Psikologi sebagai
A g a m a Kultus Penyembahan Diri
1 PAUL C. VITZ
Penerbit Momentum 2005
Copyright © momentum.or.id
Psikologi sebagai Agama: Kultus Penyembahan Diri Oleh: Paul C. Vitz
Penerjemah: Yulvita Hadiyarti Editor: Irwan Tjulianto dan Warsoma Kanta Pengoreksi: Jessy Siswanto Tata Letak: Djeffry Desain Sampul: Ricky Setiawan Editor Umum: Solomon Yo Originally published in English under the title, Psychology as Religion: the Cult of Self-Worship Copyright © 1977 by Wm. B. Eerdmans Publishing Co. 255 Jefferson Ave. S.E., Grand Rapids, Michigan 49503 Second edition copyright © 1994 by Wm. B. Eerdmans Publishing Co. All rights reserved
Hak cipta terbitan bahasa Indonesia © 2002 pada Penerbit Momentum (Momentum Christian Literature) Andhika Plaza C/5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia. Telp.: +62-31-5472422; Faks.: +62-31-5459275 e-mail:
[email protected]
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) Vitz, Paul C., 1935 Psikologi sebagai agama: kultus penyembahan diri/Paul C. Vitz, terj. Yulvita Hadiyarti – cet. 1 – Surabaya: Momentum, 2005. xxvi + 249 hlm.; 14 cm. ISBN 979-8131-95-9 1. Psikologi dan Agama 2. Psikologi – Filosofi 3. Kekristenan – Psikologi 4. Penyembahan Diri – Literatur Kontroversial 2005
150’1–dc20
Cetakan pertama: Maret 2005 Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip, menerbitkan kembali, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali kutipan untuk keperluan akademis, resensi, publikasi, atau kebutuhan nonkomersial dengan jumlah tidak sampai satu bab.
Copyright © momentum.or.id
Daftar Isi
1 Prakata penerbit Pendahuluan Bab 1 PAKAR‐PAKAR TEORI UTAMA Carl Jung Erich Fromm Carl Rogers Abraham Maslow Rollo May dan Psikologi Eksistensial
xi xiii 1 2 5 9 13 15
Bab 2 TEORI DIRI BAGI SIAPA SAJA Harga Diri Bias Melayani Diri Kelompok Perjumpaan Kelompok Pemulihan Penolong Diri est dan Forum Seks Penolong Diri (Self-Help Sex)
21 22 29 31 34 36 38 41
BAB 3 SELFISME SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN YANG BURUK Psikiatri, Biologi, dan Psikologi Eksperimental Apakah Kita Pada Dasarnya Memang Begitu Baik?
47 49 62
Copyright © momentum.or.id
viii
PSIKOLOGI
SEBAGAI
AGAMA
BAB 4 DARI SUDUT PANDANG FILOSOFIS Sebuah Pertanyaan mengenai Definisi Diri yang Kosong Sebuah Kontradiksi Mendasar Kritik Browning Representasi Etis dan Ilmiah yang Keliru
71 71 74 77 81 82
BAB 5 SELFISME DAN KELUARGA Individu yang Terisolasi Teori Diri dan Perceraian Orangtua sebagai Sumber Masalah Kita Kekristenan dan Keluarga
85 85 88 90 97
BAB 6 TEORI DIRI DAN SEKOLAH‐SEKOLAH Klarifikasi Nilai-nilai Teori Diri Lagi Kritik Filosofis Kritik terhadap Prosedur dan Strategi Riset yang Mengevaluasi Klarifikasi Nilai-nilai Kritik terhadap Pelanggaran Privasi Mengapa Klarifikasi Nilai-nilai Begitu Populer? Kesimpulan: Mengapa Klarifikasi Nilai-nilai Harus Ditolak
101 101 104 107 110 113 115 120
BAB 7 SELFISME DAN MASYARAKAT MASA KINI Kredo bagi Anak Muda dan Budaya Yuppie “Suatu Bangsa yang Terdiri dari Para Korban” Selfisme dan Bahasa Psikologi bagi Masyarakat Konsumen BAB 8 SELFISME DAN KEKRISTENAN: ANTESEDEN‐ANTESEDEN MASA LALU Feuerbach
125 125 127 130 132
Copyright © momentum.or.id
121
141 141
Daftar Isi
Sumber-sumber Amerika Fosdick dan Peale Pietisme Kasus Khusus Carl Rogers
ix
144 146 153 156
BAB 9 PSIKOLOGI DAN GERAKAN ZAMAN BARU Dukungan Sosial dan Ekonomi bagi Zaman Baru Asal Mula Psikologis Zaman Baru Zaman Baru sebagai Gnostisisme Baru Spiritualitas Zaman Baru: dari Penyembahan Diri Psikologis ke Penyembahan Diri Spiritual
163 168 171 177
BAB 10 SEBUAH KRITIK KRISTEN Selfisme sebagai Penyembahan Berhala Masalah Depresi Masalah Manusia sebagai Keset Kaki Kasih Kristen dan Kasih menurut Kaum Selfis Kreativitas dan Pencipta Natur Penderitaan
185 185 191 193 194 202 204
BAB 11 SEBUAH TANGGAPAN POLITIS Masalah bagi Psikologi Masalah bagi Kekristenan
209 209 212
BAB 12 MELAMPAUI TEORI DIRI SEKULER Bias di dalam Menjadi “Objektif” Balasan si Objek Dilema Narsisisme Eksistensial Lari dari Diri Sendiri
223 223 228 230 234
BAB 13 SEBUAH MASA DEPAN KRISTEN YANG BARU? Akhir dari Heroisme Modern
241 241
Copyright © momentum.or.id
180
x
PSIKOLOGI
SEBAGAI
AGAMA
Kegagalan Karierisme Godaan Kesukuan (Tribalisme) Munculnya Kesempatan
Copyright © momentum.or.id
243 245 247
Pendahuluan
1
B
uku ini ditujukan kepada para pembaca yang tertarik pada kritik pada psikologi kontemporer – yaitu pembaca yang mengetahui, meskipun mungkin hanya secara intuitif, bahwa psikologi telah berubah menjadi lebih berupa opini-opini daripada ilmu pengetahuan, dan sekarang psikologi sendiri adalah bagian dari masalah kehidupan modern dan bukannya solusi bagi masalah tersebut. Berbagai kritik yang ditawarkan di dalam buku ini bersifat ilmiah, filosofis, etis, ekonomis, sosial, dan tentu saja, religius; tujuannya adalah memberikan argumen-argumen dan konsep-konsep yang memungkinkan pembaca untuk memulai proses menempatkan psikologi masa kini dalam perspektif yang jauh lebih kecil, yang tidak bersifat korosif, namun yang pada akhirnya lebih akurat dan bermanfaat daripada yang ada sekarang. Edisi pertama buku ini (dalam bahasa Inggris) – yaitu Psychology as Religion: The Cult of Self-Worship (Psikologi sebagai Agama: Kultus Penyembahan Diri) – diterbitkan pada tahun 1977 dan tampaknya merupakan buku pertama yang berisi kritik terhadap penyembahan diri dan karakter narsisistis yang menjadi ciri dari kebanyakan psikologi modern. Ketika masih dalam proses penerbitan, muncul artikel terkenal dari Tom Wolfe yang berjudul “Me
Copyright © momentum.or.id
PSIKOLOGI
xiv
SEBAGAI
AGAMA
Decade.” 1 Pada tahun 1978, buku laris Christopher Lasch yang berjudul The Culture of Narcissism diterbitkan. Lasch secara brilian mendokumentasikan egoisme dan narsisisme yang meresap di dalam masyarakat modern Amerika. Kebanyakan tulisannya mengambil sumber dari psikologi dan “profesi penolong” (helping professions) lainnya. Tak lama kemudian, David G. Myers menerbitkan bukunya The Inflated Self pada tahun 1981, yang membahas kecenderungan – dan ilusi – manusia yang tersebar luas, yang melihat bahwa segala sesuatu adalah demi kepentingan dirinya sendiri. Kesuksesan adalah prestasi kita; sedangkan kegagalan adalah kesalahan orang lain, atau lingkungan, atau ketidakberuntungan, dsb. Pada tahun 1983, dua orang psikolog, Michael dan Lise Wallach, menerbitkan sebuah kritik yang sistematis tentang semua teori utama psikologi yang muncul sejak masa Freud. Buku mereka, Psychology’s Sanction for Selfishness: The Error of Egoism in Theory and Therapy, menunjukkan bahwa semua teori psikologi modern tentang motivasi dan kepribadian manusia memiliki asumsi bahwa memberi imbalan kepada diri sendiri (yaitu, egoisme) merupakan satu-satunya prinsip etis yang berfungsi. Pendeknya, komitmen psikologi yang begitu dalam kepada narsisisme, egoisme, penyembahan diri, individu, diri yang terisolasi – atau, yang saya sebut sebagai “selfisme” – telah ditunjukkan secara lengkap. 2 Bersamaan dengan semua buku ini, muncul pula sejumlah besar kritik yang lebih umum terhadap psikologi, khususnya terhadap psikoterapi. Semua kritik ini sering kali mengabaikan masalah-masalah diri agar dapat berfokus kepada banyak kelemahan lain dari psikologi. Kritikan sekuler yang begitu kuat datang dari Thomas 1
Tom Wolfe, “The ‘Me’ Decade and the Third Great Awakening,” New York, 23 Agustus 1976, hlm. 26-40. 2 Christopher Lasch, The Culture of Narcissism: American Life in an Age of Diminishing Expectations (New York: Norton, 1978); David G. Myers, The Inflated Self (New York: Seabury, 1981); Michael Wallach and Lise Wallach, Psychology’s Sanction for Selfishness: The Error of Egoism in Theory and Therapy (San Fransisco: Freeman, 1983).
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
xv
Szasz, The Myth of Psychotherapy (1978), Martin L. Gross, The Psychological Society (1978), dan Bernie Zilbergeld, The Shrinking of America (1983). Serangan sekuler terhadap psikologi secara umum terus berlangsung tanpa henti sejak Psychobabble (1979) hingga Freudian Fraud (1991). Tradisi pengkritikan yang sekarang menjadi begitu kuat ini dimulai melalui karya Philip Rieff yang masih terkenal, The Triumph of the Therapeutic (1966). 3 Sementara itu, kritik Kristen terhadap psikologi juga semakin gencar. Karya Martin dan Deidre Bobgan, The Psychological Way/The Spriritual Way (1978), mewakili penolakan menyeluruh orang Kristen terhadap psikologi. Kritik yang lebih akademis namun juga sangat efektif datang dari Mary Stewart Van Leeuwen dalam karyanya The Sorcerer’s Apprentice (1982). W. Kirk Kilpatrick juga menulis dua kritik yang populer dan mendalam: Psychological Seduction (1982) dan The Emperor’s New Clothes (1985). Kritik yang terkadang terlalu ekstrem, tetapi umumnya meyakinkan, terdapat dalam buku laris karya Dave Hunt dan T. A. McMahon, The Seduction of Christianity (1985). Don S. Browning menyumbangkan Religious Thought and the Modern Psychologies (1987), sebuah analisis kritis yang akademis dan luar biasa terhadap asumsiasumsi etis dan filosofis yang dibuat oleh sebagian besar psikologi modern. Dan kritik religius terhadap psikologi masih terus berdatangan – misalnya, Os Guinness dan John Seel, No God but God (1992). Kakek dari semua kritik Kristen ini mungkin adalah karya Jay Adam yang berjudul Competent to Counsel (1972). 4 3
Thomas Szasz, The Myth of Psychotherapy: Mental Healing as Religion, Rhetoric, and Repression (Garden City, NY: Anchor Press/Doubleday, 1978); Martin L. Gross, The Psychological Society (New York: Random House, 1978); Bernie Zilbergeld, The Shrinking of America (Boston: Little Brown, 1983); Richard D. Rosen, Psychobabble (New York: Avon, 1979); Philip Rieff, The Triumph of the Therapeutic (New York: Harper & Row, 1966); E. Fuller Torrey, Freudian Fraud (New York: Harper Collins, 1992). 4 Martin Bobgan dan Deidre Bobgan, The Psychological Way/The Spiritual Way: Are Christianity and Psychotherapy Compatible? (Minneapolis: Bethany
Copyright © momentum.or.id
xvi
PSIKOLOGI
SEBAGAI
AGAMA
Sejak tahun 1977, banyak perubahan telah terjadi pada pemahaman kita tentang psikologi. Meskipun demikian hanya sedikit perubahan yang terjadi baik dalam hal bagaimana psikologi berfungsi di dalam masyarakat, maupun cara psikologi diajarkan di perguruan tinggi dan universitas. Psikologi mungkin kurang begitu dibicarakan di media populer dan tidak sepopuler pada pertengahan tahun 1970-an. Akan tetapi kita tetap merupakan apa yang disebut oleh Rieff sebagai “masyarakat terapeutik.” Aktualisasi diri, pemuasan diri, dll., merupakan penjelasan-penjelasan standar bagi tujuan segala sesuatu, mulai dari kuliah hingga kehidupan itu sendiri. Tak terhitung banyaknya orang Kristen yang lebih khawatir akan kehilangan harga dirinya (self-esteem) daripada kehilangan jiwanya. Di fakultas psikologi di berbagai perguruan tinggi, ratusan ribu mahasiswa setiap tahunnya mengambil berbagai mata kuliah di mana buku-buku dan analisis-analisis yang kritis yang disebutkan di atas hampir tidak pernah disinggung. Bukannya memberikan perhatian utama kepada perdebatan yang akademis dan intelektual, fakultas-fakultas psikologi dan beragam mata kuliah yang ada justru terfokus untuk mendukung profesi ini, menjaga agar jumlah mahasiswa yang mendaftar tetap tinggi dan mendongkrak moral fakultas. Oleh sebab itu, terdapat kebutuhan agar Psikologi sebagai Agama edisi revisi ini tetap mempertahankan poin-poin yang ada pada edisi pertama, namun juga mempertimbangkan berbagai karya yang telah muncul sejak edisi pertama diterbitkan. Fellowship, 1978); Mary Stewart Van Leeuwen, The Sorcerer’s Apprentice: A Christian Looks at the Changing Face of Psychology (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1982); William Kirk Kilpatrick, Psychological Seduction: The Failure of Modern Psychology (Nashville: Thomas Nelson, 1982); William Kirk Kilpatrick, The Emperor’s New Clothes (Westchester, IL: Crossway Books, 1985); D. Hunt dan T. A McMahon, The Seduction of Christianity: Spiritual Discernment in the Last Days (Eugene, OR: Harvest House, 1985); Don Browning, Religious Thought and the Modern Psychologies (Philadelphia: Fortress, 1987); Os Guinness dan John Seel, No God But God: Breaking with the Idols of Our Age (Chicago: Moody, 1992); Jay E. Adams, Competent to Counsel (Nutley, NJ: Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1972).
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
xvii
Sebagaimana dinyatakan dalam judulnya, buku ini akan memberikan argumen-argumen bahwa psikologi telah menjadi sebuah agama: yaitu pengultusan yang sekuler terhadap diri. Yang saya maksudkan di sini adalah bahwa psikologi telah menjadi wawasan dunia, filsafat hidup, atau ideologi yang dianut dengan sedemikian kuatnya. Lebih spesifik lagi, psikologi kontemporer adalah sebuah bentuk humanisme sekuler yang didasarkan pada penolakan terhadap Allah dan menuju kepada pemujaan diri. Namun demikian, kritik yang diberikan kemudian tidak selalu berorientasi religius, dan para penganut psikologi yang humanistis (misalnya, penganut konsep aktualisasi diri) ditantang untuk mengonfrontasi kritik yang dilontarkan oleh seorang psikolog terhadap hikmat mereka yang diterima secara luas. Orientasi utama dari kritik yang diberikan dalam buku ini adalah agama Kristen. Hal ini akan terlihat paling jelas dalam bab-bab akhir. Kekristenan, seperti semua agama tradisional lainnya, mempertaruhkan banyak hal dalam pembahasan ini. Perlu diperhatikan bahwa dalam kasus-kasus di mana argumen-argumen dan kritikkritik didasarkan pada theologi Kristen, kesimpulan saya biasanya identik atau dekat dengan kesimpulan yang bisa dibuat oleh agamaagama theistis lainnya. Karya ini disodorkan dalam semangat kerja sama dengan kepercayaan-kepercayaan lain, terutama Yudaisme, yang sama-sama bergumul melawan pengaruh psikologi masa kini. Secara khusus, saya akan berargumen membela lima tesis: 1. Eksistensi psikologi sebagai agama sungguh nyata, dan eksistensinya begitu kuat di seluruh Amerika Serikat. 2. Psikologi sebagai agama dapat dikritik dengan banyak dasar yang sama sekali terpisah dari agama. 3. Psikologi sebagai agama sungguh-sungguh anti-Kristen. 4. Psikologi sebagai agama didukung secara luas oleh sekolah-sekolah, universitas-universitas, serta program-program sosial yang dibiayai oleh pajak yang didapatkan dari jutaan orang Kristen. Penggunaan uang pajak untuk mendukung
Copyright © momentum.or.id
PSIKOLOGI
xviii
SEBAGAI
AGAMA
sesuatu yang telah menjadi ideologi sekuler ini memunculkan isu-isu politis dan hukum yang serius. 5. Psikologi sebagai agama selama bertahun-tahun telah merusak individu-individu, keluarga-keluarga, dan masyarakat. Tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini, pemikiran yang destruktif dari sistem sekuler ini telah mulai dipahami dan ketika semakin banyak orang menemukan kehampaan atau kesia-siaan dari penyembahan diri, Kekristenan mendapatkan kesempatan besar yang bersejarah untuk memberikan makna dan kehidupan. Saya tidak merasa perlu meminta maaf atas kerasnya sebagian kritik yang saya kemukakan. Isu-isu yang dibahas di sini baru mulai disadari, dan pada umumnya, isu-isu ini sangat serius. Waktunya telah tiba bagi para akademisi dan kaum intelektual Kristen untuk berbicara secara terbuka untuk membela iman, tanpa memedulikan risiko profesional atau pengucilan yang akan terjadi. Banyak di antara kita berada di posisi-posisi yang strategis untuk mengamati dan menganalisis kecenderungan-kecenderungan anti-Kristen di dalam masyarakat yang tidak terpantau oleh para theolog yang telah sedemikian tersekularisasi di dalam seminari-seminari masa kini sehingga mereka akan menjadi orang-orang terakhir yang memperhatikannya. *
*
*
Di sini perlu diberikan sedikit kisah pribadi penulis secara berurutan. 5 Banyak di antara analisis yang tersaji dalam buku ini berasal dari pengalaman pribadi saya sendiri baik sebagai mahasiswa 5
Informasi biografi yang lebih terperinci dapat dibaca di dalam “A Christian Odyssey,” dalam Spiritual Journeys, ed. R. Baram (Boston: St. Paul, 1987), hlm. 379-99; “My Life – So Far,” Storying Ourselves: A Narrative Perspective on Christians in Psychology, ed. D. J. Lee (Grand Rapids: Baker, 1993).
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
xix
maupun sebagai psikolog akademis selama tiga puluh lima tahun terakhir. Saya menyelesaikan tingkat sarjana muda di University of Michigan dari tahun 1953 sampai 1957, mengambil jurusan psikologi untuk tiga tahun yang terakhir. Di perguruan tinggi, saya mengikuti kebiasaan yang sudah tak asing lagi, yaitu pemberontakan terhadap didikan Kekristenan yang nominal. (Hal semacam ini mungkin terjadi di sekolah lanjutan sekarang.) Saya membaca karya-karya Bertrand Russel, memproklamasikan bahwa saya seorang atheis, dan merasa bangga atas kemerdekaan saya yang “dimenangkan dengan susah payah.” Satu-satunya kekecewaan ialah bahwa proklamasi saya itu disambut orang lain dengan menguap belaka. Kekristenan saya yang samar-samar dan dangkal merupakan aspek yang lemah dari hidup saya, sehingga penolakan terhadapnya tidak memberikan dampak psikologis yang penting, bahkan tidak sebesar dampak ketika putus dengan pacar saya misalnya. Akibatnya, masa permusuhan aktif saya terhadap Kekristenan berlangsung singkat saja: hanya beberapa bulan (cukup wajar) dari tahun kedua saya sebagai mahasiswa. Setelah itu dimulailah ketidakacuhan yang agnostis terhadap agama untuk waktu yang cukup panjang. Itu adalah masa ketika saya mengabdikan diri saya sepenuhnya untuk menjadi seorang psikolog dengan berkonsentrasi pada penyelesaian kuliah tingkat sarjana saya (1957-62) dan gelar master (1964-65) di Stanford University. Di sini saya mengambil bidang motivasi dan kepribadian, di mana termasuk di dalamnya belajar dan mengajar berbagai pandangan dari para pakar teori diri. Di perguruan tinggi, agama diperlakukan sebagai anakronisme yang menyedihkan. Terkadang kepercayaan-kepercayaan religius seseorang “diukur” melalui tes-tes kepribadian. Interpretasi yang paling umum adalah bahwa seorang penganut agama tradisional pastilah bertipe fasis-otoritarian. Ada juga ketertarikan terhadap agama dari para psikolog sosial yang ingin menyelidiki sistem-sistem kepercayaan yang eksotis. Kontak-kontak saya dengan disiplin
Copyright © momentum.or.id
xx
PSIKOLOGI
SEBAGAI
AGAMA
antropologi dan sosiologi memberi gambaran bahwa sikap yang sama juga umum di antara orang-orang yang berkecimpung di dalam bidang-bidang tersebut. Kurang lebih setahun setelah saya menerima gelar doktor, ketertarikan saya bergeser ke arah psikologi eksperimental, khususnya topik-topik yang berhubungan dengan persepsi, kognisi, dan estetika. Pergeseran ketertarikan ini sebagian disebabkan oleh bertambahnya kesadaran bahwa teori kepribadian yang humanistis ternyata secara intelektual membingungkan dan agak konyol. Banyak di antara argumen yang saya berikan di sini pertama kali terpikirkan oleh saya pada pertengahan tahun 1960-an. Saya masih ingat saatsaat ketika di tengah-tengah perkuliahan, saya tiba-tiba menyadari bahwa saya mengatakan hal-hal yang saya sendiri tidak sungguhsungguh yakini. Mengetahui bahwa Anda sedang mengajarkan suatu pandangan seolah-olah itu mendekati kebenaran ilmiah, padahal Anda sendiri tidak lagi meyakini kebenarannya, bisa agak mengganggu pikiran Anda, jika kita ingin mengungkapkannya secara halus. Kecurigaan kritis ini terus berlanjut. Kira-kira pada tahun 1968 saya tidak lagi bersedia mengajar tingkat sarjana maupun sarjana muda yang mengharuskan saya mengupas tentang para pakar teori diri. Segala sesuatu yang lain bisa saja berjalan seperti biasa jika bukan karena dua peristiwa yang tidak terduga. Yang pertama adalah pesatnya perkembangan antusiasme massa di seluruh negeri terhadap teori-teori diri yang humanistis pada saat yang sama ketika saya mulai menjauhinya. Yang kedua adalah pertobatan saya menjadi Kristen. Tidak ada peristiwa yang dramatis untuk dilaporkan tentang peristiwa kedua ini – tidak ada kelahiran baru yang tiba-tiba atau pengalaman mistis lainnya – yang ada hanyalah gejolak-gejolak emosi yang begitu kuat berkaitan dengan runtuhnya idealisme sekuler saya yang disertai dengan perubahan di dalam hati dan pikiran yang bertumbuh secara diam-diam. Proses ini tampaknya telah dimulai pada suatu waktu di tahun 1972, dan setelah
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
xxi
itu, saya menemukan bahwa saya seorang Kristen – yang masih begitu hijau tentunya, namun tetap saja hidup saya telah diputarbalikkan. Aspek yang patut dicatat mengenai hal ini ialah bahwa pertobatan ini terjadi pada seorang psikolog yang sama sekali tidak siap, sekuler, dan keras kepala, yang selama itu berpikir bahwa satu-satunya arah perubahan yang alami sudah pasti adalah arah yang berlawanan. Sudah pasti tidak ada model bagi pemikiran tersebut di dalam psikologi. Menjadi Kristen memberikan kepada saya sudut pandang yang sangat berbeda terhadap psikologi dan juga motivasi yang kuat untuk mengembangkan analisis yang kritis yang telah saya mulai beberapa tahun sebelumnya. Demikianlah keadaan saat itu – berkenaan dengan “biografi” saya – ketika saya pertama kali menulis buku ini lebih dari lima belas tahun yang lalu. Penerbitannya telah menyebabkan terjadinya banyak perubahan penting dalam hidup saya sejak saat itu. Yang lebih penting lagi, peristiwa ini telah memungkinkan saya menjalin hubungan dengan sejumlah orang Kristen yang meskipun sedikit namun sangat signifikan, beberapa di antaranya adalah para psikolog, beberapa lainnya berasal dari disiplin ilmu yang lain, yang juga bergumul dengan masalah-masalah yang menjadi fokus pemikiran saya. Tanggapan serta dukungan mereka sungguh-sungguh saya hargai dan membuat saya terus berhubungan dengan komunitas intelektual Kristen yang semakin inovatif. Kenyataan bahwa saya menjadi seorang Katolik pada tahun 1979 telah semakin memperluas hubungan saya dengan komunitas intelektual. Dan dengan penuh rasa syukur, saya menyadari bahwa Katolikisme saya tidak merusak hubungan persahabatan serta keakraban saya dengan orang-orang Protestan, terutama kaum Injili. Kami semua berada dalam perjuangan yang sama, dan kami menyadarinya. Salah satu perubahan penting sejak edisi pertama adalah usaha saya untuk mengembangkan satu tipe “psikologi Kristen” yang positif yang baru-baru ini saya mulai. Termasuk di antaranya adalah pembuatan model konseling narasi; buku saya tentang Sigmund
Copyright © momentum.or.id
PSIKOLOGI
xxii
SEBAGAI
AGAMA
Freud, dengan Yesus sebagai anti-Oedipus; serta penggunaan konsep psikoanalisis untuk mendukung ide tentang dosa asal. 6 Meskipun saya berpendapat bahwa aspek-aspek penting dari psikologi dapat secara efektif dibaptiskan, namun masih sulit untuk membedakan mana yang dapat digabungkan dan mana yang tidak. Masalahnya lebih dipersulit lagi oleh adanya serangan yang begitu kuat dari pihak sekuler terhadap keabsahan mendasar psikologi sebagai disiplin terapeutik maupun sebagai disiplin yang bersifat menjelaskan. Selain dari itu, dekade-dekade terakhir ini telah menjadi saksi dari peningkatan yang luar biasa dalam pemahaman biologis dan kendali tingkah laku, sementara di sisi lain, spiritualitas Zaman Baru telah menjelaskan kepada orang-orang yang tidak mau mendengarkan kritik Kristen bahwa interpretasi psikologi tentang agama, serta penolakannya terhadap kehidupan rohani, benar-benar keliru. Psikologi telah kehilangan sebagian besar dasar intelektualnya, baik terhadap biologi maupun spiritualitas, selama dua puluh tahun ini. Singkatnya, psikologi bukan lagi “ilmu pengetahuan” muda; melainkan telah menjadi disiplin ilmu yang dewasa, dan telah menjadi kurang percaya diri serta tidak seimperialistis sebelumnya. Namun demikian, sikap permusuhan kebanyakan psikolog terhadap Kekristenan masih begitu nyata. Selama bertahun-tahun saya merupakan bagian dari sentimen seperti itu; dan sekarang pun sentimen tersebut masih mengelilingi saya. Sesungguhnya sikap permusuhan ini sangat mengherankan, sebab para psikolog jarang menyadarinya. Ketidaksadaran mereka ini biasanya disebabkan oleh ketidakmengertian mereka tentang apa sesungguhnya Kekristenan itu 6
Paul C. Vitz, “Narrative and Counseling, Part 1: From Analysis of the Past to Stories about It,” Journal of Pychology and Theology 20 (1992): 11-19; Vitz, “Narrative and Counseling, Part 2: From Stories of the Past to Stories for the Future,” Journal of Psychology and Theology 20 (1992); 20-27; Vitz, Sigmund Freud’s Christian Unconscious (New York: Guilford Press, 1988; Grand Rapids: Eerdmans, 1993); Vitz, “A Christian Theory of Personality,” dalam Man and Mind, ed. T. Burke (Hillsdale, MI: Hillsdale College Press, 1987), hlm. 199-222.
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
xxiii
– dalam hal ini berarti juga ketidakmengertian mereka tentang agama apa pun. Banyak perguruan tinggi yang telah sedemikian sekulernya sehingga para akademisi tidak lagi dapat menjelaskan mengapa mereka begitu menentang Kekristenan. Mereka sematamata berasumsi bahwa bagi semua orang yang rasional, pertanyaan tentang menjadi Kristen sudah dijawab – secara negatif – di suatu waktu di masa lalu. Ada satu perbedaan yang menarik dalam sikap permusuhan yang telah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an. Pada tahuntahun selanjutnya, telah terlihat jelas bahwa ternyata agama tetap hidup dan baik-baik saja di seluruh dunia. Energi agama Islam mungkin merupakan contoh yang paling jelas. Namun pentingnya Katolik bagi Polandia dan Ortodoksi Timur bagi kejatuhan Komunisme Soviet telah diterima secara luas. Di Amerika Serikat, apa yang disebut sebagai Hak Beragama dan isu aborsi telah membuktikan bahwa Kekristenan bukan sekadar agama yang tersekularisasi, yang sama sekali tidak relevan. Di Israel dan di seluruh dunia, Yudaisme Ortodoks dan gaya hidup kaum Hasidik menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Sementara itu, baik Kekristenan liberal maupun Yudaisme liberal mulai punah. Dan bagaimana halnya dengan “agama” politis yang terpenting, yaitu Sosialisme? Sosialisme telah runtuh. Para akademisi yang telah terisolisasi dari realitas religius di menara-menara sekuler mereka, pada saat ini mulai memandang agama dengan keingintahuan yang lebih menggelisahkan dan tidak lagi seangkuh dan setidak acuh pandangan mereka pada tahun 1977. Namun sikap permusuhan dan ketidakpedulian tetap ada. *
*
*
Akhirnya, adalah penting untuk mengidentifikasi psikologi-psikologi tertentu yang sudah pasti tidak akan kita masukkan ke dalam pembahasan kita. Pertama, psikologi eksperimental – yaitu studi
Copyright © momentum.or.id
PSIKOLOGI
xxiv
SEBAGAI
AGAMA
tentang sensasi, persepsi, kognisi, daya ingat, cara-cara penyelesaian masalah, dan pertanyaan-pertanyaan yang terkait – tidak akan dimasukkan di dalam pembahasan kita. Psikologi semacam ini, yang terutama ditemukan di universitas-universitas dan pusat-pusat penelitian, merupakan cabang dari ilmu pengetahuan alam yang terdiri dari biologi, fisika, matematika, dsb. Kedua, teori atau filsafat psikologi yang dikenal sebagai behaviorisme (contoh terbaik adalah yang ditulis B. F. Skinner) tidak akan dibicarakan di sini, karena tidak memiliki banyak kemiripan dengan psikologi diri yang humanistis, sehingga kritik terhadapnya akan membawa diskusi kita melenceng terlalu jauh. Kritik terhadap behaviorisme telah pernah diterbitkan, sehingga tidak banyak lagi yang dapat saya tambahkan. 7 Demikian juga, turunan dari behaviorisme yang bersifat terapeutik, yang dikenal sebagai modifikasi tingkah laku, tidak termasuk dalam pembahasan, sebab teknik-teknik dan prinsip-prinsipnya merupakan bagian dari psikologi eksperimental, sedangkan filsafatnya adalah bagian dari behaviorisme. Teori ketiga yang tidak dimasukkan dalam pembahasan adalah psikoanalisis, karena psikologi diri sebagian besar merupakan reaksi terhadap teori-teori dan metode-metode Freudian yang lebih kompleks, tidak sadar, “pesimistis,” konservatif, dan terdisiplin. Kritik yang menyeluruh terhadap psikoanalisis akan memerlukan pembahasan yang bersifat teknis terhadap banyak hal yang tidak berhubungan dengan diri. Ini akan memperumit pembahasan kita dan mengaburkan fokus utama kita. Ketika pertama kali menulis buku ini, saya tidak memasukkan psikologi transpersonal, karena masih sangat baru dan sulit menentukan arahnya. Tetapi dalam edisi revisi ini, saya mengkhususkan bab 9 untuk membahas kritik terhadap psikologi transpersonal dan
7
Sebagai contoh, lihat The Human Reflex: Behavioral Psychology in Biblical Perspective karya Rodger K. Bufford (San Francisco: Harper & Row, 1981).
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
xxv
sisi spiritualitas Zaman Baru, dengan menyoroti premis-premis psikologis mereka. Kelompok terakhir dari psikolog yang tidak kita masukkan adalah kelompok psikolog yang mengakui, menghargai, dan merespons isu-isu agama sejati dalam kehidupan pasien-pasien mereka. Kelompok ini tidak begitu besar, dan tidak mudah dikategorikan. Termasuk di antaranya adalah para psikolog yang secara pribadi menganut sebuah agama, yang mengintegrasikan iman mereka, jika itu dimungkinkan, ke dalam terapi. Tetapi kelompok ini juga mencakup para psikolog sekuler yang memiliki pemahaman-pemahaman yang menyebabkan mereka menolak agama psikologi kontemporer sebagai pengganti yang dangkal bagi sesuatu yang sejati dan sebagai perusakan terhadap fungsi yang penting tapi terbatas dari psikoterapi. Inilah kelompok psikolog yang menyediakan dasar bagi pengharapan bahwa kerja sama yang kuat dan jujur antara psikologi dan agama dapat dikembangkan secara perlahan. Selain dari semua kelompok yang tidak dimasukkan dalam pembahasan buku ini, sejumlah besar psikologi modern tetap dipertahankan. Pada kenyataannya, sebagian besar psikolog yang berpraktik sekarang ini telah sedemikian dipengaruhi oleh teori-teori diri yang humanistis. Banyak di antara psikoanalis Amerika telah menerima psikologi diri sehingga sulit untuk mengatakan apakah mereka termasuk kaum Freudian atau bukan. Demikian juga, para terapis modifikasi tingkah laku kadang-kadang mengawinkan berbagai filsafat aktualisasi diri atau harga diri (self-esteem) ke dalam hidup mereka dan menjadikannya sebagai bagian dari etika profesional. Demikian juga psikologi pendidikan telah lama dijejali oleh konsep-konsep seperti “harga diri” dan “aktualisasi diri.” Pendeknya, tradisi kebebasan Amerika yang ekletis berarti bahwa hampir setiap bentuk psikologi sekarang ini muncul dengan sejumlah besar teori yang dikritik di sini."
Copyright © momentum.or.id