Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
KETERSEDIAAN TEKNOLOGI MENDUKUNG PERBIBITAN KAMBING DAN DOMBA SIMON P GINTING Loka Penelitian Kambing Potong PO. Box 1 Galang Sumatera
ABSTRAK Pembibitan kambing dan domba di Indonesia masih merupakan simpul agribisnis yang relatif belum berkembang dengan baik. Suplai ternak bibit sebagian besar masih disumbang oleh usaha peternakan rakyat yang pada dasrnya belum menerapkan prinsip pembibitan dengan ketat. Peningkatan kapasitas dalam memenuhi kebutuhan pasar kambing dan domba terutama pasar ekspor dapat dicapai melalui pengembangan usaha pembibitan didalam negeri. Bibit unggul dapat dihasilkan dari seleksi ketat terhadap bibit lokal, misalnya memanfaatkan prolifikasi yang tinggi pada domba ekor tipis dan kambing Kacang. Metoda persilangan antara ternak lokal dengan bangsa eksotik juga dapat dilakukan untuk mendapatkan bibit dengan kapasitas pertumbuhan dan bobot tubuh tinggi serta mampu beradaptasi dengan kondisi lokal, seperti pada kambing Boerka (persilangan Boerx Kacang). Oleh karena usaha pembibitan cenderung bersifat ‘high input’ untuk menghasilkan bibit berkualitas, maka peran inovasi teknologi menjadi strategis dalam meningkatkan efisiensi penggunaan setiap unit input produksi. Metoda Skor Kondisi Tubuh merupakan salah satu alat manajemen yang ampuh dalam memaksimalkan kapasitas reproduksi dan produksi induk kambing dan domba serta meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Inovasi teknologi pakan komplit efektif dalam memanfaakan biomasa bahan pakan lokal serta mampu memenuhi asupan nutrisi dengan lebih seimbang, sehingga efisiensi penggunaan pakan meningkat. Pakan blok multi nutrient merupakan salah satu bentuk pakan komplit yang dapat diterapkan dalam usaha pembibitan kambing dan domba. Teknik defaunasi layak diterapkan untuk memaksimalkan suplai protein mikroba dari sistem cerna terutama jika pakan berbasis kepada hasil sisa atau limbah pertanian. Teknologi inseminasi buatan secara intra-uterine menggunakan alat laparoskopi berpotensi meningkatkan service per conception secara nyata, sehingga layak dipertimbangkan dalam usaha pembibitan kambing dan domba. Teknologi ini memberi peluang yang jauh lebih besar dalam memanfaatkan pejantan unggul yang menyebar diberbagai wilayah melalui penggunaan semen. Disimpulkan bahwa usaha pembibitan kambing dan domba berpeluang untuk lebih dikembangkan mengingat adanya pasar yang besar yang dapat berperan sebagai faktor penghela serta tersedianya input produksi yang kompetitif dan inovasi teknologi adaptif yang dapat berperan sebagai faktor pendorong. Kata kunci: Pembibitan, teknologi, kambing, domba
PENDAHULUAN Salah satu simpul didalam sistem dan usaha agribisnis ternak kambing dan domba yang belum berkembang dengan baik di Indonesia adalah usaha pembibitan. Hal ini terkait dengan tipologi usaha yang mayoritas masih merupakan usaha sampingan yang dikelola secara tradisional dengan skala usaha yang kecil. Dari sebab itu, ternak kambing dan domba yang ditujukan baik untuk potong maupun untuk bibit berasal dari usaha peternakan rakyat yang tidak terspesialisasi. Kelangkaan sistem pengadaan ternak kategori bibit yang menjamin kualitas maupun kuantitas diduga turut menjadi kendala dalam pengembangan usaha produksi kambing dan domba secara komersial. Hal ini pula yang turut menyebabkan masih rendahnya kontribusi
daging kambing dan domba terhadap total konsumsi daging nasional yang saat ini baru mencapai 5–6% (DIWYANTO et., 2005). Kelangkaan usaha pembibitan yang pada saat bersamaan semakin terbukanya pasar kambing dan domba baik lokal terutama internasional akan berpotensi untuk mendorong terjadinya penurunan mutu genetik ternak lokal, akibat meningkatnya laju migrasi ternak kambing dan domba yang berkualitas baik sesuai dengan permintaan pasar. Penurunan mutu genetik ternak lokal tersebut kemungkinan berjalan secara gradual, namun karena prosesnya terus berlangsung, maka dampak terhadap penurunan kualitas ternak lokal dalam jangka panjang perlu diantisipasi. Upaya mendorong berkembangnya usaha pembibitan yang maju merupakan langkah strategis yang implementasinya sudah sangat
19
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
mendesak. Usaha pembibitan akan mendorong peningkatan usaha dan produksi kambing dan domba baik dalam skala maupun orientasinya. Hal ini selanjutnya akan berpotensi meningkatkan kontribusi ternak kambing dan domba terhadap konsumsi daging nasional. Peran teknologi didalam usaha pembibitan sangat penting oleh karena dapat memaksimalkan efisiensi penggunaan setiap input produski. Penggunaan input produksi didalam usaha pembibitan akan cenderung intensif mengingat output utama usaha pembibitan adalah ternak dengan kategori bibit yang unggul sesuai dengan kapasitas genetiknya. Dalam tulisan ini dipaparkan sistem produksi yang sesuai untuk usaha pembibitan kambing dan domba serta berbagai inovasi teknologi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha. Fokus teknologi diarahkan kepada aspek bibit, teknologi pakan dan reproduksi yang dianggap kontribusinya paling besar terhadap keberhasilan usaha pembibitan. SISTEM PRODUKSI USAHA PEMBIBITAN KAMBING DAN DOMBA: HIGH INPUT SYSTEM Ternak dengan klasifikasi unggul semestinya dihasilkan dari proses produksi yang dikelola secara baik berdasarkan program yang telah disusun dengan teliti. Manajemen usaha pembibitan yang baik diperlukan antara lain, dalam melakukan seleksi, pencatatan (recording), sistem perkawinan, pengelolaan pejantan, pengelolaan anak pra dan pasca sapih, afkir dan replacement. Manajemen yang relatif komplek dengan sendirinya akan memerlukan input produksi yang lebih tinggi. Dengan demikian, karakter usaha pembibitan untuk kambing dan domba akan cenderung kearah ‘high input system’, walaupun tetap terbuka peluang untuk memodifikasi sesuai dengan ketersediaan input produksi yang secara aktual dapat diakomodasi oleh pembibit. Dengan sistem input tinggi, maka target produksi diharapkan akan sama atau mendekati kapasitas genetiknya. Aspek efisiensi reproduksi induk dan pejantan serta efisiensi produksi anak menjadi target utama dalam manajemen usaha pembibitan. Beberapa indikator dapat digunakan didalam mengevaluasi efisiensi
20
reproduksi induk dan produksi anak, seperti prolifikasi (∑ anak lahir/∑ induk melahirkan), fertilitas (∑anak lahir /∑ induk melahirkan), fekunditas (∑anak lahir/∑induk kawin ≡ prolifikasi *fertilitas) dan mortalitas pra-sapih (∑anak mati pra-sapih/∑ anak lahir dan hidup). Namun, indikator tersebut diatas baru menggambarkan jumlah (ekor) ternak yang diproduksi dari populasi induk yang dipelihara, sedangkan dalam konteks usaha produksi yang berorientasi ekonomi, maka selain populasi juga diperlukan jumlah bobot (kg) ternak yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, beberapa parameter lain seperti bobot anak dilahirkan, bobot anak disapih dan selang beranak atau frekuensi melahirkan per satuan waktu diperlukan dalam manajemen reproduksi induk. Didalam sistem produksi input tinggi pendekatan sistem pakan dapat mengadopsi sistem standar kebutuhan gizi (feeding standard system). Pada prinsipnya pendekatan ini memberikan jaminan ketersediaan nutrisi untuk kambing dan domba sesuai dengan kebutuhan fisiologis mnurut kapasitas produksinya (potensi genetik). Sistem standar kebutuhan gizi agar efektif membutuhkan informasi akurat mengenai 1) tingkat kebutuhan gizi kambing dan domba untuk berbagai fase fisiologis, 2) kandungan nutrisi dan kecernaan sumber bahan pakan yang akan digunakan dan 3) kapasitas konsumsi/asupan pakan ternak menggunakan bahan yang tersedia. Sistem ini mengasumsikan bahwa mutu, jumlah dan keragaman bahan pakan tidak menjadi kendala, sehingga ransum dapat disusun secara lebih leluasa. Oleh karenanya, penggunaan bahan baku konvensional seperti dedak, jagung, bungkil kedele, bungkil kelapa bahkan tepung ikan dapat diterapkan. Pendekatan ini akan menghasilkan tampilan produksi secara maksimal, namun efisiensi penggunaan pakan yaitu rasio input/output tetap menjadi bagian penting dalam pengelolaan pakan, sehingga optima biologis dan optima ekonomis akan berjalan selaras. Kendala dalam menerapkan pendekatan standar kebutuhan gizi di Indonesia adalah terbatasnya informasi kebutuhan berbagai nutrien esensial secara utuh. Tingkat kebutuhan energi dan protein secara terbatas memang telah tersedia. Hasil penelitian Mathius et al. (2002) pada kambing peranakan Etawah,
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
misalnya merekomendasikan tingkat kebutuhan jantan umur 6–18 bulan untuk protein kasar dan energi (metabolis) masingmasing 13–14% dan 2600–2680 Kkal/kg BK. Rekomendasi kebutuhan protein dan energi pada domba fase pertumbuhan juga dapat telah dilaporkan MATHIUS et al. (1996). Angka kebutuhan yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut dapat digunakan sebagai pedoman didalam penyusunan ransum, sebelum dihasilkan data rekomendasi yang lebih akurat dengan karakteristik nutrisi yang lebih lengkap seperti rekomendasi kebutuhan protein dapat dicerna atau protein metabolisma. Bibit unggul Untuk menjamin keberhasilan usaha pembibitan kambing dan domba, maka pemilihan jenis bibit unggul perlu diselaraskan dengan karkateristik pengguna bibit atau konsumen yang nantinya akan menjadi target pasar. Pada saat ini, terdapat dua karakter pasar yang potensial bagi kambing dan domba Indonesia. Pasar paling besar adalah dalam negeri atau lokal yaitu pedagang sate dan rumah tangga untuk kebutuhan acara sosial keagamaan. Pasar lokal lebih membutuhkan jenis kambing dan domba dengan ukuran tubuh yang relatif kecil atau sedang, sehingga sesuai bagi jenis kambing dan domba lokal. Pasar yang semakin terbuka dan merupakan peluang kedepan adalah internasional terutama Malaysia dan Brunei Darussalam. Pasar tersebut mensyaratkan jenis kambing atau domba dengan bobot hidup lebih tinggi (30-40 kg) pada umur 1,5-2,0 tahun, walaupun persyaratan bobot tersebut terakhir ini telah diturunkan mengingat keterbatasan suplai. Dengan sendirinya pasar internasional akan dapat dipenuhi dari jenis kambing atau domba dengan bobot tubuh lebih tinggi yang mungkin dihasilkan dari proses persilangan dengan bangsa eksotik atau melalui seleksi yang sangat ketat pada bangsa kambing dan domba lokal. Bibit unggul lokal Kambing lokal utama di Indonesia dengan populasi terbanyak dan telah beradaptasi dengan lingkungan setempat adalah Kacang dan Peranakan Etawah. Kambing Kosta yang memiliki postur tubuh yang baik sebagai tipe
pedaging juga memiliki potensi. Jenis domba lokal yang potensial dari segi populasinya maupun reproduktivitasnya adalah adalah domba ekor tipis Jawa, domba ekor tipis Sumatera dan domba ekor gemuk. Kerangka (frame) tubuh dan bobot ternak lokal tersebut relatif kecil, sehingga dapat diandalkan untuk memenuhi pasar lokal. Akibat tidak adanya upaya dalam melakukan seleksi secara terencana dengan program yang jelas, maka keragaman genetik pada kambing maupun domba lokal masih tinggi. Hal ini membuka peluang usaha pembibitan ternak lokal melalui program seleksi didalam bangsa (INIGUEZ et al., 1990) untuk mendapatkan bangsa kambing dan domba lokal unggul hasil seleksi. Walaupun kerangka tubuh relatif kecil, namun domba lokal diketahui sangat produktif dilihat dari frekuensi melahirkan (1,82 kali dalam satu tahun), kemampuan memproduksi anak sapih (2,2 ekor per tahun) kemampuan memproduksi bobot anak sapih (21 kg per tahun) hampir setara dengan bobot tubuh induk yang hanya 22 kg (INIGUEZ et al., 1991). Peluang meningkatkan keragaan domba lokal dengan meningkatkan input produksi dapat dilihat dari hasil penelitian INOUNU et al. (1993) seperti disajikan pada Tabel 1. Bobot anak disapih pada tipe kelahiran-3 meningkat hampir 100% dengan memperbaiki manajemen dibandingkan dengan tipe kelahiran-1 dan kelahiran-2 yang masing-masing meningkat 50% dan 75%. Tabel 1. Bobot anak disapih domba ekor tipis pada input produksi rendah dan input produksi tinggi Tipe kelahiran Kembar-1 Kembar-2 Kembar-3
Bobot anak disapih (kg) Manajmen Manajemen rendah tinggi 10,5 15,2 12,3 20,1 13,1 24,4
Data ini dengan sangat jelas menunjukan bahwa produktivitas tinggi pada domba lokal sangat responsif terhadap peningkatan input produksi dan oleh karena itu, domba lokal pada dasarnya dapat dikembangkan sebagai bibit unggul melalui usaha pembibitan dengan meningkatan manajemen produksi.
21
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
Bibit unggul hasil persilangan Bobot lahir anak umumnya akan tergantung terutama kepada konformasi dan besaran kerangka tubuh kedua tetuanya (MORANDFEHR, 1981). Keturunan bangsa kambing atau domba dengan ukuran kerangka tubuh yang besar akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan keturunan bangsa dengan ukuran tubuh lebih kecil (MCGREGOR, 1985; DHANDA et al., 1999; DHANDA et al., 2003b). Kambing Boer tergolong bangsa kambing dengan ukuran kerangka tubuh yang besar dengan laju pertumbuhan tinggi dan memiliki karakteristik karkas yang baik. Oleh karena itu kambing Boer dianggap salah satu jenis kambing tipe pedaging terbaik (CASEY dan VAN NIEKIRK, 1988; VAN NIEKIRK dan CASEY, 1988). Bobot tubuh kambing Boer dilaporkan mencapai 100–120 kg atau lebih untuk jenis kelamin jantan, dan 70–80 kg untuk betina dengan kualitas daging sangat tinggi terutama pada umur muda 6–15 bulan (MALAN, 2000). Dengan demikian, penggunaan bangsa kambing Boer sebagai pejantan dalam program persilangan dengan kambing lokal akan menghasilkan keturunan yang memiliki kemampuan tumbuh yang cepat, ukuran kerangka tubuh yang relatif besar serta memiliki kualitas karkas yang lebih seragam. Penggunaan pejantan Boer dalam program persilangan dengan kambing Kacang di Loka Penelitian Kambing Potong, Sungai Putih menghasilkan kambing persilangan (‘Boerka’) yang memiliki prospek menjanjikan sebagai bibit unggul diwaktu mendatang (Tabel 2). Tabel 2. Keragaan kambing persilangan Boer dengan Kacang (50B; 50K) Parameter Bobot lahir, kg Bobot umur 3 bulan, kg Bobot umur 6 bulan, kg Bobot umur 9 bulan, kg Bobot umur 12 bulan, kg Bobot umur, 18 bulan, kg PBHH pra–sapih, g PBHH 3–6 bulan, g
22
Kambing Persilangan Boer x Kacang 2,12 9,02 16,2 20,4 25,1 28,4 80,2 67,4
SKOR KONDISI TUBUH SEBAGAI ALAT MANAJEMEN MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI INDUK Ternak kambing dan domba dapat menyimpan zat nutrisi didalam tubuh pada saat terjadi kelebihan suplai dibandingkan dengan kebutuhan. Namun, ternak juga dapat memobilisasi zat nutrisi dari cadangan tubuh pada saat suplai lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan. Tingkat mobilisasi nutrisi ini tergantung kepada status gizi, satus fisiologis dan tingkat ketersediaan cadangan gizi didalam tubuh. Kondisi tubuh merupakan refleksi dari status cadangan tubuh, terutama cadangan lemak dan protein tubuh dan kondisi tubuh ini terkait atau mempengaruhi berbagai peristiwa reproduksi ternak. Untuk mengkarakterisasi kondisi fisik tersebut, maka cadangan lemak tubuh ternak harus dapat dinilai. Sistem skor merupakan cara praktis untuk mengevaluasi kondisi tubuh. Skor kondisi tubuh merupakan suatu indek yang menggambarkan tingkat perlemakan tubuh di daerah lumbal tepat dibelakang tulang rusuk terakhir yang diukur dengan cara palpasi. Sistem ini menggunakan skala antara 1,0 sampai dengan 5,0 yang menggambarkan kondisi tubuh yang sangat kurus untuk skor 1,0 dan sangat gemuk untuk skor 5,0 seperti yang dijelaskan pada Tabel 2. Penentuan skor kondisi tubuh dilakukan dengan meraba dan menekan ”spinous process”. Apabila antara kulit dan tulang tidak terdeteksi adanya jaringan lemak, maka skor kondisi tubuh induk adalah 1,0. Skor 2,0 apabila hanya sedikit lemak yang dapat teraba. Skor 3,0 apabila terasa adanya lemak dan diperlukan penekanan jari untuk dapat merasakan tulang. Estimasi kondisi tubuh menggunakan sistem skor tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam merencanakan program nutrisi untuk memaksimalkan tingkat produksi dan reprodutivitas induk. Program pakan dan nutrisi dapat dipandu kearah optimal untuk mencapai atau mempertahankan target skor kondisi tubuh untuk beberapa fase produksi penting seperti bunting, laktasi dan estrus.
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
Tabel 3. Karakteristik perlemakan bagian lumbal yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi tubuh induk kambing Skor 1,0
Kondisi bagian lumbal Kondisi tubuh sangat kurus (emasiasi); Tidak terdeteksi adanya lemak diantara kulit dan tulang; Tulang spinosa terlihat sangat menonjol 2,0 Tulang spinosa terlihat menonjol; Terdapat sedikit lemak saat ditekan antara kulit dan tulang 3,0 Tulang spinosa hanya terlihat sebagai tonjolan kecil; Terdapat lemak saat ditekan antara kulit dan tulang 4,0 Tulang spinosa hanya dapat dirasa bila ditekan; Terdapat lemak yang cukup tebal saat ditekan antara kulit dan tulang 5,0 Tulang spinosa tidak dapat dideteksi; Terdapat lemak yang tebal saat ditekan antara kulit dan tulang Sumber: CHARRAY et al. (1992)
Skor kondisi tubuh saat kawin Pada ternak kambing dan domba timbulnya oestrus setelah melahirkan dapat bervariasi antara 30–90 hari tergantung kepada kondisi tubuh. Skor kondisi tubuh antara 3,0–3,5 biasanya dibutuhkan agar estrus segera timbul dan laju ovulasi maksimal. Dengan demikian program pakan dapat dirancang agar setelah melahirkan kondisi tubuh induk segera ditingkatkan kearah kondisi ideal dalam 30–60 hari setelah melahirkan. Hal ini penting artinya dalam usaha pembibitan dalam upaya mensukseskan akselerasi melahirkan paling tidak 3 kali melahirkan dalam setahun. Kondisi tubuh selama bunting dan startegi pakan Strategi pakan yang optimal pada awal masa kebuntingan adalah pemberian nurisi pada tingkat kebutuhan hidup pokok (maintenance) dengan tujuan untuk meminimalkan kematian embrio. Pada induk yang mencapai kondisi tubuh 3,5 pada saat kawin dapat dibiarkan kehilangan bobot tubuh sebanyak 5% atau sekitar 0,5 unit skor kondisi tubuh selama bulan kedua sampai bulan ketiga umur kebuntingan (ROBINSON, 1987). Status
nutrisi yang moderat dalam periode ini memacu perkembangan placenta sehingga memantapkan basis bagi pertumbuhan fetus secara maksimal selama bulan keempat dan kelima usia kebuntingan. Dalam dua bulan terakhir kebuntingan tersebut fetus mencapai pertumbuhan lebih dari 80%, sehingga kebutuhan nutrisi meningkat tajam. Nutrisi (energi dan protein) yang tidak mencukupi sebelum dan setelah melahirkan memperpanjang waktu estrus pasca melahirkan. Cadangan lemak tubuh biasanya dimobilisasi untuk memenuhi defisit nutrisi dari asupan pakan, namun ada batasan penggunaan cadangan lemak tubuh untuk memenuhi kebutuhan nutrisi oleh karena mobilisasi cadangan tubuh yang berlebihan akan menimbulkan kasus ‘pregnancy toxemia’. Pemberian konsentrat dalam jumlah lebih besar biasanya dibutuhkan untuk meningkatkan densitas nutrisi ransum bila menggunakan bahan pakan berkualitas rendah sebagai pakan basal. Hal ini dapat menyebabkan turunnya pH rumen ketingkat yang dapat mengurangi populasi bakteri yang mencerna serat, dan sebagai akibatnya akan menekan tingkat konsumsi dan mendorong timbulnya ‘pregnancy toxemia’. Sehubungan dengan itu, selama periode akhir kebuntingan defisit energi pada tingkat sedang dapat diterima selama asupan protein mencukupi kebutuhan (ROBINSON, 1983). Kondisi tubuh masa laktasi dan strategi pakan Laktasi membutuhkan jumlah nutrisi yang besar terlebih bagi induk yang melahirkan anak kembar. Kondisi tubuh induk saat melahirkan biasanya berada pada skor antara 2,0–2,5, bahkan dapat mencapai 1,5 apabila nutrisi sangat tidak mencukupi untuk mendukung produksi air susu induk. Kebutuhan energi pada masa laktasi dapat mencapai 3 x kebutuhan hidup pokok, sehingga dalam prakteknya kebutuhan energi sulit dipenuhi dari pakan yang dikonsumsi. Sehubungan dengan itu, peran cadangan lemak tubuh menjadi semakin penting. Hampir 75% dari cadangan lemak tubuh pada saat kawin masih tersedia saat melahirkan, dan 50% dari cadangan lemak tersebut dapat digunakan
23
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
untuk mengatasi defisit energi (ROBINSON, 1993). Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa cadangan lemak tubuh hanya akan dapat dimanfaatkan secara efisien, bila induk cukup mengabsorbsi protein (asam amino) dari pakan yang dikonsumsi. Dengan demikian, penggunaan bahan pakan dengan kandungan protein tinggi serta bersifat lolos fermentasi rumen perlu digunakan didalam ransum seperti tepung darah, tepung ikan, dan bungkil kedele. Oleh karena, timbulnya estrus yang diikuti dengan laju ovulasi maksimal akan terjadi pada skor kondisi tubuh antara 3,0–3,5, maka
program nutrisi perlu diarahkan agar kondisi tubuh yang pada awal masa laktasi sebesar 1,5 –2,5 secepat mungkin dapat mencapai skor tubuh ideal untuk masa kawin. Kondisi tubuh induk saat melahirkan biasanya berada pada skor antara 2,0–2,5, bahkan dapat mencapai 1,5 apabila nutrisi sangat tidak mencukupi untuk mendukung produksi air susu induk (Gambar 1). Skor kondisi tubuh antara 3,0–3,5 merupakan kondisi ideal bagi timbulnya birahi dan produksi sel telur untuk pembuahan.
5,0 4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 -200
-150
-100
-50
0
50
100
150
200 (hari)
Melahirkan Gambar 1. Skema skor kondisi tubuh sebagai alat manajemen pakan dan reproduksi
Oleh karena itu, berdasarkan skor kondisi tubuh tersebut dapat dirancang program nutrisi agar dalam waktu 30 hari sejak melahirkan kondisi tubuh induk dapat ditingkatkan dari skor antara 1,5–2,5 menjadi antara 3,0–3,5. Pada awal masa kebuntingan sampai hari ke 100 kebuntingan kondisi tubuh biasanya dapat dipertahankan pada skala antara 2,5–3,5 oleh karena tingkat kebutuhan nutrisi belum meningkat nyata dan kemampuan konsumsi pakan masih normal. Kondisi tubuh menurun tajam pada memasuki masa menjelang melahirkan (bunting tua) dan bertahan sampai masa laktasi atau 50 hari setelah melahirkan.
24
Pada periode ini tingkat kebutuhan nutrisi sangat tinggi dan ternak berada dalam keseimbangan nutrisi yang negatif, karena asupan lebih rendah dari kebutuhan. Tanpa adanya program alokasi pakan yang baik, maka kondisi tubuh induk akan tetap rendah sampai masa laktasi 50 hari. Akan tetapi, didalam sistim produksi yang intensi (high input system) diharapkan terjadinya frekuensi melahirkan yang tinggi atau jarak beranak yang pendek, sehingga agar induk segera memasuki masa kawin (30–50 hari setelah melahirkan), kondisi tubuh harus segera dipulihkan ketingkat skor 3,0–3,5. Hal ini
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
dapat dicapai dengan program alokasi pakan yang tepat. Suplementasi strategis atau pemberian pakan dengan nutrisi tinggi setelah partus dapat mencapai sasaran tersebut. TEKNOLOGI PAKAN PADA HIGH INPUT SYSTEM Pakan komplit Pakan komplit atau Total Mixed Ration memiliki kelebihan dibandingkan dengan sistem pemberian pakan konvensional yang memisahkan pemberian pakan dasar dengan pakan konsentrat. Sifat selektif ternak kambing dan domba dapat diminimalkan atau dihindari dengan pakan komplit (CHO et al., 2006). Dengan teknologi pakan komplit pemanfaatan hasil sisa atau limbah tanaman yang umumnya memiliki palatabilitas rendah dapat dimaksimalkan. Penggunaan kulit buah markisa yang palatabilitasnya rendah dapat digunakan sebanyak 45% dalam pakan komplit dan memberikan respon yang baik pada ternak kambing (SIMANIHURUK et al., 2006). Dampak yang sama dapat diharapkan terjadi pada bahan pakan inkonvensional lainnya seperti jerami padi, pelepah kelapa sawit dan kulit nenas. Penggunaan kulit nenas sebagai pakan dasar dalam pakan komplit menghasilkan pertambahan bobot tubuh yang tinggi pada kambing (GINTING et al., 2007). Meningkatnya konsumsi dengan teknologi pakan komplit juga diakibatkan pengaruhnya terhadap stabilisasi fermentasi mikroba rumen yang akan memacu konsumsi pakan (NOCEK et al., 1985). Bentuk fisik pakan komplit dapat mempengaruhi respon ternak. Ternak kambing, misalnya dilaporkan lebih menyukai bentuk fisik pakan yang kasar (ukuran partikel besar) dibandingkan pakan dalam bentuk tepung dengan ukuran partikel yang kecil, karena ternak ini sangat sensitif terhadap iritasi pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh partikel pakan yang halus (MORAND–FEHR, 2003). Peningkatan konsumsi pakan dengan penggunaan pakan komplit dalam bentuk pelet perlu dipertimbangkan secara ekonomis karena pembuatan pakan pelet akan membutuhkan biaya yang lebih besar. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan komplit terlebih pakan pelet, maka penggunaannya dilakukan
pada periode puncak produksi ternak, seperti akhir kebuntingan dan awal masa laktasi serta anak pasca sapih dan pejantan bibit. dapat memacu konsumsi. Penggunaan pakan komplit menggunakan kulit buah markisa sebagai sumber serat dalam bentuk pelet menghasilkan respon yang baik pada kambing dengan (SIMANIHURUK et al., 2006). Respon kambing terhadap pakan komplit menggunaan limbah nenas dengan partikel besar sebagi sumber serat dalam ransum sangat baik tercermin dari PBBH dan efisiensi penggunaan pakan yang tinggi (GINTING et al., 2007). Pakan blok multi nutrien (PBMN) Pada prinsipnya semua bahan baku pakan dapat digunakan untuk membentuk pakan blok dengan mengacu kepada kandungan unsur nutrisi yang esensial seperti energi mudah cerna (molases, dedak halus, tepung gaplek), nitrogen (NPN; urea), protein lolos cerna dalam rumen (tepung biji kapuk, tepung ikan, tepung darah, daun singkong dan mineral esensial (S, Na dan P). Rekomendasi konsumsi pakan blok multi nutrien pada kambing dan domba adalah sebanyak 250 g/ekor/hari (SANSOUCY, 1995), walaupun angka ini dapat ditingkatkan tergantng status produksi dan jenis bangsa ternak. Pakan blok lebih difungsikan sebagai pakan suplemen untuk pakan basal yang berkualitas rendah, dan bukan diperuntukan sebagai pakan tunggal. Tujuan pakan blok antara lain adalah memacu aktivitas mikroba rumen sehingga mampu meningkatkan kecernaan bahan pakan dasar yang berkualitas rendah seperti umumnya jenis hasil sisa tanaman. Oleh karena itu, penggunaan pakan blok akan efektif pada musim kemarau pada saat ketersediaan hijauan pakan terbatas dan ternak semakin tergantung kepada bahan pakan alternatif yang umumnya berkualitas rendah. Molases dan dedak halus merupakan bahan baku pakan yang banyak digunakan sebagai komponen utama pakan blok (Tabel 4). Penggunaan bentonit dalam pakan blok selain dapat berfungsi sebagai pengikat (binder) untuk menghasilkan blok pakan dapat pula digunakan untuk menurunkan laju degradasi urea menjadi amonia. Hal ini akan meningkatkan penggunaan N dan mengurangi
25
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
resiko keracunan urea (BEN SALEM dan NEFZAOUI, 2003). Pemberian pakan blok sebaiknya dilakukan secara bertahap sebelum ternak terbiasa. Pakan blok dapat diberikan selama 1 jam untuk memungkinkan ternak mengkonsumsi dalam jumlah terbatas (30 g) selama 3–4 hari merupakan cara adaptasi yang baik. Selanjutnya pakan blok dapat diberikan selama 3 jam untuk memungkinkan konsumsi meningkat menjadi 60 g selama 4–6 hari berikutnya. Selanjutnya ternak dapat diberi akses secara tidak terbatas. Pakan blok juga dapat digunakan dalam sinkronisasi degradasi protein dan energi pakan didalam rumen, sehingga proses fermentasi
berlangsung secara optimal dan sistesis protein mikroba yang dibutuhkan ternak ditingkatkan. Penggunaan bahan garam (NaCl) dalam pakan ternyata tidak hanya berfungsi sebagai sumber unsur mineral dan meningkatkan konsumsi, tetapi juga berperan dalam menekan laju alir pakan didalam rumen. Kombinasi sintronisasi degradasi protein dan energi dengan laju alir pakan yang lambat akan lebih semakin meningkatkan sintesis protein mikroba rumen (MULLIK, 2006). Pemberian PBMN dengan komposisi seperti disajikan pada formula 3 meningkatkan secara nyata kualitas semen pada domba pejantan yang penting pengaruhnya dalam usaha pembibitan.
Tabel 4. Beberapa formula pakan blok multi nutrien yang dapat disusun untuk kambing dan domba dengan atau tanpa molasses Bahan pakan
Formula 1a 50,0 20,0 –
2b 45,0 23,0 –
3c 42,0 25,0 –
Molases Dedak halus Wheat bran Bungkil Oive Bubgkil kelapa Tepung gaplek Tepung ikan Tallow Urea 10,0 15 10,0 Semen 5,0 11,0 15,0 Garam 5,0 4,5 5,0 Tepung kerang 5,0 15,0 – MgO – 6,0 – CaHPO4 – 3,0 – Tepung tulang 5,0 – – Di-ammonium P – – 3 Sulfur Premix mineral Sumber: aSMITH et al.(2005); bSUDANA dan LENG (1986); cANINDO et d WANAPAT et al. (2006); BELLI (2006)
Beberapa keuntungan penggunaan pakan blok adalah 1) teknik yang sederhana dan efisien dalam konservasi limbah basah sebagai bahan pakan ternak, 2) memudahkan penanganan pakan, 3) menurunkan penggunaan bahan konsentrat konvensional, sehingga dapat menurunkan biaya pakan, 4) meningkatkan sinkronitas antar berbagai nutrien esential pada penggunaan bahan pakan berkualitas rendah dan 5) memungkinkan
26
4d – – 39,5 39,5
5e 40,1 9,2
6f 28,0 25,0
15,0 45,6 5,0 2,2 6,6
5,0
4,4 8,8
7,5 13,5
1,2 al. (1998);
0,6 0,6 1,0 d BEN SALEM et al. (2002);
tingkat penggunaan yang lebih tinggi bahan limbah yang kurang disukai ternak didalam pakan. Dalam usaha pembibitan salah satu sasaran penting adalah meningkatkan frekuensi melahirkan semaksimal mungkin dengan mempersingkat selang beranak tanpa mengorbankan pertumbuhan anak. Pada umumnya anak kambing dan domba disapih pada umur 12 minggu untuk mendapatkan
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
bobot sapih yang maksimal. Pada periode prasapih ini diharapkan induk telah kawin kembali dengan pejantan terpilih, sehingga selang beranak paling lama 240 hari dapat tercapai. Oleh karena itu, konsistensi dalam mencapai selang beranak 8 bulan akan ditentukan oleh panjangnya selang waktu antara partus dengan induk kawin kembali (post partum anoestrus). Penyapihan dini (umur 6–8 minggu) dapat mempersingkat post partum anoestrus, namun untuk mempertahankan pertumbuhan anak yang disapih dini diperlukan pakan berkualitas baik (milk replacer) atau bahan suplemen, antara lain probiotik. Suplemen probiotik (aditif mikroba) dapat digunakan untuk mempercepat adaptasi anak terhadap perubahan pakan dari pakan cair menjadi pakan padat dengan mempercepat perkembangan populasi mikroba didalam saluran cerna, mencegah perkembangan mikroba patogen dan memacu perkembangan awal organ cerna rumen (WALLACE dan NEWBOLD, 1992). Untuk anak kambing dan domba salah satu jenis probiotik yang dianggap sangat sesuai adalah mikroba pembentuk asam laktat seperti Lactobacillus casei, Lactobacillus cellobiosus, Lactobacillus fermentum dan Lactobacillus plantarum dan dapat langsung diberikan setelah dilahirkan atau pada saat diberikan pakan padat (SANTRA dan KARIM, 2003). Selain mikroba, probotik berupa jamur juga memberi manfaat bagi ternak muda. Jenis jamur yang telah dikembangkan secara komersial adalah Saccharomyces cerevisiae dan Aspergillus oryzae Hasil penelitian LUBIS et al. (2002) memperlihatkan pertambahan bobot badan harian pada domba lepas sapih meningkat 29% dan 48% dengan menambahkan 5 dan 10% kultur fermentasi Aspergillus oryzae yang menggunakan tepung onggok sebagai media dalam konsentrat. Defaunasi rumen untuk memacu pertumbuhan Defaunasi merupakan upaya untuk membebaskan organ cerna rumen dari populasi protozoa yang secara alamiah hidup didalam organ tersebut. Metoda defaunasi terakhir ini banyak dikembangkan karena beberapa hal yaitu 1) peran protozoa didalam organ cerna
rumen pada prinsipnya tidak esensial, 2) protozoa merupakan predator bagi mikroba lain terutama bakteri yang menjadi sumber utama protein bagi kambing dan domba, sehingga menekan suplai protein tersedia, dan 3) protozoa berperan dalam proses pembentukan gas metan (metahnogenesis) yang menekan ketersediaan energi. COLEMAN (1975), misalnya telah memperkirakan bahwa protozoa didalam rumen domba dapat mengkonsumsi 4–45 g (BK) bakteri rumen setiap harinya. Oleh karena itu, defaunasi akan menghasilkan tingkat pemanfaatan nitrogen didalam rumen semaksimal mungkin, sehingga manfaat defaunasi akan semakin nyata pada kondisi pakan dengan ketersediaan protein yang rendah. Berbagai pendekatan telah dilakukan dalam mengembangkan teknologi defaunasi. Beberapa diataranya adalah menggunakan bahan kimiawi seperti Copper sulfat dan Sodium lauryl sulfat (SANTRA dan KARIM, 1999). Penggunaan bahan kimia ini perlu dilakukan dengan hati hati, karena selain bersifat racun bagi protozoa, dapat pula menyebabkan penurunan konsumsi dan dehidrasi pada ternak (SANTRA dan KARIM, 2003). Penggunaan tanaman yang mengandung saponin yang tumbuh didaerah tropis adalah cara yang lebih aman dibandingkan dengan cara kimiawi dalam proses defaunasi atau menekan populasi protozoa didalam rumen. Jenis tanaman yang dapat digunakan adalah Sesbania sesban (TEFEREDEGNE, 1999). THALIB et al. (1996) menggunakan saponin sebanyak 0,07% bobot badan yang diekstraksi dari Sapindus rarak untuk defaunasi pada domba dan berhasil mengurangi populasi protozoa sebesar 57% dan meningkatkan pertambahan bobot badan harian sebesar 44% dan efisiensi pengunaan pakan 28%. TEKNOLOGI MENINGKATKAN KUALITAS LIMBAH DAN HASIL SISA TANAMAN Walaupun usaha pembibitan sifatnya high input, namun pemanfaatan bahan pakan alternatif berupa hasil sisa tanaman yang umumya berkualitas rendah dan hanya mampu mendukung produksi pada taraf rendah atau
27
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
moderat perlu dipertimbangkan, karena potensi biomasnya yang sangat melimpah. kualitas suatu bahan yaitu tingkat konsumsi (K), kecernaan (C) dan efisiensi ekstraksi nutrient selama proses pencernaan (E) dengan persamaan K= C x E. Inovasi teknologi diharapkan dapat memperbaiki kualitas nutrisi dengan meningkatkan nilai setiap parameter tersebut diatas, dan dalam hal ini memaksimalkan K merupakan proiritas utama. Beberapa teknologi tersedia untuk meningkatkan hasil sisa tanaman disajikan pada Tabel 5. Beragam perlakuan kimiawi telah diteliti dalam upaya meningkatkan kualitas pakan hasil sisa tanaman, namun pada prinsipnya hampir semua menggunakan prinsip hidrolisis dan oksidatif. Perlakuan hidrolisis menghasilkan terlarutnya sebagian unsur
penyusun dinding sel tanaman seperti hemiselulosa, selulosa, lignin dan silica,. Sedangkan perlakuan oksidatif mendegradasi ikatan lignin dengan unsur penyususn dinding sel lainnya. Kedua perlakuan menyebabkan bahan pakan lebih mudah dicerna. Perlakuan yang menggabungkan prinsip hidrolisis dan oksidatif menggunkan senyawa H2O2 juga memberi efek yang nyata terhadap kecernaan pakan. Diantara berbagai perlakuan kimiawi tersebut perlakuan hidrolisis menggunakan urea dianggap yang paling prospektif dislihat dari aspek biaya dan teknik penerapannya di lapang. Perlakuan kimiawi seperti amoniasi menggunakan urea memberi dampak utama kepada peningkatan kecernaan pakan dengan hasil akhir peningkatan ektraksi nutrien dari pakan yang dikonsumsi.
Tabel 5. Beberapa teknologi untuk meningkatkan kualitas bahan pakan berupa hasil sisa tanaman Teknologi
Perlakuan
Konsumsi Kimiawi Hidrolisis (Urea, NaOH) + Oksidasi (Ozone, SO2) + + Hidrolisis+Oksidasi (H2O2) Fisik Cacah/giling ++ Peleting +++ Steaming + Biologis Fermentasi padat (jamur) tt Silase +/− Suplementasi Leguminosa ++ Multinutrien blok ++ Urea-molases blok + *) (+) = pengaruh positif; (−) = pengaruh negatif; tt= tidak terdeteksi
Diantara berbagai perlakuan fisik yang telah direkomendasikan, perlakuan pencacahan /penggilingan untuk membentuk bentuk pelet merupakan yang paling banyak diaplikasikan oleh karena praktis dan memberi dampak yang tinggi terhadap kualitas pakan, terutama terhadap konsumsi pakan dan efisiensi ektraksi nutrient. Oleh karena volume sistem cerna yang relatif kecil, maka teknologi ini memberikan hasil yang semakin baik bila diterapkan pada ternak kambing dan domba, terutama bila menggunakan hasil sisa pertanian dengan keambaan yang tinggi. Perlakuan penguapan (steaming) yang disetai dengan tekanan tinggi dapat meningkatkan kecernaan
28
Dampak*) Kecernaan ++ ++ ++ − − ++ ++ + + + +
Ekstraksi nutrien ++ ++ ++ + ++ ++ ++ +++ +++ ++
akibat terjadinya proses hidrolisis dan pelarutan serat (FAHEY et al., 1993). Perlakuan biologis menggunakan mikroba seperti jamur banyak digunakan untuk mendegradasi senyawa lignin, sehingga meningkatkan kecernaan pakan. Perlakuan ini menggunakan metoda fermentasi padat (solid state fermentation) secara aerobik. Perlakuan fermentasi anaerobik untuk menghasilkan silase banyak digunakan untuk preservasi produk limbah pertanian basah (wet byproducts), misalnya limbah pengolahan biah nenas, limbah markisa, pelepah kelapa sawit dan kulit buah kakao. Suplementasi bertujuan untuk memperbaiki kesimbangan unsur nutrien bagi mikroba
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
rumen agar proses fermentasi optimal dan pencernaan serat meningkat atau untuk meningkatkan suplai nutrien langsung ke sistem cerna usus. Perlakuan ini umum digunakan dan memberi dampak yang nyata terhadap tingkat konsumsi dan kecernaan pakan serta efisiensi ekstraksi nutrien. PENGELOLAAN PAKAN TERPADU Berbagai komponen teknologi yang memanipulasi pakan untuk meningkatkan kualitas bahan akan menghasilkan respon maksimal pada ternak apabila teknologi dan manajemen pakan dikelola secara terintegrasi (Gambar 2). Hal ini doperlukan karena penerapan suatu teknologi dapt tidak efektif apabila tidak dikombinasikan dengan teknologi lain yang sifat pengruhnya berbeda. Peningkatan kecernaan bahan pakan dengan perlakuan fisik atau kimiawi misalnya, akan berakibat kepada meningkatnya ketersediaan energi dalam fermentasi sumen. Namun, bila hal tersebut tidak disertai dengan peningkatan suplai proetin (N) melalui teknologi suplementasi, maka dampak teknologi tersebut menjadi tidak optimal. Pengelolaan secara terpadu diharapkan akan memberikan dampak akumulatif atau bahkan sinergis dari setiap
komponen teknologi terhadap konsumsi, kecernaan dan efisiensi ekstraksi nutrien. Dalam model ini terdapat empat komponen teknologi dan manajemen yang dikelola secara terpadu yaitu proses pengolahan bahan secara fisik, kimiawi atau biologis, manajemen suplementasi strategis/periodek atau kontinu, manajemen nutrisi meliputi alokasi pemberian pakan, frekuensi pemberian pakan, penggunaan jenis bahan pakan, dan manajemen monitoring status nutrisi ternak. Implementasi teknologi dan manajemen pakan terpadu ini diharapkan akan terjadi peningkatan mutu pakan dan efisiensi pemanfaatnya oleh ternak yaitu: 1) meningkatnya konsumsi pakan, 2) dipacunya proses fermentasi didalam rumen, 3) optimalnya keseimbangan nutrisi yang diserap dan 4) adanya monitoring secara teratur mengenai status nutrisi ternak. Komponen ’suplementasi strategis’ mencakup pengelolaan dan alokasi pakan suplemen (konsentrat) berdasarkan periode paling kritis dilihat dari tingkat kebutuhan nutrisi ternak. Beberapa fase fisiologis yang membutuhkan nutrisi paling banyak adalah akhir masa kebuntingan (6–8 minggu sebelum melahirkan), awal masa laktasi (6–8 minggu setelah melahirkan), awal masa pasca sapih dan menjelang masa kawin. Dengan memprioritaskan alokasi pakan konsentrat
Teknologi Manipulasi Pakan: Perlakuan fisik, kimiawi, biologis
Manajemen nutrisi: Jumlah, frekuensi, bahan baku
Produksi ternak
Manajemen suplementasi: Strategik/periodik, kontinu
Monitoring dan Evaluasi: Capaian produksi, kendala Gambar 2. Model konseptual manajemen pakan terpadu untuk meningkatkan kualitas pakan hasil sisa tanaman dalam usaha pembibitan kambing dan domba
29
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
selama periode startegis ini, maka jumlah penggunaan pakan konsentrat dapat dikurangi secara nyata tanpa mengorbankan tingkat produktifitas ternak. Dengan pola ini efisiensi penggunaan input produksi (pakan) akan meningkat nyata. Komponen ’pengelolaan nutrisi’ mencakup aspek optimalisasi jumlah pemberian pakan sesuai dengan kebutuhan ternak, penggunaan bahan yang bersifat katalis (memacu proses fermentasi pakan didalam rumen), seperti pemberian leguminosa pohon, penggunaan mineral blok, urea molases blok atau garam blok. Aspek monitoring dan evaluasi dalam konsep pengelolaan terpadu penting dalam perencanaan pengelolaan pakan kedepan apabila penerapan teknologi dianggap masih perlu ditingkatkan. Komponen monitoring status nutrisi merupakan alat manajemen untuk melihat dan mengevaluasi status nutrisi’ ternak akan bermanfaat dalam mengendalikan dan mengevaluasi efektivitas keseluruhan program. Dengan demikian terdapat mekanisme untuk melihat kembali manfaat setiap komponen maupun interaksi antar komponen didalam sistem yang terpadu. Oleh karena dalam usaha pembibitan kambing dan domba dengan ciri high input pendekatan terpadu ini dapat dilakukan. TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN DAB TATALAKSANA PERKAWINAN Inseminasi buatan merupakan salah satu teknologi yang dapat memacu percepatan perkembangan usaha pembibitan. Keberhasilan teknik IB pada kambing dan dombatergantung kepada kemampuan mengoleksi dan memproses semen dari pejantan berkualitas tinggi dan kemampuan mendeteksi secara akurat induk yang sedang estrus. Pada kambing dan domba teknik IB telah mengalami kemajuan dilihat dari tingkat keberhasilan yang semakin meningkat, walaupun keragaman tingkat keberhasilan ini masih tinggi. Penelitian di luar negeri menunjukan tingkat pembuahan (conception rate; CR) pada kambing menggunakan IB dengan cara deposisi semen pada bagian servik uterus berkisar antara 40–70% (AMOAH dan GELAYE, 1997). Tingkat keberhasikan inseminasi buatan
30
pada kambing dan domba di Indonesia umumnya bervariasi dan tergolong rendah. Keberhasilan inseminasi dapat ditingkatkan dengan teknik laparoskopi yang memungkinkan deposisi semen pada bagian bagian tanduk uterus dapat meningkatkan SC diatas 80%. Penggunaan teknik inseminasi buatan dengan laparoskopi untuk memacu percepatan populasi kambing kambing dan domba dapat menjadi pilihan alternatif. Manajemen perkawinan untuk memperpendek selang melahirkan yang memberi hasil nyata adalah dengan mengatur waktu kawin setelah partus. Hasil penelitian SETIADI et al. (1997) merekomendasikan melakukan perkawinan pada induk setelah melahirkan pada berahi kedua. Metoda ini menghasilkan fertilitas induk yang lebih tinggi dan total bobot sapih/induk dibandingkan dengan perkawinan pada berahi pertama atau ketiga. Waktu optimal perkawinan pada birahi kedua ini menunjukan semakin pentingnya upaya untuk mempercepat birahi pertama setelah partus, agar frekuensi melahirkan induk selama masa produktifnya dapat dimaksimalkan. KESIMPULAN Usaha pembibitan kambing dan domba merupakan simpul usaha dalam sistem agribisnis yang strategis, namun belum berkembang seperti yang diharapkan. Berbagai faktor yang dapat mendorong akselerasi perkembangan usaha ini, antara lain kelembagaan, permodalan, potensi pasar dan teknologi perlu dikembangkan secara spesifik. Diantara faktor tersebut, aspek pasar kelihatnnya tidak menjadi kendala, bahkan merupakan peluang yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Aspek teknologi pada dasarnya relatif telah lebih berkembang dengan tersedianya bibit unggul, teknologi manipulasi pakan, strategi dan manajemen pakan yang efisien, serta teknologi reproduksi. Dengan demikian, selain pasar, ketersediaan teknologi dapat diharapkan menjadi faktor penarik bagi usaha pembibitan kambing dan domba dimasa mendatang. Dalam perkembangannya, teknologi tersebut akan lebih terpacu apabila usaha pembibitan yang berorientasi komersial semakin berkembang.
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
DAFTAR PUSTAKA AMOAH, E.A., and S. GELAYE. 1997. Biotechnological advances in Goat Reproduction. J. Anim. Sci. 75:578–585. ANINDO, D., F. TOE, S. TEMBLEY, E. MUKASAMUGERWA, A. LAHLOU-KASSI and S. SOVANI. 1998. Effects of molasses-urea-block (MUB) on dry matter intake, growth, reproductive performance and control of gastrointestinal nematode infection of graing Men ram lambs. Small Rumin. Res. 27: 63–71. BELLI, H.L.L. 2006. Pre- and postcalving supplementation of multinutrient blocks on lactation and reproductive performances of grazing Bali cows. JITV 1: 6–14. BEN SALEM, H., and A. NEFZAOUI. 2003. Feed blocks as alternative supplements for sheep and goats. Small Rumin. Res. 49: 275–288. BEN SALEM, H.,N. ATTI, A. PRIOLO, and A. NEFZAOUI. 2002. Polyehylene glycol in concentrate of feed blocks to deactivate condensed tannin in Acacia cyanophylla Lindl. Foliage.1. Effects on feed intake, digestion and growth by Barbarine lambs. J. Anim. Sci. 75: 127–135. CASEY, N.H., and W.A. VAN NIEKIRK. 1988. The Boer Goat. I. Origin, adaptability, performance testing, reproduction and milk production. 1:291–295. CHARRAY, J., J.M. HUMBERT and J. LEVIF. 1992. Manual of sheep production in the humid tropics of Africa. CAB International, UK. 179 p. CHO, Y.M., E.G. KWON, W.M. CHO, S.S. JANG, B.S. JEON, S.H. CHOI, C.Y. CHOI, Y.K. KIM, S.K. SON, and B.H. PAEK. 2006. Effects of total mixed ration on growth performance and carcass characteristics of Hanwood steers. Proc. XIIth AAAP Animal Science Congress. Challenge of Animal Industry for Well Being of mankind. Bexco, Busan, Korea. September 18–22, 2006. COLEMAN, G.S. 1975. The inter relationship between rumen ciliate, protozoa and bacteria. In: W.MC. DONALD and A.C.I. WARNER (Eds.) Digestion and Metabolism in the Ruminant. The University of New England Publishing Unit. pp. 149–164. DHANDA, J.S., , D.G TAYLOR., J.E. MCCOSTER, and P.L. MURRAY. 1999. The influence of goat genotype on the production of Capretto and Chevon carcasses. I. Growth and carcass characteristics. Meat Sci. 52:355–361.
DHANDA, J.S., D.G. TAYLOR, P.J. MURRAY, R.B. PEGG and P.J. SHAND. 2003. Goat meat production: Present status and future possibilities. Asian-aust. J. Anim. Sci. 12: 1842–1852. DHANDA, J.S., D.G. TAYLOR, and P.J. MURRAY. 2003b. Part 1. Growth, carcass and meat quality parameters of male goats: effects of genotype and liveweight at slaughter. Small Rumin. Res. 50: 57–66. DIWYANTO, K., A. PRIYANTI dan I. INOUNU. 2005. Prospek dan arah pengembangan komoditas peternakan: Unggas, sapi dan kambingdomba. Wartazoa 1: 11–25. GATENBY, R.M. 1988. Goat husbandry in West Timor, Indonesia. Small Rumin. Res. 1:113– 121. JOHNSON, W.L., and A. DJAJANEGARA. 1989. Apragmatic approach to improving small ruminant diets in the Indonesian humid tropic. J. Anim. Sci. 67:3068–3079. LUBIS, D., B. HARYANTO, E. WINA and T. SUHARGIYANTATMO. 2002. Feeding of Aspergillus oryzae fermentation culture (AOFC) to growing sheep: 2. Growth rate and feed efficiency. JITV 4: 214–219. MALAN, S.W. 2000. The improved Boer goat. Small. Rum. Res. 36:165–170. MATHIUS, I-W., M. MARTAWIDJAJA, A. WILSON dan T. MANURUNG. 1996. Studi strategi kebutuhan energi-protein untuk domba local: I. Fase pertumbuhan. JITV 2: 84–91. MATHIUS, I-W., I.B. GAGA DAN I-K SUTAMA. 2002. Kebutuhan kambing PE jantan muda akan energi dan protein kaar: Konsumsi, kecernaan dan pemanfaatan nutrient. JITV 2:99–109. MORAND-FEHR, P. 2003. Dietary choices of goats at the trough. Small Rumin. Res. 49: 231–239. MCGREGOR, B.A. 1985. Growth, development and carcass composition of goats: a review. Goat Production and Research in the Tropics. University of Queensland, Brisbane, ACIAR, 6-8 February. Pp. 82–90. MORAND-FER, P. 1981. Growth. In: C. Gall (Ed.) Goat Production. Academic Press, London pp. 253–283. MULLIK, M.L. 2006. Strategi suplementasi untuk meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba rumen pada ternak sapi yang mengkonsumsi rumput kering tropis. JITV 1:15–23.
31
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
NOCEK, J.E., R.L. STEELE and D.G. BRAUND. 1985. Effectof mixed ration nutrient density on milk of cows transferred from high production group. J. Dairy Sci. 68:133–139. INIGUEZ, L.C., E.G. BRADFORD and I. INOUNU. 1990. Sheep breeding plans for integrated tree cropping and sheep production systems. In: L.C. INIGUEZ and M.D. SANCHEZ (Eds.) Integrated Tree Cropping and Small Ruminan Production Systems. AARD, SR-CRSP and IDRC. P. 155–171. INIGUEZ, L.C., M. SANCHEZ AND S.P. GINTING. 1991. Productivity of Sumatran sheep in a system integrated with rubber plantation. Small Rumin. Res. 5:303–317. INOUNU, I., L.C. INIGUEZ, G.E. BRADFORD, SUBANDRIYO and B. TIESNAMURTI. 1993. Performance production of prolific Javanese ewes. Small Rumin. Res. 12:243–257. JASIOROWSKI, H.A. 1990. Open nucleus breeding scheme-New challenge for developing countries. In: Animal Science Papers and Reports 6, Polish Academy Science, Institute of Genetics and Animal Breeding. Proc. FAO Conference on Open Nucleus Breeding System, Biatobrzegi, Poland, 11–19 June 1989. Polish Scienific Publishers, Warszawa, pp.7–12. ROBINSON, J.J. 1993. Nutrition of the pregnant ewes. In: W. HARESIGN (Ed.) Sheep Production. London, Butterworths. pp. 113–131. SANCOUCY, R. 1995. New development in the manufacturer and utilization of multinutrient blocks. World Anim. Rev. 82:78–83. SANTRA, A. and S.A. KARIM. 1999. Efficacy of sodium laurel sulfate as defaunataing agent in sheep and goats. Int. J. Anim. Sci. 14: 167– 171. SANTRA, A., and S.A. KARIM. 2003. Rumen manipulation to improve animal productivity. Asian-Aust. J.Anim.Sci. 5: 748–763. SETIADI, B., I-K. SUTAMA DAN I .G.M. BUDIARSANA. Efisiensi reproduksi dan produksi kambing Peranakan Etawah pada berbagai tatalaksana perkawinan. JITV 4: 233–236.
32
SIMANIHURUK, K., K. G. WIRYAWAN DAN S.P. GINTING. 2006. Pengaruh taraf kulit buah markisa (Passiflora edulis Sims f. Edulis Deg) sebagai campuran pakan kering: 1. Konsumsi, kecernaan dan retensi nitrogen. JITV 2: 97– 105. SMITH, T., N. JAYASURIYA, V. MLAMBO, F. LEKULE, D. THOMAS, E. OWEN, A. PEARSON and M. TITTERTON. 2005. Feeds and feeding to improve productivity and survival. In: E. OWEN, A. KITALYI, N. JAYASURIYA and T. SMITH (Eds.) Livestock and Wealth Creation. Improving the Husbandry of Animals Kept by Resources-Poor People in Developing Countries. Nottingham University Press. 191– 213. SUDANA, I.B. and R.A. LENG. 1986. Effects of supplementing a wheat straw diet with urea or urea-molasses blocks ang/or cottonseed meal on intake and liveweight change of lambs. Anim. Feed Sci. Technol. 16: 25–35. TEFEREDEGNE, B., P.O. OSUJI, A.A. ODENYO, R.J. WALLACE and C.J. NEWBOLD. 1999. Influence of foliage of different accession of the subtropical leguminous tree, Sesbania sesban, on ruminal protozoa in Ethiopian and scottiosh sheep. Anim. Feed Sci.Technol. 78: 11–20. THALIB, A., Y. WIDIAWATI, H. HAMID, D. SUKERMAN and M. SABRANI. 1996. The effects of saponin from Sapindus rarak fruit on rumen microbes and performances of sheep. JITV 1:17–21. VAN NIEKERK, W.A., and N.H. CASEY. 1988. The Boer goat. II. Growth, nutrient requirement, carcass and meat quality. Small Rumin. Res. 1: 355–368. WALLACE, R.J. and C.J. NEWBOLD. 1992. Probiotics for ruminants. In: R. Fuller (Ed.) Probiotics: The Scientifics Basis. 1st Ed. Chapman & Hall, London. and WANAPAT. 2006. Effect of cassoy-yrea pellet as a protein source in concentrate on ruminal fermentation and digestibilityin cattle. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 7: 1004–1009.