PSIKOEDUKASI: INTERVENSI REHABILITASI DAN PREVENSI Ada banyak bentuk intervensi yang dapat digunakan dalam dunia psikologi, baik itu intervensi individual, kelompok, bahkan komunitas. Tiap intervensi memiliki pendekatannya masing-masing apakah psikoanalisa, psikodinamika, cognitive-behavior, humanistik, dan sebagainya. Salah satu intervensi yang dapat digunakan dalam berbagai seting dan dapat diterapkan secara individual ataupun kelompok adalah Psikoedukasi. Psikoedukasi sebenanrnya sudah cukup populer dalam praktek-praktek helping selama 30 tahun terakhir di Amerika dan seluruh dunia. Namun, untuk Indonesia sendiri bentuk intervensi ini belum banyak diterapkan untuk setiap seting. Beberapa tokoh dan organisasi psikologi mendefinisikan Psikoedukasi secara berbeda, yaitu: Psikoedukasi adalah suatu bentuk pendidikan ataupun pelatihan terhadap seseorang dengan gangguan psikiatri yang bertujuan untuk proses treatment dan rehabilitasi. Sasaran dari psikoedukasi adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan yang ia alami, meningkatkan pertisipasi pasien dalam terapi, dan pengembangan coping mechanism ketika pasien menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit tersebut. (Goldman, 1998 dikutip dari Bordbar & Faridhosseini, 2010) Definisi istilah psikoedukasi adalah suatu intervensi yang dapat dilakukan pada individu, keluarga, dan kelompok yang fokus pada mendidik partisipannya mengenai tantangan signifikan dalam hidup, membantu partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan dukungan sosial dalam menghadapi tantangan tersebut, dan mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan tersebut. (Griffith, 2006 dikutip dari Walsh, 2010) Psikoeduakasi adalah treatment yang diberikan secara profesional dimana mengintegrasikan intervensi psikoterapeutik dan edukasi (Lukens & McFarlane, 2004) The definition of psychoeducational groups addresses the importance of educational an prevention in such groups. These groups serve to educate those facing a potential threat or a developmental life event or to teach coping skills to dealing with an immediate life crisis. ASGW defined the goal for such groups as ‘preventing an array of educational and psychological disturbance from occuring (Association for Specialist in Group Work (ASGW), 1991 dikutip dari Brown, 2011)
Definition of psychoeducation is any structured group or individual program that addresses an illness from a multi dimensional viewpoint including familial, social, biological and pharmacological perspective, as well as providing service users and carers with information support and management stratgies. (The National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE), 2006 dikutip dari Bordbar & Faridhosseini, 2010)
Siti Raudhoh (Dhodo) Magister Profesi Psikologi Universitas Padjadjaran
1
Berdasarkan definisi-definisi di atas, Psikoedukasi (PE) dapat diterapkan tidak hanya kepada individu tetapi juga dapat diterapkan pada keluarga dan kelompok. PE dapat digunakan sebagai bagian dari proses treatment dan sebagai bagian dari rehabilitasi bagi pasien yang mengalami penyakit ataupun gangguan tertentu. PE banyak diberikan kepada pasien dengan gangguan psikiatri termasuk anggota keluarga dan orang yang berkepentingan untuk merawat pasien tersebut. Walaupun demikian, PE tidak hanya dapat diterapkan pada ranah psikiatri tetapi dapat juga diterapkan pada ranah lainnya. PE dapat diterapkan tidak hanya pada individu atau kelompok yang memiliki gangguan psikiatri, tetapi juga digunakan agar individu dapat menghadapi tantangan tertentu dalam tiap tingkat perkembangan manusia sehingga mereka dapat terhindar dari masalah yang berkaitan dengan tantangan yang mereka hadapi. Dengan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa Psikoedukasi adalah suatu bentuk intervensi psikologi, baik individual ataupun kelompok, yang bertujuan tidak hanya membantu proses penyembuhan klien (rehabilitasi) tetapi juga sebagai suatu bentuk pencegahan agar klien tidak mengalami masalah yang sama ketika harus menghadapi penyakit atau gangguan yang sama, ataupun agar individu dapat menyelsaikan tantangan yang mereka hadapi sebelum menjadi gangguan. PE merupakan proses empowerment untuk mengembangkan dan menguatkan keterampilan yang sudah dimiliki untuk menekan munculnya suatu gangguan mental. Karena PE dapat diterapkan sebagai bagian dari persiapan sesorang untuk menghadapi berbagai tantangan dalam tiap tahapan perkembangan kehidupan, maka PE dapat diterapkan hampir pada setiap seting kehidupan. Selain itu, karena modelnya yang fleksibel, dimana memadukan informasi terkait gangguan tertentu dan alat-alat untuk mengatasi situasi-situasi tertentu, psikoedukasi berpotensi untuk diterapkan pada area yang luar terkait dengan berbagai bentuk gangguan dan tantangan hidup yang bervariasi (Lukens & McFarlane, 2004). Ini menunjukkan bahwa PE diterapkan pada berbagai seting misalnya rumah sakit, bisnis, perguruan tinggi, pemerintahan, lembaga pelayanan sosial, dan bahkan militer. Di dalam Walsh (2010), ia menjelaskan mengenai pengertian psikoedukasi dari Griffiths (2006). Berdasarkan pengertian tersebut, ia ditarik kesimpulan bahwa fokus dari psikoedukasi adalah sebagai berikut: –
Mendidik partisipaan mengenai tantangan dalam hidup
–
Membantu partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan dukungan sosial dalam menghadapi tantangan hidup
Siti Raudhoh (Dhodo) Magister Profesi Psikologi Universitas Padjadjaran
2
–
Mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan hidup
–
Mengembangkan dukungan emosional
–
Mengurangi sense of stigma dari partisipan
–
Mengubah sikap dan belief dari partisipan terhadap suatu gangguan (disorder)
–
Mengidentifikasi dan mengeksplorasi perasaan terhadap suatu isu
–
Mengembangkan keterampilan penyelesaian masalah
–
Mengembangkan keterampilan crisis-intervention Psikoedukasi tidak hanya bertujuan untuk treatment tetapi juga rehabilitasi. Ini
berkaitan dengan mengajarkan seseorang mengenai suatu masalah sehingga mereka bisa menurunkan stres yang terkait dengan masalah tersebut dan mencegah agar masalah tersebut tidak terjadi kembali. Psikoedukasi juga didasarkan pada kekuatan partisipan dan lebih fokus pada saat ini dan masa depan daripada kesulitan-kesulitan di masa lalu. Menurut Walsh (2010), PE dapat menjadi intervensi tunggal, tetapi juga sering digunakan bersamaan dengan beberapa intervensi lainnya untuk membantu partisipan menghadapi tantangan kehidupan tertentu. Psikoedukasi tidak sama dengan psikoterapi walaupun kadang terjadi tumpang tindih antara kedua intervensi tersebut. Psikoedukasi kadang ikut menjadi bagian dari sebuah psikoterapi. Walsh (2010) menjelaskan bahwa psikoterapi dapat dipahami sebagai proses interaksi antara seorang profesional dan kliennya (individu, keluarga, atau kelompok) yang bertujuan untuk mengurangi distres, disabiliti, malfungsi dari sistem klien pada fungsi kognisi, afeksi, dan perilaku. Psikoterapi juga lebih fokus pada diri individu yang mendapatkan intervensi, sedangkan psikoedukasi fokus pada sistem yang lebih besar dan mencoba untuk tidak mempatologikan pasien. Kebanyakan intervensi psikososial didasarkan pada model medis tradisional yang didesain untuk mengobati patologi, gangguan, dan disfungsi. Sebaliknya, psikoedukasi merefleksikan paradigma yang lebih menyeluruh dengan pendekatan competence-based, menekankan pada kesehatan, kolaborasi, coping, dan empowerment (Dixon, 1999; Marsh, 1992, dikutip dari Lukens & McFarlane, 2004 ). Psikoedukasi didasarkan pada kekuatan dan fokus pada masa sekarang. Psikoedukasi, baik individu ataupun kelompok tidak hanya memberikan informasiinformasi penting terkait dengan permasalahan partisipannya tetapi juga mengajarkan keterampilan-keterampilan yang dianggap penting bagi partisipannya untuk menghadapi situasi permasalahannya. Psikoedukasi kelompok dapat diterapkan pada berbagai Siti Raudhoh (Dhodo) Magister Profesi Psikologi Universitas Padjadjaran
3
kelompok usia dan level pendidikan. Asumpsi lainnya, PE kelompok lebih menekankan pada proses belajar dan pendidikan daripada self-awareness dan self-understanding dimana komponen kognitif memiliki proporsi yang lebih besar daripada komponen afektif (Brown, 2011). Namun ini tidak berarti bahwa PE sama sekali tidak menyentuh aspek selfawareness dan self-understanding. Hal ini dikembalikan kepada sasaran dari PE itu sendiri anak-anak, remaja, dan orang dewasa di berbagai seting. Psikoedukasi kelompok ini juga dapat terdiri dari 1 sesi ataupun lebih. Berbicara tentang Psikoedukasi kelompok, sekilas tampak serupa dengan konseling dan terapi kelompok. Akan tetapi, terdapat perbedaan-perbedaan yang perlu dihayati sebagai dasar untuk menentukan kompetensi dan pengetahuan apa saja yang diperlukan untuk mengadakan psikoedukasi kelompok. Brown (2011) menjelaskan hal tersebut dalam sebuah tabel yang menjelaskan perbedaan kedua kelompok. Psikoedukasi Kelompok Menekankan pengajaran dan instruksi Menggunakan aktivitas yang terstruktur dan terencana Tujuan kelompok biasanya ditentukan oleh pemimpin kelompok Pemimpin kelompok berperan sebagai fasilitator, guru Fokus pada pencegahan Tidak ada pemilihan terhadap anggota kelompoknya Anggota kelompok bisa berjumlah sangat besar Pembukaan diri dapat dilakukan tetapi tidak diharuskan Privasi dan kerahasiaan bukan merupakan penekanan utama Sesinya dapat dibatasi hingga hanya menjadi satu sesi Penekanan pada tugas
Konseling dan Terapi Kelompok Menekankan pengalaman dan perasaan Sedikit menggunakan aktivitas yang terstruktur dan terencana Tujuan kelompok ditentukan oleh anggota kelompok Pemimpin kelompok melakukan pengarahan, intervensi, dan perlindungan terhadap anggotanya Fokus pada self-awareness Pemilihan anggota kelompok penting untuk dilakukan di awal pembentukannya Biasanya terbatas hanya pada 5-10 anggota kelompok Diharapkan adanya pembukaan diri Privasi dan kerahasiaan menjadi hal penting dan mendasar Biasanya terdiri dari beberapa sesi
Penekanan pada mempertahankan keberlangsungan kelompok daripada tugas Tabel 1. Perbandingan antara Psikoedukasi Kelompok dan Konseling & Terapi Kelompok
Brown (2011) menjelaskan PE dengan lebih luas. Psikoedukasi kelompok dapat bervariasi dari hanya berupa kelompok diskusi hingga menjadi suatu kelompok self-help. Beberapa bentuk kelompok yang termasuk dalam PE namun memiliki setting dan konten informasi yang berbeda, misalnya task group yang bertujuan untuk pencapaian penyelesaian tugas. Training/work group bertujuan untuk membuat partisipannya mampu memenuhi harapan dari pekerjaannya. Training/social skill group fokus pada Siti Raudhoh (Dhodo) Magister Profesi Psikologi Universitas Padjadjaran
4
pengembangan keterampilan sosial yang bertujuan untuk pencegahan ataupun remedial. Contoh-contoh kelompok tersebut adalah bagian kecil dari PE yang disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan dari kelompok tersebut. Teori-teori yang melatarbelakangi PE antara lain adalah teori sistem ekologi, teori kognitif-perilaku, teori belajar, group practice models, stress and coping models, model dukungan sosial, dan pendekatan naratif (Anderson, Reiss, & Hogarty, 1986, dikutip dari Lukens & McFarlane, 2004). Teori sistem ekologi ini memberikan kerangka kerja untuk menilai dan membantu individu dalam memahami gangguan ataupun pengalamannya dikaitkan dengan sistem lain dalam kehidupannya, misalnya pasangan, keluarga, sekolah. PE juga mengadaptasi konsep-konsep dasar dari existensial-humanistik, behaviorist, dan teori kognitif. Pendekatan humanistik yang mendasari PE adalah existential-humanistic theory yang menyatakan bahwa manusia mampu membuat keputusan pribadi yang didukung dengan potensi untuk berkembang dan penguasaan lingkungannya, sekaligus bertindak dengan bertanggung jawab. Teori behaviorist menekankan pada pengaruh dari manipulasi lingkungan. Teori kognitif fokus pada penguasaan terhadap keterampilan kognisi-emosi yang menjadi komponen dari proses psycho-training. PE dapat digunakan dalam berbagai seting situasi. Untuk bidang klinis sendiri, PE banyak
digunakan bersamaan dengan psikoterapi pada klien-klien dengan gangguan
psikologi, di sekolah atau instansi pendidikan ataupun pada health psychology atau medical psychology. Misalnya PE pada skizofrenia, bipolar disorder, depresi, penggunaan narkoba ataupun alkohol. PE diberikan agar klien tersebut memiliki pemahaman dan penerimaan terhadap gangguannya untuk menghindari terjadinya kemungkinan relapse. PE tidak hanya diberikan kepada klien, tetapi juga kepada anggota keluarga sebagai suatu sistem dukungan sosial terdekat bagi klien. Untuk penerapan pada instansi atau organisasi misalnya adalah penerapan pada sekolah dan universitas. PE yang diberikan biasanya terkait dengan topik-topik tertentu, misalnya bullying, bahaya narkoba, kesehatan reproduksi, ataupun kekerasan dalam pacaran. PE pada sekolah biasanya menjadi bagian dari Bimbingan Konseling sesuai dengan kebutuhan siswa. Untuk bidang health psychology atau medical psychology, PE banyak diterapkan pada pasien-pasien penderita penyakit tertentu. Misalnya pada pasien diabetes, mereka mendapatkan PE mengenai gaya hidup yang mendukung kesembuhan mereka atau setidaknya mendukung dalam menjaga kadar gula darah mereka. Contoh lainnya pada pasien-pasien kanker yang membutuhkan perawatan khusus dan perubahan gaya hidup Siti Raudhoh (Dhodo) Magister Profesi Psikologi Universitas Padjadjaran
5
untuk mencegah agar kanker tidak menyerang kembali. PE juga diberikan kepada anggota keluarga ataupun orang yang berkepentingan untuk merawat pasien tersebut. Penerapanpenerapan PE itu sendiri sudah banyak dilaksanakan di negara-negara barat dan negara maju. Di Indonesia sendiri, psikoedukasi belum banyak diterapkan secara luas. Kesimpulan Psikoedukasi adalah suatu bentuk intervensi yang dapat diterapkan pada secara individual, kelompok ataupun dalam keluarga yang bertujuan untuk rehabilitasi sehingga individu tidak mengalami masalah yang sama ketika dihadapkan pada tantangan tertentu ataupun pencegahan agar individu tidak mengalami gangguan ketika menghadapi suatu tantangan. Dengan modelnya yang fleksibel dimana konten informasi dan tools yang digunakan disesuaikan dengan situasi ataupun masalah tertentu, PE berpotensi untuk diterapkan tidak hanya pada area psikiatri saja tetapi pada hampir semua aspek kehidupan, tingkatan usia dan pendidikan. PE juga dapat diterapkan sebagai intervensi tunggal ataupun digabungan dengan psikoterapi lainnya.
Daftar Referensi: Bordbar, Mohammad. Faridhosseini, Farhad. 2010. Psychoeducation for Bipolar Mood Disorder. Jurnal: Clinical, Research, Treatment Approaches to Affective Disorders. Brown, Nina W. 2011. Psychoeducational Groups 3rd Edition: Process and Practice. New York: Routledge Taylor & Francis Group. Lukens, Ellen P. McFarlane, William R. 2004. Journal Brief Treatment and Crisis Intervention Volume 4. Psychoeducation as Evidence-Based Practice: Consideration for Practice, Research, and Policy. Oxford University Press. Walsh, Joseph. 2010. Psycheducation In Mental Health. Chicago: Lyceum Books, Inc.
Siti Raudhoh (Dhodo) Magister Profesi Psikologi Universitas Padjadjaran
6