SYARI’AT ISLAM DAN PERADILAN PIDANA DI ACEH Asia Report N°117 – 31 Juli 2006
DAFTAR ISI RINGKASAN IKHTISAR ....................................................................................................... i I. PENDAHULUAN ............................................................................................................ 4 II. PERDEBATAN SYARI’AT............................................................................................ 2 A. B. C. D. E.
SYARI’AT DALAM SEJARAH ACEH ...............................................................................2 PEMBERONTAKAN DARUL ISLAM ...............................................................................3 ORDE BARU .......................................................................................................................5 SYARI’AT SEBAGAI SOLUSI ...........................................................................................5 SYARI’AT DAN KONFLIK ................................................................................................6
III. KERANGKA PERATURAN YANG BARU ................................................................. 7 IV. IMPLEMENTASI ........................................................................................................... 9 A.
B.
V.
PETUGAS WILAYATUL HISBAH.....................................................................................9 1. Latar Belakang............................................................................................................9 2. Petugas WH dalam Praktek .......................................................................................11 HUKUMAN.......................................................................................................................12
PERLUASAN SYARI’AT............................................................................................. 15 A.
B.
MEMAHAMI DINAMIKA PERLUASAN SYARI’AT .....................................................15 1. Lebih banyak hukuman cambuk................................................................................15 2. Kekuasaan yang lebih besar bagi WH .......................................................................16 3. Revisi terhadap peraturan mengenai khalwat .............................................................16 USULAN UNTUK QANUN YANG BARU........................................................................17
VI. KESIMPULAN.............................................................................................................. 18 APPENDICES A. B.
PETA INDONESIA .................................................................................................................19 DAFTAR ISTILAH ..................................................................................................................20
Asia Report N°117
31 Juli 2006
SYARI’AT ISLAM DAN PERADILAN PIDANA DI ACEH RINGKASAN IKHTISAR Aceh adalah satu-satunya propinsi di Indonesia yang memiliki hak untuk menerapkan Syari’at Islam secara penuh. Sejak tahun 1999, Aceh secara perlahan-lahan telah mulai meletakkan sebuah kerangka kelembagaan untuk menegakkan Syari’at Islam. Dalam proses peletakan kerangka kelembagaan tersebut, mereka menemui pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab: Aspek apa yang harus ditegakkan pertama kali? Apakah sebaiknya menggunakan aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan yang sudah ada atau membentuk lembaga baru? Bagaimana sebaiknya menjatuhkan hukuman kepada para pelanggar hukum? Upaya mereka untuk menemukan jawaban bagi pertanyaan ini diperhatikan dengan seksama oleh pemerintah daerah yang lain, dan beberapa diantaranya telah membuat peraturan-peraturan daerah (perda) yang terinspirasi oleh atau diambil dari Syari’at Islam. Langkah ini pada gilirannya telah memicu perdebatan hangat di Indonesia mengenai apa peran pemerintah di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten dalam mendorong ketaatan terhadap Syari’at Islam dan sejauh mana gerakan Islamisasi akan dan sebaiknya diperbolehkan untuk berkembang. Laporan ini menganalisis alasan-alasan yang mengemuka atas pertanyaan mengapa Aceh mendapatkan hak untuk menerapkan syari’at Islam, sementara propinsi yang lain tidak. Alasan alasan itu antara lain: bahwa Islam adalah identitas utama masyarakat Aceh.; bahwa ada preseden masa lalu penerapan syari’at Islam di Aceh; bahwa memberikan hak menerapkan Syari’at Islam akan membujuk Aceh menjauh dari separatisme dan membantu memulihkan kepercayaan kepada pemerintah pusat. Ketiga asumsi ini, namun khususnya yang terakhir, ikut menjadi alasan ketika pada tahun 1998 pemerintah pascaSoeharto yang pertama mulai memikirkan tentang solusi politik atas konflik di Aceh. Pengadilan Islam di Aceh telah lama menangani kasuskasus mengenai perkawinan, perceraian dan warisan. Sebuah terobosan yang berkenaan dengan penerapan hukum Islam yang lebih luas terjadi setelah undangundang Otonomi Khusus disahkan pada tahun 2001, yang memberikan lampu hijau kepada pengadilan Islam untuk melebarkan jangkauan mereka hingga ke peradilan pidana. Pada titik inilah persoalan serius mengenai
dualisme hukum muncul, tanpa adanya batasan yang jelas mengenai pembagian tugas antara pengadilan negeri biasa dan pengadilan Syari’at. Pertanyaan mengenai masalah penegakan hukum bahkan lebih suram: laporan ini mengamati peran wilayatul hisbah, yaitu “polisi syariat” yang telah dibentuk oleh pemerintah setempat dan bagaimana perannya semakin lama semakin luas – dengan cara yang membuat polisi tidak senang. Crisis Group mengkaji persoalan-persoalan praktis yang telah muncul pada saat Aceh mencoba untuk menegakkan tiga aturan Syari’at Islam yang pertama, yang telah disahkan oleh pemerintah propinsi. Aturan-aturan itu adalah: larangan minuman keras; berjudi; dan khalwat. Laporan ini melihat bagaimana dan mengapa pemerintah memilih hukum cambuk sebagai sanksi bagi yang melanggar ketiga aturan ini, meskipun hukuman ini belum pernah ada sebelumnya di Aceh.. Laporan ini juga melihat rencana-rencana untuk memperluas penerapan hukum Islam. Crisis Group menyimpulkan bahwa meskipun para pejabat Syari’at di Aceh benar-benar yakin bahwa penerapan hukum Islam yang ketat akan ikut memfasilitasi tujuan yang lebih luas seperti upaya perdamaian, rekonsiliasi, dan rekonstruksi, tapi ada dinamika lain yang juga terjadi. Fokus perbaikan moralitas tak lagi jadi sarana tapi sudah jadi tujuan itu sendiri. Birokrasi Syari’at memiliki kepentingan untuk memperluas kekuasaannya. Semangat yang ditunjukkan oleh polisi syariat dalam menerapkan peraturan ini telah mendorong sebuah proses dimana penduduk saling melaporkan tentang tetangganya dan main hakim sendiri. Ada persepsi bahwa perempuan dan kaum miskin telah menjadi target utama dari penegakan hukum Islam ini. Belum ada indikasi bahwa penerapan Syari’at Islam bisa meningkatkan keadilan bagi sebagian besar rakyat Aceh. Namun, bagi mereka yang mendukung perluasan penegakan syari’at Islam, hal itu mungkin tidak relevan. Masalah sebenarnya adalah apakah hukum buatan manusia atau Tuhan akan berlaku.
Jakarta/Brussels, 31 Juli 2006
1
Asia Report N°117
31 Juli 2006
SYARI’AT ISLAM DAN PERADILAN PIDANA DI ACEH I.
PENDAHULUAN
Sejak awal 2006, perdebatan mengenai peran pemerintah dalam pelaksanaan syari’at Islam makin gencar di Indonesia. Mei lalu, dua majalah berita terbesar di Indonesia memuat artikel mengenai jumlah kabupaten – ada sekitar 22 dari 450 kabupaten, dan semakin bertambah –yang telah membuat undang-undang atau peraturan daerah yang diilhami oleh atau diambil dari hukum Islam. Kebanyakan aturan-aturan ini terkait dengan tata cara berpakaian bagi orang Islam dan kemampuan membaca Al Quran; namun di beberapa daerah, aturan-aturan ini mengatur hal yang lebih jauh. Juni lalu, 56 orang anggota DPR menandatangani sebuah petisi yang menyebutkan bahwa peraturanperaturan tersebut tak konstitusionnal, tapi, tak berapa lama, 134 anggota DPR yang lain mengeluarkan sebuah petisi tandingan. Sementara itu, sebuah RUU yang melarang pornografi dan “pornoaksi” telah menarik dukungan kuat dari sejumlah organisasi keagamaan yang prihatin dengan moral bangsa. Disisi lain, RUU itu juga mendapat kritikan keras dari mereka yang melihat hal ini sebagai perlakuan diskriminasi terhadap nonMuslim, budaya masyarakat asli serta perempuan; juga dianggap akan jadi malapetaka bagi para penulis dan pelaku kesenian; dan secara umum terlalu campur tangan dengan urusan pribadi. Pertanyaan-pertanyaan yang mendasari perdebatan ini sangat penting namun juga sulit dijawab: sampai sejauh mana gerakan Islamisasi akar rumput ini akan berkembang? Faktor-faktor apa saja yang mendorong atau menghalangi gerakan ini? Masyarakat seperti apa yang dihasilkan olehnya? Bagaimana ia mempengaruhi prioritas pembangunan? Dan apa pengaruhnya, jika ada, terhadap Indonesia? Sehubungan dengan itu, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang memiliki otonomi khusus, merupakan sebuah laboratorium yang sangat menarik untuk disimak.1
Aceh adalah satu-satunya propinsi di Indonesia yang sejak tahun 1999 telah mendapatkan hak untuk menerapkan hukum Islam secara penuh. Dikenal sebagai "Serambi Mekkah", Aceh terkenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang tradisi Islamnya amat kuat, tetapi juga salah satu daerah yang etnosentris. Di satu pihak, menjadi orang Aceh berarti berasal dari kelompok etnis yang berbahasa Aceh. Di pihak lain, berarti hidup dimanapun yang berada dalam lingkup kesultanan Aceh di masa lampau dan merasa memiliki hubungan yang erat dengan sejarahnya. Identitas masyarakat Aceh tak pernah didasarkan hanya kepada ajaran Islam saja. Ketaatan mereka terhadap ajaran Islam tak berarti mereka radikal. Sepanjang abad Aceh dikenal selain dengan pemberontakannya juga ketaatan beragamanya. Mereka berjuang melawan penjajahan Belanda, dan pada awal kemerdekaan Indonesia, mereka memberontak terhadap pemerintah pusat karena Jakarta tidak memegang janji untuk memberikan status daerah istimewa kepada Aceh. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berjuang untuk memisahkan diri dari Indonesia muncul pada 1976 dan terus berlanjut maju mundur hingga ditandatanganinya perjanjian perdamaian di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Pada pokoknya pemberontakan tersebut selalu bersifat nasionalis dan pemimpin GAM tak pernah menunjukkan ketertarikan yang serius untuk bekerja sama dengan sesama kelompok Muslim di tempat lain. Lampu hijau untuk menerapkan hukum Islam pada tahun 1999 merupakan bagian dari sebuah upaya setelah jatuhnya Presiden Soeharto untuk mendapatkan sebuah penyelesaian politik atas konflik yang terjadi di Aceh. Hal ini lebih didasarkan atas penilaian dari elit politis Jakarta dan Aceh mengenai apa yang dapat meredam sebuah daerah yang menderita oleh konflik, pelanggaran HAM dan eksploitasi ekonomi selama bertahun-tahun, daripada atas tuntutan masyarakat. Tetapi hukum Islam memang mendapatkan dukungan, khususnya karena sistem peradilan biasa yang jarang sekali memberikan keadilan bagi masyarakat Aceh, sudah tidak berfungsi sama sekali akibat perang. Syari’at dipromosikan
1
Untuk analisa sebelumnya mengenai perkembangan di Aceh, lihat laporan Crisis Group Asia N°48, Aceh: Now for the Hard Part, 29 Maret 2006; N°44, Aceh: Sejauh ini Sangat Baik, 13
Desember 2005; dan N°40, Aceh: A New Chance for Peace, 15 Agustus 2005.
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
sebagai sebuah obat mujarab: banyak yang berharap syari’at akan mampu menghapuskan penyakit sosial, menghasilkan sebuah masyarakat yang egalitarian atau sederajat, dan meminjam kata-kata yang dipakai oleh seorang akademis, membuat rakyat Aceh menjadi "jujur, hemat, rajin belajar dan bekerja, setia, cerdas serta matang secara emosi.“2 Namun walaupun dengan penuh keikhlasan, para pejabat yang bertugas mengkodifikasi Syari’at Islam ke dalam undang-undang dan mengembangkannya, secara tidak sengaja akhirnya malah menghasilkan sesuatu yang berbeda, yaitu: sebuah birokrasi keagamaan yang bersemangat memperluas kewenangannya sendiri; sebuah fokus pada pengundang-undangan dan penegakan moralitas; dan secara diam-diam sebuah perebutan kekuasaan dengan penegak hukum sekuler yang mungkin akan membawa implikasi jangka panjang bagi sektor keamanan maupun reformasi hukum di Aceh.
Page 2
II.
PERDEBATAN SYARI’AT
Tiga argumentasi utama telah digunakan baik oleh orang-orang Aceh maupun non Aceh sebagai pembenaran atas pemberian hak untuk menerapkan hukum Islam secara penuh kepada Aceh, dan bukannya ke daerah lain di Indonesia yang Islamnya juga kuat, yaitu:
Islam adalah identitas utama masyarakat dan kebudayaan Aceh;
Syari’at pernah diterapkan di Aceh pada masa kesultanan, jadi ada preseden historis;
Penerapan Syari’at telah jadi sebuah tuntutan politis dari rakyat Aceh sejak masa penjajahan, dan penolakan untuk memberikan hak menerapkan syari’at kepada rakyat Aceh akan menjamin pemberontakan di Aceh akan terus berlanjut.
A.
SYARI’AT DALAM SEJARAH ACEH
Ada banyak sekali penelitian terhadap sejarah hukum Islam yang sangat rumit di Aceh, tetapi versi yang disederhanakan adalah sebagai berikut. Sejak abad ketujuhbelas hingga ke masa pembentukan pengawasan administratif oleh pemerintahan penjajah Belanda pada abad kesembilanbelas akhir, pengadilan formal dilaksanakan oleh hakim Islam (qadi), yg diangkat oleh sultan dan pejabat-pejabat lain.3 Sama seperti di belahan negeri Muslim lainnya, hukum yang berlaku merupakan campuran dari Syari’at dan adat yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Dengan kedatangan penjajah Belanda, sistem menggunakan para qadi yang diangkat secara lokal terus dipakai, namun wewenang mereka secara bertahap dikurangi, dan pada waktu itu secara formal tidak ada pengadilan agama – atau setidaknya tak ada pengadilan agama yang diakui oleh pemerintahan koloni. Peradilan pidana berada dibawah wewenang pengadilan kolonial, dan Belanda berusaha untuk memindahkan penanganan kasus-kasus lain seperti
3
2
Prof. Dr. H. Al-Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syariat Islam (Aceh, 2005), hal. 84.
Para scholar, yang hasil kerjanya telah membawa akibat atau pengaruh berarti bagi kebijakan-kebijakan dari pemerintah koloni Belanda, yaitu Christiaan Snouck Hurgronje (18571936) dan Cornelis van Vollenhoven (1874-1933). Spesialisasi Snouck adalah mengenai Aceh, van Vollenhoven mengenai adat. Lihat T. Lindsey, M.B. Hooker, R. Clarke, dan J. Kingsley, “Shari’a Revival in Aceh”, dalam M. Feener and M.Cammack, Law Reform in Indonesia (forthcoming, 2006).
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
Page 3
persoalan tanah dan warisan, menjadi tanggung jawab dewan adat.4
menghentikan Beureueh dan yang lain untuk mendapatkan penerapan hukum Islam yang lebih luas.7
Para akademisi dan ulama Aceh menggambarkan perjuangan untuk mengembalikan hukum Islam ketempatnya yang benar sebagai elemen kunci dalam perjuangan Aceh melawan Belanda, dan kemudian melawan pemerintah Republik Indonesia dibawah Presiden Sukarno. Gambaran itu memperlihatkan Aceh seolah-olah bersatu untuk persoalan ini, padahal ada perpecahan yang cukup dalam yang mulai muncul ke permukaan pada tahun 1940an dan 1950an antara para uleebalang (yang sebagian besar memihak kepada Belanda dan lebih memilih pemerintahan administrasi yang lebih sekuler) dengan para ulama yang memegang peranan penting dalam masyarakat. Diantara para ulama sendiri terpecah antara ulama yang modern yang lebih memilih sebuah negara yang terpisah atau setidaknya memiliki otonomi sendiri berdasarkan hukum Islam, dan ulama yang lebih orthodoks yang cenderung untuk berpihak kepada para uleebalang. Islam penting bagi seluruh rakyat Aceh, tetapi dengan cara yang berbeda: sama seperti pemerintah kolonial Belanda (dan juga Soeharto, tetapi tidak untuk para suksesornya), kaum aristokrat memahami bahwa sebuah birokrasi keagamaan formal akan mengurangi kekuasaan mereka sendiri. Adalah para ulama yang berusaha untuk melakukan modernisasi yang dipimpin oleh Daud Beureueh, yang memutuskan untuk mendirikan pengadilan Islam, sebagian sebagai jalan untuk memperluas pengaruh mereka.
Beureueh memang menginginkan hukum Islam tetapi ia dan ulama berpengaruh yang lain juga menginginkan otonomi dan pengakuan bagi status istimewa Aceh. Mereka mendukung perang melawan Belanda sebagai sebuah kewajiban jihad melawan penjajah kafir, tetapi argumentasi ini baru akan masuk akal jika hasil akhirnya adalah sebuah negara Islam, atau setidaknya sebuah wilayah Islam yang terpisah. Dukungan mereka didasarkan pada asumsi untuk sebuah persepakatan politik. Pada awal tahun 1948, dalam sebuah pertemuan di Aceh, Beureueh dan sejumlah ulama mendesak Sukarno untuk memberikan jaminan bahwa jika Indonesia merdeka, Indonesia akan menjadi sebuah negara Islam. Setelah beberapa jawaban dan komentar yang tidak menjanjikan, Sukarno, menurut sejumlah wawancara yang diberikan oleh Beureueh puluhan tahun kemudian, menjanjikan bahwa negara Indonesia akan didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, dan Aceh akan mendapat hak untuk menerapkan hukum Islam.8
Atas inisiatif mereka sendiri pada akhir tahun 1945, segera setelah Sukarno menyatakan kemerdekaan Indonesia, para pejabat propinsi di Aceh mengirim instruksi ke masing-masing kabupaten untuk membentuk sebuah mahkamah Syari’at.5 Dibawah pengawasan Beureuh, mahkamah-mahkamah Syari’at ini secara bertahap mengambil alih wewenang hukum atas persoalan-persoalan warisan dan tanah, disamping kasus-kasus perkawinan dan perceraian yang telah menjadi mata pencaharian pengadilan agama dimanapun.6 Memberikan penanganan kasus warisan kembali ke pengadilan Islam ditentang oleh sejumlah ahli hukum Aceh yang berada di pemerintahan, tetapi mereka kemudian menyerah, dengan harapan hal ini akan
B.
Ternyata, kegagalan Jakarta dalam memenuhi janjinya tidak hanya mengenai syari’at. Pada tahun 1951, dalam upaya pemerintahan baru untuk merampingkan administrasi dan menghemat biaya, Aceh kehilangan statusnya sebagai sebuah propinsi yang berdiri sendiri dan dilebur kedalam propinsi Sumatra Utara. Kemarahan di Aceh semakin diperbesar dengan pengabaian yang mereka alami setelah dilebur. Pelayanan pendidikan dan kesehatan tak berjalan,dan guru-guru sekolah negeri ditarik ke daerah lain di Sumatra. Sementara itu, satusatunya SMA negeri di Aceh ditutup, meskipun diprotes keras oleh para ulama dan pimpinan politik yang lain. Ekspor mandek, dan kebutuhan pertanian Aceh tidak diacuhkan. Kesatuan TNI yang dibantu didirikan oleh Beureueh didemobilisasi, dan para pejabat non-Aceh yang membanjiri propinsi ini membawa serta minumanminuman keras, perjudian dan prostitusi.9 Karena itu, ketika Beureueh memulai pemberontakan Darul Islam (DI) pada tahun 1953, sulit untuk
7 4
Daniel Lev, Islamic Courts in Indonesia (1985), hal. 10; Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (2003), hal. 48. 5 John R. Bowen, Islam, Law, and Equality in Indonesia (Cambridge, 2003), hal. 71. 6 Lev, op. cit., hal. 81. Pengadilan Agama didirikan di Sumatra Utara oleh gubernur pada bulan Februari 1947, sekitar dua tahun setelah inisiatif rakyat Aceh.
PEMBERONTAKAN DARUL ISLAM
Ibid. hal. 82, note 29. M. Nur el-Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud Beureueh di dalam Pergolakan di Aceh, (Jakarta 2001), mengutip sebuah interview dengan Beureueh, hal. 78. Isi pembicaraan yang agak berbeda, yang juga berdasarkan wawancara dengan Beureueh, tampir didalam tulisan Nazaruddin Sjamsuddin di The Republican Revolt (1985), hal. 30. 9 Sjamsuddin, op.cit., hal. 63-65. 8
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
mengatakan bahwa ia melakukan itu semata-mata hanya untuk memperjuangkan Syari’at. Namun penerapan hukum Islam menjadi salah satu elemen dari wilayah yang ia akan dirikan, yaitu sebuah negara bagian Aceh dalam negara federasi Indonesia yang lebih besar. Ia juga memastikan bahwa para komandan Darul Islamnya mendirikan pengadilan Islam di wilayah-wilayah yang mereka kuasai dan mengangkat qadi untuk memimpin pengadilan-pengadilan ini – sama seperti yang dilakukan oleh GAM beberapa dasawarsa kemudian.10 Pada 1956, pemerintah pusat, yang terpukul oleh pemberontakan dimana-mana, akhirnya setuju untuk membentuk kembali propinsi yang berdiri sendiri bagi Aceh, dan dengan keputusan ini menghapuskan salah satu sebab yang memicu timbulnya pemberontakan. Para pemimpin DI pecah antara mereka yang ulama dan non-ulama mengenai apakah tawaran ini cukup memadai; sekali lagi jelas bahwa tidak semua rakyat Aceh, bahkan tak semua orang-orang yang berontak, melihat penerapan hukum Islam di Aceh sebagai harga mati. Para ulama, yang dipimpin oleh Beureueh, menuntut otonomi yang luas, khususnya dibidang agama; sementara kelompok non ulama cenderung untuk menerima dulu status propinsi yang berdiri sendiri seperti semula, sementara tuntutan yang lainnya diperjuangkan, meskipun mereka mendukung penerapan Syari’at pada akhirnya.11 Propinsi Aceh dilahirkan kembali pada 1957, dan bersamaan dengan itu pengadilan-pengadilan Syari’at secara resmi didirikan kembali.12 Perkembangan ini diikuti dengan sebuah gencatan senjata dan akhirnya perpecahan formal dalam tubuh DI. Pemerintah pusat di Jakarta berhasil membujuk non-ulama untuk benarbenar meninggalkan pemberontakan sama sekali dan untuk itu mereka akan memperoleh propinsi dengan status daerah istimewa, diatas propinsi biasa. Pada tahun 1959, sebuah Keputusan Perdana Menteri mengangkat Aceh sebagai sebuah Daerah Istimewa, dan memiliki
Page 4
hak otonomi dibidang agama, adat istiadat dan pendidikan.13 Saat itu, Beureueh telah bergabung dengan gerakan pemberontakan lain di Sumatra yang pada 1960 memproklamirkan Republik Persatuan Indonesia atau RPI, sebuah negara federasi dimana salah satu negara bagiannya yaitu Republik Islam Aceh atau RIA. Hal itu merupakan usaha terakhir bagi Bereueh, karena orangorangnya semakin banyak yang menyeberang ke pihak musuh. Pada 1961, menurut laporan, ia menulis surat kepada Kolonel Muhammad Yasin, Panglima Daerah Militer Tingkat I Iskandar Muda, dan melampirkan sebuah rancangan “konsep” surat Penetapan Presiden tentang Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah Istimewa Aceh, yang akan dijadikan pedoman penyelenggaraan pemerintahan di Aceh yang intinya adalah juga pelaksanaan Syari’at Islam yang mencakup hampir semua aspek kehidupan.14 Pangdam membalas surat Beureueh dan mengatakan bahwa Beureueh sebaiknya tidak mengirimkan apapun kepada pemerintah pusat hingga situasi keamanan di Aceh pulih kembali, tetapi untuk sementara, pemerintah setempat dapat menerapkan Syari’at “sesuai dengan wewenang yang sudah dimiliki oleh pemerintah Aceh” – dan wewenang ini kecil.15 Misalnya pada 1961, DPRD propinsi Aceh mengeluarkan Peraturan Daerah No. 30 tentang “Pembatasan Penjualan Makanan dan Minuman selama bulan Ramadan.” Memang tidak ada wewenang untuk mengeluarkan apa-apa yang lebih luas. Keputusan tahun 1962 dari Yasin menyatakan bahwa pemerintah propinsi dapat menerapkan “sejumlah elemen” dari Syari’at “sesuai dengan cara yang tertib” asal tidak ada konflik dengan hukum atau undangundang negara.16 Peradilan pidana tetap menjadi bagiannya sistem hukum sekuler, dan tampaknya mereka tidak terlalu bersedia untuk membiarkan adanya langkah apapun yang berarti diluar bidang yang tradisional seperti kasus-kasus keluarga dan warisan.
10
Bowen mengutip sebuah kasus mengenai perkara perebutan warisan yang diadili di sebuah pengadilan DI. Sebagai pembalasan, pihak yang kalah memutuskan untuk memberitahu pihak keamanan pemerintah lokasi persembunyian atau kamp DI. Brimbo kemudian datang dan menembak pihak yang menang. Bowen, op.cit., hal. 95. 11 Sjamsuddin, op.cit., hal. 221. 12 Peraturan Pemerintah No. 29 1957 mengenai Mahkamah Syari’at di Aceh, tak lama kemudian diikuti oleh surat keputusan pemerintah yang lain yang membuat pengadilan semacam itu sebagai standar untuk seluruh wilayah di luar Jawa dan Madura. Lihat “Penjelasan Atas Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam”, di dalalm Himpunan UndangUndang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernut Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam (2005), hal. 20.
13
Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 di dalam M.Nur el-Ibrahimy, op.cit., hal. 320. Para non-ulama, yang membentuk sebuah dewan revolsioner untuk bernegosiasi dengan pemerintah, sebelumnya telah menyerahkan sebuah daftar yang berisi duabelas tuntutan, salah satunya adalah penerapan Shari’a. Sjamsuddin, op.cit., hal. 292. 14 Al-Yasa’ Abubakar, op. cit., hal. 32. 15 Ibid. 16 “Keputusan Penguasa Perang No. KPTS/PEPERDA061/2/1962 tentang Kebijaksanaan Pelaksanaan Unsur-Unsur Syari’at Agama Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh”, dikutip dalam ibid, hal. 33.
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
C.
ORDE BARU
Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto telah mematikan segala upaya untuk berkreatifitas dalam hukum. Pada tahun 1966, DPRD Aceh membentuk Majelis Permusyawaratan Ulama atau MPU, yaitu sebuah dewan yang terdiri dari ulama yang bertujuan untuk memberi saran atau nasihat kepada pemerintah lokal mengenai masalah agama dan membimbing orangorang yang beriman dalam kehidupan mereka seharihari. Tetapi langkah penyeragaman Orde Baru telah mulai dirasakan, dan MPU tidak memiliki status resmi, karena hanya pemerintah pusat yang dapat mendirikan atau membentuk badan pemerintahan yang baru. MPU juga tidak mempunyai dana dan pada akhirnya dijadikan cabang dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI yang diciptakan oleh Soeharto. Langkah ini akhirnya melemahkan legitimasi MPU. Begitu juga pada tahun 1968, DPRD mengadopsi Peraturan Daerah no. 6 tentang pelaksanaan dari sejumlah elemen Syari’at, umumnya tentang memfasilitasi ibadah, perda ini tidak mengandung perubahan berarti dan tidak mencoba menyentuh soal peradilan pidana. Itupun ditolak oleh Menteri Dalam Negeri, dan sejak itu DPRD tidak berusaha untuk mencoba-coba sistem lagi.17 Puncaknya pada 1974, pemerintah Soeharto mengeluarkan sebuah undang-undang tentang pemerintahan daerah. Lewat perundangan ini “keistimewaan” Aceh sebagai Daerah Istimewa terhapus dengan pemberlakuan sebuah struktur tunggal yang harus diadopsi oleh setiap tingkatan dalam pemerintahan setempat. Tak hanya itu, sumber wewenang tradisional pun runtuh karena struktur mereka terpaksa harus memberi jalan kepada sebuah birokrasi raksasa yang dijalankan oleh partai Golkar. Langkah ini yang menuju sebuah penyeragaman yang menindas kemudian dipertegas oleh undangundang tahun 1979 tentang pemerintahan desa yang mengambil seluruh sisa-sisa kekuasaan yang tadinya dimiliki oleh pemimpin adat. Setelah itu, isue syariat Islam seperti terkubur hingga undang-undang otonomi daerah disahkan tahun 1999. Sepanjang 1980an, Aceh lebih dikenal karena konflik yang terjadi antara GAM dan TNI daripada daerah yang menuntut penegakkan syari’at Islam. Banyak para ulama yang kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Gara-garanya, mereka bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk meraih suara Golkar serta membangun pertahanan melawan kelompok separatis. Saat itu, setiap upaya mendesakan penerapan Syari’at berarti melawan Pancasila,
Page 5
ideologi negara Presiden Soeharto, apalagi GAM juga telah menyatakan maksudnya untuk menerapkan hukum Islam jika Aceh merdeka. Sebuah perkembangan kelembagaan yang cukup penting yang terjadi saat itu yakni pembentukan pengadilan agama di seluruh Indonesia pada 1989. Pengadilan agama ini bukan mahkamah syariat, tetapi di Aceh pengadilan ini menangani masalah-masalah yang sama dengan yang ditangani oleh pengadilan Daud Beureueh sebelumnya, yaitu: masalah perkawinan dan perceraian, tanah dan warisan. Sepanjang masa Orde Baru, selama 30 tahun lebih, jelas bukan saat tepat melakukan lobi untuk penerapan Syari’at. Jatuhnya Soeharto pada 1998 telah menyebabkan sebuah pergeseran yang dramatis. Seakan-akan sebuah tirai tibatiba diangkat, pengungkapan tentang kekejaman yang dilakukan terhadap rakyat Aceh yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto mengalir keluar dari Aceh. Hari demi hari, terutama antara bulan Juni dan Agustus 1998, berita-berita di media siaran maupun cetak dipenuhi dengan cerita dari para saksi tentang kasuskasus pembunuhan dan perkosaan terhadap warga sipil, dan banyak kuburan masal yang ditemukan. Pada bulan Agustus 1998, Jendral Wiranto, yang saat itu adalah Panglima ABRI, mengumumkan berakhirnya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Sementara pada awal 1999, Presiden Habibie secara resmi meminta maaf kepada rakyat Aceh atas perlakuan kejam yang mereka alami.18 Ada perasaan yang jelas di Jakarta pada waktu itu bahwa Aceh layak mendapatkan ganti rugi. Pada waktu yang sama, Habibie menawarkan referendum kepada Timor Timur, dan tuntutan untuk mendapatkan perlakuan yang sama segera muncul dari seluruh spektrum politik di Aceh. Ratusan anggota GAM, yang bersemangat kembali dengan adanya keterbukaan politik, pulang kembali dari Malaysia dan secara aktif mulai merekrut anggota-anggota baru di masjid dan mushola di seluruh propinsi Aceh.
D.
Berbagai perkembangan diatas, telah membuat Jakarta dan banyak orang Aceh melihat Syari’at Islam sebagai sebuah kemungkinan solusi politik. Hukum Islam adalah hal yang diinginkan oleh rakyat Aceh (namun seberapa besar keingingan itu masih dalam perdebatan – setelah DPR memberikan hak untuk menerapkan hukum Islam kepada Aceh, seorang warga Aceh menyebutnya sebagai sebuah “hadiah yang tak dikehendaki”, dan ia
18 17
Ibid, hal. 36-37.
SYARI’AT SEBAGAI SOLUSI
“Why Aceh Is Exploding,”, Human Rights Watch, press release, 27 Agustus 1999.
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
tidak sendirian).19 Contohnya seorang perempuan dari Lhoksemawe mengatakan bahwa kawan-kawan sekantornya yakin bahwa jika Syari’at diterapkan, TNI terpaksa harus mengakhiri hubungannya dengan para perempuan setempat, dan polisi terpaksa harus berhenti menjalankan bisnis judinya.20 Beberapa pejabat percaya bahwa Syari’at akan dapat memblokir daya tarik GAM, dan “keberhasilan pelaksanaan Syari’at Islam diyakini merupakan salah satu jalan yang akan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah pusat”.21 Hasilnya adalah diadopsinya UU No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh – untuk yang pertama kali sejak status daerah istimewa ini diberikan tahun 1959.22 UU ini menghendaki diterapkannya Syari’at bagi pemeluk Islam, tetapi juga perlindungan bagi hubungan antar agama. UU ini mendefinisikan Syari’at sebagai “tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan” dan memberi wewenang kepada pejabat pemerintah setempat untuk menentukan kebijakan tentang kehidupan beragama, adat istiadat, pendidikan dan peran ulama, baik melalui peraturan daerah atau keputusan gubernur. Untuk mengawasi kebijakan-kebijakan ini, pada 2001 pemerintah propinsi membentuk Dinas Syari’at Islam. Fungsinya adalah untuk menyusun rancangan peraturan dalam rangka penyelenggaraan hukum Islam, yang belakangan disebut qanun; mengawasi pelatihan bagi personil Dinas Syari’at Islam; memastikan ketertiban fungsi tempat ibadah dan fasilitas Islam lainnya; memberikan bimbingan dan penyuluhan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum Islam dan mengawasi warga mentaatinya.23 Dinas ini merupakan sebuah birokrasi keagamaan yang benarbenar baru, memberi lapangan kerja bagi ratusan orang dan juga punya kepentingan untuk memperluas penerapan Syari’at.24 Pada tahun yang sama, Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memperbolehkan
19
Bowen, op.cit., hal. 232. Wawancara Crisis Group, aktifis HAM Aceh, Jakarta, 10 Juli 2006. 21 Al-Yasa’ Abubakar, op. cit. hal. 129. 22 Ibid hal. 43. Tim penyusun draft undang-undang tahun 1999 termasuk beberapa masyarakat Aceh yang berbasis di Jakarta dan seorang delegasi dari Aceh, yaitu Almarhum Syafwan Idris, rektor Institus Agama Islam Negri di Banda Aceh. 23 Ibid, hal. 154. 24 Kantor Dinas Syariat Islam tingkat propinsi terdiri dari seorang ketua, wakil ketua, sebuah bagian admin, dan bagian penelitian dan pengembangan; pengembangan SDM; bimbingan agama; pelaksanaan pengawasan; dan peradilan, serta unit-unit untuk dakwah dan pelajaran Al Qur’an, Ibid, hal. 155. 20
Page 6
pembentukan pengadilan-pengadilan Syari’at (disebut dengan mahkamah Syari’at, seperti pada tahun 1940), dengan wewenang hukum yang menjangkau tidak hanya masalah-masalah keluarga dan properti, tetapi juga kasus-kasus pidana. Dibawah ketentuan-ketentuan dalam UU tahun 1999, seluruh pelanggaran terhadap peraturan hukum pemerintah lokal, termasuk peraturan yang berhubungan dengan Syari’at, akan diadili di pengadilan negeri biasa. Karena itu ulama setempat khawatir bahwa para hakim di pengadilan tersebut yang saat itu dalam kondisi kacau, tidak akan memiliki pengetahuan maupun kecenderungan untuk mengadili kasus-kasus yang berhubungan dengan Syari’at. Pengadilan yang baru akan dapat mengubah hal ini: sekarang tergantung kepada DPRD untuk mengadopsi/menyusun peraturanperaturan yang menjabarkan pelangaran-pelanggaran apa saja yang dapat diadili oleh pengadilan-pengadilan Syari’at ini.
E.
SYARI’AT DAN KONFLIK
Antara 2000 hingga tragedi tsunami 2004, konflik di Aceh memburuk, meskipun selama itu ada beberapa upaya perundingan damai. Seiring dengan berlanjutnya konflik, TNI menjadi salah satu pendukung penegakan hukum Islam. TNI melihat Syari’at Islam sebagai sebuah benteng melawan GAM: argumentasinya adalah rakyat Aceh memberontak pada tahun 1950an karena mereka tidak mendapatkan Syari’at, dan salah satu janji GAM kepada rakyat Aceh adalah menjalankan Syari’at (meskipun GAM adalah sebuah gerakan sekuler yang mencoba mengganti Islam dengan nasionalisme Aceh sebagai dasar ideologi mereka); karena itu, untuk menggerakkan dukungan melawan GAM, gunakan Syari’at. TNI, menurut seorang pejabat di Aceh, telah memberikan dorongan untuk pertumbuhan birokrasi agama. Kantor-kantor Syari’at Islam di tingkat kabupaten mulai didirikan pada tahun 2002 lewat perda. TNI mungkin tak terlibat dalam pendirian beberapa kantor Syari’at Islam yang pertama, meskipun kantor-kantor ini semuanya berada di wilayah konflik yang paling rawan.25 Aceh Tengah adalah salah satu wilayah yang pertama kali membuka kantor Syari’at Islam pada bulan November 2002. Wilayah ini menjadi lokasi terjadinya sebuah kekerasan yang secara dramatis meningkat pada bulan Juni-Juli 2001, ketika GAM melakukan serangan terhadap sebuah lokasi transmigran asal Jawa yang kemudian menyebabkan dilakukannya serangan balasan oleh gabungan antara TNI dan milisi. Kantor-kantor Syari’at Islam yang lain didirikan di seluruh wilayah dimana banyak terjadi kekerasan, yaitu: Aceh Besar, 25
Wawancara Crisis Group, mantan Pangdam Djali Yusuf, 11 Juli 2006 dan aktivis HAM Aceh, 12 Juli 2006.
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Tetapi setelah pemerintah Indonesia menyatakan diberlakukannya darurat militer pada bulan Mei 2003 di Aceh, hampir seluruh kantor Syari’at Islam didirikan di kabupatenkabupaten, atas anjuran dari Penguasa Darurat Militer.26 Pemerintah Indonesia memakai organisasi-organisasi Aceh yang sudah dikooptasi untu mendiskreditkan para anggota GAM dari segi ke-Islamannya. Namun pendirian GAM tentang Syari’at lebih rumit dari yang diperkirakan oleh lawan-lawannya. GAM sudah pasti lebih merupakan gerakan nasionalis daripada Islamis, dan para pimpinannya memiliki perasaan yang bertentangan mengenai hukum Islam. Tetapi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu janjinya kepada para pendukung akar rumputnya yaitu bahwa mereka akan menerapkan Syari’at setelah merdeka. Selain itu ada beberapa insiden mengenai komandan GAM setempat yang menegakkan hukum Islam, hal ini terutama terjadi antara tahun 1999 dan 2001. Dalam sebuah pernyataannya di tahun 1999, seorang pemimpin GAM setempat mengeluarkan sebuah fatwa bahwa setiap perempuan wajib memakai jilbab jika keluar rumah; di sebuah kota kecil di wilayah Gayo, Aceh Tengah, anggota GAM memotong rambut sejumlah perempuan yang tidak mematuhi fatwa ini.27 Dan di sejumlah wilayah dimana mereka menguasai kantor/administrasi desa, GAM melandaskan sistem pengadilannya yang masih sederhana sekali pada Syari’at.28
26
Al-Yasa’ Abubakar menulis: “Hampir pada setiap rapat evaluasi bulanan, Pangdam Iskandar Muda menanyakan mengenai pembentukan kantor-kantor Dinas Syariat Islam di kabupaten dan kotamadya serta dimasukkannya dinas ini dalam anggaran propinsi”. Op. cit., hal. 157, note 1. Pembentukan kantor Dinas Syariat Islam tingkat propinsi di otorisasi oleh Qanun No. 33/2001. 27 Bowen, op.cit., hal. 232. 28 Kirsten E. Schulze, “The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization”, Policy Studies 2, East West Center Washington, 2004, hal. 8.
Page 7
III. KERANGKA PERATURAN YANG BARU Dilengkapi dengan wewenang baru yang ditetapkan UU tahun 1999 dan kemudian UU tahun 2001 tentang otonomi khusus untuk menerapkan Syari’at, pemerintah daerah perlahan mulai memperluas penerapan Syari’at ke wilayah-wilayah yang diluar kewenangan pengadilan agama yang ada sebelumnya. Tapi, disisi lain tak seorangpun memikirkan dengan tentang infrastuktur maupun personil yang dibutuhkan untuk melangkah ke wilayah peradilan pidana, karena sebelumnya hal itu secara politis tidak mungkin. Begitupun juga tak seorangpun memikirkan tentang sanksi, prosedur pidana, atau institusi penegakan Syari’at Islam, ataupun bagaimana pengadilan Islam akan berbeda dengan pengadilan biasa. Contoh penerapan syari’at Islam yang diambil juga bukan dari Aceh, tapi dari negara-negara Muslim dimana hukum Islam telah diterapkan, seperti Pakistan, Iran Arab Saudi, termasuk Malaysia. Peraturan pertama – sebelum UU tahun 2001 tentang otonomi khusus disahkan disebut perda, dan setelah itu disebut qanun – lebih berfokus pada pertanyaanpertanyaan yang lebih luas diatas, daripada mengenai pelanggaran-pelanggaran secara spesifik. Perda No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam menyatakan bahwa seluruh aspek Syari’at akan diterapkan, termasuk yang berhubungan dengan aqidah, ibadah, transaksi ekonomi, akhlak, pendidikan dan dakwah agama; baitul mal; kemasyarakatan, termasuk cara berbusana bagi Muslim; perayaan hari raya Muslim; pembelaan Islam; struktur peradilan, peradilan pidana dan warisan. Membentuk wilayatul hisbah (WH) sebagai badan pengawasan dan penegakan Syari’at, tetapi tidak ada perincian mengenai bagaimana ia berfungsi.29 Qanun No. 10/2002 tentang pengadilan Syari’at untuk pertama kalinya memperluas jangkauan wewenang hukum pengadilan agama hingga diluar hukum keluarga dan warisan, termasuk transaksi ekonomi (muamalat) yang sebelumnya tidak termasuk dalam yurisdiksi pengadilan agama, dan juga kasus-kasus pidana (jinayat). Muamalat meliputi masalah jual beli; permodalan; bagi hasil pertanian; pendirian perusahaan; pinjam meminjam; penyitaan properti untuk membayar hutang; hipotek; pembukaan lahan; pertambangan; pendapatan; perbankan; perburuhan; dan bermacam-macam bentuk infaq dan sedekah. 29
Dalam pembahasan awal mengenai institusi ini, dan dalam Perda No. 5, ejaannya yaitu waliyatul hisbah. Dalam perundang-undangan selanjutnya, ejaannya adalah wilayatul hisbah, dan ejaan ini yang ditulis di seragam petugas WH.
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
Pelanggaran pidana dibagi menjadi tiga kategori. Pelanggaran hudud meliputi zina, tuduhan palsu tentang berzina; mencuri, merampok, mengkonsumsi minuman keras, kemurtadan dan pemberontakan, adalah pelanggaran yang hukumannya ditetapkan dalam Al Quran. Qishashdiyat berhubungan dengan masalah pembunuhan dan penganiayaan, dan biaya dari pelaku kepada keluarga korban. Pelanggaran ta’zir adalah pelanggaran diluar hudud dan qishash, yaitu kejahatan yang mana hukumannya tidak ditetapkan dalam Al Quran, karena itu tergantung kebijaksanaan hakim. Pelanggaran ini termasuk perjudian, penipuan, pemalsuan dokumen, khalwat, tidak berpuasa dalam bulan Ramadan dan meninggalkan shalat. Ta’zir juga dapat termasuk pelanggaran yang mengganggu ketertiban umum atau merusak kepentingan umum seperti pelanggaran lalu lintas.30 Setiap pelanggaran yang ditangani oleh pengadilan pertama-tama harus dijadikan peraturan terlebih dahulu kedalam qanun yang diadopsi oleh DPRD. Qanun No. 11/2002 tentang pelaksanaan hukum Islam dibidang aqidah, ibadah dan syiar Islam adalah peraturan pertama yang melarang tingkah laku tertentu dibawah hukum Islam. Antara lain, melarang penyebaran ajaran sesat. Mengharuskan seluruh pemeluk Islam untuk berbusana Muslim yaitu pakaian yang menutup aurat (untuk laki-laki aurat termasuk lutut hingga pusar, untuk perempuan seluruh tubuh kecuali telapak tangan, kaki dan wajah); tidak transparan; dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Mewajibkan seluruh kantor pemerintah dan institusi-institusi pendidikan untuk mengharuskan busana Muslim di tempatnya masing-masing. Terakhir, menugaskan WH untuk memberi imbauan bagi para pelanggar dan memberlakukan hukuman ta’zir bagi yang mengulangi perbuatannya. Qanun inilah yang digunakan untuk menghukum perempuan yang tidak memakai jilbab. Qanun No. 12, 13 dan 14/2003 tentang khamar (menjual dan mengkonsumsi minuman keras), maisir (judi) dan khalwat (larangan berduaan di tempat sepi bagi yang bukan muhrim) menganggap tiga perbuatan ini sebagai perbuatan pidana karena menurut ketua kantor Dinas Syari’at Islam di Banda Aceh, mereka dianggap sebagai masalah utama oleh masyarakat Aceh.31 Untuk pertama kali, hukuman secara Islam
Page 8
ditetapkan dalam peraturan hukum, khususnya hukuman cambuk. Qanun No. 7/2004 tentang pengelolaan zakat yaitu membentuk baitul mal, yang antara lain menerima denda dari para pelanggar Syari’at Islam. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sebelum pengadilan dapat memberlakukan hukum ini, tata cara pelaksanaannya harus sudah ada dalam qanun terlebih dahulu, sementara DPRD yang dipenuhi oleh orang-orang yang tak punya keahlian di bidang ini, harus harus membuat rancangannya. Karena itu peran Dinas Syari’at Islam, Majelis Permusyawaratan Ulama, dan fakultas hukum di Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh menjadi sangat penting. Dinas Syari’at Islam merujuk tiga sumber yaitu: Al Quran dan Hadits; kumpulan tafsiran yang independen (ijtihad) oleh empat imam mazhab; dan sebuah evaluasi dari kebutuhan masyarakat. Dari sini kemudian dihasilkan sebuah ijtihad baru. Al-Yasa’ Abubakar, kepala kantor Dinas Syari’at Islam, secara tegas menolak pendekatan salafi, dan menyebutnya sebagai sebuah upaya untuk membalikkan waktu kembali ke abad tujuhbelas, dan menekankan pentingnya membuat ajaran Islam relevan dengan tantangan zaman modern.32 Sejumlah warga Aceh khawatir bahwa perluasan Syari’at Islam telah dipakai sebagai agenda oleh organisasi-organisasi konservatif yang lebih peduli terhadap masalah-masalah moral yang kecil-kecil daripada masalah sosial yang lebih penting. “Tanyakan kepada para konservatif tentang masalah-masalah diluar topik favorit mereka yang seputar judi, minuman keras dan jilbab, misalnya tentang apa interpretasi mereka mengenai bagaimana agama dapat mempromosikan atau mendukung upaya rekonstruksi di Aceh, atau pembangunan ekonomi dan politik Aceh, dan mereka tidak akan dapat menjawab.”33 Sama seperti peraturan daerah manapun, qanun dapat diusulkan oleh badan legislatif ataupun eksekutif tingkat propinsi Aceh. DPRD membentuk sebuah panitia perancang undang-undang, yang mencari masukan dari luar; dalam hal draft Syari’at, masukan dari MPU diperlukan. Pada saat draft atau rancangan diperbaiki, panitia dapat mengundang masukan lewat suatu rapat umum atau media. Organisasi-organisasi perempuan terutama telah sangat aktif dalam mempertanyakan
30
Rusjdi Ali Muhamad, op. cit., hal. 152, dan “Penjelasan atas Qanun Nomor 10”, op. cit., hal. 126. 31 Wawancara Crisis Group, Banda Aceh, 18 Juni 2006. Ia mengatakan bukti adanya tuntutan dari masyarakat mengenai perbuatan ini dijadikan kejahatan kriminal yaitu pada tahun 1999, setelah undang-undang yang memberi hak kepada Aceh untuk menerapkan Shari’a diumumkan, warga desa secara spontan melakukan “pengadilan rakyat” untuk mengadili para pelanggar setempat. Dari delapan belas kasus, sembilan adalah
kasus khalwat, tetapi tidak ada yang terlibat judi atau minumminuman keras. Lihat daftar kasus-kasus di Rusjdi Ali Muhamad, op. cit. hal. 96. 32 Al-Yasa’ Abubakar, op. cit, hal. 198. 33 Aguswandi, “the rise of Islamic conservatism in Aceh”, Jakarta Post, 20 Februari 2006.
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
mengenai usulan perubahan terhadap qanun tentang khalwat. Tetapi secara umum, para konservatif yang mendukung penerapan Syari’at Islam secara lebih luas, lebih vocal daripada mereka yang prihatin tentang konsekwensinya.
Page 9
IV. IMPLEMENTASI Mempraktekkan Syari’at, terutama ketika begitu banyak prosedur dan institusi baru yang harus didirikan, tak akan pernah bebas dari masalah, dan pejabat Aceh yang berwenang telah melakukan yang terbaik untuk mencoba memberikan perbaikan terhadap masalahmasalah yang sudah nyata. Tetapi beberapa persoalan sudah melekat dalam konsep sebuah sistem hukum ganda, sebagian Islamis, sebagian lagi sekuler, dimana tidak ada yang tahu pasti dimana garis pemisahnya.
A.
PETUGAS WILAYATUL HISBAH
Institusi yang dibentuk dibawah hukum Islam yang selama ini paling bermasalah yaitu wilayatul hisbah (WH). WH adalah petugas patrol yang ditugaskan untuk mengawasi ketaatan warga terhadap Syari’at Islam. Anggotanya sangat tidak populer, bahkan mereka yang mendukung pelaksanaan Syari’at secara lebih luas di Aceh mengakui bahwa perekrutan dan pelatihan WH sangat kurang memadai. Banyak aparat polisi yang waswas kalau WH melewati batas tanggung jawab mereka, karena tidak ada visi yang jelas bagaimana sebaiknya dan nantinya pembagian tugas antara WH dengan polisi. (Seorang politikus mengatakan jika Syari’at sudah terlaksana dengan baik dan benar, polisi tidak akan diperlukan lagi). Di kabupaten Bireuen pada akhir tahun 2005, WH menangani kasus judi “kelas teri” sementara polisi yang menangani kasus judi “kelas kakap”, tetapi perbedaannya tidak jelas.34 Pemerintah propinsi sedang berupaya untuk memperbaiki standar perekrutan, tetapi dengan mengharuskan calon pelamar WH memiliki pengetahuan mengenai hukum Islam yang setingkat dengan universitas kemungkinan hal ini malah akan menjadi bias dalam proses seleksi yang cenderung memilih mereka yang memiliki tafsiran Al Qur’an yang lebih konservatif. Dan sama seperti kantor Dinas Syari’at Islam sendiri, kecenderungan alamiah dari WH juga mencari jalan untuk memperluas wewenangnya.
1.
Latar Belakang
Pada peraturan pertama tentang Syari’at yang diadopsi mengikuti undang-undang tahun 1999, pemerintah propinsi diberi mandat untuk membentuk WH sebagai sebuah institusi yang “mengontrol dan mengawasi”
34
Lihat sebuah laporan kritis dari Komisi Nasional Perempuan, “Laporan Dialog Kebijakan Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di NAD dan Dampaknya bagi Penegakan HAM Perempuan”, 20-26 Oktober 2005, hal. 5.
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
pelaksanaan Syari’at Islam.35 Undang-undang tersebut sangat tidak jelas mengenai bagaimana badan ini nantinya akan berfungsi. Pelanggaran Syari’at akan diinvestigasi oleh penyidik sipil serta “pihak lain yang dianggap tepat untuk melaksanakan tugas ini”. Undangundang ini menggambarkan tugas dari penyidik sipil seakan-akan WH akan begitu saja menjadi bagian dari polisi, bisa langsung mengambil tindakan di lokasi kejahatan, melakukan penyitaan, mengambil sidik jari, memanggil saksi dan sebagainya. Perincian lebih lanjut akan dijabarkan dalam sebuah keputusan gubernur. Tetapi karena semakin merebaknya pembahasan diantara para pejabat, akademisi dan ulama, gagasan untuk membentuk sebuah institusi yang terpisah dari polisi mulai muncul. Mereka yang terlibat dalam perancangan infrastruktur Syari’at tampaknya telah mengandalkan pada beberapa teks fiqh yang menggambarkan cara-cara yang berbeda untuk memelihara ketertiban dan moralitas.36 Cara yang pertama yaitu melalui kerjasama dengan para individu (mutatawwi’in) yang bersedia untuk bekerja secara sukarela sebagai sebuah ibadah atau dengan harapan menerima pahala di surga nanti. Cara yang kedua yaitu melalui para individu (muhtasibin) yang memiliki kemampuan profesionil, menerima gaji, dan bekerja dalam sebuah institusi formal. Para ulama dan tokoh-tokoh Aceh melihat polisi Syari’at Islam di Arab Saudi dan Malaysia dapat dijadikan model, dengan menyadari bahwa untuk polisi Syari’at Islam versi Aceh harus dimodifikasi secara cukup signifikan.37 Pada Agustus 2001, DPRD mengeluarkan sebuah peraturan yang mengatur pembentukan Dinas Syari’at Islam dengan sebuah divisi yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syari’at Islam dan mencegah pelanggaran, namun tidak menyebutkan WH secara spesifik.38 Pada tahun 2002 dan 2003 beberapa peraturan daerah yang penting dikeluarkan, yaitu: Qanun 11 tentang pelaksanaan Syari’at Islam dan tiga qanun tentang maisir, khamar dan khalwat.. Qanun 11 memberi wewenang kepada WH untuk dibentuk di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, desa dan RT, dan memiliki hak untuk mengawasi bahwa warga mentaati Syari’at Islam, memberi imbauan bagi yang melanggar, dan jika
Page 10
mereka tidak memperbaiki kelakuannya, menyerahkan mereka kepada polisi. Tetapi untuk pengaturan mengenai WH, kembali diserahkan kepada sebuah keputusan gubernur setelah berkonsultasi dengan Majelis Permusyawaratan Ulama. WH sendiri baru lahir setelah sebuah surat keputusan yang sudah lama ditunggu-tunggu dikeluarkan oleh kantor gubernur pada bulan Januari 2004. Surat keputusan ini menyatakan bahwa sebuah WH di setiap tingkat pemerintahan akan dibentuk, dan mereka akan terdiri dari ketua, wakil, sekretaris dan muhtasibin untuk mengawasi pelaksanaan dan pelanggaran Syari’at Islam; memberikan bimbingan dan nasihat agama kepada orang yang dicurigai tidak mengindahkan Syari’at Islam (setelah memberitahu keluarganya, polisi dan/atau kepala desa); memberi imbauan dan peringatan kepada pelanggar; menghentikan tindak pelanggaran; dan memberi peringatan kepada mereka yang bertanggung jawab mengenai kemungkinan disalahgunakannya tempat-tempat atau fasilitas-fasilitas mereka dipakai untuk perbuatan-perbuatan yang melanggar Syari’at.39 Namun WH tidak diberi wewenang bertindak sebagai polisi. Mereka hanya berhak untuk menghentikan dan mencegah pelanggaran, menanyakan identitas pelaku dan menyerahkan kasus kepada polisi untuk diusut lebih lanjut.40 Petugas WH berada dibawah pengawasan polisi, tetapi Polri enggan untuk terlalu terlibat dengan WH, akhirnya secara fisik dan administrasi WH berkantor di Dinas Syari’at Islam. Di bawah surat keputusan ini, syarat-syarat untuk menjadi seorang anggota WH sangat-sangat umum, antara lain: warga negara Indonesia; setia kepada (dengan urutan sebagai berikut:) Syari’at Islam, Pancasila dan UUD 1945; memenuhi syarat untuk menjadi seorang imam sholat; berkelakuan baik. Calon pelamar harus “lulusan”, tetapi tidak disebutkan lulusan apa atau darimana. Hasilnya dapat ditebak: sebuah satuan yang direkrut secara sembarangan, tidak memiliki disiplin, dan tidak terlalu mendapatkan pengawasan, dan membedakan diri mereka lebih karena bermodal semangat moril daripada karena kemampuan hukumnya – dan ini akhirnya segera menjadikan mereka tidak populer.41
35
Peraturan Daerah No. 5/2000, Paragraf VI, Pasal 20, dalam Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan, op. cit.. 36 Rusjdi Ali Muhamad, op. cit., hal. 102. Diantara teks yang dikutip adalah Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. iv (Damascus, 1989) dan al-Mawardi, alAhkam al-Sulthaniyyah (Cairo, 1975). 37 Rusjdi Ali Muhamad, op.cit., hal. 107-108. 38 Peraturan Daerah No. 33/2001, paragraf 6, Pasal 28-32, di dalam Himpunan, op. cit., hal. 92.
39
Keputusan Gubernur No. 1/2004 mengenai Pembentukan dan Administrasi Wilayatul Hisbah , Pasal 4. 40 Ibid, Pasal 6. 41 Lihat “Rising Concerns over Brutality of Shari’a Police”, Aceh World, 11-17 April 2006, hal. 1. Lihat juga laporan Komisi Nasional Perempuan, op. cit., yang menjelaskan mencatat mengenai bagaimana standar perekrutan WH berbeda dari satu kabupaten ke kabupaten yang lain.
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
2.
Page 11
menjaga citra salon saya menjadi baik dan tak digunakan untuk yang bukan-bukan,” katanya.45
Petugas WH dalam Praktek
Serangkaian insiden menggambarkan masalah yang timbul.
Di Sabang, pada tanggal 30 September 2005, sekelompok warga yang marah menyerang kantor Dinas Syari’at Islam kabupaten dan petugas WH yang berada didalamnya, setelah seorang petugas WH yang terlalu bersemangat/antusias mendadak menyergap seorang remaja perempuan yang baru saja pulang dari belajar dan sedang berdiri di depan pintu rumahnya sekitar jam 9 malam. Petugas WH ini memegang tangan remaja tersebut dan menanyakan mau kemana, memberi kesan bahwa si remaja bukan gadis baik-baik, mengambil fotonya, dan baru berhenti ketika ibunya yang sangat marah dan warga lainnya menolongnya. Kelompok warga yang marah ini baru bisa ditenangkan oleh polisi, dan ketua WH kabupaten Sabang meminta maaf, mengatakan bahwa institusi ini masih baru dan masih “memerlukan bimbingan”.42
Pada bulan Januari 2006, petugas WH, bersama dengan polisi dan seorang bernama Muzakkir Tulot, yang tampaknya sering mengawasi operasi razia, menggerebek salon-salon kecantikan yang customernya campur laki-laki dan perempuan.43 Di salon yang pertama seorang laki-laki ke salon langganannya yang kebetulan pegawainya perempuan untuk memotong rambutnya; di salon yang kedua, seorang waria sedang ditata rambutnya oleh seorang pegawai perempuan; di salon yang ketiga, seorang laki-laki sedang memotong rambut teman perempuannya. Di salon yang lain, tiga pria asing yang datang ke salon untuk potong rambut dibawa ke kantor polisi, dan para wartawan diberi tahu bahwa polisi menemukan 40 butir obat-obatan dari pria asing ini (namun ternyata obat-obatan tersebut adalah obat sakit perut).44 Menurut Qanun no. 11, salon campur untuk pria dan wanita tidak diperbolehkan lagi. Tetapi seorang pemilik salon yang marah yakin bahwa petugas WH melakukan penggerebekan hanya untuk pamer, aksi penggerebekan ini membawa kesan bahwa mereka meragukan moral para pekerja salon dan customer dari usaha yang sah. “Saya sendiri bisa
Pada tanggal 19 Februari 2006, dalam sebuah insiden yang paling diributkan, tiga orang perempuan aktifis LSM yang sedang mengikuti sebuah workshop tentang pendidikan perdamaian yang diselenggarakan oleh UNDP di hotel Sultan, Banda Aceh ditangkap tanpa pemberitahuan oleh tim petugas WH karena tidak memakai jilbab ketika mereka sedang berdiskusi pelan di koridor depan kamar mereka sekitar jam 11.30 malam. Sekitar duapuluh orang petugas WH laki-laki dan perempuan menarik tangan mereka, dan membawa turun tangga “seakan-akan mereka penjahat” dan menaikkan mereka ke sebuah mobil bersama dengan enam orang perempuan lain yang sudah ditangkap lebih dulu. Mereka dibawa ke kantor walikota dimana disitu mereka disuruh untuk menandatangani pernyataan yang isinya mengakui kesalahan mereka. Mereka menolak, tetapi akhirnya tak ada pilihan. Mereka juga harus mendengarkan ceramah sekitar 45 menit tentang pentingnya hidup berdasarkan prinsip-prinsip Syari’at. Peserta workshop yang lain pergi ke kantor polisi dan membuat pengaduan resmi terhadap petugas WH. Aksi penggerebekan tersebut diawasi oleh Muzakkir Tulot, yang mengeluarkan kata-kata kasar kepada para perempuan dan rekan aktifis mereka.46
Kalangan perempuan mengeluh bahwa mereka secara tidak sepadan menjadi target operasi razia petugas WH, lebih banyak operasi razia terhadap perempuan yang tidak memakai jilbab daripada terhadap laki-laki yang tidak ikut sholat Jum’at. Selain itu, tidak ada tradisi di Aceh memakai jilbab, dan seseorang tidak perlu pergi jauh hingga keluar jalan utama di Aceh untuk membuktikan hal ini. Seorang perempuan mengatakan: “kalau saya tidak memakai jilbab, itu adalah antara saya dengan Allah – bukan saya dengan WH”.47 Dalam kegiatan mereka mencegah khalwat, WH barubaru ini bersikeras bahwa pasangan yang datang ke konser musik rock, penonton pria harus dipisah dengan penonton perempuan, dengan barikade pemisah diantara keduanya. Mereka juga menuntut para penyanyi perempuan, yang datang dari Jakarta, untuk menutup rambut mereka. Namun setelah penonton mencapai hingga 30,000 orang, barikade pemisah jebol dan para
42
“WH Salah Sergap, Warga Sabang Mengamuk”, Serambi, 2 Oktober 2005 43 Tulot adalah ketua kantor penertiban daerah Banda Aceh, sebuah kantor setingkat kabupaten yang terpisah dari polisi dan bertanggung jawab menegakkan peraturan administratif pemerintah lokal. 44 “Puluhan Salon Digerebek”, Serambi, 3 Januari 2006.
45
“Lagi Tim Terpadu Tertibkan Salon Kecantikan”, Serambi, 21 Februari 2006. 46 Catatan mengenai insiden tersebut diterima oleh Crisis Group oleh peserta workshop, dan wawancara Crisis Group, Banda Aceh, Juni 2006. 47 Wawancara Crisis Group, Banda Aceh, 18 Juni 2006.
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
remaja yang tadinya datang berpasangan kemudian berpasangan lagi.48 Meluasnya keluhan terhadap petugas WH akhirnya mendorong kantor Dinas Syari’at Islam propinsi untuk mewajibkan syarat-syarat yang lebih ketat terhadap para calon pelamar, yaitu: lulusan fakultas hukum Islam, fakultas hukum biasa, atau setidaknya telah mengenyam pendidikan pesantren selama 7 tahun. Para pelamar juga harus hafal beberapa ayat-ayat Qur’an yang telah ditentukan dan dapat menulis Arab, dan seperti sebelumnya, memenuhi syarat untuk menjadi imam sholat. Tetapi, menaikkan persyaratan untuk para calon pelamar tidak akan memecahkan masalah, karena ada dua persoalan bawaan dengan WH yang tidak akan begitu saja hilang dengan meningkatkan training. Pertama yaitu pembagian tugas antara WH, polisi dan petugas penertiban daerah masih belum jelas. Petugas Polda yang diwawancara oleh Crisis Group melihat WH mulai melewati batas tanggung jawab mereka sebagai penegak hukum, dan tidak menginginkan WH diberi tambahan kekuasaan. Perasaan mereka agak bertentangan terhadap keinginan untuk membentuk badan penegakan Syari’at Islam yang benar-benar terpisah dari Polri, tetapi pada saat yang sama enggan untuk melakukan tugas tersebut. Mereka merasa sudah memiliki beban yang terlalu banyak dan menghadapi cukup banyak kesulitan melaksanakan hukum pidana, tanpa tambahan menegakkan Syari’at. Sementara itu, petugas WH percaya bahwa wewenang mereka seharusnya ditambah, dan kemungkinan besar itu akan terjadi. Salah satu revisi yang diusulkan yaitu memberikan WH, bukan polisi, tanggung jawab untuk melakukan investigasi terhadap pelanggaran aturan ta’zir. Dalam versi terakhir perda Aceh yang disahkan oleh DPR pada pertengahan bulan Juli 2006, tanggung jawab untuk melakukan investigasi terhadap pelanggaran Syari’at terletak pada polisi dan penyidik pegawai negeri sipil. Hal ini menunjukkan WH akan dianggap sebagai pegawai negeri sipil, dengan status formal sebagai penyidik, sama dengan petugas bea cukai.49 Ketua WH Banda Aceh juga menginginkan kekuasaan penuh untuk melakukan penangkapan, pengejaran/penggeledahan dan penyitaan.50 Tampaknya dualisme hukum yang timbul dari pembentukan WH tidak akan dapat terselesaikan dengan mudah dalam waktu dekat.
Page 12
Masalah yang kedua yaitu keberadaan WH mendorong warga untuk melaporkan teman atau tetangga mereka karena dicurigai telah melanggar perilaku bermoral. Koran lokal memuat berita-berita mengenai petugas WH menyergap pasangan yang bukan muhrimnya berjalan berduaan di pantai atau di mobil yang diparkir, karena mendapat “laporan dari masyarakat”. Hal ini tidak hanya memberikan sebuah status baru bagi berita gosip lokal, tetapi juga mengakibatkan semacam aksi penjagaan moral, dengan kelompok Muslim garis keras main polisi sendiri. Pada tanggal 4 Juni 2006, di kabupaten Aceh Besar contohnya, sekelompok anak muda yang menyebut dirinya sebagai Tim Anti-Maksiat (TAM) menyergap sepasang remaja disebuah mobil yang sedang diparkir ketika mereka sedang berpatroli malam di pantai Lhoknga, tidak jauh dari Banda Aceh. Mereka “menangkap” kedua remaja ini, dan membawa mereka ke sebuah masjid yang tak jauh dari situ dan memanggil petugas WH. Tampaknya peristiwa itu adalah untuk yang ketigakali TAM melakukan “penangkapan”; hal itu dilakukan, menurut mereka, untuk memperlihatkan bahwa mereka sangat serius menegakkan Syari’at.51
B.
Ketiga peraturan mengenai pelanggaran pidana akan dikenai hukuman cambuk atau denda. Meskipun banyak yang menganggap hukum cambuk melanggar HAM, namun hukuman ini dianggap sebagai sebuah hukuman yang cepat selesai, menghindari penahanan, dan dirancang untuk membuat malu dari pada sakit.52 Pertanyaan yang menarik yaitu bagaimana hukum cambuk diambil sebagai sanksi hukum di Aceh dan apa yang diperlihatkan oleh hal ini mengenai bagaimana hukuman untuk tindak kejahatan yang lebih serius akan ditetapkan pada saat Syari’at semakin berkembang. Dari luar, meskipun ada perda tahun 1999, pemerintah propinsi kelihatannya dibatasi oleh hukum negara terkait mengenai hukuman yang dapat diberlakukan. Menurut undang-undang otonomi daerah, yang juga dikeluarkan tahun 1999, pelanggar peraturan propinsi atau kabupaten tidak dapat ditahan lebih dari tiga bulan atau didenda lebih dari Rp 5 juta.53 Tidak ada aturan atau perundangundangan untuk menerapkan hukuman selain daripada hukuman penjara atau denda. Akademisi setempat berargumentasi jika Syari’at akan dilaksanakan secara
51 48
Nur Raihan, “Syariat Islam di Aceh, Menuju Islam Yang Kaffah”, detik.com, 20 Maret 2006. 49 Peraturan mengenai Pemerintah Aceh, Bab 18 mengenai pengadilan Shari’a Courts, pasal 129. 50 Wawancara Crisis Group, Banda Aceh, 18 Juni 2006.
HUKUMAN
“Sepasang Remaja ditangkap di Lhoknga”, Serambi, 5 Juni 2006. Wawancara Crisis Group, pejabat Dinas Syariat, Banda Aceh, Bireun dan Sigli, Juni 2006. 53 Pasal 71, UU No. 22/1999 mengenai otonomi daerah. Jumlah dalam bentuk $ di laporan ini maksudnya Dollar Amerika. 52
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
penuh, batasan di dalam undang-undang otonomi daerah akan menjadi sebuah hambatan.54 Undang-undang otonomi khusus tahun 2001 telah memberi lebih banyak ruang gerak kepada DPRD, dan pada tanggal 4 Maret 2003, Mahkamah Agung di Jakarta menetapkan bahwa pengadilan Syari’at yang baru di Aceh dapat bertindak sebagai hakim untuk kasus pelanggaran Syari’at, berdasarkan peraturan setempat dan memutuskan hukuman bagi pelanggar.55 Sekali ditetapkan bahwa tiga pelanggaran pertama yang menjadi pokok persoalan dari peraturan Syari’at adalah minuman keras, judi dan khalwat, tugas selanjutnya adalah menetapkan hukuman yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. DPR menyerahkan hal itu kepada pakar agama untuk mencari dengan teliti dalam buku-buku tentang fiqih. Hukuman seperti disebut dalam hukum pidana biasa sama sekali tidak dipikirkan,karena jika pelanggaran jinayat diambil dari fiqih, maka hukumannya pun juga akan diambil dari fiqih. Judi dan khalwat adalah pelanggaran ta’zir, jadi hukumannya tidak ditentukan dalam Al Quran dan Hadits. Hal ini memberi ruang gerak bagi tim perancang hukum. Tetapi konsumsi minuman keras merupakan pelanggaran hudud, dimana Al Qur’an menyebutkan hukuman sebanyak 40 cambukan, dan para akademisi Aceh yakin bahwa jika mereka benar-benar ingin menerapkan Syari’at secara benar, maka tidak ada jalan lain kecuali mengikuti apa yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an. Keputusan untuk menerapkan hukuman yang diambil dari Al Qur’an secara harfiah sebenarnya tidak berdasarkan tradisi apapun dari kesultanan Aceh: para pendukungnya sudah mengakui bahwa hukuman ini belum pernah digunakan sebelumnya di Aceh.56 Sejauh adanya pemikiran kreatif, yaitu mengenai bagaimana membuat hukum cambuk dapat diterima. Sebelum undang-undang ini disahkan, sebuah delegasi yang terdiri dari hakim mahkamah Syari’at dan ulama melakukan studi banding ke negara-negara yang memberlakukan hukum cambuk, yaitu Malaysia, Singapura, Pakistan dan Iran. Seorang hakim yang pergi ke Malaysia, Singapura dan Pakistan mengatakan tujuan studi banding ini adalah untuk menemukan sebuah metode yang konsisten dengan norma-norma dan nilainilai di Aceh. Mereka menyingkirkan praktek hukum
54
Al-Yasa’ Abubakar, op. cit., hal. 47. Revisi terhadap undang-undang otonomi daerah tahun 2004 jauh lebih fleksibel: pelanggaran terhadap peraturan lokal dapat mengakibatkan hukuman enam bulan penjara atau denda hingga Rp.50,000,000 atau sanksi lain “ sesuai dengan peraturan hukum yang lain”, Pasal 143 UU No. 32/2004. 56 Al Yasa’ Abubakar, op. cit., hal. 262. 55
Page 13
cambuk di Pakistan yang mencambuk dengan sebuah tali karena sangat menyakitkan. Mereka menganggap hukum cambuk di Malaysia dan Singapura agak “sadis” ditinjau dari ukuran rotan dan kekuatan yang digunakan. Karena tim perancang hukum Aceh ingin menggunakan hukum cambuk lebih karena untuk membuat malu terhukum di muka umum, mereka memasukkan sebuah persyaratan yaitu hukuman ini harus dilaksanakan di depan umum pada waktu yang telah ditentukan di tempat dimana banyak orang dapat melihat. Pada prakteknya kemudian, hukuman cambuk dilaksanakan setelah shalat Jum’at di sebuah masjid terkemuka. Rotan yang digunakan secara sengaja ditetapkan lebih kecil dari yang dipakai di Malaysia dan Singapura, yaitu: sepanjang satu meter tetapi tidak lebih dari tigaperempat hingga satu sentimeter tebalnya. Laki-laki maupun perempuan memakai pakaian putih tipis yang menutup aurat, dan eksekutor hanya boleh mengarahkan cambukannya pada punggung (bahu hingga pinggul) terhukum. Tangan eksekutor harus sejajar dengan tanah; tangannya tidak boleh diangkat terlalu tinggi hingga kelihatan ketiaknya, dan tidak boleh hingga keluar darah. Seorang dokter harus hadir untuk menyatakan bahwa terhukum cukup sehat atau mampu menerima hukuman dan menghentikan pencambukan jika ternyata terhukum tidak kuat. Orang yang melaksanakan hukum cambuk diambil dari WH dan biasanya diambil dari luar daerah terhukum. Untuk menutupi identitasnya/agar tidak dikenali wajahnya sebagai tindakan keamanan terhadap kemungkinan balas dendam, eksekutor memakai jubah yang dilengkapi dengan cadar berwarna oranye atau hijau muda. Pertama-tama seorang ustadz memberikan ceramah pendek kepada terhukum dan masyarakat yang datang menonton. Pelaksanaan hukum cambuk ini telah menjadi tontonan masyarakat, dengan terhukum (terutama para pemuda yang dihukum karena minum minuman keras atau judi) melambaikan tangan ke arah penonton sebelum dan sesudah pencambukan dan menganggap proses ini sebagai sebuah ujian kekuatan daripada sebagai hukuman dengan mempermalukan mereka di muka umum. Laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri, perempuan duduk, dan wanita hamil hanya boleh dicambuk setelah dua bulan melahirkan. Sekali hukuman hudud sebanyak 40 cambukan untuk pelanggaran tentang khamar ditetapkan, hukuman untuk pelanggar ta’zir mulai disusun: yaitu antara enam hingga duabelas kali cambukan untuk judi dan denda sebesar Rp 35 juta untuk pemilik tempat judi atau siapa saja yang membolehkan judi di tempatnya. Hukuman untuk pasangan yang melakukan khalwat ditetapkan antara tiga hingga sembilan cambukan dan/atau denda antara Rp 2,5 juta hingga 10 juta. Mereka yang secara sadar menyediakan fasilitas bagi pasangan yang
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
melakukan khalwat dapat dipenjara antara dua hingga enam bulan atau didenda. Hukum cambuk juga sudah mulai diterapkan kepada mereka yang tidak ikut shalat Jum’at (tiga cambukan) sesuai dengan Qanun 11. Qanun tersebut mulai berlaku pada tahun 2005 setelah dua tahun menyiapkan dan mendidik publik mengenai qanun-qanun ini. Pelaksanaan hukuman cambuk yang pertama berlangsung pada bulan Agustus 2005 di Bireuen; dan sampai bulan Desember sebanyak 110 orang dari seluruh propinsi telah dihukum, kebanyakan karena kasus judi.57 Dari permulaan, hukuman cambuk ini telah memicu kontroversi, bukan karena hukuman badani – sebaliknya aspek tersebut malah telah cukup populer – tetapi karena yang ditangkap sebagian besarnya “orang kecil”, yaitu orang-orang yang main kartu dengan taruhan hanya beberapa ribu rupiah. Banyak yang menanyakan, mengapa bandar judi yang dilindungi polisi tidak disentuh, apalagi koruptor kakap? Jawaban dari pejabat Aceh ada dua. Pertama, konsep untuk menerapkan hukum Islam dimulai secara bertahap dengan menangani pelanggaran yang biasanya pelanggarnya tertangkap tangan dan hal ini akan memudahkan untuk dituntut, dihukum dan digunakan sebagai contoh moral. Idenya adalah memulai dengan orang kecil dan secara bertahap menarget yang lebih besar.58 Orang-orang yang agak lebih berpengaruh secara bertahap juga ikut ditangkap: Lhokseumawe menjadi saksi untuk kasus pertama dimana seorang anggota DPRD tingkat II ditangkap karena melakukan khalwat. Jika kasus-kasus yang lebih serius dituntut secara hukum, maka hukumannya harus lebih berat, dan hanya dengan menambah jumlah cambukan tidak akan berhasil. “Tidak seorangpun yang menginginkan koruptor yang mengambil milyaran rupiah hanya dikenai hukuman cambuk 100 kali dan setelah itu disuruh pulang,” kata seorang pejabat.59 Tetapi sekali pokok persoalan tentang kejahatan serius mulai dibahas, maka persoalan tentang dualisme hukum jadi lebih genting. Apakah DPRD akan ditugaskan menyusun rancangan peraturan-peraturan baru dan menetapkan hukuman
57
Data statistik dari kantor Syari’at tingkat propinsi untuk tahun 2005 menunjukkan 75 terhukum untuk kasus judi, delapan belas untuk kasus penjualan atau mengkonsumsi minuman keras dan delapan untuk kasus khalwat. Sebagian besar kasus dari enam kabupaten atau kotamadya: Kutacane, South East Aceh (23); Kualasimpang, Tamiang (duabelas); Langsa (sepuluh); Takengon, Bener Meriah (sembilanbelas); Bireuen (sebelas); dan Banda Aceh (sebelas). 58 Wawancara Crisis Group, Haji Waled Nu, anggota MPUPidie, Juni 2006. 59 Wawancara Crisis Group, Al-yasa’ Abubakar, ketua kantor Dinas Syariat Banda Aceh, Juni 2006.
Page 14
secara Islami terhadap pelanggaran serius? Apakah mahkamah Syari’at akan siap mengadili kasus-kasus dimana barang bukti yang rumit harus dihadirkan? Bagaimana jika masyarakat menuntut hukuman mati bagi para koruptor? Bagaimana nasib Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia, dan mungkin yang lebih penting, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, di Aceh, apabila Syari’at akan diperluas secara bertahap?
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
V.
PERLUASAN SYARI’AT
Perluasan pelaksanaan Syari’at Islam bisa berkembang sendiri, karena beberapa alasan: adanya perundangundangan, adanya birokrasi agama yang punya kepentingan untuk mengembangkan kekuasaannya, dan syari’at Islam isu yang populer secara politik terutama ketika terjadi pemilihan langsung,
A.
MEMAHAMI DINAMIKA PERLUASAN SYARI’AT
Daripada menambah daftar pelanggaran-pelanggaran yang diatur oleh peraturan daerah, DPRD Aceh memutuskan memperbaiki serta menambah qanun yang sudah ada tentang khamar, maisir dan khalwat. Rancangan peraturan yang dibuat secara jelas menyebutkan adanya lebih banyak penggunaan hukuman cambuk. Selain itu disebutkan juga dalam rancangan itu, soal pemberian wewenang kekuasaan yang lebih besar buat WH dan juga penambahan daftar kejahatan yang lebih banyak berkaitan dengan ketiga pelanggaran ini. Salah satu yang paling bermasalah adalah soal zina dan perkosaan yang dimasukan kedalam pelanggaran khalwat. Yang paling bermasalah yaitu dimasukkannya kasus zina dan perkosaan kedalam peraturan mengenai khalwat.
1.
Lebih banyak hukuman cambuk
Qanun yang sudah ada menetapkan hukuman sebanyak 40 cambukan bagi siapapun yang meminum miras. Tapi hukumannya berbeda untuk mereka yang membuat, menjual, mendistribusi atau mempromosikan, atau membantu mendistribusi atau mempromosikan. Mereka diberikan sanksi penjara atau denda. Denda atau hukuman penjara juga dikenai bagi siapapun yang memberi ijin kepada hotel atau tempat lain yang menyediakan minuman keras. Namun, pada Februari 2006, Mahkamah Syari’at mendapatkan permohonan banding pertamakalinya untuk kasus khamar. Kasus ini melibatkan seorang warga desa berusia 21 tahun yang kedapatan menjual minuman keras di Tamiang pada September 2005. Ia dengan cepat mengakui perbuatannya dan didenda sebesar Rp 30 juta. Walaupun denda yang harus dibayarkan mendekati jumlah denda minimun (yaitu antara Rp 25 juta hingga Rp 75 juta), namun tetap saja jumlah yang besar. Lelaki itu memohon untuk dikenai hukuman cambuk saja, karena ia tidak mampu membayar denda tersebut. Mahkamah Syari’at menetapkan bahwa pengadilan yang pertama menangani kasusnya
Page 15
telah secara benar menetapkan hukumannya dan menolak permohonan banding pemuda tersebut.60 Tapi karena banyaknya perhatian terhadap kasus itu, perbaikan qanun yang diusulkan termasuk menjadikan hukuman cambuk sebagai pilihan bagi setiap Muslim yang melanggar. Setiap Muslim yang kedapatan membuat, menjual atau mendistribusikan minuman keras dapat dikenai hukum cambuk antara 20 hingga 40 cambukan, atau didenda antara Rp 20 hingga Rp 40 juta, atau dipenjara selama antara 40 hingga 80 bulan. Jika terdakwa tak mampu bayar denda, barang-barang miliknya bisa disita, dan jika tidak ada barang-barang yang bisa disita, dapat diganti dengan hukuman cambuk atau penjara. Non-Muslim tidak boleh dicambuk: mereka bisa dikenai hukuman penjara maksimum selama enam bulan untuk kasus pelanggaran yang sama atau didenda antara Rp 15 hingga Rp 30 juta.61 Perbaikan yang diusulkan juga membedakan antara Muslim dan non-Muslim terkait dengan hukuman bagi mereka yang menyediakan tempat atau fasilitas bagi pelanggar minuman keras. Muslim bisa dikenai antara 10 hingga 20 cambukan, atau didenda antara Rp 10 juta hingga Rp 20 juta, atau dipenjara selama antara 20 hingga 40 bulan. Non-Muslim dikenai hukuman maksimum 6 bulan penjara atau denda dengan jumlah yang sama. Pembedaan hukuman itu menimbulkan pertanyaan serius mengenai prinsip persamaan derajat dibawah hukum (equality under the law). Para jaksa maupun terdakwa cenderung untuk memilih hukum cambuk daripada hukuman penjara yg berat. Argumentasi yang sering dikemukakan, selain untuk membuat malu para pelanggar dan pembinaan masyarakat, bahwa hukuman tersebut lebih murah daripada memasukkan seseorang kedalam penjara dan harus memberi makan selama beberapa waktu. (Seorang akademisi di Aceh mempertanyakan argumen ini: biaya untuk melaksanakan hukuman cambuk dimuka umum mungkin hanya sekali saja, katanya, tetapi sebenarnya cukup besar. Untuk pemasangan panggung, kadangkadang menyewa tenda, membayar ustadz yang memberi ceramah, membayar petugas WH yang menjadi eksekutor, keamanan dan biaya-biaya lain, akhirnya menjadikan pengeluaran cukup besar juga.)62
60
Pengkajian Crisis Group terhadap dokumen legal di pengadilan Syari’at, Banda Aceh, 19 Juni 2006. 61
"Usulan Perbaikan dan Perubahan," 15 Februari 2006, saran dari sebuah koalisi LSM di Aceh untuk perubahan dan perbaikan revisi yang diusulkan.
62
Wawancara Crisis Group, Banda Aceh, 19 Juni 2006.
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
2.
Kekuasaan yang lebih besar bagi WH
Menurut qanun yang belum direvisi, setelah seorang petugas WH beberapa kali memberi peringatan kepada seorang pelanggar hukum, ia harus melaporkan kasus tersebut kepada polisi jika ingin ditindak lanjuti; polisi yang kemudian akan melakukan pengusutan, atau dalam beberapa kasus wewenang itu ada di penyidik pegawai negeri sipil yang ditugaskan untuk menginvestigasi pelanggaran Syari’at. Sementara itu, Revisi qanun yang diusulkan menyebutkan peran WH secara lebih rinci, juga memberikan WH wewenang yang jauh lebih besar seperti melakukan investigasi atas perintah polisi, dan jika seorang pelanggar hukum tertangkap basah, WH dapat melakukan penangkapan, pengejaran atau penyitaan Petugas WH yang telah memiliki status sebagai pegawai negeri dapat melakukan tindakan lebih jauh. Misalkan dengan tetap diawasi oleh polisi, ia dapat mengambil pernyataan dari seorang pelanggar hukum yang kemudian diserahkan kepada kejaksaan. Mereka juga bisa mengambil sidik jari dan foto, memanggil dan menginvestigasi para saksi dan akhirnya menjadi pengganti penuh bagi polisi.63 Baik polisi maupun kelompok pendukung HAM tampaknya tak akan senang senang dengan usulan perubahan ini. Hal ini akan menjadi sebuah tes kekuatan bagi birokrasi agama agar usulan ini bisa diadopsi. Hingga kini belum ada mekanisme yang efektif untuk mengajukan pengaduan melawan WH, dan tampaknya tak ada harapan untuk itu dalam waktu dekat.
3.
Revisi terhadap peraturan mengenai khalwat
Rancangan perubahan qanun yang paling signifikan terdapat dalam peraturan khalwat. Qanun yang lama melarang khalwat (berdua-duaan ditempat sepi dengan orang yang bukan muhrimnya) sebagai tindakan pencegahan, perbuatan yang jauh lebih serius yaitu zina, yaitu sebuah pelanggaran hudud yang dapat dikenai hukuman mati dengan cara dirajam (dilempar batu). Revisi yang diusulkan akan menangani khalwat dan tiga tindak kejahatan yang sebelumnya tidak ditangani oleh Syari’at di Aceh:
Page 16
Zina, hubungan seksual atas dasar suka sama suka antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan suami atau istrinya; dan
Perkosaan, didefinisikan sebagai seorang lakilaki yang memaksa hubungan seksual kepada perempuan yang bukan istrinya.
Hukuman untuk tindak kejahatan ini di dalam revisi usulan lebih berat daripada di qanun yang asli. Untuk khalwat, hukuman yang saat ini sebanyak tiga hingga sembilan cambukan, akan ditambah menjadi lima hingga 10 cambukan dan, sekali lagi, menjadi sebuah pilihan hanya bagi Muslim. Perbuatan ikhtilath akan dikenai sebanyak 10 hingga 20 cambukan. Anak dibawah umur yang kedapatan melakukan pelanggaran ini tak boleh dihukum cambuk (di dalam peraturan yang berlaku saat ini tidak ada larangan memberlakukan hukuman cambuk terhadap anak dibawah umur, walaupun selama ini belum pernah ada kasus semacam itu. Zina adalah tindak kejahatan Hudud, yang mana Al Qur’an (ayat 24:2) menetapkan hukuman sebanyak 100 cambukan. Hukum Islam tradisional mengharuskan adanya empat orang saksi dewasa untuk kasus ini, jika tidak ada bukti yang lain. Qanun yang direvisi akan memasukkan ketentuan mengenai saksi semacam itu, tetapi sebuah pengakuan dari salah satu terdakwa juga bisa diterima.64 Siapapun yang dituduh melakukan pelanggaran khalwat atau ikhtilath bisa mengklaim bahwa ia dipaksa melakukan perbuatan itu, dan jika terbukti, hukuman bagi terdakwa satunya akan digandakan. Standar mengenai barang bukti adalah sama seperti yang dikemukakan di dalam KUHAP dan keputusan hakim “dalam semangat melindungi reputasi dan nama baik seseorang seperti yang telah dinyatakan dalam hukum Islam”. Jika kasus ini tidak terbukti, maka yang menuduh akan dicambuk, sebagai pelanggar khalwat. Seorang perempuan yang mengakui bahwa ia dipaksa untuk melakukan zina dapat menuduh laki-laki yang memaksanya tersebut dengan kasus perkosaan. Tuduhan tersebut harus diserahkan kepada seorang penyidik, 64
63
Ikhtilath, perbuatan yang melibatkan seorang laki dan seorang perempuan yang hanya boleh dilakukan oleh suami istri seperti berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, tidur bersama atau tidak menutup aurat dihadapan lawan jenis yang bukan muhrim;
Usulan revisi, Bab V, Pasal 16-18.
Sebuah pengakuan hanya akan berimplikasi pada orang yang melakukan pengakuan, bukan pasangan atau partnernya. Ada lagi sebuah ketentuan yang menarik di dalam perubahan yang diusulkan: seorang suami atau istri yang melihat suami atau istrinya melakukan khalwat, ikhtilath atau zina tetapi yang tidak memiliki bukti lain dapat bersumpah dihadapan hakim, dengan menyebut nama Allah sebanyak lima kali. Jika suami atau istrinya tidak mengakui, ia juga harus melakukan sumpah dengan cara yang sama dan menyatakan bahwa ia tidak melakukan perbuatan itu. Jika keduanya bersumpah, kedua-duanya tidak akan dihukum tetapi keduanya secara permanen akan diceraikan.
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
bersama dengan sebuah pernyataan penuh dan bukti awal untuk mendukung tuduhannya. Jika tuduhannya terbukti, pemerkosa akan menerima hukuman dua kali lipat dari hukuman normal untuk kasus zina, yaitu 200 cambukan. Hakim mempunyai kebijaksanaan untuk menetapkan apakah mengganti sebagian atau seluruh hukuman cambuk dengan denda atau penjara. Satu cambukan sama dengan dua bulan penjara atau denda Rp 1 juta.65 Jika tuduhannya tidak terbukti, perempuan tersebut akan dinyatakan bersalah melakukan tindak kejahatan hudud – membuat tuduhan palsu perkosaan – dan dikenai sebanyak 80 cambukan. Jika tuduhan perkosaan tidak terbukti, tetapi jelas bahwa perbuatan intim telah terjadi, ikhtilath atau zina, kedua pelaku akan menerima hukuman yang telah ditentukan. Perubahan yang diusulkan ini sangat merugikan pihak korban perkosaan – yang memberi kesan perempuan sudah pasti bersalah melakukan hubungan seksual haram, kecuali jika terbukti sebaliknya.66
B.
USULAN UNTUK QANUN YANG BARU
Prof. Dr. H. Al-Yasa’ Abubakar, ketua kantor Dinas Syari’at Islam di Banda Aceh, menekankan bahwa meskipun tujuannya adalah untuk menerapkan Syari’at Islam secara kaffah, prosesnya harus pelan-pelan dan tidak tergesa-gesa. Tak seorangpun yang ingin buruburu mensahkan qanun-qanun yang baru : tidak ada qanun baru yang berlandaskan Syari’at yang dikeluarkan pada tahun 2004 dan 2005, dan revisi terhadap qanun yang sudah ada menjadi lebih penting dari pada pengeluaran qanun yang baru. Meskipun begitu, ada tekanan dari masyarakat untuk menerapkan Syari’at terhadap kasus korupsi, pencurian dan pembunuhan, dan kantornya (Dinas Syari’at Islam) sedang menyusun “konsep-konsep” untuk memperluas jangkauan Syari’at ke tindak kejahatan ini. Pencurian adalah tindak kejahatan hudud, dan hukuman yang ditetapkan yaitu potong tangan. Prof. Dr. Abubakar mengatakan bahwa seseorang tidak dapat menerapkan hukum Syari’ah kepada kasus pencurian tanpa menerapkan hukuman potong tangan, tetapi hal itu bukan berarti hukuman ini akan pernah diterapkan. Ia meragukan bahwa sebagian besar rakyat Aceh akan mendukung hukuman semacam itu.
65
Pasal 36 mengenai usulan revisi. Mengenai bagaimana peraturan hukum yang sama mempengaruhi perempuan di Pakistan, lihat “Double Jeopardy: Police Abuse of Women in Pakistan”, Human Rights Watch, 1992.
66
Page 17
Pembunuhan agak berbeda, katanya. Gagasan mengenai pembayaran darah kepada korban telah diperkenalkan oleh mantan wakil gubernur Azwar Abu Bakar sebagai sebuah bentuk rekonsiliasi setelah konflik.67 Jika keluarga bersedia menerima pembayaran ganti rugi dari pelaku untuk mendapatkan ampunan, maka tak hanya upaya rekonsiliasi akan semakin maju, namun penghuni penjara juga akan berkurang. Jika keluarga korban menolak pembayaran ganti rugi, hukuman bagi pelaku adalah hukuman mati.68 Selain membuat qanun mengenai tindak kejahatan lain, “konsep-konsep” yang lain juga sudah menanti, seperti usulan untuk memisahkan murid laki-laki dan perempuan di dalam kelas di sekolah-sekolah. “Ini bukan Aceh yang saya kenal”, seorang perwira polisi Aceh yang prihatin dengan perubahan yang terjadi di Aceh berkata.69 Ia dan beberapa ulama yg ditemui Crisis Group menyadari sulitnya menerapkan Syari’at Islam secara bertahap. Secara ideal, menurut mereka, seluruh hukum pidana harus berada dalam satu qanun, yang meliputi hudud, ta’zir dan qishash-diyat (pembunuhan dan penganiayaan), dan semacam KUHAP Syari’at dalam qanun kedua, tetapi tidak seorangpun di Aceh yang memiliki sumber daya atau waktu untuk melakukan hal itu.70 Sementara itu, kabupaten-kabupaten terus melangkah dan mengeluarkan peraturan mereka sendiri yang kadang-kadang hanya mengambil hukum dasar yang ada dalam buku di tingkat propinsi dan maju satu langkah kedepan. Di Bireuen, sebuah qanun yang melarang seluruh kendaraan umum dan pribadi beroperasi di jalan umum selama shalat Jum’at telah mulai diterapkan pada bulan Juni 2006 dengan potensi untuk menganggu perdagangan Medan-Aceh.71 Di Takengon, sebuah peraturan melarang perempuan keluar setelah jam 10 malam tanpa muhrimnya (suaminya atau saudara laki-lakinya); jika melanggar, mereka bisa dituntut secara hukum menurut qanun khalwat.72
67
Lihat laporan Crisis Group, Aceh: Sekarang Bagian yang Sulit, op. cit. 68 Wawancara Crisis Group, Al-Yasa’ Abubakar, 19 Juni 2006. 69 Wawancara Crisis Group, Polda Banda Aceh, 15 Juni 2006. 70 Al-Yasa’ Abubakar, op. cit., hal. 201 71 “Bireuen Lumpuh”, Waspada, 17 Juni 2006. Peraturan mengenai hal tersebut yaitu Qanun 11/2004. 72 Dewi Nova, Andy Yentriyani dan Ismail Hasan, “Draft Kertas Kebijakan Materi Dialog Kebijakan Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh”, 14 Oktober 2005, hal.25.
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
VI. KESIMPULAN Para pejabat Aceh yang bertanggung jawab menerapkan Syari’at sangat percaya bahwa jika standar moral dipulihkan dan rakyat Aceh menjadi Muslim yang lebih baik, maka mewujudkan tujuan yang lain seperti perdamaian, rekonstruksi dan rekonsiliasi akan lebih mudah. Mereka percaya bahwa kegagalan untuk menegakkan Syari’at di masa lalu telah menyebabkan rakyat Aceh mengalami konflik dan bahwa konflik telah menimbulkan berbagai penyakit sosial yang mana kepatuhan yang lebih ketat terhadap Islam akan dapat membantu menyembuhkan hal itu. Mereka juga menganggap bahwa Aceh dapat menemukan jalan untuk melaksanakan Syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai rakyat Aceh. Namun ada dinamika lain yang sedang berlangsung. Fokus terhadap moralitas tampaknya telah jadi tujuan itu sendiri, dan kehadiran WH juga telah mendorong aksi main hakim sendiri yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Kecenderungan bagi birokrasi agama yaitu tumbuh dan menuntut lebih banyak dana dari anggaran negara, yang berarti tugasnya juga harus ditambah. Dalam setahaun, anggota WH di Banda Aceh telah meningkat lebih dari dua kali lipat dari 13 jadi 33 orang Bersamaan dengan makin gemuknya birokrasi, berarti juga makin banyak lulusan Institut Agama Islam Negeri ar-Raniry di Banda Aceh yang direkrut ke birokrasi. Universitas ini secara umum dikenal sebagai pusat Islam moderate, namun organisasi-organisasi seperti Hizb-utTahrir tampaknya juga terus tumbuh disana dan di kampus-kampus lain di Aceh. Generasi yang lebih tua jelas dipengaruhi oleh nilai-nilai ke-Aceh-an, akan tetapi berbeda dengan generasi yang lebih muda, yg lebih terpengaruh oleh islam global, mereka mungkin akan lebih keras penerapan syari’at islam.
Page 18
Mendirikan infrastruktur agama bukan hal mudah. Polisi di Aceh juga tak senang ditugaskan untuk menegakkan Syari’at atau melihat wewenang mereka beralih ke WH. Para donor mungkin tidak akan bersedia meneruskan bantuan dana mereka untuk reformasi polisi di Aceh jika WH akan memainkan peran yang lebih aktif. Efektifitas dari aspek mempermalukan pelanggar hukum dimuka umum juga dalam pertanyaan, meskipun mungkin masih terlalu awal untuk mengambil kesimpulan akhir. Pejabat agama mengatakan perjudian telah menurun drastis semenjak hukuman cambuk diperkenalkan tetapi seluruh penjudi yang tertangkap adalah pejudi kelas teri, bahkan beberapa dari mereka juga tak jera, beberapa dari mereka sudah dihukum untuk keduakalinya. Banyak yang percaya di Aceh bahwa perempuan dan kaum miskin menjadi target utama penegakan Syari’at, meskipun dukungan terhadap perluasan Syari’at tampaknya tetap kuat, terutama di wilayah pedesaan. Seorang pejabat senior GAM mengatakan Syari’at merupakan sebuah dilema yang nyata bagi kepemimpinan GAM: mereka tidak tertarik dengan isu ini, tetapi hal ini merupakan hal yang penting bagi para pendukungnya. Para pemimpin GAM juga harus mempertimbangkan hal ini, khususnya karena pilkada sudah semakin dekat. Pada saat daerah lain di Indonesia mengamati Aceh untuk melihat bagaimana Syari’at berjalan, mereka sebaiknya juga mengamati dinamika ini secara dekat. Tetapi untuk para pendukung penerapan Syari’at secara kaffah, kekacauan birokrasi, efektifitas dan bahkan keadilan merupakan persoalan sekunder. Persoalannya hukum mana yang akan berlaku, hukum hukum buatan manusia atau hukum Allah.
Jakarta/Brussels, 31 Juli 2006
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
Page 19
APPENDIX A PETA INDONESIA
Courtesy of The General Libraries, The University of Texas at Austin
Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Crisis Group Asia Report N°117, 31 Juli 2006
Page 20
APPENDIX B DAFTAR ISTILAH
Dinas Syariat
Kantor/lembaga yang mengurusi penerapan Syari’at Islam
fiqih
fikih
hadith
Ucapan, perbuatan Nabi Muhammad, salah satu sumber Hukum Islam
hudud
pelanggaran kriminal yang hukumannya secara spesifik telah disebutkan dalam Al Quran
ijtihad
Interpretasi/penafsiran hukum terhadap satu masalah yang status hukumnya tidak secara jelas disebutkan dalam Al Quran dan hadits; ijtihad juga merupakan sumber hukum Islam
ikhtilath
Perbuatan yang melibatkan lelaki dan perempuan yang hanya boleh dilakukan oleh suami istri
jinayat
pelanggaran kriminal
khalwat
hubungan terlarang antara lelaki dan perempuan
khamar
minuman beralkohol yang dilarang menurut hukum Islam
mahkamah syariah
pengadilan untuk meutuskan persoalan-persoalan Syari’at Islam
maisir
judi
mualamat
transaksi ekonomi
muhtasib, pl. muhtasib I
Petugas yang bekerja menegakkan syari’at Islam
qadi
hakim
qanun
sebutan untuk peraturan daerah (perda) di Aceh
qishash-diyat
Pelanggaran hukum berkaitan dengan pembunuhan dan penganiayaan
Shari’at
Hukum Islam
ta’zir
pelanggaran diluar hudud dan qishash yang mana hukumannya tidak ditetapkan secara spesifik dalam Al Quran
uleebelang
Bangsawan Aceh
wilayatul hisbah (WH)
Polisi Syari’at Hubungan seksual atas dasar suka sama suka antara lelaki dan perempuan yang bukan suami istri
zina