Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
PROSPEK PENGEMBANGAN PRODUKSI PETERNAKAN KAMBING DAN DOMBA SERTA KAJIAN SOSIAL EKONOMI SETEL KARO KARO Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih, Galang Sumatera Utara
ABSTRAK Analisis data export dan import ternak kambing secara rata-rata (ekor) dan pertumbuhan (%) antar propinsi di Indonesia dalam kurun waktu 1989-2002, menunjukkan bahwa rata-rata export (339.722) lebih tinggi dibandingkan import (287.906). Ditinjau dari laju pertumbuhan komponen export dan import antar propinsi dalam kurun waktu yang sama, tampak bahwa laju pertumbuhan export (31,36%) antar propinsi lebih tinggi dibandingkan laju import (8,86%) yang berarti terjadi surplus. Data ini memberi indikasi bahwa masing masing propinsi di Indonesia kebutuhan daging kambing lokal masih belum mampu mensuplai kebutuhan akan daging kambing sendiri. Secara umum pada tahun 1981-2003 peran daging kambing dalam mensuplai kebutuhan daging secara nasional masih kecil dibanding dengan jumlah produksi daging secara total (4,54%). Kecilnya kontribusi produksi daging kambing dan domba terhadap produksi total daging secara keseluruhan (red meat and white meat) diakibatkan oleh preferensi konsumen yang masih rendah terhadap daging ruminansia kecil (kambing/domba). Analisis ekonomi penggemukan kambing potong menunjukkan bahwa penggemukan kambing potong dengan pemeliharaan secara intensif memberikan keuntungan Rp. 6.276,58/100 ekor/hari atau Rp. 627.66 per ekor per hari. Analisis data menunjukkan bahwa BEP sebesar 0,84 yang berarti usaha penggemukan kambing potong tersebut memnberikan keuntungan. Selanjutnya nilai B/C ratio sebesar 1,20 berarti setiap peningkatan biaya sebanyak Rp. 100 akan menghasilkan keuntungan sebanyak Rp. 120. Konsep ini memeberi petunjuk bahwa semaking meningkat nisbah B/C semakin menguntungkan usaha tersebut. Sedangkan nilai ROI sebesar 16,46% menyimpulkan bahwa agribisnis penggemukan domba mempunyai prospek yang cerah dimana dapat menghasilkan usaha setara dengan bunga bank 16,46%. Kata kunci: Produksi, kambing. domba, social ekonomi
PENDAHULUAN Sub sektor peternakan seperti halnya sub sector lainnya pada sector pertanian memeliki potensi dan peluang yang cukup besar untuk dikembangkan sehingga perlu untuk diantisipasi secara optimal. Permintaan produk perternakan terhadap peningkatan pendapatan di masyarakat akan membawa perubahan pada permintaan akan produk peternakan. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan semakin membaiknya perekonomian nasional dan internasional membawa dampak semakin meningkatnya permintaan produk peternakan. Potensi permintaan akan daging di Indonesia sangat besar. Dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini lebih dari 200 juta dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1,5% pertahun dan elastisitas permintaan daging yang tinggi, maka peningkatan pendapatan dan pertambahan penduduk secara nyata
meningkatkan jumlah permintaan akan daging setiap tahunnya. Pemerintah telah berupaya untuk terus mendorong pengembangan industri peternakan di Indonesia dengan menyediakan berbagai fasilitas dan dukungan serta menciptakan iklim yang mendorong tumbuh dan berkembangnya industri peternakan di Indonesia menyikapi laju perkembangan produksi ternak kambing nasional yang termasuk lambat dilihat dari pertumbuhan populasi yang hanya mencapai 4,5% (GINTING at al., 2005). Dengan semakin terbatasnya kemampuan dalam penyediaan dana pembangunan, maka pemerintah akan lebih selektif dalam hal pemilihan bidang apa saja yang akan terus didorong dan difasilitasi agar hasil yang lebih optimal dapat dicapai dalam pembangaunan peternakan. Ke depan, tantangan yang dihadapi bidang peternakan di Indonesia semakin berat. Jika pengembangan peternakan tidak dilakukan
33
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
dengan sungguh-sungguh, tangguh, berbasis sumberdaya local dan berdaya saing, maka jumlah import hasil peternakan berupa daging, telur dan susu akan meningkat dengan pesat dari tahun ke tahun. Agar dapat menjadi tuan rumah sendiri maka tidak ada jalan lain kecuali bersungguh sungguh dan bekerja keras membangun industri peternakan yang dapat memenuhi permintaan dalam negeri dan sekaligus dapat mengekspor kelebihan hasil produsinya ke negara yang memerlukan. Indonesia merupakan salah satu negara yang dapat mengandalkan produksi ternak kambing dan domba menghadapi globalisasi hasil pertanian sepuluh tahun kedepan. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki iklim yang sangat sesuai bagi pengembangan ternek ruminansia kecil. Produksi hijauan yang berlimpah, cukup untuk memelihara ternak kambing dan domba 100 juta lebih atau 10 kali dari jumlah jumlah populasi ternak ruminansia kecil saat ini (MAKKA, 2004). Makalah ini merupakan sumbangan pemikiran bertujuan untuk melihat prospek pengembangan agribisnis peternakan kambing dan domba dan strategi pengembangan nya melalui analisis trend populasi tahun-tahun sebelumnya. MATERI DAN METODE PENELITIAN Data yang digunakan dalam analisis ini merupakan data sekunder dari FAO (2002) dan DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN (2003). Analisis data menggunakan trend analisis. Untuk melihat prospek usaha penggemukan ternak kambing digunakan analisis Benefit Cost Ratio dengan menghitung biaya tetap (fixed cost) danbiaya berubah (variable cost). HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan ternak kambing dan domba Analisis pertumbuhan rata-rata ternak kambing dan domba dari tahun 1990-2002 (Grafik 1) menunjukkan bahwa mulai tahun 1882-1996 pertumbuhan ternak domba (4,86%/tahun). lebih baik dibandingkan pertumbuhan ternak kambing (0.08%/tahun), tetapi mulai tahun 1997-2001 pertumbuhan rata-rata ternak kambing (2,12%/tahun)
34
mengungguli pertumbuhan rata-rata ternak domba (0,76%/tahun). Adanya proyek pengembangan ternak domba di Indonesiamulai mulai di tahun 1996 di Pulau Jawa dan Sumatera, terutama proyek Small Ruminant Collaborative Support Program (SR-CRSP) adalah penyebab utama pertumbuhan rata-rata ternak domba pada tahun tersebut lebih unggul dibandingkan pertumbuhan ternak kambing. Namun demikian, komoditi kambing sangat digemari masyarakat di Indonesia setelah kurun waktu lima tahun kembali mengungguli pertumbuhan ternak domba. Data ini menunjukkan secara umum bahwa masyarakat cenderung lebih berminat beternak kambing dibandingkan beternak domba. Hal ini terbukti bahwa dengan proyek-proyek kerjasama pemerintah Indonesia dengan pihak luar atau negara luar untuk pengembangan ternak domba tidak mampu menyaingi laju pertumbuhan ternak kambing. Pada tahun 2002 pertumbuhan ratarata ternak kambing (4.66%/tahun) lebih baik dengan pertumbuhan ternak domba (3,51%/ tahun). Analisis data export dan import ternak kambing secara rata-rata (ekor) dan pertumbuhan (%) antar propinsi di Indonesia dalam kurun waktu 1989-2002 (Grafik 2.) menunjukkan bahwa rata-rata export (339722) lebih tinggi dibandingkan import (287906). Ditinjau dari laju pertumbuhan komponen export dan import antar propinsi dalam kurun waktu yang sama, tampak bahwa laju pertumbuhan export (31,36%) antar propinsi lebih tinggi dibandingkan laju import (8,86%) yang berarti terjadi surplus. Data ini memberi indikasi bahwa masing masing propinsi di Indonesia kebutuhan daging kambing lokal masih belum mampu mensuplai kebutuhan akan daging kambing sendiri. Dilihat dari laju pertumbuhan eport ternak kambing maka perlu suatu strategi yang mantap gune membuka pasar export ternak kambing dan produknya ke beberapa Negara tetangga seperti Malaysis, Singapura, Brunai Darussalam dan Timur Tengah. Data ini juga membuktikan bahwa peluang agribisnis di daerah yang berpotensi pengembangan kambing masih sangat besar. MAKKA (2004) menyebutkan bahwa berdasarkan analisis potensi wilayah kerjasama antar Ditjen Bina Produksi Peternakan dengan Pusat Penelitian
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
dan Pengembangan Peternakan bahwa dibeberapa propinsi di Kawasan Barat Indonesia masih dapat menampung beberapa juta satuan ternak. Lebih lanjut disebutkan bahwa penambahan populasi ternak kambing masih dapat dilakukan secara besar-besaran,
sehingga setiap 1000 ST, dapat menampung sekitar 14.000 ekor kambing PE atau 17000 ekor kambing kacang (factor konversi kambing PE 0,07 dan kambing kacang 0,06 untuk setiap satuan ternak).
Pertumbuhan per tahun (% ) ternak kambing dan domba Pertumbuhan (%)
15.00 10.00 5.00 0.00 -5.00
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
01
02
03
-10.00 Tahun Kambing
Domba
Kambing dan Domba
Grafik 1. Pertumbuhan per tahun ternak kambing dan domba Sumber: FAO (2003)
Export dan import rata-rata (ekor) kambing dan pertumbuhan (%) antar propinsi, Indonesia 1989-2002 339722
287906
400000 200000 8.86
31.36
0 EXPORT Rata2
IMPORT Prtmbuhan
Grafik 2. Export dan import ternak kambing antar propinsi, Indonesia (1989-2002) Sumber: DITJEN PETERNAKAN (2003)
35
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
Kontribusi daging ternak kambing dan domba terhadap daging nasional Sejalan dengan jumlah populasi yang relative stabil selama periode 1996-2003, produksi daging sapi pada tahun 2003 sudah hampir menyamai jumlah produksi sapi pada tahun 19976 yaitu masa awal kritis moneter dan ekonomi di Indonesia. Selama periode tersebut pertumbuhan pertahun dan produksi kambing relative stabil, akan tetapi terdapat kecenderungan peningkatan produksi daging domba. Secara proporsional rata-rata pertumbuhan pertahun produksi daging kambing selama kurun waktu 1981-2003 menunjukkan bahwa ternak kambing (3,64%), domba (4,26) dan total daging 4,54%.
Secara umum pada tahun 1981-2003 peran daging kambing dalam mensuplai kebutuhan daging secara nasional masih kecil dibanding dengan jumlah produksi daging secara total (4,54%). Kecilnya kontribusi produksi daging kambing dan domba terhadap produksi total daging secara keseluruhan (red meat and white meat) diasumsikan karena preferensi konsumen yang masih rendah terhadap daging ruminansia kecil (kambing/domba). Hal ini antara lain karena adanya persepsi bahwa daging domba/kambing mengandung lebih banyak kolesterol disbanding daging lain. Peningkatan suplai daging kambing secara langsung atau tidak langsung akan mengurangi tekanan terhadap pemotongan sapi potong produktif sekaligus juga akan mengurangi jumlah import daging sapi.
Rata-rata pertubuhan pertahun produksi daging kambing, domba dan total daging, Indonesia 1981-2003 4.54
3.64 Total daging
5
4.26
Domba
0 1
2 Domba
Kambing
Analisis penggemukan kambing potong Konsep yang dikembangkan dalam analisis penggemukan kambing potong ini meliputi: jenis kambing boerka yitu persilangan pejantan boer dan kambing kacang local, lama pemeliharaan 100 hari dengan pemeliharaan secara intensif dan diperhitungkan biaya tetap meliputi biaya transportasi, peralatan kandang, penyusutan kandanag selama 10 tahun, biaya tak terduga dan depresiasi bank (5% pertahun), biaya variable meliputi bakalan, pakan konsentrat dan hijauan, obat-obatan, tenaga kerja manager dan buruh, listrik dan telepon, biaya tak terduga dan depresiasi bank (5%
36
Kambing
Total daging
pertahun). Sedangkan untuk menghitung pendapatan, beberapa komponen yang diperhitung kan adalah karkas (sebesar 47 % dari BH), pupuk, kulit (15% dari BH), kepala, kaki dan jeroan. Analisis ekonomi penggemukan kambing potong (Tabel 1) menunjukkan bahwa penggemukan kambing potong dengan pemeliharaan secara intensif memberikan keuntungan Rp. 6.276,58/100 ekor/hari atau Rp. 627.66 per ekor per hari. Ini memberi petunjuk bahwa dengan pemanfaatan pakan local dan system pemeliharaan secara intensif, agribisnis domba mempunyai prospek yang baik dan dapat menjadi bisnis usaha utama
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
dalam kelurga. Selanjutnya sebagai rekomendasi kelayakan suatu usaha maka ada beberapa kretaria yang haris dianalisis separti BEP. BEP diatas nilai nol menunjukkan usaha
tersebut menguntungkan. Analisis data menunjukkan bahwa BEP sebesar 0,84 yang berarti usaha penggemukan kambing potong tersebut memnberikan keuntungan.
Tabel 1. Analisis penggemukan kambing potong No Uraian Total (Rp. 000,-) 1 Biaya tetap: (biaya transportasi, peralatan kandang, penyusutan kandanag selama 10 tahun, biaya tak terduga dan depresiasi bank (5% pertahun) 1.125,45 2 Biaya pariabel: (bakalan, pakan konsentrat dan hijauan, obat-obatan, tenaga kerja manager dan buruh, listrik dan telepon, 30.725,72 biaya tak terduga dan depresiasi bank (5% pertahun). 3 Pendapatan kotor (karkas (sebesar 47 % dari BH), pupuk, kulit (15% dari BH), kepala, kaki dan 38.127,75 jeroan). 4 Profit Pendapatan – (biaya tetap + biaya variable) 6.276,58 Profit 627,648 Bep (Break Even Point) 0,84 B/C (Benefit-Cost Ratio) 1,20 Roi (Return To Investment) 16,46%
Selanjutnya nilai B/C ratio sebesar 1,20 berarti setiap peningkatan biaya sebanyak Rp. 100 akan menghasilkan keuntungan sebanyak Rp. 120. Hasilyang hamper serupa diperoleh oleh Artaria (2004). Konsep ini memeberi petunjuk bahwa semaking meningkat nisbah B/C semakin menguntungkan usaha tersebut. Sedangkan nilai ROI sebesar 16,46% menyimpulkan bahwa agribisnis penggemukan domba mempunyai prospek yang cerah dimana dapat menghasilkan usaha setara dengan bunga bank 16,46%. Pola pengembangan usaha ternak kambing/domba ditinjau dari aspek sosial ekonomi masyarakat Secara umum semua petani di Indonesia mampu memelihara ternak apa saja sebagai usaha sambilan, tetapi hanya jenis ternak tertentu yang dapat kembangkan secara skala ekonomi. Ditinjau dari aspek sosial ekonomi, ternak kambing potensinya cukup besar untuk
Keterangan Lama penggemukan 100 hari
Jumlah bakalan 100 ekor
Profi/100 ekor/100 hari Profit/ekor/hari
dikembangkan karena ternak ini telah membudaya dan tersebar hamper disebahagian besar wilayah Indonesia. Hal yang perlu harus dikaji lebih intensif adalah pola pengembangan usaha tersebut dari usaha sambilan menjadi usaha pokok sebagai sumber utama masyarakat melalui system agribisnis terpadu. Usaha peternakan kambing/domba berwawasan agribisnis membutuhkan lahan yang cukup luas sebagai sumber pakan hijauan (SITOMPUL et al., 2004). Integrasi ternak kambing/domba dengan perkebunan merupakan salah satu usaha alternatip yang disebut sebagai usaha mutual benefit dan menurut CHEN (1994), integrasi kedua usaha tersebut dapat meningkatkan effisiensi penggunaan lahan persatuan luas, dapat sebagai sumber pendapatan yang penting bagi petani terutama saat harga karet atau sawit anjlok. Teknik produksi usaha integrasi ini pada ekosistem perkebuna kelapa sawit dan karet dibutuhkan hal-hal penting secara khusus disbanding pada ekosistim lainnya seperti strategi pemanfaatan biomas hijauan dengan
37
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
sistim penggembalaan. Dalam sistim ini, aspek utama yang harus diperhatikan adalah jumlah ternak sebagai penyiang biologis harus sesuai dengan daya dukung luasan lahan melalui penggembalaan tetap (continues grazing) dan penggembalaan bergilir (rotational grazing). Pendekatan agribisnis membutuhkan konsepkonsep yang matang, dimana diupayakan adanya keterkaitan antara subsistem sehingga proses produksi berjalan secara effisien. BATU BARA et al. (1996) menyebutkan bahwa dalam pendekatan agribisnis, hal utama yang harus diperhatikan adalah tipologi usaha seperti jumlah peternak per petani (skala usaha), jumlah peternak per kelompok (cluster), jumlah cluster per hamparan dan jumlah hamparan per kawasan. KESIMPULAN
dengan kondisi dan situasi setempat (local specific). DAFTAR PUSTAKA BATUBARA, L.P., S. KAROKARO and S. ELIESER. 1996. Integration of sheep in oil palm plantation in North Sumatra, Indonesia. Proceedings of the first international symposium on the livestock to oil palm production (MSAP), September 1996. CHEN, C. P. 1990. Management of forages for animal production under tree crops. Proc. of Workshop on Research Methodologies. Medan, North Sumatra, Indonesia. September 19-14. DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN. 2002. “Buku Statistik Peternakan 2002”. Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta. FOOD AGRICULTURE ORGANIZATION (FAO). 2003.
Analisis ekonomi penggemukan kambing potong menunjukkan bahwa penggemukan kambing potong dengan pemeliharaan secara intensif memberikan keuntungan Rp. 6.276,58/100 ekor/hari atau Rp. 627.66 per ekor per hari. Nilai B/C ratio usaha pengemukan tersebut sebesar 1,20 berarti setiap peningkatan biaya sebanyak Rp. 100 akan menghasilkan keuntungan sebanyak Rp. 120. Konsep ini memeberi petunjuk bahwa semaking meningkat nisbah B/C semakin menguntungkan usaha tersebut. Sedangkan nilai ROI sebesar 16,46% menyimpulkan bahwa agribisnis penggemukan domba mempunyai prospek yang cerah dimana dapat menghasilkan usaha setara dengan bunga bank 16,46%. Hingga saat ini kebutuhan daging termasuk daging kambing/domba yang semakin meningkat belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari produksi di dalam negeri sehingga impor komoditi tersebut cenderung meningkat. Kondisi ini merupakan peluang bagi produsen di dalam negeri untuk mengembangkan usaha tersebut. Terbatasnya lahan sebagai sumber hijauan, maka pola pengembangan usaha kambing/domba dapat dilakukan dengan pola integrasi ternak dengan usaha perkebunan yang merupakan opsi utama sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia secara umum dengan memperhatikan kesesuian
38
GINTING., S. P., F. MAHMILIA, S. ELIESER., L. P. BATUBARA, dan R. KRISNAMURTI. 2004. Tinjauan hasil penelitian pengembngan pakan alternative dan persilangan kambing potong. Prosiding Seminar Nasinal, Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12-13 September 2005. MISNIWATI, ARTARIA. (2004). Analisis usaha pengemukan kambing potong ditinjau dari social ekonomi. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong. Kebutuhan inovasi teknologi mendukung agribianis kambing yang berdayasaing. Bogor, 6 agustus 2004. MAKKA DJAFAR. (2004). Tantangan dan peluang pengembangan agribisnis kambing ditinjau dari aspek pewilayahan sentra produksi ternak. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong. Kebutuhan inovasi teknologi mendukung agribianis kambing yang berdayasaing. Bogor, 6 agustus 2004. SITOMPUL, D.M., B.P. MANURUNG, I.W. MATHIUS dan AZMI, 2004. Integrasi sapi-sawit; Daya dukung produk sampingan dalam pengembangan ternak sapi Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Ekspose Nasional Sistem Integrasi Tanaman-ternak. Denpasar, 20-22 Juli 2004.