Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 PERAN MDI DAN METIL METAKRILAT TERHADAP ADESIFITAS POLIPADUAN RESIN FENOLIK-POLIKLOROPRENE SERTA KARAKTER DEGRADASINYA Hendro Juwono Jurusan kimia FMIPA ITS Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Abstrak Polipaduan telah dibuat dari campuran larutan Polikloroprene dengan larutan resin fenolik. Adhesif yang dihasilkan memiliki sifat mekanik gabungan antara sifat mekanik karet yang elastis dengan sifat mekanik resin fenolik yang getas. Penambahan agen pengikat silang (MDI) dan Metil metakrilat dengan variasi komposisi tertentu dapat mempengaruhi sifat mekanik adhesif. Pengaruh pengikat silang MDI terhadap adesif tensile strength dapat dilihat pada komposisi MDI 6 mL yang mempunyai nilai kuat tarik 369,84 lbs. Sedangkan pengikat silang metil metakrilat memberikan tensile strength pada komposisi 40 phr dengan nilai19,7 lbs. Analisis dengan spektrofotometer IR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi yang terbentuk pada ikat silang. Suasana panas dan asam mempengaruhi sifat mekanik adesif dan menaikkan tensile strength sebesar 8,9 % dengan pengikat silang MDI, sedangkan meti metakrilat turun sebesar 9,4 % Kata Kunci : Metil metakrilat, MDI, polipaduan, adhesif ______________________________________________________________________
1.
Pendahuluan Perekat (adhesif) digunakan untuk mengikat aneka komponen struktur tertentu secara efektif dan mudah. Perekat adalah bahan yang mampu menyambung berbagai jenis bahan yang berbeda modulus dan ketebalannya (Othmer,1978). Perekat merupakan hasil polipaduan seperti paduan karet polikloropren dengan metil metakrilat (MA) atau di ikat silang dengan Methane Diphenyl 4,4’ Diisocyanat (MDI) . Komponen dasar suatu perekat adalah polikloropren merupakan karet sintetik yang dapat dibuat secara termoplastik serta resin fenolik (Fried,1995). Resin yang bersifat adhesif salah satunya adalah jenis resin fenolik. Resin fenolik merupakan bahan yang dapat digunakan untuk pembuatan larutan adhesif. Resin fenolik telah banyak digunakan secara komersial dalam industri lebih dulu daripada polimer sintetik lainnya, kecuali untuk nitrat selulosa. Resin ini memiliki ketahanan kimia dan termal yang baik, kekuatan dielektrik yang baik dan kestabilan dimensional yang baik. Sebagian besar penggunaan resin ini adalah pada pembuatan adesif untuk plywood yaitu sekiter 43 % (Billmeyer , 1984) Degradasi merupakan hasil dari berbagai reaksi dengan oksigen, dan juga merupakan mekanisme yang paling penting pada penyebab kerusakan polimer. Meskipun telah dilakukan isolasi peralatan, oksigen masih tetap ada selama reaksi oksidasi. Polimer dapat mengalami degradasi karena temperatur yang tinggi (degradasi termal), oksigen, ozon, cahaya ultraviolet, uap, radiasi dan bahan-bahan kimia ( Hawkins, 1984 ). Sifat mekanik dari polipaduan yang dihasilkan dianalisa dengan uji kuat regangan. Gugus-gugus yang terkandung dalam polipaduan dianalisa dengan FTIR.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 103
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Menarik untuk dikaji adalah bagaimana peran MDI maupun metilmetakrilat terhadap sifat adesif poliklorepren-resin fenolik dan karakter degradasinya.
2. Metodologi 2.1 Grafting MMA pada polipaduan polikloropren – resin fenolik Larutan polipaduan yang telah homogen diaduk disertai pemanasan suhu lingkungan ( suhu di luar sistem ) hingga 90 o C. Setelah dicapai suhu lingkungan 90 o C, kecepatan pengadukan diturunkan hingga sekitar 150 rpm selama 1 jam. Larutan MMA yang divariasikan seperti tabel 3.1 ditambahkan ke dalam larutan polipaduan, diaduk dengan kecepatan 57 rpm selama 30 menit dan suhu lingkungan dijaga tetap 90 oC.
2.2 Pembuatan Kompleks Resin- Fenolik Pada 50 gram Fenolik Resin dan 0,5 gram MgO ditambahkan 0,5 mL aquades dan 117 mL toluen teknis yang ditempatkan pada beker glas 250 mL. Kemudian campuran tersebut diaduk dengan stirrer selama kurang lebih 8-9 jam. Hasil yang diperoleh berupa larutan resin disimpan selama 1 hari dengan kondisi tertutup rapat. Setelah 1 hari diambil filtratnya. 2.3 Pembuatan Larutan Rubber Rubber polikloroprene sebanyak 100 gram ditambah dengan 0,5 gram ZnO (Zinc Oxyde), 0,2 gram BHT (Butylated Hidroxy Toluene), dan 0,4 gram MgO (Magnesium Oxyde) lalu dimasukkan ke dalam toples berukuran sedang. Solven yang terdiri dari 110 mL toluen teknis, 176 mL n-heksan teknis, dan 87 mL etil asetat teknis dimasukkan ke dalam toples tersebut. Campuran tersebut kemudian diaduk dengan pengaduk bor duduk hingga larut. 2.4 Pembuatan Polipaduan Adhesif Larutan rubber dan larutan resin yang terbentuk dicampur dan diaduk dengan pengaduk bor duduk. Hasil yang berupa larutan adhesif ini ditambahkan dengan MDI (Diphenyl Methane 4,4’ Diisocyanate) dengan variasi komposisi Masing-masing variasi ditambahkan hidroquinon dalam campuran pelarut toluen teknis dan MEK, kecepatan pengadukan dinaikkan selama 30 detik kemudian diturunkan lagi menjadi 57 rpm dan diaduk selama 3 jam.
3. Pembahasan Pembuatan larutan polikloropren diawali dengan pemotongan karet polikloropren menjadi kecil-kecil kemudian ditambahkan pelarut toluen teknis, etil asetat, dan n-heksan teknis. Campuran dipanaskan hingga karet polikloropren yang semula berwarna cokelat muda menjadi bening dan lunak, selanjutnya campuran diaduk sampai homogen. Tujuan pengadukan dan pemanasan agar karet polikloropren mudah larut. Setelah larutan polikloropren homogen, ditambahkan MgO, BHT serta ZnO yang masingmasing dilarutkan dalam toluen teknis. Tujuan penambahan MgO dan ZnO adalah untuk mengaktifkan polikloropren terhadap reaksi dengan resin fenolik serta menetralisir asam, dalam hal ini adalah asam klorida ( HCl ) yang mungkin terbentuk saat pembuatan polipaduan. BHT ditambahkan sebagai antioksidan untuk mencegah oksidasi yang terjadi pada karet polikloropren maupun pada polipaduan adhesive. Stelah ditambahkan MgO, ZnO, dan BHT, larutan diaduk hingga merata yang ditandai dengan perubahan warna larutan karet dari kuning keruh menjadi cokelat muda. Resin fenolik jenis R 5729 dilarutkan dalam campuran toluene teknis dan n-heksan teknis kemudian diaduk hingga dihasilkan larutan resin berwarna jingga. Selanjutnya ditambahkan MgO dilarutkan dalam toluen dan dicampurkan ke dalam larutan resin kemudian
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 104
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 ditambahkan aquades. MgO ditambahkan karena Mg diperlukan sebagai atom pusat sedangkan aquades dan resin fenolik merupakan ligan dalam kompleks resin. Larutan diaduk menggunakan stirrer hingga pH larutan basa yang diketahui dari pengujian pH menggunakan kertas lakmus biru. Kompleks resin yang terbentuk didamkan selama semalam agar kompleks resin terbentuk sempurna karena resin fenolik memiliki sifat kuat dari segi mekanik. Kompleks resin yang telah didamkan semalam di campurkan ke dalam larutan polikloropren kemudian ditambahkan pelarut n-heksan dan toluene dengan perbandingan 1:5, diaduk hingga homogen sehingga dihasilkan larutan polipaduan adhesif berwarna coklat tua. Tujuan penambahan toluene dan n-heksan selain sebagai pelarut juga sebagai pengendali viskositas. Secara umum reaksi yang terjadi pada pembuatan polipaduan antara polikloropren dengan resin fenolik adalah :
Larutan ini sudah mempunyai sifat adhesifitas yang selanjutnya disebut sebagai hasil A. Berikut ini adalah gambar polipaduan hasil A
Gambar 3.1 Polipaduan Adhesif (hasil A) Polipaduan adhesif ini selanjutnya diuji kuat geser dan dianalisis IR.Polipaduan adhesif ditambah MDI (Diphenyl Methane 4,4’ Diisocyanate) dengan variasi komposisi, Hasilnya dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut :
Gambar 3.2 Polipaduan + MDI (hasil B)
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 105
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 H2 C
C H
C
OH
H2 C
OH
+
MgO
CH 2
n
Cl
OH
OH
CH2
H2 C
CH 2
C H
H2 C
C Cl
n
Gambar 3.1 Reaksi polikloropren dengan resin fenolik. 3.1. Uji Kekuatan Regangan Setiap komposisi polipaduan dilakukan 5 kali pengukuran untuk kepresisiannya. Hasil uji kekuatan regangan sebagai berikut :
mengetahui
Grafik komposisi MMA vs kuat tarik
kuat tarik ( lbs )
250 200 150 100 50 0 0
20
40
60
80
100
komposisi M M A (phr)
. Gambar 3.2 Grafik kuat tarik tiap komposisi MMA
Setiap komposisi polipaduan dilakukan 5 kali pengukuran untuk mengetahui kepresisiannya. Hasil uji kekuatan geser dapat dilihat pada gambar berikut :
Kuat Geser (lbs)
500 400 300 200 100 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Kom posisi MDI
Gambar 3.3 Grafik kuat geser komposisi MDI Dari kedua gambar di atas terlihat perbedaan peran MMA dan MDI terhadap polikloropren-resin fenolik, penambahan MMA mengakibatkan kuat tarik berkurang, sementara penambahan MDI menambah kuat geser dan terdeteksi nilai optimal. Kemungkinan reaksi yang terjadi sbb :
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 106
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 OH CH 2
OH
H C
CH 2
C H
H
OH
H2 C
C Cl
OH
H C
CH2
CH 2
C H
C
n
H2 C
Cl n
H 3C H2C
Cl
O OH
OMe
OH
CH 4
OMe
CH 2
C H
C H
C
n
OMe
HO
HO
CH 2
CH 2
CH 3
CH3
OH
O
OMe
OM e
H3 C OH CH 2
OH CH 2
C H
C H
H2 C
H3 C CH 2 H2 C C Cl
OH CH 2
n
OH CH 2
C H
C H
CH 2 H2 C C Cl
n
Gambar 3.4 Reaksi grafting monomer akrilat pada polipaduan polikloropren-resin fenolik 3.2 Uji Spektrofotometer FTIR Uji Spektrofotometer FTIR dilakukan pada tiap komposisi polipaduan dan pada polipaduan tanpa grafting MMA. Hal ini dilakukan untuk mengetahui persentase grafting tiap komposisi. Adanya MMA pada tiap komposisi ditunjukkan dengan munculnya puncak pada daerah 16201680 cm-1 yaitu puncak gugus >C=C dan ikatan C-O pada daerah 1250 cm-1 sedangkan pada polipaduan tanpa grafting MMA tidak ditemukan serapan pada daerah tersebut.
Gambar 3.5 Spektogram polipaduan polikloropren-resin fenolik tanpa grafting MMA
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 107
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Gambar 3.6 Spektogram polipaduan dengan grafting MMA 60 phr
Gambar 3.7 Spektogram polipaduan polikloroprene-resin fenolik tanpa penambahan MDI
Gambar 3.8 Spektogram polipaduan dengan penambahan MDI
Gambar 3.9 Spektogram polipaduan + MDI 9 mL sesudah didegradasi termal 100 °C selama 1jam
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 108
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Gambar 3.10 Spektogram polipaduan setelah perendaman 48 jam Hasil uji spektrofotometer IR menunjukkan bahwa pada variasi waktu 48 jam mengandung gugus anhidrida yang diketahui dari ikatan C=O pada daerah 1870-1790 cm-1. Gugus anhidrida muncul sebagai hasil reaksi antara asam asetat dengan polipaduan, hasil samping reaksi ini adalah alkohol berupa metanol yang ditunjukkan oleh puncak pada daerah 3385,6 cm-1 . Hal di atas mengindikasikan bahwa belum terjadi pemutusan rantai polimer karena ikatan >C=C dari polikloropren masih muncul pada daerah 1601,7 cm-1 serta C-Cl di 729,7 cm-1 . Degradasi rantai polimer pada variasi waktu perendaman selama 56 jam dibuktikan oleh hasil uji spektrofotometer IR di bawah ini :
Gambar 3.11 Spektogram polipaduan setelah perendaman 56 jam Ikatan C=C dari polikloropren yang merupakan struktur tulang punggung kopolimer graft tidak ditemukan pada daerah ~1600 cm-1 sehingga diindikasikan bahwa polipaduan telah terdegradasi. Hal lain yang menunjukkan degradasi polipaduan yaitu ikatan C-Cl di 727,5 cm1 tidak begitu tajam bila dibandingkan dengan puncak C-Cl pada variasi 48 jam, disamping itu terdapat puncak yang tajam di daerah 3753,3 cm-1 yang menunjukkan gugus –OH dari alkohol sebagai hasil reaksi polipaduan dengan asam asetat.
3.3 Uji Degradasi Sifat Mekanik Komposisi polipaduan yang terbaik, yaitu yang memiliki nilai kuat tarik terbesar dilakukan uji ketahanan degradasi sifat mekanik pada kondisi asam dengan pH 2,9 dimana diasumsikan sebagai keasaman tanah. Perendaman dalam larutan asam dilakukan variasi waktu yaitu 16 jam, 24 jam, 32 jam, 40 jam, 48 jam, 56 jam dan 64 jam. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada kisaran variasi waktu 16 jam sampai 48 jam terjadi kenaikan nilai kuat tarik, nilai kuat tarik tertinggi pada variasi waktu 48 jam yaitu sebesar 82,7 lbs kemudian turun menjadi 21 lbs pada variasi waktu 56 jam.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 109
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
kurva variasi waktu vs kuat tarik kuattarik(lb s)
100 80 60 40 20 0 0
20
40 waktu ( jam )
60
80
Gambar 3.7 Grafik variasi waktu perendaman terhadap kuat tarik pada agent MMA Perekat dengan komposisi MMA 20 phr ini memiliki ketahanan yang baik dalam kondisi asam selama 48 jam dan mulai mengalami degradasi setelah 56 jam. Uji spektrofotometer IR dilakukan pada variasi waktu 48 jam dan 56 jam.
K u a tG e s e r(lb s )
Spesimen kayu dikeluarkan dari oven setelah 1 jam dan didinginkan sejenak. Kemudian diukur kuat geser dari tiap-tiap spesimen kayu dengan menggunakan alat tensil tester ”comten PSB 5000”. Setelah diuji kuat gesernya, lalu diuji spektrofotometr IR dan hasilnya disebut hasil C. Setiap komposisi polipaduan dilakukan lima kali pengukuran untuk mengetahui kepresisiannya. Hasil uji kekuatan geser dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut : 600 500 400 300 200 100 0 0
5
10
15
Komposisi MDI
Gambar 4.4 Grafik kuat geser tiap komposisi sesudah degrdasi termal 100 0C selama 1 jam
Persen Kuat Geser
Data hasil uji geser pada sampel baik sebelum maupun sesudah degradasi termal suhu 100 °C selama 1 jam, menunjukkan persen penurunan kuat geser seperti yang ditunjukkan berikut : 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00% 0
2
4
6
Kom pos is i M DI
Gambar 4.5 Grafik Persen Penurunan Kuat Geser
4. Kesimpulan Metil Metakrilat (MMA) sebagai grafter pada polipaduan adhesif polikloropren-resin fenolik memiliki komposisi terbaik sebesar 20 phr berdasarkan uji kuat regangan, dengan nilai kuat tarik 218,4 lbs. Hasil uji ketahanan degradasi polipaduan dengan komposisi terbaik
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 110
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 terhadap sifat mekanik pada kondisi asam menunjukkan bahwa pada kisaran variasi waktu 16 jam sampai 48 jam terjadi kenaikan nilai kuat tarik, nilai kuat tarik tertinggi pada variasi waktu 48 jam yaitu sebesar 82,7 lbs kemudian mulai terdegradasi saat nilai kuat tarik turun menjadi 21 lbs pada variasi waktu 56 jam.
Polipaduan adhesif yang dibuat dari larutan Polikloroprene yang dipadu dengan resin alkyl fenolik menghasilkan tensile strength 179,84 lbs. Penambahan agen pengikat silang (crosslink) Methane Diphenyl 4,4’ Diisocyanat (MDI) dengan variasi komposisi tertentu menaikkan tensile strength, yang pada komposisi terbaik, MDI 6 phr mempunyai nilai sampai diatas 369,84 lbs. Gugus-gugus yang terbentuk selama polimerisasi dan ikat silang diketahui dari analisis spektrofotometer IR. Degradasi termal suhu 100 °C dapat mendegradasi polipaduan adesif dan menaikkan tensile strength pada komposisi tersebut menjadi 402,94 lbs. Dapat disimpulkan bahwa suasana panas dan asam mempengaruhi sifat mekanik adesif dan menaikkan tensile strength sebesar 8,9 % dengan pengikat silang MDI, sedangkan metilmetakrilat turun sebesar 9,4 % 5. Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Yani kartika pertiwi mahasiswa jurusan kimia yang telah banyak membantu dalam penulisan naskah ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada:Sdr. Rizki Widiatmoko, Bpk Esma Wiyono dan Dita alfianto dari PT Weber,dan Bapak Bagus Chandra dari Casco adhesive atas bantuannya hingga penelitian ini terselesaikan,
6.
Daftar Pustaka Bennet,H., Bishop Jr., and Wulfinghoff, (1968), Practical Emulsion, Applications, Chemical Publishing Company Inc, New York Billmeyer, F.W., (1962), Text Book of Polymer Science, John Wiley and Sons, New York Fried, (1995), Polimer Science and Technology, John Willey and Sons, New York Othmer K., (1978), Encyclopedia of Chemical Technology , third edition, John Wiley and Sons, New York.
Hakwins, W.L., (1984), Polymer Degradation and Stabilization, SpringerVerlag, New York. Malcom P. Stevens, diterjemahkan oleh Iis Sofyan, (2001), Kimia Polimer, Edisi pertama, Pradnya Paramita, Jakarta Ramesh, S., et al, (2002), “Miscibility Studies of PVC Blends (PVC/PMMA and PVC/PEO) Based Electrolyte”, Solid State, Elsevier Science Ltd., London
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 111
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
PENGARUH WAKTU INTERAKSI DAN KECEPATAN PENGADUKAN DALAM REAKSI ESTERIFIKASI TERHADAP KADAR ASAM LEMAK BEBAS MINYAK BIJI KAPUK (Ceiba pentandra) Agung Purwanto dan Siti Tjahjani Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Surabaya, Jl.Ketintang, Surabaya, 60231
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh waktu interaksi dan kecepatan pengadukan dalam reaksi esterifikasi terhadap kadar asam lemak bebas minyak biji kapuk serta mengetahui waktu interaksi dan kecepatan pengadukan yang optimum untuk menurunkan kadar asam lemak bebas secara maksimal. Reaksi esterifikasi dilakukan dengan variasi waktu interaksi yakni 60, 90, dan 120 menit dan kecepatan pengadukan yakni 100, 200, dan 300 rpm. Kadar asam lemak bebas ditentukan dengan metode titrasi menggunakan KOH alkoholik 0,1N. Kadar asam lemak bebas minyak biji kapuk mentah ialah 13,2569%. Hasil yang diperoleh setelah esterifikasi ialah kadar asam lemak bebas minyak biji kapuk akan meningkat sejalan dengan meningkatnnya waktu interaksi dan berkurangnya kecepatan pengadukan. Kombinasi antara waktu interaksi 60 menit dan kecepatan pengadukan 300 rpm menghasilkan kadar asam lemak bebas paling kecil yakni 0,762%. Data tersebut didukung analisis statistik menggunakan anava dua arah yang menunjukkan ada pengaruh interaksi antara waktu interaksi dan kecepatan pengadukan dalam reaksi erterifikasi terhadap kadar asam lemak bebas minyak biji kapuk. Kata kunci: Asam lemak bebas, waktu interaksi, kecepatan pengadukan, minyak biji kapuk, esterifikasi 1. PENDAHULUAN Kapuk merupakan salah satu sumber minyak nabati yang sangat potensial sebagai bahan oleokimia khususnya biodiesel. Prosentase minyak yang terkandung dalam biji kapuk sebesar 20 % dari berat biji, sedangkan komposisi utama minyak biji kapuk ialah oleat 46,1–56,6% dan linoleat 22,7– 34,6% (Bailey, 1954). Minyak biji kapuk sangat potensial terutama untuk diolah menjadi metil ester atau biodiesel. Menurut Bailey, kandungan asam lemak bebas dalam minyak biji kapuk sebesar 7,5%. asam lemak bebas harus dihilangkan pada minyak karena mengganggu reaksi transesterifikasi yang menghasilkan biodiesel. Asam lemak bebas akan mendeaktivasi katalis dan sabun yang terbentuk lebih Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 112
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 dahulu akan menimbulkan emulsi dengan metanol dan minyak sehingga reaksi transesterifikasi tidak terjadi (Haryanto, 2002). Minyak dengan kadar asam lemak bebas melebihi 11,97% tidak dapat mengalami reaksi transesterifikasi (Susilo, 2006). Reaksi esterifikasi dapat digunakan untuk menurunkan kadar asam lemak bebas. Esterifikasi ialah reaksi asam lemak bebas dengan metanol menggunakan katalis asam sulfat membentuk metil oleat. Reaksi esterifikasi akan berjalan lambat karena besarnya struktur asam lemak pada minyak biji kapuk. Beberapa perlakuan dapat diberikan untuk mengatasi sifat reaksi esterifikasi yang berlangsung lambat dan reversibel. Perlakuan tersebut diantaranya ialah pengaturan suhu, mol rasio antara alkohol dan minyak, prosentase katalis, waktu interaksi, dan kecepatan pengadukan saat reaksi esterifikasi berlangsung. O OH HO
S
O
OH CH3
O
+
HO
CH3
Asam Oleat CH3 O
CH3
O
+ H2O
Metil Oleat
Gambar 1. Reaksi Esterifikasi Asam Lemak Bebas (Sebagai Asam Oleat) Waktu interaksi berhubungan dengan laju reaksi esterifikasi sebagai reaksi reversibel. Pada reaksi reversibel, laju reaksi ke arah produk sangat besar dan menurun dengan bertambahnya waktu sedangkan laju reaksi kembali atau reverse adalah nol dan meningkat dengan bertambahnya waktu (Bahl et al, 2002).
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 113
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Laju reaksi
Laju reaksi A + B menurun dengan bertambahnya waktu
Laju reaksi
Laju reaksi C + D meningkat dengan bertambahnya waktu
Waktu (t)
Waktu (t)
Gambar 2. Hubungan antara Laju Reaksi Reversibel dengan Waktu (http://www.chem-is-try.org) Kecepatan pengadukan berhubungan dengan laju reaksi esterifikasi sebagai reaksi yang lambat. Menurut Azis dkk (2006) laju reaksi esterifikasi yang dipelajari dalam reaktor berpengaduk berhubungan dengan derajat pengadukan. Pengadukan dapat memperbesar tumbukan molekul-molekul dalam cairan. Tumbukan yang terjadi antara zat pereaksi akan semakin banyak jika intensitas pengadukan semakin besar, sehingga kecepatan reaksi akan bertambah besar. Menurut Benitez (2004), kecepatan pengadukan juga berhubungan dengan laju dispersi antara dua fluida dalam reaktor berpengaduk. Hubungan tersebut dinyatakan dalam: kD = C1Φ0,5N2,2exp(-C2/N2) 2. METODE Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini ialah minyak biji kapuk, metanol 98%, asam sulfat pekat, dietil eter, etanol 96%, asam fosfat 0,6%, KOH alkoholik 0,1N, aquades, dan indikator fenolftalein. Alat-alat yang gunakan alat press hidrolik (Spesifikasi 30-32T), erlenmeyer 250mL, labu leher tiga 1000mL, pendingin refluks, seperangkat alat destilasi, corong pisah 500mL, buret mikro 10mL, termometer 1100C, magnetic Stirer, water bath, hot plate, pipet tetes, dan neraca analitik. Proses dimulai dengan mengepres biji kapuk sehingga dihasilkan minyak biji kapuk mentah. Minyak biji kapuk mentah dipanaskan pada suhu 700C dan di degumming menggunakan asam fosfat 0,6% dan aquades panas sebanyak 10% dari volume minyak. Proses degumming dilakukan selama 30 menit. Minyak hasil Degumming kemudian dimasukkan dalam corong pisah dan dibiarkan hingga terjadi pemisahan antara minyak dan pengotor. Minyak yang telah dipisahkan dari pengotornya dicuci dengan aquades untuk menghilangkan sisa asam fosfat.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 114
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Minyak hasil degumming diesterifikasi dalam labu leher tiga yang dilengkapi
reflux
dan
termometer.
Esterifikasi
dilakukan
dengan
menambahkan methanol (perbandingan metanol ke minyak ialah 0,28) dan 1,43% v/v asam sulfat pekat dalam minyak biji kapuk. Asam sulfat dan metanol lebih dulu dicampurkan dan kemudian ditambahkan secara perlahan ke dalam minyak. Mengaduk campuran dengan lama dan kecepatan pengadukan yang ditentukan dan dilakukan pada suhu 60 - 700C. Proses esterifikasi dilakukan dengan variasi waktu interaksi yakni 60, 90, dan 120 menit dan kecepatan pengadukan 100, 200, dan 300 rpm. Campuran minyak setelah reaksi esterifikasi selesai diletakkan ke corong pisah. Campuran metanol, air dan asam sulfat akan berada di bawah sedangkan campuran minyak dan metil ester akan berada di atas. Minyak biji kapuk baik sebelum maupun sesudah esterifikasi ditentukan kadar asam lemak bebasnya menggunakan metode titrasi (AOCS CA 30-63 atau ASTM D-664, FBI-A01-03 dalam Prihandana dkk, 2006). Timbang 20 + 0,05 gram sampel minyak nabati ke dalam sebuah erlenmeyer 250 ml. Tambahkan 100 ml campuran pelarut yang telah dinetralkan ke dalam erlenmeyer tersebut. Dalam keadaan teraduk kuat, titrasi larutan isi labu erlenmeyer dengan larutan KOH dalam alkohol. Lakukan titrasi sampai larutan kembali berwarna merah jambu dengan intensitas yang sama seperti pada campuran pelarut yang telah dinetralkan. Warna merah jambu ini harus bertahan minimum 15 detik, kemudian dicatat volume titran yang dibutuhkan (ml). Persentase asam lemak bebas: FFA (%) =
N KOH x mL KOH x 282 g/mol x 100% 1000 x massa sampel (g)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen Minyak Biji Kapuk Rendemen minyak biji kapuk yang diperoleh ialah 13,7268%. Minyak biji kapuk diperoleh melalui pengepresan hidrolik. Biji kapuk terlebih dulu mengalami proses pemanasan untuk mendenaturasi protein yang mengelilingi inti biji sehingga minyak lebih mudah dikeluarkan. Rendemen yang diperoleh berada dibawah nilai teoritis yang menyebutkan
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 115
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 bahwa rendemen minyak biji kapuk sebesar 20%. Nilai rendemen yang kecil disebabkan oleh teknik pengepresan hidrolik yang hanya dilakukan satu tahap. Akibatnya, biji kapuk akan menyerap kembali minyak yang telah keluar melewati dinding sel
saat tekanan kembali ke tekanan
atmosfer. B. Kadar Asam Lemak Bebas 1) Kadar asam lemak bebas minyak biji kapuk sebelum esterifikasi meliputi minyak mentah dan setelah proses degumming. Tabel 1. Rerata Kadar Asam Lemak Bebas (%) Minyak Biji Kapuk Mentah
No
Massa Sampel (gr)
mL KOH Alkoholik 0,1 N
(%) Asam Lemak Bebas
Rata-rata (%) Asam Lemak Bebas
1 2 3 4 5 6 7 8
0,5177 0,5361 0,5642 0,5115 0,5498 0,5731 0,5616 0,5304
2,3 2,4 2,5 2,4 2,4 2,5 2,5 2,3
13,2446 13,3461 13,2098 13,9879 13,0136 13,0047 13,2709 12,9775
13,2569
Asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak biji kapuk mentah ialah 13,2569%. Hasil yang diperoleh berbeda dengan teoritis yang menyebutkan bahwa asam lemak bebas minyak kapuk sebesar 7,5%. Perbedaan kadar asam lemak bebas disebabkan oleh minyak biji kapuk telah
mengalami hidrolisis yakni pada saat pemanasan biji
kapuk sebelum di press dan selama penyimpanan. Tabel 2. Rerata Kadar Asam Lemak Bebas Minyak Biji Kapuk setelah Degumming Degumming 1 Degumming 2 Degumming 3 1 11,7778 11,8084 11,8049 2 11,5121 11,6431 11,8049 3 11,4355 11,8318 11,7538 11,5751 11,7611 11,7879 Rata – rata kadar asam lemak bebas: 11,7080 % Minyak biji kapuk mentah yang telah disaring dari kotoran kemudian dilakukan tahapan degumming. Tahapan degumming dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan bahan pengotor minyak
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 116
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 yakni fosfolipid. Adapun kadar asam lemak bebas minyak biji kapuk yang semula 13,2569% turun menjadi 11,7080% setelah melalui tahapan degumming.
Penurunan ini disebabkan oleh tahapan
degumming yang menggunakan air sebagai bahan pencuci minyak akan melarutkan sedikit asam lemak bebas. Walaupun Asam lemak bebas umumnya mampu membentuk ikatan hidrogen dengan air namun struktur rantai yang panjang menyebabkan berkurangnya daya larut. 2) Kadar asam lemak bebas minyak biji kapuk setelah esterifikasi. Tabel 3. Kadar Asam Lemak Bebas (%) Minyak Biji Kapuk setelah Esterifikasi pada Variasi Waktu Interaksi dan Kecepatan Pengadukan V t
I
100 rpm II
III
I
200 rpm II
III
I
300 rpm II
III
60 0,9275 0,9621 0,9519 0,8290 0,8460 0,8622 0,7469 0,7668 0,7732 menit 90 1,0694 1,0453 1,0527 0,9414 0,9273 0,9334 0,8133 0,8475 0,8324 menit 120 1,1409 1,1566 1,1357 1,0538 1,0410 1,0607 0,9337 0,9192 0,9190 menit Catatan: I, II, III ialah replikasi atau pengulangan Minyak biji kapuk yang telah didegumming masih mengandung asam lemak bebas dengan kadar yang tinggi yakni 11,7080%. Kadar asam lemak bebas tersebut diturunkan dengan menggunakan reaksi esterifikasi. Dalam reaksi esterifikasi, oksigen karbonil asam lemak bebas akan mengalami protonasi oleh asam sulfat menghasilkan suatu karbokation. Metanol yang berperan sebagai nukleofilik akan menyerang
karbokation
tersebut
menghasilkan
suatu
senyawa
intermediet yang kemudian mengalami hidrolisis menghasilkan metil oleat. Reaksi esterifikasi dilakukan dengan variasi waktu interaksi dan kecepatan pengadukan. Waktu interaksi dilakukan pada 60, 90, dan 120 menit sedangkan kecepatan pengadukan dilakukan pada 100, 200, dan 300 rpm. Berdasarkan Tabel 4.4, dapat diketahui bahwa kadar asam lemak bebas meningkat seiring dengan bertambahnya waktu
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 117
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 interaksi dan menurun seiring dengan meningkatnya kecepatan pengadukan. Semakin lama waktu interaksi akan meningkatkan kadar asam lemak bebas, hal ini berhubungan dengan reaksi esterifikasi yang berjalan reversibel. Pada reaksi reversibel, laju reaksi pembentukan ester oleh asam lemak bebas akan berkurang, sebaliknya laju reaksi pembentukan asam lemak bebas oleh ester semakin meningkat dengan bertambahnya waktu interaksi. Hal ini disebabkan, salah satu produk reaksi esterifikasi yakni air atau metil ester tidak memungkinkan dihilangkan dari sistem sehingga akan mendorong reaksi ke arah sebaliknya. Semakin besar kecepatan pengadukan akan menurunkan kadar asam lemak bebas. Selama proses pengadukan, metanol akan terdispersi ke dalam minyak dan bereaksi dengan asam lemak bebas. Selain itu, bertambahnya kecepatan pengadukan akan meningkatkan intensitas tumbukan antara molekul metanol dan asam lemak bebas. Tumbukan yang terjadi akan menghasilkan reaksi esterifikasi dan menurunkan kadar asam lemak bebas
1.20
Kadar Asam Lemak Bebas (%)
1.10
100 rpm 200 rpm 300 rpm
1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 60
90
120
Wak tu Inte r ak s i (m e nit)
Gambar 3. Kurva Kadar Asam Lemak Bebas Minyak Biji Kapuk pada Variasi Waktu Interaksi dan Kecepatan Pengadukan Pada Gambar 3, menunjukkan kurva yang menjelaskan bahwa kadar asam lemak bebas minyak biji kapuk terendah diperoleh pada kombinasi waktu interaksi 60 menit dan kecepatan pengadukan 300
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 118
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 rpm. Pada kombinasi tersebut, kadar asam lemak bebas pada minyak biji kapuk ialah 0,762%. C. Pengaruh Waktu Interaksi dan Kecepatan Pengadukan terhadap Kadar Asam Lemak Bebas Minyak Biji Kapuk Tabel 4. Rerata Kadar Asam Lemak Bebas (%) dalam Minyak Biji Kapuk setelah Esterifikasi pada Variasi Waktu Interaksi dan Kecepatan Pengadukan Waktu Reaksi (Menit) 60 90 120
Kecepatan Pengadukan (rpm) F,p 100 200 300 0,947a 0,846b 0,762c F: 459,388 d e 1,056 0,934 0,831f p: 0,000 1,144g 0,924h 0,924i F: 570,557 F: 3,447 F,p p: 0,000 p: 0,029 Ket: huruf yang berbeda menunjukkan berbeda secara signifikan (p<0,05)
Dari Tabel 4, menunjukkan bahwa ada pengaruh interaksi yang signifikan antara waktu interaksi dan kecepatan pengadukan reaksi esterifikasi terhadap kadar asam lemak bebas minyak biji kapuk. Pada Uji Post Hoc yang dilanjutkan dengan uji Least Significan Difference (LSD) dijelaskan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada tiap variasi perlakuan.Tabel 4, menunjukkan bahwa tiap variasi waktu interaksi dan kecepatan pengadukan dalam reaksi esterifikasi menyebabkan penurunan kadar asam lemak bebas yang berbeda secara signifikan. Berdasarkan uji LSD, setiap variasi waktu interaksi tanpa memperhatikan variasi kecepatan pengadukan terdapat perbedaan yang signifikan, pada variasi waktu interaksi 60 menit kadar asam lemak bebas mengalami penurunan yang maksimal. Pada variasi kecepatan pengadukan tanpa memperhatikan variasi waktu interaksi juga terdapat perbedaan yang signifikan, pada variasi kecepatan 100 rpm kadar asam lemak bebas mengalami penurunan yang maksimal.
4. SIMPULAN Simpulan dari penelitian ini ialah ada pengaruh waktu interaksi dan kecepatan pengadukan terhadap kadar asam lemak bebas dalam reaksi esterifikasi minyak biji kapuk. Waktu interaksi dan kecepatan pengadukan
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 119
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 yang optimum dalam reaksi esterifikasi untuk menurunan kadar asam lemak bebas minyak biji kapuk ialah 60 menit dan 300 rpm.
5. DAFTAR PUSTAKA Bailey, Alton E. 1954. Industrial oil and fat products, 3th edition. New York: Interscience Publisher. Bahl, Arun., B.S. Bahl., G.D. Tuli. 2002. Essentials of Physical Chemistry. New Delhi: S.Chand & Company LTD. Benitez, Fabio Alape. 2004. Effect of the Use of Ultrasonic Waves on biodiesel Production in Alkaline Transesterification of Bleached Tallow and Vegetable Oil: Cavitation Model. Doctor of Philosophy in Chemical Engineering. (http://www.UniversityofPuortoRico.com, diakses 1 Januari 2006). Buckle, K.A., Edward, Fleet., Woohton, M. 1982. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari P, Adiono. Jakarta: UI-Press. Fessenden, R.J. Fessenden. 1981. Organic Chemistry. Massachusetts: Willard Grant Press. Gerpen, J.V., Shank, B., Pruszko, R., Clements, D., Knothe, G. 2004. Biodiesel Production Technology. (http://NREL/SR-510-36244, diakses 15 September 2007). Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI-Press. Morrison, R.T and R.N Boyd. 1992. Organic Chemistry. Sixth Edition. New York: Prantice Hall International Inc. Prihandana, Rama., Roy Hendroko., Makmuri Nuramin. 2006. Menghasilkan Biodiesel Murah. Jakarta : AgroMedia Pustaka. Reynold, T.D. 1982. Unit Operations And Processes in Enviromental Engineering. California: Brooks/Cole Engineering Division.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 120
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 PENGARUH KONSENTRASI SODIUM TRIPOLYPHOSPHATE FOOD GRADE DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP MUTU IKAN NILA FASE PASCA MORTEM PADA BERBAGAI WAKTU SIMPAN Siti Tjahjani, Leny Yuanita, Sri Poedji A., Prima Retno W., Aida Emilia I. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya ABSTRAK Telah dilakukan penelitian yang meliputi 2 tahap dengan tujuan 1) untuk mengetahui variasi konsentrasi Sodium Tripolyphosphate Food Grade (STPP-FG) dan lama perendaman terpilih pada batas yang tepat dan aman (0,5%) untuk mempertahankan mutu ikan nila, serta pengaruh variasi terhadap mutu organoleptik, 2) Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi STPP-FG dan lama perendaman terhadap mutu kimia ikan nila (kadar air, protein, Total volatile Nitrogen/TVN, Tri Methyl Amine/TMA dan daya cerna protein) pada berbagai waktu simpan. Rancangan penelitian Tahap 1 adalah Post Test Only Control Group Design dan dianalisis Kruskall Wallis-Mann Whitney, Tahap 2 adalah Factorial Design dan dianalisis Anova 2 Arah-Least Significan Difference (LSD). Hasil penelitian tahap 1 adalah variasi konsentrasi STPP-FG dan lama perendaman terpilih pada batas yang tepat dan aman adalah 60-1, 60-2, 60-3, 90-1, dan 90-2 {(g/l)-jam}. Terdapat pengaruh variasi konsentrasi STPP-FG dan lama perendaman terhadap mutu organoleptik (warna mata dan tekstur daging (+ sisik)) tetapi tidak berpengaruh pada aroma dan keadaan mata, warna dan bau insang, warna dan kulit ikan nila fase pasca mortem. Tahap 2) Ada pengaruh variasi konsentrasi STPP-FG dan lama perendaman {60-1, 60-2, dan 90-1 (g/l)-jam} terhadap mutu kimia ikan nila fase pasca mortem pada berbagai waktu simpan (0, 2, 4, dan 6 jam). Bertambahnya waktu simpan terjadi penurunan kadar protein dan peningkatan kadar TVN dan TMA. Variasi 90-1 {(g/l)-jam} memiliki daya cerna protein tertinggi pada waktu simpan 0 jam, sedangkan variasi 60-2 {(g/l)-jam} pada waktu simpan 2, 4, dan 6 jam. Kata kunci: Sodium Tripolyphosphate Food Grade, Ikan Nila, Fase pasca mortem PENDAHULUAN Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung berbagai macam zat nutrisi (protein, lemak, vitamin, dan mineral) yang sangat baik dan prospektif. Keunggulan utama protein ikan dibandingkan dengan produk perikanan lainnya adalah kelengkapan komposisi asam amino dan kemudahannya dicerna. Ikan nila merupakan ikan tawar yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat pada setiap rantai agribisnis, kebutuhan protein hewani, dan mendatangkan devisa negara (Cahyono, 2000). Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan dari tambak ke pasar adalah selama ±1-4 jam. Dalam rentang waktu tersebut, penanganan ikan perlu dilakukan agar bisa sampai ke tangan konsumen atau pabrik pengolahan dalam keadaan segar atau mendekati segar. Mempertahankan mutu ikan segar sangat dibutuhkan untuk memenuhi gizi. Oleh karena itu, sering digunakan bahan tambahan makanan untuk meningkatkan waktu simpannya. Selama penyimpanan, ikan mengalami penurunan mutu, baik dari segi kenampakan, tekstur, atau baunya. Menurut Winarno (1993), mutu ikan sebagian
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 121
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 besar ditentukan berdasarkan penampilan, kesegaran, tidak adanya cacat, dan penyimpangan. Tubuh ikan merupakan media yang cocok untuk kehidupan mikroorganisme sehingga sangat cepat membusuk (highly perishable) karena susunan struktur dagingnya sangat halus dan kandungan air cukup tinggi. Ikan disimpan dalam keadaan dingin memiliki daya simpan yang terbatas, dalam arti dagingnya masih tetap segar dan baik. Kondisi ini sangat merugikan karena banyak ikan yang tidak dapat dimanfaatkan terutama saat produksi melimpah. Berbagai bahan tambahan makanan yang berbahaya dan telah dilarang penggunaannya tetap dipakai sebagai pengawet dan untuk meningkatkan tekstur bahan makanan, antara lain melalui perendaman pada fase pasca mortem dengan lama perendaman (LP) tertentu. Alkali fosfat merupakan salah satu bahan tambahan makanan yang diperkenankan penggunaannya; mempertahankan kelembaban dan integritas urat daging; meningkatkan keempukan, daya ikat partikel daging, dan gelatinisasi protein; menstabilkan flavor, aroma, dan warna; serta menghambat pertumbuhan bakteri yang dapat mengakibatkan kerusakan mikrobiologis pada daging (Yuanita, 2006). Salah satu senyawa alkali fosfat adalah Sodium Tripolyphosphate (STPP), dan yang diperuntukkan pada bahan makanan disebut STPP Food Grade. Berdasarkan sifat alkali fosfat, maka STPP FG dapat digunakan sebagai pengawet dan peningkat tekstur ikan pada fase pasca mortem. Menurut Food and Drugs Administration batas maksimum Sodium Tripolyphosphate (STPP) yang ditambahkan pada produk daging dan unggas adalah 0,5% (Yuanita, 2006). Untuk ikan, Departemen Kesehatan RI membatasi 5 g P2O5/kg daging basah (PerMenKes, 1988). Pada penambahan bahan aditif makanan harus diperhatikan berbagai persyaratan. Sebagai tindak lanjut pemanfaatan STPP FG pada batas yang tepat dan aman, maka dibutuhkan informasi tentang acuan kadar penggunaannya pada ikan selama masa simpan. Menurut Sibuea (2008), angka kecukupan protein dipengaruhi oleh mutu protein makanan yang dinyatakan dalam skor asam amino dan daya cerna protein. Suatu protein yang mudah dicerna menunjukkan bahwa jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi (Muchtadi, 1992). Kerusakan pada ikan ditandai dengan terbentuknya Trimethylamine dan Total Volatile Nitrogen yang merupakan senyawa volatil dan dapat digunakan sebagai indikator kebusukan ikan (Siagian, 2002). Dari uraian diatas, maka tujuan penelitian adalah: (1) Mengetahui variasi konsentrasi STPP FG dan lama perendaman (STPP FG-LP) terpilih pada batas yang tepat dan aman sesuai dengan PerMenKes 1988 dan mengetahui pengaruh variasi konsentrasi STPP FG-LP terhadap mutu organoleptik ikan nila fase pasca mortem; (2) Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi STPP FG-LP terhadap mutu kimia ikan nila fase pasca mortem pada berbagai waktu simpan. METODE 1. Alat dan Bahan Alat: Neraca analitik, spektrofotometer CECIL CE 1011, cawan porselin, pisau, tanur, kertas saring Whatman No.1, oven, eksikator, seperangkat alat destilasi, buret, statif & klem, pemanas, labu kjeldhal, mortal & alu, pH meter, penangas air, pengaduk magnetik, termometer, dan sentrifuge. Bahan: Ikan nila, amonium molibdat, aquades, amonium metavanadat, KH2PO4, H2SO4 pekat, H2SO4 0,1 M, NaOH 40%, indikator merah jingga, tablet kjeldahl, enzim tripsin dalam air destilat pH 8, TCA 5%, NaOH 2 M, NaOH 0,01 M, HCl 0,01 M, indikator merah fenol, dan formaldehid 16%.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 122
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 2. Rancangan Penelitian a. Tahap 1 adalah Post Test Only Control Group Design dan dianalisis Kruskall Wallis-Mann Whitney Uji kadar P2O5 terhadap ikan nila melalui pereaksi Vanadat-Molibdat (Muchtadi, 1989). Uji organoleptik dilakukan melalui Product Oriented Test (Elias, 1989) oleh staf pengajar Jurusan Tata Boga, Kimia, dan mahasiswa UNESA yang terdiri dari 17 orang. b. Tahap 2 adalah Factorial Design dan dianalisis Anova 2 Arah-Least Significan Difference (LSD). Analisis kadar air melalui metode pemanasan, kadar protein melalui metode Kjeldhal (Sudarmadji, dkk. 1989), daya cerna protein secara in-vitro (Muchtadi, 1989), sedangkan kadar TVN dan TMA melalui metode titrasi (Apriyantono, 1989 dalam Yuniar, 2005). HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penelitian Tahap I Berdasarkan pengamatan uji pra penelitian terhadap aroma, warna dan keadaan mata, kondisi insang, warna dan keadaan kulit, dan tekstur ikan pada berbagai konsentrasi dan lama perendaman, maka terpilih konsentrasi 60 dan 90 g/l STPP FG dengan lama perendaman antara 1 sampai 4 jam. Untuk mengetahui variasi konsentrasi STPP FG-LP terpilih pada batas yang tepat dan aman sesuai PerMenKeS 1988 yaitu kadar P2O5 sebesar 5 mg/g daging maka dilakukan uji kadar P2O5. Melalui pembacaan pada absorbansi λ: 380 nm, rerata kadar P2O5 dalam daging ikan nila pada berbagai perlakuan dengan kadar <5 mg/g terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Rerata Kadar P2O5 dalam Daging Ikan Nila pada Variasi Konsentrasi STPP FG (g/l) dan Lama Perendaman (jam) Asimp. Konsentrasi STPP FG-LP Kadar P2O5 No Rerata Sig {(g/l)-jam} (mg/g) (p) a 1 60-1 3,8520 6,33 2 60-2 4,0673 11,33a 3 60-3 4,1444 13,33a 4 60-4 4,1705 13,33a 0,041 5 90-1 4,2875 16,33a 6 90-2 4,3480 17,67a 7 90-3 4,4425 19,67a 8 0-2 2,1574 2,00a Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom dan baris menunjukkan perbedaan secara signifikan (p<0,05) Berdasarkan analisis Kruskal Wallis dan uji lanjut Mann-Whitney didapat bahwa ada pengaruh konsentrasi STPP FG-LP terhadap kadar P2O5 dan tidak terdapat perbedaan antar perlakuan. Dari data kadar P2O5 pada Tabel 1., maka dipilih 5 macam konsentrasi STPP FG-LP untuk uji organoleptik, yaitu 60-1, 60-2, 60-3, 90-1, dan 902 {(g/l)-jam}. Hasil analisis Kruskal Wallis terhadap rerata nilai organoleptik dari berbagai macam kriteria, terdapat pada Tabel 2.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 123
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Tabel 2. Rerata Nilai Organoleptik Ikan Nila pada Variasi Konsentrasi STPP FG dan Lama Perendaman Konsentrasi STPP FG-LP {(g/l)-jam} Asimp. Kriteria Sig 0-2 60-1 60-2 60-3 90-1 90-2 (p) Aroma Ikan Warna Mata Ikan Keadaan Mata Ikan Warna Insang Ikan Bau Insang Ikan Warna Kulit Ikan Kulit Ikan Tekstur Daging Ikan (+sisik)
45,68
46,38
54,68
46,38
65,15
49,35abf
58,91abef
58,76abef
32,74df
65,06bef
51,09
62,88
51,09
40,62
53,29
58,15
47,88
45,38
56,68
37,88
50,74 44,18abde
0,239
f
0,007
60,38
42,94
0,102
39,00
57,53
53,15
0,335
51,03
46,29
55,76
53,85
0,708
58,00
55,03
55,59
48,00
54,50
0,282
61,00
48,53
52,82
44,65
55,62
46,38
0,525
37,65gh
50,12ghi
59,68hi
45,12ghi
62,59hi
53,85hi
0,017
Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom dan baris menunjukkan perbedaan secara signifikan (p<0,05) Dari analisis didapat ada pengaruh konsentrasi STPP FG-LP terhadap warna mata dan tekstur daging ikan (+sisik) tetapi konsentrasi STPP FG-LP tidak berpengaruh pada aroma dan keadaan mata, warna dan bau insang, warna dan kulit ikan. Dari uji lanjut Mann-Whitney dapat dikemukakan bahwa warna mata dan tekstur daging ikan (+sisik), terdapat perbedaan antar perlakuan 0-2 dan 90-1 {(g/l)jam}. Adanya pengaruh konsentrasi STPP FG-LP terhadap warna mata disebabkan STPP FG berperan menghambat pertumbuhan bakteri/mencegah kerusakan mikrobiologis daging karena mampu mengikat kation logam esensial bagi pertumbuhan bakteri serta menurunkan Aw (water activity) daging. Penambahan STPP FG meningkatkan tekstur disebabkan kenaikan derajat keasaman daging, kekuatan ion, dan dissosiasi kompleks aktinmiosin. Pada fase pasca mortem pre-rigor, konsentrasi ATP pada daging tinggi dan energi masih rendah, sehingga aktomiosin tidak terbentuk (Muchtadi, 1989). Pada tahap rigor mortis, aktomiosin berdissosiasi oleh penambahan STPP FG yaitu akibat interaksi dengan STPP FG dan senyawa pirofosfat hasil hidrolisis STPP FG (Knipe, 2004). Miosin mudah larut dalam garam dibanding aktomiosin, berperan pembentukan emulsi yang berdampak pada pengenyalan daging. Setelah ikatan silang antara aktin dan miosin putus oleh anion fosfat, ikatan polipeptida terpisah memberikan penolakkan intermolekul yang menyebabkan peningkatan daya ikat air dan terjadi swelling (pengembangan) berakibat pada perubahan tekstur daging. Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 124
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Hasil analisis Kruskal Wallis terhadap rerata total skor panelis, terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Rerata Total Skor Panelis Ikan Nila pada Variasi Konsentrasi STPP FG dan Lama Perendaman Konsentrasi STPP FG-LP Rerata Asimp. Sig {(g/l)-jam} Skor Panelis (p) abdf 0-2 46,21 60-1 58,26abef 60-2 56,21abdf 0,030 60-3 34,68adf 90-1 66,68bef 90-2 46,97adef Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom dan baris menunjukkan perbedaan secara signifikan (p<0,05) Pada Tabel 3. diperoleh kesimpulan bahwa 3 perlakuan terbaik digunakan untuk penelitian tahap II berdasarkan uji organoleptik adalah 60-1, 60-2, dan 90-1 {(g/l)-jam} dengan kontrol {0-2 (g/l)-jam} sebagai pembanding. 2. Penelitian Tahap II Berdasarkan analisis anova 2 arah dan uji lanjut LSD terhadap rerata kadar air terdapat pada Tabel 4. menunjukkan bahwa ada pengaruh variasi konsentrasi STPP FG-LP terhadap kadar air ikan nila pasca mortem dan antar perlakuan ada perbedaan yang signifikan dengan ditunjukkan notasi huruf yang berbeda. Tabel 4. Rerata Kadar Air (%) Ikan Nila pada Variasi Konsentrasi STPP FG, Lama Perendaman, dan Waktu Simpan Konsentrasi Waktu Simpan (jam) F, p STPP FG-LP 0 2 4 6 {(g/l)-jam} 0-2 77,4957a 78,6123b 79,9508c 80,0017d 60-1 76,1746e 74,9991f 72,7577g 71,0678h F: 197,32 60-2 75,5151i 73,0707j 72,0859k 71,1168l p: 0,000 90-1 73,1117m 72,0003n 71,1509o 70,0077p F: 21,239 F: 11,434 F, p p: 0,000 p: 0,000 Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom dan baris menunjukkan perbedaan secara signifikan (p<0,05) Pada Tabel 4. diketahui bahwa selama waktu simpan keempat perlakuan mengalami perubahan kadar air. Pada konsentrasi STPP FG-LP 0-2 {(g/l)-jam} mengalami peningkatan kadar air seiring dengan bertambahnya waktu simpan, sedangkan pada konsentrasi STPP FG-LP 60-1, 60-2, dan 90-1 {(g/l)-jam} mengalami penurunan kadar air. Hal ini disebabkan oleh peningkatan pH daging ikan dengan penambahan STPP FG. Pada pH > pH isoelektrik protein daging sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakkan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Suasana basa meningkatkan muatan negatif netto protein yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepolaran protein. Hal ini mengakibatkan daya ikat air meningkat dan Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 125
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 mengurangi terjadinya proses thawing drip sehingga kadar air bebas dalam bahan pangan menurun karena tidak termobilisasi keluar. Perubahan kadar protein merupakan salah satu indikasi perubahan mutu protein. Berdasarkan analisis anova 2 arah dan uji lanjut LSD terhadap rerata kadar protein seperti yang terdapat pada Tabel 5. menunjukkan bahwa ada pengaruh variasi konsentrasi STPP FG-LP terhadap kadar protein ikan nila pasca mortem dan ada perbedaan yang signifikan antar perlakuan. Tabel 5. Rerata Kadar Protein (%) Ikan Nila pada Variasi Lama Perendaman, dan Waktu Simpan Konsentrasi Waktu Simpan (jam) STPP FG-LP 0 2 4 6 {(g/l)-jam} 0-2 19,7939a 17,6452b 15,2993c 13,0310d 60-1 21,6480e 20,3460f 19,2669g 18,0072h 60-2 22,8390i 21,8993j 20,0552k 19,1806l 90-1 23,9494q 22,8831n 21,2240o 19,5292p F: 93,239 F, p p: 0,000
Konsentrasi STPP FG,
F, p
F:130,834 p: 0,000 F: 2,390 P: 0,034
Tabel 5. menunjukkan bahwa konsentrasi STPP FG-LP 0-2 {(g/l)-jam} mempunyai kadar protein lebih rendah dari pada yang lain. Pada waktu simpan terjadi degradasi protein oleh mikroorganisme sehingga terjadi penurunan kadar protein seiring dengan bertambahnya waktu simpan. Konsentrasi STPP FG-LP 0-2 {(g/l)jam} tidak mampu mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang dapat mendegradasi protein. Penambahan STPP FG dapat meningkatkan kepolaran protein sehingga meningkatkan daya ikat air (Soeparno, 2005). Meningkatnya daya ikat air akan mengurangi thawing drip yaitu proses keluarnya cairan bersama-sama zat nutrien seperti garam, polipeptida, asam amino, asam laktat, purin dan lain-lain yang larut dalam air dari suatu bahan pangan, sehingga mengakibatkan kandungan nitrogen pada polipeptida, asam amino, dan asam laktat tersebut tidak akan hilang. Peningkatan konsentrasi STPP FG-LP akan meningkatkan keefektifan peran STPP FG dalam mempertahankan kadar protein, meningkatkan kadar TVN (Total Volatile Nitrogen) dan TMA (Tri-Methylamine). Pengujian daya cerna protein in-vitro dilakukan menggunakan enzim protease tripsin dan diinkubasi pada 37°C (Muchtadi, 1989). Pada hidrolisis protein oleh enzim ini akan dilepaskan ion H+, semakin cepat ion H+ dilepaskan berarti semakin cepat terjadinya hidrolisis protein atau protein mudah dicerna. Daya cerna protein ikan nila pada variasi konsentrasi STPP FG-LP dan waktu simpan 0, 2, 4, dan 6 jam secara berturut-turut ditunjukkan pada Gambar 1.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 126
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
grafik pH vs waktu pada penyimpanan 2 jam
grafik pH vs waktu pada penyimpanan 0 jam 8.2 8 7.8
kontrol 60/1 jam 60/2 jam 90/1 jam
8 7.5 7 1
3
5
7
9
11 13
15
17
kontrol 60/1 jam 60/2 jam 90/1 jam
7.6
pH
8.5
7.4 7.2 7 6.8 6.6
19 21
1
3
5
7
wa kt u ( me ni t )
9
11
13 15
17
19
21
23
waktu (menit)
grafik pH vs waktu pada penyimpanan 6 jam
grafi k pH vs waktu pada penyimpanan 4 jam 8
8
kontrol 60/1 jam 60/2 jam 90/1 jam
kontrol 60/1 jam 60/2 jam 90/1 jam
8
pH
pH
8
8.2 8.0 7.8 7.6 7.4 7.2 7.0 6.8 6.6 6.4 6.2 6.0
7
7
7
7
1
3
5
7
9
11 13
15 17
19 21
23
waktu (me nit)
7
1
3
5
7
9
11
13 15
17 19
21
Waktu (menit)
Gambar 1. Hubungan Antara pH Larutan Sampel Protein Dengan Waktu Selama Hidrolisis Oleh Enzim Tripsin. Berdasarkan Gambar 1. secara kualitatif dapat dilihat bahwa daya cerna protein konsentrasi STPP FG-LP 60-2 {(g/l)-jam} waktu simpan 2, 4, dan 6 jam lebih tinggi dari pada yang lain, karena konsentrasi STPP FG-LP 60-2 {(g/l)-jam} melepaskan ion-ion hidrogen lebih cepat yang ditunjukkan dengan penurunan pH yang lebih cepat. Hal ini disebabkan sifat STPP FG yang dapat menyebabkan pembengkakan jaringan pada daging ikan (Swelling effect) dan pembentukan struktur tiga dimensi yang teratur sehingga protein otot tidak menggumpal pada pemanasan serta mampu mengikat air bebas (Gillet, 1985 dalam Yuanita, 1997). Kelarutan protein akibat penambahan STPP FG dimungkinkan mempengaruhi nilai daya cerna protein tersebut karena lebih mudah dihidrolisis dan dicerna secara fisiologis, yang terlihat pada penggunaan enzim tripsin. Konsentrasi STPP FG-LP 90-1 {(g/l)-jam} memiliki daya cerna protein yang tinggi pada waktu simpan 0 jam. Pada awal waktu simpan atau waktu 0 jam, tingginya konsentrasi STPP FG lebih efektif karena belum terhidrolisis. Pengukuran TVN pada ikan nila fase pasca mortem digunakan sebagai petunjuk adanya kebusukan bahan makanan yang mengandung protein. Uji TMA juga dapat digunakan sebagai indikator dari penurunan mutu protein karena proses pemecahan lebih lanjut dari senyawa protein akan menghasilkan senyawa amina. Berdasarkan analisis anova 2 arah dan uji lanjut LSD terhadap rerata kadar TVN dan TMA terdapat pada Tabel 6 dan 7. Dari analisis ini, menunjukkan bahwa ada pengaruh variasi konsentrasi STPP FG-LP terhadap kadar TVN dan TMA ikan nila pasca mortem dan antar perlakuan ada perbedaan yang signifikan.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 127
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Tabel 6. Rerata Nilai TVN (mg N/100 g basah) Ikan Nila pada Variasi Konsentrasi STPP FG, Lama Perendaman, dan Waktu Simpan Konsentrasi Waktu Simpan (jam) F, p STPP FG-LP 0 2 4 6 {(g/l)-jam} 0-2 15,6279a 26,6833b 29,3018c 30,2989d 60-1 13,3545e 18,9418f 21,6482g 24,7855h F: 545,455 60-2 12,0870i 16,8446j 20,6499k 22,7465l p: 0,000 90-1 10,2323q 14,9885n 18,0582o 20,5447p F: 858,331 F: 15,665 F, p p: 0,000 p: 0,000 Tabel 7. Rerata Nilai TMA (mg N/100 g basah) Ikan Nila pada Variasi Konsentrasi STPP FG, Lama Perendaman, dan Waktu Simpan Konsentrasi Waktu Simpan (jam) F, p STPP FG-LP 0 2 4 6 {(g/l)-jam} 0-2 4,8391a 6,2690b 7,0194c 10,1269d 60-1 2,8115e 4,0810f 5,6929g 6,3064h F: 190,399 p: 0,000 60-2 1,3947i 3,2336j 4,7539k 5,3564l 90-1 0,9029m 1,9292n 3,1565o 4,1958p F: 151,816 F: 3,749 F, p p: 0,000 p: 0,003 Berdasarkan Tabel 6. diketahui bahwa kadar nitrogen volatil terus meningkat sejalan dengan lamanya waktu simpan. Hal ini disebabkan oleh aktifitas bakteri dan enzim proteollitik yang mengubah protein menjadi asam amino bebas dan selanjutnya dipecah lagi menjadi dipeptida, asam amino, trimetilaminoksida, dan senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Pada degradasi lanjut akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, misalkan putresin, isobutilamin, isoamilamin, kadaverin, dan lain-lain. Uji TMA merupakan kelanjutan uji TVN, oleh karena itu kadar TMA sejalan dengan kadar TVN. Besarnya kadar TVN dan TMA konsentrasi STPP FG-LP 90-1<60-2<60-1 {(g/l)-jam} menunjukkan STPP FG mampu memperkecil terjadinya Thawing Drip sehingga dapat lebih mempertahankan kadar protein dibandingkan kontrol dan meningkatkan daya ikat air sehingga kadar air konsentrasi STPP FG-LP 60-1, 60-2, dan 90-1 {(g/l)-jam} menjadi rendah. Dengan demikian, proses degradasi protein oleh mikroba menjadi nitrogen volatil dapat ditekan. Menurut Stansby dan Olcott (1983) dalam Anonim (2008), kadar TVN ikan sangat segar adalah ≤12 mg N/100 g daging, segar antara 12-25 mg N/100 g daging dan ikan busuk apabila >25 mg N/100 g daging.Jika dibandingkan dengan hasil penelitian, maka konsentrasi STPP FG-LP 0-2 {(g/l)-jam} waktu simpan 2, 4, dan 6 jam sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena mempunyai kadar TVN >25 mg N/100 g, sedangkan untuk konsentrasi STPP FG-LP 60-1, 60-2, dan 90-1 {(g/l)-jam} selama waktu simpan masih tergolong ikan segar.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 128
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Tahap 1 a. Variasi konsentrasi STPP FG dan lama perendaman (STPP FG-LP) terpilih pada batas yang tepat dan aman untuk mempertahankan mutu ikan nila adalah konsentrasi STPP FG-LP 60-1, 60-2, 60-3, 90-1, dan 90-2 {(g/l)-jam}. b. Ada pengaruh variasi konsentrasi STPP FG-LP terhadap mutu organoleptik (warna mata dan tekstur daging (+sisik)) tetapi tidak berpengaruh pada aroma dan keadaan mata, warna dan bau insang, warna dan kulit ikan nila fase pasca mortem. 2. Tahap II a. Ada pengaruh variasi konsentrasi STPP FG-LP terhadap mutu kimia (kadar air, protein, TVN, dan TMA) ikan nila fase pasca mortem pada berbagai waktu simpan. Bertambahnya waktu simpan terjadi penurunan mutu kimia yang ditandai dengan menurunnya kadar protein dan meningkatnya kadar TVN dan TMA dibandingkan pada penyimpanan 0 jam. b. Konsentrasi STPP FG-LP 90-1 {(g/l)-jam} memiliki daya cerna protein yang tinggi pada waktu simpan 0 jam, sedangkan 60-2 {(g/l)-jam} pada waktu simpan 2, 4, dan 6 jam. Saran 1. Disarankan kepada masyarakat segera mengganti pemakaian bahan tambahan makanan terlarang untuk menjaga kualitas serta meningkatkan waktu simpan ikan nila fase pasca mortem dengan menggunakan Sodium Tripolyphosphate Food Grade (STPP FG). 2. Mempertahankan kualitas ikan nila waktu simpan 0-6 jam digunakan konsentrasi STPP FG 60 g/l - 2 jam, meskipun dilihat dari segi mutu organoleptik jelek; sedangkan untuk waktu simpan 0 jam dan memperoleh organoleptik warna mata yang jernih serta tekstur daging ikan yang kenyal atau tidak lembek, digunakan konsentrasi STPP FG 90 g/l - 1 jam; untuk waktu simpan >6 jam, sebaiknya konsentrasi STPP FG dikurangi agar tetap pada batas yang tepat dan aman. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Keunggulan Nutrisi Ikan dan Fungsinya bagi Kesehatan. Kliping Dunia Ikan dan Mancing, (online), (http://ikanmania.wordpress.com/cate gory/nutrisi-kesehatan/, diakses 10 maret 2008) Cahyono, Bambang. 2000. Budidaya Ikan Air Tawar. Yogyakarta: Kanisius Elias, L.G. 1989. Basic Sensory Method for Food Evaluation. Ottawa, Canada: International Development Research Centre Knipe, Lynn. 2004. Use of Phosphates in Meat Products. Ohio: Ohio State University Muchtadi, Deddy. 1989. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bandung: Depdikbud Dirjen Dikti Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB Muchtadi, Tien R dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: Depdikbud Dirjen Dikti Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor Peraturan Menteri Kersehatan RI No. 722/Menkes/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. 1995. Buletin Teknologi dan Industri Pangan vol VI: 1,90-100. Regenstein J. M, and D. M Weilmeier. 2004. “Cooking Enhances the Antioxidant Properties of Polyphosphates”. Journal of Food Science Volume 69, Nr. 1 (1723)
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 129
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Sumatera Utara: USU Digital Library Fakultas Kesehatan Masyarakat Sibuea, Posman. Jumat 18 Januari 2008. “Mutu Pangan dan Kecerdasan Bangsa” (online). Sinar Harapan No. 5799. (http://www.sinarharapan.co.id/berita /0801 /18/opi01.html, diakses 14 April 2008) Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Winarno, F. G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Yuanita. L, Rudiana. A, Suzana. S, Prima. R. W dan Siti Tjahjani. 1997. Laporan Penelitian Pengaruh Alkali Fosfat Sebagai Pengganti Boraks terhadap Kualitas Daging Olahan. Surabaya: Lembaga Penelitian Depdikbud IKIP Surabaya Yuanita, Leny. 26 Januari 2006. “Obat Bakso STPP Food Grade”. Jawa Pos, hal.4. Yuniar, Devvy. 2005. Pengaruh Jenis Pengawet dan Lama Penyimpanan terhadap Mutu Otak-otak Bandeng. Skripsi tidak dipublikasikan. Surabaya: Unesa
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 130
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 131