INDONESIA: DINAMIKA KEKERASAN DI PAPUA Asia Report N°232 – 9 Agustus 2012
DAFTAR ISI RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI .............................................................. i I. PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 II. PERISTIWA PENEMBAKAN DI JAYAPURA, KNPB DAN KEMATIAN MAKO TABUNI ................................................................................................................ 3 A. MENINGKATNYA BERBAGAI AKSI PROTES....................................................................4 B. SERANGKAIAN PENEMBAKAN ...........................................................................................6 C. SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB? .............................................................................8
III. ABEPURA DAN WAMENA: DISIPLIN YANG LEMAH DAN IMPUNITAS ......... 9 A. KONGRES RAKYAT PAPUA III .............................................................................................9 B. KERUSUHAN DI WAMENA .................................................................................................11
IV. PANIAI: KEKERASAN DAN TAMBANG EMAS ..................................................... 12 A. LATAR BELAKANG PENDULANGAN EMAS DEGEUWO ..............................................12 B. PERAN POLISI ........................................................................................................................13 C. ISU PENGGUSURAN DAN KETERLIBATAN OPM ...........................................................14 D. KEKERASAN TERUS BERLANJUT .....................................................................................16 E. MENGAPA PANIAI PENTING ..............................................................................................17
V. TIDAK ADANYA PEMERINTAHAN SETEMPAT .................................................. 18 A. MENGAPA TIDAK ADA GUBERNUR .................................................................................18 B. MELEMAHKAN MRP ............................................................................................................21 C. MASALAH LAIN DI TINGKAT KABUPATEN DAN KECAMATAN ................................23
VI. DIMANA JAKARTA? .................................................................................................... 26 A. UP4B: NIAT BAIK, HARAPAN YANG PUDAR ..................................................................26 B. DIALOG: LANGKAH YANG MEMAKAN WAKTU ...........................................................29 C. KEBIJAKAN KEAMANAN....................................................................................................30
VII. KESIMPULAN ............................................................................................................. 32 LAMPIRAN
A. B. C. D. E. F.
PETA PROPINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT ......................................................................................34 PETA WILAYAH JAYAPURA ..............................................................................................................35 GLOSSARY .......................................................................................................................................36 TENTANG INTERNATIONAL CRISIS GROUP .......................................................................................37 LAPORAN DAN BRIEFING CRISIS GROUP TENTANG ASIA SEJAK 2009 ...............................................38 CRISIS GROUP BOARD OF TRUSTEES ................................................................................................40
Asia Report N°232
9 Agustus 2012
INDONESIA: DINAMIKA KEKERASAN DI PAPUA RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI Serangkaian kekerasan yang terjadi di Papua selama bulan Mei dan Juni 2012 telah mengungkap ketiadaan strategi pemerintah yang koheren dalam menangani konflik multidimensi ini. Peristiwa penembakan terhadap warga non- Papua di Jayapura pada bulan Juni yang kemungkinan melibatkan para militan pro-kemerdekaan, yang kemudian disusul oleh kematian salah seorang militan tersebut di tangan polisi, menyingkap dimensi politik dari masalah ini. Di Wamena, aksi sejumlah tentara yang mengamuk setelah kematian rekan mereka memperlihatkan dalamnya rasa saling tidak percaya antara masyarakat lokal dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan tidak adanya mekanisme dalam menanggulangi krisis. Kekerasan yang terkait dengan sumber kekayaan alam Papua terkuak dalam peristiwa penembakan di wilayah pertambangan emas terpencil Paniai . Sementara kejadian-kejadian ini masih dalam investigasi, mereka memberi indikasi bahwa apabila pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat menangani aspek-aspek yang sangat berbeda dalam masalah keamanan di Papua ini, keadaan mungkin bisa menjadi lebih buruk. Salahsatu solusi yang mungkin bisa menolong adalah perombakan kebijakan keamanan. Ada dua faktor yang mendorong sebagian dari kekerasan di Papua belakangan ini. Pertama, berbagai ketidakpuasan yang dirasakan oleh masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat. Kedua, beberapa aspek dari kebijakan keamanan yang kelihatannya bertentangan dengan niat pemerintah untuk membangun kepercayaan, mempercepat pembangunan dan merealisasikan tujuan dari UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Propinsi Papua. Hingga hari ini, UU Otsus belum menghasilkan manfaat yang nyata bagi kehidupan sebagian besar masyarakat dan belum juga memperbaiki hubungan antara Papua dengan pemerintah pusat. Substansinya selama ini kerap diperlemah oleh Jakarta, meskipun para anggota DPRD Papua juga bertanggungjawab karena gagal menetapkan peraturanperaturan pelaksana yang diperlukan. Jika Papua punya institusi politik yang efektif sekalipun, masalah-masalah ini sudah cukup sulit untuk dikelola.
Realitanya, pemerintah maupun DPRD di tingkat propinsi dan kabupaten di Papua nyaris tidak berfungsi. Seorang pejabat gubernur telah ditunjuk bulan Juli 2011 namun ketidakefektifannya telah membawa pemerintah propinsi Papua ke dalam keadaan tidak menentu. Sementara, penyelenggaraan pilkada terhambat oleh DPRD Papua yang telah memfokuskan hampir dari seluruh energinya untuk menghalangi gubernur petahana untuk maju dan merebut kontrol KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) terhadap beberapa bagian dalam proses pilkada melalui jalur hukum. Keadaan juga suram di tingkat kabupaten. Situasi ini membuat pemerintah pusat tak punya mitra yang aktif di Papua dan rakyat Papua tak punya saluran resmi untuk menyampaikan kekhawatiran mereka ke Jakarta. Peran dari sebuah badan baru bernama Unit Percepatan Pembangunan Di Papua dan Papua Barat (UP4B) yang dibentuk bulan September 2011, semakin lama kelihatannya hanya terbatas menangani urusan ekonomi, dimana unit ini akan mengalami kesulitan memperlihatkan kemajuan yang nyata dalam jangka pendek. Harapan bahwa UP4B mungkin bisa memainkan peran politik di belakang layar dalam mendorong dialog antara rakyat Papua dan pemerintah pusat atau tentang kesusahan di Papua pun semakin memudar, karena kini menjadi semakin jelas bahwa dialog memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Upaya-upaya untuk membangun sebuah konsensus tentang dialog telah mengalami kemunduran akibat kekerasan yang terjadi, karena pemerintah enggan untuk mengambil langkah apapun yang bisa dilihat sebagai konsesi politik di bawah tekanan – apalagi terhadap daerah sesensitif Papua. Tantangannya buat pemerintah adalah untuk menemukan sebuah strategi jangka pendek yang dapat mengurangi kekerasan sambil terus mencari sebuah kebijakan yang akan membawa manfaat-manfaat sosial, ekonomi dan politik jangka panjang dan menangani ketidakpuasan yang sudah lama dirasakan. Strategi tersebut harus melibatkan perubahan-perubahan yang jelas dan nyata dalam pengawasan, kontrol dan akuntabilitas terhadap polisi dan TNI. Tentu, aparat keamanan bukan satu-
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Page ii
b) Pasal 10 (f) menjamin kesehatan orang-orang yang berada dalam tahanan dan segera mengambil langkah untuk memberikan pelayanan medis bilamana diperlukan;
satunya masalah. Polisi dan tentara juga tidak selalu menjadi pelaku kekerasan; banyak dari mereka juga telah menjadi korban. Tapi mereka telah menjadi simbol atas segala sesuatu yang salah dengan penanganan Jakarta terhadap konflik Papua. Oleh karena itu, sebuah perubahan dalam kebijakan keamanan menyodorkan harapan paling baik bagi sebuah “quick win” yang dapat memperbaiki dinamika politik dan menghentikan Papua merosot ke arah kekerasan lebih lanjut.
c) Pasal 10 (g) tidak boleh melakukan korupsi maupun penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk apapun; d) Pasal 17 mengenai prosedur penangkapan; e) Pasal 40 melarang anggota Polri untuk bertindak dengan cara yang menimbulkan antipati masyarakat, termasuk dengan meminta imbalan tidak resmi dan sengaja menutupi kesalahan pihak yang perkaranya sedang ditangani;
REKOMENDASI-REKOMENDASI Kepada Pemerintah Indonesia: 1.
Mengembangkan sebuah mekanisme pembuatan kebijakan yang lebih terintegrasi mengenai Papua di tingkat nasional dan propinsi untuk menjamin bahwa:
f) Pasal 42-44 mengenai perlindungan HAM dalam kerusuhan massal; dan g) Pasal 45-49 mengenai penggunaan kekuatan/ tindakan keras dan senjata api, terutama ketentuan bahwa metode-metode tanpa kekerasan (non-violent) harus diusahakan terlebih dahulu dan penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan represi harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi.
a) Program-program yang dirancang untuk memberikan manfaat-manfaat konkrit bagi rakyat Papua dan membangun kepercayaan tidak diperlemah secara tidak sengaja oleh keputusankeputusan atau tindakan-tindakan yang diambil dalam Kementerian Dalam Negeri atau oleh badan intelijen dan keamanan;
3.
b) Sebuah mekanisme pelaporan keamanan yang lebih terpadu dibentuk dibawah Kapolda Papua untuk menjamin bahwa unsur-unsur aparat TNI dan intel tidak melakukan operasi yang hanya dilaporkan ke Jakarta dan tidak dikoordinasikan dengan instansi lain di Papua.
Meninjau kembali kebijakan dalam penggunaan peluru tajam dengan maksud untuk membatasi penggunaannya hanya pada situasi-situasi tertentu dan menjamin bahwa perlengkapan non-lethal (yang tidak mematikan) untuk menangani kerusuhan sipil dipasok secara memadai.
4.
Menjamin bahwa polisi diperlengkapi secara penuh dengan rompi anti-peluru dan perlengkapan pelindung diri lain ketika ditugaskan ke wilayahwilayah yang rawan atau ketika menghadapi kerusuhan sipil sehingga mengurangi insentif untuk menembak lebih dulu.
5.
Meninjau kembali kebutuhan pelatihan untuk menjamin bahwa siapapun yang ditugaskan di kabupaten tertentu di Papua menerima briefing (pengarahan) yang menyeluruh dan mendetil dari mereka yang pernah bertugas disitu mengenai kondisi setempat, dinamika konflik dan hubungan dengan pemerintah dan tokoh masyarakat setempat, dan bahwa siapapun yang baru selesai bertugas di wilayah tertentu menjalani de-briefing (wawancara paska tugas) yang juga menyeluruh sehingga pengetahuan dan pelajaran-pelajaran yang didapat bisa diinstitusionalisasikan.
6.
Merancang kembali struktur tunjangan dan insentif sehingga polisi yang ditugaskan ke daerah-daerah sulit dan terpencil didorong untuk membangun hubungan yang lebih kuat dengan masyarakat setempat.
c) Program-program pengawasan yang ketat tidak hanya terbatas di bidang pembangunan tapi juga mencakup kebijakan keamanan, termasuk audit yang rutin dan independen terhadap penghasilan TNI dan Polri dari kegiatan mereka di Papua. d) Perspektif rakyat Papua diikutsertakan lewat partisipasi gubernur terpilih atau ketua MRP.
Kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) 2.
Meningkatkan sosialisasi dan pelatihan mengenai Peraturan Kapolri Nomor 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas kepolisian, dengan perhatian khusus pada: a) Pasal 10(e) tidak boleh mentolerir tindakan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, bahkan dibawah perintah atasan sekalipun atau dalam keadaan luar biasa;
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Page iii
Kepada TNI dan Polri:
Kepada Komisi Pemilu (KPU):
7.
Membuat komitmen yang tegas untuk mengakhiri impunitas (kekebalan hukum) atas penggunaan kekuatan eksesif dan penyiksaan, dan untuk menegakkan hukuman yang lebih kredibel terhadap yang bertanggungjawab atas tindakan-tindakan seperti itu dengan cara yang kasat mata dan terpublikasi sehingga rakyat Papua bisa melihat bahwa keadilan sedang ditegakkan.
8.
Secara khusus menjamin bahwa ada kebijakan zerotolerance yang dimulai dari akademi-akademi militer dan polisi terhadap tindakan penendangan, pemukulan dengan instrumen apapun termasuk popor senapan atau tindakan penyiksaan dalam bentuk apapun dalam tahanan, interogasi atau hukuman ditempat atas dugaan pelanggaran.
11. Mengingat Mahkamah Konstitusi telah menyetujui praktek pemungutan suara secara aklamasi dengan menggunakan sistem noken di Papua, KPU hendaknya bekerja sama dengan KPUD Papua untuk mengembangkan pedoman yang jelas yang akan menjamin penghitungan dan rekapitulasi suara setidaknya mencapai standar minimum untuk mencegah kecurangan pemilu dan meningkatkan upaya-upaya pendidikan pemilih yang sesuai.
9.
Menjelaskan secara tegas bahwa “emosi” tidak bisa dipakai sebagai pembenaran untuk memakai kekuatan secara berlebihan, terutama dalam bereaksi terhadap serangan oleh kelompok-kelompok Papua.
Kepada Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B): 10. Bekerja sama dengan pemerintah propinsi dan kabupaten di Papua dan juga kementerian di tingkat nasional untuk mengidentifikasi kesenjangan dalam pengimplementasian UU Otsus dan mengembangkan strategi-strategi untuk menanganinya.
Kepada DPRD Propinsi Papua dan Gubernur Terpilih: 12. Memberi prioritas tertinggi untuk menetapkan sekitar dua lusin peraturan yang diperlukan untuk menjamin otonomi khusus dapat diimplementasikan secara penuh.
Jakarta/Brussels, 9 Agustus 2012
Asia Report N°232
9 Agustus 2012
INDONESIA: DINAMIKA KEKERASAN DI PAPUA I. PENDAHULUAN Kekerasan di propinsi Papua terus berlangsung hampir setiap hari.1 Papua menjadi tempat dimana konflik yang paling banyak memakan korban di Indonesia, dengan korban-korbannya tak hanya dari masyarakat sipil tapi juga aparat keamanan, warga Papua maupun non-Papua.2 Sekitar limabelas insiden penembakan dan penusukan terpisah terjadi antara bulan Mei dan Juni 2012 di Jayapura sendiri, dan bentrokan juga terjadi di Wamena, Paniai dan Puncak Jaya. Pemerintah pusat kelihatan tidak punya strategi yang koheren untuk menangani situasi yang semakin memburuk. Diskusi soal dialog antara pemerintah pusat dengan masyarakat Papua sedang dilakukan, tapi hasilnya mungkin masih harus menunggu lama. Sebuah badan baru yang dibentuk oleh presiden di akhir tahun 2011 tidak punya mandat maupun dukungan politik untuk dapat membuat langkah yang membawa pengaruh dramatis. Institusi-institusi politik lokal
1
Untuk laporan Crisis Group terkait, lihat Crisis Group Asia Briefings N°126, Indonesia: Hope and Hard Reality in Papua, 22 Agustus 2011 dan N°108, Indonesia: The Deepening Impasse in Papua, 3 Agustus 2010; Reports N°188, Radicalisation and Dialogue in Papua, 11 Maret 2010 dan N°154, Indonesia: Communal Tension in Papua, 16 Juni 2008; Crisis Group Asia Briefings N°66, Indonesian Papua: A Local Perspective on the Conflict, 19 Juli 2007; N°53, Papua: Answers to Frequently Asked Questions, 5 September 2006; N°47, Papua: The Dangers of Shutting Down Dialogue, 23 Maret 2006; N°24, Dividing Papua: How Not To Do It, 9 April 2003; and Crisis Group Asia Reports N°39, Indonesia: Resources and Conflict in Papua, 13 September 2002; and N°23, Ending Repression in Irian Jaya, 20 September 2001. Lihat Appendix A untuk peta wilayah Papua. 2 Data dari Sistem Pemantauan Kekerasan Nasional yang baru, yang melacak insiden konflik kekerasan di sebelas provinsi rawan konflik di Indonesia menunjukkan bahwa Papua memiliki baik jumlah tertinggi insiden tersebut (489) antara Januari-April 2012 dan jumlah kematian tertinggi (60). Menduduki urutan kedua baik dalam insiden dan kematian adalah ibukota Jakarta, yang memiliki populasi 3,4 kali lebih besar dari Papua. Sistem Pemantauan Kekerasan Nasional (yang akan datang) dikembangkan dalam kerjasama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Deputi I), Bank Dunia dan The Habibie Center.
sebagian besar disfungsional, terlalu lemah untuk bisa membuat banyak perubahan. Solusinya harus datang dari pemerintah pusat. Dan salah satu langkah yang bisa diambil oleh pemerintah yang bisa menyodorkan harapan untuk mencegah keadaan menjadi lebih buruk adalah merombak kebijakan keamanan sesegera mungkin. Tujuan pembangunan dan kebijakan keamanan di Papua kelihatannya seperti bertentangan. Sejak tahun 2007, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mempromosikan sebuah “new deal” untuk Papua, yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan lewat infrastruktur, pendidikan dan pelayanan sosial yang lebih baik. Untuk tujuan ini, pada bulan September 2011, pemerintah membentuk sebuah badan bernama Unit Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat (UP4B). Pada saat yang sama, pemerintah semakin khawatir mengenai internasionalisasi gerakan separatisme Papua. Sejak tahun 1960an, aksi ini sudah ada namun intensitasnya rendah.Pemberontakan ini dipimpin oleh Tentara Pembebasan Negara/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) dan beberapa barisan politik prokemerdekaan dengan dukungan kelompok solidaritas di luar negeri. Lima tahun belakangan ini, kegiatan mereka semakin intensif dengan dibentuknya Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sebuah kelompok pro-independen yang mayoritas pendukungnya dari Pegunungan Tengah yang terkait erat dengan dua kelompok di luar negeri, yaitu International Parliamentarians for West Papua dan International Lawyers for West Papua. Yang paling ditakutkan oleh pemerintah yaitu bahwa kegiatan kelompok-kelompok ini bisa menyebabkan dibatalkannya keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, yaitu referendum yang digelar di bawah pengawasan PBB yang membuat Papua menjadi bagian dari Indonesia. Kekhawatiran ini kadang menyebabkan pemakaian kekuatan yang berlebihan terhadap aksi-aksi pro-kemerdekaan, sanksi keras terhadap penggunaan simbol-simbol kemerdekaan seperti pengibaran bendera Bintang Kejora, penyiksaan dan perlakuan semena-mena terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai aktivis prokemerdekaan, pengawasan terhadap kelompok-kelompok sipil yang aktif secara politik, pembentukan institusi
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
paralel untuk menandingi dan memperlemah kelompokkelompok masyrakat, dan pembatasan ketat terhadap akses internasional ke Papua.3 Tindakan-tindakan semacam ini menguntungkan kelompok-kelompok seperti KNPB yang percaya tindakan opresif oleh pasukan keamanan membantu menggalang dukungan bagi mereka di luar negeri. Polisi telah menuduh anggota KNPB terlibat dalam kejadian penembakan baru-baru ini di Jayapura, dan kelihatannya ada sejumlah bukti yang mendasari tuduhan ini. Gesekan antara pembangunan dan keamanan tidak hanya terkait isu kemerdekaan. Di wilayah-wilayah propinsi Papua yang memiliki kekayaan alam berlimpah, kegiatan mencari rente oleh polisi atau tentara sering menimbulkan konflik dengan warga lokal. Di sebuah tambang emas terpencil di Paniai, sejumlah insiden kekerasan di tahun 2011 dan 2012 terkait langsung dengan aktivitas polisi memberikan pengamanan kepada bisnis-bisnis tambang ilegal milik warga non-Papua dan penguasaan mereka terhadap semua barang-barang yang masuk dan keluar wilayah tersebut. Ketika keadaan ini diperparah oleh petugas polisi yang masih muda dan belum berpengalaman dan dikirim dari luar kabupaten, yang terlalu cepat menarik pelatuk senjata sedikit saja mereka lihat ada kemungkinan masalah, maka harapan untuk membangun kepercayaan masyarakat lenyap. Beberapa masalah keamanan yang dihadapi Papua juga bisa ditemukan di daerah lain di Indonesia, tapi di Papua konsekwensinya lebih serius karena disini mereka masuk ke dalam debat politik yang lebih luas. Kejadian-kejadian yang umum terjadi di Indonesia antara lain perkelahian atau kecelakaan lalu lintas, kemarahan massa terhadap pelaku, dan respon-respon yang tidak proporsional dari polisi atau tentara yang tidak mendapat training memadai. Di daerah lain di Indonesia, kejadian ini bisa memicu aksi penyerangan terhadap kantor polisi atau pos militer.4 Di Papua, kejadian ini memperkuat gambaranTNI dan Polri sebagai penindas dan membantu menggalang dukungan bagi gerakan kemerdekaan. Beberapa faktor bahkan telah menghambat upaya-upaya yang dimaksudkan untuk menanggulangi masalah ini. Pertama, jaringan aparat keamanan yang begitu rumit, 3
Pada Januari 2011, misalnya, tiga tentara yang terlihat pada video sedang menyiksa dua warga sipil Papua, termasuk dengan membakar alat kelamin salah satu dari mereka sambil menghunuskan pisau di lehernya, ditemukan bersalah karena melanggar perintah. Mereka dijatuhi hukuman oleh pengadilan militer masing-masing sepuluh, sembilan dan delapan bulan. Ini adalah salah satu kasus langka di mana kasus penyiksaan benar-benar diadili dan itu sepenuhnya karena adanya publisitas internasional terhadap video tersebut. 4 Lihat Crisis Group Asia Report N°218, Indonesia: The Deadly Cost of Poor Policing, 16 Februari 2012.
Page 2
termasuk berbagai unit dalam TNI, Polri dan badan intelijen. Parahnya, mereka bukan saja tidak berkoordinasi satu sama lain, tapi bahkan saling bersaing. Kedua, ketiadaan lembaga-lembaga yang mewakili rakyat Papua secara luas yang bisa melobi perubahan secara efektif. Majelis Rakyat Papua atau MRP, yang menjadi bagian penting dari Undang Undang Otonomi Khusus (Otsus) tahun 2001 yang diharapkan rakyat Papua dapat melakukan perannya, telah dikebiri fungsinya secara sistematis oleh Jakarta. MRP juga tidak punya kepemimpinan yang kuat. Sementara itu, Jaringan Damai Papua (JDP) yang dipimipin oleh Pendeta Neles Tebay sudah membuat beberapa keberhasilan dalam membangun konsensus tentang dialog, tapi pekerjaan mereka masih dalam tahap sangat awal. Faktor yang ketiga yaitu lemahnya pemerintah propinsi dan kabupaten. Pemerintah lokal di Papua menghadapi sejumlah tantangan paling berat di Indonesia: banyak dari mereka terisolasi dari pusat kegiatan ekonomi dan harus menghadapi biaya tinggi dan lokasi yang sulit. Sejumlah kabupaten-kabupaten baru hasil pemekaran tidak berhasil membawa pemerintah lebih dekat ke masyarakat seperti yang dijanjikan, bahkan hasilnya seringkali malah tingginya tingkat pembolosan di kalangan pegawai pemerintah. Di wilayah pendulangan emas Paniai yang dibahas dalam laporan ini, tidak saja tidak ada pemerintah efektif disitu, bahkan tidak jelas wilayah ini masuk kabupaten mana. Selama tahun 2011 dan awal tahun 2012, sebuah upaya panjang oleh beberapa orang di Papua dan Jakarta untuk mendukung sebuah dialog untuk menangani beberapa dari masalah-masalah ini mulai membuat sedikit kemajuan, meskipun belum ada konsensus mengenai format, agenda, maupun tujuan. Walau demikian, momentumnya sekarang agak menurun sebagai buntut dari peristiwa penembakan di Jayapura. Kalau pemerintah SBY benar-benar berkomitmen dengan “new deal” bagi Papua seperti yang diutarakan, maka perubahan kebijakan paling berarti yang bisa mereka ambil dalam jangka pendek yaitu melakukan perombakan kebijakan keamanan, antara lain dengan mengurangi dan menghukum penggunaan kekuatan secara berlebihan, memperbaiki dan meningkatkan training bagi aparat keamanan yang ditugaskan ke Papua, merubah struktur insentif sehingga aparat didorong untuk memberi layanan yang sungguh-sungguh kepada masyarakat setempat, dan memperbaiki upaya pengawasan untuk mencegah kegiatan mencari rente oleh polisi dan tentara. Laporan ini mengkaji dinamika kekerasan di Papua dengan fokus pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
tahun 2011 dan 2012.5 Laporan ini berdasarkan wawancara menyeluruh dengan sumber-sumber di Jakarta, Jayapura, Nabire dan Timika. Laporan ini tak berusaha untuk memberikan catatan yang komprehensif mengenai kejadian-kejadian kekerasan yang terjadi di Papua baru-baru ini, karena banyak kejadian-kejadian tersebut masih dalam proses investigasi, melainkan mengkaji masalah yang lebih luas yang bisa menggerakan berbagai kekerasan-kekerasan ini. Setidaknya di depan publik, ada konsensus luas diantara para pelaku penting, termasuk kementrian koordinator bidang politik, hukum dan keamanan di Jakarta, bahwa “pendekatan keamanan” bukan solusi yang tepat. Namun belum jelas apakah ada visi yang jelas untuk melakukan reformasi terhadap praktek-praktek keamanan yang berlaku saat ini.
Page 3
II. PERISTIWA PENEMBAKAN DI JAYAPURA, KNPB DAN KEMATIAN MAKO TABUNI Peristiwa penembakan di Jayapura menyingkap sebuah dimensi masalah keamanan di Papua, yaitu makin radikalnya sebuah bagian dari gerakan pro-kemerdekaan yang mendapat dukungan dari berbagai kelompok masyarakat di Papua, dan tekad Jakarta untuk menindak keras siapapun yang mereka anggap separatis. Polisi menuduh anggota kelompok militan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) terlibat dalam tujuh insiden penembakan terhadap warga non-Papua, termasuk seorang turis Jerman, di ibukota propinsi Jayapura. Peristiwa ini dimulai tanggal 29 Mei dan berakhir tangal 14 Juni 2012 setelah polisi menembak tewas Mako Tabuni, ketua I KNPB, ketika sedang berusaha menangkapnya karena diduga terkait dalam tujuh kasus penembakan tersebut. Polisi mengklaim mereka terpaksa menembaknya karena ia tidak bersedia menyerah dan malah melawan dan berusaha merampas senjata seorang anggota polisi.6 Tapi begitu seringnya polisi menggunakan cerita seperti ini untuk kejadian-kejadian dimana polisi terpaksa menembak tersangka, sehingga kredibilitas mereka sudah hilang di mata masyarakat setempat. Walaupun semua saksi mengatakan bahwa Mako lari ketika polisi mencoba menangkapnya, banyak kelompok yang berargumentasi bahwa Mako seharusnya ditangkap hidup-hidup atau diberi pertolongan medis yang lebih baik setelah tertembak.7 Di kalangan aktivis, kematian Mako dilihat sebagai sebuah upaya pemerintah untuk mengkambinghitamkan separatis, meskipun buktibukti menunjukkan bahwa Mako memang sebenarnya terkait dalam beberapa kasus penembakan. Kasus polisi terhadap Mako dan KNPB berkisar seputar mobil yang dipakai beberapa orang bersenjata dalam kasus penembakan turis Jerman tanggal 29 Mei, dan bukti-bukti forensik yang mengaitkan beberapa anggota KNPB ke insiden penembakan tersebut. Kesaksian anggota KNPB yang ditangkap setelahnya kemungkinan besar tidak akan diterima oleh masyarakat, karena di Papua biasanya kesaksian diambil di bawah tekanan. Kalau memang benar KNPB bertanggungjawab atas penembakan turis Jerman, maka hal ini menandai sebuah peningkatan dramatis ke arah penggunaan kekerasan dalam taktik kelompok yang semakin mendominasi
5
Wilayah yang dulunya termasuk dalam wilayah Indonesia pada tahun 1969 kini menjadi dua propinsi yang berbeda: Papua dan Papua Barat (lihat footnote.13). Meskipun beberapa peristiwa yang digambarkan dalam laporan ini juga terjadi di Propinsi Papua Barat, dan juga bahwa nasionalis papua menggunakan istilah “Papua” untuk merujuk pada kedua propinsi, laporan ini terutama difokuskan pada Propinsi Papua, dimana peristiwa-peristiwa kekerasan masih sangat tinggi.
6
“Press Release Kapolda Papua Tentang Kronologis Penangkapan Terhadap Mako Tabuni”, humas.polri.go.id, 14 Juni 2012. 7 Ibid. Penjelasan yang serupa diberikan oleh polisi untuk kejadian penembakan lima orang pada tanggal 15 Mei 2012 di Nabire.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
gerakan pro-kemerdekaan di Papua, hingga meredam suara dan kelompok lain. Namun ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap polisi begitu dalam, sehingga polisi harus berbuat jauh lebih banyak untuk dapat meyakinkan publik bahwa tuduhan mereka berdasar.
A. MENINGKATNYA BERBAGAI AKSI PROTES Pengamatan terhadap serangkaian protes oleh KNPB di dan sekitar Jayapura yang mulai sejak akhir tahun 2011 tak lama sebelum kejadian-kejadian penembakan memperlihatkan sebuah kelompok yang makin provokatif dalam pesan-pesannya dan makin militan dalam taktiknya, memicu reaksi keras dari pasukan keamanan Indonesia. Meskipun intensitasnya mungkin sudah meningkat, aksi-aksi kelompok ini sebenarnya sejalan dengan strategi mereka yang ingin membuat Papua dilihat sebagai “zona darurat” sehingga perlu perhatian internasional, dan menyuruh para pendukungnya memboikot pilkada.8 Mereka tidak sepenuhnya kelompok politik damai seperti yang sering digambarkan oleh media asing: beberapa pemimpinnya sudah pernah mendorong kelompoknya untuk menggunakan metode kekerasan, termasuk di Jayapura menjelang pilkada April 2009.9 Garis yang membedakan KNPB dari kelompok bersenjata TPN/OPM juga tidak jelas; KNPB dan beberapa kelompok mahasiswa sebelumnya sudah lama memelihara hubungan dengan kelompok gerilya tersebut dan kadang menganggap diri mereka sebagai sayap politiknya.10 Mako Tabuni adalah salah seorang dari segelintir aktivis dari Pegunungan Tengah, yang frustrasi dengan lambatnya kemajuan dari gerakan pro-kemerdekaan, kemudian berkumpul bersama untuk membentuk KNPB
8
Strategi ini merupakan kebalikan dari kampanye populer di kalangan gereja dan kelompok masyarakat sipil di awal 2000an, untuk menjadikan Papua sebagai “zona damai” (zona atau tanah damai). Strategi baru ini didasarkan pada keyakinan bahwa jika berkurangnya keamanan dan meningkatnya pelanggaran HAM akan mengubah Papua menjadi “zona darurat” akan menguntungkan terciptanya dinamika politik yang mendukung kemerdekaan. Dalam protes tahun 2011 dan 2012, pendukung KNPB telah membawa spanduk bertuliskan “An Emergency Zone Means a Referendum Soon” (“Zona darurat, segera Gelar referendum”). Lihat, misalnya, “KNPB tuntut referendum Papua”, Suara Pembaruan, 14 November 2011. 9 Lihat Crisis Group Report, Radicalisation and Dialogue, op. cit., Bagian III. 10 Ibid. Lihat juga catatan kaki no 25, dimana Mako Tabuni menyarankan TPN/ OPM memegang peran militer bersama sebuah “parlemen nasional” yang dibentuk oleh KNPB.
Page 4
di tahun 2008.11 Mereka menuntut sebuah referendum seperti yang dilakukan di Timor Timur tahun 1999, dan menolak langkah-langkah lain, termasuk dialog, yang yang dianggap tidak sesuai dengan tuntutan ini. KNPB beraliansi dengan dua kelompok internasional yang dibentuk sekitar tahun 2008: International Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan International Lawyers for West Papua (ILWP).12 Bersama-sama mereka melakukan kampanye dengan berbagi tugas: aksi-aksi protes KNPB di dalam negeri dibarengi oleh upaya-upaya IPWP/ILWP untuk membangun dukungan di luar negeri terhadap tuntutan mereka untuk merdeka serta tinjauan kembali terhadap Pepera 1969 yang menyebabkan daerah yang dulunya bernama Irian Barat ini secara resmi masuk menjadi bagian negara Republik Indonesia.13 KNPB juga
11
Mako Tabuni lahir tahun 1977 di Piramid di kabupaten Jayawijaya, kabupaten yang sama tempat Benny Wenda berasal (lihat bawah). Ayahnya sering ditangkap oleh TNI; pamannya Mathias Wenda, adalah seorang komandan OPM yang sangat dikenal. Setelah lulus SMA tahun 1999, Mako pergi ke Manado, Sulawesi Utara untuk kuliah, dimana ia kemudian terlibat dalam komunitas aktivis mahasiswa Papua. Sebelum tahun 2006, ia sudah kembali ke Papua dan terlibat dalam aksi protes terhadap kegiatan penambangan Freeport di Timika. Aksi protes ini berujung kekerasan, beberapa orang polisi terbunuh dan sejumlah mahasiswa ditangkap, termasuk Mako, yang dipenjara disana untuk beberapa bulan. Pendiri KNPB yang lain, yang sekarang jadi juru bicara kelompok ini, berasal dari Paniai. Untuk keterangan lebih detil mengenai pembentukan KNPB, lihat laporan Crisis Group, Radicalisation and Dialogue, op. cit. 12 Aktivis Papua di pengasingan, Benny Wenda, yang menjadi penggerak dua kelompok internasional ini. Ia lari dari Indonesia pada Juni 2002, menyusul penangkapannya atas tuduhan mendalangi penyerangan polsek Abepura Desember 2000. Ia menjadi ketua Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka, Demmak, yaitu sebuah kelompok pro-kemerdekaan yang didirikan tahun 2000 oleh masyarakat pegunungan tengah yang merasa kurang diwakili dalam Presidium Dewan Papua, yang dipilih pada tahun yang sama. (Koteka adalah pakaian tradisional pelindung alat kelamin pria yang dipakai oleh masyarakat pegunungan tengah Papua. Nama koteka sendiri sering dipakai untuk menyebut masyarakat pegunungan tengah). Meskipun Demmak sudah tidak aktif lagi, warisannya masih hidup dalam KNPB. 13 Propinsi Irian Barat diubah namanya menjadi Irian Jaya oleh Presiden Soeharto tahun 1973, dan kemudian diganti menjadi Papua tahun 2000 dibawah Presiden Abdurrahman Wahid untuk menanggapi tuntutan para nasionalis Papua. Di tahun 2003, propinsi Irian Jaya Barat, yang kemudian diganti namanya menjadi Papua Barat, dibentuk. Banyak nasionalis Papua menggunakan istilah West Papua atau Papua Barat untuk menyebut seluruh daerah bekas jajahan Belanda West New Guinea (Nugini Barat). Istilah lain yang tidak mengandung muatan politik yang kadang dipakai untuk menyebut daerah ini yaitu “Tanah Papua”, dan tidak punya makna hukum apa-apa. Dalam laporan ini, kecuali dijelaskan lain, Papua Barat merujuk ke salah satu propinsi Papua.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
sering mengorganisir unjuk rasa di Papua bersamaan waktunya dengan kegiatan-kegiatan yang diadakan IPWP dan ILWP di luar negeri. Tuntutan mereka yang hanya menginginkan referendum berarti mereka tidak sepakat dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil yang lain, dan membuat mereka menolak pembentukan UP4B, inisiatif apapun ke arah dialog dengan Jakarta, bahkan juga pemilihan gubernur.14 Protes keras terhadap upaya-upaya ini menjadi tema utama serangkaian aksi protes KNPB di ahir tahun 2011 lalu dan awal tahun 2012 di kota-kota di seluruh Papua. Sejumlah aksi protes mengakibatkan lalu lintas macet total selama berjam-jam di jalan arteri antara Jayapura dan Abepura, daerah pinggiran yang menjadi lokasi universitas Cendrawasih dan kantor-kantor LSM, namun unjuk rasa ini tidak banyak mendapat tanggapan dari pasukan keamanan.15 Unjuk rasa terbesar yaitu tanggal 20 Maret 2012 bersamaan waktunya dengan kunjungan Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon ke Jakarta untuk menghadiri sebuah konferensi pertahanan regional. Bukhtar Tabuni, ketua umum KNPB, telah menginstruksikan kepada seluruh warga asli Papua untuk tidak masuk kerja, dan aksi unjuk rasa ini juga mengakibatkan banyak toko tidak berani buka sejak pagi hingga sore hari. Sekitar lebih dari 1,000 orang berkumpul untuk mendengarkan Buchtar berpidato, sementara wakilnya Mako Tabuni mengancam para wartawan lokal, dan massa pendukung mengejar dan mengintimidasi siapapun yang berniat meliput.16 Dengan menghindari liputan oleh wartawan lokal, hal ini menunjukan bahwa yang penting buat KNPB adalah pesan kepada dunia internasional selain menyampaikan pesan kepada para pendukungnya, dan hal itu terlihat dalam pidato provokatif Mako Tabuni di unjuk rasa tersebut. Polisi saat itu menjaga jarak.
Page 5
Buchtar menyampaikan serangkaian tuntutan yang ditujukan kepada Ban Ki-moon, termasuk menuntut PBB mengadakan sebuah referendum dan menjamin penarikan aparat keamanan Indonesia. Ia menyebut soal “[meng]usir pemerintah Indonesia dari tanah Papua dan menuntut “orang-orang ilegal”, maksudnya pendatang dari daerah lain di indonesia, “Silakan pulang .. sebelum kami usir dengan gaya dan cara orang Papua dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Jangan main-main. Saya sudah capek pegang spanduk dan megafon!”17 Bicara tentang rencana aksi unjuk rasa selanjutnya, yang akan diadakan awal bulan April 2012 terkait dengan sebuah agenda ILWP di Belanda, ia menyuruh polisi untuk tidak dekat-dekat, katanya “militan saya bisa mengamankan ribuan massa”.18 Lanjutnya kemudian dengan bahasa yang berapi-api: Tombak, panah, bawa turun! Itu adalah budaya – bukan untuk perang suku! ... Saya pertahankan budaya saya – tidak boleh ada yang membatasi! Itu adalah budaya. Tanggal 5 April, semua harus pakai pakaian adat dan datang [ke Jayapura] dengan peringatan kepada pasukan keamanan untuk tidak membawa keluar mobil-mobil apapun bentuknya ke jalan atau ke dalam barisan massa. Tidak boleh. Kalau itu terjadi, hari itu juga, saya umumkan revolusi mulai dari kota ini. Kalau itu terjadi, ingat! Saya tidak main-main!19 Salah satu alasan mengapa pesan-pesan KNPB semakin memanas dalam beberapa tahun terakhir yaitu karena tahun 2011-2012 menjadi tonggak peringatan lima puluh tahun beberapa kejadian penting dalam upaya-upaya awal pemerintah kolonial Belanda mempersiapkan Papua penentuan nasib sendiri.20 Salah satu peringatan kejadian penting itu yaitu pembentukan Dewan Papua Nugini tanggal 5 April 1961. Dewan ini merupakan badan perwakilan politik Papua yang sesungguhnya yang pernah dibentuk untuk pertama kalinya.21 Tanggal 5 April 2012,
14
Sebelum aksi protes 20 Februari, Mako Tabuni memberitahu para wartawan bahwa KNPB berencana untuk “membatalkan” pilkada gubernur. “KNPB akan demo besar-besarankembalikan UP4B”, Cenderawasih Pos, 13 Februari 2012. 15 Polisi dikritik keras karena menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam membubarkan sebuah kongres prokemerdekaan di bulan Oktober 2011 (lihat Bagian III). Kebijakan mereka kali ini yang cenderung permisif terhadap aktivitas KNPB mungkin sebagian karena tidak ingin dilihat bertindak opresif. 16 Ini bukan pertama kali wartawan diancam ketika meliput aksi protes KNPB. Kebanyakan wartawan yang bekerja di Papua, terutama untuk media nasional, bukan warga Papua. Mako memberitahu wartawan bahwa banyak dari mereka yang dicurigai bekerja sebagai agen intelijen. Wawancara Crisis Group dengan wartawan lokal, Jayapura, 20 Maret 2012. Lihat juga “Jurnalis Papua kecewa dengan intimidasi KNPB”, Suara Pembaruan, 22 Maret 2012.
17
Video pidato Buchtar tanggal 20 Maret diposting di www. youtube.com/watch?v=_Pu4BJDBsmM. 18 Buchtar mengatakan kepada massa yang mendengarkan pidatonya di Abepura bahwa acara di Hague diadakan karena “Belanda merasa bertanggungjawab. Dan merasa berhutang pada rakyat Papua”. Video pidato Buchtar tanggal 20 Maret, op. cit. 19 Ibid. 20 Ini benar buat kelompok pro-kemerdekaan yang lain, seperti organisator Kongres Papua Ketiga yang dibahas di Bagian II dibawah ini. 21 Enambelas dari 28 anggota dewan dipilih pada Februari 1961, dan sekitar seperlima warga Papua memberi suara mereka, sementara sisanya ditunjuk oleh pemerintah Belanda. 23 dari 28 anggota adalah orang Papua. Lihat John Saltford, The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-69: The Anatomy of Betrayal (London, 2003), hal.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
IPWP mengadakan sebuah acara di Belanda dengan beberapa orang anggota parlemen Netherland. Acara ini berjudul “Dewan Papua Nugini: Langkah Pertama”, yang menggambarkan pembentukan kembali badan yang sudah lama tidak berfungsi ini sebagai langkah awal ke arah kemerdekaan.22 Sehari sebelumnya, KNPB mengorganisir sebuah aksi demo di Abepura dan Jayapura untuk mendukung acara di Belanda, yang diikuti ratusan pengunjuk rasa, banyak dari mereka membawa tombak dan pedang seperti yang diinstruksikan oleh Buchtar. Sebuah “long march” diluncurkan pada 9 April, ketika Mako memimpin beberapa ratus pendukung KNPB ke makam Theys Eluay di Sentani. Theys Eluay adalah salah seorang pemimpin kemerdekaan Papua yang dibunuh oleh TNI bulan November 2001. Disitu mereka mengumumkan pembentukan Parlemen Nasional Papua Barat (juga disebut Dewan Nasional Papua Barat), yang anggotanya berasal dari sejumlah Parlemen Rakyat Daerah (PRD) yang dibentuk KNPB selama tahun lalu.23 Mako menjelaskan perwakilan dari parlemen daerah akan membantu menyiapkan Papua untuk membentuk pemerintahan sendiri.24 Setelah aksi pawai di bulan April, yang kembali diikuti ratusan pengunjuk rasa ke dua lokasi di Abepura dan Jayapura, polisi mengumumkan bahwa mereka memanggil Buchtar Tabuni untuk diperiksa dan tidak akan lagi memberi ijin untuk mengadakan unjuk
9-10. Dua tanggal bersejarah yang lain yaitu tanggal 19 Oktober hari pembacaan deklarasi kemerdekaan Papua (atau dikenal sebagai Kongres Rakyat Papua Pertama), dan tanggal 1 Desember pembacaan serangkaian resolusi oleh dewan, termasuk pengibaran bendera (Bintang Kejora) dan lagu kebangsaan (“Hai Tanahku Papua”). Informasi mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Nugini yang dibentuk antara tahun 1959 dan 1962, dibawah gubernur terakhir Belanda untuk daerah Papua, bisa dilihat di www.papuaerfgoed.org/en/Experiment_with_NieuwGuinea_regional_councils. 22 Video kegiatan acara ini bisa dilihat di www.youtube.com/ watch?v=KwvyhdDcOag. 23 Yang pertama dibentuk di Biak bulan Juli 2011, dan total sebanyak tigabelas parlemen rakyat daerah yang lain dibentuk selama enam bulan kemudian, dengan parlemen yang terakhir di Jayapura pada 31 Januari 2012. 24 “KNPB deklarasikan Parlemen Dewan Nasional Papua Barat”, Cenderawasih Pos, 10 April 2012. Pada peresmian PRD Jayapura bulan Januari, Mako menjelaskan bahwa “Setelah parlemen terbentuk, tentu apa yang harus dikerjakan TPN, dan apa yang harus di kerjakan parlemen akan semakin jelas. Ini hanya perlu bangun kordinasi dan pembagian peran kerja saja”. Pernyataan semacam ini bisa dilihat di http://knpbtimikaregion. wordpress.com/2012/02/01/new-guinea-raad-di-hidupkankembali-parlemen-nasional-akan-segera-terbentuk/#more-231.
Page 6
rasa, tapi kelihatannya Buchtar tidak menanggapi pemanggilan oleh polisi.25
B. SERANGKAIAN PENEMBAKAN Bila sebelumnya KNPB kelihatannya mendapat semacam pengertian dari aparat keamanan terhadap aksi-aksi mereka, namun hal ini tak lagi terjadi setelah insiden penembakan turis Jerman pada Mei 2012. Kekerasan di Jayapura mulai meningkat beberapa minggu sebelumnya, setelah aksi demonstrasi tanggal 1 Mei dalam rangka menolak hari integrasi Papua Barat ke dalam NKRI di tahun 1963.26 Ketika pulang dari demonstrasi dengan naik sebuah truk pick-up bersama teman-temannya, Terjolih Weya, seorang pendukung KNPB, ditembak oleh orang tak dikenal.27 Keesokan harinya, para suporter KNPB mengamuk di jalan utama antara Abepura dan Sentani, lokasi bandara Sentani, dengan membakar dua sepeda motor dan melempari mobil yang melintas dengan batu. Seorang pendatang yang kebetulan lewat naik sepeda motor diserang dan ditusuk hingga tewas oleh para perusuh. Dalam insiden terpisah tanggal 22 Mei yang belakangan dikaitkan polisi ke Mako, seorang pengemudi kendaraan sewaan ditusuk di Abepura, kemudian jenasah beserta mobilnya dibakar. Di hari yang sama, seorang remaja non-Papua ditusuk hingga tewas di turunan Skyline, lokasi tepi jalan utama antara Jayapura dan Abepura dimana orang bisa melihat panorama alam yang indah. Tapi penembakan di siang bolong terhadap seorang turis Jerman di sebuah pantai yang dikenal dengan nama “Base G” di Jayapura tanggal 29 Mei yang membuat banyak orang terkesima. Dietmar Helmut Pieter sedang dudukduduk di pinggir pantai sebelum tengah hari, ketika seorang penembak tak dikenal keluar dari sebuah mobil dan menembaknya sebanyak tiga kali. Kejadian ini adalah kejadian penembakan terhadap orang asing pertama di 25
“Buchtar akan ditangkap”, Cenderawasih Pos, 6 April 2012. Dibawah perjanjian Agustus 1962 antara Belanda dan Indonesia, suatu Badan Pelaksana Sementara PBB (UNTEA) dibentuk untuk menjalankan pemerintahan di West New Guinea hingga 1 Mei 1963, ketika kendali pemerintahan diserahkan kepada Indonesia. Papua secara resmi menjadi bagian dari Indonesia setelah “Act of Free Choice (Penentuan Pendapat Rakyat/PEPERA)” bulan Juli 1969. 27 Menurut sebuah investigasi terhadap kematian Mako oleh sebuah koalisi LSM Papua, Mako belakangan memberitahu seorang teman bahwa ia yakin pembunuh Weya sebenarnya bermaksud membunuh dirinya. Weya menjadi korban salah sasaran karena ciri-ciri badan dan gaya berpakaian sama dengan Mako. Lihat Koalisi Masyarakat Sipiluntuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua, “Laporan hasil investigasi: Pembunuhan kilat Musa Mako Tabuni tanggal 14 Juni 2012 di Waena, Jayapura, Papua”, 11 Juli 2012. 26
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Papua sejak Juli 2009, ketika seorang WN Australia karyawan PT Freeport tewas tertembak di jalan yang menghubungkan tambang Grasberg dengan Timika.28 Satu-satunya informasi yang keluar pada awalnya yaitu ciri-ciri penembak kelihatannya dari etnis Papua, dan media nasional langsung menulis spekulasi bahwa penembak mungkin anggota OPM.29 KNPB menolak apa yang mereka lihat sebagai upaya untuk mengkambing hitam kan orang Papu dengan mengangkat issue penembakan tersebut direkayasa untuk mendeskriditkan kelompok pro kemerdekaan. Mereka mulai mengorganisir sebuah “long march” dari Sentani ke Jayapura pada 4 Juni, dengan menyebarkan selebaran yang antara lain isinya: Tujuan NKRI di tanah Papua hanya satu: memusnahkan orang Papua dan merebut tanah Papua diatas tanah orang Papua. Penjajah Indonesia terus membunuh orang Papua. Keadilan dalam hukum Indonesia belum berpihak pada orang Papua. Dalam NKRI, kemanusiaan orang Papua dipandang sama dengan binatang.30 Respon polisi terhadap aksi demo tanggal 4 Juni sangat berbeda dengan responnya terhadap aksi demo sebelumnya – ketika mereka hampir tidak berbuat apapun. Dua kelompok pendukung KNPB dijadwalkan bergabung dengan aksi demo: satu di Sentani, dan satu lagi di Abepura. Brimob langsung bergerak dengan water canon dan kendaraan anti huru-hara untuk memblokir mereka. Di Abepura, para pengunjuk rasa melempar batu ke arah polisi dan merusak toko-toko setempat dan sebuah ATM. Sementara di Sentani, para pengunjuk rasa mulai menembakkan panah ke arah polisi, melukai setidaknya seorang yang berada dekat aksi demo sehingga memicu polisi melepaskan tembakan peringatan dan membubarkan massa secara paksa.31 Kesaksiannya
Page 7
beragam, tapi dikabarkan dua pendukung KNPB tewas dalam aksi unjuk rasa ini dan dua terluka; beberapa laporan menyebutkan korban tewas karena tembakan polisi, dan yang lain mengatakan mereka tewas akibat panah KNPB.32 Sebagian besar kejadian penembakan terjadi selama tiga hari setelah aksi demo, dalam kejadian ini lima warga pendatang ditembak oleh orang tak dikenal. Penembakan itu terjadi antara jam 9 dan 10.30 malam; tiga diantaranya terjadi di kawasan Entrop dan turunan Skyline, jalan yang menghubungkan Jayapura dan Abepura. Beberapa jam setelah aksi protes tanggal 4 Juni dibubarkan, seorang pelajar SMA bernama Gilbert Fabrian Mardika ditembak ketika mengendarai sepeda motornya di turunan Skyline. Keesokan harinya, seorang tentara, Prajurit Satu (Pratu) Frangki Doengki Kune ditembak, juga ketika naik motor di jalan Abepura-Entrop. Setengah jam kemudian, dua orang lagi, Iqbal Rifai dan Ardi Jayanto, ditembak saat berboncengan sepeda motor di sisi lain kota Jayapura, dekat mapolda. Tanggal 6 Juni, seorang pegawai negeri dari Kodam XVII/Cenderawasih yang juga bekerja sebagai penarik ojek ditembak dekat kantor walikota Jayapura. Tanggal 7 Juni, polisi menangkap Buchtar Tabuni, tak lama setelah ia meninggalkan pertemuan yang difasilitasi oleh DPR Papua (DPRP) untuk membahas tanggapan terhadap berbagai peristiwa penembakan yang terjadi belakangan itu.33 Awalnya polisi mengatakan Buchtar ditangkap terkait aksi demo tanggal 1 Mei dan dituduh terlibat dalam kejadian penembakan, tapi ketika diadili dalam sidang yang dimulai tanggal 19 Juli, ia hanya dijerat kasus pengrusakan dan penganiayaan terkait sebuah aksi serangan ke lapas Abepura di bulan Desember 2010.34 Di hari yang sama, Teyu Tabuni, seorang remaja Papua yang diduga terkait KNPB, tewas setelah ditembak sebanyak tiga kali di bagian belakang kepalanya ketika lari dari kejaran polisi di Jayapura.35
28
Bulan Agustus 2002, sekelompok bersenjata yang memakai penutup muka menembak dua warga Amerika dan seorang WNI dalam sebuah penyerangan terhadap dua bis yang membawa guru asing di jalan yang sama. 29 “WN Jerman ditembak, Polda Papua bentuk tim”, Vivanews, 30 Mei 2012. 30 Dalam Bahasa Indonesia, bunyi surat tersebut: “Tujuan NKRI di tanah Papua hanyasatu: memusnakan orang Papua dan merebut tanah Papua diatas tanah orang Papua. Penjajah Indonesia terus membunuh orang Papua. Keadilan dalam hukum Indonesia belum berpihak pada orang Papua. Dalam NKRI, kemanusiaan orang Papua dipandang sama dengan binatang”. Kopi surat bisa dilihat di: http://knpbsentanidotorg.wordpress. com/2012/06/02/segera-merapatkan-barisan-perlawanan-demikemanusiaan-dan-keadilan-bangsa-papua/. Surat ini juga dimuat di media lokal. 31 “Dihadang polisi, massa KNPB berulah”, Cenderawasih Pos, 5 Juni 2012.
32
Lihat Koalisi Masyarakat Sipil, “Laporan hasil investigasi”, op. cit. 33 Anggota Komisi A, yang menangani urusan pemerintahan dan keamanan, telah mengundang tokoh masyarakat dan LSM untuk ikut dalam rapat dengan Kapolda dan Pangdam. Kapolda dan Pangdam tidak hadir dalam rapat. 34 “Polda tangkap Ketum KNPB Buchtar Tabuni”, Cenderawasih Pos, 8 Juni 2012; “Buchtar Tabuni terancam minimal 5 tahun penjara”, Cenderawasih Pos, 9 Juni 2012; “Human rights activist tried for vandalism”, The Jakarta Post, 19 Juli 2012. Crisis Group interview, Jakarta, 25 Juli 2012. 35 Awalnya polisi mengklaim bahwa Teyu tewas akibat luka dikepala karena terjatuh. Menurut mereka mereka sedang menanggapi laporan pemalakan di sebuah kompleks perumahan dan ketika menggeledah Teyu dan teman-temannya, polisi menemukan mereka membawa pisau. “Polisi tembak warga Dok V, satu tewas”, Cenderawasih Pos, 8 Juni 2012.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Polisi yang menembak Teyu diskors sambil menunggu pengusutan. Mako dan beberapa anggota KNPB sangat marah atas penangkapan terhadap Buchtar dan apa yang mereka lihat sebagai penghianatan oleh anggota DPRP yang mengorganisir pertemuan. Keesokan harinya mereka mendatangi gedung DPRP dan menyampaikan sejumlah tuntutan sambil membakar tumpukan kayu di depan kantor DPRP. Mereka menuntut Buchtar segera dibebaskan dan darurat sipil diterapkan dalam waktu tiga hari, dan mengklaim bahwa semua Undang-Undang yang disahkan oleh DPRP hingga hari itu tak pernah melindungi rakyat.36 Mako kemudian mengancam apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi ia akan mencari para anggota DPRP dari rumah ke rumah.37 Juga sekitar waktu yang sama, surat ancaman yang ditandatangani KNPB beredar di Jayapura, yang menjadi sasaran mereka yaitu para pendatang dan “Papua abu-abu”, atau warga Papua yang simpatinya terhadap gerakan pro-kemerdekaan diragukan.38 Tanggal 10 Juni, seorang supir ojek pendatang, Tri Sarono, tewas ditembak di atas motornya di Abepura larut malam.
Page 8
mengklaim bahwa setibanya di rumah sakit, tim dokter menemukan bahwa Mako membawa sebuah pistol jenis Taurus berisi enam peluru.42 Mereka juga mengatakan bahwa mereka berusaha memberi pertolongan kepada Mako, namun ia tidak berhasil diselamatkan. Sementara seorang saksi yang diwawancara sebuah organisasi HAM mengatakan Mako masih bisa berjalan ketika tiba di rumah sakit namun polisi menolak memberi bantuan medis kepadanya.43 Kematian Mako langsung memicu kerusuhan yang mengakibatkan tiga orang luka parah, serta sejumlah mobil dan motor dibakar. Sejak itu tidak ada lagi aksi kekerasan lain. Polisi melakukan penjagaan ketat ketika Mako dimakamkan di Sentani dua hari kemudian, tapi tidak ada laporan kericuhan.Victor Yeimo, juru bicara KNPB, memberi sambutan dihadapan massa: Komite Nasional Papua Barat tidak akan mundur selangkahpun. Hari ini kami berkabung atas perginya Mako. Hari ini penjajah sudah mengajarkan kami untuk lebih kuat. Penjajah bisa bunuh kami, tapi hari ini penjajah mengajar kami untuk melawan.44
Enam hari setelah kedatangannya ke kantor DPRP, Mako Tabuni tewas ditembak oleh polisi berpakaian preman di depan komplek perumnas III, Wamena, di luar Jayapura.39 Polisi mengklaim Mako melakukan perlawanan, kemudian terjadi pergumulan antara seorang polisi dengan Mako. Dan ketika Mako mencoba merampas pistol seorang anggota polisi, polisi yang lain terpaksa menembak Mako.40 Namun beberapa testimoni saksi mata yang lain berbeda dengan versi polisi; menurut mereka Mako sedang berusaha kabur ketika ia ditembak beberapa kali di paha belakang.41 Sebuah pres rilis dari polda yang dikeluarkan beberapa jam kemudian
Beberapa di Papua mengemukakan bahwa KNPB menjadi sangat lemah dengan kematian Mako dan penangkapan Bucthar yang kemungkinan besar akan dipenjara untuk beberapa waktu. Dan dengan kejadian ini, seperti halnya banyak kelompok-kelompok aktivis pegunungan lain, KNPB bisa berangsur-angsur bubar karena kehilangan kepemimpinan.45 Namun, salah satu faktor yang mungkin membuat gerakan ini lebih tahan lama dari kelompok-kelompok pendahulunya yaitu hubungan dengan IPWP/ILWP di luar negeri.
36
Investigasi terhadap kekerasan di Jayapura masih berlangsung. Polisi telah mengaitkan peluru yang diidentifikasi dalam beberapa kejadian penembakan dengan pistol Taurus yang kata mereka dibawa oleh
“Diancam KNPB, DPRP cemas”, Cenderawasih Pos, 9 Juni 2012. Secara hukum, tuntutan Mako tidak masuk akal, karena darurat sipil hanya bisa ditetapkan oleh Presiden. 37 KNPB tuding DPRP terlibat penangkapan Buchtar”, Bintang Papua, 8 Juni 2012. 38 Salah satu surat ancaman tersebut bunyinya: “‘Mata ganti mata, darah ganti darah, dan nyawa ganti nyawa An eye for an eye, blood for blood and a life for a life’. Kami menuntut balas dendam buat semua orang Papua yang baru-baru ini jadi korban tewas. Hati-hati semua pendatang dan Papua abu-abu, kami akan tuntut balas dendam dari kamu semua”. 39 Beberapa laporan yang kebanyakan dalam bahasa Inggris melaporkan secara tidak akurat seolah-seolah Densus 88 terlibat dalam penembakan. Anggota Densus 88 memberi bantuan terhadap investigasi polisi setelah kejadian, tapi menurut pejabat polisi yang diwawancara oleh Crisis Group, mereka tidak terlibat sama sekali atas kematian Mako. 40 “Press Release Kapolda Papua”, op. cit. 41 Lihat Koalisi Masyarakat Sipil, “Laporan hasil investigasi”, op. cit.
C. SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB?
42
“Press Release Kapolda Papua”, op. cit. Mako dibawa ke rumah sakit Polri di Jayapura. Lihat ibid dan Koalisi Masyarakat Sipil, “Laporan hasil investigasi”, op. cit. 44 Video sebagian pidatonya ada di www.youtube.com/watch? v=oVqW9uurSZU. 45 Victor Yeimo kemungkinan akan berperan lebih aktif dalam membimbing KNPB ke depan. Beberapa sumber online mengemukakan ia terpilih menjadi ketua KNPB yang baru, dan Agus Kossay wakilnya, dalam sebuah Kongres Luar Biasa pada 18-21 Juni di Timika. Lihat “Ini Ketua Umum dan Ketua I KNPB yang baru”, Suara Papua, 20 Juli 2012. Beberapa situs KNPB masih menyebut Yeimo sebagai juru bicara KNPB. 43
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Page 9
Mako di hari ia ditembak, dan telah menangkap tiga orang lain yang diduga ikut berperan dalam kasus pembunuhan supir rental dan penembakan turis Jerman.46
III. ABEPURA DAN WAMENA: DISIPLIN YANG LEMAH DAN IMPUNITAS
Kalau tuduhan polisi benar, maka serangkaian penembakan dua minggu itu melukiskan sebuah eskalasi kekerasan yang dramatis oleh Mako dan beberapa rekannya agar menjadi berita utama di media domestik maupun internasional. Hal ini bisa menjelaskan tuntutan keras Mako kepada DPRP untuk menyatakan “darurat sipil” tanggal 8 Juni, dengan harapan pasukan PBB kemudian akan segera melakukan intervensi. Kalau ini strategi mereka, maka strategi ini tidak berhasil. Liputan internasional hanya terbatas, bahkan di media Jerman. Kebungkaman pendukung KNPB beberapa minggu setelah kematian Mako juga memperlihatkan bahwa strategi ini tidak diyakini oleh sebagian anggota KNPB lainnya.
Aksi penembakan di Jayapura dan kematian Mako berperan dalam dinamika konflik yang lebih luas di Papua antara kelompok-kelompok pro-kemerdekaan dan NKRI. Dalam proses ini, respon dari pasukan keamanan (kini lebih banyak dari Polri dibanding TNI) yang tidak proporsional terhadap kegiatan pro-kemerdekaan, dibarengi oleh kegagalan moderat untuk memperlihatkan sejauh mana kemajuan yang telah mereka capai dari upaya lobi-lobi di Jakarta untuk memperkuat otonomi atau mewujudkan dialog Jakarta-Papua, akibatnya hanya meningkatkan radikalisme dan memperluas dukungan bagi gerakan kemerdekaan. Sebuah contoh yaitu pembubaran paksa Kongres Rakyat Papua III di Abepura bulan Oktober 2011, dimana kekerasan oleh polisi dan tentara terhadap sejumlah tokoh pemimpin Papua yang tidak bersenjata dan tidak melakukan perlawanan, akhirnya malah menghasilkan dukungan kepada mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan.
Dengan tidak adanya penjelasan yang pasti, isu-isu dan teori-teori konspirasi semakin marak. Salah satu spekulasi yang dipercaya luas di Jayapura yaitu bahwa mungkin memang benar Mako dan kaki tangannya yang melakukan penembakan, tapi ada pihak ketiga dari pasukan keamanan atau intelijen yang berada di belakang mereka, dengan tujuan memecah belah gerakan prokemerdekaan, mengakhiri prospek dialog, atau memicu konflik antara para aktivis pegunungan dengan orangorang pesisir yang tidak suka dengan taktik mereka.47 Teori lain, yang juga populer di Papua setelah kematian Mako tapi tidak berdasarkan bukti-bukti apapun, yaitu bahwa agen-agen intelijen atau pasukan keamanan yang melakukan penembakan, tapi lalu menembak dan memfitnah Mako untuk mengaburkan kebenaran. Mungkin saja penembakan dilakukan oleh sejumlah pihak yang bertindak sendiri-sendiri. Namun terlepas dari siapa yang bertanggungjawab atas aksi kekerasan di Jayapura, ketiadaan informasi yang jelas dan lengkap hanya memperdalam ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pasukan keamanan.
Contoh kedua yaitu aksi sejumlah tentara yang mengamuk di Wamena bulan Juni 2012 setelah dua rekan mereka ditusuk memperlihatkan perlunya perbaikan kontrol, disiplin dan akuntabilitas terhadap pasukan keamanan.
A. KONGRES RAKYAT PAPUA III Kongres Rakyat Papua III, yang dilaksanakan di Abepura dari tanggal 17 hingga 19 Oktober 2011, diselenggarakan untuk memperingati 50 tahun dibentuknya Dewan Nugini.48 Awalnya kongres ini didukung oleh Konsensus Nasional Papua (KNP), yaitu sebuah koalisi yang muncul sebagai upaya untuk mempersatukan berbagai kelompok yang berjuang untuk kemerdekaan Papua yang seringkali malah saling bersaing.49 Pada saat ulangtahun ke 50
48
46
Tiga orang tersebut adalah Jefry Wandikwo, Zakius Saplay dan Calvin Wenda. “Tiga tersangka akui perannya dalam aksi penembakan”, Tribunnews.com, 26 Juni 2012. Sedikitnya satu orang lagi, Hengki Oalua, juga ditangkap tapi kemudian dibebaskan. 47 Beberapa orang di Jayapura mengemukakan mereka curiga ada kaitan antara Mako dan Buchtar dan unsur pasukan keamanan, dan hal ini jadi sumber dana yang cukup besar untuk aksi unjuk rasa KNPB. Wawancara Crisis Group, Jayapura, 22 Maret 2012.
Dalam Kongres Rakyat Papua Pertama pada 19 Oktober 1961, 40 tokoh Papua membacakan sebuah manifesto politik kemerdekaan yang menuntut pengibaran bendera Papua bersebelahan dengan bendera Belanda dan menetapkan lagu kebangsaan nasional “Hai Papua Tanahku”, nama tanah air (Papua Barat) dan nama rakat (orang Papua). Kongres Rakyat Papua Kedua dilaksanakan pada bulan Mei 2000, yang dihadiri sekitar 25,000 peserta. Dari kongres yang kedua terbentuklah Presidium Dewan Papua (PDP), yang berfungsi sebagai kelompok kepemimpinan. Presiden Abdurrahman Wahid sedianya setuju untuk membuka kongres tapi akhirnya membatalkan karena khawatir kehadirannya akan dilihat sebagai dukungan terhadap kemerdekaan. 49 Di bulan Desember 2010, Konsensus Nasional Papua disingkat KNP, yang terdiri dari Dewan Presidium Papua dan West Papua National Authority (WPNA), bersama-sama
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
mendekat di tahun 2010, KNP mulai fokus dengan rencana untuk memproklamirkan sebuah “pemerintahan transisi” yang dapat memimpin Papua berjuang memperoleh kembali kedaulatannya yang telah dirampas oleh Indonesia. Namun mempertahankan kesatuan terbukti tidak mudah, dan pada saat konferensi berakhir, banyak orang-orang yang sebelumnya mendukung kongres meninggalkan ruangan, dan yang tinggal sebagian besar adalah anggota Otoritas Nasional Papua Barat (West Papua National Authority atau WPNA) yang berbasis di Australia.50 Sebuah Kepemimpinan Nasional yang ditunjuk tahun 2010 hanya mewaili sebagian kelompok masyarakat, dan kebanyakan terdiri dari orang-orang Pantai dibanding orang-orang Gunung yang lebih militan. Kepemimpinan Nasional ini dipimpin oleh Forkorus Yaboisembut, yang juga ketua Dewan Adat Papua (DAP). DAP adalah sebuah badan yang memiliki legitimasi dari rakyat Papua tapi pasukan keamanan mencurigainya sebagai badan pro-kemerdekaan.51 Banyak aktivis yang menentang kongres, termasuk beberapa pimpinan di DAP. KNPB yang paling vokal menentang dan bersikeras untuk menempuh mekanisme perwakilan mereka sendiri, dan pada akhirnya menghasilkan Parlemen Rakyat Daerah (PRD) seperti yang telah dibahas diatas. Forkorus dan anggota Kepemimpinan Nasional yang lain tidak terpengaruh dengan hal itu dan terus maju. Penyelenggara kongres melakukan segala hal untuk terbuka mengenai kongres, hingga mengirim sebuah tim untuk menyampaikan undangan ke Presiden Yudhoyono. Dengan melakukan hal itu, mereka sebagian mengikuti contoh Kongres Rakyat Papua II tahun 2000, yang mendapat bantuan dana dari Abdurrahman Wahid,
dengan West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) mengeluarkan sebuah deklarasi politik. Mereka mengumumkan pembentukan sebuah badan baru bernama the Papua National Collective Leadership yang terdiri dari KNP (Herman Awom, Edison Waromi dan Forkorus Yaboisembut) dan WPNCL (Eliezer Awom, Samuel Paiki, and Haliele). 50 Menjelang kongres, timbul perbedaan pendapat dalam tubuh KNP, dan Herman Awom meletakkan jabatannya. Kemudian selama kongres berlangsung, John Otto Ondowame (WPNCL) mendapat dukungan, mempertanyakan integritas panitia kongres. Dan pada saat kongres berakhir, PDP dan WPNCL telah meninggalkan kongres. Kongres ini juga tidak mendapat dukungan resmi dari Dewan Adat Papua (DAP), karena pimpinan DAP menolak untuk ikut serta. Pada akhirnya, kongres ini hanya mewakili sebagian kecil dari gerakan kemerdekaan, sebagian besar dari WPNA. Informasi diberikan kepada Crisis Group oleh aktivis LSM, Juli 2012. 51 Enam anggota Kepemimpinan Nasional ini yaitu Forkorus Yaboisembut (ketua DAP), Herman Awom (anggota Presidium), Albert Kailele dan Septinus Paiki (WPNCL), Eliezer Awom (mantan tahanan politik) dan Edison Waromi (WPNA).
Page 10
Presiden RI saat itu.52 Kali ini, penyelenggara menemui staf Presiden dan Kemenko Polhukam. Sekembalinya di Jayapura mereka mengumumkan telah mendapat restu dari pemerintah pusat.53 Mereka juga mengirim surat pemberitahuan ke polda Papua awal Oktober mengenai rencana penyelenggaraan kongres, dan ketika tidak ada tanggapan dari polda mereka beranggapan kongres boleh dilaksanakan. Lebih dari 1,000 orang hadir ketika kongres dibuka tanggal 17 Oktober 2011 di lapangan sepak bola di depan Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur, Padang Bulan di Abepura.54 Menurut berbagai saksi mata termasuk liputan di beberapa saluran tv swasta, kongres berjalan damai.55 Di dua hari pertama,peserta kongres dibagi ke dalam empat komisi.56 Hari ketiga dimulai dengan kedatangan sekitar 400 anggota gabungan TNI/Polri, yang diambil dari unit polisi reguler, beberapa unit TNI-AD dan tanktank anti huru hara yang ditempatkan di sekitar lapangan bola. Setelah melakukan diskusi selama beberapa jam, keempat komisi melaporkan hasil diskusi mereka, kemudian Forkorus Yaboisembut dan Edison Waromi dari WPNA diangkat secara resmi sebagai Presiden dan Perdana Menteri Negara Federal Papua Barat. Forkorus lalu membacakan sebuah pernyataan kemerdekaan dan menuntut Indonesia dan PBB untuk mengakui pemerintah transisi ini. Edison memberikan konferensi pers singkat dan peserta kongres kemudian mulai membubarkan diri. Saat itulah, polisi kemudian memutuskan untuk menangkap mereka yang terlibat dengan tuduhan memakai fasilitas publik untuk kegiatan makar, tapi mereka juga mengakui bahwa dalam proses penangkapan, beberapa anggota mereka telah melanggar prosedur standar dan kode etik Polri.57 Mereka mulai melepaskan tembakan peringatan ke udara dan menangkap sekitar 300 orang. Gambar video mengenai peristiwa pembubaran kongres memperlihatkan sejumlah petugas berpakaian
52
Lihat laporan Crisis Group, Dividing Papua: How Not to Do It, op. cit. 53 Ada isu bahwa Presiden SBY akan membuka kongres. Sebuah dokumen perencanaan yang beredar awal Agustus bahkan menyebutkan ada tujuh orang “keynote speakers” yang akan hadir, termasuk bukan hanya Presiden SBY tapi juga Paus Benedict XVI, Desmond Tutu, dan Kofi Annan. 54 Sedianya panitia berencana untuk memakai ruang auditorium Universitas Cenderawasih yang lokasinya tak jauh tapi tidak mendapat ijin. Hingga dua hari sebelum Kongres, lokasi masih belum dikonfirmasi. 55 Lihat MetroTV, “Polisi buru peserta kongres pendirian negara Papua”, www.youtube.com. 56 Komisi A membahas masalah politik, Komisi B pertahanan dan hukum, Komisi C Keuangan, dan Komisi D masalah khusus dan penunjukkan kepemimpinan baru. 57 Wawancara lewat telepon Crisis Group dengan Paulus Waterpauw, Wakapolda di Papua, 7 Agustus 2012.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
preman memakai helm memukuli, menendangi dan memukuli para peserta kongres dengan popor senjata.58 Dalam tayangan televisi tak seorangpun dari peserta kongres kelihatan bersenjata atau memperlihatkan tandatanda perlawanan. Selain itu kekerasan kelihatannya tidak ada yang memprovokasi. Kaca-kaca beberapa kendaraan peserta dihancurkan, dan sejumlah motor dirusak. Belakangan, beberapa peserta kongres dilaporkan dirawat di rumah sakit karena luka tembak. Sejumlah peserta melarikan diri ke perbukitan di belakang sekolah, disitu mereka dikejar oleh pasukan keamanan. Keesokan paginya, jenasah tiga orang ditemukan di belakang asrama seminari. Semuanya tewas akibat luka tembak.59 Hari-hari selanjutnya, kodam Cenderawasih membantah anggotanya terlibat dalam penembakan, sementara itu polisi berjanji untuk melakukan investigasi penuh.60 Mengakui adanya tindakan yang berlebihan, Mabes Polri di Jakarta memberi surat teguran ke Kapolresta Jayapura saat itu dan sembilan anggota polisi yang lain; belakangan kapolresta terkait dipindahtugaskan. Tujuh perwira junior Polresta Jayapura disidang dan dijatuhi hukuman satu hingga dua minggu kurungantujuh hari kurungan. Beberapa perwira junior serta bintara diberi sanksi. Ada yang mendapat teguran tertulis ada juga yang mendapatkan hukuman kurungan satu hingga dua minggu.61 Sementara itu, enam orang yang terlibat dalam kongres, termasuk Forkorus Yaboisembut dan Edison Waromi, disidang dengan tuduhan makar, dan pada bulan Maret 2012 dijatuhi hukuman lima tahun penjara.
B. KERUSUHAN DI WAMENA Kerusuhan Wamena merupakan contoh yang lebih parah mengenai tindakan aparat yang berlebihan. Ibukota kabupaten Jayawijaya di pegunungan tengah ini merupakan kampung halaman banyak pemimpin KNPB termasuk Bucthar dan Mako Tabuni, dan menjadi pusat organisasi KNPB.
Page 11
Pada 6 Juni 2012, sebuah kecelakaan sepeda motor terjadi dimana seorang prajurit TNI dari Batalion Infantri (Yonif) 756 yang berlokasi dekat Wamena, tidak sengaja menyerempet dan melukai seorang anak kecil yang sedang bermain di jalanan. Pratu Ahmad Sahlan, kemudian terjatuh dari motornya dan langsung dikeroyok oleh warga setempat. Rekannya, Saefudin, yang juga mengendarai sepeda motor di belakangnya juga diserang. Sahlan tewas ditempat dengan luka-luka tusukan; Saefudin dirawat di rumah sakit dan selamat.62 Beberapa jam kemudian, dua buah truk berisi tentara dari yonif 756 mendatangi desa tersebut dan melakukan aksi balas dendam. Mereka membakar sejumlah bangunan dan kendaraan, memecahkan kaca-kaca jendela dan menembaki rumah-rumah dan bangunan pemerintah. Tentara dikabarkan melepaskan tembakan ke segala arah. Dalam kejadian kekerasan itu, seorang warga bernama Elinus Yoman ditusuk hingga tewas, meskipun laporan mengenai sebab kematian berbeda-beda.63 Tidak ada yang mempertentangkan detil lain dari insiden tersebut.64 Dalam sebuah rapat kabinet minggu selanjutnya, Presiden Yudhoyono mengakui bahwa pasukan keamanan telah bertindak berlebihan di Papua. Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono, menjelaskan bahwa meskipun memang seharusnya tentara di Wamena tidak boleh melakukan aksi mengamuk, “tapi kita harus memahami reaksi emosional dari TNI”.65 Beberapa hari kemudian, pejabat TNI setempat menandatangani sebuah “perjanjian damai” dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat, dan berjanji untuk membangun kembali rumah-rumah yang sudah mereka rusak dan menyediakan tempat tinggal sementara bagi mereka yang kehilangan rumah.66 Hingga hari ini tidak ada indikasi bahwa ada yang dihukum dari kejadian ini, dan hingga awal Agustus 2012, belum ada rumah penduduk yang dibangun kembali.
62 58
Lihat Human Rights Watch, “Indonesia: Independent Investigation Needed Into Papua Violence”, 28 Oktober 2011. 59 Korban tewas adalah Daniel Kadepa, seorang mahasiswa hukum Jayapura, Jacob Samonsabra dan Max Sasa Yeuw, keduanya anggota satgas Pembela Tanah Papua atau Petapa yang terkait dengan Dewan Adat Papua. Seorang saksi mata mengatakan ia melihat Kadepa ditembak di bagian kepala oleh tentara pada saat ia lari. Lihat Human Rights Watch, op. cit. Lihat juga “Komnas klarifikasi penyebab tewasnya warga Papua”, Cenderawasih Pos, 3 November 2011. 60 “Usut penembakan Papua, polisi uji balistik”, Vivanews, 9 November 2011. 61 “Polri akui anggotanya berlebihan saat Kongres Papua”, Antara, 28 November 2011.
Anggota batalion lain, Yonif 755, dirotasi keluar kecamatan Kurulu yang berada tidak jauh, di bulan November 2011 menyusul tuduhan penyiksaan terhadap dua belas warga desa dengan pisau bayonet oleh anggotanya. “Tujuh tentara yang menganiaya warga dihukum”, Tempo, 7 November 2011. 63 Sebuah kelompok HAM lokal mengatakan TNI terlibat. Lihat “Indonesia: Investigate military attacks on villagers in Wamena, Papua”, Amnesty International, 8 Juni 2012. TNI mengatakan ia dibunuh oleh warga Wamena dari suku berbeda. “Terjadi kesepakatan damai TNI dan warga masyarakat di Wamena”, Kodam XVII Cenderawasih, 14 Juni 2012. 64 “Terjadi kesepakatan damai TNI dan warga masyarakat di Wamena”, Kodam XVII Cenderawasih, 14 Juni 2012. 65 “Tak ada ketegangan TNI dengan warga di Papua”, detiknews, 12 Juni 2012. 66 Ibid.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
IV. PANIAI: KEKERASAN DAN TAMBANG EMAS Kebanyakan kekerasan yang terjadi di wilayah terpencil dimana kabupaten Paniai, Nabire dan Intan Jaya saling bersimpangan, terkait dengan tambang atau pendulangan emas ilegal. Dari pendulangan emas ini pasukan keamanan, sebagian besar polisi, diduga mengambil keuntungan besar.67 Pendulangan sudah mulai sejak tahun 2004 di daerah yang hanya bisa dicapai dengan helikopter atau harus jalan kaki selama empat hingga lima hari dari Enarotali, ibukota Paniai. Polisi yang berbasis di Nabire dikabarkan mengontrol akses, menarik pungutan dari barang-barang yang dikirim masuk dan keluar, termasuk bahan bakar, dan menjalankan sebagian besar bisnis yang bertumbuhan di sekitar lokasi tambang, termasuk kioskios yang menjual bahan pokok, karaoke bar, dan tempat biliar. Sebagian besar kekerasan berasal dari persaingan dalam memperebutkan kontrol terhadap operasi yang sangat menguntungkan ini dan untuk mendapatkan bagian keuntungan yang lebih besar, dan juga akibat masalah sosial, termasuk orang mabuk, imbas dari banyaknya tempat hiburan di sekitar lokasi– serta reaksi polisi yang tidak mendapat training yang memadai sehingga mereka seringkali terlalu cepat melepaskan tembakan. Di situ tidak ada layanan sosial ataupun pemerintahan daerah yang efektif. Dan dengan semakin banyaknya daerah pemekaran di Papua, semakin menimbulkan kebingungan kabupaten mana yang sebenarnya memiliki yurisdiksi terhadap lokasi pertambangan ini.68 Seorang tokoh masyarakat dari dewan adat Paniai, sebelumnya sangat membantu dalam memediasi sengketa di wilayah pertambangan, tapi semenjak keterlibatannya dalam bisnis pasokan bahan bakar, ia menjadi salah satu pihak yang memiliki kepentingan. Gerakan separatis hanya sekali-sekali bersinggungan dengan kegiatan pendulangan. Pada pertengahan tahun 2010, beberapa pendulang ilegal mencoba membawa
67
“Ilegal” dalam hal ini mengacu pada bisnis tambang yang tidak punya ijin penambangan/eksplorasi resmi dan tidak membayar pajak atau royalti kepada pemerintah. Kebanyakan tapi tidak semua dari bisnis ini pemiliknya warga non- Papua yang mempekerjakan warga lokal. Pendulang “tradisional”, semua orang Papua, mendulang emas sendiri. 68 Kepala desa, seorang kepala suku Wolani, hingga pertengahan tahun 2012 menandatangani dokumen-dokumen atas nama kabupaten Paniai tapi sejak tahun 2012 tanda tangannya atas nama kabupaten Intan Jaya, yang dibentuk tahun 2008 hasil pemekaran dari kabupaten Paniai. Komunikasi tertutup kepada Crisis Group dari seorang warga Paniai, 27 Mei 2012.
Page 12
sejumlah anggota OPM yang berbasis di Gunung Eduda, sekitar 60 km dari Paniai, sebagai proteksi tapi akhirnya malah disandera.69 Tebusan yang dibayarkan kepada pasukan OPM saat itu selanjutnya memicu OPM meminta uang secara rutin kepada para pendulang. Dan kelihatannya sebagian uang itu telah digunakan untuk membeli senjata dan amunisi. Pada bulan Februari 2011, polisi di Nabire menangkap pemimpin OPM wilayah Paniai, John Yogi, atas kepemilikan amunisi secara ilegal. Sejak saat itu bentrokan antara polisi-OPM di Paniai (tapi kebanyakan diluar wilayah pendulangan) meningkat. Pada bulan Oktober 2011, mabes Polri di Jakarta menyatakan Paniai, Puncak Jaya dan Timika menjadi target operasi pemberantasan gerakan separatis yang disebut “Tumpas Matoa”. Sebulan kemudian, sebelum operasi ini sepenuhnya berjalan, salah seorang penambang ilegal menelepon Brimob untuk minta pengamanan dari ancaman OPM.70 Selanjutnya terjadi bentrokan senjata antara Brimob dan OPM dimana seorang pendulang Papua tewas tertembak. Kejadian ini merupakan satu-satunya bentrokan senjata langsung di lokasi tambang yang melibatkan aparat dan pasukan gerilya. Di bulan Desember, Brimob melancarkan sebuah serangan besar-besaran ke OPM base camp di Eduda. Antara bulan Desember dan Juli 2012, tidak ada insiden yang terjadi di lokasi yang melibatkan OPM, meskipun kekerasan bentuk lain terus terjadi. Pada tanggal 15 Mei 2012, anggota Brimob yang baru datang memakai senjata mereka ketika berusaha membubarkan keributan di sebuah tempat bilyar, akibatnya seorang warga Papua tewas dan empat lainnya luka-luka. Para anggota Brimob ini sekarang sedang menghadapi tuduhan pidana. Dan pada tanggal 6 Juli, tiga orang, termasuk Komandan Sub Unit Intel, Kodim 1705 Nabire, yang dikabarkan punya pendulangan emas sendiri, ditemukan tewas dengan luka bacokan di lokasi yang sama, kemungkinan terkait sengketa bisnis. Pada awal bulan Juli, beberapa anggota pasukan OPM dikabarkan muncul lagi untuk minta uang.71
A. LATAR BELAKANG PENDULANGAN EMAS DEGEUWO Lokasi pendulangan emas ini terletak di sepanjang tepi sungai Degeuwo di Kampung Nomouwodide, Kabupaten Bogobaida, Paniai. Sebelum demam emas berjangkit, Degeuwo adalah sebuah wilayah yang jarang penduduknya, hanya warga asli dari suku Mee/Ekari,
69
“Dapat uang & 1 Kg emas, OPM bebaskan tambang”, Vivanews, 29 April 2010. 70 Crisis Group interview, aktivis LSM yang mengunjugi lokasi, Jayapura, Maret 2011. 71 Ibid, 30 Juli 2012.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Moni dan Wolani yang berdiam di gubuk-gubuk terisolasi di sepanjang sungai itu. Situasi ini mulai berubah di tahun 2003, ketika seorang petani setempat menemukan butiran-butiran emas saat mencabut tanaman di kebunnya, dan cerita penemuan emas itu kemudian mulai tersebar.72 Pada awalnya pemerintah Paniai hanya membolehkan warga setempat untuk mendulang emas, dan secara spesifik melarang pendulang dari luar.73 Namun, pengusaha dan pendulang legal dan ilegal tetap berdatangan, beberapa dari mereka memanfaatkan ijin mendulang yang dikeluarkan oleh bupati Nabire tahun 2005, meskipun lokasi tambang ini berada diluar wilayahnya.74
Page 13
beberapa perusahaan lain beroperasi di luar Lokasi 99 dan Bayabiru.76 Sejalan dengan bertambah banyak pendulang yang datang, bisnis-bisnis dan kios kecil bertumbuhan menjual makanan dan minuman, termasuk bir dan minuman keras (miras). Semua barang-barang diterbangkan dari Nabire dengan helikopter, dengan ongkos sebesar Rp 33 juta per perjalanan membuat harga barang-barang di Degeuwo meroket.77 Tempat-tempat hiburan bermunculan, termasuk belasan tempat karaoke dan bilyar. Praktek prostitusi melayani para pendulang juga merebak; banyak dari pekerja seks mulanya bekerja sebagai mangker yang bertugas mencatat skor bilyar.78
Saat ini dikabarkan ada lebih dari 40 bisnis pendulangan ilegal di wilayah Degeuwo, yang mempekerjakan ribuan pendulang ilegal. Mereka sudah menyebar ke lokasilokasi lain, banyak dari lokasi ini memiliki nama yang mengandung kelipatan 9 atau kalau dijumlahkan angkanya menjadi 9, karena dianggap membawa keberuntungan, seperti Lokasi 81, 99 dan 45.75 Dari beberapa puluh lokasi pendulangan, sebagian besar dibawah kendali eksklusif seorang pengusaha, tapi
Kebanyakan para pengusaha tambang adalah orang-orang Bugis dan Sangihe yang berasal dari Sulawesi dan sekarang tinggal di Nabire. Biasanya mereka memberi uang muka ke para pendulang ilegal, yang kemudian diharuskan menjual emas mereka ke pengusaha dibawah harga pasar, dengan bantuan polisi yang dibayar pengusaha untuk memberi pengamanan. Rendahnya harga jual emas yang ditentukan para pengusaha ini seringkali menjadi sumber konflik dan kekerasan yang kadang terjadi.79
72
B. PERAN POLISI
Laporan pemantauan pertambangan terakhir penambangan emas ilegal di Degeuwo, distrik Bogobaida, kabupaten Paniai”, Aliansi Intelektual Suku Moni dan Wolani, Oktober 2010, hal. 3. 73 Contohnya, tanggal 16 Agustus 2003, Yanuarius Dou, yang saat itu menjadi bupati, mengeluarkan surat bernomor 138/161/2003 yang melarang pendatang terlibat dalam kegiatan penambangan, perdagangan emas dan transportasi udara ke lokasi tambang. Salah satu point dalam surat berbunyi : “Kegiatan pertambangan hingga saat ini masih bersifat tradisional dan hanya dibolehkan bagi warga asli (bukan pendatang) untuk memperbaiki standar kehidupan mereka”. Setahun kemudian, pada 14 Mei 2004, bupati Paniai mengeluarkan sebuah surat kepada para camat untuk mengawasi setiap perusahaan yang masuk ke Paniai; surat ini juga melarang pendatang untuk masuk lokasi tanpa ijin dari pemerintah kabupaten. Lihat “Laporan pertambangan emas tanpa ijin pendulangan emas, kampong Nomouwodide, distrik Bogobaida, kabupaten Paniai”, Dewan Adat Daerah Paniai, Paniai, 2011. 74 Ijin mendulang ini tidak menyatakan lokasi tambang secara jelas tapi hanya menyebutkan wilayah di sekitar “sumber air Poronai”. Poronai adalah nama lain dari Degeuwo; hulu sungai ada di Paniai tapi hilir di Nabire. Wawancara Crisis Group dengan John Gobay, ketua Dewan Adat Daerah Paniai, Nabire, Maret 2012. 75 Lokasi lain dinamai Avanza, mengambil jenis nama kendaraan merk Honda, karena ketika pengusaha yang bersangkutan membeli lahan tersebut, warga setempat dibayar dengan uang tunai dan sebuah mobil Avanza. Ada lagi lokasi yang namanya “Dandim” (singkatan dari Komando Distrik Militer) karena lokasi tersebut sebelumnya milik Dandim Nabire. Wawancara Crisis Group dengan John Gobay, Nabire, Maret 2011.
Kalau larangan yang pertama mengenai pendulang dari luar tidak ada pengaruhnya, begitupun larangan yang dikeluarkan kemudian oleh bupati Paniai dan gubernur
76
Ibid. Contohnya, secangkir kopi manis harganya Rp 20,000, tiga kali lipat dari harga di Jakarta. Di rumah-rumah karaoke, sebuah paket minuman terdiri dari sekaleng minuman soda seperti coca cola dan segelas vodka murahan, harganya Rp 250,000. 78 Br. Edy Rosariyanto, OFM & Eli Petege, “Dampak hadirnya pertambangan bagi masyarakat di BayaBiru Degeuwo/Kemabu, kabupaten Paniai, SKP Keuskupan Jayapura”, Januari 2010. Lihat juga “Laporan pemantauan pertambangan”, op. cit. 79 Dalam sebuah kejadian pada 30 Maret 2006, sebuah bentrokan terjadi atnara pendulang dan enam petugas polisi yang bekerja untuk salah seorang pengusaha, Haji Marzuki, di sebuah lokasi pendulangan sepanjang sungai Miminibiru di perbatasan Nabire dan Paniai. Ketika para pendulang memprotes rendahnya harga yang ditawarkan pihak pengusaha kepada mereka, salah seorang dari mereka dipukul dengan popor senjata dan yang lain tergores lehernya oleh peluru nyasar. Dua yang lain juga terluka. Lihat “Aparat-Warga Bentrok di Pedalaman Papua, 4 Luka”, Kompas, 3 April 2006. See also “Enam Lagi Korban Bentrokan di Sungai Minibiru Tiba di Nabire”, Antara News, 3 April 2006. 77
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Papua, sebab tidak ada penegakan hukum karena beberapa alasan.80 Pertama, pemerintah Paniai maupun polres di wilayah itu tidak memiliki sumber daya yang mencukupi. Degeuwo hanya bisa dijangkau lewat helikopter dan ada ribuan orang di lokasi pendulangan. Dari segi logistik akan mahal sekali untuk melancarkan sebuah operasi yang akan melibatkan ratusan polisi, belum lagi biaya untuk mengevakuasi para pendulang.81 Kedua, baik pemerintah setempat maupun polisi tidak punya insentif untuk menegakkan larangan tersebut. “Kita tidak akan dapat promosi atau naik gaji”, kata seorang polisi dengan terus terang.82 Jauh lebih menguntungkan bagi mereka membiarkan operasi terus berlangsung. Seperti yang dikemukakan oleh seorang pengusaha tambang ilegal: Pengusaha tambang ilegal kasih bayaran ke pejabat dan aparat keamanan agar mereka tidak mengganggu. Untuk pengusaha, uang bayaran ini jauh lebih kecil dibanding kalau harus bayar pajak. Pejabat dan polisi juga senang dengan pengaturan seperti ini karena mereka tidak akan dapat apa-apa dari tambang resmi.83 Polisi di Nabire menjadi salah satu kelompok yang sangat diuntungkan dari situasi ini. Mereka menerima pendapatan cukup besar dengan menarik pungutan dari semua yang dikirim dari bandara ke lokasi pendulangan, termasuk orang, barang dan terutama bahan bakar, buat wilayah yang sangat tergantung pada generator listrik. Di tahun 2011, sebuah perusahaan yang bekerja sama dengan polisi memegang monopoli terhadap semua bahan bakar yang akan dikirim ke Paniai. Semua orang disitu paham bahwa mereka harus beli bahan bakar dari perusahaan ini, kalau tidak, bahan bakar mereka tidak akan dikirim ke lokasi.84 Di akhir tahun 2011, sekelompok masyarakat Papua yang terkait dengan Dewan Adat Nabire, bernama Koperasi
80
Bupati Paniai saat itu, Naftali Yogi, mengeluarkan perintah pada 27 Agustus dan 16 November 2009 bahwa pertambangan di Degeuwo akan ditutup. Gubernur Papua saat itu, Barnabas Suebu, pada 9 Mei 2011 juga mengeluarkan sebuah instruksi menghentikan kegiatan pertambangan tak berijin di seluruh Papua, termasuk di Degeuwo. 81 “Pemkab terkendala, untuk menutup penambangan di Degeuwo”, Bintang Papua, 29 September 2011. 82 Wawancara Crisis Group, Nabire, Maret 2011. 83 Wawancara Crisis Group dengan pengusaha tambang ilegal, Nabire, Maret 2011. 84 “Laporan Dugaan Bisnis Oknum Aparat Polisi Dalam Pendulangan Emas”, Dewan Adat Daerah Paniai, Kampung Nomouwodide, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, 2011.
Page 14
Masyarakat Paniai atau KOMAPA mencoba untuk membuka usaha jual beli minyak, tapi para pengusaha enggan membeli minyak dari mereka karena mereka khawatir mengenai pengirimannya. Kata mereka “Ngomong dulu [dengan petugas polisi di Nabire], kita khawatir minyak tidak bisa dibawa dengan helikopter ke pendulangan karena setiap drum minyak yang dibawa polisi ke atas helikopter diperiksa. Kalau tidak ada ijin [dari perusahaan yang memonopoli], mereka tidak akan angkut”.85 Ketika anggota KOMAPA mengadukan hal itu ke kapolres, mereka disuruh berkoordinasi dengan petugas tersebut.86 Polisi di Nabire juga menarik bayaran untuk barangbarang lain yang diangkut ke pendulangan, dan menerima setoran dari perusahaan-perusahaan atas pengamanan di lokasi pendulangan maupun ketika mengirim emas ke Nabire.87
C. ISU PENGGUSURAN DAN KETERLIBATAN OPM Ke dalam situasi yang sulit dan sensitif ini datang sebuah perusahaan tambang Australia yang menegaskan mereka akan ikut peraturan dan melakukan eksplorasi mereka sesuai dengan seluruh aturan yang berlaku. Perusahaan ini langsung masuk ke jebakan yang disiapkan oleh para operator ilegal dan dilindungi oleh polisi, serta ikut terbelit dalam sebuah sengketa keluarga. Salah seorang pengusaha yang menjalankan operasi pendulangan emas ilegal di Degeuwo adalah Haji Muhammad Ari, orang Bugis yang mulai operasinya disitu sejak tahun 2004. Ia
85
Ibid. Setiap drum dikenai pungutan Rp 200,000 yang dibayarkan kepada polisi. 86 Ibid. 87 Ibid. Di tahun 2008, setiap dos minuman keras berisi 48 botol dikenai pungutan sejumlah Rp.500,000, dibayarkan oleh pengirim ke salah seorang petugas di lapangan terbang Nabire, dan pungutan sebanyak Rp.500,000 lagi ditarik oleh petugas di lokasi tambang. Setiap perempuan yang dipekerjakan di rumahrumah bilyar atau bekerja sebagai pekerja seks harus membayar sebesar Rp.300,000 ke seorang petugas di lapangan terbang Nabire sebelum keberangkatan ke lokasi dan Rp.300,000 lagi ke petugas lain pada saat kedatangan. Setiap kios yang menjual sembako (sabun, shampoo, beras, dll) harus membayar Rp.500,000 per bulan ke pos polisi di lokasi dan Rp.150,000 per minggu sebagai “uang makan” untuk pos polisi. Bar-bar karaoke bars membayar Rp.1 juta tiap bulan dan beberapa tempat hiburan membayar uang bulanan hingga sebesar Rp.3 juta. Seorang warga di lokasi menghitung berdasarkan pungutan-pungutan yang dibayarkan untuk bulan Juli 2011 bahwa total jumlah pungutan yang diterima oleh polisi di Nabire bisa mencapai beberapa ratus juta per bulannya. Wawancara Crisis Group, Jakarta, 27 Mei 2012. Lihat juga “Laporan Pertambangan Emas Tanpa ijin”, op. cit., dan “Laporan pemantauan pertambangan”, op. cit.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
membawa adiknya, Dasril, yang kemudian membentuk sebuah perusahaan resmi bernama PT Madinah Qurrata’ain.88 Di tahun 2009, pemerintah Paniai memberi ijin mendulang emas ke perusahaan ini diatas lahan sebesar lebih dari 40 hektar termasuk Lokasi 81. Haji Ari awalnya tidak ada masalah dengan perusahaan adiknya. Tapi ketika perusahaan adiknya tersebut bergabung dengan perusahaan Mercator Gold yang berbasis di London menjual sebagian saham perusahaan ke perusahaan lain yang berbasis di Melbourne, West Wits Australia di tahun 2009, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa para pendulang ilegal akan diusir. Dengan tersebarnya isu pengusiran, beberapa pengusaha menghubungi OPM di Paniai, untuk minta pengamanan dan memberitahu mereka bahwa Freeport Indonesia akan datang ke Degeuwo. OPM mengiyakan bahwa sejumlah pengusaha menghubungi mereka. “Kita diminta menjaga dan mengamankan keberadaan mereka karena ada kabar Freeport akan buka cabang di Degeuwo”, kata Salmon Yogi, komandan OPM untuk wilayah Paniai. “Para pengusaha takut kalau Freeport datang mereka akan tersingkir, padahal ini tempat mereka cari nafkah”.89 Di akhir April 2010, Salmon dan adiknya John Yogi, yang bersama-sama telah mengambil alih komando OPM wilayah Paniai dari ayah mereka, Thadeus, setelah kematiannya awal tahun itu, setuju membantu.90 Bersama sekitar 30 anggota OPM, mereka datang ke Bayabiru tanggal 28 April, dengan bersenjatakan enam senjata api, termasuk sebuah Mauser dan M16, dan beberapa buah kampak. Tapi mereka datang tidak hanya untuk kasih pengamanan; mereka juga menuntut sejumlah uang.91 “Kami juga datang untuk menuntut hak kami, karena sejak keberadaan para pendulang, hak kami tidak pernah dibayarkan”, kata Salmon Yogi.92
Page 15
Mereka menunut uang Rp 1 milyar dan sepuluh kilogram emas.93 Para pendulang menolak. OPM kemudian mengepung area pendulangan di Bayabiru, sehingga otomatis para pendulang dan beberapa petugas polisi disitu tersandera selama tiga hari. Mereka baru mau pergi setelah diberi uang Rp 100 juta dan sekilo emas.94 Sejak saat itu, hubungan antara polisi dan OPM Paniai memburuk. Tanggal 26 Februari 2011, John dan salah seorang anak buahnya, Isak Gawe, ditangkap oleh polres Nabire. Isak saat itu sedang membawa peluru yang baru ia beli di Papua Nugini. John dikirim ke Jayapura untuk diperiksa tapi bulan April ia dikembalikan ke penjara Nabire. Anak buahnya memutuskan untuk membebaskannya pada suatu Minggu di bulan Juni: sekitar 30 anggota pasukan OPM mendatangi penjara, dan tiga orang berhasil masuk dengan dalih menghadiri sebuah kebaktian gereja. Setelah mereka masuk, mereka menodongkan pistol ke seorang petugas dan menuntut John Yogi dibebaskan. Polisi akhirnya melepaskannya, dan John beserta para gerilyawan kembali ke basis mereka di Eduda.95 Beberapa minggu kemudian, tanggal 29 Juli 2011, polisi menyergap kelompok OPM yang datang dari Eduda untuk ikut upacara pengesahan Paroki Gereja Salib Suci di Madi, Dekenat, Paniai. Kelompok ini membawa persembahan uang dan dua ekor babi untuk disumbangkan ke upacara.Tapi di tengah perjalanan, mereka disetop oleh polisi, lalu uang, babi, sebuah pistol beserta amunisinya disita. John Yogi dan rekan-rekannya sangat marah dengan perlakuan itu, karena mereka datang dari Eduda bukan untuk melakukan penyerangan.96 Tanggal 16 Agustus, mereka melakukan serangan balas dendam. Bersama sekitar 30 anggotanya, mereka mengepung Polsek di Aradide, Paniai, dan merampas dua senjata api otomatis dari polisi yang sedang bertugas saat itu.97
93 88
Pada tahun 2007, Dasril membentuk sebuah perusahaan bernama CV81, dengan pemilik saham ia dan temannya, Edi Junaidi. Ia kemudian meminta dan mendapat ijin tambang dari pemerintah kabupaten Paniai. Di tahun 2008, ia mengubah nama perusahaan menjadi PT. Madinah Qurrata’ain dan membeli saham temannya. Sekarang ia memegang 70 persen saham perusahaan, dan 30 persen sisanya atas nama ayahnya, H. Muh Ashari. Akte Pendirian Perseroan Terbatas PT. Madinah Qurrata’ain, Paniai, 2 September 2008. 89 “Tak benar OPM merampok emas”, Papuapost Nabire, 1 Mei 2010. 90 Salmon Yogi mengambil alih sebagai panglima, John Yogi sebagai komandan operasional. 91 “Tak Benar OPM Merampok Emas”, Papuapost Nabire, 1 Mei 2010. 92 Ibid.
“Kelompok bersenjata minta sekilo emas”, Tribunnews.com, 29 April 2010. 94 “Dapat uang & 1 kg emas, OPM bebaskan tambang”, Vivanews, 29 April 2010. 95 Crisis Group interview, Nabire, Maret 2012. 96 Crisis Group interview, John Gobay, Nabire, Maret 2011. 97 “Press Release Kapolda Papua dalam rangka anev situasi kamtibmas menjelang akhir tahun 2011”, Kapolda Papua, Jayapura, Desember 2011. Polisi kemudian mengeluarkan sebuah ultimatum kepada John untuk mengembalikan senjata rampasan paling lambat tanggal 7 September 2011. Kalau tidak, polisi akan menangkapnya. John membalas ia akan mengembalikan dua senjata rampasan kalau polisi mengembalikan uang, babi, pistol dan amunisi yang disita darinya. Ia juga mengatakan kalau polisi mengejarnya, ia akan mengundang mereka untuk bertempur, dengan landasan udara di Enarotali sebagai lokasi tempur. Lihat Poster OPM “Kami
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Selama kejadian ini berlangsung, PT Madinah Qurrata’ain direstrukturisasi, dan tahun 2011 kontrol diambil alih oleh West Wits dan anak perusahaannya. Dibawah pemilik yang baru, PT Madinah Qurrata’ain mendapat ijin dari pemerintah Paniai atas kegiatan penambangan di atas lahan sebesar 129,000 hektar.98 Upaya protes oleh para pendulang liar terhadap ijin tambang ini terus berlanjut.
D. KEKERASAN TERUS BERLANJUT Seperti yang disebutkan sebelumnya, di bulan Oktober 2011 polisi mengumumkan bahwa mereka akan memulai operasi Tumpas Matoa dalam upaya memberantas kelompok separatis bersenjata di Puncak Jaya, Timika dan Paniai. Pada saat persiapan sedang dilakukan, kekerasan terjadi di Degeuwo. Tanggal 8 November 2011,Salmon Yogi mengirim surat menuntut uang ke operator salah satu perusahaan pendulang emas ilegal. Alih-alih membayar, pengusaha ini menolak tuntutan Salmon dan menghubungi polisi – mungkin karena jumlah uang yang diminta sangat besar, Rp 2 milyar, mungkin juga karena surat itu berisi ancaman: “Kalau tidak bayar, kamu harus segera pulang, atau saya akan menyandera kamu dan seluruh karyawan kamu”.99 Khawatir dengan ancaman tersebut, pengusaha tambang minta bantuan Brimob. Tanggal 13 November, pasukan OPM datang untuk minta uang. Polisi sudah menunggu, dan bentrokan senjata terjadi. Seorang bernama Matias Tenoye tertembak dan tewas. Investigasi oleh LSM memperlihatkan bahwa ia adalah seorang pendulang tradisional yang terjebak dalam baku tembak, namun polisi mengklaim ia anggota OPM.100 Sementara itu di Eduda, polisi mulai menyerbu base camp OPM. Tanggal 25 November, mereka berhasil menguasai pos pengamatan OPM. Salmon dan John Yogi mengirim anak buah mereka untuk melakukan sejumlah aksi penyerangan terhadap patroli polisi dari 29
menunggu undangan”, bisa dilihat di edudanews.blogspot.com/2011/12/tni-polri-gagalpenangkapan-tpn-opm.html. 98 Kepemilikan perusahaan ini agak rumit. West Wits Australia memegang 100 persen saham sebuah perusahaan yang berbasis di Hong Kong bernama Nugold Ltd, yang kemudian memiliki 50 persen saham di sebuah perusahaan Indonesia bernama PT Nugold. PT Madinah Qurrata’ain sekarang 30 persen sahamnya dipegang oleh Nugold Ltd; 50 persen oleh PT Nugold; dan 20 persen oleh sebuah perusahaan lain bernama PT Papua Mandiri Perkasa. 99 Salinan surat dari Salmon Yogi kepada Boy Rakinaung, 8 November 2011. 100 Wawancara Crisis Group dengan aktivis LSM, Jayapura, Maret 2011.
Page 16
November hingga 2 Desember. Tanggal 3 sampai 12 Desember situasi relatif tenang. Beberapa anggota OPM mundur ke Eduda, sementara polisi merencanakan serangan ke base camp OPM. Tanggal 12 Desember sebuah helikopter dari mabes Polri Jakarta datang ke Paniai untuk membawa pasukan Brimob untuk operasi penyerangan. Dan enam hari kedepan, enam tim yang masing-masing terdiri dari lima hingga 10 orang, mulai melancarkan penyerangan. Hingga sore, mereka terus mendorong OPM mundur ke bukit-bukit, kemudian membakar base camp OPM.101 Dari operasi penyerbuan tersebut, polisi mengatakan satu anggota Brimob terluka; sementara OPM mengklaim telah membunuh empat belas.102 Polisi percaya bahwa Salmon tewas dalam pertempuran ini, tapi belum ada konfirmasi dari OPM. Beberapa bulan setelah pertempuran itu, Paniai relatif tenang, tapi ia menjadi berita utama lagi tanggal 15 Mei 2012 ketika polisi menembak warga Papua yang membuat keributan di sebuah tempat bilyar di lokasi pendulangan di Nomouwodide. Tidak ada yang membantah bahwa sebuah keributan terjadi; pertanyaannya adalah mengapa polisi begitu mudah menggunakan kekuatan yang mematikan. Semua membenarkan bahwa empat warga lokal datang ke tempat bilyar jam 7.30 malam dan minta main. Pemilik tempat, Ibu Yona Tuwo, memberitahu mereka tempat bilyar sedang akan ditutup karena listrik mati. Mereka memaksa untuk main, jadi pemilik tempat menelepon pos Brimob di Lokasi 99. Komandan pos mengirim tiga anggotanya dengan bersenjatakan senapan dan amunisi ke lokasi. Ketiga anggota polisi tersebut baru saja tiba untuk masa tugas 3 bulan, belum berpengalaman dan mungkin tidak mendapat pengarahan yang memadai. Menurut kronologi versi polisi, seorang dari mereka, Sersan Feryanto Pala, meminta keempat orang warga tersebut pergi.103 Setelah itu terjadi adu mulut, kemudian salah seorang warga Papua, Lukas Kegepe, coba merampas senjata Pala dan menyerang anggota Brimob yang lain dengan stik bilyar.104 Pada saat yang sama, Melianus berusaha memukul Pala dengan sebilah balok kayu, sementara Amos mencoba menusuk salah seorang rekannya. Pada saat rebutan senjata Pala berlangsung, dua personil Brimob yang lain melepaskan tembakan. Melianus tertembak hingga tewas, dan Amos Kegepe, tertembak di bagian kaki. Penembakan masih berlanjut
101
Ibid. “Rumah dinas dibakar, balas dendam OPM?”,Vivanews, 16 Desember 2011. 103 “Laporan penanganan kasus penembakan dilokasi 45 Distrik Bogobaida, Kab. Paniai”, Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Papua, Nomor R/438/VII/2012/Bid Propam3, 6 Juli 2012. 104 Ibid. 102
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
tak lama kemudian dekat gereja di Lokasi 45, ketika polisi memukul Terpius Kegepe dibagian tangan, Lukas Kegepe di perut dan Yulianus Kegepe di punggung. Menurut polisi, massa mulai berdatangan, beberapa membawa panah sehingga Sersan Pala berada dalam bahaya. Saksi lain membantah kronologi versi polisi, dan mengatakan tidak benar ada konsentrasi massa, karena masyarakat ketakutan mendengar bunyi tembakan dan pada bersembunyi di rumah.105 Investigasi oleh polda Papua langsung dilakukan.106 Mungkin hal ini karena dipicu laporan media bahwa sebagai bayaran ganti kepala atas penembakan yang dilakukan polisi, warga menuntut dua kepala (boleh kepala polisi atau pendulang); tujuh boks uang tunai masing-masing berjumlah Rp 1 milyar; dan penghentian seluruh kegiatan pendulangan. Menurut kabar mereka memberi waktu seminggu kepada para pendulang lokal untuk mengosongkan area pendulangan. Yona, pemilik tempat bilyar, menghilang sembunyi, dan banyak yang khawatir dengan keamanan mereka.107 Tanggal 6 Juli, sebuah laporan menyebutkan ketiga personil Brimob tersebut bersalah melakukan pelanggaran disiplin dan dihukum 21 hari tahanan. Kasus ini juga diserahkan ke Bareskrim (Bagian reserse dan kriminal) polda Papua untuk diinvestigasi lebih lanjut, dengan kemungkinan ketiga personil Brimob tersebut diadili dengan tuduhan yang lebih serius. Kalau kasus ini benar akan disidangkan, maka beberapa kegiatan ilegal lain di Degeuwo mungkin akan terkuak.
E. MENGAPA PANIAI PENTING Kisah Degeuwo menjadi studi kasus yang berguna karena memperlihatkan beberapa hal penting, sebagian besar terkait dengan polisi. Dari sebegitu banyak sumber kekerasan, kolusi antara polisi dan pengusaha; sistem insentif yang membingungkan yang tidak memberi penghargaan kepada polisi yang menegakkan hukum, namun malah ada kesempatan baik/memberi keuntungan bagi yang melanggar; ketidakjelasan mengenai kebijakan dalam pemberantasan kelompok separatis dan peran pemolisian (misalnya menggunakan senjata otomatik untuk melerai keributan); dan kurangnya training sehingga polisi yang ditugaskan tidak mendapat pengarahan yang cukup di area yang sangat asing buat 105
Ibid. Pada tanggal 16 Mei, sehari setelah kejadian penembakan, sebuah tim penyidik polisi sudah sampai di Nabire, yang terdiri dari kepala Brimob dari Jayapura, Kombes Sugeng Hariyanto; Kapolres Paniai, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Anton Diance bersama dengan kepala reskrimnya; dan seorang perwira dari PROPAM, tim investigasi internal. 107 Wawancara Crisis Group, Paniai, 27 Mei 2012. 106
Page 17
mereka. Persoalan utama di Paniai bukan OPM, tapi gerakan separatis bisa memanfaatkan sejumlah masalah yang dilontarkan oleh para pendulang liar untuk menggalang dukungan bagi gerakan mereka. Masalahmasalah itu termasuk tidak adanya pemerintah, serta aparat kepolisian yang lebih bertindak seperti penjaga keamanan para pendulang dibanding pelindung masyarakat. Tindakan polda Papua yang segera mengusut kasus penembakan bulan Mei 2012 merupakan kabar baik, tapi bahkan apabila ketiga anggota Brimob dihukumpun, sistem yang membuat begitu banyak pihak mengambil keuntungan dari pertambangan ilegal masih tidak berubah – dan ini sudah pasti akan memicu lebih banyak kekerasan di kemudian hari.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
V. TIDAK ADANYA PEMERINTAHAN SETEMPAT Di wilayah lain di Indonesia, salah satu rem yang berhasil menghentikan kekerasan berlanjut di daerah itu adalah tindakan pejabat setempat yang mengerti masyarakat mereka dan mampu melakukan intervensi untuk mengurangi ketegangan dan membangun jembatan diantara komunitas yang berkonflik. Ambon adalah sebuah contoh dimana pejabat pemerintahnya berhasil membantu mencegah kerusuhan menyebar setelah sebuah aksi kekerasan antara komunitas kristen dan muslim yang bisa menjurus menjadi konflik agama serius meletus di bulan September 2011.108 Sudah lebih dari setahun Papua tidak memiliki pemerintah propinsi yang efektif. Seorang pejabat gubernur ditunjuk oleh kementrian dalam negeri sementara sengketa hukum antara DPRD Papua yang ingin merebut kontrol KPUD telah menghambat penyelenggaraan pilkada untuk memilih gubernur yang baru. Sementara itu, Majelis Rakyat Papua atau MRP, yang dibentuk untuk melindungi nilai-nilai dan budaya Papua, kewenangannya semakin berkurang hingga tak seorangpun melihatnya sebagai lembaga yang akan mampu menangani segala bentuk kekerasan yang disebutkan dalam laporan ini. Keadaan juga suram di tingkat kabupaten. Di semua tingkatan, meskipun prinsipprinsip otonomi khusus Papua sering disebut oleh para kandidat dalam upaya meningkatkan kesempatan mereka untuk menang, namun tidak banyak perhatian yang diberikan mengenai bagaimana prinsip-prinsip ini benarbenar bisa diterapkan.
A. MENGAPA TIDAK ADA GUBERNUR Masa tugas lima tahun gubernur Barnabas “Bas” Suebu selesai akhir Juli 2011. Sebuah pilkada untuk memilih penggantinya seharusnya sudah dilakukan sebulan sebelum masa tugasnya berakhir, tapi sebuah gugatan hukum terhadap pemilihan langsung, ditambah proses gugatan lebih lanjut, atas nama melestarikan “otonomi khusus” Papua, membuat pilkada harus ditunda hingga lebih dari setahun. Tanggal 25 Juli 2011, Syamsul Arief Rifai, seorang pejabat kementrian dalam negeri yang akan pensiun awal tahun 2012, ditunjuk menjadi pejabat gubernur sementara bersama-sama Pejabat Gubernur untuk propinsi Papua Barat. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menjelaskan tugasnya sebagai berikut: memfasilitasi dan
108
Lihat Crisis Group Asia Briefing N°128, Indonesia: Trouble Again in Ambon, 4 Oktober 2011.
Page 18
mensukseskan tahapan pemilu Papua dan Papua Barat, menjamin pemerintahan yang akuntabel dan transparan, dan membangun komunikasi yang efektif dan koordinasi dengan pemerintah dan para pimpinan daerah dan tokoh masyarakat di tingkat kabupaten dan kecamatan. Tak ada satupun yang berhasil diwujudkan oleh Rifai; istrinya dalam keadaan sakit dan ia dikritik terlalu banyak menghabiskan waktu di Jakarta.109 Gugatan hukum yang pertama disampaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh ketua DPRD Papua, John Ibo, bersama dengan tiga politikus dari Papua Barat, termasuk wakil ketua DPRD Papua Barat, Jimmy Ijie.110 Mereka mengklaim bahwa pemilu langsung, yang diterapkan di seluruh Indonesia sejak tahun 2005, melanggar semangat kekhususan propinsi Papua dibawah UU tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, yang menyatakan gubernur dipilih oleh DPRD.111 Namun ketika UU Otsus diberlakukan, semua gubernur dipilihsecara langsung; satu-satunya yang “khusus” mengenai sistem pemilihan kepala daerah di Papua yaitu bahwa gubernur dan wakil gubernur harus orang asli Papua dan telah mendapat pertimbangan dan persetujuan dari MRP. Kemudian, di tahun 2004, DPR pusat mengesahkan sebuah undang-undang tentang pemerintahan daerah yang memerintahkan pemilihan kepala daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota secara langsung. Oleh karena itu, untuk pertama kalinya, di tahun 2006 pemilihan gubernur di kedua propinsi Papua dan Papua Barat dilakukan
109
“Penjabat gubernur Papua dinilai gagal melaksanakan tugasnya”, Tabloid Jubi, 16 Maret 2012. 110 Ibo saat ini sedang disidang atas tuduhan penggelepan dana pemerintah propinsi tahun 2006 sebesar Rp.5.2 milyar. Di tahun 2003, Ijie memegang peran penting dalam mendorong dibentuknya propinsi Papua Barat, sebuah langkah yang sangat tidak populer di seluruh Papua, dengan berargumentasi bahwa sebuah propinsi tunggal lebih mungkin untuk bergejolak menuntut merdeka. Lihat laporan Crisis Group, Dividing Papua: How Not to Do It, op. cit. 111 Pasal 18B UU Otsus, diperkenalkan sebagai amandemen yang dibuat bulan Agustus 2000, mengakui pengaturan khusus bagi daerah-daerah pemerintahan khusus atau istimewa. Papua dan Papua Barat adalah dua dari lima propinsi di Indonesia dengan status daerah pemerintahan khusus; yang lain yaitu Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. DI Yogyakarta adalah satu-satunya propinsi di Indonesia yang kepala daerahnya, Sultan, tidak dipilih namun ditetapkan. Keputusan Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa tampaknya tidak ada perbedaan berarti antara khusus dan istimewa. Seluruh 33 propinsi di Indonesia beroperasi dibawah otonomi daerah, yang menggambarkan kekuasaan pemerintah yang bersifat desentralisasi. Kekhususan diluar kekuasaan desentralisasi disebut otonomi daerah khusus.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
secara langsung.112 Kedua pemenang –Suebu di Papua dan Bram Atururi di Papua Barat – punya kesempatan cukup baik untuk dipilih kedua kalinya dengan mengandalkan program-program primadona mereka yang sangat populer.113 Akan tetapi mereka berdua tidak terlalu populer di depan DPRD, dan kalau gugatan konstitusi yang diajukan DPRD berhasil dan Papua kembali ke sistem lama, maka kecil sekali harapan menang bagi mereka.114 Bulan Maret 2011, MK menolak gugatan yang diajukan oleh Ibo dan Ijie, dan mengatakan Otsus tahun 2011 tidak menyebutkan ada kekhususan mengenai bagaimana gubernur Papua dipilih kecuali ketentuan bahwa kandidat harus asli orang Papua.115 Kekhususan Papua hanyalah ketentuan khusus terkait pemerintahan daerah terutama pada peran yang dipegang oleh MRP.116
112
Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebuah Undang-undang No 35/2008, secara resmi mencabut ketetapan dalam UU Otsus tahun 2001 mengenai pemilihan gubernur secara tidak langsung oleh DPR Propinsi. 113 Suebu adalah penggagas program RESPEK di Papua, yang mengalokasikan dana hibah bagi masyrakat lokal untuk menetapkan prioritas anggaran belanjanya sendiri. Meniru keberhasilan program Pembangunan Kecamatan, Bank Dunia, RESPEK memberi dana hibah tunai sebesar Rp.100 juta kepada setiap desa. Pada bulan Maret 2012, walaupun belum ada tanggal pemilihan gubernur maupun kampanye pemilu, papanpapan ilkan di Jayapura memasang foto Suebu dengan slogan “Kaka Bas Lanjutkan… Respek Terus”. 114 Akar ketidakpopuleran Suebu diantara para anggota DPRP sebagian besar bersifat personal. Ia berasal dari Sentani, di sepanjang pantai utara Papua, sementara itu semakin banyak jumlah anggota DPRP yang berasal dari pegunungan tengah. Ia cukup dekat dengan pejabat-pejabat di Jakarta, dan hal ini tidak begitu disenangi oleh politikus lain di Jayapura. Ia dianggap merendahkan dan menjauhkan diri dari DPRP. Selama pelantikan DPRP bulan Oktober 2009 hingga akhir masa tugasnya Juli 2011, ia mengunjungi DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) baru dua kali. 115 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 81/PUU-VIII/2010, 2 Maret 2011, paragraf 3.25. 116 Daerah khusus diakui dalam Pasal 18B UU Otonomi Khusus, yang diperkenalkan dalam Amandemen Kedua tahun 2000. Sebagian besar perbedaan lain untuk pemerintahan Papua dicatat oleh MK lebih bersifat semantik dan tidak terlalu substantif, antara lain: perbedaan nama tingkat pemerintahan (di Papua, daerah kecamatan disebut distrik) dan nama yang berbeda untuk DPR tingkat propinsi (di Papua disebut the Dewan Perwakilan Rakyat Papua, sementara untuk propinsi lain Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi). Pendeknya, perubahan ini sebagian besar bersifat superficial/tidak substantif. Perbedaan utama yang lain yaitu kemampuan DPRP untuk mengeluarkan peraturan khusus, tapi disini mereka gagal membuat dampak yang berarti.
Page 19
Namun upaya hukum lain untuk menghambat pencalonan Suebe lewat jalur hukum sedang diproses. Upaya ini didukung oleh sekelompok anggota DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) yang berpengaruh, beberapa diantaranya terkait dengan orang yang dilihat sebagai saingan Barnabas paling kuat, yaitu Lukas Enembe, mantan bupati Puncak Jaya, dan juga ketua Partai Demokrat untuk wilayah Papua.117 Mereka berargumentasi bahwa di tahun 2005, sebuah peraturan pemerintah tentang prosedur pemilihan kepala daerah menetapkan sebuah proses yang spesifik untuk pemilihan di Papua, dimana proses ini memberi tugas kepada DPRD untuk melakukan verifikasi terhadap para calon.118 Namun dua tahun kemudian, sistem pemilihan umum di seluruh Indonesia direformasi dengan keluarnya Undang Undang baru nomor 22, dimana UU ini memperkuat peran KPU supaya dapat lebih independen.119 Para pakar hukum berasumsi bahwa peraturan pemerintah tahun 2005 oleh karenanya telah digantikan oleh UU yang baru ini, dan di Papua, maupun di tempat lain, verifikasi calon sekarang dilakukan oleh KPU. Bulan November 2011, lima bulan setelah Suebu mengakhiri masa tugasnya, DPRP, dengan mengutip PP tahun 2005, merancang sebuah peraturan daerah khusus atau perdasus baru. Perdasus ini memberi wewenang kepada DPRP menjalankan beberapa tahapan dalam pemilu yang mana di tempat lain dipegang oleh KPU Daerah.120 Beberapa bulan selanjutnya, terjadi ketegangan dengan dengan Kementrian Dalam Negeri, yang memiliki hak untuk meninjau kembali peraturan-peraturan daerah, yang diwarnai oleh rapat-rapat yang alot di Jakarta dan Jayapura. Pada awalnya Kemendagri tetap pada 117
Anggota pimpinan Partai Demokrat antara lain Yunus Wonda, wakil ketua DPRP y; Ruben Magai, ketua pansus pilgub; dan Albert Bolang, wakil ketua Baleg (Badan Legislasi) DPRP. 118 Pasal 139, Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Proses verifikasi kandidat termasuk mengecek bahwa kandidat memenuhi persyaratan pendidikan dan kesehatan dan memiliki dukungan partai secara memadai. Untuk informasi lebih lanjut mengenai prosedur pemilu kada di Indonesia, lihat Crisis Group Asia Report N°197, Indonesia: Preventing Violence in Local Elections, 8 Desember 2010. 119 UU yang memberi mandat untuk reformasi ini UndangUndang No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. 120 Wewenang tersebut termasuk melakukan verifikasi syarat pendidikan terhadap bakal calon, merujuk ke MRP untuk mengklarifikasi apakah mereka memenuhi syarat untuk dianggap sebagai orang Papua asli, dan mengadakan sebuah sesi dimana para kandidat menyampaikan visi misi mereka ke DPRP.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
pendiriannya, dengan mengeluarkan sebuah surat yang mengklarifikasi bahwa perdasus Papua bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun dua keputusan Mahkamah Konstitusi, dan meminta agar perdasus itu dirubah.121 Namun DPRP menolak untuk mengalah, dan menganggap surat klarifikasi dari mendagri tidak mengikat, dan bersikeras untuk tetap terlibat dalam tahap verifikasi calon gubernur dan wakil gubernur.122 Kemendagri juga terkendala fakta bahwa pejabat gubernur telah menandatangani ketentuan perdasus tersebut menjadi undang-undang akhir Desember 2011. Baru setelah dua buah pertemuan selanjutnya yang juga berjalan sangat alot di bulan Maret dan April 2012 dan diwarnai adu mulut antara mendagri dan peserta rapat yang lain, sebuah kompromi berhasil dicapai dan dituangkan dalam surat klarifikasi yang kedua, yang isinya: DPRP dibolehkan untuk mengontrol beberapa langkah penting dalam tahap verifikasi dan persetujuan calon, tapi hanya dengan pertimbangan dan pengawasan KPU Propinsi Papua dan pemerintah pada umumnya.123 Kemendagri menjelaskan hasil kompromi ini, yang akan sulit sekali untuk mencari landasan hukumnya, merupakan satu-satunya jalan keluar yang 124 memungkinkan pemilu berlanjut.
121
Surat nomor 188.34/271/SJ, 31 Januari 2012. Salah satu keputusan yang dibahas diatas yaitu mengenai peran DPRP. Yang kedua terkait peran eksklusif MRP dalam memastikan keaslian para bakal calon harus orang asli Papuai, dengan meminta bantuan dari pemahaman masyarakat lokal (kasus ini diangkat oleh ketua partai PDIP Komarudin, seperti dibahas dibawah). 122 Kementrian Dalam Negeri sebenarnya mungkin tidak terlalu punya banyak pengaruh dalam pembahasan masalah ini: dalam komentarnya kepada pers sebelum surat Kemendagri bulan April, Yunus Wonda, wakil ketua DPRP menjelaskan: “Surat ini sama sekali tidak mengikat, jadi apakah kita akan mengikuti atau tidak, hal ini tidak akan mempengaruhi proses yang sudah berjalan”. “Pekan ini Mendagri berikan jawaban”, Cenderawasih Pos, 27 Maret 2012. 123 Surat no 188.3/1177/SJ, 3 April 2012. 124 Ini untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari setahun direktorat jenderal otonomi daerah kemendagri melakukan intervensi dengan cara yang dilihat beberapa orang secara hukum dipertanyakan for what it saw as the higher goal of preventing or resolving conflict/sebagai tujuan yang lebih tinggi dalam mencegah atau menyelesaikan konflik. Pada bulan November 2011, ketika pilgub di Aceh tertunda karena kebuntuan hukum, Dirjen Otonomi Daerah membuat sebuah perjanjian yang sangat tidak biasa dengan Partai Aceh, partai bekas Gerakan Aceh Merdeka/GAM, untuk menunda pilgub dan sebagai balasannya Partai Aceh menerima calon independen. Lihat Crisis Group Asia Briefing N°135, Averting Election Violence in Aceh, 29 Februari 2012.
Page 20
DPRP menganggap persetujuan dari Kemendagri ini merupakan lampu hijau untuk melaksanakan pemilu dan pada tanggal 1 Mei 2012 mengumumkan tanggal pelaksanaan pilgub Papua yaitu14 Agustus, serta membuka pendaftaran kandidat.125 Mantan gubernur Suebu langsung melancarkan gugatan hukum dan tanggal 7 Mei berhasil mendapat perintah pengadilan untuk menunda sementara proses Pilgub. Tidak terpengaruh, DPRP mengabaikan keputusan pengadilan tersebut dan terus lanjut dengan tahap pendaftaran kandidat, termasuk enam bakal calon sebelum tenggat waktu 22 Mei.126 Suebu menyatakan ia hanya akan mendaftar untuk mencalonkan diri di bawah UU tahun 2007 yang memberi kewenangan untuk menyelenggarakan pilgub kepada KPU Propinsi Papua. KPU sendiri mengajukan gugatannya ke Mahkamah Konstitusi tanggal 7 Juni, yang menggugat legitimasi keterlibatan DPRP dalam penyelenggaraan pilgub. Kasus tersebut masih dalam pertimbangan, meskipun pengadilan telah mengeluarkan keputusan sela tanggal 19 Juli untuk menunda pilgub sementara sambil menunggu keputusan akhir.127 Ketua DPRP Yunus Wonda berargumentasi bahwa mempertahankan peran DPRP dalam penyelenggaran pilgub merupakan sebuah kesempatan terakhir untuk membela keberlangsungan otonomi khusus terhadap mereka yang lebih ingin mendorong Papua pisah dari Indonesia.128 Mengingat kontroversi di seputar pilgub, banyak yang menyangsikan apabila pilgub akan benar-benar terlaksana tahun 2012. Kompromi oleh mendagri hanya membuat pilgub Papua yang sudah tegang ini menjadi semakin tidak menentu, dengan hasilnya yang sudah pasti akan diikuti oleh berbagai gugatan hukum. Resiko terjadinya kekerasan meningkat kalau perolehan suara beda tipis. Dan kemungkinan kalau Bas Suebu dan Lukas Enembe berhadapan, hasilnya akan seperti itu.129 Persaingan antar
125
“Pilgub Papua ditetapkan 14 Agustus”, Suara Pembaruan, 1 Mei 2012. 126 “Alex Hesegem ganti pasangan, Bas Suebu tak mendaftar”, Cenderawasih Pos, 23 Mei 2012. 127 Keputusan Mahkamah Konstitusi 3/SKLN-X/2012, 19 Juli 2012. 128 Wawancara Crisis Group dengan Yunus Wonda, Jakarta, 19 Juli 2012. 129 Di tahun 2006, Enembe dan pasangannya, Robi Aituarauw, kalah hanya sekitar 21,134 suara dari Suebu, atau kurang dari 2 persen total suara. Ada lima pasangan yang maju untuk pilgub/ wagub: Barnabas Suebu/Alex Hesegem (354,763 suara); Lukas Enembe/H. Arobi Aituarauw (333,629); John Ibo/Paskalis Kossay (258,472), Constant Karma/Donatus Motte (112,032); Dick Henk Wabiser/Simon Petrus Inaury (67,678). “Bas Suebu Menang”, Kemendagri, 4 April 2006. Baik Suebu dan Enembe sama-sama mengajukan gugatan hukum menyusul pengumuman hasil suara, dengan mengklaim telah terjadi
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
calon kemungkinan besar juga akan semakin memecah hubungan antara klan pesisir dengan pegunungan, yang selama ini menjadi salah satu faktor pemecah kehidupan sosial dan politik Papua. Sejauh ini daftar kandidat yang telah mendaftar bervariasi, tapi klan pegunungan bertekad untuk menang.130 Enembe, yang di tahun 2006 maju dengan slogan “sudah saatnya anak gunung memimpin”, kemungkinan besar akan berupaya memanfaatkan isue ini. Sengketa yang berkepanjangan ini tidak hanya berarti bahwa tidak ada pejabat lokal yang punya wibawa di kalangan masyarakat luas yang bisa memainkan peran mediasi ataupun menangani konflik; namun hal ini juga berarti bahwa ada kemungkinan pilgub ini akan menjadi sumber kekerasan. Ini bisa jadi pelajaran bahwa ketika sejumlah penembakan terjadi di Jayapura, dua individu yang memiliki pengalaman lama bekerja buat pemerintah lokal segera berasumsi penembakan ini merupakan upaya untuk menunda pilgub lebih lama.131
B. MELEMAHKAN MRP Mahkamah Konstitusi atau MK mungkin pernah mengutip MRP sebagai landasan kekhususan Papua, tapi pada kenyataannya MRP telah menjadi sebuah institusi yang terus diperlemah secara legal maupun politik. Akibatnya MRP semakin tidak mampu melakukan sesuatu yang signifikan untuk mengurangi konflik. Dua perkembangan di tahun 2011 semakin memperlemah posisinya. Pertama, sebuah kasus yang sekali lagi terkait dengan peran MRP melakukan verifikasi bahwa para kandidat memang orang asli Papua. Komarudin Watubun adalah ketua Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) di Papua, dan sebelumnya pernah menjadi pasangan Barnabas Suebu ketika mencalonkan diri di pilgub 2006 sebelum digugurkan oleh MRP karena dianggap tidak memenuhi kriteria orang asli Papua. Pada
kecurangan dalam penghitungan suara. Gugatan mereka tidak berhasil, tapi mereka berhasil memanaskan suasana: sekelompok massa pendukung Enembe yang marah memecahkan kaca gedung pengadilan, menyusul pengumuman Mahkamah Agung yang menolak gugatan mereka. Lihat “Pendukung mengamuk di MA”, Tempo, 29 Mei 2006. Kini Enembe mengatakan ia tidak melanjutkan gugatannya setelah ada indikasi kuat dari Presiden SBY bahwa ia akan mendukungnya dalam pilgub yang akan datang. 130 Calon yang lain yaitu Habel Melkias Suwae, yang merupakan bupati Jayapura, dan pasangannya Yop Kogoya, wakil ketua DPRP, yang mendapat dukungan dari partai Golkar dan PDI-P parties, serta mantan wakil gubernur Alex Hesegem, dari pegunungan dan pasangannya Marthen Kayoi, yang merupakan kepala departemen kehutanan propinsi Papua. 131 Wawancara Crisis Group, Jakarta, Juni 2012.
Page 21
saat itu, keputusan ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang kontroversial; Komarudin lahir di pulau Kei dan orangtuanya bukan orang Papua. Ia secara otomatis dipilih karena perannya dalam partai.132 Namun setelah perolehan suara PIDP-P yang kurang memuaskan dalam pemilu 2009, dimana PDI-P hanya menang di satu kabupaten di Papua, Komarudin memutuskan untuk menggugat keputusan tersebut dengan harapan dapat maju dalam pilgub yang akan datang dan memperkuat peringkat PDI-P di Papua. Komarudin melandaskan kasusnya pada ketentuan dalam undang-undang otsus yang asli, dimana disitu disebutkan bahwa orang Papua bukan saja mereka yang orangtuanya asli Papua, tapi juga mereka yang “diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua”.133 Ia mengajukan petisi ini bersama dengan David Barangkea, seorang kepala suku dari kepulauan Yapen yang terletak di pesisir utara propinsi Papua. Mereka mengklaim bahwa keputusan MRP telah melanggar hak konstitusional masyarakat asli yang diwakili oleh Barangkea untuk mengakui Komarudin sebagai anggotanya sesuai dengan hukum adatnya.134 Bulan September 2011, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Komarudin. Menurut MK, peran MRP dalam menentukan keabsahan suku seorang bakal calon baru bisa dianggap konstitusional apabila mendapat pengakuan sebuah masyarakat adat. Salah seorang saksi yang didengar oleh Mahkamah berargumentasi bahwa meletakkan keputusan mengenai keaslian suku kandidat ke tangan MRP dapat membuka proses dipengaruhi “money politics”. [Namun sebenarnya] lawan Komarudin juga bisa menggunakan argumentasi yang sama mengenai meletakkan keputusan kepada masyarakat desa miskin. Sejauh ini, akibat dari keputusan ini yaitu bertambah tingginya biaya penyelenggaraan pilgub di Papua. Di bulan Mei 2012, MRP meminta anggaran hingga Rp 10 milyar agar dapat mengirim tim verifikasi ke berbagai wilayah adat di Papua untuk melakukan konsultasi
132
PDI-P saat itu mitra utama dalam sebuah koalisi mendukung Bas Suebu. 133 Definisi lengkap Undang-undang yaitu: “orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua”. Undang Undang 22/2001, Pasal 1 (t). Untuk laporan lebih rinci mengenai kontroversi terkait ketentuan ini dan bagaimana MRP memilih untuk menginterpretasikannya, lihat Crisis Group Report, The Dangers of Shutting Down Dialogue, op. cit. 134 Mereka mengutip UU Otsus Pasal: 18B, yang menjunjung hak hukum masyarakat adat, dan pasal 28D, yang menjamin kesempatan yang sama di bawah hukum.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
dengan para kepala suku perihal bakal calon gubernur dan wakil gubernur.135 Masalah yang sama juga muncul di propinsi Papua Barat, dimana dinamika pilgub yang terjadi hampir sama dengan di propinsi Papua. Status otonomi khusus baru diberikan ke propinsi Papua Barat di tahun 2008, yang berarti bahwa MRP juga harus memverifikasi apakah para calon gubernur dan wakil gubernur yang sudah mendaftar adalah orang asli Papua. Bram Atururi, seorang mantan brigadir jenderal TNI-AL dan perwira intel TNI yang punya hubungan kuat dengan Jakarta, berniat maju lagi dalam pilgub, sementara sebuah faksi besar di DPR propinsi Papua Barat (DPR PB) berupaya untuk menjegal niatnya tersebut.136 Lawan utama Atururi adalah Dominggus Mandacan, mantan bupati Manokwari, dengan pasangannya, Origenes Nauw, seorang anggota DPR PB. Frustrasi karena MK tidak mengabulkan keinginan mereka dalam memilih gubernur , DPR PB berusaha secara sepihak mengambil alih kewenangan KPU Daerah (KPUD) dalam tahapan pendaftaran dan verifikasi para calon. Oleh karena itu, bahkan setelah KPUD telah menyetujui pencalonan empat pasangan bakal calon yang akan maju dalam pilgub Papua Barat yang rencananya akan diadakan tanggal 30 April, DPR PB tetap melakukan proses verifikasinya sendiri dan mengumumkan bahwa Atururi didiskualifikasi karena tidak memenuhi syarat pendidikan minimal sarjana. Baru setelah ada intervensi dari mendagri akhirnya DPR PB mengalah dan “mengembalikan” peran penyelenggaraan pilgub kepada KPUD.137 Namun masih ada hambatan buat Atururi dan Kahtjong: konfirmasi dari MRP mengenai status mereka sebagai
135
“Biaya pansus pilgub MRP tak sampai Rp 10 milyar”, Cenderawasih Pos, 29 Mei 2012. 136 Perjalanan politik Abraham “Bram” Atururi selama ini sangat terkait dengan pembentukan propinsi Papua Barat. Jenjang karis Atururi sebelumnya adalah di TNI-AL, dengan pangkat terakhir brigadir jendral. Ia juga pernah bertugas di BAIS (Badan Intelijen Strategis), sebelum menjadi bupati Sorong di tahun 1992. Ia kemudian menjadi wakil gubernur Papua dibawah Gubernur Freddy Numberi dari tahun 19962000. Setelah ditunjuk oleh Presiden Habibie sebagai pejabat gubernur sebuah propinsi baru bernama Irian Jaya Barat di tahun 1999, ia tidak dapat mengambil jabatannya tersebut setelah pembentukan propinsi baru ini ditangguhkan. Di tahun 2003, ketika Jakarta maju lagi dengan pembentukan propinsi baru, ia meresmikan dirinya sebagai gubernur dan memenangkan pemilu langsung di bulan Maret 2006 untuk posisi yang sama. Lihat laporan Crisis Group, Dividing Papua: How Not to Do It, op. cit. 137 “West Papua Local Election 2011”, Asian Network for Free Elections (Anfrel), 1 Agustus 2011.
Page 22
orang asli Papua. Hal ini bukan masalah bagi Atururi, yang berasal dari Serui. Tapi buat Kathjong, walaupun ia lahir di Fak Fak, Papua Barat, orang tuanya bukan orang Papua. Sementara itu baik Atururi maupun Kahtjong tidak terlalu populer dengan elit Jayapura (terutama karena peran Atururi sehingga Papua dimekarkan menjadi dua propinsi), sehingga mereka tidak bisa terlalu berharap mendapat persetujuan dari MRP. Dari pada mengambil resiko pasangannya didiskualifikasi, sebagai salah satu kebijakan terakhirnya selagi menjabat sebagai gubernur, Atururi begerak untuk mendorong rencana membentuk MRP sendiri untuk propinsi Papua Barat. Orang Papua, yang sudah sangat marah dengan pemekaran Papua menjadi dua propinsi, sangat tidak senang MRP dibagi menjadi dua. Bagi mereka, pemekaran Papua menjadi simbol penghianatan janji Jakarta mengenai otonomi. Dan apabila MRP juga dipecah, hanya akan semakin membuktikan itikad buruk Jakarta dimata orang Papua. Di lain pihak beberapa pejabat di pemerintah pusat, melihatnya sebagai kelanjutan yang sudah semestinya dari pemekaran. Tanggal 15 Juni 2011, Atururi dan pejabat kemendagri secara resmi membentuk Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB). Seluruh anggota MRPB yang berjumlah 33 orang, yang baru dipilih dua bulan sebelumnya, diundang untuk menghadiri pelantikan institusi baru ini; namun hanya tujuhbelas yang datang sementara yang lainnya memboikot pembentukan MRPB.138 Keesokan harinya lembaga baru ini memberikan persetujuan mereka atas keabsahan status orang asli Papua seluruh kandidat, termasuk Kahtjong. Memecah MRP menjadi dua hanya semakin memperlemah lembaga yang sudah lemah ini. Bahkan setelah masa tugasnya yang pertama berakhir pada Oktober 2011, belum ada kesepakatan mengenai cara pemilihan anggota baru, sesuatu yang dianggap membutuhkan sebuah peraturana khusus. Bahkan banyak yang mulai mempertanyakan apakah MRP masih diperlukan atau tidak, karena banyak yang melihat MRP identik dengan kegagalan otonomi khusus. MRPB tidak punya banyak tokoh pemimpin sekaliber mantan ketua dan wakil ketua MRP yang pertama. Keduanya telah meninggal dunia.139 Setahun setelah dilantik, MRP Papua belum mengumumkan apa yang akan menjadi prioritas masa tugas mereka selanjutnya, selain mendukung pemekaran daerah otonom baru.140 Fokus Jakarta sebelumnya yaitu menjamin bahwa agenda MRP terbatas
138
“Atururi lantik MRP Papua Barat”, Suara Pembaruan, 15 Juni 2011. 139 Agus Alua, ketua MRP, meninggal dunia April 2011 dan Frans Wospakrik, wakilnya meninggal dunia Agustus 2011. 140 “MRP bentuk pansus pemekaran”, Cenderawasih Pos, 1 Juni 2012.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Page 23
pada hal-hal yang berkaitan dengan budaya bukan politik. Namun sekarang kelihatannya MRP elah dikendalikan oleh kepentingan politik lokal. Bagaimanapun, MRP kelihatannya tidak akan mampu memegang peran signifikan dalam penyelesaian konflik dalam waktu dekat.
bekerja sama dengan pengusaha lokal dan membangun rumah-rumah tersebut di tanah adat untuk menghindari tuntutan kompensasi, masing-masing dengan biaya Rp 100-120 juta. Ia juga membeli truk-truk untuk setiap desa dan menanggung biaya perawatan truk selama tiga tahun sebelum menyerahkan tanggungjawab selanjutnya ke masyarakat.143
C. MASALAH LAIN DI TINGKAT KABUPATEN DAN KECAMATAN
Tapi di tempat lain di Papua, kapasitas yang terbatas di tingkat lokal menyebabkan banyak pemilihan bupati (pilbup) harus ditunda atau diulang dalam beberapa tahun terakhir ini. Di beberapa kasus malah hingga menimbulkan kerusuhan. Keadaan ini diperburuk dengan lemahnya penegakan peraturan pemilu. Selain itu badan penyelenggara pemilu lokal di Indonesia yang pada umumnya tidak diseleksi dengan baik dan kurang pengawasan telah memperparah konflik.144 Di kabupaten Puncak, seorang pejabat Bupati telah bertugas sejak kabupaten ini dibentuk dari hasil pemekaran di tahun 2008. Pilkada November 2011 menjadi pilkada berdarah setelah perwakilan dari sebuah partai mendukung kandidat pesaing. Sekitar 40 orang tewas dalam beberapa tahun terakhir.145 Sementara itu di Tolikara, sebuah kabupaten lain di pegunungan tengah, sebelas orang tewas dalam kejadian serupa antara 14 dan 18 Februari 2012. Bentrokan terjadi karena salah seorang kandidat menolak keabsahan KPUD yang baru (saudaranya dalah ketua KPUD yang lama). Awalnya pilkada Tolikara akan dilaksanakan tanggal 17 Februari, tapi akhirnya baru terlaksana tanggal 11 April.
Apabila upaya untuk memperbaiki ketanggapan pemerintah di tingkat propinsi seringkali terhalang oleh rendahnya SDM dan sengketa pilgub yang berlarut-larut, kedua masalah ini lebih parah di tingkat kabupaten dan kecamatan. Sejalan dengan semangat dan tujuan program desentralisasi di seluruh Indonesia, pemerintah kabupaten di Papua telah mendapat manfaat dari sejumlah besar dana Otonomi Khusus, dengan alokasi anggaran sebesar 60 persen, sementara pemerintah propinsi mendapat alokasi sebesar 40 persen, tapi dengan laju pemekaran yang begitu cepat membuat upaya untuk membangun pemerintahan yang efektif semakin sulit.141 Efeknya paling kelihatan di pegunungan tengah, dimana satu kabupaten besar telah dimekarkan menjadi sepuluh kabupaten sejak tahun 1999 dan banyak lagi daerah yang dimekarkan.142 Di seluruh propinsi Papua, 22 kabupaten baru hasil pemekaran telah terbentuk sejak tahun 1999, dan hanya sedikit yang punya staf atau keahlian untuk memerintah secara efektif. Namun tidak semua situasinya suram. Paling sedikit ada seorang mantan bupati, Eduard Fonataba, yang berhasil menjadi pejabat dikenal yang patut ditiru. Ia menjadi bupati Sarmi di pesisir utara Papua dari tahun 2005 hingga 2010, dan sekarang menjabat sebagai wakil ketua UP4B. Dengan bangga ia menyebutkan bahwa selama masa tugasnya, ia hanya empat kali ke Jakarta (ketika banyak bupati yang lebih sering berada di Jakarta daripada di wilayahnya sendiri), dan selama 330 hari setiap tahunnya ia berada di kabupaten Sarmi. Setiap hari Kamis dan Jumat, ia memerintahkan seluruh pegawai negeri sipil keluar kantor untuk mengunjungi desa-desa dalam kabupatennya dan menyelesaikan persoalanpersoalan setempat. Dan secara praktek, menurutnya ia telah membangun 2,500 rumah rakyat dalam lima tahun,
Pilkada yang dilaksanakan di kabupaten Puncak Jaya tanggal 28 Mei 2012 dan sebuah gugatan yang diajukan oleh seorang kandidat yang kalah merupakan sebuah contoh lemahnya penegakan peraturan pemilu. Pilkadanya sendiri berlangsung damai, tapi banyak terjadi penyimpangan. Ada tiga kandidat yang maju, tapi dua yang paling kuat yaitu Agus Kogoya, wakil ketua DPR Kabupaten, dan Henok Ibo, wakil bupati petahana.146 Karena Ibo maju dengan dukungan bupati petahana, Lukas Enembe, yang juga ketua Partai Demokrat untuk propinsi Papua, dicurigai ada faktor favoritisme, apapun yang terjadi.
143
141
Program desentralisasi besar-besaran di Indonesia antara tahun 1999-2000 hanya berlaku untuk kabupaten dan tidak ke tingkat propinsi karena arsitek nya khawatir bahwa delegasi kekuasaan politik dan ekonomi ke unit yang lebih besar akan mendorong separatisme. 142 Kabupaten berikut merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Jayawijaya: Puncak Jaya (1999); Pegunungan Bintang, Yahukimo dan Tolikara (2002); Mamberamo Tengah, Yalimo dan Nduga (2008); dan Puncak, yang dimekarkan dari Puncak Jaya di tahun 2008.
Wawancara Crisis Group dengan Eduard Fonataba, Jayapura, 22 Maret 2012. 144 Lihat Crisis Group Asia Report N°197, Indonesia: Preventing Violence in Local Elections, 8 Desember 2010. 145 “Konflik pilkada Puncak tewaskan 47 warga”, Metro TV, 21 Mei 2012. 146 Tiap kandidat punya pasangan calon wagub. Kogoya berpasangan dengan Yakob Enumbi dan didukung antara lain oleh partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Barisan Nasional. Ibo berpasangan dengan Yustus Wonda dan didukung Partai Demokrat, PDIP dan lain-lain.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Salah satu faktor yang membuat lebih sulit untuk melacak dugaan pelanggaran dalam pemilukada yaitu karena di beberapa distrik di Papua masih menggunakan sistem noken, yaitu praktek pemungutan suara secara aklamasi. Sistem pemilihan noken hanya dilakukan di wilayah pegunungan tengah Papua dan namanya diambil dari nama tas tradisional Papua yang terbuat dari kulit kayu yang selalu dibawa masyarakat pegunungan tengah untuk kegiatan sehari-hari. Dibawah sistem ini, tidak ada surat suara yang dicoblos oleh masing-masing pemilih. Sebaliknya, ketua suku yang akan membagi suara secara aklamasi; catatan suara tidak selalu dicatat [oleh panitia pemilu]. Walau sebuah tas noken kadang digunakan untuk mengumpulkan surat suara, namun kadang juga dilakukan jalan pintas yaitu dimana anggota masyarakat sebuah suku sepakat beberapa waktu sebelumnya untuk memberikan hak suara mereka ke seorang kepala suku yang akan mewakili suara mereka begitu konsensus tercapai. Meskipun sistem pemilihan noken sudah digunakan di beberapa pilkada di pegunungan tengah baru-baru ini, namun belum ada peraturan yang jelas mengenai bagaimana sistem ini diakomodasi dibawah undang-undang pemilu yang berlaku, terutama bagaimana menyediakan berita acara dan sertifikasi hasil penghitungan suara yang jelas dan bagaimana melindungi dari kecurangan dan intimidasi. Sejak tahun 2009, Mahkamah Konstitusi telah mengakui praktek pemilihan dengan sistem noken paling sedikit di tiga kasus, dengan berusaha menyeimbangkan dua hukum, yaitu antara hak seseorang untuk memberi suaranya secara individu dan rahasia, dengan ketentuan khusus dalam hukum yang menegakkan hukum adat. Di tahun 2009, dalam sebuah kasus mengenai penggunaan sistem noken dalam pilkada di distrik Yahukimo, hakim menulis: Menimbang bahwa Mahkamah dapat memahami dan menghargai nilai budaya yang hidup di kalangan masyarakat Papua yang khas dalam menyelenggarakan pemilihan umum dengan cara atau sistem “kesepakatan warga” atau “aklamasi”. Mahkamah menerima cara pemilihan kolektif (“kesepakatan warga” atau “aklamasi”) yang telah diterima masyarakat Kabupaten Yakuhimo tersebut, karena jika dipaksakan pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikhawatirkan akan timbul konflik diantara kelompokkelompok masyarakat setempat. Mahkamah berpendapat, agar sebaiknya mereka tidak dilibatkan/dibawa ke sistem persaingan/perpecahan di
Page 24
dalam dan antar kelompok yang dapat mengganggu harmoni yang telah mereka hayati.147 Dalam kasus Puncak Jaya, tidak ada yang mempersengketakan digunakannya sistem noken; gugatan yang diajukan Kogoya fokus pada bagaimana “kesepakatan” dicapai dan diberlakukan di sebuah distrik. Pada hari pemilihan, para pemilih dari enam kampung di distrik Mewoluk berkumpul di sebuah area di luar kabupaten Puncak Jaya dan membagi suara (dua kubu pasangan kandidat berbeda pendapat mengenai jumlah suara yang didapat masing-masing kubu, tapi jelas bahwa ketiga kandidat mendapat sejumlah suara). Di hari pemilihan tersebut, tidak ada surat suara maupun kotak suara di Mewoluk, dan hal ini belakangan diklaim pendukung Kogoya sebagai upaya oleh KPUD untuk mencabut hak pilih mereka. Akhirnya disepakati bahwa “seluruh 14,394 suara dari distrik Mewoluk akan diserahkan kepada pasangan yang unggul seluruhnya”.148 Namun belakangan masing-masing pihak berbeda pendapat mengenai apa maksudnya. Para pendukung Kogoya mengartikan suara akan diberikan ke kandidat yang menang ditingkat kabupaten (dimana mereka yakin akan unggul), sementara KPUD akhirnya menyerahkan suara ke petahana, yang unggul di distrik. Tidak ada surat suara yang dicatat di hari pemilihan, sehingga tidak ada catatan tertulis mengenai jumlah suara yang sebenarnya; masing-masing petugas TPS (Tempat Pemungutan Suara) berbeda pendapat mengenai jumlah suara yang diterima masing-masing kandidat. Sedangkan catatan tertulis mengenai kesepakatan memberikan suara ke kandidat yang unggul, baru dibuat dua hari kemudian setelah pendukung Kogoya menghalangi pesawat yang akan membawa Ketua Panitia Pemilihan Daerah(PPD) terbang ke Mulia sampai ia bersedia membuat dan menandatangani jaminan tertulis. Berita acara dan rekapitulasi suara dibiarkan kosong untuk sementara hingga seluruh perghitungan suara disusun di tingkat kabupaten di Mulia. Hari-hari selanjutnya, Mulia mulai tegang, ketika massa pendukung masing-masing kandidat mulai berkumpul di depan kantor KPUD, dan melihat hal itu polisi tampaknya berkesimpulan mereka tidak akan mampu menjamin keamanan KPU. Begitu massa yang berkumpul di luar kantor KPU mencapai “ribuan” di tambah massa pendukung petahana tanggal 5 juni, Kapolres memutuskan satu-satunya pilihan yaitu mengevakuasi KPUD dari Puncak Jaya karena situasinya tidak aman untuk mengumumkan hasil rekapitulasi perolehan suara
147
Seperti dikutip oleh keputusan MK nomor 39/PHPU.DX/2012, yang diserahkan tanggal 6 Juli 2012. 148 Ibid.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
sementara massa berkumpul dalam suasana tegang.149 Alasan yang ia berikan dalam pengadilan memperlihatkan masih banyak yang harus dilakukan oleh polisi, terutama di Papua, dalam mencari cara untuk menjaga keamanan dan ketertiban dengan cara yang tegas namun pada saat yang sama menghargai HAM: Bahwa tipikal psikologis dan watak masyarakat pegunungan Papua sebagai Kapolres Puncak Jaya yang sudah lama bertugas di Papua sudah begitu mengenal karakter mereka, apabila dihasut oleh seseorang yang dihormati (kepala suku) maka apapun akan dilakukan walaupun harus mati diujung bedil demi sebuah penghargaan/penghormatan kepada pimpinannya (kepala suku). Dan apabila saat itu terjadi kontak senjata dengan aparat kepolisian/TNI, konsekuensinya Kapolres yang akan disalahkan karena pelangaran HAM dan sebagainya.150 Penghitungan suara oleh KPUD dilakukan di Biak, dua kali penerbangan dari Mulya. Seluruh 14,394 suara dari distrik Mewoluk diberikan kepada Ibo, berdasarkan pengertian KPUD bahwa ia yang unggul di distrik, oleh karenanya, menurut kesepakatan, yang mendapat seluruh suara. Hal ini terbukti sangat berpengaruh terhadap hasil perhitungan akhir, karena tanpa suara dari Mewoluk, Ibo akan kalah dari Kogoya. Setelah pengumuman hasil rekapitulasi suara, Kogoya dan Enumbi mengajukan gugatan terhadap KPUD, mengklaim bahwa mereka berpihak kepada lawan mereka dalam pelaksanaan pilkada. MK menerima gugatan mereka dan tanggal 7 Juli memerintahkan pilkada diulang di enam kampung di distrik Mewoluk dalam waktu 90 hari.
Page 25
Perselisihan ini memperlihatkan rawannya sistem noken dimanipulasi. Kejadian ini juga membuat landasan pemikiran untuk menyetujui praktek pemilihan secara aklamasi dalam rangka mencegah konflik perlu dipertanyakan. Masalah yang terjadi dalam pilkada ini maupun pilkada yang lain di Papua bukan berasal dari perbedaan budaya yang tidak bisa dihindarkan, tapi dari penerapan peraturan pemilu yang tidak konsisten. Sistem noken kemungkinan besar akan digunakan di sebagian besar wilayah pegunungan tengah dalam pemilihan gubernur (pilgub) mendatang. Walapun sudah terlambat untuk merancang peraturan khusus mengenai bagaimana mengakomodasi bentuk pemilihan semacam ini sebelum pilgub, sebaiknya KPUD memprioritaskan untuk meningkatkan upaya pendidikan pemilih (voter education), dan mengembangkan pedoman mengenai standar minimum bagi penghitungan dan rekapitulasi suara. Peraturan yang lebih jelas perlu dirancang secepat mungkin, sebelum putaran pilkada yang selanjutnya. Kemendagri dan beberapa anggota elit Papua dalam bulan-bulan terakhir telah mengusulkan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung dinilai tidak sesuai dengan budaya maupun realita di Papua, oleh karena itu sebaiknya diganti dengan pemilihan bupati secara tidak langsung oleh DPR tingkat kabupaten untuk mencegah konflik.152 Jelas bahwa ada masalah dalam menegakkan undang-undang pemilu tapi kemungkinan hal ini lebih mencerminkan lemahnya pemerintah lokal dibanding perbedaan budaya. Akan menjadi ironis kalau seluruh tingkatan dalam pemerintahan Papua menyamakan pemilu tidak langsung dengan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya Papua – terutama karena salah satu kritik orang Papua terhadap Pepera adalah prinsip satu orang, satu suara, tidak dihargai.
Testimoni yang disampaikan para saksi yang dihadirkan KPU juga meliputi sejumlah laporan mengenai intimidasi oleh para pendukung Kogoya, termasuk ancaman yang menyebabkan pemindahan suara hasil kesepatakan noken di distrik-distrik lain dari kandidat lain ke Kogoya.151 MK pada akhirnya menemukan bukti intimidasi semacam itu, tapi hanya sebagian kecil dan bukan merupakan sebuah gerakan yang tersistematis.
149
Ia menyebut contoh kejadian pilbup di Puncak sebelumnya, dimana kantor KPUD dibakar dan 40 orang tewas. 150 Keputusan Mahkamah Konstitusi no 39/PHPU.D-X/2012, op. cit. 151 Ibid, hal. 52-53. Contohnya, relawan PPD dari distrik Tingginambut dan Ilu bersaksi bahwa meskipun sudah ada konsensus yang dicapai lewat sistem noken di tingkat distrik untuk membagikan sejumlah suara ke ketiga kandidat, jumlah suara akhir yang dicatat tidak memberi suara ke nama pasangan pertama di surat suara (Sendinus Wonda dan Yorin Karoba), tapi malah memberi suara tersebut kepada Kogoya.
152
“Pilkada Papua akan dilaksanakan tidak langsung”, Kementrian Dalam Negeri, 12 Maret 2012.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
VI. DIMANA JAKARTA? Presiden Yudhoyono populeritasnya menurun di Papua. Ketika selesai rapat kabinet di pertengahan Juni 2012, ia mengatakan kepada media bahwa meskipun kekerasan di Papua tidak boleh terus terjadi, tapi skalanya masih tergolong kecil kalau dibandingkan dengan aksi kekerasan yang terjadi setiap hari di Timur Tengah.153 Hal ini memberi kesan bahwa kalau dilihat lewat kacamata Jakarta, Papua bukan prioritas. Seringkali yang terjadi pepatah lama “jauh dimata, jauh di hati” berlaku, kecuali ketika Papua menjadi sorotan media, baru ia menjadi topik bahasan lagi. KNPB dan kelompokkelompok militan yang lain sudah lama menyadari bahwa kecuali ada isu atau kejadian, biasanya terkait kekerasan, yang membuat orang-orang memberi perhatian kembali kepada Papua maka tidak ada tekanan bagi Jakarta untuk mengubah status quo. Tantangan bagi pemerintah yaitu memperlihatkan bahwa mereka mampu memberi perhatian yang berkelanjutan kepada Papua dengan cara yang fokus pada masalah politik, ekonomi dan keamanan sebagai satu kesatuan masalah dan menghasilkan manfaat yang bisa dilihat oleh masyarakat Papua. Jakarta punya dua sasaran utama di Papua. Pertama, yaitu membangun Papua sehingga Indonesia menjadi negara yang lebih kaya, dan kadang, juga meningkatkan kehidupan rakyat Papua. Kedua, memberantas gerakan separatis dan mencegahnya menjadi gerakan dan isu internasional. Dua tujuan ini seringkali saling bertentangan, tapi bahkan di antara badan-badan yang bertujuan sama, persaingan yang counterproductive sering terjadi. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), kementrian-kementrian yang berbeda, kantor Wakil Presiden dan dewan penasihan Presiden, tidak selalu sependapat megenai programprogram pembangunan di Papua. Di pihak lain, TNI, Polri dan badan intelijen, seringkali beroperasi lebih banyak untuk melindungi kepentingan mereka sendiri dibanding untuk meningkatkan keamanan. Tampaknya tidak ada strategi yang terkoordinasi diantara mereka, kecuali ketika Papua menjadi sorotan nasional atau internasional.
Page 26
terbentuk dibawah kantor Wakil Presiden, dengan mandat untuk mengkoordinasikan percepatan pembangunan di Papua, dan mungkin secara perlahan juga menyentuh bidang yang lebih kontroversial di luar urusan ekonomi, termasuk HAM. Pada saat yang sama, semakin banyak tuntutan di Papua untuk sebuah dialog dengan Jakarta mengenai berbagai ketidakpuasan, baik di masa lalu maupun saat ini, meskipun belum ada konsensus tentang dialog. Selama bertahun-tahun, pejabat senior pemerintah bahkan menghindari menggunakan istilah dialog, karena ia menyiratkan dua pihak yang sejajar. Di ahir tahun 2011, Presiden Yudhoyono menyetujui bahwa dialog, dalam artian umum berbicara dan bukan berargumentasi mengenai masalah, merupakan langkah maju yang perlu diambil dimana hal ini memberi secercah harapan di antara para aktivis Papua yang lebih moderat bahwa pembicaraan serius mengenai ketidakpuasan di Papua akan segera terjadi. Tapi paling sedikit ada tiga hal yang menghambat tercapainya kemajuan nyata. Pertama yaitu penolakan sejumlah pejabat berpengaruh di kalangan birokrat dan aparat keamanan terhadap apapun yang bisa dilihat sebagai konsesi bagi para aktivis politik. Kedua yaitu kegiatan intelijen yang secara langsung memperlemah upaya apapun untuk membangun kepercayaan, seperti membentuk lembaga serupa dari institusi yang dianggap melindungi para pendukung kemerdekaan, bahkan meskipun institusi-institusi tersebut benar-benar punya akar di masyarakat. Ketiga yaitu perkembangan di Papua yang tidak bisa ditebak, dimana hanya dengan satu bentrokan bisa memundurkan bertahun-tahun kerja keras ke belakang. Satu-satunya cara untuk mempertahankan kemajuan ke arah dialog dan mengurangi kemungkinan harapan yang pupus maupun saling tuding adalah dengan melakukan perombakan dalam kebijakan keamanan – yang tidak bertentangan dengan tujuan UP4B.
A. UP4B: NIAT BAIK, HARAPAN YANG PUDAR
Selama tiga tahun belakangan, berita mengenai Papua hampir terus menerus suram. Kejadian-kejadian penembakan di jalan Freeport, kegiatan meningkat oleh OPM di Puncak Jaya dan aksi unjuk rasa yang marak di wilayah Abepura-Jayapura, banyak diantaranya diorganisir oleh KNPB, akhirnya mendapat perhatian dari Presiden, kabinet dan sejumlah anggota DPR. Secara perlahan, sebuah unit kebijakan baru bernama UP4B,
Unit kebijakan yang baru, UP4B, yang dibentuk bulan September 2011 setelah ditunda beberapa kali, akan selalu menghadapi masalah, terlalu banyak pihak menaruh terlalu banyak harapan pada mereka.154 Dibawah arahan wakil presiden dan dipimpin Jendral purnawirawan Bambang Darmono, mandat utamanya adalah untuk menjamin bahwa dana besar yang mengalir
153
154
“SBY: Kekerasan di Papua berskala kecil”, Kompas Online, 12 Juni 2012.
Akronim diambil dari singkatan: Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
ke Papua digunakan dengan bijaksana, berhubung adanya tuduhan bahwa sudah sepuluh tahun dana otonomi khusus dikeluarkan tapi belum terlihat hasilnya.155 Dengan staf yang berjumlah 80 orang (banyak dari mereka bukan pakar), yang tersebar di kantor mereka di Jakarta, Jayapura di Papua dan Manokwari di Papua Barat, dan tidak ada anggaran maupun wewenang untuk mengimplementasikan kebijakan, tujuan ini akan sulit dicapai bahkan kalaupun UP4B punya dukungan penuh di ketiga tempat tersebut. Kenyataannya tidak. Harapan di awal bahwa UP4B akan punya “sebuah nomor telepon khusus untuk Papua” di Jakarta kini kelihatan naif.156 Dalam rancangan awalnya, unit baru ini rencananya juga punya sebuah mandat politik yang jelas. Tadinya unit ini akan diberi tugas memperbaiki hubungan antara pemerintah pusat dan Papua, dimana hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah menyadari tingginya rasa ketidakpercayaan dan ketidakpuasan di Papua. Dalam rancangan awal tersebut disebutkan bahwa UP4B akan “mempersiapkan mekanisme dan substansi komunikasi konstruktif antara wakil-wakil masyarakat Papua dan Papua Barat dengan Pemerintah, dalam rangka menyepakati penyelesaian bersama masalah-masalah sosial politik dan sosial budaya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”.157 Namun di versi akhir, bahasanya diperlunak secara signifikan. Kini hanya disebutkan kebijakan pembangunan antara lain sosial ekonomi, sosial politik dan budaya, dan kebijakan pembangunan sosial politik dan budaya dilakukan lewat komunikasi konstruktif antara pemerintah dan masyarakat Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat.158 Tidak ada referensi mengenai konflik, ketidakpercayaan ataupun ketidakpuasan, bahkan kata “rekonsiliasi” yang sebelumnya dipakai di rancangan bulan Agustus 2011 dihapus. UP4B masih diberi lampu hijau untuk “melakukan pemetaan dan penanganan sumber permasalahan di bidang politik, penegakan hukum dan HAM” serta “menyusun dan melaksanakan” sebuah mekanisme komunikasi, tapi jelas hal ini bukan tugas utama mereka. Dari awal, citra UP4B sudah bermasalah di Papua, dimana sejumlah pemimpin kelompok masyarakat sipil berargumentasi bahwa UP4B dibentuk tanpa 155
Di tahun 2012, propinsi Papua dijadwalkan menerima dana otonomi khusus sebesar Rp.3.8 triliun. “Papua’s special autonomy funds going to waste, say experts”, Jakarta Post, 22 November 2011. 156 Wawancara Crisis Group dengan staf UP4B, Jakarta, Jayapura, Maret 2012. 157 Raperpres UP4B, 28 Maret 2011, Pasal 3(2)(d). 158 “Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat”, Pasal 5 dan 6, 20 September 2011.
Page 27
berkonsultasi terlebih dahulu dengan Papua, dan mewakili terlalu banyak solusi ekonomi terhadap sebuah masalah politik. Sebaliknya di Jakarta, sejumlah nasionalis konservatif melihat UP4B sebagai sebuah upaya untuk masuk ke masalah politik, meskipun terbatas, padahal ia tidak punya hak hukum untuk menyentuh bidang politik, selain itu, beberapa kementrian melihat UP4B sebagai pihak ketiga yang berniat mengintervensi urusan mereka.159 Misi UP4B untuk mengembalikan otonomi khusus sesuai tujuan awalnya, langsung ditentang habis-habisan oleh para aktivis yang menolak otonomi. Dan kelompok yang paling vokal mengenai hal ini adalah KNPB, yang mengorganisir beberapa aksi unjuk rasa kecil menentang rapat pengenalan UP4B di Jayapura bulan Januari 2012, Timika bulan Februari, Fakfak bulan Maret, Manokwari bulan April dan Nabire bulan Mei.160 Di saat yang sama, banyak kelompok di dalam maupun luar Papua yang menginterpretasikan berbagai rancangan mandat UP4B bahkan juga teks finalnya berdasarkan pada harapan mereka. Mereka melihat UP4B sebagai badan yang mungkin bisa memediasi dialog dan menghentikan kekerasan terus berlanjut. Beberapa dari harapan itu hanya angan-angan tapi pemikiran bahwa UP4B punya potensi untuk mengubah dinamika politik lewat beberapa “quick wins” yang signifikan juga disebut oleh beberapa staf UP4B.161 Kini sebagian besar sudah tidak disebut-sebut lagi.
159
Setelah pertemuan dengan Presiden SBY di bulan Desember 2011, sejumlah kecil pemimpin gereja radikal mengadakan konferensi pers menjelaskan bahwa presiden setuju untuk menangguhkan kerja UP4B hingga ada konsultasi lebih jauh mengenai perannya. Staf UP4B menunjukkan bahwa janji seperti itu, kalau memang benar dibuat, tidak berarti apa-apa kalau tidak dibuat menjadi peraturan presiden, tapi hal ini menjelaskan mengapa sekelompok pemrotes membubarkan rapat resmi pertama Darmon dan staf nya di ibukota Papua Barat, Manokwari, di bulan Januari 2012. 160 Aksi unjuk rasa ini di beberapa wilayah kalah jumlahnya dibanding banyaknya orang-orang Papua yang ingin bertemu dengan Darmono untuk menyampaikan kekhawatiran mereka mengenai korupsi, dan mencari akses ke dana otsus. Contohnya di Nabire, peserta aksi unjuk rasa KNPB berjumlah 40 hingga 50, sementara ada 900 orang Papua yang sedang menunggu untuk bertemu Darmono di tempatnya menginap. Presentasi Bambang Darmono ke Jakarta Foreign Correspondents Club, 12 Juli 2012. 161 Salah satu quick wins yang sering muncul dalam diskusi di akhir tahun 2011 dan awal 2012 sebagai salah satu langkah yang bisa diambil untuk membangun kepercayaan yaitu membebaskan seluruh tahanan Papua yang dituduh makar. Tapi hal ini tidak semudah kedengarannya. Bahkan kalaupun ada kemauan politik di Jakarta untuk menjajaki langkah ini (saat ini tidak ada), ada berbagai pendapat mengenai siapa yang
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Darmono, yang paling sering mengunjungi Papua dibanding pejabat senior pemerintah yang lain, sudah pernah terlibat langsung dalam memadamkan beberapa masalah yang berpotensi rusuh di belakang layar dan berhasil. Ketika bentrokan pecah antara polisi dan militer terkait penyelundupan bahan bakar oleh militer di Serui akhir Maret 2012, Darmono melakukan intervensi untuk mendukung upaya polisi menegakkan hukum, dengan memanggil komandan dari militer dan polisi untuk bertemu, dan mendorong mereka untuk berdamai.162 Setelah pemerintah lokal dan polisi kelihatannya lumpuh setelah kejadian penembakan terhadap sebuah pesawat di lapangan udara di Mulia, Puncak Jaya, tanggal 8 April, dan penerbangan untuk mengirim kebutuhan di kabupaten terhenti, ia kembali mengintervensi dan mengatur agar pesawat polri dan TNI mengambil alih sementara melakukan pengiriman. Namun dengan berlanjutnya kekerasan, UP4B kelihatannya jadi terpinggirkan. Kejadian penembakan di Jayapura bulan Mei dan Juni 2012 telah mengangkat profil Menkopolhukam, Djoko Suyanto, dan menurunkan profil UP4B. Pendekatan oleh UP4B ini hampir pasti sebagian disengaja. Seperti yang dikemukakan oleh seorang pejabat,” kalau kita terlalu mencuat, kita pasti digebuk”.163 Dalam situasi kekerasan seperti ini, langkah apapun yang bisa dilihat oleh para konservatif sebagai konsesi politik terhadap kelompok separatis akan dianggap “bertindak di bawah todongan senjata”. Bukan hanya UP4B yang tidak akan mau membuat isyarat politik; tak seorangpun di Jakarta, dari lembaga manapun, yang mau dilihat melakukan konsesis dibawah tekanan. seharusnya dibebaskan (mereka yang tidak menggunakan kekerasan saja?) dan bagaimana (sebagai isyarat atau bagian dari negosiasi yang lebih luas?). Beberapa menyebutkan pemerintah akan terlihat jelek kalau menawarkan amnesti tapi ditolak oleh aktivis Papua. Wawancara Crisis Group dengan pejabat di dan dekat dengan UP4B, Februari dan Juni 2012. Saat ini ada sekitar 30 tahanan makar di Papua dan Papua Barat; jumlahnya naik bulan Maret 2012 ketika Forkorus Yaboisembut dan empat lainnya dijatuhi hukuman empat tahun penjara, tapi turun lagi di bulan Juni 2012, ketika 42 napi kabur dari lapas Wamena di Jayawijaya, termasuk tujuh napi makar. “Serang petugas, 42 napi lapas Wamena kabur”, Cenderawasih Pos, 5 Juni 2012. 162 Akhir bulan Maret, mengantisipasi kenaikan harga BBM oleh pemerintah tanggal 1 April (yang akhirnya ditangguhkah oleh DPR), seorang tentara di Serui dikabarkan menimbun bahan bakar bersubsidi untuk dijual kembali. Setelah polisi mengkonfrontasinya, ia marah dan menusuk polisi tersebut hingga tewas, dan tindakannya ini menimbulkan ketakutan bahwa akan ada aksi balas dendam oleh polisi. “Polisi tewas ditusuk kota Serui mencekam”, Bintang Papua, 27 Maret 2012. 163 Wawancara Crisis Group dengan pejabat pemerintah senior, Juni 2012.
Page 28
Akibatnya, hingga akhir Juni 2012, UP4B, kembali lagi hanya fokus mengurusi pembangunan, memperbaiki infrastruktur, mengerjakan kebijakan affirmative action, membantu komunitas bisnis orang asli Papua, dan menyesuaikan UU nasional ke dalam realitas Papua.164 Bulan Juli, Darmono dengan bangga mengumumkan bahwa UP4B berhasil mendapatkan 960 kuota khusus bagi putra putri Papua untuk kuliah di universitasuniversitas seluruh Indonesia di luar Papua.165 Menurutnya UP4B sedang memfasilitasi pembangunan enam landasan udara baru di tempat-tempat terpencil pegunungan tengah dan sebuah jalan darat dari Asmat, di pantai tengah selatan, ke Yakuhimo, 400 km ke utara. Untuk mempercepat pembangunan jalan, dengan didanai oleh kementrian pekerjaan umum, pasukan Zeni TNI AD dengan melakukan pengosongan lahan. Darmono mengatakan, saat ini memberi warga Papua yang tinggal di tempat-tempat terpencil akses ke barang-barang dan layanan dengan biaya yang wajar lebih penting dibanding kekhawatiran terkait lingkungan. Demikian juga 164
Lebih dari sepuluh tahun setelah undang-undang otonomi khusus disahkan, belum ada peraturan yang jelas mengenai pelaksanaan ketentuan dalam UU Otsus yang memerintahkan affirmative action bagi orang asli Papua. Contohnya pasal 62, menyatakan: “Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya”. Sejalan dengan terus berlanjutnya migrasi ekonomi dari daerah lain ke Papua, dan ekonomi formal terus didominasi oleh pendatang, masalah ini akan menjadi lebih penting. Secara keseluruhan, kebijakan untuk menerapkan affirmative action tidak hanya akan terletak pada memajukan kesempatan ekonomi secara positif bagi orang asli Papua tapi juga dengan mencoba menghilangkan hambatan yang ada saat ini bagi mereka untuk dapat menikmasti kesempatan yang sama seperti warga negara Indonesia yang lain. Seperti yang ditunjukkan oleh salah satu studi yang dilakukan baru-baru ini mempelajari dinamika di kabupaten Keerom, fasilitas kesehatan berlokasi di wilayah yang didiami oleh pendatang (biasanya wilayah ini juga yang lebih padat penduduknya), sehingga warga asli Papua harus membayar mahal untuk dapat menikmati layanan kesehatan dan memperkuat kesan bahwa otonomi khusus tidak banyak membawa manfaat bagi orang Papua. Lihat Cypri J.P. Dale dan John Djonga, “Paradoks Papua: Pola-pola ketidakadilan sosial, pelanggaran hak atas pembangunan dan kegagalan kebijakan affirmative, dengan focus di kabupaten Keerom”, Desember 2011. Salah satu peraturan yang UP4B berharap bisa direvisi yaitu Instruksi Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa yang menetapkan plafon nilai kontrak dimana perusahaan kecil bisa ikut tender. Pengusaha Papua mengatakan mereka kehilangan kesempatan karena begitu tingginya harga bahan-bahan bangunan di Papua. Harga satu karung semen yang di Jayapura sekitar Rp.60,000 bisa mencapai Rp.1.2 juta di Puncak Jaya. Crisis Group Asia Briefing, Hope and Hard Reality in Papua, op. cit. 165 “Ada 960 kursi beasiswa disiapkan bagi putra-putri Papua”, Tabloid Jubi, 5 Juli 2012.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
melibatkan tentara menjadi satu-satunya cara pembangunan jalan bisa terwujud tanpa penundaan bertahun-tahun.166 Beberapa dari proyek ini mungkin akan bisa menghasilkan perbaikan yang kongkrit, tapi kalau hanya fokus pada pembangunan ekonomi maka masalahmasalah politik akan semakin parah karena tidak juga ditangani. Yang seringkali terjadi adalah fokus pada pembangunan hanya ditafsirkan sebagai perbaikan infrastuktur, akses komersial dan ekstraksi sumber daya alam, dibanding berupaya untuk memperbaiki kehidupan orang Papua melalui akses ke layanan pendidikan, kesehatan dan kesempatan ekonomi.
B. DIALOG: LANGKAH YANG MEMAKAN WAKTU Mereka yang optimis melihat kenyataan bahwa Presiden Yudhoyono mulai menggunakan kata “dialog” ketika berbicara tentang Papua di bulan November 2011 sebagai bukti adanya kemajuan; sebelum itu kata ini dianggap tabu.167 Mereka yang pesimis melihat jurang antara bagaimana dialog dipahami di Jakarta, dan bagaimana ia dipahami di Papua begitu dalam sehingga memerlukan upaya yang sangat lama dan perlahan untuk menjembataninya, itupun kalau hal ini mungkin sama sekali. Banyak dari mereka yang optimis terkait dengan UP4B dan Jaringan Damai Papua (JDP). Dalam sebuah rapat tanggal 1 Februari 2012 dengan perwakilan secara luas dari kelompok pemimpin gereja, presiden menegaskan kembali komitmennya dan menugaskan wakil presiden untuk menyusun sebuah agenda, format dan tujuan bersama dialog. Tapi tidak jelas, setelah itu apa yang akan terjadi. Sedikitnya ada empat pemahaman berbeda mengenai apa yang termasuk dalam dialog:
Negosiasi antara pemerintah dan perwakilan Papua mengenai status politik Papua di masa depan.
Diskusi antara pemerintah pusat dan perwakilan dari masyarakat Papua yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan – termasuk soal ketidakpuasan sebagian masyarak soal sejarah bergabungnya Papua ke Indonesia, pelanggaran HAM, diskriminasi, pembangunan ekonomi dan otonomi
Page 29
politik yang lebih luas – tapi tanpa mempertentangkan kedaulatan NKRI.
Negosiasi dengan berbagai faksi OPM mengenai gencatan senjata.
Serangkaian diskusi bebas mengenai Papua dengan berbagai kelompok, supaya terbangun pemahaman dan kepercayaan yang lebih baik antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat. Ini yang dimaksud oleh pemerintah dengan komunikasi konstruktif.
Yang pertama adalah apa yang dipahami oleh beberapa kelompok pro-kemerdekaan dan masyarakat sipil. Mereka tidak menerima kedaulatan NKRI sebagai sebuah ketetapan, dan percaya bahwa sebuah dialog yang berarti baru bisa berhasil kalau dimediasi oleh pihak internasional yang netral. Definisi ini tidak dapat diterima oleh Jakarta, dan pemahaman yang seperti ini yang membuat banyak orang tidak berani untuk melakukan dialog. Yang kedua adalah konsep yang dipahami banyak orang di JDP, meskipun dari konferensi bulan Juni 2011 terlihat bahwa beberapa di JDP membelok mendekati interpretasi yang pertama. Pendeta Neles Tebay selama ini konsisten mendorong dilibatkannya sembilan kelompok masyarakat, yaitu: orang asli Papua, orang non-Papua yang tinggal di Papua, polisi, tentara, pemerintah propinsi, pemerintah pusat, perusahaan minyak, gas dan pertambangan, OPM/TPN, dan para perantau Papua di luar negeri.168 Farid Husain, yang membantu memfasilitasi dialog awal yang akhirnya menghasilkan penandatanganan perjanjian damai di Aceh, saat ini terlibat dalam upaya mewujudkan pemahaman yang ketiga, yaitu fokus pada dialog dengan kelompok separatis bersenjata. Upaya ini terpisah dari UP4B maupun JDP, tapi berlangsung dengan sepengetahuan mereka. Farid mendapat dukungan yang samar-samar dan ambigu dari presiden untuk inisiatifnya ini. Pada September 2011, Presiden menunjuknya sebagai utusan khusus untuk melakukan diskusi dengan berbagai kelompok (OPM tidak disebut secara langsung), tapi sejak itu tidak terlalu tertarik dengan upaya Farid – mungkin karena beberapa di kalangan sektor keamanan menganggap tidak ada manfaat bicara dengan kelompok gerilya yang tidak dianggap sebagai ancaman militer serius.169 Meskipun ketika baru mulai, Farid dilihat sebagai “loose cannon” atau meriam tak terikat, yang bisa menembak kemana-mana, kini dukungan terhadap apa
166
Presentasi Bambang Darmono ke Jakarta Foreign Correspondents Club, 12 Juli 2012. 167 Kata-katanya yaitu: “Kita mesti berdialog, dialog terbuka untuk cari solusi dan opsi mencari langkah paling baik selesaikan masalah Papua”. Seperti yang dilaporkan dalam “Rencana SBY dialog dengan rakyat Papua harus didukung”, Suara Pembaruan, 10 November 2011.
168
Laporan Crisis Group, Hope and Hard Reality in Papua, op. cit, “Membuka Dialog dengan Papua”, Kompas, 26 Juni 2012. 169 Contohnya, Neles Tebay, telah membantu untuk mencoba mengatur diskusi dengan Goliat Tabuni, ketua sebuah faksi OPM di Puncak Jaya.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
yang ia kerjakan telah meningkat di kalangan Papua seiring dengan meningkatnya kekecewaan terhadap UP4B. Definisi yang keempat, yang digunakan oleh kantor wakil presiden maupun UP4B, adalah bentuk dialog yang jauh lebih tidak terstruktur, dan kerap disebut sebagai “komunikasi konstruktif”. Sebagai bagian dari sebuah upaya luas untuk memperkenalkan kerjanya,UP4B telah melakukan serangkaian konsultasi publik di seluruh Papua, dengan menjanjikan untuk menyampaikan keluhan-keluhan dari masyarakat ke pemerintah pusat. Secara publik UP4B telah menolak melakukan pembicaraan formal dengan kelompok lain, tapi staf Darmono melakukan komunikasi rutin dengan JDP dan Farid Husain.170 Meskipun beberapa minggu stelah kejadian penembakan di Jayapura Neles Tebay dan yang lain mendorong untuk segera mewujudkan dialog versi JDP, kekerasan tersebut mungkin telah memperlambat momentum apapun yang sebelumnya sudah terbangun.
C. KEBIJAKAN KEAMANAN Salah satu masalah dengan Papua yaitu bahwa pemerintah belum menemukan cara untuk menyelaraskan dua hal: pendekatannya ke arah perdamaian dengan kebijakan keamanannya. Sejak UU Otsus pertama kali disahkan, setiap inisiatif yang berpotensi untuk membangun kepercayaan telah diperlemah oleh tindakan-tindakan pihak keamanan maupun intelijen yang hanya memperdalam jurang pemisah antara Papua dan pemerintah pusat. Kadang tindakan ini disengaja, seperti pemekaran propinsi Papua di tahun 2003 atau upaya untuk membentuk lembagalembaga adat bayangan serupa untuk melemahkan lembaga yang sudah ada. Namun ada juga tindakan sembrono dari perwira junior TNI dan Polri yang kurang pelatihan dan kurang sumberdaya. Salah satu upaya kemendagri untuk memperlemah institusi-institusi yang dianggap mendorong sentimen separatis yaitu dengan membentuk institusi serupa namun bermuatan sentimen pro-Jakarta. Salah satu contoh paling jelas dari strategi ini yaitu reaksi terhadap pengaruh Dewan Adat Papua, yaitu sebuah kelompok yang sangat berbasis masyarakat, yang awalnya dibentuk oleh para tetua suku pada pertengahan 2002 untuk memajukan kesejahteraan orang Papua. Seiring dengan semakin dilihatnya DAP sebagai kendaran bagi gerakan
170
Presentasi Bambang Darmono ke Jakarta Foreign Correspondents Club, 12 Juli 2012.
Page 30
kemerdekaan, kemendagri kemudian membentuk jaringan dewan adat versi pemerintah, yaitu Lembaga Masyarakat Adat, yang dirancang untuk memecah kekuatan DAP. Dalam jangka panjang hal ini hanya membuat marah para tokoh masyarakat dari pada menyusun kebijakan yang akan membuat mereka senang dan mendukung pemerintah. Training, struktur insentif dan akuntabilitas bagi pasukan keamanan perlu ditinjau kembali secara cermat. Pada umumnya warga Papua tidak membedakan antara polisi dan militer, dan menyebut keduanya atau masing-masing sebagai “TNI/Polri”, tapi penting untuk membedakan mereka. Polisi sekarang telah menjadi lembaga yang memegang peran memimpin dalam operasi melawan pemberontak maupun dalam menjaga “obyek vital nasional”, seperti pertambangan Freeport, yang sebelumnya jadi tanggungjawab TNI.171 Polri memiliki sekitar 13,000 personil di Papua, dengan satu polda yang meliputi propinsi Papua dan propinsi Papua Barat, serta 29 polres yang mencakup 40 kabupaten dan kota. TNI melihat perannya yang utama di Papua sebagai pelindung integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini berarti menjaga perbatasan, tapi juga berarti memberantas gerakan separatis, bahkan meskipun polri kini yang pegang peran memimpin dalam keamanan domestik. TNI masih memegang peran penting dalam pengumpulan informasi intelijen dan bertindak sebagai pasukan pendukung bagi polisi dalam menghadapi kerusuhan. Kehadiran beberapa unit TNI dalam pembubaran Kongres Rakyat Papua serta patroli rutin TNI di wilayah Puncak Jaya merupakan bukti bahwa TNI masih aktif dalam keamanan domestik, bahkan meskipun sebenarnya hal ini merupakan operasi penegakan hukum. Pasukan Zeni Konstruksi TNI memegang peran dalam membangun jalan-jalan di daerah terpencil, dan pos-pos TNI di seluruh propinsi dipakai sebagai dukungan logistik. Bahkan dengan peran yang terbatas ini, narasumber TNI memperkirakan ada sekitar 11,000 pasukan “organik” yang ditugaskan secara permanen di Papua, ditambah sekitar 2,000 pasukan BKO (bantuan kendali operasi).172
171
Menyusul sebuah dekrit presiden tahun 2004, polisi mengambil alih tugas untuk melakukan pengamanan terhadap obyek vital nasional, sejalan dengan reformasi di bidang internal keamanan yang lebih luas. Transisi tugas dari TNI ke Polri ini baru diimplementasikan tahun 2006. Lihat “Keputusan Presiden Republik Indonesia N°63 tahun 2004 tentang pengamanan obyek vital nasional”. 172 Wawancara Crisis Group dengan perwira TNI, Jakarta, 6 Juli 2012.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Kebijakan keamanan di Papua merupakan tugas Kemenkopolhukam, yang dipimpin Djoko Suyanto.173 Ia adalah orang yang diminta Presiden untuk membantu memutuskan tentang bagaimana mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan keamanan, dengan informasi dari kapolri, panglima TNI dan kepala BIN (Badan Intelijen Negara). Masing-masing lembaga ini memiliki otonomi luas dan mereka belum tentu saling berkonsultasi, apalagi berkoordinasi. Sebuah operasi polisi seperti Operasi Tumpas Matoa contohnya, disusun antara Polda dan Mabes Polri, tanpa (atau dengan sedikit) masukan dari lembaga lain. Baik polisi maupun militer di Papua tidak mendapat dukungan dana penuh dari markas besar masing-masing. Mereka bergantung pada pemerintah lokal untuk menyediakan biaya makan dan kadang lebih dari itu, akibatnya anggaran pemerintah lokal sangat terbebani.174 Untuk banyak perwira muda penugasan ke Papua berarti penugasan yang sangat berat, karena tunjangan standar yang mereka terima tidak cukup untuk biaya makan dan transport yang jauh lebih tinggi. Tapi gambaran yang dimiliki banyak warga Papua mengenai aparat keamanan adalah orang-orang yang seenaknya mengambil ayam dan barang-barang lain tanpa membayar dari rakyat yang tidak punya apa-apa. Tergantung kepada komandan mereka untuk memastikan bahwa tindakan perampasan semacam ini tidak terjadi, dan kalau terjadi, pelakunya segera dihukum. Terlepas dari ketidakcukupan tunjungan makan dan transport, banyak personil keamanan di Papua yang juga terlibat dalam kegiatan mencari rente, yang hasilnya lebih dari untuk kebutuhan kehidupan sehari-hari, seperti yang diperlihatkan oleh kegiatan polisi di pendulangan emas. Mustahil untuk dapat “melayani masyarakat”, sesuai semboyan polisi, dan pada saat yang sama berusaha memperkaya diri sendiri. Jelas bahwa training bagi polisi maupun militer sangat tidak memadai, dan tidak ada upaya secara kelembagaan untuk berbagi pengetahuan/informasi dan pengalaman. Seorang perwira polisi yang baru-baru ini ditugaskan di Puncak Jaya mengatakan ia ikut workshop tiga hari mengenai budaya dan tradisi masyarakat Papua di polda sebelum berangkat ke daerah tugas. Para peserta workshop juga diwajibkan membaca Papua Road Map, kajian yang disusun oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2010 mengenai latar belakang
173
Sebelum menjabat sebagai Kemenko, Djoko Suyanto adalah Panglima TNI dari tahun 2006 hingga 2007. 174 Masalah ini tidak hanya terjadi di Papua; di Aceh, pemerintah setempat kadang terpaksa harus membuat proyek fiktif untuk menutupi biaya personil keamanan yang ditugaskan dari Jakarta.
Page 31
konflik Papua dan bagaimana solusinya.175 Tapi tidak ada informasi khusus mengenai Puncak Jaya, sifat konflik disitu maupun orang-orang yang terlibat. Setelah setahun bertugas, tidak ada seorang pun yang mewawancaranya paska tugas (debrief) ketika ia kembali ke Jayapura, atau selama tiga bulan di Papua sebelum penugasannya kembali ke daerah lain. Beberapa masalah di Papua juga dihadapi polisi dan tentara di daerah lain di Indonesia, antara lain: training mengenai penggunaan senjata api yang kurang memadai, dan ketergantungan yang berlebihan pada senjata dibanding metode lain dalam penanganan kerusuhan; ketidaksediaan untuk bertanggungjawab atas penyiksaan yang dilakukan anggotanya; kadang aksi balas dendam yang melibatkan kekerasan ketika ada insiden dimana personil keamanan terluka atau kendaraan atau fasilitas/bangunan mereka dirusak. Aksi penyiksaan juga marak di Indonesia, dan tidak hanya ekslusif dilakukan oleh pasukan keamanan di Papua. Tapi konsekwensinya sangat ringan (bahkan kadang tidak ada sama sekali) di sebuah daerah dimana masyarakat setempat sangat tidak percaya pada aparat, sementara upaya untuk menguranginya lewat apapun namanya – dialog, diskusi atau komunikasi konstruktif – menghadapi begitu banyak rintangan. Sebuah peraturan Kapolri tahun 2009 mengenai penerapan prinsip-prinsip HAM telah menjadi fokus training di Papua, tapi tidak jelas apakah trainingnya yang kurang optimal atau kurang dikaitkan ke situasi setempat, karena kelihatannya tidak membawa pengaruh banyak.176 Akan menarik untuk melihat apakah dalam perencanaan Operasi Tumpas Matoa, ada pembahasan mengenai 175
Muridan S. Widjojo (ed.), Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), (Jakarta, 2010). 176 Peraturan Kapolri Nomor 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, antara lain tidak boleh mentolerir tindakan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, bahkan meskipun dibawah perintah atasan atau dalam keadaan luar biasa; menjamin kesehatan orang-orang yang berada dalam tahanannya dan segera mengambil langkah untuk memberikan pelayanan medis bilamana diperlukan; melarang korupsi maupun penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk apapun; menjelaskan peraturan yang jelas mengenai prosedur penangkapan; melarang anggota Polri untuk bertindak dengan cara yang menimbulkan antipati masyarakat, termasuk dengan meminta imbalan tidak resmi dan sengaja menutupi kesalahan pihak yang perkaranya sedang ditangani; dan menjelaskan prosedur rinci mengenai penggunaan senjata api, terutama ketentuan bahwa metode tanpa kekerasan harus selalu diusahakan terlebih dahulu.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
bagaimana penyerangan terhadap basis OPM dapat membawa pengaruh negatif terhadap upaya mereka dalam memperbaiki hubungan dengan masyarakat. Kalau ada, mungkin akan ada perbedaan dalam pendekatan di Paniai, dimana OPM selama ini berusaha tidak menyerang warga sipil, dan hingga terjadi insiden yang disebutkan sebelumnya, bahkan pasukan keamanan tidak diganggu; dengan pendekatan di Timika dan Puncak Jaya, dimana penyerangan berkali-kali oleh TPN OPM telah menimbulkan banyak korban jiwa. Ada gagasan mengenai bagaimana memperbaiki hubungan dengan masyarakat yang patut untuk dicoba. Menurutnya polisi yang bosan dan seringkali tidak punya kegiatan yang ditugaskan ke lokasi terpencil sebaiknya mendapat pelatihan guru, sehingga mereka juga bisa mengajar anak-anak di wilayah tugas mereka yang tidak ada sekolahnya. Hal ini bisa menjadi bentuk lain layanan polisi kepada masyarakat yang benar-benar dibutuhkan, ia juga bisa membuat polisi lebih banyak berhubungan dengan masyarakat yang mereka harus lindungi, dan ini juga bisa membantu memberi lebih banyak pilihan bagi anak-anak setempat, dibanding yang mereka miliki saat ini. Namun, hampir mustahil bagi polisi untuk melancarkan aksi pemberantasan pemberontak dan pada saat yang sama melakukan fungsi kemasyarakatan. Dan sampai dilema ini bisa diselesaikan, fungsi polisi-guru mungkin hanya akan menjadi angan-angan.177
Page 32
VII.
KESIMPULAN
Ketua UP4B Bambang Darmono mengatakan dalam bukunya bahwa ketidakpercayaan orang Papua yang begitu meluas terhadap pemerintah pusat berakar pada perasaan bahwa Jakarta tidak punya kemauan politik untuk menanggapi ketidakpuasan mereka.178 Ia benar, dan ini berarti bahwa agar dapat membawa perubahan, Jakarta harus mengambil tindakan yang lebih dari sekedar solusi ekonomi dan pembangunan. Segala sesuatunya memberi indikasi bahwa akan ada lebih banyak kekerasan di Papua kecuali pemerintah bisa menghasilkan sebuah kebijakan yang punya dampak langsung dan nyata terhadap bagaimana rakyat Papua diperlakukan. Percepatan pembangunan ekonomi bagus sebagai sebuah program, tapi tidak akan mengubah hubungan JakartaPapua dengan sendirinya. Tata pemerintahan lokal yang lebih baik juga sangat penting, tapi ia merupakan prospek jangka panjang. Jakarta perlu menyadari bahwa bagaimanapun rumitnya masalah yang melingkupi Papua, training, disiplin dan akuntabilitas pasukan keamanan yang lemah adalah elemen penting yang perlu ditangani sesegera mungkin. Kecepatan polisi di Paniai dalam melancarkan investigasi terhadap kejadian penembakan bulan Mei sangat terpuji, dan hal ini seharusnya yang menjadi aturan bukan pengecualian. Sebuah peninjauan kembali secara menyeluruh dan teliti mengenai kebutuhan training bagi polisi perlu dilakukan. Hal ini bisa dimulai dengan menyusun sebuah sistem untuk memastikan bahwa siapapun yang ditugaskan ke Papua mendapat briefing (pengarahan) dari mereka yang pernah bertugas disana sebelumnya, dan setelah masa tugasnya selesai, siapapun harus menjalani debriefing (wawancara paska tugas) secara sistematis. Sebagai permulaaan, briefingnya sendiri perlu mencakup pembicaraan mengenai kesulitan yang dihadapi secara pribadi, kekurangan perlengkapan dan masalah-masalah sumber daya yang lain; hubungan dengan pemerintah lokal, masyarakat sipil dan tokoh masyarakat setempat; dan pemetaan konflik. Sebuah program yang ketat mengenai akuntabilitas atas kejahatan dan korupsi perlu diterapkan secara kasat mata. Warga Papua perlu melihat bahwa individu-individu yang melakukan penganiayaan dihukum, dan kerja sampingan oleh petugas yang sedang dinas aktif sebagai penjaga keamanan untuk pihak swasta diakhiri. Struktur insentif dalam kepolisian juga perlu diubah supaya perbuatanperbuatan yang membangun hubungan yang lebih kuat dengan masyarakat diberi imbalan promosi dan kenaikan
177
Wawancara Crisis Group dengan perwira TNI, Jakarta, Juli 2012.
178
Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono, Mengurai Benang Kusut Permasalahan Papua, Jakarta, 2012, hal. 55.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
gaji. Aksi mengamuk seperti yang terjadi di Wamena harus dijatuhi hukuman serius, terlepas dari siapa yang memprovokasi terlebih dahulu. Perlu dijelaskan secara tegas dan berulang-ulang bahwa “emosi” tidak bisa dipakai sebagai pembenaran, dan bahwa profesionalisme harus selalu dijunjung dalam menghadapi serangan. Membangun hubungan masyarakat yang lebih baik bukan berarti membiarkan warga Papua yang terlibat pelanggaran kriminal melenggang bebas, dan pemolisian masyarakat bukan berarti menghindari penangkapan. Tapi kekerasan yang tidak perlu terhadap tersangka, seperti pemukulan, penendangan, pemukulan dengan popor senjata, harus segera diakhiri, begitu juga dengan penghinaan seperti menyuruh peserta Kongres Rakyat Papua merangkak dengan perut. Polisi seharusnya tidak diberi peluru tajam sebagai sebuah standar prosedur. Dan senjata api seharusnya hanya diberikan kepada polisi yang sudah mendapat pelatihan khusus mengenai penggunaan senjata api, tidak sekedar training di sekolah polisi. Semua langkah diatas bisa langsung dilaksanakan, tapi dalam jangka panjang, koordinasi antara pembangunan dan sektor keamanan pemerintah perlu diperbaiki untuk menjamin bahwa upaya-upaya untuk mewujudkan dialog atau bentuk lain untuk memperbaiki hubungan dengan masyarakat Papua tidak diperlemah oleh operasi-operasi intelijen rahasia. Pendekatan apapun yang dilakukan pemerintah terhadap Papua yang tidak mencakup perbaikan pengawasan terhadap polisi dan militer yang ditugaskan kesana, akan gagal untuk mengubah persepsi. Meningkatkan kinerja pemerintah setempat akan memerlukan waktu, tapi menunda-nunda pilkada langsung di Papua bukan jalan yang baik untuk ditempuh. Sebaliknya, pemerintah pusat bersama-sama dengan DPRD Papua perlu menemukan cara agar pilkada bisa berjalan baik. Mengingat rawannya pelanggaranpelanggaran dalam sistem noken, seperti yang diperlihatkan di pilkada Puncak Jaya baru-baru ini, prioritas buat KPU seharusnya menyusun sebuah sistem pengawasan terhadap kemungkinan kecurangan sebelum pilkada gubernur diselenggarakan. Pilgub sudah begitu lama ditunda sehingga anggota DPRD Papua beresiko dianggap tidak relevan. Kalangan moderat Papua tidak bisa diharapkan untuk terus tertarik bekerja ke arah penguatan otonomi kalau tidak ada standar sama sekali dalam penegakan undang-undang nasional, sesuatu yang selama ini absen dilakukan pemerintah dalam menangani sengketa pemilu. Secara lebih luas, untuk semua pembicaraan mengenai kegagalan otonomi khusus Papua, baik pemerintah Pusat maupun perwakilan Papua sama-sama bertanggungjawab atas kegagalan untuk menetapkan peraturan pelaksana yang diperlukan untuk menjamon otsus dapat
Page 33
diimplementasikan secara penuh. Pada akhirnya, jawabannya harus terletak pada pemerintah lokal yang lebih (bukan kurang) mewakili, dan bekerja sama dengan (bukan memperlemah) institusi perwakilan lokal. Tata pemerintahan yang baik di Papua, seperti juga di daerah lain di Indonesia, adalah kunci untuk mencegah, menangani dan menyelesaikan konflik. Beberapa langkah mendesak untuk memperbaiki kebijakan keamanan diperlukan dari Jakarta, tapi pejabat Papua juga punya peran yang sama pentingnya.
Jakarta/Brussels, 9 Agustus 2012
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Page 34
LAMPIRAN A PETA PROPINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Page 35
LAMPIRAN B PETA WILAYAH JAYAPURA
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Page 36
LAMPIRAN C GLOSSARY Adat
customary
BIN
Badan Inteligen Negaran, State Intelligence Agency
Brimob
Brigade Mobile
Bupati
sub-provincial (or district) governor
DAP
Dewan Adat Papua, Papua Customary/Adat Council
DNPB
Dewan Nasional Papua Barat (or Parlemen Nasional Papua Barat), West Papua National Parliament
DPRP
Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Papua provincial legislature
IPWP/ILWP
International Parliamentarians for West Papua/International Lawyers for West Papua
JDP
Jaringan Damai Papua, Papua Peace Network
Kabupaten
district (sub-provincial level)
KNPB
Komite Nasional Papua Barat, West Papua National Committee
KOMAPA
Koperasi Masyarakat Paniai, Paniai People’s Cooperative
KPU
elections commission
Makar
rebellion
MRP
Majelis Rakyat Papua, Papuan People’s Council
MRPB
Majelis Rakyat Papua Barat, West Papuan People’s Council
Noken system
collective voting (by consensus)
PDIP
Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, Indonesian Democratic Struggle Party
PRD
Parlemen Rakyat Daerah, regional council
TNI
Tentara Nasional Indonesia, Indonesian National Armed Forces
TPN/OPM
Tentara Pembebasan Negara/Organisi Papua Merdeka, National Liberation Army/Free Papua Movement
UP4B
Unit Percepatan Pembangunan untuk Papua dan Papua Barat, Unit for Accelerated Development in Papua and West Papua
WPNA
West Papua National Authority
WPNCL
West Papua National Coalition for Liberation
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Page 37
LAMPIRAN D ABOUT THE INTERNATIONAL CRISIS GROUP
The International Crisis Group (Crisis Group) is an independent, non-profit, non-governmental organisation, with some 130 staff members on five continents, working through field-based analysis and high-level advocacy to prevent and resolve deadly conflict. Crisis Group’s approach is grounded in field research. Teams of political analysts are located within or close by countries at risk of outbreak, escalation or recurrence of violent conflict. Based on information and assessments from the field, it produces analytical reports containing practical recommendations targeted at key international decision-takers. Crisis Group also publishes CrisisWatch, a twelve-page monthly bulletin, providing a succinct regular update on the state of play in all the most significant situations of conflict or potential conflict around the world. Crisis Group’s reports and briefing papers are distributed widely by email and made available simultaneously on the website, www.crisisgroup.org. Crisis Group works closely with governments and those who influence them, including the media, to highlight its crisis analyses and to generate support for its policy prescriptions. The Crisis Group Board – which includes prominent figures from the fields of politics, diplomacy, business and the media – is directly involved in helping to bring the reports and recommendations to the attention of senior policy-makers around the world. Crisis Group is chaired by former U.S. Undersecretary of State and Ambassador Thomas Pickering. Its President and Chief Executive since July 2009 has been Louise Arbour, former UN High Commissioner for Human Rights and Chief Prosecutor for the International Criminal Tribunals for the former Yugoslavia and for Rwanda. Crisis Group’s international headquarters is in Brussels, and the organisation has offices or representation in 34 locations: Abuja, Bangkok, Beijing, Beirut, Bishkek, Bogotá, Bujumbura, Cairo, Dakar, Damascus, Dubai, Gaza, Guatemala City, Islamabad, Istanbul, Jakarta, Jerusalem, Johannesburg, Kabul, Kathmandu, London, Moscow, Nairobi, New York, Port-au-Prince, Pristina, Rabat, Sanaa, Sarajevo, Seoul, Tbilisi, Tripoli, Tunis and Washington DC. Crisis Group currently covers some 70 areas of actual or potential conflict across four continents. In Africa, this includes, Burkina Faso, Burundi, Cameroon, Central African Republic, Chad, Côte d’Ivoire, Democratic Republic of the Congo, Eritrea, Ethiopia, Guinea, Guinea-Bissau, Kenya, Liberia, Madagascar, Nigeria, Sierra Leone, Somalia, South Sudan, Sudan, Uganda and Zimbabwe; in Asia, Afghanistan, Burma/Myanmar, Indonesia, Kashmir, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Malaysia, Nepal, North Korea, Pakistan, Philippines, Sri Lanka, Taiwan Strait, Tajikistan, Thailand, Timor-Leste, Turkmenistan and Uzbekistan; in
Europe, Armenia, Azerbaijan, Bosnia and Herzegovina, Cyprus, Georgia, Kosovo, Macedonia, North Caucasus, Serbia and Turkey; in the Middle East and North Africa, Algeria, Bahrain, Egypt, Iran, Iraq, Israel-Palestine, Jordan, Lebanon, Libya, Morocco, Syria, Tunisia, Western Sahara and Yemen; and in Latin America and the Caribbean, Colombia, Guatemala, Haiti and Venezuela. Crisis Group receives financial support from a wide range of governments, institutional foundations, and private sources. The following governmental departments and agencies have provided funding in recent years: Australian Agency for International Development, Australian Department of Foreign Affairs and Trade, Austrian Development Agency, Belgian Ministry of Foreign Affairs, Canadian International Development Agency, Canadian International Development and Research Centre, Foreign Affairs and International Trade Canada, Royal Danish Ministry of Foreign Affairs, Dutch Ministry of Foreign Affairs, European Commission, Finnish Ministry of Foreign Affairs, German Federal Foreign Office, Irish Aid, Principality of Liechtenstein, Luxembourg Ministry of Foreign Affairs, New Zealand Agency for International Development, Royal Norwegian Ministry of Foreign Affairs, Swedish International Development Agency, Swedish Ministry for Foreign Affairs, Swiss Federal Department of Foreign Affairs, Turkish Ministry of Foreign Affairs, United Kingdom Department for International Development, U.S. Agency for International Development. The following institutional and private foundations have provided funding in recent years: Adessium Foundation, Carnegie Corporation of New York, The Charitable Foundation, The Elders Foundation, Henry Luce Foundation, William & Flora Hewlett Foundation, Humanity United, Hunt Alternatives Fund, John D. & Catherine T. MacArthur Foundation, Open Society Institute, Ploughshares Fund, Rockefeller Brothers Fund and VIVA Trust.
August 2012
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Page 38
LAMPIRAN E LAPORAN DAN BRIEFING CRISIS GROUP TENTANG ASIA SEJAK 2009 Central Asia Tajikistan: On the Road to Failure, Asia Report N°162, 12 February 2009. Women and Radicalisation in Kyrgyzstan, Asia Report N°176, 3 September 2009. Central Asia: Islamists in Prison, Asia Briefing N°97, 15 December 2009. Central Asia: Migrants and the Economic Crisis, Asia Report N°183, 5 January 2010. Kyrgyzstan: A Hollow Regime Collapses, Asia Briefing N°102, 27 April 2010. The Pogroms in Kyrgyzstan, Asia Report N°193, 23 August 2010. Central Asia: Decay and Decline, Asia Report N°201, 3 February 2011. Tajikistan: The Changing Insurgent Threats, Asia Report N°205, 24 May 2011. Kyrgyzstan: Widening Ethnic Divisions in the South, Asia Report N°222, 29 March 2012.
North East Asia North Korea’s Missile Launch: The Risks of Overreaction, Asia Briefing N°91, 31 March 2009. China’s Growing Role in UN Peacekeeping, Asia Report N°166, 17 April 2009 (also available in Chinese). North Korea’s Chemical and Biological Weapons Programs, Asia Report N°167, 18 June 2009. North Korea’s Nuclear and Missile Programs, Asia Report N°168, 18 June 2009. North Korea: Getting Back to Talks, Asia Report N°169, 18 June 2009. China’s Myanmar Dilemma, Asia Report N°177, 14 September 2009 (also available in Chinese). Shades of Red: China’s Debate over North Korea, Asia Report N°179, 2 November 2009 (also available in Chinese). The Iran Nuclear Issue: The View from Beijing, Asia Briefing N°100, 17 February 2010 (also available in Chinese). North Korea under Tightening Sanctions, Asia Briefing N°101, 15 March 2010. China’s Myanmar Strategy: Elections, Ethnic Politics and Economics, Asia Briefing N°112, 21 September 2010 (also available in Chinese).
North Korea: The Risks of War in the Yellow Sea, Asia Report N°198, 23 December 2010. China and Inter-Korean Clashes in the Yellow Sea, Asia Report N°200, 27 January 2011 (also available in Chinese). Strangers at Home: North Koreans in the South, Asia Report N°208, 14 July 2011 (also available in Korean). South Korea: The Shifting Sands of Security Policy, Asia Briefing N°130, 1 December 2011. Stirring up the South China Sea (I), Asia Report N°223, 23 April 2012 (also available in Chinese). Stirring up the South China Sea (II): Regional Responses, Asia Report N°229, 24 July 2012. North Korean Succession and the Risks of Instability, Asia Report N°230, 25 July 2012.
South Asia Nepal’s Faltering Peace Process, Asia Report N°163, 19 February 2009 (also available in Nepali). Afghanistan: New U.S. Administration, New Directions, Asia Briefing N°89, 13 March 2009. Pakistan: The Militant Jihadi Challenge, Asia Report N°164, 13 March 2009. Development Assistance and Conflict in Sri Lanka: Lessons from the Eastern Province, Asia Report N°165, 16 April 2009. Pakistan’s IDP Crisis: Challenges and Opportunities, Asia Briefing N°93, 3 June 2009. Afghanistan’s Election Challenges, Asia Report N°171, 24 June 2009. Sri Lanka’s Judiciary: Politicised Courts, Compromised Rights, Asia Report N°172, 30 June 2009. Nepal’s Future: In Whose Hands?, Asia Report N°173, 13 August 2009 (also available in Nepali). Afghanistan: What Now for Refugees?, Asia Report N°175, 31 August 2009. Pakistan: Countering Militancy in FATA, Asia Report N°178, 21 October 2009. Afghanistan: Elections and the Crisis of Governance, Asia Briefing N°96, 25 November 2009.
Bangladesh: Getting Police Reform on Track, Asia Report N°182, 11 December 2009. Sri Lanka: A Bitter Peace, Asia Briefing N°99, 11 January 2010. Nepal: Peace and Justice, Asia Report N°184, 14 January 2010. Reforming Pakistan’s Civil Service, Asia Report N°185, 16 February 2010. The Sri Lankan Tamil Diaspora after the LTTE, Asia Report N°186, 23 February 2010. The Threat from Jamaat-ul Mujahideen Bangladesh, Asia Report N°187, 1 March 2010. A Force in Fragments: Reconstituting the Afghan National Army, Asia Report N°190, 12 May 2010. War Crimes in Sri Lanka, Asia Report N°191, 17 May 2010. Steps Towards Peace: Putting Kashmiris First, Asia Briefing N°106, 3 June 2010. Pakistan: The Worsening IDP Crisis, Asia Briefing N°111, 16 September 2010. Nepal’s Political Rites of Passage, Asia Report N°194, 29 September 2010 (also available in Nepali). Reforming Afghanistan’s Broken Judiciary, Asia Report N°195, 17 November 2010. Afghanistan: Exit vs Engagement, Asia Briefing N°115, 28 November 2010. Reforming Pakistan’s Criminal Justice System, Asia Report N°196, 6 December 2010. Nepal: Identity Politics and Federalism, Asia Report N°199, 13 January 2011 (also available in Nepali). Afghanistan’s Elections Stalemate, Asia Briefing N°117, 23 February 2011. Reforming Pakistan’s Electoral System, Asia Report N°203, 30 March 2011. Nepal’s Fitful Peace Process, Asia Briefing N°120, 7 April 2011 (also available in Nepali). India and Sri Lanka after the LTTE, Asia Report N°206, 23 June 2011. The Insurgency in Afghanistan’s Heartland, Asia Report N°207, 27 June 2011. Reconciliation in Sri Lanka: Harder Than Ever, Asia Report N°209, 18 July 2011. Aid and Conflict in Afghanistan, Asia Report N°210, 4 August 2011.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Nepal: From Two Armies to One, Asia Report N°211, 18 August 2011 (also available in Nepali). Reforming Pakistan’s Prison System, Asia Report N°212, 12 October 2011. Islamic Parties in Pakistan, Asia Report N°216, 12 December 2011. Nepal’s Peace Process: The Endgame Nears, Asia Briefing N°131, 13 December 2011 (also available in Nepali). Sri Lanka: Women’s Insecurity in the North and East, Asia Report N°217, 20 December 2011. Sri Lanka’s North I: The Denial of Minority Rights, Asia Report N°219, 16 March 2012. Sri Lanka’s North II: Rebuilding under the Military, Asia Report N°220, 16 March 2012. Talking About Talks: Toward a Political Settlement in Afghanistan, Asia Report N°221, 26 March 2012. Pakistan’s Relations with India: Beyond Kashmir?, Asia Report N°224, 3 May 2012. Bangladesh: Back to the Future, Asia Report N°226, 13 June 2012. Aid and Conflict in Pakistan, Asia Report N°227, 27 June 2012.
South East Asia Local Election Disputes in Indonesia: The Case of North Maluku, Asia Briefing N°86, 22 January 2009. Timor-Leste: No Time for Complacency, Asia Briefing N°87, 9 February 2009. The Philippines: Running in Place in Mindanao, Asia Briefing N°88, 16 February 2009. Indonesia: Deep Distrust in Aceh as Elections Approach, Asia Briefing N°90, 23 March 2009. Indonesia: Radicalisation of the “Palembang Group”, Asia Briefing N°92, 20 May 2009. Recruiting Militants in Southern Thailand, Asia Report N°170, 22 June 2009 (also available in Thai). Indonesia: The Hotel Bombings, Asia Briefing N°94, 24 July 2009 (also available in Indonesian). Myanmar: Towards the Elections, Asia Report N°174, 20 August 2009. Indonesia: Noordin Top’s Support Base, Asia Briefing N°95, 27 August 2009. Handing Back Responsibility to TimorLeste’s Police, Asia Report N°180, 3 December 2009.
Southern Thailand: Moving towards Political Solutions?, Asia Report N°181, 8 December 2009 (also available in Thai). The Philippines: After the Maguindanao Massacre, Asia Briefing N°98, 21 December 2009. Radicalisation and Dialogue in Papua, Asia Report N°188, 11 March 2010 (also available in Indonesian). Indonesia: Jihadi Surprise in Aceh, Asia Report N°189, 20 April 2010. Philippines: Pre-election Tensions in Central Mindanao, Asia Briefing N°103, 4 May 2010. Timor-Leste: Oecusse and the Indonesian Border, Asia Briefing N°104, 20 May 2010. The Myanmar Elections, Asia Briefing N°105, 27 May 2010 (also available in Chinese). Bridging Thailand’s Deep Divide, Asia Report N°192, 5 July 2010 (also available in Thai). Indonesia: The Dark Side of Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), Asia Briefing N°107, 6 July 2010. Indonesia: The Deepening Impasse in Papua, Asia Briefing N°108, 3 August 2010. Illicit Arms in Indonesia, Asia Briefing N°109, 6 September 2010. Managing Land Conflict in Timor-Leste, Asia Briefing N°110, 9 September 2010. Stalemate in Southern Thailand, Asia Briefing N°113, 3 November 2010 (also available in Thai). Indonesia: “Christianisation” and Intolerance, Asia Briefing N°114, 24 November 2010. Indonesia: Preventing Violence in Local Elections, Asia Report N°197, 8 December 2010 (also available in Indonesian). Timor-Leste: Time for the UN to Step Back, Asia Briefing N°116, 15 December 2010. The Communist Insurgency in the Philippines: Tactics and Talks, Asia Report N°202, 14 February 2011. Myanmar’s Post-Election Landscape, Asia Briefing N°118, 7 March 2011 (also available in Chinese and Burmese). The Philippines: Back to the Table, Warily, in Mindanao, Asia Briefing N°119, 24 March 2011. Thailand: The Calm Before Another Storm?, Asia Briefing N°121, 11 April 2011 (also available in Chinese and Thai).
Page 39
Timor-Leste: Reconciliation and Return from Indonesia, Asia Briefing N°122, 18 April 2011 (also available in Indonesian). Indonesian Jihadism: Small Groups, Big Plans, Asia Report N°204, 19 April 2011 (also available in Chinese). Indonesia: Gam vs Gam in the Aceh Elections, Asia Briefing N°123, 15 June 2011. Indonesia: Debate over a New Intelligence Bill, Asia Briefing N°124, 12 July 2011. The Philippines: A New Strategy for Peace in Mindanao?, Asia Briefing N°125, 3 August 2011. Indonesia: Hope and Hard Reality in Papua, Asia Briefing N°126, 22 August 2011. Myanmar: Major Reform Underway, Asia Briefing N°127, 22 September 2011 (also available in Burmese and Chinese). Indonesia: Trouble Again in Ambon, Asia Briefing N°128, 4 October 2011. Timor-Leste’s Veterans: An Unfinished Struggle?, Asia Briefing N°129, 18 November 2011. The Philippines: Indigenous Rights and the MILF Peace Process, Asia Report N°213, 22 November 2011. Myanmar: A New Peace Initiative, Asia Report N°214, 30 November 2011 (also available in Burmese and Chinese). Waging Peace: ASEAN and the ThaiCambodian Border Conflict, Asia Report N°215, 6 December 2011 (also available in Chinese). Indonesia: From Vigilantism to Terrorism in Cirebon, Asia Briefing N°132, 26 January 2012. Indonesia: Cautious Calm in Ambon, Asia Briefing N°133, 13 February 2012. Indonesia: The Deadly Cost of Poor Policing, Asia Report N°218, 16 February 2012. Timor-Leste’s Elections: Leaving Behind a Violent Past?, Asia Briefing N°134, 21 February 2012. Indonesia: Averting Election Violence in Aceh, Asia Briefing N°135, 29 February 2012. Reform in Myanmar: One Year On, Asia Briefing N°136, 11 April 2012 (also available in Burmese). The Philippines: Local Politics in the Sulu Archipelago and the Peace Process, Asia Report N°225, 15 May 2012. How Indonesian Extremists Regroup, Asia Report N°228, 16 July 2012. Myanmar: The Politics of Economic Reform, Asia Report N°231, 27 July 2012.
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Page 40
LAMPIRAN F INTERNATIONAL CRISIS GROUP BOARD OF TRUSTEES
CHAIR
Emma Bonino
Ricardo Lagos
Thomas R Pickering
Vice President of the Italian Senate; Former Minister of International Trade and European Affairs of Italy and European Commissioner for Humanitarian Aid
Former President of Chile
Former U.S. Undersecretary of State; Ambassador to the UN, Russia, India, Israel, Jordan, El Salvador and Nigeria
Micheline Calmy-Rey
PRESIDENT & CEO Louise Arbour Former UN High Commissioner for Human Rights and Chief Prosecutor for the International Criminal Tribunals for the former Yugoslavia and Rwanda
VICE-CHAIRS Ayo Obe Legal Practitioner, Lagos, Nigeria
Ghassan Salamé
Former President of the Swiss Confederation and Foreign Affairs Minister
Wesley Clark Former NATO Supreme Allied Commander
Sheila Coronel Toni Stabile Professor of Practice in Investigative Journalism; Director, Toni Stabile Center for Investigative Journalism, Columbia University, U.S.
Mark Eyskens Former Prime Minister of Belgium
Nabil Fahmy
Dean, Paris School of International Affairs, Sciences Po
Former Ambassador of Egypt to the U.S. and Japan; Founding Dean, School of Public Affairs, American University in Cairo
EXECUTIVE COMMITTEE
Joshua Fink
Morton Abramowitz
CEO & Chief Investment Officer, Enso Capital Management LLC
Former U.S. Assistant Secretary of State and Ambassador to Turkey
Joschka Fischer
Cheryl Carolus Former South African High Commissioner to the UK and Secretary General of the ANC
Former Foreign Minister of Germany
Lykke Friis
Maria Livanos Cattaui
Former Climate & Energy Minister and Minister of Gender Equality of Denmark; Former Prorector at the University of Copenhagen
Former Secretary-General of the International Chamber of Commerce
Jean-Marie Guéhenno
Yoichi Funabashi Chairman of the Rebuild Japan Initiative; Former Editor-in-Chief, The Asahi Shimbun
Arnold Saltzman Professor of War and Peace Studies, Columbia University; Former UN UnderSecretary-General for Peacekeeping Operations
Carla Hills
Joanne Leedom-Ackerman Former International Secretary of PEN International; Novelist and journalist, U.S.
Lalit Mansingh Former Foreign Secretary of India, Ambassador to the U.S. and High Commissioner to the UK
Benjamin Mkapa Former President of Tanzania
Laurence Parisot President, French Business Confederation (MEDEF)
Karim Raslan Founder, Managing Director and Chief Executive Officer of KRA Group
Paul Reynolds President & Chief Executive Officer, Canaccord Financial Inc.
Javier Solana Former EU High Representative for the Common Foreign and Security Policy, NATO SecretaryGeneral and Foreign Minister of Spain
Liv Monica Stubholt Senior Vice President for Strategy and Communication, Kvaerner ASA; Former State Secretary for the Norwegian Ministry of Foreign Affairs
Lawrence Summers Former Director of the US National Economic Council and Secretary of the U.S. Treasury; President Emeritus of Harvard University
Wang Jisi
President & CEO, Fiore Financial Corporation
Former U.S. Secretary of Housing and U.S. Trade Representative
Dean, School of International Studies, Peking University; Member, Foreign Policy Advisory Committee of the Chinese Foreign Ministry
Lord (Mark) Malloch-Brown
Lena Hjelm-Wallén
Wu Jianmin
Former UN Deputy Secretary-General and Administrator of the United Nations Development Programme (UNDP)
Former Deputy Prime Minister and Foreign Minister of Sweden
Moisés Naím
Founder and Chair, Mo Ibrahim Foundation; Founder, Celtel International
Executive Vice Chairman, China Institute for Innovation and Development Strategy; Member, Foreign Policy Advisory Committee of the Chinese Foreign Ministry; Former Ambassador of China to the UN (Geneva) and France
Frank Giustra
Senior Associate, International Economics Program, Carnegie Endowment for International Peace; Former Editor in Chief, Foreign Policy
George Soros Chairman, Open Society Institute
Pär Stenbäck Former Foreign Minister of Finland
OTHER BOARD MEMBERS
Mo Ibrahim
Igor Ivanov Former Foreign Minister of the Russian Federation
Asma Jahangir President of the Supreme Court Bar Association of Pakistan, Former UN Special Rapporteur on the Freedom of Religion or Belief
Wadah Khanfar
Chief Columnist for Yedioth Ahronoth, Israel
Co-Founder, Al Sharq Forum; Former Director General, Al Jazeera Network
Samuel Berger
Wim Kok
Nahum Barnea
Chair, Albright Stonebridge Group LLC; Former U.S. National Security Adviser
Former Prime Minister of the Netherlands
Lionel Zinsou CEO, PAI Partners
Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua Crisis Group Asia Report N°232, 9 Agustus 2012
Page 41
PRESIDENT’S COUNCIL A distinguished group of individual and corporate donors providing essential support and expertise to Crisis Group. Mala Gaonkar
McKinsey & Company
Ian Telfer
Frank Holmes
Ford Nicholson & Lisa Wolverton
White & Case LLP
Steve Killelea
Harry Pokrandt
Neil Woodyer
George Landegger
Shearman & Sterling LLP
INTERNATIONAL ADVISORY COUNCIL Individual and corporate supporters who play a key role in Crisis Group’s efforts to prevent deadly conflict. Anglo American PLC
FTI Consulting
APCO Worldwide Inc.
Seth & Jane Ginns
Ryan Beedie
Alan Griffiths
Stanley Bergman & Edward Bergman
Rita E. Hauser
Harry Bookey & Pamela Bass-Bookey
Iara Lee & George Gund III Foundation
BP Chevron Neil & Sandra DeFeo Family Foundation Equinox Partners Fares I. Fares Neemat Frem
Sir Joseph Hotung
George Kellner
Jean Manas & Rebecca Haile
Statoil
Harriet Mouchly-Weiss
Talisman Energy
Näringslivets Inter¬nationella Råd (NIR) – International Council of Swedish Industry Griff Norquist
Amed Khan
Ana Luisa Ponti & Geoffrey R. Hoguet
Faisel Khan
Kerry Propper
Zelmira Koch Polk
Michael L. Riordan
Elliott Kulick
Shell
Liquidnet
Nina Solarz
Belinda Stronach Tilleke & Gibbins Kevin Torudag VIVA Trust Yapı Merkezi Construction and Industry Inc. Stelios S. Zavvos
SENIOR ADVISERS Former Board Members who maintain an association with Crisis Group, and whose advice and support are called on (to the extent consistent with any other office they may be holding at the time). Martti Ahtisaari
Eugene Chien
Jessica T. Mathews
Michael Sohlman
Chairman Emeritus
Joaquim Alberto Chissano
Nobuo Matsunaga
Thorvald Stoltenberg
George Mitchell
Victor Chu
Barbara McDougall
Leo Tindemans
Mong Joon Chung
Matthew McHugh
Ed van Thijn
Pat Cox
Miklós Németh
Simone Veil
Gianfranco Dell’Alba
Christine Ockrent
Shirley Williams
Jacques Delors
Timothy Ong
Grigory Yavlinski
Alain Destexhe
Olara Otunnu
Uta Zapf
Mou-Shih Ding
Lord (Christopher) Patten
Ernesto Zedillo
Uffe Ellemann-Jensen
Shimon Peres
Gernot Erler
Victor Pinchuk
Marika Fahlén
Surin Pitsuwan
Stanley Fischer
Cyril Ramaphosa
Malcolm Fraser
Fidel V. Ramos
I.K. Gujral
George Robertson
Swanee Hunt
Michel Rocard
Max Jakobson
Volker Rühe
Chairman Emeritus
Gareth Evans President Emeritus
Kenneth Adelman Adnan Abu Odeh HRH Prince Turki al-Faisal Hushang Ansary Óscar Arias Ersin Arıoğlu Richard Armitage Diego Arria Zainab Bangura Shlomo Ben-Ami Christoph Bertram Alan Blinken Lakhdar Brahimi Zbigniew Brzezinski Kim Campbell Jorge Castañeda Naresh Chandra
James V. Kimsey
Güler Sabancı
Aleksander Kwasniewski
Mohamed Sahnoun
Todung Mulya Lubis
Salim A. Salim
Allan J. MacEachen
Douglas Schoen
Graça Machel
Christian Schwarz-Schilling