Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014 Yogyakarta, 15 November 2014
ISSN: 1979-911X
HASIL PENGENALAN CITRA WAJAH DITINJAU DARI JARAK PIKSEL PADA GRAY LEVEL COOCCURRENCE MATRIX DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK Toni Wijanarko Adi Putra1 Dosen Program Studi Teknik Informatika, STMIK ProVisi Semarang e-mail :
[email protected]
1
ABSTRACT Face recognition is a basic method of developing an authentication system using the natural characteristics of the human face as baseline. The process of face recognition is strongly influenced by the distance factor image retrieval, both the training and testing process. This facial image recognition process through the training phase of the training face images with MATLAB programs and test phases were performed directly on the face images are sourced directly from the camera and not on test data derived from a set of face images that have been selected. Introduction The method combines GLCM (Gray Level Co-Occurrence Matrix) and PNN (Probabilistic Neural Network). In GLCM using statistical methods and analysis of second-order texture which represents the texture image, while in the PNN using a single-layer network with supervised learning process. Factors taken tested face recognition based on the angular distance to the GLCM. GLCM are used using parameters energy, correlation, homogeneity and contrast with the angle of 0 degrees, 45 degrees, 90 degrees, 135 degrees and a combination of the angle of 0 degrees, 45 degrees, 90 degrees, 135 degrees at a distance of 1 pixel, 2 pixels and 3 pixels . PNN while comparing the output of data from the GLCM matrix results. This study uses a database of facial images with a sample of 20 people in the 7 position of the face. The testing process directly produces the recognition rate of 66.43 percent, whereas the indirect test was 82.86 percent. Keywords: GLCM, PNN, face image, Distance Identifikasi PENDAHULUAN Teknologi biometrik mempunyai kemampuan yang cukup baik dibandingkan dengan metode konvensional, terutama dalam hal memproses ciri guna menjadi sangat mudah, selain itu ciri tersebut juga mempunyai keunikan yang melekat pada manusia. Pengembangan teknologi biometrik seperti wajah, suara, iris mata dan sidik jari sudah banyak dikembangkan baik sebagai sistem keamanan maupun sebagai sistem kehadiran. Teknologi biometrik yang sudah berkembang dan diterapkan diberbagai aplikasi tetapi pada kenyataannya proses pengenalan terkadang masih mengalami kegagalan. Beberapa kegagalan diantaranya disebabkan oleh faktor penerangan, jarak objek dengan alat, sudut kemiringan objek terhadap alat, ekspresi serta posisi wajah. Pada penelitian ini dibangun aplikasi untuk mengukur tingkat akurasi pengenalan wajah ditinjau dari jarak pengambilan citra wajah dengan GLCM dan PNN pada intensitas cahaya, jarak serta sudut yang berbeda. Penelitian ini akan memperbaiki kinerja sistem pengenalan wajah agar dapat diaplikasikan di berbagai bidang. Pengenalan identitas manusia dengan biometrik sudah banyak dilakukan mulai dari pengenalan suara, irismata, sidik jari, pola tangan dan wajah. Pengenalan wajah dengan menguji semua frame untuk mengetahui apakah frame tersebut berisikan wajah manusia dan juga mendeteksi citra bergerak dari video dengan menggunakan PNN (Kung, 1999). Penelitian selanjutnya dengan dilakukan untuk pengenalan wajah manusia menggunakan kumpulan citra diam atau video dengan satu set video (Zhou, dkk, 2003). Penggunaan video-kamera dan komputer cukup baik untuk memproses video secara waktu-nyata (real-time) (Ghorpade, dkk, 2010). Penelitian sebelumnya yang membahas pengenalan wajah menggunakan sebuah kamera untuk menangkap wajah seseorang kemudian dibandingkan dengan wajah yang sebelumnya telah disimpan pada basisdata secara waktu nyata (real-time) (Bayu, dkk, 2009). Pengenalan wajah menggunakan template matching. Verifikasi wajah dilakukan menggunakan nilai pencocokan yang dihitung dengan gradien tepi menghubungkan citra referensi (Vinitha, 2009). Penggunaan GLCM banyak dilakukan untuk pengambilan citra penginderaan jauh dengan purwarupa (Maheshwary dan Sricastaya, 2009). Segmentasi citra untuk menentukan nilai ambang histogram untuk mendapatkan informasi spasial. Informasi spasial adalah tingkat nilai gabungan abu-abu piksel menjadi tersegmentasi dengan piksel tetangganya yang didasarkan pada GLCM (Nie, dkk, 2011). Sedangkan penelitian dengan menggabungkan metode GLCM dan PNN dilakukan untuk pengenalan ciri pola benang pada garmen secara otomatis dan deteksi cacat berdasarkan fitur tekstur yang digunakan untuk mendeteksi cacat garmen. Pada penelitian ini didapatkan tingkat keberhasilan total identifikasi kain adalah 96,6% dan tingkat keberhasilan deteksi kain cacat 91,1% (Kulkarni dan Patil, 2012).
A-227
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014 Yogyakarta, 15 November 2014
ISSN: 1979-911X
Sedangkan pada penelitian ini dikembangkan sistem pengenalan wajah secara real-time menggunakan video kamera dengan metode GLCM dan PNN. Penelitian sebelumnya tentang pengenalan wajah dengan metode GLCM dan PNN sudah pernah dilakukan, akan tetapi kedua metode tersebut digunakan secara terpisah. Sedangkan penggunaan metode GLCM dan PNN secara bersama sudah dilakukan untuk pengenalan ciri pola benang, dan pada penelitian ini kedua metode tersebut akan digunakan untuk pengenalan wajah. Mengembangkan sistem pengenalan wajah secara waktu nyata (real-time) dengan metode GLCM dan PNN ditinjau dari jarak pikes yang menghasilkan tingkat pengenalan berdasarkan jarak piksel. Menghasilkan sistem keamanan dan pengenalan wajah yang dapat diaplikasikan pada presensi kehadiran dengan sumber dari basisdata wajah seseorang. Membantu sistem keamanan dengan menerapkan pengenalan wajah. Selain itu juga ditujukan bagi pengembangan ilmu, memperkaya bidang sistem biometrik dan pengolahan citra khususnya pengenalan wajah menggunakan GLCM dan PNN. Sistem pengenalan seseorang dengan wajah tidak mengganggu kenyamanan seseorang saat akuisisi citra. Citra wajah mungkin merupakan karakteristik biometrika yang paling umum digunakan oleh manusia untuk sistem pengenalan. Aplikasi pengenalan wajah meliputi pengenalan wajah statis atau terkontrol sampai sistem identifikasi wajah dinamis yang tidak terkontrol di dalam suatu latar belakang yang terbaur (Putra, 2009). Secara umum sistem pengenalan citra wajah dibagi menjadi 2 jenis, yaitu sistem feature based dan sistem image based. Pada sistem pertama digunakan fitur yang diekstraksi dari komponen citra wajah (mata, hidung, mulu, dan lain-lain) yang kemudian hubungan antara ciri-ciri tersebut dimodelkan secara geometris. Sedangkan sistem kedua menggunakan informasi mentah dari piksel citra yang kemudian direpresentasikan dalam metode tertentu, misalnya Principal Component Analysis (PCA), transformasi wavelt, GLCM yang kemudian digunakan untuk klasifikasi identitas citra (Fatta, 2009). Ekstraksi ciri merupakan langkah awal dalam melakukan klasifikasi dan interpretasi citra. Proses ini berkaitan dengan kuantisasi karakteristik citra ke dalam sekelompok nilai ciri yang sesuai. Analisis tekstur lazim dimanfaatkan sebagai proses antara untuk melakukan klasifikasi dan interpretasi citra. Suatu proses klasifikasi citra berbasis analisis tekstur pada umumnya membutuhkan tahapan ekstraksi ciri, yang dapat terbagi dalam tiga macam yaitu Metode statistik, Metode spectral, dan Metode struktural analisis. Berdasarkan orde statistiknya, analisis tekstur dapat dikategorikan : Statistik orde-kesatu merupakan metode pengambilan ciri yang didasarkan pada karakteristik histogram citra (Kusuma, dkk, 2011), Statistik orde-kedua mempertimbangkan hubungan antara dua piksel (piksel yang bertetangga) pada citra (Albregtsen, 2008), Statistik orde-ketiga dan yang lebih tinggi, mempertimbangkan hubungan antara tiga atau lebih piksel, hal ini secara teoritis memungkinkan tetapi belum biasa diterapkan (Febrianto, 2012). Ekstraksi ciri statistik orde kedua dilakukan dengan matriks kookurensi, yaitu suatu matriks antara yang merepresentasikan hubungan ketetanggaan antar piksel dalam citra pada berbagai arah orientasi dan jarak spasial (Albregtsen, 2008). Matriks kookurensi merupakan matriks berukuran L x L (L menyatakan banyaknya tingkat keabuan) dengan elemen P(x1, x2) yang merupakan distribusi probabilitas bersama (join probability distribution) dari pasangan titik-titik dengan tingkat keabuan x1 yang berlokasi pada koordinat (j,k) dengan x2 yang berlokasi pada koordinat (m,n). Koordinat pasangan titik-titik tersebut berjarak r dengan sudut θ. Histogram tingkat kedua P(x1, x2) dihitung dengan pendekatan sebagai berikut : banyaknya pasangan titik‐titik dengan tingkat keabuan x1 dan x2 (1) , banyaknya titik pada daerah suatu citra Berikut ini ketentuan untuk hubungan pasangan titik-titik dengan sudut 0o, 45o, 90o, dan 135o pada jarak r (Putra, 2009). ,
,
1, 2
,
0, | 1,
,
, ,
1, 2
,
: |
,
(2)
, 2
,
(3)
, ,|
|
, ,
1,
, ,
2
A-228
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014 Yogyakarta, 15 November 2014
, 1, 2
,
|
,
, ,
| 1,
,
, ,
ISSN: 1979-911X
(4)
: 0, 2
,
,
,
(5)
:
,
1, 2
, , 1, , 2 GLCM adalah suatu matriks yang elemen-elemennya merupakan jumlah pasangan piksel yang memiliki tingkat kecerahan tertentu, di mana pasangan piksel itu terpisah dengan jarak d, dan dengan suatu sudut inklinasi θ. Dengan kata lain, matriks kookurensi adalah probabilitas munculnya gray level i dan j dari dua piksel yang terpisah pada jarak d dan sudut θ. ,
Gambar 1 Hubungan ketetanggaan antar piksel sebagai fungsi orientasi dan jarak spasial (Ganis, dkk, 2011) 0 1 2 3
0 0 0 0 2
1 0 0 2 2
2 1 1 2 3
3 1 1 2 3
0 1 2 3
1 0,1 1,1 2,1 3,1
2 0,2 1,2 2,2 3,2
3 0,3 1,3 2,3 3,3
(c) Komposisi piksel
(b) Gambar Asli Komposisi dari piksel 0 dan 0
0 0,0 1,0 2,0 3,0
0 1 2 3
0 2 0 0 0
1 2 2 0 0
2 1 0 3 0
3 0 0 1 1
Komposisi dari piksel 3 dan 3
(a) Akumulasi komposisi piksel
Gambar 2 Langkah pertama mengubah GLCM Suatu piksel yang bertetangga yang memiliki jarak d diantara keduanya, dapat terletak di delapan arah yang berlainan, hal ini ditunjukkan pada Gambar 1. Sedangkan Gambar 2 menggambarkan bagaimana untuk menghasilkan matriks menggunakan arah 0o dan dengan jarak 1 piksel. Dengan menambahkan transposnya, matriks simetrik akan diperoleh, seperti ditunjukkan pada Gambar 3, tapi hasilnya masih belum ternormalisasi. Oleh karena itu, proses normalisasi harus dilakukan untuk menghapus ketergantungan pada ukuran citra dengan mengatur semua elemen dalam matriks sehingga total dari semua nilai elemen sama dengan 1. Gambar 4 merupakan hasil dari matriks yang telah ternormalisasi. 2 0 0 0
2 2 0 0
1 0 3 0
0 0 1 1
2 2 1 0
0 2 0 0
0 0 3 1
0 0 0 1
4 2 1 0
2 4 0 0
1 0 6 1
0 0 1 2
Gambar 3 Prosedure membuat matriks simetrik
A-229
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014 Yogyakarta, 15 November 2014
ISSN: 1979-911X
Gambar 3 menjelaskan perubahan urutan matriks dari baris ke kolom lalu dijumlahkan dan akan menghasilkan matriks GLCM sebelum normalisasi. 4 24 2 24 1 24 0 24
2 24 4 24 0 24 0 24
1 24 0 24 6 24 1 24
0 24 0 24 1 24 2 24
Gambar 4 Matriks ternormalisasi (Kadir, dkk, 2011) Sebagai contoh Tabel 1, diketahui masukan citra array berukuran 8x8 piksel 8 derajat keabuan dengan rentang nilai (0, 7) Tabel 1. Array ukuran 8x8 1 1 1 0 4 1 2 1
1 1 7 7 7 1 2 2
5 2 6 6 6 4 4 2
5 2 6 7 7 1 1 0
0 0 5 5 3 6 1 0
0 1 5 5 5 5 5 0
1 0 0 5 7 6 1 0
0 1 0 5 0 1 1 5
Dari Tabel 2.3 tersebut diatas dapat dihitung probabilitas hubungan ketetanggaan antara dua piksel pada jarak dan orientasi sudut tertentu. Kemudian dihitung dengan jarak spasial 1 dan sudut 900 dan akan diperoleh matriks kookurensi yang dapat dihitung ciri statistik yang merepresentasikan citra yang diamati. Karena matriks dari tabel 1 tersebut memiliki delapan aras keabuan, maka jumlah nilai piksel ketetanggaan dan nilai piksel referensi pada area kerja matriks berjumlah delapan, seperti tampak pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Area kerja matriks 0 1 2 3 4 5 6 7
0 0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0
1 0,1 1,1 2,1 3,1 4,1 5,1 6,1 7,1
2 0,2 1,2 2,2 3,2 4,2 5,2 6,2 7,2
3 0,3 1,3 2,3 3,3 4,3 5,3 6,3 7,3
4 0,4 1,4 2,4 3,4 4,4 5,4 6,4 7,4
5 0,5 1,5 2,5 3,5 4,5 5,5 6,5 7,5
6 0,6 1,6 2,6 3,6 4,6 5,6 6,6 7,6
7 0,7 1,7 2,7 3,7 4,7 5,7 6,7 7,7
Langkah selanjutnya yaitu menghitung nilai matriks dengan mengisikan jumlah hubungan spasial sehingga akan menghasilkan nilai matriks seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Pembentukan matriks kookurensi GL 0 1 2 3 4
0 2 3 0 0 1
1 6 4 2 0 0
2 0 1 1 0 0
3 0 0 0 0 0
A-230
4 0 1 1 0 1
5 2 0 2 1 0
6 0 2 0 0 1
7 0 2 0 0 0
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014 Yogyakarta, 15 November 2014
3 0 0
5 6 7
2 0 1
0 2 0
0 1 0
0 0 0
5 0 1
0 2 1
ISSN: 1979-911X
0 1 3
Proses yang ditunjukkan mulai Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 merupakan langkah pertama mengubah GLCM. Langkah selanjutnya nilai dari hasil pertama GLCM dicari nilai transposnya. Hasil dari nilai transpose dijumlahkan dengan nilai hasil pertama GLCM dan akan menghasilkan nilai matriks yang belum ternormalisasi seperti berikut. 2 3 0 0 1 3 0 0
6 4 2 0 0 2 0 1
0 1 1 0 0 0 2 0
0 0 0 0 0 0 1 0
0 1 1 0 1 0 0 0
2 0 2 1 0 5 0 1
0 2 0 0 1 0 2 1
0 2 3 2 6 4 0 0 1 0 0 0 + 0 0 1 0 2 0 1 0 2 3 0 2
0 2 1 0 1 2 0 0
0 0 0 0 0 1 0 0
1 0 0 0 1 0 1 0
3 2 0 0 0 5 0 0
0 0 2 1 0 0 2 1
0 4 1 9 0 0 0 0 = 0 1 1 5 1 0 3 0
9 8 3 0 1 2 2 3
0 3 2 0 1 2 2 0
0 0 0 0 0 1 1 0
1 5 1 2 1 2 0 1 2 0 0 10 1 0 0 1
0 2 2 1 1 0 4 2
0 3 0 0 0 1 2 6
Matriks yang telah simetris di atas selanjutnya harus dinormalisasi elemen-elemennya yang dinyatakan dengan probabilitas. Nilai elemen untuk masing-masing sel dibagi dengan jumlah seluruh elemen spasial seperti berikut.
Setelah diperoleh matriks kookurensinya dapat dihitung ciri statik orde-dua yang merepresentasikan citra wajah. Dalam matriks kookurensi, terdapat sebelas ciri tekstur yang dapat diperoleh dari suatu citra yang digunakan sebagai pembeda antara citra dengan kelas tertentu atau kelas lainnya. Ciri-ciri tersebut adalah : 1. Momen Angular Kedua (Angular Second Moment)
2.
ASM ∑ ∑ , Energi Kontras (Contrast)
3.
CONTRAST ∑ ∑ Homogenitas (Homogeneity)
Homogenitas 4.
∑ ∑
, ,
|
|
√
...............
(6)
...................................
(8)
...............................................
(9)
..............................................
(10)
Korelasi (Correlation)
COR
∑ ∑
,
Pada tahun 1990, Donald F. Specht mengusulkan jaringan yang didasarkan pada pengklasifikasi jarak tetangga terdekat dan menamakannya sebagai "Jaringan Syaraf Probabilistik" (Santhanam dan Radhika, 2011). Jaringan syaraf probabilistik dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah klasifikasi (Gill dan Sohal, 2008). Ketika lapisan pertama diberikan masukan yang menghitung jarak dari vektor masukan terhadap vektor masukan pelatihan, dan menghasilkan vektor yang elemen-elemennya menandakan seberapa dekat masukan terhadap masukan pelatihan. Lapisan kedua menjumlahkan kontribusi ini untuk setiap masukan kelas untuk menghasilkan
A-231
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014 Yogyakarta, 15 November 2014
ISSN: 1979-911X
vektor keluaran jaringan PNN. Fungsi pada lapisan keluaran kedua mengambil probabilitas maksimum dan menghasilkan nilai 1 untuk kelas yang sesuai dan nilai 0 untuk kelas yang tidak sesuai. Jaringan syaraf tiruan probabilistik dibangun menggunakan ide dari teori probabilitas klasik, seperti pengklasifikasi bayesian (bayesian classification) dan pengestimasian klasik (classical estimator) untuk fungsi kerapatan probabilitas (probability density function), untuk membentuk sebuah jaringan syaraf sebagai pengklasifikasi pola (Harmoko, dkk, 2004). Jaringan syaraf tiruan probabilistik tergolong dalam pembelajaran terawasi (supervised learning) dan merupakan model yang dibentuk berdasarkan penaksir fungsi peluang. Model ini memberikan unjuk kerja pengklasifikasian yang sangat baik dan cepat dalam pelatihan karena dilakukan hanya dalam satu tahap pelatihan. Suatu parameter tunggal, σ, mengendalikan jaringan dari pengaruh tiap pola pada penaksiran fungsi peluang. Arsitektur jaringan syaraf tiruan probabilistik diperlihatkan pada Gambar 5.
∑
∑
Gambar 5 Arsitektur jaringan syaraf tiruan probabilistik (Suyanto, 2011) Berikut contoh ilustrasi proses perhitungan dalam Jaringan Syaraf Tiruan Probabilistik, dengan fungsi pnn sebagai berikut : net = newpnn(P,T,spread) P : matriks masukan berukuran RxQ yang berisi Q vektor masukan T : matriks klas target berukuran SxQ yang berisi Q vektor target Spread : lebar (penyebaran) fungsi basis radial (default = 0.1). Misalkan masukan data terletak pada matriks P dan target terletak pada vemtor T sebagai berikut : P = [0 -1 -2 5 1 6 10 8 12; 0 1 3 3 7 -1 3 8 -1]; T = [1 1 1 2 2 2 3 3 3]; Kemudian vektor target T harus diubah ke dalam bentuk vektor, dengan instruksi : Tt = ind2vec(T);. Kemudian dibentuk jaringan probabilistik, net, dengan nilai spread = 0.01, dengan instruksi net = newpnn (P,Tt,0.01);. Jaringan ini akan menghasilkan bobot-bobot sebagai berikut : Bobot_Masukan = 0 0 -1 1 -2 3 5 3 1 7 6 -1 10 3 8 8 12 -1 Kemudian hasilnya dapat dilihat dengan instruksi Ht = sim(net,P); H = vec2ind(Ht); Hasilnya adalah : H=111222333
A-232
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014 Yogyakarta, 15 November 2014
ISSN: 1979-911X
METODE PENELITIAN Bahan penelitian diperoleh dari pengambilan citra wajah sebanyak 20 orang. Setiap orang diambil citra wajah dari beberapa sudut, ekspresi, intensitas cahaya dan jarak yang berbeda. Semua proses pengambilan citra wajah tersebut dilakukan dalam ruangan dengan 2 jenis sumber cahaya yaitu cahaya alami dan cahaya buatan. Bahan penelitian diperoleh dari proses pengulangan pengambilan citra seperti terlihat pada Tabel 4. Sedangkan untuk proses pencocokan data citra wajah diperoleh dari citra wajah secara waktu nyata (realtime) dari akuisisi citra menggunakan webcam secara langsung. Adapun algoritma yang akan dilakukan seperti Gambar 6. Tabel 4 Faktor pengambilan citra wajah tiap orang Intensitas Cahaya (lux) 5 perbedaan intensitas cahaya
Jarak 3 perbedaan jarak
Gerakan Ekspresi dan Sudut Depan ( 1x ) Dari depan ke atas ( 1x ) Dari depan ke bawah ( 1x ) Dari depan ke kanan ( 2x ) Dari depan ke kiri ( 2x )
Jumlah 1 citra 1 citra 1 citra 2 citra 2 citra
Mulai
Masukkan Citra Wajah
Proses Prapengolahan (preprocessing)
Ekstraksi ciri dengan GLCM
Pencocokan
tidak
Pencocokan
tidak
Tingkat Penolakan Salah
ya Keluaran Citra benar
Tingkat Penerimaan Salah
Selesai
Gambar 6 Algoritma proses identifikasi citra wajah Berikut ini alat yang digunakan pada tahap latih dan tahap pengujian terhadap pengenalan citra wajah, dalam prosesnya dibutuhkan peralatan baik perangkat lunak maupun perangkat keras seperti berikut : 1) Kebutuhan perangkat keras (hardware) berupa : Komputer dengan Prosessor Pentium IV 2,8 GHz atau yang lebih tinggi, Memori 1 Gb atau yang lebih tinggi, Harddisk 120 Gb atau yang lebih tinggi. 2) Kamera Video (webcam). 3) Alat ukur intensitas cahaya Lux Meter. 4) Kebutuhan perangkat lunak (software) berupa : Sistem Operasi, dan perangkat MATLAB. Perangkat lunak yang digunakan sebagai pengujian dan pengetesan disini bersifat purwarupa dan menggunakan program aplikasi MATLAB. Adapun metode yang digunakan dalam pembuatan perangkat lunak ini menggunakan System Development Life Cycle (SDLC). PEMBAHASAN Pelatihan Data Tampilan pelatihan data, Seperti ditunjukkan pada Gambar 7 berikut aplikasi pelatihan citra wajah yang akan dijadikan sebagai basisdata dapat ditentukan dengan memilih tombol Browse yang kemudian diarahkan pada folder lokasi data latih. Sedangkan pada kolom isian spread digunakan nilai default yaitu 0,01 dan kolom isian jumlah foto latih per user menggunakan 20. Kolom isian waktu pelatihan merupakan waktu yang dicatat dalam proses pembentukan basisdata. Kolom isian nama jaringan untuk memberikan nama hasil perekaman basisdata.
A-233
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014 Yogyakarta, 15 November 2014
ISSN: 1979-911X
Gambar 7 Tampilan pelatihan Pengujian Data Tampilan pengujian data, Proses pengujian dilakukan secara tidak langsung dengan basisdata hasil dari proses pelatihan yang diuji dengan beberapa citra wajah baik dari jarak, sudut dan cahaya yang berbeda. Sedangkan proses pengujian secara langsung basisdata hasil proses pelatihan diuji dengan citra wajah yang diperoleh dari kamera secara langsung. Gambar 8 berikut merupakan tampilan proses pengujian.
2
1 3
Gambar 8 Tampilan pengujian Proses pengujian tidak langsung dilakukan dengan jalan memilih basisdata jaringan dengan memilih menu Browse pada basisdata jaringan, dan citra wajah yang akan diuji dapat dipilih dengan memelih menu Browse pada Citra wajah. Citra wajah yang akan diuji akan tampil pada area yang ditunjukkan dengan nomor 2 pada Gambar 8, sedangkan hasil dari pengujian akan tampil pada area yang ditunjukkan dengan nomor 3 pada Gambar 8, sedangkan proses pengujian secara langsung citra wajah yang akan diuji bersumber dari kamera dengan memilih tombol Preview kemudian citra wajah akan tampil pada area yang ditunjukkan dengan nomor 1. Untuk mengambil citra wajah langkah selanjutnya memilih tombol Ambil Citra yang kemudian citra wajah yang akan diuji akan ditampilkan pada area yang ditunjukkan dengan nomor 2, sedangkan hasil dari pengujian akan tampil pada area yang ditunjukkan dengan nomor 3 pada Gambar 8. Kolom isian nama akan menampilkan nama dari pemilik citra wajah dan kolom isian waktu pengenalan merupakan waktu yang dicatat selama proses pengenalan. Berdasarkan penelitian hasil pengujian secara tidak langsung dan secara langsung dapat ditunjukkan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hasil terbaik pada pengujian secara tidak langsung. Hal ini disebabkan karena pengujian secara tidak langsung sumber citra wajah yang berupa file sudah ditentukan posisinya dan bisa ditentukan hanya citra wajah dengan pisisi yang baik yang dipakai. Sedangkan pada pengujian secara langsung sumber citra wajah berasal dari kamera dan pada proses ini hasil citra wajah tidak dapat ditentukan. Tabel 5 Tabel hasil pengujian jarak tidak langsung masing-masing sudut terhadap tingkat pengenalan Sudut GLCM 00 45
0
Jarak 1 piksel
Jarak 2 piksel
Jarak 3 piksel
Akurasi
Akurasi
Akurasi
52.14 %
48.57 %
57.86 %
50.00 %
52.14 %
53.57 %
900 0
135 00+450+900+ 1350
47.14 %
53.57 %
52.86 %
44.29 %
55.00 %
52.14 %
82.86 %
73.57 %
69.29 %
Tabel 6 Tabel hasil pengujian jarak langsung masingmasing sudut terhadap tingkat pengenalan Sudut GLCM
A-234
Jarak 1 piksel
Jarak 2 piksel
Jarak 3 piksel
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014 Yogyakarta, 15 November 2014
Akurasi 0
0
Akurasi
40.71 %
39.29 %
19.29 %
24.29 %
45.00 %
25.00 %
900
23.57 %
43.57 %
23.57 %
45
1350
32.86 %
47.86 %
27.86 %
0 +450+900+ 1350
66.43 %
57.86 %
41.43 %
Akurasi
0
ISSN: 1979-911X
0
Pada matriks GLCM tunggal (hanya menggunakan salah satu sudut), tingkat pengenalan tidak langsung tertinggi dengan jarak 1 piksel terdapat pada sudut 00 dengan prosentase sebesar 52,14 %, kemudian berturut-turut untuk sudut 450 sebesar 50 %, sudut 900 sebesar 47,14 % dan yang paling terendah pada jarak 1 piksel yaitu pada sudut 1350 sebesar 44,29 %. Sedangkan dengan jarak 2 piksel terdapat pada sudut 1350 dengan prosentase sebesar 55 %, kemudian berturut-turut untuk sudut 900 sebesar 55 %, sudut 450 sebesar 52,14 % dan yang paling terendah pada jarak 2 piksel yaitu pada sudut 00 dengan prosentase 48,57 % dan dengan jarak 3 piksel terdapat pada sudut 00 dengan prosentase sebesar 57,86 %, kemudian berturut-turut untuk sudut 450 sebesar 53,57 %, sudut 900 sebesar 52,86 % dan yang paling terendah pada jarak 3 piksel yaitu pada sudut 1350 dengan prosentase sebesar 52,14 %. Pada matriks GLCM tunggal (hanya menggunakan salah satu sudut), tingkat pengenalan langsung tertinggi dengan jarak 1 piksel terdapat pada sudut 00 dengan prosentase sebesar 40,71 %, kemudian berturut-turut untuk sudut 1350 sebesar 32,86 %, sudut 450 sebesar 24,29 % dan yang paling terendah pada jarak 1 piksel yaitu pada sudut 900 sebesar 23,57 %. Sedangkan dengan jarak 2 piksel terdapat pada sudut 1350 dengan prosentase sebesar 47,86 %, kemudian berturut-turut untuk sudut 450 sebesar 45 %, sudut 900 sebesar 43,57 % dan yang paling terendah pada jarak 2 piksel yaitu pada sudut 00 dengan prosentase 39,29 % dan dengan jarak 3 piksel terdapat pada sudut 1350 dengan prosentase sebesar 27,86 %, kemudian berturut-turut untuk sudut 450 sebesar 25 %, sudut 900 sebesar 23,57 % dan yang paling terendah pada jarak 3 piksel yaitu pada sudut 00 dengan prosentase sebesar 19,29 %. Pada matriks GLCM gabungan dengan lebih dari satu sudut (00+450+900+1350) didapatkan tingkat pengenalan secara tidak langsung paling tinggi untuk jarak 1 piksel, 2 piksel maupun 3 piksel dibandingkan dengan matriks GLCM tunggal, yaitu pada jarak 1 piksel sebesar 82,86 %, jarak 2 piksel sebesar 73,57 % dan pada jarak 3 piksel sebesar 69,29 %, sedangkan untuk pengujian secara langsung paling tinggi untuk jarak 1 piksel, 2 piksel maupun 3 piksel dibandingkan dengan matriks GLCM tunggal, yaitu pada jarak 1 piksel sebesar 66,43 %, jarak 2 piksel sebesar 57,86 % dan pada jarak 3 piksel sebesar 41,43 %. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak matriks GLCM yang dibentuk, semakin banyak pula ciri-ciri yang diekstraksi sehinggan proses pengenalannya semakin baik dibandingkan dengan sudut tunggal yang hanya membentuk satu matriks GLCM. Pada pengujian dengan penggunaan variasi jarak yang berbeda untuk membentuk matriks GLCM. Variasi jarak yang digunakan adalah 1 piksel, 2 piksel dan 3 piksel, sedangkan sudut pengujian dibuat tetap, yaitu gabungan semua sudut (00+450+900+1350) karena penggunaan semua sudut telah terbukti memiliki tingkat pengenalan yang tinggi baik itu pengujian secara tidak langsung maupun pengujian secara langsung dibandingkan dengan penggunaan sudut secara tunggal. Berdasarkan Tabel 5 dan Tabel 6 didapatkan tingkat pengenalan yang berbeda untuk masing-masing jarak GLCM. Hal ini dikarenakan penggunaan jarak GLCM yang berbeda menghasilkan matriks GLCM yang berbeda sehingga ciri yang diekstraksi akan menghasilkan nilai yang berbeda satu sama lainnya. Untuk penggunaan jarak GLCM dengan jarak tunggal diperoleh tingkat pengenalan secara tindak langsung tertinggi pada jarak 1 piksel yaitu sebesar 82.86 %, kemudian pada jarak 2 piksel sebesar 73.57 % dan pada jarak 3 piksel sebesar 69.29 %, sedangkan pengenalan secara langsung tertinggi pada jarak 1 piksel sebesar 66.43 %, jarak 2 piksel sebesar 57.86 % dan pada jarak 3 piksel sebesar 41.43 %. KESIMPULAN Penelitian tentang pengenalan wajah dengan GLCM dan PNN yang dihasilkan dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :Pengujian dilakukan terhadap penggunaan jarak GLCM dengan jarak tunggal diperoleh tingkat pengenalan secara tindak langsung tertinggi pada jarak 1 piksel yaitu sebesar 82,86 %, dan Pengujian dilakukan terhadap jarak dan sudut pada GLCM yang menghasilkan akurasi tingkat pengenalan tidak langsung tertinggi pada sudut (00+450+900+1350) dan pada jarak 1 piksel yaitu sebesar 82,86 %, sedangkan akurasi tingkat pengenalan secara langsung sebesar 66,43 %. DAFTAR PUSTAKA Albregtsen, F., 2008. Statistical Texture Measures Computed from Gray Level Coocurrence Matrices, Image Processing Laboratory, Department of Informatics, University of Oslo.
A-235
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014 Yogyakarta, 15 November 2014
ISSN: 1979-911X
Bayu, S., Hedriawan, A., dan Susetyoko, R, 2009. Penerapan Face Recognition Dengan Metode Eigenface dalam Intelligent Home Security, skripsi, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Sukolilo, Surabaya. Fatta, H.A., 2009. Rekayasa Sistem Pengenalan Wajah, Andi Offset, Yogyakarta. Febrianto, Y., 2012. Pengklasifikasian Kualitas Keramik Berdasarkan Ekstraksi Fitur Tekstur Statistik, Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri Universitas Gunadarma. Ganis, K.Y., Santoso, I., Isnanto, R., 2011. Klasifikasi Citra Dengan Matriks Ko-Okurensi Aras Keabuan (Gray Level Co-Occurrence Matrix-GLCM) Pada Lima Kelas Biji-Bijian, Undergraduate thesis, Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Undip. Gill, G.S., dan Sohal, J.S., 2008. Battlefield Decision Making : A Neural Network Approach, Journal of Theoretical and Applied Information Technology, Vol.4, No.8, 697-699. Ghorpade, S., Ghorpade, J., Mantri, S., Ghorpade, D., 2010. Neural Networks for Face Recognition using SOM, IJCT Vol.1 Issue 2, Desember. Harmoko, S.A., Kusumoputro, B., Rangkuti, M., 2004. Ekstraksi Ciri Gray Level Co-Occurrence Matrix Dan Probabilistic Neural Network Untuk Pengenalan Cacat Pengelasan, Departemen Fisika FMIPA, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia. Kadir, A., Nugroho, L.E., Susanto, A., dan Santosa, P.I., 2011. Neural Network Application on Foliage Plant Identification, International Journal of Computer Application (0975-8887), Vol.29. No.9, 15-22. Kulkarni, A.H., dan Patil, S.B., 2012. Automated Garment identification and defect detection model based on Texture Features and PNN, International Journal of Latest Trends in Engineering and Technology, Vol. 1, Issue 2 July. Kung, S.Y., 1999. Synergistic Modeling and Applications of Hierarchical Fuzzy Neural Networks, Proceedings of the IEEE Vol. 87 No.9, 1550-1574. Kusuma, A.A.,Isnanto, R., Santoso, I., 2011. Pengenalan Iris Mata Menggunakan Pencirian Matriks Ko-Okurensi Aras Keabuan, Undergraduate thesis, Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik. Maheshwary, P., dan Sricastava, N., 2009. Prototype System for Retrieval of Remote Sensing Images based on Color Moment and Gray Level Co-Occurrence Matrix, IJCSI International Journal of Computer Science Issues, Vol. 3. Mao, K.Z., Tan, K.C., dan Ser, W., 2000. Probabilistic Neural-Network Structure Determination for Patten Classification, IEEE Transactions on neural networks, Vol. 11 No.4. Nie, F., Gao, C., Guo, Y., dan Gan, M., 2011. Two-dimensional minimum local cross-entropy thresholding based on co-occurrence matrix, Computer and Electrical Engineering 37, 757-767. Putra, D., 2009. Sistem Biometrika. Konsep Dasar, Teknik Analisis Citra dan Tahapan Membangun Aplikasi Sistem Biometrika, Andi Offset, Yogyakarta. Santhanam, T., dan Radhika, S., 2011. Probabilistic Neural Network – A Better Solution for Noise Classification, Journal of Theoretical and Applied Information Technology, Vol. 27 No.1, 39-42. Suyanto, S.T., 2011. Artificial Intelligence, Informatika. Bandung. Vinitha, K.V., 2009. Face Recognition using Probabilistic Neural Networks, Conference Publications, 9 - 11 Desember, 1388-1393. Zhou, S., Krueger, V., dan Chellappa, R., 2003. Probabilistic recognition of human faces from video, Computer Vision and Image Understanding 91, 214-245.
A-236