JIHAD DI INDONESIA: POSO DI UJUNG TANDUK Asia Report N°127 – 24 Januari 2007
DAFTAR ISI
EXECUTIVE SUMMARY AND RECOMMENDATIONS................................................. i I. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1 II. TANAH RUNTUH DAN JI ........................................................................................... 4 A. PELATIHAN JI ........................................................................................................................4 B. HASANUDDIN DATANG KE POSO.....................................................................................6
III. PETUNJUK YANG KELIRU ....................................................................................... 8 A. BURUKNYA PENANGANAN KASUS PEMBUNUHAN ....................................................8
IV. PENANGKAPAN HASANUDDIN DAN HARIS...................................................... 10 V. HUKUMAN MATI TIBO CS DAN AKIBATNYA................................................... 12 VI. BENTROKAN 22 OKTOBER DI TANAH RUNTUH ............................................. 14 VII. DAFTAR PENCARIAN ORANG (DPO) DAN BATAS PERSUASI...................... 16 VIII. OPERASI 11 JANUARI DAN BUNTUT KEJADIAN TERSEBUT ....................... 18 IX. PERKEMBANGAN POSO DAN JI ........................................................................... 19 X. KESIMPULAN: LANGKAH KE DEPAN................................................................. 21 LAMPIRAN A. PETA INDONESIA...........................................................................................................................23 B. PETA WILAYAH POSO & MOROWALI DAN PROPINSI SULAWESI TENGAH .......................................24 C. PETA KOTA POSO .........................................................................................................................25 D. DPO (WANTED LIST) DARI POSO..................................................................................................26
Asia Report N°127
24 Januari 2007
JIHAD DI INDONESIA: POSO DI UJUNG TANDUK RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI Setelah selama delapan bulan Polisi melakukan upaya persuasif dengan meminta para tersangka kasus Poso yang belum tertangkap dan masuk daftar pencarian orang (DPO) untuk menyerahkan diri, Polisi melakukan dua operasi penggerebekan besar-besaran bulan Januari di Poso, Sulawesi Tengah, untuk menangkap sekelompok orang. Mereka ini sebagian besar merupakan anggota lokal organisasi teroris Jemaah Islamiyah (JI), yang masuk dalam DPO atas keterlibatannya dalam berbagai kasus pengeboman, pemenggalan dan penembakan. Upaya damai sudah jelas gagal, tetapi besarnya jumlah korban tewas dalam operasi penggerebekan yang kedua telah menjadikan para buronan dilihat sebagai pelaku yang menjadi korban. Sebuah jihad yang tadinya sebagian besar sasarannya adalah warga Kristen setempat, sekarang bisa diarahkan terhadap polisi, karena dianggap sebagai thoghut (anti Islam) dan memberikan dorongan untuk gerakan jihadi yang tadinya telah diperlemah. Tugas yang sangat mendesak saat ini yaitu bagi pemerintah untuk menjelaskan secara detil mengenai para tersangka, siapa mereka, dan mengapa kekuatan harus digunakan untuk menangkap mereka. Pemerintah juga sebaiknya mengkaji bagaimana operasi polisi dilakukan untuk melihat apakah langkahlangkah lebih jauh sebenarnya dapat diperbuat untuk mencegah jatuhnya korban. Para pejabat yang berwenang pun perlu untuk mulai menanggapi berbagai keluhan dari rakyat setempat yang terkait dengan masa lalu.
20 orang yang telah masuk DPO sejak bulan Mei 2006. Pada tanggal 11 Januari, polisi menggerebek rumahrumah yang diyakini menjadi tempat persembunyian mereka, menewaskan dua orang, menangkap enam lainnya, dan menyita sejumlah besar persenjataan. Sudah ada tanda-tanda bahwa para tersangka dan pendukung mereka sedang berupaya untuk melukiskan operasi polisi sebagai sebuah serangan terhadap kaum Muslim, agar memperoleh dukungan dari para mujahidin di luar kelompok mereka. Setiap kematian yang diakibatkan oleh operasi polisi akan memperkuat posisi mereka. Dan sekarang, mereka memiliki sedikitnya 16 orang yang tewas akibat dari dua operasi polisi tersebut yang menurut mereka telah mati syahid, atau 17 orang, jika termasuk seorang pemuda yang tewas dalam sebuah bentrokan dengan polisi pada bulan Oktober 2006. Tidak mustahil bahwa para jihadis akan mencoba untuk membawa perang anti-thoghut keluar Poso, dengan sasaran polisi di kota-kota lain. Bahaya yang lain yaitu bahwa fraksi JI yang tadinya menentang aksi pengeboman terhadap orang-orang Barat dan melihat Noordin Mohammed Top – yaitu buronan teroris yang paling dicari di Asia Tenggara, dan orang yang diyakini berada di belakang sejumlah aksi pengeboman yang paling mematikan – sebagai orang yang menyimpang, akan melihat aksi jihad ini sebagai sesuatu yang sah.
Dini hari tanggal 22 Januari 2007, sejumlah petugas Polri bergerak memasuki sebuah jalanan yang sepi di kota Poso. Disitu mereka menemukan bahwa ternyata mereka bukan saja sedang menghadapi orang-orang yang sedang mereka cari, namun sebuah perlawanan yang jauh lebih besar dan bersenjata berat, termasuk para mujahidin dari berbagai wilayah di Poso dan beberapa dari Jawa. Ketika operasi penggerebekan tersebut selesai, seorang anggota polisi dan 14 yang lain tewas, dan beberapa orang dari kedua belah pihak luka-luka. Selain itu lebih dari 20 orang ditangkap ketika mencoba kabur.
Akhirnya ada kemungkinan bahwa beberapa dari para DPO mungkin akan mencoba untuk lari ke Jawa untuk bergabung dengan Noordin. Para mujahidin Poso berpengalaman dalam aksi pembunuhan terhadap sasaran tertentu, yang mana hal ini merupakan sebuah taktik yang belum pernah digunakan diluar daerah konflik. Meskipun kemungkinan sebuah hubungan operasional antara kedua kelompok ini tipis, namun sebuah tambahan, yang walaupun hanya satu orang penembak jitu yang berpengalaman, kedalam kelompok Noordin bisa sangat berbahaya.
Kejadian ini adalah percobaan kedua dalam dua minggu oleh polisi untuk menangkap secara paksa lebih dari
Bahkan apabila bahaya-bahaya tersebut dapat dihindari, dan para tersangka yang lain akhirnya dapat ditangkap,
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
bisa saja kekerasan di Poso tidak berakhir. Ada terlalu banyak masalah-masalah yang belum selesai dari konflik komunal di sana, yang mencapai puncaknya tahun 2000-2001. Sejumlah mujahidin berbicara mengenai kebutuhan untuk mempunyai anak secepatnya, agar sebuah generasi mujahidin yang baru dapat terbentuk. Bahkan pada saat pemerintah terus melanjutkan operasi keamanannya, sebuah pendekatan yang lebih komprehensif terhadap konflik ini sangat dibutuhkan. Laporan ini mengkaji bagaimana sebuah lingkungan tempat tinggal di Poso menjadi basis kekuatan JI, dan bagaimana sebuah kelompok kecil yang terdiri dari beberapa orang berhasil menteror kota ini selama tiga tahun lamanya, hingga akhirnya identitas mereka dapat diketahui. Laporan ini mengamati hubungan antara struktur JI di Poso dan Jawa serta rasa ketidakpuasan dan keresahan warga lokal yang mendorong kekerasan yang sedang berlangsung ini, dan menganalisa langkah ke depan.
REKOMENDASI-REKOMENDASI: Kepada Pemerintah Indonesia: 1. Membentuk sebuah komisi penyelidikan yang independen, yang terdiri dari para tokoh masyarakat di Poso, atas operasi polisi tanggal 11 dan 22 Januari, dan menugaskannya untuk: (a) Memutuskan apakah operasi yang dibenarkan ini dilaksanakan dengan semestinya, terutama mengenai apakah korban tewas mungkin dapat dihindari, dengan dimengerti bahwa para tersangka bersenjata berat; dan (b) Bekerja dengan cepat dan mensosialisasikan laporan akhirnya secara luas. 2. Bekerja sama dengan para pemimpin Islam, menggunakan semua media tetapi terutama situssitus Muslim dan forum diskusi di situs-situs tersebut, untuk menjelaskan kepada masyarakat Indonesia mengapa para tersangka di Poso menjadi target polisi, apa kejahatan mereka, dan mengapa polisi harus menggunakan kekerasan. Sehingga hal ini tidak diserahkan kepada polisi sendiri untuk menjelaskan tindakan mereka. 3. Membentuk sebuah tim pencari fakta yang independen, yang meliputi semua stakeholders terhadap perdamaian di Poso, dan memiliki kekuasaan penuh untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan kepada pejabat sipil maupun militer, untuk menelaah rasa ketidakpuasan yang tersisa dari konflik tahun 2000-2001, serta memberi saran mengenai cara untuk memperbaiki keadaan tersebut, dengan perhatian utama kepada peristiwa pembantaian di
Page ii
Pesantren Walisongo dan desa-desa sekitarnya pada akhir Mei dan awal Juni tahun 2000, dan juga peristiwa pembunuhan di Buyung Katedo tahun 2001.
4. Membentuk sebuah badan yang berada langsung dibawah Presiden, dengan sebuah tugas untuk mendokumentasikan kebutuhan mereka yang masih mengungsi, dan menyusun sebuah program lapangan kerja yang dapat menampung para mujahidin lokal. 5. Mempublikasikan dan mengadopsi secara penuh seluruh rekomendasi-rekomendasi yang disusun oleh Tim Pencari Fakta yang dibentuk setelah terjadi bentrokan antara polisi dan pendukung mujahidin di Poso tanggal 22 Oktober 2006. 6. Bekerjasama dengan para tokoh masyarakat setempat dan para donor untuk mengembangkan sebuah pasukan kepolisian yang benar-benar berbasis masyarakat di Poso, sehingga tidak perlu mengandalkan pada pasukan bantuan dari luar Poso, dan memastikan bahwa tuduhan-tuduhan mengenai pelanggaran oleh pasukan keamanan segera diusut secara transparan. Jakarta/Brussels, 24 Januari 2007
Asia Report N°127
24 Januari 2007
JIHAD DI INDONESIA: POSO DI UJUNG TANDUK I.
PENDAHULUAN
Poso, kota di propinsi Sulawesi Tengah yang telah diporak-porandakan oleh konflik komunal dan seranganserangan oleh para jihadis, mungkin telah menjadi pusat kegiatan jihad baru melawan polisi. Pada tanggal 22 Januari 2007, Polisi yang sedang berusaha untuk menangkap sekelompok tersangka yang terkait dengan serangkaian pengeboman dan pembunuhan tibatiba dihadapi dengan perlawanan bersenjata berat, yang tak hanya terdiri dari sejumlah DPO (Daftar Pencarian Orang) Poso – yang sebagian besar adalah anggota Jemaah Islamiyah (JI) setempat – tetapi juga banyak mujahidin yang datang dari luar untuk membantu mereka, termasuk beberapa dari Jawa. Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, seorang anggota polisi dan empat belas orang lainnya tewas. Selain dari itu, lebih dari duapuluh orang ditahan polisi. Sasaran operasi polisi tanggal 22 Januari adalah buronan dari kawasan Tanah Runtuh di Poso yang masuk dalam DPO sejak bulan Mei 2006. Mereka diyakini yang bertanggung jawab atas hampir seluruh kejahatan high profile di Sulawesi Tengah selama tiga tahun belakangan ini, antara lain tak hanya sejumlah besar penyerangan terhadap warga Kristen setempat, namun juga terhadap Polisi dan beberapa orang yang dicurigai sebagai informan. Setelah selama delapan bulan tidak berhasil membujuk mereka untuk menyerah melalui para pemimpin Muslim setempat, pada tanggal 11 Januari Polisi melakukan penggerebekan terhadap sejumlah rumah yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian beberapa dari mereka. Polisi menewaskan seorang DPO dan seorang lagi yang ternyata adalah anggota JI dari Solo yang selama ini mengajar di Poso sejak tahun 2004. Enam orang lagi ditangkap, tetapi para DPO utama berhasil kabur. Kemarahan masyarakat memuncak, dan siang itu massa memukuli seorang polisi yang lewat hingga tewas. Operasi tanggal 11 Januari tersebut tampaknya telah memicu gelombang kedatangan mujahidin ke Tanah Runtuh untuk membantu membela rekan-rekan tempur mereka. Beberapa dari Mujahidin Kayamanya, yang juga dikenal sebagai Mujahidin KOMPAK, yang beberapa dari anggotanya pernah keliru dituduh terlibat dalam kejahatan JI beberapa tahun belakangan
ini. Salah seorang yang tewas dalam operasi polisi tanggal 22 Januari tersebut contohnya yaitu Muhamad Safri Dekuna alias Andreas. Ia dengan sukarela menyerahkan diri kepada polisi pada bulan Juni 2005 meski mengetahui bahwa ia dituduh telah melakukan kejahatan yang tidak ia lakukan, namun malah mengalami pemukulan dan penyiksaan berat sehingga harus dirawat di rumah sakit. Kehadiran mujahidin dari luar Poso, termasuk dari Jawa, sangat mempersulit tugas pemerintah Indonesia. Persoalan setempat sudah cukup rumit. Penegakan hukum yang efektif, termasuk penahanan penjahat diperlukan tapi belum cukup untuk dapat mengakhiri kekerasan di Poso. Menanggapi keluhan masyarakat setempat, termasuk melalui pembentukan tim pencari fakta yang dapat menjajaki beberapa persoalan yang bersifat memecah belah di masa lalu, dan menyediakan kesempatan ekonomi bagi mereka yang terlibat dalam konflik harus menjadi bagian dari upaya untuk mengakhiri kekerasan di Poso. Namun jika persoalannya sudah berubah menjadi sebuah jihad yang lebih luas melawan thoghut, pemerintah harus bergerak cepat dan berusaha sebisa-bisanya untuk memastikan bahwa para militan tidak mendapat dukungan lebih banyak. Kedua operasi polisi tersebut akan dipandang sebagai tindakan yang tidak adil dan diskriminatif terhadap Muslim yang terkepung, yang semata-mata membela diri terhadap penangkapan yang sewenang-wenang, daripada dilihat sebagai sebuah operasi yang sah untuk menangkap sekelompok kriminal yang telah meneror Sulawesi Tengah selama bertahun-tahun. Meskipun begitu, cara pelaksanaan operasi polisi tersebut juga harus diperiksa sepenuh dan se-transparan mungkin, terutama karena jumlah korban yang tewas masih sangat tinggi. Sebelum operasi tanggal 11 Januari, polisi tampaknya telah memperoleh kemajuan di salah satu daerah yang paling sensitif di Indonesia. Setelah bertahun-tahun salah membaca situasi dengan menganggap kekerasan jihad sebagai kejahatan biasa dan gagal memahami seberapa luas atau berbahaya jaringan militan, akhirnya mereka berhasil mengidentifikasi para pelaku seluruh aksi kejahatan utama yang terjadi tiga tahun belakangan ini. Dibantu oleh pendanaan yang sangat besar, mereka
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
mulai memperoleh kerjasama yang diberikan dengan segan oleh para pemimpin militan. Mereka melakukan upaya-upaya yang luar biasa untuk membujuk para tersangka untuk menyerah, dan beberapa berhasil dibujuk. Mereka memperingatkan berulang kali bahwa kesabaran mereka ada batasnya, dan mereka akan menggunakan kekuatan jika upaya persuasif tidak berhasil. Namun, dalam semalam para DPO dilihat sebagai korban kebrutalan polisi dilihat dari cara operasi tersebut dilakukan. Kemarahan terhadap polisi dan persepsi bahwa mujahidin sebagai korban semakin kuat setelah terjadinya operasi tanggal 22 Januari. Bahkan mereka yang menyadari perlunya untuk menangkap para tersangka JI menjadi sangat marah ketika melihat bagaimana operasi tersebut ditangani, dan yakin bahwa tidak perlu ada jumlah korban tewas yang begitu tinggi. Jika laporan tewasnya seorang tersangka di dalam tahanan polisi terbukti benar, maka sekeping dukungan yang terakhir terhadap polisi dalam masyarakat Muslim akan menghilang. Meskipun jika situasi keamanan di Poso semakin buruk, penting untuk mencoba dan mempertahankan agar militer tidak ikut campur. Tingginya permusuhan yang kontraproduktif antara TNI dan Polri telah menjadi sebuah ciri dalam konflik di Poso sejak awal, dan pertikaian diantara keduanya kembali pecah sehari setelah operasi tanggal 11 Januari. Ada laporan-laporan bahwa tentara di daerah itu mencoba memprovokasi warga setempat untuk menyerang polisi, yang mana Poso tidak menginginkan hal ini terjadi. Mengapa peristiwa-peristiwa yang terjadi di sebuah kota sepi di Sulawesi Tengah memiliki implikasi yang begitu mengerikan? Sebuah petunjuk terletak pada identitas dua orang yang tewas oleh polisi. Ustadz Mahmud tertembak dalam operasi tanggal 22 Januari. Seorang veteran Afghanistan yang juga menggunakan nama lain yaitu Ubay, ia adalah menantu dari Adung, yang pernah menjadi ajudan utama pendiri JI, Abdullah Sungkar. Sebelum ditangkap tahun 2004, Adung mengetuai Mantiqi I JI, dengan wilayahnya meliputi Malaysia dan Singapur. Saat ini ia sedang menjalani masa tahanannya selama tujuh tahun di Jakarta. Ustadz Riansyah alias Rian tewas dalam operasi tanggal 11 Januari. Ia adalah seorang anggota JI dari wakalah di Solo, Jawa Tengah. Dengan memakai nama Abdul Hakim, ia pergi ke Afghanistan pada tahun 1987, dan bergabung dengan kelompok yang sama dengan beberapa pemimpin tertinggi Jemaah Islamiyah, termasuk Ali Ghufron alias Mukhlas, salah seorang pelaku bom Bali. Dengan nama Eko, ia menjadi target pengejaran polisi pada bulan September 2003, setelah bahanbahan peledak dan amunisi yang ia bantu sembunyikan
Page 2
disita oleh polisi dalam sebuah penggerebekan di Karanganyar, Jawa Tengah. Ia kemudian menghilang. Pada akhir tahun 2004, menurut sumber-sumber di Poso, ia muncul di Tanah Runtuh bersama dengan istri dan ketujuh anaknya dan memberikan kuliah di daerah tersebut, sambil menghidupi diri dan keluarganya dengan berjualan pakaian Muslim. Hubungan antara JI dan masyarakat Tanah Runtuh sudah lama terjalin, dan orang-orang yang dicoba ditangkap oleh polisi dalam operasi tanggal 11 Januari termasuk beberapa orang dari angkatan pertama di Poso yang pernah dilatih oleh JI ketika pertempuran antara Muslim dan Kristen mencapai puncaknya. Meskipun polisi sudah lama mengetahui identitas para pemimpin JI setempat, diperlukan serangkaian penangkapan setelah bom Bali yang kedua untuk memecahkan teka-teki dan menyadari bahwa orangorang ini ternyata juga bertanggung jawab atas sejumlah besar kejahatan yang belum bisa dipecahkan atau yang telah dihubungkan kepada orang lain, termasuk:
Pembunuhan bendahara Gereja Protestan Sulawesi Tengah dan supirnya pada tanggal 16 November 2003;
Pembunuhan jaksa Palu Fery Silalahi oleh penembak bersepeda motor pada bulan Mei 2004;
Pembunuhan seorang istri perwira TNI-AD yang beragama Kristen pada bulan Juli 2004;
Pembunuhan pastor Protestan Susianti Tinulele pada bulan Juli 2004;
Pemenggalan terhadap kepala desa Carminalis Ndele pada bulan November 2004;
Pengeboman di pasar sentral Poso, yang menewaskan enam orang, pada bulan November 2004;
Pengeboman di Gereja Imanuel di Palu, Desember 2004;
Perampokan bersenjata terhadap uang gaji pemda Poso sekitar Rp 500 juta pada bulan April 2005;
Pengeboman di pasar sentral Tentena, yang menewaskan 22 orang, pada bulan Mei 2005;
Pembunuhan terhadap Budianto dan Sugito, yang diduga sebagai informan polisi, pada bulan Agustus 2005;
Pembunuhan terhadap Agus Sulaeman, seorang anggota polisi, pada bulan Oktober 2005;
Pemenggalan kepala tiga siswi SMU beragama Kristen pada bulan Oktober 2005;
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
Pengeboman sebuah pasar babi di Palu, yang menewaskan tujuh orang, pada bulan Desember 2005; dan
Percobaan pembunuhan terhadap Kapolres Poso oleh penembak bersepeda motor pada bulan Januari 2006.1
Bahkan setelah polisi menangkap tiga orang pelaku utama dalam tindak kejahatan diatas pada bulan Mei 2006, kekerasan terus berlanjut, dengan terjadinya sejumlah aksi pengeboman, perampokan, dan pembunuhan terhadap Sekretaris Umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah Pendeta Kongkoli pada tanggal 16 Oktober 2006. Jelas bahwa ada lebih banyak orang yang terlibat. Kekerasan jihad di Poso yang terjadi tiga tahun belakangan ini didorong oleh faktor-faktor lokal, yaitu: rasa tidak puas yang berasal dari keluhan yang tidak ditanggapi yang tersisa dari konflik tahun 19982001, sebuah keinginan untuk membalas dendam atas serangan terhadap warga Muslim oleh warga Kristen tahun 2000-2001, perasaan bahwa masyarakat Kristen tetap menjadi sebuah ancaman, dan bagi sejumlah kecil yang lain, karena tidak ada pekerjaan yang lebih menarik. Tetapi karena pemerintah Indonesia akhirnya – dan banyak yang akan bilang, dengan terlambat – memutuskan untuk menangkap para pelaku, polisi kemudian telah menjadi Musuh No. 1 bagi kelompok Tanah Runtuh. Hal ini dapat membawa akibat serius dalam tiga hal. Yang pertama, karena perlawanan terhadap polisi di Poso semakin lama digambarkan sebagai sebuah perang antara Muslim melawan sebuah pemerintahan thoghut, maka gerakan jihad di Indonesia yang telah diperlemah dapat diperkuat kembali. Sejumlah mujahidin dari Jawa dan tempat-tempat lain mulai berdatangan ke Poso setelah sebuah bentrokan dengan polisi yang terjadi sebelumnya pada bulan Oktober 2006, dan sejak saat itu lebih banyak lagi telah datang. Banyak dari mereka yang menganggap pengeboman di Indonesia terhadap sasaran Barat sebagai hal yang tidak sah, tidak akan keberatan melawan thoghut. Yang kedua, mujahidin dapat membawa perang terhadap polisi keluar dari Poso, ke kota-kota lain di
1
Mereka juga bertanggung jawab atas beberapa kejahatan lain yang telah dipecahkan oleh polisi sebelumnya, termasuk pembunuhan terhadap seorang wartawan Bali pada tahun 2001 dan perampokan bersenjata terhadap sebuah truk perusahaan rokok dan penembakan terhadap supirnya pada tahun 2004. Andi Ipong dan Yusuf Asapa dihukum sembilan tahun penjara bulan Juli 2006 untuk kasus pembunuhan tersebut.
Page 3
Indonesia. Yang terakhir, beberapa dari para DPO Tanah Runtuh bisa mencoba untuk lari ke Jawa, dimana tempat berlindung dan bantuan akan tersedia lewat jaringan JI, atau bahkan lebih jauh lagi. Banyak yang masih melihat Mindanao sebagai pilihan untuk tempat berlindung walaupun tanpa informasi jelas tentang kondisi disana. Jika tiba di Jawa, tidak mustahil bahwa beberapa mungkin akan bergabung dengan buronan lainnya seperti Noordin Mohamed Top. Sejauh ini, para jihadis telah membatasi pembunuhan dengan sasaran tertentu saja (targeted assassinate) dan penembakan dengan bersepeda motor dilakukan di daerah-daerah konflik saja; tapi jika walaupun hanya satu orang penembak jitu yang berpengalaman dari Poso bekerjasama dengan Noordin, maka akibatnya akan fatal.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
II.
TANAH RUNTUH DAN JI
Kawasan Tanah Runtuh, yang terletak di bagian barat daya kota Poso, adalah sebuah kompleks kecil yang terdiri dari sekitar sebelas rumah, sebuah masjid, dan sejak tahun 2001, sebuah pesantren bernama Ulil Albab khusus untuk santri perempuan. Dibatasi oleh perbukitan di dua sisi, dan oleh Sungai Poso di sebelah selatan, Tanah Runtuh pernah menjadi lokasi tanah longsor pada tahun 1998, oleh karena itu ia dinamakan demikian. Kompleks perumahan ini adalah daerah tempat tinggal Haji Adnan Arsal, seorang tokoh agama dan pegawai kantor Departemen Agama. Sejak konflik pecah, rumahnya menjadi tempat bantuan logistik bagi pihak Muslim, dimana makanan dan obat-obatan dikumpulkan, serta bantuan dan kadang tempat berlindung diberikan bagi para Muslim yang mengungsi akibat konflik. Ia mendirikan pesantren Ulil Albab untuk santri perempuan, dan al-Amanah untuk santri laki-laki, yang berlokasi sekitar sembilan kilometer dari kawasan Tanah Runtuh di Landangan, sebagai jalan untuk menampung para siswa yang sebelumnya bersekolah di sebuah pesantren yang menjadi lokasi sebuah pembunuhan massal terhadap Muslim pada tahun 2000, yaitu Pesantren Walisongo.2 Haji Adnan juga membantu merekrut dan mengorganisir para mujahidin lokal. Ia lah yang dicari oleh pemimpin JI untuk menawarkan bantuan mereka setelah terjadinya pembantaian di pesantren Walisongo dan buntut dari kejadian ini. Tawaran tersebut diterima, dan pada bulan Juni 2000, JI mulai mengirimkan beberapa dari pelatih mereka yang paling berpengalaman ke Poso secara bergiliran memberikan pelatihan. Salah seorang yang datang untuk tugas selama enam bulan pada bulan Agustus tersebut adalah Ustadz Rian, yang tewas dalam operasi polisi tanggal 11 Januari.3
2
Untuk diskusi mengenai fase sebelumnya dari konflik Poso, lihat Crisis Group Asia Report N°103, Weakening Indonesia’s Mujahidin Networks: Lessons from Maluku and Poso (Melemahkan Jaringan Kelompok Mujahidin di Indonesia: Pelajaran dari Maluku dan Poso), 13 Oktober 2005 dan Asia Report N°74, Indonesian Backgrounder: Jihad in Central Sulawesi (Latar Belakang Indonesia: Jihad di Sulawesi Tengah), 3 Februari 2004. 3 Wawancara Crisis Group, 13 Januari 2006. Rian alias Eko alias Abdul Hakim merupakan anggota kelompok pengajar/ pelatih yang sama dengan ketua Wakalah Solo, Ichsan Miarso, direktur penerbit al-Alaq. Setelah enambulan, ia kembali ke Solo.
Page 4
A.
PELATIHAN JI
Sebelum kedatangan JI, para pejuang Muslim di Poso sebagian besar menggunakan senjata tradisional seperti tombak, batu, pisau dan bom ikan. Para pelatih JI, yang merupakan alumni Afghanistan, mengajar mereka bagaimana menggunakan senjata api dan berbagai ketrampilan militer lain di sebuah kamp di luar Ampana, yang sekarang menjadi daerah kabupaten Toja UnaUna.4 Sekitar 35 orang ikut dalam pelatihan (tadrib) angkatan yang pertama, termasuk khususnya Lilik Purnomo alias Haris, yang melalui penangkapan dan interogasi terhadap dirinya pada bulan Mei 2006 polisi dapat mengidentifikasi mereka yang bertanggungjawab atas hampir seluruh kejahatan besar di Poso.5 Dua orang lulusan yang paling menonjol dari angkatan pertama ini yaitu Brur alias Iin dan Suroso, yang kemudian menjadi pelatih (mudarib). Murid terpandai mereka termasuk Basri, yang berhasil meloloskan diri dari sergapan polisi di rumah orangtuanya dalam operasi tanggal 11 Januari, dan mungkin yang paling berbahaya dari angkatan ini.6 Dua orang adiknya, Udin dan Toto, tewas setelah operasi tanggal 22 Januari. Menurut laporan, Udin bukan tewas ditembak, tetapi akibat pukulan yang dia dapat dalam tahanan polisi.
4
Kamp ini adalah kamp yang disebut oleh mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Nasional) Hendropriyono pada bulan Desember 2001, ketika ia mengatakan pejabat berwenang Spanyol telah memberitahunya bahwa sejumlah tersangka al-Qaeda dari Spanyol telah mengunjungi sebuah kamp pelatihan di desa Kapompa, kecamatan Tojo. Kecamatan Tojo kemudian menjadi kabupaten Toja Una-Una. Lihat Laporan Crisis Group, Jihad in Central Sulawesi (Jihad di Sulawesi Tengah), op. cit., hal. 12. 5 Peserta angkatan pertama yang lain yaitu Nizam Khaleb, yang menjadi seorang tokoh penting dalam wakalah JI Palu (Wakalah Uhud) dan saat ini sedang menjalani hukuman penjara enam tahun di Palu karena telah membantu menyembunyikan para pelaku bom Bali; Yusuf Asapa, divonis bersalah tahun 2006 atas pembunuhan seorang wartawan Bali pada tahun 2001; dan Nanto alias Bojel, masih buron dan dicari polisi, dicurigai terlibat dalam pemenggalan siswi SMU di Poso. 6 Brur alias Iin, 28, adalah seorang tersangka dalam pembunuhan jaksa Palu tahun 2004. Suroso meninggalkan wilayah Poso beberapa tahun yang lalu. Basri dikenal sebagai seorang penembak jitu, dan dicurigai terlibat dalam beberapa kejahatan utama Tanah Runtuh. Yang ikut dalam kelompok Basri termasuk Andi Ipong, dihukum penjara atas kasus yang sama dengan Yusuf Asapa; Rahmat alias Jindra, ditangkap bulan Mei 2006 karena dicurigai terlibat dalam pembunuhan seorang istri perwira TNI-AD, tetapi kemudian dibebaskan; dan Iwan Asapa alias Ale, saudara laki-laki Yusuf yang dicari terkait dengan pembunuhan jaksa Palu. Saudara laki-laki Asapa yang ketiga, Idrus, tewas dalam operasi 22 Januari.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
Setelah perjanjian Malino Desember 2001 yang menegakkan sebuah perdamaian yang rapuh antara warga Kristen dan Muslim di Poso, JI memilih sepuluh dari para peserta angkatan awal ini, untuk membentuk sebuah unit operasi khusus. Dinamai “Tim Sepuluh”, tim ini terdiri dari murid-murid terbaik dari angkatan awal ini. Setelah konflik mulai berkurang, unit ini bubar tetapi para anggotanya terus menjadi beberapa eksekutor Tanah Runtuh yang paling penting. Selain latihan militer, JI juga memberikan pelajaran agama yang berfokus pada jihad lewat sebuah program bernama Proyek Uhud. Proyek ini dirancang untuk membangun sebuah basis massa dan mengembangkan sebuah struktur wilayah JI di daerah Poso-Palu lewat dakwah agama.7 Proyek ini dijalankan oleh Mustafa alias Abu Tholut, sebagai ketua Mantiqi III, divisi administratif JI yang meliputi Sulawesi, Sabah, dan Filipina Selatan. Kegiatannya meliputi pengiriman para pendakwah (da’i) JI ke Poso, dimana enam orang diantaranya tiba disana pada akhir tahun 2000 dan dikirim ke Tanah Runtuh, dimana Adnan Arsal sedang mendirikan salah satu pesantrennya. Mereka termasuk:
7
Sahal Amri alias Narto alias Sunarto alias Athoillah, seorang lulusan Pesantren al-Muttaqien, yang terkenal sebagai sekolah JI, di Jepara. Pada tahun 2000 ia menjadi anggota tim dakwah agama yang dibentuk oleh wakalah JI Jawa Tengah di Semarang, dan kemudian di tahun yang sama ia dikirim ke Poso untuk mengawasi pembangunan pesantrenpesantren baru.8 Ia menjadi mu’alim (instruktur agama) di Tanah Runtuh dan Kayamanya, basis militan yang lain di Poso, sampai ia ditangkap Februari 2006. Setelah ditahan selama seminggu di Jakarta, ia dibebaskan dari tuduhan dan kembali ke Poso. Tetapi karena para anggota Tanah Runtuh mencurigai ia telah membeberkan informasi penting kepada polisi, ia dipaksa pergi dan mungkin telah kembali ke Jawa. Achmad, yang ditunjuk oleh Adnan Arsal untuk menjalankan Pesantren al-Amanah. Ia menjadi Wakil Ketua Forum Silaturrahmi dan Perjuangan Umat Islam (FSPUI) dan juga ketua sebuah satuan tugas penerapan syariat Islam, Satgas Chairul Ummah.9
Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah (Jakarta, 2005), hal. 91. 8 Kesaksian Subur Sugiyarto dalam kasus Sunarto alias Ustadz Sahl alias Ustadz Athoillah, tanggalnya tidak ada dalam salinan yang diperoleh Crisis Group tetapi bulannya Februari 2006. 9 Satgas Chairul Ummah adalah sebuah satuan tugas yang dirancang untuk mengawasi penerapan hukum Islam dan memerangi kemaksiatan. Ia didirikan setelah perjanjian
Page 5
Yasin alias Utomo, seperti Sahal ia juga memimpin pelajaran agama di kawasan Tanah Runtuh dan Kayamanya, dan hidup dengan berjualan pakaian. Menurut laporan ia pernah belajar di Pesantren alMuttaqien, sekolah yang tersebut diatas. Setelah terluka ketika membela para tersangka pada tanggal 22 Januari, ia menyerahkan diri ke polisi.
Hibban alias Iban, yang menjadi salah seorang pengajar di Pesantren al-Amanah dan Ulil Albab. Ia tewas dalam operasi 22 Januari.
Anshori, yang ditugaskan untuk mengorganisir perlawanan Muslim di kecamatan Pendolo dan Pandajaya di Pamona Selatan yang membatasi Sulawesi Selatan. Ia tinggal disana hingga Februari 2006, ketika, setelah penangkapan Sahl, ia merasa tidak aman dan pindah ke Tanah Runtuh.
Sahid, diyakini lulusan pesantren milik Abu Bakar Ba’asyir di Ngruki, Solo. Aslinya berasal dari Aceh, ia tinggal lama di Jawa dan memberikan pelajaran agama di Tanah Runtuh.
Para pendakwah JI terus berdatangan selama beberapa tahun kemudian, termasuk beberapa yang memiliki pengalaman latihan militer atau perang di Filipina selatan.10 Sebagian besar telah menikah, dan membawa keluarga mereka, dan pada umumnya menghidupi diri Malino untuk menandingi sebuah badan yang serupa yang dibentuk oleh Laskar Jihad bernama Satuan Tugas Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Beberapa anggota Chairul Ummah secara diam-diam direkrut ke dalam JI dan kemudian terlibat dalam sebuah perampokan bersenjata terhadap sebuah truk perusahaan rokok tahun 2004. 10 Mereka termasuk Lukman; Munsip (Munshif), yang tiba tak lama setelah Sahl; dan Kholiq, yang datang pada tahun 2003. Kholiq, seorang veteran Moro, membantu membuang senjata yang digunakan dalam kasus pemenggalan siswi SMU Poso. Rifki, seorang pedagang baju-baju Muslim dan minyak wangi dan kadang mengajar di al-Amanah, tiba pada pertengahan 2003; istinya mengjar di Ulil Albab; Rian alias Eko alias Abdul Hakim tiba pada akhir 2004. Salah seorang figur menonjol yang datang belakangan yaitu Sanusi alias Ishak, dari Tegal, Jawa Tengah, seorang lulusan program pelatihan JI di Mindanao bekerja sama dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Ia tiba tak lama sebelum Ramadan 2005 (sekitar awal Oktober). Belum berkeluarga, ia tidur di perpustakaan Pesantren Ulil Albab dan bertindak sebagai penjaga pesantren. Hasanuddin tetap mengatakan bahwa Sanusi lah yang menyarankan untuk memberi sebuah “kejutan” akhir bulan Ramadhan kepada musuh, sebuah ide yang akhirnya menyebabkan terjadinya pemenggalan terhadap siswi SMU Poso beberapa minggu kemudian. Ia telah datang ke Poso awal tahun 2004, kemudian kembali ke Jawa. Kesaksian Hasanuddin alias Hasan alias Slamet dalam berkas perkara Hasanuddin alias Slamet Raharjo, 12 Mei 2006.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
dan keluarga mereka dengan berjualan pakaian Muslim untuk perempuan (pakaian gamis), termasuk jilbab dan cadar, dan pakaian koko untuk laki-laki, termasuk celana panjang diatas mata kaki. Beberapa orang juga menjual minyak wangi atau berjualan kecil-kecilan yang lain. Proyek Uhud membuka jalan terbentuknya subdivisi JI yang beroperasi sepenuhnya yang pertama di Sulawesi Tengah, yaitu Wakalah Uhud di Palu. (Sebelum itu, Palu menjadi bagian dari sebuah wakalah yang juga meliputi Sulawesi Utara). Hingga awal 2002, wakalah ini memiliki 45 anggota. Pada bulan Oktober 2002, seminggu setelah bom Bali, sebuah rapat pimpinan JI memutuskan untuk membentuk sebuah wakalah baru di Poso. JI memiliki banyak anggota disana, tetapi tak ada orang yang memberi arahan bagi kegiatan-kegiatan mereka. Selain itu, para pemimpin JI yakin bahwa Poso memiliki potensi untuk menggantikan Singapur dan Malaysia sebagai wilayah yang menghasilkan pendapatan (income-generating) bagi organisasi, lewat kekayaan agrikulturnya dan booming biji coklat.11 Nasir Abas, yang saat itu menjadi ketua Mantiqi III, memilih salah satu dari muridnya yang terbaik dari Mindanao yaitu Slamet Raharjo alias Hasanuddin, untuk memimpin wakalah baru ini yang kemudian dikenal sebagai Wakalah Khaibar.
B.
HASANUDDIN DATANG KE POSO
Hasanuddin, yang berasal dari Wonogiri, Jawa Tengah, pada waktu itu berumur 25 tahun. Ia bergabung dengan wakalah Solo sekitar akhir tahun 1990an dan pada tahun 1998 dikirim untuk mengikuti latihan militer di Kamp Hudaibiyah, akademi militer JI yang berlokasi di Kamp Abubakar, milik kelompok Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Setelah lulus bulan Februari 2000, ia diperintahkan oleh Nasir Abas dan Mustafa alias Abu Tholut, para instrukturnya, untuk membantu MILF, dengan kelompok ini ia berjihad bersama selama dua tahun. Ia kembali ke Indonesia bulan September 2002 dan beberapa minggu kemudian berada di Tanah Runtuh sebagai ketua JI Poso yang baru. Karena ia harus segera melebarkan pengaruhnya, JI mengatur perkawinannya dengan anak perempuan Adnan Arsal, Aminah, pada bulan Maret 2003. Ia menjadi sekretaris panti asuhan di pesantren Ulil Albab, dan berjualan krupuk udang sebagai mata pencahariannya.12
11
Wawancara Crisis Group, Jakarta, 5 Juni 2006. Pada saat itu, pemerintah Malaysia dan Singapur telah menghancurkan organisasi JI di negara mereka. 12 Wawancara Crisis Group, Jakarta, 5 Juni 2006.
Page 6
Para mujahidin setempat sedang kacau balau pada saat itu. Hampir seluruh laki-laki yang sehat dan mampu, dari remaja hingga orang tua, telah menyatakan diri untuk berjuang selama konflik, dan banyak yang telah direkrut kedalam kelompok milisi yang terorganisir; namun tidak ada perbedaan dalam hal ketrampilan militer. Setiap kawasan berbeda memiliki komando yang berbeda pula, dan diantara mereka hanya ada sedikit koordinasi. Tak lama setelah Hasanuddin tiba di Poso, ia mulai menerapkan ketertiban dan disiplin. Ia memanggil para anggota Tim Sepuluh, membawa masuk orangorang yang pernah dilatih oleh JI tetapi kemudian sudah bergabung dengan organisasi lain atau tidak aktif lagi, dan mulai mengkoordinir berbagai kelompok militan di daerah tersebut dan menghidupkan kembali Tanah Runtuh sebagai pusat kegiatan jihad di Poso. Untuk memperkuat kemampuan mereka, ia membagi mujahidin lokal menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok askari (sayap militer) dan kelompok dakwah. Kelompok askari kemudian dibagi lagi menjadi dua tingkat berdasarkan kemampuan dan pengalaman. Yang pertama, tingkat elit, termasuk tujuh dari orangorang yang dicari dalam operasi tanggal 11 Januari – yaitu Basri, Brur alias Iin, Wiwin Kalahe alias Tomo, Hamdara Tamil alias Papa Isran, Iwan Asapa alias Ale, Nanto alias Bojel dan Amril Ngiode alias Aat – bersama dengan dua orang yang sekarang berada dalam tahanan polisi, yaitu Andi Ipong dan Yusuf Asapa. Andi Ipong dan Yusuf Asapa punya saudara laki-laki yang tewas setelah operasi 22 Januari; Wiwin adalah salah satu yang ditangkap. Suroso, salah seorang yang ikut dalam latihan militer JI yang pertama tahun 2000, juga anggota dari tim ini, yang bertanggung jawab untuk melaksanakan sebagian besar dari operasi utama. Tingkat yang kedua melaksanakan tugas-tugas yang tidak memerlukan ketrampilan bertempur, misalnya mengumpulkan informasi-informasi penting serta melakukan pengamatan. Ustadz Sahl mengkoordinir tim dakwah, yang juga dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama yang terdiri dari para mu’alim (instruktur agama) melakukan pengajian (ta’lim umum) setiap minggu di masjid-masjid di sekitar wilayah Poso dengan sekitar sepuluh murid tiap kalinya. Kelompok yang kedua memimpin pelatihan yang lebih intensif (dauroh) yang dilakukan sekali saja bagi para peserta yang telah dipilih langsung dari ta’lim umum oleh para mu’alim karena komitmen dan kemampuannya. Karena para peserta datang dari beberapa desa, dan bukan hanya dari satu masjid, dauroh diikuti sekitar 20 atau 30 peserta. Dauroh bisa berlangsung selama empat hari hingga seminggu, dan meliputi topik-topik seperti sifat dari jama’ah yang mereka ikuti; jihad; kesetiaan
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
dan ketidaksetiaan (al-wala’ wal bara’); dan kepemimpinan. Para instruktur akan memilih muridmurid yang paling cakap untuk mengikuti tahap ketiga (tadrib) atau latihan militer. Kenaikan tingkat ke tadrib dapat berlangsung selama enam bulan hingga setahun. Para lulusannya kemudian akan ditempatkan dalam unit askari yang terdiri dari tiga hingga lima anggota, yang menjadi sel-sel operasional. Biasanya, sebuah operasi pengeboman terdiri dari empat sel: sel pertama untuk menyiapkan bahan-bahan, yang kedua untuk merakit bom, yang ketiga untuk membawanya ke tempat sasaran, dan yang keempat untuk meledakkan. Untuk alasan keamanan, setiap sel tidak berbagi informasi, jadi para perakit bom Tentena belum tentu tahu siapa yang memasang bom rakitan mereka. Dibawah kepemimpinan Hasanuddin, JI bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain. Contohnya, serangan bulan Oktober 2003 terhadap warga Kristen di desa Beteleme, dilaksanakan oleh Mujahidin Kayamanya, yang sebelumnya dikenal sebagai Mujahidin KOMPAK, bersama dengan kelompok lokal lain, tetapi Tanah Runtuh memberi bantuan logistik dan amunisi.13
Page 7
dan akhir bulan Ramadan, dalam bentuk pengeboman, penembakan atau serangan-serangan lain.15 Ia akan mengadakan rapat, menganjurkan sasaran-sasaran serangan atau meminta masukan lain, dan kemudian mengembangkan rencana, dengan sangat mengandalkan pada Haris. Pada tahun 2005 Hasanuddin lah yang menetapkan bahwa semua mata-mata atau informan harus dihabiskan. Setidaknya empat pembunuhan menjadi akibat langsung dari hal ini, yaitu: pembunuhan terhadap Budianto dan Sugito pada bulan Agustus 2005, yaitu dua orang pria dari Poso yang diduga telah memberikan informasi kepada polisi; teman mereka, Hasrin Laturope, dibunuh tanggal 30 September 2005; dan seorang anggota polisi, Agus Sulaeman, dibunuh tanggal 12 Oktober 2005. Seluruh operasi wakalah Poso didanai secara lokal, yang didapat dari empat sumber, yaitu: pungutan bulanan dari penghasilan para anggota; fa’i (perampokan) terhadap non-Muslim, yang mana yang paling spektakuler yaitu perampokan gaji pemda Poso sebesar sekitar Rp 500 juta pada bulan April 2005; sumbangan-sumbangan; dan potongan dari kontrak-kontrak yang didapat melalui kader JI yang ditempatkan secara strategis di kantorkantor pemerintahan lokal.
Setelah kepemimpinan Kayamanya benar-benar runtuh tahun 2005, para anggotanya secara berangsur-angsur masuk dibawah komando Tanah Runtuh, tetapi ada beberapa indikasi bahwa Kayamanya mulai tersusun lagi. 14 Jauh sebelum kasus pemenggalan bulan Oktober 2005, Hasanuddin telah mengajukan ide untuk memberi “hadiah” bagi musuh pada saat hari Natal, Tahun Baru
13
Untuk diskusi mengenai asal usul Mujahidin KOMPAK lihat Laporan Crisis Group, Jihad in Central Sulawesi (Jihad di Sulawesi Tengah), op. cit., hal. 5-11. Kelompok ini berbasis di kawasan Kayamanya di Poso, sebelah utara Tanah Runtuh. Awalnya dilatih oleh para anggota JI, Mujahidin KOMPAK kemudian membentuk sebuah identitas yang berbeda dan tidak memiliki tingkat indoktrinasi agama yang sama dengan para anggota Tanah Runtuh. Sekarang lebih dikenal sebagai Mujahidin Kayamanya. 14 Menurut seorang anggota Kayamanya, kepemimpinan Mujahidin Kayamanya jatuh karena beberapa faktor. Penyerangan bulan Mei 2005 ke Loki, Ceram Barat, Maluku dimana beberapa anggota Kayamanya yang ikut terlibat telah menyebabkan banyak dari rekan-rekannya harus bersembunyi. Pelindung kelompok ini, Abdullah Sunata dari KOMPAK, tertangkap sebulan kemudian. Perhatian yang lebih banyak dari Densus 88 kepada Poso mungkin juga telah menjadi salah satu faktor. Sebuah pertanyaan yaitu apakah dibebaskannya seorang pemimpin senior Kayamanya dari penjara dan kembalinya ke Poso pada bulan Desember 2006 akan membuat kelompok ini melakukan rekonsolidasi.
15
Wawancara Crisis Group, Palu, November 2006.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
Page 8
III. PETUNJUK YANG KELIRU
A.
Polisi telah mengetahui garis besar dari struktur JI di Poso dan peran Hasanuddin di dalamnya setidaknya sejak pertengahan 2003, ketika Nasir Abas, mantan pemimpin JI, mulai bekerja sama dengan polisi. Mereka telah menangkap beberapa anggota Tanah Runtuh di masa lalu, khususnya Andi Ipong, yang telah menjalani hukuman penjara selama tiga bulan atas keterlibatannya dalam suatu insiden penembakan tahun 2003. Mereka cukup mengetahui bahwa pesantren-pesantren Adnan Arsal menjadi tempat tinggal para guru yang memiliki hubungan dengan Ngruki dan sekolah-sekolah JI lain.16 Tidak jelas mengapa memakan waktu begitu lama bagi mereka untuk mengumpulkan bukti-bukti terhadap Hasanuddin dan yang lainnya, tetapi mungkin karena ada sejumlah faktor, yaitu:
Pada tanggal 26 Mei 2004, Fery Silalahi, 46, ditembak dari jarak dekat oleh seseorang yang mengendarai sepeda motor ketika sedang meninggalkan sebuah kebaktian gereja di Palu. Ia telah menjadi jaksa dalam beberapa kasus terorisme yang high-profile. Salah satunya melibatkan tiga orang anggota JI wakalah Palu yang dituduh menyembunyikan tersangka yang tidak terlibat langsung dalam kasus bom Bali 2002. Mereka divonis bersalah, tetapi vonis tersebut kemudian ditolak dalam proses banding oleh Pengadilan Tinggi di Palu. Silalahi menolak untuk membebaskan mereka dan mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung, yang kemudian menguatkan vonis yang pertama.
Kemampuan polisi lokal yang kurang cakap dan keengganan Jakarta untuk mengakui bahwa perjanjian damai Malino 2001, yang seharusnya untuk mengakhiri kekerasan di Poso, tidak sepenuhnya berhasil;
Solidaritas dalam masyarakat Tanah Runtuh dan ketidakbersediaan untuk memberi informasi, bukti atau saksi-saksi kepada polisi dan jaksa;
Kedudukan Adnan Arsal yang berpengaruh dan kegugupan pemerintah untuk mengambil langkah apapun yang mungkin dapat menimbulkan reaksi keras dari masyarakat; dan
Banyaknya tersangka lain yang terlibat dalam kekerasan di Poso.
Pembunuhan terhadap jaksa Palu, yang dilakukan oleh beberapa anggota Tanah Runtuh termasuk Dedi Parsan, salah seorang yang tewas dalam operasi penggerebekan 11 Januari, terutama menyoroti masalah yang terakhir.
16
Untuk analisa lebih awal mengenai Ngruki, JI, dan beberapa sekolah JI yang lain lihat Crisis Group Asia Reports No119, Terrorism in Indonesia: Noordin’s Networks (Terorisme di Indonesia: Jaringan Noordin), 14 September 2006; No63, Jemaah Islamiyah in South East Asia: Damaged but Still Dangerous (Jemaah Islamiyah di Asia Tenggara: Cedera tetapi Masih Tetap Berbahaya), 26 Agustus 2003; No43 Indonesia Backgrounder: How the Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates (Bagaimana Jaringan Teroris Jemaah Islamiyah beroperasi), 11 Desember 2002; dan Crisis Group Asia Briefing No20 (yang sudah dikoreksi), Al-Qaeda in South East Asia: The Case of the ‘Ngruki Network’ (Al-Qaeda di Asia Tenggara: Kasus “Jaringan Ngruki” di Indonesia), 8 Agustus 2002.
BURUKNYA PENANGANAN KASUS PEMBUNUHAN
Ketika ia dibunuh, ia sedang dalam proses menuntut beberapa orang dari Mujahidin Kayamanya atas keterlibatan mereka dalam sebuah serangan penembakan terhadap warga Kristen di desa Beteleme, Poso akhir Oktober 2003, yang mengakibatkan dua orang korban tewas.17 Kecurigaan polisi segera jatuh pada kelompok Kayamanya, karena mereka tampaknya memiliki motif, dan seperti yang telah dibuktikan dalam serangan ke Beteleme, juga memiliki akses ke senjata api. Khususnya seorang anggota bernama Sofyan Djumpai alias Pian, seorang preman lokal, yang telah menjadi gangguan bagi polisi selama bertahun-tahun, dan telah mengakui secara terbuka bahwa ia merasa sakit hati karena gagal dalam tes psikologi ketika mencoba mendaftar ke akademi polisi.18 Pian telah terlibat dalam serangkaian aksi kejahatan yang diarahkan terhadap warga Kristen di Poso setelah tahun 2000, beberapa dari aksi tersebut ia lakukan bersama dengan seorang anggota Tanah Runtuh, Andi Ipong. Ia dipenjara selama tiga bulan atas salah satu dari aksi kejahatan tersebut, yaitu penembakan di kecamatan Sausu, tetapi dibebaskan bulan September 2003. Karena reputasinya yang tidak baik ini, maka kecurigaan polisi dapat dipahami. Hanya saja, ia tidak berada di Palu pada hari jaksa Fery dibunuh, dan dapat mengajukan banyak saksi yang mengatakan demikian. Meskipun begitu, polisi membujuk beberapa anggota Kayamanya untuk bersaksi bahwa mereka telah mendengar rekan mereka membahas tentang pembunuhan
17
Lihat Laporan Crisis Group, Jihad in Central Sulawesi (Jihad di Sulawesi Tengah), op. cit., hal. 20-22. 18 Berita Acara Pemeriksaan Sofian Djumpai alias Pian, 16 Agustus 2004 dalam berkas perkara Sofian Djumpai.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
jaksa. Pada tanggal 15 Agustus, Pian ditangkap bersama dengan seorang rekan Kayamanya, Erwin Mardani.19 Dibawah interogasi polisi selama beberapa hari, Erwin bersaksi bahwa ia hadir dalam sebuah rapat tanggal 23 Mei, dimana para anggota Kayamanya membahas untuk menjadikan jaksa Fery sebagai sasaran karena ia yang menangani kasus Beteleme. Rapat tersebut, katanya, dipimpin oleh Hence, dan dihadiri oleh Farid dan Pian. Erwin mengklaim bahwa ia telah melihat para pembunuhnya berangkat ke Palu, dan mengatakan mereka menerima Rp 1 juta dari bendahara kelompok untuk operasi tersebut.20 Jaksa kelihatannya tidak pernah menemukan fakta bahwa Hence sedang berada di Ambon dan Farid di Sulawesi Utara ketika pembunuhan dilakukan. Erwin dan seorang lagi yang diduga sebagai peserta yang lain dalam rapat tanggal 23 Mei menarik kembali pernyataan mereka di pengadilan, dan mengatakan mereka telah mengalami penyiksaan. Tidak ada penjelasan yang logis mengapa para tersangka mengatakan bahwa Hence dan Farid hadir dalam rapat, kecuali bahwa mereka dipaksa oleh polisi, yang tampaknya begitu yakin akan keterlibatan kelompok Kayamanya, sehingga membuat perkara tanpa berdasarkan bukti sama sekali – dan memaksakan kesaksian. Tidak ada bukti yang menunjukkan Pian berada di lokasi, dan meskipun ketika ditangkap ia membawa sebuah pistol, namun bukti forensik segera memperlihatkan bahwa itu bukan senjata yang digunakan untuk membunuh jaksa Fery. Pengadilan Pian mulai bulan Januari 2005 dan berlangsung selama tiga bulan. Pada bulan Maret, jaksa menuntut hukuman sepuluh tahun penjara atas dakwaan kejahatan terorisme; para hakim menjatuhkan hukuman delapan bulan penjara atas kepemilikan senjata. Jaksa mengajukan banding, dan Pengadilan Tinggi menambah hukuman menjadi dua tahun.
Page 9
Sementara itu, polisi terus mengejar Hence dan Farid, tampaknya polisi masih percaya bahwa mereka terlibat. Pada bulan Juni dan Juli 2005, mereka dan bendahara Kayamanya, Husen Simin Latima, ditangkap di Jawa Tengah, ketika Densus 88, detasemen khusus anti teror Polri, melakukan pengejaran terhadap Noordin Mohammed Top setelah terjadinya kasus pengeboman terhadap kedutaan besar Australia bulan September 2004.21 Hence sebelumnya pergi ke Ambon akhir April 2004, dan ketika ia sudah siap untuk kembali pada akhir tahun, Pian sudah berada dalam tahanan polisi, dan ia tahu Poso tidak aman baginya saat itu. Oleh karena itu, ia pergi ke rumah iparnya di Sragen, Jawa Tengah awal 2005, dan tinggal disitu.22 Dalam pada itu, Farid tiba di Ambon tanggal 3 Mei 2004, tak lama setelah Hence, dan sekitar seminggu kemudian diajak ke Mindanao untuk mengikuti latihan militer. Ia dan dua orang lagi meninggalkan Ambon pada pertengahan Mei, dan tanpa kembali ke Poso, berangkat ke Tahuna, di pesisir Sulawesi Utara, untuk menunggu transport yang akan membawa mereka ke Mindanao. Tanggal 23 Juni, ia ditangkap disitu karena tidak memiliki KTP. Ia ditahan selama beberapa minggu, kemudian dikenai wajib lapor ke kantor polisi setempat selama sebulan, dan pada awal Agustus 2004, diberi lampu hijau untuk pulang. Namun Farid tahu dari koran-koran bahwa ia menjadi tersangka dalam pembunuhan jaksa Fery Silalahi, sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta, daripada kembali ke Poso.23 Husen Simin Latima sudah berada di Jawa Tengah sejak rumahnya di Poso digerebek polisi bulan November 2004, dan ia ditangkap setelah diketahui bahwa ia memiliki senjata yang dipesan oleh Hence. Saat itu tidak ada hal darinya yang dapat dikaitkan ke
21
19
Erwin Mardani alias Jodi alias Wiwin diadili dan dibebaskan dari tuduhan telah membantu menyembunyikan Pian. Ia dibebaskan pada bulan Maret 2005 dan pergi ke Maluku, dimana ia menjadi salah seorang dari dua orang asal Poso yang terlibat dalam sebuah serangan ke pos polisi di Loki, Ceram Barat pada tanggal 16 Mei. Ia terluka dan kembali ke Poso tak berapa lama sebelum bom Tentena terjadi tanggal 28 Mei dan segera masuk DPO. Lihat Laporan Crisis Group, Weakening Mujahidin Networks (Melemahkan Jaringan Kelompok Mujahidi), op. cit., hal.14. Ia masih buron dan dicari atas keterlibatannya dalam serangan ke Loki, tetapi tidak terlibat dalam bom Tentena, menurut sumber-sumber di Tanah Runtuh. 20 Berita Acara Pemeriksaan Erwin Mardani tanggal 18 Agustus dan 20 Agustus 2004 dalam berkas perkara Hence Malewa.
Ternyata Hence telah memesan sebuah senjata api dari Abdullah Sunata, orang yang sama yang telah memasok senjata api ke Noordin. 22 Abdullah Sunata sedang menjalani hukuman penjara tujuh tahun di Jakarta terkait kejahatan terorisme, karena memiliki senjata api dan menyembunyikan informasi tentang Noordin. Sunata sedang berada di Poso pada tahun 2003, ketika Hence memesan sebuah senjata api darinya. Agak lama senjata api tersebut baru terkirim, kurir Sunata, Purnama Putra alias Usman alias Tikus, mengirimkan senjata tersebut akhir Februari 2005 di Islamic Centre di Solo, markas KOMPAKSolo. Untuk info lebih lanjut mengenai hubungan Sunata dengan Noordin, lihat Crisis Group Asia Report N°114, Terrorism in Indonesia: Noordin’s Networks (Terorisme di Indonesia: Jaringan Kelompok Noordin), 5 Mei 2006, hal. 12-14. 23 Berita Acara Pemeriksaan Farid Podungge alias Wawan alias Nene alias Andre, dalam berkas perkara No Pol, BP/75/IX/2005 Dit Reskrim, 22 Agustus 2005.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
pembunuhan jaksa Fery Silalahi, dan meskipun ketika ia di Yogyakarta telah secara aktif terlibat dalam rencana untuk membunuh seorang warga Kristen Poso, hal ini tidak relevan terhadap kasus ini.24 Pengadilan Hence dan Farid dimulai bulan November 2005 dan masih dalam proses ketika terjadi penangkapan para pelaku pembunuhan jaksa Fery Silalahi yang sebenarnya. Pada bulan April 2006, keduanya dibebaskan dari kejahatan tersebut, dan dihukum duapuluh bulan penjara potong masa tahanan, atas dakwaan kepemilikan senjata saja. Mereka dibebaskan pada tanggal 1 Desember. Dan Husen dibebaskan sepenuhnya. Keseluruhan proses merupakan bukti proses penuntutan yang sangat buruk, dan meninggalkan sisa-sisa kebingungan, kemarahan dan perasaan sakit hati yang mendalam. Menurut laporan, Farid adalah salah seorang dari beberapa anggota Kayamanya yang membela kelompok Tanah Runtuh melawan polisi dalam operasi 22 Januari 2007, namun ia berhasil meloloskan diri.
Page 10
IV. PENANGKAPAN HASANUDDIN DAN HARIS Bom Bali II tanggal 1 Oktober 2005, yang diikuti oleh pemenggalan terhadap siswi SMU di Poso beberapa minggu kemudian, akhirnya telah membawa polisi ke penjahat yang sebenarnya. Seperti halnya ketika mereka tidak sengaja menemukan Hence dan Farid di Jawa Tengah ketika sedang menyelidiki Noordin dan Abdullah Sunata, kali ini mereka mendapat rejeki nomplok untuk kasus Poso, ketika sedang menyelidiki sel Semarang yang telah bekerja sama dengan Noordin dalam perencanaan Bom Bali II. Mata rantainya adalah Subur Sugiyarto alias Abu Mujahid, orang Semarang, yang saat ini sedang menjalani hukumun seumur hidup, yang membawa sel JI nya kepada Noordin awal tahun 2005 dan memberi bantuan logistik yang penting untuk Bom Bali II. Densus 88 mengetahui tentang identitasnya ketika sedang melakukan sebuah operasi penggerebekan di Batu, Malang yang telah menewaskan Azhari Husen, rekan Noordin. Mereka menangkapnya pada bulan Januari 2006, dan dari interogasi diketahui bahwa ia telah bertugas sebagai anggota tim dakwah di wakalah Jawa Tengah pada saat yang bersamaan dengan Ustadz Sahl, instruktur di Tanah Runtuh. Ketika Sahl dikirim ke Poso, Subur dikirim ke Ambon, tetapi keduanya masih saling berhubungan.25 Pada tanggal 9 Februari 2006, Sahl ditangkap di Tanah Runtuh dan segera dibawa ke markas besar Polri di Jakarta untuk dikonfrontasi dengan Subur. Kapolda Sulawesi Tengah mengumumkan bahwa ia dicurigai memiliki hubungan dengan Noordin Mohammed Top.26 Penangkapannya menimbulkan kegemparan di Poso. Pada tanggal 13 Februari, beberapa ratus anggota organisasi-organisasi Muslim disana berunjuk rasa di DPRD Kabupaten menuntut dibebaskannya Sahl dan dua tahanan Tanah Runtuh yang lain, dan sebagai tambahan, menuntut Denmark karena telah memuat kartun Nabi Muhammad. Adnan Arsal membantah bahwa Sahl memiliki kaitan dengan teroris, menuntut bukti-bukti kesalahannya, dan mengadu bahwa pesantrennya secara tak adil telah dicap sebagai sebuah sarang teroris. Jika polisi dapat menemukan
24
Ketika di Yogyakarta, Husen pernah berdiskusi dengan Usman Tikus, seorang operatif KOMPAK, mengenai rencana membunuh anak laki-laki dari seorang pemilik hotel di Poso yang dilihat sebagai donatur pihak Kristen disitu. Tampaknya pemuda (anak laki-laki pemilik hotel) tersebut juga ada di Yogyakarta.
25
Memang pertanyaannya adalah apakah Subur Sugiyarto pernah meminta bantuan dari Sahl atau anggota JI dari Jawa yang lain dalam merekrut para operatif Poso. 26 Ruslan Sangaji, “Terkait Jaringan Nurdin Top, Ustadz Sahl Ditangkap”. Lihat http://ochansangadji.blogspot.com/2006/ 02/ terkait-jaringan-nurdin-top-ustadz.html.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
bukti-bukti apapun bahwa pesantrennya mengajarkan terorisme, mereka sebaiknya ditutup, katanya.27 Setelah seminggu, Sahl dibebaskan tanpa tuntutan, dan kembali ke Poso. Disitu ia berpidato kepada sebuah aksi demonstrasi yang besar dan bicara mengenai perlakuan kejam dan penyiksaan yang ia alami. Tetapi rekan-rekan Tanah Runtuhnya tidak terlalu yakin. Mereka memperhatikan bahwa sebelum ditangkap ia memakai handphone model lama, namun sekarang handphone baru dengan kamera. Mereka menanyakan bukti-bukti bahwa ia pernah disiksa, tetapi tidak ada bekas-bekas penganiayaan di tubuhnya. Karena itu mereka menjadi yakin bahwa ia telah mengkhianati mereka, dan tak lama kemudian ia meninggalkan Poso.28 Khawatir atas akibat dari kesaksiannya, beberapa mujahidin memutuskan untuk pindah sementara dari Tanah Runtuh. Diantara mereka yaitu tiga korlap terbaik, Lilik Purnomo alias Haris; Irwanto Irano; dan Rahmat alias Jindra, pindah ke Toli-Toli, sekitar 700 km barat laut Poso. Dengan menggunakan KTP palsu, mereka membuat dan berjualan krupuk udang dan berusaha tidak menarik perhatian. Keinginan istri Rahmat untuk melihat suaminya membawa malapetaka kepada mereka. Atas informasi dari Sahl, polisi mencurigai Rahmat terlibat dalam pembunuhan Helmy, istri seorang perwira TNI-AD, bulan Juli 2004 di Kawua, Poso. Mereka mengikuti istri Rahmat ketika ia mencoba untuk mengunjunginya, ditemani oleh dua orang anggota wakalah Palu, yaitu Abdul Muis dan Nano Sumarsono. Semuanya ditangkap oleh polisi. Mereka yang berkunjung, juga Haris, Irwanto dan Rahmat. Setelah diinterogasi selama beberapa hari di Palu, ketiganya diterbangkan ke markas besar Polri di Jakarta. Abdul Muis, kemudian ditangkap dalam operasi 11 Januari, dan Nano dibebaskan. Berdasarkan informasi dari mereka, polisi dari Densus 88 pada tanggal 8 Mei mencoba untuk menangkap Taufik Bulaga alias Upik Lawanga, ahli perakit bom dari Tanah Runtuh yang sebutannya antara lain “sang Professor” dan “Azharinya Poso”, diambil dari nama orang yang merancang bom-bomnya Noordin Top. Menurut laporan, Taufik juga terlibat dalam pembunuhan Helmy, selain terlibat dalam serangkaian kejahatan lain, termasuk pengeboman Tentena. Empat orang polisi ditugaskan untuk pergi menangkapnya ke Lawanga, tempat tinggal Taufik, dengan mengendarai dua sepeda motor. Mereka menangkapnya dan memborgol tangannya ketika ia sedang meninggalkan masjid
27 28
Ibid. Wawancara Crisis Group, Januari 2007.
Page 11
Nurul Iman setelah shalat Subuh, tetapi ia kemudian berteriak minta tolong. Seseorang lari keluar untuk memukul tiang listrik, dan warga berdatangan ke tempat itu. Polisi panik dan bergegas pergi, meninggalkan motor mereka dan orang yang mereka tangkap. Warga yang marah kemudian membakar sepeda motor mereka.29 Siang itu, Kapolres Poso dan rombongannya mendatangi kelurahan Lawanga untuk menjelaskan mengapa Taufik menjadi tersangka. Sebelum mereka dapat bicara, para warga mulai melempari mobil rombongan Kapolres, dan mereka semua melarikan diri dan kembali ke Poso. Keesokan harinya, tanggal 9 Mei, Hasanuddin ditangkap di Palu, ketika ia sedang mengajarkan para muridnya cara menggoreng krupuk udang. Ia telah diperingatkan oleh rekan-rekannya bahwa tidak aman baginya untuk tetap tinggal di Palu, tetapi ia tidak mengacuhkan mereka.30 Para narasumber Tanah Runtuh bersumpah bahwa sebelum penangkapan Haris dan Hasanuddin, Adnan Arsal benar-benar tidak mengetahui sejauh mana para pengikutnya – termasuk juga menantunya – terlibat dalam tindak kejahatan.31 Mereka mengatakan ia tidak diajak berkonsultasi atau diberitahu, meskipun dengan adanya kaitan antara ia dan JI dan para ustadz yang dikirim ke sekolah-sekolahnya, sulit untuk melihat bagaimana bisa begitu banyak yang terjadi di kompleksnya tanpa sepengetahuannya. Dalam sebuah tindakan yang memperlihatkan seolah-olah setidaknya ia mempunyai kecurigaan, menurut laporan ia mengadakan rapat tak lama setelah dua buah kantor LSM di Poso dibom pada tanggal 28 April 2005. Dalam rapat tersebut ia bertanya kepada para mujahidin siapa sebenarnya yang melakukan teror-teror selama ini. Jika mereka yang melakukan, mereka harus jujur dan mengatakan kepadanya. Mereka bersumpah demi Allah bahwa mereka tidak terlibat.32 Informasi dari Tanah Runtuh yaitu bahwa Adnan Arsal merasa dikhianati ketika Hasanuddin dan Haris mengakui perbuatannya, dan Haris memberi informasi rinci mengenai setiap kejahatan yang telah dilakukan oleh
29
Wawancara Crisis Group, November 2006; “4 Anggota Densus 88 Diserang Warga Poso”, Kompas, 9 Mei 2006. 30 Wawancara Crisis Group, November 2006. 31 Wawancara Crisis Group, Desember 2006. 32 Wawancara Crisis Group, Oktober 2006. Wawancara Crisis Group, Palu, Desember 2006. Sesungguhnya, meskipun pengeboman tersebut hampir pasti dilakukan oleh operatif Tanah Runtuh, menurut laporan pengeboman tersebut bukan diperintah oleh pemimpin JI tetapi oleh seorang donatur dan kontraktor yang terkait dengan mujahidin.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
ia dan rekan-rekannya. Menurut laporan ia melakukan hal itu dengan imbalan polisi membayar Rp 30 juta untuk melunasi utang-utangnya. Menurut laporan, Haji Adnan pernah mengatakan bahwa jika benar para anggota kelompokTanah Runtuh yang telah memenggal tiga siswi SMU Poso, maka kepala mereka harus dipenggal sebagai balasannya.33 Ia mulai lebih mudah diajak bekerja sama dengan polisi, yang telah meminta bantuannya untuk menangkap ke-29 tersangka yang saat ini berada dalam DPO (Daftar Pencarian Orang). Orang yang paling dicari polisi, yang lebih dari Taufik Bulaga, adalah Basri. Ber-ibu asal Jawa, dan bapak asal Bugis, Basri berumur 30 tahun, dan hidup dari berjualan ikan, ayam dan sayur-sayuran. Sebelum konflik, ia tadinya seorang pencuri ternak, dan pernah menjadi anggota sebuah band musik rock. Selama konflik, ia menjadi dikenal sebagai seorang ahli menembak jitu. Diantara sejumlah tindak kejahatan lain, ia dicurigai terlibat dalam kasus pemenggalan siswi SMU Poso dan kepala desa Pindedapa setahun sebelumnya, serta dalam kasus penembakan Pendeta Susianti Tinulele bulan Juli 2004. Melalui Adnan Arsal, polisi berharap dapat bernegosiasi agar Basri menyerahkan diri, tetapi ia menolak.34 Negosiasi terus berlanjut hingga Juni, Juli dan Agustus. Menurut laporan, polisi pernah menawarkan untuk menarik tuduhan-tuduhan terhadap para tersangka dengan kejahatan yang lebih ringan jika mereka bisa mendapatkan Basri dan tiga atau empat orang lainnya, tetapi taktik tersebut tidak berhasil.
Page 12
V.
HUKUMAN MATI TIBO CS DAN AKIBATNYA
Kemudian sebuah kejadian penting mengubah dinamika politik. Pada tanggal 22 September dinihari, eksekusi mati tiga warga Kristen yang dituduh telah membunuh warga Muslim ketika konflik Poso sedang mencapai puncaknya, dilaksanakan setelah ditunda beberapa lama. Fabianus Tibo, 60; Dominggus da Silva, 39; dan Marinus Riwu, 48; dituduh memimpin dan menghasut milisi Kristen untuk membunuh warga Muslim lakilaki, perempuan dan anak-anak di Poso antara tanggal 23 Mei dan 1 Juni 2000. Sebuah pembunuhan massal, pada tanggal 28 Mei, terhadap warga Muslim yang berlindung di pesantren Walisongo, menjadi sebuah insiden yang paling berdarah dalam masa konflik. Tibo, da Silva, dan Riwu dihukum mati pada tahun 2001; setelah tak berhasil mendapat grasi atau pengampunan yang diajukan kepada Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan Presiden, eksekusi direncanakan untuk dilaksanakan pada pertengahan Agustus 2006. Eksekusi ini dibatalkan pada saat-saat terakhir, seolah-olah supaya hal ini tidak akan mengganggu perayaan hari kemerdekaan Indonesia, tetapi tampaknya karena para pejabat khawatir akan akibat keamanan darinya.35 Kasus tersebut diikuti secara dekat di Indonesia dan seluruh dunia. Kelompok-kelompok HAM berargumentasi bahwa ada pertanyaan-pertanyaan serius mengenai keadilan dari pengadilan kasus tersebut. Yang lain ada yang mengatakan ketiganya seharusnya tidak diadili di Palu, dimana emosi masyarakat saat itu sangat tinggi. Bahkan yang lain menunjuk pada perbedaan yang mencolok dalam hukuman, yaitu: tak seorangpun dari warga Muslim yang ditangkap selama masa konflik yang telah menerima hukuman yang seberat-beratnya, dan hanya sedikit dari kedua belah pihak yang berkonflik yang telah dihukum lebih dari lima tahun. Meskipun banyak dari kelompok-kelompok garis keras sangat memprotes penundaan eksekusi pada bulan Agustus, dan lebih banyak protes ketika dilaporkan bahwa Paus telah menulis surat memohon pengampunan, Adnan Arsal mengambil sikap yang berbeda. Pada bulan Juli ia datang ke Jakarta dengan ketua Gereja Protestan Sulawesi Tengah pada waktu itu untuk memberikan argumentasi bahwa eksekusi Tibo akan menghambat investigasi mengenai siapa yang telah memerintahkan pembunuhan massal.36 Pada masa 35
33 34
Wawancara Crisis Group, Palu, Desember 2006. Wawancara Crisis Group, Palu, Desember 2006.
“Eksekusi Mati Tibo Ditunda”, Koran Tempo, 11 Agustus 2006. 36 Namun ketika kembali ke Poso, ia ikut ambil bagian dalam aksi unjuk rasa mendukung eksekusi mati Tibo Cs.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
pengadilannya, Tibo telah mengklaim bahwa enambelas orang, beberapa diantaranya adalah pejabat lokal berpengaruh, yang menjadi otak pembantaian tersebut. Tetapi ia tidak dapat memberi bukti, dan belum pernah berhubungan langsung dengan sebagian besar dari orangorang yang ia sebutkan. Meskipun begitu, investigasi dan pengadilan bagi keenambelas orang tersebut menjadi tuntutan utama para Muslim militan. Tidak jelas mengapa harus tergesa-gesa untuk mengeksekusi ketiga orang tersebut padahal ada banyak pertanyaan mengenai kasus tersebut. Tetapi, dua alasan politis dikemukakan, selain argumentasi hukum jaksa agung bahwa karena seluruh upaya permohonan banding telah dilakukan dan tidak berhasil, maka tak ada pilihan lain selain melaksanakan eksekusi. Spekulasi yang pertama, yang menonjol diantara kelompok-kelompok advokasi di Jakarta dan media internasional, yaitu bahwa dengan mengeksekusi warga Kristen akan memudahkan pemerintah Indonesia untuk mengeksekusi para pelaku bom Bali. Spekulasi yang lain, yang dikemukakan oleh beberapa pejabat senior, yaitu bahwa tidak mungkin kekerasan di Poso akan berhenti selama pembunuh warga Muslim masih hidup. Eksekusi akan menjadi isyarat penting bagi masyarakat Muslim bahwa tuntutan mereka terhadap keadilan telah dianggap serius, setelah itu kehidupan di Poso berlanjut seperti biasa.37 Itu adalah sikap yang sangat naif terhadap situasi di Poso. Sehari setelah eksekusi mati dilaksanakan, kekerasan meletus di jalan tol Trans Sulawesi dekat desa Taripa, bagian selatan Poso dan menimpa dua orang pedagang ikan Muslim dari Masamba, Luwu Utara di Sulawesi Selatan sedang menuju pulang dari Ampana di dalam truk pick-up mereka ketika mereka melewati kota. Polisi mengatakan bahwa mereka telah memperingatkan setiap orang di daerah tersebut untuk tidak bepergian melalui perkotaan ketika masyarakat sedang emosi, tetapi peringatan tersebut tidak diindahkan. Arham Badarudin, 32, dan Wandi, 17 tahun, diciduk oleh warga. Jenasah mereka baru ditemukan tiga hari kemudian. Polisi mencoba bergerak cepat untuk meredakan ketegangan yang meningkat. Tetapi tanggal 29 September ketika Kapolda dan rombongannya mencoba pergi ke Taripa untuk berbicara dengan warga dan mengidentifikasi para pelaku, mereka malah dilempari batu dan empat kendaran mereka dibakar. Polisi akhirnya menangkap enambelas orang dan menyatakan mereka akan dikenai tuduhan kejahatan biasa. Tetapi kemudian dengan maksud untuk menanggapi sebuah
37
Wawancara Crisis Group dengan pejabat tinggi Kejaksaan Agung, Jakarta, 12 Maret 2006.
Page 13
ketidakseimbangan politik – sejauh ini undang-undang anti terorisme hanya pernah diterapkan terhadap Muslim – polisi memutuskan untuk menuntut mereka semua dengan tuduhan terorisme.38 Kekerasan terus berlanjut. Pada tanggal 30 September 2006, sekitar jam 10 malam, sebuah bom meledak di depan gereja Kawua di Poso. Seorang saksi mata mengatakan bahwa tentara mendorong orang-orang yang menonton untuk menyerang polisi ketika mereka datang, sementara itu, ada yang lari ke arah wilayah Sayo yang penduduknya mayoritas Muslim sambil berteriak “mereka menyerang!”. Yang dimaksud dengan “mereka” yaitu “orang Kristen”. Warga Sayo keluar memukul-mukul tiang listrik, memanggil warga untuk berjaga-jaga. Untuk beberapa saat kelihatannya warga Kristen Kawua dan warga Muslim Sayo akan saling menyerang, tetapi akhirnya para pemimpin agama berhasil menenangkan situasi tanpa ada korban jiwa.39 Sebanyak enam buah pengeboman kecil terjadi selama bulan Ramadan, termasuk sebuah pada tanggal 14 Oktober di kantor bupati Poso. Kemudian tanggal 16 Oktober 2006, Pendeta Irianto Kongkoli, Sekretaris Umum Gereja Protestan Sulawesi Tengah, ditembak dan dibunuh dari jarak dekat oleh seseorang bersepeda motor, ketika ia sedang belanja dengan keluarganya di Palu. Kali ini, polisi yakin bahwa para penembak berasal dari Tanah Runtuh. Para narasumber disana mengatakan bahwa Kongkoli adalah sasaran yang sebenarnya ingin mereka bunuh ketika Pendeta Susianti Tinulele ditembak bulan Juli 2004. Waktu itu ia yang dijadwalkan untuk berkotbah, namun Tinulele harus menggantikannya pada saat terakhir.40 Semua orang akhirnya segera menyadari gawatnya kasus pembunuhan ini, yaitu: Kongkoli adalah salah seorang tokoh Kristen yang paling dikenal di propinsi Sulawesi Tengah. Jika pembunuhnya tidak segera ditangkap atau polisi tampaknya tidak terlalu sigap untuk menangkap mereka, maka bisa terjadi kembali konflik komunal. Polisi percaya bahwa Basri, sasaran mereka yang paling dicari, adalah salah seorang pembunuhnya dan sedang bersembunyi di kompleks Tanah Runtuh. Juru bicara dari mabes Polri menuduh “kelompok Hasanuddin” sebagai pelaku pembunuhan, dan polisi menegaskan kepada Adnan Arsal bahwa jika ia tidak menyerahkan
38
Keputusan untuk menuntut orang-orang ini dengan terorisme menggambarkan masalah dalam menerapkan undangundang terorisme di wilayah konflik, dimana batasan antara apa yang merupakan terorisme dan apa yang merupakan kejahatan biasa seringkali tidak jelas/kabur. 39 Laporan saksi mata kepada Crisis Group, Oktober 2006. 40 Wawancara Crisis Group, Desember 2006.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
Basri, maka mereka akan menggunakan kekuatan untuk menangkapnya.41 Mereka juga khawatir mengenai isu-isu yang berkembang bahwa serangan bom sedang direncanakan untuk menandai Idul Fitri dan berusaha untuk mencegah hal itu terjadi.42 Pada tanggal 19 Oktober, menyadari betapa seriusnya situasi di Poso, Presiden Yudhoyono memerintahkan tiga petinggi Polri – Komandan Koordinasi Brigade Mobil (Dankor Brimob), Kepala Operasi Polri dan mantan Komandan Operasi Keamanan Poso – untuk berangkat ke Poso, untuk bergabung dengan Wakil Kepala Bagian Reserse Kriminal (Wakabag Reskrim). Hal ini adalah sebuah cara yang efektif untuk menekankan bahwa bagaimanapun gawatnya persoalan, yang bertugas untuk memulihkan situasi masih tetap polisi, bukan TNI.43
Page 14
VI. BENTROKAN 22 OKTOBER DI TANAH RUNTUH Pada tanggal 22 Oktober 2006, sebuah bentrokan antara polisi dan warga Tanah Runtuh terjadi dimana Safiudin alias Udin, seorang siswa Pesantren al-Amanah, tewas ditembak dalam sebuah situasi yang masih disengketakan. Ia adalah adik dari Haris, anggota JI yang ditangkap bulan Mei, dan telah memberikan informasi sangat penting untuk penangkapan-penangkapan selanjutnya. Insiden ini bermula ketika para warga dan keluarganya sedang bersiap-siap untuk menyambut Idul Fitri. Menurut polisi, setelah tersebar desas-desus bahwa ada kemungkinan serangan bom malam itu, Brimob dikerahkan untuk melakukan patroli di jalan-jalan dan menyetop para supir kendaraan untuk menunjukkan kartu identitas mereka. Sekitar jam 9.30 malam, sebuah patroli yang berada tak jauh dari Tanah Runtuh menyetop seorang pengendara sepeda motor. Tetapi bukannya memperlihatkan kartu identitasnya, ia malahan lari, dan kemudian memukul-mukul sebuah tiang listrik, untuk memanggil bala bantuan. Seluruh warga di kawasan itu segera keluar, dan massa yang mengamuk kemudian menyerang pos polisi setempat, sekitar 100 meter dari kompleks Tanah Runtuh. Kapolres Poso memerintahkan untuk memblokade jalan-jalan di kawasan tersebut, agar kerusuhan tidak menjalar. Masih menurut versi polisi, warga melihat hal ini sebagai langkah awal untuk menyerang kompleks mereka, dan menyerang polisi. Pos polisi sudah sangat hancur dirusak oleh massa, dan beberapa orang anggota polisi masih terjebak didalam. Untuk menyelamatkan mereka, polisi mengerahkan sebuah kendaraan tempur lapis baja, Baracuda, yang kemudian diserang oleh massa. Menurut polisi, masih tidak jelas bagaimana Saifudin tewas, karena warga Tanah Runtuh tidak mengijinkan dilakukan otopsi, dan jenasahnya sudah langsung dikebumikan.
41
“Penembak Pendeta Kelompok Hasanuddin”, Radar Sulteng, 17 Oktober 2006, dan “Kelompok Hasanuddin Dituding”, Koran Tempo, 18 Oktober 2006. 42 Laporan Rahasia/Confidential Tim Pencari Fakta (TPF) , 20 November 2006. Crisis Group memperoleh sebuah salinan, namun halaman dengan judul laporannya tidak ada. Polisi mencatat bahwa para pelaku bom biasanya menggunakan sepeda motor sebagai kendaraan mereka untuk kabur dan polisi ingin membatasi ruang gerak mereka. 43 Dibawah Soeharto, presiden Indonesia yang otoriter yang turun dari jabatannya pada tahun 1998, keamanan dalam negeri menjadi tanggungjawab militer. Setelah ia mundur, para reformis berhasil memisahkan polisi sebagai badan penegak hukum sipil dengan angkatan bersenjata atau TNI, yang mana biasanya polisi selalu menjadi sepupu TNI yang sangat miskin.
Para saksi mata mengklaim bahwa polisi datang ke Tanah Runtuh, dengan di back-up oleh pasukan BKO (Bantuan Kendali Operasi) Brimob dari Jakarta dan Kalimantan, dengan jumlah sekitar 700 orang.44 Kata mereka itu bukan patroli keamanan biasa yang melakukan pemeriksaan terhadap pengendara bermotor; itu adalah sebuah operasi terencana terhadap kompleks Tanah Runtuh karena beberapa dari anggota Brimob bertanya kepada warga setempat cara menuju ketempat itu. Para mujahidin lokal memukul-mukul tiang listrik ketika
44
Wawancara Crisis Group, Palu, Desember 2006.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
polisi memasuki kawasan itu, dan warga berduyunduyun membela mereka, melempari dengan batu-batu dan benda-benda lain. Setelah kendaraan lapis baja Baracuda datang memberi bantuan terhadap angggota polisi yang terjebak, Brimob melepaskan tembakan ke arah massa, menewaskan Saifudin. Kalau ada tembakan dari arah kompleks, tanya mereka, mengapa tidak ada polisi yang terluka? 45 Sebuah laporan tim pencari fakta yang dibentuk oleh pemerintah menulis bahwa bunyi tembakan senjata api dari belakang sebuah bangunan di kompleks Tanah Runtuh membuat para warga memukul-mukul tiang, dengan cara demikian memobilisasi massa yang berteriak “Allahu Akbar” dan menggunakan bahasa yang provokatif untuk tambah memanaskan massa. Kemudian listrik mati. Laporan tersebut tidak membuat kesimpulan apapun mengenai siapa yang bertanggung jawab atas tembakan senjata api itu, dan hanya menuliskan bahwa diperlukan investigasi lebih lanjut. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa massa menghancurkan pos polisi masyarakat di Tanah Runtuh dan membakar sebuah truk polisi dan tiga sepeda motor. Laporan pemerintah menyebutkan enambelas anggota polisi dikepung dan 240 peluru “hilang” dari pos polisi. Ketika polisi berusaha untuk membela diri, mereka melepaskan tembakan ke udara dan berusaha untuk pergi dari tempat itu. Laporan tersebut, sekali lagi tanpa menetapkan siapa yang bertanggungjawab, menyatakan bahwa kendaraan Baracuda yang digunakan oleh polisi memperlihatkan bekas tembakan, dan ban mobil juga sobek terkena serpihan bom Molotov. Lubang-lubang bekas peluru ditemukan di rumahrumah warga yang berada di sepanjang jalan utama di Tanah Runtuh. Malam itu, rumah dua petugas polisi lokal dibakar habis. Yang satu, menurut laporan pemerintah, pernah diancam oleh Basri pada bulan Juni dan Juli 2006; di rumahnya ditulisi “polisi thogut, kafir, pengkhianat”.46 Keesokan harinya, ketika massa berdatangan untuk mengantar jenazah Saifudin ke pemakaman, sekelompok orang mulai melempar batu ketika mereka melewati rumah seorang anggota Brimob. Anggota Brimob tersebut melepaskan tembakan, dan mengenai salah
Page 15
seorang pengantar, Mislan Aminuddin dari Landangan, dan seorang anak berusia empat tahun. Pada tanggal 30 Oktober, organisasi-organisasi LSM dan kelompok Muslim di Poso, yang menamakan diri sebagai Kaukus Ummat Anti Kekerasan (KUAK) Sulawesi Tengah, berkumpul untuk menuntut seluruh pasukan BKO Brimob ditarik dari Poso. Mereka mengklaim bahwa Brimob telah melepaskan tembakan terlebih dahulu; polisi mengklaim warga yang menembak duluan. Di hari yang sama, Wakil Presiden Yusuf Kalla mengumumkan bahwa pembentukan tim pencari fakta untuk menyelidiki penggerebekan bulan Oktober, akan dipimpin oleh Menko Polhukam Widodo. Tim ini akan terdiri dari polisi, TNI, dan anggota BIN, sehingga LSM melihat tim ini sebagai tim yang tidak independen. Meskipun begitu, tim ini menghasilkan seperangkat rekomendasi yang sungguh bijaksana di dalam laporan tangal 20 Novembernya – yang sayangnya masih bersifat rahasia. Rekomendasi tersebut antara lain:
Mencatat bahwa waktu yang dipilih untuk melakukan penggerebekan patut disayangkan, dan polisi seharusnya meminta maaf kepada warga karena telah mengganggu persiapan Idul Fitri mereka;
Mencatat bahwa anggota Brimob harus mengutamakan pencegahan konflik dan menghindari penggunaan kekuatan atau patroli bersenjata yang cenderung meningkatkan kebencian masyarakat;
Menekankan perlunya untuk membangun kepercayaan antara polisi dan masyarakat, dan merekomendasikan dilakukannya investigasi lebih lanjut terhadap peristiwa 22-23 Oktober;
Mencatat permintaan dari masyarakat untuk menarik pasukan Brimob dari luar, dan merekomendasikan pembentukan sebuah unit Brimob lokal untuk mengembangkan hubungan yang lebih baik dengan masyarakat, dan juga sebuah unit investigasi kriminal dan intelijen, setelah itu pasukan bantuan dari luar dapat berangsur-angsur ditarik;
Merekomendasikan persuasi dan negosiasi untuk menangkap ke-29 DPO Tanah Runtuh;
Menganjurkan bahwa interogasi dilakukan di Palu daripada di Poso, bahwa tersangka didampingi oleh penasihat hukum, bahwa keluarga diijinkan untuk berkunjung kapanpun, dan bahwa polisi menghindari penggunaan kekerasan dalam interogasi;
Mendesak koordinasi yang lebih baik antara pasukan keamanan, dan terutama bahwa peraturan yang mengatur kapan dan bagaimana TNI sebaiknya membantu polisi di lapangan harus diuraikan; dan
45
Wawancara Crisis group, Desember 2006. Sebuah laporan terperinci dari sudut pandang Tanah Runtuh, yang disusun oleh Forum Silaturahmi Perjuangan Umat Islam (FSPUI) di Poso, muncul di majalah Sabili magazine, 16 November 2006, hal. 22-23. 46 Dalam bahasa Indonesia, Polisi thogut, kafir, pengkhianat. Lihat laporan Tim Pencari Fakta (TPF), op. cit., hal. 37.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
Merekomendasikan evaluasi mengenai bagaimana perjanjian Malino 2000 telah diterapkan dan mendesak penekanan pada rehabilitasi sosial, terutama lapangan pekerjaan bagi para korban konflik, kembalinya pengungsi, bantuan langsung kepada korban kekerasan, termasuk pembangunan kembali rumah-rumah, dan pembangunan ekonomi yang lebih cepat.47
Anehnya, ketika Menko Widodo mengumumkan temuan-temuan tim pada akhir November, ia hanya menyebutkan lima poin, yaitu: penyelidikan lebih lanjut terhadap gangguan tanggal 22-23 Oktober “yang mengakibatkan perbuatan anarkis”; sebuah konsep keamanan bagi Poso; komunikasi yang lebih baik antara polisi dan masyarakat; tindakan tegas terhadap ke-29 DPO; dan program yang bisa mendorong masyarakat untuk memecahkan persoalan keamanan.48 Ia tidak sebut poin apapun yang merujuk pada sebuah pendekatan yang lebih luas terhadap masalah, termasuk langkah-langkah sosial dan ekonomi, jaminan bahwa para tersangka akan diperlakukan dengan baik, evaluasi terhadap perjanjian Malino dan perlunya kerjasama yang lebih baik antara TNI-Polisi. Jika rekomendasi asli yang diumumkan dan diterima, maka mungkin ketegangan akan lebih berkurang. Tetapi hal itu tidak dilakukan, dan semakin lama sebuah pertanyaan yang semakin mendesak membayangi, yaitu: apa yang harus dilakukan kalau pendekatan persuasif gagal.
Page 16
VII. DAFTAR PENCARIAN ORANG (DPO) DAN BATAS PERSUASI Operasi penggerebekan 22 Oktober menambah antipati terhadap polisi dan memperkuat ketetapan hati para DPO untuk tidak menyerahkan diri. Ia juga mempersulit hubungan polisi dengan para pemimpin Muslim setempat, termasuk Adnan Arsal, yang dalam perjalanan ke Jakarta awal November, telah menyerukan kepada para anggota organisasi Muslim untuk bersama-sama berjihad di Poso.49 Tetapi Densus 88 meningkatkan upayanya. Hal yang naif untuk berpikir bahwa dengan mengeksekusi mati Tibo cs akan mengurangi kekerasan di Poso, tetapi hal yang masuk akal bahwa dengan menangkap ke-29 tersangka, jika dilakukan sebagaimana mestinya, akan menjadi sebuah langkah menuju perdamaian. Pada tanggal 24 Oktober, polisi mengumumkan DPO tersebut sehingga setiap orang dapat melihat siapa yang dicurigai dan melakukan kejahatan apa.50 Adnan Arsal segera mengajukan komplain, bahwa meskipun ia tidak mendukung kekerasan yang dilakukan oleh orangorang ini, namun publikasi dari daftar pencarian orang ini membuat seakan-akan mereka hanya pelaku kejahatan semata-mata, padahal mereka juga korban konflik, dan banyak dari mereka yang telah kehilangan saudara dalam pembunuhan masal Mei-Juni 2000. Polisi harus adil – jika mereka mengambil informasi dari Haris dan mengusut setiap orang yang ia sebutkan namanya, mereka juga harus mengambil pernyataan Tibo dan menginvestigasi keenambelas orang yang disebutnya.51 Meskipun begitu, ia terus bertindak sebagai mediator antara polisi dan para DPO, yang hampir seluruhnya masih berada di Poso. Tetapi, tekanan dan persuasi dari polisi tampaknya berhasil, dan beberapa tersangka yang DPO tapi bukan actor utama mulai menyerahkan diri. Yang pertama yaitu Andi Bocor alias Udin, 38, seorang pedagang gula di Pasar Sentral Poso, pada tanggal 14 November. Ia dicurigai terlibat dalam kasus penembakan hingga tewas terhadap Hasrin Laturope pada tanggal 29 September 2005 di Landangan, Poso Pesisir, desa dimana Pesantren al-Amanah milik Adnan Arsal berlokasi. Tetapi setelah melakukan interogasi, polisi memutuskan bahwa ia mungkin tidak terlibat. 52 Penyerahan dirinya
49
47
Ibid. “TPF Poso dibubarkan, rekomendasinya ditindaklanjuti”, http://www.depkominfo.go.id/?action=view&pid=news&id= 4112.
48
“Haji Adnan Arsal Bakal Deperiksa Polisi”, Tribun Timur, 6 November 2006. 50 Lihat Appendix D dibawah. 51 Wawancara Crisis Group, Palu, Desember 2006. 52 Sesungguhnya Andi Bocor sudah lama tidak aktif di kelompok Tanah Runtuh. Hasrin Laturope adalah teman dari
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
dibesar-besarkan di media-media, perlakuan baik terhadapnya dan pembebasannya beberapa hari kemudian lebih-lebih lagi, ketika polisi mengumumkan mereka membebaskannya dari segala tuduhan. Pada minggu ketiga bulan November, polisi mengirim Habib Rizieq, ketua FPI (Front Pembela Islam) yang berbasis di Jakarta, untuk melakukan safari ceramah di sekitar Sulawesi Tengah. Dikenal karena sering menyerang tempat-tempat maksiat dan pusat ajaran agama yang “menyimpang”, FPI memiliki banyak pengikut di wilayah Poso. Polisi berharap Habib Rizieq dapat membujuk sejumlah mujahidin lokal agar menyalurkan energi mereka untuk membasmi kemaksiatan daripada menyerang rakyat sipil. Tetapi mereka juga berharap ia dapat membantu polisi dalam upaya membujuk para DPO untuk menyerahkan diri.53 Karena itu, pada tanggal 25 November, setelah melakukan sebuah tabligh akbar di hadapan sekitar 3,000 orang, Habib Rizieq bertemu dengan para pengacara TPM (Tim Pengacara Muslim), Adnan Arsal dan para pemuka agama setempat dalam sebuah rapat tertutup dengan para keluarga tersangka. Beberapa dari mereka memberi tahu Rizieq bahwa saudara mereka tidak akan menyerahkan diri kecuali kasus keenambelas orang yang disebut oleh Tibo diadili terlebih dahulu.54 Meskipun begitu, pada tanggal 28 November, dua orang lagi dari DPO, yaitu Ateng Marjo alias Iswanto dan Abdul Nasir Doho menyerahkan diri. Keduanya dicurigai terlibat dalam perampokan bersenjata gaji pemda Poso. Mereka dimintai keterangan selama seminggu di Palu, kemudian dibebaskan tanggal 4 Desember dan diterbangkan kembali ke Poso. Sekali lagi polisi mengembar-gemborkan mengenai betapa baiknya mereka diperlakukan. .55 Syahril Lakita alias Ayi dan Upik Kokong menyerahkan diri tanggal 6 Desember. Mereka dicurigai memasang sebuah bom di Gedung Olah Raga (GOR) Poso tanggal 3 Agustus 2006, yang meledak namun tidak menimbulkan korban. Upik sudah kabur ke Jakarta ketika DPO diumumkan. Polisi Poso memberi uang sejumlah Rp 1,5 juta kepada orangtuanya untuk membujuknya menyerahkan diri, dan polisi Sulawesi Tengah menambahi Rp 1,5 juta
dua orang yang dicurigai sebagai informan polisi yang dibunuh beberapa hari sebelumnya, juga oleh kelompok Tanah Runtuh. Tampaknya polisi menganggap ia bersalah karena hubungan yang ia miliki: polisi membantah ia telah memasok informasi kepada polisi, meskipun polisi siap mengakui bahwa temannya melakukan hal itu. 53 Wawancara Crisis Group, perwira tinggi polisi, Palu, 30 November 2006. 54 Wawancara Crisis Group, Palu, Desember 2006. 55 “Dua DPO Poso Dilepas”, Radar Sulteng, 5 Desember 2006.
Page 17
lagi. Ia kembali, didampingi dengan pengacaranya, dibiayai oleh polisi. Tak ada lagi yang lainnya yang bersedia mengikuti langkah mereka; beberapa tersangka, dalam beberapa kasus sangat didukung oleh para istri mereka, mengatakan bahwa mereka lebih baik mati syahid daripada menyerahkan diri.56 Polisi tambah membaiki Adnan Arsal. Pada tanggal 18 Desember, mereka mengundang Haji Adnan dan Dahlan, mertua Irwanto Irwano, untuk datang ke Jakarta bersama dengan anggota keluarga yang lain. Mereka semuanya ingin menjenguk Irwanto, yang masih ditahan di mabes Polri. Hal ini adalah upaya untuk memperlihatkan kebaikan dan menunjukkan seolah-olah polisi juga akan memastikan kunjungan keluarga secara berkala bagi mereka yang masuk dalam DPO, jika mereka menyerahkan diri. Mereka juga memberitahu Haji Adnan bahwa mereka akan memberikan uang Rp 50 juta kepada keluarga para tersangka yang menyerahkan diri. Ia menyampaikan tawaran tersebut kepada para tersangka dalam perjalanan pulang, namun semuanya menolak. Polisi mengatakan bahwa mereka akan merekomendasikan hukuman yang lebih ringan kepada para jaksa dan hakim, dan dalam kasus dimana tersangka dikenai tuduhan lebih dari satu, mereka mungkin bisa memilih kasus yang mana yang akan diadili.57 Tak satupun yang berhasil. Kepada publik, polisi menjelaskan bahwa para tersangka masih takut kalau mereka akan mengalami penyiksaan oleh polisi, tetapi jika mereka berbicara kepada rekan-rekan mereka yang telah menyerahkan diri, mereka akan tahu bahwa ketakutan mereka tak berdasar. Para pengacara tersangka bersikeras masalahnya bukan takut – tetapi kegagalan pemerintah untuk menyelidiki pembantaian terhadap warga Muslim di tahun 2000-2001.58 Tapi mungkin sebenarnya hal ini tidak serumit yang mereka katakan: Orang-orang ini, beberapa dengan latar belakang kriminal, adalah orang-orang yang lebih baik bertempur dari pada menyerahkan diri kepada siapapun dalam institusi yang sudah lama mereka anggap sebagai musuh. Khawatir akan terjadi kekerasan, ribuan polisi tambahan dikerahkan ke Poso untuk menjaga gereja-gereja selama libur Natal, tetapi tidak terjadi insiden apapun. Pada bulan Januari 2007, polisi menulis surat kepada beberapa tersangka, meminta kepada mereka, dengan dasar agama, untuk menyerahkan diri. Tetapi saat itu jelas bahwa upaya persuasi sudah gagal.
56
Wawancara Crisis Group, Palu, Desember 2006. Wawancara Crisis Group, Jakarta, Januari 2007. 58 “TPM Bantu Nego DPO”, Radar Sulteng, 28 Desember 2006. 57
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
VIII. OPERASI 11 JANUARI DAN BUNTUT KEJADIAN TERSEBUT Pada tanggal 10 Januari, berita utama koran terkemuka di Sulawesi Tengah menulis, “24 DPO Segera Ditangkap”. Kepala Polisi Daerah yang berdiri disamping Adnan Arsal dalam sebuah konferensi pers di Poso sehari sebelumnya mengatakan kekerasan mungkin akan terpaksa digunakan jika para tersangka menolak untuk menyerahkan diri. Tetapi ia tidak mau mengatakan kapan dan bagaimana hal itu akan dilakukan.59 Ia memuji “upaya luarbiasa” yang dilakukan Haji Adnan untuk membantu berunding dengan keluarga DPO. Haji Adnan mengatakan bahwa pada prinsipnya seluruh DPO bersedia untuk menyerahkan diri, tetapi mereka ingin memastikan bahwa warga Kristen yang bertanggung jawab atas kekerasan di masa lalu terhadap warga Muslim akan diadili pada waktu yang sama.60 Dua hari kemudian, polisi melancarkan serangan. Jam 6.30 pagi, dua unit reaksi cepat Densus 88 yang masingmasing terdiri dari duabelas orang, di back-up oleh dua unit Brimob, dengan kendaraan memasuki sebuah jalan tak jauh diluar kompleks Tanah Runtuh. Karena mereka memakai kendaraan truk biasa, awalnya warga tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Tim tersebut bergerak cepat ke rumah orangtua Basri, dimana tersangka utama diyakini sedang bersembunyi disitu, dan ke sebuah rumah yang lain di jalan yang sama, dimana sekelompok tersangka tidur diluar. Mereka tidak berhasil menangkap Basri, tetapi dirumah yang kedua, mereka menemukan tiga DPO, yaitu Dedi Parsan, Anang Mayetadu alias Papa Enal, dan Paiman alias Sarjono, serta Abdul Muis dari JI Palu, dan seorang bernama Supriady alias Upik Pagar. Menurut warga setempat, Dedi saat itu sedang tidur di sofa di ruang tamu. Ia ditembak lalu ditikam dibagian dada dan tangan kiri, dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Polisi membantah kuat bahwa ia ditusuk, tetapi warga mengatakan mereka punya foto jenazah Dedi. Polisi mengklaim ia melawan penangkapan dan seorang anggota tim menembaknya di dada untuk membela diri. Yang lainnya di rumah itu ditangkap. Menurut versi lokal, Ustadz Rian keluar dari Pesantren Ulil Albab untuk melihat apa yang sedang terjadi ketika ia mendengar bunyi tembakan. Ia telah diberi instruksi oleh Adnan Arsal untuk mencegah polisi memasuki sekolah. Ketika ia pergi untuk memukul tiang listrik, polisi menembaknya di kepala. Seorang pengajar yang 59 60
“24 DPO Segera Ditangkap”, Radar Sulteng, 10 Januari 2007. Ibid.
Page 18
lain, yang merupakan warga setempat bernama Ibnu, terluka. Polisi mengatakan bahwa Rian keluar untuk menyerang polisi dengan sebuah bom di tangannya dan bahwa mereka memiliki sebuah rekaman video untuk membuktikannya, jadi ia juga ditembak polisi yang membela diri. Karena cerita mengenai pembunuhan terhadap Dedi dan Rian begitu berlainan dan kedua belah pihak yakin bahwa mereka lah yang benar, maka perlu dilakukan sebuah penyelidikan yang mendesak dan tak berpihak. Sebuah tugas yang dapat dilakukan oleh sebuah komisi penyelidik jika komisi jadi dibentuk untuk memeriksa operasi polisi tanggal 22 Januari juga.61 Empat orang yang ditangkap ketika Dedi terbunuh dan dua orang lagi yang ditangkap diluar wilayah Tanah Runtuh yaitu Imran, 20, dan Makruf Zainuri, dari Morowali, diterbangkan ke Palu.62 Tak seorangpun DPO utama yang tertangkap. Polisi menyita sebuah gudang senjata dari rumah-rumah yang mereka gerebek, termasuk sebuah M-16, dua senapan, sebuah pistol dan sebuah peluncur granat, kata mereka beberapa berasal dari Filipina; duabelas pucuk pistol rakitan dan sebuah senapan rakitan; amunisi untuk seluruh senjata diatas dan sejumlah bom rakitan, beberapa dipersiapkan oleh Sarjono. Dibawah interogasi, Sarjono menurut laporan mengakui bekerja dengan Taufik Bulaga untuk menyiapkan sejumlah serangan bom dan memberinya detonator untuk bom Tentena.63 Wakil Presiden Yusuf Kalla menghimbau masyarakat untuk tidak menyalahkan polisi atas operasi penggerebekan tersebut, karena semua langkah lain telah dilakukan dan tidak berhasil, tetapi seorang warga mengatakan kepada wartawan: “Ini bukan operasi penegakan hukum; ini perang”64 Siang itu, Dedy Hendra, 21, seorang anggota polisi dari Cianjur, Jawa Barat, yang sudah bertugas di Poso sekitar setahun, lewat dengan motor dinasnya bersama dengan pacarnya, ketika penguburan Ustadz Rian sedang berlangsung. Ia berhenti untuk menghormati upacara pemakaman, namun dikeroyok oleh para pelayat hingga tewas.
61
“Darah Tumpah Lagi di Poso”, Radar Sulteng, 12 Januari 2007. 62 Ibid. 63 “4 Kg Kalium Florat & 7 Bom Lontong Tersangka Poso Disita”, Detik.com, 17 Januari 2007. 64 “Warga Tuding Polisi Lakukan Penyerangan”, Radar Sulteng, 13 Januari.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
Pada tanggal 12 Januari, sehari setelah operasi penggerebekan, tiga orang anggota polisi terluka di Poso dalam sebuah bentrokan lain dengan tentara setelah bertengkar soal perempuan. Insiden tersebut menggarisbawahi adanya masalah kerjasama antara TNI dan Polri di wilayah itu dan memperlihatkan bahwa skenario mengenai oknum-oknum tentara menghasut warga setempat untuk menyerang polisi adalah hal yang tidak mustahil terjadi. Polisi terus mengepung Tanah Runtuh selama beberapa hari. Selama akhir pekan 20-21 Januari, penduduk mengatakan bahwa mereka mendengar ledakan dan bunyi tembakan dari waktu ke waktu. Dini hari tanggal 22 Januari, Densus 88 bersama dengan pasukan BKO Brimob bergerak menuju Jalan Pulau Irian, lokasi operasi penggerebekan 11 Januari, dan daerah sekitarnya. Ketika itu, tembakan dari dalam salah sebuah rumah menewaskan anggota Brimob, Rony Iskandar, dan melukai beberapa yang lain. Dengan helikopter melayang-layang diatas, polisi balas menembak. Beberapa orang dari dalam rumah-rumah di jalan itu lari menuju perbukitan dibelakang Tanah Runtuh; pada saat kejadian itu berlangsung beberapa orang ditembak dan yang lain ditangkap. Operasi tersebut baru selesai pada saat matahari terbenam. Satu orang dilaporkan meninggal setelah dibawa ke tahanan polisi; beberapa saksi mata yang melihat jenasah Udin, adik Basri, mengatakan ditubuh mayatnya terdapat luka-luka memar dan tidak ada luka bekas tembakan. Korban tewas yang lain, diketahui adalah mujahidin, meskipun tak satupun dari DPO. Beberapa anggota keluarga DPO termasuk diantara yang tewas. Begitu juga beberapa mujahidin dari daerah lain. Tiga orang dari Ampana, Muhammad Safri alias Andreas, Om Gam, dan Ridwan, baru tiba di Tanah Runtuh hari Minggu; ketiganya tewas keesokan harinya. Seorang korban tewas yang lain, seorang anggota Mujahidin Kayamanya bernama Icang, adalah salah seorang dari beberapa anggota kelompok tersebut yang membela orang-orang Tanah Runtuh untuk menunjukkan solidaritas. Lebih dari duapuluh orang ditangkap dan sedang diinterogasi mengenai peran mereka. Termasuk dua DPO, Wiwin Kalahe dan Tugiran. Limabelas orang tewas untuk menangkap dua orang bukan sebuah rasio yang mengesankan.
Page 19
IX. PERKEMBANGAN POSO DAN JI Perkembangan di Poso memberikan sejumlah petunjuk mengenai evolusi JI yang rumit selama beberapa tahun belakangan. Beberapa bulan tak lama setelah penangkapan Hasanuddin, yang terkait dengan pemenggalan siswi SMU Poso, tampaknya wakalah Poso telah menjadi sebuah unit yang telah menyeleweng dari JI dan kurang lebih bertindak sendiri, diluar organisasi yang lebih luas. Bagaimanapun juga, Hasanuddin, telah dikirim akhir 2002 untuk menggalang dana dan memperluas keanggotaan, tetapi operasi militer (amaliyah) berpotensi untuk mengganggu kedua tugas tersebut. Oleh karena itu mengapa JI tidak mencoba menghentikan hal itu? Menurut sebuah pendapat, dalam enambulan semenjak kedatangannya di Poso, setelah para pemimpinnya langsung –khususnya Nasir Abas – ditangkap awal 2003, Hasanuddin sedikit banyak ditinggal sendirian tanpa pengawasan. Tanpa arahan dari atas, secara berangsur-angsur ia mengadopsi agenda para anggota lokalnya, yaitu: melakukan balas dendam terhadap warga Kristen setempat. Tetapi beberapa faktor memperlihatkan sejumlah ketidak cocokan dengan pandangan ini. Yang pertama yaitu gelombang kedatangan para ustadz dari sekolahsekolah JI secara tetap ke Poso setelah penangkapan tahun 2003 – contohnya, Rian di tahun 2004 dan Sanusi tahun 2005. Paling sedikit ada tiga kemungkinan, dan bisa kombinasi diantara ketiganya, yaitu: mereka menemukan bahwa di Jawa suasananya terlalu rawan buat mereka dengan intensitas operasi anti-teror polisi disitu; mereka tertarik oleh wilayah konflik dimana beberapa dari mereka pernah berjihad disitu, dan motivasi untuk berjihad tetap kuat; mereka dikirim oleh pimpinan yang lebih tinggi dalam organisasi JI. Hasanuddin mungkin telah mempunyai ruang gerak yang cukup luas, tetapi dengan begitu banyaknya para pendatang dari Jawa, kemungkinan ada pengarahan yang sporadis dengan tokoh-tokoh senior JI. Kalau ditinjau kembali, sulit untuk membayangkan bahwa Poso akan diserahkan begitu saja kepada nasibnya dengan melemahnya JI. Wilayah ini terlalu penting. Dari penjajakan awal tahun 2000, JI telah menganggap Poso sebagai wilayah yang subur untuk memperluas JI, seperti yang ditunjukkan pertama kali dengan disusunnya Proyek Uhud yang disebutkan diatas, kemudian dengan pembentukan sebuah wakalah baru. Poso dilihat sebagai sebuah basis aman (qoidah aminah) dimana sebuah masyarakat Islam dapat didirikan lalu disebarkan keluar. Legitimasi/keabsahan jihad terhadap musuh kafir disana, bahkan setelah perjanjian damai Malino, adalah sesuatu yang dapat disepakati oleh
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
seluruh faksi JI, tanpa menghiraukan pendirian mereka terhadap pengeboman target-target Barat. Meskipun melakukan balas dendam terhadap warga Kristen sudah pasti merupakan agenda kelompok Tanah Runtuh setempat, namun dengan mengadopsi hal itu oleh Hasanuddin bukan berarti ia telah meninggalkan tujuan organisasi yang lebih luas – tingginya tingkat motivasi sudah barang tentu telah memfasilitasi upayanya untuk mengawinkan ideologi jihad dengan kemampuan militer. (Dalam hal ini, gagasan bahwa Poso hanya menjadi tempat menggalang dana seperti Malaysia, atau bahwa JI hanya punya satu agenda, perlu dirubah: Seseorang tidak akan bisa mempertahankan semangat tempur hanya dengan menanam biji coklat). Argumentasi yang lain yang berlawanan dengan gagasan mengenai sebuah sel yang berdiri sendiri yaitu cepatnya JI melakukan regenerasi dalam tubuhnya. Di Jawa Timur, contohnya, setiap seorang ketua wakalah tertangkap, posisinya akan langsung terisi, sehingga dengan cepat Son Hadi menggantikan Usman bin Sef alias Fahim pada bulan April 2004, dan begitupun ketika dirinya digantikan oleh Ahmad Basyir pada bulan Juli 2004. Di Palu, setelah penangkapan hampir seluruh pimpinan wakalah pada tahun 2003, menurut laporan, Hasanuddin mengambil alih dan menjalankan wilayah Poso dan Palu. Sementara itu wakalah yang ketiga Sulawesi Tengah, di Pendolo dekat perbatasan Sulawesi Selatan, tampaknya tetap mempertahankan kepemimpinannya yang semula. Dengan ditangkapnya Hasanuddin bulan Mei 2006, menurut laporan, pemimpin baru telah muncul, dengan Ustadz Yahya di Poso dan seorang lagi bernama Mas Toto mengambil alih di Palu. Kepemimpinan Yahya belum bisa dipastikan, dan tidak banyak yang diketahui mengenainya, kecuali bahwa ia pernah berlatih di Mindanao. Tetapi jika ia telah mengambil alih posisi sebagai ketua wakalah, pertanyaannya adalah siapa yang mengangkatnya. Kompleksitas JI tahun 2007 adalah bahwa dua atau tiga fraksi mungkin saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh. Salah satunya adalah fraksinya Noordin Mohammed Top, yang sekarang lebih sebagai kelompok sempalan daripada sebuah fraksi JI, yang telah bergerak di luar JI, meskipun masih mengandalkan jaringan JI untuk mendapatkan tempat berlindung. Melalui Subur Sugiarto, Noordin sudah hampir pasti pernah ada kontak dengan Sahl dan mungkin masih berhubungan dengan beberapa guru Tanah Runtuh, tetapi ia tidak dalam posisi untuk menetapkan ketua wakalah yang baru. Kalangan dalam Noordin juga mengandalkan pada para alumni kamp pelatihan JI-DI (Darul Islam) di Pendolo. Arman, seorang anggota DI yang tewas dengan Azhari dalam sebuah operasi polisi di Batu, Malang bulan November 2005, berlatih disana, begitu juga dengan Iwan alias Rois, korlap di kasus bom
Page 20
Kedubes Australia; Ubaid, yang bertugas sebagai kurir Noordin; dan Jabir, salah seorang pengikutnya, yang terbunuh dalam sebuah operasi polisi di Wonosobo, Jawa Tengah pada bulan April 2006. Oleh karena itu, bukan hal yang mengherankan jika Noordin telah membuat kontak dengan wakalah Pendolo yang sekarang. Pada ekstrim yang lain yaitu para pemimpin JI yang sangat menentang Noordin dan taktiknya dan secara diam-diam bekerja sama dengan – dan dalam beberapa kasus menerima dana dari – pihak berwenang Indonesia demi memperoleh ruang bernafas untuk membentuk kembali dan membangun organisasi JI. Mungkin ada kelompok ketiga yang masih berada dalam hirarki JI yang menolak pengeboman sasaran-sasaran Barat dan melihat hal ini sebagai hal yang tidak sah, tetapi percaya pada keinginan untuk menghidupkan jihad di Indonesia. Untuk kelompok ini, sebuah jihad melawan kekuatan thoghut, dimulai dengan polisi, akan membuat ideologi jihad salafi tetap hidup, memberi pembenaran untuk latihan-latihan militer, memberi target baru dan menarik para mujahidin dari daerah-daerah di luar wilayah konflik. Operasi polisi di Poso, jika ditangani dengan buruk, dapat memberikan dorongan yang diperlukan itu. Ada beberapa indikasi bahwa beberapa orang ustadz Tanah Runtuh mempunyai jalan pikiran seperti ini, dan hal ini menguatkan kebutuhan untuk memperoleh perhatian yang berkelanjutan terhadap Poso. Satu hal yang perlu diawasi dalam hal ini yaitu apakah ketiga wakalah di Poso, Palu dan Pendolo bertindak bersama-sama. Jika gagasan jihad melawan polisi thoghut hanya terbatas di Poso tidak menyebar ke Palu atau Pendolo, maka hal itu bisa menjadi indikasi lain adanya keretakan di dalam gerakan, dan kita bisa bernafas lega. Tanda-tanda apapun mengenai adanya koordinasi akan menambah resiko dan kemungkinan bahwa gagasan jihad melawan pemerintahan Indonesia yang thoghut sedang menyebar.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
X.
KESIMPULAN: LANGKAH KE DEPAN
Kebulatan tekad yang baru dari pemerintah Indonesia untuk memberantas jaringan jihad di Poso disambut dengan baik, tetapi bukan berarti metode polisi kebal dari kritik. Saat ini jauh lebih dibutuhkan dari sebelumnya untuk mengambil langkah meminimalkan korban sipil dan melakukan investigasi sepenuhnya dan tak berpihak jika dan ketika hal itu terjadi. Tindakan keras mengandung resiko yang sangat tinggi, itulah salah satu alasan mengapa pemerintah selama ini enggan untuk mengambil tindakan terhadap para DPO Poso. Meskipun pada kenyataannya tidak ada serangan bom besar yang terjadi di Indonesia tahun 2006, terorisme dan sel-sel teroris belum tumpas. Sangat penting untuk memastikan bahwa Poso tidak menjadi tujuan baru bagi para mujahidin di negara ini, kali ini dengan fokus anti pemerintah. Sangat penting juga untuk memastikan bahwa orang-orang seperti Basri dan Taufik Bulaga tidak dibiarkan terus melakukan kejahatan tanpa mendapat hukuman.
Page 21
dibutuhkan oleh mereka yang masih mengungsi, dan menyusun sebuah program lapangan kerja yang dapat menyerap para mujahidin setempat.65 Tuntutan untuk mengusut konflik di masa lalu tidak akan hilang. Pemerintah, lewat sebuah Surat Keputusan Presiden harus membentuk sebuah badan pencari fakta yang independen yang terdiri dari pejabat-pejabat sipil, militer, polisi, LSM dan pemuka agama – seluruh pemangku kepentingan atas Poso yang damai – untuk mengkaji keluhan dan ketidakpuasan masyarakat yang tersisa dari tahun 2000-2001. Badan tersebut harus memiliki wewenang yang kuat untuk menanyakan kepada mereka yang memegang jabatan semasa konflik, baik sipil maupun militer, dan proses pemeriksaan dan temuan-temuannya harus sepenuhnya transparan. Tak seorangpun yang meragukan betapa sulitnya atau pekanya tugas ini, namun sulit untuk melihat bagaimana Poso dapat melangkah maju tanpa memberi perhatian pada penyelesaian masa lalu.
Tetapi bahkan meskipun persoalan para DPO yang tersisa menjadi fokus utama, pemerintah perlu melihat ke belakang dan mempelajari bagaimana menangani penyebab yang lebih luas dari kekerasan yang terus terjadi di Poso. Penangkapan para DPO Tanah Runtuh hanya akan menjadi babak lain dalam konflik panjang kecuali keluarga mereka dan yang lain yang dipengaruhi konflik bisa ditawari harapan untuk masa depan. Perjanjian damai Malino 2001, yang termasuk ketetapan untuk pembangunan ekonomi kembali, pemberian uang bantuan sosial dan pemberian tempat menetap yang baru bagi para pengungsi, gagal untuk memenuhi semua ketetapan diatas, sebagian besar karena korupsi yang merajalela. Meskipun sebuah program baru bantuan ekonomi bagi keluarga-keluarga yang dipengaruhi oleh konflik telah diumumkan bulan November 2006, namun banyak orang di Poso yang tidak yakin bahwa yang ini akan kurang korup dari program-program yang sebelumnya. Warga setempat mengatakan bahwa pemerintah sering bertindak sebagai Sinterklas, mengirim pejabat-pejabat tinggi ke daerah dengan membagikan uang dan hadiah-hadiah lain, kemudian pergi tanpa perhatian berkelanjutan atau meninggalkan pengaruh yang langgeng. Pemerintah Indonesia sebaiknya membentuk sebuah badan langsung dibawah Presiden, serupa dengan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi di Aceh, dengan sebuah mandat untuk mendokumentasikan apa saja yang
65
Rekomendasi-rekomendasi Crisis Group sehubungan dengan upaya reintegrasi mujahidin dalam laporan Crisis Group Weakening Indonesia’s Mujahidin Network (Melemahkan Jaringan Kelompok Mujahidin di Indonesia), op. cit., akan menjadi langkah awal yang baik.
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
Kita tidak dapat menghindari kenyataan bahwa para DPO harus ditangkap dan diadili. Tetapi seorang narasumber memberi tahu Crisis Group bahwa sejumlah mujahidin yang belum menikah yang saat ini sedang bersembunyi, sedang membicarakan kebutuhan untuk segera menikah dan memiliki anak, sehingga akan ada generasi baru yang akan berjuang atas nama mereka. Karena itu, dengan hanya menangkap mereka saja tidak akan membawa perdamaian.
Jakarta/Brussels, 24 Januari 2007
Page 22
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
Page 23
APPENDIX A PETA INDONESIA
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
Page 24
APPENDIX B PETA WILAYAH POSO & MOROWALI DAN PROPINSI SULAWESI TENGAH
Adapted from the Central Sulawesi Government website: http://www.jakweb.com/id/sulteng/gov/
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
Page 25
APPENDIX C PETA KOTA POSO
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
Page 26
APPENDIX D DPO (WANTED LIST) DARI POSO
No. Name
Alias
Date, Place of birth
Nationality/ ethnicity
Nature of involvement
1
Sahril Lakita
Ayi
25 as of 2006, Gebangrejo, Poso
Indonesian
RELEASED. Suspected of involvement in 2004 bomb explosion at Poso Sports Stadium. Turned himself in December 2006, released a week later, still faces charges
2
Upik Kokong
25 as of 2006, Bonesompe, Poso
Indonesian
RELEASED. Same case as Yasin and Ayi Lakita. Turned himself in, December 2006, released after one week, still faces charges
3
Ateng
4
Nasir
5
Marjo
30 as of 2006, Gebangrejo, Poso
Occupation
Education
Family Connections
Older brother of Yasin
RELEASED. Suspected of robbing $50,000 in district govt. salaries in April 2005. Turned himself in November 2006. Released after one week, still faces charges
35 as of 2006, Gebangrejo, Poso
Indonesian
RELEASED. Same case as Ateng, turned himself in November 2006, released after one week, still faces charges
Andi Andi Ilalu Bocor, Udin
38 as of November 2006
Indonesian
Investigated on suspicion of Trader in 2005 shooting of suspected Poso Central informer, turned himself in Market 15 November 2006, released after a week, will not be charged
6
Agus Jenggot
Boiren
28 as of 2006, Gebangrejo, Poso
Indonesian, BugisGorontalo
Poso DPO October 2006, suspected of role in schoolgirl beheadings
7
Amril Ngiode
Aat
26 as of 2006, Bonesompe, Poso
Indonesian
Suspected in Tentena market bombing, killing of Rev. Susianti
Unemployed
Junior high school
Mother was mualaf (convert to Islam) from Manado
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
Page 27
8
Alex (Alek)
From Kayamanya, not Tanah Runtuh-JI
9
Anang
Papa Enal
40 as of 2006, Tokorondo, Poso
10
Ardin
Rojak
35 as of 2006, Lawanga, Poso
Indonesian
From Kayamanya, not Tanah Runtuh-JI. Suspected of involvement in Tentena bomb, May 2005 Poso, also shooting of Susianti Tinulele and shooting at Anugerah church, Palu
11
Basri
Ayas
30 as of 2006, Gebangrejo, Poso
Indonesian Javanese transmigrant
Suspected of Tentena bomb, killing Pindedapa village head and Susianti Tinulele; shooting at Gereja Anugerah 2004
12
Dede Parsan
Dedi
28 as of 2006, Gebangrejo, Poso
Indonesian Javanese (father is civil servant from Malang)
KILLED in 11 January raid. Fish seller Suspected of involvement in killing of Poso prosecutor Fery Silalahi
13
Enal
Ta’o
28 as of 2006
(speaks with a Malaysian accent)
Threw away the heads of the schoolgirls, October 2005; fled Poso area together with Ustadz Sanusi.
14
Handara Panil (Hamdara Tahmil Papa Isran)
Papa Yus, Man Labuan
40 as of 2006
Indonesian, Bugis
Role in schoolgirl beheadings
15
Iin
Brur
28 as of 2006, born in Ampana
Indonesian
Suspected of using revolver to kill Poso prosecutor Fery Silalahi, perhaps involved also in Tentena bomb
ARRESTED in 11 January 2007 raid; suspected of shooting Rev. Susianti Tinulele with M-16 and 2005 shooting of Hasrin Laturope (suspected informer), Landangan
Gang member; Fish, poultry, vegetable seller
Took university courses in Malang
Works at Ulil Albab Pesantren
High school
More than a dozen relatives killed in 2000 massacre; brother of Yudit and Nyole
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
16
Iwan Asapa
17
Kholiq
18
Mujaddid
19
Ale
Page 28
25 as of 2006
Indonesian Bugis
Suspected of killing Poso prosecutor Fery Silalahi; shooting Rev. Ta’joja, treasurer of Central Sulawesi Protestant Church, 2004; killing I Wayan Sukarsa, journalist for Poso Post, May 2001
30 as of 2006
Indonesian Javanese
Hid the knives used in the schoolgirl beheadings
Brekele
Semarang
Indonesian Javanese
Suspected of involvement in Tentena bomb, Poso and other crimes
Nganto (Nanto)
Bojel
26 as of 2006, Gebangrejo, Poso
Suspected of involvement in schoolgirl beheadings
20
Rizal (Rijal)
Inong
26 as of 2006, Sayo, Poso
Helped plan murder of Helmi Tombiling, wife of army officer
21
Sanusi
22
Sarjono
23
Taufik Bulaga
24
Tugiran
31 as of 2006
Indonesian Javanese
Gave idea for schoolgirl beheadings as an end-ofRamadan present
Paiman
30 as of 2006
Indonesian Javanese (transmigrant)
ARRESTED in 11 January raid; wanted for bombing Poso sports stadium at the Lomba Modero event, 2004
Upik
29 as of 2006, Lawanga, Poso
25 as of 2006, Gebangrejo, Poso
Suspected of Tentena bomb and other crimes; known as Poso’s Dr Azhari after prominent bomb maker, and “the professor”
Indonesian Javanese (transmigrant)
ARRESTED in 22 January raid; robbery of local government funds
High school
Teaches at Pesantren alAmanah, Poso
High school
Worked as ustadz (teacher) at al-Amanah Pesantren
Trained in Mindanao
High school
Brother of Yusuf Asapa, detained with Andi Ipong
Jihad di Indonesia: Poso di Ujung Tanduk Crisis Group Asia Report N°127, 24 Januari 2007
26 as of 2006, Sayo, Poso
Indonesian Javanese (transmigrant)
Page 29
25
Wahono
Suspected of shooting in Sayo Atas, Poso together with Wiwin
26
Wiwin Kalahe
Tomo
22 as of 2006, Poso
ARRESTED IN 22 January raid; Suspected of beheading three schoolgirls, shooting Ivon and Yuli
27
Yasin Lakita
Acin
28 as of 2006, Gebangrejo, Poso
Accused in same case as Nasir and Ateng
Older brother of Ayi
28
Yudit Parsan
30 as of 2006
Reportedly helped plan killing of Susianti Tinulele (target was Pdt. Kongkoli)
Brother of Dede
29
Zulkifli