BAB II PENGATURAN TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) DALAM QANUN NOMOR 13 TAHUN 2003
A. Peradilan Syari’at di Nanggroe Aceh Darussalam Berpijak pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat dipelajari mengenai kewenangan yang diperoleh keempat lingkungan peradilan. Pada prinsipnya kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, peradilan syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang putusannya ditentukan pada Mahkamah Syar’iyah Kota atau Kabupaten untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi untuk tingkat banding, jika dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, mempunyai keunikan yang berbeda dengan badan peradilan khusus lainnya karena ia merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenanganya menyangkut kewenangan peradilan umum. Mahkamah syar’iyah propinsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan mahkamah syar’iyah dalam tingkat banding. Mahkamah Syar’iyah Propinsi juga bertugas dan berwenang
Universitas Sumatera Utara
mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar mahkamah syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara sengketa wewenang antara mahkamah syar’iyah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama dan tingkat terakhir. Mahkamah syar’iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia.
Kewenangan
mahkamah
syar’iyah
sebagaimana termaksud di atas, diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Seperti diketahui bahwa syari’at Islam mencakup seluruh aspek hukum, baik dalam aspek hukum publik maupun privat. Oleh karenanya kekuasaan dan kewenangan mahkamah syar’iyah yang ditetapkan dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 mencakup pula seluruh aspek hukum yang memerlukan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan. Pokok pikiran tersebut antara lain termaktub dalam penjelasan umum angka 4 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam adalah untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara dalam bidang:41 1. Ahwal al-Syakhshiyah meliputi: perkawinan, waris, wasiat, zakat, infak, dan ekonomi syariah;42 2. Muamalah yang meliputi hukum kebendaan dan perikatan: jual beli, hutang piutang, qiradh (permodalan), musaqah, muzaraah, mukhabarah (bagi hasil ____________________ 41 Lihat Pasal 49 dan penjelasan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam. 42 Lihat Penjelasan Pasal 49 Huruf a Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam dan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Universitas Sumatera Utara
pertanian), wakilah (kuasa), syirkah (perkongsian), ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syufah (hak langgeng), ruhnun (gadai), ihyaul mawat (pembukaan lahan), ma’din (tambang), luqathah (barang temuan), perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful, perburuhan, harta rampasan, waqaf, hibah, shadaqah dan hadiah;43 3. Jinayah,44 yang terdiri dari: a. Hudud45 yang meliputi: zina, menuduh berzina, mencuri, merampok, minuman keras dan Napza, murtad, pemberontakan; b. Qishash46 yang meliputi: pembunuhan, penganiayaan; c. Ta’zir47 yang meliputi: maisir (perjudian), penipuan, pemalsuan, khalwat, meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan. ____________________ 43
Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf b. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. 44 Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya. 45 Hudud adalah pelanggaran yang sanksinya sudah ditentukan oleh Allah dan tidak berubah; ia disebut juga sebagai haqq Allah semata. 46 Qishash yaitu pelanggaran yang sanksinya sudah ditentukan oleh Allah, tapi dapat berubah disebabkan oleh yang lain; ia disebut juga sebagai pencampuran antara haqq Allah dengan hak hamba. Umpama seseorang membunuh kawannya. Sanksi bagi yang melakukan pembunuhan dengan sengaja adalah dibunuh lagi (QS. Al-Ma’idah (5): 45); akan tetapi, pembunuh dapat terbebas dari sanksi tersebut apabila keluarga yang dibunuh memaafkannya, dan sebagai sanksi yang harus dijalankannya adalah diyat, yaitu pembunuh memberikan sejumlah harta kepada keluarga yang dibunuh. 47 Ta’zir yaitu suatu tindak pidana atau kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, tetapi sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Umpamanya dalam Al-Quran terdapat cegahan untuk meminum khamr; akan tetapi dalam Al-Quran dan sunnah tidak terdapat sanksi bagi yang meminum khamr; disebut juga sebagai hak hamba semata.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 53 dan Pasal 54 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam menyatakan bahwa: Hukum materiel dan hukum formiel yang akan digunakan dalam menyelesaikan perkara ahwal al-syakhshiyah, mu’amalah dan jinayah adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syari’at Islam yang akan diatur dalam qanun.48 Adapun qanun tentang jinayah yang sudah berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah: 1. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya; 2. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir (judi); dan 3. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (mesum). B. Pengertian Jarimah dan Maisir 1. Pengertian Jarimah Pengertian jarimah dalam hukum pidana Islam berasal dari kata “jarama” yang sinonimnya “kasaba waqatha’a” artinya berusaha dan bekerja, hanya saja pengertian usaha di sini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia. Definisi jarimah dari pengertian tersebut adalah “melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan dan jalan yang lurus (agama), seperti yang dikutip Ahmad Wardi Muslich dari Muhammad Abu Zahrah dalam kitab Al ‘Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy.49 ____________________ 48
Lihat Pasal 53 dan 54 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat
Islam. 49
Ahmad Wardi Muslich , Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fikih Jinayah, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, cetakan I, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Al Mawardi, seperti dikutip Ahmad Wardi Muslich, jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam dengan hukum had atau ta’zir.50 Para fuqaha menyatakan bahwa lafal jinayah sama artinya dengan jarimah. Pengertian jinayah adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda atau lain-lainnya.51 Sayid Sabiq, seperti dikutip Ahmad Wardi Muslich mendefinisikan jinayah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang dilarang, dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk melakukannya karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan, atau harta benda”.52 Ahmad Hanafi memberi pengertian jinayah dalam Bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah peristiwa pidana, delik atau tindak pidana. Para fuqaha sering pula menggunakan istilah jinayah atau jarimah. Istilah jarimah mempunyai kandungan arti yang sama dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Jarimah merupakan kata jadian (masdar) dari segi bahasa dengan asal kata jarama yang artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah.53 ____________________ 50
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, cetakan I. hal. ix – x. 51 Ahmad Wardi Muslich, op cit., hal. 13. 52 Ibid, hal. 10. 53 Makhrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, Logung, Jogjakarta, 2004, cetakan I, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Dede Rosyada dalam bukunya “Hukum Islam dan Pranata Sosial” seperti yang dikutip Zainuddin Ali bahwa hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban) sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al Quran dan Hadist. Tindakan kriminal yang dimaksud adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist.54 “Hukum
pidana
Islam”
merupakan
Syari’at
Allah
yang
mengandung
kemaslahatan umum kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syari’at Islam dimaksud, secara materiel mengandung kewajiban bagi setiap manusia untuk melaksanakannya.55 Topo Santoso berpendapat, kejahatan (jarimah) jinayat didefinisikan sebagai larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syari’at. Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak melakukan (ommission) suatu perbuatan yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh Syari’at adalah kejahatan.56 ____________________ 54
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, cetakan I, hal. 1. Ibid. 56 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, 2003, cetakan I, hal. 20. 55
Universitas Sumatera Utara
2. Pengertian Maisir (Perjudian) Maisir (perjudian) dalam Bahasa Arab bernama “qimar”. Menurut Aunur Rahim Faqih, qimar adalah “permainan” juga taruhannya apa saja, boleh uang dan boleh barang-barang, yang menang menerima dari yang kalah.57 Dalam kamus, Poerwadarminta memberi pengertian judi adalah permainan dengan bertaruh uang seperti main dadu, main kartu, dan sebagainya.58 Pengertian maisir dalam Qanun No. 13 Tahun 2003, dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20, maisir adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran.59 Menurut Bambang Marhijanto bahwa maisir adalah permainan yang memperebutkan uang.60 Syamsuddin Adz Dzahabi mendefinisikan judi adalah suatu permainan atau undian dengan memakai taruhan uang atau lainnya, masing-masing dari keduanya ada yang menang dan ada yang kalah (untung dan ruginya).61 Judi dalam Islam dinamai dengan “maisir” yakni tiap-tiap sesuatu yang ada dalamnya pertaruhan maka itu adalah judi. Judi dalam agama Islam bukan hanya terletak dalam ____________________ 57
Aunur Rahim Faqih, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Mizan, Bandung, 1992, hal. 17. 58 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 254. 59 Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur berkaitan pelaksanaan dan Syari’at Islam, Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005, hal. 271. 60 Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Tenang, Surabaya, 1995, hal. 175. 61 Syamsuddin Adz Dzahabi, 75 Dosa Besar, Media Idaman Press, Surabaya, 1992, hal. 146.
Universitas Sumatera Utara
“permainan” tetapi juga terletak dalam sekian perbuatan yang didalamnya ada pertaruhan. Pertaruhan itu bukan saja uang, tetapi juga boleh rumah, mobil, tanah, sawah, padi, gandum, anak, isteri/suami, dan lain-lain.62 Permainan judi dari masa ke masa banyak jenisnya yang selalu berkembang modus operandinya, namun di Indonesia judi yang terkenal diantaranya adalah:63 1. Main dadu (ada dadu petak enam, petak empat). Ada dadu yang dilempar dan ada dadu yang diputar. 2. Main ceki (kartu-kartu kecil yang diberi bergambar-gambar undian yang tidak dapat dibaca kecuali oleh penjudi-penjudi. 3. Main berambung duit (biasanya dua buah duit logam dicat mukanya dengan cat hitam atau cat putih, lalu diambang. Mana yang ke atas catnya dan sesuai dengan terkaannya maka itulah yang menang). 4. Main genap ganjil (serupa juga dengan dadu, tetapi matanya dua macam saja, yaitu genap atau ganjil). 5. Main Rulet (ini biasanya di Kasino, yaitu main putar gundu dan kalau gundu itu berhenti pada tempat atau nomor yang diterka menanglah orang yang sesuai terkaannya). 6. Main kartu (terka-terkaan. Barang siapa yang cocok terkaannya itulah yang menang). ____________________ 62
Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 2006, hal. 55. Sucipto, Shalat Mencegah Perbuatan Keji dan Mungkar, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2003, hal. 47. 63
Universitas Sumatera Utara
7. Main hwa-hwee (gambar-gambar hewan. Barang siapa yang keluar gambar yang diterkanya itulah yang menang). 8. Main totalisator (pertaruhan di gelanggang pacu kuda. Barang siapa yang dulu kuda terkaannya maka ia mendapat sekian uang yang telah ditentukan oleh bandarnya). 9. Main Domino (semacam tulang tipis pakai mata, yang diadu-adu matanya. Barang siapa yang lekas habis batunya itulah yang menang. 10. Main Skhak, yaitu permainan perang-perangan, buahnya ada yang bernama gajah, ada yang bernama benteng, ada yang bernama serdadu, ada yang bernama menteri. Kalau salah seorang yang main dapat menangkap raja maka dialah yang menang. 11. Main lotere (main untung-untungan. Kalau kebetulan nomor yang keluar sesuai dengan nomor yang ada pada kita maka itu yang menang, dapat untung sekian banyak dan siapa yang tidak keluar angkanya rugilah ia). 12. Main judi anak-anak (melempar duit, melempar kelereng, dan lain-lain sebagainya). Guntur mengartikan judi adalah setiap permainan untung-untungan untuk mendapatkan uang dengan cara bertaruh atau setiap permainan harta dengan bertaruh yang di dalamnya ada unsur-unsur tebakan.64
____________________ 64
Guntur, Pendidikan Agama Islam, Putra Agung, Medan, 1996, hal. 146.
Universitas Sumatera Utara
Zainuddin Ali menyatakan, judi adalah suatu aktivitas untuk mengambil keuntungan dari bentuk permainan seperti kartu, adu ayam, main bola, dan lain-lain permainan, yang tidak memicu pelakunya berbuat kreatif.65 Pemain catur yang mempertaruhkan sejumlah uang tertentu jika ia kalah dari lawannya, tidak dikatakan berjudi. Lantaran uang yang dikorbankannya menjadi pemicu agar ia berusaha memenangkan permainannya. Dengan memenangkan permainan berarti prestasinya akan meningkat. Namun jika uang atau harta yang dipertaruhkan itu tidak untuk tujuan meningkatkan prestasi para pemainnya maka pertaruhan tersebut dapat dikategorikan sebagai perjudian. Jika pertaruhan antara keduanya atau salah satunya dimaksudkan untuk melemahkan, deliknya berubah menjadi penyuapan.66 Dilihat dari hukum Islam, maka larangan tentang perjudian dirangkaikan dengan khamar. Berdasarkan hal dimaksud, cukup beralasan jika perjudian termasuk salah satu tindak pidana, yang konsekuensi atau sanksi hukumnya disejajarkan dengan tindak pidana khamar. Dilihat dari bahaya perjudian maka dapat dikatakan bahwa salah satu tindakan kriminal yang membawa dampak negatif, di antaranya adalah: 1) merusak
ekonomi
keluarga,
2)
mengganggu
keamanan
masyarakat, 3)
melumpuhkan semangat berkreasi, 4) menghabiskan waktu, 5) dan lain-lain. P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan pengertian judi adalah: “Setiap permainan yang pada umumnya menggantungkan kemungkinan diperolehnya keuntungan itu pada faktor kebetulan juga apabila kesempatan itu menjadi lebih besar dengan keterlatihan yang lebih besar tinggi dari pemainnya, termasuk juga permainan ____________________ 65 66
Zainuddin Ali, op cit., hal. 92. Ibid. hal. 92 – 93.
Universitas Sumatera Utara
judi adalah pertaruhan atau hasil pertandingan, atau permainan-permainan lain yang tidak diadakan antara mereka yang turut serta sendiri di dalam permainan itu, demikian pula setiap pertaruhan yang lain”.67 Al Yasa’ Abubakar menyatakan ada dua unsur utama dalam perbuatan judi yaitu: pertama sekali ada taruhan (tebakan) dan yang keduanya ada pembayaran oleh pihak yang kalah (kalah bertaruh) kepada pihak yang menang (menang dalam pertaruhan tersebut). Taruhan (tebakan) adalah pernyataan atau perbuatan untuk memilih salah satu dari beberapa kemungkinan yang didasarkan atas faktor kebetulan (untung-untungan).68 Syarat kedua, ada pembayaran kepada pihak yang menang dalam perjudian tradisional, pembayaran dilakukan oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang secara langsung. Dalam perjudian yang rumit, biasanya ada pihak ketiga yang menjadi bandar yang akan mengelola alur keuangan dan pembayaran dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang, di samping mengambil sebagiannya bahkan mungkin yang terbanyak untuk keuntungan mereka sendiri. Dengan demikian, secara langsung atau tidak, di dalam perjudian pihak yang kalahlah yang membayar kepada pihak yang menang. Kalau yang membayar tersebut pihak lain, bukan pihak yang bertaruh, maka pembayaran tersebut tidak termasuk judi, tetapi dapat dikelompokkan ke dalam pemberian hadiah. Begitu juga kalau mereka hanya menebak dan tidak ada ____________________ 67
P.A.F Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1979, hal. 12 68 Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2005, hal. 268.
Universitas Sumatera Utara
pembayaran maka perbuatan tersebut bukanlah judi, walaupun barangkali sudah menyerempet kepada perbuatan judi.69 Sedangkan menurut Zubir Rahman, pengertian perjudian adalah sebagai berikut:70 1. Orang yang turut campur dalam permainan judi buntut tebak angka, baik sebagai Bandar maupun bertugas sebagai pengedar, menjualkan kupon-kupon kepada umum, serta perbuatan-perbuatan yang sifatnya campur di dalam permainan judi tersebut, termasuk kualifikasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 303 ayat (1) sub 1e, 2e, 3e jo ayat (3) KUHP. 2. Mereka-mereka yang turut campur dalam permainan tersebut bukan termasuk orang yang membantu, karena mereka-mereka tersebut mendapat bagian dari hasil keuntungan permainan tersebut, patut diakui bahwa permainan judi tebak angka tersebut tidaklah dapat dilakukan oleh bandar saja, tetapi menghendaki turut campur dari pihak orang lain, seperti pengedar kupon, pencatat nama pemasang dan turut pula membayar kepada pemenang. Jarimah atau tindak pidana yang terdapat dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir (perjudian) diancam dengan hukuman ta’zir dengan 3 (tiga) jenis hukuman (‘uqubat), yaitu: a. hukuman cambuk; b. hukuman denda; dan c. hukuman administratif. Berdasarkan qanun-qanun Aceh yang sudah ada hanya terdapat satu jarimah atau perbuatan pidana yang termasuk dalam golongan jarimah hudud, yaitu jarimah atau perbuatan pidana khamar (minum minuman keras dan sejenisnya) yaitu Qanun ____________________ 69
Ibid. Zubir Rahman, Eksistensi Jaksa di Tengah-tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 80. 70
Universitas Sumatera Utara
Nomor 12 Tahun 2003, sedangkan jarimah atau perbuatan pidana maisir (judi) yang diatur dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 dan jarimah khalwat dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 diancam dengan hukuman ta’zir seperti yang ditegaskan dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Bab VII tentang ketentuan ‘uqubat Pasal 23 ayat 3; pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, 6, dan 7 adalah jarimah ta’zir. Abdul Qadir Audah memberikan makna ta’zir adalah pengajaran
atas
kesalahan-kesalahan yang tidak ditentukan oleh syara’ ancaman hukumannya. Sebagai perbuatan maksiat yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman ta’zir, tindak pidana yang diancam dengan hukuman ta’zir adalah setiap tindak pidana selain tindak pidana atau jarimah hudud, qishash, dan diyat, karena ketiga tindak pidana atau jarimah ini memiliki hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya oleh syara’.71 Pelaksanaan hukuman ta’zir baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nash atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.72 Abdurrahman Al Maliki seperti dikutip Asadulloh Al Faruk menyatakan: “Secara bahasa, ta’zir bermakna al-man’u artinya pencegahan. Menurut istilah, ta’zir bermakna at-ta’dib (pendidikan) dan at-tankil ____________________ 71
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 3, Alih Bahasa, Nor Hasanuddin, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hal. 451. Lihat Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2003, hal. 264. 72 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
(pengekangan). Adapun definisi ta’zir secara syar’i adalah sanksi yang ditetapkan atas tindakan maksiat yang di dalamnya tidak ada had dan kifarat”.73 Asadullah Al Faruk merumuskan ciri-ciri tindak pidana ta’zir yaitu:74 Tindak pidana ta’zir merupakan tindak pidana yang paling luas cakupannya, yaitu pelanggaran atau kemaksiatan apa saja selain hudud dan qishas: 1. Landasan dan ketentuan hukumannya didasarkan pada ijma’. 2. Mencakup semua bentuk kejahatan/kemaksiatan selain hudud dan qishas. 3. Pada umumnya ta’zir terjadi pada kasus-kasus yang belum ditetapkan ukuran sanksinya oleh syara’, meskipun jenis sanksinya telah tersedia. 4. Hukuman ditetapkan oleh penguasa atau qadhi (hakim). 5. Didasari pada ketentuan umum Syariat Islam dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Makhrus Munajat mendefinisikan jarimah ta’zir yaitu semua jarimah yang jenisnya dan sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa demi tegaknya kemaslahatan ummat dengan berdasarkan pada nilai keadilan.75 Imam Al Mawardi seperti dikutip Ahmad Wardi Muslich mendefinisikan ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’. Ahmad Wardi menyimpulkan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditentukan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada ____________________ 73
Asadulloh Al Faruk, Hikum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hal. 54. 74 Ibid, hal. 55. 75 Makhrus Munajat, op cit., hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja dalam menentukan hukuman tersebut, artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya, dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa ciri khas dari jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:76 1) Hukuman tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan batas maksimalnya. 2) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa. Tujuan diberikannya hak kepada penguasa untuk menentukan jarimah-jarimah ta’zir dan hukumannya adalah
agar
mereka
dapat
mengatur
masyarakat
dan
memelihara
kepentingannya serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak. Ta’zir bersifat fleksibel dapat menyesuaikan dengan kemaslahatan yang selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dari suatu daerah atau negara dengan tujuan agar penguasa atau pemerintah dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.77 Adapun urgensi pembagian jarimah kepada hudud, qishas, dan jarimah ta’zir ____________________ 76
Ahmad Wardi Muslich, op cit., hal. 19. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal. 140. 77
Universitas Sumatera Utara
adalah: 1) Segi pengampunan Tidak ada pengampunan sama sekali dalam jarimah hudud, baik dari korban atau walinya maupun dari penguasa tertinggi (kepala negara). Akan tetapi pada jarimah qishas dan diat, pengampunan bisa diberikan oleh korban atau keluarganya. Pengampunan tersebut berpengaruh terhadap hukuman, sehingga hukuman pokok, yaitu qishas menjadi gugur dan diganti dengan hukuman diat. Kalau diat dimaafkan juga maka dari segi hukuman yang berkaitan dengan hak manusia, dia sudah bebas. Akan tetapi, karena dalam jarimah qishas dan diat terdapat hak Allah (hak masyarakat) di samping hak manusia maka dalam hal ini hakim masih dibolehkan untuk menjatuhkan hukuman ta’zir sebagai imbangan dari hak Allah tersebut. Dalam jarimah ta’zir sifat pengampunannya lebih luas. Pengampunan tersebut bisa diberikan oleh korban dalam hal yang menyangkut hak individu dan bisa juga oleh penguasa dalam hal yang menyangkut hak masyarakat. 2) Segi kompetensi hakim Berdasarkan jarimah hudud, apabila sudah dapat dibuktikan maka hakim hanya tinggal memutuskan dan melaksanakan hukuman sesuai dengan ketentuan yang ada dalam syara’, tanpa mengurangi, menambah, atau menggantinya dengan hukuman yang lain. Sedangkan dalam jarimah qishash dan diat prinsipnya sama dengan jarimah hudud. Hanya perbedaannya kalau korban memberikan pengampunan baik dari hukuman qishash maupun diat
Universitas Sumatera Utara
maka pengampunan tersebut bisa dipertimbangkan oleh hakim, sehingga keputusan hukuman (vonis) bisa diubah. Hakim mempunyai kekuasaan yang luas dalam jarimah ta’zir, mulai dari memilih macamnya hukuman yang sesuai, sampai kepada memberatkan atau meringankan hukuman atau membebaskannya, karena dalam jarimah ta’zir hakim mempunyai kebebasan untuk berijtihad. 3) Segi keadaan yang meringankan Hukuman tidak terpengaruh dalam jarimah
hudud dan qishash oleh
keadaan-keadaan tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan jarimah, kecuali apabila pelaku tidak memenuhi syarat-syarat taklif, seperti gila atau di bawah umur. Akan tetapi dalam jarimah-jarimah ta’zir, keadaan korban atau suasana ketika jarimah itu dilakukan dapat mempengaruhi berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan kepada pelaku. 4) Segi alat-alat pembuktian Syara’ telah menetapkan bilangan saksi tertentu untuk jarimah-jarimah hudud dan qishash apabila alat pembuktian yang digunakan berupa saksi. Misalnya dalam membuktikan jarimah zina diperlukan empat orang saksi yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri terjadinya jarimah
tersebut.
Sedangkan untuk jarimah hudud yang lain dan jarimah qishash serta diat, hanya diperlukan minimal dua orang saksi, Bahkan dalam jarimah ta’zir kadang-kadang hanya diperlukan seorang saksi saja.78 C. Pengaturan Maisir dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003
Universitas Sumatera Utara
Maisir berasal dari kata yasara atau yusr yang artinya mudah atau yasar yang artinya kekayaan. Salah satu bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan akan mendapatkan taruhan. Al-Qur’an Surat AlBaqarah Ayat 219 dan Surat Al-Maidah Ayat 90 dan 91 menegaskan bahwa dosa akibat maisir (perjudian) lebih besar daripada manfaatnya dan merupakan perbuatan syaitan yang wajib dijauhi oleh orang yang beriman. Di samping itu perbuatan maisir juga dipergunakan syaitan sebagai alat untuk menumbuhkan permusuhan dan kebencian di antara manusia terutama para pihak yang terlibat, serta menghalangi konsentrasi pelakunya dari perbuatan mengingat Allah SWT dan menunaikan shalat. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 219 yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayatayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir”.79 Al-Qur’an Surat Al-Maidah Ayat 90 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.80
____________________ 78
Ahmad Wardi Muslich, op cit. hal. 20 – 21. Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, PT. Karya Toha Putra, Semarang, 1995, hal. 53. 80 Ibid, hal. 176. 79
Al-Qur’an Surat Al-Maidah Ayat 91 yang artinya: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
Universitas Sumatera Utara
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.81 Berdasarkan ketiga surat tersebut, ulama fiqih sepakat menetapkan bahwa maisir (perjudian) itu haram hukumnya karena ada unsur taruhan.82 Maisir (perjudian) di Nanggroe Aceh Darussalam diatur dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 yang disahkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Juli 2003 oleh Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Abdullah Puteh tanggal 16 Juli 2003 dalam Lembaran Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 26 seri D Nomor 13 yang terdiri dari 34 Pasal. Sistematika Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) terdiri dari 10 Bab dan 34 Pasal dengan rincian sebagai berikut: Bab 1, Ketentuan Umum (Pasal 1, 20 angka); Bab 2, Ruang Lingkup dan Tujuan (Pasal 2 sampai dengan Pasal 3); Bab 3, Larangan dan Pencegahan (Pasal 4 sampai dengan Pasal 8); Bab 4, Peran Serta Masyarakat (Pasal 9 sampai dengan Pasal 13); Bab 5, Pengawasan dan Pembinaan (Pasal 14 sampai dengan 16); Bab 6, Penyidikan dan Penuntutan (Pasal 17 sampai dengan 22); Bab 7, Ketentuan ‘Uqubat (Pasal 23 sampai dengan Pasal 27); ____________________ 81 82
Ibid, hal. 177. Sayyid Sabiq, log cit., hal. 451.
Bab 8, Pelaksanan ‘Uqubat (Pasal 28 sampai dengan Pasal 31); Bab 9, Ketentuan Peralihan (Pasal 32); dan
Universitas Sumatera Utara
Bab 10, Ketentuan Penutup (Pasal 33 dan Pasal 34). Pengaturan
maisir
(perjudian)
dalam
Qanun Nomor 13 Tahun 2003
berdasarkan pertimbangan: a. Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan UndangUndang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, antara lain di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan, dan peran Ulama dalam penetapan kebijaksanaan daerah; b. Maisir termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam Syari’at Islam dan agama lain serta bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan maksiat lainnya. Di dalam penjelasan resmi, dalam bagian “umum” ditemukan uraian bahwa pada hakikatnya maisir (perjudian) adalah bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Namun melihat kenyataan dewasa ini, perjudian dengan segala macam bentuknya masih banyak dilakukan dalam masyarakat, sedangkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian masih memungkinkan legalisasi perjudian oleh pemerintah dengan alasan tertentu dan di tempat tertentu dan tentunya dapat menjerumus orang Islam dalam kemaksiatan tersebut. Tujuan larangan maisir (perjudian) adalah:83
Universitas Sumatera Utara
a. Memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan; b. Mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada maisir (perjudian); c. Melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul akibat kegiatan dan/atau perbuatan maisir (perjudian); d. Meningkatkan
peran
serta
masyarakat
dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan perbuatan maisir (perjudian). Berdasarkan penjelasan pasal demi pasal Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian) bahwa:84 a. Yang dimaksud dengan perbuatan yang mengarah kepada maisir (perjudian) seperti permainan domino, kartu, sabung ayam, taruhan permainan/olahraga, seperti bilyar, sepak bola, pacuan kuda, dan lain-lain. b. Yang dimaksud dengan pengaruh buruk yang timbul akibat kegiatan dan/atau perbuatan maisir (perjudian) ialah seperti konflik dalam keluarga, perceraian, perkelahian, pembunuhan dan kejahatan lainnya. Ruang lingkup larangan maisir (perjudian) dalam qanun ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang mengarah kepada taruhan dan ____________________ 83 84
dapat
Lihat Pasal 3 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian). Lihat Penjelasan Pasal 3 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).
berakibat
kepada
kemudharatan
bagi
pihak-pihak yang bertaruh dan
orang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan tersebut.85 Adapun perbuatanperbuatan yang dilarang dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Pasal 4: maisir hukumnya haram.86 Pasal 5: setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir.87 Pasal 6: (1) setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir. (2) setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir.88 Pasal 7: instansi pemerintah, dilarang memberi izin usaha penyelenggaraan maisir.89 Menurut penjelasan resmi dalam Pasal 7 diberi pengertian bahwa yang dimaksud dengan izin usaha termasuk izin untuk menyelenggarakan keramaian,
pameran,
pertujukan, dan lain-lain.90 Berdasarkan
kutipan
di atas ditegaskan tentang hukum haramnya maisir
(perjudian). Keharaman ini seperti terlihat dalam Pasal 5, 6, dan 7 meliputi perbuatan maisir atau judi itu sendiri, kegiatan atau usaha yang secara sengaja dibuat agar dapat digunakan orang lain untuk melakukan maisir atau perjudian, serta pemberian fasilitas dan perlindungan untuk perbuatan maisir atau perjudian, baik oleh orang pribadi ataupun badan hukum termasuk pemerintah. ____________________ 85
Lihat Pasal 2 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). Lihat Pasal 4 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 87 Lihat Pasal 5 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 88 Lihat Pasal 6 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 89 Lihat Pasal 7 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 90 Lihat Penjelasan Pasal 7 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 86
Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) juga mengatur tentang peran serta setiap anggota masyarakat dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan maisir (perjudian). Setiap anggota masyarakat diharuskan melapor
Universitas Sumatera Utara
kepada pejabat yang berwenang baik secara lisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya perbuatan maisir.91 Pelaku pelanggaran maisir (perjudian) baik orang pribadi, badan hukum atau badan usaha, instansi pemerintah yang tertangkap tangan oleh warga masyarakat, pelaku beserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yang berwenang.92 Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan jaminan keamanan bagi pelapor sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 dan/atau orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana dimaksud dalam pasal 10.93 Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 apabila lalai dan/atau tidak memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada pelapor dapat dituntut oleh pihak pelapor dan/atau pihak yang menyerahkan tersangka.94 Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa peran serta masyarakat untuk menanggulangi dan pemberantasan maisir (perjudian) sangat diharapkan, dan untuk itu para pelapor atau orang yang menangkap basah pelaku dapat menyerahkannya kepada pejabat yang berwenang dan berhak mendapat perlindungan yang memadai.
____________________ 91
Pasal 9 ayat (1) dan (2) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). Pasal 10 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 93 Lihat Pasal 11 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 94 Lihat Pasal 12 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 92
Universitas Sumatera Utara
Sekiranya pejabat berwenang tidak memberikan perlindungan, mereka dianggap bersalah dan dapat dituntut secara hukum. Ancaman hukuman atau sanksi terhadap perbuatan maisir (perjudian) dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut: Pasal 23: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan ‘uqubat cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali. (2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha Non Instansi Pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, dan 7 diancam dengan ‘uqubat atau denda paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah). (3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7 adalah jarimah ta’zir.95 Pasal 24: Denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) merupakan penerimaan Daerah dan disetor langsung ke Kas Baitul Mal.96 Pasal 25: Barang-barang/benda-benda yang digunakan dan/atau diperoleh dari jarimah maisir dirampas untuk Daerah atau dimusnahkan.97 Pasal 26: Pengulangan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7 ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal.98 Pasal 27: Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6: a. apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab; b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2), dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan.99 ____________________ 95
Lihat Pasal 23 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). Lihat Pasal 24 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 97 Lihat Pasal 25 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 98 Lihat Pasal 26 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 99 Lihat Pasal 27 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). 96
Universitas Sumatera Utara
Perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 diancam dengan hukuman ta’zir terdiri dari tiga jenis hukuman yaitu: hukuman cambuk, hukuman denda, dan hukuman administratif. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas bahwa setiap orang yang terbukti melanggar Pasal 5, yaitu melakukan perbuatan maisir (perjudian) dapat dijatuhi hukuman maksimal 12 kali cambukan dan minimal 6 kali cambukan. Hukuman untuk orang yang berjudi ditetapkan satu jenis saja, yaitu cambuk, tidak ada alternatif lain. Kebebasan yang diberikan kepada hakim hanyalah pada menentukan besar kecilnya hukuman, dan itu pun dibatasi lagi, hukuman minimalnya adalah separuh dari hukuman maksimal tidak boleh lebih rendah. Sedangkan terhadap orang atau badan usaha yang menyelenggarakan, memberikan fasilitas atau memberikan perlindungan kepada orang untuk melakukan perbuatan maisir (perjudian), diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa denda paling banyak Rp 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Terhadap pihak yang mengulangi kembali perbuatan pidana di atas, dapat dikenakan hukuman tambahan, dijatuhi hukuman yang lebih berat sampai sepertiga dari hukuman maksimal. Sekiranya pelanggaran tersebut di atas dilakukan oleh badan usaha, maka hukuman akan dikenakan kepada penanggung jawabnya, dan apabila ada hubungan dengan izin usaha yang diperolehnya, maka izin usaha tersebut dapat dicabut sebagai hukuman administratif kepada badan hukum tersebut.100 ____________________ 100
Al Yasa’ Abubakar, op cit., hal. 272 – 273.
Universitas Sumatera Utara
Qanun tentang maisir (perjudian) juga mengatur tentang pengawasan dan pembinaan terhadap penerapan larangan yang dimaksud dalam Pasal 5, 6, dan 7 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 yaitu:101 Pasal 14: (1) Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Imum Mukim dan Keuchik berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6, dan 7. (2) Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Qanun ini, Gubernur, dan Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah. (3) Susunan dan Kedudukan Wilayatul Hisbah diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur setelah mendengar pendapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Berdasarkan penjelasan pasal demi pasal bahwa yang dimaksud dengan Wilayatul Hisbah (WH) adalah institusi di bawah pemerintah daerah yang berwenang mengawasi pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar termasuk yang diatur dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) seperti yang tersebut dalam pasal berikut:102 Pasal 15: (1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) yang menemukan pelaku pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6, dan 7, menyerahkan persoalan itu kepada penyidik. (2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan pelaku jarimah maisir dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkannya kepada Penyidik. Berdasarkan penjelasan pasal 15 ayat 2 bahwa yang dimaksud dengan peringatan adalah teguran kepada tersangka untuk tidak meneruskan atau mengulangi perbuatan jarimah dengan memberitahukan ancaman ‘uqubat yang dapat dikenakan ____________________ 101 102
Lihat Pasal 14 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). Lihat Pasal 15 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).
Universitas Sumatera Utara
karena melanggar larangan tersebut. Fungsi pembinaan dapat juga dilakukan dengan melaksanakan ketentuan yang tersebut dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Adat. Pasal 16: Wilayatul Hisbah (WH) dapat mengajukan gugatan pra-peradilan kepada mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik.103 Aparat penegak hukum yang terlibat dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 adalah: 1. Wilayatul Hisbah (WH), seperti yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Qanun Nomor 13 Tahun 2003. Bila Wilayatul Hisbah (WH) telah melakukan peringatan yang berupa teguran kepada tersangka untuk tidak meneruskan atau mengulangi
perbuatan jarimah maisir (perjudian), jika tersangka tidak
mengindahkan peringatan ini dapat diajukan ke pihak penyidik. 2. Penyidik, seperti yang tercantum dalam Pasal-Pasal: Pasal 17: Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran larangan maisir dilakukan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak diatur dalam qanun ini. Pasal 18: Penyidik adalah: a. Pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam; dan ____________________ 103
Lihat Pasal 16 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).
Universitas Sumatera Utara
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan bidang Syariat Islam; Pasal 19: (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 huruf a mempunyai wewenang: a. menerima
laporan
atau
pengaduan dari seseorang tentang adanya
jarimah maisir; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan Wilayatul Hisbah; j. mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yang berlaku. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 huruf b mempunyai
Universitas Sumatera Utara
wewenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berada di bawah koordinasi penyidik umum. Pasal 20: Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan telah terjadi pelanggaran terhadap larangan maisir wajib segera melakukan penyidikan sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 3. Penuntun umum seperti yang tercantum dalam Pasal-Pasal: Pasal 21: Penuntut umum menuntut perkara jarimah maisir yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 22: Penuntut umum mempunyai wewenang: a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik; b. mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke Mahkamah; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntun;
Universitas Sumatera Utara
h. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang berlaku; i. melaksanakan putusan dan penetapan hakim. 4. Hakim mahkamah syar’iyah. Hakim mahkamah syar’iyah berkewajiban memeriksa perkara maisir (perjudian) yang dilimpahkan oleh penuntut umum.
Universitas Sumatera Utara