dengan Rusia, Pakistan dan Cina. Ketiga, tahap dimana Iran sudah lebih mapan dan mandiri untuk menjalankan program nuklirnya tanpa bergantung dengan negara lain. Tabel 2.1 Tahapan Program Nuklir Iran51
Tahap Pertama Tahun 1957-1979: Ketergantungan Iran terhadap Barat
Tahap Kedua Tahun 1981-1998: Berpaling dari Bantuan Barat
Pembelian reaktor riset dan HEU dari AS
Aktivitas nuklir dilanjutkan kembali setelah Revolusi Islam Iran
Iran memulai kontruksi reaktor air berat di Arak
Peminjaman uang ke Perancis untuk pembelian saham di pabrik pengayaan
Membeli uranium yang diperkaya dari Argentina
Iran menyelesaikan proyek Uranium Conversion Facility di Isfahan
Perjanjian dengan Jerman Barat untuk pembelian 6 reaktor
Perjanjian dengan Rusia untuk menyelesaikan pembangkit listrik di Bushehr
Iran membangun fasilitas pengayaan di Natanz dan Fordow
Dimulainya konstruksi pembangkit listrik di Bushehr
Perjanjian dengan Cina, dan kemudian melepaskan diri dari tekanan di bawah AS
Iran memperkaya uranium hingga tingkat 19,75%
Perjanjian dengan Perancis untuk pembelian 2 reaktor, dan merencanakan 6 reaktor lainnya 51
Tahap Ketiga Sejak tahun 1999: Kemandirian Iran
Rusia menyelesaikan konstruksi pembangkit listrik di Bushehr
Diolah dari Nuclear Energy, http://nuclearenergy.ir/history/ diakses pada 6 Maret 2015.
27
AS menawarkan untuk fasilitas pengolahan dan pembangkit listrik
Rencanan Iran untuk membangun pembangkit listrik (tenaga nuklir) secara mandiri
Upaya untuk mengamankan uranium di Iran dan di luar negeri
Pada tahun 1953, Amerika Serikat memainkan peran penting dalam kudeta menggulingkan Mohammed Mossadeq, yang kemudian membawa Syah Pahlevi berkuasa di Iran.52 Saat itu, Amerika Serikat yakin bahwa Iran di bawah kepemimpinan Mohammed Mossadeq akan jatuh ke tangan komunis, sehingga Presiden Eisenhower mendorong pasukan pro Amerika untuk menggulingkan Mohammed Mossadeq. Sebagai efek dari Perang Dingin, bahkan sejak sebelum Syah berkuasa, Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Truman sudah merangkulnya sebagai mitra penting dalam aliansi informal anti-Soviet di Timur Tengah.53 Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak hanya berebut pengaruh, namun juga ladang minyak di Iran. Amerika Serikat sendiri pernah memberikan ancaman nuklir terselubung untuk Uni Soviet.54 Bantuan Amerika Serikat terhadap program nuklir Iran merupakan salah satu bentuk aliansi AS-Iran untuk membantu menyeimbangkan pengaruh Uni Soviet di kawasan Timur Tengah. Amerika Serikat membantu program nuklir Iran untuk menopang aliansi militer dengan Iran dan mempengaruhi kebijakan Iran pada harga minyak. Eksportir nuklir (negara-negara Barat) berharap bahwa 52
The Robert S. Strauss Center. Early US-Iran Relation, https://strausscenter.org/hormuz/u-s-iran-relations.html diakses pada 17 Maret 2015. 53 Doughlas Little, Frenemies: Iran and America Since 1900, Vol. 4, Issue 8, (Mei 2011). 54 Little, Frenemies: Iran and America Since 1900.
28
mereka pun dapat menuai keuntungan politik dan ekonomi dari bantuan nuklir yang diberikannya.55 Di bawah pemerintahan Syah Pahlevi, Iran merupakan sekutu Amerika Serikat dan negara Barat lainnya, serta sangat bergantung pada bantuan dan persenjataan Amerika Serikat. Pada saat itu, Amerika Serikat melihat Iran bukan sebagai ancaman sehingga Amerika Serikat bersedia membantu program nuklir Iran dengan menandatangani perjanjian kerjasama nuklir di bawah program Atom for Peace tahun 1957 pada masa pemerintahan Presiden Dwight Eisenhower, dan kemudian memberikan lima megawatt-thermal Tehran Research Reactor.56 Pada akhir tahun 1960-an, Atomic Center of Tehran University dan sebuah reaktor riset didirikan. Bahan bakar yang telah diperkaya dipasok oleh sebuah perusahaan Amerika bernama AMF.57 Pemerintah Syah kemudian mengumumkan rencana untuk membangun lebih dari 20 reaktor nuklir untuk menghasilkan listrik.58 Sampai pada tahun 1979, Amerika Serikat tidak sendirian dalam memberikan bantuan, negara lain seperti Perancis dan Jerman juga berkontribusi dalam program nuklir Iran. Pada tahun 1974, Iran dan Perancis menandatangani perjanjian kerjasama 10 tahun untuk pembangunan lima reaktor nuklir dan total biaya dari perjanjian ini sekitar US$ 4 miliar.59 Kemudian, pada tahun 1976 Iran 55
Matthew Fuhrmann, America's Role in Helping Iran Develop its Nuclear Program,
(2012), 2. 56
Fuhrmann, America's Role,5. International Atomic Energy Agency, Communication dated 12 September 2005 from the Permanent Mission of the Islamic Republic of Iran to the Agency, 4. Tersedia di www.iaea.org. 58 International Institute for Strategic Studies (IISS), Iran’s Nuclear, Chemical, and Biological Capabilities: A Net Assessment, (2011). 59 Uluslararasi Politika Akademisi, Nuclear Program of The Islamic Republic of Iran: A Comparison on Khomeini and Ahmadinejad Terms, (2012), http://politikaakademisi.org/nuclear57
29
membeli 10% saham di sebuah pabrik pengayaan uranium yang bernama Tricastin di Paris dan 15% saham di tambang uranium RTZ di Rossing, Namibia.60 Syah Pahlevi mendorong keras pengembangan dalam negeri terkait pengolahan penuh bahan bakar nuklir, khususnya kemampuan untuk memproses ulang bahan bakar bekas.61 Oleh karena itu, sebagai bagian dari rencana untuk memodernisasi Iran, Syah bertekad untuk memulai dan memperluas program nuklir dengan ambisius.62 Di samping perjanjian dengan negara-negara Barat, Iran membeli kue kuning (yellow cake) dari Afrika Selatan dan membiayai sebuah pabrik pengayaan disana. Pada tahun 1974, Atomic Energy Organization of Iran (AEOI) didirikan dan insinyur nuklir Iran dikirim ke luar negeri untuk melakukan pelatihan.63 Meskipun ada pernyataan bahwa program nuklir Iran di bawah Syah hanya untuk tujuan damai, beberapa sumber menyatakan bahwa Syah bermaksud untuk membangun senjata nuklir.64 Terlepas dari spekulasi tentang niat Syah dalam
program-of-the-islamic-republic-of-iran-a-comparison-on-khomeini-and-ahmadinejad-terms/ diakses pada 2 Maret 2015. 60 Oliver Meier, Iran and Foreign Enrichment: A Troubled Model, The Arms Control Association, (February 2006), 56. 61 Bahan bakar nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan proses transformasi inti berantai (www.batan.go.id); Proses pengolahan ulang bahan bakar bekas bertujuan untuk mengambil sisa bahan bakar fisi yang belum terbakar dan bahan bakar baru yang terbentuk selama proses pembakaran bahan bakar nuklir (www.batan.go.id); Abbas Milani, The Shah’s Atomic Dreams, Foreign Policy 29 Desember 2010, http://foreignpolicy.com/2010/12/29/the-shahsatomic-dreams/ diakses pada 20 Februari 2015. 62 Meier, Iran and Foreign Enrichment, 47. 63 Kue kuning atau yellowcake adalah sebutan untuk semacam bubuk uranium konsentrat yang diperoleh dari proses penghancuran bijih uranium secara mekanik, dan kemudian uranium dipisahkan dari mineral lainnya melalui proses kimia menggunakan asam sulfat. Hasil akhir dari proses ini berupa konsentrat uranium oksida (U3O8) yang sering disebut kue kuning atau “Yellow Cake”. (United States Nuclear Regulatory Commission, Yellowcake, http://www.nrc.gov/readingrm/basic-ref/glossary/yellowcake.html); Muhammad Sahimi, Iran’s Nuclear Program, Payvand, Iran News, (2003). 64 Bahgat, Iranian Nuclear Proliferation, 300.
30
program nuklir, ketika AEOI dibentuk pada tahun 1974, Syah menyerukan untuk membuat seluruh kawasan Timur Tengah sebagai zona kawasan bebas senjata nuklir. Seruan ini menjadi tema yang mendasari kebijakan nuklir Iran di bawah rezim Islam.65 Namun, Revolusi Islam Iran tahun 1979 merupakan titik balik dalam program nuklir Iran. Program nuklir Iran sempat terhenti tak lama setelah Revolusi 1979. Banyak ilmuwan nuklir Iran meninggalkan negara tersebut setelah jatuhnya rezim Syah Pahlevi. Selain itu, pemimpin tertinggi Iran (Supreme Leader) pada saat itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini, percaya bahwa senjata nuklir bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.66 Setelah kematian Khomeini pada tahun 1989, pemimpin tertinggi Iran yang baru, Ayatollah Ali Khamenei, memperluas kegiatan nuklir Iran. 67 Pada pertengahan tahun 1980an, pemimpin Iran memutuskan untuk memulai kembali program nuklirnya. Tidak seperti pendahulunya, Ayatollah Ali Khamenei mempunyai pandangan yang lebih baik tentang energi nuklir dan teknologi militer, sehingga ia bertujuan untuk membangun kembali Program Teheran.68 Namun, Iran tidak dapat menggandeng kembali negara-negara Barat untuk membantu program nuklirnya. Hal ini disebabkan adanya tekanan dari Amerika Serikat. Pasca Revolusi Islam Iran, hubungan Iran dan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, memburuk. Negara-negara Barat pun kemudian
65
Bahgat, Iranian Nuclear Proliferation, 309. Bahgat, Iranian Nuclear Proliferation, 311. 67 Milani, The Shah’s Atomic Dreams. 68 Bruno, Iran's Nuclear Program. 66
31
membekukan perjanjian dengan Iran, serta menarik dukungan mereka untuk program nuklir Iran. Siemens/Kraftwerk Union menghentikan pekerjaannya di Bushehr juga karena tekanan Amerika Serikat. Amerika Serikat sendiri memutuskan untuk menghentikan pasokan uranium weapon-grade69 yang digunakan sebagai bahan bakar untuk Tehran Research Reactor (TRR). Perancis juga mengubah sikapnya terhadap energi nuklir Iran.70 Sebagian besar perusahaan Barat menghentikan kerjasama dengan Iran terutama karena upaya politik oleh Presiden Amerika Serikat saat itu, Ronald Regan, untuk memaksakan embargo internasional tentang kerja sama nuklir dengan Iran.71 Hingga akhirnya Iran berkeinginan untuk bekerja sama dengan Rusia, Pakistan dan Cina yang kemudian menandatangani perjanjian-perjanjian.72 Iran menandatangani perjanjian kerjasama nuklir jangka panjang dengan Pakistan dan Cina masing-masing pada tahun 1987 dan 1990.73 Iran juga menandatangani perjanjian dengan Rusia pada tahun 1992. Menarik untuk melihat hubungan Iran dengan Rusia. Sebelumnya Iran dan Rusia memiliki sejarah konflik yang panjang. Namun, kini Rusia menyambut Iran dengan membantu program nuklir Iran. Iran dan Rusia sama-sama menganggap 69
Uranium weapon-grade adalah uranium dengan pengayaan diatas 90%. Fisi uranium di senjata nuklir primer biasanya berisi 85% atau lebih 235U sehingga uranium weapon-grade dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir. (www.batan.go.id) 70 Nuclear Energy, History: Post-Revolution Endeavors, http://nuclearenergy.ir/history/ diakses pada 5 Maret 2015. 71 The International Institute for Strategic Studies (IISS), IISS Dossier: Iran’s Strategic Weapons Programmes-a net assessment, Routledge Taylor and Francis Group, (New York, 2005), 12. 72 Nicoleta Lasan, European Union’s Approach Towards The Iranian Nuclear Crisis: An Interest-Driven Strategy Combined With The “Appropriate” Means, (Hungary: Central European University, 2007), 7. 73 Nuclear Threat Initiative, Iran: Nuclear.
32
Amerika Serikat sebagai saingan yang signifikan dan ancaman bagi keamanan jangka panjang mereka. Maka, Rusia memutuskan untuk terlibat dalam strategi menyeimbangkan (balancing strategy).74 Rusia telah membantu pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Bushehr senilai US$ 800 juta dan membantu para ilmuan Iran untuk memperoleh pengetahuan nuklir.75 Pasca Revolusi Islam Iran, Rusia melihat bahwa mustahil untuk membawa pengaruh komunisme di Iran, terutama karena adanya faktor relijius yang kuat di dalam masyarakat Iran. Rusia melihat resiko yang besar untuk melemahkan pemerintah Iran, di samping ada bahaya potensial jika Amerika Serikat menginvasi Iran.76 Namun, Rusia merasa bahwa Iran dapat mengancam keamanan dan kepentingannya dengan mempengaruhi masyarakat Muslim di kawasan Asia Tengah dan Kausasus. Akhirnya, Rusia memutuskan untuk membawa Iran ke arah kerjasama dan berharap bahwa hal tersebut akan menyebabkan Iran bergantung pada Rusia dalam jangka panjang, yaitu dengan membantu program nuklir Iran. 77 Sementara Iran dan Cina sama-sama merasa bahwa mereka adalah dua peradaban besar yang telah menjadi korban imperialisme Barat.78 Sebelum tahun 1997, Cina telah menjadi mitra penting Iran dalam membantu
Iran
mengembangkan kemampuan nuklirnya. Kerjasama Iran dengan Cina dimulai pada tahun 1987 dan berlanjut selama sekitar 10 tahun. Kerjasama ini membantu 74
Ariel Cohen, The Russian Handicap to U.S. Iran Policy, Jerusalem Issue Briefs,
(2009), 35. 75
Global Security. Bushehr –Background, http://www.globalsecurity.org/wmd/world/iran/bushehr-intro.htm diakses pada 12 Maret 2015. 76 Mahdi Ahouie, Iran’s relationship with China, India and Russia, (2015). 77 Cohen, The Russian Handica, 30. 78 Lake, Iran’s nuclear program helped by China.
33
kapabilitas pertambangan uranium Iran dengan menyediakan para pakar dan rancangan fasilitas pembangkit uranium hexaflourida.79 Banyak bagian dari program Iran, termasuk desain fasilitas uranium hexaflourida dan fasilitas reaktor air berat di Arak yang digunakan untuk memproduksi plutonium, dapat ditelusuri melalui adanya kerjasama dengan Cina dan Rusia pada tahun 1990an.80 Aliansi informal dari antara Iran dengan Rusia dan Cina hadir sebagai reaksi terhadap unilateralisme dan upaya aspirasi hegemoni global Amerika Serikat. Cina dan Rusia yang sama-sama memiliki hak veto dalam Dewan Keamanan PBB, memiliki konsistensi untuk menghambat upaya PBB dalam menghentikan program nuklir Iran.81 Kekhawatiran internasional atas kegiatan nuklir Iran semakin intensif pada tahun 2002 ketika kelompok oposisi Iran yang berbasis di Irak, National Council of Resistance in Iran (NCRI), mengungkap adanya dua fasilitas nuklir yang dirahasiakan, fasilitas pengayaan uranium di Natanz dan pabrik produksi air berat di Arak. Hingga akhirnya di bawah tekanan dunia internasional, Iran kemudian menandatangani protokol tambahan, yang memberikan izin inspeksi kepada IAEA untuk memverifikasi bahwa Iran tidak membangun senjata nuklir.82
79
Eli Lake, Iran’s nuclear program helped by China, Russia, The Washington Times, 5 Juli 2011, http://www.washingtontimes.com/news/2011/jul/5/irans-nuclear-program-helped-bychina-russia/?page=all diakses pada 13 Maret 2015. 80 Lake, Iran’s nuclear program helped by China, Russia. 81 Cohen, The Russian Handicap, 37. 82 Bruno, Iran's Nuclear Program.
34
Gambar 2.2 Lokasi Penting Fasilitas Nuklir Iran83
II.2. Hak Sah Iran Sebagai Penandatangan NPT Non Proliferation Treaty (NPT) atau Traktat Non-Proliferasi Nuklir adalah perjanjian multilateral yang ditandatangani pada tahun 1968 dan mulai berlaku efektif pada tahun 1970. NPT merupakan bentuk utama dari upaya dunia internasional untuk membatasi proliferasi nuklir. Ide dasar perjanjian ini adalah bahwa setiap negara harus memiliki kesempatan untuk menggunakan energi
83
Deutsche Welle, Defying West, Iran opens nuclear power plant with Russian help, http://www.dw.de/defying-west-iran-opens-nuclear-power-plant-with-russian-help/a-5928999 diakses pada 3 Maret 2015.
35
nuklir untuk tujuan sipil, namun penggunaan nuklir untuk kepentingan militer harus dilarang dan hanya diperbolehkan eksklusif untuk lima negara, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Cina dan Perancis.84 Perjanjian ini membatasi penggunaan nuklir dan melarang transfer teknologi senjata nuklir ke negara yang tidak memiliki senjata nuklir (non-nuclear weapon states). Namun, perjanjian ini tidak melarang penggunaan nuklir untuk tujuan damai, melainkan mendorong transfer teknologi nuklir untuk tujuan damai. Perjanjian ini juga mengharuskan negara-negara pemilik senjata nuklir untuk melakukan pengawasan senjata (arms control).85 Tiga tujuan utama NPT yaitu, pertama, menjamin pelucutan senjata nuklir oleh negara bersenjata nuklir yang telah menandatanagi NPT, yaitu Cina, Rusia, Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Kedua, mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi yang berkaitan dengan senjata nuklir. Ketiga, menjamin kerjasama dalam penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai.86 Iran menandatangani NPT pada tahun 1968 sebagai negara non senjata nuklir dan meratifikasinya pada tahun 1970.87 Pasal III dari NPT mengharuskan negara non nuklir untuk menerima safeguard (upaya pengamanan) komprehensif dari International Atomic Energy Agency (IAEA). Iran telah menandatangani
84
Oliver Schmidt, Understanding & Analyzing Iran’s Nuclear Intentionn - Testing Scott Sagan’s Argument of “Why do States build Nuclear Weapons”, Lancaster University, (2008), 5. 85 Wolfson, Richard, Nuclear Choices; A Citizen's Guide to Nuclear Technology, (Massachusetts: McGraw-Hill Publishing Company, 1991), 21. 86 Seyed Hossein Mousavian, The Iran Nuclear Dilemma: The Peaceful Use of Nuclear Energy and NPT’s Main Objectives. EU Non-Proliferation Consortium, (2012), 3. 87 Nuclear Threat Initiative. Iran: Nuclear.
36
safeguards agreement (perjanjian pengamanan) yang komprehensif dengan IAEA pada tahun 1974.88 Dalam kasus program nuklir Iran, Iran selalu menyatakan bahwa kegiatan pengayaan uraniumnya bertujuan untuk menghasilkan bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir untuk memenuhi kebutuhan domestik dan warga sipilnya dengan tujuan damai.89 Iran menyatakan bahwa membangun senjata nuklir bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sehingga Iran pun bersikeras bahwa ia tidak sedang membangun senjata nuklir.90 Dengan pernyataan tersebut dan sebagai negara penadatangan NPT, maka pada prinsipnya Iran memiliki hak yang sah untuk mengembangkan nuklir untuk tujuan damai. Iran sendiri juga mengklaim bahwa ia memiliki hak mutlak untuk mengaya uranium sebagaimana diatur dalam NPT, dan bahwa satu-satunya batasan dalam program nuklir adalah pemproduksian senjata, sedangkan Iran tidak sedang membangun senjata nuklir.91 NPT menegaskan untuk melindungi hak seluruh negara penandatangan untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Hal ini diatur dalam pasal IV, yang pada intinya menyatakan bahwa tidak ada poin dalam perjanjian tersebut yang melarang pihak penandatangan untuk mengembangkan penelitian, produksi
88
dan
penggunaan
energi
nuklir
untuk
tujuan
damai.
Negara
Paul K. Kerr, Iran’s Nuclear Program: Tehran’s Compliance with International Obligations, Congressional Research Service, (2014), 1. 89 Aylin Ünver Noi, Iran's Nuclear Programme: The EU Approach to Iran in Comparison to the US’ Approach, Center for Strategic Research, (2005), 89. 90 Conn Hallinan, The Question of Enrichment. 91 Conn Hallinan, The Question of Enrichment.
37
penandatangan memiliki hak untuk mengembangkan nuklir untuk tujuan damai tanpa diskriminasi sebagaimana diatur dalam pasal I dan II dari perjanjian ini.92 Namun, bunyi pasal IV ini memiliki ambiguitas yang menyebabkan adanya kontroversi tentang apa yang dimaksud dengan “hak mutlak” yang disebutkan dalam pasal IV.93 Hal ini terjadi karena masing-masing pihak (negara) memiliki interpretasi dan pendapat yang berbeda atas pasal ini, seperti Amerika Serikat yang menentang dengan keras upaya pengayaan uranium Iran. Amerika Serikat menolak untuk mengakui hak Iran.94 Beberapa negara pun melihat pasal IV memiliki inkonsistensi antara frasa “inalienable right (hak mutlak)” dan “in conformity with Articles I and II (sesuai dengan pasal I dan II)”. Ambiguitas ini tentu semakin menyulitkan untuk membangun pemahaman bersama antara pihak-pihak yang bernegosiasi. Namun, dalam NPT Review Conference tahun 2000, konferensi ini menegaskan untuk menghormati pilihan dan keputusan masing-masing negara dalam bidang penggunaan damai energi nuklir dengan tanpa melanggar kebijakan atau kerjasama internasional yang terkait.95 Dewan Keamanan PBB sendiri pun tidak pernah menyatakan bahwa Iran telah melanggar NPT.96
92
William O. Beeman, Does Iran Have the Right to Enrich Uranium? The Answer Is Yes, Huffington Post 31 Oktober 2013 http://www.huffingtonpost.com/william-o-beeman/does-iranhave-the-right-_b_4181347.html diakses pada 20 februari 2015. 93 Nathan Donohue, Understanding Iran’s Right to Enrichment, CSIS, (2012), 3. 94 Muhammad Sahimi, Iran Has a Right to Enrich- And America Already Recognized It, (2013), http://nationalinterest.org/commentary/iran-has-right-enrich%E2%80%94-americaalready-recognized-it-9425 diakses pada 20 Februari 2015. 95 Sahimi, Iran Has a Right to Enrich. 96 Paul K. Kerr, Iran’s Nuclear Program: Tehran’s Compliance with International Obligations, 11.
38
II.3. Keinginan Iran dengan Program Nuklirnya Sejauh ini, belum ada sumber resmi dari pemerintah Iran yang mengakui bahwa Iran sedang membangun senjata nuklir. Sebaliknya, selama ini pemerintah Iran dengan resmi selalu menyatakan bahwa program nuklir Iran adalah untuk tujuan sipil. Namun, menarik untuk menganalisa kasus nuklir Iran melalui kerangka teori yang ditulis oleh Scot Sagan dalam Why Do States Build Nuclear Weapon?: Three Models in Search of a Bomb.97 Ada tiga model untuk menganalisa motif negara-negara ingin membangun senjata nuklir, yaitu Security Model, Domestic Politics Model dan Norms Model. Model pertama adalah Security Model, menurut model ini negara membangun senjata nuklir untuk meningkatkan keamanan nasional dari ancaman luar, terutama ancaman nuklir.98 Model ini berkaitan dengan konsep-konsep dasar teori neo-realis. Menurut neo-realis, sistem internasional adalah anarki, yang berarti tidak institusi internasional yang dapat memberikan sanksi terhadap perilaku negara.99 Dalam kondisi yang anarki, sifat alamiah negara adalah berperang, seperti yang diungkapkan Thomas Hobbes.100 Oleh karena itu negara harus bergantung pada diri sendiri (self-help) untuk melindungi kedaulatan dan keamanan nasionalnya (survival). Maka negara harus memaksimalkan keamanan (security).101
97
Scott D. Sagan, Why do States Build Nuclear Weapons?: Three Models in Search of a Bomb, International Security, Vol. 21, No. 3, (Winter, 1996-1997), 55. 98 Sagan, Why do States Build Nuclear Weapons, 55. 99 John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics, W.W. Norton & Company, (New York, 2001), 30. 100 Kenneth Waltz, Theory of International Politics, McGraw-Hill Higher Education, Mass, (1979), 102. 101 Why do States Build Nuclear Weapons, 58.
39
Kemudian, kepemilikan senjata nuklir juga berkaitan dengan konsep deterent (Concept of Deterrence). Deterent dapat diartikan sebagai cara untuk mempengaruhi aksi pihak lain untuk menahan pihak tersebut melakukan sesuatu yang merugikan dengan memberikan kemungkinan bahwa pihak lainnya akan merespon dengan sesuatu yang sama-sama merugikan. Singkatnya, menggunakan ancaman dan hukuman jika diperlukan untuk mengubah perilaku negara lain.102 Domestic Politics Model, dimana senjata nuklir digunakan sebagai alat politik dan pertarungan kepentingan di dalam birokrasi. Menurut Scot Sagan, ada tiga aktor domestik utama yang berkaitan dengan keputusan negara untuk mengembangkan nuklir: pertama, pembangunan energi nuklir suatu negara, termasuk lembaga-lembaga ilmiah dan perusahaan; kedua, militer sebagai aktor birokrasi dalam negeri; dan ketiga adalah politisi yang ingin menggunakan isu senjata nuklir untuk partai politik atau kedudukan pribadinya mengenai opini publik dan dukungan publik.103 Norms Model, dimana keputusan membangun senjata nuklir dibuat karena dapat memberikan simbol normatif yang penting, seperti kemodernan dan identitas negara. Kepemilikan senjata nuklir dapat membentuk dan merefleksikan identitas negara. Menurut model ini, perilaku negara tidak ditentukan oleh kalkulasi pemimpin negara tentang kepentingan keamanan nasional atau
102
Klaus-Dieter Schwarz, The Future of Deterrence, German Institute for International and Security Affairs, Stiftung Wissenschaft und Politik (SWP), SWP Research Paper, (Juni 2005), 5. 103 Sagan. Why do States Build Nuclear Weapons, 63.
40
kepentingan birokrasi, melainkan ditentukan oleh norma dan keyakinan bersama tentang perilaku apa yang sah dan sesuai dalam hubungan internasional.104 Berdasarkan ketiga model tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan Iran berniat untuk membangun senjata nuklir. Pertama, selaras dengan security model, Iran sedang menghadapi ancaman keamanan sehingga Iran mungkin bermaksud untuk mengembangkan senjata nuklir sebagai alat deterent karena ketakutannya atas invasi atau serangan udara Amerika Serikat atau Israel. Apalagi pasca revolusi Iran, hubungan Iran-Amerika Serikat didominasi dengan sentimen negatif, gesekan, provokasi dan beberapa konflik militer.105 Puncaknya, mulai pada tahun 2001 Iran melihat Amerika Serikat sebagai ancaman utama.106 Iran menyadari bahwa intervensi Amerika Serikat tidak dapat dihalangi dengan cara konvensional. Selain itu, Amerika Serikat mampu menggulingkan rezim Saddam Hussein hanya dalam dua puluh satu hari. Oleh karena itu, Iran berkalkulasi bahwa deterent nuklir adalah satu-satunya cara yang dapat menjamin kedaulatan dan keamanannya.107 Dalam tingkat regional, penting untuk melihat kondisi geopolitik Iran bahwa Iran dikelilingi oleh negara-negara pemilik senjata nuklir, termasuk Rusia, Pakistan, India, Israel dan pasukan Amerika Serikat di wilayah tersebut.108 Menyeimbangkan (balancing) kemampuan nuklir tersebut dapat menjadi salah
104
Sagan, Why do States Build Nuclear Weapons, 73.
105 106
Ali M. Ansari, Confronting Iran – The Failure of American Foreign Policy and the next Great Crisis in the Middle East, Basic Books, (New York, 2006), 186. 107 James A. Russel, Proliferation of Weapons of Mass Destruction in the Middle East: Directions and Policy Options in the New Century, ( New York: Palgrave, 2006), 55. 108 Cirincione, Joseph, Jon B. Wolfsthal dan Miriam Rajkumar, Deadly Arsenals – Tracking Weapons of Mass Destruction, (Washington D.C, 2002), 256.
41
satu dorongan bagi Iran untuk mengembangkan senjata nuklir. Persepsi ancaman regional Iran dimulai ketika perang Iran-Irak tahun 1980-1988. Iran juga menggunakan nuklir guna memenuhi ambisinya untuk mendominasi wilayah regionalnya.109 Kedua, sesuai dengan domestic politics model, dukungan publik rakyat Iran terhadap pemerintahnya untuk program pengembangan nuklir Iran sangat tinggi, sehingga hal ini merupakan sebuah pemicu dan dorongan untuk tetap melanjutkan upaya pengembangan senjata nuklir. Gambar 2.3 Poling Opini Publik Iran110
Berdasarkan grafik poling oponi publik di atas, survey yang dilakukan oleh ISPA pada bulan Februari 2006, WPO dan TFT pada bulan Agustus 2008, Rand pada bulan Desember 2009, Gallup pada bulan Januari 2012, Marylan pada
109
Rajkumar, Deadly Arsenals, 300. Nuclear Energy, Iranian public attitudes towards their country’s nuclear energy program, http://nuclearenergy.ir/public-opinion/ diakses pada 5 Maret 2015. 110
42
bulan Oktober 2012, Gallup pada Januari 2013 dan kemudian bulan Mei 2013, secara konsisten menunjukkan bahwa dukungan publik Iran terhadap program nuklir Iran berada diatas angka 50%. Maka dapat disimpulkan bahwa di tengah sanksi yang dijatuhkan kepada Iran, dukungan rakyat Iran terhadap program nuklirnya tetap besar. Sagan berargumen bahwa, aktor yang pro dengan senjata nuklir akan memperoleh keuntungan jika senjata nuklir merupakan simbol positif dalam perdebatan domestik.111 Selama ini kelompok konservatif yang mendukung program nuklir selalu berada di posisi-posisi penting dalam pemerintahan sehingga mereka memiliki pengaruh kuat dalam proses pembuatan kebijakan. Dengan adanya respon positif dari publik Iran, kelompok konservatif semakin menguatkan posisinya di dalam pemerintahan Iran.112 Ketiga, sesuai dengan norms model, karena persepsi senjata nuklir sebagai simbol kedaualtan dan kemodernan, Iran mengembangkan senjata nuklir untuk mendapatkan prestise internasional. Bagi Iran, progres dalam program nuklirnya merupakan satu kebanggaan nasional yang utama, bersamaan dengan kemajuan teknologi Iran lainnya seperti peluncuran satelit ke luar angkasa pada tahun 2009 lalu dan pengembangan rudal yang mampu menyerang Israel. 113 Ahmadinejad dan
111
Sagan. Why do States Build Nuclear Weapons, 60. Noi, Iran's Nuclear Programme, 78. 113 Brian Murphy, Iran Nuclear Program: Ahmadinejad Promises Country Will Not Retreat, Huffington Post 9 November 2011. http://www.huffingtonpost.com/2011/11/09/irannuclear-program-ahmadinejad_n_1083398.html diakses pada 28 Februari 2015. 112
43
fraksi garis keras menyoroti pentingnya program nuklir untuk memperkuat status regional dan internasional Iran.114 Sesuai dengan Konstitusi Republik Islam Iran tahun 1979, dimana salah satu aspek utama dari kebijakan luar negerinya adalah penolakan dari setiap hegemoni atau dominasi asing. Oleh karena itu, kepemilikan senjata nuklir bisa menjadi simbol bagi kemandirian Iran dan penolakan intervensi asing dalam urusan domestik dan regional Iran.115 Dengan ketiga alasan tersebut, logis bagi Iran untuk membangun senjata nuklir. Rekam jejak Iran dalam program nuklirnya, seperti adanya fasilitas pengayaan rahasia, keengganan untuk mematuhi IAEA Safeguards Agreement, keraguan Iran untuk dilakukan inspeksi terhadap kegiatan pengembangan nuklirnya, perselisihan antara Iran dengan PBB dan IAEA, semakin memberikan petunjuk tambahan bahwa Iran memang berniat untuk membangun senjata nuklir.
II.4. Politik Domestik Iran dalam Program Nuklir Dalam konteks hubungan Iran dengan dunia luar, ada dua tipe pembuat kebijakan di Iran, yaitu mereka yang sedikit percaya dengan dunia luar, khususnya Barat dan mereka yang sama sekali tidak percaya dengan dunia luar. Namun, para analis yang mempelajari Iran setuju bahwa negara ini harus dilihat sebagai aktor
114
Mehran Kamrav, Iranian National Security Debates – Factionalism and lost Opportunities, Middle East Policy, Vol. XIV, No. 2, (2007), 95. 115 Schmidt, Understanding & Analyzing Iran’s Nuclear Intention, 64.
44
rasional, dimana para elitnya membuat keputusan dengan mempertimbangkan resiko dan kesempatan atau cost and benefit.116 Pemimpin Iran menyadari bahwa program nuklir merupakan sebuah aset strategis penting sekaligus batu sandungan utama dalam hubungan antara Iran dengan dunia internasional. Berbeda dengan kelompok garis keras, kaum reformis bersikeras bahwa Iran perlu berintegrasi ke dalam tatanan internasional dan ekonomi global sehingga Iran harus menerima pembatasan program nuklir.117 Sejak revolusi tahun 1979, politik domestik Iran sendiri dalam program nuklir ini terpecah. Senjata nuklir lebih dari sekedar alat keamanan nasional, senjata nuklir adalah objek politik penting yang sering diperdebatkan dalam ranah domestik dan pertarungan kepentingan birokrasi dalam negeri. Shahram Chubin berpendapat bahwa upaya Iran untuk mengembangkan nuklir lebih merupakan produk dari politik dalam negeri dan tuntutan legitimasi revolusioner daripada sebuah keharusan strategis.118 Selama periode 2002-2005, program nuklir menjadi perhatian besar para elit politik Iran. Beberapa pejabat Iran khawatir bahwa pengungkapan fasilitas nuklir oleh National Council of Resistance in Iran (NCRI) akan menyebabkan peningkatan sanksi atau tindakan militer terhadap Iran, terutama mengingat
116
Reuven Pedatzur, “The Iranian Nuclear Threats and the Israeli Options”, Contemporary Security Policy, Vol 28, No 3, (2007), 514. 117 Ray Takeyh, Iranian reformers oppose government's nuclear ambitions, Los Angeles Times 7 Januari 2015, http://www.latimes.com/opinion/op-ed/la-oe-takeyh-iranian-left-20150108story.html diakses pada 4 Maret 2015. 118 Shahram Chubin, Iran: Domestic Politics and Nuclear Choices, Strategic Asia. (2007), 301.
45
pasukan militer Amerika Serikat di wilayah tersebut pada waktu itu akan menginvasi Irak.119 Secara umum, ada tiga kelompok yang berbeda pandangan tentang program nuklir Iran. Pertama adalah kelompok pendukung nuklir, yaitu mereka yang berpendapat bahwa Iran memiliki hak untuk mengembangkan senjata nuklir sebagai deterent terhadap ancaman eksternal yang dirasakan. Mereka berada di sayap konservatif. Menurut pandangan kelompok ini, Barat memaksakan kehendaknya terhadap Iran melalui hukum dan lembaga-lembaga internasional. 120 Oleh karena itu, Iran akan berada di posisi terkuatnya ketika memiliki kemampuan untuk mencegah ancaman eksternal yang melalui penggunaan kekuatan, dan mereka percaya bahwa instrumen deterent yang kredibel adalah kepemilikan nuklir, yang juga diperlukan untuk memastikan keamanan dan status politik Iran. Pendukung nuklir berulang kali mengkritik perundingan nuklir dengan Barat karena dinilai gagal mempertahankan hak untuk mengaya uranium dan kepentingan nasional Iran.121 Kedua adalah kelompok pengkritik nuklir, yaitu mereka yang mendukung untuk menghentikan program nuklir Iran demi mengejar kepentingan nasional lainnya. Mereka mengklaim bahwa konflik berkepanjangan atas program nuklir Iran akan menyebabkan peningkatan isolasi dan jatuhnya ekonomi negara. Sanksi
119
Nima Gerami, Leadership Divided? The Domestic Politic of Iran’s Nuclear Debate. Washington: The Washington Institute for Near East Policy, (2014), 32. 120 Gerami, Leadership Divided?, 20. 121 Gerami, Leadership Divided?, 22.
46
internasional yang keras adalah akibat langsung dari keengganan Iran untuk mencapai kesepakatan nuklir dengan Barat.122 Bagi mereka, program nuklir tidak mengedepankan kepentingan keamanan nasional Iran, justru sebaliknya, membuat Iran menjadi kurang aman dengan adanya banyak tekanan asing. Kelompok pengkritik semakin menyuarakan kritikannya terhadap program nuklir Iran selama dua tahun terakhir pemerintahan Ahmadinejad. Yaitu, ketika kekhawatiran tentang keselamatan nuklir dan memburuknya perekonomian Iran yang menyebabkan kemungkinan adanya koalisi antara kelompok konservatif Ahmadinejad dan kelompok penentang reformis.123 Ketiga adalah kelompok tengah, yaitu mereka yang bersedia menerima hambatan sementara pada pengayaan uranium Iran dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pemrosesan kembali, untuk mengakhiri isolasi internasional yang dihadapi oleh Iran. Mereka menggarisbawahi adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah nuklir Iran dengan Barat melalui diplomasi, sambil meningkatkan kemampuan Iran untuk menghadapi ancaman melalui deterent.124 Dengan demikian, Iran dapat memanfaatkan perjanjian dan kesepakatan internasional untuk mengubah ancaman menjadi peluang. Kelompok tengah mengklaim bahwa mereka dapat mengurangi sanksi sambil terus melanjutkan kemampuan pengolahan bahan bakar nuklir. Para perwakilan atau negotiator nuklir Iran umumnya berasal dari kelompok ini.
122
Gerami, Leadership Divided?, 23. Gerami, Leadership Divided?, 34. 124 Gerami, Leadership Divided?, 25. 123
47
mereka berusaha meyakinkan dunia internasional bahwa program nuklir Iran adalah bertujuan damai.125 Periode pertama Ahmadinejad menjadi presiden Iran (2005-2009), merupakan fase terdalam perpecahan internal Iran dalam program nuklir.126 Jika diamati lebih dekat, politik nuklir Iran menggambarkan bahwa perpecahan elit pada masalah nuklir terkait erat dengan adanya perbedaan persepsi ancaman, kalkulasi politik dalam negeri, dan perdebatan tentang evolusi Republik Islam dan tempatnya di dunia internasional. Pada dasarnya, para pejabat Iran memiliki pandangan berbeda tentang definisi kepentingan keamanan nasional Iran, tujuan akhir yang diinginkan negara untuk program nuklir, dan cara terbaik untuk mengejar tujuan strategis negara.127 Keputusan anti-nuklir akan ditetapkan ketika lobi anti nuklir yang kuat dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan atau dukungan publik. Itu berarti, keputusan pro-nuklir ditetapkan jika kelompok aktor politik yang kuat dapat mempengaruhi perdebatan politik dan mendapatkan dukungan pemerintah dalam hal keputusan pro-nuklir.128 Namun, pada tahun 2005 ketika Ahmadinejad terpilih menjadi presiden, cabang eksekutif maupun parlemen didominasi oleh kelompok garis keras dan konservatif. Kelompok pengkritik nuklir berada diposisi terpinggirkan dari posisi kekuasaan sehingga memiliki pengaruh yang kecil, sementara kelompok pendukung dan kelompok tengah berada di posisi paling berpengaruh dalam 125
Chubin, The Politics of Iran's Nuclear Program, 16. Shahram Chubin, The Politics of Iran's Nuclear Program, The Iran Primer http://iranprimer.usip.org/resource/politics-irans-nuclear-program diakses pada 2 Maret 2015. 127 Chubin, The Politics of Iran's Nuclear Program, 19. 128 Schmidt, Understanding & Analyzing Iran’s, 57. 126
48
membentuk kebijakan nuklir Iran. Meskipun demikian, kelompok pendukung dan kelompok tengah sendiri memiliki tujuan akhir yang berbeda dan perbedaan pemikiran tentang bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut. Kelompok pendukung berusaha untuk mengembangkan nuklir sebagai instrumen deterent berdasarkan keyakinan mereka, bahwa kekuatan militer akan memastikan status Iran di wilayah Timur Tengah. Sedangkan kelompok tengah berusaha untuk menyeimbangkan antara tuntutan ekonomi dan politik Iran dengan kebutuhan untuk mempertahankan kemampuan nuklir.129 Kurangnya konsensus diantara para elit Iran tentang isu nuklir mengakibatkan Iran harus selalu menilai kembali strategi nuklirnya secara berkala. Pergeseran kebijakan ini juga mempengaruhi kesediaan Iran untuk terlibat dalam negosiasi nuklir dengan Barat. Pada akhirnya Pemimpin Tertinggi (Supreme Leader) Iran yang memegang keputusan akhir pada semua isu-isu kebijakan dalam dan luar negeri. Namun, ia memerintah dengan konsensus, bukan dengan dekrit, melalui konsultasi dengan sejumlah penasehat.130 Sementara, Khamenei sendiri cenderung berada di antara dua kelompok ini, tergantung pada tekanan domestik dan keadaan geopolitik.131
II.5. Kebijakan Nuklir Iran di Era Pemerintahan Ahmadinejad Iran mengumumkan untuk memulai kembali konversi nuklir di Isfahan dan menekankan bahwa program nuklir mereka untuk kepentingan damai 129
Schmidt, Understanding & Analyzing Iran’s, 40. Gerami, Leadership Divided?, 19. 131 Schmidt, Understanding & Analyzing Iran’s Nuclear Intention, 40. 130
49
bersamaan dengan naiknya Ahmadinejad sebagai presiden Iran tahun 2005. Komunitas internasional seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa menuntut Iran untuk menghentikan pengayaan nuklirnya, namun Iran menolak untuk menghentikan program nuklirnya. Iran tetap melanjutkan program nuklirnya setelah pemberian sanksi-sanksi. Usaha-usaha dunia internasional untuk menghentikan program nuklir Iran dianggap telah melanggar hak sah Iran sebagai penandatangan NPT. Kebijakan nuklir di era pemerintahan Ahmadinejad dinilai berbeda dengan kebijakan di era pemerintahan Khatami. Pemerintahan Khatami pada dasarnya menggunakan strategi kooperatif, dimana banyak negosiasi dan diplomasi internasional yang dilakukan Iran dengan pihak-pihak terkait, khususnya IAEA dan Uni Eropa. Khatami cenderung ingin menormalisasi hubungan dan menggunakan konsep soft balancing dalam menghadapi Amerika Serikat dan negara Barat terkait program nuklir Iran.132 Terjadi pergeseran kebijakan luar negeri dan keamanan selama masa pemerintahan Ahmadinejad. Dari sudut pandang Ahmadinejad, kebijakan Khatami tidak tegas untuk mencegah intervensi negara asing, terutama yang berkaitan dengan kebijakan nuklir.133 Oleh karena itu, Ahmadinejad berusaha menghindari kepasifan Iran dalam mengehadapi negara asing dengan mengadopsi kebijakan luar negeri yang konfrontatif.
132
Gerami, Leadership Divided?, 26. Amir M. Haji-Yousefi, Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad: From Confrontation to Accommodation, Presented to the Annual Conference of the Canadian Political Science Association, 2-3 Juni 2010, Concordia University, Montreal, Canada, 8. 133
50
Ahmadinejad menyajikan program nuklir sebagai persoalan kedaulatan nasional, kebanggaan dan martabat Iran, sembari menekankan urgensi tantangan keamanan eksternal yang ditimbulkan oleh Amerika Serikat dan Israel.134 Kebijakan ini dianggap sebagai strategi Ahmadinejad untuk mengamankan pengaruh dan kekuatan kelompok konservatif, fraksi garis keras di sistem politik Iran. Pemerintahan Ahmadinejad cenderung menggunakan strategi konfrontatif dan retorika yang lebih agresif, khususnya terhadap Israel dan Barat. Ahmadinejad menilai bahwa negosiasi dengan Barat adalah upaya yang sia-sia dan satu-satunya pendekatan yang berguna adalah konfrontasi. 135 Setelah Ahmadinejad berkuasa, para pejabat Iran diyakinkan bahwa tujuan utama Amerika Serikat dan Eropa tidak hanya menangguhkan program nuklir Iran, namun juga mengakhiri program nuklir Iran, sehingga pemerintahnya perlu mengubah orientasi kebijakan luar negeri.136 Melalui pidato, pernyataan dan kebijakan, Ahmadinejad membangun aksi yang berupa konsistensi terkait program nuklir Iran. Ahmadinejad menggunakan pidato ofensif untuk mengumpulkan dukungan dan menyatukan penduduk Iran. Ahmadinejad dan fraksi garis keras menekankan pentingnya program nuklir untuk meningkatkan status regional dan internasional Iran.137
134
Mehran Kamrava, “Iranian National Security Debates – Factionalism and lost Opportunities”, Middle East Policy, Vol XIV, No. 2, (2007), 95. 135 Ali M. Anshari, Supremasi Iran: Poros Setan atau Superpower Baru, (Jakarta: Zahra Publishing, 2008), 225. 136 Yousefi, Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad, 9. 137 Kamrava, Iranian National Security Debates, 95.
51
Ahmadinejad sering menyerukan hak-hak nuklir Iran. Iran sendiri telah menyatakan di bawah NPT, landasan hukum internasional tentang non proliferasi nuklir, bahwa Iran mempunyai hak untuk mengembangkan program nuklir sipil. Pejabat Iran seringkali menyatakan bahwa senjata nuklir tidak penting bagi doktrin pertahanan Iran.138 Jika Iran sedang mengembangkan senjata nuklir, ini hanya karena kebutuhan untuk mengamankan pasokan energi untuk generasi masa depan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Ahmadinejad, khususnya kebijakan nuklir, yaitu faktor psikologi, faktor sosial, faktor politik, faktor sejarah dan faktor internasional.139 Pertama,
faktor
psikologi
berfokus
pada
kepribadian
(leadership personality), terutama sistem keyakinannya
(belief
pemimpin system).
Nampaknya Ahmadinejad mirip dengan Ayatollah Khomeini. Sebagai seorang revolusioner yang dipengaruhi oleh pengalaman perang Iran-Irak, Ahmadinejad percaya bahwa Iran tidak dapat mengandalkan dan bergantung pada negara-negara asing, terutama negara Barat termasuk Amerika Serikat.140 Di sisi lain, Ahmadinejad nampaknya sangat percaya bahwa musuh-musuh Iran, terutama Amerika Serikat dan Israel sedang berada dalam posisi yang lemah, dimana kekuatan Amerika Serikat menurun dan pemerintah Israel melemah. Hal seperti ini telah meningkatkan rasa percaya diri Ahmadinejad dalam kebijakan luar negerinya dan bergerak menuju kebijakan menjadi lebih tegas. 138
Wyn Q. Bowen dan Joanna Kidd, The Iranian Nuclear Challenge, International Affairs 80, No. 2, (2004), 258. 139 Yousefi. Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad, 16. 140 Trita Parsi, Treacherous Alliance: The Secret Dealings of Israel, Iran and the United States, (Princeton: Yale University Press, 2007), 6.
52
Gaya kepemimpinan (leadership style) dan pengambilan keputusan (decision-making style) serta kualitas manajemen informasi adalah varian faktor psikologi lain yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Iran.141 Ahmadinejad dan kelompoknya percaya bahwa mereka harus membuka jalan bagi munculnya Mahdi (pahlawan agama Syiah yang akan datang kembali di hari akhir) dan membangun utopia di Iran dan dunia. Atas dasar ini, mereka mencari keadilan dan sistem internasional yang adil serta mencoba untuk mengubah status quo. Dalam hal ini, salah satu taktik utama Ahmadinejad adalah menggunakan diplomasi publik untuk membangun komunikasi dengan opini publik dunia.142 Kedua adalah faktor sosial, yang menggarisbawahi status sosial para pendukung utama Ahmadinejad. Berbeda dengan presiden sebelumnya, yakni Hashemi dan Khatami, yang didukung oleh kelas menengah, khususnya kaum intelektual dan pengusaha, Ahmadinejad didukung oleh orang-orang dari kelas rendah. Dalam propaganda pemilihannya, Ahmadinjad mengatakan bahwa ia adalah seorang dosen universitas dan tidak berkomitmen pada partai politik atau kelompok. Bahkan, dia populer di kalangan orang-orang tertindas, relijius dan revolusioner.143 Orang-orang seperti itu umunya tidak mempercayai negara Barat, terutama Amerika Serikat. Hal ini telah mempengaruhi kebijakan luar negeri Ahmadinejad. Ketiga adalah faktor politik, yang memfasilitasi ketegasan kebijakan Ahmadinejad. Ahmadinejad ingin tampil berbeda dengan pemerintahan 141
Jalal Dehghani, Discourse of Justice-oriented Fundamentalism in Ahmadinejad’s Foreign Policy, Journal of Political Knowledge, No. 5, Spring and Summer, (2007), 70. 142 Yousefi. Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad, 17. 143 Hamid Molana dan M. Mohammadi, Foreign Policy of the Islamic Republic of Iran During Ahmadinejad, (Tehran: Dadgostar, 2008), 133.
53
sebelumya, yaitu pemernitahan Hashemi Khatami. Ahmadinejad percaya akan terjadinya revolusi ketiga pada masa kekuasaannya. Selain itu, permusuhan sayap konservatif Iran terhadap Barat juga mempengaruhi kebijakan luar negeri Ahmadinejad. Ahmadinejad dan para pendukungnya sebagian besar merupakan veteran Perang Iran-Irak yang melihat bahawa Barat telah mengkhianati Iran. Mereka percaya bahwa kebijakan pembangunan di pemerintah Hashemi adalah rencana Amerika Serikat yang berusaha untuk mengembalikan dominasi Amerika Serikat dalam budaya, politik dan ekonomi Iran. Mereka juga melihat bahwa kelompok reformis, yaitu Khatami dan kelompoknya, merupakan boneka politik Amerika Serikat.144 Keempat adalah faktor sejarah, yang berkaitan dengan sikap Iran yang secara tradisional telah pesimis terhadap Barat. Masalah ini yang memiliki akar sejarah yang mendalam, khususnya setelah Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Memori sejarah Iran penuh dengan pengaruh negara asing dan kerusakan yang disebabkannya bagi negara.145 Oleh karena itu faktor sejarah mempengaruhi persepsi Iran tentang membangun hubungan dengan negara adidaya, terutama Amerika Serikat yang memiliki pengaruh besar dalam politik Iran pada masa pemerintahan Syah Pahlevi. Dan yang kelima adalah faktor internasional, yaitu bagaimana negara-negara Barat memandang dan memposisikan Iran, dimana Iran ditempatkan sebagai “Axis of Evil” oleh Amerika Serikat. Cara negara Barat memandang Iran tersebut, membuat Ahmadinejad semakin mempertegas sikapnya atas kebijakan nuklir Iran. 144 145
Yousefi, Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad, 17-18. Yousefi, Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad, 17-18.
BAB III PERSPEKTIF UNI EROPA DALAM PROLIFERASI NUKLIR
Proliferasi nuklir merupakan isu keamanan yang penting bagi Uni Eropa. Bab ini akan menjelaskan perspektif Uni Eropa dalam proliferasi nuklir sebagai variabel Y dalam penelitian ini, yaitu variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi. Bab ini akan dimulai dengan menguraikan kerangka kebijakan keamanan Uni Eropa yang terdiri dari Common Foreign and Security Policy dan European Security Strategy, kemudian kebijakan nonproliferasi Uni Eropa yang terdiri dari The Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction dan Komitmen Uni Eropa dalam Menciptakan Zona Bebas Senjata Pemusnah Masal di Kawasan Timur Tengah.
III.1. Kerangka Kebijakan Keamanan Uni Eropa Pasca Perang Dingin, Eropa menghadapi ancaman dan tantangan yang semakin kompleks. Konflik di Timur Tengah dan wilayah lain di dunia masih belum terpecahkan, konflik juga bergejolak di lingkungan Eropa. Negara gagal mempengaruhi keamanan Eropa dengan adanya kriminalitas, imigran ilegal, dan pembajakan. Terorisme dan kejahatan terorganisir telah berevolusi sebagai ancaman baru.137 Sementara, program nuklir Iran terus berkembang secara
137
Council of the European Union, European Security Strategy: A Secure Europe In A Better World, (Belgia: European Communities, 2009), 1.
54
55
signifikan, sehingga memberikan peringatan bagi stabilitas di kawasan dan seluruh sistem nonproliferasi. Uni Eropa semakin mengembangkan kapasitasnya sebagai aktor keamanan global. Selama dua dekade terakhir, institusi-institusi dalam Uni Eropa diberi kekuasaan lebih dalam area isu keamanan untuk mempertahankan kepentingan Eropa dan untuk membentuk identitas global Uni Eropa.138 Uni Eropa mungkin adalah sebuah benua yang damai, namun ia terletak di lautan yang tidak stabil. Oleh karena itu, Uni Eropa membutuhkan beberapa kebijakan untuk mempertahankan kepentingannya, baik di dalam maupun di luar wilayah Eropa. Strategi atau kerangka kebijakan adalah alat pembuatan kebijakan yang menguraikan keseluruhan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dan instrumen dasar yang akan diterapkan untuk mencapai tujuan atau kepentingan tersebut.139 Strategi berfungsi sebagai kerangka acuan untuk pembuatan kebijakan. Kebijakan keamanan dalam konteks Uni Eropa dapat didefinisikan sebagai suatu kebijakan yang bertujuan untuk menjaga obyek-objek Uni Eropa tetap aman, yaitu nilai-nilai dan kepentingan Uni Eropa.140 Pendekatan keamanan Uni Eropa yang bersifat khas muncul dengan ditandai oleh adanya gagasan keamanan yang luas, bersifat multidimensional dan komprehensif.141 Gagasan keamanan Uni Eropa ini muncul dari adanya sifat
138
Thomas Renard, The European Union: A New Security Actor?, Robert Schuman Centre for Advanced Studies, EUI Working Paper RSCAS 2014/45, (Italia: European University Institute, 2014), 1. 139 Sven Biscop, “The European Security Strategy: Implementing a Distinctive Approach to Security”, Sécurité & Stratégie, Paper No. 82, Maret 2004 (Brussels: Royal Defence College, 2004), 3. 140 Biscop, The European Security Strategy, 3. 141 Biscop, The European Security Strategy, 4.
56
saling ketergantungan antara semua dimensi keamanan, yaitu politik, sosialekonomi, ekologis, budaya dan militer, tidak hanya berfokus pada elemen militer saja. Pendekatan keamanan Uni Eropa ditandai dengan kebijakan keamanan Uni Eropa dengan memperhatikan dan menghormati negara-negara tetangganya di bawah Neighbourhood Policy.142 Doktrin keamanan Uni Eropa menggarisbawahi pentingnya penggunaan diplomasi dan organisasi multilateral seperti PBB untuk menghadapi ancaman baru.143 Maka, pendekatan keamanan Uni Eropa memberikan fokus pada penggunaan soft power, seperti pelaksanaan dialog, kerja sama dan kemitraan, atau kerja sama keamanan. Keterlibatan Uni Eropa dalam isu keamanan global tidak pernah bersifat unilateral.144 Uni Eropa hanya akan menggunakan instrumen militer sebagai cara terakhir, dan harus sesuai dengan piagam PBB. Doktrin keamanan Uni Eropa menyoroti bahwa tidak semua ancaman baru bersifat militeristik atau memerlukan penggunaan kekutan militer.145 Sehingga, gabungan dari beberapa instrumen seperti pemberian bantuan, kontrol ekspor, tekanan diplomatik dan pemberian sanksi dinilai lebih efektif daripada penggunaan kekuatan militer semata. Spektrum luas keterlibatan Uni Eropa dalam keamanan dapat dilihat dalam berbagai tindakan yang diambil Uni Eropa, seperti Confidence Building Measures, dialog politik dan penggunaan sanksi.146 Pada tingkat operasional, Uni Eropa
142
Biscop, The European Security Strategy, 5. Shada Islam, The EU's First-Ever Security Doctrine, Yale Global, (4 Juli 2003). 144 Cesare Onestini, The European Union and global security: is the EU becoming the indispensable partner? , EUC Background Brief No. 11, (April 2014), 6. 145 Islam, The EU's First-Ever. 146 Onestini, The European Union and global security, 5. 143
57
mengggunakan jargon “comprehensive approach“ yang dicirikan dengan penggabungan instrumen sipil, seperti penegakkan hukum dan diplomasi, dan instrumen militer.147 Ini merupakan cara Uni Eropa untuk menegaskan kemampuannya untuk melakukan operasi sipil dan militer, seiring dengan meningkatnya peran Uni Eropa sebagai aktor keamanan.
III.1.1. Common Foreign and Security Policy Sejalan dengan kekuatan ekonomi dan politiknya yang terus berkembang, Uni Eropa telah menciptakan kebijakan luar negeri dan keamanannya sendiri yang memungkinkan Uni Eropa untuk berbicara dan bertindak sebagai sebuah institusi di panggung dunia. Relevansi Eropa dalam urusan dunia semakin tergantung pada kemampuannya untuk berbicara dan bertindak sebagai kesatuan institusi. Sebelumnya, gagasan tentang Common Foreign and Security Policy (CFSP) tidak disebutkan dalam Perjanjian Roma. Uni Eropa (sebelumnya European Community) tidak memiliki dimensi kebijakan luar negeri dan pertahanan.148 Padahal faktor keamanan merupakan faktor pendorong utama dalam pembentukan European Community. European Coal and Steel Community (ECSC) yang dibentuk pada tahun 1950, dirancang untuk menjamin perdamaian abadi antara Perancis-Jerman dengan menciptakan kondisi saling ketergantungan melalui perdagangan.149
147
Renard, The European Union. Center for European Studies, European Union -Common Foreign and Security Policy, http://www.unc.edu/depts/europe/conferences/eu/Cfsp/cfsp1.html, diakses pada 1 April 2015. 149 Center for European Studies, European Union -Common Foreign. 148
58
Ide tentang CFSP digagas pada Traktat Maastricht, dan kemudian diperkuat oleh Traktat Amsterdam pada tahun 1999 dan Traktat Nice pada tahun 2001.150 Kemudian, pada akhirnya Traktat Lisbon yang ditandatangani pada tahun 2007, semakin memberikan banyak inovasi penting dalam CFSP.151 Traktat Lisbon adalah langkah terakhir Uni Eropa dalam upaya mereformasi institusiinstitusi di dalam Uni Eropa. CFSP dibentuk untuk menggantikan European Political Cooperation (EPC) yang dinilai gagal. EPC gagal karena para anggotanya tidak mampu mengkoordinasikan respon Eropa secara efektif terhadap kenaikan harga minyak OPEC pada tahun 1973.152 Dalam masalah Falklands (1982), Perang Teluk (19901991) dan krisis Yugoslavia (1990-1998) respon Eropa sering bertentangan dengan satu sama lain, tidak terkoordinasi, lambat dan sering tampak kacau.153 Oleh karena itu, Uni Eropa membutuhkan sebuah kebijakan atau instrumen
untuk
mengkoordinasikann
kebijakan
luar
negerinya
dan
memungkinkannya bertindak sebagai sebuah kesatuan institusi. Maka, CFSP ini merupakan sebuah produk kesadaran masyarakat Eropa bahwa „mesin kebijakan‟ sebelumnya tidak mampu memfasilitasi Uni Eropa untuk berperan dan menentukan posisi pada isu-isu internasional. Sejak peluncuran CFSP di tahun 1993, Uni Eropa telah mengambil langkah besar dalam mengembangkan pendekatan yang lebih efektif dan koheren 150
Politics.co.uk, Common Foreign and Security Policy, http://www.politics.co.uk/reference/common-foreign-and-security-policy diakses pada 3 April 2015. 151 Gerrard Quille, The Lisbon Treaty and its implications for CFSP/ESDP, European Parliament, (Brussels, 4 February 2008), 3. 152 Center for European Studies, European Union -Common Foreign. 153 Center for European Studies, European Union -Common Foreign.
59
untuk hubungan eksternalnya. CFSP menyediakan struktur formal yang memungkinkan negara-negara anggota Uni Eropa untuk mengkoordinasikan kebijakan yang konsisten dan menegaskan identitas politik yang melekat pada Uni Eropa.154 Setelah berlakunya Traktat Lisbon pada bulan Desember 2009, Uni Eropa memiliki kesempatan untuk menggabungkan kebijakan dan alat-alatnya di bawah otoritas tunggal Duta Besar atau High Representative (HR) for Foreign Affairs and Security Policy, yang menggantikan Presiden Uni Eropa sebagai aktor pemimpin kebijakan luar negeri, keamanan dan pertahanan.155 CFSP menyediakan prosedur-prosedur kebijakan dan institusi untuk menganalisa, baik perkembangan global maupun regional, merumuskan opsi-opsi strategis, serta melaksanakan dan mengatur operasi Uni Eropa. CFSP merupakan sebuah mekanisme untuk mengadopsi prinsip-prinsip dan pedoman bersama tentang isu-isu politik dan keamanan, melakukan pendekatan diplomatik bersama, dan melakukan aksi bersama.156 Tujuan utama dari CFSP diuraikan dalam Perjanjian Maastricht, yaitu pertama, untuk menjaga nilai-nilai bersama, kepentingan mendasar dan kemandirian Uni Eropa. Kedua, untuk memperkuat keamanan Uni Eropa dan negara-negara anggotanya. Ketiga, untuk menjaga perdamaian dan memperkuat keamanan internasional sesuai dengan ketentuan Piagam PBB dan Helsinki Act.
154
Common Foreign and Security Policy, http://www.euintheus.org/what-we-do/policyareas/foreign-affairs-and-defense/common-foreign-and-security-policy/ diakses pada 3 April 2015. 155 Peter van Ham, The European Union’s WMD Strategy and the CFSP: A Critical Analysis, EU Non-Proliferation Consortium, Non-Proliferation Papers No. 2, (September 2011), 1. 156 Derek E. Mix, The European Union: Foreign and Security Policy, Congressional Research Service, (8 April 2013), 5.
60
Keempat, untuk mempromosikan kerjasama internasional. Kelima, untuk mengembangkan dan mengkonsolidasikan demokrasi dan supremasi hukum, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar.157 Setelah Traktat Lisbon, masing-masing institusi dalam Uni Eropa semakin memiliki peran penting dalam CFSP. Komisi Eropa berperan sebagai penasihat dalam proses pembuatan keputusan. Parlemen Eropa dapat mengajukan pertanyaan, memberi rekomendasi kepada Dewan, dan mengadakan debat tahunan untuk meninjau kebijakan yang sudah diterapkan.158 CFSP dikembangkan dan dilaksanakan oleh Dewan Eropa, yang terdiri dari kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara anggota Uni Eropa, dan Dewan Uni Eropa. Karena sifat CFSP yang intergovernmental, badan pengambil keputusan utama adalah Dewan Eropa dan Dewan Uni Eropa.159 Proses pengambilan keputusan dalam area CFSP membutuhkan suara bulat (unanimity). Namun, negara anggota melalui Dewan Eropa dapat mengambil keputusan constructive abstention, yaitu abstain yang tidak menghalangi pengadopsian keputusan. Negara yang memilih abstain diwajibkan membuat pernyataan resmi.160 Jika negara memenuhi syarat abstainnya dengan pernyataan resmi, maka negara tersebut tidak diwajibkan untuk menerapkan keputusan yang akan diadopsi. Tetapi, negara tersebut harus menerima bahwa keputusan yang
157
Hermann-Josef Blanke dan Stelio Mangiameli, “Identification of the Union‟s Interests and Objectives in CFSP”, The Treaty on European Union, (Springer Berlin Heidelberg, 2013), 21. 158 Center for European Studies, European Union -Common Foreign and Security. 159 EPLO Briefing Paper 1/2012, Common Foreign and Security Policy structures and instruments after the entry into force of the Lisbon Treaty, (April 2012), 2. 160 Europa, Common Foreign and Security Policy, http://europa.eu/legislation_summaries/institutional_affairs/treaties/amsterdam_treaty/a19000_en. htm diakses pada 1 April 2015.
61
diambil mewakili Uni Eropa secara keseluruhan, dan tidak terlibat dalam tindakan yang diambil Uni Eropa di bawah keputusan tersebut.161 Namun, mekanisme ini tidak berlaku jika negara yang abstain mewakili sekurang-kurangnya sepertiga negara anggota, yang terdiri dari sekurangkurangnya sepertiga populasi penduduk Uni Eropa. Maka, keputusan tersebut tidak dapat diadopsi.162 Dalam kondisi seperti ini, Dewan Uni Eropa dapat bertindak dengan qualified majority voting, yaitu negara dengan populasi penduduk yang lebih besar akan mendapatkan hak suara yang lebih besar.163
III.1.2. European Security Strategy European Security Strategy (ESS) merupakan hal penting untuk memahami filosofi dasar kebijakan luar negeri Uni Eropa. Berbeda dengan kebijakan keamanan Amerika Serikat, US National Security Strategy, yang menekankan doktrin pre-emption dan unilateralism khususnya selama masa pemeirntahan Presiden George W. Bush, kebijakan keamanan Uni Eropa menekankan untuk menggunakan pendekatan multilateral untuk menghadapi tantangan keamanan, yang terkandung dalam hukum internasional dan Piagam PBB.164 ESS didasarkan pada pendekatan komprehensif yang menyatakan bahwa Uni Eropa dan negara anggotanya akan bekerja sama untuk mengatasi tantangan
161
Europa, Common Foreign and Security Policy. EPLO Briefing Paper 1/2012, Common Foreign and Security Policy. 163 European Union, Council of the European Union, http://europa.eu/about-eu/institutions-bodies/council-eu/index_en.htm diakses pada 2 April 2015. 164 Gerrard Quille, “The European Security Strategy: A Framework for EU Security Interests?”, International Peacekeeping, Vol.11, No.3, (Autumn 2004), 422. 162
62
keamanan mereka melalui sebuah framework yang menekankan pada lembaga multilateral, terutama PBB dan organisasi regional, dan supremasi hukum, yaitu menjunjung tinggi prinsip penggunaan kekuatan militer sebagai jalan terakhir.165 Dengan kata lain, dalam menghadapi tantangan keamanan, Uni Eropa harus mengatasinya dengan mendukung sistem PBB, memperkuat respon nasional melalui sinergi Uni Eropa, dan mengatasi akar penyebab masalah, seperti kemiskinan dan pemerintahan yang lemah, melalui instrumen masyarakat dan dialog regional.166 ESS mencoba untuk mengubah konsep strategi, keamanan, dan kekuatan, untuk menjauh dari penggunaan kekuatan, seperti keterlibatan militer langsung. Sebaliknya, penggunaan kekuatan militer harus diganti melalui pengguaan alat-alat sipil dan manajemen krisis.167 ESS menetapkan tiga tujuan strategis bagi para pembuat kebijakan Uni Eropa.168 Pertama, Uni Eropa harus segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan global dan ancaman keamanan. Kedua, Uni Eropa harus fokus terutama dalam membangun keamanan regional di kawasan tetangga, yaitu Balkan, Kaukasus, wilayah Mediterania, dan Timur Tengah. Ketiga, dalam jangka panjang, Uni Eropa harus mengupayakan tatanan dunia multilateral dimana hukum internasional, perdamaian, dan keamanan dijamin oleh institusi regional dan global yang kuat.169
165
Quille, The European Security Strategy, 422. Quille, The European Security Strategy, 422. 167 Adrian Hyde-Price, European Security In The Twenty-First Century: The Challenge of Multipolarity, (London and New York: Routledge, 2007), 30. 168 Mix, The European Union, 4. 169 Mix, The European Union, 4. 166
63
ESS mengidentifikasi berbagai macam jenis ancaman baru, yaitu terorisme, proliferasi senjata pemusnah masal, konflik kegional, negara gagal dan kejahatan terorganisir.170 Ancaman tersebut saling berhubungan dan saling memicu. Misalnya, konflik regional dapat menyebabkan negara gagal, dimana kejahatan terorganisir akan berkembang. Kemudian, kejahatan terorganisir dapat meningkat menjadi terorisme, dan ancaman terbesar bagi masyarakat dunia saat ini adalah teroris yang menggunakna senjata pemusnah masal.171 ESS menggarisbawahi pentingnya stabilitas dan keamanan di wilayah Asia Selatan, Timur Tengah, dan Korea Utara. Kemungkinan jatuhnya senjata pemusnah masal ke tangan teroris disebutkan dalam ESS sebagai skenario yang paling menakutkan (the most frightening scenario).172 Dalam ESS disebutkan bahwa proliferasi senjata pemusnah masal adalah ancaman potensial terbesar bagi keamanan Uni Eropa. Uni Eropa kemudian membentuk "effective multilateralism" sebagai pendekatan strategis untuk membimbing Uni Eropa dalam masalah nonproliferasi.173 ESS mendeskripsikan struktur dunia sebagai multipolar, dan meyakini bahwa multipolarisme dapat menjaga dunia tetap stabil. Namun, hanya dengan melalui pendekatan tertentu kepada lingkungan keamanan yang baru. ESS lagilagi mengacu pada effective multilateralism sebagai solusinya.174 Uni Eropa
170
The European Union Institute for Security Studies, A Secure Europe in a Better World, Brussels, 12 Desember 2003, (Paris: The European Union Institute for Security Studies, 2003), 6. 171 The European Union Institute for Security Studies, A Secure Europe in A Better World, 8. 172 Council of the European Union (note 1), 2; European Council (note 13), 4. 173 Tomas Valasek, “The European Union‟s Role in Nonproliferation”, U.S-European Nonproliferation Perspectives, Center for Strategic and International Studies, (2009), 44. 174 European Council, A Secure Europe in a Better World.
64
menyadari bahwa ancaman dan tantangan tersebut tidak dapat ditangani oleh kekuatan militer semata, tetapi membutuhkan gabungan dari elemen militer, politik, dan ekonomi. Effective multilateralism berarti bahwa masalah keamanan global yang diidentifikasi dalama ESS harus ditangani melalui seperangkat tindakan dan kebijakan oleh sekelompok negara. Effective multilateralism menyerukan pembentukan koalisi yang luas, tidak hanya dengan Amerika Serikat, namun juga dengan negara lain seperti India, Rusia dan Cina.175 Peran organisasi internasional juga menjadi bagian dari effective multilateralism. Misalnya, upaya Uni Eropa untuk melegitimasi peran keamanannya melalui bantuan DK PBB dan sesuai dengan piagam PBB.176
III.2. Kebijakan Non-Proliferasi Uni Eropa Proliferasi nuklir, yang termasuk dalam senjata pemusnah masal, telah menjadi perhatian Uni Eropa. Dalam kebijakan proliferasi, Uni Eropa menganut prinsip nonproliferasi. Kepentingan Uni Eropa dalam nonproliferasi telah dimulai dengan terbentuknya Uni Eropa sendiri, yang awalnya hanya difokuskan pada kawasan Eropa saja, yaitu dengan dibentuknya European Atomic Energy Community (EURATOM) untuk memberikan jaminan bahwa negara-negara
175
Mario Telo, “The EU: A Civilian Power's Diplomatic. Action after the Lisbon Treaty. Bridging Internal Complexity and. International Convergence”, dalam The EU’s Foreign Policy. What Kind of Power and Diplomatic Action? (Ashgate, 2013), 47. 176 Mario Telo, The EU: A Civilian Power's Diplomatic, 47.
65
anggota akan menggunakan energi atom hanya untuk tujuan damai.177 Tujuannya adalah untuk mengurangi risiko konflik di benua Eropa pada tahun 1950an dan mengurangi bahaya perlombaan senjata nuklir antara negara-negara Eropa.178 Beberapa langkah awal menuju kebijakan nonproliferasi eksternal telah dilakukan Uni Eropa pada awal tahun 1980an.179 Pada tahun 1981, sebuah komite nonproliferasi dibentuk dalam kerangka European Political Cooporation (EPC). Ini adalah pertama kalinya isu keamanan dibahas diantara negara anggota Uni Eropa dalam sebuah institusi.180 Deklarasi Dublin tahun 1990 adalah dokumen tingkat tinggi pertama tentang nonproliferasi nuklir, yang ditandatangani oleh 12 kepala negara dan kepala pemerintahan European Community.181 Sejarah kecil ini menunjukkan bahwa Uni Eropa ingin menjadi pemain dalam dunia internasional tentang masalah proliferasi nuklir. Dari langkah awal yang sederhana pada tahun 1980an tersebut, kebijakan nonproliferasi Uni Eropa telah berkembang menjadi sebuah framework yang stabil tiga dekade kemudian. Ada dua faktor yang membuat Uni Eropa melakukan intensifikasi dan konsolidasi pada masalah ini. Pertama, berakhirnya Perang Dingin telah mengubah peta keamanan dunia dan menciptakan lingkungan strategis yang baru. Kondisi tersebut dan adanya tantangan keamanan baru, menyebabkan negara-negara perlu mengembangkan 177
Harald Muller, European Nuclear Nonproliferation after the NPT Extension: Achievements, Shortcomings and Needs, Europe and the Challenge of Proliferation, Chaillot Paper, No. 24 (Paris: EU Institute for Security Studies, 1996), 6. 178 Muller, European Nuclear Nonproliferation, 6. 179 Peter van Ham, The European Union’s Strategy on Weapon of Mass Destruction: From Ambition to Disappointment (Hague: Netherlands Institute of International Relations „Clingendael‟, 2011), 3. 180 van Ham, The European Union’s Strategy, 3. 181 van Ham, The European Union’s WMD Strategy and the CFSP, 1.
66
inisiatif dan kebijakan baru untuk menghadapi hal tersebut.182 Perang Teluk tahun 1990-1991 mengungkapkan bahwa Irak sedang mengembangkan program nuklir rahasia. Hal ini memperingatkan masyarakat internasional bahwa keberadaan perjanjian dan rezim nonproliferasi nuklir tidak efektif dan lemah. Kedua, terbentukknya CFSP secara sah melalui Perjanjian Maastricht di tahun 1993, memberikan framework yang kuat dan matang untuk kerjasama di bidang keamanan dan luar negeri, termasuk non-proliferasi.183 Namun, sampai pada tahun 2003, dua negara pemilik senjata nuklir di Eropa, Perancis dan Inggris, relatif berusaha untuk membatasi keterlibatan Uni Eropa dalam hal senjata pemusnah masal.184 Hingga pada akhirnya, ada dua kejadian penting yang mengubah perspektif masyarakat Eropa terhadap senjata pemusnah masal. Pertama adalah serangan 11 September, kejadian ini menjadi pusat perhatian Eropa. Masyarakat Eropa menyadari adanya risiko bahwa kelompokkelompok teror mungkin suatu hari akan menggunakan senjata pemusnah masal untuk menyerang benua Eropa.185 Oleh karena itu, menjaga senjata tersebut, khususnya senjata nuklir, dari tangan teroris telah menjadi prioritas bagi banyak pemerintah Uni Eropa. Kedua adalah perang Irak, yang memecah suara Uni Eropa. Meskipun beberapa negara Eropa mendukung perang Irak, Uni Eropa sangat khawatir akan konsekuensi penggunaan kekuatan militer sepihak oleh Amerika Serikat terhadap
182
van Ham, The European Union’s Strategy, 4. van Ham, The European Union’s Strategy, 4. 184 Valasek, The European Union’s, 44. 185 Valasek, The European Union’s, 44. 183
67
ancaman senjata pemusnah masal.186 Amerika Serikat dalam perang Irak tampaknya telah membahayakan prinsip perang yang adil (Just War) dan rezim nonproliferasi nuklir (NPT). Sejak itu, kebijakan non-proliferasi Uni Eropa dibentuk oleh dua prerogative. Pertama, senjata pemusnah masal tidak boleh jatuh ke tangan teroris. Kedua, ancaman senjata pemusnah masal harus ditangani berdasarkan hukum internasional, dan sebaiknya tanpa kekerasan. Pada bulan November 2003, Uni Eropa mengadopsi kebijakan “Fight against the proliferation of weapons of mass destruction: mainstreaming nonproliferation policies into the EU’s wider relations with third countries” yang memperinci kebijakan baru Uni Eropa dalam nonproliferasi di bawah Common Foreign and Security Policy (CFSP).187 Sebagai bentuk komitmen Uni Eropa terhadap nonproliferasi, Uni Eropa juga mendukung resolusi 1540 yang diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB pada 28 April 2004. Resolusi tersebut menyatakan bahwa proliferasi senjata pemusnah massal adalah ancaman bagi seluruh dunia sehingga dibutuhkan kerja sama dengan semua negara untuk mencegah senjata pemusnah masal jatuh ke tangan teroris. Untuk melawan ancaman ini, semua pihak perlu menerapkan standar yang sama, oleh karena itu dibutuhkan perjanjian multilateral dan institusi.188 Uni Eropa juga mendukung International Atomic Energy Agency (IAEA), baik secara 186
Valasek, The European Union’s, 44. Council of the European Union, Fight against the proliferation of weapons of mass destruction–mainstreaming non-proliferation policies into the EU’s wider relations with third countries’, 14997/03, 19 November 2003, 4. 188 Council of the European Union, The European Union Strategy against the Proliferation of Weapons of Mass Destruction, (Belgia: European Communities, November 2008), 14. 187
68
politik maupun secara finansial, untuk mempromosikan keamanan nuklir di seluruh dunia.189
III.2.1. Strategi Melawan Proliferasi Senjata Pemusnah Masal (The Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction) Terminologi senjata pemusnah masal pertama kali muncul pada bulan Desember tahun 1937. Istilah tersebut diberikan oleh Uskup Agung Canterbury, William Cosmo Gordon Lang.190 Frase senjata pemusnah masal pertama kali muncul dalam lingkup PBB pada resolusi pertama yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1946, yaitu “weapons capable of mass destruction”.191 Kemudian, di tahun 1948, terminologi “weapon of mass destruction” lebih umum digunakan dan diterima secara resmi pada tahun 1977.192 Menurut komite PBB, senjata pemusnah masal adalah senjata peledak atom (bom nuklir), senjata berbahan radio aktif, senjata kimia dan biologi yang mematikan, dan senjata yang dikembangkan di masa depan yang memiliki karakteristik menghancurkan seperti bom atom atau serupa dengan senjata-senjata yang disebutkan di atas.193
189
European Commission and European External Action Service staff, EU efforts to strengthen nuclear security, (2012), 21. 190 W. Seth Carus, Defining “Weapons of Mass Destruction”, National Defense University, Center for the Study of Weapons of Mass Destruction, January 2012. 191 United Nations (UN) General Assembly Resolution 1(I), “Establishment of a Commission to Deal with the Problem Raised by the Discovery of Atomic Energy,” January 24, 1946. <www.un.org/documents/resga.htm>. 192 Nikos Aggelis, The Weapons of Mass Destruction as a threat to European Security, Institute of International Relations, Division for Euro-Atlantic Studies (D.E.A.S.): “NATO and European Union” Working Group, 1. 193 Commission on Conventional Armaments (CCA), UN document S/C.3/32/Rev.1, Agustus 1948, Office of Public Information, The United Nations and Disarmament, 1945–1965, UN Publication 67.I.8, 28.
69
Pada bulan Desember 2003, Dewan Uni Eropa mengadopsi “EU’s Strategy against Proliferation of Weapon of Mass Destruction” dengan tujuan untuk mencegah, menghambat, menghentikan dan, jika mungkin, menghapuskan program proliferasi di seluruh dunia.194 Strategi ini lebih dikenal dengan “EU WMD Strategy”. Institusionalisasi kebijakan nonproliferasi senjata pemusnah masal Uni Eropa semakin dipicu oleh serangan teroris ke Amerika Serikat pada 9 September 2001.195 Selain itu, latar belakang munculnya strategi tersebut adalah karena adanya kebutuhan mendesak untuk menentukan posisi Uni Eropa secara keseluruhan. Sementara, tingkat terorisme internasional semakin meningkat dan kemungkinan serangan ke Eropa juga meningkat. Pada tahun 2003, Amerika Serikat memimpin invasi ke Irak yang telah menyebabkan perpecahan antara berbagai negara anggota Uni Eropa. 196 Beberapa negara anggota Uni Eropa mendukung upaya perang yang dilancarkan oleh Amerika Serikat, sementara beberapa negara lain secara terbuka mengambil sikap tidak setuju secara terbuka. Perbedaan mengenai perang di Afghanistan dan Irak mengakibatkan perpecahan intra Eropa dan hubungan transatlantik.197 Perpecahan mendalam dalam tersebut merupakan alarm peringatan bagi para pemimpin politik Eropa.
194
Council of the European Union, EU Strategy against Proliferation of Weapon of Mass Destruction, 15708/03, Brussels, 10 December 2003. 195 Van Ham, The European Union’s WMD Strategy And The CFSP, 3. 196 The European Committee, Preventing Proliferation of Weapons of Mass Destruction: The EU Contribution, 13th Report of Session 2004-2005, (London : The Stationery Office Limited, 2005), 10. 197 Van Ham, The European Union’s WMD Strategy And The CFSP, 3.
70
Uni Eropa menyadari bahwa perpecahan tersebut merusak kohesi Uni Eropa dan melemahkan aspirasinya untuk menjadi aktor global yang signifikan. Uni Eropa ingin menunjukkan visi positif Uni Eropa berdasarkan kekuatan sendiri, bukan visi atas dasar bayang-bayang dan tekanan Amerika Serikat semata. Mereka menyadari perlunya untuk membentuk konsensus tentang isu-isu keamanan utama, khususnya dalam mencegah proliferasi senjata pemusnah masal, jika ingin Uni Eropa tampil sebagai aktor kredibel dalam keamanan internasional.198 Oleh karena itu, pada bulan Mei 2003, Dewan memberikan mandat kepada Duta Besar (High Representative) Javier Solana untuk membuat “European strategy concept”. Dengan adanya fakta bahwa proliferasi senjata pemusnah masal telah mendominasi agenda keamanan internasional pada tahun 2003, Javier Solana memilih untuk menghasilkan dua dokumen, dokumen pertama bernama “A Secure Europe in a Better World” dan dokumen kedua memfokuskan secara khusus pada isu senjata pemusnah masal.199 Dewan mendukung kedua dokumen tersebut, dan mengadopsi sebuah rencana aksi untuk implementasi prinsip dasar Uni Eropa terhadap senjata pemusnah masal atau “Action Plan for the Implementation of the Basic Principles for an EU Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction”.
198
Benjamin Kienzle, “A European contribution to non-proliferation? The EU WMD Strategy at Ten”, International Affairs 89:5 (UK: The Royal Institute of International Affairs, 2013), 44. 199 The European Committee, Preventing Proliferation, 10.
71
Berdasarkan kedua dokumen tersebut, Dewan kemudian mengadopsi “European Security Strategy” dan “WMD Strategy”.200 Penguatan norma nonproliferasi senjata pemusnah masal secara global merupakan tantangan besar. Uni Eropa secara aktif telah terlibat dalam mendorong universalisasi norma ini, dan membantu memperkuat organisasiorganisasi yang relevan untuk melakukan universalisasi tersebut.201 Strategi WMD Uni Eropa adalah bagian dari strategi keamanan pertama Uni Eropa dan berfungsi sebagai simbol kebangkitan Uni Eropa sebagai aktor keamanan global. Traktat Lisbon yang mereformasi institusi Uni Eropa, juga berpengaruh penting bagi kebijakan nonproliferasi senjata pemusnah masal Uni Eropa dan implementasinya. Strategi WMD Uni Eropa menawarkan pendekatan multilayered berdasarkan „effective multilateralism’, mempromosikan lingkungan regional dan internasional yang stabil, kerjasama yang erat dengan negara lain, serta memperkuat struktur Uni Eropa sendiri.202 Strategi WMD Uni Eropa didasarkan pada tiga prinsip dasar, yaitu effective multilateralism, pencegahan (prevention), dan kerjasama (cooperation).203 Effective multilateralism didasarkan karena proliferasi adalah ancaman bagi seluruh keamanan internasional, sehingga tidak ada negara yang dapat bertindak sendiri. Pada dasarnya, semua negara terikat oleh aturan yang sama. Oleh karena itu, Uni Eropa mendukung perjanjian dan konvensi multilateral,
200
The European Committee, Preventing Proliferation, 10. Van Ham, The European Union’s WMD Strategyand the CFSP, 1. 202 Van Ham, The European Union’s WMD Strategyand the CFSP,3. 203 Council of the European Union, The European Union Strategy, 10. 201
72
forum-forum multilateral, dan berkontribusi dalam setiap kegiatannya. Pendekatan multilateral Uni Eropa termasuk mengupayakan universalisasi dan memperkuat traktat dan perjanjian nonproliferasi yang ada, serta memberikan dukungan politik, bantuan finansial dan bantuan teknis untuk rezim nonproliferasi.204 Dalam prinsip pencegahan, Uni Eropa berupaya untuk mencegah penyebaran bahan-bahan nuklir dan teknologi nuklir dengan cara universalisasi kewajiban nonproliferasi, meningkatkan kontrol ekspor, berkontribusi terhadap pelucutan senjata pemusnah masal, memberikan pengarahan pada para ilmuan nuklir, mendorong keamanan regional, dan pengawasan senjata.205 Namun, strategi WMD Uni Eropa mengakui bahwa jika langkah-langkah preventive tersebut gagal, maka cara-cara koersif, termasuk penggunaan kekuatan militer, dapat menjadi pilihan untuk Uni Eropa. Tetapi, tetap menjadikan Dewan Keamanan PBB sebagai penentu akhir (final arbiter).206 Uni Eropa juga menekankan kerjasama internasional yang erat dengan negara
maupun
organisasi
untuk
meningkatkan
efektivitas
kebijakan
nonproliferasi. Uni Eropa fokus bekerja sama dengan aktor-aktor kunci, seperti Kanada, Jepang, Rusia, dan PBB, untuk berkontribusi baik secara politik maupun finansial.207 Uni Eropa telah melakukan komitmen untuk bekerja sama dalam perjanjian formal (WMD clausa) dengan lebih dari 100 negara.208 Uni Eropa merupakan mitra dari Global Partnership Against the Spread of Weapons and
204
Van Ham, The European Union’s WMD Strategy and the CFSP, 3. Council of the European Union, The European Union Strategy, 10-11. 206 Adrian Hyde-Price, “European Security, Strategic Culture, and the Use of Force”, European Security, Vol. 13, No. 4, (2004), 67. 207 Van Ham, The European Union’s WMD Strategyand the CFSP, 4. 208 Council of the European Union, The European Union Strategy, 10-11. 205
73
Materials of Mass Destruction yang dibentuk pada KTT G8 di Kananaskis tahun 2002. Uni Eropa juga menjadi pengamat (observer) dalam Global Initiative to Combat Nuclear Terrorism (GICNT).209
III.2.2. Komitmen Uni Eropa dalam Menciptakan Zona Bebas Senjata Pemusnah Masal (WMDFZ) di Kawasan Timur Tengah Ketika senjata nuklir digunakan dalam Perang Dunia II oleh Amerika Serikat untuk menyerang kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang, dunia internasional sadar akan efek destruktif luar biasa yang ditimbulkan dari senjata nuklir. Sebelumnya, penggunaan senjata biologi dan senjata kimia telah dilarang melalui Protokol Jenewa tahun 1925.210 Senjata pemusnah masal memiliki kapasitas merusak tanpa pandang bulu, menimbulkan kematian dan kehancuran dalam skala besar. Selain memberikan dampak yang tidak manusiawi, senjata pemusnah masal juga memiliki dampak berkelanjutan. Upaya dunia internasional untuk mengendalikan penyebaran dan penggunaan senjata pemusnah masal telah dilakukan melalui perjanjian-perjanjian internasional seperti Nuclear Non-proliferation Treaty tahun 1968, Biological Weapons Convention tahun 1972, dan Chemical Weapons Convention tahun 1993.211
209
Ian Anthony, The Role of the European Union in Strengthening Nuclear Security, EU Non-Proliferation Consortium, Non-Proliferation Papers No. 32 (November 2013), 10. 210 Protocol for the Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of Bacteriological Methods of Warfare (1925 Geneva Protocol),
211 Encyclopædia Britannica, Weapon of mass destruction (WMD), 8 November 2014, http://www.britannica.com/EBchecked/topic/917314/weapon-of-mass-destruction-WMD diakses pada 1 April 2015.
74
Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dan wacana politik yang ada, maka logis untuk memikirkan gagasan tentang kawasan bebas senjata pemusnah masal (WMD-free zones) sebagai sebuah konsep yang masuk akal dan penting. Beberapa kawasan bebas senjata nuklir (nuclear weapon-free zones) telah dibentuk melalui perjanjian bersama dari negara-negara di masing-masing wilayah.212 Pada awal tahun 1950an, kawasan bebas senjata nuklir dikonsep sebagai pendekatan nonproliferasi regional. Tujuannya adalah untuk mencegah lebih banyak negara memiliki senjata nuklir.213 Sementara itu, dalam kenyataannya kawasan bebas senjata pemusnah masal (WMDFZ) tidak pernah ada. Namun, satu-satunya kawasan dimana konsep WMDFZ seringkali diusulkan dan dibahas adalah wilayah Timur Tengah. Timur Tengah merupakan salah satu wilayah yang paling mudah bergejolak di dunia, namun kaya akan sumber daya alam (minyak). Kombinasi anatara rasa tidak aman (insecurity) dan potensi kekayaan tersebut, telah mendorong negara-negara di Timur Tengah untuk memperoleh, menyebarkan dan menggunakan persenjataan canggih untuk mencegah agresor potensial dan mencapai kepentingan mereka. 214 Dalam konteks kasus Timur Tengah, hal ini sering diterjemahkan ke dalam akuisisi atau keinginan untuk memperoleh senjata pemusnah masal. Wilayah ini memiliki sejarah panjang senjata pemunah masal, yang terakhir adalah program nuklir Iran ini, dan telah menjadi saksi penggunaan nyata senjata kimia, baik di 212
Harald Müller, Aviv Melamud dan Anna Péczeli, From Nuclear Weapons to Wmd: The Development and Added Value of the WMD-Free Zone Concept, EU Non-Proliferation Consortium, Non-Proliferation Papers No.31 (September 2013), 2. 213 Joe Goldblatt, “Nuclear Weapon Free Zones: A History and Assessment”, Nonproliferation Review, vol. 4, no. 3 (1997), 18. 214 Sinan Ülgen dan F. Doruk Ergun, Establishing a WMD Free Zone in the Middle East, EDAM Discussion Paper Series 2012/4, (November 2012), 5.
75
konflik domestik maupun internasional.215 Gagasan WMDFZ di Timur Tengah bermula dari ide yang digagas oleh Iran dan Mesir untuk membentuk sebuah kawasan bebas senjata nuklir di Timur Tengah, yang kemudian gagasan ini diterima oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1974 dengan mengeluarkan resolusi.216 Sebuah kawasan bebas senjata senjata pemusnah masal berarti melarang negara-negara di kawasan tersebut untuk memiliki, memperoleh, menguji, memproduksi atau menggunakan nuklir, senjata kimia dan senjata biologi sebagaimana diatur dalam resolusi NPT Review Conference Middle East tahun 1995.217 Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan di Timur Tengah semakin memberikan urgensi untuk menerapkan WMDFZ di kawasan tersebut. Pertama, adanya konfrontasi atas program nuklir Iran. Pertanyaan apakah Iran bermaksud untuk membangun senjata nuklir atau tidak, telah menimbulkan ketidakpastian strategis.218 Namun, jelas bahwa Iran telah membuat kemajuan substansial dalam pengayaan uranium dan pengembangan teknologi infrastruktur. Beberapa analis berpendapat bahwa jika Iran memiliki kemapuan senjata nuklir, hal tersebut akan mempromosikan proliferasi di Timur Tengah. Negara-megara seperti Arab Saudi, Mesir dan Turki merupakan contoh potensial yang paling mungkin.219 215
Ülgen dan Ergun, Establishing a WMD Free Zone, 5. Arms Control Association, WMD-Free Middle East Proposal at a Glance, https://www.armscontrol.org/factsheets/mewmdfz diakses pada 1 April 2015. 217 The 1995 NPT Conference Resolution on the Middle East, dokumen tersedia di http://www.un.org/disarmament/WMD/Nuclear/1995-NPT/pdf/Resolution_MiddleEast. 218 Gawdat Bahgat, “A WMD-Free Zone in the Middle East?”, Journal Essay Middle East Policy Council, Vol. 20, No. 1, (2013). 219 Kenneth N. Waltz, "Why Iran Should Get the Bomb", Foreign Affairs 91, No.4 (July/August 2012), 4-12. 216
76
Kedua, pertempuran yang terus berlanjut di Suriah antara rezim Assad dan kelompok pemberontak yang menimbulkan keprihatinan serius atas stabilitas regional.220 Kondisi ini juga berakaitan erat dengan senjata kimia yang ada di negara tersebut dan mencegah senjata kimia tersebut jatuh ke tangan yang salah. Berdasarkan laporan dari Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW), ada senjata kimia yang digunakan dalam perang di Suriah.221 Penggunaan senjata kimia dalam perang sipil di Suriah juga telah dikonfirmasi oleh PBB.222 Ketiga, dalam beberapa tahun terakhir, Turki dan beberapa negara Arab (terutama Uni Emirat Arab), telah menyatakan niatnya untuk mengembangkan senjata nuklir sipil.223 Proyek proliferasi ini menyoroti apa yang disebut dual-use tenaga nuklir, dimana material yang sama dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga nuklir sipil dan untuk membuat senjata nuklir. Israel yang diyakini memiliki senjata nuklir dan memonopolinya, telah mendorong kekuatan-kekuatan regional lainnya untuk mengejar kemampuan yang sama.224 Kondisi tersebut dapat menganggu stabilitas Timur Tengah, baik secara ekonomi, politik dan keamanan. Instabilitas tersebut lebih jauhnya akan mempengaruhi, bahkan mengancam kepentingan Eropa di wilayah Timur Tengah. Melihat kondisi-kondisi tersebut, dan selaras dengan kebijakan keamanan Uni 220
Bahgat, A WMD-Free Zone. Al Jazeera 07 Januari 2015, Report reaffirms Syria chemical weapons use, http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2015/01/report-reaffirms-syria-chemical-weapon-use201516223545804947.html diakses pada 2 April 2015. 222 Statement: Secretary-General's remarks to the Security Council on the report of the United Nations Missions to Investigate Allegations of the Use of Chemical Weapons on the incident that occurred on 21 August 2013 in the Ghouta area of Damascus http://www.un.org/sg/statements/index.asp?nid=7083 diakses pada 2 April 2015. 223 Bahgat, A WMD-Free Zone. 224 Bahgat, A WMD-Free Zone. 221
77
Eropa, Duta Besar Uni Eropa, Catherine Ashton, melalui pernyataanpernyataannya kembali menegaskan komitmen Uni Eropa dalam membentuk WMDFZ di Timur Tengah.225 Sebelumnya, Deklarasi Barcelona yang diadakan oleh Uni Eropa pada tahun tahun 1995, mencakup tujuan untuk mempromosikan pembentukan WMDFZ di Timur Tengah. Hal tersebut juga ditegaskan dalam strategi Uni Eropa melawan proliferasi senjata pemusnah masal tahun 2003.226 Terinspirasi oleh Deklarasi Barcelona227 tersebut, dan sebagai lanjutan dari keberhasilan Uni Eropa dalam seminar bertajuk “Middle East Security, WMD Non-proliferation and Disarmament” di Paris pada bulan Juni 2008, pada bulan Desember 2010 Dewan Uni Eropa memutuskan untuk menyediakan sarana dan memberikan bantuan bagi pembentukan WMDFZ di Timur Tengah.228 Dewan Uni Eropa mengadopsi keputusan 2010/799/CFSP pada tanggal 13 Desember 2010, untuk mendukung proses confidence building yang mengarah pada pembentukan kawasan bebas senjata pemusnah masal dan cara menerapkannya di Timur Tengah guna mendukung implementasi kebijakan Uni
225
Karafillis Giannoulis, EU wants the establishment of a Middle East WMD Free Zone, New Europe 2 Juli 2013, http://www.neurope.eu/article/eu-wants-establishment-middle-east-wmdfree-zone diakses pada 1 April 2015. 226 Gobbi, Is a nuclear-weapon-free, 4. 227 Deklarasi Barcelona diadopsi pada Konferensi Euro-Mediterania, untuk membangun kerjasama multilateral antara negara-negara anggota Uni Eropa dan 12 negara-negara non-anggota Mediterania (Algeria, Cyprus, Mesir, Israel, Yordania, Lebanon, Malta, Maroko, Otoritas Palestina, Suriah, Tunisia, Turki). (www.eeas.europa.eu/euromed/docs/bd_en.pdf) 228 A WMD Free Zone in the Middle East (March 2014), Overview of the latest EU official documents and publications of the Consortium regarding the European Union support for a WMD Free Zone in The Middle East, http://www.nonproliferation.eu/activities/focus/archives/2014/2014-03.php diakses pada 1 April 2015.
78
Eropa dalam melawan proliferasi senjata pemusnah masal (EU Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction).229. Sebagai tindak lanjut dari seminar yang sebelumnya diselenggarakan di Paris pada tahun 2008, Uni Eropa telah menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah seminar berikutnya, untuk membahas langkah-langkah yang akan memfasilitasi upaya dalam membangun WMDFZ.230 Seminar nonproliferasi dengan tajuk Timur Tengah pertama kali diadakan di Brussel pada tanggal 6-7 Juli 2011 melalui EU Non-Proliferation Consortium. Seminar tersebut sukses besar dan semakin mendorong Uni Eropa untuk terus terlibat dalam proses pembentukan WMDFZ di Timur Tengah.231 Dewan Uni Eropa kemudian memutuskan untuk kembali mensponsori seminar nonproliferasi kedua yang diadakan di Brussel pada tanggal 5-6 November 2012, dengan tema “to Promote Confidence Building and in Support of a Process Aimed at Establishing a Zone Free of Weapons of Mass Destruction (WMD) and Means of delivery in the Middle East”.232 Kedua kegiatan tersebut dipromosikan dalam berbagai forum internasional, yaitu Komite Pertama Majelis Umum PBB dan Komiter Persiapan NPT Review Conference tahun 2015.233
229
Dokumen dipublikasi oleh Council of the European Union dalam “the L series of the Official Journal of the European Union”. 230 Catherine Ashton, memberikan keterangan tentang kesiapan Uni Eropa untuk menjadi tuan rumah seminar melalui sebuah surat kepada Dirjen IAEA pada bulan Juli 2010. Dokumen tersedia di www.iaea.org. 231 A WMD Free Zone in the Middle East. 232 EU Official Documents and Publications, A WMD Free Zone in the Middle East. 233 EU Official Documents and Publications, A WMD Free Zone in the Middle East.
BAB IV KEBIJAKAN UNI EROPA DALAM MENGHENTIKAN PROLIFERASI NUKLIR IRAN TAHUN 2009-2013
Proliferasi nuklir Iran telah membawa Uni Eropa untuk mengintervensi menggunakan cara-cara damai. Bab ini akan menjelaskan kebijakan Uni Eropa dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran selama tahun 2009-2013. Bab ini akan menganalisa hubungan variabel X dan variabel Y untuk menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini akan dimulai dengan keterlibatan Uni Eropa dalam masalah proliferasi nuklir Iran dan kepentingan Uni Eropa. Bab ini juga menjelaskan upaya diplomasi Uni Eropa terhadap Iran melalui negosiasi. dialog politik, hingga penggunaan diplomasi koersif. Kemudian, penerapan sanksi Uni Eropa ke Iran yang berupa embargo dan sanksi finansial.
IV.1. Keterlibatan Uni Eropa dalam Proliferasi Nuklir Iran Program nuklir Iran merupakan salah satu isu yang bertahan di panggung berita utama dunia setidaknya selama satu dekade. Masalah ini telah disekuritisasi oleh banyak aktor, seperti Israel dan Amerika Serikat. Ketika sebuah masalah disekuritisasi oleh negara adidaya global, tentu masalah tersebut akan menarik perhatian banyak kekuatan besar lainnya, seperti Uni Eropa. Negara-negara Eropa perlu bekerja sama melalui sebuah institusi, yaitu Uni Eropa, untuk mencapai tujuan mereka terhadap Iran. Dapat dikatakan bahwa Uni Eropa telah menciptakan seperangkat aturan yang memungkinkan negara-
79
80
negara secara kolektif dapat mencapai kepentingan yang tidak dapat dicapai dengan bertindak sendiri. Liberal institusionalis menekankan pada peran organisasi
internasional
dan
masyarakat
internasional
dalam
hubungan
internasional. Dalam merespon kekhawatiran internasional terhadap nuklir Iran, Uni Eropa mengambil langkah untuk turut terlibat aktif dalam upaya menghentikan proliferasi nuklir Iran.
Sesuai dengan asumsi liberalis institusionalis, bahwa
kekuatan militer adalah instumen kebijakan yang tidak efektif.234 Sebaliknya, liberalis institusionalis menekankan pada soft power. Uni Eropa dinilai cukup mampu untuk mengatasi masalah proliferasi nuklir melalui instumen soft power. Upaya menemukan solusi diplomatik dalam krisis nuklir Iran adalah tindakan Uni Eropa yang paling high-profile dalam bidang nonproliferasi hingga saat ini. Uni Eropa telah mempelopori upaya untuk mendapatkan solusi dari kebuntuan yang dihadapi masyarakat internasional dengan Iran dalam program nuklirnya. Dalam krisis nuklir Iran, taruhannya sangat tinggi. Iran dengan senjata nuklir akan memiliki implikasi serius bagi keamanan regional dan keamanan global, serta mengganggu upaya global untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari senjata nuklir. Kasus nuklir Iran dapat menjadi sarana bagi Uni Eropa untuk mendemonstrasikan perannya sebagai aktor kebijakan luar negeri penting yang mampu memimpin dalam menyelesaikan krisis global dengan cara-cara damai. Pembicaraan nuklir dengan Iran adalah salah satu masalah keamanan internasional di luar kawasan Eropa, dimana Uni Eropa telah memainkan peran 234
Baylis, J dan Smith, S ed., The Globalization of World Politics: An introduction to International Relations, (Oxford: Oxford University Press, 2005), 97.
81
penting. Program nuklir Iran menjadi sengketa pertama sejak akhir Perang Dingin, dimana
negara-negara
Eropa
secara
bersama-sama
memainkan
peran
kepemimpinan politik dan diplomatik dalam isu keamanan yang mempunyai implikasi potensial ke seluruh dunia.235 Eropa adalah pihak yang pertama kali terlibat dengan Iran melalui E+3 (Inggris, Perancis, Jerman), yang kemudian merancang pendekatan dual-track dengan menggabungkan tawaran pemberian insentif yang disertai dengan ancaman sanksi. Uni Eropa juga memfasilitasi pembentukan P5+1 untuk menyelesaikan sengketa nuklir Iran, yang terdiri dari Tiongkok, Perancis, Rusia, Amerika Serikat, Inggris, dan ditambah Jerman.236 Keterlibatan Uni Eropa dalam menyelesaikan masalah proliferasi nuklir Iran dimulai sejak tahun 2003. Jika reaksi Uni Eropa di masa lampau dalam kasus seperti ini biasanya hanya dengan mengeluarkan dokumen deklaratif atau dengan tidak bersuara karena adanya perpecahan internal dalam tubuh Uni Eropa, kali ini negara-negara Uni Eropa bersedia untuk segera bertindak dalam kesatuan. Ada beberapa skenario kebijakan yang mungkin dapat diambil oleh Uni Eropa. Di bawah CFSP, Uni Eropa mempunyai beberapa pilihan kebijakan dan instrumen yang tersedia dalam upaya memenuhi tujuan strategis terhadap Iran. Pertama, negara-negara anggota Uni Eropa dapat menggunakan kekuatan militer, atau memulai intervensi militer melalui kebijakan pertahanan dan keamanan
235
Marco Overhaus, European Diplomacy and the Conflict over Iran's Nuclear Program,
(2007), 1. 236
Oliver Meier, “European Efforts to Solve The Conflict Over Iran‟s Nuclear Programme: How Has The European Union Performed?”, Non-Proliferation Papers, No. 27, (February 2013), 1.
82
Eropa (European Security and Defence Policy) atau mendukung penggunaan kekuatan militer oleh pihak ketiga. Kedua,
Uni
Eropa
dapat
mengadopsi
kebijakan
pembendungan
(containment) dan pencegahan (deterrence) menggunakan instrumen politik dan ekonomi, seperti penggunaan sanksi dan pengerahan strategis aset militer di wilayah tersebut. Ketiga, Uni Eropa dapat menerapkan keterlibatan diplomatik melalui negosiasi yang memanfaatkan soft power Uni Eropa pada bidang perdagangan, bantuan, energi, imigrasi, dan kerjasama budaya serta pendidikan. Atau, terakhir, Uni Eropa bisa menarik diri dari keterlibatannya sebagai aktor kebijakan luar negeri utama pada masalah nuklir Iran dan memfokuskan diri pada isu-isu internal. Namun, Uni Eropa kelihatannya cenderung lebih menyukai opsi kedua dan ketiga, yaitu penggunaan sanksi, diplomasi, atau penggunaan soft power.
IV.2. Kepentingan Uni Eropa Kepentingan bersama dapat memunculkan kebijakan spesifik terhadap negara lain, baik yang bersifat kerja sama maupun konflik. Keterlibatan Uni Eropa dalam upaya menghentikan proliferasi nuklir Iran didorong oleh adanya tujuan bersama (common goal) dan nilai bersama (common values) yang mengarah kepada kepentingan bersama (common interest). Negara-negara secara rasional menyadari bahwa mereka memiliki beberapa kepentingan yang sama, dan oleh sebab itu dimungkinkan terjadinya kerja sama. Maka, dengan adanya kepentingan bersama tersebut, negara-negara
83
Eropa melakukan kerja sama melalui sebuah institusi bersama, yaitu Uni Eropa, untuk mencapai tujuan yang selaras dengan kepentingan bersama tersebut. Menarik untuk mengamati keterlibatan Uni Eropa dalam kasus nuklir Iran. Sejak tahun 2003 hingga saat ini, Uni Eropa berperan aktif dalam upaya menghentikan proliferasi nuklir Iran. Uni Eropa menjadi negosiator utama. Namun, dalam kasus proliferasi nuklir India, Pakistan, dan Korea Utara, Uni Eropa cenderung tidak terlalu terlibat secara aktif dan tidak memainkan peran yang terlalu progresif. Perbedaan sikap ini tentu didorong oleh seberapa besar kepentingan Uni Eropa terhadap sebuah negara target. Jika tidak semua negara anggota Uni Eropa memiliki kepentingan dalam mengintervensi proliferasi nuklir Iran, maka sejak awal masalah ini hanya akan diselesaikan oleh E+3. Namun, sejak tahun 2004, seluruh anggota Uni Eropa mulai terlibat dalam isu ini melalui Javier Solana selaku Duta Besar untuk CFSP, yang memainkan peran menjadi jembatan antara E+3 dan negara anggota Uni Eropa lainnya. Pertama adalah kepentingan keamanan. Senjata nuklir adalah senjata yang paling berbahaya dalam sejarah. Senjata nuklir didefinisikan sebagai perangkat yang dirancang untuk melepaskan energi secara eksplosif sebagai akibat dari fisi nuklir, fusi nuklir, atau kombinasi kedua proses tersebut. Senjata fisi umumnya disebut sebagai bom atom, dan senjata fusi disebut sebagai bom termonuklir, atau lebih umumnya, bom hidrogen.237
237
Aggelis, The Weapons of Mass Destruction, 1.
84
Berdasarkan dua strategi Uni Eropa, European Security Strategy dan EU’s Strategy against Proliferation of WMD, terlihat bahwa ancaman proliferasi senjata pemusnah masal, termasuk nuklir, merupakan ancaman yang serius. ESS menetapkan proliferasi senjata pemusnah masal sebagai salah satu ancaman utama bagi Eropa, sementara EU WMD Strategy melihatnya sebagai ancaman yang terus tumbuh dan berkembang, yang beresiko terhadap keamanan negara-negara Eropa, rakyat Eropa dan kepentingan Eropa di seluruh dunia. Rusia, Israel, dan Iran adalah negara dengan senjata nuklir yang memiliki kedekatan geografis dengan wilayah Eropa. Namun, hanya Iran yang menjadi ancaman potensial bagi keamanan Eropa. Rusia dan Israel tidak memiliki tujuan untuk mengancam Eropa.238 Israel dekat dengan Barat, dan telah menjadi bagian dari dunia Barat, serta memiliki kepentingan yang sama terhadap keamanan dan keseimbangan global. Sementara, Rusia tidak memiliki kecenderungan agresif terhadap negara-negara Eropa, dan Eropa pun tidak menganggap Rusia sebagai ancaman. Rusia sendiri telah membangun hubungan baik kerja sama di bidang ekonomi dengan negara-negara Eropa, dan khususnya dengan Uni Eropa.239 Eropa khawatir dengan perkembangan situasi di Iran. Secara geografis, nuklir Iran diperkirakan berpotensi menjangkau wilayah Eropa. Jangkauan nuklir Iran juga dapat memicu terjadinya ketegangan dan konfrontasi di wilayah yang sudah stabil.240 Jika Iran berhasil mencapai upayanya untuk mendapatkan senjata nuklir dan mengembangkan kemampuan rudal balistiknya, itu bisa menjadi
238
Aggelis, The Weapons of Mass Destruction, 9. Aggelis, The Weapons of Mass Destruction, 9. 240 Renard, Partnering for a Nuclear-Safe World, 8. 239
85
kekuatan nuklir yang dengan mudah dapat menargetkan sejumlah besar negaranegara Eropa. Selain itu, nuklir Iran dapat menyebabkan perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah. Seperti yang pernah terjadi pada tahun 1960an, ketika Israel diyakini telah membangun senjata nuklir dan menjadi satu-satunya negara bersenjata nuklir di Timur Tengah. Akibatnya, untuk mengatasi asimestris militer ini, negara-negara Arab juga berupaya untuk memiliki senjata nuklir. Walalupun, pada akhirnya usaha itu gagal, negara-negara Arab telah menimbun senjata kimia dan senjata biologi.241 Jika perlombaan senjata terjadi kembali, maka hal tersebut selanjutnya akan mengguncang wilayah Timur Tengah dan wilayah sekitar Eropa. Guncangan tersebut akan mengganggu stabilitas ekonomi, politik dan keamanan, yang pada akhirnya akan mengancam kepentingan Eropa. Hal ini juga akan semakin melemahkan NPT.242 Sementara, kekuatan diplomatik Eropa semakin diuji, sebagaimana Iran yang semakin dekat untuk menyelesaikan program nuklirnya. Kedua, Uni Eropa ingin menjadi pemain utama dalam isu nonproliferasi nuklir. Beberapa tahun lalu, gagasan bahwa Uni Eropa dapat menjadi aktor penting dalam rezim nonproliferasi ditanggapi secara skeptis.243 Namun, hari ini dunia melihat bahwa Uni Eropa sedang membangun dirinya sebagai aktor besar dalam bidang nonproliferasi nuklir dan senjata pemusnah masal, bahkan Uni Eropa mengembangkan strateginya sendiri untuk menuntunnya menjadi aktor
241
Bahgat, A WMD-Free Zone. Renard, Partnering for a Nuclear-Safe World, 8. 243 Clara Portela, "The Role of the EU in the Non-Proliferation of Nuclear Weapons", PRIF Report No.65, (Frankfurt, 2003). 242
86
global. Sesuai dengan EU WMD Strategy, Uni Eropa harus menggunakan semua instrumennya untuk mencegah, menghalangi, menghentikan, dan jika mungkin, menghapuskan program proliferasi yang mengakibatkan kehawatiran dalam konteks global. Uni Eropa menempatkan isu proliferasi nuklir Iran dalam prioritas utama, dibandingkan dengan isu HAM dan demokrasi di Iran. Dengan membuat isu nuklir menjadi prioritas utama, Uni Eropa sedang menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa Uni Eropa benar-benar memerangi proliferasi senjata nuklir global. Dengan terlibat dalam krisis nuklir Iran Uni Eropa sedang membuktikan kualitas perannya dalam isu yang berkaitan dengan nonproliferasi nuklir. Dalam konteks saat itu, intervensi Uni Eropa dalam konflik atas program nuklir Iran dilatarbelakangi oleh dua krisis nuklir lainnya. Pertama, pada tanggal 11 Januari 2003, Korea Utara telah mengumumkan pengunduran dirinya dari Non Proliferation Treaty tahun 1968.244 Kedua, pada tahun yang sama, aksi militer terhadap Irak, dijustifikasi oleh dugaan kepemilikan senjata pemusnah masal (meskipun akhirnya tidak terbukti). Melihat Korea Utara yang menarik diri dari NPT, Uni Eropa khawatir jika Iran akan melakukan hal serupa. Jika hal ini terjadi, tentunya akan melemahkan dan mengurangi kredibilitas rezim proliferasi dunia tersebut. Uni Eropa melihat Iran sebagai negara yang menjadi ujian bagi kelangsungan rezim nonproliferasi. Sebuah rezim penjaga proliferasi yang selalu diperjuangkan oleh Uni Eropa. 244
Arms Control Associations, Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy, http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron diakses pada 1 Mei 2015.
87
Ketiga, Uni Eropa ingin memainkan peran strategis di Timur Tengah dan mengamankan
kepentingan
ekonominya
di
Timur
Tengah.
Mengingat
pengaruhnya di Timur Tengah, Asia Tengah dan Teluk Persia, Iran selalu menjadi subjek perhatian bagi kekuatan besar, termasuk Uni Eropa. Sejak pidato “axis of evil” dari Presiden Bush, Uni Eropa semakin menjadi skeptis atas rencana Amerika Serikat untuk mentrasformasi Timur Tengah.245 Jika Uni Eropa ingin menjaga status quo-nya di Timur Tengah, maka Iran adalah sebuah kesempatan untuk bertidak. Pada saat yang sama, memecahkan krisis regional dan membangun perdamaian serta stabilitas di Timur Tengah, yang bisa dicapai melalui Iran sebagai kekuatan regional, dan menjadikan Iran sebagai mitra strategis Eropa. Proses perdamaian di Timur Tengah dapat terganggu oleh Iran yang bersenjata nuklir. Uni Eropa ingin menjaga stabilitas regional di Timur Tengah dan memanfaatkan kesempatan untuk membangun hubungan yang lebih konstruktif dengan Iran di masa depan. Dalam segi ekonomi, sebagai negara industri dan ekonominya yang berorientasi ekspor, Eropa membutuhkan Iran sebagai pemasok minyak dan gas, serta pasar domestik. Hubungan ekonomi, khususnya keamanan energi Eropa, akan selalu menjadi kepentingan utama Uni Eropa di Iran. Ketergantungan energi telah disebutkan dalam European Security Strategy sebagai perhatian Uni Eropa.246
245
Steven Everts, Engaging Iran: A Test Case fot EU Foreign Policy, Centre for European Reform, Working Paper, (Maret 2004), 16. 246 Asle Toje, “The 2003 European Union Security Strategy: A Critical Appraisal”, European Foreign Affairs Review 10, (2005), 126.
88
Keempat, nuklir Iran sebagai test-case bagi CFSP. Pasca perpecahan Uni Eropa dalam Perang Irak tahun 2003, menyelesaikan isu nuklir Iran menjadi ujian serius bagi kesatuan Eropa dan test-case bagi European Security Strategy dan EU Strategy against the Proliferation of Weapons of Mass Destruction, yang keduanya diadopsi pada tahun 2003. Uni Eropa memiliki persepsi bahwa masalah nuklir Iran merupakan kesempatan yang bagus bagi Uni Eropa untuk menghidupkan CFSP kembali, pasca perpecahan di Perang Irak.247 Uni Eropa dan Amerika Serikat sepakat bahwa Iran tidak perlu menjadi power state. Namun, Uni Eropa khawatir Amerika Serikat mungkin akan menggunakan kekuatan militernya lagi. Maka, Uni Eropa memutuskan untuk terlibat dalam negosiasi dengan Iran untuk mencegah tindakan unilateral Amerika Serikat, seperti pada Perank Irak tahun 2003. Perang Irak menunjukkan bahwa Uni Eropa perlu memberikan kesempatan bagi Jerman, Inggris dan Perancis untuk berbicara dalam satu suara dalam isu keamanan yang penting, dan untuk membuat suara Uni Eropa terdengan kencang dan jelas bagi Amerika Serikat. Perang Irak juga telah memberi pelajaran bagi Uni Eropa, bahwa ketika Uni Eropa terpecah, Amerika Serikat yang menguasai dunia. Uni Eropa mempunyai bebrapa alasan yang membuatnya percaya bahwa CFSP akan berhasil di Iran, yaitu situasi internal Uni Eropa, strategi Uni Eropa yang lebih bersahabat dibandingkan Amerika Serikat, dan konteks domestik Iran pada saat itu.248
247 248
Everts, Engaging Iran, 20. Nicoleta Lasan, European Union’s Approach, 40.
89
Dari perspektif sejarah, koherensi negara-negara anggota Uni Eropa dalam perlucutan senjata nuklir dan isu nonproliferasi ternyata cukup sulit.249 Khususnya yang berkaitan dengan perlucutan senjata, ada perpecahan di antara negara-negara anggota Uni Eropa, seperti antara Perancis dan Inggris, yang memiliki senjata nuklir, dan negara-negara anggota Uni Eropa yang memiliki teknologi dan pengetahuan untuk memproduksi senjata nuklir, tetapi telah berkomitmen di bawah NPT untuk menahan diri tidak memproduksinya. Maka, masalah nuklir Iran akan menjadi ujian serius bagi kesatuan suara dan tindakan Uni Eropa. Kasus nuklir Iran memberikan kesempatan E+3 untuk membuktikan kualitas kepemimpinannya, dan bahwa Uni Eropa mampu bertindak dan melakukan “intervensi bersama” dalam situasi krisis seperti itu.
IV.3. Upaya Diplomasi Uni Eropa Terhadap Iran Dalam sepanjang sejarah, diplomasi telah menjadi elemen penting dalam upaya menjaga perdamaian, menghindari konflik, dan menciptakan perubahan positif. Menurut Harold Nicolson, diplomasi adalah pengelolaan hubungan internasional melalui negosiasi, metode yang akan digunakan dalam hubungan ini akan disesuaikan dan dikelola oleh Duta Besar dan utusan.250 Sedangkan menurut Sir Ernest Satow, diplomasi adalah penerapan keterampilan dan taktik dalam melakukan hubungan resmi antara negara-negara melalui cara-cara damai.251 Perbedaan kekuatan militer dan diplomasi adalah, jika kekuatan militer adalah 249
S. Pullinger & G. Quille, “The European Union: Seeking Common Ground for Tackling Weapons of Mass Destruction”, Disarmament Diplomacy, No. 74, (Desember 2003), 87. 250 Harold Nicolson, Diplomacy, (London: Oxford University Press, 1960), 15. 251 Ernest Satow, A Guide to Diplomatic Practice, (London: Longman Greesn & Co), Edisi Keempat, 1.
90
mengambil (paksa) apa yang diinginkan, maka diplomasi adalah meyakinkan pihak lain untuk memberikan apa yang diinginkan. Diplomasi merupakan instrumen kebijakan luar negeri Uni Eropa terhadap Iran. Dalam kebijakan proliferasi, Uni Eropa menganut prinsip nonproliferasi. Uni Eropa tidak memiliki prinsip perang atau invasi militer dalam kebijakan luar negerinya. Sebaliknya, Uni Eropa mengutamakan diplomasi. Oleh karena itu, Uni Eropa memimpin berbagai perundingan yang bertujuan untuk mendorong Iran mengurangi program nuklirnya, bahkan jika memungkinkan, menghentikan proliferasi nuklir Iran. Diplomasi termasuk ke dalam soft power. Soft power adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mendapatkan hasil yang inginkan melalui daya tarik dan persuasi daripada penggunaan kekuatan atau uang. 252 Menurut Joseph Nye, soft power adalah nilai-nilai politik, budaya dan kebijakan.253 Diplomasi adalah instrumen soft power yang dapat mencakup dan mengelaborasi semua elemen tersebut. Esensi dari diplomasi adalah perundingan. Maka, diplomasi memiliki unsur penting, yaitu negosiasi dan adanya perwakilan untuk melakukan perundingan tersebut. Setelah adanya hukum internasional, prosedur diplomasi didasari oleh hukum interasional. Diplomasi memiliki empat fungsi utama. Fungsi pertama, meliputi mewakili kepentingan negara dan melakukan negosiasi atau diskusi yang dirancang untuk mengindentifikasi kepentingan bersama, maupun bidang ketidaksepakatan antara pihak-pihak yang terlibat, yang bertujuan untuk mencapai 252 253
Joseph S. Nye, Public Diplomacy and Soft Power, (Harvard University, 2008), 1. Nye, Public diplomacy, 4.
91
tujuan negara dan menghindari konflik. Fungsi kedua, meliputi mengumpulkan informasi, dan selanjutnya mengidentifikasi dan mengevaluasi tujuan kebijakan luar negeri negara pengirim. Fungsi ketiga, meliputi ekspansi hubungan politik, ekonomi, dan kebudayaan antara dua negara. Fungsi keempat, diplomasi sebagai fasilitator atau alat penegak hukum internasional.254 Dalam kasus nuklir Iran, diplomasi yang dilakukan oleh Uni Eropa berkaitan dengan fungsi pertama dan keempat. Dalam fungsi pertama, Uni Eropa berupaya menemukan win-win solution bagi Iran dan Uni Eropa, dan lebih luasnya masyarakat internasional, melalui negoasiasi yang dilakukan oleh E+3 sebagai perwakilan Uni Eropa. Sementara dalam fungsi keempat, diplomasi digunakan sebagai alat persuasi agar Iran bersedia mematuhi safeguard agreement dan memenuhi kewajibannya terhadap IAEA, seperti melaporkan semua kegiatan program nuklirnya dan memberikan semua informasi yang diperlukan IAEA terkait program nuklir Iran. Hasil akhir dari negosiasi biasanya diresmikan dalam bentuk komunike tertulis atau perjanjian, yang menyebutkan kesepakatan dan tanggung jawab masing-masing pihak. Bentuk yang umum adalah traktat, yaitu sebuah perjanjian tertulis formal antara negara-negara berdaulat, atau antara negara dengan organisasi internasional.255
254
G.R. Berridge, Diplomatic Theory From Machievelli to Kissinger, (New York: Palgrave, 2001), 31-35. 255 Berridge, Diplomatic Theory, 35.
92
IV.3.1. Dialog dan Negosiasi Uni Eropa-Iran Upaya diplomasi Uni Eropa dimulai dengan pembentukan E+3 yang terdiri dari Inggris, Perancis dan Jerman. E+3 kemudian bergabung dengan Duta Besar CFSP, Javier Solana, dan akhirnya bergabung dengan Amerika Serikat, Rusia dan Tiongkok (anggota tetap Dewan Keamanan PBB) dalam format P5+1 atau E3+3. Selama upaya penghentian proliferasi nuklir Iran, Uni Eropa dan Iran tidak pernah membicarakan upaya agresi. Sebaliknya, kedua belah pihak selalu menegaskan komitmennya untuk mencari resolusi diplomatik. Inisiatif diplomatik untuk menyelesaikan masalah nuklir Iran telah menghasilkan beberapa proposal untuk dinegosiasikan dan untuk membangun kepercayaan antara Iran dan masyarakat internasional. Karena program nuklir Iran yang semakin berkembang dan maju, maka fokus kegiatan diplomatik bergeser dari mempromosikan tujuan “zero enrichment”, menjadi mencegah Iran melakukan pengayaan ke tingkat yang lebih tinggi. Ini adalah refleksi dari kemajuan program nuklir Iran, dimana pada awal tahun 2009, Iran telah menghasilkan sekitar 1000 kilogram LEU, lebih dari 3000 sentrifugal di Natanz dan fasilitas yang terus diperluas.256 Pembicaraan di Istanbul, Turki, pada tahun 2011 tidak berhasil mencapai kesepakatan bersama. Menindaki kegagalan tersebut, pada bulan Oktober 2011, Duta Besar Uni Eropa, Catherine Ashton, mengirim surat untuk negosiator nuklir Iran, Saeed Jalili, yang mendesak diadakannya diskusi dan dialog untuk
256
International Atomic Energy Agency, Board of Governors, Implementation of the NPT Safeguards Agreement and relevant provisions of Security Council resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) and 1835 (2008) in the Islamic Republic of Iran, GOV/2009/8, (19 Februari 2009).
93
membangun kepercayaan masyarakat internasional untuk mengatasi kekhawatiran atas program nuklir Iran.257 Untuk merespon surat Catherine Asthon, pada bulan Februari 2012, Saeed Jalili menawarkan “inisiatif baru” untuk menghidupkan kembali pembicataan nuklir yang sempat terhenti.258 Kemudian, pada bulan April 2012, kembali diadakan diplomasi di Istanbul, Turki, dan disepakatinya framework negosiasi dengan tindakan timbal balik dan proses step-by-step.
IV.3.2. Diplomasi Koersif Selain melalui upaya dialog internasional dan pencapaian perjanjian, Uni Eropa menggunakan strategi diplomatik yang disebut diplomasi koersif, yang mempunyai tiga elemen, yaitu permintaan, ancaman dan tekanan waktu.259 Permintaan yang spesifik harus dirumuskan langsung dengan negara target, kemudian didukung oleh pemberian ancaman hukuman dan tenggat waktu untuk memenuhi permintaan tersebut. Diplomasi koersif dapat dilihat sebagai strategi diplomatik yang melibatkan beberapa jenis paksaan yang berusaha untuk menghasilkan perubahan perilaku target.260 Ini adalah sebuah bentuk "crisis bargaining".261
257
Foreign Policy Initiative, Timeline on Diplomacy and Pressure on Iran's Nuclear Program, http://www.foreignpolicyi.org/content/timeline-diplomacy-and-pressure-irans-nuclearprogram diakses pada 1 Mei 2015. 258 Foreign Policy Initiative, Timeline on Diplomacy and Pressure. 259 George, Forceful Persuasion, 7. 260 P. Bratton, “When Is Coercion Successful ?”, Naval War College Review, Vol. 58, No. 3, (2005), 101. 261 George, Forceful Persuasion, 68.
94
Penggunaan ancaman berfungsi untuk meyakinkan target bahwa kerugian yang didapatkan jika tidak mematuhi permintaan akan lebih tinggi daripada manfaat yang didapatkan jika tetap melanjutkan tindakannya.262 Dengan demikian, diplomasi koersif bertujuan mempengaruhi perhitungan untung rugi aktor rasional, mencoba membujuknya untuk menghentikan tindakan target daripada harus menjatuhi hukuman untuk menghentikan tindakannya.263 Secara umum, ada tiga jenis ancaman yang dapat dibedakan. Pertama, ancaman politik dan atau ancaman diplomatik, yang merupakan bentuk ancaman paling ringan. Kedua, ancaman ekonomi, yang dianggap sebagai bentuk ancaman yang kuat. Ketiga, ancaman kekuatan militer yang merupakan ancaman paling kuat dan paling ekstrim.264 Melalui E+3, Uni Eropa secara spesifik menuntut Iran untuk menangguhkan semua kegiatan daur ulang bahan bakar nuklir yang dapat memungkinkan Iran untuk memperoleh pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan untuk membangun senjata nuklir, termasuk pengayaan uranium, konversi dan pemisahan plutonium.265 Namun, ketika tampak jelas bahwa Iran telah melanjutkan aktivitas nuklirnya dan mampu mengatasi kesulitan teknologi tertentu, fokus permintaan Uni Eropa bergeser. Uni Eropa meminta Iran untuk menangguhkan aktivitas pengayaan uranium.266 Karena kapabilitas nuklir Iran
262
George, Forceful Persuasion, 11. George, Forceful Persuasion, 5. 264 George, Forceful Persuasion, 27. 265 International Crisis Group (ICG), “Iran: Is There a Way out of the Nuclear Impasse?”, Middle East Report, No. 51, (2006), 11. 266 Tom Sauer, Coercive Diplomacy Revisited: The Iranian Nuclear Weapons Crisis, Chicago, 48th Annual Convention of the International Studies Association (ISA), (Chicago, 28 Februari-4 Maret 2007), 16. 263
95
yang bersifat dual-use, maka permintaan Uni Eropa dapat dinilai sudah cukup komprehensif. Dibandingkan dengan permintaan Uni Eropa, ancaman yang digunakan relatif kecil. Uni Eropa mengancam untuk mendukung resolusi IAEA yang akan segera merujuk kasus Iran ke Dewan Keamanan PBB.267 Walaupun secara khusus Presiden Perancis Sarkozy dan Menteri Luar Negeri Perancis pernah mengindikasikan untuk mempertimbangkan kemungkinan serangan militer ke Iran, Uni Eropa selalu menggarisbawahi bahwa fokus mereka adalah melalui solusi diplomatik. Uni Eropa kemudian meningkatkan tekanan ancamannya dengan mengeluarkan ancaman selanjutnya, yaitu menjatuhkan sanksi ekonomi dalam kerangka resolusi Dewan Keamanan PBB berdasarkan Pasal 41 dari Bab VII Piagam PBB.268 Sektor ekonomi yang akan dikenakan sanksi terutama adalah industri minyak dan gas Iran. Uni Eropa melalui format P5+1 telah memberikan Iran banyak batas waktu bagi Iran untuk memenuhi permintaan tersebut. Ketika tenggat waktu tersebut menghadapi kebuntuan, Uni Eropa memperpanjang batas waktu yang diberikan. Diplomasi koersif bertujuan mempengaruhi perhitungan untung rugi aktor rasional, maka, konsep carrot and stick juga dapat diterapkan dalam diplomasi koersif. Carrot berlaku sebagai imbalan (reward) dan stick sebagai hukuman (punishment). 267
Selain
ancaman
pemberian
hukuman,
Uni
Eropa
perlu
Monica Tocha, The EU and Iran’s Nuclear Programme: Testing the Limits of Coercive Diplomacy, EU Diplomacy Papers No. 1, Department of EU International Relations and Diplomacy Studies, (2009), 20. 268 Aldo Zammit Borda, Iran and the EU3 Negotiations, UACES European Studies OnLine Essays, (2005), 14.
96
mengkombinasikannya dengan keuntungan positif jika Iran mematuhi permintaan. Uni Eropa sendiri telah menawarkan berbagai macam insentif atau imbalan jika Iran bersedia menangguhkan pengayaan uraniumnya. Dalam kerja sama ekonomi, Uni Eropa menawarkan untuk member dukungan aktif bagi Iran untuk menjadi anggota World Trade Organization dengan cara mendorong negosiasi aksesi Iran dan memulai kembali negosiasi Trade and Cooperation Agreement.269 Dalam bidang politik dan keamanan, Uni Eropa menawarkan Iran untuk bekerja sama dalam memberantas terorisme dan perdagangan narkoba, menciptakan kawasan bebas senjata pemusnah masal di Timur Tengah dan berkomitmen pada Iran tentang masalah keamanan.270
IV.4. Penerapan Sanksi Uni Eropa ke Iran Hubungan antarnegara diatur dengan hukum internasional. Berkaitan dengan aturan, penting untuk melihat bahwa setelah aturan diberlakukan, maka sebuah sanksi harus ditetapkan. Dalam konteks ini, sanksi mengacu pada hukuman yang dikenakan kepada pihak pelanggar aturan tersebut. Dengan demikian, dalam hukum internasional, sanksi merupakan berbagai reaksi yang diadopsi baik secara sepihak maupun secara kolektif oleh negara terhadap pihak pelanggar aturan, dalam rangka menjamin penghormatan dan pelaksanaan hak atau kewajiban.271 Dalam literatur, para ahli membedakan dua jenis sanksi yang digunakan dalam hubungan internasional, yaitu sanksi positif dan sanksi negatif. Sanksi 269
Martin, Good Cop/Bad Cop, 72. Martin, Good Cop/Bad Cop, 72. 271 Golliard, Economic Sanctions: Embargo on Stage, 14. 270
97
positif berupa pemberian imbalan, seperti bantuan kemanusiaan, penurunan atau penghapusan tarif. Sedangkan sanksi negatif berupa penggunaan hukuman atau ancaman hukuman.272 Sanksi dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Dalam kasus pertama, tujuan sanksi adalah untuk meyakinkan negara target bahwa isu yang dipertaruhkan tidak sebanding dengan sanksi yang dijatuhkan. Dalam artian, kerugian yang didapatkan akibat sanksi akan lebih besar ketimbang keuntungan yang didapat dari isu yang dipertaruhkan. Dalam kasus kedua, sanksi ditujukan untuk menekan pemerintah yang pada akhirnya akan memicu pergolakkan yang berujung pada penggulingan pemerintahan, dan kemudian akan mengakibatkan pembentukan pemerintahan baru.273 Sanksi dibedakan ke dalam tiga kategori. Pertama, pembatasan ekspor dan impor, seperti pada senjata, minyak, dan gas. Tindakan ini dimaksudkan untuk mencegah negara target mengakses teknologi tertentu, barang dan jasa yang diperlukan untuk kebijakan tertentu. Kedua, sanksi finansial, yaitu untuk membatasi kegiatan yang berhubungan dengan perdagangan, seperti mencegah pembayaran, pembekuan aset, larangan atas transaksi keuangan lainnya. Ketiga, sanksi dengan target yang lebih sempit, yang disebut dengan “smart sanction”, misalnya larangan transportasi dan komunikasi.274 Seperti larangan perjalanan yang menolak hak individu untuk masuk ke Eropa atau transit melalui negaranegara Eropa. 272
David A. Baldwin, Economic Statecraft, (Princeton: Princeton University Press,
1985), 20. 273
Golliard, Economic Sanctions: Embargo on Stage, 23. William H. Kaempfer dan Anton D. Lowenberg, “The Political Economy of Economic Sanctions”, Handbook of Defense Economics, Vol. 2, (2007), 869. 274
98
Uni Eropa menerapkan ketiga jenis sanksi tersebut kepada Iran. Uni Eropa melakukan embargo minyak dan gas, termasuk pembatasan ekspor bahan-bahan yeng berkaitan dengan program nuklir ke Iran. Untuk menambah efektivitas sanksi, Uni Eropa juga menjatuhkan sanksi finansial berupa pembekuan aset bank-bank sentral Iran di Eropa, dan entitas-entitas yang mendanai program nuklir Iran. Langkah terakhir, Uni Eropa memberlakukan larangan visa bagi individuindividu tertentu. Sampai pada bulan Desember 2012, tercatat ada sejumlah 490 entitas dan 150 individu yang terkena sanksi Uni Eropa.275 Dalam
Uni
Eropa,
European
External
Action
Service
(EEAS)
menggunakan istilah „sanksi‟ dan „tindakan pembatasan‟ sebagai upaya yang bertujuan untuk mengubah aktivitas atau kebijakan yang melanggar hukum internasional atau Hak Asasi Manusia, atau kebijakan yang tidak menghormati aturan hukum atau prinsip-prinsip demokrasi.276 Dewan Uni Eropa menyoroti bahwa tujuan sanksi adalah untuk mempertahankan dan mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional. Maka, negara-negara anggota Uni Eropa akan berusaha untuk semaksimal mungkin mengurangi efek yang dapat merugikan kemanusiaan, atau konsekuensi yang tidak diinginkan bagi orangorang (penduduk sipil) yang tidak ditargetkan atau negara-negara tetangga.277
275
Barbara Lewis, Tougher EU Sanctions against Iran Come into Force, Reuters, 22 Desember 2012, http://www.reuters.com/article/2012/12/22/us-eu-iran-sanctions-idUSBRE8BL04L20121222 diakses pada 1 Mei 2015. 276 European External Action Service, Sanctions or Restrictive Measures, http://eeas.europa.eu/cfsp/sanctions/index_en.htm diakses pada 28 Aprilo 2015. 277 Council of the European Union, Basic Principles on the Use of Restrictive Measures (Sanctions), 10198/1/04 Rev 1, (Brussels, 7 JunI 2004), 6.
99
Sanksi sendiri merupakan bagian dari dualisme kebijakan Uni Eropa, yaitu keterlibatan (engagement) dan tekanan (pressure).278 Dasar hukum bagi sanksi Uni Eropa berasal dai dua sumber, yaitu piagam PBB dan pasal 30 dan 31 dari Treaty on European Union.279 Negara-negara anggota Uni Eropa masing-masing secara hukum terikat untuk mengikuti aturan yang ditetapkan dalam Piagam PBB. Pengenaan sanksi berada di bawah domain CFSP dengan proses yang diatur pada pasal 30 dan 31 dalam Traktat Uni Eropa (Treaty on European Union).280 Hak untuk melakukan inisiatif berada pada negara anggota dan Duta Besar Uni Eropa untuk urusan luar negeri dan kebijakan keamanan (High Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy), yang juga dapat bertindak dengan dukungan Komisi Eropa. Proposal sanksi akan dibahas secara lebih rinci oleh Political and Security Committee dan diteliti oleh kelompok kerja yang kompeten dari Dewan, dimana para perwakilan negara anggota melakukan negosiasi dan kemudian memutuskan dengan konsensus.281 Langkah terakhir sebelum persetujuan melalui Committee of Permanent Representatives II (COREPER II) dan Dewan, para perwakilan negara anggota Uni Eropa menegosiasikan persyaratan yang spesifik dan konkrit untuk setiap sanksi yang akan dikenakan melalui Foreign Relations Counsellors Working Group (RELEX).282 Kemudian, Eropa Eksternal Action Service akan semua prosedur ini dengan memberikan saran tentang sanksi apa yang digunakan, siapa
278
European Union External Action, The European Union and Iran, 2. Esfandiary, Assessing the European Union, 3. 280 Francesco Giumelli, How EU Sanction Work: A New Narrative, Institute for Security Studies, ISSUE Chaillot Paper No. 129, (Mei 2013), 10. 281 Giumelli, How EU Sanction Work, 11. 282 Giumelli, How EU Sanction Work, 11. 279
100
yang harus ditargetkan, dan menyajikan rancangan dasar hukum baru yang akan dinegosiasikan secara rinci dalam RELEX.283 Dewan adalah aktor penting dalam pembuatan keputusan. Sanksi diadopsi dan harus diimplementasikan sesuai dengan hukum internasional, serta dengan menghormati Hak Asasi Manusia serta kebebasan dasar, sanksi Uni Eropa menargetkan individu dan entitas, seperti perusahaan, yang mendukung dan mendanai program nuklir, serta pendapatan pemerintah Iran yang digunakan untuk mendanai program nuklir tersebut. Dalam kasus Iran, jenis sanksi yang diberikan adalah sanksi negatif dan bersifat sanksi langsung. Hal ini dikarenakan Iran melanggar peraturan dengan tidak memenuhi kewajibannya pada IAEA. Uni Eropa berupaya meyakinkan Iran, bahwa kerugian yang didapatkan Iran akibat sanksi akan lebih besar ketimbang keuntungan yang didapat jika Iran tetap menjalankan proliferasi nuklir. Sanksi Uni Eropa tidak sedang menekan pemerintah yang pada akhirnya akan memicu pergolakkan di dalam Iran. Berkaitan dengan jumlah negara yang terlibat, sanksi unilateral yang terorganisir, yang mirip seperti sanksi multilateral, yang diterapkan oleh organisasi internasional, seperti Uni Eropa, akan lebih efektif dan signifikan daripada sanksi unilateral. Sanksi ekonomi dimaksudkan bekerja dengan memberikan kerugian dalam sektor ekonomi pada negara target. Maka, sanksi perdagangan, khususnya embargo, harus mampu mengurangi keuntungan yang didapat oleh negara target dari perdagangan dan memicu tingkat kesejaterahan
283
Giumelli, How EU Sanction Work, 11.
101
sosial ekonomi yang lebih rendah. Hal ini berarti, ketika Uni Eropa yang secara kolekif merupakan mitra dagang besar Iran menjatuhi sanksi, ekonomi Iran akan terganggu dan Iran akan semakin mengalami kerugian. Jenis perubahan perilaku dapat mencakup menghentikan kebijakan tertentu dari negara target atau membawa target ke meja perundingan. Secara umum, sanksi yang diterapkan Uni Eropa tidak mencapai tujuan strategisnya, yaitu mengubah pemikiran kepemimpinan Iran mengenai program nuklirnya dan menghentikan program nuklirnya. Namun, sanksi Uni Eropa telah berhasil membawa Iran ke meja perundingan, menghambat akses Iran ke komponenkomponen yang diperlukan untuk pengembangan rudal dan nuklirnya, dan membatasi kemampuan Iran untuk merakit senjata nuklir.
IV.4.1. Embargo Embargo adalah sebuah pernyataan atau perintah resmi dari negara untuk melarang atau membatasi kegiatan perdagangan dan atau finansial dengan negara tertentu.284 Embargo umumnya merupakan hasil dari keadaan politik maupun ekonomi yang tidak menguntungkan. Pembatasan tersebut bertujuan untuk mengisolasi negara target dan menciptakan kesulitan bagi pemerintah negara tersebut, dan memaksa negara target untuk bertindak berdasarkan masalah yang disepakati. Dalam kasus Iran, embargo yang dilakukan Uni Eropa bertujuan utamanya untuk membatasi akses Iran terhadap bahan-bahan yang dapat
284
Definition of Embargo, http://www.investopedia.com/terms/e/embargo.asp diakses pada 5 Mei 2015.
102
berkontribusi terhadap program nuklir Iran, dan menekan Iran untuk menangguhkan program nuklirnya. Pada tanggal 23 Januari 2012, Uni Eropa menerapkan seperangkan sanksi terhadap Iran. Sanksi ini memberlakukan embargo atas impor, pembelian dan pengangkutan minyak Iran285, dan embargo produk petrokimia Iran oleh negaranegara Uni Eropa. Diikuti dengan larangan pembiayaan, asuransi dan pengangkutan produk minyak dan petrokimia Iran, serta larangan ekspor peralatan-peralatan kunci dan teknologi untuk sektor petrokimia Iran. Langkahlangkah juga termasuk larangan perdagangan emas dan logam berharga lainnya, serta berlian dengan pemerintah Iran.286 Mengingat bahwa Uni Eropa telah menjadi pembeli sebesar 18% dari total ekspor minyak mentah Iran, embargo minyak Uni Eropa diharapkan memiliki pengaruh yang besar terhadap perekonomian Iran. Sanksi tersebut ditujukan untuk mengurangi sumber pendapatan rezim Iran dan Garda Revolusi Iran (Iran's Revolutionary Guard), yang dianggap sebagai operator utama industri minyak dan kekuatan pendorong program nuklir Iran.287 Iran masih tergantung pada para pemasok asing untuk pengembangan program nuklirnya. Oleh karena itu, akses Iran ke material dan komponen yang berkaitan dengan program nuklirnya perlu dibatasi. Sanksi telah membatasi akses Iran ke bahan-bahan yang diperlukan untuk meningkakan kualitas sentrifugalnya yang dipasok Iran dari luar negeri. Meskipun Iran telah mengembangkan 285
Namun, tetap mengizinkan pengiriman minyak di bawah kontrak yang sudah ditandatangai sampai dengan 1 Juli 2012. 286 Ruairi Patterson, “EU Sanctions on Iran: The European Political Context”, Middle East Policy Council, Journal Essay, Vol. XX, No. 1, (2013). 287 Portela, Impact of Sanctions and Isolation, 45.
103
pemahaman untuk membuat komponen untuk sentrifugal gas, Iran masih bergantung pada pemasok eksternal untuk beberapa peralatan dan bahan dual-use, seperti maraging baja, serat karbon, pompa vakum dan alat-alat ukur.288 Pada 15 Oktober 2012, Uni Eropa kembali menjatuhkan sanksi. Sanksi ini berupa pelarangan ekspor ke Iran dari bahan-bahan yang berhubungan dengan program nuklir dan balistik Iran atau ekspor ke industri yang dikendalikan oleh Iranian Revolutionary Guard Corps.289 Bahan-bahan ini khususnya berkaitan dengan grafit, logam mentah atau setengah jadi, seperti aluminium dan baja, serta perangkat lunak untuk mengintegrasikan proses industri. Kemudian, larangan impor atau pengangkutan gas alam Iran. Namun, larangan impor gas ini lebih bersifat simbolis, mengingat bahwa Uni Eropa sebelumnya tidak mengimpor gas dari Iran dan tidak ada infrastruktur untuk impor tersebut.290 Langkah-langkah juga termasuk larangan pengadaan perangkat lunak untuk mengintegrasikan proses industri, larangan pengadaan peralatan angkatan laut kunci dan teknologi untuk pembangunan kapal, pemeliharaan atau mereparasi, larangan pembangunan kapal tanker minyak untuk Iran, pemberian tanda dan klasifikasi layanan untuk kapal tanker minyak Iran dan kapal kargo, dan pembatasan pada ekspor barang-barang dual-use ke Iran.291
288
IISS, Iran‟s Nuclear, Chemical and Biological Capabilities: A Net Assessment, International Institute for Strategic Studies (IISS) Strategic Dossier (IISS: London, 3 Februari 2011). 289 Official Journal of the European Union, Council Decision 2012/635/CFSP of 15 October 2012, amending Decision 2010/413/CFSP concerning restrictive measures against Iran. 290 Patterson, EU Sanctions on Iran. 291 Official Journal of the European Union, Council Decision 2012/635/CFSP of 15 October 201.
104
IV.3.2. Sanksi Finansial Meningkatnya kekhawatiran atas sifat program nuklir Iran, telah mendorong perluasan sanksi Uni Eropa. Maka, sanksi embargo pun disertai dengan sanksi finansial. Berdasarkan keputusan Dewan pada tanggal 26 Juli 2010, yang diikuti setelah berlakunya Resolusi DK PBB 1929 pada tanggal 9 Juni 2010, Uni Eropa menjatuhkan sanksi terhadap Iran. Elemen utama sanksi tersebut adalah larangan investasi Eropa di sektor minyak dan gas Iran dan penyediaan peralatan kunci, teknologi, pembiayaan dan bantuan untuk digunakan dalam pemurnian, gas alam cair, eksplorasi dan produksi.292 Paket sanksi tersebut juga termasuk langkah-langkah seperti larangan bagi bank Iran untuk membuka cabang dan membuat usaha bersama di Uni Eropa. Lembaga keuangan Uni Eropa juga tidak dapat membuka cabang atau rekening bank di Iran.293 Larangan penjualan, pembelian atau broker surat-surat obligasi terhadap pemerintah Iran dan bank Iran, dan pemberian persyaratan bahwa semua transaksi dengan Iran di atas € 40.000 harus menerima izin terlebih dahulu.294 Larangan transfer keuangan dengan bank-bank Iran, kecuali jika terkait dengan bahan makanan, kesehatan, peralatan medis, keperluan pertanian atau kemanusiaan, pengiriman uang pribadi, kontrak perdagangan tertentu, misi diplomatik atau konsuler atau organisasi internasional karena memiliki kekebalan diplomatik.295
292
Council of the European Union, Press Release 3029th Council meeting, Foreign Affairs, 12560/10, (Brussels, 26 Juli 2010), 10. 293 European Union External Action, The European Union and Iran, 5. 294 Patterson, EU Sanctions on Iran. 295 European Union External Action, The European Union and Iran, 5.
105
Uni Eropa selanjutnya menjatuhkan sanksi yang diumumkan pada tanggal 23 Januari 2012, berupa pembekuan aset Bank Sentral Iran di Uni Eropa. Uni Eropa kemudian menguatkan sanksi ke Iran yang diterapkan pada tanggal 15 Oktober 2012.296 Dewan mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga keuangan Uni Eropa tidak memproses danadana yang dapat berkontribusi terhadap program nuklir Iran atau pengembangan rudal balistik. Oleh karena itu, Uni Eropa melarang semua transaksi antara bankbank Eropa dan Iran, kecuali transaksi yang telah disahkan secara eksplisit terlebih dahulu oleh otoritas nasional di bawah persyaratan yang ketat. Dengan kondisi tersebut, perdagangan yang telah mendapat izin tetap dapat berjalan.297 Selain itu, Dewan telah memutuskan untuk memperkuat tindakan pembatasan terhadap Bank Sentral Iran. Langkah-langkah tersebut diikuti dengan larangan asuransi dan pembiayaan kegiatan impor atau pengangkutan gas alam Iran. Termasuk larangan penuh (dengan pengecualian kemanusiaan) pada bantuan keuangan dari sektor swasta baru untuk perdagangan dengan Iran.298
296
EIFEC, The European Union (EU) strengthens Sanction on Iran, http://www.exportcompliance.eu/index.php/en/99-latest-news/200-european-union-strengthenssanctions-regulations-for-iran-latest-regulations diakses pada 1 Mei 2014. 297 EIFEC, The European Union (EU) strengthens Sanction on Ira. 298 Patterson, EU Sanctions on Iran.
BAB V KESIMPULAN
Negara-negara Barat selama bertahun-tahun telah mencurigai bahwa Iran ingin memiliki senjata nuklir. Kecurigaan dunia Barat terhadap Iran seolah mendapat dukungan ketika pada bulan Agustus 2002, kelompok oposisi Iran National Council of Resistance of Iran (NCRI), mengadakan konferensi pers, dimana kelompok tersebut mengungkapkan kepada dunia tentang program nuklir rahasia Iran. NCRI merilis rincian dari dua fasilitas nuklir rahasia, yaitu pabrik produksi bahan bakar nuklir dan laboratorium penelitian di Natanz dan sebuah reaktor air berat di Arak. Di satu sisi, pemerintah Iran secara resmi telah menyampaikan pesan dengan konsisten, bahwa Iran tidak sedang berusaha mengembangkan senjata nuklir, melainkan hanya menginginkan kesempatan untuk menghasilkan energi nuklir sipil. Iran ingin diperlakukan secara setara dengan semua anggota NPT lainnya, yang berhak untuk mengembangkan siklus bahan bakar nuklir penuh. Memang, sebagai negara yang terikat dengan NPT, Iran memiliki hak sah untuk mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai. Namun, Laporan IAEA telah berulang kali menunjukkan kurangnya transparensi dan kemauan Iran untuk bekerja sama dengan IAEA secara penuh. IAEA mengindikasikan adanya upaya Iran untuk menutupi program pengayaan nuklirnya. Iran secara konstan juga mengingkari perjanjian dengan EU+3 (Perancis, Jerman, Inggris) dan melanjutkan aktivitas pengayaan nuklir. Sikap
106
107
Iran menimbulkan pertanyaan tersendiri, jika Iran memang ingin mengembangkan nuklir untuk tujuan damai, mengapa Iran menyembunyikan program nuklirnya selama dua puluh tahun. Hal tersebut memicu perdebatan dan kekhawatiran dari masyarakat internasional. Perdebatan tentang Iran juga dibentuk oleh pandangan bahwa masyarakat internasional tidak merasa keberatan dan tidak bersikap keras terhadap pengembangan tenaga nuklir dan akuisisi senjata nuklir oleh India, Israel dan Pakistan. India, Israel dan Pakistan tidak terikat dengan NPT, karena negaranegara
tersebut
tidak
menandatangani
NPT.
Sementara,
Iran
menjadi
penandatangan NPT dan memiliki hak sah untuk mengembangkan energi nuklir damai. Jadi, mengingat bahwa kepemilikan nuklir India, Israel, dan Pakistan tidak memprovokasi kecaman internasional yang sama seperti Iran, menimbulkan pertanyaan tentang apakah Iran adalah korban 'standar ganda' yang diterapkan oleh dunia internasional. Namun, mengingat kondisi di Timur Tengah, Iran tentu merasakan tekanan. Invasi militer oleh Amerika Serikat dan Israel ke Irak dan Afghanistan, ditambah dengan kehadiran pasukan Amerika Serikat di perbatasan Iran dan di Teluk Persia, membuat Iran berada dalam posisi yang tidak nyaman. Iran yang merasa terancam dan berada di bawah pengawasan ketat, semakin menambah rasa ketidakamanannya. Apalagi, sejak terbentuknya Republik Islam Iran sebagai akibat dari Revolusi Islam Iran tahun 1979, hubungan Iran dengan negara tetangganya dan negara Barat penuh dengan gejolak.
108
Dihadapkan dengan kapabilitas Irak pada saat itu, wilayah yang tidak stabil, dan kurangnya dukungan internasional terhadap Iran, membuat Iran merasa terisolasi, tidak aman, dan terancam. Namun, bertahun-tahun kemudian, rezim Saddam Hussein berhasil digulingkan oleh Amerika Serikat. Sejak itu, Iran semakin berambisi untuk menjadi kekuatan regional di kawasan Timur tengah. Hal-hal di atas merupakan faktor-faktor yang mungkin mendorong Iran untuk mengembangkan program nuklirnya. Ketegangan dan ketidakpastian atas program nuklir Iran, telah membawa Uni Eropa sebagai aktor yang terlibat dalam upaya dunia internasional untuk mengentikan proliferasi nuklir Iran. Sesuai dengan European Security Strategy yang menyerukan Uni Eropa supaya lebih aktif dalam mengejar tujuan strategisnya, Uni Eropa hadir sebagai negosiator utama dalam krisis nuklir Iran sejak tahun 2003. Uni Eropa membuat pernyataan kuat, baik secara internal dengan memberikat sinyal kepada publik domestik bahwa Uni Eropa akan bertindak ketika sebuah hukum internasional dilanggar, maupun secara eksternal dengan menunjukkan kepada negara lain bahwa Uni Eropa adalah aktor internasional yang kuat. Uni Eropa tidak menolak hak Iran di bawah pasal IV dalam NPT untuk menjalankan aktivitas daur ulang bahan bakar, termasuk pengayaan uranium, untuk tujuan damai. Uni Eropa menghormati hak sah Iran sebagai negara penandatangan NPT. Namun, Uni Eropa berpendapat bahwa ada aktivitasaktivitas tidak “normal” karena Iran tidak bersedia untuk mematuhi kewajibannya
109
di bawah Safeguard Agreement.299 Sementara, European Security Strategy dan EU WMD Strategy yang diluncurkan pada tahun 2003, menyatakan bahwa proliferasi senjata pemusnah masal berpotensi menjadi ancaman terbesar bagi keamanan Eropa. Tujuan Uni Eropa adalah membujuk Iran untuk meninggalkan bagian dari program nuklirnya yang memicu kekhawatiran masyarakat internasional, yaitu fasilitas pengayaan uranium dan reaktor air berat. Karena kedua fasilitas ini bersifat dual-use, yang berarti selain dapat digunakan untuk kepentingan energi nuklir sipil, juga dapat digunakan untuk tujuan membangun senjata nuklir. Perdebatan program nuklir Iran semakin meruncing ketika lanskap politik Iran berubah drastis. Ketika kelompok konservatif menguasasi parlemen, dan sejak menjabat presiden pada bulan Agustus 2005, Ahmadinejad telah menjadi faktor penting dalam pecahnya upaya dialog nuklir yang dilakukan oleh dunia internasional, khususnya Uni Eropa. Terpilihnya Ahmadinejad merupakan kejutan bagi masyaraka internasional, dan sejak saat itu, pembicaraan nuklir antara Iran dan Uni Eropa mencapai fase yang sulit. Pentingnya Iran sebagai pemain strategis di Timur Tengah, Iran sebagai penyedia sumber daya energi bagi Uni Eropa, dan masalah keamanan global, merupakan faktor krusial dalam kasus ini. Upaya Uni Eropa untuk menghentikan proliferasi nuklir Iran didorong oleh kepentingan bersama. Uni Eropa tidak hanya bergantung pada minyak dan gas Iran, Uni Eropa juga mempunyai kepentingan 299
Harnisch, Sebastian dan Ruth Linden, “Iran and Nuclear Proliferation – Europe’s Slow-Burning Diplomatic Crisis”, Foreign Policy in Dialogue, Vol. 6, No. 17, (2005), 45.
110
korporasi yang besar di Iran. Iran juga dapat menjadi mitra dagang dan pasar bagi Uni Eropa. Ditambah dengan adanya kerusuhan sipil di negara tetangga, Irak dan Afghanistan, Uni Eropa menyadari pentingnya membawa Iran kembali ke area diplomatik dan politik internasional. Uni Eropa menolak untuk mengikuti strategi Amerika Serikat yang mengisolasi Iran. ketika Amerika Serikat memainkan peran sebagai “bad cop”, Uni Eropa memainkan peran “good cop”. Negara-negara Eropa memilih menggunakan strategi keterlibatan bersyarat (conditional engagement), yang memang sudah lama diterapkan dalam hubungan Eropa terhadap Iran. Conditional engagement melibatkan hubungan perdagangan dan hubungan ekonomi lainnya sebagai ganti untuk kerjasama dengan Iran dalam masalah nonproliferasi. Uni Eropa juga memiliki pendekatan effective multilateralism, yang didasarkan pada masyarakat internasional yang lebih kuat, institusi-institusi internasional dan tatanan internasional yang berbasis aturan. Karena keterbatasan institusional Uni Eropa dalam penggunaan kekuatan militer dan kecenderungan ideologis Uni Eropa untuk melakukan keterlibatan konstruktif melalui kerja sama atau kemitraan, maka kebijakan luar negeri Uni Eropa didasarkan pada penggunaan soft power. Penggunaan kekuatan militer bukanlah sebuah pilihan bagi Uni Eropa. Selama keterlibatannya dalam kasus nuklir Iran, sejak tahun 2003, Uni Eropa secara konsisten menghindari penggunaan cara-cara militer dan unilateral. Dalam menghadapi Iran, Uni Eropa menggunakan dua sumber daya dan instrumen terbaiknya, yaitu kekuatan ekonomi dan kekuatan politik. Oleh karena
111
itu, Uni Eropa menggunakan diplomasi politik dan sanksi ekonomi sebagai strateginya dalam menghentikan proliferasi nuklir Iran. Sanksi juga disebut sebagai “restrictive measures” dalam jargon Uni Eropa. Tindakan pemberian sanksi dianggap sebagai kebijakan luar negeri yang kuat. Uni Eropa telah mendapat peran penting dalam panggung global selama dua dekade terakhir, dan kebijakan sanksi adalah salah satu elemen yang telah berkontribusi untuk peran Uni Eropa tersebut. Serangan militer yang ditujukan untuk mencegah atau menghambat program nuklir Iran justru dapat mengakibatkan eskalasi ketegangan regional dan menimbulkan konflik militer yang lebih luas. Maka, Uni Eropa secara konsisten berpendapat bahwa cara terbaik untuk memecahkan kebuntuan program nuklir Iran adalah melalui negosiasi yang konstruktif. Uni Eropa berkomitmen untuk mencapai penyelesaian jangka panjang yang komprehensif dan yang akan membangun kepercayaan internasional dalam program nuklir Iran yang bersifat damai, sambil menghormati hak-hak sah Iran untuk penggunaan damai energi nuklir sesuai dengan NPT. Ketika negosiasi gagal, maka sanksi dapat menjadi langkah terakhir yang dapat digunakan untuk melemahkan Iran. Tujuan utama negosasi antara Uni Eropa dan Iran adalah untuk membuat Iran bersedia meninggalkan bagian dari program nuklirnya yang bersifat dual-use, dimana elemen tersebut tidak hanya dapat digunakan untuk tujuan sipil tetapi juga membangun
senjata
nuklir.
Penghapusan
elemen-elemen
tersebut
akan
memberikan jaminan pada Uni bahwa program tersebut memang benar hanya memiliki tujuan sipil. Sementara, sanksi yang diberikan Uni Eropa dimaksudkan
112
untuk membujuk Iran agar mematuhi kewajiban internasionalnya, dan membatasi perkembangan teknologi sensitif Iran dalam program nuklir dan rudal-rudalnya. Uni Eropa berhasil menyelaraskan strateginya terhadap nuklir Iran dengan doktrin keamanan dan kerangka kebijakannya. Kebijakan luar negeri Uni Eropa terhadap proliferasi nuklir Iran memberikan alternatif penggunaan soft power melalui instrumen diplomasi dan sanksi, daripada doktrin kebijakan Amerika Serikat yang cenderung menggunakan kekuatan militer (military preemption). Pasca invasi ke Irak tahun 2003, penggunaan kekuatan militer nampaknya menjadi pilihan yang tidak lagi diinginkan dan dianggap sulit dilakukan, serta tidak efisien. Krisis nuklir Iran pun tidak dapat diseselaikan melalui cara-cara militer. Walaupun strategi Uni Eropa tidak mampu menghentikan program nuklir Iran sepenuhnya, diplomasi Uni Eropa telah berhasil membawa Iran ke meja perundingan. Sementara sanksi-sanksi Uni Eropa telah berhasil menghambat akses Iran ke komponen-komponen yang diperlukan untuk pengembangan rudal dan nuklirnya. Strategi Uni Eropa tersebut telah membatasi kemampuan Iran untuk merakit senjata nuklir.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku, Jurnal, Penelitian dan Artikel Ilmiah Aggelis, Nikos, The Weapons of Mass Destruction as a threat to European Security, Institute of International Relations, Division for Euro-Atlantic Studies (D.E.A.S.): “NATO and European Union” Working Group. Ahlstrom, Christer, “The EU Strategy against Proliferation of Weapons of Mass Destruction”, Europe and Iran Perspectives on Non-proliferation, Stockholm International Peace Research Institute Research Report No.21, (Oxford University Press, 2005). Ansari, Ali M., Confronting Iran – The Failure of American Foreign Policy and the next Great Crisis in the Middle East, Basic Books, (New York, 2006). Anshari, Ali M., Supremasi Iran: Poros Setan atau Superpower Baru, (Jakarta: Zahra Publishing, 2008). Anthony, Ian, The Role of the European Union in Strengthening Nuclear Security, EU Non-Proliferation Consortium, Non-Proliferation Papers No. 32 (November 2013). Bahgat, Gawdat, “A WMD-Free Zone in the Middle East?”, Journal Essay Middle East Policy Council, Vol. 20, No. 1, (2013). Bahgat, Gawdat, “Iranian Nuclear Proliferation: The Trans-Atlantic Division”, Seton Hall Journal of Diplomacy and International Relation, (2004). Baldwin, David A., Economic Statecraft, (Princeton: Princeton University Press, 1985). Baylis, J. dan Smith, S ed., The Globalization of World Politics: An introduction to International Relations, (Oxford: Oxford University Press, 2005). Berridge, G.R., Diplomatic Theory From Machievelli to Kissinger, (New York: Palgrave, 2001). Biscop, Sven, “The European Security Strategy: Implementing a Distinctive Approach to Security”, Sécurité & Stratégie, Paper No. 82, Maret 2004 (Brussels: Royal Defence College, 2004).
cxv
Borda, Aldo Zammit, Iran and the EU3 Negotiations, UACES European Studies On-Line Essays, (2005). Bowen, Wyn Q. dan Joanna Kidd, The Iranian Nuclear Challenge, International Affairs 80, No. 2, (2004). Bull, Hedley, The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics, (London: Macmillan, 1977). Byman, Daniel, Deadly Connections: States that Sponsor Terrorism (New York: Cambridge University Press, 2005). Chubin, Shahram dan Robert S. Litwak, Debating Iran’s Nuclear Aspirations, Washington Quarterly 26, (2003). Chubin, Shahram, Iran: Domestic Politics and Nuclear Choices, Strategic Asia. (2007). Cirincione, Joseph, Jon B. Wolfsthal dan Miriam Rajkumar, Deadly Arsenals – Tracking Weapons of Mass Destruction, (Washington D.C, 2002). Cohen, Ariel, The Russian Handicap to U.S. Iran Policy, Jerusalem Issue Briefs, (2009). Commission on Conventional Armaments (CCA), UN document S/C.3/32/Rev.1, Agustus 1948, Office of Public Information, The United Nations and Disarmament, 1945–1965, UN Publication 67.I.8, 28. Couloumbis, T.A. dan J.H. Wolff, Introduction to International Relations, (New Jersey: Prentice-Hall, 1986). Council of the European Union, Basic Principles on the Use of Restrictive Measures (Sanctions), 10198/1/04 Rev 1, (Brussels, 7 JunI 2004), 6. Council of the European Union, EU Strategy against Proliferation of Weapon of Mass Destruction, 15708/03, Brussels, 10 December 2003. Council of the European Union, EU-Iran Basic Facts, (April 2009). Council of the European Union, European Security Strategy: A Secure Europe In A Better World, (Belgia: European Communities, 2009). Council of the European Union, Fight against the proliferation of weapons of mass destruction–mainstreaming non-proliferation policies into the EU’s wider relations with third countries’, 14997/03, 19 November 2003.
cxvi
Council of the European Union, Press Release 3029th Council meeting, Foreign Affairs, 12560/10, (Brussels, 26 Juli 2010), 10. Council of the European Union, The European Union Strategy against the Proliferation of Weapons of Mass Destruction, (Belgia: European Communities, November 2008). Dadandish, Parvin, “Iran-Europe Relations: A Diagnostic Analysis”, Iranian Review of Foreign Affairs, Vol. 3, No. 1, (Spring 2012). Dehghani,
Jalal,
“Discourse
of
Justice-oriented
Fundamentalism
in
Ahmadinejad‟s Foreign Policy”, Journal of Political Knowledge, No. 5, Spring and Summer, (2007). Eisenstadt, Michael, Iranian Military Power, (Washington DC: The Washington Institute for Near East Policy, 1996). EPLO Briefing Paper 1/2012, Common Foreign and Security Policy structures and instruments after the entry into force of the Lisbon Treaty, (April 2012). Esfandiary, Dina, “Assessing The European Union‟s Sanction Policy: Iran As A Case Study”, Non-Proliferation Papers, No.34 (2013). European Commission and European External Action Service staff, EU efforts to strengthen nuclear security, (2012). European Union Center of North Carolina, EU Briefings: The EU and Iran, (2012). European Union Center of North Carolina, EU and Iran, (2012). European Union Center of North Carolina, Europe’s Iran Diplomacy, EU Briefings, (Maret 2008). European Union External Action, The European Union and Iran, (Bussel, November 2013). Everts, Steven, Engaging Iran: A Test Case fot EU Foreign Policy, Centre for European Reform Working Paper, (Maret 2004). Frey, Karsten, Nuclear Weapons as Symbols – The Role of Norms in Nuclear Policy Making, The Institute Barcelona d‟Estudies Internationales (IBEI) Working Paper, (2006).
cxvii
Galtung, John, “On the Effects of International Economic Sanctions,with Examples from the Case of Rhodesia”, World Politics, Vol. 19, Issue 03, (1967). George, Alexander, “Coercive Diplomacy: Definition and Characteristics”; A.L. George & W.E. Simons (eds.), The Limits of Coercive Diplomacy, (Westview Press, 1994). George, Alexander, Forceful Persuasion Coercive Diplomacy as an Alternative to War, (Washington DC: US Institute of Peace, 1997). Gerami, Nima, Leadership Divided? The Domestic Politic of Iran’s Nuclear Debate, (Washington: The Washington Institute for Near East Policy, 2014). Giumelli, Francesco, Coercing, Constraining and Signaling: Explaining UN and EU Sanctions after the Cold War, (ECPR Press: Colchester, 2011). Giumelli, Francesco, How EU Sanction Work: A New Narrative, Institute for Security Studies, ISSUE Chaillot Paper No. 129, (Mei 2013). Gobbi, Francesco, Is a nuclear-weapon-free Middle East possible?, Library of the European Parliament, (Juli 2013). Goldblatt, Joe, “Nuclear Weapon Free Zones: A History and Assessment”, Nonproliferation Review, vol. 4, no. 3 (1997). Golliard, Mélanie Marilyne, Economic Sanctions: Embargo on Stage, Theory and Empirical Evidence, University of Tampere, (Fribourg, 2013). Haji-Yousefi, Amir M., Iran's Foreign Policy during Ahmadinejad: From Confrontation to Accommodation, dipresentasikan dalam Annual Conference of the Canadian Political Science Association, 2-3 Juni 2010, Concordia University, Montreal, Canada. Harnisch, Sebastian dan Ruth Linden, “Iran and Nuclear Proliferation – Europe‟s Slow-Burning Diplomatic Crisis”, Foreign Policy in Dialogue, Vol. 6, No. 17, (2005). Hyde-Price, Adrian, “European Security, Strategic Culture, and the Use of Force”, European Security, Vol. 13, No. 4, (2004). Hyde-Price, Adrian, European Security In The Twenty-First Century: The Challenge of Multipolarity, (London and New York: Routledge, 2007).
cxviii
IISS, Iran‟s Nuclear, Chemical and Biological Capabilities: A Net Assessment, International Institute for Strategic Studies (IISS) Strategic Dossier (IISS: London, 3 Februari 2011). International Atomic Energy Agency, Board of Governors, Implementation of the NPT Safeguards Agreement and relevant provisions of Security Council resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) and 1835 (2008) in the Islamic Republic of Iran, GOV/2009/8, (19 Februari 2009). International Crisis Group (ICG), “Iran: Is There a Way out of the Nuclear Impasse?”, Middle East Report, No. 51, (2006). International Institute for Strategic Studies,
Iran's Strategic Weapons
Programmes: A Net Assessment, (London: Routledge, 2005). Islam, Shada, The EU's First-Ever Security Doctrine, Yale Global, (Juli 2003). Josef Blanke, Hermann dan Stelio Mangiameli, “Identification of the Union‟s Interests and Objectives in CFSP”, The Treaty on European Union, (Springer Berlin Heidelberg, 2013). Kaempfer, William H. dan Anton D. Lowenberg, “The Political Economy of Economic Sanctions”, Handbook of Defense Economics, Vol. 2, (2007). Kamrav, Mehran, “Iranian National Security Debates – Factionalism and lost Opportunities”, Middle East Policy, Vol. XIV, No. 2, (2007).. Keohane, Robert O. dan Lisa L. Martin, “The Promise of Institusionalist Theory”, International Security, Vol. 20, N0. 1, (1995). Kerr, Paul K., Iran’s Nuclear Program: Tehran’s Compliance with International Obligations, Congressional Research Service, (2014). Kienzle, Benjamin, “A European contribution to non-proliferation? The EU WMD Strategy at Ten”, International Affairs 89:5 (UK: The Royal Institute of International Affairs, 2013). Kutchesfahani, Sara, “Iran‟s Nuclear Challenge and European Diplomacy”, EPC Issue Paper No.46, (Maret 2006). Larssen, Mowatt, Al Qaeda Weapons of Mass Destruction Threat: hype or reality? (Cambridge: Belfer Center for Science and International Affairs, 2010).
cxix
Lasan, Nicoleta,
European Union’s Approach Towards The Iranian Nuclear
Crisis: An Interest-Driven Strategy Combined With The “Appropriate” Means, (Hungary: Central European University, 2007). Laşan, Nicoleta, “European Union Intervention in the Iranian Crisis - A Sociological Institutionalist Perspective”, Romanian Journal Of European Affairs Vol. 14, No. 1, (2014). Levitt, Matthew, Iran’s Support for Terrorism in the Middle East, Washington Institute for Near East Policy, Testimony before the U.S. Senate, Committee on Foreign Relations, Subcommittee on Near Eastern and Central Asian Affairs, (25 Juli 2012). Little, Doughlas, Frenemies: Iran and America Since 1900, Vol. 4, Issue 8, (Mei 2011). Martin, Curtis H., “„Good Cop/Bad Cop‟ as a Model for Nonproliferation Diplomacy toward North Korea and Iran”, The Nonproliferation Review, Vol. 14, No. 1, 2007. Mearsheimer, John J., The Tragedy of Great Power Politics, (New York: W.W. Norton & Company, 2001). Meier, Oliver, “European Efforts to Solve The Conflict Over Iran‟s Nuclear Programme: How Has The European Union Performed?”, Non-Proliferation Papers, No. 27, (February 2013). Mix, Derek E., The European Union: Foreign and Security Policy, Congressional Research Service, (8 April 2013). Mix, Derek E., The United States and Europe: Current Issues, CRS Report for Congress, (2013). Molana, Hamid dan M. Mohammadi, Foreign Policy of the Islamic Republic of Iran During Ahmadinejad, (Tehran: Dadgostar, 2008). Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung: Remaja
Risdakarya, 1991). Morgenthau, H.J., Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, (New York: A Knopf Inc, 1978).
cxx
Mousavian, Seyed Hossein, The Iran Nuclear Dilemma: The Peaceful Use of Nuclear Energy and NPT’s Main Objectives, EU Non-Proliferation Consortium, (2012). Müller, Harald, Aviv Melamud dan Anna Péczeli, “From Nuclear Weapons to WMD: The Development and Added Value of the WMD-Free Zone Concept, EU Non-Proliferation Consortium,” Non-Proliferation Papers No.31 (September 2013). Muller, Harald, “European Nuclear Nonproliferation after the NPT Extension: Achievements, Shortcomings and Needs,
Europe and the Challenge of
Proliferation”, Chaillot Paper, No. 24 (Paris: EU Institute for Security Studies, 1996). Mylonas, Harris dan Emirhan Yorulmazlar, Regional multilateralism: The next paradigm in global affairs, CNN 12 Januari 2012. Nicolson, Harold, Diplomacy, (London: Oxford University Press, 1960). Noi, Aylin Unver,“Iran's Nuclear Programme: The EU Approach to Iran in Comparison to the US‟ Approach”, Perceptions Journal of International Affairs, SAM Center for Strategic Research, (Spring 2005). Nye, Joseph S., Public Diplomacy and Soft Power, (Harvard University, 2008). Official Journal of the European Union, Council Decision 2012/635/CFSP of 15 October 2012, amending Decision 2010/413/CFSP concerning restrictive measures against Iran. Onestini, Cesare, The European Union and global security: is the EU becoming the indispensable partner?, EUC Background Brief No. 11, (April 2014). Overhaus, Marco, European Diplomacy and the Conflict over Iran's Nuclear Program, (2007). P. Bratton, “When Is Coercion Successful ?”, Naval War College Review, Vol. 58, No. 3, (2005). Parsi, Trita, Treacherous Alliance: The Secret Dealings of Israel, Iran and the United States, (Princeton: Yale University Press, 2007). Patterson, Ruairi, “EU Sanctions on Iran: The European Political Context”, Middle East Policy Council, Journal Essay, Vol. XX, No. 1, (2013).
cxxi
Pedatzur, Reuven, “The Iranian Nuclear Threats and the Israeli Options”, Contemporary Security Policy. Vol 28, No 3, (2007). Perthes, Volker, “Ambition and Fear: Iran‟s Foreign Policy and Nuclear Programme”, Survival Journal, Vol. 52 No. 3, (2010). Portela, Clara, "The Role of the EU in the Non-Proliferation of Nuclear Weapons", PRIF Report No.65, (Frankfurt, 2003). Portela, Clara, Impact of Sanctions and Isolation Measures with North Korea, Burma/Myanmar, Iran and Zimbabwe as Case Studies, (European Parliament: Brussels, Mei 2011). Portela, Clara, The Role of the EU in the Non-Proliferation of Nuclear Weapons: The Way to Thessaloniki and Beyond, Peace Research Institute Frankfurt, PRIF Report No. 65. Pullinger, S. dan Gerrard Quille, “The European Union: Seeking Common Ground for Tackling Weapons of Mass Destruction”, Disarmament Diplomacy, No. 74, (Desember 2003). Quille, Gerrard, “The European Security Strategy: A Framework for EU Security Interests?”, International Peacekeeping, Vol.11, No.3, (Autumn 2004). Quille, Gerrard, The Lisbon Treaty and its implications for CFSP/ESDP, European Parliament, (Brussels, 4 February 2008). Quinn, Patton Michael, A Guide To Using Qualitative Research Methodology. Medecins Sans Frontieres, (1990). Renard, Thomas, Partnering for a Nuclear-Safe World: the EU, its Strategic Partners and Nuclear Non-proliferation, European Strategic Partnerships Observatory, Working Paper 3, (Oktober 2013). Renard, Thomas, The European Union: A New Security Actor?, Robert Schuman Centre for Advanced Studies, EUI Working Paper RSCAS 2014/45, (Italia: European University Institute, 2014). Russel, James A., Proliferation of Weapons of Mass Destruction in the Middle East: Directions and Policy Options in the New Century, ( New York: Palgrave, 2006).
cxxii
Sagan, Scott D., “Why do States Build Nuclear Weapons?: Three Models in Search of a Bomb”, International Security, Vol. 21, No. 3. (Winter, 19961997). Satow, Ernest, A Guide to Diplomatic Practice, (London: Longman Greesn & Co), Edisi Keempat. Sauer, Tom, Coercive Diplomacy Revisited: The Iranian Nuclear Weapons Crisis, Chicago, 48th Annual Convention of the International Studies Association (ISA), (Chicago, 28 Februari-4 Maret 2007). Schmidt, Oliver, Understanding & Analyzing Iran’s Nuclear Intentionn - Testing Scott Sagan’s Argument of
“Why do States build Nuclear Weapons”,
Lancaster University, (2008). Schwarz, Klaus-Dieter, The Future of
Deterrence. German Institute for
International and Security Affairs, Stiftung Wissenschaft und Politik (SWP), SWP Research Paper, (Juni 2005). Seth Carus, W., Defining “Weapons of Mass Destruction”, National Defense University, Center for the Study of Weapons of Mass Destruction, January 2012. Smeland, Sean P., “Countering Iranian Nukes: A European Strategy”, The Nonproliferation Review 11, No. 1, (2004). Sorensen, Georg, Liberalism of Restraint and Liberalism of Imposition: Liberal Values World Order in the New Millennium, International Relations, (2006). Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, (Bandung: PT Alumni, 2008). Tarock, Adam, “Iran‟s Nuclear Programme and the West”, Third World Quaterly 27. No. 4. (2006). Tarzi, Amin, “The Role of WMD in Iranian Security Calculation: Danger to Europe”, Middle East Review of International Affairs 8, No. 3. (2004). Telo, Mario, “The EU: A Civilian Power's Diplomatic. Action after the Lisbon Treaty. Bridging Internal Complexity and. International Convergence”, The EU’s Foreign Policy, What Kind of Power and Diplomatic Action? (Ashgate, 2013).
cxxiii
The European Committee, Preventing Proliferation of Weapons of Mass Destruction: The EU Contribution, 13th Report of Session 2004-2005, (London : The Stationery Office Limited, 2005). The European Union Institute for Security Studies, A Secure Europe in a Better World, Brussels, 12 Desember 2003, (Paris: The European Union Institute for Security Studies, 2003). The International Institute for Strategic Studies (IISS), IISS Dossier: Iran’s Strategic Weapons Programmes – a net assessment, Routledge Taylor and Francis Group, (New York, 2005). Tocha, Monica, “The EU and Iran‟s Nuclear Programme: Testing the Limits of Coercive Diplomacy”, EU Diplomacy Papers No. 1, Department of EU International Relations and Diplomacy Studies, (2009). Toje, Asle, “The 2003 European Union Security Strategy: A Critical Appraisal”, European Foreign Affairs Review 10, (2005). U.S. Department of Defense, Unclassified Report on Military Power of Iran, (2012). Ülgen, Sinan dan F. Doruk Ergun, “Establishing a WMD Free Zone in the Middle East”, EDAM Discussion Paper Series 2012/4, (November 2012). United Nations (UN) General Assembly Resolution 1(I), “Establishment of a Commission to Deal with the Problem Raised by the Discovery of Atomic Energy,” January 24, 1946. Valasek Tomas, “The European Union‟s Role in Nonproliferation”, U.S-European Nonproliferation Perspectives, Center for Strategic and International Studies, (2009). van Ham, Peter, The European Union’s Strategy on Weapon of Mass Destruction: From Ambition to Disappointment, (Hague: Netherlands Institute of International Relations „Clingendael‟, 2011). van Ham, Peter, “The European Union‟s WMD Strategy and the CFSP: A Critical Analysis, EU Non-Proliferation Consortium”, Non-Proliferation Papers No. 2, (September 2011).
cxxiv
Wagner, Alex, Bush Labels North Korea, Iran, Iraq an Axis of Evil, Arms Control Association, (2002). Waltz, Kenneth N., "Why Iran Should Get the Bomb", Foreign Affairs 91, No.4 (July/August 2012). Waltz, Kenneth N.,
Theory of International Politics, (McGraw-Hill Higher
Education, 1979). Wolfson, Richard, Nuclear Choices; A Citizen's Guide to Nuclear Technology, (Massachusetts: McGraw-Hill Publishing Company, 1991).
Sumber Internet
A WMD Free Zone in the Middle East (March 2014), Overview of the latest EU official documents and publications of the Consortium regarding the European Union support for a WMD Free Zone in The Middle East, (http://www.nonproliferation.eu/activities/focus/archives/2014/2014-03.php) diakses pada 1 April 2015. Ahouie, Mahdi, Iran’s relationship with China, India and Russia, (2015), (http://www.exploringgeopolitics.org/interview_ahouie_mahdi_iran_relations hip_china_india_russia /) diakses pada 12 Maret 2015. Al Jazeera, 07 Januari 2015, Report Reaffirms Syria Chemical Weapons Use, (http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2015/01/report-reaffirms-syriachemical-weapon-use-201516223545804947.html) diakses pada 2 April 2015. Allison, Graham, Iran Already Has Nuclear Weapons Capability, Foreign Policy, 3 Maret 2015, (http://foreignpolicy.com/2015/03/03/iran-already-has-nuclearweapons-capability/) diakses pada 4 Maret 2015. Arms Control Association, Background and Status of Iran’s Nuclear Program, 2014,
(http://www.armscontrol.org/reports/Solving-the-Iranian-Nuclear-
Puzzel/2014/06/Section_one) diakses pada 20 Februari 2015.
cxxv
Arms Control Association, History of Official Proposals on the Iranian Nuclear Issue,
(http://www.armscontrol.org/factsheets/Iran_Nuclear_Proposals)
diakses pada 1 Mei 2015. Arms Control Association, WMD-Free Middle East Proposal at a Glance, (https://www.armscontrol.org/factsheets/mewmdfz) diakses pada 1 April 2015. Arms Control Associations, Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile
Diplomacy,
(http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron)
diakses pada 1 Mei 2015. BBC, 25 November 2014, Iran nuclear crisis: Can talks succeed?, (http://www.bbc.com/news/world-middle-east-11709428) diakses pada 22 Februari 2014. BBC, 26 Juli 2010, EU Tightens Sanctions Over Iran Nuclear Programme, (http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-10758328) diakses pada 23 April 2013. Beeman, William O., Does Iran Have the Right to Enrich Uranium? The Answer Is Yes, Huffington Post 31 Oktober 2013 (http://www.huffingtonpost.com/william-o-beeman/does-iran-have-the-right_b_4181347.html) diakses pada 20 februari 2015. Bruno, Greg, Iran's Nuclear Program, Council on Foreign Relations, (2010), (http://www.cfr.org/iran/irans-nuclear-program/p16811) diakses pada 19 Februari 2015. Carneggie Endowment for International Peace, Executive Summary: The Iranian Nuclear Crisis, (2012), (http://carnegieendowment.org/2012/06/05/executivesummary-iranian-nuclear-crisis-memoir) diakses pada 26 Februari 2015. Catherine Ashton, the EU Foreign Police Chief, reiterated European readiness to host the seminar in a letter to the IAEA Director General in July of 2010, (http://www.iaea.org/About/Policy/GC/GC54/GC54Documents/English/gc54 -14_en.)
cxxvi
Cendrowicz, Leo, How Should Europe Respond to Iran?, TIME 2 Juli 2009, (http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1908446,00.html) diakses pada 22 April 2014. Center for European Studies, European Union -Common Foreign and Security Policy,
(http://www.unc.edu/depts/europe/conferences/eu/Cfsp/cfsp1.html),
diakses pada 1 April 2015. Chubin, Shahram, The Politics of Iran's Nuclear Program, The Iran Primer (http://iranprimer.usip.org/resource/politics-irans-nuclear-program)
diakses
pada 2 Maret 2015. CNN,
7
November
2013,
Iran's
Nuclear
Capabilities
Fast
Facts,
(http://edition.cnn.com/2013/11/07/world/meast/irans-nuclear-capabilitiesfast-facts/) diakses pada 25 Februari 2015. Common Foreign and Security Policy, (http://www.euintheus.org/what-wedo/policy-areas/foreign-affairs-and-defense/common-foreign-and-securitypolicy/) diakses pada 3 April 2015. Deutsche Welle, Defying West: Iran Opens Nuclear Power Plant With Russian Help, (http://www.dw.de/defying-west-iran-opens-nuclear-power-plant-withrussian-help/a-5928999) diakses pada 3 Maret 2015. Dokumen dipublikasi oleh Council of the European Union in the L series of the Official Journal of the European Union (http://eur-lex.europa.eu/legalcontent/EN/TXT/PDF/?uri=uriserv:OJ.L_.2010.341.01.0027.01.ENG) Donohue, Nathan, Understanding Iran’s Right to Enrichment, CSIS, (2012), (http://csis.org/blog/understanding-irans-right-enrichment) diakses pada 20 Februari 2015. EIFEC,
The
European
Union
(EU)
strengthens
Sanction
on
Iran,
(http://www.exportcompliance.eu/index.php/en/99-latest-news/200-europeanunion-strengthens-sanctions-regulations-for-iran-latest-regulations)
diakses
pada 1 Mei 2014. Elson, Sara Beth dan Alireza Nader, What Do Iranians Think? A Survey of Attitudes on the United States, the Nuclear Program, and the Economy,
cxxvii
(2011),
(http://www.rand.org/pubs/technical_reports/TR910.html)
diakses
pada 3 Maret 2015. Encyclopedia Britannica, Weapon of mass destruction (WMD), 8 November 2014, (http://www.britannica.com/EBchecked/topic/917314/weapon-of-massdestruction-WMD) diakses pada 1 April 2015. Euro
Move
Publications,
EU
Action
on
Iran,
(April
2012)
(http://www.euromove.org.uk/index.php?id=19016) diakses pada 22 April 2014. Europa, Common Foreign and Security Policy, (http://europa.eu/legislation_summaries/institutional_affairs/treaties/amsterda m_treaty/a19000_en.htm) diakses pada 1 April 2015. European Commission, Iran – EU Bilateral Trade and Trade with the World, tersedia di (http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2006/september/tradoc_113392.pdf.) European External Action Service, Sanctions or Restrictive Measures, (http://eeas.europa.eu/cfsp/sanctions/index_en.htm) diakses pada 28 Aprilo 2015. European Union External Action, Instrument for Nuclear Safety Co-operation, (http://eeas.europa.eu/nuclear_safety/index_en.htm) diakses pada 22 April 2014. European
Union
External
Action,
The
European
Union
and
Iran,
(http://eeas.europa.eu/iran/index_en.htm) diakses pada 24 April 2014. European Union, Council of the European Union, (http://europa.eu/abouteu/institutions-bodies/council-eu/index_en.htm) diakses pada 2 April 2015. Fathi, Nazila, Iran's Leader Stands by Nuclear Plans; Military to Hold Exercises, The New York Times 22 Januari 2007, (http://www.nytimes.com/2007/01/22/world/middleeast/22iran.html?pagewan ted=print) diakses pada 17 Februari 2015. Fisher, Max, The Real Reasons Iran is so Committed to its Nuclear Program, Vox 25 Februari 2015, (http://www.vox.com/2015/2/25/8101383/iran-nuclearreasons) diakses pada 28 Februari 2015.
cxxviii
Foreign Policy Initiative, Timeline on Diplomacy and Pressure on Iran's Nuclear Program,
(http://www.foreignpolicyi.org/content/timeline-diplomacy-and-
pressure-irans-nuclear-program) diakses pada 1 Mei 2015. Fuhrmann, Matthew,
America's Role in Helping Iran Develop its Nuclear
Program, (2012), (http://www.theatlantic.com/international/archive/2012/07/americas-role-inhelping-iran-develop-its-nuclear-program/260334/) diakses pada 12 Maret 2015. Giannoulis, Karafillis, EU wants the establishment of a Middle East WMD Free Zone, New Europe 2 Juli 2013, (http://www.neurope.eu/article/eu-wantsestablishment-middle-east-wmd-free-zone) diakses pada 1 April 2015. Global Security, Bushehr – Background, (http://www.globalsecurity.org/wmd/world/iran/bushehr-intro.htm)
diakses
pada 12 Maret 2015. Hallinan, Conn, The Question of Enrichment: Iran and the Non-Proliferation Treaty, (2013), (http://www.counterpunch.org/2013/12/05/iran-and-the-nonproliferation-treaty/) diakses pada 20 februari 2015. International Atomic Energy Agency, Communication dated 12 September 2005 from the Permanent Mission of the Islamic Republic of Iran to the Agency, (www.iaea.org). International Institute for Strategic Studies (IISS), Iran’s Nuclear, Chemical, and Biological
Capabilities:
A
Net
Assessment,
(2011),
(https://www.iiss.org/en/publications/strategic%20dossiers/issues/iran--39-snuclear--chemical-and-biological-capabilities--a-net-assessment-44f8) diakses pada 19 Februari 2015. Iranian Student News Agency, Iran to Declare Good News on Centrifuges to be Used in New Site: AEOI, (2010), (http://dsrc.ir/En/news/view.aspx?nid=3673) diakses pada 17 Februari 2015. Lake, Eli, Iran’s nuclear program helped by China, Russia, The Washington Times, 5 Juli 2011, (http://www.washingtontimes.com/news/2011/jul/5/irans-
cxxix
nuclear-program-helped-by-china-russia/?page=all) diakses pada 13 Maret 2015. Lewis, Barbara, Tougher EU Sanctions against Iran Come into Force, Reuters, 22 Desember
2012,
(http://www.reuters.com/article/2012/12/22/us-eu-iran-
sanctions-idUSBRE8BL04L20121222) diakses pada 1 Mei 2015. Milani, Abbas, The Shah’s Atomic Dreams, Foreign Policy 29 Desember 2010, (http://foreignpolicy.com/2010/12/29/the-shahs-atomic-dreams/) diakses pada 20 Februari 2015. Mohebali, Pupak dan Tyler Cullis, Support for Nuclear Talks Strong Among Iranians, But Concerns Linger, National Iranian American Council, (2014), (http://www.niacouncil.org/support-nuclear-talks-strong-among-iraniansconcerns-linger/) diakses pada 3 Maret 2015. Murphy, Brian, Iran Nuclear Program: Ahmadinejad Promises Country Will Not Retreat, Huffington Post 9 November 2011, (http://www.huffingtonpost.com/2011/11/09/iran-nuclear-programahmadinejad_n_1083398.html) diakses pada 28 Februari 2015. Nuclear Energy, History: Post-Revolution Endeavors, (http://nuclearenergy.ir/history/) diakses pada 5 Maret 2015. Nuclear Threat Initiative, Iran: Nuclear, terakhir diperbarui pada tahun 2015, (http://www.nti.org/country-profiles/iran/nuclear/) diakses pada 21 Februari 2015 Politics.co.uk, Common Foreign and Security Policy, (http://www.politics.co.uk/reference/common-foreign-and-security-policy) diakses pada 3 April 2015. Posch, Walter, Iran and the European Union, United States Instutites of Peace: The
Iran
Primer,
(http://iranprimer.usip.org/resource/iran-and-european-
union) diakses pada 23 April 2014. Protocol for the Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of
Bacteriological Methods of Warfare (1925 Geneva
Protocol),
cxxx
(http://www.diplomatie.gouv.fr/traites/affichetraite.do?accord=TRA1925000 1) Sahimi,
Muhammad,
Iran’s
Nuclear
Program,
Iran
News,
(2003),
(www.payvand.com) diakses pada 25 Februari 2015. Sahimi, Muhammad, Iran Has a Right to Enrich- And America Already Recognized It, 2013, (http://nationalinterest.org/commentary/iran-has-rightenrich%E2%80%94-america-already-recognized-it-9425) diakses pada 20 Februari 2015. Sanger, David E. dan William J. Broad, A Defiant Iran Vows to Build Nuclear Plants, New York Times, 30 November 2009, (http://www.nytimes.com/2009/12/01/world/middleeast/01iran.html?pagewan ted=all&_r=0) diakses pada 21 Februari 2015 Statement: Secretary-General's remarks to the Security Council on the report of the United Nations Missions to Investigate Allegations of the Use of Chemical Weapons on the incident that occurred on 21 August 2013 in the Ghouta area of Damascus (http://www.un.org/sg/statements/index.asp?nid=7083) diakses pada 2 April 2015. Takeyh, Ray, Iranian reformers oppose government's nuclear ambitions, Los Angeles Times, 7 Januari 2015, (http://www.latimes.com/opinion/op-ed/laoe-takeyh-iranian-left-20150108-story.html) diakses pada 4 Maret 2015. Tehran
Times,
27
November
2008,
Iran
Is
A
Regional
Power,
(http://www.tehrantimes.com/index_View.asp?code=183457) diakses pada 27 Februari 2015. The
1995
NPT
Conference
Resolution
on
the
Middle
East,
(http://www.un.org/disarmament/WMD/Nuclear/1995NPT/pdf/Resolution_MiddleEast.) The European Council, Qualified majority: A new rule from 1 November 2014, (http://www.consilium.europa.eu/en/council-eu/voting-system/qualifiedmajority/) diakses pada 2 April 2015
cxxxi
The Guardian, 10 Februari 2013, Mahmoud Ahmadinejad says Iran ready for nuclear talks with US, (http://www.theguardian.com/world/2013/feb/10/mahmoud-ahmadinejadiran-nuclear-talks-us) diakses pada 27 Februari 2015. The Robert S. Strauss Center, Early US-Iran Relation, (https://strausscenter.org/hormuz/u-s-iran-relations.html) diakses pada 17 Maret 2015. U.S. Energy Information Administration, Iran, (http://www.eia.gov/countries/country-data.cfm?fips=IR) diakses pada 28 April 2015. U.S. Energy Information Administration, Sanctions Reduced Iran’s OilEexports and Revenues in 2012, (http://www.eia.gov/todayinenergy/detail.cfm?id=11011) diakses pada 28 Apil 2015. Uluslararasi Politika Akademisi, Nuclear Program of The Islamic Republic of Iran: A Comparison on Khomeini and Ahmadinejad Terms, (2012), (http://politikaakademisi.org/nuclear-program-of-the-islamic-republic-of-irana-comparison-on-khomeini-and-ahmadinejad-terms/) diakses pada 2 Maret 2015. Wall Street Journal, 3 Oktober 2009, German Firms Feel Pressure Over Tehran Trade, (http://online.wsj.com/articles/SB125453243290661095) diakses pada 2 November 2014.
cxxxii