Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
PENGARUH SUHU, WAKTU DAN KADAR AIR PADA PEMBUATAN ASAP CAIR DARI LIMBAH PADAT PATI AREN (STUDI KASUS PADA SENTRA INDUSTRI SOHUN DUKUH BENDO, DALEMAN, TULUNG, KLATEN) Sri Sunarsih1) , Yuli Pratiwi2) dan Yordanesa Sunarto 3) 1), 2)
Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Sains Terapan, IST AKPRIND Yogyakarta E-mail:
[email protected],
[email protected] 3) Alumni Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Sains Terapan, IST AKPRIND Yogyakarta
ABSTRAK Telah diteliti pengaruh suhu, waktu dan kadar air dalam limbah padat pati aren terhadap terbentuknya asap cair hasil pirolisis. Sampel diambil dari sentra industri sohun Dukuh Bendo, Desa Daleman, Kecamatan Tulung, Jawa Tengah. Dalam penelitian ini suhu divariasi pada harga 150oC, 200o C, 250oC, 300oC dan 400o dan pengmbilan asap cair dilakukan pada menit ke- 45 ; 60; 75; 90; dan 105. Untuk variabel kadar air, digunakan sampel serat pati aren yang basah dan kering. Hasil asap cair yang diperoleh diukur volume dan kerapatannya serta dianalisis komposisi kimianya dengan spektrofotometer GC-MS Simadzu. Hasil penelitian menunjukan bahwa semakin besar suhu dan waktu pirolisis, volume asap cair yang dihasilkan makin banyak dan kerapatannya makin besar pula, namun residu arangnya semakin kecil. Variabel kadar air dalam serat aren akan mempengaruhi volume dan kerapatan asap cair. Makin besar kadar air dalam serat aren. volume asap cair yag dihasilkan akan semakin besar dengan kerapatan yang menurun. Hasil analisis GC-MS menunjukan bahwa semakin tinggi suhu pirolisis, komponen penyusun asap cair yang terbentuk makin semakin banyak. Kata kunci : aren, asap cair, pirolisis, kerapatan
PENDAHULUAN Sebagai negara agraris yang terletak di daerah tropis, Indonesia memiliki limbah industri yang berupa biomassa .Limbah biomassa ini cukup melimpah dan sangat beraneka ragam yang berasal dari pertanian, pengolahan hutan maupun tanaman yang tumbuh liar. Limbah biomassa ini sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk diolah menjadi bahan bakar terbarukan, makanan, pakan ternak, bahan kimia antara maupun produk lain yang lebih bernilai jual . Untuk dapat menggali potensi biomassa, diperlukan kemampuan untuk dapat mengekstraks karbohidrat, minyak, lignin, dan bahan-bahan lain yang terkandung dalam yang terkandung dalam biomassa dan mengubahnya menjadi berbagai produk seperti bahan bakar maupun bahan kimia lain yang bernilai tinggi (Holladay, 2007) Ada berbagai pilihan metoda pengolahan biomassa, yakni pembakaran langsung, metoda termokimia, biokimia maupun secara kimia. Penetapan metoda yang akan dipilih ini bergantung pada jumlah dan laju ketersediaan biomassa maupun peruntukan produk akhir yang dikehendaki. Setiap metoda yang dipilih juga memiliki tantangan teknis penanganan yang berbeda-beda. (Holladay, 2007) Salah satu kegiatan penghasil limbah biomassa yang cukup berpotensi adalah industri tepung aren (bahan pembuat soun) di Dukuh Bendo, Desa Daleman, Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Limbah padatnya berasal dari sisa proses penggilingan dan pengayakan berupa serbuk serat aren. Serbuk serat ini pernah dimanfaatkan oleh industri budidaya jamur di kota Yogyakarta, namun tidak ada lagi kelanjutannya. Timbunan limbah serat aren ini kemudian memenuhi bantaran sungai dan daerah sekitar sawah. Limbah padat yang tidak ditangani dengan baik, berpotensi menimbulkan masalah bagi komunitas sekitarnya. Limbah serat yang merupakan bahan organik ini akan terdekomposisi secara alamiah di lingkungan sehingga menimbulkan gangguan berupa bau dan dari segi estetika. Lindi dari limbah padat ini mulai terasa mencemari badan air dan sistem irigasi yang ada di daerah tersebut. Dampak yang dirasakan penduduk berupa timbulnya gangguan kulit setelah menggunakan sumber air yang sudah tercemar oleh lindi ampas aren dan juga matinya ikan-ikan pada kolam ikan milik penduduk, serta bau yang menyengat, khususnya setelah ampas terbasahi oleh hujan (Mayrina dan Marisa, 2005). A-290
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
Warlina (2003) mengatakan bahwa perairan yang berasal dari pencemaran limbah padat dapat berdampak sangat luas, misalnya dapat meracuni air minum dan makanan hewan karena lindi yang dihasilkan dari timbunan limbah akan meresap ke dalam tanah. Kualitas air tanah menjadi menurun. Pencemaran ini juga menjadi penyebab ketidakseimbangan ekosistem sungai dan danau. Lindi yang mengandung nutrien nitrat dan fosfat cukup tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman air yang di luar kendali yang disebut eutrofikasi. Ketika tanaman air tersebut mati, proses peruraiannya oleh mikroorganisme menyedot banyak oksigen. Seringkali perairan setempat akan menjadi kekurangan oksigen. Akibatnya ikan akan mati dan aktivitas bakteri akan menurun. Banyaknya limbah padat pada perairan akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut dalam air tersebut dan mengakibatkan organisme yang membutuhkan oksigen terganggu serta mengurangi perkembangannya. Selain itu kematian dapat pula disebabkan adanya zat beracun pada limbah padat yang juga menyebabkan kerusakan pada tanaman dan tumbuhan air. Akibat matinya bakteri-bakteri, maka proses penjernihan air secara alamiah juga terhambat. Banyaknya senyawa organik dalam limbah padat juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba patogen yang dapat menyebar melalui air. Air juga dapat menjadi media untuk hidup vektor penyakit. Adanya dampak buruk yang dapat terjadi jika limbah serat aren ini tidak diolah secara layak mendorong penulis untuk ikut serta mencari alternatif pemecahan yang menguntungkan. Salah satu pemanfaatan limbah padat pati aren dalam bentuk ampas adalah sebagai bahan pembuat asap cair dengan proses pirolisis. Pirolisis adalah konversi termal (destruksi) senyawa organik tanpa adanya oksigen yang dilakukan pada suhu lebih rendah disbanding insenerasi maupun gasifikasi. Proses pirolisis kayu dalam suhu akhir sekitar 500o C menghasilkan produk utama asap cair dan hasil sampingnya berupa tar, arang serta gas-gas yang mudah menguap, dan tidak dapat dikondensasikan. (Fengel dan Wegener, 1995). Proses pirolisis untuk pembuatan asap cair dapat memakai bahan baku berbagai macam jenis kayu, bongkol kelapa sawit, tempurung kelapa, sekam, ampas atau serbuk gergaji kayu dan lain sebagainya. Selama pembakaran, komponen dari kayu akan mengalami pembakaran tidak sempurna menghasilkan berbagai macam senyawa antara lain fenol, karbonil, asam, furan, alkohol, lakton, hidrokarbon, polisiklik aromatik dan lain sebagainya. Asap merupakan sistem kompleks yang terdiri dari fase cairan terdispersi dan medium gas sebagai pendispersi. Reaksi –reaksi yang terjadi dalam proses pirolisis antara lain: dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi dan kondensasi. (Tranggono dkk dalam Mansur, 2009). Asap cair mengandung berbagai senyawa yang terbentuk karena terjadinya pirolisis tiga komponen kayu yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin yang proposinya bervariasi, bergantung pada jenis bahan yang dipirolisis. Hemiselulosa adalah komponen kayu yang mengalami pirolisa paling awal menghasilkan fural, furan, asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa tersusun dari pentosan dan heksosan dan rata-rata proporsi ini tergantung pada jenis kayu. Pirolisis dari pentosan membentuk furfural, fural dan turunannya beserta suatu seri yang panjang dari asam karboksilat. Bersama-sama dengan selulosa, pirolisis heksosan membentuk asam asetat dan homolognya. Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200-250 oC. Fenol dihasilkan dari dekomposisi lignin yang terjadi pada suhu 300 oC dan berakhir pada suhu 400 oC. Proses selanjutnya yaitu pirolisis selulosa menghasilkan senyawa asam asetat dan senyawa karbonil seperti asetaldehid, glikosal dan akreolin. Pirolisis lignin akan menghasilkan senyawa fenol, guaiakol, siringol bersama dengan homolog dan derivatnya. Lebih dari 400 senyawa kimia dalam asap cair telah berhasil diidentifikasi. Komponenkomponen tersebut ditemukan dalam jumlah yang bervariasi tergantung jenis kayu, umur tanaman sumber kayu, dan kondisi pertumbuhan kayu seperti iklim dan tanah. Di dalam asap cair terdapat asam yang dapat mempengaruhi citarasa, pH dan umur simpan produk asapan. Senyawa-senyawa asam mempunyai peranan sebagai antibakteri. Senyawa asam ini antara lain adalah asam asetat, propionat, butirat dan valerat. Selain itu ada senyawa karbonil yang bereaksi dengan protein dan membentuk warna coklat, yang memiliki peranan pada pewarnaan dan citarasa produk asapan. Golongan senyawa ini mempunyai aroma seperti aroma karamel yang unik. Jenis senyawa karbonil yang terdapat dalam asap cair antara lain adalah vanilin dan siringaldehida. Asap cair juga mengandung fenol yang merupakan pembentuk utama aroma dan menunjukkan aktivitas antioksidan. Fenol diduga berperan A-291
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
sebagai antioksidan sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk asapan. Jumlah dan macam senyawa fenol dalam asap cair sangat tergantung pada suhu pirolisis kayu. Menurut Girard dalam Manshuri (2009) kuantitas fenol pada kayu sangat bervariasi yaitu antara 10-200 mg/kg. Beberapa jenis fenol yang biasanya terdapat dalam produk asapan adalah guaiakol, dan siringol. Senyawasenyawa fenol yang terdapat dalam asap kayu umumnya hidrokarbon aromatik yang tersusun dari cincin benzena dengan sejumlah gugus hidroksil yang terikat. Senyawa-senyawa fenol ini juga dapat mengikat gugus-gugus lain seperti aldehid, keton, asam dan ester. (Astuti dalam Manshuri, 2009). Menurut Fatimah dalam Manshuri (2009) dikatakan bahwa golongan-golongan senyawa penyusun asap cair adalah air (11-92 %), fenol (0,2-2,9 %), asam (2,8-9,5 %), karbonil (2,6-4,0 %) dan tar (1-7 %). Asap cair juga mengandung senyawa yang merugikan yaitu tar dan senyawa hidrokarbon poli aromatick (HPA) seperti benzopiren yang bersifat toksik dan karsinogenik serta menyebabkan kerusakan asam amino esensial dari protein dan vitamin.. Benzo(a)pirena mempunyai titik didih 310 o C dan dapat menyebabkan kanker kulit jika dioleskan langsung pada permukaan kulit. Akan tetapi proses yang terjadi memerlukan waktu yang lama. Menurut Girard dalam Manshuri (2009) pembentukan berbagai senyawa HPA selama pembuatan asap bergantung pada suhu pirolisis, waktu dan kelembaban udara pada proses pembuatan asap serta kandungan udara dalam kayu. Dikatakan juga bahwa semua proses yang menyebabkan terpisahnya partikel-partikel besar dari asap akan menurunkan kadar benzo(a)pirena. Proses tersebut antara lain adalah pengendapan dan penyaringan. Upaya untuk memisahkan komponen berbahaya di dalam asap cair dapat dilakukan dengan cara redistilasi, yaitu proses pemisahan kembali suatu larutan berdasarkan titik didihnya. Redistilasi dilakukan untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya sehingga diperoleh asap cair yang jernih, bebas tar, HPA dan benzopiren pendispersi. Asap cair yang telah dipisahkan dari kandungan tar berat berupa cairan bersifat asam dalam pelarut fase air dan berwarna kuning kecoklatan bergantung pada jenis kayu. Berdasarkan hasil analisa kromatografi gas terdapat 11 komponen utama yang jumlahnya relatif cukup besar di dalam asap cair. Tabel 1 Hasil analisis gas kromatografi terhadap asap cair secara umum Waktu Retensi (menit) 10.29 11.48 13.93 17.59 20.38 22.20 25.0
Senyawa Fenol 3-metil1,2-siklopentadion 2-metoksi fenol 2-metoksi-4-metil fenol 4-e til-2-metoksi fenol 2,6-dimetoksi fenol 2,5-dimetoksi benzil alkohol (Sumber : Asap cair, 2010)
Konsentrasi (%) 44.13 3.55 11.5 4.10 2.21 11.06 3.02
Sumasroh (2010) mengatakan bahwa komposisi asap cair juga bergantung pada bahan baku yang meliputi jenis, kadar air, ukuran partikel bahan, suhu pembakaran, kecukupan oksigen dan tahapan proses. Sebagai contoh, pada proses pirolisis dengan bahan tempurung kelapa akan menghasilkan asap cair dengan komposisi senyawa fenolat [4,13%], karbonil [11,3%] dan asam [10,2%]. Senyawa inilah yang berperan dalam pengawetan dan sifat organoleptic pada asap cair. (Darmadji, dkk dalam Sumasroh, 2010). Peran faktor suhu pada pembuatan asap cair paling menentukan kualitas asap yang dihasilkan. Darmadji dkk dalam Manshuri (2009) menyatakan bahwa kandungan maksimum senyawa-senyawa fenol, karbonil, dan asam dicapai pada temperatur pirolisis 600oC. Tetapi suatu produk yang diberi asap cair yang dihasilkan pada temperatur 400oC dinilai mempunyai kualitas organoleptik yang terbaik dibandingkan dengan asap cair yang dihasilkan pada temperatur pirolisis yang lebih tinggi. Asap cair dapat digunakan sebagai pengawet pangan maupun non-pangan. Aplikasi sebagai pengawet pangan menggantikan peran bahan pengawet berbahaya, seperti formalin dan borax. Asap A-292
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
cair ini harus melalui proses penghilangan material karsinogenik yang terkandung dalam partikel asap, yaitu HPA, seperti benzo(a) pirena. Pengawetan bahan pangan mentah dengan asap cair dapat memperpanjang usia kesegarannya; biasanya digunakan pada ikan segar, daging (sapi, kambing, ayam), maupun buah-buahan. Aplikasi pada pangan olahan juga dapat digunakan pada proses pembuatan mie basah, tahu, bakso, daging asap, ikan asap, ikan pindang, ikan asin, krupuk ikan dan lainnya. Asap cair dapat juga digunakan sebagai flavour untuk memberikan rasa barbeque pada beef burger, sosis, dan sebagainya. Hal ini menjadikan pemakaian asap cair lebih unggul dibandingkan dengan proses pengawetan tradisional dengan pengasapan langsung, karena produk yang dihasilkan tidak lagi bersifat karsinogenik. (Khasan, 2009). Keuntungan yang diperoleh dengan pemakaian asap cair antara lain : makanan lebih sehat untuk dikonsumsi; mengurangi pencemaran lingkungan dan bahaya kebakaran; menjamin konsistensi kualitas produk, karena proses pengawetan lebih dapat dikendalikan. Pada pengawetan non-pangan, asap cair dapat digunakan sebagai koagulan lateks yang berfungsi sebagai anti jamur, anti bakteri dan antioksidan, sehingga dapat memperbaiki kualitas produk karet yang dihasilkan. Produksi ban yang menggunakan koagulan asap cair ini terbukti mempunyai kualitas yang lebih baik. Asap cair juga dapat menghilangkan bau busuk limbah pada industri karet, timbunan sampah, limbah peternakan (ayam, kambing, sapi), dll. Kayu yang diolesi dengan asap cair memiliki ketahanan terhadap serangan rayap. Aplikasi asap cair yang lain adallah sebagai pestisida, herbisida, dan fungisida; bahan antioksidan dan antiseptic; serta bahan obat-obatan (detoksifikasi dan kosmetik). METODE Alat yang diperlukan mencakup seperangkat alat pirolisis yang terprogram suhunya, neraca analitis, Oven dan Peralatan Gelas, pignometer 10 ML, GCMS-QP2010S SHIMADZU Bahan : Limbah serat pati aren basah dan kering yang sudah diayak 3 kali, NaOH 1% Proses Penelitian Limbah padat pati aren dilakukan pengayakan untuk memisahkan serat dengan lembinya, kemudian dipotong menjadi serat kecil ukuran 2-4 cm. Proses pengeringan serat dilakukan di bawah terik matahari setelah sampel dilakukan pengayakan, baru kemudian dipotong. Limbah serat yang telah diperkecil ukurannya dimasukkan dalam reaktor kemudian dilakukan proses pirolisis pada suhu 150oC, 200oC, 250oC, 300oC dan 400oC dalam rentang waktu ke- 45; 60; 75; 90 dan 105 menit untuk masing-masing sampel limbah serat basah dan kering. Asap cair hasil pirolisis kemudian diukur volume dan kerapatannya, serta dianalisis komposisi kimianya dengan GC-MS. Sedang hasil pirolisis yang berupa residu arang ditimbang beratnya. PEMBAHASAN Pengaruh kadar air, suhu dan waktu pirolisis terhadap volume asap cair Dari pengamatan Tabel 2 dapat diketahui bahwa secara umum asap cair yang terbentuk akan makin banyak jika suhunya bertambah. Namun juga terlihat terjadi penurunan pada suhu 200oC. Hal ini diduga karena adanya variabilitas kandungan uap air dalam serat basah. Kemudian terjadi kenaikan total asap cair kembali dikarenakan dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200-250 oC. Optimasi pembentukan asap cair berlangsung pada suhu 300oC yaitu 326,2 mL. Penambahan asap cair pada variasi waktu juga terjadi karena semakin lama waktu pirolisis, asap cair yang terbentuk juga semakin bertambah. Hasil proses pirolisis limbah serat pati aren basah dapat dilihat dari Tabel 2 Tabel 2 Hasil proses pirolisis limbah serat pati aren basah seberat 400 gram Suhu (oC) 150 200 250 300 400
Asap cair yang terbentuk (mL) dalam waktu ke- (menit) 45’ 60’ 75’ 90’ 105’ 72 81 118,2 315 270
9 2 1 4,2 1
9 0,8 0,6 3,7 0,4
9 0,8 0,6 2 0,1 A-293
9 0,6 0,5 1,8 0,2
Total asap yang terbentuk (mL) 108 85,2 120,9 326,7 271,7
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
Hasil analisis statistik SPSS menggunakan analisis korelasi antara suhu pirolisis dengan volume total asap cair adalah 0,812 sedangkan untuk koefisien korelasi antara waktu dengan asap cair adalah 0,84. Koefisien korelasi keduanya mendekati 1, jadi dapat disimpulkan bahwa suhu dan waktu mempengaruhi volume asap cair yang terbentuk dari pirolisis ampas serat pati aren basah. Hasil pirolisis limbah serat pati aren kering dapat dilihat dari Tabel 3 Tabel 3. Hasil proses pirolisis limbah serat pati aren kering seberat 400 gram Suhu (oC)
Asap cair yang terbentuk (mL) dalam waktu ke- (menit) 45’ 60’ 75’ 90’ 105’
150 200 250 300 400
27,5 74,4 92,8 128 138
2,5 4 1,2 4 12
1,25 2 0,8 1,6 5,6
1 1,2 0,4 1,2 3
4,5 0,4 0,1 0,2 2,2
Total asap yang terbentuk (mL) 36,5 82 95,3 135 160,8
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pirolisis, semakin banyak pula jumlah asap cair yang terbentuk pada rentang waktu yang sama. Sampai pada suhu 400o C tren masih memperlihatkan kenaikan (belum tampak adanya titik optimal). Menurut Darmaji dkk dalam Manshuri (2009), asap cair yang terbentuk pada suhu ini dinilai mempunyai kualitas organoleptik yang terbaik dibandingkan dengan asap cair yang terbentu pada suhu lebih tinggi. Dari uji statistik diketahui bahwa koefisien korelasi antara suhu dengan asap cair untuk sampel limbah ampas serat pati aren kering adalah 0,956. Harga ini mendekati 1, berarti suhu dapat mempengaruhi volume asap cair yang terbentuk. Sedangkan koefisien korelasi antara waktu pirolisis dan asap cair adalah 0,070, yang nilainya mendekati -1, sehinggga dapat disimpulkan bahwa waktu hanya sedikit mempengaruhi dari jumlah asap cair yang terbentuk. Perbandingan total asap cair yang terbentuk dari serat aren basah dan kering pada suhu dan rentang waktu yang sama disajikan dalam gambar 1. Dari Gambar 1 terlihat hasil analisis t- test: paired samples statistics total asap cair yang terbentuk dari limbah serat basah dan kering terlihat bahwa rata-rata terbentuknya asap cair dari serat basah adalah 182,5 dengan deviasi standar 109,044 dan untuk asap cair dari limbah serat kering adalah 69,792 dengan deviasi standar 52,4613. Hasil korelasi menunjukan nilai sebesar 0,127 dengan signifikasi 0,00. Rata-rata perbedaan pembentukan asap cair serat basah dan kering adalah 1,1271 dengan standar deviasi 114,8317. Itu berarti ada perbedaan nyata total asap cair dari limbah basah dan kering.
400 300
Total asap cair dari limbah basah (mL)
200 100 0 150
200
250 300 Suhu (oC)
400
Gambar 1 Kenaikan volume total asap cair yang terbentuk Pengaruh kadar air, suhu dan waktu pirolisis terhadap kerapatan asap cair (ρ asap cair) Kerapatan (densitas) asap cair pada masing-masing suhu dapat diukur dengan menggunakan tabung piknometer 10 mL kemudian dihitung dengan membandingkan dengan densitas aquades dan volume piknometer.Hasil perhitungan kerapatan asap cair (ρ asap cair) dapat dilihat pada tabel 4.
A-294
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
Tabel 4 Kerapatan asap cair hasil pirolisis suhu serat pati aren basah dan kering Suhu (oC) 150 200 250 300 400
ρ asap cair dari limbah serat pati ρ asap cair dari limbah serat pati aren basah (gr/mL) aren kering (gr/mL) 2,1084 2,1348 2,1121* 2,1354 2,1088 2,1360 2,1107 2,1514 2,1192 2,1378 Keterangan (*) asap cair belum terpisah sempurna dengan tar
Dari tabel 4 terlihat bahwa kerapatan asap cair dipengaruhi oleh suhu pirolisis. Semakin tinggi suhu pirolisis, semakin besar kerapatan asap cair. Tampak pula bahwa asap cair dari limbah serat aren basah mempunyai kerapatan lebih kecil daripada asap cair dari limbah serat pati aren kering. Diduga bahwa asap cair yang berasal dari pirolisis serat basah masih mengandung air yang masuk ke destilat pada awal proses. Kerapatan asap cair juga dipengaruhi oleh waktu. Semakin lama waktu pirolisis, semakin besar kerapatan asap cairnya dan destilat yang keluar pada waktu yang semakin lama telah tercampur dengan senyawa tar, karena tar terbentuk pada suhu yang tinggi Namun penghitungan untuk variasi waktu tidak dapat ditampilkan karena volume yang diperlukan untuk pengukuran dengan piknometer kurang dar 10 mL. Sehingga kerapatannya tidak dapat dhitung. Pengaruh suhu, waktu dan kadar air terhadap kerapatan tersaji dalam gambar 2.
Gambar 2. Pengaruh suhu, waktu dan kadar air dalam limbah terhadap kerapatan asap cair Pengaruh kadar air, suhu dan waktu pirolisis terhadap komposisi asap Komposisi asap cair yang dihasilkan dari pirolisis pada suhu 200oC, 300oC dan 400oC . dianalisis menggunakan GC-MS. Data hasil analisis memperlihatkan bahwa asap cair yang diperoleh pada suhu pirolisis 200oC memperlihatkan ada 6 senyawa yang memiliki puncak tertinggi yakni 2propanon (4,54%), metil etil ester (2,28 %), asetil propionil (7,11%), α etil alil alcohol (66,85%), 2furaldehid (5,4%) dan sikloten (8,54%). Sedangkan asap cair yang diperoleh pada suhu pirolisis 300oC memperlihatkan ada 8 senyawa yang memiliki puncak tertinggi yakni 2-propanon (2,95%), metil etil ester (1,71 %), HOCH2COCH3 (5,21%), asam asetat (67,52 %), furaldehid (4,38 %), asam propanoat (1,21%), fenol (8,43%) dan dimetoksi fenol (1%) Asap cair yang diperoleh pada suhu pirolisis 400oC memiliki 17 senyawa dengan puncak tertinggi yakni propanon (5,59%), asam asetat (3,07%), H2C=CHOC2H5 (1,89%), HOCH2COCH3 (6,93%), siklopenton (1,47%), etil vinil karbinol (1,46%), asam asetat (53,43 %), C2H5 OCH2COCH3 (1,14%), furaldehid (3,76 %), asam propanoat (2,02%), asam butanoat (1,11%), 2(3H)-furanon (1,53%), korilon(2,29%), fenol (1,42%), monofenol (3,92%), pentanal (1,43%) dan dimetoksi fenol (1%) Hasil analisis GC-MS asap cair hasil pirolisis pada suhu 400o C memperlihatkan jenis komponen yang makin banyak dengan senyawa yang dominan adalah asam asetat sebesar 53,43%. Dari interpretasi data GC-MS dapat dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu pirolisis, semakin banyak komponen asap cair yang teridentifikasi. Tampak pula bahwa semakin tinggi suhu, macam senyawa aromatis yang terbentuk juga makin banyak. Sedangkan kadar air dalam limbah tidak terlalu berpengaruh pada komposisi asap cair. Dari ke 3 hasil asap cair yang dihasilkan tersebut, senyawa asam asetat yang lebih mendominasi, A-295
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
Pengaruh kadar air, suhu dan waktu pirolisis terhadap residu arang yang terbentuk Produk yang penting juga dalam proses pirolisis adalah arang. Faktor yang mempengaruh banyaknya residu arang yang terbentuk adalah jenis bahan, , ukuran, sistem pirolisis, waktu dan suhu akhir pirolisis (Fengel dan Wegener, 1995). Hasil residu arang yang terbentuk selama proses pirolisis serat aren dapat dilihat pada tabel 5. Dari hasil pengamatan, semakin tinggi suhu pirolisis, berat residu arang yang terbentuk semakin turun. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu pirolisis, maka semakin banyak komponen serat yang terpirolisis sehingga residu arang yang tertinggal makin sedikit. Tabel 5. Residu arang yang terbentuk selama proses pirolisis Suhu (oC) 150 200 250 300 400
Berat residu arang dari sampel serat basah (gram) 121 70 43 41 26,5
Berat residu arang dari sampel serat kering (gram) 211,7 140 128 120 100
Untuk setiap berat sampel yang sama, maka residu arang dari sampel kering selalu lebih banyak dibanding dari sampel basah. Ini mudah difahami karena pada sampel limbah serat pati aren basah lebih banyak mengandung air dibanding serat aren yang kering. Air tersebut telah habis menguap pada suhu tertentu. Residu arang ini dapat digunakan sebagai bahan bakar atau diproses menjadi karbon aktif yang digunakan misalnya dalam metalurgi, pemurnian air, sintesis kimia dan berbagai tujuan lain. Pengaruh suhu terhadap residua rang tersaji dalam gambar 3. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, asap cair yang dihasilkan diduga dapat diaplikasikan sebagai pengawet kayu. Karena didalam asap cair ini masih terkandung zat yang dapat merugikan kesehatan yaitu tar. Kandungan tar tersebut dapat dihilangkan dengan proses destilasi secara berulang-ulang yaitu merupakan proses pemisahan komponen dalam campuran berdasarkan perbedaan titik didihnya ataupun menggunakan zeolit aktif agar diperoleh asap cair yang murni.
Gambar 3. Pengaruh suhu terhadap berat residu arang selama proses pirolisis KESIMPULAN 1. Hasil proses pirolisis serat basah memperlihatkan bahwa secara umum asap cair yang terbentuk akan makin banyak jika suhunya bertambah. Namun juga terlihat terjadi penurunan pada suhu 200oC. Sedangkan untuk total asap cair yang terbentuk dari sampel limbah serat ampas aren kering terlihat naik secara konsisten. 2. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pirolisis, maka semakin banyak asap cair yang terbentuk, semakin banyak jumlah tar yang diperoleh, semakin komplek komposisi yang terdapat dalam asap cair, namun semakin sedikit residu arang yang terbentuk. 3. Kadar air dalam limbah basah berpengaruh volume asap cair yang terbentuk, kerapatan asap cair dan berat residu arang, namun tidak terlalu berpengaruh pada komposisi asap cair. 4. Dari analisis korelasi SPSS disimpulkan bahwa ada korelasi antara suhu dengan volume asap cair yang terbentuk dari serat kering. Jadi suhu dapat mempengaruhi volume asap cair yang terbentuk. Sedangkan korelasi antara waktu dan asap cair adalah 0,070, Hal ini bermakna bahwa waktu relatif kurang berpengaruh terhadap volume asap cair yang terbentuk..
A-296
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
5.
ISSN: 1979-911X
Dari analisa korelasi SPSS disimpulkan bahwa ada korelasi antara suhudan waktu terhadap volume asap cair yang terbentuk dari serat basah.Jadi suhu dan waktu berpengaruh terhadap volume asap cair yang terbentuk sampel serat aren basah.
DAFTAR PUSTAKA Baginda, 2009, Kajian perbedaan Aras dan Lama Pemeraman Fermentasi Ampas sagu dengan Aspergillus Niger Terhadap Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar diambil dari http://eprints.undip.ac.id/3817/1/aPR26-(12)Baginda-setting.pdf Fengel and Wegener. 1995. Kayu Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Cetakan Pertama Edisi Bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Hardjono Sastrohamidjojo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Holladay, J.E, 2007, Top Value-Added Chemicals from Biomass Volume II—Results of Screening for Potential Candidates from Biorefinery Lignin, U.S. Department of Energy http://id.wikipedia.org/wiki/Asap_cair dikunjungi 2010/09/06 Khasan F, 2009, Asap Cair, diambil dari http://awalsholeh.blogspot.com/2009/06/asap-cair.html dikunjungi 07/10/10 Manshuri, M, 2009, Kandungan Asap Cair, Komponen Senyawa Penyusun Asap Cair diambil dari http://produkkelapa.wordpress.com/2009/03/11/kandungan-asap-cair-komponen-senyawapenyusun-asap-cair/ dikunjungi 2010/09/06 Mayrina F dan Marisa H. 2005. Studi Karakteristik Dasar Limbah Industri Tepung Aren. Jurnal infrastruktur dan lingkungan binaan vol.I No.2 ITB, diambil dari http://downloads.ziddu.com/downloadfiles/3378028/rdayatiStudiKarakteristikIndustriLimbahTepungAren.pdf dikunjungi 2010/09/06 Sumasroh M, 2010, Mengenal Asap Cair. Diambil dari http://www.kebonadem.com/2010/02/mengenal-asap-cair.html dikunjungi 2010-10-07 Warlina, L, 2004, Pencemaran Air: Sumber, Dampak Dan Penaggulangannya diambil dari http://www.scribd.com/doc/49567055/pencemaran-air dikunjungi 15/09/2010
A-297