ANALISIS TRANSMISI RADIASI SURYA OLEH UAP AIR (WATER VAPOR TRANSMITTANCE) MENGGUNAKAN KANAL INFRA RED DEKAT (NEAR INFRARED BAND) DATA SATELIT MODIS L1B (TERRA)
RADEN TIGIN PURNA LUGINA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ABSTRAK RADEN TIGIN PURNA LUGINA. Analisis Transmisi Radiasi Surya oleh Uap Air (Water Vapor Transmittance) Menggunakan Kanal Infra Red Dekat (Near Infrared Band) Data Satelit MODIS LB (TERRA). Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO, S.Si, M.Sc. Uap air memiliki kemampuan untuk menyerap gelombang elektromagnetik, sehingga tidak semua gelombang elektromagnetik lolos melewatinya. Besar kisaran panjang gelombang yang mampu diloloskan oleh uap air disebut sebagai transmitan uap air. Pendugaan nilai transmitan uap air dapat digunakan sebagai indikator terhadap pertumbuhan awan. Data penginderaan jauh yaitu Terra MODIS L1B dapat digunakan untuk menurunkan informasi transmitan uap air berdasarkan rasio antara kanal diserap oleh uap air (kanal absorbsi) dan kanal yang tidak diserap oleh uap air (kanal non absorbsi). Kanal absorbsi antara lain kanal 17, 18 dan 19, sementara kanal non absorbsi yang digunakan adalah kanal 2 dan 5. Kelima kanal tersebut merupakan kanal infra merah dengan kisaran panjang gelombang 0.865 µm sampai 1.240 µm. Hubungan antara nilai transmitan uap air pada kanal 17, 18 dan 19 dengan suhu permukaan awan memiliki pola yang linier dengan koefisien determinasi masing-masing sebesar 0.619, 0.874 dan 0.834.Hasil analisis hubungan antara transmitan uap air dan suhu permukaan awan menunjukkan semakin rendah nilai transmitan maka suhu permukaan awan akan semakin tinggi. Suhu permukaan yang tinggi menunjukkan kadar uap air masih tinggi sehingga tingkat pembentukan awan masih rendah. Kata Kunci : Analisis, MODIS, Pembentukan Awan, Suhu Permukaan Awan, Transmitan Uap Air
ABSTRACT RADEN TIGIN PURNA LUGINA. Solar Radiation Transmission Analysis by Water Vapor (Water Vapor Transmittance) Using Near Infrared Band MODIS L1B (TERRA) Satellite Data. Supervised by IDUNG RISDIYANTO, S.Si, M.Sc. Water vapor has the ability to absorb electromagnetic waves, so not all electromagnetic waves pass through it. The Wavelength range capable passed by the water vapor is referred to as the water vapor transmittance. Estimation of water vapor transmittance values can be used ad an indicator of cloud formation. Terra MODIS L1B can be used to derive the water vapor transmittance information based on the ratio between channels that absorbed by water capor (absorption channel) and channels that not absorbed by water vapor (non-absorption channel. Absorption channel include channel 17, 18 and 19, while the non-absorption channel used is channel 2 and 5. The fifth channel are infrared band that located at the wavelength 0.865 µm to 1.240 µm. The relationship between water vapor transmittance value on channel 17, 18 and 19 with cloud surface temperatur has a linier pattern with each determintation coefficient are 0.619, 0.874 and 0.834. The analysis results of the relationship between water vapor transmittance and cloud surface temperatures show that the lower transmittance value then the value of cloud surface temperatures will be higher. The high value of cloud surface temperatures indicate that moisture level are still high so the level of cloud formation is low. Keywords : Analysis, Cloud Formation, Cloud Surface Temperature, MODIS, Water Vapor Transmittance
ANALISIS TRANSMISI RADIASI SURYA OLEH UAP AIR (WATER VAPOR TRANSMITTANCE) MENGGUNAKAN KANAL INFRA RED DEKAT (NEAR INFRARED BAND) DATA SATELIT MODIS L1B (TERRA)
RADEN TIGIN PURNA LUGINA
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pemanfaatan data satelit untuk menurunkan informasi transmitan uap air, dengan judul “Analisis Transmisi Radiasi Surya oleh Uap Air (Water Vapor Transmittance) Menggunakan Kanal Infra Red Dekat (Near Infrared Band) Data Satelit MODIS LB (TERRA)”. Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut peran serta dalam penyusunan karya ilmiah ini, terutama kepada : 1. Almarhum Papa, Mama, dan Kakak yang selalu mendukung penulis. 2. Bapak Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc., selaku dosen pembimbing. 3. Bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, MS dan Bapak Sonny Setiawan, selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan terhadap tulisan ini. 4. Keluarga Besar Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB, staff dan seluruh dosen. 5. Nizar Nazmusakib Rizkillah Nazmudin sebagai teman terdekat selama di GFM. 6. Diana Rumondang dan Adi Purbo atas bantuannya dalam mengolah data. 7. Teman-teman GFM 42, Dewy, Hertaty, Indah, Ningrum, Nancy, Hengky, Heri, Wahyu, Galih, Gito, Tumpal, Hardie, Devita, Veza, Anis, Irvan, Ari, Robet, Ivan, Dani, Lisa dan yang lainnya. Kepada semua pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi baik besar maupun kecil selama pengerjaan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terima kasih. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan namun semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Januari 2012
Raden Tigin Purna Lugina
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 9 Februari 1988 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Raden Denny Purnama (Alm) dan Jurna Risnawati. Pendidikan formal dimulai tahun (1994-2000) di Sekolah Dasar Negeri 2 Ciawi dan tahun (2000-2002) di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Ciawi. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMAN 1 Ciawi kemudian diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) di pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB), setahun kemudian diterima sebagai mahasiswa Meteorologi Terapan di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Agrometorologi (HIMAGRETO) dan menjadi panitia Metrik Pesta Sains IPB Tingkat Nasional yang diselenggarakan BEM Fakultas MIPA. Penulis juga menjadi asisten Meteorologi Satelit pada tahun 2009 dan 2011.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………………………………. x DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………... xi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………………... xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………….... 1 1.2 Tujuan ………………………………………………………………………….. 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan ……………………………………………………………….. 2.2 Pembentukan Awan …………………………………………………………..... 2.3 Penginderaan Jauh untuk Menurunkan Informasi Transmitan Uap Air …….. 2.3.1 Penginderaan Jauh ……………………………………………………… 2.3.2 Gelombang Elektromagnetik …………………………………………… 2.3.3 Citra MODIS …………………………………………………………… 2.3.4 Koreksi Citra MODIS ………………………………………………….. 2.3.5 Hukum-hukum tentang Radiasi ……………………………………….. 2.4 Mekanisme Optik di Awan …………………………………………………….
1 2 3 3 3 3 4 4 6
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………………… 3.2 Alat dan Bahan ………………………………………………………………... 3.3 Metode Penelitian ……………………………………………………………... 3.3.1 Pemrosesan Citra Satelit ………………………………………………... 3.3.2 Ekstraksi Nilai Transmitan Uap Air …………………………………….
7 7 7 7 7
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ekspor GCP, Koreksi Geometrik dan Cropping pada Citra MODIS ………... 4.2 Penurunan Informasi Suhu Permukaan Awan dan Transmitan Uap Air …… 4.2.1 Suhu Permukaan Awan ………………………………………………… 4.2.2 Transmitan Uap Air dan Hubungan antar Kanal ……………………... 4.3 Hubungan Transmitan Uap Air dan Suhu Permukaan Awan ……………….
8 9 9 10 14
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan …………………………………………………………………… 5.2 Saran …………………………………………………………………………..
17 17
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Panjang gelombang kanal NIR MODIS yang digunakan dalam mengungkap transmitan uap air ...................................................................................................................................................... 4 2 Perubahan nilai pixel ......................................................................................................................... 9 3 Kisaran nilai transmitan dan nilai rata-ratanya tiap kanal absorbsi ................................................. 10 4 Nilai transmitan uap air dan suhu permukaan awan pada kanal 17 ................................................ 14 5 Nilai transmitan uap air dan suhu permukaan awan pada kanal 18 ................................................ 15 6 Nilai transmitan uap air dan suhu permukaan awan pada kanal 19 ................................................ 15 7 Karakteristik dan kegunaan umum sensor MODIS ......................................................................... 20
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Kurva perubahan suhu menurut ketinggian ……………………………….. 2 2 Morfologi efek bowtie ……………………………………………………… 4 3 Intensitas emisi benda hitam (blackbody) pada berbagai suhu …………... 5 4 Perubahan radiasi matahari yang dating karena atmosfer dan proses di permukaan ……………………………………………………………………………… 7 5 Diagram alir metodologi penelitian ………………………………………… 8 6 (i) Citra MODIS yang belum mengalami koreksi radiometrik; (ii) Citra MODIS yang sudah mengalami koreksi radiometrik …………………………………….. 9 7 Distribusi suhu permukaan awan di wilayah Bogor tanggal 26 Maret 2008 ……………………………………………………………………………… 10 8 Hubungan hasil sebaran transmitan pada tanggal 26 Maret 2008 antara : (i) kanal 17 dengan kanal 18; (ii) kanal 17 dengan kanal 19; (iii) kanal 18 dengan kanal 19 ……………………………………………………………………………… 12 9 Distribusi transmitan uap air berdasarkan kanal 17 ……………………… 12 10 Distribusi transmitan uap air berdasarkan kanal 18 …………………….. 13 11 Distribusi transmitan uap air berdasarkan kanal 19 …………………….. 13 12 Hubungan distribusi transmitan dan suhu permukaan pada tanggal 26 Maret 2008 antara : (i) suhu permukaan dengan transmitan kanal 17; (ii) suhu permukaan dengan transmitan kanal 18; (iii) suhu permukaan dengan transmitan kanal 19 ……………………………………………………………………………… 16 13Distribusi volume awan ……………………………………………………. 16
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Metadata Citra Terra MODIS L1B ………………………………………………….............20 2 Karakteristik Satelit MODIS ………………………………………………………...............21
Judul Skripsi
Nama NRP
: Analisis Transmisi Radiasi Surya oleh Uap Air (Water Vapor Transmittance) Menggunakan Kanal Infra Red Dekat (Near Infrared Band) Data Satelit MODIS LB (TERRA) : Raden Tigin Purna Lugina : G24052532
Disetujui :
Pembimbing,
Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc NIP. 19730823 199802 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen,
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal lulus :
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Atmosfer merupakan lapisan yang menyelimuti permukaan bumi dengan komponen penyusunnya berupa partikelpartikel halus dan ringan seperti gas, cairan dan aerosol. Kondisi atmosfer cenderung mudah berubah dikarenakan bahan pengisi atmosfer merupakan gas yang mudah mampat dan mengembang. Menurut Trewartha dan Horn (1980) 75% dari massa atmosfer yang terdapat pada lapisan troposfer merupakan tempat terjadinya awan, hujan dan konveksi udara. Selain udara kering, atmosfer mengandung uap air yang memegang peranan penting dalam proses-proses yang terjadi di atmosfer. Proses-proses tersebut antara lain penyerapan panas, pembentukan awan, presipitasi dan penentuan parameterparameter lainnya. Uap air memiliki kemampuan untuk menyerap energi, sehingga tidak semua energi lolos melewatinya. Besar kisaran energi yang mampu diloloskan oleh uap air disebut sebagai transmitan uap air. Salah satu aplikasi yang dapat digunakan untuk menurunkan informasi transmitan uap air adalah menggunakan penginderaan jauh dengan memanfaatkan data satelit Terra MODIS. Transmitan uap air atmosfer yang tepat dapat diturunkan dengan melakukan perbandingan reflektan permukaan antara kanal absorbsi dan kanal non absorbsi dengan mengabaikan pengaruh variasi reflektansi permukaan (Kaufman dan Gao 1992). Penelitian ini dilakukan untuk menduga nilai transmitan uap air dan suhu permukaan awan yang diturunkan dari data TerraMODIS dan menganalisa hubungan antara nilai transmitan dengan suhu permukaan awan dan pengaruhnya terhadap pembentukan awan. Informasi transmitan uap air dapat digunakan sebagai indikator terjadinya pembentukan awan. Pengolahan data transmitan uap air lebih lanjut dapat digunakan untuk menurunkan dan menganalisis informasi TPW (Total Precipitable Water). 1.2 Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk : a. Melakukan pendugaan nilai transmitan uap air dan suhu permukaan awan yang diturunkan dari data Terra MODIS L1B.
b.
Mengetahui dan memahami hubungan antara nilai transmitan radiasi surya oleh uap air di atmosfer dan suhu permukaan awan. II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Suhu Permukaan Menurut Rosenberg (1974) suhu permukaan dapat didefinisikan sebagai suhu bagian terluar dari suatu objek. Pada suatu tanah terbuka suhu permukaan merupakan suhu pada lapisan terluar permukaan tanah, sedangkan pada vegetasi merupakan suhu permukaan kanopi tumbuhan dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Suhu permukaan benda tergantung dari sifat fisik permukaan objek, diantaranya emisivitas, kapasitas panas jenis, dan konduktivitas termal. Jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang tinggi, sedangkan konduktivitas termalnya rendah maka suhu permukaan objek tersebut akan menurun, contohnya pada permukaan berupa perairan. Sedangkan jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang rendah sedangkan konduktivitas termalnya tinggi maka suhu permukaan objek tersebut akan meningkat, contohnya pada permukaan berupa daratan (Sutanto 1994). Suhu permukaan diperoleh dari suhu kecerahan yang diturunkan dari persamaan Planck. Suhu permukaan dengan mudah dapat diidentifikasi dengan memakai asumsi emisivitas sama dengan satu dimana sifat tersebut dimiliki oleh benda hitam. Benda hitam adalah objek yang menyerap seluruh radiasi elektromagnetik, kemudian menurut teori fisika klasik, objek tersebut juga haruslah memancarkan energi yang diserapnya. Oleh karena itu energi suatu benda dapat diukur. Suhu permukaan merupakan unsur pertama yang dapat diidentifikasi dari citra satelit termal. Suhu permukaan dapat didefinisikan sebagai suhu permukaan ratarata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam piksel dengan berbagai tipe permukaan. Besarnya suhu permukaan dipengaruhi oleh panjang gelombang. Panjang gelombang yang paling sensitif terhadap suhu permukaan adalah inframerah thermal. Oleh karena itu, kanal thermal dari suatu satelit berfungsi
1
untuk mencari suhu permukaan objek di permukaan. Suhu permukaan dapat diturunkan dari kanal infra merah citra MODIS dengan kisaran panjang gelombang 8 – 14 µm. pada kisaran panjang gelombang tersebut awan akan mengabsorbsi dan mengemisikan radiasi dari permukaan bumi ke atmosfer. Nilai suhu permukaan bervariasi tergantung dari nilai spectral radians yang menunjukkan banyaknya energi yang diterima permukaan per satuan luas per satuan waktu pada kisaran panjang gelombang tertentu. Pada penutupan berupa daratan dan perairan peningkatan suhu permukaan akan menyebabkan kenampakkan citra semakin terang dan sebaliknya. Kisaran suhu permukaan juga menjadi indikator untuk menentukan daerah awan dan non awan. Identifikasi daerah awan dan non awan dilakukan melalui klasifikasi menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing. Kelas yang dihasilkan adalah kelas spectral yang didasarkan pada pengelompokkan nilai natural spectral citra. Selain itu suhu permukaan dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik awan. Karakteristik tersebut antara lain suhu dan tinggi dasar awan, suhu dan tinggi puncak awan, tebal awan, volume awan dan massa awan (Komalaningsih 2005). 2.2 Pembentukan Awan Awan merupakan bentuk dari kondensasi uap air yang diakibatkan oleh gerakan naiknya udara di atmosfer. Proses pemanasan di permukaan akan menyebabkan kantung udara bergerak ke atas meninggalkan permukaan. Karena tekanan udara di sekitarnya lebih rendah maka kantung udara akan meregang dan mengembang dalam perjalanannya naik. Dalam sistem ini tidak ada penambahan dan pengurangan panas, tetapi mengalami perubahan suhu. Proses perubahan suhu ini akibat proses internal yang disebut adiabatik. Bertambahnya volume udara yang naik menyebabkan berkurangnya tumbukan antar molekul di dalam sistem, akibatnya udara menjadi dingin. Di samping itu untuk bergerak naik kantung udara memerlukan energi, karena tidak ada tambahan energi dari luar maka energi diambil dari sistem itu sendiri, sehingga suhu udara yang naik tersebut akan turun. Sebelum mengalami pengembunan, laju penurunan suhu adiabatic disebut laju penurunan suhu adiabatik kering
atau disebut DALR (Dry Adiabatic Lapse Rate). Laju penurunan suhu udara ini konstan 9.8 oC setiap naik 1 Km. sedangkan laju penurunan suhu lingkungan selalu berubah menurut tempat dan waktu dengan penurunan rata-rata sebesar 6.5 oC per km. Dikarenakan suhu udara berkurang terus selama bergerak naik maka suatu ketika suhu kantung udara akan mencapai titik embun (dew point). Ketinggian pada saat udara mulai mengembun membentuk awan merupakan dasar awan. Dalam proses pengembunan panas laten yang dikandung uap air dilepaskan. Energi panas ini tidak dilepas ke lingkungan tetapi dipakai untuk menambah panas dalam sistem. Walau kantung udara tetap naik namun laju penurunan suhunya tidak sebesar pada DALR karena adanya panas hasil kondensasi. Laju penurunan kantung udara pada keadaan ini disebut laju penurunan suhu adiabatic jenuh atau disebut SALR (Saturated Adiabatic Lapse Rate). SALR besarnya tidak konstan, semakin besar panas kondensasi yang dihasilkan maka semakin kecil laju penurunan suhunya (Handoko 1995).
Gambar 1. Kurva perubahan suhu menurut ketinggian (Sumber : http://asdwww.larc.nasa.gov/edu_act/clouds.html) Konvektif merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan awan yang terjadi karena kenaikan udara di atas permukaan yang relatif panas. Minawati (2005) menyebutkan awan konvektif dan cumulus terbentuk karena adanya pemanasan radiasi dari permukaan tanah. Pertumbuhan selanjutnya disebabkan adanya pelepasan panas laten kondensasi yang merupakan sumber energi yang cukup besar dalam pembentukan awan cumulus. Karena adanya pemanasan di permukaan maka udara di atas menjadi tidak stabil sehingga parsel udara naik ke atas hingga mencapai level kondensasi.
2
2.3 Penginderaan Jauh untuk Menurunkan Informasi Transmitan Uap Air 2.3.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah suatu ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1994). Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera atau alat pengumpul data yang disebut sensor. Data penginderaan jauh dapat berupa citra, grafik, dan data numerik. Konsep dasar penginderaan jauh terdiri atas beberapa elemen atau komponen yang meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek di permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data (Purwadhi 2001). Sistem penginderaan jauh aktif memerlukan energi yang berasal dari sumber energi alamiah (matahari) maupun sumber energi buatan. Energi penginderaan jauh menggunakan proses radiasi dalam perpindahan energi dari objek menuju sensor satelit. Sensor yang digunakan merupakan sensor elektronik yang dapat membangkitkan sinyal elektronik yang sesuai dengan variasi energi elektromagnetik. 2.3.2 Gelombang Elektromagnetik Energi yang dipancarkan maupun dipantulkan oleh objek yang direkam oleh sensor satelit merupakan energi elektromagnetik atau gelombang elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik adalah gelombang atau partikel yang merambat tanpa melalui medium, dapat merambat dalam ruang hampa. Gelombang elektromagnetik terdiri dari beberapa spektrum mulai dari gelombang pendek sampai gelombang panjang. Spektrumspektrum tersebut yaitu Sinar kosmis, Sinar Gamma, X, Ultraviolet, Tampak, Inframerah, Gelombang mikro, dan Gelombang radio. Gelombang elektromagnetik bergerak secara harmonis berbentuk sinusiodal pada suatu kecepatan cahaya, digambarkan dengan persamaan berikut : c = f. λ ……………. (1) dimana, c : kecepatan cahaya (3 x 108 m/detik) f : frekuensi gelombang (Hz) λ : panjang gelombang (m)
Penginderaan jauh yang menggunakan radiasi tampak hanya dapat digunakan pada waktu radiasi tampak matahari tersedia, yaitu pada siang hari. Sedangkan radiasi inframerah tidak dapat dideteksi oleh mata manusia tetapi dapat dideteksi secara fotografis. 2.3.3 Citra MODIS Satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan satelit pengamatan lingkungan yang sangat potensial. Hal ini dikarenakan satelit ini memiliki cakupan yang cukup luas, yakni 2330 km dengan resolusi spasial 250 m, 500 m dan 1 km serta memiliki resolusi temporal yang kurang lebih sama dengan satelit NOAA-AVHRR yakni 1-2 hari. Satelit MODIS merupakan penyedia data untuk proses-proses pengkajian global tentang atmosfer, daratan dan lautan. Dengan demikian satelit ini memiliki kemampuan yang sesuai untuk kegiatan pemantauan suatu wilayah yang cukup luas.Modis memiliki 36 kanal dimana masing-masing kanal mempunyai kelebihan tersendiri berdasarkan reflektansi obyek pada tiap-tiap kanal. Kombinasi dari beberapa kanal tersebut yang akan memberikan informasi-informasi yang bermanfaat, termasuk informasi uap air. Metode penginderaan jauh dalam menurunkan informasi transmitan uap air pada prinsipnya didasarkan pada pendeteksian absorbsi radiasi matahari oleh uap air (Parwati 2005). Radiasi matahari yang dimaksud adalah radiasi matahari yang direflektansikan setelah ditransmisikan ke permukaan bumi dan dipantulkan kembali ke atmosfer. Transmitan uap air atmosfer dapat diturunkan menggunakan nilai rasio antara spektral radiasi matahari yang direflektansikan dan diabsorbsi oleh uap air (kanal absorbsi) terhadap spectral radiasi yang direflektansikan dan tidak diabsorbsi oleh uap air (kanal non absorbsi). Radiasi matahari antara 0.86 – 1.24 µm pada perlintasan sun-surface-sensor ditentukan oleh absorbsi uap air di atmosfer, pemencaran aerosol atmosferik dan pantulan permukaan. Pemencaran radiasi akibat aerosol dapat diabaikan dan konsentrasi aerosol diasumsikan kecil hingga tidak diperlukan dalam penurunan transmitan uap air (Kaufman and Gao 1992). MODIS kanal 2, 5, 17, 18 dan 19 digunakan untuk menurunkan informasi
3
transmitan uap air. Kanal 2 dan 5 merupakan kanal non absorbsi sementara kanal 17, 18 dan 19 merupakan kanal absorbsi. Di antara kanalkanal absorbsi, kanal 18 umumnya kuat diserap oleh uap air, sehingga lebih peka jika diaplikasikan di daerah yang kering, sedangkan kanal 17 lebih lemah diserap oleh uap air sehingga lebih peka jika diaplikasikan di daerah yang basah (Kaufman and Gao 1992). Tabel 1. Panjang gelombang kanal NIR MODIS yang digunakan dalam mengungkap transmitan uap air Kanal α (μm) Sifat 2 0.865 Non Absorbsi 5 1.240 Non Absorbsi 17 0.905 Absorbsi 18 0.936 Absorbsi 19 0.940 Absorbsi (Sumber : Kaufman dan Gao 2002) Transmitan uap air atmosfer yang tepat dapat diturunkan dengan melakukan perbandingan reflektan antara kanal absorbsi dan non absorbsi, dengan mengabaikan variasi reflektansi permukaan. Jika reflektansi permukaan tidak berubah (konstan) dengan berubahnya panjang gelombang maka perbandingan 2 kanal sudah dapat digunakan. Namun reflektansi dari permukaan daratan kebanyakan tidak kontan. Berdasarkan penelitian Condit (1970) dalam Kaufman dan Gao (1992) dapat diketahui bahwa permukaan yang bebatuan, tanah-tanah yang kaya ion besi dan tanah yang mengandung mineral mempunyai nilai reflektansi yang semakin linear pada spektral radiasi antara 0.8 – 1.25 µm, sehingga perbandingan 2 kanal tidak dapat dilakukan dan digunakan perbandingan 3 kanal dengan kombinasi 1 kanal absorbsi dan 2 kanal non absorbsi. Beberapa penelitian berkaitan dengan transmitan uap air antara lain dilakukan oleh Dede Dirgahayu (2005). Dalam penelitiannya informasi transmitan uap air digunakan untuk menurunkan informasi TPW kemudian menganalisis korelasinya dengan rasio antara curah hujan dan evapotranspirasi potensial (CH/ETP) untuk menentukan indeks kekeringan. Sementara Parwati (2005) menggunakan informasi TPW tersebut untuk mendukung informasi cuaca spasial di lahan pertanian.
2.3.4 Koreksi Citra MODIS Data mentah pada citra MODIS pada baris-baris tertentu terdapat kerusakan citra berupa duplikasi baris di bagian tertentu. Hal ini terjadi karena pada perangkat satelit terdapat peningkatan Instantaneous Field of View (IFOV) dari 1x1 km pada titik terendah (nadir) menjadi hampir mendekati 2x5 km pada sudut scan maksimum yaitu 55o. Pengaruh Bowtie terjadi ketika sensor pemandaian mencapai sudut 15o, besar sudut semakin meningkat akan menyebabkan semakin jelas efeknya (Wen 2008). Untuk memperbaiki kerusakan citra berupa duplikasi baris perlu dilakukan koreksi radiometrik untuk menghilangkan efek tersebut. Selanjutnya seluruh data pada citra asli akan ditransformasikan secara matematik ke citra akhir atau resampling. Dalam hal ini dibentuk piksel baru sebagai perbaikan pada piksel lama yang mengalami kerusakan yaitu dengan teknik nearest neighbour. Teknik ini dilakukan dengan cara mengalihkan titik keabuan piksel yang telah terkoreksi dengan harga keabuan piksel tetangganya pada citra semula.
Gambar 2. Morfologi Efek Bowtie (Sumber : Maier et all 2004) Hal ini ditunjukkan dari Gambar 2 bahwa data dipengaruhi oleh efek bowtie menempati sebagian dari gambar. Oleh karena itu, efek Bowtie harus dihapus sebelum aplikasi data MODIS dikeluarkan. Scan pertama dan ketiga diwakili oleh kisi yang cerah sedangkan scan kedua diwakili oleh kisi yang hitam (Wen 2008). 2.3.5 Hukum-Hukum tentang Radiasi Sifat radiasi elektromagnetik mudah diuraikan dengan menggunakan teorigelombang namun lebih mudah diuraikan dengan menggunakan partikel karena interaksinya dengan objek dapat mudah
4
diterangkan. Hukum Planck memberikan dasar mengenai sifat dualisme energi radiasi yaitu sebagai kuanta dan gelombang elektromagnetik. Teori yang menyatakan radiasi eletromagnetik terdiri atas beberapa bagian terpisah disebut teori kuantum atau foton. Besarnya energi dalam satu partikel tergantung pada frekuensi dan panjang gelombang radiasinya, sesuai dengan persamaan : E = h. f .......................... (2) dimana, E : energi kuantum (J) h : tetapan Planck (6.626x10-34 J/s) f : frekuensi (Hz)
Fakta di alam, hampir semua benda tidak memiliki sifat seperti benda hitam sempurna yang ada hanya mendekati sifat tersebut. Oleh karena itu setiap energi yang dipancarkan suatu objek di permukaan bumi tidak tergantung pada suhu absolutnya, tetapi tergantung pada daya pancarnya sehingga jumlah energi yang dipancarkan merupakan fungsi suhu dan akan meningkat dengan adanya peningkatan suhu. Hal ini menyebabkan jumlah energi yang dipancarkan suatu objek bervariasi dengan suhunya dan didasarkan pada panjang gelombangnya.
Apabila persamaan di atas digabungkan dengan persamaan gelombang maka menjadi : E=
ℎ𝑥𝑐 𝜆
..........................(3)
Berdasarkan persamaan di atas maka energi kuantum berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Semakin panjang panjang gelombang maka semakin rendah tenaga kuantumnya dan sebaliknya. Semua benda di permukaan bumi merupakan sumber radiasi walaupun besar dan komposisi spektralnya berbeda dengan radiasi matahari. Oleh karena itu semua benda pada suhu nol derajat memancarkan radiasi elektromagnetik secara terus menerus. Besarnya energi radiasi suatu objek di permukaan bumi merupakan fungsi suhu permukaan objek tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh Hukum Stefan Boltzman yaitu : W = σ T4 ....................... (4) dimana, W : jumlah tenaga yang dipancarkan oleh permukaan objek setiap detik per satuan luas (W/m2) σ: tetapan Stefan Boltzman (5.56697 x 10 8 W/m2K4) T: suhu absolut objek (K) Hukum ini berlaku untuk sumber energi sebagai benda hitam sempurna (black body) yaitu benda yang akan menyerap tenaga yang diterimanya dari segala sudut penerimaan dan memancarkannya kembali ke segala arah dengan seluruh panjang gelombang yang ada.
Gambar 3. Intensitas emisi benda hitam blackbody) pada berbagai suhu (Sumber : Michaelsen 2010) Gambar 3 memperlihatkan distribusi radiasi untuk benda hitam sempurna pada berbagai suhu. Kurva tersebut menunjukkan adanya pergeseran puncak distribusi radiasi benda hitam ke arah panjang gelombang yang makin pendek apabila suhu naik yang menyebabkan intensitas radiasi yang dipancarkan juga naik. Panjang gelombang yang dominan atau panjang gelombang yang mencapai radiasi maksimum berkaitan dengan suhunya. Hubungan antara pancaran maksimum objek, panjang gelombang, dan suhu dinyatakan dengan hukum pergeseran Wien dengan persamaan : λmaks =
2897 𝑇𝑠
.................... (5)
Berdasarkan persamaan di atas, dengan suhu mutlak matahari 6000 K maka akan didapatkan nilai panjang gelombang maksimum radiasi matahari yang mampu memberikan pancaran puncak maksimum terjadi pada panjang gelombang 0.55 µm yang merupakan nilai tengah panjang gelombang
5
cahaya tampak. Sedangkan untuk permukaan bumi dengan suhu permukaan sebesar 300 K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9.7 µm. Oleh karena itu penginderaan jauh termal banyak dilakukan pada kisaran panjang gelombang antara 8 µm sampai 14 µm. Air sangat kuat menyerap radiasi pada gelombang mid-infrared (MIR) pada kisaran panjang gelombang 1.3 – 2.5 µm. Absorbsi tertinggi terjadi pada panjang gelombang 1.45 µm, 1.94 µm dan 2.5 µm. Absorbsi yang rendah terdapat pada gelombang near-infrared pada kisaran panjang gelombang 0.75 µm – 1.3 µm dengan absorbsi paling rendah pada panjang gelombang sekitar 0.97 µm dan 1.2 µm (Datt 1998). 2.4 Mekanisme Optik di Awan Radiasi merupakan salah satu bentuk energi yang dipancarkan oleh setiap benda yang memiliki suhu di atas nol mutlak. Semua benda memancarkan radiasi dengan berbagai panjang gelombang. Saat radiasi matahari melewati atmosfer menuju permukaan bumi, akan mengalami beberapa proses. Proses ini terjadi pada radiasi ketika berinteraksi dengan gas atau partikel-partikel yang terdapat di atmosfer. Proses tersebut antara lain : a. Hamburan Scattering atau hamburan terjadi ketika partikel kecil atau molekul gas di atmosfer memencarkan radiasi matahari yang datang secara acak ke berbagai arah tanpa ada perubahan panjang gelombang dari gelombang elektromagnetik. Scattering mengurangi jumlah radiasi yang datang menuju permukaan bumi. Sebagian gelombang elektromagnetik yang dihamburkan dikembalikan ke luar bumi. Total hamburan dipengaruhi dua faktor, panjang gelombang dari radiasi yang datang dan ukuran dari partikel dan gas molekul yang menyebabkan terjadinya hamburan. b. Absorbsi Beberapa gas dan partikel di atmosfer memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi matahari yang datang. Proses absorpsi didefinisikan sebagai sebuah proses dimana radiasi matahari tertahan oleh sebuah zat kemudian dikonversikan menjadi energi panas. Terbentuknya energi panas tersebut menyebabkan zat tersebut mampu memancarkan radiasinya
c.
d.
sendiri. Secara umum absorpsi radiasi matahari di atmosfer menghasilkan suhu tidak lebih tinggi dari 1800o celcius. Berdasarkan hukum Wien, benda dengan suhu di level tersebut akan memancarkan radiasinya sendiri berupa gelombang panjang. Dua absorban infrared paling kuat di atmosfer adalah uap air dan karbondioksida. Refleksi Refleksi merupakan suatu proses dimana radiasi matahari dipantulkan kembali ke luar atmosfer setelah menyentuh partikel atmosfer. Kebanyakan proses refleksi di atmosfer terjadi di awan ketika cahaya tertahan partikel air di atmosfer. Refleksi tergantung pada indeks bias dan sudut dating radiasi. Secara umum refleksi terbagi dua yaitu Refleksi Spektrakular, dimana terjadi pemantulan sinar dengan kondisi sinar dating sama dengan sudut pantul, dan Refleksi Difussi dimana pantulannya terjadi ke segala arah. Menurut Komalaningsih (2005) Banyak radiasi yang dipantulkan oleh awan bergantung pada banyak awan, tebal awan, macam dan jenis awan. Walau awan tergolong sebagai objek yang rendah dalam menyerap radiasi, awan bisa merefleksikan radiasi yang datang hingga 70%. Transmisi Transmisi menunjukkan besar nilai radiasi matahari yang dapat diteruskan oleh suatu lapisan permukaan. Besar radiasi yang ditransmisikan bergantung dari kemampuan penyerapan (Absorbsivitas) lapisan permukaan tersebut. Peningkatan pertumbuhan awan akan mengakibatkan terhambatnya proses tranmisi radiasi matahari.
Gambar 4 menunjukkan perubahan radiasi matahari yang datang karena atmosfer dan proses permukaan. Dari seluruh radiasi yang datang melalui atmosfer hanya sekitar 51% yang diserap oleh permukaan bumi. Energi tersebut digunakan untuk memanaskan permukaan bumi dan evaporasi air di permukaan. Sementara sisanya 4% direfleksikan kembali oleh permukaan bumi, 26% dihamburkan oleh awan dan partikel atmosfer sementara 19% diserap oleh gas atmosfer, partikel-partikel atmosfer dan awan (Pidwirny, 2006).
6
3.3 Metode Penelitian Langkah-langkah yang dilakukan dalam pnlitian ini adalah sebagai berikut : 3.3.1 Pemrosesan Citra Satelit Pemrosesan awal citra satelit dilakukan untuk mendapatkan informasi awal yang diinginkan dari suatu data citra sebelum dilakukan analisis spasial, yaitu informasi reflektan dari kanal 2,5, 17, 18 dan 19. Sementara informasi suhu permukaan diturunkan dari kanal 31 dan 32. Gambar 4. Perubahan radiasi matahari yang datang karena atmosfer dan proses di permukaan (Sumber : www.physicalgeography.net) III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret 2011 – Juli 2011 di Laboratorium Metorologi dan Kualitas Udara Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa seperangkat komputer dengan perangkat lunak pengolah citra (ENVI 4.5 an ER Mapper 7.0), perangkat pengolah sistem informasi geografis (Arc GIS 9) dan Microsoft Office. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Data citra satelit Terra MODIS L1B yang mencakup wilayah Bogor pada tanggal 26 Maret 2008. Kanal yang digunakan antara lain kanal 2 dan 5 sebagai kanal non absorbsi dengan nilai panjang gelombang masing-masing yaitu 0.865 µm dan 1.240 µm.Kanal 17, 18 dan 19 digunakan sebagai kanal absorbsi dengan nilai panjang gelombang masing-masing kanal sebesar 0.905 µm, 0.936 µm dan 0.940 µm. Sementara kanal 31 dan 32 sebagai kanal emisivitas dengan kisaran panjang gelombang inframerah termal digunakan untuk menurunkan informasi suhu permukaan. Kanal yang digunakan memiliki resolusi spasial 1km x 1km. Data tersebut dapat diunduh dari alamat website http://ladsweb.nascom.nasa.gov/data/sear ch.html. b. Peta vektor wilayah kota Bogor dan sekitarnya.
Ekspor GCP (Ground Check Point) dan Koreksi Radiometrik Ekspor GCP (Ground Check Point) dilakukan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5 yang berfungsi untuk memilih proyeksi yang akan digunakan. Pada penelitian ini digunakan sistem proyeksi UTM dengan unit meter dan datum WGS-84. Sedangkan koreksi bowtie dilakukan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5 yang berfungsi untuk menghilangkan efek-efk duplikasi pada data citra di baris-baris tertentu. Koreksi bowtie dilakukan pada semua kanal yang digunakan.
Pemotongan (Cropping) wilayah Bogor Data citra satelit Terra MODIS yang telah terkoreksi kemudian dipotong dengan data vektor wilayah kota Bogor dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra.
Penentuan nilai RMSE (Root Mean Squared Error) 1
𝑛 RMSE : 𝑃 − 𝑇𝑗 𝑛 𝑗 −1 𝑖𝑗 Dimana : Pij : nilai awal Tj : nilai target/prediksi n : jumlah sampel (Sumber : Geosoft 2000)
2
1
2
……….(5)
3.3.2 Ekstraksi Nilai Transmitan Uap Air Citra satelit MODIS L1B yang telah terkoreksi kemudian diolah untuk menurunkan informasi transmitan uap air.
Transmitan Uap Air Menurut Kaufman dan Gao (1992) transmitan uap air dapat diturunkan dari rasio 3 kanal antara kanal non absorbsi dan absorbsi dengan menggunakan persamaan. 𝑝(𝑖) 𝑇 𝑖 = ………… (6) 𝐶1𝑝(2)+𝐶2𝑝(5)
7
𝐶1 = 𝐶2 =
𝛼5−𝛼𝑖 𝛼5−𝛼2
Data Citra Satelit Terra MODIS L1B
…………………. (7)
𝛼𝑖 −𝛼2
…………………. (8) Dimana, T(i) : Transmitan uap air pada kanal ke-i (17, 18, 19) P(i), p(2), p(5) : Reflektan pada kanal ke-i (17, 18, 19) , kanal 2 dan kanal 5 C1, C2 : konstanta αi, α2, α5 : Panjang gelombang kanal ke-i (17, 18, 19), kanal 2 dan kanal 5 𝛼5−𝛼2
Koreksi Radiometrik (Bowtie)
Cropping
Suhu Permukaan Suhu permukaan/brightness temperature diturunkan dari nilai radiansi berdasarkan persamaan Planck (Lim, 2001). Dalam hal ini brightness temperature dianggap sebagai suhu permukaan dari suatu objek. Hukum Planck digunakan untuk menurunkan suhu permukaan karena hukum tersebut dapat menghitung intensitas radiasi yang dipancarkan oleh suatuobjek permukaan. Intensitas radiasi berkaitan dengan panas objek di bumi dan besarnya panas dapat ditunjukkan dengan suhu. Kanal yang digunakan untuk ekstraksi suhu permukaan yaitu kanal 31 dengan panjang gelombang 10.780 – 11.280 µm dan kanal 32 dengan panjang gelombang11.770 – 12.270 µm. Adapun persamaanya yaitu : 𝐶2 𝐶 𝐸𝜆 ∗= 1 5 𝑒 ( 𝜆𝑇 ) − 1 ………. (9) 𝜆 dimana, 𝐸𝜆 ∗ : radiasi yang dipancarkan benda hitam, dalam hal ini yaitu Lλ T : suhu mutlak (K) Sehingga Tb =
C2
𝜆 𝑖 ln ((C1 /(𝜆 5(𝑖) 𝐿λ (i) )+1)
…………… (10)
dimana, Tb : suhu kecerahan (oK) C1 : konstanta radiasi pertama (1.1911 x 108 W M-2 sr-1 (µm-1)-4) C2 : konstanta radiasi kedua (1.439 x 10-4 K µm) Lλ(i) : nilai radiansi kanal ke-i (Wm-2µm-1sr-1) λi : nilai tengah panjang gelombang kanal ke-i (µm)
Transmitan Uap Air
Suhu Permukaan Awan (K)
Gambar 5. Diagram Alir Metodologi Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ekspor GCP, Koreksi Geometrik dan Cropping pada Citra MODIS Ekspor GCP secara otomatis dilakukan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5 yang berfungsi memilih sistem proyeksi yang akan digunakan. Pada penelitian ini sistem proyeksi UTM dengan unit meter dan datum WGS-84. Citra yang belum terkoreksi dikoreksi dengan menggunakan data vektor bogor yang memiliki koordinat geografis sebagai referensinya. Data citra MODIS L1B merupakan data yang sudah terkoreksi secara geometrik dan radiometrik (MCST 2003). Namun data mentah citra MODIS mengalami distorsi dimana terjadi duplikasi baris pada bagian tertentu yang disebut Bowtie Effect. Oleh karena itu sebelum citra diproses lebih lanjut diperlukan koreksi untuk menghilangkan efek tersebut yaitu koreksi bowtie. Citra kemudian mengalami proses resampling sehingga terbentuk pixel baru sebagai hasil perbaikan dari pixel lama yang mengalami distorsi. Koreksi bowtie dilakukan pada kanal 2, 5, 17, 18 dan 19. Setelah dilakukan koreksi bowtie dilakukan rektifikasi dengan menentukan titik GCP antara citra yang belum terkoreksi dengan data vektor yang sudah terkoreksi. Penentuan titik GCP dilakukan secara manual
8
berdasarkan titik pada daerah yang tidak mudah berubah, hal ini dilakukan untuk memperkecil nilai error dari interpolasi (Root Mean Square/RMS). Nilai RMSE dipengaruhi penempatan titik pada saat proses rektifikasi. Penempatan titik menjadi kendala karena penempatan titik hanya sebatas perkiraan secara visual.
i
ii
Gambar 6 (i) Citra MODIS yang belum mengalami koreksi radiometrik; (ii) Citra MODIS yang sudah mengalami koreksi radiometrik Akibat dari koreksi ini, nilai piksel dari citra yang belum dikoreksi dengan yang sudah dikoreksi mengalami perubahan. Perubahannya adalah sebagai berikut. Tabel 2. Perubahan nilai piksel Kanal RMSE 2 0.0002 5 0.0001 17 0.0001 18 0.0002 19 0.0001 Koreksi radiometrik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak (software) ENVI 4.5. Hasil yang didapat dari koreksi radiometrik adalah nilai RMSE (Root Mean Squared Error). Nilai RMSE menunjukkan perubahan nilai pixel sebelum dan sesudah dilakukannya koreksi bowtie. Semakin kecil nilai RMSE maka ketelitiannya semakin baik dan sebaliknya jika nilai RMSE semakin besar artinya ketelitian data semakin berkurang. Nilai RMSE yang diperoleh tanggal 26 Maret 2008 pada kanal 17 diperoleh nilai RMSE sebesar 0.0001, pada kanal 18 diperoleh 0.0002, pada kanal 19 diperoleh 0.0001, pada kanal 2 diperoleh 0.0002 dan pada kanal 5 diperoleh 0.0001. Hal ini menunjukkan bahawa nilai pixel yang terjadi pada tanggal 26 Maret 2008 pada kanal 17
mengalami perubahan sebesar 0.0001 pixel setelah dilakukan koreksi Bowtie. Toleransi yang diperbolehkan untuk nilai RMSEbesarnya kurang dari 0.5 pixel, artinya dengan resolusi 1km x 1km pada citra MODIS suatu lokasi akan bergeser kurang dari 500 m dari posisi sebenarnya di permukaan bumi (Hermawan, 2005). Pada kanal 17 nilai RMSE diperoleh sebesar 0.0001 artinya setelah dilakukan koreksi bowtie, posisi dari suatu lokasi akan bergeser 0.1 m dari posisi sebenarnya dari permukaan bumi. Dari kelima kanal diperoleh nilai RMSE kurang dari 0.5, artinya data tersebut bisa digunakan untuk pengolahan lebih lanjut. Setelah dilakukan ekspor GCP dan koreksi radiometrik kemudian dilakukan proses pemotongan (Cropping) wilayah kajian. Wilayah kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah wilayah Bogor. 4.2 Penurunan Informasi Suhu Permukaan Awan dan Transmitan Uap Air 4.2.1 Suhu Permukaan Awan Informasi suhu permukaan awan diturunkan dari nilai suhu permukaan yang diperoleh menggunakan kanal 31 dan 32. Menurut World Meteorological Organization (1956) dalam Summer (1988) kisaran suhu permukaan awan adalah ≤ 295 K. Suhu permukaan awan yang teridentifikasi di wilayah Bogor pada tanggal 26 Maret 2008 berkisar antara 269-295 K. Hal ini ditunjukkan pada peta distribusi suhu permukaan awan pada gambar 7. Pada gambar terlihat di wilayah Bogor pada tanggal 26 Maret 2008 sebagian besar tertutup oleh awan dengan suhu permukaan awan yang bervariasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diana (2011) mengenai klasifikasi awan, maka di wilayah Bogor pada tanggal 26 Maret 2008 dapat diidentifikasi tipe awan yang terbentuk. Awan yang terbentuk antara lain tipe awan stratus, nimbostratus, cumulus dan cumulonimbus. Tipe awan yang terbentuk dipengaruhi oleh suhu permukaan yang teridentifikasi (Rumondang, 2011). Menurut World Meteorological Organization (1956) dalam Summer G (1988) tipe awan stratus (St) memiliki suhu permukaan awan berkisar antara 283-293 K, tipe awan nimbostratus (ns) memiliki suhu permukaan awan berkisar antara 268-288 K, serta tipe cumulus (Cu) dan cumulonimbus (Cb) memiliki suhu permukaan awan berkisar antara 278-288 K.
9
Gambar 7. Distribusi suhu permukaan awan di wilayah Bogor tanggal 26 Maret 2008 4.2.2 Transmitan Uap Air dan Hubungan antar Kanal Menurut Kaufman (1992) transmitan uap air merupakan daya serap atau absorbsi uap air yang dapat dideteksi oleh kanal-kanal reflektansi pada spektrum infra merah dekat. Transmitan uap air dari citra MODIS diturunkan menggunakan kanal near infrared yaitu kanal 2 dan 5 sebagai kanal non absorbsi dan kanal 17, 18 dan 19 sebagai kanal absorbsi dengan teknik rasio tiga kanal. Pada kanal kanal 17 total transmitan uap air diperoleh pada kisaran 0.59 – 0.87 %, pada kanal 18 diperoleh pada kisaran 0.11 – 0.52 % sementara pada kanal 19 berada pada kisaran 0.22 – 0.65 %. Nilai rata-rata transmitan uap air di kanal 17 lebih besar dibandingkan kanal 18 dan 19 yaitu sebesar 0.71. sementara kanal 18 dan 19 memiliki nilai rata-rata transmitan uap air sebesar 0.19 dan 0.35. Kanal 17 memiliki panjang gelombang paling kecil dibandingkan kanal 18 dan kanal 19 yaitu sebesar 0.905 µm. Hal ini menyebabkan air akan lebih mudah meloloskan kanal 17 sehingga nilai transmitan uap air pada kanal 17 lebih besar dibandingkan pada kanal 18 dan 19. Sementara kanal 18 dan kanal 19 dengan panjang gelombang 0.936 µm dan 0.940 µm akan lebih banyak diserap oleh
uap air, sehingga total energi yang diloloskan oleh uap air menjadi lebih sedikit. Tabel 3. Kisaran nilai transmitan uap air dan nilai rata-ratanya tiap kanal absorbsi Kisaran Rata-rata Kanal Transmitan Transmitan 17 0.59 - 0.87 0,71 18 0.11 - 0.52 0,19 19 0.22 - 0.65 0,35 Grafik hubungan sebaran transmitan uap air pada gambar 8 menunjukkan sebaran nilai transmitan uap air pada kanal 17-18, kanal 1819 dan kanal 17-19 mempunyai hubungan yang linier. Hubungan antara kanal 17 dan kanal 18 memiliki R2 sebesar 0.861 dengan persamaan y=0.508x + 0.610. Hal ini menunjukkan ketika kanal 18 tidak dapat diloloskan oleh uap air, maka kanal 17 masih bisa diloloskan dengan nilai transmitan uap air sebesar 0.610. Pada kanal 17 dan 19 diperoleh R2 sebesar 0.934 dengan persamaan y=0.567x + 0.511, artinya ketika kanal 19 tidak dapat diloloskan oleh uap air, kanal 17 masih bisa diloloskan dengan nilai transmitan uap air sebesar 0.511. Pada kanal 18 dan 19 diperoleh R2 sebesar 0.982 dengan persamaan 1.062x –
10
bisa dilihat nilai transmitan uap air yang dominan pada masing-masing kanal. Pada kanal 17 nilai transmitan uap air dominan tersebar pada kisaran 0.59-0.68, pada kanal 18 nilai transmitan uap air dominan tersebar pada kisaran 0.11-0.16 dan pada kanal 19 nilai transmitan uap air didominasi pada kisaran 0.22-0.32. Hal ini menunjukkan nilai transmitan uap air di wilayah Bogor pada tanggal 26 Maret 2008 didominasi oleh nilai transmitan uap air yang rendah, artinya rendah dalam meloloskan panjang gelombang inframerah.
Kanal 17
0.175, hal ini menunjukkan ketika kanal 19 tidak diloloskan oleh uap air maka kanal 18 masih bisa diloloskan dengan nilai tranmitan uap air sebesar 0.175. Dari ketiga persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa gelombang inframerah tidak mungkin tidak diloloskan atau diserap seluruhnya oleh uap air, ketika salah satu kanal tidak diloloskan maka masih ada kanal lain yang diloloskan oleh uap air, sehingga nilai transmitan uap airnya dapat diketahui. Berdasarkan peta sebaran distribusi nilai transmitan uap air pada gambar 9, 10 dan 11, 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
y = 0,5085x + 0,6101 R² = 0,8615 Transmitan
Linear (Transmitan)
0
0,2
0,4
0,6
Kanal 18
Kanal 17
(i) 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
y = 0,5678x + 0,5116 R² = 0,9344
Transmitan Linear (Transmitan)
0
0,2
0,4
0,6
0,8
Kanal 19 (ii)
11
0,6
Kanal 18
0,5 y = 1,0628x - 0,175 R² = 0,9824
0,4 0,3 0,2
Transmitan
0,1 Linear (Transmitan)
0 0
0,2
0,4
0,6
0,8
Kanal 19 (iii) Gambar 8. Hubungan hasil sebaran transmitan pada tanggal 26 Maret 2008 antara : (i) kanal 17 dengan kanal 18; (ii) kanal 17 dengan kanal 19; (iii) kanal 18 dengan kanal 19
Gambar 9. Distribusi Transmitan uap air berdasarkan Kanal 17
12
Gambar 10. Distribusi Transmitan uap air berdasarkan Kanal 18
Gambar 11. Distribusi Transmitan uap air berdasarkan Kanal 19
13
4.3 Hubungan Transmitan Uap Air dan Suhu Permukaan Awan Berdasarkan grafik hubungan transmitan uap air dan suhu permukaan awan pada gambar 12 dapat dilihat hubungan antara suhu permukaan awan dan transmitan, dimana semakin tinggi nilai suhu permukaan awan maka transmitan akan semakin rendah. Hubungan antara suhu permukaan awan dan transmitan uap air pada kanal 17 diperoleh R2 sebesar 0.691 artinya nilai transmitan uap air memiliki pengaruh terhadap suhu permukaan awan yang ditunjukkan pada persamaan persamaan y=-148.4x + 393. Persamaan tersebut menunjukkan semakin tinggi nilai transmitan uap air maka suhu permukaan awan akan semakin rendah. Pada kanal 18 hubungan antara transmitan uap air dan suhu permukaan awan mempunyai R2 sebesar 0.874 dengan persamaan -81.41x = 305.6 yang berarti suhu permukaan awan dipengaruhi oleh transmitan uap air pada kanal 18 sebesar 87,4%. Sementara hubungan antara transmitan uap air pada kanal 19 dengan suhu permukaan memiliki R2 sebesar 0.834 dengan persamaan -95.71x + 321.1 yang berarti kanal 19 juga memiliki pengaruh terhadap nilai suhu permukaan awan. Pada saat suhu permukaan awan tinggi, kadar uap air di atmosfer juga tinggi sehingga nilai transmitan menjadi rendah karena semakin banyak uap air yang menyerap gelombang elektromagnetik. Hal ini mengindikasikan tingkat pembentukan awan masih rendah. Pada saat suhu permukaan awan rendah, kapasitas udara untuk menampung uap air semakin rendah sehingga nilai transmitan menjadi tinggi, dan proses pembentukan awan lebih cepat terjadi. Menurut Komalaningsih (2005) distribusi volume awan mengikutin suhu permukaan awan, dimana semakin rendah suhu permukaan awan maka volume dan tebal awan semakin tinggi. Hal ini berarti informasi transmitan uap air dapat dijadikan indikator volume dan tebal awan. Ketika nilai transmitan tinggi, volume awan akan semakin tinggi dan sebaliknya saat nilai transmitan rendah, volume awan yang teridentifikasi semakin rendah. Hal ini dibuktikan berdasarkan informasi distribusi volume awan yang telah diteliti oleh Purbo
(2011) pada gambar 13. Dalam penelitiannya disebutkan pertumbuhan awan pada tanggal 26 Maret 2008 di wilayah Bogor cenderung dominan rendah. Dimana pertumbuhan volume awan yang terjadi pada tanggal 26 Maret 2008 dominan sebesar 00.8 x 109 m3. Sementara nilai transmitan yang diperoleh dari kanal 17, 18 dan 19 didominasi oleh nilai yang rendah, Hal ini menunjukkan bahwa nilai transmitan uap air dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan awan. Berdasarkan peta distribusi transmitan kanal 17, 18 dan 19 pada gambar 9, 10 dan 11 dan distribusi suhu permukaan awan pada gambar 7 dapat dilihat pada wilayah Bogor barat seperti Dramaga dan Jasinga didominasi oleh nilai transmitan yang rendah dan suhu permukaan awan yang tinggi, dimana permukaannya didominasi oleh tanah, bangunan dan vegetasi. Pada wilayah bogor wilayah utara seperti Sukaraja sebagian besar masih didominasi oleh nilai transmitan yang rendah dan suhu permukaan awan yang tinggi, namun sebagian wilayahnya memiliki transmitan yang tinggi dengan suhu permukaan yang rendah. Wilayah yang memiliki transmitan tinggi pada Bogor utara merupakan wilayah yang memiliki banyak badan air. Pada wilayah bogor bagian selatan seperti Cijeruk dan Caringin didominasi nilai transmitan yang tinggi dengan suhu permukaan awan yang rendah, dimana wilayahnya memiliki banyak badan air. Pada wilayah timur seperti Ciawi sebagian besar didominasi nilai transmitan yang rendah dan suhu permukaan awan yang tinggi. Permukaan wilayah Bogor timur didominasi vegetasi, tanah dan bangunan. Tabel 4. Tabel nilai transmitan uap air dan suhu permukaan awan pada kanal 17 Transmitan Suhu Permukaan Awan Uap Air (K) 0.59 – 0.68 305 – 292 0.68 – 0.71 292 – 287 0.71 – 0.72 287 – 286 0.72 – 0.78 286 – 277 0.78 – 0.87 277 - 263
14
Suhu Permukaan Awan (K)
Tabel 5. Tabel nilai transmitan uap air dan suhu permukaan awan pada kanal 18 Transmitan Suhu Permukaan Awan Uap Air (K) 0.11 – 0.16 295 – 290 0.16 – 0.21 290 – 286 0.21 – 0.27 286 – 280 0.27 – 0.35 280 – 273 0.35 – 0.52 273 - 258
Tabel 6. Tabel nilai transmitan uap air dan suhu permukaan awan pada kanal 19 Transmitan Suhu Permukaan Awan Uap Air (K) 0.22 – 0.32 300 – 290 0.32 – 0.36 290 – 286 0.36 – 0.42 286 – 280 0.42 – 0.49 280 – 274 0.49 – 0.65 274 - 258
310 305 300 295 290 285 280 275 270 265 260
y = -148,4x + 393,07 R² = 0,6919 Series1 Linear (Series1)
0
0,5
1
Transmitan Uap Air pada Kanal 17
Suhu Permukaan Awan (K)
(i)
305 300 295 290 285 280 275 270 265 260 255
y = -91,419x + 305,62 R² = 0,8749 Series1 Linear (Series1)
0
0,2
0,4
0,6
Transmitan Uap Air pada Kanal 18
15
(ii) 305 Suhu Permukaan Awan (K)
300 295 y = -95,718x + 321,12 R² = 0,8342
290 285 280 275
Series1
270
Linear (Series1)
265 260 255 0
0,2
0,4
0,6
0,8
Transmitan Uap Air pada Kanal 19 (iii) Gambar 12. Hubungan distribusi transmitan uap air dan suhu permukaan awan pada tanggal 26 Maret 2008 antara : (i) suhu permukaan awan dengan transmitan uap air kanal 17; (ii) suhu permukaan awan dengan transmitan uap air kanal 18; (iii) suhu permukaan awan dengan transmitan uap air kanal 19
Gambar 13. Distribusi Volume Awan
16
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Fokus kajian dalam penelitian ini adalah menganalisis transmitan uap air yang diturunkan dari band near infrared. Informasi transmitan uap air dapat diturunkan dari kanal absorbsi yaitu kanal 17, 18 dan 19 dengan panjang gelombang 0.905 µm, 0.936 µm dan 0.940 µm dan kanal non absorbsi yaitu kanal 2 dan 5 dengan panjang gelombang 0.865 µm dan 1.240 µm. Data satelit Terra MODIS L1B dapat digunakan untuk menurunkan informasi transmitan uap air berdasarkan metode rasio dua kanal antara kanal absorbsi dan non absorbsi. Nilai transmitan pada kanal 17 diperoleh 0.59 – 0.87, pada kanal 18 diperoleh 0.11 – 0.52 dan pada kanal 19 diperoleh 0.22 – 0.65. Nilai transmitan yang tinggi menunjukkan nilai suhu permukaan awan yang rendah dimana suhu permukaan awan yang diperoleh berada pada kisaran 268-295 K. 5.2 Saran Informasi transmitan uap air dapat diolah lebih lanjut untuk mengetahui nilai Total Precipitable Water (TPW). DAFTAR PUSTAKA Dirgahayu, D. 2005. Deteksi Kondisi Kekeringan Lahan Menggunakan Data Water Vapor NIR MODIS. Pertemuan Ilmiah tahunan MAPIN XIV. Gao, B.C and Y.J Kaufman. 1992. Remote Sensing of Water Vapor in the Near IR from EOS/MODIS. IEEE Trans. Geosci. Remote Sens. Vol. 30, No 5 : 871 – 884. Gao, B.C and Y.J Kaufman. 2003. Water Vapor Retrievals Using Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) Near Infrared Channels. J. Geophys Research, Vol. 108, No. D13, 4389 : 1-10.
3KB/Chapter09/Section2/SS11.htm. [1 Desember 2011]. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya. Bogor. Hermawan. 2005. Analisis Perubahan Komponen neraca Energi Permukaa, Distribusi UHI (Urban Heat Island) dan THI (Temperature Humidty Index) akibat Perubahan Penutupan Lahan dengan Menggunakan Citra Landsat TM/ETM (Studi Kasus Bandung Tahun 1991 dan 2001). Departemen Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor Komalaningsih, K. 2005. Karakterisasi Awan Berdasarkan Suhu Permukaan Menggunakan Citra Satelit MODIS [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lilesand TM, Kiefer RW. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley & Son, Inc. New York. Maier SW, Ebke W, Ruppert T. 2004. MODIS Processing at DLR/DFD. Deutsches Zentrum fur Lutf und Raumfahrt e.V. (DLR) Deutsches Fernerkundungsdatenzentrum (DFD). Minawati. 2005. Analisis Awan Hujan di Wilayah Koto Tabang Sumatera Barat Menggunakan Data Radar. [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pidwirny, M. 2006. Atmospheric Effects on Incoming Solar Radiation, Fundamentals of Physical Geography 2nd Edition. www.physicalgeography.net/fundam entals/7f.html. [1 Desember 2011]. Purwadhi, SH. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT Grasindo. Jakarta.
Geosoft. 2000. Root Mean Squared Error.www.geosoft.com/geosoft/APS
17
Rosenberg, N. 1974. Microclimate : Technical Environment. John Willey and Sons. New York.
Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid 2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sofan, P. 2005. Verifikasi Air Mampu Curah dari MODIS untuk Mendukung Informasi Cuaca Spasial di Lahan Pertanian Pulau Jawa. Pertemuan Ilmiah tahunan MAPIN XIV.
Wen, X. 2008. A New Prompt Algorithm for Removing the Bowtie Effect of MODIS L1B Data. The International Archive of the Photogrammetry. Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. 38.
18
LAMPIRAN
19
Lampiran 1 Karakteristik Satelit MODIS Satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer)merupakan salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra satellite, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Satelit ini merupakan salah satu satelit penginderaan jauh yang memiliki kemampuan memantau permukaan bumi dan fenomena lingkungan seperti meneliti dan menganalisa lahan, lautan, atmosfer bumi dan interaksi diantara faktor-faktor tersebut. MODIS mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian 705 km. Lebar cakupan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km. Pantulan gelombang eletromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 band mulai dari 0.405 µm sampai 14.385 µm.Data yang terkirim dari satelit dengan kecepatan 11 mega bytes setiap detik dengan resolusi radiometrik 12 bits. Artinya objek dapat dideteksi dan dibedakan sampai 212o keabuan. Satu elemen citranya (pixels) berukuran 250 m pada kanal 1 sampai 2, 500 m pada kanal 3 sampai 7, dan 1000 m pada kanal 8 sampai 36. Tabel 7 Karakteristik dan kegunaan umum sensor MODIS Kegunaan Kanal Panjang Gelombang 1 620 – 670 nm Lahan/Awan/Aerosol Boundaries 2 841 – 876 nm 3 459 – 479 nm 4 545 – 565 nm Lahan/Awan/Sifat Aerosol 5 1230 – 1250 nm 6 1628 – 1652 nm 7 2105 – 2155 nm 8 405 – 420 nm 9 438 – 448 nm 10 483 – 493 nm 11 526 – 536 nm Ocean Color/ 12 546 – 556 nm Fitoplankton/Biogekimia 13 662 – 672 nm 14 673 – 683 nm 15 743 – 753 nm 16 862 – 877 nm 17 890 – 920 nm Uap air atmosfer 18 931 – 941 nm 19 915 – 965 nm 20 3.660 – 3.840 µm 21 3.929 – 3.989 µm Permukaan/Temperatur awan 22 3.929 – 3.989 µm 23 4.020 – 4.080 µm 24 4.433 – 4.498 µm Temperatur atmosfer 25 4.482 – 4.549 µm 26 1.360 – 1.390 µm Awan cirrus, uap air 27 6.535 – 6.895 µm 28 7.175 – 7.457 µm Sifat awan 29 8.400 – 8.700 µm Ozon 30 9.580 – 9.880 µm 31 10.780- 11.280 µm Permukaan/Temperatur awan 32 11.770 – 12.270 µm 33 13.185 – 13.485 µm 34 13.485 – 13.785 µm Ketinggian puncak awan 35 13.785 – 14.085 µm 36 14.085 – 14.385 µm (Sumber : http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php 2011)
20
Lampiran 2 Metadata Citra Terra MODIS L1B GROUP GROUPTYPE
= INVENTORYMETADATA = MASTERGROUP
GROUP
= COLLECTIONDESCRIPTIONCLASS
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= SHORTNAME =1 = "MOD021KM" = SHORTNAME
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= VERSIONID =1 = "NOT SET" = VERSIONID
END_GROUP GROUP OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT GROUP GROUP GROUP
= COLLECTIONDESCRIPTIONCLASS = ECSDATAGRANULE = LOCALGRANULEID =1 = "MOD021KM.A2008001.0310.005.2010159040338_1km_RefSB.tif" = LOCALGRANULEID = SPATIALDOMAINCONTAINER = HORIZONTALSPATIALDOMAINCONTAINER = BOUNDINGRECTANGLE
OBJECT NUM_VAL VALIDRULE VALUE END_OBJECT
= WESTBOUNDINGCOORDINATE =1 = "Range(-180.0,+180.0)" = 94.9257700473864 = WESTBOUNDINGCOORDINATE
OBJECT NUM_VAL VALIDRULE VALUE END_OBJECT
= NORTHBOUNDINGCOORDINATE =1 = "Range(-90.0,+90.0)" = 0.808174398833079 = NORTHBOUNDINGCOORDINATE
OBJECT NUM_VAL VALIDRULE VALUE END_OBJECT
= EASTBOUNDINGCOORDINATE =1 = "Range(-180.0,+180.0)" = 121.054485927875 = EASTBOUNDINGCOORDINATE
OBJECT NUM_VAL VALIDRULE VALUE END_OBJECT
= SOUTHBOUNDINGCOORDINATE =1 = "Range(-90.0,+90.0)" = -20.1956307819937 = SOUTHBOUNDINGCOORDINATE
END_GROUP END_GROUP END_GROUP OBJECT CLASS
= BOUNDINGRECTANGLE = HORIZONTALSPATIALDOMAINCONTAINER = SPATIALDOMAINCONTAINER = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = "7"
OBJECT CLASS NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= ADDITIONALATTRIBUTENAME = "7" =1 = "radiance_scales" = ADDITIONALATTRIBUTENAME
GROUP CLASS
= INFORMATIONCONTENT = "7"
OBJECT CLASS NUM_VAL
= PARAMETERVALUE = "7" =1
21
VALUE = "0.012060488, 0.0067710113, 0.0041977158, 0.0030997314, 0.0026499089, 0.0011194391, 0.00082650495, 0.0012008077, 0.00066225184, 0.00095404172, 0.00090640725, 0.007032793, 0.0090643009, 0.0068719178, 0.0029569927" END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT OBJECT CLASS
= INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = "8"
OBJECT CLASS NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= ADDITIONALATTRIBUTENAME = "8" =1 = "radiance_offsets" = ADDITIONALATTRIBUTENAME
GROUP CLASS
= INFORMATIONCONTENT = "8"
OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = "8" NUM_VAL =1 VALUE = "316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722" END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT OBJECT CLASS
= INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = "9"
OBJECT CLASS NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= ADDITIONALATTRIBUTENAME = "9" =1 = "radiance_units" = ADDITIONALATTRIBUTENAME
GROUP CLASS
= INFORMATIONCONTENT = "9"
OBJECT CLASS NUM_VAL VALUE END_OBJECT END_GROUP END_OBJECT OBJECT CLASS
= PARAMETERVALUE = "9" =1 = "Watts/m^2/micrometer/steradian" = PARAMETERVALUE = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = "10"
OBJECT CLASS NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= ADDITIONALATTRIBUTENAME = "10" =1 = "reflectance_scales" = ADDITIONALATTRIBUTENAME
GROUP CLASS
= INFORMATIONCONTENT = "10"
OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = "10" NUM_VAL =1 VALUE = "2.0985452e-05, 1.0803751e-05, 6.4369065e-06, 4.9972959e-06, 4.2539295e-06, 2.1964163e-06, 1.6216593e-06, 2.4186188e-06, 1.3338811e-06, 2.2382071e-06, 2.8297343e-06, 2.2853086e-05, 3.1514333e-05, 2.3905624e-05, 2.4612356e-05" END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT OBJECT CLASS
= INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = "11"
22
OBJECT CLASS NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= ADDITIONALATTRIBUTENAME = "11" =1 = "reflectance_offsets" = ADDITIONALATTRIBUTENAME
GROUP CLASS
= INFORMATIONCONTENT = "11"
OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = "11" NUM_VAL =1 VALUE = "316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722, 316.9722" END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT OBJECT CLASS
= INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = "12"
OBJECT CLASS NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= ADDITIONALATTRIBUTENAME = "12" =1 = "reflectance_units" = ADDITIONALATTRIBUTENAME
GROUP CLASS
= INFORMATIONCONTENT = "12"
OBJECT CLASS NUM_VAL VALUE END_OBJECT END_GROUP END_OBJECT GROUP
= PARAMETERVALUE = "12" =1 = "none" = PARAMETERVALUE = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = PLATFORMINSTRUMENTSENSOR
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= PLATFORMSHORTNAME =1 = "Terra" = PLATFORMSHORTNAME
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= INSTRUMENTSHORTNAME =1 = "MODIS" = INSTRUMENTSHORTNAME
END_GROUP GROUP GROUP
= PLATFORMINSTRUMENTSENSOR = GRID_INFO = PROJECTION_INFO
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= PROJECTION =1 = "UNIVERSAL TRANSVERSE MERCATOR" = PROJECTION
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= PROJECTIONPARAMETERS = 13 = (0.0, 0.0, 0.0, 0.0, 0.0, 0.0, 0.0, 0.0, 0.0, 0.0, 0.0, 0.0, 0.0) = PROJECTIONPARAMETERS
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= DATUM =1 = "WGS 1984" = DATUM
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= UTMZONE =1 = 48 = UTMZONE
23
END_GROUP GROUP
= PROJECTION_INFO = GRIDSTRUCTUREINFO
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= GRIDRESAMPLINGMETHOD =1 = "Nearest neighbor resampling" = GRIDRESAMPLINGMETHOD
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= DATACOLUMNS =1 = 2756 = DATACOLUMNS
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= DATAROWS =1 = 2356 = DATAROWS
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= UPPERLEFTCORNER =2 = (-5.56684204273000e+05, 9.056578328100e+04) = UPPERLEFTCORNER
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= LOWERRIGHTCORNER =2 = (2.19931579572700e+06, -2.265434216719000e+06) = LOWERRIGHTCORNER
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= CORNERCOORDINATEUNITS =1 = "Meters" = CORNERCOORDINATEUNITS
GROUP OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= RESOLUTION = XPIXELSIZE =1 = 1000.0 = XPIXELSIZE
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT
= YPIXELSIZE =1 = 1000.0 = YPIXELSIZE
OBJECT NUM_VAL VALUE END_OBJECT END_GROUP END_GROUP END_GROUP END_GROUP END
= XYPIXELSIZEUNIT =1 = "Meters" = XYPIXELSIZEUNIT = RESOLUTION = GRIDSTRUCTUREINFO = GRID_INFO = INVENTORYMETADATA
24