Temu Teknis Fungsional Non Peneliti 2001
TEKNIK PENAMPUNGAN FESES DAN URINE UNTUK DOMBA-KAMBING BETINA ROKHMAN
Balai Penelitian TernakP.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Metoda koleksi total/in-vivo yang sering dipergunakan dalam mengukur kualitas bahan pakan/ransum pada ternak jantan tidak dapat dipergunakan untuk ternak betina . Namun demikian hal tersebut bukan merupakan hambatan yang dapat dijadikan alasan untuk tidak dapat melakukan kegiatan koleksi total pada ternak betina . Teknik dua lapis dengan fungsi berbeda ternyata dapat dipakai pada domba-kambing betina . Lapis satu terbuat dari kain kasa dan berf ingsi sebagai penyanggah butiran feses. Sedangkan lapis 2 terbuat dari kain parazut dan berfungsi sebagai penyanggah aliran urine ke botol penampung. Dengan sedikit bantuan tali yang diikat pada setiap ujung lapisan (Lapis 1 dan 2), ke dua lapisan tersebut dapat dipasang dan dengan menempatkan lapis 2 dibawah lapis 1, feses dan urine dapat ditampung secara terpisah. Teknik dua lapis ternyata dapat dipakai sebagai alat bantu kegiatan koleksi total pada dombakambing betina dan sekaligus dapat menggantikan metoda koleksi total yang umumnya mempergunakan kandang metabolisme. Kata Kunci : teknik dua lapis, koleksi total, domba-kambing betina .
PENDAHULUAN Pada umumnya uji kualitas bahan pakan/ransum dilakukan dengan mengukur tingkat kecernaan . pakan. Pengukuran dilakukan dengan mempergunakan beberapa teknik, seperti in-vitro, in-vivo atau kombinasi kedua teknik tersebut. Pemiliohan teknik yang akan dipergunakan tersebut sangat bergantung pada ketersediaan materi, dana dan ketrampilan sumber daya manusia yang ada. Teknik in-vtro dilakukan dalam skala laboratorium dengan meniru mekanisme kegiatan mikro-organisme didalam rumen. Untuk itu maka media yang akan dipergunakan adalah cairan rumen yang diberi larutan `buffer' yang untuk selanjutnya diinkubasi dalam `water bath' dengan temperatur 390 C . Untuk menjaga kondisi lingkungan selama proses inkubasi dapat menyerupai, kalau tidak dikatakan sama dalam rumen, maka selama proses inkubasi diberi aliran C02 (JOHNSON, 1969). Sedangkan teknik uji kualitas pakan dengan metoda in-vivo (sering disebut juga metoda koleksi total) dilakukan dengan menggunakan ternak sebagai media uji coba. Metoda ini lebih tepat, karena dilakukan secara langsung dengan menggunakan ternak, namun membutuhkan dana yang lebih banyak jika dibandingkan dengan metoda in-vitro . Pada umumnya jenis ternak yang dipergunakan sebagai model, adalah ternak yang 95
Temu Teknis Fungsional Non Peneliti 2001
mudah ditangani, yakni Trnak domba atau kambing (selanjutnya sebut saja doming) berjenis kelamin jantan (SOEDOMO, 1987) . Dasar pemikirannya adalah pengumpulan feses dan urine mudah dilakukan (SCHNEIDER AND FLATT, 1975). Ternak ditempatkan dalam kandang metabolisme yang dilengkapi dengan perangkat yang dapat menampung feses clan urine secara terpisah, sebagai yang telah diutarakan SURYANA (1997). Pemisahan feses dan urine secara langsung tersebut, menghasilkan tingkat ketelitian data yang dikumpulkan dapat terjamin. Namun demikian pengalaman di lapang menunjukkan bahwa, ternak jamntan tidak selalu tersedia, sehingga perlu dipikirkan begaimana teknik yang dapat diterapkan dalam pengumpulan data kecemaan apabila metoda koleksi total dilakukan dengan menggunakan ternak betina . Pada kesempatan ini penulis mencaba membagi pengalaman lapang yang cukup berharga untuk dapat dipertimbangkan sebagai bahan masukan bagi para peneliti dan teknisi yang ingin melakukan uji kecemaan pakan . secara in-vivo dengan mempergunakan Trnak betina, khususnya ternak "doming"
BAHAN DAN CARA Pengamatan pada umumnya dilakukan secara individu, sehingga ketersediaan kandang individu yang berbentuk panggung mutlak diperlukan . Setelah ukuran kandang individu (panjang dan lebar) diketahui maka langkah selanjutnya perlu dirancang model penampungan yang diharapkan. Uji cobs ukuran dan model penampungan perlu dilakukan sebelum periode pengumpulan data berlangsung . Hal ini penting untuk mengetahui kekurangan-kekurangan yang mungkin dapat terjadi, sekaligus merupakan bahan pemikiran kearah penyempurnaan model yang dirancang. Prinsip utama yang harus menjadi dasar pemikiran pembuatan model penampungan adalah pemisahan feses dan urine yang sempurna/tidak tercemar (SOEDOMO, 1987).
Alat dan bahan . Oleh karena materi yang dikumpulkan berbentuk basah, maka
bahan yang dipilih sebaiknya tidak memiliki sifat menyerap air dan tahan/kuat serta mudah didapat dengan harga yang relatif murah . Dari beberapa bahan yang tersedia di pasar, ternyata bahan yang baik untuk dapat dipakai sebagai bahan penampung urine adalah kain polyester tipis (parazut), sedangkan sebagai bahan penampung feses dapat dipergunakan kain kasa nyamuk yang juga terbuat dari polyester. Selain bahan utama tersebut dibutuhkan juga corong minyak yang terbuat dari plastik, selang plastik (ukuran yang disesuaikan dengan corong), hekter, lem `aica aibon', tali palstik ukuran diameter kecil, pakau seng clan botol bekas bahan kimia dengan kapasitas minimal 2 liter .
Cara pembuatan. Persiapkan kasa nyamuk dengan ukuran kandang ditambah
10 cm untuk disetiap sisinya. Setiap sisi lembaran dijahit dengan lubang untuk memasukan tali plastik di setiap pojok lembaran. Untuk memudahkan, sebut saja lembaran lapis pertama (Gambar la).
96
Temu Teknis Fungsional Non Penelid 2001
Lipaton untuk johitan don tempot tali . Tali
Kain kaaa ~~i1tli
ffloArofffol"
im
1I
Arm'
lei .~
Gambar la. Lapis 1 sebagai penyanggah feses Selanjutnya siapkan lapis kedua yang terbuat dari kain parazut. Ukuran lapis kedua diusahakan 20 cm lebih lebar dari ukuran laintai kandang panggung ditambah 10 cm. Tujuannya adalah agar lapis ke 2 ini dapat menggantung bebas dan tidak menempel dengan lapis pertama, sedang 10 cm lainnya dipersiapkan untuk tempat jahitan dengan luabng pada setiap pojok untuk memasukan tali (Gambar lb). Ditengah lapis ke dua, dibuat lubang yang disesuaikan dengan diameter mulut corong, yang untuk selanjutnya corong plastik tersebut dapat ditempelkan pada bagian tersebut. Agar sambungan tersebut cukup kuat dan tidak bocor, maka pergunakan lem clan hekter yang telah dipersiapkan . Untuk mencegah rembesan yang mungkin dpaat terjadi, usahakan agar sisi mulut corong menempel/berada dibagian luar (Gambar lb). Selain sebagai tempat alir urine, corong plastik ini jugs berfungsi sebagai pemberat yang dapat memebentuk lapis ke dua menjadi cekung . Setelah kedua pekerjaan tersebut selesai, maka alat tersebut telah siap dipergunakan . Cara kerja alat penampung. Sangkutkan Lapis 1 tepat dibawah lantai kandang panggung dengan bantuan pakau yang telah dipersiapkan atau dengan bantuan alat pengait lainnya. Setiap ujung Lapis 1, berada tepat disetiap pojok lantai kandang. Selanjutnya lakukan hal yang sama untuk Lapis 2, tepat bagian bawah Lapis 1, sebagai yang tertera pada Gambar 2. Hubungkan ujung corong dengan
97
Temu Teknis Fungsional Non Peneliti 1001
mulut botol, dengan menggunakan selang yang panjangnya disesuaikan dengan jarak antara lantai kandang dengan mulut botol .
Lipatan johiatan untuk tempat tali/kayu
Tali
Gambar lb . Lapis 2 parazut sebagai penyanggah urine yang dilengkapi dengan corong
Tali
Lapis 1 .
Lapis 2.
Corong Plastik Selang plastik Botol penampung urine Lantai kanclang
Gambar 2. Penampilan samping teknik pengumpulan feses dan urine .
98
Temu Teknis Fungsional Non Peneliti 2001
Apabila semua alat telah terpasang dengan baik maka pekerjaan penampungan siap dilaksanakan . Lapis pertama diharapkan dapat menampung butiran feses yang akan dikeluarkan oleh ternak yang bersangkutan . Asedangkan Lapis 2 dipersiapkan sebagai temapt menahan jatuhnya cairan urine dan temapt aliran urine ke botol melalui corong dan selang yang telah dipersiapkan . Untuk pengumpulan contoh, maka pertama-tama yang harus dikeluarkan adalah urine. Selanjutnya dengan hanya membuka kedua kaitan bagian belakang Lapis 2, feses dapat dikeluarkan tanpa tercemar urine. Pekerjaan ini sebaiknya dilakukan beberapa kali dalam sehari, minimal 2 kali sehari, yakni pada pagi hari dan sore hari . HASIL DAN PEMBAHASAN Selama ini dikeluhkan bahwa pengumpulan feses dan urine secara terpisah mengalami kesulitan . Namun demikian kekuatiran tersebut dapat diatasi dengan menggunakan teknik yang diutarakan pada kesempatan ini. Pengamatan lapang dari beberapa kali uji coba yang dilakukan menunjul:kan bahwa dengan sedikit penyempurnaan, penampungan feses dan urine yang berasal dari "doming" betina dapat dilakukan dengan baik . Penggunaan tali plastik sebagai penyanggah Lapis 1 dan Lapis 2 kurang stabil sehingga memberikan hasil tidak sebagai yang diharapkan . Beban yang terjadi sebagai akibat bobot feses yang berlebihan dapat menyebabkan Lapis 1 melengkung dan menempel pada Lapis 2. Keadaan demikian tidak jarnag menyebabkan genangan feses dalam urine. Kosekuensinya adalah tercemarnya feses dengan urine sehingga dikuatirkan dapat mengurangi ketelitian pengamatan (SOEDOMO, 1987). Oleh karena itu, pemilihan alat lain yang tidak mudah lentur perlu dipikirkan, seperti penggunaan kayu bamboo atau besi sebagai bahan pengganti tali palstik. Dalam kasus tertentu dimana ada ternak mengalami gangguan pencernaan dan mencret, akan menyebabkan kesulitan untuk mendapatkan sample yang terpisah dan tidak terkontaminasi . Keadaan ini dapat diatasi dengan cara melakukan pengumpulan feses dengan frekuensi yang lebih sering, agar urine dapat mengalir dengan baik . Hal ini penting dilakukan untuk mengurangi resiko kontaminasi feses dan urine yang mungkin dapat terjadi, disamping agar segala kelemahan sekecil apapun dapat segera diatasi. Kelemahan terakhir yang dimaksud adalah kemungkinan terjadinya rembesan urine melalui tempelan antara mulut corong dengan lubagn parazut. Melihat pada cara kerja teknik dua lapis yang diutarakan diatas, maka tidak tertutup kemungkinan teknik ini dapat dipergunakan juga untuk ternak jantan . Bila asumsi ii benar, maka biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan kandang metabolisme dan diketahui cukup mahal dapat ditiadakan/dikurangi .
Temu Teknis Fungsional Non Peneliti 200/
KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian diatas dan pengamman di lapang menunjukkan bahwa dengan telnik dua lapis dengan f ingsi yang berbeda dapat dipergunakan untuk mengumpulkan feses dan urine secara terpisah. Penggunaan penyanggah dengna tali palstik perlu diganti dengan alat yang lebih kuat dan tidak lentur, seperti kayu dengan ukuran kecil namun cukup kuat ataupun dengan menggunakan besi behel yang tidak lagi diragukan kekuatannya serta tidak menyerap air/urine. Disarankan agar kaitan depan dari Lapis 1 dan 2 tersebut bersifat permanen, sementara kedua kaitan bagian belakang dari Lapis 1 dan 2 bersifat labil dan mudah dibuka/dipasang . Agar pengamatan dapat menghasilkan data dengan tingkat ketelitian yang lebih mendekati harapan, maka disarankan agar frekuensi pengumpulan feses dan urine dalam kurun waktu 24 jam, ditingkatkan menjadi sesering mungkin (3 - 4 kali/24 jam). UCAPAN TERIMA KASIH Penghargaan diberikan kepada Staf peneliti dan teknisi Program Ruminansia Kecil yang telah bersedia memberi arahan selama pekerjaan ini dilakukan. Demikian pula atas segala dukung material dan moral yang selama ini diterima penulis sampai tulisan ini berwujud, diucapkan terima kasih dan hormat . DAFTAR BACAAN R.R. 1969 . Technique and Procedures for in-vitro and in-vivo Rumen Studies. In. Techniques and Procedures in Animal Science Research. American Society of Animal Science. Q. Corporation< Albany, NY.
JOHNSON,
B. AND W. FLATT. 1975. The Evaluation of Feed Through Digestibility Experiments . The Univ . George Press, Athens . 30602.
SCHNEIDER, SOEDOMO,
R. 1987 . Pakan Temak Gembala. BPFE. Yogyakarta .
1997 . Pembuatan kantong koleksi fese untuk domba. Pros. Lokakarya Fingsional Non Peneliti . Puslitbang Peternakan . Pp . 20-24.
SURYANA.