RADIKALISASI DAN DIALOG DI PAPUA Asia Report N°188 – 11 Maret 2010
DAFTAR ISI RINGKASAN IKHTISAR ....................................................................................................... i I. PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 II. RADIKALISASI GERAKAN MAHASISWA PAPUA ................................................. 2 A. PERKEMBANGAN SETELAH JATUHNYA SOEHARTO .......................................................................2 B. FOKUS PADA FREEPORT ...............................................................................................................4 C. PEMBENTUKAN KNPB.................................................................................................................5
III. AKSI KNPB ....................................................................................................................... 9 A. AKSI DI NABIRE ...........................................................................................................................9 B. SERANGAN 9 APRIL TERHADAP POLSEK ABEPURA ....................................................................10 C. PEMBAKARAN KANTOR REKTOR UNIVERSITAS CENDERAWASIH ...............................................11 D. PENGGEREBEKAN RUMAH VICTOR YEIMO .................................................................................12 E. MEMUTUS HUBUNGAN DENGAN MASA LALU............................................................................12
IV. PUNCAK JAYA .............................................................................................................. 14 A. TABUNI, ENEMBE DAN PASUKAN KEAMANAN ...........................................................................14 B. KEKERASAN...............................................................................................................................15
V. PENDUDUKAN LAPANGAN UDARA KAPESO ...................................................... 18 VI. TIMIKA DAN PENEMBAKAN DI FREEPORT ........................................................ 21 A. PENEMBAKAN DI SEPANJANG JALAN FREEPORT .........................................................................21 B. SIAPA YANG BERTANGGUNGJAWAB ATAS PENEMBAKAN-PENEMBAKAN? ..................................23 1. Pasukan Kelly Kwalik................................................................................................................23 2. Kelompok OPM yang lain .........................................................................................................25 3. Persekongkolan proteksi TNI.....................................................................................................25 C. PENEMBAKAN KELLY KWALIK ..................................................................................................27
VII.
PROSPEK DIALOG ................................................................................................. 28
A. INISIATIF LIPI-TEBAY .............................................................................................................28 B. TANGGAPAN PEMERINTAH DAN KEMUNGKINAN GANGGUAN ....................................................29 C. PERLUNYA DUKUNGAN TINGKAT TINGGI ..................................................................................29 D. KNPB DI MASA DEPAN .............................................................................................................30
VIII. KESIMPULAN .......................................................................................................... 31 LAMPIRAN A. B. C. D. E. F.
PETA INDONESIA..............................................................................................................................32 PETA PROPINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT ......................................................................................33 PETA LOKASI PENEMBAKAN DI SEPANJANG JALAN PENAMBANGAN FREEPORT ...............................34 TENTANG INTERNATIONAL CRISIS GROUP .......................................................................................35 LAPORAN DAN BRIEFING CRISIS GROUP TENTANG ASIA SEJAK TAHUN 2007 ..................................36 INTERNATIONAL CRISIS GROUP BOARD OF TRUSTEES .....................................................................38
Asia Report N°188
11 Maret 2010
RADIKALISASI DAN DIALOG DI PAPUA RINGKASAN IKHTISAR Di Papua, propinsi paling timur di Indonesia, terjadi peningkatan kekerasan politik pada 2009, yang berlanjut hingga 2010. Salah satu penyebab adalah meningkatnya kegiatan para aktivis militan dari pegunungan tengah, yang mayoritas dari mereka adalah anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Para aktivis ini memutuskan sudah tak ada lagi harapan untuk mewujudkan tujuan utama mereka, yaitu sebuah referendum kemerdekaan lewat cara-cara damai, sehingga mengakibatkan sebagian mereka mendukung aksi kekerasan serta dalam beberapa kasus para aktvisi ini terlibat tindak kekerasan. Taktik mereka dikecam oleh banyak rakyat Papua, tetapi pesan mereka menggema luas, dan frustrasi yang mereka ucapkan adalah nyata. Dialog antara para pemimpin Papua dan pejabat pemerintah pusat, apabila disiapkan dengan hati-hati, menawarkan kemungkinan untuk dapat menanggapi berbagai keluhan yang sudah lama dirasakan oleh rakyat setempat, tanpa mempertanyakan kedaulatan Indonesia. KNPB bermula dari berkembangnya aktivisme para mahasiswa pro-kemerdekaan Papua setelah jatuhnya Soeharto pada 1998. Sejalan dengan terbentuknya dan pecahnya berbagai koalisi, KNPB muncul sebagai sebuah kelompok yang sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa dan mantan mahasiswa yang mengadopsi ideologi kiri yang militan dan menganggap diri mereka sebagai revolusionaris, berperang melawan negara Indonesia dan perusahaan tambang emas dan tembaga raksasa Freeport dekat Timika. Ada dua konsekuensi utama dari bertambahnya militansi mereka. Pertama, mereka makin intens bekerjasama dengan para gerilyawan Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) di wilayah Pegunungan Tengah. Kedua, mereka semakin melihat bahwa satusatunya harapan untuk dapat mencapai cita-citanya yaitu dengan memperlihatkan kepada dunia bahwa Papua sedang dalam situasi darurat – dan hal ini berarti lebih terlihatnya manifestasi konflik. Kekerasan melonjak tahun 2009 sebagian karena tahun itu merupakan tahun diselenggarakannya Pemilu , dan pemilu memberikan sebuah fokus bagi sebagian aktivis pro kemerdekaan untuk melakukan aksi-aksi politik. Pemicu lainnya yaitu kegiatan di luar negeri – terutama
pembentukan sebuah kelompok kecil pada bulan Oktober 2008 bernama International Parliamentarians for West Papua (IPWP) – telah mendorong para aktivis militan untuk meyakini bahwa dukungan yang lebih banyak dari internasional akan dapat mengubah dinamika politik di dalam negeri. Beberapa kejadian kekerasan pada bulan April di Abepura, daerah di pinggiran ibukota propinsi Jayapura dimana sebuah universitas berada, pada masa pemilu legislatif, bisa dihubungkan langsung dengan KNPB. Anggotanya juga mungkin telah membantu memicu kekerasan di wilayah dataran tinggi kabupaten Puncak Jaya, lewat komunikasi dan koordinasi dengan komandan TPN/OPM setempat, Goliat Tabuni. Di daerah lain dimana terjadi kekerasan, KNPB suka juga mengklaim bertanggung jawab meskipun tidak ada peran langsung, seperti pada kejadian pendudukan lapangan terbang desa Kapeso di Mamberamo Raya. Kekerasan paling dramatis di Papua dalam delapan bulan belakangan ini adalah serangkaian penembakan di sepanjang jalan utama tambang Freeport yang menghubungkan kota Timika dan Tembagapura, yang ditujukan pada kendaraan Freeport maupun Brimob. Banyak orang yang berada di dalam dan di luar Papua percaya bahwa pasukan keamanan yang bertanggung jawab sebagai cara untuk menambah jumlah pasukan mereka dan pada akhirnya meningkatkan kesempatan mereka memburu rente di Timika. Namun Crisis Group percaya bahwa kemungkinan besar ada keterlibatan satu atau lebih komandan TPN/OPM, karena adanya pernyataan-pernyataan bahwa mereka mengklaim tanggungjawab atas beberapa serangan tapi tidak semuanya dan adanya berbagai testimoni dari beberapa saksi. Tetapi terbuka juga kemungkinan lain yaitu ada beberapa pihak yang terlibat, yang disebut oleh warga Papua sebagai “satu piring, dua sendok”.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Kekerasan, bercampur dengan kegiatan-kegiatan KNPB, telah berhasil meningkatkan profil Papua baik di dalam maupun luar negeri, dan telah menambah minat terhadap kemungkinan dialog antara para pemimpin Papua dan Jakarta mengenai berbagai masalah, yang ditujukan untuk menyelesaikan konflik. Jalan menuju dialog penuh dengan perangkap, dan ada kemungkinan gangguan dan banyak rasa ketidakpercayaan di antara kedua belah pihak. Banyak di pemerintah pusat yang percaya bahwa pembahasan apapun mengenai masalah-masalah non-ekonomi seperti otonomi yang lebih besar atau keluhan yang berhubungan dengan sejarah Papua hanya akan semakin memicu keinginan untuk merdeka dan mengaburkan perubahan positif yang sedang berlangsung. Mereka berargumentasi bahwa, tidak saja telah dilakukan “Papuanisasi” terhadap pemerintahan lokal dan sudah ada komitmen untuk mempercepat pembangunan, tetapi polisi juga secara bertahap telah menggantikan militer sebagai garis depan respon terhadap kegiatan separatis. Sebagian aktivis Papua percaya bahwa dialog seharusnya hanya dilakukan dengan mediasi internasional serta pilihan politik yang dibiarkan terbuka, bukan dialog dengan pilihan politik menerima otonomi dan menutup pintu kemerdekaan. Bahkan mereka yang menerima kedaulatan Indonesia percaya bahwa Jakarta memiliki sejarah hanya memberikan janji-janji tapi tak bisa menepatinya, dan apabila Jakarta setuju untuk melakukan dialog, hal itu hanya menjadi sekedar upaya Public Relations tanpa ada maksud untuk merubah status quo. Akan tetapi, radikalisasi KNPB merupakan bukti bahayanya meninggalkan keluhan politik menjadi borok. Lebih dari itu, meskipun banyak dari elit Papua yang tidak setuju dengan taktik KNPB, pesan mereka menggema jauh lebih luas meskipun sebenarnya KNPB adalah kelompok yang kecil. Sebuah inisiatif gabungan intelektual Papua dan peneliti Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI untuk menguraikan secara garis besar sebuah peta yang akan menjadi dasar bagi sebuah dialog antara kedua belah pihak. Peta ini kemungkinan merupakan pilihan yang paling produktif yang ada saat ini untuk mengakhiri konflik. Jika ingin berhasil, akan membutuhkan pengakuan bahwa solusi bagi Papua adalah lebih dari sekedar pembangunan ekonomi, meskipun hal itu sangat penting. Ia juga akan membutuhkan dukungan nyata dari presiden Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono.
Jakarta/Brussels, 11 Maret 2010
Page ii
Asia Report N°188
11 Maret 2010
RADIKALISASI DAN DIALOG DI PAPUA I. PENDAHULUAN Meningkatnya aksi kekerasan di Papua, propinsi paling timur Indonesia, sejak tahun 2009 sebagian disebabkan oleh radikalisasi sebuah kelompok mahasiswa dan mantan mahasiswa Papua dari pegunungan tengah, sebagian lagi karena bertambahnya koordinasi antara mereka dan para komandan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/ Organiasi Papua Merdeka (TPN/OPM) yang berbasis di pegunungan.1 Radikalisasi tumbuh dari perasaan bahwa cara-cara damai selama ini tak membawa manfaat politik berkenaan dengan gerakan ke arah peninjauan kembali Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang diawasi oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang telah membawa Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia; bahwa dukungan internasional sangat penting agar peninjauan kembali dapat terjadi; dan bahwa masyarakat internasional baru akan memberi perhatian apabila Papua dalam situasi darurat, dengan bukti-bukti yang meyakinkan mengenai penindasan yang dilakukan oleh negara dan perlawanan rakyat Papua.2 Setelah periode yang cukup tenang tahun 1
Untuk analisa sebelumnya mengenai Papua, lihat see Crisis Group Asia Report Nº154, Indonesia: Communal Tension in Papua (Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua), 16 Juni 2008; Crisis Group Asia Briefings Nº66, Indonesian Papua: A Local Perspective on the Conflict (Papua: Perspektif Lokal atas Konflik), 19 Juli 2007; dan Nº53, Papua: Answers to Frequently Asked Questions (Papua: Jawaban untuk Pertanyaan yang Sering Ditanyakan), 5 September 2006; Nº47, Papua: The Dangers of Shutting Down Dialogue (Papua: Bahaya yang Dapat Timbul Jika Menghentikan Dialog), 23 Maret 2006; Nº24, Dividing Papua: How Not To Do It, 9 April 2003; dan Asia Reports Nº39, Indonesia: Resources and Conflict in Papua (Indonesia: Sumberdaya dan Konflik di Papua), 13 September 2002; dan Nº23, Ending Repression in Irian Jaya, 20 September 2001. Lihat Appendix A untuk peta wilayah. 2 Hingga tahun 1963, Papua dibawah pemerintah kolonial Belanda dan dikenal sebagai Dutch New Guinea atau Nugini Belanda, kemudian West New Guinea atau Nugini Barat (setelah Indonesia mengambil alih kemudian menjadi Irian Barat; Irian Jaya, selama masa pemerintahan Soeharto; dan akhirnya Papua, setelah tahun 2000). Belanda menjanjikan Papua kemerdekaan tapi tunduk pada tekanan AS dan tahun
2007 dan awal tahun 2008, sebuah kelompok militan dari pegunungan yang bernama Komite Nasional Papua Barat atau KNPB memutuskan bahwa satu-satunya harapan atas perubahan adalah dengan memanaskan situasi politik di Papua.3 Kelompok ini mungkin bertanggung jawab atas beberapa insiden di dan sekitar ibukota propinsi Jayapura dan beberapa kejadian kekerasan seputar pemilu 2009. Penyebaran informasi oleh mereka mengenai penembakan tahun 2009 dan 2010 di wilayah pertambangan emas dan tembaga raksasa Freeport adalah salah satu indikasi utama yang menunjukkan keterlibatan unit TPN/OPM Almarhum Kelly Kwalik, daripada atau mungkin selain keterlibatan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Para aktivis radikal pegunungan ini telah berhasil memperoleh dampak yang tidak proporsional dalam membentuk persepsi luar negeri mengenai Papua, terutama karena pemerintah Indonesia membatasi akses ke Papua. Namun dalam hal tujuan yang mereka inginkan, mereka jauh dari sukses, baik dalam mengorganisir demonstrasi massa di Papua maupun dalam memprovokasi respon pemerintah yang cukup serius yang dapat mengubah dinamika politik domestik maupun internasional. Namun, walaupun di satu sisi mereka telah gagal mendorong Papua ke dalam situasi darurat, di sisi lain mereka telah berhasil dalam memanfaatkan teknologi internet dan
1963 menyerahkan kontrol ke Indonesia, sambil menunggu AN ACT OF SELF-DETERMINATION. Bulan April 1969, pemerintah Indonesia menunjuk 1,022 pemimpin Papua untuk melakukan penentuan pendapat atas masa depan Papua dalam sebuah plebisit atau pemungutan suara yang disponsori PBB lewat delapan dewan kabupaten (untuk mewakili sekitar 700,000 orang) dibawah pengawasan milier TNI – dan intimidasi luas – yang dikenal dengan “Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera”. Tidak heran, mereka dengan suara bulat memilih integrasi dengan Indonesia. Banyak orang Papua, begitu juga dengan para pemantau diplomatik pada saat itu, yang mempertanyakan legitimasi pelaksanaan Pepera. Lihat Laporan Crisis Group, Papua: Answers to Frequently Asked Questions, hal. 3. 3 Wilayah pegunungan tengah terdiri dari kabupaten-kabupaten di dan sekitar rantaian pegunungan yang melewati bagian tengah propinsi Papua, termasuk Jayawijaya, Puncak Jaya, Mimika, Tolikara, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan Paniai.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
komunikasi, selain itu penangkapan-penangkapan yang kadangkala salah sasaran oleh polisi dalam menanggapi kegiatan mereka, telah membantu tujuan mereka. Meningkatnya sorotan terhadap Papua dalam dua tahun belakangan ini telah membantu menambah momentum dialog antara pemerintah pusat dan perwakilan Papua, berdasarkan sebuah “road map” (peta jalan) yang dikembangkan oleh para peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, dan sebuah konsep paralel yang diajukan oleh intelektual Papua, Neles Tebay. Kedua konsep ini merupakan inisiatif yang paling kreatif dan kemungkinan produktif selama bertahuntahun, dan mereka hadir pada saat radikalisasi yang lebih jauh dapat mengarah ke lebih banyak aksi kekerasan merupakan kemungkinan yang sangat nyata. Konsep road map dimulai dari premis bahwa keluhan-keluhan rakyat Papua tentang diskriminasi, interpretasi sejarah dan identitas Papua serta ketidakadilan dan marjinalisasi harus ditangani, namun dalam konteks otonomi yang semakin besar, bukan kemerdekaan. Para radikal dari pegunungan pada umumnya menolak gagasan dialog tanpa mediasi internasional, dan persisnya karena tujuan mereka adalah untuk menginternasionalisasi masalah Papua, maka pemerintah Indonesia tak mungkin akan mendukung keterlibatan pihak ketiga. Akan tetapi, para pendukung dialog berharap dapat membawa sedikitnya beberapa aktivis radikal untuk ikut terlibat dalam dialog. Dan apabila beberapa bersedia untuk memberi kesempatan lagi kepada cara-cara damai, yang lain mungkin akan termarjinalisasi. Namun hal ini akan terjadi hanya jika pemerintah Indonesia serius mencari solusi diluar pembangunan ekonomi.
Page 2
II. RADIKALISASI GERAKAN MAHASISWA PAPUA Untuk memahami munculnya para aktivis radikal dari pegunungan, penting untuk melihat bagaimana gerakan mahasiswa di Papua berevolusi setelah 1998. Sejarah berikut ini harus kami ringkas, tetapi laporan ini mencatat poin-poin penting dalam evolusi sebuah strategi politik yang bergerak dari mempromosikan Papua sebagai sebuah “zona damai”, kemudian berubah menggambarkannya Papua jadi “zona darurat” yang dalam keadaan mendesak membutuhkan perhatian internasional.
A. PERKEMBANGAN SETELAH JATUHNYA SOEHARTO Sepuluh hari setelah Presiden Soeharto lengser pada bulan Mei 1998, sekelompok mahasiswa Papua berkumpul di Jakarta untuk membahas bagaimana melanjutkan perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri. Mereka membentuk Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dengan Demianus Wanimbo, dari Bokondini, Tolikara di pegunungan tengah, sebagai ketuanya.4 Dari awal, warga pegunungan, mayoritas dari suku Dani, Moni dan Mee, mendominasi gerakan ini, sebagian karena sejarah kelabu pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) disana pada akhir tahun 1970an. Buchtar Tabuni, saat ini dipenjara, berkata bahkan ketika ia masih kecil, ia didesak untuk membalas dendam kematian keluarganya. Ketika saya lahir, kakek saya menanam dua pohon di dekat kuburan paman saya yang dibunuh oleh TNI. Satu di dekat kepalanya, satu didekat kakinya. Katanya,” Kalau anak ini dapat membalas dendam, maka pohon-pohon ini akan berkembang.” Pohon itu masih tumbuh sampai hari ini.5 Hanya sebulan lebih setelah AMP didirikan, pada tanggal 2 Juli 1998, sebuah demonstrasi besar pro-kemerdekaan berlangsung di Biak, diorganisir oleh Filep Karma, seorang pegawai negri sipil lokal.6 Dalam sebuah bentrokan yang sengit, sekitar belasan polisi terluka, tiga luka parah. Kemudian setelah beberapa waktu yang menegangkan dimana mereka berhadap-hadapan tapi
4
Kandidat yang kalah yaitu Jimmy Ijie dari Manokwari, yang kemudian menjadi ketua DPRD Papua Barat dan kini jadi salah satu pembela NKRI yang gigih. 5 Wawancara Crisis Group, Buchtar Tabuni, LP Abepura, 20 Januari 2010. 6 Lihat Octovianus Mote dan Danilyn Rutherford, “From Irian Jaya to Papua: The Limits of Primordialism in Indonesia’s Troubled East”, Indonesia, vol. 72 (October 2001), hal. 115140.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Page 3
tidak sampai kontak senjata, TNI masuk tanggal 6 Juli dan melepaskan tembakan. Sampai saat ini tidak diketahui berapa jumlah yang tewas seluruhnya karena banyak jenasah yang dilemparkan ke atas truk-truk dan kelihatannya kemudian dibuang.7 AMP mengajak mahasiswa Papua di seluruh universitas di Indonesia untuk memprotes apa yang kemudian dikenal menjadi “Biak Berdarah” – dan menuntut kemerdekaan.
yang digambarkan pada bulan Juni 2001 ketika anak buah Titus Murib menyandera dua pembuat film dari Belgia. Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia (RI) saat itu Abdurrahman Wahid, Titus meminta AMP ditunjuk sebagai mediator dan menyatakan bahwa OPM telah memberikan wewenang penuh kepada AMP untuk melakukan perjuangan politik bagi kemerdekaan Papua.11
Namun gerakan tersebut segera mulai pecah menyertai beberapa keretakan yang terjadi di dalamnya. Salah satu keretakan tersebut terjadi antara akvitis dari pegunungan versus aktivis dari wilayah pesisir pantai seperti Serui, Sorong dan Biak. Pada Februari 1999, kelompok pesisir keluar dan membentuk Jaringan Independen untuk Aksi Kejora (Jiajora) dan kemudian Front Nasional Mahasiswa Papua (FNMP).8 Sebagian besar pemimpin AMP berasal dari pegunungan, kecuali beberapa seperti Hans Gebze, yang kelahiran Merauke, pada saat itu adalah mahasiswa di Semarang, dan mereka fokus pada issue “pelurusan sejarah”, yaitu memperoleh pengakuan internasional atas kekurangan Pepera 1969 sehingga PBB bersedia mencabut pengakuannya terhadap integrasi Papua dengan Indonesia.9
Sebenarnya, selama itu tidak pernah ada koordinasi yang benar-benar serius. Satu-satunya hasil nyata dari kerjasama mereka adalah dibentuknya kantor berita Suara Papua Merdeka (SPM News) oleh AMP pada tahun 2003. Kantor berita ini melaporkan kegiatan-kegiatan OPM dan beberapa kunjungan pemimpin AMP ke kamp-kamp pemimpin TPN/OPM.12 Namun, menjadikan diri sebagai sayap politik TPN/OPM OPM ternyata justru jadi hambatan ketimbang sebuah keuntungan bagi AMP, karena hal itu telah membuat organisasi mahasiswa yang lain menjadi hati-hati untuk bergabung kekuatan karena khawatir namanya tercemar karena terkait dengan TPN/OPM.
Dari awal, para mahasiswa pegunungan telah berusaha untuk menjalin komunikasi dengan TPN/OPM. Upaya mereka berhasil pada tahun 2000, ketika Demianus Wanimbo bertemu dengan Titus Murib, yang saat itu adalah komandan terkenal OPM, di Kali Kopi, Timika. Mereka sepakat menjalin hubungan yang lebih dekat antara kedua gerakan, dengan pemahaman bahwa TPN/ OPM akan menyerahkan pekerjaan politik kepada para mahasiswa, dan para mahasiswa menyerahkan perjuangan bersenjata kepada OPM.10 Dari tahun 2000 hingga 2004, AMP melihat dirinya sebagai sayap politik dari TPN/OPM, sebuah hubungan
Pada saat yang sama mereka membangun hubungan dengan OPM, AMP juga berupaya untuk membangun keanggotaannya, dan untuk pelatihan ideologi dan rekrutmen, mereka minta bantuan kepada para aktivis muda sayap kiri Partai Rakyat Demokratik atau PRD13 yang berbasis di Jakarta. Buchtar Tabuni, yang pada saat itu adalah seorang mahasiswa di Makassar, menjadi salah satu dari banyak pemimpin AMP yang dikirim ke PRD untuk di-training.14 Hasil training langsung kelihatan dalam pernyataan-pernyataan para mahasiswa, dengan penekanan yang jauh lebih besar dari sebelumnya terutama pada issue memerangi kapitalisme, neokolonialisme, neo-liberalisme dan militarisme.15 Pada bulan Agustus 2004, sebuah aksi penyerangan oleh TPN/OPM pimpinan Goliat Tabuni memicu operasi militer selama beberapa bulan di sekitar Mulia, Puncak
7
“Indonesia: Human Rights and Pro-Independence Actions in Irian Jaya”, Human Rights Watch, 1 Desember 1998. 8 Bendera Bintang Kejora adalah simbol utama gerakan kemerdekaan Papua. Pertama kali dikibarkan tanggal 1 Desember 1961 sebagai wilayah Belanda Nugini Barat,siap untuk merdeka; tanggal tersebut kemudian dirayakan oleh para aktivis Papua. Pemerintah Republik Indonesia (RI) dibawah Soeharto melihat pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai sikap memberontak. Selama beberapa waktu di tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid membolehkan bendera tersebut dikibarkan asal dibawah bendera RI. Tapi kemudian segera dilarang lagi, dan tahun 2007, sebuah peraturan baru no. 77/2007, secara khusus melarang bendera wilayah apapun yang menyerupai simbol organisasi separatis. 9 Wawancara Crisis Group, Demianus Wanimbo, Jayapura, Januari 2010. Ibu Hans Gebze berasal dari Wamena, jadi ia setengah pegunungan tengah. 10 Wawancara Crisis Group, Demianus Wanimbo, Jayapura, Januari 2010.
11
Laporan lengkap mengenai kejadian ini bisa didapat di “OPM Hostages”, Alert (publication of the Southeast Asian Press Alliance, SEAPA), Juli 2001 dan “Risky Business”, Alert, Agustus 2001. 12 SMP News bukan satu-satunya media inisiatif AMP, tapi yang paling lama berdiri, sekitar empat tahun. 13 PRD didirikan tahun 1994 sebagai organisasi populis radikal menentang Soeharto yang melihat buruh memiliki potensi untuk menjadi “garda depan dalam meraih dan membuka ruang demokratik-liberal yang sesungguhnya”. Dikutip di Edward Aspinall, Opposing Suharto: Compromise, Resistance and Regime Change in Indonesia (Stanford, 2005), hal. 131. 14 Wawancara Crisis Group, Buchtar Tabuni, LP Abepura, 20 Januari 2010. 15 Lihat contohnya pernyataan media AMP Malang tanggal 6 September 2004, ketika mereka menyebut TNI sebagai anjing penjaga modal kapitalisme internasional.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Jaya yang mengakibatkan banyak warga harus mengungsi dan kehancuran terhadap infrastruktur setempat. Para pemimpin AMP dari pegunungan yang ingin lebih banyak perhatian diberikan terhadap akibat dari operasi militer tersebut menyadari bahwa mereka perlu sebuah koalisi dengan mahasiswa dari wilayah pesisir, namun banyak mahasiswa pesisir melihat AMP terlalu dekat dengan TPN/OPM.16 Sebagai hasilnya, pada bulan Oktober 2004, AMP bergabung dengan Komite Solidaritas Papua untuk membentuk Parlemen Jalanan Rakyat Papua (Parjal) yang lebih berbasis luas, dengan Jeffry Pagawak, seorang aktivis pegunungan yang berbasis di Jayapura, sebagai ketuanya.17 Pada tanggal 1 Desember 2004, Jeffry bergabung dengan beberapa pemimpin yang lain, termasuk Filep Karma, orang yang mengorganisir aksi demo Biak tahun 1998 dan sekarang terkait dengan sebuah badan bernama West Papua National Authority (Otorita Nasional Papua Barat), dan Yusak Pakage, seorang aktivis pegunungan dari Komite Solidaritas Papua, dalam sebuah aksi unjuk rasa untuk memperingati ulang tahun kemerdekaan Papua.18 Polisi membubarkan aksi unjuk rasa tersebut, dan Karma serta Pakage ditangkap, dan masing-masing dijatuhi hukuman limabelas tahun dan sepuluh tahun penjara pada bulan Mei 2005. Hukuman berat itu semakin memicu aksi unjuk rasa. Selama tahun 2005, AMP dan Parlemen Jalanan melakukan serangkaian aksi protes melawan “otonomi khusus” yang diberikan kepada Papua dibawah undangundang tahun 2001.19 Pada tanggal 12 Agustus, mereka
16
Wawancara Crisis Group, Demianus Wanimbo, Jayapura, Januari 2010. 17 Sekitar waktu yang sama, mahasiswa pegunungan tengah menyelenggarakan kongres resmi pertama mereka di Timika dari tanggal 11 sampai 15 Oktober, dengan dana dari pemerintah daerah. Mereka sepakat untuk membentuk Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia atau AMPTPI, dan membuka kantor-kantor di sebagian besar kota-kota di Indonesia dimana mahasiswa Papua berbasis. Meskipun ada tumpang tindih yang signifikan antara AMPTPI dan AMP, AMP fokus pada kemerdekaan sementara AMPTPI lebih pada isu-isu lokal seperti korupsi, illegal logging dan pemekaran. 18 Rakyat Papua berargumentasi bahwa sebagai bagian dari proses dekolonisasi dari Belanda, wilayah Nugini Barat merdeka tanggal 1 Desember 1961. 19 UU no 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua bermaksud memberi kekuasaan yang lebih besar bagi kepada rakyat Papua untuk mengelola masalah mereka dan bagian yang lebih besar dari pendapatan yang diterima secara lokal. Ketentuannya banyak yang diterapkan dengan sangat lambat, secara buruk atau tidak sama diterapkan sama sekali, sehingga mengikis niat baik yang coba dihasilkan oleh UU tersebut. Jakarta kehilangan sebagaian kredibilitas yang masih tersisa sedikit di tahun 2003, ketika Presiden Megawati Soekarnoputri membagi propinsi Papua menjadi dua, yaitu propinsi Papua dan Papua Barat,
Page 4
ambil bagian dalam sebuah aksi demonstrasi paling besar sejak tahun 2000 di Jayapura, yang diorganisir oleh Dewan Adat Papua (DAP) pada Hari Pribumi Internasional, dengan ribuan warga Papua membanjiri kota. Keberhasilan demonstrasi ini memberi inspirasi kepada para pemimpin AMP dan Parlemen Jalanan untuk mendorong terbentuknya sebuah koalisi yang lebih luas demi mobilisasi massa yang lebih besar. Pada bulan September 2005, sebuah koalisi baru bernama Front Pepera dibentuk, dengan Hans Gebze dari AMP Semarang sebagai ketua dan Selvius Bobi dari AMP Jayapura sebagai sekretaris jendral.20 Menjelang akhir November 2005, didorong oleh penerbitan sebuah buku yang ditulis oleh sejarawan Belanda P.J. Drooglever yang sudah lama ditunggutunggu (buku ini mengkaji kekurangan-kekurangan Pepera), Front Pepera meluncurkan beberapa aksi yang ditujukan untuk mencoba membujuk masyarakat internasional untuk membuka kembali isu mengenai integrasi Papua dengan Indonesia. Mereka memperingatkan bahwa apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka akan melancarkan sebuah aksi mogok di seluruh Papua yang akan membuat seluruh kegiatan sekolah, pemerintah dan ekonomi terhenti.21
B. FOKUS PADA FREEPORT Aksi mogok itu tak pernah terwujud, dan Front Pepera mengalihkan perhatiannya kepada tambang raksasa Freeport.22 Pada 2006 Front Pepera memprotes penangkapan
tanpa melalui prosedur yang telah diamanatkan oleh UU tahun 2001. Banyak orang Papua yang melihat pemilihan Presiden Yudhoyono sebagai kesempatan untuk memberi otonomi permulaan baru, tapi pemerintah yang baru sangat lambat memberi perhatian ke Papua. Bulan Mei 2007, sebuah Instruksi Presiden mengenai percepatan pembangunan bagi Papua dan Papua Barat, Inpres 5/2007, akhirnya dikeluarkan. 20 Organisasi yang menjadi anggota termasuk AMP, Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (DeMMAK), Parlemen Jalanan Rakyat Papua, Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI), Front Nasional Mahasiswa Papua, Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Papua-Bali, Koalisi Perjuangan Hak-Hak Azasi Sipil Rakyat Papua dan yang lain. Lihat laporan, “Aksi-Aksi Menentang Freeport: Laporan Monitoring dan Investigasi”, Persatuan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Jakarta, Mei 2006. 21 “Mari Membangun Persatuan Dalam Upaya Mewujudkan Mogok Sipil Nasional!”, press release, Front Pepera Papua Barat, 25 November 2005. 22 Operasi tambang Freeport dimulai tahun 1972 di tambang Ertsberg.Setelah tambang ini sudah terkuras, endapan yang bahkan lebih menguntungkan ditemukan di lokasi Grasberg yang berada tak jauh tahun 1988 dan mulai berproduksi tahun 1990. Dan tambang Grasberg ini memiliki endapan tembaga dan emas terbesar di dunia (www.fcx.com/operations/grascomplx .htm).
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
delapan warga Papua pada bulan Januari, termasuk Antonius Wamang, yang dituduh melakukan penembakan yang menewaskan karyawan Freeport pada bulan Agustus 2002. Kemudian tanggal 21 Februari 2006, pasukan keamanan bentrok dengan penambang emas ilegal di sekitar Mil 72-74 di jalan utama yang menghubungkan lokasi tambang dengan kota Timika. Tiga orang tertembak, dan penduduk desa yang marah memblokir jalan, memaksa tambang untuk menghentikan operasinya selama beberapa hari. Tambang dibuka kembali tanggal 25 Februari, namun sebuah koalisi baru beberapa kelompok aktivis bernama Solidaritas Rakyat Papua Untuk Tutup Freeport dibentuk untuk melobi agar mendapatkan sebuah sesi khusus di DPRD Papua yang akan bertindak untuk menutup tambang. Koalisi ini bubar karena mereka berselisih soal kapan sesi khusus tersebut sebaiknya dilakukan.23 Front Pepera, kelompok Sonamapa yang berbasis di Manokwari, serta Parlemen Jalanan menarik diri dan membentuk sebuah kelompok baru bernama International Solidarity to Shut Freeport (Solidaritas Internasional Untuk Menutup Freeport), yang diketuai oleh Jeffry Pagawak. Tanggal 27 Februari, pada saat Jeffry dan para pengikutnya melakukan aksi pemblokiran jalan tambang di luar Timika di Mil 62, Front Pepera melakukan sebuah aksi demonstrasi di depan kantor Freeport di Jakarta. Dalam beberapa hari kedepan, sejumlah aksi vandalisme terjadi dan baru pada pertengahan bulan Maret pemblokiran jalan di luar Timika berhasil dibubarkan. Jeffry masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).24 Tanggal 15 Maret, aksi pemblokiran ini pindah ke Abepura, di pinggiran kota Jayapura dimana Universitas Cenderawasih berada. Front Pepera dan Parlemen Jalanan memblokir jalan didepan kampus, menuntut penutupan tambang Freeport. Dipimpin oleh Selvius Bobi dari Front Pepera, aksi unjuk rasa dibubarkan oleh polisi keesokan harinya dan Selvius ditangkap, sehingga menambah ketegangan. Bentrokan sengit terjadi, yang mengakibatkan tiga petugas polisi dan seorang intel TNI dipukuli dan ditikam hingga tewas; polisi yang keempat meninggal beberapa hari kemudian karena terluka parah. Polisi mengejar para perusuh ke asrama mereka dan menangkap puluhan orang. Polisi juga mengumumkan Hans Gebze dari Front Pepera dan Jeffry Pagawak dari Parlemen Jalanan sebagai pemimpin komplotan yang harus ditangkap.
23
Yang dipersengketakan adalah mengenai apakah sesi khusus ini sebaiknya dilakukan sebelum atau sesudah pemilihan gubernur propinsi Papua. Front Pepera dan kelompokkelompok yang lebih militan ingin sesi khusus segera dilakukan; yang lain percaya sebaiknya hanya dilakukan sesudah pemilu. 24 “Aksi-Aksi Menentang Freeport”, PBHI, op. cit.
Page 5
Tanggal 3 September, kelihatannya sebagai aksi solidaritas terhadap para mahasiswa yang mencoba memaksa penutupan tambang Freeport, orang-orang yang terkait dengan Goliat Tabuni dan Titus Murib menembak ke arah mobil Toyota yang digunakan oleh Tim Keamanan Rapid Response Freeport sekitar Mil 69 di jalan Freeport.25 Setelah kerusuhan Abepura, beberapa aktivis mahasiswa kabur keluar negeri atau lari ke gunung. Jefrry bergabung dengan Titus Murib dan membantu mengorganisir Kongres TPN/OPM di Kuyawage bulan Oktober 2006 dimana Titus ditunjuk sebagai “komandan tertinggi” TPN/OPM – penunjukan yang agak menyesatkan mengingat sifat organisasi yang sangat terdesentralisasi (dan jabatan yang sudah tidak ia pegang lagi). Tanggal 1 Desember 2006, Jeffry tampil di sebuah gambar video disamping Titus, membacakan sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa OPM tidak akan meletakkan senjata sampai Papua merdeka dan mengatakan satu-satunya jalan untuk merdeka adalah lewat referendum.26
C. PEMBENTUKAN KNPB Gerakan mahasiswa pegunungan kurang aktif pada 2007 dan hanya sedikit aksi kekerasan yang dilaporkan.27 Front Pepera telah pudar dari pandangan, dan banyak pemimpinnya yang bersembunyi. Gerakan kemerdekaan tampaknya telah mengalami kemunduran bersamaan dengan mencuatnya isu-isu lain, dari pemilu lokal hingga pemekaran kabupaten baru. Hingga tahun 2008, aktivis pegunungan yang lebih radikal, yang dipimpin oleh Benny Wenda di Oxford dan Victor Yeimo, Buchtar Tabuni serta yang lain di Papua, telah memutuskan bahwa strategi untuk membuat Papua menjadi “zona damai” sudah gagal.28 Sudah jelas bagi mereka bahwa
25
Koran-koran saat itu memberitakan pelakunya tidak dikenal, tapi salah seorang anggota kelompok Tabuni mengkonfirmasi keterlibatan OPM dalam sebuah wawancara dengan Crisis Group, Januari 2010. SPM News yang pro-kemerdekaan juga mengakui perannya dalam sebuah headline “TPN/OPM Serang Freeport, Dua Polisi Indonesia Berhasil Dibunuh”, 3 September 2006. Diikuti headline keesokan harinya, “Kejar TPN/OPM, PT Freeport-Rio Tinto Sediakan Helikopter Untuk TNI/Polri”, 4 September 2006. 26 Video tersebut ada pada Crisis Group. 27 Laporan Departemen Hukum dan HAM mengenai Indonesia mencatat beberapa pelaku pengibaran bendera ditangkap; penangkapan seorang aktivis karena menyebarkan sebuah sms; dan penyitaan buku oleh kejaksaan berisi tuduhan genosida, tapi tidak ada penggunaan kekerasan oleh pasukan keamanan. 28 “Zona damai” adalah strategi non-kekerasan yang dirintis oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura. Strategi ini bertujuan membebaskan rakyat Papua dari ketakutan dan perasaan inferior yang diakibatkan oleh diskriminasi dan memulihkan harga diri mereka sebagai manusia. Lihat “Membangun Budaya Damai Menuju Papua
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
satu-satunya jalan ke kemerdekaan terletak pada diplomasi internasional untuk meyakinkan PBB untuk menolak Pepera tahun1969, dan dengan demikian memperoleh dasar hukum untuk referendum baru. Tapi sepanjang Papua cukup tenang, tidak ada tekanan untuk mengubah status quo politik Papua. Masyarakat internasional harus melihat bahwa Papua sedang dalam keadaan darurat. Benny Wenda berada dalam posisi untuk memainkan peran penting. Aktivis yang lahir di Wamena ini selama ini menjadi ketua Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka atau Demmak, yang dibentuk sekitar tahun 2000 dan kemudian menjadi salah satu kelompok yang terwakili dalam Front Pepera. Tanggal 8 Juni 2002, ia ditangkap dan didakwa menjadi dalang penyerangan Mapolsek Abepura yang menewaskan dua petugas polisi dan seorang penjaga pada tanggal 7 Desember 2000. Dalam sebuah pameran kekuatan yang berlebihan sebagai pembalasan dan sudah terlalu sering terjadi, polisi Brimob melakukan penyisiran membabi buta terhadap asrama-asrama para mahasiswa pegunungan dekat universitas, menangkap hampir 100 orang dan dengan brutal memukuli puluhan lainnya. Khususnya asrama Ninmin, yang menjadi lokasi kantor organisasi militan Komite Nasional Pemuda Papua Barat menjadi sasaran utama. Pada akhirnya, seorang mahasiswa tewas ditembak, dua meninggal kemudian karena luka-luka yang diderita akibat dipukuli, dan “Abepura Berdarah” menjadi semboyan atas pelanggaran HAM paska Soeharto.29 Hampir satu dekade kemudian, yaitu bulan April 2009, kantor polsek yang sama diserang lagi, dan asrama yang sama digerebek lagi sebagai respon polisi – dan pengaruh Benny Wenda akan menjadi sebuah faktor. Pada saat yang sama ia didakwa mengorganisir aksi penyerangan tahun 2000, Benny juga dituduh ikut dalam sebuah pertemuan rahasia tidak lama sebelum penangkapannya, dan membawa paspor palsu.30 Pertemuan rahasia antara anggota TPN/OPM dan sekitar 40 aktivis mahasiswa ini merencanakan aksi-aksi penyerangan baru terhadap kantor-kantor polisi. Ia mengklaim tidak bersalah, dan menyatakan bahwa ia sedang di Papua Nugini pada saat itu, meskipun hal itu tidak akan membebaskan ia dari
Tanah Damai”, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian, Jayapura, 19 November 2002. Victor Tabuni sebelumnya adalah mahasiswa di Surabaya dan menjadi ketua AMP dan Front Pepera. Buchtar Tabuni pernah kuliah di Akademi Teknologi Industri Makassar. Ia sebelumnya adalah sekretaris jenderal sayap AMP yang lebih moderat, yaitu AMPTPI. 29 Untuk laporan lengkap mengenai kejadian ini lihat “Violence and Political Impasse in Papua”, Human Rights Watch, Juli 2001, hal. 15. 30 “Kronologis Peristiwa Seputar Penangkapan Ketua Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (Demmak) Atas Nama Sdr. Benny Wenda, S.Sos”, Diary of OPM (www.westpapua.net/ news/02/06/220602-bwenda.htm), 23 Juni 2002.
Page 6
tuduhan mengorganisir. Tapi sebelum peradilannya berakhir, ia berhasil kabur dari penjara Abepura dan lari ke London, dimana ia menerima suaka politik. Ia akhirnya menetap di Oxford dimana ia membentuk Kampanye Bebaskan Papua Barat (Free West Papua Campaign) bersama dengan aktivis Inggris Richard Samuelson, dan menjalin hubungan aktif dengan pendukung kemerdekaan di dalam dan luar Papua. Bersama dengan Samuelson, ia menjadi penggerak di belakang pendirian sebuah kelompok yang disebut International Parliamentarians for West Papua (Parlemen Internasional Papua Barat) atau IPWP yang secara resmi diluncurkan pada tanggal 15 Oktober 2008. Wenda dan para pendukungnya menyadari bahwa kunci kemerdekaan adalah intervensi dari PBB, sementara dukungan dari segelintir negara kepulauan Pasifik tidak cukup. Memobilisasi dukungan parlemen di negara-negara adikuasa penting sekali, dan panutannya sudah jelas. Dalam sebuah suratnya kepada para pendukungnya, Samuelson menulis, “satu dekade yang lalu, kelompok the International Parliamentarians for East Timor (Parlemen Internasional Timor Timur) memainkan peran yang sangat signifikan dalam membawa Timor Timur menjadi perhatian internasional. Kita sangat berharap bahwa IPWP juga akan melakukan hal yang sama bagi Papua Barat”.31 Tanggal resmi peluncuran IPWP diumumkan pada situssitus pro kemerdekaan jauh hari sebelumnya. Meskipun Wenda harus mengingatkan para pendukungnya yang sangat antusias bahwa Papua tidak akan merdeka pada tanggal 15 Oktober, ia menggambarkan IPWP sebagai langkah maju penting dalam menginternasionalisasikan isu Papua.32 Kenyataan bahwa hanya dua anggota parlemen Inggris yang bergabung, salah satunya dari distrik dimana Wenda tinggal, tidak penting bagi Wenda dan pendukungnya – maupun bagi pemerintah Indonesia, yang sangat khawatir dengan akibatnya di dalam negeri. Sementara itu, rekan-rekan Wenda di Papua, termasuk Buchtar Tabuni dan Victor Yeimo, mendirikan IPWPPapua Barat dan pada 16 Oktober mengorganisir aksi unjuk rasa dimana menurut perkiraan polisi lebih dari 300 orang datang, sementara para aktivis menyebutkan jumlah yang datang lebih dari 1,000 orang.33 Polisi telah 31
Dikutip dari “15 Oktober Bukan Moment Kemerdekaan Papua Barat”, West Papua Today (http://wptoday.wordpress.com), 8 Oktober 2008. Untuk analisas lebih lanjut mengenai IPWP lihat Muridan S. Widjojo, “Benny Wenda, IPWP dan sikap pemerintah Inggris”, Pusat Penelitian Politik, LIPI Center for Political Studies (www.politik.lipi.go.id), 1 November 2008. 32 Ibid. 33 Selebaran tersebut menyebutkan demonstrasi akan dilakukan di depan gedung DPRD Papua tapi polisi telah memblokir jalan, jadi sebuahkelompok sekitar 150 orang berkumpul di deapan Universitas Cenderawasih jam 9 pagi tapi dibubarkan
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Page 7
menyita selebaran yang disebarkan sebelumnya dan mengancam akan menangkap mereka yang ikut ambil bagian. Selebaran itu menyerukan warga untuk ikut aksi damai mendukung IPWP. Namun sesudah aksi dilakukan, polisi mengakui bahwa tidak ada kekerasan ataupun ancaman kekerasan oleh para demonstran.34 Buchtar dan Victor mengorganisir demonstrasi lain tanggal 20 Oktober, tapi kali ini polisi membubarkan aksi tersebut dan menahan keduanya serta beberapa yang lain; mereka dibebaskan kemudian pada hari yang sama. Para penyelenggara aksi tidak putus asa. Mereka memahami bahwa mereka baru akan mendapatkan dukungan apabila ada bukti “kebangkitan” di Papua. Masyarakat internasional selama ini terkecoh oleh kampanye “zona damai” sehingga berpikir Papua baikbaik saja. Para pemimpin pegunungan memutuskan untuk menyatakan Papua sebagai “zona darurat” dan pada saat yang sama menyerukan untuk memboikot pemilu 2009.35 Alasan mereka adalah sebagai berikut: Setiap Pemilu yang sukses merupakan bukti kesetiaan rakyat Papua terhadap Indonesia, bahwa mereka masih mau dijajah oleh penjajah-nya untuk kurun waktu lima tahun kedepan. [...] Saat ini, dukungan internasional berupa peluncuran IPWP merupakan isyarat bahwa sekalipun Pepera 1969 pernah diakui oleh masyarakat internasional, mereka masih ragu dengan keabsahannya karena berbagai laporan pelanggaran dan intimidasi saat pelaksanaan Pepera 1969 sudah terkuak. Isyarat ini harus ditanggapi oleh rakyat Papua, tidak hanya sebatas melakukan aksi dukungan dan pengibaran bendera Bintang Kejora pada momen peluncuran IPWP, tetapi harus dengan cara yang bisa membuat legitimasi Indonesia di Papua menjadi terancam, bila perlu hilang sama sekali. Salah satu cara jitu yang
oleh polisi. Mereka kemudian pindah ke Expo Waena, dimana kelompok lain yang sama banyaknya dari Sentani bergabung. Sebby Sambon, salah satu yang ditangkap, mengatakan ada sekitar 400 orang dari universitas dan lebih dari 1,000 di Expo Waena. Testimoni Sebby Sambon, 17 Desember 2008 dalam berkas perkara Sebby Sambon, No.Pol. BP/03/1/2009/Dit Reskrim. 34 Testimoni Yuvenalis Takamully dalam berkas perkara Buchtar Tabuni, No.Pol. BP/50/XII/2008/Dit Reskrim. Tapi seorang saksi mengatakan ketegangan meningkat ketika truk yang dikendarai oleh keamanan KNPB, yang disebut Penjaga Tanah Papua or PETAPA, mengkonfrontir blokade polisi dan memainkan pedal gas mereka seolah-olah akan menabrak blokade. Ketegangan diredakan oleh beberapa pimpinan Papua yang ada disitu. 35 “KNPB Surat Pemberitahuan Soal Rencana Perayaan 1 Desember 2008”, press release, KNPB, 20 November 2008.
menjadi diskusi di kalangan aktivis gerakan dan rakyat Papua saat ini adalah boikot pemilu 2009. [...] Sesungguhnya, akan terjadi keanehan dan menjadi bahan lelucon publik apabila IPWP bekerja dengan sekuat tenaga meyakinkan manusia di planet bumi ini bahwa Papua Barat dicaplok Indonesia dan mereka harus diberi hak untuk melakukan referendum atau Pepera ulang, sementara pada saat yang sama, semua proses Demokrasi Pancasila, terutama Pemilu 2009, dilaksanakan dengan sukses di Papua.36 Namun banyak aktivis pegunungan, termasuk mereka dari oganisasi yang lebih moderat Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia atau AMPTPI, menolak seruan tersebut, dan mendorong rekan-rekan mereka untuk ambil bagian dalam pemilu sebagai caleg – dan beberapa berhasil memperoleh kursi di DPR Propinsi dan Kabupaten.37 Pada bulan November 2008, Buchtar Tabuni, Victor Yeimo dan yang lain membentuk koalisi lain, yaitu Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat atau KANRPB dengan visi menjalankan program politik yang baru, yaitu kampanye boikot pemilu dan “zona darurat”. Pada saat yang sama, tanggal 19 November, orang-orang yang sama membentuk sebuah komite organisator untuk mengkoordinasi apa yang mereka harap sebagai aksi demonstrasi terbesar dalam sejarah Papua pada tanggal 1 Desember, hari yang dirayakan oleh para aktivis Papua sebagai hari kemerdekaan mereka. Komite tersebut dinamai Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, dengan Buchtar Tabuni sebagai ketua. Dengan waktu yang hanya sedikit, mereka berusaha untuk menyusun sebuah struktur yang dapat memobilisasi rakyat Papua tidak hanya untuk aksi tanggal 1 Desember 2008 tapi juga untuk aksi-aksi di masa depan, dan mereka mendorong warga turun ke jalan untuk memperlihatkan kepada masyarakat internasional bahwa Papua sedang dalam keadaan darurat.38 Mereka juga berusaha untuk mengajak mahasiswa Papua untuk pulang ke Papua dari universitas-
36
“Dukungan Parlemen Internasional Harus Disambut Dengan Boikot Pemilu 2009!”, Pamflet No. 8, Kontak Papua, 16 Oktober 2008. 37 Kabupaten adalah sebuah unit administratif dibawah propinsi dan dipimpin seorang bupati. Sebelumnya diterjemahkan sebagai “regency” tapi sekarang lebih umum disebut “district”. Namun di Papua, distrik merujuk pada unit dibawah kabupaten dimana ditempat lain di Indonesia disebut kecamatan. Untuk menghindari kebingungan, istilah kabupaten dan distrik akan digunakan dalam laporan ini. 38 Wawancara Crisis Group, aktivis mahasiswa, Jayapura, Januari 2010.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
universitas di Jawa dan daerah lain untuk ambil bagian dalam kampanye, namun sia-sia.39 Dari Oxford, Benny Wenda bertanggung jawab memobilisasi dukungan terhadap kemerdekaan dari luar negeri untuk melakukan demonstrasi tanggal 1 Desember di depan gedung kedutaan-kedutaan besar Indonesia di negara masing-masing. Menjelang tanggal 1 Desember, Benny dengan sangat yakin meramalkan bahwa di Papua, ratusan ribu pendukung akan hadir.40
Page 8
tiga tahun penjara atas tuduhan makar. Pemerintah Indonesia tidak menyadari bahwa di antara para pendukung kemerdekaan, mereka ini adalah yang moderat, dan penangkapan mereka membuka jalan bagi kepemimpinan yang lebih radikal.
Namun pada hari H, jumlah yang hadir mengecewakan. Di depan sekitar seribu orang, Buchtar dan rekanrekannya membacakan “Deklarasi Rakyat Papua”. Menyatakan bahwa bangsa Papua adalah bangsa rumpun Melanesia ras negroid, dan bukan bangsa Indonesia rumpun melayu. Dan menyerukan kepada pemerintah Indonesia, pemerintah Amerika Serikat, Belanda, Australia, Inggris dan PBB untuk mengakui bahwa Papua adalah sebuah negara merdeka sejak 1 Desember 1961, dan bahwa pelaksanaan Pepera 1969 tidak sah.41Deklarasi tersebut menyatakan Papua Barat menjadi tanah darurat yang penuh ancaman, “karena rakyat bangsa Papua Barat dalam ancaman pemusnahan yang serius”. Malam itu, polisi mengeluarkan surat penangkapan terhadap Buchtar Tabuni dan dua hari kemudian memasukkannya ke dalam tahanan atas tuduhan melakukan tindak pidana makar dan penghasutan – atas aksi demonstrasi tanggal 16 Oktober. Sebby Sambon, peserta lain dalam aksi protes, ditangkap tanggal 17 Desember tapi kemudian dibebaskan atas dasar teknis.42 Sementara itu, Buchtar akhirnya dihukum
39
Target mereka 573 mahasiswa, tapi hanya beberapa puluh yang pulang ke Papua. Beberapa menurut laporan khawatir rencana aksi akan berujung pada kekerasan, seperti kejadian “Abepura berdarah”. Sebuah kelompok menanyakan ke Mathias Wenda, ketua OPM, tapi dia tidak tahu menahu tentang himbauan ke mahasiswa untuk pulang ke Papua. Komunikasi Crisis Group via email dengan aktivis berbasis di Jayapura yang terlibat dalam perencanaan “eksodus”, Januari 2010. 40 “Seruan Demonstrasi Terbesar Dalam Sejarah Papua”, The Great Benny Wenda (http://thegreatwenda.wordpress.com), 25 November 2009. Kelompok lain yang katanya akan bergabung yaitu Dewan Adat Papua, KNPB, Otoritas Nasional Papua Barat, Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papya Indonesia, West Papua National Authority dan International Lawyers for West Papua. 41 “Deklarasi dan Kibarkan Bendera dari Kata Hatiku”, Andawat Papua, (http://andawat-papua.blogspot.com), 1 Desember 2008. 42 Sebby Sambon bersikeras bahwa ia tidak berperan dalam mengorganisir demonstrasi tapi karna kemampuan bahasanya, ia diminta membaca sebuah pernyataan dalam bahasa Inggris dari IPWP. Ia juga bertindak sebagai koordinator keamanan demonstrasi, dimana menurutnya perannya adalah berusaha dan mencegah bentrokan antara para demonstran dan pasukan keamanan. Ketika diinterogasi oleh polisi ia mengatakan Papua tidak perlu berpisah dari Indonesia asalkan ada “dialog dengan
harga diri” antara kedua belah pihak dan keadilan atas pelanggaran HAM. Ketika dikonfrontasi dengan sebuah video dimana ia menyebut dirinya sebagai bagian dari “generasi muda yang berjuang untuk kemerdekaan” ia mengatakan “kemerdekaan” bisa berarti banyak, termasuk kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi dan hak-hak dasar lain. Testimoni Sebby Sembon, 18 Desember 2008, dalam berkas perkara Sebby Sembon, op.cit.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Page 9
III. AKSI KNPB
Crus 1991 di Dili, Timor Timur) versi Papua, yang pada akhirnya akan meradikalisasi massa.45
Dengan Buchtar berada dalam penjara, Victor Yeimo mengambil alih KNPB sebagai ketua. Pada bulan November 2008, ketika kampanye “zona darurat” sedang dibahas, jelas bahwa beberapa dari kelompok pegunungan berusaha meyakinkan untuk melakukan aksi kekerasan. Mereka berargumentasi karena pemerintah Indonesia telah menolak untuk menyelesaikan persoalan status politik Papua lewat dialog, dan bahkan DPRD Papua tidak serius untuk mengusahakan hal itu, maka jalan damai ke depan sudah tertutup.43 Satu-satunya alternatif adalah kerjasama lebih dekat dengan gerakan perjuangan bersenjata. Tidak jelas apa sikap yang diambil oleh Victor Yeimo dalam pembahasan tersebut, tetapi setelah ia mengambil alih kontrol KNPB, ia mulai bertindak sebagai semacam pejabat humas bagi tiga komandan utama TPN/OPM, yaitu Kelly Kwalik dari Timika, Goliat Tabuni dari Puncak Jaya, dan Etius Tabuni dari Wamena. Selain itu, berita mengenai kegiatan mereka dalam blog berbahasa Inggrisnya, http://opeeem.blogspot.com, memperlihatkan sebuah tingkat koordinasi politik, terutama berkaitan dengan pemboikotan pemilu, dengan OPM menyerang TPS-TPS (Tempat Pemungutan Suara) di beberapa wilayah.
A. AKSI DI NABIRE
Namun kembali para radikal tidak berhasil. KNPB menyerukan untuk melakukan demonstrasi anti pemilu di DPRD Papua tanggal 11 Maret 2009, tapi hanya sekitar ratusan orang yang datang, jauh dibawah harapan, dan beberapa aktivis mulai kehilangan harapan bahwa mereka akan dapat menaikkan suhu politik di papua secara memadai untuk mempertahankan momentum bagi dukungan internasional.44 Faktor waktu ini sangat penting, karena awal April Benny Wenda dan rekan-rekannya berencana untuk meluncurkan sebuah kelompok baru, International Lawyers for West Papua (Pengacara Internasional Papua Barat) atau ILWP, dari Guyana dan mereka perlu memperlihatkan dukungan massa. Pada saat ini, kelompok-kelompok sempalan yang lebih radikal mulai muncul diantara para aktivis pegunungan (Buchtar Tabuni menyebut mereka sebagai partai tambahan), yang memutuskan untuk membuat situasi di Papua lebih panas. Mereka tidak berangan angan dapat memicu sebuah kebangkitan di Papua; namun mereka berharap bahwa sebuah respon yang opresif dari pasukan keamanan akan menjadi “super Santa Cruz” (pembunuhan massal Santa
Polisi Nabire bertekad untuk mengambil tindakan tegas terhadap kegiatan KNPB dekat-dekat hari pemungutan suara, ketika seluruh pasukan keamanan berada pada keadaan siap siaga dan jenjang karir masing-masing bisa berada dalam resiko apabila terjadi gangguan apapun. Maka pada tanggal 6 April pagi, mereka menggerebek posko KNPB dan menurut laporan menyita sejumlah pisau dan busur dan anak panah, sebuah bendera Bintang Kejora, dan beberapa spanduk dengan logo Bintang Kejora. Mereka juga menangkap lima belas orang yang dianggap pendukung dan simpatisan KNPB, semuanya belakangan dikenai tuduhan makar.
Pada 3 April 2009, beberapa ratus orang – 10,000 menurut laporan yang dibesar-besarkan di beberapa situs pro-kemerdekaan – yang diorganisir oleh KNPB berkumpul di depan kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Nabire dan mendengarkan beberapa pembicara mendorong warga Papua untuk tidak ikut pemilu, dan menyerukan sebuah referendum untuk penentuan nasib sendiri, dan mendukung ILWP. Nabire, yang terletak di bagian barat Propinsi Papua, adalah kampung halaman Victor Yeimo, tapi tampaknya aksi di Nabire dikoordinasi oleh koordinator lapangan KNPB Nabire, Zeth Giyai. Ketika mereka tidak mendapat tanggapan dari Komisi Pemilu, kelompok tersebut bergerak ke sebuah taman dekat kantor KPUD di depan eks gedung DPRD Nabire, mendirikan posko dengan kayu dan tenda, dan membentangkan spanduk-spanduk yang berbunyi “Otonomi Khusus di Papua Sudah Gagal, Kami Rakyat Papua Menuntut Referendum, Bukan Pemilu”, “Rakyat Papua Barat Mendukung Peluncuran ILWP di Amerika” dan “Review Pepera 1969 dan Adili Semua Pelanggaran HAM Sampai Tuntas”.
Beberapa saat kemudian pada pagi hari itu, KNPB mengadakan demonstrasi lagi. Ketika polisi dari Polres Nabire dikirim untuk melakukan negosiasi agar demonstrasi dihentikan, mereka dibalas dengan teriakan “Serang” dari seorang pemimpin perempuan bernama Monika Zonggonau (juga dikenal Monika Migau), diikuti
45 43
“KNPB Surat Pemberitahuan Soal Rencana Perayaan 1 Desember 2008”, op. cit. 44 Media memperkirakan yang datang sekitar ratusan; tapi KNPB menyebut 2,500 orang berpartisipasi. http://wptoday. wordpress.com/2009/03/11/ribuan-massa-knpb-duduki-dprptolak-pemilu-2009-dan-tuntut-referendum.
Wawancara Crisis Group, aktivis mahasiswa, Jayapura, Januari 2010. Tanggal 12 November 1991 pasukan TNI menembaki para demonstran Timor Timur yang sedang bergerak di pemakaman Santa Cruz di Dili, yang saat itu menjadi ibukota propinsi (sekarang negara) Timor Timur. Jumlah korban tewas keseluruhan tidak pernah diketahui, tapi kemarahan di Timor Timur maupun internasional merubah dinamika politik dan gerakan kemerdekaan secara tak terkira.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
oleh hujanan batu dan panah.46 Empat petugas polisi luka ringan dan sebuah kendaraan di tempat kejadian rusak. Polisi mengeluarkan tembakan peringatan, dan kemudian menurut laporan menembak ke arah massa, melukai enam orang. Dari lima belas orang yang ditangkap di posko KNPB, semuanya, kecuali dua orang, berpendidikan rendah atau malah tidak berpendidikan sama sekali, yaitu para petani atau buruh Papua yang kebetulan bergabung dalam demonstrasi tapi tidak punya afiliasi apapun sebelumnya dengan KNPB dan tidak pernah terlibat dalam kegiatan radikal sebelumnya. Mereka juga tidak punya akses ke pembela hukum setelah ditahan. Meskipun isi Berita Acara Pemeriksaan atau BAP mereka kelihatannya memperlihatkan sejumlah jawaban yang sudah dipersiapkan oleh polisi, ada juga informasi yang meyakinkan.47 Contohnya, salah seorang tersangka mengatakan bahwa ia dan temantemannya dikumpulkan oleh sekelompok mahasiswa Papua berjumlah sekitar sepuluh orang yang pulang dari Jawa dan Bali, dan menginstruksikan mereka untuk ikutan.48 Limabelas orang yang ditangkap diadili beberapa bulan kemudian dan vonis hakim dijatuhkan tanggal 7 September 2009. Para hakim menerima bahwa orang-orang ini tidak berperan dalam merencanakan demonstrasi atau membuat spanduk. Sebagian besar tak tahu demonstrasi tersebut mengenai apa ketika mereka bergabung, tapi ikutan ketika mereka lihat ada anggota dari suku mereka (Mee) yang ikut demo. Ketika seorang saksi mengklaim bahwa salah seorang dari tersangka berteriak “Ini Papua, kita ingin merdeka!”, hakim menilai teriakan semacam itu sendirian tidak bisa dianggap sebagai tindak kirminal atau bukti makar; tapi lebih merupakan ekspresi emosional sesaat. Kelimabelas tersangka tersebut akhirnya dibebaskan, dimana hal ini memperlihatkan dari awal mereka seharusnya tidak ditangkap.
Page 10
B. SERANGAN 9 APRIL TERHADAP POLSEK ABEPURA Tak lama setelah demonstrasi di Nabire, kerusuhan pecah di Abepura dini hari tanggal 9 April 2009, hari pemilu. Sekitar jam 1 dini hari, beberapa puluh orang dari pegunungan tengah bergerombol di depan Mapolsek Abepura, lokasi serangan tahun 2000, dengan bersenjata busur dan panah dan bom Molotov. Polisi melepaskan tembakan dengan peluru tajam, melukai lima orang, salah satunya kemudian tewas karena luka-lukanya.49 Polisi kemudian menggerebek Asrama Ninmin, asrama yang digunakan oleh para aktivis pegunungan yang menjadi sasaran polisi setelah serangan tahun 2000. Mereka menangkap delapan mahasiswa, tapi kemudian dilepaskan. Yang diadili atas serangan tersebut hanya empat orang yang mengalami luka tembak oleh polisi, dan kasusnya sendiri kacau. Menurut BAP salah seorang tersangka, aksi penyerangan sudah direncanakan malam sebelumnya di sebuah rumah di wilayah Tanah Hitam, Jayapura. Sekitar dua puluh orang dari pegunungan tengah mengikuti sebuah pertemuan yang dipimpin Viktor Yeimo dari KNPB dan sepakat untuk menyerang mapolsek sebagai sasaran. Mereka yang hadir dibagi menjadi dua kelompok untuk aksi serangan tersebut, satu kelompok bertugas di depan menggunakan anak panah dan yang satu kelompok lagi di belakang melempar bom api. Bom Molotov disiapkan, dan penyerangan dimulai sekitar jam 1 pagi.50 Namun dalam persidangan, tersangka yang sama mengatakan ia tidak ikut serta dan tidak tahu bahwa aksi penyerangan sedang direncanakan. Ia kebetulan sedang lewat mapolsek dalam perjalanan pulang dan tertembak ketika sedang menonton kejadian penyerangan terjadi.51 Seorang mahasiswa kelahiran Wamena yang lain yang baru saja pulang ke Papua dari Jawa tengah seminggu sebelumnya mengatakan dalam BAP nya bahwa ia bergabung dalam aksi penyerangan setelah menerima sebuah sms yang mengatakan “Kawan-kawan segera kumpul di Abe malam ini ada aksi gagalkan pemilu dan 49
46
Testimoni Jejen Yusendi, 28 Mei 2009, dalam berkas perkara Koutouki dll, op.cit., dan “Di Nabire, Aparat Bentrok Dengan Pengunjuk Rasa”, Cenderawasih Pos, 7 April 2009. Monika Migau dituduh menyulut kejadian saat itu tapi kelihatannya tidak pernah ditangkap. 47 Lihat testimoni para tersangka dalam berkas perkara Frans Koutouki dll, op. cit. Jawaban yang sudah disiapkan kelihatan sekali ketika pertanyaan yang sama, dengan jawaban yang persis sama, muncul dalam deposisi yang berbeda; ketika informasinya tidak sama dengan testimoni yang lain, mungkin informasi tersebut bisa lebih dipercaya. 48 Testimoni Derias Anouw alias Anoubo, 6 April 2009, dalam berkas perkara Frans Kotouki dll, op. cit.
Andi Gobay, Dino Abugi, Yance Yogobi dan Jhoni Hisage ditangkap setelah ditembak; mereka kemudian diadili dan dibebaskan. Eri (Erik) Logo, 23, meninggal karena lukalukanya di rumah sakit Jayapura tanggal 22 April 2009. Lihat “Jenazah Erik Tiba di Wamena”, Papua Pos, 24 April 2009. 50 Testimoni Yance Yogobi, 11 April 2009, dalam Koalisi Masyarakat Untuk Keadilan dan Perdamaian Papua, “Dokumen Kasus Penyerangan Mapolsek Abepura Tanggal 09 April 2009”, Jayapura, tak bertanggal. Yogobi, seorang etnis Dani, adalah seorang mahasiswa di Universitas Sains dan Teknologi University in Jayapura pada saat itu. 51 “Putusan No.391/Pid.B/2009/PN.JPR” dalam Koalisi Masyarakat Untuk Keadilan dan Perdamaian Papua, “Putusan Kasus Penyerangan Mapolsek Papua”, tak bertanggal, hal. 20.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
sebelum masuk ke Abe kita kumpul di dekat SMP 4 Kodya Jayapura”.52 Mahasiswa yang sama, walaupun mengakui menerima sms, tetapi kemudian membantah di dalam pengadilan bahwa ia secara aktif terlibat. Katanya, ia tidak pernah ditanyai; BAP nya adalah rekayasa penuh.53 Katanya ia juga tertembak ketika sedang pulang ke rumah. Sementara BAP tiga dari empat tersangka memperlihatkan bahwa mereka telah diberi bom Molotov sebelum aksi penyerangan, meskipun mereka tertembak sebelum sempat melemparkan bom tersebut, jaksa tidak berusaha mengklaim bahwa tersangka ke empat, Jhoni Hisage, telah terlibat. Ia sedang minum-minum dengan temantemannya dan samar-samar hanya ingat orang-orang berlarian tapi katanya ia sedang mabuk saat itu dan tidak bisa ingat detil yang berkaitan dengan aksi penyerangan.54 Seorang saksi polisi bersaksi bahwa sekitar jam 11.30 malam tanggal 8 April, ia dan yang lain di mapolsek mendengar bahwa akan segera ada aksi penyerangan. Mereka melakukan patroli dan melihat sekitar 30 orang sedang berlari ke arah mapolsek, sambil berteriak dan melakukan tarian perang. Saksi polisi tersebut mengatakan ia dan anak buahnya melepaskan tembakan peringatan ke arah udara setelah mereka mendengar suara ledakan dan salah seorang penyerang melepaskan anak panah ke arah mapolsek.55 Tetapi tidak ada konfirmasi mengenai tembakan peringatan, dan mereka yang terluka kelihatan telah tertembak segera setelah penembakan dimulai. Para penyerang lari setelah tembakan pertama dilepaskan. Para hakim memutuskan bahwa mustahil untuk menetapkan dari bukti-bukti yang dikemukakan apakah para tersangka membawa bom Molotov; dan tidak ada saksi yang bisa secara jelas mengidentifikasi bahwa ada bom Molotov diantara para penyerang. Akhirnya semua dilepaskan tanggal 18 Januari 2010.
Page 11
C. PEMBAKARAN KANTOR REKTOR UNIVERSITAS CENDERAWASIH Sekitar setengah jam setelah mapolsek diserang tanggal 9 April, gedung rektor Universitas Cendrawasih dibakar. Satpam kampus menelepon dinas kebakaran tapi mobil kebakaran mereka sedang kehabisan air, dan karena sudah tersebar berita ada perintah “tembak di tempat” dari polisi setelah penyerangan mapolsek, mahasiswa dan staf kampus tidak berani mendekati gedung rektor.56 Polisi baru tiba di lokasi jam 6.15 pagi. Gedung rektorat terbakar selama enam setengah jam tanpa ada upaya untuk memadamkannya. Lantai satu, yang menjadi ruang tempat menyimpan dokumen mahasiswa, fakultas dan staf, terbakar habis. Lantai dua, dimana arsip-arsip keuangan berada, terbakar sebagian, dan lantai tiga, dimana kantor rektor dan asisten rektor berlokasi, tidak tersentuh api. Penjelasan dari beberapa LSM mengenai kebakaran tersebut mengesankan seolah-olah hal ini adalah bagian dari upaya yang lebih besar dari pasukan keamanan untuk menciptakan konflik; sumber lain menduga mahasiswa tidak senang dengan upaya rektor untuk membatasi kegiatan politik di kampus.57 Namun dalam sebuah pernyataan tertanggal 13 April oleh Victor Yeimo yang tampil dalam situs West Papua Today milik KNPB memperlihatkan pandangan yang berbeda mengenai kejadian tersebut.58 Ia mengatakan Penyerangan di Mapolsek Abepura dan Pembakaran Kampus Uncen murni dilakukan oleh “rakyat bangsa Papua Barat”. Jakarta belum mempunyai kemauan politik untuk menyelesaikan masalah Papua. Banyak orang Papua, katanya, merasa mereka bukan warga negara Indonesia dan bahwa Papua Barat bukan merupakan bagian dari Republik Indonesia. Sebagian yang lain kecewa karena daftar calon legislatif untuk pemilu yang akan datang tetap dikuasai oleh para pendatang yang mana tidak sesuai dengan semangat “otonomi khusus”. Pemilu bukanlah solusi dalam penyelesaian masalah Papua. Lebih jauh ia melanjutkan, binatangpun tidak akan mentolerir perlakuan brutal yang diterima oleh rakyat Papua yang dilakukan kekuasaan Indonesia, dengan memberi contoh penembakan Opinus Tabuni tanggal 9
52
Isi sms tersebut “Kawan-kawan segera kumpul di Abe malam ini ada aksi gagalkan pemilu dan sebelum masuk ke Abe kita kumpul di dekat SMP 4 Kodya Jayapura”. Testimoni Dino Abugi, 3 Mei 2009, dalam “Dokumen Kasus Penyerangan Mapolsek Abepura”, op. cit. 53 “Putusan No.391/Pid.B/2009/PN.JPR” dalam Koalisi Masyarakat Untuk Keadilan dan Perdamaian Papua, “Putusan Kasus Penyerangan Mapolsek Papua”, tak bertanggal, hal. 19. 54 Testimoni Jhoni Hisage, 9 Mei 2009, dalam “Dokumen Kasus Penyerangan Mapolsek Abepura”, op. cit. 55 “Putusan No.391/Pid.B/2009/PN.JPR” dalam Koalisi Masyarakat Untuk Keadilan dan Perdamaian Papua, “Putusan Kasus Penyerangan Mapolsek Papua”, tak bertanggal.
56
“Rangkaian Peristiwa Menjelang”, Koalisi Keadilan dan Perdamaian Tanah Papua (http://koalisi-adildamai.tabloidjubi. org), 9 April 2009. 57 Wawancara Crisis Group, organisasi-organisasi HAM Papua dan sumber gereja, Juli 2009. Untuk implikasi mengenai keterlibatan pasukan keamanan, lihat Tim Kerja Konsensus Nasional Bangsa Papua, “Laporan Konflik Kekerasan di Tanah Papua”, 3 Agustus 2009. 58 “Pernyataan Umum Dibalik Penyerang Mapolsek Abepura &Pembakaran Kampus Uncen”, West Papua Today (http:// wptoday.wordpress.com/), 13 April 2009.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Agustus 2008 di Wamena dan kegagalan polisi untuk mengungkap pelakunya.59 Penyerangan terhadap rektorat Universitas Uncen Wamena, katanya, dilatarbelakangi oleh luka lama mahasiswa terkait struktur kampus yang menghimpun “para borjuis kampus” yang tunduk kepada kekuasaan untuk mendominasi kehidupan kampus dan oleh perlakuan diskriminasi rektor terhadap kelompok suku tertentu. Faktor yang kedua merupakan topik posting-an keesokan harinya di situs yang sama dengan judul :”Alasan Utama Pembakaran Gedung Rektorat Universitas Cenderawasih”. Meskipun KNPB tidak menyatakan bertanggungjawab, namun mereka mampu menjelaskan mengapa rektorat menjadi sasaran. Rektor Uncen saat ini berasal dari Sorong dan menurut kabar memberi seluruh peluang kerja dan pendidikan lebih lanjut kepada kroni-kroninya dari Sorong. Dosen-dosen muda berprestasi dari suku lain tidak mendapat kesempatan beasiswa, tapi tidak berani untuk protes karena takut dipecat. Oleh karenanya, lulusan Uncen semakin berpandangan sempit dan menjadi antek NKRI. Kurikulum kampus tidak ada hubungannya sama sekali dengan kebutuhan Papua dan kampus menjadi sarang aparat keamanan.60
D. PENGGEREBEKAN RUMAH VICTOR YEIMO Pada tanggal 18 April 2009, polisi menggerebek rumah Victor Yeimo di Nabire. Dari tempat persembunyiannya, Victor menyebarkan pesan sms mengutuk ‘kebiadaban’ polisi dan mengatakan sebenarnya polisilah yang paling bertanggung jawab atas aksi-aksi penyerangan karena mereka telah membangkitkan emosi massa dengan memotong semua jalur untuk ekspresi demokrasi.61 Ia mengulang ucapan dari pernyataan sebelumnya bahwa dua aksi penyerangan tanggal 9 April dilakukan secara spontan oleh Rakyat Papua dan bukan oleh KNPB secara organisasi.62 Namun pernyataan tersebut membiarkan terbuka kemungkinan bahwa individu-individu dari KNPB telah terlibat. Kecurigaan polisi terhadap KNPB bertambah tanggal 30 Mei ketika sekretaris KNPB Demus Wenda mengatakan kepada seorang wartawan bahwa KNPB bertanggung jawab terhadap sebagian besar aksi politik besar, yang
Page 12
melibatkan kekerasan maupun tidak, yang telah terjadi di Papua tahun 2009, termasuk percobaan penyerangan mapolsek Abepura; pembakaran Uncen; pendudukan lanud Kapeso (lihat bawah); pengibaran bendera Bintang Kejora di sebuah SMP di Hawai, Sentani; dan penyerangan terhadap petani di Tanah Hitam pada bulan Juni.63 Artikel lain mengutip Wenda yang mengatakan bahwa aksi-aksi ini telah disepakati bersama dalam sebuah pertemuan yang dihadiri sejumlah elemen pro-kemerdekaan, termasuk TPN/OPM dan KNPB.64 Tabuni, dari dalam penjara, mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa tak satupun dari pernyataan Wenda adalah benar, dan bahwa KNPB adalah organisasi non kekerasan, lebih jauh ia mengatakan tidak pernah mengenal Demus Wenda.65 Namun Victor Yeimo mengatakan kepada seorang wartawan bahwa sebenarnya Demus Wenda telah dipilih secara mendadak sebagai sekretaris ketika terjadi re-organisasi setelah Tabuni ditangkap, dan karena koordinasi yang kurang baik, Tabuni belum diberitahu mengenai hal itu. Menurut Yeimo, pada awalnya, KNPB berjuang kearah tujuan keadilan, pembangunan dan HAM sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua, tapi karena tiap KNPB mensponsori aksi unjuk rasa, anggotanya ditangkap dan dituduh melakukan makar, akibatnya beberapa mulai bertindak kasar. Lanjut Victor, oleh karena akumulasi kekecewaan dan frustasi, “kami bergabung dengan OPM”.66 Victor Yeimo ditangkap tanggal 22 Oktober 2009; Demus Wenda masuk DPO hingga sekarang.
E. MEMUTUS HUBUNGAN DENGAN MASA LALU Pergeseran sedikit demi sedikit ke arah kekerasan bisa dilihat di salah satu paparan yang paling jelas mengenai ideologi KNPB, yang ditulis sebagai reaksi terhadap pernyataan Demus Wenda yang banyak dirilis media. Berikut ini adalah penjelasan tersebut dalam versi yang lebih singkat: KNPB adalah organisasi vanguard dalam gerakan demokratik yang secara sedikit demi sedikit bergeser kearah aksi militer, sebagai akibat beberapa hal: kegagalan generasi tua, kegagalan perjuangan damai,
59
Opinus Tabuni ditembak dalam perayaan Hari Orang Asli Sedunia PBB di Wamena yang dihadiri ribuan orang dari pegunungan tengah dan dimana bendera Bintang Kejora dikibarkan. 60 “Alasan Utama Pembakaran Gedung Rektorat Universitas Cenderawasih”, West Papua Today (http://wptoday.wordpress. com), 14 April 2009. 61 “Di Nabire, Rumah Victor Yeimo diserbu Polisi”, West Papua Today (http://wptoday.wordpress.com), 19 April 2009. 62 Ibid.
63
“KNPB Klaim Bertanggung Jawab,” Suara Weko Papua, 1 Juni 2009; “KNPB Bukan Biang Kerusuhan”, Cenderawasih Pos, 4 Juni 2009. 64 “OPM-KNPB Bukan Separatis”, Papua Pos, 3 Juni 2009. 65 “KNPB Bukan Biang Kerusuhan”, op. cit. 66 “Internal KNPB Kurang Koordinasi”, Papua Pos, 5 June 2009. Perkembangan ini dikonfirmasi dalam wawancara yang dilakukan dengan aktivis mahasiswa Papua bulan Januari 2010.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
dan perlunya identifikasi yang jelas siapa musuh, dalam hal ini yaitu imperialisme. Generasi tua mempunyai dua kelemahan yang sangat fatal. Mereka tidak pernah mengembangkan ideologi atau tradisi perjuangan secara kontinyu yang bisa dilanjutkan oleh kaum muda. Untuk membatasi panggung politik agar tidak diambil-alih oleh kaum muda revolusioner, banyak yang memutuskan untuk bekerjasama dengan musuh. Tindakan mereka didukung oleh segelintir pemuda yang reaksioner, sehingga banyak dari pejuang generasi muda yang menyerah kalah sebelum perang dengan cara menempatkan seluruh jiwa raga mereka dalam sistem busuk sebagai PNS, politikus, pekerja LSM, atau wiraswastawan. Ada banyak kasus dimana para generasi muda yang berjuang secara revolusioner mengembangkan perjuangan berbasis gerakan massa tetapi kemudian dihambat oleh generasi tua reaksioner yang menjadi kolaborator Freeport. Generasi muda yang kritis sekarang menghabiskan potensinya di balik terali besi atau diusir keluar tanah air.
Page 13
agenda referendum; dan membangun kekuatan gabungan diantara seluruh rakyat Papua Barat untuk menuntut referendum.68
Sementara untuk perjuangan damai, merupakan agenda tersembunyi generasi tua yang didukung modal asing, terutama Freeport dan BP. Logikanya sederhana : situasi Papua harus aman agar eksploitasi bisa dijalankan dengan leluasa. Gerakan demokratik berbasis massa dengan taktik membangun aliansi, perlu dikembangkan, berdasarkan analisa situasi lokal, nasional dan internasional. Gerakan militer juga perlu dibangun supaya persiapanpersiapan bisa berlangsung dalam bentuk logistik militer, dukungan rakyat, propaganda media massa, basis dana dan pembangunan sistem tandingan sebagai embrio negara baru. Ingatlah bahwa kita berada dalam sebuah dunia dimana kemerdekaan sebuah bangsa diharuskan untuk lahir dari laras senapan, bukan dari mata tombak atau mata panah! Gerakan demokratik dan ofensif militer harus dijalankan secara bersamaan karena hal ini merupakan cara bagi kaum tertindas untuk memperkuat konsolidasi gerakan.67 Dalam bahasa yang kurang orisinal, KNPB dalam kongres pertamanya yang dilaksanakan dari tanggal 2124 Agustus 2009 di Jayapura mengeluarkan tiga buah resolusi, yaitu: menolak upaya dialog atau negosiasi apapun antara elit Papua dan Indonesia; segera mempersiapkan kekuatan militer untuk mendorong
67
Manuel Nek Nek, “Tanggung-Jawab KNPB: Antara Aksi Demokratik dan Aksi Militer!”, West Papua Today (http:// wptoday.wordrpress.com), 1 Juni 2009.
68
Komite Nasional Papua Barat, “Pers Release, Resolusi Politik Nasional Papua Barat, Port Numbay”, 24 Agustus 2009.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
IV. PUNCAK JAYA Pengaruh para aktivis pegunungan di KNPB membuat kegiatan gerilya di Puncak Jaya menjadi lebih menarik dari pada tempat yang lain. Kabupaten yang terletak di salah satu wilayah paling miskin dan paling terpencil di Indonesia ini didera oleh kekerasan berat selama tahun 2009. Puncak Jaya merupakan kampung halaman komandan OPM, Goliat Tabuni, yang namanya menjadi dikenal bukan saja karena kegiatannya tapi juga karena liputan secara ekstensif mengenai kegiatannya oleh media-media yang terkait KNPB, termasuk blog dan situs internet. Beberapa insiden sekarang kelihatannya merupakan reaksi langsung terhadap kegiatan KNPB. Sebuah aksi penyerangan terhadap konvoi anggota Brimob tanggal 15 April 2009 contohnya, menurut laporan merupakan balas dendam Tabuni terhadap kematian seorang mahasiswa KNPB setelah serangan di Mapolsek Abepura seminggu sebelumnya. Aksi-aksi anti pemilu Tabuni mungkin juga mencerminkan komunikasi dengan KNPB. Namun, dinamika politik di daerah tersebut juga sangat ditentukan oleh faktor lokal. Dan apabila Goliat, yang berbasis di distrik Tingginambut, merupakan salah satu kekuatan politik, kekuatan politik yang lain adalah Lukas Enembe, seorang bupati Puncak Jaya. Keduanya punya masalah dengan TNI dan Polri (Polisi Republik Indonesia).
A. TABUNI, ENEMBE DAN PASUKAN KEAMANAN Menurut polisi, Goliat Tabuni mengomandoi sebuah pasukan yang berjumlah sekitar 30 hingga 40 orang, dengan basis dukungan yang jauh lebih besar di sekitar Tingginambut. Tahun 2009, diyakini anak buahnya memiliki sekitar selusin senjata api standar, yang dirampas dari aksi penyerbuan atau dibeli dari personil militer atau polisi yang korup.69 Nama Goliat pertama kali dikenal setelah konfrontasinya dengan unit Kopassus di Guragi, Puncak Jaya bulan Agustus 2004.70 Ia menjadi 69
“Anggota TPN/OPM Jadi Tersangka”, Suara Weko Papua (http://infoweko.blogspot.com), 20 Januari 2009; “Kejadian Beruntun yang dilakukan OPM di Kabupaten Puncak Jaya”, press release, Polda Papua, 19 Maret 2009. Jumlah empat belas penembak muncul di “33,000 Warga Tingginambut Diungsikan”, Sinar Harpan, 3 Maret 2009. 70 Tanggal 17 Agustus 2004 Goliat kembali ke kampung halamannya Gurage, seolah-olah untuk mengunjungi makam orangtuanya dan berusaha menghentikan dibangunnya sebuah landasan pesawat terbang di tanah leluhur. TNI percaya ia sedang merencanakan untuk mengacaukan perayaan tujuh belas agustusan dan mengirim beberapa anggota TNI untuk mengawasinya. Salah seorang diserang. Kopassus kemudian
Page 14
perhatian nasional lagi bulan Oktober 2006 setelah serangkaian penyerangan di dan sekitar Mulia, ibukota kabupaten, yang terjadi setelah kerusuhan berat disana, dimana kemungkinan pergolakan politik lokal menjadi faktor.71 Ia tambah terkenal lagi pada bulan Maret 2009 ketika menjadi topik dalam program BBC Newsnight – berdasarkan gambar video yang dikirim langsung ke BBC di London, kemungkinan lewat jaringan KNPB.72 Sekitar tahun yang sama, Goliat menyatakan dirinya sebagai Komando Tertinggi Militer Revolusi Papua Barat (KTMRPB).73 Lukas Enembe adalah salah seorang politikus Papua paling menonjol dari pegunungan tengah. Ia kalah tipis dalam pilkada gubernur tahun 2006, tapi menang dengan mudah dalam pemilihan bupati Puncak Jaya melawan kandidat setempat tahun 2007 – dimana Goliat mendukung lawannya. Ia juga ketua Partai Demokrat cabang Papua. Ia tidak berteman dengan Tabuni (meskipun pernah ada komunikasi diantara keduanya), tapi selama ini vokal mengkritik cara pasukan keamanan menanggapi serangan separatis dan mengatakan secara terbuka bahwa mereka telah memperburuk keadaan.74
menyiapkan sebuah operasi besar untuk memburu Goliat yang berakibat pada pelanggaran HAM serius, termasuk laporan pembunuhan seorang pastor, Elias Tabuni, bulan September 2004. Lihat Socrates Sofyan Yoman, “Kasus Puncak Jaya: Murni Rekayasa Militer”, Elsham News Service, 3 November 2004. Socrates bukannya sumber yang netral, ia cenderung untuk membantah aksi-aksi yang dilakukan pasukan Goliat ketika anggota Goliat sendiri mengakui bertanggungjawab. Tapi kronologi dasar laporannya kelihatannya sesuai. Untuk diskusi kejadian yang sama, lihat Richard Chauvel, “Refuge, Displacement and Dispossession”, in Eva-Lotta E. Hedman (ed.), Conflict, Violence and Displacement in Indonesia (Ithaca, 2008), hal. 165-170. 71 “Report on the Situation in Mulia”, Ecumenical Council of Papuan Churches, 29 January 2007; Richard Chauvel, op. cit., hal. 162-165. 72 “Papua’s Struggle for Independence”, BBC (http://news.bbc. co.uk), 13 Maret 2009. Liputan tersebut termasuk interview dengan Tabuni, tayangan mengenai persenjataan, upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan pembakaran dua bendera merah putih. Senjata yang kelihatan sebagian besar tombak, busur, panah dan senapan tua untuk berburu. Senjata yang lebih canggih yang diperlihatkan termasuk dua senapan M-16, senjata buatan Pindad SS-1, dan AK-47, semuanya senjata standar Polri dan TNI. 73 Wawancara Crisis Group, sumber yang dekat dengan Tabuni, Jayapura, Februari 2010. 74 “Enembe Minta Semua Pasukan Ditarik Dari Puncak Jaya”, Cenderawasih Pos, 22 Oktober 2009.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Interaksi tiga arah antara TPN/OPM, pemerintah lokal dan pasukan keamanan menentukan arah konflik tahun 2009.75 Jumlah keseluruhan korban tewas tidak terlalu tinggi – tiga anggota TNI dan polisi, dan tiga warga sipil – dan mungkin membuat Enembe percaya bahwa pemerintah lokal bisa menyelesaikan konflik apabila pasukan keamanan tidak merintangi. Rasa frustrasinya dengan mereka tidak saja karena akibat negatif terhadap rakyat setempat tapi juga karena mereka terus menerus menuntut uang dari pemerintah setempat. Pasukan TNI tambahan dari luar Puncak Jaya dalam rotasi singkat adalah yang paling buruk, tapi polisi dan yang lain juga minta bagian mereka. Keamanan seharusnya merupakan bidang yang ditangani oleh pemerintah pusat di bawah undang-undang otonomi khusus Papua. Untuk memenuhi tuntutan mereka, pemerintah Puncak Jaya terpaksa harus kreatif melakukan penganggaran.76 Merupakan pertanyaan menarik apakah Enembe akan dapat berhasil membuat kemajuan dengan Tabuni apabila ia melakukan upaya serius – atau dibolehkan untuk membuat upaya serius – untuk menegosiasikan penghentian kekerasan. Sebuah upaya selama tiga minggu pada bulan Maret untuk mencoba membujuk Goliat untuk menyerahkan senjatanya tidak berhasil, tapi mungkin hal itu karena waktunya terlalu singkat atau tidak didukung oleh insentif yang serius; karena hasrat Goliat Tabuni untuk mendapat perhatian; karena kebutuhan TNI untuk memperlihatkan keberhasilan dalam meng-counter separatisme; karena keinginan polisi untuk memperlihatkan bahwa semua dalam keadaan “kondusif” dalam rangka pemilu; karena kebutuhan keduanya untuk menggalang dana secara lokal; dan karena tekad Enembe untuk mencegah mereka mengeringkan dana anggarannya. Pemilu berjalan cukup lancar, meskipun terjadi kekerasan, namun faktor lain terus mendorong konflik.
Page 15
B. KEKERASAN Siklus kekerasan yang terjadi saat ini dimulai tanggal 7 Januari 2009, ketika sekelompok warga desa yang sedang menonton TV di pos polisi (pospol) Tingginambut mencuri empat senjata api laras panjang pada saat petugas yang sedang off-duty/istirahat sedang makan di ruang sebelah. Istri seorang anggota pospol terluka ditikam senjata tajam.77 Penyerangan tersebut dipimpin Dicky, putra Goliat Tabuni, yang sudah sering keluar masuk pospol selama delapan bulan terakhir, mengobrol dengan polisi, mengambil makanan dan barang pemberian lain, dan sudah mengenal dengan baik layout pospol, termasuk dimana senjata disimpan. Polisi melihat Dicky sebagai kemungkinan cara untuk membujuk ayahnya untuk menyerahkan diri dan pada umumnya cukup toleran dengan kehadirannya di pospol. Oleh karena itu, mereka tidak siap ketika diserang.78 Tanggal 16 Januari, ketika Brimob dan Detasemen Khusus (Densus) 88 sedang melakukan operasi gabungan di sekitar Mulia, polisi mengatakan terjadi baku tembak dengan anggota TPN/OPM, dimana tiga orang tertembak. Satu tewas, yang satu lagi terluka tapi tampaknya tidak tertangkap, dan yang ketiga terluka dan kemudian tertangkap.79 Yang ketiga, Yendenak Wonda, menurut laporan adalah “kapten” kelompok Goliat.80 Ia dituduh dengan kasus pencurian dan kepemilikan senjata secara ilegal. Polisi membantah laporan-laporan yang mengatakan bahwa mereka menghancurkan rumah-rumah penduduk dan terjadi pengungsian besar-besaran dalam operasi sweeping yang dilakukan oleh polisi selanjutnya. Dan laporan ini juga tidak dapat dikonfirmasi oleh sumbersumber independen, sebagian karena akses ke wilayah tersebut sangat dibatasi.81 Tanggal 21 Februari, polisi melaporkan bahwa enam anggota kelompok Goliat menurunkan, merobek dan membakar bendera merah putih yang ditancapkan diatas
77
75
Di pihak militer, mereka terdiri dari pasukan dari Batalyon Infantri 754 dan tentara dari KOREM (Komando Resor Militer) 173 yang berbasis di Biak, yang meliputi pesisir utara Papua dan pegunungan tengah. Rencana untuk pembangunan Kodim (Komando Distrik Militer) terpisah belum terealisasi tahun 2009 karena keterbatasan dana (“Program Penambahan Kodim di Puncak Jaya”, Antara, 6 November 2009). Sebagai tambahan personil ke komando polisi setempat, 86 anggota Brimob (Brigade Mobil) dengan perintah menghadapi pemberontak ditugaskan ke seluruh distrik, dan unit anti teror Densus (Detasemen Khusus) 88, juga siaga apabila bantuannya dibutuhkan. 76 Wawancara Crisis Group, kolega Enembe, Jayapura, Januari 2010.
“Kapolda Papua Ultimatum OPM”, Cenderawasih Pos, 12 Januari 2009. 78 Wawancara Crisis Group, pejabat polisi, Jakarta, Februari 2010. 79 “Kejadian Beruntun”, op. cit. Orang yang diduga tentara OPM yang tewas adalah Wenda Muli dan rekannya yang terluka adalah Yembinas Murib. 80 Anggota TPN/OPM Jadi Tersangka”, op. cit. Lihat juga “Kronologis Kejadian”, op. cit. Wonda, kadang dieja Wenda, terluka parah dan dibawa ke rumah sakit di Mulia untuk diobati kemudian dievakuasi ke Jayapura. 81 Sumber anonim dari DAP dikutip di “Sweep Operations Imminent or Underway in The Central Highlands?”, West Papua Report - Februari 2009, West Papua Advocacy Team. Laporan-laporan mengenai akibat operasi pasukan keamanan di Puncak Jaya selama ini kadang dibesar-besarkan. Lihat contoh Crisis Group Briefing, Papua: Answers to Frequently Asked Questions, op. cit.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
sebuah bukit hanya beberapa jam sebelumya tak jauh dari pospol Tingginambut. Bukit tersebut hanya berjarak sekitar 500 meter dari pospol, dan aksi kelompok Goliat tersebut menurut laporan dilihat langsung oleh anggota pos polisi yang sedang bertugas. Laporan mengenai kejadian itu menyebutkan bahwa tersangka anggota OPM mengeluarkan tembakan sebanyak dua kali ke arah pos polisi, dan polisi membalas tembakan.82 Keesokan harinya, sekitar sepuluh orang, sekali lagi diduga anggota kelompok Tabuni, menurunkan dan membakar sebuah bendera merah putih yang telah ditancapkan di atas gunung antara kampung Monia dan Puruge, yang jaraknya sekitar 400 meter dari Pos TNI Batalyon Infantri (Yonif) 754. Tanggal 27 Februari, seorang penembak tak dikenal menembaki sebuah ojek dan mobil di Kali Semen, Puncak Senyum, distrik Mulia, melukai pengemudi mobil. Enembe menolak untuk menyalahkan aksi serangan tersebut ke kelompok Goliat, dan mengatakan senjata yang dirampas di awal tahun dipakai oleh geng kriminal “liar” untuk pencurian hasil panen dan ternak, penculikan dan pemerasan.83 Namun, Enembe dan pemerintah setempat mengatakan mereka akan mencoba pendekatan “persuasif” untuk meyakinkan anak buah Tabuni menyerahkan senjata mereka; polisi setuju untuk memberi mereka waktu tiga minggu untuk membantu polisi menemukan dan mengembalikan senjata yang dirampas.84 Namun tanggal 10 Maret, dua orang tukang ojek, keduanya pendatang dari Jawa Timur, ditusuk dan ditembak hingga tewas, sementara penumpang ojek yang orang Papua mengalami luka-luka dalam sebuah serangan yang menurut Kapolda Papua dilakukan oleh kelompok Goliat (dan bahwa salah seorang anak buah Goliat mengakui hal itu).85 Kapolda mengatakan gelombang serangan akhir-akhir ini tidak akan mengganggu pemilu, dan ia tidak berencana ntuk mengirim pasukan tambahan ke Puncak Jaya.86 Tetapi Enembe mengambil sikap yang lebih keras. Menurut sebuah koran lokal, ia mengatakan pendekatan persuasif sudah gagal, dan ia beserta DPRD akan memberikan mandat kepada TNI dan Polri untuk menangkap anggota OPM yang bertanggung jawab, hidup atau mati. Disaat yang sama, ia juga meminta, bahwa sebelum dilakukan operasi polisi, masyarakat di daerah tempat sasaran pengejaran harus diberitahu dan
82
“Kejadian Beruntun”, op. cit. “33,000 Warga Tingginambut Diungsikan”, Sinar Harpan, 3 Maret 2009. Lihat juga “OPM Beraksi Lagi”, Cenderawasih Pos, 28 Februari 2009. 84 “Polda Pengamanan Kasus di Tinggi Nambut”, Cenderawasih Pos, 3 Maret 2009 and “Kejadian Beruntun,” op.cit. 85 Wawancara Crisis Group, Jayapura, Januari 2010. 86 “OPM Tembak Mati 2 Warga Sipil”, Cenderawasih Pos, 11 Maret 2009. 83
Page 16
dievakuasi.87 Ia juga memperingatkan bahwa operasi ini harus dilakukan dengan cepat, supaya pemilu bisa terus berlangsung. Menanggapi tewasnya dua orang di Papua tersebut, Kapolda mengirim tim dari Densus 88 dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) untuk melakukan investigasi. Tanggal 13 Maret, terjadi sebuah serangan yang gagal terhadap pos Yonif 754 di Gurage, Tingginambut yang dijaga sekitar selusin tentara. Saat sedang melakukan patroli di sekitar pos keesokan harinya, Praka Saiful Yusuf dari Batalyon 754 tewas dalam sebuah aksi penyerangan. Para penyerang berhasil lolos dari pengejaran pasukan keamanan dengan membakar jembatan yang menghubungkan kota Mulia dengan Wamena di kabupaten tetangga Jayawijaya, sehingga membuat jalur transpotasi di daerah yang dikenal memiliki infrastruktur buruk ini semakin sulit. TNI mengatakan menanggapi kejadian ini mereka akan mengerahkan pasukan tambahan.88 Berada dibawah tekanan dari TNI untuk mengusut kematian anggota pasukannya, polisi mengumumkan bahwa mereka akan memberi hadiah sebesar Rp 10 juta bagi yang membantu menangkap salah satu diantara 10 anggota kelompok Goliat yang menjadi DPO (Daftar Pencarian Orang).89 Pemilu legislatif bulan April berjalan sebagian besar tanpa insiden, namun aksi penyerangan terus berlangsung. Tanggal 15 April, sebuah unit Brimob yang terdiri dari 7 orang diserang oleh anak buah Goliat; satu anggota Brimob tewas. Aksi penyerangan ini kemudian disebut Goliat sebagai aksi balas dendam terhadap aksi pembunuhan di Abepura.90 Operasi keamanan yang menanggapi kejadian ini memicu tuduhan dari warga bahwa pasukan keamanan melakukan penjarahan dan pemerasan sembari melakukan operasi pengejaran, sehingga Enembe membuat pernyataan kepada Gubernur Papua yang dipublikasikan secara luas bahwa semakin banyak pasukan keamanan yang dikirim ke Puncak Jaya, semakin tidak aman warga.91 Dalam sebuah rapat kerja para bupati sepegunungan tengah di Wamena tanggal 18 Mei, Enembe dan sekretaris daerah Puncak Jaya, Heri TH Dosinaen, juga menuduh operasi militer telah sangat membebani anggaran pemda kabupaten Puncak Jaya, tidak saja karena TNI menuntut bahwa pemerintah kabupaten menyediakan bantuan logistik tapi 87
Ibid. “Papua to see more troops after Saturday attack”, Jakarta Post, 18 Maret 2009. 89 “Military waits on police in OPM case”, Jakarta Globe, 15 Maret 2009 dan “Papua Police offer Rp 10 million cash reward”, Jakarta Post, 21 Maret 2009. 90 Wawancara Crisis Group, Jayapura, Januari 2010. 91 “Pembangunan Di Puncak Jaya Terkendala Konflik”, Cenderawasih Pos, 19 Mei 2009. 88
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
juga karena biaya yang harus ditanggung pemerintah dalam merawat korban pengungsi. "Apakah kita harus memberantas separatis tanpa ada konflik ataukah kita akan memberantasnya dengan menciptakan konflik baru yang dilatar belakangi oleh kepentingan elit sipil maupun militer, yang pada akhirnya berujung pada duit?" tanya Enembe.92 Menurut laporan, ia juga mengeluhkan poskoposko kemanan di sepanjang jalan Wamena – Mulia yang menarik pungutan liar, sehingga menaikkan biaya bahanbahan pokok dalam jumlah besar, termasuk pangan.93 Tanggal 23 Mei, seorang bersenjata melepaskan tiga kali tembakan ke arah pos penjaga di depan rumah Enembe, melukai seorang anggota polisi yang ditugaskan disana. Polisi mengatakan mereka sedang mengusut kejadian tersebut dan menduga pelakunya adalah OPM.94 Yang lain, termasuk Enembe, yakin bahwa pelaku penembakan adalah TNI, dan penembakan tersebut sebagai balas dendam atas pernyataan Enembe dalam Raker di Wamena.95 Seorang juru bicara dari kelompok Goliat, Iringgame Tabuni mengatakan,”Ini bukan operasi kami. Kenapa kita mau menembak Bupati Enembe yang mencoba membatasi operasi militer di Puncak Jaya?”96 Namun hubungan antara Goliat Tabuni dan Enembe agak tegang, karena Tabuni mendukung lawan Enembe dalam pemilihan bupati tahun 2007. Pernyataan dari juru bicara Tabuni mengenai Enembe pada bulan April menuduhnya berusaha memaksa rakyat Papua untuk menyatakan dukungan terhadap operasi militer.97
92
Ibid. Wawancara Crisis Group, Jayapura, Januari 2010. 94 “Rumah Bupati Puncak Jaya Ditembak: Pelaku Penembakan Diduga OPM”, Vivanews (www.vivanews.com), 25 Mei 2009. 95 “Tanggapi Keluan Pemkab Puncak Jaya, Kopassus Tembak Rumah Bupati Enembe”, West Papua Today (http://wptoday. wordpress.com), 26 Mei 2009. 96 Ibid. Iringgame sendiri sebelumnya mahasiswa di Jakarta dan salah satu yang diilhami ideologi sayap kiri. Setelah teror bom bulan Juli 2009 di Jakarta, ia mengatakan bahwa rakyat Papua seharusnya berterima kasih pada Noordin Top, otak pengeboman, karena ia menarget eksekutif asing yang memperbudak kaum miskin dan berhasil melukai seorang pejabat pensiunan Freeport. “Iringgame Tabuni: Rakyat Papua Harus Berterima Kasih Kepada Noordin M. Top”, West Papua Today (http://wptoday.wordpress.com), 13 Agustus 2009. 97 “Bupati Lukas Enembe Paksa Warga Puncak Jaya Setujui Pemboman Markas Goliat Tabuni”, West Papua Today (http:// wptoday.wordpress.com), 20 April 2009. Mengenai pemilu 2007, lihat Richard Chauvel, op. cit., hal. 162-165. Lawan Enembe dalam pemilihan bupati tahun 2007 adalah Elieser Renmaur, bukan orang Papua. 93
Page 17
Bentrokan antara TNI dan kelompok Goliat terus berlanjut hingga bulan Juni, dengan OPM melaporkan seorang anggota pasukannya tewas.98 Tanggal 24 Juni, pasukannya menghadang sebuah konvoi yang dipimpin Kepala Satuan Brimbob Papua dari Jayapura yang baru dilantik, dan menewaskan seorang anggota Brimob. Konvoi lima mobil, dimana Wakapolres Puncak Jaya juga berada dalam konvoi, diserang sekitar 50 meter dari pos Yonif 754 di Puncak Senyum, Tingginambut. Polisi membalas tembakan, namun para penyerang menghilang ke dalam hutan. Di Jayapura, Kapolda mengatakan mustahil untuk mengidentifikasi para penyerang karena mereka kabur dengan cepat, namun kelompok Goliat mengklaim bertanggungjawab, dan blog KNPB West Papua Today menulis dengan penuh kemenangan, “tekad tentara TPN/OPM untuk membebaskan rakyat Papua dari penjajahan Neo Kolonialis Rasis Indonesia (NKRI) ternyata tidak perlu diragukan lagi!”99 Juru bicara kelompok Goliat juga mengatakan bahwa Goliat memerintahkan rakyat Papua untuk tidak ikut memilih dalam pemilu presiden (Pilpres) mendatang, dan bahwa TPN/OPM akan terus melancarkan serangan terhadap para juru kampanye yang coba-coba “menghasut” rakyat Papua untuk terlibat Pilpres.100 Sikap tersebut hampir pasti mencerminkan adanya komunikasi dengan KNPB dan upaya memboikot pemilu. Pada kenyataannya, Pilpres bulan Juli di Puncak Jaya, seperti halnya dengan Pemilu Legislatif bulan April, berjalan cukup damai, meskipun beberapa TPS di wilayah Tingginambut dipindahkan ke distrik tetangga demi keamanan pemilih.101 Setelah itu konflik terus berlanjut. Tanggal 27 Agustus, seorang tentara TNI dicuri senjata laras panjangnya ketika diserang oleh orang-orang bersenjata pisau yang menurut Pangdam Cenderawasih terkait dengan Tabuni.102 Tanggal 20 Oktober, seorang penyerang tak dikenal menyerang para pekerja konstruksi dari PT Agung Karya di Kalome, Tingginambut, menewaskan seorang pekerja pendatang bernama Thamrin.103 Seorang juru bicara dari Kodam Cenderawasih mengatakan pelakunya dibawah komando dua orang anggota kelompok
98
“Victim continue in Puncak Jaya, West Papua”, OPEEEM West Papua News Update (http://opeeem.blogspot.com), 13 Juni 2009, dan “West Papua Report June 2009”, Australia West Papua Association, 7 Juli 2009. 99 “Tadi Gerilyawan TPN-PB Bunuh Satu Anggota Brimob”, West Papua Today (http://thewptoday.blogspot.com), 24 Juni 2009. 100 Ibid. 101 Lukas Yakin Pilpres Aman”, Bintang Papua, 27 Juni 2009. 102 “Soldier attacked in Tingginambut, Papua”, Antara, 27 Agustus 2009; Cunding Levi, “Military Personnel Attacked in Papua”, Tempo Interaktif (www.tempointeraktif.com), 27 Agustus 2009. 103 “Di Puncak Jaya, 1 Warga Sipil Tewas Ditembak OPM”, Cenderawasih Pos, 21 Oktober 2009.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Goliat Tabuni bernama Yaliron dan Pulao, dan polisi mengatakan bahwa sebuah operasi gabungan TNI-Polri akan mengejar mereka. Ia mengatakan kejadian tersebut bermula ketika dua orang meminta uang ke para pekerja konstruksi ini dan mereka tidak mengerti bahasa setempat.104 Namun Enembe mempunyai reaksi yang sangat berbeda. Dalam sebuah pernyataan yang emosional menanggapi kejadian ini, ia mengatakan penembakan warga sipil yang datang hanya untuk mencari nafkah memperlihatkan bahwa kehadiran pasukan keamanan di Puncak Jaya tidak memperbaiki keadaan keamanan, malah justru sebaliknya. Setiap pemerintah daerah ingin melakukan pembangunan, selalu ada hambatan yang luar biasa, katanya, dan ia sudah jenuh dan bosan dengan apa yang ia sebut skenario dari oknum tertentu yang ingin menjatuhkan stabilitas kabupaten. Ia meminta semua pasukan TNI dan Polri ditarik.105 Pada bulan November 2009, 200 anggota pasukan “non organik” TNI, yaitu pasukan tambahan untuk jangka pendek, ditarik.106 Akan tetapi, penyerangan terus berlanjut. Tanggal 15 Februari 2010, seorang anggota Brimob yang masih muda terbunuh dan senapan laras panjangnya dicuri di Mulia dalam sebuah penyerangan yang kelihatannya merupakan salah satu aksi kelompok Goliat Tabuni yang lain. Pada saat yang sama, sumber KNPB memperingatkan pada awal bulan Februari 2010 bahwa Goliat telah menjadi target operasi polisi dan bahwa ia menghadapi nasib yang sama dengan sesama komandan TPN/OPM yang lain yaitu Kelly Kwalik, yang terbunuh dalam sebuah operasi polisi bulan Desember 2009.107
Page 18
V. PENDUDUKAN LAPANGAN UDARA KAPESO Sekilas, pendudukan sebuah bandara terpencil oleh sebuah sekte di Kapeso, Memberamo Raya, arah Barat Puncak Jaya, kelihatannya tidak ada hubungannya dengan keluhan yang diangkat oleh KNPB. Tapi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, seorang pimpinan KNPB telah mengklaim bertanggung jawab, meskipun dalam kasus ini, kelihatannya hal itu lebih disebabkan oleh keinginan untuk menyatakan bahwa mereka juga memimpin aksi-aksi pro kemerdekaan apapun bersama dengan TPN/OPM, bukan karena mereka terlibat secara langsung dalam kejadian itu. Kabupaten Mamberamo Raya merupakan salah satu daerah pemekaran yang banyak diciptakan di Papua dan Papua Barat sejak tahun 1999. Kebijakan pemekaran ini telah seringkali menaikkan ketegangan lokal bersamaan dengan berbagai kelompok politik dan suku berebut kontrol. Dan Memberamo Raya tidak berbeda.108 Namun pendudukan bandara Kapeso lebih terkait dengan kedatangan dua individu karismatik, Nela Yenseren, seorang perempuan berusia 63 tahun yang mengaku mendapat wangsit dari Tuhan, dan Decky Imbiri, seorang ”kapten” yang ambisius di kesatuan TPN/OPM setempat.109 Nela Yenseren datang ke Kapeso dari Biak tanggal 27 November 2008, menyatakan bahwa Yesus Kristus sang “Jendral Besar” telah memberi instruksi kepadanya untuk datang dan mendirikan Kerajaan Sorga di Papua dan Tuhan telah menunjuk Kapeso sebagai lokasi Kerajaan Sorga. Ia meyakinkan jemaah Prostestan setempat bahwa Sungai Mamberamo adalah Sungai Yordan dan Danau Rombebay yang berada tak jauh adalah Laut Galilea. Ia juga menyatakan bahwa pendeta setempat, Musa Kawena, memegang kunci ke Kerajaan Sorga.110 Meskipun gereja 108
104
Ibid. “Enembe Minta Semua Pasukan Ditarik Dari Puncak Jaya”, Cenderawsih Pos, 22 Oktober 2009. 106 “Sekitar 200 pasukan TNI ditarik dari Puncak Jaya”, Koran Tempo, 30 November 2009. Mereka termasuk personil dari batalyon infantri 756 dan 754 yang berbasis di Wamena. Ada laporan dari sumber lokal bahwa penarikan pasukan terjadi sebagai hasil dari sebuah kesepakatan untuk membangun komando militer setempat yang lebih permanen di Puncak Jaya, tapi laporan ini tidak bisa dikonfirmasi secara independen. Wawancara Crisis Group, Jayapura, Januari 2010. 107 “Polda Papua Incar Goliat Tabuni”, West Papua Today (http://thewptoday.blogspot.com), 5 Februari 2010. 105
Untuk kajian kasus mengenai ketegangan ini di wilayah yang berbeda di Papua, lihat Crisis Group Briefing, Indonesian Papua: A Local Perspective on the Conflict (Papua: Perspektif Lokal atas Konflik), op. cit. 109 Decky kadang dieja Decki dalam laporan atau berita, dan nama belakangnya kadang dieja Imberi. Nela juga kadang ditulis Nella dengan nama belakangnya kadang dieja Yensenem atau Manseren, Manseren kebetulan juga nama karakter utama dalam legenda Koreri di wilayah Biak-Numfor, Manseren Manggundi. 110 “Gerakan Kargoisme Yang Dibelokan Oleh Gerakan Atas Nama OPM di Kapeso”, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Keadilan dan Perdamaian di Tanah Papua (KMSKP), 2009, dan “Bentrok di Kapeso, 4 Warga Papua Tewas”, KPKC Sinode GKI di Tanah Papua, 2009. Dua laporan mengenai kejadian, yang dikumpulkan oleh kelompok HAM dan gereja Papua, sedikit berbeda dalam detil, khususnya mengenai ramalanramalan. Selain itu, Nela Yenseren mungkin kembali ke Biak
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
setempat dan pejabat administratif meminta mereka untuk berhenti, kelompok Yenseren terus mengadakan pertemuan doa berdasarkan wangsit yang diterima Yenseren, dan para anggotanya meyakinkan pihak berwenang bahwa mereka tidak akan membuat masalah menjelang pemilu DPR bulan April 2009.111 Gerakan mesianis Manarmakeri yang diciptakan ini mirip dengan gerakan ribuan tahun yang lalu di Biak, yang bernama Koreri. Yenseren pun mengacu dengan tokohtokoh dari mitologi Koreri dalam khotbahnya.112 Gerakan ini menarik minat anggota OPM/TPN unit setempat dibawah Decky Imbiri yang awalnya ditugaskan untuk mendirikan sebuah zona otonomi sementara di daerah itu, tapi kemudian tidak mematuhi perintah tersebut dan malah bergabung dengan gerakan ini.113 Tanggal 3 April 2009 beberapa pengikut Imbiri bergabung kekuatan dengan jemaah gereja, dan menurut laporan Imbiri memberi mereka semua latihan militer, menggunakan tongkat kayu sebagai senjata.114 Apapun ambisi pribadinya, saksi mata setempat juga mengatakan Imbiri percaya bahwa ia dan para pengikutnya adalah tentara Joshua, tokoh dalam injil, yang ditugaskan membawa rakyat
dan balik lagi karena ia mengatakan kepada polisi bahwa ia tiba di Kapeso tanggal 3 April 2009 dan anak perempuannya menikah dengan orang Kapeso. Lihat testimoni Nella Yensenem [sic], 15 Juli 2009, dalam berkas perkara Nataniel Runggamusi, No Pol B/44/VII/2009/Dit Reskrim, 8 Juli 2009. 111 “Bentrok di Kapeso, 4 Warga Papua Tewas”, laporan KPKC, op. cit. 112 “Police retake airstrip from ‘TNI deserter’-led group,”, Jakarta Post, 8 Juni 2009, mengutip Pendeta Dora Balubun dari Protestan GKI, bahwa gerakan ini percaya mereka harus menentang negara Indonesia supaya terjadi Kedatangan Kedua. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai kultus ini lihat F. Ch. Kamma, Koreri – Messianic Movements in the Biak-Numfor Area (Den Haag, 1972), hal. 274-277; dan Danilyn Rutherford, Raiding the Land of the Foreigners (Princeton, 2003), hal. 25. 113 Wawancara Crisis Group, Port Moresby, 1 Desember 2009. Seorang pejabat polisi mengatakan Decky adalah bawahan seorang komandan OPM dari Demta yang berada tak jauh dan menggunakan kesempatan ini untuk mencoba membangun kekuatannya sendiri. Wawancara Crisis Group, Jakarta, 12 Februari 2010. 114 Polisi setempat, berdasarkan interogasi dengan tersangka, mengatakan Imbiri adalah seorang desertir TNI, laporan yang kemudian dikutip secara luas oleh media nasional, tapi komandan TNI setempat membantah laporan tersebut, mengatakan mereka punya informasi lengkap mengenai siapapun yang pernah bertugas dengan TNI di Papua, dan meskipun ada dua nama Imbiri, tapi bukan Decky. Lihat Angela Flassy, “Police retake airstrip from ‘TNI deserter’-led group”, Jakarta Post, 8 Juni 2009. “Pangdam Bantah Decki Imbiri Mantan Anggota TNI”, Antara, 9 Juni 2009.
Page 19
Papua yang tertindas keluar dari kungkungan menuju Tanah yang Dijanjikan.115 Pada awal bulan Mei, menurut laporan, Yenseren menyuruh jamaahnya untuk menduduki lapangan terbang untuk menyambut Yesus. Pada saat yang sama, kelompok Imbiri menurut laporan melihat tanda-tanda yang mengarah ke kantor PBB di New York. Hal ini mendorong dikibarkannya bendera Bintang Kejora di lapangan terbang tanggal 3 Mei oleh empat laki-laki dan empat perempuan dan kemudian pendudukan lapangan terbang sebulan kemudian.116 Salah seorang anak buah Imbiri mengatakan 36 orang anggota OPM dari Mamberamo dan sekitar 60 orang dari Serui ikut terlibat, bersenjatakan lima belas senjata rakitan beserta tombak, busur dan panah.117 Sekitar sepuluh perempuan dengan beberapa anak kecil juga dibawa untuk membantu menyiapkan makanan dan memasak buat rombongan OPM, ujarnya. Beberapa orang yang terlibat bukan gerilyawan berpengalaman. Salah seorang warga mengatakan ia baru bergabung sebulan sebelum pengibaran bendera Bintang Kejora, dibujuk oleh tetangganya yang menjanjikan bahwa ketika Papua merdeka, ia bisa jadi tentara.118 Decky Imbiri telah mengirim sebuah kapal motor ke Kabuena, Serui untuk menjemputnya dan sembilan orang
115
Menariknya, Imbiri sebagai Joshua katanya mengklaim mengambil alih dari wilayah yang komandan OPM/TPN Richard Yoweni (sekarang berperan sebagai Musa) telah gagal, karena ia telah menyesatkan para Israelites (orang Papua) selama empatpuluh tahun. “Bentrok di Kapeso, 4 Warga Papua Tewas”, KPKC, op. cit. 116 Tidak jelas dari laporan yang tersedia apakah ada dua kejadian terpisah, pengibaran bendera tanggal 3 Mei dan pendudukan lanud tanggal 13 Mei, atau apakah keduanya terjadi bersamaan dan salah satu tanggalnya salah. Tanggal yang pertama, beserta detil mengenai pengibaran bendera, berasal dari interogasi tersangka yang ditahan, tanggal kedua dari laporan-laporan dari organisasi gereja. 117 Nataniel Runggamusi memberitahu polisi bahwa Mamberamo dan Serui berada dibawah batalyon “Wilayah Timur Jauh” dipimpin Erick Manitori, yang melapor ke Richard Yoweni. Decky Imbiri adalah kapten di bawah Manitori. Lihat testimoni Nataniel Runggamusi, 8 Juli 2009, dalam berkas perkara Nataniel Runggamusi, No Pol B/44/VII/2009/Dit Reskrim. Hal ini berbeda dengan pernyataan dari laporan media yang mengutip kapolda yang mengatakan kelompok tersebut termasuk delapan belas keluarga setempat, sekitar limabelas anggota kelompok Imbiri, dan 80 orang yang ia rekrut dari luar. Lihat “Solusi Kapeso Kapolda Ajak Tokoh Agama”, Cenderawasih Pos, 2 Juni 2009. 118 Testimoni Yance Mambuai, 3 Juli 2009, dalam berkas perkara Nataniel Runggamusi, op. cit.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
lain yang telah direkrut untuk aksi yang telah direncanakan; semuanya diberi kartu identitas OPM.119 Segera setelah berita mengenai pengibaran bendera tersebar, lapangan terbang dikepung oleh unit-unit dari Brimob dan Densus 88, beserta sebuah unit yang dikerahkan dari Jakarta, semuanya dibawa ke Jayapura dengan speedboat.120 Polisi, pemimpin gereja dan kepala suku serta pejabat setempat berunding dengan para pelaku pendudukan selama tiga minggu, tapi sia-sia. Tanggal 4 Juni, para perunding menurut laporan berhasil meyakinkan Imbiri untuk membolehkan warga desa yang ingin meninggalkan lapangan terbang kembali ke rumah mereka. Namun, sementara persiapan sedang dilakukan untuk evakuasi, terjadi hal yang tidak terduga. Sebuah kesatuan polisi yang sedang menuju Kapeso diserang oleh sekelompok TPN/OPM dengan busur dan panah, dan seorang anggota polisi terluka. Ia kemudian dievakuasi dan anggota polisi yang lain melanjutkan dengan tiga speedboat. Ketika mendekati tepian, salah satu speedboat terjebak jerat yang sengaja dipasang oleh para warga. Satu kelompok TPN/OPM kemudian muncul, minta bertemu dengan polisi, yang kemudian meluluskan permintaan itu. Tapi belum polisi bisa melakukan hal itu, kelompok TPN/OPM yang lain di daratan melepaskan tembakan ke arah mereka.121 Seorang anggota Densus 88 balik menembak, dan tampaknya menewaskan satu orang, Benyamin Suromaja, pada saat polisi menggerakkan kapal yang lain ke tepian. Mereka kemudian segera bergerak membebaskan gereja Protestan setempat yang dijadikan markas sementara oleh OPM, setelah itu membebaskan rumah pastor, dimana mereka menemukan Nela Yenseren dan menangkapnya. Menurut polisi, ketika mendekati lapangan terbang, para pelaku pendudukan menghujani mereka dengan tombak, panah dan tembakan, yang kemudian balas menembak. Tiga warga sipil tewas; tiga polisi terluka oleh anak panah. Sejumlah pelaku pendudukan tertangkap, sementara sebagian besar berhasil melarikan diri ke hutan disekitar bandara.122
Page 20
Dalam kesempatan ini, polisi bertindak dengan sikap restraint (menahan diri) yang patut mendapat pujian, memberi waktu bagi para perunding untuk mencoba menyelesaikan masalah. Ketika keputusan berhasil dibuat untuk menghentikan pendudukan, polisilah, bukan TNI, yang membubarkan pendudukan, dan mereka membawa unit yang sangat terlatih dari markas besar Polri. Namun mereka dihadapkan pada sebuah situasi dimana setelah pendekatan pertama mereka ke lapangan terbang, para pelaku pendudukan memecahkan diri menjadi kelompokkelompok kecil dan menyerang dari berbagai arah. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah polisi seharusnya diperlengkapi dengan perlengkapan non-lethal (yang tidak bersifat mematikan), namun begitupun, situasi ini tampaknya telah berhasil ditangani dengan baik oleh polisi. Namun hal yang sama sayangnya tidak dapat dikatakan mengenai penanganan interogasi dibawah pengawasan polisi dimana jelas bahwa sebuah model jawaban standar telah digunakan dengan menyisipkan jawaban-jawaban yang sudah ditetapkan sebelumnya dan bukannya jawaban yang sesungguhnya terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti berikut “Apakah anda anggota TPN/OPM?” “Jelaskan apa TPN/OPM itu”. (Jawaban: “Sekelompok orang yang dilatih untuk menjadi tentara dan dibentuk untuk mewujudkan kemerdekaan Papua, lepas dari NKRI). Tak satupun dari yang ditangkap kelihatannya memiliki pembela hukum, dan hanya para tersangka yang bisa membaca saja yang bisa membaca testimoni mereka setelah diketik dan membenarkan yang salah.123 Pertanyaannya adalah mengapa Demus Wenda KNPB mengklaim bertanggungjawab untuk aksi pendudukan ini. Tidak ada berita mengenai pendudukan lapangan terbang yang muncul di situs Web Papua Today, hal ini memperlihatkan tidak ada komunikasi dengan mereka yang terlibat. Aksi pendudukan ini juga terjadi di wilayah pesisir, diluar daerah yang biasanya menjadi fokus perhatian KNPB (seperti Jayapura, Timika dan pegunungan tengah). Klaim Demus kemungkinan semata-mata mencerminkan keinginan para radikal pegunungan untuk memperlihatkan solidaritas dengan aksi-aksi apapun yang bisa dianggap sebagai aksi pemberontakan melawan negara Indonesia.
119
Ibid. Kartu OPM tersebut berisi nomor umum markas 71/GHQ/III dengan nama anggota OPM, Yance Mamboai, “via F. Tarwan Tobuawen” [tetangga yang merekrutnya]. Ia ditunjuk sebagai Letnan Pertama untuk operasi staff TPN/OPM di Sektor Kapeso, Kampung Kapeso, Mamberamo Raya. 120 Sekitar duabelas personil Densus 88 ikut ambil bagian dalam operasi ini, sebagai bagian dari 60 anggota polisi yang dikerahkan untuk membantu Polda Papua. Wawancara Crisis Group, pejabat polisi, Jakarta, Februari 2010. 121 Testimoni Yafet Karafir, 28 Juli 2009, dalam berkas perkara Nataniel Runggamusi, op. cit. 122 Ibid. Yafet Karafir memberikan keterangan detil mengenai penyergapan oleh polisi dan bagaimana rencana awal
penyerangan harus diubah. Lihat juga “Gerakan Kargoisme Yang Dibelokan Oleh Gerakan Atas Nama OPM di Kapeso”, KMSKP, op. cit. dan “Bentrok di Kapeso, 4 Warga Papua Tewas”, KPKC, op.cit. 123 Contohnya, sebuah pertanyaan kepada seorang tersangka yaitu “Kegiatan apa yang kamu kerjakan sebagai anggota OPM?” Jawaban yang diberikan oleh polisi adalah “Kegiatan saya sejak bergabung tahun 2007 termasuk latihan militer mengenai berperang dan menaikkan bendera”. Tersangka mencoret kata-kata terakhir dan menggantinya dengan “latihan baris berbaris”. Testimoni Nataniel Runggamusi, 8 Juli 2009, dalam berkas perkara Nataniel Runggamusi, op. cit.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
VI. TIMIKA DAN PENEMBAKAN DI FREEPORT Daerah antara Timika dan tambang Freeport di Tembagapura menjadi wilayah kekerasan bersenjata yang paling menonjol di Papua pada pertengahan kedua 2009 dan sampai tahun 2010.124 Dari Juli 2009 dan seterusnya, serangkaian penembakan terjadi di sepanjang jalan terbatas Freeport sejauh 130 km yang menghubungkan Timika dengan pertambangan, menewaskan dua orang, seorang warga Australia tanggal 11 Juli dan seorang penjaga Papua keesokan harinya, dan secara tidak langsung menewaskan korban ketiga.125 Beberapa yang lain, termasuk anggota pasukan Brimob mengalami lukaluka. Penyerangan lebih lanjut setelah itu terjadi setiap bulan, dan kejadian paling akhir terjadi tanggal 23 Januari 2010, ketika beberapa pelaku di Mil 60 menembak ke arah konvoi yang sedang menuju ke Tembagapura, melukai sembilan orang, beberapa mengalami luka parah.
Page 21
membakar sebuah pos keamanan dan sebuah bus kosong milik Freeport di jalan Mil 70.126 Tiga hari kemudian, sebuah mobil yang membawa beberapa karyawan Freeport dihujani tembakan di Mil 52, menewaskan seorang teknisi Australia bernama Drew Grant dan melukai tiga karyawan lain. Tanggal 12 Juli, sebuah kendaraan yang membawa pasokan bagi para personil keamanan ditembaki di Mil 51. Seorang penjaga tambang, Markus Rateallo, tewas, dua lagi terluka, dan dua anggota unit anti-teror polisi juga mengalami luka-luka. Seorang anggota Brimob, yang tampaknya melompat dari dalam mobil untuk menghindari serangan, ditemukan tewas keesokan harinya di jurang.127 Tanggal 14 Juli, sebuah mobil Freeport ditembaki di sekitar Mil 49 dan tidak ada korban. Keesokan harinya, lima anggota Brimob yang ditugasi sebagai tim advance keamanan untuk sebuah delegasi perwira keamanan berpangkat tinggi dari Jakarta dan Jayapura luka-luka ketika mereka ditembaki di Mil 54.128
A. PENEMBAKAN DI SEPANJANG JALAN FREEPORT
Dalam menanggapi kejadian kekerasan yang terjadi dan publisitas international dengan timbulnya korban warga asing, polisi secara resmi meminta TNI untuk memberikan bantuan keamanan. Tanggal 18 Juli, sebuah satuan tugas (satgas) gabungan bernama Satgas Amole dikirim ke Timika yang terdiri dari sekitar 520 personil, 400 polisi dan 120 TNI. Ini merupakan pertama kali kembalinya TNI menjaga jalan Freeport sejak tanggung jawab tersebut diserahkan kepada Polri tahun 2006.129 Tanggal 20 dan 21 Juli, Polda Papua, termasuk mereka yang ditugaskan ke Densus 88, melakukan serangkaian penangkapan di Timika dan di Mil 27, menyita sejumlah peluru dalam paket-paket yang berlabel PT Pindad. Dari 32 warga Papua yang ditangkap, 7 orang beretnis Amungme, termasuk seorang penjaga Freeport, yang kemudian dikenai tuduhan pembunuhan berencana. Polisi menyatakan semua berperan membantu dan bukan sebagai pelaku penembakan, meskipun satu dituduh
Rentetan penembakan yang paling serius mulai terjadi pada 8 Juli ketika sekelompok orang menyerang dan
126
Tidak jelas siapa yang bertanggungjawab atau apakah satu atau beberapa pihak terlibat. Namun ada empat kemungkinan, yaitu: pasukan OPM Kelly Kwalik (Kelly sendiri tewas dalam operasi polisi tanggal 16 Desember 2009); orang-orang yang bertindak atas perintah seseorang yang pernah bekerja dengan Kelly Kwalik; TNI setempat; atau kombinasi dari diatas. Hal ini merupakan cerminan kompleksitas dinamika politik dan ekonomi di sekitar tambang, sehingga lebih dari enam bulan sejak penembakan tersebut terjadi, dan dengan beberapa investigator andal di TKP, hingga saat ini belum ada jawaban konklusif mengenai pelakunya.
124
Tambang di pegunungan secara tradisional didiami oleh kelompok etnis Amungme, dan fasilitas muara di dataran rendah oleh Kamoro. Lapangan kerja yang diciptakan oleh tambang, secara langsung dan tak langsung, menarik para pendatang dan secara dramatis merubah komposisi kelompok etnis di daerah tersebut. Menurut Kantor Statistik Distrik Mimika, pada tahun 2007 selain kelompok etnis Kamoro dan Amungme, kabupaten ini juga didiami oleh kelompok etnis Dani, Damal, Nduga, Mee/Ekari dan Moni. Bersama-sama, anggota tujuh kelompok etnis ini mengisi 37.3 persen populasi distrik; 10.9 persen orang Papua dari kelompok etnis lain, dan 51.8 persen bukan warga Papua. Ketegangan antara berbagai suku dan marga umum terjadi. Tambang itu sendiri telah menjadi sebuah simbol eksploitasi asing bagi nasionalis Papua. 125 Selain itu, seorang anggota Brimob ditemukan tewas tanggal 13 Juli, tapi kelihatannya meninggal karena jatuh ke jurang.
Markus Makur, “Freeport bus set ablaze in latest incident targeting mining giant”, Jakarta Post, 11 Juli 2009; “Statemen Resmi Pimpinan OPM Terkait Insiden Freeport”, press release, OPM, 15 Juli 2009. 127 Laporan awal bahwa ia telah ditembak atau ditikam terbukti tidak berdasar; kelihatannya ia jatuh ke jurang untuk menyelamatkan diri dari serangan. 128 “Penembakan Papua: peluru dari mana papua masih menceka. Penembak gelap belum terungkap”, Domakinall (http://domakinall.blogspot.com), 30 Juli 2009. 129 Dibawah ketentuan Keppres no 63/2004, tanggung jawab menjaga “obyek-obyek vital” diserahkan dari TNI ke Polri. Penyerahan tanggungjawab di Freeport selesai tahun 2006. Unit TNI diambil dari pasukan TNI yang sudah berada di Papua. Wawancara Crisis Group, pejabat polisi, Jakarta, Februari 2010 dan “Batalyon 755/Yalet Siapkan Prajurit ke Timika”, Cenderawasih Pos, 21 Juli 2009. Kontingen polisi terdiri dari mereka yang diperbantukan dari polres Mimika dengan pasukan tambahan Brimob dari Jayapura dan Jakarta, serta Densus 88.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
memiliki amunisi.130 Bulan Oktober 2009, berkas perkara pemilik amunisi diserahkan ke pengadilan untuk disidang, tapi yang lain dibebaskan untuk sementara waktu karena kurang bukti. Tuduhan belum ditarik, dan mereka masih bisa disidang apabila bukti baru muncul (yang mana hal ini kemungkinan kecil terjadi). Penangkapan tersebut menimbulkan kontroversi besar di Papua. Sebuah koalisi gereja mendesak polisi untuk tidak menangkap warga sipil secara semena-mena. Berbagai pimpinan masyarakat, termasuk di komunitas pendatang Bugis, mengutarakan skeptisisme mereka bahwa warga sipil biasa bisa memiliki jenis senjata dan amunisi yang dipakai dalam aksi penyerangan.131 Seorang juru bicara dari yayasan LEMASA (Yayasan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme) mengatakan bahwa organisasinya akan menyediakan bantuan hukum kepada para tersangka karena mereka khawatir pengacara yang ditunjuk oleh polisi akan mendorong para tersangka yang berpendidikan rendah untuk menandatangani pengakuan.132 Banyak di antara anggota masyarakat Amungme yang hubungannya dengan polisi sudah lama buruk, marah besar dengan penangkapan tersebut. Masyarakat juga banyak yang percaya bahwa warga Papua tidak akan mampu melakukan aksi penyerangan semacam itu yang menewaskan Grant. Keluarga dari salah seorang tersangka mengatakan ia menderita gangguan jiwa beberapa tahun yang lalu, walaupun polisi dan pengacaranya mengatakan ia waras waras saja.133 Seorang perwakilan dari kantor Komnas HAM cabang propinsi adalah salah satu dari banyak pihak yang mengimplikasikan bahwa pasukan
130
“Kapolda: Pelaku Penembakan Belum Terungkap, Target Satu Bulan Harus Tertangkap”, Radar Timika, 22 Juli 2009; “Karyawan Freeport Tersangka Penembakan”, Koran Tempo, 27 Juli 2009. Tujuh orang yang dikenai tuduhan adalah Apius Wanmang, Simon Beanal, Tomy Beanal, Dominikus Beanal, Eltinus Beanal, Amon Jawame (juga ditulis Anton Yawame), dan Endel (juga ditulis Hender) Kiwak. 131 “Kasus Timika Saatnya Merajut Kepercayaan”, Domakinall (http://domakinall.blogspot.com), 31 Juli 2009. 132 Ibid. LEMASA (Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme) adalah salah satu dari tiga yayasan yang didanai PT Freeport Indonesia sebagai bagian dari skema corporate social responsibility (tanggungjawab sosial perusahaan), LEMASA bertanggungjawab mengelola proyek-proyek yang dimaksudkan untuk membantu suku Amungme, LEMASKO (Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro) untuk suku Kamoro dan LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro) mengelola “Dana Satu Persen” yang menjalankan proyek-proyek pembangunan yang dimaksudkan agar bermanfaat bagi ketujuh suku asli setempat. 133 Lihat testimoni Ida Bagus Gede Adiputra Yadnya, M.Psi, 18 Agustus 2009, dalam berkas perkara Endel Kiwak, No.Pol. BP/55/VIII/2009/Dit-Reskrim. Ia mengatakan tidak menemukan indikasi apapun bahwa Simon Beanal atau tersangka yang lain sekarang atau pernah menderita sakit jiwa.
Page 22
keamanan sendiri yang bertanggungjawab karena “penyerangan tersebut jelas merupakan kerja orang-orang profesional yang sangat terlatih dan terorganisir”. Dugaan keterlibatan militer datang dari begitu banyak sumber sehingga Pangdam Nasution harus mengeluarkan bantahan resmi. Dalam sebuah konferensi pers di Timika tanggal 22 Juli ia mengatakan tidak ada satupun personil TNI, termasuk yang desertir atau mantan tentara, terlibat dalam penembakan.134 Penangkapan tujuh orang tersebut tidak menghentikan aksi-aksi penyerangan di sepanjang jalan Freeport. Tanggal 22 Juli, sebuah mobil yang akan membantu sebuah kendaraan yang mogok di Mil 51 ditembaki, empat orang luka-luka ringan.135 Tanggal 12 Agustus, beberapa pelaku menembaki sebuah bis Freeport di Mil 45; tidak ada yang terluka. Tanggal 16 Agustus, penembakan terjadi lagi di Mil 42. Pihak berwenang menanggapi dengan memperpanjang masa tugas Satgas Amole selama tiga bulan dan mengubahnya dari sebuah satuan tugas menjadi “operasi” dengan 1,320 polisi dan tentara, tapi penembakan tetap berlangsung, dengan insiden-insiden baru tanggal 22, 28 dan 30 Agustus.136 Tanggal 9 September, seseorang menembak ke arah mobil dinas Komandan Distrik Militer Tembagapura dekat Mil 42, tapi ia luput dari tembakan. Seorang juru bicara Polri mengatakan kepada media bahwa tidak ada alasan untuk percaya bahwa penembakan tersebut bukan pekerjaan kelompok yang sama yang bertanggungjawab terhadap aksi-aksi penyerangan di bulan Juli.137 Pada 12 September, sebuah bis Freeport ditembaki di Mil 43, dua orang penjaga keamanan mengalami luka ringan. Kepala Staff Brigade Timika Letnan Kolonel Victor Deni terluka dalam aksi penyerangan lain tanggal 16 September, di jalan utama sekitar Mil 38.138 Aksi-aksi penyerangan lain berlanjut pada bulan Oktober antara Mil 41 dan 43.139 Aksi-aksi penyerangan yang terus berkelanjutan ini memicu aksi mogok dan protes dari anggota keluarga karyawan Freeport yang mengkhawatirkan keselamatan
134
Christian Motte dan Farouk Arnaz, “Two shot in latest Freeport attack in Papua”, Jakarta Globe, 22 Juli 2009. 135 Kejadian ini secara keliru dilaporkan sebagai serangan terhadap bis Freeport. 136 “Operasi Timika Amole Diperpanjang”, Kompas, 20 August 2009. 137 1 Pelaku Penembakan Freeport Tewas Tertembak?”, Cenderawasih Pos, 9 September 2009. 138 “Another army officer hurt in Papua shooting”, Antara, 16 September 2009. 139 Markus Makur, “Two injured as shooting incident hits Freeport again”, Jakarta Post, 20 October 2009.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Page 23
keluarga mereka.140 Tanggal 30 Desember dan 23 Januari 2010 terjadi penembakan lagi.141
Victor Yeimo, ketua Komite Nasional Papua Barat yang berkaitan erat dengan pemberontak, mengatakan ada operasi-operasi TPN/OPM yang terjadi di daerah Timika dan menimbulkan korban tewas.
B. SIAPA YANG BERTANGGUNGJAWAB ATAS PENEMBAKAN-PENEMBAKAN?
“Ya, di daerah lokasi Drew, jelas bahwa TPN/OPM telah melakukan penyerangan di daerah tersebut”, katanya.
Ada beberapa teori berbeda mengenai siapa pelaku penyerangan, tapi masing-masing teori memiliki masalah, dan tidak jelas apakah satu buah penjelasan saja akan cukup.
“Tapi tidak jelas apakah mereka menembak mobil Drew atau tidak, karena disitu satu-satunya tempat mereka melakukan penyerangan”.
1. Pasukan Kelly Kwalik Dari awal TNI bersikeras bahwa kelompok Kwalik yang berada di balik aksi-aksi penyerangan. Namun pernyataanpernyataan dari Polda lebih hati-hati, dan pada bulan Oktober 2009, Kapolda Papua saat itu, Brigjen (Pol) FX Bagus Ekodanto, mengatakan bahwa Kelly Kwalik mengatakan kepada seorang anggota polisi yang ditugaskan bertemu dengan nya bahwa pasukannya tidak terlibat.142 Ketua Dewan Adat Papua (DAP) mengungkapkan pada bulan November bahwa Kwalik juga mengatakan kepada salah satu anggotanya bahwa para penembak itu bukan anggotanya.143 Beberapa serpihan informasi kelihatannya berlawanan dengan bantahan Kwalik. Tanggal 12 Juli, Kwalik mengeluarkan himbauan kepada rakyat Papua, dimanapun mereka berada, di rumah atau di luar negeri, bahwa mereka harus bersedia untuk “memberontak terhadap semua penguasa, Barat dan Asia yang telah menyapu bersih orang-orang dan sumber daya Papua, tidak peduli siapa, bagaimana, kapan atau dimana, untuk mengobarkan spirit pemberontakan”. Himbauan itu ditandatangani oleh “Jend. KK” sebagai kepala Wilayah Kodam III, Timika, Papua Barat, dan disirkulasikan lewat email oleh seorang aktivis KNPB yang kuliah di Jakarta. Keesokan harinya, dalam sebuah wawancara dengan Radio Australia, pemimpin KNPB Victor Yeimo secara jelas menyatakan bahwa beberapa dari aksi penembakan dilakukan oleh OPM:
140
Markus Makur, “Hundreds of Freeport workers go on strike to lament shootings”, Jakarta Post, 27 Oktober 2009. 141 Tjahjono Ep, “More Shooting at Timika – Tembagapura Road”, Tempo Interaktif (www.tempointeraktif.com), 30 Desember 2009. 142 “Siapa sebenarnya penembak-penembak di Freeport?”, Kompas, 31 Oktober 2009; “Pertemuan dengan Kelly Kwalik bukan rekayasa”, Kompas, 26 Oktober 2009; dan “Kapolda Papua Yakinkan Polri Ketemu Kelly Kwalik”, Jaringan Advokasi LSM Papua Barat (www.vogelkoppapua.org), 27 Oktober 2009. 143 “Bukan Kelly Kwalik pelaku terror di Freeport”, Kompas, 16 November 2009.
“Mereka melakukan penyerangan di tempat lain juga, tapi jauh dari mobil Drew, jadi tidak jelas apakah tembakan bisa mengenai Drew atau tidak”.144 Tak lama sesudahnya, KNPB dan kelompok prokemerdekaan yang lain menyebarkan pernyataan atas nama Kelly tertanggal 15 Juli yang mengakui bahwa anggotanya telah terlibat kontak senjata dengan pasukan kemanan di daerah tersebut sejak awal bulan Juli, meskipun membantah mereka telah membunuh Grant. Secara spesifik, pernyataan tersebut mengatakan anggota kelompok Kelly telah melakukan penyerangan tanggal 8 Juli terhadap bis Freeport dan container (yang digunakan sebagai pos keamanan) dan selanjutnya terjadi tembak menembak dengan TNI dan polisi selama beberapa jam. Mereka juga menaikkan bendera Bintang Kejora sebentar. Sebagai reaksi, katanya, ratusan pasukan keamanan datang ke wilayah itu dan mereka lah yang bertanggungjawab membunuh Grant. Pernyataan atas nama Kelly ini juga mengklaim bertanggungjawab atas penyerangan tanggal 12 Juli yang menewaskan seorang penjaga keamanan Freeport dan seorang anggota polisi: TPN – OPM melakukan penyerangan terhadap Mobil PT FI (Freeport Indonesia) dan TNI yang sedang mengangkut Pasukan Gabungan TNI-POLRI ke Mil 68.145 Pernyataan itu mengecam “negara kolonial Indonesia” atas segala ketidakadilan terhadap rakyat Papua dan ditutup dengan menyatakan kembali bahwa kematian Grant adalah hasil perebutan kekuasaan security antara Polri, TNI dan penjaga keamanan sipil.146 Hal yang juga memperkuat teori Kelly Kwalik adalah informasi bahwa sumber utama informasi KNPB mengenai aksi penembakan menurut laporan berasal dari seorang 144
Geoff Thompson, “Military, police ‘among suspects’ in Freeport killings”, ABC (www.abc.net.au), 13 Juli 2009. 145 “Statemen Resmi Pimpinan OPM Terkait Insiden Freeport”, press release, OPM, 15 Juli 2009. Penjaga keamanan Freeport yang terbunuh di Mil 51 adalah Markus Rautealo. 146 Ibid.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
anggota KNPB yang bernama Delius Tabuni, atau disingkat Deltab, yang kelihatannya bergabung dengan kelompok Kelly sekitar tahun 2009. Deltab menjadi penghubung KNPB dengan Kelly, memegang peran yang sama dengan yang dilakukan Jeffry Pagawak dengan TPN/OPM di pegunungan tengah.147 Dalam sebuah email bulan April 2009, ia mengecam dua orang aktivis yang mengkritik aksi penyerangan KNPB terhadap Mapolsek Abepura dan Uncen: Tutup mulut kalau kamu takut berperang. Kamu yang tinggal nyaman di kota, hidup dan bernafas dari demokrasi Indonesia dan berpikir kamu akan menemukan kebebasan lewat damai, jangan ikut campur dengan kita yang di hutan. Kapan terakhir kali kamu merasakan dingin dan nyamuk? Kamu tidak paham revolusi, jadi stop komentarnya ... Ini waktu untuk revolusi total.148 Testimoni yang dikumpulkan polisi dalam kasus mereka terhadap tujuh orang yang ditangkap atas penyerangan tanggal 15 Juli terhadap kendaraan Brimob di Mil 54 juga memperlihatkan keterlibatan anggota kelompok Kelly, walau mungkin buktinya terlalu lemah untuk diterima di persidangan. Menurut dokumen-dokumen ini, sebuah kelompok yang dipimpin oleh Simon Beanal melakukan penembakan atas perintah dua orang yang melapor ke Kelly Kwalik. Ada empat penembak, semuanya masih buron, dan mereka adalah orang-orang yang sama yang menembak Grant tanggal 11 Juli. Keterangan ini menurut seseorang yang melaporkan bukti yang sangat lemah bahwa ia dengan tidak sengaja mendengar sebuah pembicaraan telepon. Empat orang penembak tersebut semuanya sekarang masuk DPO. Salah seorang tersangka menurut laporan mengatakan bahwa kelompok mereka menerima perintah untuk menembak siapapun yang lewat di sepanjang jalan Freeport, dengan keyakinan bahwa penembakan itu akan menyebabkan ditutupnya tambang dan dengan demikian akan membawa kemerdekaan bagi Papua.149 Pada 1 Agustus, polisi melakukan rekonstruksi kejadian penembakan dengan Simon Beanal dan Amon Jawane,
Page 24
seorang tersangka lain. Dalam video rekonstruksi, kebanyakan waktu keduanya terlihat bingung, meskipun satu orang yang berada di TKP (Tempat Kejadian Perkara) mengatakan Simon sangat pasti mengenai lokasi dimana penembakan terjadi.150 Berkas perkara Endel Kiwak alias Morokai, satu-satunya tersangka yang maju ke pengadilan, tidak menjelaskan apapun mengenai kejadian penembakan. Endel, yang tidak mengecap pendidikan sekolah dan bekerja sebagai pendulang emas, ditangkap tanggal 20 Juli dengan ransel yang antaranya berisi magazin peluru untuk sebuah senjata otomatis dengan 21 peluru. Ia ditangkap dibawah Undang-Undang Darurat no 12/1951 yang melarang kepemilikan senjata dan amunisi, namun yang bisa ia katakan kepada polisi yaitu bahwa seseorang bernama Seprianus Senawatme telah menaruh beberapa barang di dalam ranselnya dan memintanya untuk membawa barang tersebut ke sebuah tempat bernama Kali Jernih. Ia tidak tahu sama sekali darimana Seprianus mendapatkan peluru-peluru tersebut. Endel baru bertemu pertama kali dengan Seprianus hari itu di sebuah hotel di Timika dan dikenalkan oleh dua orang teman yang kabur ketika Endel ditangkap.151 Dari laporan di berkas perkara, tidak ada hal spesifik yang mengaitkan Endal Kiwak dengan Simon Beanal, Kelly Kwalik atau penembakan di Freeport. Indikasi lain keterlibatan Kelly Kwalik datang dari pemimpin KNPB Demus Wenda pada bulan Agustus 2009: Merujuk ke beberapa insiden penembakan di wilayah sekitar Freeport, Timika, Demus Wenda mengatakan semua dilakukan atas perintah langsung Kelly Kwalik. “Perlawanan yang dilakukan itu, adalah wujud protes atas ketidakadilan yang diterima rakyat selaku pemilik hak ulayat. Untuk melawan berbagai rasa ketidakadilan, komponen rakyat Papua yang di-back up kekuatan TPN/OPM akan terus melakukan perlawanan dalam bentuk apapun”.152 Kaitan lain yang lebih lemah yaitu surat yang ditulis tangan yang muncul tanggal 11 Agustus 2009 yang diakui berasal dari Kelly Kwalik. Merujuk ke banyaknya aksi pro-kemerdekaan, surat tersebut berbunyi:
147
Delius Tabuni kuliah di Yogyakarta. Ia koordinator lapangan aksi unjuk rasa di Waghete, Nabire tanggal 23 Januari 2006. Ia dan Victor Yeimo membentuk Front Anti Militarisme setelah insiden tanggal 19 January 2006 dimana pasukan TNI menembak ke arah warga sipil, menewaskan tiga orang. Lihat AMP Nabire Report, “Aksi Massa Kasus Waghete Dibawah Pengawalan Aparat Kepolisian”, 26 Januari 2006. Informasi mengenai peran Tabuni dengan pasukan Kwalik berasal dari wawancara Crisis Group, aktivis di Jayapura, Februari 2010. 148 Copy email dari Delius Tabuni ke Arkilaus Baho dari AMP dan Marthen Goo dari Front Pepera, 28 April 2009, diperoleh Crisis Group di Jayapura, Februari 2010. 149 Testimoni Simon Beanal.
150
Wawancara Crisis Group, Jayapura, Januari 2010. Crisis Group juga memperoleh copy video rekonstruksi dimana penyidik membacakan detil perkara seperti tersusun dalam dakwaan sementara kedua tersangka dan polisi yang berperan sebagai tersangka pelaku lain merekonstruksi/memainkan kejadian. 151 Testimoni Endel Kiwak, 20 Juli dan 11 Agustus 2009, dalam berkas perkara Endel Kiwak, op. cit. 152 “KNPB Klaim Bertanggungjawab Atas Pengibaran Bintang Kejora”, Cenderawasih Pos, 19 Agustus 2009.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Hal yang sama juga benar dengan aksi kemarin, tanggal 19 Juli 2009 di Tembagapura yang masih belum selesai. Dengan sangat sungguh-sungguh, saya menyatakan: aksi-aksi yang sedang dimobilisasi sekarang di seluruh Papua dan bahkan luar negeri adalah Perintah Operasi Umum yang datang langsung dari kita disini. Gubernur Bas Suebu dan Kapolda Papua yang terhormat, anda harus tahu bahwa penyerangan yang sedang terjadi terhadap Freeport adalah murni untuk menuntut kemerdekaan bagi rakyat Papua Barat, dengan tujuan menutup Freeport. Siapa yang kenal Kelly Kwalik mengatakan tulisan tangan di surat tersebut tidak mirip dengan tulisan tangan Kelly, dan ada kesalahan ganjil di surat itu. Selain gubernur, surat itu ditujukan ke “Kepala Polisi Daerah Papua Paulus Waterpauw”. Waterpauw, seorang penduduk asli Timika, dari etnis Kamoro, dan salah satu dari sedikit perwira polisi asal Papua, bukanlah Kapolda. Ia pernah menjadi Kapolres Timika, kemudian kepala bareskrim propinsi Papua hingga bulan Februari 2009 sampai ia dipindah tugaskan ke Jakarta. Orang yang menjadi atasannya, Kepala Polisi FX Bagus Ekodanto, cukup dikenal dan populer di masyarakat Papua, jadi akan ganjil kalau seorang yang senior seperti Kelly belum pernah mendengar namanya. Beberapa analis Papua percaya penulisan yang salah jabatan Waterpauw sebagai Kapolda cukup untuk memperlihatkan surat itu palsu. Yang lain bersikeras bahwa kalau Kelly tertahan di hutan atau bersembunyi di Timika, ia belum tentu tahu siapa kalpolda saat itu dan mungkin masih menujukan surat ke perwira polisi yang semua orang di Timika sudah tahu. Buktinya tidak konklusif, meskipun bukti keterlibatan Kelly Kwalik dan anggota kelompoknya lebih kuat dari alternatif teori yang lain. Dan seperti yang dikemukakan oleh sekelompok mahasiswa di Jayapura, ada logika terhadap argumen ini: Bukankah TPN/OPM adalah sayap militer dari OPM? Tugas mereka adalah menembak musuh. Freeport dan pasukan keamanan adalah musuh. Jadi sudah benar kalau TPN/OPM menyerang mereka.153
Page 25
perintah Kelly– jadi tidak ada komunikasi langsung. Hal ini menambah kemungkinan bahwa seseorang yang terkait dengan Kelly Kwalik memutuskan untuk mengambil sikap yang lebih agresif dari yang dikuasakan oleh sang komandan. Bukan hal yang tidak biasa bagi seorang bawahan untuk melakukan hal ini, mencoba membangun basis kekuatannya sendiri. Tapi akan ganjil untuk berusaha menjustifikasi hal ini lewat sebuah surat yang diaku berasal dari seseorang yang dihormati seperti Kelly. Juga akan ganjil bagi kelompok KNPB, terutama bagi Victor Yeimo, yang punya kontak sangat bagus di Timika, untuk menyebarkan sebuah pernyataan atas nama Kelly kecuali mereka yakin pernyataan itu otentik. Kemungkinan lain adalah kejadian penembakan dilakukan oleh operasi gabungan antara berbagai unit di TPN/OPM. Hal ini pernah terjadi sebelumnya, yaitu penyerangan bulan September 2006 yang disebutkan diatas terhadap sebuah kendaraan keamanan Freeport di sekitar Mil 62-63. Goliat Tabuni dan Titus Murib mengklaim bertanggungjawab dalam sebuah pernyataan di sebuah situs prokemerdekaan, dimana mereka mengklaim bahwa aksi penyerangan mewakili “koordinasi di antara elemenelemen kemerdekaan Papua di Timika”.154 Baik Goliat maupun Titus telah tinggal di Timika beberapa tahun dan punya pengikut di wilayah Kali Kopi. Mereka baru pindah ke Puncak Jaya tahun 2000, dan bukan hal yang mustahil bagi pendukungnya untuk melakukan penyerangan. Setelah kematian Kelly Kwalik bulan December 2009, polisi menurut laporan mendapat informasi mengenai sebuah rencana penyerangan tanggal 6 Januari yang akan melibatkan operasi gabungan antara beberapa kelompok TPN/OPM yang berbeda. Wilayah antara Mil 69-71 akan dipegang oleh seorang bernama Beni Samore; Mil 58-66 oleh seorang anggota tak dikenal dari pasukan Goliat; dan Mil 38-58 oleh seseorang bernama Anis Uamang, dari pasukan Kwalik. Informasi itu menurut laporan berdasarkan sebuah rapat gabungan yang dilakukan di Nalangkia. Aksi penyerangan tersebut tidak pernah terjadi, tapi menekankan adanya kemungkinan bahwa anak buah Goliat mungkin saja terlibat dalam operasi sebelumnya atau malah dalam aksi penyerangan tanggal 23 Januari.155
2. Kelompok OPM yang lain 3. Persekongkolan proteksi TNI Seorang sumber yang memiliki kontak luas di Timika percaya bahwa Simon Beanal dan anggota lain yang ditangkap berbicara benar ketika mereka mengatakan bertindak atas perintah Kelly Kwalik. Tapi seseorang yang dikenal sebagai anak didik Kelly Kwalik yang mengatakan kepada mereka bahwa perintah itu adalah
Hal ini membawa ke teori yang paling dipercaya secara luas di Papua, yaitu bahwa anggota TNI telah terlibat dalam aksi penembakan. Tetapi bukti-bukti yang diajukan
154
153
Wawancara Crisis Group, aktivis mahasiswa, Jayapura, Februari 2010.
“TPN/OPM Serang Freeport, Dua Polisi Indonesia Berhasil Dibunuh, Dua Mobil Freeport Dibakar”, SPM News, 3 September 2006. 155 Wawancara Crisis Group, Timika, Februari 2010.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
sejauh ini tidak memadai, bahkan walaupun nama-nama, tanggal dan tempat telah diberikan. Teori itu sebagian bergantung pada pernyataan Kelly bahwa ia tidak terlibat; sebagian pada pernyataan polisi yang mendukung pernyataan itu; dan sebagian pada bertambahnya kehadiran TNI di sekitar tambang akibat aksi penembakan – dan oleh karena itu, pada saat yang sama, bertambahnya kesempatan mencari rente.156 Tidak saja Operasi Amole menambah jumlah pasukan TNI nya dari 120 menjadi lebih dari 600 tentara, tapi sebagai akibatnya 100 dari 330 anggota Kopassus di Papua juga dikerahkan ke Timika. Motivasi lain yang diajukan atas keterlibatan TNI yaitu hasrat TNI untuk memiliki akses ke lebih banyak limpahan dari pendulangan emas ilegal di wilayah tailing tambang Freeport.157 Pada tahun 2008, sekitar 192,900 ton batuan diproses setiap harinya di kilang Tembagapura dengan tingkat recovery atau perolehan sekitar 80 persen untuk emas yang terkandung dalam bijih besi.158 Sementara lumpur yang mengandung emas dan tembaga ini dipompa lewat jalur pipa ke pelabuhan di Amamapare, tailing atau pasir sisa tambang dibuang ke lembah sungai Otomona. Buangan yang memiliki tingkat kandungan emas dan tembaga yang dapat didulang kembali yang cukup tinggi ini, telah memicu industri pendulang emas tidak resmi, yang diperkirakan bernilai sekitar 80 juta dollar atau lebih per tahunnya, menopang hidup lebih dari 10,000 penambang di 22 kamp. Banyak dari pendulang yang bukan berasal dari kelompok suku Amungme atau Kamoro tapi dari daerah lain di Papua, sehingga semakin menambah ketegangan antar suku. Sebuah upaya terpadu telah dilakukan oleh pasukan keamanan awal tahun 2009 untuk mengusir para penambang dari bagian atas hulu sungai yang lebih menguntungkan.159 Setelah Satgas Amole dibentuk, anggota satgas yang menjaga akses ke daerah tailing,
156
“Kapolda: Pertemuan dengan Kelly Kwalik Bukan Rekayasa”, Era Baru News (http://erabaru.net), 26 Oktober 2009. Anggaran resmi TNI tidak mencakup biaya aktual sehingga para komandan setempat diharapkan untuk menggalang dana secara lokal; upaya ini biasanya melibatkan kegiatan sah maupun gelap. Lihat Human Rights Watch, “Unkept Promise: Failure to End Military Business Activity in Indonesia”, 11 Januari 2010. 157 Tambang Grasberg memiliki endapan tembaga dan emas terbesar di dunia. Lihat www.fcx.com/operations/grascomplx .htm. 158 “Annual Report 2008”, Freeport McMoRan Copper and Gold Inc., hal. 16 159 Markus Makmur, “Freeport clears waste area of traditional miners”, Jakarta Post, 24 Januari 2009; John McBeth, “Mining grievances that run deep”, The Straits Times, 8 Agustus 2009. Angka tersebut dikuatkan oleh sumber-sumber dari dunia industri yang diwawancara Crisis Group di Jakarta, Oktober 2009.
Page 26
menurut laporan, meminta Rp 1 juta untuk ongkos transport ke wilayah pendulangan.160 Semakin banyak tentara di wilayah itu, semakin banyak kontrol yang bisa mereka gunakan terhadap industri ini. Yang terakhir, tokoh masyarakat setempat, kelompok HAM Indonesia dan bahkan beberapa pejabat senior pemerintah yakin bahwa TNI lah yang bertanggungjawab, sematamata berdasarkan pada senjata dan amunisi yang digunakan dan profesionalisme para penembak.161 Kenyataannya, senjata maupun amunisi bukan petunjuk yang berguna mengenai pelaku. Hampir semua senjata api (kecuali senapan lama dan senjata rakitan yang digunakan OPM) yang sudah pernah disita itu dibeli atau dicuri dari TNI, dan hampir semua peluru yang dipakai bukan hanya di Papua tapi juga di seluruh Indonesia, termasuk untuk kegiatan kriminal, dibuat oleh PT Pindad, pabrik senjata dan amunisi militer di Bandung. Untuk mendukung teori ini, sumber-sumber di Timika memberikan sebuah daftar insiden yang tersebar luas, yang seolah-olah menunjukkan keterlibatan langsung TNI, tapi informasi yang diberikan tidak cukup kuat. Dalam salah satu contoh kasus, tiga anggota TNI tertulis di dalam daftar, ditangkap 12 Juli malam di sekitar Mil 50, membawa senjata. Implikasinya adalah bahwa mereka terlibat dalam penembakan. Namun menurut polisi, meskipun memang tiga anggota TNI ini diberhentikan di sebuah pos jaga, ternyata mereka sedang tidak bertugas, dan baru pulang dari mengunjungi keluarga di Tembagapura.162 Contoh lain melibatkan seorang tentara Kopassus dari Solo, yang menurut daftar insiden itu ditangkap tanggal 15 Juli di wilayah kejadian penembakan. Tapi ternyata tentara Kopassus tersebut ditangkapnya di wilayah tailing, bukan di jalan tambang, dan menurut laporan ia dicurigai bukan terlibat dalam aksi penembakan tapi karna menjual amunisi ke para penambang untuk melindungi mereka dari serangan satwa liar. Polisi percaya bahwa beberapa dari peluru yang dijual ke penambang telah jatuh ke tangan OPM, tapi hal ini tidak membuat penjual peluru menjadi seorang sniper (penembak jitu). 163
160
McBeth, op. cit. Lihat contohnya, “Imparsial Curiga Militer Terlibat Kekerasan di Papua”, Kompas, 14 Juli 2009. Para pemimpin Amungme juga berargumentasi bahwa orang-orang yang ditangkap sebagai tersangka tidak mungkin terlibat karena mereka tidak mungkin bisa menggunakan senjata dengan cara yang profesional. “Calls for release of Papuans held in Freeport attacks”, Jakarta Globe, 28 Juli 2009. 162 Wawancara Crisis Group, pejabat polisi, Jakarta, 25 Februari 2010. 163 Wawancara Crisis Group, Timika, 17 Februari 2010 dan komunikasi email dengan pejabat polisi, 19 Februari 2010. 161
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Daftar itu juga mengutip sebuah insiden tanggal 22 Agustus ketika polisi menggunakan kendaraan taktis lapis baja Barakuda melepaskan tembakan di sepanjang jalan Freeport dan menurut kabar menewaskan tiga tentara Kopassus yang sedang bersembunyi disana; katanya peti jenasah telah dipesan dari gudang Freeport keesokan harinya. Crisis Group menanyakan kepada polisi dan pejabat Freeport, dan meskipun polisi mengakui ada penggunaan Barakuda, tapi tidak ada korban jiwa, dan tidak pernah ada pemesanan peti jenasah.164 Tak satupun dari penjelasan ini berarti keterlibatan TNI adalah mustahil, tapi bukti-bukti yang telah disampaikan tidak punya bukti fisik dan tidak akurat. Akibat yang tidak menguntungkan dari penembakan adalah perluasan kehadiran TNI, tapi tidak ada bukti bahwa hal ini sudah direncanakan dari awal.
C. PENEMBAKAN KELLY KWALIK Gambaran yang sebelumnya sudah membingungkan menjadi semakin kabur pada tanggal 16 Desember 2009, ketika sebuah unit dari Densus 88 yang ditugaskan untuk menemukan Kelly Kwalik menggerebek sebuah rumah di luar desa Gorong Gorong dekat Mil 26 di jalan Freeport.165 Menurut polisi, seseorang yang kemudian diidentifikasi sebagai Kelly awalnya mencoba kabur tapi kemudian mengeluarkan pistol, sehingga polisi menembaknya. Ia dibawa ke rumah sakit Kuala Kencana, tapi tewas beberapa jam kemudian akibat luka-lukanya. Lima orang lain di rumah yang disergap ditahan; namun kecuali satu orang, yang lain kemudian dibebaskan.166
Page 27
tidak memuncak hingga keluar kendali adalah Hans Magal, seorang mantan aktivis AMP, yang sekarang menjalankan bisnis besi bekas di Timika. Menurut laporan, polisi mencoba menawarkan memberi uang sebesar Rp 2 milyar kepada keluarga Kelly, tapi Hans mengatakan kepada polisi harga itu terlalu murah – kematian Kelly harus diganti rugi dengan dialog.168 Polisi Papua telah memasukkan Kelly dalam DPO untuk keterlibatannya dalam tindak kriminal yang terjadi di tahun 2002 dan 2003, tapi dengan sangat sengaja tidak untuk dugaan keterlibatan penembakan tahun 2009. Memang, beberapa perwira polisi percaya, hampir pasti secara keliru, bahwa mereka telah berhasil melakukan kemajuan dalam mencoba meyakinkan Kelly untuk menyerahkan diri dan sebagai gantinya tuduhan terhadapnya akan ditarik, dan para perwira polisi ini juga mengkritik cara penggerebekan dilakukan.169 Kenyataan bahwa penembakan di sepanjang jalan Freeport masih terus berlanjut setelah kematiannya akhirnya membuka kemungkinan motivasi penembakan lain, yaitu tekad untuk memperlihatkan bahwa penyerangan akan terus berlanjut, bahkan dengan kematian Kelly Kwalik.
Kematian Kelly Kwalik memicu serangkaian protes yang sengit di Timika, kecaman terhadap tindakan polisi oleh para tokoh utama Papua dan pendukungnya di dalam dan luar Papua, dan upacara pemakaman yang bersikap membangkang dimana peti jenasah Kelly dibungkus dengan bendera Bintang Kejora.167 Salah seorang tokoh yang membantu menahan supaya kemarahan masyarakat
164
Wawancara Crisis Group, Jakarta, 24 Februari 2010. Operasi tersebut, dengan nama sandi Operasi Kencana Lestari, dimulai bulan Oktober 2009, dikoordinasi langsung dari Mabes Polri dan melibatkan anggota Densus 88, Brimob, Intel Polisi dan polisi dari Polda Papua. “Kelly Kwalik ditembak”, Kompas, 17 Desember 2009. 166 “Anak Buah Kwalik Jadi Tersangka”, Papua Pos, 19 Desember 2009. Satu orang yang ditahan, Jeep Murib, 24, dikenai tuduhan menyembunyikan buronan dan kepemilikan amunisi secara ilegal. Polisi menyita dokumen-dokumen prokemerdekaan, sekitar 30 peluru, pistol Smith & Wesson revolver, dua busur dan duabelas anak panah. 167 Markus Makur and Nethy Darma Somba, “Hundreds welcome Papuan rebel’s body”, Jakarta Post, 19 Desember 2009. 165
168 169
Wawancara Crisis Group, Timika, Februari 2010. Wawancara Crisis Group, Jakarta, Februari 2010.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
VII.
PROSPEK DIALOG
Kesempatan paling baik dalam penyelesaian konflik Papua terletak pada dialog antara para pemimpin Papua dan pemerintah Indonesia, seperti yang direkomendasikan oleh intelektual Neles Tebay dan para peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) – tapi akan menjadi sebuah perjuangan berat untuk memperoleh dialog dan bahkan lebih sulit untuk membuat dialog tersebut berhasil.
A. INISIATIF LIPI-TEBAY Dari tahun 2004 hingga 2006, sebuah tim LIPI melakukan sejumlah konsultasi dan wawancara yang intensif dengan orang-orang Papua dan orang-orang bukan Papua, dan di tahun 2008, sebagian terinspirasi oleh keberhasilan proses perdamaian di Aceh, mereka menghasilkan sebuah “road map” (peta jalan) mengenai bagaimana melangkah maju. Mereka mencatat bahwa permasalahan di Papua jatuh ke dalam empat sudut masalah, yaitu: marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua; kegagalan pembangunan; interpretasi yang berbeda mengenai sejarah dan identitas Papua; keadilan dan pertanggunganjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap rakyat Papua.170 Penulis road map berargumentasi bahwa sebuah strategi politik bisa disusun bersama untuk menangani permasalahan ini, dan pada saat yang sama mempertahankan otonomi daripada kemerdekaan, dan menggunakan UU tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua sebagai titik awal. Tapi harus ada dialog mengenai status politik dan terutama mengenai interpretasi yang “sama sekali bertentangan” mengenai integrasi Papua ke negara Republik Indonesia setelah pelaksanaan Pepera 1969 yang dipersengketakan. Secara terpisah, Neles Tebay berargumentasi untuk sebuah pendekatan yang sama dalam buku berjudul Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua.171 Pada tahun 2009, Tebay dan tim LIPI bergabung kekuatan, bekerja untuk mempromosikan road map tersebut, serta membangun dan men-training sebuah tim yang terdiri dari sekitar duapuluhan fasilitator Papua yang mewakili laki-laki dan perempuan dari hampir seluruh kelompok aktivis utama di Papua – termasuk seorang perempuan dari KNPB. Tim fasilitator ini disebut Jaringan Damai
Page 28
Papua.172 Kekerasan yang terjadi seputar pemilu 2009 dan sesudahnya di Papua tak diragukan lagi memberi wacana dialog tambahan bobot, dan bukan hanya LIPI saja yang mempromosikan dialog. Jendral Bambang Darmono, penasihat khusus Presiden untuk masalah Papua, yang telah memegang peran penting di pihak pemerintah dalam proses perdamaian di Aceh, secara terbuka mendukung dialog setelah mengunjungi Papua pada pertengahan 2009 untuk berkonsultasi dengan para pemimpin masyarakat Papua. Menteri Kelautan Freddy Numberi, orang Papua yang paling senior di pemerintahan Yudhoyono pun mendukung. Pada tanggal 18 Januari 2010, Muridan Widjojo, ketua tim LIPI, dan anggota tim yang lain mempresentasikan road map Papua kepada komisi I DPR, yang mengurusi masalah keamanan. Mereka berargumentasi bahwa faktor yang sangat penting dalam permasalahan konflik Papua adalah kurangnya kepercayaan, baik di pihak masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat, maupun pemerintah pusat terhadap masyarakat Papua, yang cenderung dilihat sebagai separatis terbuka atau terpendam. Memang benar, sulit untuk mengatakan siapa yang berbicara untuk Papua, tapi tim LIPI mengatakan mereka berharap Jaringan Damai Papua yang mereka susun bisa berbicara dan menetapkan agenda bagi seluruh lapisan masyarakat Papua. Mereka berhasil meyakinkan sejumlah anggota kunci bahwa road map layak untuk diberi kesempatan.173 (Kehadiran anggota komisi Yorrys Raweyai yang orang Papua dan mantan pejabat Gubernur Aceh Azwar Abubakar ikut membantu). Salah satu dari pesan utama mereka adalah berikut: Jangan harap rakyat Papua meninggalkan wacana kemerdekaan kalau tidak ada hal lain yang lebih nyata yang bisa ditawarkan.174 Sejak saat itu, sudah dilakukan beberapa konsultasi publik mengenai prospek dialog di Wamena tanggal 25 Januari, Timika 27 Januari, Manokwari 12 Februari dan Sorong 22 Februari, dan lebih banyak lagi yang sedang direncanakan. Para fasilitator telah mempersiapkan sebuah buklet kecil yang menjelaskan apa yang termasuk dalam dialog dan apa yang bukan (misalnya berpisah dari Indonesia), dan sejauh ini secara umum puas dengan jalannya diskusi.
172
170
Muridan S. Widjojo et al, Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (short version) (Jakarta, 2008). 171 Neles Tebay, Dialog Jakarta-Papua. Sebuah Perspektif Papua (Jayapura, 2009).
Dari 22 orang fasilitator, tujuh perempuan. Menurut laporan anggota KNPB bergabung dengan tim fasilitator atas kapasitas pribadi, bukan perwakilan dari KNPB dan tetap menentang dialog apabila tanpa keterlibatan internasional. Ia bersedia bergabung untuk melihat sejauh mana proses ini bisa berjalan. 173 “Perlu Dialog Papua, LIPI Usul Papua Road Map”, Kompas, 19 Januari 2010. 174 Wawancara Crisis Group, Muridan Widjojo, 21 Januari 2010.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Page 29
B. TANGGAPAN PEMERINTAH DAN KEMUNGKINAN GANGGUAN
mereka telah bersedia memberi kesempatan bagi inisiatif Tebay dan LIPI.176
Mungkin sebagai persiapan bagi dialog, atau setidaknya supaya perhatian yang lebih berkelanjutan diberikan bagi masalah Papua, pemerintah telah melakukan upaya terpadu untuk membujuk para sesepuh pendiri OPM pulang dari pengasingan, dengan harapan mereka akan menjadi simbol diterimanya kedaulatan Indonesia oleh gerakan kemerdekaan. Namun kebalikannya, sebagian besar malah dilihat sebagai penghianat. Tokoh yang paling menonjol dari para sesepuh ini yaitu Nicolaas Jouwe, berusia 86 tahun, yang dikenal sebagai orang yang pertama kali mengibarkan bendera Bintang Kejora di tahun 1961, yang berkunjung kembali ke Papua pada bulan Maret 2009 setelah hampir 50 tahun berada di Netherlands, dan kemudian menerima undangan Presiden Yudhoyono pada bulan Desember untuk pulang ke Indonesia selamanya. Ia kelihatannya telah bergabung dengan dua anggota mantan pimpinan OPM yang lain, Franzalbert Joku dan Nicholas Messet, dalam sebuah kelompok yang mereka sebut Independent Group Supporting the Autonomous Region of Papua with the Republic of Indonesia (IGSSARPRI). Kalau pemerintah Indonesia berharap mereka akan punya kredibilitas di mata para militan yang lebih muda, maka pemerintah Indonesia sangatlah keliru.
Di pihak pemerintah, para garis keras adalah para nasionalis konservatif yang melihat dialog apapun sebagai ancaman terhadap integritas teritorial. Direktorat Kesatuan Nasional di Departemen Dalam Negeri mendanai pembuatan sebuah buklet tandingan terhadap road map Papua yang berjudul Integrasi Telah Selesai, dimana bab-bab didalamnya antara lain berjudul “Road Map Papua adalah sebuah Provokasi Raksasa” yang ditulis oleh Nicholas Messet, anggota IGSSARPRI. Buklet tersebut dibagikan kepada para pengunjung, oleh desk Papua Menko Polkam, seolah-olah badan yang mengkoordinasi kebijakan pemerintah. Dari perspektifnya, tidak perlu ada dialog. UU Otonomi Khusus tahun 2001 dan Instruksi Presiden tahun 2007 yang menginstruksikan percepatan pembangunan di Papua memberi rakyat Papua sebuah “Perjanjian Baru” yang akan membawa mereka pendidikan, pelayanan kesehatan dan infrastruktur yang lebih baik, maupun affirmative action (semacam perlakuan khusus) bagi orang-orang asli Papua. Menurut buklet tersebut, satu-satunya masalah saat ini yaitu penerapannya dan tingkat ketrampilan masyarakat Papua yang rendah. Papua saat ini stabil dan aman, dan OPM telah menjadi masalah kecil yang saat ini bisa ditangani oleh Polri bukan TNI.177
Wacana dialog sudah menghadapi resistensi kuat dari para garis keras di kedua belah pihak. Di pihak Papua, kelompok seputar KNPB menentang, terutama apabila kemerdekaan dicopot dari agenda dan mediasi internasional dikesampingkan. Goliat Tabuni juga dengan tegas menentang. Seorang pemimpin gerakan kemerdekaan Papua yang lain, John Ondawame dari West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) yang berbasis di Australia, telah menulis sebuah pernyataan yang menggugah mendukung dialog – tapi dengan asumsi bahwa dialog yang benar-benar terbuka akan menjadi basis bagi sebuah referendum di masa depan, yang mana pemerintah pasti tidak bisa terima.175 Secara umum, WPNCL dan organisasi politik saingannya, the West Papua National Authority (WPNA), yang juga berbasis di luar negeri, mendukung negosiasi dengan pemerintah pusat tapi hanya kalau dilakukan di luar Indonesia dan dengan mediasi internasional. Namun begitu, perwakilan
C. PERLUNYA DUKUNGAN TINGKAT TINGGI
175
“Maklumat tentang Dialok Damai”, email dari John Ondawame disebarkan luas ke para pendukung dan media, khususnya di Australia dan Indonesia, 23 Januari 2010. WPNCL, yang didirikan tahun 2006, melihat dirinya sebagai organisasi payung bagi 29 organisasi Papua yang berbeda-beda, termasuk OPM/TPN. Ketua dewan militer OPM/TPN, Richard Yoweni, resminya adalah ketua WPNCL, tapi WPNCL pada dasarnya dijalankan oleh orang-orang Papua yang berada di pengasingan di Vanuatu, Papua Nugini dan Australia.
Sebuah dialog bagi Papua akan jauh lebih sulit dan kompleks dibanding Aceh.178 Kenyataan bahwa beberapa kelompok pro-kemerdekaan bersedia untuk menerima wacana dialog menambah kecurigaan di antara para pejabat di Jakarta bahwa agenda tersembunyi nya adalah kemerdekaan. Sementara di pihak Papua, ada kekhawatiran nyata bahwa dialog pada akhirnya bisa berubah menjadi sekedar latihan public relations bagi Jakarta tanpa adanya penyelesaian permasalahan substantif apapun. Presiden Yudhoyono kelihatan melangkah ke arah dialog, tapi ia perlu terlibat secara nyata agar prosesnya bisa bergerak maju. Proses Aceh berhasil karena sejumlah
176
WNPA didirikan tahun 2003 dan menganggap dirinya sebagai pemerintah sementara Papua Barat. Ia didominasi orang-orang dari pesisir; pimpinan utamanya termasuk Jacob Rumbiak dan Herman Wanggai yang berbasis di Australia. 177 Wawancara Crisis Group, May.Jen. Karsono, Papua Desk, Jakarta, 17 Februari 2010. 178 Untuk analisas Crisis Group mengenai proses perdamaian Aceh lihat Crisis Group Asia Report N°48, Aceh: Now for the Hard Part (Aceh: Sekarang Bagian yang Sulit), 29 Maret 2006; N°44, Aceh: So Far, So Good, 13 Desember 2005; and N°40, Aceh: A New Chance for Peace (Aceh: Kesempatan Baru Bagi Perdamaian), 15 Agustus 2005.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
alasan yang tidak bisa direplikasi di Papua, tapi yang bisa dilakukan lagi adalah komitmen presiden dan keterlibatan aktif wakil presiden saat itu, yaitu Yusuf Kalla. Tanpa energi dan kemampuan Kalla menyelesaikan masalah, sebuah kesepakatan mustahil terjadi. Kalla memiliki posisi tinggi dalam pemerintahan sehingga apa yang ia mau akan dikerjakan, tertarik dan terlibat dalam proses, punya kepetingan pribadi untuk menambah kredibilitasnya sebagai pencipta perdamaian, dan memastikan bahwa tim perunding pemerintah terdiri dari anak-anak didiknya. Saat ini, tidak ada yang seperti itu di dalam pemerintahan sekarang.179 Bahkan apabila Kalla kembali dengan peran memfasilitasi, hal tu tidak akan sama seperti memiliki seseorang yang secara langsung mewakili pemerintah dan membuat komitmen atas nama pemerintah.180 Pada pertengahan Februari 2010, Komnas HAM mengindikasikan bahwa mereka sedang membahas dengan Kalla mengenai penyelesaian konflik Papua lewat teknik yang sama yang digunakan di Aceh, Poso dan Maluku. “Saya belum ditunjuk sebagai perunding”, ujar Kalla kepada wartawan, “karena kita masih mempelajari rekomendasi LIPI”.181 Tapi tidak semua warga Papua senang dengan kemungkinan keterlibatan Kalla. Upaya sebelumnya untuk memediasi isu yang sangat spesifik antara pemimpin Papua dan pemerintah pusat selama ini penuh dengan masalah, dan Kalla dilihat kurang memiliki kecakapan yang sangat penting bagi fasilitator manapun yang menangani masalah Papua, yaitu kesabaran.182 Jalan ke depan bagi inisiatif dialog jelas akan diwarnai oleh hambatan, tapi ini adalah satu-satunya pilihan yang tersedia. Alternatifnya, yaitu tindak kekerasan yang lebih banyak termasuk beberapa yang dipicu oleh kelompokkelompok yang frustasi oleh apa yang mereka lihat
Page 30
sebagai kebangkrutan inisiatif perdamaian, adalah jauh lebih buruk.
D. KNPB DI MASA DEPAN Pada saat pendukung dialog bergerak ke satu arah, semua petunjuk mengindikasikan bahwa KNPB bergerak ke arah yang lain, yaitu berusaha menaikkan tuntutan untuk sebuah referendum mengikuti model Timor Timur. Apabila Timor Leste dilihat KNPB sebagai sebuah contoh yang ingin ditiru, jauh lebih banyak dari Aceh, hal ini mungkin mencerminkan bertambahnya pengaruh seorang mantan aktivis mahasiswa dari Timor Timur bernama Serafin Diaz. Diaz meninggalkan Timor Leste untuk kuliah di Bali tahun 2002 dan berkawan dengan orang-orang Papua yang ada disana. Dikenal di antara para aktivis KNPB sebagai “sang Jendral”, ia mulai mengikuti aksi-aksi unjuk rasa Papua dan aksi-aksi lain di Bali dan Jawa sekitar tahun 2006. Pada bulan Januari 2009, ia berangkat ke Papua di sekitar waktu yang sama dengan kampanye untuk mendeklarasikan Papua sebagai “zona darurat” akan dimulai. Pada bulan Maret, ia ditangkap setelah sebuah aksi demonstrasi mendukung pembebasan Buchtar Tabuni. Ia dibebaskan akhir Januari 2010 dan menurut laporan telah membantu KNPB mengorganisir kembali dan merencanakan sebuah simulasi referendum yang seharusnya dilakukan nanti tahun ini.183 Banyak di antara para aktivis gerakan Papua yang khawatir bahwa kekerasan yang dipicu oleh KNPB akan menghambat atau memundurkan kesempatan buat dialog.
179
Kalla turun dari jabatannya sebagai wakil presiden bulan Oktober 2009 dan menjadi ketua PMI (Palang Merah Indonesia). 180 Wawancara Crisis Group, Jakarta, Januari 2010. Lihat juga “Tokoh Papua: Beri JK Mandat Jembatani Dialog Kebangsaan”, Kompas, 3 September 2009. Dorongan terhadap Presiden untuk terlibat secara lebih langsung mungkin tidak terbantu dengan adanya surat dari perwakilan kongres AS yang mendesaknya melakukan dialog dengan mediasi internasional. 181 “JK Siap Tengahi Penyelesaian Konflik di Papua”, Jawa Pos, 16 Februari 2010. 182 Ketika Kalla sebagai Wakil Presiden sedang berupaya menyelesaikan perselisihan antara pemerintah pusat dan Majelis Rakyat Papua (MRP) mengenai pembentukan propinsi Papua Barat, ia dilihat beberapa pihak menginginkan hasil terlalu cepat. Sejumlah tokoh Papua menjadi merasa wajib untuk menyetujui apa saja yang ia usulkan, tapi kemudian berpikir lebih baik ketika tidak ada tekanan. Dan Kalla kemudian akan menuduh mereka tidak bisa diandalkan. Komunikasi Crisis Group dengan analis yang memantau peristiwa tersebut saat itu, 16 Februari 2010.
183
Mengenai Serafin Diaz, lihat “Penggrebekan, penggeledahan, Penyergapan ataukah Sweeping ‘biasa?’ (Bagian 2)”, Andawat Papua (http://andawat-papua.blogspot.com), 8 April 2009.
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
VIII. KESIMPULAN Kekerasan yang terjadi di Papua tidak hanya berasal dari satu sumber, dan di beberapa daerah, konflik antara pemerintah dan gerakan kemerdekaan telah menjadi kurang penting dibanding konflik lain, seperti sengketa tanah, perang antar suku, dan pertarungan di antara kekuasaan politik lokal. Konfrontasi antara kelompok pro-kemerdekaan dan pasukan keamanan hanyalah menjadi sebagian dari gambaran, dan mereka cenderung terkonsentrasi di wilayah kritis Jayapura-Abepura, Timika dan pegunungan tengah; mereka tidak terlalu terlihat di propinsi Papua Barat dan di sepanjang pesisir bagian tenggara Papua. Tapi perasaan sakit hati terhadap Jakarta dan dukungan terhadap kemerdekaan, apakah dengan atau tanpa kekerasan untuk menunjukkan hal itu, jauh lebih berakar daripada yang mau diakui oleh pemerintah pusat. Pemerintah Yudhoyono sampai saat ini telah mengusahakan sebuah strategi “percepatan pembangunan” bagi Papua, dan meskipun meningkatkan kesehatan, pendidikan dan pembangunan infrastruktur sangat penting, itu saja tidak mencukupi untuk mengakhiri tuntutan untuk merdeka. Para militan pegunungan yang menggerakkan pembentukan kelompok-kelompok solidaritas internasional seperti IPWP – yang membuka kantor di Brussels tanggal 26 Januari 2010 – tidak mewakili rakyat Papua secara luas. Salah satu alasan mengapa mereka tidak dapat mengorganisir demonstrasi massa dengan jumlah pengikut yang mereka mau adalah karena banyak orang Papua yang khawatir atas konsekwensi bergabung kekuatan. Yang lain melihat aktivisme militan pro-kemerdekaan sebagai pengalihan dari tugas yang sesungguhnya, yaitu membangun basis kekuatan setempat untuk bersaing memperoleh manfaat politik dan ekonomi lokal. Tapi para radikal telah mampu mengartikulasikan rasa ketidakpuasan dan penderitaan yang tidak akan pergi dalam waktu dekat. Kecenderungan Jakarta untuk melihat semua manifestasi dukungan bagi kemerdekaan adalah sebagai “separatis” dan oleh karena itu mereka adalah “musuh” juga tidak membantu. Ada banyak sekali bermacam-macam pemikiran di dalam masyarakat nasionalis Papua, bahkan di dalam TPN/OPM, dan sayang kalau melukis itu semua hanya dengan satu warna. Memenjarakan siapapun yang menaikkan bendera Bintang Kejora adalah kontra produktif. Ia hanya akan membuat image Indonesia di luar negeri semakin buruk, memberi fokus bagi protes dan memungkinkan perekrutan anggota baru di dalam penjara. Meskipun begitu, merupakan perkembangan yang positif bahwa menangani “pemberontakan” semakin dilihat
Page 31
sebagai tugas bagi penegak hukum daripada TNI, dan bahwa Polri dan pengadilan telah menjadi semakin piawai dalam hal tidak bermain ke dalam agenda militan. Jumlah orang yang dibebaskan tanpa tuntutan atau dibebaskan setelah disidang dalam beberapa kasus yang telah diceritakan diatas cukup mencolok, dan walaupun memang benar bahwa banyak yang seharusnya tidak ditangkap sama sekali, hal ini memberi indikasi bahwa sistem peradilan di Papua menjadi semakin baik – meskipun dari basis yang paling rendah dan jalan yang harus ditempuh masih jauh. Papua bukanlah tanah mengerikan seperti yang ingin digambarkan oleh KNPB. Papua memiliki masalah besar, tapi juga sudah banyak perubahan besar selama dekade terakhir. Pemerintah Indonesia telah berulang kali secara tidak sengaja menyebabkan kerusakan bagi dirinya sendiri dengan membatasi akses dan mencegah gambaran yang sepenuhnya mengenai Papua untuk muncul. Cara terbaik untuk meminggirkan para radikal tidak dengan cara mengurung mereka. Cara terbaik yaitu dengan membuka pintu seluas-luasnya ke wilayah pegunungan tengah dan wilayah lain di Papua, dan biarkan LSM dan wartawan melaporkannya. Selain itu juga mengambil bagian dalam dialog mengenai keadilan dan tanah dan catatan sejarah. Ada contoh-contoh untuk membuat kemajuan bagi isu-isu ini tanpa membahayakan kedaulatan, dan apabila pembicaraan mengenai hal ini dilakukan dengan serius, para radikal bisa melihat diri mereka tersingkir.
Jakarta/Brussels, 11 Maret 2010
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Page 32
LAMPIRAN A PETA INDONESIA
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Page 33
LAMPIRAN B PETA PROPINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Page 34
LAMPIRAN C PETA LOKASI PENEMBAKAN DI SEPANJANG JALAN PENAMBANGAN FREEPORT
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Page 35
LAMPIRAN D TENTANG INTERNATIONAL CRISIS GROUP
International Crisis Group (Crisis Group) adalah suatu organisasi nirlaba, non-pemerintah, dan mandiri, dengan sekitar 130 pegawai yang tersebar di lima benua yang bekerja melalui analisis lapangan dan advokasi bagi pencegahan dan resolusi konflik. Pendekatan Crisis Group didasarkan pada penelitian di lapangan. Beberapa analis politik ditempatkan di/sekitar wilayah/negara dengan potensi atau resiko konflik. Berdasarkan penelitian dan tinjauan lapangan, para analis menghasilkan laporan-laporan analitis yang meliputi rekomendasi-rekomendasi praktis yang ditujukan kepada para pengambil kebijakan internasional. Crisis Group juga menerbitkan CrisisWatch, sebuah buletin bulanan setebal dua belas halaman, yang menghadirkan informasi terkini yang singkat dan padat mengenai perkembangan situasi di berbagai wilayah konflik atau rawan konflik di seluruh dunia. Laporan-laporan Crisis Group disebarluaskan baik melalui email atau tersedia untuk umum melalui situs internet organisasi ini di www.crisisgroup.org. Organisasi ini bekerja bersama-sama dengan pemerintah dan berbagai pihak yang terkait termasuk pers untuk menyoroti berbagai potensi konflik yang berhasil diidentifikasi di lapangan dan mengupayakan dukungan bagi ketentuan-ketentuan kebijakannya. Dewan Crisis Group – yang mencakup tokoh-tokoh penting dalam bidang politik, diplomasi, usaha dan media – juga terlibat langsung dalam membantu agar laporan–laporan serta rekomendasi-rekomendasi Crisis Group mendapatkan perhatian dari para pembuat kebijakan senior di seluruh dunia. Crisis Group diketuai oleh Christopher Patten, mantan Komisioner Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Thomas R. Pickering, mantan duta besar AS. Sedangkan Presiden dan Pemimpin Eksekutif semenjak bulan Juli 2009 dijabat oleh Louise Arbour, mantan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Azasi Manusia (HAM-PBB) dan Hakim Agung pada Pengadilan Perang Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Rwanda (ICTY/ICTR) Kantor Pusat International Crisis Group berada di Brussels, dengan beberapa perwakilan advokasinya di Washington D.C (sebagai pusat wewenang hukum), New York, London, dan perwakilan penghubung di Moskow dan Beijing. Pada saat ini, organisasi ini mengoperasikan sembilan kantor perwakilan regional (di Bishkek, Bogotá, Dakar, Islamabad, Istanbul, Jakarta, Nairobi, Pristina, dan Tbilisi) dan mempunyai beberapa perwakilan lapangan yang tersebar di empat belas lokasi tambahan (Baku, Bangkok, Beirut, Bujumbura, Kolombo, Damaskus, Dili, Yerusalem, Kabul, Kathmandu, Kinshasa, Port-au-Prince, Pretoria, Sarajevo dan Seoul). Crisis Group saat ini menjangkau sekitar 60 area berpotensi atau dalam situasi konflik di empat benua. Di Afrika, meliputi Burundi, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Chad, Pantai Gading, Kongo, Eritrea, Ethiopia, Guyana, Guyana-Bissau, Kenya,
Liberia, Madagaskar, Nigeria, Rwanda, Sierra Leone, Somalia, Sudan, Uganda dan Zimbabwe; Di Asia, Afganistan, Bangladesh, Burma/Myanmar, Indonesia, Kashmir, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Nepal, Korea Utara, Pakistan, Filipina, Srilanka, Selat Taiwan, Tajikistan, Thailand, TimorLeste, Turkmenistan dan Uzbekistan; Di Eropa, Armenia, Azerbaijan, Bosnia dan Herzegovina, Siprus, Georgia, Kosovo, Macedonia, Rusia (Kaukasus Utara), Serbia dan Turki; Di Timur Tengah, Afrika Timur dan Utara, Algeria, Mesir, Negara-negara Teluk, Iran, Irak, Israel-Palestina, Lebanon, Moroko, Saudi Arabia, Siria dan Yaman; di Amerika Latin dan Karibia, Bolivia, Kolombia, Ekuador, Guatemala, Haiti dan Venezuela. Crisis Group mendapatkan dukungan dana dari pemerintah, yayasan-yayasan amal, perusahaan-perusahaan, dan donor perorangan. Lembaga-lembaga pemerintah berikut adalah penyandang dana pada saat ini yaitu: Australian Agency for International Development, Australian Department of Foreign Affairs and Trade, Austrian Development Agency, Kementrian Luar Negeri Belgia, Canadian International Development Agency, Canadian International Development and Research Centre, Kementrian Luar Negeri dan Perdagangan Canada, Kementrian Luar Negeri Republik Ceko, Kementrian Luar Negeri Denmark, Kementrian Luar Negeri Belanda, Kementrian Luar Negeri Finlandia, Kementrian Luar Negeri Prancis, German Federal Foreign Office, Irish Aid, Lembaga Kerjasama Pembangunan Jepang; Principality of Liechtenstein, Kementrian Luar Negeri Luxembourg, New Zealand Agency for International Development, Kementrian Luar Negeri Norwegia, Kementrian Luar Negeri Swedia, Kementrian Luar Negeri Swiss, Kementrian Luar Negeri Turki, Kementrian Luar Negeri Uni Emirat Arab, United Kingdom Department for International Development, United Kingdom Economic and Social Research Council, U.S. Agency for International Development. Sedangkan para donor dari yayasan dan sektor swasta menyediakan dukungan setiap tahunnya dan/atau menyumbang untuk pendanaan Crisis Group’s Securing the Future”, diantaranya Better World Fund, Carnegie Corporation of New York, Willian & Flora Hewlett Foundation, Humanity United, Hunt Alternatives Fund, Jewish World Watch, Kimsey Foundation, Korea Foundation, John D & Catherine T. MacArthur Foundation, Open Sociaty Institute, Victor Pinchuk Foundation, Radcliffe Foundation, Sigrid Rausing Trust, Rockefeller Brothers Fund and VIVA Trust. Maret 2010
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Page 36
LAMPIRAN E LAPORAN DAN BRIEFING CRISIS GROUP TENTANG ASIA SEJAK TAHUN 2007
ASIA TENGAH
ASIA SELATAN
Turkmenistan after Niyazov, Asia Briefing N°60, 12 February 2007 Central Asia’s Energy Risks, Asia Report N°133, 24 May 2007 (also available in Russian) Uzbekistan: Stagnation and Uncertainty, Asia Briefing N°67, 22 August 2007 Political Murder in Central Asia: No Time to End Uzbekistan’s Isolation, Asia Briefing N°76, 13 February 2008 Kyrgyzstan: The Challenge of Judicial Reform, Asia Report N°150, 10 April 2008 (also available in Russian) Kyrgyzstan: A Deceptive Calm, Asia Briefing N°79, 14 August 2008 (also available in Russian) Tajikistan: On the Road to Failure, Asia Report N°162, 12 February 2009 Women and Radicalisation in Kyrgyzstan, Asia Report N°176, 3 September 2009 Central Asia: Islamists in Prison, Asia Briefing N°97, 15 December 2009 Central Asia: Migrants and the Economic Crisis, Asia Report N°183, 5 January 2010
Afghanistan’s Endangered Compact, Asia Briefing Nº59, 29 January 2007 Nepal’s Constitutional Process, Asia Report N°128, 26 February 2007 (also available in Nepali) Pakistan: Karachi’s Madrasas and Violent Extremism, Asia Report N°130, 29 March 2007 Discord in Pakistan’s Northern Areas, Asia Report N°131, 2 April 2007 Nepal’s Maoists: Purists or Pragmatists?, Asia Report N°132, 18 May 2007 (also available in Nepali) Sri Lanka’s Muslims: Caught in the Crossfire, Asia Report N°134, 29 May 2007 Sri Lanka’s Human Rights Crisis, Asia Report N°135, 14 June 2007 Nepal’s Troubled Tarai Region, Asia Report N°136, 9 July 2007 (also available in Nepali) Elections, Democracy and Stability in Pakistan, Asia Report N°137, 31 July 2007 Reforming Afghanistan’s Police, Asia Report N°138, 30 August 2007 Nepal’s Fragile Peace Process, Asia Briefing N°68, 28 September 2007 (also available in Nepali) Pakistan: The Forgotten Conflict in Balochistan, Asia Briefing N°69, 22 October 2007 Sri Lanka: Sinhala Nationalism and the Elusive Southern Consensus, Asia Report N°141, 7 November 2007 Winding Back Martial Law in Pakistan, Asia Briefing N°70, 12 November 2007 Nepal: Peace Postponed, Asia Briefing N°72, 18 December 2007 (also available in Nepali) After Bhutto’s Murder: A Way Forward for Pakistan, Asia Briefing N°74, 2 January 2008 Afghanistan: The Need for International Resolve, Asia Report N°145, 6 February 2008 Sri Lanka’s Return to War: Limiting the Damage, Asia Report N°146, 20 February 2008 Nepal’s Election and Beyond, Asia Report N°149, 2 April 2008 (also available in Nepali) Restoring Democracy in Bangladesh, Asia Report N°151, 28 April 2008 Nepal’s Election: A Peaceful Revolution?, Asia Report N°155, 3 July 2008 (also available in Nepali) Nepal’s New Political Landscape, Asia Report N°156, 3 July 2008 (also available in Nepali) Reforming Pakistan’s Police, Asia Report N°157, 14 July 2008 Taliban Propaganda: Winning the War of Words?, Asia Report N°158, 24 July 2008 Sri Lanka’s Eastern Province: Land, Development, Conflict, Asia Report N°159, 15 October 2008
ASIA TIMUR JAUH After the North Korean Nuclear Breakthrough: Compliance or Confrontation?, Asia Briefing N°62, 30 April 2007 (also available in Korean and Russian) North Korea-Russia Relations: A Strained Friendship, Asia Briefing N°71, 4 December 2007 (also available in Russian) South Korea’s Election: What to Expect from President Lee, Asia Briefing N°73, 21 December 2007 China’s Thirst for Oil, Asia Report N°153, 9 June 2008 (also available in Chinese) South Korea’s Elections: A Shift to the Right, Asia Briefing N°77, 30 June 2008 North Korea’s Missile Launch: The Risks of Overreaction, Asia Briefing N°91, 31 March 2009 China’s Growing Role in UN Peacekeeping, Asia Report N°166, 17 April 2009 (also available in Chinese) North Korea’s Chemical and Biological Weapons Programs, Asia Report N°167, 18 June 2009 North Korea’s Nuclear and Missile Programs, Asia Report N°168, 18 June 2009 North Korea: Getting Back to Talks, Asia Report N°169, 18
June 2009 China’s Myanmar Dilemma, Asia Report N°177, 14 September 2009 (also available in Chinese) Shades of Red: China’s Debate over North Korea, Asia Report N°179, 2 November 2009 (also available in Chinese) The Iran Nuclear Issue: The View from Beijing, Asia Briefing N°100, 17 February 2010
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010 Reforming the Judiciary in Pakistan, Asia Report N°160, 16 October 2008 Bangladesh: Elections and Beyond, Asia Briefing N°84, 11 December 2008 Policing in Afghanistan: Still Searching for a Strategy, Asia Briefing N°85, 18 December 2008 Nepal’s Faltering Peace Process, Asia Report N°163, 19 February 2009 (also available in Nepali) Afghanistan: New U.S. Administration, New Directions, Asia Briefing N°89, 13 March 2009 Pakistan: The Militant Jihadi Challenge, Asia Report N°164, 13 March 2009 Development Assistance and Conflict in Sri Lanka: Lessons from the Eastern Province, Asia Report N°165, 16 April 2009 Pakistan’s IDP Crisis: Challenges and Opportunities, Asia Briefing N°93, 3 June 2009 Afghanistan’s Election Challenges, Asia Report N°171, 24 June 2009 Sri Lanka’s Judiciary: Politicised Courts, Compromised Rights, Asia Report N°172, 30 June 2009 Nepal’s Future: In Whose Hands?, Asia Report N°173, 13 August 2009 (also available in Nepali) Afghanistan: What Now for Refugees?, Asia Report N°175, 31 August 2009 Pakistan: Countering Militancy in FATA, Asia Report N°178, 21 October 2009 Afghanistan: Elections and the Crisis of Governance, Asia Briefing N°96, 25 November 2009 Bangladesh: Getting Police Reform on Track, Asia Report N°182, 11 December 2009 Sri Lanka: A Bitter Peace, Asia Briefing N°99, 11 January 2010 Nepal: Peace and Justice, Asia Report N°184, 14 January 2010 Reforming Pakistan’s Civil Service, Crisis Group Asia Report N°185, 16 February 2010 The Sri Lankan Tamil Diaspora after the LTTE, Asia Report N°186, 23 February 2010 The Threat from Jamaat-ul Mujahideen Bangladesh, Asia Report N°187, 1 March 2010
ASIA TENGGARA Jihadism in Indonesia: Poso on the Edge, Asia Report N°127, 24 January 2007 (also available in Indonesian) Southern Thailand: The Impact of the Coup, Asia Report N°129, 15 March 2007 (also available in Thai) Indonesia: How GAM Won in Aceh , Asia Briefing N°61, 22 March 2007 Indonesia: Jemaah Islamiyah’s Current Status, Asia Briefing N°63, 3 May 2007 Indonesia: Decentralisation and Local Power Struggles in Maluku, Asia Briefing N°64, 22 May 2007 Timor-Leste’s Parliamentary Elections, Asia Briefing N°65, 12 June 2007 Indonesian Papua: A Local Perspective on the Conflict, Asia Briefing N°66, 19 July 2007 (also available in Indonesian) Aceh: Post-Conflict Complications, Asia Report N°139, 4 October 2007 (also available in Indonesian)
Page 37 Southern Thailand: The Problem with Paramilitaries, Asia Report N°140, 23 October 2007 (also available in Thai) “Deradicalisation” and Indonesian Prisons, Asia Report N°142, 19 November 2007 (also available in Indonesian) Timor-Leste: Security Sector Reform, Asia Report N°143, 17 January 2008 (also available in Tetum) Indonesia: Tackling Radicalism in Poso, Asia Briefing N°75, 22 January 2008 Burma/Myanmar: After the Crackdown, Asia Report N°144, 31 January 2008 Indonesia: Jemaah Islamiyah’s Publishing Industry, Asia Report N°147, 28 February 2008 (also available in Indonesian) Timor-Leste’s Displacement Crisis, Asia Report N°148, 31 March 2008 The Philippines: Counter-insurgency vs. Counter-terrorism in Mindanao, Asia Report N°152, 14 May 2008 Indonesia: Communal Tensions in Papua, Asia Report N°154, 16 June 2008 (also available in Indonesian) Indonesia: Implications of the Ahmadiyah Decree, Asia Briefing N°78, 7 July 2008 (also available in Indonesian)
Thailand: Political Turmoil and the Southern Insurgency, Asia Briefing N°80, 28 August 2008 (also available in Thai) Indonesia: Pre-election Anxieties in Aceh, Asia Briefing N°81, 9 September 2008 (also available in Indonesian) Thailand: Calming the Political Turmoil, Asia Briefing N°82, 22 September 2008 (also available in Thai) Burma/Myanmar After Nargis: Time to Normalise Aid Relations, Asia Report N°161, 20 October 2008 (also available in Chinese) The Philippines: The Collapse of Peace in Mindanao, Asia Briefing N°83, 23 October 2008 Local Election Disputes in Indonesia: The Case of North Maluku, Asia Briefing N°86, 22 January 2009 Timor-Leste: No Time for Complacency, Asia Briefing N°87, 09 February 2009 The Philippines: Running in Place in Mindanao, Asia Briefing N°88, 16 February 2009 Indonesia: Deep Distrust in Aceh as Elections Approach, Asia Briefing N°90, 23 March 2009 Indonesia: Radicalisation of the “Palembang Group”, Asia Briefing N°92, 20 May 2009 Recruiting Militants in Southern Thailand, Asia Report N°170, 22 June 2009 (also available in Thai) Indonesia: The Hotel Bombings, Asia Briefing N°94, 24 July 2009 (also available in Indonesian) Myanmar: Towards the Elections, Asia Report N°174, 20 August 2009 Indonesia: Noordin Top’s Support Base, Asia Briefing N°95, 27 August 2009 Handing Back Responsibility to Timor-Leste’s Police, Asia Report N°180, 3 December 2009. Southern Thailand: Moving towards Political Solutions?, Asia Report N°181, 8 December 2009 The Philippines: After the Maguindanao Massacre, Asia Briefing N°98, 21 December 2009
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Page 38
LAMPIRAN F INTERNATIONAL CRISIS GROUP BOARD OF TRUSTEES Co-Chairs Lord (Christopher) Patten Former European Commissioner for External Relations, Governor of Hong Kong and UK Cabinet Minister; Chancellor of Oxford University
Thomas R Pickering Former U.S. Ambassador to the UN, Russia, India, Israel, Jordan, El Salvador and Nigeria; Vice Chairman of Hills & Company
President & CEO Louise Arbour Former UN High Commissioner for Human Rights and Chief Prosecutor for the International Criminal Tribunals for the former Yugoslavia and for Rwanda
HRH Prince Turki al-Faisal
Mo Ibrahim
Former Ambassador of the Kingdom of Saudi Arabia to the U.S.
Founder and Chair, Mo Ibrahim Foundation; Founder, Celtel International
Kofi Annan
Asma Jahangir
Former Secretary-General of the United Nations; Nobel Peace Prize (2001)
Richard Armitage Former U.S. Deputy Secretary of State
James V. Kimsey
Shlomo Ben-Ami
Founder and Chairman Emeritus of America Online, Inc. (AOL)
Former Foreign Minister of Israel
Wim Kok
Lakhdar Brahimi
Former Prime Minister of the Netherlands
Former Special Adviser to the UN SecretaryGeneral and Foreign Minister of Algeria
Aleksander Kwaśniewski
Zbigniew Brzezinski
Ricardo Lagos
Former U.S. National Security Advisor to the President
Executive Committee Morton Abramowitz
Kim Campbell
Former U.S. Assistant Secretary of State and Ambassador to Turkey
Naresh Chandra
Emma Bonino*
UN Special Rapporteur on the Freedom of Religion or Belief; Chairperson, Human Rights Commission of Pakistan
Former Prime Minister of Canada Former Indian Cabinet Secretary and Ambassador to the U.S.
Former President of Poland Former President of Chile
Joanne Leedom-Ackerman Former International Secretary of International PEN; Novelist and journalist, U.S.
Jessica Tuchman Mathews President, Carnegie Endowment for International Peace, U.S.
Former Italian Minister of International Trade and European Affairs and European Commissioner for Humanitarian Aid
Joaquim Alberto Chissano
Cheryl Carolus
Wesley Clark
Former Venezuelan Minister of Trade and Industry; Editor in Chief, Foreign Policy
Former NATO Supreme Allied Commander, Europe
Ayo Obe
Former South African High Commissioner to the UK and Secretary General of the ANC
Maria Livanos Cattaui
Former President of Mozambique
Pat Cox Former President of the European Parliament
Member of the Board, Petroplus, Switzerland
Uffe Ellemann-Jensen
Yoichi Funabashi
Gareth Evans
Editor-in-Chief & Columnist, The Asahi Shimbun, Japan
Frank Giustra Chairman, Endeavour Financial, Canada
Stephen Solarz Former U.S. Congressman
George Soros Chairman, Open Society Institute
Pär Stenbäck Former Foreign Minister of Finland *Vice Chair
Other Board Members Adnan Abu-Odeh Former Political Adviser to King Abdullah II and to King Hussein, and Jordan Permanent Representative to the UN
Kenneth Adelman Former U.S. Ambassador and Director of the Arms Control and Disarmament Agency
Former Foreign Minister of Denmark President Emeritus of Crisis Group; Former Foreign Affairs Minister of Australia
Mark Eyskens Former Prime Minister of Belgium
Joschka Fischer Former Foreign Minister of Germany
Carla Hills Former U.S. Secretary of Housing and U.S. Trade Representative
Lena Hjelm-Wallén Former Deputy Prime Minister and Foreign Affairs Minister of Sweden
Swanee Hunt Former U.S. Ambassador to Austria; Chair, The Initiative for Inclusive Security and President, Hunt Alternatives Fund
Anwar Ibrahim Former Deputy Prime Minister of Malaysia
Moisés Naím
Chair, Board of Trustees, Goree Institute, Senegal
Christine Ockrent CEO, French TV and Radio World Services
Victor Pinchuk Founder of EastOne and Victor Pinchuk Foundation
Fidel V. Ramos Former President of Philippines
Güler Sabancı Chairperson, Sabancı Holding, Turkey
Ghassan Salamé Former Lebanese Minister of Culture; Professor, Sciences Po, Paris
Thorvald Stoltenberg Former Foreign Minister of Norway
Ernesto Zedillo Former President of Mexico; Director, Yale Center for the Study of Globalization
Radikalisasi dan Dialog di Papua Crisis Group Asia Report N°188, 11 Maret 2010
Page 39
PRESIDENT’S COUNCIL Crisis Group’s President’s Council is a distinguished group of major individual and corporate donors providing essential support, time and expertise to Crisis Group in delivering its core mission. Canaccord Adams Limited Fares I. Fares Mala Gaonkar Alan Griffiths
Iara Lee & George Gund III Foundation Frank Holmes Frederick Iseman George Landegger
Ford Nicholson Statoil ASA Ian Telfer Neil Woodyer
INTERNATIONAL ADVISORY COUNCIL Crisis Group’s International Advisory Council comprises significant individual and corporate donors who contribute their advice and experience to Crisis Group on a regular basis. Rita E. Hauser (Co-Chair)
Elliott Kulick (Co-Chair)
Anglo American PLC APCO Worldwide Inc. Ed Bachrach Stanley Bergman & Edward Bergman Harry Bookey & Pamela Bass-Bookey
David Brown John Chapman Chester Chevron Neil & Sandy DeFeo John Ehara Equinox Partners Seth Ginns Joseph Hotung H.J. Keilman George Kellner
Amed Khan Zelmira Koch Liquidnet Jean Manas McKinsey & Company Najib Mikati Harriet Mouchly-Weiss Yves Oltramare Donald Pels and Wendy Keys
Anna Luisa Ponti & Geoffrey Hoguet Michael Riordan Belinda Stronach Talisman Energy Tilleke & Gibbins Kevin Torudag VIVATrust Yapı Merkezi Construction and Industry Inc.
SENIOR ADVISERS Crisis Group’s Senior Advisers are former Board Members who maintain an association with Crisis Group, and whose advice and support are called on from time to time (to the extent consistent with any other office they may be holding at the time) Martti Ahtisaari (Chairman Emeritus)
George Mitchell (Chairman Emeritus)
Hushang Ansary Ersin Arıoğlu Óscar Arias Diego Arria Zainab Bangura Christoph Bertram Alan Blinken Jorge Castañeda Eugene Chien Victor Chu Mong Joon Chung
Gianfranco Dell’Alba Jacques Delors Alain Destexhe Mou-Shih Ding Gernot Erler Marika Fahlén Stanley Fischer Malcolm Fraser I.K. Gujral Max Jakobson Todung Mulya Lubis Allan J. MacEachen Graça Machel Barbara McDougall
Matthew McHugh Nobuo Matsunaga Miklós Németh Timothy Ong Olara Otunnu Shimon Peres Surin Pitsuwan Cyril Ramaphosa George Robertson Michel Rocard Volker Rühe Mohamed Sahnoun Salim A. Salim Douglas Schoen
Christian SchwarzSchilling Michael Sohlman William O. Taylor Leo Tindemans Ed van Thijn Simone Veil Shirley Williams Grigory Yavlinski Uta Zapf