INDONESIA: AKIBAT FATAL DARI PEMOLISIAN YANG LEMAH Asia Report N°218 – 16 Februari 2012
TABLE OF CONTENTS EXECUTIVE SUMMARY AND RECOMMENDATIONS ................................................. i I. PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 II. MEREFORMASI POLRI................................................................................................. 2 A. SEJARAH POLMAS ........................................................................................................................2 B. KENDALA-KENDALA ....................................................................................................................4 1. Budaya .........................................................................................................................................4 2. Struktural .....................................................................................................................................5 3. Individual .....................................................................................................................................6 4. Finansial .......................................................................................................................................6 5. Pendidikan ...................................................................................................................................7 C. REFORMASI YANG MANDEK ........................................................................................................8
III. KASUS PERTAMA: TRAGEDI BERDARAH DI BUOL ............................................ 8 A. TEWASNYA TAHANAN POLSEK ....................................................................................................9 B. PROTES BERUJUNG KEKERASAN ................................................................................................10 C. POLISI MENGUNGSI....................................................................................................................11 D. HUKUM TIDAK BERJALAN .........................................................................................................12 E. AKUNTABILITAS DAN PENCARIAN JALAN KELUAR ....................................................................13
IV. KASUS KEDUA: PENGEPUNGAN DI KAMPAR.................................................... 15 A. PENANGKAPAN DI PASAR ...........................................................................................................15 B. 6 JAM PENGEPUNGAN DI POLSEK ...............................................................................................16 C. MERUNDINGKAN SEBUAH JALUR KELUAR .................................................................................17
V. KASUS KETIGA: PEMBAKARAN DI BANTAENG ............................................... 19 A. MEMBALAS PENGGEREBEKAN DI PESTA PERNIKAHAN ..............................................................19 B. TANGGAPAN DARI BUPATI .........................................................................................................20 C. TIDAK ADA PROSES HUKUM ......................................................................................................20
VI. KESIMPULAN ................................................................................................................ 21 A. MENTALITAS KAMI VERSUS MEREKA .......................................................................................22 B. MERUBAH PENDEKATAN “TEMBAK DULU” ...............................................................................22 C. AKUNTABILITAS ........................................................................................................................23
LAMPIRAN A. PETA INDONESIA..............................................................................................................................25
Asia Report N°218
16 February 2012
INDONESIA: AKIBAT FATAL DARI PEMOLISIAN YANG LEMAH RINGKISAN IKHTISAR AND REKOMENDASI Masyarakat di Indonesia semakin memilih jalan kekerasan dalam membalas kesewenang-wenangan dari aparat kepolisian, baik itu tindakan nyata atau hanya wacana. Sekitar 40 aksi penyerangan terhadap markas dan anggota polisi sejak bulan Agustus 2010 merupakan bukti jelas bahwa pemolisian masyarakat (community policing), yang menjadi andalan dari agenda reformasi kepolisian, tidak berjalan dengan baik; aparat polisi terlalu cepat melepaskan tembakan, biasanya dengan peluru tajam; dan perbaikan proses akuntabilitas kepolisian tersendat. Sementara itu, dengan tidak adanya urgensi untuk pembenahan dan kurangnya mekanisme untuk menanggapi keluhan masyarakat setempat, kemarahan publik menjadi semakin mungkin untuk meningkat. Polisi yang seharusnya membantu pencegahan konflik kini terlalu sering berkontribusi terhadap pecahnya konflik. Terdapat berbagai kendala budaya, struktural, individu, finansial dan pendidikan yang menghambat perubahan perilaku polisi. Dari awal, banyak pelamar masuk kepolisian dengan niat mendapatkan kekuasaan dan uang. Ketika mereka sudah menjadi aparat, tidak ada banyak insentif, baik itu finansial maupun profesional, untuk membangun hubungan baik dengan masyarakat yang seharusnya mereka layani. Kebijakan-kebijakan mengenai pemolisian masyarakat yang dikeluarkan tahun 2005 dan 2008 belum meresap ke tingkat Kepolisian Sektor (Polsek) dan apabila ada petugas di lapangan yang peduli untuk membangun hubungan baik dengan masayarakat, mereka memiliki dampak yang terbatas karena seringnya dirotasi. Tindakan anarkis masyarakat terhadap polisi merupakan tanggapan terhadap banyak hal yang terakumulasi seperti aksi brutal polisi, seringnya permintaan uang oleh aparat, arogansi petugas dan kurangnya akuntabilitas, terutama ketika tembakan polisi memakan korban jiwa. Kegagalan untuk menginvestigasi atau menghukum oknum yang melakukan pelanggaran cenderung memicu aksi massa, yang seringkali sampai tindakan pembakaran. Sementara itu, perlawanan masyarakat terhadap upaya polisi untuk menangkap pelaku kerusuhan meningkat apabila oknum polisi yang melakukan pelanggaran dibiarkan melenggang. Masalah ini diperumit oleh kenyataan bahwa mereka yang bertugas di Polsek adalah lulusan Sekolah Polisi Negara
dimana pelatihan penggunaan senjata api and pengajaran mengenai pemolisian masyarakat belum mencapai standard yang baik. Dalam banyak kasus kekerasan terhadap polisi, akhirnya pejabat daerah setempat yang terbebani untuk menegosiasikan jalan keluar dalam perselisihan antara polisi dan masyarakat karena tidak ada mekanisme institusional yang tersedia untuk menjawab ketidakpuasan masyarakat. Laporan ini mengkaji secara detil tiga kasus tindak anarkis masyarakat terhadap institusi kepolisian yang terjadi di tahun 2010 dan 2011. Semua berawal dari amarah masyarakat terhadap buruknya tindakan polisi yang menggunakan kekerasan berlebihan. Di Buol, Sulawesi Tengah, warga menyerang dan menghancurkan fasilitas dan perumahan kepolisian sehingga keluarga aparat yang bertugas di Buol terpaksa diungsikan setelah tujuh warga tewas terkena tembakan petugas dalam sebuah unjuk rasa atas kematian seorang pemuda dalam tahanan polisi. Sejumlah aparat kepolisian yang terlibat memang diadili, suatu hal yang jarang terjadi, namun itu karena banyaknya jumlah korban tewas mendatangkan sorotan media. Salah satunya mendapat vonis tidak bersalah dan dua lainnya menerima hukuman lunak, sedangkan duapuluhan aparat menerima sanksi disiplin. Masih begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dalam kasus ini. Di Kampar, Riau, warga mengepung dan menyerang markas Polsek Kampar akibat petugas melakukan salah tangkap dan memukul seorang pedagang yang dikenal alim di sebuah pasar. Polisi menuduhnya terlibat judi togel, karena mendapatinya menulis sejumlah angka di sebuah kertas, padahal ia sedang mencatat harga dan nomor seri dagangannya. Penangkapan yang sepele seperti ini sering terjadi karena petugas mendapat penghargaan apabila menunjukkan statistik kejahatan yang dianggap bagus. Contohnya: semakin banyak penangkapan, tak peduli tingkat kejahatannya, semakin baik mereka dilihat dalam melakukan tugasnya. Di Bantaeng, Sulawesi Selatan, warga menyerang markas Polsek setelah sejumlah aparat kepolisian menggerebek orang yang diduga berjudi dalam sebuah resepsi pernikahan dan menembak satu orang hingga tewas. Petugas yang melakukan penggerebekan itu dari Polres
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
Jeneponto bukan Bantaeng karena memang lokasi pesta memang ada di Kabupaten Jeneponto walau dekat perbatasan dengan Bantaeng. Massa menyerang Polsek di dalam wilayah Polres Bantaeng karena lokasinya yang dekat dengan kejadian dan korban tewas berasal dari Bantaeng. Petugas merasa terpaksa melepaskan tembakan karena para tamu marah atas penangkapan yang terjadi, dan situasinya membahayakan bagi komandan mereka. Padahal, tampaknya mereka menembak membabi-buta di kegelapan tanpa bisa melihat sasarannya. Insiden-insiden diatas merupakan simbol masalah yang lebih luas; pemerintah Indonesia harus berhenti memperlakukan kasus-kasus ini seakan fenomena yang tidak berkaitan. Mereka sebaliknya mewakili sebuah kegagalan sistematik yang akan terus merongrong kredibilitas sumpah polisi untuk “melayani dan melindungi” masyarakat. Mereka akan terus memicu semakin banyak kekerasan yang dapat menelan korban jiwa apabila sebab-sebab yang mendasari tindak anarkis masyarakat tidak ditangani.
REKOMENDASI KEPADA Institusi yang berwenang di Indonesia: Untuk menangani sebab-sebab yang mendasari tindak anarkis masyarakat terhadap polisi, sebaiknya 1.
Menerapkan pengawasan dan audit yang lebih ketat terhadap anggaran Polri.
2.
Memberlakukan standar yang lebih tinggi dan persyaratan yang lebih ketat kepada anggota polisi dalam perolehan dan pemakaian senjata api.
3.
Menerapkan pelatihan yang lebih baik dalam pengendalian massa menggunakan metode yang tidak mematikan.
4.
Menyediakan insentif-insentif yang jelas dampaknya dan sistem penilaian meritokratis untuk memacu petugas membina hubungan yang lebih baik dengan warga and mengajarkan nilai-nilai pemolisian masyarakat dengan lebih agresif.
5.
Mengkaji ulang tata cara otopsi dalam kasus yang melibatkan polisi demi memastikan independensi dan transparansi dari proses ini.
6.
Mencurahkan perhatian yang serius dalam memperbaiki kurikulum dan metode pelatihan di Akademi Kepolisian, dan terlebih di sekolah-sekolah polisi negara di daerah, termasuk menghapus hukuman badani kepada siswa.
7.
Membentuk sebuah komisi pengawas sipil yang bisa menerima dan menindaklanjuti aduan publik secara agresif.
Page ii
8.
Lebih banyak menggunakan lembaga peradilan umum daripada hanya menerapkan tindakan disipliner dalam kasus-kasus dimana ada dugaan penyalahgunaan wewenang polisi yang berat.
Jakarta/Brussels, 16 February 2012
Asia Report N°218
16 February 2012
INDONESIA: AKIBAT FATAL DARI PEMOLISIAN YANG LEMAH I. PENDAHULUAN Sejumlah penyerangan oleh massa terhadap kantor dan personil Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) belakangan ini menandakan rendahnya tingkat kepercayaan antara aparat penegak hukum dan masyarakat yang mereka janji layani dan lindungi.1 Ini terjadi walaupun sudah ada investasi besar dalam program pemolisian masyarakat dalam kurun waktu sepuluh tahun ini. Pemicunya sering kali adalah munculnya persepsi adanya aksi brutal dari polisi. Ketiadaan mekanisme yang efektif dalam menampung keluhan atau menyelesaikan perkara berkaitan dengan aparat kepolisian berujung kepada main hakim sendiri. Reaksi dadakan yang muncul dari petugas yang kurang terlatih dan minim perlengkapan seringkali akhirnya adalah menembak untuk bela diri dengan hasil yang memperburuk keadaan.
thaghut.2 Laporan ini terpusat kepada tiga kasus penyerangan terhadap fasilitias dan personil kepolisian di tahun 2010 dan 2011 yang semuanya berakar pada ketidakpuasan masyarakat terhadap Polri. Di Buol, Sulawesi Tengah, kematian seorang tukang ojek di tahanan polisi pada bulan Agustus 2010 berujung pada bentrok yang mengakibatkan tujuh warga tewas dan sebuah komunitas terluka sampai saat ini. Di Kampar, Riau, penangkapan seorang secara kasar pada bulan Februari 2011 berakibat pada penyerangan ke kantor Polsek setempat.3 Di Jeneponto, Sulawesi Selatan, penggerebekan polisi di sebuah pesta perkawinan pada bulan Juni 2011 berakhir dengan tertembak matinya seorang tokoh masyarakat yang menyulut aksi pembakaran Polsek di kabupaten tetangga – Bantaeng. Polri perlu mempelajari kasus-kasus seperti ini secara seksama, mencari apa yang salah dan menganalisa bagaimana kejadian serupa dapat dihindari.
Ada sedikitnya 40 kasus kekerasan seperti ini antara bulan Agustus 2010 sampai dengan Janauri 2012. Yang terakhir adalah kasus 25 Januari 2012 di Tulangbawang, Lampung dimana terjadi pembakaran kantor polisi dua hari setelah petugas menembak mati seorang yang dicurigai mencuri. Sebelumnya, mereka menangkap orang itu dan dua temannya dalam suatu pesta malam namun mulai menembak di tengah kegelapan ketika gerombolan itu berusaha lari. Orang yang tertembak dibiarkan tergeletak tanpa pertolongan medis ataupun pemberitahuan kepada keluarga terdekat. Rekan-rekannya yang dapat lepaslah yang menginformasikan warga mengenai jasad itu and amarahpun tersulut. Seringnya kekerasan masyarakat terhadap polisi seharusnya menjadi peringatan bahwa reformasi kepolisian yang merupakan bagian dari demokratisasi paska 1998 di Indonesia tidaklah berjalan sebagaimana mestinya. Laporan ini tidak menganalisa penyerangan terhadap polisi sebagai bagian konflik yang berkepanjangan seperti di Papua atau peristiwa saling serang dengan teroris yang menganggap aparat penegak hukum sebagai target yang sah karena di mata mereka Polri adalah lembaga kafir dan 2
1
Untuk laporan-laporan terkait reformasi polisi dan keamanan, lihat Crisis Group Asia Reports Nº13, Indonesia: National Police Reform, 20 February 2001; and Nº90, Indonesia: Rethinking Internal Security Strategy, 20 December 2004; and Briefing no.124, Indonesia: Debate over a New Intelligence Bill, 12 July 2011.
Lihat Crisis Group Asia Report Nº132, Indonesia: From Vigilantism to Terrorism in Cirebon, 26 January 2012. 3 Kepolisian Sektor (Polsek) adalah suatu kantor kepolisian yang wilayahnya mencakup satu kecamatan. Di daerah tertentu seperti perdesaan terpencil, sebuah polsek dapat mencakup lebih dari dua kecamatan. Sebuah polsek dapat memiliki lima sampai 50an anggota tergantung sumber daya dan jumlah populasi yang dinaunginya.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
II. MEREFORMASI POLRI Sejak pemisahan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 1999, Polri secara bertahap mengambil alih tanggungjawab utama pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dari angkatan darat.4 Sebelumnya, tugas Polri terbatas pada investigasi kasuskasus kriminal dan pengaturan lalu lintas. Sejumlah pengamat merasa kinerja polisi saat ini masih jauh dari harapan. “Polri sudah mengambil alih privileges dan patronage yang sebelumnya dipegang oleh TNI, tapi mereka belum memenangkan respek dari masyarakat yang seharusnya datang dengan tanggungjawab baru ini”, ujar seorang mantan menteri pertahanan.5 Polisi menyadari bahwa untuk memenangkan kepercayaan dari masyarakat dan menjalankan tanggungjawab baru, mereka harus menanggalkan budaya yang tertanam selama tiga dekade berada dalam angkatan bersenjata. Gagasan mengenai Pemolisian Masyarakat atau Polmas menjadi pilar penting dalam transformasi ini dan telah menjadi andalan dari agenda reformasi kepolisian. Namun mengubah gagasan menjadi kenyataan terus menjadi tantangan. Konsep Polmas berpusat pada hubungan kemitraan yang sistematis dengan kelompok-kelompok masyarakat setempat, instansi pemerintahan daerah, pengusaha kecil dan juga individu-individu untuk mengembangkan solusi bagi masalah-masalah lokal dan meningkatkan kepercayaan terhadap polisi.6 Polmas tidak memposisikan polisi sebagai lembaga yang menyelesaikan seluruh masalah keamanan masyarakat secara sendirian. Oleh karena itu, segenap struktur dan strategi harus diarahkan untuk mendorong kerjasama dan penyelesaian masalah secara proaktif, termasuk penugasan petugas polisi secara kedaerahan dan pengenalan prinsip-prinsip Polmas ke dalam seluruh proses perekrutan, seleksi, pelatihan dan evaluasi. Masalahnya adalah, secara institusi, Polri masih sangat sentralistik, sementara Polmas berkarakter desentralistik. Disamping itu, para petugas yang berada di
4 Undang-Undang no. 2/2002 tentang Kepolisian Negara, Pasal 13. Tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 5 Crisis Group interview, Juwono Sudarsono, 21 Maret 2011. Sudarsono adalah orang sipil pertama yang menjadi Menteri Pertahanan setelah 50 tahun selalu dipegang oleh anggota militer. Awalnya, ia menjabat di bawah kabinet Presiden Abdurrahman Wahid dari tahun 1999 hingga 2000, kemudian di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari tahun 2004 hingga 2009. 6 Definisi ini berasal dari Departemen Kehakiman Amerika Serikat yang sudah terlibat dalam pembinaan kemampuan (capacity building) Polri sejak pisah dari TNI tahun 1999. “Community Policing Defined”, Office of Community-Oriented Policing Services, U.S. Department of Justice, April 2009.
Page 2
sistem yang berlaku saat ini tidak terlalu termotivasi untuk menanggalkan praktek-praktek masa lalu.
A. SEJARAH POLMAS Pada tahun 1999, setahun setelah Presiden Soeharto lengser, mantan Kapolri Awaloeddin Djamin meluncurkan sebuah buku yang merintis upaya untuk mereformasi Polri.7 “Buku Biru”, sebagaimana dokumen ini dikenal dalam kalangan Polri, memicu diskusi-diskusi internal mengenai bagaimana membuat polisi lebih bertanggungjawab terhadap masyarakat. Puncaknya ditandai dengan keluarnya sebuah strategi bagi Polri untuk dua puluh tahun ke depan pada bulan Juni 2005 oleh Kapolri saat itu, Jenderal Sutanto.8 “Grand Strategi” ini menekankan perlunya memfokuskan lima tahun pertama (2005-2010) pada upaya membangun kepercayaan masyarakat pada Polri.9 Diakui bahwa ada krisis kepercayaan terhadap Polri yang membuat masyarakat tidak takut melanggar peraturan, dan warga menganggap kewibawaan Polri hanya ada karena senjata dan wewenang formalnya. Ia juga menyebutkan,”masyarakat yang banyak uang” menganggap polisi tidak ada wibawa sama sekali dan dapat dikendalikan, sementara di era kebebasan pers “penyelewengan Polri semakin terbuka dan citra Polri semakin terpuruk”.10 Polmas menjadi prioritas kedua langsung setelah penegakan keadilan masyarakat yang diuraikan dalam grand strategi. Pada bulan Oktober 2005, Sutanto mengeluarkan sebuah kebijakan tentang Polmas yang mencakup sebuah penilaian terhadap kekurangan-kekurangan Polri. Kebijakan ini mengakui bahwa polisi “cenderung melihat dirinya semata-mata sebagai pemegang otoritas, dan institusi kepolisian dipandang semata-mata sebagai alat negara sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian”.11 Mereka juga cenderung melihat
7
Awaloeddin Djamin, Menuju Polri Mandiri yang Professional, (Jakarta, 1999). Buku ini merangkul ide-ide yang sebelumnya telah ditulis dan dibahas oleh sejumlah perwira menengah yang berpikiran progresif namun tidak memiliki pengaruh dalam institusi Polri. Djamin memberikan pengaruh yang sangat dibutuhkan itu. 8 “Grand Strategi Polri 2005-2025”, Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2005. 9 Ibid. Tahap-tahap yang lain yaitu “Partnership Building” (2011-2015) dan “Strive for Excellence” (2015-2025). 10 Ibid. Setelah beberapa dekade media dikekang oleh pemerintah, pers di Indonesia paska 1998 telah menjadi yang paling bebas di Asia Tenggara. Media baru bermunculan sebagai akibatnya, dengan dibukanya lembaga-lembaga berita berbasis komunitas di seluruh negeri. Berita mengenai kejahatan dan perilaku polisi telah menjadi salah satu berita utama yang paling populer. 11 Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaran Tugas Polri, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Oktober 2005, Pasal II(1)(b), hal. 4. Dokumen ini,
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
dirinya sebagai sosok formal, dan eksklusif dari anggota masyarakat lainnya. Pada akhirnya, semua itu berakibat pada “memudarnya legitimasi kepolisian di mata publik”, “semakin berkurangnya dukungan publik bagi pelaksanaan tugas kepolisian” dan “semakin buruknya citra polisi”.12 Saat itu, Polmas telah menjadi sebuah program bantuan yang populer bagi para donor, tapi tidak ada kebijakan nasional yang jelas mengenai ini. Program pelatihan bagi polisi mengenai bagaimana berinteraksi dengan publik dilakukan di beberapa bidang di tahun 2000 tapi tidak membawa banyak perubahan pada kebijakan Polri secara keseluruhan.13 Pada tahun 2001, Partnership for Governance Reform yang saat itu didanai oleh PBB meluncurkan proyek pengembangan Polmas yang pertama di Nusa Tenggara Barat. Setelah itu, sejumlah proyek serupa bermunculan menghubungkan donor-donor yang berlainan dengan Kepolisian Daearah (Polda) terpilih.14 Tiap proyek fokus pada pengembangan Polmas dalam bentuk berbeda-beda, seringkali dipengaruhi oleh praktek di negara asal donor, dan mayoritas mengambil bentuk “pelatihan untuk pelatih”. Kebijakan tahun 2005 tersebut mencatat bahwa program-program ini “didasarkan atas persepsi masing-masing penyelenggara proyek sehingga menimbulkan kekurang-sinkronan dalam implementasinya”.15 Surat keputusan tahun 2005 itu juga menguraikan sebuah visi yang jelas. Polmas dilihat sebagai “sebuah kemitraan yang sejajar antara petugas Polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat”.16 Prinsip-prinsip operasionalnya mencakup sebuah upaya untuk memprioritaskan komunikasi secara personal dan menugaskan petugas untuk jangka waktu yang lama atau bahkan secara permanen pada suatu lokasi, sehingga memiliki kesempatan untuk membangun kemitraan dengan masyarakat dalam wilayah yurisdiksi yang jelas batasbatasnya. Polmas dirancang untuk masuk dalam SKEP/737/X/2005, adalah kebijakan resmi pertama yang dikeluarkan khusus mengenai Polmas dalam institusi Polri. 12 Ibid. 13 Adrianus Meliala, “Perilaku Kekerasan dan Tindak Anarkis”, Jurnal Kriminologi Indonesia, vol.1, no. III, Juni 2001, hal. 10-12. 14 Program-program Polmas lain yang didanai oleh asing termasuk proyek International Organisation for Migration (IOM) dengan Polda Kalimantan Barat, Jawa Timur dan Jawa Barat; program di Bekasi dan Jakarta yang didanai oleh Japan International Coordination Agency (JICA); dan keterlibatan Asia Foundation membantu Polda Yogyakarta. The Asia Foundation mengklaim Sutanto mengeluarkan kebijakan nasional mengenai Polmas setelah melihat capaian program-program Polmas yang didanai donor asing. Lihat “Perpolisian Masyarakat di Indonesia”, The Asia Foundation, 2007. 15 SKEP/737/X/2005, Kepolisian Negara Republik Indonesia, op. cit. 16 Ibid.
Page 3
kurikulum di seluruh institusi pendidikan kepolisian, yaitu Akademi Kepolisian (Akpol) dan Sekolah Polisi Negara (SPN). Kebijakan ini diikuti oleh rencana untuk melatih 70,000 petugas di seluruh Indonesia, yang dipantau oleh 7,000 penyelia, dan mendirikan sebuah pusat studi yang menyediakan diktat dan video mengenai Polmas untuk tingkat Polsek hingga perwira polisi yang paling senior di Markas Besar (Mabes) Polri di Jakarta.17 Sebuah model Polmas dijabarkan dalam surat keputusan itu yang terpusat pada pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat atau FKPM di setiap Polsek yang dapat mencakup satu kecamatan atau lebih. Sedikitnya, seorang petugas ditugaskan dalam FKPM, dan Kapolsek-lah yang menjadi penanggungjawab. Kebijakan ini rencananya disosialisasikan tahun 2006, mulai dilaksanakan tahun 2007, dan berfungsi penuh sebelum tahun 2009, tapi tak lama setelah diumumkan langsung menghadapi berbagai kendala.18 Di tahun 2008, Polri mengeluarkan sebuah peraturan lanjutan, dikenal sebagai Perkap No. 7, yang seharusnya menjadi pedoman dasar dalam menerapkan Polmas.19 Perkap tersebut menyebutkan bahwa konsep Polmas harusnya mencakup intensifikasi patroli dan tatap muka petugas Polri dengan warga, serta pembentukan FKPM seperti yang diperkenalkan di tahun 2005. Tapi Perkap ini juga menyebutkan bahwa tiap daerah bisa menentukan model Polmas seperti apa yang paling sesuai dengan karakter wilayah dan masyarakatnya, dengan mempertimbangkan berbagai proyek pengembangan Polmas yang didanai oleh donor asing yang sudah berjalan. Perkap No. 7 mencatat sebanyak 41 model Polmas yang bisa diterapkan, termasuk sistem Koban dari
17
T. Hari Prihatono dan Jessica Evangeline, Police Reform: Taking the Heart and Mind (Jakarta, 2008). 18 Di sejumlah wilayah, FKPM dilihat sebagai kepanjangan tangan polisi yang bukannya melahirkan kepercayaan tapi malah kecurigaan. Di beberapa kasus, anggota masyarakat telah berpartisipasi menjadi anggota FKPM dengan asumsi mereka akan menjadi berkuasa seperti polisi dan memperoleh keuntungankeuntungan lain. Lihat Mario Humberto, “Pokdarkamtibmas Pamulang Sebagai Implementasi Kemitraan Dalam Konteks Community Policing”, Jurnal Kriminologi Indonesia, vol. 7, no. 1, Mei 2010, hal. 60-62. Sebuah kelompok siskamling di daerah Pamulang lebih populer dibanding FKPM di situ karena keanggotaan mereka selektif. Mereka punya lagu himne dan atribut ala militer tersendiri. Ada indikasi bahwa banyak FKPM yang dilaporkan oleh para Kapolres/Kapolsek ke atasan mereka hanya dibentuk sekedar untuk memenuhi target. 19 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia no. 7/2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Perkap ini keluar seminggu sebelum periode Sutanto sebagai Kapolri habis.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
Jepang yang diperkenalkan di Bekasi tahun 2004 dan mendapat tanggapan beragam dari warga.20 Banyaknya model-model Polmas yang bisa diterapkan mungkin dilihat sebagai cara untuk bereksperimen untuk menemukan bentuk mana yang paling cocok buat Indonesia, tapi hal ini juga tidak sejalan dengan kebijakan awal yang bertujuan untuk memperbaiki koordinasi diantara seluruh kegiatan Polmas. Seorang yang terlibat dalam perancangan kebijakan ini mengatakan ada resistensi dan kebingungan di antara petugas di lapangan ketika Polri memutuskan untuk mengakomodasi model Polmas yang memperoleh dukungan dari warga setempat atau donor.21 Perkap No. 7, seperti halnya Grand Strategi 2005, menekankan perlunya perubahan budaya Polri, yang antara lain dari budaya yang menekankan hierarki, pangkat dan kewenangan menuju ke penekanan pada partisipasi; dari kebiasaan hanya mengikuti praktekpraktek yang selama ini berlaku menuju ke kesediaan untuk mempertanyakan efektifitas dari praktek-praktek tersebut; dari budaya hanya menunggu perintah atasan menuju ke kemampuan mengambil inisiatif; dan dari budaya yang menonjolkan solidaritas internal menuju ke profesionalisme eksternal. Perkap ini juga mendorong masing-masing kesatuan wilayah untuk “membangun kerjasama” dengan donor dan pemerintahan setempat sehingga Polmas bisa menjadi program yang didukung dengan anggaran daerah.22 Tidak adanya badan eksternal yang mengevaluasi laju dan arah reformasi akhirnya membuat penentuan kebijakan Polmas tergantung pada perubahan pimpinan Polri. Para pengganti Sutanto tidak memperlihatkan semangat yang sama dalam mendorong program Polmas meski masingmasing meneruskan retorika beliau.23 Secara retrospeksi, Polmas tadinya dianggap dapat menjadi obat mujarab bagi permasalahan Polri, tapi akhirnya menjadi tabir yang menutupi masalah sebenarnya yaitu akuntabilitas dan kenyataan bahwa Polri tidak senang kalau diawasi oleh badan lain. Ketika Polmas hanya sebatas slogan, ia justru menjadi tambalan untuk menghindari upaya-upaya pemantauan efektif atas lembaga kepolisian yang kewenangannya naik. Pada kenyataannya, tanpa
Page 4
pengawasan kuat dari pemerintah dan publik, Polmas akan menjadi tidak efektif, karena ia hanya akan tersandera kepentingan-kepentingan di dalam tubuh Polri.
B. KENDALA-KENDALA Tujuh tahun setelah kebijakan awal mengenai Polmas diluncurkan, program ini masih terlihat belum cukup dipahami petugas di lapangan dan masyarakat yang mereka layani. Banyak komunitas, terutama di luar Jawa, yang tidak tahu apa itu Polmas karena implementasinya masih simpang siur. Kecenderungan di dalam tubuh Polri yang menghalangi program ini bisa dikategorikan menjadi lima aspek, yaitu budaya, struktur, individu, finansial dan pendidikan.
1. Budaya Sikap arogansi aparat kepolisian terhadap publik belum banyak berubah. Pada tahun 2009, Komisi Kepolisian Nasional mengeluarkan sebuah evaluasi terhadap penerapan program Polmas berdasarkan penelitian di tiga Polda dan menemukan bahwa hasrat untuk promosi menghalangi perubahan. Disebutkan bahwa dengan semakin bertambahnya kekuasaan para penegak hukum, sulit untuk mengubah perilaku petugas kepolisian dari yang tadinya bersikap superior menjadi mitra atau bahkan pelayan masyarakat.24 Hasil penelitian itu melaporkan bahwa sebenarnya banyak yang melamar jadi polisi karena ingin memperoleh status ‘superior’, dan sikap ini semakin kelihatan dengan bertambahnya personil kepolisian. Jumlah anggota Polri bertambah dua kali lipat dibanding jumlahnya sebelum tahun 1999, menjadi sekitar 400.000 personil, sehingga rasio polisi dengan warga kini jumlahnya mendekati ideal yaitu 1:600.25 Sebagian besar bintara yang baru lulus SPN sudah bertugas di lapangan setelah hanya menjalani traning selama lima bulan. Polmas sering dilihat sebagai beban yang tidak membantu kenaikan pangkat karena cara yang dianggap lebih efektif untuk mendapatkan promosi adalah dengan hal-hal yang terlihat langsung oleh atasan seperti menghadiri kegiatan seremonial atau bersaing untuk menunjukkan statistik prestasi dalam penanggulangan kejahatan tertentu.26
20
Ibid. Koban adalah pos polisi kecil yang terbuka selama 24 jam sehigga bisa cepat menangani persoalan masyarakat. Dalam sistem ini petugas harus selalu berada di pos dan melakukan patroli di wilayahnya secara rutin. Lihat “‘Koban’ Gets Mixed Response from Residents”, The Jakarta Post, 7 November 2007. 21 Crisis Group interview, Wahyu Rudhanto, pengajar topik pemolisian masyarakat di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 1 Desember 2011. Sebuah rancangan lain disusun tahun 2007 untuk mendorong Skep 737, tapi dianggap terlalu lemah. 22 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia no. 7/2008, Pasal 41. 23 Bambang Hendarso Danuri menggantikan Sutanto di tahun 2008, beberapa minggu setelah Perkap no. 7.
24
“Polri dan Pemolisian Demokratis”, Komisi Kepolisian Nasional, (Jakarta, 2009), hal. 180-182. 25 “Jumlah Polisi di Indonesia Belum Ideal”, Kompas, 27 Mei 2011. Juga lihat laporan Crisis Group, Indonesia: National Police Reform, op. cit. hal. 5-7. Menurut PBB, rasio yang ideal yaitu 1:500, tapi rasio di Indonesia jauh lebih baik dibanding kebanyakan negara berkembang lain. Di banyak kabupaten di pulau-pulau yang lebih sedikit penduduknya, rasionya bahkan lebih baik dari ideal, contohnya di Polres Tebingtinggi di Sumatera Utara yang memiliki rasio 1:260. 26 Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, Evaluation Report on Community Policing Related Project Supported by Donors
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
Terkait dengan statistik kejahatan ini, petugas kepolisian kerap mengambil kasus-kasus pelanggaran hukum yang mudah diproses yang sering melibatkan warga miskin dan berposisi lemah. Hal ini hanya membuat warga semakin antipati terhadap polisi karena mencederai rasa keadilan masyarakat. Contohnya, tanggal 27 Mei 2011, polisi di Palu menangkap dan dituduh memukuli seorang remaja berusia lima belas tahun yang mencuri sandal plastik milik seorang petugas. Pengadilan menghukum remaja tersebut namun tidak menyinggung apapun tentang perlakuan yang diterimanya di dalam tahanan.27 Bentuk yang lain adalah penangkapan warga miskin yang mencuri buah atau sesisir pisang.28 Demi mendapat hasil cepat dan mudah, petugas penyidikan juga cenderung mengandalkan pada informasi yang lemah dan melakukan interogasi dengan penyiksaan untuk mendapatkan keterangan saksi dan pengakuan.29
Page 5
hanya berbekal beberapa bulan pendidikan selepas SMA. Lulusan Akpol diperlakukan sebagai kelompok elit dalam institusi Polri, dan mengikuti rotasi tugas keliling daerah dengan jangka waktu tertentu (tour of duty), dari enam bulan sampai empat tahun.32 Mereka punya kesempatan terbanyak untuk mendapat pelatihan Polmas dan punya otoritas untuk menerapkannya di lapangan meskipun pengetahuan tentang adat setempat mereka paling minim. Rotasi petugas gaya tour of duty ini tidak mendukung keberlanjutan inovasi yang bisa dilakukan oleh para perwira polisi tersebut di dalam wilayah tertentu. Seorang pengajar PTIK mengatakan: Konsep Polmas dipahami berbeda oleh tiap murid. Kalau seorang Kapolsek dengan pemahaman yang baik mengenai Polmas digantikan oleh seseorang yang lebih baik, tidak apa-apa. Tapi kalau penggantinya tidak antusias dengan Polmas, maka terobosan yang telah dirintis Kapolsek akan terhapus terutama kalau orang baru itu dari bagian intel atau reskrim, yang cenderung melihat Polmas sebagai tugas kelas dua.33
2. Struktural Polmas membutuhkan desentralisasi dan grand strategi Polri mencanangkan perampingan kewenangan Mabes Polri dan pemberdayaan Polres dan Polsek.30 Namun, pada kenyataannya, Polri masih mempertahankan struktur kepangkatan yang bersifat militer, dengan para jenderal bintang dua dan tiga sebagai petinggi di Mabes Polri Jakarta, bintang satu di pucuk Polda, dan kelompok elit perwira polisi yang kebanyakan lulusan Akpol di manajemen tingkat menengah.31 Lebih dari 90 persen anggota Polri adalah bintara dan tamtama, yang terjun
(Yogyakarta, 2005). Pelatihan program Polmas yang didanai asing kebanyakan hanya sampai ke perwira menengah dan tinggi Polri. Para lulusan terbaik dan para petugas yang berorientasi karir menghindari posisi dalam unit Bimbingan Masyarakat atau Bimmas, yang tugasnya memberi saran kepada masyarakat mengenai persoalan keamanan dan seharusnya menjadi ujung tombak Polmas. 27 “Polda Didesak Minta Maaf”, Mercusuar, 5 Januari 2012. 28 “Hakim Tersedu-sedu Bacakan Putusan Nenek Minah”, Republika, 20 November 2009; “Indonesian Law Goes Bananas Again as 76-year-old Jailed for Fruit Theft”, Jakarta Globe, 9 Desember 2009. 29 Sebuah studi yang dirilis tahun 2008 menunjukkan sekitar 80 persen dari 400 napi dan mantan napi yang diwawancara di Jakarta mengalami penyiksaan setelah ditangkap polisi; sebuah studi di tahun 2011 yang mencakup kota-kota lain juga memiliki hasil serupa. Lihat “Uncovering Crime with Crime: Survey of Torture at Detention Centers in 2008”, Jakarta Legal Aid Institute (Jakarta, 2008), dan “Mengukur Realitas dan Persepsi Penyiksaan di Indonesia”, Partnership for Governance Reform (Jakarta, 2011). 30 “Grand Strategi Polri”, op. cit. 31 Sebutan kepangkatan dalam Polri telah mengalami perubahan sejak tahun 2000, tapi jumlah tingkatan maupun perbedaan tajam antara perwira dan bintara masih sama. Sebutan “jenderal” masih digunakan bagi empat pangkat paling tinggi dengan simbol bintang layaknya angkatan darat. Lihat Awaloeddin Djamin et al., Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia (Jakarta, 2006).
Secara struktural, Polres dan Polsek juga kekurangan peralatan untuk menangani ketegangan di dalam masyarakat. Ketika situasi memanas, mereka biasanya memanggil Brimob, pasukan paramiliter milik Polri yang punya unit di setiap Polda, untuk mendukung polisi organik. Kehadiran Brimob kerap bermasalah. Brimob sebenarnya diperlengkapi dengan water canon, gas airmata dan persenjataan tidak mematikan lainnya disamping senapan api. Tetapi, mereka seringkali hanya membawa senjata yang mematikan saja ketika dikirim untuk menanggulangi kerusuhan massa.34 Di samping itu, pasukan Brimob tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat dan dilatih untuk menghentikan kerusuhan dengan menggunakan kekerasan. Brimob ditakuti masyarakat dan walaupun kehadiran mereka bisa memadamkan kerusuhan, gaya represif dari unit ini dapat memperlebar jurang di antara warga dan polisi. Ketidaksetaraan jender secara struktural juga menjadi faktor gagalnya program Polmas untuk mengakar. Jumlah
32
Akademi Kepolisian yang terletak di Semarang menerima antara 300 sampai 400 siswa tiap tahunnya. 33 Crisis Group interview, Wahyu Rudhanto, Jakarta, 1 Desember 2011. Petugas reskrim dan intel memiliki interaksi lebih sedikit dengan warga karena mereka kebanyakan berhubungan dengan penjahat dan orang-orang yang dianggap ancaman keamanan. 34 Menjinakkan bom dan menangani pemberontak menjadi bagian dari tugas Brimob; peran layaknya sebagai pasukan bertempur membuat Brimob bertendensi melihat sasaran polisi sebagai “musuh”. Sudah dilakukan beberapa upaya untuk melatih Brimob tentang HAM dan Polmas, tapi insiden-insiden penggunaan kekuatan yang berlebihan masih terus terjadi. “Mereformasi Brigade Mobil”, Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2004.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
polisi wanita (polwan) hanya tiga persen, dan seringkali hanya diberi peran administratif.35 Di sisi lain, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), yang dibentuk sejak tahun 1999, telah diterima masyarakat dengan lebih baik dibandingkan perangkat kepolisian lainnya di sejumlah tempat dimana unit ini eksis. Artinya, penempatan polwan dalam posisi berpengaruh berdampak positif bagi hubungan Polri dan warga secara umum dan perlu diperbanyak.36
3. Individual Inti kebijakan Polmas pada dasarnya menuntut polisi untuk melakukan lebih banyak patroli dan interaksi, yang berarti berjalan, berhenti dan berbicara dengan warga. Kegiatan seperti ini dianggap tidak memberi imbalan bagi petugas dan mengharuskan upaya fisik, waktu dan ketrampilan komunikasi yang lebih banyak. Di tahun 2005, Polri, bekerjasama dengan Departemen Kehakiman AS, menemukan bahwa di banyak Polsek dan Polres, kesetiaan terhadap atasan mengalahkan keinginan untuk berprestasi secara profesional, sehingga membuat petugas yang berpangkat rendah kurang termotivasi. Rotasi dan mutasi dilihat sebagai penghargaan atau hukuman yang nyata, tergantung pada tingkat kenyamanan atau akses ke keuntungan materi di sebuah lokasi penempatan.37 Dalam situasi seperti ini, terlihat hadir di upacara-upacara lebih bermanfaat bagi pengembangan karir dibanding meluangkan waktu bertemu dengan warga dan mendengarkan keluhan mereka. Faktor kepemimpinan akhirnya menjadi sangat penting dalam pelaksanaan Polmas. Menurut sebuah studi, frekwensi kunjungan oleh petugas menemui warga tergantung pada sekeras apa Kapolda setempat memberi perintah untuk melakukan itu kepada anggotanya.38
Page 6
bahwa banyak anggota Polri yang tidak memahami pentingnya untuk berpatroli jalan kaki kalau kendaraan tersedia.39 Di kawasan pedesaan yang jarang penduduknya, dimana wilayah tugas polsek meliputi sebuah wilayah yang luas dan jarak pemukiman penduduk satu sama lain cukup jauh, patroli jalan kaki mungkin sulit dilakukan, sehingga sepeda motor menjadi keharusan.40 Dalam situasi semacam ini, patroli proaktif membutuhkan bahan bakar lebih banyak dan biaya tinggi sehingga ketiadaan sumberdaya kerap jadi kendala Polmas.
4. Finansial Praktek-praktek korupsi dalam Polri dan ketergantungan pada dana dari luar untuk pelaksanaan tugas dan kesejahteraan anggota juga menghalangi banyak upaya reformasi, termasuk program Polmas. Setiap sendi di Polri rawan terhadap penyelewengan ini termasuk urusan promosi, penempatan, penugasan, proses investigasi, inspeksi lalu lintas, dokumen kendaraan, penangkapan, operasi penggerebekan, dan sebagainya.41 Dalam iklim seperti ini, keputusan terkait dengan tugas cenderung dipengaruhi oleh keuntungan finansial daripada komitmen terhadap profesionalisme. Gamblangnya, patroli jalan kaki dan kunjungan warga, terutama di daerah-daerah kering tidak memberikan insentif finansial kepada petugas. Praktek-praktek memburu rente, seperti menjadi pelindung aset pengusaha besar atau razia kendaraan untuk mencari dokumen yang sudah kadaluarsa, seringkali lebih menarik.42 Seorang mantan Kapolri pernah berkata: Bayangkan kalau seseorang mau jadi polisi harus bayar, rahasia umum, cari nilai yang baik harus bayar, nanti lulus agar ditempatkan di sesuatu tempat harus bayar, di satu tempat milih jalur lalu-lintas bayar lagi,
Tanpa adanya sistem insentif dalam pelaksanaan patroli, petugas polisi jarang melakukannya apalagi dengan berjalan kaki. Di tahun 2009, Kompolnas menemukan 39
Ibid. Polri berencana untuk memperlengkapi tiap Polsek di pedesaan masing-masing dengan sedikitnya dua sepeda motor, Polsek di perkotaan dua mobil dan polres dengan sebuah truk anti huru-hara. T. Hari Prihatono dan Jessica Evangeline, op. cit., hal. 245-246. 41 Lihat “Polda Sulawesi Selatan”, op. cit.; Grand Strategy Polri 2005-2025, Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2005; Kunarto, Kapita Selekta Binteman Polri, (Jakarta, 1999); “Unfinished Business: Police Accountability in Indonesia”, Amnesty International, op. cit.; “Persepsi Publik atas Praktek Mafia Hukum di Lembaga Penegak Hukum”, Lingkaran Survei Indonesia, Januari 2011; dan Crisis Group interviews, petugas aktif dan pensiunan Polri Juni-September 2011. 42 Di tahun 2004, sebuah laporan yang didukung Polri menemukan 40 jenis korupsi dalam tubuh kepolisian. Operasi penggerebekan pusat-pusat “hiburan” dan mempermasalahkan SIM atau STNK termasuk di dalamnya. Laporan ini juga menemukan bahwa patroli di wilayah yang kelihatannya ada banyak pelanggar hukum, dianggap lebih menguntungkan. Lihat “Polri and KKN”, Partnership for Governance Reform (Jakarta, 2004). 40
35
“Jumlah Polwan Masih Kurang”, Media Indonesia, 15 Agustus 2011. 36 Untuk informasi lebih lanjut mengenai unit-unit ini, lihat “Unfinished Business: Police Accountability in Indonesia”, Amnesty International (London, 2009), hal. 33. 37 “Polda Sulawesi Selatan: Bertindak Lokal, Berpikir Nasional dengan Perspektif Global”, Polri dan Program Bantuan Pelatihan Investigasi Kriminal Internasional, Desember 2005. 38 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia untuk Polri, lebih dari 67 persen responden di Jawa Tengah mengatakan polisi jarang atau tidak pernah mengunjungi warga, sementara lebih dari 50 persen responden di Sumatera Utara merasa petugas berupaya untuk mengunjungi tokoh masyarakat secara rutin. Ternyata kemudian diketahui bahwa Kapolda Sumatera Utara saat itu telah memerintahkan para petugas Polmasnya untuk menemui paling sedikit 20 tokoh setempat dalam seminggu, dimana hal ini memperlihatkan frekwensi kunjungan lebih dipengaruhi oleh ketaatan terhadap atasan daripada alasan profesional. “Polri dan Pemolisian”, op. cit., hal. 167-170.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
di lalu-lintas tidak mau panas-panas, minta di bagian Regiden (Registrasi Identifikasi SIM dan STNK) harus bayar lagi. Sungguh satu hal yang jauh dari idealisme.43 Seorang jenderal polisi yang masih aktif memperingatkan bahwa jika lingkaran setan ini terus berlanjut, fokus utama seorang petugas tidak akan pada tugasnya sebagai abdi masyarakat tapi bagaimana supaya bisa ‘BEP’ (Break Even Point) atau memperoleh kembali investasinya.44 “Rahasia umum” mengenai meluasnya korupsi di tubuh Polri telah memicu keluarnya himbauan dalam grand strategi 2005 terhadap anggota untuk menerapkan sistem peningkatan karir yang transparan dan menekankan bahwa gaya hidup bebas-suap para atasan sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan internal.45 Tapi praktekpraktek seperti upeti atau hadiah dari petugas junior ke atasan mereka, menurut berbagai laporan, masih umum terjadi.46 Pendapatan dari pungutan liar memang bukan hanya untuk keuntungan pribadi tapi juga demi pembiayaan tugas kepolisian. Dana-dana gelap seperti ini biasa dipakai untuk berbagai hal dari mengisi bahan bakar kendaraan patroli sampai ke sangu petugas yang siangmalam harus menjaga aksi unjuk rasa. “Tanpa uang saku, jangan harap petugas akan bergerak”, kata seorang Kapolres yang harus menggalang dana di luar anggaran untuk mengurus pasukan bantuan ketika kerusuhan terkait pemilu terjadi di wilayahnya tahun 2010.47 Pada tahun 2009, pimpinan Polda Sumatra Utara dan Jawa Tengah, menganggarkan bonus sebesar Rp 100,000 sebulan bagi petugas yang melakukan kunjungan ke warganya.48 Jumlah ini saja tidak dianggap sebagai insentif yang memadai. Idealnya, dalam sistem Polmas yang berjalan baik, tak perlu ada sama sekali bonus seperti ini. Kenyataannya, insentif finansial itu penting. Karena itu, mungkin tidak mengejutkan bahwa sebuah wilayah yang Polmas-nya cukup sukses adalah di Tamansari, sebuah daerah hiburan malam di Jakarta. Ini karena petugas disana bisa mendapat keuntungan materi ketika mereka patroli ke sejumlah toko, hotel jam-jaman, bar dan panti pijat yang sebenarnya sarang prostitusi.49
43
Kunarto, op. cit. Crisis Group interview, seorang jenderal polisi, Sumatera, September 2011. 45 Grand Strategy Polri 2005-2025, op. cit. 46 “Unfinished Business”, op. cit. 47 Crisis Group interview, seorang perwira polisi, Sulawesi, September 2010. 48 “Polri dan Pemolisian Demokratis”, Komisi Kepolisian Nasional (Jakarta, 2009), hal. 180-182. 49 Crisis Group interview, pengajar ilmu kepolisian, Jakarta, Desember 2011. Di Tamansari dan daerah prostitusi lain, polisi seringkali tutup mata terhadap prostitusi dan kegiatan maksiat lain asalkan ada uang keamanan dan jaminan ketertiban umum. Tempat-tempat “hiburan” masih bisa jadi target operasi polisi 44
Page 7
5. Pendidikan Meski sudah banyak buku dan diktat yang dicetak tentang Polmas untuk tujuan pelatihan, tapi penggunaannya masih sangat terbatas.50 Seorang jenderal polisi mengatakan para petugas “terlalu malas untuk membaca buku panduan dan mereka akan bilang mereka belum pernah lihat kalau ditanya, karena sebenarnya tidak peduli”.51 Di 26 Sekolah Polisi Negara yang ada, tidak terdapat kelas wajib mengenai Polmas secara tersendiri.52 Apabila dibandingkan siswa jalur intelijen atau reskrim, mereka yang mengikuti program samapta (patroli) belajar sedikit mengenai teori-teori Polmas namun hal-hal itu sering terkubur di dalam materi untuk kelas-kelas tentang negosiasi, pengendalian massa dan reaksi cepat.53 Terlalu sering yang terjadi adalah petugas baru belajar mengenai interaksi dengan masyarakat ketika mereka sudah berinteraksi dengan seniornya yang masih bertahan pada norma-norma lama dan menganggap nilai-nilai progresif sebagai wacana yang tidak menguntungkan mereka. Penekanan pada kuantitas angka dibanding kualitas dalam proses perekrutan juga telah membuat instruksi mengenai Polmas tidak dianggap penting.54 Sistem pendidikan Polri juga telah dinodai oleh korupsi, nepotisme dan budaya diam. Meski sudah ada kriteria yang jelas mengenai perekrutan, dan pengawasan yang lebih baik dalam proses rekrutmen dibanding sebelumnya, panitia seleksi masih bisa memberi kemudahan ketika pelamar adalah anak polisi. Anak-anak perwira polisi berpangkat tinggi punya kesempatan lebih baik masuk Akpol dibanding yang lain. Di Akpol, para taruna junior kemudian sering diplonco oleh senior mereka di luar jam pelajaran, termasuk disetrum untuk kesalahan yang sangat
ketika ada tekanan dari kelompok-kelompok agamis, ada kebutuhan dana atau ada perintah dari atasan baru, tapi operasi ini biasanya sporadis, kadang direkayasa dan setelah beberapa lama tempat-tempat ini akan beroperasi kembali seperti sediakala. 50 Buku-buku mengkilap yang didanai oleh para donor Barat mengutuk segala jenis penyiksaan, menjelaskan tentang HAM dan mengajarkan tentang bagaimana membangun komunikasi dengan publik. Salah satunya yaitu Buku Panduan Pelatihan Untuk Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia: Perpolisian Masyarakat, (Jakarta, 2006). 51 Crisis Group interview, seorang jenderal polisi, Sulawesi, Juli 2011. 52 Masa training resmi SPN adalah sebelas bulan, enam bulan yang terakhir dilakukan di stasiun polisi sebagai on-the-job training (latihan sambil bekerja). Ada 26 SPN di 33 propinsi. Beberapa propinsi baru seperti Sulawesi Barat dan Papua Barat, tidak punya SPN atau bahkan Polda sendiri. 53 Kurikulum tahun 2011 SPN Jawa Tengah di Purwokerto ada di http://spnpurwokerto.blogspot.com. Kelas-kelas tentang negosiasi, pengendalian massa, reaksi cepat dan huru-hara masingmasing berlangsung selama 6 hari.. 54 Sabrina Asril dan I Made Ashdiana, “Kapolda Akui Arogansi Aparat Kepolisian”, Kompas, 1 Juli 2011.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
sepele.55 Adanya budaya survival of the fittest (yang kuat menang) dan penggunaan kekerasaan untuk menjamin status sejak masuk tubuh Polri menanamkan nilai-nilai dalam diri petugas yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Polmas. Tanpa pemahaman atau pengakuan terhadap kendala-kendala diatas, program Polmas akan sulit untuk berhasil sebagus apapun konsepnya.
C. REFORMASI YANG MANDEK Semua kendala ini memang telah membuat banyak pihak frustrasi dengan reformasi kepolisian dan pengimplementasian Polmas. Kepemimpinan Polri selama ini tidak konsisten dalam komitmennya terhadap konsep ini sehingga membingungkan para petugas yang berhubungan langsung dengan publik. Untuk dapat merubah budaya ini, tidak hanya diperlukan waktu tapi juga sosialisasi nilai-nilai baru secara terus menerus dari atas. Meski jumlah lulusan SPN jauh lebih banyak dibanding di masa lalu sehingga lebih banyak putra daerah yang ditugaskan di wilayah mereka sendiri, local boys ini cenderung mengadopsi budaya yang sama dengan atasan dan tidak lagi loyal terhadap komunitas asal agar bisa lebih diterima oleh korps Polri. Manfaat merekrut putra daerah juga menjadi terbatas ketika komandan mereka sering berganti dan menganggap hubungan dengan masyarakat sebagai prioritas rendah. Kurangnya insentif langsung bagi petugas, baik finansial atau profesional, dalam membina Polmas berarti prioritas lain jadi lebih penting. Banyak petugas meremehkan kenyataan betapa dalamnya kini tingkat ketidakpercayaan publik terhadap polisi dan betapa banyaknya warga biasa yang percaya mereka tidak punya pilihan lain untuk mendapat tanggapan terhadap ketidakpuasan mereka, kecuali lewat jalan kekerasan. Semua lokasi di dalam laporan ini tidak memiliki program Polmas yang nyata sebelum kerusuhan meletus dan hanya diterapkan setelah kejadian dalam kadar tertentu. Terlihat jelas bahwa semua ini bisa dihindari kalau saja polisi punya hubungan yang lebih baik dengan masyarakat.
55
“Tradisi Brutal di Akademi Perwira”, Tempo, 9 Oktober 2011. Artikel ini merupakan sebuah laporan investigatif yang mengungkap penyiksaan oleh taruna senior terhadap juniornya di Akpol yang hingga kini terus terjadi. Tempo memperlihatkan sepuluh bentuk penyiksaan dengan gambar yang jelas.
Page 8
III. KASUS PERTAMA: TRAGEDI BERDARAH DI BUOL Dari tanggal 31 Agustus hingga 1 September 2010, warga Kabupaten Buol di Sulawesi Tengah menyerang dan menghancurkan fasilitas kepolisian, sehingga membuat anggota keluarga aparat terpaksa mengungsi dan separuh dari anggota Polres setempat minta untuk dimutasi.56 Kerusuhan massa itu dipicu oleh kematian seorang pemuda dalam tahanan polisi yang dicurigai telah mengalami penyiksaan serta aksi unjuk rasa setelahnya yang mengakibatkan tujuh orang tewas tertembak. Liputan media televisi atas kekacauan yang terjadi itu mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuntut pertanggunganjawaban polisi dan Wakapolri saat itu berkunjung ke lokasi dimana ia berjanji akan mengusut tuntas insiden itu.57 Hingga awal tahun 2012, sebanyak 26 aparat kepolisian telah mendapat sanksi indisipliner untuk kasus pelanggaran ringan. Dua diantaranya kemudian menerima hukuman dari pengadilan selama satu tahun penjara dikurangi masa tahanan untuk kasus penganiayaan yang terkesan lunak namun sebenarnya lebih berat dari hukuman yang biasanya dijatuhkan lembaga peradilan dalam kasus yang melibatkan polisi. Sampai kini masih begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dalam kasus ini. Buol adalah salah satu kabupaten termiskin di Sulawesi Tengah yang memiliki garis pantai yang lebih dari 200 km panjangnya menghadap laut Sulawesi.58 Pusat kotanya yang kecil ditandai pertigaan menghubungkan dua jalan raya yang lebarnya empat jalur, selebihnya terdiri dari gang-gang sempit, sebagian besar tak beraspal.59 Kebanyakan gedung pemerintahan di sana berdiri dalam kondisi setengah runtuh, termasuk kantor-kantor yang
56
Crisis Group interview, petugas polisi di Palu dan Buol, September 2010, Juli 2011 dan September 2011; dan beberapa artikel surat kabar, termasuk “Buol Remains in Critical State After Deadly Clashes”, The Jakarta Post, 3 September 2010 dan “Warga Serbu Kantor Polisi, 7 Tewas”, Koran Tempo, 2 September 2010. 57 Wakapolri saat itu adalah Komisaris Jenderal Jusuf Manggabarani. “Risalah Rapat Multi-Partai Setelah Penembakan di Buol”, didapat dari Komnas HAM, 2 September 2010. Juga lihat “Wakapolri Minta Maaf”, Mercusuar, 3 September 2010 dan Ruslan Sangadji, “Police Apologises for Buol Tragedy as Death Toll Tops 8”, Jakarta Post, 6 September 2010. 58 UU no. 51/1999 tentang Pemekaran Kabupaten Buol Tolitoli memekarkan kabupaten ini menjadi dua kabupaten baru yaitu – Buol dan Tolitoli. Ibukota kabupaten lama ada di Tolitoli, yang secara tradisi adalah pusat kegiatanpesisir utara Sulawesi Tengah. 59 Luas Buol yaitu 4.044 km persegi dengan jumlah penduduk 132.000 orang. Kepadatan penduduk yaitu 33 orang per kilometer persegi, tapi di ibukota kabupaten, Biau, jumlah penduduknya tiga kali lebih padat.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
belum selesai dibangun dan ditinggalkan setengah jadi. Dibutuhkan 18 jam naik mobil untuk sampai ibukota propinsi, Palu, lewat jalan yang penuh lubang dan beberapa jembatan runtuh yang membelah bukit terjal dan hutan belantara. Tak banyak sumber alam yang dihasilkan Buol. Orang-orang di kabupaten tetangganya, Toli-toli, yang merupakan daerah kaya penghasil cengkeh, menyindir Buol dengan singkatan “Bukan Untuk Orang Lain”.60
A. TEWASNYA TAHANAN POLSEK Sekitar tengah malam tanggal 28 Agustus, saat bulan puasa, Kasmir Timumun, 19 tahun, mengendarai motor dengan temannya menuruni jalan berbukit. Ia menabrak seorang anggota polisi yang mencoba untuk menghentikannya, hingga kaki petugas itu tersebut patah.61 Teman Kasmir kabur dan petugas lain yang berada di lokasi membawa Kasmir ke Polsek terdekat di kecamatan Biau. Polisi membangun citra bahwa Kasmir sebagai peserta balapan liar yang tidak bertanggung jawab. Balapan liar sepeda motor tiap malam Minggu diantara para remaja adalah hal lumrah di daerah perdesaan. Tetapi, tiada yang percaya versi polisi ini karena jalanan menurun di daerah perbukitan itu terlalu berbahaya. Belakangan, seorang perwira mengakui bahwa petugas yang patah kaki itu sedang bertugas menertibkan aksi balapan liar sepeda motor atas instruksi Polda. Mereka ingin memperkarakan sebanyak mungkin pengendara motor untuk menunjukkan statistik yang mengesankan ke atasan yang akan bermakna bagi peningkatan karir. “Polres-polres bersaing untuk memperlihatkan kepada Polda siapa yang mampu menyetop pembalap liar paling banyak”, katanya.62 Razia jalan juga jadi sumber pendapatan polisi dan Kasmir mungkin saat itu berusaha menghindari pungli.63 Semua pihak, termasuk polisi, setuju bahwa Kasmir telah dipukuli dalam tahanan. Sejumlah petugas, kebanyakan dari satlantas, memukulnya karena Kasmir telah
60
Crisis Group interview, warga Tolitoli, September 2010. Sementara populasi Tolitoli memiliki beragam etnis, terpencilnya Buol dan kurangnya kegiatan ekonomi di daerah ini membuat Buol tidak populer bagi pendatang. 61 Penjelasan dari polisi, tim pencari fakta, dokumen sidang dan warga, semua setuju bahwa tabrakan ini yang memicu tragedi Buol. Petugas polisi, Briptu Ridwan Majo, mengalami patah kaki. “Buol Kembali Mencekam”, Kompas, 3 September 2011. 62 Crisis Group interview, anggota panel sidang indisipliner terhadap petugas lalu lintas Buol, Buol, 25 Juli 2011. 63 Crisis Group interview, warga Buol, 25-27 September 2010 dan 24-27 Juli 2011. Warga mengklaim polisi akan minta “kartu biru”, kode untuk uang suap Rp. 50.000, untuk menghindari tilang karena tidak pakai helm atau mengambil jalur yang salah, dan “kartu merah” sebagai kode untuk uang suap Rp.100.000, untuk menghindari dihukum karena tidak bisa memperlihatkan SIM atau STNK. Juga lihat “Ketika Senjata Api Mengoyak Buol”, Kompas, 6 September 2010.
Page 9
mencederai rekan mereka.64 Petugas jaga tahanan Polsek Biau tidak berusaha mencegah.65 Selama itu terjadi, polisi tidak pernah memberi kabar kepada keluarga Kasmir bahwa ia ditahan; mereka tahunya dari pembonceng yang kabur dari lokasi. Tanggal 29 Agustus, keluarga mengunjungi Kasmir beberapa kali. Ia berulang kali bilang,”Kalau terus begini cara mereka aniaya saya, saya bisa mati”.66 Keesokan harinya setelah makan siang, kakaknya melihat ia tak bisa jalan. Malamnya, polisi memanggil keluarganya dan memperlihatkan bahwa Kasmir sudah meninggal, dalam posisi tergantung kain sarung di pintu sel.67 Selama tiga hari dalam tahanan, petugas Polsek tidak pernah membuat Berita Acara Pemeriksaan, menginterogasi atau menetapkannya sebagai tersangka dalam pelanggaran apapun.68 Kapolsek Biau Iptu Zakir Butudoka sekonyong-konyong menyatakan kematiannya karena bunuh diri padahal belum ada pemeriksaan post-mortem.69 Petugas lalu menurunkan jenasah Kasmir dan membawanya ke rumah sakit setempat tanpa persetujuan keluarga.70 Di sana, dokter gagal melakukan otopsi malam itu karena listrik mati.71 Akhirnya, keluarga membawa jenasah penuh luka memar itu ke rumah duka dimana sudah banyak warga yang menunggu setelah mendengar kematian Kasmir. Opini publik sudah terbangun bahwa polisi menganiaya Kasmir, yang walaupun miskin tapi memiliki hubungan
64
Crisis Group interview, Kapolda Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Dewa Parsana, Palu, 28 Juli 2011; dan tersangka, Inspektur Satu Jefri Pantouw, yang juga Kasatlantas Polres Buol, Palu, 20 September 2011. 65 Pernyataan dari Kapolsek Biau, Zakir Butudoka, dalam sidang indisipliner polisi, Oktober 2010. Lihat “Tiga Polisi Divonis Kurungan 21 Hari”, Kompas, 14 Oktober 2010. 66 Keluarga mengeluarkan laporan mereka sendiri yang berisi penjelasan seputar kematian Kasmir Timumun. “Laporan Kronologis Korban Penganiayaan oleh Oknum Kepolisian”, September 2010, hal. 2-3. 67 “Laporan Tim Pencari Fakta Insiden Berdarah 31 Agustus 2010”, Oktober 2010, p. 10. Ini adalah hasil tim pencari fakta yang dibentuk oleh pemerintahan kabupaten setempat. 68 Crisis Group interview, Kapolres Buol Hari Suprapto, Buol, 26 Juli 2011. 69 Laporan Tim Pencari Fakta, op. cit., hal. 10. Dalam sidang, Butudoka bersaksi bahwa ia baru tahu Kasmir berada dalam tahanan Polsek Biau pada hari Kasmir meninggal karena tidak ada laporan kepadanya. Lihat Surat Tuntutan no. Pdm 86/PL/Ep.1/03/2011, Kejaksaan Negeri Palu, 4 Agustus 2011. Dokumen ini yang dipakai jaksa dalam menuntut hukuman terhadap Amirullah Haruna, satu-satunya petugas polisi yang didakwa atas penembakan terhadap warga dalam tragedi Buol. Korban selamat dan Haruna bebas. 70 Laporan Kronologis, op. cit., hal. 6. 71 Otopsi di Indonesia biasa dilakukan oleh institusi medis milik negara seperti rumah sakit umum daerah (RSUD) atau kalau di kota besar, oleh dokter forensik polisi. Ada persepsi yang meluas bahwa dokter cenderung memihak polisi dalam kasuskasus yang melibatkan kebrutalan polisi, dan keluarga tidak diberi informasi mengenai penyebab kematian yang sebenarnya.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
dengan marga-marga terpandang di Buol.72 Para pengunjuk rasa lalu melempar batu ke Polsek Biau sehingga polisi terpaksa melontarkan tembakan peringatan dan gas airmata. Kapolres Buol Amin Litarso sampai harus menjanjikan untuk melakukan otopsi terhadap jenasah untuk menghindari bentrokan.73 Tanggal 31 Agustus, setelah dilakukan otopsi oleh doketer Rumah Sakit Umum Buol, jenasah Kasmir dikuburkan dan pemakaman itu membangkitkan emosi massa. Siangnya, dokter mengumumkan bahwa Kasmir meninggal akibat tekanan pada tulang leher dan saluran pernapasan yang terjepit.74 Ketua tim otopsi memberitahu keluarga secara lisan bahwa Kasmir meninggal bunuh diri, tapi keluarga percaya bahwa kalaupun itu memang benar demikian, penganiayaan oleh polisi-lah yang mendorongnya.75 Pada jam 7 malam, Kapolres menegaskan kembali bahwa Kasmir bunuh diri, tanpa ada penyesalan atau pengakuan terhadap perlakuan yang diterima pemuda itu dalam tahanan.76 Kenyataan bahwa Kasmir meninggal ketika ia berpuasa mengusik perasaan masyarakat yang mayoritas Muslim, dan malam itu, klaim polisi bahwa Kasmir meninggal bunuh diri menjadi topik pembicaraan di masjid-masjid. Setelah shalat tarawih, ribuan orang bergerak menuju polsek Biau, meminta penjelasan dari petugas yang menahan Kasmir. Tapi, Kapolres bukannya menghadapi massa di situ, malah pergi ke Polres Buol, yang terletak di atas bukit di luar pusat kota, untuk menghindari penumpukan massa yang semakin banyak. Di lapangan, Wakapolres Ali Hadi Nur mengambil alih kendali.
B. PROTES BERUJUNG KEKERASAN Buol sudah tegang lama sebelum kematian Kasmir. Protes terhadap bupati Amran Batalipu sudah berlangsung sejak awal 2010, dipimpin oleh sekelompok pegawai negeri sipil (PNS) yang menuduhnya melakukan korupsi dan
Page 10
menuntut dirinya turun dari jabatan.77 Sekitar 100 anggota Brimob dari Palu sudah berada di Buol sejak beberapa bulan untuk melindungi fasilitas pemerintah yang kerap dirusak massa. Beberapa pengunjuk rasa sudah ditahan, tapi hal ini menambah antipati masyarakat terhadap polisi dan tuduhan bahwa mereka berusaha melindungi pemerintahan yang bobrok dari protes warga.78 Kantor bupati terletak di sebelah Polsek Biau. Setelah berbulanbulan jauh dari rumah dan menghadapi aksi protes massa saban harinya, pasukan Brimob yang lelah memiliki kesabaran rendah terhadap massa yang menuntut penjelasan dari polisi mengenai klaim bunuh diri Kasmir.79 Tanggal 31 Agustus, jam 9 malam, pasukan Brimob, anggota Polres Buol yang dipimpin Wakapolres dan beberapa petugas berpakaian preman yang membawa senjata api berusaha untuk menghentikan para pengunjuk rasa sampai ke markas Polsek.80 Para petugas mengklaim bahwa para pengunjuk rasa anti-Batalipu ikut bergabung dengan massa yang meneriakkan yel-yel anti polisi serta mencampur-adukkan politik dan simpati buat Kasmir. Karena tidak bisa sampai ke Polsek, massa melempar batu dan bom Molotov ke arah polisi sehingga petugas terpaksa melepaskan tembakan peringatan dan gas airmata. Ketegangan meningkat ketika polisi mengejek para pemrotes dengan cercaan berbau SARA seperti “orang Buol binatang” dan “hanya makan sagu”.81 Tibatiba, listrik mati, dan warga menyerang Mapolsek Biau dalam kegelapan dari seluruh penjuru. Polisi menanggapi dengan menembak membabi-buta ke arah massa, dan kerusuhan pun berlanjut hingga waktu sahur. Enam warga tewas terkena tembakan peluru malam itu. Mereka semua jatuh di lokasi-lokasi yang berjarak lebih dari 100 meter dari mapolsek, kebanyakan di tempat-tepat terpisah.82 Kalau tembakan berasal dari pasukan Brimob yang berada langsung di sekitar Polsek, seharusnya ada korban luka dari bagian depan massa, tapi nyatanya tidak. Sebuah tim pencari fakta, yang dibentuk oleh pemerintah lokal, menyimpulkan bahwa para petugas pastinya telah mengejar demonstran hingga jauh dan mengaitkan korban
72
Ibid, hal. 6-7. “Laporan Penyelidikan Komnas HAM atas Bentrok Masyarakat dengan Aparat Kepolisian di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah”, Komnas HAM, September 2010, hal. 4. Laporan ini adalah hasil investigasi Komnas HAM di Buol. Pangkat Litarso saat itu adalah Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP), setara dengan letnan kolonel di TNI. 74 Jaksa, warga, anggota DPRD Kabupaten, tim pencari fakta setempat dan tokoh masyarakat semua mengatakan bahwa laporan otopsi tidak secara eksplisit menyimpulkan bahwa kematian Kasmir karena bunuh diri. Sementara semua petugas kepolisian mengklaim sebaliknya. Polisi menolak memperlihatkan laporan hasil otopsi yang asli kepada Crisis Group. Crisis Group interview, Buol, Palu dan Jakarta, September 2010, Juli 2011, September-Oktober 2011. 75 Laporan Kronologis, op. cit., hal. 8. Pihak keluarga tidak segera diberi laporan post-mortem dan baru diberikan setelah memintanya selama beberapa minggu. 76 Laporan Tim Pencari Fakta, op. cit., hal. 12. 73
77
Banyak pegawai negeri sipil yang protes terhadap Batalipu karena memberi posisi basah ke anggota keluarganya sementara lawan politiknya ditempatkan di pelosok terpencil kabupaten. Crisis Group interview, seorang pegawai senior pemerintahan Kabupaten Buol, Buol, 25 September 2010. 78 Crisis Group interview, Kapolda Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Dewa Parsana, 28 Juli 2011. 79 Anggota Brimob biasanya bertugas selama dua hingga tiga minggu jauh dari markas mereka di ibukota propinsi. Polres setempat biasanya diminta menanggung akomodasi dan makan mereka meski dana untuk ini seharusnya sudah dialokasikan oleh Polda. 80 Laporan Tim Pencari Fakta, op. cit., hal. 12-14. 81 Transkrip Risalah Rapat Multi-Partai, op. cit. Sagu dianggap makanan orang miskin dan berkonotasi terbelakang. 82 Laporan Tim Pencari Fakta, op. cit., hal. 15-21.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
tewas ke “pasukan liar yang dikonsentrasikan di luar Mapolsek Biau untuk melumpuhkan dan membunuh”.83 Kapolda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Dewa Parsana menolak laporan tersebut tapi tidak memberikan teori alternatif.84 Anggota polisi yang lain mengakui para petugas bersenjata mengejar massa hingga ratusan meter dari Mapolsek Biau.85 Korban ketujuh, yang terkena tembakan 300 meter dari kantor Polsek, meninggal empat hari kemudian. Warga percaya penembak berasal dari kepolisian karena tidak ada yang lain yang membawa senjata api di Buol.86 Polres memiliki 260 pucuk senjata dan pada tanggal 16 September petugas logistik menemukan paling sedikit 15,000 peluru, lebih dari 80 persen darinya peluru tajam, keluar kandang.87 Di tengah kekacauan, banyak peluru yang diambil dari gudang senjata tanpa catatan.88 Otopsi terhadap warga yang tewas dan keterangan dari korban luka mungkin bisa menjelaskan bagaimana tembakan dilepaskan. Tapi di kota yang gelap gulita saat itu, tak ada petugas yang berani mendekati jenasah-jenasah yang tergeletak. Sementara itu, keluarga langsung mengubur mereka dan warga lain menyimpan selongsong peluru yang mengotori kota sebagai suvenir. Polisi hanya bertahan di Mapolsek dan membagi senjata serta amunisi dari gudang untuk persiapan esok hari.89
C. POLISI MENGUNGSI Tanggal 1 September, masyarakat balas dendam dengan merusak barang-barang pribadi maupun dinas milik anggota polisi yang berada di luar Mapolsek Biau. Mereka 83
Ibid. Crisis Group interview, Kapolda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Dewa Parsana, 28 Juli 2011. 85 Lihat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Brigadir Prendi Rahmawan Saputra, seorang intel polisi, 18 September 2010. Ia mengklaim anggota Brimob sudah mulai melepaskan tembakan 15 menit setelah massa berada dalam jarak selemparan batu dari Mapolsek. Ia mengatakan saat itu tidak ada negosiasi karena kedua belah pihak saling serang sebelum juru runding bisa bertemu. 86 Crisis Group interview, Rahim Yamin dan Adil Suling, anggota tim pencari fakta pemkab Buol, Buol, 25 Juli 2011. 87 Sekitar 20 persen terdiri dari peluru karet dan peluru kosong. Jumlah ini tidak termasuk amunisi pasukan Brimob, dan bukan berarti semua peluru tersebut dipakai dalam penembakan. Beberapa mungkin tercecer. Ini hanya sebagai indikasi bahwa inspeksi serius terhadap senjata dan amunisi jarang dilakukan. Lihat BAP Idham Tomagola, Kepala Sub Bagian Logistik Polres Buol, 18 September 2011. Laporan lebih lanjut mengenai inspeksi persenjataan di Indonesia, lihat Crisis Group Asia Briefing No109, Illicit Arms in Indonesia, 6 September 2010. 88 BAP Idham Tomagola, op. cit. 89 BAP petugas polisi Ricky Jeniver, 21 September 2010. Petugas yang berusia 21 tahun ini tidak ada perintah untuk menggunakan senjata api tapi ia tetap mengambil sebuah revolver dan beberapa peluru setelah menandatangani pendataan. 84
Page 11
menyerang rumah Wakapolres Hadi Nur, menjarah isi rumahnya dan membakar perabotan lain.90 Warga menghantam Mapolsek Momunu yang tidak terlalu dijaga dan membakar kantor itu serta asrama polisi yang berada di belakangnya sampai habis. Kerugian negara mencapai hingga Rp 2 milyar.91 Warga juga memblokir jalan raya empat jalur di pusat kota dengan meletakkan batu-batu besar dan potongan kayu di tengah jalan agar mobil patroli dan truk polisi tidak bisa lewat dan melakukan sweeping terhadap aparat dan keluarganya.92 Anggota Intel Polri menyebarkan sebuah SMS ke rekanrekannya yang isinya,”pihak keluarga korban mempersiapkan alat berupa panah, bom molotov untuk membalas dendam sebentar malam dan mencari semua keluarga polisi untuk dijadikan sandera”. Pesan ini membuat Hadi Nur membangkang instruksi Kapolres Litarso agar bertahan di Mapolsek dan tidak melepaskan tembakan. Sebaliknya, Wakapolres itu malah meninggalkan pasukan Brimob di Mapolsek sementara ia berusaha mendapatkan bantuan bagi keluarga aparat polisi yang terkepung. Menjelang senja, ia memimpin serombongan keluarga polisi keluar kota Buol dengan penjagaan ketat di bawah lemparan batu dari warga. Ia membela pembangkangannya terhadap perintah pimpinan sebagai keniscayaan untuk mundur demi menghindari konfrontasi dan mengatakan,”kalau bertahan ini pasti akan ada korban dan saya tidak bisa lagi mengendalikan anggota”.93 Tapi beberapa petugas yang berusaha menyingkirkan blokade massa malah melepaskan beberapa tembakan untuk membuka jalan.94 Hadi Nur mengklaim mereka terpaksa melakukan hal itu karena anggota TNI yang tiba pagi itu sebagai pasukan bantuan, membiarkan warga melakukan pelemparan dan kelihatannya malah “melindungi” massa.95 Seorang saksi berhasil mengidentifikasi seorang petugas yang melepaskan tembakan ke arah massa sebagai Brigadir Amirullah 90
Komnas HAM, op. cit., hal. 10-11 dan Crisis Group interview, para saksi kerusuhan termasuk juru kameratelevisi yang berbasis di Palu Iwan Lapasere yang menjadi salah satu jurnalis yang pertama tiba di Buol, dan Syamsuddin Monoarfa, yang kehilangan mata kanannya akibat terkena serpihan peluru, Palu dan Buol, 23 dan 28 Juli 2011. Kerusakan yang ditimbulkan termasuk pembakaran sebuah asrama, dua kantor Polres dan tujuh sepeda motor serta pengrusakan 25 rumah, satu kantor Polres, satu pos polisi dan sebuah taman kanak-kanak milik Polri. 91 Laporan Tim Pencari Fakta, op. cit., hal. 22-23. 92 BAP Kapolsek Biau Zakir Butudoka, 8 September 2010. 93 BAP Wakapolres Buol Ali Hadi Nur, 7 September 2010. 94 BAP Ichsan Mangge, 9 September 2010. Ichsan tertembak di pantat tapi selamat. Ia tidak tahu siapa penembaknya tapi bisa menyebut ciri-cirinya. Ia mengklaim bahwa ia baru saja mau berjalan menuju keramaian ketika tiba-tiba ia mendengar tembakan senjata dan merasa terkena tembakan, dan melihat beberapa petugas polisi yang melepaskan tembakan memakai pakaian preman. 95 BAP Wakapolres Buol Ali Hadi Nur, 7 September 2010.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
Haruna karena ia saat itu mengenakan jaket merah menyala dengan logo Manchester United.96 Haruna menjadi satu-satunya anggota polisi yang didakwa menembak warga Buol. Tanggal 2 September, Wakapolri Komisaris Jendral Jusuf Manggabarani tiba di Buol dan mengadakan pertemuan dengan wakil masyarakat, dimana ia meminta maaf atas kekhilafan polisi dalam melindungi masyarakat dan berjanji untuk mencari mereka yang bertanggungjawab atas tewasnya warga. Tapi, ia juga menekankan kematian Kasmir adalah karena bunuh diri, bahwa tukang ojek itu ditangkap saat balap liar dan tidak ada provokator di Buol, padahal semua itu bertentangan dengan opini publik.97 Meskipun para tokoh masyarakat menghargai kunjungannya, mereka mengatakan kepada Wakapolri bahwa lebih baik TNI yang menjaga Buol.98 Setelahnya, 200 prajurit TNI dari Tolitoli dan Palu, bersama dengan 200 anggota Brimob dari Jakarta, ditugaskan untuk menjaga Buol dan membereskan kekacauan bekas kerusuhan.99 Seorang komandan Brimob mengatakan selama disana anggotanya kebanyakan menganggur dan hanya bermain olahraga dengan warga.100 Karena dibenci secara terbuka oleh warga, separuh personil Polres Buol yang berjumlah sekitar 400 orang mengajukan mutasi.101 Tiga petugas polisi yang paling dibenci di Buol, yaitu: Butudoka, Hadi Nur dan Kasatlantas, Iptu Jefry Pantouw, segera dipindahkan ke Palu untuk dimintai keterangan, tapi Litarso tetap berada di Buol hingga Maret 2011.102 Kapolres yang baru, Hari
96
BAP Syamsudin Boroman, saksi yang mengidentifikasi penembak sebagai Brigadir Amirullah Haruna, 16 September 2010. Ia mengklaim Haruna, yang pernah tinggal satu kawasan dengannya, adalah satu-satunya petugas yang menembak ke arah massa, sementara yang lain mengarahkan senjata mereka ke udara. Tapi saksi tidak melihat siapa yang tertembak, dan baru tahu belakangan di RS bahwa Ichsan Mangge terluka dalam insiden kekerasan tersebut. Lihat juga BAP petugas polisi Mohammad Fahri, yang menyembunyikan jaket merah yang dipakai Haruna tersebut, 21 September 2010. Manchester United adalah sebuah tim sepak bola Inggris yang populer di Indonesia. 97 Transkrip Risalah Rapat Multi-Partai, op. cit. 98 Crisis Group interview, Ibrahim Turungku, dikenal sebagai “Raja Buol”, 25 September 2010. 99 Lihat “Masyarakat Minta Bantuan TNI Melakukan Pengamanan di Buol”, Radar Sulteng, 4 September 2010 dan “Police Vow Transparency in Buol Clash Investigation”, Jakarta Post, 4 September 2010. 100 Crisis Group interview, Sadito, seorang komandan unit Brimob dari Jakarta, 26 September 2010. 101 Crisis Group interview, Kapolres Buol Hari Suprapto, Buol, 26 Juli 2011. 102 “Tiga Perwira Polres Buol Dicopot”, Indopos, 18 September 2010. Sebagian besar orang-orang yang diwawancara di Buol dan para pembela yang membantu mereka untuk naik banding menuntut polisi menyebut tiga orang ini sebagai pihak-pihak yang bertanggungjawab. Crisis Group interview, warga Buol, Juli dan
Page 12
Suprapto, mengatakan ia mewarisi pasukan yang sedang jatuh mentalnya. “Mereka tidak berani melakukan kegiatan operasional. Polisi takut (tinggal di Buol) dan angka yang minta pindah tinggi. Kita tidak cacah. Kita tidak lakukan itu karena orang akan minta semua”, katanya. Selain itu terpencilnya lokasi Buol juga menjadi penghambat untuk mendapat petugas yang lebih baik. Ia menyebut sebagian anggota Polres Buol sebagai “orangorang kelas tiga atau buangan” karena mereka tidak bisa mendapat tempat lain yang lebih baik.103 Salah satu kebijakan awalnya adalah mengganti petugas asal luar Buol yang kinerjanya kurang, terutama mereka yang bertugas di satuan lalu lintas, dengan putra daerah.
D. HUKUM TIDAK BERJALAN Setahun setelah kerusuhan, warga Buol masih menggunakan konflik sebagai alasan untuk melanggar hukum dan tidak mematuhi polisi. Pengendara motor mengabaikan peraturan lalu lintas. Balap liar, yang dulu dipakai sebagai dalih untuk menghentikan Kasmir, tambah marak di sekitar jalan utama dan bahkan di depan Mapolres. Petugas beresiko memicu pertikaian kalau mereka berusaha mencegah aktivitas ini. Anggota kepolisian juga sering mendapat pukulan liar di jalan.104 Seorang polisi baru yang tiba di Buol setelah konflik mengatakan: Saya baru merasa aman sebagai polisi disini ketika saya tidak perlu melakukan tugas kepolisian. Setiap saya mencoba menghentikan pengendara motor yang tidak pakai helm, mereka ngotot. Ketika saya bilang ini untuk keamanan mereka sendiri, mereka menyahut itu bukan urusan saya kalau mereka mau pecah kepalanya sekalipun. Rekan saya pernah memarahi pengendara motor yang tak pakai helm, dan warga mulai mendorong-dorongnya. Kami harus menariknya dan kabur. Hari lain, seorang pengendara melihat kami di jalan lalu memanggil teman-temannya yang kemudian datang dengan senjata tajam. Sekali lagi, kami harus pergi. Saya tidak tahu kapan saya bisa meninggalkan Buol dan pulang ke Jawa dimana saya bisa cari pacar. Bagaimana saya bisa dapat pacar di Buol, kalau keluarganya tidak percaya polisi?105 Warga menjadi berani mencari gara-gara dengan polisi. Pada bulan Juli 2011, seorang petugas pamongpraja bertengkar dengan seorang polisi sehingga menarik perhatian sekelompok warga yang siap mengeroyok si
September 2011, dan pengacara Ferry Anwar, 22 September 2011. 103 Crisis Group interview, Kapolres Buol Hari Suprapto, Buol, 26 Juli 2011. 104 “Anggota Polres Buol Dianiaya Pemabuk”, Mercusuar, 3 Juli 2011. 105 Crisis Group interview, petugas kepolisian, Buol, 25 Juli 2011.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
polisi. Bentrokan lebih besar hampir saja pecah bila kepala satuan pamongpraja tidak intervensi.106 Tanggal 17 Agustus, seorang petugas polisi bermotor menabrak seorang pejalan kaki dan harus kabur setelah melihat ratusan warga berkerumun. Ia meninggalkan sepeda motornya yang kemudian dibakar massa.107 Sejak kedatangannya, Kapolres Buol Hari Suprapto menginstruksikan anak buahnya untuk mengambil pendekatan lunak, menggunakan persuasi dan psikologi sosial daripada menunjukkan kekuatan, dan belajar untuk “tersenyum”. “Saya melihat seseorang menggunakan kekerasan itu karena dia tidak punya solusi terhadap masalah yang dihadapi. Kita perlu mengambil hati masyarakat”, kata Suprapto, yang memperoleh gelar sarjana ilmu sosial dari Universits Gadjah Mada.108 Ia mengakui bahwa pelatihan mengenai teknik persuasi hanya diberikan kepada perwira menengah dan tinggi, sehingga petugas berpangkat rendah sering tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika menghadapi massa atau ancaman kekerasan. Insiden di Buol juga telah membuat Polri kembali memberi perhatian lebih seksama pada Polmas. Polda Sulawesi Tengah telah menginstruksikan para Kapolres untuk membentuk forum-forum kemitraan di wilayahnya, yang disebut Bantuan Keamanan Desa atau Bankamdes, yang serupa dengan model FKPM yang dijelaskan di bab sebelumnya.109 Anggota Bankamdes dibina untuk menangani sengketa kecil secara langsung dan bekerja sama dengan polisi dalam menangani kasus-kasus yang lebih serius.110 Buol menjadi tempat untuk mencoba model ini karena antipati terhadap polisi yang begitu dalam disana. Didapatkan bahwa semakin jauh dari kota, semakin menurun kebencian masyarakat. Bulan-bulan pertama penugasan Suprapto di Buol dihabiskan dengan pergi dari desa ke desa membuka forum-forum ini dan memerintahkan tiap petugas untuk memiliki sedikitnya 25 kontak yang bukan polisi untuk membina jaringan dengan warga. Sebagai perbaikan internal, Kapolda Sulteng mengeluarkan sebuah daftar berisi perilaku polisi yang harus diubah. Pada urutan pertama adalah kebiasaan
Page 13
mencari kesalahan di jalan sebagai cara untuk mendapat uang.111 Operasi simpatik ini mendatangkan hasil. Tokoh masyarakat Buol, Ibrahim Turungku, yang dikenal sebagai “Raja Buol”, telah memperlunak kritiknya terhadap polisi, khususnya setelah ia diberi gelar kehormatan oleh polisi. Tokoh yang berusia lanjut ini tidak bisa mengingat kapan polisi pernah memberi tetua sepertinya tanda penghargaan serupa. Para politikus dan pejabat pemerintah di Buol dan Palu tetap merasa lebih banyak lagi yang harus dilakukan untuk mencegah konflik antara polisi dan masyarakat terjadi lagi, tapi mereka tidak yakin apa.112 Banyak warga mengatakan Buol akan terus tidak patuh kepada polisi sampai keadilan ditegakkan atau ada retribusi.113 Sikap yang populer saat ini adalah “Buol sedang kalah 8-0 dengan polisi dan warga ingin seri”.114
E. AKUNTABILITAS DAN PENCARIAN JALAN KELUAR Tanggal 6 September 2010, pemerintah Kabupaten Buol membentuk sebuah tim pencari fakta yang meliputi pejabat daerah, tokoh masyarakat dan kelompokkelompok sosial, tapi tidak termasuk polisi. Dalam waktu kurang dari dua bulan, tim menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat, dan polisi memakai peluru tajam untuk menghentikan para pengunjuk rasa, sehingga mengakibatkan banyak korban tewas.115 Tim menuntut akuntabilitas dan transparansi polisi. Sejak laporan ini dikeluarkan akhir Oktober 2010, tidak ada tindak lanjut serius, meskipun laporan tersebut dikirim ke berbagai institusi, termasuk presiden dan DPR. Polisi menyebut kerja tim “lepas kendali” dan menggunakan “temuantemuan yang mengekspos kekurangan polisi tanpa
111
106
Crisis Group interview, Yamin Rahim, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasat Pol PP) Buol, 25 Juli 2011. 107 “Menabrak, Warga Buol Bakar Motor”, TribunPalu.com, http://palu.tribunnews.com, 18 Agustus 2011. Kapolda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Dewa Parsana segera mengeluarkan sebuah permohonan maaf resmi dan berjanji akan bertanggungjawab penuh atas kesembuhan warga yang tertabrak. 108 Crisis Group interview, Kapolres Buol Hari Suprapto, Buol, 26 Juli 2011. Suprapto adalah kasus yang tidak biasa dimana ia adalah lulusan sebuah universitas terkemuka yang bergabung dengan Polri. Petugas seperti ini biasanya berkarir di manajemen tingkat menengah dalam institusi Polri, dan jarang mencapai posisi tinggi yang biasanya untuk para alumni Akpol. 109 Lihat situs resmi, www.bankamdes.net/. 110 Crisis Group interview, Kapolda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Dewa Parsana, Palu, 28 Juli 2011.
“Polda Sulteng Mau dan Sedang Berubah”, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Juni 2011, sebuah pamflet yang disebarkan ke seluruh kabupaten. Minta uang di jalan adalah dosa paling tinggi menurut brosur itu; perilaku buruk yang lain termasuk arogansi saat razia; merekayasa kasus untuk mendapat imbalan; penyidikan tanpa memperhatikan rasa keadilan; perilaku marahmarah dan kekerasan terhadap tahanan dan masyarakat; perbuatan amoral termasuk menghamili perempuan tanpa bertanggungjawab; bersikap apatis terhadap tokoh masyarakat; mengendarai kendaraan dinas polisi dengan arogan; dan penyalahgunaan senjata api. 112 Crisis Group interview, anggota DPRD Sulawesi Tengah Huisman Brandt dan mantan bupati Buol Karim Hanggi, Palu, 27 Juli 2011 dan para pejabat di Buol, 25 Juli 2011. 113 Crisis Group interview, warga Buol, termasuk seorang korban kerusuhan Buol dan seorang anak korban, 25 Juli 2011. 114 Crisis Group interview, mantan bupati Buol Karim Hanggi, Palu, 27 Juli 2011. Ia menjabat dari tahun 1999 sampai 2007. 115 Laporan Tim Pencari Fakta, op. cit., hal. 30-31.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
Page 14
didukung fakta”. Ketua tim pencari fakta itu sendiri ragu laporan tersebut akan merubah keadaan.116
tahanan selama 21 hari tapi bertahan untuk tidak membeberkan banyak hal selama persidangan.
Hingga akhir tahun 2011, 26 petugas polisi telah menerima sanksi indisipliner atas berbagai perbuatan di Buol, dari razia liar hingga putusnya rantai komando.117 Sanksi yang dikeluarkan pun bervariasi dari penundaan promosi dan pemotongan gaji, seperti yang diterima Kapolres Litarso, hingga penahanan maksimum 21 hari, yang dikenakan ke Butudoka, Hadi Nur, Haruna dan Pantouw.118 Tetapi, tak ada yang dipecat atau disalahkan atas tindak kekerasan terhadap warga yang menegaskan posisi polisi sebelumnya bahwa mereka melepaskan tembakan untuk bela diri.119 Tiga dari 26 polisi diadili oleh pengadilan negeri. Iptu Jefry Pantouw dan Briptu Sukirman masing-masing menerima hukuman relatif lunak yaitu satu tahun penjara (dikurangi masa tahanan) untuk kasus penganiayaan ringan terhadap Kasmir.120 Haruna divonis bebas setelah hakim menyimpulkan saksi yang mengenalinya melakukan penembakan tidak tahu dengan pasti apakah tembakannya melukai korban yang disebut di dalam dakwaan.121 Selama sidang, pembela Haruna menggambarkan saksi itu sebagai pesaing bisnis yang ingin usaha sampingan ayam potong Haruna bangkrut.
Seluruh proses investigasi dan sidang dilakukan di Palu atas alasan keamanan mengakibatkan warga Buol merasa terputus dari informasi. Banyak dari saksi polisi mangkir. Hadi Nur, yang sebenarnya berkantor di Mapolda dan tinggal di perumahan Polri di Palu, keduanya dekat dari pengadilan, baru bersaksi setelah mendapat surat panggilan ketiga. Setelah orang-orang yang menghadiri sidang semakin sedikit, bahkan mediapun kehilangan minat terhadap kasus ini.
Budaya diam dan tutup mulut begitu terasa selama proses akuntabilitas. Pantouw mengatakan ia disidang karena mengakui menampar Kasmir setelah menyembunyikan informasi ini selama sebulan, sementara yang lain terus menyangkal telah melihat atau melakukan pelanggaran. Setelah pengakuannya tersebut, anggota-anggota kesatuannya memperolok kejujurannya tersebut dan para atasan mengacuhkannya.122 Di sisi lain, Hadi Nur menjadi pahlawan diantara sejawatnya karena telah menyelamatkan keluarga polisi dan menerima sanksi
Polisi berargumentasi bahwa mereka tidak bisa membangun kasus terkait dengan kematian tujuh orang korban saat bentrok tanpa kesaksian dan bukti pendukung.123 Meskipun uji balistik telah dilakukan terhadap sejumlah senjata, tapi belum ada proses pencocokan dengan tubuh para korban karena jenasah mereka sudah dikuburkan tanpa mengambil peluru yang bersarang di tubuh mereka. Intinya, polisi tidak bisa menemukan selongsong peluru yang menyebabkan kematian. Sikap resmi saat ini adalah bahwa tidak ada bukti-bukti baik itu atas pembunuhan dalam tahanan, penggunaan kekuatan berlebihan dalam menghentikan unjuk rasa, atau penembakan oleh polisi yang mengakibatkan korban jiwa saat bentrokan. Sebaliknya, rekan-rekan Litarso menyalahkannya karena gagal membangun komunikasi dengan warga dan media atas pemberitaan media yang buruk.124 Kapolda Sulawesi Tengah, Dewa Parsana, dan wakilnya Ari Dono Sukmanto, hanya mengakui petugas polisi telah memukuli Kasmir, tapi itu tidak mengakibatkan kematian. Kepala Propam Polda Sulteng yang bertugas melakukan investigasi atas pelanggaran profesi polisi punya garis yang lebih defensif, katanya: Ketika Timumun dalam tahanan, beberapa anggota lalu-lintas karena esprit de corps berusaha menanyainya. Sebetulnya, tidak ada penganiaayaan saat itu. Pasti ada sebabnya. Kelemahan hukum kita hanya lihat pada perbuatannya, bukan penyebabnya. Perbuatannya adalah seolah-oleh dia ditempeleng satu, dua, tiga kali dan jadinya dianggap penganiayaan. Itu karena perbuatannya tapi hukum kita tidak ada tambahan yang mempertimbangkan sebabnya. Anak ini biasanya bebas kemudian tiba-tiba dikekang seperti
116
Crisis Group interview, Kapolda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Dewa Parsana, 28 Juli 2011; Adil Suling, ketua tim pencari fakta Buol, 25 Juli 2011. 117 Hukuman maksimum bagi anggota Polri yang melanggar satu atau lebih Peraturan Disiplin Anggota Polri adalah 21 hari dalam tahanan. Apabila melakukan pelanggaran lebih dari tiga kali, anggota Polri dapat diberhentikan secara hormat atau tidak hormat. Lihat Peraturan Pemerintah no. 2/2003, tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri, Pasal 9 dan 13. 118 Lihat “Terkait Kerusuhan Buol, Brigadir Amirullah Dihukum 21 Hari”, Antara, 15 Oktober 2010; dan “Wakapolres dan Kapolsek Hanya Dihukum 21 Hari”, Mercusuar, 14 Oktober 2010. 119 Siaran Pers Tentang Penanganan Kasus Kerusuhan di Buol, Divisi Humas Polri, 28 September 2010. Ini adalah siaran pers resmi dari Polri setelah nama-nama petugas disebut sebagai terdakwa dalam sidang disipliner. 120 “Dua Polisi Kasus Buol Divonis Setahun Penjara”, Antara, 22 September 2011. 121 “Terdakwa Penembakan Divonis Bebas”, Mercusuar, 26 Oktober 2011. 122 Crisis Group interview, Inspektur Satu (Iptu) Jefry Pantouw, Palu, 20 September 2011.
123
Crisis Group interview, Ari Dono Sukmanto, Wakapolda Sulteng, Palu, 20 September 2011. 124 Crisis Group interview, Kapolda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Dewa Parsana dan pejabat Polda Sulteng lain, Palu, 27 Juli 2011. Ironisnya, Litarso menjadi kepala divisi tahanan dan barang bukti di Polda Sulteng setelah masa tugasnya di Buol. Ini sebenarnya demosi kalau dilihat dari sudut pandang komando, tapi posisi yang lebih dekat ke Polda dan jauh dari perhatian publik. Beberapa petugas polisi menyebut jabatan Litarso yang baru itu sebagai promosi.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
burung di udara bebas masukdalam sangkar. Jadinya ia stress dan kemudian gantung diri.125 Meski sidang indisipliner hasilnya banyak yang mengecewakan masyarakat Buol, tapi paling tidak ada niat untuk mencari jalan keluar. Sentimen anti-Polri memang masih terus membara, terutama diantara keluarga korban yang merasa polisi belum menepati janji untuk mengurus mereka.126 Meski demikian, forum-forum yang didirikan oleh Suprapto telah sedikit memperbaiki hubungan polisi dengan masyarakat. Bagi Raja Buol, skenario terburuknya adalah apabila Kapolres cendekia ini akhirnya digantikan oleh seorang berwatak kolot, seperti Hadi Nur, sehingga keberhasilan awal yang dicapai program Polmas termentahkan.127 Pemilu kada pertengahan 2012 akan menjadi ujian seberapa baik program Polmas berjalan. Sebuah kampanye yang didukung oleh gerakan anti korupsi yang gencar mencegah bupati petahana Amran Batalipu terpilih lagi untuk masa tugas kedua kalinya, bisa saja menyulut konflik baru. Untuk itu, polisi harus ekstra hati-hati memastikan bahwa cara mereka menangani aksi-aksi protes tidak membuka luka lama.
Page 15
IV. KASUS KEDUA: PENGEPUNGAN DI KAMPAR Kasus kedua memperlihatkan bagaimana kemarahan publik terhadap polisi juga bisa timbul di daerah yang cukup makmur dan terletak hanya satu jam dari kota besar.128 Pada bulan Februari 2011, warga Air Tiris menyerang sebuah Polsek di Kabupaten Kampar, Riau yang kaya sumber alam, selama enam jam setelah polisi menggunakan kekerasan dalam menangkap seseorang yang tidak bersalah atas tuduhan judi.129 Petugas yang gugup lalu melepaskan sejumlah tembakan peringatan selama penyerangan, mengakibatkan dua orang luka-luka tapi tidak ada korban jiwa.130 Setelah kejadian itu, warga dan polisi sepakat untuk negosiasi sebagai mitra sejajar, dan meski tidak ada pertanggungjawaban secara hukum terhadap vandalisme atau penganiayaan yang terjadi, kemitraan publik dan polisi dalam membangun kembali Polsek tersebut telah berhasil mengurangi ketegangan.
A. PENANGKAPAN DI PASAR Tanggal 23 Februari 2011 sekitar jam 4 sore, tiga orang petugas polisi dari Polsek Kampar mengkonfrontasi seorang pedagang yang sedang memegang sehelai kertas berisi tulisan angka-angka di pasar Air Tiris yang ramai. Dari sini, cerita polisi dan warga mulai berbeda. Menurut para saksi di pasar, polisi secara brutal menangkap Zulkifli, seorang pedagang kail ikan yang dikenal pendiam dan saleh, atas tuduhan terlibat judi togel padahal ia saat itu sedang mencatat harga dan nomor seri dagangannya.131 Zulfikli mengatakan petugas dengan paksa menyuruhnya menyerahkan kertas yang mereka pikir berisi daftar taruhan dan menganiayanya ketika ia menolak.132 Katanya, petugas dengan kasar mendorongnya ke tanah dan menginjak badannya sebelum mengikat tangannya, merampas kunci motornya dan meletakkan badannya dalam kondisi telungkup di atas
125
Crisis Group interview, Komisaris Polisi Bambang Suryadi, Palu, 20 September 2011. Penjelasan Kompol Suryadi sangat mirip dengan penjelasan yang diberikan oleh polisi di Sijunjung pada bulan Desember 2011 setelah dua remaja kakak beradik ditemukan tewas tergantung dalam sel tahanan mereka. Keluarga mereka yakin bahwa dilihat dari bekas-bekas luka di tubuh mereka, kedua kakak beradik ini dipukuli hingga tewas. Lihat “Diduga Dibunuh, Dua Tahanan Polsek Tewas”, Haluan Padang, 28 Januari 2012; juga lihat, http://dpopolri.blogspot.com/2012/01/kakak-adiktewas-dianiaya-lalu.html. 126 Crisis Group interview, Verawaty Kapuung, anak salah seorang korban tewas Saktipan Kapuung, dan Syamsuddin Monoarfa, yang kehilangan mata kanannya dalam bentrokan, Buol, 25 Juli 2011. Meskipun polisi telah membayar biaya pengobatan segera setelah insiden, para korban luka mengatakan setelah itu mereka tidak menerima bantuan apa-apa lagi dari polisi untuk biaya rawat jalan selanjutnya, dan keluarga korban tewas menuntut kompensasi lebih dari polisi. 127 Crisis Group interview, Ibrahim Turungku, Buol, 25 Juli 2011.
128
Pekanbaru. ibukota propinsi Riau yang kaya minyak, berjarak satu jam dari Polsek Kampar lewat sebuah jalan lintas propinsi dua jalur yang sangat sibuk menghubungkannya dengan kota Bangkinang, ibukota Kabupaten Kampar. 129 Nama “Kampar” untuk daerah-daerah di bab ini bisa menimbulkan salah tangkap. Kampar adalah nama kabupaten dan juga kecamatan tempat kejadian. Polsek Kampar yang menaungi Kecamatan Kampar dan sekitarnya melapor ke Polres Kampar yang berlokasi di kota Bangkinang yang makmur. Nama-nama ini adalah nama-nama resmi daerah pemerintahan. Di lapangan, orang-orang di Kecamatan Kampar menyebut daerah dan diri mereka marga Air Tiris. 130 “Serang Polsek Kampar, 4 Warga Terluka”, Media Indonesia, 24 Februari 2011. Peluru karet melukai dua orang sementara yang lain terluka terkena pecahan kaca. 131 Crisis Group interview, warga Kampar, termasuk korban Zulkifli dan bupati yang berkuasa saat itu Burhanuddin Husin, 24 September 2011. Kupon judi disebut “Sie Jie” di Riau. 132 Crisis Group interview, Zulkifli, Kampar, 24 September 2011.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
motor. Dengan darah mengucur dari wajahnya, petugas membawanya ke Polsek Kampar yang jauhnya sekitar satu kilometer lewat jalan lintas propinsi yang menghubungkan Pekanbaru dengan Bangkinang. Zulfikli berteriak minta tolong selama perjalanan, sehingga menarik perhatian warga dan pedagang lain yang menyaksikan kejadian itu. Beritanya menyebar cepat bahwa polisi telah menghina seorang anggota kenegerian Air Tiris yang alim dan membawanya seperti “seekor babi potong”.133 Menurut polisi, berdasarkan sebuah informasi, tiga anggota Polsek Kampar mencoba bertanya pada Zulkifli mengenai catatan yang terkesan berisi nomor judi itu, tetapi ia malah mengejek petugas.134 Polisi mengarahkannya ke sebuah motor supaya mereka bisa menanyainya di Polsek, tetapi ia mencoba lompat dan lari, kemudian malah tersandung dan jatuh. Dari Kapolda Riau hingga tamtama polisi di Kampar semua bersikeras tidak ada penganiayaan dan Zulkifli tidak sengaja terjatuh hingga mulutnya berdarah.135 Mereka juga mengatakan Zulkifli duduk di jok motor selama perjalanan ke Polsek karena tidak mungkin bagi polisi untuk membawa seseorang dalam posisi telungkup di atas motor. Para petugas percaya warga Air Tiris bergerak ke Polsek karena isu-isu yang sengaja disebar untuk mendiskreditkan polisi. Terlepas yang mana yang benar, kedua pihak setuju bahwa insiden itu telah menjadi ajang pelampiasan sentimen anti polisi yang lama menumpuk. Dalam waktu 30 menit dari penangkapan, ratusan demonstran sudah sampai di Polsek.136
B. 6 JAM PENGEPUNGAN DI POLSEK Petugas kepolisian terus membuat blunder setibanya di Polsek. Di situ, petugas menelanjangi Zulkifli sehingga ia hanya bercelana dalam dalam upaya pencarian sia-sia untuk mendapatkan bukti yang bisa membenarkan tindakan mereka. Para pengunjuk rasa tahu Zulkifli bukan penjudi dan menyerukan Aipda Edi Chandra-lah yang terkait bandar judi.137 Chandra adalah salah seorang 133
Hampir di setiap wawancara mengenai kasus ini, warga Kampar yang mayoritas Muslim menyebut Zulkifli “diperlakukan seperti babi”, menekankan kemuakan mereka terhadap perlakuan polisi itu. Crisis Group interview, warga Kampar, 23 September 2011. 134 Crisis Group interview, Edi Renhar, Kapolsek Kampar saat kerusuhan, 25 September 2011. 135 Crisis Group interview, petugas polisi, Kampar dan Pekanbaru, 23-25 September 2011. 136 “Ribuan Warga Serang Markas Polsek Kampar”, Tribun Pekanbaru, 24 Februari 2011. 137 Crisis Group interview, Zulhendri Zainur, tokoh pemuda yang dituduh menjadi penghasut unjuk rasa, Kampar, 24 September 2011.
Page 16
petugas yang menangkap Zulkifli. Kehebohan yang terjadi di Polsek membuat Kapolres Kampar saat itu, Zainul Muttaqien, datang ke Mapolsek Kampar dari kantornya di Bangkinang. Tapi sebelum ia sampai disana, para petugas Polsek sudah membebaskan Zulkifli karena tidak menemukan bukti. Tidak ada satupun dari Polsek yang menemani Zulkifli dari waktu ia dilepas sampai ke rumah sakit, dan melihat hal ini warga menganggap polisi tidak punya belas kasihan. Bagi pengunjuk rasa, pembebasan Zulkifli belumlah cukup. Mereka menuntut kunci sel tahanan diberikan ke mereka untuk mengurung petugas yang menangkap Zulkifli. Banyak dari warga yang tidak suka polisi, khususnya Chandra, seorang bintara yang menjadi kepala unit reskrim Polsek Kampar padahal posisi ini biasanya dipegang oleh perwira.138 Ketika Muttaqien tiba di lokasi, ia berusaha menenangkan massa, menurut para pengunjuk rasa ia juga menjanjikan akan menahan Chandra. Sang Kapolres kemudian ke rumah sakit untuk mengurus biaya medis Zulkifli. Sekitar jam 6 sore, berita bahwa ketiga petugas yang menangkap Zulkifli secara diam-diam telah diamankan ke Bangkinang lewat pintu belakang membuat massa marah dan berteriak-teriak menuntut ketiga aparat itu dimasukkan sel tahanan. Belakangan, Kapolda Riau Brigadir Jenderal Suaedi Husein menilai Kapolres gagal mengantisipasi eskalasi amarah massa dan malah meninggalkan lokasi.139 Keramaian massa menimbulkan kemacetan hingga puluhan kilometer ke arah Pekanbaru dan Bangkinang. Massa yang tadinya berjumlah ratusan segera menjadi ribuan, karena banyak pengendara yang meninggalkan mobilnya untuk melihat apa yang terjadi, dan warga berduyun-duyun menonton ke lokasi. Sekitar jam 8 malam, dua insiden memberi peluang terjadinya kekerasan. Ditengah-tengah ketegangan yang semakin meningkat dan hujan batu, listrik tiba-tiba mati, dan massa memanfaatkan situasi itu untuk melakukan penyerangan ke Polsek. Selain itu, tak dinyana sebuah truk yang mengangkut pasir berhenti di dalam kerumunan. Akibatnya, massa punya banyak amunisi untuk menghujani polsek dengan lemparan batu.140 Ketika tameng-tameng dan pagar betis polisi tidak sanggup lagi menahan massa, petugas mulai melepaskan tembakan peringatan. Saat itu, Kapolres Muttaqien balik ke Polsek, tapi malah jadi sasaran lemparan batu. Selama lebih dari satu jam, terjadi aksi saling dorong. Kerusakan yang ditimbulkan termasuk jendela dan atap pecah, televisi dan komputer hancur, serta mobil dan motor polisi rusak. 138
Crisis Group interview, sesepuh Air Tiris Syahtruni Datuk Padukomajo, tokoh pemuda Zulhendri Zainur dan politisi lokal Nurmailis Syaiful, Kampar, 24 September 2011. 139 Crisis Group interview, Suaedi Husein, Pekanbaru, 25 September 2011. 140 Crisis Group interview, para saksi dan wartawan Kampar, 23 September 2011.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
Polisi menangkap empat orang yang dianggap sebagai provokator, tapi hal ini malah menambah ketegangan.141 Kedatangan sekitar 100 orang prajurit TNI sekitar jam 9 malam berhasil meredam konflik.142 Mereka tidak melepaskan tembakan tapi masuk ke tengah-tengah massa dan berusaha menenangkan pengunjuk rasa. Tidak ada yang punya masalah dengan TNI, jadi mereka bersedia bubar. Ketika mereka baru hendak pergi, polisi yang kesal karena terkurung berjam-jam di Mapolsek mulai melepaskan tembakan sembarangan di tengah kegelapan. Dua orang terkena peluru nyasar, satu di tangan.143 Kapolsek Edi Renhar berargumen anak buahnya melihat orang-orang sedang membawa jerigen bensin sehingga mereka berusaha mencegah massa melakukan pembakaran.144 Aksi penembakan itu membuat massa beringas dan tentara terpaksa menjadi pemisah antara polisi dan pengunjuk rasa yang terus meminta Chandra. Selama pengepungan, duabelas orang ninik-mamak Air Tiris terus menerus berusaha mencairkan kemarahan massa, tapi tanpa ketua mereka, Syahtruni Datuk Padukomajo yang saat itu sedang berada di Jakarta, awalnya tidak ada seorangpun yang mendengarkan mereka. Sekitar jam 9 malam, mereka memprakarsai sebuah pertemuan dengan Kapolres Muttaqien di sebuah rumah dekat Mapolsek.
C. MERUNDINGKAN SEBUAH JALUR KELUAR Dari saat negosiasi antara polisi dan tokoh masyarakat dimulai, para ninik mamak menuntut tiga petugas yang menangkap Zulkifli dihukum; sementara polisi ingin memperkarakan empat orang yang diduga sebagai provokator kekerasan. Perundingan yang dilakukan tidak berhasil mencapai titik temu hingga jam 10 malam. Saat itulah Kapolda Riau Suaedi datang menyelamatkan Kapolres yang tersudut. Jendral Suaedi menjanjikan ketiga petugas polisi tersebut akan dibawa ke sidang indisipliner Polri, tapi meminta masyarakat untuk menanggung biaya kerusakan Mapolsek. Para ninik mamak bersikeras empat orang yang diduga sebagai provokator harus dilepas dulu. Bupati Kampar Burhanuddin Husin kemudian tiba di lokasi dan berjanji akan membayar biaya perbaikan kerusakan asal empat warga yang ditangkap dibebaskan.145 Demi menghindari aksi balas dendam polisi terhadap pelaku vandalisme dan
Page 17
aksi lebih jauh untuk membebaskan empat warga tersebut, Suaedi dan ninik-mamak akhirnya sepakat untuk melepaskan warga sementara investigasi berlanjut.146 Para pengunjuk rasa bersedia bubar setelah diberitahu bahwa sedang dilakukan perundingan antara tokoh masyarakat dengan polisi. Ketika pasukan Brimob bersenjata lengkap yang diperbantukan dari Pekanbaru akhirnya tiba di lokasi sekitar jam 10 malam, massa sudah bubar sehingga mereka hanya membersihkan Mapolsek dari puing-puing dan selongsong peluru yang berserakan.147 Banyak orang, termasuk Bupati Kampar, percaya bahwa situasinya mungkin akan lebih buruk kalau Brimob sampai di Mapolsek lebih cepat dan melihat polisi diserang warga. Suasana masih tegang keesokan harinya karena baik pihak kepolisian maupun masyarakat gagal memenuhi kesepakatan tadi malam secara penuh. Warga mendapati hanya satu dari empat warga yang ditahan yang telah bebas, sementara tiga lainnya masih ditahan.148 Satu orang ini ternyata juga seorang tokoh pemuda bagian tim sukses bupati Kampar. Di lain pihak, sisi masyarakat tidak memberi rencana jelas mengenai perbaikan Mapolsek yang telah dijaga ketat oleh Brimob. Ketika pemimpin adat Air Tiris, Syahtruni Datuk Padukomajo, pulang ke Kampar tanggal 25 Februari, ia mendapati warganya dalam suasana marah, malah beberapa elemen ingin menyerang polisi lagi. Pada saat shalat Jumat di mesjid setempat, ia menghadirkan Zulkifli, yang baru saja keluar dari rumah sakit, di hadapan jemaah dan memohon kepada warga untuk tidak bentrok lagi dengan polisi. Zulkifli berkata kepada jemaah bahwa polisi membiayai pengobatannya. Syahtruni mengumumkan warga Air Tiris akan bekerja sama dengan pemerintah kabupaten dan mengumpulkan sebanyak Rp 42 juta untuk perbaikan Mapolsek dengan syarat Brimob setuju untuk keluar Kampar. Kesepakatan mengenai hal ini ditandatangani oleh para korban, pejabat lokal, pihak kepolisian, TNI dan ninik-mamak.149 Kemudian, Syahtruni berangkat ke Pekanbaru menemui Kapolda dan merundingkan pembebasan tiga warga yang masih ditahan. Tanggal 2 Maret, sekitar 100 warga dan 30 anggota polisi bergotong-royong memperbaiki Mapolsek.150 Diadakan
146 141
“Empat Perusak Kantor Polsek Kampar Ditangkap”, Media Indonesia, 24 Februari 2011. 142 Glori Wadrianto, “Kronologi Kerusuhan di Mapolsek Kampar”, Kompas, 24 Februari 2011. 143 “Ada Warga Kena Tembakan Peluru Nyasar Anggota Polisi”, Riau Info, 24 Februari 2011. 144 Crisis Group interview, Edi Renhar, Kampar, 25 September 2011. 145 Crisis Group interview, Burhanuddin Husin, Kampar, 24 September 2011.
Crisis Group interview, Suaedi Husein, Pekanbaru, 25 September 2011. 147 “Pasca-Penyerangan, Mapolsek Kampar Dijaga Ketat”, Metro TV, 24 Februari 2011. 148 “Empat Warga Dimintai Keterangan, Tiga Polisi Ditahan”, Dumai Pos, 25 Februari 2011. 149 Crisis Group interview, Syahtruni Datuk Padukomajo, Kampar, 24 September 2011. Crisis Group memperoleh salinan kesepakatan tanggal 25 Februari 2011 dari Zulkifli. 150 “Polri, Pemkab, Ninik Mamak, Masyarakat Air Tiris Gotong Royong”, Riau Info, 3 Maret 2011.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
juga upacara adat menandai perdamaian antara polisi dan warga dan makan bersama, tapi tidak semua orang puas. Banyak warga yang merasa mereka menanggung lebih banyak karena harus membayar ganti rugi kepada polisi. Zulkifli merasa ninik mamak, yang khawatir ketegangan berlanjut, memaksanya untuk menandatangani kesepakatan meskipun tadinya ia ingin menuntut polisi ke pengadilan.151 Istrinya saban kali ke Mapolsek untuk minta kompensasi yang dijanjikan untuk rawat jalan dan terapi psikologi, tapi setelah memberinya Rp. 2,5 juta pihak polisi tidak bersedia bayar lebih.152 Selain itu, tiga polisi yang menangkap Zulkifli dimutasi dan diturunkan dari jabatannya, tapi tidak dituntut secara hukum.153 Namun begitu, dibanding Buol, Kampar kelihatannya lepas dari bahaya. Kontak-kontak dan kolaborasi yang dilakukan, walaupun tak sempurna, sejauh ini berjalan baik untuk mencegah rasa permusuhan mengakar.
Page 18
mengatakan masyarakat harus membedakan antara oknum dan institusi kepolisian.155
Dari kasus ini, sikap Kapolsek Kampar Edi Renhar memperlihatkan jalan yang harus dilalui masih panjang. Ia menyalahkan warga Air Tiris atas hubungan yang disfungsional antara masyarakat dengan pihak kepolisian dan mengklaim polisi telah sering melakukan pendekatan kepada masyarakat. Menanggapi saran bahwa patroli jalan kaki mungkin sebuah ide bagus, ia mengatakan, “tidak mungkin polisi mau jalan kaki dari Polsek ke pasar ke Polsek. Mana ada polisi mau jalan kaki? Untuk beli rokok di jalan depan pun naik motor”.154 Kapolda Suaedi mengakui kalau program Polmas berjalan baik, kekerasan semacam ini akan dapat dicegah. Menurutnya, telah ada instruksi kepada pasukannya untuk melakukan adaptasi: Polsek itu garda terdepan dalam pelayanan masyarakat. Kalau garda depan tidak bisa membuat masyarakat tersenyum, bagaimana bisa terwujud citacita polisi jadi pelindung dan pelayan masyarakat? Itu cuma jadi bumbu-bumbu saja, retorika saja. Kalau kita ingin mengatakan kita pelindung, kita harus mempraktekkan itu setiap hari. Kalau tidak melayani dan minta dilayani, berhenti saja. Ia juga mengakui bahwa kalau saja para petugas polisi tidak begitu arogan dan memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat, mereka akan tahu bahwa kasus melibatkan seorang yang memiliki reputasi seperti Zulkifli perlu ditangani secara sensitif. Tapi ia juga
151
Crisis Group interview, Zulkifli, Kampar, 24 September 2011. Crisis Group interview, Edi Renhar, Kampar, 25 September 2011. 153 “Tiga Polisi Ditahan Akibat Insiden Polsek Kampar”, Antara Riau News, 1 Maret 2011. 154 Crisis Group interview, Kapolsek Kampar Edi Renhar, Kampar, 25 September 2011. Ia pindah setelah kejadian kerusuhan. 152
155
Crisis Group interview, Kapolda Riau Brigadir Jenderal Suaedi Husein, Pekanbaru, 25 September 2011.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
V. KASUS KETIGA: PEMBAKARAN DI BANTAENG Insiden di Sulawesi Selatan ini memperlihatkan bagaimana masyarakat melihat polisi sebagai entitas tunggal tanpa memisahkan antara individu dan institusi. Pada bulan Juni 2011, sejumlah polisi dari Polres Jeneponto menggerebek sebuah pesta pernikahan di ujung kabupaten Jeneponto. Dalam upaya menangkap pelaku judi, mereka menembak mati seorang tokoh masyarakat yang rumahnya di seberang sungai di kabupaten tetangga – Bantaeng. Teman-teman korban membalas dendam dengan membakar kantor Polsek terdekat, di kecamatan Uluere, Bantaeng, meski Polsek ini tidak ada kaitannya dengan petugas yang menggerebek. Baik polisi maupun mereka yang melakukan pembakaran lolos dari tuntutan hukum setelah bupati Bantaeng segera membangun kembali Mapolsek dan membayar kompensasi kepada keluarga korban yang meninggal maupun luka. Warga diminta untuk memaafkan dan melupakan insiden tersebut.
Page 19
bermain kartu untuk menyerahkan diri.158 Tak diacuhkan, ia lantas melepaskan tembakan peringatan sehingga membuat orang-orang berlarian keluar.159 Karena listrik mati, petugas lainnya merasa komandan mereka berada dalam bahaya dan melepaskan tembakan serampangan di kegelapan, dan mengenai empat orang, termasuk tokoh setempat, Daeng Talla. Polisi lalu mengangkut para pemain kartu dan bergegas pergi tanpa menolong mereka yang terluka.
A. MEMBALAS PENGGEREBEKAN DI PESTA PERNIKAHAN
Sekitar 300-an tamu yang marah bergerak menuju Mapolsek Uluere yang hanya memiliki delapan anggota. Mereka tidak peduli bahwa polisi yang melakukan penggerebekan bukan berasal dari situ dan Polsek itu tidak punya jurisdiksi atas lokasi penggerebekan di desa Loka, Kecamatan Rumbia. Beberapa yang lain bermaksud mencari bantuan medis bagi korban luka yang semuanya berasal dari Kecamatan Uluere. Kebetulan, satu-satunya dokter di pegunungan itu tinggal di rumah berlokasi di sebelah Mapolsek Uluere. Pada saat massa yang datang naik motor dan mobil sampai di pusat kecamatan yang hanya memiliki satu jalan utama sekitar jam 11 malam, tidak ada orang di Mapolsek. Dokterpun mengatakan korban harus dibawa ke rumah sakit di Bantaeng, sekitar satu jam naik mobil menuruni gunung. Belum jauh dari Uluere, Daeng Tella meninggal di perjalanan.160
Pada tanggal 2 Juni 2011, tujuh petugas Polres Jeneponto bergerak menuju desa Loka di kecamatan Rumbia atas informasi bahwa ada pelaku pencurian motor yang menghadiri sebuah pesta pernikahan disana. Meski desa Loka masuk dalam wilayah hukum mereka, namun para petugas tidak tahu letak persisnya. Rumbia merupakan kecamatan luas namun terpencil yang terletak di daerah pegunungan. Mereka tidak punya Polsek sendiri dan masuk wilayah hukum Polsek Kelara yang berjarak 10 km di lereng gunung.156 Para petugas berpakaian preman itu lalu bertanya ke rekan mereka di Polsek Uluere mengenai lokasi desa Loka.
Ada dua kelompok dalam aksi massa itu, yaitu warga Rumbia yang ingin membakar semua yang berhubungan dengan polisi dan warga Uluere yang sama marahnya tapi tidak ingin rumah dinas dokter dan klinik yang terletak di sebelah Mapolsek dirusak.161 Warga Uluere juga tahu bahwa bangunan Mapolsek bukan milik polisi. Bupati Bantaeng telah mengijinkan polisi untuk membangun sebuah kantor semi permanen diatas tanah milik pemerintah daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas kesehatan. Warga yang marah akhirnya membongkar dinding papan dan tiang penyangga mapolsek yang terbuat dari kayu serta menyeret isi kantor termasuk
Sekitar jam 10 malam, mereka tiba di kediaman pengantin perempuan, sebuah rumah panggung kayu. Diantara ratusan tamu, ada sekelompok orang bermain kartu di gubuk di belakang rumah dimana pesta berlangsung dan polisi mencoba menangkap mereka dengan tuduhan judi.157 Komandan tim itu lalu masuk ke rumah dan menenangkan tamu serta memerintahkan semua yang
156
Di banyak kabupaten di daerah pedesaan, sebuah Polsek bisa mencakup lebih dari dua kecamatan, karena kurangnya sumber daya dan dana untuk membangun kantor. Biasanya, tiap kecamatan seharusnya memiliki sebuah Polsek dengan anggota 5 hingga 50 petugas polisi, tergantung sumberdaya yang tersedia dan besarnya populasi. 157 “Laporan Monitoring Penembakan Warga Sipil di Desa Loka, Rumbia, Jeneponto”, KontraS Sulawesi, Juni 2011. Ini adalah laporan dari kelompok HAM KontraS cabang Sulawesi, hal. 6.
158
Bermain kartu dengan uang adalah hiburan yang jamak di daerah pedalaman dataran tinggi Bantaeng dan Jeneponto, khususnya setelah musim panen atau ada perayaan. Tapi, perjudian terorganisir yang bisa ditemui di daerah pesisir dan wilayah perkotaan dari kedua kabupaten jarang terjadi di gunung. Kalau polisi datang, warga seringkali memberi mereka hasil panen atau upeti lain agar mereka tutup mata. Crisis Group interview, warga dan wartawan Bantaeng dan Jeneponto, September 2011. 159 Laporan Kejadian No. LK/56/VI/2011 tentang Pengrusakan dan Pembakaran Polsek Uluere, Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2 Juni 2011. Ini adalah laporan resmi polisi mengenai kejadian. 160 “Satu Tewas, Massa Amuk Kantor Polisi”, Seputar Indonesia, 3 Juni 2011. 161 Crisis Group interview, Daeng Kasman, kepala desa Bonto Marannu, Bantaeng, 16 September 2011. Ia tinggal di depan Mapolsek Uluere. Desa Bonto Marannu adalah pusat Kecamatan Uluere.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
dokumen polisi ke tengah jalan lalu membakarnya.162 Para petugas hanya dapat menyembunyikan diri dan senjata mereka ketika mendengar massa termasuk ibu-ibu dan dan anak-anak sedang bergerak menuju Mapolsek. Saat tengah malam, Mapolsek Ulere tinggal puing tapi bangunan umum yang lain masih tegak.
B. TANGGAPAN DARI BUPATI Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah adalah seorang mantan dosen yang lalu menjadi pengusaha sebelum berhasil mentransformasikan kabupatennya dari daerah miskin yang tidak memiliki dokter menjadi sebuah pusat medis dan sumber penghasil produk pertanian. Ia tidak ingin melihat konflik menodai pembangunan di daerahnya. Ia memiliki visi menjadikan Uluere pusat agro wisata dengan pengusaha dari Jepang yang sudah antri untuk berinvestasi.163 Ketika mendengar ada kerusuhan, ia segera pergi ke lokasi di pegunungan untuk menenangkan masyarakat. Ia percaya saingan politiknya mungkin berperan dalam kerusuhan untuk menganggu pemerintahannya.164 Ia juga tak ingin pasukan Brimob didatangkan ke Uluere meskipun mereka sudah dikirim kesana.165 Kapolres Bantaeng, Feri Handoko, mendengarkan sarannya dan memanggil pasukan Brimob kembali serta mengabaikan isu-isu bahwa massa berencana untuk menyerang polisi di luar Uluere. Pagi harinya, bupati menemani keluarga Daeng Talla ke Rumah Sakit Polri di Makassar, untuk proses otopsi yang menemukan selongsong peluru di tubuh korban. Ketika mereka kembali ke Uluere, ia mengatur agar pemakaman dilakukan segera untuk mempersingkat suasana duka yang dapat memicu emosi masyarakat. Kapolres Handoko dikenal sebagai seorang polisi yang senang bertemu dengan warga tapi masyarakat tetap marah padanya dan menuntut penggantian delapan orang anggota Mapolsek Uluere, yang akhirnya dipenuhi. Meski petugas Polres Jeneponto-lah yang melakukan penggerebekan, warga Uluere percaya bahwa anggota Polsek Uluere juga terlibat. Masyarakat juga menuntut lima tamu pesta yang ditangkap dibebaskan, tapi karena Polres Jeneponto yang bertanggungjawab untuk hal ini, maka bupati dan
162
Crisis Group interview, Kapolres Bantaeng Feri Handoko, Bantaeng, 16 September 2011. 163 Kecamatan Uluere di Kabupaten Bantaeng adalah daerah penghasil stroberi, wortel, apel dan bunga. Rumah kaca dan anggrek menghiasi wilayah Uluere. 164 Narasumber lain, termasuk polisi, melihat kehadiran provokator selama dan setelah pembakaran tapi tidak bisa menyimpulkan mereka punya motif politik anti-bupati. 165 Ada 150 anggota Brimob bersenjata lengkap yang datang dari Makasar ke Bantaeng, yang berjarak sekitar 5 jam perjalanan. Tanggal 3 Juni 2011 siang, mereka berkemah di sebuah desa di kaki gunung sekitar 15 menit dari Uluere. Laporan Kejadian, op. cit.
Page 20
Kapolres Bantaeng tidak punya wewenang untuk memenuhi tuntutan tersebut.166 Sayangnya, tanggapnya pejabat pemerintah Bantaeng tidak diimbangi oleh pejabat di Jeneponto. Polres Jeneponto akhirnya membebaskan dua tahanan yang berasal dari kabupaten mereka sendiri karena tidak ada bukti, tapi tetap menahan tiga petani warga Uluere. Bupati Jeneponto tidak berniat sedikitpun untuk ikut campur dalam masalah polisi, tapi para tokoh masyarakat terus melobi pembebasan mereka.167 Tanggal 6 Juni, Bupati Bantaeng, mengeluarkan Rp 20 juta dari kantong pribadinya untuk membiayai pembangunan kembali bangunan Mapolsek Uluere yang hancur.168 Ia tidak ingin puing-puing bekas amuk massa mengingatkan masyarakat kepada instabilitas yang pernah terjadi. Rekonstruksi selesai hanya dalam waktu seminggu dibawah pengelolaan para tokoh setempat yang bersikeras bahwa anggota Polsek Uluere baru boleh bekerja lagi sesudah Polres Jeneponto membebaskan tiga warga Uluere yang ditahan. Tanggal 17 Juni, ketiga warga Uluere tersebut akhirnya bebas setelah berada dalam tahanan selama dua minggu tanpa dikenai tuduhan apaapa karena memang tidak ada bukti.169
C. TIDAK ADA PROSES HUKUM Tanggapan yang cepat dari bupati Bantaeng berhasil mencegah kekerasan berlanjut, namun begitu warga masih menyesali sikapnya yang tidak ingin ada pertanggungjawaban hukum.170 Tak seorangpun diantara petugas Jeneponto yang terlibat aksi penggerebekan di desa Loka dihadapkan ke persidangan, walaupun Kepala Biro Operasional Polda Sulawesi Selatan mengatakan penembakan itu tidak perlu terjadi dan para petugas malam itu telah “menembak hantu mereka sendiri”.171
166
“Keluarga Korban Penembakan Bantaeng Tolak Polisi”, Tribun Timur, 5 Juni 2011. 167 Sementara Bantaeng dikenal sebagai daerah dengan pemerintahan yang bersih dan pembangunan yang pesat, Jeneponto tetap menjadi daerah miskin dengan bupati yang kerap menghadapi tuduhan korupsi dan protes dari kelompokkelompok warga. Saingan politik terberat Bupati Jeneponto adalah pendahulunya yang pernah di penjara atas kasus penggelapan. “Germak Sulsel Laporkan Kasus Dugaan Korupi Bupati Jeneponto”, Makassar TV, 23 September 2010. 168 Crisis Group interview, Nurdin Abdullah, Bantaeng, 16 September 2011. Juga lihat “Mapolsek Uluere Segera Direnovasi”, Tribun Timur, 7 Juni 2011. 169 KontraS Sulawesi, op. cit., hal. 8-9. 170 Crisis Group interview, Daeng Kasman, Bantaeng, 16 September 2011. 171 Crisis Group interview, Aziz Samosir, Kepala Biro Operasional Polda Sulawesi Selatan, Makassar, 15 September 2011. Ia mengawasi operasi lapangan di seluruh kabupaten di Sulawesi Selatan, termasuk Bantaeng dan Jeneponto.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
Pada bulan Juni 2011, Polda Sulawesi Selatan mulai melakukan investigasi terhadap tujuh petugas polisi yang melakukan penggerebekan tanpa mengungkapkan namanama mereka ke publik.172 Dalam laporan resmi polisi, hanya nama pemimpin tim penggerebekan yang disebutkan. Dalam laporan itu juga disebutkan petugas melepas dua kali tembakan peringatan dan memberitahu kehadiran mereka, tapi ini ditolak warga.173 Seorang perwira Polda mengatakan meski ada pelanggaran disiplin selama penggerebekan, petugas melepaskan tembakan ketika mereka merasa komandan mereka dalam bahaya dan hal ini masuk akal karena biasanya tetamu pria di wilayah itu datang ke pesta pernikahan bawa parang.174 Oleh karena itu, menurut prosedur kepolisian, ada alasan sah dalam penggunaan senjata api.175 Para petugas tim penggerebekan menerima sanksi tujuh hari tahanan karena tidak disiplin, tapi seluruh proses sidang dilakukan secara internal. Tidak ada saksi yang bisa mengidentifikasi penembak karena saat itu tidak ada yang bisa melihat wajah para petugas dalam kegelapan. Polres Bantaeng juga sudah mencoba memperkarakan lima orang yang mereka tuduh menjadi provokator massa sehingga melakukan pembakaran, tapi kemudian membatalkannya demi menjaga hubungan baik dengan masyarakat. Kata Kapolres Handoko: Tidak semua kasus harus dilanjutkan ke pengadilan. Penegakan hukum itu untuk menegakkan rasa keadilan. Kalau hal itu tidak membawa rasa keadilan, mengapa harus kesana? Masyarakat sudah meminta maaf atas kerusakan yang terjadi, memahami kesalahannya dan meminta polisi tidak memproses. Kalau kita paksakan untuk menetapkan tersangka masyarakat, ini akan sulit. Hanya akan membuat masyarakat tidak nyaman dengan petugas di polsek terpencil itu. Selain itu, pada akhirnya, masyarakat butuh polisi.176
172
“7 Anggota Polres Jeneponto Diamankan”, Kompas.com, 7 Juni 2011. 173 Laporan Kejadian, op. cit. Komandan tim adalah Inspektur Dua (Ipda) Agus Tri Putranta. 174 Crisis Group interview, petugas polisi Sulawesi Selatan, Makassar, 15-16 September 2011. Petani laki-laki di Sulsel biasanya membawa parang setiap keluar rumah. Di acara perayaan seperti pernikahan, penutup parang diberi hiasan dan dianggap pusaka. 175 Prosedur Tetap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Protap/1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki. Ini dokumen polisi yang utama mengenai pengendalian massa. Penembakan ke sasaran yang tidak mematikan dibolehkan ketika mereka yang memperlihatkan “Gangguan Nyata” tidak menghiraukan tembakan peringatan. Contoh-contoh “Gangguan Nyata” yaitu melawan/menghina petugas dengan menggunakan atau tanpa menggunakan alat dan/atau senjata. 176 Crisis Group interview, Feri Handoko, Bantaeng, 16 September 2011.
Page 21
VI. KESIMPULAN Kasus-kasus kekerasan masyarakat terhadap polisi sebagai aksi balas dendam terhadap persepsi dan kenyataan adanya pelanggaran oleh petugas memperlihatkan tiga fakta yang tak terbantahkan: polisi melindungi diri sendiri ketika masyarakat menuntut jawaban; polisi terlalu cepat melepaskan tembakan dan seringkali dengan peluru tajam; serta akuntabilitas terhadap pelanggaran yang diduga dilakukan oleh polisi hanya terjadi kalau mendapat sorotan media, dan kalaupun terjadi biasanya memihak dan tidak memuaskan. Semua persoalan ini diperumit oleh korupsi dan permintaan pungutan liar oleh polisi. Petugas kepolisian berdalih anggaran mereka tidak cukup untuk biaya operasi dan uang tambahan diperlukan untuk melakukan operasioperasi agar dapat memenuhi target. Selain itu, memang benar bahwa kebanyakan anggota polisi yang berpangkat rendah tidak mendapat gaji yang memadai. Akibatnya mereka senang melakukan razia seperti yang terjadi di Buol untuk menghentikan balap liar. Tapi seperti yang dikatakan seorang pengamat: Polisi menekankan bahwa untuk menginvestigasi suatu kasus atau mengamankan demo, mereka harus memungut “pajak” tidak resmi dan meminta “sumbangan” dari masyarakat. Mereka ingin masyarakat Indonesia melihat biaya di luar anggaran sebagai semacam anggaran tambalan yang disebabkan karena kurangnya dana dari pemerintah dan bukan sebagai korupsi. Tapi analisa terhadap sistem keuangan polisi memperlihatkan sebuah gambaran yang jauh lebih rumit. Masalahnya ada di prioritas anggaran yang buruk, pengiriman uang yang tidak lancar dan penggelapan uang yang kronis.177 Perwira senior polisi sering berargumentasi bahwa penyebab utama sering terjadinya kekerasan adalah jumlah personil atau perlengkapan yang tidak memadai, terutama di daerah terpencil. Memang benar bahwa banyak Polsek yang memiliki jumlah personil yang rendah dan perlengkapan yang usang, tapi ini baru sebagian dari penyebab. Begitu banyak dana yang dialihkan di Jakarta sehingga “pengiriman uang dari Mabes Polri ke kantor-kantor kepolisian di seluruh Indonesia sengaja dilambat-lambatkan dan ketika sampai jumlahnya sudah jauh berkurang”.178 Masalah lain yang diidentifikasi dalam laporan ini juga terkait dengan korupsi. Pelatihan yang tidak memadai menjadi konsekwensi sebuah sistem dimana seperti yang dikemukakan di awal laporan bahwa untuk bisa masuk 177
Jacqui Baker, “Bribes and Bullets: Police Corruption Linked to Violence at World’s Biggest Mine”, www.theconversation.edu.au, 18 November 2011. 178 Ibid.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
sekolah polisi, mendapat penugasan dan kenaikan pangkat, semua harus menggunakan uang dan bukan berdasarkan kecakapan. Seringkali, pembayaran kompensasi ke korban kekerasan polisi dianggap cukup menggantikan dilakukannya investigasi serius terhadap kemungkinan pelanggaran polisi. Akhirnya, walau ada setumpuk kebijakan dan rencana kerja mengenai Polmas yang telah dilancarkan sejak tahun 2005, polisi masih dibenci masyarakat secara luas.
A. MENTALITAS KAMI VERSUS MEREKA Beberapa implikasi kebijakan di bawah ini berasal dari analisa beberapa studi kasus dan kendala Polmas yang telah diidentifikasi di Bagian II. Banyak dari implikasi ini memerlukan reformasi besar-besaran di pusat, yang sudah dimulai dibawah kepemimpinan mantan Kapolri Jenderal Sutanto, tapi kelihatannya sekarang sudah meluntur. Mereka termasuk: Sebuah perombakan besar-besaran dalam administrasi dan pemeriksaan keuangan institusi kepolisian untuk memulai menghilangkan budaya memburu rente di tingkat lokal karena pembebanan biaya liar oleh polisi kemungkinan menjadi penyebab utama kebencian masyarakat terhadap polisi. Bukan berarti kemudian anggaran sekedar diperbesar jumlahnya. Yang paling penting dilakukan adalah reformasi sungguhsungguh pada bagaimana dana dialokasikan, dikirim, dan diusulkan, serta bagaimana pengawasan dilakukan. Rekomendasi-rekomendasi seperti ini sudah berkali-kali diberikan oleh berbagai organisasi tapi tidak ada perubahan yang berarti. Kalau masalah fundamental ini tidak ditangani, reformasi yang lain akan terhambat. Kantor polisi di lapangan juga harus memiliki manajemen keuangan dan personil yang lebih baik. Perhatian yang serius untuk memperbaiki Akademi Kepolisian dan Sekolah Polisi Negara, dengan fokus pada syarat masuk, reformasi kurikulum dan metode pengajaran. Perhatian khusus perlu diberikan dalam upaya menghilangkan budaya perploncoan dan hukuman badani yang pada akhirnya malah diterapkan oleh para petugas ke publik setelah mereka lulus. Rekomendasirekomendasi dari kebijakan tahun 2005 dan 2008 untuk memperbanyak patroli dan interaksi dengan publik sejauh ini diabaikan di tingkat lokal. Kenyataan bahwa Polda Sulawesi Tengah harus mengeluarkan sebuah daftar berisi perilaku polisi yang tidak diterima oleh masyarakat setelah insiden Buol memperlihatkan bahwa sebenarnya banyak dari persoalan ini sudah disadari, tapi tak ada kemauan politik untuk memperbaikinya kecuali setelah terjadi letusan. Bahkan ketika kerusuhan terjadi, perhatian terhadap masalah ini hanya diberikan selama insiden tersebut disorot media. Budaya superioritas yang tertanam selama masa pendidikan di Akpol dan institusi pelatihan juga membutuhkan reformasi. Untuk itu, diperlukan sebuah evaluasi secara mendalam oleh sebuah tim
Page 22
independen terhadap institusi pendidikan Polri untuk memahami bagaimana perilaku demikian ditularkan dan bagaimana hal itu bisa diubah. Penyusunan sebuah struktur insentif yang jelas di tingkat lokal untuk menerapkan konsep Polmas. Kecuali ada sistem imbalan bagi mereka yang menjalin hubungan baik dengan masyarakat, baik dalam bentuk pengakuan, promosi ataupun kenaikan gaji, tidak akan ada yang tertarik untuk mengubah sistem yang berlaku saat ini, dimana berusaha membuat atasan senang membawa imbalan paling tinggi. Lebih banyak Polwan di posisi manajemen. Di Kampar dan Bantaeng, banyak dari demonstran adalah perempuan dan anak-anak. Sementara di pihak kepolisian, tidak ada polisi wanita yang mungkin akan memahami sentimen dalam masyarakat dengan lebih baik dari perspektif yang berorientasi keluarga. Polwan juga dapat membangun jaringan dengan kelompok-kelompok perempuan dalam masyarakat karena kehadiran mereka akan memberi wajah yang lebih lunak bagi inisiatif-inisiatif polisi.
B. MERUBAH PENDEKATAN “TEMBAK DULU” Salah satu konsekwensi kebencian masyarakat terhadap polisi adalah seringnya serangan massa sehingga menciptakan situasi dimana petugas panik dan buru-buru mengambil senjata api mereka. Tujuan polisi seharusnya pertama-tama menghindari menjadi penyebab aksi masa, tapi pada saat yang sama, sejumlah perubahan bisa dilakukan, termasuk: Persyaratan yang lebih ketat dalam pelatihan dan perolehan ijin berdasarkan kecakapan sebelum memperoleh dan menyimpan senjata. Pelatihan penggunaan senjata api yang diberikan ke siswa di sekolah polisi negara belum mencapai standar yang baik. Seharusnya lulusan SPN belum boleh memegang senjata api. Seharusnya ada sebuah tinjauan ulang terhadap pelatihan dan prosedur pengujian untuk memperbaiki standar profesi yang disertai dengan pembelajaran secara interaktif dan menyeluruh mengenai kebijakan Polri tahun 2009 di bidang HAM.179 Dalam kasus Bantaeng, polisi berdalih bahwa mereka melepaskan tembakan karena merasa komandannya berada dalam bahaya tapi mereka menembak sembarangan di kegelapan sehingga membuat apa yang tadinya mungkin merupakan tindakan yang rasional menjadi aksi yang bodoh. Pelatihan yang lebih baik bisa mencegah sikap ini. Disamping itu, penyalahgunaan atau pelanggaran dalam menggunakan senjata api harus mendapat sanksi demosi atau langkah
179
“Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Ini adalah kebijakan mengenai bagaimana petugas polisi seharusnya menerapkan nilai-nilai HAM.
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
lain yang cukup keras untuk membawa efek jera. Seperti yang dikemukakan dalam laporan Crisis Group sebelumnya, kontrol yang jauh lebih ketat harus diterapkan dalam persediaan senjata dan amunisi kepolisian.180 Pelatihan yang lebih baik dalam pengendalian massa menggunakan metode yang tidak mematikan. Polisi perlu memikirkan kembali secara serius penggunaan amunisi yang berlebihan oleh anggota mereka di seluruh Indonesia. Kalau kekerasan yang melibatkan polisi terjadi begitu meluas, sudah sewajarnya polisi berusaha menghindari menggunakan amunisi dalam situasi apapun. Bahkan di wilayah-wilayah konflik atau bekas konflik, seperti Papua dan Ambon, dimana penggunaan peluru karet seharusnya menjadi prosedur standar, peluru tajam hampir selalu dipakai (dan disalahgunakan) dalam meredam kerusuhan. Hal ini mungkin sebagian akibat adanya pasukan bantuan dari luar, tapi seharusnya ada tinjauan ulang yang menyeluruh. Ini harus dilakukan oleh tim independen terhadap bagaimana peluru karet didistribusikan, berapa banyak persediaan di polsek, dan apa instruksi untuk penggunaannya. Hanya sedikit Polsek yang punya akses ke gas airmata atau water canon atau yang tahu dan terlatih bagaimana menggunakannya.181 Perlunya revisi terhadap kebijakan Polri tahun 2010 mengenai perilaku anarkis. Pada bulan Oktober 2010, setelah kejadian tawuran di Jakarta antar geng bersenjata yang melukai tiga anggota polisi, Polri mengeluarkan sebuah kebijakan, Prosedur Tetap nomor 1/X/2010 tentang penanggulangan anarki. Protap ini pada hakekatnya adalah sebuah ijin untuk menembak di tempat daripada pedoman yang menekankan penggunaan metode yang tidak mematikan atau mendorong polisi untuk mengambil sejumlah langkah awal yang dapat mencegah aksi masa terjadi. Protap ini dikritik secara luas tapi hingga awal 2012 tidak ada revisi.
C. AKUNTABILITAS Tidak adanya akuntabilitas polisi bukan cerita baru. Tapi sedikit kemajuan terjadi di dekade belakangan ini dalam upaya memperbaiki akuntabilitas polisi. Petugas polisi yang melakukan penganiayaan terhadap tahanan pada umumnya baru dihukum kalau kasusnya mendapat sorotan media dan itupun paling hanya dikenai sanksi indisipliner. Upaya menutup-nutupi kasus seringkali terjadi dan perasaan tidak diperlakukan secara adil yang ditimbulkan oleh keadaan ini membuat kebencian masyarakat terhadap polisi terus ada. Pertanyaannya
180
Lihat Crisis Group Asia Briefing No109, Illicit Arms in Indonesia, 6 September 2010. 181 Crisis Group interviews, Kapolres Buol Hari Suprapto, Buol, 26 Juli 2011; Kapolres Bantaeng Feri Handoko, Bantaeng, 16 September 2011; dan Kapolres Kampar Trio Santoso, Bangkinang, 23 September 2011.
Page 23
adalah bagaimana merubuhkan budaya tutup mulut diantara polisi dan mendapatkan investigasi independen yang serius terhadap dugaan pelanggaran oleh polisi. Apabila investigasi semacam ini dilakukan, maka akan lebih mudah untuk menjamin penuntutan terhadap pelaku pembakaran dan tindak kekerasan lainnya terhadap polisi. Hingga saat ini, ketika masalah di antara masyarakat dan polisi meletus menjadi aksi kekerasan, biasanya pejabat daerah setempat yang terbebani untuk menegosiasikan jalan keluar dengan cara yang membuat setiap orang tidak puas. Akhirnya, rasa ketidakpuasan masyarakat ini terus menjadi borok. Bupati yang tanggap seperti yang ada di Bantaeng akan bisa mengakhiri krisis, tapi kejahatan serius seharusnya tidak diselesaikan hanya lewat perundingan atau kompromi. Beberapa perubahan yang diperlukan adalah: Pembentukan sebuah komisi pengawasan sipil. Komisi Kepolisian Nasional yang dibentuk dibawah UndangUndang Polri tahun 2002 awalnya dilihat sebagai badan yang dapat menerima pengaduan, tapi lama kelamaan ruang lingkup dan wewenangnya semakin berkurang, dan dibawah mandat yang berlaku saat ini Kompolnas tidak punya peran pengawasan. Ada sebuah LSM bernama Indonesian Police Watch tapi mereka tidak punya wewenang untuk melakukan investigasi. Sering terjadinya kekerasan antara polisi dan masyarakat menekankan betapa diperlukannya sebuah komisi pengawasan polisi. Kalau polisi sungguh-sungguh percaya bahwa mereka adalah institusi sipil, mereka seharusnya bersedia menghadapi pemeriksaan oleh lembaga sipil lain. Lebih banyak menggunakan lembaga peradilan dimana ada dugaan kejahatan serius seperti pembunuhan atau penganiayaan. Kegagalan menggunakan lembaga peradilan untuk menuntut dugaan kejahatan yang dilakukan oleh polisi melanggengkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap polisi karena hal ini menunjukkan seolah-olah polisi berada diatas hukum. Faktanya adalah tidak ada yang percaya pada investigasi polisi secara internal, sebagian karena proses itu tidak transparan dan tidak ada yang punya kesempatan untuk melihat bagaimana bukti-bukti disampaikan atau bagaimana keputusan diambil. Dalam kasus Buol, proses hukum jauh dari memuaskan tapi setidaknya prosesnya terbuka untuk diawasi. Tim Pencari Fakta perlu lebih efektif dan memiliki kewenangan. Tim pencari fakta yang dibentuk oleh Pemda Buol tidak memiliki pengaruh karena baik Polri maupun lembaga nasional lain tidak terlibat secara langsung dalam tim ini. Tidak seorangpun di luar Buol yang menganggap serius hasil tim itu. Agar misi pencari fakta bisa berjalan dengan baik perlu melibatkan individu atau wakil dari lembaga-lembaga yang memiliki pengaruh di tingkat pemerintah yang tertinggi yang dapat mendorong pengimplementasian rekomendasi-
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
rekomendasi yang dihasilkan. Sementara tim pencari fakta yang hanya beranggotakan polisi bukan ide bagus, keterlibatan polisi dalam tim pencari fakta gabungan sangat penting karena pensiunan polisi atau polisi aktif yang dihormati bisa membuka pintu informasi dan membantu menjamin bahwa rekomendasi-rekomendasi akan dapat diimplementasikan. Prosedur otopsi yang lebih baik. Kasus Buol memperlihatkan diperlukannya prosedur otopsi yang independen terutama dalam kasus-kasus dimana polisi diduga terlibat atas kematian tersangka atau tahanan. Lebih banyak sumberdaya dialokasikan ke “jurnalisme keadilan”. “Jurnalisme perdamaian” telah menjadi sebuah bidang sendiri yang diakui berperan penting dalam mengurangi konflik dengan cara menyampaikan laporan secara akurat dan meredakan isuisu. Adalah penting bagi media di Indonesia untuk memberi tekanan pada akuntabilitas institusi keamanan dalam banyak kasus. Ketiadaan reformasi kepolisian yang serius membuat media perlu untuk menempatkan sumberdaya yang lebih banyak ke dalam “jurnalisme keadilan” di tingkat lokal agar menjamin bahwa ada lebih banyak wartawan investigatif yang terlatih untuk mengusut dugaan-dugaan pelanggaran oleh polisi di daerah-daerah terpencil. Wartawan peliput polisi seringkali terlalu dekat dengan petugas yang mereka liput. Sebuah program televisi berjudul “Suara Keadilan” di stasiun TVOne memperlihatkan bagaimana liputan media bisa efektif. Acara itu juga memperlihatkan begitu banyak kasus-kasus pelanggaran terhadap warga desa yang terjadi yang mungkin tidak akan pernah diketahui oleh publik kecuali apabila wartawan melaporkannya. Kasus-kasus mengenai kekejaman polisi yang terjadi baru-baru ini di Bima di Pulau Sumbawa dan Mesuji di Pulau Sumatera memperlihatkan bahwa tindakan baru muncul setelah tayangan video berisi cuplikan gambar berdarah sampai di ruang keluarga pemirsa di seantero negeri. Konflik antara polisi dan masyarakat merupakan gejala masalah yang lebih besar yang sedang dihadapi Indonesia, termasuk masalah korupsi dan sistem peradilan yang disfungsional. Polmas bukanlah obat panacea. Kalau pemerintah ingin mengurangi serangan-serangan kekerasan terhadap polisi, pemerintah perlu mulai dengan memahami mengapa kebencian terhadap polisi masih tetap tinggi.
Jakarta/Brussels, 16 Februari 2012
Page 24
Akibat Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah Crisis Group Asia Report N°218, 16 Februari 2012
Page 25
LAMPIRAN A PETA INDONESIA