PROSIDING SIMPOSIUM, WORKSHOP, DAN KONGRES IX PTTI “ORGANISASI PROFESI PENDORONG PERCEPATAN PERKEMBANGAN IPTEK” Bali, 11–13 Oktober 2011
ii
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iii
PROSIDING SIMPOSIUM, WORKSHOP, DAN KONGRES IX PTTI “ORGANISASI PROFESI PENDORONG PERCEPATAN PERKEMBANGAN IPTEK” Bali, 11–13 Oktober 2011
Penelaah: Rugayah HimmahRustiami Titien Ng. Praptosuwiryo
Penyelenggara: Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia (PTTI) Bekerja sama dengan Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Kemendikbud
LIPI Press
iv
©2013 Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia (PTTI)
Katalog dalam Terbitan
Prosiding Simposium, Workshop, dan Kongres IX PTTI: Organisasi Profesi Pendorong Percepatan Perkembangan IPTEK, Bali, 11–13 Oktober 2011/ Novi Harun A.R., Ema Handayani, Tri Warseno, Dyan Meiningsasi Siswoyo Putri, I Dewa Putu Darma, I Nyoman Peneng, I Putu Agus Hendra Wibawa, Ni Kadek Erosi Undaharta, I Made Ardaka, Hartutiningsih-M.Siregar, I Nengah Suka Widana, Arief Priyadi, Ni Putu Sri Asih, Agung Kurniawan, Wawan Sujarwo, Tuah Malem Bangun, I Made Sumerta, Siti Fatimah Hanum, Umiyah, Ni Nyoman Darsini, Serafinah Indriyani, Tatik Wardiyati, Hery Purnobasuki. – Jakarta: LIPI Press, 2013. viii + 146 hlm.; 21 x 29,7 cm ISBN 978-979-799-759-5 1. Taksonomi Tumbuhan 3. Konservasi
2. Ekologi
578.012
Editor
: Rugayah Himmah Rustiami Titien Ng. Praptosuwiryo Copyeditor : Risma Wahyu Hartiningsih Penata Isi : Yessi Santika, BayuAdjie Desainer Sampul : I GedeWawan Setiadi
Diterbitkan oleh: LIPI Press, anggota Ikapi Jln. Gondangdia Lama 39, Menteng, Jakarta 10350 Telp. (021) 314 0228, 314 6942. Fax. (021) 314 4591 E-mail:
[email protected] [email protected] [email protected] Atas kerja sama: PenggalangTaksonomi Tumbuhan Indonesia (PTTI) Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46 Cibinong 16911 http://www.ptti.or.id
v
PRAKATA
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, hingga kita diberi nikmat sehat dan kesempatan untuk menyelenggarakan acara Simposium, Workshop, dan Kongres IX PTTI di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Terima kasih kepada Prof. Mien A. Rifai dan Prof. Tetsukazu Yahara atas kesediaannya menyampaikan makalah kunci pada Simposium PTTI kali ini. Terima kasih kepada Dikti yang telah memberikan bantuan hibah untuk Organisasi Profesi dan Kebun Raya Bali atas dukungan dan kerja samanya. Simposium kali ini mengambil tema yang sangat strategis, yaitu “Organisasi Profesi Pendorong Percepatan Perkembangan Iptek”, (PTTI di bidang Taksonomi Tumbuhan di Indonesia). Dalam perjalanan panjangnya taksonomi masih dianggap ilmu dasar yang kurang “seksi”, walaupun semua kelompok ilmu aplikasi mengakui pentingnya taksonomi. Dalam perkembangannya kini, taksonomi semakin menjadi perhatian dan semakin mengemuka karena kita semua masyarakat taksonomi mulai memanfaatkan berbagai perkembangan ilmu lain untuk tujuan taksonomi. Pemahaman akan species atau jenis, bukan lagi berdasar pada morfologi dan herbarium spesimen, tetapi sudah memanfaatkan dan menganalisis informasi genetik, ekologi, fisiologi, biokimia, dan sintesa protein. DNA barcoding akan menjadi salah satu kegiatan taksonomi yang mungkin perlu dilakukan oleh setiap taksonomiwan di masa yang akan datang. Kedekatan disiplin ilmu, kerja sama antarbidang keilmuan menjadi sangat penting dalam kerja taksonomi. Indonesia sebagai negara kaya keanekaragaman hayati, menyimpan begitu banyak potensi dan dengan keragaman tinggi. Kita sebagai kelompok taksonomi tumbuhan belum tahu secara pasti jumlah jenis, apalagi variasi genetik dan molekuler penyusunnya yang ada di bumi tercinta ini. Menghadapi diratifikasinya protokol Nagoya tentang Access to Genetic and Benefit Sharing (ABS) pada th 2015, kita harus meningkatkan kemampuan dan bersegera menguasai apa yang kita miliki. Oleh karena itu, bidang spesialisasi keilmuan dan takson pilihan harus semakin menjadi pegangan. Seorang penguasa takson Jahe-jahean (Zingiberaceae) harus mulai memahami teknik menggali informasi, ekologi, genetik, dan biologi molekuler. Pada Simposium ini, beragam makalah akan disajikan. Dan beberapa di antaranya diharapkan dapat diterbitkan di jurnal nasional atau internasional yang terakreditasi. Makalah lain yang belum siap untuk diterbitkan, dapat kita kumpulkan sebagai Bank Makalah PTTI dalam bentuk prosiding. Selanjutnya makalah tersebut perlu terus ditingkatkan dan disempurnakan agar bisa masuk ke jurnal ilmiah terakreditasi. Prosiding hanya tempat parkir sementara, bukan tujuan akhir publikasi.
Bali, Oktober 2013 Prof. Dr. Dedy Darnaedi Ketua PTTI
vi
DAFTAR ISI
PRAKATA DAFTAR ISI
vi viii
Karakterisasi Fenotipe (Morfologi) Stamen Rhododendron Novi Harun A.R., Ema Handayani ..............................................................................................
1
Variasi Sisik Idioblas Rhododendron subgenus Vireya Novi Harun A.R., Tri Warseno.....................................................................................................
6
Keragaman Rhododendron di Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali dan Status Konservasinya Dyan Meiningsasi Siswoyo Putri, Tri Warseno............................................................................
10
Tumbuhan Paku Epifit dan Kesesuaiannya dengan Porofit di Kebun Raya 'Eka Karya' Bali I Dewa Putu Darma, I Nyoman Peneng.......................................................................................
25
Eksplorasi Jenis-Jenis Tumbuhan Paku di Kawasan Gunung Tambora Sumbawa I Putu Agus Hendra Wibawa, I Nyoman Peneng ........................................................................
31
Tiga Seksi Begonia dari Pulau Bali Ni Kadek Erosi Undaharta, I Made Ardaka, Hartutiningsih-M.Siregar.....................................
36
Studi Keragaman Morfologi Jeruk Besar (Citrus maxima (Burm.) Merr.) Populasi Bali I Nengah Suka Widana …………………………………………………………………………………..
49
Weed Species Diversity in Arable Land Related to Their Management Strategies Arief Priyadi ……………………………………………………………………….................................
60
Studi Ekologi dan Masa Berbunga Anggrek Paphiopedilum lowii (Lindl.) Pfitzer I Gede Tirta ……………………………………………………………………………………………….
65
Konservasi Araceae di Kebun Raya "Eka Karya" Bali - LIPI Ni Putu Sri Asih, Agung Kurniawan ............................................................................................
69
Inventarisasi dan Konservasi Tumbuhan Langka Lokal di RPH Rendang, Kecamatan Rendang, Karangasem Wawan Sujarwo, Tuah Malem Bangun ………………………………………………………………..
74
Kajian Etnobotani Intaran (Azadirachta indica A.Juss.) di Kabupaten Buleleng Bali I Made Sumerta …………………………………………………………………….
80
Eksplorasi Tumbuhan Pewarna di Kabupaten Gianyar Siti Fatimah Hanum, Dewa Putu Darma, I Made Sumerta .........................................................
85
Pemanfaatan Kayu Kenitu (Chrysophyllum cainito) oleh Masyarakat Jember Umiyah ……………………………………………………………………………………………………..
90
Inventarisasi Tumbuhan Berkhasiat Obat Tradisional untuk Penyakit Saluran Kencing di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali Ni Nyoman Darsini ………………………………………………………………................................
93
vii
Aspek Botani dan Potensi Rhododendron seranicum J.J.Sm. Koleksi Kebun Raya "Eka Karya" Bali Tri Warseno, Dyan Meiningsasi Siswoyo Putri ………………………………………………………
98
Respons Pengubah Morfologi Porang (Amorphophallus muelleri Blume) Terhadap Perlakuan Urea dan Kapur Serafinah Indriyani, Tatik Wardiyati, Hery Purnobasuki …………………………………………..
104
Eksplorasi Begonia di Sebagian Taman Nasional Manusela, Maluku I Gede Tirta, I Made Ardaka, Ni Kadek Erosi Undaharta ..........................................................
109
Empowering Thinking Process to Develop Learner’s Ability to Recognize Biodiversity through Classification and Their Reasoning Nuryani Y. Rustaman …………………………………………………………………………………….
113
Perkembangan Koleksi Bambu Kebun Raya Eka Karya Bali Ida Bagus Ketut Arinasa, I Nyoman Peneng ...............................................................................
123
Kumpulan abstrak makalah terbit di Jurnal Reinwardtia .............................................................
132
Kumpulan abstrak makalah terbit di Jurnal Berita Biologi ..........................................................
137
Kumpulan abstrak makalah terbit di Jurnal Floribunda ...............................................................
142
Kumpulan abstrak makalah terbit di Jurnal Buletin Kebun Raya ................................................
145
viii
KARAKTERISASI FENOTIPE (MORFOLOGI) STAMEN RHODODENDRON Novi Harun A.R.* dan Ema Handayani UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali–LIPI Candikuning, Batu riti, Tabanan, Bali 82191 *E-mail:
[email protected]
ABSTRACT - Rhododendron is one of the tribe of woody plants belongs to Ericaceae mainly used as an ornamental plant. This research aims to study the morphology of the stamen characters of Rhododendron. In this study six genotypes of Rhododendron growing in the Botanical Gardens of "Eka Karya" Bali were observed in macroscopic and microscopic characters. Macroscopic observations were made with direct observation or using dissection microscope. While the microscopic characters obtained from pollen observation using light microscope Olympus. Morphology of stamens as data obtained from macroscopic characters consists of crown flower stamens, long of anthers, width of anthers, and color of anthers, filament length, and presence of hairs on the filaments. While data obtained from microscopic characters include morphology and anatomy of the stamen consists of Rhododendron pollen stage form of pollen tetrad stage and the length of the pollen. Keywords: Rhododendron; Androecium; Pollen; Plant anatomy; Ornamental plants
PENDAHULUAN Rhododendron adalah tumbuhan berkayu yang hidup di dataran tinggi daerah tropis dan subtropis. Rhododendron yang hidup di daerah sub-tropis dikenal dengan Rhododendron subgenus Azalea, sedangkan yang hidup di daerah tropis dikenal dengan Rhododendron subgenus vireya. Pohon Rhododendron selalu dipenuhi daun-daun yang berwarna hijau sepanjang tahun. Rhododendron secara ekonomi dimanfaatkan sebagai tanaman ornamental karena morfologinya, terutama mahkota bunga mengandung nilai estetika tinggi. Mahkota bunga Rhododendron memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang bervariasi. Bentuk mahkota bunga Rhododendron dapat berupa campanulate sampai bentuk funnel, urceolate atau silindris, kadang-kadang zigomorf, cuping dengan berbagai tingkatan berbentuk imbricate (Malesiana, 1966). Bunga Rhododendron memiliki dua macam organ reproduksi, yaitu stamen (yang terletak di sebelah luar, dan bersama-sama membentuk androesium), dan yang terletak di sebelah dalam disebut karpel yang membentuk ginoesium. Menurut teori telom, Stamen dan karpel homolog dengan daun (Wilson, 1937, 1942 dalam Fahn, 1982). Menurut teori ini, stamen berkembang sebagai akibat reduksi dan peleburan sistem sumbu yang menyangga sporangia di bagian puncaknya. Stamen terdiri atas sebuah filamen yang di bagian distalnya
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
menyangga anter. Pada anter dapat dijumpai dua buah cuping yang melekat pada sebuah struktur yang merupakan lanjutan filamen yang dinamakan konektivum. Setiap cuping mengandung dua kantung polen (kantung serbuk sari) yang di dalamnya ditemukan butir polen (butir serbuk sari) (D’arcy, 1996). Butir polen yang masak tidak memiliki vakuola, dan dikelilingi oleh dinding pektoselulosa yang tipis, yakni intin. Di luar intin terdapat lapisan lainnya yang disebut eksin. Komponen utama eksin tersebut adalah sporopolenin, suatu substansi keras yang memberikan daya tahan yang sangat kuat pada dinding butir polen. Eksin biasanya terdiri atas bagian luar yang terukir disebut seksin dan bagian dalamnya disebut neksin. Ukiran seksin diakibatkan oleh adanya tangkai-tangkai yang tersusun radial yang disebut bakula. Rhododendron berbeda dengan kebanyakan tumbuhan lainnya karena fertilisasi dapat terjadi di antara spesies yang berbeda sehingga keanekaragaman Rhododendron di alam sangat tinggi. Keanekaragaman Rhododendron paling mudah diamati pada karakter mahkota bunga dan stamen (Chamberlain, 2003). Keanekaragaman mahkota dan anter termasuk di dalamnya butir polen sangat penting untuk dipelajari karena dari bentuk dan warna mahkota bunga serta sebutir polen dapat diperoleh berbagai macam informasi yang sangat berharga. Karakteristik mahkota bunga digunakan untuk menentukan marga tumbuhan.
1
Dari karakter benang sari dapat diduga cara polinasi suatu tumbuhan, agen polinasi, dan juga taksonnya. Analisis polen dapat digunakan untuk menentukan spesies tumbuhan yang terdapat di daerah tertentu dan juga kehidupan spesies tumbuhan. Polen merupakan salah satu penyebab utama dari penyakit alergi terutama yang berhubungan dengan sistem pernapasan. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dipelajari karakter morfologi anter dan polen Rhododendron.
supermacro. Pengukuran polen dilakukan dengan mikroskop Olympus model C7070WZ perbesaran 100 kali. Adapun untuk pengamatan morfologi polen bentuk polen pada tahap tetrad dilakukan dengan mikroskop Olympus model C7070WZ dengan perbesaran 400 kali. Gambar mikroskopis difoto dengan kamera digital Olympus model C7070WZ dengan mode supermacro.
BAHAN DAN METODE
Enam spesies Rhododendron, yaitu R. macrosepalum, R. dilatatum, R. rhodopus, R. yedoense, R. Macgregorei, dan Rhododendron sp. koleksi UPT BKT KR ”Eka Karya” Bali telah diamati organ generatifnya. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1, dan keenam jenis Rhododendron dapat dikenal dengan kunci penunjuk jenis yang didasarkan pada karakter morfologi stamen.
HASIL
Bahan penelitian yang dipakai adalah R. macrosepalum, R. dilatatum, R. rhodopus, R. yedoense, R. Macgregorei, dan Rhododendron. sp. yang merupakan koleksi Kebun Raya Bali. Sebanyak 2–3 individu tumbuhan setiap spesies telah diamati. Penelitian dilakukan di Labo-ratorium Perbanyakan Tumbuhan UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali–LIPI. Pengamatan dilakukan pada musim kemarau, yaitu bulan Agustus sampai dengan September 2011. Bunga Rhododendron yang tumbuh di nursery dan petak XII Kebun Raya “Eka Karya” Bali dipetik dari lapang dan dibawa ke laboratorium Perbanyakan Tumbuhan UPT BKT KR “Eka Karya” Bali. Pengamatan dan pengukuran morfologi stamen dilakukan secara langsung dengan mata telanjang. Gambar morfologi stamen difoto dengan kamera digital Olympus model C7070WZ dengan mode
PEMBAHASAN Karakter morfologi bunga termasuk organorgan pendukungnya dapat digunakan untuk mengelompokkan Rhododendron menjadi dua subgenus, yaitu subgenus vireya dan subgenus azalea (Malesiana, 1966). Pada penelitian ini diamati variasi stamen subgenus vireya yang dire-presentasikan oleh R. macgregorie, R. rhodopus, dan Rhododendron sp. Adapun subgenus azalea diwakili oleh R. yedoense, R. macrosepalum, dan R. dilatatum (Gambar 1).
Tabel 1. Karakter Morfologi Stamen Rhododendron Karakter yang No G1 G2 diamati
1
2 3
cara penyusunan benang sari terhadap mahkota bunga (Argent, 2006) panjang kepala sari (cm) lebar kepala sari (cm)
G3
G4
G5
G6
dimorphic
dimorphic
dimorphic
dimorphic
dimorphic
dimorphic
0,22
0,32
0,33
0,19–0,22
0,18–0,32
0,15–0,34
0,09
0,11
0,13
0,09–0,11
0,11–0,13
0,11–0,17
cokelat mudacokelat tua
cokelat mudacokelat tua
4
warna kepala sari
cokelat tua
cokelat muda
cokelat muda
cokelat mudacokelat tua
5
panjang filamen terpanjang (cm)
1,83
4,95
4,9
3,27
3,9
4,18
1,69
4,7
4,7
2,5
2,56
2,1
6
panjang filamen terpendek (cm)
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
2
No 7
8
Karakter yang diamati keberadaan bulu pada filamen (Argent, 2006) jumlah benang sari
G1
G2
G3
G4
G5
introrse
introrse
introrse
introrse
introrse
10
10
10
10
6
G6 apical
10
9
tahap polen pada saat masak
tetrad
tetrad
tetrad
tetrad
tetrad
tetrad
10
bentuk polen pada tahap tetrad
tetrahedral
tetrahedral
tetrahedral
tetrahedral
tetrahedral
tetrahedral
0,06
0,06
0,065
0,06
0,06
0,06
11
panjang polen yang masak (mm)
Keterangan G1 : dideterminasi sebagai R. macgregorei G2 : Rhododendron sp. (belum dideterminasi) G3 : dideterminasi sebagai R. rhodopus G4 : dideterminasi sebagai R. yedoense G5 : dideterminasi sebagai R. macrosepalum G6 : dideterminasi sebagai R. dilatatum
Gambar 1. Morfologi Stamen Rhododendron. A. R. yedoense. 1 skala = 1 mm; B. R. macgregoriae. 1 skala = 1 mm; C. Polen pada tahap tetrad R. macgregoriae yang diwarnai dengan safranin 1%. 1 skala = 0,01 mm.
Kunci penunjuk jenis didasarkan pada karakter morfologi stamen 1a. Jumlah benang sari kurang dari 10 ……………….………… R. macrosepalum b. Jumlah benang sari 10………………………………………………….………2 2a. Keberadaan bulu pada filamen terdapat di bagian apical .……….. R. dilatatum b. Keberadaan bulu pada filamenterdapat di bagian introrse ....…………………3 3a. Panjang polen masak 0,065 mm …………………………..………R. rhodopus b. Panjang polen masak 0,06 mm ………………………..…………...……...…..4 4a. Warna kepala sari dua warna (cokelat muda-cokelat tua) …………R. yedoense b. Warna kepala sari satu warna (cokelat muda atau cokelat tua).....…………… 5 5a. Panjang filamen kurang dari 2 cm …………………………......R. macgregorei b. Panjang filamen lebih dari 2 cm ………………………....… Rhododendron sp. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa stamen R. macgregrorie mempunyai ukuran yang paling kecil dibanding R. rhodopus dan Rhododendron sp., yaitu kurang dari 2 cm. Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh Argent
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
(2006) yang menjelaskan bahwa stamen R. macgregorie mempunyai ukuran panjang sekitar 15 mm, tersebar merata di sekitar mulut bunga dengan filamen yang dipenuhi rambut pada bagian proksimalnya, sedangkan stamen R.
3
rhodopus dapat mencapai panjang sekitar 10 mm dengan filamen yang ditumbuhi rambut 2/3 dari bawah, dan panjang anter 4–5x1,3 mm. Menurut Leach (1961), R. yedoense dan R. dilatatum mempunyai stamen berjumlah 10. Pada penelitian ini semua Rhododendron mempunyai 10 stamen, kecuali R. dilatatum yang hanya berjumlah 6 (Tabel 1). Pada akhir pembelahan meiosis, mikrospora haploid mengumpul di dalam tetrad, masing-masing diselubungi seluruh-nya oleh dinding kalose dan tanpa hubungan plasmodesmata dengan saudara atau induknya. Menurut cara pembentukan dinding kalose mikrospora dalam tetrad, dapat dibedakan berbagai tipe susunan butir polen dalam tetrad. Susunannya berbeda-beda pada spesies yang berbeda, bahkan kadang-kadang dalam spesies yang sama (Fahn, 1982). Pada umumnya butir-butir polen dari setiap tetrad berpisah satu sama lain dan terdapat bebas dalam kantung polen. Butir-butir polen dihubungkan oleh benang-benang viskin pada spesies Onagraceae dan beberapa Leguminosae. Pada beberapa tumbuhan seperti Ericaceae, butir-butir polen tetap ada dalam tetrad bahkan sewaktu menjadi masak (Cruden & Jensen, 1979 dalam Fahn 1982). Pada Acacia, tetrad berlekatan bersama-sama dalam satu kelompok yang dapat mengandung 64 butir polen. Butir polen yang masak dikelilingi oleh dinding pektoselulosa yang tipis, yakni intin. Di luar intin terdapat lapisan lainnya yang disebut eksin. Komponen utama eksin tersebut adalah sporopolenin, suatu substansi keras yang memberikan daya tahan yang hebat kepada dinding butir polen. Eksin biasanya terdiri atas bagian luar yang terukir disebut seksin dan bagian dalamnya disebut neksin. Ukiran seksin diakibatkan oleh adanya tangkai-tangkai yang tersusun radial yang disebut bakula yang di bagian kepalanya membesar. Pada banyak marga, kepala bakula melebur sehingga membentuk tektum. Butir polen yang masak tidak memiliki vakuola. Pola ukiran yang retikulat, bergaris-garis atau lainnya yang nampak di pemukaan sebagian besar butir polen disebabkan oleh susunan bakula yang khusus. Ukiran-ukiran yang berbeda di permukaan butir polen disebabkan oleh struktur seksin. Endapan bahan lipoid yang lengket, sering berwarna kuning atau jingga yang melindungi butir polen yang masak pada sebagian besar tumbuhan
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
yang dilindungi oleh insekta berasal dari tapetum bukan mikrospora yang sedang berkembang (Shaw, 1971 dalam Fahn, 1982). Butir polen yang halus dan kering terdapat pada sebagian besar tumbuhan dari famili yang proses penyerbukannya spesifik oleh angin. Jika kebanyakan genus dari famili yang polinasinya dilakukan oleh insekta dan hanya genus tertentu yang polinasinya dilakukan oleh angin, seperti Artemisia dan Ambrosia dari Compositae, maka genus yang polinasinya dilakukan oleh angin, tetap mempertahankan struktur ukiran yang spesifik bagi seluruh famili, tetapi dapat pula berkembang namun hanya sedikit saja. Ukuran butir polen juga sangat beragam. Erdtman dalam Fahn 1982 mengelompokkannya menurut ukuran sebagai berikut: 1. Perminuta, jika diame-ternya kurang dari 10 µm; 2. Minuta, jika diameternya 10–25 µm; 3. Media, jika diameternya 25–50 µm; 4. Magna, jika diameternya 50–100 µm; 5. Permagna, jika diameternya 100–200 µm; 6. Giganta, jika diameternya lebih dari 200 µm. Butir polen yang sangat kecil dijumpai pada Mysotis alpestris (2,5–3,5 µm) dan Echium vulgare (10–14 µm); butir polen yang sangat besar terdapat pada Cucurbita pepo (230 µm) dan Mirabilis jalapa (250 µm). Pada Tabel 1 dapat dilihat ukuran polen Rhododendron 0,06 mm, kecuali R. rhodopus 0,065 mm. KESIMPULAN Keanekaragaman Rhododendron di alam sangat tinggi karena fertilisasi dapat terjadi di antara spesies yang berbeda. Terjadinya fertilisasi sangat tergantung dari sifat organ generatifnya. Oleh karena itu, karakter generatif sangat penting untuk diketahui. Hasil pengamatan organ generatif pada R. macrosepalum, R. dilatatum, R. rhodopus, R. yedoense, R. macgregorei; dan Rhododendron sp. menunjukkan adanya variasi karakter morfologi stamen, seperti jumlah stamen, panjang filamen, dan bentuk serta ukuran polen pada genus Rhododendron sp. DAFTAR PUSTAKA Argent, G. 2006. Rhododendrons of Subgenus Vireya. Edinburgh: The Royal Horticultural Society. 382 hlm.
4
Chamberlain, D.F. 2003. Rhododendron in the Wild: a Taxonomist’s Review. In Rhododendron in Horticulture and Science. G. Argent and M. McFarlane (Ed.). Edinburgh: Royal Botanic Garden Edinburgh. D’Arcy, W.G. 1996. Anther and Stamen and What They Do. In The Anther; from Function and Phylogeny. W.G. D’Arcy and R.C. Keating (Ed). New York: Cambridge University Press.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Fahn, A. 1982. Plant Anatomy. Hebrew: Pergamon Press Ltd. Hlm 268–290. Flora Malesiana. 1966. Flora Malesiana. Series I: vol. 6. part 4. C.G.G.J. van Steenis (Ed.). Groningen: N.V. Dijkstra’s Drukkerij. Leach, D.G. 1961. Rhododendrons of the World. New York: Charles Scribner’s Sons. Hlm. 24–26.
5
VARIASI SISIK IDIOBLAS Rhododendron SUBGENUS Vireya Novi Harun A.R. dan Tri Warseno UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191 *E-mail:
[email protected]
ABSTRACT - Characters of idioblast scale of Rhododendron subgenus vireya have been studied. Leave of 6 species Rhododendron plus 1 genotype Rhododendron still undetermined growth in Bali Botanic garden was isolated from field and dissected to see idioblas scale. The shape of idioblas scale of Rhododendron vireya could be peltate (like wheel), stellate (like tree), and dendroid (like star). Idioblast scales are appendages on the abaxial of Rhododendron’s leaf like a small umbrella. Keywords: Rhododendron ; Vireya ; Idioblast; Leaves
PENDAHULUAN Rhododendron adalah salah satu tumbuhan berkayu dari suku Ericaceae yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Rhododendron yang habitatnya di daerah tropis sering disebut Rhododendron subgenus vireya atau Vireya. Sebutan Vireya ini berasal dari genus Vireya yang diusulkan oleh Carl Ludwig Blume tahun 1823 untuk lima spesies tumbuhan yang berasal dari daerah yang sekarang bernama Indonesia. Daerah penyebaran Vireya terutama di seluruh wilayah Asia Tenggara dengan batasan pada bagian barat daerah Malay Peninsula dan Sumatra, di bagian timur adalah New Guini, dan kepulauan Filipina di bagian utara. Rhododendron subgenus vireya secara ekonomi dimanfaatkan sebagai tanaman ornamental. Tumbuhan Rhododendron berupa semak atau semak kecil, jarang berupa perdu atau pohon. Daun tunggal, tersebar, berhadapan atau berkarang, tanpa daun penumpu. Bunga terpisah-pisah atau tersusun dalam tandan, banci, aktinomorf atau zigomorf. Kelopak berbilangan 4–5 tidak runtuh. Daun-daun mahkota kebanyakan berlekatan, benang sari tertanam pada suatu cakram yang hipogin atau epigin, sama sekali bebas atau hampir bebas dari mahkota, jumlahnya dua kali jumlah daun mahkota, jarang sama banyak. Kepala sari beruang dua, kadang-kadang dengan alat tambahan berbentuk ekor, membuka dengan liang. Bakal buah menumpang, beruang 4 - 5, satu tangkai putik, tiap ruang berisi banyak bakal biji. Buahnya buah batu atau buah kendaga. Biji sering bersayap, kulit biji lepas,
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
mempunyai endosperm dan lembaga yang lurus (Tjitrosoepomo, 1996). Sisik idioblas merupakan trikoma epidermal multiseluler (Argent, 2006). Hal ini berarti bahwa sisik idioblas merupakan struktur tambahan yang berada di bagian abaksial (bawah) daun Rhododendron yang menyerupai payung kecil, dan pada pengamatan dengan mata telanjang, sisik idioblas tampak sebagai titik bundar yang berwarna gelap (Leach, 1961). Istilah sisik idioblas yang digunakan pada tulisan ini berbeda dengan pemakaian istilah sisik yang biasanya digunakan dalam bidang taksonomi untuk menjelaskan salah satu bentuk modifikasi daun pada tumbuhan (Lawrence, 1955). Menurut Nilsen (2003), Nilsen & Scheckler (2003) dalam Argent (2006), idioblas dalam sel-sel daun semua spesies Rhododendron subgenus vireya yang diamati selama ini bersifat unik dan universal untuk tingkat subgenus. Karakter idioblas sangat berguna pada saat mengidentifikasi Rhododendron terutama apabila dalam keadaan steril. Pada kenyataannya, sisik idioblas pada daun Rhododendron memiliki bentuk yang sangat bervariasi, tetapi variasi bentuk tersebut dapat digeneralisasi menjadi beberapa bentuk saja (Argent, 2006). Bagi tumbuhan sendiri, sisik idioblas merupakan salah satu alat pertahanan dalam menghadapi cekaman lingkungan yang ekstrem dan untuk menghadapi herbivora. Menurut Argent (2006) pengamatan sisik idioblas pada daun Rhododendron subgenus vireya terutama dilakukan pada bagian lamina daun pada jarak 1/3 bagian ke arah ujung dari dasar lamina dan sekitar
6
setengah jarak dari tepi lamina ke vena tengah. Akan tetapi, karena keanekaragaman Rhododendron subgenus vireya sangat tinggi maka karakter sisik dari satu spesimen yang diamati akan berbeda dengan spesimen yang lain. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan karakterisasi sisik-idioblas Rhododendron subgenus vireya yang berasal dari beberapa tempat di Indonesia dan untuk melakukan verifikasi pengelompokan Rhododendron spp. yang dikoleksi di UPT Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Perbanyakan Tumbuhan UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI. Pengamatan dilakukan pada musim kemarau pada bulan Agustus sampai dengan September 2011.
HASIL Daun Rhododendron dewasa diisolasi dari tujuh jenis tumbuhan Rhododendron yang tumbuh di nursery dan petak XII UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI untuk dibawa ke Laborator-ium Perbanyakan Tumbuhan. Rhododendron yang diamati adalah 1. Rhododendron seranicum 2. R. macgregoriae 3. R. rhodopus 4. R. javanicum 5. R. inundatum 6. R. konori 7. Rhododendron sp. Daun dipotong kecil, dan dibuat irisan melintang dan membujur sehingga lapisan daun dapat ditembus cahaya mikroskop Olympus. Pengamatan dilakukan dengan perbesaran 100 kali lalu ditingkatkan dengan perbesaran 400 kali. Gambar difoto dengan kamera digital Olympus model C7070WZ dengan mode supermacro.
Gambar 1. Morfologi Rhododendron. A. Habitus R. javanicum. B. Morfologi daun R. macgregorie. C. Morfologi daun R. konori. a. permukaan abaksial tanpa sisik – idioblas. b. permukaan abaksial daun dewasa dengan sisik – idioblas yang membentuk warna cokelat. c. permukaan abaksial daun muda dengan sisik – idioblas yang membentuk warna cokelat muda. 1 skala = 1 mm.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
7
Gambar 2. Irisan Melintang Daun dan Bagian Abaksial Irisan Membujur Daun Rhododendron Subgenus vireya. A. Irisan melintang daun Rhododendron sp. (100 kali). titik kecil berwarna cokelat adalah sisik-idioblas yang menempel pada epidermis bawah daun. B. Sisik idioblas Rhododendron sp. berbentuk roda (400 kali). C. Sisik idioblas R. konori berbentuk stellate yang terbagi mendalam atau dendroid (400 kali). D. Sisik idioblas yang terlepas dari daun R. konori. (400 kali). E. Sisik idioblas R. dilatatum berbentuk bintang (400 kali). F. Sisik idioblas R. javanicum berbentuk bintang (400 kali). G. Sisik idioblas R. rhodopus berbentuk bintang. (400 kali). H. Cara pelekatan sisik idioblas R. rhodopus (400 kali). I. Sisik idioblas R. seranicum berbentuk bintang (400 kali). J. Sisik idioblas R. macgregorie berbentuk roda (400 kali). 1 skala = 0,01 mm.
PEMBAHASAN Idioblas adalah sel-sel khusus yang mempunyai fungsi tertentu. Sebagai contoh idioblas pada sel-sel daun Citrus dan Begonia yang berfungsi sebagai tempat menyimpan kristal Kalsium Oksalat yang berbentuk prisma, empat persegi panjang atau piramida (Fahn, 1982). Sisik idioblas pada Rhododendron umumnya berbentuk seperti payung kecil dengan tangkai yang pendek dengan jumlah yang bervariasi sehingga kedudukannya satu sama lain ada yang renggang, tetapi ada juga yang rapat. Pada penelitian ini semua sisik idioblas yang diamati populasinya tidak terlalu rapat
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
sehingga bagian vena lamina daun masih dapat terlihat, kecuali pada R. konori. Gambar 1.B dan 1.C menunjukkan orientasi kedudukan sisik idioblas antara satu sisik dengan sisik yang lain pada satu daun. Pada Gambar 1.B, yaitu daun R. macgregorie masih dapat terlihat alur vena lamina daun karena sisik idioblas kurang menutup rapat. Hal ini berbeda dengan sisik idioblas pada R. konori yang menutup rapat permukaan lamina daun karena populasinya sangat tinggi. Pada penelitian ini juga diketahui bahwa semua sisik idioblas yang diamati kedudukannya terletak dalam barisan epidermis abaksial daun, kecuali pada R. konori yang mudah terlepas bila disentuh. Pada irisan
8
melintang lamina daun, garis yang terbentuk oleh sel-sel epidermis abaksial daun tampak mengalami pelekukan di daerah sisik idioblas menempel yang tampak seperti mengisi cekungan karena garis yang dibentuk sel-sel epidermis mengalami pelekukan seperti pada Gambar 2.A. Sisik idioblas pada R. konori memiliki tangkai yang panjang sebagai alat pengait yang menyisip di antara barisan sel epidermis, seperti pada Gambar 2.D. Menurut Leach (1961), pada Rhododendron sisik idioblas bersama-sama dengan papilla dan indumentums bertugas membantu kerja stomata dalam pengaturan aliran air dari dalam tubuh tumbuhan ke atmosfer demikian sebaliknya. Bentuk sisik-idioblas pada daun Rhododendron yang diamati relatif bervariasi. Pada daun Rhododendron sp. sisik idioblas berbentuk seperti roda dengan bagian tepi yang luas dengan bantalan yang juga luas seperti pada Gambar 2.B. Gambar 2.C dan 2.D adalah bentuk sisik idioblas R. konori yang menyerupai pohon beringin sehingga Argent (2006) menyebutnya sebagai bintang (stellate) yang terbagi-bagi mendalam atau dendroid yang masing-masing berada di bagian atas batas atas lapisan epidermis. Gambar 2.E-I memperlihatkan bentuk bintang (stellate) dengan berbagai variasi yang masing-masing diamati pada daun R. dilatatum, R. javanicum, R. rhodopus, dan R. seranicum. Adapun Gambar 2.J adalah bentuk sisik idioblas R. macgregorie yang berbentuk seperti roda atau perisai. Bentuk idioblas pada Rhododendron sp. bila
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
dibandingkan dengan dengan enam jenis yang lain lebih menyerupai bentuk idioblas pada R. macgregorie. KESIMPULAN Populasi dan cara pelekatan sisik idioblas pada permukaan abaksial daun Rhododendron berbeda antara satu dengan yang lain. Secara umum sisik idioblas Rhododendron subgenus vireya berbentuk seperti payung dengan tangkai. Jika dilihat secara vertikal, bagian payung sisik idioblas Rhododendron memiliki berbagai variasi bentuk, baik seperti roda atau perisai (peltate), pohon beringin (dendroid), maupun seperti bintang (stellate). DAFTAR PUSTAKA Argent, G. 2006. Rhododendrons of subgenus Vireya. Edinburgh: The Royal Horticultural Society. 382 hlm. Fahn, A. 1982. Plant Anatomy. Hebrew: Pergamon Press Ltd. Hlm. 268–290. Lawrence, G.H.M. 1955. An Introduction to Plant Taxonomy. New York: The Macmillan Company. Hlm. 26–84. Leach, D.G. 1961. Rhododendrons of the World. New York: Charles Scribner’s Sons. Hlm. 24–26. Tjitrosoepomo, G. 1996. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hlm. 330–332.
9
KERAGAMAN Rhododendron DI KEBUN RAYA “EKA KARYA” BALI DAN STATUS KONSERVASINYA Dyan Meiningsasi Siswoyo Putri dan Tri Warseno UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bali–LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT - Indonesia is one of Vireya Rhododendron distribution center in Southeast Asia with nearly 238 species spread in Indonesia, with 30 species endangered status. Bali Botanical Garden one of the institutions engaged in ex situ plant conservation. Number of species Vireya Rhododendron Indonesia that successfully collected endangered Bali Botanical Gardens has only reached 5%, necessitating increased exploration activity that focuses on the collection Vireya Rhododendron. Key words: Rhododendron; Plant conservation; Plant diversity
PENDAHULUAN Rhododendron merupakan tanaman berbunga dengan perawakan semak sampai pohon kecil, terestrial atau epifit. Bentuk daun sederhana dan tersusun spiral atau berhadapan berseling. Bunga majemuk (inflorescentia racemosa) atau tunggal. Bunga berbentuk tabung, merupakan bunga banci dengan bakal buah yang menempel pada dasar bunga. Buah berbentuk kapsul yang menjulang ke atas dengan memiliki beberapa biji (Zomlefer, 1994). Rhododendron banyak dijumpai di daerah hutan-hutan pegunungan (Kalimantan dan Papua Nugini) dengan ketinggian mencapai 4.000 m di atas permukaan laut, namun ada juga yang dapat ditemui di dataran rendah dan mangrove. Rhododendron dapat tumbuh di tanah berumput dan di batuan. Rhododendron akan tumbuh dengan subur pada tanah yang asam dengan kisaran pH 4,5– 5,5 (Anonim, 2004). Beberapa jenis Rhododendron telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tanaman obat-obatan dan hias. Di kawasan Malesia, ia telah banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias dan merupakan komoditas hortikultura yang penting, baik itu jenis asli ataupun yang telah dihibridisasi. Selain itu, sebagian masyarakat di kawasan Asia Tenggara memanfaatkan beberapa jenis Rhododendron sebagai obat-obatan tradisional. Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, potensi lain dari Rhododendron adalah sebagai antibakterial (R. kanori dan R. macgregoriae) dan penghasil
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
senyawa flavo-noid (R. javanicum dan R. macgregoriae). Rhododendron mucronatum varietas juga bermanfaat untuk menghilangkan sakit demam dan perangsang kelenjar (Anonim, 1966; Heyne, 1987; Waldan, 2007). Beberapa Rhododendron merupakan jenis yang potensial terancam kepunahan karena kerusakan habitat. Perbedaan polinator dan waktu berbunga juga menjadi faktor penyumbang yang menyebabkan Rhododendron menjadi terancam (Fay, 1992; Singh and Gurung, 2009). Selain itu, ketersediaan bibit/ anakan yang sangat sedikit di alam, juga menyebabkan banyak Rhododendron dalam kondisi terancam (Semwal dan Purohit, 1980; Singh et al., 2008a; Singh et al., 2008b). Salah satu penyebab terancamnya Rhododendron adalah fase perkecambahan yang banyak dikendalikan oleh beberapa hal, antara lain jenis, viabilitas benih, dormansi benih, ukuran benih, dan faktor lingkungan (ketersediaan kelembapan, suhu, kelembapan relatif, intensitas cahaya) (Singh et al., 2010). Perbanyakan jenis Rhododendron alam (wild type) secara vegetatif (konvensional) pada umumnya menunjukkan hasil yang sama dengan perbanyakan melalui biji. Pada kebanyakan Rhododendron perbanyakan secara vegetatif keberhasilannya rendah dan kerber-hasilan germinasi bijinya di alam juga sangat rendah. Upaya konservasi terhadap Rhododendron harus segera dilakukan untuk mencegah kepunahan. Salah satu usaha yang dilakukan adalah eksplorasi dan inventarisasi. Informasi tentang keragaman Rhododendron koleksi
10
Kebun Raya Bali dan status konservasinya akan disajikan dalam makalah ini. KEANEKARAGAMAN VIREYA RHODODENDRON Penyebaran Vireya Rhododendron Vireya Rhododendron banyak dijumpai di Asia Tenggara, meliputi Kawasan Malesia, Philipines, Borneo, Indonesia, dan Nugini. Hal ini pula yang menyebabkan Vireya Rhododendron disebut sebagai ‘Malesian Rhododendron’, walaupun saat ini sudah dapat ditemukan di luar kawasan tersebut, seperti di Taiwan, Queensland bagian Utara, Australia bagian Selatan, dan India bagian Barat bahkan sampai Kepulauan Solomon bagian Timur. Peta penyebaran dan jumlah spesies Vireya Rhododendron tersaji dalam Gambar 1. Untuk Indonesia, keragaman jenis tertinggi terdapat di Papua Barat (97 jenis), Kalimantan (9 jenis), Sulawesi (26 jenis), Sumatra (27 jenis), Maluku (9 jenis), Jawa (8 jenis), Bali (1 jenis), dan Nusa Tenggara (3 jenis). Koleksi Vireya Rhododendron di Kebun Raya Bali Kebun Raya Bali sebagai institusi yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan secara ex-situ merupakan tulang punggung usaha konservasi, salah satunya adalah konservasi Vireya Rhododendron. Beberapa koleksi Vireya Rhododendron di Kebun Raya Bali berasal dari kawasan timur Indonesia, di antaranya, yaitu R. javanicum, R. javanicum
ssp. javanicum forma bunga kuning, R. javanicum ssp. teysmanii, R. radians, R. seramicum, R. renschianum, R. rhodopus, R. macgregoriae, R. inundatum, R. Konori, dan Rhododendron sp. Koleksi Vireya Rhododendron ditanam di pembibitan (koleksi Nursery) dan pada petak XIII (yang rencananya akan menjadi Taman Ericaceae). Jumlah koleksi hingga Desember 2010 adalah 10 jenis, 17 nomor, 44 spesimen (Tabel 1.). Beberapa jenis telah berhasil diperbanyak, misalnya R. javanicum ssp. teysmanii, R. radians, R. macgregoriae, namun masih belum diangkat menjadi tanaman koleksi (sebagai penambahan jumlah nomor dan spesimen). Beberapa jenis juga sudah dimanfaatkan sebagai salah satu elemen taman Ericaceae, seperti R. javanicum, R. javanicum ssp. javanicum forma bunga kuning, R. javanicum ssp. teysmanii, R. seramicum, R. rhodopus, R. macgregoriae, dan Rhododendron sp. Jika dibandingkan dengan jumlah koleksi Vireya Rhododendron dalam Vireya Rhododendrons Data Base of Royal Botanic Garden Edinburgh, koleksi Kebun Raya Bali masih sangat sedikit. Dari total 180 jenis yang ada di Indonesia, Kebun Raya Bali hanya memiliki sembilan jenis saja (Tabel 2.). Kondisi ini disebabkan tidak adanya kegiatan eksplorasi khusus untuk Vireya Rhododendron. Selama ini pengumpulan atau pengkoleksian Vireya Rho-dodendron diperoleh melalui kegiatan eksplo-rasi flora di kawasan Timur Indonesia sehingga belum dapat menjangkau lokasi lain yang menjadi daerah penyebaran Vireya Rhododen-dron di Indonesia.
Gambar 1. Peta Penyebaran Vireya Rhododendron (Gibbs, et al. 2011)
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
11
Tabel 1. Vireya Rhododendron Koleksi Kebun Raya Bali No. No. koleksi Kolektor No. Akses Nama Jenis
Keterangan
1
21-21a,b
War.306
E20030970
Rhododendron javanicum Benn.
2
23-23a,b
RP.311
E200209242
Rhododendron rhodopus Sleum.
3
115
Dn.227
E200107160
Rhododendron renshianum Sleum.
4
116-116a
dd.189
E200408219
Rhododendron seramicum J.J Smith.
5
117
dd.192
E200408222
Rhododendron radians J.J Sm.
6
118-118a
dd. 193
E200408223
Rhododendron seramicum J.J Smith.
7
120-120a,b,c
dd.207
E20060649
Rhododendron seramicum J. J. Smith.
dd.213
E2006071
Rhododendron javanicum teysmanii
8
125
ssp.
Kawasan Hutan Lindung Mala-mala, Kec. Kodeoha, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara, Indonesia; Tumbuh pada tempat terlindung, ketinggian 1.600 m dpl. Kawasan Hutan Lindung Nanggala II, Kab. Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia; Tumbuh pada tempat yang agak terlindung. Gunung Kelimutu, Ende, Flores, NTT, Indonesia; Tumbuh di tanah berwarna cokelat, berpasir, tempat terbuka, ketinggian 1.720 m dpl. Cagar Alam Tinombala, Ds. Labonu, Kec. Bosidondo, Kab. Tolitoli, Sulawesi Tengah, Indonesia; Tumbuh pada tempat terbuka, ketinggian 2.200 m dpl. Cagar Alam Tinombala, Ds. Labonu, Kec. Basidondo, Kab. Tolitoli, Sulawesi Tengah, Indonesia; Tumbuh pada tempat terbuka, ketinggian 2.200 m dpl. Cagar Alam Tinombala, Ds. Labonu, Kec. Basidondo, Kab. Tolitoli, Sulawesi Tengah, Indonesia; Tumbuh di tempat terbuka, ketinggian 2.200 m dpl. G. Batukau, Kec. Penebel, Kab. Tabanan, Bali, Indonesia. Ds. Candikuning, Kec. Baturiti, Kab. Tabanan, Bali Tumbuh pada tempat terbuka, ketinggian 1.250 m dpl.
9
135
Ida.1726
E19860736
Rhododendron javanicum ssp. teysmanii
Batukaru, Wangaya Gede, Kec. Penebel, Kab. Tabanan, Bali, Indonesia; Tumbuh pada ketinggian 2.600 m dpl.
10
136-136a
NS.140
E2006116
Rhododendron javanicum Benn.
11
138-138a
Harry W.
E20050814
Rhododendron sp.
Batukaru, Wangaya Gede, Kec. Penebel, Kab. Tabanan, Bali, Tumbuh pada ketinggian 2.600 m dpl. Gunung Ngengas, Sumbawa, NTB, Indonesia; 1.400 m dpl.
12
139-139a
Dm.1232
E20050499
Rhododendron seranicum J.J Smith.
13
140-140a,b
Dm.1233
E200509500
Rhododendron sp.
Pegunungan Latimojong, Ds. Rante Balla, Kec. Latimojong, Kab. Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia; Tumbuh pada ketinggian 1.452 m dpl. Pegunungan Latimojong, Ds. Rante Balla, Kec. Latimojong, Kab. Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia; Tumbuh pada ketinggian 1.452 m dpl. Holima, Ds. Maream, Kec. Ubikosi, Kab. Jaya Wijaya (Wamena) Papua, Indonesia; Tumbuh pada tanah liat, di pinggir sungai, ketinggian 1.700 m dpl.
14
141-141a, b
GT. 2062
E200509150
Rhododendron konori Becc.
15
5 spesimen
GT 2614
E20080930
Rhododendron inundatum Sleum.
Kabupaten Jayawijaya, Papua, tempat terbuka, tanah gambut, ketinggian 1.700 m dpl.
16
5 spesimen
GT 2617
E20080933
Rhododendron macgregoriae F. Muell.
Kabupaten Jayawijaya, Papua, tempat terbuka, tanah gambut, ketinggian 1.700 m dpl.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
12
No.
No. koleksi
Kolektor
No. Akses
Nama Jenis
17
5 spesimen
GT 2618
E20080934
Rhododendron gaultheriifolium J.J. Smith.
Kabupaten Jayawijaya, Papua, tempat terbuka, tanah gabut, ketinggian 1.700 m dpl.
18
3 spesimen
GT 2946
E201009119
Rhododendron sp.
Taman Nasional Manusela, Maluku, tempat terbuka, tanah merah, ketinggian 1.200 m dpl.
1. Rhododendron javanicum Benn. Section: Section Euvireya: Subsection Euvireya Deskripsi: Tinggi mencapai 5 m. Terestrial atau epifit. Daun menjorong, berukuran 15x5cm. Bunga biasanya jingga dengan tanda merah, kadang-kadang kuning berbentuk corong 5 cm, jumlah bunga hingga 12 per kuntum. Ditemukan di Indonesia, yaitu di Sumatra, Jawa sampai Bali dengan ketinggian lokasi antara 800–2.550 m dpl. (Gambar 2). 2. Rhododendron rhodopus Sleum. Section: Section Euvireya: Subsection Euvireya Deskripsi: Tinggi mencapai 2 m. Terestrial. Daun membundar telur menyempit 16x4,5 cm; bunga berbentuk tabung-corong, 7 cm, jumlah mencapai 9 bunga per kuntum, beraroma, ditemukan di Indonesia yaitu sekitar
Keterangan
Latimojong (Sulawesi) dengan ketinggian lokasi 2.800–3.000 m dpl. Nama “rhodopus” berasal dari tangkai bunganya yang berwarna merah (Gambar 3). 3. Rhododendron renschianum Sleum. Section: Section Euvireya: Subsection Euvireya Deskripsi: Tinggi tanaman dapat mencapai 0,5 m. Terestrial. Daun menjorong berukuran 7x3,5 cm. Bunga betuk corong menyempit, memiliki warna mahkota bunga kombinasi kuning dan jingga mencolok, berukuran panjang + 4 cm, berjumlah mencapai delapan bunga per kuntum. Di Indonesia ditemukan di Kepulauan Sunda Kecil, Gunung Kelimutu, Gunung Mandaswai dan Gunung Desu pada ketinggian 1.500–2.300 m dpl. Nama “renschianum” diambil dari nama Ilse Rensch-Maier, yaitu orang yang mengoleksi jenis ini pertama kali (Gambar 4).
Tabel 2. Jumlah Jenis Vireya Rhododendron Koleksi Kebun Raya Bali Berdasarkan Asal Koleksi. Kebun Raya Bali Distribusi Vireya Rhododendron di Lokasi Indonesia (Gibbs, et al. 2011) Jumlah % Jawa
8
1
12,5
Bali
1
0*
0,00
Nusa Tenggara
3
1
3,3
Sumatra Kalimantan
27 9
0 0
0,00 0,00
Sulawesi
26
3
11,54
Maluku
9
1
11,11
Papua Barat
97
3
3,09
Keterangan: * pernah dikoleksi, namun mati pada saat aklimatisasi
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
13
a
b
c
d
d
e
Gambar 2. Morfologi Rhododendron javanicum Benn. a. Habitus; b. Bentuk calon bunga; c. Bunga; d. Buah; e. Buah yang pecah
a
b
c
d
e
f
Gambar 3. Morfologi Rhododendron rhodopus Sleum. a. Habitus; b. Bentuk calon bunga; c. Bunga; d. Buah; e. Buah yang pecah; f. Biji
a
b
c
d
Gambar 4. Morfologi Rhododendron renschianum Sleum. a. Habitus; b. Bunga; c. Buah; d. Buah yang pecah
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
14
a
b
d
c
e
Gambar 5. Morfologi Rhododendron radians J.J. Sm. a. Habitus; b. Bentuk calon bunga; c. Bunga; d. Buah; e. Biji
4. Rhododendron seramicum J.J. Sm. Section: Section Euvireya: Subsection Euvireya Deskripsi: Tinggi tanaman mencapai 5 m. Terestrial. Daun menjorong berukuran 8,5x4cm. Bunga bentuk corong melebar, berukuran 8 cm, berjumlah 11 bunga per kuntum. Di Indonesia dapat ditemukan di Maluku, Sulawesi ( antara Danau Poso dan Wotu), Gunung Wawonoeru pada ketinggian 900–1.700 m dpl. Nama seranicum berasal dari nama Pulau Seram tempat jenis ini ditemukan pertama kali (Gambar 5). 5. Rhododendron javanicum ssp. teysmannii Section: Euvireya: Subsection Euvireya Deskripsi: Tinggi tanaman dapat mencapai 5 m. Terestrial atau epifit. Daun menjorong, berukuran 15x5cm. Bunga pada umumnya berwarna jingga dengan tanda merah atau ungu pada bagian leher, berukuran 5 cm dengan
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
jumlah bunga per kuntum mencapai 12 bunga. Di Indonesia dapat ditemukan di Sumatra, Jawa- Bali pada ketinggian 800–2.000 m dpl. Nama “javanicum” berasal dari nama Pulau Jawa, dan kata “teysmanii” berasal dari nama Johannes Teysmann, seorang Kurator Buitenzorg (Bogor) Botanic Garden (1808 – 1882) (Gambar 6). 6. Rhododendron konori Becc. Section: Section Phaeovireya Deskripsi: Tinggi tanaman mencapai 6 m. Epifit atau terestrial. Daun menjorongmembundar, berukuran 20x10 cm, bersisik (scaly); Bunga bentuk corong, berukuran 19 cm, berjumlah 10 bunga per kuntum, beraroma kuat. Di Indonesia dapat ditemukan di Papua pada ketinggian 750–2.500 m dpl. Nama “konori” berasal dari Konor, nama seorang dewa kepercayaan masyarakat Papua (Gambar 7.).
15
7. Rhododendron inundatum Sleum. Section: Section Siphonovireya Deskripsi: Tinggi tanaman mencapai 1 m. Terestrial. Daun menjorong-membundar, berukuran 7 cm x 5 cm. Bunga bentuk terompet, berukuran 4 cm, jumlah bunga mencapai 8 per kuntum. Di Indonesia dapat ditemukan di Papua,
a
Lembah Baliem pada ketinggian 1.650 m dpl; Istilah “inundated” berasal dari “banjir musiman” pada daerah tempat spesies ini pertama kali ditemukan (Gambar 8)
b
c
e
d
Gambar 6. Morfologi Rhododendron javanicum ssp. teysmannii a. Habitus; b. Bunga masih kuncup; c. Bunga yang sudah mekar; d. Buah; e. Biji
a
b
Gambar 7. Morfologi Rhododendron konori Becc.a. Habitus; b. Bentuk calon bunga.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
16
a
b
Gambar 8. Morfologi Rhododendron inundatum Sleum.a. Habitus; b. Bunga
8. Rhododendron macgregoriae F. Muell. Section: Section Euvireya: Subsection Euvireya Deskripsi: Tinggi tanaman dapat mencapai 15 m. Terestrial. Daun menjorong dengan ukuran 14x5 cm. Bunga berwarna kuning, jingga, merah muda-merah, berbentuk tabung kecil, berukuran 2,5 m dan jumlah bunga per kuntum dapat mencapai 15 bunga. Dapat ditemukan di Indonesia (Papua) dan Papua Nugini pada ketinggian 120–3.000 m.dpl. Nama “macgregoriae” berasal dari Lady Macgregor, istri dari seorang Gubernur Lieutenant Papua yang juga merupakan seorang ahli dan kolektor tanaman yang berdedikasi (Gambar 9). 9. Rhododendron gaultheriifolium J.J. Sm. Section: Section Discovireya Deskripsi: Tinggi tanaman dapat mencapai 5 m. Terestrial. Daun membundar telur, berukuran 1,0x0,7 cm. Bunga bentuk tabung, berukuran 1,7 cm, tunggal atau dalam pasangan. Di Indonesia ditemukan di Papua Barat: Gunung Oranye, Gunung Doorman dan di Papua Nugini: Gunung Stars dan East-West Highlands pada ketingigian 2.900–4.150 m dpl; Nama
“gaultheriifolium” berasal dari daunnya yang memiliki kemiripan dengan Gaultheria sp. (Gambar 10). Status Konservasi Vireya Rhododendron di Indonesia Menurut Gibbs et al. (2011), dari 180 jenis Vireya Rhododendron yang ada di Indonesia, terdapat 30 jenis yang terancam kepunahan, 61 jenis beresiko rendah, dan 89 jenis data belum lengkap atau belum terevaluasi (Tabel 3 dan Lampiran 1). Vireya Rhododendron Indonesia koleksi Kebun Raya Bali yang masuk kategori rentan (VU1D2) hanya satu jenis yaitu Rhododendron renshianum Sleum., dan yang termasuk berisiko rendah sebanyak tujuh jenis. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa Kebun Raya Bali baru berhasil mengoleksi 5% jenis Vireya Rhododendron Indonesia yang terancam punah. Hal ini masih jauh dari yang ditargetkan oleh GSPC (75% jenis-jenis tumbuhan terancam punah dapat dikonservasi secara ex-situ).
Tabel 3. Jumlah Jenis Vireya Rhododendron Indonesia yang terancam kepunahan No. Status Konservasi Jumlah Jenis 1
2
3
Terancam (threatened) • Kritis (CR) • Genting (EN) • Rentan (VU) Risiko rendah (lower risk) • Mendekati terancam (NT) • Risiko rendah (LC) Data tidak memadai (DD), belum terevaluasi (NE)
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
30 5 5 20 61 5 56 89
17
a
b
c
e
f
d
Gambar 9. Rhododendron macgregoriae F. Muell. a. Habitus; b. Tunas bunga; c. Bunga yang masih kuncup; d. Bunga mekar; e. Buah; f. Biji (pengamatan menggunakan mikroskop stereo perbesaran 30 kali).
Gambar 10. Morfologi Rhododendron gaultheriifolium J.J. Sm.
KESIMPULAN Kebun Raya Bali hingga saat ini perlu menambah koleksi Vireya Rhododendron mengingat sangat sedikitnya jenis-jenis yang berhasil dikoleksi, terutama untuk jenis-jenis yang termasuk dalam kategori terancam. Hal ini
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
disebabkan jumlah jenis Vireya Rhododendron Indonesia yang terancam kepunahan yang berhasil dikoleksi Kebun Raya Bali baru mencapai 5%. Penelitian dan pengembangan untuk upaya perbanyakan Vireya Rhododendron harus terus ditingkatkan dan dilakukan secara intensif.
18
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1966. Flora Malesiana. Series I. Vol. 6 (4). Leiden. Holland: Rijksherbarium. Anonim. 2004. Rhododendron. (http://biodiversity.uno.edu/delta/habita tsand biodiversity in the U_K.html, diakses tanggal 23 Mei 2003). --------. 2009.(www.vireya.net, diakses 13 Nopember 2010). Fay. M. 1992. Conservation of Rare and Endangered Plants Using in vitro Methods. In vitro Cellular Development Biology, 28: 1–4. Gibbs, D., D. Chamberlin and G. Argent. 2011. The Red List of Rhododendrons. UK: Botanic Gardens Conservation International. 128 pp. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Cetakan I. Terjemahan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan RI. IUCN. 2009. IUCN Red List Threatened Species. Version 2009.1. (www.iucnredlist.org, diakses 28 Desember 2010). Putri, D.M.S. dan I.N. Sudiatna. 2006. Pengaruh Jenis Media terhadap Pertumbuhan Rhododendron sp. Jurnal Widyariset (Kapita Selekta), 9 (4): 263– 268. Putri, D.M.S. dan I.N. Sudiatna. 2009. Aplikasi Penggunaan ZPT pada Perbanyakan Rhododendron javanicum Benn. Secara Vegetatif (Setek Pucuk). Jurnal Biologi, 8 (1). 17–20. Putri, D.M.S. 2009. Masa berbunga Beberapa Jenis Rhododendron spp. (Sub.Sect.Vireya) Koleksi Kebun Raya Bali. Prosiding Seminar Peranan Konservasi Flora Indonesia Dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global. Kebun Raya Bali, 14 Juli. Hal. 196–205. Rahman, W. & D.M.S. Putri. 2009. Kemajuan Konservasi Ex-situ Spesies Rhododendron Di Kebun Raya Cibodas
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
dan Kebun Raya 'Eka Karya Bali. Warta Kebun Raya, 9 (1): 14–20. Semwal, J.K. and Purohit, A.N. 1980. Germination of Himalayan Alpine and Temperate Potentilla. Proc.Indian Acad. Sci., 89: 61–65. Singh, K.K., S. Kumar and A. Pandey. 2008a. Soil Treatments for Improving Seed Germination of Rare and Endangered Sikkim Himalayan Rhododendrons. World Journal of Agricultural Sciences, 4 (2): 288–296. Singh, K.K., S. Kumar and R. Shanti. 2008b. Raising Planting Materials of Sikkim Himalayan Rhododendron through Vegetative Propagationusing “Air-wet technique”. Journal of American Rhododendron Society, 62: 136–138. Singh, K.K., B. Gurung. 2009. In Vitro Propagation of R. maddeni Hook. F. an Endangered Rhododendron species of Sikkim Himalaya. Not. Bot. Hort. Agrobot, 37 (1): 79–83. Singh, K.K., B. Gurung, L.K. Rai and L.H. Nepal. 2010. The Influence of emperature, Light and Pre-treatment on the Seed Germination of Critically Endangered Sikkim Himalayan Rhododendron (R. niveum Hook f.). Journal of American Science, 6(8). Vejsadova, H. 2008. Growth regulator effect on in vitro regeneration of Rhododendron cultivars. Hort.Sc. (Prague), 35 (2): 90– 94. Warseno, T. dan D.M.S. Putri. 2010. Studi Sterilisasi Rhododendron radians J.J. Smith Secara In Vitro. Prosiding Seminar Nasional Hortikultura 2010. Denpasar, 25–26 November. Hlm. 786– 791. Waldan, N.K. 2007. Di Balik Keindahan Rhododendron (Bisa Jadi Obat Insomnia dan Rematik). (www.tabloidnova.com/articles.asp?id =11186, diakses tanggal 20 April 2007). Zomlefer, W.B. 1994. Guide to Flowering Plant Families. Chapell Hill, London: The University of North Carolina, Press.
19
Lampiran 1. Daftar Status Konservasi Vireya Rhododendron Indonesia (Gibbs, et al., 2011) No
Nama
Kategori
Distribusi
1
R. adinophyllum Merr.
LC
Indonesia (Sumatra)
2
R. aequabile J.J.Sm.
LC
Indonesia (Sumatra)
3
R. agathodaemonis J.J.Sm.
DD
Indonesia (Papua)
4
R. alborugosum Argent& J. Dransf.
5
R. album Blume
6
R. alternans Sleumer
DD
Indonesia (Sulawesi)
7
R. amabile Sleumer
DD
Indonesia (Sulawesi)
8
R. angulatum J.J.Sm.
DD
Indonesia (Papua)
9
R. arenicolum Sleumer
DD
Indonesia (Sulawesi)
10
R. arenicolumi Sleumer
DD
Indonesia (Sulawesi)
11
R. arfakianum Becc.
DD
Indonesia (Papua)
12
R. asperrimum Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
13
R. asperum J.J.Sm.
LC
Indonesia (Papua)
14
R. banghamiorum (J.J.Sm.) Sleumer
15 16
EN D VUB2ab(v)
Indonesia (Kalimantan) Indonesia (Jawa)
VUD1
Indonesia (Sumatra)
R. beccarii Sleumer
DD
Indonesia (Sumatra)
R. bloembergenii Sleumer
DD
Indonesia (Sulawesi)
17
R. brachyantherum Warb. ex P.&F.Sarasin
DD
Indonesia (Sulawesi)
18
R. brachypodarium Sleumer
LC
Indonesia (Papua)
19
R. brassii Sleumer
LC
Indonesia (Papua), Papua New Guinea
20
R. bullifolium Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
21
R. buruense J.J.Sm.
DD
Indonesia (Maluku)
22
R. caespitosum Sleumer
VUD2
Indonesia (Papua)
23
R. calosanthes Sleumer
VU D2
Indonesia (Papua)
24
R. carstensense Wernham
25
R. celebicum (Blume) DC.
LC
Indonesia (Sulawesi)
26
R. cernuum Sleumer
EN B2ab(ii)
Indonesia (Sumatra)
27
R. ciliilobum Sleumer
LC
Indonesia (Papua)
28
R. cinchoniflorum Sleumer
LC
Indonesia (Papua)
29
R. cinerascens Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
30
R. citrinum var. citrinum Hassk.
LC
Indonesia (Bali, Jawa)
31
R. citrinum var. discoloratum Sleumer
LC
Indonesia (Sumatra)
32
R. coelorum Wernham
DD
Indonesia (Papua)
33
R. commutatum Sleumer
LC
Indonesia
34
R. cornu-bovis Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
35
R. correoides J.J.Sm.
LC
Indonesia (Papua)
36
R. culminicola var. angiense Sleumer
LC
Indonesia (Papua)
37
R. culminicola var. culminicola F.Muell.
LC
Indonesia (Papua), Papua New Guinea
38
R. curviflorum J.J.Sm.
LC
Indonesia (Papua)
39
R. cuspidellum Sleumer
LC
Indonesia (Papua)
40
R. cyrtophyllum Wernham
DD
Indonesia (Papua)
41
R. delicatulum var. delicatulum Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
42
R. delicatulum var. lanceolatoides Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
CRB1ab(ii,iv)
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Indonesia (Papua)
20
No 43
Nama
47
R. dianthosmum Sleumer R. disterigmoides ssp. disterigmoides Sleumer R. dutartrei Danet R. edanoi ssp. pneumonanthum Merr. & Quisumb. R. englerianum Koord.
48
R. erosipetalum J.J.Sm.
49
44 45
Kategori
Distribusi
VUD2
Indonesia (Papua)
NE
Indonesia (Papua)
NT
Indonesia (Papua) Indonesia (Kalimantan, Lesser Sunda Is.), Malaysia (Sabah, Sarawak) Indonesia (Papua), Papua New Guinea
LC
Indonesia (Papua)
R. evelyneae Danet
CRD
Indonesia (Papua)
50
R. extrorsum J.J.Sm.
DD
51
R. eymae Sleumer
52
R. flavoviride J.J.Sm.
LC
Indonesia (Papua) Indonesia (Sulawesi), Rantemario Indonesia (Papua)
53
R. fortunans J.J.Sm.
NT/ VUD2
Indonesia (Kalimantan)
54
R. frey-wysslingii J.J.Sm.
DD
Indonesia (Sumatra)
55
R. gardenia Schltr.
LC
Indonesia (Papua)
56
R. gaultheriifolium J.J.Sm.
LC
Indonesia (Papua), Papua New Guinea
57
R. glabriflorum J.J.Sm.
DD
Indonesia (Papua)
58
R. habbemae Koord.
59
R. haematophthalmum Sleumer
LC
Indonesia (Papua)
60
R. hameliiflorum Wernham
DD
Indonesia (Papua)
61
R. hatamense Becc.
VUD2
Indonesia (Papua)
62
R. helodes Sleumer
VUD2
Indonesia (Papua)
63
R. hirtolepidotum J.J.Sm.
VUD2
Indonesia (Papua)
64
R. hooglandii Sleumer
DD
Indonesia (Papua), Papua New Guinea
65
R. impositum J.J.Sm.
LC
Indonesia (Sulawesi)
66
R. impressopunctatum J.J.Sm.
DD
Indonesia (Maluku)
67
R. incommodum Sleumer
LC
Indonesia (Papua), Papua New Guinea
68
R. inconspicuum J.J.Sm.
LC
Indonesia (Papua), Papua New Guinea
69
R. inundatum Sleumer
LC
70
R. irroratum Franchet
LC
Indonesia (Papua) China (Guizhou, Sichuan, Yunnan), Indonesia (Sumatra), Viet Nam
46
74
R. jasminiflorum ssp. heusseri (J.J.Sm.) Argent R. javanicum ssp. javanicum (Blume) Benn. R. javanicum ssp. schadenbergii (Warb.) Argent R. kawir Danet
75
71
CRC2a(ii) LC
EN-D
VUB1ab(ii,iv)
endemic
Indonesia (Papua)
LC
Indonesia (Sumatra)
LC
Indonesia (Jawa)
LC
Indonesia (Sulawesi), Philippines
DD
Indonesia (Papua)
R. kemulense J.J.Sm.
DD
Indonesia (Kalimantan)
76
R. kogo Danet
DD
Indonesia (Papua)
77
R. konori var. konori Becc.
LC
Indonesia (Papua), Papua New Guinea
78
R. korthalsii Miq.
DD
Indonesia (Sumatra)
79
R. laetum J.J.Sm.
LC
Indonesia (Papua)
80
R. lagenculicarpum J.J.Sm.
NE
Indonesia (Sulawesi)
81
R. lagunculicarpum J.J.Sm.
LC
Indonesia (Sulawesi)
82
R. lamii J.J.Sm.
DD
Indonesia (Papua)
83
R. lampongum Miq.
DD
Indonesia (Sumatra)
72 73
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
G.
21
No
Nama
Kategori LC
Distribusi
84
R. leptobrachion Sleumer
85
R. leptomorphum Sleumer
DD
Indonesia (Sulawesi)
86
R. leucogigas Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
87
R. lindaueanum var. bantaengense J.J.Sm.
VUD2
88
R. lindaueanum var. lindaueanum Koord.
LC
89
R. loerzingii J.J.Sm.
90
R. lompohense J.J.Sm.
91
R. longiflorum var. bancanum Sleumer
92
R. longiflorum var. longiflorum
VUD2 DD CR-B2ab(iii) LC
Indonesia (Sulawesi)
Indonesia (Sulawesi) Indonesia (Papua), Papua New Guinea Indonesia (Jawa) Indonesia (Sulawesi) Indonesia (Sumatra) Brunei Darussalam, Indonesia (Kalimantan, Sumatra), Malaysia (Peninsular Malaysia, Sabah, Sarawak)
94
R. macgregoriae var. glabrifilum (J.J.Sm.) Sleumer R. macgregoriae var. macgregoriae F.Muell.
95
R. maius (J.J.Sm.) Sleumer
LC
96
R. malayanum var. malayanum Jack
LC
97
R. malayanum var. pilosifilum Sleumer
LC
Indonesia (Papua) Indonesia (Jawa, Sumatra), (Peninsular Malaysia) Indonesia (Maluku)
98
R. malayanum var. pubens Sleumer
DD
Indonesia (Maluku)
99
R. meliphagidum J.J.Sm.
LC
Indonesia (Maluku)
100
R. microphyllum J.J.Sm.
NT/VUD2
Indonesia (Papua)
101
R. milleri Argent
VUD1
Indonesia (Papua)
102
R. mogeanum Argent
VUD1+2
103
R. mollianum Koord.
DD
Indonesia (Papua)
104
R. moulmainense J. D. Hooker
LC
Indonesia
105
R. multicolor Miq.
LC
Indonesia (Sumatra)
106
R. multinervium Sleumer
LC
Indonesia (Papua)
107
R. muscicola J.J.Sm.
DD
Indonesia (Papua)
108
R. myrsinites Sleumer
DD
109
R. nanophyton var. nanophyton Sleumer
EN-D
110
R. nanophyton var. petrophilum Sleumer
DD
Indonesia (Papua) Indonesia (Sulawesi), endemic Rantemario, Sulawesi Selatan Indonesia (Sulawesi)
111
R. nubicola Wernham
LC
Indonesia (Papua), Papua New Guinea
112
R. opulentum Sleumer
VU D2
Indonesia (Papua)
113
R. oreadum Wernham
DD
Indonesia (Papua)
114
R. oreites var. chlorops Sleumer
LC
Indonesia (Papua)
115
R. oreites var. oreites Sleumer
LC
Indonesia (Papua)
116
R. pachystigma Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
117
R. papuanum Becc.
LC
Indonesia (Papua)
118
R. parvulum Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
119
R. perplexum Sleumer
DD
Indonesia (Sumatra)
120
R. phaeochristum Sleumer
LC
Indonesia (Papua)
121
R. phaeops Sleumer
NT/VUD2
Indonesia (Papua)
122
R. poremense J.J.Sm.
DD
Indonesia (Sulawesi)
123
R. porphyranthes Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
124
R. proliferum Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
93
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
NE
Indonesia (Papua), Papua New Guinea
LC
Indonesia (Papua), Papua New Guinea Malaysia
Indonesia (Kalimantan)
G.
22
No
Nama
Kategori
125
R. psammogenes Sleumer
126
R. pseudobuxifolium Sleumer
127
R. pseudotrichanthum Sleumer
DD
Indonesia (Papua) Indonesia (Sulawesi), endemic Rantemario, Sulawesi Selatan Indonesia (Kalimantan)
128
R. psilanthum Sleumer
DD
Indonesia (Sulawesi)
129
R. pubigermen J.J.Sm.
LC
130
R. pudorinum Sleumer
VUD2
131
R. purpureiflorum J.J.Sm.
DD
Indonesia (Sumatra) Indonesia (Sulawesi), Latimojong, G. Pokapinjang) Indonesia (Papua), Papua New Guinea
132
R. pusillum J.J.Sm.
DD
Indonesia (Papua)
133
R. pyrrhophorum Sleumer
DD
Indonesia (Sumatra)
134
R. radians var. minahasae Sleumer
LC
Indonesia (Sulawesi)
135
R. radians var. radians
LC
Indonesia (Sulawesi)
136
R. rappardii Sleumer
LC
Indonesia (Papua)
137
R. rarilepidotum var. rarilepidotum J.J.Sm.
LC
138
R. renschianum Sleumer
139
R. retusum var. retusum Sleumer
Indonesia (Sumatra) Indonesia (Lesser Sunda Is.), Flores (G. Kelimutu, G. Desu) Indonesia (Jawa, Sumatra)
140
R. retusum var. trichostylum Sleumer
DD
Indonesia (Sumatra)
141
R. revolutum Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
142
R. rhodochroum Sleumer
NT/VUD2
Indonesia (Papua)
143
R. rhodopus Sleumer
DD
Indonesia (Sulawesi)
144
R. rhodosalpinx Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
145
R. ripleyi var. basitrichum Sleumer
NE
Indonesia (Sumatra)
146
R. ripleyi var. cryptogonium Sleumer
NE
Indonesia (Sumatra)
147
R. ripleyi var. ripleyi Merr.
DD
Indonesia (Sumatra)
148
R. roseiflorum
NE
Indonesia (Papua)
149
R. rosendahlii
NE
Indonesia (Papua)
150
R. rubrobracteatum Sleumer
NE
Indonesia (Papua)
151
R. ruttenii
NE
Indonesia
152
R. scarlatinum Sleumer
DD
Indonesia (Sulawesi)
153
R. schizostigma Sleumer
NE
Indonesia (Papua)
154
R. seramicum J.J.Sm.
NE
Indonesia (Maluku)
155
R. sessilifolium J.J.Sm.
NE
Indonesia (Sumatra)
156
R. stresemannii J.J.Sm.
DD
Indonesia (Maluku)
157
R. subcrenulatum Sleumer
NE
Indonesia (Papua)
158
R. subuliferum Sleumer
NE
Indonesia (Papua)
159
R. sumatranum Merr.
NE
Indonesia (Sumatra)
160
R. syringoideum Sleumer
NE
Indonesia (Papua)
161
R. taxoides J.J.Sm.
162
R. thaumasianthum Sleumer
163
R. tintinnabellum Danet
164
R. toxopei J.J.Sm.
165
R. tuberculiferum J.J.Sm.
VUD2
Indonesia (Papua)
166
R. tuhanensis Argent & Barkman
CR-D
Indonesia (Kalimantan)
DD VUD2
VUD2 LC
ENB1ab(ii,iv)
Distribusi
Indonesia (Papua)
DD
Indonesia (Papua)
VUD1+2
Indonesia (Papua)
DD
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
G.
Indonesia (Maluku)
23
No
Nama
Kategori VUB1ab(ii,iv), D2
Distribusi
167
R. ultimum Wernham
168
R. vanderbiltianum
NE
Indonesia (Sumatra)
169
R. vanvuurenii J.J.Sm.
LC
170
R. variolosum var. andersonii (Ridl.) Sleumer
NE
171
R. versteegii J.J.Sm.
NE
Indonesia (Sulawesi) Indonesia (Kalimantan), Malaysia (Sabah, Sarawak) Indonesia (Papua)
172
R. villosulum J.J.Sm.
NE
Indonesia (Papua)
173
R. vinicolor Sleumer
NE
Indonesia (Sumatra)
174
R. vinkii Sleumer
DD
Indonesia (Papua)
175
R. wentianum Koord.
NE
Indonesia (Papua)
176
R. wilhelminae Hochr.
CR-D
177
R. zoelleri Warb.
NE
178
R. zollingeri J.J.Sm.
NE
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Indonesia (Papua), endemic G. Jaya
Indonesia (Jawa) Indonesia (Maluku, Papua), Papua New Guinea Indonesia (Jawa, Lesser Sunda Is., Sulawesi), Philippines
24
TUMBUHAN PAKU EPIFIT DAN KESESUAIANNYA DENGAN POROFIT DI KEBUN RAYA “ EKA KARYA” BALI I Dewa Putu Darma* dan I Nyoman Peneng UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan Bali 82191 *E-mail:
[email protected]
ABSTRACT – Epiphytic ferns are ferns rooting on the surface of tree trunks or branches without harming the host tree. Study on epiphytic ferns and its affinity to the phorophyte was carried out on the plant collections at Bali Botanical Garden (Kebun Raya "Eka Karya" Bali). Thirty six species growing on 99 species of phorophyte were recorded. Five species of epiphytic ferns showed an affinity with the phorophyte, namely: Belvisia revoluta (Bl.) Copel (FR 17. 757), Davallia sp. (FR 12. 523), Davallia denticulata (Brum.) METT (FR 9.7196), Polypodium subauriculatum (FR. 9.719) and Asplenium nidus L. (FR 6.542 Five species of showed an affinity value with the epiphytic ferns. The highest affinity is Cyathea laterbrosa (Wall.) Copel. (FR 5.343) followed by Bischofia javanica Blume (FR 4.770), Manglietia glauca Blume (FR 3.625), Saurauia reinwardtiana Blume (FR 2.862) and Cyathea contaminans (Hook.) Copel. (FR 2.671). Keywords: Ferns; Epiphytes; Phorophyte, Bali Botanical Garden
PENDAHULUAN Tumbuhan paku pada umumnya hidup di daerah basah dan lembap. Sebagian besar tumbuhan ini ditemukan di hutan hujan mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Beberapa jenis paku dapat ditemukan di dasar hutan dan tumbuh epifit, baik pada pohon maupun di cabang-cabang pohon. Pada daerah terbuka dan banyak mengandung air kebanyakan paku tumbuh secara terasterial. Di daerah dengan curah hujan tinggi tumbuhan paku tersebar luas di kawasan hutan (Hartini. 2001). Tumbuhan paku ada sekitar 10.000 jenis dan dari jumlah tersebut diperkirakan 1.300 yang tersebar di kawasan Malesia (Sastrapradja dkk., 1979). Tumbuhan paku epifit tumbuh melekat pada batang, cabang, daun-daun pohon, semak, dan liana. Secara umum epifit tidak mengganggu inangnya. Selanjutnya, Zubaidah (2001) menyebutkan tumbuhan paku epifit mendapatkan air dengan mengabsorpsi udara yang lembap atau dari air hujan. Kebun Raya merupakan lembaga konservasi yang dalam pengelolaan tanaman koleksinya sangat memerlukan informasi data ekologi, terutama dalam usaha pengelolaan koleksi tumbuhan pakunya. Mengingat nasib tumbuhan paku epifit sangat ditentukan oleh pohon inang maka inventarisasi tumbuhan paku epifit dan pohon inangnya dilakukan di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Tujuan dari penlitian
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
ini untuk mengetahui keragaman jenis tumbuhan paku epifit dan pohon inangnya serta mengetahui tingkat kesesuaian antara jenis epifit dengan inangnya. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan dengan studi lapangan di Kebun Raya “Eka Karya” Bali pada bulan Juni– Juli 2008. Kebun raya ini terletak di Desa Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali pada ketinggian tempat 1.250 s.d. 1.450 m di atas permukaan laut. Berdasarkan data klimatologi yang tercatat pada Stasiun Klimatologi di Desa Candikuning kawasan ini termasuk tipe iklim basah dengan curah hujan >200 mm/bl, atau 2.400 mm/th. Tipe iklim B dengan bulan basah 7–9 bulan, bulan kering 1–3 bulan, curah hujan 2.000–3.000 mm/th (maksimum Februari 645 mm, minimum Agustus 17,67 mm). Intensitas cahaya matahari 45,60% (maksimum September 72%, minimum Februari 25,72%). Kelembapan 78–96% (pagi hari Januari 96,6%, minimum September 78,2%) (Anonim, 2002). Inventarisasi tumbuhan paku epifit dilakukan pada tanaman koleksi kebun raya. Jenis paku epifit dan pohon inangnya dicatat. Paku epifit yang belum diketahui nama jenisnya dibuat spesimen herbariumnya sebagai spesimen bukti untuk keperluan identifikasi. Identifikasi dilakukan dengan mencocokkan pada buku tumbuhan paku dan pada koleksi tumbuhan paku di Kebun Raya ”Eka Karya” Bali. Jenis
25
F (kemunculan suatu jenis pohon inang pada jenis paku epifit) FR = x 100% Jumlah total kemunculan suatu jenis pohon inang
tumbuhan paku epifit yang belum dimiliki dikoleksi sebagai material hidup. Untuk mengetahui kesesuaian jenis tumbuhan paku epifit terhadap jenis pohon inangnya dan sebaliknya, diasumsikan semakin tinggi nilai Frekuensi Relatif (FR) semakin tinggi kesesuaian suatu jenis tumbuhan paku epifit terhadap jenis pohon inang, dicari dengan rumus:
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman tumbuhan paku epifit di Kebun Raya “ Eka Karya” Bali tercatat 36 jenis. Berdasarkan nilai FR kesesuaian jenis tumbuhan paku epifit yang tumbuh pada jenis pohon inang memperlihatkan bahwa lima jenis tumbuhan paku epifit memiliki nilai kesesuaian yang lebih tinggi dibanding jenis lainnya, yaitu Belvisia revulute (Bl.) Copel (FR 17.757), Davallia sp. (FR 12.523), Davallia deticulata (Brum.) Mett. (FR 9.7196), Polypodium subauriculatum (FR 9.719), dan Asplenium nidus L. (FR 6.542) (Tabel 1).
F (kemunculan suatu jenis tumbuhan paku epifit pada pohon inang) FR = x 100% Jumlah total kemunculan suatu jenis tumbuhan paku epifit Semakin tinggi nilai FR jenis pohon inang terhadap jenis tumbuhan paku epifit merupakan jenis pohon inang yang semakin disenangi oleh jenis tumbuhan paku epifit, dicari dengan rumus:
Tabel 1. Kesesuaian Jenis Tumbuhan Paku Epifit pada Jenis Pohon Inang No 1 2 3 4 5 6
Nama Jenis Paku epifit
Suku
F
FR.
7 8
Asplenium nidus L. Asplenium salignum Bl. Asplenium belangeri (Bory) Kuntze Asplenium normale Prodr. El Asplenium robustum Bl. Antrophyum reticulatum (Forst) Kanlf. Belvisia revulute ( Bl.) Copel. Colysis acuminate (Bak.) Holtt
Aspleniaceae Aspleniaceae Aspleniaceae Aspleniaceae Aspleniaceae Vittariaceae Polypodiaceae Polypodiaceae
35 7 6 3 4 5 95 10
6.542056075 1.308411215 1.121495327 0.560747664 0.747663551 0.934579439 17.75700935 1.869158879
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Cyclosorus sp. Davallia denticulata ( Brum. ) Mett. Davallia sp. Davallia sp. 1. Davallia solida Drynaria quercifolia ( L. ) J. S. Humata repens (L.f.) Diel. Loxogramme avenia (Bl.) Presl Lindsaea regularis Risenstock Lindsaea sp. Lycopodium carinatum Desv. Lycopodium scorosum L. Microsorum punctatum (L.) Copel. Microsorum savawakense (Baker) Holtt. Nephrolepis coerdifolia (L.) Pr. Nephrolepis hirsutula (Porst.) Pr. Nephrolepis palisotti (Desv. ) Alston Nephrolepis radicans (Burm.) Kuhn Ophyoglossum pendulum L.
Thelypteridaceae Davalliaceae Davalliaceae Davalliaceae Davalliaceae Polypodiaceae Davalliaceae Polypodiaceae Lindsaeaceae Lindsaeaceae Lycopodiacea Lycopodiacea Polypodiaceae Polypodiaceae Lomariopsidaceae Lomariopsidaceae Lomariopsidaceae Lomariopsidaceae Ophioglossaceae
2 52 67 29 14 4 2 17 1 1 11 9 2 3 8 8 2 4 13
0.373831776 9.719626168 12.52336449 5.420560748 2.61682243 0.747663551 0.373831776 3.177570093 0.186915888 0.186915888 2.056074766 1.682242991 0.373831776 0.560747664 1.495327103 1.495327103 0.373831776 0.747663551 2.429906542
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
26
No 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Nama Jenis Paku epifit Phymatodes longissima ( Bl. ) J. Sm. Phymatosorus sp. Polypodium subauriculatum Polypodium fersicifolium (Desv.) Presl. Psilotum nudum (L.) Griseb. Pyrrosia longifolia (N-L. Burman) C.V. Morton Seleginella involvens Vittaria sp. Vittaria ensiformis Sw.
Suku Polypodiaceae Polypodiaceae Polypodiaceae Polypodiaceae Aspleniaceae Polypodiaceae Selaginellaceae Vittariaceae Vittariaceae
Keragaman pohon inang paku epifit di Kebun Raya “Eka Karya” Bali tercatat 99 jenis. Berdasarkan nilai FR lima jenis pohon inang yang paling disenangi oleh tumbuhan paku epifit dibanding yang lain. Cyathea laterbrosa (Wall.) Copel. memiliki nilai tertinggi (FR 5.343), kemudian diikuti oleh Bischofia javanica Blume (FR 4.770), Manglietia glauca Blume (FR 3.625), Saurauia reinwardtiana Blume (FR 2.862), dan Cyathea contaminans (Hook.) Copel (FR 2.671) (Tabel 2). Jenis tumbuhan paku epifit yang mempunyai kesesuaian yang tinggi terhadap jenis pohon inang, yaitu Belvisia revulute (Bl.) Copel (FR 17.757), Davallia sp. (FR 12.523), Davallia deticulata (Brum.) Mett. (FR 9.7196), Polypodium subauriculatum (FR 9.719), dan Asplenium nidus L. (FR 6.542). Pada umumnya lima jenis paku epifit ini mempunyai akar atau
F
FR.
3 3 52 9 2 32 6 2 12 535
0.560747664 0.560747664 9.719626168 1.682242991 0.373831776 5.981308411 1.121495327 0.373831776 2.242990654 100
batang dapat menempel yang kuat pada batang pohon. Jenis pohon inang yang paling disenangi oleh jenis tumbuhan paku epifit, yaitu Cyathea laterbrosa (Wall.) Copel.) (FR 5.343), kemudian diikuti oleh Bischofia javanica Blume (FR 4.770), Manglietia glauca Blume (FR 3.625), Saurauia reinwardtiana Blume (FR 2.862), dan Cyathea contaminans (Hook.) Copel ( FR 2.671). Lima jenis pohon inang ini umumnya mempunyai tekstur kulit batang yang kasar dengan daun yang rimbun. Pohon inang yang umum disukai oleh jenis-jenis paku epifit adalah pohon yang mempunyai kulit batang yang kasar dengan percabangan yang banyak. Selanjutnya Holtum (1969) menyebutkan pohon inang merupakan tempat menempel tidak sebagai sumber makanan dan tempat penyebaran spora.
Tabel 2. Kesesuaian Jenis Pohon Inang terhadap Jenis Tumbuhan Paku Epifit No
Nama Jenis Pohon Inang
1 Acacia polystachia A.Cunn. Ex Benth. 2 Acronychia trifoliata Zoll. 3 Agatis dammara 4 Agathis palmerstoni F. Muell. 5 Altingia exelsa Noronha 6 Albizia chinensis (Osb.) Merr. 7 Aleurites moluccana (L.) Willd. Arauc 8 Araucaria heterophylla (Salisb.) Franco. 9 Arenga pinnata (Wurmb.) Merr. Archonthophoenix alecandrae (F.muell.) H.A. 10 Whendl.& Drude 11 Araucaria bidwilbii Hook. 12 Araucaria bidwilbii Hook. 13 Bischofia javanica Blume 14 Callicoma serratifolia F. muell 15 Calliandra calothursus Meismer 16 Callistemon formosus S.T. Blake 17 Callistemon viminalis (Gaertn.) G. Don.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Suku
F
FR.
Fabaceae Rutaceae Araucariaceae Araucariaceae Hamamelidacea Fabaceae Euphorbiaceae Araucariaceae Arecaceae Arecaceae
5 3 2 6 5 1 6 6 2 3
0.954198473 0.572519084 0.381679389 1.145038168 0.954198473 0.190839695 1.145038168 1.145038168 0.381679389 0.572519084
Araucariaceae Araucariaceae Euphorbiaceae Cunoniaceae Fabaceae Myrtaceae Myrtaceae
1 7 25 4 6 4 3
0.190839695 1.335877863 4.770992366 0.763358779 1.145038168 0.763358779 0.572519084
27
No 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
Nama Jenis Pohon Inang Callistemon salignum DC. Calophyllum soulattri Burm. F. Caryota mitis Lour. Casuarina littoralis Salisb. Casuarina junghuhniana Miq. Castanospermum austral Catha edulis Vahl. Camellia sasanqua Thumb. Camaecyparis obtusa (Sieb. & Zucc.) Endl. Cinnamomum campora Cinnamomum burmannii Nees ex Bl. Cordia mixa Linn. Crecentia cujete L. Cryptomeria japonica (L.f.) D. Don. Cupressus funebris Cupressus bentami Cupressus cashmeriana Royle ex Mill. Cupressus lusitanica Mill. Cupressus torulosa D.Don. Cycas circinalis Linn. Cyathea contaminans (Hook.) Copel. Cyathea laterbrosa (Wall.) Copel.). Dodonaea piscosa Elaeocarpus sphaericus (Gaertn.) K. Schum. Enterolobium timbouva Mart. Englhardia spicata Lesch. Ex Blume Erytrina cristagali L. Ficus Sp. Ficus bejamina L. Ficus padana Burm.f. Ficus racemosa L. Ficus septica Burm. f. Ficus minahassae (Teijsm. & de Vriense) Miq. Filicium decipiens (W.& A.) Tuwaites Firmiana malayana Kosterm. Flacourtia rukam Z. et M. Gleditsia assamica Bor. Glochdion rubrum Bleme Glochidion macrocarpum Blume Gmelina asiatica L. Guioa diplopetala (Hassk.) Radlk. Hibiscus macrophyllus Roxb. Ex Homen Hypobatrum frutescents Juniperus procea Hochst. Ex Endl. Leptospermum wooroonaram F.M. Bailey Libocedrus formosana Florin Lindera subumbelliflora (Blume) Kosterm. Macadamia ternifolia F. Muell Manglietia glauca Blume Melaleuca styphelioides Sm.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Suku Myrtaceae Clusiaceae Arecaceae Casuarinaceae Casuarinaceae Fabaceae Celastraceae Theaceae Cupressaceae Lauraceae Lauraceae Boraginaceae Bignoniaceae Taxodiaceae Cupressaceae Cupressaceae Cupressaceae Cupressaceae Cupressaceae Cycadaceae Cyatheaceae Cyatheaceae Sapindaceae Elaeocarpaceae Fabaceae Juglandaceae Fabaceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Sapindaceae Sterculiaceae Flacourtiaceae Fabaceae Euphorbiacea Euphorbiaceae Verbenaceae Sapindaceae Malvaceae Rubiaceae Araucariaceae Myrtaceae. Cupressaceae Lauraceae Protiaceae Magnoliaceae Myrtaceae
F 5 3 2 4 3 5 5 2 5 11 4 8 4 5 6 3 4 5 4 5 14 28 5 8 5 3 5 12 13 5 4 3 5 3 5 3 6 7 7 3 2 4 1 10 4 5 4 2 19 2
FR. 0.954198473 0.572519084 0.381679389 0.763358779 0.572519084 0.954198473 0.954198473 0.381679389 0.954198473 2.099236641 0.763358779 1.526717557 0.763358779 0.954198473 1.145038168 0.572519084 0.763358779 0.954198473 0.763358779 0.954198473 2.671755725 5.34351145 0.954198473 1.526717557 0.954198473 0.572519084 0.954198473 2.290076336 2.480916031 0.954198473 0.763358779 0.572519084 0.954198473 0.572519084 0.954198473 0.572519084 1.145038168 1.335877863 1.335877863 0.572519084 0.381679389 0.763358779 0.190839695 1.908396947 0.763358779 0.954198473 0.763358779 0.381679389 3.625954198 0.381679389
28
No
Nama Jenis Pohon Inang
Suku
F
FR.
68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
Melaleuca quinguenervis (cav.) S.T. Meliosma ferrugenia BL. Myrica rubra Sieb.& Zucc. Persea americana Miller. Persea rimosa (Blume) Kosterm. Pinus massoniana D.Don. Pinus sp. Pittosporum tobira (Thumb.) Aiton. Pittosporum molucanum (Lmk.) Miq. Pleiogynium FR.agran Flanch. Pleiogynium godseffiana (Baker) N. E.Br.
Myrtaceae Sabiaceae Myricaceae Lauraceae Lauraceae Pinaceae Pinaceae Pittosporaceae Pittosporaceae Anacardiaceae Anacardiaceae
4 2 4 2 4 3 5 2 4 2 2
0.763358779 0.381679389 0.763358779 0.381679389 0.763358779 0.572519084 0.954198473 0.381679389 0.763358779 0.381679389 0.381679389
79 80 81 82 83 84 85 86 87 89 88 90 91 92 93
Podocarpus javanicus (Burm. f.) Merr. Polyosma integrifolia Blume Pouteria duclitan (Blanco) Baekni Prunus puddum Roxb. Ex Wall. Rhodoleia championi Hook.f. Saurauia reinwardtiana Blume Schima wallichii (DC.) Korth. Sloanea sigun (BL.)K.Schum. Sycopsis philipensis Hemsl. Syzygium polycephalum (Miq.) Merry & Perry Syzygium polyanthum (Wight.) Walp. Syszygium zolingerianum Syzygium zollingerianum (Miq.)Amsh. Tabernaemontana macrocarpa Jack. Taxodium mucronatum Ten.
Podocarpaceae Saxifragaceae Sapotaceae Rosaceae Hamamelidaceae Saurauiaceae Theaceae Elaeocarpaceae Hamamelidaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Apocinaceae Taxodiaceae
3 3 2 8 10 15 4 3 3 1 13 3 5 7 10
0.572519084 0.572519084 0.381679389 1.526717557 1.908396947 2.86259542 0.763358779 0.572519084 0.572519084 0.190839695 2.480916031 0.572519084 0.954198473 1.335877863 1.908396947
94 95 96 97 98 99
Thuja dolabrata (L.f.) Sieber & Zucc. Trema Orientalis (L.) Blume Vernonia arborea Wendlandia densiflora (Bl.) DC. Wendlandia paniculata DC. Widdringtonia whytei M.wodd.
Cupressaceae Ulmaceae Asteraceae Rubiaceae Rubiaceae. Cupressaceae
3 4 5 3 3 3
0.572519084 0.763358779 0.954198473 0.572519084 0.572519084 0.572519084
524
100
KESIMPULAN Keragaman jenis tumbuhan paku epifit tercatat sebanyak 36 jenis dengan 99 jenis pohon inang. Lima jenis tumbuhan paku epifit memiliki nilai kesesuaian tumbuh pada pohon inang lebih tinggi dibanding jenis lainnya, yaitu Belvisia revulute (Bl.) Copel (FR 17.757), Davallia sp. (FR 12.523), Davallia deticulata (Brum.) Mett. (FR 9.7196), Polypodium subauriculatum (FR 9.719), dan Asplenium nidus L. (FR 6.542). Adapun jenis pohon inang yang disenangi oleh jenis tumbuhan paku epifit yaitu Cyathea laterbrosa (Wall.) Copel. (FR 5.343), kemudian diikuti oleh Bischofia javanica Blume (FR 4.770), Manglietia glauca Blume (FR 3.625), Saurauia reinwardtiana Blume (FR 2.862), dan
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Cyathea contaminans (Hook.) Copel ( FR 2.671). DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2002. ”Data Iklim Stasiun Klimatologi di Desa Kembang Merta, Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali”. BMKG. Darma D.P. dan S.F. Hanum. 2007. ”Kajian Penataan Koleksi Tematik Di Kebun Raya ”Eka Karya” Bali”. Warta Kebun Raya Bogor–LIPI. Hartini, Sri. 2001. “Platyceriun bifurcatum (Cav.) C. Char. Sumber Plasma Nutfah di Daerah Lahan Kering”. Prosiding Seminar Nasional Konservasi dan Pendayagunaan Keanekaragaman
29
Tumbuhan Lahan Kering, Kebun Raya Purwadadi–LIPI dan Universitas Brawijaya Malang Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Hlm.76. Holttum, R.E. 1969. Plant Life in Malaya. Kuala Lumpur: Longman Malaysia SDN Berhard. Steenis, V.C.G.G.J. Diterjemahkan oleh Jenny, A. dan Kartawinata (2006). Flora Pegunungan Jawa. Bogor: Pusat Penelitian Biologi–LIPI. Sastrapradja, S., J.J. Afriastini, D. Darnaedi dan E.A. Widjaya. 1979. Jenis Paku Indonesia. Bogor: LBN–LIPI.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Zubaidah S. 2001. “Keanekaragaman Tumbuhan Paku Epifit di Daerah Malang dan Potensi Pemanfaatannya”. Prosiding Seminar Nasional Konservasi dan Pendayagunaan Keanekaragaman Tumbuhan Lahan Kering, Kebun Raya Purwadadi–LIPI dan Universitas Brawijaya Malang Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Hlm. 43.
30
EKSPLORASI JENIS-JENIS TUMBUHAN PAKU DI KAWASAN GUNUNG TAMBORA SUMBAWA I Putu Agus Hendra Wibawa* dan I Nyoman Peneng UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan Bali 82191 *E-mail:
[email protected] ABSTRACT – Ferns are a group of vascular plants that reproduce by spores. This plant has many benefits, both economic, ecological, and conservation. With the fast pace of forest destruction, either due to land conversion and natural disasters caused many forest areas as a habitat for plants including ferns, endangered. The purpose of this activity is to: (1) inventories of ferns that grow in the area of Mount Tambora and its uses by the local community, (2) knowing the abundance and frequency of the type qualitatively, and (3) record growth habitat. Fifty-three types are included in the 14 tribes have been collected. Several types commonly used by local community such as vegetable, growing medium for other crops and ornamental plants. Most types including terrestrial ferns. Keywords: Ferns; Plant conservation; Plant introduction; Mount Tambora; Sumbawa
PENDAHULUAN Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan kelompok tumbuhan berpembuluh yang berkembang biak dengan spora. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan peralihan antara tumbuhan bertalus dengan tumbuhan berkormus (Raven et al., 1992). Mereka dapat tumbuh, baik di perairan, darat maupun epifit, berperawakan dari herba sampai seperti pohon. Tumbuhan paku memiliki banyak manfaat, tunas mudanya dapat dimakan sebagai sayuran, daun atau rimpangnya kadang juga dipakai dalam ramuan obat. Belakangan pemanfaatan tanaman paku berkembang sebagai material bahan baku untuk pembuatan kerajinan tangan, media tanaman, dan pupuk organik (Amoroso, 1990). Tidak hanya itu, spora paku juga dapat digunakan untuk menghasilkan efek kilat pada pertunjukan panggung karena sifatnya yang mudah terbakar disebabkan memiliki kandungan minyak yang tinggi (Polunin, 1990). Nilai ekonominya terutama terletak pada keindahannya sehingga banyak digunakan sebagai tanaman hias dalam pot atau halaman rumah. Kemungkinan ada lebih banyak lagi manfaat tumbuhan paku yang belum tergali. Seiring dengan begitu cepatnya laju kerusakan kawasan hutan, baik akibat konversi lahan, maupun bencana alam menyebabkan banyak kawasan hutan yang menjadi habitat tumbuh-tumbuhan termasuk tumbuhan paku terancam kelestariannya (Kinnaird, 1997).
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Ketakutan kita bersama adalah punahnya beberapa spesies tumbuhan di alam sebelum dapat dikonservasi dan diketahui manfaatnya. Oleh karena itu, eksplorasi tumbuhan di suatu kawasan hutan yang belum banyak diketahui kekayaan hayatinya menjadi hal yang penting untuk dilakukan sesegera mungkin. Kawasan hutan Gunung Tambora, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, memiliki keanekaragaman hayati yang belum banyak diungkap potensinya dan memiliki kondisi lingkungan yang kurang lebih sesuai dengan kondisi Kebun Raya Bali. Tujuan kegiatan ini adalah untuk: (1) Menginventarisasi jenis-jenis tumbuhan paku yang tumbuh di kawasan hutan Gunung Tambora dan pemanfaatannya oleh masyarakat, (2) Mengetahui kelimpahan dan keseringan jenis dijumpai secara kualitatif, dan (3) Mencatat habitat tumbuhnya. METODOLOGI Lokasi penelitian di kawasan Gunung Tambora terletak di Pulau Sumbawa, Indonesia. Gunung yang memiliki ketinggian 2.850 m ini terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut) dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara), Provinsi Nusa Tenggara Barat, tepatnya pada 8°15' LS dan 118° BT. Penelitian ini dilakukan selama 14 hari pada tanggal 24 Mei–6 Juni 2011. Metode penelitian menggunakan metode jelajah
31
paku di kawasan ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu paku tetestrial dan paku epifit. Paku terestrial menyukai tempat tumbuh yang cenderung beragam tergantung jenisnya, dari tempat yang memiliki intensitas cahaya penuh sampai terlindung, sedangkan paku epifit lebih banyak menyukai lingkungan yang terlindung dari sinar matahari.
(Rugayah dkk., 2005) dan random sampling (Simon, 1993). Koleksi hidup ditanam sebagai tanaman koleksi di Kebun Raya Bali. Spesimen herbarium disimpan di Herbarium Kebun Raya Bali. Kegiatan ini mencakup pendataan parameter lingkungan yang memengaruhi habitatnya di alam, deskripsi dan identifikasi jenis, serta pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Status konservasi untuk setiap tumbuhan yang dikoleksi tetap diperhatikan, sebagai upaya pembatasan dalam pencapaian target perolehan koleksi. Material tumbuhan yang menjadi prioritas pengoleksian adalah yang memiliki status konservasi langka atau terancam punah, endemik, dan memiliki potensi pemanfaatan yang besar oleh masyarakat setempat.
Lokasi Eksplorasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1. Peta Pulau Sumbawa (Lokasi eksplorasi ditunjukkan oleh tanda panah.)
Koleksi tumbuhan paku yang diperoleh disajikan pada Tabel 1. Tumbuhan paku di hutan kawasan G. Tambora hidup di berbagai habitat yang berbeda. Secara garis besar jenis
Tabel 1. Daftar Jenis Paku Hasil Eksplorasi di Kawasan Gunung Tambora No. 1. 2.
Jenis
Suku
Habitat
Kelimpahan
Keseringan Dijumpai JS
Manfaat
Andiantaceae Marratiaceae
T T
+ +++
Vittariaceae
F
+++
Aspleniaceae Aspleniaceae Aspleniaceae
T T E
++ ++ ++
7.
Adiantum cuneatum Angiopteris evecta (Fast.) Hoffm. Antropium reticulatum (Forst) Kanif. Asplenium tenerum Fonst. Asplenium normale Don Asplenium belangeri (Bory) Kzc Asplenium nidus L.
Aspleniaceae
E
+++
8. 9.
Asplenium paradoxum Blume Asplenium sp.
Aspleniaceae Aspleniaceae
E E
++ ++
J J
Tanaman hias Tanaman hias
10.
Belvisia callifolia (C. Chr.) Copel. Belvisia mucronata (Fée) Copel. Chingia clavipilosa Holttum Colysis macrophylla (Blume) Presl Cyathea contaminans (Hook) Copel. Cyclosorus sp. 1 Cyclosorus sp. 2 Cyclosorus sp. 3 Cyclosorus sp.4
Polypodiaceae
E
++
J
-
Polypodiaceae
E
++
J
-
Thelyperidacaee Polypodiaceae
T E
+++ +
B J
Tanaman hias Tanaman hias
Cyatheaceae
T
+++
B
Tanaman hias; Media Tanam
Thelypteridaceae Thelypteridaceae Thelypteridaceae Thelypteridaceae
T T T T
+++ +++ +++ +++
B B B B
3. 4. 5. 6.
11. 12. 13. 14. 15. 16 17. 18.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Tanaman hias Tanaman hias Tanaman hias
J J J
Tanaman hias Tanaman hias Tanaman hias Tanaman hias
-
32
No.
Jenis
Suku
Habitat
Kelimpahan
Keseringan Dijumpai
Manfaat
19..
Cyclosorus sp. 5
Thelypteridaceae
T
+++
B
-
20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Cyclosorus sp. 6 Cyclosorus sp. 7 Cyclosorus sp.8 Cyclosorus sp. 9 Cyclosorus sp.10 Davallia solida (Forst.) Sw. Davallia sp. Diplazium accdens Blume Diplazium esculentum (Retz.) Swartz
Thelypteridaceae Thelypteridaceae Thelypteridaceae Thelypteridaceae Thelypteridaceae Davalliaceae Davallaliaceae Woodsiaceae Woodsiaceae
T T T T T E E T T
++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++++
B B B B B B B B S
-
Tanaman hias Tanaman hias Sayuran
Woodsiaceae
T
+++
B
Sayuran
Woodsiaceae
T
+++
B
-
Polypodiaceae Polypodiaceae
E E
+++
B B
Tanaman hias Tanaman hias
Vittariaceae
E
+++
B
Tanaman hias
Polypodiaceae
E
+
J
Tanaman hias
Schizaeaceae
T
++
J
Anyaman
Schizaeaceae
T
++
J
Tanaman hias
Polypodiaceae
E
+++
B
Tanaman hias
Neprolepidaceae
T
+++
B
Tanaman hias
Neprolepidaceae
T
++
J
Tanaman hias
Neprolepidaceae Polypodiaceae
T E
++ ++
J J
Tanaman hias Tanaman hias
Polypodiaceae
T
++
J
Tanaman hias
Thelypteridaceae
T
++
J
-
Pteridaceae Pteridaceae Pteridaceae Polypodiaceae Polypodiaceae Selaginellaceae Selaginellaceae Tectariaceae
T T T E E T T T
++ ++ ++ ++ +++ ++ ++ +++
J J J J B J J B
Tanaman hias Tanaman hias Tanaman hias Tanaman hias Tanaman hias Tanaman hias
Tectariaceae
T
++
J
Tanaman hias
Vittariaceae
E
++
B
Tanaman hias
29.
Diplazium polypodioides Blume 30. Diplazium sorzogonense (C. Presl) C. Presl 31. Drynaria sparsisora 32. Goniophlebium subauriculatum 33. Goniophlebium fersicifolium (Hook.)J.Sm. 34. Loxogramme avenia (Bl.) Presl. 35. Lygodium circinnatum (Burm.) Sw 36. Lygodium microphyllum (Cav.) R. Br. 37. Microsorum punctatum (L.) Copel. 38. Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott 39. Nephrolepis multiflora (Roxb.) Jarrett 40. Nephrolepis sp. 41. Phymatodes longissima (Blume) J.Sm. 42. Pityrogramma calomelanos (L.) Link 43. Pneumatopteris callosa (Blume) Nakai 44. Pteris biaurita L. 45. Pteris linearis Poir. 46. Pteris tripartita Sw. 47. Pyrrosia sp.1 48. Pyrrosia sp.2 49.. Selaginella sp.1 50. Selaginella sp.2 52. Tectaria grandidentata (Cesati) Holt. 53. Tectaria melanocaula (Blume) Copel. 54. Vittaria ensiformis. Uttaria sw.
Keterangan: Kelimpahan: + sangat sedikit; ++ sedikit; +++ banyak; +++++ sangat banyak. Keseringan dijumpai: JS jarang sekali; J jarang; B biasa; S sering. Habitat: T terestrial; E epifit.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
33
A
B
Gambar 2. Beberapa Jenis Paku Epifit (a) Microsorum punctatum (L.) Copel., (b) Asplenium nidus L
A
D
C
B
E
D
Gambar 3. Beberapa Jenis Paku Terestrial (a). Chingia clavipilosa Holttum, (b) Tectaria grandidentata (cesati) Holt., (c) Pteris linearis Poir. (d) Nephrolepis multiflora (Roxb.) Jarrett., (e) Cyclosorus sp.
Kelimpahan dan keseringan dijumpai dari jenis paku yang ada di hutan kawasan G. Tambora bervariasi, dari yang sangat banyak jumlah dan umum sampai sangat sedikit dan jarang dijumpai. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh faktor lingkungan akibat banyaknya kawasan hutan yang telah beralih fungsi menjadi tegalan atau bisa juga diakibatkan dari jenis tumbuhan paku itu sendiri yang sulit berkembang biak. Masyarakat di sekitar kawasan hutan G. Tambora biasa memanfaatkan tumbuhan paku untuk berbagai keperluan. Beberapa jenis di antaranya biasa dimanfaatkan sebagai sayur, seperti Diplazium esculentum dan D. polypodioides. Cyathea contaminans dimanfaatkan untuk media tumbuh bagi tanaman lain. Lygodium circinnatum dimanfaatkan sebagai
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
bahan kerajinan anyaman. Beberapa jenis biasa digunakan sebagai tanaman hias. KESIMPULAN Kawasan Gunung Tambora, P. Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, cukup kaya dengan jenis tumbuhan paku. Lima puluh empat jenis tumbuhan paku yang tercakup dalam 14 suku telah direkam. Sebagian besar tumbuhan itu tergolong dalam kelompok paku terestrial yang menyukai tempat tumbuh cenderung beragam, dari tempat yang memiliki intensitas cahaya penuh sampai terlindung. Tumbuhan paku epifit lebih banyak menyukai lingkungan yang terlindung dari sinar matahari. Beberapa jenis di antaranya biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan, media tumbuh bagi
34
tanaman lain, dan tanaman hias. Dua puluh dua jenis kelimpahannya secara lokal termasuk dalam kategori jarang. DAFTAR PUSTAKA Amoroso, V.B., 1990. “Ten Edible Economic Ferns of Mindanao”. The Philippine Journal of Science. Kinnaird, M.F. 1997. Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam. Yayasan Pengembangan Wallacea. GEFBiodiversity Collection Projects. Jakarta: Redikencana.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Polunin, N. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Raven, P.H., R.F. Evert dan S.E. Eichhorn. 1992. Biology of Plants. New York: Worth Publishers. Rugayah, E.A. Widjaja, dan Praptiwi. 2005. Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI. Simon, H. 1993. Metode Inventore Hutan. Yogyakarta: Aditya Media.
35
TIGA SEKSI BEGONIA DARI PULAU BALI Ni Kadek Erosi Undaharta*, I Made Ardaka* dan Hartutiningsih M. Siregar** *) UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali **) Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI E-mail:
[email protected] ABSTRACT – Begonia from Bali consists of 3 sections; Begonia sect. Sphenanthera, Reichenheimia, and Parvibegonia. Section Sphenanthera consists of the most often species discovered in Bali namely: Begonia lempuyangensis Girm., Begonia longifolia Blume, Begonia baliensis Girm., Begonia multangula Blume., and Begonia aptera Blume. Whereas section Reichenheimia consist of Begonia coriacea Hassk. and Begonia pseudomuricata Girm. Begonia tenuifolia Draynd. is the only species belongs to section Parvibegonia. Keywords: Begonia, Bali
PENDAHULUAN Tercatat sebanyak 1.500 marga Begonia L. (Begoniaceae) (Hughes, 2008). Sekitar 600 jenis yang terbagi dalam 18 seksi terdapat di Asia Tenggara dan sebagian besar masuk dalam tiga seksi, yaitu Petermannia, Platycentrum, dan Diploclinium (Doorenbos et al., 1998; Hoover et al., 2001; Shui et al., 2002; Peng et al., 2005). Seksi Petermannia terdiri atas 200 lebih spesies yang tersebar di wilayah Malenesia. Seksi Platycentrum terdiri atas 110 spesies yang terdapat di India, Cina Tengah, dan Asia Tenggara. Seksi Diplocinium terdiri atas 160 spesies yang tersebar di Asia (Shui et al., 2002; Shui and Chen, 2004; Peng et al., 2005). Menurut Hughes (2008), Begonia di Asia Tenggara paling banyak ditemukan di Filipina sekitar 104 jenis, Borneo sekitar 95 jenis, dan New Guinea sekitar 79 jenis, yang termasuk dalam tiga seksi, yaitu seksi Petermannia 247 jenis yang terpusat di Borneo, Sulawesi, Filipina, dan New Guinea; seksi Diploclinium sekitar 82 jenis; seksi Platycentrum sekitar 60 jenis yang terpusat di Filipina dan Indo-China. Pembagian marga Begonia ke dalam seksi ini adalah untuk mempermudah proses identifikasi. Hal ini dikarenakan genus Begonia sangat besar jumlahnya sehingga dibagi ke dalam kelompok yang lebih kecil (Tebbitt, 2005). Di Indonesia Begonia diperkirakan terdapat 200 lebih jenis dan tersebar hampir di seluruh pulau; Pulau Jawa (17), Pulau Sumatra (45), Pulau Kalimantan (95), Pulau Sulawesi (30), Nusa Tenggara (9), Kepulauan Maluku (5), dan Papua Nugini (79) (Hughes, 2008). Di Bali
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
sendiri telah ditemukan sebanyak tiga seksi genus Begonia dari delapan jenis yang berasal dari delapan Kabupaten di Provinsi Bali. Begonia berasal dari Bali tersebut saat ini menjadi koleksi di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Tulisan ini akan mengidentifikasi jenisjenis Begonia berasal dari Pulau Bali berdasarkan seksinya. METODE Kegiatan dilakukan dengan cara mengamati karakter morfologi jenis Begonia hasil eksplorasi yang dilakukan di Pulau Bali. Terdapat delapan jenis yang diamati yaitu Begonia coriacea Hassk., Begonia tenuifolia Dryand., Begonia lempuyangensis Girm., Begonia longifolia Blume, Begonia baliensis Girm., Begonia multangula Blume, Begonia aptera Blume, dan Begonia pseudomuricata Girm. Untuk mengetahui penampang dari masing-masing buah Begonia digunakan mikroskop stereo perbesaran 10, 20 dan 30 kali. Data lapangan hasil eksplorasi masing-masing jenis digunakan untuk mengetahui penyebaran Begonia yang berasal dari Pulau Bali. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan eksplorasi telah dilakukan oleh peneliti Kebun Raya “Eka Karya” Bali di beberapa kabupaten di Pulau Bali dengan menjelajah kawasan hutan dan tepi sungai yang berada di wilayah tersebut. Kegiatan eksplorasi yang sudah dilakukan menghasilkan sebanyak delapan jenis koleksi Begonia dan tersebar di beberapa kabupaten di Pulau Bali. Jenis-jenis
36
tersebut di antaranya B. lempuyangensis, B. longifolia, B. baliensis, B. multangula, B. aptera, B. coriacea, B. Pseoudomuricata, dan B. tenuifolia. Sebanyak tiga seksi Begonia diketahui berasal dari Bali di antaranya Begonia seksi Reichenheimia, Parvibegonia, dan Sphenanthera. Seksi Sphenanthera termasuk seksi terbanyak dijumpai di Bali, jenis-jenis Begonia yang masuk dalam seksi Sphenantera di antaranya B. lempuyangensis, B. longifolia, B. baliensis, B. multangula dan B. aptera (Gambar 1–5). B. longifolia adalah salah satu jenis yang termasuk dalam seksi Sphenantera, Begonia spesies ini paling banyak dijumpai dan penyebarannya cukup luas di Bali di antaranya Kabupaten Buleleng, Jembrana, Gianyar, Bangli, Tabanan, Karangasem, dan Badung. Sebagian besar jenis ini tumbuh di dekat sungai dan kawasan hutan yang ada di daerah tersebut. Girmansyah (2008) menyebutkan distribusi B. longifolia memanjang dari Himalaya (India) ke Cina Selatan, Vietnam dan melalui Thailand, semenanjung Malaysia dan Indonesia (Sumatra, Jawa, Bali, dan Lombok). Hingga saat ini B. longifolia belum ditemukan di Kalimantan dan Indonesia timur seperti Papua. Hampir sama dengan B. longifolia, B. multangula juga banyak dijumpai di Bali di antaranya Bangli, Jembrana, Buleleng, Karangasem, dan Tabanan. B. aptera hanya dapat dijumpai di Desa Manikliyu, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli begitu juga B. baliensis hanya dapat dijumpai di Kabupaten Tabanan atau tepatnya di Cagar Alam Batukaru. Penyebaran seksi Sphenanthera di Asia sangat luas terdapat sekitar 20 jenis. Hal ini dapat diketahui melalui kombinasi dari buah yang berdaging, ovari 3 atau sampai 4 ruang dengan plasenta aksiler, bunga jantan dengan 4 tepal. Beberapa jenis bunga betina beraroma (Tebitt, 2005). Sepal berwarna dan terlihat seperti kelopak bunga dan biasanya kelopak sepal disebut tepal. Seksi ini adalah berkelamin tunggal, tetapi bunga jantan dan betina dapat ditemukan pada tanaman yang sama, pada pembungaan yang sama sehingga disebut dengan monoesis. Tergantung pada jenisnya, bunga jantan dapat membuka pertama (protandrus) atau bunga betina terbuka pertama (protogynus) (Girmansyah, 2008). Bunga jantan memiliki dua tepal luar membundar dan berukuran besar, berada di atas dan di bawah. Tepal dua yang lainnya lebih kecil berada di
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
sebelah kiri dan kanan seperti B. baliensis, B. lempuyangensis, B. longifolia, B. Multangula, dan B. aptera. Bunga betina biasanya memiliki lima tepal kurang lebih bentuk yang sama tetapi dengan yang lain sedikit lebih besar dari bagian dalam, seperti B. baliensis, B. multangula dan B. lempuyangensis. Hanya pada jenis B. longifolia dan B. aptera memiliki enam tepal. Pada daun berwarna hijau, ada yang berbulu (B. multangula dan B. lempuyangensis) dan tidak berbulu (B. baliensis, B. Longifolia, dan B. aptera). Pada umumnya buah pada seksi Sphenanthera berdaging dan ovari memiliki tiga atau sampai empat locul. Begonia longifolia. Batang tegak, berkayu, bercabang, kelenjar bengkak, tinggi sampai 160 cm, pangkal tebal hingga mencapai 2 cm, tanpa umbi, stipula hijau pucat, gundul, 10–17 x 2–3 mm. Panjang ruas daun 3–14 cm; tangkai hijau pucat, 2–15 cm, beralur diatas; lamina miring, rambut pendek di permukaan atas berwarna hijau, lonjong melanset, asimetris, 9–23 x 4–12 cm, sisi lebar 2,5–7 cm. Perbungaan aksiler, bunga sedikit, sekali bercabang per axil, 9–13 mm, tangkai bunga hijau, gundul, panjang 5–10 mm, protondrous. Braktea hijau pucat keputihan, kecil segitiga, 6–12 x 2–4 mm. Bunga jantan 3, hijau pucat 6–25 mm, pedisel panjang, tepal 4, putih, tidak berbulu, ujung membundar, bagian luar dua, 11x11 mm, dalam dua ukuran tidak sama, 9–11 x 7–10 mm, benang sari banyak, benang sari bulat menggerombol, 5 mm, tangkai 1,5 mm; filamen 1 mm; anter kuning pucat, panjang 2 mm. Bunga betina 4, pedisel hijau pucat 5–7; ovari putih hingga hijau, tebal dan berdaging, 3-siku di atas, 10–13 x 8–11 mm, 3 ruang, plasenta 2 per locul. Buah beri, hijau, berdaging, 14–20 mm x 12–17, membulat, paruh memanjang ke dalam berdaging, gundul, tanpa sayap, locul 3, tidak membelah. Biji menahang, 0,25–0,3 mm. (Gambar 1). B. multangula. Terna, tegak, tinggi 60 cm, warna batang cokelat kemerahan, berbulu putih pendek, panjang ruas 27 cm, stipula segitiga, panjang 1 cm. Daun oblong, 15–17 x 7–7,5 cm, tepi daun bergerigi, permukaan atas hirsute, berbulu, tenggelam. Permukaan bawah: berbulu jelas, pertulangan daun menonjol. Tangkai daun: 3–10 cm. Perbungaan: aksiler, bunga menggerombol. Bunga jantan berwarna putih 2x2, calyx 7x7 mm, membundar lonjong,
37
mahkota putih licin 7x7 mm, oval. Benang sari kuning. Bunga jantan dan betina dalam satu perbungaan. Bunga betina tepal 6. Bakal buah tenggelam, buah segitiga, diameter 2 cm, berambut (Gambar 2). B. lempuyangensis. Terna, tegak tanpa umbi, hijau kemerahan, bercabang, tidak berbulu, sukulen, muncul dari rimpang basal, hingga 50 cm, pangkal tebal 11–14 mm, node merah atau kehijauan, bengkak, ruas pendek, 7–12 cm. Stipula caduceus. Daun hijau kecokelatan, tidak berbulu, 15–21 cm, tebal 6–11 mm; lamina asimetris yang sangat miring, tidak berbulu, luas ovate 23,5–24 cm x 13–16, luas sisi 8,5–14 cm, pangkal berbentuk hati, tidak rata, lobus basal tidak tumpang tindih. Pembungaan dengan rambut kelenjar, bunga protandrous, panjang tangkai bunga 5–10 cm. Braktea luruh.
Bunga jantan 12, putih kemerahan, pedicel 2– 2,5 cm; tepal 4, marjin, ujung membulat, luar 2, kemerahan pada sisi dorsal, 14–17 x 12–14 mm, dalam 2 lebih kecil, putih, 13–15 x 9–10 mm, benang sari banyak, filamen 1–2 mm, kepala sari kuning, membundar telur sungsang sempit, ujung membulat, 2–3 mm. Bunga betina 8, tangkai bunga putih kemerahan, 9–10 mm; tepal 5, putih, ujung membundar, di bagian luar tiga, kemerahan, 9–17 x 7–11 mm, di bagian dalam dua, putih, 9–13 x 6–9 mm; ovari hijau pucat dengan bintik putih, 6–10 x 6–13 mm, 3 sayap, tidak sama, salah satu lebih besar, tepi kemerahan, beruang 3, plasenta satu per ruang; stigma spiral, kuning kehijauan, panjang 3 mm. Buah beri, 9–11 mm, membulat, 11x17 mm, tidak berbulu, sayap 3, tidak sama, biasanya 1 lebih panjang dari dua lainnya. Biji cokelat, menjorong, 0,3–0,4 mm (Gambar 3).
D
A
E
B
C
F
Gambar 1. Begonia longifolia Blume seksi Sphenanthera (A. Perbungaan B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah)
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
38
A
D
E
B
C
F
Gambar 2. Begonia multangula Blume seksi Sphenanthera (A. Tunas Bunga, B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah)
B. baliensis. Herba, tegak, batang hijau kecokelatan, berbulu, jarang bercabang, 15–50 cm, diameter 8–15 mm; buku-buku hijau kecokelatan, bengkak tanpa umbi. Stipula hijau pucat, tidak berbulu, hampir segi tiga, 2–25 x 5–10 mm, ujung 2–3 mm, setose. Daun tersusun berjauhan; 5–15 cm, hijau pucat kemerahan, tangkai daun kecokelatan, berbulu, silinder, 7,5–30 cm, diameter 5–8 mm; lamina miring, berbulu di atas, asimetris, 14–21 x 11– 18 cm, sisi lebar 6,5–11 cm, lobus basal membundar, 3,5–7,5 cm, bergerigi, ujung meruncing. Perbungaan aksiler, beberapa bunga lebih pendek dari daun, protandrus, tangkai bunga 2–8 cm, hijau, tidak berbulu, tidak ada braktea. Bunga jantan 4, hijau pucat kemerahan, panjang pedicel 1,3–2,5 cm, tepal 4, putih dan merah di tengah, tidak berbulu, ujung
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
membulat, luar dua 13–15 x 11–12 mm, dalam dua serupa tapi lebih kecil, putih, 11–14 x 8–9 mm, benang sari banyak, benang sari bulat menggerombol, 5–6 mm; filamen panjang 1–2; anter kuning pucat, sempit membulat telur sunggasang, 1,5–2 mm, ujung bergubang. Bunga betina 7, pedisel hijau pucat panjang 4–5 mm; ovari hijau tua, sayap cokelat kemerahan, tebal dan berdaging, 7–9 x 5–8 mm, locul 3, plasenta 2 perlocul; tepal 5, putih, luar putih kemerahan dua, ujung membulat, 14–17 x 10– 11 mm,stigma kuning kehijauan, panjang 4–5 mm, spiral. Buah beri, berdaging kaku, 4–5 mm, hijau saat masak, berdaging, 10–15x10 mm, membulat, paruh berdaging memanjang ke dalam, gundul, salah satu sayap lebih besar, tidak membelah. Biji 0,25–0,3 mm. (Gambar 4).
39
D
A
E
B
C
F
Gambar 3. Begonia lempuyangensis Girm. sp.nov. seksi Sphenanthera (A. Tanaman dengan tunas bunga, B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah) B. aptera. Terna, tegak, tinggi 60 cm, warna batang cokelat kemerahan, berbulu putih pendek, panjang ruas 27 cm, stipula segitiga panjang 1 cm, daun; oblong: P: L = 15–17 : 7– 7,5 cm, tepi daun bergerigi, permukaan atas memisai, tenggelam. Permukaan bawah: berbulu jelas, pertulangan daun menonjol. Tangkai daun: 3–10 cm. Perbungaan: aksilar, bunga menggerombol. Bunga jantan berwarna putih 2:2, calyx: 7:7 mm, mahkota putih licin: 7:7 mm, membundar lonjong. Benang sari kuning. Bunga jantan dan betina dalam satu pembungaan. Bunga betina: tepal 6. Bakal buah tenggelam, buah menyegitiga, diameter 2 cm, berbulu (Gambar 5).
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Seksi Reichenheimia ada sekitar 50 jenis kelompok rhizomatous dan penyebarannya di seluruh Asia (Tebbit, 2005). Semua jenis memiliki plasenta dan benang sari simetris. Bunga jantan memiliki 2 tepal yang lebih membundar dan besar pada bagian luar, sedangkan 2 tepal lainnya lebih kecil di bagian dalam, berada di bagian kiri dan kanan. Bunga betina memiliki 4 tepal dan dengan ukuran yang berbeda baik itu bagian dalam maupun luar. Tepal 2 berada di bagian luar lebih besar jika dibandingkan 2 tepal bagian dalam. Buah memiliki sayap yang sama, 3 locul dengan 1 plasenta pada masing-masing locul.
40
A
D
E
B
C
F
Gambar 4. Begonia baliensis Girm. seksi Sphenanthera (A. Tanaman dengan tunas bunga, B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah)
Di Bali hanya dua jenis Begonia spesies dapat dijumpai termasuk dalam seksi Reichenheimia di antaranya B. coriacea dan B. pseudomuricata. Memasuki kawasan hutan atau tepatnya di Desa Pendem, Kecamatan Jembrana Kabupaten Jembrana maka B. pseudomuricata akan mudah dijumpai. Selain itu, B. Pseudomuricata juga mudah dijumpai di Hutan Palungan Batu, Bukit Meseha, dan Sungai Ijo Gading di Kabupaten Jembrana. Populasinya sangat banyak dan jenis ini tumbuh merayap pada batu berkapur atau pada tebing-tebing bebatuan dan masih ada lagi di beberapa wilayah lainnya di Kabupaten
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Jembrana. Di Buleleng atau tepatnya di Desa Dadap Putih, Desa Tinggar Sari, dan Desa Sepang Kecamatan Busung Biu jenis ini juga banyak dijumpai. Selain di Kabupaten Buleleng B. peudomuricata juga dapat dijum-pai di Bukit Lempuyang, Kabupaten Karangasem dengan jumlah yang cukup banyak. Adapun B. coriacea dapat ditemukan di hutan dan penyebarannya mengelompok pada lokasi satu dengan lokasi lainnya. Di Bali, jenis ini dapat ditemukan di Pura Lempuyang, Kabupaten Karangasem dan Desa Tegalcangkring, Kecamatan Medoyo, Kabupaten Jembrana (Gambar 9).
41
A A
DD
E
B
C
F
Gambar 5. Begonia aptera Sensu L. B. Smith D. C. Wasshausen seksi Sphenanthera (A. Habitus, B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah)
B. coriaceae. Batang merayap, hampir membulat, berbuku-buku pada perakaran, sukulen, tidak bercabang, gemuk, tanpa umbi, 10–18 cm, tebal 1–3 cm, buku-buku tidak menonjol, ruas 5–15 mm, tebal 2,5–10 mm. Stipula segitiga, 12–16 x 7–10 mm, berbulu di tengah, tepi tidak bergigi, ujung runcing. Daun berumbai, terpisah hingga 5–6 mm; tangkai silinder, gundul, 10–21 cm, diameter 2–3 mm. Lamina memerisai, gundul, miring, sisi atas hijau gelap dan mengilap, hijau pucat di bawah, 16–24 x 13–23 cm, lebar sisi 4,5–5,2 cm, pangkal membulat 2,3 cm, margin tidak bergigi, ujung membundar; venation menjari-menyirip, 3 pasang dengan yang lain. Perbungaan aksiler, tangkai bunga 9–15 cm, tangkai percabangan Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
bunga panjang 1–2 cm, gundul, protandrous. Braktea hijau kecokelatan, 3x2 mm, daun gantilan 2x1 mm, hijau pucat, berbulu. Bunga jantan dengan pedisel 5 – 6 mm; tepal 4 ujung membundar, luar dua, membundar, 10–13 x 9– 13 mm, dalam dua, membundar telur sungsang 9–13 x 5–6 mm, benang sari banyak, tangkai benang sari panjang 1 mm, anther kuning kusam, membulat telur sungsang 0,775–1 mm, ujung membulat. Bunga betina berpedisel 11 mm; ovari 3 ruang, plasenta 1 per ruang; tepal 4, gundul, luar dua, 11–13 x 10–11 mm, stigma kuning keemasan, 4 mm, stigma spiral. Buah kapsul, tangkai hijau kemerahan 10–11 mm, 3 sayap sama. Biji, 0,35–0,4 mm (Gambar 6).
42
B. pseudomuricata. Batang rhizomatous, ramping, lebih dari 5 cm, tebal 5–9 mm, tidak bercabang, perakaran pada buku-buku, hijau pucat kemerahan, berbulu, sukulen, tanpa umbi. Stipula segitiga, 9–10 x 10–11 mm, merah terang, tengah berbulu, ujung berakhir dengan rambut panjang 0,9–1 cm. Daun berumbai; tangkai daun 5–20 cm, diameter 2–4 mm, hijau pucat hingga kemerahan cerah, tak berbulu; lamina miring, membundar telur, sangat asimetris, luas sisi 5,5–10 x 5–9 cm, lebar 3–5,5 cm, hijau pucat bagian atas dan bawah. Perbungaan aksiler, protandrous, tangkai bunga tegak, 10–25 cm dengan dua cabang utama, masing-masing 1–2 cm, hijau pucat kecokelatan, tanpa rambut; braktea eliptik 3x1 mm. Bunga jantan 8, dengan pedisel hijau kuningan, 10–15 mm, tepal 4, luar dua, membundar telur, 12–15 x 11–12 mm, dalam dua, membundar telur sempit 15–19 x 7 mm, luar pink pucat, hampir putih di dalam, gundul, ujung bundar, benang sari banyak, filamen 0,5–1 mm, kepala sari membulat telur sungsang sempit, kuning, 0,7–1 mm, ujung membulat. Bunga betina 10, tangkai bunga putih kemerahan, 7–9 mm; ovari hampir membulat, 7–8 x 4–5 mm, putih kemerahan, sayap 3 sama, beruang 3, plasenta satu per ruang; tepal 3, elips, salah satu lebih besar 10–11 x 9–10 mm, merah muda, terkecil, putih pink, 9–10 x 3–4 mm, ujung membundar, stigma kuning pucat dan sedikit kehijauan, stigma spiral 2 mm. Buah kapsul, 1,1x1,7 cm. Biji menjorong, 0,2–0,3 mm (Gambar 7). Seksi Parvibegonia kelompok rhizomatous berasal dari Asia terdapat sekitar 30 jenis. Kelompok ini dibedakan oleh karakter kombinasi pada daunnya yang memerisai, ovary 2 ruang dengan 3 sayap yang ukurannya tidak sama. Banyak jenis pada tepalnya terdapat garis merah (Tebitt, 2005). B. tenuifolia merupakan satu-satunya jenis Begonia asal Bali yang termasuk dalam seksi Parvibegonia. Di Bali B. tenuifolia hanya dapat dijumpai di tebing Air terjun Gitgit, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Bunga jantan memiliki 2 tepal bagian luar dengan ukuran lebih besar dibandingkan 2 tepal bagian dalam. Adapun bunga jantan memiliki 5 tepal dengan ukuran kurang lebih sama. Jenis ini memiliki variasi yang cukup luas dalam hal ukuran dan warna daun, namun keduanya membentuk umbi. Variasi morfologi pada jenis yang pertama memiliki ciri tumbuh merayap dan membentuk rhizome, ukuran daun kecil dengan bentuk membulat dan berdiameter
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
sekitar 3 cm, warna daun hijau dengan bintik putih serta memiliki umbi berdiameter 1–2 cm. Variasi morfologi kedua, tumbuh merayap dan membentuk rhizome, memiliki ukuran daun dengan diameter 3–5 cm, membundar, ujungnya runcing. Warna daun hijau kecokelatan dengan bintik berwarna putih. B. tenuifolia memiliki umbi berdiameter 1–2 cm (Hartutiningsih, 2008). Warna daun bervariasi mulai dari hijau terang, cokelat hijau tua dengan melihat pada daun bagian atas. Buah dengan sayap tidak sama yang satu memiliki ukuran lebih besar. Sayap terpanjang sekitar 1 cm dengan ujung membulat. Sementara itu, sayap lainnya sempit memanjang dengan ujung meruncing. Distribusi seksi Reichenheimia dan Sphenanthera menunjukkan tidak ada wilayah negara atau pulau diwakili oleh lebih dari 20% pada masing-masing jenis. Seksi Reichenheimia didistribusikan di seluruh Asia Tenggara, tidak ada jenis yang ditemukan di Filipina atau wilayah Papua Nugini. Seksi Sphenanthera didistribusikan agak merata di antara India dan daerah Indocina, Jawa, Sulawesi dan Cina, dengan beberapa jenis yang ditemukan di Semenanjung Malaysia, Filipina, Papua Nugini, dan Sumatra. Di Sulawesi ada tiga jenis yang termasuk dalam seksi Parvibegonia terutama di Daratan Asia (Hoover, et al., 2001). B. tenuifolia. Batang lemah, lurus, 2–25 cm, diameter 1–4 mm, sedikit bercabang, hijau pucat, sukulen, padat atau jarang berbulu, rambut pendek, putih; umbi kecil, 5 mm; stipula luruh. Daun renggang, 1–3 atau lebih pada setiap batang atau cabang; petiole datar atau berlekuk di atas, 0,5–10 cm, tembus, hijau pucat keputihan, padat, jarang berbulu; lamina miring, membundar telur lebar, 1,5–8,5 x 1,2–6 cm, asimetris, sisi lebar 0,7–3,2 cm, atas kusam kemerahan dan bawah hijau keputih-putihan atau pucat polos; lobus basal tidak tumpang tindih, 0,3–2,3 cm, ujung tumpul atau membundar; vena menjari-menyirip, vena 4–5 pasang. Perbungaan terminal, putih kemerahan, gundul, tangkai pebungaan 5–20 cm, bercabang, cabang 1–4 cm, protandrous. Bunga jantan, pedisel 10–11 mm, putih murni menjadi putih merah muda; tepal 4, bagian luar dua, membundar, 7–10 x 6–7 mm, bagian dalam dua, membundar sempit, 7–10 x 2,5–0,3 mm, ujung membundar, benang sari banyak, tangkai 2 mm; filamen 0,5–0,75 mm; anter membulat
43
telur sungsang, 1 mm, kuning, ujung membulat. Bunga betina, tangkai bunga 5–12 mm, berwarna putih sampai putih merah muda, ovari pink, beruang 2, plasenta 2 per ruang; tepal 5, membulat telur, satu lebih besar, 9–12 x 3–4 mm, satu paling kecil, 6–11 x 2–3 mm, putih,
ujung mmbulat, stigma kuning, spiral, 1,5–2 mm. Buah kapsul 5–6 mm hijau, putih atau merah muda pucat, sayap 3, tidak sama, sayap yang lebih besar 3–7 mm, dua lebih kecil 2–3 mm. Biji menjorong sampai melanset, 0,3–3,5 mm, cokelat (Gambar 8).
A A
B
E
B
C
F
Gambar 6. Begonia coriacea Hassk. seksi Reichenheimia (A. Habitus, B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah)
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
44
D
A
E
B
C
F
Gambar 7. Begonia pseudomuricata Girm. seksi Reichenheimia (A. Habitus, B. Bunga Jantan C. Bunga Betina, D. Daun, E. Buah, F. Penampang Buah) Kunci identifikasi 1. a. Tanaman tahunan dengan umbi, daun 2 – 5 …………..................……. 2 b. Tanaman tahunan, tanpa umbi, daun lebih banyak dari 5…….............. B. tenuifolia 2. a. Batang merayap, ruas pendek dan tidak bengkak …………............….. 3 b. Batang tegak, ruas panjang, bengkak pada ruasnya……….......………. 4 3. a. Daun memerisai, bunga betina 2, empat tepal, ….....................………. B. coriacea b. Daun membundar telur, bunga betina10, empat tepal ......................... .. B. pseudomuricata 4. a. Buah tidak bersayap, bunga jantan dengan empat tepal, bunga betina dengan enam tepal ………………………… ……............……….... B. aptera b. Buah dengan sayap tebal, bunga jantan dengan empat tepal, bunga betina dengan lima-enam tepal ……………………...........................………...… 5 5. a. Buah sayap sama besar …...........................................................………... 6 b. Buah berukuran sayap tidak merata …………..………..........…………… 7 6.a. Lamina melonjong, tepi merata, gundul, bunga betina dengan enam tepal….......................................................................................................... B. longifolia b. Lamina membundar telur, tepi bergigi, jarang berambut, bunga betina dengan lima tepal …...……..…….........................……................................. B. baliensis 7.a. Perbungaan berbulu, bunga jantan dan betina berbulu luar tepal, braktea banyak …....……………………………......….............………..... B. multangula b.Perbungaan gundul untuk glabrescent, bunga jantan dan betina gundul tanpa braktea ................................................…............…………................. B. lempuyangensis
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
45
A
D
E
B
C
F
Gambar 8. Begonia tenuifolia Dryand. seksi Parvibegonia (A. Habitus, B. Bunga Jantan, C. Bunga Betina, D. Perbungaan, E. Buah, F. Penampang Buah)
Gambar 9 : Penyebaran Begonia spesies asal Bali, = B. lempuyangensis, pseudomuricata, = B. baliensis, = B. longifolia, = B. aptera, = B. Multangula, = B. tenuifolia
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
= B. coriacea,
= B.
46
Tabel 1. Distribusi Begonia Spesies di Pulau Bali No. 1.
Seksi Sphenantera
Jenis Begonia multangula Blume
Begonia lempuyangesis Girm.
Begonia aptera Blume Begonia baliensis Girm. Begonia longifolia Blume
2
Reichenheimia
Begonia coriacea Hassk.
Begonia pseudomuricata Girm.
3
Parvibegonia
Begonia tenuifolia Dryand.
KESIMPULAN Terdapat tiga seksi dari genus Begonia yang ada di Pulau Bali di antaranya seksi Sphenantera, Reicheinheimia, dan Parvibegonia. Seksi Sphenantera dapat ditemukan sebanyak lima jenis, seksi Reicheinheimia dua jenis dan Parvibegonia hanya satu jenis yaitu B. tenuifolia. Penyebaran seksi Sphenantera hampir merata di seluruh Bali, sedangkan seksi Rheichenheimia dapat ditemukan di tiga Kabupaten di Bali, yaitu Kabupaten Karangasem, Buleleng, dan Jembrana. Seksi Parvibegonia hanya ditemukan di Kabupaten Buleleng. DAFTAR PUSTAKA Doorenbos, J., M.S.M. Sosef and J.J.F.E. de Wilde. 1998. The Section of Begonia.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Lokasi - Bukit Sengayang, Dsn. Waru, Ds. Gesing, Kec. Banjar, Kab. Buleleng - Bukit Tapak, Cagar Alam Batukaru, Kab. Tabanan - Bukit SangHyang, Ds. Jatiluwih Kec. Penebel, Kab. Tabanan - Ds. Plaga, Kec. Petang, Kab. Badung - Ds. Manikliyu, Kec. Kintamani, Kab. Bangli - Kab. Jembrana - Bukit Abang, Kab. Karangasem - Bukit Lempuyang, Kab. Karangasem - Kaki Gunung Agung, Kec. Rendang, Kab. Karangasem - Ds. Manikliyu, Kec. Kintamani, Kab. Bangli - Bukit SangHyang, Ds. Jatiluwih Kec. Penebel, Kab. Tabanan - Bukit Silangjana, Kec. Sukasada. Kab. Buleleng - Bukit Sengayang, Dsn. Waru, Ds. Gesing, Kec. Banjar, Kab. Buleleng - Bukit Tapak, Cagar Alam Batukaru, Kab. Tabanan - Kaki Gunung Agung, Kec. Rendang, Kab. Karangasem - Ds. Plaga, Kec. Petang, Kab. Badung - Ds. Sepang, Kec. Busung Biu, Kab. Buleleng - Sungai Desa Buahan, Kec. Payangan, Kab. Gianyar - Lingk. Dewasana bagian barat, Ds. Pendem, Kec. Jembrana, Kab.Jembrana - Ds. Munduk, Kec. Banjar, Kab. Buleleng - Bukit Lempuyang, Kab. Karangasem - Ds. Tegalcangkring, Kecamatan Medoyo, Kab. Jembrana - Hutan Palungan Batu, Bukit Meseha, Kab. Jembrana - Sungai Ijo Gading Ds. Bale Agung, Kab.Jembrana - Bukit Lempuyang, Kab. Karangasem - Ds. Dadap Putih, Ds. Tinggar Sari, Ds. Sepang, Kec. Busung Biu, Kab. Buleleng - Air Terjun Gitgit, Ds. Gitgit, Kec. Sukasada, Kab. Buleleng
Wageningen, Netherlands: Wageningen Agricultural University. Girmansyah, D. 2008. A Taxonomic Study of Bali and Lombok Begonia (Begoniaceae). Reinwardtia, 12 (5): 419–434. Hartutiningsih-M. Siregar, 2008. Mengenal dan Merawat Begonia. Argomedia Pustaka. Hoover, W.S., C. Karegeannes, H. Wiriadinata and J.M. Hunter. 2001. Notes on The Geography of South-East Asia Begonia and Species diversity in Montane Forest. 5th International Flora Malesiana Symposium 2001. Hughes, M. 2008. An Annotated Checklist of Southeast Asia Begonia. Edinburg: Royal Botanic Garden Edinburg. Peng, C.I., Y.K. Chen, W.C. Leong. 2005. Five New Spesies of Begonia
47
(Begoniaceae) from Taiwan. Bot. Bull. Acad. Sin, 46: 255–272. Shui, Y.M., C.I. Peng and C.Y. Wu. 2002. Synopsis of The Chinese Species of Begonia (Begoniaceae) with a Reappraisal of Sectional Delimitation. Bot. Bull. Acad. Sin, 43: 313–327. Shui, Y.M. and W.H. Chen. 2004. Revision to Section Petermannia of
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Begonia (Begoniaceae) in China. Acta Bot. Yunnan, 26 (5): 482–486. Tebbitt, M.C. 2005. Begonias: Cultivation, Identification and Natural History. Oregon. USA: Brooklyn Botanic Garden.
48
STUDI KERAGAMAN MORFOLOGI JERUK BESAR (Citrus maxima [Burm.] Merr.) POPULASI BALI I NENGAH SUKA WIDANA Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali Email:
[email protected]
ABSTRACT – The diversity of Citrus maxima in Bali has been researched. The research was conducted at eight regencies and one city in Bali in 2003. The aim of the research is to know the varieties of pummelo in Bali. Contohs were taken by purposive sampling method. Around four morphological characters of 66 leaf contohs were studied. Whereas for fruit characteristics about 14 characters were conducted. The dominant characters as a variety criteria of hight quality are: epidermal weight less antile moderate, seeds weight less/without seed and the fruit teste is sweet and sweet sourness. Those criteria were own by contohs Juuk saba (B-1), juuk bone putih (B-2), juuk bawak (oblate) (B-9), oblong round citrus withh sharp neck form (B-16), juuk bone barak (B-17), juuk bone putih (B-22), juuk langkasari (B-27), juuk muntis (B-36), jerunggo gede (B-40), jerunggo yeh buah (B44), and red-pummelo seedless (B-51). Keywords: Plant diversity; Citrus maxima; Bali
PENDAHULUAN Jeruk besar (Citrus maxima [Burm.] Merr. atau Citrus grandis [L.] Osbeck; Citrus decumana L.) (Davis & Albrigo, 1994; Morton, 2003; Setiawan, 1995) dikenal sebagai jeruk bali, limau bali, jambua, nagiri, grapefruit, pummel, dan shaddock, diperkirakan berasal dari Asia Tenggara (Morton, 2003), dan merupakan tanaman asli Indonesia (Sugito, 1993). Di Bali, tanaman tersebut dikenal dengan nama muntis (Sharma, 1985), jerungga atau juuk bali. Lembaga Biologi Nasional (LBN) mencatat 15 kultivar jeruk besar dan beberapa varietas yang tidak umum dibudidayakan. Di antara kultivar tersebut ada dua kultivar unggul yang dilaporkan berasal dari Bali, yaitu jeruk bali dan jeruk bali tanpa biji. Kultivar pertama mempunyai ciri bentuk buah bulat lonjong (piriform), bagian atas agak meruncing dan bawahnya mendatar, warna kulit buah hijau kekuningan, warna daging buah putih dengan rasa manis sedikit getir. Kultivar kedua mempunyai ciri bentuk buah bulat (spheroid), warna kulit buah kuning, warna daging buah lebih merah atau merah muda, tanpa biji, rasa manis tanpa asam, dan sedikit getir. Berdasarkan hasil identifikasi pendahuluan terhadap beberapa contoh jeruk besar secara acak di beberapa tempat di Bali, menunjukkan adanya perbedaan karakter morfologi daun, dan juga buah. Tanaman jeruk besar populasi Bali sampai saat ini populasinya semakin sedikit dan jarang ditanam sehingga ada kekhawatiran Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
terhadap punahnya plasma nutfah lokal Bali tersebut. Beberapa kabupaten di Bali telah melakukan langkah-langkah rehabilitasi plasma nutfah jeruk besar, seperti pembuatan kawasan budi daya yang dilakukan oleh Kabupaten Karangasem dan di kabupaten lainnya di Bali, namun skala penanamannya masih rendah. Di Indonesia, koleksi plasma nutfah jeruk secara umum tercatat sebanyak ± 200 nomor koleksi, sekitar 30% merupakan jeruk manis dan jeruk besar yang berasal dari koleksi lokal (Sugiyarto, 1992 dalam Karsinah, 1999). Institut Penangkaran Tanaman di College, Laguna, Filipina, dan Thailand secara berturut-turut telah mengkoleksi 40 dan 200 aksesi (Niyomdham, 1999). International Centre for Underutilized Crops Institute of Irrigation and Development Studies Institute of Irrigation and Development Studies (ICUCI-IDS) University of Southamton (2003) mendokumentasi plasma nutfah pummelo Nepal sebanyak 132 aksesi. Keragaman jeruk besar sebagai aset plasma nutfah lokal Bali sampai saat ini belum diidentifikasi dan didokumentasikan. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian tentang keragaman jeruk besar populasi Bali sangat mendesak untuk dilakukan karena sangat berguna sebagai penyedia informasi keragaman plasma nutfah jeruk besar untuk pemuliaan (breeding), budi daya, rehabilitasi, konservasi, dan proteksi plasma nutfah lokal Bali. Permasalahan yang diteliti yaitu, bagaimanakah keragaman jeruk besar populasi Bali berdasarkan karakter morfologinya, dan
49
karakter manakah yang dominan dan mencirikan kultivar yang baik (unggul) di Bali. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keragaman jeruk besar populasi Bali berdasarkan karakter morfologi, dan untuk mengetahui karakter dominan mencirikan sebagai kultivar yang baik. Melalui identifikasi keragaman plasma nutfah jeruk besar (C. maxima) populasi Bali, akan bermanfaat: (1) dalam mendokumentasikan dan penyusunan katalog plasma nutfah jeruk besar, (2) upaya rehabilitasi dan proteksi keragaman plasma nutfah jeruk besar (C. maxima) populasi Bali, (3) dalam usaha program pemuliaan (breeding) melalui persilangan antarkultivar sehingga diperoleh kultivar unggul, dan (4) upaya pengembangan usaha budi daya jeruk besar secara intensif sebagai komoditas unggulan lokal dalam skala industri. Penelitian yang dilakukan terbatas pada aspek morfologi (karakter daun dan buah) jeruk besar yang terdapat di delapan kabupaten dan kota di Bali. Sistematika Jeruk Besar Tanaman jeruk besar termasuk famili Rutaceae, subfamili Aurantioidea, tribe Citriae, subtribe Citrinae, genus Citrus, spesies Citrus maxima (Burm.) Merr. atau Citrus grandis (L.) atau Citrus decumana L. (Setiawan, 1995; Niyomdham, 1999; Morton, 2003). Jeruk besar juga memiliki banyak nama daerah, misalnya di Inggris: pummelo, shaddock; Prancis: Pomplemoussier; Indonesia: jeruk besar, jeruk bali; Malaysia: jambua, limau bali: Papua Nugini: muli; Filipina: lukban; Myanmar: shouk-ton-oh; Kamboja: kroonch thlong; Laos: kiengz s`aangz; Thailand: som-o, ma-o; Vietnam: bi`o`I (Niyomdham, 1999). Morton (2003) menyebutkan jumlah kultivar jeruk besar yang ada sekarang meliputi 21, yaitu Benpeiyu, Chandler, Dang Ai Chaa, Double Hirado, Hom Bay Toi, Kao Lang Sat, Kao Pan, Kao Phuang, Kao Ruan Tia, Kao Yai, Khun Nak, Mato, Nakhon, Pandan Bener, Pandan Wangi, Reinking, Seelompang, Siemase Sweet, Tahitian, Thong Dee, Tresca. Kultivar Regional Indonesia Kultivar regional Indonesia menurut Setiawan (1995), tercatat 15 varietas jeruk besar. Berdasarkan jumlah tersebut hanya beberapa
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
saja yang dapat ditemukan, di antaranya (1) Jeruk Besar Nambangan, ciri: bentuk buah bulat-pendek, kulit buah kuning-kehijauan, daging buah merah muda, dan menjadi merah atau jingga setelah umur tua, rasa daging buah lebih manis dibandingkan dengan varietas lainnya, sangat berair. Tahan terhadap penyimpanan pada suhu kamar (sekitar empat bulan). Nama lain yang diberikan untuk varietas nambangan adalah adas nambangan. Ditemukan di daerah Nambangan Madiun Jawa Timur. (2) Jeruk Bali memiliki ciri bentuk buah bulat lonjong, bagian atas agak meruncing dan bagian bawah agak datar, kulit buah hijau-kekuningan, daging buah warna putih. Daun dan buah muda berbulu banyak, ditemukan umumnya di Bali. (3) Jeruk Bali Tanpa Biji, ciri bentuk buah mirip jeruk nambangan, tidak terlalu lonjong. Warna kulit buah matang adalah kuning, daging buah merah muda dan tidak berbiji, rasa manis tanpa rasa asam, agak getir. (4) Jeruk Delima, ada dua macam kultivar yang dikenal masyarakat, yaitu jeruk delima merah dan putih. Bentuk buah bundar dan cekung. Tangkai sedikit runcing, kulit buah tipis dan sering pecah. Jeruk delima putih kulitnya lebih tipis daripada delima merah, rasa buah lebih asam dibandingkan dengan jeruk nambangan. Jumlah buah tiap pohon lebih banyak dibandingkan dengan kultivar lainnya, yaitu dapat mencapai 200 buah, dengan masa musim berbuah sangat panjang, yaitu dari bulan Desember hingga Januari. (5) Jeruk Pandanwangi, bentuk buah bundar dengan ujung datar, kulit buah agak tebal dan ulet sehingga sangat tahan dalam pengangkutan dan sangat cocok untuk pengiriman jarak jauh. Daging buah merah muda dan banyak mengandung air. Banyak ditemukan di daerah Pasar Minggu, Ragunan Jakarta. (6) Jeruk Pandan, ciri menyerupai jeruk pandanwangi, tetapi dengan rasa lebih asam. Dulu sentra produksinya di Jakarta, tetapi akhir-akhir ini mulai langka. (7) Jeruk Cikoneng, warna kulit buah kuning, warna daging buah kemerahan, rasa manis, namun agak getir. Banyak ditemukan di daerah Sumedang Jawa Barat. (8) Jeruk Adas, dengan ciri bentuk buah serupa jeruk nambangan, namun perbedaannya daging buah berwarna putih-kekuningan, dengan sentra produksi sama dengan jeruk nambangan. (9) Jeruk Gulung, merupakan kultivar lokal langka dan keberadaannya hingga saat ini tidak banyak diketahui.
50
Karakter, Persebaran dan Syarat Tumbuh Tanaman Jeruk Besar Jeruk besar dengan ciri semua bagian-bagian tanaman berukuran besar dibandingkan dengan tanaman jeruk lainnya. Tanaman berupa pohon dengan ketinggian mencapai 5–10 m. batang berbengkok-bengkok kuat, kulit luar cokelat kekuningan dengan bagian dalam kuning. Tajuk rendah dan tidak teratur, percabangan tersebar dengan ujung menunduk. Daun berukuran lebih besar dibandingkan dengan jenis jeruk lainnya, memiliki sayap lebar di dekat tangkainya. Aroma bunga harum semerbak, warna kehijauan, kuning hingga putih. Bentuk dan warna daging buah dan rasa buah beranekaragam. Jumlah biji sedikit bahkan ada yang tidak berbiji sama sekali (Sastrapradja dkk., 1977). Kulit buah terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu kulit luar yang keras, kulit bagian tengah sangat lembut, dan kulit dalam yang melekat langsung pada daging buah. Kulit bagian luar banyak mengandung kelenjar minyak dengan warna hijau-kekuningan atau kuning tergantung dari varietasnya. Kulit tengah berwarna putih bersih dan kulit dalam berwarna merah muda (pink) (Setiawan, 1995). Falavanon-glikosid khas yang terdapat dalam buah adalah berupa naringin dan neohespiridin yang menyebabkan rasa getir (bitter) (Niyomdham, 1999). Menurut Morton (2003) tanaman jeruk besar berasal dari Asia, merupakan salah satu tanaman asli Indonesia (Setiawan, 1995). Tanaman tersebut diperkirakan telah menyebar ke daratan Cina sekitar 100 tahun sebelum Masehi, kemudian dibudidayakan secara luas di Cina Selatan, Thailand Bagian Selatan, Taiwan, Jepang, India, Malaysia, Indonesia, New Guenia, dan Tahiti (Morton, 2003). Tanaman jeruk besar tumbuh baik pada dataran rendah tropis. Di daerah sentra produksi Thailand, suhu 25–30ºC, dengan beberapa bulan dingin dan kering, musim kemarau berlangsung 2–4 bulan dan curah hujan sekitar 1.500–1.800 mm (Niyomdham, 1999). Pada ketinggian di bawah 400 m di atas permukaan laut sangat cocok untuk pertumbuhan jeruk besar, pada daerah yang lebih tinggi menyebabkan buah terasa asam, getir, dan berkulit tebal (Setiawan, 1995). Jenis tanah yang cocok untuk penanaman adalah pada tanah subur, gembur banyak mengandung pasir, air tidak tergenang, pH 5–6. Daerah
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
pengembangan produksi di Indonesia saat ini sangat sedikit, tercatat beberapa daerah produksi, misalnya Sumedang Jawa Barat, Madiun, Banyuwangi, Magetan Jawa Timur, Ragunan dan Pasar Minggu Jakarta, Sambas Kalimantan serta Bali walaupun dengan data tidak lengkap. Informasi tentang sentra poduksi yang berhasil penulis himpun adalah Jeruk Cikoneng Sumedang Jawa Barat telah dikembangkan menjadi varietas unggul secara nasional dengan nama Cikoneng ST (Sumedang Tandang). Bali memiliki keragaman varietas jeruk besar dan keadaan alam yang cocok untuk pengembangan industri, sampai saat ini belum memiliki sentra produksi apalagi sebagai pemasok kebutuhan pasar. Keragaman Plasma Nutfah Jeruk Besar Plasma nutfah (germ plasm) adalah substansi yang tedapat dalam setiap kelompok makhluk hidup yang merupakan sumber sifat genetika yang dapat dirakit untuk menciptakan varietas unggul (Sastrapradja, 1990; Novariantio et al., 2001). Keragaman hayati Indonesia khususnya keragaman genetik hingga saat ini belum sepenuhnya diketahui dan didokumentasi. Aset tersebut sangat penting untuk pengembangan sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi pada masa depan, khususnya terhadap sumber daya genetik potensial untuk pertanian, obatobatan (kedokteran), dan ecotourism. Varietas jeruk Indonesia, hingga saat ini telah tercatat 15 kultivar dan diperkirakan beberapa varietas lokal mulai mengalami kelangkaan (Sugito, 1993). Selain kultivar yang telah didokumentasi tersebut, kemungkinan masih ada varietas yang tidak umum dikenal ataupun ditanam sehingga secara luas tidak dikenal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa evaluasi dan karakterisasi keragaman plasma nutfah jeruk besar (C. maxima) di Indonesia sangat diperlukan. Karakterisasi tersebut selain untuk kepentingan pengembangan ke arah pembentukan varietas unggul, juga bernilai dalam proteksi keragaman plasma nutfah lokal Indonesia yang pada terakhir ini banyak dieksploitasi oleh peneliti asing untuk kepentingan dan keuntungan negaranya. Dalam upaya pemuliaan tanaman (breeding) diperlukan adanya keragaman genetika. Informasi tentang keragaman genetika tersebut sangat penting untuk membedakan genotipe individu, intra maupun inter-spesies secara tepat yang
51
diperoleh melalui proses seleksi dan perakitan genetika jeruk unggul (Karsinah, 1999). Namun disayangkan pada kesempatan ini penulis tidak meneliti aspek genetik karena keterbatasan yang dimiliki. Identifikasi pendahuluan tehadap morfologi daun dan buah Jeruk Bali Populasi Bali, yang diambil di beberapa tempat di Bali, menunjukkan perbedaan pada morfologi daun dan buah. Kemudian, dilakukan pengambilan contoh di lapangan (delapan kabupaten dan satu kota di Provinsi Bali) secara intensif dengan metode purposive sampling. Spesimen contoh dikarakterisasi berdasarkan aspek morfologi untuk deskripsi fenotipe.
Identifikasi morfologi dilakukan di Laboratorium Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali dengan observasi terhadap ciri-ciri morfologi daun dan buah, yaitu bangun daun (circumscriptio), tepi daun (margo folii), ujung daun (apex folii), dan anak daun (petiole wing) berdasarkan konsep morfologi menurut Tjitrosoepomo (1986). Karakterisasi buah menurut Sutopo (1989) dan ICUCI-IDS (International Centre for Underutilized Crops Institute of Irrigation and Development Studies) University of Southamton United Kingdom (2003), meliputi bentuk buah, dasar buah, ujung buah, warna kulit buah, jumlah juring, berat kulit, berat biji, warna daging buah, ukuran juring, susunan juring, tekstur daging buah, rongga aksis, juice endocarp, dan rasa buah. Pengambilan contoh daun untuk identifikasi morfologi: daun ke-4–6, dihitung dari ujung cabang. Jumlah daun diambil sebanyak tiga pucuk yang berisi sekitar 12–15 daun. Buah yang diambil untuk identifikasi sebanyak tiga buah dari buah matang berumur 28–30 minggu setelah berbunga (Mahardika & Susanto, 2003).
BAHAN DAN METODE Penelitian terhadap tanaman jeruk besar (Citrus maxima [Burm.] Merr.) yang terdapat di delapan kabupaten dan satu kota di Bali, dilakukan mulai bulan Juli sampai Nopember 2003. Pengambilan contoh daun dan buah dengan purposive sampling. Informasi keberadaan tanaman jeruk besar di masing-masing daerah kabupaten di Bali diperoleh dari Dinas Pertanian Provinsi Bali, Dinas Pertanian Kabupaten serta informasi dari masyarakat.
Tabel 1. Pedoman Identifikasi Morfologi Daun dan Buah C. maxima No 1.
Aspek Morfologi
Deskripsi
Tipe/Karakter
Bangun daun (Circumscriptio)
A. Perbandingan antara panjang (p) dengan lebar (l)= 1,5–2:1, di mana bagian terlebar daun terletak di bagian tengah B. Perbandingan (p:l) = 3–5:1, dimana bagian terlebar helaian daun terletak di bagian tengah C. Perbandingan (p:l) = 1,5–2:1, bagian terlebar daun terletak pada bagian bawah tengah D. Bentuk daun menyerupai bulat telur, tetapi bagian terlebar terletak dekat ujung daun A. Tepi daun hampir rata tidak bertoreh
Bangun jorong (ellipticus) Bangun lanset (lanceolatus) Bulat telur (ovatus)
B. Tepi berlekuk (sinus), tetapi tonjolan (angulus) tumpul A. Kedua tepi daun di kanan-kiri ibu tulang daun sedikit-demi sedikit menuju ke ujung dan pertemuannya pada puncak membentuk sudut lancip (< 90°) B. Kedua tepi daun di kanan-kiri ibu tulang daun sedikit-demi sedikit menuju ke ujung dan pertemuannya pada puncak membentuk sudut tumpul (> 90°) C. Ujung daun memperlihatkan suatu lekukan hingga terbelah A. Bentuk segi tiga di mana ketiga sisi berukuran sama.
Beringgit (crenatus) Runcing (acutus)
Tumpul (obtusus)
B. Bentuk anak daun menyerupai bulat telur, tetapi bagian terlebar terletak dekat ujung daun C. Menyerupai bulat telur, tetapi di bagian ujung memperlihatkan sesuatu lekukan sehingga menyerupai jantung A. Perbandingan panjang (p) dengan lebar (l) = 2,5 – 3:1 B. Perbandingan panjang (p) dengan lebar (l) = 1:1
Bulat telur sungsang (obovatus) Bangun jantung (Cordiform) Lonjong (ellipsoid) Bulat (spheroid)
2.
Tepi daun folii)
3.
Ujung folii)
4.
5.
daun
(Margo
(apex
Anak daun pada Petiole (petiole wings)
Bangun buah (shape)
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Bulat telur terbalik (obovatus) Rata (integer)
Terbelah (retusus) Delta (deltoid)
52
No
Aspek Morfologi
Deskripsi
Tipe/Karakter
C. Dasar buah agak lonjong hingga agak meruncing kadang terlihat seperti leher dan ujung membulat D. Jika perbandingan dasar-ujung buah, panjang (p) dengan lebar (l) = 1:1,5–2
Bulat lonjong (piriform) Bulat pendek (oblate)
Dikompilasi dari: G. Tjitrosoepomo, Morfologi Tumbuhan, Gadjah Mada University Press, 1987; ICUCI-IDSSouthhamton UK, Germ Plasm Catalogue of Pummelo in Nepal: Leaf and Fruit Characteristics, 2003; Sutopo, 6 Varietas Jeruk Besar Magetan, Trubus 338, 1998.
Metode pengambilan contoh daun untuk identifikasi morfologi ditentukan di tengah dari tunas ujung (gemma terminalis), yaitu pada posisi daun ke-4–6, dihitung dari ujung cabang. Jumlah daun diambil sebanyak tiga pucuk yang berisi sekitar 12–15 daun. Untuk karakterisasi buah, diambil sebanyak tiga butir buah matang, atau berumur antara 28–30 minggu setelah berbunga (MSB) (Mahardika dan Susanto, 2003). Data karakter morfologi daun dan buah jeruk besar yang mencerminkan karakter fenotipe, dianalisis secara deskriptif. Karakterisasi morfologi untuk deskripsi fenotipe dilakukan dengan menerapkan pendekatan dominansi karakter, didasarkan pada jumlah frekuensi dari masing-masing karakter dan kecocokan terbanyak antara contoh satu dengan lainnya. Penunjukan kultivar jeruk besar populasi Bali yang baik didasarkan pada kriteria karakter yang dimiliki buah mengacu pada Setiawan (1995); Sutopo (1998); Niyomdham (1999); Mahardika & Susanto (2003). Karakter yang dimaksud meliputi berat kulit sedikit atau persentase (%) berat buah yang dapat dimakan porsinya lebih besar, tidak berbiji atau jumlah biji sedikit, mudah dikupas, rasa asam-manis (berimbang), atau rasa manis tanpa asam. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Daun Analisis karakter morfologi daun jeruk besar (Citrus maxima [Burm.] Merr.) sebanyak 66 contoh, diperoleh empat bangun lembaran daun, yaitu lanset, jorong (ellipticus), bulat telur, dan bulat telur terbalik. Bangun pinggir daun dua tipe, yaitu beringgit dan rata. Bangun ujung
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
daun ada tiga tipe, yaitu runcing, membulat dan terbelah. Bangun anak daun ada tiga tipe, yaitu bangun delta, bulat telur terbalik, dan bangun jantung (Gambar 1). Karakter dominan: bangun lembaran daun bulat telur, bangun pinggir daun beringgit, bangun ujung daun terbelah, dan bangun anak daun bulat telur terbalik. Karakteristik Buah Karakter kualitatif dan kuantitatif buah yang ditemukan dari 66 contoh yang diperoleh dari lapangan disajikan pada Tabel 3. Karakter dominan secara berturut-turut adalah bentuk buah bulat, dasar buah agak rata, ujung buah antara agak rata dan cekung, warna kulit buah kuning kehijauan, jumlah juring banyak (≥13), berat kulit sedang (36,4–52,5 %), jumlah biji sedikit/tanpa biji (< 1,6%), warna daging buah antara merah muda dan merah tua, ukuran juring seragam, susunan juring teratur, tekstur daging buah lunak, cairan buah banyak, dan rasa buah manis-asam (Gambar 2 dan 3). Terdapat 4 tipe bangun daun jeruk besar (Citrus maxima [Burm.] Merr.) populasi Bali, yaitu bulat telur, jorong, lanset, dan bulat telur terbalik. Adapun bangun pinggir daun terdiri atas dua tipe, yaitu beringgit dan rata. Bangun anak daun ada tiga bentuk, yaitu bangun delta, bulat telur sungsang, dan bangun jantung. Hasil tersebut memperkuat penemuan bangun daun sebelumnya oleh Davis & Albrigo (1994), Niyomdham (1999), dan ICUCI-IDS University of Suothamton U.K. (2003). Karakter dominan yang dimiliki, yaitu bangun lembaran daun bulat telur, pinggir daun beringgit, ujung daun terbelah, dan bangun anak daun bulat telur terbalik.
53
Gambar 1 Variasi Bentuk Daun C. maxima Populasi Bali. A1. Bangun lanset, A2. Bangun pinggir beringgit, A3. Ujung runcing. A4. Bulat telur terbalik. B1. Bangun jorong, B2. Bangun pinggir beringgit, B3. Ujung runcing, B4. Bangun delta. C1. Bangun bulat telur, C2. Pinggir rata, C3. Ujung terbelah, C4. Bangun delta. D1. Helaian bulat telur, D2. Pinggir rata, D3. Ujung runcing, D4. Bangun jantung. E1. Helaian bulat telur terbalik, E2. Pinggir beringgit, E3. Ujung tumpul, E4. Anak daun bulat telur terbalik. Tabel 3. Karakter Morfologi Buah Jeruk Besar (C. maxima) Populasi Bali No
Aspek Morfologi
Total contoh (N)
1
Bentuk buah (BB)
66
2
Dasar buah (DB)
66
3
Ujung buah (UB)
66
4
Warna kulit (WK)
66
5
Jumlah juring (JJ)
66
6
Berat kulit (BK) (%)
66
7
Jumlah biji (J) (%)
66
8
Warna daging buah (WD)
66
9
Ukuran juring (UJ)
66
10
Susunan juring (SJ)
66
11
Tekstur daging (TD)
66
12
Rongga aksis (RA)
66
13
Juice endocarp (JE)
66
14
Rasa buah (RB)
66
Tipe/karakter (Kode) Spheroid (Sph) Piriform (Pir) Oblate (Obl) Ellipsoid (Eli) Agak rata (Ara) Agak runcing (Aru) Cembung (Cem) Berleher-meruncing (Leh) Agak rata (Ara) Cekung (Cek) Hijau-kekuningan (Hiku) Kuning-kehijauan (Kuhi) Kuning-kemerahan (Kume) Kuning-keputihan(Kupu) Banyak (≥13) Sedikit (<13) Banyak (>52,5) Sedang (36,4 – 52,5) Sedikit (<36,4) Banyak (>3,2) Sedang (1,6-3,2) Sedikit/tanpa biji (<1,6) Merah muda (Mem) Merah tua (Met) Putih (Put) Tidak seragam (Tis) Seragam (Ser) Tidak teratur (Tit) Teratur (Ter) Lunak (Lun) Liat (Lit) Ada rongga aksis (Ada) Tidak ada rongga pada aksis (Tid) Banyak (Ban) Sedikit (Sdk) Manis (Man) Manis asam (Mas) Asam/kecut (Asm)
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Jumlah individu (%) 66,66 24,24 7,50 1,50 53,03 7,50 30,30 9,09 51,51 48,48 27,27 69,69 1,50 1,50 51,51 48,48 4,54 63,63 31,81 3,00 15,10 81,80 39,39 40,90 19,69 32,67 67,30 30,30 69,62 95,45 4,50 50,00 50,00 98,48 1,50 7,50 86,38 6,06
54
Gambar 2. Aneka Bentuk Buah Jeruk Besar (C. maxima) Populasi Bali. A. Bentuk buah bulat (spheroid)-Dasar buah agak rata-Ujung buah agak cekung. B. Bulat pendek (oblate)-Dasar buah agak rata-Ujung buah agak rata. C. Bulat lonjong (piriform)-Dasar buah berleher meruncing-Ujung buah cekung. D. Bentuk lonjong (ellipsoid)Dasar buah cembung-Ujung cekung. E. Bangun bulat (spheroid)-Dasar buah cembung-Ujung agak rata. F. Bangun bulat pendek (oblate)-Dasar buah agak runcing-Ujung buah cekung. G. Warna kulit kuning keputihan. H. Warna kuning-kehijauan. I. Warna kuning- kemerahan (orange). J. Warna hijau-kekuningan.
Gambar 3. Penampang Melintang Aneka Macam Buah Jeruk Besar Populasi Bali. A1.Warna daging buah merah tua. A2. Ukuran juring seragam. A3. Susunan juring teratur. A4. Tidak ada rongga pada aksis. B1. Warna daging buah merah muda. B2. Ukuran juring seragam. B3. Susunan juring teratur. B4. Ada rongga pada aksis. C1. Warna daging buah putih. C2. Ukuran juring agak seragam. C3. Susunan juring agak teratur. C4. Terdapat rongga. D1. Warna daging buah merah muda. D2. Ukuran juring tidak seragam. D3. Susunan tidak teratur. D4. Ada rongga pada aksis buah.
Karakter buah yang ditemukan adalah empat macam bentuk buah. yaitu bentuk buah bulat, bulat lonjong, bulat pendek dan lonjong. Dasar buah ada empat macam, yaitu agak rata, agak runcing, cembung. dan berleher agak meruncing. Bentuk ujung buah, ditemukan dua macam, yaitu tipe agak rata dan cekung. Ditemukan empat macam warna kulit buah: hijau-kekuningan, kuning kehijauan, kuningkemerahan (orange), dan kuning keputihan. Kedua yang terakhir agak jarang ditemukan. Jumlah juring (segmen) dikategorikan menjadi
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
dua, yaitu banyak (≥13) dan sedikit (<13). Terdapat tiga kategori karakter berat kulit buah: tergolong banyak (>52,5 %), sedang (36,4–52,5 %) dan tergolong sedikit (<36,4%). Karakter berat biji: banyak (>3,2%); sedang (1,6–1,2 %) dan sedikit/tanpa biji (<1,6 %). Terdapat tiga jenis warna daging buah: merah muda, merah tua, dan putih. Dari aspek keseragaman ukuran juring ada dua macam, yaitu tidak seragam dan seragam. Susunan juring pada irisan melintang ada dua macam: tidak teratur dan teratur. Tekstur daging buah
55
ada dua tipe, yaitu lunak dan liat. Rongga pada aksis buah: ada rongga dan tidak ada rongga. Cairan endokarp (juicy): banyak dan sedikit. Rasa buah di mana rasa getir tidak disertakan karena pada umumnya semua jeruk besar terasa getir, yaitu manis tanpa asam, manis-asam, dan asam atau kecut. Warna kulit buah kuning kemerahan (orange) merupakan karakter langka, sebab warna kulit kuning kemerahan belum pernah dilaporkan sebelumnya. Jenis jeruk besar ini ditemukan di Pancasari Buleleng pada ketinggian 1.200–1.500 m di atas permukaan laut. Karakter dominan yang ditemukan adalah bentuk buah bulat, dasar buah agak rata, ujung buah agak rata, warna kulit kuning kehijauan, jumlah juring banyak, berat kulit sedang, jumlah biji sedikit/tanpa biji, warna daging buah merah tua, ukuran juring seragam dengan susunan teratur, tekstur daging buah lunak, rongga pada aksis ada dan tidak, cairan pada endokarp banyak, dan rasa daging buah manis-asam. Tampilan karakter morfologi daun dan buah C. maxima populasi Bali adalah Varian I (Juuk Alas). Karakter morfologi; lembaran daun bulat telur (ovate), pinggiran beringgit (crenate) dengan ujung runcing (acutus). Bangun anak daun bulat telur terbalik (obovate). Karakter buah yang dimiliki adalah bentuk buah bulat (spheroid), dasar buah agak rata dengan ujung cekung, warna kulit buah kuning kemerahan (orange), daging buah berwarna putih, ukuran juring mendekati seragam, dengan susunan/ konfigurasi tidak teratur, tekstur daging buah lunak, ada rongga pada aksis, cairan buah banyak dengan rasa asam/kecut. Tumbuh di Pancasari Kabupaten Buleleng. Varian II (Jerungga Merah Muda), dengan deskripsi: lembaran daun bangun bulat telur (ovate), pinggir beringgit (crenate), ujung runcing (acutus) dengan bangun anak daun bulat telur terbalik (obovate). Karakter buah yang dimiliki adalah bentuk buah bulat (spheroid), dasar buah agak rata, ujung buah agak rata, warna kulit buah kuning kehijauan dengan warna daging buah putih, ukuran juring seragam dengan susunan/ konfigurasi teratur, tekstur daging buah lunak, terdapat rongga pada aksis, cairan buah banyak dengan rasa buah asam/kecut. Ditemukan tumbuh di Kintamani Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli. Varian III (Muntis-1), dengan ciri-ciri: lembaran daun bangun elips (elliptical) dengan
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
pinggir beringgit (crenate), ujung tumpul (obtusus) dengan anak daun bangun delta (deltoid). Bentuk buah bulat lonjong (piriform), dasar buah cembung dengan ujung buah agak rata, warna kulit buah hijau kekuningan dengan warna daging buah merah muda, ukuran juring seragam dengan susunan/konfigurasi teratur, tekstur daging buah lunak, tidak terdapat rongga pada aksis, cairan buah banyak dan rasa manis asam. Ditemukan tumbuh di Desa Gerih Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung. Varian IV (Jerungga Limbur), deskripsi karakter: lembaran daun bangun elips (elliptical) dengan pinggir beringgit (crenate), ujung runcing (acutus) dengan anak daun bangun bulat telur terbalik (obovate). Bentuk buah bulat lonjong (piriform), dasar buah agak rata dengan ujung buah cekung, warna kulit buah kuning kehijauan dengan warna daging buah putih, berat kulit buah paling banyak, ukuran juring seragam dengan susunan/ konfigurasi teratur, tekstur daging buah lunak, tidak terdapat rongga pada aksis, cairan buah banyak dan rasa asam. Ditemukan tumbuh di Desa Gelagah Linggah Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli dan lebih dikenal sebagai Jerungga Limbur. Varian V (Muntis Saba), deskripsi karakter: lembaran daun umumnya bangun bulat telur (ovate), dengan pinggir umumnya beringgit (crenate), ujung umumnya terbelah (retusus). Anak daun bangun delta (deltoid) dan bulat telur terbalik (obovate). Bentuk buah umumnya bulat (spheroid), dasar buah pada umumnya agak rata. Ujung buah umumnya cekung. Warna kulit buah umumnya kuning kehijauan dengan warna daging buah umumnya merah tua, ukuran juring umumnya seragam dengan susunan/konfigurasi teratur, tekstur daging buah lunak dan umumnya ada rongga pada aksis, cairan buah banyak, rasa umumnya manis asam. Ditemukan tumbuh di banyak tempat di Bali, misalnya di Kecamatan Penebel, Kecamatan Selemadeg Tabanan, Desa Pergung Jembrana, Desa Penarungan Kecamatan Abiansemal Badung, Desa Marga Bingung Kecamatan Blahbatuh, Pejeng Kaja Gianyar, Tegeh Kori Kecamatan Denpasar Timur Denpasar. Varian VI (Juuk Bone/Toya Buah Putih), dengan deskripsi karakter: lembaran daun umumnya bangun bulat telur (ovate),
56
dengan pinggir umumnya beringgit (crenate), ujung umumnya terbelah (retusus). Anak daun bangun delta (deltoid) dan bulat telur terbalik (obovate). Bentuk buah umumnya bulat lonjong (piriform), dasar buah pada umumnya agak rata. Ujung buah umumnya agak rata. Warna kulit buah umumnya kuning kehijauan dengan warna daging buah umumnya putih, ukuran juring umumnya seragam dengan susunan/konfigurasi teratur, tekstur daging buah lunak dan umumnya tidak terdapat rongga, cairan buah banyak, rasa umumnya manis. Ditemukan tumbuh di banyak tempat di Bali, misalnya di Klecung, Megati, Bajra Kecamatan Selemadeg Tabanan, Desa Pergung Jembrana, Desa Alas Angker Pengelatan Buleleng, Banjar Blusung Desa Pejeng Gianyar. Lebih dikenal sebagai Juuk Bone dan Juuk Yeh Buah. Varian VII (Jerungga Kintamani), dengan deskripsi karakter: lembaran daun bangun elips (elliptical) dengan pinggir beringgit (crenate), ujung runcing (acutus) dengan anak daun bangun bulat telur terbalik (obovate). Bentuk buah bulat (spheroid), dasar buah agak rata dengan ujung buah cekung, warna kulit buah kuning kehijauan dengan warna daging buah putih, ukuran juring seragam dengan susunan/konfigurasi teratur, tekstur daging buah lunak, tidak terdapat rongga pada aksis, cairan buah banyak dan rasa asam. Ditemukan tumbuh di Desa Gelagah Linggah Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli. Varian VIII (Muntis-2/Jeroti), dengan deskripsi: lembaran daun umumnya bangun bulat telur (ovate), dengan pinggir umumnya beringgit (crenate), ujung daun umumnya variatif, yaitu terbelah (retusus), runcing (acutus) dan tumpul (obtusus). Anak daun bangun bulat telur terbalik (obovate). Bentuk buah umumnya bulat (spheroid), dasar buah agak rata. Ujung buah cekung. Warna kulit buah umumnya hijau kekuningan. Warna daging buah umumnya merah muda, ukuran juring umumnya seragam dengan susunan/ konfigurasi teratur, tekstur daging buah lunak dan umumnya tidak terdapat rongga, cairan buah banyak, rasa umumnya manis asam. Ditemukan tumbuh di beberapa tempat di Bali, misalnya di Klecung Kecamatan Selemadeg Tabanan, Desa Penarungan Abiansemal Badung, Dusun Kalanganyar Sibetan Karangasem. Varian IX (Jerungga Gede Manis): lembaran daun bangun bulat telur (ovate)
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
dengan pinggir rata (entire/integer), ujung terbelah (retusus) dengan anak daun bangun bulat telur terbalik (obovate). Bentuk buah delta (deltoid). Bentuk buah umumnya bulat (spheroid), dasar buah agak rata dengan ujung buah agak rata, warna kulit buah hijauan kekuningan dengan warna daging buah merah muda, ukuran juring tidak seragam dengan susunan/konfigurasi tidak teratur, tekstur daging buah lunak, terdapat rongga pada aksis, cairan buah banyak dan rasa manis asam. Ditemukan tumbuh di Desa Bongkasa Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung. Varian X (Toya Buah Merah Muda): lembaran daun sangat variatif dari bangun elips (elliptical) dan bangun bulat telur (ovate) dengan pinggir umumnya beringgit (crenate), ujung umumnya terbelah (retusus). Anak daun umumnya variatif, yaitu bulat telur terbalik (obovate), bangun delta (deltoid). Bentuk buah umumnya juga variatif, yaitu bulat (spheroid). Dasar buah umumnya agak rata. Ujung buah umumnya agak rata dan cekung. Warna kulit buah umumnya kuning kehijauan dengan warna daging buah umumnya merah muda, ukuran juring umumnya seragam dengan susunan/ konfigurasi teratur, tekstur daging buah lunak dan umumnya ada rongga pada aksis, cairan buah banyak, rasa umumnya manis asam. Ditemukan tumbuh di banyak tempat di Bali, misalnya di Br. Tegeh Kori Dentim Denpasar, Dusun Dadia Babahan Kecamatan Penebel, Antap Bajra Tabanan, Br. Gerih Abiansemal Badung, Br. Pikah Abiansemal Badung, Desa Pejeng Gianyar, Jasi Karangasem. Varian XI (Nagasari/Langkesari): lembaran daun umumnya bangun bulat telur (ovate), dengan pinggir umumnya beringgit (crenate), ujung umumnya terbelah (retusus). Anak daun bangun delta (deltoid). Bentuk buah umumnya bulat (spheroid), dasar buah bentuk cembung. Ujung buah umumnya cekung. Warna kulit buah umumnya kuning kehijauan dengan warna daging buah umumnya merah tua, ukuran juring umumnya seragam dengan susunan/konfigurasi teratur, tekstur daging buah lunak, dan ada rongga pada aksis dan sebagian lagi tidak ada rongga, cairan buah banyak, rasa umumnya manis asam. Ditemukan tumbuh di beberapa tempat di Bali, misalnya di Desa Penatahan Kecamatan Penebel, Br. Tegeh Kori Dentim Denpasar dan di Desa Tegak Kelungkung.
57
Varian XII (Rengked): lembaran daun bangun bulat telur (ovate) dan bangun lanset (lanceolate) dengan pinggir beringgit (crenate) dan bangun pinggir rata (integer/entire), ujung umumnya terbelah (retusus). Bangun anak daun umumnya bulat telur terbalik (obovate). Bentuk buah umumnya bulat lonjong (piriform) dasar buah umumnya bentuk berleher meruncing. Ujung buah umumnya agak rata. Warna kulit buah umumnya kuning kehijauan dengan warna daging buah umumnya merah muda, ukuran juring umumnya tidak seragam dengan susunan/konfigurasi tidak teratur, tekstur daging buah lunak dan ada rongga pada aksis, cairan buah umumnya banyak, rasa umumnya manis asam. Ditemukan tumbuh di Desa Kayu Putih dan Sibetan Karangasem. Kultivar jeruk besar populasi Bali yang unggul berdasarkan kriteria karakter yang dimiliki yaitu berat kulit buah atau bagian yang tidak dapat dimakan, berkisar dari sedikit hingga sedang, berat biji sedikit/tanpa biji, dan memiliki rasa manis tanpa asam (Man) dan manis-asam (Mas) adalah pada individu Juuk sabha, tumbuh di Br. Bongli Desa Sangketan Penebel Tabanan (B-1), Juuk bone putih-1, ditemukan di Br. Klecung Desa Tangguntiti Selemadeg Tabanan (B-2), bentuk buah bulat pendek, ditemukan di Br Pande Desa Gerih Badung (B-9), bentuk buah bulat lonjong berleher, ditemukan di Desa Padangsambian Denpasar (B-16), Juuk bone barak, Br. Megati Desa Megati Bajra Tabanan (B-17), Juuk bone putih-2, ditemukan di Desa Antap Bajra Tabanan (B-22), Juuk Langkasari, ditemukan di Br. Sangketan Desa Sangketan Penebel Tabanan (B-27), Juuk muntis ukuran buah besar dan jumlah rerata buah tiap ujung batang antara 3-4, ditemukan di Br. Pikah Desa Blahkiuh Badung (B-36), Jerungga gede, ditemukan di Br. Penarungan Abiansemal Badung (B-40), Jerungga yeh buah, ditemukan di Desa Blusung Pejeng Gianyar (B-44), Jeruk Merah muda tanpa biji, ditemukan di Desa Gerih Mambal Badung (B-51). KESIMPULAN DAN SARAN Karakter fenotip berdasarkan ciri morfologi daun dan buah jeruk besar populasi Bali beragam yaitu terdapat 12 kelompok varietas. Penggunaan penanda (marker) morfologi dalam karakterisasi plasma nutfah jeruk besar populasi Bali memiliki keterbatasan, karena bentuk-
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
bentuk luar (fenotipik) buah dan daun merupakan ekspresi faktor genetika sehingga penggunaan penanda morfologi belum cukup representatif dapat menjelaskan karakternya secara keseluruhan. Untuk itu, disarankan bagi peneliti yang berminat melanjutkan penelitian menggunakan analisis DNA, misalnya RAPD sehingga jumlah lokus yang dianalisis lebih banyak. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis, disampaikan kepada Profesor Dr. Ir. I Wayan Supartha, M.S. atas arahan dan bantuan yang telah sangat banyak diberikan selama penelitian, Drs. I Wayan Budiyasa, M.Si. yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan dalam pengumpulan data, Drs. I Wayan Suanda, S.P., M.Si. atas dukungan dalam penyediaan sarana lab yang dibutuhkan dalam identifikasi morfologi, serta berbagai pihak yang telah membantu selama pengumpulan data. DAFTAR PUSTAKA Davis, F.S. and L.G. Albrigo. 1994. Citrus. Wallingford: CAB International. Griffiths, A.J.F., J.H. Miller, D.T. Suzuki, R.C. Lewontin and W.M. Gelbart. 1993. An Introduction to Genetic Analysis. 5th ed. New York: W.H. Freeman and Company. Helentjaris, T.S. and Smith. 1996. “DNA Fingerprinting and Plant Variety Protection”. In Peterson A. H. (ed.). Genome Mapping In Plant. Texas USA: R.G. Landers Company and Acadenic Press, Inc. ICUCI-IDS (International Centre for Underutilised Corps Institute of Irrigation and Development Studies). 2003. Germplasm Catalogue of Pummelo in Nepal Leaf Characteristics. Available from: (http://www.soton.ac.uk/~icuc/pumpger m, diakses 3 Maret 2003). _________, (International Centre for Underutilized Corps Institute of Irrigation and Development Studies). 2003. Germplasm Catalogue of Pummelo in Nepal. Fruits Characteristics. Available from:
58
(http://www.soton.ac.uk/~icuc/pumger m, diakses 3 Maret 2003). Karsinah. 1999. ”Keragaman Genetik Plasma Nutfah Jeruk Berdasarkan Analisis Penanda RAPD”. (disertasi). Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kurniati, V. dan S.I. Wanandi. 2001. “Pemisahan Protein dengan Elektroforesis Gel Poliakrilamid-SDS”., dalam Soewoto, H., M. Sadikin, M.M.V. Kurniati, S.I. Wanandi, G.D. Retno, S.P. Abadi, I.P. Prijanti, S.W.A. Jusman (ed.). Biokimia Eksperimental Laboratorium. Jakarta: Widya Medika. Mahardika, I.B.K. and S. Susanto. 2003. “Perubahan Kualitas Buah Beberapa Kultivar Jeruk Besar selama Periode Pematangan”. Hayati 10: 106–109. Moritz, C. and D.M. Hillis. 1996. “Molecular Systematics: Context and Controversies “In Hillis, D.M., C. Moritz and B. K. Mable (ed.). Molecular Systematics, Second Edition. Sunderland, Messachusetts USA: Sinaeur Associates, Inc. Publishers., pp.1–13. Morton, J. 2003. “Pummelo (Citrus maxima)” In: Morton, J.F., editor. Fruits of Warm Climates. Miami, FL. p.14–151, Available from: (http://www.hort.purdue.edu/newcorp/ morton/index.html, diakses 17 Juni 2003). Niyomdham, C. 1999. “Citrus maxima (Burm.) Merr”. In Verheig, E.W.M. (ed.). Edible Fruits and Nuts. Bogor: Prosea Indonesia. pp.128–131. Novelli, V.M., M.A. Machado and C.R. Lopes. 2000. Isoenzymatic Polymorphism in Citrus spp. and Poncirus trifoliata (L.) RAF. (Rutaceae) Genet. Mol. Biol. Sao Paulo, 23: 1–8. Available from: (http://wwwscielobr/scielo.php?script= sciattex&pid=S1415475720000001000 30&Ing=en&nrm=iso, disitasi 29 Desember 2003). Robertson, H. 2003. “Citrus (Orange, Lemon, Lime, Grapefruits, Naartjie genus). Izikom Museum of Cape Town”. Biodiversity Explores Iziko Home South Africa Museum Home. Available from: (http://wwwmuseums.org.za/bio/images /enb7/enb07484x-orange.jpg, diakses 29 Januari 2004).
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Rybicki, E. and M. Purves, 1996. “SDS Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE)”. In V. E. Coyne, M. D. James, S. J. Reid, and E. P. Rybicki (ed.). Molecular Techniques Manual. Third Edition. Dept Microbiology. University of Cape Town. (http://web.vct.ac.za/microbiology/sdsp ageHtm#, diakses 18 Mei 2003). Setiawan, A.I. 1995. Usaha Pembudidayaan Jeruk Besar. Jakarta: Penebar Swadaya. Sharma, S. 1985. A Glossary of Indonesia Plant Name. Denpasar: Udayana University. Singh, B.M., K.D. Sharma, M. Katoch, S. Guleria and T.R. Sharma. 2001. Plant Genetic Newsletter-Molecular analysis of variability.FAO-IPGRI Available (http://www.ipgri.cgiar.org/pgrnewslett er/article.asp?id-article=12&1d1ssue=124, diakses 20 Januari 2004). _____, H.P.1998. “Genetic Diversity, Breeding and Utilization of Citrus Fruits”. In pp. 171–184. Arora, R.K. & V. Ramanatha Rao, editors. Tropical Fruits in Asia: Diversity, Maintainance, Conservation and Use. Proceeding of the IPGRIICAR-UTFANET Regional Training Course on the Conservation and Use Of Germplasm of Tropical Fruits in Asia held in Indian Institute of Horticultural Research, 18-31 May 1997, Bangalore, India. From: (http://www.ipgri.cgiar.org/regions/apo /publications/tfasia/chapter19.pdf, diakses 16 Januari 2004). Sugito, J. 1993. Jeruk dan Kerabatnya. Jakarta: Penebar Swadaya. Sutopo. 1998. Enam Varietas Jeruk Besar Magetan. Trubus, 338: 34–35. Tjitrosoepomo, G. 1986. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Widoretno, W., H. Harran dan Sudarsono. 2003. “Keragaman Karakter Kualitatif pada Populasi Tanaman Somaklon Kedelai dari Embrio Somatik Hasil Seleksi In Vitro”. Hayati. 10: 110–117. Zeidler, M. 2000. Electrophoretic Analysis of Plant Isozymes. Acta Universitatis Palackianae Olomucensis Facultas Rerum Naturalium. Available from: (http://www.publib.upol.cz/~obd/fulltex t/Biologica38, diakses 20 Januari 2004).
59
WEED SPECIES DIVERSITY IN ARABLE LAND RELATED TO THEIR MANAGEMENT STRATEGIES Arief Priyadi UPT BKT KR 'Eka Karya' Bali–LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191 E-mail:
[email protected] ABSTRAK – Budi daya tanaman di lahan pertanian bertujuan untuk menciptakan kondisi ideal bagi pertumbuhan tanaman, namun pada waktu bersamaan harus berhadapan dengan tumbuhan yang sebenarnya tidak diinginkan tetapi tumbuh bersama (gulma). Kajian diversitas gulma dapat dimanfaatkan untuk memahami komposisi gulma di lokasi tertentu yang pada akhirnya dapat digunakan untuk menentukan cara pengendalian yang tepat. Kajian ini dilakukan untuk menggambarkan kelimpahan jenis dan frekuensi jenis pada suatu lahan pertanian, yang dikelompokkan dalam 11 lokasi dengan manajemen budi daya yang berbeda-beda. Hasil menunjukkan bahwa dijumpai 49 spesies gulma yang tergolong dalam 17 famili. Kurva rank-abundance menunjukkan bahwa jenis-jenis gulma tersebut tidak tersebar merata dengan indeks diversitas Shannon sebesar 2,82. Analisis kluster berdasarkan jarak Bray-Curtis mengelompokkan 11 lokasi ke dalam 5 kluster. Berdasarkan nilai penting spesies gulma, dapat ditentukan gulma dominan. Dua kluster didominasi oleh gulma rumputan (Poaceae), satu oleh rumputan (Poacaeae) dan tekian (Cyperaceae), dan dua yang lain didominasi oleh gulma daun lebar (Schrophulariacae, Euphorbiaceae, Lamiaceae, dan Commelinaceae). Jenis gulma dominan menentukan strategi pengendalian yang dapat diterapkan dengan tepat. Kata kunci: Weed control; Arable land.
INTRODUCTION Cultivation of crops in arable land deals with efforts to provide good environmental condition for plant growth. Soil tillage, fertilization, irrigation are some examples of those efforts. On the other hand, crops cultivation also deals with unwanted plant species (weed) which are growing together with cultivated crops in the same area at the same time, which interfere the crop. Study of weed species diversity in arable land is needed to help determine strategy of weed management. Knowledge on weed biology is an approach to effective and efficient weed control (Djauhariya et al. 2007). Weeds will never be eliminated, but they can be managed (Zimdahl, 2007). There are two components of species diversity, namely species richness and evenness (Booth et al., 2003). Species richness is the number of plant which can be found in certain area, on the other hand species evenness is a measure whether the species distributed evenly on that area or whether some species dominate over the other (Kindt and Coe, 2005). The pattern of species richness of weed communities in arable land is complex (Pysek et al., 2005). This is due to continuous soil disturbance in cultivation activities and also different type of crop cultivated. Overall plant
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
species richness depended on management (Guterzky, 2007). Reported studies on species diversity showed various results. Fried et al. (2008) reported that crop type differentiated weed communities in arable land. Climatic factor and management practices are important for changes in weed species compositions (Lososova and Cimalova, 2009). On the other hand, Plaza (2011) reported of long term 23years experiment in dry land that tillage system did not affect weed diversity. This study aimed to describe weed vegetation richness and evenness related to arable land management, namely crop type and tillage system. The result can be used as a consideration tool for the weed management strategies in the study area. MATERIALS AND METHODS This study was conducted in Banguntapan agricultural experiment station faculty of agriculture Gadjah Mada University Yogyakarta from March to May 2006. The soil type in study area was regosol (entisol) and located about 100 m above sea level. Eleven sites named S1–S11, with various land management, were observed for their weed communities. Quadrat sampling method with
60
frame 0.5 m x 0.5 m was employed during vegetation analysis, 2–3 sampling plot for each site. Count data of weed species were recorded for further analysis. Data was arranged into species matrix, and processed to yield species accumulation curve and rank-abundance curve. Cluster analysis was done to group sites based on Bray-Curtis distance. Those data analysis of weed species diversity was done with BiodiversityR software (Kindt and Coe, 2005). Determination of important value (IV) was done for each cluster, after the calculation of relative density (RD) and relative frequency (RF) of each weed species (Mueller-Dombois and Ellenberg, 1974). The explanatory variables were species of crop cultivated and soil tillage. S1-S3 were site cropped with kale (Ipomoea aquatica), S4-S6 with cucumber (Cucumis sativus), S8 with peanut (Arachis hypogaea) and the rests were fallowed. No tillage of soil was applied for S7, 9 and 11 and the rest with soil tillage, namely plowing and harrowing before crop planting. RESULTS AND DISCUSSION Weed vegetation analysis of the study area revealed that from the 11 sites there were 49 weed species from 17 families. Species accumulation curve depicted on Fig. 1a and species abundance was shown on Fig. 1b. Fig. 1a showed that some sites of the study area shared the same weed species because the curve gradient decreased along with the increasing sites number. Fig. 1b showed that three species with biggest abundance were Bulbostylis puberula, Cynodon dactylon, and Dactyloctaenium aegyptium. The first belongs to the family of Cyperaceae and the other two belongs to Poaceae. The next eight species after the previos three consecutively are Lindernia sp., Lindernia ciliata, Lindernia custacea, Eleusine indica, Eragrostis tenella, Cyperus rotundus, Digitaria sanguinalis and Melocia pyramidata. Total species abundance from 11 sites of this study was 2131 and the 11 species mentioned were accounted for 1832 (86% of total abundance). Fig. 1b also informed that weed species of 11 sites did not evenly distributed since there was a sharp decrease
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
from the highest rank until the lowest rank. The calculation of Shannon diversity index gave result of 2.82, which showed that there was high weed species diversity. To refine the weed species diversity across the sites in the study area, calculation of important values were done for each group of sites with similar diversity pattern. For this purpose, a cluster analysis based on Bray-Curtis distance was conducted. A dendogram of this result was shown in Fig. 2. There are 5 clusters as a result of the analysis. This clustering showed influences of management practices on weed species diversity, especially type of crop cultivated. As previously mentioned, site 1, 2 and 3 were cultivated with kale; site 4, 5, and 6 with cucumber. Separation of site 9 and 11 apart from other clusters might be related to effect of no tillage system and fallow condition for those sites opposed to tillage and cultivates condition for almost all of other sites. The important values (IV) of five species with biggest IV for each cluster were tabulated in Table 1. There were 17 species from 8 families listed in the table. From this species occurrence, 41% of those 17 species belongs to Poaceae, 18% to Scrophulariaceae, 12% to Cyperaceae and the other 29% shared by Sterculiaceae, Rubiaceae, Euphorbiaceae, Lamiaceae and Commelinaceae. The list of species which was shown in Table 1 for each site accounted for total 60.62%–68.89% of total 100% IV, this means list of species which was not shown only acounted for about 30% –40 % of IV. Based on their IV, dominant weed of each cluster can be determined easily. Cluster 1 was dominated by Poaceae (IV = 31.43%), cluster 2 also by Poaceae (IV = 48.94%), cluster 3 by Poaceae (IV = 22.5%) and Cyperaceae (24.73%), cluster 4 and 5 dominated by families of non Poaceae and Cyperaceae, namely Sterculiaceae, Euphorbiaceae, and Lamiaceae for cluster 4, finally Scrophulariaceae dominated over cluster 5. It is mentioned in Zimdahl (2007) it is important to know whether a weed is fern or fern ally, sedge (Cyperaceae), grass (monocotyledon), or broadleaves (dicotyledon), because this classification is related to specific type of control strategies for certain kind of weed.
61
(a)
(b)
Figure 1. (a) Species accumulation curve, bar is deviation standard and (b) Rank-abundance curve of the study area; species code is shown in Table 1.
Figure 2. Dendogram of cluster analysis weed species count data, cluster 1 = S1, 2, 3; cluster 2 = S4, 5, 6; cluster 3 = S7, 8, 10; cluster 4 = S11, cluster 5 = S9.
Weed management can not be separted from the knowledge of weed biology (Djauhariya et al., 2007). The way how certain kind of weed propagates is one of the objects in weed biology. Sedges are notoriously known to propagate by their under ground rhizome. Grasses are able to produce a large number of seed which can be spread by wind. Some of the broadleaves weed also has thissame traits. Thus, the choice of weed management strategies is based on type of weed and weed biology. As
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Djauhariya et al. (2007) pointed out, that for weed which propagated by underground propagules chemical weed control by sistemic post-emergence herbicide was recommended, but for weed which propagated by seed it was recommended to use the sistemic preemergence herbicide. Mechanical weed control by soil tillage can be applied to manage broadleaves weed since they do not have underground propagules but not for sedges which have underground propagules.
62
Table 1. Important values (%) of species in each cluster, arranged based on species rank-abundance (Fig. 1b) Species
Code
Family
Clus. 1
Clus. 2
Clus. 4
Clus. 5
S 4, 5, 6
Clus. 3 S7, 8, 10
S1, 2, 3
S11
S9
Bulbostylis puberula
Bulpub
Cyperaceae
7.87
8.32
24.73
-
-
Cynodon dactylon
Cyndac
Poaceae
14.94
-
14.40
-
-
Dactyloctaenium aegyptium
Dacaeg
Poaceae
16.49
28.34
-
-
-
Lindernia sp.
Linspc
Scrophulariaceae
-
-
-
-
22.82
Lindernia cilliata
Lincil
Scrophulariaceae
-
-
8.55
-
13.82
Lindernia crustacea
Lincru
Scrophulariaceae
-
-
9.41
-
7.01
Eleusine indica
Eleind
Poaceae
17.23
-
-
-
-
Eragrostis tenella
Eraten
Poaceae
-
10.45
-
-
9.59
Digitaria sanguinalis
Digsan
Poaceae
-
-
8.10
-
-
Cyperus sp.
Cypspc
Cyperaceae
-
11.24
-
-
-
Melochia piramidata
Melpyr
Sterculiaceae
10.84
-
-
21.11
-
Oldenlandia corymbosa
Oldcor
Rubiaceae
-
-
-
-
7.39
Digitaria sp.
Digspc
Poaceae
-
10.15
-
-
-
Euphorbiaceae
-
-
-
17.78
-
Acalipa indica
Acaind
Coleus scutellariodes
Colscu
Lamiaceae
-
-
-
12.22
-
Digitaria cilliaris
Digcil
Poaceae
-
-
-
8.89
-
Commelina nudiflora
Comnud
Commelinaceae
-
-
-
8.89
-
67.36
68.50
65.19
68.89
60.62
Total
From the result of this study, weed management strategies which can be applied can be determined from the dominant weed type. For example, if chemical weed control was decided to be chosen weed on cluster 1 and 2 can be controlled by contact herbicide before the weed produced seed. For cluster 3 combination of hand weeding for grasses and sistemic herbicide for sedges can be a good choice. Since broadleaves weed dominated
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
cluster 4 and 5, mechanical weed control by soil tillage can be applied succesfully. CONCLUSION There were weed species richness of 49 from 17 families found in this study. They were not evenly distributed, with overall Shannon diversity index of 2.82; this informed that some species dominated over the other. Type of crop
63
which was being cultivated and tillage method influenced weed diversity in the area. Members of family Poaceae and Cyperaceae (grasses and sedges) dominated in cluster 1, 2, and 3; on the other hand broadleaves weed dominated in cluster 4 and 5. Dominant types of weed determinated the best weed management strategies which can be applied. ACKNOWLEDGEMENT The author would like to thank M. Ikrar Harpasti, S.P., M.P. for providing the weed data to be used for this study. REFERENCES Booth, B.D., S.D. Murphy, and C.J. Swanton. 2003. Weed ecology in natural and agricultural systems. Cambridge: CABI. 303 pp. Djauhariya, E., A. Sudiman dan D.S. Effendi. 2007. “Gulma penting pada kebun induk tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Pakuwon, Sukabumi dan alternatif pengendaliannya”. Prosiding Lokakarya Nasional-III Inovasi Teknologi Jarak Pagar untuk Mendukung Program Desa Mandiri. Banyumedia. Fried, G., L.R. Norton, and X. Rebound. 2008. Environmental and management factors determining weed species composition
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
and diversity in France. Agric. Eco. Env. 128: 68–76. Guterzky, J.A. 2007. Plant species richness in relation to pasture position, management, and scale. Agric. Ecos. Env. 122: 387– 391. Kindt, R. and R. Coe. 2005. Tree diversity analysis. A manual and software for common statistical methods for ecological and biodiversity studies. Nairobi: World Agroforestry Center (ICRAF). Lososova, Z. and S. Cimalova. 2009. Effects of different cultivation types on native and alien weed richness and diversity in Moravia (Czech Republic). Basic and Appl. Ecol, 10: 456–465. Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and methods of vegetation ecology. Sydney: John Wiley & Sons. 547 pp. Plaza, E.H. 2011. Tillage system did not affect weed diversity in a 23-year experiment in Mediterranean dryland. S.I.: s.n. Pysek, P. 2005. Effects of abiotic factors on species richness and cover in Central European weed communities. Agric. Ecos. Env., 109: 1–8. Zimdahl, R.L. 2007. Fundamentals of weed science. Singapore: Elsevier, 666 pp.
64
STUDI EKOLOGI DAN MASA BERBUNGA ANGGREK Paphiopedilum lowii (Lindl.) Pfitzer I Gede Tirta UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan Bali 82191 E-mail:
[email protected] ABSTRACT – Paphiopedilum lowii (Lindl.) Pfitzer potential for ornamental plants. In 2003 this species has been found in Sepang forest, Busungbiu distric, Buleleng regency, Bali. An ecological study was conducted in 2011 using cruise design and following road track route. The results of experiment showed 50 specimens of Paphiopedilum lowii on Ficus sp. at 726 m above sea level. A blooming season study also conducted at Eka Karya Bali Botanic Garden up to four years (2007 to 2011). The experiment result showed at P. lowii was mostly blooming (>60%) for three month (October to December). Keywords: Ecology; Flowering; Paphiopedilum lowii
PENDAHULUAN Penyebaran jenis-jenis angrek Paphiopedilum pada umumnya endemik sehingga bencana alam serta pengambilan di habitatnya seringkali menyebabkan kepunahan. Kekhawatiran akan punahnya angrek dari marga Paphiopedilum ini disadari oleh dunia internasional. Oleh karena itu, kelompok anggrek ini dimasukkan dalam daftar tanaman yang tidak boleh diperdagangkan antarnegara, yaitu dimasukkan dalam Appendix 1 dari daftar CITES (Irawati, 1998). Untuk membantu pengawasan perdagangan anggrek marga Paphiopedilum ini dalam sidang Conference of the Parties tahun 1992 (CITES) diputuskan perlunya acuan baku nama-nama anggrek yang diperdagangkan. Oleh karena itu, pada tahun 1995 telah diterbikan ”CITES Orchid Checklist Volume I” (Roberts et al., 1995). Dalam daftar tersebut dapat diterima 82 nama jenis Paphiopedilum, dan 239 sinonim. Jenis-jenis yang berasal dari Indonesia terdapat tidak kurang dari 28 jenis dengan 78 nama perdagangan (Irawati, 1998). Seperti tumbuhan lainnya, anggrek selalu membutuhkan makanan untuk mempertahankan hidupnya. Kebutuhan tanaman anggrek akan nutrisi sama dengan tumbuhan lainnya, hanya anggrek membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperlihatkan gejala-gejala defisiensi, mengingat pertumbuhan anggrek sangat lambat. Di alam bebas anggrek memperoleh unsur-unsur tersebut dari udara dan bahan-
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
bahan vegetatif yang terakumulasi di sekitar perakaran dan secara konstan jumlah unsurunsur ini bertambah akibat adanya daun-daun yang gugur dan bahan lain yang membusuk. Menurut Comber (1990), penyebaran anggrek P. lowii di Jawa, Sumatra, Peninsular, Malaysia, dan Borneo, sedangkan informasi penyebaran anggrek ini di Bali masih terbatas. Menurut G. Arsa (warga masyarakat Desa Sepang), anggrek ini pertama kali ditemukan pada tahun 2003 tumbuh epifit pada pohon kayu gintungan (Bischofia javanica) yang rebah. Selanjutnya, ditemukan lagi pada cabang pohon belibu (Ehretia javanica). Dalam budi daya sangat dibutuhkan informasi tentang habitat anggrek yang pasti, sebagai bahan pertimbangan dalam penanaman, khususnya jenis anggrek P. lowii, informasinya masih sangat terbatas. Anggrek ini ditemukan sudah ditanam masyarakat Candikuning, namun kondisinya sebagian besar merana/mati (Tirta dkk., 2003). Kematian anggrek ini disebabkan kekeliruan dalam penanaman yang kurang memperhatikan kondisi habitat aslinya, seperti busuk/mati karena terlalu banyak atau kurang cahaya, atau mati karena media yang dipakai kurang tepat. Anggrek yang ditanam masyarakat berasal dari Desa Sepang, namun setelah dicek ke habitat aslinya tidak ditemukan. Atas dasar inilah maka studi ekologi P. lowii di Desa Sepang kami lakukan yang dilengkapi dengan hasil pengamatan pembungaannya.
65
METODE Penelitian ekologi dilakukan pada tanggal 9–12 Mei 2011 di kawasan hutan Sepang, Kec. Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali. Penelitian menggunakan metode jelajah (Rugayah dkk., 2005), mengikuti rute jalan rintisan, kemudian setelah ditemukan populasi anggrek, P. lowii baru dilakukan pencatatan data lingkungan seperti suhu, kelembapan, dan pH tanah. Untuk mengetahui masa berbunganya anggrek ini, dilakukan pengamatan pada koleksi P. lowii di UPT Balai Konservasi Kebun Raya Eka Karya Bali 2 kali/minggu, selama 4 tahun (2007–1010). Berdasarkan persentase jumlah bunga, pembungaan dibagi menjadi tiga kategori: S (Sedikit) = persentase bunga 1–40%, M (Menengah/sedang) = persentase bunga 41– 60% dan B (Banyak) = persentase bunga 61– 100%. HASIL DAN PEMBAHASAN Ekologi Paphiopedilum lowii di Kawasan Hutan Sepang- Bali Setelah menjelajahi Kawasan Hutan Sepang dari Bukit Pemelas sampai dengan Gunung Sari, anggrek P. lowii (Gambar 1) hanya ditemukan di Hutan Sepang yang lokasinya berdekatan dengan Dusun Gunung Sari dengan ketinggian tempat 726 m dpl. Anggrek ini tumbuh epifit hanya pada pohon bunut (Ficus sp.) dengan diameter 200 cm, tinggi 40 m. Tumbuh pada cabang (zonasi 3, 4, dan 5) diperkirakan lebih dari 50 spesimen. Kebanyakan ditemukan tumbuh subur pada cabang pohon di bagian barat pohon. Suhu udara pada waktu pengamatan 30,8o C dan kelembapan udara 55%. Hal ini sesuai dengan Cribb (1997) yang menjumpai anggrek terestrial P. lowii tumbuh subur di percabangan pohon yang besar di pinggir sungai di hutan Kalimantan Timur. Johansson (1975) menyatakan bahwa pola penyebaran anggrek pada batang dan percabangan pohon mengikuti kebutuhan akan cahaya dan kelembapan. Anggrek yang menyukai cahaya terang akan memilih tumbuh pada zona percabangan pohon (zona 3–5). Madison (1977) dalam Puspitaningtyas dan Fatimah (1999), mengemukakan bahwa pohon inang adalah salah satu kebutuhan mendasar untuk mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang baik bagi anggrek epifit. Hal demikian
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
kadang-kadang menyebabkan anggrek epifit memilih inang tertentu untuk tempat tumbuhnya. Anggrek Pomatocalpa spicata di Taman Nasional Manusela (Maluku) memilih pohon Myristica sp. dan Syzygium sp. sebagai inangnya karena kulit batangnya kasar (Mursidawati, 1998 dalam Lugrayasa dkk., 2001). Pohon bunut memiliki kulit kasar dengan diameter batang 2 m dan diameter cabang batang sampai 75 cm sehingga cocok ditumbuhi oleh anggrek. Selain P. lowii pada pohon bunut ini ditemukan pula anggrek epifit, seperti Bulbophyllum miniatum, B, obsconditum, Bulbophyllum sp. (ungu), Thelasis pygmaea, Eria latifolia, E. hyacinthoides, Preatia secunda, Coelogyne flexuosa, Cymbium pubescens, Dendrobium sp. kuning, dan D. linearifolium. Di alam, perkecambahan biji anggrek Paphiopedilum sangat tergantung dari jamur mikorhiza yang sesuai yang dijumpai di sekitar tanaman induknya. Biji yang terdiri atas embrio yang dibungkus oleh kulit biji/testa yang permukaannya mempunyai cekungan-cekungan seperti jala (reticulate) sangat ringan dan pada Paphiopedilum dapat bertahan sampai 10 tahun (Arditti, 1992). Sifat dormansi yang panjang ini secara alamiah adalah untuk melindugi kelangsungan jenisnya di alam. Perkecambahan biji P. lowii di alam memilih pohon inang yang sesuai, seperti bunut, gintungan, dan belibu. Populasi penyebaran alami P. lowii di Sepang tahun 2003 sudah meluas dari pohon bunut ke pohon gintungan dan belibu dengan jumlah sepesimen sekitar 500 individu. Sekarang hanya ditemukan di pohon bunut sekitar 50 individu. Salah satu sebab berkurangnya individu anggrek ini adalah rusaknya habitat alaminya akibat penebangan pohon inang. Selain itu, anggrek ini diburu masyarakat karena memiliki nilai jual cukup tinggi (Rp15.000–Rp25.000 per batang). Masa Berbunga Paphiopedilum lowii Paphiopedillum lowii pertama kali dikoleksi di UPT. BKT Kebun Raya Eka Karya Bali tahun 2003 yang berasal dari Sepang sebanyak tiga rumpun, masing-masing rumpun terdiri atas 3– 5 batang. Koleksi ini terus diperbanyak secara konvensional dengan splitting batang. Anggrek ini mulai berbunga tahun 2006, namun belum diamati secara intensif. Pengamatan pembungaan mulai dilakukan tahun 2007 (Tabel 1).
66
Gambar 1. Paphiopedilum lowii tumbuh epifit hanya pada pohon bunut Tabel 1. Masa Berbunga Paphiopedilum lowii Bulan Januari Februari S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
M
M
M
M
M
S
S
S
S
S
S
S
S
2007 2008 2009 2010
Maret
S
April
Mei
Juni
S S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
Lanjutan Bulan
Juli
Agustus
September
2007
2010
Nopember
S
S
S
M
M
M
M
Desember
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
S
S
S
S
S
S
S
M
M
M
M
M
M
S
S
S
S
2008 2009
Oktober
S
Keterangan: S = persentase bunga 1–40%, M = persentase bunga 41–60% dan B = persentase bunga 61–100%.
Anggrek P. lowii yang berbunga mekar jumlahnya sedikit selama dua bulan tanggal 8 Januari s.d. 12 Maret 2007, selanjutnya tidak berbunga selama enam bulan. Bunga mekar mulai tampak jumlahnya sedikit mulai tanggal 24 September s.d. 15 Oktober 2007. Bunga yang mekar bertambah jumlahnya sampai kategori sedang selama satu bulan mulai tanggal 18 Oktober s.d. 15 November 2007. Pembungaan tahun 2008 yang jumlah mekarnya sedikit mulai tanggal 11 Januari s.d. 19 Maret dan 9 Juli s.d. 11 Oktober. Bunga yang mekar terus bertambah sampai kategori sedang mulai tanggal 15 Oktober 2008 s.d. 5 Februari 2009.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Selanjutnya, terjadi penurunan jumlah bunga mekar tanggal 8 s.d. 27 Februari 2009. Pembungaan P. lowii tahun 2009 lebih semarak jika dibandingkan dengan tahun 2007, tahun 2009 hanya dua bulan tidak berbunga mekar (Maret dan April), sedangkan tahun 2007 selama enam bulan tidak berbunga. Tanggal 3 Mei s.d. 18 Oktober 2009 P. lowii berbunga mekar jumlahnya sedikit, selanjutnya bertambah sampai kategori banyak mulai tanggal 22 Oktober s.d. 31 Desember 2009. Selanjutnya, dari tanggal 1 Januari 2010 jumlah bunganya menurun dengan kategori sedikit s.d. 5 Februari 2010. Kemudian, tidak ada bunga yang mekar selama tiga bulan lebih. Bunga
67
mekar kategori sedikit mulai tanggal 21 Mei s.d. 6 Agustus 2010 dan tanggal 4 s.d. 15 Oktober 2010, kemudian tanggal 18 Oktober s.d. 29 November 2010 mulai tampak bunga mekar dengan kategori sedang. Tanggal 3 s.d. 31 Desember P. Lowii yang berbunga mekar menurun sampai kategori sedikit. Anggrek yang berbunga tahun 2010 terbatas jumlahnya termasuk P. lowii, hal ini disebabkan oleh cuaca hujan terus menerus sehingga kelembapan meningkat, kurang merangsang anggrek untuk berbunga. KESIMPULAN Anggrek Paphiopedilum lowii termasuk jenis anggrek tanah (terestrial), namun di kawasan hutan Sepang ditemukan tumbuh subur, menempel (epifit) pada pohon bunut (Ficus sp.). Pohon bunut ini tumbuh di pinggir sungai dengan tebing yang curam pada ketinggian 726 m dpl. Masa berbunga P. lowii pada bulan Oktober sampai dengan Desember ditemukan semarak dalam jumlah yang banyak. Sebaliknya, pada bulan Maret dan April jarang atau tidak berbunga. Keberadaan P. lowii di habitat alaminya sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, P. lowii perlu mendapat perhatian khusus dari instansi terkait untuk menjaga dan melestarikannya agar tidak punah termasuk pohon inangnya. DAFTAR PUSTAKA Arditti, J. 1992. Fundamentals of Orchid Biology. New York: John Willey & Sons. 691 pp. Comber, J.B. 1990. Orchid of Java. BenthamMoxon Trust, Royal Botanic Gardens, Kew. 407 pp.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Cribb, P. 1977. Slipper Orchids of Borneo. Natural History Publications. Kota Kinabalu. 118 p. Irawati. 1998. Kultur in-vitro untuk memperbanyak anggrek langka marga Paphiopedilum. Laporan Riset Unggulan Terpadu III Bidang Teknologi Perlindungan Lingkungan 1995–1998. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Johansson, D.R. 1975. Ecology of Epiphytic Orchids in West African Rain Forests. American Orchid Society Bulletin, 44. Lugrayasa, I.N., I.G. Tirta, I.B.K. Arinasa dan D. Mudiana. 2001. “Inventarisasi Anggrek Alam Epifit yang Tumbuh pada Tanaman Reboisasi di Kebun Raya Eka Karya Bali”. East Java Orchid Show-Prosiding Seminar Anggrek Nasional. Perhimpunan Anggrek Indonesia. Hal. 10–22. Puspitaningtyas, D.M. dan E. Fatimah. 1999. “Inventarisasi Jenis-jenis Anggrek di Cagar Alam Kresik Luway, Kalimantan Timur”. Buletin Kebun Raya Indonesia, 9 (1): 18–25. Roberts, J.A., C.R. Beale, J.C. Benseler, H.N. Mcgough and D.C. Zappi. 1995. CITES Orchid Checklist Volume 1. Royal Botanic Gardens, Kew. Whitstable Litho Ltd. Witstable. Kent. Rugayah, E.A. Widjaja dan Praptiwi, 2005. Pedoman pengumpulan data flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Tirta, I.G., I.G.P. Wendra, K. Pendra dan N.N. Raka. 2003. Laporan Perjalanan Eksplorasi di Kawasan Hutan Sepang, Singaraja-Bali. UPT. Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali.
68
KONSERVASI ARACEAE DI KEBUN RAYA EKA KARYA BALI – LIPI Ni Putu Sri Asih dan Agung Kurniawan UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali – LIPI E-mail:
[email protected] ABSTRACT – Indonesia has high diversity of Araceae, consist of 31 genera from 120 Araceae genera in the world. In the other hand, approximately 40% is distributed in tropical Indonesia. Highly potential and value of Araceae either ecologically or economically make its existence in the forest or other nature habitat need much concern and must be protected as well. Bali Botanic Gardens – LIPI, as institution of conservation have some efforts to protect this family, such as collecting species, recording data habitat, validating species name and cultivating selected species. Currently, Bali Botanic Garden has been conserving 30 genera, 64 species and 820 specimens of Araceae, in which covered about 64.5% of existing genera Araceae in Indonesia. This data will increase annually in line with field work activities in order to collect plant species from nature habitat notably in East Indonesia region. Four species of these had been published as new species, namely Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce, Schismatoglottis inculta Kurniawan & P.C. Boyce, Homalomena vittariifolia Kurniawan & P.C. Boyce, Homalomena agens Kurniawan & P.C. Boyce. The cultivation activity has germinated 315 spesimen of Aracae that originated from 25 species. Keywords: Araceae, Plant conservation; Bali Botanical Garden
PENDAHULUAN Araceae atau lebih dikenal sebagai suku talastalasan merupakan tumbuhan yang memiliki ciri khas berupa pembungaan yang tersusun atas seludang dan tongkol. Suku Araceae terdiri atas 120 marga dan 3.800 jenis, umumnya terkonsentrasi di kawasan tropik, yaitu Asia Tenggara (termasuk Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Singapura), Amerika dan Papua Nugini (Mayo et al. 1997; Bown, 1988; Asih & Kurniawan, 2010; Cusimano et al., 2011). Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman Araceae yang tinggi, yaitu 31 genera dan 410 jenis yang umumnya tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Akan tetapi, sampai saat ini belum diketahui angka yang pasti untuk jumlah jenis Araceae di Indonesia karena riset-riset terkait masih terus dilakukan, khususnya di Pulau Kalimantan (Mayo et al., 1997; Yuzammi, 2000; Asih & Kurniawan, 2010; Boyce et al., 2010a; Boyce et al., 2010b; Wong et al., 2010; Wong, 2010; Kurniawan & Boyce, 2011). Untuk beberapa daerah seperti Pulau Sulawesi, Papua, dan Kepulauan Maluku masih belum banyak diteliti sehingga kemungkinan terdapatnya spesies baru masih tinggi. Araceae merupakan tumbuhan yang sangat penting secara ekologi, karena memiliki
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
rentang habitat yang luas pada hutan hujan tropis dan juga menjadi indikator ekologi bagi kualitas hutan dan tipe vegetasinya (Yuzammi, 2007). Namun, dengan semakin luasnya kerusakan hutan, menyebabkan keberadaan tumbuhan ini semakin berkurang di habitatnya. Apalagi beberapa jenis dari suku ini memiliki potensi sebagai tanaman hias yang marak diperjualbelikan di kalangan penggemar tanaman hias dan juga sebagai bahan obat-obatan. Hal ini tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti terjadi kepunahan. Oleh karena itu, perlu dilakukannya suatu usaha konservasi untuk melindungi dan melestarikan tumbuhan ini. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali–LIPI sebagai lembaga konservasi ex-situ untuk tumbuhan Kawasan Timur Indonesia berupaya menyelamatkan tumbuhan yang langka dan endemik serta memiliki nilai ekonomi dan nilai ilmiah untuk dikonservasi (Siregar dkk., 2005). Salah satunya adalah konservasi suku Araceae. Konservasi suku ini sudah dimulai sejak awal kegiatan eksplorasi dilakukan, tetapi mulai difokuskan pada tahun 2007 hingga saat ini. Upaya konservasi ini meliputi kegiatan inventarisasi dan pengkoleksian, pendataan faktor lingkungan, identifikasi dan pengembangan jenis Araceae yang bernilai ekonomi tinggi.
69
KOLEKSI ARACEAE DI KEBUN RAYA BALI Koleksi Araceae yang ada berasal dari hasil eksplorasi, pertukaran, biji kiriman, dan pembelian. Secara spesifik, eksplorasi Araceae baru dilakukan di daerah Bali dan ditemukan 18 jenis Araceae (Tabel 1). Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll. & Moritzi, Colocasia esculenta (L.) Schott dan Alocasia macrorrhizos (L.) G.Don merupakan tumbuhan yang ada di semua wilayah di Bali. Berdasarkan data registrasi dan dari pembibitan Juli 2011, jumlah Araceae yang ada di koleksi dan pembibitan terdiri atas 30 marga, 64 jenis, dengan jumlah spesimen 820, baik yang tersebar secara alami di Indonesia maupun dari luar Indonesia. Selain itu, masih terdapat 60 nomor Araceae yang belum teridentifikasi (Gambar 1). Terdapat 10 marga Araceae yang tidak tersebar secara alami di Indonesia, yaitu Anthurium, Caladium, Dieffenbachia, Monstera, Philodendron, Syngonium, Typhonium, Xanthosoma, Zamioculcas, dan Zantedeschia. Sebaliknya, marga-marga Araceae yang tersebar secara alami di Indonesia terdiri atas 20 marga, yaitu Aglaonema, Alocasia, Amorphophallus, Amydrium, Anadendrum, Apoballis, Colocasia, Cyrtosperma, Epipremnum, Homalomena, Lasia, Pistia, Pothos, Remusatia, Rhaphidophora, Schismatoglottis, Scindapsus, Spathiphyllum, Bucephalandra, dan Holo-chlamys. Hal ini berarti 64,5% jumlah marga Araceae yang ada di Indonesia sudah berhasil terkonservasi di UPT BKT Kebun Raya “Eka Karya” Bali–LIPI. Menurut Croat (1998), tercatat 32 jenis Araceae merupakan endemik yang tersebar di Asia. Selain itu, penemuan-penemuan baru yang bersifat endemik, terutama di kawasan Borneo menyebabkan perubahan jumlah tumbuhan dari suku ini. UPT BKT Kebun Raya “Eka Karya” Bali–LIPI telah mengoleksi beberapa spesies endemik, yaitu Holochlamys beccarii (Engl.) Engl., Alocasia Suhirmaniana Yuzammi & A. Hay dan Bucephalandra motleyana Schott. Holochlamys beccarii merupakan jenis endemik dari daerah Papua dan marga yang hanya memiliki satu spesies yaitu beccarii (Boyce, 2010c). Alocasia suhirmaniana merupakan Alocasia berdaun indah yang endemik Sulawesi Tenggara
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
(Yuzammi & Hay, 1998). Bucephalandra motleyana merupakan spesies endemik Borneo (Bogner & Hay, 2000). Marga Alocasia merupakan marga yang paling banyak jenisnya (Dari 30 marga Araceae yang ada Kebun Raya “Eka Karya” Bali), yaitu 15 jenis sudah teridentifikasi dan 12 jenis belum teridentifikasi, termasuk di dalamnya tiga jenis yang diprediksi sebagai jenis baru. Marga Anthurium terdiri atas 10 jenis yang telah teridentifikasi dan 12 jenis belum teridentifikasi. Marga Homalomena terdiri atas empat jenis telah teridentifikasi dan delapan jenis belum teridentifikasi, termasuk di dalamnya jenis yang diprediksi sebagai jenis baru. Berdasarkan Gambar 1 masih banyak jenis yang belum teridentifikasi, termasuk lima jenis baru. Kegiatan validasi nama yang telah memperoleh 78 jenis perubahan nama yang terdiri atas 38 bibit hasil eksplorasi dan 40 jenis koleksi. Sebelumnya telah dilakukan identifikasi jenis baru dan telah dipublikasikan sebanyak empat jenis (Tabel 1). Alocasia baginda (Kurniawan & Boyce, 2011) dan Homalomena agens (Kurniawan et al., 2011a) merupakan Araceae berdaun indah yang berasal dari Kalimantan Timur. Alocasia ini merupakan salah satu dari 23 jenis Alocasia dari Borneo, 22 di antaranya endemik Borneo dan hidup pada daerah batu kapur sehingga memiliki penampakan morfologi yang berbeda. Kalimantan meliputi 70% wilayah Borneo dan belum banyak dijelajah dan diteliti, sehingga kemungkinan ada 50 jenis Alocasia di Borneo (Kurniawan & Boyce, 2011). Begitu pula untuk jenis Homalomena, masih banyak jenis yang belum diungkap dan dipelajari. Schismatoglottis inculta dan Homalomena vittariifolia (Kurniawan et al., 2011b) merupakan dua jenis dari 41 jenis Araceae yang berasal dari Sulawesi dan diperkirakan terdapat 15 jenis endemik Sulawesi. Tingginya tingkat endemisitas dan masih banyaknya wilayah yang belum dipelajari di daerah Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua merupakan kesempatan yang besar bagi ilmuwan Indonesia untuk lebih aktif menggali informasi dan Kebun Raya “Eka Karya” Bali sebagai wadah untuk mengkonservasi mempunyai peran besar untuk menjaga dan melestarikan keanekaragaman flora Indonesia.
70
Tabel 1. Jenis-jenis Araceae Bali No. Genera
Species
Author
1.
Aglaonema
simplex
(Blume) Blume
2.
Alocasia
Alba
Schott
3.
Alocasia
longiloba
Miq
4.
Alocasia
macrorrhizos
(L.) G.Don
5.
Alocasia
sp.
-
6.
Amorphophallus
muelleri
Blume
7.
Amorphophallus
paeoniifolius
(Dennst.) Nicolson
8.
Amorphophallus
variabilis
Blume
9.
Arisaema
filiforme
(Reinw.) Blume
10.
Colocasia
esculenta
(L.) Schott
11.
Colocasia
gigantea
(Blume) Hook.f.
12.
Epipremnum
pinnatum
(L.) Engl.
13.
Homalomena
cordata
Schott
14.
Remusatia
vivipara
(Roxb.) Schott
15.
Rhapidophora
sp.
-
16.
Schismatoglottis
calyptrata
(Roxb.) Zoll. & Moritzi
17.
Scindapsus
hederaceus
Miq.
18.
Typhonium
horsfieldii
(Miq.) Steenis
Gambar 1. Marga Araceae yang belum dan sudah teridentifikasi Tabel 2. Publikasi Spesies Baru No. Nama spesies 1. 2. 3. 4.
Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce Schismatoglottis inculta Kurniawan & P.C. Boyce Homalomena vittariifolia Kurniawan & P.C. Boyce Homalomena agens Kurniawan & P.C. Boyce
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Asal Kalimantan Timur Sulawesi Tenggara Sulawesi Tenggara Kalimantan Timur
71
A
B
C
D
Gambar 2. A. Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce; B. Schismatoglottis inculta Kurniawan & P.C. Boyce; C. Homalomena vittariifolia Kurniawan & P.C. Boyce; D. Homalomena agens Kurniawan & P.C. Boyce
PENGEMBANGAN ARACEAE DI KEBUN RAYA BALI
akan lebih baik jika ditanam langsung (Boyce, 2011). KESIMPULAN
Dalam kegiatan pengembangan telah diperbanyak sejumlah 315 bibit Araceae yang berasal dari 25 jenis koleksi Araceae terpilih, yaitu Spathiphyllum spp., Alocasia spp., Anthurium spp., Aglaonema spp, Homalomena spp., Dieffenbachia spp., Schismatoglottis sp., dan Holochlamys beccarii Engl. Spesies terpilih merupakan jenis Araceae yang bernilai ilmiah tinggi dan berpotensi secara ekonomi sebagai tanaman hias dan diperlukan sebagai elemen taman Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI. Umumnya, teknik budi daya dilakukan secara vegetatif dengan metode split tunas baru/anakan. Sebagian kecil lainnya dilakukan perbanyakan secara generatif, yaitu untuk jenis Anthurium spp. Upaya konservasi Araceae melalui bank biji belum bisa dilakukan karena biji Araceae tidak bisa disimpan dalam jangka waktu lama atau bersifat rekalsitran. Penyimpanan biji dalam keadaan kering akan membuat viabilitas biji menjadi sangat rendah. Viabilitas akan baik apabila penyimpanan dilakukan dalam keadaan lembap pada suhu dingin, namun hanya berlaku untuk sementara. Oleh karena itu, biji Araceae
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI sampai saat ini telah mengoleksi 30 marga, 64 jenis, dan 820 spesimen Araceae. Sebanyak 64,5% marga Araceae di Indonesia sudah berhasil dikonservasi di dalamnya. Sebanyak 315 bibit telah berhasi; diperbanyak dari 25 jenis Araceae terpilih. Empat jenis baru telah ditemukan pada tahun 2010 dan dipublikasi pada tahun 2011, yaitu jenis Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce dan Homalomena agens Kurniawan & P.C. Boyce yang berasal dari Kalimantan Timur serta Schismatoglottis inculta Kurniawan & P. C. Boyce dan Homalomena vittariifolia Kurniawan & P. C. Boyce berasal dari Sulawesi Tenggara. Saat ini pembuatan manuskrip untuk beberapa jenis baru dan endemik sedang terus dikerjakan dan akan dipublikasikan di tahun mendatang. Tingkat endemisitas yang tinggi dan masih kurangnya informasi tentang Araceae di wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua merupakan tugas yang besar sekaligus kesempatan yang besar bagi para ilmuwan untuk mengungkapnya. Untuk ke depannya
72
disarankan untuk melakukan kegiatan koleksi Araceae di wilayah-wilayah tersebut. DAFTAR PUSTAKA Asih, N.P.S dan A. Kurniawan. 2010. “Jenis– jenis Araceae dari Kabupaten Jembrana, Bali”. Prosiding Seminar Nasional Biologi Peran IPTEK Bidang Biologi Dalam Melestarikan Kearifan Masyarakat Untuk Mendukung Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berkelanjutan. Hal. 428–439. Bogner, J. and A. Hay. 2000. “Schismatoglottideae (Araceae) in Malesia II : Aridarum, Bucephalandra, Phymatarum, Piptospatha”. Telopea, 9 (1): 179–222. Bown, D. 1988. Aroids: Plants of the Arum Family. Portland Oregon: Timber Press. Boyce, P.C., S.Y. Wong, B.A. Fasihudin. 2010a. “Studies on Homalomeneae (Araceae) of Borneo II: The Homalomena of Nanga Sumpa (Batang Ai) – Novel and Preexisting Taxa, and Notes on Iban Usages”. Gardens’ Bulletin Singapore 61 (2): 269– 317. Boyce, P.C., I.B. Igor & W.L.A. “Hetterscheid. 2010b. A Review of the White-flowered Amorphophallus (Araceae: Thomsonieae) Species in Sarawak”. Bulletin Singapore 61 (2): 249–268. Boyce, P.C. 2010c. Komunikasi pribadi dalam kunjungan ke Kebun Raya “Eka Karya” Bali, 3 Desember 2010. Boyce, P.C. 2011. Araceae Seed Sowing and Germination. (http://www.aroid.org/horticulture/arace ae_seed_sowing.php., diakses tanggal 15 September 2011 pada pukul 09.30). Cusimano, N., J. Bogner, S.J. Mayo , P.C. Boyce, S.Y. Wong , M.Hesse , W.L.A. “Hetterscheid, R.C. Keating, and J.C. French. 2011. Relationships Within The Araceae : Comparison Of Morphological Patterns With Molecular Phylogenies”. American Journal of Botany, 98(4): 1–15. Croat, T.B., 1998. “Hystory and Current Status of Systematic Research with Araceae”. Aroideana, 21: 26–145. Kurniawan, A. and P.C. Boyce. 2011. “Studies on the Alocasia Schott (Araceae: Colocasiaceae) of Borneo II: Alocasia baginda A New Species from Eastern
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Kalimantan Indonesia Borneo”. Acta Phytotxonomica et Geobotanica, 60 (3): 123–126. Kurniawan, A., B. Adjie & P.C. Boyce. 2011a. “Studies on the Araceae of Sulawesi I: New taxa of Schismatoglottis and Homalomena, and a preliminary checklist and keys for Sulawesi”. Acta Phytotaxonomica et Geobotanica, 61 (1): 40–50. Kurniawan, A., N.P.S. Asih, B. Adjie & P.C. Boyce. 2011b. “Studies on Homalomeneae (Araceae) of Borneo IX: A New Species of Homalomena Supergroup Chamaecladon from Kalimantan Timur, Indonesian Borneo”. Aroideana, 34: 30–36. Mayo, J.S., J. Bogner and P.C. Boyce. 1997. “The Genus of Araceae”. The European Union. Royal Botanic Gardens, Kew. Siregar, M., W.S. Lestari, I W. Warnata dan G.W. Setiadi. 2005. “Rencana Strategis Tahun 2005 – 2009 UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali”. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI. Wong, S.Y., 2010. “Studies on Schismatoglottideae (Araceae) of Borneo XIII: A Revision of the Schismatoglottis nervosa Species Complex”. Gardens’ Bulletin Singapore, 62 (1): 177–209. Wong, S.Y., P.C. Boyce, A.S. bin Othman & L.C. Pin, 2010. “Molecular phylogeny of tribe Schismatoglottideae (Araceae) based on two plastid markers and recognition of a new tribe, Philonotieae, from the neotropics”. TAXON, 59 (1): 117–124. Yuzammi and A. Hay. 1998. “Alocasia Suhirmaniana (Araceae : Colocasiaceae) A Spectacular New Aroid From Sulawesi, Indonesia”. Telopea, 7(4): 303–306. Yuzammi. 2000. “A Taxonomi Revision of The Terrestrial and Aquatic Aroids (Araceaein Java)”. Thesis. School of Biological Science Faculty of Life Science. Sydney: University of New South Wales. Yuzammi dan Tim Flona. 2007. ”Primadona Baru Alokasia Eksotis”. Jakarta: Majalah Flona.
73
INVENTARISASI DAN KONSERVASI TUMBUHAN LANGKA LOKAL DI RPH RENDANG, KECAMATAN RENDANG, KARANGASEM Wawan Sujarwo dan Tuah Malem Bangun UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali - LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191. E-mail:
[email protected] ABSTRACT – Forest cover in Bali is diminishing due to the high rate of conversion of land use. In addition, the reduction of vegetation cover area is also caused by volcanic activity as in Rendang district affected by the eruption of Mount Agung that occurred in 1963. The development efforts of rare local plants in Bali is emphasised in this study. This study aimed to collect plant species that have little abundance in nature, which will be cultivated in the Botanical Gardens Bali in order to get optimal seeds and can be returned to its original habitat. The methodology of this study is including literature study, interviewing the public or stakeholders as well as constructed transects in the forest areas that have been damaged or in an area not subject to degradation, so the results of the study in both transects can be compared to determine which plant species has shrunk its abundance in nature. The study results shows that some of the species that are no longer found in the forests of the RPH such as rendang kepelan (Manglietia glauca Blume), taytay (Michelia champaca L.), and purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) because of over exploitation. Meanwhile, endangered plant species include wood gempong (Meliosma sp.), wood pedanten (Radermachera sp.), wood nangi (Vernonia arborea), and wood empag (Acronesia sp.). Keywords: Cover plants; Plant conservation; Rare plants; Rendang, Kecamatan; Karangasem
PENDAHULUAN Mayoritas penduduk Bali memeluk agama Hindu. Mereka menggunakan tumbuhan untuk berbagai macam keperluan, di antaranya bahan bangunan (rumah dan pura), peralatan musik, kerajinan, bahan obat, dan upacara agama. Hal ini membuktikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali tidak bisa lepas dari tumbuhan. Siregar et al. (2004) menyebutkan ada 462 jenis tumbuhan yang digunakan sarana upacara, Sarna dan Sumardika (2004) juga menyebutkan ada 50 jenis tumbuhan sudah langka. Di lain hal, tumbuhan yang digunakan untuk keperluan pengobatan yang tertuang dalam lontar usada tercatat ada 433 jenis (Siregar et al., 2007). Tutupan lahan hutan di Bali semakin berkurang dikarenakan tingginya laju konversi penggunaan lahan mulai dari berubahnya lahan hutan, kebun kopi menjadi kebun sayur, lahan permukiman penduduk hingga permasalahan pencurian kayu. Adnyana (2005) menyebutkan di Desa Candikuning dan Pancasari saja lahan vegetasi sudah berkurang 101,1 ha. Di samping itu, berkurangnya lahan vegetasi juga disebabkan oleh aktivitas gunung berapi seperti yang terjadi di Kecamatan Rendang yang terkena dampak dari letusan Gunung Agung yang terjadi pada tahun 1963. Selain itu, RPH
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Rendang yang berlokasi di lereng Gunung Agung memiliki laju kerusakan lingkungan yang cukup cepat dikarenakan banyaknya masyarakat sekitar yang masuk kawasan hutan untuk mencari rumput buat pakan ternak sehingga proses regenerasi alami tanaman melalui seedlings menjadi terganggu. Artikulasi tumbuhan langka lokal yang dipakai yaitu tumbuhan yang sudah jarang kelimpahannya di alam pada lokasi survei/ penelitian. Dalam usaha pengembangan tumbuhan langka lokal Bali, agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat maka pemilihan jenis diprioritaskan pada jenis langka lokal yang berpotensi. Penekanan tumbuhan langka lokal berarti tumbuhan yang kelimpahannya sudah jarang di lokasi inventarisasi. Untuk mendapat jenis terpilih dilakukan dengan studi pustaka, wawancara pada masyarakat ataupun pihak-pihak terkait, dan pembuatan transek di kawasan hutan, baik yang telah mengalami kerusakan maupun di kawasan yang belum mengalami degradasi. Hal ini dimaksudkan agar dari hasil kajian di kedua transek tersebut dapat dibandingkan spesies tanaman yang telah menyusut kelimpahannya di alam. Di samping penggalian status kelimpahan tumbuhan, penelitian juga diarahkan pada perbanyakan tumbuhan langka lokal. Perba-nyakan tumbuhan dilakukan dari biji, anakan, dan stek yang
74
diambil dari hutan atau areal milik masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengoleksi jenisjenis tumbuhan yang sudah sedikit kelimpahannya di alam, yang nantinya akan dibudidayakan di Kebun Raya Bali sehingga akan didapatkan bibit optimal yang akan dikembalikan lagi ke habitat semula. METODOLOGI Lokasi Penelitian dan Rute Perjalanan Kabupaten Karangasem terletak di paling timur Pulau Bali dengan luas 839.54 ha (Wikipedia, 2010) yang telah mengalami kerusakan lingkungan cukup tinggi akibat pencurian kayu, tambang pasir, dan tingginya tingkat interaksi antara hutan dan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Tingkat kerusakan hutan di kabupaten ini adalah ketiga tertinggi di Bali setelah Kabupaten Jembrana dan Buleleng. Lokasi penelitian difokuskan pada Kecamatan Rendang, khususnya kawasan hutan di bawah pengelolaan RPH Rendang yang memiliki areal seluas 4767,72 ha yang terdiri atas kawasan hutan alam dan hutan tanaman. Rute perjalanan inventarisasi dan konservasi tumbuhan langka lokal di Kecamatan Rendang, Karangasem antara lain sebagai berikut. Kegiatan penelitian dimulai dari Kota Amlapura menuju Kecamatan Rendang. Selanjutnya, perjalanan menuju RPH Rendang di Desa Pempatan untuk menggali informasi tentang berbagai jenis tumbuhan di wilayah RPH Rendang. Kemudian, perjalanan menuju hutan alam Bubung, hutan peralihan dari hutan alam ke hutan tanaman di Desa Lebah, hutan tanaman pinus (Pinus merkusii), dan hutan tanaman ampupu (Eucalyptus urophylla). Kemudian, perjalanan terakhir menuju hutan alam Munduk Pengubengan yang terletak di Desa Besakih. Metode Penelitian a. Metode wawancara digunakan untuk penggalian informasi mengenai jenis-jenis tumbuhan di lokasi KRPH Penelokan. Wawancara dilakukan dengan Kepala RPH Rendang dan masyarakat lokal sekitar kawasan hutan. b. Pembuatan petak ukur berukuran 20x20 m di kawasan hutan, baik yang telah mengalami gangguan maupun yang belum
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
terganggu sehingga hasil keragaman vegetasi dari kedua kawasan tersebut dapat dibandingkan untuk mengetahui perbedaan keragamannya sehingga dapat diperkirakan spesies tumbuhan yang telah mengalami degradasi (Indriyanto, 2006). c. Pengumpulan material (biji, anakan, dan stek) jenis-jenis tumbuhan langka lokal dilakukan dengan metode eksplorasi menggunakan purposive sampling di kawasan hutan RPH Rendang. d. Identifikasi jenis tumbuhan menggunakan acuan Flora of Java Vol. I, II, III (Backer and van de Brink, 1968). HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan di Hutan Alam Dari hasil penelitian di lapangan menggunakan metode penggalian informasi dengan Kepala RPH Rendang dan masyarakat sekitar kawasan hutan, didapatkan beberapa jenis tumbuhan yang kelimpahannya sudah tergolong langka khususnya di kawasan hutan RPH Rendang. Jenis-jenis tumbuhan tersebut di antaranya udu (Listea sp.), kepelan (Manglietia glauca Bl.), cempaka (Michelia champaca L.), dan purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.). Hal ini disebabkan oleh tingginya kegunaan (nilai ekonomi) dari jenis-jenis tumbuhan tersebut bagi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Selain sebagai tumbuhan obat untuk stimulan, purnajiwa juga sebagai kayu pertukangan bagi masyarakat untuk perumahan. Hasil pembuatan petak ukur di hutan alam bubung, menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman jenis dan kerapatan tumbuhan cukup rendah sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Hutan alam Bubung merupakan suatu kawasan yang kondisinya sudah tidak menunjukkan sifat dan karakteristik hutan alam yang sesungguhnya. Hal tersebut dikarenakan kondisi hutan sudah mengalami disturbances yang cukup kuat dari masyarakat lokal yang tinggal di sekitar areal hutan, masyarakat memanfaatkan lahan hutan untuk menanam rumput gajah (Penisetum purpureum) sebagai pakan ternak. Kondisi tersebut dapat terlihat secara nyata di kawasan hutan alam yang ada di bawah pengelolaan RPH Rendang.
75
Gambar 1. Lokasi Penelitian (lingkaran) (BPKH, 2011) Hasil pembuatan petak ukur di hutan alam Munduk Pengubengan, justru memiliki keragaman jenis lebih rendah, tetapi memiliki kerapatan yang lebih tinggi dari hutan alam Bubung. Secara kenampakan visual maka hutan alam Munduk Pengubengan memiliki kondisi lebih baik dibanding hutan alam Bubung. Hasil keragaman jenis dan kerapatannya disajikan pada Tabel 2.Selain pengamatan tegakan baik berupa pohon maupun pancang, dilakukan juga pengamatan semai untuk mengetahui proses regenerasi tumbuhan. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa hutan alam Munduk Pengubengan memiliki tingkat keragaman semai (tumbuhan bawah/ground cover) yang cukup tinggi, antara lain kayu gempong (Meliosma sp.), talas-talasan (Homalomena sp.), anggrek tanah (Calanthe sp.), kayu pedanten (Radermachera sp.), kayu padi (Ligustrum glomeratum), kayu kedongdang (Spondias sp.), kayu nangi (Vernonia arborea), kayu empag (Acronesia sp.) dan begonia (Begonia longifolia).
Tabel 1. Daftar Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan di Hutan Alam Bubung No
Species
Family
Kelimpahan
Keterangan
1
Engelhardia spicata
Juglandaceae
2
2
Ligustrum glomeratum
Oleaceae
3
Pohon Pohon
3
Spondias sp.
Anacardiaceae
1
Pohon
4
Vernonia arborea
Asteraceae
1
Pohon
5
Eucalyptus urophylla
Myrtaceae
1
Pohon
6 7
Ficus sp.
Moraceae
1
Pohon
Erythrina subumbrans
Fabaceae
5
Pohon (1) Pancang (4)
8
Dabregeasia longifolia
Urticaceae
1
9
Schima wallichii
Oleaceae
1
Pancang Pancang
10 11
Calliandra haematocephala
Fabaceae
1
Pancang
Ficus fistulosa
Moraceae
3
Pancang
Total Individu 20
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
76
Tingginya keragaman pada tingkat semai tidak bisa diikuti, baik sampai pada tingkat pancang maupun pohon. Penyebab terhambatnya proses regenerasi adalah terja-dinya konversi lahan tumbuhan bawah menjadi ladang bagi pertumbuhan rumput gajah, sama halnya terjadi di hutan alam Bubung. Kondisi di hutan alam Bubung lebih parah karena sama sekali tidak diketemukan tumbuhan bawah, sudah hampir seluruh kawasannya didominasi oleh rumput gajah. Rumput gajah digunakan masyarakat lokal sebagai pakan ternak peliharaan mereka. Beternak hewan peliharaan merupakan mata pencaharian utama bagi mereka. Pembersihan tumbuhan bawah yang dilakukan oleh masyarakat lokal, tanpa mereka sadari telah merusak proses regenerasi alami suatu ekosistem hutan yang dapat meng-akibatkan terjadinya kelangkaan suatu jenis tumbuhan bahkan kepunahan jenis di kawasan tersebut. Kelimpahan Tegakan di Hutan Peralihan dan Hutan Tanaman Selain hutan alam, RPH Rendang juga memiliki kawasan hutan peralihan serta hutan tanaman pinus (Pinus merkusii) dan ampupu (Eucalyptus urophylla). Hutan peralihan merupakan kawasan hutan yang dulunya adalah hutan alam, tetapi sekarang sudah berubah fungsi sebagai hutan tanaman ampupu dan masih diketemukan beberapa jenis tanaman hutan alam. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa proses regenerasi masih terlihat dengan ditemukannya jenis Litsea sp., Ficus fistulosa, Erythrina subumbrans, Ligustrum glomeratum, Engelhardia spicata, dan Pinus merkusii yang secara lengkap tersaji pada Tabel 3. Hasil pengamatan kelimpahan tegakan pada petak ukur berukuran 20x20 m di hutan tanaman pinus sebanyak 9 individu dengan
rata-rata tinggi pohon 19,67 m, rata-rata diameter 39,42 cm dan kisaran umur 30 tahun. Adapun kelimpahan tegakan pada hutan tanaman ampupu sebanyak 36 individu dengan rata-rata tinggi pohon 10,71 m; rata-rata diameter 17,27 cm dan kisaran umur 20 tahun. Dari kedua kawasan hutan tanaman pinus dan ampupu sama sekali tidak diketemukan individu tumbuhan bawah. Jenis Prioritas dan Usaha Konservasinya Penentuan spesies prioritas dilakukan berdasarkan pada hasil penelitian di lapangan, baik berupa penggalian informasi dari masyarakat lokal sekitar kawasan hutan maupun hasil pengamatan dengan menggunakan petak ukur. Jenis prioritas dibedakan menjadi dua kelompok, yakni jenis yang sudah tidak ada di kawasan hutan RPH Rendang (extinct on the wild) dan jenis tumbuhan terancam (endangered species). Jenis tumbuhan yang sudah tidak diketemukan lagi di kawasan hutan RPH Rendang, yakni kepelan (Manglietia glauca Bl.), cempaka (Michelia champaca L.), dan purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.). Hal ini didasarkan dengan didasarkan pada keterangan masyarakat dan hasil pengamatan petak ukur yang sama sekali sudah tidak diketemukan lagi. Tingginya nilai ekonomi dari jenis tanaman tersebut mengakibatkan tingkat eksploitasi masyarakat menjadi berlebih. Adapun jenis tumbuhan terancam antara lain kayu gempong (Meliosma sp.), kayu pedanten (Radermachera sp.), kayu nangi (Vernonia arborea) dan kayu empag (Acronesia sp.). Hal ini didasarkan pada kelimpahan yang cukup sedikit dengan hanya diketemukan di hutan alam Munduk Pengubengan.
Tabel 2. Daftar Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan di Hutan Alam Munduk Pengubengan No Species Family Kelimpahan Keterangan 1
Schima wallichii
Theaceae
9
Pohon (8) Pancang (1)
2
Engelhardia spicata
Juglandaceae
1
Pohon
3
Bischofia javanica
Euphorbiaceae
3
4
Ficus fistulosa
Moraceae
19
Pohon Pancang
5
Calliandra haematocephala
Fabaceae
9
Pancang
Moraceae
1
Pancang
Ficus padama 6 Total Individu 42
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
77
Tabel 3. Daftar Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan di Hutan Peralihan Lebah No Species Family Kelimpahan 1
Myrtaceae
10
Keterangan
2
Engelhardia spicata
Juglandaceae
4
3
Erythrina subumbrans
Fabaceae
1
4
Litsea sp.
Lauraceae
1
Pohon (5) Pancang (5) Pohon (3) Pancang (1) Pohon (2) Pancang (1) Pancang
5
Ficus fistulosa
Moraceae
1
Pancang
6 7
Ligustrum glomeratum
Oleaceae
1
Pancang
Pinus merkusii
Pinnaceae
1
Pancang
Eucalyptus urophylla
Total Individu 19
Usaha konservasi perlu dilakukan agar spesies tumbuhan tetap lestari dengan melakukan perbanyakan (propagation) jenisjenis prioritas tersebut dan akan bermanfaat dalam program re-introduksi (pengembalian spesies tumbuhan ke habitat aslinya). Pada ekspedisi ini, telah dilakukan pengambilan material perbanyakan berupa anakan jenis-jenis tanaman terancam, sedangkan jenis yang sudah tidak diketemukan, dapat diambil dari koleksi yang ada di Kebun Raya Bali. Kegiatan perbanyakan akan dilakukan oleh unit reintroduksi Kebun Raya Bali dan diharapkan dapat menghasilkan bibit dengan kualitas yang optimal sehingga program re-introduksi dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian spesies tumbuhan di lokasi alaminya. KESIMPULAN Penelitian ini telah memperoleh hasil dengan kesimpulan sebagai berikut. 1. Keragaman jenis tumbuhan yang terdapat di hutan alam Bubung, antara lain Engelhardia spicata, Ligustrum glomeratum, Spondias sp., Vernonia arborea, Eucalyptus urophylla, Ficus sp., Erythrina subumbrans, Dabregeasia longifolia, Schima wallichii, Calliandra haematocephala dan Ficus fistulosa. Adapun keragaman jenis di hutan alam Munduk Pengubengan, antara lain Schima wallichii, Engelhardia spicata, Bischofia javanica, Ficus fistulosa, Calliandra haematocephala, Ficus padama, Meliosma sp., Homalomena sp., Calanthe sp., Radermachera sp., Ligustrum glomeratum, Spondias sp., Vernonia arborea, Acronesia sp., dan Begonia longifolia.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
2. Keragaman di hutan peralihan (dari hutan alam ke hutan tanaman ampupu) antara lain Eucalyptus urophylla, Engelhardia spicata, Erythrina subumbrans, Litsea sp., Ficus fistulosa, Ligustrum glomeratum, dan Pinus merkusii. 3. Jenis tumbuhan yang sudah tidak diketemukan lagi di kawasan hutan RPH Rendang yakni kepelan (Manglietia glauca Bl.), cempaka (Michelia champaca L.), dan purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) dengan didasarkan pada keterangan masyarakat dan hasil pengamatan petak ukur. Tingginya nilai ekonomi dari jenis tanaman tersebut mengakibatkan tingkat eksploitasi masyarakat menjadi berlebih. Adapun jenis tumbuhan terancam, antara lain kayu gempong (Meliosma sp.), kayu pedanten (Radermachera sp.), kayu nangi (Vernonia arborea), dan kayu empag (Acronesia sp.) Untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati di kawasan hutan RPH Rendang perlu dilakukan pengetatan regulasi terkait penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat lokal yang tinggal di pinggiran hutan, social forestry memang merupakan hal yang cukup dilematis, tetapi bisa diselesaikan dengan pendekatan kolaboratif antara pemerintah yang dalam hal ini pihak kehutanan dengan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Adnyana, IW.S. 2005. ”Erosi dan Penggunaan Lahan di Kawasan Bedugul”. Prosiding Simposium Analisis Daya Dukung dan Daya Tampung Sumber Daya Air di
78
Kawasan Tri-Danau Beratan, Buyan dan Tamblingan. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ”Eka Karya” Bali – LIPI. Pp. 59–74. Backer, C.A. and R.C.B. van de Brink Jr. 1968. Flora of Java. Vol. I, II, III. Groningen, the Netherlands: Wolters-Noordhoff N. V. BPKH. 2011. Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Bali. Denpasar: Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VIII. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara. Sarna, K. dan IN. Sumardika. 2004. “Tanaman Upacara Agama Hindu di Bali dalam Tantangan Jaman”. Prosiding Seminar Nasional Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI. Pp. 123–126. Siregar, M., N.K.E. Undaharta, IW. Sumantera, D. Mudiana, IDP. Darma, D.M.S. Putri,
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
I.G.W. Setiadi. 2004. “Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu di Kebun Raya “Eka Karya” Bali”. Prosiding Seminar Nasional Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI. Pp. 51–80. Siregar, M., IM. Pendit, D.M.S. Putri, N.K.E. Undaharta, S.F. Hanum and M.S. Hartutiningsih. 2007. “Keanekaragaman Tumbuhan Usada dan Konservasi di Kebun Raya “Eka Karya” Bali”. Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Usada Bali dan Peranannya dalam Mendukung Ekowisata. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI. Hlm. 44–58. Wikipedia. 2010. Karangasem. (http://en.wikipedia.org/wiki/Karangasem, diakses 11 Juni 2011).
79
KAJIAN ETNOBOTANI INTARAN (Azadirachta indica A.Juss.) DI KABUPATEN BULELENG – BALI I Made Sumerta UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ”Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191, E-mail:
[email protected] ABSTRACT – Ethnobotany research of intaran (Azadirachta indica) has been carried out in Buleleng Regency, Bali Province. The study conducted includes study of botany, study of ethnoecology ethnofarmacology, ethnoanthropology, and ethnoeconomy, using field survey and interviewing community leaders, religious and cultural leaders, healers and wood craftsmen. The results obtained show that intaran habit is tree, its trunk can reach 20 feet even more, growing in altitude 1–300 m asl, on dry land/barren with pH from 4 to 6.5. The leaves and bark are used as skin medicine and insecticide. This plant is used also in the religious ceremony such as ceremonial Hindu cultures, as the holy building materials, fodder and for soil conservation. Keywords: Ethnobotany; Azadirachta indica: Medicinal plants; Buleleng, Kabupaten; Bali
PENDAHULUAN Keanekaragaman hayati di Indonesia bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan dasar yang terbatas pada pangan, sandang, dan perumahan, tetapi juga untuk kebutuhan lain seperti ilmu pengetahuan dan rekreasi. Hal tersebut mendorong masyarakat melakukan berbagai upaya konservasi mulai dari inventtarisasi, pemanfaatan, dan budi daya, yang melibatkan berbagai disiplin ilmu di antaranya taksonomi, etnobotani, dan bioteknologi. Etnobotani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan sehari-hari dan adat suatu daerah. Studi etnobotani tidak hanya mengenai data botani taksonomis saja, tetapi juga menyangkut pengetahuan botani yang bersifat kedaerahan, berupa tinjauan interpretasi dan asosiasi yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan tanaman, serta menyangkut pemanfaatan tanaman tersebut lebih diutamakan untuk kepentingan budaya dan kelestarian sumber daya alam. Etnobotani merujuk pada kajian interaksi antara manusia dengan tumbuhan (Dharmono, 2007). Kajian ini merupakan bentuk deskriptif dari pendokumen-tasian pengetahuan botani tradisional yang dimiliki masyarakat setempat yang meliputi kajian botani, etnofarmakologi, etnoantropologi, etnoekonomi, dan etnoekologi (Martin, 1998). Buleleng adalah kabupaten yang terletak di belahan Bali bagian utara dengan luas wilayah 136.588 ha atau 24,25% dari luas
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Bali. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah dan kering dengan letak geografis pada posisi 803′40″–823′00″LS dan 11425′55″–11527′28″BT. Buleleng juga merupakan daerah berbukit yang membentang di bagian selatan, sedangkan dataran rendah ada di bagian utara, memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin musim yang bergantian setiap enam bulan. Buleleng termasuk daerah bayang-bayang hujan pada bulan OktoberApril, dan panas April-Oktober, dengan ratarata curah hujan 459,4 mm per tahun, dan kisaran suhu 26–30oC. Jumlah penduduk sekitar 624.079 jiwa yang sebagian besar beragama Hindu (BPS. Kabupaten Buleleng, 2010). Terwujudnya peningkatan kepercayaan dan kesejahteraan masyarakat Buleleng yang dilandasi falsafah Tri Hita Karana, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam, serta meningkatkan potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia untuk pembangunan yang berwawasan lingkungan dalam pertanian, pariwisata, dan bidang lainnya merupakan Visi dan Misi Buleleng (Aditya, 2011). Dengan potensi sumber daya hutan terluas di Bali, Kabupaten Buleleng dijadikan model bagi industri berbahan kayu berstandar internasional. Masya-rakat Buleleng memiliki banyak jenis tumbuhan yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk bahan pangan, perumahan, industri, ramuan obat-obatan, dan sarana upacara adat kebudayaan, yang salah satunya
80
adalah intaran/mimba. Untuk menjaga kelestarian jenis ini pemanfaatannya dilaku-kan secara bijaksana untuk mejamin kesinambungan peredaran dengan tetap meningkatkan kualitas nilainya. Kesadaran konservasi dari masyrakat masih sangat rendah sehingga perlu ditingkatkan melalui informasi-informasi ilmiah tentang manfaat etnobotani dari tumbuhan tersebut. Intaran/mimba, mimbo (Jawa) dengan nama ilmiah Azadirachta indica A. Juss. merupakan pohon tinggi yang dapat mencapai 20 m, bahkan lebih. Intaran/mimba sampai saat ini masih banyak tumbuh liar di tempat yang tanahnya agak tandus dengan berbagai tipe tanah, ada juga yang ditanam di tepi-tepi jalan sebagai pohon pelindung (Anonim, 2010). Intaran/mimba tahan hidup pada daerah dengan iklim kering yang lama dan curah hujan tahunan 450–2.250 mm. Intaran/mimba banyak terdapat di daerah Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, pada hutan terbuka, umumnya pada ketinggian 1–300 m dpl., tetapi bisa juga tumbuh sampai pada ketinggian 1.500 m. dpl, asal suhunya tidak terlalu tinggi. Tumbuhan ini diperkirakan asli Burma dan India Timur Laut, menyebar ke India, juga ditemukan di Kamboja, Laos, Iran, Asia, Afrika, Autralia, Amerika Latin, dan Amerika Selatan. Intaran/mimba di India disebut ”the village pharmacy” digunakan sebagai obat penyakit kulit, antiinflamasi, demam, antibakteri, antidiabetes, kardiovaskular, dan insektisida. Selain untuk obat, di India tanaman ini juga dipakai sebagai minyak lampu dalam pembuatan sabun. Di Madura digunakan sebagai perabot rumah tangga (batang), makanan ternak (daun), dan rebusan daunnya diminum sebagai obat pembangkit selera dan malaria. Di Jawa ada juga yang menggunakan sebagai fungisida untuk pengendalian antrak-nosa pada buah apel pascapanen. Intaran/mimba dapat diperbanyak melalui stek, cangkok, dan biji (Anonim, 2010). Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang nilai etnobotani yang meliputi kajian botani, etnofarmakologi, etnoantropologi, dan etnoekologi dari tanaman intaran khususnya di Kabupaten Buleleng perlu dilakukan. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan acuan studi etnobotani selanjutnya.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di beberapa kecamatan di Kabupaten Buleleng-Bali, menggunakan metode jelajah dan wawancara dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan budaya, balian, dan pengerajin kayu. Alat yang digunakan: pH meter, GPS, dan kamera, sedangkan bahan yang digunakan tumbuhan intaran/mimba (Azadirachta indica A. Juss.). Sampel diambil di beberapa kecamatan di Kabupaten Buleleng untuk mengamati data morfologinya. Data hasil penelitian dianalisis secara langsung dari hasil wawancara dan secara deskripsi dengan meng-acu pada studi pustaka. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan kajian etnobotani terhadap intaran/mimba di Kabupaten Buleleng meliputi kajian botani, etnofarmakologi, etnoantropologi, etnoekonomi, dan etnoekologi, didapatkan hasil seperti pada Tabel 1. Kajian Botani Kajian botani mencakup morfologi tumbuhan yang meliputi jenis perakaran, batang, dan percabangan batang. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa intaran atau mimba/imba (Jawa), membha/mempeuh (Madura), memiliki bentuk pohon, batangnya simpodial yang tinggi (arbor) dapat mencapai 20 m bahkan lebih dan kayunya keras (Van Steenis, 2003). Kulit batangnya tebal, agak kasar, akar tunggang, daun majemuk menyirip genap, bentuk lonjong, tersusun spiral mengumpul di ujung ranting dengan jumlah helaian 8–16 helai, tepi daun bergerigi, bergigi, beringgit, helaian daun tipis dan runcing, panjang anak daun 3–10,5 cm. Bunga memiliki susunan malai terletak di ketiak daun paling ujung 5–30 cm, gundul atau berambut halus pada pangkal tangkai, karangan tangkai bunga 1–2 mm, kelopak kekuningan, bersilia rata-rata 1 mm, mahkota putih ke-kuningan bersilia panjang 5– 7 mm, benang sari membentuk tabung, putik memiliki panjang rata-rata 3 mm, sedangkan buahnya merupakan buah batu panjang 1 cm, berwarna hijau kekuningan. Intaran dapat diperbanyak dengan biji atau anakan.
81
Tabel 1. Data Etnobotani Intaran/Mamba No Kajian 1
Botani
2
Etnofarmakologi
3
Etnoantropologi
4 5
Etnoekonomi Etnoekologi
Hasil
Bentuk pohon, batangnya dapat mencapai 20 m bahkan lebih. Kulit batangnya tebal dan agak kasar, daun majemuk menyirip genap, bentuk lonjong, tersusun spiral mengumpul diujung ranting dengan jumlah helaian 8–16 helai, dengan tepi daun bergerigi dan runcing. Buahnya merupakan buah batu panjang 1 cm. Daun digunakan sebagai obat gatal-gatal pada kulit dan insektisida/ pengendali ulat, kulit batang juga sebagai obat gatal-gatal pada kulit. Sarana ritual dalam upacara pitra yadnya (orang meninggal), upacara dewa yadnya, sarana ritual untuk pawang hujan dan sarana upacara pemelas/pemisah. Sebagai bahan bangunan suci, makanan ternak, dan untuk konservasi tanah. Ketinggian tempat 1–300 mdpl, pada tanah kering/tandus dengan pH tanah 4–6,5
Kajian Etnofarmakologi Etnofarmakologi adalah kajian tentang penggunaan tmbuhan yang berfungsi sebagai obat atau ramuan yang dihasilkan oleh penduduk setempat (Martin, 1998). Selain untuk obat, daun intaran juga digunakan sebagai racun ulat (pestisida nabati) yang ramah lingkungan pada tanaman paprika. Proses pembuatannya adalah sebagai berikut: daun intaran direbus dengan perbandingan 5 kg daun intaran segar dan 20 liter air, sampai menjadi 15 liter air, kemudian larutan disemprotkan pada tanaman dengan perbandingan 3 liter larutan daun intaran dicampur 10 liter air, larutan ini mampu melemahkan daya serang atau daya rusak dari ulat tersebut walaupun tidak mati seketika. Di India tanaman ini disebut “the village pharmacy”, di mana intaran (Azadirachta indica Juss), ini digunkaan untuk penyembuhan penyakit kulit, antiinflamasi, demam, antibakteri, antidiabetes, penyakit kardiovaskular, dan insektisida (Heyne, 1987). Ruskin (1993) dalam Anonim (2010) menyebutkan Salanin pada intaran/mimba berperan sebagai penurun nafsu makan (antifeedant) yang mengakibatkan daya rusak serangga sangat menurun, walaupun serangganya sendiri belum mati. Oleh karena itu, dalam penggunaan pestisida nabati dari mimba, seringkali hamanya tidak mati seketika setelah disemprot (knock down), namun memerlukan beberapa hari untuk mati, biasanya 4–5 hari. Namun, hama yang telah disemprot tersebut daya rusaknya sudah sangat menurun karena dalam keadaan sakit. Dari hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa intaran/mimba juga dimanfaatkan sebagai obat dan pestisida di Buleleng. Kajian Etnoantropologi Hasil kajian tentang etnoantropologi intaran/ mimba menunjukkan bahwa intaran di
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Kabupaten Buleleng digunakan sebagai sarana ritual dalam upacara agama Hindu. a. Sebagai sarana upacara dewa yadnya Sebagai pembersihan sebelum melakukan persembahyangan, yang disebut dengan tepung tawar. Prosesnya: daun intaran/ mimba dicampur beras sedikit (tidak ada perbandingan pasti/secukupnya), ditumbuk setengah halus, ditaburkan di atas kepala atau sesajen sebelum melakukan persembahyangan. b. Sebagai sarana upacara pitra yadnya Sebagai simbul bulu alis pada orang meninggal. Prosesnya: anak daun intaran/ mimba diambil 2 helai, kemudian masingmasing helai ditempelkan pada bulu alis jenazah sebelum dikubur dengan tujuan agar kelak di kelahiran yang akan datang mempunyai bulu alis seperti bentuk daun intaran/mimba. c. Sebagai sarana upacara manusia yadnya Untuk mengakhiri masa menyusu bayi pada ibunya, disebut upacara pemelas/ pemisah. d. Sebagai sarana pawang hujan Daun intaran/mimba dipercaya sebagai sarana bagi pawang hujan untuk menghalau mendung dengan cara membakar daun intaran yang masih segar. Kenyataan tersebut sesuai dengan pernyataan Martin (1998), bahwa kajian etnoantropologi adalah kajian mengenai penggunaan tumbuhan dalam acara ritual keagamaan, kepercayaan, dan mitos yang diyakini oleh masyarakat setempat yang sifatnya khas. Kajian Etnoekonomi Dari hasil wawancara dengan beberapa pengrajin kayu dan peternak di Buleleng, intaran/ mimba mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Selain sebagai obat dan pestisida alami,
82
daun intaran yang masih segar juga digunakan sebagai makanan ternak (sapi), terutama pada musim kemarau, kayunya digunakan sebagai bangunan suci (sanggah). Kayu intaran dengan ukuran balok tebal 6 x 12 cm, panjang 1 m bisa mencapai harga Rp40.000,Intaran/mimba sangat berpotensi untuk konservasi tanah karena memiliki sistem perakaran yang kuat, pohon yang tinggi dan besar, serta mampu bertahan hidup pada daerahdaerah tandus. Selain itu, intaran/mimba sangat cocok digunakan sebagai pohon penghijauan ataupun reboisasi di Indonesia, khususnya di daerah yang panas dan kering di dataran rendah. Karena mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, intaran/mimba di Buleleng semakin berkurang sehingga perlu adanya pengembangan agar populasinya di Buleleng bisa dipertahankan.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa intaran (Azadirachta indica A. Juss.) sangat bermanfaat bagi masyarakat Buleleng dalam kehidupan sehari-hari, yaitu untuk ramuan obat, sarana ritual keagamaan dan budaya, serta memiliki nilai ekonomi untuk membuat bangunan suci/tempat pemujaan agama Hindu (sanggah). Untuk mempertahankan populasi intaran di Buleleng disarankan perlu adanya usaha konservasi dan pengembangan karena sampai saat ini belum ada usaha budi daya. Pertumbuhan dan perkembangannya masih alami dan sangat lambat, sedangkan pemanfaatan jenis ini oleh masyarakat relatif banyak sehingga tidak menutup kemungkinan lambat laun jenis ini di Buleleng akan mengalami kepunahan.
Kajian Etnoekologi Kajian etnoekologi adalah suatu kajian untuk mengetahui keterkaitan antara tumbuhan yang dikaji terhadap kondisi ekologi atau lingkungannya, misalnya habitat tumbuh serta interaksi dari tumbuhan tersebut dengan tumbuhan lainnya.
Gambar 1. Contoh Sanggah dari kayu intaran/mimba
Dari hasil pengamatan dengan menjelajahi beberapa daerah di Buleleng, intaran/ mimba banyak dijumpai tumbuh liar di tempat yang tanahnya agak tandus dengan berbagai tipe tanah. Ada juga yang ditanam di tepi-tepi jalan sebagai pohon pelindung, pada ketinggian 1–300 mdpl, dengan pH tanah 4–5. Pohon mimba termasuk pohon yang mampu beradaptasi di daerah marginal yang panas dan kering, bahkan berbatu. Dataran rendah dan lahan kering dengan ketinggian 0–800 m dpl. merupakan habitat yang terbaik untuk pertumbuhan tanaman mimba (Anonim, 2010).
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
DAFTAR PUSTAKA Aditya. 2011. Visi dan Misi Kabupaten Buleleng. Pemerintah Kabupaten Buleleng Anonim. 2010. “Tanaman Obat: Kasiat Daun Mimbo (Azadirachta indica Juss.)”, (http://kiathidupsehat.com/tanamanobat-khasiat-manfaat-daun-mimboAzadirachta-indica-juss/, diakses Agustus 2010). BPS – Bapeda Kabupaten Buleleng. 2010. Buleleng Dalam Angka 2010. Darmono. 2007. “Kajian Etnobotani Tumbuhan Jalungkap (Centela asiatica L.) Di Suku Dayak Bukit Desa Hartai 1 Loksado”. Bioscientiae, 4: 71–78. Heyne, K. 1987. “Tumbuhan Berguna Indonesia, Vol. II”. Jakarta: Litbang Kehutanan. Martin, G.J. 1998. Etnobotani: Sebuah Manual Pemeliharaan Manusia dan Tumbuhan. Edisi Bahasa Melayu, Terjemahan Haryati Mohamed, Natural History Publications (Borneo) Sdn. Bhd. Kinabalu. Sabah. Malaysia Astutik, S. 2010. Pemanfaatan Tanaman Mimba sebaga alternative Pestisida Nabati, (http://ksupointer.com/pemanfaatantanaman-mimba-sebagai-alternatifnabati, diakses Agustus 2010).
83
Tjtrosoepomo, G. 2002. Taksonomi Tumbuhan(Spermatophyta), Yogyakarta: Gadjah Mada University
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Press. Van Steenis, C.G.G.J. 2003. Flora. Jakarta: Pradnya Paramita.
84
EKSPLORASI TUMBUHAN PEWARNA DI KABUPATEN GIANYAR Siti Fatimah Hanum*, Dewa Putu Darma dan I Made Sumerta UPT BKT Kebun Raya “Eka Karya” BaliCandikuning, Baturiti, Tabanan, Bali *E-mail:
[email protected] ABSTRACT – The utilization of plants as dye has long been known by Indonesian people. With the changing times, natural dyes began to be abandoned; the use of synthetic dyes became an alternative because of practicality and easy to get it. However, the use of synthetic dyes was creating problems for the environment and human health, so people interested to use natural dyes again. Gianyar Regency is one district that has some weaving companies that still use natural dyes. This activity aims to examine the use of plants as a coloring agent in Gianyar regency and collected them at “Eka Karya” Botanic Garden Bali. A total of 19 species of plants have been successfully collected in the exploration activities. Almost all plants can be used as a dye depending on the level of color strength. A part of plants of the most widely used as a dye is the leaves. New collections of “Eka Karya” Bali Botanic Garden are Basella rubra L. and Indigofera suffruticosa Miller. Keywords: Dye plants; Plant introduction; Gianyar, Kabupaten
PENDAHULUAN Kesadaran masyarakat terhadap bahaya bahan pewarna sintesis membuat orang kembali menggunakan bahan pewarna alam. Kekayaan Indonesia sebagai negara yang memiliki biodiversitas tanaman yang besar memungkinkan eksplorasi tanaman pewarna. Menurut Haerudin (2007), pewarna alami tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan, tetapi keawetan atau stabilitas warna tidak tahan lama. Selain itu, bahan baku di alam terbatas karena belum banyak yang membudidayakannya. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan tekstil, muncul pewarna sintesis karena kepraktisan dan mudah mendapatkannya, padahal warna yang berasal dari bahan sintetis tidak bisa didegradasi dan diperbarui. Selain itu, kandungan logam berat yang ada tidak baik bagi kesehatan manusia, yaitu bisa menimbulkan kanker, menyerang saraf otak, dan dapat merusak lingkungan. Zat warna tekstil digolongkan menjadi dua. Pertama, zat pewarna alam (ZPA), yaitu zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam pada umumnya dari hasil ekstrak tumbuhan atau hewan. Kedua, zat pewarna sintesis (ZPS) yaitu Zat warna buatan atau sintesis dibuat dengan reaksi kimia dengan bahan dasar ter arang batu bara atau minyak bumi yang merupakan hasil senyawa turunan hidrokarbon aromatic, seperti benzena, naftalena, dan antrasena (Isminingsih dalam Fitrihana, 2007). Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki beberapa perusahaan tenun yang masih menggunakan bahan pewarna
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
alam. Informasi mengenai pemanfaatan tanaman sebagai bahan pewarna dipandang masih perlu dilakukan untuk memperkaya jenis tumbuhan sebagai bahan pewarna alam. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan pewarna di Kabupaten Gianyar dan mengoleksinya di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. METODOLOGI Kegiatan eksplorasi dilakukan di Desa Pejeng, Kecamatan Tampak Siring; Desa Bona dan Desa Mas Ceti, Kecamatan Gianyar; Desa Demayu Kecamatan Ubud serta Tegallalang pada tanggal 2–7 September 2010. Inventarisasi tumbuhan pewarna dilakukan dengan metode wawancara terhadap para perajin tenun yang masih menggunakan pewarna alam sebanyak empat orang. Material tanaman diperoleh dengan melakukan penjelajahan ke pekarangan, tanah tegalan, dan kebun. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum lokasi kegiatan Kabupaten Gianyar merupakan salah satu dari sembilan kabupaten/kodya yang ada di Provinsi Bali. Secara geografi Kabupaten Gianyar terletak di antara 80 18’48 dan 80 37’58 LS, 1150 13’29” dan 1150 22’23” Bujur Timur. Luas daratan 368 km2 atau 36.800 ha (6,53% dari luas Pulau Bali) tersebar dalam tujuh kecamatan dengan iklim tropis, yaitu Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Payangan, Tegallalang,
85
Tampak Siring, Sukawati, dan Ubud. Secara administratif, Kabupaten Gianyar berbatasan dengan kota Denpasar di sebelah barat daya; Kabupaten Bangli di sebelah timur, Kabupaten Badung di sebelah barat, dan Kabupaten Klungkung di sebelah tenggara. Kabupaten Gianyar memiliki 63 desa dan 6 kelurahan, 541 banjar dinas, dan 269 desa adat, serta 515 subak. Jumlah penduduk Gianyar pada tahun 2004 mencapai 422.186 jiwa, laki-laki 214.903 jiwa (50,90%) dan perempuan 207.293 jiwa (49,10%) dengan tingkat kepadatan 1.147 jiwa/km2. Dengan tanah-tanah datar yang ada, masyarakatnya sebagian besar bertani dengan memanfaatkan lahan secara maksimal (Anonim, 2011). Data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, pada tahun 2011 Gianyar memiliki 43 unit industri kain tenun ikat dengan jumlah tenaga kerja mencapai 557 orang. Menurut Mangku Barta, salah seorang staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan, saat ini terdapat dua perusahaan tidak berizin yang masih menggunakan pewarna alam secara keseluruhan dalam produksinya. Tumbuhan pewarna Zat pewarna yang berasal dari tumbuhan sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak lama. Menurut Lemmens dan Wulijarni-Soetjipto (1999), sebagian besar warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan, pada jaringan tumbuhan terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna yang berbeda tergantung menurut struktur kimianya. Golongan pigmen tumbuhan dapat
berbentuk klorofil, karotenoid, flovonoid, dan kuinon. Pewarna alami dari tumbuhan biasanya diperoleh dari ekstraksi atau perebusan bagianbagian tertentu tanaman, seperti kulit kayu, batang, daun, akar, bunga, dan getah (Sutara, 2009). Berdasarkan wawancara dengan pengrajin diperoleh informasi bahwa hampir semua tumbuhan menghasilkan warna, tetapi daya tahan dan kecerahan warna yang dihasilkannya berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Dengan demikan, maka pengrajin hanya menggunakan tumbuhan yang menghasilkan warna yang kuat saja. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh tumbuhan yang akan digunakan sebagai pewarna, yaitu ketahanan warna yang dihasilkan, kekuatan terhadap gesekan, dan ketahanan terhadap perubahan kelembapan. Informasi pemanfaatan tanaman pewarna dapat dilihat pada Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan pewarna tersebut ada yang tumbuh liar, namun ada yang sudah dibudidayakan secara terbatas untuk memenuhi kebutuhan sendiri oleh masyarakat. Bagian tanaman yang banyak digunakan sebagai pewarna alami adalah daun, buah, kulit batang, batang, dan kulit akar (Gambar 1). Pemanfaatan daun sebagai bahan pewarna alam sangat besar, yaitu 54%, Hal ini dikarenakan pengambilan daun pada tanaman tidak mengakibatkan kerusakan pada tanaman sehingga dapat dilakukan berulang kali. Pemanfaatan kulit akar sangat sedikit, yaitu 4%. Hal ini dikarenakan jika mengambil kulit akar maka akan merusak tanaman tersebut sehingga pemakaiannya sangat jarang.
Tabel 1. Jenis Tanaman yang Dikoleksi sebagai Tumbuhan Pewarna di Kebun Raya Bali dan Pemanfaatannya. No Nama latin Suku Jenis Warna yang Bagian yang (Nama lokal) pewarna dihasilkan dimanfaatkan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Basella rubra L. (Gendolo) Strobilanthes crispus (L.) Bl. (Pecah beling) Indigofera suffruticosa Mill. (Gereng-gereng) Indigofera tinctoria L. (Gereng-gereng) Sandoricum koetjape Merr. (Sentul) Morinda citrifolia Linn. (Tibah) Muntingia calabura Linn. (Singepur) Solanum caspicastrum Link. (Terong kokak) Theobroma cacao L. (Cokelat/kakao)
Basellaceae
Makanan
Merah
Buah
Acanthaceae
Kain
Biru
Daun, batang
Fabaceae
Kain
Biru
Daun, batang
Fabaceae
Kain
Biru
Daun, batang
Meliaceae
Kain
Cokelat
Kulit kayu
Rubiaceae
Tekstil
Kulit akar
Tiliaceae
Tekstil
Merah, cokelat, kuning Cokelat
Daun
Solanaceae
Topeng/ patung Tekstil
Hitam
Buah
Merah
Daun
Sterculiaceae
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
86
No 10
11 12 13
14 15 16 17 18 19
Nama latin (Nama lokal) Pleomele angustifolia (Roxb.) N.E.Br. (Kayu sugih) Anacardium sp. (Kecemcem) Arthocarpus odoratisima Blanco (Teep) Mesua ferrea Linn. (Naga sari)
Suku
Warna yang dihasilkan
Bagian yang dimanfaatkan
Makanan
Hijau
Daun
Tekstil
Kuning
Kulit batang
Moraceae
Tekstil
Hijau
Daun
Clussiaceae
Topeng/ barong /pretime Tekstil
Hitam
Buah
Hitam
Tekstil
Hijau
Daun, buah, kulit batang Daun
Tekstil
Hijau
Daun
Tekstil
Hijau
Daun
Tekstil
Hijau
Daun
Tekstil
Hijau
Daun
Agavaceae
Anacardiaceae
Syzygium cumini L. Myrtaceae (Juwet) Lannea grandis Engl. Anacardiaceae (Kayu santan) Sauropus androgynus (L.) Merr. Euphorbiaceae (Kayu manis) Cordial mixa L. Boraginaceae (Kendal ) Hibiscus tiliaceus L. Malvaceae (Waru) Pluchea indica (L.) Less. Asteraceae (Beluntas)
Pewarna alam digunakan untuk mewarnai tekstil, topeng/patung/pretime, dan makanan. Pewarna ini paling banyak digunakan untuk tekstil (Tabel 1). Alasan para pengrajin di Gianyar masih menggunakan bahan pewarna alami adalah bahan-bahannya mudah diperoleh karena tumbuh di lingkungan sekitar. Permintaan konsumen akan produk dengan pewarna alam terus meningkat karena penggunaan pewarna sintetis terkadang menimbulkan alergi bagi pemakainya, Harga jual kain yang menggunakan pewarna alam lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pewarna sintetis. Penggunaan pewarna alami merupakan bentuk kepedulian pengrajin terhadap lingkungan sebagai salah satu cara menyukseskan program pemerintah, yaitu pengurangan pencemaran lingkungan. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan Sutara (2009) bahwa penggunaan pewarna alam pada kain tenun akan meningkatkan nilai jualnya karena target pasarnya adalah golongan menengah ke atas. Pemanfaatan daun sebagai bahan pewarna alam sangat besar, yaitu 54%, Hal ini dikarenakan pengambilan daun pada tanaman tidak mengakibatkan kerusakan pada tanaman sehingga dapat dilakukan berulang kali. Pemanfaatan kulit akar sangat sedikit, yaitu 4%. Hal ini dikarenakan jika mengambil kulit akar maka akan merusak tanaman tersebut sehingga pemakaiannya sangat jarang.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Jenis pewarna
Gambar 1. Bagian tanaman yang dimanfaatkan sebagai pewarna
Pewarna alam digunakan untuk mewarnai tekstil, topeng/patung/pretime, dan makanan. Pewarna ini paling banyak digunakan untuk tekstil (tabel 1). Alasan para pengrajin di Gianyar masih menggunakan bahan pewarna alami adalah bahan-bahannya mudah diperoleh karena tumbuh di lingkungan sekitar. Permintaan konsumen akan produk dengan pewarna alam terus meningkat karena penggunaan pewarna sintetis terkadang menimbulkan alergi bagi pemakainya, Harga jual kain yang menggunakan pewarna alam lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pewarna sintetis. Penggunaan pewarna alami merupakan bentuk kepedulian pengrajin terhadap lingkungan sebagai salah satu cara menyukseskan program pemerintah, yaitu pengurangan pencemaran lingkungan. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan Sutara (2009) bahwa penggunaan pewarna alam pada kain tenun
87
akan meningkatkan nilai jualnya karena target pasarnya adalah golongan menengah ke atas. Warna yang paling banyak dihasilkan dari tumbuhan pewarna adalah hijau, biru, hitam, cokelat, dan merah. Berikut ini adalah proses pembuatan warna biru dari bahan alam (indigofera). Daun indigo direndam dalam bak air dengan posisi tetap di bawah permukaan air. Setelah kuang lebih 10 jam daun akan mengalami proses peragian. Selama proses peragian ini, daun akan naik ke atas permukaan air. Air berwarna hijau dan di permukaan air ada gelembung gas dan warna biru. Proses perendaman selesai dalam waktu kurang lebih 48 jam. Daun dikeluarkan dari bak dan diperas, kemudian air disaring menggunakan strimin. Cairan dikebur selama dua jam dengan menggunakan gayung sehingga air akan berwarna hijau kehitaman. Campurkan dua sendok makan soda abu per kg ke dalam cairan tadi dan dikebur lagi selama 15 menit hingga cairan tampak berwarna cokelat. Diamkan semalaman, butiran akan turun mengendap. Hari berikutnya air bagian atas dibuang untuk memisahkan air dan nila yang mengendap di bawahnya. Nila yang sudah berbentuk pasta apabila akan digunakan untuk mewarnai kain perlu diberi tambahan air, gula aren, dan kapur. Material koleksi
Dua jenis di antaranya merupakan tumbuhan pewarna yang merupakan koleksi baru bagi Kebun Raya ‘Eka Karya” Bali yaitu Basella rubra L. (Gambar 2) dan Indigofera suffruticosa Miller (Gambar 3). Basella rubra oleh masyarakat setempat dinamai gendolo. Tanaman ini termasuk dalam suku Basellaceae, merupakan tanaman herba perennial liana yang hidup pendek, batang basah (sukulen), warna batang ungu, daun duduk berseling, daun berbentuk sendok, buah balir dan berwarna hijau jika masih muda serta hitam setelah tua. Buah digunakan sebagai pewarna merah. Menurut Rahmansyah (1994), jus buah yang berwarna merah dapat digunakan sebagai tinta, kosmetik, dan untuk mewarnai makanan. Indigofera suffruticosa dikenal masyarakat setempat dengan nama gerenggereng. Anggota suku Fabaceae ini merupakan tanaman semak, tegak dengan tinggi 45 - 250 cm, daunnya menyirip gasal, perbungaan membentuk tandan pada ketiak batang, bunganya berwarna ungu, buahnya berbentuk bulan sabit, bijinya berwarna cokelat mengkilap. Tanaman ini berguna menghasilkan warna biru untuk kain dan bagian tanaman yang digunakan adalah daun dan batang. Pencarian tumbuhan pewarna dilakukan di pekarangan penduduk, tegalan, dan kebun. Hal ini dikarenakan di lokasi eksplorasi tidak dijumpai adanya hutan. Material koleksi yang sudah diperoleh selanjutnya diaklimatisasi di pembibitan untuk selanjutnya didaftarkan sebagai koleksi di Kebun Raya Bali.
Dari eksplorasi ini diperoleh 19 nomor yang terdiri atas 19 jenis, 18 marga, dan 15 suku.
a.
Gambar 2. Basella rubra L. Gambar 2. Basella rubra L.
b. Gambar 3. Indigofera suffruticosa Miller. (a) Habitus (b) bentuk buah
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
88
KESIMPULAN Sebanyak 19 jenis tanaman telah berhasil dikoleksi dalam kegiatan eksplorasi di Gianyar. Informasi pemanfaatannya pun sudah terkumpul. Hampir semua jenis tanaman dapat digunakan sebagai pewarna tergantung dari tingkat kekuatan warna. Bagian tanaman yang paling banyak digunakan sebagai pewarna adalah daun. Dua jenis tanaman merupakan koleksi baru di Kebun Raya “Eka Karya” Bali yaitu Basella rubra L. dan Indigofera suffruticosa Miller. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. www.gianyar.go.id, diakses 28 Juli 2011). Fitrihana, N. 2007. “Sekilas tentang zat warna alam untuk tekstil”. (http://batikyogya.wordpress.com/2007/
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
08/16/sekilas-tentang-zat-warna-alamuntuk-tekstil/, diakses 28 Juli 2011). Haerudin, H. 2007. “Ramah Lingkungan”. Sumber: Indo Pos (14 Februari 2007) (http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1 171728652&25&2007&, diakses 28 Juli 2011). Lemmens, R.H.M.J. dan N. Wulijarni-Soetjipto. 1999. “Sumber Daya Nabati Asia tenggara No. 3: Tumbuh-tumbuhan Penghasil Warna dan Tanin”. Jakarta: Balai Pustaka (persero), dan Prosea Indonesia-Bogor. Rahmansyah, M. 1994. “Basella alba L. in Plant Resources of South East Asia no. 8. Vegetables”. J. S. Siemonsma and K. Piluek (eds), Bogor. Sutara, P.K. 2009. “Jenis Tumbuhan Sebagai Pewarna Alam pada Beberapa Perusahaan Tenun di Gianyar”. Bumi Lestari, 2 (9): 217–223.
89
PEMANFAATAN KAYU KENITU (Chrysophyllum cainito) OLEH MASYARAKAT JEMBER Umiyah Staf Pengajar Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember E-mail:
[email protected] ABSTRACT – Chrysophyllum cainito L. is a member of Sapotaceae family with vernacular name as kenitu, manicu, sawo bludru, and others local name. The plants are very easy to get because its spreadout everywhere in Jember. Usually, many people use wood of kenitu as firewood. Inventory of wood utilization of the plant has not been researched and informed yet. Therefore, the research was conducted to get the information about other wood utilization. Observations were done at the beginning to figure-out of the information about the wood utilization of kenitu. Then, data were colleted by using semi-structured interview from key-informans. Result of the research, besides as firewood, wood of kenitu is also used as door and window frames, doors and windows, bed (divan) and part of boat material. Keywords: Wood; Chrysophyllum cainito; Jember
PENDAHULUAN Kenitu (Chrysophyllum cainito L.) termasuk suku Sapotaceae yang memiliki habitus pohon, tegak, tinggi 20 m (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1994), bahkan dapat mencapai 30 m (Cruz Jr., 1992; Subhadrabandhu, 2001). Batang berbentuk silinder dengan diameter sampai 1 m (Subhadrabandhu, 2001), dengan tajuk yang lebar dan rimbun. Seperti halnya anggota suku Sapotaceae lainnya, kayu kenitu dikenal sebagai kayu yang keras dan mengandung getah putih (Lawrence, 1951; Wiselius, 1998) yang lengket. Kenitu tergolong sebagai tumbuhan kayu yang kurang dikenal (Lesser used species) (Sosef et al., 1998) sehingga pemanfaatannya belum optimal. Hal ini disebabkan karena data dasarnya belum banyak diketahui (Muslich dan Sumarni, 2008). Di Jember tumbuhan kenitu sangat mudah dijumpai dengan populasi yang melimpah. Pada umumnya kayunya digunakan oleh masyarakat setempat untuk kayu bakar, sedangkan buahnya dimakan sebagai buah segar. Berdasarkan ciri-ciri morfologi dan ketersediaannya di Jember maka sangat dimungkinkan ada pemanfaatan lebih luas dari kayu kenitu, tidak hanya sebagai kayu bakar saja. Sampai saat ini informasi tentang manfaat kayu kenitu belum tersedia, yang ada hanya untuk kayu bakar sebagai pengetahuan turun temurun. Sementara itu, penggunaan peralatan modern untuk mengganti kayu bakar telah tersosialisasi sampai ke desa-desa. Oleh sebab
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
itu, perlu diinventarisasi tentang pemanfaatan kayu kenitu (Chrysophyllum cainito L.) agar informasi peruntukannya saat ini dapat diketahui secara tepat. Dengan demikian, akan tersedia data dasar untuk membantu dalam optimalisasi pemanfaatannya melalui pengujian lebih lanjut dari kayu kenitu dalam rangka meningkatkan nilai ekonomi kayu kenitu seperti uji kualitas kayu, ketepatan peruntukannya (pulp kertas, kayu lapis, dan lain-lain.). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendokumentasikan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat Jember agar dapat diketahui data awal pemanfaatan dari jenis tumbuhan ini. Dengan demikian, data tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk mengoptimalkan pemanfaatan kayu kenitu di masa yang akan datang. BAHAN DAN METODE Penelitian ini telah dilakukan dengan teknik wawancara dan pengamatan langsung di lapangan yang dilakukan mulai Januari sampai April 2009, kemudian dilanjutkan pada bulan Mei sampai Juni 2010. Subyek penelitian adalah masyarakat Jember yang memanfaatkan tumbuhan kenitu dalam aktivitas harian. Untuk itu, dilakukan observasi awal dengan cara purposive sampling, yaitu pemilihan informan dengan pertimbangan tertentu. Dalam hal, ini informannya adalah orang yang kesehariannya memanfaatkan kayu kenitu sehingga memahami karakter kayu tersebut (produsen atau produsen sekaligus konsumen) atau memiliki barang-
90
barang berbahan kayu kenitu karena mengenal kayu kenitu dengan baik (konsumen). Kemudian, untuk pengumpulan data tentang pemanfaatan kayu kenitu selain untuk kayu bakar dilakukan wawancara semi-terstruktur (Martin, 1995). Masyarakat Jember terdiri atas banyak etnis, tetapi etnis yang terbesar adalah etnis Madura dan Jawa. Namun, di wilayah pesisir berdiam juga etnis Mandar yang masih menjaga ciri-ciri nenek moyangnya, dan kebanyakan bermatapencaharian sebagai nelayan. Dalam penelitian ini, etnis-etnis yang bertempattinggal dan menetap di Kabupaten Jember disebut sebagai masyarakat Jember HASIL DAN PEMBAHASAN Berkaitan dengan pemanfaatan kayu kenitu, masyarakat Jember terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu orang-orang yang memanfaatkan kayu kenitu untuk dijual, untuk digunakan sendiri, dan memiliki barang-barang berbahan kayu kenitu dengan membelinya. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dan pengamatan langsung di lapangan terdapat empat pemanfaatan utama kayu kenitu, yaitu sebagai kusen pintu dan jendela, daun pintu dan jendela, tempat tidur (dipan), dan bahan bagian perahu. Pemanfaatan lainnya mengganti kayu jenis lain seperti untuk ganjal/landasan menumpuk sementara kayu gelondongan, pengganti kayu palang kandang sapi dan lain-lain, tidak selalu dilakukan oleh masyarakat. Kusen pintu dan jendela beserta daun pintu dan jendela paling banyak dibuat dari pada tempat tidur dan bagian perahu nelayan tradisional. Pemanfaatan ini dapat dijumpai di beberapa bagian wilayah Jember, yaitu Desa Jombang, Kecamatan Jombang, Kelurahan Tegal Gede, Kecamatan Sumbersari, Desa Sukorambi, Kecamatan Sukorambi, dan Desa Gebang, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember. Tempat tidur/dipan dijumpai di wilayah Kelurahan Tegal Gede, Kecamatan Sumbersari saja. Wilayah ini mayoritas dihuni oleh etnis Madura dan Jawa. Adapun pemanfaatan kayu kenitu untuk pembuatan bagian perahu dilakukan oleh sebagian masyarakat nelayan di Desa Puger Kulon dan Puger Wetan, Kecamatan Puger untuk bagian Gading Perahu dan rumah-rumahan saja. Wilayah ini tidak hanya etnis Madura dan Jawa,
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
tetapi juga etnis Mandar beraktivitas bersama dalam kehidupan sehari-hari. Chrysophyllum cainito merupakan tumbuhan populer di Jember, masyarakat Jember mengenal dengan baik tumbuhan ini dengan beberapa varian (Umiyah, 2008). Pemanfaatan secara turun-temurun dari orang tua ke anak-anak mereka terutama pada pemanfaatan buah kenitu. Pengetahuan ini diturunkan secara oral tradisional oleh masyarakat Jember. Oleh sebab itu, kenitu merupakan salah satu dari 17 jenis anggota suku Sapotaceae yang buahnya masih dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat lokal (Purwanto, 2000). Pohon kenitu (Chrysophyllum cainito L.) memiliki tajuk yang rindang (Subhadrabandhu, 2001) sehingga sangat tepat jika dijadikan sebagai tumbuhan peneduh, kayu cukup baik sebagai bahan bangunan, bahan konstruksi (Cruz Jr.,1992). Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, kayu kenitu memiliki sifat keras, kuat, dan tahan lama (awet). Bagi masyarakat Jember, karakter kayu yang demikian cocok dimanfaatkan sebagai bahan kusen, daun pintu-jendela, dan dipan. Biasanya, perabot tersebut dibuat dengan peralatan tradisional bukan mesin, seperti yang telah dilakukan orang-orang tua mereka sebelumnya. Pemanfaatan seperti ini dirasa sangat menguntungkan karena harga kayu kenitu lebih murah, sedangkan ketahanannya tidak kalah dengan kayu lain yang lebih populer, seperti kayu jati, mahoni, dan sengon. Hal ini, juga ditemui pada kayu nyatoh (Pouteria duclican Bachni.) yang dapat dimanfaatkan sebagai papan perumahan, mebel, tiang, balok, rusuk, papan lantai, dinding pemisah, peralatan rumah tangga dan venir kayu lapis, kemudian diharapkan untuk bisa mengganti posisi kayu ramin (Muslich dan Sumarni, 2008). Dengan demikian, akan mengurangi eksploitasi terhadap penggunaan kayu komersial tersebut (Muslich dan Sumarni, 2008). Secara taksonomis, semua anggota suatu suku memiliki kesamaan-kesamaan tertentu, demikian juga pada anggota suku Sapotaceae. Pada tumbuhan tanjung (Mimusops elengi) dan sawo (Manilkara kauki) memiliki zat ekstraktif yang cukup ampuh dalam mencegah serangan rayap tanah, pada konsentrasi 4% menyebabkan 100% kematian rayap tanah (Anisah, 2001). Kemungkinan kenitu (Chrysophyllum cainito L.) juga
91
memiliki zat ekstraktif yang demikian juga, mengingat ketiga jenis tumbuhan ini merupakan anggota suku yang sama. Hal ini ditunjukkan bahwa perabot rumah tangga yang dibuat dari kayu kenitu mampu bertahan puluhan tahun dan tidak dimakan rayap. Gading dan rumahrumahan perahu tradisional yang digunakan oleh nelayan Puger memanfaatkan kayu kenitu berdasarkan dari karakternya yang kuat sehingga tahan terhadap air laut (Sulistyowati, 2011). KESIMPULAN Selain buah, masyarakat Jember memanfaatkan kayu kenitu (Chrysophyllum cainito L.) sebagai bahan perabot rumah tangga seperti kusen, daun pintu-jendela, dipan, gading, dan rumahrumahan perahu tradisional. Pengetahuan lokal masih mewarnai pemanfaatan tersebut. Agar dilakukan penelitian tentang anatomi, kimia, dan mekanik dari kayu kenitu sehingga peruntukan yang tepat dapat diketahui. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan untuk para mahasiswa yang telah membantu dalam melakukan penelitian ini, juga untuk Rani Tri Sulistyowati, S.Si. yang telah menyelesaikan penelitian Etnobotani bersama penulis. DAFTAR PUSTAKA Anisah, L.N. 2001. “Zat Ekstraktif Kayu Tanjung (Mimusops elengi Linn.) dan kayu Sawo Kecik (Manilkara kauki Dubard) serta Pengaruhnya terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren dan Jamur Pelapuk (Schizophyllum commune Fries)”. Tesis Magister Sains Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Cruz, Jr. F. S. Dela. 1992. “Chrysophyllum cainito L”. In E.W.M. Verheij & R.E. Coronel (Eds.) Plant Resources of South-East Asia No 2: Edible Fruits and Nuts. Bogor, Indonesia: PROSEA. Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomy of Vascular Plants. New York: The MacMillan Company.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Martin, G.J. 1995. Ethnobotany: A methods manual. London: Chapman and Hall. Muslich, M. dan G. Sumarni. 2008. “Nyatoh Putih dan Balobo sebagai Pengganti Kayu Ramin”. Buletin Hasil Hutan, 14 (2): 81–89. Purwanto, Y. 2000. “Etnobotani dan Konservasi Plasma Nutfah Hortikultura: Peran Sistem Pengetahuan Lokal pada Pengembangan dan Pengelolaannya”. Prosiding Seminar Sehari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. pp. 308–322 Kebun Raya Bogor. Bogor Sosef, M.S.M., L.T. Hong and S. Prawirohatmodjo. 1998. Plant Resources of South East Asia No. 5 (3): Timber trees: Lesser-known timbers. Bogor: PROSEA. Subhadrabandhu, S. 2001. Under-Utilized Tropical Fruits of Thailand. Bangkok, Thailand: Food and Agriculture Organization of the United Nations, Regional Office for Asia and the Pacific. Sulistyowati, R.T. 2011. “Jenis-Jenis Tumbuhan yang dimanfaatkan untuk Pembuatan perahu Tradisional oleh Nelayan Puger Kabupaten Jember”. Tidak Dipublikasikan. Skripsi. Jember: Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Jember Tim penulis Penebar Swadaya. 1994. Mengenal Tumbuhan Langka Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya. Umiyah. 2008. “Variasi Morfologi Tumbuhan Kenitu (Chrysophyllum cainito L.) di Jember”. Makalah Lokakarya Nasional Herbarium, Seminar dan Kongres PTTI ke-VIII, Tema: Peran Herbarium dan Penelitian Taksonomi Tumbuhan. Wiselius, S.I. 1998. ”Chrysophyllum L”. In Sosef M.S.M., L.T. Hong and S. Prawirohatmodjo (Eds.) Plant Resources of South-East Asia No 5 (3) Timber trees: Lesser-known Timbers. Bogor, Indonesia: PROSEA.
92
INVENTARISASI TUMBUHAN BERKASIAT OBAT TRADISIONAL UNTUK PENYAKIT SALURAN KENCING DI KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI, PROVINSI BALI Ni Nyoman Darsini Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran E-mail:
[email protected] ABSTRACT – Research on medicinal plants for urinary tract diorder has been done. This study conducted in 15 villages of Kintamani, Bangli District. Based on the results of interview process with the community, merchants, and some keynote person of Jero Balian it is known there are 47 species of plants can be used for curing urinary tract disorder. Of the 47 species of plants including three species are rare locally, namely: pule (Astolnia scholaris), purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch) Benn), and suren (Taona suroni Merr). Keywords: Medicinal plants, Urinary tract infections.
PENDAHULUAN Departemen Kesehatan RI mendefinisikan tanaman obat tradisional adalah obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, mineral, hewan atau campuran bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Pengobatan tradisional yang bersumber dari tumbuhan telah diketahui sejak dahulu. Pengetahuan mengenai pengobatan tradisional tersebut pada umumnya diwariskan secara turuntemurun dari generasi ke generasi. Setiap daerah atau suku bangsa memiliki ciri khas masing-masing dalam hal pengobatan tradisional. Hal ini disebabkan oleh kondisi alamnya, khususnya ketersediaan tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat di masing-masing daerah, juga perbedaan falsafah budaya dan adat istiadat yang melatarbelakanginya (Peneng dan Sumantera, 2007; Depkes, 2007). Tumbuhan obat merupakan tumbuhan berkhasiat obat yang dapat menghilangkan rasa sakit, meningkatkan daya tahan tubuh, membunuh bibit penyakit, dan memperbaiki organ yang rusak, seperti ginjal, jantung, dan paruparu. Tumbuhan obat juga dapat menghambat pertumbuhan sel-sel yang tidak normal seperti tumor dan kanker. Hal-hal penting inilah yang memacu masyarakat Bali khususnya untuk tetap mempertahankan penggunaan tanaman obat sebagai alternatif yang sangat tepat untuk pengobatan penyakit secara tradisional. Apalagi dengan makin gencarnya moto back to nature atau kembali ke alam akibat terjadinya pencemaran karena limbah-limbah industri obat
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
khususnya dan efek samping buruk yang ditimbulkan oleh pengobatan modern yang biasanya bersifat kimiawis (Kriswiyanti, 2007). Era modernisasi menyebabkan masyarakat untuk memilih pengobatan instan dan kadang-kadang tanpa resep dokter ke apotek membeli obat apabila sedang mengalami gang-guan kesehatan. Mereka tidak memikirkan efek samping buruk mengonsumsi obat kimiawi secara bebas terhadap organ-organ vital dalam tubuh, seperti ginjal, jantung, hati, dan paruparu. Disekitar kita banyak tumbuh tanaman obat yang sebagian besar belum kita ketahui dan sangat aman untuk dikomsumsi karena tidak menimbulkan efek samping. Hal ini sudah dibuktikan dengan penelitian Kriswiyanti (2007) di Kecamatan Kintamani yang berhasil menemukan atau telah meninventarisasi sebanyak 353 spesies tanaman obat untuk mengobati berbagai penyakit. Berdasarkan hal tersebut maka penting untuk dilakukan penelitian inventarisasi tanaman obat yang khusus untuk mengobati penyakit saluran kencing karena kalau penyakit ini tidak ditangani secara tepat maka akan dapat mengganggu fungsi ginjal bahkan akan dapat menyebabkan gagal ginjal. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan November– Desember 2007, di 15 desa yang ada di Kecamatan Kintamani (Penelokan, Slulung, Daup, Subaya, Pangkung, Kutuh, Satera, Dause, Sukawana, Kintamani, Gunungbau, Pagejoran, Catur, Suter, Blanga). Pengumpulan data
93
dilakukan menggunakan teknik sampling eksploratif. Cara pengumpulan data dilakukan melalui wawancara/survei dengan narasumber Jero Balian dan juga dengan masyarakat serta pedagang ceraken di pasar-pasar Kintamani yang mengetahui dan memanfaatkan tumbuhan obat untuk mengatasi gangguan saluran kencing. Setiap tumbuhan yang disebut oleh masyarakat, pedagang ceraken atau narasumber dicatat nama lokalnya dan bagian yang digunakan. Identifikasi tumbuhan untuk penulisan nama ilmiah mengacu pada buku Flora of Java (Van Steenis). HASIL DAN PEMBAHASAN Kecamatan Kintamani merupakan kecamatan pegunungan yang terletak pada ketinggian kurang lebih 1.300 m dpl. Masyarakat luas di Indonesia bahkan turis luar negeri telah mengetahui Kecamatan Kintamani merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bangli Propinsi Bali yang memiliki objek-objek pariwisata yang sangat menarik. Sebagai contoh, panorama indah di Desa Penelokan, Gunung Batur, dan Danau Batur. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui proses wawancara dengan masyarakat, pedagang ceraken, dan beberapa narasumber Jero Balian di 15 desa di Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, diperoleh informasi bahwa ada 47 jenis tumbuhan obat yang berkhasiat untuk mengatasi gangguan saluran kencing. Semua jenis gangguan penyakit saluran kencing ini kalau tidak tertangani dengan baik maka akan dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya bahkan mematikan yakni penyakit gagal ginjal. Untuk lebih jelasnya nama-nama tumbuhan obat untuk penyakit gangguan saluran kencing, bagian tumbuhan yang dimanfaatkan, jenis gangguan penyakit saluran kencing yang dapat diatasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan data pada tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa tumbuhan obat yang berkhasiat untuk mengatasi penyakit gangguan saluran kencing di 15 desa yang ada di Kecamatan Kintamani berjumlah 47 jenis yang tergolong ke dalam 35 familia. Berdasarkan hasil studi kelangkaan tumbuhan diketahui bahwa tiga dari 47 jenis tumbuhan obat tergolong tumbuhan langka, yakni: pule (Astolnia scholaris), purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lasch.) Benth), dan suren (Taona Suroni Merr.) (Mogea dkk., 2001). Menurut hasil wawancara dengan masyarakat setempat dan narasumber Jero Balian diketahui ternyata ada delapan jenis gangguan penyakit saluran kencing, dari gangguan yang sifatnya ringan sampai terberat, yakni kencing seret/anyang-anyangan, kencing batu, kencing darah, radang ginjal, radang kandung kemih, kencing nanah, radang saluran kencing, dan gagal ginjal. Dari 47 jenis tumbuhan tersebut, jenis-jenis gangguan penyakit saluran kencing yang dapat disembuhkan oleh masing-masing tumbuhan adalah berbeda-beda. Perbedaan tersebut, antara lain 23 jenis tumbuhan berkhasiat untuk menyembuhkan kencing seret atau tidak lancar (anyang-anyangan); delapan jenis tumbuhan berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit kencing batu, dua jenis tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit kencing darah, lima jenis tumbuhan untuk menyembuhkan radang ginjal, dua jenis tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit radang kandung kemih, enam jenis tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit kencing nanah, satu jenis tumbuhan untuk penyakit infeksi saluran kencing, dan satu jenis tumbuhan dapat dimanfaatkan untuk meringankan penyakit yang paling menakutkan yaitu penyakit gagal ginjal. Penyakit gagal ginjal adalah salah satu penyakit yang kecil kemungkinan dapat disembuhkan. Dalam ilmu kedokteran penyakit ini sering disebut penyakit yang sudah terminal.
Tabel 1. Daftar Tanaman yang Dimanfaatkan Sebagai Obat Tradisional No. Nama Lokal Jenis Suku Bagian Tumbuhan yang Dimanfaatkan 1
Anyang-anyang/rijasa
2 3 4
Aren/jake Bakung Belimbing manis
5
Bulun baon
Elaeocarpus Elaeocarpaceae grandiflora Smith Arenga pinata Merr Arecaceae Crinum asiaticum L Amarilidaceae Averrhoa carambola L. Oxalidaceae F. Nauclea sp. Rubiaceae
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Jenis Gangguan Saluran Kencing yang Diatasi
Biji direbus
Kencing seret
Akar direbus Daun direbus Bunga direbus
Kencing batu Kencing seret Kencing batu
Daun direbus
Kencing seret
94
No.
6 7
Nama Lokal
Jenis
Michelia alba DC. Physalis minima L.
Suku
8 9 10
Cempaka putih Ceplukan/kopokkopokan Dadap ayam Don sendok /daun urat Gaharu
Magnoliaceae Solanaceae
11 12
Jagung Kaca piring/jempiring
13
Kapas tahun
14
Kapok
15
Kayu tawa
16
Keji beling
17
Kemangi/kecarum
18
Kembang pukul empat
Erythrina variegata Fabaceae Plantago major L. Plantaginaceae Aquilaria malaccensis Thymelaeaceae Lamk. Zea mays L. Poaceae Gardenia jasminoides Rubiaceae Ellis Gossypium Malvaceae acuminatum Roxb. Ceiba petandra Bombaceae GERTIN Costus specieosus Zingibraceae Smith Strobilanthes crispus Achantaceae BL Ocimum basillicum L. Lamiaceae Forma Citratu Mirabilis Jalapa Nyctaginaceae
19 20 21
Kembang Sungsang Kembang telang Kemeniran
Gloriosa superba L. Clitoria tematea L. Phyllanthus neruri
22 23
Keroya Kesawi tanah
24
Kumis kucing
25 26 27
Landep-landep Maja muju Mindi kecil
28 29
Murbei/besaran Palit sedangan/ginje
Morus alba L. Thevea paruviana K. Schum.
Moraceae Apocynaceae
30 31
Carica papaya Adenanthera pavonina
Caricaceae Fabaceae
32
Pepaya Piling-piling/saga rambat Pisang klutuk
Musaceae
33
Pule @
Musa brachycarpa Backet Astolnia scholaris B.R.
34
Purnajiwa@
35 36
Rumput teki Sambiloto/klimesa-di
37
Sangitan
38 39
Sidaguri Sidowayah/sepet-sepet
40 41
Simbukan Sosor bebek/kayu urip
42
Suji/kayu sugih
Liliaceae Fabaceae Euphorbiaceae
Ficus lacor Buch. Ham. Moraceae Nasturtium montanum Brassicaceae Wall. Orthosiphon spicatus Lamiaceae B. B. S. Barleria prionitis Acantaceae Cuscuta australis R. Br. Convolvulaceae Melia azedarach L. Lamiaceae
Euchrestahorsfieldii (Lasch.) Benth. Cyperus rotundatus Andrographis paniculata Sambucus javanicus Reinw. Sida romifolia L. Woodfordia fruktikosa (L.) Kurz. Paedaria foetida L. Bryophyllum calycinum Salisb. Pleomele angustifolia (Roxb.) N. E. Br
Bagian Tumbuhan yang Dimanfaatkan
Jenis Gangguan Saluran Kencing yang Diatasi
Daun direbus Akar direbus
Kencing seret Kencing seret
Daun direbus Daun direbus Batang, daun direbus Daun direbus Daun, bunga, buah, biji direbus Kulit akar direbus
Kencing darah Kencing seret Radang ginjal
Daun direbus Rimpang diramu Daun direbus Biji direbus
Radang ginjal Kencing seret Radang kandung kemih Radang kandung kemih Kencing seret Radang ginjal, kencing nanah Kencing nanah
Akar, daun, buah Kencing seret direbus Rimpang diramu Kencing nanah Akar direbus Kencing seret Semua bagian Kencing Batu tumbuhan Daun direbus Kencing Batu Daun direbus Kencing seret
Fabaceae
Daun, bunga, direbus Daun direbus Buah dibuat loloh Kulit batang, biji direbus Daun direbus Semua bagian tumbuhan dapat diramu Akar di ramu Akar, batang, daun diramu Akar diperas airnya Daun, kulit kayu diramu Biji direbus
Kencing seret
Cyperaceae Acantaceae
Akar direbus Daun direbus
Kencing seret Kencing seret
Caprifoliaceae
Akar direbus
Kencing seret
Malvaceae Lytheraceae
Daun direbus Daun direbus
Kencing nanah Kencing seret
Rubiaceae Crassulaceae
Daun direbus Daun direbus
Kencing seret Kencing seret
Liliaxdceae
Akar diramu
Kencing nanah
Apocynaceae
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Kencing Batu Kencing seret Kencing darah Kencing seret Kencing nanah Gagal ginjal
Kencing seret Kencing seret Kencing batu Radang ginjal
95
No.
Nama Lokal
Jenis
Suku
Bagian Tumbuhan yang Dimanfaatkan
Solanaceae
Kulit kayu diramu Bunga dan kulit diramu Seluruh bagian tumbuhan diramu Buah
Infeksi saluran kencing Kencing batu
Acanthaceae
Daun direbus
Kencing batu
43 44
Suren Tanjung
Taona suroni Merr. Mimusips elengi L.
Meliaceae Sapotaceae
45
Tapak liman
Asclepiadaceae
46
Terong pipit
47
Tuju musna
Elephantopus scaber L. Solanum turvum Swartz Strobilanthes sp.
Berdasarkan hasil wawancara dapat pula diketahui bagian tumbuhan yang digunakan dan cara menggunakannya untuk mengobati penyakit gangguan saluran kencing. Bagian-bagian tumbuhan yang dapat digunakan untuk obat mulai dari daun, kulit batang, bunga, buah, biji sampai akar. Cara menggunakan bagian tumbuhan tersebut sebagian besar dengan cara direbus, ada pula dengan cara memeras bagian tumbuhan, dibuat loloh, dan meramu. Untuk lebih jelasnya persentase penggunaan organ tumbuhan obat untuk mengatasi penyakit gangguan saluran kencing dapat dilihat pada Gambar 1.
Jenis Gangguan Saluran Kencing yang Diatasi Radang ginjal Kencing nanah
tarisasi jenis tumbuhan yang berkhasiat untuk menyembuhkan luka di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, Provinsi Bali. Dari hasil penelitiannya terinventarisasi 22 spesies tumbuhan yang dapat menyembuhkan berbagai jenis luka. Adapun Undaharta dkk. (2007) berhasil menginventarisasi 68 jenis tumbuhan berkhasiat menyembuhkan penyakit tuju, tujuh jenis tumbuhan tergolong tumbuhan langka. Berdasarkan hasil penelitiannya diketahui pula sebagian besar cara penggunaan tumbuhan untuk mengobati tuju adalah dengan cara diparamkan. KESIMPULAN
Gambar 1. Persentase penggunaan bagian tumbuhan sebagai obat. Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui bahwa organ daun yang paling dominan digunakan untuk menyembuhkan penyakit gangguan saluran kencing adalah daun (59,57%), kemudian akar (23,40%), bunga (12,76%), batang (10,63%), dan rimpang (4,25%). Diduga secara alami kandungan alkaloid berkhasiat obat kebanyakan terakumulasi di daun. Beberapa penelitian serupa di Bali telah dilakukan oleh beberapa peneliti, yakni Peneng dan Sumantera (2003) telah menginven-
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, pedagang ceraken, beberapa orang Balian di 15 desa Kecamatan Kintamanai Kabupaten Bangli dapat diinventarisasi 47 jenis tumbuhan obat yang berkhasiat untuk meringankan bahkan menyembuhkan penyakit gangguan saluran kencing. Tiga jenis tumbuhan tergolong ke dalam tumbuhan langka lokal, yakni pule (Astolnia scholaris), purnajiwa (Euchresta horsfielddii) dan suren (Taona suroni Merr). Dari 47 jenis tumbuhan obat tersebut diketahui bahwa 23 jenis tumbuhan dapat digunakan untuk menyembuhkan kencing seret atau kencing tidak lancar/anyang-anyangan, delapan jenis tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit kencing batu, dua jenis tumbuhan dapat menyembuhkan penyakit kencing darah, lima jenis tumbuhan dapat menyembuhkan penyakit radang gingjal, dua jenis tumbuhan untuk menyembuhkan radang kantung kemih, enam jenis tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit kencing nanah, satu jenis tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit infeksi saluran kencing, satu jenis tumbuhan untuk meringankan penyakit gagal ginjal.
96
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1993, 1994, 1997, 2000, dan 2001. “Inventarisasi Tanaman Obat Indonesia Jilid I,II,IV, V,VI”. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Backer, C.A. And Van den Brink. 1968. Flora of Java. The Thailand: WoltersNoordhoff Groningen. Depkes. 2007. Museum Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Diakses dari www. Litbang.depkes Co.id/bpto/museum.html. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I dan IV. Cetakan 1. Diterjemahkan Badan Balitbang KehutananJakarta. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Kriswiyanti, E., I Narayani, dan L. Watiniasih. 2000. ”Inventarisasi Jenis dan Manfaat Tumbuhan di Monkey Forest Pura Dalem Desa Adat Padang Tegal Ubud”. Jurnal Biologi, 4 (1): 9–20. Kriswiyanti, E. 2001. ”Potensi Pendayagunaan dan Usaha Konservasi Keanekaragaman Tumbuhan Obat (Usada ) di Bali”. Jurnal Biologi, 5 (2): 48–55.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Kriswiyanti, E. 2007. “Eksplorasi Bahan Obat Tradisional Bali Berdasarkan Kajian Usada dalam Kegiatan Pendataan dan Identifikasi Bahan Obat Tradisional Bali”. Laporan Penelitian Pengembangan Bidang Ilmu dan Teknologi Dasar. Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Udayana. Peneng, IN. dan IW. Sumantera. 2007. ”Inventarisasi Tumbuhan Berkhasiat Obat Luka Tradisional di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali”. Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Usada Bali dan Perannya Dalam Mendukung Ekowisata. UNUD, LIPI, UNHI. Hlm. 118–123. Undaharta, Erosi Ni Kadek, dkk. 2007. ”Pemanfaatan Tumbuhan Usada dalam Pengobatan Penyakit Tuju”. Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Usada Bali dan Peranannya Dalam Mendukung Ekowisata. UNUD, LIPI, UNHI. Hlm. 131–134. Mogea, J.P., H. Gandawidjaja, H. Wiriadinata dan Irawati. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Kartikasari, S.N. (ed.) Bogor: Puslitbang Biologi. LIPI. Van Steenis, C.G.G. J.,D. Hoed, S. Bloembergen dan P.J. Eyma. 1981. Flora Untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
97
ASPEK BOTANI DAN POTENSI Rhododendron seranicum J.J.Sm. KOLEKSI KEBUN RAYA “Eka Karya” BALI Tri Warseno* dan Dyan Meiningsasi Siswoyo Putri UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191 *E-mail:
[email protected] ABSTRACT - Rhododendron seranicum J.J. Sm. is still very rarely known by the public. The beauty of the flower Rhododendron seranicum J.J. Sm. is very likely to be developed as an ornamental plant. In addition, the lack of information about the flowering and propagation is expected to begin to cultivate these plants well. So public is expected to actively participate in conservation activities and commercial use as well as to manage them sustainably. Keywords: Rhododendron; Rhododendron seranicum; Botany.
PENDAHULUAN Rhododendron merupakan marga yang beranggotakan tumbuhan berkayu, dengan jumlah hampir seperempat dari total jenis tumbuhan anggota suku Ericaceae. Rhododendron seranicum J.J.Sm. masih sangat jarang dikenal di kalangan masyarakat umum, hanya kalangan tertentu atau para ahli botani yang mengenalnya. Tumbuhan ini merupakan tanaman perdu yang tumbuh liar di hutan-hutan primer yang termasuk dalam suku Ericaceae. Bunganya indah dengan warna yang atraktif mulai dari jingga hingga merah dan sangat menarik apabila bunga sedang mekar. Jenis ini pertama kali ditemukan di Pulau Seram, Maluku dan pertama kali dikembangkan pada tahun 1988 di Royal Botanic Garden Edinburgh. Pertama kali berbunga pada bulan Juli 1999. Pertumbuhannya sangat sulit dan membutuhkan perlakuan khusus hingga dapat berbunga (Argent, 2006). Kebun Raya “Eka Karya” Bali telah mengoleksi jenis ini sejak tahun 2003 yang kebanyakan merupakan hasil eksplorasi dari Sulawesi (Sulawesi Tengah, Selatan dan Tenggara). Sama halnya dengan koleksi di Royal Botanic Garden Edinburgh, koleksi di Kebun Raya “Eka Karya” Bali ini pada awalnya juga sangat sulit untuk tumbuh dengan baik, baru tahun 2008 koleksi ini dapat berbunga, bahkan untuk koleksi yang berasal dari Sulawesi Selatan membutuhkan waktu lima tahun hingga akhirnya berbunga dan tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kajian mengenai aspek botani, potensi, dan cara perbanyakan Rhododendron seranicum J.J.Sm. yang diharapkan hasilnya dapat bermanfaat
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
untuk pengembangan penelitian, penambahan koleksi bagi Kebun Raya “Eka Karya” Bali, dan pengenalan kepada masyarakat mengenai potensinya sebagai tanaman hias. Dalam tulisan ini akan disampaikan beberapa informasi tentang aspek botani dan potensi dari R. seranicum J.J.Sm. sebagai tanaman hias beserta cara-cara budi dayanya. METODE Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan kajian pustaka. Teknik observasi dilakukan dengan mengamati aspek botani beberapa spesimen hidup R. seranicum J.J.Sm. koleksi Kebun Raya “Eka Karya” Bali yang berpotensi sebagai tanaman hias. Karakter-karakter yang diamati adalah sifat morfologi (perawakan, daun, bunga, buah, dan biji). Melalui kajian pustaka, penulis mengumpulkan data dari berbagai sumber yang berkaitan dengan topik tulisan. HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi a. Habitus Rhododendron seranicum J.J. Sm. (Gambar 1.) merupakan tanaman perdu, terestrial dengan tinggi mencapai 5 m. Batang berkayu, ranting 2,5–4 mm, bulat, halus, ruas 2–11 cm. b. Daun Daun melonjong hingga membundar telur, 50–85 x 20–40 mm, ujung daun meruncing, duduk daun spiral, tepi daun rata,
98
permukaan atas daun halus, permukaan bawah daun bersisik, tangkai daun 5–10 x 2–3, tanpa alur, bersisik. Daun gagang 35x10 mm, melonjong, tumpul, membran, gundul. Daun gantilan 25x1 mm linier, gundul. Sisik berukuran kecil, datar, daerah pinggir berlekuk tidak beraturan, bagian tengah tidak terlalu jelas atau menonjol, vena tengah naik ke atas hampir ½ bagian proksimal, kemudian merata atau sangat sedikit menonjol, sangat mengangkat di bawah hampir ke bagian ujung; vena lateral berjumlah 8–10 per sisi, menyebar dengan sudut 45 derajat, teratur pada bagian dasar, kemudian melengkung tajam ke atas sebelum bagian pinggir dan samar-samar beranastomosis, agak menonjol atau rata pada kedua sisinya, retikulasi samar atau tidak jelas. c. Bunga Perbungaan 7–11 bunga tersusun dalam bentuk payung. Tangkai 20–34 x 2–3 mm, menebal di puncak, bersisik atau gundul. Kelopak berdiameter 5 mm, miring, bentuk cakram, kadang-kadang menyerupai daun mahkota, ramping sampai 40 mm, bersisik luar. Mahkota bunga 50–56x80 mm, bentuk corong atau tabung, violet, jingga mengkilat, kuning atau merah, tabung 18–26 x 6–10 x 15–20 mm, dasar rongga, halus luar dan dalam, lobus 35– 40 x 22–23 mm, setara, melonjong hingga bulat telur terbalik, menyebar, tumpang tindih sampai dengan 1/5. Benang sari 10 mm, tak beraturan di bawah 1/2 dari mulut, filamen kuning, datar, memita, halus, anther 3–4x1 mm, krem, membulat, agak melengkung, basis tumpul atau berembang, cakram menonjol, gundul. d. Buah Buah 6x3 mm, mengerucut, halus, rugulose, distal, 25–20 mm, hijau, pada sisi bawah tabung mahkota, melengkung, distal 1/4 sampai stigma, terpusat, diameter stigma 3–4 mm, 35–40 buah x 7–8 mm, fusiform, gundul (http://www.vireya.net/gallery-spS.htm, Zomlefer, 1994). Tempat Tumbuh dan Daerah Penyebaran Rhododendron seranicum J.J.Sm. biasanya tumbuh di hutan primer, 900–1.700 m dpl, sering di daerah kapur, secara lokal melimpah. Pertama kali ditemukan di Pulau Seram dan sekarang dapat ditemui di daerah Maluku (Seram, Buru, Ambon); Sulawesi (antara Danau Poso dan Wotu, Gunung Wawonoeru) (Argent, 2006).
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Koleksi di Kebun Raya “Eka Karya” Bali Koleksi Rhododendron seranicum J.J.Sm. di Kebun Raya “Eka Karya” Bali yang terletak di pembibitan berjumlah 12 spesimen. Koleksi tersebut merupakan hasil eksplorasi dari Kawasan Timur Indonesia (Tabel 1.). Jenis ini mempunyai warna dan bentuk bunga yang menyerupai R. javanicum (Bl.) Benn. Bunga dengan bentuk menyerupai terompet, berwarna oranye menyala dengan warna kuning di bagian dalam mahkota bunga, tepi mahkota agak bergelombang, putik pendek, dan ukuran benang sari tidak sama. Namun, secara morfologi bentuk mahkotanya bervariasi (Gambar 2). Adanya variasi morfologi pada bagian mahkota R. seranicum J.J.Sm. koleksi Kebun Raya ”Eka Karya” ini merupakan suatu kajian tersendiri yang cukup menarik dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Masa Berbunga Penelitian yang telah dilakukan adalah pengamatan masa berbunga beberapa R. seranicum J.J.Sm. koleksi Kebun Raya ”Eka Karya” Bali. Berdasarkan hasil penelitian Putri (2010) yang dilakukan selama kurun waktu 2008–2010, koleksi ini memiliki waktu berbunga dan berbuah sebagai berikut. 1. Koleksi asal Sulawesi Tenggara (E20030970/N.21-21a,b/War306) ini dikoleksi sejak tahun 2003 dan mulai berbunga pada bulan Mei dan Juni 2008 yang dilanjutkan berbunga kembali pada bulan Oktober, November, Desember. Sebelum bunga muncul, selalu diawali dengan munculnya tunas bunga yang mengalami dormansi sekitar 2–3 bulan. Menurut Sung & Chang (2001), tunas bunga akan memasuki dormansi lebih tepatnya endodormansi apabila kondisi lingkungan tidak sesuai dan biasanya terjadi karena perbedaan suhu yang disebabkan adanya perubahan atau pergantian musim. Berakhirnya endodormansi pada koleksi ini memasuki musim penghujan yaitu antara bulan Oktober–November. Begitu selanjutnya untuk tahun 2009 dan 2010, namun tidak lagi mengalami endodormasi. Jumlah bunga yang muncul setiap kali berbunga banyak yaitu lebih dari 16 kuntum dalam satu perbungaan dengan lama mekar sekitar 2–4 minggu.
99
b
a
c
d
Gambar 1. a. Morfologi buah R. seranicum J.J.Sm.; b. sisik pada permukaan bawah daun; c. biji (pengamatan mikroskop perbesaran 40 kali); d. buah yang sudah pecah.
b a
c
d
Gambar 2. Variasi morfologi bunga pada Rhododendron seranicum J.J.Sm. a. Asal Sulawesi Tenggara (E20030970/N. 21-21a,b/War 306); b. Asal Sulawesi Tengah (E200408219/N.116-116a/dd.189); c. Asal Sulawesi Selatan (E200509499/N.139-139a/Dm. 1232); d. Asal Sulawesi Tengah (E200408223/N. 118-118a/dd. 193)
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
100
Tabel 1. Koleksi Rhododendron seranicum J.J.Sm. di Kebun Raya ‘Eka Karya Bali Tahun No. Kolektor Asal Keterangan Koleksi 1
I Wayan Warnata (War 306)
2
Dyan Meiningsasi (dd.189)
3
Dyan Meiningsasi (dd.193)
4
Dewa Putu Darma (1232)
5
I Gede Tirta (GT 2946)
Kawasan Hutan Lindung Mala-mala, Kec. Kodeoha, Kab. Kolaka Sulawesi Tenggara Cagar Alam Tinombala, Ds. Labonu, Kec. Bosidondo, Kab. Tolitoli, Sulawesi Tengah Cagar Alam Tinombala, Ds. Labonu, Kec. Bosidondo, Kab. Tolitoli, Sulawesi Tengah Pegunungan Latimojong, Ds. Rante Balla, Kec. Latimojong, Kab. Luwu, Sulawesi Selatan Taman Nasional Manusela, Maluku
2. Koleksi asal Sulawesi Tengah (E200408219/N.116-116a/dd.189) berbunga pada bulan Februari dan Maret dengan jumlah bunga hanya sekitar 6–10 kuntum saja dalam satu perbungaan dengan lama mekar sekitar tiga minggu. 3. Koleksi asal Sulawesi Tengah (E200408223/N.118-118a/dd.193) berbunga sepanjang tahun. Hal ini berbeda dengan ketiga individu koleksi lainnya. Perbedaan ini bisa terjadi dimungkinkan berbedanya daya adaptasi pada individu terhadap perubahan lingkungan serta aktivitas fisiologis masing–masing individu pada masa generatifnya. Jumlah bunga yang muncul juga banyak berkisar antara 15–20 kuntum dalam satu perbungaan dengan lama mekar sekitar tiga minggu. 4. Koleksi asal Sulawesi Selatan (E200509499/N.139-139a/Dm.1232), ini dikoleksi sejak tahun 2005 dan mulai berbunga sejak bulan September hingga Oktober 2010. Sama halnya dengan koleksi yang berasal dari Sulawesi Tenggara, jenis ini juga tunas bunganya mengalami endodormansi sebelum bunga mekar. Jumlah bunga 16 kuntum dalam satu perbungaan dengan lama bunga mekar sekitar 2–4 minggu. Kondisi ini sedikit berbeda dengan koleksi yang dimiliki Royal Botanic Garden Edinburgh yang dilaporkan masa berbunga antara bulan Agustus hingga Februari (Argent, 2006). Kemungkinan yang bisa menjadi penyebabnya adalah faktor musim yang berbeda. Namun, dapat dipastikan bahwa jenis ini dapat berbunga pada musim dengan suhu yang cukup rendah. Setelah masa berbunga
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
2003
2004
Tumbuh pada tempat terlindung, ketinggian 1.600 m dpl. Ditanam di Nursery 21–21a, b pada tanggal 10 Septeber 2003 Tumbuh pada tempat terbuka, ketinggian 2.200 m dpl. Ditanam di Nursery 116–116a pada tanggal 7 Februari 2006.
2004
Tumbuh pada tempat terbuka, ketinggian 2.200 m dpl. Ditanam di Nursery 118–118a pada tanggal 7 Februari 2006.
2005
Tumbuh pada ketinggian 1.452 m dpl. Ditanam di Nursery 139–139a pada tanggal 17 Januari 2006.
2010
Tumbuh pada tempat terbuka, tanah merah, ketinggian 1.200 m dpl. Masih proses aklimatisasi di Pembibitan (3 spesimen)
kemudian dilanjutkan dengan masa berbuah. Buah berwarna merah, menggelendong dengan permukaan licin. Lama buah sampai matang dan menghasilkan biji rata-rata sekitar lima minggu. Dari pengamatan tersebut, kelas/grading pertumbuhan generatif pada jenis ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3a. Pertumbuhan generatif pada Rhododendron seranicum J.J.Sm. (E20030970/N. 21-21a,b/War 306)
Gambar 3b. Pertumbuhan generatif pada Rhododendron seranicum J.J.Sm. (E200408219/N.116-116a /dd. 189)
101
Gambar 3c. Pertumbuhan generatif pada Rhododendron seranicum J.J.Sm. (E200408223/N. 118-118a/dd. 193)
Gambar 3d. Pertumbuhan generatif pada Rhododendron seranicum J.J.Sm. (E200509499/N.139-139a/Dm. 1232)
Perbanyakan Di Kebun Raya “Eka Karya” Bali, perbanyakan R. seranicum dilakukan baik secara konvensional maupun in-vitro. Perbanyakan secara konvensional dilakukan dengan setek pucuk dan cangkok. Media yang digunakan dalam perbanyakan dengan setek pucuk merupakan kombinasi media akar kadaka:pakis:arang dengan perbandingan 2:2:1 (Putri dkk. 2006). Bagian yang banyak digunakan untuk perbanyakan adalah setek yang sehat (bebas dari hama dan penyakit), tidak terlalu tua atau terlalu muda. Setek dipotong sepanjang 10–15 cm (3–4 mata tunas) dengan bagian pangkal miring. Pemotongan dilakukan menggunakan pisau tajam atau gunting setek. Untuk memacu perakaran digunakan zat pengatur tumbuh (ZPT). Bagian pangkal setek direndam dalam larutan yang berisi campuran zat pengatur tumbuh (ZPT) dan air. Apabila menggunakan Rootone F, pangkal setek dibasahi dengan air yang kemudian dilumuri dengan Rootone F atau direndam dalam larutan Rootone F selama 10 sampai 15 menit.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Setek ditanam dalam media campuran pasir dan tanah dengan perbandingan 1:1. Pangkal setek ditanam sedalam 1/3–1/2 bagian atau minimal dua atau tiga ada mata tunas di atas permukaan tanah. Perawatan selanjutnya adalah melakukan penyiraman secara teratur untuk mengondisikan media tetap lembap. Penyiraman sebaiknya dilakukan dengan menggunakan embrat atau sprayer berlubang lembut agar air tersiram secara merata dan tidak mengubah posisi setek. Untuk menjaga kelembapan media dapat dilakukan dengan cara menyungkup setek dengan plastik transparan. Perbanyakan melalui teknik cangkok menggunakan media cacahan akar kadaka yang telah direndam dengan air mendidih. Perendaman ini bertujuan untuk membunuh jamur atau bakteri yang dapat mengganggu proses pengakaran. Lama cangkok hingga siap tanam sekitar 2–3 bulan atau sampai muncul akar dan siap untuk ditanam di pot atau polybag. Penelitian perbanyakan Rhododendron seranicum J.J.Sm. melalui teknik kultur jaringan juga telah dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan meliputi teknik sterilisasi dan perkecambahan biji secara in-vitro. Namun penelitian belum menunjukkan hasil yang optimal sehingga masih diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk mendukung penambahan jumlah spesimen hidup koleksi Rhododendron seranicum J.J.Sm. di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Potensi Rhododendron merupakan salah satu sumber daya alam yang berpotensi sebagai tanaman hias dan obat. Di daerah Malesiana, Rhododendron telah banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias dan merupakan komoditas hortikultura yang penting, baik itu Rhododendron jenis maupun yang merupakan hasil hibridisasi. Jenis R. seranicum J. J. Sm. sangat berpotensi dijadikan tanaman hias karena warna dan bentuk bunga yang unik. Jenis ini dapat dijadikan induk untuk usaha perbanyakan, baik secara vegetatif maupun generatif karena material hasil eksplorasi tersedia cukup banyak. Selain itu, biji yang dihasilkan pun cukup banyak, namun masih perlu dilakukan uji viabilitas biji untuk memastikan potensi biji dapat berkecambah dan dapat menghasilkan individu baru. Keragaman bentuk mahkota bunganya juga sangat berpotensi untuk dilaku-
102
kan persilangan untuk menghasilkan varietasvarietas baru dengan penampilan bunga yang lebih menarik. Sampai saat ini belum ada laporan mengenai potensi R. seranicum J.J.Sm. sebagai bahan obat. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya potensi obat dalam jenis ini, karena sebagian besar jenis Rhododendron memiliki potensi obat/racun yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Seperti yang dilaporkan Heyne (1987) bahwa sebagian masyarakat Asia Tenggara dan sekitarnya memanfaatkan Rhododendron sebagai obatobatan tradisional, sebagai obat penyakit kulit (Papua Nugini), obat kuat (Sabah), dan R. viladii untuk obat gatal (Filipina). Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia diketahui bahwa R. kanori dan R. macgregoriae berpotensi sebagai antibakterial, selain itu R. javanicum dan R. macgregoriae juga bermanfaat sebagai penghasil senyawa flavonoid (Indonesia). KESIMPULAN Dengan diketahuinya potensi keindahan bunga Rhododendron seranicum J.J.Sm. maka tanaman ini sangat berpotensi dikembangkan sebagai tanaman hias. Selain itu, dengan adanya informasi tentang ciri morfologi, masa berbunga, dan cara perbanyakan diharapkan masyarakat dapat mengenal dan mulai membudidayakan tanaman tersebut dengan baik. Diharapkan masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam kegiatan konservasi dan meman-
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
faatkannya secara komersial sekaligus dapat mengelolanya secara berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Argent, G. 2006. Rhododendron of Subgenus Vireya. Edinburgh: Royal Botanic Garden. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Cetakan I. Terjemahan Badan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan RI. Putri, D.M.S., I.N. Sudiatna dan I.M. Ardaka. 2006. Uji Pendahuluan Perbanyakan Rhododendron spp. Di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Laporan Teknik 2006. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bali. Putri, D.M.S. 2010. Studi Biologi Bunga Koleksi Rhododendron spp. (Sub Sect. Vireya) Kebun Raya “Eka Karya“ Bali. Laporan Teknik 2010. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya“ Bali-LIPI, Bali. Sung, F.H and Chang, Y.S. 2001. “Rhododendron mucronatum G. Don Grown in Subtropical Taiwan Does not Manifest Endodormancy”. Botanical Bulletin of Academia Sinica, 42: 187–191. Zomlefer, W. B. 1994. Guide to Flowering Plant Families. Chapell Hill, London: The University of North Carolina, Press.
103
RESPONS PERUBAHAN MORFOLOGI PORANG (Amorphophallus muelleri Blume) TERHADAP PERLAKUAN UREA DAN KAPUR
1
Serafinah Indriyani1, Tatik Wardiyati2, Hery Purnobasuki3 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya, Malang 2 Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang 3 Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya E-mail:
[email protected];
[email protected]
ABSTRACT – Objective of this research is to study the response of the morphological changes of porang using dolomit and urea treatment. Porang bulbs planted in a polybag. The study design used was factorial experiment consisted of two factors using randomized block design. The first factor: level of N consists of four treatments: (1) 0 g/ polybag (N0), (2) 2.16 g/ polybag (N1), (3) 4.32 g/ polybag (N2), and (4) 6.36 g/ polybag (N3). The second factor: level of dolomit consists of four treatments: (1) 0 g/ polybag (Ca0), (2) 0.06 g/ polybag (CA1), (3) 0.12 g/ polybag (Ca2 +), and (4) 0.24 g/ polybag (CA3). Data analyses by two-way ANOVA test followed by Duncan's Multiple Range Test (DMRT) at α = 0.05. Morphological variables observed are porang plant height, crown diameter, stem diameter pseudo bulb diameter, root thickness and tuber weight. The results showed that the observed morphology of porang is affected by urea level. Dose of urea from 2.16 to 4.32 g/ polybag gave porang morphology better than the control group and 6.36 g urea dose / polybag. Dolomit had no effect on porang morphology. Porang bulbs weight influenced by interaction between urea and dolomit level. Dolomit dose 0.06 g/ polybag and 0.12 g/ polybag with urea dose of 2.16 g/ polybag and 4.32 g / polybag gave good morphological porang doses than other doses. Keywords: Amorphophallus muelleri; Dolomit; Plant anatomy; Urea.
PENDAHULUAN Porang memiliki nama ilmiah Amorphophallus muelleri Blume sinonim A. blumei (Schott) Engler sinonim A. oncophyllus Prain sinonim A. burmanicus Hook.f. Kerabat porang adalah suweg (A. campanulatus sinonim A. paeoniifolius), acung atau kembang gaceng (A. variabilis), dan bunga bangkai (A. titanum). Semua jenis Amorphophallus termasuk dalam suku Araceae. Amorphophallus spp. tumbuh liar (wild plant) seperti di pinggir hutan jati, di bawah naungan rumpun bambu, di tepi sungai, di semak belukar, dan di tempat-tempat di bawah naungan yang bervariasi (Jansen et al., 1996). Amorphophallus spp. telah dikenal di Asia sebagai tanaman penghasil umbi (corm) bernilai ekonomis tinggi. Pengelolaan umbi porang menghasilkan tepung sebagai bahan makanan untuk mi, tahu, rengginang, bahan campuran untuk minuman, dan lain-lain. Keunggulan dan multimanfaat porang selain menjadi bahan pembuat konyaku (sejenis tahu) dan shirataki (sejenis mi) untuk masakan Jepang, juga untuk keperluan industry, antara lain mengilapkan kain seperti katun/wol, perekat kertas, cat, dan bahan imitasi yang memiliki sifat lebih baik dari amilum dan
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
praktis serta harganya lebih murah. Bahan ini juga dapat dimanfaatkan sebagai pengganti agar-agar dan gelatin sebagai bahan pembuatan film negatif, isolator, dan seluloid karena sifatnya mirip selulosa. Apabila larutan mannan atau glukomannan dicampur dengan gliserin atau natrium hidroksida, dapat dibuat bahan kedap air. Selain itu, glukomannan juga dapat digunakan untuk menjernihkan air dan memurnikan bagian-bagian koloid yang terapung dalam industri bir, gula, minyak, dan serat. Bagi industri farmasi, kemampuan parutan porang segar dapat menyembuhkan luka, selain itu dapat diolah sebagai bahan perekat tablet dan pembungkus kapsul (Sulaeman, 2004; Prihatyanto, 2007). Di Asia, Indonesia termasuk negara pengekspor bahan baku dari umbi porang ke berbagai negara termasuk Jepang, Australia, dan Uni Eropa. Pada zaman penjajahan Jepang, tanaman umbi-umbian ini berguna dalam mendukung ketahanan pangan Indonesia, terutama bagi masyarakat yang kesulitan menyediakan beras atau sumber karbohidrat lainnya (Pitojo, 2007). Meskipun umbi porang bersifat multifungsi untuk berbagai kebutuhan manusia, akan tetapi seperti halnya kebanyakan tanaman dari familia Araceae, kandungan kalsium
104
oksalatnya sangat tinggi. Oleh karena itu, umbi porang tidak dapat dikonsumsi secara langsung. Oksalat di dalam makanan berakibat tidak baik bagi kesehatan karena dua alasan, yaitu (1) oksalat adalah antinutrien yang memengaruhi tidak tersedianya kalsium yang diperlukan bagi tubuh manusia, dan (2) pada beberapa kasus, hewan ternak dapat teracuni tumbuhan yang mengandung oksalat (Nakata, 2003). Dalam jumlah cukup tinggi, asam oksalat dan kristal kalsium oksalat menyebabkan aberasi mekanik dari saluran pencernaan dan tubulus yang halus di dalam ginjal. Secara kimia kristal ini menyerap kalsium yang penting untuk fungsi saraf dan serat-serat otot. Pada kasus yang ekstrim, penyerapan kalsium ini menyebabkan hypocalcemia dan paralysis yang berakibat fatal (Brown, 2000). Noonan dan Savage (1999) menyatakan meskipun faktor yang lain dapat menyebabkan gangguan pada ginjal, namun direkomendasikan untuk membatasi makan makanan yang banyak mengandung oksalat khususnya bagi orang yang berisiko terkena batu ginjal. Tanaman menghasilkan oksalat, termasuk tanaman pangan dengan rentang 3–80% dari berat kering tanaman. Hingga saat ini telah diinformasikan secara ilmiah tentang pengaruh sifat kimia tanah dengan percobaan pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil umbi porang, namun belum diinformasikan tentang pengaruh sifat kimia tanah dengan percobaan pemupukan terhadap perubahan morfologi porang. Untuk itu, penelitian tentang respons perubahan morfologi porang terhadap pemberian urea dan kapur merupakan informasi yang penting. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental. Rancangan penelitian yang digunakan adalah percobaan faktorial terdiri atas dua faktor yang dilaksanakan dengan rancangan acak kelompok, mengingat percobaan dilakukan di lapang (Sastrosupadi, 2000; Kusriningrum, 2008). Teknik sampling yang digunakan adalah sampling acak. Faktor pertama: taraf pemberian urea/N dibuat empat taraf, yaitu (1) 0 g/polybag (N0), (2) 2,16 g/polybag (N1), (3) 4,32 g/polybag (N2), dan (4) 6,36 g/polybag (N3). Faktor kedua: taraf pemberian kapur/Ca dibuat empat taraf, yaitu: (1) 0 g/polybag (Ca0), (2) 0,06 g/polybag (Ca1),
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
(3) 0,12 g/polybag (Ca2), dan (4) 0,24 g/polybag (Ca3). Umbi porang yang digunakan sebagai bibit adalah yang telah mengalami satu periode tumbuh sesuai deskripsi dari Sumarwoto (2004a, 2005) yang berasal dari Desa Klangon Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun. Selanjutnya, diamati secara berkala seminggu sekali. Pada akhir pengamatan dicatat tinggi tanaman, diameter tajuk, diameter pangkal batang semu, diameter umbi, tebal umbi, dan berat umbi. Data diolah dengan menggunakan uji Anova dua arah untuk mengetahui pengaruh kelompok-kelompok hasil interaksi faktor. Apabila terdapat interaksi antara dua faktor maka dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple Range Test (DMRT) pada α = 5%. Pengolahan data menggunakan software (Statistical Product and Service Solutions) SPSS 16.0 for Windows. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan morfologi porang sebagai respons terhadap perlakuan urea, tetapi tidak terdapat perubahan morfologi porang sebagai respons terhadap perlakuan kapur dan interaksi keduanya. Morfologi porang meliputi tinggi tanaman, diameter tajuk, diameter batang semu, diameter umbi, dan tebal umbi porang dipengaruhi perlakuan urea dan tidak dipengaruhi perlakuan kapur serta interaksi perlakuan urea dan kapur. Pada dosis urea 2,16 g/polybag dan 4,32 g/polybag; tinggi tanaman, diameter tajuk, diameter batang semu, diameter umbi, dan tebal umbi porang lebih baik dibanding kontrol dan dosis urea 6,36 g/polybag (Tabel 1). Terdapat perubahan morfologi untuk berat umbi porang terhadap interaksi perlakuan urea dan kapur atau dengan kata lain perlakuan urea dan kapur secara bersama-sama memengaruhi berat umbi porang. Perlakuan tanpa kapur (dosis kapur 0,0 g/polybag) dan dosis kapur 0,12 g/polybag pada berbagai dosis urea, menunjukkan hasil bahwa berat umbi porang meningkat hingga dosis urea 4,32 g/polybag selanjutnya menurun pada dosis urea 6,36 g/polybag. Perlakuan dosis kapur 0,06 g/polybag dan 0,24 g/polybag pada berbagai dosis urea, menunjukkan hasil bahwa berat umbi porang meningkat sampai dengan dosis urea 2,16 g/polybag selanjutnya menurun pada
105
dosis urea 4,32 g/polybag dan 6,36 g/polybag (Tabel 2). Perubahan morfologi porang terhadap perlakuan urea dan kapur belum banyak dilaporkan, tetapi pengaruh kapur terhadap perubahan kadar bahan kimia tertentu di dalam umbi porang telah dilaporkan. Sumarwoto (2004a) menyatakan bahwa pemberian kapur (4 ton/ha) dan pupuk kandang (7,5 ton/ha) tidak meengaruhi rendemen keripik, kadar glukomannan, dan derajat warna putih tepung ilesiles, di samping itu pemberian pupuk P dan K pada berbagai taraf dosis (0, 5, 10, dan 15) g P2O dan K2O per tanaman, tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil umbi. Namun, penelitian sejenis oleh Sumarwoto (2008) pada elephant food yam (A. muelleri) periode tumbuh satu yang diberi pupuk N dan K menunjukkan bahwa ada interaksi nyata antara perlakuan dosis pupuk N (0, 2,25, 4,5 dan 6,75) g urea dan pupuk K (0, 3, 6 dan 9) g K2O terhadap perubahan morfologi umbi (diameter, tebal, dan bobot umbi), sedangkan pada semua peubah morfologi tanaman (tinggi tanaman, diameter tajuk, dan diameter batang semu) tidak terjadi interaksi nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kapur secara statistik tidak memengaruhi morfologi porang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Streeter (2005) yang menyatakan bahwa akumulasi kapur di dalam organ tumbuhan tetap stabil meskipun ditambah kapur dari luar, dengan demikian kapur tidak memengaruhi morfologi tanaman. Untuk
kondisi tanah yang banyak mengandung Al (Aluminium), pemberian kapur pada tanah ternyata dapat meningkatkan pertumbuhan atau morfologi tanaman. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian Sumarwoto (2004b) yang memberikan informasi bahwa pemberian kapur pada tanah dengan kadar Al dapat ditukar (Aldd) tinggi sangat diperlukan sampai pada taraf pengapuran 1 ton/ha kapur pertanian (kaptan) untuk setiap 1 me Al dapat ditukar/100 g (20 ton kaptan/ha). Peningkatan pengapuran hingga 40 ton kaptan/ha pada tanah dengan Al dapat ditukar tinggi mengurangi pertumbuhan dan hasil umbi yang disebabkan oleh kurang tersedianya unsur P. Kadar Al dalam umbi tertinggi didapatkan pada tanah tanpa pemberian kaptan. Tanah dengan Al dapat ditukar tinggi yang ditambah dengan pupuk kandang dan berpH asam (4,55) masih dapat menghasilkan umbi porang. Perlakuan urea dan kapur akan menyebabkan kondisi sifat kimia tanah berubah yang pada akhirnya akan memengaruhi atau mengubah morfologi tanaman yang tumbuh di atasnya. Hal ini juga dilaporkan oleh Indriyani dkk. (2011a, 2011b) bahwa morfologi porang dapat berubah karena kondisi tinggi tempat, iklim, sifat kimia tanah, dan adanya vegetasi yang terdapat di sekitar pertanaman porang. Dengan bertambahnya nutrien N dalam media tanah akan tersedia banyak N yang dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Namun, jika N berlebihan akan menyebabkan tanaman menjadi keracunan sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kurang baik.
Tabel 1. Hasil uji beda untuk mengetahui respons perubahan morfologi porang (tinggi tanaman, diamater tajuk, diameter batang semu, diameter umbi dan tebal umbi) terhadap perlakuan N (N = 96) Variabel morfologi Dosis urea/N (g/polybag) Tinggi Diameter Diameter batang Diameter umbi Tebal umbi tajuk (cm) semu (cm) (cm) (cm) tanaman (cm) N0 (0,00)
86,15b
79,91a
2,83b
5,26a
7,35a
N1 (2,16)
94,76c
94,93b
3,28c
7,98b
8,01c
N2 (4,32)
95,72c
101,93b
3,35c
7,35ab
7,62ab
N3 (6,36)
80,15a
75,28a
2,26a
5,88a
7,72ab
Keterangan: superscript huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = 0,05
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
106
Tabel 2. Hasil uji beda untuk mengetahui pengaruh interaksi perlakuan urea dan kapur terhadap berat umbi (N = 96) Urea/N N0 N1 N2 N3 Rerata (g/polybag) (0,00) (2,16) (4,32) (6,36) Kapur/Ca (g/polybag) Ca0 (0,00)
459,93ab
764,63efg
804,80fg
652,50bcdefg
670,47
Ca1 (0,06)
617,75bcdef
887,19g
772,09efg
489,62abc
691,66
Ca2 (0,12)
555,95abcde
743,22defg
858,97g
699,39cdefg
714,38
Ca3 (0,24)
471,00abc
876,58g
361,76a
511,40abcd
555,19
Rerata
526,16
817,91
699,41
588,23
Keterangan: superscript huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = 0,05
KESIMPULAN Perlakuan berbagai dosis urea dapat mengubah morfologi porang meliputi tinggi tanaman, diameter tajuk, diameter batang semu, diameter umbi, dan tebal umbi; sedangkan perlakuan berbagai dosis kapur serta perlakuan interaksi berbagai dosis urea dan kapur secara bersamasama tidak mengubah morfologi porang. Perubahan morfologi umbi (berat umbi) porang terjadi sebagai respons terhadap perlakuan interaksi berbagai dosis urea dan kapur. DAFTAR PUSTAKA Brown D, 2000. Aroids: plants of the arum family. Second Edition. Portland. Oregon: Timber Press. Indriyani S, E. Arisoesilaningsih, T. Wardiyati dan H. Purnobasuki. 2011a. “A model of relationship between climate and soil factors related to oxalate content in porang (Amorphophallus muelleri Blume) corm”. Biodiversitas 12 (1): 45 – 51 . Indriyani S, 2011b. “Pola pertumbuhan porang (Amorphophallus muelleri Blume) dan pengaruh faktor lingkungan terhadap kandungan oksalat dan glukomannan umbi”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya. Jansen P.C.M, C. van der Wilk., W.L.A Hetterscheid, 1996. “Amorphophallus Blume ex Decaisne”. In: Flach M dan F. Rumawas (eds.). Plant Resources of South-East Asia 9: Plants yielding Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
non-seed carbohydrates. Bogor: Prosea Foundation. Kusriningrum RS, 2008. “Perancangan percobaan”. Surabaya: Airlangga University Press. Nakata PA, 2003. “Advances in our understanding of calcium oxalate crystal formation and function in plants”. Plant Science, 164: 901 – 909. Noonan S.C., G.P. Savage 1999. “Oxalic acid content of foods and its effect on human”. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 8: 64 – 74. Pitojo S, 2007. “Seri Budidaya: Suweg: bahan pangan alternatif, rendah kalori”. Yogyakarta: Kanisius. Prihatyanto T, 2007. “Budidaya porang”. (http://www.Majalah Kehutanan Indonesia Edisi II Tahun 2007.htm, diakses tanggal 4 Desember 2007). Sastrosupadi A, 2000. Rancangan percobaan praktis bidang pertanian. Edisi revisi. Yogyakarta: Kanisius. Streeter JG. 2005. “Effects of nitrogen and calcium supply on the accumulation of oxalate in soybean seeds”. Crop Science, 45: 1464 – 1468. Sulaeman AR, 2004. “Porang, sejahterakan warga sekaligus lestarikan hutan klangon”. (http://www.kompas.com/kompascetak/0401/19/humaniora/, diakses tanggal 4 Desember 2007). Sumarwoto, 2004a. “Beberapa aspek agronomi iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume)”. Disertasi. Sekolah
107
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sumarwoto, 2004b. “Pengaruh pemberian kapur dan ukuran bulbil terhadap pertumbuhan iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) pada tanah ber-Al tinggi”. Ilmu Pertanian, 11 (2): 45–53. Sumarwoto, 2005. “Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume); deskripsi dan sifat-
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
sifat lainnya”. Biodiversitas, 6 (3): 185–190. Sumarwoto, 2008. “Pertumbuhan dan hasil elephant food yam (Amorphophallus muelleri Blume) periode tumbuh pertama pada berbagai dosis pupuk N dan K”. Agrivita Jurnal Ilmu Pertanian, 30 (1): 67–74.
108
EKSPLORASI BEGONIA DI SEBAGIAN TAMAN NASIONAL MANUSELA, MALUKU I Gede Tirta, I Made Ardaka dan Ni Kadek Erosi Undaharta UPT BKT Kebun Raya “Eka Karya” Bali LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan Bali 82191 E-mail:
[email protected] ABSTRACT – Field survey on the diversity of Begonia has been conducted in Manusela National Park in 2011. The result shows twenty number of Begonia including six number presumably new collection for Bali Botanical Garden. Two species were identified that is Begonia koordeersii Warb. ex L.B.Sm. & Wassh and B. aptera sensu L.B.Smith & D.C.Wasshausen. Keywords: Begonia; Manusela National Park; Maluku
PENDAHULUAN Keanekaragaman jenis Begonia alam yang ada di dunia diperkirakan lebih dari 1.600 jenis yang tersebar di kawasan tropik dan subtropik (Kiew, 2005), di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 200 jenis, di Papua sebanyak 70 jenis (Smith et al., 1986), sedangkan di Bali terdapat empat jenis Begonia (Girmansyah et al., 2007). Di Maluku terdapat tiga jenis Begonia (Hughes, 2010). Di Indonesia, Begonia masih belum mendapatkan penanganan yang serius, bahkan keberadaannya cenderung terabaikan, padahal Begonia dapat dikembangkan sebagai komoditas tanaman hias. Di negara-negara maju telah terbentuk asosiasi-asosiasi pencinta Begonia, antara lain Australian Begonia Societies, American Begonia Societies, National Begonia Societies, Societe Belge du Begonia, Association Francoise de Amateurs de Begonias, dan Japan Begonia Societies. Seiring dengan semakin berkembangnya asosiasi dan perdagangan Begonia di luar negeri, kegiatan eksploitasi di tempat asal juga berjalan terus sehingga mengancam kelestarian plasma nutfah Begonia di alam. “Eka Karya” Bali telah memiliki koleksi Begonia terlengkap di Indonesia yang tertata dalam Taman Begonia yang berisi 290 jenis (89 jenis Begonia alam dan 201 Begonia eksotik). Hoover et al., (2008), mengatakan bahwa Kebun Raya “Eka Karya” Bali mempunyai koleksi Begonia terlengkap di dunia. Untuk penambahan koleksi Begonia telah dilakukan eksplorasi di Taman Nasional Manusela (TNM) Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Pada kegiatan Ristek tahun 2010 berhasil dikoleksi sebanyak 19 nomor Begonia spp, tujuh nomor diantaranya diduga koleksi jenis baru. Sementara itu pada tahun 2011 kegiatan eksplorasi dilakukan di TNM mengingat luas wilayahnya 189.000 ha (Anonim, 2005), topografinya bervariasi sehingga diperediksi masih terdapat Begonia jenis baru. Berdasarkan bentuk morfologi dan sifat fisiologinya, perbanyakan Begonia dapat dilakukan dengan setek (setek pucuk, batang atau rhizoma), dengan daun, dengan umbi dan biji. Menurut Hartutiningsih et al. (2006), perbanyakan dengan setek pucuk, batang, dan setek rhizoma merupakan cara perbanyakan yang paling umum dan mudah dilakukan untuk seluruh Begonia. Batang atau cabang yang digunakan untuk setek sebaiknya tidak terlalu tua atau terlalu muda. Batang/cabang yang tua memiliki pertumbuhan sel kurang aktif sehingga lama membenuk akar, sedangkan batang yang muda memiliki proses penguapan yang sangat cepat sehingga setek cepat layu, lemah, dan akhirnya mati. BAHAN DAN METODE 1. Eksplorasi Eksplorasi dilakukan di Taman Nasional Manusela (TNM) Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku (Gambar 1) tanggal 24 Mei s.d. 9 Juni 2011. Lokasi eksplorasi yang dipilih (purposive sampling) mengikuti rute jalan rintisan atau semak terutama pada lokasi yang kondisinya lembap seperti (DAS) daerah aliran sungai dan terumbu batu kapur. Faktor lingkungan yang
109
diukur adalah suhu dan kelembapan udara, keasaman (pH) dan kelembapan tanah, intensitas cahaya, kemiringan, ketinggian (altitude). Suhu dan kelembapan udara diukur dengan termohydrometer, keasaman (pH) dan kelembapan tanah diukur menggunakan soiltester. Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan lux meter, kemiringan lokasi diukur dengn Sunto dan ketinggian tempat diukur dengan Global Position System (GPS).
Gambar 1. Peta Taman Nasional Manusela di Maluku eksplorasi Begonia 2. Identifikasi Identifikasi dilakukan dengan pengumpulan spesimen tumbuhan dan pengamatan morfologi. Untuk tumbuhan yang belum diketahui jenisnya, maka dibuat herbarium dan dibandingkan dengan spesimen yang ada di Herbarium Kebun Raya ”Eka Karya” Bali dan Puslitbang Biologi. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Topografi dan Tanah Begonia alam terdapat pada daerah dengan ketinggian antara 40–1.200 m di atas permukaan laut. Begonia TMN paling banyak ditemukan di tepi sungai dan tanah berlereng dengan penyebaran cenderung mengelompok. Menurut Barbour et al. (1987), ada dua alasan terjadinya pola mengelompok, yaitu berhubungan dengan reproduksi biji atau buah cenderung jatuh dekat induknya dan pada tanah-tanah yang berdekatan dengan keadaan iklim mikronya. Kemiringan lahan di lokasi penelitian berkisar antara 100–800 dan hampir pada setiap interval kemiringan tersebut terdapat Begonia. Jenis tanah di lokasi penelitian termasuk latosol dengan tekstur geluh lempungan, sedangkan pH
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
tanah berkisar antara 5,8–6,2 dan sebagian besar Begonia diemukan tumbuh pada pH 6,0 yaitu sebanyak delapan jenis. Adapun pada kemiringan 210–300 Begonia yang dapat ditemukan sebanyak delapan jenis. 2. Suhu dan Kelembapan Suhu udara pada setiap petak penelitian 220C– 320C. Kisaran suhu tersebut merupakan salah satu ciri iklim hutan hujan tropik dengan suhu tinggi pada musim kemarau dan suhu rendah pada musim hujan. Keragaman suhu yang terjadi di hutan hujan tropik terutama ditentukan oleh perimbangan sinar matahari yang terhalang oleh daun dan percabangan pohon pada tingkat yang berbeda. Kondisi tajuk pohon sangat memengaruhi perbedaan suhu antara lapisan atas hutan dengan lapisan bawah (Ewusie, 1980). Jenis-jenis Begonia yang dijumpai pada lokasi tersebut menunjukkan sebagian besar tumbuh pada suhu 280C. Kelembapan udara di lokasi penelitian berkisar antara 60–100% (musim hujan). Jumlah jenis terbanyak ditemukan pada kelembapan 100%. Tingginya kelembapan udara tercermin dari permukaan tanah yang basah dan cepatnya laju bahan organik menjadi serasah. Pada keadaan yang terbuka di daerah hutan tropik basah, kelembapan cenderung tinggi walaupun pada musim kemarau. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ewusie (1980) bahwa kelembapan di pegunungan daerah tropik meningkat seiring dengan bertambahnya ketinggian. 3. Penyebaran Begonia Begonia sebagian besar terdapat di Masihulan TNM, sedangkan untuk Begonia yang lainnya menyebar secara tidak merata, bahkan ada beberapa jenis yang dijumpai pada lokasi yang sama mengelompok dengan jumlah yang sangat banyak. Penyebaran Begonia pada berbagai ketinggian tempat hampir merata. Ketinggian tempat merupakan faktor yang menentukan kelangsungan hidup bagi suatu habitat. Dengan semakin bervariasinya topografi dan ketinggian tempat maka akan berpengaruh pada sifat dan sebaran komunitas tumbuhan (Ewusie, 1980). Pada ketinggian 0–500 m dpl. ditemukan sebanyak sepuluh jenis Begonia dan pada kisaran ketinggian tersebut paling banyak
110
ditemukan jenis Begonia. Sementara itu, jenis yang mendominasi dan mampu berinteraksi dengan Begonia adalah Pilea sp. 4. Perolehan Koleksi Perolehan koleksi sebanyak 20 nomor Begonia spp. (Tabel 1), termasuk enam nomor diduga merupakan tambahan koleksi baru bagi Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Sebagian besar koleksi yang ditemukan ini diambil dalam bentuk stek batang, ditanam dan diaklimatisasi di
Pembibitan Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Begonia 12 merupakan salah satu jenis koleksi baru yang ditemukan pada tepi sungai dengan ketinggian 962 m dpl., tingkat kemiringan 0– 10%, kelembaban 90% (Gambar 2). Begonia 12 ditemukan pada ketinggian 500–1000 m dpl., pada tingkat kemiringan 21–30%, kelembaban 100%. Selanjutnya, Begonia 14, 15, 17, dan 18 ditemukan di dataran rendah pada ketinggian 0– 500 m dpl. dengan kemiringan 0–30% dan kondisi lingkungannya sangat lembab (80– 100%).
Gambar 3. Begonia koordeersii Gambar 2. Begonia sp.12 Tabel 1. Perolehan Koleksi Begonia dari Taman Nasional Manusela-Maluku Nomor No Tanggal Nama Tumbuhan Hab Jlh. Koleksi
Keterangan
Urt (Latin + Daerah) 1 27 Mei 2011 MA 81 Begonia sp.1 P 5 Litofit, agak terlindung, 395 m dpl. 2 27 Mei 2011 MA 82 Begonia koordeersii P 5 Litofit, agak terlindung, 984 m dpl. 3 27 Mei 2011 MA 83 Begonia sp.2 * P 5 Humus, terlindung, 987 m dpl. 4 27 Mei 2011 MA 84 Begonia sp.3 P 5 Agak terlindung, 991 m dpl. 5 27 Mei 2011 MA 85 Begonia sp.4 P 5 Tepi jalan, terlindung, 995 m dpl. 6 27 Mei 2011 MA 86 Begonia sp.5 P 5 Agak terlindung, 1.068 m dpl. 7 28 Mei 2011 MA 87 Begonia sp.6 P 3 Litofit, agak terlindung, 1.119 m dpl. 8 28 Mei 2011 MA 88 Begonia sp.7 P 5 Terlindung, 1.085 m dpl. 9 28 Mei 2011 MA 89 Begonia sp.8 P 5 Agak terlindung, 1.039 m dpl. 10 28 Mei 2011 MA 90 Begonia sp.9 P 5 Agak terlindung, 1.090 m dpl. 11 28 Mei 2011 MA 91 Begonia sp.10 P 5 Agak terlindung, 1.095 m dpl. 12 29 Mei 2011 MA 92 Begonia sp.11 P 2 Agak terlindung, 964 m dpl. 13 29 Mei 2011 MA 93 Begonia sp.12 * P 5 Tepi sungai, terlindung, 962 m dpl. 14 29 Mei 2011 MA 94 Begonia aptera P 5 Agak terlindung, 1.013 m dpl. 15 1 Juni 2011 MA 95 Begonia sp.13 P 5 Litofit, terlindung, 284 m dpl. 16 2 Juni 2011 MA 96 Begonia sp.14* P 5 Tanah liat, terlindung, 202 m dpl 17 2 Juni 2011 MA 97 Begonia sp.15 * P 5 Tepi sungai, terlindung, 66 m dpl 18 2 Juni 2011 MA 98 Begonia sp.16 P 5 Agak terlindung, 114 m dpl 19 2 Juni 2011 MA 99 Begonia sp.17 * P 5 Litofit, terlindung, 53 m dpl 20 2 Juni 2011 MA 100 Begonia sp.18* P 5 Agak terlindung, 46 m dpl Keterangan * = Diduga koleksi baru bagi Kebun Raya “Eka Karya” Bali, P=lebih dari setahun
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
111
5. Identifikasi Begonia Alam Hasil identifikasi Begonia sebanyak dua jenis, yaitu Begonia koordeersii Warb. ex L.B. Sm. & Wassh. dan B. aptera sensu L.B. Smith & D.C. Wassh. Begonia koordeersii (Gambar 3) memiliki batang tegak (cane like) dengan spotspot keputihan. Daun membundar panjang 12– 16 cm, lebar 13–21 cm. Bunga keluar dari ujung ruas batang. Dalam satu bunga terdiri atas bunga jantan dan betina. Begonia aptera memiliki batang tegak, bundar, panjang lebih kurang 60 cm, warna hijau kemerahan. Daun berbentuk lonjong, panjang 15–17 cm, lebar 7– 7,5cm. Warna hijau mengilat, hijau sampai merah kecokelatan. KESIMPULAN Perolehan koleksi hasil eksplorasi ke Taman Nasional Manusela sebanyak 20 nomor (Begonia sp. 1–20). Dari 20 nomor ini yang diduga merupakan koleksi baru bagi Kebun Raya “Eka Karya” Bali sebanyak enam nomor. Hasil identifikasi koleksi Begonia alam sebanyak dua jenis, yaitu Begonia koordeersii Warb. Ex L.B.Sm. & Wassh. dan B. aptera sensu L.B.Smith & D.C.Wassh. UCAPAN TERIMA KASIH Eksplorasi ini dibiayai oleh program Insentif Ristek Peneliti dan Perekayasa tahun 2011 dengan judul “Konservasi dan Domestikasi Begonia Kawasan Timur Indonesia”. Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Kepala UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali atas saran dan kepercayaannya. Terima kasih pula kami sampaikan kepada Bapak Kepala Taman Nasional Manusela atas pemberian izin memasuki kawasan dan bantuan tenaganya sehingga tugas kami berjalan lancar. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. “Laporan Identifikasi Objek Wisata Alam (OWA) di Desa Sawai dan Dusun Masihulan (Kawasan TN
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Manusela Utara)”. Departemen Kehutanan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Balai Taman Nasional Manusela. Masohi. Maluku. Tidak Dipublikasi. Barbour, M.G., J.H. Burk, and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second Edition. California: The Banjamin/Cummings Publishing Co, Inc. Girmansyah, D. Hartutiningsih-M. Siregar, M. Siregar, H. Wiriadinata & W.S. Hoover. 2007. “Conservation of Begonia (Begoniaceae) in Bali Botanic Garden, Indonesia”. Makalah disampaikan pada acara Simposium Flora Malesiana VII, 17–22 Juni 2007. The Netherlands, Leiden. Ewusie, J.Y. 1980. “Pengantar Ekologi Tropika”. Terjemahan. Bandung: ITB-Press. Hartutiningsih, M.S., IN. Sudiatna dan IM. Ardaka. 2006. “Begonia Eksotik dan Prospek Pengembangannnya di Kebun Raya “Eka Karya” Bali”. Warta Kebun Raya, 6 (1): 10–19. Hoover, S.W., J.M. Hunter., dan G. Salisbury. 2008. “Formalization of Begonia Seed Exchange Between ABS and Bali Botanic Garden”. The BEGONIAN Publication of the American Begonia Society, ISSN 0096-8684. September–October 2006. Pp: 180– 182. Hughes, M. 2010. (http://elmer.rbge.org.uk/begonia/geo graphic list.pdf, diakses tanggal 10 November 2010). Kiew, R. 2005. Begonias of Peninsular Malaysia. Natural History Publication (Borneo). Sdn. Bhd. A913, Wisma Merdeka. Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Smith, L.B., D.C. Wasshausen, J. Golding and C.E. Karegeannes. 1986. Begoniaceae. City of Washington: Smithsonian Institution Press. 584 Pp
112
EMPOWERING THINKING PROCESS TO DEVELOP LEARNERS’ ABILITY TO RECOGNIZE BIODIVERSITY THROUGH CLASSIFICATION AND THEIR REASONING Nuryani Y. Rustaman Indonesia University of Education Jl. D. Setiabudhi 229 Bandung 40154, West Java Abstract – A continuous study about how biodiversity instruction have been carried out to help prospective teachers and students develop themselves to recognize biodiversity (especially plant diversity) tropical specific in Indonesia through reasoning in order they have sensitivity to participate actively in conservation. The study involved prospective teachers in teachers colleges, a number of educators (teachers and lecturers) who joint post graduate program in UPI. The lowcompetence of teachers at schools led them teach biodiversity as they experienced in previous schooling. The study had been conducted at various school level (primary, secondary, tertiary education) in some provinces (Nangroe Aceh Darussalam, Riau, West Java, Central Java) especially using classification approach. Data was collected by using various forms of assessment, among others: clinical interview, paper and pencil test, essay assessment, portfolio, and oral test. Object studied primarily plant diversity, whereas animal diversity was used as comparison at school level. The continuous study resulted in classification ability was closely related to thinking process and thinking ability. Students who were in formal intellectual level had higher in concept mastery, and better classificatory ability. It seemed that the potency of ability to recognize heterogenous of tropical plants in Indonesia was not realized for next generation to be able to organize the tropical biodiversity as well as for science develop-ment. Study to improve biodiversity instructions for prospective teachers to be more meaningful should be continuously afforded, so that in turn they can guide their students, with the emphasis on formative assessment, construct students’ habits of mind, habits of behave, and habits of action, and resulted in teaching material that is specially designed for learners and users in the fields. Key words: ability.
Biodiversity, thinking process, reasoning, decision making, various assessment, classificatory
INTRODUCTION The world is full of individual objects, living and nonliving. They vary in all conceivable ways among themselves. To understand and discuss them individually is a humanly impossible task. However, they become amenable when they are considered in discrete groups. Any act of grouping objects into categories is an act of classification deductively. It is an essential phase in human activity to cope with the multiplicity of individual objects and it is a necessary precondition for orderly thinking. That a sense of classification is involved in all human thought and underlines all forms of science is well recognized. We all see that education about biodiversity is given through all levels of schooling, starting from elementary school, junior secondary school, and senior secondary school. In tertiary level, biodiversity is given in Biology department and some departments related to agronomy and forestry. But the stressing of knowledge for them is very limited
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
to understand the framework about biodiversity, and its relationship in real life for a nation. We realize that teachers nowadays have certain burden because there are so many courses to be inserted into the curriculum. This situation is even added by the ignorance of teachers to develop themselves and internalize what to be taught so that there is relevance between the teaching material and everyday lives. In this case it comes to the reality that they do not pay attention to the students in order to understand its role in scientific development and daily lives. The students generally are asked to memorize, not to internalize and master the content or concepts in order to behave and make right decision in the field. Studies about how instruction for biodiversity should be taught, has not been conducted so many although it is considered difficult and root learning. It is due to the incompetent delivery by the teachers. They teach biodiversity as they experienced themselves in college level. They present
113
interrelationship in plant systematic just the same as presenting the process and product of plant classification. Ability to describe various tropical plants in Indonesia seem being not realized as important for the next generation to manage biodiversity of our tropical country on one side and for developing concept on the other side. It will even more invaluable to develop thinking ability, such as logical thinking, alternative thinking, flexible thinking, and decision making through classification. Studies of the importance to develop thinking process through classification had been conducted (Rustaman, 1990; Rustaman, 1991; Rustaman, 1994; Rustaman, 2001) and to empower biology students and prospective biology teachers to recognize higher plant diversity in folk classification towards scientific classification through researches (Rustaman, 2003). The effort to overcome instruction in biodiversity should be well planned and continuously designed (Rustaman, 2005). In improving the quality of learning outcomes, we need more comprehensive approach collaboratively with science educators and scientists in certain fields of biochemistry, microbiology, organic chemistry in various levels. Nowadays, people return to use herbal for medicine, using metabolite from natural substances. A number of Indonesian plants has been used to produce herbal medicines, such as Vinca rosea as medicine for heart attack, Mucuna prupriens for anti Parkinson, Euphorbia hirta for angina. This effort can give devisa to the country, as well as create new vacancy for young generation only if we can make use the potency of plant diversity in Indonesia which is tropical and strategic. REASONING In Science Education Information Report (1980) it was stated that the central purpose of education was to develop in students called freedom to think and to choose. According to the Commission, the essence of the ability to think involves ten rational processes of: recalling and imagining; classification and generalizing; comparing and evaluating; analyzing and synthesizing; deducing and inferring. Those rational powers “enable one to apply logic and the available evidence to his ideas, attitudes, and actions and to pursue better
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
whatever goals he may have”. Then there were questions raised by science educators, among others were as follows: “How do the rational powers fit or not fit within your conception of the development of the intellect? Can instruction be designed and carried out to promote the development of these rational powers? More than ever before, and for an ever increasing proportion of the population, vocational competence requires developed rational capacities. The march of technology and science in the modern society progressively eliminates the positions open to low-level talents. The man able to use only his hands is at a growing disadvantage as compared with the man who can also use his head. Today even the simplest use of hands is coming to require simultaneous employment of the mind. Effective citizenship is impossible without the ability to think. The good citizen, the one who contributes effectively and responsibly to the management of the public business in a free society, can fill his role only if he is aware of the values of his society. Moreover, the course of events in modern life increasingly influences an individual’s civic life. His own firsthand experience is no longer an adequate basis for judgment. He must have in addition the intellectual means to study events, to relate his values to them, and to make wise decisions as to his own actions. He must also be skilled in the processes of communication and must understand both the potentialities and the limitations of communication among individuals and groups. A person who understands and appreciates his own values is most likely to act on them. He learns that his values are of great moment for himself, and he can look objectively and sympathetically at the values held by others. Thus, by critical thinking, he can deepen his respect for the importance of values and strengthen his sense of responsibility. The man who seeks to understand himself understands also that other human beings have much common with him. His understanding of the possibilities which exist within a human being strengthens his concept of the respect due to every man. He recognizes the web which relates him to other men and perceives the necessity for responsible behavior. The person whose rational powers are
114
not well developed can, at best, learn habitual responses and ways of conforming which may insure that he is not a detriment to his society. But, lacking the insight that he might have achieved, his capacity to contribute will inevitably be less than it might have become. Development of the ability to reason can lead also to dedication to the values which inhere in rationality: commitment to honesty, accuracy, and personal reliability; respect for the intellect and for the intellect life; devotion to the expansion of knowledge. A man who thinks can understand the importance of this abilities, he is likely to value the rational potentials of mankind as essential to a worthy life. Thus the rational powers are central to all the other qualities of the human spirit. These powers flourish in a humane and morally responsible context and contribute to the entire personally. The rational powers are to the entire human spirit as the hub to the wheel (Lawson, 1980). In recent decades, man has greatly accelerated his systematic efforts to gain insight through rational inquiry. In the physical and biological sciences and in mathematics, where he has most successfully applied these methods, he has in a short time accumulated a vast fund of knowledge so reliable as to give him power he has never before had to understand, to predict, and to act. That is why attempts are constantly being made to apply these methods to additional areas of learning and human behavior. The rapid increase in man’s ability to understand and change the world and has resulted from increased application of his powers of thought. These powers have proved to be his most potent resource, and as such, the likely key to his future. According to Piaget theory of Intellectual development, there are at least three stages of intellect development of students who joint formal education. The three stages mentioned above are concrete operational, transitional, and formal operational stages. They are differentiated by using certain instrument test in a set called test of Logical Thinking (TOLT). The test consists of ten test items which represent five reasonings, i.e. proportional, correlational, probability, controlling variable, and combinatorial reasoning.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
THINKING PROCESS THROUGH CLASSIFICATION Classification is included in the important thinking processes. It has been found in many resources, whether that emphasizes its relationship with logic (Rustaman, 1990; Bransford, 1986; Raths, et al., 1986; Nickerson, et al., 1985; Phillips & Phillips, 1985; Kamii, 1979; Gerhard, 1971; Inhelder & Piaget, 1969), critical thinking (Rustaman, et al., 1999), or flexible thinking (Lowery, 1985; Rustaman, 1991 & 2001). Research finding (Rustaman, 1990) showed that there were two types of thinking processes involved in logical classification, i.e. abstraction and inferences. Essential results of abstraction being involved in science logical classification are: a) convergent thinking which includes: intersection, extrapolation and extrapolation; b) alternative or divergent thinking and finding classificatory criteria; c) dichotomous thinking and labelling the group; d) inclusiveness, hierarchy and quantification. Inference was thinking pattern or ways used by someone to come to the classificatory results. In conducting classification, beside classifying process (“classification”), there will be generalizing process (“generalization”) as well. By observing and comparing variety of similar objects, the concept of the objects can be understood. In achieveing concept at classificatory level, the students can classify the example- and the nonexample- concepts, even if both of them have many similar atributes. In primary education level, logic in classification was distributed in four types of classification (Rustaman, 1990; Phillips & Phillips, 1985) which was called logical classification. Those four types of classification were class inclusion (Inklusi kerlompok = IK) atau "class inclussion", reclassification (klasifkasi ulang = KU), matrix classification (klasifikasi matriks = KM), and classificatory alternatives (alternatif klasifikasi = AK). Comparison of many research results (Rustaman, N.Y.; Opper, S.; Pillips & Phillips in Rustaman, 1990) showed that primary school age students from Sundanese in Indonesia had different sequence of classificatory ability in their development. Their convergent thinking ability came earlier than Malaysian students and American students, and that alternative thinking
115
ability could not been detected from the students until the age of 12. Other research result by one of her bachelor student resulted in similar findings in alternative thinking of the first grade of junior highschool students (13-14 year old), and their reclassificatory ability (KU) and their ability in labeling the groups whenever the criterion been changed were not very high. Comparison of Rustaman’s study and Lowery’s study (Rustaman, 1991) showed that the logical classificatory types (IK< KM< KU< AK) got along with the stages proposed by Lowery as the biological basis for thinking. The relevance of them lies not only in the characteristics of the abilities in logical classifications, but the sequence of the ability development as well. According to Lowery the ability of alternative classification continued to develop up to middle school years and tertiary education, which was above 16 years old, and was known as flexible thinking ability. In middle school and university the logic in classification was in three forms, they were: classification, categorization, and seriation. The essensial retrieve study from many articles and resources (among others was Jeffrey, 1982) it came to the conclusion that classification gave opportunity higher order thinking than the categorization, as it included observation process, generalization, and inductive inference, whereas categorization resulted in limited number of groups and included deductive inference. Both classification as well as categorization resulted in real discrete groups, while seriation resulted in continuum and transitional groups. Either in real grouping or discrete grouping, transitional group was always found in biological classification, especially in higher plant groups. For instance, although certain groups of Fern (Pteridophyte) are separated from seed plants, we can still find seed ferns. So as the opened seed plants (Gymnosperms or Pinophytes) is separated from closed seed plants, but we can still find Gnetinae which has integrated characteristics of both taxa. Both of them have thin, wide leaves with network venation and tracheal vessels in its xylem (not tracheid as in other Gymnosperms).
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
STUDIES ON BIODIVERSITY Located in equator region with the land area of two million kilometers square and ocean region of six million kilometers square, Indonesia is an island country with most dense population and is known as one of mega-biodiversity in the world (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997). In contrast, the most populated country does not know exactly its richness because Indonesia does not have human resource with capability to calculate and manage the data. It has been stated by taxonomy experts in many occasions, among others stated by Rifai (1987: 4): "… we need one group of thirty taxonomy experts to collect information about our biodiversity”. Actually there is no more country boundaries (specifically in information as well as knowledge), so the human resource should be critical, analytical and creative to solve problems in relation to biodiversity conservation, as the biodiversity support human lives in our country. Because of the very rich biodiversity in Indonesia we need extra work to recognize, to manage, and to conserve our biodiversity. We need to work hard in preparing teaching materials for biodiversity. Its richness hopefully becomes the strength, not constraint in inhibit the progression of biodiversity concept mastery through formal education (Rifai, 1994:36). 1. Preliminary Studies Based on personal experience in teaching Biosystematics for years, it has been found that students good in plant systematic, were also good in other courses which were considered difficult too. It has been predicted that through taxonomy or systematic we can give important contribution in constructing the way of biology thinking. To check the prediction we can study various resources as references (Keogh, 1995; Rustaman, 1990; Radford, 1986; Dunn & Everitt, 1982; Wiley, 1981). It seemed there was still confusion between taxonomy and systematic, and between classification and classificatory system. Taxsonomy differ from systematic. Taxonomy is the theory and practice of classifying organisms, while systematic is a scientific study about species and diversity of organisms and relationship among them. Keogh (1995) defined
116
taxonomy just as "the science of collecting, discovering and describing species". Actually there is a number of definition related to classification, from definition of classification as "the ordering of organisms into groups on the basic of their relationships, and the relationships maybe genetic, evolutionary (phylogenetic) or may simply refer to similarities of phenotype (phenetic)"; or the definition of classification as essential activity of the whole scientific activity, as a nesecity and knowledge for scientists in changing and constructing classificatory system. Keogh (1995) stated that classification as species organization to be groups that reflects evolutionary relationship. In this case according to Rifai (1987 & 1994) what were classified is not the objects but the knowledge about the objects. This statement is relevant with the opinion of Wiley (1981:193) with his statement: “classifications are systems of words” and that the activity classifies entity or phenomena and gives name to the groups. Rustaman (1990) emphasized classification as process and product. As product classification is meant as results of classification. The result of folk classification differs from scientific classification. Folk classification divides plants horizontally, without hierarchy. Scientific classification has hierarchy and construct, which is then called classificatory system. There is interrelation between classification as process and as product. Based on their knowledge about objects, human beings can classify objects (process). But if their knowledge about objects is standstill, there will not increase or develop the classificatory ability. This ability rises again after additional knowledge happed. Based on all those explanations, it is clear that the ability or process of classification is very important to be developed among young generation, in primary education level, secondary education level and tertiary education level. 2. Study on Biodiversity Instructions Introduction of Linnaeus at schools (in junior secondary school as well) tend to give emphasis more on classificatory system, not on biodiversity. Based on certain consideration that had been stated in many occasions, Rifai (1979, 1987, 1994) suggested that taxonomy or
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
systematic should be removed from school curriculum and university curriculum, and be replaced by biodiversity. Although it had been argued by Rustaman (1990; 1994) because the classificatory ability (in taxonomy) is really needed in many school levels as well as in university level in data classification, even can motivate prospective biology teachers in teachers college use their reasoning through Higher plant systematic or Phanerogamic Botany course and its practical work. a. In Elementary school level, Biodiversity was inserted in Science Elementary school 1994 Curriculum. It was clearly inductively stated in working definition (not deductively). Young children were asked to describe the organisms they found in their own way. b. In Junior Secondary School level, some of the Undergraduate and Magister level students had carried out research in certain school in their provinces. 1) Indoor learning using observation and discussion method and outdoor learning using field trip method had been used to study animal (vertebrate) diversity and then its effectiveness was compared in concept mastery in Riau Province (Indriani, 2004). 2) Learning cycle model had been used to differentiate students’ achievement in concept mastery using inductive and deductive strategic in one Junior Secondary school in Riau Province (Setiawati, D., 2010). 3) Classificatory approach had been used to compare students’ achievement in animal diversity and plant diversity in West Java (Hapsari, I.F.R., 2010). c. As in junior secondary school level, in senior secondary school level, some magister students had tried to conduct research on biodiversity in their own provinces. 1) Classificatory approach had been used in introducing plant diversity in NTB (Jamaludin, 1997) using 1994 Curriculum. 2) Further research had been conducted by Noviyanti (2010) to identify plant diversity in NAD after tsunami disaster in coastal region schools. 3) Nowadays a study on biodiversity (plant and animal) using classificatory
117
approach in instruction and level of intellectual development as student back-ground is being conducted in West Java (Debbie, in progress). 4) In near future a study on preparing learning material is going to be carried out by one senior teacher from senior secondary school at DKI province after conducting survey on how biology teachers find out the teaching material to teach plant diversity. d. In tertiary level in Biology department some researches have been conducted and still on progress. 1) Multimedia for theoretical aspect in Phanerogamic Botany was designed by the team to help prospective teachers in concept mastery (Sriyati, S., et al., 2006) 2) Practical work and field trip had been used to involve prospective teachers in identifying plant diversity in their habitat (river bank and coastal region) in Environment Course in one teachers college in West Kalimantan (Ariyati, 2010). 3) Practical work and discussion towards plant and animal diversity had been conducted to grasp prospective teachers’ achievement and difficulty whenever they were assessed by written (paper and pencil test) and oral test in small groups of two-three prospective teacher freshments in Central Java (Sukaesih, S., 2010). 4) In practical work and theoretic aspect of Phanerogamic Botany, a study on emphasizing formative assessment has been conducted to analyse prospective teachers’ ability to recognize plant diversity by being actively give presentation as model for other groups (Sriyati, et al., 2010). 3. Study on Assessing Ability in Biodiversity Classificatory ability of elementary school students from Sundanese background was conducted using clinical interview for the four types of classification (Rustaman, 1990). However, there is no study on students’ sensitivity towards conservation of biodiversity.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
In junior secondary school level Hapsari (2010) tried to investigate students’ ability in classification compared to concept mastery and level of intellectual development. She found that their ability was average in plant diversity, as well as in plant and animal diversity, but low in animal diversity. She found too that most of them were in concrete intellectual development (45.5%), transitional (42.5%), and very little in formal intellectual development (6.1%). But she found that students with formal intellectual development had the highest achievement in classificatory ability and in concept mastery, compared to those with transitional intellectual development and even worse for those with concrete intellectual development. Animal diversity was considered more difficult by junior secondary school students. Product and essay assessment stressing on critical thinking had been used to get information of prospective biology teachers in practical work in Phanerogamic Botany (Rustaman, 2005b). Assignment to bring specimens, to write natural history of certain plants, and to implement their concept mastery in the form of drawing different specimens have been used as performance assessment and encourage prospective biology teachers to develop their ability by preparing themselves to recognize, master and apply essensial concepts in plant diversity. Students’ sensitivity from the prospective biology teachers was studied by Wulan, (2007). Her trial to investigate the sensitivity of prospective biology teachers whether they took good care of the biodiversity using questionnaire combined with observation sheet and interview indicated that most of them did not realize about the importance of biodiversity, they paid attention more to the pollution in their environment. They did not even realize that ecosystem was actually one level of Biodiversity. A study towards first year prospective teachers who learnt animal and plant diversity and been assessed by written and oral tests, resulted in low classificatory ability, especially in animal diversity (Sukaesih, 2010). Certain strategy for using variety of assessment to improve student learning has been being carried out with stressing on formative assessment using written feedback as well as oral feedback simultaneously (Sriyati, et al., 2010).
118
4. Thinking Process In relation to thinking process, some logical classification had been carried out in primary education level (Rustaman, 1990; Hapsari, 1998). Still about logical classification Hapsari (2010) had conducted a study on plant and animal diversity with intellectual development as student’s background. Critical thinking as one of higher order thinking skills had been developed and assessed using special designed instrument (reported in Rustaman, 2005b). Classification and generalization had been and is being conducted (Rustaman, 1990; Sidik, 2011). Implementation of formative assessment in preparing prospective biology teachers to insist them learn (recognize, identify, classify) by themselves is being reported by Sriyati (2011). While data analysis about the contribution of classificatory approach and classificatory ability to develop reasoning, especially to increase and move students with concrete intellectual developmental level into transitional and formal intellectual development level is still in progress. 5. Ethnobotany dan Ethnopedagogy Prospect of studying biodiversity realted to herbal medicine from local plants is potential to be conducted either in multiplying certain kind of specimen by tissue culture from somatoembryo in laboratory, or finding out from natural setting in certain region are also potensially developed. Certain medicinal plants to help young mother easier delivery her baby and be healthy earlier had been found by naturalist researcher in investigating local wisdom from certain region in West Java. The way traditional midwife guides her “students” is another potential area to study, as they tend to conserve medicinal plants in their village. CONCLUSION Taxonomy experts will not be found among the Indonesian, unless the way of teaching biodiversity is improved in more creative and essential experience. Students and prospective teachers should be encouraged and challenged to develop their ability to recognize, identify, classify and collect tropical plants in their surrounding. Previous experience with stressing
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
only and more on memorizing the scientific names of bio-diversity (without recognize the specimens) and classificatory product of earlier taxonomy experts without realizing the criteria and the basis for classifying them will not interesting and tend to boring, even among the biologists and biology educators. It has to be realized that the aims of improving biodiversity instructions and its mastery need to be accompanied by using relevan teaching material on biodiversity and suitable resources as starting point to prepare students in studying biochemistry, genetics, and modern microbiology to master biotechnology now and in the future. Empowering thinking process whether in the form of logical thinking, critical thinking, convergent and divergent thinking or flexible thinking and decision making is very important. it is the right time to distribute the ideas among the teachers and being trained to prospective science/biology teachers systematically in various levels. Thinking processes through abstraction and inferences, inductively or deductively (Rustaman, 1990) through classification and generalization which all of them are rational power to increase their reasoning, not only in such a way that manipulate the objects physically, but by reasoning involvement and act on the “objects” in order to understand the concept as well as the thinking process within the concept. Classification is actually impossible happened and work without generalization. During the classification the object should be observed first, and then the similarity based on the observation results the concept can be grasp. The way someone classifies objects is actually depend on the knowledge she has in her mind. She uses the knowledge as the criteria to classify. Concrete thinker students use only concrete concept as criteria in their classification, while abstract or formal thinker students can use abstrak knowledge/concept as criteria in doing classification. Classification does help us to recognize diversity around us, and biodiversity as well. The effort to improve biodiversity instructions in various levels of education should be carried out by choosing priority of development in accordance with the ability of students in reasoning, classifying and recognizing biodiversity based on previous research findings. Literature study and many
119
research results in relation to classification, thinking process, teaching model and its assessment have been presented to clarify the meaning of systematic, taxonomy, biological classification, phillogenetic classification, classificatory biological taxonomy, and instructional foci and content coverage. Variety of assessment in the form of paper and pencil tests, and nontest assessment have been proposed in this paper to give illustration on how serious the effort to improve plant diversity instructions, and the examplaes as modeling for biology/science educators and biology/science researchers to develop and continue. The assessment is in priority to detect thinking ability (intellectual intelligence), emotional intelligence, as well as concept mastery in relation to the characteristics of plant groups using philogenetics scale and observing plants in their habitat. Even though the study on plant diversity has not been completed yet, research findings in recent years show that there is good tendency of biology students in Indonesia University of Education. These efforts have encouraged and motivated them to love biodiversity and express this through their popular and scientific writing about natural history of certain plants in their home region. Classificatory biological thinking that has been developed through biodiversity learning will be continuously on going activities. Exercises and assignments to explore and investigate the characteristics of plant groups can develop their own thinking as rational power and can be transfered to other courses or subjects.Through their rational power we empower them to participate in improving biodiversity instructtions. For biology students and biodiversity lovers, their abilities in binary and hierarchical classification, classification-categorizationseriation can be implemented to transfer folk classification into scientific classification so that plant taxonomy in Indonesia well developed and being admired by biologists in other countries. References Ariyati, E. 2010. “Pembelajaran Berbasis Praktikum dengan Memanfaatkan Hutan Mangrove untuk Menumbuhkembangkan Kemampuan berpikir Kritis dan Sikap Ilmiah Mahasiswa”.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Tesis Magister Pendidikan IPA Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: tidak diterbitkan. Brandsford, J.D., et al. 1986. ”Improving thinking and learning skills: An analysis of three approaches”. Segal, Chipman & Glaser (eds). Thinking and Learning Skills 1. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Dunn, G. & Everitt, B.S. 1982. An Introduction to Mathematical Taxonomy. Cambridge: Cambridge University Press. Ennis, R.H. 1985. “Critical Thinking”. In Costa, A.L. (1985). Developing Mind: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria: ASCD. Ennis, R.H. 1996. Critical Thinking. Upper Saddle River: Prentice-Hall, Inc. Gerhard, M. 1971. Effective Teaching Strategies with the Behavioral Outcomes Approach. West Nyack: Parker Publishing Co. Hapsari, I.F.R. 2010. “Kemampuan Klasifikasi dan Penguasaan Konsep Keanekaragaman Makhluk Hidup Siswa SMP Berdasarkan Tingkat Perkembangan Intelectual”. Tesis Magister Pendidikan IPA Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: Tidak diterbittkan. Hidayat, O. 2005. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Inkuiri untuk meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis pada Materi Jamur. Tesis Magister. Program Pascasarjana UPI. Bandung: tidak dipublikasikan. Indriani. 2004. Perbandingan Hasil Belajar dan Sikap Siswa SMP antara yang menggunakan Media Gambar Hewan Vertebrata berbentuk Kartu dengan Metode Karyavisata pada Konsep Keanekaragaman Hewan Vertebrata. Tesis Pendidikan IPA Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Inhelder, B. & Piaget, J. 1969. The Early Growth of Logic in the Child. New York: WW. Norton & Company, New York. Jamaluddin. 1997. Pembelajaran Konsep Keanekaragaman Hayati dengan Pendekatan Klasifikasi di Sekolah Menengah Umum. Tesis Magister Pendidikan IPA Program Pascasarjana
120
IKIP Bandung. Bandung: Tidak diterbitkan. Jeffrey, C. 1982. An Introduction to Plant Taxonomy. 2nd edition. Cambridge: Cambridge University Press. Kamii. C. 1979. “Teaching for thinking and creativity: A Piagetian points of view”. Lawson, A.E. (ed). 1980 AETS Yearbook. The Psychology of Teaching Thinking and Creativity. Pp. 29-58. Ohio: Clearing House. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1997. Agenda 21 Indonesia: Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Keogh, J.S. 1995. “The importance of systematics in understanding the biodiversity crisis: the role of biological educators”. In Journal of Biological Education. 29, (4). 293-299. Lawson, A. 1980. Science Education Information Report: 1980 AETS Yearbook - The Psycology of Teaching for Thinking and Creativity. Columbus, Ohio: ERIC Science, Mathmatics and Environmental Education Clearinghouse. Mardapi, D. 2005. “Pengembangan sistem penilaian berbasis kompetensi”. Dalam Rekayasa Sistem Penilaian dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Pendidikan. Yogyakarta: Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia didukung Dikti, Dimenum, Pusat Penilaian Pascasarjana UNY.71-85 Novianty, A. 2010. ”Pembelajaran berbasis praktikum pada konsep Kingdom plantae untuk meningkatkan kemampuan berpikir Kritis dan Sikap siswa SMA”. Tesis Magister Pendidikan IPA. Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: tidak diterbitkan. Phillips, D.G. & Phillips, D.R. 1985. The Structures of Thinking: Elaboration, Evaluation and Applications of Piaget's Model of Intellectual Development. 3rd edition. The Science Education Center. University of Iowa, Iowa Radford, A.E., Dickison, W.C., Massey, J.R., & Bell, C.R. 1974. Vascular Plant Systematics. New York: Harper & Row, Publishers. Raths, L.E., et al. 1986. Teaching for Thinking: Theory Strategies, and Activities for the
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Classroom. 2nd edition. Teachers College. Columbia University, New York and London. Rifai, M.A. 1994. Menyiapkan Diri Mengajar Biologi. Jakarta: Pusat Perbukuan Rifai, M.A. 1990. ”Keadaan pertaksonomian Indonesia sebagai cermin kegagalan pendidikan biologi”. Makalah dalam Simposium Nasional Pendidikan Biologi I. Surabaya. Rifai, M.A. 1987. ”Quo vadis taksonomi di Indonesia?” Makalah dalam Konggres Biologi Nasional VIII. PBI, Purwokerto 8-10 Oktober 1987 (dimuat juga dalam Sisipan Floribunda. 1: 26-28, 1989). Rifai, M.A. 1994. Menyiapkan Diri Mengajar Biologi Di Sekolah Menengah Umum. Jakarta: Pusat Perbukuan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Rustaman, A. 1989. “Assessing Practical Skills in Biology in Indonesian Senior Secondary Schools”. A critical study for Master of Education in Science. School of Education. The University of Leeds, Leeds: Unpublished Rustaman, N.Y. 1990. Kemampuan Klasifikasi Logis Anak: Studi tentang Kemampuan Abstraksi dan Inferensi Anak Usia SD pada Kelompok Budaya Sunda. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana IKIP Bandung. Bandung: tidak dipublikasikan Rustaman, N.Y. 1991. Dasar Biologi Proses Berpikir. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Biologi XII dan Kongres PBI X di Institut Pertanian Bogor, Bogor Rustaman, N.Y. 1994. ”Pengembangan Penalaran Melalui KlasifikasiKategorisasi-Seriasi: Sebuah Model Pengajaran Keanekaragaman Tumbuhan Berbiji di LPTK”. Makalah dipresentasikan pada Seminar Sehari Taksonomi & Pengajaran Biodiversitas Tumbuhan yang diselenggarakan oleh Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia dan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Indonesia, Depok. Rustaman, N. Y., Widodo, A., Sriyati, S., Diana, & Kusdiyanti. 1999. ”Pengembangan Model Praktikum Biologi dan Asesmennya untuk Mengembangkan Keterampilan Proses dan Berpikir Mahasiswa Calon Guru Biologi”.
121
Laporan Penelitian DIKTI Proyek PGSM Penelitian Peningkatan Kualitas Pembelajaran Batch ke II. Rustaman, N.Y. 2001. Model Pembelajaran Materi Subyek Biologi untuk Mengembangkan Keterampilan Berpikir Konseptual Tingkat Tinggi Mahasiswa Calon Guru Biologi. Laporan Penelitian DIKTI melalui Hibah Bersaing. FPMIPA IKIP Bandung. Rustaman, N.Y. 2002. ”Pandangan Biologi terhadap Proses Berpikir dan Implikasinya dalam Pendidikan Sains”. Makalah untuk Orasi Ilmiah dibacakan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar FPMIPA- UPI. 18 Oktober 2002. Rustaman, N.Y. 2003. “Mengenal Keanekaragaman Tumbuhan Tinggi dalam Klasifikasi Rakyat menuju Klasifikasi Ilmiah melalui Penelitian untuk Mengembangkan Proses Berpikir”. Makalah Ilmiah, disajikan dalam Seminar Nasional Taksonomi Tumbuhan Indonesia di Surakarta, Desember 2003. Rustaman, N.Y. 2005a. “Mengefektifkan Pembelajaran Sains dan Animasinya untuk mengembangkan Kemampuan dasar Bekerja Ilmiah melalui berbagai metode”. Laporan Penelitian Hibah Pasca Tahap II. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Rustaman, N.Y. 2005b. “Arah Pembelajaran Keanekaragaman Tumbuhan dan Asesmennya di LPTK dan Sekolah”. Makalah utama sebagai Pembicara Kunci dalam Seminar Nasional Keanekaragaman Hayati yang diselenggarakan oleh PTTI Cabang Bandung (Komisariat gabungan ITBUNPAD-UPI) bekerjasama dengan Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia di FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung. Setiawati, D. 2010. “Pembelajaran Model Learning Cycle untuk meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Klasifikasi Siswa SMP pada
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Keanekaragaman Makhluk Hidup”. Tesis Magister Penddikan IPA Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Sriyati, S., Rustaman, N., Amprasto, Hidayat, T., & Yudianto, S.A. 2006. ”Penggunaan Multimedia pada Pembelajaran Teori Botani Phanerogamae dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa”. Laporan Akhir Hibah Pembelajaran dalam Rangka Implementasi Program SP4 Program Studi Biologi. Sriyati, S., Rustaman, N., & Zainul, A. 2010. ”Kontribusi Asesmen Formatif terhadap Habits of Mind Mahasiswa Biologi”. Artikel untuk dimuat dalam Jurnal Pengajaran MIPA. 15, (2). 7786. Sukaesih, S. 2010. “Pembelajaran berbasis praktikum pada Konsep Keanekaragaman makhluk hidup dan asesmen tes lisan untuk meningkatkan kemampuan berpikir Kritis dan Sikap Mahasiswa”. Tesis Magister Pendidikan IPA. Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: tidak diterbitkan. Sastrapradja, D.S., Adisoemarto, S., Kartawinata, K., Satrapradja, S., & Rifai, M. A. 1989. Kenakeragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi-LIPI. Shukla, P. & Misra, S.P. 1979. An Introduction to Taxonomy of Angiosperms. New Delhi: Vikas Publishing House. Wiley, E.O. 1981. Phylogenetics: The Theory and Practice of Phylogenetic Systematics. New York: A Wileyinterscience Publication. John Wiley and Son. Wulan, A.R 2007. “Pembekalan Kemampuan Performance Assessment kepada Calon Guru Biologi dalam Menilai Kemampuan Inquiry”. Disertasi Doktor Kependidikan dalam bidang Pendidikan IPA. Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: Tidak diterbitkan
122
PERKEMBANGAN KOLEKSI BAMBU KEBUN RAYA ”EKA KARYA” BALI Ida Bagus Ketut Arinasa dan I Nyoman Peneng UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan Bali 82191 E-mail:
[email protected] ABSTRACT – All of peoples know, bamboo close with Balinese live for long time ago because it has various functions and purposes. Furthermore Bali Botanic Garden as flora conservation institute has began to conserve bamboo in 1982. However the development of bamboo conservation in Bali Botanic Garden not satisfactorily and has been stagnant for more than 11 years. Nevertheless, 14 genera and 58 species or 39% of Indonesian bamboo have been conserved in the garden. That number of species is too far being completed of Indonesian bamboo diversity with estimation around 150 species. Most of the bamboo collection from Bali and some are from donation from people who concerned with bamboo resources. Bamboo collection from outside Bali is still lacking so there are many good opportunity to increase the number of bamboo collection from outside Bali. The herbarium of bamboo specimens kept in Bali Botanic Garden around 208 specimens where 22 species fertile material and 26 species sterile material. Keywords: Bamboos; Bali Botanical Garden.
PENDAHULUAN Kegiatan masyarakat di Bali tidak pernah lepas dari pemakaian bambu. Pada saat bayi lahir sebilah bambu yang tajam permukaannya yang lazim disebut ngad digunakan untuk memotong tali pusarnya terutama bagi mereka yang jauh dari perkotaan. Pada saat memotong itik untuk keperluan upacara juga dipakai ngad. Pada kegiatan rumah tangga, alat penampi beras juga menggunakan bambu. Alat-alat pertanian, perikanan, peternakan, seperti keranjang rumput, keranjang buah, bubu penangkap ikan, bangunan kandang ternak juga bambu tetap digunakan. Dalam kegiatan upacara pancayadnya bambu harus selalu ada. Upacara pecaruan dalam bhutayadnya, bambu selalu digunakan untuk pembuatan sanggah cucuk (Arinasa 2004). Upacara manusayadnya seperti pada upacara potong gigi atau metatah, bambu ampel gading selalu digunakan untuk pembuatan bale gading. Demikian pula pada upacara pengabenan atau upacara dewayadnya, bambu buluh gading selalu digunakan untuk pembuatan sunari. Dalam bangunan konstruksi, bambu menjadi pilihan utama sekalipun sudah banyak steger besi ditawarkan. Pembuatan rumah tradisional bahkan hotel memilih bambu sebagai bahan interiornya. Jembatan perdesaan tidak luput pula memakai bambu betung atau bambu gesing, walaupun besi beton banyak dijual.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Dalam bidang konservasi tanah dan air bambu juga banyak dimanfaatkan. Subak Angsri di Kabupaten Tabanan bahkan mengawigkan (undang-undang di desa), bambu sebagai sumber mata air persawahan, dan dilarang ditebang sembarangan (Sumantera dan Peneng, 2005). Di Desa Tigawasa, Sidetapa, Cempaga, dan Pedawa di Kabupaten Buleleng, demikian pula desa-desa di Bangli, seperti Desa Penglipuran, Kedui, dan Tembuku yang mempunyai topografi sangat curam menanam berbagai jenis bambu untuk menahan erosi tanah. Dari rerumpunan bambu dapat disaksikan keluarnya mata-air yang sangat dibutuhkan oleh daerah yang terkenal kering dan debit airnya sangat kecil. Dengan demikian, bambu merupakan jenis tanaman yang tepat digunakan untuk usaha konservasi tanah dan air terutama untuk tanah-tanah miring yang rawan longsor dan daerah-daerah tandus. Dengan penanaman bambu berskala luas di lahan kritis, diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan daya dukung lingkungan (Untung dkk., 1998). Di bidang hasta karya (kerajinan tangan) para perajin di Gianyar, Badung, Denpasar, Buleleng dan lain-lain sangat menghandalkan dan membutuhkan berbagai jenis bambu untuk produksi kerajinannya. Bahan mentah sering tidak mencukupi dari hasil produksi di Bali, sehingga sering mendatangkan dari luar Bali. Hasil kerajinan dari bambu seperti mebel, almari, dipan, pernak-pernik, bahkan rumah bambu sangat
123
diminati oleh tamu mancanegara. Bambu ternyata telah berhasil mendatangkan devisa bagi negara khususnya Pemerintah Daerah Bali. Pada tahun 2003 devisa Bali dari sektor perbambuan sebesar US $9.778.471.03, suatu nilai yang tidak kecil (Bagiada, 2003). Selain kegunaan tersebut di atas, sejak dulu kala rebung bambu sangat disukai untuk bahan sayuran. Bali memiliki beberapa jenis bambu yang rebungnya enak disayur di antaranya bambu petung manis (D. asper), bambu gesing (B. blumeana) dan bambu tabah (G. nigrociliata). Jenis rebung bambu tabah merupakan rebung yang paling enak sehingga menjadi komoditas ekspor ke mancanegara. Pentingnya bambu bagi kehidupan masyarakat khususnya di Bali, bukan berarti masih sedikit masyarakat atau instansi pemerintah betul-betul peduli terhadap bambu. Belum banyak yang memperhatikan dan berupaya melestarikan bambu secara sungguhsungguh. Kebanyakan mereka menanam bambu hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri apalagi di Bali bambu lebih banyak bersifat sosial, artinya bambu bisa didapat dari tetangga ataupun orang lain dengan cuma-cuma atau meminta alias gratis. Disadari maupun tidak bahwa bambu telah menjadikan celengan (tabungan) bagi sebagian masyarakat terutama masyarakat perdesaan karena bambu hanya ditanam sekali dan menghasilkan secara terus menerus tanpa banyak menuntut biaya pemeliharaan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pembibitan bambu belum pernah menjadi pemikiran yang serius karena sampai saat ini petani dengan mudah dapat memperbanyaknya dengan melakukan pembelahan terhadap rimpangnya. Walaupun hasilnya tidak maksimal, pembibitan mempergunakan potongan batang ataupun ranting dapat pula dihasilkan terutama terhadap jenis bambu tertentu. Tentu cara ini belum efisien dari segi ilmu pengetahuan dan dari sisi ekonomi karena produktivitasnya rendah. Belakangan ini banyak lahan pertanian berubah fungsi. Banyak kebun bambu berubah menjadi perumahan, fasilitas sosial, dan lain-lain yang mengakibatkan populasi bambu jelas semakin terdesak. Kebun Raya Bali sebagai lembaga konservasi tumbuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melestarikan flora Indonesia.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
BAHAN DAN METODE Kebun koleksi bambu seluas kurang lebih dua ha yang terletak di petak XI D serta data primer dan data sekunder di unit Registrasi Kebun Raya Eka Karya Bali menjadi bahan penelitian. Metode penelitian dilaksanakan dengan penelusuran pustaka pada pangkalan data registrasi khususnya penerimaan dan penanaman koleksi bambu dari tahun 1982 hingga tahun 2010. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelusuran diperoleh hasil perkembangan koleksi bambu Kebun Raya “Eka Karya” Bali sebagai berikut. 1. Jumlah koleksi bambu seluruhnya ada 58 jenis dari 14 marga yang pada umumnya bibit dikumpulkan dari hasil eksplorasi di Provinsi Bali, NTB, NTT, dan sumbangan dari pecinta dan pemerhati bambu. Daftar koleksi bambu dari tahun 1982 sampai dengan tahun 2010 dapat disaksikan pada Lampiran 1. 2. Koleksi berbunga yang berhasil dipantau datanya sebanyak 22 nomor dari 22 jenis koleksi bambu, dan koleksi bambu yang telah dibuat herbariumnya sebanyak 208 spesimen dari 35 nomor 35 jenis serta koleksi mati tercatat sebanyak 26 nomor seperti tertera pada Lampiran 2. Jumlah Koleksi Perkembangan koleksi bambu Kebun Raya “Eka Karya” Bali diharapkan dapat meningkat dari tahun ke tahun. Arinasa dan Widjaja (2005) menyatakan jumlah koleksi pada saat itu sebanyak 36 jenis dan 50% dari jumlah tersebut adalah jenis-jenis introduksi. Jumlah koleksi bambu secara keseluruhan pada tahun 2010 meningkat menjadi sebanyak 14 marga dan 58 jenis seperti tertera pada Daftar Koleksi Bambu Kebun Raya “Eka Karya” Bali (Lampiran 1). Dari Lampiran 1 diketahui bahwa marga Gigantochloa memiliki jenis terbanyak, yaitu sebanyak 20 jenis. Di antara jenis-jenis itu terdapat tiga jenis yang merupakan bambu endemik Bali, yaitu jajang aya (G. aya) dan jajang taluh (G. taluh) keduanya berasal dari hutan bambu adat Penglipuran di Kabupaten Bangli-Bali. Jenis bambu endemik lainnya dari marga Gigantochloa adalah tiing bali (G.
124
baliana), bambu ini berasal dari Bali Utara yaitu Desa Sidatapa, Tigawasa, Cempaga dan Pedawa di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng (Widjaja et al., 2004). Jenis tiing tali (G. apus), tiing tabah (G. nigrociliata), dan tiing jajang (G. manggong) adalah jenis-jenis bambu yang telah lama ditanam oleh nenek moyang di Bali, sedangkan jenis lainnya dalam marga ini ditanam kemudian. Bambusa adalah marga bambu yang mempunyai jenis terbanyak kedua, yaitu 11 jenis di mana terdapat satu jenis merupakan bambu endemik Bali, yaitu bambu ooh (B. ooh) (Widjaja et al., 2004). Bambu ooh berasal dari Desa Pempatan Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, tiing gesing/ori (B. blumeana), tiing tultul (B. maculata), dan tiing ampel gading/gadang (B. vulgaris) adalah jenisjenis bambu yang sudah lama juga dipelihara oleh masyarakat Bali. Schizostachyum adalah marga bambu yang mempunyai jenis terbanyak ketiga di Kebun Raya “Eka Karya” Bali, yaitu sebanyak 10 jenis. Satu di antaranya merupakan bambu endemik Bali, yaitu tiing buluh kedampal (S.
castaneum). Tiing buluh ini berasal dari Desa Angkah Kecamatan Selemadeg Kabupaten Tabanan-Bali (Widjaja dkk., 2005). Tiing buluh tamblang (S. brachycladum), tiing buluh lengis (S. lima), dan tiing buluh suling (S. silicatum) adalah jenis-jenis tiing buluh yang sudah melekat dalam kehidupan nenek moyang orang Bali sejak lama. Menurut Widjaja (2001) Dendrocalamus adalah marga bambu yang memiliki arti penting di Bali karena batang dari jenisjenis bambu ini paling besar di antara jenisjenis bambu yang ada di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Jenis ini sering mewakili kayu untuk keperluan bahan konstruksi bangunan. Walaupun hanya mempunyai jenis yang tidak terlalu banyak hanya tiga jenis, yaitu D. asper, D. brandisii, dan Dendrocalamus sp. jenis-jenis ini tampak mudah dikenal karena batangnya tertinggi di antara jenis-jenis koleksi bambu yang ada di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Gambar 1 memberikan gambaran yang lebih jelas tentang komposisi jumlah jenis marga bambu di Kebun Raya “Eka Karya” Bali.
20 18 16
Bambusa Chusquea
Jumlah Jenis
Dendrocalamus
14
Dinochloa
12
Fimbribambusa Gigantochloa
10 8
Guadua Nastus Neololeba
6 4 2 0
Otatea Phyllostachys Schizostachyum Shibatea Thyrsostachys
Gambar 1. Jumlah Koleksi Bambu MargaKebun Raya Eka Karya Bali 1982-2010
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
125
Gambar 2. Perkembangan penanaman koleksi bambu Kebun Raya “Eka Karya” Bali dari tahun 1982–2010.
Perkembangan koleksi bambu dari saat dibentuk tahun 1982 hingga tahun 2010 sangat fluktuatif baik dari segi jumlah nomor, marga maupun jenisnya per tahun. Dua tahun setelah dimulai pengoleksian mengalami stagnasi tidak ada penanaman selama 11 tahun (1984–1994). Selanjutnya, dari tahun 1995 hingga tahun 2010 kembali dilakukan kegiatan berupa eksplorasi, menerima sumbangan koleksi dan tukar menukar material hidup, penanaman serta pemeliharaan koleksi. Puncak penanaman koleksi terbanyak dilakukan pada tahun 1995 sebanyak 55 nomor yang terdiri atas lima marga 26 jenis dan pada tahun 2005 sebanyak 37 nomor yang terdiri atas enam marga dan 17 jenis, disusul tahun 1999 sebanyak 33 nomor yang terdiri atas lima marga 17 jenis dan tahun 2004 sebanyak 30 nomor terdiri atas enam marga dan 16 jenis. Untuk melihat perkembangan penanaman koleksi bambu dari tahun 1982 hingga 2010 secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 2. Belum fokusnya perencanaan dan kurangnya dana perjalanan untuk mengumpulkan jenis-jenis bambu dari berbagai daerah baik dari lahan pertanaman petani maupun kawasan hutan alam, mengakibatkan perkembangan koleksi bambu kebun Raya Bali mengalami fluktuasi terutama dari tahun 1983 hingga tahun 1994 seperti terlihat jelas pada Gambar 2. Koleksi bambu berbunga, herbarium dan koleksi mati
pengambilan
Koleksi bambu yang dipantau berbunga sejak tahun 1982 sampai dengan tahun 2010
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
sebanyak 24 nomor dari 22 jenis bambu. Adapun koleksi bambu yang telah diambil herbariumnya adalah sebanyak 35 nomor dari 35 jenis dan 208 spesimen serta koleksi mati sebanyak 28 nomor dan 26 jenis seperti tertera pada Lampiran 2. Bambu termasuk salah satu tanaman monokarpik, artinya setelah terjadi pembungaan dan pembuahan pada umumnya diikuti dengan kematian seperti terjadi pada G. hasskarliana, D. Kostermansiana, dan Schizostachyum sp. sehingga pembuatan herbarium harus segera dikerjakan. Namun, beberapa jenis bambu tertentu walaupun setelah terjadi pembungaan dan pembuahan, dapat bertahan hidup apabila diadakan pemangkasan pada batang yang berbunga seperti terjadi pada B. tuldoides, B. vulgaris, dan S. brachycladum. Kematian koleksi bambu selain disebabkan karena sifatnya yang monokarpik, juga disebabkan karena bibit kurang sehat, daya adaptasinya rendah, dan faktor pemeliharaan. KESIMPULAN Bambu merupakan salah satu tanaman yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bali karena sangat berhubungan erat dengan budaya Hindu Bali serta kegunaan bambu yang multifungsi. Koleksi bambu sampai tahun 2010 berjumlah 58 jenis dari 14 marga. Telah dibuat herbarium baik dari tanaman koleksi yang telah berbunga maupun yang belum sebanyak 208 spesimen. Sebanyak 22 jenis tanaman koleksi berbunga dan 26 jenis
126
koleksi bambu yang mati telah dicatat dalam perkembangan koleksi. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Kepala UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali dan Kasi Konservasi Kebun Raya “Eka Karya” Bali atas perkenan memberikan ijin penggunaan pangkalan data khususnya bambu dan koleksi bambu di petak XID. dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Arinasa,
IBK. 2004. “Pemanfaatan dan Keanekaragaman Bambu dalam Upacara Adat Pecaruan Rsighana di Kebun Raya “Eka Karya” Bali”. Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI. Arinasa, IBK. and E.A. Widjaja. 2005. “Bambu Diversity in Bali, Indonesia”. Bambu Journal, No. 22. Japan. Bagiada, P. 2003. Prospek Bambu Ditinjau dari Segi Industri dan Pemasarannya. Bali: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali Sumantera, IW dan IN. Peneng. 2005. “Pemberdayaan Hutan Bambu sebagai Penunjang Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pekraman Angsri
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Tabanan Bali”. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Perbambuan di Indonesia. 17 Januari 2005. Yogyakarta. Unit Registrasi. 2010. “Buku Kebun, Pangkalan Data Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI” (tidak diterbitkan). Untung, K.H. Suryanda, E.A. Widjaja, L. Garland, Gustami,Indraningsih dan M. Kristiningsih. 1998. Strategi Nasional dan Rancang Tindak Pelestarian Bambu dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan di Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Widjaja, EA. 1994. “Ex Situ Conservation of Indonesian Endemic Bambu for Extensive Utilization”. The Kebun Raya Bogor Conference Proceedings. Printed in Indonesia by Cv. Riza Graha Jaya. Widjaja, EA. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor, Indonesia: Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense. Widjaja, E.A., IP. Astuti and IBK Arinasa. 2004. “New Species of Bambus (Poaceae – Bambusoideae) from Bali”. Reinwardtia, 12 (2). Widjaja, E.A., IP Astuti, IBK. Arinasa dan IW Sumantera. 2005. Identikit Bambu di Bali. Bogor: Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi–LIPI.
127
Lampiran 1. Daftar koleksi bambu Kebun Raya “Eka Karya” Bali dari tahun 1982 sampai dengan tahun 2010 No Jumlah jenis Marga Jenis No. jenis per marga 1
Phyllostachys
sp. aurea A. & Ch. Riviere nigra (Lodd. ex Lindl.) Munro
1 2 3
2
Shibatea
kumasasa (Steud.) Makino
4
3
Bambusa
sp. blumeana J. A. & J. H. Schult. maculata Widjaja multiplex (Lour.) Raeush.ex J.A.&J.H Schult. multiplex (Lour.) Raeush.ex J.A.&J.H Schult.var.auriestiati ooh Widjaja & Astuti tuldoides Munro vulgaris Schrad.ex Wendl.var. striata vulgaris Schrad.ex Wendl var. vulgaris vulgaris Schrad.ex Wendl var. wamin albustriata
5 6 7 8
3 1
9 10 11 12 13 14 15 11
4
Schizostachyum
sp. brachycladum Kurz castaneum Widjaja caudatum Backer ex Heyne cuspidatum Widjaja glaucocladum Widjaja latifolium Gamble lima (Blanco) Merr silicatum Widjaja zollingeri Steud.
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
5
Gigantochloa
sp. apus (J.A.& J.H.Schult.)Kurz apus (J.A.& J.H.Schult.) Kurz cult. hitam atroviolacea Widjaja atter (Hassk.)Kurz aya Widjaja & Astuti baliana Widjaja & Astuti hasskarliana Backer ex Heyne kuring Widjaja luteostriata Widjaja magentea Widjaja manggong Widjaja nigrociliata (Buse) Kurz pubinervis Widjaja pubipetiolata Widjaja robusta Kurz serik Widjaja taluh Widjaja & Astuti thoi K.M.Wong velutina Widjaja
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
6
Dendrocalamus
sp. asper (Schult.) Backer ex Heyne brandisii Kurz
46 47 48
7
Dinochloa
sp. kostermansiana S.Dransf. sepang Widjaja & Astuti
49 50 51
10
20
3
3
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
128
No
Marga
Jenis
Jumlah jenis per marga
No. jenis
8
Fimbribambusa
sp.
52
9
Neololeba
atra (Lindl.) Widjaja
53
10
Otatea
acuminata var.artecarum
54
11
Chusquea
ceronalis
55
12
Guadua
angustifolia (Kunth.) subsp. Chacoensis (N.Rojas Acosta) S.M.young & W.Jud.
56
13
Thyrsostachys
siamensis Gamble
57
14
Nastus
reholtumianus S. Soenarko
58
1 1 1 1
1 1 1
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
129
Lampiran 2. Koleksi bambu Kebun Raya “Eka Karya” Bali dari tahun 1982-2010 yang berbunga dan telah diambil material herbariumnya serta yang mati. Jumlah Tahun Tanggal Koleksi mati, Jenis bambu spesimen tanam berbunga tanggal herbarium 1982
Phyllostachys Shibatea Bambusa
Schizostachyum Gigantochloa 1983
Gigantochloa Dendrocalamus Schizostachyum
1995
Schizostachyum
1997
Dinochloa Dinochloa Schizostachyum
nigra (Lodd. ex Lindl.) Munro aurea A. & Ch. Riviere kumasasa (Steud.) Makino multiplex (Lour.) Raeush. ex J.A.&J.H Schult. multiplex (Lour.) Raeush.ex J.A.&J.H Schult. var. auriestiati tuldoides Munro vulgaris Schrad.ex Wendl. brachycladum Kurz silicatum Widjaja sp. apus (J.A.& J.H.Schult.) Kurz sp. asper (Schult.) Backer ex Heyne lima (Blanco) Merr. luteostriata Widjaja pubipetiolata Widjaja hasskarliana Backer ex Heyne manggong Widjaja brachycladum Kurz lima (Blanco) Merr. glaucocladum Widjaja castaneum Widjaja sp. kostermansiana S.Dransf. kostermansiana S.Dransf sp.
Gigantochloa Neololeba
sp sp. sp. kostermansiana S.Dransf. sp. sp vulgaris Schrad.ex Wendl. tuldoides Munro vulgaris Schrad.ex Wendl. var.striata luteostriata Widjaja atra (Lindl.) Widjaja
2001
Schizostachyum Bambusa Dendrocalamus Schizostachyum Chusquea
sp. vulgaris Schrad.ex Wendl. sp. sp. ceronalis
2003
Gigantochloa Schizostachyum
taluh Widjaja & Astuti silicatum Widjaja sp. sp. atra (Lindl.) Widjaja maculata Widjaja siamensis Gamble latifolium Gamble sp.
1998 1999
2000
2004 2005 2006
Bambusa Gigantochloa Fimbribambusa Dinochloa Phyllostachys Dinochloa Bambusa
Dinochloa .Neololeba Bambusa Thyrsostachys Schizostachyum Schizostachyum
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
5 4 5 5 3 18-8-2006 9-5-1994 20-8-1979
14-7-1986
25-9-2008
26-2-2006 12-5-2008 7-7-2008 8-9-2003 15-8-2007 20-7-2002
26-8-1999 23-11-2010 7-6-2005 21-5-2003 24-2-2010 23-11-2010
9 5 5 4 10 4 8 4 0 5
18-8-2006
6 5 0 5 5 6 10 5 5 0
30-3-2010
0 2 7 6 5 8 0 5
30-3-2010 5-4-2010
11-12-2003
6-3-2006 6-4-2010 10-12-2003 6-4-2010 5-4-2010
11-12-2003 5-4-2010 5-4-1999
21-5-2003
10-10-2006
10-10-2006 23-7-2007
0 0
10-12-2010 5-4-2010
5 0 0 0 0
5-4-2010 5-4-2010 5-4-2010 5-4-2010
5 0 0 0 5 0 5 7 0
1-9-2008 28-1-2010 6-3-2006 5-4-2010
30-3-2010
130
Tahun tanam 2007
Jenis bambu
Tanggal berbunga
Jumlah spesimen herbarium
Koleksi mati, tanggal
reholtumianus S. Soenarko 21-1-2009 5 sp. 22-1-2009 11 apus (J.A.& J.H.Schult.) Kurz cult. 24-2-2010 8 hitam aya Widjaja & Astuti 27-1-2009 6 Keterangan: Kematian tidak mengurangi jumlah jenis dan marga, hanya jumlah spesimennya berkurang. Nastus Schizostachyum Gigantochloa
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
Tahun tanam 19-11-2009 5-4-2010
131
KUMPULAN ABSTRAK MAKALAH YANG TERBIT PADA JURNAL REINWARDTIA
STUDY ON LEAF ANATOMY OF Pandanus spp FROM SEBANGAU AND BUKIT BAKA – BUKIT RAYA NATIONAL PARK Ina Erlinawati and Eka Fatmawati Tihurua Botany Division (Herbarium Bogoriense), Research Centre for Biology. Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911, West Java, Indonesia ABSTRACT Study on leaf anatomy of 18 collections of Pandanus spp have been conducted. Leaf materials of Pandanus spp were collected in Sebangau National Park, Palangkaraya, Center Kalimantan; Bukit Raya and Bukit Baka National Park, West Kalimantan. Cross sections showed leaf structure of Pandanus spp are similar. While paradermal sections indicated that crystal number; size and stomatal index are different. Variation of epidermis cell wall, stomata, hypodermis, schlerenchym, mesophyl and crystal are discussed in this paper. Keywords: Leaf anatomy, Pandanus spp, Sebangau National Park, Bukit Raya and Bukit Baka, National Park.
A NEW SPECIES OF MURRAYA FROM CYCLOPS 1
Inggit Puji Astuti1 and Rugayah2 Center for Plant Conservation Bogor Botanic Garden, Indonesian Institute of Sciences. 2 Herbarium Bogoriense, Biology Reaearch center, Indonesian Institute of Sciences 1 Email:
[email protected]
ABSTRACT A living collection of Bogor Botanic Gardens, planted in vak XXIV.A.192-192a originated from Cyclops Papua, collected by Lugrayasa (LG 1352), will be described and illustrated as a new species, namely Murraya cyclopense Astuti & Rugayah. The species closely related with Murraya paniculata (L.) Jack, but differ in the present of indument on twig, rachis, petiole, smaller size of flower, globose and red colour of fruit and orbicular seed covered by short hairs and red aril. Keywords: Murraya cyclopense, new species, Cyclop Nature Reserves
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
132
THE UNIQUE CHARACTERS AND HABITAT OF Freycinetia, Pandanaceae WITH SEVENTH NEW SPECIES IN TIMIKA, PAPUA, WEST NEW GUINEA Nurhaidah Iriany Sinaga1), Ary Prihardyanto Keim2), Pratita Puradyatmika 3) Forestry Department, Papua University, Indonesia, Jl. Gunung Salju Amban Manokwari, Papua Barat; email:
[email protected]. 2 Botany Division (Herbarium Bogoriense), Research Centre for Biology. Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911, West Java, Indonesia; email:
[email protected]. 3 Reclamation & Biodivesity Environmental Department of PT Freeport Indonesia Mimika Papua 99920 1
ABSTRACT Freycinetia has their great diversity in New Guinea. The real home of the genus in this was found in several herbariums. One area where unknown species have found is Timika. Old specimens were collected in 1908 and other advance collections in 1999. Therefore knowing what species is and how many of them occur in Timika became main purpose of our research. The results show that variation of species were not only shown in their characters but also in their habitat. Highest number of stigma and segments of berries only found in the area. Unique characters of the areola and stigma mostly found in the species, in addition to auricle and leaves characters. The ability of species to live in the disturb forest make them different from other Papuan species. What happen here depend on correlation among climate, primary forest surrounding and the soil. As a result of developing species in the area, 7 new species were found. Keywords: Pandanaceae, Freycinetia, Papua
DIVERSITY OF MEDICINAL PLANT IN THE LOWLAND, BODOGOL AND ITS SURROUNDING OF MOUNTH GEDE-PANGRANGO NATIONAL PARK, WEST JAVA Susiarti, S., M. Rahayu and Rugayah Botany Division, Research Center for Biology, LIPI Jl. Raya Bogor- Jakarta Km 46, Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected] ABSTRACT Ethnobotanical research has been carried out in the lowland Forest, Bodogol, Gede Pangrango National Park. The study site inhabitant by local community namely Sundanese. Method used ethno–directed sampling and open–ended interview with local community. Also ‘walk in the wood’ method which carried out in four plot permanent (forest). A total of 93 medicinal plant were recorded in the lowland forest, Bodogol and its surrounding, belonging to 76 genera and 50 families. Those species used for treatment of 32 different diseases. The highest species used is for post pregnancy. Alstonia scholaris, Cinnamomum sintoc, Fibraurea chloroleuca were included endangered plant. The community rare to extractivism medicinal plant from the forest, they prefer collected from around of village or from the cultivated ones. Keywords: Medicinal Plants, The lowland forest, Gede-Pangrango National Park, West Java
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
133
KAJIAN ETNOBOTANI PANDAN (PANDANACEAE) DI PULAU FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR Siti Susiarti, Tutie Djarwaningsih & Ary P. Keim Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi – LIPI CSC, Jl. Raya Jakarta – Bogor Km 46, Cibinong 16911, Bogor E-mail:
[email protected] ABSTRACT Masyarakat di Nusa Tenggara Timur terdiri dari banyak kelompok etnis dan masing- masing kelompok memiliki bahasa daerahnya sendiri. Pulau Flores adalah pulau terbesar kedua di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini dihuni oleh 10 kelompok etnis, diantaranya Flores, Ende, Lio dan Manggarai. Flora pandan di pulau ini belum banyak dikenal, demikian pula etnobotaninya. Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan pemanfaatan tradisional pandan di pulau Flores beserta potensinya. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten: Ende, Nagekeo dan Manggarai. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa di tiga kabupaten tersebut terrekam empat jenis Pandanus (Pandanus amaryllifolius, P.dubius, P. kaernbachii, dan P.tectorius), dan satu jenis Freycinetia (F. insignis). Kehadiran P. kaernbachii di Pulau Flores adalah rekaman baru. Masyarakat setempat mengenali keragaman suku pandan-pandanan (Pandanaceae), khususnya dari marga Pandanus, dimana mereka mengenal dengan beberapa nama daerah seperti: “panda”, “re’a”, “waku”, dan “mbojo”. Kegunaan utama Pandanus adalah sebagai bahan baku untuk kerajinan tangan (tikar, wadah kopi, dan topi), bahan pewarna, penyedap makanan dan tanaman hias. Kata kunci: Flores, Freycinetia, Masyarakat Flores, NTT, Pandanus, Pandanaceae.
MORPHOLOGY OF JAVANESE SPECIES OF PANDANACEAE 1
Sri Endarti Rahayu, 2Tatiek Chikmawati, 3Kuswata Kartawinata, 2 Alex Hartana Biology Department, National University, Jl. Sawo Manila 61, Pejaten – Pasar Minggu , Jakarta Selatan, Indonesia. E-mail: endarti
[email protected] 2 Biology Department, Bogor Agricultural Institute, Jl, Raya Dramaga, Bogor, Indonesia. 3 Herbarium Bogoriense, Research Center in Biology, Indonesian Institute of Sciences, Bogor, Indonesia; Botany Department, Field Museum , Chicago, Illionis, USA 1
ABSTRACT Since a large number of characters are now known for Freycinetia and Pandanus species, it appears useful to cpnsider their use in identifying plants from Java. Fieldwork carried out for this study has provided stronger foundation for understanding mprphological variation within the species. This study was uindertaken to have abetter understanding on the morphology of the family in order to ma ke abetter species delimitation. Characters of habit, stem, leaves, auricles, bracts, peduncle and pedicel, inflorescentia, male flowers (stamen), female flowers (pistil), cephalia and berries were found useful in delimitation and identification of Javanese Freycinetia, while characters of habit, stem, prop root, marginal spine, leaves, bracts, inflorescentia, peduncle, male flower (staminate), female flower (pistillate), cephalia, phalanges or drupes are proved useful for distinguishing among specioes of Javanese Pandanus. Keywords: Freycinetia, morphology, Pandanus, Java ABSTRAK Morfologi Jenis-Jenis Pandanaceae di Jawa – Saat ini telah diketahui adanya sejumlah karakter yang dimiliki oleh Freycinetia dan Pandanus, karena itu tampaknya akan sangat berguna untuk mempertimbangkan kegunaan karakter-karakter tersebut intuk identifikasi tumbuhan yang berasal dari Jawa. Studi lapangan yang dilakukan pada penelitian ini memberikan dasar yang lebih kuat untuk dapat memahami variasi morfologi yang terdapat di dalam spesies. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat memahami dengan lebih baik tentang morfologi di dalam suku sehingga dapat membuat batasan spesies yang lebih baik. Karakter-karakter seperti perawakan,
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
134
batang, daun, aurikel, braktea, gagang dan gantilan bunga, perbungaan, bunga jantan dan bunga betina, sefalia dan buah berguna di dalam pembatasan dan identifikasi Freycinetia yang berasal dari Jawa, sedangkan karakterkarakter seperti perawakan, batang, akar tunjang, duri pinggir daun, daun, braktea, perbungaan, gagang bunga, bunga jantan, bunga betina dan buah terbukti berguna untuk pengenalan spesimen-spesimen pandanus di Jawa. Kata kunci : Freycinetia, morfologi, Pandanus, Jawa
ECOLOGY AND SPECIES RICHNESS IN DIFFERENT HABITAT GRADIENTS OF THE FERN GENUS DIPLAZIUM IN WEST MALESIA Titien Ngatinem Praptosuwiryo1 and Dedy Darnaedi2 Center for Plant Conservation – Bogor Botanic Gardens, Indonesian Institute of Sciences. Jl. Ir. H.Juanda No. 13 Bogor, Indoensia. E-mail:
[email protected] 2 Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Cibinong Sciences Censter, Indonesia. E-mail:
[email protected] 1
ABSTRAK Diplazium merupakan marga besar tumbuhan paku anggota suku Woodsiaceae yang diperkirakan terdiri dari 400 jenis yang terutama terdapat di daerah tropik. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai pembatasan jenis dalam Diplazium dan juga untuk mengetahui hubungan antara ekologi dan kekayaan jenis, penelitian ekologi Diplazium di kawasan Malesia Barat telah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) untuk mempelajari ekologi Diplazium dan (2) untuk mengetahui hubungan keanekaragaman jenis Diplazium dengan ketinggian dan habitat. Penelitian dilakukan dengan studi lapangan di Jawa, Sumatra dan Borneo, dengan metode pencarian acak, dan juga pengamatan specimen herbarium yang tersimpan di dua herbarium, BO dan SING. Enam puluh sembilan jenis Diplazium dikenali dan terdistribusi di Malesia Barat. Diplazium dapat diperi dalam tiga group utama berdasarkan habitatnya: jenis lahan kering, jenis riparian dan jenis reofit. Sebagian besar jenis merupakan jenis paku terestrial lahan kering yang hidup pada ketinggian 20-155 m, 5001000 m, 1000-1500 m, 1500-2000 m, 2000-2500 m, 2500-3000 m, 3000-3400 dan 1500-3400 m di hutan primer maupun sekunder pada tanah subur kaya humus di tempat-tempat cukup teduh dan sangat teduh. Jumlah jenis memuncak pada ketinggian 1000-1500 m dpl. Hanya 5 tergolong jenis riparian dan 2 jenis yang reofit baik reofit fakultatif maupun obligat. Kata kunci: West Malesia, tumbuhan paku, Diplazium, ekologi, kekayaan jenis. ABSTRACT Diplazium is a large genus of fern of the family Woodsiacee consisting of about 400 species that occurs mainly in the tropics. In order to grasp a better understanding in species delimitation on Diplazium and also to recognize the correlation between ecology and species richness, ecological studies of this genus from Western Malesia are conducted. The aims of this study are: (1) to study the ecology of Diplazium species and (2) to recognize the species richness of Diplazium in the different habitat gradient. This research was carried out by doing field studies in Java, Sumatra and Borneo, using random search, and also specimens examination deposited at two herbaria, BO and SING. Sixty nine species of Diplazium are recognized and distributed in West Malesia. Diplazium can be divided into three major groups based on its habitats: dry-land, riparian and rheophytic species. Most of species are terrestrial dry-land ferns and found at 20-155 m, 500-1000 m, 10001500 m, 1500-2000 m, 2000-2500 m, 2500-3000 m, 3000-3400 and 1500-3400 m a.s.l. in the primary and secondary forest on moist humus-rich soil in light and deep shady places. The species number of Diplazium were culminated at 1000-1500 m. There were only 5 riparian species and 2 rheophytic species which were classified into facultative rheophyte and obligate rheophyte. Keywords: West Malesia, fern, Diplazium, ecology, species richness.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
135
DICKSONIA TIMORENSE (DIKSONIACEAE), A HEMI-EPIPHYTIC NEW SPECIES OF TREE FERN ENDEMIC ON TIMOR ISLAND, INDONESIA Bayu Adjie1, Agung Kurniawan1, Norio Sahashi2 and Yasuyuki Watano3 1 Bali Botanic Garden, Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191, Indonesia. E-mail:
[email protected] 2 Faculty of Pharmaceutical Science, Toho University, 2-2-1 Miyama, Funabashi, Chiba 274-8510, Japan. 3 Faculty of Science, Chiba University, 1-33 Yayoi, Inage, Chiba 263-8522, Japan.
ABSTRACT Dicksonia timorense B. Adjie is described and illustrated as an endemic new species from Timor Island, Indonesia. Population, hemi-epiphytic trait and phylogenetic relationship based on cpDNA sequences are discussed. Keywords: Dicksonia, Timor, Indonesia, new species, endemic, hemi-epiphytic, cpDNA. ABSTRAK Dicksonia timorense B. Adjie dipertelakan dan diilustrasikan sebagai jenis baru endemik dari Pulau Timor, Indonesia. Studi tentang populasi, aksesi hemi-epifitik serta hubungan kekerabatan filogeni berdasarkan cpDNA disajikan. Kata kunci: Dicksonia, Timor, Indonesia, jenis baru, endemik, hemi-epifitik, cpDNA.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
136
KUMPULAN ABSTRAK MAKALAH YANG DITERBITKAN DI JURNAL BERITA BIOLOGI
KEDAWUNG (Parkia timoriana) DAN KERABATNYA DI JAWA PETIR (Parkia intermedia) DAN PETAI (Parkia speciosa) Arief Hidayat, Rugayah dan Ujang Hapid Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Email:
[email protected] ABSTRAK Kedawung banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku obat tradisional, pembuatan peti, perabotan rumah tangga dan dalam industri korek api. Berkaitan dengan pemanfaatannya, pemakaian nama ilmiah kedawung masih bervariasi seperti Parkia roxburghii, P. timoriana, P. javanica dan P. biglobosa. Di Jawa terdapat 3 jenis Parkia, yaitu: P. roxburghii, P. intermedia dan P. speciosa. Dimana P. roxburghii, P. javanica, P. biglobosa merupakan sinonim dari P. timoriana, sedangkan P. intermedia dan P. javanica masih belum jelas status taksonominya. Sehingga ketidakjelasan status taksonomi dari P. intermedia perlu ditinjau kembali. Penelitian ini dilakukan dengan cara pendekatan morfologi dan anatomi dari tiga jenis Parkia yang ada di Jawa, yaitu P. timoriana, P. intermedia dan P. speciosa. Dari hasil pengamatan morfologi dan anatomi daun dapat digunakan sebagai pembeda ketiga jenis tersebut, tetapi pengamatan anatomi belum dapat dipakai sebagai karakter pendukung untuk membuktikan terjadinya hibridisasi. Dapat disimpulkan bahwa nama ilmiah yang tepat untuk kedawung adalah Parkia timoriana. Kata kunci : Kedawung, Parkia timoriana, Jawa.
KARAKTER ANATOMI HELAIAN DAUN MURRAYA SPP (RUTACEAE) (The Anatomical Character of Murraya spp (Rutaceae) Leaflet) Eka F. Tihurua1, Inggit Puji Astuti2 dan Rugayah1 1 Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, LIPI 2 Pusat Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya Bogor, LIPI ABSTRACT Five species of Murraya (Rutaceae) that have been examined for leaf anatomy. Murraya spp leaf has dorsiventral. Epidermal cell present with straight-undulate wall and square-irregular in shape. Anomocytic stomata distributed only on the lower surface and simple trichome spread in both surface except in M.crenulata which has trichome only in lower surface. Mesophyll with 2 or more layers of palisade tissues in the upper part of leaf and sponge below, but M.exotica has palisade tissue in both part of the leaf. Oil gland distributed in the mesophyll. Crystal present in prismatic (cuboid) and drusse type. Keyword: leaf anatomy, Murraya, Rutaceae, palisade tissue, anomocytic stomata.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
137
KERAGAMAN TANAMAN KELAPA (Cocos nucifera L.) DALAM UPAKARA PADUDUSAN ALIT DI KABUPATEN KLUNGKUNG , BALI Eniek Kriswiyanti dan I Ketut Junitha Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Kuta E mail:
[email protected] ABSTRAK Penelitian keragaman tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) dalam upakara padudusan alit telah di lakukan di Kabupaten Klungkung. Masyarakat mengenal lima nama lokal yaitu: nyuh (kelapa bahasa Bali) Bulan, Udang, Gadang, Gading dan nyuh Sudamala. Untuk mengetahui keragamannya, telah dilakukan karakterisasi melalui pengamatan dan pengukuran bagian-bagian tanaman dengan menggunakan Panduan Pengujian Individual Kebaruan, Keunikan, Keseragaman dan Kestabilan Kelapa (Cocos nucifera L.) (Deptan R.I PPVT, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari lima tanaman kelapa: nyuh Bulan, Udang, Gadang dan nyuh Sudamala termasuk kelapa Dalam (var. typica Nar.) dan nyuh Gading tergolong kelapa Genjah (var. nana Riff.). Karakteristik masing-masing kelapa ditentukan oleh keistimewaan bagian tanaman yang berbeda. Kata kunci: keragaman, upakara, Padusan Alit
TUMBUHAN DI TAMAN NASIONAL KELIMUTU FLORES -- NUSA TENGGARA TIMUR Harry Wiriadinata1, Albert Wawo1 dan J. I. B. Hatubessy2 1 Bidang Botani, Puslit Biologi- Cibinong Science Center LIPI. Jln. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cininong 16911. E 2 Mhs S2 Ilmu Lingkungan, Univ. Udayana, Bali : Univ.Flores Jalan Samratulangi, Ende, Flores. Email:
[email protected] ABSTRAK Dalam rangka melengkapi informasi serta data keanekaragaman tumbuhan di Taman Nasional Kelimutu, Flores maka pada bulan Agustus 2008, telah dilakukan eksplorasi dan pengumpulan berbagai jenis tumbuhan di berbagai tipe ekosistem kawasan Detosuko, sebagai kelanjutan inventarisasi data vegetasi wilayah Gunung Kelimutu maupun G. Kelibara. Daerah yang disurvei umumnya merupakan hutan primer dan sekunder berbatasan dengan hutan reboisasi yang didominasi oleh Eucalyptus urophylla dan Cromolaena odoratissimum. Hasil survei tercatat sebanyak 120 jenis tumbuhan tergolong dalam 90 marga dan 44 suku. Beberapa tumbuhan diantaranya seperti Archidendron harmsii, Aquilaria filaria, Cryptocarya densiflora, Dodonea viscosa, Elaeocarpus bruno-tomentosa, Ganophyllum falcatum, Helicia attenuata, Polysciaa nodosa, Terminalia sumbawana, Ternstroemia toquin dan Zanthoxylum ovalifolium merupakan jenis-jenis pohon yang belum pernah dijumpai sebelumnya di Gn. Kelimutu dan Gn. Kelibara. Hal yang menarik dari survei ini adalah ditemukannya satu jenis baru Begonia sukoriensis sp.nov. ined. yang merupakan tumbuhan endemik khas TN Kelimutu dan merupakan penemuan baru bagi ilmu pengetahuan. Kata kunci: Kekayaan tumbuhan Detosuko, Taman Nasional Kelimutu, Flores
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
138
PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN HEWAN RITUAL ADAT MASYARAKAT TENGGER DI BROMO-TENGGER SEMERU JAWA TIMUR
1
Jati Batoro¹, Dede Setiadi², Tatik Chikmawati² dan Y. Purwanto³ Biologi FMIPA UB, 2Sekolah Pascasarjana IPB, 3Pusat Penelitian Biologi – LIPI Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan yang dipergunakan dalam melakukan ritual adat masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur. Desa masyarakat disurvei meliputi desa Ranupani dan Argosari kecamatan Senduro kabupaten Lumajang, desa Gubuklakah dan desa Ngadas Kidul kecamatan Poncokusumo kabupaten Malang, desa Ngadisari dan Ngadas kecamatan Sukapura, desa Pandansari kecamatan Sumber kabupaten Probolinggo dan desa Wonokitri dan Mororejo kecamatan Tosari, desa Ngadirejo kecamatan Tutur, desa Keduwung kecamatan Puspo kabupaten Pasuruan. Metoda penelitian dilakukan wawancara terstruktur dan bebas, serta pengamatan langsung dengan mengikuti seremoni acara ritual adat oleh para sesepuh Tengger, dukun Panditha, legen, wong sepuh dan masyarakat Tengger. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritual adat masih baik dan konsisten dilakukan terutama wilayah Tengger bagian dalam (sentral). Jumlah tumbuhan yang dipergunakan dalam ritual adat terdapat 104 jenis tumbuhan dari 79 marga 43 familia, untuk hewan (11 jenis) meliputi hewan mamalia 5 jenis, aves 3 jenis, ikan 3 jenis. Tempat penting dalam ritual adat Tengger meliputi: Danyangan, Sanggar Pamujan, Pure Poten, gunung Bromo. Kata kunci: Etnoritual, Masyarakat Tengger, Gunung Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur
JAMUR ARBUSKULA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Kartini Kramadibrata Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi – LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor Km46, Cibinong 16911 Email:
[email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian jamur arbuskula (JA) pada rizosfer tumbuhan di sekitar Pos Penjaga Karang Ranjang, Resort Karang Ranjang, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Sebanyak 96 contoh tanah yang berasal dari rizosfer 23 jenis tumbuhan hutan telah dikoleksi untuk pemeriksaan kandungan JA. Semua contoh tanah dimasukkan dalam kantong plastik dan dikeringanginkan. Sebagian contoh tanah diisolasi spora JA dengan cara tuang saring basah. Sebagian contoh tanah dibuat kultur pot dengan tanaman Pueraria javanica dan dipelihara dalam rumah kaca selama enam bulan sampai satu tahun. Selanjutnya dilakukan metoda tuang saring basah untuk setiap contoh tanah yang telah dipelihara dalam rumah kaca. Hasil yang diperoleh menunjukkan terdapat tiga jenis Acaulospora dan delapan jenis Glomus. Hampir semua jenis JA yang dijumpai merupakan jenis yang umum dijumpai dari alam, namun ada jenis yang jarang dijumpai seperti Glomus multicaulis. Kata kunci: Jamur arbuskula, Taman Nasional Ujung Kulon, kultur pot, Acaulospora, Glomus.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
139
NILAI KEPENTINGAN BUDAYA KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN BERGUNA DI HUTAN DATARAN RENDAH BODOGOL, SUKABUMI – JAWA BARAT Mulyati Rahayu, Y. Purwanto & Siti Susiarti Lab. Etnobotani – Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi – LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor Km.46, Cibinong Science Center Cibinong-Bogor E-mail:
[email protected] ABSTRAK Penelitian nilai kepentingan budaya keanekaragaman jenis tumbuhan berguna dalam studi etnobotani merupakan langkah penting, antara lain meliputi strategi kegiatan yang sifatnya subsisten dan klasifikasi tradisional. Penelitian etnobotani di kawasan hutan dataran rendah di Bodogol, Jawa Barat tercatat sekitar 200 jenis tumbuhan berguna. Penelitian dilakukan pada tahun 2009 – 2010 dalam 3 kali kunjungan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dengan menggunakan metode ‘walk in the wood’, pengamatan langsung di petak-petak permanen dan estimasi nilai kepentingan budaya setiap jenis tumbuhan berguna dengan formula ICS (Indexs Cultural Significance). Hasil penelitian diketahui bahwa masyarakat lokal sekitar kawasan hutan dataran rendah Bodogol memiliki pengetahuan cukup baik tentang keanekaragaman hayati disekitarnya. Berdasarkan hasil wawancara diketahui nilai kepentingan budaya jenis tumbuhan berguna di kawasan tersebut berkisar 0.5 – 86. Arenga pinnata ‘kawung’ memiliki nilai ICS tertinggi dan Arisaema filiforme ‘acung leutik’ terendah. Kata kunci: tumbuhan berguna, ICS, Bodogol, Jawa Barat
PEMANFAATAN EDIBLE ARACEAE DI KECAMATAN NGANTANG, KABUPATEN MALANG Rodiyati Azrianingsih, Gustini Ekowati, Vanica Rizqi Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Brawijaya, Jalan Veteran Malang 65145. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan dari famili Araceae yang tumbuh di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, dan pemanfaatannya oleh penduduk sebagai bahan pangan. Survei etnobotani dilakukan dengan wawancara dan penyebaran kuisioner untuk mengetahui persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap Araceae serta nilai guna jenisnya sebagai bahan pangan. Ditemukan 13 jenis dari empat genus Araceae di Kecamatan Ngantang. Semua responden di Kecamatan Ngantang mengenal Araceae dengan baik dan memiliki potensi pemanfaatan yang tinggi. Responden memiliki nilai persepsi sangat baik, namun apresiasi termasuk dalam kategori cukup dan kurang yang disebkan oleh rendahnya minat masyarakat untuk menanam tanaman tersebut. Semakin tua umur responden, semakin besar persentase pengenalan, pemanfaatan, persepsi dan apresiasi terhadap tanaman Araceae. Tanaman Araceae yang paling sering dimanfaatkan oleh responden adalah Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott. (Mbothe Hijau) karena tanaman tersebut mudah tumbuh dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk dipanen. Diperlukan studi lebih lanjut dan upaya konservasi bagi jenis Araceae yang hanya tumbuh di Kecamatan Ngantang seperti salah satu jenis Xanthosoma (Endro). Kata kunci: Araceae, Etnobotani, Kecamatan Ngantang, Malang, Jawa Timur
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
140
PEMANFAATAN Symplocos fasciculata Zoll. (POHON LOBA) SEBAGAI PEWARNA DAN PEMBANGKIT WARNA ALAM PADA KERAJINAN TENUN DI DESA PEJENG, TAMPAK SIRING, GIANYAR, BALI. Siti Fatimah Hanum, I Dewa Putu Darma dan Tuah Malem Bangun UPT BKT Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali. 82191 ABSTRAK Kekayaan flora Indonesia sangat berpotensi sebagai bahan pewarna alam yang sering dimanfaatkan untuk pewarna kain. Proses pencelupan dengan zat warna alam pada umumnya diperlukan pengerjaan mordanting pada bahan yang akan dicelup / dicap dimana proses mordanting ini dilakukan dengan merendam bahan kain ke dalam garam-garam logam, seperti aluminium, besi, timah atau krom. Ditengah kekhawatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh pewarna dan mordan sintetis bagi kesehatan dan lingkungan, masyarakat mulai melirik kembali pemanfaatan pewarna dan pembangkit warna (mordan) alam. Selama ini bahan yang digunakan untuk mordanting adalah tawas sementara symplocos sebagai mordan alam sudah lama ditinggalkan orang. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui peran Symplocos dan pemanfaatannya sebagai mordan pewarna alam tenun pada kerajinan tenun di Desa Pejeng, Tampak Siring, Gianyar, Bali. Metode yang digunakan adalah wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait. Hasil kegiatan ini adalah diketahuinya peran symplocos sebagai pewarna dan mordan. Bagian tumbuhan yang dapat digunakan adalah daun dan kulit batang bagian dalam. Upaya konservasi terus dilakukan Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Saat ini baru terkoleksi 2 jenis Symplocos. Kata kunci: Symplocos, pewarna, pembangkit warna, tenun
STUDI KERAGAMAN GENETIK Pandanus polycephalus Lam. COMPLEX Yunita Nur Esthi, Rugayah, Himmah Rustiami Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI Jl. Raya Jakarta Bogor km. 46 Cibinong – Bogor 16911 ABSTRACT P. polycephalus was described first by Lamarck in 1785, then described further by Warburg in 1900 described further based on P. humilis (Rumphius, 1743) and P. humilis (Lour. 1790). P. polycephalus is economically important for weaving, and its flavenoids are used as an antitoxic, immunomodulator, and as an abortive medicine. Based on previous authors there are some variations in the number of cephalia in one infructescence. Information and research on the genetics is currently lacking. The present study was carried out using sixteen P. polycephalus Lamk. specimens collected from Kebun Raya Bogor, to optimize PCR and to screen random amplified polymorphic DNA (RAPD) markers in order to suggest appropriate primers and PCR conditions for genetic studies. Fifteen polymorphic primers were tested, and twelve (OPB07, OPB08. OPB11, OPB18, OPD02, OPD20, OPE01, OPE15, OPE18, OPL09, OPL18, OPL19) were successful. The results show that these 12 primers generated 539 total bands, of which 530 (98 %) were polymorphic. The range of genetic distances between individual specimens was from 0.61-0.85. The molecular data grouped these genotypes into three main clusters. Key words: Genetic diversity, Pandanus, species complex
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
141
KUMPULAN ABSTRAK MAKALAH YANG DITERBITKAN DI JURNAL FLORIBUNDA
KEANEKARAGAMAN JENIS ANGGREK DI CAGAR ALAM GUNUNG TUKUNG GEDE, SERANG, BANTEN Diah Sulistiarini Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Puslit Biologi – LIPI Jalan Raya Jakarta Bogor KM 46, Cibinong, Bogor E-mail:
[email protected] ABSTRAK Cagar Alam (C.A.) Gunung Tukung gede terletak di kabupaten Serang, propinsi Banten, yang meliputi kawasan hutan sekitar 1700 ha. Penelitian ini dilakukan tiga kali pada bulan Juli dan Oktober 2009 serta Okotber 2010 di tiga lokasi hutan di dekat desa Cikedung, Cikolelet dan Luwuk yang termasuk dalam dua kecamatan yaitu Cinangka dan Mancak. Berdasarkan website BKSDA (http:bhld.banten.go.id.) disebutkan hanya satu jenis anggrek dari Cagar Alam tersebut, yaitu Phalaenopsis sp.. Berdasarkan hasil eksplorasi, ditemukan tiga belas jenis anggrek dari C.A. Gunung Tukung Gede, yaitu 1 jenis anggrek saprofit, 3 jenis terrestrial dan 9 jenis epifit. Satu jenis merupakan anggrek langka yaitu Erythrochis altisima (Bl.) Bl. Kata Kunci: Anggrek, Cagar Alam Tukung Gede.
ANNONACEAE DI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE KOLEKSI HERBARIUM BOGORIENSE Rugayah, Deni Sahroni dan Dirman Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Puslit Biologi – LIPI, Bogor. ABSTRAK Annonaceae merupakan salah satu suku penting di daerah hutan hujan dataran rendah di kawasan Malesia. Beberapa anggotanya, mempunyai nilai ekonomi sebagai bahan pembuat parfum maupun buah-buahan. Berdasarkan pengamatan material herbarium yang disimpan di Herbarium Bogoriense, 16 jenis yang tergolong dalam 12 marga, telah dikoleksi dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Satu jenis diantaranya yaitu Orophea hexandra merupakan informasi baru daerah persebarannya untuk Sulawesi. Kunci identifikasi dan pertelaan marga serta persebaran masing-masing jenisnya disajikan pada makalah. Kata kunci: Annonaceae, TN. Bogani Nani Wartabone, Herbarium Bogoriense
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
142
REKAMAN BARU BEBERAPA JENIS TUMBUHAN DI JAWA Tutie Djarwaningsih “Herbarium Bogoriense” Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Cibinong Science Center – LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong 16911 E-mail:
[email protected] ABSTRAK Beberapa jenis tumbuhan di Jawa ada yang belum dilaporkan keberadaannya dalam publikasi flora setempat. Hasil penelitian dari Cagar Alam Gunung Tukung Gede (CAGTG) Serang – Banten, menunjukkan sebanyak 23 jenis tumbuhan merupakan rekaman baru. Kriteria rekaman baru tersebut dapat dibedakan menjadi 2. Pertama, jenis-jenis tumbuhannya belum pernah dilaporkan di Flora of Java, akan tetapi koleksinya telah tersimpan di Herbarium Bogoriense – LIPI, Bogor (BO) dan ditemukan di Jawa. Kedua, jenis-jenis tumbuhannya belum pernah dilaporkan di flora yang sama, koleksinya telah tersimpan dan tidak ditemukan di Jawa. Informasi persebaran, ekologi dan lain-lain dari jenis-jenis tersebut akan disampaikan dalam makalah ini. Kata kunci: Cagar Alam Gunung Tukung Gede (CAGTG), Jawa, rekaman baru
KEANEKARAGAMAN BEGONIA (BEGONIACEAE) DI KECAMATAN ULUIWOI SULAWESI TENGGARA, INDONESIA. Harry Wiriadinata Herbarium Bogoriense, Research Center for Biology, LIPI Jl Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong 16911, Indonesia E-mail:
[email protected] ABSTRAK Keanekaragaman tumbuhan Begonia (Begoniaceae) yang dijumpai di Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara di pertelakan disertai gambar. Begonia flacca, B. watuwilensis merupakan endemik Sulawesi Tenggara, mempunyai persebaran sempit. Begonia aptera merupakan satu jenis endemik Sulawesi, mempunyai persebaran lebih luas, jenis ini dapat dijumpai mulai dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Begonia longifolia berbagi persebaran mulai dari Birma, Thailand, Vietnam, Malaysia, Jawa,Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Hasil ekspolorasi terakhir ditemukan adanya populasi kecil Begonia yang diduga merupakan satu jenis baru bagi ilmu pengetahuan. Kata Kunci: Begonia, Begoniaceae, Sulawesi
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
143
KEANEKARAGAMAN LUMUT DI ARBORETUM SUMBER BRANTAS SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN MATAKULIAH TUMBUHAN RENDAH
Novita Kartika Indah dan Wisanti ABSTRAK Perkuliahan Taksonomi Tumbuhan Rendah (TTR) menggunakan pendekatan lingkungan. Akan tetapi ketika materi Lumut sangat sulit ditemukan di Surabaya. Hal ini karena di Surabaya keanekaragaman lumut sangat rendah dan tubuh lumut dalam keadaan tidak lengkap seperti sporofit sangat sulit ditemukan. Berpijak dari hal tersebut agar mahasiswa tetap dapat mengamati langsung morfologi dan tempat hidup lumut digunakanlah Arboretum Sumber Brantas sebagai tempat praktikum. Penelitian deskriptif ini menggunakan metode jelajah. Adapun tujuan penelitian adalah mengidentifikasi keanekaragaman lumut dan mengetahui tingkat keanekaragaman lumut sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran, sumber belajar dan sarana belajar. Arboretum Sumber Brantas ternyata mempunyai keanekaragaman yang cukup tinggi. Tiga divisi lumut terwakili serta lumut yang ditemukan mempunyai kelengkapan tubuh dari gametofit sampai sporofit, dengan kelimpahannya tinggi. Sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran, sumber belajar dan sarana belajar. Tiga divisi tersebut Hepatophyta sebanyak dua jenis, Anthocerophyta sebanyak satu jenis dan Bryophyta sebanyak dua jenis. Kata kunci: keanekaragaman, lumut, sumber brantas, media, TTR
PENGEMBANGAN LEMBAR KEGIATAN MAHASISWA MK. TAKSONOMI TUMBUHAN TINGGI BERBASIS PROYEK UNTUK MELATIH MAHASISWA BERPIKIR KREATIF Wisanti, Muji Sri Prastiwi dan Novita Kartika Indah Jurusan Biologi FMIPA UNESA ABSTRAK Tujuan umum penelitian ini adalah menghasilkan Lembar kegiatan Mahasiswa (LKM) mata kuliah Taksonomi Tumbuhan Tinggi berbasis proyek yang dapat melatih berpikir kreatif mahasiswa. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah mendeskripsikan kelayakan Lembar Kegiatan Mahasiswa mata kuliah Taksonomi Tumbuhan Tinggi yang dapat melatih berpikir kreatif mahasiswa. Tahapan penelitian ini meliputi: 1) Analysis, menganalisis kurikulum mata kuliah Taksonomi Tumbuhan Tinggi S1 Pendidikan Biologi UNESA; 2) Planning, melakukan perencanaan format dan substansi LKM; 3) Design, melakukan penyusunan Draf LKM ; 4) Development, melakukan reviu dan validasi terhadap draf secara teoritis oleh reviewer dari bidang pendidikan biologi dan taksonomi; 5) Evaluation dan Revision, merevisi LKM Taksonomi Tumbuhan Tinggi berdasar hasil revisi dan validasi. Hasil telaah menunjukkan bahwa LKM Taksonomi Tumbuhan Tinggi dan perangkat pendukungnya layak digunakan. Kelayakan dilihat dari aspek materi, penyajian, dan melatih keterampilan berpikir kreatif mahasiswa. Sementara itu aspek kebahasaan, LKM masih perlu direvisi dan ditelaah kembali agar memenuhi kriteria layak. Kata kunci: LKM berbasis proyek, berpikir kreatif
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
144
KUMPULAN ABSTRAK MAKALAH YANG TERBIT DI JURNAL BULETIN KEBUN RAYA
PISANG-PISANGAN (MUSACEAE) DI GUNUNG WATUWILA DAN DAERAH SEKITARNYA Lulut D. Sulistyaningsih Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi – LIPI Jl. Raya Bogor-Jakarta Km. 46, Cibinong Science Centre, Cibinong 16911 ABSTRAK Sebagai salah satu pusat asal-usul dan pusat keanekaragaman pisang, Indonesia memiliki jumlah pisang liar dan pisang budidaya yang cukup banyak. Secara geografi, Sulawesi merupakan pulau yang paling penting dalam ”Subregional Wallacea” yang terletak di pusat kepulauan Indonesia antara pulau Maluku dan Borneo (Kalimantan). Karena karakteristiknya yang unik, Sulawesi kaya akan flora, fauna, dan endemisitas yang tinggi. Pengetahuan flora Sulawesi termasuk pisang-pisangan masih sangat terbatas karena kurangnya eksplorasi botani di pulau tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penelitian eksplorasi. Eksplorasi untuk mengkaji keragaman dan potensi pisang-pisangan di kawasan pegunungan Watuwila dan sekitarnya telah dilakukan. Tiga varietas pisang liar dan dua belas kultivar pisang budidaya terdapat di kawasan tersebut. Musa acuminata Colla var. tomentosa (K. Sch.) Nasution merupakan varietas pisang liar endemik di Sulawesi. Dua varietas dari M. acuminata Colla diduga merupakan varietas baru. Beberapa kultivar budi daya diketahui merupakan anggota dari M. acuminata triploid AAA, M. balbisiana triploid BBB, dan M.x paradisiaca triploid AAB. Kata kunci: Musa acuminata, Watuwila, liar, budidaya, triploid
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN MANGROVE DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT Ida Bagus Ketut Arinasa UPT BKT Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali. 82191 E-mail:
[email protected] ABSTRAK Keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove di Taman Nasional Bali Barat belum banyak diungkap. Untuk maksud tersebut sebuah penelitian dilakukan selama lima hari mulai tanggal 12 sampai dengan 17 Juni 2011 menggunakan metode jelajah. Jelajah lapangan dimulai dari hutan mangrove pantai Banyuwedang sampai Gilimanuk dan dari Gilimanuk hingga hutan mangrove Sumbersari-Melaya. Dari hasil penelitian dapat diungkapkan keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove Taman Nasional Bali Barat tercatat sebanyak 15 suku yang terdiri atas 19 marga dan 27 jenis, kurang lebih 38% dari total keanekaragaman tumbuhan mangrove Indonesia. Tiga jenis tumbuhan mangrove yang sebelumnya sudah pernah didaftar namun belum berhasil ditemukan dalam penelitian ini di lapangan.yaitu kacangan (Aegiceras corniculatum (L.) Blanco), tingi (Ceripos decandra (Griff.) Ding Hou dan siri (Xylocarpus rumphii (Kostel.) Mabb. Kata kunci: keanekaragaman, mangrove, Taman Nasional Bali Barat.
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
145
PENENTUAN JENIS PANDAN (PANDANACEAE) YANG BERMANFAAT, PEMAHAMAN DALAM MASYARAKAT DAN MELALUI PENGAMATAN STRUKTUR DAN ANATOMI DI JAWA TIMUR Brian Rahardi, Jati Batoro, Serafinah Indriyani Jurusan Biologi FMIPA Universitas Brawijaya E-mail:
[email protected] ABSTRAK Seiring perkembangan budaya, baik tradisional maupun bioteknologi, penggunaan bahan Pandan, seperti dapat dijumpai baik di masyarakat, pasar tradisional, mengalami pergeseran yang digantikan oleh bahan lain, seperti tali oleh plastik, topi dari bahan kain. Kajian tentang Pandan (Pandanaceae) sendiri belum banyak diteliti, baik diversitas, jenis Pandan yang berpotensi untuk kerajinan (etnobotani) terutama di Jawa Timur. Berdasarkan penelitian sebelumnya, budi daya Pandan di Jawa Timur sekarang ini hanya terbatas pada jenis Pandanus tectorius karena dapat digunakan sebagai bahan mentah kerajinan, sedangkan jenis yang lain belum dibudi daya walaupun Pandanus labyrinthicus di Kabupaten Malang digunakan sebagai tali. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah mendapatkan database Pandan (Pandanaceae) yang nantinya dapat digunakan untuk melakukan manejemen sumber daya Pandan (Pandanaceae) guna pelestariannya di Jawa Timur, sehingga mendukung fungsinya secara ekologis dan dihasilkan juga pembudidayaan jenis Pandan lainnya yang juga berpotensi. Adapun tujuan jangka pendeknya adalah untuk mendapatkan jenis Pandan (Pandanaceae) yang bermanfaat untuk dikembangkan sebagai kerajinan yang nantinya dapat digunakan untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Jawa Timur melalui struktur anatomi. Kajian etnobotani dilakukan dengan pengumpulan secara etnodirect sampling dengan teknik wawancara langsung maupun semi struktural terhadap masyarakat dan pengrajin pandan secara kualitatif, yaitu dengan teknik wawancara semistruktural berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disediakan. Hasil dari wawancara ini juga untuk mempelajari pengetahuan masyarakat Jawa Timur tentang pemanfaatan pandan. Metode yang dilakukan pada anatomi Pandan meliputi: Metode ekstraksi serat, pembuatan preparat melintang dan membujur daun, pengukuran panjang dan kekuatan serat daun dan pembuatan preparat melintang dan membujur akar tunjang. Ketiga jenis Pandan yaitu P. tectorus, P. labyrinthicus dan P. furcatus memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan dasar pembuatan tali tampar dan kerajinan. Meskipun kecenderungan potensi ini masih ditunjukkan pada daerah yang terbatas di Jawa Timur. Potensi Pengerjain kerajinan berbasis tanaman serat masih dapat dikembangkan untuk mengembangkan kerajinan Pandan. Kata kunci: etnobotani, anatomi, kekuatan serat, Pandan
Prosiding Simposium, Workshop dan Kongres IX PTTI
146
PROSIDING SIMPOSIUM, WORKSHOP, DAN KONGRES IX PTTI “ORGANISASI PROFESI PENDORONG PERCEPATAN PERKEMBANGAN IPTEK” Bali, 11–13 Oktober 2011
Penelaah: Rugayah HimmahRustiami Titien Ng. Praptosuwiryo
PROSIDING SIMPOSIUM, WORKSHOP, DAN KONGRES IX PTTI “ORGANISASI PROFESI PENDORONG PERCEPATAN PERKEMBANGAN IPTEK” Bali, 11–13 Oktober 2011
Dalam perjalanan panjangnya taksonomi masih dianggap ilmu dasar yang kurang “seksi”, walaupun semua kelompok ilmu aplikasi mengakui pentingnya taksonomi. Dalam perkembangannya kini, taksonomi semakin menjadi perhatian dan semakin mengemuka karena kita semua masyarakat taksonomi mulai memanfaatkan berbagai perkembangan ilmu lain untuk tujuan taksonomi. Pemahaman akan species atau jenis, bukan lagi berdasar pada morfologi dan herbarium spesimen, tetapi sudah memanfaatkan dan menganalisis informasi genetik, ekologi, fisiologi, biokimia, dan sintesa protein. DNA barcoding akan menjadi salah satu kegiatan taksonomi yang mungkin perlu dilakukan oleh setiap taksonomiwan di masa yang akan datang. Kedekatan disiplin ilmu, kerja sama antarbidang keilmuan menjadi sangat penting dalam kerja taksonomi.
LIPI Press