Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 OPTIMASI WAKTU SINTESIS OKTIL p-METOKSI SINAMAT (OPMS) DARI ASAM p-METOKSI SINAMAT (APMS) MELALUI REAKSI ESTERIFIKASI LANGSUNG Fathima Bevi1, Titik Taufikurohmah1, Hadi Poerwono2 1) Jurusan Kimia, Fakultas MIPA UNESA 2) Jurusan Farmasi, UNAIR Surabaya ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang optimasi waktu sintesis senyawa tabir surya oktil p-metoksisinamat (OPMS) melalui reaksi esterifikasi langsung dengan menggunakan bahan dasar asam p-metoksisinamat (APMS) hasil hidrolisis dari senyawa etil p-metoksi sinamat (EPMS). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan persen hasil sintesis dan menentukan waktu optimum sintesis OPMS dari APMS dan n-oktanol melalui reaksi esterifikasi langsung. Sintesis oktil p-metoksi sinamat (OPMS) melalui reaksi esterifikasi langsung dilakukan dengan mereaksikan asam pmetoksi sinamat (APMS) dan n-oktanol dengan berbagai variasi waktu pemanasan yaitu 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, dan 6 jam. OPMS hasil sintesis diuji kemurniannya dengan kromatografi gas dan diidentifikasi secara spektrofotometri UV-Vis, spektrofotometri FT-IR, H-NMR dan spektometri massa (MS). Prosentase OPMS hasil sintesis untuk setiap lama pemanasan selama 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, dan 6 jam adalah 62,34 %; 77,16 %; 74,07 %; 71,60 %; 45,68 %. Waktu optimum pada sintesis OPMS adalah selama 3 jam dengan persen hasil sintesis sebesar 71,60%. Kata kunci: APMS, EPMS, OPMS, reaksi esterifikasi langsung, optimasi waktu PENDAHULUAN Sinar matahari penting untuk kesehatan yaitu untuk memproduksi vitamin D dalam tubuh, tetapi jika terlalu lama terpapar sinar matahari dapat mengurangi minyak-minyak alami pada kulit dan pelembab dari tubuh yang menyebabkan proses kulit menjadi tua. Sinar matahari yang berlebihan menyebabkan kulit wajah menjadi kering dan kasar (Lucas, 1994). Sinar matahari pada dasarnya merupakan sinar ultraviolet (UV). Sinar UV dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan panjang gelombangnya. Sinar UVA adalah yang terpanjang (320-400 nm), UVB adalah sinar yang agak pendek (290-320 nm), dan UVC (200-290 nm) adalah yang terpendek. Sinar UV merupakan bentuk energi sehingga dapat menembus ke dalam kulit. Begitu menembus kulit, energi yang dimiliki sinar UV dapat menyebabkan berbagai kerusakan. Akibat perbedaan panjang gelombang ini, efek yang terjadi pada kulit juga berbeda-beda, UVA dapat menimbulkan penggelapan pigmen dan percepatan penuaan, UVB dapat menimbulkan eritema, kanker dan UVC masih dapat diserap oleh ozon sehingga tidak berbahaya bagi kulit (Justiana, 2006). Supaya dapat menanggulangi bahaya UV bagi kulit, dibutuhkan pelindung kulit seperti tabir surya (UV protection), untuk menyaring cahaya berbahaya sebelum menembus kulit. Bahan aktif tabir surya diklasifikasikan menjadi dua yaitu tabir surya kimia (chemical adsorbers) dan tabir surya fisik (physical blokers). Tabir surya yang Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 138
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 termasuk chemical adsorbers bekerja pada permukaan kulit dan menyerap UV (menjadikannya tak berbahaya). Tabir surya kimia yang telah dikenal adalah, oktil metoksi sinamat, oksibenzon (benzofenon), PABA, oktil dimetil PABA dan oktil salisilat. Tabir surya fisik (Physical blockers) bekerja dengan memantulkan cahaya UV dan senyawa kimia yang umum digunakan adalah titanium oksida dan seng oksida (Bissonnette, 2002). Salah satu senyawa aktif tabir surya kimia adalah oktil p-metoksi sinamat (OPMS) yang merupakan senyawa tabir surya sintetis. OPMS banyak ditemukan pada berbagai macam produk kecantikan yang beredar di pasaran. OPMS mempunyai panjang gelombang proteksi sebesar 290-320 yang sangat efektif dalam menangkal radiasi UV B. Sintesis oktil p-metoksisinamat (OPMS) dapat dilakukan melalui tiga proses esterifikasi yaitu esterifikasi bertahap, transesterifikasi, dan esterifikasi langsung. Esterifikasi langsung adalah reaksi pembentukan ester dari suatu asam karboksilat dengan bantuan suatu katalis (Morisson and Boyd, 1989; Fessenden and Fessenden, 1981). Esterifikasi langsung merupakan reaksi yang reversibel. Untuk mencegah reaksi bergeser ke kiri dapat dilakukan dengan menggunakan alkohol berlebih agar didapatkan hasil yang maksimal. Penelitian yang dilakukan oleh Hidajati (1997), dalam mensintesis OPMS melalui reaksi esterifikasi langsung selama 4 jam didapatkan persen hasil sebesar 53,98%. Penelitian yang dilakukan Irawati (2001), dalam mensintesis OPMS melalui transesterifikasi selama 7,5 jam didapatkan persen hasil sebesar 87,40%. Penelitian yang dilakukan oleh Wahida (2008), mensintesis OPMS melalui esterifikasi langsung selama 4 jam didapatkan persen hasil sebesar 81,48%. Dalam penelitian ini akan dicari waktu yang optimum dalam mensitesis OPMS melalui reaksi esterifikasi langsung sehingga didapatkan persen hasil yang maksimal. BAHAN DAN METODE 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam p-metoksi sinamat (APMS), asam klorida pekat, n-oktanol (p.a), dan aquades. Bahan yang digunakan untuk identifikasi adalah n-heksan, metanol (p.a.), kloroform (p.a.), etil asetat (p.a.). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur, gelas kimia, termometer, seperangkat alat refulk, corong pisah, elektromantle. Sedangkan untuk identifikasi senyawa digunakan alat Spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 1700, Spektrofotometer Infra Merah (IR) Buck Scientific Model 500, Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti (NMR) Hitachi FT-NMR R-1900 dan kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS) Simadzu QP2010S. 2.
Prosedur Penelitian Sebanyak 1 g APMS dimasukkan dalam labu bulat untuk disintesis. Kemudian ditambahkan 5 ml n-oktanol dan 3 tetes HCl dan batu didih. Campuran tersebut direfluks selama 2 jam dengan suhu 110-120oC. Campuran yang didapatkan dinetralkan dengan air dalam corong pisah. Campuran hasil sintesis diuapkan untuk menghilangkan sisa n-oktanol dan kemudian ditimbang. Tahaptahap di atas diulang pada waktu yang berbeda yaitu 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam untuk mendapatkan waktu sintesis yang optimum. Hasil sintesis dimurnikan dengan kromatografi kolom kilat dengan pelarut heksan:etil asetat (15:1). Hasil sintesis murni didinginkan dalam penangas es agar terbentuk kristal. Selanjutnya
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 139
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 menguji kemurnian senyawa OPMS hasil sintesis dengan kromatografi gas dilanjutkan dengan analisa instrumen untuk memastikan senyawa hasil sintesis dengan menggunakan instrumen UV-Vis, IR, NMR, dan MS. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Sintesis senyawa oktil p-metoksisinamat melalui reaksi esterifikasi langsung Sintesis senyawa OPMS dilakukan dengan mereaksikan APMS dan noktanol dengan menggunakan katalis HCl pada suhu 110-120 oC. Sintesis ini dilakukan pada lama pemanasan yang berbeda-beda yaitu 2, 3, 4, 5, dan 6 jam. Hasil sintesis selanjutnya dinetralkan dengan air dalam corong pisah agar sifat asam yang berasal dari katalis HCl dapat terlarut dalam air sehingga didapatkan hasil sintesis yang netral. Hasil sintesis tersebut kemudian diangin-anginkan sampai terbentuk padatan yang stabil dan kemudian dihitung prosentase hasilnya. Hasil sintesis dan persen hasil disajikan pada tabel berikut:
Tabel 1. Data Prosentase Hasil Sintesis OPMS Waktu sintesis (jam)
2 3 4 5 6
Suhu sintesis (oC)
Berat asam pmetoksisinamat (gr)
110-120 110-120 110-120 110-120 110-120
1 1 1 1 1
Volume noktanol (mL)
5 5 5 5 5
Oktil pmetoksisinamat Berat teoritis
Berat praktis
1,624 g 1,624 g 1,624 g 1,624 g 1,624 g
1,01 g 1,25 g 1,19 9 1,16 g 0,74 g
Prosentase hasil
62,34 % 77,16 % 74,07 % 71,60 % 45,68 %
Berdasarkan diatas dapat dibuat grafik hubungan antara lama pemanasan sintesis dengan prosentase hasil.
Gambar 1. Grafik Hubungan antara Waktu Pemanasan dengan Persen Hasil OPMS
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 140
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa waktu optimum untuk sintesis OPMS adalah 3 jam yang menunjukkan persen hasil sebesar 77,16% dan pada waktu sintesis yang lebih lama didapatkan persen hasil yang semakin menurun. Hal ini dikarenakan sintesis OPMS dilakukan pada suhu yang tinggi yaitu 110-120oC sehingga energi kinetik akan meningkat dan menyebabkan tumbukan antar molekul lebih sering terjadi, karena reaksi esterifikasi ini adalah reaksi yang reversibel maka kemungkinan tumbukan-tumbukan antar molekul tersebut kembali menjadi senyawa awal. Hasil sintesis selanjutnya dimurnikan dengan kromatografi kolom cepat agar didapatkan senyawa OPMS yang murni. Sebelum dilakukan kromatografi kolom cepat, hasil sintesis ditotolkan pada plat KLT dengan menggunakan eluen heksana : etil asetat = 19:1 dan didapatkan dua noda yang terpisah dengan baik. Ketika dibandingkan dengan senyawa awal APMS ternyata noda pertama mempunyai Rf yang sama dengan APMS sedangkan noda kedua yang dimungkinkan adalah senyawa OPMS. Setelah dilakukan kromatografi kolom cepat dengan eluen heksana : etil asetat = 19:1 sebanyak 350 ml didapatkan 24 fraksi dengan masing -masing fraksi berisi 10 ml. Hasil kromatografi kolom cepat ini dimonitor dengan KLT dan hanya 6 fraksi yaitu pada fraksi nomor 6, 7, 8, 9, 10, dan 11 yang menunjukkan satu noda dengan Rf yang sama. 2. Penentuan Kemurnian Oktil p-metoksisinamat a. Penentuan Kemurnian Secara GC Kromatogram GC dari OPMS hasil sintesis menunjukkan adanya satu sinyal dengan waktu retensi 22,341 yaitu puncak pada Gambar 2. Hal ini menunjukkan bahwa OPMS hasil sintesis sudah murni. Kromatogram GC hasil sintesis dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2. Kromatogram GC OPMS Hasil Sintesis 3. Identifikasi Senyawa Hasil Sintesis Oktil p-Metoksisinamat Identifikasi ini dilakukan untuk memastikan bahwa senyawa hasil sintesis merupakan senyawa oktil p-metoksisinamat. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan instrumen spektrofotometri UV-Vis, spektrometer IR, NMR, dan Massa.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 141
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Spektrofotometri UV-Vis bertujuan untuk mengetahui pola spektrum dan panjang gelombang maksimum (λ maks). Spektrum UV-Vis OPMS hasil sintesis memberikan puncak serapan pada panjang gelombang 308 nm dan 226 nm. Sedangkan pada OPMS pustaka senyawa ini mempunyai serapan pada panjang gelombang 227 dan 310 (Shaath, 1990). .
Gambar 3. Spektrum ultraviolet senyawa OPMS hasil sintesis Spektrofotometri IR bertujuan untuk mendeteksi gugus fungsional dan mengidentifikasi senyawa. Spektrum IR dari OPMS hasil sintesis dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Spektrum Infra Merah Senyawa OPMS Hasil Sintesis Spektrofotometer H-NMR bertujuan untuk menentukan berapa banyak jenis lingkungan hidrogen yang ada dalam molekul dan juga jumlah atom hidogen yang ada pada atom karbon tetangga. Hasil spektra H-NMR dari senyawa OPMS hasil sintesis dapat dilihat pada Gambar 5.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 142
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Gambar 5. Spektrum H-NMR Senyawa OPMS Hasil Sintesis Spektroskopi massa digunakan untuk mengidentifikasi massa molekul relatif dan fragmentasi suatu senyawa. Hasil identifikasi ini dapat dilihat pada Gambar 6 dan didapatkan puncak ion molekular (ion induk ) pada m/z= 290 yang merupakan massa molekul relatif (Mr) dari OPMS. Perhitungan secara teoritis, ester OPMS mempunyai Mr= 290.
Gambar 6. Spektra Massa Senyawa OPMS Hasil Sintesis Berdasarkan hasil identifikasi dengan menggunakan spektroskopi diatas menunjukkan senyawa hasil sintesis APMS dan n-oktanol merupakan senyawa oktil p-metoksisinamat. KESIMPULAN Prosentase hasil sintesis OPMS pada waktu 2 jam sebesar 62,34%; pada waktu 3 jam sebesar 77,16%; pada waktu 4 jam sebesar 74,07%; pada waktu 5 jam sebesar 71,60%; pada waktu 6 jam sebesar 45,68%. Berdasarkan data tersebut waktu optimum pada proses sintesis OPMS adalah pada waktu 3 jam dengan persen hasil sebesar 77,16%. SARAN Perlu dilakukan penelitian sejenis dengan jumlah alkohol berlebih yang bervariasi sebagai pereaksi agar didapatkan persen hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA Bissonnotte. 2002. Update on Suncreens. http: www.dermatology.org/ skin therapy/st/0205.htm. Diakses tanggal 20 April 2008 Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S. 1990. Kimia Organik . Edisi ketiga. Jilid 1. Penerjemah oleh Pudjaatmaka, A.H. Jakarta: Erlangga.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 143
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S. 1990. Kimia OrganikI. Edisi ketiga. Jilid 2. Penerjemah oleh Pudjaatmaka, A.H. Jakarta: Erlangga. Hidajati, N. 1997. Sintesis Oktil p-Metoksisinamat dan Etilheksil p-Metoksisinamat dari Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi Kaemferia galangal L. Tesis tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Airlangga. Irawati, N. 2001. Sintesis Oktil p-Metoksisinamat sebagai Senyawa Tabir Surya secara Transesterifikasi dengan Material Awal Etil p-Metoksi sinamat Hasil Isolasi Rimpang Kencur (Kaemferia galanga L.). Skripsi tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Airlangga Justiana, S. 2006. Cahaya Matahari Sumber Kanker. http//www.pikiranrakyat.com. Diakses 2 Maret 2008. Lucas dan Richard. 1994. Mujijat Tanaman Untuk Kehidupan Sehari-hari. Semarang: Dahara Prize Morrison, R. T. & Boyd, R. N. 1989. Organic Chemistry 5th edition. New Delhi: Prentice Hall of India Private United. P. Shaath, N.A. 1990. Cosmetic Science and Technology Series Suncreen Development Evaluation and Regulatory Aspects, New York: Mancel Dekker. Inc. Wakhida, H.N. 2008. Sintesis Senyawa Oktil p-Metoksisinamat dari Asam pMetoksisinamat dan n-Oktanol Melalui Reaksi Esterifikasi Langsung dan Uji Aktifitasnya. Skripsi tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 144
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Pengaruh Waktu Interaksi dan Massa Batu Apung (Pumice) terhadap Laju Adsorpsi Ion Logam Pb (II) Oleh Kamaluddin Yusuf, Leny Yuanita Jurusan Kimia-FMIPA UNESA Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang adsorpsi ion logam Pb (II) oleh batu apung. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengetahui harga k1 dan K dalam adsorpsi ion logam Pb (II), (2) mengetahui pengaruh waktu interaksi dan massa batu apung terhadap laju adsorpsi ion logam Pb (II). Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, dengan tahap-tahap sebagai berikut : (1) aktivasi adsorben, (2) interaksi batu apung terhadap larutan yang mengandung ion logam Pb (II), (3) analisis data menggunakan kinetika LangmuirHinshelwood. Penelitian ini dilakukan dengan variasi waktu interaksi (30, 60, 90, dan 120 menit) dan massa adsorben (1, 2, 3, dan 4 gram). Penentuan konsentrasi yang terserap oleh batu apung dianalisis menggunakan metode Spektrofotometri Serapan Atom. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Pada massa 1 gram harga k1 = 0.0006 menit-1 dan harga K = 0.1571 M-1. Pada massa 2 gram harga k1 = 0.0004 menit -1 dan K = 0.1598 M-1. Pada massa 3 gram harga k1 = 0.0005 menit -1 dan K = 0.1609 M-1. Pada massa 4 gram harga k1 = 0.0005 menit -1 dan K = 0.1649 M-1. (2) Ada pengaruh antara waktu interaksi dan massa batu apung terhadap laju adsorpsi ion logam Pb (II). Kata kunci : Adsorpsi, Batu apung, Ion logam Pb (II), SSA, Langmuir
The Influence of Interaction Time and Pumice Mass to Adsorption Rate of Pb (II) Metal Ion Abstract The experiment about adsorption of Pb (II) metal ion by pumice has been done. The purpose of this experiment are (1) knowing k1 and K value in the adsorption of Pb (II) metal ion (2) knowing influence of interaction time and pumice mass to adsorption rate of Pb (II) metal ion. This experiment used the experimental design and consisted of three steps, which are : (1) adsorbent aktivation, (2) influence of interaction time and pumice mass to adsorption rate Pb (II) metal ion, (3) data analysis by Langmuir-Hinshelwood kinetics. The experiment used mass variation are 1, 2, 3, and 4g, while time variation are 30, 60, 90, and 120 minutes. The determination of Pb (II) metal ion concentration which is adsorpted by pumice was tasted with using Atomic Adsorption Spectroscophy. The experiment result are : (1) for 1 gram pumice mass k1 = 0.0006 min-1 and K = 0.1571 M-1. 2 gram mass k1 = 0.0004 min-1 and K = 0.1598 M-1. 3 gram mass k1 = 0.0005 min-1 and K = 0.1609 M-1. 4 gram mass k1 = 0.0005 min-1 and K = 0.1649 M-1. (2) There is influence on the interaction time and pumice mass for adsorption rate of Pb (II) metal ion. Key Words : Adsorption, Pumice, Pb (II) Metal Ion, AAS, Langmuir
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 145
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 PENDAHULUAN Seiring dengan kemajuan zaman, perkembangan industri di Indonesia semakin pesat. Hal ini menyebabkan pencemaran lingkungan, khususnya pencemaran air. Pencemaran air dapat disebabkan karena adanya limbah industri yang dibuang begitu saja tanpa melalui proses pengolahan dan tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan. Air merupakan masalah yang utama, baik penyediaan air bersih di kota dan di desa, maupun penyaluran dan pengelolaan air buangan penduduk dan industri. Pencemaran air oleh limbah industri yang mengandung logam berat Pb masih merupakan masalah yang perlu ditangani secara serius, karena sifat dari logam berat Pb yang sangat beracun dan cenderung bersifat akumulatif bagi mahluk hidup (Ochiai, 1995). Logam tersebut biasanya dihasilkan oleh industri pelapisan logam, bahan bakar mobil, cat, aki, baterai, serta industri peleburan logam. Pengolahan hasil buangan limbah industri untuk menurunkan kandungan bahan anorganik berupa logam-logam berat dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu koagulasi, pertukaran ion, elektrodialisa, dan adsorpsi. Diantara berbagai cara yang dapat digunakan, adsorpsi dipandang lebih unggul daripada proses yang lain. Salah satu kelebihannya adalah tidak adanya efek samping, biaya yang digunakan juga lebih murah (Vigneswaran, 1995). Adsorpsi adalah proses pengambilan molekul-molekul oleh permukaan adsorben atau oleh permukaan lain (Benefield, 1982). Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai bahan alami yang dapat digunakan sebagai adsorben untuk mengadsorpsi logam berat, yaitu bahan-bahan bukan berupa arang aktif seperti pasir, batu padas, dan serbuk gergaji kayu, sedangkan adsorben yang berupa bahan-bahan arang aktif seperti : ampas tebu (Hidayatulloh dkk, 2002). Menurut Siaka (2002) bahan yang dapat digunakan sebagai adsorben adalah kayu, sekam padi, tempurung kelapa, tongkol jagung, dan kulit tanduk kopi. Batu apung tersusun atas mineral yang dapat berfungsi sebagai bahan pengadsorp, seperti oksida mangan dan alumina, plaglioklas, piroksen, hornblende, kuarsa dan silika amorf. Kandungan oksida silika dan oksida alumina yang tinggi menunjukkan bahwa batu apung mempunyai tukar kation. Batu apung juga mempunyai sifat sangat berpori, karena kandungan mineral yang sangat tinggi (40%-90%) serta mempunyai kapasitas tukar kation 32-49 meq/l (Mathess dalam Triwahyuni, 1982). Penggunaan adsorben dari batu apung ini, tentunya akan memberikan nilai tambah bagi pemanfaatan batu apung tanpa merusak lingkungan. Batu apung yang berasal dari Prambanan mampu menyerap air sebesar 16,67%, sedangkan batu apung yang berasal dari Bali mampu menyerap air sebesar 50,64%. Perbedaan tersebut akan menyebabkan laju adsorpsinya berbeda dengan menggunakan variasi waktu interaksi dan massa adsorben, sehingga bila menggunakan batu apung yang berasal dari Bali diasumsikan akan mampu menyerap ion logam Pb (II) lebih besar dibandingkan dengan menggunakan batu apung yang berasal dari Prambanan (Soetarto, 1980). Penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa adsorpsi berbagai kation logam oleh batu apung (100 mesh) dipengaruhi oleh waktu interaksi dan massa adsorben. Menurut Triwahyuni (1997) adsorpsi logam Cu dan Cr dengan variasi massa adsorben antara 1–3 gram menunjukkan bahwa pada massa 3 gram merupakan massa optimum, sedangkan waktu optimum untuk logam Cu adalah 60 menit dan logam Cr adalah 90 menit. Adsorpsi logam Ni (II) menggunakan batu apung dengan variasi waktu 15–120 menit yang dilakukan oleh Muashofa (2004) menunjukkan bahwa pada waktu 90 menit merupakan waktu optimum, karena kation nikel (II) tersebut telah menempati situs-situs aktif.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 146
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Menurut teori asam basa keras lunak yang dikemukakan oleh Pearson (1976), bahwa asam keras akan cenderung terikat kuat oleh basa keras dan begitu pula sebaliknya, asam lunak akan cenderung terikat kuat oleh basa lunak. Jika ditinjau dari klasifikasi tersebut, maka ion logam Pb (II) termasuk dalam kelompok asam pertengahan (borderline), yang cenderung ke asam keras, sedangkan batu apung merupakan basa keras karena gugus yang terlibat didalamnya adalah OH-, sehingga asam keras dan basa keras lebih kuat ikatannya. Untuk ion logam Cu dan Cr juga dalam kelompok asam pertengahan, sehingga ion logam Pb (II) bila di adsorpsi oleh batu apung yang sama maka waktu optimum dan massa yang digunakan diperkirakan sama dengan Cu dan Cr. Menurut Houston (2001) Langmuir mempelajari proses adsorpsi secara kuantitatif. Pada model yang sederhana dianggap bahwa molekul yang dapat diadsorpsi hanya pada satu situs aktif permukaan dan sekali sebuah situs ditempati oleh satu molekul, maka situs tersebut tidak dapat mengadsorpsi molekul yang lain. Model isoterm adsorpsi Langmuir dapat diterapkan untuk mempelajari dan menjelaskan data adsorpsi yang diperoleh dari ekperimen. Nunik (2000) telah mempelajari keterlibatan pembentukan kompleks dalam adsorpsi Cu (II) pada adsorben batu apung dengan menggunakan model adsorpsi Langmuir untuk menentukan kapasitas adsorpsi batu apung terhadap ion logam. Adsorpsi yang digunakan adalah adsorpsi kimia, dimana permukaan pada batu apung bersifat homogen dan mempunyai ikatan yang kuat. Untuk mengetahui laju adsorpsi ion logam Pb (II) oleh batu apung dapat digunakan model Langmuir-Hinshelwood dengan variasi waktu interaksi dan variasi massa adsorben, sehingga diperoleh data berupa konsentrasi. Data tersebut kemudian dimasukkan ke dalam persamaan Langmuir-Hinshelwood dan dibuat kurva kenetika Langmuir-Hinshelwood sehingga menghasilkan k1 dan K. k1 adalah konstanta adsorpsi dan K adalah konstanta adsorpsi-desorpsi, dengan nilai tersebut maka dapat diketahui laju adsorpsinya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh waktu interaksi dan massa batu apung terhadap laju adsorpsi ion logam Pb (II), sehingga bermanfaat bagi pemulihan air limbah melalui proses adsorpsi. BAHAN DAN METODE A. Alat dan Bahan Alat : Seperangkat alat SSA 1 set, Seperangkat alat IR 1 set, Mortar 1 buah, Neraca analitik 1 set, Cawan porselin 1 buah, Kaca arloji 1 buah, Botol timbang 1 buah, Pipet ukur 5 ml 1 buah, Pipet gondok 25 ml 1 buah, Pipet tetes 10 buah, Eksikator 1 set, Oven listrik 1 set , Labu ukur 250 ml 2 buah dan 1000 ml 2 buah, Corong 1 buah, Gelas kimia 100 ml 5 buah dan 1000 ml 3 buah, Erlenmeyer 100 ml 1 buah, Ayakan ukuran 100 mesh 1 buah, Centrifuge 1 set, Shaker 1 set , Spatula 1 buah. Bahan : Batu apung 300 gram, HNO3 65% 15.4 ml, Aquabides 2 L, Aquades 40 L, NaOH 1 M 40 gram, Kertas saring 20 buah, Pb(NO3)2 1.599 gram. B. Prosedur Kerja Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap, yaitu : 1. Tahap Aktivasi Adsorben Batu apung diambil, ditumbuk dengan mortar dan diayak ukuran 100 mesh, 100 gram serbuk batu apung dicuci dengan aquades, dipanaskan pada suhu 1050C dan didinginkan dalam desikator. 50 gram serbuk batu apung kering
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 147
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 ditambah 500 ml NaOH 1 M, diaduk selama 5 jam dan disaring. Endapan dicuci dengan aquades, dikeringkan dan didinginkan dalam desikator. 2. Tahap Adsorpsi Ion Logam Pb (II) Dalam beker gelas yang telah berisi variasi serbuk batu apung 1, 2, 3, dan 4 gram ditambah 25 ml larutan Pb2+ dari Pb(NO3)2, kemudian larutan diaduk dengan shaker selama waktu dengan variasi 30, 60, 90, dan 120 menit. Campuran tersebut disaring dengan kertas saring dan filtrat yang diperoleh diukur serapannya menggunakan SSA. Masing-masing direplikasi 3 kali. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap Aktivasi Adsorben Batu apung yang digunakan dalam penelitian ini adalah batu apung yang berasal dari gunung Agung Bali (diperoleh dari toko Batu Alam Ngagel Surabaya). Sebelum digunakan sebagai adsorben, batu apung ini perlu diaktivasi dahulu dengan tujuan untuk mengatur kembali letak atom yang dapat dipertukarkan dan membersihkan permukaan pori-pori, sehingga dapat memperbesar penyerapan. Aktivasi dilakukan dengan pencucian berulang-ulang pada serbuk batu apung, yaitu menggunakan aquades dan NaOH 1 M. Tahap-tahap dalam aktivasi batu apung yaitu batu apung yang berupa bongkahan, ditumbuk dengan mortar dan diayak dengan ukuran 100 mesh. Berdasarkan penelitian Baldat (2001) menyatakan bahwa batu apung ukuran 100 mesh adalah yang terbaik untuk adsorpsi, karena tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Bila batu apung terlalu kecil penyerapan akan menurun, karena rongga antar butiran terlalu halus sehingga butiran-butiran tersebut cenderung membentuk ikatan sendiri menjadi kelompok-kelompok yang lebih besar dan adsorbat dapat lolos melewati adsorben. Batu apung yang telah diperoleh tersebut dicuci berulang-ulang dengan menggunakan aquades, bertujuan untuk menghilangkan semua debu dan kotoran yang terdapat dalam batu apung. Pencucian dilakukan sampai semua filtrat hasil cucian tampak bening dan batu apung berwarna putih keabu-abuan. Setelah pencucian dengan aquades, dilanjutkan dengan pengeringan dalam oven bersuhu 1050C bertujuan untuk menghilangkan kandungan air di dalam batu apung. Selanjutnya ditambahkan NaOH 1M, karena NaOH hanya digunakan untuk melarutkan logam-logam yang oksidanya bersifat amfoter. Misal : SiO2, silikat dan oksida dari Al, Sb, Zn, Sn (Vogel, 1979). Untuk menghilangkan OH- yang ada dalam batu apung, maka dilakukan pencucian berulang-ulang dengan menggunakan aquades. Pencucian ini dilakukan sampai filtrat hasil pencucian tidak bersifat basa, yang menunjukkan bahwa OHdalam batu apung sudah terlarut semuanya dalam aquades. Untuk mengetahui bahwa filtrat hasil pencucian tidak bersifat basa, maka filtrat tersebut diukur pHnya dengan menggunakan pH meter38(pH = 7). Batu apung yang telah diaktifkan dengan NaOH dikeringkan dalam oven bersuhu 1050C untuk menghilangkan kandungan air di dalam batu apung, selanjutnya batu apung siap digunakan sebagai adsorben. Batu apung yang diayak dengan ukuran 100 mesh dan mengalami proses aktivasi adalah adsorben yang akan digunakan dalam penelitian ini. Untuk mengidentifikasi gugus fungsional pada batu apung digunakan spektrofotometer infra merah baik sebelum maupun sesudah perlakuan aktivasi guna memperjelas gugus fungsional yang berperan dalam pengikatan ion logam.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 148
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Gambar 1 Spektra dari batu apung sebelum aktivasi Spektra infra merah pada Gambar 1 diperoleh serapan kuat di daerah sidik jari pada bilangan gelombang 1038 cm-1 yang ditimbulkan oleh vibrasi ulur asimetris dari ikatan O-Si-O dan O-Al-O merupakan ciri khas struktur batu apung dan serapan tajam pada bilangan gelombang 771.4 cm-1 berasal dari ikatan Si-O dan Al-O (Hardjono, 1991). Menurut Willis (1987) ikatan Si-O dan Al-O dapat terbentuk jika serapannya terdapat pada daerah kurang dari 800 cm-1. Pada daerah gugus fungsional serapan paling kuat terjadi pada bilangan gelombang 3465 cm-1 yang merupakan serapan dari vibrasi ulur gugus –OH. Selain itu juga muncul serapan pada bilangan gelombang 1632,2 cm-1 yang merupakan vibrasi lentur dari gugus C=O berasal dari senyawa organik yang terdapat pada permukaan batu apung. Serapan pada bilangan gelombang 2853,3 cm-1 dan 2924,2 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regang C-H dari gugus metilen yang terdapat pada permukaan batu apung (Hardjono, 1991).
Gambar 2 Spektra dari batu apung sesudah aktivasi Spektra infra merah pada Gambar 1 dan Gambar 2 diperoleh serapan kuat pada daerah sidik jari yang terjadi pergeseran pada bilangan gelombang dari 1038 cm-1 ke 1055,7 cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan O-Si-O dan O-Al-O pada
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 149
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 struktur batu apung berperan aktif dalam mengikat kation logam. Pergeseran serapan ini menyebabkan batu apung menjadi aktif, hal ini dikarenakan ikatan OSi-O dan O-Al-O pada struktur batu apung telah mengikat Na+ dari pelarut yang kemudian akan digantikan oleh Pb2+. Selain itu juga muncul serapan yang bergeser dari bilangan gelombang 1632,2 cm-1 ke 1642,4 cm-1 yang merupakan vibrasi lentur dari gugus C=O berasal dari senyawa organik yang terdapat pada permukaan batu apung. B. Adsorpsi Ion Logam Pb (II) Interaksi antara waktu 30, 60, 90, dan 120 menit dengan massa adsorben 1, 2, 3, dan 4 gram setelah mencampur, dishaker dengan waktu interaksi 60 menit, kecepatan 2000 rpm setelah itu di sentrifuge dengan kecepatan 300 rpm selama 10 menit, kemudian disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang dihasilkan dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) pada panjang gelombang 283,3 nm. Perlakuan pada masing-masing interaksi antara waktu interaksi dengan massa adsorben dilakukan 3 kali replikasi. Rata-rata jumlah ion logam Pb (II) yang teradsorpsi oleh batu apung pada massa 1, 2, 3, dan 4 gram dengan waktu interaksi 30, 60, 90, dan 120 menit dapat dilihat pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 4 berikut ini : Tabel 1 Data Langmuir-Hinshelwood adsorpsi ion logam Pb (II) pada massa 0.9336 gram (kadar air 6.64 %) {(Ln (Co/CA))/CA}.10-4
Waktu (menit)
Co (mol/L).10-4
CA (mol/L).10-4
Co/CA
Ln(Co/CA)
(t/CA).10-4
30
0.9531
0.5005
1.9043
0.6441
59.9395
1.2869
60
0.9531
0.4952
1.9247
0.6548
121.1629
1.3222
90 120
0.9531 0.9531
0.4952 0.4934
1.9247 1.9316
0.6548 0.6583
181.7443 243.1940
1.3222 1.3342
Tabel 2 Data Langmuir-Hinshelwood adsorpsi ion logam Pb (II) pada massa 1.8583 gram (kadar air 7.08 %) {(Ln (Co/CA))/CA}.10-4
Waktu (menit)
Co (mol/L).10-4
CA (mol/L).10-4
Co/CA
Ln(Co/CA)
30
0.9531
0.4934
1.9316
0.6583
60.7985
1.3342
60
0.9531
0.4917
1.9385
0.6619
122.0342
1.3463
90
0.9531
0.4899
1.9455
0.6655
183.7120
1.3585
120
0.9531
0.4899
1.9455
0.6655
244.9493
1.3585
-4
(t/CA).10
Tabel 3 Data Langmuir-Hinshelwood adsorpsi ion logam Pb (II) pada massa 2.7869 gram (kadar air 7.1 %) {(Ln (Co/CA))/CA}.10-4
Waktu (menit)
Co (mol/L).10-4
CA (mol/L).10-4
Co/CA
Ln(Co/CA)
(t/CA).10-4
30
0.9531
0.4881
1.9525
0.6691
61.4591
1.3708
60 90 120
0.9531 0.9531 0.9531
0.4881 0.4864 0.4864
1.9525 1.9596 1.9596
0.6691 0.6728 0.6728
122.9182 185.0476 246.7301
1.3708 1.3833 1.3833
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 150
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Tabel 4 Data Langmuir-Hinshelwood adsorpsi ion logam Pb (II) pada massa 3.7137 gram (kadar air 7.15 %) {(Ln (Co/CA))/CA}.10-4
Waktu (menit)
Co (mol/L).10-4
CA (mol/L).10-4
Co/CA
Ln(Co/CA)
30 60
0.9531 0.9531
0.4846 0.4846
1.9668 1.9668
0.6764 0.6764
61.9076 123.8151
1.3958 1.3958
90 120
0.9531 0.9531
0.4828 0.4811
1.9740 1.9813
0.6801 0.6837
186.4027 249.4504
1.4085 1.4213
-4
(t/CA).10
Berdasarkan data pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 4 dapat dilakukan analisis secara statistik regresi linier antara t/CA sebagai sumbu x dengan (Ln (Co/CA))/CA sebagai sumbu y. Dari grafik tersebut, maka diperoleh K (konstanta adsorpsi-desorpsi) sebagai intersep dan harga k1 (konstanta adsorpsi) sebagai slope. Grafik kinetika Langmuir-Hinshelwood terdapat pada Gambar berikut ini : Ln(Co/CA)/CA
t/CA vs Ln(Co/CA)/CA
y = 0.0006x + 0.1571 R 2 = 0.9803
1.3600 1.3400 1.3200 1.3000 1.2800 0.0000
50.0000 100.0000 150.0000 200.0000 250.0000 300.0000 t/CA
Gambar 1 Grafik kinetika Langmuir-Hinshelwood adsorpsi ion logam Pb (II) pada massa 1 gram
Ln(Co/CA)/CA
t/CA vs Ln(Co/CA)/CA
y = 0.0004x + 0.1598 R 2 = 0.9812
1.3700 1.3600 1.3500 1.3400 1.3300 0.0000
50.0000 100.0000 150.0000 200.0000 250.0000 300.0000 t/CA
Gambar 2 Grafik kinetika Langmuir-Hinshelwood adsorpsi ion logam Pb (II) pada massa 2 gram
Ln(Co/CA)/CA
t/CA vs Ln(Co/CA)/CA
1.3900 1.3850 1.3800 1.3750 1.3700 1.3650 0.0000
y = 0.0005x + 0.1609 R2 = 0.9870
50.0000 100.0000 150.0000 200.0000 250.0000 300.0000 t/CA
Gambar 3 Grafik kinetika Langmuir-Hinshelwood adsorpsi ion logam Pb (II) pada massa 3 gram
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 151
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
Ln(Co/CA)/CA
t/CA vs Ln(Co/CA)/CA
y = 0.0005x + 0.1649 R2 = 0.9899
1.4300 1.4200 1.4100 1.4000 1.3900 0.0000
50.0000 100.0000 150.0000 200.0000 250.0000 300.0000 t/CA
Gambar 4 Grafik kinetika Langmuir-Hinshelwood adsorpsi ion logam Pb (II) pada massa 4 gram Dari grafik kinetika Langmuir-Hinshelwood pada Gambar 1 sampai dengan Gambar 4 untuk adsorpsi ion logam Pb (II) oleh batu apung dengan berbagai waktu interaksi dan massa adsorben yang berbeda, sehingga menghasilkan y = ax + b. Pada massa 1 gram persamaan yang di dapat y = 0.0006x + 0.1571, maka harga k1 = 0.0006 menit -1 dan harga untuk K = 0.1571 M-1, kemudian harga k1 dan K tersebut dimasukkan dalam persamaan dCA k1CA untuk menentukan laju dt
1 KCA
adsorpsi. Hal yang sama dilakukan pada massa 2 gram dengan persamaan y = 0.0004x + 0.1598, harga k1 = 0.0004 menit -1 dan K = 0.1598 M-1, pada massa 3 gram dengan persamaan y = 0.0005x + 0.1609, harga k1 = 0.0005 menit -1 dan K = 0.1609 M-1, sedangkan pada massa 4 gram persamaan yang di dapat y = 0.0005x + 0.1649 dengan harga k1 = 0.0005 menit -1 dan K = 0.1649 M-1. Adapun besar laju adsorpsi terdapat pada Tabel 5 sampai dengan Tabel 8 berikut ini : Tabel 5 Laju adsorpsi ion logam Pb (II) pada massa 1 gram Waktu
CA (mol/L)
Laju adsorpsi Pb (mol/L-1. Menit-1)
30 60 90 120
5.0051E-05 4.9520E-05 4.9520E-05 4.9343E-05
3.504E-08 3.466E-08 3.466E-08 2.467E-08
Tabel 6 Laju adsorpsi ion logam Pb (II) pada massa 2 gram Waktu
CA (mol/L)
Laju adsorpsi Pb -1 -1 (mol/L . Menit )
30 60 90 120
4.9343E-05 4.9167E-05 4.8990E-05 4.8990E-05
3.454E-08 3.442E-08 2.939E-08 2.939E-08
Tabel 7 Laju adsorpsi ion logam Pb (II) pada massa 3 gram Waktu
CA (mol/L)
30 60 90 120
4.8813E-05 4.8813E-05 4.8636E-05 4.8636E-05
Surabaya, 14 Pebruari 2009
Laju adsorpsi Pb (mol/L-1. Menit-1) 3.417E-08 3.417E-08 2.918E-08 2.918E-08
_____________________________________ B - 152
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Tabel 8 Laju adsorpsi ion logam Pb (II) pada massa 4 gram Waktu
CA (mol/L)
Laju adsorpsi Pb (mol/L-1. Menit-1)
30 60 90 120
4.8459E-05 4.8459E-05 4.8283E-05 4.8106E-05
3.392E-08 3.392E-08 2.897E-08 2.405E-08
Berdasarkan data pada Tabel 4.7 sampai dengan Tabel 4.10 (perhitungan pada lampiran IX) diketahui bahwa laju adsorpsi batu apung terhadap ion logam Pb (II) pada massa 1 gram berkisar antara 2.467.10-8 sampai 3.504.10-8 mol/L-1.menit -1, pada massa 2 gram berkisar antara 2.939.10-8 sampai 3.454.10-8 mol/L-1.menit -1, pada massa 3 gram berkisar antara 2.918.10-8 sampai 3.417.10-8 mol/L-1.menit -1, sedangkan pada massa 4 gram berkisar antara 2.405.10-8 sampai 3.392.10-8 mol/L1 .menit -1. Penelitian ini menggunakan berbagai variasi interaksi antara waktu 30, 60, 90, dan 120 menit dengan massa adsorben 1, 2, 3, dan 4 gram yang akan memberikan pengaruh terhadap laju adsorpsi ion logam Pb (II) oleh batu apung. Tabel 9 Data laju adsorpsi ion logam Pb (II) oleh batu apung dengan variasi waktu interaksi dan massa adsorben Massa adsorben (gram) 1
2
3
4
30 3.553E-08 3.516E-08 3.442E-08 3.516E-08 3.479E-08 3.367E-08 3.516E-08 3.442E-08 3.293E-08 3.442E-08 3.405E-08 3.330E-08
Waktu interaksi (menit) 60 90 3.516E-08 3.516E-08 3.479E-08 3.479E-08 3.405E-08 3.405E-08 3.442E-08 2.855E-08 3.367E-08 3.014E-08 3.516E-08 2.950E-08 3.442E-08 3.014E-08 3.293E-08 2.918E-08 3.516E-08 2.823E-08 3.442E-08 2.918E-08 3.330E-08 2.950E-08 3.405E-08 2.823E-08
120 2.511E-08 2.458E-08 2.432E-08 2.950E-08 3.014E-08 2.855E-08 2.823E-08 3.014E-08 2.918E-08 2.458E-08 2.405E-08 2.352E-08
Data yang dihasilkan dari Tabel 9 dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis anava dua arah. Metode ini digunakan untuk mengetahui pengaruh waktu interaksi dan massa batu apung yang bervariasi terhadap laju adsorpsi ion logam Pb (II) dalam larutan. Data dari penelitian harus berdistribusi normal dan bersifat homogen dengan demikian, maka dapat dianalisis menggunakan anava dua arah.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 153
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Data analisis anava dua arah dari Tabel 9 dapat dilihat dalam Tabel 10 : Tabel 10 Hasil analisis anava dua arah pada pengaruh massa adsorben dengan waktu interaksi terhadap laju adsorpsi Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Laju Adsorpsi Ion Logam Pb (II) Source Corrected Model Intercept MASSA WAKTU MASSA * WAKTU Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 1755.516a 12137.837 1676.533 20.721 58.262 40.508 13933.861 1796.024
df 15 1 3 3 8 32 48 47
Mean Square 117.034 12137.837 558.845 5.180 7.283 1.266
F 70.118 1465.904 101.239 3.099 5.083
Sig. .000 .000 .000 .012 .000
a. R Squared = .970 (Adjusted R Squared = .957)
Hasil pada Tabel 4.12 diketahui bahwa F hitung (massa*waktu) adalah 5.083 dengan angka signifikannya adalah 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa angka signifikannya < 0.05, yang berarti ada pengaruh waktu interaksi dan massa batu apung terhadap laju adsorpsi ion logam Pb (II). Untuk mengetahui waktu interaksi dan massa adsorben mana yang beda, maka dibahas dengan menggunakan analisis LSD dalam Post Hoc Test (Multiple Comparisons). Tanda ‘*’ pada kolom Mean Difference menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan, jika tidak ada tanda ‘*’ maka tidak ada perbedaan yang signifikan. Pada massa tertentu (1, 2, 3, dan 4 gram), waktu interaksi 30 dan 60 menit tidak berbeda dan berbeda terhadap waktu interaksi 90 dan 120 menit, artinya ada penurunan laju adsorpsi ion logam Pb (II) oleh batu apung pada waktu interaksi 90 dan 120 menit disebabkan karena semakin kecil ion logam Pb (II) yang terikat oleh adsorben permenit. Pada waktu interaksi tertentu (30, 60, 90, dan 120 menit), massa 1, 2 dan 3 gram tidak berbeda dan berbeda terhadap massa 4 gram, artinya ada penurunan laju adsorpsi ion logam Pb (II) oleh batu apung pada massa 4 gram disebabkan karena jumlah massa batu apung yang ditambahkan terlalu sedikit dan kurang sebanding dengan jumlah ion logam Pb (II) yang ada dalam larutan Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5 sampai dengan Tabel 8 dapat diketahui bahwa semakin lama waktu interaksi, maka laju adsorpsi ion logam Pb (II) semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin kecil ion logam Pb (II) yang terikat oleh adsorben permenit. Semakin lama waktu interaksi antara adsorben dengan adsorbat, maka akan semakin banyak zat yang teradsorpsi dan begitu sebaliknya semakin kecil waktu interaksi antara adsorben dengan adsorbat, maka akan semakin kecil pula zat yang teradsorpsi (Oscik, 1982). Semakin besar massa adsorben, maka laju adsorpsi ion logam Pb (II) semakin menurun walaupun seharusnya semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa, jumlah massa batu apung yang ditambahkan terlalu sedikit dan kurang sebanding dengan jumlah ion logam Pb (II) yang ada dalam larutan. Hal ini disebabkan karena batu apung sudah jenuh atau terpenuhi oleh ion logam Pb (II) sebelum dapat menyerap semua ion logam Pb (II) dalam larutan. Menurut Smith (1981) kecepatan adsorpsi akan menurun dengan semakin meningkatnya jumlah situs kosong yang terisi oleh molekul adsorbat.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 154
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pada massa 1 gram harga k1 = 0.0006 menit -1 dan harga K = 0.1571 M-1. Pada massa 2 gram harga k1 = 0.0004 menit -1 dan K = 0.1598 M-1. Pada massa 3 gram harga k1 = 0.0005 menit-1 dan K = 0.1609 M-1. Pada massa 4 gram harga k1 = 0.0005 menit-1 dan K = 0.1649 M-1. 2. Ada pengaruh antara waktu interaksi dan massa batu apung terhadap laju adsorpsi ion logam Pb (II). DAFTAR PUSTAKA Andriyanti, Dwi Anti. 2001. Pembuatan dan Karakteristik Keramik Limbah dari Breksi Batu Apung dan Limbah B3 (Cr) (Skripsi yang tidak diterbitkan). Surabaya: Institut Sepuluh Nopember. Atkins, P.W. 1999. Kimia Fisika, Jilid 2. Jakarta : Erlangga. Benefield, L. D. Judkins, J. F. Weand, B. L. 1982. Process Chemistry for Water and Wastewater Treatment. New Jersey. Prentice-Hall, Inc. Darmono. 1995. Logam Dalam Sifat Biologi Mahluk Hidup. Jakarta : UI-Press. Day, R.A Jr dan A.L Underwood. 2001. Analisis Kimia Kuantitatif (Aloysius Handyana Pudjatmaka, trans). Jakarta : Penerbit Erlangga. Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Utara. 2003. Proyek Kerja Dinas Pertambangan Sumatera Utara. Medan. Efida, Moashofa. 2004. Penurunan Kadar Kation Nikel (II) Dengan Metode Adsorpsi Menggunakan Batu Apung. Skripsi S-1 yang tidak dipublikasikan. UNESA. Hardjono, S. 1991. Spektroskopi. Yogyakarta : Liberty. Hess. 2000. Features and Benefits. USA: Hess Pumice Products, Inc. http:// Hess Pumice-features and Products.htm Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik (A. Saptoraharjo, trans). Jakarta : UI-Press. Kunrat, TS. 1993. Batu Apung Indonesia dan Prospeknya. Buletin PPPTM,. Vol. 15. No.3 Hal. 24-26. Levitt, B.P.1973. Findlay’s Practical Physical Chemistry. Ninth edition. New York : Longman Group Limited. Mathess, G., J Harvey C., 1982. The Propert of Groundwater, A Wiley Intersciens Publication, John Wiley and Sons. Oscik, J. 1982. Adsorption. New York : John Wiley and Sons. Pearson, R.G., 1976. Mechanisms of Inorganic Reactions. A Study of Metal Complexes in Solution 2th ed., New Delhi : Wiley Eastern Private Ltd. Selbin, Joel., 1987. Kimia Anorganik Teori., Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Soetarto, D., 1980. Geologi Daerah Prambanan Yogyakarta. Jurusan Teknik Geologi UGM. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tan Kim H., 1982. Dasar-dasar Kimia Tanah. UGM. Yogyakarta. Triwahyuni, Atik. 1997. Uji Efektifitas Penggunaan Breksi Batu Apung untuk Menurunkan Kandungan Cu dan Cr. Skripsi S-1 yang tidak dipublikasikan. ITS. Vogel. 1974. Buku Teks Analisis Anoganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Terjemahan. Jakarta : PT. Kalman Media Pusaka. Weber W. S., 1972. Phisiochemichal Process Water Quality Control, John Wiley and Sons.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 155
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 PENENTUAN NILAI KM DAN VMaks EKSTRAK KASAR ENZIM FITASE HASIL ISOLASI BAKTERI BACILLUS SUBTILIS Leny Yuanita, Suzana Surodjo, Sri Hidayati Syarif, Aline Puspita, Arif Budiman FMIPA Universitas Negeri Surabaya Abstrak Fitase (mia-inositol heksakisfosfat fosfohidrolasi) merupakan suatu fosfomonoesterase yang mampu menghidrolisis asam fitat menjadi orto-fosfat anorganik dan ester-ester fosfat dari mio-inositol yang lebih rendah. Asam fitat adalah sejenis ester fosfat yang dapat mengikat mineral penting (Ca++,Fe++,Mg++) dan protein sehingga sulit diserap tubuh. Dalam meningkatkan nilai gizi bahan makanan maka kandungan asam fitat perlu diturunkan. Salah satunya dengan menggunakan enzim fitase. Dalam pemanfaatan enzim fitase perlu memperhatikan karakteristik enzim tersebut sehingga enzim bekerja pada kondisi aktivitas optimumnya. Enzim fitase yang digunakan berasal dari Bacillus Subtilis. Kegiatan penelitian ini meliputi isolasi enzim, permunian enzim melalui pengendapan garam ammonium sulfat 80 %, dialisis, serta penentuan nilai KM dan VMaks. Hasil penelitian menunjukkan kadar protein setelah pengendapan dengan amonium sulfat sebesar 0,67628 mg/ml. Aktifitas fitase hasil dialisis sebesar 0.0564 U/mL. Nilai Km yang diperoleh dari kurva Lineweaver-Burk sebesar 3.086 mg/ml, Vmaks sebesar 0.0369µmol/ml.menit Kata kunci: Bacillus subtilis, Fitase, fitat, Dialisis, KM, VMaks
PENDAHULUAN Bacillus subtilis merupakan bakteri gram-positif yang berbentuk batang,dan secara alami sering ditemukan di tanah dan vegetasi. Bacillus subtilis tumbuh di berbagai mesophilic suhu berkisar 13-45 derajat Celsius. Bacillus subtilis juga telah berevolusi sehingga dapat hidup walaupun di bawah kondisi keras dan lebih cepat mendapatkan perlindungan terhadap stres situasi seperti kondisi pH rendah (asam), bersifat alkali, dan panas. Beberapa keunggulan dari bakteri ini adalah mampu mensekresikan antibiotik dalam jumlah besar ke luar dari sel (Scetzer, 2006). Fitase (mio-inositol heksakisfosfat fosfohidrolase) merupakan suatu fosfomonoesterase yang mampu menghidrolisis asam fitat menjadi orto-fosfat anorganik dan ester-ester fosfat dari mio-inositol yang lebih rendah. Fitase tersebar luas dalam tanaman, jaringan hewan atau usus halus, serta beberapa spesies kapang dan bakteri (Cosgrove, 1980). Asam fitat terkandung pada berbagai jenis kacang-kacangan dan tanaman serealia, yang umumnya dikonsumsi oleh manusia. Interaksi asam fitat dengan protein dan mineral merupakan salah satu faktor yang membatasi nilai gizi. Dalam hal ini asam fitat merupakan antinutrisi pada bahan pangan. Pada umumnya metode penurunan kadar asam fitat yang dikembangkan berdasarkan pada pemanasan serta hidrolisis dengan katalis asam atau basa. Namun, cara ini dikhawatirkan dapat mendenaturaasi protein serta vitamin yang terdapat pada bahan makanan tersebut. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengaktifkan enzim fitase yang terdapat pada bahan makanan. Penambahan enzim fitase dilakukan secara
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 156
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 ekstraselular, yang diaktifkan pada kondisi aktivitas optimumnya untuk menurunkan kadar asam fitat pada bahan makanan. Enzim yang diisolasi dari mikroba memiliki beberapa keunggulan, antara lain potensi produksinya tidak terbatas, potensi mikroba dalam memproduksi enzim dapat ditingkatkan, perkembangbiakan mikroba relatif lebih mudah dan murah serta dapat dikendalikan. Aktivitas fitase pada mikroorganisme terutama ditemukan pada kapang, khususnya Aspergillus niger dan A. Ficuum. Enzim fitase juga dihasilkan oleh bakteri Pseudomonas spp. (Irving dan Cosgrove, 1970), Bacillus Subtilis, dan Eschericia coli (Cosgrove,1980) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penambahan fitase secara ekstra seluler pada bahan makanan memerlukan kondisi yang tepat. Oleh sebab itu karakteristik enzim perlu diketahui, agar enzim dapat dimanfaatkan secara optimal. Fitase yang diisolasi dari spesies organisme yang berbeda memiliki karakteristik yang berbeda pula. Karakteristik enzim tergantung sumber dan lingkungan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karakteristik enzim fitase dari Bacillus subtilis meliputi pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas fitase, dan penentuan harga Km dan Vmaks. BAHAN DAN METODE Bahan Dan Alat Bahan-bahan yang digunakan untuk proses pembiakan bakteri, yaitu isolat Bacillus Subtilis. hasil dari penelitian sebelumnya. Bahan yang dipakai bacto agar, yeast exstrac, tripton, dan glukosa. Pada media screening bahan yang dipakai NH4NO3, MgSO4, FeSO4, CaCl2, MnSO4, glukosa, dan Na-fitat. Pada uji aktivitas fitase diperlukan ammonium molibdar-ferro sulfat, TCA 5%, bufer Tris-HCl0,1 M pH 7, stándar asam fitat (garam dodekanatrium) 0,5% dan KH2PO4. Pada karakterisasi enzim diperlukan bufer Tris-HCl 0,1 M pH 7 dan TCA 5%. Selain itu, diperlukan pula reagen Biuret dan standar BSA untuk pengujian kadar protein. Alat-alat yang digunakan adalah peralatan gelas, pengaduk magnetik, penangas air, inkubator goyang, mechanical shaker, oven, spektrofotometer Uv-Vis, ultrasentrifuge, Autoclave, waterbath, laminar flow.
METODE PENELITIAN Pembiakan Bakteri Media pembiakan berupa 1 gr tripton, 0,5 gr yeast exstrac, 1 gr NaCl, 2 gr bacto agar. Dibuat 100 ml media luria bertani padat disterilkan dalam autoclave pada suhu 121 0C selama 15 menit. Setelah media steril diamkan selama 24 jam. Kemudian diinokulasi 1-2 ose isolate bacteri ke dalam luria bertani padat tersebut. Sebanyak 1-2 ose kultur padat diinokulasi kedalam media luria bertani cair yang mengandung 1 gr tripton, 0,5 gr yeast exstrac, 1 gr NaCl..diinkubasi pada incubator goyang dengan suhu 37 0C selama 24 jam. Pembuatan Kurva Pertumbuhan Isolat Bacillus subtilis Koloni tunggal isolat Bacillus subtilis yang memiliki aktivitas fitase diinokulasikan pada media cair produksi fitase. Biakan ini ditempatkan di atas shaker dengan kecepatan 200 rpm pada suhu 37oC selama 24 jam. Kultur cair yang telah
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 157
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 diinkubasi selama 24 jam, ditumbuhkan kembali sebanyak 1% pada media cair baru kemudian diinkubasi dengan pengocokan menggunakan kecepatan 200 rpm selama 24 jam. Setiap 2 jam, 200 µL suspensi diambil dan diukur serapannya dengan panjang gelombang 630 nm dengan menggunakan alat Elizarider. Isolasi Ekstrak Kasar Fitase Koloni tunggal isolat Bacillus subtilis yang memiliki aktivitas fitase diinokulasikan pada media cair produksi fitase. Biakan ini ditempatkan di atas shaker dengan kecepatan 200 rpm pada suhu 37oC selama 20 jam. Kultur cair yang telah diinkubasi selama 20 jam, ditumbuhkan kembali sebanyak 1% pada media cair baru kemudian diinkubasi dengan pengocokan menggunakan kecepatan 200 rpm selama 20 jam. Suspensi selanjutnya disentrifuge dengan kecepatan 4000 rpm pada suhu 4oC selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh merupakan ekstrak kasar fitase hasil isolasi. Pemurnian Enzim Ekstrak kasar fitase yang diperoleh dari hasil isolasi diendapkan dengan amonium sulfat dengan konsentrasi kejenuhan 80%. Penambahan amo-nium sulfat dilakukan sedikit demi sedikit sambil diaduk pada suhu 4oC sampai seluruh amonium sulfat larut, kemudian enzim diendapkan/didiamkan semalam. Selanjutnya dilakukan pemisahan kembali dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 4.000 rpm selama 30 menit pada suhu 4oC. Endapan yang diperoleh dilarutkan dengan buffer Tris-HCl 0,1 M pH 7, kemudian dianalisis aktivitas enzim dan kadar proteinnya. Proses selanjutnya adalah dialisis larutan enzim hasil pengendapan menggunakan membran dialisis yang mampu menahan molekul 12.000-14.000 Dalton dan dicelupkan ke dalam wadah berisi bufer Tris-HCl 0,1 M pH 7,0 sambil diaduk dengan pengaduk magnetik. Secara berkala larutan bufer diuji dengan BaCl2 dan diganti dengan larutan buffer yang baru. Setelah semua amonium sulfat dikeluarkan dari fraksi enzim, dilakukan uji kadar protein dan aktivitas fraksi enzim hasil dialisis. Analisis Aktivitas Protein Sebanyak 1ml larutan enzim ditambahkan dengan 4 ml larutan Biuret. Kemudian didiamkan selama 15 menit pada suhu ruang dan diukur absorbansinya pada λ 540 nm. Kurva standar dibuat dengan BSA (0-7mg/ml). Analisis Aktivitas Fitase Aktivitas enzim diukur dengan memasukkan pada dua tabung reaksi 600 µl buffer asetat 0,1 M pH 7 ;425 µl enzim ke dalam tabung. Larutan diinkubasi pada 370C selama 5 menit. Setelah itu pada tabung pertama dimasukan 425µℓ Na-Fitat + 150µℓ CaCl2. Pada tabung yang kedua dimasukan 425µℓ filtrat bakteri tanpa substrat (tanpa Na-fitat) + 425µℓ Aquabidest +150µℓ CaCl2 . Pada tabung yang ketiga 425µℓ aquabidest + 425µℓ Na-Fitat + 150µℓ CaCl2 . Kemudian masing-masing tabung dinkubasi kembali selama 15 menit pada suhu 370C Berikutnya ditambahkan 750 µℓ TCA 5% ketiga tabung reaksi tersebut. setelah itu disentrifuge dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Filtrat yang dihasilkan ditambah dengan reagen ammonium molibdat-Fero sulfat, selanjutnya dikocok hingga homogen dan diukur absorbansinya pada λ = 690 nm dengan menggunakan spektrofotometer uV-Vis. Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Aktivitas enzim dinyatakan dalam unit/mL, yang merupakan µmol PO43- yang dilepas per menit per mililiter enzim. Standar dibuat dengan melarutkan 0,3834 g KH2PO4
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 158
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 dalam 100 ml aquades, kemudian diencerkan 100 kali, sehingga tiap ml larutan mengandung 0,03834 mg KH2PO4.
Karakterisasi Enzim Penentuan konsentrasi substrat Dalam 5 buah tabung reaksi masing-masing diisi 600 µl buffer Tris 0,1M sesuai hasil pH optimum, dimana pada masing-masing tabung reaksi telah ditambahkan 0.5 - 4 mg/ml Na-fitat dan CaCl2, kemudian diinkubasi pada suhu 41oC selama 5 menit. Setelah itu ke dalam masing-masing tabung reaksi ditambahkan 425 µl larutan enzim. Campuran tersebut kemudian diinkubasi kembali pada suhu 41oC selama 15 menit, kemudian ditambah TCA 5% sebanyak 750 µℓ dan didiamkan selama 15 menit pada suhu 4oC, setelah itu disentrifuge dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Filtrat yang dihasilkan ditambah dengan reagen ammonium molibdatFero sulfat, selanjutnya dikocok hingga homogen dan diukur absorbansinya pada λ = 690 nm dengan menggunakan spektrofotometer uV-Vis. Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Aktivitas enzim dinyatakan dalam unit/mL, yang merupakan µmol PO43- yang dilepas per menit per mililiter enzim. PEMBAHASAN Kurva Pertumbuhan Bakteri Kurva pertumbuhan bakteri bertujuan untuk mengetahui fase pertumbuhan dari bakteri tersebut. Bakteri ditumbuhkan pada media screening kemudian setiap 2 jam sekali diukur absorbansinya pada = 630 menggunakan Eliza reader. Waktu sampling setiap 2 jam sekali dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dari bakteri B. Subtilis penghasil enzim fitase, sehingga diketahui waktu optimum aktivitas enzim. Pertumbuhan bakteri mengikuti fase-fase tertentu yaitu fase lag, logaritmik atau eksponensial, stasioner dan kematian. Fase eksponensial tertinggi Bacllus Subtilis terjadi pada jam ke- 20. Setelah jam ke- 20, bakteri penghasil fitase ini mengalami fase stasioner kemudian mengalami fase kematian setelah jam ke- 26.
Kurva Pertumbuhan Bacillus Subtilis 0.4
) 0.35 D O ( 0.3 y its0.25 0.2 n e0.15 D la 0.1 ic t 0.05 p 0 O
Series1
waktu inkubasi (jam)
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Isolat Bakteri Bacillus Subtilis
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 159
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Pemurnian Enzim Fitase Pada tahap pemurnian enzim kasar Fitase dilakukan pengendapan dengan menggunakan ammonium sulfat 80%. Penambahan ammonium sulfat pada konsentrasi tertentu akan menyebabkan daya larut protein berkurang, sehingga enzim akan mengendap. Hal ini dikarenakan garam ammonium sulfat memiliki kemampuan lebih besar dalam mengikat air.. Tujuan perlakuan ini untuk memekatkan enzim dan pemisahan komponen protein berdasarkan sifat ioniknya (Schopes, 1987). Kadar protein setelah pengendapan dengan amonium sulfat sebesar 0,67628 (mg/mL). Setalah itu dilakukan dialisis. Dialisis merupakan proses difusi selektif yang melewati membran selofan. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan garam dan zat terlarut lainnya. Fitase hasil dialysis menunjukkan aktivitasnya sebesar 0.0564 U/ml. KARAKTERISASI Pengaruh Konsentrasi Substrat Terhadap Aktivitas Enzim Percobaan ini dilakukan pada kondisi optimum (pH 7 dan suhu 410C), dengan substrat Na-Fitat. Hasilnya diplotkan dalam kurva Michaelis-Menten Enzim fitase berupa ekstrak kasar kemudian dilakukan karakterisasi yaitu penentuan aktivitas ekstrak kasar enzim fitase hasil dari isolasi bakteri bacillus subtilis terhadap substrat dengan variasi konsentrasi 0,5 mg/ml: 1 mg/ml: 1,5 mg/ml: 2 mg/ml: 2,5 mg/ml: 3 mg/ml: 3,5 mg/ml: 4 mg/ml. Aktivitas enzim fitase diukur dengan cara mengukur absorbansi sampel, absorbansi standard, dan absorbansi blanko. Berdasarkan data data yang diperoleh dibuat grafik yang menunjukan hubungan antara konsentrasi substrat {S] dengan kecepatan reaksi enzimatik (V) yang ditunjukkan pada gembar.
K e c e p a ta n R e a k s i E n z im (m g /m l.m e n it
Grafik Pengaruh Konsentrasi Substrat Terhadap Kecepatan Reaksi Enzim Fitase y = 0.0005x + 0.0016
0.004
R 2 = Series1 0.9103
0.002
Linear (Series1)
0 0
2
4
6
Konsentrasi Substrat (mg/ml)
Gambar 3. aktivitas enzim fitase terhadap variasi konsentrasi substrat. Berdasarkan gambar 3 dapat diketahui bahwa kenaikan konsentrasi substrat akan meningkatkan kecepatan reaksi enzim. Hal ini disebabkan, dengan meningkatnya konsentrasi substrat semakin banyak molekul yang mengikat substrat, sehingga kecepatan reaksi enzim akan menigkat. Jika konsentrasi substrat ditingkatkan secara terus-menerus, maka kecepatan reaksi akan meningkat hingga batas tertentu dan akhirnya kecepatan reaksi enzim menjadi konstan meskipun
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 160
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 konsentrasi substrat terus meningkat. Hal ini disebabkan karena semua siklus katalitik enzim telah jenuh berikatan dengan substrat Penentuan nilai Km dan Vmax
1/V
Grafik Tranformasi Lineweaver-Burk 800 600 400 200 0
Series1 Linear (Series1)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
y = 192.64x + 264.82 R2 = 0.9861
1/[S]
Gambar 4. Grafik Transformasi Lineweaver-Burk Nilai KM fitase ditentukan melalui kurva tranformasi Lineweaver Burk (gambar 4 ), dari 7 data yang ada diplotkan ke dalam kurva Lineweaver Burk, sehingga diperoleh nilai KM fitase dari Bacillus Subtilis sebesar 3,086 mg/ml dan aktivitas maksimumnya VMaks 0.0369µmol/ml.menit Harga VMaks menyatakan bahwa setiap mililiter ekstrak kasar enzim fitase mampu melepaskan PO43- setiap menitnya maksimum sebesar 0.0369µmol/ml.menit. Harga KM menyatakan bahwa pada konsentrasi substrat sebesar 3,086 mg/ml maka kecepatan reaksi enzimatis telah mencapai ½ dari kecepatan maksimum. Data dari kuva aktivitas enzim fitase terhadap variasi konsentrasi substrat dan nilai KM yang diperoleh, terlihat bahwa enzim belum mencapai keadaan jenuh oleh substratnya ketika mulai terinhibisi. Dengan kata lain aktivitas pada 3 mg/ml tidak berada di sekitar Vmaks enzim. Fenomena inhibisi fitase oleh substrat berlebih akan terlihat berupa penurunan aktivitas saat enzim seluruhnya berada pada bentuk kompleks enzim-substrat. Disisi lain penurunan aktivitas bukan suatu ciri dari inhibisi produk. Oleh karena itu kurva pada gambar menunjukkan inhibisi enzim oleh substrat berlebih dan produk sekaligus. Hal ini terjadi karena pada konsentrasi substrat antara 0,5-3 mg/ml, enzim belum mengalami inhibisi, sehingga terus mmeningkat. Pada konsentrasi substrat 3-4 mg/ml, fosfat yang dilepas dari reaksi enzimatik telah menghambat aktivitas enzim, sehingga konsentrasi enzim bebas berkurang. Hal ini menyebabkan substrat berada pada konsentrasi berlebih. KESIMPULAN Aktivitas optimum fitase dari Bacillus Subtilis pada waktu inkubasi 20 jam. Kadar protein setelah pengendapan dengan amonium sulfat sebesar 0,67628 (mg/mL). Fitase hasil dialysis menunjukkan aktivitasnya sebesar 0.0564 U/ml. Nilai Km fitase dari Bacillus Subtilis sebesar 3,086 mg/ml dan aktivitas maksimumnya VMaks 0.0369 µmol/ml.menit
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 161
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Daftar Pustaka Widowati, S., Rosmimik, D. Andriani, dan D.S. Damardjati. 1998. Optimasi Produksi Fitase Dari Bacillus Subtilis Pada Skala Laboratorium. Disampaikan pada Seminar Nasional Bioteknologi di Malang Widowati, S., Rosmimik, D. Andriani, dan D.S. Damardjati. 1997. Skrining Bakteri Penghasil Fitase Dan Pengujian Aktivitas Pada Media PSM Dan Bekatul. Balai penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor Lehninger, A. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta : Erlangga Fessenden & Fessenden.1989. Kimia Organik. Jilid 2. Jakarta. Erlangga Girindra, Aisjah. 1986. Biokimia I. Jakarta: Gramedia Greiner, R., dan Konietzny, U. 2006. Phytase for Food application. Food Technol. Biotechnol. 44(2) 125-140. Irving, G.C.J. and D.J. Cosgrove. 1970. Inositoal phosphate phosphatases of microbiological origin. Some properties of a partially purified bacterial (Pseudomonas sp.) phytase. Aust. J. Biol. Sci. 24:547-557. Kerovuo, Janne. 2000. A Novel Phytase from Bacillus. Characterization and Production of the Enzyme. Faculty of Science of the University of Helsinki Unioninkatu
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 162
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 PENGARUH LAMA PEREBUSAN DAN pH TERHADAP PENGIKATAN ASAM KOLAT OLEH SERAT PANGAN KACANG PANJANG (Vigna sesquipedalis (L.) Fruhw) Lenny Yuanita, Tjandrakirana, Suyono, Fajari Nishful S. FMIPA Universitas Negeri Surabaya Abstrak Serat pangan merupakan pengikat asam kolat dan mencegah penyerapan kembali asam empedu pada ileum. Serat pangan memiliki efek pengikatan yang berbeda terhadap asam kolat. Pemasakan dengan lama perebusan dan keasaman yang berbeda mempengaruhi sifat fisikokimia serat pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama perebusan dan pH terhadap pengikatan asam kolat dan serat pangan kacang panjang. Penelitian dilakukan dengan rancangan eksperimen faktorial dua faktor, yaitu lama perebusan (0, 5, 20, dan 35 menit) dan pH (3, 5, dan 7). Analisa menggunakan anava dua arah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase pengikatan tertinggi asam kolat oleh serat pangan pada perlakuan pH 3-tanpa perebusan sebesar 76,6026%. Kata Kunci: serat pangan, kacang panjang, asam kolat.
Pendahuluan. Serat pangan merupakan komponen dinding sel tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan dalam tubuh. Komponen serat pangan yang utama adalah selulosa, hemiselulosa, pectin dan lignin. Masing-masing komponen utama memiliki efek fisiologis yang berbeda-beda. Serat pangan dapat memberikan efek fisiologis
yang
positif
pada
kesehatan,
salah
satunya
yaitu
menurunkan
hiperkolesterolemia yang dapat menyebabkan penyakit jantung. Di samping itu, pengkonsumsian serat pangan secara berlebihan dapat menyebabkan kurangnya penyerapan vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K) serta mineral di dalam tubuh. Serat pangan terdapat pada sayur mayur, buah-buahan, sereal, kacang-kacangan serta gandum. Kacang panjang merupakan salah satu sayuran yang mengandung serat pangan. Pengkonsumsian kacang panjang tergantung dari individu masing-masing, sebagai lalapan (mentah tanpa pemasakan) atau di masak dengan lama pemasakan dan keasaman yang berbeda. Pemasakan dengan perbedaan lama perebusan dan derajat keasaman pada sayuran akan mempengaruhi tekstur, komposisi, dan struktur kimia komponen serat pangan. Pada proses pemasakan akan terjadi perubahan komponen dinding sel
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 163
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 tanaman, antara lain (1) pelunakan tekstur tanaman, (2) denaturasi protein, (3) perubahan warna dari hijau menjadi coklat akibat proses browning, (4) degradasi senyawa pektat dalam air, (5) degradasi senyawa hemiselulosa dan pektat dalam suasana asam, dan (6) enolisasi monosakarida yang diikuti dengan eliminasi molekul air pada suasana asam. Perubahan tekstur sayuran pada pemasakan dengan berbagai pH disebabkan antara lain: (1) hidrolisis ikatan glikosidik polisakarida dinding sel tanaman pada pH netral, (2) hidrolisis ikatan glikosidik pada sebyawa pektat pada pH asam, dan (3) pemutusan ikatan hidrogen serta degradasi senyawa pektat pada pH alkalis. Pengikatan asam empedu oleh serat pangan menyebabkan asam empedu keluar dari siklus enterohepatik, karena asam empedu yang di sekresi ke usus tidak dapat diserap tetapi terbuang dalam feses. Penurunan jumlah asam empedu menyebabkan hepar harus menggunakan kolesterol sebagai bahan untuk membentuk asam empedu. Hal ini yang menyebabkan serat dapat menurunkan kadar kolesterol. Nainggolan (2005) mengungkapkan bahwa serat lignin (Insoluble Fiber), pectin, sebagian hemiselulosa dan β-glucans (Soluble Fiber) mempunyai efek mengikat zat-zat organik seperti asam empedu dan kolesterol sehingga menurunkan jumlah asam lemak di dalam saluran pencernaan. Morgan (1974) menyatakan bahwa selulosa sedikit mengikat asam kolat dibandingkan dengan lignin. Kemampuan serat pangan mengikat asam empedu dipengaruhi oleh sifat kimia komponen serat pangan dan jenis asam empedu. Asam empedu yang lebih hidrofobik, kekuatan mengikat serat pangan lebih besar dibandingkan dengan asam empedu yang kurang hidrofobik. Asam empedu dihidroksi (kenodeoksikolat dan deoksikolat) lebih kuat diikat serat pangan dibandingkan asam empedu trihidroksi (asam kolat). Dari latar belakang diatas akan dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama perebusan dan pH terhadap pengikatan asam kolat dengan serat pangan kacang panjang (Vigna sesquipedalis (l.) Fruhw)”.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 164
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Bahan dan Metode Rancangan Penelitian Rancangan penelitian adalah eksperimen dua faktor. Lama Perebusan (menit) 0 5 20 35
pH 3 P1 P4 P7 P10
5 P2 P5 P8 P11
7 P3 P6 P9 P12
Bahan dan Alat Bahan: kacang panjang, buffer fosfat, buffer sitrat, asam kolat, pankreatin, enzim pepsin, enzim amylase, NaOH, HCl, es kering, aseton, H2SO4, furfural aquades. Alat: refluks, pipet mikro, Shaker water bath, termometer, kertas saring Wahtman, vortex, kompor, neraca analitik, spektroskopi UV-Vis, dan Frezee dryer.
Metode Kacang panjang di cuci dan di potong-potong ± 4 cm kemudian ditimbang 300 gram, direbus dengan menggunakan buffer sitart untuk pH 3 dan pH 5 sedangkan untuk pH 7 direbus dengan aquades. Lama perebusan kacang panjang 0, 5, 20 dan 35 menit. Kemudian dikering bekukan dengan menggunanakan freeze driyer. Metode pengikatan menggunakan metode Camire et al. (1993) dan Gorecka (2005)> Supernatan digunakan untuk analisa asam kolat. 1 ml supernatant ditambah 1 ml H2SO4 70% didiamkan selam 2 menit, ditambah 50 µl furfural akan terbentuk warna pink. Setelah 5 menit penambahan furfural di baca pada panjang gelombang optimum. Absorbansi yang terbaca merupakan absorbansi asam kolat yang tidak terikat (Abst) Hasil dan Pembahasan Persentase Asam Kolat Terikat oleh Serat Pangan Hasil uji pengaruh pH dan lama perebusan terhadap pengikatan asam kolat oleh serat pangan kacang panjang melalui Anava dua arah didapatkan hasil seperti pada tabel 1.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 165
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Tabel 1. Rerata Persentase Asam Kolat Terikat (Pengaruh pH dan Lama Perebusan)
pH 0 76.6026 3 63.5684 5 65.5983 7 Rerata 68.5898 F = 0.429 P = 0.734
Pemanasan (menit) 5 20 35 71.4744 60.5769 75.6410 51.0684 66.4530 56.8376 61.6453 72.7564 50.9615 61.3960 66.5954 61.1467
Nilai Rerata 71.0738 59.4819 62.7404 F = 0.728 P = 0.630
F = 1.460 P = 0.246
Dari tabel 1. dapat dikemukakan bahwa persentase tertinggi asam kolat terikat adalah pada perlakuan pH 3-tanpa perebusan (76,6026%), sedangkan terendah pada perlakuan pH 7-lama perebusan 35 menit (50,9615%). Hasil uji anava dua arah menunjukkan tidak ada pengaruh pH maupun lama perebusan terhadap persentase asam kolat terikat. Perebusan
mengakibatkan
kerapuhan
dinding
sel
akibat
degradasi
komponennya, sehingga mempengaruhi pengikatan dengan asam kolat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keadaan tanpa perebusan lebih tinggi daripada dengan perebusan. Hal ini sesuai dengan penelitian Gorecka (2002) yang menyatakan bahwa perebusan dapat menurunkan pengikatan serat pangan dengan asam empedu. Pada pengaruh pH didapatkan rerata pengikatan tertinggi pada pH 3. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hamilton (Dreher, 1987) bahwa pengikatan asam-asam empedu oleh serat pangan adalah pada kondisi asam.
DAFTAR PUSTAKA Camire ME, Zhao J, Violette DA. 1993. In Vitro Binding Bile Acids by Extruded Potato Peels. J. Agric. Food Chem. 41: 2391-2394 Dreher ML. 1987. Handbook of Dietary Fiber. New York and Basel: Mareel Dekker, Inc. Gorecka D, Korczak J, Konieczny P. 2005. Adsorption of Bile Acids by Cereal Products. Cereal Food World. Nainggalon. 2005. Diet Sehat Dengan Serat. Cermin Dunia Kedokteran. Morgan, B. Monique Heald, Sandra D. Atkin, and J. Green. 1974. Dietary Fiber and Sterol Metabolism In The Rat. British Journal Nutrition. 33:447.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 166
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER PADA BAGIAN AERIAL TUMBUHAN PAKU Selaginella doederleinii Hieron Oleh: Lukman Sugiharto Wijaya*), Ismono*), Suyatno*) ABSTRAK Telah berhasil diisolasi tiga senyawa steroid dari ekstrak diklorometana bagian aerial tumbuhan paku Selaginella doederleinii Hieron. Ekstraksi senyawa steroid tersebut dilakukan menggunakan metode maserasi, pemisahan dengan metode kromatografi (KCV, FC, dan KLT), sedangkan pemurniannya dilakukan dengan cara rekristalisasi. Uji kualitatif senyawa isolat menggunakan pereaksi LiebermannBurchard menghasilkan warna biru, yang menandakan bahwa isolat merupakan senyawa golongan steroid. Kemudian uji sifat fisikanya menunjukkan titik leleh 1231250C yang larut dalam kloroform dan kristal dari isolat berwarna putih. Kemudian strukturnya ditetapkan berdasarkan data spektroskopi UV-Vis (λ maks 203), IR dan GC-MS (berat molekul sebesar 400, 412, dan 414). Hasil analisis spektrum menghasilkan dugaan bahwa senyawa metabolit sekunder tersebut adalah kampesterol (C28H48O), stigmasterol (C29H48O), dan ß-sitosterol (C29H50O). Dugaan ini diperkuat oleh kemiripan nilai fragmen ion antara senyawa isolat dengan senyawa yang ada dalam library pada GC-MS Laboratorium Instrumen Kimia Organik Universitas Gadjah Mada. Kata-kata kunci : Diklorometana, Isolasi Selaginella doederleinii Hieron, steroid. ABSTRACT Three steroids have been isolated from diklorometane extract part of aerial Selaginella doederleinii Hieron. Extraction of the steroids use method of maseration, separation use method of chromatography (VLC, FC, and TLC) and purification use method recrystalitation. Qualitative test of isolates use method of LiebermannBurchard yield blue colour, it indicates the isolates is steroids. The physical test show melting point 123-1250C, dissolve in chloroform and white crystal. The structure of isolates is determined by spectroscopy of UV-Vis ( λmaks = 203nm), IR and GC-MS ( Mr = 400, 412, and 414). The analysis of spectrums yield is guessed that the isolates are campesterol (C28H48O), stigmasterol (C29H48O), and ß- sitosterol (C29H50O). The guesses is strenghtened with ion fragment value of isolates like steroids at library of Organic Chemical GC-MS Laboratory Instrument University of Gadjah Mada. Key words : Dichlorometane, Isolation, Selaginella doederleinii Hieron, steroid.
*)
Jurusan Kimia FMIPA Unesa
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 167
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki kekayaan alam hayati yang beranekaragam (biodiversity). Banyak spesies tumbuhan di Indonesia yang mengandung bahan bioaktif sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Namun demikian penyelidikan terhadap kandungan senyawa metabolit sekunder dan efek farmakologinya masih belum banyak dilakukan (Achmad, 1995). Tumbuhan paku (pteridophyta) merupakan salah satu divisi tumbuhan yang besar dan menjadi salah satu kekayaan alam hayati Indonesia. Di Indonesia berbagai spesies tumbuhan paku telah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu sebagai tanaman hias, bahan obat tradisional, bahan makanan, tanaman pelindung, dan pupuk hijau (Heyne, 1987). Jumlah spesies yang diketahui sekitar 10.000 dan diperkirakan 3000 di antaranya tumbuh di Indonesia, sebagian besar tumbuh di daerah tropika basah yang lembab (Jones & Luchsinger, 1987; Sastrapradja, 1980). Tumbuhan paku telah diteliti dan ditemukan banyak senyawa metabolit sekunder diantaranya adalah senyawa golongan steroid (Arai, et al., 1998), terpenoid (Ageta & Arai, 1990), fenil propanoid (Lin, et al., 1994), poliketida (Swain & Cooper-Driver, 1973), turunan asam benzoat (Adam, 1999), flavonoid (Markham & Wallace, 1980), alkaloid (Hegnauer, 1968), Senyawaan belerang (Hegnauer, 1968), lipid (Jetter & Riederer, 1999), stilben (Oiso, et al., 1999), dan xanton (Ueno, 1962). Mengingat bahwa setiap spesies atau genus tertentu memiliki senyawa metabolit sekunder yang karakteristik maka keanekaragaman struktur molekul senyawa metabolit sekunder dalam tumbuhan paku tentu sangat besar (Suyatno, 2008). Tumbuhan paku Selaginella doederleinii Hieron merupakan tumbuhan paku famili Selaginellaceae yang banyak tumbuh di daerah selatan dan barat daya Cina (Lin, et al., 1994), Sunda, Jawa, dan Madura (Hutapea, 1993). Khasiat dari tumbuhan ini yang telah dilaporkan adalah sebagai penyembuh penyakit kanker, hepatitis akut dan kronis, radang kandung empedu, pengerasan hati, dan lainnya (Dalimartha, 1999). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada tumbuhan Selaginella doederleinii Hieron mengandung senyawa kimia alkaloid, fitosterol (Dalimartha, 1999), saponin, dan glikosida (Hutapea, 1993). Kemudian hasil isolasi dari ekstrak alkohol dari tumbuhan ini diperoleh sebelas senyawa yang terdiri atas lima senyawa golongan lignan yaitu (-)-lirioresinol A, (-)-lirioresinol B, (+)-wikstromol, (-)-nortracheloside, (+)-matairesinol; dua senyawa fenil propanon yaitu 3-hidroksi-1-(3-metoksi-4hidroksi fenil)-propanon-1-on, 3-hidroksi-1-(3,5-dimetoksi-4-hidroksi fenil)propanon-1-on; dan empat senyawa biflavonoid yaitu amentoflavon, 7,7”-di-o-metil amentoflavon, 7,4’,7”,4’”-tetra-o-metil amentoflavon, serta heveaflavon (Lin, et al., 1994). Mengingat masih sedikitnya informasi kandungan senyawa kimia yang ada dalam tumbuhan paku tersebut dan peluang kegunaannya yang besar sebagai obat, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang kandungan senyawa metabolit sekunder dari ekstrak diklorometana bagian aerial tumbuhan paku Selaginella doederleinii Hieron. METODE PENELITIAN 1. Bahan dan Alat tumbuhan paku Selaginella doederleinii Hieron diperoleh dan dideterminasi di Balai Materia Medica, Dinas Kesehatan kota Batu, Jawa Timur.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 168
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Bahan-bahan kimia terdiri atas n-heksana, diklorometana. kloroform, asam asetat anhidrida, asam sulfat, methanol, silika gel G-60, silika gel Merck 60 G F254, pelat KLT silika gel Merck Keiselgel 60 F254 0,25 mm, 20x20 cm Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan untuk isolasi yaitu alat ekstraksi dengan cara maserasi, seperangkat alat destilasi, vacuum rotary evaporator, seperangkat alat kromatografi cair vakum dan kromatografi kilat, pelat KLT. Kemudian peralatan yang digunakan untuk identifikasi yaitu alat penentuan titik leleh (Electrothermal), spektroskopi UV-Vis (Shimadzu Pharmaspec UV1700), IR (Shimadzu FTIR-8201 PC), dan GC-MS (Shimadzu QP-2010S), serta alat gelas yang lazim digunakan dalam penelitian ini. 2. Cara Penelitian Sebanyak 2000 gr serbuk bagian aerial tumbuhan paku Selaginella doederleinii Hieron dimaserasi berturut-turut yang pertama adalah dengan pelarut n-heksana dan kemudian diklorometana selama 24 jam sebanyak tiga kali, masingmasing perlakuan menggunakan 6 L n-heksana. Hasil maserasi dengan pelarut diklorometana disaring secara vakum menggunakan penyaring Buchner. Filtrat yang diperoleh diuapkan secara vakum menggunakan penguap putar (vacuum rotary evaporator) menghasilkan ekstrak padat berwarna hijau kehitaman sebanyak 19 gram. Sebanyak 8 gram dipisahkan dengan KCV I (Kromatografi Cair Vakum) menggunakan eluen campuran n-heksana-etil asetat dan menghasilkan 135 fraksi. Selanjutnya 8 gram kedua dipisahkan dengan KCV II menggunakan eluen campuran n-heksana-etil asetat dan menghasilkan 129 fraksi. Penggabungan fraksi yang dominan berdasarkan hasil analisis KLT memilih fraksi 56-62 dari hasil KCV I dan fraksi 56-64 dari hasil KCV II sehingga menghasilkan ektrak padat yang berwarna hijau kehitaman sebanyak 0,544 gram. Selanjutnya, dilakukan pemisahan kromatografi kilat (flash chromatography) menggunakan eluen n-heksana-etil asetat dan menghasilkan 55 fraksi. Penggabungan fraksi 11-19 yang menunjukkan noda berwarna ungu dengan harga Rf relatif sama sebesar 0.6 dan beratnya sebesar 0,144 gram. Selanjutnya dilakukan proses rekristalisasi sebanyak dua kali dengan menggunakan pelarut metanol dan menghasilkan kristal berwarna putih sebanyak 41,4 mg. Isolat selanjutnya diuji dengan pereaksi Liebermann-Burchard, diuji titik leleh, kelarutan, warna dan bentuk kristal, dan diuji spektroskopi menggunakan UV-Vis, IR, dan GC-MS. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Isolasi dan identifikasi Senyawa isolat berbentuk Kristal berwarna putih yang larut dalam kloroform dengan titik leleh 123-1250C, menunjukkan waran biru dari hasil uji pereaksi Liebermann-Burchard yang menandakan bahwa isolat termasuk senyawa steroid. Uji spektroskopi menghasilkan data sebagai berikut: UV-Vis λmaks (nheksana): 203 nm. Serapan IR pada daerah Vmaks (KBr) cm-1: 3431,4; 2935,9; 2860,7; 1632,1; 1460,6; 1375,9; dan 1047,1. Dari hasil uji GC-MS dihasilkan 3 puncak utama (88,78%) dari 31 puncak, yaitu puncak puncak 22 dengan waktu retensi 17,151 menit (13,30%); puncak 23 dengan waktu retensi 17,637 menit (37,67%), dan puncak 24 dengan waktu retensi 18,497 menit (37,81%) dengan pola fragmentasi masing-masing adalah untuk puncak 22 m/z: 400 (M+), 382, 367, 340, 327, 315, 301, 289, 273, 255, 231, 213, 199, 185, 173, 159, 145, 133, 119, 107, 95, 81, 57, 43, dan 41.Untuk puncak 23 m/z: 412 (M+), 394, 369, 351, 327,
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 169
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 314, 300, 285, 271, 255, 241, 229, 213, 199, 185, 173, 159, 145, 123, 97, 83, 69, 55, dan 41. Untuk puncak 24 m/z: 414 (M+), 396, 381, 371, 354, 342, 329, 315, 303, 283, 273, 255, 241, 231, 213, 199, 185, 173, 161, 145, 133, 119, 107, 95, 81, 57, 43, dan 41. 2. Pembahasan Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat berwarna biru dengan uji pereaksi Liebermann-Burchard, yang menunjukkan isolat termasuk senyawa steroid yang bergugus hidroksil (senyawa sterol). Warna ini terjadi akibat terbentuknya senyawa ester hasil reaksi antara gugus hidroksil pada senyawa steroid dengan asam asetat anhidrida dalam pereaksi Liebermann-Burchard (Robinson, 1995). Spektrum UV-Vis dari isolat mengabsorbsi pada daerah panjang gelombang 203 nm. Data ini menunjukkan adanya transisi elektron Π Π* dalam ikatan C=C yang sekaligus menyatakan tidak adanya ikatan rangkap terkonjugasi dalam isolat. Kemudian adanya puncak yang tajam pada daerah 2935 dan 2860,7 cm-1 serta 1460,6 dan 1375,9 cm-1 dalam spektrum IR yang masing-masing menunjukan adanya vibrasi ulur dan vibrasi lentur C-H alkil yang mendukung adanya kerangka senyawa steroid dalam isolat. Adanya puncak pada 3431,4 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi ulur O-H dan puncak pada 1047,1 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi ulur C-O, juga mendukung isolat tersebut merupakan senyawa steroid jenis sterol yang mempunyai gugus hidroksil. Kemudian isolat diukur menggunakan spektrometer GC-MS dan dihasilkan spektrum yang mengandung 3 puncak yang utama (88,78%) dan merupakan senyawa steroid yang mempunyai gugus hidroksi dengan massa molekul relatif berturut-turut sebesar 400, 412, dan 414. Berdasarkan analisis spektroskopi UV-Vis, IR, dan GC-MS maka dapat diduga bahwa senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam isolat dengan titik leleh sebesar (123-125)0C adalah kampesterol (ergoster-5-en-3-ol) dengan rumus molekul C28H48O (Mr = 400), stigmasterol (stigmast-5,22-dien-3-ol) dengan rumus molekul C29H48O (Mr = 412), dan ß-sitosterol (stigmast-5-en-3-ol) dengan rumus molekul C29H50O (Mr = 414). Dugaan tersebut juga didukung oleh kemiripan pola fragmen ion dari isolat dengan senyawa steroid pada library GCMS di laboratorium Instrumen Kimia Organik Universitas Gadjah Mada. SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan terhadap hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam isolat dari ekstrak diklorometana bagian aerial tumbuhan paku Selaginella doederleinii Hieron diduga merupakan campuran tiga senyawa utama golongan steroid yaitu kampesterol (ergoster-5-en-3-ol) dengan rumus molekul C28H48O (Mr = 400), stigmasterol (stigmast-5,22-dien-3-ol) dengan rumus molekul C29H48O (Mr = 412), dan ß-sitosterol (stigmast-5-en-3-ol) dengan rumus molekul C29H50O (Mr = 414), yang ditemukan pertama kalinya dari spesies tumbuhan paku Selaginella doederleinii Hieron maupun dalam tumbuhan paku bangsa Selaginellales, dengan rumus struktur sebagai berikut:
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 170
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 22
22
21 20
18
23
23
17
11 19 1 10
9
14
3
HO
5
HO
-Sitosterol Stigmasterol kampesterol (ergoster-5-en-3-ol) stigmasterol (stigmast-5,22-dien-3-ol)
18
22
22
21 20
23
23
17
11 19 1 10
9
14
3
HO
5
-Sitosterol ß-sitosterol (stigmast-5-en-3-ol)
HO Stigmasterol
DAFTAR PUSTAKA Achmad, S.A., Hakim, E.H., Lia, D.J., Makmur, L., Kasuma, S., dan Syah, Y.M. 1995. Eksplorasi Kimia Tumbuhan Hutan Tropis Indonesia: Beberapa Data Mikromolekuler Tumbuhan Lauraceae sebagai Komplemen Etnobotani. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani II. 24-25 Januari. Yogyakarta. 8. Adam, K.P. 1999. Phenolic Constituents of the Fern Phegopteris connectilis. Phytochemistry. 52 (3) 929-934. Ageta, H. & Arai, Y. 1990. Chemotaksonomi of Fern 3. Triterpenoid from Polypodiumpolypoides. Journal of Natural Product. 53 (2) 325-332. Arai, Y., Nakagawa, T., Hitosugi, M., Shiojima, K., Ageta, H., Basber, O. & Halim, A., 1998. Chemical Constituents of Aquatic Fern Azolla nilotica. Phytochemistry. 48. 471-474. Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid I. Jakarta: Trubus Agriwidya. Hegnauer, R.1968. Chemotaxonomie der Pflazen. Band I. Birkhausar Verlag. Basel Stuttgart. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 171
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa – ISBN : 978-979-028-103-5 Hutapea, J.R. 1993. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid V. Jakarta: Balitbangkes Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jetter, R. & Riederer, M. 1999. Long-Chain Alkanediols, Ketoaldehydes, Ketoalcohols and Ketoalkyl Esters in The Cuticular Waxes of Osmunda regalis Fronds. Phytochemistry. 52. 907-915. Jones, S.B. & Luchsinger, A.E. 1987. Plant Systematic. New York: Mc Graw-Hill book Company. Lin, R-C, Skaltsounis, A-L., Seguin, E., Tillequin, F. & Koch, M. 1994. Phenolic Constituent of Seleginella doederleinii. Planta Medica. 60. 168-170. Markham, K.R. & Wallace, J.W. 1980. C-Glycosylxanthone and Flavonoid Variation within Filmy-Fern (Hymenophyllaceae). Phytochemisry. 19. 415. Oiso,Y., Toyota, M. & Asakawa, Y. 1999. Occurrence of a Bis-bibenzyl Derivative in The Japanese Fern Hymenophyllum barbatum. First Isolation and Identification of Perrottetin H from the Pteridophyta. Chemical and Pharmaceutical Bulletin. 47 (2) 297-298. Robinson, T. 1995. Kandungan Kimia Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah: Kosasih Padmawinata. Bandung: Institut Teknologi Bandung Press. Sastrapadja, S. 1980. Jenis Paku Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Suyatno. 2008. Senyawa Metabolit Sekunder dari Tumbuhan Paku Chingia sakayensis (Zeiller) Holtt dan Aktivitas Sitotoksiknya Terhadap Sel Murine Leukemia P-388 Secara In Vitro. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Swain, T. & Cooper-Driver, G. 1973. Biochemical Systematics in the Filicopsida. The Phylogeny and Clasification of the Fern London. Academic Press (III). Ueno, A. 1962. Pharmaceutical Studies on Fern XVI. Component of Autyrium mesosorum makino. J. Pharmac. Soc. Japan. 82. 1486.
Surabaya, 14 Pebruari 2009
_____________________________________ B - 172