PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA SEBAGAI UPAYA PROMOTIF DAN PREVENTIF DALAM RANGKA MENYELAMATKAN GENERASI MUDA INDONESIA, REMAJA HARAPAN MASA DEPAN BANGSA Ratna Dian Kurniawati STIKES Bhakti Kencana Bandung
[email protected]
ABSTRAK Pergaulan bebas yang seringkali terjadi tanpa disertai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang baik merupakan suatu kondisi yang sangat menyedihkan dan membahayakan. Lembaga-lembaga keluarga, lembaga masyarakat seperti sekolah, organisasi kemasyarakatan remaja dan orangtua, serta organisasiorganisasi yang memang siap bergerak dalam bidang pendidikan kesehatan reproduksi, diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dan mutunya untuk bisa membantu setiap remaja menyadari pentingnya mengetahui masalah kesehatan reproduksi, makin menghayati, serta bisa menjaga diri untuk menghindari sikap dan tingkah laku yang merugikan diri sendiri serta masa depan keluarganya. Perkembangan perilaku reproduksi atau perilaku seks remaja dalam suatu masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor sosial. Masuknya kebudayaan yang merubah tata nilai, antara lain disebabkan oleh komunikasi global dan perubahan/inovasi teknologi. Setiap bentuk perilaku memiliki makna tertentu yang ditujukan untuk kebutuhan tertentu. Remaja dapat memiliki variasi perilaku yang ditujukan untuk tujuan hidup yang beragam. Kata Kunci : Pendidikan kesehatan reproduksi, remaja, perilaku ABSTRACT Promiscuity that often occurs without the knowledge of Good reproductive health is a condition that is very sad and dangerous. Institutions of family, community institutions such as schools, youth organizations and parents, and organizations that are ready to move in the field of reproductive health education, is expected to increase capacity and quality to be able to help each youth realize the importance of knowing the reproductive health problems, more appreciate, and can take care of yourself to avoid attitudes and behaviors that harm themselves and their future family. The development of reproductive behavior or adolescent sexual behavior in a society is determined by various social factors. The entry of the changing cultural values, among other things caused by global communications and change / innovation technology. Any form of behavior has a specific meaning intended for specific needs. Teenagers can have a variety of behaviors that are designated for the purpose of life is diverse. Keyword : Reproductive health education, teenager, behavior
PENDAHULUAN Beberapa fakta penelitian mengenai kurangnya pendidikan tentang kesehatan reproduksi remaja cukup me ngejutkan. Hasil penelitian seks pranikah suatu lembaga di kota Yogya yang menyatakan 97,05% mahasiswi dari 1.660 responden telah melakukan hubungan seks pranikah. Paparan itu membuat banyak kalangan mempertanyakan detail hasil dan validitas penelitian, serta menjadi polemik di kalangan pendidik, keluarga dan kaum agama. Penelitian Faturochman (1989) di Kabupaten Tabanan dan Bandung di Bali, menyatakan 4,9% dari 324 remaja pernah berhubungan seks pranikah. Kemudian Pusat Penelitian Kependudukan, UGM (1991) mengungkapkan, 26,6% dari 151 remaja pria dan 146 perempuan antara 1421 tahun di Manado melakukan perilaku seks pranikah. Lembaga Konselor Sahabat Remaja di Medan melaporkan data tahun 1990 ada 80 remaja usia 14-24 tahun hamil sebelum menikah. (Tempo, 28 September 1991). Dampak dari kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi mengakibatkan dunia harus menampung tidak
kurang dari 7.000 kasus baru HIV yang separuhnya adalah remaja. Pada umumnya Virus HIV menyebar karena sikap, pengetahuan, ketidakpedulian, dan hubungan seks yang bersifat heteroseksual. Padahal, pada akhir tahun 2001 tidak kurang dari 11,8 juta remaja usia 15-24 tahun sedang mengidap Virus HIV dan penyakit AIDS yang hampir tidak bisa disembuhkan. Di Asia Selatan dan Asia Tenggara terdapat sekitar 5,6 juta penderita HIV/AIDS. Sekitar 780.000 orang terkena infeksi baru Virus itu setiap tahunnya. India, sebagai salah satu negara yang berpenduduk terbesar di Asia, biarpun mempunyai angka prevalensi yang kecil, yaitu sekitar 7 setiap 1.000 orang penduduk, tetapi jumlah penderitanya sudah mencapai 3,7 juta orang, atau nomor dua setelah Afrika Selatan. HIV hanyalah salah satu akibat dari sikap ketidakpedulian dan kurangnya pengetahuan tentang reproduksi remaja. Masih banyak masalah lain yang segera memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh.
50
Bhakti Kencana Medika, Volume 1, No. 2, Juli 2011, hal 50 - 56
Upaya mempelajari kesehatan reproduksi remaja, membentengi diri dengan ketahanan yang tinggi dan menghindari sikap dan tingkah laku reproduksi yang merugikan dirinya perlu ditumbuhkan. Para remaja, baik laki-laki maupun perempuan, lebih banyak bergaul, belajar dan bekerja bersama dengan akrab di sekolah, mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Mereka bergaul dalam kurun waktu yang lama, bisa sampai seperempat abad. Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo tahun 1994 mengemukakan, masyarakat Indonesia sudah makin menjadi masyarakat perkotaan dengan ciri-ciri modern, penuh kebebasan dalam pergaulan dan kebebasan mengatur dirinya sendiri. Selama masa pergaulan yang demikian panjang, anakanak mengalami perubahan-perubahan, mulai dari lingkungan yang ada di sekelilingnya, atau di dalam diri dan tubuh mereka, di dalam pikiran mereka, dan tentu saja dalam aspirasi yang makin luas dengan segala implikasinya. Karena perubahan-perubahan itu, sikap reproduksi dan hubungan mereka sebagai teman sebaya pun berubah Persahabatan yang semula biasa-biasa saja, makin lama bisa diikuti oleh perkembangan sikap dan motivasi reproduksi. Pertumbuhan dan perkembangan itu seharusnya segera diikuti oleh pemberdayaan yang lugas tentang reproduksi. Akan tetapi pada kenyataannya para remaja itu belajar masalah reproduksi dari teman-temannya sendiri dengan tingkat akurasi yang rendah. Orangtua di rumah tidak siap menjadi guru untuk anak-anak remajanya. Informasi yang bisa diberikan kepada remaja mereka juga tidak akurat. Ketidakpekaan terhadap masalah akan menimbulkan seperti bom waktu.. Kini kita tidak boleh lagi pura-pura tidak tahu, karena kita tahu bahwa remaja tidak belajar reproduksi sehat dari keluarganya, tidak juga belajar di sekolahnya, dan tidak juga belajar dari lembaga-lembaga lain yang ada atau yang diadakan oleh masyarakat. Kenapa, karena memang kewajiban untuk itu tidak ada, dan karena lembaga untuk pembelajaran reproduksi itu, denganberbagai alasan, tidak ada atau tidak diadakan. Sekolah-sekolah tidak berani mengadakan pelajaran tentang reproduksi karena takut dituduh memberikan advokasi atau pendidikan tentang masalah seks. Masyarakat tidak berani membentuk lembaga yang memberikan pelajaran reproduksi karena takut dituduh mengadakan pendidikan tentang masalah seksual kepada anak-anak remaja. Seiring dengan kemajuan ilmu dan tehnologi, media massa, tv, surat kabar dan majalah, pusat-pusat hiburan, dan banyak tontonan lain, memberikan ekspos cerita dan gambar-gambar yang berbau seks dengan cara keji dan merangsang. Anak-anak muda yang bergaul demikian lama dengan sesamanya mudah terangsang. Tanpa adanya pengertian dan pengetahuan yang memadai, dengan mudah bisa terjadi kecelakaan reproduksi berupa kehamilan sebelum pernikahan, menjalarnya penyakit kelamin, HIV/ AIDS, dan atau kecelakaan reproduksi lainnya. Perubahan perilaku seks pranikah remaja tidak terlepas dari pertama, hasil percontohan (modeling). Salah satunya adalah terbukanya akses iformasi seksual, dimana informasi dapat diperoleh melalui media elektronika seperti siaran televisi, video, LCD, VCD dan media cetak bahkan teknologi modern: internet. Baru-baru ini ruang publik dihebohkan dengan video berantai mirip artis
idola remaja saat ini. Yang tentu saja dampaknya sangat mengerikan. Berbagai tindakan kekerasan seksual terjadi di berbagai penjuru tanah air karena terjadi peniruan perilaku reproduksi yang tidak tepat. Kedua, adanya anggapan informasi seks hanya menjadi otoritas kaum dewasa dan bukan anak-anak dan remaja, sehingga seks yang hadir dalam kehidupan remaja tidak dikenal secara utuh dan terpotong-potong. Hal ini akan memicu rasa keingintahuan yang mendalam dan mencoba mencari kepuasan lewat eksplorasi yang salah. Hal ini ditambah lagi, tidak memungkinkan untuk membicarakan seks secara terbuka dalam keluarga karena adanya rasa “tabu”. “Belum saatnya buat anak kecil, ini untuk orang dewasa,” begitu kilah orangtua. Ketiga, bisa jadi perubahan perilaku seks di kalangan remaja Indonesia, karena dengan munculnya sikap permisif terhadap hubungan seks pranikah sebagai “gugatan” dibombardirnya remaja oleh konsumerisme global yang semakin meluas. Keadaan ini dipicu pula oleh berbagai macam tayang an, terbitan media cetak dan elektronik pasca reformasi sehingga memunculkan gaya hidup baru menuju perilaku seks bebas serta adanya kegagalan negara dalam mere konstruksi “pagar” muatan moralis di sekat-sekat wadah yang bernama keluarga. Hal hal tersebut di atas seakan menjadi pencetus beberapa fakta mengenai aborsi yang akhir-akhir ini menunjukkan jumlah yang cukup mengagetkan. Budi Utomo dan kawan-kawan dalam penelitiannya di 10 kota besar dan 6 kabupaten, menemukan bahwa pertahun terdapat 2 juta kasus aborsi, atau 37 aborsi per 1000 perempuan usia 15-49 tahun, atau 43 aborsi per 100 kelahiran hidup, atau 30% kehamilan.3 Sebuah klinik di Jakarta memperkirakan rata-rata terdapat sekitar 100-500 pasien yang meminta aborsi di klinik tersebut setiap bulannya. Sementara WHO memperkirakan, di Asia Tenggara 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya dan Indonesia berkontribusi sekitar 750.000 sampai 1.500.000 kasus. Dari jumlah tersebut 2.500 di antaranya berakhir dengan kematian. Dari sisi perbandingan jumlah aborsi di kota dan desa hampir sama. Kasus aborsi di perkotaan dilakukan secara diam-diam oleh tenaga kesehatan, sebanyak 73 %. Sedangkan di pedesaan sebagian besar dilakukan secara diam-diam oleh dukun, sebanyak 84%. Aborsi yang dilakukan secara diam-diam inilah yang menempatkan perempuan harus menanggung resiko tidak adanya perlindungan pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, termasuk bila terjadi kematian karena komplikasi perdarahan dan infeksi. Bertitik tolak dari fakta tersebut di atas, kita harus berpikir lebih arif dan jernih. Kita harus mengambil langkahlangkah strategis mempersiapkan anak-anak muda dengan pengetahuan yang mendalam tentang masalah-masalah reproduksi. Setiap keluarga harus mempunyai komitmen yang tinggi terhadap masalah reproduksi agar tingkat kematian ibu karena mengandung dan melahirkan dapat segera diturunkan. Pemerintah dan masyarakat harus bahu membahu mempersiapkan diri untuk itu. Dengan demikian, program-program dukungan untuk menyelamatkan reproduksi generasi muda dapat dikembangkan dengan lebih baik tanpa harus menunggu sampai keadaannya separah keadaan di Afrika.
Ratna Dian K., Pendidikan Kesehatan Reproduksi....
REMAJA DAN KESEHATAN REPRODUKSI Ada beberapa definisi mengenai remaja, Hurlock dalam bukunya Psikologi Perkembangan mendefinisikan masa remaja sebagai masa penuh kegoncangan, taraf mencari identitas diri dan merupakan periode yang paling berat (Hurlock, 1993). Zakiah Darajad mendefinisikan remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari anak-anak menuju dewasa, meliputi semua perkembang an yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewa sa (Darajad, 1990). Hasan Bisri dalam bukunya Remaja Berkualitas, mengartikan remaja adalah mereka yang telah meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan dan menuju masa pembentukan tanggung jawab (Bisri, 1995). Pada masa ini fisik maupun psikis remaja berkembang sangat pesat. Secara fisik remaja telah menyamai orang dewasa, tetapi secara psikologis mereka belum matang sebagaimana yang dikemukakan oleh Calon (1953) masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan karena remaja belum memiliki status dewasa tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak (Monsk, 2002). Perkembangan fisik dan psikis menimbulkan kebingungan di kalangan remaja sehingga masa ini disebut oleh orang barat sebagai periode sturm und drung dan akan membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja. Lebih jelas pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja secara lebih konseptual, sebagai berikut (Sarwono, 2001): Remaja adalah suatu masa individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tandatanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Menurut Powel, masa remaja digolongkan pre adolescence, from ten to twelve years; early adolescence from thirteen to sixteen, and late adolescence, from seventeen to twenty one years (Mulyono, 1995). Sedang WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja (Sarwono, 1995). Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001). Perkembangan yang dimaksud adalah perkembangan fisik yaitu perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001). Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).
PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI UNTUK REMAJA Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya (Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan, 1994). Pada Konferensi Kependudukan Dunia 1994, senada dengan adanya gerakan Hak-hak Azasi Manusia dan Pengembangan Sumber Daya Manusia yang berkualitas, untuk pertama kalinya para ahli Kependudukan Dunia mulai bicara tentang reproduksi. Pembicaraan tentang reproduksi muncul karena mereka ingin agar para remaja dapat mengambil pilihan reproduksi pribadi yang sehat dan bertanggung jawab untuk masa depannya, masa depan bangsanya, dan masa depan umat manusia. Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, sejalan dengan anjuran untuk mengatur reproduksi sesuai dengan prinsip-prinsip penghargaan atas harga diri manusia dan kebebasan melaksanakan hak-hak reproduksi pribadi yang bebas dari tekanan, para wakil dari 180 negara sepakat mengurangi resiko reproduksi remaja dan menganjurkan pendidikan seks dan informasi tentang reproduksi, khususnya tentang HIV/AIDS bagi mereka yang terkena infeksi maupun yang tidak, khususnya bagi para remaja. Realitanya perilaku seks yang tidak sehat nyaris setiap hari hilir mudik semakin marak ditayangkan oleh media elektronik dan media cetak. Realitas yang lain, remaja membaca dan mendengar tentang orangtua yang berhubungan seks di luar perkawinan yang sah (adanya WIL atau PIL). Juga informasi adanya “oknum” pendidik yang melakukan pemaksaan seksual pada anak didiknya, atau yang paling parah adalah orangtua yang berhubungan seks dengan anak kandungnya sendiri. Proses alur rangsangan yang diterima remaja semakin diperparah lagi dengan tidak ada atau minimnya informasi berupa kesehatan reproduksi yang betul dan benar yang bisa diterima oleh remaja, baik itu melalui institusi keluarga, pendidikan dan kalangan agama. Belajar dari hasil penelitian yang ada dan bayangan perilaku seksual remaja yang tidak terdeteksi, diperlukan suatu konsep atau kertas kerja yang bisa digulirkan dan dipertanggungjawabkan. Bisa jadi perlu digagas adanya pendidikan kesehatan reproduksi sehat bagi remaja di sekolah dan keluarga. Pembongkaran dan penataan perilaku seks remaja tidak sehat menuju perilaku seks sehat dan bertanggungjawab harus segera dilakukan dan ditindaklanjuti dengan melibatkan banyak pihak seperti pendidik, petugas kesehatan, psikolog, agamawan, orangtua dan aktivis LSM yang konsen di kesehatan reproduksi remaja. Pendampingan-pendampingan akan sosialisasi informasi perilaku seks yang sehat dan betul bagi remaja sudah saatnya dilaksanakan secara terbuka dan metode belajar demokratis (peer group) dari remaja, oleh remaja dan untuk remaja merupakan salah satu metode yang perlu diimplementasikan. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja bisa meliputi sebagian kecil dari pengetahuan tentang alat reproduksi dan fungsinya, mitos-mitos yang berkaitan dengan seksualitas, perilaku seksual serta penyakit menular seksual seperti sifilis, gonore, herpes genitalis dan HIV/AIDS.
Bhakti Kencana Medika, Volume 1, No. 2, Juli 2011, hal 50 - 56
Langkah lanjut, diperlukan dukungan nyata akan upayaupaya yang telah dimulai seperti yang diimplementasikan oleh sebuah SLTP di Kota Kendal, institusi pendidikan formal yang telah memasukkan kesehatan reproduksi menjadi materi muatan lokal yang diajarkan di kelas II dan III, seminggu satu jam pelajaran (Suara Merdeka, 3 Agustus 2002). Akhirnya, pendidikan kesehatan reproduksi remaja bukan hanya angan semata untuk diberikan dan diinformasikan sesuai dengan tugas perkembangannya. Apakah masih ada remaja yang tidak tahu akan kesehatan reproduksinya? Pertanyaan ini semakin meluas manakala melihat fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan remaja. Salah satu kehidupan remaja adalah memiliki waktu dan kesempatan yang besar untuk dapat mengakses informasi akan seks karena berhubungan dengan perkembangan reproduksinya. Remaja masih memiliki banyak waktu untuk mengembangkan cara berpikir, serta memantapkan konsep dari teori menjadi praksis termasuk dalam berperilaku seks yang sehat dan bertanggungjawab. Oleh karenanya, pengaburan dan pemotongan informasi seks di kalangan remaja akan membuat remaja mengalami kebingungan. Perlunya remaja, untuk mengetahui secara benar dan betul informasi kesehatan reproduksi merupakan langkah awal munculnya adanya generasi muda yang berperilaku seks sehat yang bertanggungjawab. Tujuan dari pendidikan kesehatan reproduksi adalah menumbuhkan kesadaran akan perlunya menjaga kesehat an organ reproduksi dan perlunya membina relasi seksual yang sehat. Jadi, selama cara dan materi yang disampaikan tepat, maka banyak manfaat yang akan didapat. Manfaat yang dapat diperoleh antara lain adalah mengajarkan anak untuk berperilaku sesuai gendernya, pengenalan organ tubuh, bagaimana merawat dan menjaga kebersihan organ reproduksinya, bagaimana melindungi diri dari pelecehan seksual, memberi pengertian tentang konsekuensi dari setiap prilaku seksual, membantu pengambilan keputusan yang matang dalam masalah seksual yang muncul. Kebutuhan akan pendidikan kesehatan reproduksi saat ini sangat penting karena permasalahan remaja kian kompleks dan memprihatinkan. Penanganan masalah ini tidak dapat dilakukan oleh orangtua atau pemerintah saja namun perlu kerjasama dari berbagai pihak yang peduli terhadap permasalahan tersebut, yaitu orangtua, guru dan lembaga lainnya. Pemberian pendidikan kesehatan reproduksi bukan berarti membuka peluang untuk perilaku seks bebas melainkan lebih menekankan mengenai perbedaan lelaki dan perempuan secara seksual, kapan terjadi pembuahan, apa dampaknya jika berperilaku seks tanpa dilandasi tanggung jawab termasuk risiko terkena infeksi menular seksual. Dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan, kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat, sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan dan kesehatan, berkaitan erat. Anak yang sehat bisa belajar dengan baik. Sebaliknya, pendidikan mendukung tercapainya peningkatan status kesehatan. Pembinaan kesehatan di sekolah dipandang merupakan strategi yang tepat, mengingat sebagian besar waktu anak sekolah dihabiskan di sekolah dan sepertiga pen-
duduk Indonesia adalah anak usia sekolah. Pendidikan kesehatan reproduksi sepatutnya diberikan sejak anak di sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Masalah reproduksi perlu dibicarakan secara terbuka, sehingga anak dan remaja memahami bagaimana organ seksual bekerja, tidak panik lagi jika mengalami menstruasi pertama bagi perempuan, dan mimpi pertama bagi laki-laki. Pendidikan kesehatan reproduksi diperlukan agar anak dan remaja lebih berhati-hati menjaga kesehatannya, karena pada saat itu secara biologis mereka dewasa, namun secara psikologis dan sosial, belum. PANDANGAN ISLAM MENGENAI PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA Pendidikan kesehatan reproduksi di dalam Islam, merupakan bagian integral dengan pendidikan aqidah, akhlak dan ibadah. Pendidikan kesehatan reproduksi dalam Islam tidak bisa lepas dari ketiga unsur tersebut agar tidak menimbulkan kesesatan dan penyimpangan dari tujuan asal. Dimana tujuan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak tidak lepas dari pengabdian kita kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi tersebut tidak bolah menyimpang dari tuntutan syariat Islam. Pendidikan kesehatan reproduksi termasuk bagian dari pendidikan akhlak. Bentuk perilaku kesehatan reproduksi yang sehat merupakan cerminan dari akhlak yang mulia yang ada karena keimanan yang lurus dan kokoh. Oleh karena itu, keimanan yang kokoh sebenarnya yang mampu mengarahkan perbuatan kesehatan reproduksi menjadi suci dan terhormat. Pendidikan kesehatan reproduksi dapat diberikan kepada anak, manakala pendidikan kesehatan reproduksi tersebut berisi pengajaran-pengajaran yang mampu mendidik anak, sehingga lebih mengimani, mencitai, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di antara pokok-pokok pendidikan kesehatan reproduksi yang bersifat praktis, yang perlu diterapkan dan diajarkan kepada anak adalah : 1. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak lakilaki dan jiwa feminitas pada anak perempuan. Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan wanita mempunyai perbedaan yang mendasar. Adanya perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun perbedaan tersebut semata-mata karena fungsi yang kelak akan diperankannya. Islam menghendaki agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin, dan perempuan memiliki kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-laki, begitu juga sebaliknya. Dari Ibnu Abbas ra berkata, “Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang berlagak wanita, dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. Dalam riwayat yang lain: “Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang meniru wanita dan wanita yang meniru laki-laki”. (HR. Bukhari). 2. Mengenalkan Mahramnya Tidak semua wanita berhak dinikahi oleh seorang lakilaki. Siapa saja wanita yang diharamkan dan siapa yang dihalalkan, semuanya ini telah ditentukan oleh syariat islam
Ratna Dian K., Pendidikan Kesehatan Reproduksi....
agar ditaati. Dengan memahami kedudukan wanita yang menjadi mahram, diupayakan agar anak mampu menjaga pergaulan sehari-harinya dengan selain wanita yang menjadi mahramnya tersebut. Hal ini merupakan salah satu bagian terpenting dikenalkannya kedudukan orang-orang yang haram dinikahi dalam pendidikan kesehatan reproduksi anak. Islam mengharamkan incest, yaitu pernikahan yang dilakukan antara saudara kandung atau mahramnya. Siapa saja mahram tersebut, Allah SWT telah menjelaskan dalam Surat An-Nisa : 22-23. 3. Mendidik agar selalu menjaga pandangan mata Telah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Fitrah tersebut harus dikendalikan, supaya tidak merusak kehidupan manusia itu sendiri. Sebagai contoh mata yang dibiarkan melihat gambargambar atau film yang mengandung unsur pornografi. “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beri man,“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (An-Nur:30) “Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya”. (An-Nur:31). 4. Mendidik agar tidak berikhtilat Ikhtilat adalah baurnya laki-laki dan perempuan bu kan mahram. Perbuatan semacam ini pada masa sekarang merupakan perbuatan yang sudah dianggap biasa. Mere ka bebas mengumbar pandangan, saling berdekatan dan bersentuhan. Seolah tidak ada lagi batas yang ditentukan syara guna mengatur interaksi diantara mereka. Ikhtilat dilarang, karena bisa sebagai perantara kepada perbuatan zina yang diharamkan Islam. Bila ikhtilat dibiarkan, maka pintu-pintu kemaksiatan pun akan terbuka lebar. Dan akan membawa dampak kepada kerusakan kehidupan manusia. Islam tidak melarang seorang wanita beraktivitas demi kemaslahatan umat. Namun tentunya harus memerhatikan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan Allah dan Rasul-Nya, seperti tidak menampakkan aurat, menundukkan pandangan, dsb. 5. Mendidik agar tidak berkhalwat Khalwat adalah apabila seorang laki-laki dan wanita bukan mahramnya, berada di suatu tempat, hanya berdua saja. Dan biasanya memilih tempat yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Sebagaimana ikhtilat, khalwatpun merupakan perantara bagi terjadinya perbuatan zina. Rasulullah SAW bersabda “Hindarilah khalwat (berdua-duaan) dengan wanita. Demi diriku yang berada di tanganNya, tiadalah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, kecualisyaitan menyelusup diantara keduanya”. (HR. Thabrani). 6. Mendidik etika berhias Berhias adalah usaha untuk memperindah atau mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan. Berhias, jika tidak diatur secara islami akan menjerumuskan sese orang pada perbuatan maksiat dan dosa.
PERAN ORANGTUA Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja terdiri dari faktor di luar individu dan faktor di dalam individu. Faktor di luar individu adalah faktor lingkungan di mana remaja tersebut berada; baik itu di lingkungan keluarga, kelompok sebaya (peer group), dan lingkungan sekitar. Sedang faktor di dalam individu yang cukup menonjol adalah sikap permisif dari individu yang bersangkutan. Sementara sikap permisif ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Orangtua wajib memberikan bimbingan dan arahan kepada anak. Nilai-nilai agama yang ditanamkan orangtua kepada anaknya sejak dini merupakan bekal dan benteng mereka untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Agar kelak remaja dapat membentuk rencana hidup mandiri, disiplin dan bertanggung jawab, orangtua perlu menanamkan arti penting dari pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah, di luar sekolah serta di dalam keluarga. 1. Orangtua sebagai pendorong Pada masa transisi, remaja sering membutuhkan do rongan dari orangtua. Terutama saat mengalami kegagalan yang mampu menyurutkan semangat mereka. Pada saat itu, orangtua perlu menanamkan keberanian dan rasa percaya diri remaja dalam menghadapi masalah, serta tidak gampang menyerah dari kesulitan. 2. Orangtua sebagai anutan Remaja memerlukan panutan di lingkungannya. Orangtua harus bisa menjadi contoh dan teladan, baik dalam menjalankan nilai-nilai agama maupun norma yang berlaku di masyarakat. Peran orangtua yang baik akan mempengaruhi kepribadian remaja. 3. Orangtua sebagai pengawas Merupakan kewajiban bagi orangtua untuk melihat dan mengawasi sikap dan perilaku remaja agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan salah. Pengawasan yang dilakukan hendaknya dengan cara-cara pendekatan yang baik sehingga remaja tidak akan merasa terintimidasi. 4. Orangtua sebagai teman Remaja pada masa transisi memerlukan pendekatan dengan sabar. Ciptakan dialog yang hangat dan akrab, jauh dari ketegangan atau ucapan yang disertai cercaan. Remaja akan merasa aman dan terlindungi, apabila orangtua dapat menjadi sumber informasi, serta teman yang dapat diajak bicara atau bertukar pendapat tentang kesulitan atau masalah mereka. 5. Orangtua sebagai konselor Peran orangtua sangat penting dalam mendampi ngi remaja, ketika menghadapi masa-masa sulit dalam mengambil keputusan bagi dirinya. Orangtua dapat memberikan gambaran dan pertimbangan nilai yang positif dan negatif, sehingga mereka mampu belajar mengambil keputusan tebaik. Selain itu orangtua juga perlu memiliki kesabaran tinggi serta kesiapan mental yang kuat mengha dapi segala tingkah laku mereka, terlebih lagi seandainya
Bhakti Kencana Medika, Volume 1, No. 2, Juli 2011, hal 50 - 56
remaja sudah melakukan hal yang tidak diinginkan . Sebagai konselor, orangtua dituntut untuk tidak menghakimi, tetapi dengan jiwa besar justru harus merangkul remaja yang bermasalah tersebut. 6. Orangtua sebagai komunikator Suasana harmonis dan saling memahami antara orangtua dan remaja, dapat menciptakan komunikasi yang baik. Orangtua perlu membicarakan segala topik secara terbuka tetapi arif. Menciptakan rasa aman dan telindung bagi untuk membicarakan masalahnya secara terbuka. Dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, maka keluarga mempunyai peran dalam melakukan pembinaan anak remaja sebagai salah satu upaya mengantarkan anak remajanya tuntuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, mandiri, berkepribadian yang sehat rohani dan jasmani. PERAN LEMBAGA PENDIDIKAN Bina Keluarga Remaja (BKR) yang merupakan program khusus BKKBN adalah kegiatan yang dilakukan oleh keluarga dalam bentuk kelompok dimana orangtua mendapatkan informasi dalam meningkatkan bimbingan dan pembinaan tumbuh kembang anak dan remaja secara
baik dan terarah dengan dibantu oleh fasilitator dan kader dengan tujuan untuk meningkatkan rasa tanggung jawab orangtua terhadap kewajiban membimbing, membina serta meningkatkan pengetahuan anak dan remajanya baik fisik maupun non fisiknya melalui komunikasi yang harmonis, sehat dan bermakna dalam suasana kehidupan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Strategi program yang bisa dikembangkan dalam program KRR adalah beberapa hal berupa: mengembangkan seluas-luasnya pusat informasi dan pelayanan remaja yang ramah remaja, mengembangkan media informasi dan pendidikan, mengintegrasikan program remaja ke dalam program pencegahan HIV/AIDS dan IMS, memperkuat jaringan dan sistem rujukan ke pusat pelayanan kesehatan yang relevan, memperkuat pelayanan dan informasi bagi remaja termasuk meningkatkan perlindungan bagi remaja putri dan anak-anak untuk menghindari segala upaya eksploitasi dan keke rasan anak dan remaja. Juga melaksanakan penelitian atau riset tentang KRR dan kebijakan hak-hak reproduksi remaja, melatih orangtua dan guru tentang KRR dan hak-hak reproduksi remaja, meningkatkan kapasitas staf dan relawan youth center untuk memberikan pelayanan ramah remaja dan mengembangkan advokasi dengan isu pemenuhan hak-hak reproduksi remaja.**
DAFTAR PUSTAKA Ancah Caesarina N.M., Kespro Remaja, disampaikan pada Seminar Nasional Seksualitas dan Kespro Remaja di PP. Nuris, Jember-Jawa Timur, Juni 2009. Arif Subhan, Prof. Dr. Zakiah Daradjat: Pendidik dan Pemikir dalam Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002. Atas H. Habsjah, dkk, Peranan Ayah vis-a-vis Ibu dan Pranata Sosial Lainnya dalam Pendidikan Seks Remaja, Jakarta, The Population Council and The Atma Jaya Research Centre, 1995.
Definisi Kesehatan Reproduksi Menurut WHO, 1975. Definisi Remaja Menurut Depkes RI, dalam http://ceria. bkkbn.go.id/referensi/substansi/detail/19 Djaelani, J., Kebijakan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja, dalam Seminar Nasional tentang Hak dan Kesehatan Reproduksi: Implikasi Pasal 7 Rencana Tindakan Kairo bagi Indonesia, Yogyakarta, Mei 1995 http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php mib=beritadetail&id=85651, diakses pada tanggal 2 Pebruari 2010, pk.16.25 WIB.
Atun, dkk, IMS atau Penyakit Kelamin, dalam Kesehatan Reproduksi Remaja, Kerjasama Jaringan Kaukus Kesehatan untuk Anak Jalanan Perempuan di Yogyakarta, bersama PKBI-DIY, dll, Yogyakarta,2004.
Imam Nakha’i, Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Hukum Islam (Pengantar Dialog), disampaikan pada Seminar Nasional Seksualitas dan Kespro Remaja di PP. Nuris, Jember-Jawa Timur, Juni 2009
Badriyah Fayumi, Haidh, Nifas, dan Istihadhah, dalam Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Rahima bekerjasama dengan LkiS dan The Ford Foundation, Jakarta, 2002.
Irwan M. Hidayana, Dari Menstruasi Hingga Kontrasepsi: Isu-isu Seksualitas Remaja Perempuan, dalam Benih Bertumbuh, Kelompok Perempuan Pejuang Perempuan Tertindas, Galang Press, Yogyakarta, 2000.
Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2000, dalam AD. Eridani, Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Remaja : Sebuah Temuan, disampaikan pada Seminar Nasional Seksualitas dan Kespro Remaja di PP. Nuris, Jember-Jawa Timur, Juni 2009.
Kartono Mohamad, Seks dan Mitos-mitosnya, dalam Pengantarnya pada Mitos Seputar Masalah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi, Yayasan Mitra Inti, Jakarta, 2009
Data Statistik dengan Menggunakan Definisi WHO tentang Remaja Tahun 1998, dalam http://www. datastatistik-indonesia.com
Khisbiyah, dkk, Kehamilan tak Dikehendaki di Kalangan Remaja, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1996 Koran Kompas, Edisi 29 Januari 2000
Ratna Dian K., Pendidikan Kesehatan Reproduksi....
Linda Dwi Eriyani, Kesehatan Reproduksi Remaja: Menyoal Solusi, 2006, disampaikan pada Seminar Nasional Seksualitas dan Kespro Remaja di PP. Nuris, Jember-Jawa Timur, Juni 2009. Mukhatib MD, Problem Kesehatan Reproduksi Remaja: Tawaran Solusi, disampaikan pada Seminar Nasional Seksualitas dan Kespro Remaja di PP. Nuris, Jember-Jawa Timur, Juni 2009. Pengantar Diskusi Publik Bondowoso dalam Diskusi Publik Menjawab Persoalan Kesehatan Reproduksi Remaja, Rahima, November 2009.
Remaja Menurut Masyarakat Indonesia dalam http://notok2000.blogspot.com/2007/08/ Solusi Bersama dalam Dialog Publik Menjawab Permasalahan Kesehatan Reproduksi, Kerjasama Rahima dan Majlis Taklim Al- Ma’syumi, Bondowoso, November 2009. Tim Mitra Inti, Mitos Seputar Masalah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi, Yayasan Mitra Inti, Jakarta, 2009.