Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
KETERSEDIAAN INOVASI TEKNOLOGI DAN SUMBERDAYA MANUSIA MENDUKUNG SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN SURYANA dan MUHAMMAD SABRAN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. P. Batur Barat No. 4 Banjarbaru 70711
ABSTRAK Kalimantan Selatan mempunyai luas wilayah 3.753.052 ha dengan kondisi agroekosistem lahan kering, pasang surut, tadah hujan, lebak dan lainnya dan sumber daya manusia sebesar 3.201.962 jiwa. Mata pencaharian penduduknya sebagian besar dari pertanian (tanaman pangan), perikanan, perkebunan dan peternakan. Populasi sapi potong di Kalimantan Selatan sekitar 173.648 ekor, sementara luas perkebunan sebesar 427.684 ha dan yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit tercatat sebesar 160.752 ha dengan hasil crude palm oil (CPO) sebanyak 248.329,1 ton/tahun. Potensi Kalimantan Selatan mampu menampung sapi potong sekitar 977.653 satuan ternak (ST) dan daya tampung (carrying capacity) ini baru dimanfaatkan sekitar 30,90%. Sedangkan daya tampung sapi pada lahan perkebunan kelapa sawit yang ada sekitar 522.676 ekor dengan asumsi 1 ha kebun sawit dapat menampung 1-3 ekor sapi. Produksi hijauan sebanyak 2.675.328 ton bahan kering/tahun dan produksi limbah pertanian 853.328 ton bahan kering/tahun. Hasil limbah perkebunan kelapa sawit dan pabrik CPO belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Untuk meningkatkan produktivitas dan populasi sapi potong dengan biaya produksi yang layak, pendekatan pola integrasi sapi dengan tanaman perkebunan layak untuk dikembangkan, baik secara teknis dan ekonomis serta ramah lingkungan. Dengan inovasi teknologi yang tepat dan didukung sumber daya manusia yang handal, limbah perkebunan kelapa sawit dapat diubah menjadi bahan pakan sumber serat bagi ternak sapi dan kotorannya dapat diproses menjadi kompos yang digunakan sebagai pupuk organik tanaman. Pemeliharaan sapi dengan pola integrasi secara “zero waste” ini juga berarti juga “zero cost” sehingga populasi bakalan dan penyediaan daging dapat diperoleh secara berkesinambungan. Kata Kunci: Inovasi Teknologi, SDM, Sistem Integrasi, Sawit-Sapi
PENDAHULUAN Sapi potong di Kalimantan Selatan merupakan salah satu komoditas strategis sekaligus penghasil daging terbesar ketiga setelah itik dan ayam buras, yang keberadaannya sangat mendukung perekonomian masyarakat di pedesaan. Walaupun jumlah kepemilikannya masih kecil, yakni rata-rata 1-2 ekor/KK (DIWYANTO et al., 2002), namun mempunyai prospek yang menjanjikan untuk dikembangkan. Seperti halnya dengan provinsi lain, sapi potong di daerah ini produktivitasnya masih rendah dan belum dapat memenuhi kebutuhan daging untuk masyarakatnya, sehingga kekurangan harus didatangkan dari luar Kalimantan Selatan yang setiap tahunnya mencapai 12.000 ekor (ANDJAM, 2005). Permasalahan yang dihadapi dan menghambat pencapaian produktivitas sapi potong di Indonesia adalah sumber daya ternak
belum optimal, sumberdaya manusia masih rendah, sumberdaya pakan masih tergantung musim, sumberdaya lahan yang semakin terbatas (menyempit) dan sumberdaya teknologi pemanfaatannya belum optimal (RIADY, 2004). SANTOSO dan TUHERKIH (2003) mengemukakan bahwa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan ternak ruminansia antara lain penyebaran ternak tidak sesuai dengan luas lahan, pertumbuhan ternak yang lambat dan ternak betina produktif banyak dipotong, hal tersebut diperparah lagi dengan produktivitas lahan rendah, degradasi lahan penggembalaan, lahan miskin unsurunsur hara dan stagnasi inovasi teknologi pengelolaan lahan pakan ternak. Menurut TARMUDJI (1997) dan DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (2005) kendala dalam pengembangan sapi potong di Kalimantan Selatan antara lain skala usahanya kecil, modal terbatas, keterampilan peternak rendah dan masalah
59
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
penyakit yang sporadis sering muncul. Sementara dari segi konsumsi hasil ternak lebih tinggi dari produksi, populasi masih rendah dan terbatas, sumber daya peternak dan pembinaannya masih kurang serta penyakit ternak yang sulit dihilangkan. Selain itu juga transfer teknologi ke peternak berjalan lamban, investasi dana ke subsektor peternakan relatif rendah, peternak sulit mendaptkan modal usaha dan ketergantungan sapronak dari Jawa sangat besar (DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 2004). Potensi peternakan sapi potong di Kalimantan Selatan sebetulnya cukup besar, namun pola usahanya masih tradisional dan pada musim kemarau panjang menghadapi kendala yakni penyediaan pakan dalam jumlah besar mengalami kesulitan, terutama di daerahdaerah lahan kering. Menurut ROHAENI dan HAMDAN (2004), pengelolaan hijauan belum dilakukan oleh peternak, walaupun pada musim panen produksi limbah pertanian melimpah dan banyak terbuang, hal ini disebabkan petani kekurangan waktu, tenaga kerja dan teknologi pengolahan hijauan yang efektif dan praktis. Menurut DJAJANEGARA (1999) dalam SYAMSU et al. (2003) di tingkat petani/peternak penerapan teknologi peningkatan kualitas limbah pertanian memiliki hambatan dengan berbagai alasan, seperti jumlah limbah yang dikumpulkan sedikit, kurangnya fasilitas penyimpanan dan terjadinya penambahan beban biaya dan tenaga kerja bagi peternak dengan melakukan teknologi, sehingga dibutuhkan teknologi pakan yang sederhana, murah dan mudah diadopsi/diaplikasikan oleh peternak. Untuk mengatasi permasalahan di atas salah satu dapat dilakukan pemeliharaan sapi potong dengan pola integrasi antara perkebunan kelapa sawit. Menurut PRIYANTI dan DJAJANEGARA (2004) usaha integrasi sapi dikaitkan dengan perkebunan, persawahan dan padang penggembalaan di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) paling ideal untuk mengembangan usaha cow-calf operation atau penyediaan sapi bakalan. BASUNO dan SABRANI (1999) mengemukakan bahwa integrasi ruminan dengan HTI akan mendatangkan berbagai keuntungan, yaitu: 1) meningkatkan kualitas tanah dan produktivitasnya disebabkan adanya kotoran
60
ternak, 2) meningkatkan nilai tambah dari hijauan pakan ternak yang sebelumnya tidak dimanfaatkan, 3) mengurangi biaya pembersihan rumput karena jumlah pekerja menjadi berkurang, dan integrasi merupakan proses konservasi baik untuk tanah maupun lingkungan. Pola integrasi ternak dengan tanaman pangan maupun perkebunan mampu menjamin keberlanjutan produktivitas lahan melalui kelestarian sumber daya alam yang ada (DIWYANTO dan HARYANTO, 2001). Menurut AWALUDIN dan MASURNI (2003) integrasi sapi dengan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan, dengan pertimbangan bahwa beberapa tipe rumput lapang dapat tumbuh dan sekitar 60-70 persen spesies tanaman legume penutup tanah (cover crop) dan rumput lainnya secara alami dapat digunakan sebagai pakan sapi. Pemeliharaan sapi potong secara kelompok dalam pola integrasi ini memungkinkan keluarga petani dapat memelihara sapi antara 15-20 ekor induk (AMALI et al., 2004). Lebih lanjut PRIYANTI dan DJAJANEGARA (2004) mengemukakan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa, pengembangan sapi potong di perkebunan sawit secara integrasi memiliki kemudahan antara lain penyediaan dan pemberian pakan yang murah, perawatan, manajemen dan perkawinan lebih praktis dan efisien serta upaya menjaga kesehatan ternak dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Menurut DIWYANTO (2003) dalam GUNAWAN dan DARYANTO (2004) bahwa sistem integrasi sapi-kelapa sawit (SISKA) daya tampung ternak dapat ditingkatkan. Dukungan teknologi pakan juga akan meningkatkan kapasitas tampung wilayah terhadap ternak melalui teknik enrichment sumber pakan inkonvensional (SUDARYANTO, 1999). Selanjutnya GUNAWAN dan DARYANTO (2004) mengemukakan berdasarkan hasil kajian bahwa pengembangan sapi di lahan perkebunan sawit secara integrasi akan memberikan keuntungan per tahun yang lebih besar. Dari pemeliharaan sapi dewasa per ekor diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.500.000,/tahun. Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang inovasi teknologi dan sumber daya manusia di Kalimantan Selatan dalam mendukung upaya pengembangan integrasi sapi dan perkebunan kelapa sawit.
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
POTENSI SUMBER DAYA ALAM Sesuai dengan visi pembangunan sub sektor peternakan Provinsi Kalimantan Selatan adalah terwujudnya pembangunan peternakan modern dan tangguh menuju masyarakat yang sehat dan produktif pada tahun 2010, Hal tersebut merupakan target sekaligus dambaan insan peternakan dan masyarakat Kalimantan Selatan. Untuk mencapai semua itu diperlukan upaya dan kerja keras yang optimal dalam pengelolaan peternakan secara terpadu dan berkesinambungan (DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 2005). Luas wilayah Kalimantan Selatan sebesar 3.753.052 ha dengan kondisi agroekosistem lahan kering, pasang surut, lebak, tadah hujan dan lainnya serta sumber daya manusia sebanyak 3.201962 jiwa, dengan mata pencaharian penduduknya dari pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, dan perikanan (BADAN PUSAT STATISTIK, 2004). Populasi sapi potong sekitar 173.648 ekor dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4,31%/tahun, yang tersebar di 11 kabupaten dan 2 kotamadya (Dinas Peternakan Kalimantan Selatan, 2004), sementara luas lahan perkebunan sebesar 427.684 ha (11,39%) dan yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit sebesar 160.752 ha dengan produksi crude palm oil (CPO) sebanyak 248.329,12 ton/tahun yang berada di 5 kabupaten (Dinas Perkebunan Kalimantan Selatan, 2005).
Potensi wilayah Kalimantan Selatan mampu menampung sapi potong sekitar 977.653 ST dan daya tampung ini baru dimanfaatkan sekitar 30,90%. Sedangkan produksi hijauan pakan ternak tercatat sebesar 2.675.328 ton bahan kering (BK)/tahun dan produksi limbah pertanian sekitar 853.169 ton BK/tahun (DITJEN PETERNAKAN dan PUSLITTANAK, 1997; NASRULLAH et al., 2004). Populasi dan komposisi ternak ruminansia di Kalimantan Selatan selama 6 tahun terakhir disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan potensi di atas terdapat peluang pengembangan ternak ruminansia sebesar 1.000.000 ST, hal ini berdasarkan asumsi bahwa hijauan dan limbah pertanian ini baru dimanfaatkan sekitar 16,74% dari luas areal yang tersedia (ROHAENI dan HAMDAN, 2004). Ketersediaan lahan dan sumber daya manusia serta bahan pakan, terutama limbah yang dihasilkan perkebunan sawit dan pabrik pengolahan CPO yang dimiliki merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam pemeliharaan sapi potong. Menurut GINTING (1991); GUNAWAN dan DARYANTO (2004) berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa per hektar kebun sawit dapat digunakan untuk memelihara sapi sebanyak 1-3 ekor. Berdasarkan hasil tersebut, maka di Kalimantan Selatan dengan luas kebun sawit sekarang sekitar 160.752 ha, dapat ditambahkan pengembangan ternak sapi potong sebanyak 522.676 ekor. Daya tampung areal perkebunan besar terhadap ternak ruminansia (Tabel 2).
Tabel 1. Jumlah populasi dan komposisi ternak ruminansia 5 tahun terakhir Jenis ternak
Tahun Sapi
Kerbau
Kambing
Domba
1999
137.907
34.227
65.381
3.539
2000
143.416
35.288
69.827
3.748
2001
146.763
35.516
73.649
3.602
2002
152.765
37.463
77.757
3.642
2003
166.469
37.550
84.442
3.611
2004
173.648
38.488
91.911
3.419
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kalimantan Selatan, 1999-2004
61
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Tabel 2. Daya tampung areal perkebunan terhadap sapi dan domba Jenis tanaman
Umur tanaman (tahun)
Kelapa sawit
Karet
Daya tampung (ekor/ha) Sapi dewasa
Domba dewasa
1-3
1-3
8-15
4-10
0,4-0,8
3-16
> 10
0,6-1
4-8
1-3
1-3
8-17
4-10
0,5-1,0
3-8
> 10
0,6-1,5
4-9
Sumber: GINTING (1991)
Menurut SUHARTO (2004) hasil samping tanaman pangan dan perkebunan sebenarnya bukan limbah, tetapi sumber daya yang sangat potensial untuk dikembangkan dan kekakayaan alam Indonesia ini masih sangat mampu menyediakan dalam jumlah besar dan memiliki nilai ekonomis rendah. Kelemahan yang ada pada potensi tersebut adalah ketidaklaziman untuk digunakan sebagai bahan pakan, kurang palatable dan memiliki kandungan nutrien rendah (protein dan energi). PELUANG DAN POTENSI PENGEMBANGAN INTEGRASI SAWITSAPI Semakin terbatasnya penyediaan lahan untuk budidaya rumput unggul sebagai salah satu pakan ternak ruminansia, menyebabkan ketergantungan kepada limbah tanaman pangan, perkebunan menjadi lebih besar, sementara limbah tersebut nilai nutriennya relatif rendah. Keterbatasan lahan ini hanya terdapat di Pulau Jawa dengan permintaan daging juga lebih tinggi. Hal ini memerlukan pemikiran dan penanganan alternatif pola pengembangan sapi potong yang lebih menguntungkan. Menurut RIADY (2004) penyediaan pakan hijauan sampai saat ini masih bergantung pada musim dan pemanfaatan limbah/hasil samping tanaman pertanian. Kendala utama khususnya di Kawasan Timur Indonesia adalah kekurangan pakan hijauan pada musim kemarau panjang. Model penyediaan pakan hijauan sepanjang tahun (tiga strata, sistem pastura unggul, pola integrasi ternak dengan tanaman pangan dan perkebunan belum diterapkan dengan baik,
62
padahal menurut BASUNO dan SABRANI (1999); DIWYANTO dan HARYANTO (2001); PRIYANTI dan DJAJANEGARA (2004) sistem integrasi sapi potong dengan tanaman pangan dan perkebunan paling ideal dan menguntungkan. Tujuan utama dari pola integrasi tanaman– ternak menurut DIWYANTO (2002) antara lain adalah untuk mencapai ketahanan pangan nasional, mengurangi kemiskinan dan memperbaiki atau menjaga lingkungan hidup dari kerusakan yang lebih parah. Dengan sistem ini produktivitas lahan dapat ditingkatkan, produksi lebih efisien dan kesejahteraan petani dapat meningkat (KUSUMO dan DIWYANTO, 2001). GINTING (1991) menyatakan bahwa potensi sumber daya alam (lahan, vegetasi dan mikroklimat) dan manusia yang tersedia di sub sektor perkebunan (karet, kelapa dan kelapa sawit) menawarkan kemungkinan pengembangan suatu usaha produksi yang sifatnya terpadu/terintegrasi dengan ternak ruminansia sapi dan domba. Potensi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan sampai tahun 2005 tercatat sebanyak 22 perusahaan besar swasta (PBS) yang tersebar di 5 kabupaten (Kotabaru 11, Tanah Bumbu 8, Balangan 1, Tabalong 1 dan Kabupaten Tapin 1) dengan target area seluas 268.837, 5 ha. Sementara yang sudah memproduksi CPO sebanyak 7 perusahaan terdapat di Kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu dengan Kapasitas produksinya sebesar 189.374 ton, kemudian kernel 40.000 ton, tandan buah kosong (TBK) 174.224 ton dan lumpur sawit (sludge) 35.524 ton (STATISTIK PEKEBUNAN KALIMANTAN SELATAN, 2003).
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Menurut AWALUDDIN dan MASURNI (2003); WIDJAJA et al. (2004) perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi yang besar untuk mendukung pengembangan peternakan, yakni dengan tersedianya hijauan pakan ternak, baik berupa cover crop (legume) maupun rumput liar di kawasan perkebunan serta limbah yang dihasilkan dari industri CPO. Pada kebun sawit umur 1-2 tahun tanaman ground cover produksinya dapat mencapai 5,59,5 ton BK /hektar dan produksi hijauan saat umur 3-7 tahun/luasan are adalah 500 kg/ekor/tahun dan satu ekor sapi membutuhkan hijauan 2,5-3% dari bobot badannya, sedangkan sapi berumur 1-2 tahun membutuhkan 3 ha luasan tanaman sawit untuk penggembalaannya. DIWYANTO et al. (1996) dan Suharto (2004) limbah tanaman pangan dan perkebunan memiliki peran yang cukup penting dan berpotensi dalam penyediaan pakan hijauan bagi ternak ruminansia terutama pada musim kemarau. Walaupun pada umumnya limbah pertanian dan perkebunan berkualitas rendah. Untuk meningkatkan nilai nutriennya perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut, baik secara fisik, kimia maupun biologi. IBRAHIM (1981) dalam SUDARYANTO (1999) mengemukakan untuk meningkatkan nilai nutrien dari limbah pertanian dan perkebunan dapat dilakukan tahapan lanjut, yakni perlakuan fisik dengan cara dipotongpotong, digiling, direbus, dibuat pelet dan radiasi dengan sinar gamma, sedangkan secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia seperti NaOH, Ca(OH)2, ammonium hidroksida atau anhidrous amonia, urea, sodium karbonat, sodium chlorida, gas chlor, sulfur dioksida dan sebagainya. Sementara untuk perlakuan biologi dapat digunakan penambahan enzim, menumbuhkan jamur, bakteri dan lain-lain. Limbah sawit sebagai pakan ternak dari jumlah, ketersediaan dan kandungan nutriennya mempunyai potensi yang cukup besar, seperti daun pelepah, bungkil inti sawit (BIS), limbah padat (decanter cake), lumpur sawit (sludge), serat sawit dan tandan kosong sawit. Menurut BPPT-Dinas Peternakan Kalimantan Selatan (2004) jumlah limbah sawit yang dihasilkan dari satu ton tandan buah segar (TBS) adalah tandan kosong 230 kg
(23%), serat sawit 150 kg (15%) solid 30 kg, bungkil inti sawit dan lumpur sawit 0,44 m3. menurut SUTARDI (1997) dalam BATUBARA et al. (2003) tiap hektar kebun kelapa sawit dapat menghasilkan sebanyak 10-15 ton tandan buah sawit segar (TBS) dan jika diolah, tiap TBS akan menghasilkan tiga jenis limbah yang dapat digunakan untuk pakan ternak yaitu 4546% BIS, 12% sabut sawit dan 2% lumpur sawit. Menurut PANIN et al. (1995) dalam Sudaryanto (1999) kontribusi jenis limbah kelapa sawit yang dihasilkan seperti tertera pada Tabel 3. Sementara komposisi limbah (produk samping) yang dihasilkan dari pengolahan minyak kelapa sawit (CPO), disajikan pada Tabel 4. SUHARTO (2004) mengemukakan bahwa salah satu hasil samping perkebunan kelapa sawit yang dapat digunakan sebagai pakan konsentrat sapi potong adalah serat sawit (palm press fibre), lumpur sawit (palm oli sludge), dan bungkil inti sawit (palm kernel cake). Pemanfaatan limbah perkebunan sawit dan limbah perusahaan pengolahan CPO telah banyak diteliti. Hasil penelitian terdahulu dilaporkan SUDARYANTO (1999) bahwa pemberian daun kelapa sawit kepada sapi potong dapat menyamai pertambahan bobot badan harian sapi yang diberi pakan konsentrat. Hal ini disebabkan pada daun kelapa sawit mengandung komposisi nutrien yaitu protein kasar 11,98%, bahan kering 44,02% dengan daya cerna sebesar 38%. Tabel 3. Jenis dan limbah perkebunan kelapa sawit Jenis limbah
Kontribusinya
Limbah cair
1 m3 /ton TBS
Tandan kosong sawit
0,2 ton basah/tonTBS
Serat buah
0,13 ton kering/ton TBS
Cangkang
0,05 ton kering/ton TBS
Pelepah
10,5 ton kering/ton TBS
Batang
70 ton kering/ha/25 tahun
Sumber: PANIN et al. (1995) SUDARYANTO (1999) TBS = tandan buah segar
dalam
63
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Tabel 4. Komposisi limbah yang dihasilkan dari pengolahan minyak kelapa sawit Kisaran produksi
Deskripsi
%
Ton/hari
Tandan buah segar
100,00
600-700
Crude palm oil (CPO)
23,00
138-161
Limbah cair
85,00
51-59,5
Serat perahan buah
16,00
96-112 156-182
Limbah padat: Kernel
26,00
BIS (55% dari kernel)
4,00
24-28
Cangkang
6,00
36-42
Solid
3,00
18-21
Limbah lain
13,50
81,94,4
Keterangan: BIS = bungkil inti sawit Sumber: WIDJAJA et al. (2004)
BATUBARA et al. (2003) mengemukakan bahwa penggunaan daun sawit, solid decanter tanpa olah dengan yang diolah, BIS tanpa dan dengan diolah menunjukkan perbedaan nyata terhadap rataan pertambahan bobot badan harian kambing, yakni masing-masing sebesar 53 g/ekor/hari dan 77 g/ekor/hari, sementara konversi ransumnya sebesar 7,8 dan 6,3. Selanjutnya WIDJAJA et al. (2004); WIDJAJA dan UTOMO (2004) melaporkan bahwa penggunaan limbah solid sebagai pakan tambahan ternak ruminansia sapi atau domba menunjukkan hasil yang baik. Limbah solid yang diberikan dalam bentuk segar secara tunggal langsung dari pabrik ditambah rumput alam secara ad libitum pada sapi PO jantan menghasilkan rataan pertambahan bobot badan harian sebesar 0,77 kg/ekor/hari dan kontrol sebesar 0,22 kg/ekor/hari. Pada domba lokal pemberian solid segar ditambah rumput alam dapat meningkatkan rataan pertambahan berat badan sebasar 0,045 kg/ekor/hari dan kontrol sebesar 0,035 kg/ekor/hari (WIDJAJA dan UTOMO, 2004). Hasil pengkajian SULISTIYANINGSIH (2001a dan 2001b) dan SULISTIYANINGSIH (2003 dan 2004), dilaporkan bahwa pemberian bungkil inti sawit sebanyak 2 kg/ekor/hari selama 8 minggu dapat meningkatkan rataan pertambahan bobot badan harian sapi Bali jantan sebesar 0,59 kg/ekor/hari, sedangkan kontrol hanya 0,41 kg/ekor/hari. Sedangkan pemberian BIS dengan campuran rumput
64
alam+jerami padi+dedak+tetes pada sapi PO menghasilkan rataan pertambahan bobot badan harian sebesar 1,060 kg/ekor/hari, sementara pada sapi Bali penggemukan rataan peningkatan pertambahan bobot badan sebesar 0,808 kg/ekor/hari. POTENSI SUMBER DAYA MANUSIA Potensi sumber daya manusia pendukung pengembnagan integrasi sawit–sapi di Kalimantan Selatan, selain dari jumlah penduduknya sebesar 3.20.1962 jiwa yang merupakan konsumen utama hasil peternakan dan perkebunan, juga merupakan potensi alamiah yang secara nyata dapat mendukung program ini. Jumlah penduduk ini merupakan modal awal dalam penyediaan kebutuhan pangan hewani, salah satunya daging sapi. Dari segi pemenuhan kebutuhan protein hewani yang berasal dari daging, menurut data Dinas Peternakan Kalimantan Selatan (2004) baru sebesar 3,91 g/kapita/hari (53,45%) dari rekomendasi yang dianjurkan Widya Pangan dan Gizi tahun 1998 sebesar 6 g/kapita/hari. Jika dikonversikan kedalam ton, maka jumlah kebutuhan konsumsi daging pada tahun 2004 sebesar 24.187 ton, sementara produksi daging sapi baru mencapai 5.881,84 ton dan masih mengalami kekurangan sebesar 18.306 ton. Selain itu juga potensi lain yang dapat mendukung pelakasanaan pengembangan
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
integrasi ini adalah adanya tenaga profesional dari lembaga penelitian/pengkajian seperti BPTP Kalimantan Selatan, lembaga penelitian peternakan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Banjarmasin, penyuluh Dinas Peternakan dan dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan, Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan, pihak swasta/LSM yang berkecimpung dalam dunia peternakan. Keberadaan lembaga penelitian/pengkajian akan membantu menjembatani kegiatan penelitian/pengkajian dengan pihak swasta atau pihak lain yang mempunyai komitmen untuk kegiatan ini. Kerjasama atau kemitraan antar lembaga penelitian dengan pihak pemerintah daerah dan manajemen perusahaan perkebunan besar swasta, diharapkan dapat memperlancar arus transfer teknologi kepada pengguna (user), sehingga inovasi teknologi yang dihasilkan mudah didiseminasikan secara lebih luas. Kunci sukses keberhasilan sistem integrasi ini adalah dukungan semua pihak dan manajemen perusahaan besar swasta kelapa sawit yang ada di Kalimantan Selatan beserta seluruh potensi, karyawan dan masyarakat di sekitar perkebunan. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan adalah: 1. Sapi potong merupakan komoditas strategis yang dapat dikembangkan sebagai penghasil daging dan bakalan. 2. Kapasitas tampung sapi potong di wilayah Kalimantan Selatan sebesar 977.653 ST, sedangkan tambahan kapasitas tampung dari luas areal perkebunan kelapa sawit hingga saat ini sebesar 522.676 ST. 3. Pola integrasi sawit-sapi di Kalimantan Selatan mempunyai potensi dan prospek yang cerah untuk dikembangkan dimasa mendatang. 4. Inovasi teknologi dan sumber daya manusia yang tersedia dapat mendukung upaya pengembangan sawit-sapi di Kalimantan Selata
DAFTAR PUSTAKA AMALI, N., E.S. ROHAENI, A. DARMAWAN, A. SUBHAN, S. NURAWALIYAH dan PAGIYANTO. 2004. Pengkajian pemanfaatan jenggel jagung di lahan kering Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Banjarbaru. ANDJAM, M. 2005. Komunikasi Pribadi. AWALUDDIN, R. dan S.HJ. MASURNI. 2003. Systematic beef cattle integration in oil palm plantation with emphasis on the utilization of under growth. Makalah Temu Aplikasi Teknologi Pertanian Sub Sektor Peternakan. Banjarbaru, 8-9 Desember 2003. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Banjarbaru. hlm. 1-11. BADAN PUSAT STATISTIK. 2004. Kalimantan Selatan dalam Angka. Banjarmasin. BPPT-DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 2004. Aplikasi Teknologi Pemanfaatan Limbah Perkebunan Kelapa Sawit. Banjarbaru. BASUNO, E. dan M. SABRANI. 1999. Penelitian integrasi ruminan dan tanaman hutan industri di Pelaihari. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid II, Bogor 1819 Nopember 1997. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm.744-752. BATUBARA, L.P., S.P. GINTING, K. SIMANIHURUK, J. SIANIPAR dan A. TARIGAN. 2003. Pemanfaatan limbah dan hasil ikutan perkebunan kelapa sawit sebagai ransum kambing potong. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. “Iptek untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani melalui Agribisnis Peternakan yang Berdaya Saing”. Bogor, 2930 September 2003. Badan Litbang Pertanian. Puslibang Peternakan. Bogor. hlm. 106-109. DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 2004. Laporan Tahunan. Banjarbaru. DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 2005. Kebijakan pembangunan peternakan Kalimantan Selatan 2005. Makalah disampaikan pada Temu Informasi Teknologi Pertanian. Banjarbaru 26-28 Juli 2005. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Banjarbaru.
65
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
DINAS PERKEBUNAN KALIMANTAN SELATAN. 2005. Kebijakan pembangunan perkebunan Kalimantan Selatan 2005. Makalan disampaikan pada Temu Informasi Teknologi Pertanian. Banjarbaru, 26-28 Juli 2005. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Banjarbaru. DITJEN PETERNAKAN DAN PUSLITTANAK. 1997. Penyusunan Kesesuaian Lahan untuk Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. Jakarta. DIWYANTO, K., A. PRIYANTI dan D. ZAINUDDIN. 1996. Pengembangan ternak berwawasan agribisnis di pedesaan dengan pemanfaatan limbah pertanian dan pemilihan bibit yang tepat. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XV(1): 6-15. DIWYANTO, K. dan B. HARYANTO. 2001. Integrasi Ternak dengan Usaha Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. hlm.1-10. DIWYANTO, K., B.R. PRAWIRADIPUTRA dan D. LUBIS. 2002. Integrasi tanaman-ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing dan berkerlanjutan. Wartazoa : 1-8. GINTING, S.P. 1991. Keterpaduan Ternak ruminansia dengan perkebunan. I. Produksi dan Nilai Nutrisi Vegetasi Perkebunan sebagai Hijauan Pakan. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian X (1): 1-8. GUNAWAN dan DARYANTO. 2004. Prospek pengembangan usaha sapi potong di bengkulu dalam mendukung agribisnis yang berdayasaing. Pros. Lokakarya Nasional Sapi Potong Menuju 2020. Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan. Yogyakarta, 8-9 Oktober 2004. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 112-116. NASRULLAH, B., TAPPA, S. SAID dan E.M. KAIIN. 2004. Persediaan Pakan ruminansia di Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan Pada Seminar Sehari dalam Rangka Bulan Bhakti Peternakan dan Kesehatan Hewan. Banjarbaru, 16 September 2004. PRIYANTI, A. dan A. DJAJANEGARA. 2004. Pengembangan usaha sapi potong pola integrasi. Pros. Lokakarya Nasional Sapi Potong Menuju 2020. Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan. Yogyakarta, 8-9 Oktober 2004. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 77-83.
66
RIADY, M. 2004. Tantangan dan peluang peningkatan produksi sapi potong menuju 2020. Pros. Lokakarya Nasional Sapi Potong Menuju 2020. Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan. Yogyakarta, 8-9 Oktober 2004. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 3-13. ROHAENI, E.S. dan A. HAMDAN. 2004. Profil dan prospek pengembangan usahatani sapi potong di Kalimantan Selatan. Pros. Lokakarya Nasional Sapi Potong Menuju 2020. Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan. Yogyakarta, 8-9 Oktober 2004. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 132-139. SANTOSO, J. dan E. TUHERKIH. 2003. Meningkatkan pengelolaan lahan untuk memacu pengembangan ternak ruminansia. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. “Iptek untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani melalui Agribisnis Peternakan yang Berdaya Saing”. Bogor, 2930 September 2003. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 258-265. SUDARYANTO, B. 1999. Peluang penggunaan daun kelapa sawit sebagai pakan ternak ruminansia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I, Bogor 18-19 Nopember 1997. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 428-433. STATISTIK PERKEBUNAN KALIMANTAN SELATAN. 2003. Dinas Perkebunan Kalimantan Selatan. Banjarbaru. SUHARTO, M. 2004. Dukungan teknologi pakan dalam usaha sapi potong berbasis sumberdaya lokal. Pros. Lokakarya Nasional Sapi Potong Menuju 2020. Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan. Yogyakarta, 8-9 Oktober 2004. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 14-21. SULISTIYANINGSIH, S. 2001a. Kaji terap penerapan teknologi pakan olahan untuk penggemukan sapi potong. proyek implementasi program kawasan sentra produksi (KSP) TalaKotabaru. Dinas Peternakan Kalimantan Selatan. Banjarbaru. SULISTIYANINGSIH, S. 2001b. Uji terap rekayasa pakan pada sapi potong di Desa Tanjung, Kabupaten Tanah Laut. Bagian Proyek Pengembangan Agribisnis Peternakan.Dinas Peternakan Kalimantan Selatan. Banjarbaru.
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
SULISTIYANINGSIH, S. 2003. Penerapan limbah sawit untuk pakan sapi potong di Kabupaten Tanah Bumbu. Laporan Kegiatan. Dinas Peternakan Kalimantan Selatan. Banjarbaru. SULISTIYANINGSIH, S. 2004. Pendampingan integrasi peternakan pada lahan perkebunan. Laporan Kegiatan. Dinas Peternakan Kalimantan Selatan. Banjarbaru. SYAMSU, J.A., L.A. SOFYAN, K. MUDIKDJO dan E.G. SAID. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13(1): 30-37. TARMUDJI. 1997. Strategi pengembangan peternakan sapi potong di Kalimantan Selatan. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Bogor 18-19 Nopember 1997. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 234-247.
WIDJAJA, E. dan B.N. UTOMO. 2004. Pemanfaatan limbah pengolahan minyak kelapa sawit yang berupa solid untuk pakan ternak (sapi, domba dan ayam) di Kalimantan Tengah. Succsess Story. Pengembangan Teknologi Inovatif Spesifik Lokasi. Buku I. Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (PAATP) Badan Litbang Pertanian. Jakarta. hlm. 171185. WIDJAJA, E., B.N. UTOMO, S.N. AHMAD dan D.D. SISWANSYAH. 2004. Pemanfaatan sumberdaya pakan lokal dalam rangka pengembangan sapi potong di Kalimantan Tengah. Pros. Lokakarya Nasional Sapi Potong Menuju 2020. Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan. Yogyakarta, 8-9 Oktober 2004. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 140-145.
67