MENYELESAIKAN KRISIS DI TIMOR-LESTE Asia Report N°120 – 10 Oktober 2006
DAFTAR ISI RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI.............................................................. i I. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1 II. IMPLIKASI DARI PERPECAHAN YANG TERJADI PADA MASA PERLAWANAN..............................................................................................................2 A. B. C. D.
AWAL MULA FRETILIN.......................................................................................................2 KEBANGKITAN FALINTIL ...................................................................................................4 FRETILIN SETELAH KEMERDEKAAN ....................................................................................5 ROGERIO LOBATO .................................................................................................................6
III. SEKTOR KEAMANAN................................................................................................. 6 A. B.
MASALAH YANG TUMBUH DI F-FDTL ..................................................................................7 TANGGAPAN TERHADAP PETISI..............................................................................................8
IV. KEKERASAN MELETUS .......................................................................................... 10 A. B. C.
V.
PROTES PARA PETISIONER ...................................................................................................11 MAYOR ALFREDO BERGABUNG DENGAN PARA PETISIONER .................................................12 KONFLIK SEMAKIN MEMANAS, PASUKAN INTERNASIONAL TIBA...........................................14
PERTARUNGAN POLITIK ....................................................................................... 16 A. B.
PIDATO 22 JUNI ...................................................................................................................17 PENGUNDURAN DIRI ALKATIRI DAN PENANGKAPAN ALFREDO .............................................19
VI. PARA PELAKU INTERNASIONAL......................................................................... 21 A. B. C. D.
PBB....................................................................................................................................21 AUSTRALIA .........................................................................................................................23 INDONESIA ..........................................................................................................................24 PORTUGAL ..........................................................................................................................24
VII. KESIMPULAN ............................................................................................................. 25 A. B. C. D. E. F. G. H. I. J.
MEMECAHKAN KEBUNTUAN POLITIK DI TINGKAT PALING ATAS...........................................25 MENYIAPKAN LAPORAN KOMISI PENYELIDIK .......................................................................25 MENGHADAPI PARA PETISI DAN MAYOR ALFREDO .............................................................26 PENINJAUAN SEKTOR KEAMANAN ........................................................................................26 MENGEMBALIKAN POLISI KEPADA TUGASNYA .....................................................................26 MEMULIHKAN KERETAKAN HUBUNGAN ANTARA TIMUR-BARAT DAN MEMULANGKAN KEMBALI PENGUNGSI KE RUMAH MEREKA ...........................................................................27 MEMPERBAIKI PENGAWASAN PENGADILAN DAN PEREKRUTAN PERANGKAT PERADILAN.......27 MEMPERSIAPKAN PEMILU 2007 ...........................................................................................27 MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA BAGI PARA PEMUDA DI PERKANTORAN ...........................27 MENGADOPSI REKOMENDASI CAVR ......................................................................................27
LAMPIRAN A. B.
PETA TIMOR-LESTE ............................................................................................................29 INDEX NAMA DAN SINGKATAN.............................................................................................30
Asia Report N°120
10 Oktober 2006
MENYELESAIKAN KRISIS DI TIMOR-LESTE RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI Krisis yang terburuk yang terjadi dalam sejarah singkat Timor Leste masih jauh dari selesai. Negara itu saat ini dalam keadaan terlantar secara politis, menunggu laporan dari Komisi Penyelidik Khusus Independen yang ditunjuk oleh badan PBB. Laporan ini diharapkan dapat menyebut nama-nama para pelaku aksi kekerasan bulan April-Mei 2006 di Dili yang telah menewaskan lebih dari 30 orang, dan merekomendasikan tuntutan hukum bagi mereka. Dijadwalkan untuk dirilis pada pertengahan bulan Oktober, laporan ini penting untuk bergerak maju tetapi berpotensi untuk menimbulkan kontroversi. Pemilu yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada bulan Mei 2007 juga dapat menjadi sumber konflik lain. Dengan kreatifitas, fokus dan kemauan politik, Timor Leste dapat kembali ke jalur yang benar, tetapi luka yang telah ditinggalkan cukup dalam, dan dibutuhkan kebesaran hati secara politis dari beberapa pihak pelaku utama. Tetapi, ada sebuah konsensus yang semakin meningkat mengenai apa yang dibutuhkan bagi penyelesaian krisis, termasuk reformasi sektor keamanan. Sebuah misi PBB yang baru dan diperluas telah bertugas dengan mandat untuk “mengkonsolidasi stabilitas, meningkatkan sebuah budaya pemerintahan yang demokratis, dan memfasilitasi dialog antara para pemangku kepentingan di Timor Leste”. Krisis ini secara luas digambarkan berasal dari dipecatnya sepertiga dari seluruh anggota angkatan bersenjata Timor Leste pada bulan Maret 2006, dimana setelah itu para tentara yang tidak puas menjadi bagian dari perebutan kekuasaan antara Presiden Xanana Gusmao dengan Perdana Menteri Mari Alkatiri, yang sekarang telah dicopot dari jabatannya. Tetapi, masalahnya jauh lebih rumit. Akar permasalahan sebagian terletak pada perjuangan dan pengkhianatan yang telah terjadi di dalam tubuh FRETILIN, tak lama sebelum dan pada masa pendudukan Indonesia. Pertikaian ideologi dan politik yang terjadi pada tahun 1980an dan 1990an, terutama antara para anggota komite sentral
FRETILIN dengan Xanana Gusmao, yang pada saat itu adalah komandan pasukan gerilya FALINTIL, terbawa ke dalam pemerintahan pasca-konflik. Pertikaian itu juga ditemukan dalam proses demobilisasi pejuang FALINTIL yang dilakukan secara kurang memadai di tahun 2000 dan pembentukan sebuah institusi pertahanan keamanan untuk negara baru ini di tahun 2001 yang menyerap sebagian dari para veteran tetapi sebagian lagi tidak tertampung sehingga menganggur dan marah, sementara itu para donor dan PBB mencurahkan sebagian besar dari perhatian mereka terhadap pembentukan sebuah institusi kepolisian baru. Kenyataan bahwa banyak dari anggota polisi yang telah disaring dan ditraining kembali, pernah bekerja dengan pemerintah Indonesia sebelumnya, menjadi garam bagi luka para mantan pejuang. Perpecahan ideologi yang sudah berlangsung lama dan rasa frustrasi dari para mantan FALINTIL secara khusus dimanipulasi oleh Rogerio Lobato, seorang anggota komite sentral FRETILIN yang menetap di Angola dan Mozambique pada masa-masa konflik. Sebagai Menteri Dalam Negeri, ia mengendalikan institusi kepolisian, mendorong persaingan dengan institusi pertahanan keamanan, dimana hampir seluruh anggotanya secara pribadi setia kepada Xanana Gusmao, dan membentuk kesatuan polisi khusus yang secara efektif menjadi sebuah pasukan keamanan privat. Institusi kepolisian yang berada dibawahnya bertanggung jawab terhadap penegakan hukum dan ketertiban, patroli perbatasan, penanganan kerusuhan dan imigrasi. Sedangkan angkatan bersenjata tidak pernah jelas peranannya apa. Semua masalah ini semakin memburuk selama bertahun-tahun. Ketika sebanyak 159 tentara pada bulan Januari 2006 mengajukan petisi kepada Presiden sebagai panglima tertinggi, yang isinya mengeluhkan adanya diskriminasi di dalam institusi pertahanan keamanan oleh para perwira yang berasal dari bagian timur Timor Leste (lorosae) terhadap mereka yang berasal dari bagian barat (loromonu),
Menyelesaikan Krisis di Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
banyak pihak yang berkepentingan melihat hal ini sebagai kesempatan politik. Jumlah tentara dari bagian barat yang bergabung dengan para petisi bertambah banyak, sementara itu ketegangan pribadi dan kelembagaan antara seorang presiden yang terikat dengan pluralisme, dengan sebuah partai berkuasa yang secara jelas cenderung otoriter, politisasi institusi kepolisian, kurangnya kerangka kerja yang berkenaan dengan pengaturan bagi institusi pertahanan keamanan secara umum dan sifat bawaan dari sebuah elit politik kecil dengan sejarah yang sama selama 30 tahun, telah menyebabkan permasalahan ini menjadi diluar kendali.
REKOMENDASI-REKOMENDASI Kepada Pemerintah Timor Leste dan the United Nations Integrated Mission in Timor-Leste (UNMIT) secara bersama-sama: 1. Segera mendefinisikan terms of reference dan mengalokasikan dana bagi “peninjauan (review) komprehensif terhadap peran dan kebutuhan sektor keamanan” seperti yang telah ditetapkan dalam pasal 4(e) Resolusi Dewan Keamanan 1704/2006, dan secepatnya mengangkat staff yang dibutuhkan untuk mulai melaksanakan peninjauan tersebut. 2. Menggunakan review atau peninjauan untuk menjelaskan peran dari institusi pertahanan keamanan (F-FDTL), institusi kepolisian (PNTL), dan badan intelijen; maritim, perbatasan, dan ancaman keamanan dalam negri; persiapan komando dan kontrol, termasuk pada saat-saat darurat; dan mekanisme pengawasan sipil. 3. Menciptakan sebuah lapangan pekerjaan bagi para pemuda yang tinggal di perkotaan, dimulai dari Dili, dan secara bersamaan mengurangi kecenderungan terjadinya aksi kekerasan antar geng dan memberi perhatian terhadap tingkat pengangguran untuk kelompok ini yang diperkirakan mencapai lebih dari 40 persen. Kepada Pemerintah Timor Leste: 4. Membentuk sebuah dewan keamanan nasional berdasarkan pada peninjauanpeninjauan diatas, dimana para komandan polisi dan F-FDTL, kepala badan intelijen,
Page ii
dan menteri pertahanan dan menteri dalam negeri akan duduk. 5. Menyelesaikan permasalahan para pelaku desersi F-FDTL sebagai permasalahan yang sangat genting, dengan cara menuntut secara hukum untuk kasus-kasus yang dipandang perlu dan menyerap sisanya kembali ke dalam angkatan bersenjata atau menjadi pegawai negeri sipil. 6. Mengembangkan sebuah perencanaan proses pensiun secara bertahap bagi para veteran pejuang di dalam F-FDTL dan sebuah paket jaminan sosial yang lebih komprehensif bagi seluruh veteran. 7. Menampung kesatuan polisi khusus yang dibentuk oleh Rogerio Lobato ke dalam kepolisian umum sebagai langkah sementara sampai pelaksanaan peninjauan keamanan selesai dan upaya restrukturisasi apapun yang lebih lanjut dapat didasarkan pada kebutuhan yang telah diidentifikasi. 8. Meninjau rencana penyaringan kembali para anggota polisi setelah sebulan atau dua bulan untuk melihat jika hal ini dapat dirampingkan agar polisi dapat kembali bekerja lebih cepat. 9. Mencari kesepakatan dari para pimpinan seluruh partai politik mengenai kode etik politik untuk pemilu tahun 2007, mengumumkannya melalui radio-radio dan televisi dan memastikan kode etik ini disampaikan ke seluruh tingkatan di dalam struktur partai. 10. Memastikan bahwa presiden dan seluruh menteri memberikan dukungan penuh terhadap upaya rekonsiliasi Simu-Malu dan menjajaki upaya-upaya lain untuk memulihkan keretakan hubungan antara timur-barat (loromonu-lorosae), dengan perhatian khusus terhadap peran yang dapat dimainkan oleh kaum perempuan di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh keretakan hubungan ini. 11. Mengadopsi rekomendasi-rekomendasi yang diberikan dalam laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi atau CAVR
Menyelesaikan Krisis di Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
yang berjudul Chega! [Cukup!], dengan memberikan prioritas terhadap hal-hal yang berhubungan dengan keamanan bagi setiap orang, sektor keamanan, perlindungan HAM bagi kaum lemah dan rekonsiliasi, serta menyebarluaskan keseluruhan isi laporan ini kepada masyarakat. Kepada Sekretaris Jendral dan Sekretariat PBB: 12. Mengangkat seorang aktivis Utusan Khusus Sekretaris Jendral (Special Representative of the Secretary General or SRSG) yang mampu melibatkan anggota-anggota elit politik tanpa menjauhkan diri dari konflik, turun tangan jika diperlukan untuk mengurangi keteganganketegangan politik. menyesuaikan programprogram yang keluar dari jalur dan membantu mengatasi hambatan politik. 13. Melembagakan prosedur-prosedur untuk memperbaiki proses perekrutan hakimhakim, jaksa dan pengacara internasional yang akan bertugas di pengadilan Timor Leste. 14. Mengundang sebuah peer review (tim penilai) secara berkala terhadap kinerja peradilan, termasuk di dalam Pengadilan Banding, oleh sebuah panel yang independen. 15. Memastikan bahwa ada pengawasan secara tetap terhadap program-program yang didanai oleh PBB dalam bidang pengembangan hukum dan sistem peradilan oleh seorang pejabat senior PBB yang memiliki keahlian di bidang ini. Jakarta/Brussels, 10 Oktober 2006
Page iii
Asia Report N°120
10 Oktober 2006
MENYELESAIKAN KRISIS TIMOR-LESTE I.
PENDAHULUAN
Krisis politik yang paling buruk dalam sejarah negara Timor Leste yang masih muda usia belum berakhir. Dili, ibukota Timor Leste, yang hampir runtuh oleh kekerasan yang terjadi pada bulan April dan Mei 2006, saat ini dalam suasana relatif tenang tetapi mencekam, jalan-jalan di ibukota dijaga oleh pasukan keamanan internasional. Lebih dari 100,000 orang terpaksa masih harus mengungsi, dan jam malam diberlakukan secara tidak resmi. Sementara itu sejumlah anggota elit politik kunci masih berseteru. Sebuah komisi penyelidik yang ditunjuk oleh PBB diharapkan untuk mengeluarkan laporannya pada pertengahan bulan Oktober. Temuan-temuan komisi penyelidik tersebut akan menjadi hal yang penting untuk dapat maju, namun juga dapat menimbulkan kontroversi. Ian Martin, utusan khusus Kofi Annan untuk Timor Leste, menyampaikan kepada Dewan Keamanan pada bulan Agustus bahwa “ini bukan mengenai Timor Leste menjadi sebuah negara yang gagal. Tetapi lebih mengenai sebuah negara yang baru berusia empat tahun yang berjuang untuk dapat berdiri di atas kedua kakinya sendiri dan belajar untuk mempraktekkan sebuah pemerintahan yang demokratis”. Tetapi hal ini juga mengenai lebih dari itu, yaitu: bagaimana sebuah pasukan gerilya melakukan transisi dari situasi perang ke damai, dan bagaimanan institusi keamanan dibangun dari nol. Krisis ini menggarisbawahi betapa pentingnya strategi-strategi yang perlu dipikirkan secara mendalam mengenai proses demobilisasi pasca-konflik dan reintegrasi, serta bagaimana keputusan-keputusan yang buruk di awal proses transisi dapat membawa akibat yang menghancurkan di kemudian hari. Ia menyoroti masalah-masalah penting dimana proses pembentukan perdamaian oleh PBB yang berjalan salah, lebih dikarenakan kepasifannya daripada karena hal lain. Dan ia juga memperlihatkan betapa penyelesaian krisis menjadi jauh lebih sulit ketika para pimpinan politik membiarkan masalah menjadi semakin parah.
Krisis yang baru-baru ini terjadi berawal pada bulan Januari 2006, ketika sejumlah tentara mengajukan sebuah petisi kepada para pimpinan tertinggi pemerintahan, menuduh adanya perlakuan diskriminasi di dalam tubuh angkatan bersenjata. Tuduhan ini sebenarnya bukanlah tuduhan baru, tetapi dibuat dalam suasana yang telah diracuni oleh manipulasi politik yang menyebabkan polisi dan militer secara internal terpecah-pecah, dan antar polisi dan militer saling bertikai. Campur tangan dari Perdana Menteri saat itu, Mari Alkatiri, dan Presiden Xanana Gusmao, yang masing-masing memiliki visi yang sangat berbeda mengenai kemana negara ini harus dibawa dan basis kekuasaan yang saling bertentangan, sering malah membuat keadaan menjadi lebih buruk. Perpecahan antara timur-barat yang terjadi di dalam tubuh pasukan keamanan pindah ke jalan-jalan di Dili, yang akhirnya memicu tindakan penyerangan oleh orang-orang dari bagian barat (loromonu) terhadap orang-orang dari bagian timur (lorosae), dan akhirnya menciptakan sebuah generasi baru para pengungsi. Laporan ini menggambarkan bagaimana krisis timbul pertama kali dan mengidentifikasi beberapa langkah utama yang perlu dilakukan untuk menyelesaikannya, tetapi tidak jelas apakah langkah-langkah tersebut dapat atau akan dilakukan. Permasalahan di Timor Leste semakin dibuat sulit dengan luas negara yang sangat kecil, dan jumlah elit politik yang lebih kecil lagi. Keseluruhan dari krisis, penyebab dan penyelesaiannya, berputar di sekitar kurang dari sepuluh orang, yang menjalani sejarah yang sama sejak tiga puluh tahun yang lalu. Mereka antara lain termasuk Presiden Gusmao; mantan Perdana Menteri (dan sekretaris jendral FRETILIN) Mari Alkatiri; mantan menteri dalam negeri dan Wakil Presiden FRETILIN Rogerio Lobato; Perdana Menteri Jose Ramos Horta; panglima angkatan bersenjata, Brigadir Jendral Taur Matan Ruak; Kepala Staff-nya, Colonel Lere Anan Timor; Menteri Urusan Administrasi Negara, Ana Pessoa; dan Menteri Pertahanan Roque Rodrigues. Masing-masing individu ini, yang adalah pendiri negara Timor Leste, mungkin telah menciptakan sebuah pemerintahan yang disfungsional, tetapi mereka masing-masing juga
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
memiliki peran untuk dapat membuat pemerintahan ini dapat bekerja kembali – dalam beberapa kasus – dengan cara mengundurkan diri. Dalam situasi semacam ini, sebuah misi PBB yang baru dan diperluas yaitu Misi Integrasi di Timor Leste atau UNMIT (Integrated Mission in Timor Leste), memainkan sebuah peran yang sangat penting. Misi ini ditugaskan untuk “mengkonsolidasi stabilitas, meningkatkan sebuah budaya pemerintahan yang demokratis, dan memfasilitasi dialog antara para pemangku kepentingan di Timor Leste”.1 Banyak hal tergantung pada ketrampilan, pengalaman dan kepribadian dari kepala UNMIT. Kepasifan seperti yang telah menjadi ciri khas kedua misi PBB terdahulu tidak akan dapat membantu negara keluar dari krisis. Namun beberapa intervensi yang kreatif, terutama antara sekarang hingga pemilu yang rencananya akan dilaksanakan Mei 2007, dapat membantu Timor Leste kembali ke jalur yang benar.
II.
Sebenarnya semua pelaku utama di dalam krisis yang sedang terjadi saat ini adalah anggota atau mantan anggota FRETILIN (Frente Revolucioniria de TimorLeste Independente). Pro-kemerdekaan dan sosialis, FRETILIN adalah salah satu partai yang muncul pada masa penjajahan Portugis, tak lama setelah “Revolusi Carnation” yang terjadi di Lisbon pada bulan April 1974. Di sebuah koloni yang sebelumnya tak memiliki tradisi aktifitas politik yang terbuka, munculnya partai-partai secara tiba-tiba membawa persaingan keras dan pertikaian fisik, terutama antara FRETILIN dengan UDT (Uniao Democratic Timorense), yaitu sebuah partai yang lebih konservatif dan pro-otonomi (dibawah Portugal): Tiap partai menyatakan pandangan mereka sebagai kepentingan nasional, tetapi tidak mempertimbangkan bahwa kita semua adalah orang Timor, juga tidak mempertimbangkan apa yang sedang diperjuangkan oleh seluruh bangsa. Dan karena hal ini, kami melihat kurangnya kemauan para pemimpin partai untuk mengurangi tingkat kekerasan, untuk menyelesaikan apa yang sedang terjadi. Kerap kali kami melihat bahwa partai-partai tersebut cukup senang ketika para pendukungnya datang dan berkata ’Kami pukuli orang ini’ atau ’Kami bunuh orang itu.’ Hal seperti ini dianggap sebagai kemenangan kecil... Apabila suatu partai memiliki jumlah anggota terbanyak di suatu subdistrik, partai tersebut tidak memperbolehkan partai-partai lain berkampanye di daerah itu. Dan kemudian ketika partai-partai lain akan pergi ke daerah itu, penduduk akan menyerang, menutup jalan mereka, memboikot, saling melempar batu dan saling memukul.2
IMPLIKASI DARI PERPECAHAN YANG TERJADI PADA MASA PERLAWANAN
Permasalahan di Timor Leste tidak dapat dipahami tanpa merujuk kepada perjuangan dan pengkhianatan yang terjadi di dalam gerakan perlawanan tak lama sebelum dan pada masa pendudukan Indonesia. Perpecahan tersebut tak hanya terjadi di antara mereka yang tetap tinggal dan bertempur di Timor dengan mereka yang menetap di luar negeri selama masa pendudukan. Di dalam tubuh gerakan perlawanan yang berbasis di Timor, perbedaan yang kuat muncul, terutama pada tahun 1983-1984 antara mereka yang bersifat ideolog garis keras dengan mereka yang ingin membentuk sebuah front nasional yang lebih terbuka. Sebuah kelompok yang disebut “Klompok Maputo”, yaitu kumpulan orang-orang Timor yang selama masa perang lebih banyak menetap di Angola dan Mozambique, juga terbagibagi oleh perbedaan-perbedaan kepribadian dan perebutan kekuasaan di dalamnya. Perpecahan dalam sebuah gerakan gerilya umum terjadi, tetapi ketika hal ini dibawa ke dalam sebuah pemerintahan pascakonflik, akibatnya dapat menjadi sangat menghancurkan, terutama bagi sebuah negara sekecil Timor Leste. A. AWAL MULA FRETILIN
1
Page 2
Resolusi Dewan Keamanan PBB 1704 S/Res/1704/2006, 25 Agustus 2006.
Sementara itu, Indonesia semakin was-was dengan kemungkinan munculnya sebuah basis komunis di perbatasan mereka dan mulai melancarkan sebuah program infiltrasi, propaganda dan destabilisasi, dimana beberapa organisasi-organisasi politik baru di
2
Kesaksian Xanana Gusmao, Chega! [Cukup!], “Laporan Komisi Kebenaran, Penerimaan dan Rekonsiliasi” (Comissao de Acolhimento, Verdade e Reconciliaciao disingkat CAVR), bab 3, par 100. (edisi bahasa Inggris). Laporan CAVR, sebuah dokumen yang terdiri dari 2,500-halaman mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pelbagai pihak antara tahun 1974 dan 1999, juga mengangkat sebuah sejarah yang luarbiasa mengenai gerakan perlawanan.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Timor Leste baik secara disengaja atau tidak menjadi pionnya. Pada tanggal 11 Agustus 1975, UDT melancarkan sebuah aksi militer, “yang diberi berbagai nama, antara lain: sebuah kudeta, sebuah ‘percobaan kudeta’, sebuah gerakan dan sebuah pemberontakan” melawan FRETILIN.3 Setelah sekitar seminggu UDT unggul, pasukan FRETILIN, yang menyebut diri mereka FALINTIL (Forcas Armados de Libertacao Nacional de Timor Leste atau angkatan bersenjata FRETILIN) menyerang balik, di bawah komando Rogerio Lobato, yang pada saat itu menjadi orang Timor yang memiliki pangkat tertinggi di angkatan darat Portugis, dan berhasil membujuk banyak rekan-rekan tentaranya untuk bergabung dengan tentara FRETILIN. Oleh karena itu maka FALINTIL lahir bukan dari gerakan perjuangan melawan Indonesia, melainkan muncul sebagai sebuah partai dalam sebuah perang saudara.4 Kemudian sebuah pertikaian umum terjadi, bukan hanya antara UDT dengan FRETILIN, tetapi juga antar kelompok koalisi yang berbeda saling bertikai di daerah-daerah lain di Timor. Jumlah korban tewas yang paling banyak yaitu di wilayah perkotaan dimana ketegangan yang berasal dari dendam pribadi dan perseteruan antar klan yang sudah lama berlangsung, ditambah dengan posisi ideologi partai militan yang baru-baru ini, meledak menjadi sebuah kekerasan.5 Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR), yang didirikan setelah kemerdekaan, memperkirakan bahwa sebanyak 1,500 hingga 3,000 orang tewas pada waktu itu, dengan sebagian besar pembunuhan dilakukan oleh FRETILIN, tetapi tidak seluruhnya. Ermera, yang pada masa lalu menjadi sebuah basis kekuatan UDT dan pada saat ini menjadi basis “para petisioner”, adalah lokasi dari sejumlah kekejaman yang paling parah. Karena hampir seluruh tentara Timor Timur yang bergabung dalam angkatan darat pasukan kolonial berpihak kepada FRETILIN,
3
Ibid, bab 3, paras 139-149. anggota UDT memberi tahu CAVR bahwa tindakan tersebut tidak ditujukan kepada FRETILIN tetapi untuk menyingkirkan elemen komunis dalam tubuh FRETILIN dan mengambil kendali atas proses dekolonisasi. 4 Edward Rees, “Under Pressure, FALINTIL: Three Decades of Defence Force Development in Timor-Leste”, Geneva Centre for the Democratic Control of the Armed Forces, 2004. pp. 36-37. Ia mengutip Xanana Gusmao yang mengatakan dalam sebuah pidatonya di tahun 2003 bahwa “FALINTIL dilahirkan di bawah payung sebuah partai politik, FRETILIN, untuk menandingi partai politik lain, UDT”. 5 CAVR, bab 3, par. 149.
Page 3
maka mereka berhasil mengalahkan UDT dalam waktu singkat; sehingga pada bulan September 1975, puluhan ribu anggota UDT menyeberang perbatasan menuju Timor Barat untuk menyelamatkan diri. Disana, dibawah paksaan, para pemimpin UDT menandatangani sebuah petisi yang isinya memohon agar Timor Timur digabungkan ke dalam Indonesia. Kekuasaan FRETILIN yang singkat terhadap wilayah Timor Timur dari awal telah terhambat oleh kurangnya personil dan serangan dari pasukan Indonesia yang semakin hebat. Pada tanggal 28 November 1975, dua hari setelah pasukan militer Indonesia berhasil menguasai Atabae, yaitu sebuah kota kecil yang letaknya sekitar 40 km dari perbatasan Timor Barat, FRETILIN memproklamirkan kemerdekaannya dan mendirikan negara Republik Demokratik Timor Leste, dengan Xavier do Amaral sebagai presidennya, dan Nicolau Lobato sebagai Perdana Menteri. Pada tanggal 4 Desember, tiga orang menteri kabinet – Mari Alkatiri, menteri urusan ekonomi dan politik; Jose Ramos Horta, menteri luar negeri; dan Rogerio Lobato, menteri pertahanan – berangkat ke luar negeri untuk mencari bantuan diplomatik dan membeli persenjataan. Lebih dari dua puluh tahun kemudian baru mereka kembali ke Timor Leste. Pada tanggal 7 Desember 1975, Indonesia melancarkan sebuah serangan besar-besaran ke Timor Leste, dan meskipun Timor Leste memiliki sejumlah pasukan yang cukup terlatih dan mampu mempertahankan negara mereka dengan sangat baik selama tiga tahun, pada akhirnya mereka bukanlah tandingan pasukan bersenjata Indonesia yang lebih besar jumlahnya dan memiliki persenjataan yang lebih lengkap.6 Pada saat serangan dari angkatan bersenjata Indonesia terus berlanjut, diikuti oleh kekejaman perang yang meluas, terjadi perpecahan di dalam tubuh FRETILIN yang semakin dalam mengenai apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi situasi tersebut. Terjadi perbedaan pendapat mengenai prinsip untuk menempatkan militer di bawah para pemimpin politik, meskipun mereka saat itu masih muda-muda dan belum berpengalaman; mengenai strategi-strategi yang sebaiknya diterapkan untuk menghadapi musuh; dan mengenai sejauh mana rakyat sipil sebaiknya dilibatkan dalam gerakan perlawanan terhadap Indonesia. Pada tahun 1977, Xavier do Amaral mengusulkan bahwa rakyat sipil diperbolehkan
6
Rees, “Under Pressure”, op. cit., p. 37. FALINTIL sendiri mengklaim pernah memiliki 27,000 pejuang pada tahun 1975.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
menyerah kepada Indonesia, sehingga ia dituduh telah menjadi seorang penghianat yang mudah menyerah dan diturunkan dari jabatannya sebagai presiden, digantikan oleh Nicolau Lobato.7 Partai ini kemudian menjadi lebih marxist radikal dan menyingkirkan lebih banyak disiden. Kekalahan yang diderita sangat berat. Jika pada tahun pertama perang FALINTIL mampu mengerahkan paling sedikit 15,000 pejuang untuk bertempur, tahun 1980 hanya tinggal 700 tentara yang tersisa.8 Nicolau Lobato tewas pada akhir tahun 1978, dan kebijakan “resettlement“ /pemindahan paksa pemerintah Indonesia berakhir dengan bencana kelaparan yang sangat besar dimana ribuan orang meninggal. Tahun 1979, tinggal tiga orang anggota komite sentral yang masih berjuang di perbukitan, salah satunya adalah Xanana Gusmao.9
Page 4
kemudian, ia dan sejumlah pemimpin yang lain memilih untuk memulai perundingan dengan Indonesia dan mendekati Gereja Katolik, yang mana hal ini telah membuat FRETILIN menjauh.12 Mereka juga membuat tawaran kepada partai-partai lain, dan demi kepentingan bagi sebuah front nasional yang bersatu, meninggalkan Marxisme.13
B. KEBANGKITAN FALINTIL
Kebijakan-kebijakan ini tidak populer di mata anggota garis keras FRETILIN, dan pada tahun 1984, sebuah perpecahan terjadi. Keretakan ini begitu pahit hingga pada bulan September 2006, hal ini disinggung di hampir setiap pembicaraan tentang krisis yang terjadi saat ini. Para perwira senior FALINTIL, yang juga anggota komite sentral FRETILIN, melakukan percobaan kudeta terhadap Xanana.14 Dipimpin oleh Kepala Staff Kilik Wae Gae; Mauk Moruk (Paulo Gama), seorang komandan brigade; dan wakilnya, Oligari Asswain, namun percobaan kudeta tersebut gagal.
Pada bulan Maret 1981, sejumlah anggota kepempimpinan militer dan politik FRETILIN yang masih hidup mengadakan pertemuan untuk menghimpun kelompok mereka kembali. Salah satu dari mereka yang disetujui untuk menjadi anggota komite sentral adalah Lere Anan Timor, yang kemudian menjadi kepala staff pasukan pertahanan negara Timor Leste setelah merdeka. Mereka yang dikonfirmasi kembali sebagai anggota yang berada di luar negeri yaitu Mari Alkatiri, Rogerio Lobato, Jose Ramos Horta, Roque Rodrigues, dan Abilio Araujo. Xanana diangkat menjadi komisaris politik nasional dan juga komandan FALINTIL. Pertemuan tersebut juga menghasilkan perkembangan penting lain, yaitu: upaya pertama kali untuk membentuk sebuah front nasional, Dewan Revolusi Gerakan Perlawanan Nasional (the Revolutionary Council of National Resistance atau CRRN), sebagai sebuah cara untuk mendorong anggota non-partai ikut berjuang.10
Akibatnya cukup berat. Mauk Moruk menyerahkan diri kepada pihak Indonesia. Saudara laki-lakinya, Cornelio Gama, yang lebih dikenal sebagai L-7 (Elle Sette), disingkirkan, dan meskipun kemudian ditarik kembali, membentuk sebuah basis kekuatan terpisah di wilayah Baucau lewat sebuah organisasi yang mirip dengan kelompok kultus, bernama Sagrada Familia.15 Oligari dikeluarkan dari FALINTIL dan muncul kembali di negara Timor Leste setelah merdeka sebagai pimpinan sebuah kelompok disiden bernama CPD-RDTL, sehingga untuk tahun-tahun pertama setelah kepergian Indonesia menjadi sebuah masalah keamanan yang memusingkan bagi pemerintah transisi. Kilik tewas dalam keadaan yang masih diperdebatkan; istrinya menjadi anggota komite sentral FRETILIN dan akhirnya menjadi wakil menteri urusan administrasi negara dalam pemerintahan Alkatiri. Hampir dua puluh tahun kemudian, Rogerio Lobato mampu memanipulasi
Sampai titik ini, komite sentral FRETILIN telah menjadi badan yang paling penting dari gerakan perlawanan. Sejak tahun 1981, perjuangan bersenjata menggantikan perjuangan politik, dan komandan militer lah yang berkuasa saat itu – hal ini berarti Xanana harus memegang peran yang lebih besar dalam pengambilan keputusan.11 Hingga dua tahun
7
Lobato pada saat itu adalah presiden RDTL, presiden FRETILIN dan komisaris politik untuk Staff Jendral FALINTIL. Lihat CAVR, op. cit., bab 5, par. 29. 8 Ibid. 9 Yang dua lagi Fernando Txay dan Mau Hunu (Antonio Manuel Gomes da Costa) CAVR, op. cit., bab 5, par. 95. 10 Ibid. 11 Ibid, bab 5, par. 110-111.
12
Sebuah gencatan senjata untuk lima bulan yang dirundingkan tahun 1983 berakhir dengan sebuah bentrokan di Kraras, Viqueque bulan Agustus 1983 yang mengakibatkan sebuah pembunuhan massal terhadap warga sipil oleh pasukan militer Indonesia. Hasilnya, tokoh lain dalam krisis saat itu bergabung dengan FALINTIL. Falur Rate Laek, sekarang komandan Batalion I Angkatan Darat Timor-Leste, saat itu sedang bekerja membantu pasukan militer Indonesia. Pembunuhan massal membuat ia berpindah haluan. Rees, “Under Pressure”, op. cit. hal. 41. 13 CAVR, bab 5, par. 116-118. 14 Ibid, bab 5, par. 120-123. Sebuah penjelasan lain yang mungkin yaitu bahwa pemimpin kudeta tidak puas karena mereka baru saja di turunkan jabatannya. 15 Rees, “Under Pressure”, op. cit., hal. 41.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
kemarahan yang tersisa dari peristiwa tahun 1984, untuk membangun konstituennya sendiri. Langkah besar Xanana selanjutnya, yang bahkan lebih kontroversial dari pada strategi persatuan nasionalnya, namun merupakan sebuah konsekwensi yang wajar yaitu menarik FALINTIL keluar dari FRETILIN, dan membuatnya menjadi sebuah angkatan bersenjata non partisan. Ia telah mengusulkan hal ini pada tahun 1984, tetapi baru melakukannya pada tanggal 7 Desember 1987 dan meletakkan jabatannnya di FRETILIN pada hari yang sama. Tahun berikutnya ia mendirikan Dewan Nasional Gerakan Perlawanan Maubere (the National Council of Maubere Resistance atau CNRM) sebagai badan politik tertinggi dalam gerakan perlawanan; pada tahun 1989, ia mengangkat Jose Ramos Horta sebagai perwakilannya di luar negeri, sebuah langkah yang tidak mendapat sambutan baik dari kelompok Maputo yang dipimpin oleh Alkatiri, yang selama ini diberi tanggung jawab untuk urusan luar negeri.16 Perceraian FRETILIN-FALINTIL telah membawa implikasi yang mendalam bagi dinamika politik di Timor Leste pasca konflik. Hal ini berarti kepemimpinan politik partai terkonsentrasi pada kelompok diaspora, terutama dengan sejumlah anggota komite sentral yang berbasis di Angola dan Mozambique, dan mereka yang tetap bersama dengan FALINTIL hingga akhir sesungguhnya adalah para pengikut Xanana. Dan setelah kemerdekaan, hal ini kemudian menciptakan sebuah pemisahan yang terjadi di dalam antara partai dengan militer, dan partai dengan Xanana.17 C. FRETILIN SETELAH KEMERDEKAAN Namun untuk saat ini FRETILIN masih menjadi komponen yang paling penting di dalam front nasional, yang pertama CNRM, kemudian penerusnya, CNRT, yang dibentuk tahun 1998 beberapa bulan setelah Presiden Soeharto jatuh dari kekuasaan. Untuk pertama kali CNRT mengikutsertakan para pemimpin UDT dan bahkan orang-orang Timor yang memiliki hubungan dengan partai pro-integrasi yaitu APODETI. Saat itu Xanana sudah berada dalam penjara di Jakarta selama lima
16
Kelompok Maputo saat itu juga sedang ditimpa keretakan dan masalah lain. Rogerio Lobato dipenjara tahun 1983 di Angola atas tuduhan menyelundupkan intan. Setelah bebas, ia terus membuat masalah dan suatu kali bertanggung jawab atas serangan terhadap Jose Ramos Horta. Tahun 1989 ia menulis surat kepada Xanana mengeluh tentang Mari Alkatiri. Hubungannya juga kurang baik dengan Roque Rodrigues, yang kemudian menjadi menteri pertahanan. 17 Rees, “Under Pressure,” op.cit., hal. 45.
Page 5
tahun, tetapi sesungguhnya ia semakin dikenal secara internasional, dan terpilih menjadi pemimpin CNRT. Kerenggangan antara ia dan kepemimpinan FRETILIN ditutup-tutupi demi kepentingan persatuan nasional, tetapi setelah Alkatiri dan banyak yang lain kembali ke Timor pada tahun 1999, kerenggangan ini menjadi terbuka, hingga pada suatu titik dimana pada tahun 2000, FRETILIN meninggalkan CNRT. Menurut Xanana, hal ini awalnya disebabkan karena tuduhan Alkatiri bahwa ia mencoba merusak reputasi FRETILIN dengan berpendirian bahwa FRETILIN bertanggung jawab atas pembunuhan para lawan politiknya pada tahun 1975. Namun sebetulnya perbedaan diantara keduanya telah terakumulasi sejak lebih dari sepuluh tahun. Ketika pemilu yang pertama kali di Timor Leste diselenggarakan dengan bantuan PBB pada bulan Agustus 2001, sebelum kemerdekaannya yang resmi, sudah jelas bahwa FRETILIN memiliki nama yang sangat dikenal dan infrastruktur partai yang tidak dapat ditandingi oleh lawan politik manapun di Timor Leste.18 FRETILIN berhasil memperoleh 57 persen suara. Alkatiri menjadi ketua menteri, dan setelah kemerdekaan, menjadi Perdana Menteri. Xanana Gusmao terpilih menjadi Presiden pada bulan April 2002 dengan memperoleh 82 persen suara, tetapi kekuasaan yang ia miliki relatif kecil. Meskipun awalnya komite sentral FRETILIN memberikan persetujuan terhadap sebuah pemerintahan persatuan nasional yang akan mengikutsertakan partai-partai lain, namun dalam prakteknya mereka memposisikan diri mereka untuk menguasai pemerintahan dengan memberikan hampir seluruh posisi penting dalam kabinet kepada para anggota partai. Ketua Parlemen Lu ‘Olo (Francisco Guterres) juga presiden FRETILIN. Dari permulaan, hubungan antara presiden dan perdana menteri, parlemen, dan beberapa orang menteri agak tegang, sebagian karena peran presiden di bawah konstitusi sangat terbatas, sementara wibawa Xanana begitu besar. Alkatiri memegang sebagian besar dari kekuasaan, dan ia lebih mudah membuat musuh dari pada kawan. Pada tahun 2005, Gereja Katolik mengorganisir aksi demonstrasi selama sembilan hari memprotes Alkatiri atas sikap 18
Pada tanggal 20 August 2001 para pemberi suara memilih anggota majelis konstituante, yang bertugas merancang UUD dalam waktu 90 hari. Pendapatan suara FRETILIN sebanyak 57 persen membuatnya memperoleh 55 dari 88 kursi. UUD, yang penyusunannya ternyata lebih lama dari perkiraan dan akhirnya diadopsi pada bulan March 2002, mengatur bahwa majelis konstituante akan berubah menjadi parlemen setelah pemilihan presiden bulan April 2002.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
pemerintah terhadap pendidikan agama – yang berarti bahwa ketika krisis yang saat ini terjadi pecah, gereja katolik tidak dilihat sebagai mediator yang netral. Sementara itu, sejumlah pemimpin partai oposisi yang juga mantan anggota FRETILIN menemukan caracara baru di dalam kompetisi demokratis untuk mengangkat kembali rasa ketidakpuasan yang tidak terselesaikan sebelumnya. D. ROGERIO LOBATO Orang yang menjadi persoalan bagi FRETILIN, dan juga bagi yang lain, adalah anggota komite sentral Rogerio Lobato. Walaupun di banyak pemberitaan media mengenai krisis saat ini ia digambarkan sebagai tangan kanan Alkatiri, namun sebenarnya hubungan mereka lebih sebagai kawin paksa daripada sebuah persekutuan yang terbentuk secara alamiah. Rogerio kembali ke Timor Leste pada bulan Oktober 2000 setelah pemilu, dan ia segera membuat masalah. Ia memanfaatkan rasa ketidakpuasan yang beredar luas di antara para mantan tentara FALINTIL setelah dibentuknya Tentara Timor Leste pada awal tahun 2001, dengan bersekutu dengan mereka yang tidak puas dengan harapan untuk menciptakan sebuah basis kekuatan tersendiri. Pada bulan Agustus 2001, selama masa kampanye pemilu dan melebih-lebihkan perannya sebagai komandan FALINTIL yang pertama, ia menjanjikan tanpa merinci lebih lanjut, bahwa FRETILIN akan membentuk sebuah “konsep baru” untuk mengakomodasi para bekas tentara FALINTIL karena banyak dari mereka yang belum dapat ditampung ke dalam angkatan bersenjata yang baru.19 Pada awalnya ia tidak diikutsertakan dalam pemerintahan dan merasa tersinggung karena ia tidak diberi posisi sebagai menteri pertahanan pada tahun 2001, meskipun ia pernah memegang jabatan tersebut pada tahun 1975. Pada awal tahun 2002, ia mengorganisir sebuah kelompok yang terdiri dari para veteran yang memiliki hubungan dengan FRETILIN, yaitu Asosiasi Mantan Pejuang (Associacao dos Antigos Combatentes das Falintil), dan bersaing dengan dua asosiasi sejenis yang lain, salah satunya berhubungan dengan Xanana dan CNRT.20 Pada bulan Mei 2002, Rogerio mengorganisir beberapa ribu mantan pejuang FALINTIL untuk berpawai menuju kota Dili, seolah-olah untuk merayakan kemerdekaan Timor Leste namun sudah hampir pasti sebenarnya untuk menunjukkan bahwa ia
Page 6
adalah sebuah kekuatan yang patut diperhitungkan. Pada tanggal 20 Mei, ia ditarik ke dalam dewan menteri menjadi menteri administrasi dalam negeri, bertugas mengawasi pemerintah lokal dan institusi polisi. Ia telah memperkirakan kalau Alkatiri akan memutuskan bahwa ia merupakan ancaman yang lebih kecil jika berada di dalam, daripada di luar pemerintahan.21 Ia kemudian mencoba mengubah institusi polisi menjadi perangkatnya sendiri, dengan cara yang merugikan pemerintah, memperdalam perpecahan yang sudah lama ada, dan berakibat merusak keamanan internal. Kebanyakan dari anggota polisi yang diwarisi oleh Rogerio adalah orang-orang Timor yang pernah bekerja dengan Indonesia tetapi telah disaring dan dipekerjakan kembali. Kepala polisi, Paulo Martins, adalah mantan perwira Polri. Selama enam bulan terakhir tahun 2002, Lobato mempergunakan dukungan yang dimilikinya dari kelompok disiden untuk mengipasi kemarahan terhadap kelompok ini, yang berakhir dengan aksi protes yang diwarnai kekerasan di jalan-jalan, sambil mempersiapkan untuk membuka perekrutan dan menarik orang-orangnya ke dalam institusinya. Hasilnya adalah bahwa sebuah elemen yang signifikan di dalam institusi kepolisian menjadi lebih setia kepada Rogerio dari pada kepada institusinya sendiri ataupun negara. Dalam pidatonya di hari kemerdekaan Timor Leste tanggal 28 November 2002, Xanana Gusmao meminta Rogerio untuk berhenti dari jabatannya, “dengan alasan tidak kompeten dan lalai”22. Pada bulan Desember 2002, Dili rusuh setelah polisi menangani penangkapan seorang mahasiswa dengan kurang baik. Para pelaku kerusuhan membakar habis rumah Mari Alkatiri, dan banyak yang bertanya-tanya: “Apakah Rogerio Lobato di belakang ini juga?” III. SEKTOR KEAMANAN Militer memiliki masalahnya sendiri. Pada tahun 1999, pada saat referendum yang diawasi oleh PBB dalam rangka menentukan pemisahan Timor Leste dari Indonesia semakin dekat, para pejuang FALINTIL ditempatkan di Aileu. Di bawah kepemimpinan Taur Matan Ruak, komandan FALINTIL sejak tahun 1998, mereka telah menahan diri untuk tidak melakukan penyerangan balasan ketika tentara Indonesia dan para milisinya telah membakar sebagian besar rumah-rumah dan bangunan di Timor Leste, karena menyadari bahwa jika mereka menyerang balik, hal itu akan
19
“Institutional Tensions and Public Perceptions of the East Timor Police Service (TLPS) and the East Timor Defence Force (F-F-FDTL)”, laporan UNMISET, November 2002. 20 Rees, “Under Pressure”, op. cit., hal.49, cat. kaki. 146.
21 22
Ibid, hal. 52. Ibid, hal. 53.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
membahayakan intervensi internasional. Tetapi kelihatannya dunia melupakan mereka. UNTAET (The UN Transitional Administration in East Timor atau Administrasi Transisi PBB di Timor Timur) yang tiba pada bulan Oktober 1999 untuk menyiapkan Timor Timur untuk merdeka lebih memberi perhatian terhadap proses menyaring para mantan polisi Indonesia dan menugaskan mereka kembali ke jalanjalan daripada mencarikan peran bagi para mantan anggota FALINTIL yang telah berjuang di perbukitan. Kondisi di Aileu semakin memburuk, dan para mantan pejuang bertambah bosan dan tidak senang. “Kami diperlakukan seperti anjing”, kata Taur Matan Ruak pada bulan September 2006. Dan ketika akhirnya Pasukan Pertahanan atau Tentara Timor Leste (FDTL) dibentuk pada bulan Februari 2001, hanya sebanyak 650 orang dari 1,500 jumlah tentara yang diambil dari para mantan pejuang; sisanya adalah rekrutan baru. Dari permulaan, sudah ada kasak-kusuk mengenai perlakuan diskriminasi, dan sumber kebencian inilah yang dimanfaatkan oleh Rogerio Lobato.23 Pembubaran FALINTIL bersamaan dengan pembentukan FDTL menambah rasa ketidakpuasan di antara para mantan tentara FALINTIL, terutama karena dengan adanya tingkat pengangguran yang sangat tinggi tidak ada tempat lain bagi mereka untuk bekerja. FDTL, yang setelah kemerdekaan pada bulan Mei 2002 diganti namanya menjadi FALINTIL-FDTL (FFDTL), dibagi menjadi dua batalion. Batalion I sebelumnya bermarkas di kota bagian timur Los Palos, dari bulan Juli 2002 hingga 2006, kemudian pindah ke Baucau. Batalion II, yang dibentuk akhir tahun 2002 dengan anggotanya kebanyakan adalah rekrutan baru, berbasis di pusat pelatihan Angkatan Darat di Metinaro, di bagian timur Dili. Masalahmasalah manajemen timbul dimana-mana tetapi terutama yang paling parah di Batalion I, dimana perselisihan antara timur-barat dan keretakan lain mulai timbul. Pada bulan November 2002, sebuah laporan internal PBB mencatat bahwa: Ada rasa ketidakpuasan masyarakat yang meluas di wilayah pusat dan barat mengenai komposisi etnis Batalion I, yang didominasi
23
Elle Sette (L-7), contohnya, yang telah meninggalkan wilayahnya tahun 2000 dan tidak pernah kembali, mengatakan bahwa tak satupun dari 500 pengikutnya yang diterima ke dalam F-FDTL, walaupun banyak yang pernah jadi anggota ABRI justru diterima. Catatan dari wawancara dengan Elle Sette yang diberikan kepada Crisis Group, Agustus 2001.
Page 7
oleh mantan kombatan dari tiga kabupaten di wilayah timur (dimana sebagian besar pertempuran terjadi dan wilayah dimana Falintil memiliki paling banyak 24 pendukung). Sehubungan dengan itu, Taur Matan Ruak membuat sejumlah penyesuaian di dalam kebijakan perekrutan dan promosi, tetapi ada masalah logistik juga. Dengan kondisi infrastruktur transportasi yang buruk, sulit bagi para prajurit dari wilayah barat untuk kembali ke markas mereka tepat waktu, setelah cuti pulang ke keluarga mereka. Akibatnya banyak prajurit dari bagian barat dikenai tindakan disiplin, pelanggaran yang dituduhkan antara lain mangkir (ingkar dari tugas dan tanggung jawab). A. MASALAH YANG TUMBUH DI F-FDTL Pada bulan Desember 2003, sejumlah 42 tentara (sebagian besar dari bagian barat, dan termasuk Vicente da Conceicao alias Railos, yang berperan dalam krisis tahun 2006 ini)25 dikeluarkan dari pekerjaannya. Mereka mengeluhkan mengenai pemecatan yang tidak adil, jarak perjalanan yang jauh, dan sarana komunikasi yang buruk. Dan beberapa dari keluhan ini disebutkan dalam laporan yang disusun oleh sebuah komisi kepresidenan yang ditugaskan untuk melakukan penilaian terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di dalam F-FDTL pada bulan Agustus 2004. Laporan tersebut menyebutkan sulitnya kondisi hidup di mana-mana, dan sangat tidak mudah untuk kembali bertugas tepat waktu setelah cuti, serta adanya perasaan perlakuan
24
“Institutional tensions”, laporan UNMISET, op. cit. Tahun 2001, 56 persen dari FDTL adalah timur, tetapi untuk perwira FDTL proporsi timur adalah 85 persen. 25 Vicente da Conceicao alias Railos, asal Liquica, adalah pejuang FALINTIL pada masa perlawanan dan setelah merdeka bekerja di akademi pelatihan angkatan bersenjata Timor Leste yang baru di Metinaro. Ia mengatakan dikeluarkan secara tidak adil karena cuti terlalu lama setelah mengalami kecelakaan lalulintas. Sumber lain mengatakan ia dikeluarkan karena penyelundupan. Menurut Railos, ia cuti bulan September 2003 dengan ijin Taur Matan Ruak untuk menghadiri pemakaman saudara laki-lakinya. Dalam perjalanan kembali Metinaro, ia luka-luka dalam kecelakaan lalulintas dan pulang lagi untuk dirawat, memberi tahu lewat surat ke F-FDTL. Tapi tanggal 23 Desember, ketika sedang nonton berita di TV , ia melihat ia termasuk salah satu tentara F-FDTL yang dipecat karena mangkir. “Kesaksian beberapa anggota F-FDTL yg dipecat 23 December 2003”, tak bertanggal, diberikan kepada Crisis Group oleh Yayasan Hak, Dili. Railos mengklaim dalam program TV Australia, “Four Corners” bulan Juni 2006 bahwa Alkatiri mengizinkan pembagian senjata ke warga sipil. Hiruk pikuk berikutnya menimbulkan berhentinya Alkatiri.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
berat sebelah dalam proses promosi. Tetapi pemerintah tampaknya tidak melakukan langkahlangkah yang direkomendasikan oleh laporan tersebut, dan perasaan tak senang terus bertambah. Pada tanggal 26 Februari 2005, sebuah kelompok tentara lain yang juga merasa tidak puas dan mengeluhkan tentang adanya diskriminasi dalam proses promosi kepegawaian bertemu dengan presiden. Pada bulan September 2005, sebuah kontrak dengan Amerika Serikat yang memberikan bantuan logistik kepada F-FDTL dihentikan, sehingga mereka terpaksa harus mengurus dirinya sendiri untuk kebutuhan dasar seperti pemeliharaan barak dan ransum. Pada bulan Oktober, sejumlah tentara mengirim surat keluhan kepada markas berkas angkatan bersenjata mengenai atap bocor dan kekurangan makanan. Sementara masalah yang paling genting ditangani, kasak kusuk terus berlanjut. Sementara itu, Rogerio Lobato, dengan dukungan dari Alkatiri, sedang membentuk sejumlah unit-unit kepolisian khusus yang mendapat gaji dan perlengkapan yang lebih baik daripada institusi militer.26 Karena sudah ada persepsi bahwa orang timur mendominasi korps perwira F-FDTL, Rogerio dengan sengaja berpihak pada barat. Pada bulan Januari, sebuah kelompok yang terdiri dari 159 tentara mengajukan petisi kepada Xanana Gusmao sebagai panglima tertinggi, yang isinya mengeluhkan perlakuan diskriminasi terhadap barat dalam proses perekrutan, promosi dan tindakan disiplin. Mereka membuat daftar sebanyak 28 poin, sebagian besar melaporkan penghinaan yang mereka terima dari para komandan yang kurang lebih isinya bahwa loromonu tidak dapat dipercaya dan dalam masa perlawanan tidak bertempur sekeras lorosae. Sasaran utama keluhan mereka yaitu komandan Batalion I, Letnan Kolonel Falur Rate Laek. Keluhan yang mereka sampaikan cukup sepele dan mungkin dapat ditangani jika memang benar hal itu yang menjadi pokok persoalan. Tetapi ada faktor lain yang bermain.
26
Unit Polisi Cadangan (URP) dibentuk setelah F-FDTL gagal menangani dugaan serangan oleh milisi di Atsabe di bagian barat bulan Januari-Februari 2003. Mereka yang dikerahkan ke perbatasan membuat marah masyarakat lokal tanpa menemukan atau menangkap satupun dari milisi yang dicurigai bertanggung jawab. Bukannya menganalisa mengapa mereka gagal, mereka menyalahkan warga setempat karena tidak mau bekerjasama dan membantu milisi. Komunikasi Crisis Group dengan Robert Lowry, mantan penasihat keamanan di Timor-Leste, 4 Oktober 2006.
Page 8
Pemimpin petisioner, Gascao Salsinha, pernah tertangkap tangan menyelundupkan cendana pada bulan April 2005. Sehubungan dengan itu Taur Matan Ruak membatalkan kenaikan pangkatnya dan rencana tugas belajar baginya ke Portugal. Polisi mencatat kasus tersebut dalam laporan mereka tetapi tiba-tiba kasus itu tak kedengaran lagi. Karena Rogerio Lobato dikenal sebagai orang yang menguasai bisnis cendana, beberapa kalangan menafsirkan hal ini sebagai bukti bahwa Salsinha termasuk di dalam kubu Rogerio, melawan F-FDTL dan Xanana – seperti halnya kepolisian. Benar atau tidak, pembatalan kenaikan pangkatnya membuat Salsinha menyimpan dendam pribadi terhadap Taur Matan Ruak dan mungkin hal ini menjadi salah satu sebab atas aksiaksi selanjutnya. B. TANGGAPAN TERHADAP PETISI Media internasional telah melaporkan bahwa pemecatan sekitar 600 tentara pada bulan Maret 2006 telah menjadi pemicu krisis politik, dengan Taur Matan Ruak dan Perdana Menteri Alkatiri sebagai penjahat yang membiarkan hal itu terjadi. Tetapi sebenarnya tidak sesederhana itu. Salsinha dan 158 pengikutnya menandatangani petisi mereka kepada Presiden Gusmao pada tanggal 9 Januari, dan mengirimkan tembusannya kepada Matan Ruak, sejumlah pejabat pemerintah, kedua uskup, seluruh pemimpin parpol dan duta besar Australia, Portugal dan AS. Mereka menyatakan bahwa mereka siap untuk melakukan mogok makan di depan kantor presiden jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, dan jika setelah sebulan mogok makan tidak menghasilkan apa-apa, mereka akan keluar dari angkatan bersenjata.27 Pada tanggal 16 Januari, Presiden Gusmao memanggil Matan Ruak dan memintanya untuk menangani masalah tersebut. Tetapi pada saat itu angkatan bersenjata sedang dalam proses memindahkan markas Batalion I dari Los Palos ke Baucau, sebuah kota yang letaknya lebih di tengah. Pemindahan lokasi markas ini merupakan sebuah langkah yang sudah lama direncanakan, yang sebagian akan menjawab keluhan tentang jarak Los Palos yang terlalu jauh bagi prajurit dari barat untuk dapat mengambil cuti normal. Tidak masuk akal bahwa dua minggu setelah petisi diterima, Matan Ruak tidak dapat bertemu dengan Salsinha hanya karena alasan terlalu sibuk. Hubungan 27
Terjemahan tak resmi dari petisi ada di Crisis Group, 10 September 2006.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Matan Ruak di masa lalu dengan Salsinha, dan keluhan-keluhan yang terus berdatangan dari para tentara tampaknya dapat menjadi penjelasan. Tidak ada alasan untuk percaya bahwa protes yang kali ini secara signifikan lebih penting dari protes-protes sebelumnya, tetapi protes tersebut meningkat cepat dari keluhan mengenai masalah diskriminasi menjadi tuntutan terhadap Alkatiri untuk turun. Tanggal 1 Februari, peresmian barak baru untuk Batalion I dilakukan di Baucau, dan tanggal 2 Februari, Matan Ruak bertemu dengan Salsinha. Diskusi hari itu dan hari berikutnya tidak menghasilkan apa-apa, dan dua hari kemudian, ratusan tentara meninggalkan tempat tugasnya tanpa ijin. Tanggal 7 Februari, setelah bertemu dengan sekelompok kecil petisioner, dan tanpa berkonsultasi dengan Matan Ruak, Presiden Gusmao setuju untuk bertemu dengan seluruh anggota petisioner hari berikutnya. Matan Ruak percaya bahwa seharusnya presiden menolak pertemuan karena akan semakin mempolitisasi masalah, membawanya keluar dari masalah tindakan disiplin biasa dalam angkatan bersenjata dan menarik semakin banyak tentara bergabung ke dalam kelompok petisioner.28 Karena itu, ketika Matan Ruak sendiri diminta untuk ikut hadir, ia menolak. Meskipun demikian, Xanana tetap bertemu dengan 400 anggota petisioner (dan jumlah ini telah meningkat lebih dari dua kali lipat dari jumlah awal) di kantornya, bersama dengan Menteri Pertahanan Roque Rodrigues dan Kepala Staff pasukan pertahanan, Kolonel Lere Anan Timor. Dua orang anggota parlemen juga hadir. Menurut Xanana, Lere menolak mengakui bahwa memang benar ada masalah diskriminasi, sebaliknya ia menyalahkan partai politik oposisi bahwa mereka mencoba mengipasi para lawan politik.29 Presiden meminta para pengunjuk rasa untuk kembali ke barak mereka, dan mengatakan tidak akan ada tindakan balasan jika mereka sudah kembali ke barak pagi berikutnya, serta menjanjikan untuk melakukan investigasi terhadap keluhan mereka.30 Awalnya para pengunjuk rasa menolak dan mengatakan bahwa komandan mereka telah memberi peringatan dan akan menganggap mereka sebagai “musuh” jika ikut aksi unjuk rasa. Tetapi akhirnya mereka bubar.
Page 9
Tanggal 12 Februari, sebuah komisi yang terdiri dari lima orang anggota yang dipimpin oleh Kolonel Lere dijadwalkan untuk mulai memeriksa keluhan para tentara, tetapi beberapa petisioner menolak untuk bertemu karena tiga perwira yang mereka keluhkan dalam petisi ikut sebagai tim investigator. Yang lain keberatan bahwa mereka diperlakukan seperti tahanan, diawasi terus menerus.31 Pada tanggal 17 Februari, Lere memberikan ultimatum kepada para petisioner: bekerja sama dalam proses investigasi atau dipecat. Ia kembali menduga bahwa beberapa parpol sedang menghasut mereka.32 Ia kemudian memberikan cuti akhir pekan, dimana sejak itu para petisioner tidak kembali ke tempat tugas mereka, dan desersi terus berlanjut. Biasanya tentara yang absen tanpa ijin selama lebih dari 24 jam, akan dipotong gajinya, tetapi F—FDTL terus membayar gaji mereka selama berjalannya perundingan. Hingga akhir Februari, jumlah tentara yang melakukan unjuk rasa meningkat hingga 593 orang, dan pada tanggal 16 Maret, ketika mereka masih menolak kembali ke pos mereka, Matan Ruak memerintahkan mereka untuk dipecat. Ketika kemudian ditanya mengenai hal itu, ia menjawab dengan tidak sabar, ”Kami telah memberi mereka segala kesempatan. Apa lagi yang bisa saya lakukan?”33 Alkatiri mendukung keputusan tersebut; sementara Xanana Gusmao, yang pada saat itu sedang berada di luar negeri, tidak. Tanggal 23 Maret, ia melakukan pidato yang cukup emosional kepada seluruh rakyat Timor Leste yang disiarkan lewat tv, dimana semua berpendapat pidato itu hanya semakin memperburuk situasi – salah seorang wartawan lokal menyebut pidato tersebut dengan ungkapan “27 menit kata-kata yang provokatif”.34 Presiden mengatakan pemecatan tersebut tidak tepat dan tidak adil, dan memperingatkan para komandan bahwa jika mereka gagal menangani keluhan-keluhan yang telah disampaikan para tentara, maka akan menimbulkan semakin banyak perpecahan. Ia mengatakan jika 400 tentara meninggalkan barak mereka, hal itu menunjukkan ada masalah serius dalam institusi tersebut. Persoalan diskriminasi telah lama terjadi di 31
28
Wawancara Crisis Group, Taur Matan Ruak, Dili, 9 September 2006 29 http://en.wikisource.org/wiki/Palace_of_Ashes,_Speech_ Xanana_Gusm%C3%A3o,_23th_March_2006. 30 “Inquiry commission opens hearings on soldiers’ grievances”, Lusa, 10 Februari 2006.
UNOTIL Daily Media Review, 28 Februari 2006; “East Timor: Almost 600 troops involved in ‘strike’ against poor conditions”, Lusa, 2 Maret 2006; “More East Timorese soldiers desert: officer”, Agence France-Presse, 3 Maret 2006. 32 UNOTIL Daily Media Review, 21 Februari 2006 dan 3 Maret 2006. 33 Wawancara Crisis Group, Taur Matan Ruak, 9 September 2006. 34 Wawancara Crisis Group, Dili, 10 September 2006
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Page 10
dalam F-FDTL; dan hal itu bukan masalah kurang disiplin semata. Ia mengatakan jika persoalan ini tidak diselesaikan sebagaimana mestinya, hal ini akan memberi kesan bahwa F-FDTL hanya untuk orangorang dari bagian timur yang percaya bahwa cuma merekalah yang bertempur dalam perang, sementara yang lain, “dari Manatuto hingga Oecusse”, adalah “anak-anak milisi”.35 Kenyataan bahwa ia mengutip langsung dari petisi tampaknya memberi tambahan legitimasi terhadap komplain yang telah disampaikan oleh tentara.
menambah kecurigaan dari kamp anti-Alkatiri bahwa kerusuhan telah diprovokasi untuk tujuan politik.37
Pidato tersebut segera membawa dua dampak. Selain dengan begitu jelas di depan publik menyepelekan keputusan Matan Ruak, pidato ini telah merusak hubungan antara kedua orang yang persekutuannya telah menjadi sebuah pondasi dari gerakan perlawanan selama lebih dari duapuluh tahun, sehingga membuka jalan terhadap upaya lebih jauh oleh FRETILIN untuk membuat pengaruhnnya dirasakan dalam F-FDTL.36 Dan dengan melegitimasi keluhan barat, pidato ini tampaknya telah memunculkan serangan terhadap orang timur di Dili oleh beberapa orang petisioner dan kelompok lain yang menurut kabar (tapi tidak ada bukti) mendapat dukungan dari Rogerio. Hingga tanggal 27 Maret, tujuhbelas rumah penduduk telah dibakar habis, dan orang-orang dari bagian timur berdesak-desakan dalam bis-bis untuk meninggalkan kota demi menyelamatkan diri mereka. Peristiwa kekerasan tersebut kemudian membuat Alkatiri mengeluarkan pernyataan bahwa hanya FRETILIN yang mampu memastikan stabilitas nasional, dan hal ini selanjutnya
IV. KEKERASAN MELETUS
35
Xanana Gusmao, pidato 23 Maret, op. cit. Keputusan Alkatiri untuk mendukung Taur Matan Ruak ditinjau dengan sangat teliti. Salah satu alasan yang beredar luas yaitu bahwa Alkatiri telah mencoba tanpa hasil selama dua tahun untuk membawa Taur Matan Ruak dan F-FDTL ke pihaknya. Kenyataan bahwa seorang pendukung kelompok Maputo, Menteri Pertahanan Roque Rodrigues, tinggal di rumah Taur selama dua tahun dilihat sebagai “bukti” oleh lawan FRETILIN, tanpa alasan, bahwa Alkatiri sedang mencoba menempatkan seorang sekutu dekat untuk mendapatkan Matan Ruak ke pihaknya. Kemudian Alkatiri menawarkan kepada istri Matan Ruak, Isabel Pereira, untuk diangkat sebagai provador (ombudsman), tetapi tidak berhasil, yang juga dilihat lawan Alkatiri sebagai upaya untuk menarik Matan Ruak. Yang berbeda dari tema ini yaitu bahwa Alkatiri mendukung “penyaringan” barat di dalam angkatan bersenjata sehingga hubungan FRETILIN-FALINTIL yang lebih murni bisa dibangun kembali. Wawancara Crisis Group di Dili, September 2006.
36
Untuk beberapa minggu tidak terjadi kekerasan, tetapi suasana masih mencekam, bersamaan dengan kunjungan oleh Presiden Bank Dunia Paul Wolfowitz, yang mengatakan kepada pers: “pasar yang sibuk, pembangunan kembali sekolah-sekolah, berfungsinya pemerintah – dan yang paling penting perdamaian dan stabilitas – merupakan bukti kepemimpinan yang bijaksana dan keputusan yang tepat”.38
Hingga pertengahan bulan April 2006, para petisioner tampaknya telah memperoleh simpati tak hanya dari presiden tetapi juga sebagian besar warga Dili. Taur Matan Ruak dan pemimpin tertinggi F-FDTL, dikagetkan oleh pidato 23 Maret, marah kepada Xanana tetapi tidak sampai membuat mereka masuk ke kubu Alkatiri. Kolonel Lere diisukan dekat dengan Alkatiri, tapi sebagian besar karena ia adalah anggota FRETILIN sejak lama. Persekutuan antara FRETILIN dengan perwira senior F-FDTL tampaknya tidak mungkin, sebagian karena rasa permusuhan angkatan bersenjata terhadap Rogerio Lobato. Presiden Gusmao dan Jose Ramos Horta terkunci dalam sebuah pertikaian politik yang serius dengan Alkatiri, dan pada taraf tertentu, para pendukung Gusmao, jika bukan Gusmao sendiri, tampaknya telah memutuskan untuk menggunakan para petisioner dalam pergelutan itu. Pada akhir April, para petisioner yang telah dipecat meminta dan memperoleh ijin dari polisi untuk mengadakan unjuk rasa di depan kantor utama pemerintah di Dili. Salsinha menjanjikan unjuk rasa akan berjalan damai, dan Rogerio Lobato memperingatkan jika tidak, polisi akan melepaskan tembakan.39 Komandan kepolisian Paulo Martins berulangkali meyakinkan masyarakat bahwa polisi menguasai keadaan. Pada hari unjuk rasa akan dimulai, Taur Matan Ruak dan Menteri Pertahanan Roque Rodrigues berangkat ke luar negeri untuk
37
“Alarico Ximenes: Political leaders should be careful with statements,” Timor Post, dikutip dalam UNOTIL Daily Media Review, 25-27 Maret 2006. 38 “Closing Press Conference in Timor-Leste with Paul Wolfowitz”, 10 April 2006, di http://web.worldbank.org. 39 “Police can use gun to defend”, UNOTIL Daily Media Review, 20 April 2006 dan wawancara Crisis Group, Dili, 9 September 2006.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
menghadiri sebuah pameran peralatan militer di Malaysia.40 A. PROTES PARA PETISIONER Unjuk rasa mulai tanggal 24 April di depan kompleks gedung utama pemerintah, Palacio do Governo, dan dengan cepat berubah menjadi protes terhadap pemerintah Alkatiri, dengan ratusan pemuda setempat ikut bergabung, dimana banyak dari mereka diketahui adalah perusuh dan anggota geng. Beberapa dari pengunjuk rasa adalah pendukung pro-Xanana Gusmao dari barat (loromonu), CNRT yang anti FRETILIN, yang menambah kecurigaan bahwa hal ini bukan lagi mengenai persoalan diskriminasi dalam angkatan bersenjata, tetapi lebih tentang perebutan kekuasaan politik terhadap negara. Desasdesus mulai tersebar di antara para pengunjuk rasa bahwa senjata mulai dibagi-bagikan untuk membubarkan unjuk rasa. Rogerio Lobato mengatakan kepada pers bahwa ia memiliki bukti diplomat asing berdiri dibelakang aksi unjuk rasa.41 Kekerasan juga terjadi di sekitar Dili tanggal 26 April, dengan dihancurkannya kios-kios pasar di satu wilayah, dan pengrusakan rumah-rumah penduduk di wilayah lain. Beberapa saksi mata mengatakan para pelakunya mengenakan seragam militer.42 Hari berikutnya, dengan meningkatnya kekerasan, Xanana, Ramos Horta, dan Alkatiri bertemu dan mengumumkan bahwa sebuah Commission of Notables akan dibentuk untuk mengusut masalah dalam angkatan bersenjata. Taur Matan Ruak masih berada diluar negeri dan tidak ikut ambil bagian. Tetapi ketika itu, persoalan yang utama sudah bukan lagi mengenai masalah internal dalam pasukan keamanan, melainkan kelangsungan hidup pemerintah. Hari terakhir unjuk rasa, tanggal 28 April, merupakan momen penting bagi peristiwa yang terjadi selanjutnya. Kekerasan, yang dimulai oleh beberapa orang pemuda, meletus di depan istana, menewaskan dua orang. Salah satu dari unit-unit kepolisian khusus yang dibentuk oleh Rogerio, yaitu UIR, yang memiliki spesialisasi untuk bertugas mengendalikan kerusuhan (unit ini dibentuk justru untuk menghadapi
40
“Petitioners protest”, UNOTIL Daily Media Review, 22-24 April 2006. 41 Ibid. Ini mungkin menunjuk Australia, dimana pejabat senior FRETILIN curiga mereka ingin menimbulkan masalah supaya pemerintahan yang sekarang jatuh dan diganti dengan yang lebih flexible dalam negosiasi masalah minyak. 42 “Demonstrators assaulted houses and shops in Lecidere”, UNOTIL Daily Media Review, 27 April 2006.
Page 11
situasi seperti ini) seharusnya berada di lokasi, tetapi hanya satu pasukan yang dikerahkan. Polisi tampaknya menghilang; para petisioner dilaporkan berulangkali berusaha untuk mengendalikan para pemuda namun tak berhasil, kemudian berbaris kembali ke basis mereka di Tacitolu. Ketika mereka bergerak melalui wilayah Comoro, Dili, perkelahian pecah. Karena Taur Matan Ruak sedang berada di luar negeri, Alkatiri memanggil Kolonel Lere dan meminta bantuan angkatan bersenjata untuk memulihkan keadaan. Dan ini merupakan salah satu keputusan yang paling kontroversial dalam krisis yang terjadi di Timor Leste. Tergantung dengan siapa seseorang bicara, keputusan Alkatiri tersebut bisa dilihat sebagai sebuah upaya putus asa agar dapat memulihkan situasi kota atau merupakan petunjuk bahwa Alkatiri merampas kendali, dan secara sengaja menunggu hingga Taur Matan Ruak tak ada di tempat untuk melakukan siasatnya. Apapun yang terjadi, hal itu dilakukan tanpa berkonsultasi dengan presiden atau menyatakan keadaan darurat, jadi kemungkinan tidak konstitusional.43 Hasilnya membawa malapetaka. Pasukan F-FDTL yang tidak memiliki pengalaman mengendalikan massa diterjunkan untuk memadamkan kerusuhan yang apapun faktor lain yang memicu memiliki komponen timur versus barat yang kuat. Dalam kerusuhan tersebut sebagian besar penyerangan dilakukan oleh pemuda loromonu terhadap warga lorosae. Karena pasukan F-FDTL dikomandoi oleh Kolonel Lere, salah seorang yang menjadi sasaran tuduhan diskriminasi yang dikeluhkan oleh para petisioner, maka para tentara FFDTL tersebut dianggap sebagai pro-lorosae, dan oleh sebab itu menjadi pihak yang terlibat konflik. Apakah pasukan F-FDTL memang pro-lorosae dan oleh sebab itu terlibat konflik atau tidak, namun penggunaan kekuatan yang tampaknya tidak pandang bulu oleh mereka semakin memperburuk keretakan antara timur-barat, dan telah membuat para penyerang loromonu lebih berani, serta menambah dugaan warga akan adanya teori konspirasi. Segera beredar desasdesus – dan hampir pasti tidak terbukti – adanya pembunuhan masal oleh F-FDTL di Comoro, Dili, sehingga ribuan warga lorosae mengungsi ke gerejagereja dan kompleks kedutaan.
43
FRETILIN mengklaim intervensi F-FDTL sah menurut ketetapan pemerintah no. 20 7/2004 dan Pasal 115 dalam UUD. UNOTIL Daily Media Review, 23 Mei 2006.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Jumlah resmi korban tewas adalah lima orang dan lebih dari 100 rumah hancur, tetapi yang lain, termasuk sejumlah politikus oposisi menduga ada lebih dari 60 korban tewas. Badan ombudsman pemerintah yang dikirim atas ijin dari Xanana Gusmao, Alkatiri, Rogerio Lobato, dan Taur Matan Ruak, mengatakan timnya tidak dapat memverifikasi laporan karena F-FDTL melarang tim ombudsman untuk mencapai lokasi penembakan.44 Pagi hari berikutnya, tanggal 29 April, segerombolan orang menyerang rumah komandan Batalion I, Falur. Xanana Gusmao berusaha mengunjungi sekelompok pengungsi, tetapi dalam penolakan yang luarbiasa terhadap otoritas yang ia miliki sejak Timor Leste merdeka, ia dicela dan dipaksa untuk meninggalkan lokasi. “Pertama TNI membunuh kita, sekarang FFDTL dan polisi ingin membunuh kita lagi. Kapan mereka akan berhenti menembak?” ia ditanya.45
B. MAYOR ALFREDO BERGABUNG DENGAN PARA PETISIONER Tanggal 3 Mei, dalam aksi protes terhadap apa yang disebutnya sebagai penembakan sengaja terhadap rakyat sipil oleh angkatan bersenjata, seorang figur baru muncul, yaitu: Mayor Alfredo Alves Reinado, seorang kepala polisi militer. Bersama dengan tujuhbelas orang pengikutnya dan empat anggota polisi UIR, ia melakukan desersi. Hal ini menjadi kasus desersi terbesar kedua dalam konflik. Beberapa hari kemudian, dua orang perwira F-FDTL dari barat, Mayor Tilman dan Mayor Tara, mengikuti langkahnya. Alfredo pergi ke Gleno, Ermera untuk bertemu dengan beberapa petisioner, kemudian mendirikan kamp di Aileu. Ia keluar dari F-FDTL, katanya, “karena pada hari itu, tanggal 28, timur yang menembak barat. Saya saksi mata untuk kejadian itu. Saya tidak ingin menjadi bagian dari (angkatan bersenjata) yang menembak barat”.46 Namun pada kenyataannya, ia tidak melihat apa-apa. Alfredo adalah salah satu karakter yang rumit dalam cerita ini. Pada tahun 1977, pada usia sebelas tahun, ia terpaksa bekerja buat TNI sebagai tukang angkat barang, walaupun ibunya memprotes apalagi ketika ia melihat seorang tukang angkat barang ditembak mati karena menolak membawa beban lebih banyak. Ia menjadi saksi dari insiden kejam lain, termasuk
Page 12
penculikan anak-anak oleh Indonesia setelah orangtuanya ditembak mati. Ketika ia berumur tigabelas tahun, seorang sersan TNI-AD memaksanya untuk ikut kapal ke Indonesia, dimana ia menghabiskan waktu selama lima tahun di situ. Ia kembali tahun 1985 dan dua tahun kemudian bergabung dengan gerakan perlawanan. Tahun 1995, ia kabur ke Darwin naik kapal boat bersama dengan tujuhbelas orang yang lain dan bekerja di Australia hingga tahun 1999, kemudian kembali ke Timor. Dua tahun kemudian, ia bergabung dengan angkatan bersenjata dan diangkat menjadi komandan Angkatan Laut yang hanya memiliki dua kapal, dan menjadi salah satu dari beberapa loromonu dengan pangkat senior. Pada bulan Juli 2004, Alfredo dipindahkan dari jabatannya sebagai komandan karena terlibat dalam perkelahian dengan polisi, dan tahun berikutnya ia dikirim untuk kursus pelatihan angkatan laut selama tiga bulan di Australian Joint Command and Staff College. Menurut kabar di sana ia berpacaran dengan seorang tentara perempuan junior-nya dari Timor dan dikenai tindakan disiplin dengan dikeluarkan dari angkatan laut dan diberi jabatan komandan polisi militer, sebuah penurunan pangkat yang cukup jelas. Hubungan yang sudah jelek antara Alfredo dan atasannya semakin memburuk, sehingga kemungkinan besar hal itu telah menjadi faktor pribadi yang membuatnya melakukan desersi pada awal bulan Mei 2006, selain karena kemarahannya atas tindakan F-FDTL.47 Alfredo yang congkak tapi karismatik menjadi faktor tambahan dalam situasi yang sudah sulit sebelumnya – terutama karena para pengikutnya masih memiliki senjata, tidak seperti para pengikut Salsinha, yang telah meninggalkan senjata mereka ketika melakukan desersi. Tanggal 6 Mei, Alkatiri melantik Commission of Notables untuk mengusut tuduhan dari para petisioner dan masalah yang terjadi dalam F-FDTL. Ana Pessoa, seorang anggota kelompok diaspora Maputo dan menteri urusan administrasi negara, yang memimpin komisi ini, dengan anggotanya terdiri dari perwakilan pemerintah, parlemen, gereja dan masyarakat madani. Tidak seperti komisi-komisi lain sebelumnya, komisi ini memiliki pengaruh dan kapasitas untuk meminta dan mendapatkan dokumen-dokumen dari sejumlah pemain kunci. Tetapi Salsinha menolak upaya pengusutan yang dipimpin Pessoa, yang seorang loyalis Alkatiri, dan mengatakan internasional harus
44
“Investigation of dead bodies in Tasi Tolu”, UNOTIL Daily Media Review, 3 Mei 2006. 45 “Xanana asked population to return home”, UNOTIL Daily Media Review, 2 Mei 2006. 46 Mark Forbes, “A nation ruled by the gun”. The Age, 27 Mei 2006.
47
“Looking back in anger at a life less ordinary”, The Age, 31 Mei 2006.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Page 13
ikut terlibat agar upaya investigasi ini dapat dipercaya.
dari mobil dan ditikam. Salah satu kemudian meninggal.49
Gleno, ibukota kabupaten Ermera, yang telah menjadi basis para petisioner setelah tanggal 28-29 April, menjadi lokasi peristiwa kekerasan besar berikutnya. Beberapa tentara yang hengkang dari F-FDTL, termasuk Salsinha, berasal dari Ermera, dan banyak warga Dili dari loromonu telah meninggalkan Ermera setelah terjadinya kekerasan. Tanggal 8 Mei, sekitar 1,000 orang yang diorganisir sebagai bagian dari apa yang disebut ‘Gerakan Sepuluh Kabupaten’ yang dipimpin oleh Mayor Tara, berkumpul di Gleno. Mereka membawa sebuah petisi yang mengklaim bahwa masalah timur-barat telah dikipasi untuk tujuan politik, mengkritik pemerintah karena gagal menahan mereka yang bertanggung jawab atas tewasnya sejumlah korban tanggal 28 April, dan mendesak presiden menggunakan kekuasaan konstitusionalnya untuk melucuti mereka yang membawa senjata api. Mereka menuntut bantuan peradilan dan kemanusiaan bagi para pengungsi (yang mana sebagian besar adalah loromonu) dan diakhiri dengan seruan untuk memboikot pemerintah lokal. Egidio de Jesus Amaral, koordinator sekretaris negara untuk wilayah termasuk Ermera, datang dari Dili untuk mencoba mencegah boikot.
Dalam hitungan hari, lebih dari 90 orang ditahan di Gleno, tetapi insiden tersebut telah menambah panas suasana: polisi ingin tahu mengapa rekan mereka dilucuti; kelompok barat mengatakan insiden tersebut tidak akan pernah terjadi jika pemerintah lebih cepat menanggapi tuntutan petisi sebelumnya; dan kelompok timur ingin tahu bagaimana mereka akan dilindungi. Kejadian tersebut juga menghancurkan komando kepolisian. Ismail Babo tidak kembali ke Dili hingga Juni, dan Paulo Martins, komandan kepolisian nasional Timor Leste, tidak pernah berhasil menguasai anak buahnya kembali secara penuh. Peristiwa Gleno juga memperlihatkan bahwa Xanana Gusmao memperoleh dukungan dari para petisioner dan koalisi kelompok-kelompok yang berada di belakang mereka; pertanyaannya adalah sejauh mana ia aktif mendorong tumbuhnya sebuah gerakan populer melawan FRETILIN.50
Setelah kedatangan sekretaris negara, bersama dengan duabelas pengawal dari kesatuan polisi UIR (enam dari timur, enam dari barat), massa justru menjadi beringas. Para tamu terpaksa mengamankan diri di sebuah kantor pemerintah. Akhirnya komandan kepolisian Ermera meminta bala bantuan dari Dili. Tetapi ketika mereka datang, massa justru menuntut kematian polisi UIR yang dituduh bertanggung jawab atas penembakan 28 April. Ismail Babo, wakil komandan operasional kepolisian nasional Timor Leste, yang saat itu memimpin pasukan bala bantuan, atas desakan massa mengatur agar senjata para petugas UIR dilucuti, kemudian mengarahkan mereka untuk menuju pintu keluar gedung. (Katanya kemudian, kalau senjata mereka tidak diambil, massa mungkin akan menyerang gedung dan membunuh mereka semua di situ).48 Para polisi UIR keluar dari dalam gedung menuju sebuah mobil yang sudah menunggu untuk membawa mereka kembali ke Dili, tetapi kemudian massa mulai melempari mobil dengan batu. Dua orang polisi UIR ditarik atau jatuh
Di Dili, konfrontasi dengan para pemberontak terus berlanjut. Ramos Horta dan Xanana melakukan pembicaraan dengan Mayor Alfredo pada pertengahan bulan Mei, yang membuat kesal Taur Matan Ruak. Ia mengatakan sudah cukup buruk bahwa Alfredo melakukan desersi, lebih buruk lagi ia masih bersenjata. Tanggal 17 Mei, kongres Nasional FRETILIN yang kedua dibuka dalam suasana krisis. Menurut pendapat para pemimpin FRETILIN, persoalan para petisioner telah berkembang menjadi sebuah serangan politik skala penuh terhadap FRETILIN, kelompok Maputo dan Alkatiri secara pribadi; sehingga diputuskan mereka tidak akan membiarkan hal ini terus berlangsung.51 Alkatiri mungkin tidak akan menyetujui adanya sebuah tantangan dari dalam terhadap rencana pemilihannya kembali dibawah situasi dan kondisi apapun, apalagi sekarang. Oleh karena itu, ketika sebuah kelompok kecil “reformis” yang dipimpin oleh Jose Luis Guterres, duta besar Timor Leste untuk Amerika Serikat dan PBB, melakukan kampanye untuk mencalonkan diri, Alkatiri merubah aturan pemungutan suara. Daripada melakukan voting secara rahasia seperti yang diharuskan oleh undang-undang partai politik, sebaliknya ia meminta voting dilakukan dengan mengangkat tangan – dan ia terpilih kembali dengan
49
48
“Police showing good example: Alkatiri”, UNOTIL Daily Media Review, 10 Mei 2006.
“Gleno riots: one member of UIR killed, one injured”, UNOTIL Daily Media Review, 9 Mei 2006. 50 “Joint declaration from 10 districts”, UNOTIL Daily Media Review, 9 Mei 2006. 51 Pidato pembukaan Lu’Olo’s, kongres partai.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
jumlah suara yang sangat besar. Para reformis mengatakan banyak yang memilih Alkatiri karena takut pembalasan yang akan diterima; jika pemungutan suara dilakukan secara rahasia maka dukungan bagi penantangnya akan jauh lebih kuat.52 Alkatiri menutup kemenangannya dengan pidato yang mengatakan FRETILIN adalah institusi negara yang paling penting; jika ia dipecah belah, maka Timor Leste akan meledak.53 Sementara itu, Mayor Alfredo terus memberikan wawancara di radio nasional dan tv dari basisnya di Aileu, menyerukan keadilan bagi mereka yang terbunuh April lalu dan memperkuat posisinya sebagai juru bicara bagi loromonu. Semakin sering ia menyatakan kesetiaannya kepada Xanana, semakin renggang keretakan di antara Xanana dan Taur Matan Ruak yang marah dengan perlakuan lunak yang diberikan kepada seseorang yang telah melanggar semua peraturan militer yang ada dalam buku. Tanggal 22 Mei, Alfredo dan sekitar 25 orang tentara pindah ke perbukitan tak jauh dari Dili. Tembak menembak yang terjadi hari berikutnya antara kesatuan F-FDTL dengan para pengikut Alfredo mungkin memang tidak dapat dihindari, tetapi pindahnya mereka ke lokasi lain juga tidak membantu situasi.
Page 14
direncanakan, melainkan sebuah kasus dimana kedua kelompok saling terkejut bertemu kelompok yang lain ada disitu.56 Sebuah film yang diambil oleh crew TV dari Australia yang berada di lokasi bentrokan pada saat itu memperlihatkan bahwa pengikut Alfredo melepaskan tembakan pertama kali, tetapi hal ini tidak harus berarti bahwa mereka memang sengaja menyerang.57 Sebuah koalisi LSM punya penjelasan yang jauh lebih rumit lagi. Menurut analisa mereka, dua kelompok geng telah beroperasi di wilayah tersebut sejak tahun 2000, yang satu dipimpin oleh Alito “Rambo”, yang satu lagi Jacinto “Kulao”. Setelah bulan April 2006, persaingan antar geng berubah menjadi bersifat politis, Rambo berpihak pada lorosae dan Kulao dengan loromonu. Tanggal 22 Mei, sehari sebelum dugaan aksi serangan, konflik pecah antar kedua geng, menewaskan empat orang. Warga setempat memberitahu koalisi LSM bahwa tentara F-FDTL membantu Rambo, jadi kepala desa telah meminta Alfredo untuk melindungi kelompok Kulao. Mereka juga mengatakan polisi dari unit pasukan cadangan telah mendirikan sebuah basis dekat basis Kulao.58
KONFLIK SEMAKIN MEMANAS, PASUKAN INTERNASIONAL TIBA
Insiden ini adalah salah satu insiden yang sedang diusut oleh komisi internasional. Dan apapun penyebab insiden tersebut, hasilnya adalah operasi FFDTL melawan kelompok Alfredo, dimana sebagian besar berhasil pulang ke Aileu dengan selamat.
Versi resmi dari pemerintah yaitu bahwa tanggal 23 Mei kelompok Alfredo menyerang tentara F-FDTL di Fatuahi, di pinggir Dili, yang menewaskan satu orang dan melukai tujuh lainnya.54 Dua orang pengikut setia Alfredo terbunuh, termasuk seorang bernama Kablaki, seorang petisioner yang terlibat dalam penyerangan ke istana pemerintah tanggal 28 April. Alkatiri tetap berpendapat bahwa Alfredo telah merencanakan aksi penyerangan sebagai bagian dari sebuah kampanye politik, dan ia diperintah oleh orang lain untuk menjatuhkannya. Aksi kekerasan yang lebih banyak akan dapat membantu tujuan tersebut.55
Insiden tembak menembak ini menimbulkan serangkaian aksi kekerasan baru. Malam itu, di tengah-tengah laporan mengenai polisi yang melakukan desersi dan bergabung dengan para petisi, polisi bersenjata dan warga sipil mulai berkumpul di Tibar, di bagian barat Dili. Pagi tanggal 24 Mei, kelompok ini, bersama dengan para tentara pemberontak, menyerang dari perbukitan di atas markas angkatan bersenjata di Tacitolu, membunuh seorang perwira F-FDTL, Kapten Domingos de Oliveira (Kaikeri), komandan logistik pusat pelatihan angkatan bersenjata Timor Leste di Metinaro.
Seorang penasihat militer internasional di Dili yang menganalisa lokasi dimana bentrokan terjadi mengatakan bahwa ia percaya bentrokan tersebut mungkin bukan sebuah serangan yang telah
Sebuah pertanyaan yang penting yaitu bagaimana para penyerang mampu memperoleh cukup persenjataan dan amunisi dan terus melakukan penembakan selama lebih dari empat jam
52
56
C.
Wawancara Crisis Group, Aderito de Jesus Soares, 12 September 2006. 53 “Divide FRETILIN and Timor-Leste will explode”, UNOTIL Daily Media Review, 22 Mei 2006. 54 “Gunfights in Fatu Ahi: 2 people killed, 8 injured”, Daily Media Review, 24 Mei 2006. 55 “East Timor: Downfall of a prime minister”, rekaman program SBS Dateline program, 30 Agustus 2006.
Wawancara Crisis Group di Dili, 12 September 2006. “East Timor: Downfall of a prime minister”, op. cit. 58 Rede Monitorizasaun Direitus Humanus (RMDH), “Submission to the Independent Special Commission of Inquiry for Timor-Leste on Security & Political Crisis in Timor Leste”, September 2006. 57
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
pertempuran sengit. Salah satu dari mereka yang terlibat, yaitu seorang tentara yang dipecat bernama Railos, mengatakan kepada program televisi Australia berjudul “Four Corners” bahwa Rogerio Lobato, dengan sepengetahuan Alkatiri, telah membentuk sebuah tim keamanan rahasia yang dipersenjatai dengan delapanbelas senjata jenis HK-33, untuk membunuh lawan politik FRETILIN. Railos, yang kredibilitasnya patut dipertanyakan, mengatakan bahwa ia bertemu dengan Alkatiri tanggal 8 Mei dan diperintahkan untuk “menghabiskan semua petisioner”.59 Alkatiri mengakui bertemu dengan Railos dan dua orang yang lain beberapa kali selama kongres partai FRETILIN tetapi mengatakan ia meminta mereka untuk melakukan pengamanan, bukan untuk membunuh siapapun. Tak berapa lama di hari yang sama, rumah Taur Matan Ruak diserang oleh sebuah kelompok dari loromonu, yang terdiri dari para polisi pro-Rogerio Lobato, dibawah kendali wakil komandan polisi Dili, Abilio Mesquita alias “Mausoko”. Bulan Agustus, Mesquita, dari sebuah sel penjara di Dili, menuduh bahwa Xanana Gusmao telah memberi perintah kepadanya untuk melakukan penyerangan. Ia juga mengklaim ikut hadir dalam sebuah pertemuan di rumah Xanana di suatu waktu “sebelum krisis” ketika rencana untuk menjatuhkan Alkatiri dibahas.60 Crisis Group tidak mengetahui jika ada bukti untuk mendukung klaim tersebut. “Ada perasaan negara ini akan karam”, kata seorang penasihat militer internasional. Ada beberapa versi yang berbeda mengenai apa yang terjadi selanjutnya. Sebuah sumber mengatakan, Taur Matan Ruak menemui Alkatiri siang itu dan memberikan sebuah ultimatum – apakah kita akan mempersenjatai unit pasukan cadangan, atau anda meminta bantuan pasukan internasional. Menurut sumber ini, Alkatiri setuju bahwa Matan Ruak dapat membagikan senjata ke sebuah kelompok bekas pejuang Falintil termasuk beberapa pengikut Elle Sette (L-7) – yang mana hal ini adalah sebuah langkah luarbiasa mengingat sejarah
59
Liz Jackson, “Claims E Timor’s PM recruited secret security force”, Lateline, 8 Juni 2006, at http://www.abc.net. au/lateline/content/2006/s1658941.htm. Railos secara tidak meyakinkan mengatakan ia bergabung dengan para penyerang dari Tacitolu untuk membujuk mereka supaya tidak melakukan penyerangan. Ia punya rasa ketidaksenangan dengan F-FDTL karena dipecat tahun 2003, dan dia dari barat. Ia punya lebih banyak alasan untuk bergabung dengan para petisi daripada memerangi mereka, bahkan jika ia menerima senjata dari Rogerio. 60 “Declaration from Abilio Mausoko”, Comarca Becora, 20 Agustus 2006 (terjemahan bahasa Inggris dari bahasa Tetum).
Page 15
pemberontakan Elle Sette terhadap otoritas FALINTIL. Baik Taur Matan Ruak maupun Alkatiri menyangkal bahwa Alkatiri pernah terlibat dalam memutuskan hal itu. Tetapi dengan atau tanpa ijin darinya, angkatan bersenjata telah membagi-bagikan sebanyak 200 dari 1,000 senjata yang telah ditransfer dari Metinaro ke Baucau kepada “pasukan cadangan”. Berbeda dengan pembagian senjata yang dilakukan secara rahasia dan ilegal oleh polisi ke warga sipil, pembagian senjata oleh angkatan bersenjata relatif lebih tertib dan terdokumentasi dengan baik, membuat senjata tersebut lebih mudah diperoleh kembali setelah pasukan internasional tiba.61 Bagaimanapun juga, pemerintah memutuskan untuk meminta bantuan, dan sebuah permohonan bantuan resmi – yang ditandatangani oleh Alkatiri dengan berat hati – dikirim ke Australia, Portugal, Malaysia dan Selandia Baru. Pengaruh langsung dari aksi penyerangan ke markas F-FDTL yaitu memperuncing permusuhan antara tentara dan polisi, yang membawa kepada malapetaka tanggal 25 Mei. Pagi itu, sekelompok tentara FFDTL, bersama dengan beberapa polisi dari sebuah unit yang berbasis di Baucau (bagian timur Timor Leste) melucuti senjata tiga orang polisi di Comoro, sebuah wilayah yang sangat rawan di Dili. Tentara FFDTL saling tembak menembak dengan sebuah patroli kepolisian bermobil. Tak berapa lama pagi itu, para pemuda bergabung dengan beberapa tentara FFDTL membakar sebuah rumah milik saudara dari Rogerio Lobato. Rumah tersebut terbakar habis bersama dengan seorang ibu dan empat orang anak didalamnya; semuanya tewas. Kemudian rumah Ismail Babo, komandan polisi yang terlibat dalam peristiwa Gleno, yang menurut beberapa orang terlibat dalam penyerangan terhadap markas angkatan bersenjata, juga dibakar. Tak lama kemudian, sekitar jam 11 pagi, tentara FFDTL menyerang markas kepolisian. Penasihat militer PBB datang ke lokasi kejadian dan lewat Taur Matan Ruak, menegosiasikan apa yang mereka pikir adalah sebuah penyelesaian damai terhadap masalah ini, yaitu: tentara F-FDTL akan membiarkan polisi di dalam untuk pergi, tanpa senjata, dan mereka akan dikawal ke kantor UNOTIL oleh polisi PBB. Tetapi tak seorangpun melucuti senjata personil F-FDTL yang berada di luar markas polisi, dan ketika 85 anggota polisi mulai meninggalkan gedung dan berjalan menuju kantor UNOTIL, para tentara mulai melepaskan tembakan. Sembilan anggota polisi langsung tewas tertembak, satu meninggal beberapa
61
Crisis Group interview, Dili, 12 September 2006.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
saat kemudian, dan sekitar 30 orang terluka. Komisi penyelidikan ditugaskan untuk memutuskan siapa yang bertanggung jawab. Pada saat pertempuran berlangsung di seantero kota dan polisi tidak terlihat dimanapun, 100 orang tentara dari total 1,300 tentara Australia telah mendarat di Dili. Xanana mengumumkan ia mengambil alih kendali keamanan – berdasarkan landasan konstitusional yang kurang jelas: Alkatiri mempertanyakan legalitas dari tindakan Xanana tetapi mengatakan ia akan bekerja sama. Kemudian Xanana memerintahkan Alkatiri untuk memecat Rogerio Lobato dan Menteri Pertahanan Roque Rodrigues. Malaysia, Portugal dan Selandia Baru juga mengirimkan pasukannya yang jika seluruhnya digabungkan jumlahnya mencapai 2,250 tentara.62 PBB dan sejumlah kedutaan dengan susah payah berusaha mengevakuasi para pegawainya yang non-essential staff bersamaan dengan meletusnya tembak menembak antara polisi dan militer, dan kelompok geng yang sebagian besar loromonu, bersenjatakan parang dan ”panah ambon” (yaitu semacam ketapel, bukan memakai batu sebagai bahan lontaran tetapi besi yang ujungnya diruncingkan, sangat mematikan), menyerang warga lorosae.63 Di New York, Kofi Annan mengumumkan bahwa Ian Martin, yang mengawasi jajak pendapat kemerdekaan tahun 1999 sebagai kepala Misi PBB di Timor Timur (UNAMET), sedang kembali ke Timor Leste sebagai utusan khususnya. Seorang tamu yang malam itu bertemu dengan Alkatiri dan Menteri Pertahanan Roque Rodrigues mengatakan mereka, seperti yang lain, kelihatan lumpuh: “Mereka seperti anak-anak penderita autistik, duduk di tempat gelap, dengan badan membungkuk ke depan, tangannya memeluk lutut mereka, tubuhnya mengayun ke depan dan belakang”.64 Seantero kota, katanya, dicekam ketakutan yang luar biasa. Pertempuran terus berlangsung di jalan-jalan, dan warga Dili mencari perlindungan di komplekskompleks gereja, kantor-kantor LSM dan berusaha menyelamatkan diri bersama dengan teman dan saudara ke luar kota Dili. PBB memperkirakan bahwa lebih dari 120,000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka sejak April, dan jumlah tersebut terus
62
Pemerintah Australia, awas terhadap ketegangan politik internal, bersikeras bahwa Xanana, Alkatiri dan Ramos Horta secara resmi menyetujui pengiriman pasukan. 63 Dipakai di konflik komunal di Ambon (1999-2001), panah Ambon adalah ketapel dengan paku sepanjang 5 inci sebagai anak panahnya dan di beberapa kasus kabel telepon sebagai panahnya. 64 Wawancara Crisis Group, Dili, 12 September 2006.
Page 16
bertambah.65 Tanggal 30 Mei, sejumlah preman menjarah kantor jaksa agung, memporak porandakan file-file dan mencuri perlengkapan kantor dan kertaskertas. Laporan media memusatkan perhatian pada kenyataan bahwa diantara data yang hilang adalah file-file dari Unit Kejahatan Serius mengenai orangorang yang didakwa terlibat dalam kekerasan 1999, termasuk mantan panglima TNI Wiranto. Tetapi, tidak ada alasan untuk percaya bahwa para preman tersebut memilih-milih apa yang mereka hancurkan atau mereka jarah, dan isyu bahwa Indonesia terlibat tak berdasar. Dengan kehadiran pasukan internasional, perhatian pun berpindah kepada pertarungan politik: apakah Alkatiri akan tetap memegang jabatannya atau pergi? V. PERTARUNGAN POLITIK Bulan Juni kita melihat perang kemauan politik yang berlarut-larut antara Xanana Gusmao dan Mari Alkatiri, dan meskipun diakhiri dengan pengunduran diri Alkatiri tanggal 27 Juni, dalam beberapa hal, duaduanya telah kalah. Tanggal 3 Juni, Jose Ramos Horta dan Alcino Baris dilantik sebagai menteri pertahanan dan menteri dalam negeri (Ramos Horta juga tetap menjabat sebagai menteri luar negeri untuk sementara). Namun keesokan harinya, dalam sebuah sikap menantang, Komite Sentral FRETILIN memilih Rogerio Lobato, yang baru saja dipecat, sebagai wakil presiden partai. Dalam pelantikan tersebut, FRETILIN mengeluarkan sebuah pernyataan yang memuji “para pemimpin FRETILIN atas perbuatan gagah berani dimana FRETILIN telah mempertahankan nilai-nilai demokratis dan UUD Republik Timor Leste”, menegaskan kembali “dukungan total FRETILIN terhadap pemerintah yang dipimpin oleh Saudara Sekretaris Jenderal Mari Alkatiri” dan memberi selamat kepada partai mereka sendiri atas “kedewasaan sebagian besar rakyat, terutama para milisi FRETILIN, dalam bereaksi terhadap situasi keseluruhan”.66 Tanggal 6 Juni, dalam sebuah demonstrasi yang diorganisir oleh Mayor Tara, sekitar 1,500 orang melakukan pawai ke arah kota melewati Palacio do Governo dan menyerukan Alkatiri untuk turun. Mereka kemudian bergerak ke kantor Xanana, dimana Mayor Tara bertemu dengan presiden, dan kemudian presiden berpidato kepada massa. Perdana Menteri 65
“East Timor: Allies deploying peacekeepers after new outbreak of violence”, Lusa, 24 Mei 2006. 66 Declaration, Frente Revolucionária Do Timor-Leste Independente Comité Central Da FRETILIN, 4 Juni 2006.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Alkatiri menuduh bahwa semua gerakan yang melawannya dikipasi oleh pihak yang sama yang telah memicu kerusuhan bulan Desember 2002 yang berakhir dengan pembakaran rumahnya.67 Ia sangat mendukung sebuah komisi penyelidikan internasional untuk mengusut kejadian bulan April dan Mei, begitu juga dengan seluruh anggota pemerintah. Dan tangggal 8 Juni, Timor Leste secara resmi mengajukan permohonan kepada PBB untuk membentuk sebuah komisi. Mayor Alfredo, dari basisnya di Maubisse, terus menyerukan untuk diadakan dialog, memberi isyarat kesediaan untuk bekerja sama dengan pasukan internasional dan mendesak dukungan bagi Xanana Gusmao – tetapi mengatakan ia tak akan menyerahkan senjatanya sampai Alkatiri mengundurkan diri. Tetapi setelah melakukan perundingan-perundingan dengan pasukan internasional, kelompok-kelompok yang berhubungan dengannya dan Mayor Tara mulai menyerahkan senjata mereka. Tanggal 19 Juni, Ramos Horta menyampaikan sebuah pesan dari presiden ke Railos dan orang-orangnya bahwa mereka sebaiknya menyerahkan senjata mereka. Kelompok tersebut membuat sebuah pernyataan publik, mengatakan kembali apa yang telah dikatakan Railos dalam berita TV “Four Corner”, yaitu bahwa mereka diberi senjata atas perintah dari Alkatiri dan Lobato, dan bersedia menyerahkan senjata mereka jika Alkatiri ditangkap.68 Jaksa Agung Timor Leste mengeluarkan sebuah surat perintah penangkapan terhadap Rogerio hari berikutnya, dengan menyebutkan Rogerio telah membagi-bagikan senjata kepada kelompok Railos sebagai sebuah upaya untuk “merubah ketertiban publik dan aturan hukum demokratis”.69 Xanana mengikuti langkah ini dengan sebuah surat kepada Alkatiri menuntutnya untuk mengundurkan diri atau menghadapi pemecatan atas tuduhan keterlibatan dalam kasus pembagian senjata.70
Page 17
internasional mengenai apakah PBB telah meninggalkan negeri baru tersebut terlalu dini untuk berdiri sendiri, Xanana melakukan sebuah pidato yang luar biasa lagi. Dalam pidatonya kali ini yang ditayangkan lewat TV kepada para anggota FRETILIN yang kelihatannya bersumber dari rasa kepahitan dan perasaan dikhianati, ia menuduh pemimpin FRETILIN telah menghancurkan negara Timor Leste. Pidato tersebut layak untuk dikutip cukup panjang, karena ia memperlihatkan mengapa, setelah lebih dari tiga bulan kemudian, hampir tidak mungkin untuk mengumpulkan para anggota elit politik dalam satu ruangan, terlebih menyusun sebuah strategi bersama untuk menyelesaikan krisis. Xanana memulai pidatonya dengan sebuah kritik yang sangat tajam terhadap partai, menyebut para utusan kongres yang dilaksanakan baru-baru ini sebagai orang-orang “yang hanya tahu bagaimana mengangkat tangan mereka, karena takut kehilangan pekerjaan, dan itu cara mereka memberi makan bagi istri dan anak-anak mereka, dan karena mereka menerima uang suap secara diam-diam”. Ia mengatakan kongres telah melanggar undangundang partai politik negara dan konstitusi, tetapi tak jadi soal karena orang-orang yang menyusun undangundang tersebut adalah juga orang-orang yang melanggarnya. “Mereka adalah orang-orang yang lebih tahu dari siapapun di dunia, dan yang lain adalah seperti mie murahan”. Ia kemudian menceritakan kembali sejarah FRETILIN sejak pertama lahir tahun 1974. Ia mengingatkan bahwa sebagai anggota komite sentral tahun 1977, ia ikut serta dalam pengambilan keputusan mengadopsi Marxisme-Lenimisme, dan bahwa jika mereka yang hadir saat itu masih hidup hari ini, mereka akan menyadari bahwa ideologi yang lama sudah tidak relevan lagi pada era globalisasi pasca Perang Dingin.71 Sekarang sebuah kelompok kecil, yang datang dari luar, ingin mengulang apa yang telah kita lalui sejak tahun 1975 hingga 1978. Pada bulan Agustus 1975 UDT melancarkan sebuah kudeta untuk mengenyahkan komunis dari Timor Leste dalam sebuah gerakan yang menimbulkan perang saudara di antara rakyat Timor. Tahun 2006 FRETILIN ingin melancarkan
A. PIDATO 22 JUNI Kemudian, tanggal 22 Juni, dengan kehadiran pasukan internasional yang berjaga-jaga di jalan-jalan di Dili, dan gencarnya diskusi-diskusi di media
67
“Violence fanned to topple govt, avoid elex, charges PM Alkatiri”, Lusa, 7 Juni 2006. 68 “Report of the Secretary-General on Timor-Leste pursuant to Security Council resolution 1609 (2006)”, 8 Agustus 2006, S/2006/628, hal. 4. 69 Arrest warrant issued against former minister Lobato”, UNOTIL Daily Media Review, 20 Juni 2006. 70 Laporan Sekretaris Jendral mengenai Timor-Leste, op. cit.
71
Ia menyebut para martir gerakan perlawanan: Nicolau Lobato, Sahe, Cavarino, Hamis Basarewan, Cesar Mau Laka, Helio Pina dan Inacio Fonseca.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
sebuah kudeta untuk membunuh demokrasi yang telah mereka abadikan sendiri dalam konstitusi. Tahun 1978, katanya, setelah basis pendukung di wilayah timur Timor Leste hancur, ia mulai mengorganisir gerakan perlawanan di barat – yaitu, di wilayah yang sekarang menjadi rumah dari para petisioner. Tahun 1981, perjuangan berubah dari gerakan perlawanan menjadi perang gerilya, dan tahun 1983, pada saat gencatan senjata selama enam bulan dengan TNI, “kita mulai bicara mengenai demokrasi”. Setahun kemudian, ia dan beberapa orang yang lain membentuk sebuah pakta kesatuan nasional (Convergencia Nacionalista) yang meliputi “seluruh pojok Timor, Gereja dan partai-partai politik”. Tetapi Rogerio Lobato, katanya, punya ide lain: Cerita-cerita mengenai bagaimana Gardapaksi [sebuah kelompok pemuda prointegrasi yang dibentuk oleh TNI] memukuli habis-habisan orang-orang kita terdengar oleh teman-teman orang Timor di luar negeri … Di Mozambique, Lobato mencoba melakukan hal yang sama dengan menerbarkan butir-butir perselisihan, dan akhirnya Ramos Horta di penjara. Presiden Chissano, yang saat itu menjabat sebagai menteri luar negeri Mozambique, adalah orang yang membantu membebaskan Ramos Horta. Kalau menurut kalian saya berbohong, tanya pada mereka karena merekalah yang hidup dengan tenang di Mozambique selama duapuluh tahun. Setelah Convergencia Nacionalista dibentuk di Lisbon, saya merasa sangat bahagia karena itu merupakan sebuah langkah ke depan yang lain. Tanggal 4 Desember 1986, saya membentuk CNRM [sebuah front nasional] dan meninggalkan FRETILIN karena sebagai panglima tertinggi FALINTIL, saya ingin membawanya keluar dari pengaruh partai politik. Dengan cara ini FALINTIL menjadi pasukan pembebasan bagi seluruh negeri, bagi seluruh partai, bagi seluruh rakyat, bagi loromonu dan lorosae, dari pantai utara sampai laut selatan. Lu Olo mengatakan bahwa selama 24 tahun, ia selalu membawa bendera FRETILIN didalam tasnya. Mungkin, tapi saya belum pernah lihat. Waktu saya menjadi anggota komite sentral FRETILIN,
Page 18
saya pergi ke seluruh penjuru Timor Leste untuk mengorganisir kembali gerakan perlawanan, dan ia sedang bersembunyi di Builo. Mungkin ia sedang menjahit tasnya yang ia pakai untuk menyembunyikan bendera … Xanana mengingatkan bahwa sekitar saat itu, Amnesty International dan yang lain sedang melaporkan bahwa FRETILIN telah terlibat dalam pembunuhan para lawan ideologinya. Ia mengirimkan sebuah pesan dari hutan mengetahui hal itu dan menyampaikan rasa penyesalan. Pengakuan tersebut menimbulkan badai di antara para anggota FRETILIN di luar negeri, beberapa diantaranya di depan umum menuduhnya berbohong. Ia kemudian kembali berbicara mengenai sejarahnya dengan partai, dihiasi dengan komentar pahit mengenai lawan-lawannya: Tahun 1989 saya sedang di Ainaro ketika saya menerima sebuah surat dari Rogerio Lobato yang menuduh semua yang sedang berada di luar negeri tidak melakukan apaapa dan juga mengatakan bahwa kalau perang sudah selesai, semua harus diadili di pengadilan rakyat. Rogerio Lobato memberitahu saya dalam surat itu bahwa Mari Alkatiri sedang sibuk di Maputo memelihara kelinci dan ayam-ayam … Bulan Mei 2000 saya diundang untuk berbicara pada kongres FRETILIN [dan saya] meminta tiga hal: mereka harus menarik Xavier do Amaral kembali [seorang mantan pemimpin, sekarang menjadi politikus lawan] karena ia bukan penghianat; ia hanya tidak menerima ideologinya; bahwa nama baik mereka semua yang dibunuh oleh FRETILIN karena mereka tidak menerima MarxismeLeninisme harus dipulihkan kembali, dan FRETILIN harus meminta maaf kepada rakyat, terutama kepada keluarga dari para korban-korbannya … Bulan Agustus 2000 dalam sebuah kongres CNRT, FRETILIN keluar … Mari Alkatiri menjelaskan bahwa mereka meninggalkan CNRT karena mereka marah dengan saya, karena saya telah membiarkan beberapa [keluarga korban] berbicara dalam kongres dan karena saya telah merusak image FRETILIN.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Page 19
Saya katakan,” Anda tidak punya alasan untuk takut, karena anda bisa mengatakan kepada rakyat,’ Saya, Mari, tidak terlibat dalam kesalahan yang terjadi di negara kita. Saya, Mari, sedang berada di Maputo, menderita selama duapuluh tahun, tapi saya mencuci tangan saya tiap hari dengan sabun. Jadi saya, Mari, punya tangan bersih. Pergi dan tanya pada Xanana: dia yang tangannya kotor, tangannya kotor dengan darah.”
menjamin stabilitas, untuk memulihkan institusi demokratis. Jika ia mengundurkan diri, ketua parlemen, Presiden FRETILIN Lu Olo, akan menggantikan dia, dan parlemen akan terus berfungsi seperti para anggota yang mengangkat tangan mereka, hanya berpikir tentang kesejahteraan keluarga mereka.
Xanana kemudian mulai membicarakan tentang daftar upaya-upaya yang dilakukan pimpinan FRETILIN untuk memperluas kekuasaannya setelah pemilu 2001:
Minta Saudara Mari Alkatiri untuk bertanggung jawab atas krisis ini dan untuk kelanjutan sebuah negara yang demokratis, atau besok saya akan mengirimkan surat kepada parlemen bahwa saya mengundurkan diri sebagai presiden karena kesalahankesalahan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah ini kepada rakyatnya. Saya tidak bisa lagi menghadapi rakyat.72
Semuanya terserah FRETILIN, katanya, bukan para pimpinan FRETILIN yang tidak sah, tetapi para anggota biasa:
Setiap orang harus bergabung, apakah mereka polisi, tentara, pegawai negeri, pengusaha, desa-desa, rukun warga, kerbau, semut-semut, pohon-pohon atau rumput-rumput … B. Rakyat menderita di Dili tetapi mereka tidak datang mengunjungi, mereka bahkan tidak bicara dengan mereka. Mereka terlalu sibuk memobilisasi rakyat dari kabupatenkabupaten untuk menunjukkan bagaimana semua anggota FRETILIN patuh pada mereka dan mencium tangan dan kaki mereka. Mereka dibawa ke Dili naik mobil gratis supaya mereka bisa teriak “Viva ini” dan “Viva itu”, dan mereka diberi makan dan dikirim kembali ke ladang mereka, dan mereka tetap tidak punya uang untuk menyekolahkan anak-anak mereka, dan di rumah mereka, mereka masih lapar … Rogerio sudah dipecat sebagai menteri tetapi Mari memilih dia sebagai wakil ketua FRETILIN. Politik kotor seperti ini membuat kita malu. Rogerio pergi ke kantor polisi, minta bensin untuk mobil dinas yang masih dia pakai. Polisi yang sedang bertugas di departemen logistik PNTL bilang: “Bapak sudah bukan menteri dalam negeri lagi, jadi Bapak tidak bisa dapat bensin lagi dari PNTL”. Rogerio menyumpahi dia, ”Monyet bodoh, kamu tahu nggak saya lebih besar sekarang dari pada waktu saya jadi menteri?” Banyak orang takut, kata Xanana, bahwa kalau Alkatiri mengundurkan diri, akan ada perang dan pertumpahan darah, bahwa pemerintahan akan berhenti, bahwa mereka tidak akan mendapat uang lagi. Rakyat memintanya, sebagai presiden, untuk
PENGUNDURAN DIRI ALKATIRI DAN PENANGKAPAN ALFREDO
Pidato tersebut memicu sebuah banjir permohonan kepada Xanana untuk tetap menjadi presiden, termasuk dari Kofi Annan, dan menambah tekanan terhadap Alkatiri untuk mengundurkan diri. Tekanan tersebut semakin meningkat ketika Rogerio Lobato dalam sebuah sidang investigasi awal di Pengadilan Distrik Dili mengenai kasus pembagian senjata, mengatakan bahwa Alkatiri mengetahui mengenai proyek tersebut.73 Karena sejumlah menteri kabinet, termasuk Jose Ramos Horta, mengancam untuk mengundurkan diri, tanggal 26 Juni akhirnya Alkatiri mengumumkan ia mengundurkan diri untuk kepentingan negara dan menghindari pengunduran diri presiden, namun tetap mempertahankan pendiriannya bahwa ia sebetulnya adalah korban sebuah percobaan kudeta yang diperpanjang.74 Pengunduran dirinya menghasilkan perayaan di jalanjalan.
72
Pidato ini dalam bahasa Tetum. Sebuah terjemahan resmi dalam bahasa Inggris dikeluarkan oleh kantor Presiden, “Message of H.E. President Kay Rala Xanana Gusmao to FRETILIN and the People of Timor-Leste”, Presidencia da Republica, 22 Juni 2006. Crisis Group telah menggunakan terjemahan tidak resmi yang memberi pemahaman yang lebih baik dari pidato asli. 73 UN Daily Media Review, 24 Juni 2006. 74 “Alkatiri resigns as Prime Minister”, Laporan ABC jam 7:30, 26 Juni 2006. Tuduhannya mengenai kudeta dijabarkan dalam wawancara panjang dengan John Martinkus, “Alkatiri speaks”, http://www.newmatilda.com/, 28 Juni 2006.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Pengunduran diri Alkatiri dan penggantian jabatan perdana menteri oleh Jose Ramos Horta dua minggu kemudian, mungkin memang perlu untuk menyelesaikan krisis, tetapi masih belum cukup, sehingga tidak banyak yang berubah. Kabinet yang baru kelihatan tak jauh berbeda dengan yang lama, FRETILIN tetap menguasai parlemen, dan Alkatiri terus ambil bagian sebagai anggota aktif. Tanpa memiliki sebuah basis politik sendiri, Ramos Horta semakin lama tampak semakin bergantung kepada pendahulunya, hingga kamp anti-FRETILIN yang lebih fanatik mulai menuduhnya menjadi boneka Alkatiri. Dili tetap dalam keadaan sangat terpolarisasi dan terbagi-bagi secara fisik, dengan kamp-kamp buatan bagi para pengungsi, sebagian besar lorosae, yang terpencar di penjuru kota. Salah satu dari pasar utama terbagi menjadi dua bagian, yang satu untuk loromonu, yang satu lagi untuk lorosae. Sudah lebih banyak kelompok yang telah menyerahkan senjata mereka, tetapi ratusan masih beredar di masyarakat, sebagian besar yang pernah dibagi-bagikan oleh polisi. Pada hari pertama Ramos Horta bertugas sebagai perdana menteri, Railos menyerahkan sebelas senjata kepadanya di kota Liquica sebagai simbol. Pada tanggal 25 Juli, yaitu tenggat waktu yang diberikan oleh pasukan internasional untuk penyerahan senjata, sekitar 1,000 senjata telah terkumpul.75 Sementara itu, Mayor Alfredo terus aktif di Maubisse; tanggal 24 Juli Xanana memerintahkan ia untuk datang ke Dili. Hari berikutnya, memenuhi panggilan dari Xanana, ia menemui presiden di sana dan menyerukan kembali untuk melakukan dialog. Tanggal 26 Juli, ia ditangkap oleh pasukan internasional di sebuah rumah di wilayah Bariopite, di ibukota. Menurut laporan, ia memperoleh ijin secara langsung dari Xanana untuk menggunakan sebuah rumah untuk dirinya dan orang-orangnya, dan kemudian mengambil alih dua rumah yang lain.76 Ketika Alfredo dan pengikutnya yang bersenjata datang, seseorang memanggil polisi Portugis dari elemen pasukan internasional, yaitu polisi khusus Portugis (Guarda Nacional Republicana atau GNR). Ketika polisi khusus ini tiba di rumah tersebut, mereka menemukan senjata-senjata dan amunisi yang seharusnya mereka serahkan kepada pasukan internasional sehari sebelumnya. Tak lama kemudian pasukan Australia juga datang ke lokasi kejadian, dan setelah seharian saling berhadap-hadapan dengan
75
“PNTL hands over weapons”, UN Daily Media Review, 24 Juli 2006. 76 Wawancara Crisis Group, Dili, 11 September 2006.
Page 20
pasukan internasional, Alfredo dan duapuluh orang pengikutnya digiring ke penjara (tujuh orang kemudian dibebaskan). Sejumlah kalangan di Dili melihat hal ini melanggar kesepakatan tak resmi bahwa semua penangkapan dan penuntutan hukum akan ditunda terlebih dahulu sampai Komisi Penyelidik Khusus Independen yang diangkat tanggal 29 Juni selesai “menyusun faktafakta dan keadaan yang terkait dengan insiden kekerasan yang terjadi di Timor Leste tanggal 28 dan 29 April, serta 23, 24 dan 25 Mei”. Komisi ini akan menentukan pertanggungjawaban dan merekomendasikan langkah-langkah “untuk memastikan pertanggungjawaban terhadap tindak kejahatan dan pelanggaran berat HAM yang diduga dilakukan pada masa itu”.77 Dakwaan resmi terhadap Alfredo, dua hari setelah penangkapannya, termasuk percobaan pembunuhan dengan “penyerangan” terhadap pasukan F-FDTL tanggal 23 Mei, sebuah insiden yang termasuk dalam mandat komisi penyelidikan. Bagi banyak warga loromonu di Dili, persoalan yang sebenarnya lebih sederhana, yaitu: Alkatiri dan Lobato tidak berada dalam penjara, mengapa Alfredo harus di penjara? Penangkapan tersebut juga mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap pasukan internasional. Tentara Portugis dianggap oleh beberapa warga loromonu menunjukkan kecenderungan pro-Alkatiri. Seorang pendukung Alfredo mengatakan kepada pers: “Kami minta polisi Australia dan Malaysia untuk tinggal di barak, dan membiarkan polisi Portugis GNR melakukan patroli di Dili, jadi kami bisa berhadapan dengan mereka”.78 Unjuk rasa sporadis terhadap polisi Portugis GNR berlangsung selama minggu itu. Tanggal 30 Agustus, ketika Alfredo dengan tenang keluar dari penjara bersama dengan empat belas pengikutnya dan lebih dari 40 napi lain tanpa ada seorangpun yang mencoba menghentikan mereka, Perdana Menteri Ramos Horta menyalahkan pasukan internasional karena tidak memberikan pengamanan yang memadai.79 Dan kubu pro-Alkatiri melihat pelarian tersebut sebagai salah satu contoh lain bahwa Australia membantu lawan mereka. Selama bulan Agustus dan September, kekerasan sporadis, umumnya berskala kecil, terus terjadi di Dili. Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk
77
“Commission of inquiry for Timor-Leste”, Department of Public Information, SG/A/1011, 29 Juni 2006. 78 “Alfredo’s detention orchestrated”, UN Daily Media Review, 28 Juli 2006. 79 “E Timor PM hits out at jailbreak”, BBC, 1 September 2006, http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/asia-pacific/ 5304852.stm.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
membentuk sebuah misi baru yaitu, Misi Integrasi PBB di Timor Leste atau UNMIT (the United Nations Integrated Mission in Timor Leste), dan sebuah pasukan kepolisian internasional yang kokoh berjumlah 1,600 anggota polisi mulai menggantikan pasukan militer yang dipimpin oleh Australia. Pemerintah Timor Leste dan berbagai penasihat internasional sepakat atas sebuah program untuk membangun kembali polisi lokal yang sudah tak berfungsi di Dili, tetapi sedikit banyak masih berjalan normal di wilayah lain di Timor Leste. Namun sementara itu para pemimpin politik tertinggi masih tetap berseteru, dan setiap orang kelihatannya sedang menunggu komisi internasional untuk menyelesaikan tugasnya dan mengeluarkan sebuah kesimpulan – meskipun ditekankan bahwa mereka bukan badan pengadilan. Seperti ingin menegaskan masalah yang akan dihadapi oleh komisi internasional dalam merekomendasikan individu-individu yang dapat dipertanggungjawabkan didepan sistem peradilan yang betul-betul netral, Pengadilan Banding Dili tanggal 11 Agustus menetapkan bahwa cara memberikan suara dengan mengangkat tangan yang digunakan dalam pemilihan ketua FRETILIN pada waktu kongres mereka di bulan Mei, tidak melanggar undang-undang partai politik – meskipun ada fakta bahwa teks undang-undang tersebut secara jelas menetapkan pemberian suara harus dilakukan secara rahasia. Pengadilan banding Dili yang memutuskan kasus tersebut terdiri dari tiga hakim yang berasal dari Timor dan Portugis. Kompetensi dan kemandirian ketua pengadilan, Claudio Ximenes, sudah dipertanyakan setelah serangkaian keputusan yang luar biasa yang ia ambil pada tahun 2004 dan 2005. Selain itu suami dari dua hakim yang lain yang berasal dari Timor Leste memiliki posisi di FRETILIN, salah satunya duduk di komite sentral.80 Meskipun dua hakim tersebut sangat dihormati, tetapi mereka seharusnya menarik diri karena adanya konflik kepentingan. Persoalan di sistem pengadilan Timor Leste sangat rumit, dan menjamin keadilan untuk tindak kejahatan pada tahun 2006 mungkin akan sama sulitnya seperti menjamin keadilan untuk kekerasan yang telah menghancurkan negara itu pada tahun 1999. VI. PARA PELAKU INTERNASIONAL
80
David Cohen, “Indifference and Accountability: The United Nations and the Politics of International Justice in East Timor”, Laporan Khusus East-West Centre, no. 9, Juni 2006. Ada beragam referensi mengenai jalannya pengadilan di bawah Hakim Judge Ximenes, tetapi terutama lihat hal. 95-99.
Page 21
Setiap orang menginginkan Timor Leste untuk dapat bergerak keluar dari krisis ini dan berhasil sebagai sebuah negara yang berdiri sendiri, namun beberapa pelaku internasional memiliki kepentingan khusus untuk melihat bahwa hal itu benar-benar terjadi. Mereka termasuk PBB, Australia, Indonesia dan Portugal. Semua mempunyai tanggung jawab atas keadaan yang sulit saat ini, meskipun jika dilihat dari permukaan keadaan tersebut sebagian besar tampaknya ditimbulkan oleh negara Timor Leste sendiri, tetapi semuanya memiliki kepentingan yang lebih besar atas sebuah negara yang stabil dan makmur. A. PBB Selama beberapa tahun, Timor Leste dilihat sebagai sebuah cerita sukses dari sebuah institusi yang ingin sekali membuktikan bahwa ia berhasil membangun sebuah negara. Timor Leste mungkin dianggap sebagai anak dari PBB, statusnya sebagai sebuah teritori yang belum pernah diduduki oleh negara lain sebelumnya, daripada sebagai salah satu propinsi Indonesia, yang telah dilindungi selama dua dekade, dan setiap gerak langkahnya yang lambat menuju kemerdekaan dituntun oleh badan internasional. Setelah Presiden Indonesia Habibie secara impulsif menyatakan bahwa ia akan mengijinkan sebuah jajak pendapat untuk menentukan nasib Timor Timur, PBB segera menyusun logistik dan prosedur-prosedur yang diperlukan. UNAMET mengawasi proses pemberian suara yang memungkinkan sebanyak 78.5 persen dari seluruh rakyat Timor Leste memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia, hanya untuk melihat kekerasan yang tak terbayangkan yang terjadi setelah itu. UNAMET memberi jalan kepada UNTAET pada bulan Oktober 1999 untuk mengawasi proses transisi menuju kemerdekaan. Lalu UNTAET menyerahkan posisinya kepada UNMISET (UN Mission of Support in Timor Leste), kemudian dari UNMISET kepada UNOTIL (UN Office in Timor Leste) pada bulan Mei 2005. Masing-masing institusi PBB tersebut semakin ke belakang semakin kecil skala organisasinya dan lebih low-profile dari pada yang sebelumnya. UNOTIL, tidak seperti pendahulunya, bukan sebuah misi perdamaian, tetapi lebih sebagai sebuah misi politik yang didanai oleh anggaran rutin – meskipun masih diatur oleh Departemen Operasi Perdamaian (Department of Peacekeeping Operations atau DPKO). Bahkan hingga April 2006, asumsinya adalah ia akan memberi jalan kepada sebuah kantor yang terdiri dari 65 staff, yang tugasnya sebagian besar yaitu untuk mengawasi pemilu 2007 dan memberi saran-saran terhadap masalah-masalah genting, terutama mengenai pelatihan polisi, yang akan
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
berkembang menjadi sebuah “kerangka kerja bantuan pembangunan yang berkelanjutan” untuk negara baru ini. Melihat ke belakang, PBB telah dituduh menarik diri dari Timor Leste terlalu dini, sebuah tuduhan yang lebih baik diarahkan kepada negara anggota PBB dari pada kepada institusi PBB itu sendiri.81 Kesalahan PBB lebih kepada sifat pasif di lapangan, terutama kegagalan UNTAET untuk berurusan secara cepat menghadapi para pejuang FALINTIL yang telah ditempatkan di wilayah khusus, serta kegagalan UNMISET untuk mempertanyakan atau bahkan memahami implikasi dari upaya politisasi yang dilakukan oleh Rogerio Lobato terhadap kepolisian maupun upaya penghimpunan kekuatan oleh FRETILIN. Bukan karena kurang informasi: laporan yang sangat bagus dikeluarkan oleh kantor urusan politik. Sukehiro Hasegawa, Utusan Khusus Sekjen (SRSG) dibawah UNMISET, sangat dikenal sebagai orang yang bertujuan baik, ingin sekali menghindari konflik, tetapi ditempatkan di posisi yang berada di luar kemampuannya, ia hanya sanggup menjadi penonton dan tidak memahami apa yang terjadi sementara kekuatan yang akan meletus di tahun 2006 makin menghimpun kekuatannya. Baik UNTAET maupun UNMISET bertanggung jawab terhadap kesalahan-kesalahan yang menyebabkan sebuah sistem pengadilan menjadi sangat dipolitisasi dan benar-benar tidak kompeten.82 Bersamaan dengan situasi politik yang secara tajam semakin parah pada akhir Mei 2006, Sekjen PBB Kofi Annan mengirim kembali Ian Martin untuk melakukan penilaian atas situasi yang terjadi di Timor Leste. Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan bulan Juli, Martin mengatakan penyebab utama yang paling serius dalam krisis yang terjadi saat ini yaitu “perpecahan politik” yang terjadi di dalam sektor keamanan, tak hanya antara tentara dan polisi, tetapi juga terjadi dalam tubuh masing-masing institusi keamanan. Ia menekankan bahwa prioritas yang harus dilakukan yaitu menetapkan masa depan para tentara
81
Sekretaris Jendral Kofi Annan banyak membicarakan hal tersebut. Ketika ditanya oleh seorang wartawan tanggal 13 Juni apakah ia tidak merasa PBB menarik diri terlalu cepat, ia menjawab: “Kita telah mengindikasikan bahwa PBB sebaiknya tetap di Timor Timur sedikit lebih lama, tetapi pemerintahpemerintah – beberapa pemerintah– cukup berhasrat bahwa kita menarik diri sesegera mungkin”. “Annan memohon kepada Dewan Keamanan untuk memperbarui misi PBB di TimorLeste”, UN News Centre, 13 Juni 2006. 82 David Cohen, “Indifference and Accountability”, op.cit. Salah satu masalah yaitu begitu buruknya perekrutan hakim-hakim internasional yang tampaknya dipilih lebih karena kemampuan berbahasa Portugis.
Page 22
dan mantan tentara (termasuk para petisioner dan yang lain yang telah melakukan desersi), dan membangun kembali institusi kepolisian. Ia mengatakan para pengkritik melihat FRETILIN bergerak menuju sebuah negara dengan partai tunggal, sementara FRETILIN menuduh oposisi menentang kebijakan mereka dengan cara-cara yang tidak demokratis. Martin menekankan pentingnya untuk membentuk sebuah komisi penyelidik independen, dan mengatakan hal ini adalah hal yang paling diinginkan oleh rakyat Timor dari PBB, dan “bukti pertanggungjawaban tindak kejahatan harus disampaikan kepada, diusut lebih jauh oleh dan diadili di sistem peradilan Timor Leste” dengan para pengacara, hakim dan jaksa internasional yang disediakan oleh PBB. PBB juga dibutuhkan untuk membantu mengorganisir pemilu 2007, yang diharapkan akan menyelesaikan kompetisi politik secara demokratis.83 Tetapi misi utamanya akan menangani masalah keamanan, administrasi peradilan, dan berfungsinya institusi-institusi demokratik.84 Berdasarkan laporan yang disusun oleh Martin tersebut, Dewan Keamanan tanggal 25 Agustus 2006 membentuk sebuah misi baru yang diperluas bernama UN Integration Mission in Timor Leste atau Misi Integrasi PBB di Timor Leste (UNMET) untuk membawahi sebanyak 1,600 polisi internasional dan 34 petugas liason officer atau perwira penghubung untuk tahap awal selama 6 bulan, dan dapat diperpanjang. Tanggal 13 September, seorang pejabat PBB mengambil alih komando kepolisian nasional. Tantangan nyata bagi PBB adalah untuk merekrut staff senior yang faham secara politis dan memiliki antusiasme, otoritas dan keahlian untuk membantu para pemimpin Timor menyelesaikan perbedaan mereka dan terus maju. Yang sangat penting terutama memilih SRSG dan wakilnya yang akan bertanggung jawab terhadap masalah reformasi sektor peradilan dan keamanan. Perekrutan hakim-hakim internasional juga membutuhkan perhatian khusus; praktek UNDP merekrut juri-juri yang lebih banyak didasarkan atas kemampuan bahasa daripada pengalaman di
83
“Summaries of Statements in Today’s Security Council Meeting on Timor-Leste”, Department of Public Information, SC/8745, 13 Juni 2006. 84 Pernyataan Ian Martin di “Security Council Considers Proposals for New, Integrated United Nations mission in TimorLeste Consisting of Military, Police, Civilian Components”, Department of Public Information, SC/8810, 15 Agust us2006.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
pengadilan maupun keahliannya mengenai HAM, harus dihentikan.85 Persoalan bagi polisi PBB tidak hanya memiliki pasukan internasional yang cukup di lapangan untuk memberikan sedikit pengamanan di Dili pada saat kepolisian ibukota sedang dibangun kembali. Wakil SRSG untuk peradilan dan keamanan, yang bekerjasama dengan komisaris polisi PBB, seharusnya dapat mengkoordinasi semua penasihat dan konsultan teknis yang disediakan oleh pemerintah donor kepada pemerintah Timor Leste dalam persoalan memelihara ketertiban dengan cara yang mengatasi kepentingan para donor yang sempit, menghasilkan solusi efisien dan mempertahankan hubungan baik dengan rekan kerjanya Timor Leste. Sebuah proyek yang sedang dilaksanakan untuk menyaring polisi Timor Leste sehingga mereka yang tidak terlibat kegiatan kriminal dapat kembali bekerja adalah sebuah contoh dari apa yang mungkin akan menjadi solusi yang secara maksimal tidak efisien, sebagian karena begitu banyak kepentingan yang berbeda.86 B. AUSTRALIA Negara tetangga Timor Leste ini adalah salah satu dari donor terbesarnya dan sesama pemilik dari sumber minyak di Laut Timor. Australia adalah negara yang pertama kali menjawab permohonan bantuan pemerintah Timor Leste di bulan Mei 2006, dan saat ini memiliki 940 tentara dan 140 polisi di Dili. Bertentangan dengan keyakinan sejumlah kalangan di Timor Leste, Indonesia maupun di Australia sendiri, Australia sama sekali tidak punya kepentingan untuk memiliki satu lagi negara tetangga yang tidak stabil di bagian timurnya, disamping pulau Solomon dan Papua Nugini – yang disebut “lengkungan ketidakstabilan”. Krisis yang terjadi saat ini telah menghasilkan hubungan yang sangat berbeda antara Australia dengan para pemain kunci di Timor Leste, dibandingkan dengan tahun 1999, ketika tentara Australia tiba di Timor Timur yang porak poranda sebagai penyelamat. Meskipun Australia sekali lagi
85
“International Judges sworn in the Court of Appeal”, UNDP, 29 September 2006, www.unmiset.org. Claudio Ximenes melantik dua hakim yang direkrut dari Portugal dan Brazil lewat UNDP Justice System Program (Program Sistem Peradilan UNDP). 86 Proyek ini dikembangkan oleh departemen dalam negeri dengan bantuan UNOTIL, UNPOL, UNDP, polisi internasional dari Australia, Malaysia, Selandia Baru dan Portugal, dan para penasihat departemen.
Page 23
menjadi negara yang pertama membantu di tahun 2006, tiga faktor telah membuat penerimaan terhadap mereka sangat berbeda, yaitu: sebuah hubungan yang sulit dengan Alkatiri; masalah minyak; dan ketidakmampuan mereka di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kekerasan baru. Perdana Menteri John Howard pada akhir Mei tidak menyembunyikan perasaannya bahwa Timor Leste selama ini tidak diperintah dengan baik. Hal ini dilihat secara luas sebagai sebuah kritik langsung terhadap Mari Alkatiri.87 Alkatiri mengatakan kepada siapapun yang mau mendengarnya bahwa Australia bersama dengan medianya sedang melakukan sebuah kampanye terhadapnya karena ia telah menolak untuk tunduk kepada tuntutan Canberra dalam perundingan Laut Timor – sebuah teori konspirasi yang merebak di Dili.88 Bahwa Australia telah begitu cepat menanggapi permintaan bantuan pemerintah Timor Leste telah memperkuat kecurigaan yang tidak beralasan bahwa mereka mencari kesempatan untuk turut campur.89 Perseteruan atas sumber daya minyak di perairan Timor telah menyulitkan hubungan bilateral selama dua tahun terakhir, namun dari perspektif Canberra permasalahan ini tidak menjadi faktor utama dalam hubungan tersebut. Bagi Australia, berarti sebuah tambahan pemasukan bagi negara yang sudah kaya ini; bagi Timor Leste, hal ini mungkin dapat menjadi kunci untuk melepaskan diri dari sebutan “salah satu
87
“There’s no point in beating about the bush. The country has not been well governed and I do hope that the sobering experience for those in elected positions of having to call for outside help will induce the appropriate behaviours inside the country”, John Howard dikutip dalam “Military stoking the murder frenzy”, Sydney Morning Herald, 27 Mei 2006. 88 John Martinkus, “Alkatiri Speaks”, at http://www. newmatilda.com/home/articledetail.asp?ArticleID=1646 dan wawancara Crisis Group, Dili, 8 September 2006. 89 Di Australia sendiri, pemerintah diserang di beberapa sudut karena menunggu terlalu lama. Menteri Luar Negeri Alexander Downer menjawab: “Well, we were very aware [of the crisis] and proof of that is the fact that we got our defence force ready two weeks before we deployed it. I think there was a bit of a sense amongst our constant team of carping critics that we were overreacting in getting the defence force ready. I seem to recall that. Then when we deploy – and we were able to deploy really within a matter of hours of the East Timorese Government giving its approval – they say well we should have done it earlier. I find it kind of incredible. I'd make the point that we were conscious of what was going on, we were conscious of the difficulties there, we did make preparations and we could only go into East Timor – as we're often said in relation to East Timor by the way – once we were invited to do so”. Rekaman wawancara, Sky News, Agenda program, 29 Mei 2006.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
negara termiskin di dunia”. Apapun perbedaan dalam persepsi masing-masing, perselisihan tampaknya telah diselesaikan bulan Januari 2006 pada saat sebuah perjanjian ditandatangani yang isinya membagi sama pemasukan dari minyak dan gas dari ladang minyak The Greater Sunsrise Field, tetapi pertanyaan mengenai apakah gas akan diproses di Darwin atau bagian timur Timor Timur masih belum dapat dijawab. Alasan ketiga perubahan sikap terhadap Australia yaitu ketidakmampuan pasukan Australia untuk berada di setiap tempat dengan cepat. Tahun 1999, ketika mereka memasuki Timor Timur, pasukan Indonesia telah lama meninggalkan Timor Timur, dan hampir seluruh milisi yang di back-up oleh TNI telah atau sedang melarikan diri. Saat itu suasananya bukan suasana kerusuhan masal. Banyak kalangan di Dili tahun 2006 menyalahkan pasukan internasional pada bulan-bulan awal kedatangan mereka dengan alasan terlalu lambat menanggapi permintaan bantuan dan sangat kekurangan intel yang bagus untuk mencegah aksi serangan atau mengidentifikasi pelaku. Kelambatan yang dirasakan untuk merespon, pada saat hampir seluruh dari penyerangan di ibukota dipelopori oleh pemuda loromonu, memperkuat persepsi bahwa Australia berat sebelah terhadap loromonu, hal ini sejalan dengan sikap anti-Alkatiri. Namun persepsi-persepsi ini agak mereda dengan terlihatnya pasukan Australia menyediakan pengamanan pribadi bagi Alkatiri pada saat rapat komite sentral FRETILIN bulan Juni. Semua ini telah membuat Australia menjadi pelindung yang sedikit kurang dicintai untuk kali ini. Keengganannya untuk melihat pasukannya ditempatkan dibawah satu komando PBB, meskipun pemerintah Timor Leste berharap demikian, tidak membuat hal ini semakin mudah.90 C. INDONESIA Rekaman pemerintahan yang buruk dan kebrutalan Indonesia di Timor Timur selama tahun 1999 telah terdokumentasi secara luas, tetapi sejak itu kedua negara telah berusaha sedapat-dapatnya untuk
90
Pasukan Australia tetap di Timor-Leste di bawah perjanjian bilateral. Pemerintah Timor-Leste dalam sebuah surat tertanggal 4 Agustus 2006 dari Perdana Menteri Horta kepada sekretaris jendral dan presiden Dewan Keamanan, mengajukan permintaan sebuah misi penjaga perdamaian multidimensi dengan sebuah komponen polisi yang besar dan sebuah “pasukan militer yang kecil di bawah komando dan kendali PBB”; Menteri Luar Negeri Guterres mengutarakan kembali keinginan pemerintah untuk sebuah pasukan dibawah kendali PBB dalam sebuah pernyataan kepada Dewan Keamanan tanggal 15 Agustus 2006.
Page 24
memulihkan hubungan mereka menjadi normal bahkan bersahabat. Tak ada bukti apapun bahwa Indonesia berusaha mencari keuntungan dari kesulitan negara tetangganya ketika krisis terjadi, dan walaupun mereka bersiap-siap menghadapi kedatangan pengungsi dari Timor Barat, hanya sedikit orang Timor yang menyeberang perbatasan. Kebanyakan yang melarikan diri ke perbatasan adalah warga negara Indonesia. Selama dua tahun belakangan, tak banyak yang terjadi di perbatasan, tetapi beberapa insiden, terutama yang terjadi bulan Januari 2006, telah menekankan pentingnya patroli yang sangat terlatih dan profesional yang dapat mencegah serangan dan mengendalikan ketegangan jika timbul. Para milisi yang telah menciptakan kerusakan tahun 1999 sudah tak menjadi ancaman keamanan yang serius.91 Sebuah masalah yang timbul yaitu adanya laporan beredarnya senjata di Dili buatan PT Pindad, pabrik senjata milik Indonesia. Bahkan kalaupun beredarnya senjata tersebut dapat dikonfirmasi – dan sejauh ini tidak ada bukti – hal ini kemungkinan lebih karena adanya semacam mafia jual beli senjata di wilayah ini daripada karena kebijakan pemerintah Indonesia.92 D. PORTUGAL Portugal, penguasa Timor Timur selama 450 tahun sebelum invasi oleh Indonesia tahun 1975, secara bangga mengklaim bahwa mereka adalah pemberi donor terbesar bagi Timor Leste. Kepentingan mereka sangat bersifat budaya, fokusnya terutama pada sekolah-sekolah, pelajaran bahasa Portugis, dan pengadilan, dimana pengaruhnya secara berangsurangsur mengikis peninggalan Indonesia. Jika Australia dianggap anti-Alkatiri, maka Portugal dilihat sebagai pembelanya, sebagian karena dukungan antusias kelompok Maputo untuk membuat bahasa Portugis menjadi bahasa nasional dan langkahlangkah lain menuju upaya “membuat Timor Leste seperti Portugal”.
91
Laporan Crisis Group Asia N°50, Managing Tensions on the Timor-Leste/Indonesian Border, 4 Mei 2006. 92 Sebuah skandal mencuat di akhir Juni 2006 ketika sebuah penyimpanan senjata yang terdiri dari 103 senapan, 42 pistol dan 30,000 amunisi ditemukan di rumah Brig. Jen. Koesmayadi, wakil ketua deputy logistik TNI, yang baru saja meninggal. Media di Indonesia dalam liputannya berspekulasi mengenai kemungkinan Koesmayadi, yang tampaknya menjalankan bisnis sampingan penjualan senjata, telah menjual senjata kepada FRETILIN dan juga GAM, Papua dan yang lain yang ingin membeli senjata. Penyelidikan oleh militer masih berjalan. Lihat “Warisan Maut Jenderal Koes”, Tempo, 9 Juli 2006.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Menanggapi krisis, sebanyak 120 polisi khusus Portugal GNR tiba di Dili bulan Juni. Hubungan Portugis-Australia agak dingin, karena pasukan Portugal, tidak seperti Malaysia dan Selandia Baru, menolak untuk menerima perintah dari pasukan Australia. Dalam Dewan Keamanan, Portugis dengan tajam menekankan pentingnya komando PBB untuk pasukan lain di masa depan, sebuah kritikan yang diarahkan kepada Australia. VII. KESIMPULAN Krisis di Timor Leste berasal dari warisan perjuangan melawan pendudukan Indonesia; kegagalan kelembagaan pasca-kemerdekaan, terutama di sektor keamanan; dan kebijakan yang bersifat memecah belah dari pihak FRETILIN, partai yang berkuasa saat ini. Laporan Sekretaris Jendral PBB pada bulan Agustus 2006 kepada Dewan Keamanan mencatat: Pengeritik menuduh FRETILIN telah menggunakan kedudukannya yang dominan di dalam Parlemen dan mesin politiknya yang lebih unggul untuk mempersempit ruang gerak yang tersedia bagi perdebatan atau penantang politik, termasuk di dalam tubuh partai FRETILIN sendiri. Pemanfaatan jumlah suara yang sangat besar yang mereka miliki dalam Parlemen dan kelemahan dari pihak oposisi yang berjumlah kecil serta terpecah-pecah berarti bahwa Parlemen sering tidak dilihat sebagai sebuah lembaga pengawasan yang efektif terhadap lembaga eksekutif. Lembaga eksekutif juga dituduh telah mempolitisasi atau mencoba mempolitisasi mesin pemerintahan, khususnya lembaga-lembaga yang terlibat dalam krisis, yaitu F-FDTL dan PNTL.93 Salah satu langkah yang paling penting untuk menghentikan krisis oleh karena itu adalah sesuatu hal dimana para pelaku yang berada di luar Timor Leste memiliki pengaruh paling kecil terhadapnya, yaitu: reformasi dalam tubuh FRETILIN. Langkahlangkah lain yang dapat diambil – beberapa diantaranya telah mulai dilakukan – juga penting: A.
MEMECAHKAN KEBUNTUAN POLITIK DI TINGKAT PALING ATAS
Xanana Gusmao, Mari Alkatiri dan untuk tingkat yang lebih rendah yaitu Taur Mattan Ruak,
93
Laporan Sekretaris Jendral mengenai Timor-Leste, op. cit., hal. 8-9.
Page 25
memegang kunci untuk dapat memecahkan kebuntuan di tingkat atas. Jika Xanana Gusmao dan Mari Alkatiri tidak bersedia untuk melewati rasa saling tidak percaya di antara mereka dan membahas bagaimana caranya mengatasi polarisasi yang terjadi di dalam tubuh institusi pertahanan keamanan dan memulihkan perpecahan antara timur-barat, bantuan teknis asing tidak mungkin mampu berbuat banyak. Peran Utusan Khusus Sekretaris Jendral yang baru dapat menjadi sangat penting dalam membangun jembatan diantara keduanya. Diadilinya Rogerio Lobato mungkin dapat menjadi sebuah kesempatan untuk menimpakan kesalahan kepada pihak lain, tetapi Xanana dan Alkatiri mungkin harus memikirkan hal yang tak akan terpikirkan, yaitu melepaskan peran apapun dalam pemilu tahun 2007 agar pemimpin baru dapat muncul. Pendirian Alkatiri yang bersikap menantang, sebelum dan setelah ia berhenti dari jabatannya sebagai PM, dan pidatopidato Xanana yang mempolarisasi, seakurat apapun isinya, telah membuat situasi yang buruk menjadi semakin parah. Ketika membahas mengenai kemungkinan solusi bagi krisis ini, seorang pemimpin asal Timor Leste dengan sedih mengatakan: “Kita mungkin harus mengorbankan beberapa pahlawan kita”. B.
MENYIAPKAN PENYELIDIK
LAPORAN
KOMISI
Laporan yang dijadwalkan akan dirilis pada pertengahan bulan Oktober 2006 tersebut akan menimbulkan kontroversi, apapun isinya. Laporan tersebut akan mencakup seluruh kasus-kasus yang yang paling sensitif, seperti: penembakan F-FDTL pada tanggal 28 April; aksi saling tembak antara Alfredo dan F-FDTL pada tanggal 23 Mei; penyerangan ke rumah Taur Matan Ruak dan markas polisi; pembunuhan terhadap polisi yang tidak bersenjata pada tanggal 25 Mei; dan peredaran senjata. Sampai setinggi apa mereka yang bertanggung jawab? Siapa yang akan disebut namanya, siapa yang akan dibebaskan? Jika ditemukan bahwa pemimpin senior ikut bertanggung jawab, apakah mereka akan berhenti dari jabatannya sementara, menunggu proses investigasi dan pengadilan? Bagaimana proses tuntutan hukum yang adil dapat dijamin melihat kondisi peradilan negara saat ini? PBB, pemerintah, pasukan keamanan dan para pemimpin masyarakat, semuanya harus siap dengan respon mereka, termasuk proposal untuk penuntutan hukum yang akan memastikan proses pengadilan yang adil dan cukup cepat; strategistrategi untuk penyebaran informasi agar temuantemuan komisi tidak ter-distorsi; dan persiapan keamanan untuk menghadapi kemungkinan aksi protes dan demonstrasi.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
C. MENGHADAPI PARA PETISI DAN MAYOR ALFREDO Kasus para tentara dari Angkatan Darat yang mengajukan petisi harus diselesaikan. Semuanya saat ini harus menunggu sampai Commission of Notables yang dipimpin oleh Ana Pessoa menyelesaikan pemeriksaannya atas apa yang mereka keluhkan semula. Langkah yang pertama itu mungkin dapat memuaskan para petisioner, mungkin tidak; dan jikapun solusi dapat diidentifikasi, mungkin juga tidak akan dilaksanakan; langkah ini pun mungkin dapat menyelesaikan masalah politik yang lebih besar mengenai bagaimana cara menghadapai para pemberontak yang tindakan desersinya telah meruntuhkan sebagian besar Angkatan Darat, mungkin juga tidak. Taur Matan Ruak telah mengatakan bahwa kembalinya mereka ke angkatan bersenjata akan memberi kesan yang kurang baik bagi institusi pertahanan keamanan dan mungkin dapat menciptakan preseden terjadinya kudeta.94 Tetapi, membiarkan hampir sebanyak 600 orang tentara berada di luar sistem akan menjadi sebuah bom waktu, meskipun jika kebanyakan dari mereka tidak bersenjata. Salsinsha dan Alfredo dan beberapa pemimpin pemberontak yang lain sudah pasti tidak dapat kembali. Namun harus dicarikan pekerjaan bagi yang lain apakah kembali ke F-FDTL atau sebagai masyarakat sipil, dengan syarat mereka tidak akan terlibat dengan tindak kekerasan ataupun kriminal. Temuan dari Commission of Notables sedikit banyak mungkin akan menghapus keluhan atas perlakuan diskriminasi yang diutarakan semula; persoalanpersoalan tersebut paling baik ditangani dengan cara memberlakukan peraturan yang jelas mengenai proses perekrutan, pemecatan dan promosi jabatan; memperbaiki manajemen; dan melembagakan sebuah mekanisme pengawasan sipil. D. PENINJAUAN SEKTOR KEAMANAN Sebagai hal yang amat penting dan seperti yang diwajibkan oleh Resolusi Dewan Keamanan 1704 dalam membentuk UNMIT, pemerintah harus menjalankan sebuah peninjauan keamanan nasional yang akan menjelaskan peran dari angkatan bersenjata, polisi dan badan-badan intelijen; persiapan komando dan kontrol, termasuk pada saat-saat darurat; dan mekanisme pengawasan sipil. Pemerintah juga harus mengidentifikasi dan mulai menyusun rancangan undang-undang untuk memperbaiki
94
“Ruak welcomes Tara”, Suara Timor Leste, 21 September 2007, di kutip di UN Daily Media Review.
Page 26
manajemen sektor keamanan, termasuk undangundang tentang bantuan militer kepada pejabat sipil. Pemerintah harus membentuk sebuah dewan keamanan nasional dimana para komandan angkatan bersenjata dan polisi dapat duduk bersama dengan para menteri yang terkait. Sebagai tambahan bagi sebuah definisi yang lebih baik mengenai peranannya, F-FDTL memerlukan sebuah rencana untuk memensiunkan sebagian besar dari veterannya yang ditampung pada tahun 2001 dengan cara yang terhormat. Kepensiunan secara bertahap dari generasi tersebut juga akan membantu menangani beberapa masalah ketidakseimbangan wilayah dalam korps perwira. E.
MENGEMBALIKAN TUGASNYA
POLISI
PADA
Institusi kepolisian Dili yang mengalami pembusukan dari dalam akibat kebijakan Rogerio Lobato, runtuh pada akhir bulan April. Sebuah proses penyaringan besar-besaran saat ini sedang dimulai, dalam kenyataannya mewajibkan polisi untuk melamar kembali, disaring dan kemudian diberikan pengarahan sebelum atau pada saat mereka kembali bekerja. Hingga akhir bulan September, sebanyak 25 orang dari 900 polisi yang bersedia melakukan hal itu mulai kembali bertugas. Mungkin tidak ada alternatif lain di luar proses penyaringan yang lambat dan tidak praktis ini, tetapi dengan kecepatan seperti ini, sudah cukup beruntung bagi Dili jika sebuah kesatuan kepolisian kembali lengkap pada saat Pemilu Mei 2007 nanti. Proses penyaringan juga dilakukan di daerah-daerah lain di seluruh Timor Leste, meskipun hampir di seluruh wilayah di luar Dili dan Ermera, operasi polisi tidak terlalu terkena imbasnya. Akan bermanfaat apabila proses tersebut ditinjau kembali sebulan kemudian untuk melihat apakah mereka dapat dirampingkan. Hal yang sama pentingnya dengan melakukan penyaringan terhadap polisi-polisi yang sudah lama, yaitu meninjau prosedur perekrutan bagi para pelamar baru diantaranya untuk memastikan keseimbangan secara geografis. Peranan dari tiga kesatuan khusus dalam institusi kepolisian yang sangat dipolitisasi oleh Rogerio Lobato juga harus diperiksa kembali, dengan maksud menyerap mereka kembali ke dalam kepolisian umum hingga peninjauan keamanan selesai dilakukan dan sebuah restrukturisasi yang didasarkan pada kebutuhan yang telah diidentifikasi dapat dilaksanakan. F. MEMULIHKAN KERETAKAN HUBUNGAN ANTARA TIMUR-BARAT DAN MEMULANGKAN KEMBALI PENGUNGSI KE RUMAH MEREKA
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Memulihkan keretakan sosial yang dibuka oleh tuntutan para petisi dan kekerasan yang pecah kemudian, memerlukan rekonsiliasi para pemimpin politik. Tetapi hal ini tidak akan terjadi jika para pengungsi yang hingga bulan September berjumlah 140,000 orang, setengahnya berada di Dili, tidak memiliki rumah untuk pulang dan takut meninggalkan kamp-kamp pengungsian. Sebuah program dari Kementrian Tenaga Kerja dan Reintegrasi Masyarakat, Simu-Malu (saling menerima), mencakup sebuah rencana yang berlandaskan tiga sendi yaitu keamanan, rekonsiliasi dan perumahan.95 Program ini didasarkan atas asumsi bahwa para pengungsi akan mempercayai pemimpin mereka. Tetapi jika ada yang kurang di Dili, hal itu adalah kepercayaan. Untuk maju, para pengungsi harus diyakinkan bahwa kekhawatiran mereka didengar oleh pemerintah di tingkat paling tinggi, pemerintah menjamin keamanan mereka, dan upaya perbaikan atas kesusahan mereka akan segera dilakukan. Sebuah langkah yang dapat diambil yaitu mempublikasikan jumlah senjata yang berhasil dikumpulkan dan yang masih beredar di luaran, karena sebenarnya jumlah senjata yang masih beredar di masyarakat jauh lebih rendah dari yang diisukan. Sekali kebutuhan yang paling mendesak ditangani, maka upaya rekonsiliasi melalui proyek-proyek kemasyarakatan dan inisiatif lain dapat dimulai. G.
MEMPERBAIKI PENGAWASAN PENGADILAN DAN PEREKRUTAN PERANGKAT PERADILAN
Jika Komisi Penyelidik Khusus Independen merekomendasikan tuntutan hukum, dan sudah pasti hal itu akan dilakukan, maka tuntutan hukum ini akan bernuansa politik, sama seperti tuntutan hukum lain yang terjadi dalam sejarah Timor Leste yang masih pendek ini. Pengadilan yang adil belum dapat dijamin dalam sistem pengadilan yang ada saat ini, dan track record atau jejak rekam PBB dalam merekrut para hakim yang berkualitas tinggi untuk bertugas di Timor Leste sangat buruk. Mendapatkan hak perlindungan/pembelaan diri akan menjadi sangat penting [seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya]; para hakim, jaksa dan pengacara harus kelas dunia. Jika peradilan disalahgunakan seperti yang saat ini terjadi, maka pekerjaan komisi penyelidik malah akan menjadi lebih destruktif daripada konstruktif.
Page 27
H. MEMPERSIAPKAN PEMILU 2007 PBB menangani aspek teknis dari pemilu dengan sangat baik. Tetapi persiapan pemilu Mei 2007 tak hanya bersifat teknis, juga politis. Pemerintah dan UNMIT harus memastikan bahwa keretakan sosial dan politik yang telah diperlihatkan oleh krisis tidak akan menjadi semakin buruk dengan mulai berkampanyenya para politikus. Mendapatkan kesepakatan mengenai sebuah kode etik akan menjadi sebuah langkah awal yang baik; diskusi kelompok dengan fokus untuk memahami dan menanggapi kekhawatiran mengenai masalah keamanan lokal sebelum dan selama masa kampanye akan menjadi langkah baik yang lain. Tetapi jaminan yang paling penting terhadap aksi kekerasan mungkin yaitu bagi para tokoh yang lebih kontroversial di ibukota untuk secara sukarela menarik diri dari pemilu. I. MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA BAGI PARA PEMUDA DI PERKOTAAN Timor Leste memiliki tingkat pengangguran yang sangat sangat tinggi, yaitu hampir mencapai 44% dari jumlah pemuda di perkotaan.96 Lapangan kerja dan kesempatan ekonomi tidak akan serta merta menghentikan aksi kekerasan di jalan-jalan, tetapi mereka akan membantu mencegah fenomena kerusuhan pesanan yang menambah genting ketertiban sipil. Sejumlah pendapatan negara dari tambang minyak yang sudah mulai masuk harus segera ditanamkan kembali ke dalam programprogram yang membawa efek cepat dan menggunakan banyak tenaga kerja; mungkin bisa dimulai dari membangun kembali rumah-rumah yang rusak dan terbakar. Sebuah gagasan yang saat ini beredar di Dili yaitu membentuk sebuah korps perlindungan alam nasional yang dapat mempekerjakan para pemuda dalam jumlah besar dan pada saat yang sama membantu melindungi lingkungan. J. MENGADOPSI REKOMENDASI CAVR Walaupun disebut paling akhir, namun tak kurang pentingnya yaitu, pemerintah seharusnya mengadopsi dan mulai melaksanakan rekomendasi-rekomendasi dari Chega! Laporan dari Comissao de Acolhimento, Verdade e Reconciliaciao, CAVR. Sebanyak 44 halaman, laporan ini rinci dan praktis dan memberikan panduan yang berguna bagi perubahanperubahan kebijakan. Yang berhubungan terutama:
95
“Sima Malu & Fila Fali: Policy Framework for the Return of IDPs in Timor-Leste”, Menteri Tenaga Kerja, PemerintahTimor-Leste, Agustus 2006.
96
Laporan Sekretaris Jendral mengenai Timor-Leste, op. cit., hal. 9.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Bagian 3.4: hak untuk mendapatkan keamanan bagi seseorang, komitmen negara terhadap anti-kekerasan; Bagian 4: mempromosikan dan melindungi hak kaum lemah; Bagian 5: mempromosikan dan melindungi HAM dengan menggunakan lembaga yang efektif, terutama parlemen, pengadilan, pelayanan masyarakat, badan ombudsman dan gereja; Bagian 6: mengembangkan pelayanan keamanan yang melindungi dan mempromosikan HAM. Rekomendasi mengenai polisi, angkatan pertahanan dan badan-badan keamanan lain adalah yang paling relevan; dan Bagian 9: rekonsiliasi dalam masyarakat politik. Tak satupun dari langkah-langkah ini mudah. Krisis meningkat karena beberapa orang: yaitu orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi dan kekuasaan, orang-orang yang membuat keputusan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu, orang-orang yang mencoba untuk menetapkan kebijakan secara sepihak. Jalan keluarnya adalah dengan meningkatkan kinerja kelembagaan, terutama di bidang pelayanan keamanan, persisnya agar tindakan-tindakan sejumlah individu tidak akan terlalu berkuasa.
Jakarta/Brussels, 10 Oktober 2006
Page 28
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Page 29
APPENDIX A PETA TIMOR-LESTE
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Page 30
APPENDIX B INDEX NAMA DAN SINGKATAN
Abilio Mesquita alias Mausoko: wakil komandan polisi di Dili yang memimpin serangan terhadap rumah Taur Matan Ruak pada bulan Mei 2006.
Convergência Nacionalista – kesepakatan kerjasama antara UDT dan FRETILIN dalam gerakan perlawanan, ditandatangani pada bulan Maret 1986.
Alcino Baris: Menteri dalam negeri, menggantikan Rogerio Lobato pada bulan Juni 2006.
CPD-RDTL – Conselho Popular pela Defesa de Republica Democratica de Timor Leste (Popular Council for the Defence of the Democratic Republic of East Timor), Kelompok pembangkang/pemberontak yang merupakan sumber utama masalah keamanan dalam negeri Timor-Leste di tahun tahun pertama setelah kemerdekaan.
Alfredo Alves Reinado (Mayor): kepala polisi militer, dipecat pada 3 Mei 2006; terlibat baku tembak dengan FFDTL pada 23 Mei; ditawan pada 26 Juli, melarikan diri pada 30 Agustus 2006. Alito “Rambo”: anggota kelompok gang ditengarai terlibat baku tembak pada 23 Mei. Ana Pessoa: Menteri Administrasi Negara dalam pemerintahan Alkatiri, anggota kelompok Maputo, mengepalai Komisi Kehormatan yang ditugasi menyelidiki tuntutan para petisioner. APODETI – Associacao Popular Democratica de Timor (Popular Democratic Association of Timor) dibentuk pada tahun 1974, merupakan partai orang Timor yang mendukung integrasi dengan Indonesia. Associação dos Antigos Combatentes das Falintil – the Ex-Combatants Assocation, sebuah asosiasi veteran yang dibentuk oleh Rogerio Lobato. CAVR – Comissao de Acolhimento, Verdade e Reconciliaciao, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Claudio Ximenes: Kepala pengadilan banding di Timor-Leste CNRM – Conselho Nacional de Resistancia Maubere (National Council of Maubere Resistance), Dewan Nasional Perlawanan Maubere - didirikan oleh Xanana pada tahun 1988 sebagai sebuah lembaga perlawanan tertinggi. CNRT – Conselho Nacional da Resistancia Timorense (National Council of Timorese Resistance), Dewan Nasional Perlawanan Rakyat Timor - dibentuk dengan nama CNRM pada tahun 1989 oleh Xanana Gusmao; Ia mewakili seluruh gerakan perlawanan rakyat TimorLeste, termasuk FRETILIN. Cornelio Gama: juga dikenal sebagai Elle Sette (l-7); seorang komandan FALINTIL yang membangkang; adalah saudara lelaki Paulo Gama (Mauk Moruk).
CRRN – Revolutionary Council of National Resistance, Lembaga perlawanan rakyat Timor-Leste yang pertama, dibentuk pada tahun 1981. Domingos de Oliveira: lihat Kaikeri. FALINTIL – Forcas Armados de Libertacao Nacional de Timor-Leste (National Liberation Forces of East Timor), dibentuk pada 20 Agustus 1975, awalnya merupakan sayap militer FRETILIN, tapi kemudian berdiri sendiri dibawah pimpinan Xanana Gusmao tahun 1987; bubar dengan dibentuknya Angkatan Bersenjata Timor-Leste pada Februari 2001. FALINTIL-FDTL or F-FDTL – nama resmi Angkatan Bersenjata Timor-Leste setelah kemerdekaan pada bulan Mei 2002. Falur Rate Laek: Komandan Batalyon I, F-FDTL, pernah menjadi pejuang FALINTIL, pernah bekerja sebagai asisten di dalam TNI awal tahun 1980 namun kembali ke gerakan perlawanan tahun 1983. FDTL – Forcas Defensa Timor Lorosae (Angkatan Bersenjata Timor-Leste), dibentuk pada bulan Februari 2001. FRETILIN – Frente Revolutionaria do Timor-Leste Independente (Front Revolusioner Timor-Leste Merdeka), awalnya disebut ASDT (the pro-independence Association of Timorese Social Democrats), dibentuk pada tahun 1974); berganti nama pada bulan September 1974; setelah pertempuran sipil dengan UDT, ia menyatakan kemerdekaan Republik Demokratis Timor-Leste pada bulan 28 November 1975 di penghujung invasi Indonesia. Gardapaksi – kelompok pemuda Timor-Leste prointegrasi yang dibentuk oleh militer Indonesia,
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Page 31
kepada
Lu’Olo (Francisco Guterres): juru bicara parlemen; presiden FRETILIN; lahir di Ossu, Viqueque.
Gascao Salsinha: Pemimpin 159 tentara yang menandatangani petisi kepada Presiden Gusmao pada tanggal 9 January 2006 menuduh adanya diskriminasi dalam tubuh F-FDTL, dipecat pada bulan Maret 2006; berbasis di Gleno, Ermera.
Mari Alkatiri: perdana menteri Timor-Leste sampai dengan Juli 2006; sekretaris jendral dan salah seorang pendiri FRETILIN; tinggal di pengasingan di luar negeri semasa pendudukan Indonesia, terutama di Mozambique; seorang pengacara, memimpin negosiasi minyak dengan Australia.
bertanggung jawab terhadap serangan pendukung kelompok pro-kemerdekaan.
GNR – Guarda Nacional Republicana, unit polisi paramiliter Portugis. Isabel Pereira: istri Taur Matan Ruak, wakil Timor-Leste di Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Timur. Ismail Babo: Wakil komandan PNTL bagian operasi, terlibat dalam insiden Gleno, 8 Mei 2006, tidak pernah kembali lagi ke kesatuan kepolisian.
Maubere – Kata dalam bahasa Timor yang digunakan orang Portugis untuk menunjuk kepada orang Timor, namun kemudian diambil FRETILIN sebagai identitas nasional. Mauk Moruk: Komando brigade FALINTIL yang terlibat upaya kudeta terhadap Xanana Gusmao tahun 1984; saudara lelaki Elle Sette (Cornelio Gama). Mausoko: lihat Abilio Mesquita.
Jose Ramos-Horta: lahir tahun 1949 di Dili, ikut mendirikan ASDT (the Timorese Social Democratic Association, Asosiasi Sosial Demokratis Rakyat Timor), yang kemudian menjadi FRETILIN; memenangkan penghargaan Nobel Perdamaian bersama Uskup Belo tahun 1996; menjabat menteri luar negeri dalam kabinet pemerintahan Timor-Leste yang pertama; menjadi perdana menteri pada bulan Juli 2006. Kablaki: Sekutu Alfredo, salah satu anggota petisioner yang terlibat serangan terhadap istana negara tanggal 28 April 2006, tewas dalam baku tembak dengan F-FDTL pada 23 Mei. Kaikeri, nama aslinya Domingos de Oliveira: komandan logistik pusat training F-FDTL di Metinaro, tewas dalam serangan terhadap markas F-FDTL pada 24 Mei 2006. Kilik Wae Gae: Kepala staf FALINTIL, tewas tahun 1984 dalam suatu konflik; istrinya menjadi salah seorang anggota komite central FRETILIN dan kemudian menjabat wakil Menteri Administrasi Negara dalam pemerintahan Alkatiri. L-7 (Elle Sette): lihat Cornelio Gama. Lere Anan Timor: Kepala staf F-FDTL, anggota komite central FRETILIN, sasaran komplain oleh kelompok Barat yang dipecat dari angkatan bersenjata, Maret 2006. Loromonu – berasal dari bagian sebelah barat TimorLeste. Lorosae – berasal dari bagian sebelah timur TimorLeste, terutama dari bagian timur Baucau.
Nicolau Lobato: perdana menteri Timor-Leste sejak 28 November 1975; dicalonkan menjadi presiden pada tahun 1977; tewas di tangan tentara Indonesia tahun 1978; kakak lelaki Rogerio Lobato. Oligari Asswain: wakil komandan brigade FALINTIL terlibat dalam kudeta melawan Xanana Gusmao tahun 1984. Paulo Gama: lihat Mauk Moruk. Paulo Martins: Kepala polisi Timor-Leste, pernah menjadi sekretaris kepala polisi sewaktu masih dibawah pemerintahan Indonesia. Provador – ombudsman. Railos: lihat Vicente da Conceicao. Rogerio Lobato: mantan menteri dalam negeri dan wakil presiden FRETILIN; menteri pertahanan pada pemerintahan singkat FRETILIN tahun 1975; pada masa pendudukan Indonesia, mengasingkan diri ke Angola dan Mozambique; kembali ke Timor-Leste pada bulan Oktober 2000; dicalonkan sebagai menteri pada bulan Mei 2002, dipecat pada bulan Juni 2006. Roque Rodrigues: menteri pertahanan Timor-Leste. Sagrada Familia – semacam kelompok sekte dimana Elle Sette membangun pusat kekuatan baru secara terpisah di area Baucau. Simu-Malu – mutual acceptance, sebuah program rekonsiliasi masyarakat yang juga memberi bantuan kepada orang-orang yang kehilangan tempat tinggal.
Menyelesaikan Krisis Timor-Leste Crisis Group Asia Report N°120, 10 Oktober 2006
Tara (Mayor): pegawai F-FDTL yang dipecat bersama Mayor Alfredo, pemimpin gerakan Sepuluh District. Taur Matan Ruak: Komandan F-FDTL. Tilman (Mayor): pegawai F-FDTL yang juga dipecat bersama Mayor Alfredo. UIR – unit control kepolisian Timor-Leste yang khusus menangani kerusuhan. UNAMET – United Nations Mission to East Timor, 11 Juni sampai dengan 30 September 1999. UNMISET – United Nations Mission of Support in East Timor, 20 Mei 2002 sampai dengan 20 Mei 2005. UNMIT – United Nations Integrated Mission in TimorLeste, Agustus 2006 dengan 6 bulan mandat. UNOTIL – United Nations Office in Timor-Leste, 20 Mei 2005 sampai dengan Agustus 2006. UNTAET – United Nations Transitional Administration in East Timor, 25 Oktober 1999 sampai dengan 20 Mei 2002.
Page 32
UDT – Uniao Democratica Timorense (Timorese Democratic Union), kelompok yang dibentuk pada 11 Mei 1974 yang awalnya mendukung keterikatan dengan Portugal namun kemudian mendukung kemerdekaan. Vicente da Conceicao (Railos): mantan tentara FFDTL yang dipecat pada bulan Desember 2003, mengklaim telah menerima senjata dari Rogerio Lobato berdasarkan perintah Alkatiri untuk membunuh lawan politik; asli asal Liquica, pernah menjadi pejuang FALINTIL selama masa perlawanan; setelah kemerdekaan bekerja di akademi pelatihan dari angkatan bersenjata yang baru di Metinaro. Xanana Gusmao (Kay Rala Xanana Gusmao): Presiden Timor-Leste; lahir pada 20 Juni 1946 di dekat Manatuto, bergabung dengan FRETILIN bulan Mei 1975; menjadi kepala komandan FALINTIL di 1981 dan membentuk gerakan front nasional, menggerakkan perlawanan diluar markas FRETILIN. Xavier do Amaral: lahir tahun 1937, menjadi presiden pertama Timor-Leste pada bulan November 1975, pendiri FRETILIN; pada bulan April 2002, kalah telak oleh Xanana Gusmão dalam pemilihan presiden; sekarang memimpin sebuah partai oposisi.