PROSPEK PENGEMBANGAN DESA DI INDONESIA
PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS Oktober 2009
A. PENDAHULUAN 1. Masalah mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan desa disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural : a) kurang kuatnya keberpihakan Pemerintah Pusat kepada Desa dan masyarakat Desa; b) kedudukan organisasional yang ambivalen antara organisasi pemerintah formal dengan lembaga kemasyarakatan; c) ketidakjelasan status kepegawaian perangkat desa; d) pembagian kewenangan yg tidak jelas. 2. Peranan hukum adat yg mengikat desa sebagai kesatuan masyarakat hukum sudah mulai pudar digantikan oleh hukum nasional yg tertulis.
3. Dilihat dari asal-usul penduduknya, desa dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam : a. desa geneologis ( > 75% penduduk asli); b. desa campuran ( +/- 50% penduduk asli, selebihnya pendatang); c. desa teritorial (> 75% penduduk pendatang). 4. Desa geneologis hukum adat masih berlaku Desa campuran hukum adat mulai surut Desa teritorial - hukum adat praktis tidak berlaku lagi.
5. Sejak dari jaman Hindia Belanda sampai sekarang masih digunakan sistem “memerintah secara tidak langsung” (indirect rule) terhadap masyarakat desa. Sistem ini menempatkan desa dengan pemerintahannya pada posisi marginal. Dalam kurun waktu 20 tahun mendatang (sd tahun 2025), jumlah penduduk yang tinggal di daerah perdesaan akan lebih sedikit dibanding yang tinggal di daerah perkotaan. Organisasi pemerintah seharusnya menyesuaikan bentuknya sesuai perkembangan masyarakatnya.
6. Secara sosiologis, desa dipandang sebagai tempat dengan nilai -nilai tradisional yg menggambarkan keterbelakangan. 7. Secara administratif pemerintahan, desa lebih diposisikan sebagai obyek kekuasaan. 8. Dari sistem pemerintahan negara Indonesia, pemerintahan desa merupakan subsistem yang terlemah. Kata bijak I : Kecepatan rombongan karavan akan ditentukan oleh kecepatan gerobak yang paling lambat. Kata bijak II : Kekuatan rantai terletak pada mata rantainya yang terlemah. 9. Secara politis selama ini desa hanya dijadikan tempat pengumpulan suara pada waktu PEMILU, setelah itu dilupakan.
10. Secara ekonomis, desa dipandang sebagai sumber bahan baku dan tenaga kerja yg murah.
Sebagian besar Desa di Indonesia sampai sekarang masih merupakan kesatuan masyarakat hukum asli, yang berlandaskan pada hukum adat disamping hukum nasional. Pemerintah desa selama ini menjalankan tiga peran utamanya yaitu : 1) sebagai Struktur Perantara; 2) sebagai Pelayan Masyarakat; 3) sebagai Agen Pembaharuan.
B. KEBIJAKAN POLITIS PENGEMBANGAN DESA DI INDONESIA 1. Mengingat masalah yang dihadapi oleh Desa bersifat struktural, maka cara mengatasinya harus didasarkan pada kebijakan politik yang strategis dan bersinambungan, tidak bersifat tambal sulam. 2. Strategi jangka panjang adalah menetapkan secara tegas kedudukan organisasional pemerintah desa. Secara politis hal ini sudah mulai nampak dalam TAP MPR RI No.IV/MPR/2000 yang berbeda dengan isi pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Isi pasal ini yaitu sbb : “ Negara MENGAKUI dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam UU”.
Pada Tap MPR Nomor IV/MPR/2000 rekomendasi nomor 7
dikemukakan mengenai kemungkinan adanya otonomi bertingkat propinsi, kabupaten/kota serta desa. Kebijakan politik tersebut perlu ditindaklanjuti dengan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah dan desa. Isinya yaitu sbb :
“Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 UUD 1945, termasuk PEMBERIAN otonomi bertingkat terhadap Propinsi, Kabupaten/Kota serta Desa/Nagari/Marga, dan sebagainya.”
PERBANDINGAN PENGATURAN TENTANG DESA ANTARA UUD 1945 (Amandemen) Dengan TAP MPR NO IV/MPR/2000 REKOMENDASI NOMOR 7 ASPEK YANG DIBANDINGKAN
UUD 1945
Arah TAP MPR NO IV/MPR/2000
Filosofi otonominya
Pengakuan
Pemberian
Sifat otonominya
Tradisional
Rasional
Bentuk kelembagaannya
Self governing community (lembaga kemasyarakatan)
Self local government (Lembaga pemerintah daerah skala lokal)
Status kepegawaiannya
Bukan PNS
PNS
Sumber keuangannya
Pungutan dan Bantuan
Bagian dari APBN dan APBD
Hak memungut pajak dan retribusi atas nama Desa
Tidak ada
Ada sesuai peraturan perundang-undangan
GAMBAR PERGESERAN PARADIGMA PENGATURAN TENTANG DESA OTONOMI PENGAKUAN
- ADD - Sekdes diisi PNS MASA TRANSISI
- Urusan Kab/Kota yg pengaturannya diserahkan kpd Desa. - Perdes ada dalam tata urut per UU an - Tugas Pembantuan kepada Desa –Perencanaan Desa.
OTONOMI PEMBERIAN
GAMBAR PERGESERAN PARADIGMA PENGATURAN TENTANG DESA OTONOMI PENGAKUAN
ARAH PERKEMBANGANNYA ???
OTONOMI PEMBERIAN
PENGATURAN TENTANG SUMBER KEUANGAN Dalam kedudukan organisasi yang ambivalen, Desa hanya
memiliki sumber-sumber keuangan tradisional yang diatur berdasarkan hukum adat setempat dan dipelihara secara turun temurun. Seiring dengan perkembangan jaman, ikatan hukum adatnya semakin memudar, sehingga ikatan-ikatan sosial masyarakat desa digantikan oleh ikatan-ikatan ekonomi. Penghargaan sosial kepada pejabat desa sudah tidak memiliki makna yang tinggi, sehingga secara bertahap digantikan oleh penghargaan ekonomi berupa uang, yang pada gilirannya banyak desa yang mengalami kekurangan sumber keuangan desa. Untuk mengatasinya, pemerintah supradesa memberikan BANTUAN KEUANGAN. (lihat UU Nomor 22 Tahun 1999).
Karena bentuknya bantuan, maka jumlahnya tergantung pada pihak yang memberi. Pengalaman empiris yang ada
menunjukkan bahwa banyak desa di berbagai kabupaten tidak menerima bantuan keuangan, atau hanya menerima bantuan sekadarnya.
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 jo PP Nomor 72 Tahun 2005,
sumber-sumber pendapatan desa terdiri dari : a. pendapatan asli desa; b. bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/kota. c. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota. d. bantuan dari Pemerintah, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. e. hibah dan sumbangan dari pihak ketiga. (Pasal 212 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004).
Kepada desa diberikan ADD (Alokasi Dana Desa) yang mirip
seperti dana perimbangan keuangan antara pemerintah dengan daerah otonom sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004. ADD diatur dalam Pasal 212 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 jo PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, khususnya Pasal 68 ayat (1). Pengelolaan keuangan desa dituangkan dalam APBDes (Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa), yang diatur mirip seperti APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota, termasuk kewajiban diaudit oleh akuntan negara yang ditunjuk. Dalam hal keuangan memang ada ambivalensi, pada satu sisi Pemerintah desa tidak secara resmi disebut sebagai lembaga pemerintah, tetapi pengelolaan keuangannya menggunakan sistem yang sama dengan pengelolaan keuangan lembaga pemerintah yang resmi.
SEKRETARIS DESA 1.
Dari berbagai peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang telah ada di Indonesia, UU Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kekhususan pengaturan tentang Sekretaris Desa.
2.
Pada pasal 202 ayat (3) dikemukakan bahwa : “ Sekretaris Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan.
3.
Pada penjelasan pasal 202 ayat (3) UU tsb dikemukakan bahwa : “ Sekretaris Desa yang ada selama ini yang bukan PNS secara bertahap diangkat menjadi PNS sesuai peraturan perundangundangan”.
* Pengisian jabatan Sekretaris Desa oleh PNS dilatarbelakangi oleh adanya Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, khususnya rekomendasi Nomor 7, yang bermaksud mengubah otonomi desa dari PENGAKUAN menjadi PEMBERIAN. * Untuk mempersiapkan otonomi pemberian dari pemerintah pusat tersebut, maka organisasi pemerintah desa harus diperkuat terlebih dahulu. Kelemahan utama organisasi pemerintah desa saat ini adalah status kepegawaian para perangkatnya yang tidak jelas. Tetapi apabila seluruh perangkat Desa diangkat menjadi PNS, sudah pasti memberatkan keuangan negara. Oleh karena itu, yang diangkat PNS hanya Sekretaris Desa, dengan alasan Sekretaris Desa menjadi otaknya proses manajemen dan administrasi di kantor pemerintah desa. Melalui pengangkatan Sekdes sebagai PNS dimulai proses modernisasi organisasi pemerintah desa, sampai pada kondisi siap untuk menerima pemberian otonomi dari pemerintah pusat.
# Kelebihan dan Kelemahan Pengisian Sekdes oleh PNS A.
Kelebihan 1. Sekdes memiliki kepastian kedudukan kepegawaian, penghasilan serta karier, sehingga dapat memberikan motivasi utk berprestasi. 2. Adanya aktor penggerak perubahan di bidang manajemen dan administrasi pemerintahan untuk tingkat desa. 3. Adanya aktor penghubung yang dapat menjadi perantara kebijakan perubahan yang datang dari pemerintah supradesa.
B.
Kelemahan : 1. Menimbulkan kecemburuan bagi Kades dan perangkat desa lainnya, terutama pada desa-desa yang tidak memiliki sumber keuangan yang cukup untuk memberi imbalan bagi perangkat desanya. Kecemburuan ini dapat menimbulkan suasana kerja yang kontraproduktif. 2. Rawan manipulasi dalam proses pengisian jabatan Sekdes, sehingga dapat menimbulkan konflik. 3. Intervensi pemerintah supradesa terhadap desa menjadi lebih besar melalui tangan-tangan Sekdes. 4. Terbuka peluang terjadinya konflik antara Kepala Desa dengan Sekdes dalam hal hubungan kerja, apabila tatakerjanya tidak diatur dengan rinci dan dilaksanakan secara konsisten, karena adanya duplikasi komando terhadap Sekdes.
URUSAN PEMERINTAHAN YANG DISELENGGARAKAN OLEH DESA * UU Nomor 32 Tahun 2004 jo PP Nomor 72 Tahun 2005 mengatur kewenangan Desa secara berbeda dengan berbagai UU sebelumnya. Pada Pasal 7 PP No 72 Tahun 2005 disebutkan bahwa: “ Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa mencakup : a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c. tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada Desa.
Dari isi Pasal 7 di atas, secara IMPLISIT sebenarnya Pemerintah
telah melakukan perubahan filosofi otonomi kepada desa, dari PENGAKUAN kepada PEMBERIAN, terutama menyangkut isi butir (b) dan (c). Pengaturan butir (b) tersebut TIDAK JELAS ASASNYA, bukan desentralisasi, bukan dekonsentrasi dan juga bukan tugas pembantuan. ( PAKAI ASAS YANG BUKAN-BUKAN). Pada butir (c), Desa memang disejajarkan dengan Daerah Otonom karena dapat MENERIMA tugas pembantuan dari pemerintah supradesa. Pengaturan yang AMBIVALEN semacam itu menimbulkan kerancuan dalam sistem dalam implementasi pemerintahan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang
Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Dari Pemerintah Kabupaten/ Kota Kepada Desa, judulnya mengundang kontroversi karena sepertinya Pemerintah Kabupaten/ Kota melakukan desentralisasi kepada Desa. Padahal dalam negara unitaris, desentralisasi hanya diberikan oleh Pemerintah Pusat baik kepada entitas pemerintahan subnasional, organisasi nonpemerintah maupun organisasi semi otonom. Melalui penyerahan urusan pemerintahan semacam itu, Desa
telah dianggap sebagai daerah otonom.
KEDUDUKAN PERATURAN DESA DALAM TATA URUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Secara umum dapat dikatakan bahwa ISI OTONOMI mencakup
pada empat hal yakni : a. Hak untuk memilih pemimpinnya sendiri secara bebas; b. Hak untuk memiliki dan mengelola kekayaannya sendiri secara bebas; c. Hak untuk membuat aturan hukumnya sendiri secara bebas; d. Penggunaan hak kepegawaiannya sendiri secara bebas. • Kebebasan menggunakan hak tidak bersifat mutlak, melainkan dibatasi oleh : a. Peraturan Per-UU-an yang lebih tinggi tingkatannya; b. Asas Kepatutan; c. Asas Kepentingan Umum (SALUS POPULIS SUPREMA LEX).
c. PERDA dalam Tata Urutan Perundangan Pada pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah. (Pasal 7 ayat 1).
(Perda Propinsi, Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa) (Pasal 7 ayat 2).
22
Pada pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa Peraturan Daerah
meliputi : a. Peraturan Daerah Provinsi; b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota c. PERATURAN DESA.
Jenis Peratuan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No.10 tahun 2004)
24
STRATEGI PENGEMBANGAN DESA 1.
2. 3.
4. 5. 6.
STRATEGI JANGKA PANJANG Melakukan Amandemen UUD 1945 , khususnya Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, termasuk pasal 18, 18A dan 18B, dengan mengubah filosofi otonomi desa dari pengakuan menjadi otonomi pemberian. Menyusun UU tentang Desa. Melakukan ujicoba pembentukan satu desa otonom pada setiap provinsi guna diketahui efektivitas perubahannya. Setelah berjalan lima tahun dilakukan evaluasi kebijakannya. Melakukan perbaikan kebijakan berdasarkan hasil evaluasi. Melakukan perubahan secara menyeluruh serta melakukan ujia coba satu desa untuk setiap kabupaten selama lima tahun. Membuka peluang desa untuk memilih antara menjadi desa otonom tingkat bawah atau tetap menjadi desa tradisional.
POLA PENGEMBANGAN DESA DALAM JANGKA PANJANG
UU DESA
1 PROVINSI = 1 DESA PERCONTOHAN (5 THN)
DESA OTONOM TRADISIONAL
DESA OTONOM RASIONAL
I KAB/KOTA = 1 DESA PERCONTOHAN (5 THN)
KEPUTUSAN POLITIK TTG PENGGUNAAN MODEL
STRATEGI JANGKA MENENGAH Strategi jangka menengah yang dapat dilakukan oleh pemerintah propinsi dan kabupaten/kota adalah : a. Secara bertahap dan alamiah melakukan proses amalgamasi (penggabungan) desa-desa sesuai dengan karakteristik ekonomi dan budaya, sehingga nantinya dapat menjadi satu kesatuan masyarakat hukum yang relatif kuat di bidang ekonomi dan budaya. b. Menyusun tipologi desa berdasarkan kemampuan keuangannya, sehingga dapat diketahui peta kekuatannya. c. Memberikan bantuan pengadaan sumber-sumber keuangan desa sesuai dgn tipologinya. d. Secara bertahap membangun birokrasi desa menjadi lebih profesional melalui pemberian status kepegawaian yang jelas serta program pemberdayaan dan diklat.
e. Menyiapkan sistem administrasi pemerintahan desa yang lebih baik melalui program pembangunan berkelanjutan. f. Memberdayakan pemerintah desa dengan lebih banyak memberikan kewenangan utk melayani langsung pada masyarakat melalui asas tugas pembantuan. g. Memberikan alokasi pembiayaan sesuai peraturan perundang-undangan yg berlaku. (perimbangan keuangan antara Pemda Kabupaten dengan Pemerintah desa).
Strategi Jangka Pendek 1. Memfasilitasi agar implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanaan lainnya dapat berjalan dgn baik, karena perubahan yang terjadi bersifat rawan konflik. 2. Mendorong terbangunnya hubungan kerja yang harmonis dan egaliter antara Pem. Desa dengan BPD sbg embrio terbentuknya pemerintahan desa yang demokratis.
3. Memberi bantuan keuangan bagi perangkat desa utk menjaga agar sistem yang telah ada dapat tetap dipertahankan.
PROYEKSI PERUBAHAN KEDUDUKAN KECAMATAN BERKAITAN DENGAN PERUBAHAN DESA (Proyeksi 20 tahun yang akan datang)
Bupati/ Walikota
Camat
Konsekuensi
Kecamatan
dihapus
Urusan2 Pemerintahan yg dijalankan oleh desa
Desa Desa Otonom (baru)
Desa
Desa Proses amalgamasi (Vide Tap MPR No. IV/2000 Rekomendasi no. 7) Hak cipta model : Sadu Wasistiono
1.Luas mencakup beberapa desa lama. 2. Otonomi Rasional (DO Tk III)
Isi otonominya bersifat pemberian dari Pemerintah
PENGATURAN TEKNIS MENGENAI KEUANGAN DESA Isyu strategis yang seringkali menjadi sumber ketegangan hubungan
antara pemerintah desa dengan pemerintahan supradesa adalah mengenai sumber-sumber keuangan desa, terutama bagi desa-desa yang selama ini telah memiliki sumber keuangan yang cukup memadai. Seiring dengan kebijakan nasional untuk melakukan tertib
administrasi keuangan negara (dalam arti luas), maka berbagai praktek pengelolaan keuangan yang selama ini masih dikelola secara tradisional, secara bertahap dibenahi. Berbagai “rekening liar”, danadana yayasan milik departemen yang selama ini dikelola di luar anggaran negara, sekarang harus dimasukkan dulu ke dalam anggaran negara untuk kemudian digunakan kembali melalui mekanisme APBN maupun APBD.
Secara bertahap sistem akuntasi pemerintahan distandarisasi
melalui Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang diatur berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Begitu pula dengan dana-dana nonbudgetair maupun dana
taktis, yang selama ini sepertinya “tidak tersentuh”, sekarang secara bertahap mulai ditertibkan. Semua keuangan negara, baik dana APBN, dana BUMN, dana APBD dan dana BUMD menjadi obyek audit BPK, sebagai satu-satunya auditor negara. Sedangkan APBDes sampai saat ini belum termasuk obyek audit BPK. Auditnya dapat dilakukan oleh BPKP, dan/atau Inspektorat Kabupaten/Kota maupun Provinsi. Secara bertahap, pengelolaan aset negara yang selama ini
“amburadul” juga mulai ditertibkan penggunaannya dan pencatatannya.
Perubahan kebijakan pengelolaan keuangan di tingkat nasional, mengubah pula pengelolaan keuangan pemerintah desa, karena
pemerintahan desa merupakan sub-sub sistem dari sistem pemerintahan negara. Pengaturan mengenai kedudukan keuangan Kepala desa dan Perangkat Desa, diatur pada Pasal 27 dan 28 PP Nomor 72 Tahun 2005. Pada Psal 27 ayat (1) PP ini disebutkan bahwa : “ Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa. Jadi ada dua jenis penghasilan kepala desa dan perangkat desa yaitu : a. Penghasilan tetap setiap bulan; dan/atau b. Tunjangan lainnya.
Pasal ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai kedudukan
kepala desa dan perangkat desa mengikuti pola pengaturan yang sama pada organisasi pemerintah lainnya. Sedangkan kalimat “ sesuai dengan kemampuan keuangan desa” memungkinkan masing-masing desa memberikan penghasilan di atas standar yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. ( Modelnya sama seperti Pemda, gaji pokok dan tunjangan jabatan sama untuk seluruh Indonesia, tetapi masing-masing daerah dapat memberikan tunjangan kinerja yang berbedabeda). Perda tentang kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa sebaiknya mengakomodasi hukum adat yang masih berlaku pada masing-masing desa.
Selanjutnya pada Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa : “ Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima
Kepala Desa dan Perangkat Desa ….. ditetapkan setiap tahun dalam APBDes. Pengaturan ini menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan desa harus dibuat transparan dan akuntabel, karena pada dasarnya uang yang dikelola oleh Pemerintah Desa adalah uang rakyat juga, darimanapun sumbernya. Pola-pola penggunaan dana secara langsung seperti yang biasa terjadi pada pengelolaan keuangan secara tradisional, secara bertahap ditinggalkan. Sebagai contoh pengelolaan tanah kas desa yang biasanya diolah langsung oleh kepala desa dan perangkat desa, serta hasilnya langsung masuk dimasukkan ke “kantong” mereka, sekarang harus masuk ke mekanisme APBDesa terlebih dahulu, sehingga semua rakyat mengetahui penggunaannya.
Pada Pasal 27 ayat (3) PP Nomor 72 Tahun 2005, ditetapkan standar minimal penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa
PALING SEDIKIT SAMA DENGAN UPAH MINIMUM REGIONAL KABUPATEN/KOTA. Pada Pasal 28 ayat (1) ditegaskan bahwa : “ Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa DIATUR DENGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/ KOTA. Pasal ini memberikan kebebasan bagi daerah untuk mengatur besaran dan jenis penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya SESUAI KARAKTERISTIK MASING-MASING DAERAH KABUPATEN/KOTA, serta sesuai hukum adat yang masih berlaku. Untuk penghasilan tetap, dibuat standar yang sama untuk semua desa dalam satu kabupaten, sedangkan tunjangan lainnya dibuat berbeda-beda untuk masing-masing desa, sesuai kemampuan keuangan desa.
Pada Pasal 28 ayat (2) disebutkan bahwa Peraturan Daerah
tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa sekurang-kurangnya memuat : a. rincian jenis penghasilan. b. rincian jenis tunjangan. c. penentuan besarnya dan pembebanan pemberian penghasilan dan/atau tunjangan. * Agar Perda tersebut memenuhi syarat Perda yang baik, sebaiknya dalam proses penyusunannya melibatkan para pemangku kepentingan serta dilakukan konsultasi publik sebelum ditetapkan. Sebab Perda yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dapat di judicial review ke Mahkamah Agung.
Pedoman pengelolaan keuangan desa telah diatur secara rinci
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Asas dan struktur serta mekanisme pengelolaan APBDesa, mirip
dengan pengelolaan APBN dan APBD. Hal ini menunjukkan arah yang semakin jelas bahwa desa akan didorong menjadi bagian dari birokrasi negara.
TERIMA KASIH ATAS PERHATIANNYA