Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
“Penerapan Konsep One Health Dalam Penanganan Emerging And Re-Emerging Diseases Skala Nasional Dan Global”
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana Kupang
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Prosiding Seminar Nasional “Penerapan Konsep One Health Dalam Penanganan Emerging And Re-Emerging Diseases Skala Nasional Dan Global”
Dewan Redaksi Diterbitkan oleh
: Lembaga Penelitian Undana
Tim Penyusun
: Fakultas Kedokteran Hewan Undana
Penanggungjawab
: Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Undana
Pengarah
: Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M.App Sc, Ph.D Drh. Diana A. Wuri, M.Si
Penyunting
: Dr. Drh. Annytha I.R. Detha, M.Si Drh. Nemay A. Ndaong, M.Sc Drh. Elisabet Tangkonda,M.Sc
Alamat Redaksi
: Fakultas Kedokteran Hewan, Undana, Jl. Adisucipto Penfui, Kupang, Kotak Pos 104, Nusa Tenggara Timur 85001
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Prosiding Seminar Nasional “Penerapan Konsep One Health Dalam Penanganan Emerging And ReEmerging Diseases Skala Nasional Dan Global” Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana Copyright © 2014 Editor Desain Sampul PT Penertbit Cetakan Pertama ISBN
: Tim Penyusun Fakultas Kedokteran Hewan Undana : Annytha Detha : Lembaga Penelitian Undana : Desember 2014 : 9772356411007
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Kata Pengantar Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas terselenggaranya Seminar Nasional Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana yang bertema “Penerapan Konsep One Health Dalam Penanganan Emerging And Re-Emerging Diseases Skala Nasional Dan Global” pada tanggal 30 Oktober 2014 di Kupang. Pembicara utama pada seminar ini berdiri dari ilmuan, akademisi, staf ahli, instansi pemerintah dan praktisi. Hasil-hasil kajian dan penelitian yang didukung oleh informasi terkini tentang One Health diharapkan dapat memperkaya pemahaman tentang kedokteran hewan, kedokteran secara umum dan kesehatan lingkungan yang tidak dapat dipisahkan untuk menciptakan kesehatan dunia. Makalah dalam prosiding ini memuat sejumlah artikel hasil-hasil kajian dan penelitian yang telah dilakukan oleh Dosen Universitas Nusa Cendana dan beberapa peneliti dari di perguruan tinggi lain yang ada di kota Kupang. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi dan mengambil bagian dalam bentuk artikel ilmiah maupun sebagai editor. Semoga prosiding ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, untuk kepentingan pengembangan ilmu kedokteran hewan, kedokteran manusia dan kesehatan lingkungan. Di samping itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi upaya pembangunan bangsa dan negara. Prosiding ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dan menyempurnakan prosiding ini sangat diharapkan.
Kupang, Desember 2014 Tim Penyunting
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DEWAN REDAKSI ISBN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI MATERI BIDANG KOLABORASI PROFESI KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT EMERGING DAN RE-EMERGING ZOONOSIS Maxs UE Sanam dan Frans U Datta PERUBAHAN KADAR BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK FERMENTASI OLEH Trichoderma reesei Maritje A Hilakore
PUTAK AKIBAT
KEJADIAN INFEKSI Toxoplasma gondii PADA KUCING LIAR DAN KUCING PELIHARAAN DI KOTA KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR Diana A Wuri PENGARUH PENAMBAHAN ENZIM AMILASE, PROTEASE, XYLANASE, DAN FITASE TERHADAP PERFORMANS PERTUMBUHAN AYAM BROILER Catootjie L Nalle dan Marlin RK Yowi EFEKTIFITAS REBUSAN DAUN GRAVIOLA (Annona muricata) SEBAGAI BAHAN PENGAWET TELUR Fellyanus Haba Ora, Jublina Bale-Therik dan Heri Lalel HUBUNGAN JUMLAH FOLIKEL DENGAN KUALITAS MORFOLOGI OOSIT SAPI TIMOR BALI YANG DIKOLEKSI SECARA IN VITRO Hermilinda Parera, Damai K Ningrum dan Ni Sri Yuliani IDENTIFIKASI Mycobacterium tuberculosis DENGAN KONSENTRASI DNA BERTINGKAT MENGGUNAKAN TEKNIK POLIMERASE CHAIN REACTION (PCR) Yohanes TRMR Simarmata, Ida Tjahajati dan Fahyu Kartika Dewi KANDUNGAN SAPONIN PADA HIJAUAN ARBILA (Phaseolus lunatus L.) SEBAGAI PAKAN PADA UMUR PANEN DAN DOSIS INOKULUM RIZOBIUM YANG BERBEDA Bernadete B Koten dan Redempta Wea ANATOMI ESOPHAGUS KELELAWAR BUAH (Pteropus vampyrus) ASAL PULAU TIMOR Yulfia Nelymalik Selan, Dwi Liliek Kusindarta , Tri Wahyu Pangestiningsih
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014 CASE REPORT: STAPHYLOCOCCUS SPP., PADA MASTITIS SUBKLINIS KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE) Elisabet Tangkonda, Widodo Suwito, Felisitas Kristiyanti TINGKAT CEMARAN MIKROORGANISME PADA DAGING SAPI DI PASAR TRADISIONAL DAN PASAR MODERN DI KOTA KUPANG Annisa Wandha Sari, Diana A Wuri dan Annytha IR Detha PENGARUH PEMBERIAN DOSIS VAKSINASI ANTRAKS YANG BERBEDA TERHADAP TOTAL PROTEIN PLASMA DAN TITER ANTIBODI PADA TERNAK KAMBING Fhady R Loe, Maxs UE Sanam dan Elisabet Tangkonda TINGKAT CEMARAN Escherichia coli PADA DAGING AYAM BROILER DI PASAR TRADISIONAL DAN PASAR MODERN DI KOTA KUPANG Yustinus OP Wuhan, Diana A Wuri dan Elisabet Tangkonda TINGKAT CEMARAN BAKTERI Escherichia coli DAN Salmonella Sp PADA DAGING BABI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL DAN PENJUAL DAGING ECERAN DI KOTA KUPANG Setyaningsih Rambu Liwa, Annytha Ina Rohi Detta dan Novalino H.G. Kallau PENGARUH METODE VAKSINASI ANTRAKS DAN WAKTU PENGUKURAN TERHADAP SYOK ANAFILAKSIS DAN BEBERAPA PARAMETER FISIOLOGIS PADA KAMBING Fonny I Lalus, Maxs UE Sanam dan Elisabet Tangkonda TINGKAT CEMARAN Escherichia coli PADA DAGING AYAM GORENG TEPUNG YANG DIJUAL DI WARUNG-WARUNG KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS NUSA CENDANA Ditha Diastryani, Novalino HG Kallau, Elisabeth Tangkonda TINGKAT KONTAMINASI Escherichia coli PADA DENDENG SAPI YANG BERASAL DARI INDUSTRI RUMAH TANGGA DI KOTA DAN KABUPATEN KUPANG Martha U Siregar, Novalino HG Kallau, Elisabet Tangkonda ANCAMAN KEJADIAN BRUCELLOSIS PADA MANUSIA DI WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR Annytha IR Detha dan Fenny A Bili PEMAHAMAN MASYARAKAT KOTA KUPANG TENTANG PERAN DOKTER HEWAN DALAM UPAYA MENJAGA KESEHATAN HEWAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Jayusman A Joesoef, Frans U Datta dan Annytha IR Detha PERBANDINGAN RESPON ESTRUS HASIL SINKRONISASI MENGGUNAKAN PREPARAT PROSTAGLANDIN F2alfa (PGF2α) DENGAN METODE INTRA UTERINE DAN INTRA MUSKULAR PADA SAPI BALI (Bibos banteng) Mario AB Bhasarie, Yohanes TRMR Simarmata, P Kune
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014 PEMBANDINGAN TINGKAT PEMAHAMAN PELAJAR SEKOLAH MENENGAH ATAS DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN TENTANG HIGIENITAS DAGING DAN PRODUK OLAHANNYA DI PULAU TIMOR Debora Koly Selan, Frans U Datta dan Herlina U Deta STUDI PUSTAKA BEBERAPA PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR Annytha Detha
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Materi
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Kolaborasi Profesi Kedokteran dan Kedokteran Hewan dalam Penanggulangan Penyakit Emerging dan Re-emerging Zoonosis Maxs U.E. Sanam dan Frans Umbu Datta Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui, Kupang (85001) Nusa Tengara Timur
Abstrak Banyak penyakit menular, termasuk yang disebabkan oleh agen bioteroris, adalah zoonosis. Zoonosis adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan liar dan domestik kepada manusia dan merupakan ancaman kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Karena penyakit ini berasal dari hewan, strategi pencegahan dan pengendalian harus inovatif dan memerlukan upaya gabungan dari berbagai bidang atau disiplin ilmu. Sebagai contoh, kolaborasi yang lebih erat diperlukan antara dokter hewan, dokter, dan profesional kesehatan masyarakat pada 3 bidang yakni kesehatan individu, kesehatan penduduk/populasi, dan penelitian kedokteran komparatif. Dalam tataran kesehatan individu, penilaian potensi penularan penyakit zoonosis dari hewan ke manusia haruslah mendapatkan masukan baik dari dokter maupun dokter hewan, terutama untuk pasien berisiko tinggi seperti mereka yang mengalami penurunan kekebalan (immunocompromised). Patogen bersumber hewan yang harus mendapatkan perhatian antara lain Toxoplasma gondii, Cryptosporidium spp., Salmonella spp., Campylobacter spp., Giardia lamblia, Rhodococcus equi, Bartonella spp., Mycobacterium marinum, Bordetella bronchiseptica, Chlamydia psittaci, dan dermatofit zoofilik. Pada tataran kesehatan populasi, sistem surveilans sangat penting dalam pelacakan dan pengendalian zoonosis seperti virus avian influenza, virus West Nile, dan patogen bawaan makanan (foodborne pathogens) pada hewan domestik, hewan liar, dan populasi manusia, yang akan membantu mengarahkan tindakan pengendalian yang efektif. Mengingat dokter dan dokter hewan akan menjadi profesional kunci untuk mengenali dan melaporkan wabah, peningkatan komunikasi antara ahli epidemiologi di rumah sakit, dokter hewan, dan petugas kesehatan masyarakat setempat tidak hanya akan membantu mempercepat respon lokal, tetapi juga membantu mengidentifikasi apakah suatu penyakit yang tidak biasa atau wabah yang melibatkan hewan dan manusia tersebut merupakan peristiwa yang terkait ataukah terpisah. Dalam aspek penelitian, kolaborasi antara dokter dan dokter hewan dalam kedokteran perbandingan akan meningkatkan pemahaman kita tentang interaksi agen-host dalam suatu penyakit zoonosis. Kedokteran perbandingan adalah kajian tentang proses penyakit lintas spesies, termasuk manusia. Dokter dan dokter hewan yang tergabung dalam tim peneliti kedokteran perbandingan harus dipromosikan dan dimotivasi untuk memelajari interaksi agen-hospes dari suatu zoonosis. Upaya ini akan meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana suatu zoonosis memperluas jangkauan hospesnya dan pada akhirnya akan meningkatkan strategi pencegahan dan pengendalian penyakit bersangkutan.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pendahuluan Zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari dari hewan ke manusia. Emerging dan Re-emerging
zoonosis adalah penyakit menular yang: yang baru dikenali; yang baru
berkembang;
Telah terjadi sebelumnya tetapi baru-baru ini menunjukkan peningkatan
kejadian atau ekspansi ke wilayah, host atau kisaran vektor yang baru. Proses dan Faktor-faktor yang mungkin telah berkontribusi terhadap muncul Emerging dan Re-emerging diseases adalah sebagai berikut: (1) meningkatnya populasi manusia dan meniingkatnya kontak dengan binatang liar atau produk mereka, (2) Perubahan ekosistem dan pengaruh perubahan iklim dan geografis pada patogen dan vektor, (3) meningkatnya pergerakan manusia, hewan dan produk hewani, (4) masuknya mikroba asal satwa liar ke dalam sistem pertanian intensif berbasis peternakan, (5) intensif peternakan spesies hewan yang sebelumnya liar, (6) meningkatnya frekuensi dan kecepatan perjalanan baik lokal maupun internasional, (7) Perubahan mikroba itu sendiri, atau spektrum host mereka (melintasi penghalang spesies), (8) Meningkatknya kemampuan teknis diagnostik dan epidemiologi yang telah memampukan deteksi agen-agen penyakit baru. Profesi kedokteran hewan dan kedokteran adalah dua wujud profesi yang paling bertanggungjawab terhadap pencegahan dan pengendalian emerging dan re-emerging diaseases. Makalah ini membahas tiga lingkup bidang utama yang menyediakan wahana bagi kedua profesi medis tersebut untuk berkontribusi secara maksimal.
Kolaborasi Kesehatan Individu Pada aspek kesehatan tataran individual, penyakit zoonosis perlu mendapatkan perhatian bagi semua orang yang hidup dengan atau bekerja dengan hewan peliharaan, khususnya hewan kesayangan (pet animals). Risiko ini terutama dialami oleh orang, seperti pemilik hewan kesayangan, yang immunocompromised. Fakta menunjukkan bahwa dokter umumnya tidak nyaman mendiskusikan peran hewan dalam transmisi zoonosis dan akan lebih suka mendelegasikan peran tersebut kepada dokter hewan. Di sisi lain, sebagian besar pasien tidak melihat dokter hewan sebagai sumber informasi bagi kesehatan manusia. Para peneliti menemukan bahwa hanya 21% dari pasien HIV bertanya kepada dokter hewan mereka tentang risiko kesehatan akibat memelihara hewan kesayangannya. Risiko zoonosis yang ditularkan oleh hewan peliharaan tidak hanya dialami mereka yang hidup dengan HIV. Satu pasien yang mengkonsumsi obat infliximab dalam waktu lama untuk penyakit rheumatoid arthritis menjadi terinfeksi Cryptococcus neoformans setelah membersihkan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
kandang burung beberapa minggu sebelum menjalani rawat inap.
Infeksi virus
choriomeningitis limfositik manusia (LCMV) dikaitkan dengan tikus hewan peliharaan dan juga menyebabkan infeksi serius pada orang immunocompromised. Risiko ini tidak saja terbatas kepada pemilik hewan peliharaan tetapi juga melibatkan penerima sumbangan organ dari pemilik hewan yang terinfeksi. Sebagai contoh, LCMV telah dihubungkan dengan kematian 3 penerima transplantasi organ yang menerima organ dari donor mereka yang memiliki tikus peliharaan yang terinfeksi. Hewan peliharaan eksotis dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan. Salmonellosis dilaporkan terjadi pada 4 orang anak dan ibunya, serta seorang wanita berumur 80 tahun setelah terpapar dengan kura-kura kecil hewan peliharaan mereka. Salmonellosis juga telah dikaitkan dengan hewan pengerat peliharaan. Sebagai contoh, selama musim panas tahun 2004, dua anak kecil menderita sakit parah akibat salmonellosis beberapa saat setelah keluarga mereka membeli hewan pengerat peliharaan (pet rodents). Contoh kasus ini menggambarkan bahwa hidup dan bekerja dengan hewan dapat mempengaruhi kesehatan manusia pada tingkat individu. Dokter hewan yang merawat hewan yang tiba-tiba menjadi sakit dengan infeksi yang terkonfirmasi harus menilai risiko potensi zoonosis dan segera menginformasikan pemilik hewan.
Dari sudut pandang medis-hukum, dokter hewan
berkewajiban untuk melakukan hal ini, tetapi sejauh mana mereka harus menginformasikan pemilik hewan dan memastikan bahwa mereka mencari bantuan medis bervariasi tergantung pada keadaan. Tingkat keparahan risiko penyakit zoonosis serta tingkat pemahaman oleh pemilik hewan tersebut perlu untuk dipertimbangkan. Sebagai contoh, dokter hewan mungkin hanya menyarankan orang yang berpotensi terkena zoonosis untuk mencari bantuan medis atau mungkin mendesak dan memastikan bahwa orang bersangkutan menerima perhatian medis segera. Namun, peran dokter hewan dalam menilai risiko potensial penularan penyakit zoonosis bisa melampaui tingkat keterlibatan ini. Rasio risiko-manfaat bagi paparan yang sedang berlangsung pada hewan dapat dipertimbangkan dan dibahas oleh kedua profesi medis, dokter hewan dan dokter. Peran dalam hubungan hewan-dokter tersebut perlu dibentuk sejak awal sehingga dokter hewan tidak akan beresiko dituduk melakukan praktek kedokteran. Misalnya, dokter hewan dapat memberikan penilaian status kesehatan hewan ke dokter yang pasien yang mengalami immunocompromised dan bersikeras memelihara hewan kesayangannya. Karena kepemilikan hewan kesayangan memiliki manfaat psikologis dan fisiologis, jenis kolaborasi dan kerjasama antara 2 profesi medis tersebut akan sangat berharga bagi pasien. Dokter hewan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
akan memberikan pemeriksaan teratur untuk hewan pendamping untuk memastikan status kesehatan diawasi secara ketat.
Kolaborasi Kesehatan Populasi Menyadari akan terjadinya wabah penyakit pada manusia dan hewan yang terjadi secara simultan akan memberikan informasi penting untuk mengidentifikasi patogen penyebab dan mengembangkan strategi pengendalian. Misalnya, dokter yang awalnya merawat pasien penderita virus West Nile (WNV) di New York City pada tahun 1999 semestinya mendapat manfaat jika mereka tahu bahwa pada bulan sebelumnya dan secara bersamaan, dokter hewan di daerah sekitarnya telah melihat puluhan ekor burung gagak sekarat dengan gejala neurologis yang sama dengan orang-orang yang terkena. Tergantung pada negara, surveilans penyakit hewan dapat terfragmentasi. Sebagai contoh, di banyak negara, rabies pada
manusia menjadi tanggungjawab departemen kesehatan, sedangkan
rabies pada hewan adalah tanggung jawab departemen pertanian, dan pada satwa liar menjadi tanggungjawab departemen kehutanan atau lingkungan hidup. Situasi ini menghambat komunikasi diantara dokter hewan, petugas kesehatan masyarakat, dan dokter yang terlibat dalam penanggulangan wabah di tingkat lokal. Sebagai langkah darurat, jangka pendek, dokter hewan semestinya dapat menyatakan keprihatinan mereka langsung ke epidemilogist rumah sakit di daerah untuk mewaspadai potensi penyakit zoonosis tertentu yang berasal dari penyakit atau kematian sejumlah ternak atau hewan liar di sekitar lingkungan pemukiman. Komunikasi yang cepat dan langsung antara dokter hewan dan dokter ahli epidemiologi bisa menjadi sangat penting di negara-negara di mana lembaga kesehatan masyarakat lokal tidak ada atau tidak terlibat dalam investigasi dan pelaporan penyakit zoonosis. Pada tingkat populasi, patogen-patogen zoonotik menyebabkan wabah penyakit yang terbawa oleh makanan (foodborne), air (waterborne), dan arthropoda (arthropodborne). Patogen-patogen
dimaksud
meliputi
Salmonella,
Escherichia
coli
O157:H7,
Cryptosporidium, yellow fever virus, dan Borrelia burgdorferi. Banyak agen bioteroris kategori A, B, dan C, seperti Bacillus anthracis, Yersinia pestis, Francisella tularensis, Coxiella burnetii, dan Nipah virus, menyebabkan zoonoses.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Riset di Bidang Kedokteran Perbandingan Kebutuhan akan kolaborasi dokter dan dokter hewan untuk melakukan riset secara bersama-sama untuk mengendalikan zoonosis terasa teramat penting di samping kolaborasi untuk menjamin kesehatan individu maupun kesehatan populasi. Kedokteran komparatif adalah studi tentang anatomi, fisiologi, dan proses patofisiologis seluruh spesies, termasuk manusia. Perhatian perlu diberikan kepada penyakit-penyakit menular, khususnya studi tentang interaksi host-agent. Sebagai disiplin akademis, kedokteran komparatif bukanlah bidang baru; kursi pertama didirikan pada tahun 1862 di Perancis. Bidang ini memiliki sejarah yang terkenal. Pada tahun 1893, Theobald Smith, seorang dokter, dan F.L. Kilbourne, seorang dokter hewan, menerbitkan sebuah makalah mengungkapkan bahwa agen menular, Babesia bigemina, penyebab demam sapi, ditransmisikan oleh vektor arthropoda. Karya mereka membantu membuka ruang untuk penemuan Walter Reed tentang transmisi demam kuning (Yellow fever). Tim dokter-dokter hewan lain, Drs. Rolf Zinkernagel dan Peter C. Doherty, memenangkan Hadiah Nobel 1996 di bidang Fisiologi atau Kedokteran untuk penemuan mereka tentang bagaimana sistem kekebalan tubuh membedakan sel-sel normal dari sel yang terinfeksi virus. Contoh ini menggambarkan bahwa kedokteran dan kedokteran hewan saling melengkapi; mereka sinergis dalam menghasilkan wawasan ilmiah baru lintas spesies. Pada dasarnya, kedua disiplin ilmu tersebut melambangkan filosofi kedokteran komparatif. Namun, seiring dengan tumbuhnya kebutuhan masyarakat akan kerjasama para ilmuwan untuk memahami dan mengendalikan zoonosis yang muncul, bukti menunjukkan bahwa generasi ilmuwan kedoketaran dan kedokteran hewan saat ini tidak bekerja sama satu sama lain. Penelitian kedokteran biomedis dan komparatif kehilangan daya tariknya sebagai karir bagi dokter dan dokter hewan. Pemerintah dan masyarakat dituntut untuk dapat memberikan penghargaan ekonomis yang layak agar para profesional tertarik untuk mendarmabaktikan tenaga dan keahliannya bergelut di bidang pengendalian penyakitpenyakit zoonosis.
Penutup Ancaman penyakit Emerging dan Re-emerging zoonosis di tahun-tahun mendatang akan terus meningkat baik dalam jenis maupun frekuensi kejadiannya. Profesi medis, terutama di bidang kedokteran hewan, kedokteran, dan kesehatan masyarakat perlu mengembangkan kolaborasi untuk mengatasi ancaman tersebut, dan kolaborasi dimaksud
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
dapat dilaksanakan pada aspek kesehatan pada tataran individual dan populasi serta riset di bidang kedokteran komparasi.
Daftar Pustaka Bengis, R.G., F.A. Leighton, J.R. Fischer, M. Artois, T. Mörner & C.M. Tate. 2004. The role of wildlife in emerging and re-emerging zoonoses. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz. 23 (2), 497-511. Grant, S. & Ch. W. Olsen. 1999. Preventing Zoonotic Diseases in Immunocompromised Persons: The Role of Physicians and Veterinarians. Emerg Infect Dis. www.cdc.gov/eid. 5 (1).. Kahn, L.H. 2006. Confronting Zoonoses, Linking Human and Veterinary Medicine. Emerg Infect Dis. www.cdc.gov/eid. 12 (4). Kahn, L.H., B. Kaplan & J.H. Steele. 2007. Confronting Zoonosis through Closer Collaboration between Medicine and Veterinary Medicine (as ‘one medicine’). Vet Ithal. 43 (1).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Perubahan Kadar Bahan Kering dan Bahan Organik Putak Akibat Fermentasi oleh Trichoderma reesei Maritje. A Hilakore Laboratorium Kimia Pakan, Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Jln. Adi Sucipto, Penfui, Kupang 852000; Telp. 0380-881465. Email:
[email protected]
Abstract Biological treatment can lead to lossing of organic material as a effect degraded by microbe. The study was conducted to determine the extent of loss of dry matter and organic content of putak as a substrate for fermentation by Trichoderma reesei. Randomized complete factorial design of 3 x 3 pattern used in the study. The first factor is inoculum level namely 5.0; 7.5; and 10.0% (w/w) and the second factor is the incubation time which is 2; 3, and 4 days, each repeated 3 times. Parameters measured were changes in levels of dry matter (DM) and organic material (OM) of putak. The results showed that the higher level of culture and incubation time causes loss of DM and OM also higher. Key words : Corypha, gewang, putak, T. reesei
Pendahuluan Produktivitas ternak utamanya kelompok ruminansia di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan masalah yang masih terus diperjuangkan bersama oleh pemerintah, pakar serta masyarakat. Ketersediaan sumber pakan alternatif yang cukup tersedia memberi peluang penerapan teknologi murah dan mudah dilaksanakan pada aras peternak untuk menjamin ketersediaan pakan ternak. Salah satu sumber pakan tersebut adalah putak yang diperoleh dari empulur (isi) batang pohon gewang (Corypha gebanga). Laporan Nulik dkk (1988), dari satu pohon gewang dengan tinggi 15 m dapat menghasilkan putak sebanyak 415 kg (60% BK). Ginting (2000) melaporkan bahwa putak kaya akan energi (4210 kkal) dan serat kasar (12.04), tetapi rendah kandungan protein (2.53), vitamin dan lainnya. Trichoderma reesei telah lama dikenal sebagai mikrob selulolitik yang potensial dalam memecah selulosa bentuk kristalin dan amorf (Simpson dan Oldman 1984). Pada sistem selulase, Selobiohidrolase merupakan selulase utama yang diproduksi oleh T.reesei dan meliputi lebih dari 80% protein selulase. Keuntungan penggunaan mikroorganisme dalam pengolahan pakan terutama substrat berserat menurut Suhartati dkk. (2003) adalah tidak menimbulkan pencemaran lingkungan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
dibanding penggunaan bahan kimia atau perlakuan lainnya. Disamping itu menurut Winarno (1992 yaitu memperbanyak jumlah mikroorganisme dan menggiatkan metabolisme di dalam substrat sehingga substrat mempunyai nilai gizi lebih tinggi daripada asal. Hal tersebut telah dibuktikan dalam penelitian Ginting (2000) menggunakan Saccharomyces cereviciae, Hilakore dkk. dengan Aspergillus niger (2011), dan menggunakan T.reesei (2013), dimana kandungan protein kasar dan murni putak meningkat secara signifikan. Teknologi pengolahan secara mikrobiologi memungkinkan terjadi perubahan komponen kimia bahan menjadi lebih baik khususnya protein tetapi menyebabkan kandungan bahan organik/kering substrat berkurang selama proses fermentasi. Oleh sebab itu penerapan teknologi ini perlu memerhatikan efisiensi degradasi dan fermentasi agar ada keseimbangan antara penggunaan komponen substrat oleh mikroba dengan peningkatan kualitas kimia, sehingga peningkatan kualitas substrat menjadi maksimum dengan kehilangan unsur nutrisi paling minimal.
Materi Dan Metoda Rancangan Acak Lengkap pola faktorial digunakan pada penelitian ini, dengan level kultur T.reesei 5.0; 7.5; dan 10.0% (b/b) sebagai faktor pertama sedang lama inkubasi 2, 3 dan 4 hari sebagai faktor kedua, yang diulang sebanyak tiga kali. Peubah yang diukur adalah kadar bahan kering (BK), bahan organik (BO), dan serat kasar (SK) dari substrat. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis ragam selanjutnya uji Duncan.
Metoda Putak dicacah kecil-kecil ukuran ±1 x 0,5 cm kemudian dijemur hingga kering, sebanyak 100 gr dimasukan ke dalam plastik tahan panas. Mineral KH2PO4, (NH4)2SO4 dan Urea dicampur dengan air, selanjutnya ditambahkan kedalam putak kemudian dikukus selama 30 menit. Setelah dingin ditambahkan bubuk kultur dan diinkubasi sesuai perlakuan, selanjutnya dikeringkan untuk proses analisis variabel pengukuran.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Hasil Dan Pembahasan Bahan Kering dan Organik Tabel 1 memperlihatkan bahwa perlakuan terhadap substrat (putak) memberi pengaruh yang nyata (P ˂ 0.05) terhadap perubahan kadar BK, BO, dan SK substrat.
Tabel 1 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh T.reesei dengan level kultur dan lama inkubasi yang berbeda T.reesei 1.98x105 (A)
(%) Lama Inkubasi cfu/g (hari/W)
Kadar Nutrien Putak (% BK) BK
BO
SK
0
91.05
84.11
9.70
5.0 (T1)
2 3 4
95.22 b 95.62 b 94.61 c
90.62 c 90.54 a 87.95 c
7.14a 8.32b 6.61a
7.5 (T2)
2 3 4
93.60 a 92.77 a 92.63 b
88.87 b 86.25 a 85.78 b
8.03b 8.60c 9.08b
10.0 (T3)
2 3 4
93.86 a 92.87 a 90.79 a
87.49 a 86.17 a 83.26 a
7.05a 7.93a 10.57c
Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan interaksi nyata (P<0.05) antar perlakuan Bahan Kering dan Organik Kehilangan BK dan BO sangat tergantung pada jumlah kultur serta lama inkubasi. Hal ini dapat dipahami karena untuk pertumbuhannya kapang memerlukan nutrien yang ada dalam BO atau BK menyebabkan semakin tinggi volume kultur maka perombakan BO terutama, juga makin banyak. Demikian juga dengan bertambahnya waktu inkubasi maka makin banyak kesempatan bagi kapang untuk mendegradasi unsur-unsur organik substrat guna memenuhi kebutuhannya untuk bertumbuh sehingga mengakibatkan berkurangnya kedua unsur tersebut, disamping faktor lain dari proses fermentasi itu sendiri, perubahan komposisi kimia substrat, misalnya perubahan kadar protein yang meningkat sanat tajam (Hilakore dkk. 2013).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Bahan kering maupun bahan organik merupakan sumber nutrien bagi kapang dan penggunaannya sangat dipengaruhi oleh kemampuan metabolisme serta daya larut unsur tersebut. Kapang memanfaatkan nutrien yang tersedia dalam medium untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya (Rahman 1992). Proses sterilisasi substrat sebelum penanaman inokulum dapat merubah bentuk fisik bahan menjadi lebih lunak serta meningkatkan akses kapang memanfaatkan BO yang tersedia guna menunjang pertumbuhan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mishra et al. (2004) bahwa pemanasan mengakibatkan terjadi gelatinisasi terutama pada karbohidrat dan menyebabkan pati menjadi lebih mudah dihidrolisis sehingga proses pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan menjadi lebih baik.
Serat Kasar Fermentasi putak dengan T.reesei pada level terpilih yakni fermentasi selama empat hari dan level kultur 7.5% (1.98x105 cfu/g) atau perlakuan T2W4, didasarkan pada kenaikan kandungan protein kasar (20.60%) dan murni (13.25%) (Hilakore dkk., 2013). Pada perlakuan ini menyebabkan penurunan kadar serat kasar substrat yakni 9.70% sebelum difermentasi menjadi 9.08% setelah difermentasi. Kenyataan ini menunjukkan kemampuan kapang dalam menghasilkan enzim selulase untuk mendegradasi komponen selulosa yang ada dalam medium. Enzim selobiohidrolase (C1 =CBH) yang dihasilkan kapang berfungsi untuk menghidrolisis selulosa yang ada dalam substrat. Fungsi utama enzim ini adalah mendegradasi selulosa menjadi selobiosa. Seperti dikemukakan bahwa T. reesei merupakan kapang yang sangat potensil dalam menghasilkan enzim endo- dan ekso-glukanase (Panda et al. 1988, Pakula et al. 2000, Pakula et al. 2005). Selain itu, pertumbuhan kapang ikut menyumbangkan serat kasar yang berasal dari miselium/hifa sehingga makin banyak massa sel makin tinggi kadar serat. Menurut Gandjar et al. (2006) bahwa salah satu komponen penting dinding sel kapang adalah kitin dan kitosan. Dalam analisis proksimat komponen tersebut terhitung sebagai serat kasar. Dengan demikian akibat pertumbuhan kapang akan meningkatkan serat dalam substrat. Selain itu perombakan unsur substrat untuk memperoleh nutrien bagi pertumbuhan kapang menyebabkan terjadi perubahan komposisi kimia substrat karena terjadi biokonversi komponen non serat selama proses inkubasi. Kehilangan tersebut menyebabkan komposisi substrat secara kseluruhan ikut berubah. Penutup Simpulan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Semakin padat volume kultur T.reesei dan semakin lama waktu inkubasi menyebabkan berkurangnya kandungan bahan kering, bahan organik serta serat kasar putak.
Saran Perlu dikaji manfaat putak fermentasi terhadap performa ternak khususnya ternak ruminansia.
Daftar Pustaka Fardiaz S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB Ginting MU. 2000. The influence of fermented putak in pig diets digestibility and growth performance of weanling pigs [disertasi]. Gottingen/Germany: Institute of Animal Physiology and Animal Nutrition Georg-August-University . Hilakore, M A, Suryahadi, Komang Wiryawan dan Djumali Mangunwijaya. 2011. Peran Aspergillus niger dalam Meningkatkan Protein Putak. Media Kedoktern Hewan, Vol. 27 No.1 hal. 16 – 20. Hilakore, M A, Suryahadi, Komang Wiryawan dan Djumali Mangunwijaya. 2013. Peningkatan Kadar Protein Putak melalui Fermentasi oleh Kapang Trichoderma reesei. Jurnal Veteriner Vol. 14 No. 2: 250 – 254. Jaelani A. 2007. Hidrolisis bungkil inti sawit oleh kapang Trichoderma reesei sebagai pendegradasi polisakarida mannan dan pengaruhnya terhadap penampilan ayam pedaging [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Juhasz T, Kozma K, Zsolt Szengyel, Reczey K. 2003. Production of β-glucosidase in mixed culture of Aspergillus niger BKMF 1305 and Trichoderma reesei RUT C30. Food Technol Biotechnol 41:49-53. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press Nulik J, Fernandez PTh, Bamualim A. 1988. Pemanfaatan dan produksi putak sebagai sumber energi makanan ternak sapi dan kambing. Laporan Penelitian Komponen Teknologi Peternakan, Main Base Kupang 1987 – 1988. Proyek NTASP. BPPP Deptan. Pakula TM, Uusitalo J, Saloheimo M, Salonen K, Robert JA, Penttilä M. 2000. Monitoring the kinetics of glycoprotein synthesis snd secretion in the filamentous fungus Trichoderma reesei: cellobiohydrolase I (CBHI) as a model protein. Microbiology 146:223-232. Pakula TM, Laxell M, Huuskonen A, Uusitalo J, Saloheimo M, Penttilä M 2003. The effects of drugs inhibiting protein secretion in the filamentous fungus Trichoderma reesei. The Journal of Biological Chemistry 278: 45011-45020.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pakula TM, Salonen K, Uustalo J, Penttilä M. 2005. The effect of specific growth rate on protein synthesis and secretion in the filamentous fungus Trichoderma resei. Microbiology 151:135-143. Panda T, Bisaria VS, Ghose TK. 1989. Method to estimate growth of Trichoderma reesei and Aspergillus wentii in mixed culture on cellulosic substrates. Appl Environ Microbiol 55:1044-1046. Rachman Ansori. 1992. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor: PAU IPB Suhartati F.M, Suryapratama W, Ning Iriyanti. 2003. Sintesis asam amino metionin pada Trichoderma reesei dan pengaruhnya terhadap sintesis protein mikroba rumen. Jurnal Peternakan dan Lingkungan 9:12-16. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Kejadian Infeksi Toxoplasma Gondii Pada Kucing Liar Dan Kucing Peliharaan Di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur Diana A. Wuri Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui, Kupang (85001) Nusa Tengara Timur
Abstrak Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang banyak ditemukan pada manusia dan hewan di seluruh dunia. Tingginya kasus toxoplasmosis di Indonesia, menunjukkan bahwa kontak antara protozoa Toxoplasma gondii dan manusia cukup tinggi. Kejadian toxoplasmosis pada manusia berkaitan dengan kejadian toxoplasmosis pada kucing sebagai hospes definitif dari T. gondii. Kejadian toxoplasmosis juga terkait erat dengan konsumsi produk pangan asal hewan yang mengandung kista Toxoplasma. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat kejadian toxoplasmosis pada kucing (kucing liar dan kucing peliharaan), serta derajat infeksinya di Kota Kupang. Metode yang digunakan adalah dengan pemeriksaan feses kucing untuk memeriksa keberadaan ookista T. gondii dan pemeriksaan darah untuk mendeteksi IgG toxoplasma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi toxoplasmosis pada kucing di Kota Kupang adalah 48%, kucing peliharaan mempunyai prevalensi toxoplasmosis sebesar 56%, sedangkan kucing liar sebesar 40%. Infeksi primer toxoplasmosis pada kucing adalah 26%, pada kucing peliharaan sebesar 28% dan pada kucing liar sebesar 24%. Kucing yang terinfeksi ringan sebesar 71,4%, infeksi sedang 14,3% dan infeksi berat 14,3%. Pada kucing peliharaan, 84,6% menderita infeksi ringan, 7,7%% menderita infeksi sedang dan 7,7% menderita infeksi berat. Pada kucing liar, semua kucing yang terinfeksi menderita infeksi ringan (100%). Prevalensi toxolasmosis pada kucing peliharaan lebih tinggi daripada kucing liar (p<0.05). Infeksi primer toxoplasmosis pada kucing peliharaan lebih tinggi dari kucing liar (p<0.05), tetapi tidak ada perbedaan derajat infeksi antara kucing peliharaan dan kucing liar (p>0.05). Kata Kunci: Toxoplasma gondii, kucing liar, kucing peliharaan
Pendahuluan Toxoplasmosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang berbagai jenis hewan mamalia dan unggas dan dapat pula menular kepada manusia (Soeharsono 2002; Dharmojono 2001). Penyakit ini disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Toxoplasmosis biasanya ditularkan dari kucing tetapi penyakit ini juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, sapi, domba, dan hewan peliharaan lainnya.
Penularan toxoplasma juga dapat terjadi akibat
mengkonsumsi bahan pangan asal hewan yang mengandung kista jaringan T. gondii atau bahan pangan nabati yang yang terkontaminasi T. gondii. Dari segi kesehatan manusia parasit ini dapat berakibat fatal terutama bagi janin yang dikandung oleh ibu yang terinfeksi oleh
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Toxoplasma ataupun para penderita immunocompromise. Diperkirakan 30-50% populasi manusia di dunia telah terinfeksi oleh Toxoplasma dan secara klinis mengandung kista (Anonim 2004a). Toxoplasmosi berpotensi besar terjadi pada hewan maupun manusia di NTT. Tingginya populasi hewan rentan dan manajemen pemeliharaan hewan yang masih bersifat ekstensif tradisional atau semi intensif menyebabkan peluang kontak antara hewan rentan dan agen infektif sangat tinggi. Cara penanganan bahan pangan asal hewan (daging) yang tidak tepat dan tidak higienis juga meningkatkan resiko terjadinya toxoplasmosis. Sampai saat ini belum ada penelitian menyeluruh mengenai prevalensi dan pola penularan toxoplasmosis pada hewan dan manusia di NTT khususnya di Kupang.
Kajian mengenai hubungan
toxoplasmosis dan gangguan pada kehamilan (abortus, lahir prematur, lahir mati) dan kelainan pada janin yang dikandung juga belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut dengan meneliti kejadian toxoplasmosis pada kucing sebagai hospes definitif dan hewan rentan lainnya, dan prevalensinya pada bahan pangan asal hewan (daging) dan manusia. Dengan mengetahui prevalensi dan pola penularan toxoplasma, maka dapat dilakukan tindakan pencegahan yang efektif baik pada hewan maupun pada manusia. Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui tingkat kejadian dan derajat infeksi toxoplasmosis pada kucing, baik kucing liar maupun kucing peliharaan, sebagai hospes definitif dari Toxoplasma gondii serta menghasilkan rekomendasi mengenai sistem manajemen kesehatan dan pemeliharaan hewan untuk pencegahan toxoplasmosis yang lebih luas.
Materi dan Metoda Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri atas pemeriksaan sampel feses dari kucing liar dan kucing peliharaan dan pemeriksaan sampel darah dari kucing liar dan kucing peliharaan di Kota Kupang. Jenis penelitian yang dilakukan adalah dalam bentuk survei, dengan metode pengambilan sampel secara purposive. Sampel yang digunakan berupa feses, masing-masing 25 sampel feses kucing peliharaan (kucing yang dipelihara di rumah) dan 25 sampel feses kucing liar (tanpa pemilik) yang ada di Kota Kupang. Untuk mengetahui kejadian toxoplasmosis dengan cara mengisolasi ookista T. gondii dari feses kucing. Sampel feses yang diperoleh diperiksa menggunakan metode apung dengan gula jenuh (gula sheater) untuk
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
melihat keberadaan ookista T. gondii. Sampel positif kemudian diperiksa lebih lanjut untuk menghitung jumlah ookista per gram feses (OPG) dengan menggunakan metode Stoll Modifikasi I. Untuk pemeriksaan serologis, dari setiap ekor kucing diambil 1-3 ml darah. Darah dibiarkan beku (±30 menit) kemudian disentrifuse selama 30 menit dengan kecepatan 3000rpm. Serum yang diperoleh kemudian dibekukan dalam lemari pendingin. Serum yang disimpan beku pada temperatur -20C dapat bertahan sampai bertahun-tahun. Pengujian hipotesis untuk mengetahui perbedaan derajat toxoplasmosis serta derajat infeksi antara kucing peliharaan dan kucing liar dilakukan dengan menggunakan uji t (T-Test).
Hasil Dan Pembahasan Keadaan Umum Penelitian Sampel yang digunakan adalah feses dan darah dari 50 ekor kucing yang terdiri atas 25 ekor kucing peliharaan (kucing yang dipelihara di rumah) dan 25 ekor kucing liar (tanpa pemilik) yang ada di Kota Kupang. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana. Kucing peliharaan diperoleh dari para pemilik kucing yang ada di 4 kecamatan di Kota Kupang yaitu Kecamatan Alak, Kecamatan Maulafa, Kecamatan Oebobo dan Kecamatan Kelapa Lima. Kucing yang diambil semuanya adalah kucing lokal dewasa/dewasa muda. Untuk kucing liar, pengambilan sampel dilakukan dengan cara menangkap kucing-kucing liar yang berada di pasar, di rumah sakit, dan di warung-warung makan. Kucing yang telah diperoleh kemudian dibawa ke laboratorium untuk diambil darah dan fesesnya. Setelah pengambilan sampel, kucing dikembalikan ke tempat asalnya. Sampel feses diperiksa menggunakan metode apung dengan gula jenuh untuk melihat keberadaan ookista T. gondii. Selanjutnya, pada sampel positif dilakukan uji kuantitatif untuk menghitung jumlah ookista per gram feses (OPG) dengan menggunakan metode Stoll Modifikasi I. Serum darah yang diperoleh disimpan pada suhu -20C sampai dilakukan pemeriksaan serologis.
Pemeriksaan serum untuk pengujian serologis menggunakan kit
Pastorex toxo® Biorad (France).
Prevalensi Toxoplasmosis pada Kucing di Kupang Kucing dan hewan famili Felidae merupakan hospes definitif dari T. gondi, oleh karena itu kucing memegang peranan penting dalam transmisi toxoplasmosis. Kucing yang
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
menderita toxoplasmosis dapat didiagnosa dengan melakukan pemeriksaan feses, yaitu mendeteksi adanya ookista T. gondii dalam feses. Ookista adalah salah satu bentuk infektif dari T. gondii dan hanya dapat ditemukan pada feses kucing dan famili Felidae lainnya. Stadium infektif T. gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk takizoit, kista, dan ookista. Pada kucing dapat ditemukan ketiga bentuk stadium infektif. Bila kucing menelan T. gondii dalam stadium kista, ookista diekskresikan dalam feses 3-5 hari kemudian. Jika yang tertelan adalah stadium takizoit, ookista dapat ditemukan dalam feses 9-11 hari kemudian.
Sedangkan jika yang tertelan adalah stadium ookista, ookista dalam feses
ditemukan 21-24 hari kemudian. Takizoit berbentuk oval dengan ukuran 3 – 7m, dapat menginvasi semua sel mamalia yang memiliki inti sel dan ditemukan dalam jaringan selama masa akut dari infeksi (Sciammarella 2001). Bila infeksi menjadi kronis, takizoit dalam jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit. Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan berukuran 50 – 200m (Dharmojono 2001). Kista penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat. Bentuk yang ketiga adalah bentuk ookista yang berukuran 10-12m (Dubey 1999). Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feses kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni dan siklus seksual atau gametogeni dan sporogoni. Kucing yang menderita toxoplasmosis dalam sekali ekskresi akan mengeluarkan ribuan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh hospes perantara seperti manusia, atau hewan rentan lainnya maka pada berbagai jaringan hospes perantara akan dibentuk kelompok-kelompok takizoit yang membelah secara aktif. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus atau daging yang mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut. Ookista memiliki dua sporokista dan masing-masing sporokista berisi 4 sporozoit. Sporokista berukuran panjang 8 dan lebar 6. Empat sporozoit masing-masing berukuran panjang 8 dan lebar 2. Ookista yang terekskresi bersama feses kucing akan bersporulasi menjadi bentuk yang infeksius terhadap manusia dan jenis hewan lainnya dalam waktu 1-5 hari (tergantung suhu dan kelembaban udara). Ookista dapat terus dikeluarkan sampai 20 hari berikutnya. (Dubey 1999). Hasil pemeriksaan feses untuk melihat keberadaan ookista pada kucing peliharaan dan kucing liar disajikan pada Tabel 1.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 1. Prevalensi toxoplasmosis pada kucing di Kupang Jumlah kucing yang terinfeksi Positif ookista
Positif serologis
Cara pemeliharaan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Kucing Peliharaan
7/25
28%
14/25
56%
Kucing Liar
6/25
24%
10/25
40%
Total
13/50
26%
24/50
48%
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa prevalensi toxoplasmosis pada kucing di Kupang adalah sebesar 26%. Prevalensi toxoplasmosis pada kucing peliharaan sebesar 28% dan pada kucing liar sebesar 24%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa cara pemeliharaan kucing di rumah lebih berhubungan nyata (p<0,05) terhadap prevalensi toxoplasmosis dibandingkan dengan kucing liar (p>0,011). Prevalensi toxoplasmosis pada kucing di Kupang lebih tinggi dari prevalensi toxoplasmosis pada kucing di Bogor (10%), Kalimantan Selatan (21,74%), dan Jawa Tengah (5,56%), tetapi lebih rendah dari prevalensi toxoplasmosis di Kalsel (40%) dan Kalteng (28%) (Suprihati et al. 1998; Iskandar 1999, Subekti 2004 dalam Subekti 2008). Tingkat kejadian toxoplasmosis pada kucing peliharaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kucing liar kemungkinan disebabkan oleh cara pemeliharaan kucing yang lebih sering menelantarkan kucing dibandingkan merawat kucing. Kucing di Kupang umumnya dipelihara bukan sebagai hewan kesayangan tetapi untuk mencegah adanya tikus di rumah. Pemilik kucing membiarkan kucing menangkap tikus, burung atau serangga, yang dapat bertindak sebagai hospes antara dari T. gondii. Kucing juga seringkali tidak diberi makanan yang cukup sehingga memicu kucing untuk mencari makanan di luar rumah, misalnya di tempat pembuangan sampah.
Pemberian makanan berupa sisa-sisa daging mentah juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya infeksi melalui kista yang kemungkinan terdapat dalam daging. Kucing yang dipelihara di rumah juga umumnya tidak mempunyai tempat pembuangan kotoran yang khusus. Pemilik kucing membiarkan kucing defekasi di tanah sekitar rumah. Hal ini menyebabkan kucing sering kontak dengan tanah yang kemungkinan terdapat ookista. Ookista sangat tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan serta bertahan hidup dan berdiam pada tanah yang basah ataupun pada tanah berpasir. Dalam kondisi yang cocok, ookista dapat bertahan lebih dari 1 tahun (Dharmojono 2001).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tingkat kejadian toxoplasmosis dengan deteksi ookista menunjukkan bahwa infeksi yang terjadi pada kucing adalah infeksi primer. Dengan pemeriksaan serologis, tingkat kejadian toxoplasmosis pada kucing di Kupang lebih tinggi lagi karena uji serologis dapat mendeteksi infeksi yang bersifat kronis (infeksi terdapat dalam bentuk kista T. gondii, ookista tidak diekskresikan lagi dalam feses). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa secara serologis, kucing yang menderita toxoplasmosis sebanyak 48%, dengan tingkat infeksi pada kucing peliharaan sebesar 56% dan kucing liar sebesar 40%.
Derajat Infeksi Toxoplasmosis pada Kucing di Kupang Kondisi kucing yang diperiksa umumnya terlihat baik, tidak ada yang menunjukkan gejala klinis khas terhadap toxoplamosis. Derajat infeksi toxoplasmosis pada kucing di Kupang dapat dilihat pada Tabel 2. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar kucing yang terinfeksi T. gondii menderita infeksi ringan (84,6%). Kucing yang menderita infeksi sedang sebesar 7,7% dan infeksi berat sebesar 7,7%.
Pada kucing peliharaan, 71,4%
menderita infeksi ringan, 14,3% menderita infeksi sedang, dan 14,3% menderita infeksi berat. Pada kucing liar, semua kucing yang terinfeksi menderita infeksi ringan (100%). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan derajat infeksi antara kucing peliharaan dan kucing rumah.
Tabel 2. Derajat infeksi toxoplasmosis pada kucing di Kupang Cara
Derajat Infeksi
Pemeliharaan Ringan
Sedang
Jumlah
Prevalensi Jumlah
Prevalensi Jumlah
Prevalensi
5/7
71,4%
1/7
14,3%
1/7
14,3%
Kucing Liar
6/6
100%
0/6
0%
0/6
0%
Total
11/13
84,6%
1/13
7,7%
1/13
7,7%
Kucing
Berat
Peliharaan
Secara umum, kucing-kucing yang menderita infeksi ringan dan sedang tidak menunjukkan gejala klinis yang berarti. Pada kucing yang menderita infeksi berat, kucing terlihat lesu dengan konsistensi feses yang lembek, tetapi tidak terlihat adanya gejala klinis toxoplasmosis yang khas.
Kondisi kucing ini kemungkinan disebabkan adanya infeksi
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
gabungan dengan endoparasit lain, karena pada sampel feses yang sama ditemukan telur cacing dalam jumlah besar. Menurut Soeharsono (2002), gejala klinis toxoplasmosis dapat dilihat pada hewan penderita yang kondisinya buruk, malnutrisi atau hewan muda yang dalam keadaan stres. Pada anak kucing, gejala klinis yang ditemukan antara lain pireksia, anoreksia, muntah, dispneu, dan jaundice. Kadang-kadang ditemukan juga gejala saraf berupa inkoordinasi gerak dan kekakuan otot.
Beberapa diantara anak kucing yang tertular mati disertai
peradangan kelenjar limfe, jantung dan otak.
Penutup Simpulan Prevalensi toxoplasmosis pada kucing di Kota Kupang adalah 26%.
Prevalensi
toxoplasmosis pada kucing peliharaan sebesar 28% lebih tinggi dari pada prevalensi pada kucing liar sebesar 24%. Kucing yang terinfeksi ringan sebesar 71,4%, infeksi sedang 14,3% dan infeksi berat 14,3%. Pada kucing peliharaan, 84,6% menderita infeksi ringan, 7,7%% menderita infeksi sedang dan 7,7% menderita infeksi berat. Pada kucing liar, semua kucing yang terinfeksi menderita infeksi ringan (100%). Tidak ada perbedaan derajat infeksi antara kucing peliharaan dan kucing liar.
Saran Pada kucing peliharaan, jangan memberi makanan berupa daging mentah atau setengah matang. Kucing dapat diberi makanan yang sudah masak, atau makanan kering (makanan kalengan). Kucing jangan dibiarkan menangkap tikus, burung atau serangga dan berkeliaran di luar rumah. Sebaiknya terdapat tempat khusus untuk defekasi, serta feses kucing dibuang setiap hari untuk mencegah ookista mengalami sporulasi.
Daftar Pustaka Anonim. 2001. Studi Toxoplasma pada Daging Kambing yang Dijual di Pasar Tradisional dan Pasar Swalayan Kotamadya Surabaya. JurnaL Penelitian Medika Eksakta Vol. 2 No. 2 – August. Anonim. 2004a. Toxoplasmosis Public health Education Information Sheet. . Anonim.
2004b. Toxoplasma gondii ( Toxoplasmosis ). courses/mic569/ docs/parasite/TOXO.HTML.
http://cvm.msu.edu/
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Chatterton JMW. 2002. Toxoplasma Dye com/~ukneqas.parasitologyscheme/index.html.
Test.
http://www.btinternet.
Chandra G. 2001. Toxoplasma gondii: Aspek Biologi, Epidemiologi, Diagnosis, dan Penatalaksanaannya. Medika (5) Tahun XXVll Dharmojono H. 2001. Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia. Jakarta: Milenia Populer. Dubey JP. 1999. Toxoplasma gondii. http://www.medimicro chapter84.htm/ Figueiredo JF, Silva DAO, Cabral DD, Mineo JR. 2001. Seroprevalence of Toxoplasma gondii in goats by the Indirect Haemagglutination, Immunoflourescence and Immunoenzymatic Test in the region of Uberlandia, Brazil. Memorias do instituto Oswaldo Cruz On-line. 96(5). Gandahusada S, Ilahude HHD, Pribadi W. 2002. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Inoue I, Leow CS, Husin D, Matsuo K, Darmani P. 2001. A survey of Toxoplasma gondii antibodies in pigs in Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 32(1):38-40. Jones J, Lopez A, Wilson M. 2003. Toxoplasmosis congenital. http://www.aafp.org/afp/ 20030515/2131.html. Remington JS, Thulliez P, Montoya JG. 2004. Recent Developments for Diagnosis of Toxoplasmosis. Journal of Clinical Microbiology 42(3): 941–945. Roghmann MC, Faulkner CT, Lefkowitz A, Patton S, Zimmerman J, Morris JR. 1999. Decreased seroprevalence for Toxoplasma gondii in Sevent Day Adventists in Maryland. Am. J.Trop.Med. Hyg. 60(5): 790-792. Sciammarella J. 2001. Toxoplasma gondii. http://www.emedicine.com/. Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius. Subekti DT. 2008. Tinjauan terhadap toxoplasmosis dan resikonya pada manusia. Proceedings AZWMC dan KIVNAS X PDHI. Suhardjo, Utomo PT, Agni AN. 2003. Clinical manifestations of ocular toxoplasmosis in Yogyakarta, Indonesia: a clinical review of 173 cases. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 34(2): 291-297. Suwanti LT, Suprihati E, Mufasirin. 2006. Prevalensi Toxoplsmosis pada Ayam di Beberapa Pasar di Kota Surabaya. Med Ked Hewan 22(1).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Terazawa A, Muljono R, Susanto L, Margono SS, Konishi E. 2003. High Toxoplasma antibody prevalence among inhabitants in Jakarta, Indonesia. Jpn J Infect Dis. 56(3): 107-109. Weigel RM, Dubey JP, Dyer D, Siegel AM. 1999. Risk factors of infection with Toxoplasma gondii for residents and workers on swine farms in Illinois. Am. J. Trop. Med. Hyg. 60(5): 793-798. Wu L. 2001. Toxoplasma gondii. http://www.emedicine.com/.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pengaruh Penambahan Enzim Amilase, Protease, Xylanase, Dan Fitase Terhadap Performans Pertumbuhan Ayam Broiler Catootjie L. Nalle1, dan Marlin R. K. Yowi 2 1
Program Studi Teknologi Pakan Ternak, Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Jl. Adi Sucipto Kupang; Email:
[email protected] 2 Program Studi Kesehatan Hewan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Jl. Adi Sucipto Kupang; Email:
[email protected]
Abstrak Dua eksperimen dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh penambahan enzim amilase, protease, xylanase dan fitase terhadap performans pertumbuhan ayam broiler. Pada eksperimen 1, komposisi nutrisi termasuk energi metabolis semu dari dedak padi dan jagung dianalisis. Pada eksperimen 2, dengan menggunakan nilai energi metabolis semu dan total asam amino pada eksperimen 1, ransum yang mengandung enzim amilase, protease, xylanase, dan fitase diformulasi dan dievaluasi pengaruhnya terhadap performans produksi dari ayam broiler starter. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pertambahan berat badan (PBB) dan konsumsi ransum (KR) dipengaruhi secara signifikan (P<0,05 sampai 0,01) oleh perlakuan penambahan enzim amilase, protease, xylanase dan fitase. Sedangkan angka konversi ransum dan mortalitas tidak dipengaruhi (P>0,05) oleh pemberian enzim. Kelompok ayam broiler yang diberikan ransum basal rendah energi yang mengandung enzim amilase, protease, xylanase dan fitase memberikan PBB dan KR yang lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok ternak yang diberikan pakan kontrol. Simpulannya, performans pertumbuhan ayam broiler yang mengkonsumsi ransum rendah energi dan disuplementasi dengan enzim amilase, protease, xylanase dan fitase lebih baik dibandingkan dengan performans pertumbuhan kelompok ternak yang diberikan ransum kontrol. Kata kunci: Energi metabolis semu, asam amino, enzim, performans, broiler.
Pendahuluan Jagung dan dedak padi merupakan sumber energi pakan yang dipergunakan dalam formulasi ransum unggas dan ternak monogastrik lainnya di industri peternakan unggas Indonesia. Pemanfaatan jagung secara luas disebabkan oleh kandungan energinya yang cukup tinggi dan bersifat palatable. Sedangkan penggunaan dedak padi dalam ransum disebabkan karena ketersediaannya yang melimpah dan harganya murah. Namun, ketersediaan jagung di masa mendatang dan harga jagung yang cenderung meningkat setiap tahun menjadi ancaman serius bagi industri perunggasan dunia termasuk Indonesia. Sedangkan dedak padi cukup potensial sebagai alternatif pengganti energi, namun karena kandungan antinutrisinya yang
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
tinggi, terutama serat dan fitat menyebabkan penggunaan dedak padi dalam ransum masih terbatas. Hasil penelitian membuktikan bahwa serat pakan yang tinggi dapat meningkatkan viskositas usus unggas, waktu transit digesta, dan jumlah mikroba pathogen dalam saluran pencernaan, mempengaruhi morphologi dan histologi saluran pencernaan, menurunkan daya cerna asam amino, pati, lemak dan mineral (Jørgensen et al., 1996, Choct, 1997, de Lange, 2000, Nalle, 2009). Sedangkan asam fitat menyebabkan fosfor fitat menjadi tidak tersedia untuk pencernaan dan penyerapan oleh ternak unggas dan menimbulkan efek negatif pada pencernaan kalsium, protein dan asam-asam amino serta karbohidrat (Ravindran dan Bryden, 1997; Sangadji, 2004). Secara teori, formulasi pakan untuk unggas haruslah isoenergetics dan isonitrogent, serta sesuai dengan standar kebutuhan nutrisi ternak agar menghasilkan performans pertumbuhan yang optimal. Sebaliknya ransum yang diformulasikan dengan kandungan nutrisi yang tidak seimbang, misalnya rendah akan energi, maka pertumbuhan yang optimal tidak akan tercapai. Upaya yang dapat dilakukan agar ransum yang tidak seimbang agar menjadi seimbang adalah dengan penambahan enzim.
Materi Dan Metode Bahan pakan Bahan pakan yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi dedak padi dan jagung. Dedak padi yang dipergunakan berasal dari tempat penggilingan padi di Oesao, kecamatan Kupang Timur. Sebelum dimasukkan dalam ransum perlakuan jagung kuning digiling dengan hammer mill dengan ukuran saringan 3 mm.
Eksperimen 1. Penentuan energi metabolis semu Pakan basal jagung-bungkil kedelei diformulasikan (Tabel 1) dan dua pakan perlakuan di formulasikan dengan mensubstitusi dedak padi (difermentasikan dan tidak difermentasi, 250 g kg-1 (w/w) dari pakan basal. Day old chick (DOC) jantan dan betina (cobbs) dipelihara pada kandang lantai dan diberikan pakan broiler starter komersial (protein kasar 230 g kg-1) sampai berumur 21 hari. Pakan dan air minum tersedia setiap saat. Pada hari ke-21, 48 ekor broiler dengan bobot badan yang seragam diseleksi dan ditempatkan secara acak pada 12 kandang (4 ekor/kandang). Ternak ayam broiler diberikan pakan broiler finisher (protein kasar 180 g kg-
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014 1
) sampai umur 28 hari. Pada umur 28 hari, kandang perlakuan dengan empat ulangan
ditentukan secara acak untuk setiap pakan perlakuan. Penentuan energi metabolis semu dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan total excreta klasik. Ransum uji dalam bentuk mash diberikan kepada ternak ayam broiler mulai hari ke-28. Konsumsi ransum dan ekskreta yang dihasilkan ditimbang per kandang mulai hari ke-32 sampai hari ke-35. Ekskreta dari masing-masing kandang dijadikan satu lalu dicampur dalam mixer, disubsampel lalu dikeringkan pada oven dengan suhu 60oC selama 3 hari. Ekskreta yang telah kering bersama-sama dengan sampel ransum digiling
dan disaring dengan saringan
berukuran 0,5 mm dan disimpan pada kontainer plastik kedap udara untuk dianalisis bahan kering, kandungan nitrogen dan energi bruto.
Tabel 1. Pakan perlakuan untuk penentuan energi metabolis semu Kode perlakuan
Perlakuan
B
Pakan basal (jagung kuning-bungkil kedelei) Pakan basal (jagunng kuning-bungkil kedelei) + 25% dedak padi Pakan basal (jagunng kuning-bungkil kedelei) + 50% jagung (referensi)
BDP BJ
Tabel 2. Komposisi pakan basal (g/kg basis kering udara) Bahan baku pakan Jumlah Jagung kuning 594.6 Bungkil kacang kedelei 351.8 Minyak nabati 17.8 Dicalcium phosphate 21.7 Limestone 7.8 Garam 2.0 Sodium bicarbonate 2.3 Vitamin-mineral premix*) 3.0 *) Sanmix, PT Sanbe Farma, per kg provided:Vit A (1250000IU), Vit D3 (250000IU), Vit E (750 IU), Vit K (200 mg), Vit B1 (150 mg), Vit B2 (500 mg), Vit B6 (500 mg), Vit B12 (1012 mcg), Vit C (3000 mg), Ca-d-pantothenate (500 mg), Niacin (3500 mg); methonine (3500 mg), Lysine (3500 mg), Manganese (10000 mg), Iron (2500 mg); Iodin (20 mg), Zn (10000 mg), Cobalt (20 mg), Copper (300 mg), Antioxidant (1000 mg). Eksperimen 2. Pengaruh supplementasi enzim eksogen terhadap performans pertumbuhan ayam broiler Empat jenis pakan, yang meliputi pakan basal jagung-bungkil kedelei dan pakan perlakuan berbentuk tepung (mash) yang disuplementasikan dengan enzim avyzime (protease, amilase dan xylanase), dan phyzime (fitase) diformulasikan menggunakan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
kandungan energi metabolis dan total amino acid yang ditentukan pada Eksperimen 1. Keempat jenis pakan tersebut mengandung level energi metabolis semu dan total asam amino yang berbeda (Tabel 3). Broiler jantan dan betina berjumlah 160 ekor (cobbs) ditimbang secara individual dan ditempatkan secara acak pada 16 kandang (10 ekor/kandang), sehingga rata-rata bobot badan awal per kandang sama. Setiap pakan perlakuan ditempatkan secara acak pada empat kandang yang terdapat 10 ekor anak ayam per kandang. Pakan perlakuan diberikan secara ad libitum dan air tersedia secara bebas selama 21 hari perlakuan. Bobot badan dan konsumsi ransum direkam setiap minggu, dan angka konversi ransum dikoreksi dengan mortalitas.
Analisa kimia Penentuan kandungan proksimat dan serat: kandungan bahan kering bahan baku pakan (tidak diolah dan yang diolah), ransum dan ekskreta ditentukan dengan menggunakan oven konveksi pada suhu 105oC (AOAC 930.15, AOAC 925.10 AOAC, 2005). Abu ditentukan sebagai residu organik sesudah pembakaran pada tanur pada suhu 550oC sampai hilang kandungan organiknya (Method 923.03). Kandungan lemak kasar ditentukan dengan menggunakan soxlet (AOAC 989.05, 2005). Kandungan ADF dan NDF dilakukan dengan metode AOAC no. 973.18 dan 2002.14 berturut-turut. Kandungan nitrogen ditentukan dengan menggunakan metode Kjeldahl. Faktor konversi 6,25 dipergunakan untuk mengkonversikan N ke kandungan protein. Energi bruto (Gross energy): Energi bruto ditentukan dengan menggunakan adiabatic oxygen calorimeter (Gallenkamp Autobomb, London, UK) yang distandarisasi dengan asam bensoat.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 3. Pakan perlakuan
Bahan baku pakan
Basal
Level dedak padi (g/kg) Basal Basal Basal rendah rendah rendah EM+ EM+ EM+avyzym phyzyme avyzyme e+phyzyme 456,7 456,4 456,2 95,0 95,0 95,0 266,2 266,2 266,2
Jagung kuning 534,9 Dedak padi 0,00 Bungkil kacang 297,6 kedelei, PK 44% Tepung tulang dan 50,0 56,0 56,0 56,0 daging Tepung ikan lokal, PK 50,0 51,3 51,3 51,3 39% Minyak nabati 44,5 56,0 56,0 56,0 DL-Methionine 99% 2,00 2,20 2,20 2,20 L-Lysine HCl, 99% 0,10 0,50 0,50 0,50 Limestone 9,00 0,50 0,50 0,50 Dicalcium phosphate 6,00 0,50 0,50 0,50 Garam 2,50 2,50 2,50 2,50 Sodium bicarbonate 0,40 0,40 0,40 0,40 Vitamin-Mineral 3,00 3,00 3,00 3,00 Premix*) Phyzyme 0 0,20 0 0,20 Avyzyme 0 0 0,50 0,50 Jumlah 1.000 1.000 1.000 1.000 Perhitungan Komposisi Nutrisi Energi Metabolis 3.103 3.088 3.087 3.086 (Kcal/kg) Protein Kasar (g/kg) 224 215 215 215 Lysine (g/kg) 12,5 12.0 12.0 12.0 Met + Cys (g/kg) 9,80 9.55 9.55 9.55 Ca (g/kg) 10,3 10,3 10,3 10,3 Av P (g/kg) 4,6 4,5 4,5 4,5 *) Sanmix, PT Sanbe Farma, per kg provided:Vit A (1250000IU), Vit D3 (250000IU), Vit E (750 IU), Vit K (200 mg), Vit B1 (150 mg), Vit B2 (500 mg), Vit B6 (500 mg), Vit B12 (1012 mcg), Vit C (3000 mg), Ca-d-pantothenate (500 mg), Niacin (3500 mg); methonine (3500 mg), Lysine (3500 mg), Manganese (10000 mg), Iron (2500 mg); Iodin (20 mg), Zn (10000 mg), Cobalt (20 mg), Copper (300 mg), Antioxidant (1000 mg). Kandungan asam amino: Kandungan asam amino (lisin, methionin dan sistin) dari sampel bahan baku pakan ditentukan dengan cara oksidasi asam performat dengan metode metabisulfit sodium- hidrolisa asam. acid hydrolysis-sodium metabisulfite method (AOAC, 2002, method no. 994.12). Pada metode ini, sampel dihidrolisa dengan HCl 6N (yang
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
mengandung fenol) selama 24 jam pada suhu 110 2oC pada tabung reaksi kaca yang ditutup melalui proses vakum. Asam amino kemudian dideteksi pada Waters ion-exchange HPLC system, dan chromatogram diintegrasikan dengan menggunakan software (Millenium, Version 3.05.01, Waters, Millipore, Milford, MA) dengan asam amino didentifikasi dan dikuantifikasi menggunakan campuran asam amino standard (Product no. A2908, Sigma, St. Louis, MO). Sistin dan methionine dianalisis sebagai asam sistat dan sulfon methionin melalui oksidasi dengan asam performat selama 16 jam pada suhu 0oC dan dinetralisasi dengan asam hydrobromat menjelang analisis.
Analisis statistik Semua data dikalkulasi dengan menggunakan analisa satu arah ANOVA dengan menggunakan prosedur General Linear Model dari SAS (1997). Signifikansi ditentukan pada P < 0,05 dan perbedaan yang signifikan di antara nilai rata-rata diuji lanjut dengan Fisher’s Least Significant Difference Test (LSD).
Perhitungan-perhitungan Perhitungan energi metabolis semu (EM): Perhitungan energi metabolis semu merujuk pada Nalle (2009): EM pakan (MJ/kg) = (konsumsi pakan x EBpakan) – (total ekskreta x EB ekskreta) Total konsumsi pakan EM dedak padi (MJ/kg) = EM dari pakan yang mengandung dedak padi – (EM pakan basal x 0.75) 0.25
EM jagung (MJ/kg) = EM pakan yang mengandung jagung – (EM pakan basal x 0.50) 0.50 Koreksi untuk zero nitrogen retention dibuat dengan menggunakan faktor 36.54 kJ per gram nitrogen yang tertahan dalam tubuh (Hill and Anderson, 1958).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Hasil dan Pembahasan Komposisi nutrisi dedak padi dan dedak padi fermentasi Komposisi nutrisi dedak padi, dan jagung yang dievaluasi terlihat pada Tabel 4. Kecuali kandungan lemak kasar, mineral, Ca dan P, kandungan nutrisi jagung lebih baik dibandingkan dengan dedak padi. Kandungan serat dedak padi lebih tinggi (314,8 g/kg BK) dibandingkan kandungan serat jagung (22,9 g/kg BK). Tabel 4. Proksimat, serat, mineral (g/kg BK), and energi bruto (kkal/kg BK) dedak padi dan jagung Dedak padi Bahan kering 897.5 Protein kasar 74.1 Lemak kasar 44.2 Serat kasar 314.8 Polisakarida bukan pati** 944.4 BETN 305.8 ADF 430.9 NDF 616.8 Mineral 158.6 Ca 15.3 P 6.4 Energi bruto 3693 *) Dianalisis di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB **) Estimasi (3x serat kasar)
Jagung 883.1 91.7 14.4 22.9 68.7 736.9 165.6 365.3 17.2 11.5 5.5 3763
Terlihat pada Tabel 5. terdapat perbedaan yang besar dalam kandungan total asam amino, yang merefleksikan perbedaan kandungan protein kasar sampel. Kandungan lisin jagung (1,0 g/kg) lebih rendah daripada dedak padi (0.9 g/kg). Kandungan methionin dedak padi (0,9 g/kg) lebih tinggi dari jagung (0,8 g/kg).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Table 5. Konsentrasi asam amino (g/kg) dari dedak padi dan jagung Amino acid
Dedak padi
Jagung
Esensial Arginine 2.0 1.6 Histidine 1,0 0.9 Isoleusine 0.9 1.2 Leusine 1.0 0.6 Lysine 0.9 1.0 Methionine 0.9 0.8 Phenilalanine 2.4 1.8 Threonine 1.1 1.1 Valine 2.9 2.1 Non esensial Alanine 2.6 3.2 Aspartic acid 4.6 5.0 Cystine 0.8 0.7 Glysine 1.4 1.3 Glutamic acid 11.8 1.2 Proline 1.5 3.9 Serine 5.4 1.7 Tyrosine 1.6 1.2 *) Dianalisis di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB Terlihat pada Tabel 6, nilai eneri metabolis semu (EM) dan energi metabolis terkoreksi nitrogen (EMn) dari jagung lebih tinggi daripada dedak padi. Tingginya energi metabolis pada jagung berkaitan dengan rendahnya kandungan serat jagung yang berdampak pada peningkatan daya cerna pati dan lemak. Table 6. Kandungan energi metabolis semu (EM dan EMn, kkal/kg BK) dari dedak padi, dan jagung kuning sebagai referensi1) Dedak padi Jagung kuning EM 2032 3142 Emn 1908 2919 1 Setiap nilai merupakan rata-rata dari empat ulangan (4 ekor ayam/ulangan) Secara umum hasil analisis statistik dari Tabel 7 menunjukkan bahwa pertambahan berat badan dan konsumsi ransum dipengaruhi secara signifikan (P<0,05 sampai 0,01) oleh perlakuan penambahan enzim amilase, protease, xylanase dan fitase. Sedangkan angka konversi ransum dan mortalitas tidak dipengaruhi (P>0,05) oleh pemberian enzim enzim amilase, protease, xylanase dan fitase. Kelompok ternak ayam broiler yang diberikan ransum basal rendah energi yang mengandung enzim amilase, protease, xylanase dan fitase memberikan hasil pertambahan berat badan dan konsumsi ransum yang lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok ternak yang diberikan pakan kontrol (tinggi energi tanpa enzim). Pertambahan bobot badan kelompok ayam broiler yang mengkonsumsi ransum
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
kontrol (472 g/ekor) dibandingkan dengan PBB dari kelompok ternak yang mengkonsumsi ransum yang mengandung enzim yakni 583 sampai dengan 609 g/ekor. Tingginya angka konsumsi ransum pada kelompok ternak yang mengkonsumsi ransum yang mengandung enzim memberikan dampak positif terhadap kenaikan bobot badan.
Table 7. Pengaruh Penambahan Enzim dalam ransum terhadap performans produksi broiler umur 21 hari pasca menetas Konsumsi PBB Mortalitas Perlakuan Ransum FCR (g/g) (g/ekor) (%) (g/ekor) Basal (kontrol) 472b 798c 1,794 2,5% a Basal rendah EM + 583 913a 1,579 0,0% Phyzyme Basal rendah EM 609a 988a 1,683 5% +Avyzyme Basal rendah EM 602a 876bc 1,642 0,0% +Phyzyme + Avyzyme Probabilitas, P> ** ** TN TN level DPF a,b Rata-rata pada kolom dengan superscripts yang berbeda nyata (P < 0,05), * (P < 0,05), ** (P<0,01), TN = Tidak Nyata 1 Setiap nilai merupakan rata-rata dari empat ulangan (10 ekor ayam/ulangan) Sedangkan untuk angka konsumsi ransum, kelompok ternak yang diberikan ransum yang mengandung enzim memiliki angka konsumsi ransum yang lebih tinggi (876 sampai 913 g/ekor) dibandingkan dengan kelompok ternak yang mengkonsumsi ransum kontrol (798 g/ekor). Tingginya angka konsumsi ransum ini membuktikan bahwa palatabilitas ternak ayam broiler terhadap pakan yang mengandung enzim cukup tinggi. Kemungkinan lain adalah bahwa penambahan enzim dalam ransum mempercepat proses pencernaan sehingga pengosongan saluran pencernaan semakin cepat dan ternak akan mengkonsumsi lebih banyak. Secara statistik, angka konversi ransum tidak berbeda nyata (P>0,05) di antara 5 kelompok perlakuan, namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok ternak yang mengkonsumsi ransum basal rendah energi yang mengandung enzim memberikan angka konversi ransum yang lebih baik (1,579 sampai dengan 1,6843) dibandingkan dengan kelompok ternak yang mengkonsumsi ransum kontrol (1,794).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Simpulan Performans pertumbuhan kelompok ternak yang mengkonsumsi ransum rendah energi dan disuplementasi dengan enzim amilase, protease, xylanase dan fitase lebih baik dibandingkan dengan performans pertumbuhan kelompok ternak yang diberikan ransum kontrol. Walaupun tidak dilakukan analisis ekonomi, penambahan enzim amilase, protease, xylanase dan fitase dalam ransum rendah energi dapat berkontribusi terhadap peningkatan kandungan energi metabolis ransum, sehingga dapat menekan pemakaian bahan baku sumber energi.
Daftar Pustaka AOAC International. (2005). Official Methods of Analysis of AOAC International. 18th Edition. Gaithersburg, MD. Choct, M. (1997). Feed enzymes: current and future applications. Proceedings of the 11th Alltech Asia-Pacific Lecture Tour, Melbourne, Australia, pp. 73–81. De Lange, C. F. M. (2000). Overview of determinants of the nutritional value of feed ingredients. In: Feed Evaluation: principle and practice. Edited by: Moughan, P. J., M. Gallinger, C. I., Sua´rez, D. M. and Irazusta, A. (2004). “Effects of Rice Bran Inclusion on Performance and Bone Mineralization in Broiler Chicks”. J. Appl. Poult. Res. 13:183–190. Hill, F. W. and Anderson, D. L. (1958). “Comparison of metabolisable energy and productive energy determinations with growing chicks”. Journal of Nutrition, 64:587-603. Jørgensen, H., Zhao, X. Q., Knudsen, K. E. and Eggum, B. O. (1996). “The influence of dietary fibre source and level on the development of the gastrointestinal tract digestibility and energy metabolism in broiler chickens”. British Journal Nutrition, 75:379-395. Mulyantini, N. G. A., Choct, M., Lole, U. R. And Dewi, G. A. M. K. (2008). “Performance of broiler chickens and metabolisable energy of rice bran after supplementation and microwave heating”. World Poultry Science Journal. Nalle, C. L. (2009). Nutritional evaluation of grain legumes for broiler. PhD Thesis. Massey University, New Zealand Ravindran, V. and M. L. Bryden. (1997). “Influence of dietary phytic acid and available phosphorus levels on the response of broilers to supplemental natuphos”. Poultry Research Foundation Report, University of Sydney, Australia.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
SAS Institute. (1997). SAS/STAT® User’s Guide: Statistics. Version 6.12. SAS Institute Inc., Cary, NC, USA. Sangadji, I. (2004). Enzim fitase dan peranannya dalam memecah ikatan asam fitat pada bahan pakan. Makalah pribadi Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor June 2004.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Efektifitas Rebusan Daun Graviola (Annona Muricata) Sebagai Bahan Pengawet Telur Fellyanus Haba Ora1, Jublina Bale-Therik2, Heri Lalel2 1
Laboratorium Nutrisi dan Budidaya Dasar, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana Kupang. Email:
[email protected] 2 Program Studi Ilmu Peternakan, Program Pascasarjana, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Abstract An experiment was conducted to study the effect of graviola leaf decoction as an egg preservative. This study used 256 chicken eggs one day of age (the average egg weight 63 g) were obtained from Peternakan Ayam Ras Waris – Oesao-Kupang. The experiment was arranged in completely randomized design in a 4 x 4 factorial lay out with four replications. The first factor was concentration of graviola leaf decoction (K) with four levels i.e: 0, 15, 30 and 45 g/l water. The second factor was soaking time of eggs (L) with four levels i.e: 0, 24, 48 and 72 hours . Data collected were analysed using Analysis of Variance and continued with Duncan’s Multiple Range Test. Data of organoleptic property was analysed with Kruskal Wallis Method. Egg quality observed were: physical quality (weight loss, Haugh unit and shell thickness); eggshell organoleptic quality (color, texture and aroma); microbiological quality (contamination of Escherichia coli and Salmonella sp); and chemical quality (protein and fat). The results of this study showed that the effect of graviola leaf decoction concentration factors soaking time of eggs and then interactions were highly significant on egg weight loss; shell thickness; eggshell color; eggshell texture and flavor, but the soaking time factor did not significant effected on Haugh unit, egg protein and fat content. The result also found that the eggs did not eggs did not reveal any microbiological contamination of was Escherichia coli and Salmonella sp (negative). Treatment K3L3 provide the best value to weight loss (1.21%), eggshell thickness (0.46 mm) and eggshell color (4.06). Concentration factor K3 provided the best value to the Haugh unit (81.11), while provided the best value in the K2 protein and fat egg respectively (16.97%) and (7.59%). While the concentration of K3, K2 and K1 were not significantly different to the texture of the shell. The conclusion of this study was graviola leaf decoction can be used as an egg preservative. Keywords: graviola leaf, preservatives, egg quality
Pendahuluan Berdasarkan hasil analisis kimia, sebutir telur ayam mengandung 13% protein, 12% lemak, serta vitamin dan mineral tetapi telur akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari 2 minggu di ruang terbuka (Muchtadi dkk. 2008). Telur segar bila disimpan pada udara terbuka pada temperatur siang hari 28-330C dan pada temperatur malam hari 23-270C
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
sesudah 5-7 hari akan mengalami penurunan kualitas menuju kerusakan. Kerusakan tersebut meliputi kerusakan kelihatan dari luar (eksterior) dan kerusakan yang nampak setelah telur dipecahkan (interior). Kerusakan telur bisa terjadi karena kerusakan alami (pecah, retak). Kerusakan lain adalah akibat menguapnya air dan pelepasan gas-gas seperti karbondioksida (CO2), ammonia (NH3), nitrogen (N2), dan nitrogen sulfida (H2S) dari dalam telur. Selain itu, penurunan mutu telur dipengaruhi juga oleh suhu dan kelembaban ruang penyimpanan. Kerusakan telur dapat pula disebabkan oleh invasi mikroba ke dalam telur (Dinas Kesehatan, 2001). Walaupun demikian kualitas telur dapat dipertahankan dengan cara pengawetan. Pengawetan kimia menggunakan zat pengawet anorganik seperti surfaktan dapat meningkatkan mutu produk, namun tidak disadari residu pengawet kimia tersebut dapat menjadi pemicu gangguan kesehatan pada masyarakat (Winarno, 2008). Oleh karena itu, berbagai penelitian telah dilakukan para ahli untuk mempertahankan kualitas telur menggunakan bahan pengawet dari komponen bioaktif tanaman yang diketahui dapat berfungsi sebagai antibakteri, antiparasit, antivirus, antioksidan, antikanker, antiperlipidemia dan meningkatkan imunitas (Amusa dkk, 2002; Pathak dkk, 2003; dan Viera dkk, 2010; Hajrawati dan Aswar, 2011). Para ahli menyimpulkan bahwa penggunaan produk nabati mampu mempertahankan kualitas dan daya simpan telur (Esti, 2000 dan Lestari dkk. 2011). Tetapi penelitian menggunakan komponen bioaktif tanaman graviola (Annona muricata) sebagai pengawet pada telur jarang dilakukan padahal kandungan fitokimia annonaceous acetogenins daun graviola seperti alkoloid murisolin, cauxine, couclamine, stepharine dan retikulin merupakan agen aktif antibakteri dan mampu bertindak sebagai pengawet (Khan et al., 2005; dan Abbo et al., 2006). Daun graviola juga memiliki senyawa tanin yang bersifat antibakteri. Kegunaan dan manfaat daun graviola (Annona muricata) sebagai bahan pengawet dan bersifat anti bakteri pathogen dapat dijadikan referensi dalam mempertahankan kualitas telur dan aman secara klinis dari kerusakan dan pembusukan telur dapat di cegah. Tujuan penelitian adalah untuk menguji efektivitas rebusan daun graviola dan lama perendaman serta interaksinya sebagai bahan pengawet terhadap kualitas fisik (susut bobot telur, tebal kerabang, haugh unit), organoleptik (warna, tekstur, dan aroma kerabang), mikrobiologis (Escherichia coli dan Salmonella) dan kimia (protein dan lemak) pada telur ayam.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Materi dan Metode Materi penelitian yang digunakan adalah telur ayam ras umur satu hari sebanyak 256 butir dari induk petelur Lohman Brown Classic Strain (Multi Breeder) umur 15 bulan, produksi telur tertanggal 19 Desember 2013 dari perusaahan peternakan ayam petelur Waris, Oesao-Kupang. Bahan dalam pembuatan rebusan dalam penelitian ini adalah daun graviola. Telur dibersihkan dari kotoran yang melekat dengan tisu. Telur ayam penelitian kemudian diberi nomor dan diacak sempurna untuk memperoleh perlakuan. Setelah itu, dilakukan persiapan daun graviola. Daun graviola segar dipetik pada nomor 4 dan 5 dari pucuk ranting dan dicuci bersih, kemudian diangin-anginkan pada suhu ruang selama 3-4 hari sampai berat daun tidak berubah. Kemudian daun graviola direbus sampai mendidih hingga menghasilkan larutan tersisa 75% air rebusan yaitu sesuai konsentrasi yang telah ditetapkan yaitu 0, 15, 30, dan 45 gram per liter air kemudian didinginkan sekitar 15 menit. Hasil rebusan daun graviola kemudian dituang ke dalam wadah yang sudah disiapkan sesuai dengan perlakuan penelitian. Telur ayam kemudian direndam dalam wadah berisi rebusan daun graviola sesuai perlakuan (waktu perendaman 0, 24, 48, dan 72 jam) dan disimpan pada suhu kamar. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada akhir penelitian untuk pengujian fisik (susut bobot, tebal kerabang, nilai haugh unit); pengujian organoleptik (warna, tekstur, dan aroma kerabang); pengujian mikrobiologis (cemaran E. coli dan Salmonella sp) serta pengujian kimia (nilai protein dan lemak isi telur). Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan percobaan Pola Faktorial (4x4) yaitu faktor konsentrasi (K) dan lama perendaman (L). Faktor K terdiri atas 4 taraf yaitu: K0 = 0 gram/liter air; K1 = 15 gram/liter air; K2 = 30 gram/liter air; K3 = 45 gram/liter air. Sedangkan faktor L terdiri atas 4 taraf yaitu: L0 = 0 jam; L1 = 24 jam; L2 = 48 jam; L3 = 72 jam. Dari kedua faktor tersebut diperoleh 16 kombinasi perlakuan. Setiap kombinasi perlakuan diulang 4 kali sehingga didapatkan 64 unit percobaan, dan setiap unit percobaan menggunakan 4 butir telur ayam. Data penelitian yang terkumpul dianalisis dengan ANOVA menggunakan program SPSS. Khusus untuk analisis hasil pengujian organoleptik dilakukan dengan uji Kruskal Wallis (Gaspersz, 1989).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Hasil Dan Pembahasan Pengujian Kualitas Fisik Telur 1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Bobot Telur Telur ayam dapat mengalami penyusutan bobot telur akibat penguapan air, terutama berasal dari putih telur. Penguapan terjadi melalui pori-pori kerabang sejak telur keluar dari sistem reproduksi ayam. Persentase susut bobot telur terkecil menunjukkan kualitas telur terbaik. Nilai susut bobot telur pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil sidik ragam, memperlihatkan adanya pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) dari perlakuan faktor konsentrasi rebusan daun graviola dan faktor lama perendaman serta interaksi kedua faktor tersebut terhadap susut bobot telur ayam.
Tabel 1. Pengaruh Faktor Perlakuan Konsentrasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Susut Bobot Telur Ayam Lama Perendaman Konsentrasi Rataan L0 L1 L2 L3 ........................................ (%) ................................ K0 5,71cd 7,63d 7,69d 7,54d 7,14 bc ab ab a K1 4,71 2,45 2,27 1,46 2,72 K2 4,82bc 2,53ab 1,94a 1,48a 2,69 K3 4,67bc 1,76a 1,22a 1,21a 2,21 Rataan 4,98 3,59 3,28 2,92 3,69 Keterangan: - Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan pada taraf 0,01 - K0, K1, K2, K3 : konsentrasi rebusan graviola masing-masing 0, 15, 30, 45 g/l - L0, L1, L2, L3 : lama perendaman masing-masing 0, 24, 48, 72 jam Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan nilai susut bobot telur terkecil diperoleh interaksi K3L3 (1,21%) dan K3L2 (1,22%). Dari hasil diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi dan lama perendaman dapat memperkecil penyusutan bobot telur. Hal ini disebabkan karena daun graviola mengandung tanin yang dapat berfungsi sebagai penyamak kerabang. Hatiningsih (2003) menyatakan bahwa prinsip dasar dari pengawetan menggunakan penyamak nabati adalah terjadinya reaksi penyamakan pada bagian luar kulit telur oleh zat penyamak (tanin) dan menyebabkan kerabang menjadi impermeabel (tidak dapat bersatu/bercampur) terhadap air dan gas. Purnomo (1995) menyatakan bahwa apabila tanin bereaksi dengan protein dan air maka akan membentuk endapan. Semakin lama waktu perendaman maka semakin banyak endapan air oleh tanin dikerabang. Endapan ini yang akan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
menutupi permukan kerabang sehingga penyusutan telur menjadi kecil akibat reaksi tanin tanaman (Bale-Therik dkk., 2013). Kardinan (2004) menyatakan bahwa daun graviola mengandung bahan aktif tanin, selain annonain, saponin, dan flavonoid. Bale-Therik dan Haba Ora (2013), menyatakan bahwa penambahan bahan penyamak kerabang pada telur bertujuan untuk menekan laju evaporasi air dan pelepasan gas dari isi telur. Selain itu, zat penyamak kerabang dapat melindungi isi telur dari invasi mikroba kerabang yang akan merusak isi telur. Westhoff (1978) menyatakan bahwa jumlah bakteri pada permukaan kulit telur berkisar antara 102-107 koloni/g. Pola respon pengaruh penggunaan rebusan daun graviola dan lama perendaman terhadap kualitas susut bobot telur ayam terhadap waktu pengamatan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pengaruh Kombinasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Persentase Susut Bobot Telur Ayam. 2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Tebal Kerabang Nilai tebal kerabang telur diukur pada bagian tengah (equator), ujung tumpul, dan ujung lancip telur kemudian dirata-ratakan. Nilai rata-rata pengaruh faktor perlakuan rebusan daun graviola dan lama perendaman terhadap tebal kerabang telur ayam dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil sidik ragam, memperlihatkan adanya pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) faktor konsentrasi rebusan daun graviola dan lama perendaman telur serta interaksi kedua faktor tersebut terhadap tebal kerabang.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 2. Pengaruh Faktor Perlakuan Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Tebal Kerabang Telur Ayam Lama Perendaman Konsentrasi Rataan L0 L1 L2 L3 ................................ (mm) ........................... K0 0,43abc 0,35a 0,38ab 0,35a 0,38 bc bc bc bc K1 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 K2 0,42cd 0,42cde 0,42cde 0,46e 0,43 cde bc cde de K3 0,44 0,41 0,42 0,47 0,43 Rataan 0,43 0,40 0,41 0,42 0,41 Keterangan - Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan pada taraf 0,01 - K0, K1, K2, K3 : konsentrasi rebusan graviola masing-masing 0, 15, 30, 45 g/l - L0, L1, L2, L3 : lama perendaman masing-masing 0, 24, 48, 72 jam Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan nilai terbaik tebal kerabang pada interaksi taraf konsentrasi K3L3 (0,47 mm) diikuti K2L3 (0,46 mm). Penelitian ini menunjukkan semakin tinggi taraf konsentrasi rebusan daun graviola dan lama perendaman mampu mempertahankan nilai tebal kerabang telur ayam. Hal ini disebabkan karena daun graviola mengandung tanin yang dapat berfungsi sebagai penyamak kerabang. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh faktor perlakuan konsentrasi rebusan daun graviola dapat memberikan efek memperlambat penguapan air dan pelepasan gas dari isi telur sehingga memperlambat penipisan kerabang telur ayam. Ketebalan kerabang telur menjadi indikator invasi mikroba pada isi telur, semakin tebal kerabang mengindikasikan kecil kemungkinan invasi mikroba pada isi telur (Yuwanta, 2010). Tebal kerabang memiliki korelasi dengan laju penguapan H2O yang dapat mengakibatkan penipisan kerabang telur ayam. Jazil dkk. (2013) mengasumsikan bahwa ketebalan kerabang telur memiliki hubungan yang sangat dekat dengan panjang pori-pori telur. Menurut pendapat Haryono (2000) kerabang telur yang lebih tipis relatif berpori lebih banyak dan besar sehingga mempercepat turunnya kualitas telur akibat penguapan. Yuwanta (2010) menyatakan bahwa kerabang telur ayam tersusun atas bahan-bahan anorganik seperti kalsium, magnesium, fosfor, besi dan belerang. Bale-Therik dkk. (2013), bahan-bahan tersebut membentuk persenyawaan garam-garam seperti CaCO3 (karbonat) dan MgCO3 (magnesium karbonat). Jika terjadi evaporasi air dan gas akan menyebabkan penipisan kerabang telur. Muchtadi dkk. (2011) menyatakan bahwa pembebasan karbondioksida dapat menyebabkan pemecahan asam karbonat menjadi karbondioksida dan air. Pola respons pengaruh perlakuan terhadap nilai tebal kerabang dapat dilihat pada Gambar 2.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Gambar 2. Pengaruh Interaksi Konsentrasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Tebal Kerabang Telur Ayam 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Haugh Unit Telur Nilai Haugh Unit merupakan parameter kesegaran mutu telur yang dihitung berdasarkan tinggi putih telur dan bobot telur. Bhale et al., (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi Haugh Unit maka semakin baik kualitas albumen dari sebutir telur. Menurut Sudaryani (1996) telur digolongkan atas empat kelompok berdasarkan Haugh Unit (2004) yaitu kelompok AA (>72), kelompok A (60 – 72), kelompok B (50 – 60) dan kelompok C (< 50). Nilai rataan Haugh Unit dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil sidik ragam memperlihatkan adanya pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) dari faktor konsentrasi rebusan daun graviola, tetapi faktor lama perendaman menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap Haugh Unit telur. Hal ini disebabkan karena putih telur telah terproteksi dari tanin yang menutupi sempurna pori-pori kerabang. Yuwanta (2010), penurunan nilai Haugh Unit dapat disebabkan adanya evaporasi air dan pelepasan gas-gas melalui pori-pori kerabang sehingga menyebabkan putih telur menjadi encer.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 3. Pengaruh Faktor Perlakuan Konsentrasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Haugh Unit Telur Ayam Lama Perendaman Konsentrasi Rataan L0 L1 L2 L3 K0 69,95 62,84 62,40 64,83 65,00a K1 74,98 76,57 81,86 83,47 79,22b K2 74,62 79,73 81,20 84,37 79,98b K3 75,60 80,32 83,43 85,09 81,11b Rataan 73,78 74,86 77,22 79,44 76,33 Keterangan Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan pada taraf 0,05 K0, K1, K2, K3 : konsentrasi rebusan graviola masing-masing 0, 15, 30, 45 g/l L0, L1, L2, L3 : lama perendaman masing-masing 0, 24, 48, 72 jam Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa nilai Haugh Unit terbaik diperoleh faktor perlakuan konsentrasi rebusan daun graviola K3 diikuti K2 dan K1 pada lama perendaman L3. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf konsentrasi rebusan daun graviola mampu mempertahankan kualitas Haugh Unit telur. Hal ini disebabkan pada taraf konsentrasi rebusan daun graviola yang semakin tinggi terkandung lebih banyak senyawa tanin yang dapat menutupi pori-pori kerabang dengan sempurna. Bale-Therik dkk. (2013), menyatakan kandungan fitokimia tanaman mampu berperan sebagai antibakteri, diantaranya kandungan tanin dan acetogenin yang terdapat pada daun graviola. Penurunan nilai Haugh Unit dapat disebabkan oleh penguapan air dan pelepasan gas melalui pori-pori kerabang sehingga menyebabkan terjadinya penurunan ketebalan putih telur. Sedangkan faktor lain adalah invasi mikroba yang dapat merusak komposisi kimia putih telur khususnya ovomucin sehingga putih telur menjadi encer dan rusak. Adanya tanin dan acetogenin mampu menghambat laju evaporasi dan invasi mikroba di telur. Pola respons pengaruh faktor konsentrasi rebusan daun graviola dan lama perendaman terhadap nilai Haugh Unit telur ayam dapat dilihat pada Gambar 3.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Gambar 3. Pengaruh Kombinasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Haugh Unit Telur Ayam Pengujian Kualitas Organoleptik Telur 1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Warna Kerabang Warna kerabang merupakan salah satu faktor penting dalam produksi peternakan, karena warna dapat digunakan sebagai salah satu kriteria untuk menentukan tingkat kesenangan konsumen meskipun variasi warna pada kerabang tidak berpengaruh pada harga telur ayam (Yuwanta, 2010). Rataan nilai warna kerabang berdasarkan pengamatan panelis dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasakan hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa adanya pengaruh perlakuan terhadap organoleptik warna kerabang telur ayam. Berdasarkan rataan skor maka taraf konsentrasi rebusan daun graviola K3 memiliki skor warna kerabang 3,41 (coklat tua) serta nilai warna kerabang terbaik pada taraf lama perendaman L3 dengan rataan skor 2,98 (coklat tua). Tabel 4. Pengaruh Faktor Perlakuan Konsentrasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Warna Kerabang Telur Ayam Berdasarkan Skala Hedonik Lama Perendaman Konsentrasi Rataan L0 L1 L2 L3 K0 1,00 1,22 1,32 1,28 1,36 K1 1,76 2,45 2,65 3,05 2,57 K2 2,08 3,38 3,38 3,45 3,01 K3 2,25 3,85 3,64 4,15 3,41 Rataan 1,73 2,75 2,71 2,98 2,50 Keteranga - Kriteria skala hedonik: 1. coklat muda., 2. coklat muda agak hitam., 3. coklat n tua, 4. coklat tua kehitaman., 5. coklat sangat tua kehitaman - K0, K1, K2, K3 : konsentrasi rebusan graviola masing-masing 0, 15, 30, 45 g/l - L0, L1, L2, L3 : lama perendaman masing-masing 0, 24, 48, 72 jam
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi rebusan daun graviola dan lama perendaman mempertegas warna kerabang. Menurut Jariyah (2006), menyatakan kandungan tanin yang berwarna coklat semakin mempertegas warna produk. Purnomo (1995) menyatakan semakin lama waktu perendaman maka akan mempengaruhi terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis karena adanya peningkatan aktivitas air (Aw). Dinyatakan pula bahwa apabila tanin bereaksi dengan protein dan air maka akan membentuk endapan. Semakin lama waktu perendaman maka semakin banyak endapan air oleh tanin dikerabang telur (Bale-Therik dkk. 2013). Endapan ini akan mempengaruhi warna dari kerabang semakin pekat. Hal ini seturut penelitian Haba Ora (2013) bahwa fungsi senyawa tanin sebagai penyamak nabati setelah difermentasi akan memberi rasa dan warna yang khas dari seduhan asal tanaman, sehingga telur yang direndam dalam rebusan akan semakin pekat. Berdasarkan beberapa data yang dikumpulkan bahwa warna kerabang telur ayam tidak mempunyai hubungan dengan kualitas kerabang.
2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Tekstur Kerabang Soekardi (2013) menyatakan bahwa kualitas kerabang telur ayam yang baik memiliki kerabang yang tidak retak atau pecah-pecah dan tidak berlubang. Selain itu, bisa dilihat pula kerabangnya yang tampak bersih, mulus, tidak ada noda dan tidak cacat. Sedangkan berdasarkan BSN (2008), penilaian kualitas telur berdasarkan tingkatan mutu maka telur yang memiliki tekstur (tingkat kehalusan) kasar dianggap telah menurun kualitasnya. Rataan nilai tekstur telur berdasarkan pengamatan panelis dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh Faktor Perlakuan Konsentrasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Tekstur Kerabang Telur Ayam Lama Perendaman Konsentrasi Rataan L0 L1 L2 L3 K0 2,33 2,04 2,06 1,92 2,09 K1 2,41 2,25 2,05 2,13 2,21 K2 2,05 2,14 2,08 2,11 2,10 K3 2,13 2,18 2,05 2,12 2,12 Rataan 2,23 2,15 2,06 2,07 2,13 Keteranga Kriteria skala hedonik: 1. Lunak dan kasar (bernoda)., 2. Keras dan n halus/licin., 3. Keras dan sedikit kasar. K0, K1, K2, K3 : konsentrasi rebusan graviola masing-masing 0, 15, 30, 45 g/l L0, L1, L2, L3 : lama perendaman masing-masing 0, 24, 48, 72 jam Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa para panelis memberikan penilaian tektur telur terbaik pada konsentrasi rebusan daun graviola K1 pada lama perendaman L0 dan L1
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
memiliki skor 2 (keras dan halus/licin). Bale-Therik dkk. (2013) menyatakan bahwa tebal kerabang memiliki korelasi terhadap laju evaporasi isi telur. Belipati (1989) menyatakan bahwa ketebalan kerabang telur ayam dapat dipengaruhi oleh penguapan H2O yang terjadi dari isi telur sehingga kerabang telur menjadi tipis. Semakin tebal kerabang telur ayam menunjukkan tingkatan tekstur telur yang keras (Haba Ora, 2013). Bale-Therik dkk. (2013), bahan-bahan persenyawaan garam-garam seperti CaCO3 (karbonat) dan MgCO3 (magnesium karbonat), jika terjadi evaporasi air dan gas akan menyebabkan penipisan kerabang telur. Muchtadi dkk. (2011) menyatakan bahwa pembebasan karbondioksida dapat menyebabkan pemecahan asam karbonat menjadi karbondioksida dan air. Evaporasi ini akan mempengaruhi tekstur kerabang menjadi semakin tipis, kasar dan bernoda.
3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Aroma Kerabang Aroma kerabang telur menjadi indikasi terjadinya perubahan kimia isi telur. Haryono (2000) menyatakan bahwa indikasi dari kerusakan telur adalah perubahan bau pada kerabang. Semakin terjadi penyimpangan bau telur menunjukkan proses pembusukan mulai terjadi dan mikroba pembusuk mulai mencemari telur. Rataan nilai aroma kerabang berdasarkan pengamatan panelis dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa adanya pengaruh perlakuan terhadap aroma kerabang telur ayam (P<0,01). Tabel 6. Pengaruh Faktor Perlakuan Konsentrasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Aroma Kerabang Telur Ayam Lama Perendaman Konsentrasi Rataan L0 L1 L2 L3 K0 1,75 2,25 2,50 3,00 2,46 K1 1,00 1,03 1,00 1,00 1,01 K2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 K3 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 Rataan 1,1 1,1 1,12 1,1 1,1 Keterangan Kriteria skala hedonik: 1. Normal/khas., 2. Busuk., 3. Sangat Busuk K0, K1, K2, K3 : konsentrasi rebusan graviola masing-masing 0, 15, 30, 45 g/l L0, L1, L2, L3 : lama perendaman masing-masing 0, 24, 48, 72 jam Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa para panelis memberikan penilaian aroma kerabang pada konsentrasi K3 dan K2 untuk semua taraf lama perendaman dengan rataan skor 1,00 (normal/khas). Dari penelitian ini diketahui bahwa telur yang tidak mendapatkan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
perlakuan rebusan daun graviola menunjukkan penurunan kualitas telur sehingga terlihat dari skala hedonik dimana telur mulai tercium berbau busuk. Ini juga terbukti pada pengamatan lanjutan didapati bahwa telur yang mulai tercium berbau busuk saat dilakukan pemeriksaan interior diperoleh isi telur telah membusuk. Selain itu lama perendaman L0, L1, L2 dan L3 pada taraf konsentrasi K1 berbeda tidak nyata dengan K2 dan K3, tetapi sangat berbeda nyata dengan taraf konsentrasi K0. Hal ini dikarenakan kandungan tanin dan acetogenin dalam daun graviola mampu memproteksi isi telur sehingga tidak terjadi laju evaporasi yang besar dan menghambat invasi mikroba yang dapat merusak isi telur. Pola respon faktor konsentrasi rebusan daun graviola dan lama perendaman terhadap aroma kerabang telur ayam berdasarkan waktu pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Aroma Kerabang Telur Ayam. Pengujian Kualitas Mikrobiologis Telur Pengaruh Perlakuan Terhadap Cemaran Eschericia coli dan Salmonella sp Pengujian
Escherichia
coli
(E.coli)
dan
Salmonella
dimaksudkan
untuk
mengidentifikasi kontaminasi bakteri E.coli dan Salmonella sp pada telur ayam. Berdasarkan hasil identifikasi di laboratorium terhadap semua perlakuan maka diketahui bahwa sampel telur ayam menunjukkan E. coli yang lebih rendah dibandingkan dengan ambang batas persyaratan Standar Nasional Indonesia sebesar 1 x 101 atau >1 x 101 koloni/g. Sehingga cemaran E. coli pada semua perlakuan termasuk kategori negatif (tidak tercemar), begitu pula dengan Salmonella termasuk kategori negatif.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Hal ini dikarenakan lokasi pemeliharaan dan tempat pengumpul telur menerapkan manajemen security farm yang bersih ketat dan tersistem sehingga bebas dari cemaran mikroorganisme. E.coli dan Salmonela mudah diperiksa di laboratorium dan sensitivitasnya tinggi jika diperiksa dengan benar. Bila suatu produk ditemukan E.coli maka produk tersebut dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia dan ada kemungkinan ditemukannya bakteribakteri patogenik yang lain (Gobel et al., 2008). Bakteri Salmonella adalah bakteri gram negatif berbentuk batang. Bakteri ini bukan indikator sanitasi melainkan bakteri indikator keamanan pangan. Artinya semua serotipe Salmonella yang diketahui di dunia ini bersifat patogen, maka dengan adanya bakteri ini di dalam suatu produk, maka produk tersebut dianggap tidak layak dikonsumsi dan membahayakan kesehatan konsumen. Oleh karena itu berbagai standar air minum maupun makanan siap santap mensyaratkan tidak boleh ada Salmonella dalam 100 ml air minum atau 25 gram sampel makanan (Sartika et al ., 2005).
Pengujian Kualitas Kimia Telur 1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Protein Telur Protein sangat mempengaruhi nilai kualitas telur, semakin tinggi nilai protein dalam telur semakin baik pula nilai kualitas telur. Nilai protein telur ayam dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil sidik ragam, memperlihatkan adanya pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) dari faktor konsentrasi rebusan daun graviola terhadap kandungan protein. Sedangkan faktor lama perendaman berpengaruh tidak nyata (P>0,01) terhadap nilai protein telur. Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telur yang mendapat perlakuan faktor konsentrasi rebusan daun graviola K2 memiliki nilai protein telur tertinggi, kemudian diikuti konsentrasi rebusan daun graviola K3, K1 dan terendah adalah telur yang mendapat perlakuan K0. Hal ini berarti telur yang mendapat perlakuan rebusan daun graviola mampu mempertahankan laju penurunan kualitas protein telur. konsentrasi rebusan daun graviola K2 merupakan top konsentrasi sehingga jika konsentrasi melebihi K2 maka tidak memberikan efek terhadap protein telur. Kardinan (2004) menyatakan daun graviola mengandung bahan aktif tanin, selain annonain, saponin, dan flavonoid. Kandungan fitokimia daun graviola mampu berperan sebagai penyamak kerabang dan mempertahankan nilai zat gisi telur (BaleTherik dkk. 2013). Purnomo (1995) menyatakan bahwa apabila tanin bereaksi dengan protein kolagen dan air maka akan membentuk endapan. Kandungan tanin sebagai penyamak kulit telur bergantung pada luasan permukaan pori-pori kerabang. Semakin sedikit pori-pori
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
kerabang telur, tanin lebih sempurna mengendap pada pori-pori tersebut dan bereaksi dengan protein kerabang sehingga pori-pori dapat tertutup dan menekan laju evaporasi (Haba Ora, 2013). Bale-Therik dkk. (2013) menyatakan bahwa laju evaporasi telur bergantung juga pada pori-pori kerabang. Pengaruh faktor konsentrasi rebusan daun graviola dan lama perendaman terhadap nilai protein telur ditampilkan pada Gambar 5.
Tabel 7.
Pengaruh Faktor Perlakuan Konsentrasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Protein Telur Ayam Lama Perendaman Konsentrasi Rataan L0 L1 L2 L3 ............... (%) ................ K0 13,00 14,88 14,06 13,96 13,97a K1 13,83 14,36 13,81 14,34 14,08a K2 16,89 16,71 16,50 17,78 16,97b K3 15,14 14,15 14,05 13,19 14,13a Rataan 14,71 15,03 14,60 14,81 14,79 Keteranga Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan pada taraf 0,01 n. K0, K1, K2, K3 : konsentrasi rebusan graviola masing-masing 0, 15, 30, 45 g/l L0, L1, L2, L3 : lama perendaman masing-masing 0, 24, 48, 72 jam
Gambar 5. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Protein Telur Ayam 2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Lemak Telur Lemak merupakan senyawa organik berminyak yang tidak larut dalam air. Dalam dekade terakhir, lemak juga sering dikaitkan dengan informasi kontroversial yang berkaitan dengan pembentukan komponen toksik, kegemukan, dan timbulnya penyakit. Nilai kadar
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
lemak dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil sidik ragam memperlihatkan adanya pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) dari perlakuan faktor konsentrasi rebusan daun graviola terhadap kandungan lemak isi telur ayam. Sedangkan faktor lama perendaman menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,01) terhadap kandungan lemak telur ayam. Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa telur yang mendapat perlakuan faktor konsentrasi rebusan daun graviola K2 memiliki nilai lemak telur tertinggi/terbaik, kemudian diikuti konsentrasi rebusan daun graviola K3, K1 dan terendah adalah telur yang mendapat perlakuan K0. Hal ini berarti telur yang mendapat perlakuan rebusan daun graviola mampu mempertahankan laju penurunan kandungan lemak telur. Kardinan (2004) menyatakan daun graviola mengandung bahan aktif tanin, selain annonain, saponin, dan flavonoid. Kandungan fitokimia daun graviola mampu berperan sebagai penyamak kerabang dan mempertahankan nilai zat gisi telur (Bale-Therik dkk. 2013). Purnomo (1995) menyatakan bahwa apabila tanin bereaksi dengan protein dan air maka akan membentuk endapan. Kandungan tanin sebagai penyamak kulit telur bergantung pada luasan permukaan pori-pori kerabang (Haba Ora, 2013). Semakin sedikit pori-pori kerabang, semakin mempercepat pengendapan tanin. BaleTherik dkk. (2013) menyatakan bahwa laju evaporasi telur bergantung juga pada pori-pori kerabang. Tabel 8.
Pengaruh Faktor Perlakuan Konsentrasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Kandungan Lemak Telur Ayam Lama Perendaman Konsentrasi Rataan L0 L1 L2 L3 ............... (%) ................ K0
8,25
7,43
7,46
7,22
7,59
K1
7,85
8,17
7,95
8,07
8,01
K2
10,15
9,91
9,79
8,77
9,65
K3
10,33
9,45
8,91
8,83
9,38
Rataan
9,14
8,74
8,53
8,22
8,91
Ket.
Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan pada taraf 0,05 K0, K1, K2, K3 : konsentrasi rebusan graviola masing-masing 0, 15, 30, 45 g/l L0, L1, L2, L3 : lama perendaman masing-masing 0, 24, 48, 72 jam
Pengaruh perlakuan terhadap nilai lemak telur ayam ditampilkan pada Gambar 10. Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa pada konsentrasi K2 dan K3 pada semua taraf perlakuan lama perendaman memberikan nilai terbaik lemak telur dibandingkan pada faktor
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
perlakuan konsentrasi K1 dan K0 pada semua taraf perlakuan, tetapi pada perlakuan konsentrasi K0 pada semua taraf perlakuan lama perendaman menunjukkan penurunan kandungan lemak akibat peningkatan aktivitas air. Kandungan lemak dipengaruhi oleh air yang masuk dalam lemak sehingga terjadi reaksi hidrolisis yang menyebabkan kerusakan lemak (Apendi dkk. 2013).
Gambar 7. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Rebusan Daun Graviola dan Lama Perendaman Terhadap Kandungan Lemak Telur Ayam
Simpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan faktor konsentrasi larutan daun graviola dan lama perendaman serta interaksi yang sangat nyata (P<0,01) terhadap susut bobot telur; tebal kerabang; warna kerabang; tekstur dan aroma kerabang, tetapi faktor lama perendaman telur menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap Haugh Unit, kandungan protein dan lemak telur. Sedangkan pengujian kualitas mikrobiologis telur tidak ditemukan adanya cemaran Escherichia coli dan Salmonella sp (negatif). Perlakuan K3L3 memberikan nilai terbaik terhadap susut bobot (1,21%), tebal kerabang (0,46 mm) dan warna kerabang (4,06). Faktor konsentrasi K3 memberikan nilai terbaik terhadap Haugh Unit (81,11), sedangkan K2 memberikan nilai terbaik pada protein dan lemak telur berturut-turut (16,97%) dan (9,65%). Sedangkan konsentrasi K3, K2 dan K1 tidak berbeda nyata terhadap tekstur kerabang. Oleh karena itu, rebusan daun graviola dapat digunakan sebagai bahan pengawet telur.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Prof. Dr. J. F. Bale-Therik, MS dan drh. Diana A. Wuri, M.Si yang telah memberi peluang penulis untuk terlibat aktif dalam penelitian potensi Graviola sebagai bahan pengawet produk-produk peternakan.
Daftar Pustaka Abbo, E. S., T. O. Olurin and G. Odeyemi. 2006. Studies on the Storage Stability of Soursop (Annona muricata) Juice. African Journal of Biotechnology. Vol. 5 (19):1808-1812. Amusa, A. A., O.A. Ashaye., M.O. Oladapo and O.O. Kafaru. 2002. Pre-harvest Deterioration of Sour Sop (Annona muricata) at Ibadan Southwestern Nigeria anf Its Effect on Nutrient composition. African Journal of Biotechnology. Vol. 2 (1): 23-25. Apendi., W. Kusuma dan J. Sumarmono. 2013. Evaluasi Kadar Asam Lemak Bebas dan Sifat Organoleptik Pada Telur Asin Dengan Lama Pengasapan Yang Berbeda. Jurnal Ilmiah Peternakan. Vol. 1(1):142-150. Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2009. Standar Nasional Indonesia. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan (SNI 7388:2009). ICS 67.220.20. Bale-Therik, J.F., D. A. Wuri., dan F. Haba Ora. 2013. Pengaruh Ekstrak Daun Graviola (Anonna muricata) Terhadap Kualitas Fisik Telur Ayam Konsumsi. Makalah Penelitian. Program Studi Ilmu Peternakan Pascasarjana. UNDANA. Kupang. Belipati, M. Pengaruh Penggunaan Empat Macam Bahan Pengawet Terhadap Kualitas Telur Ayam Ras. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Nusa Cendana. Kupang. Bhale, S., H. K. No., W. Prinyawiwatkul., A. J. Farr., K. Nadarajah dan S. P. Meyers. 2003. Chitosan Coating Improves Shelflife of Eggs. Journal Food Science. No. 68: 23782383. Dinas Kesehatan. 2001. Materi Penyuluhan Bagi Perusahaan Makanan Industri Rumah Tangga. Pemerintah Kabupaten Sleman. Yogyakarta. Esti, A. S. 2000. Pengolahan Pangan. Artikel. Deputi Menegristek. Bidang Pendayagunaan Teknologi dan Pemasyarakatan Ilmu IPTEK. Gasperz, V. 1989. Metode Perancangan Percobaan. Penerbit Armiko. Bandung. Gobel dan B. Risco. 2008. Mikrobiologi Umum dalam Praktek. Universitas Hasanuddin. Makasar.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Haba Ora, F. 2013. Kajian Kualitas Fisik Telur Ayam. Makalah Seminar. Program Pascasarjana. Universitas Nusa Cendana. Kupang. Hajrawati and M. Aswar. 2011. Interior Quality of Chicken Eggs by Soaking using Betel Leaf (Piper bettle L.) as Preservative. Proceeding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. UNHAS. Makasar. Haryono. 2000. Langkah-Langkah Teknis Uji Kualitas Telur Konsumsi Ayam Ras. Temu Teknis Fungsional Nonpeneliti. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Hatiningsih, E. 2003. Pengaruh Penambahan Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) Dalam Ransum Terhadap Kualitas Rongga Udara, Warna Kuning Telur dan Haugh Unit Telur Pada Ayam Petelur Strain Lohman. JIPTUMMPP. Universitas Muhammadyah. Malang. Haugh, R. R. 2004. The Haugh Unit for Measuring Egg Quality. U.S. Egg Poultry Magazine. No. 43:552-555 and 572 – 573. USA. Jazil, N., A. Hintono., dan S. Mulyani. 2013. Penurunan Kualitas Telur Ayam Ras Dengan Intensitas Warna Coklat Kerabang Berbeda Selama Penyimpanan. Note Research. Jurnal Aplikasi Teknologi Pertanian. Vol. 2 (1): 43-47. Kardinan. A. 2004. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Cetakan Ke-4. Penebar Swadaya. Jakarta Khan R., J. Buse., E. Ferrannini dan M. Stern. 2005. The metabolic syndrome: time for a critical appraisal: Joint statement from the American. Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care. Vol. 28: 2289 – 2304. Lestari, S., R. Malaka dan S. Garantjang. 2011. Pengawetan Telur Dengan Perendaman Ekstrak Daun Melinjo (Gnetum gnemon Linn). Laporan Penelitian. Universitas Hasanuddin. Makasar. Muchtadi, D. 2013. Prinsip Teknologi Pangan Sumber Protein. Cetakan Kedua. Penerbit Alfabeta. Bandung. Muchtadi, T. R., Sugiyono., dan F. Ayustaningwarno. 2011. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Cetakan Ketiga. Penerbit Alfabeta. Bandung. Pathak, P., Saraswathy., A. Vora., J. Savai. 2003. In Vitro Antimicrobial Activity and Phytochemical Analysis of the Leaves of Annona muricata. International Journal of Pharmacy Research and Development Online (IJPRD). School of Pharmacy and technology Management, NMIMS. Mumbai. India.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Poernomo, S. 1994. Salmonella Pada Ayam di Rumah Potong Ayam dan Lingkungannya di Wilayah Jakarta dan Sekitarnya. Procceding Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Sartika, D. 2005. Pengaruh Trust in a Brand Terhadap Brand Loyalty Produk Air Minum Aqua Pada Mahasiswa Ekonomi USU. Laporan Penelitian. Fakultas Ekonomi USU. Sumatera Utara. Soekardi, Yuliadi. 2013. Pengawetan Telur. Sebuah Peluang Usaha. Penerbit CV. Yrama Widya. Bandung. Sudaryani, T. 1996. Kualitas Telur. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Viera, G.H.F., J. A. Mauro., A. M. Angelo., R. A. Costa and R.H.S.F. Vieira. 2010. Antibacterial Effect (In Vitro) of Moringa oleifera and Annona muricata Against Gram Possitive and Gram Negative Bacteria. Rev. Inst. Med. Trop. Vol. 52(53). Sao Paulo. Winarno, F. G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Edisi Terbaru. Cetakan Ke-1. M-Brio Press. Bogor. Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Edisi Pertama. Penerbit Gadja Mada University Press. Jogjakarta.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
HUBUNGAN JUMLAH FOLIKEL DENGAN KUALITAS MORFOLOGI OOSIT SAPI TIMOR BALI YANG DIKOLEKSI SECARA IN VITRO
Hermilinda Parera, Ni Sri Yuliani , Damai K. Ningrum Program Studi Kesehatan Hewan Jurusan Peternakan Politeknik Pertanian Negeri Kupang.
Abstrak Penelitian “Hubungan Jumlah Folikel dengan Kualitas Morfologi Oosit Sapi Timor Bali yang dikoleksi secara In vitro” bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah folikel dengan kualitas oosit yang dihasilkan secara in vitro. Oosit dari ovarium sapi Bali Timor yang diperoleh dari rumah Potong hewan (RPH), selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dilakukan proses koleksi dengan metode aspirasi. Ovarium dikelompokkan berdasarkan jumlah folikel yakni kelompok I ≤ 11folikel, Kelompok II: 12-20 folikel, Kelompok III: ≥ 21 folikel. Oosit yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan kualitasnya dengan mengklasifikasikan menjadi kualitas A, B, C dan D. Pada penelitian ini ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara jumlah oosit pada kelompok I dengan kelompok II dan III. Jumlah folikel pada kelompok II dan III menghasilkan presentase jumlah oosit dengan kualitas A dan B lebih baik jika dibandingkan dengan presentase jumlah kualitas oosit A dan B yang dihasilkan oleh ovarium pada kelompok I.
Pendahuluaan Dalam rangka mendukung program swasembada daging nasional dan pemenuhan kebutuhan protein hewani yang berasal dari ternak dalam hal ini daging yang terus meningkat setiap tahun, berdampak terhadap kebijakan pemerintah dalam menentukan suatu teknologi reproduksi yang dapat membantu menjamin peningkatan populasi ternak. Indonesia memiliki beberapa jenis ternak sapi potong seperti sapi Bali, sapi Ongole, sapi Madura, sapi SimPO dan LimPO yang terus dikembangkan untuk meningkatkan jumlah bibit sapi unggul. Pulau Timor memiliki jenis sapi potong yang disebut sapi Bali Timor. Sapi Bali-Timor merupakan sapi yang asalnya dari pulau Bali dan dalam perkembangannya disebarkan antaralain ke Sulawesi, Kalimantan, NTB dan NTT temasuk Pulau Timor. Sapi Bali juga memiliki keunggulan-keunggulan seperti angka pertumbuhan yang cepat, adaptasi dengan lingkungan yang baik dan penampilan reproduksi dan produktivitas yang tinggi (Talib et al., 2003). Sapi Bali dikatakan sebagai sapi yang paling superior dalam hal fertilitas dan angka konsepsi (Toelihere et al., 1996). Dalam penelitian Kune dan Solihat (2007), sapi Bali-Timor memiliki kesuburan yang tinggi 60-70%. Tingkat kesuburun sapi Bali berkisar 83-86% (Darmadja, 1980). Ketersediaan Pakan dan kondisi iklim yang baik sangat mempengaruhi performans
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
reproduksi seperti keberhasilan kebuntingan dan kualitas gamet yang dihasilkan dalam hal ini kualitas dari oosit juga menentukan keberhasilan fertilisasi (pembuahan). Walaupun berada dalam kondisi alam yang cukup ekstrim, dengan musim kemarau lebih panjang dari musim hujan dan kurangnya ketersedian pakan namun tingkat kesuburan pada sapi Bali di Timor masih cukup tinggi (Kune dan Solihat, 2007). Hal ini menjadi menarik untuk diketahui bagaimana dengan kualitas oosit yang dihasilkan oleh sapi Bali di Timor. Penggunaan metode in vitro memberikan hasil dengan akurasi yang tinggi dalam penilaian grade kualitas oosit yang digunakan untuk produksi embrio in vitro dalam jumlah yang banyak dan berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas morfologi oosit sapi Bali Timor, sebagai bahan referensi untuk penelitian yang terkait.
Materi Dan Metode Ovarium sapi Bali Timor diperoleh dari Rumah Potong Hewan. Ovarium dipisahkan dari jaringan dan lemak dicuci dengan NaCl 0,9% steril yang telah diberi antibiotik. Ovarium dibawa ke laboratorium dalam termos yang berisi medium NaCl 0,9% yang telah diberi antibiotik dengan suhu 35 - 37°C tidak lebih dari 2 jam setelah pemotongan. Ovarium dikelompokan berdasarkan jumlah folikel dan koleksi oosit menggunakan teknik aspirasi dari folikel yang berukuran 2-6 mm dengan mengunakan jarum 18 G yang dihubungkan dengan Syiringe disposable 5 ml yang berisi 0,5–1 ml. Cairan yang diperoleh dari folikel ditampung dalam tabung yang terpisah yang telah ditambahkan PBS 5 mL, endapkan didalam waterbath pada suhu 37ᴼC setelah 15 menit supernatan dibuang. Perlakuan ini sebanyak dua kali, kemudian dilakukan pencarian oosit dengan menuangkan endapan tersebut pada cawan petri steril yang didasarnya sudah diberi garis-garis kotak (0,5 x 0,5 cm) di bawah mikroskop stereokopis. jumlah folikel terhadap morfologi oosit dianalisis menggunakan analisis varians satu arah. Oosit diseleksi berdasarkan kondisi sitoplasma yang homogen dan jumlah lapisan selsel kumulus yang mengelilingi oosit. Oosit dikelompokkan menjadi 4 kategori berdasarkan (Budiyanto et al., 2013) yaitu: Kategori A: ditandai dengan kumulus berlapis padat dengan lebih dari tiga lapisan dan ooplasma homogen
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Kategori B: ditandai dengan lapisan kumulus padat, satu sampai tiga lapisan dengan ooplasma homogen, memiliki penampakan kasar dan zona pelusida yang berwarna lebih gelap Kategori C: ditandai dengan lapisan kumulus tidak terlalu padat dengan bentuk ooplasma yang tidak beraturan dan memiliki lapisan gelap Kategori D: ditandai dengan penampakan gundul tanpa lapisan kumulus.
Hasil Dan Pembahasan Pada penelitian ini didapatkan 448 oosit dari 104 ovarium yang dikoleksi menggunaka metode aspirasi dan dikelompokkan berdasarkan jumlah folikel dapat dilihat pada tabel 1. Kemudian oosit dikelompokan berdasarkan morfologi seperti pada gambar 1 untuk menentukan kualitasnya.
Tabel 1. Jumlah oosit yang diperoleh berdasarkan perbedaan jumlah folikel perovari pada sapi Bali Timor (lokal) Jumlah Jumlah Jumlah Kualitas oosit (%) Ovarium folikel oosit A B C D 55 ≤ 11 163 14(8,58)a 29(17,79)a 63(38,65) 57(34,96) 26 12-20 145 38(26,20)b 36 (24,82)b 40(27,58) 31(21,37) 23 ≥ 21 140 37 40 (28,57)b 37 (26,42) 26(18,57) b (26,42) Keterangan: a, b Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat nyata (P<0,05) Berdasarkan tabel 1. Menunjukan bahwa perbedaan jumlah folikel berpengaruh terhadap persentase jumlah oosit yang dihasilkan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyak folikel maka semakin banyak oosit yang dihasilkan, karena secara normal satu folikel menghasilkan satu oosit. Hasil analisa menunjukan untuk mendapatkan oosit kualitas A yang dihasilkan terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah folikel kelompok II 26,20% dan Kelompok III 26,42 % lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kelompok I 8,58 %. Hal yang sama juga terlihat pada oosit kualitas B, pada kelompok II 24,82 % dan kelompok III 28,57 % lebih tinggi dari kelompok I. Tingginya oosit kualitas A dan B disebabkan banyaknya folikel pada permukaan ovarium yang mengindikasikan banyaknya folikel stimulating hormon (FSH) sebagai perangsang pertumbuhan folikel, hormon ini bekerja pada reseptor FSH di sel granulosa menginduksi proliferasi sel dari sel selapis menjadi kuboid. Selanjutnya
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
sel folikel menjadi epitel berlapis melalui pembelahan mitosis (Junqueira dan Carneiro, 1982). Gordon (2003), mengatakan faktor yang dapat mempengaruhi jumlah oosit yang diperoleh adalah kualitas dan ukuran folikel, suhu dan waktu penyimpanan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas oosit adalah umur, jenis hewan, siklus estrus, morfologi ovarium, kondisi tubuh dan nutrisi, status reproduksi hewan donor, faktor genetik dan faktor lingkungan.
Gambar 1. Morfologi oosit dari ovarium sapi Bali Timor (a) oosit sapi Bali Timor Kualitas A ditandai dengan kumulus berlapis padat dengan lebih dari tiga lapisan dan ooplasma homogen, (b) oosit sapi Bali Timor kualitas B ditandai dengan lapisan kumulus padat, satu sampai tiga lapisan dengan ooplasma homogen, memiliki penampakan kasar dan zona pelusida yang berwarna lebih gelap, (c) oosit sapi Bali Timor kualitas C ditandai dengan lapisan kumulus tidak terlalu padat dengan bentuk ooplasma yang tidak beraturan dan memiliki lapisan gelap, (d) oosit sapi Bali Timor kualitas D ditandai dengan penampakan gundul tanpa lapisan kumulus, (1) kumulus ooforus, (2) ooplasma oosit (gambar ini dilihat dengan mikroskop steroskopis).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Kualitas oosit memberikan pengaruh terhadap pematangan oosit (maturasi), perkembangan dan kemampuan embrio untuk tetap bertahan hidup dan pemeliharaan pada kebuntingan dan perkembangan fetus (Krisher, 2004). Penentuan kualitas oosit dapat dilakukan dengan melakukan beberapa evaluasi terhadap oosit yang akan digunakan pada proses fertilisasi In vitro. Seleksi oosit yang banyak digunakan adalah pemilihan oosit berdasarkan morfologi sel kumulus yang berada di sekitar oosit (Alvarez et al. 2009; Lonergan et al.,1996). Teknik grading dengan mengevaluasi sel-sel kumulus oosit yang kompleks dapat mengindetifikasi kualitas oosit dengan lebih mudah dan objektif. Keberadaan sel kumulus mendukung pematangan oosit sampai pada tahap metafase II dan berkaitan dengan pematangan sitoplasma yang diperlukan untuk kemampuan perkembangan setelah fertilisasi. Umumnya oosit dengan kumulus yang multilayer digunakan dalam produksi embrio secara in vitro. Menurut Gordon (2003), kriteria pemilihan oosit yang berkualitas baik dapat dilihat dari bagian ooplasma yang homogen, sel kumulus yang kompak mengelilingi zona pelusida.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jumlah folikel per ovarium mempengaruhi persentase jumlah kualitas oosit sapi Bali Timor.Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kemampuan oosit yang dihasilkan terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio in vitro
Daftar Pustaka
Alvarez , A.M., Garcia. G. RM., Rebollar, P.G., Revuelta. L., Millan. P and Lorenzo PL. 2009. Influence of metabolic status on oocyte quality and follicular characteristics at different postpartum periods in primiparous rabbit does. Theriogenology, 72:612623. Budiyanto, A., Gustari, S., Anggoro, D. Jatmoko, D., Nugraheni, S., Nugraha, E.K., dan Donata Asta. 2013. Kualitas Morfologi Oosit Sapi Peranakan Ongole yang Dikoleksi secara In Vitro Menggunakan Variasi Waktu Transportasi. Acta veterinaria Indonesiana 1 : 15-19 Darmadja, D. 1980. Setengah abad peternakan sapi tradisional dalam ekosistem pertanian di Bali. PhD, Thesis. Universitas Padjadjaran, Bandung.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Gordon, I. 2003, Laboratory Production Of Cattle Embryos. Edisi ke-2. Dublin: CAB International. Junqueira, L.C. and J. Carneiro. 1982. Histologi Dasar. Edisi 3. Penerbit EGC, Jakarta. Krisher, R. L. 2004. The Effect of Oocyte Quality on Development. Journal Animal Science 82: E14-E23. Lonergan, P., C. Carolan, A. Van Langendonckt, I. Donnay, H. Khatir and Mermillod. 1996. Role of Epidermal Growth Factor in Bovine Oocyte Maturation and Preimplantation Embryo Development In Vitro. Journal Biology of Reproduction. 54: 1420-1429. Talib. C. 2002. Sapi bali di daerah sumber bibit dan peluang Pengembangannya. Wartazoa 12: 3. Toelihere, M. R., T. L. Yusuf, Burhanuddin, H.L.L. Belli, P. Kune, K. Tahitoe Dan M Krova, 1996. Produksi Semen dan Embrio Segar dan Beku Serta Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio Pada Sapi Bali Di Timor. Laporan Penelitian Hibah Bersaing III/I Perguruan Tinggi, Undana Kupang. Kune, P dan Solihat. N, 2007, Tampilan Berahi dan Tingkat Kesuburan Sapi Bali Timor yang Diinseminasi, Jurnal Ilmu Ternak, 7, 1-5. Wood T.C., Wildt D.E. (1997): Effect of the quality of the cumulus oocyte complex in the domestic cat on the ability of oocytes to mature, fertilize and develop into blastocysts in vitro. Journal of Reproduction and Fertility, 110, 355–360.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Identifikasi Mycobacterium tuberculosis Dengan Konsentrasi Dna Bertingkat Menggunakan Teknik Polimerase Chain Reaction (PCR) Yohanes T.R.M.R. Simarmata1, Ida Tjahajati2, Fahyu Kartika Dewi2 1
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana
2
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
Abstrak Bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri gram positif yang menyebabkan penyakit TBC. TBC adalah penyakit zoonosis dan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler. Diperlukan suatu metode diagnosa yang tepat dan cepat sehingga penanganan cepat dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendiagnosa M.tuberculosis pada konsentrasi bertingkat sehingga dapat digunakan sebagai reverensi dalam deteksi penyakit TBC. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah DNA murni M.tuberculosis dari Balai Besar Penelitian Veteriner. Tahap awal yang dilakukan adalah isolasi DNA. Isolat bakteri M.tuberculosis diekstraksi, kemudian dihitung konsentrasi DNA secara kuantitatif. DNA yang diperoleh diencerkan menjadi delapan konsentrasi yang berbeda yaitu 5000pg/µL; 2500pg/µL; 1250pg/µL; 625pg/µL; 312,5pg/µL; 156,25pg/µL; 78,125pg/µL; dan 39,0625pg/µL. Tahap selanjutnya adalah amplifikasi DNA dengan menggunakan primer yaitu TPOL/TPOR spesifik untuk M.tuberculosis complex. Tahap terakhir adalah analisis dengan elektroforesis agarose 1,5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi DNA yang lebih tinggi memperlihatkan (pita-pita) bands yang lebih tebal dari pada konsensentrasi DNA yang rendah. Penggunaan primer TPOL/TPOR mampu mendeteksi DNA pada konsentrasi 39,0625pg/µl meskipun bands yang dihasilkan sangat tipis. Teknik PCR merupakan cara yang cepat, efektif dan sensitif untuk mendeteksi M.tuberculosis dan dapat digunakan sebagai tindakan deteksi cepat penyakit TBC. Kata kunci : Mycobacterium tuberculosis, PCR, konsentrasi DNA, elektroforesis.
Pendahuluan Penyakit yang telah dideteksi keberadaannya sejak 2000 tahun sebelum Masehi ini masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Penyakit tuberkulosis (TBC) adalah penyakit endemik pada negara berkembang, tidak hanya menginfeksi pulmo tetapi juga extrapulmonary misalnya pada tulang belakang (Ribeiro et al. 2006). Lebih dari sepertiga populasi manusia terinfeksi mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis). Indonesia merupakan urutan ketiga penderita tuberkulosis terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TBC di dunia (Jordao, 2011).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Mycobacterium tuberculosis kompleks dapat zoonotik dari manusia ke hewan maupun dari hewan ke manusia dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, terutama M.tuberculosis yang merupakan patogen primer pada manusia (Moravkova M. et al. 2011, Suazo et al. 2000), M.tuberculosis dapat menular pada hewan jika terjadi kontak langsung dengan manusia yang terinfeksi. Kasus infeksi M.tuberculosis dapat ditemukan pada hewan meliputi kera, sapi, burung, kucing, anjing, hewan domestik dan hewan lain. M.tuberculosis dapat menyebabkan infeksi subklinis pada anjing dengan lesi patologis pada nodus limpatikus, paru-paru, usus, hati, ginjal dan limpa (Moravkova M. et al.2011). Pada kasus yang terjadi pada hewan, M.tuberculosis dapat diisolasi dari lesi tuberculous pada hewan domestik dan satwa liar. Alternatif pencegahan dan pengobatan TBC telah banyak dibahas pada berbagai media namun jumlah penderita TBC di Indonesia masih tinggi. Ada beberapa faktor yang menghambat pemberantasan tuberkulosis, diantaranya adalah belum tersedianya diagnosa cepat dan tepat untuk deteksi bakteri M.tuberculosis. Misalnya, diagnosa tuberkulosis tipe ekstrapulmonary cukup sulit karena tidak terlihat gejala klinis yang spesifik, hasil pemeriksaan radiologi mirip dengan infeksi bakteri yang lain, jamur, peradangan dan penyakit neoplastik (Ribeiro et al.., 2006). Proses diagnosa menggunakan AFB (Acid Fast Bacilli) mikroskopis meskipun cepat dan murah, namun hasilnya kurang sensitif, hanya 30%70% penderita yang dapat terdeteksi (Tjahajati et al. 2005, Utami et al. 2002, Ribeiro et al. 2006). Metode kultur yang kurang spesifik serta dibutuhkan waktu lama (6 minggu) untuk tumbuh di media (Ortu et al. 2006, Nugroho et al. 2008), sedangkan test tuberculin tidak selalu memberikan hasil positif pada anjing yang terinfeksi (Moravkova M. et al. 2011). Sehingga dibutuhkan test laboratoris yang spesifik untuk M.tuberculosis yang dapat dilakukan dalam periode waktu yang singkat serta hasil yang akurat. Pemeriksaan dengan menggunakan pelacak Deoxyribonucleic acid (DNA) yang menunjukkan hasil spesifik dan sensitifitas yang sama dengan pemeriksaan mikroskopis. Menurut Yuwono (2006) sensitifitas pemeriksaan menggunakan DNA dapat ditingkatkan dengan metode Polimerase Chain Reaction (PCR). PCR telah digunakan untuk mendeteksi DNA M.tuberculosis pada berbagai jenis sampel, namun belum dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan jumlah konsentrasi DNA M.tuberculosis yang masih mampu dideteksi menggunakan teknik PCR. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeteksi DNA M.tuberculosis dengan berbagai konsentrasi mengunakan teknik PCR.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Materi Dan Metode Deoxyribonucleic acid M.tuberculosis yang digunakan pada penelitian ini berasal dari domba yang terinfeksi tuberkulosis dan pengekstrakan DNA dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor Jawa Barat yang menhasilkan konsentrasi DNA 5000 pikogram
/microliter. Deoxyribonucleic acid M.tuberculosis dibagi menjadi 8 konsentrasi seperti
disajikan pada Tabel 1.
Amplifikasi DNA dengan PCR Deoxyribonucleic acid (DNA) yang telah diencerkan sesuai tabel 1, kemudian dilakukan pencampuran dengan dH2O steril, PCR kappa (terdiri dari Taq polymerase, dNTPs, buffer, stabilizer 2 MMb-5) dan primer. Primer yang digunakan TPOL/TPOR, urutan basa dan
jumlah
nukleotida
primer
adalah
TPOL
Forward
(CCGGCGCTTGCGGGCGGACCCACCGCC) dengan jumlah basa 27 dan TPOR Reverse (CAGGCTGCCCTGCCCCACGCCCCGGTAG) dengan jumlah basa 28. DNA template yang digunakan dihitung dengan rumus : N1 x V1 = N2 x V2. Komposisi campuran pereaksi PCR DNA untuk satu reaksi adalah 25 µl adalah 12,5 µl KAPA Taq DNA Polymerase readmix, 1 µl primer F, 1 µl primer R, 2 µl DNA, dan 8,5 µl H2O. Kondisi PCR untuk amplifikasi fragmen DNA adalah predenaturasi pada suhu 94oC selama 5 menit, denaturasi pada suhu 94oC selarna 1 menit, annealing atau proses penempelan primer pada suhu 60oC selama 1 menit. Elongation atau proses pemanjangan pada suhu 72oC selama 1 menit dan post Elongation yaitu fase untuk memastikan pemanjangan sempurna pada suhu 72oC selarna 7 rnenit. Reaksi dilakukan sebanyak 35 siklus. Hasil atau data dari berbagai teknik uji bertingkat dengan metode PCR akan dianalisis secara diskriptif.
Hasil Dan Pembahasan Pewarnaan asam nukleat menggunakan Good View
TM
untuk memvisualisasikan DNA pada gel agarosa. Good View
Nucleic Acid Stain berfungsi
TM
Nucleic Acid Stain ini akan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
menyisip diantara basa-basa nitrogen molekul DNA. Identifikasi produk PCR menggunakan elektroforesis gel agarose 1,5%. Elektroforesis dijalankan dengan tegangan 50 volt. Penggunaan primer yang spesifik mampu menghasilkan pita-pita (bands) DNA yang jelas dibawah sinar ultraviolet. DNA merupakan molekul muatan negatif, sehingga bila diletakkan dimedan listrik, DNA akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif. Pergerakan ini kecepatannya tergantung dari ukuran molekul, kerapatan media, dan arus listrik yang diberikan. Semakin kecil ukuran, maka DNA akan bermigrasi makin cepat. Semakin rapat media yang digunakan, migrasi akan semakin lambat. Uji sensitifitas DNA M.tuberculosis secara in vitro dilakukan menggunakan primer TPOL/TPOR pada konsentrasi DNA yang sama yaitu 5000 pg/µl hingga 39,0625 pg/µl. Konsentrasi DNA yang digunakan berbeda-beda pada setiap sumuran. Perbedaan ini dilakukan untuk melihat kemampuan PCR dalam mengamplifikasi DNA dengan konsentrasi yang lebih kecil. Konsentrasi DNA M.tuberculosis adalah 5000 pg/µl yang kemudian diencerkan menjadi 2500 pg/µl; 1250 pg/µl; 625 pg/µl; 312,5 pg/µl; 156,25 pg/µl; 78,125 pg/µl dan 39,0625 pg/µl. Pemilihan konsentrasi tersebut berfungsi untuk mempermudah proses penghitungan dan pengenceran DNA bakteri. Amplifikasi DNA fragmen KS4 pada M.tuberculosis dilakukan dengan menggunakan primer TPOL dan TPOR menghasilkan produk PCR sepanjang 786 bp. Elektroforesis hasil PCR disajikan pada Gambar 1. Hasil amplifikasi yang terlihat pada Gambar 1 menunjukkan bahwa primer secara spesifik menempel pada DNA target dan mampu mengamplifikasi DNA dengan menghasilkan fragmen sepanjang 786 bp. Bands yang yang dihasilkan memiliki ketebalan yang berbeda tergantung dari jumlah konsentrasi DNA. Pada kolom TB1 bands terlihat sangat tebal dan berpendar fluoresensi paling terang dibawah sinar ultraviolet, sedangkan pada kolom TB2 dan kolom TB3, bands mulai terlihat lebih tipis namun masih berpendar dengan jelas dibawah sinar ultraviolet. Bands hasil elektroforesis pada kolom TB5 hingga kolom TB8 terlihat tipis, terutama pada kolom TB8 yang terlihat paling tipis dibanding yang lain. Hal ini berarti primer TPOL dan TPOR mampu mendeteksi DNA Mycobacterium tuberculosis dengan konsentrasi DNA 39,0625 pg/µl.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 1. Konsentrasi DNA Mycobacterium tuberculosis Kode TB1 TB2 TB3 TB4 TB5 TB6 TB7 TB8
% 100 50 25 12,5 6,25 3,125 1,5625 0,78125
Konsentrasi pg/µl 5000 2500 1250 625 312,5 156,25 78,125 39,0625
Volume sediaan (microliter) 20 20 20 20 20 20 20 20
Gambar 1. Elektroforesa DNA M.tuberculosis menggunakan primer TPOL/TPOR pada 1,5 agarosa. (M) DNA marker, (TB1) Konsentrasi DNA 5000 pg/µl, (TB2) 2500 pg/µl, (TB3) 1250 pg/µl, (TB4) 625 pg/µl, (TB5) 3125,5 pg/µl, (TB6) 156,25 pg/µl, (TB7) 78,125 pg/µl, (TB8) 39,0625 pg/µl.
Primer TPOL dan TPOR adalah primer spefisik yang digunakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosis complex (Chaiprasert, 2006).. Target primer tersebut adalah fragmen KS4. KS4 adalah fragmen DNA yang spesifik ada pada Mycobacterium tuberculosis complex dengan spesifisitas 99% dan sensitifitas 98%. Proses amplifikasi DNA M.tuberculosis menggunakan primer TPOL/TPOR menggunakan 35 siklus dan menggunakan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
suhu predenaturasi, denaturasi, annealing, elongasi, dan post elongasi yang sama yaitu berturut-turut 94oC, 94oC, 60oC, 72oC, dan 72oC. Amplikon yang dihasilkan dari 35 siklus adalah 34.359.738.370 yang diperoleh dari rumus 2n (n adalah jumlah siklus yang digunakan). Berdasarkan Mulhardt (2003) konsentrasi minimal DNA yang digunakan adalah 5 ng atau setara dengan 5000 pg. Elektroforesis hasil PCR pada Gambar 1 memperlihatkan bahwa DNA M.tuberculosis pada konsentrasi 39,0625 pg/µl masih dapat dideteksi menggunakan primer TPOL/TPOR dengan teknik PCR. Dari hasil tersebut mungkinan bahwa konsentrasi DNA M.tuberculosis kurang dari 39,0625 pg/µl mampu dideteksi menggunakan PCR. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa deteksi DNA M.tuberculosis dengan teknik PCR memang sangat efisien, spesifik dan akurat karena DNA merupakan unit terkecil dari semua sel hidup. Dengan berhasilnya penelitian ini, berarti ada kemungkinan untuk dilakukan penelitian terhadap spesies lain, sehingga dapat mempermudah proses deteksi penyakit secara cepat.
Simpulan Identifikasi menggunakan PCR dengan primer TPOL/TPOR (pada bands 768 bp) dapat mendeterdeteksi DNA M.tuberculosis dengan konsentrasi 39,0625 pg/µl dengan bands yang tipis.
Daftar Pustaka Chaiprasert, A., Therdsak, P., Nipa, T., Preeyawis, N., Somboon, S., Kittpan, S., and Watcharin, R. 2006. One-Tube Multiplex PCR Method fro Rapid Identification of Mycobacterium tuberculosis. Southeast Asean J Trop Med public Health. Vol. 37 No.3:106-112. Jordao, L. dan Otilia, V.V. 2011. Review Article Tuberculosis : New Aspects of An Old Disease. Hidawi Publishing Corporation International Journal of Cell Biology Vol 22: 67-71. Moravkova, M., M. Slany, I. Trcka, M. Havelkova, J. Svobodova, M. Skoric, B. Heinigeova dan I. Pavlik. 2011. Human to Human and Human to dog Mycobacterium tuberculosis transmission studied by IS6110 RFLP analysis: a case report. Veterinarni Medicina. 56.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Mulhardt, C. 2003. Der Experimentator: Molekularbiologie/Genomics. Spektrum Akademischer Verlag Heidelberg, Berlin. Pp 201-246. . Nugroho, W.S., Mirnawati S., Denny, W.L., Surachmi S., Abdulwahed, A.H., dan Ewald, U. 2008. Kemampuan Primer IS900 dan F57 Mendeteksi Mycobacterium avium Subspesies Paratuberculosis dengan PCR Konvensional. Jurnal Sain Veteriner Vol.1:26-29. Ortu, S., Paola, M., Leonardo, A.S., Pierp, P., Franca, S., Cono, V., Antonella D., Ivana, M., M. aria, S.M., dan Stefania Z. 2006. Rapid Detection and Identification of Mycobaterium tuberculosis by Real Time PCR and Bactec 960 MIGT. The New Microbiologica 78:341-348. Riberio, M.A., A.S. Barouni, C.J. Agusto, M.V.S. Agusto, M.T.P. Lopes dan C.E. Salas. 2007. PCR identification of Mycobacteriumtuberculosis complex in clinical sample from a patient with symptoms of tuberculous spondylodiscitis. Brazilian Journal of Medical and Biological Research 32:110-118. Suazo, F.M., M.D. Salman, Carolina R., Janet B.P., Jack C.R., dan Marco S. 2000. Identification of Tuberculosis in Cattle Slaughtered in Mexico. AJVR. Vol 61 No. 1:176-182. Tjahajati, I., Widya Asmara, Bambang H. 2005. Gambaran Darah Kucing yang Diinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Jurnal Sain Veteriner. Vol. 23 No.1:44-50. Utami, B.S., Syahrial H., Riyanti E., Enny Y., Liliana K., dam Tjandra Y.A. 2002. Uji Validasi Teknik PCR (Polimerase Chain Reaction) dan Pemeriksaan Mikroskopik Bakteri Tahan Asam Sebagai Alat uji Diagnosis Penderita TB Paru di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. Media Litbang Kesehatan Vol. 12 No. 3: 76-84. Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Penerbit ANDI Yogyakarta. Pp 17-21.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Kandungan Saponin Pada Hijauan Arbila (Phaseolus Lunatus L.) Sebagai Pakan Pada Umur Panen Dan Dosis Inokulum Rizobium Yang Berbeda
Bernadete B Koten dan Redempta Wea Program studi Teknologi Pakan Ternak Jurusan Peternakan Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Email:
[email protected]
Abstrak Arbila (Phaseolus lunatus L.) merupakan legum natif pada padang pengembalaan alam di Nusa Tenggara Timur (NTT). Potensinya sebagai sumber hijauan berkualitas dapat diandalkan. Selain mengandung nutrisi, arbila juga mengandung anti nutrisi berupa saponin. Nitrogen (N) sangat dibutuhkan oleh arbila, yang dapat ditingkatkan dengan menginokulasi rizobium penambat N. Aktivitas bakteri rizobium akan mempengaruhi produksi metabolit sekunder (saponin) yang dihasilkan oleh arbila. Umur panen mempunyai relevansi yang akurat dengan nilai nutrient serta anti nutrien (saponin). Umur panen juga menentukan berapa lama arbila bersimbiosis dengan rizobium dalam menambat N dan akumulasi metabolit sekunder (saponin) yang tersimpan dalam jaringan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kandungan saponin hijauan arbila pada dosis inokulum rizobium dan umur panen yang berbeda. Penelitian ini telah dilaksanakan di green house Fakultas Peternakan UGM, dengan metode eksperimen yang dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial dengan 4 level dosis inokulum (I1: tanpa inokulum, I2 : 5 g /kg benih, I3 : 10 g/kg benih, I4 : 15 g/kg benih) dan 3 level umur pemanenan (U1: 60 hari, U2 : 80 hari dan U3 : 100 hari), yang dulang 4 kali. Parameter yang diamati adalah dan senyawa anti nutrien (saponin). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kombinasi perlakuan, kadar saponin tertinggi terdapat pada perlakuan I1U3 yang disusul oleh I2U2 dan I1U2. Kadar saponin ini juga tidak berbeda I1U1, I3U2 dan I4U2. Kadar saponin tanaman arbila ini semakin berkurang pada kombinasi penambahan inokulum dengan umur panen 60 hari (U1) dan 100 hari (U3). Kadar saponin terendah terdapat pada perlakuan I4U3 yang diikuti oleh I2U1. Disimpulkan bahwa kadar saponin tanaman arbila ternyata dapat berkurang dengan adanya penambahan inokulum, dan umur panen 80 hari merupakan umur tertinggi bagi tanaman arbila dalam memproduksi saponin. Kata kunci : Phaseolus lunatin L, Saponin, Umur panen, rizobium, hijauan
Pendahuluan Arbila (Phaseolus lunatus L.) merupakan salah satu leguminosa natif yang hidup pada padang pengembalaan alam
Nusa Tenggara Timur (NTT). Potensinya sebagai sumber
hijauan berkualitas dapat diandalkan. Koten (2013) melaporkan bahwa nitrogen terserap 688,10 g/polybag, produksi BK 273,81 g/polybag, produksi BO 263,96 g/polybag dan produksi PK 48,12 g/polybag. kandungan 21,21% protein kasar (PK) dan 24,21% serat kasar
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
(SK).
Selain nilai nutrisi yang tinggi, kacang arbila ini juga mengandung racun
phaseolunatin pada biji, batang dan daunnya. Selain itu juga mengandung saponin dan tanin. Zat anti nutrisi ini jika dalam jumlah yang banyak dapat membahayakan ternak yang mengonsumsinya (Ajayi et al., 2010). Unsur hara nitrogen sangat dibutuhkan oleh tanaman penghasil hijauan. Nitrogen ini dapat diperoleh dengan melibatkan rizobium dalam memanfaatkan N udara. Kemampuan ini ditentukan oleh efektivitas bakteri rizobium.
Inokulasi dengan biakan strain terpilih
diharapkan dapat menggantikan rizobium alam yang kurang efektif. Jumlah biakan unggul dalam tanah akan berdampak pada produktivitas tanaman pakan. aktivitas bakteri rizobium akan
mempengaruhi produksi metabolit sekunder (saponin) yang akan dihasilkan oleh
tanaman. Umur panen merupakan aspek yang erat hubungannya dengan fase pertumbuhan tanaman, yang mempunyai relevansi yang akurat dengan produksi dan nilai nutrient serta anti nutrient (saponin). Umur panen juga menentukan berapa lama tanaman legum dapat bersimbiosis dengan bakteri rizobium dalam menambat dan memanfaatkan nitrogen udara, dan juga akumulasi metabolit sekunder (saponin) yang tersimpan dalam jaringan tanaman. Bintil akar pada akar arbila merupakan tempat hidup dari bakteri rizobium yang mampu menambat N udara, di mana gas N2 dari udara direduksi menjadi amonia. Amonia (NH3) dan NH4 selanjutnya akan digunakan oleh tanaman inang dan tanaman lain yang berada di sekitarnya. Sutanto (2002) melaporkan bahwa legum mampu menambat 62 – 128 kg/ha N, bahkan dari jenis cowpea mampu menambat 150 kg N/ha/tahun. Kemampuan arbila dalam menambat N ini diharapkan mampu menjadi sumber N hayati bagi arbila dan tanaman lain di sekitarnya. Kemampuan ini ditentukan oleh efektivitas rizobium dalam menambat N. Bakteri yang tidak efektif justru bersifat parasitisik bagi tanaman. Inokulasi dengan biakan strain terpilih diharapkan dapat menggantikan rizobium alam yang kurang efektif. Jumlah biakan unggul dalam tanah akan menentukan kemampuannya bersaing dengan bakteri lain yang nantinya berdampak pada produktivitas tanaman pakan. Dakora et al. (2008) melaporkan bahwa Rhizobium tropici merupakan jenis bakteri penambat N yang cocok dengan tanaman Phaseolus vulgaris, yang jika digunakan sebagai inokulan akan meningkatkan produksi tanaman hingga 4 ton/ha tanpa pemupukan N. Umur panen merupakan aspek yang erat hubungannya dengan fase pertumbuhan tanaman, yang mempunyai relevansi yang akurat dengan produksi dan nilai nutrien dan kecernaan. Umur panen juga menentukan berapa lama tanaman legum dapat bersimbiosis dengan bakteri rizobium dalam menambat dan memanfaatkan nitrogen udara. Penentuan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
umur panen yang tepat sangat diperlukan untuk menjamin banyaknya N yang ditambat dan dimanfaatkan oleh tanaman, yang kemudian sangat menentukan
kualitas dan kuantitas
hijauan yang dihasilkan sebagai tanaman pakan.
Metoda Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dalam rumah kaca Laboratorium Hijauan Makanan Ternak dan Pastura Fakultas Peternakan UGM selama 5 bulan terhitung mulai tanggal 11 November 2011 sampai 15 Maret 2012.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah benih tanaman legum arbila dan inokulum rizobium (legin Phaseolus vulgaris), pupuk SP 36 (36% P2O5), dan KCl (60% K2O) dan urea (45% N), polybag berukuran 18 x 23 cm dengan diameter 22 cm, kantong plastik, dan amplop besar untuk sampel. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan digital merk Sartorius berkapasitas 200 g dengan skala terkecil 0,0001 g untuk menimbang inokulum, dan pupuk, timbangan digital merk Sartorius berkapasitas 2600 g dengan skala terkecil 0,1 g untuk menimbang hijauan, dan timbangan pegas merk Camry berkapasitas 10 kg dengan kepekaan 0,5 g untuk menimbang tanah, oven pengering, alat destilasi lemak, peralatan untuk mengukur kadar nitrogen (protein) dan uji serat kasar, dan tanur untuk menguji kadar abu. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial dengan 2 faktor perlakuan yang masing-masing dilaksanakan dengan 4 ulangan yaitu: Faktor pertama yaitu dosis inokulum (I) yang terdiri dari : I1: tanpa inokulum I2 : 5 g /kg benih I3 : 10 g/kg benih I4 : 15 g/kg benih Faktor kedua adalah umur pemanenan (U) : U1 : dipanen pada umur 60 hari U2 : dipanen pada umur 80 hari U3 : dipanen pada umur 100 hari Jadi dengan demikian diperlukan 48 satuan kombinasi yang diatur dalam 48 polybag.
Jalannya penelitian
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Persiapan tanah dan benih. Persiapan tanah meliputi: Tanah dengan kelas tekstur lempung pasiran diperoleh dari
Dusun Srumbung Desa Pengkok Kecamatan Patuk Kabupaten
Gunungkidul, kemudian dibongkar dan dihancurkan. Tanah tersebut selanjutnya disaring dengan diameter saringan 0,5 cm, kemudian dimasukan ke dalam polybag. Dalam 1 polybag diisi 10 kg tanah. Polybag ditempatkan dengan jarak 0,5 x 0,5 m sesuai denah pada Lampiran 1. Penentuan perlakuan pada polybag tersebut dilakukan berdasarkan pola rancangan acak lengkap. Benih dibasahi
dengan air kemudian ditambahkan legin sesuai dengan dosis
perlakuan. Penanaman. Penanaman dilakukan dengan dibenamkan sedalam + 3 cm. Dalam 1 lubang tanam diisi 4 butir benih, kemudian ditutup kembali. Pemupukan. Pemberian pupuk SP 36 (36% P2O5) dengan dosis 75 kg/ha dilakukan sekaligus pada saat tanam, sedangkan pupuk KCl (60% K2O) sebanyak 75 kg/ha diberikan 2 kali yaitu 37,5 kg/ha diberikan saat tanam dan sisanya diberikan saat tanaman berumur satu bulan. Pupuk urea dengan dosis 25 kg/ha diberikan pada saat tanaman berumur 10 hari untuk merangsang pertumbuhan awal. Pupuk-pupuk ini diberikan dengan cara dibenamkan dan masing–masing pupuk dibenamkan pada tempat yang berbeda dengan jarak + 5 cm dari lubang tanam. Penjarangan. Penjarangan tanaman dilakukan saat tanaman berumur 10 hari dengan hanya meninggalkan 2 tanaman terbaik di setiap lubang tanamnya. Pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama. Penyiraman tanaman
dilakukan setiap
hari hingga tanahnya menjadi lembab dan tidak tergenang (tiap 2 hari sekali sebanyak 200 ml tiap polibag). Penyiangan tanaman dilakukan sebanyak 2 kali. Hama ditanggulangi dengan penyemprotan insektisida. Panen/pemotongan. Panen dilakukan sesuai perlakuan. Pada saat panen
dilakukan
pengukuran terhadap produksi hijauannya. Pemotongan tanaman dilakukan pada batang dengan jarak + 5 cm dari atas tanah. Pengeringan. Akar, hijauan dan biji yang diperoleh dalam penelitian ini dipisahkan menurut jenisnya dan dimasukkan dalam kantong koran yang telah diketahui beratnya kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 55oC selama 3 hari. Setelah itu dilakukan penimbangan terhadap bagian-bagian tersebut. Preparasi sampel. Sampel hijauan yang sudah kering tersebut selanjutnya digiling dan disaring dengan menggunakan saringan berdiameter lubang saringan 1 mm.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Analisis kimia. Sampel yang telah digiling, kemudian dianalisis kandungan bahan kering, bahan organik, protein kasar, ekstrak eter, serat kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen, dan abu berdasarkan petunjuk AOAC (2005). Variabel yang diamati Senyawa anti nutrien. Senyawa anti nutrien yang diukur adalah kandungan saponin. Analisis anti nutrien dilakukan di laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi UGM. Data yang telah diperoleh, dianalisis variansi menurut Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial 4 x 3. Uji Duncan (Duncan,s new multiple range test/DMRT) dilakukan terhadap faktor perlakuan yang menunjukkan pengaruh yang signifikan menurut petunjuk Gomez dan Gomez (2010).
Hasil Dan Pembahasan Kadar saponin hijauan arbila akibat perlakuan Tabel 1 memperlihatkan bahwa kadar saponin tanaman arbila ternyata dapat berkurang dengan adanya penambahan inokulum. Umur panen 80 hari ternyata merupakan umur tertinggi bagi tanaman arbila dalam memproduksi saponin. Analisis varians memperlihatkan bahwa kadar saponin
arbila sangat dipengaruhi (P≤0,01) oleh kombinasi antara dosis
inokulum, dan dosis inokulum serta umur panen berpengaruh nyata (P≤0,01). Pada kombinasi perlakuan, kadar saponin tertinggi terdapat pada perlakuan I1U3 yang disusul oleh I2U2 dan I1U2. Kadar saponin ini juga tidak berbeda I1U1, I3U2 dan I4U2. Kadar saponin tanaman arbila ini semakin berkurang pada kombinasi penambahan inokulum dengan umur panen 60 hari (U1) dan 100 hari (U3). Kadar saponin terendah terdapat pada perlakuan I4U3 yang diikuti oleh I2U1.
Tabel 1. Rerata kadar saponin tanaman bagian atas arbila akibat perlakuan
(% BK)
Umur panen Dosis inokulum (g/kg benih) Rerata (hari) I1 (0) I2 (5) I3 (10) I4 (15) U1 (60) 1,06ace 0,94f 0,99de 1,01bce 1,00g ace a ace ace U2 (80) 1,06 1,10 1,06 1,04 1,07f U3 (100) 1,09ac 0,96f 0,97e 0,94f 0,97h i j j j Rerata 1,07 1,00 1,01 1,00 1,02 Standar deviasi 0,04 abcde Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, fgsuperskrip yang berbeda kolom yang sama, dan hisuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P≤0,05).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Saponin merupakan senyawa racun dari golongan glukosida sianogenik. Istiqomah et al., (2011) menyatakan bahwa saponin berikatan dengan karbohidrat. Bertambahnya umur tanaman menyebabkan makin banyak karbohidrat hasil asimilat yang terakumulasi dalam jaringan tanaman. Makin banyak hasil asimilasi, akan semakin tinggi pula saponinnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Widodo (2005) bahwa kadar saponin dalam tanaman akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar saponin arbila menurun dengan bertambahnya umur arbila. Kondisi ini disebabkan oleh adanya translokasi karbohidrat mudah terlarut ke pembentukan bunga dan buah. Berkurangnya karbohidrat mudah terlarut dalam jaringan tanaman menyebabkan berkurang pula kadar saponinnya. Kadar saponin yang tinggi ini pula didukung oleh kadar BETN. Rerata kadar saponin pada penelitian ini adalah 1,02%. Kadar saponin ini lebih rendah dari hijauan Sesbania sesban seperti (Widodo, 2005) yaitu 1,77% BK tanpa lemak, pada hijauan lima bean sebanyak 1,3 g/100 g (Ajayi et al., 2009), serta pada tanaman Pennisetum purpureum dan Hibiscus tiliaceus yang masing-masingnya sebesar 8,01 dan 12,90 mg/g seperti yang dilaporkan oleh Istiqomah et al. (2011) yaitu 1,3 g/100 g
Simpulan Disimpulkan bahwa kadar saponin tanaman arbila ternyata dapat berkurang dengan adanya penambahan inokulum, dan umur panen 80 hari merupakan umur tertinggi bagi tanaman arbila dalam memproduksi saponin.
Ucapan Terima Kasih Disampaikan limpah terima kasih pada Ditjen Dikti atas danah Hibah Doktor yang telah membiayai penelitian ini.
Daftar Pustaka Ajayi, F. T., S. R. Akande, A. A. Adegbite, and B. Idowu. 2009. Assessment of seven underutilized grain legume foliages as feed resources for ruminants. Livestock Research for Rural Development. 21 (9): 149 - 156.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Ajayi, F. T., S. R. Akande, J.O. Odejide, and B. Idowu. 2010. Nutritive evaluation of some tropical under-utilized grain legume seeds for ruminants nutrition. Journal of American Science. 6 (7): 1 - 7. AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Published by the Association of Official Analytical Chemists. Maryland. Dakora, F. D., S. B. M. Chimphango, A. J. Valentine, C. Elmerich, and W. E. Newton. 2008. Biological Nitrogen Fixation: Toward Poverty Alleviation through sustainable agriculture. Springer Wien, New York.
Gomez, K. A., dan A. A. Gomez. 2010. Statistical Procedures for Agricultural Research (Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Alih bahasa oleh E. Syamsuddin dan J. S. Baharsyah). Edisi Kedua. UI Press. Jakarta. Istiqomah, L., H. Herdian, A. Febrisantosa, and D. Putra. 2011. Waru leaf (Hibiscus tiliaceus) as saponin source on in vitro ruminal fermentation characteristic. Journal of The Indonesian Tropical Animal Agriculture. 36 (1): 43 - 49. Widodo, W. 2005. Tanaman Beracun Dalam Kehidupan Ternak. UMM Press. Malang.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Perubahan Kadar Bahan Kering dan Bahan Organik Putak Akibat Fermentasi oleh Trichoderma reesei
Maritje. A Hilakore Laboratorium Kimia Pakan, Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Jln. Adi Sucipto, Penfui, Kupang 852000; Telp. 0380-881465. Email:
[email protected]
Abstrak Pengolahan biologi dapat mengakibatkan hilangnya sejumlah bahan organik akibat didegradasi oleh mikrob. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kehilangan kadar bahan kering dan organik dari putak sebagai substrat selama fermentasi oleh kapang Trichoderma reesei. Rancangan Acak lengkap pola faktorial 3 x 3 digunakan dalam penelitian. Perlakuan faktor pertama adalah level inokulum yakni 5.0; 7.5; dan 10.0% (b/b) dan faktor kedua adalah lama inkubasi yakni 2; 3; dan 4 hari, masing-masing diulang sebanyak 3 kali. Parameter yang diukur adalah perubahan kadar bahan kering (BK) dan bahan Organik (BO) putak. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa semakin tinggi level kultur dan waktu inkubasi menyebabkan kehilangan BK dan BO juga makin tinggi. Kata kunci: Corypha, gewang, putak, T. reesei
Pendahuluan Produktivitas ternak utamanya kelompok ruminansia di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan masalah yang masih terus diperjuangkan bersama oleh pemerintah, pakar serta masyarakat. Ketersediaan sumber pakan alternatif yang cukup tersedia memberi peluang penerapan teknologi murah dan mudah dilaksanakan pada aras peternak untuk menjamin ketersediaan pakan ternak. Salah satu sumber pakan tersebut adalah putak yang diperoleh dari empulur (isi) batang pohon gewang (Corypha gebanga). Laporan Nulik dkk (1988), dari satu pohon gewang dengan tinggi 15 m dapat menghasilkan putak sebanyak 415 kg (60% BK). Ginting (2000) melaporkan bahwa putak kaya akan energi (4210 kkal) dan serat kasar (12.04), tetapi rendah kandungan protein (2.53), vitamin dan lainnya. Trichoderma reesei telah lama dikenal sebagai mikrob selulolitik yang potensial dalam memecah selulosa bentuk kristalin dan amorf (Simpson dan Oldman 1984). Pada sistem selulase, Selobiohidrolase merupakan selulase utama yang diproduksi oleh T.reesei dan meliputi lebih dari 80% protein selulase
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Keuntungan penggunaan mikroorganisme dalam pengolahan pakan terutama substrat berserat menurut Suhartati dkk. (2003) adalah tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dibanding penggunaan bahan kimia atau perlakuan lainnya. Disamping itu menurut Winarno (1992 yaitu memperbanyak jumlah mikroorganisme dan menggiatkan metabolisme di dalam substrat sehingga substrat mempunyai nilai gizi lebih tinggi daripada asal. Hal tersebut telah dibuktikan dalam penelitian Ginting (2000) menggunakan Saccharomyces cereviciae, Hilakore dkk. dengan Aspergillus niger (2011), dan menggunakan T.reesei (2013), dimana kandungan protein kasar dan murni putak meningkat secara signifikan. Teknologi pengolahan secara mikrobiologi memungkinkan terjadi perubahan komponen kimia bahan menjadi lebih baik khususnya protein tetapi menyebabkan kandungan bahan organik/kering substrat berkurang selama proses fermentasi. Oleh sebab itu penerapan teknologi ini perlu memerhatikan efisiensi degradasi dan fermentasi agar ada keseimbangan antara penggunaan komponen substrat oleh mikroba dengan peningkatan kualitas kimia, sehingga peningkatan kualitas substrat menjadi maksimum dengan kehilangan unsur nutrisi paling minimal.
Materi Dan Metoda Rancangan Acak Lengkap pola faktorial digunakan pada penelitian ini, dengan level kultur T.reesei 5.0; 7.5; dan 10.0% (b/b) sebagai faktor pertama sedang lama inkubasi 2, 3 dan 4 hari sebagai faktor kedua, yang diulang sebanyak tiga kali. Peubah yang diukur adalah kadar bahan kering (BK), bahan organik (BO), dan serat kasar (SK) dari substrat. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis ragam selanjutnya uji Duncan. Metoda Putak dicacah kecil-kecil ukuran ±1 x 0,5 cm kemudian dijemur hingga kering, sebanyak 100 gr dimasukan ke dalam plastik tahan panas. Mineral KH2PO4, (NH4)2SO4 dan Urea dicampur dengan air, selanjutnya ditambahkan kedalam putak kemudian dikukus selama 30 menit. Setelah dingin ditambahkan bubuk kultur dan diinkubasi sesuai perlakuan, selanjutnya dikeringkan untuk proses analisis variabel pengukuran.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Hasil Dan Pembahasan Bahan Kering dan Organik Tabel 1 memperlihatkan bahwa perlakuan terhadap substrat (putak) memberi pengaruh yang nyata (P ˂ 0.05) terhadap perubahan kadar BK, BO, dan SK substrat. Tabel 1 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh T.reesei dengan level kultur dan lama inkubasi yang berbeda T.reesei (%) 1.98x105 cfu/g A
Lama Inkubasi (hari)
Kadar Nutrien Putak (% BK)
(W)
BK
BO
SK
0
91.05
84.11
9.70
5.0 (T1)
2 3 4
95.22 b 95.62 b 94.61 c
90.62 c 90.54 a 87.95 c
7.14a 8.32b 6.61a
7.5 (T2)
2 3 4
93.60 a 92.77 a 92.63 b
88.87 b 86.25 a 85.78 b
8.03b 8.60c 9.08b
10.0 (T3)
2 3 4
93.86 a 92.87 a 90.79 a
87.49 a 86.17 a 83.26 a
7.05a 7.93a 10.57c
Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan interaksi nyata (P<0.05) antar perlakuan Bahan Kering dan Organik Kehilangan BK dan BO sangat tergantung pada jumlah kultur serta lama inkubasi. Hal ini dapat dipahami karena untuk pertumbuhannya kapang memerlukan nutrien yang ada dalam BO atau BK menyebabkan semakin tinggi volume kultur maka perombakan BO terutama, juga makin banyak. Demikian juga dengan bertambahnya waktu inkubasi maka makin banyak kesempatan bagi kapang untuk mendegradasi unsur-unsur organik substrat guna memenuhi kebutuhannya untuk bertumbuh sehingga mengakibatkan berkurangnya kedua unsur tersebut, disamping faktor lain dari proses fermentasi itu sendiri, perubahan komposisi kimia substrat, misalnya perubahan kadar protein yang meningkat sanat tajam (Hilakore dkk. 2013).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Bahan kering maupun bahan organik merupakan sumber nutrien bagi kapang dan penggunaannya sangat dipengaruhi oleh kemampuan metabolisme serta daya larut unsur tersebut. Kapang memanfaatkan nutrien yang tersedia dalam medium untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya (Rahman 1992). Proses sterilisasi substrat sebelum penanaman inokulum dapat merubah bentuk fisik bahan menjadi lebih lunak serta meningkatkan akses kapang memanfaatkan BO yang tersedia guna menunjang pertumbuhan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mishra et al. (2004) bahwa pemanasan mengakibatkan terjadi gelatinisasi terutama pada karbohidrat dan menyebabkan pati menjadi lebih mudah dihidrolisis sehingga proses pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan menjadi lebih baik.
Serat Kasar Fermentasi putak dengan T.reesei pada level terpilih yakni fermentasi selama empat hari dan level kultur 7.5% (1.98x105 cfu/g) atau perlakuan T2W4, didasarkan pada kenaikan kandungan protein kasar (20.60%) dan murni (13.25%) (Hilakore dkk., 2013). Pada perlakuan ini menyebabkan penurunan kadar serat kasar substrat yakni 9.70% sebelum difermentasi menjadi 9.08% setelah difermentasi. Kenyataan ini menunjukkan kemampuan kapang dalam menghasilkan enzim selulase untuk mendegradasi komponen selulosa yang ada dalam medium. Enzim selobiohidrolase (C1 =CBH) yang dihasilkan kapang berfungsi untuk menghidrolisis selulosa yang ada dalam substrat. Fungsi utama enzim ini adalah mendegradasi selulosa menjadi selobiosa. Seperti dikemukakan bahwa T. reesei merupakan kapang yang sangat potensil dalam menghasilkan enzim endo- dan ekso-glukanase (Panda et al. 1988, Pakula et al. 2000, Pakula et al. 2005). Selain itu, pertumbuhan kapang ikut menyumbangkan serat kasar yang berasal dari miselium/hifa sehingga makin banyak massa sel makin tinggi kadar serat. Menurut Gandjar et al. (2006) bahwa salah satu komponen penting dinding sel kapang adalah kitin dan kitosan. Dalam analisis proksimat komponen tersebut terhitung sebagai serat kasar. Dengan demikian akibat pertumbuhan kapang akan meningkatkan serat dalam substrat. Selain itu perombakan unsur substrat untuk memperoleh nutrien bagi pertumbuhan kapang menyebabkan terjadi perubahan komposisi kimia substrat karena terjadi biokonversi komponen non serat selama proses inkubasi. Kehilangan tersebut menyebabkan komposisi substrat secara kseluruhan ikut berubah.
Simpulan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Semakin padat volume kultur T.reesei dan semakin lama waktu inkubasi menyebabkan berkurangnya kandungan bahan kering, bahan organik serta serat kasar putak.
Daftar Pustaka Fardiaz S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB Ginting MU. 2000. The influence of fermented putak in pig diets digestibility and growth performance of weanling pigs [disertasi]. Gottingen/Germany: Institute of Animal Physiology and Animal Nutrition Georg-August-University . Hilakore, M A, Suryahadi, Komang Wiryawan dan Djumali Mangunwijaya. 2011. Peran Aspergillus niger dalam Meningkatkan Protein Putak. Media Kedoktern Hewan, Vol. 27 No.1 hal. 16 – 20. Hilakore, M A, Suryahadi, Komang Wiryawan dan Djumali Mangunwijaya. 2013. Peningkatan Kadar Protein Putak melalui Fermentasi oleh Kapang Trichoderma reesei. Jurnal Veteriner Vol. 14 No. 2: 250 – 254. Jaelani A. 2007. Hidrolisis bungkil inti sawit oleh kapang Trichoderma reesei sebagai pendegradasi polisakarida mannan dan pengaruhnya terhadap penampilan ayam pedaging [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Juhasz T, Kozma K, Zsolt Szengyel, Reczey K. 2003. Production of β-glucosidase in mixed culture of Aspergillus niger BKMF 1305 and Trichoderma reesei RUT C30. Food Technol Biotechnol 41:49-53. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press Nulik J, Fernandez PTh, Bamualim A. 1988. Pemanfaatan dan produksi putak sebagai sumber energi makanan ternak sapi dan kambing. Laporan Penelitian Komponen Teknologi Peternakan, Main Base Kupang 1987 – 1988. Proyek NTASP. BPPP Deptan. Pakula TM, Uusitalo J, Saloheimo M, Salonen K, Robert JA, Penttilä M. 2000. Monitoring the kinetics of glycoprotein synthesis snd secretion in the filamentous fungus Trichoderma reesei: cellobiohydrolase I (CBHI) as a model protein. Microbiology 146:223-232. Pakula TM, Laxell M, Huuskonen A, Uusitalo J, Saloheimo M, Penttilä M 2003. The effects of drugs inhibiting protein secretion in the filamentous fungus Trichoderma reesei. The Journal of Biological Chemistry 278: 45011-45020. Pakula TM, Salonen K, Uustalo J, Penttilä M. 2005. The effect of specific growth rate on protein synthesis and secretion in the filamentous fungus Trichoderma resei. Microbiology 151:135-143.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Panda T, Bisaria VS, Ghose TK. 1989. Method to estimate growth of Trichoderma reesei and Aspergillus wentii in mixed culture on cellulosic substrates. Appl Environ Microbiol 55:1044-1046. Rachman Ansori. 1992. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor: PAU IPB Suhartati F.M, Suryapratama W, Ning Iriyanti. 2003. Sintesis asam amino metionin pada Trichoderma reesei dan pengaruhnya terhadap sintesis protein mikroba rumen. Jurnal Peternakan dan Lingkungan 9:12-16. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Anatomi Esophagus Kelelawar Buah (Pteropus vampyrus) Asal Pulau Timor Yulfia Nelymalik Selan1, Dwi Liliek Kusindarta2 , Tri Wahyu Pangestiningsih2 1
Dosen Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana Kupang, email:
[email protected];
2
Dosen Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta;
3
Dosen Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Abstrak Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah kepulauan yang memiliki keanekaragaman satwa, salah satunya adalah kelelawar buah (Pteropus vampyrus). Kelelawar buah (Pteropus vampyrus) termasuk ordo Chiroptera, subordo Megachiroptera dan merupakan satu-satunya mamalia terbang. Esophagus merupakan saluran yang menghubungkan faring dan ventrikulus, secara histologi terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, tunika serosa atau adventisia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur anatomi esophagus kelelawar buah (Pteropus vampyrus). Lima ekor kelelawar (Pteropus vampyrus) dewasa dengan berat badan 500-800 g, dipakai sebagai sampel dalam penelitian ini. Esophagus dibuat preparat histologi dengan metode paraffin dan pewarnaan Hematoxilin Eosin. Hasil penelitian ini menunjukkan histologi esophagus tersusun atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis dan tunika adventisia. Pteropus vampyrus tidak memiliki kelenjar esofagealis pada lapisan submukosa. Tunika muskularis tersusun oleh otot skelet pada bagian depan dan pada bagian tengah sampai belakang tersusun atas otot polos.
Pendahuluan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah kepulauan yang memiliki keanekaragaman satwa, salah satunya adalah kelelawar buah (Pteropus vampyrus). Kelelawar buah (Pteropus vampyrus) termasuk ordo Chiroptera, subordo Megachiroptera dan merupakan satu-satunya mamalia terbang (Suyanto, 2001; Simmons, 2005). Kelelawar termasuk hewan nokturnal dan pada siang hari memerlukan tempat bertengger (roosting area), hewan ini juga hidup dalam kelompok besar (Corbet dan Hill, 1992; Kunz dan Fenton, 2003). Susunan saluran pencernaan mamalia terdiri dari esofagus, ventrikulus, usus halus dan usus besar. Esophagus merupakan saluran yang menghubungkan faring dan ventrikulus, secara histologi terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, tunika serosa atau adventisia (Banks, 1993). Pada rumunansia dan anjing, tunika muskularis esophagus seluruhnya tersusun oleh otot skelet, pada kuda dan kucing, bagian depan tersusun
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
oleh otot skelet dan otot polos di bagian belakang sedangkan pada babi, daerah depan tersusun oleh otot skelet, bagian tengah merupakan campuran otot polos dan otot skelet, di bagian belakang tersusun oleh otot polos (Banks, 1993; Eurell et al., 2006). Sfingter pada esophagus terdiri dari sfingter bagian atas yang terletak diantara faring dan esophagus sedangkan sfingter bagian bawah merupakan batas esophagus dan ventrikulus (spingter kardia) berupa lamina muskularis sirkularis internus yang tebal. Sfingter kardia mengatur proses menelan dan mencegah kembalinya isi ventrikulus. Kerja esophagus dikendalikan oleh mekanisme saraf ekstrinsik dan saraf intrinsik (Pouderoux, 2003). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur anatomi esophagus kelelawar buah (Pteropus vampyrus).
Materi Dan Metode Esophagus kelelawar buah asal Timor sebanyak 5 ekor (jantan 2 ekor dan betina 3 ekor). Kelelawar dianestesi dengan ketamin 20mg/kgBB dan xilazin 2mg/kgBB secara intramuskular. Dalam keadaan terbius dilakukan proses perfusi jaringan, setelah terfiksasi dengan baik, koleksi jaringan esophagus kemudian difiksasi dengan larutan formalin buffer 10%. Dilanjutkan dengan Proses jaringan, diawali dehidrasi dalam larutan etanol bertingkat 70%, 80%, 90%, absolute I, II dan III pada suhu kamar. Proses selanjutnya yaitu penjernihan (clearing) dengan larutan xilol absolut sebanyak tiga kali pemindahan masingmasing 5 menit pada suhu kamar. Dilanjutkan proses infiltrasi ke dalam larutan parafin sebanyak tiga kali pemindahan masing-masing 60 menit pada suhu 60oC. Jaringan di tanam dalam blok parafin. Blok parafin disayat dengan ketebalan 12µm menggunakan rotary microtome. Sayatan kemudian diwarnai Hematoxilin-Eosin berdasarkan Luna, 1968. Tahap awal pewarnaan HE adalah deparafinisasi dan rehidrasi. Sediaan lalu direndam dalam Harri’s Hematoxylin selama 10 menit dan dibilas dengan air mengalir selama 10 menit. Perendaman dalam Eosin selama 10 menit, selanjutnya sediaan didehidrasi dengan etanol bertingkat kemudian clearing dengan xylol. Setelah proses pewarnaan selesai, sediaan ditetesi perekat (Canada balsam) dan ditutup dengan gelas penutup dan dikeringkan. Dilanjutkan tahap pengamatan dibawah mikroskop cahaya yang dilengkapi kamera digital.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Hasil Dan Pembahasan Bagian kranial esophagus berbatasan dengan larynx dan bagian caudal berbatasan dengan ventrikulus. Esophagus berjalan berdampingan dengan trachea di rongga thorax. Panjang esophagus kuskus bertotol (Spilocuscus maculatus) adalah 16,8±1,93 cm dan volumenya 3,07±2,59 ml sehingga bolus yang masuk ke esofagus harus dalam bentuk yang cukup halus (Murti, 2003). Ukuran esophagus setiap hewan bervariasi sesuai pakan yang dimakan, morfometri esophasus Pteropus vampyrus dapat dilihat pada table 1. Histologi esophagus tersusun atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis dan tunika adventisia. Tunika mukosa terdiri dari lamina epitelialis yang tersusun atas epitel squamus kompleks, lamina propria dan lamina muskularis mukosa yang lengkap dan tipis pada semua bagian esophagus. Tunika submukosa berupa jaringan ikat longgar, tidak terdapat kelenjar esofagealis (Gambar 1A, B), hal ini berbeda dengan ruminansia, babi, kuda, anjing, dan kucing yang memiliki kelenjar pada tunika submukosa (Banks, 1993; Telford dan Bridgman 1995).
Tabel 1 Rerata ukutan esophagus Pteropus vampyrus. Sampel Sampel 1
Berat (g) 0,306
Diameter (cm) 0,14
Panjang (cm) 14,0
Sampel 2
0,325
0,20
14,5
Sampel 3
0,456
0,27
13,5
Sampel 4
0,462
0,21
12,0
Sampel 5
0,325
0,26
13,2
Rata-rata
0,37 ± 0,08
0,22 ±0,05
13,44 ±0,94
Kelenjar esophagus berfungsi melapisi, melindungi mukosa dari gesekan dan membantu pengangkutan bolus pakan. Kelenjar mukosa juga terlibat dalam menyediakan lingkungan kimia yang cocok untuk fungsi pencernaan (Naghani dan Andi, 2012). Tidak adanya kelenjar pada tunika submukosa esophagus Pteropus vampyrus diduga karena pakan yang sampai di esophagus merupakan sari dari buah/air buah dan bukan pakan kasar sehingga gesekan terhadap dinding mukosa tidak terjadi.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Gambar 1. Potongan melintang esophagus Pteropus vampyrus dengan pewarnaan HE, A: Esophagus bagian depan, tunika submukosa (s) tersusun dari jaringan ikat longgar, pada tunika muskularis tersusun dari otot skelet (panah), terdapat otot longitudinal (l) dan otot sirkular (c); B: Esophagus tengah sampai belakang, tunika muskularis tersusun dari otot polos ( panah). lamina epitelialis (e) tersusun oleh epitel squamus kompleks, lamina propria (p). Scale bar: 20 µm. Tunika muskularis, tersusun atas otot skelet pada bagian awal, dan otot polos pada bagian tengah dan akhir (Gambar 1A, B). Hal ini mirip dengan kuda dan kucing yaitu otot skelet terdapat pada setengah bagian depan dan bagian belakang esophagus tersusun dari otot polos (Banks, 1993). Pada ruminansia, anjing dan rodensia termasuk tikus dan hamster, otot skelet tersusun sepanjang esophagus yang berperan memfasilitasi proses muntah (Shiina et al., 2010). Sedangkan pada Pteropus vampyrus yang selalu bergelantung secara terbalik, esophagus bagian tengah sampai ke belakang tersusun atas otot polos yang diduga berfungsi untuk mencegah baliknya pakan yang telah mencapai ventrikulus. Fungsi utama dari esophagus adalah mengantarkan pakan dari faring menuju ventrikulus dengan bantuan gerakan peristaltik (Goyal dan Chaudhury, 2008).
Simpulan Histologi esophagus tersusun atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis dan tunika adventisia. Kelenjar esofagealis tidak ditemukan pada esophagus Pteropus vampyrus. Tunika muskularis tersusun oleh otot skelet pada bagian depan dan otot polos pada bagian tengah sampai belakang.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini dapat terlaksana atas bantuan dana dari Rektor Universitas Nusa Cendana (2013) dan seluruh staf laboratorium Makroanatomi dan Mikroanatomi FKH UGM yang telah membantu proses penelitian.
Daftar Pustaka Banks, W. J. 1993 Digestive System I-Alimentary Canal.; Applied Veterinary Histology, Edisi ke- 3, Mosby Year Book, Missouri. 326-359. Corbet, G. B., dan Hill, J. E. 1992. The Mammals of the Indomalayan Region: a systematic review. London. Eurell, J.A.C., Eurell, J. A., Frappier, B. L dan Dellmann, H. D. 2006. Dellmann's Textbook of Veterinary Histology. 6th Edn., Blackwell Publishing, USA., ISBN-13: 9780781741484, Pages: 405. Goyal, R. K., dan Chaudhury. A. 2008. Physiology of Normal Esophageal Motility, Journal of Clinical Gastroenterology; 42: 610–619. Kunz, T. H., dan Fenton M. B. 2003. Bat Ecology. University of Chicago Press, Chicago. 779. Luna, L. G. 1968. Manual Histologic Staining Methods of Pathology. Edisi ke 3. The blakiston Division Mc Graw-Hill Book Company, New York, Toronto, London, Sydney. 125. Murti. A. 2003. Studi Anatomi Organ Pencernaan (Digesti) Kuskus bertotol (Spilocuscus maculatus). [Skripsi]. Manokwari. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Papua. Naghani. S. E dan Andi. A. M. 2012. Some Histological and Histochemical Study of the Esophagus in One-Humped Camel (Camelus dromedarius). Global Veterinaria; 8: 124-127. Pouderoux, P., Verdier, E., dan Kahrilas P. J . 2003. Patterns of Esophageal Inhibition During Swallowing, Pharyngeal Stimulation, and Transient LES Relaxation. Lower Esophageal Sphincter . American Journal of Physiology- Gastrointestinal and Liver Physiology; 284: 242 –247. Shiina. T., Shima. T., KazuakiMasuda, Hirayama. H., Iwami. M., Takewaki. T., Kuramoto. H dan Shimizu. Y. 2010. Contractile Properties of Esophageal Striated Muscle: Comparison with Cardiac and Skeletal Muscles in Rats. Journal of Biomedicine and Biotechnology; 1: 1-7.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Simmons, N. B. 2005. Order Chiroptera. Dalam: Mammals Species of the World: Taxonomic and Ggeographic Reference. Wilson, D. E dan Reeder, D. M. Edisi ke tiga. Jhon Hopkins University press. Baltimore; 312-329. Suyanto, A. 2001. Kelelawar di Indonesia, Publitbang Biologi LIPI, Bogor. Telford, I. R dan Bridgman, C. F. 1995. Introduction to Functional Histology. Ed. Ke-2. Harper Collins Colloge Publisher; 103-119.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Case Report: Staphylococcus spp., Pada Mastitis Subklinis Kambing Peranakan Ettawa (PE) Elisabet Tangkonda 1, Widodo Suwito 2, Felisitas Kristiyanti3 1
Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui, Kupang (85001) Nusa Tengara Timur, E-mail:
[email protected];
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Jl. Stadion Baru Maguwoharjo No. 22 Karang Sari, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta; 3
Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sleman, JL dr. Rajimin, Sucen,Triharjo, Sleman,
Abstrak Mastitis subklinis pada kambing sangat merugikan secara ekonomi. Umumnya mastitis subklinis disebabkan oleh bakteri kelompok Staphylococcus spp. Sebanyak 3 ekor kambing PE dari Kandang Kelompok Mandiri di Kecamatan Turi Sleman Yogyakarta mengalami mastitis subklinis setelah dilakukan uji California Mastitis Test (CMT) menunjukkan positif (+++). Berdasarkan anamnesa kambing PE tersebut diperah 2 kali yaitu pagi dan sore dengan rata-rata produksi susu perhari 1,5 liter. Pemeriksaan klinis kambing PE tampak sehat, ambing tidak bengkak, dan susu normal atau tidak berjonjot. Jumlah sel somatik (JSS) susu dihitung secara langsung dengan metode Breed, sedangkan isolasi dan identifikasi bakteri diteguhkan bedasarkan reaksi biokimia. Uji sensitifitas bakteri terhadap antibiotika tetrasiklin, oksitetrasiklin, dan penisilin menggunakan agar difusi dengan kertas cakram (disc) antibiotika yang sudah diketahui konsentrasinya. Jumlah sel somatik susu kambing mastitis subklinis >1.000.000 sel/ml. Staphylococcus intermedius dan Staphylococcus aureus berhasil diisolasi dari susu kambing tersebut. Uji sensitifitas terhadap antibiotika menunjukkan bahwa S. aureus resisten terhadap tetrasiklin, oksitetrasiklin, dan penisillin; sedangkan S. intermedius masih sensitif. Berdasarkan pemeriksaan diatas menunjukkan bahwa kasus mastitis subklinis pada kambing PE tersebut disebabkan oleh S. intermedius dan S. Aureus dan memiliki perbedaan tingkat sensitifitas terhadap antibiotika yang berbeda. Kata kunci: Mastitis subklinis, kambing PE, Staphylococcus spp, antibotika
Pendahuluan Mastitis subklinis merupakan penyakit infeksi pada kelenjar susu tanpa disertai pembengkaan ambing dan merupakan penyakit yang merugikan secara ekonomi. Mastitis
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
subklinis secara ekonomis merugikan sebesar 36 Euros per kambing dalam satu tahun karena penurunan produksi dan perubahan komposisi susu (Seegers et al., 2003; Contreras et al., 2003). Perubahan dari komponen susu tersebut antara lain adanya haptoglobin dan serum amyloid (Pyorala et al., 2011). Mastitis subklinis pada kambing kebanyakan disebabkan oleh bakteri kelompok Staphylococci dan Streptococci, walaupun bakteri lain atau jamur dapat juga menyertainya. Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae merupakan bakteri yang paling sering menjadi penyebab mastitis klinis akut maupun sub akut pada kambing (McDougall et al., 2002; Contreras et al., 2003). Penyebab mastitis klinis dan subklinis pada kambing dan domba antara lain Staphylococcus spp non hemolytic 38,2%, S. aureus 11,0%, E. coli 1,6% dan Pseudomonas spp 1,2% (Contreras et al., 2007). Kejadian mastitis subklinis pada kambing peranakan Ettawa (PE) di kabupaten Sleman masih sering terjadi dan kadang berakhir dengan kematian ambing sehingga tidak mampu memproduksi susu. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan sedini mungkin agar mastitis subklinis pada kambing dapat segera diketahui dan diperbaiki dalam tatalaksana pemerahan maupun pemeliharaanya. Diagnosa mastitis subklinis pada kambing dapat menggunakan California Mastitis Test (CMT). Prinsip dari CMT adalah penghitungan jumlah sel somatik (JSS) secara tidak langsung. Pemeriksaan JSS secara langsung berdasarkan metode Breed. Metode diagnosa lain mastitis subklinis pada kambing selain penghitungan JSS adalah dengan melakukan isolasi bakteri dari susu kambing yang diduga mengalami mastitis subklinis. Hal ini karena secara fisiologis JSS pada kambing yang tinggi kadang-kadang tidak disertai dengan peradangan dari ambing. Pengendalian mastitis di lapangan biasanya dengan pemberian antibiotika, tetapi pemberian antibiotik dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan sifat resistensi bakteri. Kondisi tersebut di dukung dengan semakin banyaknya antibiotika yang di jual bebas di pasaran. Oleh karena itu diperlukan informasi tentang sensitifitas bakteri penyebab mastitis terhadap antibiotika yang banyak digunakan di lapangan.
Metode Penelitian Mastitis Subklinis Pada tanggal 20 Desember 2011 di kandang kelompok kambing PE mandiri kecamatan Turi, kabupaten Sleman terdapat 3 ekor kambing PE yang menderita mastitis
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
subklinis. Kambing PE didiagnosis mastitis subklinis apabila uji CMT menunjukkan positif 2 (++) sampai positif 3 (+++), kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan bakteriologi (Persson dan Olofsson, 2011; McDougall et al., 2002).
Jumlah Sel Somatik Penghitungan JSS secara langsung mengacu (Lafi et., 1998) dengan metode Breed dengan mengambil 0,01 ml sampel susu dan disebarluaskan diatas gelas objek seluas 1 cm2. Preparat di biarkan hingga kering kemudian difiksasi diatas api bunsen , selanjutnya diwarnai dengan pewarnaan Breed. Setelah dikeringkan, JSS/ml dapat dihitung dengan bantuan mikroskop dengan perbesaran 1000 x.
Isolasi dan Identifikasi Bakteri Isolasi dan identifikasi bakteri penyebab mastitis subklinis dilakukan dengan melaukan kultur sampel susu kambing penderita mastitis subklinis pada media Blood Agar (Blood Agar Base; Oxoid Ltd., Basingstoke, United Kingdom), selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 24 jam. Pewarnaan Gram dilakukan terhadap Koloni yang tumbuh dalam media Blood Agar, kemudia dilakukan pengujian biokimia untuk dapat melakukan identifikasi bakteri (Barrow dan Feltham, 1993).
Sensitifitas Bakteri terhadap Antibiotika Pengujian Sensitifitas bakteri terhadap antibiotika dilakukan dengan metode agar difusi mengunakan kertas cakram (disc) yang sudah diketahui konsentrasinya. Isolat Staphylococcus intermedius ditanam dalam media Brain Heart Infusion (BHI, Oxoid Ltd., Basingstoke, United Kingdom) dan diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 24 jam. Sebanyak 1 ml dari biakan BHI diteteskan pada permukaan media MÜeller Hinton Agar (MHA Oxoid Ltd., Basingstoke, United Kingdom) dan diratakan menggunakan Ose steril dan dikeringkan di dalam inkubator selama 10 menit. Media MHA yang sudah diinokulasi bakteri ditempeli dengan disc cakram antibiotika, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Interpretasi hasil uji sensitifitas antibiotika dilakukan menurut petunjuk dari CLSI (CLSI, 2012).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Hasil Dan Pembahasan Berdasarkan anamnesa peternak diinformasikan bahwa ke-3 kambing PE berumur sekitar 3 tahun, telah beranak 2 kali, produksi susu 2,5 liter/hari dang diberikan pakan berupa dedaunan dan komboran dari katul. Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari pagi dan sore secara manual dengan tangan tanpa menggunakan pelicin, dan sebelum diperah ambing dicuci dengan air hangat. Pemeriksaan klinis kambing PE tidak menunjukkan gejala klinis (Gambar 1). Berdasarkan pengujian CMT dari ke-3 kambing PE tersebut mengalami mastitis subklinis. Hal tersebut ditunjukkan dengan terbentuknya massa yang mengental setelah susu ditambah reagen CMT (Gambar 1; Tabel 1). Prinsip dari diagnosa mastitis subklinis adalah terjadinya peningkatan JSS dalam susu. Jumlah sel somatik dalam susu dapat dihitung secara langsung maupun tidak langsung. Penghitungan JSS secara tidak langsung menggunakan CMT dan metode ini cukup praktis digunakan di lapangan. Penghitungan JSS dari ke-3 kambing PE yang mengalami mastitis subklinis disajikan (Tabel 1; Gambar 1). Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa JSS dari ke-3 kambing PE tersebut >1.000.000 sel/ml. Jumlah sel somatik >1.000.000 sel/ml menunjukkan bahwa kambing tersebut menderita mastitis subklinis. McDougall et al., (2002) menyatakan bahwa kambing menderita mastitis subklinis apabila JSS mencapai 1.000.000 sel/ml dan diteguhkan ditemukannya bakteri melalui isolasi dan identifikasi bakteri. Secara normal JSS yang tinggi pada kambing bersifat fisiologis seperti pada kondisi estrus, stres, dan akhir dari masa laktasi. Kondisi patologis JSS yang tinggi pada kambing akibat adanya proses peradangan dalam ambing yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti kelompok Staphylococcus spp. Kandungan apocrine yang tinggi pada susu kambing menyebabkan JSS susu kambing lebih tinggi jika dibandingkan dengan susu sapi yang memiliki kandungan merocine lebih tinggi (Paape and Capuco, 1997). Hasil Isolasi bakteri dari susu kambing mastitis subklinis disajikan dalam (Tabel 1, Gambar 2). Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 2 dari susu kambing PE yang mengalami mastitis subklinis berhasil diisolasi S. intermedius dan S. aureus. Staphylococcus intermedius merupakan kelompok Staphylococci yang banyak menyebabkan mastitis subklinis dengan prevalensi 36,4% (Contreras, 2007). Suwito et al., (2012) melaporkan 33% bakteri dari susu kambing PE penderita mastitis subklinis merupakan Staphylococcus sp, sedangkan Pinanditya dan Wahyuni (2011) menyatakan bakteri Gram positif berbentuk batang banyak diisolasi dari susu kambing PE mastitis subklinis dari kabupaten Sleman.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 1. Hasil pengujian CMT, jumlah sel somatik dan isolasi bakteri dari susu kambing peranakan ettawa mastitis subklinis di Kabupaten Sleman Hewan Kambing 1 Kambing 2 Kambing 3
Uji CMT +++ +++ +++
Jumlah Sel Somatik 1.540.000 sel/ml 1.650.000 sel/ml 2.150.000 sel/ml
Isolasi Bakteri S. intermedius S. intermedius S. aureus
Gambar 1. Hasil pengujian CMT, jumlah sel somatik dan isolasi bakteri dari susu kambing peranakan ettawa mastitis subklinis di Kabupaten Sleman
A
B
C
D
Keterangan: A: Kambing PE mastitis subklinis, B: Uji CMT C: Sel Somatik CMT (+++),
D: Isolasi bakteri
Hasil Uji sensitifitas S. intermedius dan S. aurus terhadap 3 macam antibiotika yaitu penisilin, tetrasiklin, dan oksitetrasiklin ditunjukkan pada Tabel 2, bahwa S. intermedius dan S. aureus resisten terhadap ke-3 jenis antibiotika tersebut. Resistensi tersebut kemungkinan disebabkan oleh pemberian antibiotika yang sering dilakukan oleh peternak tanpa memperhatikan dosis yang tepat. Pemberian antibiotika yang dilakukan peternak disebabkan mudahnya mendapatkan antibiotika yang banyak dijual secara bebas di pasaran. Suharto dan Wahyuni (2011) menyatakan bahwa S. aureus dari mastitis klinis kambing PE resisten terhadap ampisilin, eritromisin, dan tetrasiklin. Ebrahimi et al., (2007) melaporkan bahwa S.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
aureus koagulase negatif resisten terhadap amikasin 42,8%, dan 14,3% terhadap tetrasiklin, ampisillin, oksitetrasiklin, dan penisillin. Sementara Purnomo et al., (2006) menyatakan S. aureus dari mastitis klinis pada kambing PE sensitif terhadap oksitetrasiklin, tetrasiklin, gentamisin, ampisilin, dan eritromisin.
Keterangan: Pengecatan Gram S.intermedius perbesaran(1000x) Gambar 2. Staphylococcus intermedius dari susu kambing peranakan ettawa mastitis subklinis di Kabupaten Sleman
Tabel 2. Uji sensitifitas S. intermedius terhadap 3 macam antibiotika yaitu penisilin, tetrasiklin, dan oksitetrasiklin Antimikroba
MIC Zona Hambat (mm) S I R
A
Isolat B Zona Hambat (mm)
C
OT 30 μg
≥19
15−18
≤14
13■
23*
10■
P 10 IU
≥29
−
≤28
15■
30*
20■
TE 30 μg ≥19 15−18 ≤14 10■ 24* Keterangan: R:Resisten■; S:Sensitif*; I: Intermediate MIC: Minimal Inhibitory Concentration OT: Oksitetrasiklin P: Penisillin G TE: Tetrasiklin A: S. intermedius asal Kambing 1 B: S. intermediu asal Kambing 2 C: S. aureus asal Kambing 3
13■
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Simpulan Mastitis subklinis pada kambing PE dari Kandang Kelompok Mandiri di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman disebabkan oleh S. intermedius dan S. aureus dengan JSS >1.000.000 sel/ml. Staphylococcus intermedius sensitif terhadap tetrasiklin, oksitetrasiklin, dan penisilin sedangkan S. aureus resisten terhadap ke-3 antibiotika tersebut.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada pemilik kambing PE yang bersedia memberikan sampel susu kambing untuk di uji mastitis subklinis.
Daftar Pustaka Barrow GI, Feltham RKA. 1993. Cowan and Steel’s Manual for the identification of Medical Bacteria. 3th ed. Cambridge, Cambridge University Press. Pp 50-54. CLSI. Clinical and Laboratory Standards Institute. 2012. Performance Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing. Twenty-Second Informational Supplement. 32 (3):70-78. Contreras, A., C. Luengo., A. Sanchez., J.C.Corrales., 2003. The role of intramamary pathogens in dairy goats. Livestock. Prod. Sci. 79, 273-283. Contreras, A., D. Sierra., A. Sanchez., J.C Corrales., J.C. Marco., M.J. Paape., C. Gonzalo., 2007. Mastitis in small ruminants. Small Rumin. Res. 68, 145-153. Ebrahimi, A., S.H., Lotfaliann and S. Karimi. 2007. Drug resistance in isolated bacteria from milk of sheep and goats with subclinical mastitis in Shahrekord district. Iranian. J. Vet. Res. 8(1):76-79. Lafi SQ, Al-Majali AM, Rousan MD, Alawneh JM. 1998. Epidemiological studies of clinical and subclinical ovine mastitis in Awassi sheep in Northern Jordan. Prev Vet Med 33(1-4):171-181. McDougall, S., W. Pankey., C. Delaney., J. Barlow., P.A. Murdough., D. Scruton., 2002. Prevalence and incidence of subclinical mastitis in goats and dairy ewes in Vermont USA. Small Rumin. Res. 46, 115-121. Paape, M.J., Capuco, A.V., 1997. Cellular defense-mechanisms in the udder and lactation of goats. J. Anim. Sci. 75, 556-565. Persson Y, Olofsson I. 2011. Direct and indirect measurement of somatic cell count as indicator of intramammary infection in dairy goats. Acta Vet Scand 53(15):1-5.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pinanditya FS, Wahyuni AETH. 2011. Isolation and identification of bacteria from ettawah cross breed goats milk in Sleman Yogyakarta, In: Proceeding International Seminar and 2th Congress of SEAVSA. Surabaya, 21-22 June 2011. Pp: 331-336. Purnomo, A., Hartatik., Khusnan., S.I.O. Salasia., Soegiyono., 2006. Isolasi dan karakterisasi Staphylococcus aureus asal susu kambing peranakan ettawa. Media Kedokteran Hewan. 22 (3), 142-147. Pyorala, S., M., Hovinen., H., Simojoki., J., Fitzpatrick., P.D., Eckersall., and T., Orro., 2011. Acute phase proteins in milk in naturally acquired bovine mastitis caused by different pathogens. Veterinary Record. 168, 535-540. Seegers H, Fourichon C, Beaudeau F. 2003. Production effects related to mastitis and mastitis economics in dairy cattle herds. Vet Res 34(5): 475-491. Suharto, R.H and A.E.T.H. Wahyuni. 2011. Sensitivity of Staphylococcus aureus isolate from goat’s milk to Ampicillin, Tetracycline, Erythromycin, Chloramphenicol and Gentamycin. Proceeding International Seminar and 2nd Congress of SEAVSA. Increasing Animal Production Through Zoonoses and Reproductive Disorder Handling, and The Implementation of Biotechnology. Surabaya, 21-22 June 2011:7379. Suwito W., Widagdo S.N., and A.E.T.H., Wahyuni. 2012. Etiology and somatic cell counts in subclinical intramamary infections in ettawa crossbred goat milks in Sleman Yogyakarta. Proceeding. International Seminar A Role of The Veterinarian on The Global Health Challenges. Tuesday-Wednesday, September 18-19. University Club Hotel UGM Yogyakarta Pp: 46-50.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
TINGKAT CEMARAN MIKROORGANISME PADA DAGING SAPI DI PASAR TRADISIONAL DAN PASAR MODERN DI KOTA KUPANG Annisa Wandha Sari1, Diana A. Wuri2, Annytha Ina Rohi Detha2 1
Mahasiswi Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana, Kupang 2 Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana, Kupang
Abstrak Pasar tradisional merupakan tempat yang hanya menjual komoditas daging segar secara khusus. Daging dikatakan segar jika antara waktu pemotongan dan rentang masa komoditas ini dijual di pasar sangat singkat. Sedangkan di pasar modern, daging yang dijual dalam bentuk sudah beku. Cemaran mikroorganisme pada daging dapat mengakibatkan penurunan kualitas daging dan pembusukkan pada daging. Penurunan kualitas mengakibatkan penurunan nilai gizi daging dan gangguan kesehatan. Untuk mengetahui tingkat cemaran mikroorganisme pada daging sapi digunakan metode Total Plate Count (TPC) sehingga mendapatkan hasil jumlah mikroorganisme dengan menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar. Untuk mengetahui jumlah bakteri Escherichia coli yang terdapat pada daging sapi tersebut digunakan metode Most Probable Number (MPN) E.coli yang terdiri dari uji presumtif dan uji konfirmasi dengan menggunakan media cair di dalam tabung reaksi dan dilakukan berdasarkan jumlah tabung positif yang dapat dilihat dari timbulnya gas di dalam tabung Durham. Secara umum daging yang berasal dari pasar tradisional maupun pasar modern baik dari segi warna, bau, konsistensi dan tekstur masih memenuhi kriteria daging yang masih baik dan layak dikonsumsi. Hasil pemeriksaan uji TPC sampel dari pasar tradisional (22 sampel) dan dari pasar modern (4 sampel), 100% melebihi dari BMCM. Tingkat cemaran yang tinggi dipengaruhi oleh RPH yang kurang terjaga sanitasinya. Daging yang dijual di kedua pasar tersebut berasal dari RPH di kota Kupang. Sedangkan hasil pemeriksaan uji MPN E.coli, 100% sampel dari pasar tradisional dan pasar modern nilai MPN melewati BMCM. Namun hanya beberapa sampel yang positif E.coli. Oleh karena itu, daging dari pasar tradisional dan pasar modern (100%) tidak aman untuk dikonsumsi. Faktor yang mempengaruhinya yaitu higiene personal, pendistribusian daging, penyimpanan daging, perilaku konsumen, dan sanitasi lingkungan. Kata kunci : Daging sapi, Cemaran Mikroorganisme, Pasar Tradisional, Pasar Modern,
Pendahuluan Masyarakat sangat membutuhkan nutrisi yang cukup dalam kelangsungan hidupnya. Nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh dapat berupa karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Sebagai nutrisi, protein terdiri atas dua, yaitu protein hewani dan protein nabati.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Protein hewani dapat bersumber dari daging, telur, dan susu. Protein sangat penting bagi tubuh sebagai zat pembangun membantu proses pertumbuhan pada anak-anak dan remaja, sumber energi, mengatur metabolisme, serta membantu kerja tubuh dalam menetralkan atau menghancurkan zat-zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Daging merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia (Soeparno, 2009). Menurut standar nasional Indonesia (SNI) No.2897 (2008), Daging adalah bagian otot skeletal dari karkas ternak atau hewan yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku. Di Kota Kupang, daging yang paling sering dikonsumsi ialah daging sapi, babi, dan kambing. Menurut Soeparno (2009), banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorgansme pada daging termasuk temperatur, kadar air, kelembaban, oksigen, tingkat keasaman dan kebasaan (pH) dan kandungan gizi daging. Pendistribusian daging dari produsen hingga ke tangan konsumen, dilakukan melalui pasar tradisional dan pasar modern. Pasar tradisional biasanya menerima daging langsung dari RPH disekitarnya, sedangkan pasar modern menerima daging yang telah diuji terlebih dahulu dan dapat berasal dari luar negeri (daging impor). Pada umumnya masyarakat lebih memilih membeli daging di pasar tradisional karena daging pada pasar ini masih terlihat segar dan murah sedangkan di pasar modern daging tersebut sudah beku dan harganya lebih mahal. Pasar dapat menjadi tempat yang sangat rawan dan sangat berisiko terhadap cemaran mikroorganisme patogen. Sanitasi dan kebersihan lingkungan penjualan di pasar perlu mendapat perhatian mulai dari penjual itu sendiri, cara pengangkutan, tempat penjualan maupun petugas terkait untuk meminimumkan tingkat cemaran mikroorganisme. Pasar modern merupakan pasar yang menjual produk pangan yang telah melewati standar mutu dan keamanan pangan. Pasar modern merupakan tempat yang juga perlu diperhatikan aspek kebersihan, kenyamanan dan keamanan dalam berbelanja. Daging yang dijual di pasar modern disebut daging beku dan tidak bisa dikatakan daging segar karena telah mengalami berbagai proses. Daging tersebut dikemas dan disimpan pada suhu tertentu sehingga kemungkinan daging untuk terkontaminasi bakteri sangat sedikit. Keberadaan pasar tradisional masih menjadi tumpuan bagi masyarakat Indonesia, terutama pelaku usaha yang terlibat langsung (penjual dan pembeli) ataupun masyarakat yang terlibat tidak langsung dengan adanya aktivitas pasar tradisional. Hal serupa juga terjadi pada masyarakat di wilayah NTT secara meluas di kota Kupang. Daging segar di pasar tradisional
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
di kota Kupang pada khususnya merupakan daya tarik yang paling tinggi karena untuk komoditas ini jarang ditemukan di pasar modern. Penyediaan daging sapi di kota Kupang dengan kandungan mikroorganisme yang tidak melebihi batas maximum cemaran mikroorganisme (BMCM) sangat diharapkan dalam mendapatkan daging sapi yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Menurut SNI (2009), produk makanan asal hewan terutama daging sapi dapat dikategorikan aman dikonsumsi jika total koloni bakteri (total plate count/TPC) tidak melebihi 1 x 106 coloni forming unit per Gram (CFU/Gram). Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui cemaran mikroorganisme pada daging sapi yang dijual di pasar tradisional di kotaKupang yaitu pasar Oeba, Oebobo, Naikoten, dan Penfui serta di pasar modern yaitu di Hypermart dan Aldia.
Metode Penelitian Materi Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi dari pasar tradisional dan pasar modern di kota Kupang. Peralatan yang dibutuhkan yaitu cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik,botol media, penghitung koloni(colony counter), gunting, pinset, jarum inokulasi (ose), stomacher, pembakar bunsen, pH meter, timbangan, magnetic stirrer, pengocok tabung (vortex), incubator, penangas air, autoklaf, lemari steril (clean bench), lemari pendingin (refrigerator), dan freezer. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode survei yaitu menggunakan kuesioner dan wawancara dengan pedagang, serta menguji sampel daging sapi dari Pasar Tradisional (Oeba, Penfui, Naikoten, Oebobo) dan Pasar Modern (Hypermart dan Aldia) dengan metode pengujian TPC, MPN E.coli, dan peneguhan dengan uji biokimia. Analisis Data Data cemaran TPC dan E. coli dianalisa dan diinterpretasikan. Hasil perhitungan dilakukan sesuai dengan SNI 7388-2009 yaitu 1 x 106 CFU/g untuk TPC dan 1 x 101 MPN/g untuk E. coli. Apabila melebihi batas maksimum cemaran mikroorganisme berarti cemaran mikroorganisme tinggi dan apabila kurang dari batas maksimum cemaran mikroorganisme berarti cemaran mikroorganisme rendah. Cemaran mikroorganisme yang ditemukan akan dibandingkan dengan faktor-faktor yang mungkin berpengaruh dari masing-masing tempat pengambilan sampel.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Hasil Dan Pembahasan Daging dari pasar tradisional dan pasar modern umumnya berwarna coklat merah tua, tidak berbau amis, memiliki konsistensi yang liat, tidak berair, dan beertekstur halus. Hal ini termasuk kriteria daging yang baik menurut SNI 7388-2009. Menurut Usmiati (2008) daging mudah sekali mengalami kerusakan oleh mikroorganisme. Kerusakan daging ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lendir yang biasanya terjadi jika jumlah mikroorganisme menjadi jutaan atau ratusan juta sel atau lebih per 1 cm luas permukaan daging. Kerusakan oleh mikroorganisme pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk. Melihat dari hasil pengujian pertama maka pengujian dilanjutkan dengan uji TPC. Jumlah cemaran mikroorganisme pada daging sapi di pasar tradisional setelah dilakukan pengujian TPC di laboratorium, didapati hasil rata-rata seperti Gambar 1. 200 176 150 100
117
50
47
43,1
Pasar Penfui
Pasar Oeba
0 Pasar Naikoten Pasar Oebobo
Nilai TPC (1.000.000)
Gambar 1. Grafik rata-rata nilai TPC (106CFU/g) daging sapi di pasar tradisional Pasar tradisional Naikoten I yang terdiri dari 9 sampel daging sapi (100%) memiliki nilai TPC yang tidak memenuhi syarat atau di atas BMCM menurut SNI 7388-2009. Hal ini juga terjadi pada 9 sampel (100%) di pasar Oebobo, 1 sampel (100%) di pasar Penfui, dan 3 sampel (100%) di pasar Oeba. 250
230
200 150 100 50 0
6.7
17
Hypermart
Aldia (oebobo)
Aldia (merdeka)
Rata-rata nilai TPC (1.000.000)
Gambar 2. Grafik rata-rata nilai TPC (106CFU/g) daging sapi di pasar modern
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pasar modern Hypermart yang terdiri dari 1 sampel (100%), menunjukkan nilai TPC yang tidak memenuhi syarat atau di atas BMCM menurut SNI 7388-2009. Hal ini juga terjadi pada pasar modern, 2 sampel (100%) di Aldia cabang Oebobo dan 1 sampel (100%) di Aldia cabang Merdeka. Tingginya tingkat cemaran mikroorganisme pada daging sapi di pasar tradisional dan pasar modern tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada umumnya. Selisih rata-rata nilai TPC pada daging sapi antara pasar tradisional dan pasar modern tidak begitu jauh berbeda (0,3%). Nilai TPC daging sapi di pasar tradisional (1,33x108CFU/g) lebih tinggi dibandingkan pasar modern (8,12x107CFU/g), namun keduanya tidak memenuhi syarat atau berada di atas BMCM yang ditetapkan SNI 7388-2009. Tingkat cemaran mikroorganisme yang tinggi pada daging sapi di pasar tradisional disebabkan oleh: 1. Kurangnya higiene perorangan. Berdasarkan hasil pengamatan dari 22 penjual di pasar tradisional (100%) tidak mencuci tangan sebelum maupun setelah memegang daging. Selain itu, juga tidak menggunakan perlengkapan pengaman seperti sarung tangan dan masker saat menangani daging. Hal ini sesuai dengan salah satu dari lima kunci keamanan pangan menurut WHO yaitu menjaga kebersihan dengan mencuci tangan sebelum mengolah pangan, dan sesering mungkin selama mengolah pangan, serta cuci tangan sesudah dari toilet. 2. Sanitasi pasar yang tidak bersih. Empat pasar tradisional yang ada (100%) tidak memiliki sanitasi yang baik. Daging (15 sampel) diletakkan di atas keramik langsung tanpa dialas apapun, (7 sampel) diletakkan diatas seng beralas karton, kemudian tidak diberi penutup (100%), dan darah yang mengalir dari daging tersebut dengan mudah menyebar ke sekitar lokasi tersebut. Selain itu, daging (100%) mudah terpapar lingkungan tanpa adanya proses pendinginan selama penyimpanan. Lokasi penjualan tersebut (100%) hanya dibersihkan oleh pedagangnya ketika akan berjualan kembali keesokan harinya menggunakan air saja. 3. Proses distribusi daging dari RPH ke pasar yang tidak higienis. Daging dari RPH didistribusikan ke pasar tidak menggunakan pelindung, sehingga daging mudah terkontaminasi udara lingkungan. Daging sapi dari RPH dibawa ke pasar pada pukul 04.00 WITA. Daging dibawa dengan cara dimasukkan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
dalam karung, lalu diangkut menggunakan mobil pick up, sedangkan tulang, jeroan dan lainnya hanya diletakkan begitu saja tanpa ditutupi apapun. Bahkan ada beberapa penjual yang mengambil langsung daging ke RPH menggunakan sepeda motor. Daging dan bagian-bagiannya digantung di tempat duduk belakang tanpa diberi penutup. Hal ini sesuai dengan Arifin (2008) yang mengatakan bahwa, menurunnya kualitas daging sapi selama proses distribusi dari RPH karena buruknya fasilitas dan proses penanganan daging. Hal ini dimulai dari pemotongan ternak hingga pengangkutan dan penjualan daging. 4. Perilaku konsumen. Konsumen (100%) dengan leluasa memegang daging tanpa menggunakan pelindungan tangan. Setelah memegang daging tersebut, konsumen hanya membersihkan tangannya dengan kain seadanya. Perilaku ini tidak dilakukan pada satu pedagang saja tapi pada semua pedagang yang dikunjungi. 5. Penyimpanan daging. Daging yang dijual di pasar tradisional (100%) disimpan pada suhu kamar dan terpapar udara secara langsung. Sedangkan menurut Soeparno (2009), penyimpanan dan preservasi daging dilakukan pada temperatur antara -2 ºC sampai 5 ºC. Hal ini bertujuan untuk menghambat dan membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kemis dan kerusakan fisik daging yang mengakibatkan pembusukan pada daging. Kondisi pasar tradisional berbeda dengan pasar modern. Di pasar modern, penanganan daging menggunakan sarung tangan. Walaupun sarung tangan yang digunakan tidak begitu steril yang dilihat dari pemakaiannya yang secara berulang. Perbedaan antara pasar tradisional dan modern terletak pada higiene personal, sanitasi, perilaku konsumen, penyimpanan daging. Pada pasar modern, daging disimpan pada suhu dingin, menggunakan penutup daging, dan konsumen tidak dapat memegang daging secara langsung. Namun dengan perbedaan tersebut, pasar modern masih menunjukkan tingkat cemaran di atas batas maksimum yang ditentukan. Tingkat cemaran mikroorganisme kedua pasar yang berada di atas BMCM diduga terjadi kontaminasi yang sudah sangat tinggi sejak dari RPH hingga dibawa ke pasar tersebut. Hal ini yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya oleh Sa’idah (2011) yang dilakukan di Banjarmasin dengan hasil yaitu tingkat cemaran mikroorganisme pada daging sapi di pasar modern tidak melebihi BMCM yang ditetapkan.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pasar modern seperti Hypermart dan Aldia tidak mengimpor daging dari luar negeri maupun nasional. Daging tersebut berasal dari RPH yang berada di Kota Kupang yaitu RPH Aldia. Sesuai dengan prinsip Save from farm to table, yaitu keamanan pangan mulai dari peternakan hingga ke tangan konsumen untuk dikonsumsi. Terdapat beberapa titik kritis yang dapat menjadi titik kontaminasi bakteri, misalnya saat transportasi sapi dari peternakan menuju RPH, kemudian penanganan sapi ketika disembelih di RPH, pengulitan, pemisahan daging dan jeroan, serta pemotongan, lalu pendistribusian ke pasar maupun modern, serta penyimpanan di pasar dan pengolahan pada konsumen. Kondisi RPH Oeba menurut hasil survei yang kurang memadai diduga sebagai penyebab tingginya cemaran di kedua pasar tersebut. Sapi yang akan disembelih digiring masuk ke dalam ruangan melewati sapi yang sedang dikuliti, dan diantara daging sapi yang sedang disiram dengan air mengalir. Sapi disembelih dalam ruangan yang juga terdapat sapi yang sedang dipisahkan daging, tulang, jeroan, dan lain sebagainya. Darah sapi yang sudah disembelih disiram dengan air menuju selokan. Daging sapi dipisah dari tulang dan jeroan, kemudian dimasukkan dalam karung dan diletakkan di atas mobil pick up untuk dibawa ke pasar, dan tulang tulangnya diletakkan terbuka didalam mobil tersebut. Hal ini merupakan kemungkinan penyebab tingginya cemaran daging sapi yang dijual di pasar tradisional maupun pasar modern. Tingginya cemaran di RPH menyebabkan tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat cemaran mikroorganisme pada daging sapi. Meskipun di pasar tradisional dengan fasilitas seadanya dan pasar modern dengan fasilitas yang lebih memadai. Sampel dengan nilai TPC melebihi BMCM dilanjutkan pengujiannya dengan peneguhan menggunakan metode MPN E.coli.Berdasarkan hasil MPN, isolasi dan identifikasi serta uji biokimia pada sampel daging sapi di pasar tradisional, menunjukkan bahwa dari 22 sampel, 10 sampel positif terkontaminasi E.coli dengan nilai MPN (1100 MPN/g) melebihi BMCM yang ditetapkan SNI 7388-2009 (1x101MPN/g). Sedangkan 12 sampel lainnya tidak ditemukan bakteri E.coli. Sedangkan sampel daging sapi di pasar modern, menunjukkan bahwa dari 4 sampel, 2 sampel positif terkontaminasi E.coli dengan nilai MPN (1100 MPN/g) di atas BMCM yang ditetapkan SNI 7388-2009 (1x101MPN/g). Kontaminasi dari bakteri E.coli pada daging sapi terkait erat dengan masih rendahnya masalah sanitasi dalam proses penanganan daging. Proses penyiapan daging di pasar tradisional kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higiene. Hal ini dilihat dari daging yang
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
dijual tidak ditutup, disimpan dalam suhu kamar, serta perilaku konsumen yang bebas memegang daging tanpa mencuci tangan. Hal ini berdampak pada perkembangbiakan bakteri secara cepat. Selain itu penanganan daging di RPH yang kurang higienis, dan pendistribusian daging dalam karung hanya menggunakan mobil pick up tanpa penutup dan pendinginan. Soeparno (2009), menyatakan bahwa selain faktor nutrisi, pertumbuhan mikroorganisme dalam daging juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan khususnya temperatur. Hal ini sesuai dengan pendapat Widiyanti Ristiati (2004), yang menyatakan bahwa adanya bakteri-bakteri indikator sanitasi umumnya adalah bakteri yang lazim terdapat dan hidup pada usus manusia. Dengan adanya bakteri tersebut pada daging menunjukkan bahwa dalam satu atau lebih tahap pengolahannya pernah mengalami kontak dengan feses yang berasal dari usus manusia maupun hewan. Oleh karena itu, nilai MPN E.coli melebihi standar yang ditentukan.
Penutup Simpulan Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini adalah dari 22 sampel (100%) daging sapi yang berasal dari pasar tradisional di Kota Kupang, memiliki nilai TPC yang di atas BMCM yang ditetapkan. Dari 4 sampel (100%) daging sapi yang diambil di pasar modern di Kota Kupang, semuanya memiliki nilai TPC di atas BMCM yang ditetapkan. Faktor yang mempengaruhi tingkat cemaran E.coli pada pasar tradisional dan pasar modern ialah cara penyimpanan daging, sanitasi, perilaku konsumen dan higiene personal. Berdasarkan nilai TPC, daging sapi yang dijual di pasar tradisional dan pasar modern tidak aman untuk dikonsumsi.
Saran Mengingat pada kondisi di atas, menjadi hal yang sangat penting bagi pemerintah terutama dinas peternakan untuk memberikan penyuluhan dan bimbingan serta perbaikan bagi masyarakat dan pedagang daging sapi untuk menjaga kebersihan diri dan melakukan sanitasi lingkungan sebagai upaya mencegah terjadinya pencemaran terhadap bahan makanan. Selain itu, untuk meyediakan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) peran pemerintah untuk dapat memperhatikan terus mengontrol kualitas pangan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
yang dipasarkan di pasar tradisional, selain itu pemerintah dapat menyediakan fasilitas dan meningkatkan sanitasi pasar.
Daftar Pustaka Arifin, 2008. Penurunan Kualitas Daging Sapi Yang Terjadi Selama Proses Pemotongan dan Distribusi di Kota Semarang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Arka, I.B., Wisna W.B., Okarini, I.A., dkk. 1998. Penuntun Praktikum Ilmu Kesehatan daging. Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Denpasar. Birowo, J. 2013. Perbandingan Jumlah Bakteri Coliform Pada Telur Ayam Buras Yang Dijual Di Pasar Bersanitasi Baik Dan Buruk, Indonesia Mediscus Veterinus, 2(3):269-280. Difco™, 2010. Buffered Peptone Water. Acumedia. Difco™, 2014. Brilliant Green Bile Broth 2%. 2nd edition. diakses 6 maret 2014
. Doyle, M. P., and Beuchat, L. R., 2007. Food Microbiology, 3th edition. ASM Press; Washington D. C. USA. Endang, S. 2009. Tinjauan Bahan Pangan Asal Hewan Yang Asuh Berdasarkan Aspek Mikrobiologi di DKI Jakarta. Jakarta, diakses 4 juni 2014 http://peternakanlitbang.deptan.go.id. Gilles, Kay. 2008. MR-VP (Methyl Red-Voges Proskauer), diakses 6 maret 2014 Gracey, Joseph. Davids S. Collins, Robert Huey, 1999. Meat Hygiene. 10th Edition. W. B. Saunders Company LTD; London. Himedia
Laboratory. 2013. EC Broth, http://himedialabs.com/TD?M127.pdf
diakses
7
juni
2014
Holmes, 2007. Voges-Proskauer Reagents. Dalynn Biologicals. Krisnansari, Diah, 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health, Volume 4,Nomor1. Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. 3rd ed. Pergamon Press Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. UI Press. Jakarta
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan kedua. Rineka Cipta; Jakarta Nurhadi, Muhammad, 2012. Kesehatan Masyarakat Veteriner (Hygiene Bahan Pangan Asal Hewan dan Zoonosis). Gosyen Publishing; Yogyakarta. Mujianti. 2008. Pasar Sehat, Impian Yang Belum Jadi Kenyataan. Rahimmah, Siti, 2012. Kontaminasi Bakteri Escherichia Coli Pada Daging Sapi Sepanjang Rantai Distribusi Di Kota Padang. Jurnal.Program Studi Ilmu Ternak Pascasarjana Universitas Andalas; Padang. Sa’idah, Farikhatus. Sri Yusnita, dan Ida Herlinawati, 2011. Hasil Penelitian Cemaran Mikroorganisme Daging Sapi Di Pasar Modern dan Pasar Tradisional di Banjarmasin. Dilavet, Volume 21, Nomor 2. Soeparno.
2005. Ilmu dan Press, Yogyakarta.
Teknologi
Daging.
Gadjah
Mada
University
Soeparno, 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press; Yogyakarta. Standar Nasional Indonesia 2897. 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroorganisme Dalam Daging, Telur, dan Susu, serta Hasil Olahannya. Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 7388. 2009. Batas Maksimum cemaran Mikroorganisme dalam Pangan. Badan Standarisasi Nasional. Supardi, 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Alumni;Bandung. Tambunan, Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia.Ghalia Indonesia; Jakarta Usmiati, S. 2004. Pengawetan Daging Segar dan Olahan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian; Bogor Widiyanti N. L. P., dan N.P. Ristiati, 2004. Analisis Kualitatif Bakteri Koliform pada Depo Air Kota Singaraja Bali. Jurnal Ekologi Kesehatan. Singaraja,Bali. Wikipedia,
2012. Kovac’s Reagen. Diakses pada
6
maret
2014,
Wikipedia,
2014. Eosin Methylene Blue. diakses pada
27
februari
2014
Wilson, G.S. 1973. Koser J. Bact. 8:493. Topley and Wilson’s Principles os Bacteriology and Immunology 4th Ed. Edward Arnold Ltd; London Winter,
2014. Citrate Test. diakses pada 06
maret
2014
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
World Health Organization. 2014, Veterinary public health (VPH).diakses pada 5 februari 2014,
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pengaruh Pemberian Dosis Vaksinasi Antraks Yang Berbeda Terhadap Total Protein Plasma Dan Titer Antibodi Pada Ternak Kambing Fhady R Loe1, Maxs UE Sanam2 dan Elisabet Tangkonda3 1
Mahasiswi Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana, Kupang 2 Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana, Kupang
Pendahuluan Antraks merupakan salah satu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Bacillus anthracis. Penyakit ini hampir setiap tahun muncul di daerah endemik, sehingga dapat menyebabkan kerugian bagi peternak dan masyarakat luas. Wilayah endemik antraks di Indonesia meliputi Sumatera Barat, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Papua (Adji, 2005). Penyakit ini sering terjadi pada herbivora seperti sapi, kambing, dan domba, amfibi, reptil dan hewan berdarah panas lainnya (WHO, 2008). Hewan-hewan lain seperti kuda, anjing dan babi dapat terserang antraks namun dengan tingkat fatalitas yang relatif lebih rendah. Antraks tergolong penyakit zoonosis karena disamping menyerang hewan, dapat juga menginfeksi manusia. Bacillus anthracis memiliki 2 bentuk yakni vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif akan berubah menjadi spora saat kontak dengan oksigen atau udara. Spora antraks sangat tahan panas dan di tanah dapat bertahan hidup selama puluhan tahun (dapat lebih dari 50 tahun). Kondisi yang memungkinkan untuk dapat terjadinya infeksi yaitu melalui konsumsi pakan dan air minum yang terkontaminasi oleh spora antraks. Kemampuan Bacillus anthracis membentuk spora yang tahan sampai puluhan tahun, menjadi salah satu penyebab suatu daerah yang telah tertular antraks sangat sulit untuk dibebaskan kembali. Fakta ini merupakan alasan kuat yang mendasari tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit ini (Soeharsono, 2002). Salah satu cara yang efektif untuk menanggulangi antraks adalah dengan cara vaksinasi. Vaksinasi merupakan tindakan yang efektif sebagai bentuk perlindungan pada manusia maupun hewan (Baillie, 2001). Ternak kambing sangat mudah mengalami reaksi langsung akibat vaksinasi yaitu syok anafilaksis (Wahyuni, 2010). World Health Organization (WHO) 2008, merekomendasikan pemberian vaksinasi pada kambing dengan dua kali inokulasi. Dosis standar yang
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
direkomendasikan adalah satu per empat (¼) dosis (preinokulasi) dan dosis standar kedua sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO. Keefektifan vaksinasi dapat diketahui dengan melakukan pengujian serum, sehingga dapat mengetahui gambaran titer antibodi melalui uji Enzyme Linked imunnosorbent Assay (ELISA). Selain itu, mengingat komponen penyusun utama antibodi adalah protein maka perlu diketahui kadar total protein plasma sehingga dapat menilai tingkat keefektifan vaksinasi antraks.
Materi Dan Metode Materi a. Vaksinasi Hewan percobaan yang digunakan adalah ternak kambing kacang berumur 1-2 tahun sebanyak 15 ekor. Bahan yang digunakan adalah vaksin antraks spora hidup produksi Pusvetma Surabaya (Anthravet®), sedangkan alat yang digunakan adalah spuit ukuran 1cc. b. Total Protein Plasma Pengukuran total protein plasma, bahan yang digunakan adalah koleksi serum dari masing-masing sampel dan aquadest, sedangkan alat yang digunakan adalah refraktometer (Yenaco®), pipet tetes, dan tissue. c. Titer Antibodi (ELISA) Uji ELISA menggunakan : sampel serum kambing (85 sampel), antigen antraks (toksin) strain 34F2, serum kontrol positif dan negatif (BBalitvet Bogor), larutan coating buffer (carbonat bicarbonat buffer) pH 9,6, phosphat buffer saline (PBS) stok (10x) pH 7,4, phosphat buffer saline tween 0,05% (PBST) pH 7,4, phosfat buffer saline tween casein 0,25% (PBST casein 1%) pH 7,4, konjugat (rabbit anti goat horseradish peroksidase) (Jackson ®), larutan TMB (tetramethyl benzidine dihydrochloride) substrate: 0,1 mg/ml, Stop solution: 0,5 – 2 M H2SO4, microplate ELISA 96 sumuran bentuk datar (Nunc ®), mikroplate ELISA 96 sumuran bentuk datar break down (Nunc ®), ELISA reader (Multiskan®), mikropipet, reservoar, plastik adesif, tabung, plate shacker (Titertek®), vorteks mixer, magnetic stirrer, stopwatch.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Metode a. Vaksinasi Ternak kambing percobaan dua minggu sebelum perlakuan dilakukan pemeriksaan terhadap status kesehatannya, diberikan obat anti cacing (Nemasol®) dan vitamin (Injectamin®). Hewan percobaan dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok A1 dijadikan kontrol, kelompok A2 divaksinasi dengan vaksin Anthravet® sebanyak seperempat dosis anjuran (pre-inoculation) 0,125 ml, dan kelompok A3 divaksin dengan vaksin Anthravet® sebanyak 0,5 ml. Vaksinasi berulang (booster) dilakukan empat minggu kemudian pada kelompok II. Penyuntikan dilakukan secara subkutan pada daerah dorso cranial atau 1/3 punggung bagian depan. Selanjutnya ternak tersebut diobservasi selama ± 1 minggu untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan akibat vaksinasi seperti : peningkatan suhu tubuh yang tinggi, kebengkakan pada daerah suntikan, kelumpuhan, syok anafilaksis dan kematian ternak.
b. Total Protein Plasma Sampel serum yang dikoleksi diambil dari frezzer kemudian dikeluarkan pada suhu kamar, didinginkan dan siap diperiksa. Serum diambil dengan pipet dan diteteskan pada permukaan kaca refraktometer sebanyak 1 tetes dan
ditutup dengan penutup
refraktometer. Nilai total protein plasma dapat dibaca pada refraktometer dengan mengamati skala protein pada garis yang membatasi wilayah gelap dan terang.
c. Titer Antibodi (ELISA) Metode yang digunakan untuk pengujian adalah indirect ELISA
yang telah
dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, tahap-tahapnya sebagai berikut: -
Antigen antraks (toksin) dilarutkan dalam coating buffer dengan pengenceran sesuai titrasi (1/400), kemudian dimasukkan 100 µl ke dalam semua lubang mikroplat (coating). Mikroplat ditutup dengan plastik adesif dan diinkubasikan semalam (16-18 Jam) pada suhu 4 ˚C.
-
Mikroplat dicuci sebanyak 4 x dengan menggunakan PBS Tween 0,05 %.
-
Serum sampel dilarutkan dalam PBST (1/200) dan 100 µl dimasukan ke dalam semua lubang mikroplat kecuali lubang A1-B1 dan C1-D1. Tiap mikroplat harus disertakan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
kontrol positif dan kontrol negatif, yaitu dimasukkan ke dalam lubang A1-B1 (kontrol positif), C1-D1 (kontrol negatif). Kemudian mikroplat ditutup dengan plastik adesif, diinkubasikan serta digoyang selama 1 jam pada suhu kamar. -
Mikroplat dicuci sebanyak 4 x dengan menggunakan PBS Tween 0,05 %.
-
Konjugat anti goat dilarutkan dalam PBST casein 0,25 % (pengenceran sesuai titrasi). Kemudian 100 ul larutan dimasukkan ke dalam semua lubang mikroplat ELISA. Mikroplat ditutup dengan plastik adesif, diinkubasikan dan digoyang selama 1 jam pada suhu kamar. Untuk anti-bovine (1/1000) dan anti-goat (1/1000).
-
Mikroplat dicuci sebanyak 4 x dengan menggunakan PBS Tween 0,05 %.
-
Substrat TMB dimasukkan 100 ul ke dalam semua lubang mikroplat. Selanjutnya diinkubasikan 30 menit pada suhu kamar dan ditempat gelap.
-
Tambahkan 50 µl stop solution ke semua lubang mikroplat untuk menghentikan reaksi.
-
Hasil dibaca menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Optical density selanjutnya dikonversikan ke S/P ratio Hasil positif dan negatif adanya antibodi antraks dari sampel yang diperiksa
disesuaikan dengan standar diagnostik BBALITVET Bogor, niai titer < 50 menunjukkan tidak terdapat antibodi antraks, nilai titer 50 ≤ Titer ≤ 60 menunjukkan masih meragukan, sedangkan nilai titer > 60 menunjukkan adanya antibodi terhadap antraks.
Analisa Data Data nilai rata-rata total protein plasma dan titer antibodi dibuat dalam bentuk tabel dan grafik. Uji statistik yang digunakan adalah uji Analysis of variance (ANOVA) atau analisis keragaman untuk melihat ada tidaknya pengaruh perlakuan terhadap variabel yang akan diteliti dan apabila ada perbedaan yang nyata antara perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji beda nyata terkecil (LSD). Khusus untuk melihat adanya kenaikan titer antibodi digunakan uji t berpasangan (Paired-Samples t test) menggunakan software SPSS 15.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Hasil Dan Pembahasan
a. Reaksi Pascavaksinasi Pengamatan pasca pemberian vaksin antraks dengan dosis berbeda pada kelompok percobaan, dilakukan selama 5 hari dengan mengukur suhu, pulsus dan respirasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak didapati reaksi syok anafilaksis, karena ternak kambing tidak menunjukkan gejala klinis yang signifikan seperti pembengkakan tenggorokan, penurunan pulsus, gagal nafas, kenaikan suhu dan penurunan kesadaran. Reaksi yang diamati perubahannya yaitu adanya rasa sakit pada daerah suntikan, yang berlangsung ± 2 menit pasca vaksinasi dan berangsur normal beberapa saat kemudian. Hal ini membuktikan bahwa vaksin antraks (Anthravet®) produksi Pusvetma aman digunakan pada kambing dan sekaligus menandakan bahwa produksi vaksin ini sudah sesuai dengan Requirements for biological substance no. 13 (WHO, 1967). Reaksi syok anafilaktik (reaksi hipersensitivitas tipe I) berlangsung lebih dari 2 atau 3 jam pasca pemberian vaksin (Tizard 2004). Kejadian syok anafilaktik sangat ditakuti oleh masyarakat pemilik ternak, sehingga mereka tidak mengijinkan ternaknya divaskinasi. Hal ini disebabkan karena seringkali pasca vaksinasi ternaknya mengalami kesakitan maupun kematian. Wahyuni, 2010 melaporkan bahwa banyak kambing dan domba setelah divaksin antraks sebelum mati menunjukkan gejala-gejala antara lain kebengkakan di dekat rektum dan di bawah ekor. Syok anafilaktik dapat terjadi karena tekanan darah menurun sebagai akibat dari kerja toksin. Toksin antraks menyebabkan trombosis pembuluh kapiler dan keluarnya cairan melalui epitel pembuluh kapiler yang rusak. Selanjutnya kompleks toksin akan menghambat aktivitas opsonin dari komplemen sehingga kemampuan fagositosis juga menurun. Kemampuan B. anthracis
untuk berploriferasi tanpa adanya perlawanan dari
sistem imun host akan meningkatkan jumlah toksin yang akan menyebabkan septikemia, syok dan kematian (Handayani, 2010). Vaksin antraks (Anthravet®) yang digunakan diperoleh dari Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Aplikasi vaksin pada penelitian ini secara subkutan pada daerah dorso cranial atau 1/3 punggung bagian depan kambing. Daerah ini merupakan bagian tubuh yang kurang sensitif dibandingkan penyuntikan di bawah ekor sehingga dapat menimbulkan respon imun yang maksimal, selain itu kerusakan jaringan saraf dan vaskuler yang ditimbulkan minimal serta mudah untuk diamati (Handayani, 2010).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pemberian vaksin pada bulan pertama dan bulan kedua (booster) menggunakan vaksin antraks (Anthravet®) yang sama dan sebelumnya disimpan pada refrigerator. Matondang, dkk (2010) menyatakan bahwa keberhasilan program vaksinasi tergantung pada beberapa faktor yaitu status imun host, faktor genetik host (gen kompleks MHC, gen non MHC), serta kualitas dan kuantitas vaksin (cara pemberian vaksin, dosis vaksin, frekuensi pemberian, adjuvan dan jenis vaksin).
b. Gambaran Total Protein Plasma Sebelum dan Sesudah Vaksinasi Pengukuran total protein plasma pada penelitian ini, diharapkan dapat mengetahui nilai rerata akibat pemberian dosis vaksinasi antraks yang berbeda. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan refraktometer.
Tabel 1. Rata - rata total protein plasma sebelum dan sesudah vaksinasi antraks Minggu Kambing Kontrol Ke(A1) 0 7,74 2 7,54 4 7,77 6 7,84 8 7,32 10 Tdl (*) Keterangan: (*) : Tidak dilakukan
Kambing Dosis ¼ (A2) 7,96 8,00 7,78 7,66 8,24 8,32
Kambing Dosis Anjuran (A3) 8,12 7,86 7,88 7,66 8,02 7,92
Data pada Tabel 2 menunjukkan nilai rata-rata total protein plasma dari ketiga kelompok cenderung stabil, akan tetapi untuk dapat mengetahui ada tidaknya perbedaan antar tiap kelompok maka diperlukan uji statistik. Hasil analisis keragaman pada minggu ke-0 (sebelum perlakuan), minggu ke-2, minggu ke-4, minggu ke-6 dan minggu ke-10 menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) atau dengan kata lain nilai rerata total protein plasma tidak berbeda terhadap kadar protein plasma (Lampiran 3). Hal ini berarti bahwa tindakan vaksinasi dengan dosis yang berbeda tidak memberikan perubahan yang berarti pada kadar total protein plasma ternak kambing percobaan. Sesuai dengan pernyataan Wulangi (1993) bahwa albumin dan globulin penting dalam mempertahankan tekanan osmotik darah. Kestabilan terhadap tekanan osmotik darah ini sangat penting untuk dipertahankan oleh karena peningkatan tekanan osmotik darah yang relatif tinggi dapat menyebabkan perpindahan cairan dari jaringan ke dalam pembuluh darah secara berlebihan. Hasil analisis keragaman pada minggu ke-8 menunjukkan bahwa ketiga kelompok berbeda nyata (P<0,05) (Lampiran 4a) sehingga dilakukan uji beda nyata
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
terkecil menunjukkan bahwa setiap kelompok berbeda nyata (P<0,05) (Lampiran 4b). Perbedaan ini sejalan dengan adanya kenaikan titer antibodi kelompok A2 pada minggu ke-8 dan ke-10 (Tabel 3) sama dengan kenaikan total protein plasma pada kelompok A2, yang berarti kenaikan titer antibodi dipengaruhi oleh jumlah total protein yanng terbentuk dalam serum. Hal ini disebabkan karena komponen utama dari antibodi adalah protein. Nilai total protein plasma dipengaruhi oleh nutrisi yang diberikan, karena protein dalam tubuh hewan didapat dari pakan yang dikonsumsi. Pemberian pakan dalam penelitian ini berupa hijauan daun antara lain lamtoro (Leucaena glauca), angsana, galagala/turi (Sesbania grandiflora), gamal, dan rumput lapang liar atau alami. Byers dan Kramer (2010) menyatakan bahwa nilai hematologi normal kambing berkisar dari 6 sampai 7,5 gr/dL. Hasil total protein plasma pada penelitian ini masih dalam kisaran normal, namun terdapat beberapa kelompok pada periode pengambilan berbeda yang menunjukkan kenaikan total protein plasma. Sadikin (2002) menyatakan bahwa total protein plasma dapat berubah. Kenaikan total protein plasma biasanya terjadi sebagai akibat dari meningkatnya sintesis protein tertentu dalam serum karena suatu kondisi fisiologis.
c. Gambaran Titer Antibodi Sebelum dan Sesudah Vaksinasi Sebagai akibat dari respon vaksinasi antraks, maka untuk dapat mengetahui titer antibodi dapat dideteksi melalui pengujian indirect ELISA. Hasil dari pengujian ELISA berupa nilai absorbansi atau optical density, yang selanjutnya dikonversikan kedalam S/P Ratio dan menghitung titernya. Tabel 2. Rata-rata titer antibodi serum kambing sebelum dan sesudah divaksinasi Antraks M ke-
Kambing Kontrol (A1)
Kambing dengan ¼ dosis (A2)
Titer I Titer 0 38,2 36 2 36,8 53,8 4 37,6 58,8 6 37,4 93,6 8 37 93.6 10 Tdl 88 (*) Keterangan: Negatif (-) : Titer < 50
I M M + + +
Kambing dengan dosis anjuran (A3) Titer I 48,2 57,8 M 62 + 61 + 57,6 M 49 -
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Meragukan (M): 50 ≤ Titer ≤ 60 Positif (+) : Titer > 60 I : Interpretasi (*) : Tidak dilakukan Kelompok kambing kontrol dalam penelitian ini dipisahkan dengan kelompok kambing perlakuan pada lokasi yang berbeda dalam satu desa. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya paparan. Hasil pengujian titer antibodi sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah ada paparan secara alami maupun buatan. Data pada tabel 2 terlihat bahwa hasil positif menujukkan terbentuknya antibodi dalam serum darah kambing yang diberi vaksinasi antraks, hasil negatif menunjukkan tidak terbentuknya antibodi dalam serum, sedangkan hasil meragukan menunjukkan belum terbentuknya antibodi yang baik dalam serum terhadap antraks. Titer antibodi pada kelompok kontrol menunjukkan hasil negatif. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan bahwa semua ternak kambing kontrol, teridenttifikasi negatif terhadap antibodi antraks. Sedangkan nilai rata-rata titer antibodi pada kelompok dosis ¼ dan kelompok dosis anjuran cenderung meningkat walaupun nampak fluktuatif. Perbedaan dari ketiga kelompok tersebut dapat dibuktikan dengan pengujian statistik. Hasil analisis keragaman pada minggu ke-0 (sebelum divaksin) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap titer antibodi (Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kelompok tidak terinfeksi antraks sebelum dilakukan vaksinasi dan sudah memenuhi salah satu syarat bahwa ternak kambing dalam keadaan sehat. Nilai rata-rata titer antibodi ketiga kelompok pada minggu ke-2, jika dilihat antara kelompok kontrol dan kedua kelompok perlakuan terdapat perbedaan dan nilainya cenderung meningkat dari nilai rata-rata minggu ke-0. Akan tetapi hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap titer antibodi (Lampiran 6). Perbedaan ketiga kelompok pada minggu ke-4 berpengaruh sangat nyata (P<0,05) terhadap titer antibodi (Lampiran 7a), sehingga dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa kelompok kontrol berbeda nyata (P<0,05) terhadap kelompok dosis ¼ dan kelompok dosis anjuran (Lampiran 7b). Vaksinasi ulang dalam penelitian ini dilakukan khusus kelompok A2 pada minggu ke4 yang sebelumnya didahului dengan pengambilan darah untuk minggu ke-4. Pengambilan sampel darah dilakukan selanjutnya pada minggu ke-6, 8 dan 10. Apabila dilihat nilai ratarata titer antibodi pada kelompok dosis ¼ pada minggu ke-6 terlihat jelas mengalami kenaikan titer antibodi. Hasil pengujian analisis keragaman menunjukkan bahwa ketiga
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
kelompok pada minggu ke-6 berbeda nyata (P<0,05) (Lampiran 8a) dan uji beda nyata terkecil ketiga kelompok berbeda nyata (P<0,05) (Lampiran 8b). Hal yang sama juga terjadi pada minggu ke-8 dan minggu ke-10 pasca vaksinasi, hasil uji analisis keragaman menujukkan ketiga kelompok berbeda nyata (P<0,05) (Lampiran 9a), sehingga uji beda nyata terkecil menunjukkan ketiga kelompok berbeda nyata (P<0,05) (Lampiran 9b). Serum kambing penelitian dikoleksi pada microtube ± 2 jam pasca pengambilan darah, karena lokasi penelitian dan laboratorium berjarak jauh. Akan tetapi proses pengantaran serum tersebut tidak membuat serum menjadi rusak atau berubah warna. Pengambilan darah dilakukan pada waktu yang berbeda, sehingga lama penyimpanan sampel berbeda pula. Jika dilihat pada tabel 3, nilai titer antibodi kelompok kontrol dari minggu ke-0 sampai minggu ke-8 relatif sama. Sedangkan untuk kelompok A3 pada minggu ke-0 dan minggu ke-10 memiliki durasi penyimpanan yang berbeda, akan tetapi memilki nilai titer antibodi yang negatif. Perbedaan nilai titer antibodi pada setiap kelompok dipengaruhi oleh adanya pemberian vaksin antraks.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Kambing Kontrol (A1) Kambing Dosis 1/4 (A2)
Minggu Ke-0 Minggu Ke-2 Minggu Ke-4 Minggu Ke-6 Minggu Ke-8 Minggu Ke-10
Axis Title
Titer Antibodi
Kambing Dosis Anjuran (A3)
Gambar 1. Grafik gambaran dinamika titer antibodi sebelum dan sesudah
vaksinasi antraks
Gambar 1 menunjukan bahwa nilai titer antibodi pada kelompok A2 dari minggu ke-0 sampai minggu ke-2 cenderung meningkat, dan masih bertahan pada minggu ke-4. Kenaikan yang signifikan terjadi pada minggu ke-6 dengan titer antibodi mencapai 93,6 dan terus bertahan sampai miggu ke 10. Sedangkan pada kelompok A3, dinamika titer antibodi dari minggu ke-0 sampai minggu ke-8 relatif sama atau tidak menunjukkan adanya kenaikan yang
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
signifikan dan cenderung menurun pada minggu ke-10. Hasil positif ditunjukkan pada minggu ke-4 sebesar 62 dan minggu ke-6 sebesar 61 atau dengan kata lain tidak terbentuknya titer antibodi protektif. Pemberian vaksinasi antraks diharapkan dapat terbentuknya antibodi terhadap antraks. Apabila vaksinasi dilakukan berulang dikenal dua macam respon imun, yaitu respon imun primer dan respon imun sekunder (Herbert, 1974). Kedua kelompok perlakuan memilki nilai rata-rata titer antibodi yang berbeda, ada yang relatif stabil dan ada juga yang cenderung mengalami kenaikan. Kenaikan titer antibodi dapat diuji pada masing-masing kelompok percobaan. Hasil uji t berpasangan kelompok dosis vaksinasi ¼ (A2) pada minggu ke 0 (sebelum divaksinasi) dan minggu ke-2 menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa pada minggu ke-2 sudah terjadi kenaikan titer antibodi, meskipun dilihat dari data nilai kenaikan belum mencapai titer positif. Menurut WHO, FAO dan OIE (2008) titer antibodi pada uji ELISA dapat dideteksi pada hari ke 8-14 pasca vaksinasi. Hasil titer antibodi yang didapat pada penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Adji, 2009) dan (Handayani, 2010). Puncak titer antibodi yang dilakukan Adji sebesar 335 dan yang dilakukan Handayani sebesar 204. Sedangkan pada penelitian ini puncak titer antibodi sebesar 93,6. Hal ini disebabkan pada penelitian ini menggunakan ternak kambing yang dipelihara secara semi intensif, yaitu ternak kambing diikat di padang rumput dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore dan kemudian dikandangkan hingga keesokan harinya dan diberi hijauan dedaunan serta air ad libitum. Berbeda dengan pemeliharaan secara intensif, yaitu ternak terjamin mendapatkan sumber makanan yang akan mempengaruhi pembentukan sistem kekebalan tubuhnya. Hasil uji t berpasangan pada kelompok perlakuan ¼ dosis vaksinasi pada minggu ke-2 dan minggu ke-4 menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 11), sedangkan hasil uji t berpasangan pada minggu ke-4 dan minggu ke-6 menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata (P<0,05) (Lampiran 12). Hal ini dikarenakan pada minggu ke-4 dilakukan vaksinasi berulang (booster). Pada respon imun sekunder, antibodi yang dibentuk ialah IgG dengan titer dan afinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan respon imun primer. Hal ini disebabkan sel memori yang terbentuk pada respon imun primer akan cepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Vaksinasi berulang diharapkan dapat memberikan titer antibodi yang cukup tinggi dan mencapai titik protektif. (Matondang, 2010). Sementara jika dilihat nilai
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
pada data antara minggu ke-6 dan minggu ke-8 serta minggu ke-8 dan minggu ke-10, dapat dilihat tidak ada perbedaan secara signifikan dan hasil uji t berpasangan menunjukkan hasil bahwa perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 13). Data yang ditunjukkan pada gambar 1 apabila dilihat pada kelompok dosis anjuran (A3) cenderung meningkat tetapi tidak begitu nyata dibandingkan dengan kelompok ¼ dosis vaksinasi. Hasil Uji T Berpasangan kelompok dosis anjuran dari minggu ke-0 sampai minggu ke-8 menujukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 14), sedangkan dalam minggu ke-8 dan minggu ke-10 menujukkan hasil berbeda nyata (P<0,05) (Lampiran 15). Penurunan kadar antibodi dalam serum dikarenakan hilangnya populasi sel plasma. Antibodi mengalami penurunan karena proses katabolisme dan konsentrasi yang terbentuk dipengaruhi oleh sifat dan lamanya antigen berada dalam tubuh (Handayani, 2010). Tingkat keberhasilan vaksinasi tidak dapat tercapai disebabkan oleh beberapa hal antara lain: dosis yang diberikan tidak sesuai, kualitas vaksin yang telah mengalami penurunan daya imunogeniknya atau terbentuknya antibodi dipengaruhi oleh respon individual (Dewiyanti, 2006).
Penutup Simpulan
Berdasarkan uji statistik dan pembahasan dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nilai rerata total protein plasma ternak kambing yang mendapatkan perbedaan dosis vaksinasi antraks. Ada perbedaan nilai rerata titer antibodi ternak kambing yang mendapatkan perbedaan dosis vaksinasi antraks. Nilai rerata titer antibodi kedua kelompok perlakuan memiliki perbedaan mulai minggu ke-4 sampai minggu ke-10. Ada perbedaan durasi titer antibodi ternak kambing yang mendapatkan perbedaan dosis vaksinasi antraks. Titer antibodi pada kelompok A2 mengalami kenaikan pada minggu ke-2 dan minggu ke-4. Sedangkan pada kelompok A3 titer antibodi mengalami penurunan pada minggu ke-10.
Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut maka saran yang diberikan adalah: a. Perlunya penelitian lanjutan yang lebih lama dengan waktu pengamatan sampai titer antibodi mengalami penurunan atau di bawah titik protektif terhadap antraks.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
b. Dosis vaksinasi antraks yang dianjurkan adalah dengan ¼ dosis dan sebulan kemudian sesuai dosis anjuran, karena tidak menimbulkan reaksi syok anafilaktik dan terbentuknya titer antibodi yang baik dibandingkan dengan pemberian dosis anjuran pertama kali.
Daftar Pustaka Adji, R. S. 2005. Gambaran Titer Antibodi Pasca Vaksinasi Antraks Pada Ternak Ruminansia Di Kabupaten Bogor. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. BBALIVET Bogor. Adji R.S. 2009. Perbandinagan Gambaran Titer Antibodi Pasca Vaksinasi Antraks dengan Menggunakan Dua Vaksin Produksi dalam Negeri. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. BBALIVET Bogor. Adji, R. S., Natalia, L. 2006. Pengendalian Penyakit Antraks : Diagnosis, Vaksinasi dan Investigasi. Wartazoa Vol. 16 No. 4. BBALIVET Bogor. Akoso, B. T. 2009. Epidemiologi dan Pengendalian Antraks. Yogyakarta: Kanisius. Anonimous. 2008. Pelatihan Prinsip Dasar Reaksi Imunologi pada Uji Serologi; ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay): Deteksi Antibodi Septicaemia Epizootica / Haemorrhagic Septicaemia. Balai Besar Penelitian Veteriner. Anonimous. 2009. Syok Anafilaktik, (online). http://idmgarut. (diakses pada tanggal 27 September 2013). Anonimous. 2014. Reaksi Antigen - Antibodi dan Prinsip Pengobatan. (Online) http://directory.umm.ac. id. (diakses pada tanggal 14 Februari 2014). Baillie, L. 2001. The Development of New Vaccines Against Bacillus anthracis.UK: Journal of Applied Microbiology. Biagini, R. E. 2003. Comparison of a Multiplexed Fluorescent Covalent Microsphere Immunoassay and an Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Measurement of Human Immunoglobulin G Antibodies to Antraks Toxins. (Jurnal ASM). Atlanta. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology. Byers, S. R., Kramer J. W. 2010. Veterinary Hematology : Normal Hematology Sheep and Goat. Wiley Blackwell. Iowa : USA Dewiyanti, R. 2006. Gambaran Titer Antibodi Pasca Vaksinasi Antraks pada Kambing dan Domba di Kabupaten Bogor. Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006. BBALIVET Bogor. Dorland, W. A. N. 2012. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. EGC. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Handayani, R. 2010, ‘Vaksinasi Antraks Pada Kambing di Kabupaten Sumbawa: Efek Samping dan Durasi Kekebalannya’, Tesis, M.Si, Program Studi Mikrobiologi Medik, Institut Pertanian Bogor, Bogor Herbert, W. J. 1974. Veterinary Imunnology. Blackwell Scientific Publications. Oxford, London. Imbang, R. 2013. Reaksi Antigen Antibodi. (online).http://imbang.staff.umm.ac. (diakses pada tanggal 14 Februari 2014). Johnson, A. G., Ziegler, R. J., Hawley, L. 2011. Essential Mikrobiologi dan Binarupa Aksara. Tangerang.
Imunologi.
Kresno, S. I. 1996. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke-3. Gayu Baru. Jakarta. Making, T. S. 2000. Pengaruh Suplementasi Tepung Ikan dalam Ransum Kambing Kacang terhadap Kadar Total Protein Plasma, Hemoglobin dan Jumlah Sel Darah Merah, Skripsi, S.Pt, Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana. Kupang Matondang, C. S dan Notoatmojo H. 2010. ‘Aspek Imunologi Imunisasi’ dalam Akib, A. AP., Munasir, Z. Dan Kurniati, N., Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak, Edisi Ke-2.,Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonseia, Jakarta, halaman 154-159 Pohan, H. T. 2005. Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Antraks. Vol. 55. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Pushparaj, P. N. 2012. The Cytokine Interleukin-33 Mediates Anaphylactic PNAS.
Shock.
Putra, A. A. G., Scott-Orr, H., Widowati, N. 2011. Antraks di Nusa Tenggara. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian bekerjasama dengan Austalian Center for International Agricultur Research. Denpasar. Swasta Nulus. Quinn, P. J., Markey, B.K., Carter, M.E., Donnely, W.J.C., dan Leonard, F.C.2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. USA. Blackwell Science. Rachman, O., Soepriadi, Myrna., dan Setiabudiawan, Budi. 2010. ‘Anafilaksis’ dalam Akib, A. AP., Munasir, Z. Dan Kurniati, N., Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak, Edisi Ke2.,Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonseia, Jakarta, halaman 207-222. Rantam, F. A. 2003. Metode Imunologi. Cetakan I. Surabaya. Airlangga University Press. Sadikin, H. M. 2002. Biokimia Darah. Cetakan I. Jakarta. Widya Medika Sanam,
M. U. E. 2008. Wabah Antraks di NTT. (online). http://maxsanam.blogspot.com/2008/08/wabah-antraks-di-ntt.html (diakses pada tanggal 16 Februari 2014).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Soeharsono. 2002. Zoonosis. Vol. I. Yogyakarta. Kanisius. Tizard, I. R. 2004. Veterinary Immunology. 7th edition. Elseiver. USA Wahyuni, A. E. T. H. 2010. Tinjauan Hasil Vaksinasi Antraks Pada Sapi Dan KambingDomba Di Indonesia. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. FKH UGM. Wang, J. Y., Roehrl, M. H. 2005. Antraks Vaccine Design : Strategis to Achive Comprehensive Protection Against Spore, Bacillus, and Toxin. BioMed Central. USA. WHO. 1967. Requirements for anthrax spore vaccine (live for veterinary use): Requirements for biological substances no. 13.WHO. Expert committe on Biological standardisation 19th Report. WHO, OIE, FAO. 2008. Antraks in Humans and Animals. 4th-ed. Geneva. WHO Press. Wright, J. G., Quinn, C. P., Shadomy, S., Messonnier, N. 2010. Use of Antraks in the United States, Recommendations of the Advisory Committe on Immunizarion Practices (ACIP), 2009. Department of Health and Human Services Centers for Disease Control and Prevention. Atlanta. Wulangi, K. 1993. Prinsip-prinsip Fisiologis Hewan. Fakultas MIPA Biologi, IPB. Bogor.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tingkat Cemaran Escherichia coli Pada Daging Ayam Broiler Di Pasar Tradisional Dan Pasar Modern Di Kota Kupang Yustinus O.P. Wuhan1, drh. Diana A. Wuri, M.Si, 2, drh. Elisabet Tangkonda,M.Sc 3 1
2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Undana Dosen Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet)Fakultas Kedokteran Hewan Undana 3 Dosen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Undana
Abstract Microbial contamination of raw meat by pathogenic microorganisms, remains an important issue because it can lead to illness if there are malpractices in handling, cooking, and post-cooking storage of the product. The objective of this study is to asses contamination level of Escherichia coliin broiler chickens sold in traditional markets and the stores. The result of the research showing the samples from traditional markets have higher level of contamination than samples from the stores. However, the limit of contaminant level obtained from the stores is still under the maximum contaminant level of E. coli that is 1 x 101 MPN/g. The average of microbial contamination of broiler chicken in traditional markets reaches 1,55 x 108 CFU/g higher than the samples taken from stores that reach 9,12 x 105 CFU/g (P<0,05). Contamination in traditional markets is exceeding the maximum lebel of contamination by microorganism, stated by SNI (2009) 1 x 106 CFU/g. Keywords :Chicken, MPN E.coli, Microbial Contamination, Kupang City
Pendahuluan Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang sangat populer di masyarakat dan
harganya
lebih
terjangkau
dibandingkan
dengan
daging
lainnya
(Chotiah,
2009).Tingginya kandungan protein daging ayam broiler membuka peluang bagi pertumbuhan mikroba patogen secara berlebihan. Kontaminasi mikroba patogen pada daging sampai saat ini tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menyebabkan penyakit jika terjadi kesalahan dalam penanganan,penyimpanan, maupun pemasakan produk.Pasar merupakan salah satu tempat pemasaran daging, tempat tersebut merupakan tempat yang rawan dan berisiko cukup tinggi terhadap cemaran mikroba patogen. Mikroba patogen yang biasanya mencemari daging adalah E. coli(Djaafar dan Rahayu, 2007). Handayani dkk., (2004) menyatakan bahwa pencemaran E. coli perlu diwaspadai karena jenis bakteri ini dapat menyebabkan gastroenteritis pada manusia. Sejumlah strain E. coliyang telah teridentifikasi, ada beberapa jenis yang dapat menimbulkan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
penyakit yang serius, salah satunya E. colitipe O157:H7.Gejala yang muncul jika manusia terkontaminasi bakteri ini berupa sakit perut seperti kram, diare dan pada sebagian kasusdapat menyebabkan diare berdarah, demam dan muntah. Penyakit dapat berlanjut menjadi gangguan ginjal pada manusia yang disebutHaemolytic Uraemic Syndrome (HUS).
Usaha meningkatkan kualitas dan keamanan pangan terutama daging ayam broiler perlu dilakukan untuk mengurangi kejadian penyakit asal bahan pangan (foodborne disease). Salah satu usaha meningkatkan kualitasdankeamanan pangan adalah dengan melakukan pengujian cemaran mikroba pada daging ayam broiler.
Materi Dan Metode Tempat Penelitian Pengambilan sampel daging ayam bagian dada (M.pectoralis) dilakukan di pasar tradisional yaitu Pasar Naikoten, Pasar Oebobo, dan
Pasar Oeba. Pasar modern yaitu
Hypermart, Toko Cemara Indah dan Toko Aldia. Pemeriksaan dilaksanakan di Laboratorim Kesmavet UPT Veteriner Provinsi NTT Jl. Timor Raya Km.7 Kupang.
Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan April 2014-Mei 2014. Pengambilan sampel di pasar tradisional dilakukan pada pukul 06.00 Wita, dan di pasar modern pada pukul 10.00 Wita. Pengujian sampel dilakukan pada pukul 08.00 Wita (pasar tradisional) dan pukul 11.00 Wita (pasar modern).
Populasi dan Sampel a. Populasi: Semua pedagang daging ayam broiler di pasar tradisional (14 populasi) dan pasar modern (3 populasi). b. Sampel : Sampel diambil secara simple random sampling. Ukuran sampel dihitung dengan menggunakan rumus Slovin : Sampel daging ayam broiler bagian dada (pectoralis) di pasar tradisional sebanyak 13 sampel ( Pasar Oebobo 6 sampel, Pasar Naikoten 4 sampel, dan Pasar Oeba 3 sampel) dan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
pasar modern sebanyak 9 sampel (Hypermart 3 sampel, Toko Cemara Indah 3 Sampel dan Toko Aldia 3 sampel). Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data menggunakan data primer yang dilakukan melalui wawancara kepada penjual daging ayam broiler menggunakan kuisioner, pengambilan sampel daging dan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuisioner, cool box, plastik klip, peralatan laboratorium, dan kamera.
Variabel Penelitian Variabel yang diukur pada penelitan ini adalah Total Plate Count (TPC) dan MPNEscherichia coli.
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam pengujian cemaran mikroba daging ayam brolier ini menurut SNI 2897 : 2008 terdiri dari timbangan analitik, inkubator, stomacher, gelas ukur, cawan petri, ph meter, rak tabung, tabung Durham, autoclave, tabung reaksi, gunting steril, pinset steril, tabung durham, kantong plastik steril, colony counter, bunsen, jarum inokulasi (ose), termos, pipet, autoklaf, penangas air, lemaristeril(clean bench),lemaripendingin (refrigerator), dan freezer. Bahan yang digunakan berupa daging ayam broiler bagian dada (pectoralis), aquadest, larutan Buffered Pepton Water (BPW) 0,1 %, Plate Count Agar (PCA), Lauryl Sulfate Tryptose Broth (LSTB), Escherichia Coli Broth (ECB), Brilliant Green Lactose bile Broth (BGLB), Lauryl Eosin Methylene Blue Agar (L-EMB), Trypthone Water (TW), Methyl Red Voges Proskeur Broth (MR-VP), Koser’s Citrat,Plate Count Agar (PCA), Reagen Kovac’s, Indikator Methyl Red, Alphanapthol, KOH 40%, crystal creatine.
Prosedur Pengujian Total Plate Count (TPC) Pengujian TPCmenurut SNI 2897 : 2008 yaitu: Sampel daging ayam broiler ditimbang sebanyak 25 g dan dimasukkan ke dalam wadah steril. Kemudian ditambahkan larutan BPW 0,1 % sebanyak 225 ml dan dihomogenizerkan selama 1-2 menit. Larutan ini merupakan pengenceran 10-1. Suspensi dimasukkan ke dalam tabung 9 ml BPW 0,1% dengan menggunakan pipet steril 1 ml, untuk
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
mendapatkan pengenceran 10-2. Suspensi dimasukkan ke dalam 9 ml BPW 0,1% dengan menggunakan pipet steril 1 ml untuk mendapatkan pengenceran 10-3. Setelah dilakukan pengenceran, diambil 1ml dari pengenceran selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri steril secara duplo untuk setiap pengenceran. Plate Count Agar sebanyak 15ml sampai dengan 20ml yang telah didinginkan hingga temperatur 45ºC±1ºC dimasukkan pada masing-masing cawan yang sudah berisi suspensi.Supaya larutan contoh dan media PCAtercampur seluruhnya, dilakukan pemutaran cawan ke depan dan ke belakang atau membentuk angka delapan dan mendiamkan sampai menjadi padat. Cawan dinkubasikan pada temperatur 34ºC sampai dengan 36ºC selama 24 - 48 jam dengan posisi terbalik. Cawan-cawan yang mempunyai jumlah koloni 25 - 250 dihitung dengan penghitung koloni atau colony counter.
Prosedur Pengujian Escherichia coli(SNI, 2008) UjiPendugaan Sampel sebanyak 25g ditimbang secara aseptik, dimasukkanke dalamwadahsteril dan ditambahkan 225ml BPW 0,1 %selanjutnya dihomogenizer selama 1 - 2 menit untuk mendapatkan
pengenceran
10-1.
Suspensi
pengenceran
10-1
sebanyak
1
ml
dimasukkandalamtabung 9ml BPW 0,1 %untukmendapatkanpengenceran 10-2.Kemudian, 1ml
daripengenceran
10-2dimasukkandalamtabung
9ml
BPW
keduauntukmendapatkanpengenceran10-3. Selanjutnya, suspensi sebanyak 1ml dari tiap pengenceran dimasukkan ke dalam setiap 3 tabung LSTB yang berisi tabung durham dan diinkubasikan pada suhu 35oC selama 24 jam. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya gas di dalam tabung.
Uji Konfirmasi Biakan dipindahkan menggunakanjaruminokulasi (loop) daritabung LSTB yang positifketabung ECB yang berisitabungdurham dan diinkubasikan pada suhu 45,5oC selama 24 jam. Tabung-tabung yang menghasilkan gas dinyatakan positif dan diduga E. coli.Selanjutnya dengan menggunakan tabel Most Probable Number (MPN) ditentukan nilai MPN berdasarkan jumlah tabung ECB yang positif mengandung gas di dalam tabung Durham sebagai jumlah E.coli per gram.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Isolasi-Identifikasi Goresan dibuat pada media L-EMBA dari tabung ECByang positif, kemudian diinkubasi pada temperatur 35 ºC selama 18 jam sampai dengan 24 jam. Koloni yang diduga E. coli berdiameter 2 mm sampai dengan 3 mm, warna hitam atau gelap pada bagian pusat koloni, dengan atau tanpa metalik kehijauan yang mengkilat pada media L-EMBA. Koloni yang diduga dari masing-masing media L-EMBAdengan menggunakan ose, dipindahkan ke PCAmiring. Selanjutnya, PCAmiring diinkubasikan pada temperatur 35 ºC selama 18 jam sampai dengan 24 jam untuk uji biokimia IMViC.
Uji Biokimia dengan Uji IMViC Uji Produksi Indole Koloni diinokulasikan dari tabung PCApada TBdan diinkubasikan pada temperatur 35 ºC selama 24 jam ± 2 jam. Selanjutnya ditambahkan 0,2 ml sampai dengan 0,3 ml reagen Kovac. Hasil reaksi positif ditandai dengan adanya bentuk cincin merah pada lapisan atas media, sedangkan hasil reaksi negatif ditandai dengan terbentuknya cincin kuning.
Uji Methyl Red (MR) Biakan diambil dari media PCAlalu diinokulasikan ke tabung yang berisi 10 ml media MR-VPdan diinkubasikan pada temperatur 35 ºC selama 48 jam ± 2 jam. Selanjutnya, ditambahkan 2 tetes sampai dengan 5 tetes indikator MRpada tabung. Hasil uji positif ditandai adanya warna merah dan hasil reaksi negatif ditandai adanya warna kuning.
Uji Voges-Proskauer (VP) Biakan diambil dari media PCAlalu diinokulasikan ke tabung yang berisi 10 ml media MR-VP dan diinkubasikan pada temperatur 35 ºC selama 48 jam ± 2 jam. Selanjutnya, memindahkan 5 ml MR-VPke tabung reaksi dan menambahkan 0.6 ml larutan α-naphthol dan 0.2 ml KOH 40%, kemudian digoyang-goyang. Hasil reaksi positif ditandai adanya warna merah muda eosin dalam waktu 2 jam.
Uji Citrate Koloni diinokulasikan dari media Agar miring PCA ke dalam media KCB, dan diinkubasikan pada temperatur 35 ºC selama 96 jam. Hasil uji positif ditandai dengan terbentuknya kekeruhan pada media.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Interpretasi Hasil Uji Biokimia Klasifikasi E. coli adalah Reaksi IMViC dengan pola + + - - atau - + - -.
Analisis Data Analisis dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan tingkat cemaran pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional dan pasar modern dengan Standar Nasional Indonesia dan dengan menggunakan uji statistik t-test independent sampel.
Hasil Dan Pembahasan Tingkat Cemaran Mikroba pada Daging Ayam Broiler Berdasarkan hasil uji laboratorium, tingkat cemaran mikroba pada daging ayam broiler yang dijual di pasar tradisional dan pasar modern di Kota Kupang dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Nilai TPC Sampel Daging Ayam Broiler di Pasar Tradisional Tempat Pasar Tradisional Pasar Oebobo (A)
Hasil Pengujian Total Plate Count (TPC ) CFU/g Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel 1 2 3 4 5 6 1,1 x 1,3 x 8,9 x 1,9 x 1,4 x 1,3 x 108 107 107 108 108 108
Rata-rata CFU/g Ket. 1,12 x 108
TM S
Pasar Naikoten (B)
1,2 x 108
1,2 x 108
2,0 x 108
2,0 x 108
-
-
1,6 x 108
TM S
Pasar Oeba (C)
5,7 x 108
9,5 x 106
5,9 x 106
-
-
-
1,95 x 108
TM S
1,55 x 108
TM S
Rata-Rata Uji TPC Sampel di Pasar Tradisonal
Keterangan : TMS : Tidak Memenuhi Syarat
Berdasarkan Tabel 2, rata-rata nilai TPC di pasar tradisional terdiri dari Pasar Oebobo sebanyak 1,12 x 108 CFU/g, Pasar Naikoten sebanyak 1,6 x 108 CFU/g, dan Pasar Oeba yang paling tinggi tingkat cemaran yaitu sebanyak 1,95 x 108 CFU/g. Secara keseluruhan, rata-rata
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
nilai TPC pada pasar tradisional sebanyak 1,55 x 108 CFU/g, melebihi batas maksimum cemaran mikroba yaitu 1 x 106 CFU/g (SNI, 2009). Berdasarkan pengamatan langsung dan hasil wawancara (Lampiran 4), tingginya angka TPC pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional di Kota Kupang karena :
Cara pemasaran daging ayam tidak tertutup Hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa pedagang yang menjual daging ayam broiler 100 % tidak menggunakan penutup. Daging yang tidak tertutup dapat tercemar mikroba melalui debu, dan lalat yang hinggap dari satu tempat yang kotor ke tempat penjualan daging yang terbuka. Pemasaran daging yang tidak tertutup dan tidak dalam kondisi dingin atau suhu rendah juga mempercepat pertumbuhan bakteri dan menambah kontaminasi pada daging yang dijual di pasar tradisional. Menurut Hayes (1996), penjualan daging di pasar tradisional yang umumnya dilakukan dalam keadaan terbuka (tanpa penutup) serta disajikan di lokasi yang kurang terjamin kebersihannya dan bersuhu udara tinggi (suhu kamar) membuat mikroba patogen dapat tumbuh dengan subur (Ditunjukkan pada Gambar 3).
Daging yang bercampur dengan jeroan Hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa pedagang di pasar tradisional 100 % menempatkan daging ayam broiler yang dijual berdekatan dengan jeroan. Peluang kontaminasi mikroba dari saluran pencernaan sangat tinggi karena banyaknya mikroba di dalam saluran pencernaan yang cepat mengkontaminasi jika berdekatan dengan daging ayam broiler (Ditunjukkan pada Gambar 2.).
Higiene personal yang tidak diperhatikan Hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa pedagang di pasar tradisional 100 % tidak menggunakan masker, tidak menggunakan sarung tangan, dan pakaian yang kurang bersih. Kebersihan pedagang yang tidak diperhatikan mempengaruhi tingginya tingkat cemaran mikroba pada daging. Pedagang yang tidak menggunakan sarung tangan dan masker yang kurang bersih akan mencemari daging melalui tangan yang kotor, dan terkontaminasi mikroba yang berasal dari penanganan jeroan, memegang pakaian/celemek yang kotor dan memegang hidung (bersin) (Ditunjukkan pada Gambar 3).
Peralatan yang tidak steril
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan pedagang di pasar tradisional 100% hanya memiliki satu alat potong untuk memotong daging dan tidak dibersihkan sehingga peluang terkontaminasi mikroba saat pemotongan sangat tinggi.
Perilaku konsumen menyentuh daging Hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa pembeli yang akan membeli daging di pasar tradisional 100% menyentuh daging untuk memilih daging yang diinginkan. Tangan pembeli yang kotor diduga mempengaruhi tingkat cemaran pada daging ayam di pasar tradisonal.
Gambar 2. Daging ayam yang dijual di pasar Naikoten (Terlihat daging ayam tidak didinginkan dan bercampur dengan jeroan)
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Gambar 3. Daging ayam yang dijual di pasar Oebobo yang tidak tertutup, bercampur dengan jeroan, serta celemek pedagang dan peralatan yang tidak bersih
Tabel 3. Nilai TPC Sampel Daging Ayam Broiler di Pasar Modern di Kota Kupang
Tempat
Hasil Pengujian Total Plate Count (TPC ) CFU/g Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3
Pasar Modern Toko Aldia 5,0 x 105 2,8 x 105 8,0 x 104 (D) Toko 6,9 x 105 2,9 x 105 1,6 x 105 Cemara Indah (E) Hypermart 4,6 x 106 4,2 x 105 1,2 x 106 (F) Total Rata-Rata Uji TPC Sampel di Pasar Modern
Rata-rata
Ket.
2,86 x 105
MS
3,8 x 105
MS
2,07 x 106
TMS
9,12 x 105
MS
Keterangan : TMS : Tidak Memenuhi Syarat, MS: Memenuhi Syarat
Berdasarkan Tabel 3, rata-rata nilai TPC di pasar modern terdiri dari Toko Aldia sebanyak 2,86 x 105 CFU/g, Toko Cemara Indah sebanyak 3,8 x 105 CFU/g, dan Hypermart sebanyak 2,07 x 106 CFU/g. Rata-rata nilai TPC secara menyeluruh di pasar modern sebanyak 9,12 x 105 CFU/gyang masih dalam batas maksimum cemaran mikroba sesuai Standar Nasional Indonesia. Tingginya TPC daging ayam broiler yang dijual di Hypermart diduga karena kontaminasi dari karyawan yang menyediakan daging tersebut. Daging yang dipasok belum dikemas sehingga karyawan harus mengemas daging ayam tersebut dalam kemasan plastik dan meletakkan di tempat penyimpanan. Karyawan yang tidak menggunakan masker dan sarung tangan dapat mencemari daging ayam selama proses pengemasan tersebut. Suhu penyimpanan daging ayam di Hypermart tersebut tidak konstan dan terbuka diduga juga mempengaruhi laju perkembangbiakan mikroba jika dibandingkan dengan suhu di Toko
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Aldia dan Toko Cemara Indah yang tempat penyimpanannya dalam refrigerator yang tertutup dan dalam keadaan beku. Adanya air yang terdapat di dalam kemasan daging ayam tersebut juga mempengaruhi peningkatan jumlah cemaran mikroba. Menurut Suardana dan Swacita (2009), bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak dalam media yang terdapat air. Penurunan kemampuan daging untuk mengikat air berkaitan dengan nilai pH daging. Penurunan pH akibat lamanya penyimpanan setelah pemotongan dan temperatur yang tidak konstan pada tempat penyimpanan. Menurut Suparno (1992), pH daging akan mengalami penurunan sesuai dengan waktu penyimpanan, semakin lama penyimpanan akan semakin rendah pH daging pada kisaran 5,4 sampai 5,8. Suhu yang tidak konstan juga dapat mempercepat penurunan pH otot pascamortem dan menurunkan kapasitas mengikat air karena meningkatnya denaturasi protein otot sehingga terjadinya perpindahan air ke ruang ekstraseluler (Lawrie, 1996). Berikut adalah gambaran tempat penjualan daging ayam broiler di Hypermart.
Gambar 4. Tempat penyimpanan daging ayam di Hypermart (Terlihat refrigerator terbuka dan adanya air di dalam kemasan (tanda panah)) Hasil analisis statistik (T-test) juga menunjukkan ada perbedaan signifikan tingkat cemaran bakteri antara daging yang dijual di pasar tradisional dan daging yang dijual di pasar modern. Ditunjukkan pada T-test Equal variances assumed P<0,05 (lihat lampiran 3). Tingginya jumlah cemaran mikroba diduga karena sarana penyimpanan dan penanganan daging ayam selama penjualan. Sanitasi pada pasar tradisional dan pasar modern serta perbedaan penerapan higiene personal dari pedagang juga diduga dapat menjadi faktor adanya perbedaan jumlah cemaran mikroba.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tingkat Cemaran Escherichia coli pada Daging Ayam Broiler Berdasarkan uji laboratorium, jumlah cemaran E. coli pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional dan pasar modern di kota Kupang dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.
Tabel 4. Nilai MPN Escherichia coli Sampel Daging Ayam Broiler di Pasar
Pasar Tradisional -
10 1
Lstb 10- 102
3
-
10 1
Oebobo A1 3 3 3 3 A2 3 3 3 3 A3 3 3 3 3 A4 3 3 3 3 A5 3 3 3 3 A6 3 3 3 3 Naikoten B1 3 3 3 3 B2 3 3 3 3 B3 3 3 3 3 B4 3 3 3 3 Oeba C1 3 3 3 3 C2 3 3 3 3 C3 3 3 3 3 Keterangan: MS: Memenuhi Syarat
Ecb 10- 10-
Emba 10 10- 10-
Imvic
-
Tradisional
Mpn Ket /G .
2
3
1
2
3
3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 3 2 0 0 3
000 003 002 000 000 003
<3,6 3 3 <3,6 <3,6 3
Ms Ms Ms Ms Ms Ms
3 3 3 3
3 3 3 3
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
000 000 000 000
<3,6 <3,6 <3,6 <3,6
Ms Ms Ms Ms
3 3 3
3 3 3
0 0 0
0 0 0
0 1 0
000 001 000
<3,6 3 <3,6
Ms Ms Ms
Berdasarkan Tabel 4, seluruh sampel di pasar tradisional menunjukkan adanya cemaran coliform fekal dan coliform non fekal yang tinggi berdasarkan jumlah tabung LSTB yang positif. Tabung ECB yang positif menunjukkan adanya coliform fekal dan hasil LEMBA sebagai media selektif menujukkan adanya E. coli. Tingkat kontaminasi E. coli pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional cukup tinggi kecuali di pasar Naikoten. Kontaminasi E. coli pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional masih sesuai Standar Nasional Indonesia (2009) dimana batas maksimum cemaran E. coli adalah 1 x 101 MPN/g. Hasil ini sejalan dengan penelitian Matulessy (2011) di pasar tradisional Halmahera Utara tentang adanya sampel yang tercemar mikroorganisme dan E. coli namun belum melebihi batas maksimum cemaran mikroba. Gambaran koloni E. coli yang pada media L-EMBA yaitu koloni berwarna hitam atau gelap pada bagian pusat koloni,
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
dengan atau tanpa metalik kehijauan yang mengkilat pada media L-EMBA seperti pada tanda panah di Gambar 5.
Gambar 5. Sampel yang terdapat E.coli dengan koloni berwarna hitam atau gelap pada bagian pusat koloni, dengan atau tanpa metalik kehijauan yang mengkilat pada media L-EMBA Cemaran E. coli pada daging ayam ini berdasarkan pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa 100% dapat terjadi karena tercemar dari jeroan/ daging lain yang dijual berdampingan dengan daging ayam tersebut. Escherichia coli merupakan mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan sehingga kontaminasi E. coli dari jeroan berpeluang besar mencemari daging ayam yang dijual. Penggunaan hanya satu pisau untuk memotong daging dan bagian dalam ayam termasuk jeroan (100%), serta meja dan papan potong daging yang tidak dibersihkan (100%) diduga mencemari daging pada saat pemotongan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Taha (2012) yang menyatakan sumber pencemaran daging adalah hewan (isi jeroan), pekerja/karyawan melalui pakaian, rambut, tangan, dan alas kaki, peralatan (pisau, boks, talenan). Berdasarkan Tabel 5, nilai LSTB di Toko Aldia memiliki tingkat cemaran coliform yang tinggi dibandingkan dengan Hypermart dan Toko Cemara Indah. Cemaran coliform ini terdiri dari coliform fekal dan coliform non fekal. Tabung ECB yang telah diinkubasi menunjukkan hasil perubahan positif dan mengandung gas menandakan adanya kontaminasi coliform fekal. Suhu inkubasi yang tinggi (45,5
0
C) diperlakukan pada media ECB
mengakibatkan coliform non fekal mati. Media L-EMBA menunjukkan cemaran E. coli pada sampel di Toko Aldia.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 5. Nilai MPN Escherichia coli Sampel Daging Ayam Broiler di Pasar Modern Pasar Modern
LSTB ECB EMBA 10 10 10 10 10 10 10 10- 10-
Imvic
MPN/G KET.
-
Toko Aldia D1 D2 D3 Toko Cemara Indah E1
1
2
3
1
2
3
1
2
3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
3 3 3
0 0 1
0 2 0
2 0 0
002 020 100
3 6,2 3,6
MS MS MS
0 1 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
000 000 000
<3,6 <3,6 <3,6
MS MS MS
2 3 3
0 2 2
0 0 0
0 0 0
0 0 0
000 000 000
<3,6 <3,6 <3,6
MS MS MS
0 0 0 0 E2 2 1 0 2 E3 2 0 0 2 Hypermart F1 3 2 0 3 F2 3 3 2 3 F3 3 3 2 3 Keterangan : MS: Memenuhi Syarat
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tingkat cemaran E. coli yang tinggi pada daging ayam yang dijual di Toko Aldia diduga karena terjadi kontaminasi silang ketika dilakukan pemotongan menggunakan pisau. Berdasarkan pengamatan langsung, daging ayam yang dijual di Toko Aldia tersedia dalam bentuk utuh sehingga dalam pengambilan sampel daging tersebut harus dipotong dan mempunyai peluang adanya kontaminasi pada bagian dada daging ayam tersebut. Daging ayam dijual bersama dengan produk lain dan higiene personal karyawan yang menangani daging tersebut tidak menggunakan sarung tangan (100%), tidak menggunakan masker (100%) dan penutup kepala dapat menyebabkan tingginya cemaran E. coli. Jumlah cemaran E. coli yang terjadi di pasar tradisional dan modern ini masih sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI, 2009) dimana batas maksimum cemaran E. coli adalah 1 x 101 MPN/g. Uji IMViC yang dilakukan terhadap koloni E. coli dari sampel daging ayam broiler di pasar tradisional yaitu Pasar Oebobo dan Pasar Oeba, dan pasar modern yaitu Toko Aldia menunjukkan E. coli spesifik yang seusai dengan SNI (2008) yang menyatakan E. coli yang spesifik bila hasil reaksi yang muncul dengan pola yaitu Indol berwarna cincin merah (+), MR berwarna merah (+), VP berwarna kuning (-) dan Citrat yang terlihat keruh (-).
Penutup Simpulan Berdasarkan hasil penelitan maka dapat disimpulkan bahwa tingkat cemaran E. coli pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional berbeda dengan daging ayam yang dijual di pasar modern di Kota Kupang. Tingkat cemaran di pasar tradisional lebih tinggi dibandingkan dengan pasar modern namun masih dibawah batas maksimum cemaran E. coli(1 x 101 MPN/g). Rata-rata nilai TPC pada daging ayam di pasar tradisional lebih tinggi dari pasar modern (P<0,05) dan nilai TPC di pasar tradisional melebihi ambang batas maksimum cemaran mikroba sesuai SNI (2009) 1 x 106 CFU/g. Daging ayam broiler yang dijual di pasar tradisional (100%) dan pasar modern (66,6%) di Kota Kupang tidak aman untuk dikonsumsi.
Saran Daging yang dikonsumsi harus dimasak hingga matang agar dapat mematikan mikroba yang ada pada daging yang dibeli di pasar tradisional dan pasar modern sehingga aman dan tidak menimbulkan sakit.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Daftar Pustaka Brooks, G. F., Butel, J. S., Morse S. A. 2005, Mikrobiologi kedokteran, Alih Bahasa. Mudihardi E, Kuntaman,Wasito EB et al. Salemba Medika, Jakarta. Buckle,K. A., Edwards R. A.,Fleet G. H., dan Wooton M. 1985, Ilmu Pangan, (Terjemahan dari Bahasa Inggris oleh H. Purnomo dan Adiono). Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Chotiah, S. 2009,Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam dan Olahannya, Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor. Djaafar, T.F., dan Rahayu, S. 2007, Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian,Penyakit yang Ditimbulkan dan Pencegahannya, Jurnal Litbang Pertanian, 26(2):67-75. Depkes RI. 2001, Prinsip Higiene dan Sanitasi Makanan, Ditjen PPM dan PL, Jakarta. Depkes RI. 2004, Higiene Sanitasi Makanan Dan Minuman, Dirjen PPM dan PL,Jakarta. Dinas Kesehatan Kota Kupang. 2002, Laporan Surveilans Epidemiologi Penyakit Gastrointeritis, Dinas Kesehatan,Kota Kupang. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2003, Kiat memilih daging yang aman dan sehat, Direktorat Kesmavet,Ditjen Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2010, Pedoman Teknis Program Penataan Kios Daging Unggas Di Pasar Tradisional, Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Gustiani, E. 2009, Pengendalian Cemaran Mikroba pada Bahan Pangan Asal Ternak (Daging dan Susu) Mulai dari dari Peternakan sampai dihidangkan, Jurnal Litbang Pertanian 28:96-100. Handayani., Dewi, S., Riti, N., dan Ardana, I.G.P.S. 2004 Cemaran Mikroba Residu Antibiotika Pada Produk Asal Hewan Di Provinsi Bali , NTB, dan NTT. Jurnal Veteriner, VI(1):8-1. Hayes, P. R. 1996,Food Microbiology and HygieneSecond Edition, Chapman and Hall, London. Hidayati, A. Ruhana, R. Cahyani. 2012, Studi Mutu Mikrobiologi Staphylococcus aureus dan Mutu Organoleptik antara Ayam Potong pada Pasar Tradisional dan Pasar swalayan di Kota Malang, Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Jawetz E, J. L. Melnick, Adelberg E. A., BrooksG.F., Butel J. S., & Ornston L. N. 2005, Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology), Terjemahan oleh Eddy Mudihardi et al., Salemba Medika,Jakarta. KepmenkesRI. 2003, 6 Prinsip Hygiene Sanitasi. Keputusan Menteri Kesehatan RI N0. 942/Menkes/SK/VII/2003. Lawrie, R.A. 1996, Ilmu Daging Terjemahan Aminuddin P, Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta Lukman D.W, Suardana, I. W, Swacita I.B. N. 2009, Higiene Pangan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan danKesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Matulessy, D.N. 2011, Analisis Mikrobiologis Karkas Ayam Broiler Beku yang Beredar di Pasar Tradisional Halmahera Utara, Jurnal Agroforestri Vol. VI. Soeparno. 1992, Ilmu dan Teknologi Daging, Gajah Mada University Press, Yogyakarta Standar Nasional Indonesia. 2008, Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur dan Susu, serta Hasil Olahannya, SNI 216 Vol. 14 No. 3 01-2897-2008. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 2009, Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. SNI 01-7388-2009, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 2009, Mutu Karkas Dan Daging Ayam. SNI 3924:2009. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Suardana, I. Wdan Swacita I.B. N, 2009, Higiene Makanan, Udayana University Press,Denpasar. Taha, Siswatiana. 2012, Laporan Penelitan Cemaran Mikroba pada Pangan Asal Hewan di Pasar Tradisional Kota Gorontalo, Universitas Negeri Gorontalo. World Health Organization. 2005,Penyakit Bawaan Makanan, Fokus Pendidikan Kesehatan, ECG, Jakarta. Widyati dan Yuliahsih. 2002,Higiene dan Sanitasi Umum dan Perhotelan, PT Gramedia Widiarsana Indonesia, Jakarta. Yogaswara dan Setia. 2005, Kajian Hasil Monitorng dan Surveilans Cemaran Mikroba dan Residu Obat Hewan pada Produk Asal Hewan Ternak di Indonesia Keamanan Pangan Peternakan, Bogor, Puslitbang Peternakan hal 114-148.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tingkat Cemaran Bakteri Escherichia coli dan Salmonella Sp pada Daging Babi yang Dijual di Pasar Tradisional dan Penjual Daging Eceran di Kota Kupang Setyaningsih Rambu Liwa, Annytha Ina Rohi Detha1, Novalino H.G. Kallau2 1
2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Undana Dosen Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet)Fakultas Kedokteran Hewan Undana 2 Dosen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Undana
Abstrak Daging babi merupakan salah satu komoditi pangan yang harus memenuhi kriteria aman, sehat, dan utuh. Kriteria yang mengindikasikan daging babi aman dan sehat adalah daging babi terbebas dari cemaran bakteri patogen. Masyarakat umumnya memperoleh daging babi segar dari pasar tradisional maupun di tempat penjual daging eceran. Kondisi sanitasi dan higienitas di tempat penjualan daging akan sangat mempengaruhi peluang kejadian cemaran bakteri pada daging. Adapun dua jenis bakteri yang dapat mencemari daging babi yaitu Escherichia coli dan Salmonella sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat cemaran Escherichia coli dan Salmonella sp daging babi yang dijual di pasar tradisional dan penjual daging eceran di kota Kupang. Metode yang digunakan adalah Total Plate Count (TPC), MPN Escherichia coli, dan uji Salmonella. Sampel yang digunakan sebanyak 22 sampel yang berasal dari pasar tradisional dan 5 sampel berasal dari penjual daging eceran. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 27% daging babi yang berasal dari pasar tradisional dan 40% daging babi yang berasal dari penjual daging eceran positif tercemar Escherichia coli. Hasil uji Salmonella menunjukkan sebesar 18% daging babi yang berasal dari pasar tradisional positif tercemar Salmonella sp¸ sedangkan hasil uji sampel daging babi yang berasal dari penjual daging eceran menunjukkan hasil negatif dari cemaran Salmonella sp. Uji TPC menunjukkan hasil uji untuk keseluruhan sampel memiliki tingkat cemaran mikroba diatas standar batas cemaran SNI yaitu diatas 1x104 CFU/g. Dengan ratarata hasil uji TPC sebesar 18220909 CFU/g untuk seluruh sampel yang berasal dari pasar tradisional dan 46520000 CFU/g untuk seluruh sampel yang berasal dari penjual daging eceran. Kata kunci: Daging babi, MPN Escherichia coli, Salmonella, kota Kupang.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pendahuluan Ternak babi merupakan salah satu komoditi hewan ternak yang banyak dipelihara oleh masyarakat lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kebanyakan masyarakat NTT memelihara ternak babi dengan sistem tradisional dan semimodern. Pemeliharaan ternak babi dengan sistem tradisional memiliki ciri; jumlah ternak yang sedikit, penggunaan teknologi rendah, tenaga kerja merupakan anggota keluarga, dengan profit rendah. Pemeliharaan ternak babi dengan sistem semi-modern yang merupakan peralihan dari sistem tradisional, ciri sistem pemeliharaan ini adalah jumlah ternak sedikit namun penggunaan teknologi tinggi, tenaga kerja merupakan anggota keluarga dan profit sedang. UU No 18 tahun 2012 menyebut pangan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Ternak babi menghasilkan produk pangan berupa daging, jeroan, dan kulit. Daging babi merupakan produk pangan utama yang dihasilkan oleh ternak babi. Tercatat dari laporan penelitian SADI-ACIAR (Johns et al., 2010) diperoleh data statistik ternak babi di provinsi NTT, berturut-turut sejak tahun 2002-2006 tercatat jumlah populasi ternak babi yaitu 1.170.473 ekor, 1.225.040 ekor, 1.276.166 ekor, 1.319.237 ekor, dan 1.363.761 ekor. Data statistik Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan(Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2012) tercatat populasi ternak babi berturut-turut sejak tahun 2007-2009 berjumlah; 1.457.549 ekor, 1.533.072 ekor, 2.266.750 ekor. Data statistik tahun 2010 berjumlah 1.637.351 ekor ternak babi (Kementerian Pertanian, 2011). Terlihat adanya variasi angka jumlah pemotongan babi di wilayah NTT yang terdaftar sejak tahun 2002-2006. Pada tahun 2002 berjumlah 468.189 ekor dengan hasil produksi mencapai 15.801 ton, tahun 2003 berjumlah 102.572 ekor dengan hasil produksi mencapai 16.538 ton, tahun 2004 berjumlah 111.367 ekor dengan hasil produksi mencapai 18.793 ton, tahun 2005 berjumlah 115.117 ekor
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
dan hasil produksi mencapai 19.368 ton, dan tahun 2006 berjumlah 119.002 ekor dengan hasil produksi mencapai 20.022 ton. Data populasi ternak babi untuk wilayah kota Kupang, pada tahun 2006 berjumlah 22.028 ekor dengan presentase 1,61% dari total populasi ternak babi di seluruh NTT (Johns et al., 2010). Peningkatan populasi berhubungan dengan jumlah pemotongan ternak babi. Hal ini mengindikasikan peningkatan kebutuhan daging babi oleh masyarakat provinsi NTT, namun peningkatan kebutuhan daging babi tidak didukung penjaminan kualitas dan mutu daging babi yang diproduksi, diakibatkan oleh rendahnya tindakan pemotongan ternak babi yang resmi di rumah potong hewan (RPH), terbukti dengan banyaknya ternak babi yang dipotong di luar tempat pemotongan hewan yang telah ditentukan. Selama tahun 2002-2006 terdapat 650.000 ekor babi yang dipotong di luar RPH (Johns et al., 2010). Daging babi penting untuk memenuhi syarat aman, sehat, dan utuh. Aman berarti daging tidak tercemar bahaya biologi, kimiawi dan fisik serta tidak tercemar benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Sehat berarti daging memiliki zat-zat yang dibutuhkan, berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh manusia, zat gizi meliputi unsur makro seperti karbohidrat, protein dan lemak serta unsur mikro seperti vitamin dan mineral. Utuh berarti daging tidak di campur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau bagian dari hewan lain. Beragam ancaman kerusakan daging babi meliputi kerusakan fisik, kerusakan mekanis, kerusakan biologis, dan kerusakan mikrobiologi. Kerusakan fisik disebabkan perlakuan-perlakuan fisik seperti keberadaan benda asing (kayu, kerikil, atau rambut, dll). Kerusakan mekanis disebabkan adanya benturanbenturan mekanis. Kerusakan biologis disebabkan kerusakan fisiologis (jaringan), serangga, dan binatang pengerat, dll. Kerusakan mikrobiologi disebabkan oleh bakteri, kapang, dan khamir (Susiwi, 2009). Cemaran mikrobiologi pada daging babi mampu menyebabkan penyakit asal makanan atau Foodborne disease. Cemaran mikrobiologi pada daging babi diakibatkan kurangnya tindakan sanitasi dan higienitas. Peraturan Pemerintah RI No 95 tahun 2012, sanitasi adalah usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
rantai perpindahan penyakit tersebut. Higiene adalah seluruh kondisi atau tindakan untuk meningkatkan kesehatan. Kurangnya tindakan sanitasi dan higienitas meningkatkan peluang kejadian kerusakan daging secara mikrobiologi. Kerusakan mikrobiologi dapat terjadi selama proses pemotongan hewan, penanganan dan penyimpanan daging pada tempat pemotongan hewan, proses distribusi daging, pada tempat penjualan, hingga ke tangan konsumen. Tempat penyimpanan daging pada lapak penjualan yang kurang bersih dan terbuka dapat menjadi sarana tempat berkembangnya mikroba patogen yang dapat mencemari daging. Penjualan daging babi secara tradisional yang dilakukan di pasar-pasar tradisional dan penjual daging eceran di kota Kupang perlu mendapat perhatian dan pengawasan khusus akan bahaya cemaran mikroorganisme patogen yang mampu mencemari daging babi. Mikroorganisme patogen yang sering mencemari daging babi yang dijual ialah Escherichia coli dan Salmonella sp. Hasil penelitian Hendrayana dkk. (2012) di kota Denpasar Bali, menunjukkan adanya cemaran Escherichia coli dan Escherichia coli serotype O157:H7 pada daging babi yang dijual di pasar-pasar tradisional di kota Denpasar Bali. Dari 31 sampel penelitian daging babi yang diambil dari pedagang daging babi di 24 pasar tradisional dan 7 pasar modern di seluruh kota Denpasar, didapati 12 sampel daging babi positif mengandung Escherichia coli dan sebanyak 6 sampel daging babi lainnya positif mengandung Escherichia coli serotipe O157:H7. Penelitian lainnya yang menunjukkan kejadian cemaran bakteri pada daging babi juga pernah dilakukan di kota Kupang. Cemaran bakteri yang diteliti adalah produk olahan daging babi (se’i) yang dijual pada beberapa rumah makan di kota Kupang. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Simamora dkk. (2013) berjudul ‘Kualitas Daging se’i Babi di Kota Madya Kupang Ditinjau dari Total Coliform dan pH’, diambil sampel dari enam tempat pembuatan daging se’i babi secara tradisional yang terbesar di kelurahan Oebufu, Oebobo dan Baun. Hasil penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa keenam sampel daging se’i babi yang dipasarkan di enam tempat pembuatan daging se’i babi di kota Kupang tercemar bakteri Coliform dan rata - rata sampel daging se’i memiliki pH 6.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Penelitian serupa yang dilakukan oleh Raza dkk. (2012) mengenai ‘Beban Cemaran Bakteri Escherichia coli pada Daging Asap Se’i Babi yang Dipasarkan di kota Kupang’. Penelitian ini menunjukkan hasil yang sama yakni jumlah kandungan bakteri Escherichia coli dari ke-enam sampel, sudah melebihi batas maksimum cemaran bakteri Escherichia coli pada daging asap. Antara dkk. (2008) dalam penelitian “Tingkat Cemaran Bakteri Coliform, Salmonella sp, dan Stapylococcus aureus pada Daging Babi”, hasil penelitian menunjukkan rata-rata tingkat cemaran bakteri Coliform, Salmonella sp, dan Stapylococcus aureus pada tempat pemotongan terlihat meningkat dari awal sampai akhir pemotongan. Beberapa penelitian diatas menunjukkan bahwa kejadian cemaran mikroorganisme patogen seperti dari kelompok bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp sangat mudah terjadi pada daging babi di berbagai tempat penjualan dan pada berbagai wilayah di kota Kupang. Berdasarkan pada hasilhasil
penelitian
di
atas
serta
belum
adanya
informasi
terbaru
yang
menggambarkan tingkat cemaran bakteri patogen pada daging babi mentah di kota Kupang maka dilakukan penelitian tentang “Tingkat Cemaran Bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp pada Daging Babi yang di Jual di Pasar Tradisional dan Penjual Daging Eceran di Kota Kupang”.
Materi dan Metode Sampel yang digunakan dalam penelitian ini ialah daging babi segar dari 5 pasar tradisional di kota Kupang yaitu pasar kasih Naikoten sebanyak 8 sampel, Pasar Oebobo 2 sampel, dan Pasar Oeba 10 sampel, pasar Kuanino 1 sampel, pasar Oesapa 1 sampel. Sampel asal penjual daging eceran diambil sebanyak 5 sampel dimana masing-masing 1 sampel yang diambil pada lokasi daerah TDM, Oesapa, Oebobo, dan 2 sampel di daerah Naimata, Penelitian dilaksanakan bertempat di Laboratorium UPT Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT yang berlokasi di jalan Timor Raya Km 7 Oesapa. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 minggu yang dimulai pada bulan April sampai Mei 2014.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Peralatan yang digunakan meliputi cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetric, botol media, penghitung koloni (colony counter), gunting, pinset, jarum inokulasi (ose), stomacher, pembakar bunsen, timbangan, inkubator, penangas air, autoklaf, lemari steril (clean bench), lemari pendingin (refrigerator). Bahan yang digunakan meliputi PCA ( Plate Count Agar), BPW 0,1 % (Buffered Pepton Water 0,1%), BGLBB (Brilliant Green Lactose Bile Broth), LSTB (Lauryl Sulfate Tryptose Broth), ECB (Escherichia Coli Broth), L-EMBA (Levine Eosin Methylene Blue Agar),
LB (Lactose Broth), RV(Rappapport
Vassiliadis), HEA (Hektoen Enteric Agar), TSIA (Triple Sugar Iron Agar), LIA (Lysine Iron Agar), MR-VP (Methyl Red-Voges Proskauer;), TB (Tryptose Broth), SIM, Reagen Kovac, Urea Broth. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode Total Plate Count (TPC), pengujian MPN Escherichia coli, dan pengujian Salmonella sp.
Hasil Terdapat 6 sampel daging babi positif tercemar Escherichia coli yaitu 3 sampel yang berasal dari pasar Oeba, 2 sampel yang berasal dari pasar kasih Naikoten, dan 1 sampel yang berasal dari pasar Oebobo. Nilai MPN Escherichia coli tertinggi dimiliki oleh sampel ke 4 yang berasal dari pasar kasih Naikoten dengan nilai tertinggi 16 MPN/g. Rata-rata nilai MPN 6 sampel tersebut adalah 1,55 MPN/g. Kondisi penjualan daging babi pada masing-masing pasar tradisional sebagai berikut;
Daging babi yang dijual di pasar Oeba diletakkan secara terbuka tanpa penutup diatas meja yang terbuat dari kayu dan dilapisi dengan kardus bekas kemasan produk lain. Para pedagang tidak menggunakan peralatan khusus dalam menangani daging seperti sarung tangan dan apron, lokasi penjualan sangat berdekatan dengan tempat parkir dan tempat penjualan tidak berada dalam suatu ruangan tertutup, serta para pembeli dapat dengan bebas memegang dan memilih daging babi yang dijual.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Kondisi tempat penjualan daging babi di pasar kasih Naikoten relatif lebih kotor dibandingkan dengan pasar lainnya. Lantai tempat penjualan becek dan cukup kotor. Daging diletakkan diatas kardus diatas meja penjualan yang terbuat dari semen. Lokasi penjualan relatif dekat dengan tempat penjualan ternak ayam, pembeli dapat memegang daging secara bebas, pedagang tidak menggunakan sarung tangan ataupun apron saat menjual daging.
Daging babi asal pasar Oebobo dijual secara terbuka pada meja yang terbuat dari semen dan dilapisi dengan kardus. Pada meja tempat penjualan daging masih terlihat sisa-sisa darah yang mulai menghitam meninggalkan bekas pada permukaan meja. Pedagang tidak menggunakan sarung tangan dan apron, pembeli dapat dengan bebas memegang daging. Lokasi penjualan terletak dipinggiran pasar.
Tempat penjualan daging babi di pasar Oesapa relatif kering dan berada di sekitar tempat pedagang sayuran. Penjual daging di pasar ini memakai apron saat berjualan namun tidak menggunakan sarung tangan. Daging diletakkan di atas meja kayu dilapisi dengan kardus. Pembeli memegang daging yang akan dijual secara bebas.
Tempat penjualan daging babi di pasar Kuanino terletak pada bagian belakang pasar dan berdekatan dengan tempat penjualan ikan. Daging diletakkan langsung pada permukaan meja penjualan tanpa dilapisi dengan bahan apapun dan diletakkan secara terbuka serta lokasi tempat penjualan becek. Penjual tidak menggunakan sarung tangan ataupun apron. Pembeli dapat langsung memegang daging yang akan dibeli. Lingkungan tempat sekitar tempat penjualan daging becek. Hasil identifikasi perbandingan tingkat cemaran bakteri Escherichia coli
dalam daging babi pada lokasi penjual daging eceran.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Terdapat 2 sampel daging babi positif tercemar Escherichia coli yaitu 1 sampel yang berasal dari penjual daging eceran TDM dan 1 sampel berasal dari penjual daging eceran Naimata. Nilai MPN Escherichia coli tertinggi dimiliki oleh sampel dari penjual daging eceran Naimata dengan nilai tertinggi 120 MPN/g. Rata-rata nilai MPN 2 sampel tersebut adalah 25,22 MPN/g. Secara umum keseluruhan kondisi tempat penjualan daging yang dijual oleh penjual daging eceran memiliki kesamaan yaitu daging dijual dengan cara digantungkan pada sebuah tiang tempat jualan. Lokasi penjualan daging sangat berdekatan dengan jalan raya dengan jarak sekitar 1,5 m dari jalan raya. Daging yang dijual dibiarkan pada tiang gantungan tanpa ada penutup sehingga daging langsung berhubungan dengan udara bebas. Selain itu daging langsung terkena sinar matahari dan polutan yang berasal dari kendaraan yang melewati jalan raya dan pembeli dapat memilih dan memegang daging yang akan dibelinya dengan bebas. Penjual tidak menggunakan sarung tangan ataupun apron atau pelindung diri saat menjual daging tersebut. Kondisi lingkungan tempat penjualan cenderung kering dan tidak becek. Secara garis besar hasil dari penjual daging eceran dapat diamati pada Gambar 2 grafik tingkat nilai MPN Escherichia coli dalam daging babi asal penjual daging eceran. Hasil pengujian statistik Fisher’s exact test terhadap ada tidaknya perbedaan frekuensi kejadian cemaran bakteri Escherichia coli didapati kesimpulan bahwa “Tidak terdapat perbedaan frekuensi cemaran Escherichia coli dalam daging babi yang dijual di pasar tradisional dengan penjual daging eceran di kota Kupang”. Kesimpulan merupakan hasil dari penerimaan H0 akibat nilai ρ-value>α, yaitu 0,616 > 0,05. Data kualitatif hasil pengujian Salmonella sp dalam daging babi segar asal pasar tradisional dan penjual daging eceran ditampilkan dalam tabel 1 dan tabel 2
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 1. Hasil Identifikasi Salmonella sp pada Daging Babi di Lokasi Penjualan di Pasar Tradisional Lokasi pengambilan sampel Pasar oeba Pasar kasih naikoten Pasar oebobo Pasar oesapa Pasar kuanino
Jumlah sampel
Hasil uji Positif Negatif
10 8
0 3
10 5
2 1 1
1 0 0
1 1 1
Tabel 2.Hasil Identifikasi Salmonella sp pada Daging Babi yang Dijual oleh Penjual Daging Eceran Lokasi Jumlah Hasil Uji Pengambilan Sampel Positif Negatif Sampel Penjual 1 0 1 eceran TDM Penjual 2 0 2 eceran Naimata Penjual 1 0 1 eceran Oesapa Penjual 1 0 1 eceran Oebobo Terdapat 4 sampel daging babi yang berasal dari dua pasar tradisional positif tercemar Salmonella sp yaitu sampel yang berasal dari pasar kasih Naikoten dan sampel daging babi yang berasal dari pasar Oebobo. Sampel daging babi asal penjual daging eceran dinyatakan negatif ataupun bebas dari cemaran Salmonella sp. Hasil identifikasi Salmonella sp dalam daging babi diperoleh setelah melakukan uji biokimia IMViC dan uji Urease. Hasil pengujian statistik Fisher’s exact test terhadap ada tidaknya perbedaan frekuensi kejadian cemaran bakteri Salmonella sp di dapati kesimpulan bahwa
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
tidak terdapat perbedaan frekuensi cemaran bakteri Salmonella sp dalam daging babi yang dijual di pasar tradisional dengan penjual daging
eceran di kota
Kupang, dimana nilai ρ-value > α yaitu 0,616 > 0,05.
Tabel 3. Nilai TPC daging babi asal penjual di pasar tradisional Kode Sampel 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 60 61 62 63 64 65 66 67 69 76 77
Hasil uji (CFU/g) 9.7x105 5x105 5x105 3.9x106 7x106 4.9x106 1.14x107 7.9x105 6.7x105 8 x 106 9x107 2.31x106 1.29x108 2.9x106 1.43x106 7.9x105 1.1x106 7.4x107 6.2x106 3.2 x 107 1.9 x 107
TPC Standar SNI (CFU/g) 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104
Keterangan; Pasar Oeba : kode sampel 32-41; Pasar Kasih Naikoten : Kode sampel 6067; Pasar Oebobo: kode sampel 68-69; Pasar Oesapa: kode sampel 76; Pasar Kuanino: kode sampel 77;
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 4. Nilai TPC daging babi asal penjual daging eceran TPC Penjual eceran TDM Naimata Oesapa Oebobo
Hasil Uji (CFU/g) 2.6x107 3.2x107 1.79x108 8.2x106 7.4 x 106
Standar SNI (CFU/g) 1x104 1x104 1x104 1x104 1x104
Hasil uji statistik Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan hasil uji nilai TPC sampel daging babi yang berasal dari pasar tradisional dan penjual daging eceran dimana rata-rata hasil uji TPC untuk sampel yang berasal dari pasar tradisional adalah 18.220.909 CFU/g dan rata-rata hasil uji TPC untuk sampel yang berasal dari penjual daging eceran adalah 4.6520.000 CFU/g. Nilai rata-rata uji TPC menunjukkan sampel daging babi asal pasar tradisional memiliki nilai TPC lebih besar dibandingkan dengan nilai TPC sampel daging babi asal penjual daging eceran.
Pembahasan Pengujian terhadap frekuensi cemaran Escherichia coli dan Salmonella sp yang terkandung dalam daging babi yang dijual di pasar tradisional maupun di penjual daging eceran menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan. Kedua lokasi yang diteliti sama-sama memiliki frekuensi cemaran mikroba yang tinggi serta cemaran bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp yang tidak jauh berbeda pada daging babi yang dijual. Hasil ini kemudian merujuk pada kesimpulan bahwa kedua tempat penjual baik itu pasar tradisional dan penjual daging eceran memiliki peluang adanya cemaran mikroba terutama bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp yang sama. Sebanyak 27% daging babi asal pasar tradisional dan 40% daging babi asal tempat penjual daging eceran teridentifikasi positif tercemar bakteri Escherichia coli. Sebesar 18% daging babi asal pasar tradisional positif tercemar bakteri
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Salmonella sp. Sampel daging babi asal penjual daging eceran dinyatakan negatif dari cemaran bakteri Salmonella sp. Seluruh sampel daging babi memiliki nilai uji TPC diatas standar SNI. Hasil persentase tersebut memberikan arti adanya bahaya yang cukup besar bagi kesehatan masyarakat dikarenakan permasalahan kurang sempurnanya jaminan keamanan daging babi yang dijual baik di pasar tradisional maupun pada tempat penjualan daging eceran terhadap cemaran bakteri. Hal ini berhubungan dengan bahaya perkembangan dari bakteri yang terkandung dalam daging babi tersebut. Cemaran Escherichia coli dan Salmonella sp dalam daging babi yang telah terkontaminasi sebelumnya dapat terus meningkat jumlahnya seiring dengan pertambahan waktu hingga dapat mencapai jumlah yang lebih besar atau sampai pada tingkat yang mampu menjadi dosis infektif yang menimbulkan sakit apabila dikonsumsi oleh manusia. Kemungkinan ini masih ditunjang oleh peluang kontaminasi lanjutan yang terjadi ditempat penjualan hingga ketangan konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daging babi segar merupakan lingkungan yang sangat baik sebagai tempat sumber nutrisi yang dapat mendukung perkembangan bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp. Berdasarkan pada hasil observasi dan hasil pengujian terhadap frekuensi cemaran Escherichia coli dan Salmonella sp pada daging babi asal pasar tradisional dan penjual daging eceran, maka dapat dikaitkan antara keduanya. Kondisi tempat penjualan daging babi baik pada tempat penjualan di pasar tradisional dan penjual daging eceran sama-sama memiliki kondisi sanitasi lingkungan yang buruk. Hygiene personal penjual daging baik di pasar tradisional maupun di tempat penjual daging eceran sama-sama kurang diperhatikan, dimana penjual tidak menggunakan apron dan sarung tangan saat melakukan penanganan terhadap daging yang dijual. Daging babi yang dijual dibiarkan terbuka pada tempat penjualan sehingga dapat kontak dengan udara dan kontaminan lainnya asal lingkungan sekitar. Perilaku pembeli menyentuh daging yang dijual dapat menjadi sumber cemaran mikroba pada daging. Sumber penularan Escherichia coli dan Salmonella sp pada daging babi dapat pula berasal dari peralatan yang kurang bersih dalam proses penyiapan daging. Penggunaan air yang telah terkontaminasi bakteri sebelumnya untuk
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
mencuci daging dapat menjadi sumber pencemaran bakteri bagi daging. Adanya vektor disekitar tempat penjualan dapat ikut menjadi sumber penularan bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp asal lingkungan kedalam daging babi. Bahaya yang ditimbulkan dari cemaran bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp dapat dikurangi dengan menjaga sanitasi dan higienitas peralatan pada tempat pengolahan daging baik itu pada lokasi pemotongan hewan, saat distribusi, dan saat penjualan baik di pasar tradisional maupun di tempat penjualan daging eceran. Selain itu sangat diperlukan menjaga kebersihan diri dari para pekerja yang secara langsung bersentuhan dengan daging. Daging yang dijual di pasar ataupun di tempat penjualan eceran sebaik dimasukkan kedalam wadah tertutup dan ditempatkan di dalam alat pendingin untuk mencegah kontaminasi dari lingkungan penjualan dan menghambat pertumbuhan dari bakteri yang mengkontaminasi. Tindakan memasak daging babi sampai pada suhu 65 ˚C atau diatasnya mampu mematikan bakteri Escherichia coli, memanaskan kembali masakan dan menyimpan pangan di dalam lemari es pada suhu 4 ˚C atau kurang merupakan cara untuk mengontrol bakteri Escherichia coli. Memasak daging secara sempurna dapat mencegah infeksi bakteri Salmonella sp melalui daging babi. Selain itu tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi dari bakteri Salmonella sp asal daging antara lain mencuci tangan secara menyeluruh sebelum dan setelah penanganan daging babi mentah, menggunakan peralatan yang bersih untuk menyiapkan hidangan daging babi,
mencuci peralatan, papan dan
permukaan alat potong secara menyeluruh dengan air sabun panas dan membilas sebelum digunakan untuk menyiapkan pangan lainnya.
Kesimpulan dan Saran Terdapat kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella sp pada daging babi yang dijual di pasar tradisional dan di tingkat penjual daging eceran yang ada di kota Kupang. Hal ini terbukti dari ditemukannya cemaran Escherichia coli pada 6 sampel daging babi yang berasal dari pasar tradisional dan 2 sampel yang berasal dari penjual daging eceran. Selain itu hasil uji TPC untuk keseluruhan sampel
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
menunjukkan hasil uji diatas batas standar cemaran mikroba yang diizinkan oleh SNI. Rata-rata hasil uji TPC menunjukkan 22 sampel daging babi yang berasal dari pasar tradisional memiliki rata-rata nilai TPC sebesar 18.220.909 CFU/g dan rata-rata 5 sampel daging babi yang berasal dari penjual daging eceran sebesar 46.520.000 CFU/g. Rata-rata hasil uji MPN Escherichia coli pada sampel daging babi yang berasal dari pasar tradisional sebesar 1,5 MPN/g, sedangkan rata-rata hasil uji MPN Escherichia coli pada sampel daging babi yang berasal dari penjual daging eceran sebesar 25,22 MPN/g. Hasil uji statistik untuk frekuensi cemaran Escherichia coli dan Salmonella sp menujukkan hasil tidak ada perbedaan signifikan tingkat cemaran bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp dalam daging babi yang dijual di pasar tradisional dan di tempat penjual daging eceran. Dengan kata lain, daging babi baik yang berasal dari pasar tradisional maupun yang berasal dari penjual eceran masih memiliki kekurangan dalam pemenuhan persyaratan aman. Penelitian yang dilakukan masih sangat terbatas pada identifikasi bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp dalam daging babi, sehingga belum diketahui jumlah cemaran mikroba lainnya pada daging babi yang di jual di wilayah kota Kupang. Belum diketahui secara pasti jumlah kuantitatif bakteri Salmonella sp yang mencemari daging babi asal pasar tradisional dan asal penjual daging babi eceran. Disarankan bagi calon peneliti lainnya yang tertarik dalam bidang ini untuk dapat melanjutkan penelitian ini dengan ikut meneliti hal-hal tersebut diatas.
Daftar Pustaka Antara, S.N., Dauh, I.B.D.U. dan Utami N.M.I.S. 2008, Tingkat Cemaran Bakteri Coliform, Salmonell sp., dan Staphylococcus aureus pada Daging Babi, Tesis, MSc, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Bali. Afiati fifi. 2009, Pilih-Pilih Daging ASUH, BioTrends/Vol.4, 7 Juni 2014. Hendrayana, M.A., Pinatih, K.J.P., Yelly, A., 2012, Deteksi Bakteri Escherichia Coli Serotipe O157 Pada Daging Babi Dari Pedagang Daging Babi Di Kota Denpasar. Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol 43 No 1.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Johns, C. Cargill, C. Patrick, I. 2010, Budidaya Ternak Babi Komersial oleh Peternak Kecil di NTT – Peluang untuk Integrasi Pasar yang Lebih Baik, ACIAR GPO Box 1571 Canberra ACT 2601 Australia, Australian Centre for International Agricultural Research, Australia. Kementerian Pertanian. 2009. Peraturan Menteri Pertanian, Nomor 20/Permentan/Ot.140/4/2009, tentang Pemasukan Dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, Dan/Atau Jeroan Dari Luar Negeri, Jakarta. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Kementerian Keuangan. 2012. Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Daerah, NTT, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman penataan budidaya ternak babi ramah lingkungan. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Jakarta, Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan. Mangisah Istna. 2003, Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Babi, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang. Presiden Republik Indonesia. 2012, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 95 Tahun 2012012, tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dan Kesejahteraan Hewan, Jakarta. Presiden Republik Indonesia. 1983, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1983, tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, Jakarta. Presiden Republik Indonesia. 2012, Undang - Undang Republik Indonesia, Nomor 18 Tahun 2012, tentang Pangan, Jakarta. Pejabat Presiden Republik Indonesia. 1967, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan Dan Kesehatan Hewan, Jakarta. Quinn, P.J., Markey, B.K., Carter, M.E., Donnelly, W.J., Leonard, F.C. 2014. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Balckwell Science, USA. Rao Sridhar. 2006, IMViC Reactions, JJMMC, Davangere. Raza U.M. E., Suada, K., Mahatmi, H. 2012, Beban Cemaran Bakteri Escherichia Coli Pada Daging Asap Se’i Babi yang Dipasarkan di Kota Kupang, Indonesia Medicus Veterinus, ISSN : 2301-7848. Simamora, A.K, Suarjana, I.G.K, Suada, I.K. 2013, Kualitas Daging Se’i Babi Di Kota Madya Kupang Ditinjau Dari Total Coliform Dan pH, Indonesia Medicus Veteriner, ISSN: 2301-7848.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Soeparno. 2011, Ilmu nutrisi dan gizi daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Indonesia. Standar Nasional Indonesia. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Bada Standar Nasional, Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam Daging, telur, dan susu, serta hasil olahannya. Badan Standar Nasional, Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. Badan Standar Nasional, Jakarta. Sugiyono. 2013. Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta, Bandung. Indonesia. Susiwi. 2009. Kerusakan Pangan. Dilihat 4 Maret 2014 (http://file.upi.edu/). Sugiantto Tantri. 2012, Uji Salmonella, Dilihat 28 Mei 2014 http://tantrisugianto.blogspot.com/).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
PENGARUH METODE VAKSINASI ANTRAKS DAN WAKTU PENGUKURAN TERHADAP SYOK ANAFILAKSIS DAN BEBERAPA PARAMETER FISIOLOGIS PADA KAMBING
Fonny I. Lalus1, Maxs U.E Sanam 2, Elisabet Tangkonda2 1
2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Undana Dosen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Undana
Abstrak Antraks merupakan salah satu penyakit infeksius dan bersifat zoonosis yang masih endemik di Indonesia. Pencegahan penyakit ini dilakukan dengan cara vaksinasi yang mana pada kambing sering menimbulkan masalah pasca vaksinasi. Oleh karenanya WHO merekomendasikan agar vaksinasi dilakukan dalam dua jadwal inokulasi yakni aplikasi pertama sebanyak ¼ dosis kemudian dilanjutkan dosis penuh sebulan kemudian.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan parameter fisiologis (mencakup suhu, pulsus dan respirasi) dan syok anafilaksis pada kambing yang dikenakan metode vaksinasi antraks yang berbeda yakni antara dosis penuh secara langsung dan preinokulasi dosis sebelum diberikan dosis penuh 1 bulan kemudian serta ada tidaknya perbedaan berdasarkan waktu pengukuran pagi, siang dan sore hari. Kambing yang digunakan berjumlah 15 ekor yang dibagi ke dalam 3 kelompok masing-masing terdiri dari 5 ekor,yaitu A1 (kontrol), A2 (¼ dosis), A3 (dosis penuh).Data pengukuran parameter fisiologis dianalisis menggunakan Analisis varian dan uji lanjut menggunakan metode Tukey pada taraf 5% sedangkan syok anafilaksis dijabarkan secara kualitatif. Hasil perlakuan menunjukkan bahwa tidak terjadi syok anafilaksis baik pada kelompok A2 maupun A3. Hasil pengukuran parameter fisiologis (suhu, pulsus dan frekuensi respirasi) yang lebih tinggi ditunjukkan pada kelompok yang diberikan dosis penuh pada tahap pertama maupun tahap kedua. Pulsus cenderung sama antar waktu pengukuran, sedangkan suhu tubuh dan frekuensi respirasi pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan siang dan sore hari. Kata kunci: antraks, metode vaksinasi, suhu tubuh, pulsus, frekuensi respirasi, syok anafilaksis. Pendahuluan Antraks merupakan salah satu penyakit infeksius yang sangat berbahaya bagi hewan dan bersifat zoonosis sehingga berbahaya pula bagi manusia. Penyakit ini masih endemik pada berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia. Menurut
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Adji (2006) pencegahan dan pengendalian antraks di daerah endemik dilakukan dengan cara vaksinasi. Vaksinasi dilakukan agar hewan memiliki antibodi yang spesifik terhadap agen penyakit sehingga ketika terpapar oleh penyakit tersebut, sistem imun dapat mengeliminasinya. Vaksin pada prinsipnya merupakan substansi yang berasal dari agen penyakit yang berperan sebagai antigen untuk memicu respon imun tubuh sehingga ketika dimasukkan ke dalam tubuh, dapat memberikan kekebalan, tetapi terkadang memberikan respon tubuh yang buruk. Vaksinasi antraks pada kambing sering menimbulkan masalah berupa reaksi syok anafilaksis bahkan kematian yang berdampak buruk pada keberhasilan program vaksinasi yang diharapkan (Wahyuni, 2010). Hal tersebut dikarenakan galur vaksin ini masih mampu mempertahankan virulensinya pada ternak kambing, domba dan ilama sehingga perlu perhatian dan kehati-hatian dalam penggunaannya (Handayani, 2010). Keberhasilan program vaksinasi antraks sangat dipengaruhi oleh status hewan, vaksin yang dipergunakan serta metode pemberian termasuk dosis yang diberikan (Wahyuni, 2010). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka salah satu hal yang perlu ditinjau adalah metode yang digunakan dalam pemberian vaksin antraks pada kambing, sehingga disamping menghasilkan kekebalan yang optimum, vaksinasi tidak memicu respon tubuh yang buruk. World Health Organization (2008) merekomendasikan aplikasi vaksin antraks dilakukan dalam dua jadwal inokulasi yakni aplikasi pertama sebanyak ¼ dosis kemudian dilanjutkan dosis penuh sebulan kemudian. Pemantauan terhadap status fisiologis tubuh berupa suhu, pulsus dan respirasi pasca vaksinasi diperlukan untuk mencegah kejadian yang menyimpang ataupun mengarah pada syok anafilaksis dan dampak buruk pasca vaksinasi lainnya. Status fisiologis dari ternak dalam satu hari saja dapat terjadi fluktuasi yang disebabkan oleh faktor lingkungan yang berfluktuasi. Hal ini akan diketahui bila dibandingkan antara pagi, siang dan sore hari (Yada, 1999). Berdasarkan pendapat tersebut maka pengaruh waktu pengukuran pun perlu diteliti untuk melihat besarnya pengaruh dari lingkungan terhadap status fisiologis kambing, selain pengaruh dari vaksinasi antraks itu sendiri.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Materi Dan Metode Penelitian ini diadakan selama tiga bulan yakni sejak bulan Maret- Mei 2014
bertempat
di
kandang
percobaan
Sekolah
Menengah
Kejuruan
Pembangunan Pertanian Kupang dan peternakan rakyat Desa Kuimasi, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang. Penelitian ini menggunakan ternak kambing kacang jantan sebanyak 15 ekor dengan kisaran umur 1 hingga 2 tahun dalam kondisi sehat yang dibagi dalam 3 kelompok percobaan, yaitu A1 : 5 ekor kambing dengan pemberian aquades injeksi 0,5 cc (kontrol), A2 : 5 ekor kambing dengan pemberian vaksin antraks ¼ dosis (dosis anjuran WHO : 0,125 cc), A3 : 5 ekor kambing dengan pemberian vaksin antraks dengan dosis penuh (0,5 cc). Bahan yang
digunakan
adalah vaksin Antraks (Anthravet, produksi
Pusvetma Surabaya), kapas dan alkohol. Peralatan yang digunakan adalah spuit 1 cc, termometer dan stopwatch. Suhu, pulsus dan respirasi diukur pasca perlakuan dengan menempatkan termometer pada rektum selama 1 menit sebelum diambil dan dibaca. Pengukuran suhu dilakukan pada semua unit penelitian selama lima hari berturut-turut, 3 kali sehari yakni pagi hari (pukul 07.00), siang (pukul 12.00) dan sore hari (pukul 17.00). Pasca pengulangan vaksinasi (booster) pada Unit A2 1 bulan kemudian, pengukuran dilakukan selama 5 hari dengan frekuensi sebanyak 3 kali sehari yakni pagi hari (pukul 07.00), siang (pukul 12.00) dan sore hari (pukul 17.00). Syok anafilaksis diamati pasca perlakuan dan dijabarkan dalam bentuk kualitatif. Analisis data perbedaan rata-rata perlakuan menggunakan Analysis of variance (analisis varian) dan uji lanjut dengan menggunakan Uji Tukey.
Hasil Dan Pembahasan Hasil penelitian pada unit-unit yang diberikan vaksin antraks (unit pada kelompok A2 dan A3) tidak menunjukkan reaksi anafilaksis yang signifikan. Pasca vaksinasi tidak ditemukan unit penelitian dengan gejala klinis syok anafilaksis secara sistemik seperti penurunan pulsus yang signifikan (akibat
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
vasodilatasi pembuluh darah), pembengkakan tenggorokan, gagal nafas maupun penurunan kesadaran pada kambing yang diberi vaksin. Kejadian yang tampak hanyalah reaksi kesakitan pasca vaksinasi yang berbeda baik pada kelompok A2 maupun A3. Hasil pengamatan pasca vaksinasi menunjukkan bahwa unit pada kelompok A3 memiliki respon kesakitan yang lebih tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan volume injeksi vaksin yang lebih banyak yaitu dosis penuh sebanyak 0,5 cc dibanding dengan kelompok A2 yang hanya diberikan vaksin sebanyak 0,125 cc.
Suhu Tubuh Kambing Rata-Rata Suhu Tubuh Berdasarkan Waktu Pengukuran Tabel 1. Rata-rata suhu tubuh harian kambing berdasarkan waktu pengukuran Unit
Waktu pengukuran
Penelitian
Pagi
Siang
Sore
A1.1
38,85
39,38
39,31
A1.2
38,74
39,38
39,32
A1.3
38,75
39,21
39,18
A1.4
38,55
39,22
39,15
A1.5
38,92
39,54
39,47
A2.1
38,60
38,94
39,35
A2.2
38,40
39,41
39,38
A2.3
38,79
39,27
39,38
A2.4
38,56
38,85
39,15
A2.5
38,61
39,02
39,05
A3.1
38,61
38,99
39,33
A3.2
38,44
38,55
38,87
A3.3
38,66
38,89
39,36
A3.4
38,74
38,88
39,06
A3.5
38,64
38,74
38,98
Total
579,86
586,27
588,34
Rata-rata
38,65
39,08
39,22
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Rata-rata suhu kambing tertinggi yaitu pada sore hari, diikuti siang dan pagi hari. Hasil analisis varian menunjukkan adanya perbedaan suhu tubuh kambing secara nyata antar waktu pengukuran. Suhu tubuh sore dan siang lebih tinggi daripada suhu pada pagi hari disebabkan oleh suhu lingkungan yang berangsur meningkat dari siang hingga sore hari akibat peningkatan radiasi matahari. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa peningkatan suhu terjadi sejalan dengan peningkatan besarnya radiasi matahari yang diterima (Mangkuwidjojo, 1988). Suhu tubuh
pada sore hari menunjukkan hasil yang paling tinggi
dibandingkan waktu pengukuran lainnya. Hal ini dimungkinkan oleh terjadinya akumulasi panas yang lebih banyak, baik panas dari lingkungan maupun panas sebagai hasil metabolisme dengan jangka waktu yang lebih panjang dibandingkan waktu pengukuran lainnya. Selain hal-hal tersebut di atas, menurut Yada (1999), hal lain yang menyebabkan relatif tingginya suhu tubuh pada sore hari adalah kemungkinan pada saat pengukuran suhu tubuh, ternak sementara atau baru selesai melakukan konsumsi pakan atau ruminasi sesuai tingkah laku ternak ruminansia, yang mana bila siang hari dengan temperatur yang tinggi maka ternak akan mengurangi konsumsi pakan, sehingga pada sore hari pada saat temperatur lingkungan menurun kembali maka ternak akan mengkonsumsi pakan dalam jumlah banyak.
Rata-Rata Suhu Tubuh Berdasarkan Metode Vaksinasi Antraks Suhu tubuh kambing berdasarkan metode vaksinasi antraks dijabarkan dalam bentuk grafik harian untuk melihat dinamika suhunya maupun tabel ratarata hasil pengukuran.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014 39,6 39,4 39,2 A1
39
A2 38,8
A3
38,6 38,4 Hari Hari Hari Hari Hari ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5
Grafik 1. Dinamika suhu hari ke-1 sampai hari ke-5 pada pemberian vaksin tahap pertama Dari grafik 1 terlihat bahwa peningkatan suhu terjadi pada kelompok yang diberi vaksin (A2 dan A3) sedangkan kelompok kontrol (A1) cenderung stabil, yang ditunjukkan dengan tidak adanya perbedaan yang nyata selama 5 hari pengukuran. Pada kelompok A2 dan A3 tampak jelas adanya perbedaan suhu, dimana kelompok A3 yang mendapatkan dosis vaksin antraks lebih besar (0,5 cc) memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan kelompok A2 yang mendapatkan ¼ dosis vaksin (0,125 cc). Kedua kelompok tersebut menunjukkan kecenderungan peningkatan pada hari ke 2. Pada hari ke 3 kelompok A3 saja yang masih menunjukkan peningkatan sedangkan kelompok A2 mulai menurun. Selanjutnya bersama-sama pada hari ke 4 baik kelompok A3 maupun A2 mengalami penurunan, dan hari ke 5 keduanya pun sama-sama tidak menunjukkan perubahan yang berarti Peningkatan suhu ini berkaitan dengan aktifitas makrofag yang dijelaskan oleh Decker (2003) bahwa makrofag merupakan pertahanan pertama melawan Bacillus anthracis. Ketika bakteri ini masuk ke dalam tubuh, makrofag akan menyelimuti dan menghancurkannya. Makrofag yang telah mengikat bakteri ini akan mensekresikan sitokin, suatu protein yang menarik neutrofil dan makrofag lainnya ke area infeksi dan membuat pembuluh darah terdekat mengalami kebocoran. Hal tersebut juga memungkinkan fagosit untuk masuk ke jaringan dan mengeliminasi bakteri. Sitokin lainnya yang dihasilkan oleh makrofag akan mengirimkan sinyal ke
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
otak untuk meningkatkan temperatur tubuh. Perubahan suhu ini merupakan pertahanan alamiah melawan bakteri, yang meningkat secara perlahan agar leukosit dapat bekerja lebih baik. Menurut FAO repository
document (2014a) peningkatan suhu ini
terjadi selama 2-3 hari pasca vaksinasi antraks, oleh karenanya tampak bahwa pada kelompok A2 hanya terjadi hingga hari ke 2, sedangkan pada kelompok A3 bertahan hingga hari ke 3, hal ini dimungkinkan oleh jumlah dosis yang lebih besar pada A3 sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses eliminasi.
39,5 39 A1
38,5
A2 38
A3
37,5 Hari Hari Hari Hari Hari ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5
Grafik 2. Dinamika suhu hari ke-1 sampai hari ke-5 pada pemberian vaksin tahap kedua
Dinamika suhu setelah booster kelompok A2 terlihat pada grafik 2 di atas. Perubahan yang tidak signifikan atau relatif stabil tampak pada kelompok A1 dan A3, sedangkan perubahan yang cukup besar tampak dari kelompok A2. Hal tersebut disebabkan perlakuan booster hanya diberikan pada kelompok A2 saja. Oleh karenanya efek vaksinasi berupa peningkatan suhu hanya terjadi pada kelompok ini saja. Mekanismenya sebagaimana yang telah dijelaskan pada grafik 1 sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan suhu tetap terjadi pada kelompok A2 yang 1 bulan sebelumnya telah diberikan ¼ dosis vaksin, walaupun masih berada dalam rentang suhu normal.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 2. Rata-rata suhu tubuh berdasarkan metode vaksinasi yang berbeda pada pemberian vaksin tahap pertama Ulangan
Metode Vaksinasi A1
A2
A3
1
38,58
38,80
39,19
2
39,00
39,06
38,98
3
39,19
39,16
39,31
4
38,99
39,04
39,16
5
39,19
38,94
39,24
Total
194,97
195,02
195,90
39,00
39,18
Rata-rata 38,99
Tabel 2 di atas menunjukan rata-rata yang berbeda sangat kecil pada setiap kelompok penelitian. Suhu paling tinggi ditunjukkan oleh kelompok A3 yang mendapatkan perlakuan vaksinasi antraks dosis penuh (0,5 cc), diikuti kelompok A2 dengan ¼ dosis vaksinasi (anjuran WHO: 0,125 cc) dan terakhir A1 atau kontrol tanpa pemberian vaksin antraks tetapi digantikan dengan aquades injeksi sebanyak 0,5 cc. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata suhu tubuh kambing secara nyata. Kenaikan suhu memang sangat kecil (febrile) pada vaksinasi antraks yang terjadi selama dua sampai tiga hari (FAO, 2014). Oleh karena hal tersebut maka tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan walaupun rataratanya tampak berbeda, hal tersebut juga ditunjang oleh pendapat Tizard (1982) bahwa ketika terjadi infeksi tubuh akan meningkatkan suhu sebagai mekanisme pertahanan, apabila penyebab infeksi telah berhasil tereliminasi maka suhu tubuh akan berangsur normal. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Sloane (2004) bahwa peningkatan suhu akan mereda jika infeksi teratasi, kadar pirogen berkurang dan kendali termoregulator normal tercapai.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 3. Rata-rata suhu tubuh berdasarkan metode vaksinasi yang berbeda pada pemberian vaksin tahap kedua Ulangan
Metode vaksinasi A1
A2
A3
1
38,97
39,12
38,76
2
38,86
39,06
38,25
3
38,83
39,12
38,62
4
38,64
38,66
38,62
5
39,10
38,84
38,33
Total
194,42
194,82
192,59
Rata-rata
38,88
38,96
38,51
Tabel 3 di atas merupakan gambaran rata-rata suhu tubuh pada setiap kelompok perlakuan setelah dilakukan booster pada kelompok A2 dengan dosis penuh. Terlihat bahwa rata-rata suhu yang paling tinggi adalah pada kelompok A2, diikuti kelompok A1 dan kelompok A3. Hal ini mengindikasikan bahwa tetap terjadi peningkatan suhu kelompok A2 melampaui kelompok kontrol (A1) setelah booster dengan dosis penuh yang 1 bulan sebelumnya telah diberikan ¼ dosis vaksinasi antraks, walaupun rata-ratanya masih dalam rentang normal yaitu 38,884 0
Celcius. Rentang suhu tubuh normal pada kambing adalah 38,5-39,5
0
Celcius (Pezzanite et al., 2013), selain itu peningkatan suhu berlebih pada
kelompok A2 dimungkinkan oleh stres akibat vaksinasi yang hanya diberikan pada kelompok ini. Peningkatan suhu pada hewan dapat terjadi seketika apabila disebabkan oleh stres (Verhagen et al., 1988).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Frekuensi Pulsus Kambing Rata-Rata Pulsus Berdasarkan Waktu Pengukuran Tabel 4. Rata-rata pulsus berdasarkan waktu pengukuran Unit
Waktu pengukuran
penelitian
Pagi
Siang
Sore
A1.1
72,3
73,1
72,7
A1.2
71,7
73,7
72,1
A1.3
71,4
72,2
72,0
A1.4
70,7
72,7
71,7
A1.5
72,9
74,2
73,5
A2.1
72,7
73,6
73,1
A2.2
70,6
75,3
76,5
A2.3
73,9
72,8
73,4
A2.4
71,9
73,1
73,9
A2.5
72,5
70,7
73,9
A3.1
71,4
72,0
73,3
A3.2
72,2
68,9
73,3
A3.3
74,4
71,5
73,1
A3.4
72,4
72,1
73,4
A3.5
71,6
70,8
72,9
Total
1082,6
1086,7
1098,8
Ratarata
72,17
72,44
73,25
Rata-rata hasil pada tabel 4 di atas menunjukkan peningkatan pulsus pagi, siang dan tertinggi pada sore hari. Analisis varian menunjukkan ratarata frekuensi pulsus pada kambing berdasarkan waktu pengukuran tidak berbeda secara nyata. Menurut Mc Dowell (1972), dalam Yani dan Purwanto (2006) peningkatan suhu lingkungan dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh ternak, pulsus dan frekuensi respirasi, akan tetapi penelitian ini mengkonfirmasi hasil penelitian yang dilakukan oleh Yada (1999) yang menunjukkan bahwa waktu pengukuran berpengaruh tidak nyata terhadap
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
frekuensi pulsus ternak percobaan, walaupun ada kecenderungan peningkatan dari pagi hingga sore hari. Menurut Jahania (2001) pengaruh suhu terhadap peningkatan pulsus merupakan hubungan tidak langsung, dimana ketika suhu tubuh lebih tinggi karena kenaikan suhu kamar atau di musim panas (peningkatan suhu lingkungan), tubuh mencoba untuk mendinginkan dengan membuka pembuluh kecil di kulit agar memungkinkan aliran darah lebih banyak ke kulit untuk membuang panas melalui mekanisme konduksi dan konveksi. Menurut Williamson dan Payne (1993), kambing merupakan salah satu jenis mamalia yang memiliki mekanisme penguapan di kulit yang buruk. Oleh karenanya tidak terjadi peningkatan yang nyata akibat peningkatan suhu berdasarkan waktu pengukuran terhadap frekuensi pulsus.
Rata-Rata Pulsus Berdasarkan Metode Vaksinasi Antraks 77 76 75 74 73 72 71 70 69 68 67 66
A1 A2 A3
Hari Hari Hari Hari Hari ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5
Grafik 3. Dinamika pulsus hari ke-1 sampai hari ke-5 pada pemberian vaksin tahap pertama Grafik 3 menunjukkan bahwa kelompok kontrol (A1) relatif stabil selama 5 hari pengukuran dibandingkan kedua kelompok lainnya (P>0,05). Selama 5 hari pengukuran kelompok ini tidak menunjukkan perubahan yang nyata. Kelompok A2 maupun A3 menunjukkan dinamika yang sama, setidaknya hingga hari ke 3 pasca pemberian vaksin. Pada hari kedua pasca vaksinasi, rata-rata frekuensi pulsus kambing pada kelompok A2 dan A3 mengalami peningkatan yang nyata dibandingkan kontrol yakni 1-2 denyutan. Pulsus pada kelompok A2 dan A3 kemudian sama-sama menurun pada hari
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
ketiga dengan nilai yang tidak lagi berbeda, walaupun kelompok A2 menunjukkan penurunan lagi pada hari ke 4, sedangkan kelompok A3 mengalami peningkatan. Keduanya kemudian sama-sama menunjukkan peningkatan lagi pada pengukuran hari ke-5. Hal-hal di atas terjadi sejalan dengan dengan perubahan suhu yang terjadi akibat vaksinasi, walaupun terdapat hubungan yang tidak langsung. Mekanismenya dijelaskan oleh Jahania (2001), bahwa ketika suhu tubuh lebih tinggi karena alasan infeksi atau demam dari setiap penyebab peradangan, tubuh juga mengeluarkan katekolamin untuk meningkatkan denyut nadi. Hal tersebut terjadi agar sirkulasi darah ke seluruh tubuh meningkat. Hal ini memungkinkan suplai darah lebih ke pembuluh kulit dimana kelebihan panas dapat hilang oleh tubuh dengan fenomena konduksi dan konveksi.
76 74 72 70
A1
68
A2
66
A3
Grafik 4. Dinamika pulsus hari ke-1 sampai hari ke-5 pada pemberian vaksin tahap kedua
Rata-rata pulsus selama 5 hari setelah booster kelompok A2 tampak pada grafik di atas. Pulsus kelompok A1 tetap stabil dari hari ke hari sedangkan kelompok A2 maupun A3 mengalami fluktuasi walaupun tetap berada pada rentang normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Pezzanite et al., (2013) bahwa pulsus pada kambing berkisar 70 sampai 80 kali per menit. Grafik 4 menunjukkan bahwa peningkatan terbesar terjadi pada kelompok A2. Hal tersebut terjadi karena booster vaksin hanya diberikan pada kelompok ini saja, dengan mekanisme sebagaimana telah dijelaskan pada grafik 3. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pulsus
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
kambing tetap mengalami peningkatan walaupun sebelumnya telah diinduksi dengan ¼ dosis vaksin antraks.
Tabel 5. Rata-rata pulsus berdasarkan metode vaksinasi yang berbeda pada pemberian vaksin tahap pertama Ulangan Metode vaksinasi A1 A2 A3 1 72,06 71,33 72,73 2 71,66 75,86 73,20 3 71,26 71,60 74,00 4 70,93 72,26 71,73 5 73,00 71,00 72,26 Total 358,93 362,06 363,93 Rata-rata 71,78 72,41 72,78 Tabel 6. Rata-rata pulsus berdasarkan metode vaksinasi yang berbeda pada pemberian vaksin tahap kedua Ulangan Metode vaksinasi A1
A2
A3
1
73,33
74,93
71,73
2
73,33
72,40
69,73
3
72,46
75,13
72,00
4
72,46
73,66
73,53
5
74,06
73,73
71,26
Total
365,66
369,86
358,26
73,97
71,65
Rata-rata 73,13
Tabel 5 menunjukkan rata-rata frekuensi pulsus pada pemberian vaksin tahap pertama. Secara berturut-turut meningkat dari kelompok A1 (kontrol), kelompok A2 dan tertinggi pada kelompok A3. Hasil analisis varian menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata
pada
frekuensi pulsus
kambing. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada 1 bulan kemudian pasca booster kelompok A2, yang mana hasil pengukuran menunjukkan bahwa frekuensi pulsus tertinggi ditemukan pada kelompok A2, disusul kelompok A1 dan terendah kelompok A3. Hasil ini selaras dengan naik turunnya suhu setelah
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
booster kelompok A2 (tabel 3), yang menunjukkan adanya hubungan antara suhu dan pulsus walaupun tidak secara langsung (Jahania, 2001). Hasil analisis varian menunjukkan perbedaan frekuensi pulsus yang nyata akibat metode yang berbeda setelah booster kelompok A2. Uji lanjut dengan metode Tukey mendapatkan hasil sebagai berikut : frekuensi pulsus A3-A1 berbeda tidak nyata, A3-A2 berbeda nyata, A2-A1 berbeda nyata. Hal ini juga mengindikasikan bahwa booster vaksin tetap menginduksi peningkatan pulsus walaupun 1 bulan sebelumnya telah diberikan ¼ dosis vaksin.
Frekuensi Respirasi Rata-Rata Frekuensi Respirasi Berdasarkan Waktu Pengukuran Tabel 7. Rata-rata frekuensi respirasi berdasarkan waktu pengukuran Unit
Waktu pengukuran
penelitian
Pagi
Siang
Sore
A1.1
16,6
18,4
17,9
A1.2
18,3
19,2
17,6
A1.3
17,1
17,5
17,8
A1.4
16,9
17,5
17,3
A1.5
16,8
18,2
18,2
A2.1
18,3
20,7
19,6
A2.2
18,7
21,4
21,0
A2.3
17,4
20,0
19,0
A2.4
19,1
19,8
19,2
A2.5
19,3
20,0
19,7
A3.1
18,2
19,9
19,5
A3.2
20,1
20,4
20,7
A3.3
18,3
19,1
19,3
A3.4
18,5
19,6
19,8
A3.5
18,8
19,8
19,2
Total
272,4
291,5
285,8
Rata-rata
18,16
19,43
19,05
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel di atas menunjukkan rata-rata frekuensi respirasi kambing berdasarkan waktu pengukuran. Frekuensi tertinggi ditunjukkan pada pengukuran siang hari, disusul sore hari dan terendah adalah pada pagi hari. Hasil analisis varian rata-rata frekuensi respirasi menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Uji lanjut menggunakan metode Tukey memperoleh hasil sebagai berikut : frekuensi respirasi pagi-siang hari berbeda nyata, pagi-sore berbeda tidak nyata, sore dan siang berbeda tidak nyata. Tingginya frekuensi respirasi pada siang hari dimungkinkan oleh temperatur lingkungan yang mencapai puncaknya pada saat tersebut. Dengan demikian
maka
tubuh
melakukan
mekanisme
penyesuaian
dengan
meningkatkan frekuensi respirasi untuk membuang panas. Menurut Yada (1999), temperatur yang tinggi pada siang hari akan menyebabkan panas tubuh yang tinggi pula, sehingga cara yang paling penting dilakukan oleh ternak adalah dengan cara penguapan, akan tetapi menurut Williamson dan Payne (1993), kambing merupakan salah satu ternak yang mengeluarkan keringat tidak sebaik jenis mamalia lainnya, maka yang dapat dilakukan untuk mengatasi keadaan kurang keringatnya tersebut adalah dengan meningkatkan frekuensi pernafasan.
Rata-Rata Frekuensi Respirasi berdasarkan Metode Vaksinasi Antraks 25 20 15
A1
10
A2
5
A3
0 Hari Hari Hari Hari Hari ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5
Grafik 5. Dinamika frekuensi respirasi hari ke-1 sampai hari ke-5 pada pemberian vaksin tahap pertama Grafik 5 menunjukkan rata-rata frekuensi respirasi setelah vaksinasi antraks pada ke 3 kelompok yang secara jelas menunjukkan perbedaan yang
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
nyata antara kelompok kontrol (A1) dan kelompok yang diberi perlakuan (A2 dan A3) (lampiran 15). Frekuensi yang lebih tinggi tampak pada kelompok A2 dan A3. Hal ini merupakan dampak dari
peningkatan suhu akibat
vaksinasi. Sebagaimana dijelaskan pada grafik 1 sebagai hasil dari aktifitas makrofag (Decker, 2003) sehingga manifestasinya adalah meningkatkan frekuensi respirasi untuk membuang panas. Selain itu menurut Gyles dan Thoen (1986) hal tersebut juga merupakan hasil interaksi Protective antigen dan Lethal factor.
20 19,5 19 A1 18,5
A2 A3
18 17,5 17 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5
Grafik 6. Dinamika frekuensi respirasi hari ke-1 sampai hari ke-5 pada pemberian vaksin tahap kedua Dari grafik di atas terlihat bahwa semua kelompok mengalami fluktuasi dalam frekuensi respirasinya, akan tetapi tetap terlihat bahwa secara umum kelompok A2 yang diberi booster vaksin memiliki frekuensi respirasi yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan peningkatan frekuensi tetap terjadi walaupun sebelumnya telah diinduksi dengan ¼ dosis vaksin antraks.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 8. Rata-rata frekuensi respirasi berdasarkan metode vaksinasi yang pada pemberian vaksin tahap pertama Ulangan Metode vaksinasi A1 A2 A3 1 16,86 19,33 19,66 2 16,86 20,80 21,86 3 16,60 19,40 20,13 4 16,80 19,93 20,00 5 17,26 20,53 20,33 Total 84,40 99,99 102,00 Rata-rata 16,88 20,00 20,40
Tabel 9. Rata-rata frekuensi respirasi berdasarkan metode vaksinasi yang berbeda pada pemberian vaksin tahap kedua Ulangan Metode vaksinasi A1 A2 A3 1 18,40 19,73 18,73 2 19,86 19,93 18,93 3 18,33 18,20 17,66 4 17,66 18,80 18,60 5 18,20 18,80 18,20 Total 92,46 95,46 92,13 Rata-rata 18,49 19,09 18,42
Tabel 8 menunjukkan bahwa frekuensi respirasi pada kelompok A1 (kontrol) lebih rendah dibandingkan kelompok A2, dan kelompok A2 pun lebih rendah dari kelompok A3. Analisis varian juga menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) akibat metode vaksinasi yang
berbeda terhadap
frekuensi. Data ini kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey dan memperoleh hasil frekuensi respirasi A1-A2 berbeda nyata, A2-A3 berbeda tidak nyata, A1-A3 berbeda nyata. Hasil ini menunjukkan adanya pengaruh vaksin antraks terhadap aktifitas fisiologis kambing, yang mana toksin yang disebabkan oleh interaksi Protective antigen dan Lethal factor menyebabkan gangguan integritas membran sel, menyebabkan cairan masuk ke paru-paru dan sistem sirkulasi sehingga menekan pernafasan. Manifestasinya adalah kebutuhan oksigen meningkat
yang dipenuhi dengan meningkatkan frekuensi
pernafasan (Gyles dan Thoen, 1986). Hal ini dimungkinkan oleh virulensi faktor virulensi yang masih bertahan dalam hal ini toksin bakteri dari spora
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
yang bergerminasi (Handayani, 2010). Hal tersebut tampak dari peningkatan yang nyata dari kelompok A1, A2 dan A3, dengan asumsi bahwa kelompok dengan dosis lebih banyak memiliki kemungkinan lebih besar dalam hal jumlah toksin yang ada, yang secara langsung berhubungan dengan jumlah spora yang akan bergerminasi. Hasil pada tabel 9 juga menunjukkan alur yang sama sebagaimana halnya pada suhu dan frekuensi pulsus. Hal ini menunjukkan bahwa booster vaksin 1 bulan kemudian tetap menimbulkan peningkatan frekuensi respirasi, walaupun sebelumnya telah diinduksi dengan ¼ dosis vaksin antraks.
Simpulan Pemberian vaksin antraks dengan metode yang berbeda, baik dosis penuh secara langsung, maupun ¼ dosis dan dilanjutkan dosis penuh sebulan kemudian tidak menyebabkan syok anafilaksis. Hasil pengukuran parameter fisiologis (suhu, pulsus dan frekuensi respirasi) yang lebih tinggi ditunjukkan pada kelompok yang diberikan dosis penuh pada tahap pertama maupun tahap kedua. Suhu tubuh dan frekuensi respirasi pagi hari lebih rendah daripada siang dan sore hari sedangkan Pulsus cenderung sama antar waktu pengukuran. .
Daftar Pustaka Adji, R. dan Natalia, L. 2006, Pengendalian Penyakit Antraks : Diagnosis, Vaksinasi dan Investigasi, Wartazoa, vol.16 Adji, R.S. 2009, ‘Perbandingan Gambaran Titer Antibodi Pasca Vaksinasi Antraks dengan Menggunakan Dua Vaksin Produksi dalam Negeri’, dipresentasikan pada Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner tahun 2009, Bogor, Balai besar penelitian veteriner, hal. 770773. Akoso, B.T. 1996, Kesehatan Sapi, Kanisius, Yogyakarta, Indonesia. Alam, M.M., Hashem M.A., Hossaim, M.M., Haquen M.R., Sobhan Z. and Islam M.S. 2011, Effect of Heat Stress On Behavior, Physiological And Blood Parameters Of Goat, Journal of progress agricultural, 22 : 37-45
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Baillie, L. 2001, The Development of New Vaccines Against Bacillus anthracis, Journal of applied microbiology, 91 : 609-613. Cunningham, J.G. 2002, Veterinary Physiology, 3rd edition, W.B Saunders Company, Philadelphia, United States of America. Decker,
J. 2003, Antraks : Deadly Disease and Epidemics, Chelsea House Publisher, Philadelphia, United States of America.
Dewiyanti, R. 2006, ‘Gambaran Titer Antibodi Pasca Vaksinasi Antraks pada Kambing dan Domba di Kabupaten Bogor’, Temu teknis nasional tenaga fungsional pertanian tahun 2006, Pusat penelitian dan pengembangan peternakan, hal.274-277. Food and Agricultural Organizationa. 2014, Animal Environmental Requirements, USA, FAO corporate document repository. Food and Agricultural Organizationb. 2014, Vaccination of Livestock, USA, FAO corporate document repository. Gyles, C. L. and Thoen, C. O. 1986, Pathogenesis of Bacterial Infections in Animals, The Iowa State University Press, United State of America. Handayani, R. 2010, ‘Vaksinasi Antraks pada Kambing di Kabupaten Sumbawa : Efek Samping dan Durasi Kekebalannya’, Tesis, M.Si, Institut Pertanian Bogor. Jahania, M. S.2001, ‘How Does Temperature of The Body Influence Pulse Rate’, science medicine ,viewed 3 May 2014, . Mangkuwidjojo, T. 1988, Pengaruh Radiasi Matahari terhadap Lingkungan Biotik, Kanisius, Yogyakarta, Indonesia. North, R. 2004, Anatomy and Physiology of The Goat, NSW Department of primary industries, Australia. Office International Des Epizooties. 2012, Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals, 7th edition,France, OIE. Pezzanite, L., Neary, M., Hutchens, T. and Scharko, P. 2013. Common Diseases and Health Problems in Sheep and Goats, Purdue University, page 1. Sears, B.W., Spear, L. dan Saenz, R. 2007, Intisari Mikrobiologi dan Imunologi, diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Andry Hartono, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta. Shoenian, S. 2010,’Heat Stress in Sheep and Goats’, University of Maryland Extension, viewed 12 May 2014,
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Sloane, E. 2004, Anatomi dan Fisiologi, diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh James Veldman, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta. Subronto. 2003, Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia. Tizard, I. 1982, Imunologi Veteriner, diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Masduki Partodiredjo, Penerbit Universitas Airlangga, Surabaya. Wahyuni, A.E.T.H. 2010,’Tinjauan Hasil Vaksinasi Antraks pada Sapi dan Kambing-Domba di Indonesia’, Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis, Yogyakarta, Hal.131-135. World Health Organization. 2008, Anthrax in Humans and Animals, 4th edition, Geneva, WHO press. Verhagen, J.M.F., Michels, J.J.M., Schouten, W.G.P. 1988, The Relation between Body Temperature, Metabolic Rate and Climatic Environment in YoungGrowing Pigs, journal of thermal biology, 13 : 1-8. Williamson, G. and Payne, W.J.A. 1993, Pengantar Peternakan di Daerah Tropis, diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Darmadja, Gadjah Mada University press, Yogyakarta. Yada, Y.M. 1999, ‘Pengaruh Frekuensi Pemberian Air Minum dan Waktu Pengukuran terhadap Suhu Tubuh, Frekuensi Pernafasan dan Denyut Nadi Sapi Bali Jantan Muda’, Skripsi, S.Pt, Universitas Nusa Cendana , Kupang. Yani, L. dan Purwanto, B.P. 2006, Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk Meningkatkan Produktivitasnya, Media Peternakan, April 2006, Hal 35-46.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tingkat Cemaran Escherichia coli Pada Daging Ayam Goreng Tepung Yang Dijual Di Warung-Warung Kawasan Kampus Universitas Nusa Cendana
Ditha Diastryani1, Novalino H.G. Kallau2, Elisabet Tangkonda3 1
2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Undana Dosen Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet)Fakultas Kedokteran Hewan Undana 3 Dosen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Undana
Abstrak Daging ayam goreng tepung merupakan salah satu bentuk olahan daging ayam yang menjadi menu yang dijual di warung-warung kawasan kampus Universitas Nusa Cendana.Daging ayam goreng tepung akan bermanfaat apabila disajikan secara aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) tetapi juga akan menimbulkan penyakit apabila adanya cemaran mikrorganisme terutama Escherichia coli. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat cemaran mikroorganisme khususnya Escherichia coli pada daging ayam goreng tepung yang dijual di warung-warung kawasan kampus Universitas Nusa Cendana. Pengambilan sampel mengunakan teknik sampling jenuh, sampel yang diambil berasal dari warung FKIP 1, warung Politani 1, warung Politani 2, warung FISIP, warung Politeknik dan warung FKIP 2. Sampel diuji berdasarkan pengujian Total Plate Count (TPC) dan Most Probable Number (MPN) Escherichia coli, kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil pengujian TPC, menunjukan tingkat cemaran mikroorganisme berkisar 1,4 x 105 – 7,9 x 105 koloni/g dan hasil pengujian MPN Escherichia coli menunjukan hasil negatif atau 0 MPN/g.
Pendahuluan Daging ayam merupakan komponen dari karkas ayam yang harganya relatif murah dan dapat dijangkau oleh lapisan masyarakat menengah ke bawah serta mudah diperoleh. Ciri-ciri daging ayam pada umumnya adalah berwarna putih, dengan serat yang pendek dan lunak sehingga mudah dicerna. Daging ayam memiliki kadar lemak yang rendah dan asam lemak yang tidak jenuh sehingga menjadi sumber pangan berprotein yang paling ideal (Surya, 2010). Menurut Alex
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
(2010), gizi yang terkandung dalam daging ayam yakni protein, air, kalsium (Ca), fosfor (P), zat besi (Fe) dan vitamin. Sebelum dikonsumsi daging ayam perlu diolah terlebih dahulu, salah satu bentuk olahan daging ayam yakni daging ayam goreng tepung. Daging ayam goreng tepung adalah salah satu teknik pengolahan daging ayam yang sangat sederhana yakni dengan menggoreng daging ayam mentah yang telah dibalut tepung dalam minyak goreng yang panas hingga matang dan berwarna kuning keemasan.Beberapa restoran, rumah makan, dan warung, menyediakan ayam goreng tepung sebagai salah satu menu yang dijual setiap hari.Terdapat enam warung dalam kawasan kampus Universitas Nusa Cendana, yang menjual menu daging ayam goreng tepung setiap hari. Warung-warung tersebut diharapakan mampu menyediakan daging ayam goreng tepung yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) bagi konsumen. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk menciptakan daging ayam goreng tepung yang ASUH, yakni sanitasi lingkungan sekitar warung, sanitasi warung, sanitasi peralatan, sanitasi air, dan higiene pekerja (Azwar, 2010). Beberapa aspek tersebut ternyata belum sepenuhnya diterapkan oleh pengelola warung yang berada dalam kawasan kampus Universitas Nusa Cendana sehingga memungkinkan daging ayam goreng tepung yang dijual dapat tercemar oleh mikroorganisme. Salah satu mikroorganisme patogen yang biasa mencemari daging adalah Escherichia coli. Bakteri ini merupakan coli fekal yang dijadikan sebagai indikator adanya cemaran bakteri patogen (Raza dkk., 2012). Warung-warung yang menjual daging ayam goreng tepung disekitar kawasan kampus Universitas Nusa Cendana perlu memperhatikan kebersihan makanan yang dijual. Masalah kebersihan bahan pangan ini menjadi suatu masalah yang perlu diperhatikan untuk menunjang mutu dari bahan pangan itu sendiri. Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
tingkat
cemaran
mikroorganisme khususnya Escherichia coli pada daging ayam goreng tepung yang dijual di warung-warung kawasan kampus Universitas Nusa Cendana, yang nantinya dapat bermanfaat sebagai informasi bagi pihak universitas, pemilik warung, dan konsumen.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Materi Dan Metode Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan pada enam warung yang berada dalam kawasan kampus Universitas Nusa Cendana, kemudian diuji di laboratorium UPT Veteriner Oesapa- Kupang. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yakni Buffered Pepton Water (BPW) 0,1 %, media Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), media Escherichia Coli Broth (ECB), media Levine Eosin Methylene Blue Agar (LEMBA), media Lauryl Sulfate Tryptose Broth (LSTB), media Methyl Red-Voges Proskauer (MR-VP), media Koser Citrate Broth (KCB), media Simmons Citrate Agar, media Plate Count Agar (PCA), reagen Kovas, reagen Voges-Proskauer (VP), larutan KOH 40% dan larutan α-naphtol. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni Tabung Durham, Cawan Petri, Tabung reaksi, Gunting, Pinset, Jarum inokulasi (ose), Stomacher; Pembakar bunsen, pH meter, Timbangan, Pengocok tabung (vortex), Inkubator, Penangas air, Autoklaf, Lemari steril (clean bench), Lemari pendingin, Pipet ukuran 1 ml, 2 ml, 5 ml, dan 10 ml, Penghitung koloni (colony counter), serta Pipet volumetric. Pengambilan sampel menggunakan teknik sensus atau sampling jenuh, yaitu dengan mengambil semua populasi warung yang menjadi tempat penjualan daging ayam goreng tepung. Sampel yang diambil yakni 3 potong daging ayam goreng tepung dari masing-masing warung, yang langsung dibawa di Laboratorium UPT Veteriner Oesapa untuk diperiksa. Pemeriksaan bakteri dilakukan dengan dua metode yakni TPC (Total Plate Count) untuk menghitung jumlah bakteri dalam sampel dan MPN (Most Probable Number)Escherichia coli yang dilakukan melalui dua tahap yaitu uji penduga Coliform dan uji penegasan adanya Escherichia coli.
a. Uji TPC Sampel ditimbang sebanyak 25 g secara aseptik kemudian dimasukan ke dalam wadah steril, kemudian larutan BPW 0,1% sebanyak 225 ml ditambahkan ke dalam kantong steril yang berisi sampel dan dihomogenkan menggunakan stomacher selama 1-2 menit. Campuran ini merupakan larutan pengenceran 10-
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014 1
.Suspensi pengenceran 10-1sebanyak 1 ml dipindahkan dengan menggunakan
pipet steril ke dalam 9 ml BPW 0,1 % untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Sebanyak 1 ml suspensi dari setiap pengenceran dimasukan ke dalam cawan petri secara duplo, kemudian PCA yang sudah panas ditambahkan sebanyak 15-20 ml hingga temperatur 45 oC pada masing-masing cawan yang berisi suspensi. Cawan diputar membentuk angka delapan agar larutan sampel dan media PCA dapat tercampur seluruhnya dan didiamkan hingga menjadi padat. Campuran yang telah padat, diinkubasikan pada temperatur 34 oC sampai dengan 36 oC selama 24 - 48 jam dengan meletakan cawan pada posisi terbalik. Koloni dari setiap seri pengenceran dihitung jumlahnya, dimana cawan yang dipilih mempunyai jumlah koloni 25 sampai dengan 250. Hasil perhitungan diinterpretasi berdasarkan jumlah koloni yang tumbuh pada cawan.
b. MPN Escherichia coli Pengujian dilakukan dengan uji penduga, uji peneguhan dan isolasi-identifikasi melalui uji Indole, Methyl-Red, Voges-Proskauer, dan uji Citrate (IMViC).
Uji Pendugaan Larutan pengencer 10-1 sebanyak 1 ml dipindahkan ke dalam larutan 9 ml BPW 0,1% dengan menggunakan pipet steril untuk mendapat pengenceran 10-2. Cara yang sama dilakukan untuk mendapatkan pengenceran 10-3. Sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran dimasukan ke dalam 3 seri tabung LSTB yang berisi tabung Durham dengan menggunakan pipet, kemudian diinkubasi pada temperatur 35 oC selama 24 - 48 jam. Terbentuknya gas di dalam tabung Durham menunjukan hasil positif.
Uji Konfirmasi (Peneguhan) Biakan positif dari hasil uji pendugaan dipindahkan dengan menggunakan jarum inokulasi (ose) dari setiap tabung LSTB ke dalam tabung ECB yang berisi tabung Durham, kemudian diinkubasikan pada temperature 45,5 oC selama 24 jam. Gas yang terbentuk di dalam tabung yang berisi tabung Durham menunjukan hasil uji positif; Nilai MPN ditentukan berdasarkan jumlah tabung yang memperlihatkan hasil positif, berdasarkan tabel nilai MPN. Kombinasi yang diambil, dimulai
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
dari pengenceran tertinggi yang masih menghasilkan semua tabung positif, sedangkan pada pengenceran berikutnya terdapat tabung yang negatif. Kombinasi yang diambil terdiri dari tiga pengenceran. Nilai MPN sampel dihitung sebagai berikut:
MPN/gram = Nilai MPN tabel x faktor pengencer di tengah 100
Isolasi-Identifikasi Dibuat goresan pada media L-EMBA dari tabung ECB yang positif, kemudian diinkubasi pada temperatur 35 oC selama 18 - 24 jam. Koloni yang diduga Escherichia coli berdiameter 2 -3 mm, berwarna hitam atau gelap pada bagian pusat koloni, dengan atau tanpa warna hijau metalik yang mengkilat pada media L-EMBA. Koloni yang diduga dari masing-masing media L-EMBA diambil dengan menggunakan jarum inokulasi (ose) dan dipindahkan ke PCA miring, kemudian diinkubasikan pada temperature 35 oC selama 18 - 24 jam untuk uji biokimia.
Uji Biokimia dengan Uji IMViC a) Uji produksi Indol Koloni dari tabung PCA diinokulasikan pada TB dan inkubasi pada temperatur 35 oC selama 24 jam kemudian ditambahkan Reagen Kovac sebanyak 0,2 - 0,3 ml. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya cincin merah pada lapisan atas media, sedangkan hasil reaksi negatif ditandai dengan terbentuknya cincin kuning. b) Uji Voges-Proskauer (VP) Biakan dari media PCA diambil lalu inokulasikan ke tabung yang berisi 10 ml media MR-VP dan inkubasi pada temperatur 35 oC selama 48 jam, kemudian sebanyak 5 ml MR-VP dipindahkan ke tabung reaksi dan ditambah 0,6 ml larutan a-nahptol dan 0,2 ml KOH 40 %, kemudian digoyang-goyang. Hasil reaksi positif ditandai adanya warna merah muda eosin dalam waktu 2 jam. c) Uji Methyle Red (MR)
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Biakan dari media PCA diambil lalu inokulasikan ke tabung yang berisi 10 ml media MR-VP dan diinkubasi pada temperatur 35 oC selama 48 jam, kemudian tambahkan indikator MR sebanyak 2 - 5 tetes ke dalam tabung. Hasil uji positif ditandai adanya warna merah dan hasil reaksi negatif ditandai dengan adanya warna kuning. d) Uji Citrate Koloni dari media agar miring PCA diinokulasikan ke dalam media KCB dan inkubasi pada temperatur 35 oC selama 36 jam. Hasil uji positif ditandai dengan terbentuknya keruhan pada media.
Hasil Dan Pembahasan Pengujian pertama yang dilakukan yakni pengujian Total Plate Count (TPC), untuk mengetahui jumlah mikroorganisme yang ada pada daging ayam goreng tepung yang dijual.Hasil pengujian TPC, diinterpretasikan berdasarkan jumlah koloni yang tumbuh pada cawan. Dari tabel dapat dilihat semua sampel terkontaminasi oleh mikroorganisme yang jumlahnya telah melebihi ambang batas yang telah ditetapkan SNI 73882009, tentang batas cemaran maksimum mikroorganisme pada daging ayam yang diolah dengan panas yakni sebesar 1 x 105 koloni/g. Daging ayam merupakan salah satu bahan makanan yang memiliki nilai nutrisi yang tinggi sehingga sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Nurjanah (2006), cemaran mikroorganisme pada makanan dapat berasal dari beberapa sumber seperti, bahan mentah, pekerja makanan, peralatan dan ruang produksi serta sumber air. Lingkungan dan kondisi bagunan pada beberapa warung yang tidak tertata dengan baik (Gambar 1) menjadi salah satu factor tingginya cemaran mikroorganisme. Tingkat cemaran mikroorganisme yang tinggi pada makanan juga menunjukan penerapan higiene dan sanitasi yang burukNilai TPC yang dilakukan terhadap 18 sampel daging ayam goreng tepung, dapat dilihat pada tabel berikut:
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 4. Nilai Total Plate Count (TPC) dari Daging Ayam Goreng Tepung yang dijual di Warung-Warung Kawasan Kampus Universitas Nusa Cendana Lokasi
Kode Nilai Sampel TPC FKIP 1 85 86 6,9 x 105 87 Politani 1 88 89 7,9 x 105 90 Politani 2 91 92 2,2 x 105 93 FISIP 94 95 1,4 x 105 96 Politeknik 97 98 4,6 x 105 99 FKIP 2 100 101 3,2 x 105 102 Keterangan: TMS (Tidak memenuhi syarat)
Interpretasi
TMS
TMS
TMS
TMS
TMS
TMS
.
Gambar 1. Lingkungan dan bangunan warung FKIP 1 Warung yang sehat secara fisik harus mempunyai sarana-prasarana yang memadai, seperti sumber air bersih, tempat penyimpanan, tempat pengolahan, tempat penyajian dan ruang makan, fasilitas sanitasi, perlengkapan kerja dan tempat pembuangan sampah. Sarana-prasarana ini belum semua dimiliki warungwarung yang berada di dalam kawasan kampus, sehingga tidak heran apabila
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
tingkat kontaminasi mikroorganismenya tinggi. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2. Tempat penyimpanan makanan pada warung FISIP
Gambar 3. Tempat pencucian piring pada warung Politeknik Perbedaan tingkat
cemaran mikroorganisme pada setiap warung
menunjukan perbedaan penerapan prinsip sanitasi dan hygiene. Lingkungan, kondisi bangunan dan sarana-prasarana yang dimiliki setiap warung sangat berpengauh terhadap tingkat kontaminasi mikroorganisme pada daging ayam goreng tepung yang dijual. Pengujian berikutnya yang dilakukan setelah mengetahui jumlah mikroorganisme, yakni pengujian Most Probable Number (MPN) Escherichia coli. Pengujian MPN Escherichia coli ini dilakukan untuk mengetahui jumlah Escherichia coli yang terdapat pada ayam goreng tepung yang dijual di enam warung kawasan kampus Universitas Nusa Cendana.Jumlah Escherichia coli pada sampel, diinterpretasikan berdasarkan hasil perhitungan MPN, isolasi-identifikasi, dan uji biokimia (IMViC), yang kemudian dinyatakan dalam satuan MPN/g.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Hasil positif dari uji pendugaan dapat terlihat pada tabung LSTB (Lauryl Sulfate Tryptose Broth) yang berisi tabung Durham yang ditandai dengan terbentuknya gas dalam tabung Durham. Salah satu senyawa yang terkandung dalam media LSTB yakni sodium lauril sulfat yang dapat menghambat mikroorganisme selain koliform, sehingga gas yang terbentuk menandakan bahwa adanya fermentasi oleh koliform. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4. Hasil uji penduga pada media LSTB Hasil uji positif pada media ECB ditunjukan dengan terbentuknya gas dalam tabung yang berisi tabung Durham, yang terlihat pada gambar berikut:
Gambar 5. Hasil uji konfirmasi pada media ECB Hasil uji positif pada media ECB, dipindahkan pada media EMBA (Eosin Methylene Blue Agar) untuk dilakukan uji isolasi-identifikasi. Media ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan akanmemberikan indikator warna hijau metalik untuk Escherichia coli.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Gambar 6. Koloni Escherichia coli pada media EMBA Hasil isolasi koloni Escherichia coli pada media EMBA dilanjutkan dengan pengujian biokimia yang terdiri dari uji Indol, uji Methyle-Red, uji VogesPraskuer, dan uji Citrate, yang dapat dilihat pada gambar 7:
Gambar 7. Hasil uji IMViC dari isolasi yang dicurigai Escherichia coli Hasil uji uji indol menunjukan hasil positif yang ditandai dengan adanya cincin merah pada permukaan media saat di tetesi reagen Kovac. Cincin merah yang terbentuk ini terjadi karena mikroorganisme memiliki kemampuan memecah asam amino tryptofan sebagai sumber karbon. Uji Methyle-Red menunjukan hasil yang negatif ditandai dengan tidak adanya perubahan warna dari kuning menjadi merah ketika ditetesi indikator MR. Tidak adanya perubahan warna ini menunjukan bakteri tersebut tidak mampu menghasilkan metilen glikon yang bersifat asam dari proses fermentasi glukosa. Hasil uji Voges-Proskauer menunjukan hasil positif, yakni dengan terbentuknya warna merah muda eosin dalam waktu 2 jam. Terbentuknya warna merah muda eosin ini terjadi karena bakteri tersebut dapat membentuk asetil metil
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
karbinol (asetolin) yang merupakan hasil sampingan dari metabolisme karbohidrat. Hasil uji Citrate menunjukan hasil positif, yaitu adanya perubahan warna media dari hijau menjadi biru. Hal ini terjadi karena bakteri tersebut mampu menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon. Berdasarkan interpretasi hasil yang dilakukan terhadap uji pendugaan pada media LSTB, uji konfirmasi atau peneguhan pada media ECB, uji isolasiidentifikasi, dan uji biokimia IMViC, maka nilai MPN Escherichia coli pada 18 sampel daging ayam goreng tepung yang dijual di enam warung, dapat dilihat pada table dibawah ini:
Tabel 2. Hasil Pengujian MPN Escherichia coli pada 18 Sampel Daging Ayam Goreng Tepung yang dijual di Warung-warung Kawasan Kampus Universitas Nusa Cendana Lokasi
Kode
LSTB
FKIP 1
85 86 87
Politani 1
1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 2 0 1 2 0 1 0 0 0
Hasil IMViC -
MPN/ gram 0 0 0
Kriteria Objektif MS MS MS
88 89 90
3 0 0 3 0 0 1 0 0 +-++ 3 0 0 3 0 0 0 0 0 3 0 0 3 0 0 0 0 0
(-) -
0 0 0
MS MS MS
Politani 2
91 92 93
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
-
0 0 0
MS MS MS
FISIP
94 95 96
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
-
0 0 0
MS MS MS
Politeknik
97 98 99
1 0 0 1 0 0 0 0 0 3 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
-
0 0 0
MS MS MS
100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 101 3 0 0 3 0 0 0 0 0 102 1 0 0 1 0 0 0 0 0 Keterangan : MS (Memenuhi syarat)
-
0 0 0
MS MS MS
FKIP 2
ECB
EMBA
IMViC
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sampel daging ayam goreng tepung yang dijual di enam warung kawasan kampus Universitas Nusa Cendana,
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
semuanya negatif Escherichia coli dan memiliki nilai MPN Escherichia coli yakni 0 MPN/g.
Penutup Berdasarkan hasil penelitian tentang tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam goreng tepung yang dijual di warung-warung kawasan kampus Universitas Nusa Cendana berkisar 1,4 x 105 – 7,9 x 105 koloni/g dengan nilai Most Probable Number (MPN) Escherichia coli yakni 0 MPN/g. Dari hasil ini dapat disimpulkan tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam goreng tepung yang dijual melebihi standar SNI (2009) tentang batas maksimum cemaran mikroorganisme pada daging ayam olahan dan tidak adanya kontaminasi Escherichia coli pada daging ayam goreng tepung yang dijual.
Daftar Pustaka Alex, J. 2010, Sukses Beternak Ayam, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, Indonesia. Azwar, M. 2010, Penerapan higiene dan Sanitasi Jasa Boga. Diaskes pada 10 Maret 2014. http:// staff.uny.co.id/Penerapan-hygiene-dan-SanitasiJasa-Boga-pkh-2010. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 2008, Pengujian Mikrobiologi Pangan. Diaskes pada 20 Februari 2014. http://www.pilciranrakyat.com. Brooks G.F, Butel J.S, Morse S.A. 2004, Mikrobiologi Kedokteran, edisi 23, alih bahasa: Wasito E.B, Muhardi E. Salemba Medika, Jakarta, Indonesia Chotiah, S. 2009, ‘Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam dan Olahannya’, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor, Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1994, Pedoman Pembinaan Makanan Jajanan, Jakarta, Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1996, Dasar Gizi Seimbang, Jakarta, Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003, Keputusan Mentri Kesehatan RI No.715/MenKes/SK/V/2003 Tentang Higiene Sanitasi Jasa Boga, Jakarta, Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004, Tentang Bakteri Pencemar Makanan dan Penyakit Bawaan Makanan, Modul 4, Jakarta, Indonesia. Djaafar, T.F., dan Rahayu, S. 2010, ‘Cemaran Mikroba pada Susu dan Produk Unggas’. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta, Indonesia. Endtjang, I. 2003, Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah Tenaga Kesehatan yang Sederajat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Indonesia. Fardiaz S. 1993, Analisis Mikrobiologi Pangan, edisi 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Indonesia. Fitasari E. 2009, Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Terigu Terhadap Kadar Air, Lemak, Protein, Mikrostruktur dan Mutu Organoleptik Keju Gouda Olahan, Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Vol. 4, No. 2. ISSN: 1978 – 0303. Koeswara, S. 2009, Pengolahan Unggas, Diaskes pada 10 Maret 2014 http://tekpan.unimus.ac.id/wpcontent/uploads/2013/07/PENGOLAHA N-UNGGAS.pdf Lehninger. 1995, Microbiology: a Laboratory Manual.Adison-Wesley. Publishing company: California. Diaskes pada 20 Februari 2014, http://nunil08.student.ipb.ac.id/2010/06/19/uji-biokimia-matabolisme bakteri/.pdf Matullesy, D.N, Suryanto E dan Rusman. 2010, Evaluasi Karakteristik Fisik, Komposisi Kimia dan Kualitas Mikrobia Karkas Broiler Beku yang Beredar di Pasar Tradisional Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, Buletin Peternakan Vol. 34(3):178-185. ISSN 0126-4400 Melly, L. Nugroho, B.A. dan Hartono B. 2013, Analisis Bauran Pemasaran dalam Membeli Ayam Goreng di Lalapan Kalpataru dan Cak Yono Tlogomas Malang, Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia. Murray. 2005, Buku Ajar Mikrobiologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Nurjanah, S. 2006, Kajian Sumber Cemaran Mikrobiologi Pangan pada Beberapa Rumah Makan di Lingkar Kampus IPB Darmaga, Bogor, Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, Vol. 11 No. 3. ISSN: 0853-4217 Pelczar. 2008, Dasar-dasar Mikrobiologi, Malang, Indonesia. Rahardi, R. 2008, Resep Masakan Tradisional, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Indonesia. Rahayu C. 2011, Pengaruh Lama Penyimpanan Daging Ayam Segar (Broiler) Terhadap pH, Susut Masak, dan Organoleptik, Media SainS, Vol 4. ISSN 2085-3548. Raza, E.M.U. Suada K. dan Mahatmi H. 2012, Beban Cemaran Bakteri Escherichia coli pada Daging Asap Se’I Babi yang dipasarkan di Kota Kupang, Indonesia Medicus Veterinus,Vol. 1 (4): 453-470. ISSN: 2301-7848 Setiowati, E.W. 2009, Tinjauan Bahan Pangan Asal Hewan yang ASUH Berdasarkan Aspek Mikrobiologi di DKI Jakarta, Prosiding PPI Standardisasi 2009, Jakarta, Indonesia. Standarisasi Nasional Indonesia. 2008, Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur dan Susu serta hasil Olahannya, Hasil Revisi Dewan Standardisasi Nasional, No. 2897, Jakarta, Badan Standarisasi Nasional. Standarisasi Nasional Indonesia. 2009, Mutu Karkas dan Daging Ayam. Hasil Revisi Dewan Standardisasi Nasional, No. 3924, Jakarta, Badan Standarisasi Nasional. Standarisasi Nasional Indonesia. 2009, Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan, Hasil Revisi Dewan Standardisasi Nasional, No: 7388. Jakarta, Badan Standarisasi Nasional. Surya. 2010, Budidaya Ayam Pedaging. Diaskes pada 24 Maret 2014 http://surya61.wordpress.com/budidaya-produktif/budidaya-ayampedaging/ Suryanto, E. 2005, ‘Evaluasi mikrobiologis karkas dan tingkat sanitasi pada usaha pemotongan ayam tradisional dan modern di Yogyakarta’, Prosiding Seminar Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia, ISBN 979-1215-00-6. Suksmana, U.A. 2013, Studi Karakteristik Fisik dan Daya Awet Daging Ayam Broiler dengan Daging Ayam Broiler Mati Kemarin (Tiren), Diaskes pada 24 Maret 2014, http://pustaka.unpad.ac.id/archives/126197.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Undang-Undang Republik Indonesia. 2000, Pajak dan Retribusi Daerah, No. 34. Volk and Wheleer. 1993, Analisis Praktikum Mikrobiologi Umum untuk Perguruan Tinggi, Diaskes pada 24 Maret 2014, http:// nunil08.student.ipb.ac.id /2010/06/19/uji-biokimia-metabolismebakteri/ Winarno F.G. 2002, Pangan, Gizi, Teknologi, dan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Indonesia. Yunita, N.L.P. Dwiyanti, N.M.U. 2010, Kualitas Mikrobiologi Nasi Jinggo Berdasarkan Angka Lempeng Total, Coliform dan Kandungan Escherichia coli, Jurnal Biologi Vol. XIV (1): 15-19, ISSN: 14105292
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tingkat Kontaminasi Escherichia coli Pada Dendeng Sapi Yang Berasal Dari Industri Rumah Tangga Di Kota Dan Kabupaten Kupang
Martha Ulina Siregar, Novalino H. G. Kallau, Elisabet Tangkonda 1
2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Undana Dosen Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet)Fakultas Kedokteran Hewan Undana 3 Dosen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Undana
Abstract Jerked beef (the spiced dried meat) is the food products shaped as a plate made of sliced meat, curing and driying up in order to have a long period of keeping, which has a maximum of 12% water degrees. In NTT particular the city of Kupang, jerked beef is one of the most popular product of processed meat. Jerked beef processed is still traditional, which the business classified as a home industry. This kind of traditional processing is potential for the contaminated by the microorganisms, especially Escherichia coli bacterium. The objective of this study is to find out whether the jerked beef from Kupang city and Kupang regency have been contaminated by E. coli and whether the contamination level is complied to SNI 7388: 2009. Samples were taken with a saturated or census sampling method, involving the 7 home industries. 2 packs of jerked beef weighing 500 g, wrapped is taken from each home industries. Tests were conducted in the Veterinary Laboratory, Department of Livestock Service NTT. Test methods used are Total Plate Count (TPC) and Most Probable Number (MPN) of E. coli. The data were analyzed descriptively and compared with SNI 7388:2009. Based on SNI 7388: 2009, Maximum Limit of Contaminated Mikroorganism (MLCM) of E. coli on jerked beef is less than 3 MPN/g for testing MPN E. coli and 1 x 105 CFU/g for TPC value. The result of TPC test examination. Indicated that there are 7 jerked beef products exceed the MLCM. These home industries are 6 product of jerked beef that exceed MLCM, the home industry Citra Binoni, Angkasa Timor, Abon Jaya, Ibu Soekiran, Yudisthira and Tambers. There is only 1 jerked beef product that bellow the MLCM, that is Tunas Baru home industry. MPN test examination are confirmed and strangthened by IMViC test, showed that only 1 jerked beef product is contaminated by E. coli, that is Yudisthira home industry. Finally, the conclusion is almost all the home industries which produce jerked beef in Kupang city and Kupang regency are free from E. coli, except Yudisthira home industry and almost all of them have microorganisms total value exceed the MLCM, except Tunas Baru home industry. Keywords: Jerked beef, Escherichia coli, MLCM, TPC, Kupang.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pendahuluan Pangan pada hakekatnya merupakan kebutuhan dasar yang penting untuk kehidupan manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (Anggrahini, 2008). Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang selalu mendapat perhatian untuk kesejahteraan kehidupan manusia (Djafar dkk., 2006). Secara garis besar, bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pangan asal tumbuhan dan bahan pangan asal hewan (Suharyanto, 2009). Daging merupakan bahan pangan asal hewan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi disamping susu dan telur (Jauhari, 2013). Daging sapi merupakan salah satu jenis daging yang cukup digemari oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Kota Kupang. Hal ini dikarenakan daging sapi merupakan bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh (Astawan, 2004). Permintaan pangan hewani dari waktu ke waktu terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, perubahan gaya hidup, kesadaran gizi, dan perbaikan tingkat pendidikan (Faridz, 2007). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan (2013), produksi daging sapi (ton) di NTT selama 4 tahun berturut dari tahun 2010 sampai 2012 adalah 4.507, 8.668 dan 13.595. Peningkatan produksi daging sapi perlu diimbangi juga dengan adanya penanganan atau pengolahan yang baik terhadap daging sapi yang akan dikonsumsi masyarakat, karena daging sapi sangat mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme (Wuwur, 2003). Upaya ini perlu dilakukan untuk menjamin masyarakat sebagai konsumen untuk mendapatkan daging sapi yang aman dan layak untuk dikonsumsi (Hafriyanti dkk., 2008). Pengolahan daging pada dasarnya bertujuan untuk memperpanjang masa simpan dan mengembangkan cita rasa. Lama masa simpan daging secara umum sangat berkaitan dengan jumlah dan pertumbuhan bakteri. Pengolahan dilakukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Sembong, 2003). Salah satu produk olahan daging di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih diolah secara tradisional adalah dendeng sapi. Jenis dendeng yang banyak dikembangkan oleh masyarakat Kota Kupang adalah dendeng iris yang mempunyai tekstur lembut, aroma yang khas dan kering. Dendeng sapi merupakan hasil kombinasi proses kuring (penambahan garam, gula dan bumbu) dan pengeringan sehingga didapatkan masa simpan yang relatif lebih lama, dengan kadar air maksimal 12 % (SNI, 1992). Teknik pengolahan ini bila dilakukan dengan baik, maka dendeng dapat disimpan selama berbulan-bulan tanpa
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
mengalami banyak penurunan mutu
(Suharyanto, 2008), serta memenuhi kriteria daging
hasil olahan yang ASUH yaitu Aman, Sehat, Utuh dan Halal (Bintoro, 2009). Pengolahan daging menjadi produk dendeng ini sudah biasa dilakukan, bahkan merupakan usaha turun temurun dan dikenal sebagai salah satu produk olahan daging unggulan asal NTT, khususnya Kota Kupang (Costa, 2013). Pengolahan dendeng sapi di Kota Kupang masih bersifat tradisional dan tergolong sebagai industri rumah tangga. Kondisi ini dapat memungkinan dendeng terkontaminasi oleh mikroorganisme. Faktor yang memperbesar kemungkinan kontaminasi ini yaitu kandungan air yang belum memenuhi syarat karena penjemuran dendeng yang belum benar-benar kering dan merata pada seluruh permukaan dendeng, sanitasi yang rendah dari pekerja maupun alat dan bahan yang kurang diperhatikan kebersihannya (Costa, 2013). Escherichia coli adalah salah satu bakteri yang dapat mencemari dendeng sapi (Harlia dan Suryanto, 2010). E. coli merupakan bakteri yang mudah sekali menyebar dan mengkontaminasi alat maupun bahan yang bersentuhan langsung dengannya, terutama selama proses pengolahan (Imam dkk., 1999 cit. Faridz dkk., 2007). Bakteri ini digunakan sebagai indikator dari suatu kondisi higienis dan kualitas dari produk daging hasil olahan, dalam hal ini dendeng sapi (Supardi, 1999 cit. Soputan, 2004). Keberadaan E. coli dalam bahan pangan, dalam hal ini dendeng sapi, memiliki arti yang sangat penting mengingat hal tersebut berhubungan langsung dengan kesehatan manusia (foodborne disease). BMCM E. coli pada dendeng sapi adalah < 3 MPN/g (SNI, 2009). Beban cemaran ini akan memberikan gambaran keamanan produk dendeng sapi untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Kondisi ini yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian tentang tingkat kontaminasi E. coli pada dendeng sapi yang berasal dari industri rumah tangga di Kota dan Kabupaten Kupang. Berkaitan dengan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui apakah dendeng sapi yang berasal dari industri rumah tangga di Kota dan Kabupaten Kupang telah terkontaminasi E. coli. 2. Mengetahui apakah tingkat kontaminasi E. coli pada dendeng sapi yang berasal dari industri rumah tangga di Kota dan Kabupaten Kupang sudah sesuai dengan Batas Maksimum Cemaran Mikroba menurut SNI 7388: 2009.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Metode Peneliitian Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Mei 2014, yang meliputi survei pada akhir bulan April 2014, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan sampel, pengujian dan pengambilan hasil pada bulan Mei 2014. Survei dan pengambilan sampel dilakukan pada 7 industri rumah tangga yang memproduksi dendeng sapi di Kota dan Kabupaten Kupang, yaitu industri rumah tangga Citra Binoni, Angkasa Timor, Abon Jaya, Ibu Soekiran, Yudisthira, Tambers dan Tunas Baru. Pemeriksaan sampel dendeng sapi dilakukan di laboratorium Unit Pelayanan Teknis (UPT) Veteriner Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Alat dan Bahan Berdasarkan SNI 2897:2008, bahan yang digunakan dalam metode pengujian Total Plate Count (TPC), Most Probable Number (MPN) dan Biokimia atau Indole, Methylred, Voges-Proskaeur, dan Citrat (IMViC) adalah sampel dendeng sapi,
Plate Count Agar
(PCA), Buffered Pepton Water 0,1% (BPW), Lauryl Sulfate Tryptose Broth (LSTB), Escherichia Coli Broth (ECB), Levine Eosin Methylene Blue Agar (L-EMBA), Methyl RedVoges Proskauer (MR-VP), Plate Count Agar (PCA) miring, Koser Citrate Broth (KCB), Tryptose Broth (TB), Reagen Kovac, Reagen Voges-Proskauer, Reagen Methyl Red, αnaphtanol, KOH 40% dan akuades. Peralatan yang digunakan adalah cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik, botol media, penghitung koloni (coloni counter), pen coloni, gunting, pinset, jarum inokulasi (ose), stomacher, pembakar bunsen, timbangan, magnetik stirrer, pengocok tabung (vortex), inkubator, penangas air, lemari steril, lemari pendingin, freezer, autoklaf, erlenmeyer 500 ml, kertas alumunium foil, rak tabung reaksi, tabung Durham dan wadah steril.
Prosedur Penelitian Pengujian TPC (SNI 2897 : 2008) Pengujian TPC dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk dengan cara menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
A. Persiapan sampel Dendeng sapi ditimbang sebanyak 25 g secara aseptik, kemudian dimasukkan ke dalam wadah/kantong steril. Sebanyak 225 ml larutan Buffered Pepton Water 0,1% (BPW) steril ditambahkan pada kantong steril yang berisi dendeng sapi, lalu dihomogenkan dengan stomacher selama 1- 2 menit. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan larutan dengan pengenceran 10-1. B. Cara Pengujian Hasil pengenceran 10-1 diambil dengan menggunakan pipet steril sebanyak 1 ml, lalu dimasukan ke dalam larutan 9 ml BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Lakukan pengenceran 10-3, 10-4, 10-5 dan seterusnya dengan cara yang sama sesuai kebutuhan. Hasil dari setiap pengenceran diambil sebanyak ml suspensi dan dimasukkan ke dalam cawan petri secara duplo, lalu ditambahkan 15 ml sampai dengan 20 ml PCA yang sudah didinginkan hingga suhu 45 0C pada masing-masing cawan yang sudah berisi suspensi. Supaya larutan contoh dan media PCA tercampur seluruhnya, lakukan pemutaran cawan ke depan dan ke belakang atau membentuk angka delapan dan diamkan sampai menjadi padat. Cawan kemudian diinkubasi pada temperatur 34 0C sampai dengan 36 0C selama 24 jam sampai dengan 48 jam dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik.
Pengujian MPN E. coli ( SNI 2897 : 2008) Pengujian MPN terdiri dari uji penduga dan uji konfirmasi dengan menggunakan media cair di dalam tabung reaksi dan dilakukan berdasarkan jumlah tabung positif. Pengamatan tabung positif dapat dilihat dengan timbulnya gas di dalam tabung Durham.
A. Persiapan sampel Dendeng sapi ditimbang sebanyak 25 g, kemudian dimasukkan ke dalam kantong steril lalu ditambahkan 225 ml larutan BPW 0,1% steril ke dalam kantong steril yang berisi dendeng sapi, lalu dihomogenkan dengan stomacher selama 1 menit sampai dengan 2 menit. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan larutan dengan pengenceran 10-1.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
B. Cara Pengujian Pengujian menggunakan seri 3 tabung, uji isolasi-identifikasi dan uji biokimia).
1) Pengenceran Seri 3 tabung Uji Pendugaan Hasil dari pengenceran 10-1 diambil dengan menggunakan pipet steril sebanyak 1 ml, lalu dipindahkan ke dalam larutan 9 ml BPW untuk mendapatkan pengenceran 10 -2. Cara yang sama dilakukan untuk membuat pengenceran 10-3. Hasil dari tiap pengenceran diambil dengan menggunakan pipet, masing-masing 1 ml dan dimasukan ke dalam 3 seri tabung LSTB yang berisi tabung Durham, kemudian dinkubasi pada temperatur 35 0C selama 24 jam. Adanya gas yang terbentuk di dalam tabung Durham, menunjukkan hasil uji yang positif .
Uji Konfirmasi (Peneguhan) Hasil biakan positif dari setiap tabung LSTB Dipindahkan dengan menggunakan pipet ke dalam tabung ECB yang berisi tabung Durham, lalu diinkubasikan pada temperatur 45,5 0C selama 24 jam, jika hasilnya negatif diinkubasi kembali selama 48 jam. Gas yang terbentuk di dalam tabung Durham menunjukkan hasil uji yang positif. Digunakan tabel MPN untuk menentukan nilai MPN berdasarkan jumlah tabung ECB yang positif sebagai jumlah koloni E. coli per milliliter atau per gram. pada bagian pusat koloni dengan metalik kehijauan yang mengkilat pada media LEMB. Diambil koloni yang diduga dari masing-masing media L-EMB dengan menggunakan ose dan dipindahkan ke PCA miring, lalu diinkubasi pada temperatur 35 0C selama 18 sampai 24 jam untuk uji biokimia. 3) Pengujian Biokimia (Uji IMViC) (SNI 2897 : 2008) Uji Pereduksi Indole Dilakukan inokulasi pada TB dari tabung PCA yang berisi koloni dan diinkubasi pada temperatur 35 0C selama 24 jam, lalu tambahkan 0,2 ml sampai 0,3 ml reagen Kovac. Hasil reaksi positif ditandai dengan adanya bentuk cincin merah pada lapisan atas media, sedangkan hasil reaksi negatif ditandai dengan terbentuknya cincin kuning.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Uji Voges-Proskauer (VP) Hasil dari biakan pada media PCA, diinokulasikan ke tabung yang berisi 10 ml media MR-VP lalu diinkubasikan pada temperatur 35 0C selama 48 jam Diambil 5 ml MR-VP dan dipindahkan ke tabung reaksi, lalu ditambahkan 0,6 ml larutan α-naphtanol dan 0,2 ml KOH 40%, kemudian digoyang-goyang. Terbentuknya warna merah muda eosin dalam waktu 2 jam menunjukkan hasil yang positif. Uji Methyl Red (MR) Hasil dari biakan pada media PCA diinokulasikan ke tabung yang berisi 10 ml media MR-VP dan diinkubasikan pada temperatur 35 0C selama 48 jam, lalu tambahkan 2 sampai 5 tetes indikator MR pada tabung. Hasil uji positif ditandai dengan adanya warna merah dan hasil reaksi negatif ditandai dengan adanya warna kuning. Uji Citrate Dilakukan inokulasi dari media agar miring PCA yang berisi koloni ke dalam media KCB lalu diinkubasikan pada temperatur 35 0C selama 96 jam. Terbentuknya kekeruhan hingga terjadinya perubahan warna menjadi biru pada media menunjukkan hasil yang positif. Interpretasi Hasil Klasifikasi E. coli adalah reaksi IMViC dengan pola+ + - - atau - + - -
C. Interpretasi Hasil Akhir Jumlah E. coli dinyatakan berdasarkan hasil MPN, isolasi-identifikasi dan Uji biokimia.
Hasil Dan Pembahasan Penelitian ini menggunakan 14 sampel dendeng sapi, dari 7 industri rumah tangga di Kota dan Kabupaten Kupang. Sampel tersebut untuk diperiksa mengetahui tingkat kontaminasi E. coli. Pengujian tersebut meliputi uji TPC, MPN E. coli dan uji Biokimia/IMViC. Penelitian diawali dengan melakukan pengujian TPC. Pengujian ini menggunakan media PCA, dimana media padat ini digunakan untuk menentukan jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam sampel, tanpa mengidentifikasi jenis mikroorganisme (Hariyati dkk., 2008). Berdasarkan data pada tabel 4 dan gambar 1, terlihat bahwa setiap
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
industri rumah tangga yang memproduksi dendeng memiliki nilai total koloni/TPC yang berbeda, dengan kisaran nilai TPC antara 6,4 x 104 CFU/ml sampai 6,2 x 106 CFU/ml. Hasil perhitungan rata-rata nilai TPC dari semua sampel dendeng sapi yang berasal dari 7 industri rumah tangga ini bila diurutkan, maka dapat diketahui bahwa sampel dari industri rumah tangga Yudisthira memiliki nilai TPC yang melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) pada produk olahan daging, dalam hal ini dendeng sapi, yaitu sebesar 6,2 x 106, setelah itu diikuti dengan industri rumah tangga Ibu Soekiran sebesar 4 x 106, Angkasa Timor sebesar 3,4 x 106, Abon Jaya sebesar 4,5 x 105, Citra Binoni sebesar 4,0 x 105, Tambers sebesar 3,3 x 105 dan Tunas Baru sebesar 6,4 x 104 yang nilai TPC di bawah BMCM pada dendeng sapi. Hal ini mengindikasikan bahwa hampir semua produk dendeng telah terkontaminasi oleh mikroorganisme. Bakteri dan fungi (jamur) adalah mikroorganisme yang sering mencemari dendeng sapi (Harlia dan Suryanto, 2010). Kondisi ini dapat dihubungkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kontaminasi pada dendeng sapi dari setiap tempat pengambilan sampel. Berdasarkan survei dilakukan di setiap industri rumah tangga, dapat dikatakan bahwa hampir semua industri rumah tangga kurang memperhatikan sanitasi dalam segala aspek. Secara umum, karena industri ini bersifat tradisional, alat dan bahan yang digunakan sangat sedehana serta masih menggunakan tenaga manusia, baik selama proses pengolahan dan pengemasan produk dendeng sapi ini. Semua karyawan yang bekerja tidak menggunakan masker maupun sarung tangan. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya kontaminasi secara langsung dari para pekerja yang kurang memperhatikan kebersihan. Alat yang digunakan juga sangat sederhana dan seadanya, bahkan hampir semua alat penjemur dendeng disetiap industri rumah tangga terlihat kurang bersih. Hewan-hewan seperti anjing, bebek dan ayam dapat berkeliaran secara bebas di tempat pengolahan dan penjemuran dendeng sapi dan yang lebih mengkhawatirkan yaitu tempat pengolahan dendeng sapi ini sangat berdekatan dengan kamar mandi. Diketahui juga bahwa hampir semua industri rumah tangga tidak menetapkan ukuran yang pasti untuk ketebalan dari daging yang akan diiris untuk dijadikan dendeng. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada kandungan kadar air dalam daging serta dalam proses pengeringan atau penjemuran. Bentuk potongan daging yang tebal yang diikuti dengan suhu pengeringan yang terlalu tinggi, pada saat proses penjemuran dapat menyebabkan terjadinya “case hardening”, yaitu suatu kondisi ketika bagian luar daging sudah kering, tetapi bagian dalamnya masih basah (Azman, 2006).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tabel 1 Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi No
1.
Nama Industri Rumah Tangga Citra Binoni
Kode Sampel
TPC
Rata-rata Nilai TPC
Positif/ Negatif
Keterang an
103
3,8 x 105 4,3 x 105 5,8 x 106 1,1 x 107 4,5 x 105 4,5 x 105 4,9 x 106 2,9 x 106 6,4 x 106 6,1 x 106 5,6 x 105 1,0 x 106 7,2 x 104 5,6 x 105
4,0 x 105
Positif Positif
> BMCM > BMCM
Positif
> BMCM
Positif
> BMCM
Positif
> BMCM
Positif
> BMCM
Positif
> BMCM
Positif
> BMCM
Positif
> BMCM
Positif
> BMCM
Positif
> BMCM
Positif
> BMCM
Negatif
< BMCM
Positif
> BMCM
104 2.
Angkasa Timor
105 106
3.
Abon Jaya
107 108
4.
Ibu Soekiran
109 110
5.
Yudisthira
111 112
6.
Tambers
113 114
7.
Tunas Baru
115 116
3,4 x 106
4,5 x 105
4 x 106
6,2 x 106
3,3 x 105
6,4 x 104
Keadaan ini dapat diperburuk dengan waktu pengirisan yang cukup lama, karena dalam proses pengolahannya dilakukan secara manual oleh manusia, tanpa menggunakan alat modern maka membutuhkan waktu untuk proses pengirisan daging, terutama apabila daging yang harus diiris cukup banyak. Semakin banyak waktu yang digunakan, maka kemungkinan daging terkontaminasi akan semakin besar, karena daging tersebut lebih lama terpapar dengan udara luar (Purbono, 2008). Pada industri rumah tangga dendeng Yudisthira yang nilai TPC paling tinggi, bisa disebabkan karena kurang diperhatikannya kebersihan dari pekerja maupun alat dan bahan yang digunakan, namun ada beberapa hal yang sedikit berbeda dari industri rumah tangga
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
lainnya, yaitu industri rumah tangga ini tidak mengunakan alat press daging, seperti industri rumah tangga lainnya. Kemungkinan besar, masih banyak kandungan air yang terdapat dalam dendeng sapi tersebut. Menurut Soeparno (2011), kadar air yang tersedia di dalam daging sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan mikroorganisme, dimana aktifitas dari mikroorganime akan berkembang dengan sangat baik. Berdasarkan survei yang dilakukan selain pekerjanya tidak menggunakan masker dan sarung tangan, pada saat proses pengirisan daging terlihat beberapa lalat yang terdapat pada permukaan daging yang telah diiris. Lalat ini dapat berperan sebagai vektor pembawa penyakit. Terlihat juga pada ruangan tempat pengemasan, bagian langit-langit ruangan tersebut tidak tertutup. Hal ini dapat memungkinkan tikus maupun hewan lain mencemari dendeng tersebut.Terlihat juga Pada industri rumah tangga Ibu Soekiran dan Angkasa Timor, hasil produk dendengnya, berasal dari 1 tempat produksi yang sama. Perbedaannya terletak pada nama produk, tempat pengemasan dan tempat penjualan atau pemasarannya berbeda. Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata TPC, industri Ibu Soekiran berada pada posisi ke-2. Kontaminasi bisa disebabkan karena pengaruh selama proses pengantaran dendeng sapi ke tempat pengemasan yang dalam keadaan yang kurang steril. Menurut Endang (2009), bila dalam proses transportasi dilakukan dengan tidak layak dan higienis akan mengakibatkan jumlah mikroba pada daging semakin tinggi. Industri rumah tangga Angkasa Timor, tempat pengolahan dan penjemuran daging berada dekat dengan jalan raya, karena industri ini memang lokasinya tepat berada di pinggir jalan raya yang hanya ditutup dengan seng sebagai pembatas. Berbeda dengan lokasi industri rumah tangga lainnya yang berada agak jauh dari jalan raya. Hal inilah yang dapat membuat dendeng tercemar oleh debu, maupun kotoran lainnya. Menurut Depkes (2004), tempat pengolahan daging harus cukup jauh dari sumber pencemaran seperti tempat sampah, tempat pengolahan limbah terbuka dan jalanan raya, sehingga dapat menjamin makanan tidak mengalami pencemaran. Berdasarkan survei, lokasi pencucian motor sangat dekat dengan tempat pengolahan dalam hal ini pencucian daging dan pencampuran bumbu, serta tempat penjemuran. Resiko air bekas pencucian motor yang mengandung kotoran dapat mencemari daging. Industri rumah tangga Abon Jaya, lokasinya juga sama seperti industri Angkasa Timor, namun tempat pengolahan dan penjemuran masih berada agak jauh di belakang rumah dari pemilik industri ini. Industri Abon Jaya mempunyai nilai TPC pada urutan ke-4. Nilai
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
TPC yang juga melebihi BMCM ini dapat disebabkan karena beberapa hal yang ditemukan saat dilakukan survei pada rumah industri rumah tangga tersebut. Salah satunya yaitu tempat pengolahan dan penjemuran yang lokasinya bersebelahan dengan tempat pembuatan furniture. Hasil serutan kayu maupun sisa pembakaran kayu yang terbawa oleh angin dapat mengkontaminasi dendeng. Hal lain yang juga diketahui yaitu pada tempat pengolahan, khususnya tempat memasak terdapat selokan yang letaknya sangat berdekatan. Pada waktu survei dilakukan, masih terdapat air yang tergenang pada selokan tersebut. Pada selokan tersebut bisa saja dihinggapi lalat yang akhirnya dapat mencemari dendeng yang tempat pengolahannya bersebelahan dengan selokan tersebut. Tempat pengolahan juga bersebelahan dengan tempat pembuangan sampah, dimana saat survei dilakukan masih terdapat asap dan kotoran bekas pembakaran. Beberapa hal inilah yang memperbesar resiko dendeng tercemar oleh mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata TPC, industri rumah tangga Citra Binoni berada pada urutan ke-5 setelah industri rumah tangga Yudisthira, Soekiran, Angkasa Timor dan Abon Jaya. Lokasi dari industri ini berbeda dengan industri rumah tangga lainnya. Lokasi dari industri ini sangat berada jauh dari jalan raya. Berbeda dengan industri rumah tangga lainnya, untuk proses perendaman dengan bumbu-bumbu dan penjemuran dilakukan dalam waktu yang lebih lama. Proses perendaman dilakukan selama 3 hari dan penjemurannya selama 2 hari. Berdasarkan perhitungan nilai TPC dari industri ini juga masih melebihi BMCM. Kontaminasi dendeng pada industri rumah tangga ini bisa disebabkan karena lokasi industri ini berada tepat di sebelah kandang tempat pemeliharaan ternak sapi dan kambing yang dapat berpengaruh pada produk dendeng sapi yang dihasilkan. Lokasi tempat pengolahan dan penjemuran juga memiliki keadaan tanah yang lembab, berbeda dengan industri rumah tangga lainnya yang kering dan berbatu. Keadaan tanah yang lembab ini disebabkan karena adanya aliran air yang sudah bercampur feses dan urin sapi dan kambing yang berasal dari tempat pemeliharaan ternak yang berada tepat di depan tempat pengolahan dendeng ini. Keadaan ini diperparah dengan dibuangnya air bekas pencucian daging maupun bekas mencuci perabot rumah tangga di tempat tersebut. Hal inilah yang menyebabkan tanah di sekitarnya menjadi kotor dan berlumut. Diketahui juga di bawah tempat penjemuran dendeng juga banyak terdapat lalat karena banyaknya air yang tergenang tepat di bawah tempat
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
penjemuran dendeng. Keadaan seperti ini dapat memperbesar resiko dendeng sapi terkontaminasi oleh mikroorganisme. Industri rumah tangga Tambers memiliki nilai TPC yang lebih rendah dibanding 5 industri rumah tangga sebelumnya. Tidak seperti industri rumah tangga lainnya, pada industri rumah tangga Tambers tidak dilakukan survei, karena industri rumah tangga ini telah pindah ke lokasi yang belum diketahui jelas alamat pastinya. Produk dendeng sapi dari industri ini tetap diambil dan dilakukan pemeriksaan laboratorium karena masih beredar di beberapa pasar modern di Kota Kupang. Industri rumah tangga Tunas Baru adalah satu-satunya industri rumah tangga yang produk dendengnya memiliki nilai TPC di bawah BMCM. Seperti industri rumah tangga Tambers, industri Tunas Baru tidak dilakukan survei ke lokasi tempat produksinya karena industri rumah tangga ini tidak beroperasi lagi. Produk dendeng dari industri rumah tangga ini tetap diambil dan dilakukan pemeriksaan karena produknya masih dijual di berbagai pasar modern di Kota Kupang. Rendahnya nilai TPC dari industri rumah tangga ini bisa disebabkan karena diterapkannya kondisi sanitasi pada beberapa aspek selama proses produksi dendeng. Pengujian MPN E. coli adalah kelanjutan dari tahap pengujian TPC. Pengujian MPN E. coli terbagi menjadi 3 jenis pengujian, yaitu pengujian seri 3 tabung (uji penduga dan peneguhan), isolasi dan identifikasi dan IMViC.
Pengujian MPN Escherichia coli
merupakan perkiraan (estimasi) jumlah mikroba pada suatu tingkat pengenceran dengan menggunakan media LSTB dan ECB (Endang, 2009). Berdasarkan pengujian seri 3 tabung (uji penduga) dengan menggunakan media LSTB, terlihat beberapa tabung dari pengenceran awal menunjukkan hasil yang positif, yaitu adanya pembentukan gas yang terlihat dalam tabung maupun di atas permukaan tabung, kemudian semakin tinggi pengenceran tersebut, semakin terlihat juga beberapa tabung yang menunjukkan hasil yang negatif, yaitu tidak ada kekeruhan dan pembentukan gas. Sesuai dengan prinsip pengujian MPN E. coli yaitu semakin tinggi pengenceran maka akan semakin rendah juga jumlah mikroorganisme (Hariyati dkk., 2008). Tabung yang menunjukkan hasil positif dilanjutkan ke tahap pengujian berikutnya, sedangkan tabung yang negatif tidak dilanjutkan lagi. Uji peneguhan dengan menggunakan media ECB adalah uji lanjutan setelah uji pendugaaan. Perubahan tidak terlalu banyak terjadi pada pengujian ini. Perubahan terjadi pada salah satu tabung dari sampel 103, tabung dari sampel 113 dan 115
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
yang menunjukan perubahan dengan hasil negatif, selain dari itu semuanya menunjukkan hasil yang positif yaitu adanya gas pada tabung. Pembentukkan gas disebabkan karena kemungkinan besar mikroorganisme tersebut adalah salah satu jenis bakteri coliform, yang mana bakteri ini dapat menghasilkan hasil fermentasi laktosa yaitu asam dan gas. Mikroba ini mampu menggunakan laktosa sebagai sumber karbon sehingga terjadilah proses fermentasi yang menghasilkan asam maupun gas. Asam dapat dilihat dari kekeruhan media penanaman sedangkan gas dapat dilihat dalam tabung Durham berupa gelembung udara (Wandrivel dkk., 2008). Terbentuknya gelembung gas pada pada permukaan tabung tidak sepenuhnya dipastikan karena adanya bakteri coliform yang dapat menfermentasikan laktosa, namun bisa juga karena terjadi kesalahan selama pengujian peneguhan. Bakteri coliform merupakan kelompok bakteri Gram-negatif, berbentuk batang, bersifat anaerob fakultatif yang fermentasi laktosa untuk menghasilkan asam dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 35 0C. Kesalahan yang mungkin terjadi yaitu kesalahan selama penanaman biakan ke media ECB dengan menggunakan ose, sehingga mengakibatkan gelembung gas yang terbentuk bukan berasal dari adanya bakteri melainkan karena kesalahan saat menginokulasikan biakan bakteri dari media LSTB ke media ECB. Hal ini mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam menginterpretasikan hasil akhir dari ECB. Pengujian tahap selanjutnya yaitu isolasi dan identifikasi dengan menggunakan media L-EMBA. L-EMBA mengandung indikator methilen blue yang menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif (Wandrivel dkk., 2008). Data pada tabel 4 menunjukkan bahwa hampir semua sampel dendeng sapi mempunyai nilai TPC yang kurang dari BMCM, selain itu berdasarkan hasil uji peneguhan pada media ECB juga terlihat banyak tabung menunjukkan hasil yang positif dengan terbentuknya gas, namun pada pengujian isolasi dan identifikasi di media EMBA tidak semua koloni bakteri E. coli spesifik tumbuh. Hal ini mengindikasikan bahwa bakteri yang berasal dari media ECB tidak smuanya merupakan bakteri E. coli. Faktor lain yang juga mungkin dapat terjadi misalnya karena adanya kesalahan selama proses penanaman bakteri dengan menggunakan ose pada media EMBA. Diduga ose yang digunakan untuk penanaman berada dalam kondisi yang panas sehingga menyebabkan bakteri tidak tumbuh pada saat ditanam di media EMBA. Data pada tabel 5 jelas menunjukkan bahwa hanya terdapat 4 cawan media L-EMBA dari 4 sampel dendeng sapi yang menunjukkan adanya titik berwarna hitam dan hijau metalik pada media EMBA. Empat sampel dendeng sapi tersebut berasal dari 3 produk dendeng yaitu
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
industri rumah tangga Yudisthira (2 sampel), Citra Binoni (1 sampel) dan Abon Jaya (1 sampel). Hasil koloni dari media L-EMBA kemudian diinokulasikan pada PCA miring untuk pengujian tahap berikutnya yaitu uji Biokimia/IMViC yang merupakan tahap akhir dari pengujian MPN Escherichia coli. Uji Biokimia/IMViC terbagi menjadi 4 pengujian yaitu uji Indole, Methyl Red, Voges Proskauer dan Citrate. Tabel 5 menunjukkan bahwa semua sampel pada pengujian Indole (indol) menunjukkan hasil yang positif, yaitu terbentuknya cincin merah pada lapisan atas media. Terbentuknya cincin merah ini karena adanya bakteri grup fekal dari pengujian sebelumnya yang diinokulasikan pada TB (Tryptone broth) ini dapat memproduksi indol. Bakteri ini mempunyai kemampuan untuk memecah asam amino triptofan dari TB, dan menghasilkan suatu senyawa berbau busuk (indol). Adanya indol akan menyebabkan reagen kovacs yang mengandung amil alkohol yang ditambahkan pada media TB ini berubah warnanya menjadi merah muda (BPOM, 2008). Uji selanjutnya yaitu uji Methyl Red (MR). Uji ini dilakukan untuk membedakan strain bakteri coliform yaitu E. coli dan Enterobacter Aerogenes (Wandrivel dkk., 2008). Produksi asam dari glukosa dengan Methyl Red digunakan sebagai indikator penurunan pH yang dapat membedakan bakteri yang terdapat di dalam sampel dendeng sapi. Berdasarkan hasil pengujian MR terlihat bahwa semua sampel yang diuji menunjukkan hasil yang positif, yaitu terjadinya perubahan warna menjadi merah. Perubahan warna ini terjadi karena selama fermentasi, bakteri yang diduga E. coli (grup fekal ) akan menghasilkan asam lebih banyak daripada Enterobacter aerogenes (non fekal). Asam yang dihasilkan oleh E. coli dapat menurunkan pH media yang mengandung 0,5% glukosa sehingga mencapai pH 5, yang akhirnya akan membuat indikator Methyl Red yang diteteskan pada tabung akan membuat perubahan warna menjadi merah, sedangkan asam yang dihasilkan oleh E. aerogenes hanya dapat menurunkan pH sampai sekitar 6 atau lebih, sehingga apabila Methyl Red diteteskan pada tabung akan menyebabkan perubahan warna menjadi kuning (BPOM, 2006). Pengujian selanjutnya yaitu uji Voges Proskauer (VP). Uji ini dilakukan untuk mengklasifikasi bakteri yang mampu memproduksi acetylmethyl-carbinol (asetoin) (Wandrivel dkk., 2008). Berdasarkan hasil uji VP didapatkan hasil yang positif dan negatif. Hasil yang positif ditandai dengan perubahan warna menjadi merah muda eosin, terlihat pada 2 sampel yaitu sampel 107 dan 112, sedangkan hasil yang negatif, ditandai dengan tidak adanya perubahan warna,
terlihat pada 2 sampel terakhir yaitu sampel 104 dan 111.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Perubahan warna ini terjadi karena telah terbentuknya asetil metil karbonil (asetoin). Asetil metil karbonil (asetoin) adalah hasil sampingan dari metabolisme karbohidrat E. aerogenes. Asetoin yang direaksikan dengan KOH (potassium hidroksida) akan membentuk diasetil, kemudian penambahan larutan alfa-naftol pada diasetil yang akan membuat terjadinya perubahan warna menjadi merah muda muda eosin (BPOM, 2008). Perubahan warna ini menunjukkan bahwa jenis bakteri yang terdapat dalam tabung adalah E. aerogenes, karena hanya E. aerogenes saja yang dapat membentuk metil karbonil (asetoin) yang merupakan hasil samping metabolisme karbohidrat. Hasil yang negatif kemungkinan besar adalah bakteri grup fekal E. coli, karena bakteri ini tidak dapat membentuk asetoin. Hal inilah yang memberikan gambaran bahwa E. coli dinyatakan ada apabila tidak ada perubahan warna atau hasilnya negatif, sehingga E. aerogenes digunakan sebagai kontrol positif dan E. coli sebagai kontrol negatif (Endang, 2009). Pengujian terakhir dari uji Biokimia (IMViC) adalah uji Citrate (Sitrat). Pengujian ini dilakukan untuk menguji kemampuan mikroorganisme dalam menggunakan sitrat di dalam media sebagai sumber karbon (Ferdiaz, 1993). Berdasarkan hasil uji Citrate, didapatkan hasil 2 sampel yang positif yaitu sampel 104 dan 107, sedangkan 2 sampel yang negatif yaitu sampel 111 dan 112. Hasil uji positif ditandai dengan adanya kekeruhan pada media disertai dengan adanya perubahan warna menjadi biru. Perubahan warna ini terjadi karena adanya penggunaan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon di dalam medium Koser Citrate oleh E. aerogenes. Sedangkan E. coli tidak mampu menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, sehingga pada media tidak menunjukkan adanya perubahan warna (tetap berwarna hijau) atau hasil negatif untuk uji sitrat (Nugraheni, 2010). Hasil positif untuk E. coli pada sampel dendeng sapi dibuktikan dengan pola hasil reaksi IMViC yaitu + + - -. Artinya pada uji Indole menunjukkan hasil positif (+), MR positif (+), VP negatif (-), dan Citrate negatif (-). Sampel yang positif pada uji IMViC menunjukkan bahwa sampel tersebut positif mengandung bakteri E. coli spesifik, sedangkan sampel yang negatif seperti sampel 104 menunjukkan tipe organisme Typical intermediate dan sampel lainnya diduga merupakan tipe E. coli yang tidak spesifik atau jenis bakteri lain. Berdasarkan interpretasi dengan hasil reaksi IMViC, diketahui hanya terdapat 1 sampel, yaitu sampel dari industri rumah tangga Yudisthira yang positif mengandung bakteri E. coli yang spesifik. Bakteri E. coli merupakan indikator kontaminasi dari tinja. Kontaminasi dari bakteri E.coli pada daging sapi terkait erat dengan masih rendahnya masalah sanitasi, terutama dalam proses penanganan atau pengolahan daging (Soeparno, 2011). Proses
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
penanganan dan pengemasan daging yang kurang steril ini misalnya kurang diperhatikannya aspek sanitasi dan higiene dari para pekerja. Hal inilah yang dapat mengakibatkan bakteri E. coli yang merupakan bakteri Gram negatif hidup pada usus besar manusia sebagai flora normal ini, dapat memasuki saluran pencernaan melalui bahan makanan seperti bahan asal hewan dan produk olahannya dan dapat menyebabkan diare yang akut (gastroenteritis), sehingga sangat perlu diwaspadai (Endang, 2009).
Simpulan Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Hasil pengujian TPC menunjukkan bahwa hampir semua sampel dendeng sapi telah terkontaminasi mikroorganisme, dengan total jumlah koloni yang melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM). Dendeng sapi dari industri rumah tangga Yudisthira adalah sampel yang memiliki nilai TPC paling tinggi, yaitu 6,2 x 106 CFU/gram dan dendeng yang nilai TPC < BMCM adalah sampel dari industri rumah tangga Tunas Baru, dengan nilai TPC 6,4 x 104 CFU/gram. Tingkat
kontaminasi E. coli pada semua dendeng sapi hampir
semuanya lebih rendah daripada BMCM. Industri rumah tangga Yudisthira merupakan satusatunya industri yang produk dendengnya berada di atas BMCM. Hasil pengujian akhir dari uji MPN E. coli, yaitu uji IMViC menunjukkan bahwa hanya 1 sampel yang positif mengandung E. coli spesifik. Dibuktian dengan terbentuknya pola + + - - pada hasil reaksi IMViC. Sampel tersebut adalah sampel yang berasal dari industri rumah tangga Yudisthira. Kontaminasi bakteri E. coli pada sampel dendeng sapi, dapat disebabkan karena kurang diperhatikannya kebersihan dalam beberpa aspek, terutama kebersihan dari para pekerjanya maupun cara penanganan yang kurang memenuhi syarat kesehatan.
Daftar Pustaka Abrianto.2012, ‘Pertanggungjawaban Terhadap Produk Industri Rumah Tangga (Home Industry) Tanpa Izin Dinas Kesehatan’, Skripsi, SH, Fakultas Hukum, Universitas Hasanudin. Makasar.
Anggrahini, S. 2008, ‘Keamanan Pangan Kaitan dengan Bahan Tambahan dan Kontaminan’, Dipresentasikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas teknologi Pertanian UGM, Yokyakarta. 1 April 2008, UPT Perpustakaan UGM, Yokyakarta, hal 2-3.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Asri, I. 2010, ‘Analisis Usaha Industri Emping Melinjo Skala Rumah Tangga di Kabupaten Magetan’, Skripsi, SP, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Astawan, M. 2004, Dapatkan Protein dari Dendeng, Diakses 06 Maret 2014, . Azman. 2004, Pembuatan Dendeng Bermutu dari Jenis Daging dan Cara Pengeringan yang Berbeda. Jurnal Stigma, Vol XII, No . 4, hal. 486-490. Azman. 2006, Peningkatan Mutu Dendeng dengan Metode Tenda Pengering, Laporan hasil penelitian tahun 2005-2006, Balai Pengkajian Teknotogi Pertanian Sumatera Barat Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. 2012, Data Kandungan Gizi Bahan Pangan dan Hasil Olahannya. Jakarta, BKPP. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2008, Pengujian Mikrobiologi Pangan, Jakarta, BPOM Republik Indonesia. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2006, Metode Analisis Mikrobiologi Suplemen, Jakarta, Pusat Pengujian Obat dan Makanan Republik Indonesia. Badan Petunjuk Pengolahan dan Teknologi. 2000, Dendeng Sayat, Jakarta, BPP Teknologi. Badan Pusat Statistik. 2002, Data Industri Kerajinan Rumah Tangga Dalam Sensus Ekonomi. Jakarta Bintoro, P. 2009, ‘Peranan Ilmu dan Teknologi Pangan Asal Ternak’, Dipresentasikan pada Pidato Pengukuhan Peresmian Jabatan Guru Besar dalam Teknologi Hasil Ternak pada Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang, 22 Januari 2009, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal 7. Costa, W. 2013, Memanfaatkan Daging Sapi Tetelan dalam Pembuatan Dendeng Giling. Karya Ilmiah, Kupang, Balai Besar Pelatihan Peternakan Kota Kupang. Departemen Kesehatan RI. 2004, Bakteri Pencemar Makanan dan Penyakit Bawaan Makanan, Modul 4, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. 2013, Data Produksi Daging Sapi Menurut Provinsi, Jakarta. Djaafar, T.F., Rahayu, E.S. dan Rahayu, S. 2006, ‘Cemaran Mikroba pada Susu dan Produk Unggas’. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Diakses pada 23 Maret 2014, < http://peternakan .litbang.deptan.go,id>. Djaafar, T.F. dan Rahayu, S. 2007, Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian, Penyakit yang Ditimbulkan dan Pencegahannya, Jurnal Litbang Pertanian, 26(2):67-75.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Endang, S. 2009, ‘Tinjauan Bahan Pangan Asal Hewan yang Asuh berdasarkan Aspek Mikrobiologi di DKI Jakarta’. Jakarta. Diakses pada 23 Maret 2014, . Fardiaz, S. 1993, Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Faridz, R., Hafiluddin. dan Anshari, M. 2007, Analisis Jumlah Bakteri dan Keberadaan Escherichia coli pada Pengolahan Ikan di PT. Sumenep, Jurnal Ilmu Kelautan, 4(2):9596. Handiwirawan, E. dan Subandriyo. 2002, Potensi Keragaman Sumber daya Genetik Sapi Bali, Jurnal Balai Penelitian Ternak, 59: 1-9. Harlia, E. dan Suryanto, D. 2010, ‘Keamanan Dendeng yang dijual di Pasar Tradisional ditinjau dari Cemaran Bakteri Patogen’, Dipresentasikan pada Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan 2010 Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Jatinagor, 4 November 2010, hal 4. Hariyati, S., Rosita, E. dan Elza. 2008, Pengujian Mikrobiologi Pangan. Jurnal Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 9(2) : 1-9. Hafriyanti., Hidayati. dan Elfawati. 2008, Kualitas Daging Sapi Dengan Kemasan Plastik PE (Polyethilen) dan Plastik PP (Polypropilen) dipasar Arengka Pekan Baru, Jurnal Peternakan, 5(1):22-27. Jalaludin. 2012, Analisa Bakteri Escherichia coli di Kolam renang Ulee Kota Banda Aceh, Karya Tulis Ilmiah, Akademi analisis Kesehatan, Banda Aceh. Jauhari, A. 2013, Dasar- dasar Ilmu Gizi, Jaya Ilmu, Yokyakarta. Kristina, C. 2005, ‘Efektifitas Kunyit Terhadap Bakteri dalam Daging Sapi’, Skripsi, SP, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Lawrie. 2003, Ilmu Daging, Edisi Kelima, Terjemahan A. Parakkasi, UI. Press, Jakarta. Mawaddah, A. 2013, ‘Distribusi Spasial dan Karakteristik Industri Rumah Tangga di Kecamatan Unggaran’, Skripsi, SPd, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Semarang. Ngabito, S. 2013, ‘Studi Cemaran Bakteri pada Daging Sapi yang di Jual di Pasar Tradisional Kota Gorontalo’, Skripsi, SPd, Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo. Nugraheni. 2010, ‘Analisis Mikrobiologis Abon ikan’, Laporan Magang DIII. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Nurlina., Fakhrurrazi. dan Sulasmi. 2003, Hubungan Antara Aktivitas Air Dan Ph Terhadap Bakteri Pada Tiga Metode Pembuatan Daging Kering Khas Aceh (Sie Balu). Diakses pada tanggal 6 Maret 2014, <www. 222.124.186.229/gdl40/go.php?id=gdlnode-gdl... ().> Pawe, S. 2007, ‘Peranan Industri Rumah Tangga dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat di Desa Roworena Kabupaten Ende, Skripsi, SPd, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri. Malang. Pelczar, M. 2008, Dasar- dasar Mikrobiologi. Terjemahan R. Hadioetomo, UI Press, Jakarta. Purbono, K. 2008, Rekayasa Mesin Pengiris Daging Sapi Sebagai Bahan Pembuatan Dendeng, Karya Tulis Ilmiah, AMd, Politeknik Negeri Semarang, Semarang Rahardjo, S. 2010, ‘Aplikasi Madu sebagai Pengawet Daging Sapi Giling Segar selama proses Penyimpanan’, Skripsi, SP, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Salvia, R., Siregar, R., Nefri, J. dan Noor, P.S. 2000, ‘Penggunaan Tenda Pengering sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Dendeng’, Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Pertanian, Padang, 21-22 Maret 2000. Sembong, R. 2003, ‘Pengaruh Kadar Garam Terhadap Jumlah Total Bakteri Kualitas Organoleptik Daging Se’I’, Skripsi, SPt, Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Soeparno. 2011, Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging, Gadjah Mada University Press, Yokyakarta. Soputan, M. 2004, ‘Dendeng Sapi Sebagai Alternatif Pengawetan Daging’, Disertasi, Dr., Institut Pertanian Bogor, Bogor. Standar Nasional Indonesia (SNI). 1992, SNI 01-2908-1992 tentang Dendeng Sapi. Badan Standar Nasional, Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba Dalam Daging, Telur dan Susu serta Hasil Olahannya, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 2009, SNI 7388:2009: Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Suharyanto. 2009, ’Pengolahan Bahan Pangan Hasil ternak’, Bahan Ajar, Diakses pada 20 Maret 2014, /http://suharyanto.wordpress.com. Suharyanto. 2008, ‘Kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak’, Bahan Ajar, Diakses pada 20 Maret 2014, .
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Suharyanto, R. Priyanto, dan Gunardi. 2008, Sifat Fisiko-Kimia Dendeng Daging Giling terkait Cara Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda. Jurnal Media Peternakan, 31: 99-106. Sutaryo., dan Mulyani, S. 2004, Pengetahuan Bahan Olahan Hasil Ternak dan SNI. Semarang. Pustak Undip, hal 4-6. Syamsir., dan Elvira. 2008, ‘Mikroba pada Daging Giling’, Majalah Sains Biologi, Diakses pada 23 Maret 2014, www.id.shvoong.com. Usmiati, S. 2010, ‘Pengawetan Daging Segar dan Olahan’, Bogor : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Wandrivel, R., Suharti, N. dan Lestari, Y. 2008. Kualitas Air Minum Yang Diproduksi Depot Air Minum Isi Ulang Di Kecamatan Bungus Padang Berdasarkan Persyaratan Mikrobiologi. Jurnal Kedokteran, 1(3) : 129-133. Wuwur, M. 2003, ‘Tingkat Pertumbuhan Mikroba pada Daging yang divakum dan Disimpan pada Suhu 5 0C, Skripsi, SPt, Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana. Kupang.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Ancaman Penyakit Brucellosis Pada Manusia Annytha I.R. Detha1) dan Fenny A. Bili2) 1)
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Kupang
Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang-Nusa Tenggara Timur, Email: [email protected] 2)
Unit Pelaksana Teknis Daerah Veteriner, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur
Abstrak Brucellosis adalah suatu penyakit pada ternak yang bersifat menular dan bersifat zoonosis. Bruselosis menimbulkan efek bagi ekonomi suatu negara sehingga bruselosis masih menjadi penyakit yang sangat ditakuti. Brucellosis memiliki wilayah penyebaran yang luas. Kejadian brucellosis utamanya menjadi masalah pada negara berkembang. Setiap tahun sekitar setengah juta kasus brucellosis terjadi pada manusia di seluruh dunia. Prevalensi infeksi pada hewan menjadi kunci penyebab kejadian tersebut pada manusia. Program untuk kontrol dan pemberantasan brucellosis pada sapi sangat mengurangi insiden penyakit pada manusia. Umumnya kasus brucellosis pada manusia terjadi karena adanya reservoir pada hewan. Transmisi Brucellosis pada manusia dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi dan secara tidak langsung dengan konsumsi produk hewan dan inhalasi agen melalui udara. Peneguhan diagnosa melalui pemeriksaan laboratorium penting dilakukan. Tindakan penanganan yang tepat untuk kasus brucellosis adalah dengan mengontrol dan eradikasi pada hewan yang terinfeksi terutama hewan-hewan yang berfungsi sebagai reservoir. Keberadaan penyakit brucellosis di wilayah NTT cukup mempengaruhi peningkatan produktivitas ternak sapi dan juga berdampak pada mobilisasi ternak sapi yang masuk dan keluar dari wilayah NTT. Kejadian brucellosis pada ternak tidak saja mengancam penurunan populasi ternak, namun dapat pula mengancam kesehatan manusia. Sistem peternakan di wilayah NTT bersifat ekstensif. Pola pemeliharaan ini memungkinkan penyebaran penyakit brucellosis pada hewan ke manusia. Keberadaan penyakit brucellosis pada ternak, mengindikasikan adanya ancaman penyebaran penyakit ini pada manusia. Kata kunci: penyakit zoonosis, Nusa Tenggara Timur
Pendahuluan Brucellosis adalah suatu penyakit pada ternak yang bersifat menular, disebabkan oleh bakteri dari genus Brucella yang menyebabkan keguguran atau keluron pada umur kebuntingan tertentu. Sinonim penyakit brucellosis pada manusia disebut Melitococcosis, Undulant fever, Malta fever, Mediterranean fever sedangkan pada hewan dapat dikenal juga dengan Contagious abortion, Infectious abortion, Epizootic abortion. Enam spesies saat ini
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
dikenal di Brucella genus: B. melitensis, B. abortus, B. suis, B. neotomae, B. Ovis, dan B. Canis (Acha and szyfres 2003). Spesies yang disebutkan terakhir pada tahun 1960-an diidentifikasi sebagai penyebab keguguran pada anjing-aniing ras beagle di Amerika Serikat dan kemudian juga dilaporkan menulari pekerja peternakan dan pemilik anjing lainnya (Soejoedono 2004). Manusia rentan terhadap infeksi oleh bakteri B. melitensis, B. suis, B. abortus dan B. canin. Sampai saat ini belum pernah dilaporkan infeksi oleh B. ovis, dan B. Noetomae. B. melitensis adalah spesies yang paling patogenik dan invasif pada manusia dan diikuti secara berturut-turut oleh B. suis dan B. canin (Soejoedono 2004). Empat spesies yang rentan pada manusia menjadi catatan penting dalam penanganan atau pencegahan kejadian brucellosis pada manusia. Selain dapat menimbulkan kerugian ekonomi, bruseosis dapat juga menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat sebab bersifat zoonosis. Bruselosis menimbulkan efek bagi ekonomi suatu negara sehingga bruselosis masih menjadi penyakit yang sangat ditakuti. Bahkan
menurut Rabinowitz et al. (2006) penyakit brucellosis menjadi penyakit yang
mengancam kesehatan masyarakat suatu wilayah. Hal ini dikarenakan, penyakit brucellosis dikelompokkan sebagai agen penyakit yang berpotensi bioterorism kategori 2 bersama penyakit zoonosis lainnya seperti Q fever, Rift Valley Fever dan Foodborne diseases: salmonellosis.
Penyebaran Brucellosis Brucellosis memiliki wilayah penyebaran yang luas. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit zoonosis yang penyebarannya hampir ada di seluruh dunia. Distribusi spesies yang berbeda biovars bervariasi pada banyak wilayah geografis. Menurut Acha dan sfyres (2003). Penyebaran B. abortus adalah yang paling luas; B. melitensis dan B. suis yang tidak teratur dalam pendistribusiannya. Infeksi oleh B. canis telah dikonfirmasi di banyak negara di beberapa benua, dan distribusi di seluruh dunia sedangkan B. Ovis ditemukan di semua negara yang memiliki peningkatan populasi domba. Kejadian brucellosis utamanya menjadi masalah pada negara berkembang. Pada wilayah Indonesia, penyakit brucellosis ditetapkan sebagai penyakit hewan menular strategis oleh Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Hal ini disebabkan penyebaran dan kejadian penyakit brucellosis dilaporkan hampir di seluruh wilayah di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Kejadian pada Manusia Setiap tahun sekitar setengah juta kasus brucellosis terjadi pada manusia di seluruh dunia. Prevalensi infeksi pada hewan menjadi kunci penyebab kejadian tersebut pada manusia. Infeksi B. abortus dan B. suis mempengaruhi kelompok individu yang memiliki pekerjaan yang beresiko terpapar, sedangkan infeksi B. melitensis lebih sering terjadi pada populasi umum. Prevalensi terbesar pada manusia yang ditemukan pada banyak negara berasal dari infeksi B. Melitensis. Negara-negara Amerika Latin dengan jumlah kasus terbesar adalah Argentina, Meksiko, dan Peru. Pola yang sama berlaku berlaku untuk negaranegara Mediterania, Iran, Uni Soviet, dan Mongolia. Di Arab Saudi, 7893 kasus manusia brucellosis tercatat pada tahun 1987 (74 per 100.000 penduduk) karena selama periode 19791987, Arab Saudi mengimpor lebih dari 8 juta domba, lebih dari 2 juta kambing, lebih dari 250.000 sapi, kerbau dan unta. Di Iran, 71.051 kasus (13 per 100.000) tercatat pada tahun 1988 diperkirakan bahwa 80.000 kasus telah terjadi setiap tahun sejak tahun 1989. Di Turki, 5003 kasus (9 per 100.000) tercatat pada tahun 1990 (Acha and szyfres 2003). Data penyakit pada manusia di seluruh belahan dunia menjadi ancaman yang perlu mendapat perhatian penting bagi kesehatan masyarakt di wilayah Indonesia. Selama ini sangat kurang data yang meneliti secara komprehensif kejadian brucellosis pada hewan yang dapat ditularkan pada manusia. Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO 1986), Program untuk kontrol dan pemberantasan brucellosis pada sapi sangat mengurangi insiden penyakit pada manusia. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, 6321 kasus yang tercatat pada tahun 1947, sedangkan pada periode 1972-1981, setiap tahun tercatat 224 kasus brucellosis. Di Denmark, dilaporkan sekitar 500 kasus per tahun dilaporkan antara 1931 dan 1939, brucellosis manusia telah menghilang sebagai akibat dari pemberantasan infeksi pada hewan. Cina dan Israel telah mampu secara signifikan mengurangi kejadian brucellosis manusia berkat kampanye vaksinasi untuk domba dan kambing. Di wilayah Mediterania, pengurangan brucellosis pada manusia yang disebabkan oleh B. melitensis karena adanya vaksinasi dari ruminansia kecil (Acha and szyfres 2003). Pemberantasan brucellosis pada manusia sangat berhubungan dengan penanganan kejadian brucellosis pada hewan. Pencegahan brucellosis pada hewan, juga sekaligus mencegah kejadian penyakit ini pada manusia. Umumnya kasus brucellosis pada manusia terjadi karena adanya reservoir pada hewan. Infeksi oleh B. abortus dan B. suis biasanya menyerang sekelompok masyarakat yang
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
mempunyai grup mata pencaharian yang sama, sedangkan infeksi oleh B. melitensis lebih sering terjadi dam melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Prevalensi penyakit yang paling besar dijumpai di negara-negara dimana insidensi B. melitensis di kambing, domba, ataupun keduanya tinggi (Seojoedono 2004). Penyebaran kejadian brucellosis pada manusia tidak terlepas dari pekerjaan yang selalu berhubungan atau kontak dengan ternak. Hal ini dipengaruhi reservoir penyakit ini yang meliputi lingkungan yang terkontaminasi yang mampu memperluas penyebaran penyakit ini. Studi klinik bruselosis pada anak-anak juga banyak terjadi di Jordan (Magableh and Bataineh 2007). Bruselosis endemik di Jordania dengan fakta oleh meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan oleh departemen kesehatan Jordania. Dari 93% pasian, 58(60%) diantaranya memilki sejarah kontak langsung dengan hewan atau mengkonsumsi susu dengan kisaran jumlah penderita pria lebih banyak 3 kali lipat dibanding wanita dengan umur paling banyak 11-14 diikuti 6-10 tahun. Alat transmisi yang paling berperan pada kasus bruselosis yang muncul didalam studi adalah mengkonsumsi susu produk-produk peternakan segar atau yang tidak dipateurisasi (Armida et al. 2005). Banyak kasus kejadian bruselosis pada manusia dari produk yogurt yang diproduksi secara tradisional sehingga penting sekali untuk melakukan pasteurisasi pada produk yang akan difermentasi khususnya susu yang datang dari daerah yang endemik bruselosis. Hal ini menunjukkan penting sekali penaganan yang higienis sesuai standar dalam pengelolaan produk asal hewan.
Gejala Klinis Penyakit pada hewan dan manusia bervariasi. Pada hewan, brucellosis memberikan gejala utama dalam semua spesies berupa aborsi atau keguguran. Manusia rentan terhadap infeksi yang disebabkan oleh B. melitensis, B. suis, B. abortus, dan B. Canis dan tidak dilaporkan kasus pada manusia yang disebabkan oleh B. Ovis, B. neotomae, atau B. Suis. Pada manusia, gejala klinins brucellosis ditandai dengan demam, kelemahan umum, pusing, nyeri sendi dan otot, napsu makan menurun, kekurusan, dan lain-lain (Seojoedono 2004). Penyakit pada orang tidak memperlihatkan gejala yang patognomonis dengan masa inkubasi 1 sampai 15 minggu, semua ini tergantung dari cara masuk dan virulensi organisme penyebab penyakit. Penyakit ini dapat menyebabkan septicemia, dengan tiba-tiba dan disertai demam intermiten atau demam yang tidak teratur (Acha dan Sfyres 2003).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Simptomatologi antara brucellosis akut, seperti itu banyak penyakit demam lainnya, termasuk menggigil dan berlimpah berkeringat. Kelemahan merupakan gejala hampir konstan, dan setiap latihan menghasilkan diucapkan kelelahan. Suhu dapat bervariasi dari normal di pagi hari untuk 40 °C di sore hari. Berkeringat ditandai dengan bau aneh terjadi pada malam hari. Umum gejala insomnia, impotensi seksual, sembelit, anoreksia, sakit kepala, arthralgia, dan malaise umum. Penyakit Brucellosis memiliki efek yang ditandai pada sistem saraf, dibuktikan dengan iritasi, kegelisahan, dan depresi. Banyak pasien memiliki pembesaran kelenjar getah bening perifer atau splenomegali dan hepatomegali sering, tapi jarang jaundice. Hepatomegali atau hepatosplenomegali sangat sering terjadi di pasien yang terinfeksi oleh B. Melitensis (Scheftel 2003). Organisme Brucella melokalisasi intraseluler dalam jaringan sistem retikuloendotelial, seperti kelenjar getah bening, sumsum tulang, limpa, dan hati. Ini termasuk arthritis septik, vegetasi katup aorta, osteomyelitis calvarial, abses epidural, effusion pleura, lesions lisan, aneurisma ekstremitas bawah, dan budaya endocarditis (Young 1983, Lucero et al. 2005) Durasi penyakit dapat bervariasi dari beberapa minggu atau bulan untuk beberapa tahun. terapi yang modern telah sangat mengurangi durasi penyakit serta kejadian kambuh. Kadang-kadang, menghasilkan komplikasi serius, seperti ensefalitis, meningitis, perifer neuritis, spondilitis, arthritis supuratif, endokarditis vegetatif, orchitis, mani vesiculitis, dan prostatitis. Bentuk kronis penyakit ini terjadi pada beberapa pasien dan bisa berlangsung bertahun-tahun, dengan atau tanpa kehadiran fokus lokal infeksi. Gejala yang berhubungan dengan hipersensitivitas. Mengingat jutaan dosis strain 19 vaksin yang digunakan setiap tahun di seluruh dunia, angka kejadian penyakit akibat virus ini tidak signifikan (Acha an sfyres 2003). Penyakit dapat kambuh lagi dan menjadi kronis. Pernah dilaporkan bahwa seseorang menderita bruselosis selama 25 tahun (Seojoedono 2004). Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa bruselosis amat susah untuk didiagnosa dari gejala klinis yang timbul tidak seragam. Untuk meyakinkan diagnosa, penting untuk dilanjutkan dengan melakukan isolasi kuman.
Transmisi dan Infeksi pada Manusia Transmisi Brucellosis pada manusia dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi dan secara tidak langsung dengan konsumsi produk hewan dan inhalasi agen melalui udara. Pada susu segar yang belum dipasturisasi dan keju dapat menjadi penyebab.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Di daerah artik dan subartik pernah dilaporkan bruselosis pada manusia karena mengkonsumsi daging rusa kutub yang terinfeksi B. suis (Acha and Szifres 2003). Infeksi terjadi paling umum melalui kontak langsung dengan jaringan plesenta, sekresi vagina, eksreta dan karkas dari hewan yang terinfeksi. Transmisi lewat inhalasi (airborne) juga pernah dibuktikan melalui penelitian di Universitas Michigan, Amerika. Bahkan di Kuwait dilaporkan kejadian pada anak berumur 30 hari melalui susu ibunya oleh B. Melitensis. Di Jepang dilaporkan kasus bruselosis pada pekerja kebun binatang setelah mengantar bayi rusa. (Acha and Szifres 2003). Keju segar dan susu mentah dari kambing dan domba terinfeksi B. melitensis adalah kendaraan yang paling umum dari infeksi dan dapat menyebabkan beberapa kasus brucellosis manusia. Kadang-kadang wabah yang lebih luas terjadi ketika terinfeksi susu kambing dicampur dengan susu sapi. Susu sapi terinfeksi oleh B. melitensis atau B. suis juga telah dikenal untuk menghasilkan wabah proporsi epidemi. Susu dan produk susu sapi mengandung B. abortus dapat menimbulkan kasus sporadis. Organisme jarang bertahan hidup dalam susu asam, krim asam dan mentega, atau difermentasi keju (berusia di atas tiga bulan). Sayuran mentah dan air yang terkontaminasi dengan kotoran dari hewan yang terinfeksi dapat menjadi sumber infeksi. Brucellosis manusia, untuk sebagian besar, penyakit akibat di peternakan dan pekerja rumah potong hewan, tukang daging, dan dokter hewan. Infeksi biasanya melalui penanganan janin atau melalui kontak dengan vagina sekresi, tinja, dan bangkai hewan yang terinfeksi. Mikroorganisme masuk melalui lecet kulit serta melalui konjungtiva.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Gambar 1. Mode transmisi brucellosis pada sapi (B. abortus)
Diagnosis Pada Hewan dan Manusia Pengujian brucellosis pada hewan dapat dilakukan menggunakan metode Serum Agglutination Test (SAT) yang merupakan uji serologi yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa brucellosis bertujuan untuk mengetahui adanya Imunoglobulin G dan Imunoglobulin M pada sapi dan juga untuk mengetahui kandungan antibodi Brucella (OIE, 2009). Metode pengujian lainnya yaitu Milk Ring Test (MRT) merupakan modifikasi reaksi aglutinasi, dan dilakukan menggunakan sampel susu dari sapi yang diduga terinfeksi brucellosis. Pengujian MRT memiliki kepekaan sangat tinggi terhadap susu yang positif brucellosis. Pengujian brucellosis pada manusia dapat dilakukan menggunakan metode diagnostik isolasi. Kultur spesimen klinis masih merupakan teknik diagnosa yang paling umum dilakukan. Namun Brucella spp. relatif lambat tumbuh secara in vitro. Oleh karena itu, metode kultur dapat memberikan hasil negatif karena bakteri ini memiliki masa inkubasi yang cukup panjang. Kultur seharusnya dipertahankan setidaknya empat minggu. Pengujian dengan metode Polymerase chain reaction (PCR) juga telah dikembangkan. Metode ini mampu membedakan berbagai spesies Brucella (Rabinowitz et al. 2006). Pengembangan teknik diagnosa dengan PCR dapat menjadi alat peneguhan diagnosa yang valid dan perlu dikembangkan khusus di wilayah dengan jumlah kejadian brucellosis pada manusia dan hewan yang cukup tinggi sehingga berdampak pada meningkatkan tindakan pencegahan. Peneguhan diagnosa melalui pemeriksaan laboratorium dapat pula dilakukan melalui pemeriksaan serologis. Eemua tes serologi manusia yang tersedia secara komersial, khusus di negara maju seperti di Amerika Serikat. Kebanyakan pengujian pada hewan bergantung pada beberapa bentuk tes aglutinasi, seperti tes aglutinasi cepat, tabung aglutinasi, atau microtiter aglutinasi, imunofluoresensi tidak langsung dan ELISA.
Kontrol Tindakan penanganan yang tepat untuk kasus brucellosis adalah dengan mengontrol dan eradikasi pada hewan yang terinfeksi terutama hewan-hewan yang berfungsi sebagai reservoir. Tindakan lain adalah penggunaan perlengkapan personal, melakukan pasteurisasi pada susu sebelum dikonsumsi serta melakukan vaksinasi pada kelompok beresiko, pembekalan dasar pendidikan kesehatan pada populasi yang berersiko. Vaksinasi pada hewan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
ditekankan terutama pada daerah dengan prevalensi bruselosis tinggi (Acha dan Szifres 2003). Pencegahan dengan metode edukasi khusus pada populasi beresiko memiliki peran yang cukup penting. Tindakan pencegahan pada wilayah perbatasan atau karantina sanagt berpengaruh masuknya penyakit brucellosis pada sebuah wilayah yang tentunya didukung metode diagnosa cepat dan akurat. Tindakan penaganan yang juga sangat penting yaitu melalui higiene lingkungan khususnya higiene kandang yang harus bebas dari sisa-sias buangan akibat abortus atau cairan vagina dari sapi yang terinfeksi.
Brucellosis di Nusa Tenggara Timur (NTT) Menurut data Dinas Peternakan NTT (1998), diduga brucellosis masuk ke wilayah NTT melalui sapi yang didatangkan dari
Australia yang dimasukan pada tahun 1975.
Kejadian brucellosis di wilayah NTT saat ini cukup tinggi. Sebagian besar kabupaten di Nusa Tenggara Timur yaitu Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kupang, Sikka, Ende, Ngada, Manggarai, Sumba Timur dan Sumba Barat, diketahui telah tertular brucellosis. Keberadaan penyakit brucellosis di wilayah NTT cukup mempengaruhi peningkatan produktivitas ternak sapi dan juga berdampak pada mobilisasi ternak sapi yang masuk dan keluar dari wilayah NTT. Berdasarkan data penyakit yang ada, diketahui ternak sapi yang terdeteksi brucellosis tersebar di semua kabupaten yang ada di wilayah NTT. Pada wilayah Pulau Timor, dilaporkan kejadian berucellosis pada yaitu Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu. Menurut data Dinas Peternakan NTT tahun 2012, diketahui penyebaran kasus brucellosis terdeteksi pada pada 4 kabupaten yang ada di Wilayah Pulau Timor. Kabupaten Kupang terdeteksi kasus brucellosis sebanyak 12 kasus, kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 4 kasus, kabupaten Timor Tengah Utara 14 kasus, kabupaten 32 kasus. Data surveilens ini juga menunjukkan prevalensi tertinggi terjadi pada Kabupaten Belu. Data surveilens ini juga menunjukkan prevalensi tertinggi terjadi pada Kabupaten Belu.
Ancaman Kejadian Brucellosis di NTT Kejadian brucellosis pada ternak tidak saja mengancam penurunan populasi ternak, namun dapat pula mengancam kesehatan manusia. Wilayah NTT memiliki potensi peternakan sapi potong yang sangat berkembang baik, hal ini mendorong perlunya dilakukan kajian epidemiologi kejadian brucellosis pada ternak sapi dan sejumlah rute penyebaran
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
potensial dalam penyebaran berucellsosis dari ternak ke manusia. Kajian epidemiologi penyakit brucellosis di wilayah Nusa tenggara Timur. Sistem peternakan di wilayah NTT bersifat ekstensif. Pola pemeliharaan ini memungkinkan penyebaran penyakit brucellosis pada hewan ke manusia. Rute penyebaran brucellosis pada manusia memungkinkan dapat terjadi melalui lingkungan yang telah terkontaminasi bakteri penyebab brucellosis, kontak langsung manusia dengan hewan terinfeksi dan transmisi melalui makanan. Keberadaan penyakit brucellosis pada ternak, mengindikasikan adanya ancaman penyebaran penyakit ini pada manusia.
Penutup Berdasarkan keberadaan kasus brucellosis pada ternak di wilayah Nusa Tenggara Timur dan kemampuannya ditransmisi ke manusia karena bersifat zoonosis, maka sangat berpotensi penularan brucellosis pada manusia. Rute penyebaran brucellosis dapat melalui lingkungan yang telah terkontaminasi. Pola pemeliharaan ternak di Nusa Tenggara Timur yang bersifat semi intensif dapat menjadi faktor yang mempermudah penyebaran penyakit brucellosis ke manusia. Perlunya dilakukan kajian seroprevalensi keberadaan penyakit brucellosis pada manusia.
Daftar Pustaka Acha PN and Szyfres B. 2003. Zoonoses and Communicable Disease Common to Man and Animal, Volume 1: Bacterioses and Mycoses. Ed Ke-3. Pan American Health Organization: Washington. Armida ZE, Lydia MG, Miroslava SM, Eva ML, Santiago FK, López M. 2005. Survival of Brucella abortus in milk fermented with a yoghurt starter culture. Revista Latinoamericana de Microbiología 47:88-91. Dinas Peternakan Provinsi NTT. 2004. Statistik Peternakan Tahun 2003. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dinas Peternakan. Lucero NE, Jacob NO, Ayala SM. 2005. Unusual clinical presentation of brucellosis caused by Brucella canis. J Med Micro 54:505-508. Magableh SM, Bataineh HA. 2007. Clinical study of childhood brucellosis in Jordan. Middle East Journal Of Family Medicine 5 (3): 1-10.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
OIE. 2009. Bovine Brucellosis-Terrestrial Manual 2009. Rabinowitz P et al. 2006. Animals as Sentinels of Bioterrorism Agents. Emerging Infectious Diseases Vol. 12(4): 647-652. Scheftel J. 2003. Brucella canis: Potential for Zoonotic Transmission. Comp Contin Edu Practicing Vet 25(11):846-852. Soejoedono RR. 2004. Zoonosis. Laboratorium Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan. World Health Organization (WHO). 1986. Joint FAO/WHO Expert Committee on Brucellosis Sixth Report. Genewa (Technical Report Series 740). Young EJ. 1983. Human Brucellosis. Rev Infect Dis 5(5):821-842.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pemahaman Masyarakat Kota Kupang Tentang Peran Dokter Hewan Dalam Upaya Menjaga Kesehatan Hewan Dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Jayusman Arsiyanti Joesoef1, Frans Umbu Datta2, Annytha I.R. Detha3 1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Undana Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Undana 3 Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Undana 2
Abstract A veterinarian is the only doctor who is educated to maintain the health of both humans and animals, protecting the environment, guarantee food safety and animal welfare. As the capital of province of East Nusa Tenggara, Kupang has a considerable number of animals. However, the number of animals is not balance by the number of veterinarians available. If appears that, on the basis of community perception, veterinarian are not requires as they can handle their own animals. Many problems occurred in the past both from the aspects of animal health and veterinary public health may be associated with such perception. This research is therefore very important in order to assess the level of public understanding in Kupang city about the role of veterinarians in maintaining animal health and veterinary public health. A phenomenological approach was used in this research, involving a number of people living in the city of Kupang. A questionnaire was the main data collection method. Interviews and direct observations were also used. Sample were selected proportionally with a stratified random sampling technique from each strata, so obtained a sample of 400 people. Snowballing sampling technique was used in interviewing and obtained sample of 3 people. Direct observation was conducted at Slaughterhouse and Animal Clinic. Data collected were analyzed statistically and the result follows, majority (84,79%) of respondents indicated that they were well aware of and understood the role of veterinarians as being very important in maintaining animal health. Similarity, 76,91 % of the respondents indicated that they are aware of the crucial role of veterinarians in guaranteeing veterinary public health. Some veterinary staff interviewed supported this motion that the preference of veterinarians are highly needed. Unfortunately, however the community indicated that they can handle their own animals without the existence of a veterinarian. The reason was that according to the respondents, issues of animal welfare is yet to be appreciated. It is therefore reasonable to suggest that continuous and regular community awareness programme may be conducted to build not only awareness of the importance of vets, but also the potential health threat of the perception on veterinary public health. Key words: understanding, society, veterinarian, animal health, veterinary public health.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pendahuluan Menurut American Veterinary Medical Association, saat ini dokter hewan adalah satu-satunya dokter yang dididik untuk menjaga kesehatan manusia dan hewan. Mereka bekerja keras untuk memenuhi kesehatan dan kebutuhan setiap spesies hewan dan mereka juga memainkan peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan, keamanan pangan, kesejahteraan hewan dan kesehatan masyarakat (Darby, 2014). Dalam menjaga kelestarian lingkungan, dokter hewan biasanya melakukan studi terhadap populasi hewan liar di alam, perawatan dan rehabilitasi satwa liar yang sedang sakit, dan membuat rekomendasi terkait dampak perkembangan lingkungan. Dalam menjaga keamanan pangan, yang dilakukan oleh dokter hewan adalah menyarankan kepada pemilik ternak tentang kesehatan ternak dan pengobatannya, memeriksa hewan sebelum disembelih (antemortem), memantau kesejahteraan hewan selama proses penyembelihan, dan inspeksi serta pengafkiran karkas. Dalam menjaga kesejahteraan hewan, dokter hewan akan menganjurkan pemilihan hewan yang tepat kepada pemilik hewan, peternak, produsen, dan laboratorium, mendidik masyarakat tentang perawatan hewan, penyelamatan hewan, serta memberikan tempat perlindungan yang sesuai bagi hewan. Dalam menjaga kesehatan masyarakat, yang dilakukan oleh dokter hewan adalah mencegah terjadinya penularan penyakit hewan ke manusia, menjaga keamanan pangan, dan melakukan investigasi wabah penyakit (Darby, 2014). Peran-peran tersebut di atas merupakan peran yang telah dilakukan oleh dokter hewan di negara maju seperti Amerika. Di negara tersebut, dokter hewan merupakan profesi yang diakui dan unggul di antara pekerjaan lainnya. Namun tidak demikian di negara berkembang seperti Afrika dan Indonesia, profesi dokter hewan tidak mendapat perhatian selayaknya dari pemerintah setempat, sebab perhatian pemerintah lebih tertuju pada pembangunan negaranya. Di Indonesia, jangkauan pelayanan veteriner tertera dalam Peraturan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 976/Kpts/OT.160/F/11/2011 tentang Pedoman Pelayanan Veteriner, meliputi penyelenggaraan kesehatan hewan (keswan), kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet), kesejahteraan hewan (kesrawan), dan pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan dilakukan dengan pendekatan teknis yakni pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan menyeluruh, terpadu, dan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan yang pada gilirannya diharapkan meningkatkan kesehatan hewannya sendiri (Kementerian
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pertanian, 2011). Hewan yang dimaksud dalam peraturan ini adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya (Kementerian Pertanian, 2009). Hal ini berarti jangkauan peran dokter hewan mencakup seluruh hewan, mulai dari hewan kecil (anjing, kucing, dan lain-lain), hewan besar (ternak ruminansia, ternak monogastrik), hewan laboratorium, satwa liar dan hewan kebun binatang, hewan akuatik, dan unggas. Namun, pada kenyataanya dokter tidak begitu nyata keterlibatannya. Buktinya, pada saat terjadi wabah flu burung (High pathogenic Avian Influenza) pada tahun 2003, dokter hewan tidak banyak terlibat dalam mengatasi masalah tersebut. Yang selalu dikejar publik adalah dokter manusia yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang dunia kedokteran hewan, sehingga pengendalian dan penanggulangan wabah flu burung menjadi lambat. Kota Kupang sebagai ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki jumlah hewan yang cukup banyak. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2012, kota Kupang memiliki jumlah sapi sebanyak 5.004 ekor, kerbau 20 ekor, kuda 56 ekor, babi 25.205 ekor, kambing 5.155 ekor, domba 43 ekor, ayam kampung 26.308 ekor, ayam ras 567.591, dan itik 2.939 ekor. Dinas perikanan dan kelautan melaporkan bahwa jumlah produksi perikanan laut yang berasal dari hasil tangkapan nelayan tradisional pada tahun 2012 adalah sebanyak 681,92 ton. Jumlah ini hanya merupakan estimasi jumlah ikan kakap merah dan kerapu dan belum termasuk produksi perusahaan perikanan yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (BPS, 2012f). Dengan banyaknya jumlah hewan ini, seharusnya diikuti dengan meningkatnya sumber daya manusia untuk mengelola sumber daya alam tersebut sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat yang bekerja di bidang tersebut. Namun, yang terjadi di kota Kupang tidak seperti itu. Dengan dokter hewan yang jumlahnya masih terbatas, masyarakat peternak dan para pemilik hewan cenderung tidak membutuhkan dokter hewan untuk menangani hewannya. Tidak heran jika banyak hewan yang mati akibat kelalaian dari pemilik hewan. Tidak hanya itu, rendahnya kuantitas dan kualitas daging yang beredar di kota Kupang juga merupakan dampak yang muncul akibat kurang atau tidak adanya pengawasan dari dokter hewan, padahal jangkauan kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) telah jelas diterangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner yang meliputi penjaminan higiene dan sanitasi, penjaminan produk hewan, serta pengendalian dan penanggulangan zoonosis (Kementerian Pertanian, 2012). Selain itu, dalam Peraturan Direktur Jenderal Peternakan dan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Kesehatan Hewan Nomor 976/Kpts/OT.160/F/11/2011 tentang Pedoman Pelayanan Veteriner juga telah dijelaskan bahwa kegiatan pelayanan kesehatan hewan dan kesmavet dilaksanakan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang dalam pembinaan otoritas veteriner bersangkutan (Kementerian Pertanian, 2011). Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting dilakukan untuk mengkaji sejauh mana tingkat pemahaman masyarakat kota Kupang tentang peran dokter hewan dalam upaya menjaga kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
Materi Dan Metode Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan untuk memperoleh jawaban atau informasi yang mendalam tentang pendapat dan perasaan seseorang yang memungkinkan untuk mendapatkan hal-hal yang tersirat tentang sikap, kepercayaan, motivasi, dan perilaku hidup (Saryono, 2013). Instrumen atau alat penelitian dalam penelitian ini adalah kuesioner dan peneliti sendiri, dan sumber informasi penelitian adalah masyarakat kota Kupang dengan latar belakang yang berbeda. Latar belakang yang dipilih adalah pendidikan, sehingga sampel penelitian terdiri atas kelompok masyarakat yang tidak pernah sekolah, dan yang berpendidikan SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Sampel sumber data dalam penelitian ini dipilih menggunakan proportionate stratified random sampling dan anggota sampelnya dipilih menggunakan purposive sampling, sehingga diperoleh total sampel sebanyak 400 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner (angket), observasi langsung dan wawancara secara mendalam (in-depth interview). Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sebelum penelitian dilakukan, selama, dan setelah selesai penelitian. Walaupun demikian, analisis data lebih difokuskan selama proses penelitian bersamaan dengan pengumpulan data. Data yang dikumpulkan dari kuesioner dianalisis dengan menggunakan skala Likert dan skala Guttman. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial, dan skala Guttman digunakan untuk mendapatkan jawaban yang tegas. Data hasil wawancara dan observasi dianalisis menggunakan persentase yang ditetapkan oleh peneliti. Data dalam penelitian ini juga dianalisis dengan menggunakan korelasi Rank Spearman untuk mencari tahu hubungan antarvariabel. Nilai korelasi Rank Spearman berada di antara -1 ≤ 1.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Analisis Pemahaman Masyarakat Kota Kupang tentang Peran Dokter Hewan Secara Umum Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar masyarakat kota Kupang memahami bahwa dokter hewan berperan dalam upaya memenuhi kesehatan dan kebutuhan setiap spesies hewan, menjaga kelestarian lingkungan, keamanan pangan, kesejahteraan hewan dan kesehatan masyarakat. Ada pula yang memahami bahwa dokter hewan hanya bisa bekerja sebagai mantri hewan maupun pegawai biasa. Pemahaman masyarakat tersebut dibuktikan dengan jawaban responden pada Tabel 3 yang menyatakan sebanyak 74,75% responden mengetahui bahwa dokter hewan memiliki peran yang luas dan 25,5% masyarakat hanya mengetahui peran dokter hewan dalam arti yang sempit.
Tabel 3. Persepsi Masyarakat tentang Peran Dokter Hewan Secara Umum No. 1
Persepsi Masyarakat tentang Peran Dokter Hewan Secara Umum Menjaga
kesehatan
hewan
keamanan
pangan,
kesehatan
masyarakat,
dan
kesejahteraan dan
manusia,
Jumlah
Persentase (%)
247
61,75
52
13
hewan, kelestarian
lingkungan 2
Menjaga
kesehatan
hewan
dan
manusia,
keamanan pangan, kesejahteraan hewan, dan kesehatan masyarakat 3
Menjaga kesehatan hewan
87
21,75
4
Sebagai mantra hewan
13
3,25
5
Hanya pegawai biasa
1
0,25
400
100
Total
Berdasarkan strata pendidikan, diketahui bahwa semakin tinggi pendidikan, maka semakin tinggi pemahaman masyarakat tentang peran dokter hewan, seperti dinyatakan dalam Gambar 1. Namun, masyarakat yang berpendidikan SMA cenderung memiiliki pemahaman yang lebih tinggi daripada masyarakat yang telah sarjana maupun pascasarjana, hal ini dikarenakan ada faktor lain yang turut mempengaruhi pemahaman selain pendidikan, seperti adanya pendidikan nonformal yang diterima oleh responden. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang pernah dilakukan oleh dosen dari Fakultas Kedokteran Hewan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Universitas Nusa Cendana turut mempengaruhi pemahaman masyarakat yang berpendidikan SMA, sebab wawasan mereka tentang hewan dan dokter hewan menjadi luas. Selain itu, ada pula masyarakat yang berpendidikan SMA yang juga telah bekerja dan mendapatkan pengalaman lebih banyak, komunikasi, dan informasi-informasi tambahan lainnya sehingga
Persentase Jawaban
menambah pemahaman mereka tentang dokter hewan.
75
78
Tidak Pernah Sekolah
SD
87
90,23
87,81
SMP
SMA
PT
Strata Pendidikan
Gambar 1. Grafik persentase pemahaman masyarakat kota Kupang tentang peran dokter hewan secara umum berdasarkan strata pendidikan
Berkaitan tantang pemahaman masyarakat tentang keahlian seorang dokter hewan dalam membuat resep obat, diperoleh hasil bahwa sebanyak 86,5% responden menjawab bahwa dokter hewan bisa membuat resep, dan 13,5% responden tidak tahu bahwa dokter hewan bisa menulis resep obat. Resep adalah permintaan tertulis seorang dokter, dokter gigi atau dokter hewan yang diberi ijin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada apoteker pengelola apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat-obatan bagi penderita (Amira, 2010). Berdasarkan definisi tersebut, maka memang tidak ada larangan bagi dokter hewan untuk menulis resep. Pemahaman tentang peran dokter hewan dapat bekerja di bidang farmasi atau perusahaan obat, sebanyak 74,75 % responden tidak mengetahui bahwa dokter hewan bisa bekerja di perusahaan obat, dan sebanyak 25,25 % responden mengetahui bahwa dokter hewan dapat bekerja di perusahaan obat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih memahami peran dokter hewan dalam cakupan yang sempit. Dokter hewan memiliki ruang
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
lingkup bidang keahlian yang mencakup pencegahan dan pengobatan penyakit, medik konservasi, medik forensik dan bahkan peneliti. Dokter hewan merupakan profesi yang memiliki bidang kerja yang luas seperti yang telah disebutkan di atas, oleh karena itu dokter hewan harus terus belajar dan memaksimalkan setiap perannya di berbagai sektor kedokteran hewan. Selain itu, dokter hewan juga harus siap untuk menghadapi segala masalah yang timbul dari sektor kesehatan maupun produksi hewan, baik untuk yang pertama kalinya maupun yang telah diperburuk oleh perkembangan sosial ekonomi yang tidak merata di berbagai dunia (Acha and Melendez, 1983). Namun, pada kenyataanya dokter hewan belum bisa memaksimalkan perannya dengan baik, hal ini dikarenakan jumlah dokter hewan yang ada di kota Kupang masih sangat kurang. Salah satu masalah utama yang juga dihadapi oleh negara berkembang seperti Amerika Latin dan Karibia pada 1970-an untuk meningkatkan pelayanan dokter hewan adalah kurangnya personil terlatih di semua tingkatan. Masalah ini juga diperparah oleh distribusi geografis dari dokter hewan di masing-masing negara. Secara umum, 65% dari dokter hewan terletak di ibukota dan kota-kota besar. Dengan adanya keterbatasan jumlah dokter hewan, maka cara mudah untuk memaksimalkan peran dokter hewan di setiap sektor adalah dengan memberikan layanan nyata yang efektif yang dibutuhkan masyarakat (Acha and Melendez, 1983). Selain di bidang farmasi, dokter hewan juga terlibat dalam kegiatan penelitian yang melibatkan hewan laboratorium seperti mencit dan kelinci. Dari hasil penelitian diketahui bahwa 90% masyarakat mengetahui bahwa dalam kegiatan penelitian yang melibatkan hewan, diperlukan adanya penerapan konsep kesejahteraan hewan (animal welfare). Di samping itu, ada pula sebagian kecil masyarakat (10%) masyarakat yang tidak tahu bahwa perlu adanya penerapan konsep kesejahteraan hewan (animal welfare) dalam kegiatan penelitian yang melibatkan hewan. Ketidakpahaman masyarakat ini disebabkan karena persepsi mereka tentang hewan masih terbatas pada aspek keuntungan. Dalam pandangan masyarakat, tidak perlu diterapkan konsep kesejahteraan hewan karena pada akhirnya hewanhewan yang digunakan dalam penelitian tersebut akan mati. Padahal, sudah seharusnya untuk meminimalkan kesakitan dan ketidaknyamanan hewan selama proses penelitian agar hewan terbebas dari rasa sakit dan ketidaknyamanan. Dari 90% masyarakat yang paham akan pentingnya penerapan kesejahteraan hewan pada hewan laboratorium, ternyata tidak semuanya mengetahui bahwa yang bertugas untuk mengawasi penerapan kesejahteraan itu adalah dokter hewan. Hanya 63,89% masyarakat
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
yang tahu bahwa dokter hewanlah yang berperan dalam hal tersebut. Sisanya, yakni 33,33% menjawab bahwa yang bertanggung jawab untuk mengawasi adalah peneliti sendiri, dan 2,78% menjawab dokter umum.
Analisis Pemahaman Masyarakat Kota Kupang tentang Tindakan Euthanasia oleh Dokter Hewan Pemahaman tentang peran dokter hewan dapat melakukan euthanasia, sebanyak 56,25 % responden mengetahui bahwa dokter hewan bisa melakukan euthanasia, dan sebanyak 43,75 % responden mengetahui bahwa dokter tidak bisa melakukan euthanasia. Euthanasia adalah tindakan yang dilakukan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh hewan yang akan mati diminimalkan (Wulan, 2014). Hal ini sejalan dengan kode etik profesi dokter hewan Bab III tentang kewajiban terhadap pasien, pasal 20 yang menyatakan bahwa dokter hewan dengan persetujuan kliennya dapat melakukan Euthanasia (mercy sleeping), karena diyakininya tindakan itulah yang terbaik sebagai jalan keluar bagi pasien dan kliennya (PB PDHI, 2010).
Analisis Pemahaman Masyarakat Kota Kupang tentang Peran Dokter Hewan dalam Upaya Menjaga Kesehatan Hewan Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 976 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelayanan Veteriner, disebutkan bahwa jangkauan peran dokter hewan dalam upaya menjaga kesehatan hewan meliputi pengamatan dan pengidentifikasian, pencegahan, pengamanan, dan pemberantasan penyakit hewan. Hal-hal penting terkait dengan peran tersebut, diwujudkan dalam 4 (empat) pertanyaan, sehingga diperoleh hasil bahwa sebanyak 86,1% masyarakat kota Kupang memahami tentang peran dokter hewan dalam upaya menjaga kesehatan hewan. Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui (Sudijono, 1996), artinya dalam konteks penelitian ini, masyarakat telah mengetahui bahwa dokter hewan berperan dalam menjaga kesehatan hewan, hal ini dapat diamati dari semua jawaban yang diberikan responden yang menjawabnya dengan baik dan sesuai dengan apa yang diketahui. Berdasarkan strata pendidikan, diketahui bahwa semakin tinggi pendidikan, maka semakin tinggi pemahaman masyarakat tentang peran dokter hewan dalam upaya menjaga kesehatan hewan, seperti dinyatakan dalam Gambar 2.
Persentase Jawaban
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
85,28 84,23
84,29
SD
SMP
84,73
83,17 Tidak Pernah Sekolah
SMA
PT
Strata Pendidikan
Gambar 2. Grafik persentase pemahaman masyarakat kota Kupang tentang peran dokter hewan dalam upaya menjaga kesehatan hewan berdasarkan strata pendidikan
Pada grafik di Gambar 2 terlihat bahwa hubungan positif antara pendidikan dan pemahaman yang dibuktikan dengan hasil analisis menggunakan program SPSS, dan diketahui bahwa nilai korelasi Rank Spearman untuk hubungan antara pendidikan dan pemahaman sebesar 0,11. Nilai z hitung adalah 2,18 dan nilai z tabel berada di antara -1,96 – 1,96. Karena nilai z hitung lebih besar daripada nilai z tabel, maka pendidikan memiliki hubungan positif dengan pemahaman masyarakat. Keterkaitannya dengan peran dokter hewan dalam upaya menjaga kesehatan hewan, bahwa semakin tinggi pendidikan maka pemahaman masyarakat juga akan semakin tinggi. Selain pendidikan, adapun faktor yang turut dipertimbangkan dalam penelitian ini, yakni penghasilan. Namun, setelah dilakukan analisis, ternyata tidak terdapat hubungan antara pemahaman dan penghasilan. Artinya, tinggi rendahnya penghasilan seseorang tidak mempengaruhi pemahaman mereka terhadap peran dokter hewan dalam upaya menjaga kesehatan hewan, namun ada hubungan tidak langsung antara pendidikan dengan penghasilan seseorang, karena orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Menurut Turney Jon (1996), pemahaman publik tentang ilmu bisa menjadi unsur utama dalam mempromosikan kemakmuran nasional, meningkatkan kualitas pengambilan keputusan publik dan swasta, serta memperkaya kehidupan individu. Sama halnya dengan ilmu, jika peran dokter hewan dipahami dengan baik oleh masyarakat, maka akan membawa pengaruh positif bagi masyarakat itu sendiri dan bagi negaranya.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang tidak hanya memiliki banyak ternak, tapi juga penyakit. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026 tentang Penetapan Penyakit Hewan Menular Strategis, maka di Indonesia telah terdapat 22 penyakit hewan menular strategis, di antaranya antraks, rabies, Salmonellosis, Brucellosis, Highly Pathogenic Avian Influenza dan Low Pathogenic Avian Influenza, Porcine Reproductive and Respratory Syndrome, helminthiasis, Septicaemia Epizootica, Nipah Virus Encephalitis, Infectious Bovine Rhinotracheitis, Bovine Tuberculosis, leptospirosis, Brucellosis (Brucella suis), jembrana,
surra,
paratuberkulosis,
toksoplasmosis,
Classical
Swine
Fever,
Camphylobacteriosis, Cysticercosis, dan Q Fever (Kementerian Pertanian, 2013). Dari 22 penyakit hewan menular strategis tersebut, beberapa di antaranya terdapat di NTT, seperti antraks, rabies, Classical Swine Fever, jembrana, surra, dan lain-lain. Penyakit-penyakit ini ada yang dapat ditransmisikan secara langsung kepada manusia, contohnya rabies. Oleh karena itu, pengendalian penyakit ini tidak hanya melibatkan kepentingan ekonomi, tetapi juga sosial dan politik (de Haan and Umali, 2014). Namun, masih ada kendala yang dihadapi dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular strategis dan penyakit zoonosis, salah satunya adalah pelaksanaan otonomi daerah yang belum rapi. Kurangnya dana menjadi masalah klasik, namun solusinya adalah mengoptimalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk menangani penyakit hewan spesifik lokasi yang menjadi prioritas daerah. Keterbatasan dana mengakibatkan pembatasan jumlah penyakit hewan yang dapat dilakukan pengendalian dan pemberantasan. Faktor kelembagaan dan keterbatasan sumber daya yang terlibat dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan juga merupakan kendala yang tidak bisa diabaikan. Jumlah dokter hewan dan tenaga paramedik veteriner baik di pusat maupun Unit Pelaksana Teknis (UPT) masih jauh dari kebutuhan (Sukirno, 2013). Penyakit hewan memiliki dampak yang luas, tidak hanya terhadap sektor peternakan dengan mewabahnya penyakit hewan strategis yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar, tapi juga terhadap kesehatan masyarakat serta meresahkan masyarakat akibat penyakit zoonosis (Sukirno, 2013). Sudah seharusnya penyakit hewan menjadi perhatian pemerintah, dan keahlian dokter hewan menjadi sangat penting untuk mengelola kesehatan masyarakat dan hewan, baik di perkotaan maupun pedesaan (Enticott, et al., 2011). Saat ini ada beberapa layanan kesehatan hewan yang ditawarkan, seperti vaksinasi dan grooming. Vaksinasi bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada hewan, sedangkan grooming bertujuan untuk merawat tubuh hewan kesayangan (Utami, 2013). Kedua jenis
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
pelayanan ini merupakan salah tindakan untuk pencegahan penyakit. Perubahan besar dialami oleh profesi dokter hewan selama tiga puluh tahun terakhir terdiri dari fakta bahwa penyembuhan setiap pasien telah berubah menjadi pengobatan (Acha and Melendez, 1983). Vaksinasi, groming, dan manajemen kesehatan lainnya perlahan telah mengubah cara penyembuhan pasien. Selain itu, untuk mendukung dan menyiapkan generasi dokter hewan yang lebih kompeten, maka sekolah kedokteran hewan harus lebih memperhatikan pentingnya mengajarkan pengobatan preventif dan disiplin terkait epidemiologi, biostatistika, kesehatan masyarakat, dan pengaruhnya di semua bidang praktik modern profesi ini (Acha and Melendez, 1983). Selain itu, mulai tahun ini telah dibuka spesialisasi di bidang kedokteran hewan Indonesia. Ini merupakan hal yang sangat positif, sebab cakupan kerja dokter hewan telah diperluas dan sangat beragam, dan tentu saja sangat sulit bagi dokter hewan yang ingin tetap up-to-date pada kemajuan sains, untuk sepenuhnya menguasai semua disiplin profesinya. Selain itu terkait layanan kesehatan hewan, berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 4, diketahui bahwa 86% masyarakat mengetahui beberapa layanan kesehatan hewan yang bisa mereka dapatkan untuk menjaga kesehatan hewannya, seperti di Rumah Sakit Hewan, Klinik Hewan, dokter hewan praktik, dan layanan panggilan dokter hewan ke rumah atau peternakan (house call). Di lain sisi, ternyata masih ada masyarakat (14%) yang belum tahu di mana bisa mendapatkan layanan kesehatan hewan.
Tabel 4. Pemahaman Masyarakat tentang Layanan Kesehatan Hewan No. 1
Pemahaman Masyarakat tentang Layanan Kesehatan Hewan Rumah Sakit Hewan, Klinik Hewan, Dokter
Jumlah
Persentase (%)
293
73,25
hewan praktik, housecall 2
Klinik Hewan, Dokter hewan praktik
51
12,75
3
Dokter hewan praktik
20
5
4
Mantri Hewan
14
3,5
5
Tidak dibawa ke mana-mana
22
5,5
Total
400
100
Masyarakat yang belum memahami tentang layanan dokter hewan disebabkan karena beberapa hal di antaranya adalah kurangnya tenaga dokter hewan, belum tersedia layanan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
dokter hewan yang memadai, dan masyarakat belum sadar akan pentingnya kesejahteraan hewan (animal welfare). Jika dilihat di jalanan yang ada di kota Kupang maka tidak pernah ada papan yang menunjukkan tempat praktik dokter hewan, yang ada hanyalah praktik dokter umum. Hal inilah yang menjadikan sebagian masyarakat tidak mengetahui tentang layanan dokter hewan. Sementara itu, hasil penelitian tentang tanggapan klien terhadap saran yang diberikan oleh dokter hewan, seperti dinyatakan dalam Tabel 5, hampir seluruh responden (99%) menanggapi saran dokter hewan dengan sangat baik, dan hanya 1% responden yang acuh terhadap pesan atau saran dari dokter hewan.
Tabel 5. Tanggapan Masyarakat terhadap Pesan atau Saran dari Dokter Hewan No.
Tanggapan Masyarakat
Jumlah
Persentase (%)
Mendengarkan dengan baik dan menerapkannya, 1
sebab dokter hewan sangat mengerti tentang
396
99
Acuh
4
1
Total
400
100
hewan. 2
Mayoritas masyarakat kota Kupang yang pernah membawa hewannya ke dokter hewan ternyata memahami peran dokter hewan dan menyadari bahwa dokter hewan bisa menangani hewannya dengan baik. Hal ini sejalan dengan Bab IV terkait Kewajiban Dokter Hewan terhadap Klien dalam pasal 26 yang menyatakan bahwa dokter hewan melakukan client education dan memberikan penjelasan mengenai penyakit yang sedang diderita hewannya dan kemungkinan – kemungkinan lainnya yang dapat terjadi. Dalam segala hal yang penting dan harus dilakukan demi kebaikan pasien dengan segala resikonya maka dokter hewan menyampaikan secara transparan termasuk segala resiko yang terburuk sekalipun (PB PDHI, 2010). Sehubungan dengan hal tersebut, maka dokter hewan pastinya akan melakukan tindakan medis yang tepat dan baik kepada pasiennya, sehingga sudah sepatutnya klien mempercayakan penanganan hewannya kepada dokter hewan.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Analisis Pemahaman Masyarakat Kota Kupang tentang Peran Dokter Hewan dalam Upaya Menjaga Kesehatan Masyarakat Veteriner Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 976 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelayanan Veteriner, disebutkan bahwa jangkauan peran dokter hewan dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat veteriner meliputi pengendalian dan penanggulangan zoonosis, serta penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, kehalalan, higiene, dan sanitasi produk hewan. Hal-hal penting terkait dengan peran tersebut, diwujudkan dalam 4 (empat) pertanyaan, sehingga diperoleh hasil bahwa sebanyak 75,08 %masyarakat kota Kupang memahami tentang peran dokter hewan dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat veteriner. Berdasarkan strata pendidikan, diketahui bahwa semakin tinggi pendidikan, maka semakin tinggi pemahaman masyarakat tentang peran dokter hewan dalam upaya menjaga
Persentase Jawaban
kesehatan masyarakat veteriner, seperti dinyatakan dalam Gambar 3.
80,71 77,71 73,44 70,3
70,63
TIDAK PERNAH SEKOLAH
SD
SMP
SMA
PT
Strata Pendidikan
Gambar 3. Grafik persentase pemahaman masyarakat kota Kupang tentang peran dokter hewan dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat veteriner berdasarkan strata pendidikan
Pada grafik di Gambar 3 terlihat bahwa pendidikan memiliki hubungan yang positif dengan pemahaman yang dibuktikan dengan hasil analisis menggunakan program SPSS, dan diketahui bahwa nilai korelasi Rank Spearman untuk hubungan antara pendidikan dan pemahaman sebesar 0,205. Nilai z hitung adalah 4,09 dan nilai z tabel berada di antara -1,96
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
– 1,96. Karena nilai z hitung lebih besar daripada nilai z tabel, maka pendidikan memiliki hubungan dengan pemahaman masyarakat. Keterkaitannya dengan peran dokter hewan dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat veteriner, diketahui bahwa semakin tinggi pendidikan maka pemahaman masyarakatpun akan semakin tinggi. Selain pendidikan, adapun faktor yang turut dipertimbangkan dalam penelitian ini, yakni penghasilan. Namun, setelah dilakukan analisis, ternyata tidak terdapat hubungan antara pemahaman dan penghasilan. Artinya, tinggi rendahnya penghasilan seseorang tidak mempengaruhi pemahaman mereka terhadap peran dokter hewan dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat veteriner, namun ada hubungan tidak langsung antara penghasilan dan pendidikan, karena masyarakat yang pendidikannya lebih tinggi cenderung mendapaykan penghasilan yang lebih tinggi. Kesehatan masyarakat veteriner merupakan istilah resmi yang digunakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menyediakan konsep kerangka kerja dan struktur program untuk kegiatan kesehatan masyarakat yang melibatkan penerapan pengetahuan, keahlian dan sumber daya dalam kedokteran hewan terhadap perlindungan dan perbaikan kesehatan manusia (Arambulo, 1992). Berdasarkan data yang diperoleh, dokter hewan di kota Kupang telah bekerja sebagaimana mestinya. Unit Pelaksana Teknis Kesehatan Masyarakat Veteriner (UPT Kesmavet) kota Kupang berpusat di Rumah Potong Hewan (RPH) Oeba. Di RPH Oeba sendiri, terdapat 2 gedung untuk penyembelihan hewan, yakni untuk sapi dan babi. Sebelum didistribusikan ke masyarakat, telah dilakukan pengawasan dan pemeriksaan produk hewan tersebut, baik sebelum disembelih (antemortem), saat pemotongan, dan setelah pemotongan (postmortem). Berhubungan dengan kondisi bangunan, gedung RPH tersebut masih jauh dari standar yang ditetapkan, begitu pula dengan prosedur pemotongan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh dokter hewan untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya pemotongan hewan yang baik. Untuk membangun pemahaman yang baik dan mengubah cara berpikir masyarakat membutuhkan proses yang cukup panjang. Pada dasarnya, dengan memahami sesuatu berarti seseorang dapat mempertahankan, membedakan, menduga, menerangkan, menafsirkan, memerkirakan, menentukan, memperluas, menyimpulkan, menganalisis, memberi contoh, menuliskan kembali, mengklasifikasikan, dan mengikhtisarkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman mengandung makna lebih luas atau lebih dalam dari pengetahuan. Dengan pengetahuan, seseorang belum tentu memahami sesuatu yang dimaksud secara mendalam, hanya sekedar mengetahui tanpa bisa menangkap makna dan arti dari sesuatu yang dipelajari. Sedangkan dengan pemahaman, seseorang tidak hanya bisa
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
menghafal sesuatu yang dipelajari, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk menangkap makna dari sesuatu yang dipelajari juga mampu memahami konsep dari pelajaran tersebut (Hafiz, 2013). Mayoritas pekerja di RPH Kupang adalah masyarakat yang tidak menempuh pendidikan, sehingga mereka tidak mendapatkan pengetahuan yang memadai untuk bisa memahami sesuatu dengan baik, akibatnya mereka cenderung apatis terhadap saran yang diberikan oleh dokter hewan untuk menjaga kebersihan diri (personal hygiene) dan menerapkan cara pemotongan hewan yang baik dan benar, padahal jika mereka lalai maka bisa saja terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti gangguan kesehatan konsumen. Hal ini dikarenakan bahna pangan asal hewan merupakan pangan yang mudah rusak, sehingga diperlukan pengawasan pada setiap titik yang dianggap rawan terjadi kontaminasi. Oleh karena itu, upaya untuk menjaga keamanan pangan dan mewaspadai ancaman agen penyakit dan hal lain yang akan mengganggu kesehatan sangat diperlukan (Baraniah, 2008).
Analisis Persepsi Masyarakat tentang Dokter Hewan Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa mayoritas masyarakat kota Kupang memahami profesi dokter hewan. Menurut persepsi masyarakat, profesi dokter hewan berbeda dengan profesi dokter umum. Persepsi masyarakat tersebut dibuktikan dengan jawaban responden, pada Tabel 6 yang menyatakan bahwa 90% masyarakat mempersepsikan bahwa dokter hewan menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan, memiliki klien serta pasien yang beragam, dan hanya 10% masyarakat yang memahami profesi dokter hewan dalam ruang lingkup yang sempit. Faktanya, dokter hewan di kota Kupang telah bekerja sesuai tugas dan fungsinya, dan masyarakat pun memahami peran dokter hewan dengan baik. Namun, yang terjadi di lapangan, sebagian besar masyarakat merasa belum membutuhkan dokter hewan untuk menangani hewannya, sebab dalam persepsi masyarakat, kesejahteraan hewan bukanlah suatu hal yang mutlak. Selain itu, kurangnya tenaga dokter hewan yang tampak pun sangat kurang, hal ini dilihat dari tidak adanya dokter hewan yang membuka praktik di kota Kupang, sehingga masyarakat pun tidak merasakan kehadiran dokter hewan. Sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut, maka pada tahun 2010 dibangun Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) di Kupang. Hadirnya FKH dimaksudkan untuk menjadi agen yang ikut mengubah persepsi masyarakat, bahwa dokter hewan memang sangat diperlukan.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Penutup Kesimpulan Berdasarkan kajian analisis yang telah dilakukan, maka mayoritas masyarakat kota Kupang yang berpendidikan SMA ke atas memahami bahwa dokter hewan memiiliki peran yang penting dalam upaya menjaga kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner. Pendidikan berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang peran dokter dalam menjaga upaya menjaga kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner. Masyarakat memahami peran dokter hewan, namun pada kenyataannya masyarakat terkesan tidak membutuhkan dokter hewan, sebab kesejahteraan hewan bukanlah suatu hal yang mutlak, kurangnya tenaga dokter hewan, belum terbukanya layanan dokter hewan baik untuk aspek kesehatan, ternak, hewan kesaayangan, dan kesejahteraan hewan (animal welfare). Saran Bidang kerja dokter hewan tidak hanya terbatas pada dunia medik veteriner, oleh karena itu dokter hewan harus lebih memaksimalkan peran nyatanya di berbagai bidang, sehingga masyarakat bisa melihat dan mengubah persepsinya. Sosialisasi pun harus terus dilakukan oleh instansi-instansi terkait, terutma Dinas Peternakan dan Klinik Hewan agar masyarakat semakin menyadari pentingnya menjaga kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
Daftar Pustaka Abdulsyani. 2002, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan, PT. Bumi Aksara, Jakarta, Indonesia. Arambulo. 1992, Veterinary Public Health: Perspectives at the Threshold of the 21st Century, 11:62-255. Badan Pusat Statistik. 2012a, ‘Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan 2012’, diakses pada 14 Februari 2014, . Badan Pusat Statistik. 2012b, ‘Jumlah Penduduk Kota Kupang Berdasarkan Kecamatan dan Jenis Kelamin’, diakses pada 14 Februari 2014, . Badan Pusat Statistik. 2012c, ‘Populasi Ternak Besar Menurut Jenis Ternak Menurut Kabupaten/Kota’, diakses pada 14 Februari 2014, .
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Badan Pusat Statistik. 2012d, ‘Populasi Ternak Kecil Menurut Jenis Ternak Menurut Kabupaten/Kota’, diakses pada 14 Februari 2014, . Badan Pusat Statistik. 2012e, ‘Populasi Ternak Unggas Menurut Jenis Ternak Menurut Kabupaten/Kota’, diakses pada 14 Februari 2014, . Badan Pusat Statistik. 2012f, ‘Produksi Perikanan Laut Dirinci Menurut Kabupaten dan Jenis Ikan’, diakses pada 14 Februari 2014, . Baraniah, M. A. 2008, Mewaspadai Penyakit Berbahaya pada Hewan dan Ternak, Penebar Swadaya, Jakarta, Indonesia. Darby, Brandy. 2014, ‘The Role of Veterinarian in Modern Society’, viewed 14 January 2014, . De Haan, C. and Umali, D.L. 2014. Public and Private Sector Roles in the Supply of Veterinary Services, 12:133-145. Encyclopaedia Britannica Company (EBC). 2014, ‘Comprehension’, viewed 30 January 2014, . Enticot, G., Donaldson, A., Lowe, P., Power, M., Proctor, A., Wilkinson, K. 2011, The Changing Role of Veterinary Expertise in the Food Chain, 366:1955–1965. Hafiz. 2013, ‘Pemahaman’, diakses pada 20 Mei 2014, . Horton, Paul. 2006, Sosiologi, Penerbit Erlangga, Jakarta, Indonesia. Jon, Turney. 1996, Public Understanding of Science, 1087-90. Kementerian Pertanian. 2009, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Jakarta, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Kementerian Pertanian. 2011, Peraturan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 976/Kpts/OT.160/F/11/2011 tentang Pedoman Pelayanan Veteriner, Jakarta, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Kementerian Pertanian. 2012, Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, Jakarta, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Kementerian Pertanian. 2013, Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026 tentang Penetapan Penyakit Hewan Menular Strategis, Jakarta, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Koesharjono. 2009, 40 Tahun Kiprah Seorang Dokter Hewan di Bidang Praktisi Hewan Kecil, C. Koesharjono Veterinary Clinic, Jakarta, Indonesia. Martono, Nanang. 2010, Statistik Sosial: Teori dan Aplikasi Program SPSS, Gava Media, Jogjakarta, Indonesia. Muhammad, Abdulkadir. 2008, Ilmu Sosial Budaya Dasar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Indonesia. PB PDHI. 2010. ‘Kode Etik Profesi Dokter Hewan’. Pemkot Kupang. 2013, ‘Geografis Kota Kupang’, diakses pada 10 Februari 2014, . Pemprov NTT. 2012, ‘Kelautan dan Perikanan’, diakses pada 10 Februari 2014, . Saryono. 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dalam Bidang Kesehatan, Nuha Medika, Bandung, Indonesia. Soelaeman, Munandar. 2000, Ilmu Sosial Dasar, Refika Aditama, Bandung, Indonesia. Sudijono, Anas. 1996, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Indonesia. Sugiyono. 2013, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methds), Penerbit Alfabeta Bandung, Indonesia. Sukirno. 2013, ‘Kendala Pemberantasan Penyakit Hewan’, diakses pada 29 Mei 2014, . Utami, Tri. 2013, ‘Grooming pada Hewan Kesayangan’, dipresentasikan pada kuliah Manajemen Hewan Kesayangan FKH Undana di Kupang, 22 Juni. Veeger. 1990. Realitas Sosial, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Indonesia. Wulan, Ratna. 2014. ‘Aspek Hukum Euthanasia’, diakses pada 11 Juni 2014,
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Perbandingan Respon Estrus Hasil Sinkronisasi Menggunakan Preparat Prostaglandin F2alfa (PGF2α) Dengan Metode Intra Uterine Dan Intra Muskular Pada Sapi Bali (Bibos banteng)
Mario A. B. Bhasarie, Yohanes T.R.M.R. Simarmata, P Kune 1
2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Undana Dosen Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana 3 Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana
Kendala dalam pelaksanaan aplikasi inseminasi buatan pada sapi perah dan potong milik rakyat di Indonesia terutama di NTT yang paling umum terjadi adalah sulitnya pengenalan estrus pada sapi. Estrus sapi sering sulit dikenali karena banyaknya kasus anestrus, estrus tenangsehingga menimbulkan masalah sulitnya pengenalan atau deteksi estrus yang tidak tepat, dan ketidakmampuan peternak untuk memperhatikan gejala yang ditimbulkan oleh sapi, akibatnya terjadi ketidaktepatan waktu inseminasi, dan akhirnya terjadi kegagalan fertilisasi. Untuk mengatasi permasalahan aplikasi inseminasi buatan telah dikembangkan teknik sinkronisasi estrus atau penyerentakan estrus dengan memanipulasi pola hormon reproduksi pada ternak. Di NTT sendiri teknologi sinkronisasi sudah dijalankan sejak lama. Sinkronisasi estrus dapat dilakukan dalam beberapa cara salah satunya dengan metode pemberian PGF2α. Pemberian PGF2α dapat dilakukan secara intramuskular atau secara intrauterin. Kedua metode tersebut memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa kemampuan metode pemberian PGF2α dengan cara intra muskuler lebih baik dari intra uterine, berdasarkan lama waktu terjadinya estrus dan intensitas estrus. Data menunjukkan bahwa rata-rata lama estrus sapi bali yang diinjeksikan menggunakan metode intra muskuler 15,5 jam dibanding rata-rata lama estrus yang diinjeksikan menggunakan metode intra uterine 13,8 jam. Dan juga intensitas estrus sapi bali yang diinjeksikan dengan metode intra muskuler lebih baik dibandingkan metode intra uterine. Kata Kunci : aplikasi inseminasi buatan, sinkronisasi estrus, PGF2α, lama estrus, intensitas estrus
Pendahuluan Teknologi IB merupakan serangkaian proses yang melibatkan koleksi semen, preservasi (dalam bentuk cair atau beku), dan pemindahannya ke dalam saluran kelamin betina. Suksesnya program IB, perlu diketahui bahwa sapi memiliki sejumlah kelemahan fundamental, baik sapi jantan maupun betina. Karena memiliki libido dan tingkah laku seksual yang, cenderung tidak nampak atau sulit dikenali. Pengamatan estrus yang diperlukan dalam memprediksi waktu terbaik untuk IB menjadi relatif sulit. Lendir estrus, oedema,
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
perubahan mukosa menjadi kemerahan yang lazimnya menjadi penanda klinis estrus, menjadi sulit diamati pada sapi (Toelihere, 1981). Menurut Toelihere (1993) keunggulan teknologi IB pada sapi antara lain efisiensi pemanfaatan pejantan unggul, peningkatan mutu genetis sapi-sapi lokal, dimungkinkan perkawinan silang antar bangsa, dihindari penyakit menular yang ditularkan lewat perkawinan alamiah, dimungkinkan pemilihan semen pejantan tertentu dan peningkatan efisiensi pemuliabiakan (breeding efficiency) sapi perah dan potong. Dengan aplikasi inseminasi buatan juga dimungkinkan persilangan antar bangsa sapi berbeda, yang secara alami tidak mungkin dilakukan akibat perbedaan ukuran berat badan. Kelemahan aplikasi teknologi IB menurut Toelihere (1993) yang penting untuk diperhatikan, antara lain memerlukan infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai, kalau dilakukan dengan kurang cermat akan memudahkan menimbulkan infertilitas sapi betina, sangat mungkin terjadi kasus kawin silang dalam (inbreeding) bila pencatatan atau rekording tidak tertib, serta merupakan wahana penularan penyakit menular yang sangat efektif bila pejantannya mengidap penyakit infeksi menular. Kendala dalam pelaksanaan aplikasi IB pada sapi perah dan potong milik rakyat di Indonesia yang paling umum terjadi adalah sulitnya pengenalan estrus pada sapi. Estrus sapi sering sulit dikenali karena banyaknya kasus anestrus, estrus tenang (silent heat, subestrus), sehingga menimbulkan masalah sulitnya pengenalan atau deteksi estrus yang tidak tepat, akibatnya terjadi ketidaktepatan waktu inseminasi, dan akhirnya terjadi kegagalan fertilisasi (Raka, 2013). Sinkronisasi estrus merupakan teknik manipulasi siklus estrus untuk menimbulkan estrus dan ovulasi pada sekolompok hewan secara bersamaan. Teknik ini terbukti efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan inseminasi buatan, efisiensi deteksi estrus, sehingga dapat diaplikasikan untuk memperbaiki reproduktivitas ternak sapi bali di NTT.Sinkronisasi bertujuan untuk mengatur waktu IB sesuai ketersediaan waktu dan tenaga, memungkinkan terjadinya estrus dan pelayanan IB berlangsung pada waktu yang sama atau hampir bersamaan, bahkan di daerah yang ketersediaan pakannya berlangsung musiman, maka teknik ini dapat membantu mengatur waktu beranak sesuai ketersediaan pakan, disamping itu dapat pula mengatur waktu produksi sesuai permintaan pasar (Kune dan Solihati, 2007).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Materi Dan Metode Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi bali berjenis kelamin betina yang berusia 5 – 7 tahun (kisaran umur produktif) sebanyak 20 ekor, dan sudah mengalami partus minimal 2 bulan.Sapi penelitian dibagi dalam 4 kelompok (1 perlakuan terdiri dari 5 ekor sapi) serta memiliki organ reproduksi normal terutama sedang memilikicorpus luteum. Bahan dan peralatan yang akan digunakan adalah Spuit mika berukuran 3 ml, 5 ml, 10 ml.Preparat Prostaglandin F2α(PGF2α) merk Capriglandin dan Estron. Kateter uterus.Sarung tangan. jarum suntikberukuran 18 dan 22G, alkohol, NaClfisiologik, kapas, tissue, desinfektan dansabun. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen lapangandimana sapi penelitian yang telah direkondisi kemudian diberikan perlakuan dengan terlebih dahulu sapi tersebut diacak untuk ditempatkan kedalam 4 perlakuan yakni : A1B1: Pemberianpreparat PGF2α merk Capriglandinsecara intra muskularsebanyak 5 ekor sebanyak 2cc.A1B2: Pemberianpreparat PGF2α merk Capriglandinsecara intra uterine sebanyak 5 ekor sebanyak 1cc.A2B1: Pemberianpreparat PGF2α merk Estronsecara intra muskularsebanyak 5 ekor sebanyak 2cc.A2B2: Pemberianpreparat PGF2α merk Estronsecara intra uterine sebanyak 5 ekor sebanyak 1cc.
Hasil Dan Pembahasan Persentase estrus sapi-sapi betina yang terlibat dalam kegiatan penelitian sinkronisasi estrus menggunakan preparat PGF2α adalah sebesar 100 %, yakni 20 ekor sapi betina yang diberikan perlakuan baik intra muskuler maupun intra uterine, semuanya memperlihatkan gejala estrus setelah 4-5 hari setelah pemberian perlakuan.Persentase estrus yang dari sapisapi penelitian yang mencapai 100% ini disebabkan karena sapi-sapi yang digunakan dalam kedua perlakuan ini sama-sama memiliki kondisi organ reprduksi yang normal terutama adanya corpus luteum (CL). Oleh karena persentase estrus yang diperlihatkan ke 20 ekor sapi betina tersebut mencapai 100%, maka hal ini memberikan penekanan bahwa kedua metode pemberian PGF2α ini tidak berbeda dalam memberikan respons estrus pada sapi-sapi betina. Lama estrus yang ditunjukkan sapi penelitian pada masing – masing metode pemberian juga bervariasi, data yang diperoleh dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa rata-rata lama estrus sapi bali yang disinkronisasi adalah 14.65 jam namun demikian dari hasil yang tercantum pada tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa secara umum rata – rata
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
sapi yang diinjeksikan dengan metode intra muskuler menunjukkan gejala estrus yang lebih lama dibandingkan dengan metode intra uterine, yakni sapi dengan metode pemberian intra muskuler berkisar antara 15-16 jam dengan rata – rata 15,5 jam. Sedangkan sapi dengan metode pemberian intra uterine berkisar antara 13-15 jam dengan rata – rata 13,8 jam. Berdasarkan jenis prostaglandin yang digunakan diketahui bahwa sapi yang diinjeksi menggunakan capriglandin lebih lama menunjukkan gejala estrus dibandingkan sapi yang diinjeksikan menggunakan estron.
Tabel 1. Perbandingan lama estrus pada sapi bali dengan metode pemberian secara intra muskuler No MetodeInjeksi Jenis PG Lama estrus Jenis PG Lama Total rata(jam)
estrus (jam)
rata 15,5 jam
1
IM
Capriglandin
16 jam
Estron
16 jam
2
IM
Capriglandin
15 jam
Estron
15 jam
3
IM
Capriglandin
16 jam
Estron
15 jam
4
IM
Capriglandin
16 jam
Estron
16 jam
5
IM
Capriglandin
15 jam
Estron
15 jam
Rata-rata
15,6 jam
15,4 jam
Tabel 2. Perbandingan lama estrus pada sapi bali dengan metode pemberian secara inta uterine No MetodeInjeksi Jenis PG Lama estrus Jenis PG Lama estrus Total (jam)
(jam)
rata-rata 13,8 jam
1
IU
Capriglandin
13 jam
Estron
14 jam
2
IU
Capriglandin
15 jam
Estron
14 jam
3
IU
Capriglandin
14 jam
Estron
13 jam
4
IU
Capriglandin
15 jam
Estron
13 jam
5
IU
Capriglandin
14 jam
Estron
13 jam
Rata-rata
14,2 jam
13,4 jam
Dari pengamatan yang dilakukan di lapangan, tampilan gejala estrus dan intensitas estrus dari sapi-sapi betina yang diamati dalam penelitianinisapi penelitian menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda baik antar kelompokmaupun antar individu dalam kelompok perlakuan.Gejala estrus yang umumnya terlihat adalah gejala keluarnya lendir, perubahan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
kondisi vulva (merah, bengkak dan basah), menaiki dan diam dinaiki oleh sesama sapi betina. Tanda-tanda estrus yang terlihatsesuaidenganobservasi estrus padasapiolehSolihati (2005) danKunedanSolihati (2007).Untuk membandingkan tingkat intensitas estrus iniditentukanlah skor intensitas estrus skor 1 (intensitas estrus kurang/tidakjelas), skor 2 (intensitas estrus sedang) danskor 3 (intensitas estrus sangatjelas).Semua sapi penelitian menunjukkan gejala estrus meskipun intensitas dan waktu lamanya estrus pada tiap – tiap sapi berbeda, dari data yang didapat diketahui bahwa teknik penyuntikan PGF2α secara intra muskuler lebih efektif dibandingkan teknik penyuntikan PGF2α secara intra uterine. Dari konsentrasi waktu timbulnya estrustidak terlalu menunjukkan perbedaan yang signifikan, hampir seluruh sapi penelitian menunjukkan gejala estrus pada hari keempat, kecuali seekor sapi yang menunjukkan gejala pada hari kelima.Menurut Okuda dan Skarzynki (2000), sensitivitas korpus luteum terhadap PGF2α eksogen meningkat mendekati akhir umurnya, namun lebih resisten pada fase awalnya. Hal inilah yang mungkin menjadi penyebab timbulnya waktu estrus terjadi sedikit lebih lama dari penelitian-penelitian sebelumnya seperti Mustofa (2005).
Kesimpulan Penggunaan metode intra muskuler lebih baik dibanding metode intra uterine, hal ini bisa dilihat dari lama estrus sapi bali yang diinjeksi preparat PGF2α menggunakan metode intra muskuler lebih lama (rata – rata 15,5 jam) dibandingkan metode intra uterine (rata – rata 13,8 jam). Juga dapat dilihat dari intensitas estrus dimana 60% sapi penelitian dengan metode pemberian secara intra muskuler memiliki intensitas estrus skor 3, sedangkan tidak ada dari sapi yang diinjeksikan dengan metode pemberian secara intra uterine yang memiliki intensitas skor 3, namun 100% dari sapi dengan metode intra uterine memiliki skor intensitas estrus 2 (sedang). Konsentrasi waktu estrus sendiri juga terkonsentrasi pada hari ke-4 kecuali seekor sapi menunjukkan gejala estrus pada hari ke-5. Sapibalimenunjukkanrespons yang baikterhadapimplementasiteknologisinkronisasi estrus. Intensitas estrus sapibali yang diinduksidengan PGF2α tidakmenunjukkanperbedaandengansapi yang estrus secaraalami.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Daftar Pustaka Raka, I.G.P.N. 2013.SinkronisasiBirahi. BalaiInseminasiBuatanLembang.
PenyuluhanSinkronisasiBirahi.
Kune, P. dan Solihati N. 2007. Tampilan berahi dan tingkat kesuburan sapi bali timor yang diinseminasi. Jurnal Ilmu Ternak. 7(1):1-5. Mustofa, I. 2005. Efektivitas Penyerentakan Birahi pada Kambing Menggunakan Prostaglandin F2α (PGF2α) Secara Intrauterin Dibandingkan Intramuskuler Media Kedokteran Hewan. 21(3): 123-126. Okuda, K. and D.J. Skarzynki. 2000. Luteal Prosta-glandin F2α : New Concepts of PGF2α Secretion and Its Actions Within Bovine Corpus Luteum. Asian-Aus, J.Anim.Sci. 13(3) : 390-400. Solihati, N. 2005. ‘Pengaruh Metode Pemberian PGF2α dalam Sinkronisasi Estrus terhadap Angka Kebuntingan Sapi Perah Anestrus’.Makalah. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. Toelihere, M. R., 1981. FisiologiReproduksiPadaTernak. Angkasa, Bandung. Toelihere, M. R., 1981. InseminasiBuatanPadaTernak. Angkasa, Bandung.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Pembandingan Tingkat Pemahaman Pelajar Sekolah Menengah Atas Dan Sekolah Menengah Kejuruan Tentang Higienitasdaging Dan Produk Olahannya Di Pulau Timor
Debora Koly Selan1 Frans Umbu Datta2 Herlina Umbu Detha 1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Undana Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Undana 3 Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Undana 2
Abstrak Daging merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi, mudah rusak dan dapat mengancam kesehatan konsumen. Produk pangan asal hewan yang beredar masih banyak yang belum memenuhi persyaratan higienis. Dilaporkan bahwa telah terjadi keracunan olahan daging sapi dan daging babi pada masyarakat kota Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, namun pemerintah belum mengetahui penyebabnya. Pelajar diharapkan mampu menjadi penyalur informasi yang benar. Namun, sekolah yang berfungsi sebagai rana bagi pelajar untuk menuntut ilmu juga memiliki spesifikasi yang berbeda yakni Sekolah Umum dan Sekolah Kejuruan yang akan mempengaruhi pemahaman pelajar. Penelitian ini dilakukan di 2 Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 2 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di pulau Timor dengan sampel sebanyak 200 orang dengan menggunakan uji perbandingan Mann Whitney U Test dan uji hubungan Spearmann Rank Correlation. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman pelajar SMK tentang higienitas daging dan produk olahannya cenderung lebih baik (75.2 %) dengan pemahaman pelajar SMA (69.5 %) yang diduga disebabkan oleh adanya perbedaan isi kurikulum dan kompetensi guru. Ini diperkuat dengan adanya hubungan yang positif antara tingkat pemahaman dan status sekolah (+0.387) yang walaupun secara statistik kurang berarti. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan tingkat pemahaman pelajar SMA dan SMK tentang higienitas daging dan produk olahannya dan terdapat hubungan antara status sekolah dengan tingkat pemahaman. Kata kunci: daging, produk olahan daging, pemahaman, pelajar, SMA, SMK
Pendahuluan Daging adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia (Soeparno, 2005). Menurut Barnard et al., (1995), daging berperan cukup besar dalam konteks ketahanan pangan nasional karena merupakan salah satu komoditas dengan kandungan gizi yang cukup lengkap. Daging dapat diolah dengan cara dimasak, digoreng, dipanggang, diasap atau diolah menjadi produk lain yang menarik, antara lain sosis,
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
dendeng, abon, bakso dan lain-lain. Oleh karenanya, daging dan hasil olahannya merupakan produk-produk makanan yang unik. Daging dan produk olahannya yang dikonsumsi dapat berasal dari ternak yang berbeda dan dari berbagai jenis hewan liar atau aneka ternak (Soeparno, 2009) Daging merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi. Namun dengan penanganan yang kurang tepat dapat mengakibatkan kerusakan dan dapat mengancam kesehatan konsumen. Hal ini disebabkan karena jika kontaminasi oleh bakteri patogen maka akan mengakibatkan gangguan kesehatan bagi konsumen yakni sakit, keracunan bahkan kematian juga dapat mengakibatkan penurunan kualitas (masa simpan pendek, perubahan fisik, dan cita rasa). Segala bentuk kontaminasi agen patogen dapat terjadi melalui berbagai media seperti tempat pemotongan yang kurang bersih, peralatan yang digunakan untuk pemotongan, kebersihan pekerja, tempat penyimpanan setelah pemotongan dan lain-lain. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pemotongan hewan seharusnya dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) dengan diawasi oleh Dokter Hewan. Namun yang seringkali terjadi dalam kehidupan masyarakat luas adalah pemotongan hewan dilakukan di rumah sendiri yang mana produsen juga merupakan konsumen dari pemotongan yang dilakukan sendiri tersebut. Hal tersebut sangat berakibat buruk karena kurang adanya pengawasan secara benar sehingga daging dapat terkontaminasi agen patogen yang sangat membahayakan. Produk pangan asal hewan yang beredar di daratan pulau Timor masih banyak yang belum memenuhi persyaratan higienis. Fenomena ini dapat terlihat dari beberapa permasalahan pokok di bidang keamanan pangan seperti: 1) Masih ditemukannya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan (penggunaan bahan tambahan yang dilarang, cemaran kimia berbahaya, cemaran patogen, masa kadaluarsa dan sebagainya). 2) Masih banyak terjadi kasus keracunan karena makanan yang sebagian besar belum dilaporkan dan diidentifikasi penyebabnya. 3) Masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab terutama pada industri kecil atau industri rumah tangga. 4) Masih rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan karena terbatasnya pengetahuan dan rendahnya kemampuan daya beli untuk produk pangan yang bermutu dan tingkat keamanan yang tinggi. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dan Kesejahteraan Hewan dalam pasal 1 nomor 25 “Pangan Olahan Asal Hewan” adalah makanan atau minuman yang berasal dari produk hewan yang diproses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. Berhubungan dengan higiene dan sanitasi yang erat hubungannya dengan daging dan produk olahannya, dalam peraturan yang sama yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dan Kesejahteraan Hewan dalam pasal 1 nomor 10 “Higiene” adalah seluruh kondisi atau tindakan untuk meningkatkan kesehatan. Melihat hal tersebut, maka higiene merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan daging dan produk olahannya yang diharapkan berdampak positif bagi kesehatan masyarakat sebagai konsumen dalam hal ini daging dan produk tersebut sehat dan aman untuk dikonsumsi. Menurut Harian Kompas tanggal 9 April 2009, terjadi keracunan olahan daging sapi dan daging babi pada masyarakat kabupaten Kupang sebanyak 82 orang dan kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 54 orang. Dilaporkan juga bahwa Dinas Kesehatan Kabupaten belum mengetahui penyebab terjadinya kejadian tersebut. Kasus tersebut merupakan satu dari sekian banyak kasus keracunan yang dikategorikan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang tidak terpublikasi. Berdasarkan kasus tersebut, maka sebagai konsumen tidak hanya bergantung pada pemerintah dalam hal memperhatikan daging maupun produk olahan daging
yang aman atau tidak aman untuk dikonsumsi, namun
masyarakat juga perlu turut berperan, dan salah satu pihak yang berperan adalah pelajar. Pelajar adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu (Amaliyanti, 2014). Berbicara mengenai keikutsertaan pelajar dalam memperhatikan penyediaan daging dan produk olahan yang akan dikonsumsi, hal tersebut tentu berhubungan erat dengan sekolah, karena sekolah merupakan rana untuk pelajar menuntut ilmu. Melalui sekolah diharapkan pelajar memperoleh bekal yang kuat. Misalnya adalah pentingnya ilmu daging karena ilmu daging adalah bidang studi yang menggabungkan prinsip-prinsip dasar ilmu (genetika, gizi, fisiologi, mikrobiologi, biokimia, ekonomi dan pemasaran) dan berhubungan dengan penginderaan (rasa, bau). Ilmu daging juga menggabungkan ilmu hewan dan ilmu pangan ditambah dengan berbagai strategi manajemen pada pertumbuhan dan perkembangan jaringan hewan (otot, adiposa dan tulang) (Forrest et al., 1975). Bidang selanjutnya menyelidiki konversi postmortem diikuti dengan proses lebih lanjut dan pengembangan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
produk untuk akhirnya menyediakan produk sehat dan bergizi bagi konsumen. Selain belajar prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan, siswa juga memperoleh pemahaman yang luas dari faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ternak dan menghasilkan kualitas daging segar, serta pemahaman dasar dalam proses pengolahan (keamanan pangan dan jaminan kualitas) dan pemasaran (Asseal, 1992). Dengan mempelajari akan ilmu daging, pelajar akan memiliki kesempatan untuk menggabungkan ilmu-ilmu yang mendasari peternakan dan kesejahteraan hewan, fisiologi hewan, ekonomi (termasuk keuangan dan bisnis), dan pengolahan makanan (Asseal, 1992). Namun, sekolah juga memiliki keanekaragaman, misalnya pada jenjang menengah atas terdapat SMA (Sekolah Menengah Atas) dan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Melihat keberadaan sekolah tersebut, maka tentu akan mempengaruhi kurikulum dalam kedua sekolah tersebut, artinya diantara kedua sekolah dengan latar belakang yang berbeda maka materi yang diperoleh juga tentu berbeda sehingga akan mempengaruhi kerangka berpikir pelajar. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Amanuban Selatan dan Sekolah Menengah Atas Kristen (SMAK) 1 Soe merupakan dua dari sekian banyak jenjang pendidikan Menengah Atas di kabupaten Timor Tengah Selatan dengan latar belakang yang umum dalam hal ini tidak memiliki mata pelajaran ataupun kurikulum yang khusus membahas tentang higienitas daging dan produk olahannya, sehingga merupakan sasaran utama yang harus diperhatikan dalam hal dikembangkan pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya higienitas daging dan produk olahannya yang diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian Pembangunan (SMK PP) Negeri Kupang dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Soe merupakan suatu jenjang pendidikan dengan latar belakang yang berhubungan dengan peternakan yang memiliki pengetahuan akan pentingnya higienitasdaging dan produk olahannyayang didukung dengan mata pelajaran atau kurikulum yang khusus membahas akan hal tersebut. Dengan melakukan penelitian di keempat sekolah atau jenjang pendidikan dengan latar belakang yang berbeda tersebut, maka akan diketahui sejauhmana perbandingan tingkat pemahaman pelajar tentang higienitas daging dan produk olahannya sehingga dapat dilakukan ‘pencegahan’ sejak dini.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Metodologi Penelitian Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, yaitu metode penelitian dengan pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji atau menjawab hipotesis yang telah ditetapkan. Metode ini akan digambarkan pembandingan tingkat pemahaman pelajar SMA dan SMK tentang higienitas daging dan produk olahannya di Pulau Timor.
Tempat Dan Waktu Penelitian Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Amanuban Selatan, Sekolah Menengah Atas Kristen 1 Soe, Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian Pembangunan Negeri Kupang dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Soe.
Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014 yaitu pada bulan Mei 2014.
Populasi Dan Sampel Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua SMA dan SMK di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Sampel Sekolah yang menjadi sampel dalam penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive sampling). Dengan metode tersebut dipilih 2 SMA dan 2 SMK sebagai sampel, yakni: 1) Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Amanuban Selatan: 242 orang 2) Sekolah Menengah Atas Kristen 1 Soe: 562 orang 3) Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian Pembangunan Negeri Kupang: 126 orang 4) Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Soe: 52 orang Sekolah-sekolah tersebut diambil sebagai sampel karena dilaporkan pernah terjadi kasus keracunan di Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS tempat sekolah-sekolah tersebut
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
berada. Sampel pelajar dalam penelitian ini diambil secara acak (Simple Random Sampling), dimana sampel diambil dari anggota populasi secara acak tanpa memperhatikan strata atau tingkatan dalam anggota populasi tersebut (Riduwan, 2011). Berdasarkan keempat sekolah tersebut, diambil sampel sebanyak 200 orang dengan masing-masing sekolah 50 orang dengan pertimbangan bahwa 200 orang sudah mampu mewakili anggota populasi tersebut. Selain itu juga karena tingkat homogenitas anggota populasi seperti latar belakang pendidikan, pekerjaan dan penghasilan orang tua relatif sama.
Metode Pengumpulan Data Dalam suatu penelitian, pengumpulan data perlu dilakukan secara berhati-hati, sistematis dan cermat sehingga data yang dikumpulkan relevan dengan masalah penelitian yang akan dicari jawabannya sebagai upaya menguji kebenaran hipotesis yang telah dirumuskan. Untuk itu, metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah prosedur seperti yang diuraikan oleh Riduwan (2011) yakni observasi, wawancara dan kuesioner.
Metode Pengolahan Data Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah mengolahan data. Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah seperti yang ditunjukkan oleh Sangadji et al., (2010) yakni editing, scoring dan tabulasi data
Metode Analisis Data Untuk membantu menganalisis data digunakan program pengolahan data SPSS (Statistical Product and Service Solution), menggunakan analisis Mann Whitney U Test. Analisis ini digunakan untuk menguji hipotesis yakni ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara pelajar SMA dan SMK tentang higienitas daging dan produk olahannya. Dilakukan juga uji lanjut yakni Spearmann Rank Correlation. Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara tingkat pemahaman dengan status pendidikan (SMA dan SMK).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Uji Instrumen Uji Validitas dan Reliabilitas Validitas merupakan merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti (Sugiyono, 2010:117). kecil dari nilai r tabel maka data yang diuji tersebut tidak valid.
Reliabilitas merupakan derajat kepercayaan data pada suatu penelitian (Sugiyono, 2010). Berdasarkan sumber yang sama, reliabilitas adalah ketepatan suatu alat ukur dalam mengukur apa yang diukur. Artinya kapanpun alat ukur tersebut digunakan akan memberikan hasil ukur yang sama.
Hasil Dan Pembahasan Persentasi skor = skor rata-rata × 100%
skor ideal Persentasi skor SMA = 347.56
× 100% 500
= 69.5% Persentasi skor SMK =
376.19 × 100% 500
= 75.2% Dari perhitungan tersebut, diperoleh persentasi skor untuk kategori SMA 69,5%dan SMK 75.2%. Berdasarkan data tersebut, bila dimasukkan kedalam Kategori Persentase menurut Arikunto (1998:246), yaitu:
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Kategori Persentase Jawaban Responden Baik
76 % -100 %
Cukup
56 % -75 %
Kurang
40 % -55 %
Baik Tidak Baik
Kurang dari 40 %
Sumber: Arikunto, 1998
Berdasarkan kategori tersebut, tingkat pemahaman pelajar SMK tentang higienitas daging dan produk olahannya tergolong kategori baik dan tingkat pemahaman pelajar SMA tergolong kategori cukup. Melihat hasil persentaseskor dari kedua kelompok sekolah tersebut (SMA dan SMK), terlihat bahwa terdapat perbedaan pemahaman dari kedua sampel penelitian. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat pemahaman dari pelajar SMK lebih tinggi dibanding pelajar SMA. Perbedaan antar kedua sampel penelitian tidak jauh berbeda dikarenakan terdapat unsur-unsur lain yang turut mempengaruhi seperti pendidikan, pekerjaan maupun penghasilan orang tua.
Hasil Uji Hubungan Berdasarkan uji yang dilakukan, diperoleh nilai koefisien korelasi 0.385 (Lampiran 5). Karena sampel >30 maka dilanjutkan dengan mencari nilai z hitung lalu dibandingkan dengan z tabel. Nilai z hitung yang diperoleh adalah 5.4, sedangkan nilai z tabel antara -1.961.96. Karena z hitung >z tabel, maka terdapat hubungan antara tingkat pemahaman pelajar dengan status sekolah, hubungannya lemah/rendah sesuai tabel interpretasi koefisien korelasi di bawah ini.
Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai
Makna
0.00 – 0.19
Sangat rendah/sangat lemah
0.20 – 0.30
Rendah/lemah
0.40 – 0.59
Sedang
0.60 – 0.79
Tinggi/kuat
0.80 – 1.00
Sangat tinggi/kuat
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Sumber: Arikunto, 1998
Sebenarnya dilihat dari uji perbandingan pemahaman pelajar SMK lebih tinggi dibanding dengan pelajar SMA, namun setelah dilakukan pengujian terdapat hubungan yang lemah antara status sekolah dengan tingkat pemahaman. Hubungan tersebut lemah dikarenakan kemungkinan terdapat penyebab-penyebab lain seperti pendidikan, pekerjaan ataupun penghasilan orang tua. Berdasarkan data identitas responden tentang pendidikan, pekerjaan maupun penghasilan orang tua antara pelajar SMA dan SMK tidak jauh berbeda. Rata-rata pendidikan orang tua adalah tamatan SMA dengan pekerjaan rata-rata petani dan penghasilan rata-rata <500.000 untuk SMA begitu pula untuk SMK.
Penutup Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Terdapat perbedaan tingkat pemahaman pelajar SMA dan SMK tentang higienitas daging dan produk olahannya artinya bahwa pelajar SMK dengan memiliki kurikulum pengajaran yang terfokus, pemahamannya lebih tinggi dibanding pelajar SMA dengan kurikulum yang bersifat umum. Terdapat hubungan antara tingkat pemahaman dengan status sekolah (SMA dan SMK). Keunggulan komparatif dari SMK dilihat dari kurikulum, sehingga pemahaman pelajar akan hal-hal yang berhubungan dengan higienitas daging dan produk olahannya seperti kemasan, penyimpanan, higiene personal, peralatan dan lain-lain tinggi. Juga secara statistik mempunyai kesadaran akan aspek yang diteliti lebih baik.
Saran Berdasarkan hasil pada penelitian tersebut penulis menyarankan untuk peneliti yang ingin melakukan penelitian selanjutnya yang relevan, disarankan agar dapat melakukan penelitian dengan sampel dari konsumen-konsumen lain seperti ibu rumah tangga, pemilik rumah makan dan lain-lain agar juga diketahui bagaimana tingkat pemahamannya. Kepada pemerintah agar setelah mengetahui bahwa terdapat perbedaan pemahaman tingkat pemahaman pelajar SMA dan SMK tentang higienitas daging dan produk olahannya agar diberlakukan atau merekomendasikan adanya kurikulum yag memuat tentang masalah ini agar pelajar SMA juga dapat dibekali sejak dini. Kepada para pelajar yang sudah paham akan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
hal higienitas daging dan produk olahannya agar segera berfungsi sebagai penyalur informasi kepada masyarakat di lingkungan sekitar.
Daftar Pustaka Amaliyanti. A. 2014. Pemahaman Siswa Dalam Proses Belajar, Diakses Pada 20 Juni 2014, http://majors.osu.edu Arka, I.B., W.W. Bagiasih, I.B. N. Suacita, dan K. Suada. 1988, Penuntun Praktikum Ilmu Kesehatan Daging, Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Arka, I.B. 1988, Peranan Ilmu Kesehatan Veteriner dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Arikunto, S. 1998, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. Asseal, H. 1992, Consumer Behavior and Marketing Action. New York: PWS-KENT, Publishing Company, Boston. Barnard ND, Nicholson A, Howard JL. The medical costs attributable to meat consumption. Prev Med, 1995;24:646-655. Bratzler, L.J. 1977, The Scince of Meat and Meat Product. 2nd ed.W.H. Freeman and Co.,San Fransico. Hal 328-348. Bontong, A.R., Mahatmi.H., Suada.I.K. (2012), Kontaminasi Bakteri Escherichia coli Pada Daging Se’i Sapi Yang Dipasarkan di Kota Kupang, Indonesia Medicus Veterinus, 2012 1(5) : 699 – 711. Chang-Claude J, Frentzel-Beyme R, and Eilber U. 1994, Mortality patterns of German vegetarians after 11 years of follow-up. Epidemiology, 1992;3:395-401. Chang-Claude J, Frentzel-Beyme R. Dietary and lifestyle determinants of mortality among German vegetarians. Int J Epidemiol, 1993;22:228-236. Destriyana, L.M., Swacita, I.B.N., Besung, I.N.K. 2013. Pemberian Perasan Bahan Antimikroba Alami dan Lama Penyimpanan pada Suhu Kulkas (5°C) terhadap Jumlah Bakteri Coliform pada Daging Babi, Buletin Veteriner Udayana,Vol. 5 No. 2. Agustus 2013.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Fitri. R.N. 2007. ‘Persepsi Orang Tua dan Guru Terhadap Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor’, Skripsi, S.TP., Institut Pertanian Bogor, Bogor Diakses pada 20 Juni 2014, http://repository.ipb.ac.id. Forrest, J.C., E.D. Aberle, H.B. Hedrick, M.D. Judge and R.A. Merkel. 1975, Priciples of Meat Science, W.H. Freeman and Co., San Fransico. Harian Kompas, 2009, 82 Warga NTT Keracunan Daging Babi dan Sapi, Compas, 9 April 2009. Hermanianto, J. dan R.Y. Andayani. 2002, Studi perilaku konsumen dan identifikasi parameter bakso sapi berdasarkan preferensi konsumen di wilayah DKI Jakarta. Jurnal Teknologi dan Indutri Pangan, 13(1): 1-10. Kartika. I.M. 2014, Pengertian Peranan dan Fungsi Kurikulum, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Dwijendra Denpasar, Bali. Layli, R., Suhendra P. 1979, Tehnologi Hasil Ternak, Lephas, Ujing Pandang. Nurhadi, M. 2012, Kesehatan Masyarakat Veteriner (Higiene Bahan Pangan Asal Hewan dan Zoonosis), Gosyen Publishing, Yogyakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dan Kesejahteraan Hewan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Tahun 2010 Tentang Persyaratan Rumah Potong Ruminansia dan Unit Penanganan Daging. Radji, M. 2011, Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran, Jakarta, AGC. Ramsbottom, J.M. DAN Strandine, E.J. (1971). Food Res, 13, 315. Riduwan. 2011, Dasar-dasar Statistika, Alfabeta, Bandung. Sangadji, E.M., M.M. Sopiah. 2010, Metodologi Penelitian, ANDI, Yogyakarta. Standar Nasional Indonesia. 01 -2908 -1992. Dendeng Sapi. Dewan Standardisasi Nasional. DSN.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Suarjana, I.G.K., Suada, I.K. 2008, Kualitas Daging Se’i Sapi di Kota Kupang Ditinjau dari Jumlah Bakteri Coliform dan Kadar Air, Indonesia Medicus Veterinus 2013, 2(3) : 248 – 260. Sumiarto, B. 2003, Kontaminasi Mikroorganisme Pada Daging, Workshop Kesehatan Masyarakat Veteriner BPPV Regional VI, Denpasar. Soeparno. 2009, Ilmu Dan Teknologi Daging, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sonbait Lukas Y. 2011. Kesukaan Konsumen Terhadap Produk Olahan Daging Sapi Di Kota Manokwari. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Papua. Agrinimal, Vol. 1, No. 2, Oktober 2011, Hal. 71-75. Sugiyono. 2012, Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung. Sugiyono. 2013, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methodsi), Alfabeta, Bandung. Suharyanto. 2009, Pengolahan Bahan Pangan Hasil Ternak, Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Bengkulu. Soekarto, S.T. 1985, Penilaian Orgnoleptik, Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Sonbait L., Monim. H., Woran. D. 2008, Preferensi Konsumen Terhadap Produk Olahan Daging Sapi Di Kota Sorong, Jurnal Ilmu Peternakan, Vol. 3 No.2 Desember 2008, hal. 87 – 93. Sutaryo, Mulyani S. 2004, Pengetahuan Bahan Olahan Ternak Dan Standar Nasional Indonesia. Thorogood M, Mann J, Appleby P, McPherson K, 2014, Risk of death from cancer and ischaemic heart disease in meat and non-meat eaters. Br Med J. 1994;308:1667-1670. Undang Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang : Pangan. Widati, A. S. 2008, Pengaruh Lama Pelayuan, Temperatur Pembekuan DanBahan Pengemas Terhadap Kualitas Kimia Daging Sapi Beku, Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Vol. 3.No. 2, Agustus 2008 Hal 39-49. Widati, A. S., Widyastut, E S., Rulita., Zenny, M.S. 2014, The effect of addition tapioca starch on quality of chicken meatball chips with vacuum frying method, Jurnal Ilmuilmu Peternakan, 21 (2): 11 – 27.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Studi Pustaka Beberapa Penyakit Zoonosis Di Nusa Tenggara Timur
Annytha I.R. Detha Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui, Kupang (85001) Nusa Tengara Timur, email: [email protected]
Abstrak Penyakit zoonosis merupakan penyakit hewan yang dapat ditularkan pada manusia. Studi pustaka tentang zoonosis perlu dilakukan dalam rangka pengendalian dini dan pencegahan jangka panjang. Beberapa penyakit zoonosis juga terjadi di Wilayah Nusa Tengara Timur telah diteliti dan dipublikasi baik oleh peneliti Indonesia maupun luar Indoensia. Banyak penyakit zooosis telah dilaporkan di wilayah Nusa Tenggara Timur. Empat diantaranya adalah Brucellosis, Toxoplasma, Sistiserkosis dan Japanese Encephalitis. Keberadaan penyakit zoonosis perlu penanganan yang serius melaui perbaikan sistem manajemen pemeliharaan hewan dari hulu ke hilir untuk mencegah sedini mungkin penularan penyakit zoonosis.
Pendahuluan Zoonosis merupakan penyakit hewan yang secara alami dapat menular ke manusia atau dari manusia ke hewan yang disebabkan oleh Viral, Bakterial, Parasitik, Mycotik dan Agen lainnya. Penyakit menular baru muncul atau emerging infectious disease yang menyerang manusia, sekitar 60.3% merupakan zoonosis. Penyakit zoonosis tidak hanya mencakup manusia dan ternak tetapi juga dari satwa liar. Zoonosis yang bersifat emerging infectious disease sekitar 71.8% berasal dari satwa liar dan tidak menutup kemungkinan makin bertambah dari waktu ke waktu. Zoonosis dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar baik bagi kesehatan masyarakat, kerugian peternak akibat penurunan produksi ternak, pelarangan ternak untuk diimpor atau diekspor, menurunnya perdagangan global yang terkait dengan bahan pangan asal hewan, menimbulkan kekuatiran masyarakat, pengeluaran biaya pengobatan yang bertambah dan masih banyak kerugian lainnya. Oleh karena itu pencegahan dan penanganan zoonosis perlu dilakukan sedini mungkin mengingat banyaknya kerugian yang ditimbulkan. Zoonosis dapat ditularkan melalui karena gigitan hewan yang terjangkit penyakit, seperti rabies atau gigitan hewan beracun, hewan sebagai penyebar penyakit kepada manusia dan akhirnya kepada hewan lagi seperti influensa yang disebabkan oleh virus, hewan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
merupakan pembawa pasif pada manusia seperti Clostridium botulinum. Menurut cara penularannnya, zoonosis dapat dikategorikan dalam empat tipe. Tipe pertama yaitu direct zoonosis. Tipe ini agen penyebab penyakit hanya memerlukaan satu induk semang vertebrata untuk siklus hidupnya, contohnya Rabies pada carnivora, Brucellosis pada ternak besar dan kecil, Trichinosis pada ternak babi. Tipe yang kedua yaitu cyclo zoonosis. Agen penyebab penyakit tipe ini memerlukan lebih dari dua induk semang vertebrata untuk siklus hidupnya, contohnya Taeniasis dan hidatid. Tipe yang ketiga yaitu meta zoonosis. Zoonosis tipe ini memiliki agen penyakit yang memerlukan induk semang vertebrata dan invertebrata untuk siklus hidup penyebab, contohnya Fasiolasis. Tipe yang ke empat yaitu saprozoonosis, penularan penyakit ke manusia didahului dengan perkembangan bibit penyakit pada bahan organik sebagai reservoir, contohnya Cutaneus larva migran dan Coccidia demycosis. Di Indonesia terdapat 43 jenis penyakit menular yang dikelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama terdiri dari 19 jenis penyakit hewan menular zoonosis sangat kontagius, dan sangat merugikan secara ekonomi. Berdasarkan sifatnya yang sangat kontagius, maka wajib dilaporkan dan menjadi tanggung jawab pemerintah dalam penganggulangannya. Kelompok yang kedua terdiri dari 24 jenis penyakit yang relatif kurang berbahaya sehingga tidak wajib untuk dilaporkan yang apabila terjadi wabah, namun masyarakat diminta ikut serta menanganinya (Kementan 1981). Di wilayah Nusa Tenggara Timur telah dilaporkan sejumlah penyakit zoonosis baik dari kasus penyakit yang muncul maupun secara seroprevalensi. Sejumlah penyakit ini perlu ditangani secara serius, diantaranya Antraks, Rabies, Brucellosis, Filariasis, Toxoplasma, Japanese encephalitis dan sistiserkosis. Empat penyakit terakhir yang disebutkan, dibahas secara mendalam dalam makalah ini.
Brucellosis Brucellosismerupakan penyakit ternak menular yang disebabkan oleh bakteri dari genus Brucella yang menyebabkan keguguran atau keluron pada umur kebuntingan tertentu pada hewan. Brucellsos dapat menimbulkan kerugian ekonomi dan menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat sebab bersifat zoonosis. Bruselosis menimbulkan kerugian ekonomi suatu negara sehingga Bruselosis masih menjadi penyakit yang sangat ditakuti (Soejoedono 2004). Pada manusia, rentan terhadap infeksi oleh bakteri Br. melitensis, Br. suis, Br. abortus dan Br. canin.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Wilayah NTT memiliki potensi peternakan sapi potong yang sangat berkembang baik, hal ini mendorong perlunya dilakukan kajian epidemiologi kejadian brucellosis pada ternak sapi dan sejumlah rute penyebaran potensial dalam penyebaran berucellsosis dari ternak ke manusia. Kajian epidemiologi penyakit brucellosis di wilayah Nusa tenggara Timut. Berdasarkan data sekunder yang ada, diketahui penyebaran kasus brucellosis pada sapi terdeteksi pada pada 4 kabupaten yang ada di Wilayah Pulau Timor. Kabupaten Kupang terdeteksi kasus brucellosis sebanyak 12 kasus, kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 4 kasus, kabupaten Timor Tengah Utara 14 kasus, kabupaten 32 kasus. Data surveilens ini juga menunjukkan prevalensi tertinggi terjadi pada Kabupaten Belu (Laporan Hasil Surveilen UPT Veteriner Disnak NTT). Berdasarak hasil ini dan bila dihubungkan dengan pola pemeliharaan tenak (sapi) di wilayah NTT yang bersifat ekstensif, maka tidak menutup kemungkinan dapat terjadi penyebaran penyakit brucellosis pada hewan ke manusia. Menurut (Acha dan Szyfres 2004) transmisi penularan Brucellosis dengan berbagai rute, baik melalui lingkungan yang telah terkontaminasi bakteri penyebab brucellosis, kontak langsung manusia dengan hewan terinfeksi dan transmisi melalui makanan. Keberadaan penyakit brucellosis pada ternak, mengindikasikan adanya ancaman penyebaran penyakit ini pada manusia. Transmisi Brucellosis pada manusia dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi dan secara tidak langsung dengan konsumsi produk hewan dan inhalasi agen melalui udara. Pada susu segar yang belum dipasturisasi dan keju dapat menjadi penyebab. Infeksi terjadi paling umum melalui kontak langsung dengan jaringan plesenta, sekresi vagina, eksreta dan karkas dari hewan yang terinfeksi. Tindakan Pencegahan yang tepat untuk kasus brucellosis adalah dengan mengontrol dan eradikasi pada hewan yang terinfeksi terutama hewan-hewan yang berfungsi sebagai reservoir. Tindakan lain adalah penggunaan perlengkapan personal, melakukan pasteurisasi pada susu sebelum dikonsumsi serta melakukan vaksinasi pada kelompok beresiko, pembekalan dasar pendidikan kesehatan pada populasi yang berersiko. Vaksinasi pada hewan ditekankan terutama pada daerah dengan prevalensi bruselosis tinggi.
Toxoplasma Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang dikenal dengan nama spesies Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit intraselluler yang banyak menginfeksi pada manusia dan hewan peliharaan. Pertama kali ditemukan oleh Nicolle dan Manceaux di darah,
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
limpa hati dan pada rodensia di Afrika Utara tahun 1908, dan dikenal dengan nama Ctenodactylus gondii. Baru tahun 1909 diberi nama Toxoplasma gondii (Lynfield et al. 1997). Toksoplasmosis merupakan zoonosis yang paling luas penyebarannya di dunia. Sepertiga dari penduduk dunia menunjukan adanya antibodi positif toxoplasmosis. Infeksi penyakit ini sering tidak menimbulkan gejala klinis. Penyakit ini banyak menyebar di negara Eropa dan Amerika juga negara lainya seperti Taiwan 1,97% ditahun 1975, Hongkong 6,2% tahun 1969, Jepang 16,5 % tahun 1971 dan Singapura 17,2 % tahun 1969 (Hiswani 2003). Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada manusia di tahun 1923 oleh Dr. Josep Janku seorang ahli oftalmologis di Praha dengan ditemukannya siste di retina mata anak yang menderita hidrosefalus kongenital (Soejoedono 2004). Penderita toxoplasmosis pada manusia sering tidak memperlihatkan suatu gejala klinis yang jelas sehingga dalam menentukan diagnosis, sering terabaikan dalam praktek dokter sehari-hari. Penyakit toxoplasmosis biasanya ditularkan dari kucing atau anjing tetapi penyakit ini juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, sapi, domba, dan hewan peliharaan lainnya. Apabila penyakit toxoplasmosis mengenai wanita hamil dapat mengakibatkan hidrosefalus, khorioretinitis, tuli atau epilepsi. Walaupun sering terjadi pada hewan-hewan yang disebutkan di atas penyakit toxoplasmosis ini paling sering dijumpai pada kucing dan anjing. Untuk tertular penyakit toxoplasmosis tidak hanya terjadi pada orang yang memelihara kucing atau anjing tetapi juga bisa terjadi pada orang lainnya yang suka memakan daging setengah matang atau sayuran lalapan yang terkontaminasi dengan agent penyebab penyakit toxoplasmosis (Hiswani 2003). Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk Ookista, trofozoit dan bradizoit. Trofozoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis, trofozoit dalam jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit yang akhirnya menjadi kista. Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni atau gametogeni dan sporogoni, yang menghasilkan ookista. Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feces kucing. Kucing yang positif Toxoplasma gondii dalam sekali exkresi akan mengeluarkan jutaan ookista. Bila kucing memakan tikus
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
yang mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut. Kucing sebagai hospes definitif dan binatang lain sebagai hospes perantara seperti babi, kambing, anjing juga mempunyai frekuensi penyakit toxoplasmosis yang cukup tinggi pada berbagai tempat di dunia (Lynfield et al 1997). Bila ookista ini tertelan oleh hospes perantara seperti manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan, hospes perantara akan terbentuk kelompok-kelompok trofozoit yang membelah secara aktif. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Penyebaran penyakit toksoplasma ini terutama adalah melalui rodensia, anjing, kucing, babi, sapi, kambing, ayam dan unggas lain meskipun dapat juga oleh mamalia lainya. Hospes definitif dari T. gondii adalah kucing dan hewan sejenis kucing lainnya yang mendapatkan infeksi karena kucing memakan mamalia, terutama rodentia atau burung yang terinfeksi. Hospes perantara dari T. gondii antara lain biri-biri, kambing, binatang pengerat, sapi, babi, ayam, dan burung. Semua binatang tersebut dapat mengandung stadium infektif (cystozoite atau bradizoite) dari T. gondii yang membentuk kista dalam jaringan terutama jaringan otot dan otak. Penyebaran toxoplasma ke manusia berasal dari pola makan dengan mengkonsumsi daging kurang masak yang mengandung ookista sehingga memberikan peluang paling besar untuk terinfeksi toxoplasma. Seropositif pada manusia ditemukan pada wanita dan anak-anak di Eropa Tengah, Australia dan Afrika Utara sebesar 37-58%. Sedangkan kasus lebih tinggi di Amerika latin dan Afrika barat 51-77% dan di Asia selatan 4-39 % (Pericival 2004). Di Indonesia frekuensi penduduk yang menderita toxoplasma 3-60% dan tersebar di daerah meliputi Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sumatra Utara, Surabaya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Surabaya, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Ujung Pandang (Hiswani 2003). Umumnya bentuk kista lebih tahan lama terhadap keadaan lingkungan. Dalam daging, kista akan tahan 68 hari pada suhu -40C. Kista tidak akan mati pada pemanasan 500C selama 30 menit, juga dengan proses pembekuan dan pengeringan. Ookista yang dikeluarkan pada feses kucing
secara epidemiologi adalah faktor utama terhadap
penyebaran penyakit ini (Soejoedono 2004). Di Brazilia dan Canada terjadi outbreak toxoplasma dengan 51-72% menunjukkan hasil seropositif, faktor utama penyebaran penyakit adalah air. Terutama penggunaan air pam yang berasal dari reservoir tanpa filtrasi. Hasil study toxoplasma di Brazil menunjukkan wanita usia < 25 tahun sebanyak 69,7 % seropositif (Ig G) toxoplasma dari 161 wanita sedangkan usia > 25 tahun kasus kejadian 68% (Heukelbach et al. 2007).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Kejadian toxoplasma dihubungkan dengan sosial ekonomi, faktor resiko seperti kontak dengan feses kucing, makan daging yang tidak dimasak sempurna, serta memakai dan minum air dari sumber yang terkontaminasi oleh oocyt. Wanita usia produktif yang biasa mengkonsumsi es hasil industri rumah tangga menggunakan air yang terkontaminasi toxoplasma menunjukan 80% diantaranya Ig M positif (Heukelbach et al 2007). Penyebaran toxoplasma juga dapat terjadi melalui tanah yang terkontaminasi seperti kegiatan berkebun, selain itu juga dapat melalui mengkonsumsi buah dan sayur yang tidak dicuci bersih (Lopez 2000). Berdasarkan hasil penelitian Wuri (2009), dilaporkan keberadaan Toxoplasma di wilayah Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa prevalensi toxoplasmosis pada kucing di Kota Kupang adalah 48%, dengan infeksi ringan sebesar 71,4%, infeksi sedang 14,3% dan infeksi berat 14,3%. Keberadaan Toxoplasma pada kucing di Kota Kupang mengindikasikan perlunya dilakukan penelitian lanjutan untuk kejadian Toxoplasma pada manusia, sehingga dengan data yang ada pada hewan dan manusia menjadi pijakan awal untuk melakukan tindakan penanganan sedini mungkin untuk menekan kejadian Toxoplasma khususnya pada populasi yang beresiko.
Sistiserkosis Sistiserkosis pada babi adalah salah satu penyakit parasiter yang bersifat zoonosis, disebabkan oleh cestoda (cacing pita) dari spesies Taenia solium. Penyakit ini telah dikenal manusia sejak zaman prasejarah (Soejoedono 2004). Manusia dapat tertular penyakit karena makan bahan pangan asal hewan (daging) yang mengandung fase metacestoda/larva cacing Taenia spp yang dimasak kurang sempurna. Hewan tertular parasit ini karena memakan tinja manusia/pakan yang terkontaminasi telur cacing Taenia. Dengan demikian untuk kelangsungan siklus hidup parasit ini melibatkan perilaku manusia dalam cara membuang kotoran serta cara menusia mengkonsumsi makanan (Dharmawan 1994). Pada babi, sistiserkosis disebabkan oleh infeksi metacestoda (kista) dari cacing Taenia solium, Taenia saginata, Taenia saginata asiatica (Gracia et al. 2003; Yan et al. 2007) atau Taenia hidatigena (Anonim 2001). Babi merupakan induk semang perantara bagi keempat spesies cacing pita tersebut. T. Solum, kista biasanya ditemukan pada otot, lemak bawah kulit, lidah, jantung, bahkan sampai ke otak (Gracia et al. 2003). Kista Taenia saginata sering ditemukan pada otot dan jantung sedangkan kista Taenia saginata asiatica sering dijumpai pada bagian hati (Gajadhar et al. 2006). Taenia hidatigena sering dijumpai
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
pada rongga abdominal, omentum, mesenterium, dan kadang permukaan hati (Anonim 2001). Kejadian sistiserkosis pada manusia hanya disebabkan oleh larva dari T. solium. Gejala klinis pada babi yang terserang sistiserkosis tidak spesifik, cenderung subklinis dan gejala ringan seperti demam, kekauan otot, hipersensitifitas pada hidung serta paralis pada lidah (Acha dan Szyfres 2003). Jenis organ yang terserang sistiserkosis pada babi juga bervariasi tergantung pada genus Teania yang menginfeksi babi. Pada manusia sistiserkus atau larva T. Solium menginfeksi jaringan subkutan, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru dan rongga perut, dapat pula terjadi pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi dan eosinofili (Gandahusada et al. 2002). Pada jaringan otak atau medula spinalis, sistiserkus jarang mengalami kalsifikasi. Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mngakibatkan serangan epilepsi, meningoensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala. Hidrosefalus internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan secebrospinal. Sebuah laporan menyatakan, bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel VI dari otak, dan hal ini dapat menyebabkan kematian (Gandahusada et al. 2002). Taeniasis dan sistiserkosis juga ditemukan di beberapa daerah di Indonesoa antar lain di Papua, Bali, dan Sumatra utara (Gandahusada et al. 2002). Studi di Bali menunjukkan prevalensi sistiserkosis pada manusia sebanyak 23%, sedangkan di Simanido kabupaten Tapanuli Utara prevalensinya setinggi 11,7% (Darmawan 1990). Kejadian sistiserkosis juga telah diteliti oleh Handali et al. (1993) pada masyarakat di delapan paroki di seluruh lembah Balim, pegunungan Jayawijaya. Survai ini didasari pada kasus kematian beberapa tokoh gereja katolik yang dikarenakan tenggelam di sungai akibat serangan epilepsy. Hasil survai menemukan 537 (48%) orang dewasa pernah mengalami serangan epilepsy dan 25% mempunyai sistiserkosis. Pada awal 1996, Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya melaporkan angka kumulatif kasus Neirosistiserkosis adalah 3.632 kasus di 15 kecamatan. Beberapa data kasus di atas mengindikasikan bahaya sistiserkosis pada kesehatan masyarakat. Infeksi sistiserkosis pada babi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat, terutama masyarakat yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat sanitasi lingkungan yang masih rendah (soeharsono 2002). Di Indonesia, hal ini terbukti dengan banyakya kasus sistiserkosis pada ternak dan manusia di beberapa daerah yang masyarakatnya banyak mengkonsumsi daging babi, seperti Bali, Tapanuli Utara (Darmawan 1990) dan Papua (Dinkes Prov. Papua 2005).
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Beradasarkan hasil identifikasi kista atau sistiserkosis diperoleh hasil bahwa daging babi yang dipotong di rumah potong hewan kota Kupang terdapat kista atau sistiserkosis Taenia. Hasil ini diperoleh melalui pengamatan morfologi kista yang berada dalam selaput kantung kista. Hasil penelitian ini menjadi informasi yang penting dan sebagai informasi dasar untuk kajian penyakit yang sama yaitu sistiserkosis pada manusia (Detha 2014). Kejadian sistiserkosis pada babi di kota Kupang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup penting karena daging yang dipotong dikonsumsi oleh masyarakat luas. Penyakit ini sebelumnya belum dilakukan kajian di wilayah Nusa Tenggara Timur sehingga hasil penelitian ini menjadi informasi baru bagi masyarakat. Hal ini tentu dihubungkan dengan kondisi wilayah NTT yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan sistem pemeliharaan yang umumnya bersifat ekstensif. Penularan penyakit sistiserkosis dari babi ke manusia yaitu melalui makanan berupa daging babi yang kurang matang yang mengandung larva cacing pita hidup. Hasil yang diperoleh ini menjadi penting dan menarik karena sebagaiman diduga bahwa umumnya kejadian sistiserkosis pada babi ditemukan pada di wilayah yang masyarakatnya sering mengkonsumsi daging babi. Penelitian terdahulu menyebutkan wilayah Papua, Bali, dan Sumatra utara menjadi daerah yang tinggi terhadap kejadian sistiserkosis. Keberadaan sistiserkosis pada babi yang dipotong di rumah potong hewan perlu dilakukan tindak lanjut yaitu kajian sistiserkosis pada manusia dengan merujuk pada pola hidup masyarkat NTT yang sering mengkonsumsi daging babi. Hal utama yang perlu dilakukan untuk mencegah penularan penyakit siteserkosis pada manusia yaitu dengan memaksimalkan peran rumah potong hewan sebagai wadah pemeriksaan daging postmortem dengan melakukan pengafkiran terhadap daging babi yang menunjukkan keberadaan kista atau sistiserkosis. Tindakan pencegahan lain yaitu dengan memasak dengan sempurna daging babi agar membunuh kista yang masih berada di dalam daging sehingga tidak menjadi sumber penularan penayakit sisteserkosis.
Japanese Encephalitis Japanese encephalitis adalah penyakit yang disebabkan oleh Japanese encephalitis Virus (Japanese encephalitisV), termasuk family Flaviridae. Japanese encephalitisV relative rentan terhadap berbagai pengaruh desinfekstan, deterjen, pelarut lemak, dan enzim proteolitik. Virus Japanese encephalitis termasuk virus ribonucleic acid (RNA) yang beramplop, sehingga tidak tahan terhadap pelarut lemak seperti eter, khloroform, sodium
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
deoksikholat dan enzim proteolitik atau enzim lipolitik. Virus ini juga sangat sensitif terhadap detergen dan tripsin, tetapi tahan terhadap aktinomisin D atau guanidin . Dalam keadaan basa (pH 7-9) virus Japanese encephalitis stabil, tetapi dengan pemanasan 56°C selama 30 menit dan penyinaran dengan sinar ultra lembayung, virus Japanese encephalitis menjadi inaktif (Dong et al., 2004). Virus Japanese encephalitis dapat menginfeksi ternak dan manusia, yang terbukti dengan adanya laporan terdeteksinya antibodi terhadap virus Japanese encephalitis pada beberapa spesies ternak seperti kerbau, sapi, kambing, domba, babi, ayam, itik, anjing, kelinci, kuda, tikus, kelelawar (Rousettus leschenaulti), kera dan burung liar seperti Japanesse tree sparrow (Passer montanus saturatus stejneger), burung heron, burung gereja, burung dara, burung gagak, tikus rumah dan tikus hitam (Sendow et al., 2005). Babi telah diketahui merupakan reservoir yang potensial dan merupakan amplifier virus Japanese encephalitis yang efektif. Hal ini terlihat dari laporan Wei (2005) yang menyatakan bahwa kasus Japanese encephalitis pada manusia akan meningkat apabila rasio antara populasi manusia dan babi makin kecil. Selain babi, burung liar diduga merupakan reservoir yang potensial untuk meningkatkan perkembangbiakan virus Japanese encephalitis yang siap ditularkan kepada hewan atau manusia melalui nyamuk. Penyakit Japanese encephalitis pada manusia merupakan suatu jalan akhir dalam siklus penularan (dead-end), karena viraemia pada manusia terjadi hanya beberapa jam saja sehingga sulit ditularkan lebih lanjut kepada orang lain. Manusia yang terserang penyakit ini dapat berakibat kematian apabila tidak segera ditangani dengan baik . Penyebaran penyakit Japanese encephalitis tidak dapat ditularkan melalui kontak Iangsung, tetapi harus melalui vektor, yaitu melalui gigitan nyamuk yang telah mengandung virus Japanese encephalitis. Masa inkubasi pada nyamuk penular antara 9-12 hari dan nyamuk yang terinfeksi virus Japanese encephalitis, selama hidupnya akan menjadi infektif yang dapat menularkan ke hewan dan manusia. Umur vektor Japanese encephalitis, nyamuk Culex, berkisar antara 14-21 hari dan jarak terbang Culex dapat mencapai lebih dari 3 km. Culex umumnya berkembang biak pada genangan air yang banyak ditumbuhi tanaman seperti sawah dan saluran irigasinya, selokan yang dangkal atau kolam yang sudah tidak terpakai (Winarno, 2005). Pada babi, viraemia terjadi selama 2-4 hari dan diikuti dengan pembentukan antibodi dalam waktu 1 hingga 4 minggu. Virus Japanese encephalitis dapat menembus plasenta tergantung pada umur kebuntingan dan galur virus Japanese encephalitis. Kematian janin dan
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
mumifikasi dapat terjadi apabila infeksi Japanese encephalitis berlangsung pada umur kebuntingan 40-60n hari. Sedangkan infeksi Japanese encephalitis sesudah umur kebuntingan 85 hari, kelainan yang ditimbulkan sangat sedikit. Masa inkubasi Japanese encephalitis pada manusia berkisar antara 4 hingga 14 hari (Dong et al., 2004). Infeksi Japanese encephalitis pada hewan umumnya tidak menimbulkan gejala klinis. Gejala klinis ensefalitis dapat terlihat pada kuda dan keledai seperti yang terjadi pada manusia . Akan tetapi, kuda bukan merupakan sumber yang nyata untuk penularan oleh nyamuk (Huang, 1982) . Pada ternak lainnya gejala tersebut tidak nampak . Walaupun babi merupakan reservoir Japanese encephalitis yang paling baik, namun gejala ensefalitis pada babi sangat jarang ditemukan. Pada babi dewasa antibodi dapat terdeteksi, walaupun gejala klinis berupa gangguan syaraf umumnya tidak nampak namun pada anak babi, kadang-kadang gejala klinis tampak, tetapi hal ini sangat jarang sekali terjadi. Apabila induk babi yang sedang bunting terinfeksi virus Japanese encephalitis, dapat mengakibatkan lahir mati, keguguran, dan mumifikasi . Bayi babi lahir dalam keadaan lemah, kadang-kadang disertai dengan gejala syaraf yang kemudian disertai dengan kematian . Sering juga terlihat adanya kelainan pada bayi babi yang dilahirkan. Kelainan tersebut antara lain berupa hidrosefalus, oedema subkutan dan kekerdilan pada babi yang mengalami mumifikasi (Dong et al ., 2004). Pada
babi
jantan
yang
terinfeksi
Japanese
encephalitis,
terlihat
adanya
pembendungan pada testes, pengerasan pada epididimis, serta menurunnya libido. Virus dapat diekskresikan melalui semen, sehingga mutu semen tersebut akan menurun karena banyak sperma yang tidak aktif bergerak dan terdapat kelainan dari spermatozoa tersebut, sehingga dapat mengakibatkan kemandulan (Ogasa et al., 1977). Pada ternak lain seperti kambing, domba, sapi, kerbau ataupun unggas, gejala klinis infeksi Japanese encephalitis sering tidak tampak, walaupun antibodi terhadap Japanese encephalitis dapat terdeteksi (Sendow et al., 2005). Pada manusia gangguan syaraf sangat dominan, terutama pada anak-anak di bawah umur 14 tahun (Gautama, 2005). Masa inkubasi berkisar antara 4-14 hari, yang diikuti oleh demam tinggi mencapai 41 0C, sakit kepala, merasa dingin, anoreksia, mual, mutah dan mialgia (Dharmojono, 2001). Gejala ini diikuti oleh kekauan otot, fotofobia, penurunan kesadaran, gerakan mata bergetar, tremor pada kaki, paresisi lokal, atau umum dan inkoordinasi kesadaran gerak. (Soeharsono, 2002). Pada kasus yang berat, timbul ganggaun
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
kesadaran, koma dan akhirnya meninggal. Jumlah Kejadian Japanese encephalitis di 6 Propinsi di Indonesia berdasarkan Hasil Survei pada Rumah Sakit (PATH dan NIHRD, 2006)
Tabel 1 Jumlah Kejadian Japanese encephalitis di Indonesia Wilayah Konfirmasi kasus (Propinsi) Japanese encephalitis Sumatra Barat 2 Kalimantan Barat 20 Jawa Timur 8 Nusa Tenggara Barat 23 (Lombok) Nusa Tenggara Timur (Pulau 10 Timor) Irian Jaya (Papua) 4 Total 67 (Sumber: PATH dan NIHRD, 2006)
Kejadian Japanese encephalitis pada Ternak Babi di wilayah Nusa Tenggara Timur pernah dilaporkan di NTT. Japanese encephalitis telah tersebar di Propinsi Nusa Tenggra Timur sebagaimana hasil yang telah dilakukan oleh Santhia et al. (2000). Penelitian yang dilakukan Detha (2014), yang menunjukkan antibodi JE ditemukan pada 28 dari 52 sampel serum babi atau 53% di wilayah Sumba Timur. Sekitar 50 serum darah juga dilakukan pemeriksaan di rumah potong hewan Oeba Kupang dan ditemukan 38 positif mengandung antibodi JE. Berdasarkan data survei lokasi yang diperoleh, tidak ada perbedaan yang nyata antara pemeliharaan ekstensi yang dikandangkan ataupun diikat karena pada jenis pemeliharaan ini, tidak ada barrier sehingga kemungkinan gigitan nyamuk
tetap dapat
terjadi. Hasil serprevalensi ini menunjukkan telah terjadi infeksi vieus Japanese encephalitis pada babi, kemungkinan juga besar pada manusia terkait peranan vektor nyamuk pada lingkungan yang sesuai. Dari segi vektor kemungkinan paling berperan adalah Culex dan data sebeumnya menunjukkan C. tritaeniorhynchus, paling berperan untuk penyebaran Japanese encephalitis di indonesia, namun belum diketahui spesies nyamuk yang paling mendominasi penularan virus Japanese encephalitis di Propinsi NTT sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap vektor C. tritaeniorhynchus.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Penutup Pengendalaian dan penangulangan zoonosis perlu dilakukan sejak awal untuk mencegah kejadian zoonosis serta menekan penularanannya. Langkah pencegahan pada manusia adalah dengan melakukan hidup bersih dan melakukan higiene personal yg baik, meningkatkan imunitas dengan vaksinasi dan peningkatan pengetahuan tentang zoonosis. Langkap pencegahan pada hewan dapat dilakukan dengan isolasi hewan sakit, vaksinasi, pengobatan dan eliminasi hewan pembawa penyakit. Selain pada hewan dan manusia, perlu dilakukan tindakan pencegahan pada lingkungan dengan menjaga sanitasi lingkungan, penerapan biosekuriti dan pengendalian vektor penyakit.
Daftar Pustaka Acha PN, Szyfres B. 2003. Zoonosis and Communicable Disease Common to Man and Animals. Ed ke-3. Washington: World Health Organization. Anonim 2001. Liver blister in Alberta (Taenia hidatigena). University of Northern British Columbia. http:www.unbc.ca/nlui/wildlife_disease/taenia-hidatigena.htm. Detha A. 2014. Kejadian Sisteserkosis pada Babi yang Dipotong di Rumah Potong Hewan, Oeba-Kupang. Media Exacta Lemlit Universitas Nusa Cendana (In Press) Juli 2014. Detha A. 2014. Seroprevalence Japanese encephalitis In East Sumba and Slaugtherhause in Kupang. 4th Indonesian-American, the Kavli Frontier of Science Symposium 21-24 Juni 2014. Dharmawan N.S. 1994. Studi deskriptif tentang kejadian sistiserkosis pada babi dan kaitannya dengan kondisi lingkungan asal ternak penderita di Bali. Buletin Sains Veteriner, 24. 16-26 Dharmawan, N.S. 1990. Tingkat Kejadian Sistiserkosis Menurut Metode Pemeriksaan Kesehatan Babi di Rumah Potong Hewan Denpasar. Tesis. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Dharmojono H. 2001. Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia. Jakarta: Milenia Populer. Dinas Kesehatan Propinsi Papua. 2005. Laporan Tahunan. Jayapura
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Dong, K.Y, H.K. Byoung, H .K. Chang, H .K. Jun, I .L .Seong and R.H. Hong. 2004. Biophysical characterization of Japanese encephalitis virus (KV 1899) isolated from pigs in Korea . J . Vet .Sci .5(2) : 125-130. Gandahusada S, Ilahude HHD, Pribadi W. 2002. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gautama, K. 2005. Pelaksanaan surveilans JE di Bali. Workshop and training surveilans JE di Rumah Sakit. Jakarta . 17-19 Februari, 2005. Gracia HH, Gonzales AE, Gilman RH. 2003. Taenia solium cysticercosis. The Lancet. 361. 547-556. Handali S, Liying H, Sihombing D. 1997. A Survei report July 1993: Cysticercosis in the Grand Dani Valley, Jayawijaya District, Irian Jaya Province, Indonesia. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 28 (supp 1), 22-25. Heukelbach J, Vanessa Meyer-Cirkel, Romula cesar sabola Moura, Marcia Gomide, Jose Ajax Nogueira Queiroz, Peter Saweljew and Oliver Liesenfeld. 2006. Waterborne Toxoplasmosis, Northeastern Brazil. Emerging Infectious Disease.13(2) Hiswani.2003.Toxoplasmosis Penyakit yang perlu Diwaspadai oleh Ibu Hamil. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.1-8 Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 1981. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 487/Kpts/Um/6/1981 Tentang Pencegahan, Pembrantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan Menular. Lopez A M.H.S, Vance J. Dietz M.D, Marianna Wilson M.D, Jeffrey L Jones, M.D MPH. 2000. Preventing Congenital Toxoplasmosis. Nasional Center for Infectious Diseases. 49:57-75 Lynfield R MD dan Nicolas G. Guerina MD, PhD.1997. Toxoplasmosis. American Academy Pediatrica. 75-83 PATH [Project in Indonesia is a collaborative effort between] dan NIHRD [The National Institute of Health Research and Development]. 2006. Japanese Encephalitis Surveillance in Indonesia: current status and activities (October 2006). Litbang.Depkes RI. Percival S. 2004. Microbiology of Waterborne Disease. Elsevier Academic Press. 325-335. Santhia, K., A.P.C. Morrissy, N. Dibia, Soeharsono, A. Moss. 2000. Survei Serologis terhadap Antibodi Virus Japanese encephalitis pada Babi di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Buletin Veteriner. BPPV VI Denpasar. Vol XIII, No: 58. Hal 19-25.
Prosiding Seminar Nasional “One Health” Fakultas Kedokteran Hewan,Universitas Nusa Cendana Kupang, 30 Oktober 2014
Sendow, I, S. Bahri dan A. Sarosa. 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia. Warta Zoa Vol 15(3): 111-118 Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius. Soejoedono RR. 2004. Zoonosis. Laboratorium Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Wei L. 2005 . Disease burden of Japanese encephalitis : epidemiologic perspectives . Workshop and training surveilans JE di rumah sakit, Jakarta, 17-19 Februari, 2005. Winarno. 2005. Vektor Japanese encephalitis di Indonesia. Workshop and training surveilans JE di rumah sakit. Jakarta, 17-19 Februari 2005. Wuri DA dan Detha A. 2009. Kejadian Toxoplasmosis pada Kucing dan Ibu hamil di Kota Kupang-NTT. Laporan Penelitian Strategi Nasional 2008 Direktorat Pendidikan Tinggi. Yan L., Wujun Z., dan Yan C. 2007. Observation on pathological and histochemical changes in piglet livers infected with Taenia saginata asiatica. Frontier of Medicine in Chine. I . 258-263.