JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
MENGKRITISI KINERJA DAN PERAN IMF DALAM MENANGANI KRISIS DI ASIA Melyana Pugu* *Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih
Abstract : This article is the result of critical thinking on the performance and the role of the IMF in dealing with the crisis in Asia. Case studies in various countries in Asia features in this article as a case study method performance and the role of the IMF in Asia. This article also outlines the history of the founding and development of the IMF, policy and socio-political implications in Asia, the character of the IMF. Criticism of the performance and the role of the IMF in Asia suggested that the IMF can not force and prosecute a state implement its programs. The task was actually in the hands of legitimate political institutions and economic structures to determine the conditions necessary to get out of the economic crisis. It is therefore necessary to invent IMF job change and its role in Asia in order to really benefit the IMF economic growth in Asian countries.
Abstrak : Artikel ini merupakan hasil pemikiran kritis terhadap kinerja dan peran IMF dalam menangani krisis di Asia. Studi kasus diberbagai negara di Asia dilengkapi dalam artikel ini sebagai metode pengkajian kasus kinerja dan peran IMF di Asia. Artikel ini juga menguraikan sejarah pendirian dan perkembangan IMF, kebijakan dan implikasinya terhadap sosial-politik di Asia, karakter IMF. Kritikan atas kinerja dan peran IMF di Asia dikemukakan bahwa IMF tidak bisa memaksakan dan menuntut suatu negara
melaksanakan program-programnya. Tugas itu sebenarnya berada ditangan institusi-institusi politik legitimate untuk menentukan struktur ekonomi dan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk ke luar dari krisis ekonomi. Oleh karena itu IMF perlu untuk adakan perubahan tugas dan perannya di Asia agar benar-benar IMF bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia. Keywords : Performance, The Role of the IMF, the Asian Crisis Krisis ekonomi di Asia, terutama Asia Timur dan Tenggara, sejak pertengahan 1997 telah memunculkan nama IMF (International Monetery Fund) yang diterjemahkan sebagai Dana Moneter International) sebagai salah satu institusi finansial yang paling banyak mendapat perhatian masyarakat internasional. Peran dan kebijakan IMF semakin mendapat tantangan untuk membantu menyelesaikan krisis itu. Keberhasilan IMF dalam memulihkan perekonomian di Negara-negara lain (Amerika Latin dan Negara-negara bekas Uni Soviet) ternyata tidak bisa begitu saja sesuai dengan sumber krisis dan diterima oleh negara-negara yang mengalami krisis para praktisi dan ilmuwan juga memperhatikan dengan sangat krisis peran yang dimainkan IMF di Asia. Salah satu hal yang cukup menarik adalah timbulnya pandangan dan pendapat yang cenderung mengkritik IMF dalam mengatasi krisis ekonomi di Asia pada saat ini. Kebijakankebijakan IMF dianggap merugikan dan memperburuk keadaan ekonomi Asia. Padahal IMF telah mendapat citra yang sanga baik dalam menangani krisis ekonomi sebelumnya, terutama di Meksiko.
Tema tersebut akan menjadi pokok bahasan utama dalam tulisan ini, dengan mengacu pada pertanyaan-pertanyaan berikut ini, yaitu apa sebenarnya alasan dan tujuan pembentukan IMF ? Kritik apa saja yang ditujukan kepada IMF ? Bagaimana seharusnya peran yang dimainkan IMF dalam mengatasi ekonomi pada saat ini? PEMBAHASAN Pendirian dan Perkembangan IMF1 IMF merupakan sebuah organisasi internasional yang dibentuk berdasarkan perjanjian Bretton Wooks pada tahun 1044 di New Hampshire, Amerika Serikat. Ketika itu anggota IMF baru 39 negara. IMF mulai beroperasi pada Mei 1946 dengan markas besar di Washington (AS). IMF merupakan organisasi internasional yang unik dengan agenda sendiri. Pada pasal 1 dari The Artide of Agreement disebutkan mengenai tujuan IMF.1 yakni, pertama, meningkatkan kerja sama moneter internasional melalui konsultasi dan kerja sama 1
Lihat dalam http://www.imf.org
21
Melyana Pugu – Mengkritisi IMF di Asia
dalam menyelesaikan persoalan moneter; Kedua, mendukung ekspansi dan pertumbuhan perdagangan dunia yang merata; Ketiga, meningkatkan stabilitas nilai tukar dan menghindari persaingan antar negara anggota dalam melakukan depresiasi; Keempat, membantu memantapkan sistem pembayaran multilateral transaksi berjalan negara anggota dan mencegah terjadinya pembatasan devisa yang dapat menghambat pertumbuhan perdagangan dunia; Kelima, memberi kepercayaan sesama negara anggota dengan cara menyediakan dana apabila diperlukan hanya untuk sementara waktu dengan pengamanan yang cukup, sekaligus memberi kesempatan membenahi kesalahan pengaturan neraca pembayaran negara anggota tanpa harus merusak kemakmuran negara atau kemakmuran dunia; dan Keenam Pendek kata, untuk mempersingkat dan mengurangi tingkat disekulibrium neraca pembayaran internasional sesama2 negara anggota. Dalam perkembangannya, IMF sangat erat bekerja sama dengan lembaga-lembaga internasional lainnya sebagai sister-agency IMF, yaitu The International Bank for Reconstruction and Development atau yang lebih dikenal dengan World Bank (Bank Dunia) dan GATT pada tahun 1947 (General Agreements on Tariff and Trade – Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan). Dalam kaitannya dengan Bank Dunia, IMF diberi wewenang khusus membantu untuk sementara waktu berupa bantuan neraca pembayaran negara anggota dan lebih memfokuskan diri pada aspek ekonomi makro dari perekonomian negara anggotanya. Sedangkan Bank Dunia lebih banyak berkecimpung dalam proyek jangka panjang dan membiayai pengembangan ekonomi. Pada Januari 1995 IMF mulai bekerja sama dengan WTO sekedar memperkukuh kerja sama yang sudah terjalin lama sejak berdirinya GATT. IMF juga dapat bekerja dengan regional bank seperti Asion Development Bank (ADB). Bahkan dapat bekerja sama dengan bank komersial dan official creditors lainnya dalam mengatur pinjaman. Ketiga lembaga tersebut merupakan pilar utama usaha menciptakan sistem perdagangan dan moneter internasional yang liberal. IMF menganut prinsip bahwa liberalisasi per2
Fred C.Bergsten bahkan berpendapat bahwa prinsip IMF yang berorientasi pasar bebas merupakan manifestasi dari dukungannya kepada kepentingan nasional AS, lihat Bergsten. The IMF and the National Interest of the United Stated, http://commbs.anu.edu.au/RSPAS, 24 Februari 1998.
ekonomian dunia, jasa, dan modal dihapuskan. Setiap negara dapat melakukan transaksi secara bebas. Keadaan ini dipercaya dapat menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dunia, serta menghindarkan dunia dari peristiwa seperti Depresi Besar 1930-an dan Perang Dunia II. Pandangan semacam ini membuat IMF sering dianggap pendukung sistem ekonomi pasar. Sejak tahun 1960-an, IMF mengembangkan suatu mekanisme cadangan dana yang dikenal dengan Special Drawing Rights (SDR). Dana ini disediakan bagi setiap devisa agar pertumbuhan ekonomi negara itu tetap berkembang mantap. Setiap negara anggota mempunyai hak untuk meminjam (right to widraw) sebagaimana mereka juga mempunyai kewajiban untuk membayar iuran sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Di awal berdirinya dengan anggota awal 39, IMF memiliki dana sebanyak 7,6 milyar dolar AS. Namun, pada saat ini dengan sekitar 181 negara anggota, dana yang berhasil dikumpulkan IMF mencapai 200 milyar dolar AS (sekitar 18%), sementara Kepulauan Marshall di Pasifik menjadi penyumbang terkecil, yaitu 3,6 juta dolar AS 3. Negara-negara kaya yang lain seperti Jerman dan Jepang menyum-bang jumlah yang sama sebesar 11,2 milyar dolar AS (5,7 persen), Inggris dan Perancis masingmasing 10,1 milyar dolar AS (5,1 persen), sedangkan Arab Saudi sebesar 7 milyar dolar AS (3,5 persen). Dengan dana sebesar itu, sejak tahun 1965 IMF telah mengeluarkan dana sekitar 175 milyar dolar AS untuk membantu beberapa negara yang mengalami krisis ekonomi, Meksiko memperoleh bantuan dana 18 milyar dolar AS pada tahun 1994 sebagai bagian dari bantuan sebesar 48 milyar dolar AS akibat depresi mata uang peso, 10 milyar dolar kepada Rusia untuk mengurangi inflasi, Filipina mendapat bantuan 700 juta dolar AS4. Sementara itu krisis ekonomi Asia baru-baru ini mendorong IMF memberi bantuan kepada Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan masing-masing sebesar 17,2 milyar, 23 milyar, dan 50 milyar dolar AS. Kemampuan untuk mengakumulasikan dan mengalokasikan dana sebesar itu memungkinkan IMF memiliki kekuasaan mengatur pemulihan ekonomi negara-negara yang 3 4
Kompas, 10 Oktober 1997 TIME, 8 Desember 1997, hal 16-17
22
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
meminta bantuannya. Dalam pandangan Martin Feldstein, the IMF was generally able to gets its way because itu brought substansial financial rewards to countries that accepted its advice.5 Disamping itu, IMF juga mempunyai pengaruh dalam menentukan apakah suatu negara layak mendapat bantuan dana secara bilateral dari negara lain atau tidak atau bertindak dalam kapasitas sebagai central credit agent. 6 Dengan peran ini, IMF dapat memberikan predikat negatif kepada sebuah negara yang dapat mengakibatkan sumber-sumber pinjaman lain (Bank Dunia, organisasi-organisasi pembangunan regional, pinjaman bilateral, dan sumbersumber kredit swasta) menolak memberi pinjaman. Kekuasaan dan pengaruh IMF itu dikenal sebagai kekuasaan struktur dibidang financial. 7 Kekuasaan semacam ini menyebabkan negara-negara yang meminta bantuan IMF mau tidak mau harus menyetujui paket reformasi ekonomi IMF sebagai imbalan atas bantuan itu. Bargaining power IMF terhadap perekonomian nasional suatu negara bahkan tidak terbatas pada sistem politik atau elit pemerintahan yang berkuasa di suatu negara. Studi Payer pada tahun 1974 menunjukkan bahwa pemerintahan militer di Indonesia, Brazil, Kamboja, dan Argentina telah meminta saran dan bantuan dana IMF untuk menata dan membangun perekonomian mereka. Janji-janji kampanye pemilihan presiden atau perdana menteri baru di Filipina, Kolombia, dan Srilanka yang semula menolak kehadiran IMF justru berbalik mendukung dan beranggapan bahwa pembangunan tidak akan berjalan dengan baik tanpa bantuan IMF. Di Laos dan Kamboja, IMF memberi jasa konsultasi dan meminjamkan tenaga-tenaga ahlinya untuk membantu pemerintahan anti-komunis dan menjamin kontrol Barat atas Indonesia.8 Sejak awal pembentukannya, IMF memang telah didominasi oleh kepentingan negara anggota terbesar, yaitu Amerika Serikat. Hingga tahun 1956, dominasi AS ditunjukkan oleh kekuasaan Menteri Keuangan AS yang lebih 5
Lihat Martin Feldstein Refocusing The IMF, dalam Foreign Affairs, March/April 1998 http://www.foreignaffairs.com 6 R.S. Walter dan D.H Blake. The Politics of Global Economic Relations, 4thEdition, Prentice-Hail International Inc. 1992, hal 100 7 Penjelasan yang mendalam mengenai kekuasaan structural ini dikemukakan oleh Susan Strange. States and markets, Printer Publisher, London, 1988 8 Lihat Cheryl Payer, The Debt Trap:The International Monetary Fund and The Third Word, Monthly ReviewPress, New York & London 1974.
besar dalam proses pembuatan keputusan dibanding dengan para staf IMF. Atau dengan kata lain, IMF digunakan AS untuk menekan negara-negara lain (terutama negara-negara Dunia Ketiga) melalui mekanisme pemberian bantuan. Melalui IMF, AS secara tidak langsung dapat mengarahkan proses pembangunan ekonomi sebuah negara sesuai dengan kepentingan-kepentingannya. Ketika negara-negara di Eropa Barat dan Jepang muncul sebagai kekuatan ekonomi baru pada tahun 1960-an, dominasi AS terhadap IMF mulai berkurang.9 Meskipun demikian, berbagai kebijakan yang diambil masih mencerminkan besarnya pengaruh AS dalam lembaga keuangan internasional itu. Pengunduran diri PierePaul Schweitzer sebagai Managing Director IMF pada 1973 memberika gambaran mengenai besarnya kekuasaan AS kepada lembaga itu.10 IMF, dan Bank Dunia, merupakan bagian dari system Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun demikian, IMF dikontrol oleh negaranegara anggotanya sesuai dengan besarnya proporsi kuota yang dimiliki. Oleh karena itu, IMF lebih banyak dikontrol oleh negara-negara kaya. Hal ini sebenarnya cukup beralasan mengingat IMF pada awalnya lebih banyak melayani kepentingan negara-negara itu. Pada saat itu persoalan-persoalan pembangunan ekonomi negara-negara Dunia Ketiga masih jarang dibicarakan, mengingat sebagian besar dari negara-negara itu masih berada di bawah penjajahan. Ketika IMF mulai beroperasi, AS memiliki kuota terbesar dan tertinggi sebanyak 36 persen. Dalam perkembangannya, kuota tersebut berkurang menjadi 23 persen dan pada saat ini kuota AS masih sekitar 18 persen. Penurunan kuota ini tidak berakibat banyak pada peranan dan pengaruh AS di IMF. Bergsten menyatakan ourshare in the Fund is less than 20 percent so every S1 we contribute is matched by more than S4 from others. Selain itu, frekuensi pinjaman AS terhadap mata uang asing kepada IMF bahkan telah mencapai 28 kali, lebih banyak dibanding negara-negara anggota lainnya. Pada tahun 1978 AS meminjam 3 milyar mark dan yen untuk mempertahankan nilai mata uang dolar di pasar uang. 11 Kasus terakhir adalah mengenai sebagai upaya regional mengatasi 9
Munculnya Eropa Barat (terutama Jerman Barat) dan Jepang sebagai kekuatan ekonomi dunia dipandang sebagai berakhirnya (stabilitas) hegemoni AS dan kekuasaan structural IMF. 10 Payer, op.cit, hal. 217 11 Bergsten, op.cit.
23
Melyana Pugu – Mengkritisi IMF di Asia
krisis ini. AS secara tegas menolak gagasan tersebut dan mengemukakan peran sentral IMF pada tingkat global sebagai satu-satunya lembaga keuangan internasional. Kebijakan IMF dan Implikasi Sosial-Publik Karakteristik yang menonjol dari berbagai kebijakan yang disarankan IMF kepada negaranegara yang meminta bantuannya yaitu pertama IMF selalu memberikan resep kebijakan yang bersifat ekonomis, dan kedua, kebijakan IMF bersifat standar dan sering dapat diprediksikan. Artinya, paket kebijakan yang sama juga diberikan IMF kepada negara-negara yang meminta bantuannya, walaupun penyebab krisis ekonomi sebenarnya berbeda antar negaranegara itu. Karakteristik tersebut terutama tampak pada komponen-komponen dasar dari paket pemulihan ekonomi IMF yang biasanya disebut dengan program stabilisasi dan penyesuaian struktural, yaitu Liberalisasi sistem devisa dan kontrol impor, Devaluasi nilai tukar mata uang, Program-program anti-inflasi domestik, termasuk kontrol terhadap kredit perbankan; penetapan suku bunga yang lebih tinggi dan persyaratan cadangan devisa lebih besar, kontrol terhadap defisit neraca pembayaran; mengurangi belanja pemerintah, meningkatkan pajak; dan menghapus subsidi konsumen; kontrol terhadap kenaikan gaji sesuai dengan kemampuan pemerintah; dan menghapus kontrol harga, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi investasi asing.12 Tujuan utama paket kebijakan ini adalah menciptakan keseimbangan neraca pembayaran, meningkatkan surplus anggaran, dan menaikkan nilai tukar mata uang. Namun demikian, paket kebijakan stabilisasi ini sering menimbulkan konsekuensi yang berbeda dari tujuan utamanya. Liberalisasi devisa atau yang dikenal dengan sistem devisa bebas menyebabkan nilai tukar suatu mata uang lebih ditentukan oleh mekanisme pasar. Nilai tukar mata uang ini akan berfluktuasi sesuai dengan permintaan dan penawaran pasar atas uang itu. Akibatnya, kegiatan usaha di negara itu menjadi tidak stabil karena tidak ada nilai tukar tetap bagi suatu barang atau jasa. Ketidakstabilan nilai tukar diperburuk oleh devaluasi mata uang, sehingga harga barangbarang yang memiliki kandungan impor akan meningkat. Sementara itu, hutang-hutang luar
negeri tidak dapat dibayar pemerintah atau swasta. Di pihak lain, kalangan swasta domestik juga dihadapkan pada persoalan kalangan modal. Mereka tidak mampu melakukan ekspansi usaha akibat kenaikan suku bunga perbankan. Sedangkan masyarakat menjadi pihak yang paling terkena kontraksi akibat paket kebijakan IMF. Devaluasi menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Nilai riil mata uang sudah tidak sesuai lagi dengan nilai nominal yang tertera pada mata uang itu. Masyarakat juga semakin menderita karena subsidi konsumen (seperti bahan bakar minyak) dan kontrol harga (terutama terhadap barang-barang kebutuhan pokok) dihapuskan. Beban masyarakat bertambah ketika pemerintah menaikkan pajak dan tarif produk perusahaan-perusahaan milik pemerintah (misalnya air dan listrik). Jika persoalan-persoalan ini tidak segera diatasi, maka negara-negara yang menerima bantuan IMF akan menghadapi kritik atau gelombang protes dari warga masyarakatnya. Pemerintahan suatu negara menjadi tidak popular dihadapan warga masyarakatnya. Mereka bahkan dianggap sebagai agen imperialis yang hanya menguntungkan lembaga donor, tetapi justru menyengsarakan rakyatnya. Kondisi ini menimbulkan kritik bahwa kebijakan IMF justru memperburuk situasi. Seorang ekonom dari Universitas Harvard (AS), Prof. Jeffrey D. Sachs, menyebut IMF tidak sebagai International Monetary Fund, melainkan sebagai International Monetary Failure.13 Kebijakan IMF dianggap gagal karena cenderung mengabaikan akibat-akibat sosialpolitik yang justru muncul di negara-negara yang dilanda krisis yang meminta bantuan kepada IMF. Persoalan ini bahkan melebar pada isu kedaulatan nasional. Persyaratan-persyaratan bantuan IMF seringkali tidak biasa dikompromikan dengan situasi dan kondisi ekonomi suatu negara tertentu. Keberhasilan reformasi ekonomi IMF dalam menangani krisis ekonomi di Meksiko tahun 1995 ternyata menemui kenyataan lain di Asia. Resep ekonomi itu bahkan justru semakin memperburuk keadaan, seperti kemandegan ekonomi, membesarnya jumlah pengangguran, depresiasi nilai mata uang, naiknya harga barang-barang, dan meningkatnya inflasi. Munculnya isu kedaulatan nasional ini 13
12
Payer, op.cit, hal.32-33
Lihat Jeffrey Sachs, International Monetary Failure, dalam TIME, op.cit
24
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
digunakan menentang paket reformasi IMF, seperti yang dilakukan Malaysia. Secara internal, implikasi sosial dan politik semacam itu pada dasarnya memang tidak menjadi perhatian para pembuat kebijakan di lembaga IMF. Lembaga ini tidak mempunyai ilmuwan politik dalam jajaran stafnya. Charter IMF, seperti Bank Dunia, melarang memasukkan pertimbangan politik dalam proses pembuatan kebijakan. 14 Hampir 1000 staf terdiri dari para ekonom yang berpengalaman di bidangnya, tetapi cenderung tidak menguasai ‘lapangan’. Sekitar 500 orang dari 1000 staf itu ditempatkan di 75 negara-negara berkembang dengan pembagian 7 orang di setiap negara. Penempatan ini dianggap tidak cukup untuk memahami dan menganalisis perkembangan situasi ekonomi dan politik yang dinamis di setiap negara. Kenyataan bahwa krisis ekonomi di Asia berbeda dari krisis di bagian dunia lainnya dan tidak dapat diperkirakan oleh laporan tahunan IMF 1997 dan prospek pertumbuhan ekonomi Asia di tahun 1998. Optimisme yang semula diberikan IMF atas perkembangan ekonomi Asia pada tiga bulan sebelum krisis yang berubah menjadi kritik IMF terhadap kebijakankebijakan ekonomi pemerintahan di Asia. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan country staff IMF dalam memperkirakan perkembangan dan perubahan wilayah tugas mereka, khusunya di Asia.15 Karakteristik Krisis Ekonomi Asia Krisis ekonomi Asia yang bermula dari Thailand dan menyebar ke Malaysia, Indonesia, Philipina, dan Korea Selatan sebenarnya mengambil bentuk awal sebagai krisis moneter atau financial. Krisis ini disebabkan oleh membesarnya hutang luar negeri swasta dibandingkan dengan cadangan devisa negara-negara itu. Hal ini sebenarnya merupakan akibat dari membanjirnya modal asing yang ditanamkan di Asia sejak awal 1990-an hingga pertengahan 1997. Perbankan dan investor asing mengucurkan uangnya ke Asia karena negara-negara itu menawarkan berbagai fasilitas investasi yang menarik. Negara-negara di Asia menerapkan liberalisasi pasar modal melalui sistem ini,
investor dapat membawa modal masuk (capital inflow) dan ke luar (capital outflow) dari batas wilayah nasional suatu negara tanpa ada pembatasan jumlah. Optimisme pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia ini didukung oleh lembaga-lembaga internasional, baik yang berada di bawah PBB (IMF & Bank Dunia) maupun lembaga pemeringkat swasta asing (Moody’s, Standard & Poors, dan Political and Economic Risk Consultancy). Di samping itu, negara-negara di Asia pada umumnya memberlakukan tingkat suku bunga tinggi terhadap mata uang domestik, sedangkan suku bunga mata uang asing (dolar) ditetapkan lebih rendah. Kebijakan perbankan ini mengakibatkan para investor asing tertarik menanamkan uangnya dalam bentuk mata uang domestik. Sementara itu, para investor domestik justru melihat peluang mencari modal asing dalam bentuk dolar karena tingkat bunganya rendah. Kedua instrument kebijakan tersebut (perbankan dan liberalisasi pasar modal) semakin meningkatkan arus masuk modal asing. Banyaknya aliran masuk modal asing mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur domestik di negaranegara Asia. Optimisme para investor domestik terhadap prospek petumbuhan ekonomi nasional mendorong mereka berani meminjam danadana asing yang berjangka pendek. Padahal dana tersebut justru dipakai untuk membangun proyek-proyek infrastruktur yang berjangka panjang. 16 Kebijakan perbankan domestik yang tidak disertai dengan pengawasan dari bank sentral menyebabkan jumlah modal asing, yang kebanyakan dalam bentuk hutang (pinjaman) luar negeri, melebihi kemampuan cadangan devisa negara-negara itu untuk membayarnya. Ketika pinjaman-pinjaman asing tersebut jatuh tempo, para pemimpin domestik itu dihadapkan pada persoalan kelangkaan cadangan devisa untuk membeli mata uang asing, terutama dolar. Persoalannya adalah bahwa waktu peminjaman dana asing dan jatuh temponya berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan. Hal inilah yang kemudian membuat krisis moneter berubah menjadi krisis ekonomi.
16 14
Howard J. Wiarda, The Politics of ThirdWord Debt, dalam PS: Political Scince & Politics, September 1990. Hal. 414 15 Lihat Jeffrey Sachs, IMF is A Power unto Itself, dalam Financial Times, 11 Desember 1997.
Perkiraan optimistic terhadap pertumbuhan ekonomi Asia ini justru menimbulkan kritik tajam dari seorang ekonomi Massachusset Institut of Technology (MIT) Paul Krugman. Lihat Ducth Tulips and Emerging Markets, dalam Foreign Affairs, July/August 1995. Hal 28-44
25
Melyana Pugu – Mengkritisi IMF di Asia
Krisis ekonomi Asia telah mengambil korban Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan karena mereka tidak mempunyai cadangan devisa yang cukup untuk membayar pinjaman luar negeri. Negara-negara ini meminta bantuan dana kepada IMF. Persetujuan atas persyaratan-persyaratan bantuan membuat ketiga negara ini memperoleh bantuan masing-masing 17,2 milyar, 23 milyar, dan 55 milyar dolar AS dari IMF. Persyaratan-persyaratan bantuan IMF kepada ketiga negara Asia itu cenderung seragam dangan paket reformasi ekonomi yang diberikan IMF kepada negara-negara Amerika negara-negara bekas Eropa Timur, dan Rusia. Keadaan ini menimbulkan kritik terhadap IMF.17 Salah satu pengkritik IMF adalah ekonom dari Univrsitas Harvard (AS), Prof. Jeffrey D. Sachs. Menurut ekonom ini krisis ekonomi di Asia Timur sangat berbeda dengan persoalan-persoalan yang selama ini ditangani IMF. Setidaknya ada tiga faktor yang membedakannya. Pertama, Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan mengalami surplus anggaran dan inflasi yang tergolong rendah. Kedua cadangan utama krisis ekonomi sebenarnya adalah sektor swasta, bukan pemborosan yang dilakukan pemerintahnya dan Ketiga, penyebab utama krisis ekonomi sebenarnya adalah sektor swasta, bukan pemborosan yang dilakukan pemerintah.18 Ketiga faktor diatas, terutama faktor pemborosan pihak swasta, yang berbeda dank has bagi krisis ekonomi Asia. Sementara krisis di Amerika Latin tahun 1980-an dan Meksiko 1995 lebih disebabkan oleh faktor pemerintah, pertumbuhan ekonomi stagnan, dan inflasi tinggi. Persoalan ini menjadi pendorong munculnya kritik tajam atas kebijakan-kebijakan IMF dalam krisis ekonomi di Asia pada saat ini. Kebijakan reformasi ekonomi IMF yang cenderung ortodoks dan tidak kontekstual tersebut dianggap, meminjam judul tulisan Sachs, sebagai the wrong medicine for Asia.19 Kritik terhadap IMF Pelaksanaan paket reformasi ekonomi IMF dalam upaya memulihkan perekonomian di Asia ternyata justru meningkatkan suara-suara negatif. Pada umumnya kritik terhadap IMF 17
Hal ini akan diuraikan secara lebih komprehensif pada bagian berikutnya dalam tulisan ini. 18 Jeffrey Sachs, The Wrong Medicine for Asia, dalam New York Times, 3 November1977 19 Milton Friedman, Asian Miracle was Real, dalam FEER, 26 Maret 1997, hal. 78
dapat dibedakan ke dalam 5 pandangan yang diuraikan sebagai berikut. Pertama, pandangan yang menganjurkan agar institusi-institusi seperti IMF tidak perlu ada di dunia ini. Salah satu pendukung pandangan ini adalah Milton Friedman. Menurut Friedman if there were no IMF there would be no Asia problem. May be there would be individual problem, like Thailand, but it won’t be a huge crisis thoughout Asia. Argumen pandangan ini adalah bahwa kebijakan-kebijakan IMF cenderung mengikuti prinsip-prinsip pasar bebas. Masalahnya adalah bahwa sistem pasar cenderung berisi dua. Pada satu sisi, pasar dapat mendorong dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya akan menciptakan stabilitas dunia, yang sejalan dengan ide pembentukan IMF. Namun pada sisi lain, pasar seringkali justru berkembang kearah sebaliknya, yaitu menyebabkan kemunduran ekonomi negaranegara berkembang yang menganutnya. Hal ini terutama diakibatkan oleh roaler-coaster effect dari pasar modal.20 Besarnya arus masuk modal swasta asing yang mengalir ke negara-negara Asia sejak awal 1990-an hingga pertengahan 1997 justru menimbulkan potensi berbahaya bagi perekonomian Asia. Peringatan ini sebenarnya dinyatakan oleh Paul Krugman bahwa pertumbuhan ekonomi yang mendorong oleh arus modal besar-besaran dan jumlah tenaga kerja murah yang melimpah justru bersifat semu. Arus masuk modal asing teersebut dapat dengan mudah ditarik kembali ke luar (outflow), jika perkembangan ekonomi dan politik suatu negara justru meningkatkan country risk. Perdagangan bebas dan arus modal, menurut Krugman, merupakan speculative bubble.21 Krisis hutang negara-negara Dunia Ketiga pada tahun 1970-an telah membuktikan fenomena ini. Oleh karena itu, ketergantungan sepenuhnya pada kekuatan pasar22 akan membahayakan upaya pemulihan krisis ekonomi pada saat ini. Kritik kedua beranggapan bahwa IMF tidak melakukan sesuatu pun dalam krisis ekonomi Asia kini. IMF gagal menerapkan program 20
Bergsten, op.cit Lihat Krugman, op.cit 22 Pandangan semacam ini juga dikemukakan oleh Francois Railon, seorang ahli ekonomi-politik dari Perancis. Menurutnya, depresi besar 1930-an diakibatkan oleh kebijakan pasar bebas yang dianut AS dan Eropa pada saat itu. Oleh karena itulah, beberapa negara-negara di Eropa Barat tidak sepenuhnya mempraktekkan sitem pasar bebas dalam kebijakan ekonominya. Lihat Republika, 22 Desember 1997. 21
26
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
stabilisasi dan penyesuaian strukturalnya. Hingga delapan bulan ini IMF belum mampu memulihkan perekonomian Asia. Padahal IMF hanya memerlukan waktu sekitar 6 bulan untuk menstabilkan perekonomian Meksiko pada tahun 1995. Kegagalan ini terutama karena kebijakan IMF untuk menutup bank-bank yang insolvent justru mendorong kepanikan para investor, sehingga cenderung menarik modalnya dari kawasan Asia. Padahal pemulihan ekonomi Asia setidaknya investor asing menanmkan modalnya ke kawasan ini. Ketiga, Kebijakan IMF terlalu kaku dan tidak disesuaikan dengan kondisi masingmasing negara yang berbeda. Menurut Bergsten, krisis ekonomi Asia pada dasarnya berbeda dengan krisis di Amerika Latin, karena krisis Asia bersifat regional dan lebih struktural sehingga memerlukan penanganan waktu yang lebih lama. Hal ini terutama tampak pada dilema yang muncul dari kebijakan moneter yang diusulkan IMF. Pada satu pihak, suku bunga moderat diharapkan dapat mendorong restrukturisasi keuangan dan mencegah perlambatan ekonomi yang tidak perlu. Namun pada pihak lain, penetapan tingkat bunga tinggi dapat mempertahankan nilai tukar dan mencegah depresiasi lebih lanjut. Strategi IMF adalah memberlakukan kebijakan uang ketat untuk mencapai tujuan kedua itu, namun kebijakan itu justru mematikan usaha domestik. Suku bungan kredit meningkat, sementara itu depresiasi yang berlangsung tidak mampu mendorong daya produk ekspor.23 Kritik keempat, bahwa IMF dianggap justru menciptakan moral hazard. Kebijakan IMF terhadap investor asing dan domestik bahwa uang mereka di-bailed out pemerintah menimbulkan pengaruh roller-coaster yang destruktif. Kebijakan ini secara psikologis menimbulkan kepanikan di kalangan investor karena perbankan yang tidak sehat justru dijamin pemerintah. Akibatnya IMF tidak mempraktekkan confidence-building measures, melainkan justru confidence-ruducing measures.24 Kritik terakhir berhubungan dengan transparansi kegiatan IMF. Menurut sachs, the IMF is too much power. 25 IMF menurut negaranegara yang dilanda krisis untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mereka. Namun, pada kenyataannya IMF sendiri justru too much
secretive dan too much mediocare. Institusi finansial dengan sekitar 1000 orang staf (ekonom) mendiktekan persyaratan-persyaratan ekonominya kepada hampir 350 juta orang di Indonesia. Korea Selatan, dan Thailand. 26 Namun, proses pengambilan kebijakan-kebijakan IMF tidak setransparan tuntutan mereka kepada negara-negara yang sedang dilanda krisis. Kritik-kritik terhadap IMF seperti di atas tidak hanya dikemukakan oleh para ekonom kritis (Sachs, Krugman, dan Friedman, dll) dari AS maupun dari Asia sendiri, tetapi juga dilontarkan oleh pengambil kebijakan (anggota Kongres) AS. Pernyataan-pernyataan kritis kepada IMF secara umum mengambil tema bahwa kebijakan IMF adalah obat yang salah bagi Asia. Kenyataan menunjukkan bahwa kritik tersebut ternyata tidak menggoyahkan keyakinan IMF terhadap efektivitas paket-paket reformasinya. IMF bahkan tidak mempunyai pemikiran untuk mengubah kebijakan ekonominya, sehingga muncul kritikan tajam kepada IMF seperti kutipan-kutipan pada awal tulisan ini. Kecaman tersebut bahkan sampai merembet pada usulan penghentian Michael Camdessus dari jabatannya sebagai Direktur Pelaksana Lembaga Keuangan Internasional itu. Disamping kritik atas peran, kebijakan, dan keberadaan IMF, para ekonom juga mengajukan usulan pebaikan terhadap IMF. Salah satu usulan itu dating dari Martin Feldstein. Isu mendasar, demikian Feldstein, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah peran yang selayaknya bagi sebuah lembaga internasional dan para staf teknisnya dalam memonitor negara-negara berdaulat yang datang meminta bantuan IMF. Satu hal penting yang selalu harus diingat bahwa IMF tidak dapat initiate, melainkan develop program reformasi ekonomi jika diminta bantuannya oleh negara anggota. Negara tersebut kemudian merupakan client atau pasien IMF, bukan sebagai ward atau orang yang berada dibawah perwaliannya.27 Dengan demikian, Feldstein ingin menegaskan kembali bahwa negara yang meminta bantuan IMF seharusnya tetap dianggap sebagai negara berdaulat. IMF tidak bisa memaksakan atau menuntut negara-negara itu agar melaksanakan kebijakan reformasinya. IMF tidak boleh memaksakan program pemulihan ekonomi. Kewajiban IMF seharusnya adalah mengembangkan program-program perbaikan eko-
23
Bergsten, op.cit Jefrey D. Sahcs, To stop The Panic,http://www.pathfinder.com. 25 Sahcs, IMF is A Power….op.cit. 24
26 27
. Sachs. To Stop….op.cit Martin Feldstein. op.cit
27
Melyana Pugu – Mengkritisi IMF di Asia
nomi yang sesuai dengan situasi dan kondisi negara yang bersangkutan. Artinya, langkahlangkah IMF mendiktekan kebijakan ekonominya justru menempatkan lembaga ini dalam posisi yang mengancam kedaulatan nasional negara-negara yang dilanda persoalan ekonomi itu.28 Oleh karena itu, IMF tidak bisa memaksakan dan menuntut suatu negara melaksanakan program-programnya. Tugas itu sebenarnya berada ditangan institusi-institusi politik legitimate untuk menentukan struktur ekonomi dan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk ke luar dari krisis ekonomi. Permintaan bantuan kepada IMF tidak berarti memberi hak moral kepada IMF melakukan langkah-langkah penyelamatan ekonomi dengan resiko melampaui kewenangan lembaga-lembaga politik negara yang bersangkutan.29 Sahcs secara lebih khusus mengganggap Asia sebenarnya memerlukan kebijakan-kebijakan kreatif, yaitu menegaskan bahwa krisis di Asia tidak disebabkan oleh pemerintah, tetapi oleh swasta. 30 Oleh karena itu, krisis Asia tidak bias ‘diobati’ dengan paket reformasi IMF yang cenderung ditujukan kepada krisis ekonomi yang disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah, seperti krisis di Amerika Latin. Disamping itu, ketika IMF akan memberikan paket reformasi, IMF sebaiknya diajukan tiga pertanyaan, yaitu Apakah reformasi benar-benar diperlukan untuk memperbaiki akses negara tersebut terhadap pasar uang internasional ? Apakah informasi ini merupakan persoalan teknis yang tidak mencampuri kedaulatan nasional pemerintah negara yang bersangkutan ? Jika kebijakan-kebijakan yang diajukan itu juga diterapkan dinegara-negara industry maju di Eropa, apakah IMF juga akan memaksakan perubahan ekonomi dinegara-negara yang meminta bantuannya? Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah ‘ya’, maka IMF memperoleh justifikasi untuk melakukan perubahan atas struktur ekonomi client-nya.31 Dengan cara ini diharapkan IMF dapat menghindarkan diri dari tindakan-tindakan memaksakan kebijakannya. Jika IMF lebih berorientasi kepada kebutuhan negara client-nya, maka keinginan negara-negara meminta bantuan IMF tidak akan dibayangi oleh dilema
sosial, ekonomi, dan politik sebagai akibat dari persyaratan bantuan IMF. PENUTUP Kebutuhan terhadap reformasi IMF ternyata muncul justru ketika institusi finansial internasional ini sedang melaksanakan reformasi ekonomi di Asia. Reformasi IMF menjadi sebuah isu menarik karena selama ini institusi ini telah menikmati keuntungan yang dari posisinya sebagai sumber penyedia dana segar internasional. Prinsip pasar bebas, seperti dianut IMF, yang cenderung melintasi batas-batas nasional dan dianggap pendorong utama pertumbuhan ekonomi serta stabilitas internasional menemukan tantangan yang berarti dengan krisis Asia ini.namun demikian, reformasi IMF tidak bias dilakukan begitu saja karena dukungan negara-negara AS dan Eropa masih menjadi penjamin utama keberadaannya.
28
Sahcs, IMF is A Power….op.cit. Felstein, op.cit 30 Sachs, The Wrong….,op.cit 31 Feldstein, op.cit 29
28
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
DAFTAR PUSTAKA Bergsten, Fred. C., “The IMF and the National Interest of the United States”, http://coombc.anu.edu.au/RSPAS, 24 Februari 1998 Feldstein, Martin, “Refocusing The IMF”, Foreign Affairs, March/April 1998, http://www.foreignaffairs.com Krugman, Paul, “Dutch Tulips and Emerging Markets”, Foreign Affairs, July/August 1995 Payer, Cheryl, “The Debt Trap: The International Monetary Fund and The Third World”, Montly Review Press, New York & London 1974 Sahcs, Jefrey D., “To Stop The Money Panic”, http://www.pathfinder.com Strange, Susan, “States and Markets”, Printer Publisher, London, 1988 Walter, R. S. dan D. H. Blake, “The Politics of Global Economic Relations”, 4th Edition, PrenticeHall International Inc., 1992 Wiarda, Howard J., “The Politics of Third World Debt”, PS: Political Science & Politics, September 1990 FEER, 26 Maret 1997 Financial Times, 11 December 1997 Kompas, 10 Oktober 1997 New York Times, 3 November 1997 Republika, 22 Desember 1997 TIME, 8 Desember 1997 Http://www.imf.org
29