Prosiding SeminarNasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN:1979-911X
PENGARUH WAKTU PERENDAMAN BAMBU DAN PENGGUNAAN BORAK-BORIK TERHADAP TINGKAT KEAWETAN BAMBU Lies Susilaning1), Dwi Suheryanto2) 1) 2) Peneliti pada Balai Besar Kerajinan dan Batik Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, Kementerian Perindustrian RI Jl. Kusumanegara 7 Yogyakarta 55166. Telp. (0274) 512456. Fax (0274) 543582, E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Bambu adalah bahan baku yang sangat penting untuk industri kerajinan, furniture, interior,building dan produk lainnya. Penggunaannya sangat luas, dari hasil pengamatan mutu bahan baku bambu adalah sangat penting untuk produk ekspor. Permasalahan yang sering ditemukan adalah bambu mudah terserang serangga bambu. Untuk mengatasi kendala tersebut bambu perlu dilakukan proses pengawetan. Sehingga tujuan dari penelitian adalah untuk meningkatkan keawetan bambu, Pengawetan bambu dapat dilakukan dengan cara perendaman didalam air yang mengalir, dan menggunakan borak. Borak adalah bahan kimia efektif didalam pengendalian serangan serangga bubuk dan banyak tersedia. Proses pengawetan cara perendaman dilakukan pada air yang mengalir dengan waktu 1bulan; 2 bulan; dan 3 bulan, sedang perendaman dengan borak menggunakan variasi konsentrasi 3; 5; 10%, dengan waktu perendaman 1, 3, 5 hari. Adapun jenis bambu yang digunakan untuk penelitian adalah bambu petung dan ampel segar. Dari hasil pengamatan menunjukan bahwa perendaman bambu ampel dan petung dalam air mengalir dengan waktu 3 bulan memberikan tingkat keawaetan yang optimal, dengan tingkat derajat kerusakan masing-masing sebesar 1,01% dan 0,72%. Sedang perendaman dalam larutan borak-borik dengan waktu 5 hari pada konsentrasi borak-borik 10%, menunjukan tingkat derajat kerusakan masing-masing 1,36% dan 0,97%, kondisi tersebut termasuk katagori tingkat serangan ringan, ada bekas gigitan. Kata kunci : bambu, borak borik, pengawetan, serangga bubuk
ABSTRACT Bamboo is a very important raw material for industrial crafts, furniture, interior, building, and other products. Its use is very wide, from the observation of bamboo raw material quality is very important for the export product. Problems are often found is susceptible to insect beetle bamboo powder. To overcome these obstacles is necessary to process bamboo preservation. So the goal of the research is to improve the durability of bamboo, bamboo preservation can be done by immersion in running water, and using borax. Borax is effective in controlling chemical insect powder and widely available. Preservation process carried out by soaking in running water for 1, 2, and 3 months, was soaking with borax using a variation of the concentration of 3, 5, 10%, with soaking time 1, 3, 5 days. The type of bamboo used for the study are fresh bamboo petung, and ampel. From the observation treatment immersion in water flowing over optimal and produces good results, namely the marinade with the 3 months, with degree of durability each 1,01% and 0,72%. While was soaking with borax-borix at 5 days, with concentrations of 10%, to inidicate degree of durability each 1,36% and 0,97%. This condition effective yield and good views of the decay/insect beetle powder. Keywords: bamboo, borax-borix, insect powder, preservation
PENDAHULUAN Tanaman bambu termasuk suku rumput-rumputan (gramineae) yang berbentuk rumpun (sympodial) dan tidak berbentuk tunggal, mempunyai beberapa keistimewaan, sehingga ia berbeda dengan tanaman lainnya. Sebagai salah satu sumber alam hutan, tanaman bambu dunia diperkirakan terdapat 1200 species dan lebih dari 70 genera dan area atau luas tanaman bambu sekitar 22 juta ha2 atau pertahunnya menghasilkan sekitar 5- 20 ton. Tanaman bambu tersebar didaerah tropik dan subtropik, pertumbuhannya sangat cepat dari 20-30 cm mencapai 150-200 cm dalam waktu 24 jam. Monopodial bambu pertumbuhan dapat mencapai 15-18 m dalam kurun waktu 30-40 hari. Dendrocalamus sinicus (sympodial) dapat tumbuh 40-45 m tingginya dalam waktu 100-120 hari. Penyebaran tanaman bambu dunia dapat dibagai menjadi tiga wilayah besar, yaitu wilayah AsiaPasifik, Amerika, dan Afrika.. China adalah negara dengan area tanaman bambu terbesar didunia, yaitu 700 hm2, terdapat 50 genera dan 500 species bambu, bila di banding Indonesia luas area berkisar A-94
Prosiding SeminarNasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN:1979-911X
0,06 hm2 , terdapat 9 genera dan 30 species tanaman bambu. (Chen Y, 2008). Kandungan sellulosa yang terkandung pada bambu sangat tinggi lebih besar daripada kandungan sellulosa pohon kayu, hal ini menyebabkan bambu lebih mudah diserang oleh serangga perusak. Kerusakan sifat fisik dan mekanik bambu dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain: hama serangga; penebangan dan pengangkutan tidak benar; serangga-serangga rayap dan kumbang bubuk serta pengaruh fisik dan mekanik dari luar.. Bambu sangat rentan terhadap hama perusak, hewan perusak yang paling dominan pada bahan baku bambu adalah kumbang bubuk (Lyctus). Kumbang bubuk memakai kandungan pati bambu, kemudian tinggal dan berkembang biak larvanya di dalam bambu. Karena pencegahan serangga kumbang bubuk dari siklus ini akan menyebabkan.merubah aroma bambu dengan melakukan proses perendaman, diperlukan waktu 1 – 3 bulan; mengurangi kandungan pati dengan cara perendaman, pemegangan; memasukkan zat racun ke dalam batang bambu, ketika bambu masih dalam keadaan segar.(Achmad, 1983). Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas atau keawetan bambu dari serangan serangga perusak bambu (bubuk bambu).. Tanaman bambu, Menurut data observasi lapangan dan koleksi jenis tumbuhan bambu di Kebun Raya Bogor (Herbarium Bogorionse L.B.N. Bogor), diperkirakan secara kasar ada 65 jenis, perkiraan ini meliputi jenis yang asli (native) maupun jenis yang diperkenalkan, termasuk pula jenis yang sudah diusahakan atau tumbuh liar.Adapun jenis bambu asli Indonesia, umumnya tumbuh liar dan tersebar secara alami, sejak mulai dari hutan dataran rendah sampai kedaerah penggunungan. Tanaman bambu di Indonesia memiliki sumber bahan baku yang cukup potensial dan berlimpah.Aneka macam jenis bambu tumbuh dan tersebar luas hampir diseluruh tanah air.Adapun jenis-jenis bambu asli Indonesia, umumnya tumbuh liar dan tersebar luas secara alami (un-cultivated), sejak mulai dari hutan dataran rendah sampai kedaerah hutan penggunungan yang berketinggian 3.000 m dari permukaan laut. Tunas-tunas muda yang keluar dari rimpang atau akarnya akan tumbuh menjadi tanaman baru, tanaman baru ini akan tumbuh bersama-sama dengan tanaman yang lama atau tua. Dengan demikian akan berbentuk suatu rumpun dengan banyak bulu atau batang bambu.Daunnya berupa daun tunggal, tersusun berling-seling diujung buluh atau ranting-rantingnya.Hasil laporan FAO, di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, 80 % penggunaan bambu untuk bangunan, sedang yang 20 % lagi untuk keperluan lain misalnya pembuatan alat-alat dapur, alat musik, peralatan mengail, barang-barang anyaman, bahab baku kerajinan dll.(Dwi,1986).Untuk mengenal jenis bambu dapat dilihat dari bentuk pelepah bukuh dan bentuk daun yang menempel pada pelepah buluh tersebut, dan tanda lain adalah warna buluh, percabangan serta rapat atau jarangnya rumpun. Jenis bambu yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi antara lain bambu tali atau bambu apus (Gigantocholz Apus). Bambu betung (Decmonoropi), bambu wulung (Bambusa volgaris), bambu gombong.(Dwi, 2005). Penyebab kerusakan bambu, sebagaimana diketahui, bambu mengandung getah (kandungan pati) atau juga disebut minyak bambu yang meyebabkan bambu yang digunakan sebagai bahan bangunan atau produk kerajinan sering dimakan serangga bubuk (insect), kerana pati sebagai sumber makanan dari serangga tersebut. Bubuk bambu hidup dan berkembang didalam jaringan serta bambu. Kumbang betinanya menggerek melintang bagian bambu yang secara nisbi lebih lunak, yaitu bagian dalamnya atau melalui bekas-bekas luka pecahan atau potongan oleh alat-alat tajam. Induk kumbang bubuk tersebut kemudian meletakkan telur-telurnya yang amat kecil berbentuk kapsul lonjong didalam jaringan pembuluh sari makanan melalui luka bekas gesekan. Setelah 4-7 hari diletakkan didalam jaringan pembuluh telur-telurnya akan menetas menjadi larva atau ulat kecil yang langsung dapat mengambil sari makanan yang terdapat didalam jaringan-jaringan pembuluh tersebut.(Arifin,2007). Dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli jaringan pembuluh bambu tersebut berisi simpanan pati yang yang oleh larva-larva kumbang bubuk tersebut dimanfaatkan sebagai makanan utamanya untuk perkembangan hidupnya. Kandungan pati yang terdapat didalam bambu tersebut berbeda-beda antara jenis yang satu dengan jenis yang lain. Oleh karena itu jenis bambu tertentu misalnya bambu apus dan bambu wulung kurang disukai bubuk karena kandungan patinya sedikit, sedang jenis bambu jang lainnya misalnya bambu ampel lebih disukai bubuk karena banyak mengandung pati. Perbedaan kandungan pati tersebut tidak hanya disebabkan karena berbeda jenis bambunya, pada jenis yang samapun terjadi kandungan patinya naik turun dan hal ini disebabkan karena pengaruh umur, musim atau faktor lingkungan yang lain, seperti tanah dan curah hujan. Oleh arena itu dapat terjadi bahwa bambu apus pada saat tertentu betul-betul bebas dari serangan, sedang pada saat yang lain ternyata terkena serangan kumbang bubuk. Bebas serangan atau serangan sedikit terjadi pada saat kandungan A-95
Prosiding SeminarNasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN:1979-911X
pati bambu yang bersangkutan dalam keadaan rendah, sedang sebaliknya serangan hebat terjadi pada saat kandungan patinya tinggi. (Achmad. 1983). Tabel 1.Prosentase kandungan pati 4 (empat) jenis bambu selam 1 tahun Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Ampel (%) 0,50 1,55 3,96 1,99 4,08 3,70 1,90 2,67 3,58 4,73 6,22 2,82
Jenis bambu dan kandungan patinya Petung Wulung (%) (%) 0,48 0,33 1,24 0,31 2,09 0,36 0,32 0,38 0,90 0,53 0,56 0,42 0,40 0,30 0,46 0,54 2,07 0,27 0,49 0,32 0,46 0,32 0,48 0,37
Apus (%) 0,26 0,31 0,28 0,42 0,37 0,30 0,39 0,29 0,28 0,26 0,50 0,31
Sumber: Achmad Sulthoni., (1983), “Petunjuk Ilmiah Pengawetan Bambu Tradisional Dengan Perendaman Dalam Air”, International Development Research Center, Ottawa Canada.
Bambu memiliki struktur anatomi yang berbeda dengan kayu, jaringan penyusunnya terdiri dari sel perendam dan berkas pembuluh. Bekas pembuluh tidak menyebar merata tetapi lebih rapat pada bagian dekat kulit. Bekas pembuluh berperan penting dalam proses pengawetan bambu, baik dengan cara perendaman maupun difusi dengan tekanan. Bambu dalam keadaan segar, berkas pembuluh yang berupa pipa kapiler akan memperlancar dan mempercepat pergantian pati dengan larutan bahan pengawet. Retensi atau masuknya larutan bahan pengawet ke dalam batang bambu. Potensi larutan bahan pengawet dalam satu hari satu malam sekitar 50%, kemudian retensi prosentase menurun. Oleh karena itu diperlukan waktu perendaman minimal 1–3 hari. Pengujian kerusakan bambu a. Tanpa pengumpanan serangga bubuk pada contoh uji Contoh uji dibiarkan didalam ruang gelap pada suhu kamar, tanpa diletakkan serangga bubuk pada contoh uji, dibiarkan selama 9 bulan, akan tetapi diamati secara berkala setiap 3 bulan, apakah timbul lubang-lubang jarum dan serbuk kuning pada permukaan kulit bambu, kemudian ditimbang untuk menentukan berat contoh uji b. Retensi (Fibro-vascular bundle) bahan pengawet Retensi merupakan jumlah bahan pengawet tanpa larutan ekstrak yang telah masuk kedalam bambu, yang merupakan selisih berat berat kering angin contoh uji sebelum dan setelah pengawetan. Retensi dapat dihitung dengan rumus : Retensi (g/cm3 ) = Wi - Wo V Dimana :Wi = berat contoh uji sebelum diawetkan (g) Wo = berat contoh uji setelah diawetkan (g) V = volume contoh uji (cm3) c. Derajat kerusakan Skala yang digunakan untuk mengukur derajat kerusakan berdasarkan pada pengurangan berat contoh uji (tanpa pengumpanan) untuk kemudian dibandingkan dengan kontrol. Derajat Kerusakan = KR x 100 % KK Dimana :KR = pengurangan berat contoh uji (g) KK = pengurangan berat kontrol (g) Tabel 2.Skala Derajat Kerusakan A-96
Prosiding SeminarNasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
Pengurangan Berat (%) < 10 11 – 40 41 – 70 > 71
ISSN:1979-911X
Kondisi Contoh Uji Serangan ringan, ada bekas gigitan Serangan sedang, beberapa saluran yang tidak dalam Serangan berat, beberapa saluran yang dalam dan lebar Serangan sangat berat
METODE Bahan - Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah dari jenis bambu petung dan ampel segar, dengan ukuran: bambu ampel: panjang 25 cm, ± 8 cm; bambu petung: panjang 25 cm, ± 10 cm - Bahan pengawet yang digunakan adalah boraks dan asam boraks (borak-borik) dengan perbandingan 3:2 Peralatan Peralatan yang digunakan: parang, gergaji, bor tangan, bak perendam ukuran (p x l x t) 90 x 60 x 45 cm, timbangan analitik, timbangan kasar, oven listrik, dan pengukur kadar air (MC tester) Tempat pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan penelitian dilakukan di sentra kerajinan mebel bambu Sendari-Sleman dan Kantor Balai Besar Kerajinan dan Batik Jl. Sidobali 9 Yogyakarta. Karena bambu mempunyai profil dengan batang bundar lancip, berongga, beruas dan berbuku bagian luar terdiri dari lapisan kulit tipis yang kuat dan bagian dalam relatif lebih mudah ditembus permeable.Dengan kondisi ini pemasukan larutan harus melalui daging bambu, untuk proses perendaman boraks, diperlukan bantuan pengeboran pada setiap ruas. Prosedur penelitian Tabel 3.Variasi dan Waktu Pengawetan Bambu Ampel dan Petung Cara Perendaman Perlakuan
Waktu
A.
Cara perendaman dengan air mengalir (n=10) B. Cara perendaman dengan borak-borik No. Contoh Uji (Kode), n=10 A1, P1 A3, P3 A5, P5
1 bulan
2 bulan
3 bulan
Waktu (hari) 1 3 5
Kosentrasi borak borik (%) 3 5 10
Pengawetan cara perendaman dalam air mengalir a. Pembersihan Bambu dibersihkan dari pelepah, ranting, lugut (mizzing), jamur dan kotoran yang melekat, dengan cara pencucian air dan penggosokan dengan pasir/abu halus, sehingga silika dan lilin terlepas dari bambu. Penghilangan dan perataan ruas bambu, pemotongan bagian pangkal dan ujung bambu.. Contoh uji (bambu petung dan ampel) dipotong dengan ukuran panjang 55 cm b. Penimbangan dan pengukuran kadar air Pengelompokkan dan pemberian nomor dan tanda (kode) yang diperlukan pada contoh uji, A1 (Ampel perendaman 1 bulan), A2, dan A3; P1 (Petung perendaman 1 bulan), P2, dan P3. Jumlah contoh uji (n) = 10 A-97
Prosiding SeminarNasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN:1979-911X
Masing-masing contoh uji dari jenis bambu bambu petung dan ampel di timbang (pengukuran berat basah) Pengukuran kadar air contoh uji c. Cara kerja Bambu masukan dalam bak perendam yang belum terisi air, disusun yang paling bawa A3 dan P3, kemudian A2 dan P2, dan bagian paling atas A1 dan P1. Kemudian alirkan air kedalam bak perendam hingga semua contoh uji terendam. Semua contoh uji harus semuanya terendam dalam air, yaitu dengan cara bagian atasnya diberi pemberat. Agar air dalam bak mengalir, maka air dimasukan/dialirkan dalam bak perendaman dari keran atas sedang pembuangannya dari keran bagian bawah. Contoh uji direndam sesuai dengan variasi waktu perendaman. Bambu dengan kode A1 dan P1 diangkat dari bak perendam karena telah berumur 1 bulan, kemudian beurutan A2 P2, dan yang terakhir A3 P3. Kemudian contoh uji keringkan, ukur kadar air dan berat Pengawetan cara perendaman dengan larutan borak-borik a. Persiapan, siapkan bambu (contoh uji) telah dibersihkan dan diberi kode, kemudian timbang berat awal dan kadar air contoh uji b. Pembuatan larutan Percobaan menggunakan variasi konsentrasi larutan borak-borik 3; 5; dan 10 % dengan campuran borak dan asam borak 3 : 2 masing-masing 6 % dan 4 %. Kebutuhan lartutan dalam 1 bak perendaman dengan ukuran 90x60x45cm = 243.000 cm3 (≥200 lt), sehingga borak dan asam borak yang dibutuhkan untuk membuat larutan sejumlah 200 lt, dibutuhkan borak (6%) = 6/100 x 200 = 12 kg, asam borak = 8 kg, Total berat borak-borik= 20 kg. Boraks-borik 3% = 0,6 kg, borak-borik 5%= 1 kg, dan borak-borik 10% = 2 kg. c. Cara kerja Contoh uji masukan kedalam bak perendaman, gunakan konsentrasi dan waktu perendaman yang telah ditentukan. Setelah contoh uji selesai diawetkan, kemudian dikeringkan/diatuskan,Kemudian contoh uji, ukur kadar air dan berat Pengujian kerusakan bambu Pengujian kerusakan dilakukan dengan cara: pengujian tanpa pengumpanan serangga bubuk pada contoh uji, retensi bahan pengawet, dan derajat kerusakan. PEMBAHASAN Hasil Percobaan a. Pengaruh perendaman bambu terhadap serangan bubuk (tanpa pengumpanan serangga bubuk) Tabel 4.Pengaruh perendaman bambu terhadap kepekaannya pada kumbang bubuk Jenis bambu & rendaman air 1 Bambu ampel 1. Tanpa direndam 2. Air mengalir 3. Air Menggenang Bambu petung 1. Tanpa direndam 2. Air mengalir 3. Air Menggenang
Rendaman 1 bln Kandungan Serangan pati (%) bubuk (x) 2 3
Rendaman 2 bln Kandungan Serangan pati (%) bubuk (x) 4 5
Rendaman 3 bln Kandungan Serangan pati (%) bubuk (x) 6 7
3,24 2,71 2,37
27 6 11
3,24 2,30 2,14
35 4 7
3,24 1,56 1,08
41 2 4
0,62 0,41 0,43
9 4 7
0,62 0,34 0,28
14 2 3
0,62 0,31 0,23
21 0 1
A-98
Prosiding SeminarNasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN:1979-911X
Tabel 5 Keawetan bambu setelah satu tahun diambil dari rendaman air tergenang selama 1 bulan No
Jenis Bambu
1. 2.
Bambu ampel Bambu petung
Serangan Kumbang bubuk (x) Bambu tanpa direndam Bambu yang direndam 27 7 9 2
b. Retensi Tabel 6.Perendaman Bambu Petung Dengan Larutan Borak Borik (kadar air diatas 100%; Ǿ bambu 8,0-12,0 cm; penimbangan 2 jam dari atus) No. Kode
Waktu Perendaman (hr)
Konsentrasi Larutan (%)
Berat Awal
Berat Akhir
Retensi
Serangan Bubuk (x)
P1-3 P1-5 P1-10 P3-3 P3-5 P3-10 P5-3 P5-5 P5-10
1 1 1 3 3 3 5 5 5
3 5 10 3 5 10 3 5 10
7,39 7,86 6,28 7,81 8,36 0,79 7,98 8,80 7,49
7,81 8,36 6,79 7,98 8,80 1,49 8,08 8,93 7,69
0,49 0,50 0,51 0,57 0,59 0,59 0,65 0,67 0,67
5 4 4 3 2 1 1 0 0
Keterangan: : serangan kumbang bubuk dihitung dari rata-rata jumlah lubang jarum pada contoh uji
(x)
Tabel 7.Perendaman Bambu Ampel Dengan Larutan Borak Borik (kadar air diatas 100%; Ǿ bambu 6,5-8,5 cm; penimbangan 2 jam dari atus) No. Kode
Waktu Perendaman (hr)
Konsentrasi Larutan (%)
Berat Awal
Berat Akhir
Retensi
Serangan Bubuk (x)
A1-3 A1-5 A1-10 A3-3 A3-5 A3-10 A5-3 A5-5 A5-10
1 1 1 3 3 3 5 5 5
3 5 10 3 5 10 3 5 10
2,12 2,88 3,06 2,99 3,22 3,42 3,29 3,55 3,49
2,99 3,22 3,42 3,29 3,55 3,49 3,42 3,64 3,58
0,29 0,31 0,34 0,41 0,43 0,44 0,70 0,76 0,76
11 8 7 3 3 2 2 1 1
Keterangan: (x) : serangan kumbang bubuk dihitung dari rata-rata jumlah lubang jarum pada contoh uji
c. Derajat kerusakan Tabel 8.Nilail rata-rata derajat kerusakan relatif contoh uji pada proses perendaman air mengalir Perendaman 1 bln Perendaman 2 bln Perendaman 3 bln Jenis % rata-rata pengurangan berat % rata-rata pengurangan berat % rata-rata pengurangan berat bambu Bln ke 3 Bln ke 6 Bln ke 9 Bln ke 3 Bln ke 6 Bln ke 9 Bln ke 3 Bln ke 6 Bln ke 9 Ampel
7,21
5,32
2,01
4,33
3,05
1,09
2,20
1,03
1,01
Petung
5,32
3,47
1,23
3,07
2,12
1,02
1,98
0,94
0,72
A-99
Prosiding SeminarNasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN:1979-911X
Tabel 9.Nilail rata-rata derajat kerusakan relatif berat contoh uji (%) pada berbagai konsentrasi borakborik Jenis Bambu Ampel
Petung
Waktu Perendaman (hari) 1 3 5 1 3 5
3 7,67 6,98 5,53 3,43 3,21 2,92
Kosentrasi borak-borik (%) 5 5,26 5,01 4,79 2,21 2.11 1.02
10 3,24 3,10 1,36 1,37 1,23 0,97
a. Pengaruh perendaman bambu terhadap serangan bubuk, seperti terlihat pada Tabel 4, pengaruh waktu perendaman bambu, baik untuk bambu ampel maupun secara keseluruhan sangat berpengaruh terhadap kerusakan serangga bubuk, semakin lama waktu perendaman pengeruah kerusakan bambu semakin kecil. Dapat dilihat pada tabel tersebut, perbandingan bambu yang tidak direndam dan yang direndam, kerusakan bambu nyata terlihat bedanya. Tanpa perendaman, bambu akan mengalami kerusakan yang hebat (meningkat) sejalan dengan waktu berjalan, yang ditandai dengan terdapatnya jumlah lubang jarum pada permukaan bambu. Sebaliknya dengan perendaman baik bambu ampel maupun petung, relatif kerusakan bambu menurun, yaitu dengan ditandai jumlah lubang jarum yang relatif semakin kecil. Ini dapat dimengerti bahwa faktor perendaman kandungan pati yang terkandung dalam bambu akan berubah menjadi glukosa yang larut dalam air, sehingga kandungan pati dalam bambu akan berkurang bahkan tidak ada, dengan demikian akan mengakibatkan pasokan makanan untuk kumbang/larva bubuk dalam bambu berkurang atau tidak ada, sehingga kumbang bubuk/larva bubuk akan mati. Karena perbedaan kadungan pati dalam bambu ampel lebih banyak dibanding bambu petung, sehingga bambu ampel masih ada indikasi terserang serangga bubuk bambu. Seperti ditunjukan pula pada Tabel 5, pengaruh waktu perendaman bambu ampel dan petung selama 1 bulan, dan bambu dibiarkan selama 1 tuhun memberikan indikasi bahwa masih juga terjadi kerusakan bambu dengan masih adanya lubang jarum pada permukaan bambu, meski relatif sedikit. b. Retensi, retensi bahan pengawet merupakan indikator keberhasilan proses pengawetan. Retensi adalah jumlah bahan pengawet tanpa pelarut yang terdapat didalam bambu pada waktu proses pengawetan telah selesai dilakukan. Hasil analisa retensi (Tabel 6 dan 7) menunjukan bahwa penggunaan faktor konsentrasi borak borik dan waktu perendaman berbeda nyata, sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini berarti retensi dipengaruhi oleh waktu perendaman. Nilai rata-rata retensi bahan pengawet kedalam bambu untuk bambu ampel dan petung cenderung meningkat, sehingga bahan pengawet yang masuk dalam jaringan bambu meningkat seiring waktu perendaman. Nilai terbesar retensi pada bambu petung dan ampel yaitu pada waktu perendaman 5 hari dengan konsentrasi borak borik 5%, dengan nilai retensi 0,67, sedang untuk bambu ampel yaitu 0,76. Nilai retensi juga ditunjukan dengan adanya kenaikan berat bambu, seperti terlihat pada Tabel tersbut, bahwa kenaikan berat bambu menunjukan nilai yang signifikan naik, seiring dengan penggunaan waktu perendaman. c. Derajat adalah salah satu tolok ukur untuk melihat intensitas serangan serangga bubuk bambu. Derajat kerusakan dinyatakan sebagai persentase perbandingan antara pengurangan berat yang diberi perlakuan terhadap pengurangan berat contoh uji kontrol, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhinya tidak berbeda dengan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai pengurangan berat. Dari hasil pengamatan perendaman bambu dengan air mengalir (Tabel 8) diperoleh nilai derajat kerusakan terendah untuk bambu ampel sebesar 1,01 % yaitu perendaman dalam waktu 3 bulan, sedang untuk bambu petung, yaitu sebesar 0,72%, dengan waktu perendaman 3 bulan. Untuk perlakuan perendaman bambu dengan menggunakan larutan borak borik (Tabel 9), nilai terendah derajat keruskan pada bambu ampel sebesar 1,36%, yaitu pada perlakuan perendaman.dengan waktu 5 hari, dengan konsentrasi borak-borik 10%. Sedang pada bambu petung sebesar 0,97%, yaitu pada A-100
Prosiding SeminarNasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN:1979-911X
waktu perendaman 5 hari dengan kosentrasi borak-borik 10%. Rata-rata derajat kerusakan cenderung semakin menurun pada penggunaan waktu dan rasio konsentrasi borak-borik yang lebih tinggi. Sehingga kondisi ini dikatagorikan derajat kerusakan dengan tingkat serangan ringan, ada bekas gigitan.
KESIMPULAN Pengawetan bambu ampel dan petung dengan cara perendaman dalam air mengalir dengan waktu 3 bulan memberikan tingkat keawetan bambu, dimana tingkat derajat kerusakan masing-masing sebesar 1,01% dan 0,72%, termasuk katagori dengan tingkat serangan ringan, ada bekas gigitan. Pengawetan bambu ampel dan petung dengan cara perendaman dalam larutan borak-borik memberikan tingkat keawetan bambu, yaitu dalam waktu 5 hari dengan konsentrasi borak-borik 10%, dengan tingkat derajat kerusakan masing-masing 1,36% dan 0,97% termasuk katagori dengan tingkat serangan ringan, ada bekas gigitan
DAFTAR PUSTAKA Arifin (2007), “Treatment Material”, (2007), Brosur Produk Bio Chemical Indonesia, Yogyakarta Effendy Sobari, (1975), “Pengawetan Bambu”, Proyek Penyuluhan dan Promosi Hasil Industri, Direktorat Jendral Aneka Industri dan Kerajinan, Jakarta. Iwata Yoshio, (1958), “ Hand book for Bamboo Culture and Processing”, Asia Kyokai Tokyo Suheryanto Dwi, (2005), “Buku Pegangan Pengawetan Bambu”, Bintek dan Workshop Industri Kerajinan dan Aneka Banten 6 – 10 Juni 2005, Pemerintahan Propinsi Banten Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi,Yogyakarta. Suheryanto Dwi, (1986), “Buku Pegangan Pengetahun Bahan Bambu”, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik, Yogyakarta, 1986 .Sultoni Achmad, (1983), “Petunjuk Ilmiah Pengawetan Bambu Tradisional Dengan Perendaman Dalam Air”, International Development Research Center, Ottawa Canada. Yuhe Chen, (2008), “Structure and Properties of Bamboo Timber”, Utilization of Bamboo, Training Course on Bamboo Technologies for Developing Countries, China National Bamboo Research Center, Hangzhou China.
A-101