Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
BERBAGAI FAKTOR KRUSIAL YANG MEMPENGARUHI UPAYA MENDUKUNG KETERSEDIAAN DAGING KAMBING DAN DOMBA (Various Factors Affecting the Crucial to Support Efforts to Availability of Sheep and Goat Meat) ROOSGANDA ELIZABETH1, R. MATONDANG2 dan S. RUSDIANA2 1
2
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70, Bogor Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor 16151
ABSTRACT Until now the development of animal husbandry has not been fully capable of providing welfare for farmers and society equally. Increasing per capita income, educational level awareness of the importance of improving nutrition and food quality, and the rate of population growth, as well as to ensure food security from animal proteins, encourage continuous increasing demand for livestock products consumption. Segmentation of the livestock sector is still dominated by small scale farmers in rural industries that have not been oriented so that the distribution of input output is not efficient in improving gain added value for the culprit. This paper aims to bring in more kompehensif some crucial factors that affect the effort to support the availability of mutton and lamb, related to increased consumption demand in the community. Indicated the presence of symptoms depletion and scarcity of goats and sheep population in the province of East Java and West Java last 10 years, reflected by the relatively high increase in the price of goats and sheep. Acceptance sheep Rp.2.000.000/periode/peternak economically. B/C ratio = 1.3 which indicates the maintenance effort can be sustained as a sheep rancher in rural income. The importance of the role of government in the enforcement of rules, supervision, community empowerment related to handling and safety management of food products of all sectors, as well as the feasibility of selling price at the farmer level and certainty of marketing. Various crucial factors affecting the availability of mutton and lamb, among others: HMT (feed), seed technology, reproductive disorders and animal health, stock availability of meat, livestock and agroindustry, which if handled wisely expected to support the development and livestock development. Key Words: The Crucial Factor, The Availability of Goat Meat, Lamb, Increased Consumption ABSTRAK Sampai saat ini pembangunan peternakan belum sepenuhnya mampu memberikan kesejahteraan bagi para peternak maupun masyarakat secara merata. Meningkatnya income per kapita, tingkat pendidikan, kesadaran akan pentingnya peningkatan gizi dan pangan bermutu, dan laju pertumbuhan penduduk, serta untuk menjaga ketahanan pangan asal protein hewani, mendorong terus meningkatnya permintaan konsumsi produk peternakan. Segmentasi sektor peternakan masih didominasi oleh peternak skala kecil di pedesaan yang belum berorientasi industri sehingga distribusi input output tidak efisien dalam meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelakunya. Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan secara lebih kompehensif beberapa faktor krusial yang mempengaruhi upaya mendukung ketersediaan daging kambing dan domba, terkait peningkatan permintaan konsumsi di masyarakat. Terindikasi adanya gejala pengurasan dan kelangkaan populasi kambing dan domba di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat 10 tahun terakhir, tercermin dari relatif tingginya peningkatan harga kambing dan domba. Penerimaan ternak domba secara ekonomi Rp. 2.000.000/periode/ peternak. B/C rasio = 1,3 yang mengindikasikan usaha pemeliharaan ternak domba bisa dipertahankan sebagai sumber pendapatan peternak di pedesaan. Pentingnya peran pemerintah dalam penegakan aturan, pengawasan, upaya pemberdayaan masyarakat terkait manajemen penanganan dan keamanan produk pangan semua sektor, serta kelayakan harga jual produk di tingkat peternak dan kepastian pemasaran. Berbagai faktor krusial yang mempengaruhi ketersediaan daging kambing dan domba, antara lain: HMT (pakan), teknologi bibit, gangguan reproduksi dan kesehatan hewan, ketersediaan stok daging, dan
151
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
agroindustri peternakan, yang bila ditangani dengan bijak diharapkan mampu mendukung pembangunan dan pengembangan peternakan. Kata Kunci: Faktor Krusial, Ketersediaan Daging Kambing-Domba, Peningkatan Konsumsi
PENDAHULUAN Pembangunan peternakan sampai saat ini belum sepenuhnya mampu memberikan kesejahteraan bagi para peternak maupun terhadap masyarakat secara merata. Penyediaan kuantitas dan kebutuhan protein hewani masyarakat baik daging maupun telur dan susu masih memerlukan pasokan impor, karena produksi dan distribusinya masih terkendala berbagai faktor yang makin krusial bila tidak diatasi secepatnya secara bijak dan berpihak. Meningkatnya income per kapita, tingkat pendidikan, kesadaran akan pentingnya peningkatan gizi dan pangan bermutu, dan laju pertumbuhan penduduk, serta untuk menjaga ketahanan pangan asal protein hewani, mendorong terus meningkatnya permintaan konsumsi produk peternakan. Disisi lain, segmentasi sektor peternakan sampai saat ini masih didominasi oleh peternak skala kecil di pedesaan yang belum berorientasi industri sehingga distribusi input output tidak efisien dalam meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelakunya. Tingginya permintaan ternak kambing dan domba dari negara-negara di Timur Tengah, merupakan peluang yang cukup besar untuk pengembangan usaha ternak kambing (dan domba), baik industri peternakan maupun peternakan rakyat. Bila satu ekor kambing atau domba dewasa menghasilkan 14 kg karkas, maka dalam satu tahun memerlukan sekitar 3,6 juta ekor (sekitar 30% dari total populasi) (YUSDJA, et al., 2003). Kebutuhan impor daging kambing dari 510 – 540 ton per tahun (2003) telah memberikan kontribusi sekitar satu persen terhadap konsumsi daging kambing nasional (YUSDJA et al, 2003). Kondisi tersebut tentu akan meningkat seiring berjalannya waktu dan bertambahnya permintaan sesuai pertambahan penduduk. Seperti halnya populasi sapi potong, konsentrasi kambing dan domba berkorelasi positip dengan dengan populasi penduduk. Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan secara lebih kompehensif beberapa faktor krusial yang mempengaruhi upaya mendukung
152
ketersediaan daging kambing dan domba, terkait peningkatan permintaan konsumsi di masyarakat. KERAGAAN, SEBARAN POPULASI, ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA BETERNAK KAMBING DAN DOMBA Usaha ternak kambing dan domba umumnya adalah pola pembibitan dan pembesaran anak, sehingga pola perbaikan mutu genetik dengan sistem pembibitan inti bersifat terbuka (open nucleus breeding scheme) adalah cukup rasional untuk dikembangkan. Dominansi kecilnya skala usaha kelompok masyarakat peternak kambing dan domba yang disebabkan keterbatasan pemilikan modal berakibat pada rendahnya pendapatan yang diterima. Tingkat pendapatan yang diterima dipengaruhi oleh pencapaian tingkat keuntungan optimal yang berkaitan erat dengan aspek efisiensi teknis dan aspek efisiensi ekonomis aktivitas produksi. Tingkat efisiensi teknis produksi umumnya telah dicapai peternak (ELIZABETH, 2009), sedangkan inefisiensi ekonomis produksi senantiasa menaungi peternak yang tercermin pada relatif rendahnya laju pertumbuhan pendapatan para peternak kambing dan domba. Hal ini dikarenakan relatif rendahnya nilai tambah pengusahaan, sebagai akibat dari relatif lebih rendahnya harga output yang diterima dibandingkan dengan harga input yang dikeluarkan (dibayar) selama proses pengusahaan ternak kambing dan domba, terutama disebabkan kecilnya skala usaha di tingkat peternak, meski telah bersifat komersial. Sesuai dengan sifat usahanya adalah komersial, maka memperoleh keuntungan merupakan tujuan mutlak para peternak. Keuntungan maksimum dapat diperoleh bila pengalokasian semua faktor produksi sudah optimal dan efisien secara teknis dan ekonomis. Dengan kata lain, optimalisasi penggunaan input produksi dilakukan bersamaan dengan penekanan pengeluaran (efisiensi biaya produksi) untuk mencapai
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
produktivitas yang tinggi (diperolehnya output/ keuntungan maksimal) (ELIZABETH, 2008) Sementara itu, kesulitan peternak adalah dalam menekan biaya (pengeluaran) untuk produksi, dimana peternak tidak mampu mengatur harga faktor-faktor produksi yang umumnya dibelinya. Disamping itu, pencapaian efisiensi ekonomis produksi juga dapat dilakukan dengan memperluas/ menambah skala usaha, yang tentunya membutuhkan tambahan modal relatif besar untuk operasional usahanya. Upaya tersebut dimungkinkan dengan ketersediaan fasilitas kredit ringan yang sesuai dan terjangkau untuk peternakan, sehingga sangat membantu upaya pengembangan peternakan kambing dan domba rakyat. Konsep integrasi tanaman perkebunan (sawit, karet, misalnya) dengan usaha ternak kambing dan domba di Sumatera Utara merupakan konsep yang cukup baik untuk pengembangan usaha. Populasi kambing dan domba yang menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, mengindikasikan relatif meratanya kesuaian kondisi ekosistem di Indonesia bagi lingkungan hidup ternak kambing dan domba. Berdasarkan urutan wilayah tingkat kepadatan sebaran populasi kambing dimulai dari Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, hingga Lampung. Kelima wilayah tersebut memberi 65,9% kontribusi populasi kambing nasional (YUSDJA et al, 2003). Total populasi domba sekitar setengah dari total populasi kambing di Indonesia. Sebaran populasi domba terkonsentrasi di Pulau Jawa, dimana populasi domba terpadat adalah di Provinsi Jawa Barat sebesar 45,7 persen, Jawa Tengah 26,7 persen, Jawa Timur 18,1 persen, Sumatera Utara 2,5 persen dan Aceh sebesar 1,6 persen. Bangsa domba yang umum dipelihara peternak adalah domba ekor tipis dan domba ekor gemuk (YUSDJA et al, 2003). Sementara itu, kambing Kacang dan Peranakan Etawah (PE) merupakan bangsa kambing yang umum diternakkan. Kambing Kacang adalah ras unggul kambing yang pertama kali dikembangkan di Indonesia. Telinganya tegak, berbulu lurus dan pendek. Badannya relatif kecil, dengan tinggi gumba pada yang jantan 60 – 65 cm, sedangkan yang betina 56 cm. Bobot jantan bisa mencapai 25 kg, sedang kambing Kacang betina seberat 20
kg. Sementara itu, kemampuan menghasilkan susu merupakan salah satu potensi unggul dari Kambing PE. Susu yang mampu dihasilkan sekitar 0,8 hingga 1,5 liter per hari (YUSDJA, 2003). Namun, karena faktor ketidakbiasaan mengkonsumsi susu kambing, maka potensi penghasil susu tersebut belum dapat berkembang dengan baik. Padahal, susu kambing mempunyai nilai daya cerna yang tinggi dibandingkan dengan susu lainnya, dapat menjadi susu pengganti buat anak bayi yang alergi terhadap susu sapi dan dibutuhkan sebagai bahan komposisi pembuat sabun mandi, mandi susu, dan obat (ashma dan batuk). Disisi lain, peningkatan pemanfaatan susu kambing dapat dikaitkan dengan upaya diversifikasi pangan dan peningkatan gizi masyarakat. Potensi unggul lainnya yang diharapkan dari kambing Etawah adalah sifat pertumbuhannya yang cepat, kualitas karkas yang cukup baik serta adaptasi terhadap lingkungan yang cukup baik juga. Kambing Ettawah tubuhnya lebih besar dibanding kambing Kacang. Dari hasil temuan di lapang umumnya usaha ternak dipelihara peternak sebagai usaha sambilan, maka kontribusi pendapatannya relatif masih rendah (< 17%) terhadap total pendapatan usahatani (YUSDJA, 2003). Sebagai gambaran penyebaran populasi ternak ruminansia per daerah, dalam hal ini diambil contoh pada Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (menempati peringkat ketiga kepadatan sebaran populasi ternak kambing dan peringkat pertama sebaran domba terpadat) dapat dicermati pada Tabel 1. Data pada Tabel 2 memperlihatkan fungsi dan peranan ternak kambing dan domba, yaitu persentase fungsi dan perannya sebagai: besarnya sumber pendapatan atau usaha pokok (70,45%), usaha sampingan atau sewaktuwaktu (13,63%), sebagai tabungan (11,36%) dan yang lainnya (6,80%). Penduduk di pedesaan pada umumnya berpenghasilan rendah yang diakibatkan juga dengan berpendidikan rendah pula sehingga sulit dalam menerima inovasi teknologi dan pengetahuan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa usaha pemeliharaan ternak kambing dan domba masih bersifat sederhana dan harapan utama sebagai sumber tambahan pendapatan petani peternak di pedesaan.
153
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Tabel 1. Populasi ternak ruminansia menurut jenisnya (ekor) Kecamatan
Ruminansia besar
Domba
Kambing
Nanggung
896
0
7.290
1.898
Leuwiliang
625
11
6.296
2.173
Pamijahan
653
37
9.432
2.393
Cibungbulang
369
28
6.762
969
Ciampea
510
16
7.481
2.421
Ciomas
45
5
2.175
252
Tamansari
130
0
2.547
524
Cijeruk
582
0
1.814
650
Caringin
224
34
10.500
4.276
Ciawi
122
106
6.632
2.098
Cisarua
176
31
5.985
1.098
Megamendung
130
0
7.622
3.218
0
0
9.059
1.559
90
0
4.154
1.528
Sukaraja Babakan Madang
Kerbau
Ruminansia kecil
Sapi potong
Sukamajmur
1.658
776
4.896
9.102
Jumlah
1.280
1.124
34.161
4.639
Cariu
677
6.309
8.849
5.194
Jonggol
53
1.648
4.267
4.366
Cilengsi
297
818
4.139
3.067
Klapanunggal
0
860
3.183
4.633
Gunung Putri
71
305
8.939
3.127
Citeureup
21
323
1.019
10.995
Cibinong
128
32
938
3.065
Bojonggede
115
115
3.108
2.580
Kemang
132
110
3.659
1.988
Rancabungur
104
80
494
2.121
Parung
262
225
4.496
954
Ciseeng
94
170
913
1.202
Gunung Sindur
1.244
226
9.278
6.568
Rumpin
1.539
42
10.809
3.575
Cigudeng
2.160
2
8.785
2.249
Sukajaya
2.261
00
6.408
4.996
Tenjo
3.008
13
3.766
4.029
Parung Panjang Jumlah
1.040
33
1.697
1.358
14.125
20.803
217.542
110.980
Sumber: DISNAK KAB. BOGOR (2008)
154
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Tabel 2. Fungsi ternak kambing dan domba di peternak Fungsi dan peranan ternak kambing dan domba
Responden (n = 45)
Presentase
Sumber pendapatan/usaha pokok
31
70,45
Usaha sampingan/sewaktu-waktu
6
13,63
Tabungan
5
11,36
Lainnya
3
6,80
Jumlah
45
100
Sumber: Data Primer diolah (RUSDI et al., 2009)
Analisis perkiraan pendapatan usaha ternak domba Skala usaha pemeliharaan ternak kambing atau domba minimal > 10 ekor/KK yang merupakan unit ekonomi terkecil yang dituju dalam pembinaan usaha di Kecamatan Rumpin. Untuk meningkatkan pendapatan tambahan maka petani menanam tanaman pangan atau dagang. Beberapa asumsi yang dapat dipakai untuk perhitungan ekonomi dalam pemeliharaan ternak domba yaitu ternak dipakai untuk bibit atau untuk di jual bila sudah waktunya, yang dipelihara selama 1 – 3 bulan. Hasil penjualan sebagai penerimaan pendapatan selama pemeliharaan. Informasi dari hasil survei di Kecamatan Rumpin memperlihatkan, bahwa petani menjalankan usaha pemeliharaan ternak domba dengan skala 10 ekor/KK dengan nilai
pembelian sebagai modal usaha sebesar Rp. 8.500.000/periode usaha. Biaya tenaga kerja keluarga dihitung sebesar Rp. 10.000/hari/ periode/orang/pemeliharaan, pembuatan kandang sebesar Rp. 2.500.000/tahun dan depresiasi kandang sebesar Rp. 200.000/tahun. Jumlah biaya produksi sebesar Rp. 10.500.000/periode/pemeliharaan, sementara pakan hijauan diasumsikan ke dalam upah tenaga kerja keluarga, dengan pemeliharaan skala 10 ekor memperoleh penerimaan kotor sebesar Rp. 12.500.000/periode pemeliharaan. Sedangkan hasil penjualan pembesaraan 10 ekor diasumsikan mendapat keuntungan bersih sebesar Rp. 2.000.000/periode/peternak. Hasil analisa menunjukkan R/C rasio = 1,3 yang artinya usaha pemeliharaan ternak domba dapat dipertahankan sebagai sumber pendapatan peternak.
Tabel 3. Analisis perkiraan pendapatan usaha pemeliharaan ternak domba (10 ekor) Uraian A. Investasi Pembuatan kandang Rp.2.500.000
Volume
Jumlah (Rp.)
Tahun
2.500.000
Jumlah B. Biaya produksi Bibit rata-rata 9,5 bulan @ Rp.850.000/ekor Tenaga kerja keluarga @ Rp.10.000/orang Penyusutan kandang
2.500.000 10 ekor 2 orang Tahun
Jumlah biaya produksi C. Pendapatan Penjualan 10 ekor domba jantan rata-rata umur 12 bulan @ Rp.1.250.000/ekor
8.500.000 1.800.000 200.000 10.500.000 12.500.000
Jumlah pendapatan kotor
12.500.000
Pendapatan bersih per 3 bulan R/C rasio
2.000.000 1,3
Sumber: Data Primer diolah (RUSDI et al., 2009)
155
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Analisis kelayakan usaha (B/C Rasio) Hasil survei di lapangan petani ternak domba membeli dalam kondisi siap di besarkan dengan rataan umur 9,5 bulan dengan harga rata-rata Rp. 850.000/ekor dan masa pemeliharaan 3 bulan dengan harga jual ratarata sebesar Rp. 12.500.000/ekor. Dengan mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp. 2.000.000/3 bulan pemeliharaan. Metode analisis ini merupakan angka banding antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan pada suatu usaha. Usaha dikatakan layak apabila angka B/C ratio-nya lebih besar dari 1. Untuk usaha pemeliharaan ternak domba seperti di atas, dapat dihitung bahwa B/C rasio-nya adalah sebesar = 1,3. Hasil analisis usaha pemeliharaan ternak domba di Kecamatan Rumpin yang dijalankan selama 3 bulan/periode ternyata jumlah penerimaan Rp. 12.500.000 dikurangi jumlah pengeluaran Rp. 10.500.000, setiap peningkatan biaya dapat menghasilkan penerimaan sebesar 1,3 yang artinya usaha tersebut layak di pertahankan atau di lanjutkan. PENGARUH BERBAGAI FAKTOR KRUSIAL TERHADAP KETERSEDIAAN DAGING KAMBING DAN DOMBA Ketersediaan pakan Dalam pengusahaan ternak, ketersediaan dan keterjaminan terpenuhinya pakan untuk ternak merupakan kondisi pertama yang harus diperhatikan. Untuk mencapai produktivitas ternak yang tinggi, diperlukan kondisi lingkungan yang sesuai dengan kemampuan genetis ternak tersebut. Dalam hal ini, antara lain jumlah dan kualitas pakan serta lingkungan/lokasi usaha yang sesuai dengan adaptasi hidup ternak. Ketersediaan pakan terutama hijauan (HMT) sangat tergantung pada musim. Pakan HMT menjadi faktor krusial yang utama karena semakin terbatasnya lahan untuk HMT dan penggembalaan sebagai akibat semakin tingginya tingkat konversi/alih fungsi lahan menjadi usaha non pertanian. Mayoritas (60 – 80%) bentuk usaha komoditas peternakan domestik merupakan usaha rakyat (YUSDJA, 2003), yang bercirikan antara lain: tingkat pendidikan peternak
156
rendah, pendapatan rendah, konvensionalitas penerapan teknologi, manajemen pengusahaan dan penanganan kesehatan hewan, menyebar luasnya lokasi pemeliharaan ternak, menggunakan tenaga kerja keluarga, skala usaha relatif kecil, serta pengadaan pakan masih dari sekitar tempat usaha dan HMT masih tergantung pada musim. Hampir seluruh ternak kambing dan domba dipelihara secara tradisional dalam bentuk usaha ternak rakyat. Terdapat tiga sistem pemeliharaan ternak, yaitu: (1) sistem penggembalaan ternak (grazing), yang sangat tergantung pada luasan/ketersediaan lahan/ padang untuk penggembalaan; (2) sistem tidak digembalakan (cut and carry), yang sangat tergantung pada ketersediaan tenaga kerja keluarga untuk mencari dan menyediakan pakan hijauan; (3) sistem kombinasi, ternak digembalakan pada areal terbatas, dan kekurangan pakan hijauan diberikan di kandang (YUSDJA, 2006). Kebijakan pembangunan dan pengembangan peternakan harusnya mempertimbangkan ketiga sistem tersebut, karena menyangkut ketersediaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan terutama untuk memperoleh pakan hijauan. Lahan sebagai basis ekologi pendukung pakan dan lingkungan budidaya harus dioptimalkan pemanfaatannya (ELIZABETH, 2008). Hal ini tentu menjadi masalah karena semakin terbatasnya lahan akibat tingginya tingkat alih fungsi (konversi) lahan menjadi fungsi non-pertanian. Sesuai informasi dari baik dari dinas maupun dari pihak terkait lainnya bahwa tantangan bagi peternak belakangan ini semakin besar karena harus semakin mampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan maupun cadangan pakan yang baik terutama pakan hijauan. Kondisi tersebut didasari oleh semakin bertambahnya populasi ternak sementara lahan penyedia pakan hijauan yang semakin terbatas. Untuk ternak ruminansia, mayoritas peternak masih menggunakan pakan rumput hanya sesuai potensi yang tersedia semata. Pada umumnya berasal dari rumput alam/lingkungan sekitar yang dicari, atau melepas ternak di padang penggembalaan umum yang kualitasnya rendah. Ketersediaan dan kontinuitas HMT sangat diperlukan sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan produksi dan produktivitas ternak. Disisi lain, perbaikan
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
pemberian pakan (dari segi jumlah, mutu, dan teknik penyajian) diharapkan mampu meningkatkan efisiensi pengusahaan ternak. Selain perbaikan mutu pakan, frekuensi pemberian pakan lebih dari dua kali sehari dapat meningkatkan konsumsi pakan maupun zat-zat makanan, serta meningkatkan daya cerna terhadap pakan, yang akhirnya akan meningkatkan daya tumbuh, produksi dan produktivitas ternak pada umumnya, dan meningkatkan produksi susu pada sapi perah. Artinya, dalam hal ini, perbaikan manajemen pakan berpotensi untuk meningkatkan efisiensi usaha. (SIREGAR, 1992). Untuk mengatasi keterbatasan lahan untuk kandang dan kebun/ladang rumput (yang salah satunya akibat konversi lahan dan/maupun peningkatan skala usaha), salah satunya dapat dilakukan dengan upaya pengembangan Kawasan Usaha Peternakan, khususnya dalam bentuk lahan penggembalaan. Bila keterjaminan ketersediaan pakan dan mutunya sudah dilaksanakan, maka usaha ternak pasti akan berkembang. Bila pakan dan mutunya terkendali, stoknya tersedia sepanjang tahun, maka besar kemungkinan permintaan daging terpenuhi sepanjang tahun, serta terwujudnya upaya pembangunan dan pengembangan peternakan. Ketersediaan bibit dan teknologi perbibitan Faktor krusial kedua adalah teknologi pembibitan. Pada usaha ternak ruminansia (sapi potong, sapi perah, kambing dan domba), bibit merupakan komponen biaya yang relatif besar (ILHAM dan SAKTYANU, 1995). Faktor teknologi pembibitan mempengaruhi dan berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas dan optimalisasi reproduktivitas ternak. Pada umumnya hampir semua ternak domestik tidak tersentuh teknologi pembibitan yang intensif. Bila ternak yang baik selalu terpilih untuk dipotong, maka diprediksi mutu ternak semakin memburuk. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa peternak rakyat tidak memiliki intensif nyata dalam mengadopsi teknologi, terlebih lagi setiap pemanfaatan teknologi baru selalu disertai peningkatan biaya karena perbaikan manejemen. Disisi lain, peternak umumnya berspekulasi dalam melakukan usaha budidaya, dengan untunguntungan, dan berusaha menekan seminimal
mungkin biaya yang dikeluarkan (biaya mendekati nol). Penanganan teknologi pembibitan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan produktivitas dan optimalisasi reproduktivitas ternak yang harus ditangani secara baik, tepat dan benar. Dalam upaya peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak dilakukan melalui pengoptimalisasian penanganan proses perkawinan ternak. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah kelahiran anak ternak. Perlu ditingkatkan dan disosialisasikan penerapan teknologi pembibitan yang intensif kepada semua ternak domestik, serta memilih ternak yang untuk dipotong, dan menyisakan ternak bermutu baik untuk dipelihara. Peternak rakyat hendaknya diberi pemahaman tentang besarnya insentif nyata yang dapat diperoleh bila ikut serta mengadopsi dan memanfaatkan setiap teknologi baru untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dan manejemen usaha ternaknya, tanpa selalu tertuju pada usaha menekan seminimal mungkin biaya yang dikeluarkan. Gangguan reproduksi dan kesehatan hewan Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah reproduksi ternak adalah dengan mencegah/mengurangi tingkat pemotongan kambing dan domba betina produktif yang siap dikawinkan, yang kondisinya umumnya terlihat sangat baik dan sangat diminati konsumen. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya mengurangi tingkat kegagalan reproduksi kambing dan domba betina produktif yang dikawinkan dengan melaksanakan kegiatan operasional, yaitu: (a) penanggulangan gangguan reproduksi dengan cara pemeriksaan akseptor terhadap suatu penyakit, peningkatan kualitas SDM yang menangani penyakit reproduksi, pengadaan obat-obatan dan hormonal, penanganan ternak yang mengalami gangguan reproduksi; (b) peningkatan pelayanan kesehatan hewan dengan cara pembangunan pusat kesehatan hewan, pemeriksaan/ identifikasi/pemetaan kasus parasit internal dan kematian cempe (kambing muda), serta pengadaan obat-obatan.
157
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Penanganan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan yang tepat dan bijak, dapat dilakukan dengan mencegah/mengurangi tingkat pemotongan kambing dan domba betina produktif yang siap dikawinkan. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya mengurangi tingkat kegagalan reproduksi kambing dan domba betina produktif. Kegiatan operasional, yang dilakukan, yaitu: (a) penanggulangan gangguan reproduksi dengan cara pemeriksaan akseptor terhadap suatu penyakit, peningkatan kualitas SDM yang menangani penyakit reproduksi, pengadaan obat-obatan dan hormonal, penanganan ternak yang mengalami gangguan reproduksi; (b) peningkatan pelayanan kesehatan hewan dengan cara pembangunan pusat kesehatan hewan, pemeriksaan/ identifikasi/pemetaan kasus parasit internal dan kematian cempe (kambing muda), serta pengadaan obat-obatan. Sementara itu, ketersediaan stok daging kambing dan domba di dalam negeri merupakan faktor krusial berikutnya yang berperan penting untuk diperhatikan pemerintah. Pengaturannya lebih sederhana dibanding pengaturan stok ternak dan daging sapi, namun tetap memerlukan penanganan dan peraturan pemerintah dalam hal pengawasan dan pemantauan kegiatan impor – ekspor ternak dan daging kambing-domba (yang mayoritas berasal dari Australia). Pengaturan distribusi dan pemasaran daging dalam negeri untuk menjamin ketersediaan daging dan menjaga stabilitas harga disertai kelengkapan fasilitas mesin pendingin dari pemotong, distributor, sampai ke pengecer. HMT (pakan)
Teknologi bibit
Pengaturan ketersediaan stok daging kambing dan domba di dalam negeri tetap memerlukan penanganan dan peraturan pemerintah dalam hal pengawasan dan pemantauan kegiatan impor – ekspor ternak dan daging kambing-domba. Meski tidak mengimpor kambing dan domba, namun terindikasi adanya gejala pengurasan populasi keduanya. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa Provinsi Jatim dan Jabar mengalami pengurasan ternak kambing dan domba dalam satu dekade terakhir. Australia merupakan negara pengekspor kambing dan domba terbesar ke berbagai negara di Asia dan Arab, dengan rata-rata 5 juta ekor per tahun (sama besar dengan populasi domba di Indonesia) (YUSDJA, 2006). Relatif tingginya peningkatan harga kambing dan domba mengindikasikan adanya kelangkaan kedua jenis ternak tersebut. Kegiatan agroindustri peternakan yang belum giat dilaksanakan merupakan faktor krusial berikutnya yang tak kalah pentingnya. Kegiatan ini menyangkut aktivitas industri pengolahan yang berbahan baku hasil peternakan, misalnya susu, daging dan kulit ternak. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan agroindustri tidak turut mendorong pertumbuhan subsektor peternakan (ELIZABETH, 2009). Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan agroindustri peternakan, yang menyangkut aktivitas industri pengolahan yang berbahan baku hasil peternakan, misalnya susu, daging dan kulit ternak.
Penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan
Ketersediaan Stok daging
Agroindustri Peternakan
Usaha ternak
Ketersediaan daging kambing dan domba konsumsi masyarakat
Terwujudnya upaya pembangunan dan pengembangan peternakan
Gambar 1. Alur peran dan potensi berbagai faktor krusial dalam mendukung pembangunan dan pengembangan peternakan
158
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Peran aktif pemerintah tersebut dapat berupa menggiatkan pengadaaan pameran produksi hasil industri pengolahan seperti: susu bubuk, susu cair/kental kaleng dan kotak, sabun, margarin, makanan ringan, kosmetik, obat-obatan, daging kaleng, daging asap, dendeng, barang industri rumah tangga, berbagai barang aksesoris kulit, dan sebagainya. Hal ini merupakan insentif atau rangsangan untuk pertumbuhan agroindustri serta akhirnya akan turut mendorong pertumbuhan subsektor peternakan. Peran aktif pemerintah (ELIZABETH, 2009), lainnya adalah dengan pengembangan: fasilitas usaha dan kelembagaan, fasilitas permodalan bidang peternakan, pengawasan tingkat harga output dan pemasaran, program Sarjana Membangun Desa (SMD), peningkatan peran aktif penyuluh peternakan, PUAP, program pengembangan dan pemberdayaan LM3, dan sebagainya. Dengan demikian, upaya, sarana dan prasarana yang difasilitasi pemerintah sebagai program kebijakan pembangunan peternakan dan prospek keberpihakan, berdampak luas terhadap potensi sumber daya yang sebenarnya cukup tersedia, baik sumber daya ternak, lahan, manusia, maupun teknologi yang dibutuhkan untuk mewujudkan pembangunan dan pengembangan usaha peternakan. KESIMPULAN 1. Berbagai faktor krusial yang mempengaruhi ketersediaan daging kambing dan domba, antara lain: HMT (pakan), teknologi bibit, gangguan reproduksi dan kesehatan hewan, ketersediaan stok daging, dan agroindustri peternakan, yang bila ditangani dengan tepat dan bijak diharapkan mampu mendukung pembangunan dan pengembangan peternakan. 2. Perbaikan manajemen pakan berpotensi untuk meningkatkan efisiensi usaha ternak. Salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan untuk kandang dan kebun/ladang rumput, dapat dilakukan dengan upaya pengembangan Kawasan Usaha Peternakan, khususnya dalam bentuk lahan penggembalaan. 3. Pentingnya diupayakan peningkatan skala kepemilikan yang lebih besar dalam pemeliharaan ternak domba. Hal ini
bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan petani dan efisiensi ekonomi serta penerapan introduksi inovasi teknologi peternakan di tingkat petani. 4. Pembentukan, perbaikan, pembinaan dan pengembangan kelembagaan terkait usaha peternakan secara konsisten, seperti pembibitan ternak kearah komersialisasi dan privatisasi, sehingga dapat menghasilkan bibit ternak sebagai bakalan ternak yang berkualitas dan sesuai dengan iklim dan kondisi masing-masing daerah di Indonesia. 5. Pentingnya peran pemerintah dalam penegakan aturan, pengawasan, upaya pemberdayaan masyarakat terkait manajemen penanganan dan keamanan produk pangan semua sektor, serta kelayakan harga jual produk di tingkat peternak dan kepastian pemasaran. DAFTAR PUSTAKA DISNAK KAB. BOGOR. 2008. Data Statistik Peternakan. Dinas Peternakan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. DINAS PETERNAKAN PROVINSI J AWA BARAT. 2009. Laporan Tahunan. ELIZABETH, R. 2009. Teknologi penanganan dan pengamanan produksi susu mendukung peningkatan harga susu, ketahanan pangan dan kesejahteraan peternak. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 13 – 14 Agustus 2009. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 359 – 364. ILHAM, N. dan K.D. SAKTYANU. 1995. Analisis Usahatani Penggemukan Sapi Potong Berskala Kecil dan Potensi Pengembangannya. Pros. Seminar Nasional Peternakan. Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto. RUSDIANA, S., S. EEM dan J. IDA. 2009. Penelitian PSDS 2014 Kerjasama dengan Dinas Penyuluhan Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bogor, Kabupaten Subang dan Dinas Peternakan Cigudeg. SIREGAR, S.B. 1992. Sistem Pemberian Pakan dalam Upaya Meningkatkan Produksi Susu Sapi Perah. Wartazoa 2(3 – 4): 23 – 27. YUSDJA, Y., N. ILHAM dan W.K. SEJATI. 2003. Profil dan Masalah Peternakan. AKP 21(1). YUSDJA, Y. dan N. ILHAM. 2006. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan Rakyat. AKP 4(1).
159