27-29 September 2015
PROSIDING UNIMA IAPA INTERNATIONAL SEMINAR & ANNUAL CONFERENCE 2015
“PERAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM PERSAINGAN GLOBAL” Editor:
Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si Dr. Marthinus Mandagi, M.Si
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MANADO 2015 ISBN 978-602-73770-1-1
PROSIDING “PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN GLOBAL” KERJASAMA PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FIS UNIMA DAN INDONESIAN ASSOCIATION FOR PUBLIC ADMINISTRATION (IAPA)
Editor: Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si Dr. Marthinus Mandagi, M.Si
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MANADO 2015
“PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN GLOBAL” © Penulis Reviewer: Linna Miftahul Jannah M. R. Khairul Muluk Falih Suaedi Sintaningrum Perancang Sampul: Jesica Karouw Penata Letak: Jeane Mantiri Diterbitkan atas kerjasama: Program Studi Ilmu Administrasi Negara FIS UNIMA dan Indonesian Association For Public Administration (IAPA)
ISBN 978-602-73770-1-1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 : 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 : 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR
Administrasi Negara/Publik menjadi salah satu jurusan yang saat ini popular dan tersorot. Kami yang berada di Program Studi Universitas Negeri Manado mempromosikan Program Studi kami dengan membuat Seminar Internasional, kami juga menjadi tuan rumah dalam konfrensi tahunan Indonesian Association for Public Administration (IAPA). “Peran Pemerintah Dalam Persaingan Global” menjadi tema dari seminar ini, kami menghadirkan Dr. James Cullin (Humber Bussinness School Canada), Mary Heather White (Manager SEDS Field), Prof. Samrit Yossomsakdi, Ph.D (Vice President PAAT Thailand), and Erica Larson (Boston University) serta Roberta dan Naomi (Napoli University Itali) sebagai pembica utama dalam seminar ini.
Dari tema diatas, kami membuat pokok-pokok atau sub tema yang akan dibahas: 1. Enhancing Public Trust dan Ethics 2. Developing Local Competitiveness 3. Developing Innovative Public Service 4. Integration Of Public Policy
Kami juga menghadirkan beberapa pembahasan khusus oleh PSPA dan IAPA yaitu Comparative Village Between Indonesian and the Philippines and Comparative Disaster Management between Indonesia and the Philippines.
Seminar ini dipersiapkan atau kerjasama dari Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan Anggota IAPA.
Hormat Kami, Panitia UNIMA IAPA International Seminar & Annual Conference 2015
PENGANTAR EDITOR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas perkenan-Nya sehingga penyusunan Prosiding Seminar International kerja sama Indonesian Association for Public Administration (IAPA) dengan dengan tema: “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global.” dapat diselesaikan dengan baik. Seminar International ini diselenggarakan pada tanggal 27 – 29 September 2015. Pada kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang paling dalam kepada para penulis/kontributor yang telah memberikan sumbangsih pikiran yang dituangkan dalam artikel, sehingga memungkinkan prosiding ini dapat dirampungkan dengan baik. Diucapkan terima kasih pula kepada jajaran Panitia UNIMA IAPA International Seminar & Annual Conference 2015, kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan sumbangan pemikirannya. Besar harapan kami, kiranya proceeding ini, terutama tulisan-tulisannya dapat memberikan sumbangan pemikiran yang kreatif dan kritis ke depan bagi perkembangan Ilmu Administrasi Publik, terutama bagi pembangunan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang sama-sama kita cintai. Kami sangat menantikan sumbangan saran atau kritik yang membangun bagi penyempurnaan prosiding ini, akhirnya, kami mengucapkan terima kasih atas segala saran dan masukan yang diberikan. Selamat membaca.
Tondano, September 2015 Editor, Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si. Dr. Marthinus Mandagi, M.Si.
DAFTAR ISI Kata Pengantar…………………………………………………………………………….....
i
Pengantar Editor ………………………………………………………………………….....
ii
Daftar Isi……………………………………………………………………………………... iii
Otonomi Daerah: Kajian Perspektif Desentralisasi Fiskal Dan Penerapan Undang-Undang 1 Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Galih W. Pradana, Trenda Aktiva Oktariyanda…………………………………………….. Legislasi Desa: Tantangan dan Peluang Pembuatan Kebijakan Desa Pasca Undang-Undang 11 Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Muhammad Yasin…………………………………………………………………………… Peranan Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Petrus Kase…………………………………………………………………………………..
21
Menentukan Pemimpin Daerah yang Berintegritas Devie S. R. Siwij……………………………………………………………………………..
35
Developing Local Competitiveness through Developing City Branding (Case Study Binjai 44 City, North Sumatera). Septiana Dwiputrianti……………………………………………………………………….. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pengaturan Penggunaan 63 Jalan Umum Dan Jalan Khusus Di Provinsi Riau. Febri Yuliani………………………………………………………………………………. Evaluasi Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) Di Kecamatan Bolaang 68 Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Abdul Rahman Dilapanga…………………………………………………………………. Kinerja Aparatur Pemerintah Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara Jeane Mantiri………………………………………………………………………………..
Evaluasi Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Di Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang. “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
iii
76
Petrus Kase…………………………………………………………………………………..
86
Integrasi Kebijakan UMKM Guna Meningkatkan Daya Saing Lokal (Kemitraan UMKM Provinsi Jawa Timur). Noviyanti…………………………………………………………………………………… 99 Kebijakan Perspektif Gender Dalam Mewujudkan Sumber Daya Manusia Unggul (Strategi Pemerintah Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean) Yuni Lestari………………………………………………………………………………….. 119 Efektivitas Hubungan Kerjasama Antar Pemerintahan (Studi Kasus Kebijakan Pendidikan Gratis Pada Pendidikan dasar dan Menengah di Provinsi Sulawesi Selatan). Sangkala……………………………………………………………………………………... 134 Mengembalikan Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Insiatif Publik: Antara Optimis dan Utopis. Muhammad Ichsan Kabullah………………………………………………………………... 147 Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (Studi Kebijakan Publik Pada Penyelenggaraan Pemilihan Umum Di Kota Kotamubagu Provinsi Sulawesi Utara) Fitri Herawati Mamonto…………………………………………………………………….. 169 Lahir Procot Pulang Bawa Akta: Inovasi Layanan Publik sebagai Pemenuhan Hak Anak di Kabupaten Banyuwangi. Lina Miftahul Jannah……………………………………………………………………….. 179 Reformasi Birokrasi Pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rizki Pratiwi, Endang Sutarti Mardiana, Arsid…………………………………………….. 189 Konstruksi Model Perilaku Pelayanan Street-Level Birokrasi Pada Puskesmas Di Kota Makassar Abdul Mahsyar…………………………………………………………………………........ 197 Mengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia Untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Perkotaan: Studi di Puskesmas Kota Surabaya. Falih Suaedi…………………………………………………………………………………. 215
Optimalisasi Outcome Anggaran untuk Menciptakan Trust dalam Pengalokasian Belanja Pelayanan Publik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Hendri Koeswara……………………………………………………………………………. 224 Peran Komisi Pelayanan Publik ( KPP ) Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Jawa Timur. iv
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Dian Arlupi Utami, Prasetyo Isbandono, Agus Prasetyawan, Weni Rosdiana, Agung Listiadi……………………………………………………………………………………… 242 Pembentukan City Branding Di Kota Tangerang Selatan Izzatusholekha……………………………………………………………………………….
289
Inovasi Pemerintah Dalam Pengembangan Pariwisata Melalui Pengembangan Ekonomi Kreatif Di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau Mustiqowati Ummul Fithriyyah……………………………………………………………. 302 Rekonstruksi Model Penilaian Kinerja Aparatur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Provinsi Gorontalo. Asna Aneta dan Yulianto Kadji……………………………………………………………. 313 Mewujudkan Governance Networks melalui Program The Sunan Giri Award di Kabupaten Gresik. Muhammad Farid Ma‟ruf, Tauran, Yuni Siti Aisah………………………………………... 324 Mewujudkan Administrator Publik Yang Beretika Dalam Perspektif Administrasi Islam Di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau (Studi Kasus Di Kantor Badan Promosi dan Pelayanan Terpadu) Afrinaldy Rustam, Rodi Wahyudi………………………………………………………….. 336 Penerapan ‗Good Governance‘ dalam Penempatan Pekerja Migran Perempuan Antar Bangsa. Lely Indah Mindarti................................................................................................................ 352 E-Governance Sebagai Alternatif Solusi Menghilangkan Konflik Sengketa Tumpang Tindih Lahan Pertambangan Batu Bara Di Provinsi Kalimantan Timur Himawan Nuryahya dan Secilia Fammy Rukhamah………………………………………... 376
Pengaruh Iklim Komunikasi Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Dan Penanaman Modal Kota Gorontalo. Zuchri Abdussamad………………………………………………………………………….. 406
Meningkatkan Kemampuan Kelembagaan Untuk Menyongsong Asean Economic Community: Suatu Perspektif Administrasi Negara Roza Liesmana………………………………………………………………………………. 411 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
v
Membangun Kepercayaan Publik Pada Birokrasi. Desna Aromatica…………………………………………………………………………….. 418
vi
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Otonomi Daerah : Kajian Perspektif Desentralisasi Fiskal Dan Penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Galih W. Pradana, Trenda Aktiva Oktariyanda Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya, Indonesia Telp : +62-31-8280009 E-Mail :
[email protected]
Abstrak:
Otonomi daerah lahir dari sebuah gagasan yang menarik sebagai bentuk koreksi atas corak
pemerintahan dan hubungan antara pusat-daerah yang sentralistik dan jauh dari kata demokrasi. Salah satu tujuan dari otonomi daerah adalah untuk membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah. Disamping itu, diharapkan terciptanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat serta tercapainya suatu kehidupan berdemokrasi yang sehat. Diantara berbagai kebijakan otonomi daerah di Indonesia, kebijakan desentralisasi khususnya desentralisasi fiskal cukup menarik untuk diikuti perkembangannya. Desentralisasi fiskal mempunyai tujuan memberikan kesempatan bagi daerah untuk menggali berbagai sumber dana yang mereka miliki. Dalam pembahasan kali ini penulis akan mengulas tentang bagaimana otonomi daerah khususnya kebijakan desentralisasi fiskal dilaksanakan di Indonesia. Pembahasan akan lebih mendalam pada perkembangan desentralisasi fiskal, dimulai dari awal mula kebijakan ini diberlakukan, sampai dengan beberapa perubahan teraktual mengenai regulasi keuangan daerah pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kata Kunci : Otonomi, Desentralisasi, Fiskal, Pemerintahan Daerah
Pendahuluan Seiring dengan perubahan Undang-undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, kebijakan mengenai Pemerintah Daerah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan dikehendaki oleh keinginan untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Kebijakan otonomi daerah memberi keleluasaan kepada daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri secara demokratis dan bertanggung jawab dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik yang
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
1
dalam pelaksanaan pemerintahaannya dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, dimana tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah untuk saling mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Otonomi daerah lahir sebagai sebuah gagasan yang menarik
sebagai bentuk koreksi atas sistem pemerintahan pada masa Orde Baru yang lebih bersifat sentralistik. Konsep awal otonomi daerah mucul pada tahun 1903 melalui undang-undang desentralisasi di bawah pemerintah kolonial Belanda yang diperluas dengan Bestuursher Vormingswet 1922 yang mana otonomi dititik beratkan pada dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan1. Menurut aspek yuridis formal, sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1 Tahun 1945 sampai dengan UU No. 5 tahun 1974, semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan di daerah. Hanya saja semangat para penyelenggara pemerintahan masih jauh dari idealisme konsep otonomi daerah itu sendiri. Bahasa yang digunakan pun belum seringkas dan selugas otonomi daerah, masih seputar bagaimana mengatur urusan rumah tangga2. Tujuan utama diterapkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah untuk membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah. Dengan demikian pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang bersifat strategis. Sedangkan tujuan yang lain dari diterapkannya kebijakan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik, pengembangan kehidupan berdemokrasi, menciptakan keadilan dan pemerataan, mendorong pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dengan daerah, serta menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, dan juga meningkatkan peran masyarakat. Dengan mulai diterapkannya kebijakan otonomi daerah sejak tahun 1999 atau lebih tepatnya pada saat terbit Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, berbagai reaksi pro dan kontra ditunjukkan oleh masyarakat dari berbagai lapisan dan kalangan. Selain reaksi pro dan kontra, dampak dari penerapan kebijakan otonomi daerah perlahan juga bermunculan. Salah satunya adalah penghapusan beberapa lembaga atau instansi pemerintah yang dirasa overlapping
dan masih mempunyai
tupoksi yang hampir sama demi terwujudnya efisiensi dan efektivitas. Hal ini secara langsung juga berdampak terhadap kebijakan fiskal yang diterapkan di masing-masing daerah otonom.
1
BN Marbun, op. cit., 40-41
2
BN Marbun, Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Perkembangan Realita Otda, Sejak Zaman Kolonial sampai Saat ini (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005) : 43-45
2
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Perkembangan Otonomi Daerah (Desentralisasi Fiskal) Di Indonesia Berbicara mengenai Otonomi Daerah tidak dapat dipisahkan dari kebijakan desentralisasi yang memayunginya. Pada dasarnya ada dua tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan kebijakan desentralisasi yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi akan memposisikan pemerintahan daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbang terhadap pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya masyarakat madani. Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan pemerintahan daerah untuk menyediakan pelayanan publik untuk masyarakat lokal secara efektif, efisien dan ekonomis. Desentralisasi merupakan simbol atau tanda adanya kepercayaan pemerintah pusat kepada daerah yang akan mengembalikan harga diri masyarakat dan pemerintah. Diberlakukannya UU No. 32 dan UU No. 33 tahun 2004, kewenangan Pemerintah didesentralisasikan ke daerah, ini mengandung makna, pemerintah pusat tidak lagi mengurus kepentingan rumah tangga daerah. Kewenangan mengurus, dan mengatur rumah tangga daerah diserahkan kepada masyarakat di daerah. Pemerintah pusat hanya berperan sebagai supervisor, pemantau, pengawas dan penilai. Kebijakan otonomi daerah yang salah satu bentuk konkritnya tercermin oleh desentralisasi, memang baru digalakkan pasca reformasi. Namun pada kenyataannya, jika melihat pada perkembangan tata pemerintahan mulai dari masa orde lama sampai orde baru benih-benih otonomi daerah sudah mulai terlihat, hanya memang tidak terbungkus dalam suatu kebijakan yang lugas dan jelas. Berikut di bawah ini akan dijelaskan mengenai perkembangan otonomi daerah khususnya desentralisasi fiskal yang terjadi di Indonesia.
1. Legislasi 1974 dan Menguatnya Kontrol Politik Konsolidasi yang dilakukan oleh rezim baru dan kebijakan pemerintah untuk meliberalkan ekonomi tidak selalu berjalan mulus tanpa tantangan. Berbagai bentuk persoalan berubah menjadi protes dan demonstrasi jalanan. Peristiwa Malari, suatu kerusuhan masal di kawasan Ibu Kota Jakarta, merupakan salah satu ujian yang berat bagi Pemerintah Orde Baru. Penolakan para pengusaha pribumi terhadap membanjirnya investasi asing, perebutan kekuasaan di antara perwira tinggi militer, dan protes mahasiswa menentang depolitisasi adalah faktor-faktor utama yang memicu peristiwa Malari. Namun demikian, setelah kerusuhan itu berhasil dipadamkan, kontrol politik dan sentralistis justru menjadi lebih kentara. Inilah situasi yang melatarbelakangi disahkannya undang-undang mengenai pemerintahan di daerah pada tahun 1974. Pada mulanya pemerintah menyiapkan tiga rancangan undang-undang yang mencakup persoalan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, otonomi daerah, dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan jenjang pemerintahan yang lebih rendah. Namun, belakangan pemerintah ternyata hanya mengusulkan satu rancangan
undang-undang tentang pemerintah daerah yang dinyatakan sebagai ―rancangan yang
terlengkap‖. Semangat otonomi seluas-luasnya seperti terdapat dalam perundangan sebelumnya diuabah menjadi ―otonomi nyata dan bertanggung jawab,‖ yang mencerminkan orientasi kontrol pemerintah pusat terhadap jenjang pemerintahan di bawahnya. Kontrol pemerintah pusat diperketat dengan mengutamakan asas dekonsentrasi ketimbang asas desentralisasi. Ditetapkan bahwa DPRD harus melakukan konsultasi dengan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
3
Departemen Dalam Negeri dalam proses memilih 2 hingga 5 calon kepala daerah baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Namun keputusan akhir tetap di tangan presiden dalam hal pemilihan gubernur dan di tangan Menteri Dalam Negeri dalam hal pemilihan bupati atau walikota. Setelah disahkannya UU No. 5 Tahun 1974, pemerintah mendesak lebih jauh dengan peraturanperaturan yang memuat kontrol politik dan depolitisasi. Doktrin monoloyalitas bagi pegawai negeri, konsep massa mengambang, kontrol terhadap DPRD dan kontrol terhadap pemerintahan desa adalah di antara ketetapan depolitisasi yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto. Tampak jelas pula pendirian pemerintah bahwa ketaatan rakyat akan dibeli dengan cara mewujudkan percepatan pembangunan ekonomi.
2. Sentralisasi Fiskal Dalam Pelaksanaan Setelah memperkuat kontrol politik dan mengesahkan UU No. 5 Tahun 1974 yang bersifat sentralistis, pemerintah pusat harus menunjukkan kinerja dan membuktikan kemampuannya untuk menghasilkan pembangunan ekonomi. Dari sisi pendapatan, ada dua faktor utama yang memungkinkan pemerintah pusat mendanai pembangunan daerah : 1) rezeki minyak yang tiba-tiba menjadi sumber pendapatan utama, dan 2) penyerapan utang luar negeri. Secara umum, alokasi bantuan pemerintah pusat kepada daerah pada tahun 1970-an telah berhasil merehabilitasi dan membangun prasarana di tanah air. Namun demikian, ketika rezeki minyak bagi ekonomi Indonesia berakhir pada tahun 1982 dan muncul kekhawatiran akan beban utang luar negeri, pemerintah berusaha untuk menggenjot ekspor nonminyak dan melakukan reformasi sistem perpajakan yang lama tertunda. Barulah disadari bahwa ketergantungan yang berlebihan terhadap suatu komoditas tunggal akan mengakibatkan resiko terhadap ekonomi nasional dan keberlanjutan pembangunan. Reformasi pajak dimulai pada tahun 1983 dengan disahkannya undang-undang baru tentang pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, dan pajak pertambahan nilai. Akan tetapi, inisiatif pada tahun 1980-an itu kurang efektif karena implementasi yang tidak fokus dan lemah. Pendapatan dalam negeri hanya sedikit dapat ditingkatkan. Melalui pendekatan sentralistis, banyak masalah administrasi yang timbul atau bahkan lebih buruk, terutama menyangkut program-program inpres, dan makin menguatkan pertanyaan mengenai efektivitas pembangunan pemerintah Orde Baru. Masalah yang pokok adalah tetap rendahnya kemampuan daerah, ketimpangan antar daerah, dana yang tidak dapat dibelanjakan atau tidak efektif, korupsi dan penyelewengan, serta ketergantungan finansial daerah. Meskipun masalah-masalah ini sifatnya manajerial atau administratif, kesemuanya jelas mengurangi manfaat pembangunan bagi rakyat dan karena itu menambah keluhan-keluhan terhadap pendekatan sentralistis. Di samping
pemanfaatan program-program pembangunan, Soeharto senantiasa menggunakan
kekuatan militer dan represi politik untuk memelihara stabilitas serta menundukkan perlawanan terhadap rezim yang sentralistis.
3. Legislasi 1999 Dengan ekonomi nasional yang nampak cukup memuaskan serta Soeharto yang masih pada puncak kekuasaannya pada tahun 1990-an, tidak seorang pun yang dapat memprediksi bahwa Indonesia dapat sekonyong-konyong berubah dalam keadaan ekonomi dan politik yang berantakan. Peristiwa yang merupakan
4
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
titik balik itu dipicu oleh krisis moneter di Asia pada tahun 1997. Namun demikian, akar penyebab dari krisis itu sebenarnya telah sekian lama terpendam dalam struktur rezim serta pola pembuatan kebijakan ekonomi makro yang ditetapkan. Krisis moneter dan ambruknya ekonomi memicu perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto pada awal tahun 1998. Seruan akan reformasi, kerusuhan, unjuk rasa di banyak kota, serta mundurnya empat belas menteri di dalam kabinet akhirnya memaksa Soeharto untuk mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada wakil B.J Habibie, yang selanjutnya dilantik menjadi Presiden baru. Dengan munculnya tuntutan demokratisasi dan dihidupkannya kembali politik lokal, Habibie harus segera menanggapi dengan reformasi nyata. Sidang istimewa MPR pada tahun 1998 mengamanatkan pemerintah untuk melaksanakan desentralisasi dan menanggapi tuntutan-tuntutan daerah. Gugus-gugus tugas di Depdagri dan Depkeu dibentuk untuk segera merancang RUU mengenai pemerintahan daerah dan hubungan keuangan antarjenjang pemerintahan yang baru. Tidak banyak terjadi pententangan mengenai RUU pemerintahan daerah karena sebagian besar pendapat mengerucut pada kebutuhan untuk melakukan desentralisasi. Dalam tempo dua bulan, UU No. 22 Tahun 1999 disahkan dengan perubahan yang sangat sedikit dibanding rancangan asli dari Depdagri. UU No. 25 Tahun 1999 mengenai hubungan fiskal antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibahas di tengah desakan bertubi-tubi dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam. Ketentuan paling penting dalam UU No. 25 Tahun 1999 adalah : 1) bahwa sekurang-kurangnya 25% dari pendapatan dalam negeri harus dialokasikan ke daerah, di mana dari seluruh totalnya 10% harus dialokasikan ke provinsi dan 90% ke kabupaten/kota, 2) dihapusnya SDO dan bantuan inpres yang selanjutnya keduanya digabung menjadi dana alokasi umum (DAU) yang didasarkan pada rumus transfer tertentu, 3) dana alokasi khusus (DAK) diberikan kepada daerah berdasarkan kebutuhan pembangunan mereka, 4) peningkatan cukup besar dari bagian daerah atas pendapatan dari minyak bumi (15%) dan gas alam (30%). Semua ketentuan dalam perundangan tahun 1999 ini akan berlaku efektif dalam waktu dua tahun setelah disahkan. Undang-undang baru pada tahun 1999 itu menciptakan sosok baru mengenai hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan. Di dalamnya terkandung banyak terobosan, tetapi ternyata juga terdapat ketentuanketentuan yang tidak jelas dan berbagai kelemahan. Tidak adanya ketentuan mengenai mekanisme akuntabilitas dan pengembangan kapasitas administrasi di tingkat daerah juga merupakan kendala serius yang akhirnya tetap menghambat pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di tanah air.
4. Pelaksanaan Desentralisasi Di Tengah Kemelut Politik Ketika persiapan untuk sepenuhnya melaksanakan kebijakan desentralisasi tengah dilakukan, situasi politik di Indonesia mengalami berbagai macam perkembangan. Timor Timur akhirnya terpisah dari Indonesia setelah pemungutan suara yang menunjukkan bahwa mayoritas rakyatnya memilih merdeka dan selanjutnya terjadilah pengrusakan dan bentrok juga kekerasan di antara mereka yang diprovokasi oleh unsur-unsur dari tentara yang kecewa. Namun demikian, pada bulan Juni 1999 Indonesia berhasil menyelenggarakan untuk pertama kalinya pemilihan umum yang bebas, adil dan aman setelah sekian lama berada di bawah penindasan pemerintahan Orde Baru. Setelah pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak, sidang MPR memilih
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
5
Abdurrahman Wahid sebagai presiden baru. Wahid hanya bisa memegang jabatannya selama Sembilan bulan karena kemudian dia dimakzulkan oleh MPR dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Terpisahnya Timor Timur dan gelombang demokratisasi menciptakan sebuah tatanan politik baru bagi hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan kondisi ekonomi nasional yang masih terpuruk dan keterbatasan dana bagi pembangunan di daerah, banyak elit politik yang daerah yang kemudian mencoba merumuskan kembali hubungan mereka dengan pihak pemerintahan pusat. Sentiment semacam ini terutama sangat kuat di daerah-daerah yang sering bergolak seperti Aceh dan Papua, yang kebetulan memiliki sumber daya alam yang melimpah. Sebuah kesepakatan politik dengan Aceh dan Papua akhirnya akhirnya dicapai ketika pemerintah di bawah Megawati mengesahkan dua undang-undang mengenai otonomi khusus, UU No 18 Tahun 2001 mengenai Aceh dan UU No. 21 Tahun 2001 mengenai Papua, yang pada dasarnya memberi konsesi-konsesi sangat besar dari pendapatan sumber daya alam. Mula-mula ditengah menguatnya berbagai macam keluhan mengenai ketentuan yang kaku terhadap perpajakan daerah, pemerintahan Wahid berusaha mempercepat pelaksanaan reformasi. UU No. 18 Tahun 1997 digantikan dengan UU No. 34 Tahun 2000 mengenai Pajak dan Retribusi Daerah. Undang-undang itu diantara lain mengatur tentang ketentuan pembagian pajak baru diantara jenjang pemerintahan yang berbeda. Provinsi harus memberikan bagian pendapatan yang lebih besar atas pajak tertentu dan dapat merelokasi pendapatan kepada pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya. Pemerintah kabupaten/kota diperbolehkan membuat Perda sendiri yang mengatur pajak-pajak baru sepanjang memenuhi kriteria tertentu. Tetapi menyangkut bantuan antarjenjang pemerintahan nampaknya banyak aspek hubungan fiskal pada masa-masa awal pelaksanaan perundangan tahun 1999 yang terpengaruh oleh sistem lama. Jika DAU dapat diasosiasikan dengan alokasi SDO dalam sistem sebelumnya, DAK dapat dipandang sebagai metamorphosis dari bantuan-bantuan inpres salama masa pemerintahan Orde Baru, karena pemerintah daerah tidak diberi kewenangan untuk merencakan sumber daya manusianya sendiri, termasuk kemungkinan merampingkan staf agar lebih efisien, maka porsi yang sangat besar dari DAU terserap untuk membayar gaji pegawai. Pada saat yang sama, karena pemerintah pusat masih mengalami kendala anggaran karena krisis ekonomi dan karena pendapatan minyak dan gas bumi yang telah ―didaerahkan‖, maka besarnya DAK bagi kebanyakan kabupaten/kota di seluruh tanah air juga terbatas. Kepentingan-kepentingan yang bercokol terus mempengaruhi proses implementasi dan perubahan kebijakan. Disamping kepentingan yang berbeda-beda antara pejabat pemerintah pusat dan pemerintah daerah, masalah pelaksanaan kebijakan desentralisasi juga banyak yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan tujuan di antara kementerian di pemerintah pusat. Karena Depdagri ketika itu ditugaskan untuk merancang UU no. 22 Tahun 1999 sedangkan Depkeu ditugaskan merancang UU No. 25 Tahun 1999, banyak masalah muncul karena tidak padu dan tidak jelasnya hubungan di antara kedua undang-undang tentang desentralisasi tersebut. Konflik-konflik juga terjadi karena banyak pelaku di jajaran pemerintah pusat bermaksud mempertahankan kepentingan mereka di tengah dorongan untuk mendevolusi kekuasaan finansial kepada jenjang pemerintahan yang lebih rendah. Di tingkat daerah, terdapat kecenderungan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal disandera oleh para elit politik sehingga tujuan utama dari kebijakan ini tidak dapat tercapai. Politik uang, birokrasi yang membelanjakan dana publik untuk dirinya sendiri, serta penyalahgunaan kekuasaan politik dan finansial justru
6
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
semakin merebak karena kurangnya sistem akuntabilitas yang terlembaga. Tetapi bagaimanapun juga, meskipun desentralisasi fiskal dilaksanakan di tengah kemelut politik dan ekonomi dan menghadap berbagai persoalan serius, tidak mungkin lagi untuk berbalik arah.
5. Penyesuaian Kebijakan Desentralisasi Legislasi 2004 Karena para pejabat di Depdagri ditugasi untuk merancang UU No. 22/1999 dan para pejabat di Depkeu ditugasi merancang UU No. 25/1999 sedangkan mereka punya kepentingan yang berbeda menyangkut kebijakan desentralisasi, banyak masalah muncul karena kurang padu dan kurang jelasnya keterkaitan di antara kedua undang-undang desentralisasi ini. Itulah sebabnya, banyak pelaku kebijakan pemerintah pusat yang bahkan sudah mempertimbangkan untuk melakukan revisi ketika undang-undang ini baru akan dilaksanakan. Akan tetapi para pakar dan pejabat pemerintah kabupaten/kota sangat menentang gagasan tersebut. Mereka berpendapat bahwa revisi itu hanya akan mengarah kepada resentralisasi. Sebuah kompromi pada akhirnya tercapai setelah adanya amandemen yang sangat penting terhadap UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan presiden secara langsung. Beberapa langkah penyesuaian terhadap perundang-undangan tahun 1999 tidak dapat dihindari lagi. Para pejabat pemerintah pusat lalu menggunakan wacana pemilihan kepala daerah secara langsung untuk meyakinkan para elit politik lokal mengenai perlunya revisi undang-undang tahun 1999 tersebut. Pemilihan umum legislatif tahun 2004 yang diikuti dengan suksesnya penyelenggaraan pemilihan presiden secara langsung membawa seluruh rakyat Indonesia kearah yang lebih demokratis dan stabil. Tahun 2004 juga menandai sebuah kompromi di antara pejabat dalan jenjang pemerintahan yang berlainan dengan disahkannya UU No. 32/2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 yang menggantikan perundang-undangan tahun 1999. Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden dengan sebuah mandat yang jelas. Namun demikian ada berbagai tugas penting yang harus segera ditangani. Bencana Tsunami di Aceh sekonyong-konyong justru makin membuat semakin cerahnya prospek bagi terciptanya perdamaian yang lebih langgeng, tetapi bencana ini juga membutuhkan komitmen finansial yang besar bagi pemerintah pusat untuk merekonstruksi dan membangun kembali provinsi ini. Pada saat yang sama pemerintahan yang baru harus berhadapan dengan meluasnya korupsi dan melanjutkan berbagai kebijakan pemulihan ekonomi. Undang-undang tahun 2004 mengenai pemerintah daerah mengembalikan hubungan hierarkis antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta memuat ketentuan rinci mengenai pemilihan kepala daerah. Akan tetapi, menyangkut hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan, hanya terdapat perubahan kecil. UU No. 33/2004 sedikit menaikkan presentase pendapatan Negara yang akan dialokasikan kepada pemerintah daerah melalui DAU serta presentase pembagian pendapatan dari minyak, serta menetapkan pembagian pendapatan dari gas bumi yang lebih jelas. Sebuah sistem bantuan kerja sama (matching grants) ditetapkan dengan ketentuan mengenai dana penyertaan untuk alokasi DAK. Namun secara keseluruhan penentuan mengenai pembagian pajak antarjenjang pemerintahan masih tetap sama dengan undang-undang sebelumnya. Kebijakan densentralisasi fiskal akan tetap dipengaruhi oleh negosiasi-negosiai politik di antara jenjang pemerintahan yang berbeda.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
7
Penerapan
Undang-Undang
Perspektif
Desentralisasi Fiskal
Nomor
23
Tahun
2014
Dalam
Sejak pertama kali diterbitkan pada bulan Oktober 2014, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sudah banyak menuai pro dan kontra. Sebagai salah satu Undang-undang Pemerintah Daerah yang menyempurnakan Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, Undang-Undang ini belum disertai dengan perangkat penjelas berupa Peraturan Pemerintah untuk menjelaskan secara detail mengenai pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah yang banyak mengalami perubahan. Salah satu implikasi dari terbitnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 adalah terjadinya perpindahan kewenangan yang dimiliki susunan/tingkatan Pemerintahan, baik di level Pemerintahan Pusat maupun pada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi. Hal ini bisa terlihat pada BAB XI Bagian Kelima tentang Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan. Dalam salah satu paragraph yang menjelaskan tentang Evaluasi Rancanngan Perda Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat perpindahan yang cukup mendasar tentang kewenangan daerah dalam mengevaluasi Perda. Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Gubernur, dan Gubernur dengan Walikota atau Bupati belum secara gamblang dijelaskan dalam bagian ini. Terkait penyelenggaraan urusan pemerintahan di
daerah, Kementerian Dalam Negeri telah
menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/253/Sj tanggal 16 Januari 2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Surat edaran dari Menteri Dalam Negeri ini diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan setelah ditetapkannya Undang-undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah selama masa transisi sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan . Dari segi desentralisasi fiskal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak terlalu mengalami banyak perubahan dari Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Hanya saja Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 lebih menekankan pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar terhadap daerah untuk dapat menangani urusan pemerintahan baik dari segi administratif maupun dari segi keuangan. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjelaskan bahwa daerah boleh melakukan pengaturan terhadap kebijakan fiskal asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang menaunginya. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah ingin memaksimalkan peranan pemerintah daerah untuk mampu melaksanakan kewenangan dalam hal pelayanan dasar.
Kesimpulan Seiring dengan perubahan Undang-undang Dasar 1945 dan pergantian kepemimpinan, upaya untuk menciptakan suasana tata kepemerintahan yang demokratis terus diupayakan oleh Pemerintah RI. Salah satunya adalah dengan mulai menggalakkan otonomi daerah yang pada masa Orde Baru sempat tenggelam karena superioritas kepemimpinan Presiden Soeharto yang sentralistis. Kebijakan otonomi daerah memberi keleluasaan kepada daerah mengurus urusan rumah tangganya sendiri secara demokratis dan bertanggung jawab dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebijakan desentralisasi merupakan salah satu produk dari otonomi daerah, dengan keluarnya UU No. 32 dan
8
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
UU No. 34 Tahun 2004. Meskipun penerapan desentralisasi baru mulai difokuskan dan mendapat perhatian pasca reformasi, beni-benih desentralisasi khususnya desentralisasi fiskal sudah ada sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno. Berikut ringkasan perkembangan desentalisasi fiskal yang terjadi di Indonesia, sejak tahun 1974 sampai pada keberhasilan pemilu tahun 2004 : Peristiwa Malari menjadi tonggak sejarah dari awal penerapan otonomi daerah di Indonesia. Penolakan para pengusaha pribumi terhadap membanjirnya investasi asing, perebutan kekuasaan di antara di antara perwira tinggi militer, dan protes mahasiswa menentang depolitisasi adalah factor-faktor utama yang memicu peristiwa Malari. Inilah situasi yang melatarbelakangi disahkannya undang-undang mengenai pemerintahan di daerah pada tahun 1974. Setelah memperkuat kontrol politik dan mengesahkan UU No. 5/1974 yang bersifat sentralistis, pemerintah pusat harus menunjukkan kinerja dan membuktikan kemampuannya untuk menghasilkan pembangunan ekonomi. Dari sisi pendapatan, ada dua faktor utama yang memungkinkan pemerintah pusat mendanai pembangunan daerah : 1) rezeki minyak yang tiba-tiba menjadi sumber pendapatan utama, dan 2) penyerapan utang luar negeri. Di samping
pemanfaatan program-program pembangunan, Soeharto senantiasa menggunakan
kekuatan militer dan represi politik untuk memelihara stabilitas serta menundukkan perlawanan terhadap rezim yang sentralistis. Krisis moneter dan ambruknya ekonomi memicu perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto pada awal tahun 1998. Sidang istimewa MPR pada tahun 1998 mengamanatkan pemerintah untuk melaksanakan desentralisasi dan menanggapi tuntutan-tuntutan daerah. Untuk menanggapi tuntutan-tuntutan tersebut, UU No. 25 Tahun 1999 mengenai hubungan fiskal antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibahas di tengah desakan bertubi-tubi dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam. Beberapa ketentuan penting di dalam UU No. 25 tersebut adalah tentang pengaturan pendapatan asli daerah. Ketika persiapan untuk sepenuhnya melaksanakan kebijakan desentralisasi tengah dilakukan, situasi politik di Indonesia mengalami berbagai macam perkembangan. Timor Timur akhirnya terpisah dari Indonesia setelah pemungutan suara yang menunjukkan bahwa mayoritas rakyatnya memilih merdeka. Namun demikian, pada bulan Juni 1999 Indonesia berhasil menyelenggarakan untuk pertama kalinya pemilihan umum yang bebas, adil dan aman setelah sekian lama berada di bawah penindasan pemerintahan Orde Baru. Setelah pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak, sidang MPR memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden baru. Di tingkat daerah, terdapat kecenderungan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal disandera oleh para elit politik sehingga tujuan utama dari kebijakan ini tidak dapat tercapai. Politik uang, birokrasi yang membelanjakan dana publik untuk dirinya sendiri, serta penyalahgunaan kekuasaan politik dan finansial justru semakin merebak karena kurangnya sistem akuntabilitas yang terlembaga. Sebuah kompromi pada akhirnya tercapai setelah adanya amandemen yang sangat penting terhadap UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan presiden secara langsung.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
9
Pemilihan umum legislatif tahun 2004 yang diikuti dengan suksesnya penyelenggaraan pemilihan presiden secara langsung membawa seluruh rakyat Indonesia kearah yang lebih demokratis dan stabil. Tahun 2004 juga menandai sebuah kompromi di antara pejabat dalan jenjang pemerintahan yang berlainan dengan disahkannya UU No. 32/2004 dan pemerintahan yang berlainan dengan dilaksanakannya UU No. 32/2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 yang menggantikan perundang-undangan tahun 1999. Penerapan Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, bisa dikatakan menjadi suatu mainframe yang sangat membantu pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemeririntahannya. Namun hal ini tidak serta merta sempurna tanpa kekurangan. Masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, terutama dalam hal kewenangan pemerintah daerah yang masih terbatas. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 memberikan harapan bagi pemerintah daerah untuk dapat secara penuh menyelenggarakan pemerintahan daerah serta memanfaatkan potensi daerah dengan kebijakan desentralisasi fiskal pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang lebih menekankan pada upaya peningkatan pelayanan dasar bagi masyarakat. Beberapa kekurangan juga tak luput dari penerbitan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, adalah belum diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang lebih lanjut bisa dijadikan sebagai instrument penjelas beberapa hal yang sudah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Sehingga sampai dengan tulisan ini dibuat, masih banyak Pemerintah Daerah yang belum cukup memahami dan bisa menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 secara komprehensif, intens dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka Sumber Buku : BN Marbun, Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Perkembangan Realita Otda, Sejak Zaman Kolonial sampai Saat ini. 2005. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Kumorotomo, Wahyu. Desentralisasi Fiskal, Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004. 2008. Jakarta : Kencana Gaffar, Afan., Rasyid, Ryaas., dan HR, Syaukani. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. 2009. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Islamy, Irfan. 2007. Kebijakan Publik dan Desentralisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sumber Regulasi : Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
10
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Legislasi Desa: Tantangan dan Peluang Pembuatan Kebijakan Desa Pasca Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Muhammad Yasin Jurnalis, Anotator UU Desa Telp (021) 83701827 Faks (021) 83701826 Email:
[email protected]
Abstrak: Pengesahan dan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) membawa perubahan mendasar pada kedudukan desa sebagai subjek dan objek pembangunan. Kini desa lebih leluasa merancang berbagai kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Undang-Undang ini tak hanya memberi hak kepada desa sebagai institusi, tetapi juga kepada masyarakat desa. Wadah untuk mengembangkan kebijakan desa itu adalah legislasi desa. Legislasi desa bermakna proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan desa. Kajian ini bertujuan (i) menggambarkan legislasi desa yang diinginkan oleh UU Desa; (ii) menganalisis tantangan yang mungkin muncul; dan (iii) memperkirakan peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat legislasi desa. Kajian ini menggunakan studi dokumen.
Kata kunci: peraturan desa, legislasi, materi muatan.
Pendahuluan Kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya UU No. 6/2014) telah membawa perubahan penting dalam tata pemerintahan di Indonesia. Kebijakan baru ini telah menghapus ketentuan mengenai desa dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sekaligus mengharuskan kebijakan-kebijakan mengenai desa disesuaikan dengan UU No. 6/2014. Paling lambat 25 Januari 2016 mendatang, Pemerintah berkewajiban untuk menyusun seluruh kebijakan yang diamanatkan oleh UU No. 6/2014. Undang-Undang ini (Budiman Sudjatmiko, 2014: 10) telah mengubah secara mendasar beberapa hal: Skema, alokasi, dan besaran dana untuk desa sebagai usaha membagikan keadilan bagi rakyat terbanyak di Indonesia. Jalur birokrasi perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan desa dengan memangkas jalur birokrasi yang panjang dan penuh negosiasi, sektoral dan parsial menjadi pola satu pintu.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
11
Penempatan rakyat desa sebagai subjek yang memiliki kedaulatan politik terhadap supra desa kedaulatan dalam mengelola sumber daya desa, serta memulihkan kegotongroyongan rakyat desa dalam pembangunan desa. Konsolidasi kelembagaan. Sebelumnya urusan desa ditagani 14 kementerian sektoral. UU ini mengamanatkan pembentukan kementerian yang mengurusi masalah desa. Sejalan dengan itu, salah satu perubahan penting yang dibawa adalah kedudukan desa dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota. Undang-Undang Pemerintahan Daerah, baik tahun 1999 maupun 2004 memuat pengaturan desa dengan prinsip pemerintahan tidak langsung (indirect rule), bukan pemerintahan langsung. Artinya, pemerintah pusat, melalui perangkat kebijakan hukumnya, menetapkan sejumlah prinsip dasar tentang desa. Regulasi yang sama memberikan kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk melakukan pengaturan penuh terhadap desa. Desa berada di bawah hierarki dan sekaligus di bawah subsistem pemerintahan daerah. Pengaturan semacam itulah yang disebut Sutoro Eko (2013: 311) sebagai ‗cek kosong‘ regulasi yang diberikan kepada bupati/walikota. Kepala daerah bisa mengisinya sesuai dengan pilihan-pilihan politik lokal. Melalui UU No. 6/2014, desa menjadi lebih mandiri untuk merancang berbagai kebijakan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat dan pemerintahan desa tersebut. Undang-Undang ini tidak hanya memberikan hak kepada desa sebagai institusi, tetapi juga kepada masyarakat desa sebagai sekumpulan warga yang punya kepentingan bersama. Kepentingan bersama harus selalu berada di garda depan atau di atas kepentingan pribadi anggota warga desa. Proses pengaturan kepentingan bersama melalui perangkat hukum yang tersedia untuk desa itulah yang disebut legislasi desa. Legislasi desa, karena itu, adalah proses pembuatan peraturan-peraturan desa untuk mengatur kepentingan bersama masyarakat desa. Sebagai sebuah proses, legislasi desa meliputi perencanaan, pembuatan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi. Pengaturan desa melalui Undang-Undang tersendiri, terpisah dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah, adalah cara untuk memperkuat basis pencapaian tujuan. Tujuan-tujuan pengaturan desa adalah: (a) memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada selama lengkap dengan keberagamannya, sesuai prinsip bhinnneka tunggal ika; (b) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia; (c) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa; (d) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa agar bisa dipakai untuk kesejahteraan bersama; (e) membentuk pemerintahan desa yang professional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; (f) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa; (g) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa; (h) memajukan perekonomian desa sekaligus mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan (i) memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. Selama puluhan tahun, desa tak bisa leluasa mengatur dirinya sendiri. Kebijakan pembangunan di desa bersifat top down, ditentukan oleh kabupaten/kota. Inisiatif lokal kurang berkembang, bukan saja karena tak mendapatkan apresiasi sebagaimana mestinya, tetapi juga sengaja dihambat karena alasan-alasan politik. Namun dalam perkembangannya, pendekatan ‗atas-bawah‘ tak bisa lagi dipertahankan sepenuhnya, sebagian karena pengakuan konstitusional atas hak masyarakat adat atas hutan, atau pengakuan hak pemerintahan desa mempersoalkan regulasi yang dikeluarkan bupati/walikota.
12
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
UU No. 6/2014 telah mengakui asas rekognisi dan subsidiaritas. Rekognisi mengandung arti pengakuan terhadap hak asal usul desa, yang berarti pula pengakuan terhadap modal sosial yang dimiliki desa selama ini seperti nilai-nilai kegotongroyongan. Subsidiaritas mengandung arti penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan skala lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Kedua asas ini tentunya memperkuat desa dalam menjalankan kewenangannya. Asumsinya, pengaturan yang basisnya lebih kuat akan membuat desa lebih mendiri dalam banyak hal. Kemandirian itu bisa tampak antara lain dalam proses pembuatan kebijakan desa, yang dalam bahasa perancangan peraturan disebut sebagai legislasi. Makalah ini dititikberatkan pada tiga hal: pertama, model legislasi desa yang diinginkan oleh penyusun UU No. 6/2014; kedua, menganalisis tantangan yang mungkin muncul; dan ketiga memperkirakan peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat legislasi desa.
Legislasi Desa Kewenangan untuk menjalankan proses legislasi desa diberikan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Hasil akhir proses legislasi desa itu adalah peraturan desa. Dengan kata lain, peraturan desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan diseakati bersama BPD. Jika dibaca dalam teks historis pembahasan RUU Desa jelas bahwa pemberian kewenangan membuat peraturan desa tak lepas dari pengakuan terhadap desa sebagai ‗kesatuan masyarakat hukum‘. Pengakuan itu eksplisit disebut dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 6/2014 berikut: ―Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia‖. Pertanyaannya kemudian adalah dalam bentuk apa kesatuan masyarakat hukum itu mengatur dan mengurus kepentingannya. UU No. 6/2014 mengenal tiga jenis kebijakan yang dikualifikasi sebagai peraturan di desa, yaitu: 1.
Peraturan Desa (Perdes)
2.
Peraturan Bersama Kepala Desa; dan
3.
Peraturan Kepala Desa. Perdes adalah jenis peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa setelah dibahas dan disepakati bersama
BPD. Peraturan Bersama Kepala Desa adalah peraturan yang ditetapkan oleh minimal dua kepala desa dalam rangka kerjasama antardesa. Peraturan Kepala Desa adalah regeling yang dibuat dan ditetapkan oleh Kepala Desa. Istilah Peraturan Desa sebenarnya bukan nomenklatur baru dalam UU No. 6/2014. Pasal 105 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sudah mengenalnya saat menyinggung kewenangan Badan Perwakilan Desa dan Kepala Desa menetapkan peraturan desa. Tetapi tidak dijelaskan apa yang dimaksud peraturan desa, jenis-jenisnya, dan kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Penjelasan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
13
pasal itu hanya menyebutkan: ‗Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati, tetapi wajib disampaikan kepadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah ditetapkan dengan tembusan kepada camat”. Dalam UU No. 5 Tahun 1979 tentang Desa disebut istilah lain yaitu Keputusan Desa. Dalam rangka proses legislasi desa, ada empat aspek
yang perlu dikaji lebih mendalam untuk
mengetahui tantangan dan peluang yang akan dihadapi. Pertama, aspek formalitas kebijakan, yakni bagaimana kebijakan regulatif desa dibuat, lembaga mana yang punya wewenang untuk mengusulkan, membahas, dan menetapkan. Beda jenis peraturan pasti berbeda pula mekanisme pembentukannya. Panduan utama dalam proses pembentukan suatu regulasi adalah UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. (UU P3). Salah satu asas pembentukan adalah kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. Asas ini mengandung arti bahwa suatu peraturan desa harus dibuat oleh lembaga yang berwenang. Pertanyaannya, apakah kepala desa dan BPD dalam konstruksi UU No. 6/2014 punya fungsi regulatif atau kewenangan membuat peratuan. Jawabannya ada dalam rujukan berikut ini. Pasal 26 ayat (2) huruf d: ―Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang…(d) menetapkan Peraturan Desa”. Pasal 26 ayat (3) huruf b: ―Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak….(b) mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa”. Pasal 62 huruf a: ―Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak…(a) mengajukan usul rancangan Peraturan Desa”. Pasal 55 juga menegaskan bahwa salah satu fungsi BPD adalah membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa. Dengan demikian, secara formal, kepala desa punya hak mengajukan usul Rancangan Peraturan Desa (Ranperdes), sekaligus memiliki kewenangan menetapkan bersama-sama dengan BPD. Jika suatu peraturan itu diterbitkan sendiri oleh kepala desa, maka bentuknya adalah Peraturan Kepala Desa. Jika beberapa orang kepala desa membuat suatu peraturan bersama mengenai kerjasama antar desa, maka bentuknya Peraturan Bersama Kepala Desa. Dalam proses pembentukan Perdes ada asas prinsipil yang tak boleh dilanggar, yaitu larangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ini berarti meskipun desa mempunyai kemandirian dalam membentuk Perdes, tetapi ia tidak sepenuhnya bebas menentukan apa yang akan diatur. Apalagi kalau sudah menyangkut materi muatannya. Kedua, aspek substansial kebijakan, atau yang lazim disebut aspek materi muatan. Aspek ini berfokus pada materi apa yang akan diatur oleh setiap jenis peraturan. Dalam konteks desa, ini berarti menekankan pada apa saja yang boleh diatur dan diurus oleh desa. Parameter utama menentukannya adalah kewenangan desa. Interprestasi tekstual UU No. 6 Tahun 2014 juga bisa digunakan. Lihat misalnya rumusan Pasal 69 ayat (4) yang sudah menyebut eksplisit materi muatan tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintah desa. Jika ditelusuri proses pembahasan Undang-Undang ini tampak jelas bahwa penetapan peraturan desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa. Kewenangan itu pada dasarnya meliputi: a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul.
14
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
b. Kewenangan lokal berskala desa. c. Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menariknya, batas-batas kewenangan yang bisa dituangkan desa ke dalam bentuk regulasi telah menjadi perdebatan dalam sidang-sidang pembahasan RUU Desa. Praktikno, seorang ahli yang dihadirkan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), misalnya, mengkhawatirkan kewenangan-kewenangan yang pembagiannya tidak jelas. Seorang ahli ilmu administrasi negara, Hanif Nurkholis, yang juga diundang, memberi contoh lain tentang batasan kewenangan untuk bidang-bidang yang sudah diatur sektoral melalui peraturan pusat.
Tabel 1 – Materi Muatan Peraturan Tingkat Desa Jenis Peraturan
Materi Muatan
Peraturan Desa
Pelaksanaan kewenangan desa dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
Peraturan Bersama Kepala
Materi kerjasama desa
Desa Peraturan Kepala Desa
Materi pelaksanaan peraturan desa, peraturan bersama Kepala Desa dan tindak lanut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sumber: Diolah dari Permendagri No. 111 Tahun 2014.
Ketiga, aspek partisipasi, dalam arti bagaimana masyarakat desa dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Normanya sudah jelas: masyarakat desa berhak memberikan masukan terhadap Ranperdes. Ini adalah keterlibatan warga desa secara langsung dalam pembuatan kebijakan. Sebenarnya, ada keterlibatan tidak langsung warga desa, yaitu memberikan masukan melalui wakil-wakil mereka di BPD. UU No. 6/2014 telah mengatur siapa saja yang menjadi representasi warga desa. Sebuah Ranperdes wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa, terlepas dari soal siapa yang mengajukan usulan Ranperdes. Jika tidak dikonsultasikan sebelumnya maka pengesahan suatu Ranperdes akan mengalami cacat formal. Sebaliknya, masyarakat desa berhak menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Partisipasi warga desa tak hanya dalam pembuatan/penyusunan. Pelaksanaan kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan desa berskala lokal diawasi oleh masyarakat desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Secara sederhana, proses pembahasan Ranperdes yang melibatkan partisipasi publik dapat digambarkan sebagai berikut:
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
15
6. Sosialisasi/ Pengesahan
1. Identifikasi Masalah
Rancangan Perdes 5. Pembahasan/ Revisi
2. Identidikasi Landasan Hukum
3. Penulisan Ranperdes 4. Konsultasi Publik
Gambar 1-Proses Pembahasan Raperdes
Aspek keempat menyangkut publikasi atau transparansi kebijakan yang dibuat. Suatu kebijakan publik yang bersifat regulasi (baca: peraturan perundang-undangan) wajib disebarluaskan. Di satu sisi pemerintah punya kewajiban itu, di sisi lain masyarakat berhak mendapatkan informasi mengenai peraturan perundangundangan sesuai amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (LAN, 2010: 71). Suatu kebijakan haruslah disahkan agar ada penerimaan bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan ukuranukuran yang diterima (M. Irfan Islamy, 1992: 101). UU No. 6/2014 telah memperkenalkan apa yang disebut sebagai Lembaran Desa dan Berita Desa, yang bisa dipastikan merujuk pada Lembaran Negara/Berita Daerah dan Berita Negara/Berita Daerah. Lembaran Desa adalah tempat pengundangan Peraturan Desa, sedangkan Berita Desa adalah tempat pengundangan Peraturan Kepala Desa. Proses pengundangan dilakukan oleh Sekretaris Desa. Proses pengundangan itu bertujuan agar semua warga desa mengetahui adanya regulasi yang diterbitkan. Atas dasar itu pula warga berhak tahu atas materi peraturan desa. Jika warga merasa keberatan, harus ada mekanisme evaluasi atau review bagi warga.
Tantangan dan Peluang Bagian di atas sudah mendeskripsikan sekaligus menjawab pertanyaan tentang model atau jenis peraturan yang dibuat di desa. Bagian berikutnya berusaha mendeskripsikan apa saja tantangan yang muncul dalam proses legislasi desa tersebut, dan peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan agar regulasi yang dibuat lebih kuat dan bermanfaat. Pada saat RUU Desa dibahas di DPR, informasi yang diperoleh anggota Dewan menyebutkan sudah ada 73 ribu desa dan 8 ribu kelurahan di seluruh Indonesia. Dalam buku Indeks Kode dan Data Wilayah Administrasi per provinsi, kabupaten/kota tahun 2013 tercatat jumlah desa adalah 72.944 dan jumlah kelurahan adalah 8.309. Totalnya, 81.253 desa/kelurahan. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Pusat Statistik, jumlah desa pada 2013 adalah 80.714. Data manapun yang dipakai, yang jelas jumlah desa terus berkembang. Jika digunakan pendekatan penggenapan seperti yang dilakukan DPR dan Pemerintah dalam pembahasan RUU
16
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Desa, maka jumlah regulasi yang dihasilkan di seluruh Indonesia akan sangat banyak. Hitungan kasar saja jika setiap desa membuat dua Perdes (APBDes dan struktur organisasi desa), maka akan ada 81.000 x 2 = 162.000 Perdes. Artinya, akan ada pembuatan Perdes secara massif jika desa ingin benar-benar memanfaatkan Perdes sebagai sarana mengatur dirinya sendiri. Banyaknya Perdes yang mungkin dihasilkan membuat para perumus kebijakan UU No. 6/2014 mengubah mekanisme review terhadap Perdes. Jika berangkat dari konsep konstitusi, maka setiap peraturan perundang-undangan yang levelnya di bawah Undang-Undang bisa diuji ke Mahkamah Agung (MA). Masalah ini ada kaitannya dengan kedudukan Perdes dalam hierarki kebijakan yang berlaku di Indonesia saat ini. Sebenarnya, sejak 2011, Perdes tak lagi masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, tetapi kemudian oleh UU No. 6/2014 kedudukannya sebagai regeling diperkuat lagi. Kalau dikualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan, maka Perdes bisa diuji ke MA. Padahal, konsepsi ini justru akan membuat MA kerepotan mengingat jumlah Perdes yang dihasilkan dan kemungkinan pengajuan reviewnya oleh anggota masyarakat. Memasukkan Perdes ke dalam tata urutan perundang-undangan dinilai Jimly ‗sudah sangat berlebihan‘. Solusi atas persoalan ini adalah executive preview (Jimly Asshiddiqie, 2006: 105-106). Gagasan executive preview itu kemudian tercermin dalam Pasal 69 ayat (4) sampai ayat (8) UU No. 6/2014, berupa evaluasi oleh bupati/walikota, tetapi terbatas pada rancangan Peraturan Desa mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintahan desa. Dalam hal ini, yang melakukan review adalah bupati/walikota. Bupati/walikota sudah harus menyerahkan hasil review paling lambat 20 hari setelah diterimanya rancangan Perdes dimaksud. Jika ada catatan dari bupati/walikota, Kepala Desa wajib memperbaikinya. Kepala Desa memiliki waktu 20 hari untuk melakukan koreksi. Jika tidak ada catatan bupati/walikota, maka Perdes itu berlaku dengan sendirinya dan harus diundangkan oleh Sekretaris Desa. Masuknya dana desa yang diperkenalkan lewat UU No. 6/2014 mendorong desa untuk membuat tata kelola keuangan. Minimal desa membuat APBDes. Jika tidak, ancaman terjerat kasus korupsi akan selalu menghantui kepala desa sebagai kepala pemerintahan desa. Apalagi jika di desa terjadi pertarungan politik antara kekuatan kepala desa dengan anggota BPD. Pemberian kewenangan kepada desa membuat regulasi sebenarnya tak sekadar berimplikasi pada jumlah Perdes yang akan dihasilkan, tetapi juga pada kapasitas. Dalam diskusi-diskusi penyusunan Anotasi UU Desa, isu ini juga mencuat. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas kepala desa dan perangkat desa lainnya, serta BPD untuk membuat Perdes yang memenuhi syarat baik formal maupun substansial. Selama ini, pemerintahan desa bukanlah orang yang dilatih dan terlatih untuk menjadi penyusun dan perancangan peraturan perundang-undangan (legal drafter). Menjadi drafter membutuhkan keahlian khusus tentang mekanisme, substansi, dan bahasa yang dipakai. Tantangannya semakin besar karena Sekretaris Desa tak lagi diwajibkan berasal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS). Setidaknya, PNS punya pengalaman birokrasi dan tata kelola persuratan, sehingga memahami bagaimana mengundangkan suatu peraturan desa dalam Lembaran Desa atau Berita Desa. Tantangan ini sebenarnya menjadi peluang juga bagi Kementerian Dalam Negeri untuk memperkuat biro hukum, Kementerian Desa dan Transmigrasi untuk membuat direktorat khusus advokasi kebijakan desa, atau Kementerian Hukum dan HAM untuk menguatkan kemampuan drafting perangkat pemerintahan desa.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
17
Namun jika dibaca Naskah Akademik RUU Desa, peningkatan kapasitas legislasi desa lebih ditekankan pada kabupaten/kota. ―Fasilitasi pemerintahan kabupaten terhadap penyusunan peraturan desa sangat diperlukan untuk mempermudah dan membangun kapasitas pemerintah desa untuk menyusun Perdes baik. Pengawasan (supervise) kabupaten terhadap peraturan desa sangat diperlukan agar perdes tetap berjalan sesuai norma-norma hukum”. Peningkatan kapasitas itu juga disinggung dalam Pasal 112 ayat (3) yang mewajibkan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk ‗meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan‘. Peningkatan kapasitas memudahkan pemerintahan desa menyusun program legislasi desa, terutama yang menyangkut hal-hal yang bersifat strategis. Ada tujuh hal yang dianggap strategis dan harus dimusyawarahkan oleh masyarakat desa. Semakin strategis suatu urusan semakin penting pilar regulasinya diperkuat. Ketujuh hal strategis tersebut adalah: 1.
Penataan desa.
2.
Perencanaan desa.
3.
Kerjasama desa
4.
Rencana investasi yang masuk ke desa.
5.
Pembentukan Badan Usaha Milik Desa.
6.
Penambahan dan pelepasan aset desa, dan
7.
Kejadian luar biasa. Peningkatan kapasitas bukan hanya berkaitan dengan aspek formal pembentukan Perdes, tetapi juga
kemampuan memilah-milah substansi yang menjadi prioritas. Menurut Sutoro Eko (2013) setidaknya ada lima bentuk kapasitas desa (termasuk di dalamnya Kepala Desa) yang perlu dikembangkan dalam rangka membangun otonomi desa. Pertama, kapasitas regulasi (mengatur), yaitu kemampuan pemerintah desa mengatur kehidupan desa beserta isinya (wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan Perdes berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Kedua, kapasitas ekstraksi, yaitu kemampuan mengumpulkan, mengerahkan, dan mengoptimalkan aset-aset desa untuk menopang kebutuhan (kepentingan) pemerintah dan warga masyarakat desa. Ketiga, kapasitas distributif, yaitu kemampuan pemerintah desa membagi sumberdaya desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Keempat, kapasitas responsif, yaitu kemampuan untuk peka atau memiliki daya tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan. Kelima, kapasitas jaringan dan kerjasama, yaitu kemampuan mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak luar dalam rangka mendukung kapasitas ekstraktif. Desa haruslah membuat prioritas-prioritas untuk diatur dan disepakati bersama antara kepala desa dan BPD. Seperti disebutkan di awal, substansi apa yang boleh diatur desa belum sepenuhnya tuntas meskipun ada jawaban ‗kewenangan bersifat lokal‘. Misalkan, ada eksplorasi tambang yang meliputi wilayah suatu desa. Perusahaan tambang ‗datang‘ melalui bupati sehingga mendapat lampu hijau melakukan eksplorasi. Bisakah desa membuat Perdes tentang tata ruang yang ‗melarang‘ eksplorasi tambang di wilayah desanya? Pertanyaan ini masih berlanjut, bagaimana kalau kepala desa setuju bupati tetapi warga desa dan BPD menolak? Penting untuk diingat bahwa kepala desa bukan hanya kepala pemerintahan, tetapi juga melakukan pemberdayaan
18
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
masyarakat. UU Desa bukan menempatkan kepala desa sebagai kepanjangan tangan pemerintah, melainkan sebagai pemimpin masyarakat (Bito Wikantosa, 2015). Mekanisme pengambilan keputusan dan mekanisme penyelesaian sengketa adalah dua tantangan lain dalam proses legislasi desa. Selalu ada kemungkinan masalah dalam pengambilan keputusan, sehingga perlu ada mekanisme penyelesaian sengketa administratif. Pengambilan keputusan yang dimaksud dalam konteks ini adalah pengambilan keputusan dalam penyusunan Perdes yang ditetapkan Kepala Desa bekerjasama dengan BPD. Menurut UU No. 6/2014, Perdes dibahas dan disepakati bersama Kepala Desa dan BPD. Artinya, jika ada pihak yang tidak mau membahas atau tidak menyepakati, maka Perdes itu tak jadi. Inilah yang disebut sebagai basis demokrasi penyusunan peraturan desa. Sebagai sebuah produk politik, peraturan desa harus diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Namun bukan berarti tidak ada peluang sengketa atau keberatan dari warga yang merasa tidak terwakili. Dalam pengambilan keputusan bisa saja muncul sengketa antara Kepala Desa dengan BPD, bahkan mungkin berakar dari ketidaksukaan Kepala Desa terhadap anggota BPD. Penelitian Tri Ratnawati (2006: 211) di Desa Rejosari Kabupaten Bantul Yogyakarta membuktikan adanya potensi konflik antara Kepala Desa dengan BPD meskipun sudah diatur mekanismenya dalam Perda. Konflik ini malah berimas lebih jauh pada perpecahan perangkat (pamong) desa. Peluang lain yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat desa dari UU No. 6/2014 adalah mengangkat kembali keberagaman desa. Keanekaragaman desa di Indonesia adalah sebuah anugerah dan kekayaan yang perlu dikelola dengan baik. Konflik-konflik perkebunan dengan masyarakat desa tak lepas dari pemutusan akses masyarakat desa terhadap pengelolaan kekayaan mereka sendiri. Pengakuan UU No. 6/2014 tentang desa adat adalah peluang mengangkat kembali kekayaan cultural masyarakat desa yang selama puluhan tahun coba diseragamkan. Tetapi, penting diingat, bahwa ini juga menjadi tantangan karena akan ada mekanisme penyelesaian secara adat yang belum tentu kompatibel dengan penyelesaian kebijakan yang berlaku saat ini.
Penutup Proses pembahasan UU No. 6 Tahun 2014 telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk mengundang sejumlah ilmuan administrasi negara. Para ahli yang diundang hanya sekadar memberikan masukan, karena sesuai karakternya suatu Undang-Undang disetujui bersama oleh Pemerintah (Presiden) dan DPR. Eksekutif dan legislatif inilah yang menentukan rumusan akhir Undang-Undang berisi 122 pasal itu. Tetapi pengakuan terhadap legislasi desa memberikan ruang bagi ilmuan administrasi negara untuk lebih banyak terlibat. Bagaimanapun masih ada bolong-bolong yang harus ditambal pada penyusunan teknis pelaksanaan, dan masih ada ruang yang harus diisi agar proses legislasi desa tetap berada pada koridor yang benar secara administratif dan hukum. Ilmuwan administrasi negara dan sarjana hukum administrasi negara perlu memastikan bahwa semua jenis peraturan desa yang dikeluarkan tidak menabrak larangan-larangan dalam pembuatan sebuah kebijakan. Pertama, legislasi desa tidak boleh menyebabkan terganggungnya kerukunan antarwarga masyarakat desa. Apalagi menyebabkan konflik dengan desa lain di sekitarnya. Kedua, legislasi desa tidak boleh menyebabkan terganggunya akses terhadap pelayanan publik. Ketiga, legislasi desa harus diusahakan untuk tidak mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Keempat, legislasi desa tidak boleh menyebabkan terganggunya
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
19
kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat desa. Kelima, legislasi desa tidak boleh mengatur hal-hal yang berbau diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender.
Referensi Asshiddiqie, Jimly. 2006. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Sekretaris Jenderal MKRI, Jakarta. Eko, Sutoro. 2013. Daerah Inklusif: Pembangunan, Demokrasi Lokal dan Kesejahteraan. IRE Yogyakarta. Lembaga Administrasi Negara. 2010. Pedoman Perumusan Kebijakan. Pusat Pengkajian Manajemen Kebijakan Deputi II Bidang Kajian Manajemen Kebijakan dan Pelayanan LAN, Jakarta. Islamy, M. Irfan, 2006. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara, Jakarta. Ratnawati, Tri. 2006. Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Wikantosa, Bito. 2015. ‗Catatan Terhadap Dokumen Naskah Anotasi Hukum UU Desa tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa‘, dalam FGD Pattiro Jakarta.
20
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Peranan Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Petrus Kase Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana, Kupang – Indonesia Telp : +62-82146486969 E-mail :
[email protected]
Abstrak: Sejalan dengan prinsip desentralisasi yaitu otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, maka pemerintah daerah berperan strategis untuk mensejahterakan masyarakat melalui upaya pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat di daerahnya. Untuk mencapai prinsip ini, maka pemerintah daerah harus profesional dalam menerapkan pendekatan berbasis tugas dan fungsi yaitu pelayanan publik, pembangunan fasilitas ekonomi dan perlindungan masyarakat. Meskipun pemerintah daerah telah berupaya untuk mensejahterakan masyarakat di daerahnya, faktor lingkungan strategis seperti politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan dan ketertiban sosial masih berpengaruh secara signifikan yang mendukung maupun menghambat.
Kategori : Ilmu Sosial Kata kunci: desentralisasi, peranan, pemerintah daerah, kesejahteraan, masyarakat
Pendahuluan Salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum. Tujuan negara ini merupakan mandat konstitusi yang harus dilaksanakan sehingga dapat tercipta kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan bangsa Indonesia. Tentu saja penanggung jawab dan penggerak utama untuk mencapai tujuan negara ini terletak pada pemerintah, sedangkan komponen bangsa dan Negara lainnya termasuk masyarakat merupakan komponen pendukung. Pemerintah seharusnya memainkan peranan sentral dalam upaya mencapai tujuan negara tersebut dengan mengfasilitasi berbagai kegiatan pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kesejashteraan umum. Kesejahteraan di sini dapat diartikan sebagai kondisi sejahtera yaitu suatu keadaan di mana segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan kesehatan dapat terpenuhi. Selain pengertian ini, analisis lainya mengartikan kesejahteraan sebagai sesuatu yang
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
21
berhubungan langsung dengan pendapatan dan konsumsi rumah tangga. Inti persoalannya terletak pada siapa yang menyediakan dan siapa yang tidak menyediakan pendapatan dan seberapa besar jumlah pendapatan yang harus diberikan. Jadi fokusnya terletak pada level konsumsi, suatu pendekatan yang lebih dikenal di Eropa dibandingkan dengan di Amerika (Mayer dan Jencks, 1989; dalam Sherraden, 2006). Di sini, kesejahteraan berkaitan dengan jaminan kesehatan, perumahan, bantuan keuangan langsung, pendidikan dan bidang kesejahteraan sosial lainnya yang penekanannya terletak pada tingkat barang yang dikonsumsi dan jasa yang disediakan. Dalam konsep ini, kemiskinan dan kesulitan diartikan sebagai tidak mencukupinya konsumsi dan solusinya adalah dengan menemukan satu atau dua cara yang bisa membuat konsumsi cukup (Miller dan Roby, 1970; dalam Sherraden, 2006). Berbeda dengan konsep kesejahteraan yang menekankan pada tingkat pendapatan dan konsumsi rumah tangga, asumsi lainnya menyatakan bahwa kesejahteraan manusia terdiri dari akses manusia terhadap aset. Teori kesejahteraan yang berbasis aset ini setidaknya memiliki dua prinsip utama. Pertama, teori ini harus dapat melihat kesejahteraan finansial keluarga sebagai proses jangka panjang dan dinamis, dan bukan sebagai posisi finansial selintas saja. Dinamika kualitas aset jangka panjang akan lebih baik dari pendapatan karena aset merefleksi akumulasi finansial sepanjang hidup. Kedua, teori ini akan menjadikan lebih banyak konsumsi masyarakat dan bahkan mungkin memakmurkan keluarga (Sherraden, 2006). Contohnya, menabung dan mengakumulasi jumlah kekayaan (Modigliani dan Brumberg, 1954; dalam Sherraden, 2006) akan sangat bermanfaat di masa depan. Kessler dan Masson (1987; dalam Sherraden, 2006) juga menggambarkan dua tipe aset finansial. Pertama, S-wealth, termasuk aset untuk konsumsi di masa depan dan biaya tak terduga. Keluarga kelas bawah dan menengah hampir secara eksklusif menganut tipe ini. Kedua, K-wealth, adalah jenis aset untuk keuntungan ekonomi, kekuasaan sosial, dan untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. K-wealth umumnya dikuasai oleh kelompok kelas atas. Masih terkait dengan konsep kesejahteraan, Nurcholis (2007) menjelaskan bahwa dalam rumusan umum, masyarakat sejahtera digambarkan sebagai masyarakat adil, makmur, sejahtera lahir dan bathin. Rumusan ini tentu sangat abstrak. Karena itu, beberapa ahli mencoba membuat ukuran kesejahteraan masyarakat dengan indikator-indikator yang dapat diukur secara obyektif. Indikator-indikator dimaksud misalnya, tingkat konsumsi rata-rata per tahun, tingkat kecukupan kebutuhan dasar (basic needs), dan tingkat pendapatan per tahun. Sayogyo dan Esmara (dalam Nurcholis, 2007) membuat klasifikasi golongan miskin di pedesaan berdasarkan jumlah beras yang dapat dibeli oleh satu orang per tahun. Jika pendapatan seseorang per tahun hanya dapat dipakai untuk membeli beras kurang dari 230 kilo gram maka orang tersebut tergolong miskin atau tidak sejahtera. Bank Dunia (dalam Nurcholis, 2007) menetapkan bahwa orang yang tinggal di perkotaan dengan pendapatan kurang dari US$125 (kurang lebih Rp. 1.250.000,00) dan yang tinggal di pedesaan dengan pendapatan kurang dari US$95 (kurang lebih Rp. 950.000,00) dinyatakan sebagai orang miskin atau tidak sejahtera. Berbeda dari kedua konsep di atas, Lastardjo (dalam Nurcholis, 2007) membuat ukuran tingkat kesejahteraan berdasarkan nilai atau rata-rata kebutuhan hidup minimum per kapita. Suatu daerah dinyatakan sejahtera jika pendapatan per kapitanya 200% lebih besar dari kebutuhan hidup minimum. Moris (dalam Nurcholis, 2007) menggunakan indeks kualitas fisik (physical quality of life index-PQLI). PQLI didasarkan pada indikator-indikator seperti harapan hidup pada umur 1 tahun, tingkat kematian bayi, dan tingkat melek huruf.
22
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Badan Koordinasi Kelurga Berencana Nasional (BKKBN) (dalam Nurcholis, 2007) juga membuat klasifikasi tingkat kesejahteraan menjadi pra sejahtera, sejahtera satu dan sejahtera dua. Uraian di atas menunjukan bahwa kesejahteraan ditentukan oleh besarnya aset yang dimiliki untuk modal masa depan, tingkat pendapatan dan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Berdasarkan konsep ini, seseorang dapat dikatakan sejahtera apabila ia memiliki sejumlah aset yang dapat dijadikan modal masa depan, memiliki tingkat pendapatan di atas garis kemiskinan dan terpenuhinya kebutuhan dasarnya. Sebaliknya, seseorang dapat dikatakan tidak/kurang sejahtera apabila ia tidak/kurang memiliki sejumlah aset untuk modal masa depan, tingkat pendapatan yang rendah dan tidak/kurang terpenuhinya kebutuhan dasarnya. Tercapainya kesejahteraan seseorang dapat menyebabkan orang itu hidup dalam kondisi layak. Sebaliknya, tidak/kurang tercapainya kesejahteraan seseorang dapat menyebabkan orang itu hidup dalam kondisi tidak/kurang layak. Kemiskinan jelasnya menjadi suatu hambatan besar bagi tercapainya kesejahteraan karena kemiskinan mengakibatkan banyak kebutuhan dasar manusia tidak/kurang terpenuhi. Angka kemiskinan yang tinggi di suatu negara menunjukan bahwa sebagian besar orang atau warga di Negara tersebut tidak/kurang sejahtera. Dengan demikian, agar kesejahteraan masyarakat tercapai maka kemiskinan harus terlebih dahulu ditanggulangi. Akan tetapi, dari titik mana harus dimulai dan siapa yang bertanggung jawab dalam penanggulangan kemiskinan merupakan suatu persoalan tersendiri. Kiranya dapat dikatakan bahwa penaggulangan kemiskinan harus dimulai dari daerah karena kebanyakan masyarakat daerah hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Di titik inilah, pemerintah daerah berkewajiban untuk berperan aktif menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Menurunnya angka kemiskinan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat daerah merupakan tolok ukur keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Di dalam prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah, secara jelas terlihat bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan suatu tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Prinsip-prinsip itu seperti tertulis di dalam penjelasan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah, pertama, prinsip otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Berdasarkan prinsip ini, daerah berwenang membuat kebijakan untuk memberi pelayanan, meningkatkan peran serta dan prakarasa, dan memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sejalan dengan prinsip pertama, dilaksanakan pula prinsip kedua yaitu prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi yang nyata bermakna bahwa pemerintah daerah berwenang untuk menangani urusan pemerintahan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang nyata telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sedangkan, prinsip otonomi yang betanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi yaitu untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah pun harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Berdasarkan prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah tersebut, jelaslah bahwa tujuan utama pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan ini tidak hanya merupakan suatu harapan yang ingin dicapai tetapi juga menjadi suatu tuntutan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mencapai harapan dan tuntutan tersebut, maka pemerintah daerah harus
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
23
bersikap dan bertindak profesional dan responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat melalui : (1) upaya-upaya pelayanan prima yang secara langsung dapat memenuhi kebutuhan masyarakat; dan (2) upayaupaya yang bersifat mengfasilitasi, dalam arti menyediakan berbagai macam fasilitas publik yang dapat diakses oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Akan tetapi, betapapun besarnya upaya pemerintah daerah untuk merespons, menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, faktor lingkungan strategis juga sering berpengaruh secara signifikan.
Metode Analisis Makalah ini menggunakan metode studi/analisis kepustakaan, di mana bahan deskripsi dan analisis bersumber dari buku, majalah dan dokumen lainnya yang relevan. Secara khusus, deskripsi dan analisis kepustakaan dalam makalah ini terfokus pada dua hal pokok yaitu : 1.
Bentuk-bentuk pendekatan yang digunakan pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.
Pengaruh lingkungan strategis terhadap pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Deskripsi dan analisis kepustakaan dalam makalah ini dilakukan melalui prosedur yaitu mengumpulkan
dan mengorganisasi bahan bacaan yang relevan, membaca bahan bacaan tersebut dan membuat catatan yang relevan, mendeskripsikan dan menganalisis data dan informasi yang relevan, dan akhirnya membuat interpretasi untuk menemukan makna dari data dan informasi yang relevan dengan kedua aspek kajian tersebut di atas.
Pembahasan 1. Pendekatan Berbasis Tugas dan Fungsi Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan yang harus dicapai dan tuntutan yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pencapaian tujuan dan tuntutan ini sepenuhnya menjadi tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab utama pemerintah daerah. Perwujudan tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk bersikap dan bertindak profesional dalam arti tidak hanya ahli, trampil dan disiplin tetapi juga proaktif, kreatif dan responsif dalam mengelola perubahan, potensi dan sumberdaya yang dimiliki daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sikap dan tindakan pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga pendekatan utama sesuai dengan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu pelayanan terhadap individu warga maupun publik, pembangunan fasilitas ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan perlindungan masyarakat.
Pelayanan Publik Pelayanan publik merupakan salah satu tugas dan fungsi utama pemerintah daerah, yang dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat tentu berharap bahwa pemerintah daerah akan selalu bersikap dan bertindak profesional dalam memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas kepada mereka sesuai dengan harapan dan kebutuhan mereka. Dengan demikian, pada gilirannya, mereka akan memperoleh atau menikmati kesejahteraan karena kebutuhan mereka dapat terpenuhi melalui pelayanan pemerintah daerah.
24
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Pemerintah daerah yang baik adalah pemerintah daerah yang profesional dalam merespons pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Istilah pelayanan publik memiliki beberapa arti. Menurut Sinambela et. al (2006) pelayanan publik adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Kurniawan (2005) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang telah ditetapkan. Nurcholis (2007) mengatakan bahwa pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh Negara dan perusahaan milik Negara (BUMN) kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Lembaga Administrasi Negara (LAN, 1998) mengartikan pelayanan umum sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintahan di pusat, daerah dan di lingkungan badan usaha milik Negara/daerah (BUMN/D) dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang diberikan oleh pelaksana pelayanan publik (Negara/pemerintah dan BUMN/D) untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. John Wilson (1993; dalam Nurcholis, 2007) mengemukakan bahwa pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk dalam sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN/D. Ketiga komponen yang menangani sektor publik tersebut menyediakan pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, keamanan dan ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran. Nurcholis (2007) menjelaskan bahwa sektor publik jelas berbeda dengan sektor privat. Karena itu, barang dan jasa publik jelasnya berbeda dengan barang dan jasa privat. Barang dan jasa publik adalah barang dan jasa yang dapat digunakan secara bersama oleh semua orang tanpa seorang pun dikecualikan dalam menggunakannya (non excluidable). Yang termasuk dalam barang-barang dan jasa publik adalah jalan raya, lampu penerangan jalan, jasa pendidikan, penyuluhan dan penjagaan kesehatan, imunisasi, penyuluhan pertanian, jasa pemadam kebakaran, jasa pertahanan Negara dan jasa keamanan. Barang dan jasa ini disediakan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sebaliknya, barang dan jasa privat adalah barang dan jasa kebutuhan perorangan seperti pakaian, sepatu, arloji, rumah, sepeda motor, televisi, dan mobil pribadi. Barang-barang tersebut disediakan oleh badan privat atau lembaga milik swasta. Misalnya, Perseroan Terbatas (PT) Sony memproduksi televisi Sony, PT. Bata memproduksi sepatu Bata dan sebagainya. Selain itu, ada juga barang dan jasa yang posisinya di tengah-tengah antara sektor publik dan sektor privat seperti air minum, listrik, angkutan umum, telepon, bahan bakar, jasa siaran berita, dan jasa pengiriman pos. Barang-barang dan jasa ini disediakan oleh lembaga semi privat atau semi publik yaitu lembaga ekonomi milik Negara atau daerah yang disebut BUMN/D. Misalnya, PT Telkom, PT Kereta Api Indonesia, PT Pos Indonesia, perusahaan daerah air minum (PDAM), Bank Pembangunan Daerah, televisi daerah atau radio pemerintah daerah dan sebagainya. BUMN/D adalah lembaga ekonomi yang bekerja atas prinsip-prinsip perusahaan swasta namun sahamnya sebagian dikuasai oleh Negara. Lembaga ini tidak semata-mata didirikan untuk mencari untung sebanyak-banyaknya tetapi utamanya untuk memenuhi dan menjamin kebutuhan publik secara berkesinambungan dan wajar.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
25
Sebenarnya lembaga ini menjalankan dua misi yaitu memenuhi kebutuhan publik secara terus menerus dalam kondisi apapun, baru setelah itu mencari untung. Lebih jauh, Nurcholis (2007) menjelaskan perbedaan ciri-ciri barang dan jasa yang termasuk sektor publik, sektor privat dan semi publik atau semi privat yaitu : 1.
2.
Barang dan jasa yang termasuk dalam sektor privat : a.
Disediakan oleh lembaga privat/swasta;
b.
Perusahaan yang memproduksi bertujuan untuk mencari untung;
c.
Hanya orang yang bisa membayar yang mendapatkannya.
Barang dan jasa yang termasuk dalam sektor publik : a.
Disediakan oleh Negara;
b.
Negara harus menyediakan barang tersebut tanpa dikaitkan dengan kondisi dan atau latar belakang publik seperti aspirasi, politik, agama, suku, sosial budaya dan etnisitas;
c.
Semua orang harus dapat memanfaatkan barang tersebut tanpa kecuali dan tanpa membayar secara langsung.
3.
Barang dan jasa yang termasuk antara sektor privat dan sektor publik : a.
Disediakan oleh BUMN/D dengan penugasan oleh Negara;
b.
Barang tersebut merupakan kebutuhan dasar, kebutuhan hayat hidup orang banyak;
c.
Orang yang memanfaatkan harus membeli dengan harga terjangkau;
d.
Disediakan secara terus menerus dalam kondisi apapun. Dalam rangka memberikan pelayanan publik yang baik dan berkualitas, pemerintah daerah harus
menyediakan barang dan jasa publik yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penyediaan barang dan jasa publik tentu harus berpijak pada prinsip pelayanan prima yaitu pelayanan yang sesuai dengan nilai-nilai, standar, harapan dan kepentingan masyarakat. Apabila kriteria-kriteria ini dapat dipenuhi dengan baik, maka pelayanan publik akan selalu memuaskan masyarakat yang bersangkutan. Jenis barang dan jasa publik yang dibutuhkan masyarakat dan harus disediakan oleh pemerintah daerah tentu berbeda-beda sesuai dengan potensi, kondisi, aspirasi dan kebutuhan dari daerah masing-masing. Akan tetapi, secara umum, jenis barang dan jasa publik yang dibutuhkan dan harus disediakan oleh pemerintah daerah antara lain : lampu penerangan jalan, lampu suar, lampu pengatur lalulintas, jalan raya, taman kota, trotoar, patroli keamanan, siaran berita oleh Radio republik Indonesia/Televisi Republik Indonesia (RRI/TVRI), imunisasi, bendungan, pintu air, saluran irigasi, pemadam kebakaran, penjagaan serangan dari luar, dan perlindungan dari kejahatan dan lapangan umum, serta pelayanan umum seperti pemberian kartu tanda penduduk (KTP), ijin mendirikan bangunan (IMB), surat ijin mengemudi (SIM), sertifikat tanah, surat keterangan, izin dan surat-surat keterangan lainnya.
26
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Terdapat pula jasa publik, di mana masyarakat yang memanfaatkanya harus membayar dengan biaya tertentu dengan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah. Jasa-jasa publik tersebut adalah layanan pembuatan KTP/SIM, sertifikat tanah, pencatatan perkawinan, surat keterangan jalan, pembuatan paspor, pemeriksaan kesehatan di Puskesmas dan rumah sakit umum, mengikuti pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi, penggunaan taman parkir, penggunaan terminal/pelabuhan dan Bandar udara/pasar, pelayanan pos, pemberian izin, penyediaan air bersih, aliran listrik, sambungan telepon, angkutan umum dan bahan bakar. Barang dan jasa publik dapat pula dikelompokan atas bidang-bidang. Nurcholis (2007) menggambarkan pengelompokan tersebut sebagai berikut : (1) pendidikan; (2) kesehatan; (3) keagamaan; (4) lingkungan yang terdiri atas : penataan lingkungan kumuh (mandi cuci kakus, hydrant umum, jalan-jalan setapak, gang-gang sempit), tata kota/tata bangunan, taman, kebersihan, kesehatan lingkungan (polusi, penyakit menular, penyakit yang ditularkan melalui binatang flu burung, malaria, pes), saluran limbah, persampahan, penerangan jalan, kanal pengendali banjir, pemeliharaan sungai; (5) rekreasi yang terdiri atas : sport centre / gelanggang remaja, teater, museum, galeri, camp sites, cagar budaya, pengembangan potensi wisata kota, turisme; (6) sosial/pengurusan orang-orang yang menyandang masalah sosial seperti : orang terlantar, anak yatim/piatu, orang jompo, orang cacat (daksa, rungu dan mental), anak jalanan dan atau korban narkoba; (7) perumahan; (8) pemakaman/crematorium; (9) registrasi penduduk (kelahiran, kematian dan perkawinan); (10) air minum; (11) legalitas hukum (KTP, paspor, sertifikat tanah, IMB, surat kepemilikan, surat keterangan, surat izin, surat kelakuan baik). Pelayanan publik tersebut dapat diberikan kepada masyarakat secara perorangan maupun khalayak/publik. Pelayanan untuk perorangan misalnya pemberian KTP, SIM, IMB, sertifikat tanah, paspor, surat izin, dan surat keterangan. Dalam pelayanan ini, pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan dengan biaya murah, cepat, baik dan adil. Pelayanan untuk khalayak/publik mencakup pembuatan lapangan sepakbola, taman kota, hutan lindung, trotoar, waduk, taman nasional, penerangan jalan, rambu lalulintas, panti yatim piatu/jompo/cacat/miskin, tempat pedagang kaki lima dan lain-lain.
Pembangunan Fasilitas Ekonomi Membangun fasilitas ekonomi daerah juga merupakan salah satu tugas dan fungsi utama pemerintah daerah. Membangun fasilitas ekonomi sebagai sarana publik untuk menumbuhkan perekonomian daerah merupakan suatu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sama halnya dengan aspek pelayanan publik, masyarakat tentu berharap agar pemerintah daerah selalu bersikap dan bertindak professional dalam menyediakan fasilitas ekonomi sehingga mereka dapat memanfaatkan fasilitas tersebut untuk melaksanakan berbagai macam aktivitas perekonomian. Pemerintah daerah yang baik adalah pemerintah daerah yang profesional dalam merespons kebutuhan dan kepentingan masyarakat akan tersedianya fasilitas perekonomian daerah. Terdapat berbagai jenis fasilitas perekonomian daerah yang dapat disediakan oleh pemerintah daerah. Fasilitas ekonomi yang dimaksud adalah pasar, taman parkir, jalan raya, jembatan, pelabuhan, pergudangan, bendungan, irigasi teknis, pintu-pintu air, waduk, pembangkit listrik tenaga air/gas/uap (PLTA/G/U), bursa tenaga kerja, bursa komoditi, informasi pasar, kredit usaha, fasilitas ekspor dan lain-lain. Selain
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
27
ketersediaannya, masyarakat biasanya berharap bahwa fasilitas-fasilitas itu memiliki kondisi yang berkualitas baik sehingga memudahkan masyarakat dalam memanfaatkannya dan
mengembangkan usaha dan
meningkatkan pendapatannya. Untuk itu, pemerintah daerah selain membangun, juga harus memelihara fasilitas-fasilitas itu agar kondisinya baik, bersih, lengkap, terawat dan strategis, memberi prospek pengembangan dan harganya terjangkau sesuai dengan tuntutan perkembangan. Fasilitas ekonomi daerah dapat pula dikelompokan atas bidang-bidang kegiatan. Nurcholis (2007) menggambarkan pengelompokan tersebut sebagai berikut : 1.
Menyiapkan prasarana yang mendukung kegiatan perekonomian seperti pasar, gudang, jalan, komunikasi, trotoar, road safety, marka jalan, terminal, pelabuhan dan atau dermaga, parkir, sistem transportasi (perencanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan transportasi umum), waduk dan atau pintu-pintu air/saluran irigasi.
2.
Mengatur urusan-urusan perizinan, menentukan peruntukan lahan, membantu perkreditan, pengadaan dan penyiapan lahan untuk kepentingan prasarana umum, perlindungan konsumen dan peningkatan mutu produksi.
3.
Mengatur pedagang kaki lima, pengaturan dan peningkatan sektor informal dan indusri kecil, pemberian dan pengembangan ketrampilan, dan membentuk job centre sebagai bursa tenaga kerja.
4.
Menggalakkan gerakan swadaya masyarakat dalam pembangunan melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM), koperasi, dan sukarelawan. Pembangunan fasilitas perekonomian daerah akan memberikan sejumlah manfaat kepada masyarakat
dan pemerintah daerah itu sendiri. Secara umum, pembangunan fasilitas ekonomi daerah akan memperlancar kegiatan ekonomi masyarakat di daerah. Pada gilirannya, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat daerah yang bersangkutan akan meningkat. Misalnya, dengan adanya pasar, pemasaran hasil-hasil produk masyarakat akan lebih mudah sehingga pendapatan masyarakat juga akan meningkat. Dengan pembangunan jalan raya, lalulintas barang dan jasa dari desa ke kota atau sebaliknya menjadi lancar sehingga transaksi perdagangan meningkat. Dengan pembangunan pelabuhan, lalulintas barang baik ekspor impor maupun antar pulau menjadi lancar. Dengan pembangunan waduk, pintu air dan irigasi maka sawah tadah hujan bisa digarap sepanjang musim karena pengairannya dapat diatur secara teknis. Semua ini berdampak pada peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Jika masyarakat sejahtera maka pendapatan pemerintah daerah juga meningkat karena pemerintah daerah akan mendapatkan pemasukan dari pajak, retribusi, sumbangan dan jasa lainnya dari masyarakat yang makin luas dan meningkat. Karena itu, pemerintah daerah harus aktif melakukan pembangunan sarana dan fasilitas ekonomi ini.
Perlindungan Masyarakat Memberikan perlindungan kepada masyarakat juga merupakan salah satu tugas dan fungsi utama pemerintah daerah. Perlindungan kepada masyarakat adalah upaya untuk menciptakan ketertiban, ketentraman dan keamanan pada masyarakat. Fungsi ini adalah fungsi yang paling dasar dari pemerintahan karena ia merupakan prasyarat bagi jalannya kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Sama halnya dengan aspek pelayanan publik dan pembangunan fasilitas ekonomi daerah, masyarakat tentu berharap agar
28
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
pemerintah daerah selalu bersikap dan bertindak responsif dan profesional dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat. Pemerintah daerah yang baik adalah pemerintah daerah yang profesional dalam merespons kebutuhan masyarakat akan ketertiban, ketentraman dan keamanan. Nurcholis (2007) membuat perincian mengenai fungsi perlindungan masyarakat atas bidang-bidang kegiatan antara lain : 1.
Menciptakan keamanan, ketertiban dan ketentraman yang dilaksanakan oleh aparat kepolisian, polisi pamong praja dan tentara;
2.
Memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari tindak kejahatan;
3.
Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari bencana alam seperti banjir, tanah longsor, badai, gempa bumi dan lain-lain;
4.
Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari bahaya kebakaran. Pemerintah daerah wajib menciptakan rasa aman, tentram dan tertib di daerahnya. Hal ini penting
karena masyarakat sangat membutuhkan suasana kehidupan yang tertib, aman dan tentram dalam melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara normal. Kerusuhan, pembunuhan, pencurian, perampokan, pembakaran rumah dan pengrusakan membuat kehidupan masyarakat tidak normal, yang pada gilirannya membuat mereka makin sengsara. Masyarakat juga membutuhkan aparat yang benar-benar trampil dan mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat. Karena itu, aparat keamanan dituntut untuk profesional, bermental melayani, membantu dan mendidik masyarakat. Selain dibutuhkan sarana dan teknologi yang memadai untuk melaksanakan tugas dan fungsi perlindungan masyarakat, aparat keamanan juga dituntut untuk bersikap dan bertindak responsif terhadap masalah ketentraman dan ketertiban sehingga suasana ketentraman dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat di daerah benar-benar terwujud secara handal dan tidak semu. Suasana ketentraman dan ketertiban yang handal dan tidak semu pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengaruh Lingkungan Strategis Penyelenggaraan tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab pemerintahan, pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah selama ini tidak pernah vakum dari pengaruh lingkungan strategisnya. Lingkungan strategis yang dimaksud terdiri dari faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan dan keamanan. Dalam tulisan ini, lingkungan strategis yang dianggap berpengaruh secara signifikan terhadap pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibatasi pada faktor politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan sosial. Faktor-faktor lingkungan strategis tersebut dibahas secara berturut-turut di bawah ini.
Lingkungan Politik Lingkungan politik mempunyai pengaruh yang nyata terhadap keberhasilan dan kegagalan pemerintah daerah melalui peluang dan ancaman politik yang ditimbulkannya. Dalam menjalankan tugas dan fungsi utamanya yaitu pelayanan publik, pembangunan fasilitas ekonomi dan perlindungan masyarakat, pemerintah daerah tidak akan pernah terlepas dari pengaruh lingkungan politik. Aspek-aspek politik yang dapat
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
29
menimbulkan peluang dan ancaman bagi pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan fungsi utamanya dapat berupa situasi politik, peran lembaga politik dan peran pemerintah pusat. Situasi politik dalam negeri merupakan suatu aspek penting yang berpengaruh terhadap jalannya kegiatan pemerintah daerah. Situasi politik yang stabil dapat memberi rasa aman, tentram sekaligus peluang, namun sebaliknya, ketidakstabilan politik jelasnya dapat menimbulkan ancaman bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas dan fungsi utamanya. Kerusuhan, konflik suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang terjadi di beberapa daerah, demonstrasi yang disertai dengan kekacauan dan pengrusakan fasilitas umum, ancaman teror dan tuntutan politik terkait pergantian rezim pemerintahan dapat menimbulkan ketidakstabilan politik dan ancaman riil yang dapat menghambat pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam rangka menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain situasi politik dalam negeri, peran lembaga-lembaga politik juga merupakan suatu aspek penting yang berpengaruh terhadap jalannya berbagai kegiatan dan program pemerintah daerah. Pada umumnya, lembaga-lembaga politik di Negara sedang berkembang seperti partai politik, serikat buruh, serikat petani, organisasi profesi, organisasi keagamaan, asosiasi bisnis, lembaga konsumen dan sebagainya belum berkembang dan mandiri, kecuali lembaga pers, LSM dan lembaga kemahasiswaan. Hal ini berakibat adanya kecendrungan bertindak kurang profesional dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya. Seringkali mereka tidak mengindahkan kepentingan ekonomis tetapi sepenuhnya dilandasi oleh kepentingan politik. Apabila hal ini berlangsung secara terus menerus maka akan mengancam dan menghambat perencanaan dan pelaksanaan program pemerintahan dan pembangunan di daerah. Peranan pemerintah pusat juga merupakan suatu aspek penting yang berpengaruh terhadap jalannya berbagai kegiatan dan program pemerintah daerah. Pemerintah pusat memiliki kedudukan yang kuat secara ekonomis dan politik. Selain memiliki sumber dana terbesar bagi pembangunan daerah, khususnya daerahdaerah yang pendapatan asli daerahnya (PAD) kecil, pemerintah pusat juga memiliki kewenangan untuk menentukan tinggi rendahnya Dana Alokasi Umum (DAU) untuk setiap daerah dan menetapkan skala prioritas pembangunan. Pemerintah pusat memiliki keabsahan untuk melakukan intervensi kebijakan dan program pemerintahan dan pembangunan daerah. Pemerintah pusat muncul sebagai suatu kekuatan yang besar. Pemerintah daerah seharusnya menjalin komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan pemerintah pusat. Pemerintah daerah harus menumbuhkan pengertian dan tidak menempatkan diri pada posisi yang berlawanan. Kekuatan pemerintah pusat terlalu besar untuk ditandingi. Kebanyakan daerah memiliki ketergantungan ekonomi dan politik yang besar pada pemerintah pusat. Karena itu, walaupun pemerintah daerah memiliki kebijakan dan program yang bagus, seringkali mereka mengalami kekurangan dana dan dukungan politik dalam pelayanan publik dan pembangunan fasilitas ekonomi di daerahnya.
Lingkungan Ekonomi Selain lingkungan politik, lingkungan ekonomi juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap keberhasilan dan kegagalan pemerintah daerah melalui peluang dan ancaman finansial yang ditimbulkannya. Dalam menjalankan tugas dan fungsi utamanya yaitu pelayanan publik, pembangunan fasilitas ekonomi dan perlindungan masyarakat, pemerintah daerah tidak akan pernah terlepas dari pengaruh lingkungan ekonomi.
30
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Aspek-aspek ekonomi yang dapat menimbulkan peluang dan ancaman bagi pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan fungsi utamanya dapat berupa resesi ekonomi nasional, lembaga keuangan dan inflasi. Ekonomi nasional dapat mengalami resesi. Apabila pemerintah pusat mengalami resesi ekonomi, kemungkinan sumber dana yang tersedia berkurang. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap alokasi dana bagi kegiatan pemerintahan dan pembangunan baik dalam skala nasional maupun daerah. Bahkan kegiatan-kegiatan ini akan dikurangi volumenya atau sebagiannya tidak dapat dilaksanakan. Resesi ekonomi ini juga akan berpengaruh terhadap kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah. Pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan di daerah karena alokasi dana dari pemerintah pusat untuk daerah terbatas. Lemahnya lembaga keuangan juga dapat menyebabkan sulitnya melakukan mobilisasi dana. Kalau dapat dilakukan, itupun harus dibayar dengan tingkat biaya modal yang tinggi. Hal ini akan lebih parah lagi kalau inflasi tinggi maka biaya transaksi juga tinggi. Kondisi lembaga keuangan seperti ini jelasnya tidak mungkin dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dalam bentuk pinjaman pembangunan. Apabila dilakukan, beban keuangan pemerintah daerah akan meningkat, yang pada gilirannya akan merugikan daerah yang bersangkutan. Apabila tidak dilakukan, maka beban keuangan pemerintah daerah berkurang tetapi pembangunan daerah tidak dapat dilaksanakan. Sulitnya mobilisasi dana dari lembaga keuangan untuk pemerintah daerah akan menyebabkan terbatasnya keuangan daerah. Terbatasnya keuangan daerah, pada gilirannya, akan menghambat kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah. Tingginya inflasi akan berakibat pada meningkatnya harga barang dan jasa.
Akibatnya biaya
pembangunan sarana dan prasarana ekonomi dan lainnya di daerah juga meningkat. Pemerintah daerah dapat melakukan pembangunan jika ia berani melakukan spekulasi harga barang dan jasa tetapi hal ini akan mengarah pada tindakan korupsi dan rendahnya kualitas pembangunan. Sementara itu, korupsi dan kualitas pembangunan yang rendah biasanya bertentangan dengan harapan masyarakat. Hal lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah agar terhindar dari tindakan korupsi dan rendahnya kualitas pembangunan adalah melakukan pembangunan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan keuangan.
Lingkungan Sosial Budaya Selain lingkungan politik dan ekonomi, lingkungan sosial budaya juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap keberhasilan dan kegagalan pemerintah daerah melalui peluang dan ancaman sosial budaya yang ditimbulkannya. Dalam menjalankan tugas dan fungsi utamanya yaitu pelayanan publik, pembangunan fasilitas ekonomi dan perlindungan masyarakat, pemerintah daerah tidak akan pernah terlepas dari pengaruh lingkungan sosial budaya. Lingkungan sosial budaya berkaitan erat dengan unsur keunikan dan kelokalan yang ada dalam masyarakat daerah yang bersangkutan. Keunikan dan kelokalan sosial budaya yang dimiliki masyarakat daerah yang dapat menimbulkan peluang dan ancaman bagi pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan fungsi utamanya dapat berupa struktur dan dinamika sosial, dan agama. Struktur sosial di kebanyakan daerah bersifat vertikal dan berjenjang. Interaksi sosial bersifat otoriter. Hubungan yang vertikal ini juga ditandai oleh adanya hubungan paternalistik, sangat formal dan terkesan kurang luwes. Akibatnya proses pengambilan keputusan berjalan searah, otokratik dan tertutup. Kolektivisme dan loyalitas menjadi amat penting. Di samping itu, peran keluarga, etnis, ras, agama dan wilayah keasalan juga
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
31
menjadi faktor penentu pembentukan status dan struktur sosial. Struktur sosial yang vertikal, kaku dan tertutup yang banyak ditemui di banyak daerah dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan, perencanaan dan pembangunan daerah. Pemerintah daerah hendaknya mengindahkan faktor-faktor pembentuk struktur sosial sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman interaksi sosial dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan dan pembangunan daerah. Agama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan perilaku pemeluknya. Agama juga membantu membentuk persepsi manusia tentang struktur dan dinamika sosial, serta pandangan tentang manusia dan kealaman. Agama mengatur soal makan dan minum sampai pada soal hubungan pemimpin dan yang dipimpin. Akibatnya agama juga berfungsi sebagai salah satu determinan keabsahan politik, khususnya legitimasi kekuasaan. Lembaga agama berperan sebagai salah satu aktor politik penting di daerah-daerah tertentu. Agama dapat menjadi pendorong terbinanya moral, keteladanan dan kejujuran. Sebaliknya, agama bisa menjadi sumber konflik apabila perbedaan agama ditonjolkan. Karena itu, birokrasi pemerintah daerah hendaknya menjadikan agama sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan tentang masalah pemerintahan dan pembangunan daerah.
Keamanan dan Ketertiban Sosial Keamanan dan ketertiban sosial merupakan sesuatu yang esensil dalam kehidupan masyarakat. Dengan meningkatnya budaya, adanya milik pribadi dan keluarga, masalah keamanan dan ketertiban semakin diperlukan untuk memelihara hubungan antar warga dan antara kelompok, dan mengatasi setiap gangguan penggunaan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap warga atau kelompok. Gangguan terhadap keamanan sosial menyangkut gangguan terhadap kepentingan warga baik secara individu maupun kelompok. Gangguan terhadap keamanan tidak hanya bersifat material tetapi juga immaterial dan kerohanian, baik datang dari dalam maupun dari luar. Keamanan dan ketertiban masyarakat dapat tercipta apabila setiap anggota masyarakat hidup mengikuti dan berbuat sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan terjadinya kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, sifat-sifat hubungan antar warga dan antar kelompok mulai menyimpang dari norma dan nilai-nilai yang ada. Penyimpangan ini tentunya akan mengancam hubungan yang harmonis antar warga dan antar kelompok dalam masyarakat. Karena itu, perlu adanya pengawasan agar orang berperilaku sesuai dengan atau tidak menyimpang dari norma dan nilai yang berlaku. Pengawasan itu tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat sebagai bagian penting dalam budaya bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, ancaman terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat tentu selalu terjadi. Kerusuhan, perampokan, pencurian, pemerkosaan, konflik SARA dan lain-lain merupakan contoh-contoh kasus yang selalu muncul di daerah. Dalam menghadapi masalah-masalah ini, tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah daerah melalui aparat keamanan.
Penutup Penyelenggaraan otonomi daerah pada prinsipnya bertujuan untuk menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara konseptual, kesejahteraan merupakan suatu kondisi di mana segala bentuk kebutuhan hidup manusia termasuk kebutuhan dasar dapat terpenuhi. Dalam pelaksanaan otonomi daerah,
32
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
kesejahteraan masyarakat tidak hanya merupakan tujuan yang ingin dicapai tetapi juga menjadi tuntutan yang harus dipenuhi melalui pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah.
Dalam rangka merespons tujuan dan tuntutan akan penciptaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka pemerintah daerah dapat melakukan tiga pendekatan yaitu pelayanan publik, pembangunan fasilitas ekonomi dan perlindungan masyarakat. Perwujudan dari ketiga pendekatan ini bukanlah hal yang mudah karena faktor lingkungan strategis eksternal seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan sering sangat kuat berpengaruh. Karena itu, pemerintah daerah perlu bersikap dan bertindak profesional dan responsif agar mampu memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman yang timbul dari lingkungan strategisnya sehingga pelaksanaan tugas dan fungsi utamanya dapat berjalan secara efisien dan efektif. Pada gilirannya, pemerintah daerah akan mampu menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
REFERENSI Bratakusumah, D. S., & Solihin, D. (2001). Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Kaho, J. R. (2005). Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia : Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Kuncoro, M. (). Otonommi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta : Penerbit Erlangga. Kurniawan, A. (2005). Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta : Pembaruan. Mubyarto. (2001). Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia. Yogyakarta : BPFE – Yogyakarta. Muhamad, S. (2004). Manajemen Strategik : Konsep dan Kasus. Yogyakarta : Akademi Manajemen Perusahaan YKPN. Nurcholis, H. (2007). Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta : Penerbit PT Grasindo. Pamudji, S. (1989). Ekologi Administrasi Negara. Jakarta : Penerbit Bina Aksara. Sherraden, M. (2006). Aset Untuk Orang Miskin : Perspektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan. Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Sinambela, L. P., et al. (2006). Reformasi Pelayanan Publik : Teori, Kebijakan dan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
33
Implementasi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Sitanggang, H. (1997). Ekologi Pemerintahan. Jakarta : Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Suradinata, E. (1998). Administrasi Lingkungan dan Ekologi Pemerintahan dalam Pembangunan. Bandung: Penerbit Ramadhan Citra Grafika. Syafrudin, A. (2006). Kapita Selekta : Hakekat Otonomi dan Desentralisasi Dalam Pembangunan Daerah. Yogyakarta : Penerbit Citra Media. Triputro, R.W., & Supardal. (2005). Pembaharuan Otonomi Daerah. Yogyakarta : APMD Press. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
34
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Menentukan Pemimpin Daerah yang Berintegritas
Devie S. R. Siwij Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado
A. Pendahuluan Menjelang digulirkanya Pilkada serentak di Seluruh Indonesia, segenap bangsa ini dibuat terperangah dengan munculnya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang membolehkan narapidana untuk bisa mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah dengan demikian Pasal 7 huruf g UU 8 tahun 2015 menentukan bahwa calon kepala daerah adalah yang tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Namun menurut MK ketentuan tersebut merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan, yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu. Ketika Pasal 7 huruf g UU nomor 8 tahun 2015 menentukan bahwa calon kepala daerah harus memenuhi persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, maka sama artinya seseorang yang pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah. Hal ini, menurut MK, sebangun dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP yang menyebut bahwa terpidana dapat dicabut hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. Perbedaannya adalah, jika hak dipilih sebagai kepala daerah yang dicabut berdasarkan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 dilakukan oleh pembentuk undang-undang, sedangkan hak-hak dipilih yang dicabut dari terpidana berdasarkan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP dilakukan dengan putusan hakim. Menurut MK, pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan. Undang-Undang tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-pembatasan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sementara dalam pembukaan UUD 1945 antara lain menegaskan bahwa dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indoensia. Pembukaan UUD 1945 tersebut tidaklah membedakan bangsa Indonesia yang mana dan tentunya termasuk melindungi hak mantan narapidana. Keputusan ini menujukan bahwa adalah kewajiban Negara untuk mejunjung tiggi Hak asasi Manusia. Namun di sisi lain demi hak asasi manusia pula, PNS dan anggota TNI Polri dilarang mencalonkan diri
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
35
mencalonkan diri mejadi kepala daerah, kecuali memumdurkan diri dari statusnya, hal ini final dan tanpa syarat yang lebih manusiawi, sesuai dengan kemungkinan-kemungkina yang bias saja terjadi pasca Pilkada. Dispensasi bagi narapidana untuk dapat ikut Pilkada bukanlah putusan yang kebablasan dalam persepektif hukum. Dari amar putusan tersebut dapat dijelaskan bahwa Mahkama Konstitusi telah mempertimbangkan aspek sosiologisnya. Hal ini tercermin dari penjelasan keputusan yang menyatakan bahwa mantan nara pidana tersebut harus mengumumkan secara terbuka bahwa pernah menjadi terpidana. Setelah mengumumkan pernah menjadi terpidana, maka berpulang ke masyarakat untuk memilih dia atau tidak. Boleh dikatakan baghwa masyarakat diharuskan untuk bertanggung jawab atas keputusan yang diambil MK ini. Dengan pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana yang telah diketahui oleh masyarakat umum (not oir feiten) tersebut maka terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan narapidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut Keputusan MK tersebut telah membangun sistem kepemimpinan yang benar-benar lahir dari rakyat. Rakyat tidak hanya memilih kepala daerah dengan memberikan suaranya di bilik suara, tetapi masyarakat juga harus melahirkan pemimpin yang dikandung dari masyarakat yang memiliki integritas pribadi sebagai pemimpin. Dilepasnya tanggung jawab kepada masyarakat untuk memilih pemimpin seharusnya berbanding lurus dengan kedewasaan masyarakat sebagai warga Negara yang menjadi bagian integral dari politik negara. Dengan kata lain bahwa keputusan MK mewajibkan masyarakat harus dewasa sekarang. Dengan demikian Pilkada akan menjadi wadah untuk menentukan pemimpin yang berintergritas secara periodik guna membawa daerah untuk mampu eksis di era globaisasi.
B. Konsep Kepemimpinan Kepemimpinan berkaitan dengan penanganan perubahan, menetapkan arah dengan menyusun satu visi masa depan kemudian menyatukan, mengkomunikasikan dan mengilhami orang dalam organisasi untuk mencapai tujuan. Kemampuan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat dilakukan dengan mudah, apabila seseorang itu tidak memiliki bakat lahir, keahlian maupun referensi dari tindakan di masa lalunya di bidang kepemimpinan. Menurut Pavlop Kepemimpinan memainkan peran penting dalam pelaksanaan perubahan yang melibatkan dua aspek penting, yaitu perubahan dan orang “change and people”. Mengubah organisasi sesusungguhnya adalah berkenaan dengan merubah perilaku orang, sehingga organisasi dalam melaksanakan perubahan membutuhkan Pemimpin, yang dapat membantu menyebar dan mempertahankan nilai-nilai baru yang diperlukan untuk reformasi sektor publik. Tetapi mengelola dan memimpin adalah dua fungsi yang berbeda yang memerlukan sejumlah keterampilan yang berbeda, yang saling melengkapi, tidak dapat dipisahkan (Pavlop et all, 2001). Oleh karena itu tentu diperlukan pencermatan bagi seorang pemimpin dalam menyikapi perubahan, lebih-lebih pada era gloablisasi dan dimensi perubahan lingkungan saat ini, yang tidak mudah diprediksi. Berbagai teori dan gaya kepemimpinan dapat dipilih disesuaikan dengan kondisi dan situasi, serta bakat yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Bambale (2011) menyampaikan dalam tulisannya, bahwa paradigma kepemimpinan modern ditelesuri dari ―Organizational Citizenship Behaviors” (OCBS), kepemimpinan terbagi dalam 8 teori kepemimpinan yaitu
36
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
1) Kepemimpinan adaptif melibatkan para pemimpin untuk menyusun visi masa depan dan mengilhami orang lain untuk menerima perubahan dan menjadi peserta dalam perjalanan ke depan, dengan ciri; kompeten di bidangnya, objektif dalam menangani keputusan dan masalah; reflektif dalam melihat sikap dan perilaku sendiri; dapat dipercaya dalam menangani kepentingan lain; inovatif dalam mengejar kinerja yang lebih baik; kegiatan yang efisien; berpikiran terbuka dalam mempertimbangkan informasi yang relevan dan perspektif. 2) Model Kepemimpinan Tersebar. Model baru kepemimpinan tersebar mempromosikan pembagian kekuasaan antara pemimpin dan pengikut (Gordon, 2002). Kepemimpinan ini memiliki ciri
intuitif dalam
mempertimbangkan tacit pengetahuan dan pengalaman; memiliki karakter dengan menunjukkan teladan moral dan nilai-nilai; memiliki inisiatif dan bersedia untuk mengambil tindakan; dan memiliki keberanian untuk mengambil sikap prinsip. Kepemimpinan otentik (sejati), merupakan model yang ketiga, pemimpin sejati adalah individu yang sangat menyadari bagaimana mereka berpikir, berperilaku dan dirasakan oleh orang lain sebagaimana menyadari diri mereka sendiri dan moral perspektif orang lain, pengetahuan dan kekuatan (Avolio, Luthans, & Walumbwa, 2004). Model keempat Kepemimpinan Hormat. Dalam usaha mereka untuk menempatkan kepemimpinan hormat dalam perspektif yang jelas, pelopor penulis van Quaquebeke dan Eckloff, (2010) mendefinisikan kepemimpinan hormat dengan mengidentifikasi aspek perilaku atau sikap dari responden penelitian mereka. Kategori perilaku atau sikap adalah: percaya, menganugerahkan tanggung jawab, mempertimbangkan kebutuhan, menjaga jarak, menghargai, pemberian otonomi, mengakui kesetaraan, mempromosikan pengembangan kritik secara terbuka, menerima kritik, menggali potensi, mencari partisipasi, dapat diandalkan, menjadi perhatian, mendukung, dan berinteraksi ramah. Kelima, Kepemimpinan Rohani, organisasi peneliti telah mulai mengeksplorasi spiritualitas di tempat kerja dan kepemimpinan rohani setelah beberapa dekade mengisolasi spiritualitas sebagai wilayah ide esoteris tidak berwujud dan emosi (merampok, 2005), seseorang dalam posisi kepemimpinan mewujudkan nilai-nilai spiritual seperti integritas, kejujuran, dan kerendahan hati, menciptakan diri sebagai contoh seseorang yang dapat dipercaya, diandalkan, dan dikagumi. Selanjutnya teori Kepemimpinan transenden, Kepemimpinan tingkat 5 dan kepemimpinan terbuka adalah paradigama ke enam, tujuh dan delapan. Kepemimpinan Transenden adalah berngkat dari analisis kepemimpinan tradisional yang sebagian besar difokuskan pada hubungan individu secara dyadik, dari teori kepemimpinan yang sebagian besar terlihat pada kepemimpinan sebagai domain perilaku organisasi yang penekannanya pada perspektif yang berorientasi mikro (Waldman, Javidan, & Varella, 2004). Seorang pemimpin transenden adalah pemimimpin yang strategis memimpin dalam dan antara tingkat diri sendiri, orang lain, dan organisasi. Pemimpin memiliki ciri kemampuan pemimpin untuk mengantisipasi, memimpikan, mempertahankan fleksibilitas, berpikir strategis, dan bekerja dengan orang lain untuk memulai perubahan yang akan menciptakan masa depan yang baik bagi organisasi. Kepemimpinan 5 tingkat adalah sebuah paradigma kepemimpinan yang didasarkan pada gagasan bahwa penghormatan terhadap orang, tidak mementingkan diri oleh pemimpin dan komitmen yang kuat untuk mencapai hasil yang membantu untuk menghasilkan kinerja terbaik dari bawahan (Collins, 2001), mereka menggabungkan kualitas termasuk, keras kepala, kekejaman dan kerendahan hati, yang didorong sebagai pemicu kemajuan organisasi. Dan konsep terakhir adalah kepemimpinan yang sudah umum yaitu Kepemimpinan Terbuka. Kepemimpinan terbuka merupakan pendekatan karyawan terkemuka dan pelanggan yang menggunakan teknologi sosial untuk memungkinkan pembelajaran yang konstan. Kepemimpinan terbuka adalah cara baru untuk membangun hubungan dengan pelanggan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
37
organisasi yang paling terlibat, berpotensi paling berharga dan karyawan, terutama ketika mendengarkan dan belajar untuk membentuk elemen dasar kepemimpinan yang terbuka serta mudah untuk mengadopsi (Li, kk 2010). Pemimpin terbuka penasaran tentang pelanggan, tentang karyawan mereka, tentang pemasok, tentang trend industri, dan tentang dunia yang lebih luas (Li, dkk 2010). Pendekatan kepemimpinan yang baru, tidak hanya menjadi otentik, transparan, atau nyata, itu lebih merupakan campuran dari pola pikir, temperamen, perilaku yang dipelajari, dan keterampilan yang membangun dan memperkuat keterampilan kepemimpinan yang baik (Li, 2010). Kepemimpinan terbuka menjadi salah satu konstruk kepemimpinan baru saat ini merupakan aspek lain yang menantang mempengaruhi perilaku organisasi.
B. Kepemimpinan Berintegritas Tugas utama yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin adalah bagaimana dia menjadi pemimpin yang berintegritas. Masyarakat sungguh berharap pemimpin akan menjadi sumber dari nilai-nilai yang dapa dipercaya. Mereka berharap agar pemimpin dapat memberikan jaminan dan keyakinan tentang visi dan misi dari mereka pemimpin) dalam mensejahterakan rakyatnya melalui pembangunan yang adil dan merata. Hal yang terpenting adalah selalu bersikap tegas dan pasti pada sesuatu yang diyakini benar bagi kepentingan rakyat. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh kepemimpinan adalah memimpin dengan integritas. Orangorang sungguh ingin melihat para pemimpin mereka menjadi sumber dari nilai-nilai yang dapat dipercaya dan juga integritas. Mereka melihat kepada para pemimpin untuk jaminan dan keyakinan, untuk kejelasan, visi dan tujuan khususnya pada masa-masa yang penuh dengan ketidakpastian. Seperti dikatakan oleh W. Clement Stone, “Have the courage to say no. Have the courage to face the truth. Do the right thing because it is right. These are the magic keys to living your life with integrity.” (Milikilah keberanian untuk mengatakan ―tidak‖. Milikilah keberanian untuk menghadapi kebenaran. Lakukanlah hal yang benar karena hal itu memang benar).( Indrapradja 2013) Mengutip apa yang diungkapkan oleh Charles Handy (Kompasania 12 April 2012)), seorang mahaguru bisnis pernah mengungkapkan sebuah statement demikian: Seorang pemimpin haruslah menjalani kehidupan yang memperlihatkan visinya. Sebuah kalimat pendek dan sederhana, tetapi dengan makna yang tidak sesederhana mengungkapkannya. Dengan kata lain, bagi Charles Handy, seorang pemimpin yang berintegritas tidak hanya harus bisa merancang pernyataan visi atau misinya, melainkan ia juga harus bisa menjalaninya. Ini memperlihatkan betapa integritas itu sangat penting dan diperlukan dalam sebuah kepemimpinan. Karena, tanpa integritas, maka seorang pemimpin sebenarnya tidak ada bedanya dengan iklan yang dipajang di tepi-tepi jalan atau di tikungan-tikungan jalan. Integritas dalam diri para pemimpin bisnis maupun politik adalah suatu keharusan. Mengapa? Karena kepada mereka telah dipercayakan kuasa yang begitu besar atas diri orang-orang lain. Begitu banyak yang diharapkan dari para pemimpin. Jadi, tidak mengherankanlah jika orang-orang yang dipimpin oleh mereka akan merasa sangat dikecewakan apabila integritas para pemimpin mereka itu menjadi menghilang, sirna entah ke mana. Yang terlihat dan terasa hanyalah pembohongan secara susul-menyusul. ( Indrapradja 2013)
38
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
“One of the crucial qualities that a leader must have in order to be highly effective is being a person of integrity and honesty and have values” (Satu dari kualitas-kualitas genting/crucial yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar supaya sangat efektif adalah menjadi seorang pribadi yang berintegritas, memiliki kejujuran dan memiliki nilai nilai‖, demikianlah dikatakan oleh Cornelius & Associates.dalam Indrapradja (2013).
C. Kepemimpinan Kepala Daerah yang Berintegritas Pilkada merupakan wujud dari dukungan Negara terhadap kebebasan masyarakat didaerah untuk dapat menentukan pemimpinnya sendiri adalah suatu nilai positif bagi terselenggaranya demokrasi di daerah di Indonesia. Namun demikian kebebasan masyarakat untuk memilih pemimpinnya sendiri didaerah tidak serta merta akan menjamin terpilihnya suatu pemimpin yang benar-benar ideal sebagai pemimpin sejati yang sangat menyadari bagaimana mereka berpikir, berperilaku dan dirasakan oleh orang lain sebagaimana menyadari diri mereka sendiri dan moral perspektif orang lain, pengetahuan dan kekuatan (Avolio, Luthans, & Walumbwa, 2004). Bahkan dapat dipercaya, menganugerahkan tanggung jawab, mempertimbangkan kebutuhan, menjaga jarak, menghargai, pemberian otonomi, mengakui kesetaraan, mempromosikan pengembangan kritik secara terbuka, menerima kritik, menggali potensi, mencari partisipasi, dapat diandalkan, menjadi perhatian, mendukung, dan berinteraksi ramah. Quaquebeke dan Eckloff, (2010). Keputusan MK yang memperbolehkan bekas narapidana mencalonkan diri menjadi calon pemimpin daerah juga telah mempertegas betapa pentingnya peran rakyat untuk melahirkan pemimpin yang berintegritas. Rakyat diajak untuk menjadi seorang negarawan dalam menentukan sikap politiknya. Ketika nila dari normanorma yang universal terabaikan oleh Negara, maka rakyat sendirilah yang berkewajiban menjaganya. Secara umum hampir di semua daerah proses pilkada belum melahirkan pemimpin yang bisa melakukan perubahan mendasar untuk mempercepat kemajuan daerah, bahkan ada kecenderungan dengan pilkada justru menimbulkan sejumlah persoalan antara lain, Pilkada ternyata tidak ada hubungan antara pemilih (konstituensi) dengan kompetensi (Makhya: 2010). Seseorang calon kepala daerah walaupun dipilih dengan perolehan suara terbanyak tidak berarti menjadi kepala daerah yang memiliki kemampuan. Karena, dalam realitasnya proses rekrutmen pilkada, aspek kualifikasi kemampuan termarjinalkan oleh faktor popularitas, kemampuan finansial, dan parpol pengusung. Di sinilah proses seleksi pemimpin menjadi bias karena realitas politik di masyarakat dan parpol baru sebatas penarikan dukungan belum sampai pada upaya pencarian pemimpin yang memiliki visi dan kapasitas memimpin pemerintahan. Kualifikasi dan kemampuan seseorang akan dikalahkan ketidakmampuannya dalam mengakses kepentingan partai politik. Demikian pula dengan, proses pengusungan calon dalam satu paket menimbulkan konflik karena formasinya bisa dilakukan secara beragam (Makhya: 2010). Misalnya, kepala daerah diusung dari PDIP dan wakilnya dari kader Golkar. Bisa juga, calon kepala daerah dari parpol dan calon wakilnya dari birokrat. Jadi, dalam sistem satu paket, variasi pasangan bisa dari latar belakang yang berbeda. Saat proses pencalonan sampai pada pemilihan tidak ada masalah, namun ketika pasangan itu terpilih dan kemudian memimpin pemerintahan terjadi konflik kepentingan karena berbagai faktor seperti: kewenangan tidak bisa diimplementasikan secara efektif, kepala daerah/wakil kepala daerah bisa dikendalikan kepentingan partai politik, rebutan pengaruh kekuasaan dan kepentingan rebutan proyek.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
39
Hal lainnya adalah, legitimasi calon terpilih rendah. Aturan main calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 pasal 107 ayat 1 dan pasal 109 ayat 1 menyatakan bahwa pasangan calon terpilih adalah yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan yang diselenggrakan (9 Desmeber 2015). Ketentuan ini telah menyebabkan terjadinya proses delegitimasi terhadap kepemimpinan kepala daerah apabila suatu daerah diikuti dengan banyak pasangan calon dan suaranya hamper merata. Misalnya saja ada 5 pasangan calon kemudian pemenangnya hanya diraih dengan kemenangan yang sangat ketat terhadap 4 calon lainnya. Yang pasti legitimasi suara pasangan calon terpilih kurang dari 30 persen. Dengan kata lain ada lebih dari 70 persen tidak mendukung pasangan calon terpilih. Ketimpangan dukungan politik dari DPRD menjadi persoalan serius pula. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih bisa berasal dari parpol yang tidak menguasai suara mayoritas di DPRD. Apa akibatnya? Jika seni leadership dan kemampuan komunikasi politiknya lemah, berpeluang untuk ―dimainmainkan‖ bahkan sangat mungkin dicari-cari kesalahan oleh DPRD untuk dijatuhkan kepemimpinanya. Juga, sangat berpeluang terjadi disharmonisasi antara kepala daerah dengan DPRD; yang terjadi bukan bagaimana mengefektifkan penggunaan kekuasaan, tapi adalah bagaimana memperebutkan kekuasaan untuk kepentingan politik sesaat (the politics of opportunities). Kalangan anggota DPRD merasa sebagai penguasa politik tunggal di daerah yang mengendalikan eksekutif. Saat sama, pemilik atau pengelola uang daerah, sebagaimana fungsinya, adalah pemerintah daerah (pemda). Parahnya, sebagian besar (untuk tidak dikatakan semua) anggota DPRD kondisi sosial ekonominya rentan, sementara mereka mengendalikan pihak yang memiliki atau mengelola uang (pemda). Maka, tidak heran bila perasaan berkuasa diekspresikan dengan melakukan berbagai tekanan terhadap gubernur/bupati/wali kota atau jajaran pejabat pemda lain sehingga bisa memperoleh uang atau bentuk-bentuk kompensasi materi lain bagi kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam kondisi seperti itu, bila pihak pemda bersifat kooperatif dalam arti memahami kehendak terselubung para anggota DPRD, maka gubernur/bupati/wali kota akan selamat dari ancaman impeachment. Tetapi, saat itu pula konspirasi yang menyalahgunakan uang negara/rakyat terjadi, karena untuk saling menyelamatkan dan memuaskan tiada lain kompensasinya adalah uang. Proses-proses konspirasi dan penyalahgunaan uang itu berlangsung amat tertutup atau tak bisa secara langsung dipantau masyarakat luas. Sebaliknya, bagi gubernur/wali kota/bupati yang tak bisa memuaskan atau memenuhi kepentingan materi anggota DPRD, maka akan selalu dibayang-bayangi upaya impeachment. (Laode Ida, 2002) Demikian pula dengan batas-batas kewenangan pejabat politik dan pejabat birokrasi tidak jelas, sehingga kekuasaan menjadi terpusat di kepala daerah. Akibatnya, urusan penyelenggaraan pemerintahan yang lazimnya menjadi kewenangan otoritas birokrasi, bisa diintervensi oleh kepentingan pejabat politik. Fenomena rolling pejabat struktural di pemda dan distribusi alokasi anggaran dalam APBD sangat ditentukan oleh otoritas kepala daerah. Suasana pemerintahan menjadi tidak kondusif dan tidak efektif karena dikalangan pegawai pemda dihantui penuh ketidakpastian jenjang karier. (Makhya: 2010) Model kepemimpinan kepala daerah di era otonomi daerah tidak hanya terbentuk dari sistem pilkada langsung, tetapi juga akibat sistem demokratisasi pemerintahan dan konsekuensi tuntutan good governance. Proses demokratisasi pemerintahan dan penerapan good governance menggeser model kepemimpinan pemerintahan yang semula kental dengan konsep memerintah, memberi perintah dalam arti to give orders. Di
40
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
dalam perkembangan sekarang kepemimpinan pemerintahan lebih menekankan pada kiat mengajak, menggalang, memberdayakan, dan menggairahkan. (Makhya: 2010) Pergeseran model kepemimpinan tersebut, seharusnya didukung sebuah kesadaran masyarakat sebagai pemilih untuk menempatkan dan memposisikan proses pemilihan kepala daerah bukan sekadar persaingan memperebutkan kekuasaan. Tapi secara subtantif harus memunculkan kepala daerah yang memiliki integritas dengan kemampuan memerintah dan bisa melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik bagi kemajuan daerah dan masyarakatnya. Jika pilkada berhasil digelar tapi gagal dalam memunculkan kepala daerah yang memilki Integritas dalam mengelola pemerintahan ke arah perubahan yang lebih baik, maka kita jangan berharap banyak terhadap kemajuan masyarakat dan daerahnya. Oleh sebab itu, sudah saatnya ada pembelajaran politik bagi masyarakat agar bisa secara cerdas mendorong terjadinya proses seleksi calon kepala daerah yang mengedepankan aspek Integritas untuk memajukan masyarakat dan daerahnya. Dengan demikian. pemimpin Daerah secara mutlak memang membutuhkan integritas agar mampu melaksanakan fungsi mereka sebagai pemimpin secara efektif yang mampu mengenyampingkan persoalan diluar substansi kepemipinan yang cenderung merusak keikhlasan mengabdi. Integritas dilihat sebagai suatu karakteristik pribadi yang positif. Apabila dikatakan bahwa seseorang itu ―memiliki integritas‖ maka hal itu merupakan suatu pujian, berarti orang itu adalah pribadi yang jujur dan memiliki karakter kuat. Integritas itu sendiri berasal dari kata Latin integer, yang berarti utuh atau lengkap. Jack Welsh, dalam bukunya yang berjudul Winning mengatakan, ―integritas adalah sepatah kata yang kabur (tidak jelas) (Makhya: 2010). Orang-orang yang memiliki integritas mengatakan kebenaran, dan orang-orang itu memegang kata-kata mereka. Mereka bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan mereka di masa lalu, mengakui kesalahan mereka dan mengoreksinya. Mereka bermain untuk menang secara benar (bersih), seturut peraturan yang berlaku.‖Berbagai survai dan studi kasus telah mengidentifikasikan integritas atau kejujuran sebagai suatu karakteristik pribadi yang paling dihasrati dalam diri seorang pemimpin. Orang-orang menginginkan jaminan bahwa pemimpin mereka dapat dipercaya jika mereka harus menjadi pengikut-pengikutnya. Mereka ingin mengetahui bahwa pemimpin mereka akan menepati janji-janjinya dan tidak pernah luntur dalam komitmennya. Integritas merupakan sebuah tolok ukur fundamental untuk kepemimpinan. Dengan demikian seorang pemimpin harus memimpin dengan integritas, kejujuran dan berpegang pada nilai-nilai di mana dia memimpin. Para pengikutnya (masyarakat) ingin mengetahui apakah pemimpin mereka dapat dipercaya. Mereka harus merasa yakin bahwa sang pemimpin memperhatikan kepentingan setiap pengikutnya (masyarakat) dan sang pemimpin harus menaruh kepercayaan bahwa para pengikutnya (masyarakat) melakukan tugas tanggung-jawab mereka. Cara terbaik untuk membangun kepercayaan para anggota timnya adalah dengan terus mempertahankan integritas. Dari integritas pemimpin inilah maka masyarakat mejadi maju, daerah menjadi kuat dalam segala dimensinya. Dengan begitu eksistensi daerah menjadi nata dalam kompetsisi global.
D. Penutup Kepemimpinan Daerah yang memiliki integritas harus terbangun dari masyarakat yang memiliki integritas. Sebagai konsekwensi logis dari model pemerintahan demokrasi yang menjadi komitmen bangsa ini,
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
41
maka kepemimpinan pemerintahan harus bersumber dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan demikian hadirnya pemimpin rakyat di daerah yang berintegritas adalah ditentukan oleh rakyat yang berintegritas pula. Integritas masyarakat lahir melalui proses yang membutuhkan waktu dengan pengkondisian yang disengaja melalui suatu system politik yang mengandung nilai-nilai intergritas. Dan system ini hanya bisa dilakkan oleh pemerintah dengan cara pertama, mereduksi dan menganulir semua peraturan yang memberi cela tercipatanya disintegritas di tengah masyarakat yang behubungan dengan penentuan kepemimpinan daerah termasuk keputusan yang membolehkan bekas narapidana dapat mencalonkan diri menjadi Pemimpin daerah. Kedua, membuat regulasi pemilihan kepala daerah yang secara tegas memberi sanksi pidana terhadap pelanggaran pemilukada, baik kepada calon maupun kepada masyarakat.
Daftar Pustaka Avolio, B. J., Gardner, W. L., Walumbwa, F. O., Luthans, F., & May, D. R. (2004). Unlocking the mask: A look at the process by which authentic leaders impact follower attitudes and behaviors. The Leadership Quarterly, 15, 801-823. Bambale, Abdu Ja‘afaru, et all, 2011. Stimulating Organizational Citizenship ehavior (OCB) Research For Theory Development: Exploration of Leadership Paradigms. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences August (2011), Vol. 1, Special Issue Collins, Jim, 2001, Good to Great, Why Some Companies Make The Leap and Other Don‘t, Harper Collins Publisher Inc. New York.
Gordon, B.Davis, 2002, Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen, PPM, Jakarta. Laode Ida Bambale, Abdu Ja‘afaru, et all, 2011. Stimulating Organizational Citizenship ehavior OCB) Research For Theory Development: Exploration of Leadership Paradigms. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences August (2011), Vol. 1, Special Issue Li, Anni & Sofie Winront (2010), A Story of Why Some Companies Can Creat Competitive Advantage from Using Technology-Based Self-Service, Stockhom School of Economics, Bachelor Thesis in Management. Makhya, Syarief, 2010. Problem Kepemimpinan Kepala Daerah. Indonesia Voters Alliance Pavlov, Pavel, & Polya Katsamunska, 2001. The Relationship of Leadership and New Public Management in Central Government: Bulgarian Specifics. Globalization and the State, United Nations, 2001 Van Quaquebeke, Niels ; Zenker, Sebastian ; Eckloff, Tilman. 2009. Find Out How Much It Means to Me! The Importance of Interpersonal Respect in Work Values
42
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Waldman, D. A., Javidan, M., & Varella, P. (2004). Charismatic leadership at the strategic level: A new application of upper echelons theory. The Leadership Quarterly, 15, 355–380.
Artikel: Laode Ida: 2002. Disentralisai dan Demokrasi, Jurnal Demokrasi & HAM, vol 2 nomor 2 Indrapradja, Tiardja. 2013. Kepemimpinan dan Integritas. Artikel. Kompasania (29 Desmeber 2013) Charles Handy, 2012 Artikel (Kompasania 12 April 2012))
Undang-undang: -
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015
-
UU Nomor 8 Tahun 2015
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
43
Developing Local Competitiveness through Developing City Branding (Case Study Binjai City, North Sumatera)
Septiana Dwiputrianti, M. Com (Hons), Ph.D
Abstract: This study seeks to analyze empirically the openness on „economic culture‟ through Branding of Binjai City, North Sumatera, in accordance with the local community characteristic in supporting local competitiveness. This paper have two main purposes as follows: (1) to obtain expectations of the community as a basis for positioning City Branding at Binjai; (2) to get an idea of Branding Binjai City in accordance with the characteristics of the market town of Binjai City in support of local competitiveness. Using descriptive qualitative approach, unique dataset collections is modelled. The analysis finds support for City Brand contributes positive local competitiveness of the city region able to attract investors, tourists, or residents for visiting Binjai. This study illustrates investors‟ friendly of Binjai City with strategic investment, beautiful and unique environment, a mix of city and village with a safe and comfortable atmospheres. There are some slogans for Binjau City, namely: "Beautiful Binjai, Beautiful Moment"; "Beautiful Binjai, Be Healthy", or "Delicious Rambutan, only in Binjai".
Keywords: City Branding, local competitiveness, Binjai City, economic development.
A. Introduction City Brand secara eksternal mampu membangkitkan rasa penasaran untuk mengenal lebih jauh dari wilayah terkait. Dengan memunculkan kesadaran dari sisi internal, janji yang dikemas dalam brand akan mendekati kenyataan dan menjadi acuan dalam berinteraksi dengan pihak eksternal. Adanya city brand lebih mempermudah memperkenalkan daerahnya kepada investor. Binjai merupakan salah satu kota yang ada di Indonesia, terletak di Provinsi Sumatera Utara dimana letaknya sangat berdekatan dengan Ibukota Provinsi Sumatera Utara yaitu Kota Medan. Tapi sampai saat ini Kota Binjai belum memiliki City Branding yang dapat menjadi pembeda dari kota-kota lainnya di Indonesia. Dari website resmi Pemerintah Kota Binjai (http://www.binjaikota.go.id) diperoleh keterangan mengenai Kota Binjai. Kota Binjai sebagai salah satu kota di Propinsi Sumatera Utara yang hanya berjarak ± 22 Km dari Kota Medan (± 30 menit perjalan), bahkan batas terluar Kota Binjai dengan batas terluar Kota Medan hanya berjarak ± 8 Km. Dan berikut beberapa berita mengenai Kota Binjai yang menggambarkan potensi yang dimiliki Kota Binjai : 1. Harian Analisa Medan memberitakan Malaysia tertarik dengan hasil kerajinan bambu Kota Binjai, Sumatera Utara, karena dinilai lebih berseni dan berkualitas. Banyak produk perajin Sumut yang sudah pernah
44
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
menembus pasar ekspor. Namun, karena standart kualitas dan produksi yang tidak terjaga secara terus menerus, export semakin menurun. 2. Kota Binjai adalah pemasok ikan lele terbesar di Sumatera Utara dengan produksi ikan lele mencapai 15 ton perhari. 3. DPR Negeri Perak Malaysia beserta Camat dan Lurah sebanyak empat puluh tujuh orang ingin melakukan studi tentang pembangunan keagamaan di Sumatera Utara dan ternyata Kota Binjai yang dijadikan barometernya. 4. Kota Binjai menjadi Kota Rambutan dan berpotensi menghasilkan berbagai macam buah, seperti durian, mangga, jambu madu Deli Hijau dan jambu kesuma merah, menjadi salah satu komoditi unggulan nasional di Binjai. 5. Ada beberapa tempat wisata alam yang mempunyai potensi yang sangat besar, walaupun tempat wisata tersebut tidak berada di Kota Binjai namun untuk menuju kesana harus melewati Kota Binjai.
2. Theoretical Framework and Previous Research City Branding merupakan bagian dari pemasaran daerah (place marketing). Untuk mengetahui tentang bagaimana memasarkan Kota Binjai, tentu harus diketahui mengenai definisi mengenai place marketing. ―Place marketing means designing a place to satisfy the needs of its target markets. It succeeds when citizens and businesses are pleased with their community, and the expectations of visitors and investors are met”. According to Philo & Kearns (Braun, 2008) City marketing is defined as “..process of manipulation whereby urban bourgeoisies are seeking to mobilise segments of culture, history and locality in the competitive selling of places both to outsiders (to attract capital) and to insiders (to legitimate redevelopment)‖. While city marketing is the coordinated use of marketing tools supported by a shared customer-oriented philosophy, for creating, communicating, delivering, and exchanging urban offerings that have value for the city‟s customers and the city‟s community at large Menurut Eurocities (Rahmadyani, 2011) berikut beberapa keuntungan yang didapatkan bagi kota yang mengembangkan City Branding yang optimal dan terintegrasi dengan perencanaan dan pengelolaan kota : 1) Mampu menstimulasi dan meningkatkan daya saing kompetitif : berdampak positif terhadap arus invesatasi, lapangan pekerjaan, penduduk, pengunjung, event yang diadakan di kota. 2) Higher returns on investment dalam properti, infrastruktur, dan events. 3) Arah pengembangan kota yang harmonis antara aspek-aspek fisik, sosio ekonomi, dan kultural. 4) Kebanggaan bagi penduduk, bisnis, dan institusi yang merasakan tujuan dan arah yang baru. 5) Mampu untuk highlight visi kota dimasa depan (seperti apa karakteristik yang dimiliki, apa yang akan dicapai kota di masa depan, dan bagaimana kota dapat mencapai tujuan tersebut), mempertahankan citra yang baik dan mengeliminasi publikasi buruk yang dimiliki kota. City Branding membantu kota untuk fokus
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
45
pada visi yang ingin dicapai dan mendorong kota untuk berfikir jangka panjang sehingga mampu menghasilkan peluang-peluang baru serta lingkungan yang dinamis dan menarik bagi target pasar. Dari beberapa uraian diatas mengenai keuntungan suatu produk ataupun daerah memiliki brand. Maka Kota Binjai yang memiliki begitu banyak potensi dan peluang dalam mengembangkan daerahnya harus memiliki city brand yang kuat dalam menghadapi pesaingnya menarik target pasar. Tujuan utama dari pembangunan City Branding adalah menciptakan citra (image) yang baik dimata empat target pasar (pengunjung, investor & pebisnis, pekerja dan residents, dan export markaet. Dan tentu saja tentulah memiliki suatu proses komunikasi mulai dari apa identitas (karakteristik) yang dimiliki oleh suatu daerah dan brand yang merupakan simbol ekspresi dari identitas tersebut yang akhirnya menciptakan citra (image) dimata orang. Seperti pada gambar 1 (Matlovičová, 2008), menjelaskan : Place identity results from planned activities ... It is also considered as a sum of characteristics that differentiate one place from other ones. (Identitas tempat merupakan hasil dari kegiatan perencanaan ... sebagai keseluruhan karakteristik yang membedakan satu tempat dari yang lain). Place image unlike identity “... image is more than a simple belief... it is a personal perception of a place and can vary from one person to another―(Kotler et al. 1999, pp. 160,161, Kotler et al. 2002, p. 229). Yang dapat diartikan Image suatu tempat (place image) tidak seperti identitas "... image lebih dari keyakinan yang sederhana ... itu adalah persepsi pribadi terhadap suatu tempat dan dapat bervariasi dari satu orang ke orang lain. The model presents place as a transmitter of information via marketing communications (in the figure represented by means of arrows) The final image is intentionally, but also unintetionally, affected by factors that in the figure are illustrated as the surroundings of the place. (model ini (gambar diatas) menyajikan tempat sebagai penyampai informasi melalui komunikasi pemasaran (pada gambar diwakili dengan panah) Gambar terakhir tidak intens, dipengaruhi oleh faktor-faktor yang pada gambar digambarkan sebagai lingkungan suatu tempat). Selanjutnya gambar 2 (Rainisto, 2003), menjelaskan : Brand identity is the state of will of the organisation, and the active part of the image building process (also Kapferer 1992). Identitas merek adalah keadaan kehendak organisasi, dan bagian aktif dari proses membangun citra The brand identity is how the brand is wanted to be perceived. The brand identity is a unique set of brand associations that the management wants to create or maintain (Aaker 1996). Identitas merek adalah bagaimana merek ini ingin dianggap. Identitas merek adalah seperangkat unik asosiasi merek bahwa manajemen ingin menciptakan atau mempertahankan. Brand identity creates a relationship between the brand and the customers with a value proposition that consists of functional, emotional and self-expressive benefits (Kapferer 1992). Identitas merek menciptakan hubungan antara merek dan pelanggan dengan proposisi nilai yang terdiri dari manfaat fungsional, emosional dan selfekspresif Brand image is the perception of a brand in the minds of people. The brand image is a mirror reflection (though perhaps inaccurate) of the brand personality or product being. It is what people believe about a brand
46
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
– their thoughts, feelings, expectations. (Bennett: 1995. AMA Dictionary of Marketing Terms: 28). Brand image is perceptions about a brand as reflected by the brand associations held in consumers´ memory (Keller 1998). Brand image adalah persepsi merek di benak orang. Brand image adalah refleksi cermin (meskipun mungkin tidak akurat) dari kepribadian merek atau produk. Ini adalah apa yang orang percaya tentang merek - pikiran, perasaan, harapan. Brand image adalah persepsi tentang merek yang tercermin oleh asosiasi merek diadakan di memori konsumen. Sedangkan positioning brand menurut Kotler dan Pfoertsch (2006) : ―adalah tentang mengidentifikasikan tempat brand relatif terhadap pesaingnya di benak consumer, dan memaksimalkan manfaat potensial perusahaan. Tujuan akhir positioning brand adalah menciptakan posisi terkuat yang dapat dimiliki dan membuat bersemangat dan untuk mengarahkan semangat tersebut pada target customer yang paling menguntungkan‖. Selanjutnya menurut Al Ries dan Trout (Lupiyoadi dan Hamdani, 2006) : ―Positioning tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan terhadap produk (barang atau jasa) tetapi apa yang kita (pemasar) lakukan terhadap pikiran atau benak konsumen. Tujuan dilakukan positioning adalah membedakan persepsi perusahaan berikut produk dan jasanya dari pesaing. Positioning merupakan konsep psikologis yang terkait dengan begaimana konsumen yang ada ataupun calon konsumen dapat menerima perusahaan tersebut dan produknya dibandingkan dengan perusahaan lain. Menurut, Kotler (Lupiyoadi dan Hamdani, 2006) untuk melakukan positioning diperlukan beberapa langkah-langkah, yaitu: 1) Mengenali keunggulan-keunggulan yang mungkin dapat ditampilkan dalam hubungan dengan pesaing. 2) Memilih keunggulan-keunggulan yang paling kuat atau menonjol 3) Menyampaikan keunggulan itu secara efektif kepada target pasar Tidak semua keunggulan merupakan indikator yang bisa ditampilkan ke pasar, tetapi harus diseleksi. Menurut Kotler (Lupiyoadi dan Hamdani, 2006), sebuah keunggulan yang patut ditampilkan harus memenuhi kriteria : 1) Penting. Keunggulan harus merupakan kemampuan yang dianggap sangat penting oleh cukup banyak pembeli 2) Berbeda. Belum ada pesaing yang menawarkan atau memosisikan keunggulan itu atau mereka sudah ada yang menawarkannya namun masih dengan cara yang lebih umum 3) Superior (unggul). Keunggulan itu dapat dikomunikasikan dan menjadi perhatian pembeli atau calon pembeli 4) Pelopor. Pesaing sulit meniru keunggulan yang dimiliki tersebut 5) Dapat dikomunikasikan. Keunggulan dapat dikomunikasikan dan menjadi perhatian pembeli atau calon pembeli 6) Harga terjangkau. Pembeli mampu membayar biaya keunggulan yang ditambahkan dalam produk tersebut
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
47
7) Menguntungkan. Perusahaan dapat memperoleh laba dari pemberian keunggulan tersebut. Newman, Damien. The Designer‟s Guide to Brand Strategy (Siregar, 2012) menyebutkan : Brand identity terwujud dalam bentuk icon atau simbol yang merepresentasikan sebuah organisasi secara keseluruhan, apakah itu produknya ataupun jasa yang ditawarkan oleh organisasi itu. Brand identity terdiri dari tiga elemen dasar, yaitu : 1) Visual system, merupakan logo, sistem tipografi, palet warna dan sebagainya 2) Personality, sebuah brand memiliki kepribadian seperti halnya manusia. Kepribadian ini memiliki fungsi untuk memposisikan diri di benak konsumen dan juga berfungsi untuk memperkuat hubungan emosional dengan konsumen. 3) Functionality and behaviour, yaitu mengintegrasikan brand ke dalam bisnis, strategi brand dan juga aktivitas-aktivitas lain yang mendukung brand. Kotler dan Pfoertsch (2006) menyatakan : ―Elemen brand adalah upaya visual dan bahkan kadang kala fisik yang bertindak mengidentifikasi dan mendiferensiasi suatu produk atau jasa perusahaan‖.
3. Data Data diperoleh dari para informan yang terdiri dari: 1.
Kepala Hubungan Masyarakat Kota Binjai dan staf
2.
Sekretaris dan Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Bapeda Kota Binjai
3.
Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata dan Olahraga Kota Binjai
4.
Kepala Dinas Tata Ruang, Perumahan dan Permukiman Kota Binjai
5.
Sekretaris dan Kepala Bidang Perikanan Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Binjai
6.
Kepala Bidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Kepala Seksi Pembina dan Pengembangan Industri Kecil Menengah Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Perindustrian Perdagangan Kota Binjai.
7.
Masyarakat (penduduk) Kota Binjai berjumlah dua belas orang
8.
Masyarakat yang pernah mengunjungi Kota Binjai berjumlah dua belas orang.
9.
Pelaku usaha produk mebel bambu berjumlah satu orang
10. Pelaku usaha pembuat ulos berjumlah satu orang 11. Pelaku usaha Jambu deli hijau yang diwakili anggota 12. Pelaku usaha pemasok lele berjumlah satu orang. 13. Pelaku seni (pelatih sanggar seni musik tradisional) Kota Binjai. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi dokumentasi, wawancara, dan observasi. Analisis data yang digunakan mempedomani mekanisme analisis interactive model yaitu pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan conclusion drawing/verification.
48
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Binjai 20112015, visi Kota Binjai adalah ―Terwujudnya Kota Binjai sebagai Kota Idaman yang Dinamis, Berdaya Saing dan Nyaman dalam Kebersamaan‖. Penjelasan Visi: 1. IDAMAN artinya Kota Binjai memiliki trademark/image sesuai perkembangan kota dengan pembangunan yang berkelanjutan; 2. DINAMIS artinya Kota Binjai mampu mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman; 3. BERDAYA SAING artinya Kota Binjai memiliki daya saing (Pemerintahan, Pendidikan, Kesehatan, Industri, Jasa); 4. NYAMAN artinya Kota Binjai sebagai kota yang nyaman bagi semua stakeholder untuk melaksanakan aktivitas kehidupan (bertempat-tinggal, bekerja, dan beribadah); 5. KEBERSAMAAN artinya Menghidupkan suasana kebersamaan antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan dengan semangat ―Binjai Kotaku, kotamu dan kota kita semua‖. Untuk mencapai visi tersebut diatas maka disusun misi pemerintahan Kota Binjai : 1. Membangun dan meningkatkan sarana dan prasarana dalam menunjang perekonomian 2. Membangun masyarakat sehat, cerdas, dan berbudaya 3. Peningkatan pelayanan publik yang berkualitas 4. Membangun tata kelola pemerintahan yang baik 5. Membangun dan membina kerukunan hidup beragama 6. Meningkatkan perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan. Tujuan pembangunan jangka panjang tahun 2005 – 2025 adalah mewujudkan visi : “Kota Binjai Sebagai Pusat Permukiman, Pelayanan Jasa, Perdagangan, dan Industri yang Berwawasan Lingkungan” Sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju Kota Binjai yang sejahtera, adil dan makmur dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan yang dimaksud dengan ―Pusat Permukiman, Pelayanan Jasa, Perdagangan, dan Industri‖, ialah Kota Binjai sebagai sektor pemukiman, jasa dan perdagangan harus dibangun lebih maju dibanding Pemerintahan Kota dan Pemerintahan Kabupaten di Sumatera Utara setelah Kota Medan. Peningkatan kegiatan pelayanan jasa dan perdagangan dilakukan dengan memperkuat perekonomian kota pada sektor andalan sistem produksi, distribusi dan pelayanan, dengan tetap mengembangkan industri menengah dan besar yang mempunyai sinergi dengan industri kecil dan menengah (UKM). ―Pembangunan Berwawasan Lingkungan‖, yang dimaksud ialah: adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya alam ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
49
Brand image (citra) Kota Binjai dari persepsi masyarakat Kota Binjai adalah identik dengan rambutan, ini dapat dilihat ketika ditanyakan apa yang terlintas di benak penduduk saat mendengar kata Kota Binjai dan apa yang potensial untuk dikembangkan sebagai ikon City Branding Kota Binjai hampir semua informan menyebutkan kata rambutan dengan persentase 75%, 17% menyebutkan sebagai kota mandiri, dan 8% menyebutkan binjai sebagai kota kuliner. Ketika ditanyakan perasaan yang timbul selama tinggal di Kota Binjai, apa yang disukai dari Kota Binjai dan apa yang membuat mereka tertarik untuk tinggal di Kota Binjai, maka jawaban yang paling muncul adalah kata asri, tenang, nyaman, belum banyak polusi dengan persentase 61%, dan selebihnya mengatakan medan, tidak macet, ramah penduduknya, indah, pendidikan baik, banyak pohon, kuliner, dan aman dengan persentase 39%. Ketika ditanyakan mengenai karakter yang dimiliki Kota Binjai jawaban yang paling banyak muncul adalah kata ramah, baik, dan cantik dengan persentase 66%, dan selebihnya mengatakan Kota Binjai itu tenang, masih menata, bersahabat, dan unik sebesar 34%. Sedangkan harapan kedepan yang diinginkan penduduk terhadap Kota Binjai, jawaban yang paling banyak muncul adalah kata aman, memiliki fasilitas (sarana dan prasarana) yang lengkap, biaya hidup yang murah dan nyaman dengan persentase 90% dan selebihnya 10% untuk sarana prasarana. Brand image (citra) Kota Binjai dari persepsi pengunjung bahwa Kota Binjai itu identik dengan rambutan, ini dapat dilihat ketika ditanyakan apa yang terlintas di benak penduduk ketika mendengar kata Kota Binjai dan apa yang potential untuk dikembangkan sebagai ikon City Branding Kota Binjai hampir semua informan menyebutkan kata rambutan dengan persentase 75%, 8% mengatakan Kota Binjai sebagai kota singgah, 8% mengatakan sebagai kota kuliner, dan 9% mengatakan Kota Binjai sebagai kota wisata alam. Ketika ditanyakan perasaan yang timbul selama mengunjungi Kota Binjai jawaban yang paling banyak muncul adalah tidak merasakan kesan apa-apa (biasa saja) sebesar 50%, dan sebagian lagi merasakan keramahan penduduknya 17%, senang dan nyaman 17%, tempat belanja dan kuliner 8%, dan sebesar 8% mengatakan Kota Binjai sebagai kota yang masih harus berbenah. Mengenai yang disukai Kota Binjai dari persepsi pengunjung selama di Kota Binjai adalah rambutan dan kuliner yang ada di Kota Binjai sebesar 80%, selebihnya menyukai rasa kekeluargaannya dan pasar kaget sebesar 20%. Sedangkan yang membuat pengunjung tertarik untuk datang di Kota Binjai jawaban yang paling banyak muncul adalah mereka datang ke Kota Binjai karena ada sesuatu hal seperti mengunjungi saudara, teman, kerabat ataupun karena ada urusan di Kota Binjai sebesar 40%, menurut mereka tidak ada sesuatu yang menarik di Kota Binjai untuk dikunjungi. Dan apabila telah datang di Binjai hal yang paling menarik untuk di cari adalah makanan (kulinernya) sebesar 27%, karena rasanya enak dan masih murah. Selebihnya memberikan alasan untuk belanja, kerja, dan hal lain sebesar 33%. Dan ketika ditanyakan mengenai karakter yang dimiliki Kota Binjai jawaban yang paling banyak muncul adalah kata ramah dan bersahabat sebesar 37%, biasa saja (7%), rapi (7%), kurang supel (7%), kekeluargaan (7%), mengasyikan (7%), sederhana (7%), unpredictable (7%), dan kecil (7%). Harapan kedepan (ekspektasi) yang diinginkan penduduk terhadap Kota Binjai, jawaban yang paling banyak muncul adalah kata kota yang bersih dan memiliki keunikan/ ciri khas tersendiri dengan persentase 50%. Dalam hal ini, dari pengamatan penulis Kota Binjai saat ini sudah cukup bersih ditambah berita bahwa Kota Binjai merupakan salah satu kota yang menerima piala adipura. Selebihnya mengharapkan Kota Binjai menjadi kota hijau (15%), ramai (10%), nyaman (10%), rapi (10%), dan aman (5%). Kota Binjai sebagai salah satu kota di Propinsi Sumatera Utara yang hanya berjarak ± 22 Km dari Kota Medan ( ± 30 menit perjalan), bahkan batas terluar Kota Binjai dengan batas terluar Kota Medan hanya berjarak
50
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
± 8 Km. Selain itu Binjai merupakan gerbang pintu masuk dari Aceh yang akan menuju ke Medan, ditambah Kota Binjai merupakan kota yang harus dilintasi wisatawan yang akan menuju 2 daerah unggulan wisata yaitu Bukit Lawang dan TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser) Tangkahan. Ini merupakan potensi yang sangat besar untuk Kota Binjai, untuk merencanakan kedepan bagaimana agar Kota Binjai bukan hanya menjadi tempat persinggahan tapi juga sebagai daerah tujuan wisata. Kota Binjai memiliki letak yang sangat dekat dengan Kota Medan yang saat ini sangat pesat perkembanganya. Pusat pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara berpusat di Kota Medan. Lahan semakin sempit untuk pengembangan pembangunan baik untuk perumahan maupun industri. Dan Kota Binjai memiliki itu, Kota Binjai memilki lahan untuk pengembangan perumahan maupun industri. Karena jaraknya yang cukup dengan Kota Medan maka Kota Binjai memiliki keunggulan yang paling unggul (positioning) adalah Lokasi Kota Binjai itu sendiri, disamping itu kedepannya akan dibangun jalan tol yang menghubungkan Kota Binjai – Kota Medan – Kuala Namu. Dengan dibangunnya jalan tol tersebut maka akan semakin mempermudah transportasi untuk akses ke Binjai. Dan berdasarkan data yang ada bahwa Kota Binjai juga termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) Mebidangro (Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo) Seperti juga yang dikatakan oleh Sekretaris dan Kabid Sarana dan Prasarana Bapeda Kota Binjai, PLH KaDis Dinas Tata Ruang Perumahan dan Permukiman Kota Binjai. Kekuatan merk Kota Binjai saat ini adalah dar segi presence, Kota Binjai digambarkan sebagai kota yang nyaman dan aman untuk ditinggali. Dari segi place, Kota Binjai adalah kota yang nyaman dan memiliki lokasi yang strategis yaitu dekat dengan kota Medan. Dari segi people atau sifat penduduk Kota Binjai dikenal ramah, bersahabat dan memiliki rasa kekeluargan yang tinggi. Dari segi pre-requisites Kota Binjai memiliki sarana dan prasarana yang cukup lengkap meliputi sarana air bersih, kelistrikan, pendidikan, kesehatan, dan sarana pendukung lainnya. Dari segi pulse Kota Binjai merupakan kota yang unik dimana kota ini merupakan perpaduan antara perkotaan dan pedesaan. Dari segi potential keunggulan Kota Binjai dari segi ekonomi terletak pada pertumbuhan industri pengolahan yang cukup baik.
1. Analisis Brand Image dan Ekspektasi terhadap Kota Binjai saat ini di mata pengunjung dan penduduk Kota Binjai dikaitkan dengan perencanaan City Branding Kota Binjai Rambutan selama ini memang menjadi andalan Kota Binjai, namun sampai saat ini belum pernah diketahui berapa sebenarnya hasil rambutan yang ada di Kota Binjai. Untuk rasa rambutan binjai memang unggul, rambutan memiliki rasa yang lebih manis, banyak air dan lekang. Rasa rambutan Kota Binjai memiliki rasa yang lebih unggul bila dibandingkan dengan rambutan dari kota lainnya, hal ini dikarenakan kondisi iklim dan unsur tanah yang ada di Kota Binjai, namun rasa yang unggul ini tidak terlalu ekstreem rasanya bila dibandingkan dengan rambutan yang berasal dari Langkat misalnya, hal ini seperti yang dikatakan Bapak Sekretaris Dinas Pertanian Kota Binjai. Untuk hasil produksi hilir saat ini sedang dikenalkan sirup rambutan binjai, namun belum di pasarkan sehingga belum begitu dikenal (diketahui) orang, baik yang tinggal di Kota Binjai ataupun di luar Kota Binjai. Ada juga pembuatan kue bika ambon, bolu gulung ataupun kue bolu rambutan, kalau untuk produk kue ini sudah mulai dikenal penduduk Binjai, tapi belum sampai keluar daerah. Rambutan memang sudah identik dengan Kota Binjai, namun karena belum pernah adanya pemetaan mengenai produksi rambutan yang ada sehingga tidak diketahui secara pasti hasil produksi rambutan dari Kota
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
51
Binjai. Dari hasil wawancara terhadap beberapa penduduk yang ada di Kota Binjai mengenai hasil rambutan yang ada, sepertinya produksi rambutan dari Kota Binjai semakin lama semakin menipis, hal ini dikarenakan adanya pembukaan lahan untuk perumahan, perubahan lahan kebun rambutan menjadi kebun sawit, dikarenakan kebun rambutan yang ada tidak banyak menghasilkan keuntungan bagi yang punya kebun. Pohon rambutan yang ada di Kota Binjai hanya berbuah dua kali selama setahun, tentu ini kuranglah ekonomis bila dibandingkan dengan pohon sawit yang bisa panen dua kali sebulan. Untuk dijadikan ikon City Branding rambutan mungkin bisa, tapi untuk dijadikan City Branding Kota Binjai menurut analisa penulis tentulah kurang tepat, hal ini dikarenakan keterbatasan lahan yang dimiliki Kota Binjai untuk mengembangkan perkebunan rambutan di Kota Binjai tidak memungkinkan. Apalagi kedepannya dikatakan bahwa Kota Binjai akan dijadikan Sebagai Pusat Permukiman, Pelayanan Jasa, Perdagangan, dan Industri yang Berwawasan Lingkungan (Visi RPJP-D Kota Binjai 2005-2025). Jadi kesimpulannya, bila mau dipasarkan jumlah produksi rambutan pun tidak bisa memenuhi kuota permintaan secara nasional, apalagi internasional. Untuk dikembangkan pun, nilai jual dari rambutan itu sendiri tidak begitu besar, apalagi bila mau dikirimkan untuk jarak yang cukup jauh rambutan yang ada tidak memiliki daya tahan yang cukup lama. Katakata Binjai Kota Rambutan memang sudah melekat erat sejak dahulu, namun untuk memasarkan daerah Kota Binjai tidak akan menggambarkan Kota Binjai secara keseluruhan, karena masih banyak potensi-potensi lain yang dapat dikembangkan di Kota Binjai. Bagaimana agar rambutan Kota Binjai memiliki nilai tambah (value) dimata orang banyak, maka rambutan itu selain dijadikan sebagai santapan juga harus diciptakan suatu kegiatan yang dapat menambah nilai rambutan itu sendiri seperti menciptakan agrowisata rambutan, dan ini dapat dilakukan dengan menciptakan image baru Kota Binjai yang dapat menarik wisatawan datang ke Kota Binjai dengan City Branding Kota Binjai. Kesan yang penduduk alami selama tinggal di Kota Binjai adalah mereka merasa aman, nyaman dan indah. Kesan ini juga penulis rasakan ketika melakukan observasi selama melakukan penelitian. Berdasarkan Florida (Rahmadyani, 2011:27) mengatakan dalam analisis mengenai elemen pembentuk City Branding berdasarkan persepsi masyarakat (target pasar), City Branding dibentuk oleh lima faktor, yaitu : a. Keamanan fisik dan perekonomian. Kota Binjai adalah kota yang cukup aman. Namun keamanan ini sedikit berkurang dirasakan bila malam hari dan berada jauh dari pusat Kota Binjai, hal ini dikarenakan kurangnya penerangan di malam hari dan sistem keamanan lingkungan yang tidak berjalan di masing-masing lingkungan Kota Binjai. Untuk penyediaan lapangan kerja di Kota Binjai memang tidak terlalu cukup banyak, sehingga banyak dijumpai penduduk Kota Binjai yang bekerja di luar Kota Binjai seperti Kota Medan Deli Serdang. b. Penyediaan jasa. Penyediaan jasa dasar di Kota Binjai yang dirasakan penduduk Kota Binjai sudah cukup lengkap, demikian juga berdasarkan data yang ada, seperti sekolah, pelayanan kesehatan, permukiman yang terjangkau, jalan dan transportasi publik. Namun khusus untuk transportasi publik, penyediaan jasa angkutan umum yang ada di Kota Binjai hanya beroperasi di seputaran kota saja, tidak sampai ke pelosok Kota Binjai. Hal ini mengakibatkan orang yang berada di ujung Kota Binjai tidak bisa mengakses angkutan kota tersebut. Sehingga mereka harus menggunakan kendaraan umum lain seperti becak bermotor. Untuk angkutan massal
52
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
yang menghubungkan Kota Medan dan Kota Binjai juga terdapat Kereta Api yang cukup nyaman. Dulu (tiga tahun yang lalu) kereta api ini juga menghubungkan Kota Binjai dan Langkat, namun sekarang sudah tidak ada lagi. Sarana permukiman penduduk, jalan-jalan (gang-gang) yang ada di Kota Binjai sudah cukup baik, namun untuk penyaluran air kotor (drainase) masih banyak dijumpai perumahan penduduk yang tidak memiliki saluran darainase sehingga apabila hujan akan menyebabkan banjir (walau sementara) di sekitarnya. c. Keterbukaan. Di Kota Binjai terdiri dari beberapa suku yang masing-masing suku tidak mendominasi suku yang lainnya. Kehidupan beragama ataupun sukuisme memiliki toleransi yang cukup besar, tidak pernah dijumpai pertikaian karena kesukuan ataupun agama. Kota Binjai memiliki karakter ramah. Baik, dan bersahabat. Hal ini sesuai dengan observasi terhadap penduduk Kota Binjai yang juga memiliki sifat yang ramah, bersahabat, kekeluargaan dan gotong royong yang tinggi, dan menerima pendatang dengan tangan terbuka. d. Kepemimpinan. Untuk membangun City Branding yang kuat diperlukan komitmen pemimpin yang kuat pula. Dari Kota Binjai diperoleh gambaran bahwa yang selama ini terjadi adalah kebijakan yang ada akan terus berganti seiring dengan pergantian pimpinan (kepala daerah). Sementara dari studi literatur yang ada diketahui bahwa pembentukan City Branding ini harus dilakukan untuk jangka waktu yang cukup lama, harus dilakukan dan dievaluasi terus menerus, apakah City Branding yang direncanakan sudah berhasil atau belum, dalam artian City Branding yang sudah direncanakan sudah mengakar kuat dan berhasil menarik target market (penduduk, pengunjung, pebisnis, eksport market) terhadap Kota Binjai atau belum. Memang City Branding ini agar berhasil memerlukan keterlibatan semua pihak bukan hanya semata dilakukan pemimpin (kepala daerah). Namun pemegang kunci utamanya adalah pemimpin itu sendiri, apakah City Branding ini mau dijalankan atau tidak. e. Estetika. Kota Binjai tidak memiliki panorama alam yang indah saat ini, demikian juga desain kota yang ada saat ini, tidak ada ciri khas tersendiri dari bangunan yang ada di Kota Binjai, biasa saja. Namun Kota Binjai memiliki bangunan tua yang mempunyai nilai sejarah, dan tentunya perlu peranan pemerintah untuk tetap menjaga bangunan sejarah yang ada. Fasilitas pendukung (amenitas) untuk pengunjung yang datang ke Kota Binjai seperti hotel memang sudah tersedia di Kota Binjai namun masih bertaraf daerah saja. Kota Binjai berpeluang untuk menjadi daerah tujuan wisata, namun tidak untuk jangka waktu yang cukup lama, hanya berpeluang untuk wisatawan yang hanya memerlukan satu hari saja mengunjungi Kota Binjai apakah itu pengunjung dari Kota Medan ataupun dari daerah lain, dan untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke daerah wisata lain seperti Bukit Lawang ataupun TNGL Tangkahan. Aktivitas kultural (budaya) di Kota Binjai juga tidak terlalu kental, hanya ada festival pagelaran budaya yang diadakan setahun sekali dan gaungnya tidak begitu bergema. Untuk mendukung City Branding yang akan direncanakan, tentunya hal ini kedepannya harus lebih ditingkatkan lagi, apakah itu dari kuantitasnya ataupun kualitasnya dan juga promosinya.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
53
Dari pengunjung yang pernah datang ke Kota Binjai diperoleh gambaran bahwa kesan yang mereka rasakan selama di Kota Binjai hanyalah biasa saja dan ini memang sesuai dengan observasi yang penulis lakukan selama penelitian. Hal ini karena pemerintah Kota Binjai belum membidik kelebihan yang dimiliki Kota Binjai. Padahal Kota Binjai merupakan kota yang unik, dalam artian Kota Binjai itu memiliki ciri perpaduan antara kota dan desa. Kota Binjai memiliki sarana perkotaan seperti Mall namun juga masih memiliki suasana pedesaan, dan masih banyaknya penghijauan di pinggiran kotanya. Kalau ini dikelola dengan baik, tentu akan menarik minat pengunjung yang sudah gerah dengan suasana perkotaan dengan mencari ketenangan suasana pedesaan, dan juga pengunjung dari pedesaan (seperti Langkat) yang ingin mencari suasana perkotaan dengan mengunjungi Mall Kota Binjai. Yang diinginkan pengunjung agar mau mengunjungi suatu daerah adalah daerah tersebut memiliki suatu ciri khas tersendiri, apakah dari budayanya, kulinernya, obyek wisatanya dan lain sebagainya. Untuk saat ini Kota Binjai belum memiliki kekhasan budaya, ataupun obyek wisata yang menarik, namun mempunyai potensi untuk itu hanya perlu pengelolaan dan pembenahan saja dari pemerintah Kota Binjai. Saat ini yang dimiliki Kota Binjai adalah kulinernya, kuliner yang ada di Kota Binjai dengan rasa yang enak juga harga yang tidak begitu mahal, cuma saat ini perlu dikemas lagi bagaimana aga kuliner yang ada di Kota Binjai ini bisa menimbulkan kesan tersendiri di mata pengunjung.
2. Analisis Visi dan Misi Kota Binjai Jangka Pendek dan Jangka Panjang dikaitkan dengan perencanaan City Branding Kota Binjai Berdasarkan Visi Kota Binjai saat ini yang akan menjadikan Kota Binjai sebagai kota Kota Binjai Sebagai Kota Binjai sebagai Kota Idaman yang Dinamis, Berdaya Saing dan Nyaman dalam Kebersamaan. Dari visi dan misi yang ada saat ini dimaksdukan bahwa Kota Binjai akan image sesuai perkembangan kota dengan pembangunan yang berkelanjutan, menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, daya saing (Pemerintahan, Pendidikan, Kesehatan, Industri, Jasa), nyaman bagi semua (bertempat-tinggal, bekerja, dan beribadah), suasana kebersamaan dengan semangat ―Binjai Kotaku, kotamu dan kota kita semua‖. Bila dibandingkan antara persepsi penduduk dan visi dan misi Kota Binjai ada terlihat persamaan yaitu perasaan nyaman, dan aman demikian juga kebersamaan, namun untuk berdaya saing tentunya pemerintah Kota Binjai harus melakukan ekstra kerja keras lagi, karena selama penelitian dilakukan masih banyak yang harus dilakukan oleh pemerintah Kota Binjai dalam membina masyarakatnya. Selama pelaksanaan penelitian diperoleh gambaran adanya pesimisme mereka terhadap keunggulan Kota Binjai, hal ini terlihat dari ketika penulis menanyakan keunggulan dari Kota Binjai, dan jawaban yang timbul adalah ―apa sih keunggulan Kota Binjai ini? kamu kan sudah tau dengan keadaan Kota Binjai yang sebenarnya‖. Padahal ketika penulis melakukan penelusuran ke usaha kerajinan unggulan yang ada Kota Binjai mereka sangat optimis mengenai usaha yang mereka jalankan, namun yang hanya mereka butuhkan adalah bantuan dan peran serta pemerintah untuk membantu membina dan memajukan usaha mereka, mulai dari bantuan permodalan dimana mereke malas berurusan dengan pihak bank karena kurang mengerti, maupun pembinaan bagaimana agar produk yang ada menjadi lebih baik, dan akhirnya pemasaran produk mereka ke pasar. Dari strategi dan arah kebijakan Kota Binjai ada terdapat salah satu agenda membangun perekonomian daerah termasuk kemiskinan dan untuk mencapai sasaran tersebut ditetapkan prioritas utamanya pembangunan industri berbasis pertanian, pembangunan kepariwisataan, dan untuk meningkatkan investasi yaitu dengan
54
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
menyederhanakan prosedur perizinan melalui sistem satu atap. Bila dikaitkan dengan perencanaan City Branding tentu ini sangat mendukung, namun kondisi saat ini masih perlu banyak pembenahan baik dibidang pariwisata maupun dalam hal perizinan. Untuk visi dan misi jangka panjang (2005-2025) menjadi Pusat Permukiman, Pelayanan Jasa, Perdagangan, dan Industri yang Berwawasan Lingkungan namun dalam visi antara yang dipaparkan tidak ada satupun yang memaparkan mengenai menjadi pusat permukiman, kesemuanya menyatakan pusat pelayanan jasa, perdagangan, dan industri. Untuk perencanaan City Branding Kota Binjai tentu harus melihat visi dan misi jangka panjang ini, bagaimana agar City Branding yang direncanakan dapat mendukung visi dan misi Kota Binjai ini.
3. Analisis Positioning Kota Binjai dikaitkan dengan perencanaan City Branding Kota Binjai Bila dilihat dari positioning yang dimiliki Kota Binjai saat ini adalah Lokasi yang strategis itu sendiri karena dekat dengan Kota Medan, akan dibangun jalan Kota Binjai-Medan-Kuala Namu, dikelilingi Kabupaten Langkat dan Deli Serdang, masuk dalam KSN Mebidangro (Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo). Selain itu juga Kota Binjai memiliki agroclimate yang baik yang membuat tanaman buah ataupun bunga sangat cocok untuk ditanam di Kota Binjai sehingga Kota Binjai menurut keterangan beberapa informan dari pemerintah Kota Binjai kedepannya akan dicanangkan sebagai ―kota buah‖ dan pengembangan hortikultura. Dari positioning tersebut, sebagai landasan untuk perencanaan City Branding Kota Binjai, image apa yang mau diciptakan kedepannya untuk Kota Binjai dengan postioning Kota Binjai saat ini. Kebutuhan akan perumahan sangat dibutuhkan oleh warga Kota Medan, dengan lahan yang sempit dan mahal penduduk Kota Medan mulai mencari lahan perumahan yang nyaman. Kota Binjai adalah salah satu penyangga kebutuhan itu. Di Binjai lahan perumahan masih cukup banyak dan tidak terlalu mahal dengan kenyamanan yang dimiliki Kota Binjai tentu akan menarik orang untuk dapat tinggal di Kota Binjai. Demikian juga untuk memenuhi kebutuhan penduduk Kota Binjai dalam hal rekreasi. Penduduk Kota Medan yang sudah padat membutuhkan ruang untuk melakukan rekreasi ke suatu tempat yang menjanjikan kenyamanan, maka Kota Binjai adalah tempat yang paling dekat untuk memenuhi kebutuhan itu. Bagaimana agar ini dapat terwujud tentu harus diciptakan image yang baik terhadap Kota Binjai itu sendiri dengan City Branding Kota Binjai. Lokasi Kota Binjai yang dikelilingi oleh Kabupaten Langkat dan Deli Serdang juga berpotensi untuk menampung hasil pertanian, peternakan, ataupun perikanan dari kedua kabupaten tersebut dan menyalurkannya ke Kota Medan. Seperti produksi lele Kota Binjai yang katanya salah satu pemasok terbesar di Sumatera Utara, ternyata diketahui dari hasil penelitian bahwa salah satu penyumbang terbesarnya adalah dari Kabupaten Langkat. Bagaimana agar menarik investor dengan kondisi strategis yang dimiliki Kota Binjai ini, agar mau melakukan investasi di Kota Binjai ini. Dari sekian banyak Kota yang ada di Indonesia pada umumnya dan Sumatera Utara pada khususnya bagaimana agar para investor tertarik terhadap Kota Binjai, tentu mereka harus mengetahui keadaan Kota Binjai itu sendiri, dan langkah pertamanya adalah mengenalkan Kota Binjai itu sendiri dengan City Branding Kota Binjai.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
55
4. Analisis Kekuatan Merk Kota Binjai saat ini dikaitkan dengan City Branding Kota Binjai Kekuatan merk Kota Binjai saat ini meliputi Presence menggambarkan kota yang nyaman dan aman, Place memiliki aspek fisik yang nyaman, dekat Kota Medan (lokasi strategis), People dengan sifat penduduk kekeluargaan, bersahabat, dan ramah, Pre-requisites memiliki sarana dan prasaran cukup lengkap, Pulse kota yang unik (perpaduan kota dan desa), dan Potential memiliki industri pengolahan yang sedang berkembang. Hal-hal tersebut sangat mendukung untuk perencanaan City Branding Kota Binjai. Mulai dari gambaran Kota yang memiliki kesamaan dengan visi dan misi Kota Binjai yaitu kenyamanan dan keamanan Kota Binjai itu sendiri. Demikian juga sifat penduduk Kota Binjai yang masih memiliki rasa kekeluargaan, persahabatan dan keramahan yang masih cukup tinggi. Bagaimana kesemua kekeuatan merk yang dimiliki Kota Binjai saat ini dapat dikenalkan kepada target market maka dirangkumlah dalam City Branding Kota Binjai. Produk unggulan industri yang ada di Kota Binjai terdiri dari anyaman bambu, sulaman bordir, meubel bambu, barang-barang tekstil, kerupuk/ opak dan lain-lain. Upaya yang telah diambil untuk meningkatkan produksi unggulan industri Kota Binjai, yaitu melaksanakan kegiatan pameran produk unggulan di dalam maupun di luar, melakukan penyuluhan dan bimbingan yang berkaitan dengan peningkatan produk industri antara lain meningkatkan kemasan sesuai dengan standar yang ditentukan (makanan) dan memberikan label kemasan termasuk kadaluwarsa pada makanan. Permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan produksi unggulan industri Kota Binjai, adalah kurangnya kesadaran dan kemauan pelaku usaha untuk meningkatkan mutu produksi. Dan solusi yang telah diambil dalam mengatasi masalah peningkatan produksi unggulan industri Kota Binjai adalah memberikan penyuluhan kepada pelaku industri yang berkaitan dengan peningkatan produksi. Namun berdasarkan informasi dari pengusaha pengrajin meubel bambu diperoleh gambaran bahwa mereka membutuhkan bantuan pemasaran dan pembinaan dari Pemerintah Kota Binjai, agar hasil kerajinan bambu yang mereka hasilkan dapat dipasarkan dengan cara profesional, sehingga dapat menambah daya jual meubel yang mereka hasilkan. Demikian juga dengan pengrajin ulos yang ada di Kota Binjai, mereka membutuhkan uluran tangan dari Pemko Binjai, bukan hanya dana tapi juga bimbingan dan arahan bagaimana memasarkan produk yang mereka buat, yang selama ini mereka hanya membuat dan mengirimkannya ke Kota Siantar, tidak memasarkan secara langsung sehingga yang punya nama adalah Kota Siantar bukan Kota Binjai. Produk unggulan ini tentu sangat mendukung dalam hal perencanaan City Branding Kota Binjai.
5. Analisis Brand Image dan Ekspektasi, Visi dan Misi, Positioning, Kekuatan Merk Kota saat ini menjadi City Branding Kota Binjai Bagaimana meningkatkan daya saing daerah Kota Binjai, salah satunya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di Kota Binjai dengan mengelola potensi yang ada di Kota Binjai. Berdasarkan data dari RPJP-D Kota Binjai Tahun 205-2025, salah satu sektor yang menjadi basis aktivitas
56
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
ekonomi adalah industri, yang bila dikelola secara efisien akan menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas, sehingga sektor yang terkait akan ikut meningkat dan turut sebagai motor penggerak perekonomian Kota Binjai. Dengan banyaknya potensi yang ada di Kota Binjai, Pemerintah Kota Binjai harus mampu mengembangkan potensi yang ada. Salah satu caranya adalah dengan menciptakan image (citra) baru Kota Binjai dengan menciptakan City Branding Kota Binjai yang selama ini dikenal dengan Kota Rambutan sehingga memiliki image yang menggambarkan keunggulan Kota Binjai sehingga dapat memasarkan Kota Binjai dan potensi yang ada didalamnya yang akhirnya dapat mendukung peningkatan daya saing daerah Kota Binjai. Agar potensi unggulan yang ada di Kota Binjai bisa dikenal oleh orang banyak maka yang harus dilakukan adalah dengan memperkenalkan Kota Binjai itu sendiri kepada khalayak banyak, seperti kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Untuk itu Kota Binjai harus memperkenalkan kotanya tersebut, kota yang memiliki banyak potensi didalamnya dengan City Branding Kota Binjai. Dalam memasarkan Kota Binjai terdapat beberapa konsumen yang menjadi target utamanya yaitu pengunjung (wisatawan nasional dan internasional), pebisnis ataupun investor, penduduk (ahli/ orang-orang berbakat), dan export markets. Saat ini Binjai memiliki banyak potensi, namun masih banyak yang belum dikembangkan dengan optimal. Dari RTRW Kota Binjai terlihat bahwa Kota Binjai menyediakan lahan untuk kawasan industri dan kawasan untuk perdagangan jasa. Maka citra yang harus diciptakan oleh Kota Binjai adalah menciptakan citra yang ramah terhadap investor, dengan memberikan informasi dan pelayanan yang prima kepada para investor. Berdasarkan data RPJPD Kota Binjai 2005-2025 diketahui bahwa yang paling memberikan kontribusi paling besar terhadap Kota Binjai adalah industri pengolahan. Perencanaan City Branding Kota Binjai dalam mendukung daya saing daerah diperlukan untuk bagaimana memasarkan produk industri yang ada di Kota Binjai. Dengan pasar yang semakin terbuka dengan pengajuan teknologi dan adanya internet sehingga dapat mempermudah Kota Binjai dalam memasarkan produk hasil olahan yang ada di Kota Binjai. Saat ini Kota Binjai belum memiliki objek wisata yang dapat menarik banyak pengunjung, namun selama penelitian dilakukan Kota Binjai memiliki potensi untuk itu. Dan target market pertamanya adalah penduduk Kota Medan yang membutuhkan sarana rekreasi keluarga yang jaraknya cukup dekat namun dapat menjalin keakraban keluarga seperti agrowisata ataupun eduvacation. Kota Binjai memenuhi syarat itu, namun sampai dengan saat ini kegiatan tersebut belum tersedia di Kota Binjai. Untuk itu perlu dilakukan pencitraan yang baru terhadap Kota Binjai untuk menarik minat investor dalam mengembangkan usaha tersebut. Positioning yang dimiliki Kota Binjai yaitu letak Kota Binjai itu sendiri yang sangat strategis, tidak jauh berada dari Kota Medan dan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang. Dimana kedepannya akan dibangun jalan tol yang menghubungkan Kota Binjai-Medan-Bandara Kuala Namu. Bandara Kuala Namu merupakan salah satu Bandara Internasional yang ada di Indonesia. Sebagai bandara internasional yang merupakan pintu masuk wisatawan, baik nasional maupun internasional. Dengan positioning yang dimiliki Kota Binjai ini, maka untuk menarik investor maka harus diciptakan image (citra) bahwa menanamkan investasi di Kota Binjai sangat menguntungkan. Setelah target market pertama (investor) maka target market Kota Binjai selanjutnya adalah pengunjung, karena dengan banyaknya wisatawan yang datang ke Kota Binjai, maka produk unggul yang ada di Kota Binjai dapat dipasarkan, seperti yang dikatakan Anholt (2010:15) bahwa salah satu cara kegiatan dalam
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
57
menciptakan citra suatu kota adalah melalui promosi pariwisata mereka, serta pengalaman orang mengunjungi negara sebagai turis atau pelancong bisnis. Untuk menarik wisatawan agar mau datang ke Kota Binjai, maka Kota Binjai harus menerapkan sapta pesona yang merupakan kebijakan dalam dunia pariwisata tanah air, yaitu Kemanan, Ketertiban, Kebersihan, Kesejukan, Keindahan, Keramahan, dan Kenangan. Tujuan diselenggarakan program Sapta Pesona adalah untuk meningkatkan kesadaran, rasa tanggung jawab segenap lapisan masyarakat, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat luas untuk mampu bertindak dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kota Binjai saat terkenal biasa saja, kota kecil yang tidak memiliki keistimewaan tersendiri, Kota Binjai yang memang tidak dikarunian panorama alam yang indah. City Branding Kota Binjai yang direncanakan harus mampu merubah image itu, yaitu menjadi kota yang indah, kesan indah ini dapat diciptakan dengan peranan dari pemerintah Kota Binjai dalam menata pembangunannya, baik dari segi arsitekturnya maupun dari penataan landskapnya. City Branding ini dimaksudkan agar merubah image Kota Binjai yang hanya terkesan Kota yang kecil, kota yang biasa saja menjadi kota yang menggambarkan bahwa Kota Binjai itu kota yang indah, dengan keunikan yang dimilikinya yaitu perpaduan antara suasana kota dan pedesaan. Karena tidak memiliki keunikan dan keistimewaan di mata pengunjung, City Branding Kota Binjai yang akan direncanakan juga harus menggambarkan bagaimana terkesannya wisatawan selama berada di Kota Binjai, merasakan bahwa momen-momen yang selama ini dianggap biasa saja menjadi momen yang indah selama di Kota Binjai untuk dikenang. Kesan ini akan menarik pengunjung agar mau datang kembali ke Kota Binjai, bukan karena ada urusan ataupun keluarga tapi memang khusus datang mengunjungi Kota Binjai. Dengan terciptanya kesan bahwa Kota Binjai itu kota yang indah, dan setiap momen yang dialami selama berada di Kota Binjai menimbulkan kesan yang mendalam akan menarik minat para pengunjung yang belum pernah ataupun yang selama ini tidak berminat datang ke Kota Binjai mau mengunjungi dan berwisata ke Kota Binjai. Untuk menciptakan kesan yang indah juga dapat dilakukan dengan mengadakan event atau festival yang dapat mengundang wisatawan datang ke Kota Binjai, seperti wisata jajanan kuliner, yang selama ini untuk berwisata kuliner di Kota Binjai bagi yang belum pernah akan bingung mencari karena tempatnya yang terpisah, pada event atau festival tersebut ditempatkan pada suatu tempat sehngga akan mempermudah orang yang berwisata kuliner. Setelah Kota Binjai dikenal orang maka target market selanjutnya adalah penduduk (ahli/orang-orang berbakat) agar tertarik untuk mengembangkan Kota Binjai dan potensi yang ada di dalamnya, dan akhirnya export markets sehingga potensi unggulan yang ada di Kota Binjai akhirnya dapat di eksport ke luar negeri. Bagaimana agar City Branding Kota Binjai ini terbentuk tentunya perlu dukungan dari semua pihak, baik dari pemerintah dan pejabat yang berwenang dengan kebijakan-kebijakannya, penduduknya dengan tetap menjaga sifat kekeluargaan dan keramahannya dan juga mendukung program pemerintah, dan juga para pelaku usaha di Kota Binjai ikut mendukung pembangunan City Branding Kota Binjai. Kebijakan-kebijakan pembangunan diharapkan dapat membentuk image Kota Binjai yang akan dibentuk, seperti penataan ruang yang betul-betul menciptakan suasana yang indah di Kota Binjai contohnya seperti menciptakan ruang terbuka publik atau dengan tetap menjaga ruang terbuka hijau di Kota Binjai. Kota Binjai saat ini memang belum memiliki pemandangan alam yang indah saat ini, namun kedepannya dapat direncanakan dan diciptakan suasana kota yang tertata dengan rapi sehingga menciptakan suasana yang indah, baik dari desain (rancangan arsitektur)
58
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
bangunannya maupun dari struktur penataan kota yang akhirnya menciptakan kenyamanan bagi masyarakat yang berada di Kota Binjai. Demikian juga kebijakan-kebijakan pelayanan publik bagaimana agar tercipta kesan bahwa selama melakukan pengurusan baik perizinan maupun hal-hal yang terkait administrasi para investor menerima pelayanan yang paling baik. Bagaimana agar kesan yang baik ini dapat disampaikan kepada publik, tentunya hal ini dengan City Branding Kota Binjai. City Branding Kota Binjai harus menggambarkan kesan ini, bahwa selama melakukan bisnis di Kota Binjai mereka mendapatkan kesan bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang istimewa dari pemerintah Kota Binjai. sehingga dengan tertariknya investor, maka potensi unggulan yang ada di Kota Binjai dapat dikembangkan. Kota Binjai saat ini sedang berkembang, kedepannya akan dibangun pusat perkotaan baru yang berada di Kecamatan Binjai Timur dimana saat ini lahan yang ada masih dalam proses pengurusan lahan, karena saat ini lahan yang ada masih berstatus HGU yang dikuasai perkebunan PTPN II. Untuk itu kedepannya perencanaan Kota Binjai yang akan dibangun ini harus direncanakan sedemikian rupa sehingga akan menciptakan suasana yang indah sehingga mendukung City Branding Kota Binjai. Potensi-potensi sumber daya alam seperti rambutan, jambu madu, jambu delima merah, ikan lele, dan lain sebagainya dapat diciptakan suatu agrowisata ataupun eduvacation yang dapat menarik minat pengunjung untuk datang ke Kota Binjai. Seperti misi Kota Binjai dan perkataan dari Bapak Kepala Humas Pemko Binjai bahwa Kota Binjai ini mau dijadikan sebagai kota yang layak anak. Agrowisata dan eduvacation yang diadakan mengandung unsur wisata sambil anak-anak mendapat ilmu pengetahuan dari sana, wisata yang bermanfaat untuk anak. Begitu juga dengan UMKM yang ada di Kota Binjai, harus ada pembinaan bagaimana menciptakan suatu produk yang dapat menarik minat pembeli. Seperti contohnya ulos, orang tidak perlu jauh-jauh lagi membeli produk ulos ke Siantar (tempat yang banyak menghasilkan ulos) tapi cukup datang ke pengrajin ulos langsung di Kota Binjai, dan tentunya harga yang yang harus dibayar tidak terlalu mahal. Dan tentu saja produk ulos yang dihasilkan juga harus bisa menghasilkan inovasi-inovasi baru. Agar ulos yang selama ini hanya dipakai untuk adat suku Batak, maka suku lain bisa menggunakan ulos, yaitu dengan menciptakan produk (souvenir) yang terbuat dari ulos. Kerajinan ulos ini juga bisa dikembangkan menjadi eduvacation, seperti belajar menenun ulos, memberi pengetahuan kepada wisatawan yang datang mengenai segala sesuatu mengenai ulos, mulai dari sejarah, jenis, cara membuatnya, yang akhirnya dapat menambah nilai tambah bagi nilai ulos itu sendiri di mata masyarakat. Seni budaya dan heritage yang ada di Kota Binjai juga dijadikan suatu event yang menarik, bagaimana agar pengunjung merasa bahwa heritage yang ada di Kota Binjai benar-benar dijaga kelestariannya. Festival-festival seni budaya yang diadakan, penduduk dan pengunjung dapat juga berperan serta disana, apakah sebagai penonton ataupun sambil belajar, contohnya memainkan alat musik ataupun belajar menari tradisional. Untuk melakukan pemasaran daerah perlu dilakukan komunikasi pemasaran agar dapat menyampaikan informasi mengenai kondisi daerah yang ada, yang kemudian berusah mempengaruhi target market (Investor, pengunjung, ahli, export market) agar mau menanamkan investasi di daerah, tinggal di daerah tersebut ataupun ikut mengembangkan daerah. Untuk itu dalam merencanakan City Branding Kota Binjai maka city brand yang akan direncakan harus mampu mengkomunikasikan itu semua. Brand itu adalah janji yang diberikan Kota Binjai kepada target marketnya (dalam hal ini wisatawan) mengenai keadaan Kota Binjai, brand (merek) bukan hanya sebuah logo ataupun nama. Namun lebih dari itu, dimana brand dapat menjadi suatu identitas bagi Kota
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
59
Binjai. Untuk meningkatkan nilai tambah (added value) Kota Binjai dimata target marketnya maka Kota Binjai harus menciptakan brand yang mampu mempengaruhi emosional target market tersebut. Brand yang ada harus menciptakan kesan yang mendalam terhadap target market. brand harus memiliki kriteria ketersediaan, berarti, mudah diingat, dapat dilindungi, orientasi kedepan, positif, dan dapat dialihkan (Kotler dan Pfoertsch, 2006). City Branding adalah proses membentuk suatu merek dalam hal membangun suatu komunikasi kepada target pasar dengan memberikan nama, simbol tanda, logo, dan lain sebagainya agar menciptakan citra yang baik bagi kota tersebut sehingga dapat menciptakan dan memperkaya kualitas kota. Dari uraian diatas, maka City Branding Kota Binjai yang harus dibentuk untuk menarik investor harus menggambarkan kesan bahwa Kota Binjai adalah kota yang ramah investor dengan memberikan pelayanan yang prima dan juga menggambarkan bahwa Kota Binjai adalah kota yang strategis untuk menananamkan investasi. Sedangkan brand untuk menarik wisatawan ataupun penduduk (ahli) harus menggambarkan suasana Kota Binjai saat ini yang indah dan unik, merupakan perpaduan Kota dan Desa dengan suasana yang aman dan nyaman.
5. KESIMPULAN City Branding di Kota Binjai dalam mendukung daya saing daerah dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Saat ini Brand image Kota Binjai di mata penduduk dan pengunjung Kota Binjai adalah buah rambutan; perasaan yang nyaman, aman, indah; ditambah dengan keramahan penduduk; kenyamanan dan keamanan kota. b. Persepsi pengunjung yang datang ke Kota Binjai, kota ini identik dengan rambutan. Kota Binjai dianggap sebagai kota yang ramah dan bersahabat. c. Masyarakat berharap fasilitas yang lebih lengkap, dengan perlu menonjolkan keunikan dari kota ini, terutama dari produk rambutannya yang sangat terkenal enak dan unggul.
2. Lokasi Kota Binjai yang strategis karena dekat dengan ibukota provinsi Sumatera Utara, Kota Medan. Jalan tol yang menghubungkan Kota Binjai-Kota Medan-Bandara Kualanamu, masuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) Mebidangro (Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo). 3. City brand di Kota Binjai dapat meningkatkan daya saing daerah dan secara tidak langsung mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat Kota Binjai serta menarik investor, wisatawan, ataupun penduduk asli. Kota Binjai strategis bagi investor untuk menananamkan modalnya merupakan perpaduan Kota dan Desa dengan suasana yang aman dan nyaman. Perencanaan City Branding ini merupakan awal dari membangun City Branding Kota Binjai. Agar City Branding Kota Binjai dapat berhasil tentunya diperlukan waktu dan proses yang cukup lama dan membutuhkan keterlibatan dari semua pihak. Untuk itu penulis merekomendasikan hal-hal berikut : 1. City brand Kota Binjai memiliki elemen brand dengan beberapa Slogan di bawah ini : ―Beautiful Binjai, Beautiful Moment‖ . ―Beutiful Binjai, Be Healthy‖ ―Delicious Rambutan, only in Binjai‖
60
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
2. Untuk Logo perlu direncanakan, tentunya diperlukan jasa ahli desain bagaimana agar logo yang dihasilkan dapat menarik mampu menggambarkan slogan yang ada. 3. Ikon untuk city brand Kota Binjai sebaiknya adalah Rambutannya yang sudah terkenal dan sesuai dengan keinginan dari penduduk dan pengungjung Kota Binjai. 4. Sedangkan untuk Kisah brand itu sendiri yang dapat memperkuat brand Kota Binjai dapat diciptakan dengan mengangkat kisah asal muasal Kota Binjai yang berasal dari sebuah pohon binjai dengan menanam kembali pohon binjai tersebut, sehingga orang mengetahui seperti apa pohon binjai itu sendiri sebagai asal muasal pemberian nama Kota Binjai. 5. Diperlukan kerjasama yang baik dan rasa optimisme yang tinggi antara pemerintah, masyarakat, dan pengusaha ntuk mewujudkan city brand Kota Binjai dengan sosialisasi yang menggambarkan manfaat yang diperoleh pemerintah, masyarakat dan pengusaha bila city brand Kota berhasil dibentuk. Juga dapat membentuk kerjasama dengan universitas terkemuka bagaimana mengembangkan produk yang ada di Kota Binjai ataupun kerja sama dengan daerah yang ada di sekitar Kota Binjai. 6. Saat ini website yang dimiliki Kota Binjai masih menunjukkan informasi dan berita yang bentuknya hampir sama dengan kota ataupun kabupaten lainnya. Untuk membangun City Branding yang kuat maka penulis menyarankan perlu website yang lebih menarik lagi, yang mampu menggambarkan potensi dan kemenarikan Kota Binjai. 7. City Branding harus diperkenalkan kepada publik baik dalam negeri maupun luar negeri antara lain melalui hubungan masyarakat (humas), pameran perdagangan, periklanan, dan promosi penjualan. 8. Untuk mendukung terciptanya brand image Kota Binjai yang baru maka fasilitas yang ada di Kota Binjai saat ini harus lebih ditingkatkan dan dilengkapi lagi .
REFERENSI Anholt, S. 2007. Competitive Identity. The New Brand Management for Nations, Cities and Regions. Britain : Palgrave Macmillan. Ebook. Binjai Bukan Lagi Sebatas Kota Persinggahan. 2012. www.analisadaily.com 18 Desember. Binjai Menuju Kota Buah. 2013. http://www.waspada.co.id 20 Januari. Braun, Erik. 2008. City Marketing Towards an Integrated Approach. Rotterdam : Erasmus Research Institute of Management. Coyne, Christopher J., 2012. Trade Openness and Cultural Creative Destruction, Vol 1., No. 1, 2012, P. Djunaedi, Achmad. 2002. Pemasaran Kota dalam kaitannya dengan Perencanaan Kota. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional ―Peranan Pendidikan Perencanaan di Indonesia: Menjawab Tantangan Perubahan‖, kerjasama antara MPKD UGM dengan Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI), Yogyakarta, 27 Juli 2002.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
61
Fadallah, A. Akbar. 2012. Identifikasi Proses Penerapan Konsep City Branding Kota Pekalongan. Tugas Akhir. Bandung : Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan. Institut Teknologi Bandung. Kartajaya, Hermawan. 2006. Marketing Klasik Indonesia. Anniversary Edition. Bandung : Mizan dan MarkPlus & Co. Kota Binjai Menjadi Barometer Pembangunan Keagamaan di Sumut. 2013. Sumut.kemenag.go.id. 15 Februari. Kota Binjai Pemasok Ikan Lele Terbesar di Sumut. 2013. www.binjainews.net Kotler dan Armstrong. 2001. Prinsip-Prsinsip Pemasaran Jilid 2 Edisi Kedelapan. Jakarta : Erlangga. Kotler, Philip dan Pfoertsch, Waldemar. 2006. B2B Brand Management Dengan Membranding Membangun Keunggulan dan memenangi kompetisi. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. KPPOD, USAID, dan The Asia Foundation. 2005. Daya Saing Investasi Kabupaten/ Kota di Indonesia, Persepsi Dunia Usaha. Lupiyoadi, Rambat dan Hamdani, A. 2006. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Salemba empat. Magnadi, R. Hari dan Indriani, Faridia. 2011. Peran Perguruan Tinggi dalam Membangun “City Branding” yang Berkelanjutan : Sebuah Upaya untuk Mendorong Pertumbuhan Perekonomian Daerah. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM : Sosial, Ekonomi, dan Daerah. Unisba. p.281-290. Matlovičová, Kvetoslava. 2008. Place Marketing Process – Theoretical Aspects of Realizaton. Acta Facultis Studiorum Humanitatis et Nature Universitatis Psesoviensis, Priodne vedy, Folia Geographica, 12, PU, p. 195-224. Malaysia Minati Kerajinan Bambu Binjai Sumut. 2013. www.analisadaily.com (21 Februari 2014). Nam, Taewoo, 2013. Citizen Participation in Visioning A Progressive City: A Case Study of Albany 2030, International Review of Public Administration, Vol. 18, No. 3, 2013. PPSK Bank Indonesia – LP3E FE-Unpad. 2008. Profil dan Pemetaan Daya Saing Ekonomi Daerah Kabupaten/ Kota di Indonesia. Jakarta : RajaGrafido Persada. Rahmadyani, I. 2011. Identifiasi Elemen Pembentuk City Branding Kota Bandung. Tugas Akhir. Bandung : Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan. Institut Teknologi Bandung. Rainisto, Seppo K. 2003. Success Factors Of Place Marketing: A Study Of Place Marketing Practices In Northern Europe And The United States. Doctoral Dissertations Helsinki University of Technology, Institute of Strategy and International Business. Disertasi Riyadi. 2009. Fenomena City Branding Pada Era Otonomi Daerah. Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan, Vol. 5, No. 1 (Maret).. Sadat, Andi M. 2009. Brand Belief Strategi Membangun Merk Berbasis Keyakinan. Jakarta : Salemba Emp Siregar, A. Sadat. 2012. Strategi Regional Branding Kabupaten Padang Lawas Utara. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
62
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Implementasi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pengaturan Penggunaan Jalan Umum Dan Jalan Khusus Di Provinsi Riau
Febri Yuliani FISIP Universitas Riau Telp : + 62 – 0813 – 6595- 2525 e-mail :
[email protected]
Abstrack: Prasarana jalan semakin diperlukan untuk menjembatani kesenjangan dan mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan di Provinsi Riau.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem
transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah. Panjang Jalan Provinsi Riau mencapai 23.733 Km, dari panjang tersebut sekitar 8.069,22 Km atau 34 persen di antaranya mengalami kerusakan ringan, sedang, dan berat dengan kondisi memprihatinkan. Berdasarkan data Direktorat Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan pada 2010 dari 23.733 kilometer total panjang jalan di Riau, tercatat 34 persen dalam keadaan rusak sedang, ringan dan berat. Dari total panjang jalan itu sebesar 82 persen merupakan jalan kabupaten dan kota, sedangkan 13 persen jalan provinsi, dan sisanya jalan negara. Sementara itu jalan negara yang baik mencapai 28 persen dan jalan kabupaten/ kota yang dalam keadaan baik 32 persen. Mencermati fakta demikian, pembangunan infrastruktur yang ada selama ini belum maksimal dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Kerusakan jalan tersebut penyebabnya antara lain akibat dilalui kendaraan bermuatan berat atau melebihi batas tonase yang ditentukan. Selain dilalui oleh kendaraan bertonase berat dan volume kendaraan melebihi kapasitas jalan, kerusakan tersebut juga akibat dimakan usia dan minimnya pemeliharaan. Kini kondisi sebagian badan jalan tersebut dalam keadaan memprihatinkan, termasuk yang menghubungkan antar daerah sehingga diperlukan peningkatan perawatan jalan setiap tahun disamping melakukan pengawasan agar tidak dilalui oleh kendaraan bertonase tinggi.
Kata Kunci : Kebijakan, Jalan umum, jalan khusus
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
63
Latar Belakang Penelitian : Sebagai salah satu upaya Pemerintah Provinsi Riau dalam mengatasi masalah penggunaan jalan di Riau pemerintah telah disusunnya Peraturan Daerah Provinsi (Perda) Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pengaturan Penggunaan Jalan Umum Dan Jalan Khusus. Beberapa hal yang digariskan dalam Peraturan Daerah tersebut digariskan bahwa pengaturan Jalan Umum dan Jalan Khusus ini bertujuan untuk mewujudkan keamanan, ketertiban dan keselamatan dalam penggunaan jalan, mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung penyelenggaraan sistem transportasi yang terpadu, mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak kepada kepentingan masyarakat, mewujudkan Sistem informasi teknologi yang mampu menyederhanakan pengawasan dan mencegah perbuatan aparatur pemerintah yang melanggar hukum. Untuk mengkaji lebih jauh suatu implementasi kebijakan publik maka perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu, diperlukan suatu model kebijakan guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak model yang dapat dipakai untuk menganalisis sebuah implementasi kebijakan, namun kali ini yang saya bagikan adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III. Menurut Edward III dalam bukunya " Implementing Public Policy ", studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi administrasi publik dan kebijakan publik. Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Studi ini termasuk ruang lingkup penelitian kebijakan di bidang perhubungan dan IT untuk tujuan mengevaluasi kebijakan yang ada dan menghasilkan konsep kebijakan operasional pemerintah dalam pelaksanaan pengaturan Jalan Umum dan Jalan Khusus,
terutama untuk penyelenggaraan pengembangan
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu-lintas.
Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan dalam melakukan studi implementasi adalah metode kualitatif. Dilakukan melalui pendekatan Yuridis Normatif maupun Yuridis Empiris dengan menggunakan data sekunder maupun data primer. 1.
Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder, baik yang berupa perundang-undangan maupun hasil-hasil penelitian, hasil pengkajian dan referensi lainnya.
2.
Sedangkan pendekatan Yuridis Empiris dapat dilakukan dengan menelaah data primer yang diperoleh/dikumpulkan langsung dari masyarakat. Data primer dapat diperoleh dengan cara: pengamatan (observasi), diskusi (Focus Group Discussion), wawancara, mendengar pendapat narasumber atau para ahli, menyebarkan kuestioner dan sebagainya.
Data primer pada penelitian ini diperoleh dengan cara wawancara kepada informan. Dalam pendekatan
64
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
kualitatif ini menekankan metode efistemologik untuk melahirkan reformulasi dan rekonseptualisasi teori kebijakan dari perspektif yang diteliti dan peneliti melalui integrasi pendekatan kualitatif . Dari penelitian ini diharapkan akan menghasilkan proposisi hipotetik baru melalui interpretasi interaksi antara atribut dan propertise yang selanjutnya digunakan untuk membangun katagori dan memberikan ekplanasi terhadap fenomena yang diteliti.
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 sebagai derivasi kebijakan diatas menjelaskan tentang pemanfaatan penggunaan jalan umum dan jalan khusus yang pada akhirnya adalah 1.
Menjamin kenderaan laik jalan selama beroperasi, melindunggi jalan /jembatan dari kerusakan akibat pembebanan kenderaan bermotor
2.
Untuk kelancaran, keselamatan dan kenyamanan dalam berlalu lintas dijalan umum, mengurangi angka kecelakaan lalu lintas sebagai akibat overdimensi/overload
3.
Pengumpulan data/informasi sebagai bahan evaluasi pergerakan kenderaan angkutan orang dan barang dalam rangka perencanaan transportasi di Provinsi Riau khususnya, nasional pada umumnya. Hasil penelitian menunjukkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 menunujukkan bahwa
pengaturan jalan umum dan jalan khusus sangat cocok sekali mengingat tingkat kerusakan jalan yang diakibatkan kelebihan Tonase muatan yang mempercepat umur jalan (Life Time) dalam tahap pemeliharan ataupun Rekonstruksi membuat pemborosan terhadap keuangan daerah. Disamping dapat meminimalkan biaya operasional pemeliharaan, dengan adanya perda jalan ini, pemerintah daerah (Pemda) dapat memperoleh manfaat, sebagaimana kita ketahui bahwa sebagian besar pengguna jalan khusus adalah perusahaa-perusahaan besar di Riau ini seperti PTPN 5, PT.RAPP, CPI dan beberapa perusahaan perkebunan lainnya, mereka-mereka ini pada umumnya membuat sendiri jalan untuk operasional kenderaan mereka. Hal ini dapat merupakan keuntungan dari segi ekonomis baik untuk Pemda sendiri atau bagi masyarakat sekitar jalan yang dibuka mereka, bagi Pemda dapat menghemat biaya, dalam artian Pemda tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk membuka jalan baru, dan bagi masyarakat sekitarnya dapat membuka akses baru dan memudahkan masyarakat dalam beraktivitas dengan dibukanya jalan ini. Untuk menerapkan Perda No. 5 tahun 2013 hendaklah diiringi dengan menyiapkan teknis operasional dalam pengaturan jalan. Pengaturan jalan untuk kendaraan yang memiliki muatan lebih selama ini dilakukan dengan melakukan pengecekan melalui jembatan timbang. Pada pengecekan melalui jembatan ini masih dirasakan banyaknya kelemahan-kelemahan seperti proses penimbangan yang manual dan jumlah petugas yang terbatas yang pada akhirnya membutuhkan waktu yang agak lama untuk menyelesaikan pengecekan pada satusatu kendaraan. Hal ini akan berakibat terjadinya antrian kendaraan yang cukup panjang untuk memasuki jembatan timbang dan apabila antrian ini panjangnya sampai memakan jalan umum sebelum memasuki jembatan timbang tentunya akan menggangu kelancaran arus lalu lintas yang dilalui oleh masyarakat umum. Disamping itu, misi untuk menjaga perawatan jalan terhadap kendaraan yang memiliki beban lebih tidak dapat dijalankan melalui pengecekan pada jembatan timbang karena kendaraan yang memiliki beban yang melebihi ketentuan hanya diharuskan untuk membayar denda. Oleh karena itu agar penerapan Perda No.5 tahun 2013 dapat berjalan dengan baik maka diperlukan suatu sistem pengaturan. Pengaturan ini meliputi pengaturan yang
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
65
melibatkan kendaraan antar propinsi yang memasuki Propinsi Riau dan juga pengaturan kendaraan yang terdaftar pada kota/kabupaten di Propinsi Riau. Secara umum baik itu kendaraan luar Propinsi Riau maupun kendaraan yang terdaftar pada Propinsi Riau didalam pengaturannya akan melewati proses yang ada pada komponen-komponen berikut ini: 1.
Pengelompokan Kendaraan menurut jenis tonase sesuai dengan ketentuan yang berlaku
2.
Pengecekan kendaraan menurut jenis tonase sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3.
Peringatan terhadap pengemudi mengenai kelebihan muatan pada kendaraan yang dikendarainya.
4.
Pusat informasi untuk pergudangan yang mencakup kapasitas dan lokasi secara real time. Komponen-komponen diatas bekerja pada jaringan infrastruktur sistem informasi dengan melibatkan
database untuk mendukung kinerjanya. Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat penyediaan jasa pelayanan sarana dan prasarana menghadapi tiga dimensi permasalahan. Pertama, pembangunan sarana dan prasarana tidak mudah karena mencakup penggunaan kapital yang sangat besar, waktu pengembalian modal yang panjang, penggunaan lahan yang cukup luas, pemanfaatan teknologi tinggi, perencanaan dan implementasi perlu waktu panjang untuk mencapai skala ekonomi yang tertentu. Di lain pihak kemampuan ekonomi nasional pada saat ini sangat terbatas, baik dana yang berasal dari pemerintah maupun swasta. Kedua, pembangunan sarana dan prasarana merupakan prakondisi bagi berkembangnya kesempatan dan peluang baru di berbagai bidang. Peningkatan jumlah penduduk mendorong perlunya tambahan pelayanan sarana dan prasarana. Ketiga, menghadapi persaingan global dan sekaligus memenuhi permintaan masyarakat akan jasa pelayanan sarana dan prasarana memerlukan restrukturisasi dalam penyelenggaraan usaha pelayanan jasa sarana dan prasarana. Tingkat kerusakan jalan akibat over loading dan sistem penanganan yang belum memadai, berakibat pada hancurnya jalan sebelum umur teknis jalan tersebut tercapai, sehingga diperlukan biaya tambahan untuk mempertahankan fungsi suatu jalan. Hal tersebut akan berpengaruh pada berkurangnya alokasi untuk jalan yang lain sehingga pada akhirnya pengelolaan seluruh jaringan jalan akan terganggu. Selain itu, kerugian paling besar secara langsung akan dialami oleh pengguna jalan, yaitu bertambahnya waktu tempuh perjalanan sehingga biaya operasional kendaraan akan semakin tinggi, serta akibat tak langsung komponen biaya transport pada proses distribusi barang semakin bertambah. Kerusakan prasarana jalan telah menyebabkan terjadinya kemacetan masif (bottlenecks) di berbagai ruas jalan yang merupakan lintas ekonomi serta telah meningkatkan secara dramatis biaya sosial ekonomi yang diderita oleh pengguna jalan.
Kesimpulan : Kesimpulan dalam penelitian ini adalah (1) Implentasi kebijakan akan terlaksana dengan baik apa bila seluruh komponen kebijakan (aktor kebijakan , private sector dan masyarakat ) memahami isi kebijakan tersebut (2) Perda Nomor 5 Tahun 2013 tetap dapat dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa poin penting, seperti Komunikasi, Sumber daya, sikap pelaksana kebijakan dan struktur birokrasi
66
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Rekomendasi yang diberikan : (1) Secepatnya perlu dilakukan sosialisasi oleh instansi terkait seperti Dishub, kepolisian dan lembaga terkait lainnya. (2) Perda No. 5 Tahun 2013 perlu konsekuensi logis dalam pelaksanaannya seperti penyediaan sarana dan prasarana serta para pelaksana di lapangan. (3) Penyusunan standar operasional prosedur yang jelas sebagai jabaran dari perda No. 5 tahun 2013 tersebut.
Daftar Pustaka Dunn, William N. 2011. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi II. Penyunting Muhadjir Darwin. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lilik Ekowati, Mas Roro, 2004 Perencanaan. Implememasi dan Evaluasi Kebijakan Atau Program, Pustaka Cakra, Surakarta. Mikkelsen, Britha. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan. Terjemahan Matheos Nalle. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tietenberg, Tom, 2001. Environtmental Economics and Policy, Addison Wesley, Boston Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pengaturan Penggunaan Jalan Umum Dan Jalan Khusus
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
67
Evaluasi Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) Di Kecamatan Bolaang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow
Abdul Rahman Dilapanga Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado
Abstrak: Setiap kebijakan publik yang telah ditetapkan dan diimplementasikan, harus diawasi, dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut sebagai “evaluasi kebijakan”. Evaluasi kebijakan biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada publik, sejauh mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dengan “kenyataan”. Penelitian
ini
bertujuan
untuk
untuk
memperoleh
temuan
lapangan,
menginterpretasikan data lapangan sehingga diperoleh gambaran tentang evaluasi
menganalisis
dan
kebijakan PPIP di
Kecamatan Bolaang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow. Metode atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang bertujuan untuk mengungkap, menganalisis dan menginterpretasikan data lapangan, oleh karena itu digunakan pendekatan kualitatif. Analisis data yang digunakan adalah analisis model interaktif dari Miles dan Huberman. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:1. Secara keseluruhan ketiga desa sasaran (Bolaang I, Bantik, dan Lolan I) PPIP di Kecamatan Bolaang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow, telah mengikuti tahapan-tahapan pelaksanaan pembangunan infrastruktur perdesaan. 2. Masyarakat telah desa diberdayakan dalam pelaksanaan pembangunan melalui OMS, KPP dan KD artinya keseluruhan proses pelaksanaan kegiatan (tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan melibatkan peran aktif masyarakat. 3. Fasilitator Masyarakat (FM) yang ditempatkan di Kecamatan Bolaang Timur, telah berperan dalam membimbing dan mengarahkan OMS, KD dan KPP mulai dari tahapan penyiapan dan sosialisasi hingga pelaporan dan penyerahan infrastruktur yang dibangun kepada KPP dan pemerintah desa.4. Kelompok masyarakat miskin dan kaum perempuan benar-benar diberdayakan dan diberikan kesempatan untuk terlibat secara aktif berpartisipasi mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan dan pemeliharaan dalam pelaksanaan PPIP pada ketiga desa sasaran. 5. Infrastruktur yang dibangun pada ketiga sasaran dapat diterima oleh masyarakat, karena masyarakat telah dilibatkan mulai dari tahapan survey, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan sehingga tepat sasaran sesuai kebutuhan masyarakat desa. 6. Masyarakat pada ketiga desa sasaran merasakan manfaat dengan dibangunnya infrastruktur pada masingmasing desa.7. Secara keseluruhan proses perencanaan oleh masyarakat melalui OMS dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur pada ketiga desa sasaran telah dilaksanakan berdasarkan standar dan kriteria yang telah ditentukan. 8.
68
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Telah dilakukan penguatan dalam pelaksanaan sistem monitoring dan evaluasi secara terus menerus serta adanya mekanisme penanganan pengaduan masyarakat secara efektif. Kata-kata kunci: Evaluasi, Kebijakan, Pembangunan, Infrastruktur
Pendahuluan Kebijakan Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) merupakan upaya penanggulangan kemiskinan melalui peningkatan akses masyarakat miskin terhadap infrastruktur dasar perdesaan. Program tersebut berbasis masyarakat dengan konsep pemberdayaan masyarakat yang berupaya menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kualitas kehidupan, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Tujuan PPIP adalah menciptakan dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kelompok sehingga mampu memecahkan berbagai permasalahan terkait kemiskinan dan ketertinggalan yang ada di desanya. Kebijakan PPIP merupakan program berbasis pemberdayaan masyarakat di bawah payung PNPM Mandiri, yang komponen kegiatannya meliputi fasilitasi dan mobilisasi masyarakat sehingga mampu melakukan identifikasi permasalahan ketersediaan dan akses ke infrastruktur dasar, menyusun perencanaan dan melaksanakan pembangunan infrastruktur dasar. Kecamatan Bolaang Timur sebagai wilayah pemekaran dari Kecamatan Bolaang Kabupaten Bolaang Mongondow, yang meliputi Sembilan desa yaitu: Ambang I, Ambang II, Desa Tadoy, dan Tadoy I, Bolaang dan Bolaang I, Desa Bantik, Lolan dan Lolan I, juga ditetapkan sebagai lokasi PPIP. Sesuai penetapan Kementerian PU, maka pada tahun 2012 PPIP di Kecamatan Bolaang Timur meliputi empat desa yaitu: Tadoy, Tadoy I, Bolaang
dan Ambang I, sedangkan untuk tahun anggaran 2013 mencakup tiga desa yaitu: Lolan, Bantik dan
Bolaang I. PPIP sebagai suatu kebijakan mencakup tiga proses kegiatan yaitu formulasi, implementasi dan evaluasi. Program pembangunan infrastruktur yang diusulkan dan dibangun di desa dirumuskan dan ditetapkan melalui musyawarah desa, selanjutnya diimplementasikan sesuai anggaran yang disediakan oleh pemerintah, yaitu masing-masing desa memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp. 250.000.000,-. Dengan tersedianya anggaran, maka proposal yang telah dimusyawarahkan melalui musayawarah desa, dilaksanakan dengan memberdayakan masyarakat yang terdiri dari Organisasi Masyarakat Setempat (OMS), Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) dan Kader Desa (KD). Sesuai ketentuan pengurus tidak melibatkan perangkat desa dan PNS pada posisi ketua, sekretaris dan bendahara Organisasi Masyarakat Setempat (OMS).
Metode Penelitian Metode atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang bertujuan untuk mengungkap, menganalisis dan menginterpretasikan data lapangan, oleh karena itu digunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini memfokuskan pada proses deskripsi dan pemberian makna atas berbagai faktor yang berhubungan dengan evaluasi program pembangunan infrastruktur perdesaan (PPIP) oleh karena itu penelitian ini menggunakan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
69
pendekatan kualitatif. Fokus dalam penelitian kualitatif berkaitan erat dengan masalah yang dirumuskan dan dijadikan acuan dalam penentuan fokus penelitian. Dalam penelitian ini focus utama adalah ―Evaluasi Program Pembvangunan Infrastruktur Perdesaan‖ Dengan mengacu pada fokus utama tersebut di atas, maka fokus penelitian teraebut selanjutnya dijabarkan dalam dua pertanyaan peneloitian berikut: 1. Bagaimana evaluasi program pembangunan infrastruktur perdesaan (PPIP)di Kecamatan Bolaang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow?, Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Bolaang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara, dengan situs desa Bolaang I, Bantik dan Lolan I. Dipilihnya lokasi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa ketiga desa tersebut adalah desa yang ditetapkan sebagai penerima dan pelaksana PPIP tahun 2013. Dalam penelitian naturalistik yang dijadikan sampel hanyalah sumber yang dapat memberikan informasi. Sampel dapat berupa hal, peristiwa, manusia, situasi yang diobservasi (Nasution, 1988:32). Selanjutnya Lofland and Lofland, dalam Moleong (1994:112) mengemukakan ―sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainlain‖. Sesuai dengan masalah dan fokus dalam penelitian ini, maka sumber data adalah: Key informan, informan awal atau kunci dalam penelitian ini dipilih secara purposif (Stratified Purposive Sampling). Hal ini dilakukan untuk memilih informan yang benar-benar relevan dan benar-benar memahami permasalahan yang diteliti. Sedangkan informan selanjutnya diminta kepada informan awal untuk menunjuk orang lain yang banar-benar dapat memberikan informasi dan kemudian informan ini diminta pula untuk menunjuk informan lain dan seterusnya. Cara ini lazim disebut “snowball sampling” yang dilakukan secara berurutan atau serial. Dalam penelitian ini yang dipandang sebagai informan awal atau key informan adalah Ketua-ketua organisasi masyarakat setempat (OMS), Kader Desa (KD) dan Kelompok Pemanfaat dan Penelihara (KPP) pada ketiga desa sasaran Dalam penelitian kualitatif, instrument utama adalah peneliti sendiri. Nasution (1988:34) mengemukakan ―pada awal penelitian penelitilah alat satu-satunya‖. Untuk memudahkan dalam pengumpulan data, maka peneliti menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara, field notes, tape recorder, camera foto dan sebagainya. Teknik pengumpulan data:Wawancara mendalam (In- Depth Interview), teknik ini digunakan untuk menjaring data yang berhubungan dengan : evaluasi program pembangunan infrastruktur (PPIP). Observasi, teknik ini digunakan untuk mengamati kondisi sosial terutama interaksi dan kerja sama antara ketua dan anggota maupun sesama anggota OMS, KD dan KPP maupun hubungan kemitraan dengan pemerintah desa. Dokumentasi, teknik ini digunakan untuk menghimpun berbagai informasi tertulis yang berhubungan kegiatan OMS, KD dan KPP. Dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan data bergerak dari lapangan empiris dalam upaya membangun teori dari data. Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan sepanjang bulan Agustus sampai dengan Oktober 2014, yang meliputi tiga tahapan yaitu: a) Proses Memasuki Lokasi Penelitian (Getting In). Sebelum memasuki lokasi penelitian terlebih dahulu dilakukan persiapan berupa penyiapan pedoman wawancara, surat ijin penelitian dan alat-alat bantu lainnya. Selanjutnya ketika memasuki lokasi penelitian,
70
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
peneliti melapor dengan menunjukkan surat ijin penelitian sekaligus
memohon ijin untuk melakukan
penelitian. b). Ketika Berada di Lokasi Penelitian (Getting Along), ketika dan selama berada di lokasi penelitian, maka sebagai peneliti berupaya memperkenalkan diri, mambaur dan menjalin hubungan yang baik dengan semua pihak di lokasi penelitian,sehingga terjalin hubungan yang harmonis dengan mereka. Mencari informasi/data yang lengkap dan berupaya menangkap makna intisari dari berbagai informasi dan pengamatan yang diperoleh.c). Mengumpulkan Data (Logging the data), selama proses pengumpulan data peneliti telah berupaya mendengar, mengamati serta mencatat semua hal yang didengar dan dilihat, selanjutnya dikategorikan menurut pola, tema dan fokus penelitian. Membuat catatan lapangan, memo (aganda penelitian selanjutnya) dan member check, sertra mengembangkan dan menelusuri kasus-kasus negatif. Pada tahap ini peneliti menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak awal dan sepenjang proses penelitian berlangsung. Analisis data digunakan model analisis interaktif dari Miles dan Huberman (1992:15-20) yaitu: Reduksi Data, Penyajian Data dan Verifikasi. Komponen-komponen analisis data model interaktif.
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data Kesimpulankesimpulan Penarikan/Verifikasi
Untuk keabsahan data digunakan empat uji kriteria yang dikemukakan oleh Moleong (1994:173) dan Nasution (1998:105) yaitu: a) derajat kepercayaan, b) keteralihan, c) ketergantungan, d) kepastian.
Hasil Penelitian Dan Pembahasan Berdasarkan deskripsi data penelitian yang telah disajikan di atas, maka berikut ini dikemukakan hasil penelitian dan pembahasan yang merupakan hasil interpretasi data penelitian sebagai berikut: 1.
Secara keseluruhan ketiga desa sasaran (Bolaang I, Bantik, dan Lolan I) PPIP di Kecamatan Bolaang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow, telah mngikuti tahapan-tahapan pelaksanaan pembangunan infrastruktur perdesaan. Sesuai Pedoman pelaksanaan PPIP tahun 2013, bahwa tahapan kegiatan yang dilakukan di itngkat desa secara umum adalah: a.
Tahap penyiapan dan mobilisasi masyarakat, melalui rembug warga, sosialisasi dan Musyawarah Desa I yang dilaksanakan dalam rangka pembentukan OMS, KPP serta pemilihan KD.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
71
b.
Tahap Perencanaan Partisipatif dengan kegiatan survey kampong sendiri, Musyawarah Desa II, usul, verifikasi dan finlisasi RKM, serta penyusunan Rencana Tehnis dan Rencana Anggaran Belanja (RAB).
c.
Tahap Pelaksanaan Fisik, tahapan ini sesuai pedoman meliputi kegiatan; Musdes III merumuskan rencana pelakanaan pembangunan infrastruktur, pelaksanaan pembangunan infrastuktur dan pengawasannya, serta rembug warga yang membicarakan laporan kegiatan.
d.
Tahap Pasca Pelaksanaan Fisik adalah laporan
pertanggungjawaban tentang hasil pelaksanaan
kegiatan yang disampaikan oleh OMS melalui Musdes IV, serah terima infrastruktur terbangun kepada Pemerintah Desa dan KPP, selanjutnya operasi (pemanfaatan) dan pemeliharaan oleh KPP. 2.
Masyarakat desa diberdayakan dalam pelaksanaan pembangunan melalui OMS, KPP dan KD artinya keseluruhan proses pelaksanaan kegiatan (tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan melibatkan peran aktif masyarakat. Sehingga terjadi peningkatan kapasitas perencanaan dari masyarakat (bottom-up), serta terjadi pula peningkatan kemampuan dalam melaksanakan dan mengendalikan program. Meningkatnya kapasitas masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan secara partisipatif pada ketiga desa sasaran yang diteliti ditandai dengan telah berfungsinya organisasi masyarakat setempat dengan keterwakilan perempuan. Di samping itu pula telah terlembaga rembug-rembug warga sebagai wujud demokratisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
3.
Fasilitator Masyarakat (FM) yang ditempatkan di Kecamatan Bolaang Timur, sangat berperan dalam membimbing dan mengarahkan OMS, KD dan KPP mulai dari tahapan penyiapan dan sosialisasi hingga pelaporan dan penyerahan infrastruktur yang dibangun kepada KPP dan pemerintah desa. Pendampingan oleh FM dalam rangka konsultasi manajemen dan memberikan bimbingan kepada OMS, KPP dan KD pada setiap tahapan kegiatan merupakn suatu keharusan. Setiap tahap kegiatan harus didampingi, dibimbing dan diarahkan oleh FM. Fasilitator masyarakat, merupakan pendamping masyarakat dalam melaksanakan kegiatan PPIP secara langsung di tingkat desa. FM bertugas bertugas memberikan motivasi, bimbingan dan pembinaan kepada OMS, KD dan KPP. Sesuai pedomaan PPIP ditegaskan bahwa setiap tim FM terdiri dari dua orang yaitu; satu orang fasilitator pemberdayaan dan satu orang fasilitator teknik, yang ditugaskan untuk melakukan pendampingan di tiga desa sasaran.
4.
Kelompok masyarakat miskin dan kaum perempuan benar-benar diberdayakan dan diberikan kesempatan untuk terlibat secara aktif berpartisipasi mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan dan pemeliharaan dalam pelaksanaan PPIP pada ketiga desa sasaran. Sesuai pedoman yang ada PPIP harus berpihak pada orang miskin dan kaum perempuan. Keberpihakan kepada orang miskin memiliki makna bahwa setiap orientasi kegiatan baik dalam proses maupun pemanfaatan hasil pembangunan diupayakan dapat berdampak langsung bagi penduduk miskin dan kaum perempuan.
5.
Infrastruktur yang dibangun pada ketiga sasaran dapat diterima oleh masyarakat, karena masyarakat telah dilibatkan mulai dari tahapan survey dan perencanaan, sehingga tepat sasaran sesuai kebutuhan masyarakat desa.
72
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Pendekatan dari bawah (bottom up) yang diterapkan dalam dalam pelaksaanaan PPIP yang melibatkan masyarakat sejak dari awal telah menghasilkan rencna kegiatan masyarakat yang berisi rencana kegiatan pembangunan infrastruktur sesuai kebutuhan masyarakat. Keterlibtan masyarakat sejak awal hingga akhir pelaksanaan kegiatan fisik dan pada akhirnya pemberian tanggung jawab mengoperasikan dan memelihara serta melestarikan infrastruktur terbangun telah menumbuhkan tanggung jawab dan rasa memiliki. Masyarakat menerima PPIP pada ketiga desa sasaran dan tidak ada resistensi (penolakan), karena masyarakat sendiri yang merencanakan, menentukan, melaksanakan, mengawasi dan memanfaatkan infrastruktur yang terbangun. 6.
Masyarakat pada ketiga desa sasaran merasakan manfaat dengan dibangunnya infrastruktur pada masing-masing desa. a.
Desa Bolaang I, nelayan di desa tersebut sangat terbantu dengan dibangunnya jalan dan kolam serta tanggul tempat tambatan perahu nelayan sehingga aman dari terjangan ombak, dan memudahkan dalam membongkar/menurunkan hasil tangkapan.
b.
Desa Bantik, dengan dibangunnya jalan kebun telah mempermudah akses kendaraan roda dua hingga roda empat (mobil) sampai ke lokasi perkebunan untuk mengangkut hasil-hasil pertanian hingga ke kampong (rumah) hingga siap untuk dipasarkan.
c.
Desa Lolan I, dengan dibangunnya jalan penunjang ke lokasi Wisata Pantai Lolan telah memberikan manfaat bagi pemerintah desa, masyarakat desa Lolan I, dan pengunjung ke lolaksi wisata Pantai Lolan yang biasanya selalu mengalami kemacetan terutama pada hari-hari libur (minggu dan hari raya). Penerima manfaat pembangunan infrastruktur perdesaan adalah masyarakat desa yang
namanya termasuk dalam daftar desa sasaran PPIP tahun 2013 yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. 7.
Secara keseluruhan proses perencanaan oleh masyarakat melalui OMS dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur pada ketiga desa sasaran telah dilaksanakan berdasarkan standard an kriteria yang telah ditentukan. Hal ini tercipta karena adanya penguatan dan pelaksanaan sistem monitoring dan evaluasi secara terus menerus serta adanya mekanisme penanganan pengaduan masyarakat secara efektif. Setiap pegaduan terkait pelaksanaan PPIP dicatat, diregistrasi dan didokumentasikan, kemudian didistribusikan sesuai dengan jenjang kewenangan masing-masing subyek, isu dan status pengaduan. Sesuai pedoman PPIP (2013:125) disebutkan bahwa secara umum, inti keluhan masyarakat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: a.
Kategori ringan, berupa pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan permasalahan pelanggaran/penyimpangan administrasi dan prosedur;
b.
Kategori sedang, berupa pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan permasalahan pelanggaran/penyimpangan yang salah sasaran (penerima manfaat) dalam pelaksanaan program;
c.
Kategori berat, berupa pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan permasalahan pelanggaran/penyimpangan/penyelewengan dana.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
73
Berdasarkan hasil penelitian pada ketiga desa sasaran yang diteliti ternyata pengadun masyarakat pada umumnya berkisar pada kategori ringan yang dapat segera diselesaikan oleh OMS dan KD yang terus-menerus berkoordinasi dengan fasilitator pemberdayaan maupun fasilitator tehnis.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara keseluruhan ketiga desa sasaran (Bolaang I, Bantik, dan Lolan I) PPIP di Kecamatan Bolaang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow, telah mengikuti tahapan-tahapan pelaksanaan pembangunan infrastruktur perdesaan. 2. Masyarakat telah desa diberdayakan dalam pelaksanaan pembangunan melalui OMS, KPP dan KD artinya keseluruhan proses pelaksanaan kegiatan (tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan melibatkan peran aktif masyarakat. 3. Fasilitator Masyarakat (FM) yang ditempatkan di Kecamatan Bolaang Timur, telah berperan dalam membimbing dan mengarahkan OMS, KD dan KPP mulai dari tahapan penyiapan dan sosialisasi hingga pelaporan dan penyerahan infrastruktur yang dibangun kepada KPP dan pemerintah desa. 4. Kelompok masyarakat miskin dan kaum perempuan benar-benar diberdayakan dan diberikan kesempatan untuk terlibat secara aktif berpartisipasi mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan dan pemeliharaan dalam pelaksanaan PPIP pada ketiga desa sasaran. 5. Infrastruktur yang dibangun pada ketiga sasaran dapat diterima oleh masyarakat, karena masyarakat telah dilibatkan mulai dari tahapan survey, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan sehingga tepat sasaran sesuai kebutuhan masyarakat desa. 6. Masyarakat pada ketiga desa sasaran merasakan manfaat dengan dibangunnya infrastruktur pada masingmasing desa. 7. Secara keseluruhan proses perencanaan oleh masyarakat melalui OMS dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur pada ketiga desa sasaran telah dilaksanakan berdasarkan standar dan kriteria yang telah ditentukan. 8. Telah dilakukan penguatan dalam pelaksanaan sistem monitoring dan evaluasi secara terus menerus serta adanya mekanisme penanganan pengaduan masyarakat secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab, Solichin, 1980, Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, Rineka Cipta, Jakarta. ----------,1991, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. ---------,1997, Evaluasi Kebijakan Publik, FIA Unibraw kerja sama dengan Penerbit IKIP Malang.
74
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
---------, 1998, Analisis Kebijakan Publik Teori dan Aplikasinya,FIA Unibraw, Malang. Abidin, Said Zainal, 2006, Kebijakan Publik, Suara Bebas, Jakarta. Agustino, Leo, 2006, Politik & Kebijakan Publik,AIPI Bandung-Puslit KP2W Lemlit Unpad, Bandung. Anderson, James E., Public Policy Making, Holt, Rinehart and Winstoa, USA, 1979 Dunn, William.N, 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Penyunting Muhadjir Darwin), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. FIA Unibraw, 1996, Kebijakan Publik dan Pembangunan, IKIP Malang. Jones, Charles O. 1991. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy). Alih Bahasa Nasir Budiman. Jakarta : Penerbit Rajawali. Miles M, Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta. Moleong, L.J., 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif,(Edisi Revisi), PT Remaja Rosda Karya, Bandung. Nasution, S., 1998, Penelitian Kualitatif Naturalistik Inquiry,Tarsito, Bandung. Nugroho, Riant, 2008, Public Policy, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. Parsons, Wayne,2005, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan,(Alih Bahasa Tri Wibawo Budi Santoso),Prenada Media, Jakarta. Patton, Carl V, dan Sawicki, David.S.1986. Basic Methods of Policy Analysis and Planning. New York: Prentice Hall: Englewood Cliffs. Patton, Michael Quinn., 2006. Metode Evaluasi Kualitatif (terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta Rossi, Peter H., Howard E.Freeman, Sonia R. Wright,1979, Evaluation A Systematic Approach,Sage Publications, Beverly Hills, London Rusli, Budiman, 2013, Kebijakan Publik Membangun Pelayanan Publik Yang Responsif, Hakim Publishing, Bandung.
Rutman, Leonard, 1980, Planning Useful Evaluations: Evaluability Assessment (Volume 96),Sage Publications, Beverly Hills, London. Soeprapto, HR. Riayadi,2000, Evaluasi Kebijakan Publik: Suatu Pendekatan, Universitas Negeri Malang (UM Press), Malang. Sudarwan, Danim,1997, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan,Bumi Aksara, Jakarta. Tangkilisan, Hesel Nogi S.,2003, Evaluasi Kebijakan Publik, Balairung & Co, Yogyakarta. Wibawa, Samodra, dkk, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Winarno, Budi,2002, Teori dan Proses; , Kebijakan Publik,Media Pressindo, Yogyakarta.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
75
Kinerja Aparatur Pemerintah Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara
Jeane Mantiri Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado (email:
[email protected])
Abstract: As the new relative regency, so many adaption efforts toward bureaucracy reformation has done by South East Minahasa Regency Government realisticly. The purpose of this research are to analize and describe (1) Apparatus Government Work on Secretary Region South East Minahasa Regency, according to the Work Plan on 2013/2014 and (2) influenced factors toward apparatus work Government on South East Minahasa Secretariat Regency. The file association technique including deep-dyed interviewand documentation. On this research found that the government on South East Minahasa Secretariat regency has done work increasing efforts appropriate toward the Work Planning and orientate on Tuposki managed by on the South East Minahasa Regent Rule No.36 on 2011 about The Main Work Elaboration and The Function of South East Minahasa Secretariat Regency. The conclusion is that apparatus work government on the South East Minahasa Secretariat Regency going on well and done by 4 programs that are : Education Program Department, Development Apparatus Program, Increasing Bachelor Program, Increasing Tools and Infrastructure Supporting Work Program, and Increasing Dicipline Apparatus Program. The effected factors toward apparatus work on South East Regency Secretariat are : science, skill, ability, attitude also habitual and behavior. Beside that increasing education factor, development apparatus factor trough giving award and position promote, increasing tools and infrastructure, and discipline on doing the job and responsibility, also being the effected things on apparatus work on South East Minahasa Regency Secretariat. The government apparatus on South East Minahasa Regency Secretariat is suggested to increase and keep doing the systematic development system apparatus, constructive and continuous as the choice priority strategy for quality increasing of serving toward society so that positively impacted on government apparatus work on South East Minahasa Regency Secretariat. Key Words
76
: Apparatus, Work, Work Planning, and Regency Secretariat.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Pendahuluan Pada era demokrasi saat ini penyelenggaraan pelayanan publik o leh aparatur pemerintah menjadi perhatian banyak pihak dan mendapat sorotan yang tajam, terutama aspek keterbukaan / transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas. Semangat reformasi telah membawa bangsa Indonesia pada suasana kehidupan yang penuh dengan harapan. Seiring berjalannya waktu ketika era reformasi dan demokrasi dijalankan di Indonesia daerah-daerah mulai diberi kesempatan untuk mengurus, pembangunan daerah demi kemajuan daerah yang secara garis besar dapat disebut dengan otonomi daerah yang memiliki prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Otonomi daerah memberikan kesempatan kepada pemerintah dan masyarakat di daerah untuk mengambil tanggung jawab yang besar dalam pelayanan umum dan mengurus rumah tangganya sendiri. Proses mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri inilah yang disebut Pemerintah Daerah yang Otonom. Suatu organisasi didirikan sebagai wadah untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan. Organisasi tersebut harus mengelolah berbagai dan rangkaian kegiatan yang diarahkan menuju tercapainya tujuan organisasi. Pelaksanaan rangkaian kegiatan dalam organisasi dilakukan oleh manusia yang bertindak sebagai aktor atau peserta dalam organisasi bersangkutan maka dengan sendirinya kinerja (performance) organisasi yang bersangkutan banyak tergantung pada perilaku manusia yang terdapat dalam organisasi tersebut. Penilaian kinerja bagi aparatur berguna untuk menila i kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan, motivasi dan juga termasuk penyesuaian anggaran organisasi. Persoalan saat ini adalah, apakah penilaian yang dilakukan telah menggambarkan kinerja yang sebenarnya?. Analisis terhadap kinerja birokrasi publik menjadi sangat penting, oleh karena itu evaluasi kinerja merupakan analisis interpretasi keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian kinerja. Druker berpendapat dalam buku ‖Re-Inventing Goverment‖ (karya: David Osborne dan Ted Gaeblar (1992), bahwa dalam suatu organisasi perlu adanya pemisahan antara manajemen puncak dan operasional, sehingga memungkinkan manajemen puncak memfokuskan konsentrasi pada pengambilan keputusan dan pengarahan. Sedangkan kegiatan operasional sebaiknya dijalankan oleh staf sendir i, dimana masing-masing memiliki misi, sasaran, ruang lingkup, tindakan serta otonominya sendiri. Upaya mengarahkan, membutuhkan orang yang mampu melihat seluruh visi dan peluang serta mampu menyeimbangkan antar berbagai tuntutan yang saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya. Hal tersebut membutuhkan personil-personil yang sungguh-sungguh fokus pada Visi, Misi dan melaksanakan hal tersebut dengan baik. Kecenderungan rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat, terjadi hampir di semua organisasi atau birokrasi pemerintah. Masalah yang terjadi antara birokrasi pemerintah dan masyarakat memberi gambaran bahwa keberadaan birokrasi secara eksplisit (gamblang) menjadi salah satu penyebab rendah dan kurangnya kualitas pelayanan. D a l a m p e l a k s a n a a n u r u s a n p e m e r i n t a h a n , p e m e r i n t a h d a p a t menyelenggarakan sendiri, atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintah kepada perangkat pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintah desa. Urusan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
77
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, t e r d i r i a t a s u r u s a n w a j i b d a n u r u s a n p i l i h a n . U r u s a n w a j i b a r t i n y a penyelenggaraan pemerintahan yang berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Adapun untuk urusan pemerintah yang bersifat pilihan, baik untuk pemerintah daerah provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara yang dipimpin oleh seorang Sekretaris, mempunyai tugas dan kewajiban membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Dinas daerah merupakan unsur pelaksanaan Otonomi Daerah. Adapun lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau dinas-dinas daerah, misalnya Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. Berdasarkan Keputusan Menteri PAN RI Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan publik diartikan "segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan." Upaya peningkatan kinerja aparatur di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara, yang dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan dapat memberi umpan balik yang penting, artinya bagi upaya perbaikan guna mencapai keberhasilan daerah di masa yang akan datang. Adanya suatu upaya peningkatan efektivitas kerja yang dilakukan di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara bagi apartur pemerintah merupakan sesuatu yang dapat memberi keuntungan bagi cara kerja yang diterapkan pada insatansi pemerintahan, yang merupakan pusat pelayanan publik di daerah. Tantangan paling fundamental yang dihadapi Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara dalam era globalisasi adalah bagaimana setiap aparatur menyesuaikan budaya kerja dalam organisasi pemerintahan, dengan sumberdaya yang strategis dan stuktur yang terkontrol. Tantangan Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara untuk mencapai kepuasan pelayanan melalui mutu yang prima atas pelayanan publik dan pelestarian kepercayaan publik yang multi dimensional dihadapkan pada fakta yang tergambar melalui cara kerja dan pengetahuan individu, dan sumber daya manuasia dalam hal ini aparatur pemerintah yang dalam instansi pemerintahan Kabupaten Minahasa Tenggara. Kemampuan aparatur pemerintah di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara untuk melaksanakan tugas pembangunan tidak mungkin ditingkatkan tanpa peningkatan kualitas manusia. Oleh karena itu kualitas yang diperlukan oleh aparat pemerintah terhadap pembangunan mencakup ketaatan pada prinsip moral dan agama yang tinggi, jasa kesetiakawanan sosial dalam hubungan bagi sesama pejabat baik pimpinan maupun bawahan secara rasionalitas sebagai ap arat yang merup akan ind ivid u organisasi d an institusi yang mementingkan tujuan pembangunan berita kemandirian yang tinggi dalam mencapai efektivitas pelaksanaan pemerintahan yang baik dan proporsional. Oleh sebab itu sumber daya manusia (aparat/pegawai) harus dikelola sedemikian rupa sehingga berdaya guna dan berhasil guna dalam mencapai visi, misi dan tujuan organisasi. Sumber daya manusia di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara harus dikelola sedemikian rupa sehingga berhasil guna dalam mencapai visi, misi dan tujuannya. Memperhatikan peranan unsur manusia dalam organisasi, bukan berarti
78
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
unsur-unsur lainnya tidak menetukan. Berbagai unsur yang ada dalam suatu organisasi harus saling menunjang dan melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Sebagai Kabupaten yang relatif baru (pelaksanaan roda pemerintahan baru diselenggarakan dalam 2 (dua) periode kepemimpinan Bupati pilihan masyarakat)
berbagai . upaya penyesuaian
terhadap reformasi birokrasi telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara secara realistik. Fakta dilapangan ditemukan bahwa upaya pengembangan sumber daya manusia/ aparat pemerintah semakin digalakan pada
pembangunan periode kedua ini, dikarenakan pada periode pemerintahan
sebelumnya, pembangunan masih di fokuskan pada pengembangan infrastruktur fisik kabupaten Minahasa Tenggara. Permasalahan yang sering terjadi dalam pengaturan dan pengelolaan sumber daya manusia antara lain adalah pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan, rendahnya etos kerja, loyalitas, dedikasi dan kinerja aparatur, sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan daerah yang belum memadai, rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja, rendahnya kualitas pelayanan umum, dan rendahnya kesejahteraan aparat/pegawai negeri sipil. Adapun data Rencana kerja tahun 2013/2014 Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara dibawah Kepemimpinan Bupati yang baru, maka program prioritas peningkatan kinerja pegawai daerah diantaranya ialah: (1) Program Pendidikan Kedinasan, (2) Program Pembangunan dan Pengembangan Aparatur, (3) Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur, dan (4) Program Peningkatan Disiplin Aparatur. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka aparatur pemerintah sebagai bagian dari sarana penunjang pembangunan daerah diharapkan untuk senantiasa mengupayakan peningkatan kemampuan aparat dalam melaksanakan tugasnya sehingga efektivitas dan efesiensi kerja dapat dicapai. Suatu kajian perlu didukung oleh suatu landasan teori yang dipilih dari literatur-literatur maupun berbagai referensi sebagai kerangka dasar teoritik yang menghubungkan konsep, proposisi definisi variabel yang hendak diteliti, sehingga dapat meramalkan, menerangkan dan memecahkan gejala sosial yang sementara dihadapi. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini konsep-konsep yang digunakan menyangkut variabelvariabel yang diteliti dalam penelitian ini :
1.
Konsep Administrasi Publik
2.
Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia
3.
Konsep Kinerja
4.
Konsep Aparatur Pemerintah
5.
Konsep Efektivitas Kerja
6.
Konsep Pendidikan dan Pelatihan
Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Bryman (2001:264) berpendapat penelitian kualitatif adalah suatu strategi penelitian yang biasanya menekankan pada kata-kata, daripada kuantifikasi dalam pengumpulan dan analisis data. Peneliti
menetapkan Situs penelitian di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara,
sedangkan fokus penelitian ialah Kinerja Aparatur Pemerintah di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. Alasan peneliti memilih tempat ini yaitu karena saat ini adanya program peningkatan kinerja aparatur
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
79
permerintah di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini, adalah: a. Key Informan Key Informan terdiri dari : Kabag Organisasi dan Tata Laksana, Kasubbag Kelembagaan dan Analisis Jabatan serta para staff pelaksana organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. b. Situasi Peristiwa Situasi/peristiwa dalam penelitian ini peningkatan Kinerja Aparatur Pemerintah di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. c. Dokumen yang relevan Dokumen yang relevan dengan penelitian ini yaitu, Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2008, dan Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara Nomor: 036 Tahun 2011, tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara.
Hasil Wawancara. a.
Berdasarkan data Rencana kerja tahun 2013/2014 Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara dibawah Kepemimpinan Bupati yang baru, periode pemerintahan ke-dua tahun 2013-2018, maka program prioritas peningkatan kinerja aparat daerah yang akan dilaksanakan diantaranya ialah: Program Pendidikan Kedinasan, Program Pengembangan Aparatur, Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Penunjang Kinerja, dan Program Peningkatan Disiplin Aparatur. Demikian hasil wawancara dengan para informan didapat beberapa point sebagai berikut :
1. Program Pendidikan dan Pelatihan untuk pengembangan karir tetap dilakukan. 2. Perlu adanya program Evaluasi terhadap pelaksanaan Program Pendidikan dan Pelatihan. 3. Program Pendidikan dan Pelatihan lebih di giatkan dilaksanakan pada periode pemerintahan yang baru, berhubung pada periode pemerintahan yang lama lebih mementingkan pembangunan di bidang fisik tata daerah.
4. Proses perekrutan berjalan sesuai dengan petunjuk teknis yang berlaku. 5. Proses perekrutan tidak berlangsung secara maksimal karena masih ada posisi jabatan yang belum terisi.
6. Sarana dan prasarana telah diupayakan pengadaannya pada setiap bagian/ unit kerja. 7. Masih ada aparat yang belum memiliki keterampilan yang memadai untuk penggunaan sarana dan prasarana tersebut.
8. Telah diadakannya teknologi absensi Sidik Jari sebagai suatu upaya peningkatan disiplin aparat. 9. Pimpinan, dalam hal ini Bapak Bupati telah memberikan contoh disiplin kerja dan selalu mengingatkan aparat agar senantiasa disiplin dalam bekerja.
Lewat beberapa informan, didapat data mengenai Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Kinerja Aparatur di
80
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara yaitu: 1. Dampak yang dirasakan aparat pemerintah lewat keikutsertaan dalam program pendidikan dan pelatihan ada lah mereka siap dan layak untuk meningkatkan karier melalui jabatan-jabatan atau posisi struktural, baik dari sisi prosedural maupun dari sisi kemampuan. 2. Jika ada aparat yang berprestasi baginya diberikan penghargaan tetapi kalaupun ada yang melakukan pelanggaran maka tentunya juga berlaku sangsi atas pelanggarannya. 3. Penghargaan yang diberikan berupa promosi jabatan adalah untuk merangsang atau memotivasi para aparat agar lebih giat lagi dalam melaksanakan tugas. 4. Peningkatan fasilitas akan secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan kualitas aparat. 5.
Peningkatan disiplin kerja diharapkan dapat meningkatkan efektivitas kerja aparat.
Hasil Pembahasan. Kinerja Aparatur Pemerintah di Sekertariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. a. Program Pendidikan dan Pelatihan Kedinasan Melalui Pendidikan untuk Penjenjangan Struktural. Pengembangan aparat Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara pada hakekatnya adalah suatu upaya pemenuhan kebutuhan tenaga kerja secara kualitatif sesuai dengan persyaratan peker jaan yang ditentukan
dengan
mempertimbangkan
kepentingan-kepentingan
individu
aparat
untuk
dapat
mengembangkan kompetensinya seoptimal mungkin mencapai karier setinggi-tingginya di dalam organisasi. Menurut Mansfield dan Lindsay (1996:31) Kompetensi didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan, produk, dan keterampilan untuk bertindak secara efektif untuk mencapai suatu tujuan.
Kompetensi aparat Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara merujuk pada pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang ditunjukkan oleh individu dan dinilai dengan standar spesifik. Kompetensi terdiri atas kombinasi KSAs (Knowledge, Skill, Ability) pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan) yang diperlukan untuk menjalankan tugas atau fungsi utama. b. Program Pengembangan Aparatur Pemerintahan. Pengembangan karier Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan suatu pemerintahan yang baik dalam upaya penyelenggaraan manajemen keaparatan Pegawai Negeri Sipil. Pengembangan karier Pegawai Negeri Sipil dimulai dari menyusun perencanaan, pengadaan, penempatan, pengangkatan dalam jabatan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan, sampai pada pemberhentian. Selanjutnya penempatan aparat adalah salah satu tahap pengembangan aparat, karena penempatan yang tepat sesuai dengan kompetensinya akan mengoptimalkan kinerja aparat juga akan mendorong gairah kerja dan motivasi. Penempatan aparat harus didasarkan atas tingkat keserasian antara persyaratan jabatan dengan kinerja aparat di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. c. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Penunjang Kinerja Sebagai sebuah lembaga pemerintahan yang di dalamnya melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, dituntut untuk dapat memenfaatkan sarana dan prasarana, untuk meningkatkan daya kerja
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
81
yang efektif dan efisien, sehingga akan tercipta keserasian, kenyamanan yang dapat berdampak pada peningkatan kinerja aparat Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. Ind ikato r kinerja yang d imaksud
oleh
LAN -RI
(19 99:7),
ad alah
"Ukuran
kuantitatif
dan
kualitatif
yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan indikator masukan (inputs) keluaran (outpus), hasil (outcomes), manfaat (benefits) dan dampak (impacts)." Sarana berarti alat langsung untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan sedangkan prasarana berarti alat tidak langsung untuk mencapai tujuan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sarana dan prasarana penyelenggaraan pemerintahan itu adalah semua komponen yang sacara langsung maupun tidak langsung menunjang jalannya proses penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai tujuan dalam lembaga pemerintahan itu sendiri dalam hal ini di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. d. Program Peningkatan Disiplin Aparatur Memang jika dilihat secara riil terhadap aparat, faktor kedisiplinan memegang peranan yang amat penting dalam pelaksanaan tugas sehari-hari para aparat. Seorang aparat yang mempunyai tingkat kedisiplinan yang tinggi akan tetap bekerja dengan baik walaupun tanpa diawasi oleh atasan. Seorang aparat yang disiplin tidak akan mencuri waktu kerja untuk melakukan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Misalnya, keluyuran pada saat jam kerja, duduk ngerumpi, dan banyak perbuatan tak terpuji lainnya. Demikian juga aparat Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara yang mempunyai kedisiplinan akan menaati peraturan yang ada dalam lingkungan kerja dengan kesadaran yang tinggi tanpa ada rasa paksaan. Pada akhirnya aparat yang mempunyai kedisiplinan kerja yang tinggi akan mempunyai kinerja yang baik bila dibanding dengan para aparat yang bermalas-m a l a s a n k a r e n a wa k t u k e r j a d i ma n f a a t k a n n ya s e b a i k mu n g k i n u n t u k melaksanakan pekerjaan sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
Faktor – faktor yang mempengaruhi Kinerja Aparatur Pemerintah di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas, seperti kecakapan, pengetahuan, keahlian dan karakter aparat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada aparat harus sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan, sehingga peningkatan kualitas aparat akan benar-benar terpenuhi dan tepat saat memegang jabatan struktural pemerintahan. Selain Faktor pendidikan, Faktor pengembangan aparat juga memegang peranan penting. Dalam proses pengembangan aparatur, selain pendidikan maka diperlukan pelatihan. Melalui pendidikan dan latihan, dapat meningkatkan kualitas profesionalisme aparatur agar memiliki keunggulan kompetitif dan memegang teguh etika birokrasi dalam memberi pelayanan. Dalam konteks Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara, informan mengatakan kegiatan pendidikan dan latihan (diklat) selalu dilakukan. Hal ini merupakan bentuk pembinaan dan pengembangan aparat professional. Ini adalah upaya menuju profesionalisme aparat negeri sipil di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara.
82
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Tenaga professional dapat digambarkan dengan beberapa ciri/kriteria dari satu profesionalisme, yaitu sebagai berikut, 1.
Memiliki keahlian khusus
2.
Merupakan panggilan hidup
3.
Memiliki teori baku secara universal.
4.
Pengabdian diri terhadap masyarakat dan bukan untuk diri sendiri.
5.
Dilengkapi dengan kecakapan diagnostic dan kompetisi yang aplikatif.
6.
Memiliki otonomi dalam pelaksanaan pekerjaannya.
7.
Mempunyai kode etik.
8.
Mempunyai klien yang jelas.
9.
Mempunyai organisasi profesi pada bidang-bidang lain.
10. Mempunyai hubungan denagn profesi pada bidang lain.
Dengan beberapa kriteria tersebut dapat dicermati bagaimana seorang professional di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tenaga professional di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara hendaknya merupakan tenaga yang terus menerus berkembang, dan pengembangan tenaga professional akan lebih mudah apabila mereka mempunyai dasar ilmu yang kuat. Dalam rangka pembinaan aparat tentunya ada langkah-langkah pembinaan terhadap aparat. Biasanya, pembinaan aparat dilalukan melalui sistem karier. Sistem pembinaan karier aparat harus disusun sedemikian rupa, sehingga menjamin terciptanya kondisi objektif yang dapat mendorong peningkatan prestasi aparat. Hal tersebut dapat dimungkinkan apabila penempatan aparat negeri sipil didasarkan atas tingkat keserasian antara persyaratan jabatan dengan kinerja aparat yang bersangkutan. Selanjutnya, bahwa sistem pembinan karier aparat pada hakekatnya adalah suatu upaya sistematik, terencana yang mencakup struktur dan proses yang menghasilkan keselarasan kompetensi aparat dengan kebutuhan organisasi dalam hal ini kebutuhan di lingkungan di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. Kompetensi aparat tidak dapat ditawar -tawar lagi karena hal ini sangat menopang upaya pemerintah dan seluruh perangkatnya dalam meningkatkan kinerja para aparat yang melayani masyarakat. Dari penjelasan diatas, hal yang harus mendapat perhatian juga adalah dalam bidang pengadaan sarana dan prasarana mempunyai peran penting dalam melaksanakan sesuatu tugas pekerjaan. Untuk mencapai hasil yang maksimal, tentunya juga harus ditunjang dengan sarana maupun prasarana yang memadai. Oleh karena itu merupakan langkah yang bijak apabilah dalam mengusahakan atau mengupayakan peningkatan kinerja aparaturur, peningkatan sarana dan prasarana diletakkan sebagai salah satu indikator untuk menunjang kerja aparatur pemerintah yang ditempatkan di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. Upaya peningkatan sarana
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
83
dan prasarana penunjang kinerja di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara dilakukan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara dengan informan, dimana semua informan mengatakan upaya ini sementara dan akan terus dilakukan. Hanya saja yang perlu menjadi catatan penting adalah peruntukan dari sarana dan prasarana itu harus tepat sasaran. Artinya bahwa semua fasilitas yang dimiliki harus digunakan untuk kebutuhan kantor, bukan untuk kebutuhan pribadi aparat. Hal yang terakhir yang menjadi konsentrasi peneliti adalah dalam hal peningkatkan kedisiplinan Aparat Negeri Sipil di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara tersebut. Sebenarnya Pemerintah Pusat telah memberikan suatu kebijaksanaan dengan di keluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 43 Tahun 1999 tentang Peraturan Disiplin Aparat Negeri Sipil. Aparat Negeri Sipil sebagai aparatur pemerintah dan abdi masyarakat diharapkan selalu siap sedia menjalankan tugas yang telah menjadi tanggung jawabnya dengan baik, akan tetapi sering terjadi di dalam-suatu instansi pemerintah aparatnya melakukan pelanggaran disiplin seperti datang terlambat, pulang sebelum waktunya, bekerja sambii ngobrol dan penyimpangan – penyimpangan lainnya yang menimbulkan kurang efektifnya aparat yang bersangkutan. Gibson (1955) mengemukakan beberapa pandangan dala m kaitanya dengan kriteria pengukuran efektivitas yang berkaitan dengan efektivitas organisasi yaitu:
a. Mengatakan bahwa pada tingkat dasar efektivitas, terletak pada efektivitas individu,yang menekankan pada pelaksanaan tugas pekerjaan serta hasil kerja anggota organisasi atau aparat.
b. Efektivitas dapat dilihat dari efektivitas kelompok. Dalam kenyataannya, bahwa individu biasanya bekerja bersama-sama dalam kelompok kerja. Disini, kinerja dilihat, dan jumlah kontribusinya dari semua anggota.
c. Efektivitas organisasi secara keseluruhan yakni organisasi terdiri dari individu dan kelompok. Pelaksanaan tugas atau cara kerja di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara sering ditemui dua kata yang berbeda namun memiliki makna yang sama yakni efisiensi dan efektivitas dan merupakan rangkaian kata yang menjadi primadona dan idola serta tujuan dalam aplikasi pada paradigma manajemen organisasi pemerintahan. Dengan adanya pelanggaran-pelanggaran disiplin sebagaimana tersebut di atas, yang kesemuanya menunjukkan adanya pelanggaran terhadap disiplin kerja aparat di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara yang menimbulkan suatu pertanyaan yaitu apakah pelanggaran -pelanggaran tersebut sudah sedemikian membudaya sehingga sulit untuk di adakan pembinaaan atau penertiban. Perlu ada langkah-langkah ketegasan yang konkrit dalam penerapan disiplin aparat seperti yang dikemukakan ke-sepuluh Informan. Seperti salah satu kebijakan yang sudah dan sementara di galakkan yaitu Sistem Absensi aparat yang sudah menggunakan teknologi Sidik Jari. Kebijakan lain yang dapat dilakukan adalah: 1)
Meningkatkan sosialisasi tentang aturan disiplin Aparat Negeri Sipil.
2)
Memberikan keteladanan kepemimpinan yang baik dalam pelaksanaan tugas sehari-hari;
3)
Melakukan penegakan disiplin yaitu penertiban aparat di tempat umum secara rutin dan
84
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
terprogram serta, 4)
Melanjutkan kegiatan sidak keinstansi untuk melihat dan memantau pelaksanaan tugas sehari-hari oleh Aparat Negeri Sipil yang dilakukan secara terprogram. Untuk mencapai tujuan dan sasaran peningkatan kinerja organisasi maka memerlukan strategi dan
persepsi yang dilandasi kebijakan dengan berpedoman pada program ataupun aturan serta memperhatikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kinerja tersebut.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a.
Kinerja aparatur pemerintah berdasarkan rencana kerja dan Tupoksi yang ada di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara berlangsung dengan baik dan dilakukan dengan 4 program yakni: Program Pendidikan Kedinasan, Program Pengembangan Aparatur, Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Penunjang Kinerja, dan Program Peningkatan Disiplin Aparatur. Kabupaten Minahasa Tenggara yang pada saat ini baru memasuki periode ke-2 masa pemerintahan kebupatian, untuk periode ini sudah lebih memperhatikan pembangunan di bidang sumber daya manusia, karena pada periode sebelumnya pembangunan kabupaten Minahasa Tenggara lebih di fokuskan untuk pembangunan fisik dan infrastruktur.
b.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja aparatur pemerintah pada Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara diantaranya: pengetahuan. Keterampilan, kemampuan, sikap serta kebiaasaan dan perilaku. Selain itu faktor peningkatan pendidikan, faktor pengembangan aparatur lewat pemberian penghargaan dan promosi jabatan, faktor peningkatan sarana dan prasarana dan disiplin dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab, juga menjadi hal-hal yang mempengaruhi kinera aparatur pada Sekretariat Kabupaten Minahasa Tenggara.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 2003. Keputusan Menteri, Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. …………..., 2011. Peraturan Bupati Minahasa Tenggara No. 36 Tahun 2011 tentang Pejabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. Gibson, J. L. 1990. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia 1999. Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor: 589/IX/6/Y/99. Tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta. Osborne,D.,
dan
Gaebler,T.2003.
Mewirausahakan
Birokrasi
Mentransformasi
S e m a n g a t Wi r a u s a h a k e d a l a m S e k t o r P u b l i k (terjemahan). Jakarta: Penerbit PPM.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
85
Evaluasi Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Di Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang
Petrus Kase Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana, Kupang – Indonesia Telp : +62-82146486969 E-mail :
[email protected]
Abstrak: Dengan menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam dan penelaahan dokumen, serta teknik analisis kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur terdiri dari 3 kegiatan pokok yaitu : (1) pembangunan sarana dan prasarana fisik yang meliputi pengerasan jalan, perpipaan, deker dan gedung PAUD; (2) simpan pinjam perempuan; dan (3) beasiswa sekolah dasar. Masyarakat desa belum optimal memberi kontribusi sumber daya seperti tenaga, bahan, dan peralatan dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik. Sebaliknya, kontribusi perempuan berupa dana swadaya dalam kegiatan simpan pinjam cukup optimal. Walaupun belum semua kebutuhan masyarakat desa tersentuh, program ini telah mencapai hasil dan manfaat. Untuk mengatasi kemiskinan melalui program pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan, maka pemerintah pusat dan daereah, sektor swasta dan lembaga swadaya masyarakat perlu bersinergi merumuskan dan mengimplementasikan program-program yang komprehensif yang didukung oleh anggaran, sumber daya manusia dan fasilitas.
Kategori : Ilmu Sosial Kata kunci : evaluasi, program, pemberdayaan, PNPM Mandiri, desa.
Pendahuluan Salah satu kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia adalah kebijakan atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Meskipun kebijakan atau program ini telah dilaksanakan sejak 2006, hasil yang dicapai belum optimal. Keberhasilan dan kegagalan kebijakan ini mendorong pemerintah untuk lebih proaktif lagi mempercepat proses penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Dalam proses ini, pemerintah mendesain agenda kegiatan yang lebih komprehensif dan mengefektifkan keterlibatan masyarakat miskin dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hingga evaluasi hasil
86
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
pembangunan. Kebijakan ini menghendaki agar masyarakat miskin lebih berdaya dan mandiri sehingga mereka bukan hanya obyek, tetapi juga subyek pembangunan. Dengan berbasis konsep pemberdayaan, maka kebijakan atau program ini memberi peluang kepada masyarakat miskin untuk mengusulkan beragam kegiatan penanggulangan kemiskinan secara bersama. Pedoman PNPM Mandiri tahun 2007 telah menggariskan ruang lingkup contoh kegiatan, namun penetapannya tentu harus berdasarkan kesepakatan bersama antara masyarakat miskin. Ruang lingkup kegiatan dimaksud mencakup: (1) penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pemukiman, sosial dan ekonomi; (2) penyediaan dana bergulir dan kredit mikro untuk memacu kegiatan ekonomi produktif masyarakat miskin; (3) peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk mempercepat pencapaian target MDGs; dan (4) peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan lokal. Kebijakan atau program ini menghendaki agar segera tercipta perbaikan dan peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat miskin, namun proses pelaksanaan dan hasil yang dicapai belum sesuai harapan. Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan program cenderung mengejar target fisik dan mengabaikan aspek pemberdayaan atau keterlibatan masyarakat. Konsep pemberdayaan masyarakat yang tercantum dalam pedoman pelaksanaan program ternyata kurang mendapat perhatian. Elite desa (kepala desa dan aparatnya, serta tokohtokoh masyarakat desa) masih cukup dominan dalam perencanaan dan pembuatan keputusan program. Keterlibatan masyarakat miskin dalam perencanaan dan pembuatan keputusan program masih berifat semu dan hanya untuk memenuhi prosedur dan formalisasi program. Mereka pun cenderung kurang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pemeliharaan dan pemanfaatan sarana/prasarana yang telah dibangun. Seorang tokoh masyarakat memberikan informasi bahwa pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Kupang masih kurang tepat waktu dan kurang berhasil. Pengambilan keputusan program kurang memperhatikan hak-hak masyarakat miskin, termasuk kaum perempuan. Pedoman pelaksanaan program telah menegaskan bahwa masyarakat paling miskin adalah sasaran utama program, namun tidak semuanya ditetapkan sebagai penerima utama. Beberapa anggota masyarakat yang bukan sasaran program telah berkali-kali menerima bantuan, sedangkan masyarakat yang benar-benar miskin belum pernah tersentuh. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan program ini salah sasaran, kurang berpihak, dan masih mengabaikan asas kesamaan dan keadilan dalam alokasi dan distribusi bantuan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat kurang menyentuh masalah pengentasan kemiskinan. Misalnya, pembangunan proyek air bersih di Desa Topejawa, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, ternyata tidak bisa dimanfaatkan oleh penduduk setempat karena debit air sangat kecil. Kalangan pelaksana pun tidak memiliki kesamaan persepsi tentang konsep keberdayaan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh program. Penguatan kelembagaan sosial lokal di desa juga belum optimal karena mereka berperan tidak lebih sebagai pelaksana, bukan sebagai pengambil keputusan (Hasran, 2010). Dahurandi (2011) juga mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan melalui Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) dalam implementasi PNPM Pedesaan di Desa Penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, khususnya dalam kegiatan pembangunan sarana dan prasarana masih kurang optimal. Proses pengambilan keputusan program belum dilakukan melalui mekanisme yang telah ditetapkan. Hal ini ditandai oleh tidak hanya tingkat kehadiran masyarakat dalam rapat MMD yang
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
87
sangat rendah, tetapi masyarakat juga kurang aktif dalam menyampaikan pendapat. Begitu pula, meskipun calon penerima beasiswa dilakukan melalui sidang komite sekolah, namun hasil akhir ditentukan oleh guru sekolah yang terkadang mengabaikan aspirasi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja PNPM Mandiri Pedesaan di desa Penfui Timur, dalam rangka mewujudkan prinsip pembangunan partisipatif dan kemandirian masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan : (1) pengetahuan akademik tentang kinerja PNPM Mandiri Pedesaan; dan (2) informasi yang valid bagi para stakeholdres dalam mengatasi kemiskinan di pedesaan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Bogdan dan Moleong (2002), metode kualitatif mencakup teknik-teknik dan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Selanjutnya, kriteria-kriteria yang digunakan untuk melakukan evaluasi kinerja PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang adalah: 1.
Inputs yaitu ketersediaan sumber daya baik jumlah maupun kualitas secara partisipatif oleh masyarakat desa melalui perencanaan dan pengelolaannya berupa uang, tenaga manusia, peralatan, bahan material dan lainlain, serta realisasi perolehannya dalam mendukung pelaksanaan dan keberhasilan program.
2.
Proses berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat desa secara partisipatif dalam mengolah inputs program menjadi outputs yang mencakup keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan, pelaksanaan kegiatankegiatan yang telah direncanakan itu, pengawasan dan evaluasi kegiatan-kegiatan yang sedang dan telah dilaksanakan untuk mewujudkan tujuan dan sasaran program.
3.
Outputs yaitu keluaran atau hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program yang mencakup jenis dan jumlah bantuan yang diberikan kepada warga miskin dalam rangka peningkatan kualitas SDM (misalnya beasiswa, pelatihan ketrampilan usaha, pelatihan manajemen organisasi dan keuangan), jumlah individu warga miskin yang mendapatkan bantuan tersebut, jenis, jumlah dan mutu sarana/prasarana yang berhasil dibangun oleh masyarakat secara partisipatif dan mandiri (misalnya pemukiman, sosial dan ekonomi).
4.
Dampak yaitu manfaat yang didapatkan oleh masyarakat miskin atau perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat dari outputs program yang mencakup: peningkatan prestasi belajar siswa, peningkatan ketrampilan usaha, manajemen organisasi dan keuangan warga, dan peningkatan manfaat sosial dan ekonomi, serta perubahan sikap dan perilaku masyarakat miskin menuju pola hidup yang semakin mandiri dalam pengelolaan sumber daya sosial dan ekonomi di lingkungannya, peningkatan pemerataan akses dalam alokasi dan distribusi bantuan program kepada setiap individu warga miskin, peningkatan akseptabilitas terhadap keberadaan program oleh pemerintah pusat dan daerah, pelaksana program, individu warga miskin itu sendiri dan masyarakat secara luas. Informan penelitian ini adalah petugas pelaksana program, individu warga dan tokoh masyarakat desa.
Informan penelitian ditentukan dengan teknik snowballing. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan
88
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
data yaitu : (1) observasi untuk memperoleh data tentang ketersediaan, jumlah dan kondisi sumber daya, suasana pelaksanan dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan program; (2) wawancara mendalam dilakukan dengan pelaksana program, individu warga miskin; dan (3) penelahaan dokumen dengan cara mengumpulkan dan mempelajari dokumen-dokumen yang relevan seperti jurnal, makalah ilmiah, berita media massa, aturan lembaga dan laporan pelaksanaan program. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis berdasarkan perspektif emik dan etik guna menghasilkan gambaran yang mendalam (thick description) dan menemukan makna (verstehen). Proses analisis data penelitian ini adalah : (1) membaca data untuk mengetahui apakah data sesuai dengan yang diinginkan dan untuk mengetahui kualitas dan pola data; (2) membuat kode untuk mengetahui ide yang muncul; (3) mendisplai data untuk mengetahui perbedaan nuansa dari suatu topik; (4) membuang informasi yang tidak perlu sehingga data lebih mudah dimengerti; dan (5) melakukan interpretasi untuk menjelaskan maknanya. Teori yang relevan digunakan untuk analisis hasil penelitian.
Hasil Penelitian Dan Pembahasan Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Penfui Timur adalah sebuah desa yang ada di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang. Desa ini berbatasan langsung dengan wilayah Kota Kupang. Dari sisi geografis, letak desa ini sangat strategis karena jaraknya tidak jauh dari kota Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Karena itu, akses masyarakat dari desa ini baik secara sosial, ekonomi, politik dan keamanan, terhadap ibu kota Provinsi NTT yaitu Kota Kupang jauh lebih mudah dibandingkan desa-desa lainnya di Kabupaten Kupang. Desa Penfui Timur memiliki wilayah seluas 10 km². Wilayah desa ini dibagi atas 5 Dusun dan 31 RT. Dusun I memiliki 10 RT, Dusun II memiliki 6 RT, Dusun III memiliki 4 RT, Dusun IV memiliki 6 RT dan Dusun V memiliki 5 RT. Sedangkan, batas wilayahnya adalah: sebelah Barat berbatasan dengan kelurahan Liliba, Kota Kupang dan jalan Eltari; sebelah Timur berbatasan dengan Desa Oelnasi; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Baumata Utara; dan sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tarus dan Desa Mata Air. Menurut data statistik tahun 2010, jumlah penduduk di desa ini adalah 5.065 jiwa dengan rincian lakilaki berjumlah 2.483 jiwa dan perempuan berjumlah 2.582 jiwa. Dari data ini terlihat bahwa jumlah perempuan jauh lebih besar dari pada laki-laki. Begitu pula, dilihat dari mata pencaharian penduduk, data menunjukan bahwa sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani, dan hanya sebagian kecil penduduk yang bermata pencaharian, misalnya pegawai swasta berjumlah 153 orang dan pegawai negeri sipil (PNS) berjumlah 250 orang. Sebaran tempat tinggal para pegawai paling banyak terdapat di Dusun I dan Dusun II, sedangkan sebaran yang paling sedikit terdapat di Dusun IV yaitu 5 orang. Desa Penfui Timur adalah sebuah Desa yang menjadi sasaran pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan sejak tahun 2008. Desa ini melaksanakan PNPM Mandiri Pedesaan dengan prioritas pada tiga aktivitas yaitu pembangunan sarana dan prasaran fisik, simpan pinjam perempuan (SPP) dan beasiswa sekolah dasar. Sesuai dengan pengertiannya, PNPM Mandiri Pedesaan adalah program nasional yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan di pedesaan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Berkaitan dengan itu, untuk
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
89
mengetahui secara lebih mendalam tentang hasil pelaksanaan ketiga kegiatan tersebut di desa Penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah, maka berikut ini diuraikan sejumlah data dan informasi tentang keberhasilan program tersebut dalam mencapai tujuannya. Uraian mencakup evaluasi terhadap ketersediaan sumber daya, proses pelaksanaan program, hasil yang dicapai dan dampak program bagi masyarakat desa di Desa Penfui Timur.
1. Ketersediaan Sumber Daya PNPM Mandiri Pedesaan merupakan suatu program penanggulangan kemiskinan di pedesaan yang membutuhkan partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaannya dan karena itu dapat menciptakan masyarakat mandiri dalam menanggulangi kemiskinan. Berdasarkan pedoman pelaksanaannya, program ini didukung dengan finansial 70 per sen dari pemerintah pusat, sedangkan partisipasi masyarakat adalah 30 per sen. Jadi, program ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam program ini dapat berupa kontribusi sumber daya yang terdiri dari uang, tenaga, peralatan, bahan material dan lain-lain. Penelitian ini menemukan bahwa dalam pembangunan jalan, jembatan dan perpipaan di desa Penfui Timur hanya terdapat sejumlah kecil masyarakat yang ikut memberikan sumbangan tenaga karena hampir semua kegiatan program dikerjakan oleh supplier. Kontribusi masyarakat berupa tenaga sangat kecil karena mereka beranggapan bahwa pembangunan jalan desa adalah proyek dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah dan pengelola program. Selain kurang paham tentang cara kerja PNPM, fenomena ini menghilangkan esensi PNPM mandiri pedesaan yang mengandalkan partisipasi murni masyarakat. Selain kontribusi berupa tenaga, masyarakat juga diharapkan menyumbangkan bahan material dan dana. Hal ini berdasarkan petunjuk teknis PNPM yang menyebutkan bahwa alokasi dana dari setiap kegiatan sedapatnya melibatkan swadaya murni masyarakat sebesar 5-10 per sen. Meskipun telah ada petunjuk teknis, masyarakat umumnya beranggapan bahwa selama ini pemerintahlah yang memberikan sumbangan kepada masyarakat, bukan sebaliknya masyarakat harus memberikan sumbangan kepada pemerintah. Kesediaan masyarakat untuk memberikan sumbangan dana sangat rendah karena masyarakat kurang memiliki pemahaman yang utuh tentang esensi PNPM Mandiri Pedesaan. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa sebagian warga masyarakat bersedia menyumbangkan lahan, bahan-bahan material lokal, peralatan dan waktu untuk mendukung kegiatan pembangunan fisik di desa. Peralatan-peralatan yang disumbangkan misalnya skop, pacul, linggis dan parang. Meskipun demikian, sumbangan bahan material dan peralatan untuk pelaksanaan program belum memadai karena masyarakat merasa bahwa mereka hanya sebagai pelengkap, bukan sebagai pemeran utama. Supplier dianggap sebagai penanggung jawab utama dalam pelaksanaan program sehingga ia harus memikul tanggung jawab yang lebih besar dalam menyediakan bahan material dan peralatan. Penelitian ini juga menemukan bahwa dalam kegiatan simpan pinjam perempuan (SPP), setiap kelompok usaha telah menyediakan dana talangan sebesar Rp. 2.000.000,- yang dilakukan dengan membuka rekening usaha kelompok. Dana ini merupakan modal awal dan suatu syarat agar usulan kelompok untuk mendapatkan bantuan dana dari PNPM bisa lolos verifikasi. Kelompok usaha yang lolos verifikasi selanjutnya mendapatkan bantuan dana dari PNPM Mandiri Pedesaan dan dana tersebut ditambahkan pada rekening
90
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
kelompok. Penelitian ini menemukan bahwa dalam kegiatan SPP, partisipasi masyarakat cukup tinggi karena (1) manfaat ekonominya sangat besar yaitu dapat membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok dan mendesak seperti pangan, biaya kesehatan dan pendidikan anak, serta peluang usaha; (2) kemudahan untuk mendapatkan bantuan pinjaman; dan (3) keringangan dalam proses pengembalian dengan suku bunga yang terjangkau.
2. Kegiatan-kegiatan Pelaksanaan Program Kegiatan-kegiatan pelaksanaan program merupakan suatu tahapan sangat penting dalam proses kebijakan atau program. Tahapan ini sangat menentukan berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Bahkan tahapan ini jauh lebih penting dari tahapan pembuatan program. Kebijakan atau program akan sekedar berupa impian atau rencana yang bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak dilaksanakan. Dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan, diharapkan kegiatan-kegiatan program dilaksanakan oleh masyarakat secara partisipatif, yang mencakup tahap pengambilan keputusan mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran program. Penelitian ini menemukan bahwa dalam pengambilan keputusan mengenai pembangunan fisik, setiap Dusun di Desa Penfui Timur diberi kesempatan untuk menghimpun aspirasi masyarakat mulai dari tingkat RT, tingkat Dusun, tingkat Desa dan pada akhirnya di tingkat Musyawarah Antar Desa (MAD) di Kecamatan. Dalam kenyataannya, setiap kelompok masyarakat di setiap RT diberi kesempatan untuk mengusulkan kegiatankegiatan pembangunan fisik tertentu, namun pada saat rapat penetapan usulan di tingkat Dusun banyak kelompok yang tidak tahu tentang rapat itu. Karena itu, kesempatan bagi setiap kelompok untuk memperjuangkan usulannya hanya ada di tingkat RT, sedangkan di tingkat Dusun kesempatan itu tidak ada lagi. Akhirnya, seleksi usulan tergantung kehendak baik Kepala Dusun. Akibatnya bahwa kebanyakan kelompok masyarakat merasa kecewa karena aspirasi mereka tentang usulan kebutuhan atau kepentingannya kandas di tingkat Dusun. Cara-cara ini juga mengindikasikan bahwa otoritas masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa hanya otoritas semu atau setengah hati. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan lebih banyak diwarnai oleh pertimbangan formalitas, bukan atas dasar kesediaan secara sukarela. Dalam kegiatan simpan pinjam perempuan (SPP) dan beasiswa sekolah dasar, proses pengambilan keputusan berlangsung dalam suasana yang berbeda dengan kegiatan pembangunan sarana dan prasarana fisik. Perbedaannya bahwa rapat-rapat pengambilan keputusan untuk kedua kegiatan ini sering dilakukan secara reguler dan terus menerus setiap bulan. Meskipun demikian, terkadang rapar-rapat tersebut juga lebih banyak menampakan nuansa formalitas. Fakta menunjukkan bahwa anggota kelompok sulit hadir secara sukarela dalam pertemuan sehingga tak heran partisipasi masyarakat desa dalam pengambilan keputusan untuk kedua kegiatan ini masih diwarnai oleh sikap apatis. Menurut Dahurandi (2011), sikap apatis masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan disebabkan karena (1) adanya anggapan bahwa rapat pengambilan keputusan adalah kegiatan yang hanya membuang-buang waktu dan tidak menguntungkan bagi dirinya; (2) pengelola dan fasilitator program terkadang kurang jelas menentukan standar kualifikasi kegiatan yang harus
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
91
dibuat oleh masyarakat, pemerintah desa dan supplier; (3) rapat perencanaan lebih banyak menguntungkan pengelola program dan kontraktor; dan (4) kebanyakan masyarakat kurang paham tentang tujuan, sasaran dan manfaat program karena kurangnya kegiatan sosialisasi program. Dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik, misalnya jalan atau penimbunan sertu, deker, gedung pendidikan anak usia dini (PAUD) dan perpipaan, sebagian masyarakat telah menyumbangkan tenaga dalam mengerjakan beberapa kegiatan ini dengan harapan akan mendapatkan upah yang tinggi, namun sebagian mereka mengeluh karena upah yang diterima di bawah standar UMR. Kenyataan menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat desa dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik merupakan pelibatan sebagai pekerja upahan, bukan pelibatan secara sukarela. Tampaknya, mereka belum sadar bahwa pembangunan fisik ini adalah kegiatan mereka sendiri dan hasilnya akan dinikmati oleh mereka sendiri pula. Selain pembangunan sarana dan prasarana fisik, masyarakat terutama kaum perempuan juga berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan simpan pinjam perempuan (SPP). Kegiatan ini sangat menjanjikan manfaat yang lebih baik di masa depan karena dapat membantu masyarakat terutama kaum perempuan dalam mengakses dana pinjaman sebagai modal usaha ekonomi produktif untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Antusiasme yang tinggi dari kaum perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan ini ditunjukan dengan semangat berlomba-lomba untuk mendaftarkan diri menjadi anggota kelompok usaha dan upaya untuk memenuhi persyaratan agar bisa lolos verifikasi. Meskipun demikian, penyebaran kelompok sasaran tidak merata dan kelompok yang lolos verifikasi masih didominasi oleh kelompok yang memiliki modal usaha dan kemampuan pengembalian pinjaman yang cukup tinggi. Di desa Penfui Timur, terdapat lima kelompok yang memenuhi persyaratan administasi yaitu kelompok Kasih, kelompok Fajar Baru, kelompok Setia, Kelompok Peduli Sesama, dan kelompok Matani (Dahurandi, 2011). 4.4. Hasil
Pelaksanaan Program
Hasil PNPM Mandiri Pedesaan adalah berbagai capaian yang mesti diukur agar dapat diketahui sejauh mana program itu telah mencapai target. Hasil PNPM Mandiri Pedesaan mencakup : (1) jenis, jumlah dan mutu sarana dan prasarana fisik yang dibangun secara partisipatif; (2) jenis dan jumlah bantuan kepada masyarakat untuk peningkatan kualitas SDM; dan (3) jumlah individu atau kelompok penerima beasiswa, dana bergulir, pelatihan ketrampilan usaha, pelatihan manajemen organisasi dan keuangan. Tabel 4.1 dan 4.2. memperlihatkan hasil pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Table 4.1 Jenis, capaian, mutu bangunan sarana dan prasarana fisik Melalui PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang No
Bangunan sarana dan prasarana Jenis bangunan
Capaian/
Lokasi Mutu
Hasil
92
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
1
Perpipaan air bersih : a.
Tahun 2008
b.
2
3
500 meter
Cukup baik
a.
Dusun III
b.
1000 meter
Cukup baik
b.
Dusun III
a.
1525 meter
Cukup baik
a.
Dusun I
b.
925 meter
Cukup baik
b.
Dusun V
1 buah
Baik
Dusun I
1 unit
Baik
Dusun I
Pengerasan jalan : a.
Tahun 2009
b.
Tahun 2010
Pembuatan deker : Tahun 2010
4
a.
Tahun 2011
Gedung PAUD : Tahun 2011
Sumber data: hasil olahan
Data dalam table 4.1 menggambarkan bahwa PNPM Mandiri pedesaan di Desa Penfui Timur telah mencapai hasil nyata berupa pembangunan sarana dan prasaran fisik khususnya pengerasan jalan desa, perpipaan air bersih, pembuatan deker dan Gedung PAUD. Meskipun demikian, kualitas bangunan sarana dan prasaran fisik tersebut masih dikategorikan baik dan cukup baik. Data tersebut juga menggambarkan bahwa Dusun II dan IV belum mendapatkan sentuhan program dibandingkan dengan Dusun I, III dan V. Pembangunan sarana dan prasarana fisik di Dusun I, III dan V mendapat prioritas karena mereka lebih tertinggal dalam hal ketersediaan sarana dan prasarana fisik dibandingkan dengan Dusun II dan IV. Dengan demikian, isolasi geografis di ketiga dusun tersebut dapat dikurangi. Selanjutnya, jenis kegiatan, capaian, jumlah individu/kelompok penerima bantuan dari PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur dipaparkan dalam table 4.2 beriktu ini.
Table 4.2 Jenis kegiatan, capaian, jumlah individu/kelompok sasaran Dalam PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang No.
Bantuan PNPM Mandiri Pedesaan Jenis kegiatan
Capaian/hasil
Lokasi Individu/
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
93
kelompok sasaran 1
Simpan Pinjam Perempuan
Dana
(SPP):
3.220.000 per kelompok;
Tahun 2008
terbentuknya usaha
swadaya
Rp.
a.
2 kelompo
a.
Du-sun I
b.
1 kelompok
b.
Du-sun III
a.
4 kelompok
a.
Du-sun I
b.
1 kelompok
b.
Du-sun II
c.
2 kelompok
c.
Du-sun III
a.
1 kelompok
a.
Du-sun I
b.
1 kelompok
b.
Du-sun II
kelompok
simpan
pinjam;
semangat usaha anggota tinggi,
kekompakan
anggota tinggi Tahun 2009
Dana
swadaya
Rp.
6.842.100 per kelompok; Terbentuknya usaha
kelompok
simpan
pinjam;
semangat usaha anggota tinggi,
kekompakan
anggota tinggi Tahun 2010
Dana
swadaya
Rp.
3.520.000 per kelompok; terbentuknya usaha
kelompok
simpan
pinjam,
semangat usaha anggota tinggi,
kekompakan
anggota tinggi 2
Beasiswa sekolah dasar
a.
Pakaian seragam 1
100 orang anak SD
pasang b.
Balpoin 2 buah
c.
Buku tulis 2 buah
SDI Balfai dan SDN Kaniti
Sumber data: hasil olahan
Data tabel 4.2 menggambarkan bahwa PNPM Mandiri pedesaan di Desa Penfui Timur telah mencapai hasil nyata khususnya kegiatan SPP dan bantuan beasiswa. Data table 4.2 juga menggambarkan bahwa usaha SPP memiliki jumlah kelompok yang berfluktuasi misalnya, tahun 2008 berjumlah 3 kelompok, kemudian tahun 2009 meningkat menjadi 7 kelompok dan tahun 2012 menurun menjadi 2 kelompok. Kapasitas dana swadaya dalam arti kepemilikan modal awal, kemampuan dan prospek usaha, semangat usaha anggota kelompok, dan kekompakan usaha anggota kelompok merupakan faktor penentu dalam penerimaan dana bantuan SPP tersebut. Karena faktor-faktor inilah maka terlihat dalam table 4.2. bahwa tidak semua Dusun memiliki kelompok usaha SPP misalnya Dusun IV dan V.
94
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Data table 4.2. di atas juga memperlihatkan bahwa jenis bantuan beasiswa yang dberikan kepada 100 orang siswa di SDI Balfai dan SDI Kaniti adalah ballpoint, buku tulis dan pakaian seragam. Bantuan ini diberikan terutama bagi siswa SD yang berasal dari keluarga kurang mampu. Meskipun bantuan itu sangat kecil, namun nilai kemanusiaannya sangat tinggi karena orang tua dan siswa dari keluarga kurang mampu merasa diperhatikan.
4.5. Dampak Program Bagi Masyarakat Setiap kebijakan/program tentu memiliki tujuan dan sasaran tertentu yang ingin dicapai. Apabila suatu kebijakan/program mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, maka kebijakan/ program itu sesungguhnya berhasil. Sebaliknya, Apabila suatu kebijakan/program tidak mencapai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan,
maka
kebijakan/program
itu
sesungguhnya
tidak
berhasil.
Keberhasilan
suatu
kebijakan/program dalam mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan menunjukkan bahwa kebijakan/program tersebut memberikan dampak yang positif bagi masyarakat. Dampak adalah perubahan-perubahan positif maupun negatif yang terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan program. Dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik seperti pembukaan dan pengerasan jalan, pemasangan pipa dan pembangunan gedung PAUD, maka dampak yang diinginkan adalah kemudahan arus transportasi, peningkatan kelancaran arus transportasi, peningkatan pemenuhan air bersih dan peningkatan akses pendidikan bagi anak-anak usia dini. Begitu pula, dana bergulir, dampak yang diinginkan adalah peningkatan jenis dan jumlah usaha, dan pendapatan penerima bantuan. Akhirnya, dalam pemberian beasiswa, dampak yang diinginkan adalah adanya kemudahan dalam mengikuti proses belajar mengajar, dan adanya peningkatan prestasi belajar siswa penerima bantuan. Manfaat yang diperoleh masyarakat desa dari pembangunan sarana dan prasarana fisik khususnya pengerasan jalan adalah bahwa kegiatan transportasi sehari-hari masyarakat desa semakin mudah. Namun, masyarakat desa belum merasa cukup nyaman dan lancar dalam melakukan kegiatan transportasi apabila dibandingkan dengan jalan raya beraspal. Pada musim panas, ketika jalan tersebut dilalui oleh kendaraan baik roda dua dan roda empat, maka banyak debu bertebaran di sekitar rumah penduduk dan menimbulkan gangguan pernapasan bagi masyarakat desa sendiri maupun pengguna jalan lainnya. Begitu pula pada musim hujan, jalan tersebut berlumpur sehingga kurang nyaman untuk dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Secara sosial, pembangunan sarana dan prasarana fisik khususnya pengerasan jalan telah dapat mengurangi isolasi geografis masyarakat desa dengan pusat pemerintahan desa, pemerintahan kecamatan maupun daerah Kabupaten Kupang dan Kota Kupang. Di sisi lain interaksi sosial antara masyarakat desa dengan wilayah lain, terutama akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan semakin lebih mudah. Manfaat sosial ini semakin terbuka bagi setiap warga masyarakat desa, namun secara umum masyarakat desa belum menikmati manfaat tersebut secara optimal karena cara berpikir mereka masih didominasi oleh kebiasaaankebiasaan dan pola pikir tradisional seperti kurang menghargai pentingnya waktu, pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi anak dan keluarga. Dilihat dari manfaat ekonomi, dengan semakin baiknya jalan raya, seharusnya semakin baik kehidupan ekonomi masyarakat, semakin meningkat pula pendapatan masyarakat serta semakin meningkat ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan pokok karena pemasaran hasil produk pertanian, arus perdagangan barang dan jasa,
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
95
serta akses pasar semakin mudah. Namun, dalam kenyataan, ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan pokok, dan peningkatan pendapatan masyarakat belum banyak dipengaruhi oleh ketersediaan jalan. Memang ketersediaan jalan merupakan faktor penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun hal ini bukan satu-satunya faktor. Masih ada faktor lainnya seperti volume produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat desa, persaingan pasar, kapasitas manajemen dan organisasi/ kelembagaan desa. Demikian pula, kegiatan perpipaan air bersih, justru memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat desa karena kegiatan ini dapat menjamin ketersediaan dan pemenuhan air bersih, namun sumber air dan debit air masih belum cukup terutama pada musim kemarau. Karena itu, kegiatan perpipaan yang telah dilaksanakan masih kurang efektif karena belum mampu mensuplai air bersih yang cukup bagi masyarakat desa. Dalam kegiatan SPP, tidak semua kelompok mengalami perubahan yang signifikan. Ternyata, hanya kelompok Tunas Harapan telah mengalami perubahan dalam pengelolaan dana simpan pinjam. Kelompok ini telah berhasil meningkatkan pendapatan anggotanya. Pembuatan “smock”, jahit menjahit dan kerajinan telah berhasil meningkatkan pendapatan anggota antara 1 hingga 2 juta rupiah. Aset yang dimiliki sejak tahun 2008 telah mencapai Rp. 20-an juta (Dahurandi, 2011). Dalam kegiatan beasiswa terlihat bahwa meskipun dari sisi peningkatan prestasi belajar siswa di SDI Balfai dan SDN Kaniti sulit diukur, namun kegiatan ini sangat bermanfaat bagi siswa-siswa dari orang tua yang kurang mampu. Kenyataan menunjukkan bahwa beban ekonomi keluarga dari siswa yang orang tuanya kurang mampu dapat diminimalisir, meskipun tidak terlalu signifikan. Di sisi lain, meskipun bantuan ini tidak seberapa besar nilainya, namun orang tua siswa dan siswa itu sendiri telah merasakan bahwa masih ada pihak lain yang peduli terhadap nasib mereka. Dalam hal ini, bukan nilai uang dan materi tetapi nilai kemanusiaan yang sungguh-sungguh diperhatikan oleh program ini.
Penutup Penyediaan sumber daya lokal berupa tenaga, bahan material lokal, dan peralatan baik jumlah maupun kualitas secara partisipatif oleh masyarakat dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik di Desa Penfui Timur belum optimal. Sebaliknya, dalam kegiatan SPP, kontribusi perempuan berupa dana swadaya cukup optimal. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana fisik, kegiatan SPP dan beasiswa SD telah dilaksanakan, namun pengelola program belum mampu mengakomodir kepentingan setiap Dusun dan kelompok usaha. Karena itu, tidak semua Dusun dan kelompok usaha tersentuh oleh PNPM Mandiri Pedesaan. Pembangunan sarana dan prasarana fisik, kegiatan SPP dan beasiswa SD dalam rangka pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur telah mencapai hasil dan manfaat bagi masyarakat desa, namun kualitas hasil belum cukup memuaskan. Meskipun demikian, kegiatan SPP khususnya, kelompok Tunas Harapan telah berhasil meningkatkan pendapatan kelompok dan anggota. Dalam rangka mendukung keberhasilan PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur, khususnya pembangunan sarana dan prasarana fisik, kegiatan SPP, beasiswa sekolah dasar dan kegiatan lainnya di masa yang akan datang, maka masyarakat desa perlu memberikan kontribusi secara partisipatif baik tenaga, bahan material, peralatan dan uang. Dalam rangka pemerataan pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur, maka pengelola program perlu memprioritaskan kelompok masyarakat yang belum tersentuh oleh program. Pengelola program perlu memperluas rencana dan pelaksanaan kegiatan PNPM dan memperhatikan
96
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
asas kebutuhan dan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan di pedesaan secara berkelanjutan melalui pendekatan pemberdayaan, maka pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, sektor swasta dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat perlu bersinergi menyediakan anggaran yang lebih besar lagi. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengkaji faktor organisasi dan manajemen, SDM pengelola program, kolaborasi antar lembaga terkait yang mungkin berpengaruh terhadap pelaksanaan dan pencapaian tujuan PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur.
Referensi Anderson, J. E. (1994). Public Policy Making : An Introduction. New York : Houghton Mifflin Company. Berg, B. L. (2004). Qualitative Research Methods for the Social Sciences. New York : Pearson Education. Bungin, B. (2007). Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Cole, M., & Parston, G. 2006. Unlocking Public Value: a New Model for Achieving High Performance in Public Serive Organizations. John Wiley And Sons, Inc Creswell, J. W. (1994). Research Design : Qualitative and Quantitative Approach. California : Sage Publication. Dunn, W. N. (2000). Public Policy Analysis : An Introduction. USA : Prentice Hall. Dye, T. R. (2002). Understanding Public Policy. New Jersey : Prentice Hall. Goggin, M. L., et al. (1990). Implementation Theory and Practice : Toward a Third
Generation. London :
Foresman and Company, Glenview Illinois. Lester, J. P., & Stewart, Y. J. R. (2000). Public Policy : An Evolutionary Approach. Australia: Wadsworth Thomson Learning. Osborne, D., & Ted, G. (1992). Reinventing Government : How the Entrpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. New York : Addison Wesley Publishing Company. Pollit, C., & Harisson, S. (). Hand Book of Public Service Management. UK : Blackwell Publisher. Posavac, E. J., & Carey, R. G. (2003). Program Evaluation Methods and Case Studies. New Jersey : Prentice Hall.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
97
Sajogyo. (1994). Kemiskinan dan Pembangunan di NTT. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Shafritz, J. M., Russel E.W., & Borick, C. P. (2007). Introducing Public Administration, New York : Pearson Longman. Sherraden, M. (2006). Aset Untuk Orang Miskin : Perspektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan. Penerjemah Sirojudin Abbas (et al). Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Silverman, D. (1994). Interpreting Qualitative Data. London: Sage Publication. Stewart, A. M. (1994). Empowering People. London : Pitman Publishing. Suharto, E. (2005). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat : Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung : PT. Refika Aditama, Supriatna, T. (1997). Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Bandung : Humaniora Utama Press. Van Meter, D. S., & Van Horn, C. E., (1975). “The Policy Implementation Process : A Conceptual Framework”, Department of Political Science, Ohio State University, Administration and Society, Vol. 6. No. 4.
98
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Integrasi Kebijakan UMKM Guna Meningkatkan Daya Saing Lokal (Kemitraan UMKM Provinsi Jawa Timur)
Noviyanti, S.AP., M.AP. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya Tel: +62-813-5740-6552 Email:
[email protected]
Abstrak: Globalisasi adalah sebuah kondisi dimana setiap negara akan masuk ke dalam pusaran dinamika dunia global yang meliputi ekonomi, politik, keamanan, dan budaya. Salah satu euforia globalisasi di lingkup regional ASEAN adalah pembentukan integrasi ekonomi, yang lebih dikenal dengan Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Penerapan MEA pada akhir 2015 adalah gerbang Indonesia dalam menghadapi global competition yang sesungguhnya dari lingkup yang terkecil di tatanan global, yang ditandai dengan adanya aliran bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil antar negara-negara Asean. Sehingga ketidaksiapan Indonesia menghadapi MEA akan berdampak negatif bagi seluruh aspek bangsa Indonesia. Salah satu dampak negatif yang kasat mata adalah dengan melihat kondisi perekonomian
suatu bangsa, dimana kondisi
terburuknya adalah Indonesia hanya akan menjadi negara konsumer dan pasar impor. Salah satu strategi Indonesia dalam menjawab tantangan tersebut adalah memperkuat perekonomian bangsa dengan menitikberatkan pada perekonomian rakyat. Sejauh ini perekonomian rakyat baik nasional maupun daerah bertumpu pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Penguatan perekonomian daerah, khususnya Jawa Timur, dilakukan dengan meningkatkan daya saing daerah. Apalagi Jawa Timur adalah provinsi yang pertumbuhan UMKM nya paling banyak kedua di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengintegrasikan kebijakan UMKM sebagai salah satu penggerak sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Integrasi kebijakan UMKM sangat diperlukan karena perannya yang penting pada ekonomi kerakyatan dan peningkatan daya saing produk lokal, yang meliputi penguatan modal, pengembangan produk unggulan, standarisasi kualitas mutu produk UMKM, dan sumber daya manusia yang terampil, sehingga dapat bersaing dengan produk impor yang akan membanjiri tanah air.
Keyword: MEA, Integrasi Kebijakan, UMKM, Daya Saing Lokal.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
99
Pendahuluan Globalisasi adalah sebuah kondisi bahwa setiap negara akan masuk ke dalam pusaran dinamika dunia global yang meliputi ekonomi, politik, keamanan, dan budaya sehingga globalisasi itu sendiri tidak dapat terelakkan oleh negara manapun juga. Di lingkup regional Asean, globalisasi dimaknai dengan pembentukan integrasi ekonomi, yang lebih dikenal dengan Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dengan adanya MEA pada akhir tahun 2015, memaksa Indonesia harus siap dalam menghadapi global competition, yang ditandai dengan terjadinya aliran bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil antar negara-negara Asean. Salah satu dampak negatif arus globalisasi adalah dengan melihat kondisi perekonomian
suatu bangsa, dimana kondisi terburuknya adalah Indonesia hanya akan menjadi negara
konsumer dan pasar impor. Jika tidak ingin tergerus oleh berbagai dampak negatif dari arus globalisasi yang melanda, maka Indonesia harus memperkuat perekonomian bangsa dengan menitikberatkan pada perekonomian rakyat melalui peningkatan daya saing bangsa. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang terbesar di banyak negara berkembang sehingga seringkali menjadi bagian terpenting dari perekonomian suatu bangsa. Bagi Indonesia, UMKM memiliki sumbangsih yang besar terhadap pertumbuhan perekonomian dalam beberapa tahun terakhir, Sehingga UMKM merupakan salah satu langkah mengembangkan dan mengoptimalkan potensi perekonomian Indonesia hingga saat ini. Hal ini terlihat bahwa UMKM dijadikan sebagai agenda utama pembangunan ekonomi Indonesia. UMKM memiliki peran penting dan sangat stategis, yang dapat ditinjau dari berbagai aspek. Salah satu peran UMKM adalah sebagai pilar ekonomi kerakyatan, yakni sebagai perwujudan pemerataan kesempatan bagi seluruh masyarakat untuk berusaha secara mandiri dalam rangka meningkatkan taraf hidup sehingga dapat mengurangi kesenjangan pendapatan, dan pendapatan perkapita dapat betul-betul mencerminkan kesejahteraan nasional. Menurut UU No. 20 Tahun 2008, UMKM adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki. Sebagai pilar ekonomi kerakyatan, UMKM adalah sektor usaha yang dijalankan dalam tataran bawah yang mampu mengurangi angka pengangguran dengan menyerap angkatan kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja. Tercatat pada tahun 2011, UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 101.722.458 orang atau 97,24 persen dari total penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Jumlah ini meningkat sebesar 2,33 persen atau 2.320.683 orang dibandingkan tahun 2010 [ i]. Selain itu, para pekerja yang menjadi korban PHK, dan pensiunan PNS ataupun perusahaan-perusahaan saat ini banyak yang beralih melirik sektor UMKM. Peran penting UMKM juga terlihat dari kontribusi yang cukup besar kepada perekonomian nasional dalam Produk Domestik Bruto (PDB) melalui pembayaran pajak. Kontribusi UMKM melalui pembayaran pajak terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, UMKM menyumbang 56,18 persen, dan 56.22 pada tahun 2010 [ ii ]. Selanjutnya, pada tahun 2011 UMKM telah menyumbang 61,9 persen melalui pembayaran
100
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
pajak, yaitu: sektor usaha mikro menyumbang 36,28 persen PDB, sektor usaha kecil 10,9 persen, dan sektor usaha menengah 14,7 persen melalui pembayaran pajak. Sementara itu, sektor usaha besar hanya menyumbang 38,1 persen PDB melalui pembayaran pajak (BPS, 2011) [iii]. Kestrategisan UMKM dalam mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Indonesia terlihat dari karakternya yang tahan banting dan fleksibel, sehingga UMKM dijadikan sebagai salah satu bantalan yang menjaga pertumbuhan ekonomi nasional ketika terjadi guncangan atau tekanan eksternal. Dikatakan tahan banting karena UMKM memiliki kemampuan untuk bertahan terhadap krisis ekonomi/krisis mata uang, dan bahkan menjadi penyelamat perekonomian di masa krisis. Kemampuan bertahan ini dikarenakan umumnya para pelaku UMKM menggunakan modal sendiri, dan memanfaatkan bahan baku di sekitarnya sehingga UMKM tetap survive dan mampu membantu menggerakkan ekonomi bangsa. Sedangkan dengan karakter fleksibel, UMKM mampu menyesuaikan dengan kondisi yang sedang terjadi. Daya lentur usaha kecil ini yang membuatnya mampu bertahan dalam persaingan usaha. Berbagai peran penting yang dimiliki oleh UMKM, menjadikan pemberdayaan UMKM sebagai salah satu agenda utama pemerintah dalam menghadapi tantangan global, seperti meningkatkan inovasi produk dan jasa, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, serta perluasan area pemasaran. Dengan pemberdayaan UMKM melalui peningkatan daya saing produk, pemerintah perlu menfokuskan pada 2 masalah yang paling mendasar, yaitu pembiayaan dan pendampingan. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kebangkrutan UMKM yang pada awalnya disebut mampu bertahan hidup dan tahan banting, dan juga dapat menambah nilai jual UMKM itu sendiri. Sehingga dapat bersaing dengan produk-produk asing yang kian membanjiri sentra industri dan manufaktur di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Penguatan terhadap ekonomi skala kecil dan menengah melalui pengembangan dan pemasaran produk lokal diharapkan dapat menjadi prioritas menuju terciptanya fundamental ekonomi yang kokoh dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
Potret UMKM 10 tahun terakhir 1. Kebijakan UMKM 10 tahun terakhir dan dampaknya Pada masa orde baru, pelaksanaan kebijakan UMKM yang dicanangkan oleh pemerintah, kebanyakan justru hanya menjadi semboyan saja sehingga hasilnya sangat tidak memuaskan. Pemerintah lebih berpihak pada pengusaha besar hampir di semua sektor, antara lain perdagangan, perbankan, kehutanan, pertanian dan industri. Sekalipun implementasi dari kebijakan koperasi dan UMKM telah memperoleh prioritas utama dan menjadi bagian penting dari perekonomian Indonesia, kebijakan UMKM pada saat itu hanya berorientasi pada gejala bukan pada akar masalah. Kebijakannnya bersifat top-down yang sangat kental, yang terdiri dari 3 tahapan yaitu: officialization (besarnya peran pemerintah), de-officialization (peran pemerintah berkurang), dan masa otonomi. Kemudian, rentang dari setiap tahapan tersebut kurang jelas dan tegas dalam implementasinya. Meskipun implementasi kebijakan yang tidak jelas, UMKM telah membuktikan eksistensinya dengan karakter yang tahan banting dan fleksibel. Tercatat bahwa pasca krisis ekonomi 1998, UMKM tidak tergerus di masa-masa krisis ekonomi. Sedangkan usaha besar lainnya justru mengalami keterpurukan hingga banyak yang gulung tikar dan banyak terjadi PHK massal.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
101
Adapun alasan UMKM mampu bertahan di tengah krisis, yaitu: pertama, UMKM tidak memiliki utang luar negeri. Pada saat itu, kebanyakan UMKM memproduksi barang konsumsi dan jasa dengan elastitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah, sehingga tingkat pendapatan rata-rata masyarakat baik sebelum terjadinya krisis maupun pada saat krisis tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan. Kedua, sebagain besar UMKM tidak mendapat modal dari bank karena pada saat itu UMKM dianggap belum bankable. Sehingga krisis ekonomi terjadi, yang menyebabkan terpuruknya sector perbankan dan naiknya suku bunga, itu semua justru tidak banyak mempengaruhi UMKM. Ketiga, karena sebagian besar UMKM tidak mendapat modal dari bank, maka mereka menggunakan modal sendiri (input lokal) dari tabungan sehingga aksesnya terhadap perbankan sangat rendah. Berbeda halnya pada masa reformasi, berdasarkan Kajian Evaluasi dan Revitalisasi Kebijakan Pemerintah di Bidang KUKM (2007: 319-321)[iv], ada banyak kebijakan pemberdayaan UMKM, yaitu: 1) Program skim kredit (era BJ Habibie), yaitu memberikan pinjaman lanjutan kepada UMKM sesuai dengan tahapan kemajuan usaha. Namun pada pelaksanaannya menyebabkan banyak moral hazard yang berkaitan dengan kredit program. 2) Pengembangan klaster bisnis UMKM (era Abdurahman Wachid), yaitu mengembangan sentra-sentra UMKM menjadi klastr bisnis UMKM yang dinamis. Namun, pada pelaksanaannya pemerintah mulai kehilangan orientasi pendekatan klaster karena terjebak pada uaya pencapain target jumlah sentra UMKM yang dapat difasilitasi. 3) Program dana bergulir (era Megawati), yaitu program dana perkuatan dari berbagi nama dan berbagai instansi pemerintah. Karena banyaknya nama dan pengelola dana bergulir tersebut sehingga menyulitkan pengendaliannya. 4) Program perkuatan (era Susilo Bambang Yudhoyono), yaitu pemberian dana program perkuatan kepada UMKM pada berbagai sektor ekonomi. Akan tetapi, sebagian besar penilalian kebutuhan UMKM masih bias pada kebutuhan usaha mikro. Dengan kemampuan bertahannya dari berbagai penerapan kebijakan UMKM, kehadiran UMKM tetap dijadikan sebagai solusi dari sistem perekonomian yang sehat pada masa-masa tersebut. UMKM juga dijadikan sebagai sektor yang dapat diperhitungkan dalam meningkatkan kekompetitifan pasar dan stabilisasi sistem ekonomi yang ada.
2. Perkembangan UMKM di Indonesia Perkembangan UMKM di Indonesia patut diperhitungkan. Tercatat jumlah UMKM di Indonesia kian bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 1998 di Indonesia masih terdapat 36,8 juta unit pelaku usaha di mana 99% lebih adalah pelaku UMKM. Kemudian, pada tahun 2003 dari sekitar 40 juta pelaku usaha yang ada di Indonesia, sebanyak 39,8 juta atau 99,5% adalah pelaku UMKM [ v]. Tidak hanya itu, pertumbuhan sektor UKM dari tahun 2005 hingga 2009 sebesar 24,01%. Berdasarkan data dari Bada Pusat Statistik, UMKM mengalami pertumbuhan unit usaha dari tahun 2012-2013 sebanyak 1.361.129 unit atau 12,68 persen, dengan rincian pada usaha mikro mencapai 2,39 persen, usaha kecil sebesar 3,94 persen, dan usaha menengah mencapai 6,35 persen [vi]. Sedangkan pada usaha besar, pertumbuhan unit
102
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
usahanya hanya mencapai 1,97 persen. Begitu pula dari total unit usaha UMKM pada tahun 2013 sebesar 57,8 juta unit, pangsa pasar yang dicapai sebesar 99,99 persen, sedangkan usaha besar hanya 0,01 persen [ vii]. Hal ini menunjukkan pertumbuhan unit usaha dan pangsa pasar UMKM lebih cepat dibandingkan dengan usaha besar. Sehingga UMKM memiliki prospek untuk terus bertumbuh kedepannya seiring meningkatnya permintaan barang dan jasa dalam negeri. Data ini juga memperlihatkan bahwa UMKM memang memiliki peran besar bagi pertumbuhan serta pembangunan ekonomi Indonesia. Disamping itu, pertumbuhan unit usaha menengah sangat dominan dibanding dengan usaha mikro dan kecil. Hal ini menunjukan bahwa adanya perkembangan usaha mikro menjadi usaha kecil, dan usaha kecil menjadi usaha menengah. Berikut adalah data pertumbuhan unit usaha UMKM pada tabel 1.
Tabel 1. Pertumbuhan Unit Usaha UMKM 2009-2013
Pertumbuhan (dalam persen) Unit
Usaha 2009-
2010-
2011-
2012-
2010
2011
2012
2013
Usaha Mikro
2,54
1,97
2,38
2,39
Usaha Kecil
3,98
5,95
4,52
3,94
Usaha Menengah
1,63
5,41
10,65
6,35
Total
8,51
13,33
17,55
12,68
UMKM
Sumber: Data diolah Penulis dari Badan Pusat Statistik 2005-2012.
Perkembangan UMKM di Indonesia terbilang sangat kompleks karena bergerak dalam berbagai bidang seperti kuliner, tekstil, perkebunan, pertanian, perikanan, retail dan lainnya. Apabila ditinjau dari 9 jenis unit usaha UMKM pada tahun 2011, yang memiliki proporsi terbesar pada jenis unit usaha adalah sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan sebesar 48,85 persen; (2) Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 28,83 persen; (3) Pengangkutan dan Komunikasi sebesar 6,88 persen; (4) Industri Pengolahan sebesar 6,41 persen; serta (5) Jasa-jasa sebesar 4,52 persen. Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki proporsi terkecil dari jenis unit usaha secara berturut-turut adalah sektor (1) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; (2) Bangunan; (3) Pertambangan dan Penggalian; serta (4) Listrik, Gas dan Air Bersih. Berikut adalah proporsi jenis unit usaha UMKM pada Grafik 1.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
103
Grafik 1. Proporsi Sektor Ekonomi UMKM Berdasarkan Jenis Usaha Tahun 2011
Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM (2011:8).
Berdasarkan grafik 1, sektor ekonomi UMKM pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan jenis usaha UMKM yang paling banyak jumlahnya. Hal ini menggambarkan bahwa memang dalam 10 tahun terakhir UMKM kebanyakan digerakkan oleh masyarakat kecil, karena memang sector ini membutuhkan tenaga terlatih dan tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Akan tetapi, baik sector ini maupun sektor lainnya, tidak menutup kemungkinan membutuhkan tenaga terdidik dengan kualifikasi pendidikan yang tinggi. Selain itu, perkembangan UMKM di Indonesia terpusat di pulau Jawa, dan hanya sebagian kecil yang UMKM yang berada di luar pulau jawa. Terdapat 3 provinsi di Indonesia dengan jumlah UMKM terbanyak pada tahun 2014 yaitu: provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Usaha mikro dan usaha kecil terbanyak terletak di Jawa Tengah dengan masing-masing jumlahnya sebesar 766.782 dan 65.690 unit. Urutan kedua dan ketiga untuk usaha mikro terletak di Jawa Timur dan Jawa Barat. Sebaliknya urutan kedua dan ketiga untuk usaha kecil terletak di Jawa Barat dan Jawa Timur. Tingginya pertumbuhan dan perkembangan UMKM di Indonesia ternyata tidak serta merta diikuti oleh tingginya jumlah UMKM yang mampu menembus pasar global atau melakukan kegiatan ekspor hasil dari kegiatan usaha UMKM. Pada tahun 2011, Sidabutar (2014:18) [ viii ] mengemukakan bahwa jumlah UMKM produsen ekspor (yang menghasilkan produk ekspor dan menjualnya secara langsung kepada pembeli dari luar negeri atau importir) hanya 0,19 persen dari total UMKM di Indonesia. Sedangkan 99,81 persen UMKM lainnya melakukan ekspor secara tidak langsung dan/atau hanya melakukan penjualan di pasar domestik. Pada kelompok UMKM produsen ekspor, jumlah UMKM yang melakukan ekspor sendiri hanya 8,7 persen, sedangkan 91,3 persen UMKM lainnya kegiatan ekspor dilakukan oleh importir.
104
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Kecilnya angka UMKM produsen ekspor juga berimplikasi pada rendahnya kontribusi UMKM terhadap nilai ekspor non migas. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UMKM, kontribusi UMKM terhadap pembentukan total nilai ekspor non migas pada tahun 2013 tercatat sebesar Rp 182,1 triliun atau 15,68 persen, yaitu terdiri dari usaha mikro yang menyumbang sebesar Rp 15,9 triliun atau 1,38 persen, usaha kecil menyumbang Rp 32 triliun atau 2,76 persen, dan usaha menengah menyumbang Rp 134 triliun atau 11,54 persen. Bila dibandingkan pada tahun 2012 hanya usaha mikro dan usaha menengah yang nilai ekspornya meningkat, sedangkan usaha kecil mengalami penurunan sebesar 1,41 persen [ ix]. Sekalipun usaha kecil mengalami penurunan dalam kontribusinya pada nilai ekspor non migas, namun justru usaha kecil yang mempunyai peranan besar dalam ekspor, khususnya usaha kecil yang mengandalkan keahlian tangan (handmade), seperti: kerajinan perhiasan, fashion, dan ukiran kayu. Karena lebih mengandalkan keahlian atau keterampilan tangan, maka usaha kecil cenderung bersifat padat karya sehingga menjadi keunggulan usaha kecil terutama pada saat krisis ekonomi. Disamping itu, kebanyakan struktur ekspor produk UMKM Indonesia pada dewasa ini berasal dari industri pengolahan seperti furniture, makanan dan minuman, pakaian jadi atau garmen, industri kayu dan rotan, hasil pertanian terutama perkebunan dan perikanan, sedangkan di sektor pertambangan masih sangat kecil (hanya yang berhubungan dengan yang batu-batuan, tanah liat dan pasir). Secara rinci barang ekspor UMKM antara lain: alat-alat rumah tangga, pakaian jadi atau garmen, batik, barang jadi lainnya dari kulit, kerajinan dari kayu, perhiasan emas atau perak, mainan anak, anyaman, barang dari rotan, pengolahan ikan, mebel, sepatu atau alas kaki kulit, arang kayu/tempurung, makanan ringan dan produk bordir. Sedangkan bahan baku produksi UMKM yang digunakan adalah bahan baku lokal, dan sisanya dari impor seperti plastik, kulit dan beberapa zat kimia.
3. Perkembangan UMKM di Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan provinsi yang pertumbuhan UMKM nya paling banyak kedua di Indonesia, setelah Jawa Tengah. Pertumbuhannya mencapai 8 persen hingga 10 persen [x], dan jumlah UMKM Jawa Timur hingga akhir tahun 2012 mencapai 6,8 juta usaha atau sekitar 16,5 persen dari jumlah penduduk Jatim yaitu 42 juta orang, yang terkonsentrasi di Jember, Malang dan Banyuwangi. Sedangkan secara nasional, jumlah UMKM mencapai 56 juta. Dengan jumlah UMKM sebanyak itu, tenaga kerja yang terserap mencapai 11 juta lebih [xi]. Berdasarkan data dari Dinas Koperasi dan UMKM provinsi Jawa Timur, jumlah UMKM di Jawa Timur pada tahun 2014 mencapai 6,8 juta usaha yang tersebar di 38 kabupaten/kota dan mampu berkontribusi pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 54,48 persen per tahun. Banyaknya UMKM di Jawa Timur menunjukan bahwa UMKM merupakan tulang punggung perekonomian Jawa Timur. Hal ini juga menunjukkan bahwa sektor ini mampu menjadi model kegiatan untuk mengurangi angka kemiskinan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Timur. UMKM Jawa Timur didominasi oleh usaha mikro dan usaha kecil. Sehingga UMKM di Jawa Timur memiliki pola usaha yang bersifat unik, karena lebih banyak dikerjakan dalam lingkup sektor informal, yakni lebih mengandalkan keahlian atau keterampilan tangan (handmade) seperti: kerajinan perhiasan, fashion, dan ukiran kayu. Usaha mikro dan usaha kecil juga cenderung bersifat padat karya, dimana 30% usaha UMKM
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
105
memenuhi kriteria layak (feasible) dan bankable, sedangkan 70% sisanya hanya memenuhi kriteria layak (feasible) akan tetapi belum bankable[xii]. Sekalipun usaha mikro dan usaha kecil mempunyai peranan besar dalam ekspor, namun jumlah UMKM yang terlibat dalam kegiatan ekspor tidak banyak bila dibandingkan dengan total UMKM di Jawa Timur. Dari sekian banyak UMKM yang ada di Jawa Timur, jumlah UMKM produsen ekspor hanya sebesar 1.388 unit yang tersebar di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, dan yang terbanyak terdapat di kota Blitar, Lumajang, Mojokerto. Sedangkan jumlah UMKM pelaku ekspor (UMKM yang melakukan ekspor secara tidak langsung) hanya berjumlah 283 unit di 23 kabupaten/kota, dan yag terbanyak terdapat di kota Surabaya, Malang, Bangkalan. Dari total UMKM Jawa Timur, pada tahun 2014 terdapat 597 pusat sentra UMKM dan 41 UMKM yang menjadi sentra binaan, dengan kebanyakan jenis komoditas unggulannya adalah batik tulis dan kerajinan daun (Bangkalan), tas (Sidoarjo), serta susu dan jamur (kota Batu) [ xiii].
Masalah-masalah yang dihadapi para pelaku UMKM di Jawa Timur Dalam pembangunan dan penguatan perekonomian Indonesia, UMKM selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan penting. Hal ini karena sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern. Peranan usaha kecil tersebut menjadi bagian yang diutamakan dalam setiap perencanaan tahapan pembangunan yang dikelola oleh dua departemen yaitu Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta Departemen Koperasi dan UKM baik secara nasional maupun daerah. Namun, usaha pengembangan yang telah dilaksanakan masih belum memuaskan hasilnya karena pada kenyataannya kemajuan UMKM sangat kecil dibandingkan dengan kemajuan yang sudah dicapai usaha besar. Sekalipun Indonesia khususnya Jawa Timur memiliki banyak UMKM dan sangat berkontribusi bagi perekonomian bangsa dan daerah, akan tetapi hingga saat ini antara kuantitas UMKM dengan kualitas UMKM masih belum seimbang. Hal ini dikarenakan banyaknya UMKM Jawa Timur yang belum didukung oleh perkembangan yang memadai dari segi kualitasnya, yakni: kekurangmampuan UMKM dalam bidang manajemen, penguasaan teknologi, dan pemasaran, serta rendahnya kompetensi kewirausahaan UMKM. Sehingga berdampak pada lemahnya kemampuan dan posisi tawar untuk mengelola dan mengakses ke berbagai sumber daya produktif yang meliputi sumber permodalan, teknologi dan informasi, pasar, dan faktor produksi. Mudrajad Kuncoro[xiv], dalam bukunya Ekonomi Pembangunan, mengemukakan beberapa tantangan dan masalah yang selama ini dihadapi UMKM. Hal ini disebabkan karena beberapa kelemahan UMKM yaitu sebagai berikut. 1. Kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Hal ini juga terkait dengan kualitas produk, daya saing, dan teknologi. 2. Kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia maupun manajemen usaha. 3. Kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur untuk sumber-sumber permodalan. 4. Keterbatasan jaringan usaha kerja sama antar pengusaha kecil (sistem nformasi pemasaran) 5. Iklim usaha yang kurang kondusif karena iklim usaha yang mematikan.
106
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
6. Pembinaan yang dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil. Inilah berbagai tantangan dan masalah yang dihadapi oleh para pelaku UMKM baik di Indonesia maupun di Jawa Timur. Untuk mengatasi kelemahan internal masing-masing UMKM terkait pengusaan teknologi, manajemen, informasi, dan pasar, UMKM membutuhkan biaya yang relatif besar. Sehingga hal ini pula yang berkaitan masalah permodalan. Permodalan menjadi maslaah utama bagi usaha mikro dan kecil terutama bagi usaha yang tidak berbadan hukum dan masih menerapkan manajemen yang sangat sederhana sehingga mereka sangat sulit memperoleh akses dari lembaga keuangan perbankan. Selain itu, permasalahan terkait iklim usaha yang kurang kondusif disebabkan beberapa hal, yaitu: 1) ketidakpastian dan ketidakjelasan prosedur perizinan yang mengakibatkan besarnya biaya transaksi, panjangnya proses perizinan, dan timbulnya berbagai pungutan tidak resmi, 2) proses bisnis dan persaingan usaha yang tidak sehat, 3) lemahnya koordinasi lintas instansi dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM, dan 4) masih munculnya peraturan-peraturan daerah yang menghambat termasuk pengenaan pungutan-pungutan baru kepada UMKM sebagai sumber pendapatan asli daerah. Berdasarkan hasil pemetaan, ada 2 permasalahan yang fundamental yang dihadapi oleh UMKM Jawa Timur, yaitu: permodalan dan pendampingan. Permodalan berkaitan dengan akses memperoleh sumbe-sumber permodalan dan pembiayaan, sedangkan pendampingan berkaitan dengan SDM, kualitas produk dan pasar. 1. Permodalan Akses pembiayaan kepada UMKM sudah menjadi tantangan lama khususnya di Jawa Timur. Hal ini dipicu oleh keterbatasan kapasitas, kapabilitas, dan eligibilitas UMKM. Terkait dengan keterbatasan kapasitas, ternyata masih banyak UMKM yang belum memisahkan sistem administrasi keuangan dan manajemennya, baik dari segi kepemilikan maupun pengelolaan perusahaan. Sementara, contoh dari tantangan yang berkaitan dengan kapabilitas dan eligibilitas adalah masalah prosedur administrasi yang berbelit-belit. Ini menjadi penghalang UMKM baik pengusaha lama maupun pengusaha baru untuk mendapatkan akses kredit perbankan, seperti: kelayakan usaha, rekening 3 bulan harus bagus, keberadaan agunan, dan lamanya berbisnis. Padahal banyak pengusaha UMKM yang bisnisnya sangat layak (feasible), namun dinilai tidak bankable hanya karena masalah agunan atau lamanya berbisnis. Tercatat bahwa jumlah UMKM yang ada di Jatim, baru 40% yang bankable. Meskipun terdapat Kredit Usaha Ringan (KUR), akan tetapi hanya sebagian kecil UMKM yang terbantu. Hal ini dikarenakan KUR mematok bunga yang masih sangat tinggi bagi pengusaha UMKM, terutama yang baru merintis usaha. Tercatat bahwa struktur industri UMKM yang menggunakan modal dari bank hanya sebesar 30-40%. Selain itu, berdasarkan data Bank Indonesia wilayah IV Surabaya[ xv ], pertumbuhan kredit ke pelaku UMKM di Jawa Timur sepanjang triwulan I tahun 2013 sebesar 11 persen. Apabila dibandingkan dengan kredit umum yang mengalami peningkatan sebesar 27 persen, maka pertumbuhan kredit ke UMKM sangat kecil. Disamping itu, realisasi penyaluran kredit kepada UMKM di Jatim di pertengahan 2014 sebesar Rp 92,28 triliun atau 15,93 persen dari total kredit yang disalurkan[ xvi]. Selain itu, tidak semua lembaga keuangan berfokus pada pembiayaan UMKM. Hal ini menunjukkan bahwa masih rendahnya aksesibilitas UMKM ke sumber-sumber pembiayaan secara luas.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
107
2. Pendampingan Eksistensi UMKM di dalam dunia usaha sangat membutuhkan pendampingan dari berbagai pihak khususnya pemerintah daerah. Kurangnya pendampingan UMKM khususnya usaha mikro dan kecil akan berdampak pada ketidakmampuan mereka bersaing dan bertahan di era MEA 2015. Adapun masalah pendampingan yang perlu menjadi fokus perhatian pemerintah berkaitan dengan rendahnya kualitas SDM, kualitas produk dan pasar. a.
Rendahnya kualitas SDM Kualitas SDM yang rendah terlihat dari masih terbatasnya tenaga kerja terampil dan berpendidikan. Umumnya mereka yang bekerja di sektor informal adalah masyarakat yang berpendidikan rendah, yang hanya mengandalkan keterampilan. Disamping itu, umumnya tenaga kerja UMKM masih banyak yang belum melek teknologi, sehingga tidak mampu memanfaatkan teknologi yang ada untuk meningkatkan produktivitas hasil produksi UMKM.
b.
Kualitas produk yang rendah Rendahnya kualitas suatu produk dikarenakan kesulitan memperoleh bahan baku, terutama karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku. Sehingga bahan baku yang digunakan adalah bahan baku dengan kualitas rendah. Disamping itu, penggunaan bahan baku impor juga akan berdampak pada tingginya harga bahan baku. Rendahnya kualitas produk UMKM menunjukkan ketidaksiapan UMKM untuk berkontribusi pada pasar ekspor dan menghadapi pasar bebas, yakni produknya tidak bisa menembus pasar global. Hal ini dikarenakan belum adanya standarisasi produk UMKM dalam negeri untuk dapat menembus pasar ekspor, begitu pula dengan standarisasi produk luar yang akan masuk ke dalam negeri. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah UMKM yang terlibat dalam kegiatan ekspor hanya mencapai 1.671 unit dari total UMKM Jawa Timur, yang terdiri dari 1.388 UMKM produsen ekspor, dan 283 UMKM pelaku ekspor [ xvii].
c.
Kurangnya kemampuan penguasaan pasar Selama ini, kemampuan penguasaan pasar oleh para pelaku UMKM dinilai masih kurang, yang disebabkan oleh minimnya pengetahuan para pelaku usaha dalam menyusun perencanaan bisnis sehingga berdampak pada kurangnya pemahaman mereka akan apa yang dibutuhkan pasar apalagi persaingan dalam merebut pasar semakin ketat. Selain itu, pada umumnya kegiatan usahanya tidak didukung oleh riset pasar yang memadai terkait model promosi, peluang pasar, pesaing, barang substitusi dan komplementer atas produk-produk pengusaha muda, selera konsumen, tren pasar, dan faktor-faktor eksternal lainnya. Sehingga ekspansi bisnis UMKM di pasar menjadi sangat terbatas. Tanpa dukungan riset pasar, sulit bagi para pelaku UMKM khususnya bagi pemula untuk bisa mengetahui apa yang dibutuhkan pasar. Hal ini juga menyebabkan kebingungan pada para pelaku usaha ketika berhadapan dengan ekspansi produk dari pabrik-pabrik yang lebih besar dan mapan, dimana perusahaan besar dengan teknologi yang lebih memadai mampu memenuhi selera konsumen yang cepat berubah di era globalisasi ini.
108
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Begitu pula akses pasar ekspor yang masih terbatas. Mayoritas koperasi dan UMKM yang menghasilkan produk ekspor tidak melakukan ekspor secara langsung, tetapi melalui perantara sehingga benefit yang diperoleh lebih rendah. Hal ini dikarenakan proses yang rumit dan resiko kegiatan ekspor yang tinggi, yaitu resiko pembayaran, resiko pengiriman produk, time lag pembayaran, dan biaya ekspor yang tinggi. Selain itu, masih terbatasnya dukungan pembiayaan dan penjaminan ekspor.
Teori Kemitraan Berdasarkan UU No. 9 Tahun 1995, kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan juga dapat didefinisikan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama (mutual benefit) dengan prinsip kesetaraan, keterbukaan, dan azas manfaat bersama. Adapun manfaat kemitraan adalah meningkatnya pendapatan usaah kecil dan masyarakat, meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan, meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, terdiri atas 5 pola, yaitu : inti plasma, subkontrak, dagang umum, keagenan, dan waralaba. 1. Inti plasma Pola hubungan inti plasma adalah hubungan kemitraan antara kelompok UMKM sebagai plasma dan usaha besar sebagai inti yang membina dan mengembangan UMKM dalam jangka panjang. Usaha besar berperan dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. 2. Subkontrak Adalah pola hubungan kemitraan UMKM dan usaha besar, dimana UMKM memproduksi komponen yang diperlukan oleh UB sebagai bagian dari produksinya. Selain itu, dalam pola ini UB memberikan bantuan berupa kesempatan perolehan bahan baku, bimbingan dan kemampuan teknis produksi, penguasaan teknologi, dan pembiayaan. 3. Dagang umum Adalah pola hubungan kemitraan UMKM dan usaha besar, dimana usaha besar memasarkan hasil produksi UMKM dan menerima pasokan dari UKM untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh UB. 4. Keagenan Pada pola ini, usaha kecil diberi hak khusus dari usaha menengah maupun usaha besar sebagai mitranya untuk untuk memasarkan barang dan jasa mitranya. Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan, di mana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga. Contohnya adalah UMKM pelaku ekspor yaitu UMKM yang melakukan ekspor secara tidak langsung atau produk yang diekspor bukan hasil produksinya.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
109
5. Waralaba Waralaba adalah pola hubungan kemitraan dimana suatu perusahaan memberikan hak lisensi atau merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada kepada kelompok mitra usaha sebagai waralaba, dengan disertai bantuan berupa bimbingan manajemen. Disamping itu, dalam rangka pembentukan integrasi kebijakan dalam tata kelola pemerintah daerah, maka diperlukan konsep dan model kerjasama kemitraan terpadu (KKT). Kerjasama Kemitraan Terpadu (KKT) adalah suatu program kerjasama kemitraan terpadu yang melibatkan beberapa unsur, yaitu: pengusaha besar (inti), usaha kecil yang ada di masyarakat (plasma), perbankan, pemerintah daerah, yang dituangkan dalam nota kesepakatan bersama sehingga mengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Adapun tujuan KKT adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien, serta membantu pemerintah daerah untuk memberdayakan ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan perekonomian daerah.
Integrasi Kebijakan UMKM Sebagai Peningkatan Daya Saing Lokal Implementasi free trade di kawasan regional Asia Tenggara melalui MEA akan dilaksanakan pada akhir tahun 2015. Implementasi MEA 2015 akan berfokus pada 12 sektor prioritas, yang terdiri atas 7 sektor barang (industri pertanian, peralatan elektonik, otomotif, perikanan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, dan tekstil) dan 5 sektor jasa (transportasi udara, pelayanan kesehatan, pariwisata, logistik, dan industri teknologi informasi atau e-ASEAN). Hal ini mengharuskan Indonesia siap dengan produk-produk luar dari 12 sektor prioritas yang akan membanjiri tanah air. Sehingga perlu adanya peningkatan daya saing produk lokal agar tidak kalah saing dengan produk luar. Ketertinggalan UMKM yang tidak segera diatasi, lambat laun akan menyebabkan banyak UMKM yang gulung tikar atau mengalami kebangkrutan. Untuk itu, pemerintah nasional maupun pemerintah daerah, khususnya Jawa Timur, harus memberdayakan UMKMnya dengan membekali para pelaku UMKM dalam berbagai bidang untuk mendapatkan kualitas yang memadai. Hal ini dapat dilakukan dengan mensinergikan pemerintah, pelaku usaha, sektor swasta, dan berbagai pihak yang terkait dengan peningkatan daya saing lokal. Berikut adalah integrasi kebijakan yang meliputi penguatan modal, pengembangan produk unggulan, standarisasi kualitas mutu produk UMKM, dan sumber daya manusia yang terampil sehingga dapat meningkatkan daya saing lokal di era MEA 2015.
1. Integrasi kebijakan terkait dengan penguatan modal Pembiayaan atau permodalan adalah hal yang paling penting dan mendasar apabila pelaku usaha akan memulai suatu usaha dalam memproduksi barang maupun jasa. Pembiayaan menjadi salah satu upaya peningkatan dan pengembangan UMKM dalam perekonomian nasional melalui pemberian kredit modal usaha kepada UMKM. Salah satu arah kebijakan prioritas di bidang pembiayaan adalah peningkatan akses kepada sumber daya produktif. Arah kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan akses UMKM kepada sumber daya produktif yang berkaitan dengan jangkauan dan jenis sumber pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan usaha UMKM khususnya melalui KUR.
110
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Di lingkup nasional, pemerintah telah menerapkan berbagai skim kredit/pembiayaan UMKM sebagai program pembangunan ekonomi nasional pada sektor-sektor usaha tertentu, seperti ketahanan pangan, peternakan, dan perkebunan. Begitu pula dengan kegiatan UMKM Jawa Timur yang tidak terlepas dari dukungan dan peran pemerintah daerah di dunia perbankan untuk mendorong penyaluran kredit sebagai penguatan modal dan pembiayaan kepada UMKM. Kebijakan pemerintah terkait penguatan modal UMKM perlu dilakukan dengan menggandeng koperasi, perusahaan swasta, investor asing, dan eksportir dalam bentuk kemitraan. Skim kredit yang sangat familiar di masyarakat adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang khusus diperuntukkan bagi UMKM dengan kategori usaha produktif yang layak (feasible), namun mempunyai keterbatasan dalam pemenuhan persyaratan yang ditetapkan oleh perbankan (belum bankable). KUR adalah kredit/pembiayaan kepada UMKM yang tidak sedang menerima kredit/pembiayaan dari perbankan dan/atau yang tidak sedang menerima kredit program dari pemerintah pada saat permohonan kredit/pembiayaan diajukan. KUR diberikan dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi sehingga tercapai percepatan pengembangan sektor riil (terutama sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan serta industri). Kemitraan yang dibentuk pemerintah dalam melaksanakan integrasi kebijakan penguatan modal melalui KUR yang terdiri dari beberapa aktor penting, yaitu: 1. Pemerintah Pemerintah yang diwakili oleh Bank Indonesia (BI) dan Departemen Teknis (Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perindustrian, serta Kementerian Koperasi dan UKM). Peran pemerintah dalam pemberian skim kredit UMKM adalah penyediaan dana APBN untuk subsidi bunga skim kredit. Hal ini ditujukan untuk mengatasi permasalahan tingginya suku bunga KUR yang dinilai masih sangat tinggi bagi pengusaha UMKM, terutama yang baru merintis usaha. Padahal kredit yang diberikan dengan nilai dibawah Rp 5 juta.
2. Lembaga penjamin Lembaga penjamin atas kredit/pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan adalah PT. (Persero) Asuransi Kredit Indonesia (PT. Askrindo) dan Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo). Pola penjaminan dilakukan oleh lembaga penjamin dengan besarnya coverage penjaminan maksimal 70% dari plafon kredit. 3. Perbankan Aktor ini diwakili oleh bank-bank yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai bank pelaksana. Perbankan sebagai penerima jaminan berfungsi menyalurkan kredit/pembiayaan KUR seluruhnya (100%) kepada UMKM. Perbankan yang dintujuk sebagai bank penyalur terdiri dari 6 Bank Umum dan 13 Bank Pembangunan Daerah (BPD). Keenam Bank Umum penyalur KUR sampai saat ini adalah Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Syariah Mandiri dan Bank Bukopin. Adapun 13 BPD penyalur KUR diantaranya adalah: Bank Nagari, Bank DKI, Bank Jatim, Bank Jateng, BPD DIY, Bank Jabar Banten, Bank NTB, Bank Kalbar, Bank Kalteng, Bank Kalsel, Bank Sulut, Bank Maluku dan Bank Papua. Sementara itu,
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
111
perbankan yang ditunjuk oleh Lembaga Penyaluran Dana Pinjaman yang dikelola oleh Kantor Kementrian Koperasi dan UKM adalah Mandiri, Bank BNI, Bank Danamon. Disamping itu, pemberian kredit kepada UMKM menguntungkan bagi bank yang bersangkutan. Adapun keuntungannya adalah sebagai berikut. a.
Tingkat kemacetannya relatif kecil. Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat kepatuhan nasabah usaha kecil yang lebih tinggi dibandingkan nasabah usaha besar.
b.
Pemberian kredit kepada UMKM mendorong penyebaran risiko, karena penyaluran kredit kepada usaha kecil dengan nilai nominal kredit yang kecil memungkinkan bank untuk memperbanyak jumlah nasabahnya, sehingga pemberian kredit tidak terkonsentrasi pada satu kelompok atau sektor usaha tertentu.
c.
Kredit UMKM dengan jumlah nasabah yang relatif lebih banyak akan dapat mendiversifikasi portofolio kredit dan menyebarkan risiko penyaluran kredit.
d.
Suku bunga kredit pada tingkat bunga pasar bagi usaha kecil bukan merupakan masalah utama, sehingga memungkinkan lembaga pemberi kredit memperoleh pendapatan bunga yang memadai.
Berdasarkan fakta di lapangan ternyata ketersediaan dana pada saat yang tepat, dalam jumlah yang tepat, sasaran yang tepat, dan dengan prosedur yang sederhana lebih penting dari pada bunga murah maupun subsidi. Keaktifan perbankan dalam skenario pemberdayaan UMKM dilakukan dengan mengucurkan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) minimal 20% secara bertahap. Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/22/PBI/2012 pada 21 Desember 2012 yang efektif pada tanggal tersebut. Intinya, bank nasional wajib menyalurkan kredit UMKM minimal 20% dari kredit produktif (kredit modal kerja dan kredit investasi) secara bertahap mulai 2013 hingga 2018. 4. Kementerian Teknis Ada beberapa peran kementerian teknis dalam mengembangkan UMKM, yaitu: a.
mempersiapkan UMKM yang melakukan usaha produktif, yang bersifat individu, kelompok, kemitraan dan/atau cluster yang dapat dibiayai dengan KUR,
b.
menetapkan kebijakan dan prioritas bidang usaha yang akan menerima penjaminan KUR,
c.
melakukan pembinaan dan pendampingan UMKMK selama masa kredit/pembiayaan atau ketika usulan kredit/ pembiayaan UMKM ditolak oleh bank pelaksana,
d.
memfasilitasi hubungan antara UMKM dengan pihak lainnya seperti perusahaan inti/offtaker yang memberikan kontribusi dan dukungan untuk kelancaran usaha.
Di samping KUR, integrasi kebijakan penguatan modal UMKM ini juga dapat dilaksanakan melalui kemitraan dengan BUMN dan perusahaan swasta, serta usaha besar. Adanya kemitraan dengan BUMN melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), yakni dengan menyalurkan laba sebesar 2,5 persen yang digunakan untuk pemberdayaan UMKM. Pada tahun 2011, pemanfaatan dana PKBL BUMN yang dialokasikan ke Jatim senilai Rp800 miliar [xviii].
112
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Sementara itu, kemitraan dengan perusahaan swasta dilakukan melalui Corporate Social Responsibility (CSR) yang mereka miliki, antara lain melalui ‗bapak angkat‘, plasma, pembinaan manajemen, dan berbagai kegiatan untuk pemasaran produk UMKM. Kemitraan UMKM dengan usaha besar merupakan sebuah potensi bagi penguatan modal usaha UMKM. Hal itu diperoleh dari modal ventura yang diberikan oleh usaha besar, bahan baku yang lebih murah, kerjasama hulu hilir atau hilir hulu. Akan tetapi, dari berbagai program pembiayaan, dibutuhkan sinergitas antara program pemerintah, perbankan, dan program kemitraan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga pengembangan UMKM bisa berjalan baik, tidak sporadis, dan tidak tumpang-tindih antar program yang ada. Para pelaku usaha UMKM juga menjadi aktor untuk mencapai integrasi kebijakan penguatan modal. Melalui penerimaan kredit/pembiayaan, diharapkan dapat dimanfaatkan untuk pembelian bahan baku yang berkualitas sehingga menghasilkan produk unggulan sehingga mampu bersaing dengan produk luar. Agar siap bersaing di pasar internasional, dibutuhkan pula pembiayaan yang memadai. Untuk itu perlu dukungan lewat kerjasama Kementerian Koperasi dan UMKM bersama Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan Kementerian Perdagangan. LPEI mempunyai alokasi khusus dari APBN setiap tahun yang disinergikan untuk membiayai pelaku UMKM, memfasilitasi daerah yang mempunyai potensi pelaku usaha berorientasi ekspor, serta pemberian suku bunga bagi pemberdayaan UMKM ekspor lebih rendah 1% dari bunga pasar. Kemitraan dengan LPEI dapat membuka akses ekspor khususnya bagi pelaku usaha kecil dan menengah sehingga kegiatan usaha mereka berorientasi ekspor. Hal ini juga diharapkan dapat mendorong dan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan kinerja UMKM pelaku ekspor, agar lebih mampu berperan sebagai pelaku ekspor yang kuat dan profesional. Disamping itu, integrasi kebijakan penguatan modal UMKM juga harus didukung oleh pengembangan sistem database UMKM yang dapat memudahkan pihak penyedia dana (lembaga keuangan) dalam melakukan penilaian (credit appraisal). Selain itu, pemerintah perlu melakukan pembentukan lembaga rating UMKM, sebagaimana yang telah dilakukan di sejumlah negara ASEAN lainnya. Sebagai contoh, Singapura telah memiliki lembaga pemeringkat dengan nama SME Credit Bureau.
2. Integrasi kebijakan terkait dengan pengembangan produk unggulan Peningkatan daya saing daerah salah satunya dilakukan dengan pengembangan potensi unggulan. Haraoannya adalah setiap daerah di Indonesia akan memiliki spesialisasi produk karena produk daerah memiliki kekhasannya masing-masing. Spesialisasi produk dilakukan dengan mengembangkan produk usaha dari hulu ke hilir berdasarkan keunggulan komparatif, terutama pertanian, kehutanan, pertambangan, pariwisata serta kerajinan rakyat. Hal ini menjadi kunci agar Indonesia dapat bersaing dengan produk-produk dari negara tetangga dan dapat mengatasi persaingan yang semakin tajam dalam menghadapi MEA 2015. Sejauh ini, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan terkait dengan pengembangan potensi unggulan daerah, seperti: peluncuran road map pengembangan kompentensi inti daerah dan kebijakan One Village One Product (OVOP). Kebijakan OVOP merupakan kebijakan untuk mengembangkan industri kecil dan menengah, dimana satu daerah memiliki satu produk unggulan baik itu produk pangan, sandang, maupun kerajinan.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
113
OVOP merupakan salah satu langkah menuju klasterisasi industri berdasarkan keunggulan lokal, rantai supply bahan baku dan pasar, serta keterkaitan dengan industri. Ini bertujuan untuk mengangkat produk-produk unggulan dan mendorong diversifikasi produk-produk usaha UMKM bernilai tambah tinggi sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat. Adapun produk unggulan dari Jawa Timur adalah kerajinan batik tulis, bordir, kerajinan perak, perhiasan, kaligrafi, produk kulit, dan makanan ringan. Peningkatan keunggulan komparatif dapat dilakukan melalui integrasi kebijakan OVOP. Salah satu bentuknya adalah adanya pendampingan tenaga ahli desain sehingga mampu menghasilkan produk-produk yang diminati masyarakat luas dan diharapkan produk unggulan tersebut dapat berkembang dan masuk ke pasar yang lebih luas, terutama pasar internasional. Keunggulan komparatif juga akan menciptakan persaingan yang sehat bagi UMKM sehingga menciptakan daya kreasi yang baik dan dapat menghasilkan produk dalam negeri yang berkualitas namun terjangkau. Integrasi kebijakan ini juga dapat dilihat dari pelaksanaan sosialisasi dan pendampingan untuk para pelaku UMKM. Pendampingan ini dimaksudkan agar lebih bersemangat bekerja keras dan lebih kreatif dalam meningkatkan daya saing produk lokal. Ini akan memaksimalkan potensi usaha kecil dan menengah di berbagai daerah yang selama ini jarang dimiliki oleh negara lain. Kebudayaan lokal yang dimiliki Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai keunggulan melalui kreativitas dan inovatif dari para pelaku usaha. Sebagai contoh, pemanfaatan kekhasan yang dimiliki batik Indonesia dalam proses pembuatan yang masih tradisional serta mengandung nilai-nilai tradisi dapat menjadi daya tarik tersendiri dibandingkan tekstil batik dari luar. Apalagi tiap daerah di Indonesia memiliki filosofi tersendiri yang terkandung dalam setiap motif dan corak batik yang tidak dapat ditemui pada batik luar negeri. Oleh karena itu, kreativitas dan nilai seni yang terkandung dalam batik Indonesia dapat dijadikan sebagai alat untuk menarik minat pembeli untuk tetap memilih produk Indonesia.
3. Integrasi kebijakan terkait dengan standarisasi kualitas mutu produk UMKM Selain peningkatan daya saing daerah, standarisasi kualitas mutu produk juga diperlukan sehingga daya saing yang kuat. Standarisasi produk ini bertujuan memberi batasan standar bagi produk-produk yang tergolong unggul dan komparatif di berbagai sektor, seperti: sektor pertanian, perkebunan, perikanan, tekstil dan kerajinan. Dengan adanya standarisasi produk diharapkan dapat mendorong UMKM untuk meningkatkan standar, desain dan kualitas produk yang berkualitas SNI/ISO. Sehingga tercipta optimalisasi kerja sama perdagangan internasional (regional, bilateral, dan multilateral) yang bisa mendorong perluasan pasar produk-produk UMKM. UMKM dengan produk yang berkualitas sesuai dengan standar ISO memiliki dampak positif bagi UMKM tersebut. Adapun dampak positif dari produk yang berstandar ISO adalah sebagai berikut. a. Membantu berkompetisi dengan perusahaan yang lebih besar. b. Membantu dalam akses pasar ekspor. c. Membantu memberikan praktek bisnis terbaik. d. Membantu operasi perusahaan menjadi lebih efisien dan berkembang. e. Memberikan kredibilitas dan kepercayaan serta pengakuan konsumen. f. Memberikan bahasa tunggal dalam industri untuk mutu.
114
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Penerapan standarisasi kualitas mutu produk UMKM harus disinergikan dengan kebijakan OVOP, sehingga akan tercipta integrasi kebijakan sebagai peningkatan daya saing lokal/daerah. Integrasi kebijakan terkait standarisasi kualitas mutu produk UMKM dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama/kemitraan dengan Badan Standar Nasional (BSN). Kemitraan dengan BSN merupakan bentuk kepedulian pemerintah baik pusat maupun daerah dalam memfasilitasi pelaku usaha mikro dan kecil untuk mendapatkan sertifikasi yang sesuai dengan standar produk SNI/ISO dan sertifikat halal atas produk mereka dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sementara itu, kemitraan juga dilakukan dengan Kementerian Hukum dan HAM terkait penerbitan hak cipta atau hak paten. Pendaftaran hak cipta hasil karya produk sangat penting, karena dapat berguna untuk peningkatan mutu dan pengembangan desain sehingga memberikan nilai tambah, menguatkan daya saing produk yang dihasilkan, menghindari pemalsuan yang dilakukan oleh negara lain, serta menghindari adanya klaim dari pihak lain. Penerapan standarisasi produk juga harus diimbangi dengan kesiapan pelaku usahanya. Untuk itu, perlu adanya pembinaan dan pengembangan terhadap pelaku usaha kecil dan menengah, yang dilakukan melalui Pengendalian Mutu Terpadu-Gugus Kendali Mutu (PMT-GKM) usaha kecil dan menengah. Apabila standarisasi kualitas mutu produk UMKM terbentuk, maka makin terbukalah kesempatan bagi UMKM untuk dapat bersaing di pasar global melalui kegiatan ekspor. Menurut Direktur Pengembangan Pasar dan Informasi Ekspor Kementerian Perdagangan, terdapat 4 langkah yang harus ditempuh pelaku usaha UMKM hingga produknya bisa diekspor, yakni persiapan administrasi, legalitas sebagai eksportir, persiapan produk ekspor, dan persiapan operasional. a. Persiapan administrasi Pelaku UMKM harus mempunyai kantor yang bersifat permanen atau memiliki kontrak dalam jangka waktu panjang, beserta perlengkapan dan peralatan pendukung lainnya. Selain itu, pelaku usaha juga harus mempunyai jaringan komunikasi dan tenaga operasional yang dapat berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, serta menyiapkan company profile sebagai bahan informasi dan promosi kepada calon pembeli. b. Legalitas sebagai eksportir Calon eksportir juga harus mempersiapkan legalitas seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Nomor Pokok Wajib Pokok (NPWP), serta dokumen lain yang dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Persiapan produk ekspor Pelaku usaha harus dapat mengetahui ketentuan persyaratan internasional atau ketentuan permintaan pasar luar negeri, misalnya kuantitas, kualitas, pengemasan, pelabelan, pendanaan (biaya-biaya yang diperlukan mulai dari ongkos produksi hingga pemasaran, sehingga bisa menetapkan harga jual produk) dan waktu pengiriman. Sementara itu, yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha adalah pelaku usaha harus bisa memastikan produksi yang berkelanjutan, sehingga tidak akan kelimpungan saat mendapatkan pesanan dalam jumlah yang besar. d. Persiapan operasional
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
115
Persiapan operasional berkaitan dengan proses ekspor, prosedur dan dokumen ekspor, kebijakan dan peraturan ekspor-impor, serta strategi ekspor. Persiapan operasional ini dapat dilakukan dengan mengikuti pelatihan yang diselenggarakan di Pusat Pelatihan Ekspor Daerah, salah satunya berada di Surabaya. Selain itu, pelaku usaha UMKM juga dapat mengikuti berbagai program dan memanfaatkan fasilitas yang disediakan Kementerian Perdagangan, seperti layanan satu pintu Customer Service Center dan Designer Dispatch Service (DDS). Hal ini dapat dimanfaatkan pelaku usaha untuk melakukan promosi, mendapatkan hasil riset pasar, dan permintaan hubungan dagang yang dikirimkan oleh para perwakilan perdagangan indonesia di luar negeri maupun KBRI.
4. Integrasi kebijakan terkait dengan sumber daya manusia yang terampil. Dalam rangka meningkatkan daya saing UMKM di pasar internasional pada era MEA 2015, faktor utama yang perlu diperhatikan adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing di skala global. Kualitas SDM ini meliputi kemampuan dalam hal knowledge (pengetahuan), skill (keterampilan), ability (kemampuan), dan attitude (perilaku) dalam berwirausaha, baik sebagai pemilik usaha, maupun sebagai pekerja. Upaya peningkatan kualitas SDM ini tidak lepas dari campur tangan pemerintah. Keterlibatan pemerintah bisa diwujudkan dengan beberapa cara, yang salah satu di antaranya adalah melalui pendidikan formal dan akses kesehatan. Peningkatan kualitas SDM dalam hal knowledge dicapai melalui pendidikan formal. Adapun integrasi kebijakan terkait pendidikan formal yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur adalah program SMK Mini. Program SMK Mini bertujuan untuk menghasilkan lulusan SMK yang siap memenuhi kebutuhan industri dan berwirausaha. Pembentukan SMK Mini ini melibatkan integrasi antara Dinas Pendidikan dan Dinas Tenaga Kerja. Program SMK Mini sebagian juga melibatkan kerjasama dengan Pondok Pesantren yang jumlahnya di Jawa Timur sangatlah banyak. Hingga April 2015, Pemprov Jawa Timur telah mengembangkan sebanyak 70 SMK Mini, dengan targetnya sebanyak 400 SMK Mini dengan 80 ribu lulusan hingga akhir tahun 2017 [ xix ]. Selain dipersiapkan untuk menghasilkan kualitas lulusan SMK yang siap memenuhi kebutuhan industri, program SMK Mini juga dilakukan untuk membangun mental wirausaha di kalangan pelajar SMK. Langkah selanjutnya adalah mendorong kemampuan SDM dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi (iptek). Ini penting untuk dilakukan mengingat di era saat ini, produksi barang dan pemasarannya telah banyak memanfaatkan teknologi baru, salah satunya internet. Di program SMK Mini, upaya ini sudah dilakukan pula dengan membangun website yang bisa dimanfaatkan sebagai etalase virtual untuk memamerkan dan memasarkan produk buatan para anak didik di SMK Mini. Selain menggerakan SMK Mini, pemerintah daerah juga perlu mendorong para lulusan perguruan tinggi yang identik dengan generasi melek teknologi untuk menjadi wirausahawan muda melalui kerjasama dengan Pendidikan Tinggi. Upaya ini sekaligus untuk meningkatkan jumlah usaha yang berbasis iptek di berbagai daerah. UMKM berbasis iptek dapat menjadi motor peningkatan produktivitas dan daya saing UMKM, serta mudah beradaptasi dengan perkembangan tuntutan pasar global. Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga dapat dicapai dengan memberikan pelatihan kepada tenaga kerja UMKM, khususnya usaha kecil dan menengah. Pemberian pelatihan ini dapat melibatkan kemitraan/kerjasama dengan perusahaan besar dan eksportir yang mengekspor produk UMKM ke pasar
116
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
internasional, yaitu mendatangkan tenaga ahli di bidangnya sebagai pelatih para tenaga kerja tersebut. Sehingga ke depannya, UMKM tidak perlu bergantung kepada tenaga kerja asing dalam menghasilkan produk berkualitas. Hal ini pula yang akan menekan biaya produksi dan produk yang dihasilkan dapat dipasarkan dengan harga yang terjangkau. Disamping itu, ragam kualitas SDM yang dibutuhkan untuk pengembangan UMKM tidak hanya berupa kualitas yang dipenuhi melalui pengembangan soft skills dan hard skills. Yang tidak kalah penting lainnya adalah kualitas moral ataupun kualitas attitude (perilaku). Peningkatan kualitas moral ini menjadi penting karena di era global tidak akan bisa dihindari terjadinya interaksi langsung dengan pelaku usaha dari negara-negara lain. Sementara kualitas moral yang salah satunya berupa kejujuran dalam berbisnis, akan sangat diperhitungkan oleh pelaku usaha lain.
Kesimpulan UMKM adalah elemen penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia. UMKM terbukti telah mampu bertahan saat Indonesia diterpa krisis ekonomi dan banyak berkontribusi pada PDB. Sampai saat ini, pemberdayaan UMKM masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, masyarakat, dan para pemegang kepentingan, agar dapat bersaing di era global, khususnya di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang dimulai pada akhir 2015. Pemberdayaan UMKM tidak bisa dilakukan secara instan. Sebaliknya, upaya ini membutuhkan proses yang cukup panjang dan melibatkan integrasi kebijakan yang terkait dengan penguatan modal, pengembangan produk unggulan, standar kualitas produk, serta peningkatan kualitas dan keterampilan sumber daya manusia. Melalui semua itu, UMKM diharapkan dapat menjadi pendukung kekuatan ekonomi daerah dan nasional, yaitu dengan meningkatkan pendapatan masyarakat, membuka kesempatan kerja, dan memakmurkan masyarakat secara keseluruhan sehingga terciptanya kekompetitifan dan stabilitas perekonomian Indonesia yang baik. Selain itu, UMKM juga diharapkan dapat bersaing dengan para pelaku usaha lain di tingkatan global, khususnya di negara-negara ASEAN yang saat pelaksanaan MEA, akan semakin banyak berinteraksi. Sehingga UMKM mampu menjadi tuan di negeri sendiri dan menjadi tamu terhormat di negeri orang.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Koperasi dan UMKM. Statistik-Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) 2010-2011. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM. Badan Pusat Statistik. 2010. Sandingan Data UMKM 2009-2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Sudaryanto, Ragimun, dan Rahma Rina Wijayanti. 2014. Strategi Pemberdayaan UMKM Menghadapi Pasar Bebas Asean. Jakarta: Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Kementerian Keuangan. PT. Arah Cipta Guna. 2007. Laporan Akhir: Kajian Evaluasi dan Revitalisasi Kebijakan Pemerintah di Bidang KUKM. Jakarta: Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya KUKM. Prasetyo, P. Eko. 2008. Peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran. Yogyakarta: Akmenika UPY (2: 4-6).
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
117
Badan Pusat Statistik. 2009. Sandingan Data UMKM 2005-2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Kementerian Koperasi dan UMKM. Statistik-Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) 2012-2013. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM. Hal 1. Sidabutar, Victor Tulus Pangapoi. 2014. Peluang dan Permasalahan yang Dihadapi UMKM Berorientasi Ekspor. Jakarta: Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia, Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional. Kementerian Koperasi dan UMKM. Statistik-Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) 2012-2013. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM. Hal 2. Rahayu, Ayu Citra Sukma. 2012. Pertumbuhan UKM Jatim 10 Persen Tahun 2012. Diakses pada 21 Agustus 2015, dari http://www.antarajatim.com/ lihat/berita/79725/pertumbuhan-ukm-jatim-10-persen-tahun-2012 Aziz. 2014. UMKM Jawa Timur serap 11 juta tenaga kerja. Diakses pada 21 Agustus 2015, dari http://www.antaranews.com/berita/461929/umkm-jawa-timur-serap-11-juta-tenaga-kerja Wahyudiono. 2015. Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Sebagai Kekuatan Ekonomi Di Provinsi Jawa Timur. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, dari http://ukmjatim.net/umkm-sebagai-kekuatan-ekonomi-dipropinsi-jawa-timur/. inas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Provinsi Jawa Timur. 2014. Keragaan UMKM. Diakses pada
tanggal
21
Agustus
2015,
dari
http://diskopumkm.jatimprov.go.id/viewmedia.
php?pages=content&id=9&bidang= Kuncoro, Mudrajad. 2010. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, Dan Kebijakan. Jakarta. Erlangga. Sumedi, Diananta P. 2013. BI: Pertumbuhan Kredit UMKM di Jawa Timur Rendah. Diakses pada 21 Agustus 2015, dari http://bisnis.tempo.co/ read/news/2013/05/17/090481133/bi-pertumbuhan-kredit-umkm-dijawa-timur-rendah Bank Indonesia. 2014. Kajian Ekonomi Regional Jawa Timur. Triwulan II 2014. Surabaya: Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV. (2014:52). Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Provinsi Jawa Timur. 2014. Keragaan UMKM. Diakses pada
tanggal
21
Agustus
2015,
dari
http://diskopumkm.jatimprov.go.id/viewmedia.
php?pages=content&id=9&bidang= Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur. 2011. Minta Dilibatkan Dalam Pemberdayaan UMKM. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, dari http://bappeda.jatimprov.go.id/ 2011/06/09/mintadilibatkan-dalam-pemberdayaan-umkm/ Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur. 2015. SMK Mini Jatim Dilirik Program AKAD Pemerintah Pusat. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015
118
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Kebijakan Perspektif Gender Dalam Mewujudkan Sumber Daya Manusia Unggul (Strategi Pemerintah Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN)
Yuni Lestari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya, Indonesia Telp. +62856-347-1611 email:
[email protected]
Abstrak: Globalisasi sering dijadikan tonggak awal perkembangan peradaban oleh suatu negara, era ini juga akan membawa dampak pada suatu pilihan untuk mengikuti suatu perubahan atau stagnan dan tertinggal. Arus globalisasi membawa suatu kecenderungan yang tidak dapat dihindari sebagian besar negara, termasuk Indonesia. Berbagai kesepakatan dan kerjasama regional dibentuk sebagai salah satu bentuk eksistensi Indonesia dalam mengikuti perkembangan. Salah satu upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyongsong persaingan yang semakin global ini adalah dengan mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul, yakni SDM yang berkualitas dan berdaya saing. Dimana SDM yang berkualitas dan berdaya saing ini ditandai dengan SDM yang tidak hanya memiliki ketrampilan dan keahlian namun juga SDM yang memiliki pola pemikiran tentang kesetaraan gender. Sebagai bentuk upaya pemerintah dalam mewujudkan sumber daya yang unggul, maka diperlukan sebuah kebijakan yang mengarah pada kesetaraan gender sebagai modal dalam menghadapi menghadapi kompetisi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC). Dalam rangka mewujudkan kerja sama yang mengarah pada pembangunan global yang berprespektif gender, maka sangat dibutuhkan suatu pemahaman tentang kebijakan prespektif gender bagi seluruh negara-negara ASEAN atau negara-negara yang tergabung dalam MEA. Kebijakan perspektif gender merupakan sebuah pondasi yang menjadi dasar dalam menjalankan seluruh kesepakatan kerjasama MEA baik di bidang ideologi, politik ekonomi, sosial budaya, maupun keamanan dan pertahanan.
Kebijakan Publik Kata kunci: kebijakan perspektif gender, sumber daya manusia, kompetisi global, MEA
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
119
Pendahuluan Kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) berawal dari visi ASEAN 2020 yang dideklarasikan pada Desember 1997 di Kuala Lumpur. Adanya Visi ASEAN 2020 diharapkan dapat membawa Asia Tenggara memasuki babak baru dalam sejarah integrasi ekonomi. Deklasari tersebut membuahkan sebuah kesepakatan para pemimpin ASEAN untuk mentransformasikan kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang stabil, sejahtera, dan kompetitif yang didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang, pengurangan angka kemiskinan, dan kesenjangan sosio_ekonomi di negara-negara ASEAN [1]. Visi ASEAN 2020 semakin menguatkan komitmen untuk segera mewujudkan gagasan tentang MEA [2]. Hal tersebut sebagaimana telah dikukuhkan melalui ASEAN Concord II pada Pertemuan Puncak di Bali pada Oktober 2003 atau lebih dikenal dengan sebutan Bali Concorg II. Begitu kuatnya komitmen para pemimpin negara-negara ASEAN terhadap pembentukan MEA ini tercermin dari disepakatinya upaya percepatan terwujudnya MEA pada tahun 2015. Terbentuknya MEA diharapkan akan membawa perubahan pada ASEAN akan menjadi kawasan dimana barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan arus modal dapat bergerak dengan bebas. Dengan disepakati percepatan MEA pada 2015 akan berdampak pada negara-negara ASEAN termasuk Indonesia yang mau tidak mau, siap tidak siap harus turut serta dalam peningkatan kualitas ekonomi di Asia Tenggara sebagaimana tertuang dalam cetak biru MEA (AEC blueprint) [3]. MEA merupakan ASEAN community yang dibentuk untuk lebih mempererat integrasi ASEAN dalam menghadapi perkembangan konstelasi internasional baik dalam bidang ideologi, politik ekonomi, sosial budaya, maupun keamanan dan pertahanan. Terbentuknya MEA yang akan dilaksanakan pada tahun 2015 telah disepakati dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN ke-19 yang diselenggarakan di Bali pada 2011. Dimana wilayah kerjasama MEA meliputi: pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kapasitas, pengakuan kualifikasi profesional, konsultasi lebih dekat pada kebijakan makro ekonomi dan keuangan, langkah-langkah pembiayaan perdagangan, peningkatan infrastruktur dan konektivitas komunikasi, pengembangan transaksi elektronik melalui e_ASEAN, mengintegrasi industri diseluruh wilayah untuk mempromosikan sumber daya daerah, dan meningkatkan keterlibatan sektor swasta untuk membangun AEC atau MEA [4]. Pemberlakuan MEA pada tahun 2015 akan melahirkan sebuah kompetisi kawasan ASEAN yang terlisensi (lisence to competition) [5]. Dalam rangka mendorong lahirnya kawasan yang memiliki daya saing global, ASEAN telah menyiapkan kerangka bagaimana mekanisme pasar bebas ASEAN dirancang. Oleh karena itu, negara-negara ASEAN segera menyiapkan diri untuk menyambut kehadiran MEA. Kesepakatan MEA telah disambut oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai opini. Secara optimis, muncul opini masyarakat yang begitu antusias menyambut MEA. Sebuah opini positif dimana MEA akan dapat membawa Indonesia pada kompetisi global yang tentunya akan membawa dampak positif. Melalui MEA diharapkan membawa Indonesia menjadi negara yang disegani khususnya di kawasan Asia Tenggara. Namun kehadiran MEA ini juga disambut dengan pesimisme masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa MEA akan menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia. Berbagai opini lahir menanggapi ketidaksiapan
120
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Indonesia dalam menghadapi MEA patut untuk dipertimbangkan. Jika anggapan tersebut diabaikan, pesimisme masyarakat tersebut sangat dikhawatirkan akan mempengaruhi pandangan dunia khususnya negara-negara ASEAN terhadap Indonesia [6]. Dibutuhkan sikap pemerintah yang lebih berhati-hati dalam menanggapi kekhawatiran tersebut. Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya dimana tujuan dibentuknya MEA adalah menciptakan sebuah kawasan berdaya saing global. Sebagai salah satu upaya untuk dapat berkompetisi secara global maka salah satu modalnya adalah adanya tenaga terampil. Tenaga terampil yang dimaksudkan adalah sumber daya manusia yang berdaya saing global dengan berprespektif gender. SDM perpsektif gender merupakan modal utama dalam mewujudkan pembangunan yang sangat kompetitif. Untuk dapat mewujudkan SDM prespektif gender yang berdaya saing global, maka diperlukan strategistrategi pemerintah. Salah satu sikap pemerintah dalam mewujudkan tujuan tersebut, maka dibutuhkan lahirnya kebijakan-kebijakan yang mampu mengakomodir tujuan tersebut. Tentunya kebijakan-kebijakan tersebut adalah kebijakan-kebijakan perspektif gender. Dengan adanya kebijakan perspektif gender diharapkan diharapkan dapat menciptakan SDM perspektif gender yang mampu bersaing secara global. Hal ini mengingat pemberlakuan MEA 2015 tentunya akan menjadi tantangan global bagi bangsa Indonesia. Kesepakatan MEA pun hendaknya juga dibarengi dengan kesepakatan tentang kesetaraan gender. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya kebijakan perspektif gender sebagai pengontrol jalannya kompetisi global yang berasas pada kesetaraan (spesifik) gender.
Kebijakan Perspektif Gender Konsepsi pembangunan mempunyai keterkaitan yang erat dengan kebijakan. Dimana kedua memili andil yang besar dalam proses peningkatan kualitas hidup manusia. Sebagai kerangka kerja pembangunan, kebijakan merupakan pedoman bagi pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan yang tercermin dalam berbagai macam program dan proyek pembangunan. Kebijakan yang dalam bahasa inggris disebut ―policy‖ mnrupakan cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan diartikan sebagai suatu ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun mentaatinya (yang terkena kebijakan itu) [7]. Dalam bahasa yang sederhana kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. . Setelah berbicara tentang kebijakan secara umum, maka kebijakan pun akan masuk dalam ranah publik. Kebijakan publik merupakan sarana yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan yang telah dicita-citakan. Secara lebih gamblang Thomas R. Dye menjabarkan definisi kebijakan negara adalah ―whatever governments choose to do or not to do‖ (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan) [8]. Lebih lanjut Dye mengatakan bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (objektifnya) dan kebijakan negara itu harus meliputi semua ‗tindakan‘ pemerintahan, jadi bukan semata-mata merupakan penyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Disamping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara, karena sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan sesuatu yang dilakukan oleh
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
121
pemerintah. Dari apa yang dituturkan oleh Dye ini, Abdul Wahab berpendapat walaupun definisi Dye mengenai kebijakan negara tersebut cukup akurat, namun sebenarnya tidak cukup memadai untuk mendeskripsikan kebijakan negara, sebab kemungkinan terdapat perbedaan yang cukup besar antara apa yang senyatanya mereka lakukan [9]. Dengan mengingat kembali dimana kebijakan merupakan prasarana penting dalam mewujudkan suatu pembangunan, dimana dewasa ini pemerintah begitu gencar mengomposisikan gender dalam pembangunan. Oleh karena
itu,
untuk
mewujudkan pembangunan
yang
berasaskan gender, maka melalui adopsi gender dalam setiap kebijakan pemerintah menjadi sebuah solusi yang sangat menarik.
Gambar 2. Model Review Kebijakan dari Naila Kabeer
Sebelum masuk dalam pembahasan kebijakan berasas
Gender blind Polices (often implicity male biased)
atau perspektif gender (demikian penulis menyebutnya), maka terlebih dahulu akan diperkenalkan istilah gender secara
Rethinking Assumtions Rethinking Practices
sederhana. Pada tataran awal. istilah Gender digunakan untuk menjelaskan perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan. Gender adalah perbedaan
Gender Sensitive Policies
peran, kedudukan, tanggung jawab, dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat
Gender-Neutral
Gender-Specific
berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas
(interventions intended to distributions of resourches and responbilities intact)
(interventions intended to meet needs of one of other gender within existing distribution of resources and responbilities)
menurut norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat. Perlu sebuah penekanan dimana konsep gender tidak sama dengan konsep kodrat. Kodrat adalah sesuatu yang
Gender-redistributive policies (interventions intended to transform existing distributions in a more egalitarian direction)
ditetapkan oleh Tuhan YME, sehingga manusia tidak mampu untuk mengubah atau menolak. Sementara itu, kodrat bersifat universal, misalnya melahirkan, menstruasi dan menyusui adalah kodrat bagi perempuan, sementara mempunyai sperma adalah kodrat bagi laki-laki. Oleh karena itu, pemahaman tentang gender haruslah dipahami dengan benar. Pemahaman yang salah atau tidak tepat tentang gender berdampak pada kemungkinan munculnya ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender merupakan kondisi tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial, sehingga perempuan maupun lakilaki menjadi korban dari pada sistem tersebut. Laki-laki dan perempuan berbeda hanya karena kodrat antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk karena kehendak Sang Pencipta, bukan karena konstruksi budaya. Keadilan gender akan dapat terjadi jika tercipta suatu kondisi di mana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Ketidakadilan gender merupakan kondisi tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial, sehingga perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari pada sistem tersebut. Laki-laki dan perempuan berbeda hanya karena kodrat antara laki-laki dan perempuan berbeda. Keadilan gender akan dapat terjadi jika tercipta suatu kondisi di mana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis [10].
122
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Dalam rangka mewujudkan pembangunan yang perspektif gender, maka dibutuhkan konsep kebijakan yang perspektif gender. Kebijakan-kebijakan yang mengarahkan pembangunan pada pembangunan yang adil gender. Berikut ini (lihat gambar 2) merupakan kerangka pemikiran kebijakan yang sensitif gender menurut Naila Kabeer dan secara sederhana digambarkan oleh Nugroho dalam Model dan Tranformasi Kebijakan (lihat gambar 3) [11].
Gambar 3. Model dan Transformasi Kebijakan Kebijakan Bias Gender Dicirikan dari adanya diskriminasi sumber daya produksi melalui diskriminasi akses, kontrol, partisipasi, dan penikmatan
1 Kebijakan Netral Gender Dicirikan dari adanya kesetaraan gender dalam akses, kontrol, partisipasi, dan penikmatan sumber daya produktif
2
Kebijakan Spesifik Gender Dicirikan dari adanya diskriminasi positif sumber daya produktif melalui diskriminasi akses, kontrol, partisipasi, dan penikmatan pada salah satu gender yang berada dalam posisi subordinasi, baik melalui kebijakan yang bersifat distributif maupun redistributif
3
4
5
Kebijakan Pengontrol (Kesetaraan gender) Dicirikan dengan adanya kebijakan pengontrol agar kebijakan yang netral gender tidak bias dalam praktik
Dari gambar 3 dapat diceritakan dimana pada kondisi awal, kesetaraan gender belum tercapai karena masih adanya kebijakan-kebijakan yang masih bias gender. Secara bertahap kebijakan tersebut dapat ditransformasikan secara langsung menjadi kebijakan yang netral gender (langkah 1) atau melalui kebijakan spesifik gender (langkah 2) untuk menstransformasikan kebijakan yang ada menjadi netral gender (langkah 3). Namun demikian, pada akhirnya harus ada kebijakan pengontrol kebijakan yang netral gender tersebut untuk meminimalisir bias implementasi dari kebijakan yang netral gender tersebut (langkah 5) yang secara efektif dilakukan dengan mempertahankan maupun menyempurnakann kebijakan spesifik gender (langkah 4). Pada akhirnya adalah tercapainya tujuan akhir dalam mewujudkan kebijakan yang netral gender yang dicirikan dengan adanya kesetaraan gender. Dalam sebuah penelitian, Nugroho [12] menyimpulkan bahwa variabel kebijakan, peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia sebagian besar dalam tataran netral gender. Namun masih saja ditemukan beberapa kebijakan yang masih bias gender. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang bersifat spesifik kesetaraan gender yang berfungsi sebagai kebijakan pengontrol atas kebijakan pengontrol atas kebijakan-kebijakan yang sudah bersifat netral gender, selain dapat berfungsi menetralkan juga berfungsi untuk menyetarakan kebijakan yang sebelumnya bias gender. Kebijakan perspektif gender diharapkan dapat menjadi modal utama dalam mewujudkan sumber daya manusia yang unggul dalam menghadapi tantangan global.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
123
Sumber Daya Manusia Berprespektif Gender sebagai Modal Pembangunan Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam seluruh (hampir) aspek kehidupan manusia membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap pola relasi gender, terutama kaitannya dengan posisi kaum perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam pembangunan. Prosentase jumlah penduduk Indonesia berdasarkan jenis kelamin, secara rata-rata memiliki besaran yang hampir sama. Perhatikan tabel 1 yang memberikan gambaran tentang prosentase penduduk Indonesia berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2009-2013 [13]. Dengan jumlah penduduk yang rata-rata sama berdasarkan jumlah penduduk, pada kenyataannya pada saat ini perempuan belum dapat optimal menyumbangkan kemampuan dan potensinya. Hal tersebut dikarenakan adanya ketimpangan-ketimpangan gender sebagai akibat dari konstruksi sosial dan budaya. Perhatikan tabel 2, yang memberi gambaran tentang tingkat penggangguran terbuka bagi penduduk usia 15 tahun keatas berdasarkan jenis kelamin [14].
Tabel 1 Persentase Penduduk menurut Provinsi dan Jenis Kelamin, Tahun 2009 – 2013
Laki-Laki
Perempuan
2009
49.53
50.47
2010
50.17
49.83
2011
50.37
49.63
2012
50.35
49.65
2013
50.25
49.75
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
Tabel 2 Tingkat Pengangguran Terbuka Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas menurut Jenis Kelamin, 2009-2012
Jenis Kelamin Tahun
2009
124
Laki-Laki
Perempuan
7.51
8.47
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
2010
6.15
8.74
2011
5.90
7.62
2012
5.75
6.77
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa tingkat pengangguran terbuka penduduk Indonesia lebih didominasi oleh kaum perempuan. Selanjutkan perhatikan tabel 3 yang memberikan gambaran tentang persentase kepala rumah tangga yang bekerja menurut jenis kelamin untuk rentang tahun 2009-2012 [15]. Dari tabel 2 dan 3 dapat diperoleh gambaran dimana tidak sedikit kaum perempuan Indonesia yang masih menggantungkan hidupnya pada laki-laki. Kecilnya persentase kaum perempuan yang bekerja dalam ranah publik memberikan penguatan pembangunan yang perspektif gender.
Tabel 3 Persentase Kepala Rumah Tangga yang Bekerja menurut Jenis Kelamin, 2009-2012
Jenis Kelamin Tahun Laki-Laki
Perempuan
2009
92.23
60.54
2010
92.56
60.92
2011
92.80
61.72
2012
93.19
60.67
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
Pembangunan perspektif gender dapat dilihat dari keterlibatan kaum perempuan pada ranah organisasi publik. Sejauh mana seharusnya keterlibatan kaum perempuan Indonesia dalam organisasi publik dapat tergambar dalam tabel 4. Pada tabel variabel organisasi tersebut dapat dijadikan indikator pengukuran representasi perempuan pada lembaga lembaga negara.
Tabel 4 Indikator Evaluasi Variabel Organisasi Publik: Representasi
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
125
Ranking
Legislatif Eksekutif Yudikatif Konsultatif Akuntatif Birokratif
Tinggi
22%-50% 22%-50% 22%-50% 22%-50%
22%-50% 22%-50%
Memadai 17%-32% 17%-32% 17%-32% 17%-32%
17%-32% 17%-32%
Rendah
<17%
<17%
<17%
<17%
<17%
<17%
Dari 6 (enam) organisasi publik yang meliputi: legislatif, eksekutif, yudikatif, konsultatif, akuntatif, dan birokratif menunjukkan bahwa representasi perempuan dalam organisasi publik ndalam kategori yang rendah [16]. Hal ini ditunjukkan dengan presentase representasi perempuan yang rata-rata masih kurang dari 17%. Berikut ini datanya, lihat tabel 5.
Tabel 5 Pengukuran Evaluasi Variabel Organisasi
Lembaga
Representasi Perempuan
Rangking
Legislatif
8.95%
Rendah
Eksekutif
28.12%
Memadai
Yudikatif
26.20%
Memadai
Konsultatif
2.70%
Rendah
Akuntatif
0.00%
Rendah
Birokratif
15.80%
Rendah
Tabel diatas memberikan sebuah gambaran dimana masih memprihatikannya representasi perempuan dalam organisasi publik. Hal ini tentunya akan semakin mendorong pemerintah untuk segera mengambil sikap. Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan perspektif gender diharapkan akan dapat memperbaiki kualitas sumber daya manusia Indonesia, khususnya para kaum perempuan. Dengan mengacu pada anggapan atau pendapat sebelumnya yang megatakan bahwa ketika semua sektor masuk dalam pasar terbuka, maka setiap lakilaki maupun perempuan bebas berkompetisi dalam pekerjaan dan mendapatkan pelayanan yang baik dari orang lain maupun dari negara lain. Andhata [17] beranggapan bahwa perempuan yang tak berdaya (tidak dapat berkompetisi), maka perempuan itu pun tidak akan memiliki kesempatan untuk keluar dari kemiskinan ataupun meraih pendidikan. Dengan berangkat dari anggapan tersebut, maka dirasakan perlu bagi semua elemen bangsa yang masuk dalam MEA untuk memahami dengan jelas tentang konsep kesetaraan gender yang diperlukan dalam era MEA.
126
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Strategi Pemerintah dalam Menghadapi Kompetisi Global: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Globalisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan pengurangan atau peniadaan sekatsekat bagi kelancaran arus barang, uang, dan sumber daya manusia (SDM). Dalam artian yang lebih teoritis globalisasi merupakan pengitegrasian internasional individu-individu dengan jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi secara cepat dan mendalam pada takaran yang belum pernah dialami selama sejarah dunia sebelumnya [18]. Fenomena globalisasi memunculkan berbagai pro dan kontra dimasyarakat. Istilah globalisasi memunculkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat luas. Akankan globalisasi menjadi suatu peluang bagi suatu bangsa atau malah sebaliknya, globalisasi akan menjadi penghambat bagi perekonomian suatu bangsa. Secara positif, globalisasi ditanggapi sebagai arena terbuka bagi semua negara dimana liberalisasi pasar dunia akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam pemahaman ini globalisasi diibaratkan sebagai cawan yang berisi air kemakmuran yang besar dimana setiap negara di dunia berpeluang terus membuat pipa saluran sebanyak mungkin untuk kepentingan ekonomi nasionalnya. Sebaliknya penilaian yang lebih skeptis menilai globalisasi sebagai arena ketimpangan ekonomi antar negara di dunia dimana negara maju dan industrialis kaya yang menguasai cawan tersebut dan hanya menyisakan setetes-dua tetes air kemakmuran bagi negara dunia ketiga [19]. Perdebatan antar dua kutub ini pun tidak berhenti dalam ranah akademik saja, namun sudah berkembang menjadi konsumsi publik dunia dalam menjabarkan subtansi globalisasi. Dengan mengadopsi dari pendapat Swasono yang menganggap bahwa terdapat 3 (tiga) kelompok pandangan tentang globalisasi [20]. Kelompok pertama adalah pengagum dan pemuja globalisasi. Kelompok ini didukung oleh akademisi yang berorientasi pada fundamentalisme (Smithian) yang mengganggap globalisasi (liberalisme dan kapitalisme) sebagai suatu kemajuan dan peluang. Kelompok kedua merupakan kelompok yang lebih kritis dan objektif, dimana melihat kebaikan dan keburukan globalisasi secara objektif. Kelompok ini secara kritis mengungkapkan globalisasi sebagain fenomena yang mengecewakan. Pemikiran yang digawangi oleh Stiglizt ini berusaha untuk memperbaiki dan mengkritisi, namun tidak menentang. Selanjutnya adalah kelompok ketiga yang menolak adanya globalisasi. Kelompok ini beranggapan bahwa globalisasi tidak ubahnya sebagai imperalisme gaya baru. Menciptakan lahirnya proyek-proyek politik imperalis-kapitalis global, dengan pemerintah globalnya, secara terang-terangan melakukan ―rampokisasi‖ dengan dalih menegakkan ―pasarisasi‖ di negara-negara sedang berkembang. Terlepas dari perbedaan opini yang pro dan kontra, arus globalisasi dipengaruhi besar oleh 2 (dua) faktor utama [21]. Pertama, pergeseran dari pembangunan yang dipimpin oleh pemerintah ke pembangunan yang dipimpin oleh pasar. Kedua, kemajuan di bidang teknologi yang memudahkan koordinasi produksi dan pemasaran pada tingkat global. Besarnya pengaruh kemajuan teknologi dalam mempercepat proses globalisasi menyebabkan semakin mudah dan murahnya aliran barang, jasa, modal, pengetahuan, dan SDM dari suatu negara ke negara lain dan semakin terintegrasinya negara-negara dan penduduk dunia. Kesepakatan globalisasi melahirkan janji-janji globalisasi yang seakan-akan membawa banyak dampak positif, antara lain: pertama, globalisasi membantu negara-negara berkembang meningkatkan ekspor dan menyediakan barang dan jasa dengan harga lebih murah. Namun pada kenyataannya perekonomian global negara-negara sedang berkembang memasuki babak kompetisi baru dari negara-negara maju yang lebih mampu menghasilkan produk baru dengan harga lebih murah, sedangkan negara-negara berkembang sulit untuk
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
127
menembus pasar negara-negara maju yang dengan berbagai cara mengahambat masuknya produk-produk dari negara-negara berkembang. Kedua, globalisasi diduga dapat meningkatkan standar hidup dan mengurangi kemiskinan. Dalam kenyataannya hanya mereka yang semakin tinngi standar hidupnya ialah mereka yang mendapatkan akses, sedangkan sebagian besar kelompok marjinal semakin terjepit. Ketiga, lahirnya globalisasi akan menciptakan lapangan kerja. Namun pada kenyataannya banyak perusahaan-perusahaan besar yang lebih menggunakan kapital insentif yang sedikit sekali menyerap tenaga kerja dan menyebabkan tingkat pengangguran semakin tinggi. Keempat, globalisasi akan membantu tiap negara mengurangi ekploitasi terhadap tenaga kerja wanita dan anak. Namun pada kenyataannya menunjukkan bahwa telah terjadi ―feminisasi‖ tenaga kerja, yakni semakin banyaknya pekerja perempuan dalam sektor industri dengan upah rendah. Kelima, globalisasi dikatakan akan dapat mengurangi kepincangan dan kesenjangan antara negara maju dengan negara miskin. Namun pada kenyataannya globalisasi dipandang tidak adil terhadap yang lemah atau menimbulkan kepincangan baik pendapatan maupun kesejahteraan, sehingga jurang antara negara-negara kaya dan negara miskin menjadi semakin dalam. Keenam, globalisasi akan mendorong stabilitas, baik dibidang ekonomi maupun perbankan. Namun kenyataannya banyak pihak yang memandang sistem ini sangat tidak stabil, berpotensi bergejolak atau fluktuasi, serta menimbulkan fluktuasi tinggi dan pengangguran semakin meluas [22]. Pendapat yang lebih netral mengatakan bahwa globalisasi dapat berdampak secara positif maupun negatif. Bagi negara-negara Asia Timur yang menggunakan cara lebih mandiri, globalisasi telah memberikan manfaat yang luar biasa besar, walaupun pernah dihantam krisis tahun 1997/1998. Namun bagi negara-negara Barat, globalisasi tidak memberikan manfaat yang sebanding dengan kerugian yang muncul. Terdapat 2 (dua) hipotesis yang muncul terkait dengan dampak globalisasi ekonomi pada negara, yang pertama, ―hipotesis dramatis‖ yang digagas oleh Kenichi Ohmae menyebutkan bahwa globalisasi akan melenyapkan negara kebangsaan. Kedua, ―Silent Take_over and the Death of Democracy‖ yang digagas oleh Noreena Hertz menyebutkan bahwa globalisasi ekonomi akan mengakibatkan matinya demokrasi [23]. Kondisi lapangan lebih menunjukkan pendapat Hertz yang lebih mendekati pada kenyataan. Dimana pada kondisi tersebut pemimpin bukannya mengabdi pada pendukung dan konstituennya dalam pemilu, tetapi justru lebih tunduk pada kapitalis global. Globalisasi tidak hanya menentukan arah demokrasi suatu negara, namun lebih dari itu. Globalisasi bahkan mampu mendikte apa yang harus dilakukan oleh pemenang dalam suatu pemilihan demokratis. Dalam menanggapi dampak globalisasi yang begitu komplek, maka yang dibutuhkan adalah pola perimbangan yang tepat antara politik dan pasar, antara membuat aturan dan berperilaku menurut aturan. Pada akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan baru. Apa artinya jika dunia memiliki perekonomian global tanpa pemerintahan global. Ketika perekonomian global tidak memiliki aturan dan hukum yang disepakati bersama, maka siapakah yang akan dimintai bantuan ketika ada pihak yang merasa telah diperlakukan secara tidak adil. Menurut Stiglitz [24] yang menyerukan bahwa sudah saatnya untuk mengubah aturan tata ekonomi internasional sehingga kepentingan negara-negara berkembang lebih terwakili. Swasono [25] memiliki beberapa solusi menghadapi dominasi ekonomi negara-negara maju, antara lain (a) melalui usaha masing-masing negara untuk membenahi diri sendiri demi meningkatkan kemampuan domestik dan kinerja nasionalnya, (b) menggalang kerjasama regional, diawali dengan kerjasama ekonomi dan kemandirian ASEAN, (c) meningkatkan keterlibatan Indonesia dalam gerakan-gerakan di forum internasional yang menentang ketidakadilan globalisasi, dan (d) memanfaatkan semangat kerjasama dan kesadaran global
128
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia. Dalam rangka mewujudnyatakan kerangka solusi diatas maka perlu dikobarkannya kembali semangat nasionalisme pada jiwa bangsa Indonesia. Pentingnya semangat nasionalisme bangsa Indonesia menjadi salah satu modal dalam menghadapi tantangan globalisasi. Dalam catatan Suroso [26] mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara inisiator pembentukan MEA pada tahun 2015. Komunitas ASEAN tersebut dibentuk dalam sebuah acara bertajuk Deklarasi ASEAN Concord II di Bali pada 7 Oktober 2003. Pembentukan komunitas MEA sebagai upaya evolutif ASEAN untuk menyesuaikan cara pandang untuk dapat lebih terbuka dalam membahas permasalahan domestik yang berdampak pada kawasan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip utama ASEAN, yaitu: saling menghormati (mutual respect), tidak mencampuri urusan dalam negeri (non-interfence), konsensus, dialog, dan konsultasi. Selain itu, terdapat tiga pilar yang termasuk dalam kerjasama ASEAN, yaitu: Komonitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Comunity/ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC), dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Sosio-Cultural Community/ASCC). Salah satu pilar tersebutlah, yakni AEC yang mendasari terbentuknya MEA. Adapun tujuan MEA adalah untuk meningkatkan stabilitas perekonomian dikawasan ASEAN, sehingga diharapkan mampu mengatasi masalahmasalah dibidang ekonomi antar negara ASEAN. Masih terkait dengan gagasan terbentuknya MEA, dalam sebuah Jurnal Kajian Lemhamnas [27] ditegaskan bahwa sesungguhnya pada saat Indonesia menduduki jabatan sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2011 telah memberikan sebuah gagasan yang dituangkan pada pilar ASEAN Economy Community yaitu mewujudkan ASEAN Framework on Equitable Economic Development (EED). Dalam kerangka kerja tersebut menegaskan tentang bagaimana komitmen yang harus diwujudkan oleh ASEAN dalam mencapai kesetaraan dalam pembangunan ekonomi, dengan mengedepankan upaya-upaya seperti menjembatani kesenjangan pembangunan, penguatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan kesejahteraan sosial, serta membuka ruang partisipasi yang lebih lebar dalam proses integrasi ASEAN. Kesepakatan MEA memunculkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Menurut Suroso [28] berbagai dampak tercipta sebagai akibat lahirnya MEA antara lain: terciptanya pasar bebas di bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja. Selain itu, kesepakatan MEA memunculkan konsekuensi-konsekuensi terhadap aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus tenaga kerja terampil, dan arus bebas modal. Kerjasama MEA ini semakin mendorong setiap sumber daya manusia untuk lebih kompetitif. Menurut Rashidah Shuib [29], seorang peneliti senior dari Centre for Research on Women and Gender (KANITA) Universiti Sains Malaysia mengatakan dimana ketika semua sektor masuk dalam pasar terbuka, maka setiap laki-laki maupun perempuan bebas melakukan pekerjaan dan mendapat pelayanan yang baik dari orang lain maupun dari negara lain. Dalam memasuki situasi tersebut, Shuib juga mengusulkan semua elemen bangsa yang masuk dalam MEA perlu memahami dengan jelas tentang konsep kesetaraan gender yang diperlukan dalam era MEA. Dalam rangka mewujudkan suatu kondisi sebagaimana disampaikan oleh Shuib maka diperlukan strategi pemerintah dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam segala lini pembangunan yang tidak langsung akan berdampak pada penciptaan kompetisi global yang perspektif gender.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
129
Menurut Nugroho [30] konsep strategis dalam pengarusutamaan gender nasional Indonesia disusun oleh Kantor Meneg PP bekerjasama dengan UNDP. Strategi tersebut terkait dengan tiga sektor pokok yang mengacu pada indikator pembangunan manusia (human development index), yang meliputi: pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Konsep strategis yang mengedepankan beberapa prinsip pokok yang menjadi acuan pembangunan, yakni (1) adanya kemitraan antara negara dan masyarakat, khususnya dengan tujuan membangun masyarakat yang madani (civil society); (2) mengedepankan pemberdayaan sebagai inti pendekatan; (3) melakukan intervensi terhadap institusi-institusi yang paling strategis untuk mencapai pembangunan yang berkesetaraan gender; dan (4) menengarai faktor-faktor faktual sebagai batas-batas tujuan ideal yang hendak dicapai. Strategi-strategi yang diperlukan oleh pemerintah dalam mewujudkan sumber daya manusia yang perspektif gender adalah melalui kebijakan. Kebijakan merupakan sebuah komitmen politik. Dimana kebijakan yang dimaksudkan adalah keputusan-keputusan yang dibuat oleh lembaga negara yang bersifat mengatur warga negaranya [31]. Disamping itu, kebijakan juga berfungsi sebagai pengontrol jalannya sebuah proses perubahan. Kontrol pun harus dilakukan mulai dari tingkat pusat (nasional) sampai dengan tingkat daerah. Secara hierarkhis, kebijakan-kebijakan di Indonesia dapat ditata sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Dasar (UUD 1945)
2.
Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
3.
Peraturan Pemerintah
4.
Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden
5.
Keputusan Menteri
6.
Keputusan pejabat di bawah menteri
Sedangkan di tingkat daerah (UU 22/1999), secara hierarkis dapat ditata sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Dasar (UUD 1945)
2.
Undang-Undang atau PERPU
3.
Peraturan Daerah Propinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten atau Peraturan Daerah Kota
4.
Keputusan Gubernur atau Keputusan Bupati atau Keputusan Walikota
5.
Keputusan pejabat dibawah gubernur, atau dibawah bupati, atau dibawah walikota. Perlunya penguatan kebijakan yang berfungsi sebagai sistem kontrol terhadap program-program
pemerintah dalam menjalankan pembangunan perspektif gender. Pembangunan sumber daya manusia yang prespektif gender membutuhkan campur tangan pemerintah melalui konsistensi kebijakan. Kebijakan-kebijakan prespektif gender diharapakan akan membawa bangsa Indonesia pada pembangunan sumber daya manusia unggul yang siap terjun dalam kompetisi global.
Kesimpulan Dalam suatu konsep dasar, perkembangan akan berdampak pada suatu perubahan. Sebuah perkembangan dunia yang sangat global, mau tidak mau, suka tidak suka, kehidupan suatu bangsa akan turut berubah. Demikian hal dengan bangsa Indonesia, dalam kondisi apapun diharapkan mampu mengikuti perkembangan tersebut. Salah satu tantangan global bagi bangsa Indonesia adalah pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diresmikan pada penghujung 2015 ini. MEA sebagai salah satu bentuk
130
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
komunitas yang tidak hanya menekankan pembentukan pasar tunggal dari segi ekonomi saja, tetapi juga sebuah komunitas yang dibentuk dengan memperhatikan penyatuan berbagai aspek sosial budaya bagi negara-negara ASEAN. Kesepakatan pembentukan MEA ini memunculkan berbagai tantangan global bagi bangsa-bangsa ASEAN, khususnya Indonesia. Salah satu tantangan bagi Indonesia adalah kesiapan bangsa Indonesia dalam menyediakan sumber daya manusia unggul yang ditandai dengan tingkat kesiapan dan kemampuan dalam berkompetisi secara global. Sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka mewujudkan kebijakan perspektif genderlah jawabannya. Kebijakan yang tidak hanya menjadi dasar konseptual namun juga sebagai pengontrol terhadap kebijakan-kebijakan turunannya. Sumber daya manusia unggul, tidak hanya SDM yang siap berkompetisi saja, namun SDM yang juga berkarakter peka dan adil gender. Dengan terbentuknya SDM yang perspektif gender, maka diharapkan dapat membentuk cara pandang dimana setiap kesempatan berkompetisi terbuka bebas bagi setiap individu tanpa membedakan jenis kelamin (sex), khususnya diwilayah di negara-negara ASEAN. Dengan bermodal SDM dengan karakter dan cara pandang yang perspektif gender akan menjadi nilai tersendiri yang diharapkan dapat mewujudkan SDM berkualitas unggul yang mampu bersaing secara global.
Daftar Pustaka
ASEAN Vision 2020. http://www.aseansec.org/1814.htm. Diakses tanggal 10 Agustus 2015 ASEAN Concord II. http://www.aseansec.org/15159.htm. Diakses tanggal 10 Agustus 2015 ASEAN Economic Community Blueprint. http://www.aseansec.org/21083.pdf. Diakses tanggal 10 Agustus 2015 Malau, Masnur Tiurmaida. 2014. ―Aspek Hukum Peraturan dan Kebijakan Pemerintah Indonesia Menghadapi Liberalisasi Ekonomi Regional: Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015‖. Jurnal Rechts Vinding (Media Pembinaan Hukum Indonesia) Vol. 3 No. 2 Agustus 2014 Hassan, Mohamed Jahwar. 2007. ―The Resurgence of China and India, Major Power Rivalry and The Response of ASEAN dalam Soesastro, Hadi dan Joewono, Clara (eds). The Inklusif Regionalist. Jakarta: Centre For Strategic and International Studies Indonesia. Halwani, Hendra dan Tjiptoherijamto, Prijono. 1993. ―Perdagangan Internasional: Pendekatan Ekonomi Mikro dan Makro.‖ Jakarta. Ghalia Indonesia Suharto, Edi. 2010. ―Analisis Kebijakan Publik (Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial)‖. Alfabeta. Bandung. Hal 7
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
131
Islamy, Irfan M. Dr. MPA. 2004. ―Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara‖. Bumi Aksara. Malang. Hal 18 Abdul Wahab, Solichin. Prof. Drs. M.A. Ph.D. 2005. ―Analisis Kebijakan (Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara)‖ Edisi Kedua. Bumi Aksara. Jakarta. Hal 4 Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id/ Subjek/view/id/40#subjekViewTab1|accordion- daftar-subjek1. Diakses 15 Agustus 2015 Nugroho, Riant. 2008. ―Gender dan Administrasi Publik‖ Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal 240-243 Nugroho, Riant. 2008. ―Gender dan Administrasi Publik‖ Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal 233 Badan Pusat Statistik. ―Persentase Penduduk menurut Provinsi dan Jenis Kelamin, Tahun 2009-2013‖. http://www.bps.go.id/linkTabel Statis/view/id/1601. Diakses tanggal 20 Agustus 2015 Badan Pusat Statistik. ―Tingkat Pengangguran Terbuka Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2009-2012‖. http://www.bps.go.id/ linkTabelStatis/view/id/1607. Diakses tanggal 20 Agustus 2015 Badan Pusat Statistik. ―Persentase Rumah Tangga menurut Provinsi, Jenis Kelamin KRT yang Bekerja, dan Daerah Tempat Tinggal, 2009-2012‖. http://www.bps.go.id /linkTabelStatis/view/id/1606. Diakses tanggal 20 Agustus 2015 Nugroho, Riant. 2008. ―Gender dan Administrasi Publik‖ Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal 243-250 Adhanta dalam Jurnal Perempuan. Edisi 50. 2006. “Pengarusutamaan Gender”. Yayasan Jurnal Perempuan. Jakarta. Hal.157 Deliarnov. 2006. ―Ekonomi Politik‖. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal 201 Jati, Wasisto Raharjo. 2013. ―Pengantar Kajian Globalisasi: Analisa Teori dan Dampaknya di Dunia Ketiga‖. Mitra Wacana Media. Jakarta. Hal 1 Deliarnov. 2006. ―Ekonomi Politik‖. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal 202-203 Badan Pusat Statistik. ―Jumlah dan Distribusi Penduduk‖. http://sp2010.bps.go.id. Diakses 15 Agustus 2015 Deliarnov. 2006. ―Ekonomi Politik‖. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal 203-206
132
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Deliarnov. ibid. Hal 206-208 Deliarnov. ibid. Hal 206-211 Deliarnov. ibid. Hal 214-220 Suroso. 2015. ―Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Perekonomian Indonesia‖. Diupload pada tanggal 12 Februari 2012. Diunduh pada tanggal 25 Mei 2015. Alamat Website: http://www.bppk.depkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/20545-
masyarakat-ekonomi-
asean-mea-dan-perekonomian-indonesia Jurnal Kajian Lemhannas RI. Edisi 16 November 2013. ―Peningkatan Peran Indonesia dalam ASEAN Framework On Equitable Economic Development (EED) dalam rangka Ketahanan Nasional‖. Hal.57 Suroso. 2015. ―Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Perekonomian Indonesia‖. Diupload pada tanggal 12 Februari 2012. Diunduh pada tanggal 25 Mei 2015. Alamat Website: http://www.bppk.depkeu.go.id/
publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/20545-masyarakat-ekonomi-
asean-mea-dan-perekonomian-indonesia Shuib, Rashidah dalam Mukhijab. 2015. ―Kesetaraan Gender Penting dalam Zona MEA‖. Diupload pada tanggal 16 Februari 2015. Diunduh pada tanggal 25 Mei 2015. Alamat Website: http://www.pikiran-rakyat.com/serial-konten/28114v Nugroho, Riant. 2011. ―Gender dan Strategi Pengarusutamaan Gender di Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal 183-185 Nugroho, Riant. 2011. ―Gender dan Strategi Pengarusutamaan Gender di Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal 185-186
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
133
Efektivitas Hubungan Kerjasama Antar Pemerintahan (Studi Kasus Kebijakan Pendidikan Gratis Pada Pendidikan dasar dan Menengah di Provinsi Sulawesi Selatan)
Sangkala
Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap mengapa efektivitas hubungan
kerjasama antar
pemerintahan dalam sektor pendidikan dasar dan menengah di Provinsi Sulawesi Selatan khususnya dalam kebijakan pendidikan gratis belum otpimal. Untuk mencapai tujuan tulisan ini maka dilakukan serangkaian penelitian dengan fokus pada upaya mengungkap terlebih dahulu apa latar belakang dilakukannya (arti pentingnya) kerjasama antara pemerintahan khususnya dalam penerapan kebijakan pendidikan gratis pada jejang pendidikan dasar dan menengah, kemudian dilanjutkan dengan upaya mengungkap faktor-faktor apa saja yang menyebabkan efektivitas hubungan kerjasama antar pemerintahan tersebut belum optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan utama mengapa dilakukan kerjasama antar pemerintahan melalui kebijakan pendidikan gratis pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di Provinsi Sulawesi Selatan karena didasari oleh keinginan untuk memperbaiki mutu pendidikan di wilayah Sulawesi Selatan. Dengan kebijakan penyelanggaraan pendidikan gratis diharapkan tidak ada lagi anak usia sekolah yang tidak mengenyam pendidikan. Alasan lainnya adalah karena pertimbangan politik terutama bagi daya tarik pemimpin daerah baik di tingkatan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota terutama di saat-saat Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada). Sementara faktor-faktor yang menjadi penyebab yang mempengaruhi efektivitas hubungan kerjasama antar pemerintahan dalam kebijakan pendidikan gratis belum optimal karena faktor ketersediaan keuangan, kepemimpinan politik, dan struktur organisasi dan manajemen, belum terbentuknya standar mutyu serta mekanisme akauntabilitas dan transparansi disetiap tingkatan pemerintahan yang belum berjalan dengan baik
Kata Kunci: Hubungan kerjasama antar pemerintahan
A. Latar Belakang Potensi untuk mendorong percepatan keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di sebuah wilayah, salah satunya sangat tergantung keunggulan sumberdaya manusia. Kesadaran untuk mengembangkan potensi tersebut disetiap wailayah saat sudah sangat tinggi bukan karena didorong oleh lembaga-lembaga internasional untuk mewujudkan target-target yang ada di dalam Millenium Development Gold (MDG) tetapi juga kesadaran bersama disetiap daerah di Indonesia. Tidak terkecuali di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Melalui program pendidikan gratis yang sudah dicanangkan sejak awal pemerintahan
134
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Gubernur Provinsi Sulawesi pada tahun 2008 sampai sekarang. Jika dikaji secara saksama, program pendidikan gratis sesungguhnya bukan cuma membuka akses yang luas kepada anak tidak mampu untuk dapat mengenyam bangku sekolah tanpa dipungut biaya. Lebih dari itu, program ini secara gradual akan memutus mata rantai kemiskinan, mengembalikan hak-hak anak sekaligus memanusiakan mereka yang selama ini ditindas oleh kuasa modal. ―Pendidikan Gratis‖ di sini adalah komitmen pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam hal pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah. Pengertian diatas mengandung konsekuensi bahwa kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada akurasi perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya (average rill cost) yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid. Besarnya biaya satuan kemudian harus dibandingkan dengan dana BOS (bantuan operasional sekolah) selisihnya di tutupi oleh pemerintah daerah melalui regulasi anggaran yang telah di tetapkan dalam APBD provinsi, kabupaten dan kota. inilah yang kita maksud dengan sebutan dana sharing antara pemerintah pusat dan daerah. Keberhasilan sebuah program pembangunan tersebut tidak selalu berhasil
manakala pemerintah
sebagai penanggungjawab keberhasilan pembangunan di wilayahnya tidak mampu mendesain kebijakan sekaligus mengimplementasikannnya dengan efektif. Kebijakan pendidikan gratis yang dimaksud adalah dalam rangka mengatasi rendahnya mutu pendidikan di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari indikator indeks pembangunan manusia (IPM). Sebelum kebijakan pendidikan gratis dilaksanakan, provinsi Sulawesi Selatan IPM-nya masih berada di urutan 21 secara nasional, termasuk bidang pendidikan. Karena itu pemerintah provinsi
Sulawesi Selatan bekerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota berupaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan tersebut melalui sebuah Memorandum of Understanding (MOU) yang ditindaklanjuti melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2009 yang memuat tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan. Perda No. 4 Tahun 2009 ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 9 tahun 2010 yang berisi tentang Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Gratis Provinsi Sulawesi Selatan. Anggaran untuk ujicoba pendidikan gratis di 11 daerah tersebut berkisar Rp 644 miliar yang bersumber dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) Rp 405 miliar, APBD provinsi Rp 125 miliar, dan sisanya dari pos APBN. Program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan diharapkan berimplikasi pada penurunan angka buta aksara di kalangan usia sekolah. Bila mengacu pada Perda No 4 Tahun 2009, maka tujuan daripada pendidikan gratis adalah; 1) meningkatkan pemerataan kesempatan belajar bagi semua anak usia sekolah; 2) meningkatkan mutu penyelenggaraan lulusan; 3) meningkatkan relevansi pendidikan yang berbasis kompetensi agar dapat mengikuti perkembangan global; 4) meningkatkan efsiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan gratis untuk memenuhi mutu dan produktivitas sumberdaya manusia yang unggul. Di dalam Perda pasal 2 dan 3 tersebut juga dikemukakan ruang lingkup pendidikan gratis. Adapun ruang lingkup tersebut yaitu bahwa pendidikan gratis; 1) diperuntukkan bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang menyekolahkan anaknya pada sekolah dasar dan menengah yang ada di Sulawesi Selatan; dan 2) bagi peserta didik yang berasal dari luar Sulawesi Selatan namun dikenakan biaya pendidikan sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan gratis yaitu bertumpu pada pemerataan, jaminan kualitas, partisipatif, transparansi, akuntabilitas, edukasi, dan kompetensi.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
135
Di atas kertas tentu kebijakan ini sangat baik apalagi bila dilihat dari tujuan dan sasaran dari kebijakan tersebut, namun dalam pelaksanaan (implementasi) sebuah kebijakan terkadang tidak selalu sama persis dengan apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan Inspirasi Jemari tahun 2009 menemukan bahwa peringkat kabupaten/kota terkait pengetahuan program pendidikan gratis dan sosialisasi yang baik ternyata masih banyak kabupaten/kota yang memiliki nilai rendah, di antaranya Kota Makassar (14,7%); Jeneponto (12,7%); Toraja Utara (9,7%); Luwu (8,3%); dan Kabupaten Pinrang (3,3%) dibandingkan dengan Kabupaten Gowa yang memiliki nilai 92,3% dan Maros 85,7%, berturut-turut Kabupaten Bantaeng (83,9%), dan Takalar (71,7%). Ini menunjukkan bahwa efektivitas atau hasil digunakan yang ingin dicapai dari kebjakan tersebut mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Padahal hingga tahun 2010 Provinsi Sulawesi Selatan telah mencanangkan akan menjadi provinsi yang bebas dari buta aksara yang dimulai di 6 (enam) kabupaten dan kini telah menerapkan pendidikan gratis sejak tahun 2009 yakni kabupaten Gowa, Sinjai, Pangkep, Luwu Timur, Luwu Utara dan Kota Pare-pare. Hasil survey menemukan bahwa ke enam kabupaten tersebut sudah tidak lagi melakukan pemungutan yang seringkali dilakukan oleh sekolah maupun komite sekolah. Namun demikian, hasil survei ini juga bermakna bahwa selain enam kabupaten tersebut masih terjadi pungutan-pungutan terhadap murid sekolah. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan dari kebijakan ini yang berupaya menciptakan pemerataan pendidikan, apalagi bila hal tersebut dikenakan bagi keluarga yang tidak mampu. Pada tahun 2001 saja, anggaran pendidikan telah meningkat secara signifikan 8 kali lipat dari 42,3 milyar (2001) menjadi 200 triliun di tahun 2009. Kebijakan Program Sekolah Gratis bagi SD dan SMP yang dicanangkan pemerintah pada tahun 2009 telah meningkatkan alokasi BOS per siswa per tahun yang di tahun 2012 mencapai Rp. 580.000,– per siswa SD dan Rp. 710.000,– per siswa SMP. Sayangnya, lonjakan anggaran pendidikan ini belum mampu menjawab masih ditemukannya warga yang tidak dapat menikmati pendidikan, terutama mereka yang berasal dari rumah tangga miskin (Kopel dan Yayasan Tifa, 2012). Dalam temuan Kopel dan Yayasan Tifa tersebut, terungkap 4 (empat) masalah utama yang kerap ditemukan dalam pelaksanaan Dana Pendidikan. Pertama, regulasi yang dibutuhkan untuk memperkuat perlindungan hak warga sekaligus akuntabilitas pelaksanaannya. Kedua, akuntabilitas anggaran yang masih rendah terutama karena ketiadaan sanksi dan penindakan yang tegas. Ketiga, tumpang tindih kewenangan, dan keempat, rendahnya pengawasan dari DPRD dan media. Secara khusus, isu pendidikan dipandang masih minim perhatian media. Alokasi anggaran juga menunjukkan indikasi kurang efisien, menyebabkan pendidikan gratis tidak kunjung tercapai. Di banyak daerah misalnya, kenaikan anggaran pendidikan lebih banyak diserap oleh belanja tidak langsung (terutama komponen gaji), dimana postur belanja langsung pendidikan (belanja program) relatif tetap atau bahkan menurun. Karenanya, bertolak belakang dari lonjakan anggaran, urgensi pendidikan Indonesia nyatanya justru masih saja berkutat pada masalah peningkatan dan pemerataan akses ketimbang kualitas bahkan tata kelolanya. Standar dengan perangkat kebijakan yang telah tersedia belum efektif, perbaikan skema pendanaan daerah yang belum mendukung kebijakan pendidikan gratis, sistem pendataan (terutama data sekolah terhadap data siswa dari rumah tangga miskin) masih tidak akurat, belum efektifnya sistem pengawasan berjenjang yang sistemik, terintegrasi sehingga implementasi program tidak efektif. Selain berbagai persoalan tersebut diatas, Kopel beserta Kemitraan juga menemukan beberapa persoalan di dalam pelaksanaan DAK Pendidikan, diantaranya; Pertama, mekanisme pengelolaan anggaran yang tidak transparan dan akuntabel telah membawa peluang maraknya praktik korupsi. Kedua, pencairan
136
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
anggaran yang tidak tepat waktu telah membuat pelaksanaan program terlambat dari jadwal dan berimplikasi pada kualitas pekerjaan. Ketiga, penentuan lokasi sasaran yang cenderung tertutup dan tidak partisipatif telah mengundang potensi ketidaktepatan sasaran. Keempat, kapasitas DPRD yang lemah dalam melakukan pengawasan. Di kebanyakan daerah, DPRD bahkan tidak mengenal riwayat DAK Pendidikan yang akhirnya menyulitkan pengawasan. Secara konseptual persoalan yang muncul dalam proses kerjasama antara pemerintah daerah dalam kebijakan pendidikan gratis yang dimotori oleh pemerintah Provoinsi Sulawesi Selatan tidak lepas dari belum efektifnya kerjasama antara pemerintah daerah tersebut. Jika pemerintah provinsi Sulawesi Selatan beserta pemerintah daerah kabupaten/kota menggunakan model kerjasama antar pemerintah (intergovernmental cooperation), maka dapat diasumsikan bahwa persoalan-persoalan yang muncul seperti telah diuraikan sebelumnya tidak akan muncul dan bahkan dapat di atasi. Karena menurut Agranof (1986); dan Conlan dan Posner (2008), kebijakan hubungan kerjasama antar pemerintah daerah dapat menjadi solusi terhadap berbagai permasalahan kesenjangan antara daerah terutama dalam pemberdayaan peran serta masyarakat dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya sehingga tercipta pembangunan yang serasi, selaras dan seimbang, sesuai kedudukan, peran, dan fungsinya dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, keanekaragaman potensi masing-masing dalam suatu manajemen terpadu (Arganoff, 1986; Laffin, 2007; Tasmaya, 2007). Agar model kerjasama antar pemerintahan daerah berhasil, diperlukan kebijakan yang mengkoodinasikan aktivitas antar satu atau lebih pemerintah daerah (Post, 2002). Kerjasama antar pemerintahan di tingkat daerah juga sekaligus merupakan aransemen dua atau lebih pemerintahan untuk mencapai tujuan bersama, menyediakan layanan atau menyelesaikan masalah secara bersama-sama (Patterson, 2008; Domai, 2009; Warsono, 2009; Coon, 2011). Kerjasama antara pemerintahan tingkat atas dengan tingkatan dibawah secara konseptual dinamakan sebagai bentuk intergovernmental relationship (IGR). Atas dasar pertimbangan tersebut sehingga penelitian ini dilakukan. Berangkat dari latar belakang tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) mengungkapkan apa latar belakang arti pentingnya kerjasama antar pemerintah daerah dalam program pendidikan gratisi di Provinsi Sulawesi Selatan; 2) apa saja faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerjasama antar pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan pemerintah Kabupaten/Kota dalam program pendidikan gratis?
B. Metode Penelitian Lokasi penelitian adalah wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan tempat pelaksanaan pendidikan gratis. Adapun lokasi yang menjadi obyek penelitian sebagai representasi wilayah yang melaksanakan kebijakan pendidikan gratis dipilih tiga kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi Sulawesi Selatan yakni Kota Pare-Pare (mewakili wilayah perkotaan), Kabupaten Gowa (mewakili wilayah Kabupaten yang lebih dekat dari ibu kota provinsi), dan kabupaten Luwu Utara (mewakili wilayah kabupaten yang jauh dari ibu kota provinsi). Desain penelitian ini adalah kualitatif. Penggunaan desain penelitian demikian ini untuk mengungkap dan menjawab mengapa kerjasama antara tingkatan pemerintahan khususnya dalam pendidikan gratis belum efektif. Penentuan informan dalam penelitian ditetapkan secara purposive, yaitu mereka yang dianggap mempunyai informasi atau terlibat baik langsung maupun tidak langsung terhadap program pendidikan gratis di
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
137
Provinsi Sulawesi Selatan. Penetapan yang seperti ini didasarkan pada penilaian dari ahli (atau peneliti sendiri) untuk tujuan tertentu atau situasi tertentu (Neuman, 1997). Adapun informan dalam penelitian ini adalah : a) Bupati/para pejabat dan pegawai Dinas Pendidikan; b) tim sembilan program pendidikan gratis provinsi Sulawesi Selatan; c) anggota Komisi di DPRD yang membidani sektor pendidikan; d) Dewan Pendidikan Provinsi dan Kabupaten. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan, wawancara mendalam, dan telaah dokumen. Pengamatan dilakukan terutama yang berkaitan dengan obyek penelitian, seperti sekolah, dan berbagai sarana dan prasarana bantuan pendidikan gratis. Wawancara mendalam dilakukan pada para informan yang tersebut di atas, sedangkan teknik dokumentasi adalah mengumpulkan dokumen berupa peraturan-peraturan, jurnal-jurnal, dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Untuk memperjelas teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel-2 di bawah ini. Pengolahan dan analisis data dilakukan melalui tahap-tahap analisis data kualitatif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992), yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Penelitian ini menggunakan strategi analisis studi kasus, di mana analisis yang dilakukan berbeda antara satu tahap dengan tahap lainnya
C. Hasil dan Pembahasan Otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan yang berada di bawahnya sejak dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 dan telah diperbaharui hingga UU No 23 Tahun 2014 menjadi dasar bagi pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahannya dalam rangka memajukan kesejahteraan masyarakat dan pembangunannya. Atas dasar kewenangan inilah, pemerintah daerah dapat melaksanakan kerjasama antar tingkatan di dalam pemerintahan daerah baik kerjasama antar pemerintahan provinsi dengan provinsi, provinsi dengan kabupaten/kota, dan kerjasama antar kabupaten/kota. Di Indonesia dasar penyelenggaran hubungan kerjasama antar pemerintah daerah (intergovernmental cooperation) merupakan pengembangan konsep hubungan antar pemerintahan (intergovernmental relation) dan manajemen antar pemerintahan (intergovernmental management) yang berkembang dalam studi desentralisasi (otonomi daerah) yang yang berfokus pada setiap aktivitas atau interaksi antar unit-unit
pemerintahan,
pengalokasian pengambilan keputusan yang didasarkan atas apa, siapa yang terlibat dan konsekuensi dari tindakan-tindakan tersebut (Smith, 1985; Anderson‘s, 1960; Edner, 1976, Arganof, 1986; Conlan dan Posner, 2008). Pengintegrasian ketiga konsep tersebut menjadi acuan dasar dalam menyusun model hubungan kerjasama antara daerah yang memiliki tingkat efektivitas yang tinggi dalam pencapaian tujuan kerjasama. Secara konseptual hubungan kerjasama antar daerah menjelaskan bagaimana penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat lebih efektif, dan efisien dalam melakukan tindakan-tindakan kolektif. Efektif dalam menghilangkan fragmentasi manajerial dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga dapat menciptakan pemerataan pembangunan. Proses pencapaian melalui kerjasama yang dilakukan sejak awal proses manajemen dan melakukan tindakan secara bersama-sama (Anderson, 1960; Edner, 1976; Agranof, 1986). Dengan demikian manajemen antar pemerintahan merupakan manajemen terpadu yang dikendalikan secara bersamasama dalam menghadapi kompleksitas yang terjadi (Agranof, 2003). Agar pendidikan gratis dapat berkelanjutan
138
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
maka diperlukan dukungan kebijakan hubungan kerjasama antar daerah.
Kerjasama antar pemerintahan
dimaksudkan agar dapat mengurangi kesenjangan antar daerah, mengurangi konflik, meningkatkan pelayanan, pemberdayaan peran serta masyarakat dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya, sehingga terwujud pembangunan yang serasi, selaras, dan seimbang, sesuai kedudukan, peran, dan fungsinya dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, keanekaragaman potensi masing-masing dalam suatu manajemen terpadu (Tasmaya, 2007). Penelitian tentang hubungan kerjasama antar pemerintahan daerah dalam kebijakan pendidikan gratis di Provinsi Sulawesi Selatan ini didesain dalam rangka menemukan jawaban mengapa hubungan kerjasama antara pemerintahan dalam bidang pendidikan gratis di Provinsi Sulawesi Selatan belum optimal, pada hal sejumlah kebijakan dan pemanfaatan sumberdaya yang cukup banyak belum mampu secara signifikan merubah kualitas pendidikan di provinsi Sulawesi ke tingkatan sepuluh besar terbaik di Indonesia. Target sepuluh besar merupakan target yang sudah dicanankan oleh pimpinan (gubernur) provinsi Sulawesi Selatan sejak menjabat 2009 – sekarang (sekarang memasuki periode kedua sampai dengan 2018). Untuk itu memahami hal tersebut penelitian ini diarahkan upaya untuk menggali informasi melalui sejumlah informan kunci yang disertai dengan telaah data dan dokumen yang ada serta pengamatan langsung ke lapangan.
1. Alasan Pentingnya Dilakukan Kerjasama Antar Pemerintah Dalam Bentuk Kebijakan Pendidikan Gratis Kebijakan pendidikan gratis merupakan sebuah skema yang dirancang khusus oleh pemerintah provinsi Sulawesi Selatan setelah melihat kenyataan pada ssat itu (2008) kualitas pendidikan gratis khususnya dalam pendidikan dasar dan menengah berada pada tingkat 23 secara nasional (Data BPS Pusat, 2013). Sehingga Gubernur sekarang yang kala itu sedang mencalonkan diri menjadi gubernur menjadikan pendidikan gratis sebagai jualan politik dan berkomitmen untuk membawa provinsi Sulawesi Selatan keluar dari kondisi tersebut. Ketika Gubernur Syahrul Yasin Limpo terpilih menjadi gubernur periode 2009-2014 beliau segera merealisasikan janji politiknya dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No 4 tahun 2009. Agar pelaksanaan kebijakan tersebut dapat terimplementasi dengan baik maka segera ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur dengan Nomor 6 Tahun 2011. Dalam Perda No 4 tahun 2009 tersebut dengan jelas dikemukakan bahwa tujuan dari pada diselenggarakannya pendidikan gratis a) meningkatkan pemerataan kesempatan belajar bagi semua anak usia sekolah; b) meningkatkan mutu penyelenggaraan dan lulusan; c) meningkatkan relevansi pendidikan yang berbasis kompetensi agar dapat mengikuti perkembangan global; d) meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan gratis untuk memenuhi mutu dan produktivitas sumber daya manusia yang unggul. Menurut Perda No 4 Tahun 2009 tersebut (Pasal 4)
disebutkan bahwa prinsip dasar dalam
penyelenggaraan pendidikan gratis ini adalah semua anak usia sekolah wajib menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah dalam rangka pembentukan watak dan budi pekerti yang luhur sesuai norma-norma kesusilaan atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa. Biaya pendidikan dasar dan menengah bagi anak usia sekolah dari keluarga tidak mampu ditanggulangi oleh pemerintah daerah (pasal 6). Program dari pendidikan gratis ini terdiri dari 3 macam yaitu; 1) program bebas biaya pendidikan bagi peserta didik yang sekolahnya memperoleh bantuan penuh pembiayaan penyelenggaraan pendidikan; 2) program subsidi pendidikan bagi peserta didik yang
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
139
sekolahnya memperoleh bantuan tidak penuh atau sebagian pembiayaan penyelenggaraan pendidikan; 3) program beasiswa pendidikan bagi peseta didik berprestasi yang berasal dari keluarga tidak mampu. Sasaran penyelenggaraan pendidikan gratis ini mencakup pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terdiri dari: 1) sekolah dasar yang meliputi sekolah dasar negeri dan swasta, madrasah ibtidaiyah negeri dan swasta, dan sekolah dasar luar biasa; 2) sekolah menengah pertama yang meliputi: sekolah menengah pertama negeri dan swasta, madrasah tsanawiyah negeri danswasta, serta sekolah menengah pertama luar biasa; 3) sekolah menengah atas yang meliputi: sekolah menengah atas negeri dan swasta, sekolah menengah kejuruan negeri dan swasta, sekolah menengah luar biasa, dan sekolah aliah negeri danswasta. Berdasarkan penelusuran baik melalui informan kunci maupun dari dokumen yang ada, pelaksanaan pendidikan gratis yang diinisiasi oleh pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dibiayai dengan sumber pendanaan dari Anaggaran Pendapatan Belanja Daerah. Dimana pembiayaannya tidak semuanya berasal dari dana APBD provinsi namun dilakukan dana sharing antara dana dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dana sharing tersebut 40% bersumber dari APBD provinsi dan 60% berasal dari dana APBD Kabupaten Kota. Pengalokasian pembiayaan pendidikan didasarkan pada profil sekolah masing-masing satuan pendidikan. Dimana sebelum diberikan dana pendidikan kepada setiap satuan pendidikan pemerintah provinsi terlebih dahulu melakukan verifikasi terhadap profil setiap sekolah. Adapun komponen pembiayaan mencakup kegiatan proses belajar mengajar yang mencakup biaya operasional, pemeliharaan, ekstrakurikuler, insentif pendidik dan tenaga kependidikan. Agar pemberian pembiayaan dan pengawasan dari pelaksanaan pendidikan gratis disetiap sekolah berlangsung sesuai dengan peruntukannya maka Gubernur mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 6 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan. Pelaksanaan
pendidikan
gratis
dilaksanakan
denga
didasari
Nota
Kesepahaman
Bersama
(Memorandum of Understanding/MOU) antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Dengan dasar MOU tersebut diharapkan agar pelaksanaan pendidikan gratis di satuan pendidikan masing-masing mampu mencapai target seperti yang diharapkan di dalam Perda No. 4tahun 2009. Di dalam MOU setiap kabupaten/kota terdapat rincian dan pembagian komponen-komponen apa saja yang mendapatkan pendanaan baik dari sisi pemerintah provinsi maupun dari sisi pemerinath kabupaten/kota. Dengan demikian setiap MOU yang ditandatangani antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota terdaoat perbedaan peruntukannya. Hal ini didasarkan pada kebutuhan nyata serta profil sekolah masing-masing satuan pendidikan yang akan mendapatkan bantuan dana pendidikan gratis. Agar efektivitas pelaksanaan dari pendidikan gratis tersebut selanjutnya dibentuk Tim Pengawas baik di tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota. Di dalam Perda No 4 Tahun 2009. Selain itu pemerintah kabupaten/kota bahkan mengeluarkan Petunjuk Teknis Pelaksanaan dan Petanggungjawaban Pendidikan Gratis. Kesemuanya dimaksudkan agar pelaksanaan pendidikan gratis disetiap wilayah dan satuan pendidikan mencapai target yang sudah ditentukan. Berangkat dari berbagai instrument yang sudah sedemikian banyak untuk mengawal kebijakan pendidikan gratis tersebut, maka seyogyanya di tingkat pelaksanaan apa yang menjadi tujuan dan sasaran yang sudah ditentukam sebelumnya dapat dicapai. Namun dari data yang dapat dikumpulkan menunjukan perubahannya tidak terlalu signifikan. Provinsi Sulawesi Selatan bila diukur dari peringkat Indeks Pembangunan Manusia dimana di dalamnya juga terdapat indicator kualitas pendidikan sampai tahun 2013 masih menduduki peringkat 18 dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia. Hal ini berarti dalam jangka waktu pelaksanaan pendidikan
140
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
gratis ini digulirkan tahun 2009 – 2013 saja hanya mampu bergeser 4 point ( peringkat 22 pada tahun 2009). Perubahan yang kurang signifikan tersebut sudah menghabiskan anggaran sejak 2009-2104 yang rata-rata sebesar 190 milyar. Dari sisi pendidikan, fakta yang menunjukkan bahwa apa yang menjadi tujuan dari penyelenggaraan pendidikan gratis nampaknya sampai saat ini masih mengalami berbagai macam kendala. Hal ini berujung pada tingkat kualitas mutu pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan menurut versi Indek Pembangunan Manusia (IPM) khususnya dalam pendidikan yang masih berada di tingkatan 20 (BPS Pusat, 2014). Hal ini dapat dilihat misalnya dari aspek pemerataan pendidikan yang belum mencapai angka optimal. Penduduk berusia 15 tahun ke atas yang melek huruf (komplemen dari buta huruf) dalam kurun waktu tahun 2007 – 2012 ini walaupun terus mengalami peningkatan namun masih terdapat sekitar 13,76% (86,24%) yang belum mampu melek huruf. Pada tahun 2009 (87.00), 2010 (87,75), 2011 (88,07), dan pada tahun 2012 masih terdapat 11,61persen penduduk yang berumur 15 tahun ke atas belum melek huruf. Artinya sampai dengan tahun 2012 masih terdapat 26,52 belum melek huruf (Data BPS Pusat, 2013). Demikian juga bila dilihat dari rata-rata lama sekolah selama periode 2008 sampai dengan 2012, juga kenaikannya belum menunjukkan hasil yang optimal. Selama periode 2008 – 2012, angka rata-rata lama sekolah menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2008, rata-rata lama sekolah 7,23 tahun dan meningkat menjadi 7, 95 tahun pada tahun 2012. Angka ini masih berada di bawah angka ratarata nasional, yang saat ini (2012) sudah mencapai 7,9 7 tahun. Ini berarti bahwa secara rata-rata, penduduk Sulawesi Selatan hanya mampu menyelesaikan pendidikan kelas I-II SMP dan putus sekolah pada saat memasuki semester lima di kelas III SMP. Kesenjangan (gap) antara capaian Sulawesi Selatan dan Nasional berangsur-angsur semakin membaik dari tahun ke tahun akibat rata lama sekolah Nasional bergerak lebih lambat dibandingkan dengan capaian rata lama sekolah Sulawesi Selatan. Pada tahun 2008, rata lama sekolah Sulawesi Selatan dibandingkan dengan rata lama nasional terdapat selisih 0, 27 point dan naik menjadi 0, 31 point pada tahun 2009 namun demikian selama tiga tahun kemudian mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 0,02. Jika situasi ini terus berlanjut, maka capaian angka rata lama sekolah di Sulawesi Selatan akan melampaui angka rata-rata lama sekolah Nasional. Demikian pula dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) juga mengalami hal yang sama. APK ini merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masingmasing jenjang pendidikan dan menggambarkan keikutsertaan penduduk pada setiap jenjang pendidikan. Berdasarkan data statistik menunjukkan APK SD/MI selama periode 2008-2012memperlihatkan kecenderungan menurun. Pada tahun 2008, APK tingkat SD/MI sebesar 111.51persen yang berarti bahwa jumlah murid yang bersekolah di tingkat SD/MI lebih besar dari total populasi penduduk yang berusia 7 sampai dengan 12 tahun. Sedangkan APK SD/MI pada tahun 2012 menurun menjadi 103.05 persen. Besaran APK yang lebih dari 100% ini disebabkan jumlah siswa, yang ada di SD/MI terdiri dari berbagai kelompok usia. Hal tersebut mengindikasi banyaknya anak-anak usia SD/MI masih ada yang tinggal kelas, namun lebih dominan adalah anak-anak yang masuk SD/MI banyak yang usianya kurang dari 7 tahun. Sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) menunjukkan partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di tingkat pendidikan tertentu. Seperti APK, APM juga merupakan indicator daya serap penduduk usia sekolah di setiap jenjang pendidikan. Jika dibandingkan APK, APM merupakan indikator daya serap yang lebih baik karena APM melihat partisipasi penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
141
standar tersebut. APM SD/MI di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami penurunan dari 92,17 persen pada tahun 2008 menjadi 97.90 persen pada tahun 2012. Sementara APM pada jenjang SMP/MTs pada tahun yang sama mengalami peningkatan, yaitu dari 61,06 persen di tahun 2008 mencapai 68,27 persen pada tahun 2012. Demikian pula APM SMA/MA mengalami peningkatan dari 41,99 persen pada tahun 2007 mencapai 47,92 persen pada tahun 2011.
2. Faktor-faktor yang Menjadi Penyebab Kurang Efektifnya Kerjasama Antar Pemerintah Dalam Kebijakan Pendidiaj Gratis Belum efektifnya pelaksanaan pendidikan gratis jika dilihat dari tujuan dan sasaran yang diinginkan seperti telah ditetapkan di dalam Perda No 4 Tahun 2009 dengan data capaian yang sudah dikemukakan dalam uraain sebelumnya. Berdasarkan hasil penelusuran melalui informan kunci, pengamatan langsung ke satuan pendidikan dan telaahan data sekunder dapat dikemukakan factor-faktor apa saja yang menyebabkan masih belum optimalnya capaian pelaksanaan pendidikan gratis ini.
a. Faktor Kemampuan Keuangan dan Sumberdaya Lainnya Bila mengacu pada Perda No 4 tahun 2009, sumber pembiayaan pendidikan gratis bersumber dari 40% dari APBD Provinsi sedangkan 60% berasal dari dana APBD Kabupaten/Kota. Berdasarakan informasi di lapangan dana sharing tersebut dirasakan oleh pihak pemerintah Kabupaten/Kota terlalu berat. Menurut pihak daerah Kabupaten/Kota mereka masih memiliki banyak item-item pembiayaan yang harus mereka keluarkan di luar item-item pembiayaan yang sudah disepakati di dalam MOU yang mereka sepakati dengan pihak Pemprov, sementara mereka juga tidak dibenarkan menarik dana pihak Komite Sekolah dan para murid. Selain faktor sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia juga menjadi masalah tersendiri terutama terkair dengan kualitasnya. Walaupun di dalam MOu yang ditandatangani terdapat pemberian beasiswa bagi tenaga pendidik yang dirasakan masih kurang tingkat pengetahuan dan keterampilannya, namun alokasi anggaran tersebut belum mampu secara merata kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh para tenaga pendidik. Petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan merupakan sesuatu yang lumrah di dalam setiap birokrasi agar program yang diimplementasikan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang diinginkan. Namun dalam konteks pelaksanaan pendidikan gratis justru bagi pelaksana di lapangan bukannya berfungsi mempermudah pelaksanaan di lapangan tetapi justri dirasakan mempersulit. Dirasakan mempersulit karena Juklak dan Juknis yang dikeluarkan pemerintah provinsi terlalu kaku sehingga mempersulit pelaku di lapangan untuk berkereasi dan melakukan penyesuaian terhadap kondisi di setiap daerah masing-masing. Faktor lain yang dirasakan menghambat pelaksanaan pendidikan gratis adalah mekanisme penyaluran ke sekolah-sekolah. Terlalu banyak prosedur yang harus dilewati sementara pencairan anggarannya seringkalo terlambat sehingga menyebabkan kesulitan untuk digunakan sesuai rencana yang sudah ditentukan oleh pihak sekolah. Akibatnya banyak program yang telah diagendakan dengan baik tertunda. Apalagi jika sudah menyangkut pemberian insentif bagi tenaga pendidikan yang sudah menjalankan kewajibannya dapat menurunkan motivasi kerja mereka. Demikian pula dengan proporsi jenis pendanaan yang dipandang tidak proporsional oleh pihak pemerintah daerah, sehingga mereka kesulitan dalam pembagiannya. Kondisi ini salah
142
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
satu menjadi penyebab terhambatnya pencapaian sasaran dari pelaksanaan pendidikan gratis ditingkat satuan pendidikan.
b. Faktor Kepemimpinan dan Kepentingan Politik Karena ide pentingnya kebijakan pendidikan gratis bersumber dari Gubernur Provinsi Sulawesi dimana diinisiasi sejak kampanye pencalonannya selaku Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan periode 2009-2014 kala itu dan berlanjut ke periode kedua 2014-2018 sehingga banyak actor-aktor eiit politik di daerah kabupaten/kota merasa kebijakan ini adalah kebijakan yang dipaksakan. Pemerintah daerah kabupaten/kota dipaksa untuk harus selalu menyediakan anggaran sebesar 60% dari total pembiayaan pendidikan gratis demi mendukung kebijakan pemerintah provinsi. Kondisi ini ditengari menjadi penyebab kurang optimalnya keseriusan elit kabupaten/kota untuk mensukseskan pendidikan gratis ini. Selain itu, kebijakan pendidikan gratis ini menjadi jualan bagi calon-calon bupati/walikota setiap kali dilakukan pemelihan kepala daerah pada hal semestinya program pendidikan gratis bukan semata-mata persoalan politik tetapi tugas dan kewajiban pemerintah sebagai bagian dari pelayanan public.
c. Faktor Struktur Organisasi dan Manajemen Secara struktural ditingkat provinsi terdapat Tim Pengendali demikian pula di tingkat Kabupaten/kota juga terdapat Tim pengendali. Tim Pengendali ditingkat Kabupaten/Kota berfungsi melakukan rekapitulasi data sekolah berdasarkan profil sekolah, kemudian dikirim ke Tim Pengendali Provinsi. Atas dasar perivikasi ersebut Gubernur menetapkan anggaran melalui Kepala Dinas Pendidikan Provinsi untuk diserahkan ke Tingkat Kabupaten/Kota.
Penyaluran dana dari Kabupaten kepada pihak satuan pendidikan sebagai bagian dari
komitmen pemerintah Kabupaten/Kota kepada kebijakan pendidikan gratis sebesar 60% diserahkan ke masingmasing pemerintah kabupaten/kota yang diatur dalam Keputusan Bupati/Walikota. Kedua model penyaluran alokasi anggaran ini ditingkat satuan pendidikan menjadi masalah tersendiri karena seringkali terambat. Dari pihak kabupaten/kota seringkali mengeluh karena terlambat pencairannya dari pihak pemerintah provinsi. Demikian pula dari aspek pengawasan seringkali tidak efektif karena cara pengawasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah provinsi bersifat sampel pada hal jumlah satuan pendidikan yang harus diawasi sangat banyak, akibatnya pengawasan yangh dilakukan belum optimal. Hal ini diperparah karena belum adanya standar pengawasan yang baku yang dapat menjadi acuan oleh setiap pengawas baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
d. Belum Terciptanya Standar Mutu Belum adanya penataan standar baik segi dari standar mutu, sarana, prasarana dan lainnya tidak hanya di dinas provinsi dan kabupaten/ kota namun juga sampai di tingkat sekolah menjadi salah satu penyebab belum optimalnya capaian pendidikan gratis yang sudah ditetapkan. Standar mutu yang dimaksudkan tidak hanya dalam kaitan proses penyelenggaraanmnya, namun juga out/luaran dari setiap aktivitas sehingga dapat diperbandingkan antara input, proses dan output yang dicapai.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
143
e. Akuntabilitas dan Transparansi Penggunaan Anggaran Masih belum adanya standar penggunaan anggaran baik ditingkat provinsi, kabupaten/kota sampai ditingkat satuan pendidikan dinilai sebagai tingkat akuntabilitas dan transparansi anggaran masih rendah. Termasuk penggunaan anggaran yang digunakan oleh pihak pelaksana kegiatan/program. Demikian peruntukan dana untuk setiap item pembiayaan juga belum juga tersusun mekanisme pertanggungjawaban kepada masyarakat walaupun saat ini masih bersifat administrative ke pemerintah daerah atau ke pemerintah provinsi. Hal ini diperparah karena masih lemahnya pengawasan dari pihak legislative dan juga media. Di banyak daerah misalnya, kenaikan anggaran pendidikan lebih banyak diserap oleh belanja tidak langsung (terutama komponen gaji), dimana postur belanja langsung pendidikan (belanja program) relatif tetap atau bahkan menurun. Karenanya, bertolak belakang dari lonjakan anggaran, urgensi pendidikan gratis yang dicanankan dan ternyata masih saja berkutat pada masalah peningkatan dan pemerataan akses ketimbang kualitas bahkan tata kelolanya. Selain itu ditemukan bahwa persoalan skema pendanaan yang disusun tidak berdasarkan data siswa berdasarkan rumah tangga miskin. Sehingga penentuan lokasi sasaran penyaluran anggaran cenderung tidak tepat sasaran. Akibatnya profil sekolah yang akan menerima alokasi anggaran tidak tepat sasaran. Hal ini tentu berdampak kepada pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan seperti yang sudah menjadi tujuan dari kebijakan pendidikan gratis.
D. Kesimpulan 1.
Kebijakan pendidikan gratis memiliki arti penting di Provinsi Sulawesi Selatan karena dilandasi oleh kenyataan bahwa selama ini belum adanya meratanya kesempatan untuk belajar bagi semua anak sekolah, kualitas pendidikan secara signifikan. Akibatnya angka partisipasi sekolah dikalangan usia sekolah masih rendah dan tentu memberi dampakluas terutama pada kesiapan sumberdaya manusia Sulawesi Selatan di masa depan terutama berhadapan perkembangan global. Selain itu kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan mutu penyelenggaraan proses belajar baik dari segi efisiensi maupun aktivitas
yang
diharaplan berdampak kepada kompetensi luaran yang semakin baik sehingga mampu memenuhi mutu produktvitas sumberdaya manusia yang unggul. Walaupun awalnya gagasan pentingnya diimplementasikan pendidikan gratis di provinsi Sulawesi Selatan adalah calon Gubernur yang ikut dalam pencalonan pada saat itu (2008) dan saat ini masih menjabat selaku Gubernur (2014-2018), namun kebijakan ini sudah merupakan gerakan bersama tidak hanya dari pihak pemerintah tetapi juga masyarakat. 2.
Dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis ini tidak terlepas berbagai factor yang sringkali menghambat. Factor penghambat yang dimaksud yaitu a) keterbatasan sumberdaya keuangan dan sumberdaya lainnya; b) kepemimpinan; c) struktur organisasi dan manajemen; d) belum terciptanya standar mutu yang sama baik proses maupun output disetiap aktivitas pelaksanaan pendidikan gratis; e) akuntabilitas dan transparansi yang belum optimal dalam penggunaan anggaran. Terutama Dalam diskusi tersebut, terungkap 4 (empat) masalah utama yang kerap ditemukan dalam pelaksanaan Dana Pendidikan. Pertama, regulasi yang dibutuhkan untuk memperkuat perlindungan hak warga sekaligus akuntabilitas pelaksanaannya. Kedua, akuntabilitas anggaran yang masih rendah terutama karena ketiadaan sanksi dan penindakan yang tegas. Ketiga, tumpang tindih kewenangan, dan keempat,
144
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
rendahnya pengawasan dari DPR/D dan media. Secara khusus, isu pendidikan dipandang masih minim perhatian media.
E. Saran 1. Penting untuk segera dibangun kebijakan yang memberi ruang bagi pelaku ditingkat sekolah untuk berkreasi mensiasati kondisi lapangan sehingga sasaran yang diharapkan dapat dicapai tanpa harus menyimpang dari ketentuan umum. 2. Manajemen pengalokasian alokasi anggaran untuk setiap item pembiayaan perlu ditingkatkan karena masih ada kecenderungan kurang efisien, menyebabkan pendidikan gratis tidak kunjung tercapai. 3. Kenaikan anggaran pendidikan yang terjadi setiap tahun di tingkatan kabupaten/kota perlu dibarengi kebijakan pencapaian pemerataan, bukan lebih banyak diserap oleh belanja tidak langsung (terutama komponen gaji), dimana postur belanja langsung pendidikan (belanja program) relatif tetap atau bahkan menurun. 4. Pentingnya dilakukan pembaharuan standar dengan perangkat kebijakan yang telah tersedia sebelumnya. 5. Perbaikan skema pendanaan daerah terutama terkait dengan perbaikan sistem pendataan (terutama data sekolah terhadap data siswa dari rumah tangga miskin) dan kebijakan afirmatif bagi siswa miskin (misalnya beasiswa maupun subsidi). 6. Pentingnya pelibatan masyarakat dalam sistem pengawasan tidak hanya dalam proses penyelenggaraan pendidikan yang dibiayai dari dana pendidikan gratis tetapi juga penggunaan anggaran dan hasilnya. Demikian pula pentingnya mengoptimalkan peran pengawasan DPRD, dan pengawasan oleh Komite Sekolah. 7. Struktur kewenangan terutama dalam kaitan pengelolaan keuangan disederhanakan sehingga tidak berdampak kepada keterlambatan pencarian anggaran. Tumpang tindih kewenangan antar isntansi baik dari segi vertical maupun horisontal harus bisa diatasi.
F. Daftar Pustaka
Agranoff, Robert. 1986. Intergovernmental Management: Human Service Problem-Solving in Six Metropolitan Areas. Albany, N.Y : State University of New York Press. Anderson JE. 2003. Public Finance: Principles and Policy. Houghton Mifflin: Boston. Cohen, J.M & Peterson, S.B. 1999. Administrative Decentralization: Strategies for Developing Countries. Connecticut: Kumahan Press. Conlan, Timothy J. & Paul L. Posner (ed.). 2008. Intergovernmental Management for the Twenty-First Century. Brookings Institution Press. Washington D.C.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
145
Dauda, Carol L. 2004. The Importance of De Facto Decentralization in Primary Education in Sub-Saharan Africa PTAs and Local Accountability in Uganda. Journal of Planning Education and Research 2004 24:28. Diskusi Publik, yang diselenggarakan oleh KOPEL, Yayasan Tifa pada tanggal 29 Februari 2012 di Makassar. Domai, Tjahjunalin. 2009. Implementasi Kebijakan Kerjasama Antar Daerah Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Daerah (Studi Kerjasama Antar Daerah dalam Perspektif Sound Governance). Disertasi. FIAUniversitas Brawajiya. Malang. Edner, Sheldon. 1976. Intergovernmental Policy Development. The Importance of Problem Definition. In Public Policy Making in a Federal System, ed. Charles O. Jones and Robert D. Thomas. Beverly Hilss, Cal. Sage. Henry, Nicholas. 2004. Public Administration and Public Affairs. Ninth Edition. Prentice Hall. New Jersey. Lafflin, Martin. 2007. Comparative British Central-Local Relations : Regional Centralism, Governance and Intergovernmental Relations. Public Policy and Administration. SAGE Publications Ltd London. Thousand Oaks. CA and New Delhi. Miller, William L. Et, all. 2000. Models of Local Governance: Public Opinion and Political Theory in Britain. Palgrave. Macmilan. Miles, Matthew B. & A Michael Huberman.An Expanded Sourcebook. Qualitatitve Data Analysis (Ed 2th). Singapore: SAGE Publication Dokumen-Dokumen Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan No. 6 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis Di Provinsi Sulawesi Selatan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara. Databased Badan Pusat Statistik Indonesia ―Indeks Pembangunan Manusia Per Provinsi di Indonesia (2014).
146
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Mengembalikan Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Insiatif Publik: Antara Optimis dan Utopis
Muhammad Ichsan Kabullah Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik/ Institute Management Research Universitas Andalas, Padang, Indonesia/ Radboud University, Nijmegen, Belanda Tel: +62-812-73-11398 E-mail:
[email protected]/
[email protected]
Abstrak: Banyak pakar dalam berbagai disiplin ilmu termasuk administrasi publik telah berhasil mengembangkan studi mengenai trust kedalam berbagai varian seperti social capital, makro ekonomi, organisasi, governance, integritas dan lain-lain. Perkembangan varian tersebut diimbangi dengan peningkatan jumlah publikasi mengenai trust pada berbagai jurnal internasional dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Tidak pelak, perdebatan teoritis yang dinamis dari pakar mengenai trust selayaknya diimbangi dengan implikasi positif ditataran praktis. Pada kasus sebagian besar pemerintah daerah (pemda) di Indonesia, kemajuan pesat studi mengenai trust tidak memiliki korelasi terhadap peningkatan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai survei independen yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukan kepercayaan publik terhadap pemerintah termasuk pemda berada pada skor yang rendah. Pada beberapa sampel pemerintah daerah yang dilakukan survei tersebut justru menunjukan kemunduran dari tahun ketahun. Salah satu pemerintah daerah yang dipersepsikan rendah dan mengalami kemunduran dalam mendapatkan kepercayaan publik adalah Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru dengan skor 4.43 (2006), 3.55 (2008), dan 3.61 (2010) berdasarkan indeks persepsi korupsi TII dan ranking 20 dari 52 (2008), 26 dari 60 (2011) dan 57 dari 60 (2013) berdasarkan indeks integritas KPK. Beberapa penyebab yang membuat skor Pemko Pekanbaru rendah adalah tingginya intensitas suap, ketidakpastian biaya dalam mengakses pelayanan publik, dan tidak transparannya aparatur pemerintah. Atas dasar itulah opini publik yang berkembang seringkali menjatuhkan kesalahan kepada Pemko Pekanbaru. Artikel ini mencoba untuk mengingatkan para pakar dan stakeholder bahwasannya diskusi dalam mengidentifikasi paradoksnya teori dan praktis mengenai trust, tidak harus selalu meletakan pemerintah sebagai objek studi. Pada kasus pemda yang tingkat kepercayaan publiknya rendah seperti Pekanbaru, patut diakui berbagai kebijakan yang dilakukan Pemko Pekanbaru untuk mengembalikan kepercayaan publik cenderung berjalan secara lamban dan minim terobosan. Hal tersebut bukanlah isapan jempol mengingat apa yang telah dilakukan selama ini menunjukan tidak ada perubahan yang signifikan terhadap berkurangnya korupsi di Pemko Pekanbaru. Disisi yang lain, rendahnya kepercayaan publik terhadap Pemko Pekanbaru turut
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
147
disebabkan dari minimnya kapasitas publik itu sendiri untuk menjadi solusi alternatif. Temuan yang ada menunjukan inisiatif publik untuk mendorong pemerintahan daerah transparan dan akuntabel cenderung dilakukan melalui aksi spontanitas, tidak terorganisir, sporadis dan temporer. Publik justru terjebak untuk permisif terhadap perilaku korup yang dilakukan pada birokrasi pemerintahan dan bahkan pada beberapa kasus turut bekerjasama dengan pemerintah untuk bertindak korup. Studi ini dilakukan dengan pendekatan studi kasus terhadap tujuh organisasi yang menjadi representasi publik yakni berasal dari unsur media massa, lembaga swadaya masyarakat, universitas, organisasi mahasasiwa, organisasi keagamaan, dan masyarakat adat. Studi ini turut menjadi salah satu variabel penelitian yang menjadi bagian disertasi yang dilakukan penulis saat ini.
Kategori: Enhancing Public Trust and Ethics Kata kunci: Trust, Korupsi, Publik
PENDAHULUAN Diskursus akademik dalam administrasi publik mensepekati trust adalah fondasi utama untuk membangun relasi positif bagi setiap individu dalam upaya peningkatan kinerja suatu organisasi [1]. Tidak terkecuali dengan pemerintah sebagai organisasi publik, trust diantara stake holder dipemerintahan dan masyarakat
dapat
memberikan implikasi berupa
mencegah ketidakpastian dalam penyelenggaraan
pemerintahan, meningkatkan efektifitas koordinasi dan pertukaran informasi ditengah kompleksnya organisasi, memperkuat otoritas pemimpin diseluruh lapisan tatanan masyarakat dalam pengambilan kebijakan [2]. Disamping itu, terwujudnya trust dapat mendorong pemimpin berani mengambil tindakan yang berisiko [3]. Berbagai implikasi tersebut seharusnya membangun kesadaran kolektif bagi setiap stake holder dipemerintahan akan arti pentingnya trust dalam setiap aktivitas penyelenggaraan pemerintahan. Tanpa adanya trust, kecurigaan dan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah akan mereduksi kinerja pemerintahan sendiri. Disamping itu, kehadiran pemerintah tidak akan dirasakan dengan kuat ditengah kehidupan masyarakat. Terciptanya trust ditengah masyarakat luas kepada pemerintah merupakan bagian dari mendorong proses penyelenggaran
negara
yang
akuntabel.
Trust
dapat
dibangun
dengan
mendorong
mekanisme
pertanggungjawaban pemerintah secara akuntabel dan transparan kepada masyarakat luas. Hal tersebut penting mengingat aktivitas perilaku stake holder dipemerintahan tidak dapat dikontrol publik secara menyeluruh. Pada kasus di Pekanbaru, upaya Pemko Pekanbaru dalam membangun trust kepada masyarakat dilakukan melalui berbagai inisiatif kebijakan seperti membentuk Kantor Pelayanan Terpadu ditahun 2005 dalam rangka memudahkan pelayanan perizinan masyarakat. Disamping itu, Pemko Pekanbaru juga membangun sistem e-procurement dalam pengadaan barang dan jasa sejak tahun 2012. Hanya saja, upaya tersebut menghadapi kendala berupa tingginya korupsi.
148
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Massifnya korupsi di Pemko Pekanbaru dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir dibuktikan dengan rendahnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari TII yakni 4.43 (2006), 3.55 (2008), dan 3.61 (2010). Jika diamati dengan cermat, angka IPK yang diperoleh Pekanbaru mengalami kemunduran secara bertahap. Kemunduran dalam pemberantasan korupsi yang ada di Pekanbaru sejalan dengan survey integritas sektor publik pada pemerintah daerah oleh KPK. Berdasarkan survey integritas sektor publik KPK, Pemko Pekanbaru hanya mendapat ranking 20 dari 52 (2008), 26 dari 60 (2011) dan 57 dari 60 (2013). Berbagai studi tersebut memberikan pesan kuat bahwa Pemko Pekanbaru telah gagal membangun trust ditengah masyarakat karena tingginya korupsi. Hal ini diperparah dengan fenomena banyaknya kasus korupsi yang dibawa Pengadilan dimana dalam kurun waktu 2011-2012 saja terdapat 19 orang terdakwa [4]. Pejabat terakhir di Pemko Pekanbaru yang terkena kasus korupsi adalah kepala dinas perhubungan informasi komunikasi Kota Pekanbaru yang terkena kasus dalam pengadaan barang dan jasa sarana angkuta Trans Metro Pekanbaru [5]. Kegagalan Pemko Pekanbaru dalam membangun trust menandakan tidak berjalannya mekanisme kontrol formal. Banyaknya lembaga yang dapat melakukan kontrol baik inspektorat kota, DPRD, Gubernur, kejaksaan, kepolisian, KPK, BPK, BPKP, dan ombudsman, tidak menjamin berkurangnya korupsi di Pemko Pekanbaru. Menyadari kondisi tersebut, seharusnya peran serta publik dapat menjadi alternatif permasalahan. Menitikberatkan berbagai kelompok masyarakat sebagai objek studi mengenai trust dalam paper ini dirasakan tepat karena masyarakatlah yang bisa mengukur tingkat trust terhadap pemerintah. Hanya saja kegagalan Pemko Pekanbaru untuk menciptakan trust justru tidak dikritisi secara maksimal oleh sebagian besar masyarakat di Kota Pekanbaru. Berbagai kelompok masyarakat baik media massa, lembaga swadaya masyarakat, universitas, organisasi mahasasiwa, organisasi keagamaan, dan masyarakat adat tidak mampu memaksa pemerintah menjadi akuntabel dan transparan. Sebaliknya, banyak diantara kelompok masyarakat yang terjebak untuk melakukan korupsi bersama-sama pemerintah. Berangkat dari penjelasan yang telah dipaparkan, paper ini menjelaskan bagaimana esksistensi berbagai kelompok masyarakat yang ada di Kota Pekanbaru sebagai representasi publik, dalam membangun trust di Pemko Pekanbaru.
METODE 2.1 Data Paper ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan studi kasus cocok untuk menguraikan fenomena pada konteks yang spesfik [6]. Selain itu, studi kasus dapat menguraikan secara mendalam isu-isu sensitif. Sebagai unit analisis, terdapat tujuh organisasi yang dipilih untuk merepresentasikan masyarakat di Kota Pekanbaru. Tujuh organisasi tersebut adalah Riau Pos (media massa), Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Pekanbaru (masyarakat adat), Muhammadiyah (organisasi masyarakat sipil), Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Setnas Fitra) (lembaga swadaya masyarakat/ LSM), Majelis Ulama Indonesia Kota Pekanbaru (organisasi keagamaan), Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Riau (universitas), Himpunan Mahasiswa Islam Kota Pekanbaru (organisasi mahasiswa). Ketujuh organisasi ini juga menjadi unit analisis dalam salah satu variabel yang sedang penulis kerjakan dalam penulisan disertasi mengenai pemberantasan korupsi melalui akuntabilitas formal dan informal di pemerintah daerah di Indonesia.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
149
Pengambilan data dilakukan selama empat bulan dari Januari 2015 sampai dengan April 2015. Dalam kurun waktu tersebut, data yang dikumpulkan berasal dari berbagai sumber yakni wawancara mendalam, dokumentasi, dan observasi. Secara terperinci, wawancara mendalam sebagai sumber data utama, dilakukan sebanyak 49 kali terhadap 41 orang yang berasal dari berbagai pihak. Sebagian besar informan dipilih melalui purposive sampling dimana informan adalah orang-orang yang sedang atau pernah menjabat dalam struktur elite di organisasi. Wawancara difokuskan terkait opini dan pengalaman langsung informan terhadap trust organisasi mereka kepada Pemko Pekanbaru. Adapun wawancara dilakukan secara semi struktur dalam upaya fleksibilitas terhadap informan dan menggali informasi lebih mendalam. Adapun dokumentasi difokuskan kepada pengumpulan kliping koran terkait berita korupsi di Kota Pekanbaru, rekapitulasi kasus korupsi yang dibawa pengadilan dan data bantuan sosial serta bantuan hibah Pemko Pekanbaru terhadap organisasi masyarakat dalam kurun waktu 2012 sampai 2014. Sedangkan observasi difokuskan untuk melihat interaksi tokoh-tokoh di organisasi tersebut dengan elite yang ada di Pemko Pekanbaru. 2.2.Definisi Konseptual Pada umunya, studi mengenai trust dalam organisasi dapat dianalisis dua tingkatan yakni interorganizational trust dan interpersonal trust. Interorganizational trust adalah sejauh mana seseorang dalam suatu organisasi memiliki orientasi kepercayaan secara kolektif terhadap organisasi lain [7]. Adapun interpersonal trust dapat diartikan sejauh mana seseorang percaya diri dalam, dan bersedia untuk bertindak atas dasar, kata-kata, tindakan, dan keputusan lain [8]. Kedua tingkatan trust ini digunakan dalam melihat proses interaksi Pemko Pekanbaru sebagai trustee organization dengan tujuh organisasi yang dijadikan unit analisis sebagai trustor organization sebagaimana gambar berikut 1.
Gambar 1 Indikator-indikator dalam Definisi Konseptual
Pemko Pekanbar u
1
150
2
3
4
Organisas i Publik
5
1
2
3
4
5
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Pada gambar 1 dijelaskan analisis proses interaksi organsiasi publik terhadap Pemko Pekanbaru dalam mengukur trust menggunakan lima indikator yakni (1) keterikatan hukum (tertulis/tidak tertulis), (2) sumber otoritas (legal/sosial), (3) mekanisme pertanggungjawaban (hierarkis/suka rela), (4) kontrol (langsung/ tidak langsung), dan (5) reward sanction (formal/informal). Kelima indicator ini mengadopsi Vu dan Defains yang turut menggunakan trust sebagai parameter menganalis mekanisme pertanggungjawaban pemerintah lokal di Vietnam [9]. 2.3.Validitas dan Reliabilitas Untuk meningkatkan validitas terhadap pengolahan data wawancara, maka penelitian ini memanfaatkan pengunaan software ATLAS TI dalam kodifikasi hasil wawancara. Pemanfaatan ATLAS TI diyakini efektif untuk memodifikasi kode kata dan segmen, mendapatkan kembali kapanpun data yang diinginkan, mencari kata, melakukan perubahan kebentuk dokumen yang berbeda, membangun jaringan pikiran, dan lain-lain [10]. Pengkodean wawancara, berdasarkan indikator-indikator yang telah dibuat pada gambar 1. Hal tersebut dilakukan dalam upaya membangun analisis secara absah. Adapun dalam upaya meningkatkan akurasi observasi, penulis telah membuat panduan pengamatan terlebih dahulu yang berisi catatan setiap aspek secara sistematis. Panduan dalam observasi terhadap informan mencakup perilaku terhadap bawahan, perilaku terhadap masyarakat, sikap dalam rapat, inisiatif dalam pengambilan kebijakan, dan reaksi dalam menerima pertanyaan yang kritis. Melakukan observasi melalui gesture
pada
informan
tidak jarang memberikan manfaat lebih bagi data tambahan penelitian. Dalam upaya menjaga validitas dan reliabilitas, semua sumber data yang diverifikasi dilakukan triangulasi sumber data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan hal-hal lain di luar data untuk memeriksa atau sebagai pembanding terhadap data. Triangulasi sumber data mencoba untuk membandingkan dan memeriksa tingkat kepercayaan untuk informasi yang diperoleh dengan alat dan waktu yang berbeda. Menurut Moleong, ini bisa dicapai dengan: (1) membandingkan data yang diamati dengan data dari wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang mereka katakan secara pribadi; (3) membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang ia katakan semua kali; (4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti orang biasa, orang-orang dengan pendidikan menengah atau lebih tinggi, yang memiliki orang-orang, orang-orang pemerintah; (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen terkait [11].
HASIL DAN DISKUSI Peran serta publik dalam mewujudkan trust di Pemko Pekanbaru dapat dilakukan melalui pendekatan non formal. Pendekatan non formal dapat mengambil peran strategis ketika pendekatan formal yang mengedepankan eksistensi lembaga Negara gagal untuk mengawasi praktik korupsi di Pemko Pekanbaru. Citra Pemko Pekanbaru sebagai lembaga korup selayaknya melahirkan kesadaran kolektif ditengah masyarakat untuk turut serta memaksa Walikota dan seluruh jajarannya bersikap transparan, akuntabel dan tidak terjebak untuk melakukan korupsi. Suara publik melalui LSM, masyarakat adat, ormas, organisasi keagamaan media massa,
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
151
organisasi mahasiswa dan universitas merupakan elemen penting dalam memperkuat peran masyarakat sipil dimata pemerintah daerah. Berdasarkan data Pemko Pekanbaru, tercatat sebanyak 187 LSM yang bergerak diberbagai bidang sosial kemasyarakatan ditahun 2012 [12]. Angka ini terus mengalami pertambahan dari tahun ketahun mengingat banyak LSM baru yang didirikan. Sebagian besar LSM
yang tercatat oleh Pemko Pekanbaru
bergerak dibidang sosial dan pendidikan. Menarik untuk disimak bahwasannya berdasarkan tabel, tidak banyak LSM yang memiliki konsen dibidang hukum dan politik. LSM justru lebih banyak memusatkan kegiatannya dibidang sosial atas dasar kesamaan daerah asal, suku, dan lain-lain. Akibatnya upaya peningkatan partisipasi masyarakat secara nyata dalam mengawasi pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan menjadi sulit mengingat minimnya LSM yang bergerak di kegiatan terkait. Tidak pelak, keberadaan berbagai LSM tidak menjamin terciptanya iklim kontrol publik yang kuat terhadap kinerja birokrasi Pemko Pekanbaru. Dalam konteks pemberantasan korupsi di Pemko Pekanbaru, beberapa LSM di Pekanbaru turut serta untuk melakukan pengawasan seperti Sekretariat Nasional Forum Transparansi Anggaran (Setnas FITRA), Indonesia Monitoring Development (IMD), dan lain-lain. Berbagai LSM ini terlibat aktif dalam melakukan pemantauan dan advokasi terkait transparansi anggaran di Pemko Pekanbaru. Meskipun demikian, ada juga LSM-LSM lain yang turut serta melakukan pengawasan terhadap Pemko Pekanbaru tetapi bertujuan untuk motif-motif tertentu. Salah seorang informan memaparkan:
―Saya lihat, kadang-kadang, LSM secara institusi bagus, tapi ada individunya ini yang mencederai. Datang membawa data, data itu bohong semua. Digertak-gertak akibatnya terjadi negosiasi, ketika terjadi negosiasi uangnya dari mana itu? Dari saya kan tidak mungkin, akhirnya melibatkan ini. Kalau ini diberi akibatnya menambah cost, padahal di sini tidak ada cost, darimana diambil, maka terjadilah itu (korupsi). (Wawancara MUI Kota Pekanbaru & UIN Sutan Syarif Kasim Riau, 25 Maret 2015).
Keberadaan berbagai LSM yang memanfaatkan lembaganya untuk mendapatkan uang telah dikenal sejak lama di kalangan masyarakat di Kota Pekanbaru. Seakan telah menjadi momok, LSM yang menerima uang dari pejabat dan kontraktor secara tidak resmi disebut sebagai LSM pelat merah. Fenomena LSM pelat merah di Pekanbaru terus tumbuh mengingat LSM dibenarkan untuk menerima bantuan hibah setiap tahunnya dari Pemko Pekanbaru. Berdasarkan laporan rincian dokumen pelaksanaan perubahan anggaran belanja tidak langsung Pemko Pekanbaru, total hibah yang diberikan Pemko Pekanbaru kepada berbagai LSM yang ada di Pekanbaru sebesar Rp. 41.775.500.000 (2013) dan Rp. 32,228,794,200 (2014). Besarnya anggaran bantuan Pemko Pekanbaru kepada LSM dan berbagai organisasi kemasyarakatn sebenarnya lebih diarahkan sebagai upaya meredam kritik terhadap Walikota dan pejabat birokrasi yang ada dibawahnya. Hanya saja, apabila bantuan diterima oleh LSM maka conflict of interest tidak akan terhindarkan.
152
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Kondisi inilah yang banyak terjadi pada LSM di Pekanbaru mengingat minimnya pendanaan yang dimiliki. Akibatnya banyak LSM tergoda untuk menerima bantuan dari APBD Pemko Pekanbaru sehingga dengan sendirinya independensi LSM menjadi luntur. LSM tidak berada diposisi sejajar dengan Walikota dalam melakukan pengawasannya. Sebaliknya LSM membiarkan praktik korupsi terjadi. LSM terjebak dalam kegiatan berorientasikan uang. Mereka sering mengajukan proposal bantuan kepada Pemko Pekanbaru daripada melakukan advokasi dan monitoring. Jika tidak mendapatkan bantuan resmi, LSM lebih memilih melakukan pemerasan kepada individu tertentu dipemerintahan yang diindikasikan korup. Salah seorang informan dari Kejaksaan memaparkan:
―Banyak yang seperti itu. LSM yang tidak jelas, selalu memberikan laporan tidak tahu nya mereka minta proyek. Dan itu banyak terjadi di Pekanbaru
Biasanya mereka takut-takuti suatu dinas pemerintahan, setiap hari dimuat di koran, tapi setelah mendapat proyek dari dinas tersebut diam lah dia‖ (Wawancara Kejaksaan Negeri Pekanbaru, 16 Februari 2015).
Praktik pemerasan ini disampaikan terang-terangan dengan mendatangi kantor dan menelpon pejabat yang diduga korup tadi. Hal tersebut mengindikasikan Pengawasan oleh LSM belum berjalan sebagaimana mestinya. Padahal LSM adalah aktor non formal yang diharapkan ketika masyarakat belum memiliki kemampuan dan kekuatan yang mencukupi untuk melakukan pengawasan kepada Pemko Pekanbaru. Berkaca dari hal tersebut, salah seorang informan menguraikan:
―LSM kalau yang memang serius ada faktanya segala macam, dikupas habis. Kenapa ini kadangkadang 86 (dihentikan) juga sama saja LSM. Kadang-kadang LSM yang tidak ada dicari-carinya. Harusnya kita ini, bagaimana semua lembaga yang ada, kalau pengawasan objektif, pelaksana juga seperti itu. Kalau memang itu bisa diperbaiki kedua belah pihak saya kira tidak ada masalah. Tetapi sepanjang LSM, aparat-aparat semua ikut bermain di dalam lingkaran itu semua, LSM dikasih proyek sama Pemko mungkin dia diam. Jadi kata kuncinya, sepanjang pemerintah bisa menjinakan orang-orang seperti itu, semakin parah demokrasi, itu kata kuncinya‖ (Wawancara Wakil Walikota Pekanbaru & Partai Golkar Kota Pekanbaru, 1 April 2015).
Kemitraan LSM dan pemerintah dalam suasana transaksional menegaskan LSM tidak dapat mempengaruhi dalam pencegahan korupsi yang ada di Pemko Pekanbaru. Sebaliknya LSM melakukan pembiaran dan meminta proyek dari pemerintah setiap tahunnya untuk bersama-sama menikmati korupsi. Akibatnya fungsi kontrol yang seharusnya dapat dilakukan secara kritis oleh LSM tidak mampu melahirkan kepekaan dikalangan masyarakat akan parahnya praktik korupsi yang ada di Pemko Pekanbaru. Disamping LSM, kehadiran ormas seperti NU dan Muhammadiyah seharusnya dapat berperan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal tersebut dikarekanakan ormas merupakan bagian dari gerakan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
153
masyarakat sipil. Sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil, ormas berperan penting sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Sebagai jembatan yang terletak diantara pemerintah dan masyarakat, ormas dapat melahirkan gerakan kolektif ditengah masyarakat dalam mengawal semangat antikorupsi dalam kehidupan keseharian. Salah satu ormas besar yang ada di Pekanbaru adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah merupakan ormas Islam terbesar di Pekanbaru sehingga dipilih menjadi sampel yang representative untuk mewakiliki ormas dalam riset ini. Sebagai ormas, Muhammadiyah bergerak pada tiga bidang utama yakni pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan social. Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah Pekanbaru mengelola berbagai jengang pendidikan formal dan non formal yakni Paud, TK, SD, SMP, SMU dan Universitas. Disamping itu, Muhammadiyah
juga
memiliki
beberapa
perkumpulan
mahasiswa
diantaranya
Ikatan
Mahasiswa
Muhammadiyah. Dibidang kesehatan, Muhammadiyah Pekanbaru memiliki rumah sakit yang berdiri sejak 15 Maret 2014. Dibidang kesejahteraan sosial, Muhammadiyah memiliki koperasi yang memberikan pinjaman kredit dan panti sosial yang menampung anak-anak miskin yang tidak memiliki orang tua. Tidak pelak, banyaknya lembaga yang dimiliki Muhammadiyah menjadi modal politik yang kuat mengingat banyaknya massa yang terlibat. Dalam praktiklnya, Organisasi Muhammadiyah Pekanbaru mengakui memiliki kedekatan dengan lima orang anggota DPRD Kota Pekanbaru dari Partai Amanat Nasional (PAN). Afliasi politik antara Muhammadiyah dengan Partai Amanat Nasional bukanlah hal yang tabu dan baru karena berdirinya PAN sendiri sebagai partai pada awal reformasi 1998 di Indonesia tidak lepas dari peran Muhammadiyah. Dalam konteks di Pekanbaru, dukungan kepada PAN juga terjadi dalam Pemilu. Salah seorang informan yang berasal dari pengurus Muhammadiyah Pekanbaru mengutarakan pengalamannya terkait intensitas dan suasana pertemuan yang dilakukan oleh pengurus Muhammadiyah dengan anggota terpilih DPRD Kota Pekanbaru dari PAN menjelang Pemilu 2014 yang lalu:
―Kalau sebelum jadi anggota dewan itu sering. Dalam rangka sosialisasi kita butuh mereka, mereka butuh kita. Yang kedua setelah jadi anggota dewan mereka masih tetap karena mereka itu ada yang warga muhammadiyah maupun simpatisan. Itu mereka masih tetap baik secara formal maupun non formal artinya kegiatan yang disengaja atau diundang, itu sering pertemuan itu. Kita mengajak ketika itu, cukup sering, dan malahan dalam pertemuan terakhir kemarin khusus kota Pekanbaru, mereka itu katakanlah yang berafiliasi secara moral kepada Muhammadiyah itu dari PAN ada 5 orang. Itu malahan sudah disepakai pertemuan sekali tiga bulan. Katakanlah check and balance dalam rangka memberikan masukan-masukan kepada mereka‖ (Wawancara Muhammadiyah Kota Pekanbaru, 30 Maret 2015).
Menarik disimak, statemen informan tadi yang mengatakan ―kita butuh mereka, mereka butuh kita‖ dapat dimaknai sebagai tukar menukar dukungan dalam proses politik yang terkesan pragmatis. Pemaknaan kita butuh mereka adalah adanya kesadaran dari internal pengurus Muhammadiyah di Pekanbaru untuk mengarahkan massanya agar memilih calon tertentu dalam upaya mencari dukungan politik dalam pengambilan
154
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
kebijakan dipemerintahan. Dukungan politik pemerintah kota Pekanbaru terhadap Muhammadiyah merupakan hal penting mengingat setiap tahunnya Muhammadiyah Kota Pekanbaru menerima bantuan baik bantuan sosial maupun hibah kepada berbagai kegiatannya. Pada tabel 1, terlihat Muhammadiyah mendapat bantuan keuangan secara kontinyu dari APBD Kota Pekanbaru sejak 2011 sampai 2013. Tabel 1 Realisasi Anggaran Hibah dan Bantuan Sosial Pemko Pekanbaru kepada Muhammadiyah periode 2011-2013 Aktivitas
Anggaran
2011 Belanja Hibah BOS SD Muhammadiyah 1
38,800,000
Belanja Hibah BOS SD Muhammadiyah 4
108,000,000
Belanja Hibah BOS SD Muhammadiyah 6
47,200,000
Belanja Hibah BOS SD Muhammadiyah 3
169,200,000
2012 Belanja Bansos kepada Persatuan Mahasiswa Muhammadiyah
10,000,000
Kota Pekanbaru Belanja
Bansos
kepada
Teknik
Mesin
Produksi
SMK
30,000,000
Muhammadiyah 1 Belanja Bansos kepada SMK 2 Muhammadiyah Sukajadi
30,000,000
2013 Belanja Hibah kepada KKN angkatan 3 Fak. Ilmu Komunikasi
10,000,000
Universitas Muhammadiyah Riau Belanja Hibah kepada SMP Muhammadiyah 3
25,000,000
Belanja Hibah kepada PCM (Pimpinan Cabang Muhammadiyah)
25,000,000
Kec. Rumbai Belanja Hibah kepada Tapak Suci Putera Muhammadiyah Kota
15,000,000
Pekanbaru Belanja
Hibah
kepada
Kolaborasi
Musik
Melayu
SMA
10,000,000
Belanja Hibah kepada Madrasah Aliyah Muhammadiyah untuk
20,000,000
Muhammadiyah 1
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
155
pembuatan labor IPA Belanja Hibah kepada SMP Muhammadiyah 2
10,000,000
Belanja Hibah kepada SMA Muhammadiyah 1
10,000,00
Belanja Hibah kepada Mesjid Nurul Yakin Muhammadiyah
15,000,000
SMA Muhammadiyah Pekanbaru
150,000,000
SMK Muhammadiyah 2 Pekanbaru
63,864,250
Bantuan Beasiswa S2 an. Jhony Ardan Mardan Universitas
5,000,000
Muhammadiyah Jakarta Bantuan Pendidikan S1 an. Evri Yanis Ilmu Komputer Universitas
7,000,000
Muhammadiyah Riau Bantuan Pendidikan S2 an. Darmawan Ilmu Komunikasi
10,000,000
Universitas Muhammadiyah Jakarta Bantuan Pendidikan S1 an. Melly Safitri Ilmu Komputer
7,000,000
Universitas Muhammadiyah Riau Bantuan Pendidikan S1 an. Mellisa Fitri Ilmu Komputer
7,000,000
Universitas Muhammadiyah Riau Bantuan Pendidikan S1 an. Isnaini Agustin Ekonomi Universitas
7,000,000
Muhammadiyah Riau Bantuan Pendidikan S1 an. Abdul Azis Ilmu Komputer
7,000,000
Universitas Muhammadiyah Riau Bantuan Pendidikan S2 an. Zulfahri Universitas Muhammadiyah
10,000,000
Bantuan Pendidikan S3 an. Yundri Akhyar Psikologi Universitas
15,000,000
Muhammadiyah Yogyakarta Bantuan
Pendidikan
S1
an.
Aris
Mandalito
Universitas
7,000,000
Muhammadiyah Riau Total
869,064,250 Sumber: Laporan Realisasi Anggaran BPKAD Kota Pekanbaru, 2015
Tabel 1 menjelaskan Muhammadiyah menerima bantuan sebesar Rp. 869.064.250 pada berbagai kegiatan baik organisasi maupun individu dalam kurun waktu 2011 sampai 2013. Dukungan anggaran oleh
156
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Pemko Pekanbaru memiliki arti yang besar bagi Muhammadiyah karena banyaknya kegiatan organisasi yang harus dibiayai. Hanya saja bantuan besar juga diikuti dengan kepentingan yang politis. Sebagai organisasi massa keagamaan terbesar di Kota Pekanbaru saat ini, Muhammadiyah kerap diminta dukungan suara dari kandidat yang mengikuti Pemilu atau Pemilukada. Dukungan suara tersebut sangatlah penting mengingat basis suara Muhammadiyah adalah masa yang solid. Solidnya masa Muhammadiyah dapat dilihat dari salah satu ciri gerakannya pada organisasi mahasiswanya diseluruh Indonesia yang menganut sistem komando [13]. Meskipun demikian, dukungan yang disampaikan Muhammadiyah bukanlah dukungan secara organisasi tetapi lebih dukungan secara implisit oleh pengurus dengan menyampaikan himbauan dalam pengajian, dakwah, dan rapat organisasi. Dicontohkan oleh salah seorang informan bagaimana himbauan tersebut disampailkan ke masa muhammadiyah:
―Secara moral kita mengajak warga kita. Ini ada warga kita mau jadi anggota dewan, alangkah eloknya kita pilih. Yang kedua kita juga butuh mereka itu sebagai penyembung lidah kita. Penyambung tangan, penyambung kaki, penyambung lidah, penyambung fikiran, aspirasi dan sebagainya, baik untuk kepentingan publik maupun untuk kepentingan Muhammadiyah‖ (Wawancara Muhammadiyah Kota Pekanbaru, 30 Maret 2015).
Tukar menukar dukungan yang ditampilkan Muhammadiyah bukanlah kontrak politik yang mengikat secara formal. Tidak adanya pakta integritas, dsbnya membuat hubungan yang dibangun hanya berdasarkan trust yang tinggi. Trust tersebut diyakini karena adanya ―kesamaan nilai yakni amar maruf nahi mungkar, suatu nilai dalam ajaran agama Islam yang bermakna menegakan yang baik dan menjauhkan yang buruk‖ (Wawancara Muhammadiyah Kota Pekanbaru, 30 Maret 2015). Meskipun demikian, trust tidak menjamin setiap orang yang duduk dipemerintahan baik di eksekutif maupun legislative tidak melakukan korupsi. Tidak adanya sanksi membuat muhammadiyah tidak memiliki mekanisme control yang jelas kepada pemerintah. Oleh karenanya, berbagai aktivitas di Muhammadiyah terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di Pemko Pekanbaru lebih cenderung dilakukan secara temporer seperti pertemuan dengan anggota DPRD yang berafliasi dengan Muhammadiyah dan himbauan dalam berbagai aktivitas keagamaan untuk tidak melakukan korupsi. Tidak teroganisirnya organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dalam membangun gerakan social untuk mencegah korupsi di pemko Pekanbaru juga disebabkan tidak adanya koordinasi antara organisasi keagamaan itu sendiri. Dicontohkan, MUI sebagai lembaga yang menaungi organisasi-organisasi Islam termasuk Muhammadiyah tidak pernah duduk bersama untuk membangun gerakan perlawanan terhadap korupsi. Hal tersebut sangatlah miris mengingat mayoritas penduduk Kota Pekanbaru merupakan Bergama Islam yang dapat dijangkau oleh ormas Islam. Akibatnya, visi organisasi masyarakat sipil baik berdasarkan keagamaan dan lain-lain yang bertujuan membangun gerakan berbasis pemberdayaan masyarakat secara mandiri tidak terjadi. Disamping Muhammadiyah, organisasi publik yang dapat berperan sentral dalam membangun trust ditengah masyarakat terhadap Pemko Pekanbaru adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Pekanbaru. Pertimbangan utama dimasukannya MUI sebagai aktor sentral yang merepresentasikan publik di Kota
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
157
Pekanbaru disebabkan beberapa alasan. Pertama, MUI merupakan wadah agama yang mengakomodir mayoritas penduduk di Kota Pekanbaru. Islam, sebagai agama yang dominan di Kota Pekanbaru sebesar 90%, diikuti Kristen 7,5% dan Budha 3,1% [14] mengindikasikan seharusnya suara MUI dapat berpengaruh besar ke publik. MUI seyogyanya dapat memberikan fatwa dan lain-lain kepada umat muslim untuk menjauhi praktik korupsi. Kedua, keberadaan Islam di Kota Pekanbaru merupakan elemen yang melekat dalam kultur keseharian masyarakat. Kultur melayu yang menjadi identitas masyarakat Kota Pekanbaru, sejalan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip Islam. Adigium dalam adat melayu yakni ―adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah‖, menandakan Islam adalah panduan utama dalam kehidupan keseharian. Oleh karenanya keberadaan MUI dapat menjadi lembaga yang memiiki legitimasi untuk memberikan otoritas secara sosial kepada setiap orang khususnya yang beragama Islam untuk menjalankan prinsip Islam (termasuk tidak melakukan korupsi) sekaligus tidak menanggalkan kultur melayu dalam keseharian. Dengan kata lain, fatwa-fatwa MUI dapat menjadi aturan tidak tertulis yang harus dipatuhi masyarakat. Pada faktanya, MUI Kota Pekanbaru tidak mampu menjadi corong perlawanan korupsi masyarakat terhadap pemerintah. Fatwa-fatwa MUI mengenai larangan bagi setiap individu untuk korupsi jarang disuarakan dalam berbagai kegiatan keagamaan seperti khutbah, ceramah, dan lain-lain. Jikapun ada, larangan tersebut tidak begitu diindahkan. Norma dan nilai untuk tidak melakukan rasuah seperti yang diajarkan dalam Islam dan budaya melayu, hanyalah menjadi himbauan-himbauan formalitas belaka. Salah seorang informan menguraikan dilema tersebut:
―Kalau dari segi institusi agama, ini ada MUI, MUI adalah organisasi lembaga fatwa, organisasi fatwa, fatwa itu secara agama mengikat, tapi secara sosial kultural ini tidak mengikat… Kalau agama kan ada ajaran agama halal dan haram. Kalau yang halal dikerjakan dapat pahala, kalau yang haram dikerjakan tanggung dosa. Tapi secara sosial kultural ini yang mengikat adalah aturan hukum. Jadi kalau ada kita menyampaikan tausiah pemberantasan korupsi kepada lapisan masyarakat melalui diskusi-diskusi, melalui pertemuan-pertemuan, maka yang melaksanakan tentu pihak eksekutif dan yudikatif, kita tentu hanya menyampaikan itu‖ (Wawancara MUI Kota Pekanbaru & UIN Sutan Syarif Kasim Riau, 25 Maret 2015).
Minimnya peran MUI dalam melakukan pendekatan informal masyarakat dalam membangun trust terhadap pemerintah juga tidak terlepas dari kendala ketidakmandirian MUI Kota Pekanbaru dalam aktivitas organisasinya. MUI Kota Pekanbaru diketahui menerima bantuan sosial dari Pemko Pekanbaru setiap tahunnya yakni sebesar Rp. 250.000.000 (2011), Rp. 300.000.000 (2012), dan Rp. 300.000.000 (2013). Besarnya bantuan yang diterima MUI berpengaruh terhadap independensi MUI untuk mengkritik Walikota dan jajarannya. Sebaliknya, MUI berkepentingan untuk mendukung Walikota secara implisit dalam kebijakan-kebijakan pemerintah termasuk dalam sukses Pemilukada kedepan. Meskipun dukungan MUI kepada Walikota diterjemahkan sebagai upaya pengamanan kepentingan Islam, tidak pelak kondisi tersebut menegaskan MUI Kota Pekanbaru terjebak untuk melakukan politik praktis.
158
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Berbeda dengan ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan MUI, Kota Pekanbaru juga memiliki organisasi yang merepresentasikan kultur melayu yang disebut Lembaga Adat Melayu (LAM). LAM Kota Pekanbaru berdiri ditahun 1970-an akhir sebagai wadah untuk melestarikan budaya melayu yang menjadi identitas Kota Pekanbaru. Oleh karenanya, kehadiran LAM secara sosio-kultural seharusnya dapat memberikan pengaruh yang kuat dalam kehidupan keseharian masyarakat luas termasuk didalam pemerintahan. Dalam aktivitas kesehariannya, kegiatan LAM lebih banyak berafliasi dengan pemerintahan. Hal ini dapat dijumpai pada salah satu tugas LAM yakni memberikan gelar adat Datuk Bandar Setia Amanah kepada Walikota Pekanbaru dan Datuk Muda Bandar kepada Wakil Walikota Pekanbaru. Pengunaan kata amanah dalam setiap gelar memiliki makna yang dalam yakni setiap pemimpin harus dapat dipercayai dan menjadi tauladan bagi masyarakat. Bagi pengurus LAM sendiri, pemberian gelar kepada Walikota dan Wakil Walikota dapat pula mendorong pelaksanaan nilai-nilai positif ditengah masyarakat sebagaimana penjelasan berikut:
―Pimpinan ini panutan kita, kita berikan (gelar adat). Dialah salah satu corong kita dari LAM itu untuk menyampaikan adat etika, tata krama, dan setiap pidatonya pasti dia mengajak kearah kebaikan, tidak pernah dia menjerumuskan rakyatnya untuk membuat sesuatu di luar adat, etika dan budaya yang berlaku pada masyarakat‖ (Wawancara LAM Kota Pekanbaru, 5 Maret 2015).
Meskipun pemberian gelar ini menunjukan ekspektasi yang besar kepada Walikota dan Wakil Walikota sebagai pemangku adat melayu, pemberian gelar ini hanya diberikan ketika sedang menjabat dan tidak berlaku lagi ketika tidak menjabat sebagai Walikota dan Wakil Walikota. Tidak pelak, pemberian gelar adat sarat dengan kepentingan politik semata. Argumen pemberian gelar yang sarat kepentingan politis dapat dengan mudah dijustifikasi karena gelar bisa diberikan kepada seseorang yang beretnis non-melayu. Pada konteks Kota Pekanbaru hari ini, Wakil Walikota yang berasal dari etnis non-melayu turut diberikan gelar adat oleh LAM Kota Pekanbaru. Tidak pelak, pemberian gelar oleh LAM berlaku bias karena seharusnya syarat seseorang mendapatkan gelar adalah memiliki ikatan darah sebagai etnis Melayu. Hal tersebut menegaskan adat tunduk kepada kekuasaan Walikota dan Wakil Walikota. Tunduknya adat membuat kekuasaan terpusat pada sosok Walikota dan tidak ada pihak yang melakukan kontrol. Oleh karenanya budaya paternalistik yang telah ada dibirokrasi pemerintahan meluas kedalam kehidupan sosial kultural masyarakat. Afliasi LAM kepada pemerintah semakin kuat mengingat sebagian besar pengurus LAM merupakan pejabat yang ada dibirokrasi Pemko Pekanbaru. Struktur pengurus LAM yang terdiri dari Majelis Kerapatan Adat (MKA), Majelis Kehormatan (MKH) dan Dewan Pengurus Harian (DPH) banyak diisi oleh mantan birokrat maupun birokrat aktif yang ada di Pemko Pekanbaru. Ketua Majelis Kerapatan Adat LAM Kota Pekanbaru saat ini adalah figur yang pernah memegang jabatan strategis di Pemprov Riau dan pensiun diawal tahun 2000. Majelis Kehormatan LAM adalah jabatan yang otomatis diisi oleh Walikota dan Wakil Walikota. Sedangkan Ketua Dewan Pengurus Harian dipimpn oleh seorang birokrat senior yang saat ini menjabat sebagai Asisten Administrasi Keuangan Pemko Pekanbaru. Pola pengisian pengurus LAM ini tidak terlepas dari kepentingan Walikota yang melakukan politisasi kepada LAM. Kesemua jabatan sentral yang ada di LAM
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
159
merupakan orang yang memiliki patron kepada Walikota. Sebaliknya, tokoh-tokoh dari batin yang merupakan tingkatan terendah dalam struktur masyarakat melayu tidak diakomodir dalam kepengurusan. Hal tersebut menunjukan LAM tidak lebih sebagai alat penguasa lokal untuk mendapatkan legitimasi masyarakat yang lebih besar. Terkooptasinya LAM dalam kepentingan politik Walikota dan Wakil Walikota membuat LAM tidak pernah menjalankan kontrol dalam pencegahan korupsi di Pemko Pekanbaru. Mekanisme pemberian warkah (semacam himbauan) yang telah dikenal dalam adat, tidak pernah dilakukan LAM kepada Walikota meskipun fenomena korupsi yang ada di Pemko Pekanbaru telah menjadi rahasia umum. Ketidakmampuan LAM menyampaikan keresahan masyarakat membuat aktivitas LAM hanya menjalankan seremonial adat ketika dimintai pemerintah seperti pemberian gelar adat kepada Walikota dan Wakil Walikota. Menarik disimak bahwasannya pemberian gelar adat dan perlakuan istimewa LAM kepada Walikota dan Wakil Walikota tidak diberikan secara cuma-cuma. Atas nama pelestarian budaya melayu, LAM Kota Pekanbaru menerima bantuan anggaran yang cukup besar dari Pemko Pekanbaru yakni Rp. 150.000.000 (2011), Rp. 175.000.000 (2012), Rp. 175.000.0000 (2013) dan Rp. Rp. 175.000.0000 (2014). Tidak hanya itu, Pemko Pekanbaru turut menghibahkan tanah dan membangun gedung megah tiga lantai dipusat kota untuk LAM Kota Pekanbaru seperti digambar 2. Gambar 2 Kantor LAM Kota Pekanbaru
Sumber: Pribadi
Dengan berbagai bantuan yang didapat LAM, LAM telah menjadi bagian rezim penguasa lokal. Terkadang LAM juga bersikap kontraproduktif dengan melindungi kepala daerah yang melakukan korupsi. Salah seorang informan menguraikan:
―Di masing-masing LAM, mereka (Gubernur dan Walikota) mendapat gelar namanya setia amanat. Datuk setia amanat, itu untuk kepala daerah oleh LAM. Biasanya mahasiswa selalu mendesak cabut gelar setia amanat. Apa yang muncul saat kasus yang di Riau kemarin, waktu Pak Safrizal yang tertangkap di Siak, di Pelalawan, di Kampar, mereka mengatakan ini kan tokoh kita, tokoh melayu,
160
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
kenapa kita harus menghujat tokoh-tokoh kita. Justru kita harus berikan dorongan moril, gunakan azas praduga tak bersalah. Rata-rata seperti itu semua standarnya dan itu sudah terprogram. Selalu tidak pernah kritis.‖ (Wawancara Riau Pos, 1 Februari 2015).
Ketidakkmampuan LAM untuk mencabut gelar adat Gubernur maupun Walikota yang terlibat korupsi menegaskan tidak ada sanksi informal yang berlaku dimasyarakat kepada pejabat yang melakukan korupsi. Sebaliknya, LAM sebagai institusi informal yang ada didalam masyarakat berlaku permisif dan melindungi praktik korup yang terjadi di pemerintahan. Minimnya independensi kelembagaan dan ketidakmandirian dalam pendanaan membuat LAM memiliki ketergantungan yang kuat kepada penguasa. LAM sebagai representasi kultural masyarakat hanya tampil secara simbolis semata. Berbeda dengan LSM dan organsisasi kemasyarakatan lainnya, media massa lokal memiliki akses yang lebih kuat ke publik dalam mensuarakan praktik korupsi yang ada di pemerintahan. Daris sisi historis, Perkembangan media di Pekanbaru diawali dengan berdirinya media pemerintah yakni RRI (Radio Republik Indonesia) and TVRI (Televisi Republik Indonesia), Berdirinya kedua media tsb menjadi agenda politik yang strategis bagi rezim orde baru dibawah kendali Soeharto untuk menjaga kesatuan Negara dan mencegah ancaman disintegrasi didaerah [15]. Peluang disintegrasi tsb sangatlah besar mengingat Negara Indonesia adalah Negara yang plural dengan terdiri dari ratusan etnis. Oleh karenanya, menyadari keberadaan media didaerah sebagai instrumen politik penguasa ketika itu membuat media berada pada posisi tidak independen. Adapun media swasta pertama yang berdiri dan mendapat atensi yang kuat oleh masyarakat di Pekanbaru adalah Koran Riau Pos. Berdirinya Riau Pos tidak terlepas dari sumbangan besar Pemprov Riau dimana pada awal 1990-an, Pemprov Riau memberikan satu buah mesin cetak yang merupakan sumbangan dari PT Chevron (dulu PT Caltex Pacific) kepada Riau Pos. Keberadaan mesin cetak tersebut menjadi awal berdirinya Riau Pos dengan mencetak koran harian lokal pertama sejak 17 Januari 1991. Dibawah kepemimpinan Rida K Liamsi, Riau Pos menjadi koran lokal pertama di Pekanbaru, Riau yang terbit harian sehingga diklaim sebagai koran orang riau pertama. Menurut salah seorang informan:
Memang di Riau ini agak sedikit khusus ya, orang menganggap Korannya orang Riau itu ya Riau Pos, memang itu sampai sekarang sudah terstigma oleh orang, karena Riau ini berbeda dengan Sumbar dengan Medan, Sumbar itu punya Koran bertradisi sudah puluhan tahun yang lalu ya, bahkan sebelum merdeka sumbar tu sudah punya Koran, medan punya Koran, Riau itu ada Riau Pos tahun 1991, betul-betul korannya orang Riau yang dibuat oleh orang Riau. Jadi ketika Koran Riau Pos muncul terus terang Riau Pos tidak hanya membawa ikon bisnis saja, tetapi juga membawa ikon Riau. (Wawancara Riau Pos, 25 Maret 2015).
Klaim dengan tendensi primordial tersebut mengalahkan dominasi koran-koran dari luar Pekanbaru seperti Haluan dan Singgalang dari Padang dan Analisa dari Medan yang telah hadir sebelumnya. Apalagi dominasi Riau Pos turut didukung oleh dua faktor. Pertama, dukungan pemerintah daerah setempat kepada Riau
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
161
Pos sebagai satu-satunya media lokal yang digunakan sebagai penyampai berita kepada rakyat mengenai keberhasilan pembangunan oleh pemda. Salah seorang informan menguraikan
―Pada waktu itu, pemda berkeyakinan melalui publikasi mengenai keberhasilan pembangunan didaerah oleh pemda melalui media lokal dapat memperkuat semangat membangun di daerah. Apalagi berita-berita mengenai pembangunan merupakan berita yang paling banyak diminati pembaca berdasarkan survey pelanggan Riau Pos‖ (Wawancara Riau Pos, 25 Maret 2015).
Kedua, terwujudnya kerjasama antara Riau Pos dengan jaringan koran nasional, Jawa Pos. Kerjasama tersebut meliputi bantuan liputan berita nasional dan internasional terhadap media lokal dan menginisasi percetakan jarak jauh yang memungkinkan koran Riau Pos dapat dicetak tidak hanya di Pekanbaru tapi juga bisa didaerah-daerah lain yang memiliki akses transportasi yang sulit tetapi memiliki pasar pembaca yang besar. Terobosan ini sukses dilakukan karena berhasil memangkas distribusi koran yang panjang sehingga pembaca dapat menerima koran lebih awal yakni dipagi hari. Tidak pelak, dua faktor ini membuat Riau Pos berhasil melakukan ekspansi bisnis secara besar-besaran diawal 1997. Ekspansi bisnis besar-besaran Riau Pos telah menjadi konglemerasi bisnis media lokal yang kuat di Pekanbaru khususnya dan Riau pada umumnya. Riau Pos mendirikan anak perusahaan koran baru lainnya disebagian besar kabupaten di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Beberapa koran lokal tersebut diantaranya Pekanbaru Pos, Batam Pos,Dumai Pos, Pos Metro Mandau, Pos Metro Rohil, Pos Metro Indragiri, Meranti Ekspress dan Tanjung Pinang. Pemecahan koran lokal tersebut dicermati oleh salah seorang informan sebagai berikut:
―Kalau saya positifnya satu, ya pengembangan bisnis. Menjangkau pembaca sampai ke bawah. Tapi dari segi negatifnya untuk menampung dana-dana. Ketika anak group misalnya Dumai Pos, otomatis nanti akan menyusui ke Pemdanya. Pos Metro Rohil tentu ke Pemkab Rohil. Pos Metro Inhu tentu ke Pemkab Inhu. Meranti Express tentu ke Pemda Merantinya‖ (Wawancara Riau Pos, 25 Maret 2015).
Untuk konteks Pekanbaru, Riau Pos menerima anggaran pemko sebesar Rp. 170.000.000 ditahun 2013 dan Rp. 285.000.0000 pada 2014 untuk mengontrak halaman yang berisi advetorial mengenai kebijakankebijakan Walikota (Humas Pemko Pekanbaru, 2013-2014). Disamping itu, beberapa wartawan dari Riau Pos sering diikutsertakan dengan menggunakan anggaran pemda oleh Walikota Pekanbaru ketika melakukan perjalanan dinas keluar kota Pekanbaru baik dalam negeri maupun luar negeri (Wawancara Bagian Umum dan Perlengkapan Pemko Pekanbaru, 27 January 2015). Berbagai gambaran tersebut menegaskan bisnis Riau Pos ditopang oleh jaringan yang kuat kedalam pemerintahan lokal. Kondisi tersebut adalah lumrah mengingat besaran anggaran untuk sosialisasi dan publikasi yang dimiliki Pemko Pekanbaru berjumlah besar yakni Rp. 3.294.000.000 (2013) dan Rp. 4.657.500.000 (2014).
162
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Jaringan bisnis yang dibangun Rida K Liamsi selaku pemilik Riau Pos juga berkembang ke sektor lainnya yang berdekatan dengan kekuasaan elite lokal. Pada sektor pendidikan, Rida K Liamsi memiliki Sekolah Tinggi Seni Riau yang diketahui menerima hibah berupa tanah oleh Pemprov Riau. Pada sektor kebudayaan, Rida K Liamsi turut mendirikan Yayasan Sagang yang salah satu kegiatannya adalah melaksanakan event bernama anugerah sagang, yakni pemberian penghargaan kepada budayawan yang memiliki kontribusi terhadap kemajuan budaya melayu. Anugerah Sagang diselenggarakan dengan dukungan berbagai pihak yang salah satunya dukungan finansial dari pemda. Dalam perkembanganya, salah seorang informan menjelaskan
―penyelenggaraan Anugrah Sagang lebih banyak menghasilkan keuntungan karena biaya event tersebut lebih kecil dari penerimaan yang didapat sehingga acapkali laporan pertanggungjawaban keuangan yang disampaikan tidak transparan‖ (Wawancara Riau Pos, 25 Maret 2015).
Sektor bisnis lainnya yang turut dilakukan Rida K Liamsi adalah perusahaan jasa penjualan tiket dan travel, perusahaan gas, dan lain-lain. Tidak pelak keberhasilan Rida K Liamsi dalam membangun konglemerasi bisnisnya sampai saat ini juga didorong dengan dukungan jaringan dan relasi yang baik dengan penguasa di pemda. Berbagai gambaran media lokal mulai dari radio, televisi dan koran yang ada di Pekanbaru, menunjukan kesuksesan media lokal tidak terlepas dari simboisis mutualisme antara pemilik media dengan kepala daerah. Di satu sisi, secara historis, lahirnya media lokal tidak terlepas dari kontribusi pemerintah sehingga publik beranggapan media lokal menjadi media Pemda. Anggapan tersebut tidaklah salah mengingat beberapa media seperti Riau Pos menerima bantuan anggaran dari Pemko Pekanbaru untuk publikasi setiap tahunnya seperti yang telah diuraikan tadi. Tidak hanya kepada pemilik media, Pemko Pekanbaru juga selalu memberikan bantuan kepada berbagai kegiatan wartawan seperti studi banding jurnalistik sebesar Rp. 20.000.000 (2013), hibah kepada komite nasional wartawan Indonesia sebesar Rp. 50.000.000 (2013), hibah kepada komite perlindungan wartawan Indonesia sebesar Rp. 50.000.000 (2013), hibah kepada DPD Gabungan wartawan Indonesia sebesar Rp. 60.000.000 (2013), hibah kepada panitia natal Okumene wartawan Indonesia sebesar Rp. 10.000.000 (2013). Di sisi yang lain, kepala daerah dapat memanfaatkan media untuk memberitakan keberhasilankeberhasilannya sebagai bagian pencitraan politik semata. Hal tersebut membuat media lokal acapkali dianggap tidak kritis dalam pemberitaan karena sejalan dengan kepentingan penguasa didaerah. Hal tersebut diakui salah seorang informan yang mengemukakannya redaksi sering diintervensi oleh pemilik koran ketika hendak memberitakan seorang pejabat daerah yang tersangkut kasus korupsi. Akibatnya pemberitaan mengenai korupsi sering disensor oleh pemilik perusahaan. Tidak kritisnya pemilik koran ini tidak terlepas dari kepentingan bisnis yang dimiliki bersama-sama dengan kepala daerah. Minimnya daya kritis dan tidak independennya media lokal di Pekanbaru dalam pemberitaan terhadap pemda diperparah dengan tidak berjalannya kontrol dari pihak netral seperti asosiasi wartawan dan serikat pekerja wartawan. Meskipun kepengurusan asosiasi wartawan bersifat independen, kolektif dan dipilih dalam
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
163
periode tertentu oleh wartawan-wartawan yang tergabung didalamnya, mayoritas ketua asosiasi wartawan di Pekanbaru seperti PWI dipimpin pemilik media lokal. Apalagi PWI Riau juga menerima tanah dan bangunan megah dari Pemprov Riau untuk kantor tetap sebagaimana yang terlihat digambar 3. Gambar 3 Kantor PWI Riau
Sumber: http://www.riau.go.id/home/content/2014/06/19/1803-gubri-resmikan-gedung-pwi-riau
Gambar 3 menampilkan gedung hasil bantuan Pemprov Riau terhadap PWI Riau yang diresmikan pada tahun 2014. Bantuan tersebut tidak pelak melahirkan conflict of interest terhadap independensi media. Pemberian berbagai bantuan setiap tahunnya oleh Gubernur dan Walikota dapat mempengaruhi objektifitas pemberitaan di media. Diuraikan oleh salah seorang informan bagaimana respon PWI Riau terkait pemberitaan Anas Mamun, Gubernur Provinsi Riau yang terkena kasus korupsi ditahun 2015:
―Pak Anas belum sebulan jadi Gubernur, Februari atau Maret, langsung meresmikan gedung PWI ini. Nah ketika gedung PWI ini diresmikan oleh Pak Anas dan dikasih mobiler dan lain sebagainya, Pak Anas tersangkut korupsi. kawan-kawan PWI inilah salah satunya ketika ada kritikan media soal kasus-kasus Pak Anas, langsung membuat semacam. Pernah kami komplain dulu, lalu mereka mencoba mengklarifikasi, bukan kasus korupsi ya, kasus pelecehan seksualnya duluan. Lalu mereka mantan-mantan ketua PWI, ketua PWI sekarang, serikat pekerja surat kabarnya mengadakan jumpa pers. Press release, jangan menghujat tokoh melayu, media ini sudah kebablasan, menghujat-hujat saja‖ (Wawancara Riau Pos, 25 Maret 2015). Respon asosiasi wartawan yang permisif terhadap pemberitaan korupsi salah seorang kepala daerah ini menegaskan tumpulnya media dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di pemda. Media, yang pada hakikatnya pilar kelima demokrasi menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan pemda. Sebaliknya media turut bersama-sama melanggengkan praktik korupsi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasannya media2 yang ada di Pekanbaru baik Televisi, Radio dan Koran merupakan media yang memiliki afliasi dengan
164
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
pemerintah daerah. Akibatnya, pemberitaan media cenderung samar ketika memberitakan perkara2 korupsi khususnya yang melibatkan pejabat di pemda. Aktor non-formal lainnya yang dapat memainkan fungsi pengawasan kepada Pemko Pekanbaru adalah mahasiswa. Posisi mahasiswa sebagai katalisator dalam isu pemberantasan korupsi menunjukan rekam jejak yang baik mengingat mahasiswa berperan penting dalam melahirkan reformasi di Indonesia ditahun 1998. Atas dasar hal tersebut maka mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kampus baik internal maupun eksternal seharusnya dapat memainkan peran dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Pemko Pekanbaru. Di Pekanbaru, pergerakan mahasiswa banyak dijalankan oleh organisasi mahasiswa yang telah mapan seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, dan lain-lain. Banyaknya organisasi mahasiswa tidak menjamin gerakan anti korupsi tumbuh dengan baik mengingat aksi terhadap isu mengenai korupsi hanya dilakukan pada momen-momen tertentu saja. Mahasiswa cenderung melakukan gerakan konvensional berupa aksi demonstrasi dari pada aksi yang lebih mengakar seperti pelatihan pencegahan bahaya korupsi, kampanye di media sosial, audiensi dengan DPRD dan pejabat di Pemko Pekanbaru. Kecenderungan organisasi mahasiswa di Pekanbaru untuk menyuarakan aspirasi melalui demonstrasi adalah bentuk show off mereka akan eksistensi mahasiswa diluar kampus. Hanya saja, aksi yang mengandalkan demonstrasi rawan dari agenda titipan pihak tertentu. Salah seorang informan menjelaskan:
―Memang gerakan-gerakan pragmatis seperti ini sudah sering terjadi. Artinya perbedaan pandangan, perbedaan kepentingan melibatkan kita punya misi lain. Contohnya seperti dalam gerakan itu ternyata kita tidak ikut, tidak full membantu UKP (organisasi mahasiswa) lain karena kita tahu bahwa gerakan itu gerakan yang ditunggangi karena memang biasanya beberapa teman-teman kemahasiswaan banyak gerakan kearah pragmatis.... Biasanya perkepala, satu orang 50, 100 ribu. Yg lebih tinggi itu korlapnya, bisa 500 ribu sampai 1 juta. Biasanya langsung banyak, berapa 10 juta atau 20 juta untuk berapa masa. Jadi yang membagi-bagi itu koordinator lapangan‖ (Wawancara HMI Kota Pekanbaru, 18 Maret 2015).
Tidak pelak, dorongan untuk mendapatkan uang secara mudah melalui demonstrasi membuat gerakan mahasiswa cenderung pragmatis. Pragmatisme yang tumbuh dikalangan mahasiswa tidak terlepas dari hilangnya ideologi gerakan mahasiswa yang tumbuh dalam organisasi mahasiswa itu sendiri. Beberapa organisasi mahasiswa seperti HMI tidak lagi memperjuangkan Islam sebagai falsafah organisasi sebaliknya mereka terjebak untuk berafliasi dengan kepentingan alumni HMI yang telah banyak berada diposisi strategis di pemerintahan baik di DPRD maupun eksekutif. Meskipun secara tidak kasat mata terlihat, HMI Kota Pekanbaru dan beberapa organisasi mahasiswa lainnya selalu mendapatkan bantuan anggaran dari Pemko Pekanbaru. Pada Laporan Realisasi Anggaran Pemko Pekanbaru, HMI Kota Pekanbaru turut menerima hibah sebesar Rp. 20.000.000 (2012) dan Rp. 15.000.000 (2013). Pemberian bantuan ini tidak terlepas dari kesamaan emosional bagi banyak pejabat politik lokal yang dulunya pernah terlibat sebagai aktivis diberbagai organisasi mahasiswa. Kesamaan emosional ini terus dipupuk
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
165
oleh alumni organisasi sebagai bentuk intervensi tidak langsung kepada organisasi mahasiswa mengingat hampir seluruh organisasi mahasiswa tidak memiliki pendanaan yang mandiri. Hal inilah yang menyebabkan independensi organisasi mahasiswa dihari ini cenderung terdegradasi. Di beberapa universitas lainnya yang ada di Kota Pekanbaru, organisasi mahasiswa justru pernah dilarang untuk didirikan. Salah satu contohnya adalah Universitas Abdurab yang berdiri sejak 1983 baru memiliki organisasi eksekutif mahasiswa (BEM) ditahun 2013. Hal tersebut disinyalir dilakukan pemilik universitas untuk meminimalisir ancaman dari gerakan-gerakan mahasiswa. Kehidupan mahasiswa dipisahkan dari realitas sosial politik yang berkembang disekitar sehingga mereka tidak peka dan tidak mampu berbuat sebagai agent of control, yakni peran sebagai pihak yang seharusnya mengontrol penguasa termasuk pemda. Akibatnya mereka terjebak melakukan gerakan seremonial semata. Organisasi mahasiswa juga diatur sedemikian rupa oleh pihak kampus untuk tidak kritis termasuk dengan mengintervensi pemilihan presiden mahasiswa. Rektor kampus cenderung mendukung calon-calon mahasiswa tertentu yang dianggap dapat dikendalikan. Salah seorang informan menjelaskan sebagaimana berikut: <Apa yang dilakukan kampus untuk mengintervensi pemilihan?> ―Di DO (drop out). Satu hari jelang pemilihan, saya dan tim saya dipanggil ke rektor diintervensi untuk diberhentikan dari kampus karena kebetulan terjadi kekisruhan dimana proses pemungutan suara itu tidak selesai penghitungannya. Sehingga turun langsung Wakil Rektor 3 (bidang kemahasiswaan), memimpin rapat untuk diadakan pemilihan ulang‖ (Wawancara HMI Kota Pekanbaru, 18 Maret 2015).
Tidak pelak intervensi yang berlebihan kepada mahasiswa membuat gerakan anti korupsi yang disuarakan mahasiswa tidak akan sampai ketengah masyarakat. Harapan kepada mahasiswa untuk memainkan peran dalam pengawasan di Pemko Pekanbaru menjadi semakin sulit mengingat persepsi publik terhadap fenomena organisasi mahasiswa yang melakukan demontsrasi bayaran. Akibatnya isu yang disuarakan organisasi mahasiswa tidak mendapatkan dukungan masyarakat dalam aksinya, sebaliknya menimbulkan apatisme. Ada semacam kejenuhan dimata masyarakat kepada aksi yang dilakukan mahasiswa karena tidak jarang beberapa diantaranya berakhir anarkis.
KESIMPULAN Memahami rendahnya trust dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kota Pekanbaru tidak terlepas dari massifnya korupsi dipemerintahan yang dianggap sebagai salah satu pemerintahan daerah yang terkorup di Indonesia. Korupnya pemerintahan tidak terlepas dari hegemoni kekuasaan dimana jabatan politik seperti Walikota memiliki otoritas yang kuat baik formal dan informal. Walikota adalah patron bagi birokrasi dan struktur sosial masyarakat. Dominasi yang berlebihan inilah yang menyebabkan korupsi begitu mudah terjadi. Kgagalan publik untuk membangun trust kepada Pemko Pekanbaru untuk berlaku transparan dan akuntabel sejalan dengan permasalahan kultur permisif masyarakat terhadap korupsi. Kultur melayu yang menghindari konflik antar individu membuat lemahnya kontrol publik kepada pemerintah. Menyampaikan kritik adalah tindakan yang tabu dan sebaliknya akan mendatangkan perlawanan sosial.
166
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Permasalahan yang begitu pelik dalam membangun trust kepada pemerintah juga tidak terlepas dari minimnya keterlibatan organisasi publik. Beberapa organisasi publik seperti media massa, LSM, organisasi keagamaan, masyarakat adat, organisasi mahasiswa, dan universitas tidak intens membangun kesadaran kritis ditengah masyarakat. Minimnya dukungan keuangan bagi organisasi publik membuat banyak diantara mereka yang menggantungkan kepada bantuan Pemko Pekanbaru. Setiap bantuan yang diberikan pemerintah membuat independensi organisasi publik menjadi lemah. Jikapun ada gerakan sosial oleh organisasi publik yang mengagendakan kritik kepada pemerintah justru menjadi kesempatan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sesaat. Berangkat dari permasalahan pelik yang ada, selayaknya kita memahami rendahnya trust kepada pemerintah yang dicap korup dan lain-lain disebabkan kegagalan pemerintah untuk akuntabel dan rendahnya kepedulian masyarakat sendiri. Menggantungkan perjuangan masyarakat luas kepada berbagai organisasi publik untuk membangun trust terhadap pemerintah tidak menjadi jaminan yang akan membawa perubahan yang lebih baik. Masyarakat selayaknya memahami, membangun trust tidak terlepas dari persepsi individual dan lingkungan. Oleh karenanya, setiap orang selayaknya membangun kondisi kondusif untuk membangun trust dengan tidak terjebak melakukan korupsi baik secara pribadi dan bersama-sama. Dengan terbangunnya kondisi yang kondusif maka tuntutan hadirnya trust terhadap pemerintah akan menjadi agenda yang realistis untuk direalisasikan. Hal inilah yang harus dipelihara terus menerus sehingga masyarakat Kota Pekanbaru akan selalu optimis untuk turut serta membangun trust terhadap pemerintah.
REFERENSI
Dirks, Kurt T. and Ferrin, Donald L. 2001. The Role of Trust in Organizational Settings. Organization Sciences, 12,4: 450-467. Ouchi, William G. 1980. Market, Bureaucracies, and Clans. Administrative Science Quarterly, 25,1: 129-141.
Mayer, R.C., Davis, J.H. and Schoorman, F.D. 1995. An Integrative Model of Organizational Trust. The Academy of Management Review, 20,3: 709-734.
http://monitorkorupsi.feb.ugm.ac.id/index.php/2014-12-23-06-28-43/data-kabkota
http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=64016
Cresswel, John W. 2007. Qualitative inquiry and research design. Thousand Oaks, Sage Publications Inc.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
167
Zaheer, A., and Harris, J. 2006. Interorganizational trust. In O. Shenkar, & J. Reuer, Handbook of Strategic Alliances., Sage Publications.
McAllister, D. 2003. Affect- and cognitive-based trust as foundation for interpersonal cooperation in organisations. In L. Thompson, The social Psychology of organisational behaviour. Great Britain: Psychology Press.
Vu, Thanh Tuy., and Deffains, Bruno. 2013. Formal and Informal Mechanism of Accountability in Local Governance: Towards a New Authoritarian Governance Model. Business System Review, 2,2: 330-367. doi:10.7350/BSR.V17.2013-URL:http://dx.medra.org/10.7350/BSR.V17.2013
Frieses, S. 2012. Qualitative data analysis with Atlas.ti. London, Sage Publications.
Moleong, Lexy J. 2000. Metode penelitian kualitatif. Bandung, Remaja Rosdakarya.
Kesbangpolinmas Kota Pekanbaru. 2015. Data LSM/ Ormas/ Forum/ Yayasan/ Organisasi Kota Pekanbaru., Pekanbaru.
Zenzie, Chales U. 1999. Indonesia‘s new political spectrum. Asian Survey, 39,2: 243-264.
Badan Pusat Statistik. 2009 Pekanbaru dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Pekanbaru, Indonesia.
Suryadi. 2005. Identity, media, and the margins: radio in Pekanbaru, Riau (Indonesia). Journal of Southeast Asian Studies, 36,1, 131-151. doi: 10.1017/S0022463405000068,
168
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (Studi Kebijakan Publik Pada Penyelenggaraan Pumilihan Umum di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara)
Fitri Herawati Mamonto Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado
Abstrak:
Penelitian
ini bertujuan
untuk
mendeskripsikan,
menganalisis;
dan menginterpretasikan
Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Kotamobagu pada penyelenggaraan pemilihan umum daerah di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
dengan menganalisis
profesionalitas
penyelenggara pemilukada yang dilakukan sejak proses rekruitmen, pelaksanaan tugas, hingga pertanggung jawaban. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Teknik analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan sementara dan verifikasi, pengumpulan data serta penarikan kesimpulan akhir, merupakan suatu proses siklus atau proses interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola rekruitmen untuk memilih anggota komisioner KPUD maupun anggota legislatif belum professional. Penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh KPUD Kota Kotamubagu belum menghasilkan anggota legislatif yang kredibel karena tidak didukung oleh pola rekruitmen pada partai politik untuk menghasilkan kualitas anggota legislatif Prinsip profesionalitas dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum dan pemilukada yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Kotamobagu belum berjalan sebagaimana mestinya.. Profesionalitas KPUD Kota Kotamubagu belum optimal, diakibatkan karena kurang didukung penerapan mekanisme yang sesuai peraturan. Disamping itu pola rekruitmen yang belum professional dan independensi kelembagaan KPUD Kota Kotamubagu belum sesuai dengan harapan publik.
Kata kunci: Implementasi kebijakan, profesionalitas.
Pendahuluan Institusi penyelenggara pemilu merupakan pihak yang bertanggungjawab atas terlaksananya pemilu secara adil dan lancar. Secara umum tanggungjawab penyelenggara pemilu adalah implementasi proses
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
169
pemilihan (electoral process) yang telah digariskan oleh peraturan perundang-undangan. Proses pemilihan itu meliputi tahap sebelum pemungutan suara, tahap pemungutan suara dan tahap setelah berlangsungnya pemunguatan suara. Berkaitan dengan lembaga penyelenggara pemilu, standard internasional pemilu demokratis menegaskan perlu adanya jaminan hukum, bahwa lembaga tersebut bisa bekerja independen. Independensi lembaga penyelenggara pemilu merupakan persoalan penting, karena mesin-mesin penyelenggara pemilihan umum membuat dan melaksanakan keputusan yang dapat mempengaruhi hasil pemilihan umum. Salah satu kajian tentang kebijakan publik adalah terkait dengan implementasi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan kebijakan. Dalam praktik implementasi kebijakan merupakan proses yang sangat kompleks, sering bernuansa politis dan memuat adanya intervensi kepentingan. Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang menjadi pilihan untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahannya sehubungan dengan proses pengambilan keputusan dan pelaksanaanya. Nawawi (2009:131), implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting. Dengan pemahaman lain bahwa implementasi kebijakanmerupakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. [1] Kebijakan publik sering dipahami sebagai instrument yang dipakai pemerintah untuk memecahkan masalah publik secara teknokratis. Dalam arti pemerintah menggunakan pendekatan rational choice untuk memilih alternatif terbaik guna memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat. Kebijakan publik oleh Dye (1982:12) adalah whatever governments choose to do or not to do, bahwa apapun kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit merupakan kebijakan.[2] Interpretasi kebijakan harus dimaknai dengan dua hal penting : pertama, bahwa kebijakan haruslah dilakukan oleh badan pemerintah, dan kedua, kebijakan tersebut mengandung pilihan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah (Indiahono, 2009:17). [3] Implementasi kebijakan dipahami juga sebagai suatu proses, ouput, dan outcome. Implementasi dapat dikonseptualisasikan sebagai proses karena didalamnya terjadi beberapa rangkaian aktivitas yang berkelanjutan. Sebagai contohnya, pada tahap awal setelah statute kebijakan ditetapkan, para legislator melakukan hearing dengan lembaga-lembaga terkait dengan kebijakan yang dibuat. Setelah itu aparat birokrasi menetapkan serangkaian keputusan administratif dan menetapkan rutinitas administrasi untuk melaksanakan aturan yang telah dibuat. Berikutnya dipersiapkan resources seperti uang dan sumberdaya manusia yang dibutuhkan negara untuk menjalankan kebijakan. Setelah aktivitas ini dilakukan, para legislator menjalankan pengawasan dan mempersiapkan langkah untuk mendesain kembali kebijakan sebagi respon terhadap kelemahan-kelemahan yang ditemukan pada saat implementasi (Kusumanegara,2010:98-99). [4] Kebijakan yang telah direkomendasikan pada oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Beberapa tantangan yang dihadapi oleh para implementor mempertimbangkan dampak dari beberapa fase proses kebijakan, yaitu : (a) Permasalahan dan tuntutan secara tetap didefenisikan kembali dalam proses kebijakan, (b) Para pembuat kebijakan sering mendefenisikan masalah untuk mereka yang belum mendefenisikan sendiri, (c) Program-program yang membutuhkan partisipasi
170
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
masyarakat dan antar pemerintahan bila mengandung berbagai penafsiran tentang maksud program itu sendiri. Penafsiran yang tidak konsisten tentang tujuan program sering kali tidak terpecahkan, (d) Program mungkin dapat dilaksanakan tanpa perlu mempelajari kegagalan, (e) Program sering mencerminkan kesepakatan yang dapat mudah dicapai ketimbang kepastian yang sesungguhnya, (f) Banyak program dikembangkan dan dilaksanakan tanpa mendefenisikan masalahnya secara jelas (Lane, 1993::133). [5] Dalam rangka untuk mewujudkan penyelenggaran pemerintahan yang baik dan bersih, harus pula di dukung salah satu unsur mendasar yakni profesional pegawai dalam menjalankan tugas. Osborne dan Gaebler, (1992:32) menyatakan bahwa profesionalitas ditujukan kepada kemampuan aparatur dalam memberikan pelayanan yang baik, bersih, adil, dan tepat sasaran dan tidak hanya sekedar kecocokan keahlian dengan tempat penugasan. [6] Profesionalitas merupakan suatu pekerjaan atau jabatan yang membutuhkan pelatihan yang mendalam baik di bidang seni atau ilmu pengetahuan dan biasanya lebih mengutamakan kemampuan mental daripada kemampuan fisik, seperti mengajar, ilmu mesin, penulisan, dll). Dari kata profesional tersebut melahirkan arti profesional quality, status, yang secara komprehensif memilki arti lapangan kerja tertentu yang diduduki oleh orang orang yang memilki kemampuan tertentu pula (Baxter, Joe. 1997:12). [7] Ton Bührs (2012) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan profesionalitas adalah kemampuan untuk menjalankan tugas dan menyelenggarakan pelayanan publik dengan mutu tinggi, tepat waktu, dan prosedur yang sederhana. Kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas dan fungsinya itu harus di ikuti dengan perkembangan lingkungan dimana dia bekerja. [8] Siagian (2000:163) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalitas adalah ―Keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan‖. Kemampuan seorang aparatur tidak saja jadi secara instan, tetapi perlu di bentuk melalui pendidikan dan pelatihan. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh aparatur maka memungkinkan akan kecocokan kemampuan aparatur dengan kebutuhan tugas yang diembannya. [9] Zomar, Jern Claude Garcia & Rew Khator. (1994:321).yang dimaksud dengan profesionalitas adalah: ‖kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang cepat berubah dan menjalankan tugas dan fungsinya dengan mengacu kepada visi dan nilai-nilai organisasi (control by vision dan values)‖. Dalam hal mengenai kemampuan seseorang dalam beradaptasi adalah bagaimana seseorang mampu memahami perkembangan dan menjadi kebutuhan yang terjadi secara cepat. [10] Oleh karena itu profesionalitas diukur dari segi kecepatannya dalam menjalankan fungsi dan mengacu kepada prosedur yang telah disederhanakan. Untuk mewujudkan aparatur yang profesional diperlukan political will dari pemerintah untuk melakukan perubahan besar dalam organisasi birokrasi publik agar dapat bekerja secara profesional dan responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan publik seperti halnya pada komisi pemilihan umum daerah. Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka dapat dirumuskan masalah yaitu Bagaimanakah Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Kotamobagu pada penyelenggaraan pemilihan umum daerah di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara?
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
171
Researh Methods Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menganalisis profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Kotamobagu pada penyelenggaraan pemilihan umum daerah di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara. Fokus penelitian ini yakni Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Kotamobagu pada penyelenggaraa Pemilihan Umum daerah di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara dilihat dari indikator: pola dan sistem rekruitmen, prinsip profesionalitas dan independensi kelembagaan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Informan terdiri dari Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah, Sekretaris KPUD, Wartawan, Ketua Partai, Kepala Biro Pemerintahan dan Tokoh masyarakat. Teknik analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan sementara dan verifikasi, pengumpulan data serta penarikan kesimpulan akhir, merupakan suatu proses siklus atau proses interaktif
Result And Discussion Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa implementasi Kebijakan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Kotamobagu pada penyelenggaraan pemilihan umum daerah di Kota Kotamobagu. Bahwa Profesionalitas dengan indikator: pola dan sistem rekruitmen, prinsip profesionalitas dan independensi kelembagaan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa adanya masyarakat yang meragukan soal independensi tim seleksi karena informan memiliki pemahaman berbeda-beda tentang independensi tim seleksi dan adanya kecenderungan diskriminasi dan intervensi yang terjadi pada tahapan seleksi angggota KPU. Tim seleksi yang tidak independen menghasilkan komisioner yang tidak independen dikarenakan adanya tim seleksi yang berpihak pada satu calon anggota komisioner, sehingga tim seleksi belum mengedepankan kualitas dan kapasitas serta kapabilitas yang ada. Demikian pula
ditemukan bahwa
independensi kelembagaan belum memiliki kesesuaian dengan peraturan yang berlaku. Independensi dari tim seleksi ini tidak independen karena ternyata hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tim seleksi yang ada merupakan titipan dari partai penguasa, bupati serta tokoh-tokoh masyarakat dan agama. Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa pola rekruitmen sangat menentukan dalam rangka
menciptakan profesionalitas dan independensinya KPUD KK dalam
memilih anggota komisioner KPUD
maupun anggota legislatif. Penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh KPUD yang profesional akan menghasilkan anggota legislatif yang kredibel, namun hal itu pula perlu ditunjang dengan pola rekruitmen pada partai politik yang menentukan kualitas dari anggota legislatif yang ada. Hasi penelitian ini ditemukan pula
bahwa ternyata anggota- legislatif kurang profesional dalam
mengemban tugas dan fungsinya. Faktor kualitas dan kompetensi melahirkan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya. Namun demikian masih terdapatnya kualitas anggota legislatif belum berkualitas, hal ini disebabkan partai politik lebih mengedepankan kepentingan partainya, dengan cara memperoleh suara sebanyak-banyaknya tanpa seleksi yang ketat pula.
172
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Pola rekruitmen tim seleksi seperti yang diungkapkan informan bahwa tim seleksi dalam rekruitmen yang baik akan menghasilkan komisioner yang baik pula. Hal ini berarti kalau tim seleksi itu independen maka akan menghasilkan komisioner yang independen pula. Prinsip profesionalitas pada penyelenggaraan pemilihan umum oleh KPUD Kota Kotamobagu menunjukkan bahwa profesionalitas KPUD KK belum optimal, Hal ini diakibatkan pola rekruitmen yang dilaksanakan belum sesuai harapan publik. Buki empirik ditemukan adanya dua gugatan yang dialamatkan kepada KPUD Kota Kotamobagu yakni gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang formulir C-6 dan money politic dan yang kedua gugatan ke DKPP tentang penetapan Daftar Calon Tetap calon anggota legislatif yang inkonstitusional. Berdasarkan konsep Pemilukada bahwa Pemilukada tiga fungsi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pertama, memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak bersama masyarakat di daerah sehingga ia diharapkan dapat memahami dan mewujudkan kehendak masyarakat di daerah. Kedua, melalui pemilukada diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan pada misi, visi, program serta kualitas dan integritas calon kepala daerah, yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Ketiga, pemilukada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan kontrol publik secara politik terhadap kepala daerah dan kekuatan politik yang menopangnya. Pemilukada harus dilaksanakan secara demokratis sehingga betul-betul dapat memenuhi peran dan fungsi tersebut. Pelanggaran dan kelemahan yang dapat rnenyesatkan atau merribiaskan esensi demokrasi dalarn pemilukada harus diperbaiki dan dicegah. Melihat permasalahan sengketa Pemilukada Sejak menerima pengalihan wewenang memutus perselisihan hasil pemilukada dan MA pada Oktober 2008 hingga awal 2013, tercatat melalui fenomena yang ada, sebanyak 392 perkara diregistrasi di MK. Dan angka tersebut, MK memutuskan sebanyak 45 perkana dikabulkan, 256 ditolak, 78 tidak dapat diterima, 6 perkara ditarik kembali, sedangkan 7 perkara sedang dalam proses persidangan. Putusan-putusan tersebut diambil berdasarkan persidangan yang bersifat terbuka untuk umum. Persidangan itu juga tidak hanya membuktikan penghitungan basil mana yang benar saja, tetapi selalu ada dali dan pembuktian pelanggaran-pelanggaran yang tenjadi dalam penyelenggaraan pemilukada. Sekalipun dalam derajat yang berbeda-beda, semua persidangan perkara perselisihan hasil pemilukada tersebut menunjukkan adanya pelanggaran dan kelemahan dalam penyelenggaraan pemilukada. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilukada tentu memengaruhi kualitas demokrasi, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas calon terpiiih dan penyelenggaraan pemenintahan daerah. Bentuk Pelanggaran dilihat fenomena yang berkembang pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilukada tersebut, Data menunjukkan bahwa terdapat tujuh bentuk pelanggaran dan kecurangan yang pada umumnya terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilukada. Pertama, pada tahap pendaftaran pemilih acapkali data pernilih tetap tidak valid. Ada sebagian warga yang memiliki hak pilih tidak terdaftar, ada nama yang terdaftar sebagal pemilih tetapi tidak ada orangnya, ada juga pemiiih yang terdaftar lebih dan satu. Kasus itu dapat terjadi, baik karena kelemahan sistem administrasi kependudukan dan sistem pendaftaran pemilih, maupun karena unsur kesengajaan. Jika terjadi karena unsur
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
173
kesengajaan, pelanggaran itu dilakukan oleh pihak tertentu untuk mengurangi potensi perolehan suara calon tertentu yang pada umumnya menguasai wilayah tertentu. Pelanggaran jenis ini, di samping dapat memengaruhi hasil, juga jelas merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara untuk memilih. Kedua, pada tahap awal juga terjadi pelanggaran dalam tahap verifikasi pasangan bakal calon yang menentukan pasangan mana yang lolos menjadi pasangan calon peserta pemilukada. Termasuk dalam pelanggaran jenis ini adalah memanipulasi data persyaratan bakal cabon, balk berupa syarat administratif maupun syarat dukungan, termasuk meloloskanpasangan bakal calon tertentu yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat, atau sebaliknya tidak meloloskan pasangan bakal calon tertentu yang sesungguhnya telah memenuhi semua persyaratan. Ketiga, adalah bentuk pelanggaran paling banyak didalilkan dan menjadi materi pemeriksaan persidangan di MK yaitu politik uang. Pelanggaran ini dapat terjadi di semua tahap, bahkan sebelum dimulai tahap pendaftaran pasangan bakal calon. Politik uang terjadi setidaknya dengan memanfaatkan programprogram yang dihiayai oleh anggaran negara (APBD) untuk membentuk persepsi masyarakat bahwa keberhasilan program itu adalah atas jasa orang tertentu yang akan mencalonkan din sebagai kepala daerah. Program hibah atau bantuan direkayasa sedemikian rupa agar masyarakat melihat bahwa hibah atau bantuan tersebut adalah kemurahan hati dan bakal calon tertentu. Di samping itu, pasangan cabon membenikan bantuan kepada organisasi atau kelompok masyarakat, termasuk memberikan sejumlah uang atau barang dengan permintaan untuk memilih pasangan calon tertentu. Keempat pelanggaran berupa pengerahan atau mobilisasi organisasi pemerintahan untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Mobilisasi dalam hal mi dapat terjadi terhadap pegawai pemerintahan, baik mulai dan tingkat atas bingga tingkat bawah di kelurahan atau desa, maupun mobilisasi sarana dan prasarana untuk kepentingan pemenangan pasangan calon tertentu. Tentu saja pelanggaran bentuk mi hanya dapat dilakukan oleb pasangan calon yang memiliki kekuasaan atau akses terhadap organisasi pemerintahan di daerah. Kelima, pelanggaran berupa ancaman atau intimidasi untuk memaksa warga masyarakat memilih pasangan calon tertentu. Intirnidasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan dilakukan oleh berbagai pihak. Intimidasi dapat dilakukan oleh aparat pemerintahan daerah dalam bentuk ancaman tidak akan mendapatkan layanan pemerintahan. Intimidasi juga dapat dilakukan oleh kelompok tertentu berupa ancaman kekerasan. Keenam, pelanggaran berupa pemberian hak suara oleh orang yang tidak berhak, balk di tempat pemungutan suara maupun di luar tempat pemungutan suara. Hal ini sesungguhnya sudah sulit dilakukan dengan ketatnya pengawasan baik dan pengawas, antar pasangan calon, maupun oleh masyarakat. Namun demikian untuk daerah-daerah tertentu masih terjadi meskipun dengan mudah dapat diketahui. Ketujuh, pelanggaran berupa manipulasi penghitungan hasil perolehan suara. Penghitungan suara secara bertingkat memungkinkan terjadinya manipulasi dengan mengurangi atau menambah perolehan suara calon tertentu. Model pelanggaran ini dapat dikatakan sebagai model klasik yang saat ini sudah jarang terjadi karena tuntutan ketenbukaan dan saling kontrol antar pasangan calon. Solusi alternatif pada penelitian ini setelah di intepretatif bahwa harus ada Perbaikan Sistem dalam penyelenggaraan Pemilu/Pemilukada. Berbagai bentuk pelanggaran tersebut pasti mempengaruhi kualitas demokrasi di daerah pada penyelenggaraan Pemilu. Akibatnya, kepala daerah yang terpilih sesungguhnya bukan
174
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
merupakan kehendak rakyat. Alih-alih mendapatkan pemimpin yang berkualitas dan berintegnitas, yang diperoleh justru kepala daerah yang hanya haus kekuasaan dan akan menyalahgunakan kekuasaan. Hal mi pasti berdampak pada penyelenggaraan pemenintahan daerah. Onientasi pemenintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bukan untuk rakyat di daerah tetapi untuk kekuasaan belaka. Kendati demikian, fakta tersebut tentu tidak perlu menjadi alasan untuk bersurut langkah, meninggalkan demokrasi dan otonomi kembali kepada otokrasi dan sentralisasi. Tindakan yang perlu diambil adalah melakukan perbaikan di masa mendatang, baik dan sisi electoral sistem maupun electoral process. Selain itu juga diperlukan penataan kelembagaan penyelenggara serta peningkatan kesadaran penyelenggara Pemilukada, peserta pemilukada dan warga negara agar tidak terjebak pada permainan dan pragmatisme kekuasaan yang merugikan bangsa. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari permasalahan tersebut prinsip profesionalitas pada penyelenggaraan pemilihan umum oleh KPUD Kota Kotamobagu dapat disimpulkan bahwa profesionalitas KPUD KK belum maksimal, begitupun dengan indepnedensinya diakibatkan kurang mendukungnya sistem yang ada dan pola rekruitmen yang perlu dibenahi, termasuk pada rekruitmen tim seleksi untuk menyeleksi anggota KPUD, hal ini berdasarkan pada temuan dua gugatan yang dialamatkan kepada KPUD Kota Kotamobagu yakni pertama gugatan MK tentang formulir C-6 dan money politic dan yang ke dua gugatan ke DKPP tentang penetapan DCT calon anggota legislatif yang inkonstitusional. hasil penelitian menemukan bahwa independensi kelembagaan belum memiliki kesesuaian dengan peraturan yang berlaku sehingga dari beberapa data perlu dilakukan pemecahan terhadap masalah yang ada pada KPU Kota Kotamobagu untuk menciptakan profesionalitas. Untuk memperjelas uraian dalam penelitian ini, maka dapat digambarkan kerangka konsep untuk memberikan solusi dalam membangun profesionalisme komisi pemilihan umum,
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
175
ADMINISTRASI PUBLIK
KEBIJAKAN PUBLIK
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH
PROFESIONALITAS
PRINSIP PROFESIONALITAS DAN INDEPENDENSI KELEMBAGAAN
POLA DAN SISTEM REKRUITMEN
ASAS JUJUR, ADIL DAN DEMOKRATIS Gambar 1. Kerangka Konseptual
Pada penelitian ini terbukti bahwa pola rekruitmen sangat menentukan dalam rangka menciptakan profesionalitas dan independensinya KPUD KK. Baik pola rekruitmen untuk memilih anggota komisioner KPUD maupun anggota legislatif. Penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh KPUD yang profesional otomatis akan menghasilkan anggota legislatif yang kredibel, namun hal itu pula perlu ditunjang dengan pola rekruitmen pada partai politik yang menentukan kualitas anggota legislatif. Hasil penelitian menemukan bahwa anggota legislatif, kurang profesional dan karena kompetensinya masih rendah. sehingga tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Adanya partai politik hanya melihat kepentingannya semata tanpa memperhatikan aspek pendidikan dan kompetensi anggota partai politik. Pola rekruitmen tidak dibarengi dengan pendidikan dan kompetensi yang memadai. tim seleksi seperti ungkapan informan bahwa awal yang baik akan menghasilkan akhir yang baik dan tim seleksi dalam rekruitmen yang
176
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
baik dia akan menghasilkan komisioner yang baik berarti kalau tim seleksi independen akan menghasilkan komisioner yang independen atau tim seleksi yang profesional akan menghasilkan komisioner yang professional. Prinsip profesionalitas pada penyelenggaraan pemilihan umum oleh KPUD Kota Kotamobagu dapat disimpulkan bahwa profesionalitas KPUD KK belum maksimal, diakibatkan kurang mendukungnya sistem yang ada dan pola rekruitmen yang perlu dibenahi, hal ini berdasarkan pada temuan dua gugatan yang dialamatkan kepada KPUD Kota Kotamobagu yakni pertama gugatan MK tentang formulir C-6 dan money politic dan yang ke dua gugatan ke DKPP tentang
penetapan DCT calon anggota legislatif yang
inkonstitusional.
Conclusion Profesionalitas KPUD Kota Kotamobagu pada penyelenggaraan pemilihan umum daerah di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa : 1. Pola rekruitmen untuk memilih anggota komisioner KPUD maupun anggota legislatif belum professional. Penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh KPUD Kota Kotamubagu belum menghasilkan anggota legislatif yang kredibel karena tidak idukung oleh pola rekruitmen pada partai politik untuk menghasilkan kualitas anggota legislatif 2. Prinsip profesionalitas dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum dan pemilukada yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Kotamobagu belum berjalan sebagaimana mestinya.. Pelaksanaan pemilukada terdapat konflik yang diuji lewat polemik Pilwako atau Pemilihan Walikota Kota Kotamobagu dan Penetapan DCT (daftar Calon Tetap) anggota Legislatif. Profesionalitas KPUD KK belum maksimal, diakibatkan karena kurang didukung penerapan mekanisme sesuai peraturan yang ditetapkan. Disamping itu pola rekruitmen yang belum professional. 3. Independensi kelembagaan KPUD Kota Kotamubagu belum sesuai dengan harapan publik. Adanya diskriminasi dan intervensi menunjukkan bahwa Independensi kelembagaan belum mampu menghasilkan komisioner yang kredibel dan tidak memihak.
Reference Nawawi, H.Ismail.2009. Public Policy; Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek, Putra Media Nusantara: Surabaya. Dye, Thomas R., 1982.Understanding Public Policy, Sevent edition.Englewood Cliffs, Prentice Hall, Inc. Indiahono, 2009. Monitoring dan Evaluasi. Alfabeta:Bandung. Kusumanegara, Solahuddin. 2010. Model dan Aktor dalam proses Kebijakan Publik.Gava Media, Yogyakarta
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
177
Lane, 1993. Pendekatan Implementasi Kebijakan. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung Osborne & Gaebler,1992. Reinventing Government Prentice Hall. New York. Baxter, Joe. 1997. Techniques For Effective Election Management In Elections; Perspectives on Estabilishing Democratic Practices, Geneva and New York: united Nations Departement for Development Support and Management Services. Ton Bührs (2012): Democracy's Myopia: The Search for Correction Aids, Australian Journal of Political Science, 47:3, 413-425 To link to this article: http://dx.doi.org/10.1080/10361146.2012.704349 Siagian, 2003. Filsafat Administrasi Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta Zomar, Jern Claude Garcia & Rew Khator. 1994. Public Administration in the Global Village. An Imprint – Greenwood Publishing Group, Inc., USA, h. 55.
178
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Lahir Procot Pulang Bawa Akta: Inovasi Layanan Publik sebagai Pemenuhan Hak Anak di Kabupaten Banyuwangi
Lina Miftahul Jannah Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia [email protected] Telepon +6285370833170
Abstrak: Akta kelahiran adalah sebuah dokumen yang penting bagi seorang anak karena termasuk hak dasar anak. Selama ini, proses pengurusan Akta Kelahiran dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kabupaten/Kota dan dianggap sulit dan mahal. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah mewujudkan inovasi layanan publik dalam pemenuhan hak dasar anak melalui Program Lahir Procot Pulang Bawa Akta. Melalui inovasi ini, layanan pengurusan akta kelahiran menjadi cepat, mudah, dan efisien karena melibatkan seluruh Puskesmas, rumah sakit pemerintah, dan rumah sakit swasta yang telah bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten. Metode kajian ini menggunakan studi dokumen, wawancara mendalam, dan pengamatan.
Kata kunci: inovasi, akta kelahiran, layanan publik, hak anak
Pendahuluan “Baru 50% dari 83 juta anak Indonesia memiliki Akta Kelahiran” (kompas.com, 6 Juli 2015). UNICEF (United Nations Children's Fund) menyatakan bahwa “Indonesia termasuk salah satu dari 20 negara yang cakupan pencatatan kelahirannya paling rendah, dan keadaan di daerah pedesaan lebih buruk daripada di perkotaan. Kesenjangan ini termasuk yang tertinggi di dunia.” (unicef.org, 18 Desember 2008) Pernyataan ini membuat banyak pertanyaan muncul. Apa penyebabnya? Keluhan akan lamanya waktu pengurusan seperti yang terjadi di Kota Depok (republika.co.id, 26 Juni 2015) hingga keluhan biaya (lampung.tribunnews, 17 Oktober 2012) acapkali membuat orangtua menomorduakan pengurusannya. UNICEF mencatat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya cakupan pencatatan kelahiran, mulai dari kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan kelahiran, biaya yang tinggi untuk pencatatan, prosedur yang sulit, serta kurangnya akses terhadap pelayanan pencatatan yang biasanya berada di tingkat kabupaten/kota. (unicef.org, 18 Desember 2008)
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
179
Padahal, pencatatan kelahiran, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk akta kelahiran, menurut UNICEF merupakan hak asasi manusia yang mendasar. Fungsinya yang utama adalah untuk melindungi hak anak menyangkut identitasnya. Sejak otonomi daerah digulirkan pada tahun 1999, setiap daerah memiliki tanggapan dan reaksi yang berbeda. Ada yang berjalan perlahan dan hanya menjalankan kebijakan yang sudah berjalan saja, namun ada pula yang mencoba berkreasi dengan melakukan inovasi di seputar pelayanan publik. Pemerintah daerah berusaha memberikan respon atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat di daerahnya. Pemerintah Daerah cenderung fokus untuk melakukan banyak inovasi pada bidang yang mendatangkan investasi atau penanaman modal dengan cara menyederhanakan proses perizinan atau membuat pelayanan terpadu satu pintu. Dengan tujuan agar investor tertarik karena proses perizinan nya lebih mudah, murah, dan cepat. Pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan –termasuk pencatatan kelahiran- seringkali dianggap tidak menguntungkan karena tidak dipungut biaya. Hanya sedikit kabupaten/kota yang memberikan perhatian lebih pada inovasi pelayanan dokumen kependudukan. Sejak tahun 2008, 129 Desa dan 9 Kelurahan di Kabupaten Kudus telah mampu memberikan pelayanan cepat. Prosesnya hanya 4–5 menit, mudah, dan gratis. Pada tahun 2010, penduduk yang memiliki KTP mencapai 99 persen (menpan.go.id, 7 April 2014) Dari Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia pada 2014 misalnya, hanya satu daerah yaitu Kota Surakarta yang melakukan inovasi terkait dokumen kependudukan. Kota ini mengusung Kartu Insentif Anak dan Sistem Relasi Pencatatan Kelahiran sebagai Langkah Cerdas Meningkatkan Manfaat Kepemilikan Akta Kelahiran. Pada 2015, Kabupaten Banyuwangi memperoleh Penghargaan Inovasi Pelayanan Publik 2015 untuk Program Lahir Procot Pulang Bawa Akta (LPPBA). Program ini mampu membawa perubahan yang signifikan terhadap kepemilikan akta kelahiran. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam melaksanakan inovasi layanan akta kelahiran anak yang terintegrasi dengan layanan kependudukan lainnya, kendala yang dihadapinya, dan peluang program ini kedepannya.
Akta Kelahiran dan Inovasi Pelayanan Publik 2.1. Dasar Hukum Penandatanganan Magna Charta pada tahun 1215 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948 tentang pernyataan umum hak-hak asasi manusia menggambarkan bahwa hak asasi manusia bukan hanya ada di atas kertas. Penggunaan istilah hak asasi, human rights (dalam bahasa Inggris), atau Droit L'Homme (dalam bahasa Prancis) jelas memberi keyakinan bahwa ini adalah tidak dapat ditawar dan bersifat mendasar. Levin (1987: 3) menyebutkan bahwa konsep hak asasi manusia memiliki dua pengertian dasar, yaitu : Hak asasi manusia tidak bisa dipisahkan dan dicabut dari setiap manusia dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia (Natural Rights), dan Hak asasi manusia adalah hak-hak menurut hukum, yang dibuat melalui proses pembentukan hukum dari
180
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun secara internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga negara, yang tunduk kepada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar dari arti yang pertama. Anak adalah unsur yang cukup rentan dalam perlindungan atas haknya dibandingkan dengan orang dewasa karena selain fisiknya lebih lemah, juga belum memiliki kecakapan hukum Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Pasal 6 ayat (1) Konvensi Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa ―… tiap-tiap anak mempunyai hak yang melekat atas kehidupannya‖ dan dalam Pasal 7 ayat (1) dinyatakan dengan tegas bahwa ‖anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran dan harus mempunyai hak sejak lahir atas suatu nama, hak untuk memperoleh kewarganegaraan…‖ artinya identitas diri seseorang dimulai ketika dilahirkan dan dengan adanya akta kelahiran maka hak-hak kewarganegaraannya dilindungi. Di Indonesia, hak anak dalam kaitannya dengan akta kelahiran diatur dalam beberapa kebijakan. Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa ―Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.‖ Kewajiban untuk mencatatkan kelahiran telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Pengaturan tentang identitas anak diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UU PA). Pasal 27 ayat (1) UU Adminduk menyebutkan bahwa setiap kehadiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Pasal 27 UU PA menyebutkan bahwa (1) Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak kelahirannya, dan (2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran. Walaupun membicarakan masalah hukum yang sama, namun kedua Undang-Undang ini dianggap bertentangan. UU Adminduk memberlakukan stelsel aktif bagi penduduk sedangkan UU PA memberlakukan stelsel pasif bagi penduduk. Peraturan lainnya yang tidak menyatakan secara khusus tentang hak anak, namun terkait dengan akta kelahiran adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinanyang menyatakan dalam Pasal 55 ayat (1) bahwa ―Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.‖
2.2. Mengapa Akta kelahiran Beberapa tahun yang lalu publik Amerika Serikat (AS) dihebohkan dengan pernyataan kontroversi dari lawan politik Barack Obama yang meragukan keamerikaannya karena kemungkinan Obama lahir di kampung halaman ayahnya. Padahal konstitusi AS mewajibkan seorang presiden harus dilahirkan sebagai warga negara Amerika. Untuk meredam isu ini, pihak Obama merilis sebuah dokumen resmi negara bagian Hawaii yang
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
181
disebut ―sertifikat kelahiran. (Corsi, 2011) Birth certificate atau akta kelahiran menurut UNICEF adalah pencatatan resmi kelahiran anak dengan beberapa tingkat administrasi negara dan dikoordinasikan oleh suatu cabang khusus dari pemerintah. Ini adalah catatan permanen dan resmi keberadaan seorang anak. Akta kelahiran merupakan dokumen yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu yang berwenang yang telah ditugaskan berdasarkan peraturan yang berlaku berupa pernyataan atau pengakuan resmi orang tua akan anaknya terhadap negara Akta kelahiran berlaku seumur hidup bagi pemiliknya (Fulthoni dkk, 2009:13). Ini jelas berbeda dengan Bukti Lahir yang berlaku hanya pada periode tertentu. Selembar kertas penting ini selain memiliki fungsi utama sebagai bukti awal kewarganegaraan dan identitas diri pertama yang dimiliki seorang anak (Srinurbayanti, et. All, 2002: 20) juga memiliki fungsi lain. UNICEF (2002: 4-6) menyebutkan bahwa Akta Kelahiran menjadi sesuatu yang penting bagi seorang anak karena: Hak atas pendidikan dan kesehatan Akta Kelahiran digunakan untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan. Hak untuk sebuah lingkungan keluarga Akta kelahiran sebagai sistem pendaftaran kelahiran yang komprehensif dapat melindungi anak-anak terhadap perubahan identitas mereka, seperti perubahan nama atau pemalsuan ikatan keluarga. Ini terkait dengan hubungan hukum antara anak dan orangtua. Perlindungan terhadap eksploitasi dan pelecehan Akta kelahiran juga dapat memberikan perlindungan terhadap bentuk-bentuk lain kekerasan terhadap anak dan eksploitasi seperti perkawinan dini, perekrutan militer dan partisipasi dalam konflik bersenjata Keadilan juvenile Akta kelahiran dapat melindungi mereka dari penuntutan sebagai orang dewasa dan memastikan bahwa mereka menerima perlindungan hukum khusus bagi remaja Manfaat partisipasi negara dan partisipasi dalam masyarakat Akta kelahiran juga diperlukan untuk mendapatkan paspor, pernikahan atau Surat Izin Mengemudi, untuk membuka rekening bank, untuk mengajukan permohonan dan lapangan kerja formal dan untuk warisan. Akta kelahiran juga diperlukan untuk mendapatkan tunjangan keluarga, jaminan sosial, asuransi kredit dan pensiun Selain bagi individu, pencatatan kelahiran merupakan hal yang juga bagi negara. Dengan tertibnya administrasi kelahiran maka dapat diketahui dengan pasti persentase pertambahan penduduk setiap tahunnya. Tentu, hal ini akan membantu pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang berhubungan dengan masalah kependudukan.
182
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Hasil dan Pembahasan Sebenarnya konsep inovasi bukanlah konsep yang baru. Pada tahun 1969, Caiden telah menuliskan bahwa inovasi adalah bagian dari reformasi administrasi (Caiden, 1969) Akan tetapi, jika dikaitkan dengan pelayanan publik, agaknya konsep ini masih kurang populer. untuk melaksanakan pelayanan publik, birokrasi menjalankan aturan yang telah ditetapkan (rule driven dan ini sejalan dengan pemikiran Weber, bahwa birokrasi memerlukan aturan yang jelas, hirarki, spesialisasi dan lingkungan yang relatif stabil. Dalam konteks ini, inovasi dipandang tidak banyak diperlukan bagi aparatur birokrasi pemerintah (Kelman, 2005). Konsep inovasi dalam pelayanan publik baru muncul ke permukaan pada saat era New Public Management yang mengedepankan hasil, partisipasi, berorientasi pelanggan, digerakan oleh misi, dan desentralisasi. Konsep inovasi bahkan kemudian dapat disebut sebagai jantungnya pelayanan publik karena tanpa inovasi pelayanan publik cenderung jalan di tempat dan akan ditinggalkan para pelanggannya. Bagaimana kabupaten dengan luas wilayah tidak lebih dari 6 ribu kilometer persegi melakukan inovasi? 3.1. Program LPPBA Kabupaten Banyuwangi terletak di ujung timur Pulau Jawa melakukan banyak inovasi yang pada akhirnya
melahirkan banyak penghargaan-penghargaan. Selama tahun 2014 hingga 2015, kabupaten ini
minimal telah memperoleh 20 penghargaan, salah satunya adalah Inovasi Pelayanan Publik 2015 untuk Program LPBBA dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB). LPBBA merupakan pelaksanaan Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 42 Tahun 2013 tentang Pelayanan Pengurusan Akta Kelahiran Secara Online di Kabupaten Banyuwangi yang ditetapkan tanggal 14 Nopember 2013. Istilah lahir procot artinya sesaat setelah meninggalkan sarana kesehatan paska persalinan, orang tua bayi dapat membawa pulang akta kelahiran sang bayi saat keluar dari lokasi persalinan. Seluruh Puskesmas di Banyuwangi yang berjumlah 45 unit, dua rumah sakit pemerintah, dan lima RS swasta yang telah bekerja sama dengan pemerintah kabupaten telah terlibat dari LPPBA. Program ini dikhususkan untuk usia bayi 1-2 hari, sedangkan untuk bayi usia 3-60 hari pengurusan dilakukan melalui kecamatan. Semua pelayanan berbasis daring (online). Menurut Bupati Banyuwangi, Program LPPBA nantinya akan diteruskan dan perluas sampai ke bidanbidan dengan sistem teknologi informasi dalam kerangka Banyuwangi Digital Society. Pelaksanaan program ini juga bekerjasama dengan PT Pos Indonesia cabang Banyuwangi. Akte Kelahiran yang telah selesai dibuat diantarkan petugas PT Pos Banyuwangi ke alamat yang dituju. Prosesnya cukup mudah yaitu masyarakat mengajukan berkas persyaratan kepada petugas verifikasi dan operator di sarana kesehatan. Berkas ini kemudian akan diverifikasi oleh petugas tersebut. Setelah dinyatakan lengkap dan sahih kemudian dipindai dan diunggah pada aplikasi Sistem Informasi Akta Online http://dispenduk.banyuwangikab.go.id/akta. Selasai pada tahap ini kemudian salinan dijital dari berkas ini dikirim ke petugas operator pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) dengan sistem daring.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
183
Masyarakat membawa berkas kepada petugas verifikasi dan operator di sarana persalinan (puskesmas atau rumah sakit)
Petugas melakukan verifikasi
Petugas memindai dan mengunggah berkas lengkap dan sahih melalui aplikasi Sistem Informasi Akta Online
Petugas Disdukcapil bagian Akta Kelahiran akan melakukan prose hingga mencetak akta kelahiran
Pengiriman Akta Kelahiran dan KK via PT Pos
Petugas Disdukcapil bagian Kartu Keluarga (KK) akan melakukan proses hingga mencetak KK
Gambar 1 - Proses Pembuatan Akta Kelahiran melalui LPPBA Sumber: diolah sendiri Penerapan program LPPBA ini pun cukup murah
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tidak
menyediakan alokasi anggaran khusus dalam mendukung inovasi. Program hanya menggunakan sarana prasarana yang sudah ada di Puskesmas, kecamatan, rumah sakit maupun Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Yang disiapkan hanyalah aplikasi sistem Sejak diluncurkannya program LPPBA ini
terdapat kenaikan signifikan. Dari 14.517 akta yang
diterbitkan pada tahun 2013 menjadi 21.331 akta pada tahun 2014 atau terjadi kenaikan sebesar 46,9 %. Sampai April 2015, layanan LPPBA ini sudah menerbitkan 15,675 lembar akta kelahiran.
Gambar 1 – Sistem Informasi Akta Online Kabupaten Banyuwangi Sumber: koleksi pribadi, 2015
Target program LPPBA ini tidak sekedar memperbaiki prosedur pelayanan, mempermudah, mempercepat dan gratis, mengurangi calo, dan menertibkan administrasi kependudukan, namun lebih dari itu yaitu menjamin hak dasar kependudukan warga negara, dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya akta kelahiran. Selama ini, di banyak daerah pengurusan dokumen kependudukan masih dipusatkan di Disdukcapil
184
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
yang notabene ada di pusat kota/kabupaten. Hal ini menyebabkan penduduk yang tinggal di desa-desa terpencil dan pulau-pulau yang jauh akan mengeluarkan biaya transportasi yang besar jika mau mengurus. Inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa masyarakat enggan mengurus dokumen ini. Ditambah lagi, karena ketidaklengkapan informasi yang diperoleh, masyarakat harus bolak-balik ke Disdukcapil karena ketidaklengkapan syarat yang dimiliki. Inovasi yang dilakukan di Kabupaten Banyuwangi telah menyederhanakan proses yang ada karena masyarakat hanya perlu berurusan dengan operator yang ada di sarana kesehatan. Selain Akta Kelahiran, dokumen kependudukan lainnya yaitu Kartu Keluarga baru pun akan didapatkan masyarakat karena sistem pencatatan kependudukan dilakukan secara terpadu. Layanan ini disebut two in one. Tidak ada biaya yang dikenakan untuk pengurusan Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga ini. Syaratnya pun sederhana, yaitu Kartu Tanda Penduduk kedua orang tua, surat nikah, dan calon nama bayi.
3.2. Kendala dalam Pelaksanaan Program LPPBA Pelaksanaan program LPPBA bukan tidak tanpa kendala. Dari hasil wawancara yang dilakukan di Disdukcapil Kabupaten Banyuwangi diperoleh beberapa kendala. Pertama, pemberkasan yang sudah sederhana seringkali terhalang latar budaya masyarakat Jawa. Penamaan anak biasanya dilakukan pada hari ketujuh setelah anak dilahirkan. Padahal, salah satu syarat untuk mengikuti LPPBA adalah adanya nama anak. Bagi orangtua yang belum mengetahui jenis kelamin anak sebelumnya, maka harus menyediakan dua nama yaitu untuk anak laki-laki dan untuk anak perempuan. Bagi sebagian masyarakat Jawa yang patuh, program LPBBA tidak sesuai dengan adat Jawa. Kedua, masyarakat masih memilih untuk melakukan persalinan secara tradisional, yaitu dengan bantuan dukun bayi. Saat ini, program LPBBA baru bekerjasama dengan sarana kesehatan formal yaitu puskesmas dan rumah sakit. Sementara ini, jika masyarakat memilih untuk melakukan persalinan di bidan, maka petugas yang membantu persalinan dapat membawa berkas pengurusan akta kelahiran ke puskesmas terdekat. Tentu saja, ini memerlukan biaya tambahan untuk transportasi petugas. Terkait hal ini, maka harus dilakukan sosialisasi dan penyuluhan agar persalinan dilakukan di sarana kesehatan formal agar mencegah terjadinya risiko tinggi saat persalinan.. Ketiga, kurang lancarnya jaringan internet. Program LPPBA ini berbasis daring, sehingga membutuhkan sarana jaringan internet yang baik. Tidak lancarnya akses internet akan mengakibatkan proses penyelesaian akta kelahiran (dan Kartu Keluarga) secara tepat waktu akan terhambat. Selain itu, kondisi listrik yang tidak stabil juga akan memberikan dampak yang sama. Saat ini, belum semua daerah di Kabupaten Banyuwangi mendapatkan akses internet yang baik dan listrik yang stabil. Keempat, selain jaringan internet, program ini juga memerlukan petugas yang memiliki kepiawaian menggunakan komputer dan internet. Petugas yang piawai ini bukan hanya pada tataran Disdukcapil, namun juga pada tingkat sarana kesehatan. Salah satu masalah terbesar adalah saat ini Disdukcapil memiliki pegawai yang terbatas jumlahnya. Pegawai ini dituntut ketelitian yang tinggi karena terkait dengan dokumen kependudukan. Tidak boleh ada kesalahan tulis sama sekali. Padahal, program two in one Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga harus dilakukan secara serial. Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Baru tidak dapat
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
185
dilakukan karena adanya moratorium penerimaan CPNS. Saat ini,jika ada pegawai sakit dan yang bersangkutan tidak dapat bekerja, maka proses penyelesaian akta kelahiran menjadi terhambat. Kelima, penyediaan blangko akta kelahiran dan mesin cetak yang memiliki kualitas baik. Blangko harus selalu tersedia dan penyediaan ini terkait dengan pengadaan barang. Untuk itu perencanaan kebutuhan blangko akta kelahiran harus dilakukan dengan baik. Mesin cetak juga harus menggunakan tinta yang baik karena dokumen ini berlaku untuk seumur hidup, sehingga tidak boleh luntur. Terakhir, sistem pengarsipan belum berjalan dengan baik. Walaupun sistem daring telah digunakan untuk proses penyelesaian akta kelahiran, namun pemerintah tetap menyimpan salinan cetaknya. Padahal, tempat penyimpanan belum tersedia memadai, belum sesuai dengan standar penyimpanan arsip. Petugas penyimpanan data atau arsiparis pun belum ada. Saat dilakukan pengamatan, hanya ada beberapa tenaga-tenaga honorer dari sarjana baru lulus dan dibayar jauh dibawah Upah Minimum Kabupaten (hanya tiga ratus ribu perbulan).
3.3.Peluang LPPBA Tentu saja, program inovatif ini menjanjikan untuk pengembangan di kemudian hari. Pertama, program ini dapat direplikasi oleh wilayah lain terutama daerah-daerah yang sulit jauh dari jangkauan. Menurut Tjiptono (1997: 125) salah satu kunci untuk memberikan pelayanan pelang- gan yang unggul adalah pemerintah sebagai subyek pelayanan
publik harus dapat memprioritaskan pada kepuasan masyarakat sebagai obyek pelayanan, sehingga dapat memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan. Akta Kelahiran (dan Kartu Keluarga) adalah kebutuhan masyarakat akan dokumen kependudukan selain Kartu Tanda Penduduk. Bahkan Akta Kelahiran adalah identitas awal setiap penduduk. Yang perlu disiapkan di antaranya adalah aplikasi sistem,
sarana komputer dan perlengkapan
pendukungnya, jaringan internet, dan sumber daya manusia yang akan menjadi operator. Terkait dengan hal ini, sebenarnya Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2010 telah membuat Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) dan Mobile Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK). Program yang pembiayaannya bersumber pada dana Universal Service Obligation.3 Hanya saja saat ini program PLIK dan MPLIK sedang dievaluasi pelaksanaannya. Kedua, sistem daring yang saat ini digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi nantinya diharapkan dapat terkoneksi dengan sistem administrasi kependudukan yang dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri). Saat ini sistem yang ada masih belum terkoneksi dengan baik. Sistem yang ada di Kemdagri tidak dapat memfasilitasi kebutuhan daerah untuk program LPPBA. Jika semua sistem sudah terkoneksi, maka basis data kependudukan akan lebih baik dan pemerintah dapat melakukan perencanaan nasional dengan lebih
3
Universal Service Obligation adalah dana kontribusi dari para penyelenggara layanan telekomunikasi (operator) sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor penyelenggaraan telekomunikasi
186
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
holistik. Ketiga, Pemerintah telah mendorong inovasi dilakukan oleh daerah. Dalam Penjelasan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa tersebut. Untuk itu maka diperlukan adanya perlindungan terhadap kegiatan yang bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di daerah dalam memajukan daerahnya. Perlu diperhatikan, bahwa inovasi yang dilakukan oleh daerah harus memperhatikan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan sistem pemillihan kepala daerah langsung, masyarakat didorong untuk memilih kepala daerah yang mendukung program pro kebutuhan rakyat.
Penutup Dokumen kependudukan adalah hal penting. Untuk itu harus dikelola secara profesional Perlunya sinkronisasi kebijakan tentang siapa yang harus bertanggungjawab atas pencataan kelahiran. Tidak perlu mempertentangkan stelsel aktif atau stelsel pasif terkait akta kelahiran. Kedua belah pihak, baik orangtua maupun pemerintah, memiliki tanggungjawab yang sama. Inovasi pelayanan akta kelahiran di Kabupaten Bayuwangi dapat diadopsi juga oleh Pemerintah Daerah yang lainnya. yang penting adalah adanya komitmen dan konsistensi dari Kepala Daerah, koordinasi antarinstansi, pelayanan prima, kerja sama dan kemitraan dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Daftar Rujukan
Caiden. G. 1969. Administrative Reform. Chicago: Aldine Publishing Co. Corsi, J.R. 2011. Where's The Birth Certificate?: The Case That Barack Obama Is Not Eligible To Be President, Washington DC: WND Books,. Fulthoni dkk. 2009.
Buku Saku Untuk Kebebasan Beragama: Memahami Kebijakan Administrasi
Kependudukan. Jakarta: The Indonesian Legal Resources Center (ILRC). Kelman, S. 2005. Unleashing Change: A Study of Organizational Renewal in Government. Washington DC: Brookings Institution.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2014. Top 99 Inovasi Pelayanan Publik di Indonesia. Jakarta. Levin, L. (Terj. NY. Nartomo). 1987. Hak-hak Asasi manusia, Tanya Jawab. Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita. UNICEF. 2002. Birth Registration Right From The Start. Italy: United Nations Children‘s Fund The Innocenti Research Center.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
187
Tjiptono, Fandy. 1997. Prinsip-prinsip Total Quality Service. Yogyakarta, Andi Offset http://www.menpan.go.id/cerita-sukses-rb/2394-inovasi-pelayanan-ktp-di-kabupaten-kudus. http://nasional.kompas.com/read/2015/07/06/0652345/Baru.40.Juta.Anak.Punya.Akta.Kelahiran.Kemensos.Aka n.Bantu.Panti.Asuhan. http://www.unicef.org/indonesia/id/Renstra_pencatatan_Kelahiran_2011_(bhs_Indonesia).pdf. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/15/06/26/nqj7fl-dukcapil-depok-dimintatak-bohongi-warga-soal-akta-kelahiran http://lampung.tribunnews.com/2012/10/17/kenapa-buat-akte-kelahiran-anak-susah-sekali
188
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Reformasi Birokrasi Pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Rizki Pratiwi, Endang Sutarti Mardiana, Arsid Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung Email : [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak: Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 banyak hal yang harus dipersiapkan oleh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif. Berdasarkan Laporan Doing Bussiness yang dibuat IFC Tahun 2014 Sejauh ini Jakarta yang merupakan representasi Indonesia dimata internasional masih berada di peringkat 120 dari 189 negara dalam aspek kemudahan berusaha (doing bussiness). Sedangkan dalam aspek kemudahan memulai usaha (starting a bussiness) Indonesia berada pada peringkat 175 atau menurun 9 peringkat dari tahun 2013 dimana pada tahun tersebut Indonesia menduduki peringkat 166. Menurunnya peringkat dalam aspek kemudahan berusaha, menunjukkan masih rumitnya birokrasi perizinan di Provinsi DKI Jakarta. Maka reformasi birokrasi dalam hal perizinan adalah hal mutlak yang harus segera dilakukan guna meningkatkan kualitas pelayanan publik. Penelitian ini menganalisis usahausaha apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam upaya melakukan Reformasi Birokrasi pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Kategori : Ilmu Administrasi Publik Kata kunci : Reformasi Birokrasi, Pelayanan Publik.
Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masyarakat Ekonomi ASEAN (Selanjutnya disebut MEA) akan segera diluncurkan akhir tahun 2015 ini. Menghadapi MEA 2015 banyak hal yang harus dipersiapkan. Salah satu diantaranya adalah peningkatan kualitas pelayanan publik. Hal ini menjadi penting mengingat persaingan yang akan dihadapi dalam MEA nanti bukan lagi dalam skala nasional tapi skala ASEAN. Itu artinya baik buruknya kualitas pelayanan publik akan menjadi salah satu faktor yang menentukan apakah negara tersebut akan menang atau kalah dalam persaingan MEA dengan negara-negara ASEAN lainnya.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
189
Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus representasi Indonesia di mata internasional bisa dikatakan memiliki beban yang cukup berat dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sejauh ini, iklim investasi di Jakarta dinilai masih belum kondusif. Laporan Doing Business yang dibuat IFC tahun 2014 menyatakan dalam aspek kemudahan berusaha (Doing a Business) Indonesia berada di peringkat 120 dari 189 negara. Sedangkan dalam aspek kemudahan berusaha (starting a business) Indonesia mengalami penurunan peringkat dari tahun sebelumnya. Yaitu dari peringkat 166 menjadi peringkat 175. Rendahnya perolehan peringkat tersebut dikarenakan masih rumitnya birokrasi perijinan yang dilaksanakan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta pun terus melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik terutama dalam hal pelayanan perizinan. Mulai dari pembentukan BPTSP hingga melakukan berbagai macam terobosan baru demi terwujudnya reformasi birokrasi pada BPTSP. Penelitian ini akan mencoba membahas upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta tersebut.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalahnya adalah : Upaya – upaya apa saja yang telah dilakukan BPTSP Pemerintah DKI Jakarta dalam mewujudkan reformasi birokrasi perizinan?
1.3. Tujuan Adapun tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta dalam mewujudkan reformasi birokrasi pada BPTSP DKI Jakarta.
METODE PENELITIAN 1.4. Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini penelitian tidak ditujukan untuk mengukur kekuatan dan arah hubungan antar variable, namun lebih ditujukan untuk mendeskripsikan situasi, fenomena (fenomenologi), keadaan, dan proses. Pendekatan dalam penelitian kualitatif ini juga disebut pendekatan investigasi karena peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian (McMillan & Schumacher, 2003). Penelitian kualitatif juga bisa dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss & Corbin, 2003). Analisisnya bersifat kualitatif yang lebih mengutamakan makna dari pada generalisasi atas suatu obyek yang diteliti.
1.5. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam studi ini meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder berupa jenis-jenis izin yang menjadi kewenangan PTSP tingkat provinsi dan PTSP tingkat kota administrasi di DKI Jakarta diperoleh dari Unit PTSP tingkat Provinsi dan Satuan Pelaksana PTSP tingkat Kota Administrasi. Selain data sekunder, studi ini terutama menggunakan data primer untuk keperluan analisis studi. Data primer tersebut meliputi berbagai informasi mengenai PTSP di Jakarta yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan berbagai narasumber (in-depth interview).
190
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
1.6. Metode Pengumpulan Data Data-data sekunder berupa dokumen, data statistik, dan sebagainya dihimpun dari berbagai instansi yang berwenang. Melalui pendekatan kualitatif instrumennya adalah orang atau peneliti itu sendiri (human instrument). Selanjutnya data-data primer diperoleh dari hasil wawancara secara mendalam (in-depth-Interview). Metode ini dipilih karena paling sesuai untuk menggali informasi dari masing-masing narasumber secara lebih mendalam serta fleksibel dalam pelaksanaannya.
1.7. Teknik Analisis Data Setiap penelitian memerlukan kriteria
untuk
melihat derajat kepercayaan terhadap hasil
penelitian.Dalam penelitian ini, pengujian keabsahan data metode penelitian dilakukan dengan triangulasi. Wersma dalam Sugiyono (2009:125) menyatakan bahwa triangulation is qualitative cross validation. It assesses the suffiency of the data recording to the convergences of multiple data sources or multiple data collection procedures. Artinya bahwa dalam triangulasi pengujian kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat; pertama, triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Kedua, triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Ketiga,triangulasi waktu dilakukan dengan cara melakukan pengecekan wawancara atau teknik laindalam waktu atau situasi yang berbeda.
TINJAUAN PUSTAKA 1.8. Evaluasi Reformasi Birokrasi Pada dasarnya reformasi birokrasi adalah suatu perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik terhadap elemen-elemen kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketetalaksanaan, akuntabilitas aparatur, pengawasan pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk melaksanakan peran dan fungsi birokrasi secara tepat, cepat dan konsisiten, guna menghasilkan manfaat sesuai diamanatkan konstitusi. Untuk mengevaluasi proses keberhasilan reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan melihat keberhasilan proses perubahan pada aspek Penataan Kelembagaan, Penataan Ketatalaksanaan/Manajemen, Penataan Sumber Daya Manusia/Aparatur, Akuntabilitas (Pertanggungjawaban), dan Pelayanan Umum. Penetapan lima variabel diatas sesuai dengan pendapat Sedarmayanti (2009) dan sejalan dengan bagian dari delapan area perubahan reformasi birokrasi yang ditetapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Tiga area lain diluar lima variabel tersebut adalah tentang pola pikir dan budaya kerja, penataan peraturan perundangan, dan penguatan pengawasan. Ke tiga area diatas tadi sebenarnya sudah masuk dalam lima variabel diatas.
1.9. Pelayanan Terpadu Satu Pintu di DKI Jakarta Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Selanjutnya disebut Perda PTSP DKI Jakarta) yang dimaksud dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Selanjutnya disebut PTSP) adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
191
yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan secara terpadu dengan sistem satu pintu di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dalam pasal 4 Perda PTSP DKI Jakarta disebutkan ada tiga tujuan penyelenggaraan PTSP yaitu : 1) Meningkatkan kualitas perizinan dan non perizinan 2) Memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan perizinan dan non perizinan; dan 3) Meningkatkan kepastian pelayanan perizinan dan non perizinan. Komitmen yang tinggi dari pemerintah dalam mewujudkan pelayanan yang prima tercermin dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah, maka sejalan dengan komitmen tersebut dan sebagai upaya menghilangkan penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan kebijakan dan pelaksanaan teknis pelayanan perizinan dan non perizinan yang ada pada masing-masing SKPD/UPKD Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta akan terintegrasi dalam satu manajemen, Maka dibentuk Badan pelayanan Terpadu Satu Pintu (Selanjutnya disebut BPTSP). Pembentukan BPTSP diharapkan mampu menjawab tuntutan masyarakat sekaligus mewujudkan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai kota jasa (Service City) dan sekaligus tolak ukur dalam kemudahan berusaha. BPTSP adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Tugas BPTSP antara lain; melaksanakan pembinaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan PTSP oleh kantor PTSP, satuan pelaksana PTSP Kecamatan, satuan pelaksana PTSP kelurahan serta pelayanan dan penandatanganan perizinan dan non perizinan serta dokumen administrasi yang menjadi kewenangannya. BPTSP merupakan wujud nyata tekad dari Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk meningkatkan kualitas, efektifitas, efisiensi, akuntabilitas dan transparansi pelayanan publik sebagaimana juga diamanatkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan publik. Badan ini selain menjadi badan pelaksana proses pelayanan perizinan dan non perizinan yang dilimpahkan, juga akan melaksanakan fungsi koordinasi dengan satuan perangkat kerja Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah dalam hal pelayanan perizinan dan non perizinan, serta pelayanan dokumen administrasi yang dilimpahkan. Ada sedikitnya 318 PTSP DKI Jakarta yang tersebar di seluruh kota/kabupaten, kecamatan dan kelurahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.10. Reformasi Birokrasi Pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta Sejak disahkannya Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu, kemudian disusul dengan Peraturan-peraturan Gubernur yang mendukung penyelenggaraan PTSP hingga akhirnya dibentuklah Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Selanjutnya disebut BPTSP), Pemerintah DKI Jakarta terus berusaha meningkatkan kualitas layanan nya. Terhitung mulai 2 januari 2015 lebih dari 2 juta perizinan yang masuk ke PTSP se-DKI Jakarta, tepatnya 2.186.546 per akhir Juli 2015. Berikut beberapa data perizinan yang ditangani BPTSP dalam bentuk grafik :
192
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
DATA IZIN BPTSP Izin Dalam Proses
Izin Terbit/ Selesai Izin Tolak
dan diikuti dengan Beberapa Upaya Reformasi Birokrasi Perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut : 1.10.1. Pembentukan Peraturan-Peraturan Terkait Penyelenggaraan PTSP Pemerintah DKI Jakarta telah membuat beberapa peraturan sebagai payung hukum pelaksanaan penyelenggraan PTSP DKI Jakarta. Dasar hukum penyelenggaraan PTSP DKI Jakarta secara umum diatur dalam Regulasi Pokok yaitu Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013. Yang kemudian diatur secara lebih rinci lagi dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta (Selanjutnya disingkat Pergub DKI Jakarta). Beberapa Pergub DKI Jakarta yang mengatur tentang teknis pelaksanaan PTSP tersebut antara lain : 1.
Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu;
2.
Peraturan Gubernur Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan pelayanan Terpadu Satu Pintu;
3.
Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2014 tentang Masa Transisi Pelaksanaan Pelimpahan Kewenangan Perizinan dan Non Perizinan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah / Unit Kerja Perangkat Daerah Teknis ke Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
1.10.2. Peluncuran Program Pelayanan Kilat atau One Day Service di BPTSP DKI Jakarta One Day Service (selanjutnya disingkat ODS) merupakan layanan kilat pengurusan perizinan yang dapat diselesaikan dalam satu hari. Melalui layanan ODS ini, waktu pengurusan izin dari yang semula 4-20 hari menjadi satu hari. . Ada 66 jenis perizinan yang bisa diurus dengan layananODSini.ODS diluncurkan pada tanggal 18 Agustus 2015 oleh Gubernur DKI Jakarta di Kantor PTSP Kecamatan Pasar Minggu dan berlaku di seluruh Kantor Pelayanan Terpadu yang ada di Jakarta. Mulai dari yang ada di Balai Kota hingga kantor kelurahan. Perizinan yang dapat dilayani secara kilat di Kantor PTSP Balai Kota mencakup delapan perizinan. Perizinan – perizinan itu meliputi Izin Usaha Jasa Pengurusan Transportasi; Izin Penyelenggaraan Kendaraan Bermotor Umum, Izin Operasional Angkutan Umum; Izin Usaha Jasa Konstruksi; Legalisasi Izin Pelaku Teknis
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
193
Bangunan; Izin Rekomendasi Penelitian; Izin Mempekerjakan Tenaga Asing; dan Izin Rencana Penggunaan Tenaga Asing. Sementara Perizinan –Perizinan yang diurus secara kilat oleh layanan PTSP yang ada di Kantor Wali Kota, diantaranya Pengurusan Surat izin Usaha Perdagangan; Tanda Daftar Perusahaan; dan Izin Rekomendasi Penelitian. Untuk PTSP tingkat kecamatan perizinan yang dapat dilayani secara kilat meliputi Surat Izin Usaha Perdagangan Mikro; Surat Izin Kerja Apoteker, Surat Izin Praktek Apoteker; Izin Mendirikan Bangunan Kategori Rumah Tinggal. Adapun untuk tingkat kelurahan, Perizinan yang dapat dilayani secara kilat, yakni izin penggunaan tanah makam; Surat Izin Praktek Dokter Gigi; dan kartu pencari kerja.
1.10.3. Tiga Prioritas Pelayanan BPTSP DKI Jakarta (Zero Delay, Zero Complaint, dan 100 % Service Excellent) Dalam melaksanakan Pelayanan Perizinan, BPTSP memiliki tiga prioritas pelayanan, yaitu Zero Delay, Zero Complaint, dan 100 % Service Excellence. Zero Delay merupakan upaya agar tidak ada berkas perizinan yang batas waktu penyelesaiannya melewati batas waktu yang ditetapkan. Sedangkan maksud dari Zero Complaint adalah pihaknya berusaha agar jangan sampai ada keluhan dari masyarakat terkait proses dan kualitas layanan. Dan 100 % Service Excellence itu berarti PTSP bekerja keras untuk mewujudkan Service Excellence pada 318 gerai layanan PTSP.
1.10.4. Pemberian Reward untuk Petugas Pelayanan Terbaik Sebagai motivasi dan bentuk apresiasi terhadap kinerja petugas pelayanan di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Selanjutnya disingkat BPTSP) DKI Jakarta, Kepala BPTSP DKI Jakarta memberikan reward berupa penghargaan The Best Service Officer Of The Month setiap bulannya kepada petugas yang dinilai mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Kriteria nya diambil berdasarkan hasil penilaian dari masyarakat. Karena masyarakat dapat menilai langsung pelayanan yang diberikan kepada petugas. Masyarakat cukup menyampaikan kepuasannya pada kotak penilaian. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi setiap petugas agar dapat memberikan pelayanan terbaik dan melayani dengan sepenuh hati.
1.10.5. Membuka Gerai Pelayanan Terpadu di Pusat Perbelanjaan Modern Jakarta dengan segala dinamika kehidupannya yang dinamis, memiliki banyak pusat perbelanjaan dan diwarnai dengan kemacetan yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi masyarakatnya memunculkan ide kreatif bagi BPTSP DKI Jakarta untuk siap sedia melayani masyarakat dimanapun dan kapanpun. Pada akhir Mei 2015, Wakil Gubernur DKI Jakarta membuka gerai PTSP di Pusat Perbelanjaan Blok M Square. Adanya gerai PTSP di pusat perbelanjaan modern tersebut dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat yang ingin mengurus perizinan namun memiliki keterbatasan waktu di hari kerja untuk datang ke kantor PTSP. Meskipun belum dapat diterapkan merata diseluruh pusat perbelanjaan modern di Jakarta dan pelayanan perizinan nya masih dibatasi untuk beberapa kategori pelayanan saja, akan tetapi kehadiran Gerai PTSP di pusat perbelanjaan ini merupakan terobosan yang cukup baik dari Pemerintah DKI Jakarta untuk terus melakukan upaya mewujudkan reformasi birokrasipada BPTSP DKI Jakarta.
194
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
KESIMPULAN Ada beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk mewujudkan reformasi birokrasi pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) DKI Jakarta. Yaitu membuat peraturan-peraturan terkait penyelenggaraan PTSP, Peluncuran Pelayanan Kilat atau One Day Service, Penetapan Tiga Prioritas Pelayanan (Zero Delay, Zero Complain, 100 % Service Excellent), Pemberian Reward The Best Service Officer Of The Month bagi petugas pelayanan terbaik hingga membuka gerai pelayanan di Pusat Berbelanjaan Modern. Meskipun dalam realisasinya masih ada beberapa kendala seperti kurangnya SDM Aparatur, sarana dan prasarana, hingga belum tersebarnya gerai PTSP di pusat perbelanjaan modern di Ibu Kota secara merata, akan tetapi upaya-upaya yang telah dilakukan tersebut menunjukkan adanya keseriusan dari pemerintah DKI Jakarta untuk mewujudkan reformasi birokrasi pada BPTSP mengingat semua terobosan tersebut dilaksanakan masih dalam hitungan bulan sejak BPTSP beroperasi secara optimal pada awal januari tahun 2015 yang lalu. Selanjutnya untuk meningkatkan kualitas layanan dan dalam rangka mewujudkan reformasi birokrasi pada BPTSP DKI Jakarta, perlu adanya dukungan dari segala pihak yang terkait untuk kelancaran proses penyelenggaraan PTSP. Selain itu peningkatan sarana dan prasarana, serta penambahan SDM Aparatur guna memperlancar proses pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Referensi Buku-Buku McMillan, James H., & Sally Schumacher. 2003. Research in Education. New Jersey: Pearson. Sedarmayanti, 2009, Reformasi Administrasi Publik, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemrintahan Yang Baik). Bandung : PT.Refika Aditaman. Strauss, A. & Corbin, J. 2003, Basic of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques. California : Sage. Sugiyono, 2009, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta : Bandung. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
195
Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Peraturan Gubernur Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan pelayanan Terpadu Satu Pintu. Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2014 tentang Masa Transisi Pelaksanaan Pelimpahan Kewenangan Perizinan dan Non Perizinan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah / Unit Kerja Perangkat Daerah Teknis ke Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Lain-lain www.bptsp.jakarta.go.id
196
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Konstruksi Model Perilaku Pelayanan Street-Level Birokrasi Pada Puskesmas Di Kota Makassar
Abdul Mahsyar Program Pascasarjana Magister Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Makassar, Indonesia Tel: +62-815-24264500 E-mail: [email protected]
Abstract: Penelitian ini bertujuan untuk mengkonstruksi bentuk-bentuk coping behaviors yang dilakukan oleh birokrasi penyelenggara pelayanan publik pada Puskesmas, efek yang ditimbulkan dan respon masyarakat terhadap perilaku birokrasi pelayanan tersebut. Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode naturalistik yang mengambil data dari informan terdiri atas masyarakat yang memperoleh pelayanan dan petugas penyelenggara pelayanan. Data diperoleh melalui observasi partisipatif, wawancara langsung dan dokumentasi dengan menganalisis standar operasional prosedur pelayanan. Data penelitian dianalis melalui tahapan reduksi data, penyajian data, penyimpulan, dan verifikasi data Hasil penelitian menunjukkan model coping behaviors dalam birokrasi pelayanan dalam melayani masyarakat meliputi perilaku memodifikasi pekerjaan sesuai dengan kemampuan, perilaku pemanfaatan sumber daya secara maksimal, perilaku mengurangi atau tidak melaksanakan beberapa program kegiatan, perilaku menyederhanakan kegiatan, dan perilaku memaksakan kepatuhan pelanggan. Efek yang ditimbulkan dari perilaku birokrasi ada yang positif dan negatif tergantung pada situasi pelaksanaan program yang dilaksanakan, sedangkan respon warga yang memperoleh pelayanan terhadap perilaku birokrasi pelayanan pada umumnya positif asalkan mereka dapat terlayani sesuai dengan kebutuhannya, hal ini juga disebabkan karena pada umumnya warga yang dilayani minim informasi dan kurang memahami hak-haknya dari berbagai macam pelayanan yang harus diberikan oleh petugas Puskesmas.
Category: Administrasi Publik Keywords: Coping behaviors, birokrasi, pelayanan publik
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
197
PENDAHULUAN Birokrasi sebagai mesin organisasi negara melaksanakan berbagai kebijakan negara atau pemerintah. Salah satu diantara banyak fungsi birokrasi adalah melaksanakan pelayanan kepada segenap warga masyarakat sesuai dengan tugasnya masing-masing dan melayani masyarakat secara adil merata atau non diskriminatif. Upaya untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pelayanan publik berbagai kebijakan telah diterbitkan oleh pemerintah yang dimaksudkan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Mulai dari keputusan menteri, peraturan pemerintah, sampai kebijakan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Pelayanan publik yang mendasar diberikan kepada warga masyarakat oleh institusi birokrasi di Indonesia adalah pelayanan pada bidang kesehatan, selain pelayanan bidang pendidikan. Begitu pentingnya pelayanan kesehatan ini, sebagian besar dari negara-negara yang ada di dunia ini mencantumkan pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam konstitusinya. Problem yang sering dihadapi oleh birokrasi dalam pelayanan kesehatan adalah terbatasnya sumber daya manusia, dana, prasarana dan waktu. Keterbatasan-keterbatasan sumber daya tersebut seringkali menjadi kendala dan juga menjadi alasan bagi aparat pelaksana layanan untuk t idak melaksanakan beberapa program-program yang menjadi kebijakan pemerintah. Kalaupun terlaksana seringkali dilakukan secara apa adanya atau tidak optimal. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan khususnya pada Puskesmas sebagai lembaga birokrasi terdepan dalam melayani masyarakat terkait dengan kesehatannya terkadang kurang optimal. Beban kerja Puskesmas sangat berat dan cakupan pelayanan sangat luas seperti melaksanakan tugas-tugas lapangan yang bersifat promotif juga melakukan tugas kuratif seperti perawatan dan pengobatan pasien. Adanya beban tugas seperti itu membuat petugas Puskesmas harus pandai-pandai mensiasati supaya seluruh tugas yang menjadi tanggungjawabnya dapat terlaksana. Kelihaian petugas (birokrat) pelayanan kesehatan Puskesmas untuk mensiasati pelaksanaan tugasnya tidak terlepas dari penilaian kinerja dan pencapaian target-target tugas yang menjadi bebannya sehingga dengan keadaaan ini beberapa pekerjaan hanya dilaksanakan secara formalitas belaka. Cara yang dilakukan oleh birokrat pelayananan dalam mensiasati pekerjaan yang dianggap sulit atau untuk mengatasi keterbatasan sumber daya adalah dengan cara melakukan coping behaviors yakni coping adalah mekanisme atau cara yang digunakan individu dalam menanggulangi, mengatasi, menyelesaikan atau meng-alihkan masalah, menguasai atau mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima dan situasi yang mengancam baik secara kognitif maupun perilaku. Terdapat macam-macam mekanisme coping yang sering digunakan oleh individu dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Topik kajian yang dibahas meliputi identifikasi terhadap bentuk perilaku pelayanan berupa coping behaviors yang dilakukan oleh petugas layanan kesehatan, efek yang ditimbukan, dan respon masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas Puskesmas. Sementara tujuan kajian ini adalah menemukenali dan mengkonstruksi bentuk coping behaviors petugas pelayanan kesehatan.
198
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
METODE PENELITIAN Lokus penelitian ini pada institusi pelayanan kesehatan masyarakat terdepan yakni Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), di Kota Makassar terdapat 43 Puskesmas (data 2014) yang tersebar pada seluruh kecamatan. Karena pola organisasi, kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh Puskesmas pada umumnya sama, maka unit-unit Puskesmas yang dijadikan objek kajian dipilih secara purposive berdasarkan wilayah tempat Puskesmas dan karakteristik masyarakat yang dilayani. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe naturalistik yakni melihat fenomena pelayanan secara apa adanya, mencatat seluruh kejadian sesuai dengan fokus, dan menganalisis serta menginterpretasikan data. Sumber data meliputi dua informan inti yaitu petugas pelayanan kesehatan dan masyarakat yang langsung terlibat atau menerima perlakuan pelayanan dari petugas Puskesmas. Data diperoleh dari observasi partisipatif dan non partisipatif, wawancara, dan dokumentasi dari data tertulis maupun dari berbagai catatan dokumen berupa peraturan-peraturan, kegiatan atau program kerja Puskesmas. Data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan prinsip-prinsip analisis data kualitatif, sedangkan untuk keabsahan data dilakukan dengan cara treangulasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kebijakan pemerintah terhadap pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya bagi kalangan masyarakat yang memperoleh layanan kesehatan didanai dari APBN seperti Jamkesmas, Jamkesda, Askes atau BPJS sekarang ini, maka tindakan pelayanannya dimulai dari institusi pelayanan kesehatan tingkat dasar yaitu Puskesmas. Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan mempunyai berbagai program pelayanan yaitu menyeleng-garakan program-program pokok meliputi upaya promosi kesehatan, upaya kesehatan lingkungan, upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, upaya perbaikan gizi, upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, dan upaya pengobatan. Sedangkan program pengembangan meliputi upaya kesehatan sekolah, upaya kesehatan olah raga, upaya perawatan kesehatan masyarakat, upaya kesehatan kerja, upaya kesehatan gigi dan mulut, upaya kesehatan jiwa, upaya kesehatan mata, upaya kesehatan usia lanjut, dan upaya pembinaan pengobatan tradisional. Cakupan pelayanan kesehatan masyarakat pada Puskesmas sangat luas, namun untuk melaksanakan tugas tersebut secara kasat mata terlihat perangkat organisasi Puskesmas tidak ditunjang oleh ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai. Dengan kondisi seperti itu, maka manakala para petugas Puskesmas dituntut untuk melaksanakan program pelayanan Puskesmas secara minimal saja, mereka tidak akan mampu menjalankan program yang ada secara keseluruhan. Sementara disatu sisi tuntutan tugas yang dibebankan kepadanya mewajibkan para aparat untuk melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Pada situasi seperti ini birokrat pada tataran street-level (terdepan) melakukan upaya-upaya yang disebut coping behaviors, yakni perilaku yang dilakukan untuk mengatasi atau mengendalikan situasi atau menguasai keadaan pada saat mana mereka berada pada posisi yang terbatas untuk melaksanakan pelayanan. Bagi masyarakat harapan untuk memperoleh pelayanan yang memadai sesuai dengan kebutuhannya dari instansi pemerintah sangat tinggi, sehingga kadang-kadang dengan ekspektansi yang sangat tinggi tersebut dapat menimbulkan kekecewaan jika mereka tidak mendapat pelayanan sesuai harapannya, dan alamat kesan kinerja buruk bagi aparat birokrat sebagai pelaksana layanan. Pada situasi demikian itulah banyak birokrat pada
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
199
tataran street-level melakukan upaya dalam mengatasi situasi dimana mereka tidak mampu melaksanakan pelayanan secara optimal dengan melakukan coping behaviors yakni perilaku yang dilakukan untuk mengatasi keadaan atau situasi yang mendesak dari ketidakmampuan yang dialami. Perilaku coping ini kadangkala efektif dalam pelayanan kesehatan pada khususnya dan selalu terjadi setiap saat ketika interaksi antara birokrat penyelenggara layanan dengan warga yang dilayani. Coping behaviors kadangkala menguntungkan birokrat karena warga masyarakat yang dilayani sebagiannya tidak mengetahui standar dan prosedur pelayanan yang semestinya. Keadaan demikian dilakukan karena warga masyarakat yang mengharapkan pelayanan dari para petugas pelayanan kesehatan di Puskesmas ini kadangkala mereka tidak mau tahu bahwa para petugas untuk memberikan pelayanan yang optimal memiliki keterbatasan, bukan hanya keterbatasan itu diakibatkan oleh individu tetapi juga faktor organisasi sendiri, misalnya sarana parasarana pelayanan yang terbatas, jumlah personil yang terbatas dan keterbatasan ruang dan tempat pelayanan. Dalam mengatasi hal tersebut ada beberapa bentuk perilaku coping yang dilakukan oleh birokrasi penyelenggara pelayanan publik yang disebut perilaku memodifikasi konsep tentang pekerjaan. Adapun bentuk perilaku tersebut meliputi (1) perilaku memodifikasi pekerjaan sesuai kemampuan; (2) perilaku memanfaatkan sumber daya manusia secara maksimal; (3) perilaku mengurangi atau tidak melaksanakan beberapa program atau kegiatan; (4) perilaku menyederhanakan pekerjaan; (5) perilaku memaksakan kepatuhan pelanggan.
Perilaku memodifikasi pekerjaan sesuai kemampuan Bentuk perilaku street-level bureaucrats dalam memodifikasi pelaksanaan program Puskesmas menurut pandangan pihak petugas Puskesmas bisa saja dilaksanakan tanpa mengurangi mutu pelayanan yang dilaksanakan. Salah satu contoh adalah pelayanan pengobatan atau pemeriksaan pasien khususnya pasien rawat jalan. Usaha kesehatan pokok yang dijalankan oleh Puskesmas seperti penyelenggaraan pelayanan pengobatan, pemeriksaan dan perawatan pasien. Ada beberapa bentuk pelayanan yang dilakukan disini yaitu pemeriksaan langsung dan pengobatan atau perawatan, selain itu ada juga pelayanan dalam bentuk konsultasi, permintaan surat keterangan sehat, dan pelayanan rujukan. Bentuk-bentuk perilaku petugas Puskesmas dapat berbeda antara satu dengan yang lain dalam melayani pasien. Sebagaimana informasi yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan khususnya terhadap pelayanan pemeriksaan pasien, terlihat
pelayanan yang
diberikan oleh petugas medis kepada pasien dalam pemeriksaan yaitu pasien yang memiliki keluhan penyakit yang sama (penyakit ringan atau umum) biasanya mereka diperiksa secara bersamaan di ruang pemeriksaan, dari kasus ini ditanyakan kepada dokter yang menangani si pasien tersebut dijelaskan bahwa: ―Dalam melakukan pemeriksaan pasien, kita disini kadang melakukan tindakan-tindakan dimana pasien merasa cepat dilayani, tidak dibiarkan menunggu lama apalagi kalau pada waktu tertentu jumlah pasien sangat banyak, salah satu cara yang dilakukan seperti mengumpul pasien yang memiliki keluhan penyakit yang sama dan jenis kelamin yang sama, tapi ini hanya untuk keluhan penyakit ringan seperti penyakit yang umum misalnya demam, batuk-batuk atau ISPA. Ini kami lakukan karena biasanya pasien tersebut bisa juga mengatasi sendiri penyakitnya tanpa harus ke dokter, tapi itu sifatnya kondisional, misalnya ada
200
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
juga pasien yang harus diperiksa secara mendetail sampai memerlukan tes laboratorium sebelum diberikan resep obat‖. Penjelasan yang dikemukakan informan di atas memperlihatkan bahwa street-level bureaucrats pada Puskesmas melakukan modifikasi pekerjaannya karena merekalah yang paling mengetahui pekerjaannya dan menguasai tugasnya, bagi klien atau pasien yang dilayani harus patuh pada konsekuensi modifikasi pekerjaan tersebut. Pelayanan pemeriksaan atau pengobatan sebenarnya harus dilakukan sendiri-sendiri dimana pasien ditangani secara perseorangan, tidak dilakukan pemeriksaan secara bersama-sama dengan pasien lainnya. Akan tetapi karena seringkali jumlah pasien sangat banyak, maka inilah salah satu cara yang dilalukan oleh petugas medis dalam mengendalikan pelayanannya supaya warga tetap merasa dirinya terlayani sekalipun ada tindakantindakan di luar prosedur proses pelayanan yang semestinya dilaksanakan. Seperti halnya pemberian tindakan pelayanan oleh dokter secara cepat. Dijelaskan oleh salah seorang dokter sebagai berikut. ―Hal seperti itu kami lakukan, tidak lain memenuhi kewajiban kami dalam memberikan pelayanan. Perlu juga saya informasikan bahwa, sekarang ini masyarakat sudah sangat sadar dalam menggunakan hakhaknya, seperti dalam hal memperoleh pelayanan kesehatan gratis. Mereka sudah tahu bahwa berobat di Puskesmas itu tidak dibayar. Namun persoalannya perilaku warga untuk mandiri dalam merawat keluhan penyakitnya atau menjaga kesehatannya menjadi berkurang semenjak berlakunya program kesehatan gratis ini. Karena seperti yang kita lihat, mereka sakit-sakit sedikit ke Puskesmas lagi, yang lebih parah lagi biasa ada pasien belum habis obatnya yang dikasi sebelumnya…, eh dua hari kemudian datang lagi berobat dengan keluhan yang sama, ―belum sembuh sakitku dokter‖ ……, itulah sebabnya mengapa ada pasien yang diperiksa lebih cepat seperti yang dilihat tadi, karena disini kewajiban kami melayani pasien, seperti kasus tadi tidak bisa kami menolak mereka. Kalau menolak mereka bisa ngomong kemana-mana dan kalau ini terjadi pasti kami petugas yang selalu disalahkan. Jadi kewajiban kami disini adalah melayani saja siapapun mereka tanpa melihat kondisi pasien sesungguhnya‖. Fakta lain yang ditemukan bentuk coping behavior yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dalam mengatasi keterbatasan sumber daya manusia dan dana yang dimiliki terkait dengan pelaksanaan beberapa program kesehatan seperti kegiatan promosi kesehatan dan program pengembangan pelayanan kesehatan. Sebagai contoh dapat dilihat kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh petugas yang dapat mencakup beberapa program dalam satu kegiatan yang dilakukan, sebagaimana hasil pengamatan yang digambarkan sebagai berikut: ―Pada salah satu kegiatan penyuluhan atau promosi kesehatan yang dilaksanakan pada salah satu Puskesmas terlihat dari satu kegiatan yang berlangsung didalamnya dapat dilaksanakan beberapa program, seperti kegiatan penyuluhan tentang kesehatan lingkungan, pencegahan demam berdarah, dan penyakitpenyakit lainnya seperti flu burung. Dilaksanakan sekaligus dalam waktu yang bersamaan juga dilakukan kegiatan pemberian asupan gizi bagi balita‖. Berdasarkan kegiatan yang berlangsung sebagaimana hasil pengamatan di atas, hal itu tidak lain merupakan cara petugas Puskesmas untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan mereka dalam melaksanakan beberapa program, sehingga dilakukan modifikasi pekerjaan. Cara memodifikasi seperti ini pihak Puskesmas dapat melaksanakan program-program yang dapat terlaksana secara minimal. Apalagi program yang sifatnya
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
201
penyuluhan atau promosi kesehatan tidak menjadi sorotan atau perhatian utama masyarakat sehingga jarang ada komplain yang diterima petugas jika kegiatan ini tidak terlaksana. Sebagaimana dijelaskan oleh salah seorang staf Puskesmas dikatakan sebagai berikut: ―Kegiatan yang kami laksanakan seperti itu sebenarnya untuk melaksanakan beberapa program yang tidak dapat terlaksana jika dilakukan secara sendiri-sendiri, karena jumlah petugas yang terbatas karena kalau itu dilaksanakan di luar Puskesmas, maka konsekuensinya pelayanan dalam Puskesmas bisa juga tertunda atau tidak maksimal karena petugasnya sebagian ke lapangan, selain itu kegiatan seperti ini merupakan salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan dana atau anggaran yang ada, karena kalau turun ke lapangan pasti butuh biaya lagi‖. Fakta di atas memperlihatkan bahwa kreatifitas pimpinan Puskesmas sangat berperan dan menentukan keberhasilan Puskesmas melaksanakan berbagai program yang menjadi tugas dan fungsinya dalam pelayanan kesehatan. Karena selain itu, beberapa Puskesmas praktis tidak dapat melaksanakan program-programnya secara keseluruhan jika tidak mampu membuat jaringan dengan instansi-instansi lain baik perusahaan, organisasi kemasyarakatan, maupun kelompok-kelompok atau komunitas warga. Khusus dalam kerjasama dengan warga masyarakat dalam melaksanakan programnya, pihak Puskesmas membentuk kelompok kader Puskesmas bersama-sama dengan tim Penggerak Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) di kecamatan atau kelurahan dalam wilayah kerja Puskesmas.
Perilaku pemanfaatan sumber daya manusia secara maksimal Kendala utama yang dihadapi oleh Puskesmas dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada warga masyarakat adalah kurangnya tenaga sumber daya manusia yang dimiliki baik aspek kuantitas maupun kualitas. Persoalan ini menjadi faktor penghambat dalam mengoptimalkan pelayanan, sehubungan dengan itu upaya untuk mengatasi hambatan tersebut pihak pimpinan Puskesmas berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan potensi tenaga yang tersedia. Ketenagaan di Puskesmas meliputi tenaga medis, paramedis, dan staf administrasi. Karena kurangnya jumlah tenaga yang ada maka dilakukan perekrutan tenaga kontrak sekalipun belum mencukupi, dengan demikian pada Puskesmas juga banyak ditempati siswa dan mahasiswa keperawatan untuk magang (praktek kerja lapang) sehubungan dengan itu tenaga-tenaga magang tersebut yang dinilai sudah cakap diberi ruang untuk membantu tenaga organik yang ada sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Pemanfaatan sumber daya manusia secara maksimal dilakukan juga oleh pimpinan Puskesmas dalam mengatasi kendala pelaksanaan beberapa pekerjaan yang bersifat promotif atau penyuluhan kesehatan, kadangkala beberapa tenaga yang tidak sesuai dengan latar belakang keahlian namun memiliki pengalaman diterjunkan untuk melaksanakan pekerjaan tertentu. Selain itu juga dimanfaatkan tenaga-tenaga dari masyarakat yang disebut sebagai kader Puskesmas, mereka ini adalah tenaga yang dididik dan dilatih untuk dapat melaksanakan beberapa program-program Puskesmas terutama yang berkait langsung dengan kepentingan dan kebutuhan. Misalnya mereka dapat dimanfaatkan sebagai tenaga penyuluh bidang gizi, pengasuhan anak (balita), kesehatan lingkungan dan keluarga berencana. Aktivitas para kader Puskesmas ini sangat membantu pelaksanaan tugas-tugas Puskesmas. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang staf Puskesmas sebagai berikut:
202
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
―para kader Puskesmas tidak lain adalah warga yang sudah terlatih sehingga dapat membantu untuk melaksanakan beberapa program Puskesmas khususnya kegiatan di luar gedung Puskesmas. Mereka bekerja secara sukarela, pengetahuannya tentang pelayanan kesehatan diperoleh dari pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas. Dengan adanya tenaga kader ini diharapkan warga masyarakat dapat mengelola atau membudayakan hidup sehat pada dirinya dan lingkungannya dan selanjutnya dapat menjadi contoh bagi warga sekitarnya‖. Tenaga sukarela dari kalangan kader ini bekerja di lingkungannya dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan promosi kesehatan, penyuluhan, dan kegiatan survai antisipasi terjangkitnya penyakit seperti pemantauan jentik nyamuk, pelayanan Posyandu, dan beberapa kegiatan lain yang membutuhkan tenaganya. Keberadaan kader ini memang dirasakan sangat membantu hanya saja persoalannya mereka kurang diberikan pembinaan secara berkelanjutan.
Perilaku mengurangi atau tidak melaksanakan beberapa program Bentuk perilaku ini dapat ditemukan pada beberapa Puskesmas yang tidak atau mengurangi volume atau frekuensi pelaksanaan suatu program dan hanya memprioritaskan pelaksanaan program tertentu, kalau seperti pelayanan pada Puskesmas terlihat program dominan yang dilaksanakan adalah pelayanan pengobatan, pemeriksaan dan perawatan pasien. Sedangkan program lainnya jarang dilaksanakan. Jika diperhatikan kegiatan-kegiatan yang menjadi tugas Puskesmas secara garis besar meliputi dua kegiatan yakni public care dan privat care. Public care tidak lain merupakan kegiatan-kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk melakukan pencegahan timbulnya berbagai penyakit atau sifatnya merupakan tindakan preventif. Sedangkan kegiatan yang bersifat privat care adalah kegiatan-kegiatan berupa pemberian tindakan pengobatan atau perawatan kepada pasien secara perseorangan, hal ini sifatnya tindakan individual yang diberikan kepada pasien, namun pelayanan yang dominan pada Puskesmas. Berdasarkan kedua kegiatan tersebut berbagai program yang dapat dilaksanakan oleh Puskesmas dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Pada kegiatan public care, program yang menjadi tugas pokok Puskesmas meliputi program promosi kesehatan, pencegahan penyakit menular, kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, upaya kesehatan gizi masyarakat, sanitasi dan kesehatan lingkungan, dan program-program pengembangan Puskesmas antara lain meliputi proghram pelayanan kesehatan mata, kesehatan jiwa, kesehatan lansia, kesehatan olahraga, kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan sekolah. Program pengembangan ini merupakan program tambahan yang dapat diprogramkan Puskesmas sepanjang sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat sekitar dan kemampuan sumber daya yang dimiliki Puskesmas. Beberapa program pengembangan puskesmas sengaja tidak dilaksanakan oleh petugas Puskesmas dengan alasan bahwa tidak ada yang termuat dalam program tersebut yang menjadi kebutuhan masyarakat, dengan kata lain tidak kasus-kasus penyakit yang spesifik sehingga perlu dibuat adanya program pengembangan. Sebagaimana terlihat program pengembangan Puskesmas memang disebutkan dalam tugas pokok Puskesmas, tetapi dalam kenyataannya dalam masyarakat banyak kasus-kasus masalah kesehatan masyarakat yang sebenarnya bisa diangkat menjadi program pengembangan, tetapi hal seperti ini agak jarang dilakukan oleh Puskesmas.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
203
Banyaknya program-program pelayanan kesehatan yang menjadi tanggungjawab Puskesmas, jika dibandingkan dengan ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh Puskesmas, maka program tersebut menjadi mustahil untuk dapat dilaksanakan secara efektif dalam satu periode tahun anggaran tertentu.
Sebagaimana dituturkan oleh salah seorang petugas Puskesmas memberikan informasi sebagai berikut: ―Memang di Puskesmas banyak sekali program yang harus dilaksanakan terutama program-program yang bersifat pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk pelaksanaan program ini otomotis kami harus turun lapangan seperti kegiatan survailans harus diterjunkan beberapa petugas sesuai dengan trend penyakit yang ada, misalnya kalau ada kasus penemuan balita gizi buruk, pasti kita semua harus turun secara terpadu, begitu juga kalau ada kasus demam berdarah. Dan kalau itu terjadi pasti pelayanan di dalam Puskesmas menjadi agak terganggu, karena kekurangan petugas. Itulah sebabnya kami disini memilih-milih program seperti pelayanan kesehatan masyarakat yang dapat dilaksanakan, dalam penentuan program pelayanan itu kami juga memperhitungkan berbagai aspek terutama yang terkait dengan ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh Puskesmas‖. Pendapat lain dari salah seorang informan petugas yang diwawancarai yang bertugas pada Puskesmas yang berbeda terkait dengan pengurangan beberapa program yang menjadi kewajiban Puskesmas dalam menyeleng-garakan pelayanan kesehatan untuk dilaksanakan, dari hasil wawancara diperoleh informasi: ―Cara lain yang dilakukan untuk mengurangi beban kerja adalah dengan melaksanakan semua program yang menjadi beban tanggungjawab Puskesmas dengan cara mengurangi frekuensi kegiatan. Misalnya saja pelaksanaan program upaya kesehatan sekolah (UKS) dimana program ini dilaksanakan dengan mengunjungi sekolah-sekolah yang ada dalam wilayah kerja Puskesmas, tetapi karena tidak mungkin semua sekolah dikunjungi apalagi kalau jumlahnya sudah banyak, maka yang dilakukan adalah cukup mengunjungi satu unit sekolah dalam satu tahun anggaran. Biasa juga untuk kegiatan penyuluhan kami mengundang warga datang ke Puskesmas. Kalau warga yang datang ke Puskesmas, maka akan banyak kegiatan penyuluhan yang dapat dilaksanakan‖. Memperhatikan informasi yang diberikan oleh informan di atas dapat dikatakan bahwa coping behaviors yang dilakukan oleh street-level bureaucrats ini sifatnya sangat situasional. Karena perilaku mengurangi beberapa program yang menjadi program pokok sifatnya juga tidak tetap, artinya bisa saja pada tahun anggaran sekarang ada program yang tidak dilaksanakan atau tidak diprogramkan namun pada waktu lain dilaksanakan. Dan hal seperti ini sering membuat petugas berusaha berkelit jika misalnya ada program yang tidak terlaksana dengan mengatakan bahwa ―tidak ditemukan kasus-kasus penyakit sehingga tidak diprogramkan‖. Dengan cara seperti ini sangat riskan untuk dilakukan pencegahan penyakit.
Perilaku menyederhanakan pekerjaan Bentuk perilaku ini hampir sama dengan perilaku pertama di atas, perbedaannya terletak pada aspek tindakan yang diberikan oleh petugas pelayanan kepada pengguna layanan. Penyederhanaan kegiatan merupakan salah satu bentuk coping yang banyak ditemukan dilaksanakan oleh petugas Puskesmas. Penyederhanaan kegiatan dilakukan untuk mengurangi dan menangani tekanan kerja yang muncul setiap saat.
204
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Cara penyederhaan juga memberikan kesan bahwa pekerjaan bisa terlaksana. Berikut penilaian informan salah seorang staf Puskesmas, terkait dengan berbagai bentuk penyederhaan pekerjaan yang dilakukan. ―Terus terang pak, kalau mau diikuti semua program-program Puskesmas yang ada, maka bisa-bisa kita bekerja disini 1 x 24 jam itupun mungkin tidak selesai. Pekerjaan di Puskesmas inikan banyak sekali, tidak hanya pengobatan dan perawatan. Sepengetahuan masyarakat hanya itulah pekerjaan Puskesmas, padahal yang pokok sebenarnya adalah pelaksanaan program kesehatan masyarakat, pekerjaan ini sebenarnya yang menguras banyak waktu dan tenaga karena kami harus turun lapangan secara tim. Itulah sebabnya pimpinan juga harus pandai-pandai mengatasi tuntutan pekerjaan itu melalui berbagai cara seperti menyederhanakan pekerjaan. Misalnya saja kalau ada program turun lapangan, tidak hanya satu kegiatan yang dilaksanakan tetapi banyak kegiatan yang bisa jalan. Dengan cara seperti ini kita juga bisa menghemat penggunaan anggaran‖. Berdasarkan informasi yang disampaikan di atas juga dibenarkan oleh salah seorang warga masyarakat, tepatnya kader Puskesmas yang sering mengikuti kegiatan-kegiatan lapangan Puskesmas, seperti penuturannya berikut ini: ―Pelaksanaan kegiatan Puskesmas khususnya pada beberapa program yang dapat dilaksanakan secara serentak bisanya pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama. Biasanya petugas kalau turun lapangan seperti kunjungan pada Posyandu dengan kegiatan penimbangan balita biasanya dirangkaian dengan beberapa kegiatan yang sejenis termasuk pemeriksaan ibu-ibu hamil dan pemberian asupan gizi. Selain itu juga secara bersamaan dilakukan survai lingkungan warga, kunjungan ke rumah-rumah warga untuk melihat perilaku hidup sehat warga. Jadi dengan cara seperti itu pak, petugas Puskesmas bisa melaksanakan beberapa kegiatan dalam waktu yang sama‖. Kegiatan penyederhanaan pekerjaan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas seperti yang diutarakan di atas mensiratkan bahwa beberapa program Puskesmas yang menjadi tanggungjawabnya sebagaimana tujuan yang harus dicapai oleh UPTD Puskesmas ini yaitu supaya terlihat bahwa program-program yang ada sudah terlaksana. Apalagi jika sudah dibuktikan dengan adanya laporan kegiatan dan kunjungan lapangan, maka dianggap kegiatan atau program tersebut sudah terlaksana. Dengan demikian program tersebut dianggap jalan karena ada progresnya. Biasanya petugas Puskesmas sangat antusias dan secara serius menangani suatu program jika hal itu menjadi sorotan publik. Misalnya pada beberapa kasus yang pernah mendapat pemberitaan media massa (surat kabar dan televisi) yaitu gizi buruk yang diderita oleh balita, dengan adanya kasus seperti itu karena mendapat sorotan maka biasanya dijadikan sebagai titik perhatian yang harus mendapat penanganan atau tindakan secara serius. Padahal sebenarnya kalau petugas rajin turun lapangan, maka kasus seperti itu tidak akan terjadi.
Perilaku memaksakan kepatuhan pelanggan (biaya psikologis) Birokrat street-level memiliki kekuasaan terhadap pekerjaannya. Lipsky (1980) mengatakan bahwa birokrat street-level bekerja pada suatu rutinitas, sehingga kadang-kadang menghindari pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan pemikiran-pemikiran baru. Oleh sebab itu, jika diperhadap-kan pada suatu pekerjaan yang diluar kebiasaan yang rutin dilaksanakan, maka pada situasi seperti ini birokrat street-level berupaya mengendalikan pekerjaannya dengan menuntut adanya kepatuhan klien sesuai dengan keinginannya.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
205
Salah satu bentuk kepatuhan klien yang sangat tegas diterapkan oleh petugas Puskesmas adalah kepatuhan terhadap jam pelayanan (jam buka loket). Pelayanan administrasi pasien dimulai pada saat registrasi di loket pelayanan yang mulai dibuka sekitar jam 08.00 Wita sampai dengan jam 11.00 Wita. Apabila pasien tidak memanfaatkan waktu pelayanan registrasi tersebut maka mereka akan diabaikan atau tidak akan dilayani. Berdasarkan observasi partisipatif yang dilakukan diperoleh informasi bahwa petugas Puskesmas memiliki kekuasaan dalam pekerjaannya dan memaksa kepatuhan para klien (warga) yang mau dilayani untuk mentaati peraturan-peraturan yang berlaku di instansinya. Kalaupun terdapat pelanggan yang ―ngotot‖ biasanya petugas bersikap tidak peduli (cuek) dan mengalihkan alasan penolakannya kepada pimpinannya, biasanya dengan perkataan ―ini sudah aturan dari atas, ketemuki sama Kapus‖. Dengan perilaku seperti itu, warga (pasien) yang berada pada posisi lemah tidak bisa berbuat apa-apa dan menyerah pada keadaan dengan mengikuti peraturan-peraturan yang sudah dibuat oleh Puskesmas dan hal ini dikaitkan dengan SOP (Standar Operasional Prosedur). Sesuai dengan perilaku yang ditunjukkan oleh petugas Puskesmas dalam melakukan pelayanan dan menghadapi klien yang tidak patuh pada aturan pelayanan sebagaimana ketentuan yang dibuat oleh Puskesmas. Dari hasil wawancara dengan petugas loket diperoleh informasi: ―Sebenarnya mereka tidak ditolak pak, saya menganjurkan supaya datang besok saja, karena ketentuan Puskesmas disini jam tutup loket itu jam 11.00. sehingga kami juga disini akan ditegur pimpinan kalau tidak melaksanakan peraturan itu. Selain itu, setelah pelayanan pasien selesai, kami petugas loket juga mengerjakan pekerjaan lain jadi bukan berarti tidak ada lagi pekerjaan yang kita laksanakan disini, karena pekerjaan selanjutnya adalah memeriksa kembali data pasien, buku daftar pasien, mencocokkan kembali data pasien yang berobat dengan pencatatan pada buku pendaftaran, menyimpan dan merapikan buku berobat pasien pada lemari/rak kartu. Dan semua pekerjaan tadi harus selesai dan dilaporkan ke Kepala Puskesmas pada hari ini juga. Disini pencatatan pak, haruski hati-hati dan tidak boleh salah, karena kalau terjadi kesalahan akibatnya dana asuransi dan bantuan kesehatan bisa tidak dibayarkan, begitu juga dana jasa medis tidak akan terbayar‖. Penjelasan yang dikemukakan petugas Puskesmas tersebut menunjukkan bahwa loket registrasi pasien pada Puskesmas adalah pintu pertama yang digunakan oleh birokrat pelayanan untuk mengendalikan jumlah warga yang akan dilayani dalam satu hari kerja. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh petugas yaitu bahwa apabila jumlah pasien tidak dikendalikan dalam arti loket terus dibuka sesuai jam kerja, maka bisa menyebabkan jumlah pasien sangat banyak yang harus dilayani dan berdampak pada ketidakmampuan petugas menyelesaikan pekerjaannya dalam satu hari kerja, karena pasien yang sudah teregister harus dilayani pada hari itu juga yang bisa saja waktu pelayanan melewati jam kerja dalam satu hari. Alasan lain yang mengemuka dalam pembatasan pasien ini untuk pengobatan dan perawatan adalah karena tugas Puskesmas tidak hanya urusan medis tetapi juga berbagai tugas lain seperti halnya dokter sebagai kepala Puskesmas tidak hanya melaksanakan tugas sebagai dokter tetapi juga sebagai pimpinan yang kadangkadang juga menjalankan tugas sebagai pejabat dengan menghadiri rapat dengan Kepala Dinas Kesehatan atau tugas seremoni lain di luar kantor. Begitu juga dengan staf Puskesmas yang lain memiliki tugas-tugas ganda baik yang bersifat indoor maupun outdoor. Penjelasan petugas Puskesmas terkait dengan tugas ganda tersebut dijelaskan sebagai berikut:
206
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
―Jika kami konsentrasi terus pada pelayanan dalam Puskesmas untuk pengobatan dan pemeriksaan, maka pelayanan lain di luar Puskesmas akan terabaikan, padahal pelayanan di luar Puskesmas itu tidak kalah pentingnya sesuai dengan tugas Puskesmas. Misalnya kalau kami kurang melakukan penyuluhan tentang hidup sehat, atau penataan lingkungan sehat, penyuluhan dan pemeriksaan status gizi anak, maka pasti jumlah pasien yang datang ke Puskesmas akan bertambah banyak. Padahal kita semua berharap kunjungan ke Puskesmas bagi orang sakit semakin berkurang yang datang cukup kunjungan sehat saja‖. Semua petugas Puskesmas memiliki peran sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing, apakah dia petugas medis, paramedis, petugas administrasi, laboran, tenaga farmasi, dan lainnya. Pada semua peran yang dilaksanakan oleh petugas Puskesmas tersebut, pada umumnya mereka menghendaki adanya kepatuhan klien (pasien) terhadap segala ketentuan yang sudah diatur oleh Puskesmas.
Respon warga pengguna layanan terhadap model coping behaviors birokrat Puskesmas Model coping behaviors yang dilakukan oleh street-level bureaucrats dalam pelayanan kesehatan di Puskesmas pada prinsipnya tidak diketahui oleh semua warga masyarakat yang menggunakan jasa pelayanan pada unit pelayanan tersebut termasuk motiv yang ada dibalik perilaku tersebut. Bentuk coping behaviors oleh petugas Puskesmas sifatnya sangat dinamis, karena tidak ada mekanisme tertentu yang selalu sama dengan mekanisme coping lainnya yang dilakukan pada Puskesmas yang berbeda atau Puskesmas lainnya atau pada Puskesmas yang sama pada situasi yang berbeda misalnya pada hari dan waktu yang berbeda. Sekalipun dalam Puskesmas yang sama tetapi waktu yang berbeda atau orang (petugas) yang berbeda bisa juga mekanisme coping yang ditampilkan memiliki perbedaan atau dinamika tersendiri. Perilaku yang terlihat oleh birokrat street-level dalam mengendalikan dan mengatasi keterbatasan akan sumber daya yang dimiliki terkait dengan pelaksanaan pelayanan kepada warga masyarakat yakni memodifikasi pekerjaan sesuai dengan kemampuannya, ada beberapa bentuk modifikasi pekerjaan disini antara lain, mengurangi waktu pelayanan, mengurangi frekuensi kegiatan, menggabungkan kegiatan, dan sengaja tidak membuat program atau kegiatan yang seharusnya dibuat dan dilaksanakan. Dari berbagai bentuk modifikasi tersebut, dari penilaian warga masyarakat yang mendapatkan pelayanan dari Puskesmas ditanggapi beragam. Tetapi pada umumnya respon warga masyarakat ditanggapi negatif atau tidak menguntungkan dari sisi pelayanan yang diperoleh oleh warga masyarakat yang membutuhkan. Sebagaimana informasi yang diperoleh dari salah seorang informan warga masyarakat dijelaskan sebagai berikut: ―kadang-kadang petugas Puskesmas disini membuka loket pendaftaran agak lambat tetapi tutupnya cepat…., saya kira kalau begitu merugikan kami warga masyarakat. Biasa juga kita datang mau periksa tetapi petugas (perawat) bilang ―tidak ada dokter‖, dan kita disuruh lagi datang besok dengan alasan dokternya pergi pertemuan di dinas‖. Penjelasan informan di atas terlihat bahwa kadangkala petugas melakukan kegiatan luar Puskesmas seperti promosi kesehatan, sehingga kalau bertepatan pada saat adanya kegiatan promosi kesehatan maupun kunjungan lapangan yang dilakukan, maka pelayanan rawat jalan pada Puskesmas dikurangi waktunya. Sebagaimana terlihat kadang-kadang dokter (petugas medis) dan perawat serta tenaga paramedis lainnya mengurangi waktu pelayanan rawat jalan pada poliklinik di Puskesmas karena ada kegiatan lain yang akan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
207
dilaksanakan, dimana mereka harus turun lapangan melakukan peninjauan (survey) maupun
melakukan
kegiatan penyuluhan terkait dengan program promosi kesehatan. Pada situasi seperti ini pasti ada kegiatan lain yang dikurangi waktu pelayanannya, karena hal tersebut tidak dapat dilakukan secara bersamaan karena terbatasnya jumlah petugas. Salah satu penyebab birokrat street-level melakukan perilaku coping adalah karena terbatasnya sumber daya yang dimiliki organisasi dalam melaksanakan tugas pelayanan yang menjadi fungsinya. Kekurangan sumber daya seperti halnya yang terjadi pada Puskesmas di Kota Makassar tidak hanya sarana dan prasarana tetapi juga sumber daya manusia. Untuk menutupi kekurangan yang ada sekarang ini di Puskesmas dilakukan berbagai cara seperti memanfaatkan tenaga sukarela, tenaga kontrak, dan tenaga siswa dan mahasiswa yang magang. Supaya program-program Puskesmas dapat terlaksana secara minimal, maka terjadinya kekurangan tenaga tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak melaksanakan program, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang Kepala Puskesmas dikatakan sebagai berikut: ―Memang dirasakan hambatan utama dalam melaksanakan program-program pelayanan kesehatan di Puskesmas adalah kurangnya sumber daya manusia, oleh sebab itu supaya semua kegiatan yang sudah diprogramkan, maka kami disini memanfaatkan secara optimal semua tenaga yang ada sesuai dengan kecakapan mereka masing-masing, dan para pegawai disini diharapkan saling mendukung dan membantu setiap rekan kerja yang membutuhkan sekalipun tidak dalam unit kerja yang sama, termasuk tenaga-tenaga seperti siswa dan mahasiswa magang (kerja praktek) disini juga dimanfaatkan tenaganya, memang tidak semua tapi kita pilih-pilih diantara mereka yang dianggap punya skill yang bagus‖. Hasil observasi lapangan memperlihatkan, bahwa Kepala Puskesmas memang secara optimal memanfaatkan tenaga yang ada dalam Puskesmas. Namun hal ini tidak berarti bahwa petugas medis dapat digantikan perannya dengan tenaga lain yang tidak memiliki kecakapan sesuai bidangnya. Namun dalam hal untuk mensupport tugas tenaga medis beberapa tenaga sukarela maupun siswa/mahasiswa magang juga diperbantukan pada pelayanan khususnya pelayanan rawat jalan. Jadi tugas tenaga sukarela tersebut tetap tidak menggantikan posisi tenaga medis yang ada tetapi hanya sebagai tenaga yang memberikan bantuan untuk pekerjaan-pekerjaan yang memang bisa ditangani oleh tenaga yang bersangkutan. Menyikapi perilaku birokrasi yang dilakukan oleh pimpinan instansi dalam mengoptimalkan fungsi sumber daya manusia yang ada pada Puskesmas direspon positif oleh warga masyarakat terutama dalam pelayanan rawat jalan maupun perawatan inap yang ada pada Puskesmas yang menyediakan pelayanan ini. Sebagaimana dijelaskan oleh salah seorang informan berikut: ―bahwa keberadaan tenaga-tenaga magang ini cukup membantu dan memperlancar pekerjaan dokter dan perawat karena adanya mereka ini kita tidak terlalu lama menunggu jika akan diperiksa dokter. Seperti yang kita lihat itu, sebelum masuk ruang periksa terlebih dahulu diperiksa tekanan darahta, dan berat badan oleh adik-adik perawat itu (tenaga magang), jadi kalau sudah didalam (ruang periksa dokter) dokter langsung lihat kartuta (buku berobat) kemudian diperiksa lalu diberikan resep‖. Penjelasan informan di atas menunjukkan bahwa keberadaan tenaga sukarela (siswa/mahasiswa magang) pada Puskesmas memang dirasakan sangat membantu dan memperlancar tugas pekerjaan tenaga medis maupun paramedis yang ada. Tugas-tugas yang tadinya semua dilaksanakan oleh dokter sebagiannya bisa
208
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
ditangani oleh tenaga lain sehingga dapat mempercepat proses pelayanan pasien. Dengan cara seperti ini antrian pasien tidak terlalu panjang dan tidak terlalu lama menunggu untuk dilayani. Coping behaviors yang dilakukan oleh street-level bureaucrats pada Puskesmas, untuk perilaku mengurangi pelaksanaan beberapa program dapat berwujud seperti frekuensi kegiatan yang dikurangi, misalnya kegiatan promosi kesehatan (penyuluhan) semestinya dilakukan sekali sebulan, kadang-kadang pelaksanaannya per triwulan. Sedangkan perilaku tidak melaksanakan beberapa program yaitu program yang ada dianggap tidak penting atau petugas menganggap bahwa tidak ada sesuatu yang perlu dilakukan pada program yang ada, apalagi jika misalnya tidak ada kasus-kasus yang spesifik yang muncul. Sebagaimana diketahui program-program yang dilaksanakan di Puskesmas sangat banyak. Secara umum terdapat dua program yang menjadi tugas utama Puskesmas yaitu program pokok yang meliputi beberapa kegiatan seperti program promosi kesehatan, program P2M, program pengobatan dan perawatan, program kesehatan ibu dan anak, program KB, program upaya peningkatan gizi masyarakat, program sanitasi dan kesehatan lingkungan. Sedangkan program pengembangan atau biasa disebut program pelayanan kesehatan komunitas adalah kegiatan yang merupakan pengembangan program Puskesmas yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan Puskesmas. Program ini dilaksanakan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat, misalnya program ini dapat meliputi pelayanan. Berdasarkan pada banyaknya program dengan beberapa subprogram didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa petugas Puskesmas tidak mampu melaksanakan semua program tersebut secara simultan, sebagaimana dikatakan oleh salah seorang petugas Puskesmas sebagai berikut: ―…memang banyak sekali program yang ada pada Puskesmas, dan program yang paling mudah dilaksanakan adalah pelayanan pengobatan dan perawatan pasien, ini saya katakan mudah karena pasien yang datang ke Puskesmas. Sementara program lain agak sulit dilaksanakan karena kadang-kadang kita harus turun lapangan melakukan survai, pemeriksaan, penyuluhan, dan pengambilan sampel di lapangan. Untuk kegiatan seperti itu kadang-kadang kita laksanakan tergantung pada munculnya kasus. Tetapi sebagai antisipasi biasa sekali-sekali kita turun yang penting dari semua program yang ada terlihat ada yang terlaksana‖. Berdasarkan informasi di atas, dari hasil pengamatan memang terlihat kegiatan utama yang dilaksanakan oleh Puskesmas adalah kegiatan pelayanan rawat jalan (pemeriksaan dan pengobatan) dan perawatan inap jika Puskesmas memiliki layanan perawatan. Sehingga warga masyarakat juga memiliki penilaian bahwa Puskesmas itu hanya tempat orang berobat atau memeriksakan keluhan penyakitnya. Sedangkan fungsi Puskesmas lainnya seperti pelaksanaan program pengembangan kurang diketahui oleh masyarakat, sehingga jika tidak terlaksana juga tidak akan mendapat sorotan dari warga masyarakat. Terkait dengan pelaksanaan program pengembangan ini, sebagaimana dikatakan oleh salah seorang warga masyarakat (informan) yang ditanya terkait dengan kegiatan program ini yang dilaksanakan dikatakan sebagai berikut: ―saya tidak tahu kalau ada program-program seperti itu yang dilaksanakan oleh Puskesmas, setahu saya kegiatan Puskesmas..ya, seperti yang kita lihat ini, mengobati atau memeriksa pasien yang sakit kalau kita
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
209
datang disini (Puskesmas)…., sakit apapun kita kalau kesini pasti diperiksa dokter sepanjang mampu ditangani Puskesmas kita dilayani, tetapi kalau tidak bisa ditangani disini, kita disuruh ke rumah sakit dengan membawa surat rujukan‖. Informasi di atas memberikan penjelasan bahwa memang program pengembangan ini tidak diketahui oleh warga masyarakat. Adanya situasi ini membuat petugas Puskesmas tidak terlalu antusias melaksanakan program-program pengembangan maupun program lainnya yang merupakan program pokok sehingga pihak Puskesmas juga kadang mengabaikan atau tidak melaksanakan beberapa program yang sebenarnya tidak kalah pentingnya dengan program lainnya. Sebagai contoh bisa dikemukakan disini yaitu munculnya kasus gizi buruk balita, kasus seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika petugas Puskesmas sering melakukan penyuluhan atau pelacakan balita gizi buruk, begitu pula dengan munculnya penyakit-penyakit menular lainnya. Kalau hal seperti itu dilaksanakan oleh petugas Puskesmas, maka jumlah orang yang berkunjung ke Puskesmas dapat berkurang. Respon warga masyarakat terkait dengan perilaku mengurangi atau tidak melaksanakan beberapa program Puskesmas yang menjadi tugas pokoknya, sebagaimana informasi yang diperoleh pada umumnya warga tidak berpendapat merespon negatif atau positif, namun warga hanya mendukung jika memang ada program-program lainnya yang semestinya dilaksanakan oleh petugas Puskesmas bisa dilaksanakan. Tetapi yang terpenting oleh warga masyarakat adalah pelaksanaan pelayanan rawat jalan maupun rawat inap kalau ada, itulah yang harus selalu ditingkatkan pelayanannya. Menyederhanakan kegiatan dapat dimaknai sebagai kegiatan yang dilaksanakan oleh petugas Puskesmas yang menjalankan beberapa kegiatan dari beberapa program Puskesmas yang berbeda secara simultan, sebagaimana pepatah mengatakan ―sekali dayung dua tiga pulau terlampaui‖. Perilaku birokrasi penyelenggara pelayanan dalam menyederhanakan kegiatan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor penyebab, seperti karena terbatasnya waktu, kurang memadainya anggaran yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan, kurang tersedianya tenaga pelaksana kegiatan, dan masih rendahnya partisipasi warga masyarakat dalam mendukung program-program Puskesmas. Beberapa program yang dilaksanakan sebagai bentuk penyederhanaan kegiatan terlihat pada program promosi kesehatan. Pada program ini dapat dilaksanakan beberapa kegiatan secara bersamaan oleh petugas Puskesmas misalnya pada kegiatan penyuluhan ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan bersama-sama seperti penyuluhan tentang gizi dan sanitasi lingkungan. Juga kegiatan lain bisa dilaksanakan seperti survai tentang berbagai sumber-sumber penyakit menular. Sebagaimana dijelaskan oleh salah seorang informan dikatakan sebagai berikut: ―saya sering mengikuti beberapa program yang dilaksanakan oleh Puskesmas, misalnya kegiatan penyuluhan. Untuk pelaksanaan program ini memang dalam satu acara biasa dilakukan beberapa kegiatan, hal ini dilakukan karena agak sulit mengumpulkan warga untuk memperoleh informasi dari petugas Puskesmas, sementara kalau mau dikunjungi rumah warga satu persatu, saya kira hal itu sulit dilakukan karena petugas Puskesmas saya lihat sangat terbatas‖. Berdasarkan informasi di atas yang disampaikan oleh salah seorang warga yang menjadi kader Puskesmas, bahwa pelaksanaan beberapa program seringkali melibatkan warga untuk terlaksananya kegiatan
210
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
tersebut, sehingga petugas Puskesmas memanfaatkan betul jika ada kegiatan pengumpulan warga, maka pada saat itu bisa dilaksanakan beberapa program. Sementara dalam pelaksanaan pelayanan terhadap pasien rawat jalan, sering juga dijumpai perilaku penyederhanaan kegiatan. Misalnya jika kebetulan jumlah pasien cukup banyak pada waktu tertentu biasanya dokter yang memeriksa tidak terlalu lama dan seringkali pasien dengan keluhan penyakit tertentu mereka langsung dirujuk ke rumah sakit. Padahal ada beberapa pasien yang sebenarnya tidak perlu dirujuk, tetapi masih dapat ditangani oleh petugas Puskesmas. Bentuk penyederhanaan kegiatan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas pada dasarnya merupakan bentuk coping behaviors yang berusaha mengatasi dan mengendalikan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki institusinya. Terkait dengan itu, respon warga masyarakat terhadap perilaku penyederhanaan kegiatan Puskesmas beberapa warga menanggapi positif dalam arti mereka menerima saja, dan tidak mempersoalkan. Sebagaimana dijelaskan oleh warga sebagai berikut: ―Sebenarnya kita tidak terlalu mempersoalkan kalau ada cara untuk melaksanakan program yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dalam melaksanakan beberapa programnya secara b ersamaan, yang penting bagi kami ini warga masyarakat adalah bagaimana upaya yang dilakukan oleh petugas agar kami yang datang berobat kesini dapat dilayani dengan baik dan cepat, itu saja harapan warga‖. Penjelasan informan di atas menegaskan bahwa persepsi mereka tentang pelayanan Puskesmas adalah hanya pada pelayanan pengobatan saja, sementara jenis pelayanan lainnya yang sebenarnya tidak kalah pentingnya namun kurang diketahui oleh warga masyarakat. Oleh sebab itu cara yang dilakukan oleh petugas dalam menyederhanakan pekerjaannya kurang ditanggapi sebagai salah satu bentuk cara pengendalian atau mengatasi banyaknya tugas pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh petugas Puskesmas. Bagi warga masyarakat sendiri yang terpenting adalah pelayanan pengobatan dan pemeriksaan yang tidak boleh terabaikan. Bentuk coping behaviors yang dilakukan oleh street-level bureaucrats dengan cara memaksakan kepatuhan klien bertujuan supaya petugas Puskesmas tidak terlalu direpotkan oleh berbagai urusan-urusan terkait dengan pelayanan warga. Oleh sebab itu dengan cara seperti ini suka atau tidak suka warga harus patuh terhadap peraturan yang sudah dibuat oleh Puskesmas. Ada beberapa bentuk coping behaviors yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dalam memaksakan kepatuhan kepada klien, diantaranya adalah menuntut kepatuhan klien terhadap waktu pelaksanaan pelayanan, mentaati prosedur yang telah ditetapkan melalui SOP jika ada, menerima keputusan yang telah dibuat oleh petugas medis atau petugas Puskesmas lainnya, dan menentukan sendiri program yang akan dilaksanakan. Dari berbagai hal terkait dengan kemauan petugas Puskesmas supaya warga masyarakat mematuhi segala ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan peraturan yang dibuat oleh Puskesmas hal ini menimbulkan respon yang kadangkala kurang diterima baik oleh warga masyarakat. Sebagaimana dipaparkan oleh salah seorang warga yang diwawancarai sebagai berikut: ―kami ini warga yang datang berobat ke Puskesmas, mendengar dan mentaati saja apa yang menjadi peraturan Puskesmas karena kalau tidak diikuti biasa kita tidak dilayani. Misalnya saja kalau datangki berobat disini tidak membawa kartu berobat atau KTP/KK, apalagi kalau pertama kalinya kita datang
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
211
kesini mau berobat biasa kita disuruh pulang dulu ambil surat-surat, atau kalau tidak mau repot, ya harus kita membayar, katanya itu sesuai dengan aturan walikota‖. Sesuai dengan informasi di atas dapat dimaknai bahwa pihak petugas menghendaki adanya kepatuhan warga terhadap aturan pelayanan yang telah dibuat oleh pihak penyelenggaran layanan (Puskesmas). Dalam kaitan ini, pihak klien (warga) berada pada posisi lemah dimana mereka tidak memiliki kekuatan atau daya tawar untuk menolak apa yang menjadi aturan pihak penyelenggara layanan, karena pihak klien berada pada posisi yang membutuhkan. Kepatuhan warga masyarakat dalam mengikuti prosedur pelayanan yang telah ditentukan oleh pihak Puskesmas memberikan keuntungan bagi Puskesmas sendiri karena petugas Puskesmas dapat melaksanakan tugasnya dengan lancar, tertib, dan tepat waktu. Sebagaimana dituturkan salah seorang responden sebagai berikut: ―Kami sudah membuat standar operasional prosedur dalam pelayanan seperti yang kita lihat itu, sebenarnya kalau warga mengikuti semua prosedur yang ada sesuai ketentuan, kami dapat mengerjakan tugas pelayanan dengan lancar dan pelayanan bisa cepat, hanya saja persoalannya masih banyak warga yang kurang mentaati prosedur yang sudah dibuat itu. Misalnya sudah ditentukan jam pelayanan loket hanya sampai jam 11.00 tetapi ada saja warga yang datang lewat dari jam tersebut dan kadang-kadang mereka tidak mau tahu bahwa loket sudah tutup dan biasanya memaksa untuk dilayani. Tidak hanya itu, pelayanan kesehatan gratis disini mutlak dibutuhkan adanya persyaratan administrasi seperti warga yang mau dilayani harus memperlihatkan kartu Jamkesmas, atau KTP/KK sebagai bukti bahwa mereka memang warga yang berada dalam wilayah kerja Puskesmas, namun seringkali ada warga yang datang tidak membawa kartu berobat atau KTP/KK atau mereka berdomisili diluar wilayah kerja Puskesmas, kalau kejadiannya seperti ini sebenarnya tidak boleh dilayani tetapi disarankan untuk ke Puskesmas tempat mereka berdomisili. Hanya saja masalahnya warga bersangkutan tidak mau mengerti, yang penting dia harus dilayani. ….jadi dengan situasi seperti ini seolah-olah tidak ada gunanya standar prosedur pelayanan itu dibuat karena semau-maunya saja warga. Dan celakanya kalau kami tidak melayani kamilah yang disoroti‖. Informasi yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa pada setiap Puskesmas sudah ditentukan standar pelayanan masing-masing. Supaya pelayanan berjalan dengan lancar dan tepat waktu, petugas Puskesmas menghendaki adanya kepatuhan pasien terhadap seluruh proses dan prosedur pelayanan terutama pelayanan rawat jalan. Petugas beranggapan bahwa jika kepatuhan pasien rendah, maka pasti dampaknya pada kerugian bagi petugas Puskesmas karena mereka tidak dapat mengerjakan pekerjaan lainnya yang juga merupakan program Puskesmas yang harus diselesaikan. Oleh sebab itu dengan memaksakan kepatuhan pasien terhadap aturan Puskesmas, maka cara seperti itu merupakan salah satu solusi bagi Puskesmas dalam menghadapi banyaknya jumlah pasien yang harus dilayani setiap hari. Perilaku memaksakan kepatuhan klien (warga masyarakat) terhadap peraturan Puskesmas kadangkala hal ini tidak dapat dilaksanakan secara konsisten oleh petugas, sebagaimana yang terlihat dari hasil pengamatan terhadap sikap petugas dalam memberikan pelayanan terutama bagi pasien yang dianggap tidak mematuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh pihak Puskesmas bisa menjadi berbeda pelaksanaannya, misalnya ada pasien
212
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
yang menerima penolakan jika mereka dianggap tidak mematuhi aturan, dan ada juga pasien sekalipun dianggap tidak mematuhi aturan prosedur pelayanan yang ada namun tetap mendapatkan pelayanan. Perbedaan perlakuan dari petugas dalam menghadapi klien seperti itu dapat disebabkan berbagai faktor. Misalnya jika ada pasien yang ―ngotot‖ atau memaksakan keinginan, biasanya petugas juga berkeras untuk tetap tidak melayani kecuali jika mereka benar-benar memiliki penyakit serius yang perlu ditangani segera, kalaupun hal ini mendesak biasanya mereka dirujuk ke rumah sakit. Namun jika menghadapi pasien yang agak sabar biasanya petugas cukup merespon dengan baik. Begitu juga jika kebetulan pasien yang datang cukup dikenal atau memiliki keluarga pegawai Puskesmas mereka biasanya direspon baik, dan dilayani sepanjang masih ada dokter yang bertugas. Pada beberapa Puskesmas yang ada di Kota Makassar yang menyediakan pelayanan perawatan dan pelayanan unit gawat darurat, jika ada pasien yang datang pada saat loket registrasi pelayanan sudah tutup biasanya mereka diarahkan pada pelayanan unit gawat darurat yang buka selama 24 jam. Tetapi kondisi ini kadangkala ada pasien yang tidak mau ditangani di pelayanan UGD kalau mereka lihat Puskesmas masih buka (masih dalam jam kerja), kecuali jika jam kerja sudah selesai pada umumnya pasien menerima. Terkait dengan perilaku memaksakan kepatuhan kepada klien oleh petugas Puskesmas ini sebagian besar warga masyarakat merespon secara negatif dalam arti mereka tidak dapat menolak apa yang sudah menjadi aturan Puskesmas, dalam hal ini warga masyarakat berada pada posisi subordinasi yakni mereka khususnya warga kurang mampu yang mendominasi pengguna layanan Puskesmas sangat tergantung pada pelayanan Puskesmas ini karena tidak adanya pilihan bagi mereka untuk berobat ketempat lain, sebab hanya Puskesmas beserta rumah sakit rujukan yang memberikan pelayanan kesehatan yang tidak berbayar. Sehubungan dengan itu warga masyarakat pengguna layanan Puskesmas akan tunduk pada peraturan Puskesmas, sekalipun diantara mereka ada juga yang mengeluh.
KESIMPULAN Pembahasan mengenai konstruksi model perilaku birokrasi penyelenggara pelayanan kesehatan pada Puskesmas memperlihatkan bahwa program-program pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya tidak dapat dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan secara simultan pada Puskesmas yang ada di Kota Makassar karena keterbatasan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Akibat dari keterbatasan tersebut pada akhirnya birokrat penyelenggara pelayanan melakukan coping behaviors yang meliputi perilaku-perilaku seperti perilaku memodifikasi konsep tentang pekerjaan. Perilaku ini terlihat pada perilaku memodifikasi pekerjaan sesuai kemampuan, perilaku memanfaatkan sumber daya manusia secara maksimal, perilaku mengurangi atau tidak melaksanakan beberapa program atau kegiatan, perilaku menyederhanakan pekerjaan, dan
perilaku
memaksakan kepatuhan pelanggan. Respon warga masyarakat sebagai pihak yang dilayani oleh para birokrat penyelenggara pelayanan kesehatan pada Puskesmas menunjukkan respon yang cukup beragam, dari beberapa bentuk coping behaviors tersebut pada umumnya direspon positif diterima sebagai konsekuensi dari segala keterbataasan pelayanan atau tidak secara ekstrim ditolak, hanya perilaku memaksakan kepatuhan klien yang direspon negatif khususnya kepatuhan pada jam pelayanan registrasi pasien.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
213
DAFTAR PUSTAKA Cooper, Terry L., 2001. Handbook of Administrative Ethics. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York. Davidow H., William, dan Uttal, Bro, 1989. Total Customers Service The Ultimate Weapon. The Free Press, New York. Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B., 2003. The New Public Service: Serving, Not Stering. M.E. Sharpe, New York. Frederickson, G. H., and Smith, Kevin B., 2002. The Public Administration Theory Primer. Westview Press. United States of America. Gibson,J.L., Ivancevich, J.M., Donnelly, J.H., 1996. Organisasi Perilaku Struktur dan Proses. Erlangga, Jakarta. Keban, Yeremias T., 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu. Edisi-2. Gava Media, Yogyakarta. Lipsky, Michael, 1980. Street-Level Bureaucracy Dilemmas of the Individual in Public Services. Russel Sage Foundation, New York. Riggs, Fred W., 1998. Administrasi Negara-Negara Berkembang: Teori Masyarakat Prismatik. (Terjemahan Yasogama). CV Rajawali, Jakarta. Robbins, Stephen P., 2008. Perilaku Organisasi. Edisi ke-10. Terjemahan. PT Indeks, Jakarta. Rochadi, Sigit, 2008. ―Perubahan Paradigma Pelayanan Publik‖. Dalam Sinambela, Lijan Poltak, et.al., Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implementasi. Bumi Aksara, Jakarta. Roth, Gabriel. 1987. The Private Provision of Public Service in Developing Countries, EDI Series in Economic Development, Published for the World Bank, Oxford University Press.
214
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Mengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia Untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Perkotaan: Studi di Puskesmas Kota Surabaya
Falih Suaedi Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga [email protected]
Abstrak: Kelompok miskin pada umumnya mempunyai status kesehatan yang lebih rendah dibandingkan dengan status kesehatan rata-rata penduduk. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier). Data SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa sebagian besar (48,7 %) masalah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan adalah karena kendala biaya, jarak, dan transportasi. Selain mengenai masalah kendala, masyarakat miskin biasanya lebih rentan terhadap penyakit dan mudah terjadi penularan penyakit karena berbagai kondisi, seperti kurangnya kebersihan lingkungan dan perumahan yang saling berhimpitan, perilaku hidup bersih masyarakat yang belum membudaya, pengetahuan terhadap kesehatan dan pendidikan yang umumnya masih rendah. Kondisi di atas bertambah parah karena bagi warga miskin, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memuaskan adalah hal yang sangat sulit. Penelitian yang dilakukan mengenai pelayanan rumah sakit bagi masyarakat miskin memperlihatkan bahwa pasien miskin di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta serta Puskesmas, umumnya memiliki tingkat kepuasan yang kurang memadai, diantaranya pada pelayanan administrasi yang dinilai rumit, berbelit, kurang informasi, petugas yang kurang ramah, tidak diberikan resep obat generik, dan pelayanan yang memakan waktu cukup lama. Puskesmas merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan dasar yang paling sering digunakan, paling luas penyebarannya dan dapat langsung dijangkau oleh masyarakat. Dari fungsi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa puskesmas merupakan ujung tombak dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat miskin. Namun demikian, pelayanan yang diberikan oleh puskesmas kepada masyarakat miskin belum maksimal. Salah satunya, kurang ramahnya respon yang diberikan petugas di Puskesmas ketika memberikan layanan, membuat warga jera untuk berobat ke Puskesmas. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif diskriptif. Teknik penarikan informan menggunakan Purposive Sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik indepth-interview dan data dokumen. Hasil kajian menunjukkan bahwa yang paling sering terjadinya insiden pelayanan adalah menyangkut soft-skill atau soft competence SDM Puskesmas dan sekaligus yang paling dibutuhkan oleh masyarakat miskin
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
215
dalam pelayanan puskesmas. Pelayanan pada masyarakat miskin diperlukan prakondisi yang “menghargai martabat mereka” karena mereka tak punya bargaining position yang kuat, dan hal demikian bisa tumbuh pada SDM yang mempunyai soft-competence yang tinggi.
Kata kunci: Pengembangan Sumberdaya Manusia, Kualitas Pelayanan, Puskesmas, Masyarakat miskin
Pendahuluan Kelompok miskin pada umumnya mempunyai status kesehatan yang lebih rendah dibandingkan dengan status kesehatan rata-rata penduduk. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier). Data SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa sebagian besar (48,7 %) masalah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan adalah karena kendala biaya, jarak, dan transportasi. Selain mengenai masalah kendala, masyarakat miskin biasanya lebih rentan terhadap penyakit dan mudah terjadi penularan penyakit karena berbagai kondisi, seperti kurangnya kebersihan lingkungan dan perumahan yang saling berhimpitan, perilaku hidup bersih masyarakat yang belum membudaya, pengetahuan terhadap kesehatan dan pendidikan yang umumnya masih rendah. Kondisi di atas bertambah parah karena bagi warga miskin, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memuaskan adalah hal yang sangat sulit. Penelitian yang dilakukan mengenai pelayanan rumah sakit bagi masyarakat miskin memperlihatkan bahwa pasien miskin di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta, umumnya memiliki tingkat kepuasan yang kurang memadai, diantaranya pada pelayanan administrasi yang dinilai rumit, berbelit, kurang informasi, petugas yang kurang ramah, tidak diberikan resep obat generik, dan pelayanan yang memakan waktu cukup lama. Selain itu, keharusan membayar uang muka juga menjadi penghalang bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Selain rumah sakit, salah satu upaya pemerintah dalam peningkatan kesehatan masyarakat adalah dengan mendirikan puskesmas. Puskesmas merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan dasar yang paling sering digunakan, paling luas penyebarannya dan dapat langsung dijangkau oleh masyarakat. Menurut Kepmenkes RI No. 128/Menkes/SK/II/2004, puskesmas merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kab/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sehingga puskesmas bertugas untuk menyelenggarakan pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan bertindak sebagai pusat pelayanan kesehatan strata I, meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat. Dari fungsi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa puskesmas merupakan ujung tombak dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi puskesmas untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut, mutu pelayanan puskesmas dan tingkat pemanfaatan layanan puskesmas sangat terkait dengan kompetensi sumber daya manusia yang memberi pelayanan bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan bermutu adalah tingkat pelayanan yang dapat
216
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
memberi kepuasan kepada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta tata cara penyelenggaraannya sesuai standar dan etika profesi yang telah ditetapkan. Namun demikian, pelayanan yang diberikan oleh puskesmas kepada masyarakat miskin pada kenyataannya belum maksimal. Bahkan, kondisi tersebut masih ditemui di kota besar, salah satunya adalah di Surabaya. Menurut Sekretaris Komisi D Bidang Kesra dan Pendidikan DPRD Surabaya, Muhammad Alyas, keluhan yang dirasakan warga selama ini adalah mahalnya biaya karcis untuk sekali layanan. Selain itu, kurang ramahnya respon yang diberikan petugas paramedis di Puskesmas ketika memberikan layanan, membuat warga jera untuk berobat ke Puskesmas. Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Baktiono, juga menyatakan bahwa pihaknya sering menerima laporan dari masyarakat mengenai jam operasional puskesmas yang lebih pendek. Jadwal tutup puskesmas semestinya adalah pukul 14.30, justru dilakukan lebih awal. Lebih lanjut, Baktiono mengatakan bahwa banyak juga yang melaporkan adanya penolakan dari puskesmas untuk memberikan rujukan ke rumah sakit. Hal ini rata-rata dikeluhkan oleh pasien dari keluarga miskin. Selain itu, kasus terbaru terjadi di Puskesmas Sememi, dimana pelayanan yang buruk merupakan imbas dari kepemimpinan yang buruk. Seorang pegawai mengatakan bahwa pihaknya sering ditekan secara sewenangwenang oleh Kepala Puskesmas, terutama masalah rujukan mengantar pasien. Semua pegawai harus siap dan mau menjadi sopir ambulance apabila diperlukan. Padahal Dinas Kesehatan Kota Surabaya sudah menyiapkan sopir ambulance, tapi semua itu dipergunakan untuk kepentingan pribadi kepala puskesmas, karena dia merasa berwenang, terlebih lagi sopir tersebut adalah adik kandungnya sendiri. Berbagai macam permasalahan terkait pelayanan puskesmas di Surabaya tersebut sebagian besar berangkat dari kualitas SDM yang buruk. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk mengembangkan kompetensi sumber daya manusia untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin perkotaan: studi di Puskesmas Wilayah Kota Surabaya.
Perumusan Masalah Dengan mempertimbangkan pentingnya pelayanan kesehatan yang berkualitas, maka keberadaan sumber daya manusia yang kompeten merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh puskesmas. Oleh sebab itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah pengembangan kompetensi sumber daya manusia untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin perkotaan: studi di puskesmas wilayah Kota Surabaya? Landasan konseptual
Pengembangan Kompetensi Dalam Human Resources Champions (1997), Ulrich menguraikan beberapa hal dalam pengembangan kompetensi sumber daya manusia, yaitu: 1.
Menciptakan manajemen SDM yang ideal agar efektif dalam mencapai tujuan-tujuan perusahaan. Fungsi SDM yang ideal tercapai jika berhasil mengelola SDM perusahaan sehingga menghasilkan kinerja optimum. Untuk itu, fungsi SDM perlu diperankan sebagai strategic partner bagi elemenelemen lain dalam perusahaan.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
217
2.
Meningkatkan kompetensi karyawan dalam perusahaan secara berkesinambungan sehingga dihasilkan kompetensi yang mampu bertahan lama.
3.
Mengembangkan selection tools agar menemukan SDM berkualitas bagi perusahaan. Selection tools yang umum digunakan adalah behavior interview, assessment, knowledge test, dan motivational fit inventories. Organisasi yang berbasis-kompetensi perilaku juga mencakup juga penekanan atas integritas sebagai perilaku, yang diterjemahkan dalam perilaku nyata berupa keselarasan antara pikiran, perkataan, dan perbuatan yang mengacu pada kode etik perusahaan. Perusahaan dapat mengembangkan keterampilan ini dengan menekankan kejujuran (honesty), komitmen, dan konsistensi dari karyawan dalam seleksi dan pengembangan karyawan. Pengembangan kompetensi karyawan juga dapat dilakukan melalui iklim organisasi yang kondusif,
yaitu adanya hubungan yang baik di antara perusahaan dan karyawan. Beberapa hal yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut : 1.
Perusahaan menunjukkan pengakuan dan penghargaan atas peranan SDM sebagai sumber daya penting bagi kemajuan perusahaan. Perusahaan dapat mewujudkannya dengan memahami dan memenuhi hak-hak karyawan.
2.
Mengembangkan komunikasi yang lancar di antara perusahaan dan karyawan sehingga karyawan memahami pemenuhan hak-hak mereka dan pentingnya pengembangan kompetensi mereka sebagai kewajiban mereka terhadap perusahaan. Selain itu, perihal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan prinsip kemitraan di antara
perusahaan dan karyawan: Partners in production, partners profit, dan partners in responsibility. Jika prinsip kemitraan ini dikembangkan dengan baik, maka perusahaan akan memenuhi hak-hak karyawan sebagai bagian dari pertukaran nilai dengan para karyawan. Beberapa bukti konkrit tentang pengembangan suasana yang kondusif bagi kemitraan berkelanjutan adalah pengupahan yang memadai dan adil (minimal setara dengan UMR), tersedianya jaminan kesehatan dan keamanan kerja, terdapat kemerdekaan berserikat, praktik manajemen SDM yang tidak diskriminatif, hubungan-hubungan yang anti kekerasan mental dan fisik, maupun penerapan jam kerja yang adil dan manusiawi. Dalam meningkatkan kompetensi, terdapat dua tantangan utama yang harus diperhatikan: pertama, kompetensi harus berjalan dengan strategi bisnis. Kedua, kompetensi perlu diciptakan melalui lebih dari satu mekanisme. Dalam hal ini, ada lima cara untuk meningkatkan kompetensi: buy, build, borrow, bounce, dan bind (Ulrich, 1998). 1. Buy Cara ini dilakukan dengan mengganti karyawan yang lama dengan yang baru, yang memiliki kualitas lebih baik. Stratgei buy disini mencakup seleksi dan staffing mulai dari entry level sampai officer level. Metode ini akan berjalan baik bila bakatnya tersedia dan dapat diakses, selain itu metode ini memiliki resiko kegagalan yang besar. Perusahaan kemungkinan tidak menemukan bakat di luar perusahaan lebih baik atau lebih qualified dari bakat di dalam perusahaan. Dan jika bakat eksternal tidak dapat berintegrasi dengan perusahaan, kegagalan akan terjadi.
218
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
2. Build Investai dilakukan terhadap para karyawan untuk meningkatkan kualitas mereka menjadi lebih baik. Sebagaimana pembelajaran dalam bantuk program latihan formal, namun sebagian besar dalam bentuk on-thejob experience. Strategi build ini akan berjalan baik jika manajer senior manjamin bahwa pengembangan lebih dari sekedar pelatihan akademik, jika pelatihan didasarkan pada hasil dan bukan pada teori, jika pembelajaran sistmatik dari pengalaman kerja terjadi. Resiko dari penerapan strategi ini adalah menghabiskan dana sangat besar dan waktu untuk kepentingan pelatihan. 3. Borrow Dalam strategi ini, perusahaan mencari keluar sumber daya manusia yang mampu memberikan ide/gagasan, kerangka kerja, dan alat untuk menjadikan perusahaan lebih kuat. Penggunaan konsultan maupun partner yang efektif dimungkinkan untuk membagi pengetahuan, menciptakan pengetahuan baru, dan desain kerja. Banyak perusahaan sedang belajar bagaimana menggunakan konsultan dan bukan tergantung pada mereka. Strategi ini mensyaratkan adaptasi model dari konsultan dan bukan adopsi, karena setiap perusahaan memiliki cara yang berbeda untuk mengaplikasikan gagasan tersebut. Cara borrow ini juga memiliki resiko, yaitu adanya kemungkinan investasi yang sangat besar namun dengan return yang kecil. Selain itu, adanya kemungkinan perusahaan akan menjadi tergantung pada konsultan tanpa adanya transfer pengetahuan, serta penerapan metode dan gagasan tanpa adaptasi. 4. Bounce Perusahaan harus mengeluarkan karyawannya yang gagal melakukan tugas standar. Karyawan yang tetap bekerja maupun yang dikeluarkan harus memahami mengapa dan apa yang diharapkan dari mereka. Proses yang fair harus memenuhi persyaratan hukum. Resiko cara ini adalah jika dalam pengambilan keputusan lebih didasarkan pada persepsi dan bukan fakta, maka ada kemungkinan perusahaan mengalami kerugian dengan hilangnya karyawannya yang terbaik, selain itu kredibilitas manajemen akan turun sebagai akibatnya. 5. Bind Mengikat karyawan merupakan tindakan yang kritikal pada semua tingkat. Menjaga manajer senior yang memiliki visi, arahan, dan kompetensi sangat penting, dan menahan para teknikal, operasional, dan pekerja paruh wkatu juga merupakan hal yang penting karena investasi untuk membangun mereka memakan waktu yang lama. Perusahaan yang tidak menerapkan metode ini, meskipun telah menerapkan metode buy dan build, akan menciptakan intellectual capital bagi pesaing.
Metode Analisis Kompetensi Tidak seperti pendekatan tradisional untuk menganalisas pekerjaan, yang mengidentifikasikan tugas, pengetahuan,
keterampilan
yang
berhubungan
dengan
suatu
pekerjan,
pendekatan
kompetensi
mempertimbangakan bagaimana pengetahuan dan keterampilan tersebut digunakan. Pendekatan kompetensi juga mencoba mengidentifikasikan faktor tersembunyi yang sering kali sangat penting untuk kinerja superior. Pendekatan kompetensi menggunakan beberapa metodologi untuk membantu supervisor mengidentifikasikan contoh-contoh dari apa yang mereka maksudkan dengan sikap dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi efektivitas kerja. Menurut Mathis & Jackson, beberapa metodologi tersedia dan digunakan untuk
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
219
menentukan kompetensi, pada umumnya dengan ―behavioral event interviews‖ yaitu terdiri dari proses sebagai berikut: 1.
Suatu sistem senior manajer mengidentifikasikan bidang-bidang hasil kinerja masa depan yang penting untuk rencana strategis dan bisnis dari organisasi. konsep ini dapat lebih luas dari pada yang digunakan dimasa lampau.
2.
Grup panel dibentuk, terdiri dari orang-orang yang berpengatahuan tentang pekerjaan-pekerjaan di organisasi tersebut. Grup ini dapat beranggotakan baik pegawai yang berkinerja rendah maupun tinggi, supervisor, manajer, trainer, dan lainnya.
3.
Seorang fasilitator dari sumber daya manusia atau seorang konsultan luar mewawancarai anggota panel tersebut untuk mendapatkan contoh-contoh spesifik dari kelakuan pekerjaan dan kehadiran sebenarnya dalam pekerjaan. Selama wawancara orang-orang tersebut juga ditanyai tentang pikiran dan perasaannya selama setiap kejadian yang digambarkan.
4.
Menggunakan kejadian-kejadian tersebut, sang fasilitator membuat uraian rinci dari setiap kompetensi. Fase deskriptif ini harus jelas dan spesifik, sehingga pegawai, supervisor, manajer dan lainnya dalam organsiasi mempunyai pengertian yang lebih jelas mengenai kompetensi yang berhubungan dengan pekerjaan.
5.
Kompetensi-kompetensi tersebut diurutkan dan level yang dibutuhkan untuk mencapainya diidentifikasikan. Kemudian kompetensi dirincikan untuk setiap pekerjaan.
6.
Akhirnya standar kinerja diidentifikasikan dan dihubungkan dengan pekerjaan. Proses seleksi, pelatihan, pendidikan dan kompetensi yang sesuai terfokus pada kompetensi ahrus dibuat dan diimplementasikan.
Penerapan Kompetensi Berdasarkan Fungsi Sumber Daya Manusia Setiap oragansisi memiliki kompetensi yang berbeda, karena belum adanya peryaratan standar untuk menempati suatu posisi, serta penentuan pelatihan bagi sumber daya manusia belum sistematis maka aplikasi kompetensi diprioritaskan berdasarkan fungsi sumber daya manusia di organisasi. Menurut Mitrani, Dalziel, Fitt (1992); Spencer & Spencer (1993), dari pemikiran para ahli dapat diidentifikasikan beberapa pokok pikiran tentang kualitas yang perlu dimiliki orang pada eksekutif (executives), manajer (managers), dan karyawan (employees) dalam penelitian ini yang dibahas adalah mengenai kompetensi tingkat personil (dosen). Kompetensi karyawan/dosen diperlukan untuk mengidentifikasi pekerjaan yang sesuai dengan prestasi yang diharapkan. Kompetensi tingkat karyawan meliputi: 1.
Flexibility,
yaitu
kemampuan
untuk
melihat
perubahan
sebagai
suatu
kesempatan
yang
menggembirakan ketimbang sebagai ancaman. 2.
Information seeking, motivation, and ability to learn, yaitu kemampuan mencari kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan interpersonal.
3.
220
Achievment motivation, yaitu kemampuan berinovasi sebagai peningkatan kualitas, produktivitas.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
4.
Work motivation under time pressure, yaitu kemampuan menahan stres dalam organisasi, dan komitmen dalam menyelesaikan pekerjan.
5.
Collaborativeness, yaitu kemampuan pegawai untuk bekerja secara kooperatif di dalam kelompok.
6.
Customer service orientation, yaitu kemampuan melayani konsumen, mengambil inisiatif dalam mengatasi masalah yang dihadapi konsumen.
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas kasuistik sifatnya namun mendalam (in depth) dan menyeluruh (holistic), dalam arti tak mengenal pemilihan-pemilihan gejala secara konsepsional ke dalam aspek-aspeknya yang ekslusif yang kita kenal dengan variable.
Penelitian kualitatif ini juga sangat sesuai untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik
fenomena yang baru sedikit diketahui (Straus & Corbin, 2003). Penelitian kualitatif juga diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan temuan yang tidak berasal dari cata statistik atau dengan cara kualifikasi yang lain. Hal ini juga bisa mengacu pada penelitian tentang kemasyarakatan, sejarah, tingkah laku dan juga fungsi organisasi, perubahan sosial atau hubungan interaksional.
Selain itu, penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk pemecahan masalah ataupun menguji teori melainkan membangun dan mengartikulasikan pemahaman secara akumulatif. Khususnya berkaitan dengan penelitian yang ingin menjelaskan perilaku manusia dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya, Ambert dan kawan-kawan (1995) menyatakan sebagai berikut : ―the aim of qualitative research is to learn how and why people behave, think, and make meaning as they do, rather than focusing on what people do or believe on a large scale‖
Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian sebagai latar kajian selain didasari oleh beberapa fenomena yang ditemui secara empiris juga dibingkai dengan wawasan konseptual tentang fenomena tersebut. Penelitian ini akan dilaksanakan di tiga puskesmas yang berada di kelurahan termiskin di Surabaya, yaitu Kelurahan Sidotopo, Pegirian, dan Ujung.
Informan Penelitian Dalam penelitian kualitatif, penarikan sample tidak hanya meliputi keputusan-keputusan tentang orangorang mana yang akan diamati atau diwawancarai, tetapi juga mengenai latar-latar, peristiwa-peristiwa dan proses-proses sosial (Miles & Huberman, 1992). Kerangka konseptual dan permasalahan penelitian menentukan fokus dan batas-batas dimana sample akan dipilih. Dalam penelitian ini informan penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut: 6 unsur masyarakat yang sering berkunjung ke puskesmas, 6 unsur medis dan para medis puskesmas, 2 birokrat dinas kesehatan Kota Surabaya. Metode penentuan informan dilakukan secara Purposive.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
221
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian menyebutkan bahwa dominasi dalam dimensi kualitas pelayanan yang paling sering ditemukan dalam pelayanan puskesmas di wilayah miskin adalah masalah ‖responsivitas‖, perlakuan dan sikap melayani yang dilakukan oleh petugas puskesmas. Secara umum, kualitas pelayanan di puskesmas sudah baik dengan mendasarkan diri pada perspektif Parasuraman dan Zeithmal, namun keluhan yang paling menonjol dan sekaligus menjadi pusat perhatian dan sekaligus yang paling sensitif adalah menyangkut sikap dan perlakuan petugas pada saat melayani. Sebenarnya, banyak hal telah dilakukan oleh Petugas Puskesmas cukup baik namun ‖sensitifitas‖ pasien miskin terhadap pelayanan yang diterima sangat tinggi. Artinya standar pelayanan –dalam konteks ini yang menyangkut sikap dan perilaku serta responsivitas petugas puskesmas—sudah dijalankan sesuai dengan normanya. Namun hal tersebut belum cukup. Hal demikian menunjukkan bahwa standar baku, SOP pelayanan, standar kualifikasi baku, kualitas baku petugas puskesmas belum cukup. Kompetensi petugas yang lebih didasarkan pada pendekatan hard-skill atau hard competency, dimana proses perekrutannya hingga pengembangannya lebih banyak
nuansa hard skill ternyata berhadapan dengan kaum miskin yang
‖sensitif‖ternyata belum cukup terutama terhadap sikap dan perlakuan petugas. Tidak ada yang dipersalahkan dalam kondisi demikian. Perekrutan aparat birokrasi yang cenderung seragam tanpa memperhatikan kharakter pekerjaan dan yang dilayaninya (pasien/masyarakat), tentu harus membayar mahal dalam kasus ini. Masyarakat miskin yang termarjinalkan ternyata lebih ‖rumit‖ ditangani karena sensitifitasnya tinggi sebagai manifestasi dari rasa keterpinggirannya tersebut. Lalu, bidang kesehatan –kharakter pekerjaan—merupakan ekspresi dari pekerjaan yang berhadapan orang susah, orang sakit, bau dan kotor, lalu miskin lagi sehingga diperlukan kompetensi yang tidak biasa. Apa yang dimaksudkan dengan kompetensi tidak biasa adalah perlunya membangun kompetensi petugas pada bidang-bidang tertentu misalnya kesehatan dan pada tempat-tempat tertentu, misalnya masyarakat miskin. Lebih konkrit lagi adalah perlunya membangun soft-competence pada SDM yang menangani bidang kesehatan untuk masyarakat miskin. Kesimpulan Pelayanan kesehatan pada masyarakat miskin harus ditangani dengan sensitifitas yang tinggi, yaitu sensistifitas pada kondisi tanpa bergaining position mereka (kotor, bodoh, tak punya uang, miskin) dan sensitifitas pada aspek pelayanan kesehatan (orang sakit yang lenah, bau dan kotor). Hal demikian harus ditangni dengan pendekatan berbeda, perlakuan berbeda. Sayangnya, aparat birokrasi yang menangani di dua kondisi tersebut tidak ‖ dicetak secara khusus untuk memangani kondisi tersebut‖, namun dicetak secara massal sebagaimana umumnya, yaitu dengan pendekatan Hard-competence. Sayangnya hal tersebut belum cukup. Perlu pembekalan yang signifikan bagi petugas puskesmas di wilayah miskin agar meningkatkan kemampuan softskill/competence secara signifikan.
222
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Daftar Pustaka Aldrich,Paul and Whetten.2009, Analysing and managing policy processes in complex network, Administration & Society, May .28:90-119. Ambert, A. M., Adler, P. A., Adler, P., & Detzner, D. F. (1995). Understanding and evaluating qualitative research. Journal of Marriage and the Family, 57, 879-893. Goggin,M.,2005, Implementation Theory and Practice, Glenview,IL:Scott Foresman/Little,Brown. Miles, MB. & Huberman, AM. (1994). Qualitative Data Analysis (2nd edition). Thousand Oaks, CA: Sage Publications. McGuire, Michael, 2006, Collaborative Public Management, Public Administration Review, 66 (s1) 33-43. O‘Toole, Laurence J., 2004, The Theory-Practice Issues in Policy Implementation Research, Public Administration, Vo.82, Issue 2, p.309-329 Palan, R. 2007. Competency Management. PPM Indonesia : Jakarta Rhodes,RAW.,1990, Core executive studies in Britain, Public Administration, vol.68, Issue1 page 3-28, March. Sabatier, Paul, Jenkins-Smith, 1993, Policy Change and Learning:An advocacy coalition approach, Westview Press (Boulder,Colorado). Sabel, Charles F., 1994, Beyond Principal-Agent Governance, WRR. Strauss,A.,& Corbin,J., 1990, Basic of Qualitative Research:Grounded theory procedures and Techniques, Newbury Park,CA:Sage-Publications,Inc. Weinchhart, Georg, Kurt Fessl, 2002, Organitational network models and the implications for decision support systems, Preprints of 16th IFAC World Conggress,Praha.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
223
Optimalisasi Outcome Anggaran untuk Menciptakan Trust dalam Pengalokasian Belanja Pelayanan Publik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Hendri Koeswara Faculty of Social and Political Sciences University Andalas, Indonesia Tel: +62-813-7492-2408 E-mail: [email protected]
Abstract: Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan sebelumnya telah menunjukkan betapa pentingnya variabel trust dalam menunjukkan kinerja organisasi dalam pelbagai level. Makalah ini disusun berdasarkan hasil penelitian lanjutan tentang manajemen belanja publik dalam APBD di Kota Solok Provinsi Sumatera Barat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih ditemukan patologi anggaran yang mencerminkan
inefisiensi alokasi sebagai kegagalan mengaitkan antara kebijakan, perencanaan dan penganggaran karena sistem yang terfragmentasi. Salah satunya dapat dilihat dengan masih tingginya persentase belanja pegawai terhadap belanja tidak langsung yaitu sebesar 94% pada Tahun 2012, yang sangat jauh dari persentase ideal sebesar 60%. Di sisi lain, harus diakui sudah terdapat itikad baik pemerintah Kota Solok pada tahun anggaran berikutnya dengan meningkatnya proporsi untuk belanja langsung. Kondisi ini apakah merupakan konsekuensi logis upaya peningkatan “trust” di antara aktor perumus kebijakan anggaran dalam pengalokasian belanja publik dalam memainkan perannya dalam kebijakan APBD atau ada hal lain. Sebuah interprestasi yang jelas dan tegas pada outcome anggaran yaitu disiplin fiskal agregat, efisiensi alokasi, dan efisiensi operasional di Kota Solok akan dipaparkan dalam makalah ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendeskripsikan semua fakta dan fenomena dalam penyusunan anggaran, yang kemudian dilakukan analisis etik dan emik terhadap data yang ditemukan. Dengan mendeskripsikan data yang diperoleh, lalu menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, kemudian data yang banyak tersebut juga direduksi dengan jalan membuat abstraksi sebagai sebuah rangkuman inti. Sehingga dihasilkan kesimpulan yang bisa memberikan gambaran tentang optimalisasi outcome anggaran untuk menciptakan trust dalam kebijakan pengalokasian belanja pelayanan publik pada APBD.
Category: Enhancing public trust and ethics Keywords: Outcome Anggaran, Public Trust, Manajemen Belanja Publik, Patologi Anggaran.
224
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
PENDAHULUAN Organisasi sektor publik seperti organisasi pemerintah daerah, anggaran memainkan peranan penting dalam pengelolaan aktivitas pelayanan publik. Kebijakan penganggaran pada pemerintah daerah saat ini diatur oleh empat UU; yaitu perencanaan pembangunan daerah diatur yang diatur dalam UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan UU No.17/2004 yang mengatur tentang Pengelolaan Keuangan Negara. Konsekuensi logisnya adalah proses perencanaan dan penganggaran harus mengacu kepada keempat UU tersebut, walaupun tidak tertutup kemungkinan terdapat multitafsir dan multiinterpretasi terhadap kebijakan yang dikeluarkan itu. Proses perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang paling krusial dalam penyelenggaraan pemerintah daerah karena terkait dengan tujuan pemerintah daerah yang bercita-cita menyejahterakan rakyat di daerahnya.
Output dari proses perencanaan yang terintegrasi dalam konteks pemerintah daerah adalah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran menurut Wildavsky dalam Prawoto (2011) merupakan (i) catatan masa lalu; (ii) rencana masa depan (iii) mekanisme pengalokasian sumber daya; (iv) metode untuk pertumbuhan; (v) alat penyaluran pendapatan; (vi) harapan-aspirasi-strategi organisasi; (vii) satu bentuk kekuatan kontrol; dan (viii) alat atau jaringan komunikasi. Sedangkan APBD menurut Adisasmita (2011) suatu rencana operasional keuangan daerah, di satu pihak menggambarkan penerimaan daerah dan di lain pihak merupakan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dalam satu tahun anggaran. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa, total APBD Kota Solok dari Tahun 2009-2012 fluktuatif walau cenderung menunjukkan trend meningkat. Sempat turun sebesar 1,19% pada Tahun 2010 atau dari Rp 640.999.859.889,- menjadi Rp. 633.402.913.708,-. APBD Kota Solok kembali naik sebesar 9,47% pada Tahun 2011, dan tercatat kembali naik sebesar 13,1% pada Tahun 2012. Trend positif kenaikan APBD dari sisi perencanaan juga terjadi pada 2013, dimana APBD Kota Solok menjadi Rp. 841.807.682.296 atau naik sebesar 7,39%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat trend APBD Kota Solok pada grafik di bawah ini:
Grafik 1 Trend APBD Kota Solok 2008-2013
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
225
Jika dilihat dari belanja pelayanan publik, peningkatan total APBD tersebut tidak diiringi dengan kemampuan manajemen belanja Pemerintah Kota Solok. Belanja pelayanan publik selalu fluktuatif. Padahal dari sisi anggaran, idealnya belanja pelayanan publik tidak sepatutnya terjadi fluktuatif, trend yang ditunjukkan semestinya selalu meningkat sehingga amanat UU desentralisasi tidak terciderai dan aktor anggaran tidak melanggar komitmennya untuk selalu mengemban amanah dan membela kepentingan publik, sebagaimana yang diungkapkan oleh Halim (2001:19) bahwa proses anggaran yang telah disepakati antara pemerintah daerah dengan DPRD merupakan amanat rakyat. Trend total belanja APBD Kota Solok, belanja tidak langsung selalu lebih besar dari belanja langsung, alokasi sebesar 42% pada Tahun 2008, 51% pada 2009 dan mencapai puncak tertinggi 55% pada 2010, lalu turun 53% pada 2011, kembali turun menjadi 50% di 2012, dan naik kembali pada 2013 menjadi 53%. Sementara belanja langsung trendnya selalu menurun, padahal di Tahun 2008 persentasenya cukup baik yaitu sebesar 58%, tapi prestasi ini tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun anggaran selanjutnya. Seperti pada Tahun Anggaran 2009 hanya 49%, di Tahun Anggaran 2010 sebesar 45%, lalu meningkat sedikit menjadi 47% di 2011, naik lagi sebesar 50% di 2012, tapi kembali turun menjadi 47% di Tahun Anggaran 2013 ini. Sedangkan jumlah belanja pegawai dari belanja langsung dan tidak langsung trendnya selalu meningkat; yaitu 41 % di tahun 2008 51% pada tahun 2009, tetap di 51% pada 2010, turun menjadi 48% di 2011, lalu kembali naik di 2012 dan 2013 masing-masing sebesar 51% dan 53%. Lebih jelasnya trend belanja pelayanan publik dapat dilihat dari grafik berikut ini:
Grafik 2 Perbandingan Trend Belanja Langsung, Tidak Langsung, dan Belanja Pegawai 2008-2013
Outcome yang sangat urgen dalam manajemen belanja publik adalah disiplin fiskal agregat yang sangat menentukan kedua outcome yang lain yaitu efisiensi alokasi dan efisiensi operasional. Disiplin fiskal agregat lemah di Kota Solok dicirikan dengan masih terdapatnya patologi anggaran. Schick menjelaskan ada enam patologi anggaran yang dapat melemahkan disiplin fiskal, yang terdiri dari: (1) unrealistic budgeting; (2) hidden budgeting; (3) escapist budgeting; (4) deferred budgeting; (5) repetitive budgeting; dan (6) cashbox budgeting. Patologi anggaran yang paling menonjol di Kota Solok adalah unrealistic budgeting. Unrealistic budgeting merupakan sebuah situasi anggaran yang telah disetujui tidak bisa dilaksanakan. Hal tersebut terlihat dari tingginya angka defisit dan tingginya angka SILPA. Pada APBD Kota Solok tren
226
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
SILPA dari Tahun Anggaran 2008-2014, persentase terbaik yang pernah dicapai adalah sebesar 6%, tertinggi 10%, dan Tahun Anggaran SILPA di Kota Solok sebesar 8%. Tingginya angka SILPA disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pelampauan target pendapatan, efisiensi dari proses pengadaan barang dan jasa serta kegiatan yang tidak terealisasi. Faktor penyebab pertama dan kedua bisa diabaikan keberadaannya, tetapi faktor yang ketiga harus diberikan perhatian yang lebih. Terdapatnya outcome anggaran yang tidak optimal ini tentunya memicu rendahnya trust terhadap pemerintah Kota Solok. McEviliy, Perrone, and Zaheer (2003) mengungkapkan bahwa trust influences organizational outcome. Atau kerangka pikir yang dikemukan oleh Dirks and Ferrin (2001) bahwa trust affects organizational oucome. Sehingga bisa ditentukan pada level mana trust yang dimiliki oleh organisasi publik tersebut. Dan hal inilah yang akan dibincangkan dalam makalah ini tentang optimalisasi outcome anggaran untuk lebih meningkat trust dalam pengalokasian belanja pelayanan publik pada APBD di Kota Solok Sumatera Barat.
GAMBARAN APBD KOTA SOLOK APBD merupakan rencana operasional keuangan pemerintah daerah yang didalamnya terdapat banyak unsur. Diantaranya adalah; 1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara terperinci, 2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya terkait aktivitas tersebut, dan adanya biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran yang dilaksanakan, 3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angkat, 4. Periode anggaran, biasanya satu tahun (Anggarini, Yunita dan Puranto, B. Hendra, 2010).
Terkait dengan hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa APBD juga merupakan alat
akuntabilitas, manajemen dan kebijakan sehingga berfungsi sebagai untuk mewujudkan tujuan pembangunan di daerah yang termaktub di dalam RPJMD dibuat oleh pemerintah daerah. RPJMD tersebut merupakan referensi utama pemerintah daerah dalam memformulasikan APBD dan mengimplementasikannya. Dalam kajian ini, hal tersebutlah yang menjadi domain utama peneliti. Banyak pemerintah daerah yang tidak optimal dalam mengelola APBD-nya, seperti terkendala oleh implementasi APBD yang kurang efisien dan efektif karena kurangnya sinergi antara Kebijakan Umum APBD (KUA) dengan prioritas pembangunan. Ironisnya lagi, outcome anggaran yang menjadi tujuan akhir dari pengalokasian belanja yang mengakomodir segenap layanan yang dibutuhkan oleh publik menjadi tidak optimal. Disinilah letak relevansi pentingnya kajian ini untuk mengidentifikasi model penganggaran yang efektif untuk lebih memerhatikan belanja untuk publik. Reformasi yang dilakukan oleh Manajemen Belanja Publik diarahkan untuk mencapai tiga tingkatan outcome penganggaran, yaitu: (1) disiplin fiskal agregat; (2) efisiensi alokasi; dan (3) efisiensi operasional, dimana satu tingkatan outcome menjadi landasan bagi tercapainya tingkatan outcome berikutnya. Berdasarkan temuan data lapangan penelitian di Kota Solok, dapat dilihat trend dan perbandingan APBD bahwa total APBD Kota Solok dari Tahun 2011-2014 menunjukkan trend meningkat. Pada Tahun 2010 APBD Kota Solok sebesar Rp. 633.402.913.708,-, dan meningkat sebesar 9,5% pada Tahun Anggaran 2011 atau sebesar Rp. 693.381.734.053. Peningkatan terbesar APBD Kota Solok adalah sebesar 14,3% pada Tahun Anggaran 2014 ini yaitu sebesar Rp. 962.232.723.511. Padahal pada Tahun Anggaran 2013, APBD Kota Solok mengalami peningkatan paling kecil yaitu hanya sebesar 7,9% atau sebesar Rp. 841.807.682.296. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat trend APBD Kota Solok pada grafik di bawah ini:
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
227
Gambar 3 Trend APBD Kota Solok 2010-2014
Dilihat dari sisi Pendapatan Kota Solok yang terdiri dari PAD, Dana Perimbangan dan lain-lain Pendapatan Daerah yang sah selama kurun waktu 2011-2014, tren yang ada selalu menunjukkan peningkatan. Jika dibandingkan dengan data pendapatan nasional, rata-rata pendapatan provinsi dan kab/kota di Indonesia sejumlah Rp. 23,437 Milyar Tahun 2014, sedangkan pendapatan Kota Solok pada Tahun Anggaran sekitar Rp. 469 Milyar. Jika ditelaah lebih jauh pendapatan daerah Kota Solok didapat dari, sebagai berikut: 1.
Pajak Daerah naik sebesar Rp. 3.481.123.800 atau 32,14%
2.
Retribusi Daerah naik sebesar Rp. 8.574.482.272 atau 49,34%
3.
Hasil Pengelolalan Kekayaan Daerah yang dipisahkan naik, walau tidak signifikan yaitu hanya sebesar Rp. 6.720.015.125,64
4.
Sedangkan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah naik sebesar Rp. 11.413.139.789 atau 6%. Pada Tahun Anggaran dari sisi perencanaan hal tersebut tidak dapat dipertahankan, dimana PAD
Tahun 2014 yang turun sebesar 15,96%. Tapi dalam kajian ini belum diketahui penyebab penurunan target PAD Kota Solok tersebut. Padahal di sisi yang lain pajak daerah, retribusi, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan meningkat. Untuk lebih jelasnya dari sisi penerimaan dapat diketahui sebagai berikut: 1.
Pajak Daerah naik sebesar Rp. 4.878.400.000 atau 40,14%
2.
Retribusi Daerah naik sebesar Rp. 9.753.979.126 atau 13,76%
3.
Hasil Pengelolalan Kekayaan Daerah yang dipisahkan naik, sebesar Rp. 7.173.634.380 atau 6,75%
4.
Sedangkan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah turun drastis hanya sebesar Rp. 3.564.380.000 atau -68,77%.
Jika dibandingkan PAD Kota Solok dengan rata-rata PAD nasional (provinsi dan kab/kota), dapat dilihat dari grafik berikut ini:
228
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Grafik 4 Rasio Nasional Jumlah PAD Provinsi dan Kab/Kota 2014
Berdasarkan grafik di atas, PAD Kota Solok pada Tahun Anggaran 2014 menunjukkan rata-rata di atas Provinsi Sumatera Barat dan Nasional. Tetapi, jika dilihat kontribusi PAD terhadap pendapatan di bawah ratarata nasional yang sudah mencapai 17,3%. Hal ini berarti bahwa Kota Solok harus meningkatkan kontribusi PADnya terhadap pendapatan daerahnya. Di sisi lain, idealnya PAD semestinya tidak memberatkan masyarakat miskin dan tidak menyulitkan iklim usaha. Tapi masih dibutuhkan kajian lebih lanjut apakah penurunan PAD di Kota Solok ini dalam rangka hal tersebut atau penyesuaian target yang lebih realistis yang dapat dicapai oleh pemerintah kota. Trend kontribusi PAD terhadap sumber pendapatan pada APBD Kota Solok selalu di kisaran 6-7% dalam lima tahun terakhir (2009-2013), tetapi pada Tahun Anggaran 2014 kontribusi PAD Kota Solok terhadap APBD hanya di kisaran 5%. Walaupun begitu, PAD yang selalu diatas 15 Milyar yang didapat oleh Kota Solok, menjadikan daerah ini pada Tahun Anggaran 2014 kembali menjadi daerah yang tidak termasuk daerah yang rawan kehancuran ekonomi di era otonomi daerah.
Grafik 5 Perbandingan Pendapatan dan PAD Kota Solok 2010-2014
Dana perimbangan Kota Solok dari data tren dana perimbangan Tahun Anggaran 2010-2014 selalu meningkat. Peningkatan paling kecil hanya dicapai pada Tahun Anggaran 2013 yang hanya sebesar 4% atau dengan nominalnya sebanyak Rp. 335.886.010.373, malahan pada Tahun Anggaran 2010 mengalami penurunan -7% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu hanya sejumlah Rp. 240.541.846.940. sedangkan pada Tahun Anggaran 2012 dan 2014 kembali naik masing-masing sebesar 19 dan 18% atau sebesar Rp. 321.683.298.373 dan Rp. 397.130.500.711.
Sedangkan Dana Alokasi Umum trend 2010 dan 2014 selalu mengalami
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
229
peningkatan. Peningkatan paling tinggi dicapai pada Tahun Anggaran 2012 yaitu sebesar 18% atau dengan nominal Rp. 280.495.627.000, sedangkan peningkatan paling rendah terjadi pada Tahun Anggaran 2010 yang hanya sebesar 2% atau dengan nominal sebesar Rp. 210.134.688.000. sementara dari data perencanaan APBD untuk Tahun Anggaran 2014 penerimaan dari dana DAU meningkat sebesar 11% atau sebanyak Rp. 354.372.682.000.
Peningkatan ini tentunya terkait dengan intensitas perjalanan daerah pejabat daerah
Pemerintah Kota Solok ke Jakarta untuk meningkatkan DAU dan DAK. Dan, Pemerintah Kota Solok tidak mau mengulangi DAK pada Tahun Anggaran 2013 yang tidak didapatkan sama sekali, sehingga pada Tahun Anggaran 2014 DAK Kota Solok direncanakan sebesar Rp. 32.287.100.000. Di sisi yang lain, DAU yang dan DAK yang besar ini, kembali membuktikan bahwa ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana perimbangan. Pemerintah Kota Solok dari trend alokasi dana perimbangan terhadap pendapatan selalu di atas 70% seperti rata-rata nasional pada Tahun Anggaran 2010. Seperti pada Tahun Anggaran 2010 merupakan persentase tertingga yang dicapai oleh Kota Solok dimana 91% pendapatan Kota Solok berasal dari dana perimbangan. Lalu turun pada Tahun Anggaran 2011 menjadi 86%, dan turun kembali menjadi 85% pada Tahun Anggaran 2012. Persentase terbaik yang pernah dicapai oleh Pemerintah Kota Solok dari trend anggaran 2010-2014 adalah sebesar 83% pada Tahun Anggaran 2013. Sedangkan pada Tahun Anggaran 2014 kembali meningkat menjadi 85%. Sedangkan trend Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) cenderung fluktuatif. Setelah stabil pada Tahun Anggaran 2010 dan 2011 dengan anggaran sebanyak Rp. 7.757.703.240, meningkat pada Tahun Anggaran 2012 menjadi Rp. 11.671.080.795, dan dengan jumlah yang sama pada Tahun Anggaran 2013, tetapi pada Tahun Anggaran 2014 menurun menjadi Rp. 6.788.980.836. Sementara pendapatan APBD dari alokasi anggaran Bukan DBHP trend yang ditunjukkan juga fluktuatif. Tidak terdapat penerimaan pada Tahun Anggaran 2010, tapi pada Tahun Anggaran 2011 dialokasikan sebesar Rp. 5.372.225.000. kembali tidak terdapat penerimaan pada Tahun Anggaran 2012, tetapi mengalami kenaikan yang signifikan pada Tahun Anggaran 2013 dan 2014 yaitu masing-masing sebesar Rp. 27.874.286.000 dan Rp.39.887.069.040.
Hal ini berkebalikan dengan
penerimaan dalam APBD Kota Solok untuk alokasi penerimaan Bantuan Keuangan dari Provinis atau pemerintah daerah lainnya. Dari trend anggaran 2010-204, Pemerintah Kota Solok hanya sekali menerima pendapatan dari mata anggaran ini yaitu pada Tahun Anggaran 2010 yaitu sebesar Rp. 300.000.000. Secara umum, komposisi pendapatan pada APBD Kota Solok dapat dilihat dari grafik yang menggambarkan persentasi kontribusi PAD, Dana Perimbang dan lain-lain PAD yang sah dapat dilihat dari grafik berikut ini:
Grafik 6 Tren Perbandingan Pendapatan Kota Solok 2010-2014
230
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Mardiasmo (2009) menyatakan bahwa anggaran merupakan alat perencanaan manajemen untuk mencapai tujuan organisasi sehingga organisasi akan tahu apa yang harus dilakukan dan ke arah mana kebijakan akan dibuat. Dalam konteks ini, APBD haruslah berupaya untuk mencapai tujuan pemerintah daerah itu sendiri. Pada level pemerintah daerah banyak sekali dokumen yang mesti disiapkan oleh pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya. Kelengkapan dokumen kebijakan anggaran belanja daerah dituangkan dalam dokumen perencanaan daerah, yaitu pada Kebijakan Umum APBD, Prioritas dan Plafon Anggaran, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Menguatkan temuan penelitian sebelumnya, pada kajian kali ini berdasarkan data penelitian yang didapatkan di lapangan, Kota Solok sudah memiliki kelengkapan dokumen perencanaan tersebut. Artinya, dari kelengkapan dari sisi kebijakan belanja Kota Solok telah dipenuhi dengan baik. Sehingga modal dasar agar APBD yang disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) bisa melaksanakan fungsi-fungsi APBD itu sendiri; yaitu fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi dan stabilisasi (Bastian, 2009). Dan, menurut ahli ini, arah kebijakan anggaran banyak dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi, dan stabilitas ekonomi. Sehingga kebijakan belanja daerah itu memerlukan manajemen belanja yang akan menyesuaikan arah kebijakan anggaran yang merupakan alat untuk mengimplementasikan kebijakan ekonomi (Mahmudi, 2010). Pada era reformasi keuangan daerah bentuk APBD mengalami perubahan yang cukup mendasar, yaitu didasari oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman, Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah. Saat ini APBD digunakan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Pengelolaan Keuangan Daerah jo. Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 jo. Permendagri Nomor 21 Tahun 2011. Bentuk APBD terdiri atas tiga bagian utama yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan (katergori baru). Pos pembiayaan merupakan usaha agar APBD semakin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dan pendapatan daerah. Selain itu pos pembiayaan juga merupakan alokasi surplus atau sumber penutupan defisit anggaran. Sehingga nomenklatur belanja pelayanan publik pasca reformasi kebijakan penganggaran dalam era desentralisasi di Indonesia mengalami perubahan dalam APBD yang disusun oleh pemerintah daerah. Belanja pelayanan publik dalam kebijakan sebelumnya terdiri dari belanja; Administrasi Umum, Operasi dan Pemeliharaan, Modal, Bantuan Keuangan dan Tidak Tersangka. Menjadi belanja yang dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu, sebagai berikut: (1) Belanja tidak langsung, yaitu belanja yang tidak terkait langsung dengan program dan kegiatan pemerintah daerah. Belanja tidak langsung diklasifikasikan menjadi belanja pegawai yang berisi gaji dan tunjangan pejabat dan PNS daerah, belanja subsidi, belanja bunga, belanja hibah, belanja bagi hasil, belanja bantuan sosial, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga; (2) Belanja langsung, yaitu belanja yang tidak terkait langsung dengan program dan kegiatan pemerintah daerah. Belanja langsung dikelompokkan menjadi belanja pegawai yang berisi honorarium, dan penghasilan terkait langsung dengan pelaksanaan kegiatan belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Berdasarkan data penelitian yang didapatkan di lapangan didapatkan perbandingan antara belanja langsung dan tidak langsung sebagai berikut:
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
231
Tabel 1 Perbandingan Belanja Langsung dan Tidak Langsung APBD Kota Solok 2011-2014 Jenis Belanja
Persentase
Tahun Anggaran
Tidak
Langsung
Perbandingan
Langsung 2010
Rp.
Rp.
202,187,535,270
165,631,587,457
Rp.
Rp.
214,339,984,056
188,301,171,123
Rp.
Rp.
217,106,308,604
218,809,121,135
Rp.
Rp.
251,027,935,056
224,704,975,816
Rp.
Rp.
270.660.060.724
269.071.768.620
2011
2012
2013
2014
55:45
53:47
49:51
53:47
51:49
Persentase perbandingan antara belanja tidak langsung dengan belanja langsung APBD Kota Solok pada trend anggaran 2010-2014, selalu mengalami perubahan. Tetapi, alokasi belanja tidak langsung tidak seekstrim pada Tahun Anggaran 2010 yang mencapai 55% dari total anggaran. Pada Tahun Anggaran 2012 merupakan satu-satunya tahun anggaran yang mengalokasikan belanja langsung lebih besar daripada belanja tidak langsung. Sementara Tahun Anggaran 2014 perbedaan perbandingan antara belanja tidak langsung dan langsung sangat tipis sekali dan cenderung berimbang. Hal ini paling tidak menunjukkan ada itikad baik pemerintah Kota Solok untuk lebih memprioritaskan belanja untuk rakyat dengan memberikan prioritas yang lebih besar kepada belanja langsung dengan meredam belanja tidak langsung dengan perbandingan 51:49. Hal ini berbanding terbalik dengan data nasional untuk perbandingan belanja tidak langsung dan langsung, seperti yang ditunjukkan oleh grafik di bawah ini:
Grafik 7 Komposisi Nasional Belanja Tidak Langsung dan Langsung Tahun Anggaran 2014
232
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Dengan begitu maka anggaran sebagai instrument pengendalian yang digunakan untuk menghindari adanya pengeluaran yang terlalu besar (overspending), terlalu rendah (underspending), salah sasaran (misappropriation), atau adanya penggunaan yang tidak semestinya (misspending) bekerja dengan baik (Indrayeni dkk, 2013).
Pada pemerintah daerah, anggaran merupakan dokumen politik sebagai bentuk
komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas
penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu.
Anggaran digunakan untuk memusutusakan prioritas-prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tertentu. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJMD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang langsung dilakukan oleh pemerintah daerah maupun yang mendorong partisipasi rakyat. Dalam konteks ini, DPRD mempunyai peranan penting untuk memperhatikan arah belanja baik pada Belanja Langsung maupun Belanja Tidak Langsung ini dengan memperhatikan azas manfaat yang sebesar-besarnya untuk rakyat. Sehingga dalam proses penganggaran harus benar-benar terlihat komposisi anggaran yang lebih berpihak kepada kepentingan dan kebutuhan rakyat. Komposisi belanja tidak langsung dalam tren APBD Kota Solok, misalnya saja untuk belanja pegawai
masih jauh dari porsi ideal sebesar 60% dari total Belanja Tidak
Langsung.
Tabel 2 Perbandingan Belanja Pegawai dan Total Belanja Tidak Langsung
Perbandingan Belanja Pegawai dengan Tahun
Persentase (%)
Total Belanja Tidak Langsung
Anggaran Tidak Langsung 2010
2011
2012
2013
2014
Belanja Pegawai
Rp.
Rp.
202,187,535,270
168,111,920,270
Rp.
Rp.
214,339,984,056
175,518,184,056
Rp.
Rp.
217,106,308,604
218,809,121,135
Rp.
Rp.
251,027,935,056
203,719,961,719
Rp.
Rp.
270.660.060.724
258,174,431,339
Belanja Pegawai 83
82
94
92
95
Trend belanja pegawai pada APBD Kota Solok makin menunjukkan semakin besarnya alokasi untuk belanja pegawai, malahan pada Tahun Anggaran 2014 mencapai 95%. Atau sebesar Rp. 258.174.431.339 dari total belanja tidak langsung yang dianggarakan sebesar Rp. 270.660.060.724. Sedangkan komposisi terbaik yang pernah diraih oleh Kota Solok dalam APBD-nya adalah pada Tahun Anggaran 2011 dengan alokasi
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
233
belanja pegawai sebesar Rp. 175.518.184.056 dari alokasi pada pos belanja tidak langsung yang dianggarkan Rp 214.339.984.056 atau sebesar sebesar 82% dari belanja tidak langsung.
Makin besarnya alokasi belanja
pegawai tersebut dari belanja tidak langsung artinya belanja bunga, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bantuang keuangan, dan belanja tidak terduga akan semakin sedikit pengalokasiannya. Jika diambil perbandingan dengan data nasional, rasio DAU terhadap belanja pegawai pada belanja tidak langsung Tahun Anggaran 2014, alokasi DAU untuk belanja pegawai pada belanja tidak langsung mencapai 83,26%. Sementara di Kota Solok berdasarkan data di lapangan persentase DAU terhadap belanja pegawai pada belanja tidak langsung hanya 72,85%. Hal ini menunjukkan walaupun belanja pegawai pada belanja tidak langsung tidak ideal tetapi lebih baik dibandingkan dengan rasio rata-rata nasional DAU terhadap belanja pegawai pada belanja tidak langsung. Seperti yang ditunjukkan oleh grafik di bawah ini:
Grafik 8 Rasio DAU terhadap belanja Pegawai pada Belanja Tidak Langsung Tahun Anggaran 2014
Sementara itu alokasi belanja pegawai dari belanja langsung idealnya selalu di bawah 10%. Hasil kajian yang peneliti lakukan di lapangan menunjukukkan data sebagai berikut:
Tabel 3 Perbandingan Belanja Pegawai dengan Total Belanja Langsung
Tahun Anggaran
Perbandingan Belanja Pegawai dengan
Persentase
Total Belanja Langsung
(%)
Tidak Langsung
Belanja Pegawai
Belanja Pegawai
2010
2011
Rp.
Rp.
165,631,587,457
21,113,409,500
Rp.
Rp.
188,301,171,123
16,800,345,500
2012
Rp. Rp.218,809,121,135
2013
234
Rp.
13
9
8
17,570,007,750 Rp.24,594,212,840
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
11
224,704,975,816 2014
Rp.
Rp.
269.071.768.620
15,351,650,000
6
Dari data trend belanja pegawai atas belanja langsung pada APBD Kota Solok pada Tahun Anggaran 2010-2014 angka ideal mayoritas selalu dicapai oleh Pemerintah Kota Solok dalam mengalokasikan anggaran. Walaupun pada Tahun Anggaran 2010 mencapai 13% atau sebesar Rp. 21.113.409.500 dan 2013 mencapai 11% atau sebesar Rp. 24.594.212.840. Alokasi terbaik yang dicapai oleh Kota Solok yang patut diapresiasi adalah pada Tahun Anggaran 2014 yang hanya sebesar 6% atau sebesar Rp. 15.351.650.000.
Hal tersebut jika
dibandingkan dengan rata-rata nasional dan Provinsi Sumatera Barat, Kota Solok dalam belanja pegawai terhadap belanja langsung malah lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari grafik di bawah ini:
Grafik 9 Rasio Nasional Belanja Pegawai terhadap Belanja Langsung Tahun Anggaran 2014
Sedangkan persentase belanja barang dan jasa idealnya sebesar 70% dari total belanja langsung, berdasarkan penelusuran data yang dilakukan oleh peneliti terhadap APBD Kota Solok ditemukan data sebagai berikut:
Tabel 3 Perbandingan Belanja Barang dan Jasa terhadap Total Belanja Langsung Perbandingan Barang dan Jasa dengan Total Tahun
Belanja Langsung
Anggaran Tidak Langsung
Belanja Pegawai
Persentase (%) Belanja Barang dan Jasa
2010
Rp. 165,631,587,457
Rp. 82,178,212,079
50
2011
Rp. 188,301,171,123
Rp. 103,946,081,856
55
2012
Rp.218,809,121,135
Rp. 84,266,937,105
39
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
235
2013
Rp. 224,704,975,816
Rp.117,373,092,876
52
2014
Rp. 269.071.768.620
Rp. 153,504,496,284
57
Dari tabel di atas, alokasi belanja barang dan jasa belum pernah mendekati persentase ideal ini. Pada Tahun Anggaran 2010 Pemerintah Kota Solok mengalokasikan sebesar Rp. 82,178,212,079 atau hanya sebesar 50%. Pada Tahun Anggaran berikutnya, yaitu Tahun Anggaran 2012 naik menjadi 55% atau sebesar Rp. 103,946,081,856. Tetapi kenaikan ini tidak dapat dipertahankan, malah turun menjadi 39% atau sebesar Rp. 84,266,937,105. Dan Tahun Anggaran 2012 ini merupakan tahun terburuk untuk alokasi belanja barang dan jasa yang pernah dialokasikan oleh Pemerintah Kota Solok selama periodeisasi 2010-2014. Tapi hal tersebut diperbaiki oleh Kota Solok dengan kenaikan yang sangat signifikan menjadi 52% pada Tahun Anggaran 2013 atau sebesar Rp. 117,373,092,876. Trend positif kenaikan tersebut masih bisa dipertahankan oleh Pemerintah Kota Solok pada Tahun Anggaran 2014 sebesar 57% walau tidak di atas angka ideal atau sebesar Rp. 153,504,496,284. Tetapi, jika dibandingkan dengan rata-rata nasional dan Provinsi Sumatera Barat, Kota Solok dalam belanja modal lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari grafik di bawah ini:
\
Grafik 10 RasioNasional Belanja Barang dan Jasa terhadap Belanja Langsung Tahun Anggaran 2014
Sedangkan belanja modal idealnya dialokasikan sebesar 20% dari total belanja langsung, berdasarkan data yang peneliti dapatkan dilapangan dapat diketahui komposisi belanja modal pada APBD Kota Solok sebagai berikut: Tabel 4 Perbandingan Belanja Modal dengan Total Belanja Langsung
Tahun Anggaran
Perbandingan Barang dan Jasa dengan
Persentase
Total Belanja Langsung
(%)
Tidak Langsung
Belanja Modal
Belanja Modal
2010
236
Rp.
Rp.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
38
165,631,587,457
62,339,965,878
Rp.
Rp.
188,301,171,123
67,554,743,767
2011
2012
Rp. Rp.218,809,121,135
2013
53
116,972,176,280
Rp.
37
224,704,975,816
Rp.82,737,670,100
Rp.
Rp.
269.071.768.620
100,216,622,336
2014
36
37
Tabel di atas menunjukkan bahwa Kota Solok dalam belanja modal tidak pernah mendekati angka ideal dalam mengalokasikan belanja modal. Masih terjebak pada pengadaan untuk memperoleh keuntungan tertentu dari belanja modal tersebut. Dari trend anggaran 2010-2014 komposisi terbaik adalah pada Tahun Anggaran 2013 dan 2014. Dan persentase terburuk yang pernah dialokasikan untuk belanja modal yang sangat besar adalah pada Tahun Anggaran 2012 yang mencapai 53% atau sebesar Rp. 116,972,176,280.
Tetapi, jika
dibandingkan dengan rata-rata nasional dan Provinsi Sumatera Barat, Kota Solok dalam belanja modal lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari grafik di bawah ini:
\
Grafik 11 Rasio Nasional Belanja Modal terhadap Belanja Langsung Tahun Anggaran 2014
Proporsi ideal dalam alokasi anggaran mestilah diwujudkan berdasarkan prioritas pembangunan yang wujud dalam APBD sehingga hasil pembangunan akan sesuai dengan target yang akan dicapai secara bertahap dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Tetapi jika setiap tahun semua ingin dibangun dan setiap aktor yang terlibat dalam pengambilan kebijakan anggaran tentunya alokasi anggaran yang terbatas yang dikendalikan oleh keinginan yang tidak terbatas tersebut hanya akan melahirkan pembangunan yang berdampak pada jangka pendek tapi tidak memikirkan keberlangsungan dan kebaikan di masa yang akan datang.
Terjadinya
fragmentasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Lee, Joyce& Johnson (2013) bahwa organizational units
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
237
within line agencies tend to be concerned primarily with their own promgrams and frequently fail to take a broad perspective, merupakan keniscayaan bahwa organisasi publik terlalu larut untuk memperjuangkan apa yang menjadi kepentingannya dalam anggaran sehingga mereka lupa bahwa yang utama itu adalah bagaimana kepentingan publik dapat terakomodir dengan baik. Jika memang proporsi ini secara kuantitas menjadi sebuah keidealan dan kebutuhan bagi Kota Solok maka perlu dikaji lebih jauh bagaimana secara kualitas alokasi anggaran yang sedemikian.
Sehingga pembahasan RAPBD pada forum paripurna DPRD menjadi sangat
penting untuk menjaga kesesuaian antara Kebijakan Umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran sementara dengan program dan kegiatan yang diusulkan dalam Ranperda APBD.
OPTIMALISASI OUTCOME UNTUK MENINGKATKAN TRUST DALAM PENGALOKASIA BELANJA PELAYANAN PUBLIK PADA APBD KOTA SOLOK Berdasarkan praktik proses penganggaran di Kota Solok maka dapat diidentifikasi bahwa implementasi Manajemen Belanja Publik di Kota Solok belum berjalan dengan baik. Hal tersebut ditandai dengan lemahnya disiplin fiskal agregat dan terjadinya inefisiensi alokasi, yang merupakan dua dari tiga output penting dalam Manajemen Belanja Publik menurut Shick (1998).
Disiplin fiskal agregat adalah istilah untuk norma yang
sering diterima sebagai kebenaran bahwa anggaran semestinya berisi pernyataan belanja aktual yang akan terjadi selama tahun fiskal atas dasar kehati-hatian (prudent) dan bukan wish list (daftar keinginan). Disiplin fiskal agregat lemah di Kota Solok dicirikan dengan masih terdapatnya patologi anggaran. Schick menjelaskan ada enam patologi anggaran yang dapat melemahkan disiplin fiskal, yang terdiri dari: (1) unrealistic budgeting; (2) hidden budgeting; (3) escapist budgeting; (4) deferred budgeting; (5) repetitive budgeting; dan (6) cashbox budgeting. Sedangkan patologi anggaran yang paling menonjol di Kota Solok adalah unrealistic budgeting dan repetitive budgeting. Unrealistic budgeting merupakan sebuah situasi anggaran yang telah disetujui tidak bisa dilaksanakan. Hal tersebut terlihat dari tingginya angka defisit dan tingginya angka SILPA. Tingginya angka SILPA disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pelampauan target pendapatan, efisiensi dari proses pengadaan barang dan jasa serta kegiatan yang tidak terealisasi. Faktor penyebab pertama dan kedua bisa diabaikan keberadaannya, tetapi factor yang ketiga harus diberikan perhatian yang lebih. Sementara, penentuan nilai defisit dalam jumlah besar yang dilakukan secara sengaja menunjukkan tidak adanya sikap prudent, meski diajukan argumen bahwa hal tersebut dilakukan untuk menyiasati informasi besaran dana transfer yang belum akurat diawal tahun. Unrealistic budgeting berawal dari tidak adanya hard budget constraint yang ditetapkan sejak awal dan kemudian konsisten untuk ditaati. Unrealistic budgeting dalam bentuk angka defisit yang tinggi menyebabkan perlu kerja keras di tahapan pembahasan DPRD untuk merasionalisasi anggaran agar nilai defisit bisa ditekan dan ini membutuhkan waktu lama yang berkontribusi menjadi salah satu faktor keterlambatan penetapan APBD dan membawa efek negatif adanya pemotongan anggaran di last minute. Repetitive budgeting adalah situasi dimana anggaran sering dibuat kembali dalam tahun anggaran berjalan untuk merespons kondisi ekonomi dan politik yang berakibat pada menurunnya integritas anggaran sebagai sebagai pernyataan resmi dari kebijakan keuangan pemerintah. Repetitive budgeting tercermin dari adanya praktik APBD Perubahan di Kota Solok. Perubahan anggaran merupakan praktik yang biasa dilakukan oleh Kota Solok dan justru jika tidak dilakukan perubahan anggaran dianggap menjadi kejadian yang luar biasa karena di luar faktor kebiasaan. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya repetitive budgeting adalah
238
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
kurang akuratnya informasi yang digunakan ketika menyusun anggaran, dan hal ini selalu terjadi di Kota Solok. Padahal, yang perlu dimiliki pada saat mengalokasikan anggaran adalah memiliki informasi yang memadai. Praktik revisi anggaran yang secara rutin dilakukan di Kota Solok menunjukkan lemahnya implementasi Manajemen Belanja Publik karena salah satu tujuan dari tidak ada revisi anggaran di tahun berjalan adalah meningkatkan meningkatkan kepastian dana bagi pelaksana sehingga pelaksana berkonsentrasi pada pencapaian target kinerja program/kegiatan. Serta tingginya angka SILPA merupakan dampak nyata dari lingkungan yang tidak berorientasi kinerja sebagai efek dari penyakit unrealistic budgeting dan repetitive budgeting yang menunjukkan lemahnya implementasi Manajemen Belanja Publik. Efisiensi Alokasi adalah outcome penganggaran tingkat kedua yang ingin dicapai setelah disiplin fiskal agregat. Efisiensi alokasi terkait dengan kapasitas pemerintah untuk mendistribusikan sumber daya berdasarkan pada efektivitas program publik untuk mencapai tujuan strategisnya. Efisiensi alokasi akan terlihat dari komposisi belanja pemerintah yang sesuai dengan arah tujuan strategis yang hendak dicapai. Tujuan strategis termuat dalam RPJMD sebagai dokumen perencanaan lima tahunan yang berisi visi dan misi yang hendak dicapai oleh Kota Solok. Efisiensi alokasi akan terjadi jika alokasi anggaran mengarah pada upaya mencapaian visi dan misi yang akan terlihat dari komposisi anggarannya. Studi terhadap dokumen RPJMD dan APBD di Kota Solok menemukan bahwa efisiensi alokasi belum tercapai (terjadi inefisiensi alokasi). Inefisiensi alokasi disebabkan adanya patologi anggaran. Schick menyebutkan ada empat penyakit anggaran yang menyerang efisiensi alokasi, mencakup: (1) short-term budgeting; (2) escapist budgeting; (3) distorted budgeting; dan (4) enclave budgeting. Short-term budgeting dan distorted budgeting merupakan dua penyakit anggaran yang terjadi di Kota Solok. Short-term budgeting adalah satu kondisi dimana anggaran pemerintah dibuat tahunan dan tidak memperhitungkan implikasinya dalam jangka menengah yang terjadi karena gagal mengaitkan antara kebijakan, perencanaan dan penganggaran karena sistem yang terfragmentasi yang disebabkan pembuatan kebijakan, perencanaan dan penganggaran bersifat independen satu dengan yang lainnya. Terjadinya fragmentasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Lee, Joyce& Johnson (2013) bahwa organizational units within line agencies tend to be concerned primarily with their own promgrams and frequently fail to take a broad perspective, merupakan keniscayaan bahwa organisasi publik terlalu larut untuk memperjuangkan apa yang menjadi kepentingannya dalam anggaran sehingga mereka lupa bahwa yang utama itu adalah bagaimana kepentingan publik dapat terakomodir dengan baik. Jika memang proporsi ini secara kuantitas menjadi sebuah keidealan dan kebutuhan bagi Kota Solok maka perlu dikaji lebih jauh bagaimana secara kualitas alokasi anggaran yang sedemikian. Sehingga pembahasan RAPBD pada forum paripurna DPRD menjadi sangat penting untuk menjaga kesesuaian antara Kebijakan Umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran sementara dengan program dan kegiatan yang diusulkan dalam Ranperda APBD. Penganggaran dimaknai sebagai ritual anggaran tahunan, bukan praktek yang berdasarkan kebijakan sehingga terjadi kegagalan dalam mengaitkan secara langsung sumber daya dengan prioritas kebijakan yang mengarah pada mismatch massif antara apa yang dijanjikan melalui kebijakan pemerintah dan apa yang dapat disediakan. Short-term budgeting berawal dari tidak digunakannya RPJMD sebagai acuan dalam penyusunan program dan kegiatan tahunan yang berawal dari tidak adanya kontrol dari Bappeda terkait penyusunan Renstra SKPD. Inkonsistensi antara dokumen perencanaan lima tahunan dengan anggaran tahunan menjadikan visi misi yang tercantum dalam RPJMD menjadi sulit untuk dicapai yang semakin diperparah praktik dana aspirasi DPRD
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
239
yang substansinya murni dari konstituen tanpa pernah melihat dokumen perencanaan pembangunan sehingga pada akhirnya terjadi miss-match yang massif antara dokumen perencanaan lima tahunan dan anggaran tahunan dan sekaligus menunjukkan tidak adanya efisiensi alokasi dalam anggaran Kota Solok. Penyakit anggaran kedua yang dialami oleh Kota Solok yang mengakibatkan inefisiensi alokasi adalah distorted budgeting. Distorted budgeting adalah satu kondisi dimana sumber daya yang terbatas dibelanjakan dalam proyek mercusuar sedangkan proyek terkait human capital tidak prioritas (terjadi misalokasi). Dalam konteks Kota Solok, distorted budgeting dapat terlihat dari besarnya alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang tidak terlalu penting, kegiatan yang dianggarkan terlampau besar (melebihi kebutuhan) dan tidak sesuai dengan prinsip ekonomis, efisiensi dan efektivitas (3E) sebagaimana yang dikemukakan oleh Bastian (2010) mengatakan bahwa prinsip penganggaran yang sangat terkenal adalah the Three Es yaitu ekonomis, efisien, dan efektif. Ekonomis hanya berkaitan dengan input; efektivitas hanya berkaitan dengan output; sedangkan efisiensi adalah kaitan antara input dan output. Patologi anggaran yang diderita oleh Pemerintah Kota Solok dalam APBDnya ini memperlemah trust terhadap organisasi pemerintahan kota sebagai akibat dari outcome anggaran yang tidak optimal. Sebagaimana yang dikemukan oleh pendapat para ahli bahwa organisational trust is thus defined as the positive expectations individuals have about the competence, reliability and benevolence of organisational members, as well as the institutional trust within the organisation (Mayer dkk., 1995; McKnight dkk., 1998, Ellonen dkk., 2008). Kajian ini menunjukkan bahwa masih diperlukan upaya agar pengalokasian belanja pelayanan publik agar efektif untuk menyeimbangkan pelbagai permintaan dalam organisasi, baik organisasi publik maupun privat dan strategi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, dalam konteks pemerintah daerah tentunya adalah RPJMD daerah menjadi basis kebijakan pengalokasian belanja pelayanan publik agar outcome menjadi optimal dan trust semakin tinggi.
KESIMPULAN Berdasarkan proses penganggaran dan mekanisme pengalokasian anggaran di Kota Solok maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengalokasian Belanja Publik di Kota Solok belum optimal sehingga trust belum tinggi. Hal ini ditandai dengan lemahnya disiplin fiskal agregat dan inefisiensi alokasi. Lemahnya disiplin fiskal agregat ditandai dengan adanya penyakit unrealistic budgeting dan repetitive budgeting. Inefisiensi alokasi ditandai dengan adanya penyakit short-term budgeting dan distorted budgeting. Dan organisasi publik masih terjebak pada fragmentasi yang menyebabkan satu sama lain hanya berjuang untuk mempertahankan anggaran yang dibuatnya. Reformasi penganggaran perlu dilakukan dengan menata ulang aturan main yang mencakup:Praktik penganggaran di Kota Solok baik yang bersifat formal maupun informal sesuai dengan ciriciri sistem penganggaran yang membutuhkan reformasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Bank Dunia (1998), mencakup: (1) penggunaan pendekatan jangka pendek sebagai akibat fokus dalam pembuatan keputusan anggaran; (2) last minute dalam pemotongan anggaran; (3) pendanaan tidak bisa diprediksi sebagai akibat last minute pemotongan anggaran; (4) kebijakan saat ini (dibandingkan dengan dananya) jarang dicermati dengan teliti dari tahun ke tahun berikutnya. Pengalokasian Belanja Pelayanan Publik melalui Manajemen Belanja Publik menawarkan pembenahan berdasarkan kerangka konseptual tatanan kelembagaan dan peran masing-masing institusi yang
240
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
dapat dioptimalkan dan menciptakan keseimbangan kekuasaan antar insitusi. Upaya reformasi penganggaran di Kota Solok dapat diarahkan untuk melaksanakan apa yang disebut dengan Getting The Basics Right oleh Schick, meliputi: (1) mendorong lingkungan yang mendorong dan membutuhkan kinerja sebelum memperkenalkan penganggaran kinerja; (2) mengontrol masukan (input) sebelum upaya untuk mengontrol output; (3) membentuk pengawasan eksternal sebelum memperkenalkan pengawasan internal; (4) ) melaksanakan sistem akuntansi yang dapat diandalkan sebelum menggunakan sistem manajemen finansial yang terintegrasi; (5) menyusun anggaran sebagai suatu rencana yang akan dilakukan (realistis)
sebelum
menggunakan anggaran yang berorientasi kinerja; dan (6) melaksanakan anggaran yang dapat diprediksi sebelum menuntut pelaksana efisien dalam menggunakan dana yang dipercayakan kepadanya. Pembenahan penganggaran di Kota Solok dan bias jadi kota/kabupaten lain yang kondisinya serupa dapat dilakukan dengan menata ulang aturan main, peran aktor dan informasi yang tersedia.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, Raharjo, 2011. Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah. Graha Ilmu, Yogyakarta. Anggarini, Yunita dan Puranto, B. Hendra, 2010. Anggaran Berbasis Kinerja: Penyusunan APBD Secara Komprehensi. Yogyakarta, UPP STIM YKPN. Bastian, Indra, 2009. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia. Salemba Empat, Jakarta. Dirks, Kurt T. and Ferrin, Donald L, 2001. The Role of Trust in Organizational Setting. Organization Science, 12,4:450- 467. Ellonen, R., Blomqvist, K. and Puumalainen, K, 2008, The role of trust in organizational innovativeness, European Journal of Innovation Management, 11,2:160-181. Halim, Abdul, 2007, Akuntansi sektor publik Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta, Salemba Empat. Mahmudi, 2010. Manajemen Keuangan Daerah. Erlangga: Jakarta. Mardiasmo, 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta, ANDI. Mayer, R.C., Davis, J.H. and Schoorman, D.F., 1995. An integrative model of organizational trust. Academy of Management Review, 20,3:709-34. McEvily, B., Perrone, V and Zaheer, A., 2003. Trust as Organizing Principle. Organization Science, 14,1:91103. McKnight, D.H., Cummings, L.I. and Chervany, N.I., 1998. Initial trust formation in new organisational relationships. Academy of Management Review, 23, 3:473-90. Lee, JR, Robert D., Johnson, Ronald W. dan Joyce, Philip G., 2013Public Budgeting System. Burlington MA, Jones & Bartlett Learning. Prawota, Agus, 2011. Pengantar Keuangan Publik.BPFE, Yogyakarta. Schick, Allen, 1998. Contemporary Approach to Public Expenditure Management. Washington, DC, World Bank Institute.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
241
Peran Komisi Pelayanan Publik ( KPP ) Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Jawa Timur
Dian Arlupi Utami, Prasetyo Isbandono, Agus Prasetyawan, Weni Rosdiana, Agung Listiadi Universitas Negeri Surabaya [email protected] HP.081330109556
Abstrak: Dalam rangka mewujudakan good governance yang terkait dengan pelayanan publik, maka pemerintah membuat beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang pelayanan publik. Pelaksanaan pelayanan publik tentunya tak lepas dari keluhan-keluhan dan pengaduan masyarakat yang merasa tidak/belum puas atas pelayanan pemerintah. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur menjadi pijakan bagi lahirnya lembaga baru yang bernama Komisi Pelayanan Publik ( KPP ). Setelah melakukan analisis, maka dapat disimpulkan bahwa,KPP berperan dalam
penanganan
pengaduan sekaligus sebagai tugas utama KPP dimana dari tahun ketahun peran ini berjalan dengan baik. KPP berupaya melakukan kerjasama dengan 34 lembaga yang terletak di Kabupaten/Kota menjadi langkah strategis dalam optimalisasi peran KPP dalam menjalankan tugasnya. Beberapa rekomendasi dari Tim Peneliti yaitu, supaya Gubernur menghimbau Bupati/Walikota membuat Perda tentang lembaga pengaduan ( bagi yang belum ada ), perlu pembaharuan MoU yang pernah dibuat tahun 2006, keberadaan KPP perlu dipublikasikan lebih luas, perlu MIS ( Manajemen Informasi Sistem ) dalam pengelolaan pengaduan,dan yang tidak kalah penting adalah komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mengoptimalkan peran KPP. Kategori :Public Administration Sciences Kata Kunci: lembaga pengawas, pelayaan publik
I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, terjadi perkembangan yang luar biasa di bidang pelayanan publik, baik perkembangan yang terjadi pada tataran perumusan kebijakan atau peraturan perundangan tentang
242
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
pelayanan publik, implementasi kebijakan tentang pelayanan publik dan/atau penyelenggaraan pelayanan publik, kualitas dan kuantitas yang menjadi substansi pelayanan publik, kelembagaan pelayanan publik, tuntutan atau harapan publik akan pelayanan publik yang dapat memenuhi kebutuhannya, standar pelayanan publik, sampai dengan pengawasan pelayanan publik bahkan sengketa pelayanan publik. Pada saat yang sama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat diikuti dengan kian ketatnya kompetisi di segala bidang membawa konsekuensi terjadinya perubahan di berbagai bidang. Kondisi ini selanjutnya diikuti dengan tuntutan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Imbasnya, peran organisasi terutama organisasi pemerintah dituntut untuk dapat mewujudkan kehidupan masa depan yang lebih baik, maka reformasi tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi wacana yang menarik. Sebagai langkah konkrit pemerintah untuk mewujudkan
good gavernance yang terkait dengan
pelayanan publik di daerah, maka pemerintah membuat beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang pelayanan publik diantaranya dengan ditetapkannya : (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, (2) Undang Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Keterbukaan Informasi Pulik, (3) Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, (4) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara, dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal maupun terhadap sejumlah Pedoman Teknis lainnya. Bahkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah sebagai tindak lanjut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, maka Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Republik Indonesia mengeluarkan instruksi kepada semua Gubernur, Ketua DPRD dan Bupati/Wali Kota di seluruh Indonesia untuk segera membentuk Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pelayanan Publik di daerah dengan surat Nomor : B/988/M-PAN/5/2005 tanggal 25 Mei 2005 perihal Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik. Sebagai respon atas Inpres tersebut, Jawa Timur selanjutnya membuat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur. Hadirnya Perda 11 Tahun 2005 ini merupakan babakan baru bagi peningkatan kualitas pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur. Menariknya lagi, hadirnya Perda 11 Tahun 2005 mendahului langkah pemerintah pusat yang saat itu belum memiliki Undang Undang yang mengatur tentang pelayanan publik. Kehadiran perda 11 tahun 2005 ini terbukti ampuh dalam ikut serta mendorong semua pihak untuk melakukan pembenahan dan peningkatan kualitas pelayanan publik masing-masing. Keberadaan Komisi Pelayanan Publik yang merupakan amanah dari Perda 11 Tahun 2005 seolah telah menjadi ikon baru bagi Jawa Timur dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Hadirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, suatu lembaga yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka menjadi konsekuensi logis dan yuridis untuk dilakukannya perubahan Perda Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik. Maka pada tahun 2001 lahirlah Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur yang merupakan revisi terhadap Peraturan Daerah Nonor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
243
Penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentunya masih membutuhkan
pengaturan-pengaturan lebih lanjut yang terkait dengan teknis maupun pedoman
pelaksanaannya. Apalagi penyelenggaraan tata pemerintahan yang terkait dengan pelayanan publik. Kebutuhan pengaturan tersebut pada tingkat pemerintah daerah dapat diwujudkan dengan pembentukan Perda. Pembentukan Perda Nonor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur ini, kemudian menjadi sangat penting karena salah satu indikator kesiapan daerah dalam merespon otonomi daerah, adalah ketika daerah mampu merumuskan dan membentuk kebijakan dan atau Perda. Dalam konteks ini, keterlibatan dan peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan fungsi legislasinya sangat dibutuhkan. Karena DPRD sebagai representative fungtion, diharapkan dapat lebih aspiratif dan berpihak pada kepentingan rakyat sehingga produk hukum yang dihasilkan mencerminkan komitmen keberpihakan kepada kepentingan orang banyak melalui proses yang partisipatif dengan melibatkan stakeholder yang terkait. Keluhan muncul karena sesuatu yang alami, semata-mata adalah sintestis dari masalah pelayanan. Beberapa hal yang menyebabkan keluhan antara lain: (1) organisasi pelayanan gagal mewujudkan kinerja yang dijanjikan, (2) pelayanan yang tidak efisien, (3) pelayanan yang diberikan secara kasar atau tidak membantu, (4) gagal menyampaikan info perubahan kepada pelanggan, (5) banyaknya pelayanan yang tertunda, (6) ketidaksopanan/ketidak-ramahan aparat pelayanan, (7) pelayanan yang tidak layak/tidak wajar, (8) aparat pelayanan yang tidak kompeten, (9) aparat pelayanan yang apatis/tidak adanya atensi, (10) Organisasi pelayanan tidak responsif terhadap kebutuhan dan keinginan serta harapan pelanggan. Dalam rangka merespon pengaduan atau keluhan inilah kemudian Perda Nomor 8 Tahun 2011 (dulu Perda Nomor 11 Tahun 2005) tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur menjadi pijakan bagi lahirnya lembaga baru yang bernama Komisi Pelayanan Publik (KPP). Komisi Pelayanan Publik yang selanjutnya disingkat KPP adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan daerah yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal atas penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, baik yang dilakukan pemerintah daerah, korporasi dan pihak-pihak lain yang mendapat dukungan dana sebagian atau seluruhnya dari APBD (Pasal 1 Ayat 13 Perda 8/2011). Kebijakan awal yang membidani lahirnya KPP adalah Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2008 lahirlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI), baru pada tahun 2009 disahkan Undang-Undang Nomor 25 tentang Pelayanan Publik. Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik).
244
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Meskipun keluhan yang diungkapkan masyarakat sering dijumpai, namun pada Laporan Tahunan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jawa Timur yang disampaikan oleh Ketua KPP Jatim M.M. Khoirul Anwar, menyatakan bahwa masyarakat Jawa Timur masih takut mengadu pada saat dilayani secara tidak baik oleh sebuah instansi pemerintah. Hal ini terbukti dari kecilnya jumlah pengaduan ke KPP Jatim. Selama tahun 2010 jumlah pengaduan ke KPP Jatim hanya 176 laporan, dengan rincian sebagai berikut; laporan pelayanan di bidang pertanahan 53 aduan (30%), laporan Pelayanan Kependudukan
33 aduan (18%),
laporan
Administrasi Pemerintahan 14 aduan (14%), laporan Pelayanan lain-lain rata-rata 3-7 aduan. Berdasarkan wilayah tempat pelapor; Surabaya sebanyak 81 pelapor (46%), Sidoarjo 9 pelapor (5%), Bondowoso 8 pelapor (5%), dan daerah lain 2-4 pelapor (Laporan SCBD Provinsi Jawa Timur, 2011). Ada dugaan bahwa belum terjadi keseimbangan antara jumlah anggota masyarakat yang memiliki keluhan akan pelayanan publik, dengan jumlan anggota masyarakat yang menyampaikan keluhan kepada KPP. Akibatnya KPP tidak mengetahui bahwa ada keluhan dan atau KPP tidak menjalankan peran sebagai mediator penyelesaian keluhan publik. Hal ini berimplikasi pada tidak/belum optimalnya peran KPP dalam menjalankan tugas sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur. Sementara itu dapat diketahui bahwa KPP relatif memiliki semangat untuk berkinerja terbaik, berusaha merangkul sejumlah pemangku kepentingan, serta berusaha untuk mempertanggungjawabkan penyelesaian atas pengaduan yang ada. Semangat KPP yang demikian belum cukup menjadi faktor katalis terjadinya optimalisasi pelaksanaan tugas KPP jika masyarakat tidak memberikan dukungan maksimal. Semangat KPP yang demikian dapat dilihat dari kutipan pemberitaan berikut ini. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, di penghujung 2013 ini Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jawa Timur, Kembali melaksanakan kegiatan Sosialisasi dan Laporan Kinerja akhir Tahun. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, laporan kinerja lembaga yang dibentuk berdasarkan Perda Jatim No. 08 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Publik ini, mendesain acara yang bersifat tematik. “Membangun Sinergi Mewujudkan Pelayanan Publik Prima di Jawa Timur” merupakan tema yang diimplementasikan dalam berbagai bentuk kegiatan yang dihelat sejak selasa (16/12/2013) hingga Jumat ini (20/12/2013). Beberapa acara yang dihelat selain laporan akhir tahun adalah Focus Disscusion Group (FGD) yang melibatkan unsur penyelenggara dan pemangku kepentingan lain dalam pelayanan publik, audiensi ke Gubernur dan DPRD Jawa Timur serta Publikasi laporan kepada masyarakat melalui beberapa media dan instrumen. Yang menarik, dalam rangka kebersamaan dan jejaring dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik di Jawa Timur, acara FGD tersebut juga disertai dengan penandatanganan “Komitmen bersama dalam mewujudkan pelayanan publik prima di Jawa Timur. Penanda tanganan ini sendiri dilakukan di kertas berpigura. Secara terpisah peserta kedua FGD akan menanda tangani dokumen yang telah disediakan panitia. “Tujuan dari diselenggarakannya ketiga rangkaian acara tersebut adalah untuk memperoleh gambaran tentang kondisi pelayanan publik di Jatim dari berbagai perspektif, untuk melakukan pemetaan permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pelayanan publik di Jatim dan untuk mengetahui best practice dan inovasi yang telah
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
245
dilakukan sebagai bahan rujukan dan replikasi pelaksaan pelayanan publik di Jatim,” papar Hardly Stefano Ketua KPP Jatim kepada Brainmetro.com, Selasa (17/12/2013). Selain itu, Hardly menambahkan tujuan dari diselenggarakannya acara tersebut adalah untuk merumuskan rencana aksi mendorong peningkatan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik di Jatim sekaligus sebagai momentum awal adanya pembangunan sinergitas berkelanjutan antar pemangku kepentingan (stakeholders) yang berkaitan dengan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang diharapkan masyarakat (Brainmetro.com, 2013).
Pada saat yang sama dalam pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM), ada kecenderungan anggota masyarakat selaku konsumen kurang diberi ruang untuk memberikan masukan program yang seharusnya disusun untuk meningkatkan pelayanan publik. Pelibatan masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai hal, salah satunya adalah melalui survey kepuasan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Disebutkan bahwa untuk membandingkan indeks kinerja unit pelayanan secara berkala diperlukan survei secara periodik dan berkesinambungan. Dengan demikian dapat diketahui perubahan tingkat kepuasan masyarakat dalam menerima pelayanan publik. Jangka waktu survei antara periode yang satu ke periode berikutnya dapat dilakukan 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) bulan atau sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali. Ketiadaan pelibatan masyarakat dalam mengevaluasi pelayanan yang diberikan pemerintah, jelas akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara pelayanan yang diterima dan harapan masyarakat. Akibatnya stigma pelayanan yang buruk masih akan tetap melekat karena ketidaktanggapan pemerintah. Maksud dan tujuan diterbitkannya peraturan tersebut adalah untuk mengetahui tingkat kinerja unit pelayanan secara berkala sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik selanjutnya. Bagi masyarakat, Indeks Kepuasan Masyarakat dapat digunakan sebagai gambaran tentang kinerja pelayanan unit yang bersangkutan. Namun jika mempelajari hasil pengukuran sejumlah lembaga penyelenggara pelayanan publik terhadap IKM-nya, maka hampir pasti hasil pengukuran mencapai nilai yang relatif tinggi, artinya kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik juga rekatif tinggi. Ironinya, keluhan publik juga masih mengemuka. Pada kasus demikian dapat diduga bahwa pengukuran IKM tidak dapat menjadi instrument andal untuk menjadi alat pengawasan pelayanan publik, sebab bisa jadi proses pengukurannya mengalami kekeliruan dan/atau ketidaktepatan. Ketika IKM tidak dapat menjadi instrument pengukuran yang efektif, dan ketika KPP relatif belum dapat menjalankan tugasnya sebagai lembaga engawas eksternal, maka masa depan penyelenggaraan pelayanan publik sungguh mencemaskan. Dalam kerangka inilah dipandang perlu melakukan penelitian dengan judul : Kajian Optimalisasi Pelaksanaan Tugas Komisi Pelayanan Publik (KPP) sebagai Lembaga Pengawas Eksternal Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Jawa Timur.
246
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
1.2 Rumusan Masalah Suatu penelitian hendaknya menfokuskan perhatian pada upaya menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab sejumlah pertanyaan penelitian atau permasalahan penelitian, sebagai berikut: 1.
Bagaimana pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal ?
2.
Apa faktor penghambat dan faktor pendukung yang dihadapi KPP dalam pelaksanaan tugas dalam hal : a. menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik; b. membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat non litigasi; c. melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik; dan d. menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat.
3.
Apa saran publik dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur? Meliputi : a. Pengguna pelayanan publik b. Penyelenggara pelayanan publik c. Anggota KPP d. Anggota Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur e. Pengamat Pelayanan Publik
4.
Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam rangka melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur?
TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Penelitian Terdahulu Berikut ini disajikan tentang hasil sejumlah penelitian terdahulu yang menjadi pijakan atau referensi atas dilaksanakannya penelitian ini, yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu untuk topik yang relevan. a.
Penyusunan Sistem Informasi Manajemen Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (eComplaint) (SCBD Jawa Timur, 2011) Setidaknya terdapat tiga langkah penyelesaian complain yang diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan yaitu: (1) semua complain yang masuk dicatat, dikelompokkan, dan dianalisis menurut frekuensi dan keseriusannya, (2) kepada pelanggan ditanyakan tentang komplan yang dapat memberi dampak terbesar bagi mereka, (3) dapat ditemukan complain yang paling penting dan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Manajamen complain yang efektif memiliki arti strategis bagi organisasi dalam upaya membangun hubungan yang memuaskan dan menguntungkan dengan komsumen. Namun demikian, manajemen tidak selalu
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
247
dengan mudah dapat mengetahui tanggapan pelanggan atas pelayanannya. Organisasi tidak bisa mengukur respons pelanggannya hanya dari data-data formal. Pelanggan juga bisa enggan untuk melakukan pengaduan secara resmi ke organisasi. Keengganan pelanggan untuk melakukan complain dipengaruhi oleh berbagai factor baik yang bersifat personal maupun yang berasal dari system organisasi. Organisasi dapat mengatasi hambatan-hambatan dengan berbagai cara antara lain dengan: 1.
Menetapkan dan mengimplementaskan standar kinerja yang dikomunikasikan kepada pelanggan.
2.
Mengkomunikasikan betapa pentingnya pemulihan layanan ini kepada seluruh jajaran organisasi mulai dari CEO sampai karyawan lini depan.
3.
Melatih pelanggan mengenai cara menyampaikan complain baik melalui brosur, pamphlet maupun semacam buku petunjuk khusus berisi informasi lengkap mengenai prosedur penyampaian dan penanganan complain.
4.
Memanfaatkan dukungan teknologi seperti customer call centers dan internet untuk memberikan kemudahan dan akses 24 jam yang cepat serta relative murah bagi setiap pelanggan.
Mengukur Efektivitas Manajemen Komplain. Penilaian atas suatu manajemen komplain yang efektif didasarkan pada karakteristik karakteristik utama berikut: 1.
Komitmen: pihak manajemen dan semua anggota organisasi lainnya memiliki komitmen yang tinggi untuk m endengarkan dan menyelesaikan masalah komplain dalam rangka peningkatan kualitas produk dan jasa.
2.
Visible: manajemen menginformasikan secara jelas dan akurat kepada pelanggan dan karyawan tentang cara penyampaian komplain dan pihak-pihak yang dapat dihubungi.
3.
Accessible: perusahaan menjamin bahwa pelanggan secara bebas, mudah, dan murah dapat menyampaikan komplain, misalnya dengan menyediakan saluran telepon bebas pulsa atau amplop berperangko.
4.
Kesederhanaan: prosedur komplain sederhana dan mudah dipahami pelanggan.
5.
Kecepatan: setiap komplain ditangani secepat mungkin. Rentang waktu penyelesaian yang realistis diinformasikan kepada pelanggan. Selain itu, setiap perkembangan atau kemajuan dalam penanganan komplain yang sedang diselesaikan senantiasa dikomunikasikan kepada pelanggan yang bersangkutan.
6.
Fairness: setiap komplain mendapatkan perlakuan sama atau adil, tanpa membeda-bedakan pelanggan.
7.
Konfidensial: keinginan pelanggan akan privasi dan kerahasiaan dihargai dan dijaga.
8.
Records: data mengenai komplain disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan setiap upaya perbaikan berkesinambungan.
9.
Sumber daya: perusahaan mengalokasikan sumber daya dan infrastruktur yang memadai untuk pengembangan dan penyempurnaan sistem penanganan komplain, termasuk di dalamnya adalah pelatihan karyawan.
10. Remedy: pemecahan dan penyelesaian yang tepat (seperti permohonan maaf, hadiah, ganti rugi, refund) untuk setiap komplain ditetapkan dan diimplementasikan secara konsekuen.
248
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Pada akhirnya penelitian research-action ini merekomendasikan diberlakukannya SIM Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (e-Complaint) ini mempunyai kelebihan:
1.
Masyarakat dapat mengajukan keluhan secara online
2.
Data keluhan dapat dikelola secara lebih terintegrasi dan lintas sektoral
3.
Data dan laporan yang disediakan telah memenuhi kebutuhan tentang informasi pelayanan publik, dalam hal ini pelayanan terhadap keluhan masyarakat. Untuk dapat menjalankan SIM Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (e-Complaint) ini secara lebih
baik, maka diperlukan pembenahan dalam hal komitmen serta payung hukum untuk memperlancar pelaksanaan sistem informasi ini. b.
Pelaksanaan Pelayanan Perizinan Terpadu di Provinsi Jawa Timur (LPPM Universitas Negeri Surabaya, 2011) Penelitian ini adalah penelitian institusional yang dilakukan di empat (4) tempat atau institusi, yakni di
UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan. Permasalahan yang dicarikan jawabannya dalam penyelenggaraan penelitian ini adalah ―Aspek-aspek apakah yang sudah, sedang, dan akan dilakukan oleh UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan dalam kaitannya dengan pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu?‖. Berdasarkan hasil analisis data sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan, bahwa: 1.
Ke empat sampel dan/atau tempat daerah penelitian ini sudah membentuk Unit Pelayanan Perizinan Terpadu, dengan nama (nomenklatur lembaga) yang berbeda-beda, dimana Provinsi Jawa Timur membentuk Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Perizinan Terpadu (UPT-P2T) berdasarkan Peraturan Gubernur; Kota Malang membentuk Badan Pelayanan Perizinan terpadu (BP2T) berdasarkan Peraturan Daerah; serta Kota Madiun dan Kabupaten Pemekasan membentuk Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KP2T) berdasarkan Peraturan Daerah.
2.
Ke empat sampel dan/atau daerah tempat penelitian ini sudah memiliki komitmen yang kuat untuk memberikan Pelayanan Perizinan Terpadu. Ini terbukti dari jumlah jenis izin yang sudah dilayani penerbitannya oleh sampel dan/atau tempat penelitian ini, yakni sebagai berikut: UPT-P2T Provinsi Jawa Timur melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 205 jenis izin; BP2T Kota Malang melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 15 jenis izin; KP2T Kota Madiun melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 18 jenis izin dan 5 izin diantaranya penerbitan izinnya harus mendapat rekomendasi Walikota; dan KP2T Kabupaten Pamekasan melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 15 jenis izin. Dinamika atau perbedaan jumlah perizinan yang dilayani oleh masing-masing daerah ini dipengaruhi oleh kebutuhan publik akan perizinan yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain, disamping oleh kewenangan yang ada sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
3.
Tugas, Fungsi, dan kewenangan UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan sudah disesuaikan dengan PERMENDAGRI Nomor 20
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
249
Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah. 4.
Struktur Oragnisasi UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan belum disesuaikan dengan Lampiran PERMENDAGRI Nomor 20 Tahun 2008 (Lihat Lampiran 3-1).
5.
Standard Operating Procedure (SOP) UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan belum disesuaikan dengan PERMENPAN Nomor: PER/21/M.PAN/11/2008 Pedoman Penyusunan Standar Operational Prosedur (SOP) Administrasi Pemerintahan (lihat Lampiran 3-2).
6.
Ketersediaan sumber daya (Sarana & Prasarana, SDM, dan Dana) di UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan sudah cukup memadai dan/atau tidak pernah sampai mengganggu proses pelaksanaan tugas dan fungsi instansi yang dimaksud.
7.
Keberadaan keberadaan UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan adalah sangat mempermudah dan/atau memperpendek waktu proses penerbitan izin, karena menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi, keamanan, dan kepastian secara optimal, serta mendapat dukungan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terkait.
8.
Strategi dan kebijakan pelayanan yang diterapkan pada UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan adalah masih diorientasikan pada upaya meningkatkan kualitas pelayanan prima, sebagaimana yang dimaksud dalam PERDA Provnsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 dan Peraturan Pelaksanaannya.
Sejalan dengan kesimpulan di depan, Tim Peneliti merekomendasikan bahwa UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan perlu melakukan tindakan penguatan kelembagaan, yakni sebagai berikut: 1.
Provinsi Jawa Timur perlu meninjau ulang Peraturan Gubernur Nomor 71 Tahun 2010 tertanggal 27 September 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Nomor 77 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu (lihat Lampiran 3-3 dan Lampiran 3-4). Dalam arti, menurut PERMENDAGRI Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu Di Daerah, lembaga penyelenggara pelayanan perizinan terpadu semestinya berbentuk Badan dan atau Kantor, bukan UPT yang berada di bawah suatu SKPD (Lihat Lampiran 3-1. Status kelembagaan ini memiliki implikasi pada status atau eselonering kepemimpinan dan posisi koordinatif di lingkungan Pemerintah Daerah. Dalam peninjauan ulang ini juga dipandang perlu untuk
meningkatkan status hukum Peraturan
Gubernur yang memayungi keberadaan lembaga P2T tersebut menjadi Peraturan Daerah.
250
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
2.
Struktur Organisasi UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan perlu ditinjau ulang dan/atau disempurkan atau disesuaikan dengan Lampiran PERMENDAG RI Nomor 20 Tahun 2008 (Lihat Lampiran 3-1).
3.
Standard Operating Procedure (SOP) UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan perlu ditinjau ulang dan/atau disempurnakan atau disesuaikan dengan Permenpan Nomor : PER/21/M.PAN/11/2008 (lihat Lampiran 3-2).
4.
Adalah sangat bijak, bilamana Pemerintah: Provinsi Jawa Timur, Kota Malang, Kota Madiun, dan Kebupaten Pamekasan tidak memaknai Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 dan Permenpan No: PER/21/M.PAN/11/2008 sebagai himbauan, tetapi memaknainya sebagai peraturan perundangan yang harus ditaati.
5.
Adalah sangat bijak, bilamana: Pemerintah dan/atau UPT-P2T Provinsi Jawa Timur; Pemerintah Daerah dan/atau BP2T Kota Malang; Pemerintah Daerah dan/atau KP2T Kota Madiun; dan Pemerintah Daerah dan/atau KP2T Kebupaten Pamekasan juga menerapkan alternatif strategi dan kebijakan.
Pemerintah sebagai pemegang mandat kedaulatan dan pengaturan dari rakyat bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pelayanan publik sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Posisi negara adalah sebagai pelayan rakyat (publik servant) atau pemberi layanan, sedangkan rakyat memiliki hak-hak atas pelayanan negara pemerintah. Pengejawantahan hal tersebut dapat dilihat dengan pemberian otonomi kepada daerah. Hakikat penyelenggaraan otonomi daerah, bertujuan untuk mendekatkan rakyat dengan pemerintahnya. Implementasi hal tersebut, termanifestasikan dengan perubahan paradigma tata pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada DPRD sebagai lembaga perwakilan dan penerima mandat kedaulatan rakyat untuk mewakili dan memperjuangkan segala kepentingan rakyat.
2.2. Pengertian Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal. Peran didasarkan pada preskripsi ( ketentuan ) dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut. ( Friedman, M, 1998 : 286 ) Pengertian
2.3. Institutional and Attitudinal Reform Abad 21 ditandai dengan globalisasi yang merambah hampir semua aspek kehidupan manusia. Revolusi dalam bidang teknologi informasi semakin mempercepat kecenderungan ini. Dunia kita menjadi begitu kecil. Manusia menjadi terkoneksi secara global, melintasi batas ruang dan waktu. Namun globalisasi itu tidak berlangsung begitu saja. Dia membawa perubahan besar dalam pola kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
251
manajemen pemerintahan. Globalisasi tak lepas dari kompetisi dunia global yang makin keras, yang mensyaratkan peningkatan daya saing. Di tengah kondisi demikian, birokrasi kita bukannya menutup mata dan tak bergeming dari realita itu. Beragam inovasi dan kebijakan telah pula dihasilkan guna meningkatkan kinerja pelayanan mereka. Anehnya, meskipun reformasi telah bergulir selama tiga belas tahun, citra tentang birokrasi ambtenaar masih belum juga berubah. Alhasil, carut marut birokrasi yang terus berkembang mengantarkan kita pada satu kesimpulan ada yang kurang pas dengan reformasi birokrasi. Salah satu kelemahan pembaharuan yang terjadi di berbagai negara (Caiden, 1982) adalah ketika pembaharuan itu hanya bersifat institusional, misalnya pembaharuan undang-undang dan peraturan, pembaharuan struktur kelembagaan, pembaharuan sarana dan prasarana, pembaharuan sistem dan prosedur kerja; sementara pada saat yang sama tidak dilakukan pembaharuan sikap dan perilaku dari para pelaksana. Menurut Caiden, keadaan demikian akan mengarah pada ketidakefektifan tujuan pembaharuan; dan secara ekstrim ia menyebutnya sebagai malapraktik pembaharuan. Kasus demikian, menurut hasil kajiannya terutama terjadi pada organisasi-organisasi di sejumlah negara berkembang. Lebih lanjut Caiden menegaskan bahwa tujuan utama pembaharuan adalah melakukan perubahan secara terencana menuju keadaan yang lebih baik dari semula. Karenanya, pembaharuan disebut efektif jika pada kurun waktu yang direncanakan, keadaan yang lebih baik benar-benar terjadi. Sebaliknya, pembaharuan disebut mengalami kegagalan apabila pada kurun waktu yang direncanakan, keadaan tetap seperti sedia kala dan atau bahkan keadaan menjadi lebih buruk dari sebelum diselenggarakannya pembaharuan. Pada tataran ini, lahirnya peraturan perundangan yang baru, dalam perspektif pembaharuan relevan disebut sebagai pembaharuan kelembagaan (institutional reform), yang perlu diikuti dengan pembaharuan sikap/perilaku (attitudinal reform) jika pembaharuan dikehendaki dapat mencapai efektifitasnya. Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh pemerintah di berbagai belahan dunia dalam mengelola organisasi birokrasinya seiring upaya menjalankan perannya sebagai penyelenggara pemerintahan dan penyelenggara pelayanan publik adalah persoalan krisis sumber daya. Persoalan tersebut, dapat dilihat (diantaranya) dari munculnya sejumlah istilah berikut : kelangkaan sumber daya, menipisnya sumber daya, keterbatasan sumber daya, dan sebagainya. Persoalan ini pada akhir tahun 1980-an sempat menjadi bahan diskusi hangat di kalangan para akademisi maupun pembuat kebijakan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa sumber daya memegang peran vital bagi perjalanan suatu negara, bahkan bagi keberlanjutan kehidupan manusia di planet bumi ini. Dalam kerangka ini pada tahun 1992 Osborne & Gaebler (melalui karya besarnya : Reinventing Government), menawarkan konsepnya yang revolusioner, tentang mewirausahakan birokrasi, sebagai upaya melakukan transformasi semangat wirausaha ke dalam organisasi publik. Tidak lain dan tidak bukan konsep tersebut ditujukan untuk mencapai dua hal sekaligus : (1) meningkatkan kinerja birokrasi dalam menjalankan peran pelayanan publik (publik service), (2) menciptakan efisiensi birokrasi, yang ditujukan (diantaranya) untuk mengatasi krisis sumber daya yang sedang dihadapi pemerintah. Gagasan Osborne & Gaebler tersebut menjadi tonggak sejarah
terjadinya perubahan paradigma
pemerintahan sekaligus perubahan paradigma kebijakan publik yang dilahirkannya. Implikasinya, wajah baru kebijakan publik pun bermunculan, adalah kebijakan publik yang berbasis kewirausahaan, adalah kebijakan
252
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
publik yang tidak semata-mata melahirkan konsekuensi pemerintah untuk berperilaku ―membelanjakan‖, namun juga ―menghasilkan‖. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara konvensional-ortodoks, kebijakan publik lebih terformat ke dalam konvensi kegiatan yang menghabiskan sumber daya ketimbang menghasilkan atau memproduk sumber daya. Konvensi inilah nampaknya yang menjadi pemicu fenomena kelangkaan atau menipisnya atau krisis sumber daya yang terjadi pada organisasi pemerintah. Kesepakatan terhadap ajakan Osborne & Gaebler kini menjadi fenomena baru kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintahan negara-negara di berbagai belahan dunia. Hakekatnya : pembuat kebijakan dituntut untuk berparadigma ganda dalam membuat kebijakan publik. Artinya kebijakan yang dibuat sejauh mungkin diusahakan untuk memiliki dua perspektif secara bersamaan, yaitu perspektif sosial (social heavy) dan ekonomi (economic heavy). Perspektif sosial diarahkan agar pemerintah tetap dapat menjalankan peran sosialnya, misalnya sebagai penyedia pelayanan publik, pencipta kesejahteraan dan pemerataan, agen perubahan, dan fungsi-fungsi sosial lainnya. Pada saat yang sama peran pemerintah dalam perspektif ekonomi juga berjalan, ditunjukkan oleh kemampuan pemerintah untuk menciptakan unit-unit kegiatan ekonomi produktif yang menghasilkan, sebagai ―nafas‖ yang dapat menghidupi berjalannya peran sosial yang harus dimainkan. Berjalannya peran pemerintah dalam perspektif ganda ini bersifat solutif terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan keterbatasan sumber daya. Inilah tantangan baru bagi para pembuat kebijakan publik di abad ini. Mengadopsi dua gagasan, yakni gagasan Osborne & Gaebler tentang perlunya mewirausahakan birokrasi, dan gagasan Caiden akan perlunya dua pilar simultan dalam pembaharuan administrasi publik; dapat disimpulkan bahwa jika pelayanan publik (sesuai standar pelayanan prima) oleh birokrasi pemerintah memang dikehendaki tercipta, maka tidak ada pilihan lain kecuali : ada pembaharuan sikap/perilaku para pelaksana pelayanan, dengan menggunakan sejumlah konsep pelayanan (misalnya) konsep pelayanan yang selama ini telah diimplementasikan oleh kalangan pelaksana pelayanan pada organisasi privat. Pengalaman Caiden menunjukkan bahwa salah satu penyebab kegagalan gerakan pembaharuan terhadap kinerja organisasi pemerintah di berbagai negara terutama disebabkan oleh gagalnya pemerintah di negara tersebut untuk melakukan pembaharuan sikap dan perilaku dari segenap sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam institusi pemerintah tersebut. Salah satu penyebab lemahnya kinerja pelayanan publik terjadi karena birokrasi kita tenggelam dalam paradigma pelayanan yang mereka buat sendiri, yang justru cenderung mengabaikan aspirasi publik sebagai obyek pelayanan itu sendiri. Padahal, belum optimalnya peran pemerintah dalam memberikan pelayanan yang paripurna berakibat pada minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Selain itu, kemiskinan yang terus melembaga juga tak dapat dilepaskan dari terhambatnya akses pelayanan yang seharusnya ikut dinikmati dan dimanfaatkan oleh warga yang berdiam di kantong-kantong kemiskinan. Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya kondisi ini. Pertama, masalah kelembagaan dan manajemen pelayanan. Sampai sejauh ini, belum ada kesepakatan tentang pelembagaan fungsi pemerintah serta kriterianya. Akibatnya, terjadi kekaburan tugas dan tanggung jawab instansi pemerintah. Inefisiensi,
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
253
kelambatan, ketidakmerataan pelayanan dan fasilitas sosial, overhead cost yang tinggi, serta ketidakpastian biaya yang harus dikeluarkan masyarakat menjadi fenomena umum. Kedua, masalah profesionalisme dalam sikap, manajerial, teknis dan administratif. Masalah-masalah ini berdampak pada perilaku aparat yang lambat, terutama dalam mengikuti perkembangan teknologi, egovernement, paperless, efisiensi kerja, serta pola kerja yang kompetitif. Pemerintah pun cenderung sulit untuk menggerakkan partisipasi masyarakat serta menciptakan iklim yang kondusif guna merangsang peran swasta dalam penyediaan pelayanan yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh pemerintah. Ketiga, masalah keuangan pemerintah. Pemerintah memiliki keterbatasan sumber pendapatan dalam membiayai pelayanan dan pembangunan secara menyeluruh. Pemerintah pun dipaksa untuk mencari solusi alternatif. Salah satunya melalui peningkatan partisipasi dan kerjasama dengan pihak swasta dalam pengadaan pelayanan. Untuk itu dibutuhkan sikap birokrasi yang proaktif dan bukannya reaktif, yang masih merupakan kecenderungan perilaku birokrasi saat ini. Keempat, masalah radius pelayanan. Banyaknya jenis pelayanan, terutama di kota/daerah yang sulit dibatasi secara administrasi pemerintahan, pada akhirnya menyulitkan administrasi pelayanan dan koordinasi pembangunan. Untuk itu diperlukan kerjasama antar daerah dalam rangka pengelolaan berbagai pelayanan yang ada sehingga manfaatnya bisa dirasakan bersama. Dalam praktiknya, empat masalah di atas dapat diantisipasi melalui reaktualisasi pemerintahan, utamanya di tingkat daerah, dengan strategi penguatan pemerintah daerah yang tepat. Strategi penguatan tersebut bermanfaat dalam mempercepat proses sustainabilitas pemerintah daerah itu sendiri, yang mengurangi ketergantungan daerah pada bantuan dari pemerintah pusat maupun provinsi. Strategi ini dijalankan melalui reaktualisasi kewenangan daerah, restrukturisasi kelembagaan pemerintah, reposisi dan relokasi personil yang cermat, penataan manajemen keuangan, pemberdayaan DPRD sebagai fungsi kontrol eksekutif, dan perbaikan manajemen pelayanan. Dalam kerangka demikian, perampingan kelembagaan pemerintah menjadi keniscayaan, meskipun reformasi kelembagaan itu bukan pekerjaan mudah. Sebagai langkah awal, pemerintah perlu melakukan evaluasi kelembagaan berdasarkan tugas-tugas yang diemban oleh dinas-dinas terkait. Evaluasi ini diarahkan untuk melihat permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan tugas kelembagaan tersebut. Beberapa permasalahan itu di antaranya: pertama, adanya beberapa penugasan yang tumpang tindih, baik antar organisasi, maupun antara satuan tugas organisasi. Kedua, terdapat ketimpangan antara volume kerja dengan besaran struktur organisasi; ketiga, terdapat beberapa satuan organisasi yang kurang didukung oleh sumber daya (aparat, anggaran dan sarana) yang sesuai kebutuhan; dan keempat, koordinasi pelaksanaan tugas kurang optimal karena belum adanya mekanisme kerja yang baku. Berangkat dari empat permasalahan tersebut, penataan kelembagaan yang dikembangkan oleh pemerintah daerah harus diletakkan dalam kerangka peran pemerintah, yang terdiri atas fungsi pengaturan, pelayanan publik, dan pemberdayaan, guna meningkatkan profesionalitas lembaga dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Penataan tersebut juga diwujudkan dalam model subsidiarity, di mana masyarkat dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, penataan kelembagaan dilaksanakan juga untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan kewenangan pemerintah, dengan memperhatikan kemampuan potensi daerah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemahaman pemerintah terhadap penataan
254
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
kelembagaan yang tidak dipahami sebatas penataan struktur semata, melainkan juga sebagai pelembagaan jaringan kerjasama (networking) yang adaptif dalam persoalan demokrasi. Model pemerintahan yang birokratis dan kaku disingkirkan. Di samping mempermudah koordinasi, pemerintah daerah juga akan menjadi responsif terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Tindak lanjut dari keseluruhan hal di atas adalah penataan lembaga itu sendiri. Perhatian utama diletakkan pada signifikansi tugas yang diemban organisasi berikut ketimpangan antara volume kerja dengan besaran struktur organisasi. Karenanya, perampingan bagi satuan organisasi yang volume kerjanya terlampau sedikit adalah sebuah tuntutan logis, misalnya dari sub dinas menjadi seksi. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya pengembangan organisasi, misalnya dari kantor menjadi badan. Selain itu, satuan organisasi yang lebih efisien berdiri sendiri dapat dikembangkan menjadi organisasi perangkat daerah, seperti dari sub dinas menjadi kantor. Pemerintah pun tidak perlu ragu untuk membentuk organisasi baru jika memang terdapat tuntutan pelayanan fungsi baru dari pemerintah. Pada akhirnya, keseluruhan penataan kelembagaan tersebut ditujukan untuk membangun organisasi pemerintah daerah yang fleksibel, tahan banting dan adjustable atas setiap perubahan situasi yang berkembang di masyarakat. Organisasi itu nantinya diharapkan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap berbagai tantangan dan permasalahan yang muncul kemudian, sekaligus mampu melakukan lompatan ke depan untuk menjawab berbagai dinamika tersebut dan mewujudkan tata pemerintahan yang efektif, aspiratif dan efisien. Di sisi lain, reformasi kelembagaan tersebut berjalan beriringan dengan keharusan untuk membangun ukuran kinerja birokrasi itu sendiri. Komitmen serta dukungan yang tinggi dari para pengambil keputusan serta pembuat kebijakan di tubuh birokrasi menjadi prasyarat mutlak. Dedikasi ini dilaksanakan secara bertahap, yang dimulai dari institusi yang sudah cukup stabil, dalam arti tidak sedang dalam proses perubahan ataupun pergantian personil. Transparansi pun diperlukan sebagai jembatan informasi kepada seluruh stakeholder birokrasi, baik internal, apalagi khalayak eksternal. Partisipasi masyarakat tak boleh dikesampingkan. Setelah penguatan internal dilakukan, birokrat perlu berdialog dengan masyarakat guna menyusun indikator masing masing jenis layanan. Indikator ini tidak lepas dari faktor pembiayaan yang dibutuhkan berikut sumber dana itu. Langkah ini ditindaklanjuti dengan sosialisasi indikator secara mendetail hingga dipahami oleh publik. Tentu aja tolok ukur penilaian kinerja itu harus yang tepat dan mudah dioperasionalkan. Semakin sederhana alat ukurnya, semakin mudah pula implementasi dan evaluasinya. Pemerintah pun secara transparan dan berkala harus menginformasikan hasil implementasinya kepada publik. Dengan demikian, masyarakat dapat menyampaikan komplainnya dengan terarah dan tepat sasaran. 2.4.Reformasi Birokrasi dan Good Governance Konsep good governance ini munculnya karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang selama ini dipercaya sebagai penyelengggara urusan publik. Pendekatan penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralis, non partisifatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik pada rezim-rezim terdahulu, harus diakui telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati pada rezim yang berkuasa. Menurut Edelman, hal seperti ini merupakan era anti birokrasi, era anti pemerintah, serta era anti institusi.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
255
Implikasi nyata dari fenomena semakin rendahnya kepercayaan publik pada pemerintah ini, berujung pada posisi administrasi publik yang sulit serta tidak menguntungkan. (Edelman dalam Wibowo 2004:5). Good governance sudah lama menjadi mimpi bagi banyak orang di Indonesia. Kendati pemahaman mereka mengenai good governance berbeda-beda, namun sebagian besar dari mereka setidaknya membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak diantara mereka yang membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semkin rendah, dan pemerintahan semakin peduli dengan kepentingan warga. Mengingat pengembangan good governance memiliki kompleksitas yang tinggi dan kendala yang besar maka diperlukan sebuah langkah yang strategis untuk memulai praktik good governance. Agus Dwiyanto menyarankan praktik governance sebaiknya dimulai dari sektor pelayanan publik (Dwiyanto 2005:3). Pelayanan publik dipilih sebagai penggerak utama karna upaya mewujudkan nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik governance yang baik dalam pelayanan publik dapat dilakukan lebih nyata dan mudah. Nilai-nilai seperti efesiensi, partisipasi dan akuntabilitas dapat diterjemahkan secara relatif lebih mudah dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah , warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik. Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian pelayanan publik, disamping permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan martabatnya sebagai warga negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya. Hal ini terjadi karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada budaya kekuasaan. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik yang berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima sebab pelayanan publik merupakan fungsi utama pemerintah yang wajib diberikan sebaik-baiknya oleh pejabat publik. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan melakukan penerapan prinsip-prinsip Good Governance, yang diharapkan dapat memenuhi pelayanan yang prima terhadap masyarakat. Terwujudnya pelayanan publik
256
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
yang berkualitas merupakan salah satu ciri Good Governance. Untuk itu, aparatur Negara diharapkan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efesien. Diharapkan dengan penerapan Good Governance dapat mengembalikan dan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Lembaga
Administrasi
Negara
(2000)
memberikan
pengertian
Good
governance
yaitu
penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat dari segi fungsional, aspek governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efesien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau justru sebaliknya dimana pemerintahan tidak berfungsi secara efektif dan efesien. Penekanan baru dari konsep governance adalah pemaknaannya yang tidak lagi menunjuk penggunaan kekuasan secara eksklusif pada pemerintahan, tetapi juga merujuk pada penggunaan kekuasaan pada institusi atau organisasi yang berada diluar pemerintahan. Selain itu defenisi governance juga memberikan penekanan pada fungsi yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga aktor-aktor lain yaitu civil society, dan pasar atau sektor privat. Governance merupakan sebuah bentuk mekanisme, proses, hubungan dan jaringan institusi yang kompleks, dimana warga negara dan kelompok-kelompok yang ada mengartikulasikan kepentingannya. Hal ini mempunyai implikasi bahwa hampir semua organisasi, asosiasi, atau lembaga dalam masyarakat mempunyai pengaruh dan juga dipengaruhi oleh fungsi-fungsi governance. Governance menurut defenisi dari World Bank adalah ―the way state power is used in managing economic and social resources for devolepment and society”. Suatu cara digunakan didalam mengatur sumber daya sosial dan ekonomi untuk pembangunan dan masyarakat". Sementara UNDP (United Nation Development Program) mendefenisikannya sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation‟s affair at all levels”. Latihan dari politis, ekonomi, dan otoritas administratif untuk mengatur suatu urusan bangsa pada semua tingkat". Berdasarkan defenisi terakhir, governance mempunyai tiga kaki, yaitu: 1. Economic governance (Penguasaan ekonomi) meliputi proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi terhadap equity (Kekayaan), proverty (properti), dan quality of live ( Kualitas hidup). 2.
Political governance (Penguasaan politik) adalah proses keputusan untuk formulasi kebijakan.
3.
Administrative governance (Penguasaan administrasi) adalah sistem implementasi proses kebijakan (Sedarmayanti 2003:4-5). Oleh karena itu, institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintah),
private sector (sektor swasta), dan society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. State berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, private sector menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik. Selain itu, OECD (Organization for Economic Coorporated Development) yaitu organisasi untuk kerjasama ekonomi pembangunan dan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efesien, penghindaran korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
257
penciptaan legal and political frameworks (undang-undang dan kerangka politik) bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan (Sedarmayanti 2003:7). Good governance menurut UNDP didefenisikan sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara Negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Berdasarkan defenisi tersebut, UNDP kemudian mengajukan karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsensus, kesetaraan, efektif dan efesien, bertanggung jawab dan visi yang strategik (Suhady 2005). Karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktik penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) dikemukakan oleh UNDP (1997) yaitu meliputi: 1.
Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing
2. Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik, sebagaimana halnya kepada stakeholders. 3.
Aturan hukum (Rule of law): Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak azasi manusia.
4. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor. 5.
Daya tangkap (Responsiveness): Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).
6.
Berorientasi konsensus (Consensus Orientation): Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
7.
Berkeadilan (Equity): Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
8.
Efektifitas dan Efisiensi (Effectifitas and Effeciency): Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaikbaiknya dengan berbagai sumber yang tersedia.
9.
Visi strategis (Strategic Vision): Para pemimpin dan masyarakat memiliki persfektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintah yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
2.5.Pelayanan Publik, Kepentingan Publik, Kualitas Pelayanan Publik Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan (Sampara dalam
258
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Sinambela 2006). Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai hal, cara atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang dengan makanan atau minuman; menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima; menggunakan). Menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 2009, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara publik. Sementara itu istilah publik berasal dari bahasa inggris publik yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia baku menjadi publik yang berarti umum, orang banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat sehingga lahir istilah pamong praja yang berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh rakyat. Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik (Inu dalam Sinambela 2006). Ijan Poltak Sinambela (2006) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan. Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat pada penyelenggaraan negara. Negara didirikan oleh publik atau masyarakat tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini birokrasi haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat. Tujuan pelayanan publik adalah memuaskan dan bisa sesuai dengan keinginan masyarakat atau pelayanan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 62 tahun 2003 tentang penyelenggaraan pelayanan publik setidaknya mengandung sendi-sendi : 1.
Kesederhanaan, dalam arti prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara cepat, tidak berbelitbelit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2.
Kejelasan yang mencakup : Rincian biaya atau tarif pelayanan publik. Prosedur/tata cara umum, baik teknis maupun administratif.
3.
Kepastian waktu, yaitu pelaksanaan pelayanan publik harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
4.
Kemudahan akses, yaitu bahwa tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
5.
Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, yakni memberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
259
6.
Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika.
Kualitas pelayanan berhasil dibangun apabila yang diberikan kepada masyarakat atau pelanggan mendapatkan pengakuan dari pihak-pihak yang dilayani. Pengakuan ini bukan dari aparatur tetapi dari masyarakat/pelanggan. Dengan adanya tata cara pelayanan yang jelas dan terbuka, maka masyarakat dalam pengurusan kepentingan dapat dengan mudah mengetahui prosedur ataupun tata cara pelayanan yang harus dilalui. Sehingga pelayanan itu sendiri akan dapat memuaskan masyarakat. Pelayanan yang dapat memberikan kepuasan pada para pelanggan sekurang-kurangnya mengandung tiga unsur pokok yaitu : 1.
Terdapatnya pelayanan yang merata dan sama, yaitu dalam pelaksanaannya tidak ada diskriminasi yang diberikan oleh aparat pemerintah terhadap masyarakat. Pelayanan tidak menganaktirikan dan menganakemaskan keluarga, pangkat, suku, agama dan tanpa memandang status ekonomi. Hal ini membutuhkan kejujuran dan tenggang rasa para pemberi pelayanan tersebut.
2.
Pelayanan yang diberikan harus tepat pada waktunya Pelayanan oleh aparat pemerintah dengan mengulur waktu dengan berbagai alasan merupakan tindakan yang dapat mengecewakan masyarakat. Mereka yang membutuhkan secepat mungkin diselesaikan akan mengeluh kalau tidak segera dilayani. Lagipula jika mereka mengulur waktu tentunya merupakan beban untuk tahap selanjutnya karena berbarengan dengan semakin banyaknya tugas yang harus diselesaikan.
3.
Pelayanan harus merupakan pelayanan yang berkesinambungan
Dalam hal ini aparat pemerintah harus selalu siap untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan pelayanan. Meminjam model dari Valerie A. Zeithaml dkk (2000:45) maka ada beberapa dimensi yang sangat penting diperhatikan dalam mengukur pelayanan yang bekualitas yaitu: 1.
Tangibility : dapat berupa tampilan fisik, peralatan, dan penggunaan alat Bantu yang dimiliki pemberi pelayanan. Hal ini sangat penting sekali mengingat masyarakat akan merasa lebih nyaman berada dalam sarana fisik yang bersih, rapi dan nyaman serta mudah dalam mengidentifikasikan antara pembeli pelayanan dengan orang lain.
2.
Reability : kesesuaian antara kenyataan layanan yang diberikan dengan pelayanan yang dijanjikan. Hal ini penting karena akan mempengaruhi perencanaan usaha dan kepastian dari masyarakat dalam mendapatkan pelayanan.
3.
Responsiveness : kemampuan dalam pemberian pelayanan secara tepat dan cepat. Pemberi pelayanan harus bertanggung jawab dalam memberikan penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi masyarakat atau pelanggan.
4.
Assurance : keahlian yang diperlukan dalam memberikan pelayanan sehingga pelanggan atau masyarakat merasa terbebas dari resiko atau kerugian karena gagalnya pelayanan.
260
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
5.
Empathy : adanya kedekatan dan pemahaman baik antara pemberi pelayanan dengan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memuat akses komunikasi yang dapat memudahkan
komunikasi
antara
pemberi
pelayanan
dapat
mengenal
masyarakat/pelanggannya dengan baik dan keinginan masyarakat dalam proses pelayanan dapat dimengerti.
Komitmen dan semangat untuk melakukan penataan terhadap sistem governance di bidang pemerintahan terus meningkat. Penyebabnya, selain karena masih banyaknya organisasi yang memiliki kinerja yang kurang baik, juga disebabkan tidak efektifnya perangkat hukum dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan organisasi berdampak pada tidak terciptanya kinerja pelayanan publik yang baik, hal tersebut tidak hanya berdampak pada profit organisasi akan tetapi juga berdampak pada non-profit organisasi termasuk institusi pemerintah. Kesalahan-kesalahan inilah yang menjadi titik perhatian akademisi, pemerintah dan praktisi untuk melakukan penataan terhadap system governance. Penyelenggaraan tata pemerintahan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayananan publik, selama ini dianggap kurang memenuhi harapan dalam penerapannya karena tidak memenuhi prinsip, norma, efisiensi, partisipasi, transparasi dan akuntabilitas. Sementara pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, berkeadilan dan persamaan perlakuan di muka hukum menjadi kebutuhan masyarakat yang amat mendesak. Pelayanan publik sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat merupakan salah satu fungsi penting pemerintah, selain fungsi distribusi, regulasi maupun proteksi. Fungsi pelayanan publik tersebut merupakan aktualisasi riil kontrak sosial yang diberikan masyarakat kepada pemerintah, dalam konteks hubungan principal-agent. Berdasarkan kerangka kerja tersebut, pemerintah selanjutnya melakukan proses pengaturan alokasi sumber daya publik dengan cara menyeimbangkan aspek penerimaan dan pengeluaran untuk memaksimalkan penyediaan kebutuhan pelayanan kolektif. Pelaksana kontrak sosial yang digariskan sebelumnya oleh pemerintah seringkali menimbulkan banyak masalah bagi publik, sehingga pemerintah kemudian mendapatkan berbagai stigma negatif dan salah satu di antaranya adalah stigma jauh dari ―menjadi bagian dari solusi‖ (a part of solution), pemerintah justru menjadi ―bagian dari masalah‖ (a part of problem) bahkan menjadi masalah utama dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Indikator hal tersebut dapat kita lihat pada fenomena malpraktik pelayanan publik yang sudah menjadi bagian integral dalam penyelenggaraan pelayanan publik, maka bukan hal yang tidak mungkin jika stigma negatif itu dilontarkan, hal ini dapat dilihat dari kinerja pelayanan publik yang kurang memenuhi harapan masyarakat, misalnya bertele-tele, cenderung birokratis, tidak transparan, banyak pungutan tambahan, perilaku aparat yang lebih bersikap sebagai pejabat ketimbang abdi masyarakat dan pelayanan yang diskriminatif. Indikasi lain yang terkait dengan pelayanan publik adalah teridentifikasinya ―budaya negatif‖ di dalam lingkungan organisasi pemerintah yang merugikan kepentingan publik seperti mendahulukan kepentingan pribadi, golongan, kelompok, termasuk kepentingan atasannya. Adanya perilaku malas dalam mengambil inisiatif di luar peraturan (lebih banyak sembunyi di balik aturan atau petunjuk atasan), sikap acuh terhadap
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
261
keluhan masyarakat, lamban dalam memberikan pelayanan serta sederetan persoalan-persoalan lainnya yang merupakan gambaran perilaku lainnya yang tidak simpatik dan kurang mengenakkan. Untuk mewujudkan Good Governance, maka penyelenggaraan pemerintahan harus mencakup prinsip – prinsip, sebagaimana yang digunakan oleh berbagai lembaga international seperti UNDP, World Bank, dan meliputi : (1) partisipasi, (2) Efisiensi dan efektivitas, (3) Keadilan, (4) Akuntabilitas, (5) Transparasi, (6) responsivitas, (7) Kesamaan dan (8) kepastian hukum (Dwiyanto, 2003). Selain itu, konsep pelayanan prima juga menjadi model yang harus diterapkan guna meningkatkan kualitas pelayanan Strategi pelayanan prima yang dikemas dalam bentuk layanan terpadu, adalah pola pelayanan publik yang dilakukan secara terpadu pada suatu tempat oleh beberapa instansi yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Penerapan layanan terpadu pada dasarnya ditujukan antar fungsi terkait, maka dengan demikian pelayanan terpadu bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau (Sedarmayanti, 2004). Suatu sistem pelayanan publik dalam merespons dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya secara tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan Kemampuan dijadikan sebagai basis dan kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu. Birokrasi publik diIndonesia sering kali tidak memiliki misi yang jelas sehingga fungsi-fungsi dan aktifitas yang dilakukan oleh birokrasi itu cenderung semakin meluas, bahkan mungkin menjadi semakin jauh dari tujuan yang dimiliki ketika membentuk birokrasi itu. Perluasan misi birokrasi ini sering kali tidak didorong oleh keinginan birokrasi itu agar dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya, tetapi didorong oleh keinginan birorasi untuk memperluas aksesnya terhadap kekuasaandan anggaran. Dalam situasi yang fragmentasi birokrasi amat tinggi, maka kecenderungan semacam ini tidak hanya akan membengkakkan birokrasi publik, tetapi juga menghasilkan duplikasi dan konflik kegiatan dan kebijakan antar kementrian dan berbagai non kementrian. Dalam sistem penyelenggaraan pelayanan publik, konflik kebijakan antar departemen dan lembaga non departemen bukan hanya melahirkan inefisiaensi, tetapi juga membingungkan masyarakat pengguna jasa birokrasi. Ketidakpastian misi juga membuat orientasi birokrasi dan pejabatnya pada prosedur dan peraturan menjadi amat tinggi. Apalagi dalam birokrasi publik di Indonesia yang cenderung menjadikan prosedur dan peraturan sebagai panglima, maka ketidakjelasan misi birokrasi publik mendorong para pejabat birokrasi publik menggunakan prosedur dan peraturan sebagai kriteria utama dalam penyelenggaraan pelayanan. Para pejabat birokrasi sering mengabaikan perubahan yang terjadidalam lingkungan dan alternatif cara pelayanan yang mungkin bisa mempermudah para pengguna layanan untuk bisa mengakses pelayanan secara lebih mudah dan murah. Ketaatan dan kepatuhan terhadap prosedur dan peraturan menjadi indikator kinerja yang dominan sehingga keberanian untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreatifitas dalam merespon perubahan yang terjadi dalam masyarakat menjadi amat rendah. Rutinitas dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan benar dalam penyelengaraan pelayanan publik. Birorasi yang seperti ini tentu amat sulit menghadapi dinamika yang amat tinggi, yang muncul sebagai akibat dari krisis ekonomi dan politik yang sekarang ini terjadi di Indonesia. Krisis ini mengajarkan kepada kita betapa rapuhnya sistem birokrasi publik diIndonesia dalam menghadapi perubahan-perubahan yang cepat dalam lingkungannya. Tentunya kegagalan birokrasi dalam merespons krisis ekonomi dan politik secara baik juga
262
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
amat ditentukan oleh bagaimana sistem kekuasaan, akuntabilitas, intensif dan budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini. Uraian diatas menjelaskan bahwa kemampuan pemerintah dan birokrasinya dalam menyelenggarakan pelayanan publik amat dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Untuk memahami kinerja birokrasi dalam penyelengaraan pelayanan publik, tentu tidak cukup hanya dengan menganalisisnya dari satu aspek yang sempit, tetapi harus bersifat menyeluruh dengan memperhatikan semua dimensi persoalan yang dihadapi oleh birorasi serta keterkaitan sati dengan yang lainnya. Dengan cara pandang seperti ini, maka informasi tepat dan lengkap mengenai kinerja birokrasi dapat diperoleh dan kebijakan reformasi birokrasi yang holistik dan efektif bisa dirumuskan dengan mudah. Dengan melaksanakan kebijakan seperti ini, maka diharapkan perbaikan kinerja birokrasi dalam penyelengaraan pelayanan publik akan bisa segera dinikmati oleh masyarakat luas.
METODE PENELITIAN 3.1.Jenis/Pendekatan Penelitian Jenis/pendekatan penelitian yang digunakan dalam penyelenggaraan penelitian ini adalah kombinasi antara penjajagan (exploratory) dan deskriptif (descriptive). Penelitian eksploratori (exploratory–dalam istilah ―lama‖ disebut penelitian eksploratif), merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian (kadang disebut pula dengan desain penelitian. Penyebutan penelitian eksploratori sebagai salah satu pendekatan penelitian antara lain ditemukan dalam blog KnowThis.com (blog tentang pemasaran) yang menjelaskan penelitian eksploratori (dalam pemasaran, tentunya) sebagai berikut. Pendekatan eksploratori berupaya menemukan informasi umum mengenai sesuatu topik/masalah yang belum dipahami sepenuhnya oleh seseorang petugas pemasaran (bisa kita ganti sebutannya dengan yang lebih umum : peneliti). Sebagai contoh, seorang petugas pemasaran (peneliti) telah mendengar berita tentang adanya teknologi internet baru yang bisa membantu pihak-pihak yang berkompetisi di dunia pemasaran, tetapi si petugas pemasaran tersebut belum akrab (kenal, paham) benar dengan peralatan teknologi tersebut dan berkeinginan untuk melakukan penelitian guna mengenal lebih jauh mengenainya (Tatang, 2009). Penelitian ini, oleh karena obyeknya adalah implementasi kebjakan, maka secara substantif juga bisa disebut sebagai penelitian kebijakan. Dalam pandangan Rahayu (2010), penelitian kebijakan (policy research) secara spesifik ditujukan untuk membantu pembuat kebijakan (policy maker) dalam menyusun rencana kebijakan, dengan jalan memberikan pendapat atau informasi yang mereka perlukan untuk memecahkan masalah yang kita hadapi sehari-hari. Dengan demikian, penelitian kebijakan merupakan rangkaian aktifitas yang diawali dengan persiapan peneliti untuk mengadakan penelitian atau kajian, pelaksanaan penelitian, dan diakhiri dengan penyusunan rekomendasi. Penelitian kebijakan memiliki sifat yang sangat khas. Kekhasan penelitian ini terletak pada fokusnya. Danim (2005) menjelaskan fokus penelitian kebijakan secara umum adalah: berorientasi kepada tindakan untuk memecahkan masalah sosial yang unik, yang jika tidak dipecahkan akan memberi efek negatif yang sangat luas. Tidak ada ukuran pasti mengenai luas atau sempitnya suatu masalah sosial. Setiap jenis penelitian tentu
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
263
memiliki karakteristik masing-masing. Demikian juga dengan penelitian kebijakan. Kekhususan karakteristik penelitian kebijakan terutama pada proses kerjanya. Menurut Ann Majchrzak sebagaimana yang dikutip Danim (2005), karakteristik penelitian kebijakan adalah: (1) Fokus penelitian bersifat multidimensional atau banyak dimensi, (2) Orientasi penelitian bersifat empiris-induktif, (3) Menggabungkan dimensi masa depan dan masa kini, (4) Merespon kebutuhan pemakai hasil studi, (5) Menonjolkan dimensi kerja sama secara eksplisit. Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa nilai spesial karakteristik penelitian kebijakan adalah pada penekanan-penekanan khusus dari masing-masing karakteristik tersebut serta kepaduannya dalam melihat masalah secara multi dimensi dan dikedepankannya hasil penelitian yang dapat memberikan kontribusi bagi upaya memperbaiki kebijakan public, baik dalam tataran formulasi, implementasi maupun evaluasi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga disebut pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian (Mc Millan & Schumacher, 2003). Penelitian kualitatif juga bisa dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss & Corbin, 2003). Sekalipun demikian, data yang dikumpulkan dari penelitian kualitatif memungkinkan untuk dianalisis melalui suatu penghitungan. Penelitian kualitatif (Qualitative research) bertolak dari filsafat konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial (a shared social eperience) yang diinterpretasikan oleh individu-individu. Sementara itu, menurut (Sugiono, 2009:15), metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositifsime, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sample sumber dan data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi (gabungan) analisis data bersifat induktif / kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna daripada generalisasi. Pada penelitian kualitatif, penelitian dilakukan pada objek yang alamiah maksudnya, objek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu mempengaruhi dinamika pada objek tersebut. Sebagaimana dikemukakan dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau peneliti itu sendiri (humane instrument). Untuk dapat menjadi instrumen maka peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi situasi sosial yang diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna. Berikut ini karakteristiknya: 1. Penelitian kualitatif menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data : 2. Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik : data yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk dan angka-angka. 3. Tekanan penelitian kualitatif ada pada proses bukan pada hasil. Data dan informasi yang diperlukan berkenaan dengan pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana untuk mengungkap proses bukan hasil suatu kegiatan.
264
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
4. Penelitian kualitatif sifatnya induktif. Penelitian kualitatif tidak dimulai dari deduksi teori, tetapi dimulai dari lapangan yakni fakta empiris. Peneliti terjun ke lapangan, mempelajari suatu proses atau penemuan yang tenjadi secara alami, mencatat, menganalisis, menafsirkan dan melaporkan serta menarik kesimpulan-kesimpulan dari proses tersebut. 5. Penelitian kualitatif mengutamakan makna. Makna yang diungkap berkisar pada persepsi orang mengenai suatu peristiwa. (Apipah, 2012) 3.2.Lokasi Penelitian Secara teritori populasi penelitian ini adalah
Provinsi Jawa Timur, dan secara substantif populasi
penelitian ini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan obyek maupun subyek pelayanan publik, khususnya tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, Namun dengan pertimbangan keterbatasan tenaga, waktu, biaya dan kapasitas untuk melakukan penelitian ini, maka secara teritori penelitian ini memilih 5 kabupaten sebagai sampel penelitian ini dengan pertimbangan lima daerah tersebut dalam catatan Komisi Pelayanan Publik terdapat jumlah pengaduan dalam ranking tertinggi. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ditentukan 5 daerah yang menjadi sampel penelitian ini, meliputi : 1.
Kabupaten Sidoarjo
2.
Kabupaten Banyuwangi
3.
Kabupaten Lamongan
4.
Kota Blitar
5.
Kabupaten Kediri
3.3.Teknik Pengambilan Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualiatas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi, populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam lainnya. Populasi juga bukan sekedar banyaknya objek/subjek yang diteliti, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subjek atau objek tersebut. Sampel adalah perwakilan dari kelompok yang telah diseleksi dari populasi target sehingga peneliti dapat mengeneralisasikan hasil penelitian yang diperoleh ke dalam populasi target. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Jadi, sampel merupakan perwakilan/bagian dari jumlah kelompok dengan karakteristik tertentu yang dimiliki oleh populasi. Populasi dalam penelitian kualitatif dinamakan situasi sosial (objek yang ingin dipahami secara mendalam). Sampel dalam penelitian ini berupa partisipan, atau narasumber atau informan. Sampel dalam penelitian kualitatif didasarkan atas informasi yang maksimum (bukan statistik). Teknik pengambilan sampel yang dipilih dalah purposive dan snowball. Kegiatan eksplorasi penelitian diperoleh melalui pengamatan, wawancara, dan telaah dokumen. Dilakukan saat mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung (emergent sampling design). Peneliti dapat menetapkan sampel lainnya yang dipertimbangkan akan memberikan data yang lebih lengkap. Apabila penentuan unit sampel (partisipan/informan) dianggap telah memadai (redundansi), data telah jenuh maka tidak perlu lagi menambahkan sampel sebagai informasi yang baru.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
265
Teknik sampling yang dipilih adalah teknik sampling penelitian kualitatif purposive sampling. Prosedur dimana peneliti mengidentifikasi informan kunci: orang-orang yang memiliki pengetahuan khusus tentang topik yang sedang diselidiki. Misalnya, Penelitian tentang fenomena penyampaian gugatan atau keluhan pelanggan. 3.4.Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk pengumpulan data. Teknik dalam menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihat penggunaannya melalui : angket, wawancara, pengamatan, ujian (tes), dokumentasi, dan lain-lain. Peneliti dapat menggunakan salah satu atau gabungan teknik tergantung dari masalah yang dihadapi atau yang diteliti. Dalam metode penelitian kualitatif, lazimnya data dikumpulkan dengan beberapa teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu; 1) wawancara, 2) observasi, 3) dokumentasi, dan 4) diskusi terfokus (Focus Group Discussion). Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data mana yang paling tepat, sehingga benar-benar didapat data yang valid dan reliable, meliputi: 1.
Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, karena peneliti telah mengetahui informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara, peneliti telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis. Dengan wawancara terstruktur ini setiap responden diberi pertanyaan yang sama, dan pengumpul data mencatatnya. Dalam melakukan wawancara, selain harus membawa instrumen sebagai pedoman untuk wawancara, maka pengumpul data juga dapat menggunakan alat bantu seperti tape recorder, gambar, brosur dan material lain yang dapat membantu pelaksanaan wawancara berjalan lancar.
2.
Observasi juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini. Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan pancaindera, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian (Guba dan Lincoln, 1981). Bungin (2007) mengemukakan beberapa bentuk observasi, yaitu: 1) Observasi partisipasi, 2) observasi tidak terstruktur, dan 3) observasi kelompok. Berikut penjelasannya:
a.
Observasi partisipasi adalah (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana peneliti terlibat dalam keseharian informan.
b.
Observasi tidak terstruktur ialah pengamatan yang dilakukan tanpa menggunakan pedoman observasi, sehingga peneliti mengembangkan pengamatannya berdasarkan perkembangan yang terjadi di lapangan.
266
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
c.
Observasi kelompok ialah pengamatan yang dilakukan oleh sekelompok tim peneliti terhadap sebuah isu yang diangkat menjadi objek penelitian.
3.
Studi Dokumen : selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa silam.
3.5.Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama dilapangan, dan setelah selesai dilapangan. Dalam hal ini Nasution (1988) menyatakan ‖Analisis telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun kelapangan dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Analisis data menjadi pegangan bagi penelitian selanjutnya sampai jika mungkin, teori grounded”. Namun dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses dilapangan bersamaan dengan pengumpulan data. 1.
Analisis Sebelum di Lapangan : penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data skunder, yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama dilapangan.
2.
Analisis Selama di Lapangan: analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaannya lagi sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Miles and Huberman (2984) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai jenuh. Aktifitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display dan conclusion drawing/ferification.
3.
Data reduction (reduksi data) : data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan makin lama peneliti di lapangan, maka jumlah data akan makinbanyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segers dilakuakan analissi data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum , memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada halhal yang penting, dicari tema dan polanya dan memebuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan memepermudah peneliti untuk melakuakan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinyan bila diperlukan. dan pengembangan teori yang segnifikan.
4.
Data display (penyajian data): setelah data reduksi, maka langkah selanjutnya adalh mendisplaykan data. Kalau dalam penelitian kuantitatif penyajian data ini dapat dilakuakan dalam bentuk table, grafik, pictogram dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan, tersususn dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya. Dalam hal ini
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
267
Miles and Huberman (1984) menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data maka akan memedahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Miles and Huberman (1984). Selanjutkan disarangkan, dalam melakukan dispalay data, selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, network dan chart. Untuk mengecek apakah peneliti telah memahami apa yang didisplaykan, maka perlu dijawab pertayaan berikut, apakah anda tahu apa isi yang didisplaykan. 5.
Conclusion Drawing/verification : kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila data kesimpulan data yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh kembali bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada dilapangan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa diskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas.
Sebagai penyempurna penelitian ini juga digunakan confirming finding analysis (analisis memastikan temuan) yang akan dipakai untuk memastikan apakah temuan dalam penelitian ini memiliki kebenaran. Teknik confirming finding analysis akan dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi dengan bantuan wawancara terstruktur dengan informan kunci serta dengan observasi pada obyek-obyek yang spesifik dan relevan.
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Gambaran Umum Komisi Pelayanan Publik (KPP)
a.Kelembagaan KPP Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur adalah lembaga yang dibentuk pertama kalinya pada tahun 2006. KPP hadir sebagai bentuk implementasi dari Peraturan Daerah (Perda) Jatim No. 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik. Dalam peraturan daerah yang merupakan amanat bagi pelaksanaan pelayanan publik prima di Jawa Timur tersebut, diamanatkan tentang berdirinya KPP selaku lembaga independen yang mengawasi pelaksanaan pelayanan publik. Lembaga ini memiki fungsi sebagai pengawas eksternal pelayanan publik dengan tugas utama menangani pengaduan masyarakat. Seiring dengan dinamika yang terjadi dalam pelayanan publik, dimana pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, Tentang Pelayanan Publik, Jawa Timur melalui DPRD melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan oleh Komisi A DPRD Jawa Timur tersebut menghadirkan Perda
268
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Jatim Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik. Perda ni sendiri sebenarnya merupakan revisi dari Perda No. 11 Tahun 2005 sebagai akibat dari terbitnya UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Ada perbedaan yang signifikan antara Perda No. 11/2005 dengan Perda No. 8 Tahun 2011 yang berkaitan dengan KPP. Perbedaan itu diantaranya masa jabatan yang sebelumnya 5 Tahun menjadi 4 tahun. Selain itu jumlah anggota yang sebelumnya berjumlah 5 orang kini menjadi 7 orang Sebagaimana Perda No. 11 Tahun 2005, Dalam Perda No. 8 Tahun 2012 inipun juga mengamanatkan tentang keberadaan Komisi Pelayanan Publik (KPP). Dalam Perda ini secara rinci diatur bagian mengenai Komisi Pelayanan Publik. Hal ini terdapat dalam pasal 44 hingga pasal 53 Perda tersebut. Sebagaimana diamanatkan Perda No. 8 Tahun 2011, KPP dihadirkan dengan serangkaian tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab dalam hal pengawasan pelaksanaan pelayanan publik. Tugas tersebut terutama berkaitan dengan penanganan pengaduan seputar pelayanan publik yang dilakukan oleh instansi di wilayah Jawa Timur. Tugas ini akan menjadi hal yang harus dilaksanakan oleh Tugas tersebut haruslah menjadi hal mendasar yang harus dikerjakan oleh ketujuh anggota KPP yang diperoleh melalui proses penjaringan dan penyaringan yang cukup ketat oleh panitia dan Komisi A DPRD Jawa Timur dan telah dilantik pada tanggal 9 April 2012. (Sumber KPP Jatim)
b. Kedudukan KPP : KPP berkedudukan di Ibukota provinsi dengan cakupan kerja meliputi seluruh organisasi penyelenggara pelayanan publik di lingkungan Pemerintah Provinsi. KPP merupakan lembaga pengawas eksternal yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bersifat independen bebas dari pengaruh siapapun. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPP dapat menjalin kerjasama kemitraan dengan Ombusdman maupun dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan instansi lainnya. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPP dibantu oleh staf Sekretariat. Staf Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah pegawai negeri sipil yang kompeten berdasarkan penugasan dari Pemerintah Provinsi.
c.Struktur KPP Sebagaimana telah dipaparkan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur terdiri dari 7 orang anggota (Perda No. 8/2011 Pasal Ayat). Ketujuh anggota ini sesuai dengan pasal XX ayat XX secara struktural terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu orang wakil ketua merangkap anggota dan lima orang anggota. Adapun susunan organisasi KPP sebagai berikut : Ketua merangkap anggota
: Deni wicaksono, S.Sos
Wakil Ketua merangkap anggota
: Dr.wahidahwati, SE,M.Si, AK
Anggota
:
1. Suprapto, SH, MH,M.Psi
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
269
2. Nuning Rodiyah,S.Pd.I, M.Pd.I 3. Immanuel Yosua T, S.Th, MACE 4. Hardly Fenelon S,SE 5. Assistriadi W, ST.MM
d.Rekruitmen KPP (Normatif dan Empirik) Persyaratan Keanggotaan KPP Syarat-syarat untuk menjadi anggota KPP adalah sebagai berikut: a.
Warga Negara Indonesia yang berdomisili di Jawa Timur;
b.
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
Berusia minimal 30 (tiga puluh) tahun dan maksimal 60 (enam puluh) tahun serta sehat jasmani dan rohani;
d.
Berpengalaman dibidang pelayanan publik, komunikasi dan informatika, kebijakan publik, politik, hukum dan advokasi masyarakat;
e.
Independen dan bukan anggota atau pengurus partai politik maupun organisasi yang berafiliasi pada partai politik;
f.
Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan
g. Tidak sedang merangkap jabatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Jumlah dan Masa Keanggotaan 1.
KPP beranggotakan 7 (tujuh) orang yang terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua merangkap anggota serta 5 (lima) orang anggota;
2.
Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dari dan oleh anggota;
3.
Ketua, Wakil Ketua dan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sanggup bekerjasama;
Masa keanggotaan KPP selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa keanggotaan 1 (satu) periode berikutnya. Penetapan dan Pelantikan Anggota KPP 1.
Anggota KPP ditetapkan dengan Keputusan Gubernur atas usulan dari DPRD setelah melalui proses penjaringan, penyaringan serta uji kemampuan dan kelayakan bersama dengan Tim Independen;
2.
Anggota KPP yang diusulkan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui keputusan DPRD;
270
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
3.
Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya usulan dari DPRD;
4.
Pelantikan anggota KPP dilakukan oleh Gubernur setelah diterbitkannya Keputusan Gubernur.
Pemberhentian, Pemberhentian Sementara dan Penggantian Antar Waktu 1.
Masa Keanggotaan KPP berakhir, karena: berhenti dari jabatannya, dan/atau diberhentikan dari jabatannya;
2.
Anggota KPP yang berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, karena: masa jabatannya berakhir; mengundurkan diri secara sukarela; dan/atau meninggal dunia; Anggota KPP yang diberhentikan dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, karena: dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; tidak lagi memenuhi persyaratan.
3.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45; dan berhalangan secara kumulatif lebih dari 46 (empat puluh enam) hari dalam 1 (satu) tahun;
4.
Anggota KPP yang sedang menjalani proses hukum dan telah ditetapkan sebagai terdakwa dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih diberhentikan sementara sampai ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
5.
Pemberhentian dan Pemberhentian sementara Anggota KPP dari jabatannya berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur;
6.
Pada saat pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), anggota KPP hanya menerima 50% (lima puluh perseratus) dari honorarium yang seharusnya diterima.
e.Tugas dan Kewajiban KPP Tugas KPP Sebagai pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik KPP bertugas : a.
Menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik;
b.
Membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat non litigasi;
c.
Melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik;
d.
Menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat.
Kewajiban KPP Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada tugas KPP berkewajiban: a.
Meminta informasi dari penyelenggara dan/atau pelaksana pelayanan publik;
b.
Melakukan konfirmasi kepada pengadu dan/atau instansi terkait bahwa persoalan yang disampaikan belum diadukan atau tidak sedang diproses Ombudsman maupun oleh Pengadilan;
c.
Menghadirkan pihak-pihak untuk kepentingan konsultasi maupun mediasi;
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
271
d.
Meminta informasi pada organisasi penyelenggara dan/atau pelaksana tentang pengajuan keberatan dari masyarakat dan tindak lanjut yang telah dilakukan;
e.
Memberi saran atau masukan baik diminta ataupun tidak kepada Gubernur melalui DPRD dalam rangka memperbaiki kinerja pelayanan.
4.2 Hasil dan Pembahasan A.Peran dan Pelaksanaan Tugas KPP Merujuk pasal 45 Peraturan Daerah Nomor Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik, bahwa Komisi Pelayanan Publik (KPP) bertugas sebagai 1.Pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Tugas tersebut meliputi: (a) menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik; (b) membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat non litigasi; (c) melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik; dan (d) menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat. Secara kelembagaan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur adalah lembaga independen yang berfungsi untuk menerima pengaduan dan menyelesaikan sengketa pelayanan publik. Salah satu daerah yang membentuk suatu lembaga/komisi yang memiliki kewenangan untuk melindungi hak-hak masyarakat dari penyelenggara pelayanan publik yang kurang baik dan propesional dalam memberikan pelayanan publik terhadap masyarakat adalah daerah Provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur membentuk suatu komisi yang memiliki kewenangan untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam hal pelayanan publik pada tahun 2005 melalui Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur yang dinamakan Komisi Pelayanan Publik (KPP), yang selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 14 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 11 tahun 2005 tersebut, serta Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2007 tentang Sekretariat Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur; dan pada akhirya lahir Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 20011 tentang Pelayanan Publik, sebagai bentuk adaptasi Perda 11/2005 terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, disamping karena adaptasi terhadap perubahan kebutuhan publik akan kualitas pelayanan. KPP berkedudukan di Ibu kota provinsi dengan cakupan kerja meliputi seluruh organisasi penyelenggara pelayanan publik di lingkungan pemerintah provinsi (pasal 44 Perda Nomor 8 Tahun 2011). Namun melalui Kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah Kabupaten/Kota maka KPP direkomendasikan untuk juga menjadi lembaga pengaduan masyarakat atas penyelenggaraan pelayanan publik di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Sejumlah sub bab berikut ini menyajikan data tentang pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawasan eksternal atas penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur (tidak hanya di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
272
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
a.Penanganan Pengaduan Deputi Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara menegaskan, tidak adanya pengaduan jangan dipahami bahwa pelayanan publik baik-baik saja. Justru semakin banyaknya pengaduan, semakin bagus pelayanan publik dan partisipasi masyarakat ―Pengaduan itu tanda cinta dari masyarakat yang peduli terhadap pelayanan publik‖. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan pelayanan publik sangat penting bagi pelaksanaan program pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Bentuk partisipasi tersebut berupa pengawasan standar pelayanan, apabila pelayanan tidak sesuai dengan standar. Masyarakat dihimbau agar dapat melapor kalau pelayanan tidak sesuai prosedur, kemudian didiskusikan dengan penyelenggara layanan untuk perbaikan dan menemukan solusinya. Sistem pengaduan memang belum berjalan dengan baik. Selain menerapkan sesuai standar, masyarakat juga harus diberi pemahaman bagaimana cara melapor sesuai Pasal 19 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Masyarakat harus berpartisispasi aktif dengan mematuhi dan memenuhi ketentuan dalam standar, dan menjaga sarana dan prasarana layanan publik. Berdasar data ini dapat diketahui bahwa Kota Surabaya menduduki jumlah tertinggi (38,89%). Pada tahun 2013 jumlah pengaduan meningkat secara tajam, dari 207 di tahun 2012 menjadi 802 di tahun di tahun 2013 (meningkat 288,89%). Ini menjadi salah satu indikasi akan meningkatnya popularitas KPP sekaligus kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
2.Pengembangan Kelembagaan Internal Secara internal terdapat sejumlah langkah strategis yang telah dilakukan oleh KPP dalam rangka melakukan optimalisasi pelaksanaan tugasnya, diantaranya adalah dengan melakukan pengembangan kelembagaan secara internal. Strategi itu diantaranya adalah : Pembagian Wilayah Koordinasi Dilandasi keberadaan Jawa Timur yang cukup luas, Rapat Pleno KPP memutuskan untuk membagi wilayah kerja menjadi 7 wilayah koordinasi untuk 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Ketujuh wilayah yang telah terbagi ini dikoordinir oleh ketujuh anggota/Komisioner KPP. Adapun wilayah tersebut adalah: 1)
Korwil I meliputi wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan dengan koordinator wilayah Deni Wicaksono, S.Sos
2)
Korwil II meliputi wilayah Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Bangkalan dengan koordinator wilayah Suprapto, SH, MH, M.Si
3)
Korwil III meliputi wilayah Kota Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo dengan koordinator wilayah Dr. Wahidahwati, SE, M.Si.Ak
4)
Korwil IV meliputi wilayah Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun, Kota Madiun dengan koordinator wilayah
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
273
Assistriadi Widjiseno, ST 5)
Korwil V meliputi wilayah Kabupaten Kediri, Kota Kediri, Kabupaten Blitar, Kota Blitar, Kabupaten Tulungagung, Kota Batu dengan koordinator wilayah Immanuel Yosua, S.Th, MACE.
6)
Korwil VI meliputi wilayah Kabupaten Lumajang, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Jember, Kota Jember, Kabupaten Banyuwangi dengan koordinator wilayah Hardly Stefano Fenelon Palela, SE
7)
Korwil VII meliputi Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ponorogo dengan koordinator wilayah Nuning Rodiyah, S.Pd.I, M.Pd.I
Dalam perspektif institutional arrangement, pembagian korwil sebagaimana tersebut di atas menjadi bagian penting dari upaya untuk melakukan peningkatan efektifitas pelaksanaan kerja komisioner. Sebab sekurang-kurangnya pembagian korwil itu berimplikasi pada : 1)
Pelaksanaan tugas yang makin terfokus
2)
Peningkatan tanggungjawab pada korwil masing-masing
3)
Peningkatan hubungan psiologisantara coordinator wilayah dengan lembaga penyelenggara pelayanan publik dan masyarakat yang ada di wilayah itu lengkap dengan segala permasalahan pelayanan publik yang ada; serta sejumlah manfaat lain.
1.
Pembagian Konsentrasi Divisi Dalam rangka optimalisasi kinerja, ketujuh anggota KPP membagi diri menjadi 5 (lima) divisi dengan
rincian sebagai berikut: 1.
Divisi Penanganan Pengaduan yang berkonsentrasi pada proses manajerial pengaduan yang masuk ke KPP. Divisi ini dibawah koordinasi Nuning Rodiyah, S.Pd.I, M.Pd
2.
Divisi Hubungan Antar Lembaga yang berkonsentrasi pada jejaring dan interaksi KPP dengan masyarakat dan lembaga non pemerintah yang memiliki kaitan dengan pelaksanaan pelayanan publik di Jawa Timur. Divisi ini di bawah koordinasi Deni Wicaksono, S.Sos
3.
Divisi Sistem Informasi yang berkonsentrasi pada pengembangan sistem informasi pelayanan publik terutama yang dikelola KPP. Divisi ini di bawah koordinasi Assistriadi Widjiseno, ST., M.MT
4.
Divisi Sosialisasi dan Publikasi yang berkonsentrasi pada sosialisasi dan publikasi KPP dalam rangka optimalisasi peran KPP. Divisi ini dibawah Koordinasi Immanuel Yosua, S.Th, MACE
5.
Divisi Penelitian dan Pengembangan yang berkonsentrasi pada penelitian dan pengembangan kelembagaan serta inovasi berkaitan dengan optimalisasi pelayanan publik. Divisi ini dibawah koordinasi Dr. Wahidahwati, SE, M.Si.Ak
274
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Pembagian divisi tersebut menjadi bagian dari inovasi KPP dalam melakukan pengembangan kelembagaan ke dalam, yang karenanya (idealnya) memang berimplikasi pada peningkatan volume kegiatan dan/atau program, sesuai dengan divisi yang dibentuk. Dalam kerangka inilah dukungan sumberdaya amat diperlukan; dan oleh karena KPP menjadi bagian dari Pemerintah provinsi Jawa Timur, maka penyediaan sumberdaya pendukung (oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur) sebagai konsekuensi atas dilakukannya pengembangan kelembagaan dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP menjadi amat diperlukan.
3.Pengembangan Kelembagaan Eksternal Pos Pelayanan Pengaduan KPP di Kabupaten/Kota Salah satu langkah strategis yang dilakukan oleh KPP dalam melakukan optimalisasi pelaksanaan tugasnya adalah dengan membangun kerjasama dengan sejumlah lembaga yang terletak di Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Timur. Lembaga yang bekerjasama tersebut berperan sebagai Pos Pengaduan Komisi Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur. Konsep yang dikembangkan dalam program ini adalah mendekatkan secara fisik letak Pos Pengaduan dengan masyarakat. Selain itu kerjasama yang dibangun dengan 34 lembaga (sebagaimana terdapat pada tabel di bawah ini) dapat dimaknai sebagai langkah terobosan dalam rangka pengembangan kelembagaan/organisasi yang KPP melakukan pengembangan kelembagaan/organisasi dalam rangka dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugasnya. Pengembangan Organisasi/PO (Organizational Development/OD) pada prinsipnya merupakan suatu proses di mana pengetahuan, konsep-konsep, dan praktek-praktek yang berkaitan dengan (perilaku) organisasi digunakan secara efektif untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuannya. Proses ini juga termasuk bagaimana meningkatkan kualitas kinerja organisasi dan sekaligus meningkatkan produktivitas (anggota) organisasi. Pengembangan organisasi pada dasarnya berbeda dengan berbagai upaya perubahan organisasi yang dilakukan secara terencana, seperti upaya perubahan dengan melakukan pembelian peralatan baru, atau merancang ulang sebuah desain, ataupun menyusun ulang suatu kerjasama. Ini berpeluang punya pengaruh positif dalam rangka peningkatan kemampuan organisasi untuk dapat mengetahui dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Dengan demikian, pengembangan organisasi pada kenyataannya berorientasi pada peningkatan atau kemajuan (kinerja) sistem; di mana organisasi sebagai suatu sistem dengan bagian-bagian yang terdapat di dalamnya, dapat mempengaruhi atau memberi dampak (positif) dalam interaksinya dengan lingkungan yang lebih luas lagi, yaitu lingkungan di luar organisasi. Pengembangan organisasi memang merujuk kepada konsep pengembangan yang prosesnya terjadi secara perlahan dan memerlukan waktu yang (sangat) panjang. Jadi dapat, dikatakan bersifat evolutif. Hal ini terjadi karena kegiatan pengembangan organisasi itu sangat bervariasi dan menyangkut aspek-aspek organisasi. Aspek lain, dapat juga mengenai hal-hal yang menyangkut perubahan structural, dapat juga tentang peningkatan kualifikasi anggota suatu organisasi melalui berbagaimlangkah.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
275
Studi mengenai pengembangan organisasi juga sebenarnya merupakan upaya untuk mengatasi berbagai isu yang timbul, atau berbagai masalah yang muncul, termasuk masalah-masalah yang muncul sebagai dampak dari berbagai perubahan yang dilakukan. Meskipun banyak sekali konsep-konsep mengenai pengembangan organisasi sekarang ini, yang mungkin akan saling tumpang tindih, barangkali definisi yang dikemukakan oleh Cummings (1996) akan membantu kita untuk dapat lebih memahami konsep pengembangan organisasi yang dilakukan oleh KPP. Menurut Cummings (1989), pengembangan organisasi adalah suatu aplikasi konsep atau teori dengan menggunakan suatu sistem di mana konsep-konsep ilmu pengetahuan digunakan untuk mengembangkan organisasi secara terencana dan dengan menggunakan semua strategi yang dimiliki organisasi untuk meningkatkan efektivitas kinerja organisasi. Selanjutnya, Cummings (1989) juga menyatakan bahwa konsep (ilmu pengetahuan) di dalam pengembangan organisasi itu pada dasarnya merupakan faktor-faktor yang membedakan pengembangan organisasi dengan pendekatan lain dalam kaitannya dengan peningkatan kinerja organisasi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah: 1)
Pengembangan organisasi dapat diaplikasikan pada semua sistem, seperti pada perusahaan, atau pada satu bidang usaha saja dari perusahaan yang memiliki banyak bidang usaha. Ia juga dapat diterpkan pada satu bagian dari sebuah kelompok usaha. Hal ini berbeda dengan berbagai pendekatan yang umumnya memfokuskan pada satu atau sebagian kecil aspek saja dari sebuah sistem, seperti sistem informasi manajemen/MIS (Management Information SystemSIM) atau bagian konsultasi pegawai misalnya. Terobosan KPP mengembangkan sayap dengan menambah jumlah titik pengaduan sungguh merupakan langkah strategis.
2)
Pengembangan organisasi juga didasarkan pada praktek-praktek dan ilmu pengetahuan (mengenai perilaku) seperti kepemimpinan, dinamika kelompok, desain pekerjaan, serta berkaitan juga dengan berbagai pendekatan yang sifatnya makro seperti strategi organisasi, struktur organisasi, dan hubungan lingkungan dengan organisasi.
3)
Meskipun pengembangan organisasi itu terfokus pada perubahan yang direncanakan, namun sebenarnya pengembangan organisasi bukanlah sesuatu yang sifatnya kaku (rigid), formal, yang biasanya dikaitkan dengan perencanaan bisnis. Di sini, strategi pengembangan organisasi cenderung lebih adaptif dalam hal perencanaan dan dalam hal aplikasinya. Oleh karenanya, pengembangan organisasi bukanlah sekedar sebuah rancang bangun (blue-print) belaka yang menyangkut mengenai bagaimana agar sesuatu itu dapat dikerjakan. Jadi pengembangan organisasi pada dasarnya melibatkan perencanaan mengenai bagaimana mendiagnosa masalah-masalah yang dihadapi organisasi dan bagaimana memberikan solusinya. Hanya saja, di dalam pengembangan organisasi, perencanaan semacam itu sifatnya fleksibel dan mudah direvisi, diubah sesuai kebutuhan, berkaitan dengan informasi baru yang berisi mengenai bagaimana program-program perubahan dilaksanakan.
4)
Pengembangan organisasi juga diawali dari implementasi program-program perubahan untuk jangka panjang yang fokusnya menyangkut stabilisasi dan pelembagaan
276
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
perubahan di dalam organisasi. Fokus berikutnya dapat saja mengenai faktor-faktor yang dapat menjamin bahwa organisasi itu tetap dapat memberikan kebebasan kepada pemangku kepentingan untuk melakukan kontrol terhadap kinerja organisasi. 5)
Pengembangan organisasi sangat memperhatikan mengenai strategi, struktur, dan proses perubahan. Program perubahan bertujuan untuk memodifikasi strategi organisasi. Contohnya, program perubahan yang difokuskan pada bagaimana organisasi itu berhubungan dengan lingkungan yang lebih luas; bagaimana hubungan itu dapat dipelihara dan ditingkatkan. Hal ini juga termasuk perubahan baik pada kelompok orang di dalam mengerjakan tugas-tugas (aspek struktur); juga dalam metode-metode komunikasi dan cara-cara memecahkan masalah (aspek proses), yang kesemuanya diterapkan untuk mendukung perubahan strategi secara keseluruhan. Sejalan dengan tersebut, program-program pengembangan organisasi juga ditujukan untuk membantu tim manajemen agar kinerjanya menjadi lebih efektif dalam memfokuskan pada berbagai interaksi dan proses-proses pemecahan masalah di dalam kelompok. Harapannya adalah bahwa dengan upaya tersebut kemampuan tim manajemen untuk memecahkan masalah-masalah atau kendala-kendala yang muncul di dalam organisasi dapat ditingkatkan secara optimal.
6)
Pengembangan organisasi juga berorientasi untuk meningkatkan efektivitas organisasi. Atas hal ini ada dua asumsi dasar yang dikemukakan, pertama, organisasi yang efektif akan
mampu
untuk
memecahkan
masalah-masalah
yang
dihadapinya.
Jadi
pengembangan organisasi sebenarnya menolong (para) anggota organisasi untuk mendapatkan kemampuan dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam memecahkan masalah-masalah dimaksud. Kedua, organisasi yang efektif memiliki kualitas kerja dan produktivitas yang sangat tinggi. Hal ini akan menarik minat sekaligus akan memotivasi para pegawai untuk bekerja secara efektif. Tambahan lagi, organisasi akan sangat responsif, akan lebih tanggap, atas berbagai kebutuhan dari kelompok-kelompok eksternal (para pemegang saham, para pelanggan, para pemasok, dan jawatan pemerintah) yang menyediakan berbagai kemudahan atau fasilitas serta sumber daya bagi organisasi. 7)
Tanpa melihat itu semua, suatu perubahan pada dasrnya memang memberikan pengaruh terhadap orang-orang dan terhadap hubungan mereka di dalam organisasi. Oleh karena itu, perubahan tersebut akan membawa konsekuensi sosial yang signifikan. Dapat saja, misalnya, perubahan itu ditolak, atau diimplementasikan dengan semaunya, atau bahkan disabotase oleh para anggota organisasi. Di balik itu semua, sesungguhnya, berbagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perilaku (organisasi) telah mengembangkan konsep-konsep dan metode-metode yang sangat berguna untuk membantu organisasi dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul, seperti yang telah disebutkan di atas. Pos Pengaduan Pelayanan yang Dibentuk Pemerintah Kabupaten/Kota
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
277
Hasil studi lapangan menunjukkan bahwa sejumlah Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk lembaga atau Unit Pelayanan Pengaduan atas penyelenggaraan pelayanan publik: 1)
Di Kabupaten Sidoarja lembaga ini bernama P3M : Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat. Lembaga tersebut kurang diketahui oleh masyarakat, meskipun ada masyarakat yang menyampaikan pengaduan kepada lembaga tersebut. Pengaduan masyarakat kabupaten Sidoarjo lebih menyampaikan pengaduan kepada lembaga penyelenggara playanan (Studi di : Dinas Catatan Kependudukan dan Catatan Sipil, Rumah Sakit umum, dan Dinas Pertanahan).
Profil Penyelenggara Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat (P3M) Kabupaten Sidoarjo. Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat (P3M) Kabupaten Sidoarjo beralamat di Jl. Sultan Agung No. 1 Sidoarjo, Telepon 031-8957004 Fax 031-8957009.
Latar Belakang Misi Kabupaten Sidoarjo : memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional. Tujuan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo : meningkatkan kualitas layanan masyarakat. Adanya perintisan manajemen pelayanan berstandar ISO 9001 - 2000 di Dinas Perijinan dan Penanaman Modal Kabupaten Sidoarjo. Standar Internasional (ISO 9001 - 9004) tentang pelayanan yang baik menyatakan bahwa untuk mengukur keberhasilan pelayanan Pemerintah kepada masyarakat adalah senantiasa mendengar keluhankeluhan / pengaduan dari masyrakat (feedback from the customer).
Kebutuhan terhadap wadah komunikasi dua arah antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan masyarakat guna menghindari terjadinya kebuntuan informasi dan komunikasi masyarakat membutuhkan wadah yang tepat sebagai tempat mengadukan berbagai permasalahan yang timbul sekaligus memperoleh jawaban yang dibutuhkan.
Tujuan a. Terciptanya wadah Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat ( P3M ) yang terpadu, yang dapat menampung semua aspirasi dan keinginan seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Sidoarjo. b. Merubah kultur birokrasi
Target a.
Tersedianya sarana komunikasi yang memadai antara Pemerintah dengan masyarakat, antar Dinas dan Instansi terkait dilingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, dengan dukungan Teknologi Informasi.
b.
Sosialisasi fungsi dan peranan Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat ( P3M ) melalui Radio, media cetak dan elektronik serta penyuluhan ke 18 Kecamatan se Kabupaten Sidoarjo dengan menghadirkan Stakeholders (LSM) di tingkat kecamatan.
278
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
c.
Penyebaran brosur, pamflet tentang keberadaan P3M kepada sekolah setingkat SLTA, Universitas, Pondok Pesantren, serta Instansi Pemerintah yang berkaitan langsung dengan pelayanan masyarakat.
d.
Pelatihan komputerisasi dan pengenalan perangkat lunak P3M bagi para Bako Humas, dan para operator di lingkungan Dinas, Badan, Kantor.
e.
Sosialisasi teknis sistim prosedur P3M untuk Bako Humas, dan para operator di lingkungan Dinas, Badan, Kantor.
f.
Expose transparansi permasalahan disertai solusi kepada masyarakat melalui Radio, buku dan internet yang sangat mudah diakses masyarakat luas.
Tolok Ukur Keberhasilan a.
Terpasangnya jalur komunikasi antar dinas/kantor dengan P3M yang berbasis Teknologi Informasi.
b.
Terbangunnya sistem yang berbasis Teknologi Informasi dalam ruangan P3M
c.
Terciptanya Pusat Pengaduan Masyarakat yang terpadu
d.
Meningkatnya koordinasi antar dinas, kantor dan instansi terkait dilingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo
e.
Meningkatnya manajemen pelayanan Pemerintah kepada masyarakat
f.
Terciptanya tranparansi Pemerintahan
g.
Meningkatnya kinerja aparat dilingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
h.
Meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia dilingkungan Dinas Informasi dan Komunikasi, Dinas/ Kantor khususnya dibidang Teknologi Informasi
i.
Adanya standar sistem kualitas yang telah terdokumentasi secara baku.
Komponen P3M Sumber Daya Manusia, terdiri dari : a.
Managemet, terdiri dari Manager dan Wakil Manager P3M, Kepala Sub Dinas di Lingkungan Dinas Informasi dan Komunikasi Kabupaten Sidoarjo.
b.
Operator. Petugas P3M yang berfungsi untuk menerima, mengolah dan mendistribusikan data pengaduan masyarakat ke semua dinas serta memberikan respon keluhan yang diperoleh dari instansi teknis kepada masyarakat.
c.
Bakohumas. Merupakan agen di setiap instansi yang betugas memberikan respon, baik berupa jawaban lisan/tertulis dan tindakan nyata atas permasalahan yang timbul.
d.
Administrator. Berperan dalam pengendalian sistem P3M secara keseluruhan agar P3M dapat tetap menjalankan fungsinya dengan baik. Disamping itu juga berperan sebagai system backup guna menjaga keberlangsungan P3M. Fungsi ini dijalankan KPDE Kabupaten Sidoarjo selaku pengendali Teknologi Informasi di Kabupaten Sidoarjo.
Perangkat Keras Komputer, terdiri dari a.
Perangkat Komputer dan Jaringan Lokal di Sekretariat P3M
b.
Perangkat Komputer dan Jaringan Lokal di setiap Dinas/Kantor/Badan
c.
Perangkat Komputer dan Jaringan Lokal di KPDE dan Sekretariat Kabupaten Sidoarjo
d.
Intranet yang menghubungkan Sekretariat P3M dan seluruh instans
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
279
e.
Komunikasi intranet dilakukan dengan mengkombinasikan media kabel dan saluran telepon
Perangkat Lunak. Perangkat lunak P3M diwujudkan dalam bentuk Sistem Informasi Berbasis Computer / Computer Based Information System (CBIS) yang bersifat semi tertutup. Sistem ini merupakan bagian tak terpisahkan dari Sistem Informasi Manajemen Daerah Kabupaten Sidoarjo yang dibangun secara bertahap. Sistem ini dibagi menjadi beberapa aplikasi, antara lain : a.
Aplikasi induk yang berada di Sekretariat P3M. Aplikasi ini menjadi pusat Sistem Informasi P3M karena disinilah data pengaduan masyarakat direkam, diolah, didistribusikan dan dipublikasikan.
b.
Aplikasi Agen P3M. Aplikasi ini merupakan aplikasi berbasis web ( Web Based Application ) yang digunakan oleh Bakohumas untuk memberikan respon atas keluhan masyarakat.
c.
Pengaduan On Line. Aplikasi ini merupakan bagian dari situs www.sidoarjo.go.id, dan dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Melalui aplikasi ini, masyarakat dapat menyampaikan keluhannya sekaligus melihat respon Pemerintah Daerah atas keluhan yang disampaikan
Perangkat Pendukung. Perangkat pendukung yang dimaksudkan disini adalah Perda atau SK Bupati Sidoarjo yang melegalisikan keberadaan lembaga P3M a.
Dukungan dana
b.
Ketersediaan peralatan dan mesin kantor
c.
Media Pengaduan
d.
Masyarakat dapat meyampaikan keluhannya melalui beberapa media, antara lain
e.
Formulir Pengaduan, disediakan di Kantor Sekretariat P3M
f.
Surat
g.
Email
h.
Telepon / Fax
i.
Media Cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dll)
j.
Media Elektronik ( Radio dan Televisi )
k.
Form pengaduan pada aplikasi pengaduan masyarakat pada situs www.sidoarjo.go.id
Media Respon Sedangkan untuk melihat jawaban atas keluhan yang disampaikan, dapat dilihat di : Papan pengumuman yang tersedia di Kantor Sekretariat P3M dan Kantor instansi Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, dan tempat lainnya a.
Media Cetak (surat kabar, majalah, tabloid)
b.
Radio
c.
Aplikasi pengaduan masyarakat di situs www.sidoarjokab.go.id Perbedaan Jumlah Pengaduan dan Jumlah Pengaduan Didistribusikan (diterima) terjadi karena tidak
semua pengaduan mencantumkan identitas pengirim pengaduan secara jelas sehingga tidak dapat didistribusikan
280
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
ke satuan kerja yang bertangggungjawab. Jumlah Publikasi Respon dihitung berdasarkan jumlah respon pengaduan yang dipublikasikan pada bulan bersangkutan, bukan tanggal pengaduan diterima. 2)
Di Kabupaten Banyuwangi Layanan Pengaduan Masyarakat relatif dipercaya masyarakat, ini dapat diketahui dari jumlah pengaduan yang masuk tiap tahunnya relatif tinggi.
3)
Di Kota Blitar terdapat lembaga yang secara khusus menangani pengaduan, bernama ULPIM : Unit Layanan Pengaduan dan Informasi Masyarakat. Lembagaini eksis dan memiliki sejumlah agenda, tidak saja menerima pengaduan tetapi juga peningkatan kapasitas pelayanan publik. Jumlah pengaduan yang masuk memng relative tkidak tinggi, namun eksistensinya dan/atau citranya di mata masyarakat sangat baik dan dikenal luas.
4)
Di Kabupaten Lamongan layanan pengaduan dikelola oleh Bagian Organisasi. Dan masing-masing SKPD dan/atau penyelenggara pelayanan publik.
5)
Di Kabupaten Kediri serta di sejumlah kabupaten lain yang yang menjadi lokasi kajian ini, penyelenggara pelayanan publik otomatis merangkap sebagai tempat penyampaian pengaduan masyarakat. Kotak saran, menjadi media utama yang dikembangkan sebagai media apenyampaian pengaduan.
B.
Faktor Penghambat dan Pendukung Pelaksanaan Tugas KPP Pertimbangan yang digunakan untuk memperbaiki menajemen pengaduan masyarakat untuk pelayanan
publik adalah masih lemahnya kondisi aktual elemen manajemen komplain yang dimiliki oleh instansi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia. Hal-hal yang dianggap lemah adalah: masih banyak instansi belum memiliki SOP penanganan komplain; tim atau bagian penanganan komplain belum tercantum dalam struktur organisasi ; koordinasi dan sinergi belum kuat sdm menangani kegiatan penanganan pengaduan juga menangani kegiatan lain; belum ada fasilitasi merit system; sebagaian besar sarana dan infrastruktur yang dimiliki masih terbatas pada kotak saran dan hotline; pencatatan data pengaduan yang masuk sudah dilakukan tapi pelaporan penanganan keluhan masih belum dicatat; pendanaan operasional masih terbatas; dan kesadaran masyarakat akan hak mengadu masih kurang. Secara umum masyarakat memahami bahwa keberadaan pelayanan pengaduan atas layanan, diindikasikan dengan adanya kotak saran. Secara umum masyarakat Belem banyak memahami saluran pengaduan baik internal maupun eksternal. Disamping itu sebagian besar masyarakat maih a priori bahwa pengaduan tidak akan ditindak lanjuti. Pengelolaan keluhan di sektor publik sendiri sebenarnya bukan merupakan isu baru. Negara-negara skandinvia selama ratusan tahun telah memiliki lembaga yang dibentuk sebagai sarana untuk menyalurkan keluhan bagi masyarakat yang merasa tidak puas dengan pelayanan pemerintah. Mekanisme tersebut telah dilembagakan melalui ombudsman. Lembaga Ombudsman ini pada awalnya lahir di Swedia pada tahun 1809. Kata ―ombudsman‖ itu sendiri berasal dari bahasa Swedia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti ―keluhan orang‖. Dalam terminologi lain, ombudsman biasa disebut ombudsperson, ombudservice, yang berarti seorang pegawai yang bertindak untuk kepentingan masyarakat. Tujuannya adalah membantu orang secara memuaskan untuk memecahkan masalah. Munculnya kesadaran institusi pemerintah untuk mengelola keluhan dengan baik juga tidak terlepas dari pergeseran cara pandang dalam melihat keluhan itu sendiri. Keluhan yang selama ini dilihat sebagai sesuatu yang negatif saat ini justru dipandang sebagai sesuatu yang positif karena dianggap mampu memberikan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
281
kontribusi terhadap perbaikan terhadap kinerja birokrasi pelayanan publik. Pengaduan yang dikelola dengan baik akan mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi organisasi yang dikomplain, antara lain: 1.
Organisasi semakin tahu akan kelemahan atau kekurangannya dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan;
2.
Sebagai alat introspeksi diri organisasi untuk senantiasa responsif dan mau memperhatikan „suara‟ dan „pilihan‟ pelanggan;
3.
Mempermudah organisasi mencari jalan keluar untuk meningkatkan mutu pelayanannya;
4.
Bila segera ditangani, pelanggan merasa kepentingan dan harapannya diperhatikan;
5.
Dapat mempertebal rasa percaya dan kesetiaan pelanggan kepada organisasi pelayanan;
6.
Penanganan komplain yang benar dan berhasil bisa meningkatkan kepuasan pelanggan.
Berdasarkan catatan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Hingga saat ini, di Indonesia paling tidak terdapat sepuluh lembaga negara yang perintah pembentukannya berikut kewenangannya berdasarkan UU yakni : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak), Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Dewan Pers dan dewan Pendidikan. Jumlah ini tentu saja bersifat sementara karena ada kemungkinan terus bertambah di masa mendatang. Sedangkan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah dan kewenangannya diberikan oleh Keputusan Presiden setidaknya berjumlah sepuluh lembaga, yaitu: Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Dewan Maritim Nasional (DMN), Dewan Ekonomi Nasional (DEN),Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN), Dewan Riset Nasional (DRN), Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS), Dewan Buku Nasional (DBN), dan lembaga-lembaga non-departemen. Menyusul pembentukan komisi-komisi negara di tingkat pusat, maka seiring dengan penerapan otonomi daerah, di berbagai daerah telah dibentuk komisi-komisi independen. Salah satu komisi tersebut adalah Komisi Pelayanan Publik (KPP). KPP diharapkan menjadi aktor utama yang dapat memastikan bahwa pelayanan publik di Jawa Timur berjalan sebagaimana mestinya. Komisi dituntut dapat merubah kerangka pikir birokrat bahwa mereka merupakan pelayan publik dan pelayanan publik yang baik merupakan Hak asasi manusia. Namun kehadiran lembaga ini disikapi dengan ragu dan sikap pesimistis masyarakat akibat buruknya kinerja komisi-komisi yang ada di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur khususnya. Kelahiran KPP yang dibidani Komisi A Jawa Timur membuat masyarakat tidak yakin KPP bisa bergerak sebagai lembaga Independen. Berdasarkan wawancara dengan KPP, berbagai elemen masyarakat, akademisi dan Pers maka terdapat kendala/hambatan KPP dalam mewujudkan pelayanan publik yang berbasis tata pemerintahan yang baik. Hambatan-hambatan yang dihadapi KPP dalam melakukan Pengawasan eksternal, serta faktor pendukung pelaksanaaan tugas KPP, dirangkum melalui berbagai sumber pendapat; dan secara khusus disajikan pada baab VI laporan ini
282
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
C.
Saran Publik dalam rangka Optimalisasi Peran KPP Berangkat dari dua landasan konstitusional tentang pelayanan publik, dapat kita kemukakan beberapa
wacana solutif atas kompleksitas problematika dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pertama, Masiffitas sosialisasi peraturan tentang pelayanan publik, baik bagi penyelenggara pelayanan publik (Dinas, Kecamatan, Desa, Kepolisian, dan instansi publik lainnya), maupun terhadap masyarakat itu sendiri. Disatu sisi hal ini agar penyelenggara pelayanan publik mampu secara optimal mengimplementasikan aturan yang ada, disisi lain masyarakat bisa melakukan evaluasi, dan juga memberikan saran perbaikkan untuk selanjutnya. Kedua, Adanya pendidikan dan pelatihan mengenai pelayanan publik bagi petugas pelayanan publik. Ini bukan sebatas ditekankan pada aspek intelektualitas, profesionalitas, apalagi formalitas teknis standar pelayanan publik semata, melainkan lebih substansial adalah mengenai perubahan paradigma penyelenggaraan pelayanan publik di era reformasi saat ini sangat beda jauh dengan era Orde Baru (dari dilayani menjadi pelayan). Apalagi jika ditambah dengan pendekatan emosional dan spiritual, sebagaimana yang trend saat ini (ESQ). Sehingga melayani publik bukan semata untuk mencari rezki, yang bersifat materiil, tuntutan jabatan/tugas, yang lebih berorientasi duniawi, tapi lebih bermakna adalah bagaimana berbagai tugas tersebut merupakan ibadah mulia (aspek transcendental), yang juga berorientasi ukhrawi, melalui kepuasan publik. Selain dalam rangka ―mensukseskan‖ tugas, ada kemungkinan terjadinya produktifitas kinerja. Ketiga, Sistem evaluasi yang sistemik. Hal ini bisa dengan pendekatan fungsional, maupun struktural. Pendekatan fungsional menekankan pada fungsi system evaluasi yang dalam tata kerjanya bisa secara langsung ditangani oleh instansi yang telah ada (tugas suplementatif). Dalam hal pelayanan publik ini, misal pengaduan langsung kepada DPRD (salah satu komisi yang berkaitan). Kelebihan pendekatan ini tidak harus membentuk institusi baru, tapi kelemahannya terletak konsentrasi yang terbagi-bagi. Sedang pendekatan structural adalah dengan cara membuat regulasi aturan dan membentuk institusi baru yang memang keberadaannya untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik (Perda tentang Pelayanan Publik). Kelebihan pendekatan ini terletak pada konsentrasi dan tugas, serta tanggungjawab yang jelas (spesifik), sehingga memudahkan masyarakat untuk melakukan pengaduan. Tapi kelemahannya pada penambahan personil dan anggaran. Pendekatan structural ini sebagaimana telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan dibentuknnya Komisi Pelayaanan Publik (KPP) yang dilantik tahun lalu. Keempat, Partisipasi aktif masyarakat. Masyarakat dituntut partisipasi aktifnya terhadap prosesi penyelenggaraan pelayanan publik. Agar kekurangan yang terjadi dalam pelayanan publik sesegera mungkin untuk dibenahi, dan berbagai aspirasinya menyangkut perbaikkan system dan budaya pelayanan publik dapat diakomodir. Disinilah kelompok-kelompok masyarakat (Asosiasi, LSM, Forum, Lembaga Profesi, Perguruan Tinggi, Mahasiswa, Pelajar, dst) menemukan relevansinya untuk menjadi katalisator, maupun pelopor, khususnya dalam hal partisipasi peningkatan kualitas pelayanan publik. Karena penyelenggara pelayanan publik bukanlah ‖Dewa‖, yang ‖maksum‖ atas kesalahan dan kekurangan. Bukan pula pemakan ‖gaji buta‖, yang berlindung kehidupan di bawah absensi dan SK!. Disinilah perintah agama untuk saling memperingatkan dalam kebaikkan menemukan urgensi dan relevansinya. Sejumlah saran dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP dari berbagai kalangan diidentifikasi dan dirangkum, meliputi : 1.
Pengguna Pelayanan Publik
2.
Penyelenggara Pelayanan Publik
3.
Komisioner KPP
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
283
4.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur
5.
Pengamat Pelayanan Publik
KESIMPULAN A.Peran,Pelaksanaan Tugas KPP
1.Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal Tugas Utama (Penanganan Pengaduan), yang terdiri atas : menerima pengaduan, membuat pengaturan prosedur pelayanan sengketa, melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa, dan menindaklanjuti keluhan, baik yang diminta maupun tidak diminta; dari tahun ke tahun berjalan dengan baik, meliputi : a.
Jumlah pengaduan dari tahun mengalami peningkatan
b.
Keterlibatan KPP dalam sejuamlah even yang berintikan peningkatan kualitas pelayanan public makin bertambah, misalnya keterlibatan dalam melakukan pengawasan pada seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil dan seleksi anggota POLRI.
c.
Penyelesaian pengaduan yang diterima kpp memang tidak bisa 100%, karena memenagterdapat sejumlah masalah yang berkaitan dengan keadaan dan sikap pihak pemyelenggara pelayanan public dan pihak pengadu
2.
Pengembangan Kelembagaan secara Internal Secara internal KPP berupaya melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas dengan melakukan pengembangan kelembagaan secara internal. Dua program utama yang memiliki peran penting dalam melakukan optimalisasi plaksanaan tugas KPP adalah dengan melakukan pembagian divisi menjadi 5 divisi dengan focus tugas pokok yang berbeda dan pembagian korwil menjadi 7 korwil.
3.
Pengembangan Kelembagaan secara Eksternal Kerjasama dengan 34 lembaga yang kemudian dijadikan Pos Pelayanan Pangaduan KPP yang terletak di Kabupaten/Kota menjadu langkah strategis dalam optimalisasi pelaksanaan tugas, meskipun disadari sepenuhnya bahwa kordinasi antara KPP dengan sejumlah Pois/Unit Pelayanan Peengaduan yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten/Kota abelum dapat dilakukan secara optimum. Namun prinsipnya keberadaan dua jenis lembaga tersebut diharapkan dapat saling melengkapi.
B. Faktor Pendukung dan Penghambat Peran KPP
Faktor Pendukung : a. Menerima pengaduan;masyarakat semakin kritis,ketersediaan IT b. SOP yang ada mempermudah penyelesian sengketa c. Keterbukaan menerima pengaduan dan komitmen meningkatkan kualitas layanan d. Keberadaan lembaga maupun media massa yang memotret keluhan publik
284
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Faktor Penghambat : a. Sikap pesimis masyarakat dan proporsi masyarakat masih kecil yg mengetahui KPP serta respon balik KPP tidak dapat diketahui secara cepat b. Masih ada penyelenggara pelayanan publik yang belum memiliki SOP. c. Tidak mudah menata waktu bertemu pihak yang bersengketa, stigma negatif lembaga apabila banyak pengaduan, Beberapa penyeleseian sengketa d. Ketidakcukupan data dlm menindaklanjuti pengaduan, keterbatsan SDM dan sumberdaya pendukung
C.Saran Rekomendasi Rekomendasi yang dituangkan pada sub bab ini difokuskan pada sejumlah hal yang merupakan upaya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan penelitian nomor 3-4, yaitu : apa saran publik dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur? Dan langkah-langkah apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam rangka melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur. Sejumlah hal tersebut meliputi : 1.
Gubenur perlu menghimbau Bupati/Wali Kota untuk mengajukan rancangan peraturan perundangan (Peraturan Daerah) tentang Pelayanan Publik (bagi Kabupaten/Kota yang belum memiliki). Dalam Peraturan Daerah tersebut juga mengatur tentang keberadaan lembaga pengaduan (apapun namanya, baik lembaga independen maupun lembaga yang menjadi bagian dari Pemerintah Daerah) yang bertugas sebagai Unit Pengaduan Pelayanan Publik, yang selanjutnya lembaga tersebut memiiki hugungan kerja fungsional-koordinatif dengan Komisi Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur.
2.
Perlu dilakukan pembaharuan Memorandum of Understanding (MoU) antara Gubernur Jawa Timur dengan Bupati/Wali Kota se Jawa Timur tentang pengelolaan pengaduan pelayanan publik yang pernah dibuat pada tahun 2006, agar MoU baru dapat mengakomodasi sejumlah perubahan yang terjadi terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk perubahan kepentingan publik dan juga perubahan dan/atau lahirnya sejumlah kebijakan publik yang baru.
3.
Publikasi tentang keberadaan dan peran KPP perlu ditingkatkan dan dilakukan secara terus-menerus, disamping menggunakan media publikasi yang telah digunakan selama ini, juga perlu melakukan penambahan penggunaan jenis media publikasi, terutama media yang memiliki daya jangkau luas dan/atau dapat menjangkau masyarakat umum yang luas, misalnya iklan layanan sosial stasiun televisi, media jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, dan lain-lain.
4.
Perlu penggunaan sistem manajemen pengaduan yang berbasis teknologi (e-Complain) sehingga penyampaian pengaduan oleh masyarakat dapat dilakukan dengan
mudah,
murah, efektif dan
bertanggungjawab; serta dapat diverifikasi dan ditindaklanjuti oleh KPP dengan sistematis, cepat dan tepat. Catatan : Pemerintah Provinsi Jawa Timur (dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) pada tahun 2011 pernah memproduksi software e-Complain yang didukung oleh Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri dan disponsori oleh Asian Development Bank.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
285
Berdasarkan berbagai pertimbangan, produk itu saat ini belum digunakan (dioperasikan). Jika saja program e-Complain ini dioperasikan, berpeluang dapat mengoptimumkan pelaksanaan tugas KPP. 5.
Pembentukan tim pengendali mutu di tiap unit penyelenggara pelayanan publik, yang bekerjanya berbasis teknologi, yang setiap saat dapat saling berkoordinasi dengan KPP, sekaligus menjadi mitra KPP dalam penggunaan e-Complain perlu dilakukan. Untuk itu pengadaan sarana-prasarana yang mendukung dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang sesuai kebutuhan, perlu menjadi agenda.
6.
Semua komisioner KPP, perlu berupaya secara terus-menerus untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja mereka, termasuk meningkatkan daya kreatifitas sehingga melahirkan sejumlah inovasi dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan tugas KPP, seiring dengan perubahan kebutuhan publik akan pelayanan publik yang terus terjadi secara konsisten.
7.
Pemeliharaan dan peningkatan kiordinasi antara KPP dengan lembaga pengawas pelayanan publik yang lain perlu dilakukan, misalnya : dengan Ombudsman Republik .
8.
Jika kuantitas pengaduan yang disampaikan kepada KPP mengalami lonjakan tajam akibat penggunaan teknologi (e-Compalin) dan akibat meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi mereka dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, maka diperlukan tenaga fungsional dalam tubuh KPP, yang terdiri dari sejumlah ahli, misalnya : ahli pelayanan kesehatan, ahli pelayanan perizinan, ahli pelayanan kependudukan, ahli pelayanan pendidikan, ahli pelayanan perhubungan, dan sebagainya. Untuk merealisirnya perlu diawali oleh diterbitkannya Peraturan Gubernur tentang Tenaga Fungsional dalam kelembagaan KPP.
9.
Menambah jumlah lembaga yang bermitra dengan KPP yang selama ini berperan sebagai Pos Pengaduan KPP yang terletak di Kabupaten/Kota (saat ini berjumlah = 34 lembaga), perlu menjadi agenda di tahuntahun mendatang.
10.
Keberadaan SOP dari tiap-tiap produk pelayanan menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan, tidak saja bagi optimalisasi pelaksanaan tugas KPP, tetapi juga bagi upaya meningkatan kualitas pelayanan public, terlebih peningkatan kualitas penanganan pengaduan dan/atau penyelesaian jika terdapat sengketa pelayanan publik.
11.
Semua pihak perlu memahami bahwa tingginya angka pengaduan tidak selalu menjadi cermin atas buruknya playanan publik yang diselenggarakan oleh suatu lembaga penyelenggara pelayanan publik. Akan tetapi bisa jadi merupakan tingginya angka partisipasi publik dalam upaya memperbaiki kualitas pelayanan. Dengan modal asumsi ini maka diharapkan semua pihak dapat menjadikan pengaduan sebagai ―mutiara‘ yang dapat menjadi media terjadinya peningkatan kualitas pelayanan publik secara terusmenerus serta media untuk mengurangi kesenjangan antara jenis dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik dengan jenis dan kualitas pelayanan publik yang senyatanya diperlukan dan/atau menjadi kepentingan pengguna pelayanan publik.
12.
Yang juga tidak kalah pentingnya adalah komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mengoptimalkan peran KPP, yang diukur dari diakomodasintya sejumlah pengajuan program, inovasi, pengembangan kelembagaan, dan lain-lain, yang sudah barang tentu hal tersebut memiliki ilmplikasi pada diperlukannya daya dukung; misalnya penambahan SDM pendukung, sarana-prasarana, anggaran, dan sumberdaya lain sesuai kebutuhan riil.
286
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
REFERENSI Apipah, 2012, Pengertian Penelitian Kualitatif, dalam
http://www.diaryapipah.com/2012/05/pengertian-
penelitian-kualitatif.html Arikunto, Suharsimi , 2009, Manajemen Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta. Brainmetro.com, (2013), Komisi Pelayanan Publik Laporkan Kinerja, Caiden,Gerald,2000. The Essence of Public Service Professionalism; On Promoting Ethics in the Public Service, United Nations, New York. Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B., 2007. The New Public Service, Serving Not Steering, Expanded Edition, Armonk, New York, London, England: M.E.Sharpe. Department of Economic and Social Affairs,2000. Promoting Ethics in the Public Service, United Nations, New York. Dwiyanto,Agus,2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. --------------------,2011. Manajemen Pelayanan Publik, Peduli, Inklusif dan Kolaboratif, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Edisi kedua,. Gaventa,John, 2002. Making Rights Real: Exploring Citizenship, Participation and accounta-bility,
Brighton,
Inggris: Institute of Development Studies Bulletin Volume 33 No.2. Hyasintus. 2012, Kontekstualisasi Paradigma New Public Service Dalam Implementasi Pelayanan Publik Di Indonesia,
dalam
http://hyasintus.blogspot.com/2012/11/kontekstualisasi-paradigma-new-
public_15.html, (Diakses 6 Februari 2014) Meyer, Robert. R, dkk (1980), Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Pustekom Dikbud & CV Rajawali, Jakarta. Miles B. Mathew dan A. Michall Huberman. (1992), Analisa Data Kualitatif, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. Ratminto.(1999). ―Otonomi Daerah dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik‖. Makalah Seminar Nasional Otonomi Daerah Antara Harapan dan Kenyataan yang diselenggarakan oleh Yayasan PERCIK dan The Ford Foundation, Salatiga, 3 November 1999. Ratminto dan Winarsih. (2005). Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen‟ s Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Robbins, Stephen P., R. Bergman & I. Stagg. (1997). Management. Sydney: Prentice Hall of Australia.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
287
Tatang M. Amirin; (2009), Penelitian Eksploratori (Eksploratif), http://tatangmanguny.wordpress.com/2009/05/04/penelitian-eksploratorieksploratif/ SCBD Jawa Timur, (2011), Penyusunan Sistem Informasi Manajemen Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (e-Complaint), kerjasama Asian Developmen Bank, Kementerian dalam Negeri dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia nomor 63/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan. Surat Gubernur Jawa Timur Nomor : 065/4670/041/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Pelayanan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558); Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899); Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur sebagai perubahan dari Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005.
288
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Pembentukan City Branding Di Kota Tangerang Selatan
Izzatusholekha Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta Telp : +62811 816 4491 Email : [email protected] Abstrak: Dalam era globalisasi saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa persaingan kota-kota yang ada semakin ketat. Kota-kota yang ada saling berkompetisi
untuk menunjukkan eksistensinya sehingga
memperoleh daya saing di banding dengan kota-kota lain. Kompetitor-kompetitor yang ada bahkan berasal dari belahan dunia yang lain. Untuk dapat menghadapi globalisasi tersebut, penting bagi sebuah kota untuk memiliki brand sebagai arah gerak pembangunan kota tersebut dalam konteks global, bukan hanya konteks lokal. Kota Tangerang Selatan dengan statusnya sebagai d a e r a h p e n y a n g g a i b u k o t a y a n g d i d a l a m n y a t e r d a p a t b a n y a k p e m u k i m a n , belum memiliki brand yang diusung untuk dapat memunculkan ciri khas dan keunikan yang dimilikinya. Mengingat Kota Tangerang Selatan memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan, pemahaman mengenai bagaimana konsep city branding diaplikasikan di kota Tangerang Selatan sangat menarik untuk d ika ji . Penulisan
ini dibuat dengan tujuan untuk
mengetahui potensi apa saja yang dimiliki oleh Kota Tangerang Selatan yang dapat mendukung pembentukan city branding. Selain itu, kebudayaan yang dimiliki Kota Tangerang Selatan juga unik karena merupakan perpaduan antara budaya Arab, Cina, Jawa, dan Sunda. Kata kunci: potensi daerah, city branding
Pendahuluan Dalam era globalisasi saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa persaingan kota-kota yang ada semakin ketat. Untuk dapat menghadapi globalisasi tersebut, penting bagi sebuah kota untuk memiliki branding (pencitraan) sebagai arah gerak pembangunan kota tersebut dalam konteks global, bukan hanya konteks lokal. Kota-kota yang ada di dunia butuh untuk mengekpresikan karakteristik unik yang dimilikinya, menetapkan tujuan ekonomi, kultur, dan politik dalam kaitannya untuk membedakan dirinya dari wilayah lain dan dapat berkompetisi dengan baik untuk menarik sumberdaya, wisatawan, dan penduduk (Kavaratzis & Ashwort, 2006). Kegiatan city branding bukan sebatas membuat slogan atau logo, tetapi merupakan ruh dari kota tersebut. Ruh yang menjiwai segala aktivitas kota, baik itu jiwa warganya, watak birokrasinya, maupun ketersediaan infrastruktur penunjangnya. Sementara slogan,logo, desain interior, arsitektur bangunan, ruang publik, serta unsur penataan visual kota lainnya merupakan penyempurnaan dari keseluruhan ruh kota. City
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
289
branding juga menuntut sinergi dari keseluruhan unsur pembentuk kota, baik dari aspek sumber daya manusia, fasilitas umum, fasilitas sosial maupun sistem transportasi. Tanpa sinergi yang baik, upaya citybranding
akan
sia-sia. Fungsinya tidak hanya mencakup komunikasi pemasaran kota secara umum tetapi dapat juga mendukung
strategi
pengembangan
seni- budaya dan pariwisata, sentra industri dan perdagangan,
pendidikan, kesejahteraan masyarakat dan lain sebagainya. Dampak akumulasi dari semuanya akan turut memutar roda perekonomian dari masyarakat di kota tersebut Kota-kota di dunia berupaya untuk menjadi menarik dan unik salah satunya dengan menerapkan konsep city branding.
Namun, untuk membuat kota
menarik merupakan pekerjaan sulit bagi banyak
pemerintah, termasuk pemerintah daerah di Indonesia. Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, banyak daerah yang tidak mampu membiayai kebutuhannya sendiri sehingga disubsidi oleh pemerintah pusat. Semenjak Undang-Undang No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah (yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 32/2004) diberlakukan, setiap daerah diharuskan untuk aktif dan kreatif dalam memperoleh pendapatan daerah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi. Pemerintah daerah kemudian mencoba untuk membuat banyak program untuk menarik investor dengan banyak cara seperti membuka area industri, membangun banyak pusat bisnis, dan membuat hiburan/pertunjukkan atau sektor jasa lainnya. Dengan demikian, pemerintah bekerja keras untuk membuat kota mereka bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi (Nur‘aini, 2010).
1. Konsep City Branding Sebelum membahas mengenai definisi city branding, terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai definisi kota, brand dan branding secara terpisah. Pontoh dan Kustiwan (2009) menyatakan bahwa sebuah kota memiliki karakteristik jumlah penduduk yang besar, pemusatan kegiatan nonpertanian, pusat kegiatan ekonomi (industri dan perdagangan), konsentrasi kawasan terbangun (built up area), masyarakat yang heterogen, memiliki pola hidup yang khusus, pusat penyebaran pengetahuan dan memiliki gaya hidup kota, terdapat berbagai lembaga sosial, ekonomi, dan politik; terdapat berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial, struktur dicirikan dengan adanya ruang dan jalan kota, merupakan pusat jasa pelayanan bagi lingkungan perumahan, adanya sejumlah fungsi kegiatan kota, minimal seperti pasar, dan sebagainya. Dalam penelitian mengenai city branding, peneliti tentu saja memperhatikan mengenai bagaimana cara merealisasikan city brand, yang mana mengikutsertakan analisis dan diskusi dalam proses pembuatan city brand. Peneliti luar negeri biasanya menggunakan istilah city branding untuk menunjukkan proses ini dan mendefinisikannya dari perspektif mereka masing-masing (Minghui, 2009). Berikut merupakan konsepkonsep yang dijelaskan oleh para peneliti mengenai city branding. Branding kota merupakan citra yang muncul pada detik pertama di otak seseorang ketika nama kota itu disebut. Melihat contoh diatas, misalnya seseorang mendengar nama Paris, maka saat itu juga muncul di benaknya sebuah kota yang bercahaya, mewah, sarat fashion, aman, indah dan tentu saja modis.
2. Manfaat Branding Branding kota meliputi dua sisi, yakni branding ke dalam (inward) dan branding ke luar (outward). Branding ke dalam adalah untuk memunculkan kesadaran dan rasa memiliki yang tumbuh di diri aparat
290
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
pemerintah dan masyarakat di kota itu. Sementara branding ke luar adalah untuk membangkitkan minat dan rasa penasaran masyarakat luar daerah untuk mengenal, mengunjungi serta bekerjasama dengan kota tersebut. Dapat terlihat bagaimana manfaat branding bagi sebuah kota. Manfaat tersebut antara lain;Pertama, menanamkan pengaruh di dalam mindset target market (investor atau wisatawan); Kedua, memunculkan kesadaran dan rasa memiliki secara internal; Ketiga, menjadi pembeda dengan kota atau daerah lain; Keempat, mengeksplore sisi unik (unique selling point) kota; Kelima, menanamkan identitas yang kuat atas sebuah kota; danKeenam, mengajak atau menawarkan keunggulan kota kepada target market.
3. Teknik Branding Untuk membangun sebuah brand, pemerintah daerah tidak bisa asal jadi. Jika perlu pemerintah bekerjasama dengan pelaku professional di bidang branding. Namun pada umumnya langkah-langkah teknis dalam melakukan branding kota adalah sebagai berikut: Differentiation. Membedakan branding atau merk sebuah kota dan menonjolkan keunggulan kota. Branding dan keunggulan kota itu harus berbeda dengan branding yang sudah ada dan juga menunjukan perbedaan kualitas kota dibanding kota lain. Relevance. Kota sebagai sebuah produk harus dibranding sesuai dengan kualitasnya. Maksudnya adalah, jika sebuah kota tidak memiliki kualitas teknologi, jangan melakukan branding kota itu sebagai kota teknologi. Esteem. Dihargai oleh target market karena memiliki konsistensi antara branding dengan kenyataan kualitas kota yang sebenarnya. Awareness. Memunculkan kesadaran target market akan sebuah kota. Langkah ini penting. Jika branding tidak memunculkan kesadaran di dalam diri calon investor atau wisatawan, maka branding ini dapat dikatakan gagal. Mind. Branding memiliki kemampuan masuk ke dalam alam pikiran dan kesadaran target market, sehingga sebuah kota selalu diingat, dibayangkan dan dirindukan. Langkah-langkah branding ini dirumuskan setelah melakukan kajian yang mendalam mengenai SWOT (strengths, weaknesess, opportunities dan threats) kota; bagaimana posisi kota tersebut di hadapan kota lain; apa
keunggulan
dan
kekurangannya;
bagaimana
kesempatannya;
apa
tantangannya;
bagaimana
kepribadiannya; bagaimana orang mempersepsikan kota itu.
Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Metode Pengumpulan Data Metode
pengumpulan
data
dalam
penelitian merupakan metode pengumpuln data sekunder yang
dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen penting dari sumber dari berbagai literatur seperti buku, tugas akhir, tesis, disertasi, jurnal, dan publikasi ilmiah lainnya. Selain
itu
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
dokumen-
291
dokumen
perencanaan seperti RPJPD, RPJMD, dan RTRW Kota Tangerang Selatan juga dibutuhkan dalam
melakukan penelitian ini.
Metode Analisis Data Merode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis isi. Analisis ini digunakan
untuk
mengetahui potensi yan dimiliki oleh Kota Tangerang Selatan dalam mendukung pembentukan brand Kota Tangerang Selatan.
PEMBAHASAN Kota Tangerang Selatan merupakan daerah pemekaran Kabupaten Tangerang. Oleh karena daerah pemekaran tersebut terletak di daerah selatan Kabupaten Tangerang, maka dinamakan Kota Tangerang Selatan.Menurut tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang, nama daerah Tangerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran (dengan satu g maupun dobel g) yang berasal dari kata tengger dan perang. Kata ―tengger‖ dalam bahasa Sunda memiliki arti ―tanda‖ yaitu berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, sekitar pertengahan abad 17. Tugu dibangun oleh Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa. Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten. Sedangkan istilah ―perang‖ menunjuk pengertian bahwa daerah tersebut dalam perjalanan sejarah menjadi medan perang antara Kasultanan Banten dengan tentara VOC. Hal ini makin dibuktikan dengan adanya keberadaan benteng pertahanan Kasultanan Banten di sebelah barat Cisadane dan benteng pertahanan VOC di sebelah timur Cisadane. Hingga masa pemerintahan kolonial, Tangerang lebih lazim disebut dengan istilah ―Benteng‖. Perubahan sebutan Tangeran menjadi Tangerang terjadi pada masa daerah Tangeran mulai dikuasai oleh VOC yaitu sejak ditandatangani perjanjian antara Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17 April 1684. Daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara Belanda tidak hanya terdiri dari bangsa asli Belanda (kaukasian) tetapi juga merekrut warga pribumi. Tentara kompeni yang berasal dari Makasar tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut ―Tangeran‖ dengan ―Tangerang‖. Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan hingga kini. Sebutan ―Tangerang‖ menjadi resmi pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Selanjutnya pada tanggal 26 November 2008 bagian selatan Kabupaten Tangerang mengalami pemekaran dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta agar dapat memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah, maka terbentuklah daerah otonom baru di wilayah tersebut yang diberi nama Kota Tangerang Selatan. Hal ini telah ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Propinsi Banten tertanggal 26 November 2008 dengan 7 kecamatan dan luas wilayah 147,19 Km2. Dengan terbentuknya Kota Tangerang Selatan sebagai daerah otonom baru, diharapkan pelayanan publik dapat ditingkatkan guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di wilayah Kota Tangerang Selatan.
292
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Letak Geografis dan Luas Wilayah Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat 106˚38‘ 106˚47‘ Bujur Timur dan 06˚13‘30‖ - 06˚22‘30‖ Lintang Selatan dan secara administratif terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, 49 (empat puluh sembilan) kelurahan dan 5 (lima) desa dengan luas wilayah 147,19 Km2 atau 14.719 Ha. Batas wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut: -
Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Tangerang
-
Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Depok
-
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor & Kota Depok
-
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang. Wilayah Kota Tangerang Selatan diantaranya dilintasi oleh Kali Angke, Kali Pesanggrahan dan Sungai
Cisadane sebagai batas administrasi kota di sebelah barat. Letak geografis Kota Tangerang Selatan yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta pada sebelah utara dan
timur memberikan peluang pada Kota
Tangerang Selatan sebagai salah satu daerah penyangga provinsi DKI Jakarata, selain itu juga sebagai daerah yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, Kota Tangerang Selatan juga menjadi salah satu daerah yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi Jawa Barat.
Tabel 2.1. Potensi Fisik Dasar Kota Tangerang Selatan No Potensi Fisik Dasar 1 Letak geografis 2 Luas Wilayah 3 Batas-batas - Sebelah Utara - Sebelah Timur - Sebelah Selatan - Sebelah Barat 4 Wilayah Pemerintahan - Kecamatan - Kelurahan Sumber:
Keterangan Di sebelah timur Propinsi Banten 147,19 Km2 atau 14.719 Ha Kota Tangerang Provinsi DKI Jakarta Kota Depok dan Kabupaten Bogor Kabupaten Tangerang 7 Kecamatan 54 Kelurahan
Bagian Pemerintahan Setda Kota Tangerang Selatan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
293
Tabel 2.2 Luas Wilayah Menurut Kecamatan Kota Tangerang Selatan No
Kecamatan
Luas Wilayah (Ha)
Persentase terhadap luas kota (%)
1 Serpong
2,404
16.33%
2 Serpong Utara
1,784
12.12%
3 Ciputat
1,838
12.49%
4 Ciputat Timur
1,543
10.48%
5 Pamulang
2,682
18.22%
6 Pondok Aren
2,988
20.30%
7 Setu
1,480
10.06%
14,719
100.00%
Kota Tangerang Selatan
Sumber : RTRW Kota Tangerang Selatan 2011-2031, 2012
Luas wilayah masing-masing kecamatan tertera dalam Tabel 2.2. Kecamatan dengan wilayah paling besar adalah Pondok Aren dengan luas 2.988 Ha atau 20,30% dari luas keseluruhan Kota Tangerang Selatan, sedangkan kecamatan dengan luas paling kecil adalah Setu dengan luas 1.480 Ha atau 10,06%.
294
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Potensi Daerah Yang Mendukung City Branding Investasi daerah dapat ditingkatkan jika daerah memiliki potensi, baik itu berupa potensi sumber daya alam maupun potensi sumber daya manusia. Hal lain yang juga sangat penting adalah kemampuan daerah menjual potensi yang dimilikinya dan menciptakan iklim yang kondusif dan mendukung investasi. Salah satu potensi Kota Tangerang Selatan adalah letak geografisnya yang strategis. Letak geografis Kota Tangerang Selatan yang berbatasan dengan provinsi DKI Jakarta pada sebelah utara dan
timur
memberikan peluang pada Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu daerah penyangga provinsi DKI Jakarata, selain itu juga sebagai daerah yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, Kota Tangerang Selatan juga menjadi salah satu daerah yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi Jawa Barat. Dengan posisi sedemikian, Tangerang Selatan memiliki akses yang bagus baik dari udara, karena berbatasan dengan Kabupaten dan Kota Tangerang yang memiliki Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta, maupun dari laut, karena berbatasan dengan DKI Jakarta yang memiliki Pelabuhan Tanjung Priok. Demikian juga akses melalui daratan, Kota Tangerang Selatan dilalui oleh Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road/ JORR). Selain infrastruktur jalan tol yang sudah eksis, juga direncanakan akan dibangun beberapa ruas jalan tol. Salah satunya yang sudah terealisasi adalah ruas jalan tol Kunciran - Serpong. Ruas jalan tol ini akan melintasi wilayah-wilayah yang berada di Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Wilayah-wilayah yang dilewati oleh ruas tol ini adalah Kunciran, Kunciran Indah, Paku Jaya, Pondok Jagung Timur, Jelupang, Parigi Baru, Parigi, dan Jombang. Ruas tol ini nantinya akan menjadi satu dengan ruasruas tol lainnya yang sedang direncanakan yaitu ruas Kunciran – Bandara, Jakarta - Tangerang, Jakarta – Serpong, Serpong – Cinere, dan Cinere – JAGORAWI yang termasuk ke dalam jaringan JORR 2. Prasarana dan sarana penunjang lain yang menjadi potensi investasi yang dikembangkan di Kota Tangerang Selatan, antara lain: Kereta Api. Sebagai sarana transportasi massal, kereta api merupakan andalan masyarakat Kota Tangerang Selatan yang menghubungkan Kota Rangkasbitung - Kota Tangerang Selatan - Kota Jakarta dan sudah dengan jalur rel ganda (double track). Stasiun kereta rel listrik (KRL) berjumlah 5 buah dan tersebar di tiga kecamatan yaitu Serpong, Ciputat dan Ciputat Timur. Wilayah Kota Tangerang Selatan yang dilalui oleh lintasan rel KRL antara lain wilayah Serpong (Stasiun Pasar Serpong), Stasiun Rawa Buntu (BSD), Stasiun Jurang Mangu (Pondok Aren), Ciputat (Stasiun Jombang) dan Ciputat Timur (Stasiun Pondok Ranji). Kereta rel listrik yang melintas adalah KRL penumpang dan kereta api barang. Dalam rancangan RTRW, direncanakan pengembangan fasilitas “park and ride” yaitu lahan parkir kendaraan yang terletak pada fasilitas transportasi publik seperti stasiun kereta dan terminal. Fasilitas tersebut memudahkan para penglaju (commuter) yang memiliki kendaraan pribadi untuk berpindah ke transportasi publik. Bis Antar Kota – Antar Propinsi. Sarana Transportasi ini juga merupakan penggerak mobilitas masyarakat Kota Tangerang Selatan sebagai sarana utama dalam kegiatan yang menghubungkan Kota Tangerang Selatan dengan Kota Jakarta dan kota-kota lainnya. Saat ini juga sudah beroperasi feeder Bus Transjakarta dengan trayek BSD – Jakarta, Pondok Aren (Bintaro Jaya) – Jakarta dan BSD – Balaraja.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
295
Angkutan Dalam Kota. Sarana Transportasi Dalam Kota merupakan salah satu transportasi yang dijadikan andalan untuk aktivitas sehari-hari Masyarakat Kota Tangerang Selatan. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Bersih/ Air Minum. Masyarakat Kota Tangerang Selatan memakail air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, industri dan kegiatan lainnya. Saat ini kebutuhan air bersih masyarakat Tangerang Selatan bersumber dari dua sumber utama, yaitu dari PDAM Kabupaten Tangerang serta instalasi air bersih yang dikelola oleh pihak pengembang atau yang berasal dari air bawah tanah. Di Kota Tangerang Selatan, cukup banyak sumber air baku yang bisa diolah menjadi sumber air bersih bagi berbagai kebutuhan. Wilayah Kota Tangerang Selatan setidaknya dialiri oleh tiga sungai yang airnya cukup melimpah yaitu Sungai Cisadane, Sungai Pesanggrahan, dan Sungai Kali Angke. Selain itu, masih terdapat sembilan situ dan danau yang memiliki kadar dan kapasitas air yang layak diolah. Untuk itu, Pemerintah Kota Tangerang Selatan harus memiliki instalasi pengolahan air bersih secara mandiri yang langsung dikelola dan dibawah pengawasan pemerintah daerah. Pembangunan Permukiman Vertikal. Dengan kepadatan penduduk Kota Tangerang Selatan yang mencapai 9.212 jiwa/km2, maka akan semakin sulit untuk membangun permukiman yang memakai lahan luas. Sehingga dimungkinkan kawasan permukiman super blok seperti apartemen, kondominium, rusunawa, flat dan sejenisnya untuk dikembangkan karena letak Kota Tangerang Selatan yang berdekatan dengan DKI Jakarta dan dengan akses mudah dari berbagai arah. Pengembangan permukiman vertikal menjadi salah satu alternatif yang dapat membangun kawasan permukiman modern dengan infrastruktur yang memadai dan fasilitas pendukung masyarakat perkotaan modern. Kawasan Jasa dan Perdagangan Terpadu. Di sepanjang koridor Jl Pahlawan Seribu, BSD City Serpong mulai banyak bermunculan gedung-gedung baru yang megah. Pusat perbelanjaan, apartemen, hotel, pusat hiburan dan kuliner, pusat perkantoran, rumah sakit, pusat pendidikan telah dibangun. Lahan untuk pembangunan Office Tower dan sarana penunjang lain juga tersedia. Oleh karena itu, sangatlah prospektif apabila para investor dapat menanamkan modalnya dalam rangka pengembangan kawasan ini. Kawasan Bintaro juga telah berkembang dan menjadi salah satu kawasan yang diperhitungkan oleh para investor. Berbagai infrastruktur berupa gedung perkantoran, pusat belanja, rumah sakit, pusat pendidikan telah berdiri di kawasan ini. Untuk memperlancar arus lalu lintas, di bundaran Bintaro Sektor IX telah dibangun fly over yang menghubungkan simpul-simpul bisnis dan jasa, termasuk jasa pendidikan, dengan dibangunnya Universitas pembangunan Jaya. Bidang Jasa dan perdagangan juga terus dikembangkan dikawasan Ciputat-Pamulang. Sebagai kawasan Pusat Pendidikan skala nasional dengan adanya UIN Syarif Hidayatulloh dan Universitas Terbuka, maka daerah Ciputat dan Pamulang dapat dikembangkan sebagai kawasan jasa pendidikan. Pembangunan Convention Center. Sebagai kota perdagangan dan jasa, maka salah satu sarana perkotaan dan dapat dijadikan icon kota Tangerang Selatan adalah pembangunan Convention Center, atau Trade Exibition Center atau Gedung Konser. Sesuai dengan motto cerdas, modern dan religius, maka Kota Tangerang Selatan mencari para investor untuk membangun suatu gedung yang memiliki ciri khas daerah Kota Tangerang Selatan tetapi juga modern. Dimana dapat menjadi pusat kesenian Kota Tangerang Selatan dan dapat digunakan juga untuk berbagai kegiatan pameran, rapat atau forum pertemuan resmi skala nasional dan
296
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
internasional. Pembangunannya dapat dibangun secara terpadu dengan dilengkapi fasilitas office tower atau hotel bintang lima yang dapat dimanfaatkan juga sebagai tempat penyewaan ruang kantor. Sektor Industri dan Pergudangan. Melihat luas lahan yang tersedia, Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam arah dan tujuan pembangunan, tidak menempatkan sektor industri dan pergudangan sebagai andalan. Saat ini peruntukan lahan untuk industri hanya 1,14 % saja dari luas lahan Kota Tangerang Selatan, atau sekitar 16,67 hektar. Industri yang dikembangkan pun ditujukan kepada green industry dan ramah lingkungan. Pemilihan industri yang cocok untuk itu adalah industri yang tidak mempunyai banyak limbah kimia. Industri pembuatan produk dari bahan setengah jadi seperti pembuatan bola di Pondok Cabe, atau industri garmen serta industri perakitan lainnya yang ramah lingkungan adalah salah satu contoh yang bisa dikembangkan. Selain itu, dengan adanya fasilitas pergudangan di Taman Tekno BSD dan kawasan Multiguna Serpong Utara, melengkapi sarana investasi penanaman modal pada sektor industri maupun pergudangan yang ramah lingkungan. Pelayanan Perizinan Terkait dengan penanaman modal, Kota Tangerang Selatan melakukan pengaturan dan pengendalian dengan menyelenggarakan pelayanan perizinan yang dipusatkan pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T). Jenis-jenis pelayanan tersebut terangkum dalam tabel berikut. Potensi Wisata Di Tangerang Selatan terdapat beberapa lokasi kunjungan wisata. Jenis wisata yang tawarkan beraneka ragam di antaranya wisata alam, wisata budaya, wisata belanja dan wisata kuliner. Wisata Alam dan Air. Beberapa lokasi wisata alam yang bisa dikunjungi di antaranya Wisata Tanah Tingal, Kandank Jurank Doank, dan Kampung Dongeng merupakan lokasi wisata alam yang terletak di Ciputat. Ada berbagai kegiatan yang bisa dilakukan terutama oleh anak-anak, mulai dari membuat keramik, mengenal jenis binatang, memberi makan binatang, panen padi, flying fox, bermain kano dan pengamatan burung (birdwatching) hingga pertunjukan dongeng. Terdapat juga penginapan lengkap dengan kafe dan kolam renang. Wisata Kampung Maen merupakan wisata di Family Park Alam Sutera Serpong Utara perpaduan antara dunia pendidikan dan hiburan anak, dimana proses edukasi disajikan dalam bentuk permainan/ games yang interaktif. Selain itu, juga terdapat taman/hutan kota di Serpong yang juga dimanfaatkan sebagai lokasi rekreasi, seperti hutan kota di wilayah BSD, taman kota yang terdapat di Jl. Letnan Sutopo dekat Sekolah Al-Azhar BSD dan taman kota yang terletak di Taman Tekno, Buaran dekat MAN Insan Cendekia. Wisata air, seperti kolam renang, pemancingan, taman air tersebar di berbagai wilayah, seperti Family Park Kampung Aer di Alam Sutera Serpong Utara, Ocean Park di BSD Serpong, Wisata Air Pulau situ Gintung Ciputat Timur, serta kolam renang dan pemancingan yang terdapat di banyak kecamatan. Hampir di semua kecamatan juga terdapat situ-situ yang dapat dijadikan tempat rekreasi namun sebagian besar masih harus ditata ulang.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
297
Wisata Belanja, Kuliner dan Hiburan Sebagian besar wilayah Kota Tangerang Selatan adalah wilayah urban dan salah satu fenomena yang menyertai kehidupan urban adalah belanja dan kuliner. Kuliner. Mulai dari Pamulang, Pondok Aren, Bintaro hingga Alam Sutera dan BSD, jajaran restoran dan kafe bisa ditemukan di sepanjang jalan. Jenis kuliner yang bisa ditemukan sangat beragam dari makanan tradisional berbagai daerah, makanan cepat saji, hingga fine dining. Masih banyak peluang investasi yang dapat dikembangkan di bidang rumah makan dan restoran di Kota Tangerang Selatan. Setiap hari terutama hari libur, banyak warga yang berburu kuliner baik dari kelas kaki lima sampai kelas hotel, dari yang tradisional sampai internasional. Setiap hari deretan mobil mewah selalu memenuhi setiap rumah makan dan restoran tersebut. Hal ini menunjukan bahwa potensi investasi di bidang kuliner sangat besar. Mal dan pusat perbelanjaan banyak terdapat di Kota Tangerang Selatan. Beberapa pusat perbelanjaan besar di antaranya Pamulang Square dan Karisma Pamulang di Pamulang, WTC Matahari BSD, Plaza BSD, BSD Junction, ITC BSD dan Pasar Modern di Serpong. Selain itu juga ada Pasar Pagi yang hanya ada pada hari Sabtu & Minggu pagi di Giant Supermarket Pamulang. Pusat belanja khusus berupa sentra penjualan art furniture dan barang antik terdapat di Jalan Ciputat Raya, Rempoa dan juga ada Bursa Tanaman Hias di Jl. Raya Buaran – Rawabuntu, Serpong. Hotel dan penginapan yang dapat digunakan di antaranya Hotel Bintaro di Pondok Aren, Hotel BSD, Hotel Santika dan Hotel Melati di Serpong dan Serpong Utara, Wisma Tamu Puspiptek di Setu, Hotel Ciputat dan Pondok Wisata Situ Gintung di Ciputat dan Ciputat Timur. Akan tetapi, laju perkembangan pembangunan hotel masih dirasa kurang untuk sebuah kota besar seperti Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan sangat mudah diakses dari berbagai daerah dan kawasan. Bandara Soekarno-Hatta, jaringan jalan tol yang saling terkoneksi antar kawasan, jalur kereta api yang memiliki akses sampai di pusat-pusat bisnis dan perkantoran di Jakarta, seperti Kawasan JL Thamrin-Sudirman, Manggarai, Tanah Abang, serta sarana transportasi yang menunjang seperti Taxi, bus antar kota maupun kendaraan umum lainnya. Dengan mobilitas warga yang tinggi dan dukungan infrastrukur yang ada, maka prospek investasi Hotel sangat menjanjikan di Kota Tangerang Selatan.
Wisata Budaya Budaya. Masyarakat Kota Tangerang Selatan memiliki budaya campuran Betawi dan Sunda. Dalam keseharian, masyarakat menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Betawi atau bahasa Sunda. Oleh karena itu, kesenian masyarakat Kota Tangerang Selatan pun beraneka ragam sesuai dengan latar belakang budaya. Karakter kesenian yang ada di Kota Tangerang Selatan adalah perpaduan antara seni budaya Betawi dan Sunda. Beberapa kesenian yang berkembang sampai saat ini adalah Seni Musik Gambang Keromong dan Tari Krecek yang merupakan tarian pergaulan yang banyak berkembang. Pada beberapa wilayah banyak yang masih dihuni oleh pelaku kesenian seperti Lenong dan Topeng, seperti Bapak Bolot. Acara kesenian modern seperti pergelaran musik juga kerap diselenggarakan terutama di pusat perbelanjaan, sebagai contoh di Taman Jajan BSD kerap diadakan pergelaran musik jazz yang dikenal sebagai Jajan Jazz.
298
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Cagar Budaya. Kota Tangerang Selatan memiliki banyak potensi obyek wisata yang menarik. Mulai dari situs budaya yang mempunyai nilai sejarah di antaranya adalah Keramat Serpong, Makam Raden Pakpak, Abah Saleh Cipeucang, Keramat Pamulang, Makam Ki Rebo dan Raden Mas Ulung, Jombang Keramat, Taman Bahagia Abri, Makam Ki Buyut Raden Sostro Wijoyo, Sumur Tujuh, Situs Daan Mogot, Makam Pahlawan Seribu Serpong, Tugu Peringatan Cilenggang, Buyut Kejaren, Keramat Tajug, dan Keramat Asem. Bangunan lain yang mempunyai nilai budaya adalah rumah-rumah adat perpaduan budaya Cina dan Betawi seperti di daerah Maruga Ciputat dan rumah adat betawi yang banyak dijumpai di daerah Parigi dan Jombang.
City Branding Kota Tangerang Selatan Melihat kondisi faktual dan pemberitaan di berbagai media, Kota Tangerang Selatan belum cukup berhasil melakukan pembangunan yang tepat sasaran. Masih dapat dimaklumi, mengingat usia kota Tangerang Selatan yang belum lama terjadi pemekaran . Namun di tangan seorang pemimpin yang tepat, maka pembenahan dapat terjadi, yang mampu merubah kota ini menjadi kota yang nyaman, makmur, perduli dengan warganya, dan tentu saja kota yang bagus di mata stakeholders. Beberapa fakta hasil observasi dan persepsi public tentang Kota Tangerang Selatan adalah; Pertama, sementara ini Kota Tangerang Selatan dipersepsikan lebih banyak sebagai kota yang kotor dengan timbunan sampahnya, macet, semrawut dengan berbagai angkutan umum yang tidak memiliki terminal dan pedagang yang berjualan secara sembarangan, ketimpangan kondisi sosio-ekonomi antara warganya, dan konon masih sangat birokratis. Kedua, Kota Tangerang Selatan memiliki SDM yang sepertinya memiliki daya saing tinggi dengan daerah lain. Ini sebuah modalitas yang sangat fundamental dan penting. Hanya sayangnya SDM yang bagus itu belum mendapatkan kesempatan untuk turut andil. Di samping SDM yang bagus, Kota Tangerang Selatan juga memiliki akses yang bagus karena berdekatan dengan Jakarta. Ketiga, dalam konteks branding kota, Kota Tangerang Selatan belum memiliki image dan persepsi yang kuat di mata stakeholders. Satu-satunya image dan persepsi yang kuat hanya soal perumahan yang tersebar di Pamulang, Serpong, Ciputat dan Pondok Aren. Tangerang Selatan belum memiliki image dan persepsi yang kuat di sektor pendidikan, bisnis, pariwisata, birokrasi pemerintahan, perekonomian rakyat atau pelayanan publik. Tangerang Selatan juga tidak dipersepsikan sebagai kota yang indah, bersih, religius atau modern. Fakta-fakta kunci itu merupakan hal-hal yang melekat di Tangerang Selatan dan dengan sendirinya juga melekat di benak stakeholders. Jika dikatakan lebih banyak negatifnya, memang begitulah faktanya. Dan jika demikian, image atau persepsi itu perlu segera diubah, atau dengan kata lain Kota Tangerang Selatan perlu melakukan rebranding. Rebranding kota untuk Kota Tangerang Selatan mencakup pembenahan infra dan suprastruktur politik, infrastruktur kota, membangun kepercayaan kepada investor dan wisatawan, memajukan tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat, melakukan reformasi birokasi, mengkomunikasi diri kepada daerah lain, dan merubah citra negatif kota yang selama ini sudah terlanjur melekat.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
299
Rebranding Kota Tangerang Selatan bisa saja diarahkan menjadi ―Kota Pendidikan‖ atau apapun, sepanjang hal-hal di atas dilakukan dan dilakukan dalam garis branding yang jelas. Karena Kota Tangerang Selatan merupakan kota penyangga Jakarta, maka memang lebih baik jika branding kota ini dirumuskan ke dalam branding yang terbuka, seperti menjadi kota pendidikan. Atau bisa pula diarahkan menjadi ―kota musik,‖ ―kota perpustakaan,‖ ―kota hot-spot,‖ dan lain-lain yang unik, menjual dan relevan. Kesimpulan Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu kota Penyangga DKI Jakarta belum optimal dalam mengembangkan potensi daerahnya sehingga belum terbentuk branding yang kuat dan menjadi daya saing daerah. Perlu ada upaya rebranding dengan pengoptimalan potensi daerah secara maksimal sehingga daerah tersebut mempunyai daya saing yang dapat diunggulkan.
Daftar Pustaka KAVARATZIS, M (2008) From City Marketing to City Branding : An Interdisciplinary Analysis with Reference to Amsterdam, Budapest, and Athens. Dissertation. Groningen: Rijksuniversiteit Groningen DINNIE, K (2011) City Branding : Theory and Cases. London: Palgrave Macmillan ANHOLT, S (2010) Places: Identity, Image, and Reputation. London: Palgrave Macmillan VAN GELDER, S (2008) An Introduction to City Branding. Amsterdam: Placebrands Limited KAVARATZIS,
ASHWORTH
(2005)
City Branding : An
Effective Assertion of Identity or A Transitory Marketing Trick? Oxford : Blackwell Publishing Ltd. RAHMADYANI, I (2010) Identifikasi Elemen Pembentuk City Branding Kota Bandung.Tugas Akhir. Bandung: Institut Teknologi Bandung NUR‘AINI, Y (2010) An Analysis of The Preparedness of Bandung Towards City Branding. Master Thesis.
Bandung
Groningen : Double Master Degree Programme Development Planning and Infrastructure Management School of Architecture, Planning and Policy Development Institut Teknologi Bandung and Environmental and Infrastructure Planning Faculty of Spatial Sciences University of Groningen RAUBO, A (2010) City Branding and its Impact on City‘s Attractiveness for Extern
300
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Audiences. Master
Thesis.
Rotterdam
:
Erasmus University
NURSINGGIH, H (2001) Kajian Komponen Penawaran dan Permintaan Wisata Sebagai Penunjang Kepariwisataan Budaya Kota Tangerang Selatan. Semarang:
Tesis.
Universitas Diponegoro
PONTOH, KUSTIWAN (2009) Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: Penerbit ITB. SUSILO, W. H. 2011. Observasi di Kota Tangerang Selatan: Suatu Potensi Pariwista dengan Meningkatkan Keberadaan Heritage. Artikel. DIKTI.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
301
Inovasi Pemerintah Dalam Pengembangan Pariwisata Melalui Pengembangan Ekonomi Kreatif Di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau
Mustiqowati Ummul Fithriyyah Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, Jurusan Administrasi Negara Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia Tel: +62-852 2626 0380 E-mail: [email protected]
Abstract: The purpose of writing this article to dissect about government innovation in the development of tourism in Pelalawan. The real innovation has filled space changes and give another meaning in the culture of government organizations. Pelalawan have the opportunity to serve as one of the flow of tourist visits so as to increase tourist arrivals. This study aims to determine how the program innovations made by the Department of Culture, Tourism, Youth and Sports Pelalawan in the development of the tourism sector through the development of creative economic. Inhibitors and supporters of course occur in the implementation of the innovation program. Factors that support in the program is the support of other SKPD to participate implement tourism development and active participation of stakeholders.
Kategori: Inovasi Pemerintah Keywords: innovation, tourism, creative economic.
PENDAHULUAN Salah satu tulang punggung penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada era otonomi daerah adalah sektor kepariwisataan, mengingat sektor inilah yang sangat potensial menghasilkan pendapatan yang besar karena sifatnya yang multisektoral dan multi-effects. Dengan berkembangnya sektor kepariwisataan akan mendukung income generating dari pelbagai sisi mulai dari retribusi masuk obyek wisata, pajak hotel dan
302
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
restoran, perijinan usaha pariwisata, di samping juga menyerap tenaga kerja baik dari sektor formal maupun informal. Mengingat demikian strategisnya posisi pengembangan sektor pariwisata maka developmentalplanning-nya penting untuk dipikirkan. Pada
hakekatnya
pembangunan
kepariwisataan
diselenggarakan
berdasarkan
prinsip-prinsip
kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kepentingan dan kesatuan Nasional. Pembangunan dan pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Pelalawan diharapkan dapat menjadi kekuatan ekonomi strategis yang dapat meningkatkan ekonomi kerakyatan, menciptakan lapangan pekerjaan, dan menambah pendapatan asli daerah (PAD) dengan tetap memperhatikan dan memelihara kelestarian kekayaan budaya daerah serta mengoptimalisasikan peran serta masyarakat. Dalam pelaksanaan pembangunan supaya dapat mencapai tujuan yang berdaya guna dan berhasil guna diperlukan pedoman pelaksanaan yang dituangkan dalam suatu perencanaan yang memuat apa yang akan dikerjakan pada waktu tertentu. Rencana pembangunan dari jangka waktu tertentu dapat dibedakan dengan rencana jangka menengah lima tahun (RPJM) dan rencana jangka panjang dua puluh lima tahun (RPJP). Untuk mewujudkan pembangunan daerah yang terarah dan berkelanjutan, maka dengan kewenangan yang telah ada, termasuk dalam sektor peningkatan dibidang pariwisata. Bagi Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan pembangunan-pembangunan di daerah agar tercapai dan berkesinambungan sumber-sumber pembiayan merupakan salah satu faktor penentu dalam pencapaian tujuan yang diinginkan. Dengan kewenangan yang telah ada Pemerintah Daerah harus jeli dalam menggali potensi-potensi kekayan daerah yang dimilikinya, guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah sehingga dapat membiayai pembangunan daerah tersebut. Pelalawan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau yang memiliki potensi wisata cukup berlimpah dan bervariasi. Obyek wisata di Pelalawan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu wisata alam serta wisata budaya. Kebijakan pengembangan pariwisata merupakan langkah strategis bagi Pemerintah Kabupaten Pelalawan, khususnya dalam mengelola potensi kepariwisataan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan formulasi kebijakan yang akan ditempuh nantinya, serta peluang dan tantangan apa yang menghadang. Untuk menempuh kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan tentunya sangat penting untuk mengetahui peta kondisi kepariwisataan Pelalawan yang ada saat ini. Oleh sebab itu perlu dibahas beberapa faktor eksternal, internal, peluang dan hambatan, sehingga memudahkan policy makers memformulasikan kebijakannya. Tahap evaluasi ini adalah yang pertama perlu dilakukan untuk memetakan problematika yang dihadapi Pelalawan dalam bidang kepariwisataan dari lingkungan internal. Pengamatan dari perspektif publik menunjukkan bahwa ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu dipecahkan berkaitan dengan kondisi internal pengembangan kepariwisataan di Pelalawan, yaitu: Pertama, Implementasi kebijakan pengembangan obyek wisata yang belum optimal dilakukan kendati potensi cukup tersedia, termasuk kebijakan linkage antara pengembangan wisata dengan pengembangan potensi ekonomi kreatif. Kedua, strategi promosi wisata yang cenderung masih konvensional. Ketiga, pelayanan dalam arti luas kepada wisatawan yang masih kurang dari stake holders di bidang pariwisata khususnya. Keempat, masih relatif lemahnya koordinasi antara pelaku pariwisata, Pemerintah Daerah dan pihak terkait.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
303
Pengamatan berikutnya adalah evaluasi faktor eksternal yang menunjukkan bahwa seiring belum pulihnya citra negatif negara kita di mata dunia internasional, khususnya dalam aspek keamanan dan kenyamanan, dunia pariwisata nasional mengalami penurunan wisatawan internasional yang cukup substantif, meskipun pada tataran wisatawan domestik cenderung tak terpengaruh. Kemudian wacana obyek wisata kumuh merupakan hambatan potensial kedatangan wisatawan. Setelah mengetahui peta kelemahan dari faktor eksternal dan internal tersebut, maka perlu pula dirumuskan tentang peluang dan hambatan yang potensial muncul. Objek dan daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Pelalawan berdasarkan jenis wisatanya yaitu : wisata alam, wisata sejarah/budaya. Untuk wisata alam Kabupaten Pelalawan memanfaatkan potensi pantai misalnya Pantai Ogis, dan Bono, wisata alam lainnya adalah Danau Tanjung Putus, Danau Tajuwid, Taman Nasional Teso Nilo, Air Panas. Sedangkan objek wisata sejarah/budaya adalah Istanah Sayap, Makam Raja-Raja Pelalawan, Meriam Peninggalan Kerajaan Pelalawan, Tugu Equator. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 1.1 : Objek Wisata dan Daya Tarik Wisata Kabupaten Pelalawan No I
Objek/Daya Tarik Wisata Kabupaten Pelalawan
2. Bono
Alam
Rekreasi Pantai
Alam
Rekreasi Pantai
Alam
Wisata hutan dan danau
Alam
Wisata hutan dan danau
Sejarah/budaya
Peninggalan Sejarah Sultan
Kec. Pangkalan Kerinci 3. Danau Tanjung Putus 4. Danau Tawid
III
Keterangan
Kec. Teluk Meranti 1. Pantai Ogis
II
Jenis Wisata
Kec. Pelalawan 5. Istana Sayap
Syarif kasim II 6. Makam Raja-Raja Pelalawan Sejarah/budaya
Komplek makan Raja dan kelurga kerajaan Pelalawan Peninggalan kerajaan Pelalawan
7. Merupakan Kerajaan Pelalawan
304
Penggalan Sejarah/budaya
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Sumber : Kantor Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Pelalawan 2014
Tabel 1.1 menjelaskan bahwa potensi pariwisata Kabupaten Pelalawan cukup beragam, salah satu wisata yang sangat berpotensi di Kabupaten Pelalawan adalah Wisata Alam Bono. Bono merupakan gelombang atau ombak yang terjadi di muara Sungai Kampar Riau Indonesia yang merupakan suatu fenomena alam akibat adanya pertemuan arus sungai menuju laut dan arus laut yang masuk ke sungai akibat pasang. Desa Teluk Meranti memang diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata Kabupaten Pelalawan. Ini sesuai dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pelalawan yang menjadikan daerah Bono sebagai pengembangan wisata bahari. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan terhadap Objek Wisata Unggulan Kabupaten Pelalawan menempatkan Bono sebagai Kawasan Wisata Uggulan I (KWU I) disamping, objek wisata Istana Sayap dan Taman Nasional Teso Nilo. Untuk itu perlu usaha pengembangan yang terencana dan serius dari Pemerintah Kabupaten yang diharapkan semua pihak. Dalam hal ini peranan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Pelalawan yang pada awalnya bernama Dinas Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Pelalawan dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Pelalawan yang merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah di bidang kepariwisataan, kesenian dan kebudayaan.
PERSOALAN PENELITIAN Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian serta menginterprestasikan hasil dari penelitian, maka terlebih dahulu dirumuskan pertanyaan penelitian yang akan dijadikan sebagai arahan dan pedoman penelitian. Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan kajian secara lebih mendalam, dengan judul : inovasi pemerintah dalam pengembangan pariwisata melalui pengembangan ekonomi kreatif di kabupaten pelalawan provinsi riau. Dan dengan melihat permasalahan diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : bagaimana inovasi pemerintah dalam pengembangan pariwisata melalui pengembangan ekonomi kreatif di Kabupaten Pelalawan ?
INOVASI PEMERINTAH Kata inovasi memiliki sejuta arti dan definisi. Ancok dalam bukunya Psikologi Kepemimpinan dan Inovasi memberikan definisi inovasi sebagai ―suatu proses memikirkan dan mengimplementasikan pemikiran tersebut, sehingga menghasilkan hal baru berbentuk produk, jasa, proses bisnis, carabaru, kebijakan, dan lain sebagainya.‖O‘Sullivan dan Dooley menyebutkan inovasi adalah ―proses membuat perubahan terhadap sesuatu yang telah mapan melalui introduksi suatu hal baru yang memberikan nilai tambah bagi konsumen. Sementara itu, Anthony memahami inovasi dalam pengertian yang lebih sederhana, yakni sebagai ―sesuatu yang berbeda
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
305
yang berdampak. Dari berbagai pengertian dan definisi ini dapat ditarik makna bahwa inovasi adalah proses memikirkan dan mengimplementasikan sesuatu yang original, penting, dan berdampak. Dari pemahaman ini, maka kemudian inovasi administrasi negara dapat diartikan sebagai proses memikirkan dan mengimplementasikan kebijakan penyelenggaraan kepentingan publik yang original, penting, dan berdampak. Majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa tersebut. Untuk itu maka diperlukan adanya perlindungan terhadap kegiatan yang bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di Daerah dalam memajukan Daerahnya. Perlu adanya upaya memacu kreativitas Daerah untuk meningkatkan daya saing Daerah. Untuk itu perlu adanya kriteria yang obyektif yang dapat dijadikan pegangan bagi pejabat Daerah untuk melakukan kegiatan yang bersifat inovatif. Dengan cara tersebut inovasi akan terpacu dan berkembang tanpa ada kekhawatiran menjadi obyek pelanggaran hukum. Di dalam Undang – Undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (pasal 386); daerah dapat melakukan inovasi daerah yang mengacu pada prinsip – prinsip : peningkatan efisiensi; perbaikan efektivitas; perbaikan kualitas pelayanan; tidak ada konflik kepentingan; berorientasi kepada kepentingan umum; dilakukan secara terbuka; memenuhi nilai-nilai kepatutan; dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya serta tidak untuk kepentingan diri sendiri. Inisiatif inovasi dapat berasal dari kepala daerah, anggota DPRD, aparatur sipil negara, Perangkat Daerah, dan anggota masyarakat sebagai aktor – aktor perumus kebijakan publik. Inovasi pemerintah daerah, khususnya dalam hal pelayanan publik menjadi sangat penting dan mendesak apabila dikaitkan dengan daya saing daerah, daya saing sumberdaya manusia serta memantapkan eksistensi dalam tatanan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Indonesia, saat ini memiliki lebih dari 500 daerah otonom baik provinsi dan atau kabupaten/kota. Sejalan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyat atau masyarakat di wilayah Kabupaten/Kota atau Provinsi dengan mudah dapat mengenal dan atau menentukan pilihan untuk kemajuan daerah atau kesejahteraan masyarakat. Inovasi penyelenggaraan pemerintahan bagi kepala daerah, diawali dengan penyampaian visi misi atau janji pada saat kampanye, dituangkan dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah baik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berjangka waktu 5 tahunan atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang berjangka waktu tahunan sebagai penjabaran pelaksanaan perencanaan dalam bentuk penganggaran dan kebijakan lainnya. Dalam inovasi dalam sektor publik, beberapa sarjana mengelompokan ke dalam beberapa jenis sebagai berikut. Teori pertama dikemukakan oleh Djamaludin Ancok dalam bukunya Psikologi Kepemimpinan & Inovasi. Menurutnya, inovasi terdiri atas 8 jenis sebagai berikut: Inovasi proses; Inovasi metode; Inovasi struktur organisasi; Inovasi dalam hubungan; Inovasi strategi; Inovasi pola pikir (mindset); Inovasi produk; dan Inovasi pelayanan. Selanjutnya, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporannya tahun 2005 The Measurement of Scientific and Technological Activities sebagaimana dikutip Doran menyebutkan mengenai 3 jenis inovasi: Inovasi produk, Inovasi proses, dan Inovasi organisasi. Teori jenis-jenis inovasi ketiga dikemukakan oleh Windrum (2008). Berbeda dengan teori Ancok dan OECD yang membuat kategori inovasi secara umum, namun yang bagaimana pun jenis-jenis tersebut terlihat mampu untuk dipraktikkan oleh sektor publik. Teori yang dibuat Windrum secara khusus menegaskan bahwa inovasi-inovasi yang diidentifikasinya hanya berlaku untuk sektor publik. Windrum mengelompokkan inovasi ke dalam enam kategori: Inovasi pelayanan; Inovasi penyediaan pelayanan; Inovasi administratif atau organisasional; Inovasi konseptual; Inovasi kebijakan; dan Inovasi sistemik. Teori terakhir dikemukakan oleh Bekkers, Edelenbos, dan
306
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Steijn. Sama dengan Windrum, jenis-jenis inovasi yang diidentifikasi oleh ketiganya juga ditegaskan sebagai jenis yang hanya berlaku untuk sektor publik. Mereka mengklasifikasikan inovasi sektor publik ke dalam 7 kategori: Inovasi produk atau jasa; Inovasi teknologi; Inovasi proses; Inovasi organisasi dan manajemen; Inovasi konseptual; Inovasi tata kelola; dan inovasi institusi.(SeptianaDwiputrianti dkk 2014).
EKONOMI KREATIF DAN PENGEMBANGAN WISATA Pariwisata didefinisikan sebagai aktivitas perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari tempat tinggal semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan hanya untuk bersenang senang, memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau waktu libur serta tujuan tujuan lainnya (UNESCO, 2009). Untuk mengembangkan kegiatan wisata, daerah tujuan wisata setidaknya harus memiliki komponenkomponen sebagai berikut (UNESCO, 2009) : 1.
Obyek/atraksi dan daya tarik wisata
2.
Transportasi dan infrastruktur
3.
Akomodasi (tempat menginap)
4.
Usaha makanan dan minuman
5.
Jasa pendukung lainnya (hal-hal yang mendukung kelancaran berwisata misalnya biro perjalanan yang mengatur perjalanan wisatawan, penjualan cindera mata, informasi, jasa pemandu, kantor pos, bank, sarana penukaran uang, internet, wartel, tempat penjualan pulsa, salon, dll). Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia sebelumnya telah menetapkan program yang
disebut dengan Sapta Pesona. Sapta Pesona mencakup 7 aspek yang harus diterapkan untuk memberikan pelayanan yang baik serta menjaga keindahan dan kelestarian alam dan budaya di daerah kita. Program Sapta Pesona ini mendapat dukungan dari UNESCO (2009) yang menyatakan bahwa setidaknya 6 aspek dari tujuh Sapta Pesona harus dimiliki oleh sebuah daerah tujuan wisata untuk membuat wisatawan betah dan ingin terus kembali ke tempat wisata, yaitu: Aman; Tertib; Bersih: Indah; Ramah; dan Kenangan Ekonomi kreatif dan sektor wisata merupakan dua hal yang saling berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan baik (Ooi, 2006). Konsep kegiatan wisata dapat didefinisikan dengan tiga faktor, yaitu harus ada something to see, something to do, dan something to buy (Yoeti, 1985). Something to see terkait dengan atraksi di daerah tujuan wisata,something to do terkait dengan aktivitas wisatawan di daerah wisata, sementara something to buy terkait dengan souvenir khas yang dibeli di daerah wisata sebagai memorabilia pribadi\ wisatawan. Dalam tiga komponen tersebut, ekonomi kreatif dapat masuk melalui something to buy dengan menciptakan produk-produk inovatif khas daerah. Pada era tradisional, souvenir yang berupa memorabilia hanya terbatas pada foto polaroid yang menampilkan foto sang wisatawan di suatu obyek wisata tertentu. Seiring dengan kemajuan tekonologi dan perubahan paradigma wisata dari sekedar melihat menjadi merasakan pengalaman baru, maka produk-produk kreatif melalui sektor wisata mempunyai potensi yang lebih besar untuk dikembangkan. Ekonomi kreatif tidak hanya masuk melalui something to buy tetapi juga mulai merambah something to do dan something to see melalui paket-paket wisata yang menawarkan pengalaman langsung dan interaksi dengan kebudayaan lokal.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
307
Dalam pengembangan ekonomi kreatif melalui sektor wisata yang dijelaskan lebih lanjut oleh Yozcu (2010), kreativitas akan merangsang daerah tujuan wisata untuk menciptakan produk-produk inovatif yang akan memberi nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi dibanding dengan daerah tujuan wisata lainnya. Dari sisi wisatawan, mereka akan merasa lebih tertarik untuk berkunjung ke daerah wisata yang memiliki produk khas untuk kemudian dibawa pulang sebagai souvenir. Di sisi lain, produk-produk kreatif tersebut secara tidak langsung akan melibatkan individual dan pengusaha enterprise bersentuhan dengan sektor budaya. Persentuhan tersebut akan membawa dampak positif pada upaya pelestarian budaya dan sekaligus peningkatan ekonomi serta estetika lokasi wisata. Contoh bentuk pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat dilihat pada tebel berikut ini: Tabel 4.1. Bentuk Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata Wisata
Ekonomi Kreatif
1.Something to see
Proses kebudayaan (contoh : pembuatan kerajinan tenun songketatau tenun sulaman)
2.Something to do
Wisatawan berlaku sebagai konsumen aktif, tidak hanya melihat atraksi dan membeli souvenir tapi ikut serta dalam atraksi
3.Something to buy
Souvenir. Sumber: Yoeti, 1996 dan diolah
Potensi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata di Indonesia masih belum dapat diimplementasikan secara optimal. Salah satu yang dikembangkan di Indonesia adalah mengadopsi bentuk paket wisata tersebut ke dalam desa wisata. Hingga saat ini, tercatat banyak desa wisata yang bermunculan namun hanya sebagian kecil yang berhasil (dalam arti sanggup mendatangkan wisatawan secara berkala dan meningkatkan ekonomi warganya). Fenomena banyaknya desa wisata di Indonesia seringkali terjadi bukan sebagai bentuk kreatifitas, tetapi lebih pada prestige. Sangat sering ditemui desa wisata yang infrastrukturnya tidak siap untuk dikunjungi wisatawan. Kelemahan terbesar dari konsep desa wisata selanjutnya adalah minimnya upaya promosi dan tidak adanya link dengan industri kreatif untuk produksi souvenir. Wisatawan hanya sekedar datang dan pulang tanpa membawa sesuatu untuk dikenang (memorabilia) atau untuk dipromosikan pada calon wisatawan lainnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa ekonomi kreatif dan sektor wisata pada sebagian besar kotakota di Indonesia berjalan secara terpisah. Masih kurangnya linkage antara ekonomi kreatif dan sektor wisata dapat terlihat dari tiadanya tempat penjualan souvenir khas daerah. Kalaupun ada, tempat penjualan souvenir dan souvenir yang dijual terkesan biasa saja, dan dapat dengan mudah ditemukan di daerah lain. Atau, pada beberapa kasus, tempat penjualan souvenir berlokasi terlalu jauh sehingga menjadi sebuah proyek yang gagal mendatangkan lebih banyak wisatawan.
308
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Pada hakikatnya, hampir sebagian besar kota/kabupaten di Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata. Kota/kabupaten di Indonesia memiliki daya tarik wisata yang berbeda untuk dapat diolah menjadi ekonomi kreatif. Termasuk juga di Kabupaten Pelalawan. Potensi wisata yang ada dapat dikembangkan melalui ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif di sini tidak hanya melibatkan masyarakat atau komunitas sebagai sumber daya yang berkualitas, tetapi juga melibatkan unsur birokrasi dengan pola entrepreneurship (kewirausahaan). Konsep pelibatan birokrasi dalam ekonomi kreatif adalah bahwa birokrasi tidak hanya membelanjakan tetapi juga menghasilkan (income generating) dalam arti positif (Obsore dan Gaebler, 1992). Strategi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dirumuskan sebagai berikut: 1.
Meningkatkan peran seni dan budaya pariwisata
2.
Memperkuat keberadaan kluster-kluster industri kreatif
3.
Mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif
4.
Melakukan pemetaan aset yang dapat mendukung munculnya ekonomi kreatif.
5.
Mengembangkan pendekatan regional, yaitu membangun jaringan antar kluster-kluster industri kreatif.
6.
Mengidentifikasi kepemimpinan (leadership) untuk menjaga keberlangsungan dari ekonomi kreatif, termasuk dengan melibatkan unsur birokrasi sebagai bagian darileadership danfacilitator.
7.
Membangun dan memperluas jaringan di seluruh sektor
8.
Mengembangkan dan mengimplementasikan strategi, termasuk mensosialisasikan kebijakan terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif dan pengembangan wisata kepada pengrajin. Pengrajin harus mengetahui apakah ada insentif bagi pengembangan ekonomi kreatif, ataupun pajak ekspor jika diperlukan.
PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF SEBAGAI PENGGERAK SEKTOR WISATA DI KABUPATEN PELALAWAN Dalam Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata memerlukan sinergi antar stakeholder yang terlibat di dalamnya, yaitu pemerintah, cendekiawan, dan sektor swasta (bisnis). Sedangkan model pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat diadaptasi dari model-model kota kreatif. Kota kreatif bertumpu pada kualitas sumber daya manusia untuk membentuk (bisa dalam bentuk design atau redesign) ruang-ruang kreatif (UNDP, 2008). Pembentukan ruang kreatif diperlukan untuk dapat merangsang munculnya ide-ide kreatif, karena manusia yang ditempatkan dalam lingkungan yang kondusif akan mampu menghasilkan produk-produk kreatif bernilai ekonomi. Festival budaya, merupakan salah satu bentuk penciptaan ruang kreatif yang sukses mendatangkan wisatawan. Dalam konteks kepariwisataan, diperlukan ruang-ruang kreatif bagi para pengrajin untuk dapat menghasilkan produk khas daerah wisata yang tidak dapat ditemui di daerah lain. Salah satu tempat yang paling penting bagi seorang pengrajin untuk bisa menghasilkan karya adalah bengkel kerja atau studio. Bengkel kerja atau studio sebagai ruang kreatif harus dihubungkan dengan daerah wisata sehingga tercipta linkage atau konektivitas. Konektivitas tersebut diperlukan untuk mempermudah rantai produksi (Evans, 2009). Dari segi ekonomi kreatif, produk kerajinan dalam bentuk souvenir dapat terjual sementara dari sektor wisata, wisatawan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
309
memperoleh suatu memorabilia mengenai daerah wisata tersebut. Konektivitas atau linkage antara ekonomi kreatif dan wisata dapat berbentuk outlet penjualan yang terletak di daerah wisata. Dengan kata lain, wisata menjadi venue bagi ekonomi kreatif untuk proses produksi, didtribusi, sekaligus pemasaran. Untuk mendukung pengembangan tenun songket atau sulaman Pelalawan misalnya sebagai bagian dari industri kreatif sekaligus penggerak wisata, perlu diciptakan linkage antara industri batik dan atraksi wisata Seni Kota Sukabumi. Outlet kerajinan tenun sebaiknya diposisikan dekat dengan objek wisata, sehingga tercipta suatu sistem wisata; wisatawan berkunjung melihat atraksi wisata di objek wisata, makan di sekitar objek wisata, membeli oleh-oleh makanan khas, dilanjutkan dengan melihat sekaligus membeli tenun songket atau sulaman Pelalawan sebagai souvenir. Tantangan Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata walau terdengar sangat menjanjikan, namun tetap memiliki sejumlah tantangan. Tantangan tersebar terkait dengan keberlanjutan industri kreatif itu sendiri untuk menggerakkan sektor wisata. Trend wisata cenderung cepat berubah sehingga pengrajin dituntut untuk bisa menciptakan produk-produk kreatif dan inovatif. Di sisi lain, pengarajin juga tidak boleh terjebak pada selera pasar karena dapat menghilangkan orisinalitas dan keunikan produk (Syahram 2000). Ooi (2006), mengindentifikasi sejumlah tantangan pengembangan sebagai berikut : 1. Kualitas poduk. Dengan bertumpu pada pengembangan wisata, maka produk ekonomi kreatif akan lebih berorientasi pada selera wisatawan dan diproduksi dalam jumlah yang cukup banyak sebagai souvenir. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya keunikan ataupun nilai khas dari produk hasil ekonomi kreatif tersebut. 2. Konflik sosial terkait dengan isu komersialisasi dan komodifikasi. Pengembangan ekonomi kreatif melalui wisata seringkali mengkomersialisasikan ruang-ruang sosial dan kehidupan sosial untuk dipertontonan pada wisatawan sebagai atraksi wisata. Bila tidak dikelola dengan melibatkan komunitas lokal, hal ini dapat berkembang menjadi konflik sosial, karena di beberapa komunitas teradapat ruang-ruang sosial yang bersifat suci dan tidak untuk dipertontonkan pada wisatawan. 3. Manajemen ekonomi kreatif. Dibutuhkan
manajemen
ekonomi
kreatif
yang
baik,
dengan
salah
satu
fungsinya
menentukan guideline ekonomi kreatif mana yang harus dikembangkan dan mana yang sebaiknya tidak dikembangkan
KESIMPULAN Dalam pengembangan wisata di Kabupaten Pelalan, diperlukan sinergi antara ekonomi kreatif dengan sektor wisata yang merupakan sebuah model pengembangan ekonomi yang cukup potensial untuk dikembangkan. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dibutuhkan konektivitas, yaitu dengan menciptakan outlet produk-prouk kreatif di lokasi yang strategsi dan dekat dengan lokasi wisata. Outlet tersebut dapat berupa counter atau sentra kerajinan yang dapat dikemas dalam paket-paket wisata.
310
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Outlet kerajinan berupa counter atau kios atau toko sebaiknya dikembangkan pada tempat wisata yang sudah popular. Pada sentra kerajinan wisatawan tidak hanya sekedar membeli souvenir, tetapi juga melihat proses pembuatannya dan bahkan ikut serta dalam proses pembuatan tersebut. Setelah akses cukup jelas, maka usaha kerajinan perlu ditingkatkan pada aspek ketrampilan SDM perajin, akases teknologi dan financial atau permodalan. Sehingga peran pemerintah, perguruan tinggi dan dana bergulir dari BUMN sangat dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA Anas , Sudijono, 2008, Pengantar Statistik Pendidikan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ancok, Djamaludin. 2007. Psikologi Kepemimpinan & Inovasi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Fritz, Morstein, Marx, 2007, Birokrasi & Politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Imam, Soeharto, 1991, Keterampilan dan Kemampuan, Penerbit Citra NiagaRajawali Pers, Jakarta. J. Spillance, James, 2001, Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan RekayasaKebudayaan, Kanisus, Yogyakarta. Kaho. Joseph Riwo, 2002, Prospek Otonami Daerah Di Negara Republik Indonesia,CV.Rajawali, Jakarta. Kansil, CST dan Chiristine, 2003, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta. Kunarjo, 1996, Manajemen Usaha Pariwisata Di Indonesia, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta. Marpaung. Happy et al, 2002 Pengantar Pariwisata, Alfabeta, bandung. Moekijat, 1995, Analisis Kebijakan Publik, CV Manda Maju, Bandung. Ngapena, Chafid, 2003, Dasar-Dasar Manajemen Kepariwisataan Alam, Liberty, Yogyakarta. Nugroho, Riant . Public Policy Teori, Manajemen, Dinamika, Analisis, Kovergensi dan Kimia Kebijakan. Edisi revisi kelima 2014, PT Gramedia. Jakarta. Nyoman. S. Pandit,2004, Ilmu Pariwisata, PT. Pradya Paramita, PT. Angkasa, Bandung. Ooi, Can-Seng (2006). Tourism and the Creative Economy in Singapore.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
311
Riduan,2009, Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian, Alfabeta, Bandung. Soekanto, Soerjono, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta. Sugiono, 2007, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, bandung. Suwantoro, Gamal, 2007, Dasar-Dasar Pariwisata, Penerbit Andi, Yogyakarta. Tim Pusat Inovasi Tata Pemerintahan. Handbook Inovasi Administrasi Negara. Lembaga Administrasi Negara, 2014 Poerwadarminta, W.J.S, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Wahab, Salah, 1988, Pemasaran Pariwisata, Pradya Paramita, Bandung. Winarno, Budi. Kebijakan Publik Teori dan Proses, cetakan pertama 2007, Media Pressindo Yogyakarta. Yoeti. Oka. A, 1996, Pengantar Ilmu Pariwisata, PT. Penerbit Angkasa, Bandung. UU No. 9 Tahun 1990 Penyelenggaraan Kepariwisataan Peraturan Daerah No. 22 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pelalawan Undang-Undangan Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 33Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
312
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Rekonstruksi Model Penilaian Kinerja Aparatur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Provinsi Gorontalo
Asna Aneta dan Yulianto Kadji Universitas Negeri Gorontalo
Abstrak: Tujuan pelaksanaan penelitian adalah untuk merekonstruksi model penilaian kinerja aparatur yang kondisional, rasional dan praktis agar dapat menunjang penyelenggaraan pemerintahan di wilayah Provinsi Gorontalo. Penelitianini didesain dalam penelitian kualitatif yang dimaksudkan untuk menganalisis secara mendalam tentang model penilaian kinerja aparat pemerintah daerah diwilayah Provinsi Gorontalo serta mengidentifikasi model alternatif penilaian kinerja aparat yang dapat menunjang penyelenggaraan pemerintahan
di
Provinsi
Gorontalo.
Hasil
penelitian
menunjukkan:(a)
Model
penilaiankinerja
pemerintahdaerah diwilayah Provinsi Gorontalo selama ini belum memiliki keseragaman terutama dalam hal: dasar hukum atau acuan pelaksanaan, waktu pelaksanaan, aspek atau indikator penilaian, penilaian. Oleh karenanya
dan pelaksana
diperlukan rekonstruksimodelpenilaian kinerja aparatur yang dapat menunjang
penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan pada masing-masing Pemkab/Pemkot/ Pemprov diwilayah Provinsi Gorontalo. (b) Hasil rekostruksi model penilaian kinerja aparatur di wilayah Provinsi Gorontalo meliputi tahap- tahap: (1) Penetapan Rencana Kerja Tahunan(RKT) oleh instansi sebagai penjabaran dari sasaran dan program instansi berdasarkan visi dan misi. Tahapan ini dapat melibatkan pihak eksternal seperti Perguruan Tinggi ; (2) Penyusunan dan penetapan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) oleh setiap pegawai dan disetujui oleh atasan atau pejabat penilai; (3) Pelaksanaan tugas olehsetiapindividu pegawai berdasarkan Sasaran Kinerja Pegawai(SKP) yang telah ditetapkan; dan (4) Pelaksanaan penilaian yang terdiri dari monitoring pelaksanaan kegiatan/ pekerjaan, penilaian diakhir tahun berdasarkan capaian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dan pengamatan perilaku kerja oleh pejabat penilai, dan pemberian insentif/tunjangan kinerja berdasarkan hasil penilaian. Oleh karenanya periode pelaksanaan penilaian adalah sekali dalam setahun. Kata Kunci :Rekonstruksi Model dan Penilaian Kinerja paratur
1.
Pendahuluan a.
Latar Belakang Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berorientasi pada pelayanan publik yang berkualitas
membutuhkan peran dan tanggungjawab aparatur yang berkinerja tinggi. Kinerja aparatur pemerintahan mewujud pada eksistensi seorang aparatur yang memiliki kompetensi dan prestasi kerja yang dapat memacu peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, yang pada akhirnya juga akan meningkatan kepuasan publik terhadap hasil-hasil pembangunan.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
313
Berkenaan dengan kinerja aparatur, pemerintah dengan berbagai regulasinya senantiasa mendorong agar kinerja yang baik selalu dioptimalkan, dan bahkan selalu dilakukan penilaian kinerja aparatur secara periodik agar tugas-tugas pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan yang diemban oleh aparatur akan terlaksana dengan sebaik-baiknya. Untuk itulah, maka upaya penilaian kinerja aparatur dilakukan juga untuk memperoleh umpan balik terhadap apa yang perlu diperbaiki, dan oleh karena itu dipandang perlu melakukan rekonstruksi model penilaian kinerja aparatur, yang tentunya melalui riset yang dilaksanakan sesuai dengan kaidah metodologi dan keilmuan yang relevan. Penelitian terhadap Rekonstruksi Model Penilaian Kinerja Aparatur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Provinsi Gorontalo dilakukan selama tiga tahun. Tahun pertama (2013) dalam perspektif investigasi model penilaian kinerja yang dilaksanakan di lingkungan Pemerintah Daerah se Provinsi Gorontalo, Tahun Kedua (2014) dalam perspektif melakukan rekonstruksi Model penilaian kinerja yang dilaksanakan di lingkungan Pemerintah Daerah se Provinsi Gorontalo, dan Tahun Ketiga (2015) Penerapan model penilaian kinerja aparatur dalan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Gorontalo.
b.
Rumusan Masalah Bagaimana implementasi / penerapan model penilaian kinerjaa paratur pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Gorontalo.
c.
Tujuan Penelitian Menganalis dan mendeskripsikan tentang : Implementasi / penerapan model penilaian kinerjaa paratur pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Gorontalo.
d.
Metode Penelitian Penelitian ini didisain dengan jenis penelitian kualitatif dengan metode studi kasus.
2.
Kajian Pustaka a.
Konsep Kinerja Menurut Prawirosentono (2002:2 ) kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau kelompok orangdalam organisasi,sesuai denganwewenang dan tanggungjawab masingmasing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal,tidak melanggar hokum dan sesuai dengan moral dan etika. Pemahaman konsep dasar kinerja (the basic conception sof performance) dapat dilakukan melalui pendekatan the engineering approach defines performance dan the economic market place approach. Kinerja menurut pendekatan engineering approach diartikan sebagai rasio antara
314
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
sumberdaya yang digunakan (input) dengan standar unit-unit
kerja yang
dihasilkan (output).
Sedangkan pendekatan the economic market place approach berkaitan dengan tingkat produksi yang dihasilkan,disesuaikan dengan penggunaan sumber daya tertentu (Widodo,2005:207). Analisis kinerja merupakan suatu metode untuk mengukur sejauhmana
kemajuan yang
dicapai disbanding dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Melalui analisis kinerja dapat dilihat tingkat keberhasilan ataupun tingkat kegagalan implementasi kebijakan, program dan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan guna mewujudkan visi dan misi suatu organisasi. Untuk melakukan analisis kinerja organisasi publik, diperlukan indikator-indikator kinerja yang dapat menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang ditetapkan. Oleh karenanya, indicator kinerja seharusnya dapat dihitung dan diukur untuk digunakan sebagai dasar penilaian atau melihat tingkat kinerja, baik dalam tahap perencanaan,implementasi,maupun tahap setelah penyelesaian kegiatan. Lenvine,dkk(1990) mengemukakan tiga indicator yang dapat dipergunakanuntukmengukur kinerjabirokrasi publik,yaitu: a) Responsiveness,ialah kemampuan individu atau organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan public sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Singkatnya,responsiveness menunjukan keselarasan antara program/kegiatan pelayanan dan kebutuhan/aspirasi masyarakat. Karena secara langsung dapat menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya,terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maka responsivitas dapat ditetapkan sebagai salah satu indikator kinerja. Ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat akan menunjukkan tingkat responsivitas yang rendah demikian pula sebaliknya. b) Responsibility, menjelaskan apakah implementasi kegiatan organisasi publik telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar, serta sesuai dengan kebijakan organisasi. c) Accountability, menunjukkan seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi public konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja organisasi public tidak hanya dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti
pencapaian
target, akan tetapi kinerja sebaiknya dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai, norma dan etika yang berlaku dimasyarakat. Kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi jikalau kegiatannya dipandang benar serta sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai, norma dan etika yang berkembang di masyarakat. Selanjutnya, Dwiyanto(2003:60) menambahkan beberapa indicator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik,selain yang dikemukakan oleh Lenvine dkk(1990) yakni: a)
Produktivitas, konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas dipandang sebagai rasio antara input dan output. Konsep ini dirasa masih terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mengembangkan satu ukuranproduktivitas
yang
lebih
luas
dengan
memasukkan seberapabesar
pelayananpublikitumemiliki hasilyang diharapkan sebagai salahsatuindikator kinerjayang penting.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
315
b)
Kualitas Layanan. Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Munculnya berbagai pandangan negatif mengenai organisasi publik diakibatkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Oleh karenanya, kepuasan masyarakat terhadap layanan yang diberikan dapat dijadikan indicator untuk mengukur kinerja organisasi publik. Kelebihan dalam menggunakan aspek kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat tergolong mudah dan murah untuk diperoleh.
Sebagai suatu proses perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi yang diharapkan menghasilkan sesuatu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka kinerja antar individu dengan individu lainnya dalam situasi kerja sangat dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik dari individu. Di samping itu individu yang sama dapat menghasilkan performance kerja yang berbeda didalam situasi yang berbeda. Oleh karenanya, secara umum, kinerja dapat dipengaruhi oleh dua hal,yaitu faktor-faktor individu dan faktor-faktor situasi. Pengukuran terhadap jobperformance atau kinerja, tergantung pada jenis pekerjaan dan tujuan dari suatu organisasi. Johson dan Levin (dalam Widodo; 2005, 207) menyatakan bahwa faktorfaktor yang
bisa digunakan
dalam menilai kinerja adalah kualitas
dan kuantitas pekerjaan,
kerjasama, kepemimpinan, kehati-hatian, pengetahuan mengenai jabatan, kerajinan, kesetiaan, dapat tidaknya diandalkan dan inisiatif. Selanjutnya dijelaskan bahwa kinerja dapat dilihat berdasarkan kualitas kerja,kuantitas kerja, sampel dari suatu tugas yang merupakan bagian dari pekerjaan, waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari tugas, jumlah promosi yang pernah dilampaui, rating kelompok serta rating atasan, sehingga pengukuran/penilaian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mision accomplishment) melalui hasilhasil yang ditampilkan berupa produk, jasa,ataupun suatu proses.
b.
Penilaian Kinerja Penilaian terhadap performance atau disebut juga kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting. Penilaian dimaksud bias dibuat sebagai masukan guna mengadakan perbaikan untuk peningkatan kinerja organisasi pada waktu berikutnya. Untuk mengukur kinerja sebuah organisasi banyak pendapat pakar mengenai berbagai indikator dan konsep yang dapat digunakan, seperti efektivitas, efisiensi dan juga produktivitas guna menentukan sejauh mana kemampuan sebuah organisasi dalam mencapaitujuan. Namun konsep dan indicator yang dikemukakan selalu saja hanya tepat digunakan bagi organisasi swasta yang berorientasi keuntungan belaka, hal ini tentunya berbeda dengan organisasi publik yang berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat banyak tanpa mengejar keuntungan materi. Levine,dkk(1990) mengusulkan tiga konsep yang bisa dipergunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik,yaitu: responsiveness, responsibility dan accountability (Dwiyanto,2003). Menurut Keban (2001), pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengukur kinerja pemerintah daerah,yaitu
316
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
pendekatan manajerial dan pendekatan kebijakan, dengan asumsi bahwa efektivitas dari tujuan pemerintah daerah sangat
tergantung dari dua
kegiatan pokok tersebut ―Publik Management and
Policy‖. Pendekatan manajemen mempersoalkan hingga seberapa jauh fungsi-fungsi manajerial pemerintah daerah telah dijalankan seefisien dan seefektif mungkin. Sasarannya adalah semua yang bertugas mengimplementasikan kebijakan publik. Selanjutnya Keban(2001) menggabungkan kedua pendekatan tersebut yang disebutnya dengan pendekatan moral/etika, dalam konteks ini, Keban melihat sejauhmana pemerintah daerah menaruh perhatian terhadap aspek moralitas,yakni apakah pemerintah
daerah
memperlakukan
pegawainya
dan masyarakat umum atau golongan tertentu
secara adil? Atau apakah pemda memperhatikan internal dan eksternal ethik?.Apakah pemda cukup responsif atau tanggap terhadap perubahan yang datang dari masyarakat. Adapun sasaran dari pendekatan ini adalah gabungan dari dua pendekatan di atas. Selanjutnya fungsi manajerial dapat ditinjau dari manajerial yang bertugas, berupa adanya peningkatan dalam pemakaian manajerial skill, pemakaian sistem, dan prosedur kerja yang lebih baik, peningkatan motivasi serta kepuasan kerja diantara pegawai atau aparat pemda. Apakah peningkatan ini telah memberikan sumbangan terhadap tercapainya tujuan secara efisien dan efektif. Selain itu kinerja pemerintah dapat dinilai sampai sejauhmana masing-masing instansi telah melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung jawab tersebut yang merupakan manifestasi dari kegiatan manajemen dan policy.
3.
Hasil Penelitian dan Pembahasan 3.1.
Hasil Rekonstruksi Model Penilaian Kinerja Aparatur Hasil rekonstruksi model penilaian kinerja aparat diwilayah Provinsi Gorontalo yang ditawarkan kepada Pemerintah daerah seperti pada gambar berikut ini.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
317
Tahapan-tahapan penilaian kinerja aparatur pemerintah daerah berdasarkan model yang direkonstruksi di atas adalah sebagai berikut: 1) Model Penilaian Kinerja Aparatur dapat dilakukan oleh Tim Internal Pemda ataupun Tim Eksternal Pemda baik secara parsial maupun secara terpadu untuk memperoleh hasil penilaian kinerja yang maksimal dan terstandarkan. 2) Penetapan Rencana KerjaTahunan (RKT), Rencana Kerja dan Anggaran, serta Rencana Operasional Kegiatan instansi sebagai penjabaran dari sasaran dan program instansi berdasarkan visi dan misi. 3) Penyusunan dan penetapan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) oleh setiap pegawai dan disetujui oleh atasan atau pejabat penilai. 4) Pelaksanaan tugas oleh setiap individu pegawai berdasarkan Sasaran Kinerja Pegawai(SKP) yang telah ditetapkan. 5) Pengawasan Kepegawaian,oleh atasan langsung pada masing- masing SKPD 6) Pelaksanaan
penilaian
akhir
tahun
yang
terdiri
dari
monitoring
pelaksanaan
kegiatan/pekerjaan, penilaian di akhir tahun berdasarkan capaian Sasaran Kinerja Pegawai(SKP) dan pengamatan perilaku kerja oleh pejabat penilai, dan pemberian insentif/tunjangan kinerja berdasarkan hasil penilaian. Oleh karenanya periodepelaksanaan penilaian adalah sekali dalam setahun. 7) PenegasanatasRewardandPunishmentbagiaparaturpada masing-masingSKPD 8) Evaluasi Terpadu dan Terintegrasi, setelah melalui tahapan penilaian pada masing-masing SKPD,maka ditingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi dilakukan evaluasi secara terpadu dan terintegrasidenganharapanakan
melihatkomitmendan
konsistensisecara
makroterhadappelaksanaanevaluasikinerja aparatur dan organisasi pemerintahdaerah. 9) Feed-back atauumpan balik terhadap pelaksanaan penilaian kinerjaaparatur atas apayang perludiperbaiki atausystemyang dilanjutkanpada tahun-tahunberikutnya. Hasil rekonstruksi modelpenilaiankinerja diatas merupakan pengembangandari model Torrington, Hall and Taylor, 2005 yang disesuaikan dengan aturan yang berlaku sekarang yakni PP No. 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS dan Perka BKN No. 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No 46 Tahun2011, serta disesuaikan dengan kondisi empiris yang ada di lapangan. Model penilaian kinerja aparat
pemerintah
ini jika diterapkan pada seluruh
pemerintahyang ada diwilayah Provinsi Gorontalo diharapkan akan menjamin keseragaman penilaian, baik dalam hal acuan/ dasar hokum pelaksanaan, waktu pelaksanaan, aspek/indicator penilaian, maupunpelaksana penilaian. Disamping itu, model ini diharapkan dapat menjamin obyektivitas pelaksanaan akan
penilaian kinerja aparatur pemerintah daerah, yang pada gilirannya
memotivasi pegawai untuk senantiasa mengembangkan potensi kinerjanya dan akan
memberikan kontribusi yang tinggi bagi upaya peningkatan kinerja instansi pemerintah daerah.
318
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
3.2.
Implementasi
penerapan
model
penilaian
kinerjaa
paratur
pemerintah
dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Gorontalo Hasil penjaringan data melalui FGD yang dilakukan pada pemerintah kabupaten/kota se Provinsi Gorontalo, termasuk Pemerintah Provinsi Gorontalo menunjukkan semuanya telah menerapkan sistem penilaian kinerja aparat berdasarkan ketentuan PP No 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS dan Perka BKN No1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No 46 Tahun 2011. Sesuai ketentuan PP tersebut, maka penilaian kinerja aparat di semua wilayah pemda dilakukan sekali dalam setahun. Untuk kepentingan penambahan penghasilan pegawai, di samping ketentuan PP No 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS dan Perka BKN No 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No 46 Tahun2011, pemerintah daerah di wilayah Provinsi Gorontalo menetapkan sistem penilaian kinerja sesuai
kebijakan daerah masing-masing
sebagai dasar
pemberian tambahan penghasilan pegawai. Bobot penilaian kinerja untuk tiap-tiap daerah bervariasi. Misalnya untuk Kota Gorontalo, sesuai Peraturan Walikota Gorontalo Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Tambahan Penghasilan Pegawai, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa pegawai ASN berhak menerima tambahan penghasilan dengan penuh apabila memenuhi komponen disiplin dengan bobot sebesar 60% (enam puluh persen) dan komponen kinerja dengan bobot sebesar 40% (empat puluh persen). Komponen disiplin diukur berdasarkan kehadiran sesuai dengan jam kerja yang telah ditetapkan serta kehadiran pada kegiatan-kegiatan pemerintah daerah. Sedangkan komponen kinerja diukur berdasarkan laporan pelaksanaan tugas yang disampaikan kepada atasan langsung pada setiap bulan. Berbeda dengan Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara sesuai Peraturan Bupati Gorontalo Utara Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Tunjangan Kinerja Daerah Kabupaten Gorontalo Utara Tahun Anggaran 2015, pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa kinerja dinilai berdasarkan atas prestasi aksi dan prestasi hasil. Prestasi aksi diberi bobot 40% sedangkan prestasi hasil memiliki bobot 60%.Komponen prestasi aksi terdiri atas: disiplin, ketaatan terhadap peraturan kepegawaian, tanggung jawab, dan kerja sama. Komponen prestasi hasil terdiri dari: produktifitas, efektivitas, efisiensi, inovasi, manfaat kinerja, dan kecepatan. Untuk wilayah Pemerintah Kabupaten Gorontalo, pemberian tambahan penghasilan pegawai didasarkan pada Peraturan Bupati Gorontalo Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Tambahan Penghasilan Bagi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Gorontalo.Dalam pasal 8 ayat (1) peraturan bupati tersebut dinyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang berhak menerima tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja dan berdasarkan tempat bertugas adalah pegawai yang ikut hadir dalam apel dan hadir untuk melaksanakan tugas. Pada pasal 14 Perturan Bupati tersebut diemukakan pula bahwa pembayaran tambahan penghasilan mulai berlaku 1 Januari 2015 dengan menggunakan Rekapitulasi Kehadiran Pegawai bulan Desember 2014. Ini menunjukkan bahwa dasar pemberian tunjangan tambahan penghasilan PNS di wilayah ini semata-mata didasarkan pada kehadiran, yakni pada apel dan pelaksanaan tugas. Peraturan ini
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
319
sepertinya mengabaikan kriteria hasil kerja atau tingkat prestasi kerja pegawai dalam pemberian tambahan penghasilan bagi para pegawai. Untuk wilayah Pemerintah Kabupaten Bone Bolango, penambahan penghasilan Pegawai ditetapkan melalui Keputusan Bupati Bone Bolango Nomor 10/KEP/BUP.BB/17/2015 Tentang Penetapan Tambahan Penghasilan Berdasarkan Beban Kerja Bagi Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango Tahun Anggaran 2015. Dalam lampiran II Keputusan Bupati Bone Bolango tersebut dikemukakan bahwa unsur-unsur yang dinilai antara lain: Loyalitas, Kepemimpinan (leadership), Inovasi, Pelayanan Publik, Kerjasama, dan Disiplin Kehadiran Kerja. Sama halnya dengan Pemerintah Kabupaten Gorontalo, unsur-unsur penilain kinerja di lingkungan Pemerintah Kabubaten Bone Bolango belum menggunakan kriteria hasil atau prduktivitas kerja pegawainya. Untuk wilayah Pemerintah Kabupaten Boalemo, penambahan penghasilan Pegawai ditetapkan melalui Peraturan Bupati Boalemo Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Standar Satuan Harga Tahun Anggaran 2015.Dalam peraturan bupati tersebut kriteria penentuan besaran tambahan penghasilan pegawai ditetapkan berdasarkan struktur jabatan dan eselonisasi jabatan yang ada dan belum didasarkan pada prestasi kerja pegawai. Untuk wilayah Pemerintah Kabupaten Pohuwato, penambahan penghasilan Pegawai ditetapkan melalui Peraturan Bupati Pohuwato Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pemberian Tambahan Penghasilan Bagi Pegawai Negeri Sipil Tahun 2015.Pada pasal 9 ayaut (2) Peraturan Bupati Pohuwato tersebut dikemukakan bahwa unsur-unsur yang digunakan untuk menilai preastasi kerja pegawai adalah: (a) Mempunyai kecakapan dan menguasai bidang tugasnya dan bidang lain yang berhubungan dengan tugasnya; (b) Mempunyai keterampilan dalam melaksanakan tugasnya; (c) Bersungguh-sungguh dan tidak mengenal waktu dalam melaksanakan tugasnya; (d) Mempunyai kesegaran dan kesehatan jasmanai dan rohani yang baik; (e) Melaksanakan tugas secara efektif dan efisien; dan (f) Mencapai tingkat sasaran kerja atau tingkat capaian hasil kerja yang disepakati bersama antara PNS dengan pejabat penilai. Berbeda dengan daerah-daerah lainnya, penilaian kinerja pegawai di wilayah Kabupaten Pohuwato sudah memperhatikan hasil atau prestasi kerja pegawainya, bahkan sangat sesuai dengan ketentuan PP No 46Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS dan Perka BKNNo1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No 46 Tahun2011. Untuk wilayah Pemerintah Provinsi Gorontalo, penambahan penghasilan Pegawai ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Gorontalo Nomor 01 Tahun 2015 Tentang Tunjangan Kinerja Daerah Provinsi Gorontalo Tahun Anggaran 2015.Dalam pasal 4 Peraturan Gubernur Gorontalo dikemukakan bahwa penilaian kinerja Pegawai menggunakan 5 indikator yakni: Disiplin, Produktivitas, Tanggungjawab, kerjasama, dan inovasi. Sama halnya denga Kabuoaten Pohuwato, indikator penilaian kinerja di wilayah pemerintah Provinsi Gorontalo telah menggunakan kriteria hasil kerja/ produktivitas pegawainya meskipun tidak sedetail Kabupaten Pohuwato.
320
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Meskipun bervariasi dalam kebijakan dan pelaksanaannya, penilaian kinerja aparatur di wilayah Provinsi Gorontalo umumnya memiliki kesamaan terutama dalam jangka waktu penilaian yakni setiap bulan sekali. Hal ini dapat dipahami karena kebijakan penilaian kinerja ini berkenaan langsung dengan pemberian tunjangan yang perhitungannya dilakukan setiap bulan, meskipun pembayarannya mungkin pertriwulan atau lebih. Kesamaan lainnya adalah jika mengacu pada model penilaian kierja aparatur yang direkomendasikan pada penelitian tahap kedua, pada umumnya pemerintah daerah di wilayah Provinsi Gorontalo melalui Badan Kepegawaian di masing-masing telah melakukan model penilaian tersebut akan tetapi pada umumnya belum sampai pada siklus atau tahapan terakhir model tersebut yakni tahapan 'feedback'. Tidak terlaksananya tahapan ini memberi implikasi pada minimnya pengetahuan dan kesadaran pegawai terhadap kekurangan atau kesalahan yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Dalam jangka panjang sistem yang demikian akan menimbulkan sikap apatis di kalangan pegawai karena mereka tidak mengetahui apa yang harus diperbaiki dan ditingkatkan dalam kinerja masing-masing pegawai. Kelak akan timbul kecurigaan di kalangan pegawai bahwa penilaian tidak dilakukan secara adil dan obyektif. Pada gilirannya kondisi yang demikian itu akan mengakibatkan merosotnya kinerja pegawai secara umum.
4.
Penutup 4.1. Simpulan Berdasarkan hasilpenelitian dan pembahasan sebagaimana telah dideskripsikan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa simpulan tentang model penilaian kinerja aparatur pemerintah di wilayah Provinsi Gorontalo sebagai berikut ini. a. Model penilaian kinerja pemerintah daerah diwilayah Provinsi Gorontalo telah dilakukan sesuai ketentuan PPNo46Tahun2011TentangPenilaian Prestasi Kerja PNS dan Perka BKNNo 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No 46 Tahun 2011, yang dilakukan sekali dalam setahun. b. Untuk kepentingan pemberian tambahan penghasilan pegawai, masing-masing pemerintah daerah di wilayah Provinsi Gorontalo menetapkan kebijakan penilaian kinerja yang dilakukan setiap bulan sekali. c. Jika
mengacu
pada
konstruksi/model
penilaiankinerja
aparatur
yang
dapat
menunjang
penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana yang direkomendasikan dalam penelitian ini, semua pemda pada umumnya belum melaksanakan seluruh tahapan yang ada terutama tahapan 'feed back'.
4.2. Rekomendai Berdasarkan simpulan-simpulan penelitian di atas, peneliti merekomendasikan agar seluruh tahapan dalam model penilaian kinerja y a n g direkomendasikan kepada seluruh pemda di wilayah
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
321
Provinsi Gorontalo hendaknya dapat dilaksanakan secara keseluruhan, guna menunjang efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Referensi Abdul Wahab,Solichin(1997) Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke implementasi Kebijaksanaan Negara.PenerbitPT Bumi Aksara Jakarta. …………… (1998) Analisis Kebijakan Publik : Teori dan Aplikasinya. Penerbit Fakultas Ilmu Administrasi Univ. Brawijaya. Arep,Ishak&Tanjung,Hendri,(2003), Manajemen Motivasi, Grasindo, Jakarta. Dwiyanto, Agus, (2002), Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Univesitas Gajah Mada.Yogyakarta. Keban, Yeremias T.1995. Indikator Kinerja Pemda: Pendekatan Manajemen dan Kebijakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Lenvine,Charles H.,(1990), Public Administration: Challenges, Choices, Consequences, ScottForeman/Litle Brown Higher Education: Glenview,Illianos. Marbun,B.B,1996,Kamus Politik,Pustaka Sinar Harapan,Jakarta, hal.469 Moleong,J.Lexy.(2007).Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. XIV. Bandung: Remaja Rosdakarya. Prawirosentono, Suyadi, (2002), Kebijakan Kinerja Karyawan : Kiat Membangun Organisasi Kompetitif Menjelang Perdagangan Bebas Dunia,BPFE,Yogyakarta. Prawirosentomo, Suryadi. MBA.1999, Kebijakan Kinerja Karyawan. Penerbit BPFE, Yogyakarta. Riyadi dan Deddy S.Bratakusumah(2004) Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Saefuddin,Asep, dkk Tim Crescent (2003) Menuju Masyarakat Mandiri. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Supriatna, Tjahya(1997) Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Penerbit Humaniora Utama Press
322
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Widodo, Joko(2001) Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Penerbit Insan Cendekia Surabaya. Wasistiono,
Sadu (2003) Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah.Penerbit CV.
Fokusmedia Bandung.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
323
Mewujudkan Governance Networks melalui Program The Sunan Giri Award di Kabupaten Gresik
Muhammad Farid Ma‟ruf, Tauran, Yuni Siti Aisah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya, Indonesia Tel: +62-8113400513 E-mail: [email protected]
Abstrak: Governance networks merupakan salah satu pendekatan untuk memahami kerjasama antara lembaga pemerintah dengan lembaga di luar dirinya dalam rangka meningkatkan kualitas kebijakan dan pelayanan publik. Tujuan kajian ini adalah untuk menjelaskan relasi yang terjalin antar para pelaku network dalam praktek governance pada kegiatan The Sunan Giri Awards (SGA), di kabupaten Gresik. SGA merupakan sebuah kegiatan kolaboratif antara pemkab Gresik dengan LSM lokal untuk meningkatkan kualitas pelayanan desa. Dalam konsep governance networks, untuk memastikan apakah sebuah network berfungsi dengan baik, beberapa variabel perlu menjadi perhatian yaitu modal, model ikatan, perangkat kebijakan, strategi administratif, struktur akuntablitas dan sistem manajemen kinerja. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh dari sumber primer yaitu Pemkab Gresik, Staf Sunan Gresik Foundation, dan aparatur desa penerima award melalui wawancara dan observasi. Sumber sekunder diperoleh dari studi literatur dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek governance dalam The Sunan Giri Award (SGA) di kabupaten Gresik cukup berhasil
meningkatkan kualitas pelayanan publik di tingkat desa. Keberhasilan tersebut
ditentukan oleh network yang berfungsi dengan baik, yang ditunjukkan pada 1) variabel modal, para aktor yang terlibat memiliki modal yang memadai untuk berkontribusi network. 2) variabel model ikatan, formasi relasi diantara kedua belah pihak adalah partnership, 3) variabel perangkat kebijakan, peraturan yang mendasari kedua pihak melakukan aktivitas bersama cukup kuat. 4) variabel sistem manajemen kinerja, terdapat mekanisme monitoring terhadap kinerja kedua belah pihak. Category: local governance Keywords: governance, networks, relasi
PENDAHULUAN Dalam dua dekade terkahir, kajian manajemen pemerintahan telah mengalami banyak pergeseran. Kajian manajemen pemerintahan tidak lagi berorientasi pada aspek pemerintah (government) akan tetapi telah
324
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
beralih pada aspek tata kepemerintahan (governance). Konsep governance memberikan prospek bahwa rakyat akan dapat lebih proaktif terhadap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini pendekatan Government melihat pada struktur formal pemerintahan yang hierarkis, sedangkan governance melihat dinamika politik dan pemerintahan pada arena yang luas dan berkarakter horizontal (Sorensen, 2002 dalam Lay dan Masudi, 2005:227). Meskipun model organisasi pemerintah yang hierarkis masih terus berlanjut, namun telah muncul kecenderungan tata kelola pemerintahan yang lebih fleksibel dengan melibatkan aktor-aktor di luar pemerintah dalam menyeleaikan permasalahan publik. Situasi ini secara berangsur mendorong munculnya model-model pemerintahan baru dimana tanggung jawab utama eksekutif tidak lagi berpusat pada mengelola masyarakat dan program-program tetapi pada pengorganisasian sumber daya, menyertakan orang lain untuk menghasilkan nilai publik. Goldsmith dan Eggers (2004) mengutip pendapat Salamon bahwa: "Apa yang ada dalam sebagian besar ranah kebijakan adalah padatnya mosaik alat kebijakan, banyak dari mereka menempatkan lembaga-lembaga publik pada hubungan yang kompleks, saling tergantung dengan sejumlah mitra pihak ketiga‖. Dalam konteks ini, isntitusi pemerintah diposisikan sebagai generator nilai publik dalam jaringan hubungan multiorganizational, multigovernmental, dan multisektoral. Situasi ini menunjukkan bagaimana administrasi publik bekerja di era network. Situasi ini dapat digambarkan sebagai model jejaring atau governing by network atau governance networks. Network dapat melayani berbagai tujuan, seperti membuat pasar ide-ide baru dalam birokrasi atau membina kerja sama diantara aktor sektor publik. Inisiatif sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan umum, dengan tujuan kinerja yang terukur, tanggung jawab barada pada masing-masing mitra, dan arus informasi yang terstruktur. Tujuan utama dari upaya ini adalah untuk menghasilkan nilai publik maksimum yang memungkinkan lebih besar daripada jumlah yang dapat dicapai oleh masing-masing pemain tunggal tanpa kolaborasi (Goldsmith and Eggers, 2004:8). Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa berbagai model-model governance mampu memberikan kontribusi positif pada peningkatan nilai-nilai publik. Pemerintahan lokal memiliki peluang untuk bermitra dengan aktor diluar pemerintah. Beberapa kajian terhadap praktek governance diantaranya kajian terhadap Kartika Soekarno Foundation (KSF) yang merupakan sebuah organisasi non pemerintahan yang pernah melakukan program kerjanya di Kabupaten Gresik. KSF memberikan bantuan merevitalisasi posyandu di beberapa desa di Kabupaten Gresik. KSF berhasil merevitalisasi 18 posyandu di Kabupaten Gresik. KSF juga melakukan binaan terhadap posyandu-posyandu mengenai kesehatan anak dan ibu hamil. Kajian lain dilakukan oleh Andrianus Resi (2009) yaitu tentang Interaksi Birokrasi Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Pembangunan pada pemberdayaan masyarakat pesisir di Muncar, Banyuwangi mengungkapkan bahwa LPIP sebagai NGO dapat menangani beberapa konflik dengan menawarkan pendekatan yang berbeda, yaitu memakai strategi pendekatan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dengan melibatkan tokoh masyarakat, birokrasi, pengusaha sebagai mediator. Hubungan kerjasama antara Pemerintah Daerah Banyuwangi dengan LPIP telah berjalan dengan mencapai hasil yang relatif memuaskan dalam memberdayakan masyarakat pesisir.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
325
Kekuatan model governance juga ditunjukkan oleh Nike Qisthiarini (2012) dalam kajiannya tentang NGO dan Suatainable Development: Peran Wetlands International – Indonesia Programme dalam merehabilitasi ekosistem pesisir dan mengembangkan mata pencaharian di Aceh – Nias. Qisthiarini mendeskripsikan peran NGO dalam upaya rehabilitasi ekosistem pesisir dengan menggabungkan upaya pemberdayaan ekonomi melalui proyek Green Coast. Proyek tersebut diimplementasikan melalui kerjasama dengan pemerintah daerah setempat. Dan setelah beberapa tahun, trend positif terus berlanjut, rehabilitasi ekosistem pesisir telah memperoleh hasil yang memuaskan. Beberapa kajian diatas, mengindikasikan bahwa kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dan mitranya memberikan hasil positif terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Keterlibatan aktor diluar pemerintah, dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah dalam menanggulangi permasalahan publik. Praktek governance juga dikembangkan di Kabupaten Gresik. Bersama dengan organisasi nonpemerintah/ NGO, Pemerintah Kabupaten Gresik mengembangkan sebuah program inovatif perihal pelayanan adminsitratif tingkat desa. Program tersebut adalah ―The Sunan Giri Awards‖ (SGA). Tujuan dari program tersebut adalah untuk meningkatkan pelayanan publik tingkat desa. Didesain berbentuk ajang penghargaan bagi desa atau kelurahan yang memiliki tingkat kualitas pelayanan publik terbaik. Desa atau kelurahan yang memiliki inisiatif, kreatifitas, dan mempraktekkan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik dikompetisikan. Bagi mereka yang memenangkan kompetisi akan diberikan penghargaan yakni, ―The Sunan giri Awards‖. Aktor yang terlibat dalam kegiatan SGA ini adalah pemkab Gresik, NGO Sunan Giri Foundation (SAGAF), dan pemerintah desa. Program SGA telah berlangsung empat tahun dan membawa tren positif bagi peningkatan kualitas layanan publik di tingkat desa. Pemerintah desa yang berhasil menjadi nominasi menunjukkan tren positif dalam inovasi dan kualitas pelayanan. Pembinaan yang dilakukan juga membawa pengaruh positif terhadap kualitas sumber daya aparatur desa. Berdasarkan uraian tersebut diatas, kajian ini akan menganalisis relasi antara para aktor yang terlibat dalam kegiatan The Sunan giri Awards (SGA) di Kabupaten Gresik. Kajian ini dainggap penting karena praktek governance yang dikembangkan dalam SGA dianggap mampu membawa perbaikan pada kualitas pelayanan desa. Tujuan dari kajian ini adalah ingin menganalisis beberapa variabel governance yang dikembangkan dalam SGA berdasarkan perspektif governance network.
GOVERNANCE NETWORK Salah satu perkembangan terpopuler belakangan ini adalah beralihnya orientasi pemerintahan dari government menuju governance. Hal penting dalam terminologi governance adalah keterlibatan sektor lain diluar pemerintahan untuk ikut menanggulangi permasalahan publik dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik serta meningkatkan nilai publik atau di kenal dengan Konsep Governance Networks. Governance Networks merupakan model pemerintahan yang merujuk pada sifat horizontal dan keseteraan dalam negosiasi regulasi yang mengatur hubungan bersama oleh lebih dari satu aktor yang berinterdependensi satu sama lain dan berkemampuan untuk self-organizing atau self governing dalam mewujudkan tujuan publik bersama. Ketika relasi antarpartisipan network yang terjalin berjalan dengan baik dapat membuat governance networks berjalan dengan baik pula. Lebih lanjut, (Pollit, 2011:23), menyatakan bahwa beberapa variasi governance bertahan pada pendekatan network dan cenderung menekankan tatanan horizontal daripada vertikal, dengan mekanisme koordinasi adalah networks of, dan kerjasama antara para stakeholder. Selanjutnya, Pollit juga memaparkan
326
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
bahwa network adalah model diluar hierarki atau pasar yang memungkinkan pemerintah menjadi lebih baik dan fleksibel dengan “self organizing” sebagai konsepsi governance networks. Senada dengan Pollit, Rhodes (1996) dalam Osborne (2010:97) mengemukakan bahwa pada akhirnya governance merujuk pada mengorganisir diri, inter-organizational networks. Pemerintahan dalam definisi network dapat menangkap semua perilaku yang melibatkan apa yang sebelumnya dikenal sebagai pemerintahan. Merupakan sebuah bentuk baru organisasi, jalan ketiga diluar pasar dan hierarki. Osborne juga menjelaskan bahwa kemungkinan melibatkan aktor lain diluar pemerintahan. “In networked government, the public‟s work is paid for by the government even thought it is performed by people who do not work for the government (Kamarck, 2002 dalam Osborne, 2010:98). Despite the view of some who persist in seeing networks as a weakening of the state, networked government can also be looked at as a different way of implementing the goals of the state” (Kamarck, 2002 dalam Osborne, 2010:99). Berdasarkan paparan tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa governance dapat menitikberatkan networks sebagai obyek analisis. Karakteristik Networks sebagai governance atau sebaliknya menurut Rhodes (dalam Osborne, 2010:98 dan dalam Koliba, 2011:54) memiliki beberapa penanda, antar lain: 1.
Kesalingtergantungan antarorganisasi yang mencakup aktor bukan negara seperti privat dan voluntary.
2.
Interaksi yang kontinyu antaranggota networks yang disebabkan oleh kebutuhan akan sumber daya atau pertukaran sumber daya serta negosiasi dalam menyusun tujuan bersama.
3.
Interaksi diantara para aktor layaknya game, yang berakar dari kepercayaan dan diatur oleh aturan main yang dinegosiasi, disepakati, dan disetujui para partisipan dalam network tersebut.
4.
networks sebagai institusional setting relatif otonom (self organizing) karena tidak bertanggung jawab kepada negara. Namun, negara secara tak langsung dapat saja mengendalikan networks Martinez (2011:5-6) mengungkapkan karakteristik yang berbeda. Ia mengemukakan karakteristik
Governnace Networks dalam tujuh poin. 1.
Interdependency of actors (interdependensi antar aktor) Aktor yang terlibat dalam sebuah network terkait satu dengan yang lainnya membentuk suatu pola relasi yang disepakati demi tujuan bersama. Keterkaitan yang terjadi diantara para aktor tidak berarti kekuasaan yang sama dapat dimiliki oleh seluruh aktor. Para aktor dalam governance networks bergantung pada sumber daya dan kapasitasnya, akan tetapi mereka dapat beroperasi secara independen.
2.
The necessity of exchange for resources (pertukaran sumber daya) Keperluan pertukaran sumber daya organisasi adalah penggerak utama pada interaksi diantara para aktor. Networks diciptakan oleh organisasi yang ingin dan membutuhkan pertukaran sumber daya (contohnya uang, informasi, dan perusahaan) untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dan menghindari ketergantungan terhadap aktor lain.
3.
The interactions (interaksi)
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
327
Para aktor yang betpartisipasi dalam network seringkali bernegosiasi untuk berbagi tujuan layaknya game. Interaksi tersebut berdasarkan atas kepercayaan dan peraturan yang disetujui para partisipan yang terlibat. Hal tersebut krusial bahwa proses perundingan disahkan pada proses yang sangat hati-hati agar tercipta pemahaman dan kepercayaan. 4.
Degree of autonomy (tingkat keleluasaan/mandiri). Governance Networks memiliki tingkat keleluasaan dari negara dan tidak secara langsung bertangungjawab terhadap negara karena Governance Networks mengacu pada self-organizing dan selfregulating. Networks dapat mengambil keputusan sendiri berdasarkan peraturan yang telah disepakati.
5.
Production of a public purpose (menentukan tujuan publik) Governance Network berkontribusi untuk menentukan tujuan publik diantaranya mengatur visi misi, nilai, perencanaan, kebijakan, dan tindakan.
6.
Relatively institutionalized framework (framework yang dilembagakan secara relatif) Terjadinya interaksi adalah framework dari Governance Networks. Kerangka kerja institusional dibangun oleh pola interaksi para aktor dan kondisi serta pemandu bagi interaksi dimasa depan.
7.
Diversity of the actors (variasi para aktor) Melibatkan lebih dari satu aktor. Aktor tersebut bisa termasuk sektor publik, swasta, atau masyarakat. Dalam hal ini relasi yang terjadi antara Pemkab Gresik dan SAGAF dalam penyelenggaraan SGA
cukup merepresentasikan karakteristik governance networks. Kedua belah pihak merupakan organisasi yang mampu berdiri sendiri dan mengorganisir diri, kemudian bekerja bersama dalam kerangka kerja yang telah dinegosiasikan secara lebih horizontal dan setara. Terjadi interdependensi diantara kedua belah pihak akan kelangsungan program SGA. Dimana kedua belah pihak bernegosiasi menentukan tujuan publik bersama serta regulasi yang menjadi acuan dalam bertindak, yang mana pembagian kekuasaan dan kerangka kerja juga ditentukan secara bersama. Interaksi secara kontinyu dalam keseluruhan pelaksanaan program serta bertukar sumber daya sesuai kebutuhan dalam penyelenggaraan program. Karakteristik yang diungkapkan menerangkan bahwa relasi yang terjadi antara Pemerintah kabupaten Gresik dan SAGAF dalam SGA merupakan representasi sebuah governance network. Seperti yang dinyatakan Martinez (2011:1) bahwa dalam perspektif Governance Networks, Governance Networks merupakan pijakan yang tepat untuk (kolaborasi) program-program inonatif atau bersifat invensi dalam sektor publik. Maka SGA merupakan upaya inovatif dalam menanggulangi permasalahan publik yang terjadi. Merangsang pemerintahan desa untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik melalui kompetisi. Selanjutnya, untuk memastikan apakah sebuah network berfungsi dengan baik. Koliba (2011:289) mengungkapkan beberapa variabel yang perlu menjadi perhatian yaitu modal / sumber daya, model ikatan, perangkat kebijakan, strategi administratif, struktur akuntablitas dan sistem manajemen kinerja.
METODE KAJIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif merujuk pada obyek alamiah dengan tidak membuat perlakuan dan menumpulkan data berdasarkan pandangan sumber data sesuai dengan metode naturalistik.
328
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Mengacu pada tujuan dan tingkat kealamiahan, sasaran kajian adalah gejala-gejala sebagai saling terkait satu sama lainnya dalam hubungan-hubungan fungsional dan yang keseluruhannya merupakan sebuah satuan yang bulat dan menyeluruh, dan holistik atau sistemik (Patilima, dalam Sugiyono 2011:5).
Penyajian analisis
penelitian ini mendeskripsikan relasi antara para pelaku governance dalam perspektif network berdasarkan variabel yang dikemukakan oleh Koliba (2011:289). Beberapa variabel yang menjadi perhatian yang meliputi modal, model ikatan, perangkat kebijakan, strategi administratif, struktur akuntabilitas, dan sistem manajemen kinerja. Sumber data penelitian diperoleh dari sumber primer yaitu Pemkab Gresik, Staf Sunan Gresik Foundation, dan aparatur desa penerima award melalui wawancara dan observasi. Sumber data sekunder diperoleh dari studi literatur dan dokumentasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penyelenggaannya Sunan Giri Award (SGA) merujuk apa yang dinyatakan Koliba (2011:60) bahwa governance networks didefinisikan sebagai pola yang relatif stabil atas tindakan terkoordinasi dan pertukaran sumber daya; melibatkan aktor kebijakan lintas skala sosial yang berbeda, yang diambil dari publik, swasta, atau sektor nirlaba; yang berinteraksi melalui berbagai kompetisi, komando dan kontrol, kooperatif, dan aturan yang dinegosiasikan; untuk tujuan berlabuh dalam satu atau lebih aspek dari aliran kebijakan. Maka SGA merupakan salah satu potret fenomena yang dapat dilihat dari perspektif Governance Networks. Koliba (2011:289) memaparkan pengetahuan struktural untuk membantu memahami Governance Networks melalui beberapa variabel yang dapat menjelaskan relasi antaraktor untuk membuat sebuah network. Variabel tersebut adalah (1) modal, (2) model ikatan, (3) perangkat kebijakan, (4) strategi administratif, (5) struktur akuntabilitas, (6) sistem manajemen kinerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel governance networks mampu mereperentasikan relasi yang terjalin antara Pemerintah Kabupaten Gresik dan The Sunan Giri Foundation (SAGAF) dalam penyelenggaraan the Sunan Giri Awards (SGA). Variabel modal menjelaskan kemampuan kedua belah pihak untuk dapat berkontribusi menyertakan partisipasinya dalam network. modal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan aktor untuk dapat berkontribusi menyertakan partisipasinya dalam sebuah network SAGAF sebagai foundation yang berbasis research memiliki kapasitas yang mumpuni dalam bidang intelektual dan ilmu pengetahuan. Dalam menyampaikan gagasan, mereka menyertakan desain dan gambaran pelaksanaannya kepada Pemerintah Kabupaten Gresik. Pemerintah Kabupaten Gresik berkontribusi pada aspek modal materi, dimana Pemkab Gresik menanggung pendanaan SGA sepenuhnya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Gresik. Selain itu Pemerintah Kabupaten Gresik memiliki kewenangan legalitas yang dapat membuat penyelenggaraan SGA terstruktur melembaga, serta tepat sasaran. Masing-masing aktor dalam network memiliki modal mereka sendiri, dimana modal tersebut merupakan landasan bagi kemampuan mereka untuk berpartisipasi (Koliba, 2011:84). Setiap anggota/partisipan dari sebuah relasi Governance Network, baik dalam level organisasi, kelompok, maupun individu membawa modal untuk keterlibatannya. Network membuat ikatan sosial yang terbentuk antara dua nodes (pastisipan) atau lebih bertukar sumber daya dan terlibat dalam aksi kolektif. Misalnya, dalam perjanjian hibah dan kontrak, pemerintah sebagai lead organization akan membawa modal financial ke dalam network. Agen yang mendapatkan kotrak akan membawa beberapa kombinasi modal seperti modal human, knowledge, physical, social, dan culture capital ke dalam network (Koliba, 2011:84).
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
329
Variabel model ikatan menjelaskan relasi yang terjalin melalui sebuah negosiasi untuk berjejaring dalam sebuah program yaitu SGA dimana kedua belah pihak akan bekerja bersama. Governance networks memiliki kedudukan fungsi dalam masing-masing bentuknya. Kedudukan fungsi tersebut merupakan kedudukan fungsi governance network dalam fase proses kebijakan. Berikut adalah macam kedudukan fungsi governance networks dalam fase proses kebijakan yang diadaptasi dari Bovaird, International Review of Administrative Science, 71, 217-228, 2005 (Koliba, 2011:122). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diidentifikasi bahwa formasi relasi diantara kedua belah pihak adalah formasi partnership dimana kedua belah pihak merupakan mitra kerja. Dalam pelaksanaan kegiatan, dalam hal ini penilaian SGA tidak ada intervensi antara SAGAF sebagai lembaga swasta dengan pemerintah Kabupaten Gresik. Baik Pemerintah Kabupaten Gresik maupun SAGAF, memiliki kebebasan dalam melakukan penilaian sesuai dengan mekanisme penilaian masingmasing. Penentuan nilai juga tergantung pada penilaian yang dilakukan masing-masing pihak tanpa adanya intervensi dari pihak lain. Variabel perangkat kebijakan menjelaskan peraturan yang mendasari kedua belah pihak melakukan aktivitas kerja sesuai dengan fungsi kedudukan tertentu dalam kebijakan yang bersangkutan. Pemilihan perangkat kebijakan dapat menjadi outcome governance network. Network yang memiliki kedudukan fungsi pada fase pra kebijakan, berfungsi untuk mempengaruhi penentuan rancangan dari perangkat kebijakan, yang berkontribusi pada struktur politik sebagai relasi intersektoral (Koliba, 2011:132). Kegiatan yang dilakukan SAGAF merujuk pada UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang: Pelayanan Publik, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 7 Tahun 2010 tentang: Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 38 Tahun 2012 tentang: Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik. Dasar kebijakan tersebut kemudian dikembangkan menjadi instrumen penilaian mengenai indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik desa dengan berbagai indicator yang bersangkutan. Pemerintah Kabupaten Gresik melaksanakan kegiatan tersebut berdasarkan Keputusan Bupati Gresik nomor 065 tahun 2014 tentang penyelenggaraan The Sunan Giri Award. Variabel Strategi Administratif, Yang dimaksud dengan strategi administratif dalam penelitian ini adalah koordinasi para aktor untuk dapat mengakses berbagai alat administratif dan strategi yang terdapat pada network. Dalam perkembangannya, baik paradigma PA maupun NPM serta collaborative public management berkontribusi untuk penentuan strategi administratif koordinasi governance networks. Paradigma sebelumnya, berkombinasi membentuk sebuah kerangka baru dalam governance network management (Koliba, 2011:190). Koliba merancang gagasan strategi koordinasi tersebut dalam konteks pengelolahan jaringan pemerintahan melalui paradigma dan teori yang terdapat dalam administrasi publik yang menitikberatkan interdependensi. Melalui interdependensi, network mengkoordinasikan strategi para aktor dengan tujuan dan preferensi yang berbeda berkaitan dengan masalah atau ukuran kebijakan tertentu yang ada dalam relasi antaorganisasi network (Klijn, dan Koppenjan 1997 dalam Koliba, 2011:196). Strategi Administratif dalam penelitian program SGA dilaksanakan memalui: a). Pengawasan dan Mandat; Penilaian dilakukan melalui tim penilai yang terdiri dari tim penilai Pemerintah Kabupaten Gresik dan tim penilai SAGAF. Kedua tim penilai memiliki ranah kerja masing-masing dan tidak saling mengintervensi. Penyediaan Sumber Daya; Seluruh keperluan untuk melakukan survey dan penilaian dipersiapkan oleh kedua belah pihak masing-masing. Jadwal keberangkatan survey ditentukan dengan desa mana yang dituju, b). Negosiasi dan Tawar-Menawar; Dalam pelaksanaan survey dilakukan diskusi dengan kedua belah pihak yang bekerjasama, yakni Pemerintah Kabupaten Gresik dan
330
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
SAGAF. Negoisasi mendiskusikan mengenai alur dan mekanisme survey yang akan dilakukan, penentuan obyek sasaran, kriteria survey, alur dan mekanisme survey, berapa jumlah obyek sasaran, bobot penilaian, dan berbagai kemungkinan yang terjadi di lapangan. Dengan demikian kedua belah pihak mengetahui gambaran survey yang akan dilakukan dan menguatkan kepercayaan kedua belah pihak dalam kerjasama tersebut, c). Fasilitasi; Hasil wawancara dengan narasumber menunjukan bahwa faslitasi pemerintah daerah kabupaten Gresik dalam program ini diwujudkan dalam penyediaan dan akses data dan informasi yang dibutuhkan. Semua hal tersebut pada akhirnya menjadi sarana menyatukan hasil penilaian untuk menentukan pemennag SGA, d). Partisipasi Masyarakat; untuk mendukung partisipasi, pemerintah Kabupaten Gresik memberikan kesempatan kepada kecamatan untuk mengirimkan desa/kelurahan yang memenuhi syarat administrative untuk diusulkan untuk mengikuti kompetisi SGA. Pemerintah Kabupaten Gresik akan menentukan desa terpilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Seleksi administratif awal berupa penyertaan dokumen-dokumen seperti RPJMDes, perdes, surat-menyurat, rekapitulasi data pengaduan, dan laporan keuangan termasuk Alokasi Dana Desa (ADD). Kemudian ditentukan desa-desa yang memiliki dokumen administratsi terbaik untuk menjadi nominator SGA dan, e). Sistem berpikir; Pemerintah Kabupaten Gresik mapun pihak SAGAF memiliki visi untuk terus mengembangkan SGA. Konsep berpikir dalam Program inovatif tersebut berkemungkinan untuk direplika secara nasional, hal tersebut terlihat ketika Bupati Gresik berkesempatan untuk mempresentasikan keberhasilan SGA sebagai program inovatif ikon pelayanan publik tingkat desa di hadapan kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara. Variabel struktur akuntabilitas menjelaskan pertanggungjawaban kedua belah pihak akan kinerja mereka dalam netwok kepada network maupun otoritas yang lebih tinggi dari kedua belah pihak. Seperti yang dinyatakan Koliba (2011:196) bahwa gagasan strategi koordinasi menitikberatkan interdependensi, maka penyelenggaraan SGA dapat mengidentifikasi interdependensi anataraktor dalam network untuk berkoordinasi sesuai dengan strategi administratif sehingga akuntabilitas demokratik dan administratif tetap berada pada konfigurasi Governance Networks. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa aktor berkoordinasi secara optimal untuk dapat mengakses berbagai alat administratif dan strategi yang terdapat dalam network. Kedua belah pihak terlibat dan dapat mengakses seluruh informasi dan kewenangan yang diberikan pada masing-masing pihak tanpa adanya intervensi. Sehingga network dapat berjalan dengan baik. Kedua belah pihak bersama-sama mensukseskan penyelenggaraan SGA hingga tercapainya tujuan utama yakni peningkatan kualiats pelayanan publik tingkat desa terlihat hasilnya. Variabel sistem manajemen kinerja menjelaskan monitoring terhadap kinerja kedua belah pihak dalam network pada keseluruhan rangkaian program. Manajemen kinerja adalah penunjang sebuah network untuk dapat memastikan bahwa keseluruhan program berjalan dengan baik. Seperti yang dinyatakan Koliba (2011:266) analisis terhadap komponen sistem manajemen kinerja harus digunakan oleh para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan untuk memandu tindakan kolektif. Maka penyelenggaraan SGA juga tidak terlepas dari sistem manajemen kinerja para partisipan network dalam memastikan bahwa keseluruhan rangkaian program SGA terselenggara dengan baik. SGA merupakan program dimana jalinan relasi antara Pemkab Gresik dan SAGAF telah terjalin. Bagaiamana memaksimalkan relasi tersebut agar terintregrasi positif dan mendapatkan hasil maksimal. Memerlukan variabel-variabel tertentu yang menjadi perhatian dimana variabel-variabel tersebut dapat merepresentasikan bagaimana relasi jaringan dalam governance networks dapat berfungsi dan bekerja dengan baik. Koliba mengemukakan serangkaian pengetahuan struktural yang dapat
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
331
menjadi pemandu untuk memahami governance networks, dimana variabel yang dikemukakan berisikan tentang komponen perencanaan yang dapat menjelaskan proses negosiasi antaraktor serta ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang dapat menjelaskan integrasi antaraktor. Bukan hanya itu, akuntabilitas terhadap realisasi dari perencanaan yang telah disepakati bersama menambahkan luasnya deskripsi terhadap relasi yang terjalin. Oleh sebab itu, penulis menggunakan poin pertama dari pengetahuan struktural yang dikemukakan oleh Koliba sebagai pisau analisis untuk menelaah relasi yang terjalin antara Pemkab Gresik dan SAGAF dalam program SGA. Kejelasan tujuan merupakan komponen penting untuk dapat memastikan program akan terarah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada penyelenggaraan SGA, kedua belah pihak baik Pemerintah Kabupaten Gresik dan SAGAF menetapkan arah tujuan akhir pada peningkatan kualitas pelayanan publik di tingkat desa. Sehingga alur kerja network dalam penyelenggaran SGA adalah untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan bersama. Komponen kedua adalah standar kerja, hasil penelitian ini menujukan bahwa Kedua belah pihak bebas melaksanakan pekerjaan tanpa harus ada intervensi dari pihak lain. Keduanya menyelenggarakan penilaian sendiri sesuai dengan standar kerja dan mekanisme masing-masing. Komponen Manajemen kerja yang ketiga adalah Ketersediaan dan aksesibilitas data. Walaupun partisipan bekerja berdasarkan mekanisme masing-masing tanpa adanya intervensi pihak lain, data dan aliran informasi harus tersedia dan dapat diakses oleh seluruh partisipan network. Dalam penyelenggaraan SGA, baik Pemerintah Kabupaten Gresik maupun SAGAF dapat mengakses segala informasi dan data yang terdapat sekitar kebutuhan penyelenggaraan SGA. Rapat koordinasi yang dilakukan selama penyelenggaraan SGA termasuk pembicaraan yang tidak terstruktur. Pola kerja tersebut memastikan ketersediaan data serta aksesibilitasnya untuk seluruh partisipan network. Temuan-temuan di lapangan juga diinformasikan sebagai bahan feedback bagi pemerintah desa melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
KESIMPULAN Temuan di lapangan menunjukkan bahwa praktek governance dalam The Sunan Giri Award (SGA) di kabupaten Gresik cukup berhasil mencapai tujuannya yaitu meningkatkan kualitas pelayanan publik di tingkat desa. Keberhasilan tersebut ditentukan oleh network yang berfungsi dengan baik, yang ditunjukkan oleh adanya variabel modal, model ikatan, perangkat kebijakan, strategi administratif, struktur akuntablitas dan sistem manajemen kinerja yang memadai. Relasi yang terjalin antara Pemerintah Kabupaten Gresik dan SAGAF dalam penyelenggaraan SGA menggunakan perspektif Governance Networks. a.
Variabel modal, masing-masing pihak memiliki modal yang menjadi kebutuhan network. Modal tersebut dapat memenuhi kebutuhan untuk dibentuknya network dan menjalankan kerja network sesuai dengan orientasi pencapaian tujuan. Modal yang dimiliki masing-masing disatukan dalam kemampuan network untuk mencapai tujuan. Penggabungan modal dalam network dapat meningkatkan nilai maksimum ketercapaian tujuan dibandingkan dengan masing-masing pihak bekerja sendiri menggunakan modal yang dimilikinya sendiri.
b.
Variabel Model Ikatan, model ikatan yang terbentuk terstruktur berdasarkan kontrak perjanjian dan menempatkan Pemerintah Kabupaten Gresik sebagai pihak yang mengambil alih pimpinan network (lead organization). Network berkedudukan sebagai implementasi pelayanan publik dimana network
332
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik. Hal tersebut memunculkan formasi partnership dalam relasi keduanya, dimana kedua belah pihak adalah mitra kerja yang bebas melakukan pekerjannya tanpa intervensi, akan tetapi sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak perjanjian. c.
Variabel Perangkat Kabijakan, kontrak perjanjian dan keputusan Bupati merupakan input dalam network yang menjadi dasar bagi kedua belah pihak melakukan pekerjaannya. Perangkat kebijakan tersebut menentukan bagaimana kewenangan di distribusikan, dan pada saat tertentu, bagaimana sumber daya di distribusikan. Perangkat kebijakan yang digunakan kedua belah pihak untuk menjadi acuan dalam melakukan pekerjaan merupakan outcome yang dihasilkan dari Governance Networks yang terbentuk.
d.
Variabel Strategi Administratif, kedua belah pihak berkoordinasi optimal untuk terlibat dan dapat mengakses seluruh informasi dan kewenangan yang diberikan pada masing-masing pihak tanpa adanya intervensi. Interdependensi kedua belah pihak untuk berkoordinasi sesuai dengan strategi adminsitratif dimanfaatkan secara optimal.
e.
VariabelAkuntabilitas, pertanggungjawaban berupa laporan akhir kepada network dan otoritas yang lebih tinggi dari kedua belah pihak sesuai dengan ketentuan kontrak perjanjian. Laporan tersebut juga dapat menjadi bahan penguat kepercayaan dan daya tahan relasi network yang terjalin untuk memperbaiki relasi network kedepannya.
f.
Variabel Sistem Manajemen Kinerja, kedua belah pihak melakukan manajemen kerja yang terstruktur sistematis dalam memastikan bahwa keseluruhan rangkaian program network, yakni SGA terselenggara dengan baik. Alur kerja menjadi terarah sesuai dengan orientasi pencapaian tujuan. Dari apa yang dikemukakan, relasi kedua aktor dalam penyelenggaraan SGA merepresentasikan relasi dalam Governance Networks. Dimana Governance Networks sendiri merupakan model pemerintahan yang merujuk pada sifat horizontal dan kesetaraan dalam negosiasi regulasi yang mengatur hubungan bersama oleh lebih dari satu aktor yang berinterdependensi satu sama lain dan berkemampuan untuk self-organizing atau self-governing dalam mewujudkan tujuan publik bersama. relasi tersebut berjalan dengan baik, sehingga network berjalan dengan baik. dan pada akhirnya, Governance Networks dapat diterapkan dan berhasil mencapai tujuan. Berdasarkan beberapa temuan kelemahan terhadap kegiatan tersebut, peneliti merekomendasikan beberapa masukan bagi praktisi network yang terlibat dalam penyelenggaraan SGA :
1.
Variabel Perangkat Kebijakan, penyelenggaraan SGA dilembagakan secara tetap dalam produk kebijakan di level pemerintahan daerah. Untuk mendukung kebijakan perlu menyertakan instrumen yang dipakai, hasil kolaborasi dan modifikasi antara Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 38 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik menjadi sebuah instrument penilaian baru yang akhirnya dipakai dalam melaksankaan penilaian. Agar mempermudah penilaian di lapangan.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
333
2.
Pada Variabel struktur akuntabilitas, Penyusunan laporan kegiatan perlu dibuat lebih rinci untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan hambatan-hambatan tertentu dalam penyelenggaraan kegiatan SGA.
DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan. 2009. Peenlitian kualitatif: komunikasi, ekonomi, kebijakan publik, dan ilmu social lainnya. Jakarta: Kencana Borgatti, Stephen P. and Halgin, Daniel S. 2011. ―On Network Theory‖. Organization Science Article in Advance, pp. 1-14 ISSN 1047-7039 EISSN 1526-5455 Chalik, Abdul dan SAGAF. 2015. Pelayanan Publik Tingkat Desa. Perubahan dan Pengalaman Desa-desa di Kabupaten Gresik. Gresik: SAGAF dan Bagian Ortala Setda Kabupaten Gresik Donaldson, Thomas dan Lee E. Preston. 1995. ―The Stakeholder Theory of The Corporation: Concepts, Evidence, and Implications. The Academy of Management Review, Vol.20, No. 1, pp. 65-91 Frederickson, H. George. 1997. The Spirit of Public Administration. California:Jossey-Bass Goldsmith, Stephen and Eggers, William D. 2004. Governing by Network. Washington DC: Brookings Institusion Press Gustia, Anindia. 2014. Pola Relasi Kuasa antara Negara, NGO, dan Masyarakat dalam Pos Pemberdayaan Keluarga (posdaya) untuk Mengatasi Kemiskinan. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universistas Gajah Mada. Katz, Nancy. 2004. ―Network Theory and Small Groups‖. Small Group Research, Vol. 35 No. 3, june 2004 p. 307-332 oleh Sage Publication Keast, Robyn and Mandell, Myrna and Brown, Kerry and Woolcock, Geoffery. 2004 ―Network Structures: Working Differently And Changing Expectations‖. Public Administration Review 64(3):pp. 363-371. Klijn, EH. 1999. ―Policy Networks; An Overview‖ dalam Kickert and Koppenjan (ed) Managing Complex Network; Strategies for Public Sector: A theoretical study of Managemnt strategies in policy network. Public Administration volume 73, Issue 3, pages 437-454, September 1995
334
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Koliba, Christopher; Jack W. Meek; Asim Zia. 2011. Governnace Networks in Public Administration and Public Policy. Boca Raton (USA): CRC press Nike Qisthiarini, Nike. 2012. NGO dan Suatainable Development: Peran Wetlands International – Indonesia Programme dalam Merehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Mengembangkan Mata Pencaharian di Aceh – Nias tahun 2005-2009 (Proyek Green Coast). Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Indonesia Keputusan Bupati Gresik nomor 065 tahun 2011 tentang pembentukan tim fasilitasi The Sunan Giri Awards Lay, Cornelis dan Maudi, Wawan. 2005. ―Perkembangan Kajian Ilmu Pemerintahan‖. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 9, Nomor 2, November 2005 (225-240) Laporan Akhir Kegiatan Kompetisi Pelayanan Publik oleh Bagian Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat Daerah Kabupaten Gresik tahun 2014 Martinez, Laia. 2011. ―Governance Networks as Collaborative platforms for Innovation in the Public Sector. Network Governnace: Theories, Methods, and practice. RUC October 2011 p. 1-13 Osborne, Stephen P. (ED) 2010. The New Public Governance ?. New York: Routledge Pollit, Christopher and Bonckaert, Geert. 2011. Public Management Reform. New York: Oxford University Press Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Rahardja, Sam‘un Jaja. 2009. ―Paradigma Governance dalam Penerapan Manajemen kebijakan Sektor Publik pada Pengelolahan Sungai‖. Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Volume 16, Nomor 2, Mei-Agustus 2009. Hal 8286 Resi, Andrianus. 2009. ―Interaksi Birokrasi Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Pembangunan pada pemberdayaan masyarakat pesisir di Muncar Banyuwangi‖. Jurnal Wacana Vol. 10 No. 1 Januari 2009 Thoha, 2012. Birokrasi Politik. Jakarta: PT RajaGrafind
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
335
Mewujudkan Administrator Publik Yang Beretika Dalam Perspektif Administrasi Islam Di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau (Studi Kasus Di Kantor Badan Promosi Dan Pelayanan Terpadu)
Afrinaldy Rustam, Rodi Wahyudi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, Jurusan Administrasi Negara Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia Tel: +62-812 769 3278 E-mail: [email protected]
Abstract: All aspects of life have been arranged in the teachings of Islam, including how public administrators ethics when working in government offices. Realising administrator religious is the hardest challenge in the era of bureaucratic reform. Employees who are religious are expected to prevent them from violations of code of ethics and sin. The issue is how the local government efforts in implementing the bureaucratic ethics based on Islamic values in Bengkalis, Riau province, especially in the office of Promotion Board and Integrated Services?. This study was undertaken to examine the behavior of employees of religious observance and its relationship with the mind set of employees in providing services to the public. This research was carried out at the office of Promotion Board and Integrated Services, Bengkalis, Riau Province. The method has been used in this study is distributing questionnaires to 55 employees. The results showed that there was a significant correlation between religious observance with the mind set of employees (r=.424**). Value r positive indicates which means that the higher stages of the religious devotion of employees, the better the mind set of employees in providing services to the public. Conversely the lower stage of religious observance, the employee will be bad mind set of employees in providing services to the public. Key words: bureaucracy, ethics, Islamic, public services. Kategori: Pembangunan Inovasi Pelayanan Publik
PENDAHULUAN Dalam kehidupan bernegara, administrator publik menjadi aktor yang berperan sangat penting dalam penyelenggaraan tugas pemerintah. Pelayan publik memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi pelayanan, fungsi pembangunan dan fungsi pemberdayaan masyarakat, dimana masalah etika pelayan publik menjadi persoalan
336
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
besar dalam usaha mewujudkan pemerintahan yang bersih. Berbagai tindakan penyelewengan yang melanggar etika dapat dijumpai di mana-mana, penyebabnya karena tidak dijalankannya prinsip-prinsip etika dalam penyelenggaraan pemerintahan. Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral yang akan memberikan kesadaran tentang bagaimana manusia mempertangungjawabkan perbuatannya di dunia yang sementara dan di akhirat yang kekal abadi. Untuk administrator publik, etika diperlukan sebagai pedoman dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Ahmad Kilani & Mohd Ismail (2004), kesedaran spiritual keagamaan atau lebih di kenali sebagai keyakinan agama adalah antara faktor penting yang perlu dimiliki oleh seorang individu supaya dapat menghindarkan diri daripada melakukan perkara-perkara yang berdosa. Tujuan hidup yang tidak bertentangan dengan kehendak agama hendaklah dipupuk dengan mendalam dalam diri mereka.Ini karena agama dapat membantu mencapai kejayaan dan kebahagiaan hidup. Suasana hidupnya amalan agama dapat mempengaruhi tingkahlaku dan sikap pegawai pemerintah, apakah ke arah positif atau negatif. Memang, persoalan besar dalam birokrasi pemerintah hari ini adalah akibat dari kurangnya kesedaran agama. Apabila kesedaran agama ini semakin berkurang, maka akan berakibat pada keruntuhan akhlak yang akan melahirkan administrator publik yang melanggar norma agama dan norma masyarakat itu sendiri. Reformasi birokasi dalam rangka mewujudkan tata pemerinatahan yang baik di Indonesia tanpa diiringi oleh kesadaran agama yang dalam konteks Islam disebut dengan kecerdasan tauhid (tauhidic quotiens), akan membawa kerendahan budi dan adab terutama dalam kalangan
pegawai pemerintah. Maka dalam tuntutan
agama, antara pihak yang bertanggungjawab menanamkan nilai agama tersebut adalah pemimpin, ulama dan masyarakat. Apabila di antara unsur-unsur masyarakat tersebut mengabaikan dan tidak peduli pada perilaku dan akhlak pegawai pemerintah, maka dengan sendirinya akan terlahirlah pegawai pemerintah yang bermasalah. Dalam konteks Indonesia dengan mayoritas rakyatnya beragama Islam. Maka salah satu tugas yang terpenting pihak pemerintah pusat dan daerah adalah menghubungkan pegawai pemerintah dengan suatu kesedaran yang mendalamtentang agama mereka. Kesedaran yang mendalam tentang agama adalah bermaksud hubungan simbiosis yang mendalam antara pengetahuan, sikap dan tingkahlaku manusia yang akan membuahkan penyelesaian masalah yang cerdas untuk diri dan persekitarannnya. Sebagaimana yang diketahui, rendahnya kualitas pelayanan publik adalah produk dari mental pegawai pemerintah yang belum baik dan bertambah rusak akibat dari lingkungan kerja yang buruk. Menurut Muhammad Ali al-Hashimi 1997 (dalam Ahmad Kilani & Mohd Ismail 2004) bahwa manusia memerlukan agama untuk dijadikan pegangan hidup untuk memastikan mereka tidak melanggar batas perikemanusiaan, adab serta tatasusila hidup bermasyarakat. Maju mundurnya suatu bangsa sangat tergantung pada baik buruknya pelaksanaan adminsitrasi negara.Baik buruknya pelaksanaan adminsitrasi negara amat bergantung pada kualitas kerja pegawai pemerintah dan tidak ada perkarapada abad modern sekarang ini yang lebih penting daripada memperbaiki pelaksanaan adminsitrasiNegara oleh administrator publik. Kelangsungan hidup pemerintahan yang beradab dan malahan kelangsungan hidup dari peradaban itu sendiri akan sangat bergantung kepada usaha membina falsafah adminsitrasi yang mampu memecahkan masalah-masalah masayarakat modern (Charles A. Bead, dalam Wirman Syafri Sailiwa 2012). Oleh karena itu, pembangunan suatu negara dan daerah akan berhasil apabila pembangunan itu didukung oleh pegawai yang profesional dan amanah. Hampir seluruh program pembangunan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
337
tidak bisa lepas dari peran pegawai dalam mensukseskannya.Sehubungan itu perbaikan pelayanan publik adalah satu perkara yang tidak bisa dianggap remeh. Buruknya pelayanan publik akan memberikan dampak yang luas dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama. Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau yang kental dengan ciri khas adat dan nilai melayu yang sangat identik dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, kajian ini dijalankan untuk mengetahui bagaimana wujudnya nilai-nilai Islam dalam etika birokrasi di Kabupetan Bengkalis khususnya di Kantor Badan Promosi Dan Pelayanan Terpadu.
PERSOALAN PENELITIAN Isu yang berkaitan kualitas pelayanan publik yang sering muncul dalam perbincangan di peringkat nasional dan daerah adalah sudahkah pihak pegawai pemerintah sebagai pemberi jasa pelayanan
publik
melaksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan standar etika Islam ?. Jadi dalam penelitian ini masalah yang menjadi fokus penelitian adalah, sudahkah pihak pemerintah daerah Kabupaten Bengkalis berusaha menyusun dan melaksanakan program kearah wujudnya perilaku birokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam.
KEPENTINGAN ETIKA BIROKRASI DALAM ISLAM Secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani, yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Etika merupakan usaha mencari ukuran baik-buruknya tingkah laku manusia. Menurut Chandler &Plano (1988), dalam etika terdapat empat aliran utama yaitu (1) empirical theory, berpendapat bahwa etika diturunkan dari pengalaman manusia dan persetujuan umum, (2) rational theory, berpendapat bahwa baik dan buruk sangat tergantung dari logika, (3) intuitive theory, berasumsi bahwa etika tidak harus berasal dari pengalaman dan logika tetapi dari manusia secara alamiah memiliki pemahaman tentang apa yang baik dan buruk, (4) relevation theory berasumsi bahwa yang benar dan salah berasal dari kuasa Tuhan, dengan kata lain apa yang dikatakan dalam kitab suci menjadi rujukan utama dalam memutuskan apa yang benar dan apa yang salah. Dalam hubungan antara etika dengan pelayanan publik, Keban (2001) menyatakan bahwa tujuan etika pelayanan publik adalah memberikan pelayanan yang terbaik sesuai dengan harapan masyarakat, bahkan jika perlu melebihi harapan masyarakat. Etika sangat diperlukan dalam praktek administrasi dan pelayanan publik oleh para birokrat untuk dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Oleh karena itu perilaku pelayan publik akan mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi juga masyarakat yang menerima pelayanan. Menurut Afif Hamka, Azima & Suhana (2011) bahwa nilai-nilai etika yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman yaitu efisiensi, dapat membedakan antara milik peribadi dengan milik negara, bertanggungjawab dengan tugas yang diamanahkan dan memiliki rasa empati terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat dengan berusaha memenuhi, tidak menunda-nunda waktu dalam pelayanan. Agama memiliki fungsi mendidik, fungsi penyelamatan, fungsi pemersatu, fungsi mengubah dan fungsi pemecahan masalah dalam dimensi pembangunan.Berbagai fungsi itulah yang saling bertukar peranan
338
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
sesuai dengan situasi dan kondisi sosial yang dihadapi. Berangkat dari pentingnya peranan agama dalam pembangunan nasional, maka pembangunan agama sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan nasional lainnya. Pembangunan Agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral dan etika dalam administrai publik, membina akhlak mulia, memupuk etos kerja, menghargai prestasi dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam pembangunan. Hal ini secara jelas dinyatakan dalam Undang‐Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005‐2025. Dalam tuntutan agama semua pihak bertanggungjawab menanamkan nilai agama termasuk masyarakat, pemimpin dan ulama. Apabila di antara pihak tersebut mengabaikan dan tidak peduli pada perilaku dan akhlak pegawai
publik, maka dengan sendirinya akan semakin ramai
administrator
publik yang
bermasalah. Menurut Shuriye, Abdi Omar & Jamal Ibrahim, Daoud (2010), secara konseptualkualitas adalah prestasidan karakter yang unggul. Bagi seorang penganut agama Hindu, Kristen, Budha atau Muslim, maka ajaran agama akan mempengaruhitahapkualitidalam melakukan pekerjaan. Oleh itu, ajaran agama adalah salah satu instrumentyang membentukdan membimbing manusia untuk mencapai dan melakukan pekerjaan dengan lebih baik,jika manusia mematuhi ajaran agama dan mentaati ajaran agama yang berhubungan dengan pekerjaannya. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Abdun Noor (2007) yang menyatakan meningkatkanperanan
pemerintahterhadap
masyarakatmodern,
aspek
kualitas
bahwa dalam
dalam
manajemen
birokrasidalambidang sosial dan ekonomi telah menjadi satu aspek yang diberi penekanan. Ketika membuat keputusanyang menyangkut tentang kepentingan publiksenantiasamenghadapi dua situasiyang berlawanan iaitu apakahbekerja untukkepentingan peribadidan golonganatau untuk kepentingan publik. Oleh karena itu,untuk menjagatingkahlakuadministrator publik sesuai dengan kepentingan publik, maka etika daripadaadministrator publik menjadiprinsip utama dalamadministrasi publik. Asas utama untuk mencapaikeseragamandalam tingkah laku manusiamengenainilai kebaikan dan keburukan hanya bisa dicapai dari ajaran agama.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dijalankan dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian studi kasus adalah suatu metode penelitian yang komprehensif mengenai suatu unit sosial, seperti orang perseorangan, suatu kelompok, suatu institusi sosial, sebuah daerah atau komunitas. Fokus penelitian lebih mengacu kepada usaha meneliti sejauhmana prinsip etika pelayanan Islam telah wujud di kalangan pegawai pemerintah Kabupaten Bengkalis. Penelitian ini dijalankan dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian. Metode ini dipilih kerana dapat memberikan data secara kuantitatif dan bisa dianalisis secara efektif. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai Badan Promosi dan Pelayanan Terpadu di Kabupetan Bengkalis yang terlibat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Penelitian ini menggunakan satu set kuesioner yang terbahagi kepada 4 bahagian. Bahagian pertama terdiri daripada maklumat latar belakang responden, manakala bahagian kedua terdiri daripada skala ketaatan beragama yang terdiri 29 item pernyataan yang berasal dari Psikososial Islam Khairil Anwar dan Khaidzir (2009). Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan inferensi. Analisis Statistik inferensi menggunakan korelasi Pearson dalam nilai p<0.05. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 20.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
339
HASIL PENELITIAN Dalam tabel di bawah menunjukkan bahwa responden laki-laki sebanyak 26 orang (47.3 %) dan perempuan sebanyak 29 orang (52.7 %).Responden berumur 30 tahun ke bawah sebanyak12 orang (21.8 %), umur 31-40 tahunsebanyak26 orang (47.3 %), umur 41 tahun ke atas sebanyak17 orang (30.9 %).
Tabel 1. Frekuensi Jenis Kelamin, Umur, Lama Bekerja, Status Perkawinan dan Status Pekerjaan Responden Demografi Responden
N
%
Jenis Kelamin
Laki-laki
26
47.3
Perempuan
29
52.7
Umur 30 tahun ke bawah
12
21.8
Umur 31-40 tahun
26
47.3
Umur 41 tahun ke atas
17
30.9
Kurang dari 10 tahun
13
23.6
10-15 tahun
27
49.1
16 tahun ke atas
15
27.3
Menikah
48
87.3
Bujang
7
12.7
Pegawai Negeri Sipil
48
87.3
Pegawai Honorer
7
12.7
Jumlah
55
100.0
Umur
Lama Bekerja
Status Perkawinan Status Pekerjaan
Responden bekerja kurang dari 10 tahun sebanyak 13 orang (23.6 %), 10-15 tahun sebanyak27 orang (49.1 %) dan 15 tahun ke atas sebanyak 15 orang (27.3 %). Responden telah menikah sebanyak48 orang (87.3 %) dan bujang sebanyak 7 orang (12.7 %). Responden Pegawai Negeri Sipil sebanyak 48 orang (87.3 %) dan Pegawai Honorer sebanyak 7 orang (12.7 %).
340
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Tabel 2. Frekuensi Golongan, Tahap Pendidikan, Pendapatan Perbulan, Pernah Mendapat Pendidikan Agama dan Jumlah Tanggungan Demografi Responden
N
%
Golongan
Golongan IIA-IID
2
3.6
Golongan IIIA-IIID
19
34.5
Golongan IVA-IVE
21
38.2
Pegawai Honorer
6
10.9
Sekolah Menengah Atas
20
36.4
Akademi/Diploma
7
12.7
S1
28
50.9
Rp 2.000.000 ke bawah
19
34.5
30
54.5
Rp 4.500.000 ke atas
6
10.9
Ya
5
9.1
Tidak
50
90.9
Tidak ada tanggungan
22
40.0
1-2 orang
17
30.9
Lebih dari 2 orang
16
29.1
Jumlah
55
100.0
Tingkat Pendidikan
Pendapatan Perbulan
Rp 2.100.000-Rp 4.000.000
Pernah Mendapat Pendidikan Agama Jumlah Tanggungan
Dalam table di atas menunjukkan bahwaresponden Golongan IIA-IID sebanyak2 orang (3.6 %), Golongan IIIA-IIID sebanyak19 orang (34.5 %), Golongan IVA-IVE sebanyak21 orang (38.2 %) dan Tiada Golongan (Pegawai Honorer) sebanyak 7 orang (12.7 %).Responden tamatan Sekolah Menengah Atas sebanyak20 orang (36.4 %), Akademi/Diploma
sebanyak7 orang (12.7 %), S1sebanyak28 orang (50.9
%).Kebanyakan pendapatan perbulan adalah Rp 2.100.000-Rp 4.000.000 (54.5 %), 50 orang (90.9 %) tidak pernah mendapat pendidikan agama formal dan yang memiliki tanggungan lebih dari 2 orang sebanyak 16 (29.1 %).
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
341
Tabel 3. Uji Frekuensi Ketaatan Beragama
No. 1.
Ketaatan Beragama Saya membaca al-qur‘an setiap hari Saya melaksanakan semua shalat fardhu
2.
secara berjama‘ah Saya puasa sunat senin kamis setiap
3.
minggu Saya melaksanakan shalat dhuha setiap
4.
hari
5.
Saya sholat tahajjud tiap malam saya shalat dua raka‘at (tahyatul masjid)
6.
ketika masuk ke masjid saya melaksanakan shalat tarawih dan
7.
witir di bulan ramadhan Saya pergi ke mesjid mendengarkan
8.
ceramah agama saya menunggu masuknya waktu shalat
9.
fardhu Saya melaksanakan shalat sunat rawatib
10.
sebelum atau selepas shalat fardhu Saya mengucapkan alhamdulillah habis
11.
bersin Saya membaca bismillah setiap memulai
12.
pekerjaan Saya mengucapkan asslamualaikum di
13.
saat pergi dan masuk rumah Saya mengambil air wudhu‘ setelah saya
14.
buang air kecil dan besar Saya menjawab bacaan azan yang
342
15.
dikumandangkan
16.
Saya mendoakan ibu bapa selesai sholat
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Mean SD 3.36
1.02
3.12
1.13
2.96
1.29
2.50
1.10
2.83
1.24
3.34
1.25
3.54
1.18
3.70
1.10
3.49
1.23
2.94
1.16
4.41
1.19
4.49
1.06
4.54
1.06
3.72
1.67
3.76
1.42
4.49
1.16
Saya membaca subhanallah, alhamdulillah dan allahu akbar 33 kali 17.
4.07
1.35
4.50
1.06
4.01
1.07
4.29
1.21
4.27
1.19
4.52
1.06
4.45
1.13
4.41
1.11
4.30
1.15
4.18
1.20
4.21
1.24
4.29
1.13
4.52
1.11
selesai shalat fardhu Saya membaca innalillahi wainnailaihiraji‟un mendengar
18.
kemalangan
19.
Saya bersedekah Saya tersenyum berjumpa dengan setiap
20.
orang, kerana tersenyum adalah sedekah
21.
Saya membaca doa ketika akan tidur Saya makan dan minum dengan tangan
22.
kanan Saya makan dan minum dengan cara
23.
duduk Saya masuk masjid dengan kaki kanan
24.
dan keluar kaki kiri Saya memakai baju dan sepatu dimulai
25.
dari sebelah kanan Saya masuk WC dengan kaki kiri dan
26.
keluar dengan kaki kanan
27.
Saya tidak buang air kecil sambil berdiri saya makan ketika lapar dan berhenti
28.
sebelum kekenyangan saya bangun dan makan sahur ketika
29.
berpuasa
Dalam tabel di atas juga memperlihatkan uji deskriptif ketaatan beragama dengan nilai mean yang paling tinggi adalah Saya mengucapkan asslamualaikum di saat pergi dan masuk rumah (Min=4.54), Saya makan dan minum dengan tangan kanan (Min=4.52) dan saya bangun dan makan sahur ketika berpuasa (Min=4.52), sedangkan nilai mean yang paling rendah adalah item Saya melaksanakan shalat dhuha setiap hari (Min=2.50) dan Saya sholat tahajjud tiap malam (Min=2.83), seperti dalam gambar dibawah ini.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
343
Ketaatan Beragama 5 4.5 4 3.5 3 2.5
Tabel
No. 1.
KB29
KB28
KB27
KB26
KB25
KB24
KB23
KB22
KB21
KB20
KB19
KB18
KB17
KB16
KB15
KB14
KB13
KB12
KB11
KB9
KB10
KB8
KB7
KB6
KB5
KB4
KB3
KB2
KB1
2
4. Uji Frekuensi Mind Set Pegaw
Mind Set Pegawai
Mean SD
Sehubungan dengan sifat dan tugas saya sebagai pelayan masyarakat, maka
3.45
1.06
2.03
1.13
3.76
1.15
1.89
.59
2.09
1.07
2.10
.97
3.85
1.29
masyarakat memiliki hak terhadap diri saya 2.
Saya akan mengambil kebijakan yang terbaik walaupun bertentangan dengan arahan atasan dan peraturan
3.
Saya merasa malu kepada diri saya sendiri, walaupun masyarakat kecewa kepada pelayanan pegawai lain
4.
Walaupun saya sebagai pelayan masyarakat, saya juga wajar memiliki kehidupan lebih mewah dan sejahtera
5.
Walaupun tugas saya adalah bersifat birokrasi, namun campur tangan politik diperlukan untuk meningkatkan sistem pelayanan masyarakat
6.
Sebagai pelayan masyarakat, tugas saya hanya melayani aspek administrasi, sementara pelayanan informasi diusahakan sendiri oleh masyarakat
7.
Walaupun pandangan masyarakat melihat rendah kualitas pelayanan, namun saya yakin saya mampu untuk mengubah pandangan tersebut
344
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
8.
Memenuhi keperluan masyarakat dan keperluan diri saya sendiri haruslah
3.45
1.13
4.16
1.33
1.90
.39
rendah, sedangkan pegawai golongan tinggi 2.23
.94
diseimbangkan 9.
Walaupun saya tidak mampu melayani masyarakat dengan maksimal, namun dapat disempurnakan dengan menunjukkan sifat ramah dan rendah hati kepada masyarakat
10.
Kalau atasan saya sendiri melakukan pelanggaran disiplin, rasanya tidak salah kalau saya melakukan hal sama
11.
Tugas melayani masyarakat lebih dibebankan kepada pegawai golongan
lebih kepada sistem menejerial internal kantor 12.
Pelanggaran disiplin yang saya lakukan tidak akan mempengaruhi kualitas
2.56
1.19
pelayanan kepada masyarakat
Dalam tabel di atas memperlihatkan uji deskriptif mind set pegawai dengan nilai mean yang paling tinggi adalah Walaupun saya tidak mampu melayani masyarakat dengan maksimal, namun dapat disempurnakan dengan menunjukkan sifat ramah dan rendah hati kepada masyarakat (Min=4.16). Sedangkan nilai mean yang paling rendah adalah item Walaupun saya sebagai pelayan masyarakat, saya juga wajar memiliki kehidupan lebih mewah dan sejahtera (Min=1.89), seperti dalam gambar di bawah.
Mind Set Pegawai 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
SM1 SM2 SM3 SM4 SM5 SM6 SM7 SM8 SM9 SM10 SM11 SM12
Tabel 5. Uji Korelasi
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
345
Variabel
Mind Set Pegawai (r)
Ketaatan Beragama
.424**
Berdasarkan hasil ujian korelasi, tabel di atas memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara Mind Set Pegawai dengan ketaatan beragama (r=.424**). Nilai r menunjukkan positif yang berarti bahwa semakin tinggi tahap ketaatan beragama pegawai maka akan semakin baik mind set pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebaliknya semakin rendah tahap ketaatan beragama pegawai maka akan semakin buruk pula mind set pegawai.
PEMBAHASAN Ketaatan beragama erat kaitannya dengan mind set pengawai. Semakin tinggi ketaatan beragama, maka karena mind set pengawai berupa bersikap ramah dan rendah hati sesuai dengan perintah agama untuk memudahkan pengawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas sesuai dengan analisa atau rancang jabatan yang ditetapkan dengan tidak ada pretensi apapun kecuali semata-mata untuk melaksanakan tugas kepada bangsa dan negara.
Birokrasi pemerintah memiliki beberapa fungsi utama yaitu menjamin keamanan, memdelihara ketertiban, menjamin keadilan, menyediakan pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.Rakyat senantiasa berharap supaya birokrasi pemerintah berusaha untuk meningkatkan tahba kualitas hidup masyarakatdari segi peluang meningkatkan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, menyediakan layanan kesehatan, fasilitas publik dan kemudahan untuk mengamalkan ajaran agama masing-masing. Miftah Thoha (2012) menyatakan bahwa pengawai pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada rakyat bersifat sombong , bekerja dikantor pemerintah dijadikan simbol kekuasaan, rakyat yang datang kekantor disuruh antri panjang, tidak ada kepastian hukum kapan urusan selesai. Sifat pengawai pemerintah tidak memiliki rasa empati kepada rakyat, tidak disediakan ruang tunggun yang nyaman, bahkna masih ada kantor yang membiarkan masyarakat berdiri diterik matahari. Adang Budiman et.al (2013) berpendapat pula bhawa prilaku korupsi daalma birokrasi sudah terjadi sejak era Presiden Soeharto dan sudah menjadi kebiasaan rutin serta menjadi aktivitas harian mereka ketika bekerja dikantor. Alasan mereka melakukan korupsi ketika bekerja adalah gaji yang diterima tidak mencukupi, rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan sangat rendah dan atasan memberikan contoh perilaku korupsi kepada bawahan dan perilaku tersebut masih terus terjadi hingga sekarang. Ada delapan prinsip utama yang ingin penulis sampaikan dalam makalah ini sebagai usaha mewujudkan administrator publik yang beretika. Delapan prinsip utama tersebut dapat dijadikan sebagai asas etika birokrasi dalam administrasi publik. Ide ini muncul setelah membaca tulisan Muhammad Al Burey (1985) seorang pakar
346
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
dalam bidang Administasi Islam dalam bukunya ‖Administrative Development An Islamic Perspektif”. Delapan prinsip dibawah ini merupakan dasar dalam menyusun pondasi nilai-nilai etika administrator publik, yaitu: 1.
Yakin Yang Sempurna Kepada Allah SWT Setiap administrator publik akan melakukan sesuatu berdasarkan apa yang di yakininya. Yakin yang
sempurna kepada Allah SWT merupakan syarat mutlak untuk melahirkan administrator publik yang beretika. Yakin dalam hati bahwa tidak ada Dzat yang berhak di sembah melainkan Allah SWT, tidak ada yang mencipta, memelihara, memberi rezki melainkan Allah SWT. Dalam hati setiap administrator publik harus bersih dari yakin kepada makhluk (selain daripada Allah SWT) dan hanya memasukkan rasa keagungan dan kebesaran Allah SWT di dalam hati. Allah SWT mempunyai maksud ketika menciptakan manusia. Kebahagiaan dan kesuksesan akan tercapai apabila manusia beramal sesuai dengan maksud ia diciptakan. Banyak administrator publik yang menyangka bahwa kesuksesan ada pada harta yang melimpah, pangkat dan jabatan. Padahal semua itu adalah ujian dari Allah SWT.Artinya bukan tidak boleh menjadi pejabat dan orang kaya, tetapi yakin di dalam hati bahwa kemuliaan dan kebahagiaan bukan dalam pangkat dan harta. Abdurrahman bin ‗Auf radhiallahu „anhu adalah pengusaha yang kaya, tetapi dia tetap menyempurnakan apa keinginan dan perintah Allah SWT, sehingga dia sukses di dunia dan akhirat. Sebaliknya Fir‘aun, Namrud, Qarun, Kaum ‗Ad, Kaum Saba‘ walalupun mereka memiliki kekuasaan, kekayaan, kekuatan tubuh dan kecanggihan teknologi pertanian tetapi tidak beriman kepada Allah SWT, melanggar hukum Allah SWT sehingga mereka semua Allah SWT binasakan. Apa hubungan yakin kepada Allah SWT dengan etika administrator publik?. Apabila seorang pegawai pemerintah yakin bahwa yang memberi rezki adalah Allah SWT, maka dia tidak mencuri, korupsi dan menerima uang syubhat apalagi uang haram. Apabila seorang pegawai pemerintah yakin bahwa Allah SWT maha melihat, maka dia tidak akan berani membuat kwitansi palsu, laporan fiktif, menyogok dan melakukan tindakan penyimpangan yang merugikan uang Negara. Memang benar pegawai KPK tidak melihat, tetapi seorang administrator
publik yang yakin bahwa Allah SWT sedang melihat setiap saat dan keadaan apa saja
perbuatannya, maka dia tidak akan melanggar nilai-nilai etika dalam bekerja. Sebaliknya jika seorang administrator publik tidak ada rasa takut kepada azab Allah SWT, tidak yakin dengan janji-janji Allah SWT bahwa di akhirat nanti setiap amal akan di hisab, setiap orang akan ditanya untuk apa umur dihabiskan, kemana masa muda digunakan, dari mana harta diperoleh dan kemana dibelanjakan serta adakah ilmu sudah di amalkan atau belum. Jangan heran jika di mana-nama kantor ditemukan berbagai jenis pelanggaran terhadap nilai etika. Rasanya mustahil seorang pegawai kantor pemerintahan, akan meminta ‗uang pelicin‘ supaya urusan KTP, SIM, Paspor dapat segera diselesaikan apabila dalam hatinya yakin bahwa Allah SWT sedang melihat, mendengar dan mengetahui semua perbuatannya. 2.
Amalkan Sunnah Nabi Muhammad SAW Dalam Kehidupan Allah SWT telah menetapkan kebahagiaan, kemuliaan dan kesuksesan seluruh manusia termasuk
administrator publik hanya dalam pengamalan agama secara sempurna. Sukses dan mulia diperoleh ketika administrator publik taat kepada Allah SWT dan mengamlkan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Walaupun seorang pegawai rendah, miskin, tidak memiliki jabatan, tetapi apabila taat kepada Allah SWT dan mengamalkan Sunnah Rasulullah SAW maka akan mendapat kejayaan di dunia dan akhirat. Apa yang dimaksud dengan prinsip mengamalkan sunnah Nabi Muhammad Saw dalam kehidupan dan apa hubungannya dengan etika administrator publik?. Maksudnya adalah setiap administrator publik meyakini bahwa satu-satunya jalan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
347
untuk mendapatkan kesuksesan, kebahagiaan dan kejayaan di dunia dan akhirat hanyalah dengan mengikuti cara hidup Nabi Muhammad SAW. Seluruh aspek kehidupan, mulai dari cara makan, minum, berpakaian, tidur, jual beli, pernikahan, akhlak, cara memberikan pelayanan sampai cara mengurus Negara mengikuti contoh yang telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ada beberapa sifat Rasulullah SAW yang berhubungan dengan pelayanan publik sebagai standar etika bagi administrator publik, yaitu: a.
Rasulullah SAW tidak marah karena urusan duniawi, tetapi marah apabila kebenaran didustakan.
b.
Apabila beliau menunjuk atau member isyarat kearah sesuatu, maka beliau akan menunjuknya dengan seluruh telapak tangannya.
c.
Rasulullah SAW lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.
d.
Rasulullah SAW tidak berkata-kata kecuali yang bermanfaat dan perlu.
e.
Rasulullah SAW selalu adil dalam setiap urusan tanpa menimbulkan perselisihan.
f.
Siapa saja yang meminta keperluan kepada Rasulullah SAW, maka beliau SAW tidak menyuruhnya pergi melainkan dengan membawa keperluan yang ia inginkan atau bila tidak mengabulkannya, Rasulullah SAW menasehati dengan kata-kata yang lemah lembut.
g.
Kesalahan-kesalahan orang lain tidak pernah disebarkan.
h.
Rasulullah SAW selalu melayani orang-orang yang berada disekelilingnya dengan wajah ceria dan ramah tamah.
i.
Rasulullah SAW bukan orang yang kasar dan berakhlak buruk, bukan orang yang suka berteriak-teriak, tidak mencerca dan merendahkan manusia serta tidak banyak bergurau.
j.
Rasulullah SAW menjauhkan diri dari perdebatan, menghina, mencari-cari aib dan keburukan manusia.
3.
Mendirikan Sholat 5 Waktu Dengan Tertib Menurut
Syeikh Zakariyya
(2006), pada masa ini orang Islam terbagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah orang-orang yang tidak memperdulikan sholat.Kelompok kedua adalah orang-orang yang sholat tetapi melalaikan sholat berjemaah.Sedangkan kelompok ketiga adalah orang-orang yang sholat berjemaah tetapi mengabaikan rukun-rukunnya dan mengerjakannya dengan kurang baik. Shalat merupakan sesuatu yang sangat berharga. Jika dilakukan dengan cara yang benar, maka akan membuahkan hasil, yaitu akan mencegah dari hal-hal yang tidak baik. Jika keadaan ini belum diperoleh, hendaknya perlu diyakini bahwa sholat yang dilakukan belum sempurna. Ibnu ‗Abbas radhiallahu „anhuma berkata bahwa ―shalat menghentikan seseorang dari perbuatan dosa dan sholat menyelamatkan seseorang dari dosa‖. Dalam Al Qur‘an surat Al Ankabut ayat 45; ―Sesungguhnya sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar‖. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bagaimana hubungan antara sholat dengan etika administrator publik ?. Apa saja jenis penyimpangan dan pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh pegawai pemerintah baik dalam bentuk korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), urusan cepat dengan uang pelicin, pelaksanaan proyek asal jadi, laporan fiktif, tidak disiplin, perselingkuhan dengan teman sekantor, pertengkaran (konflik) karena berebut jabatan, judi, minuman keras dan berbagai jenis pelanggaran etika lainnya yang masuk dalam kategori perbuatan dosa menunjukkan bahwa sholat belum dilaksanakan oleh pegawai pemerintah dengan sempurna.
348
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Mengapa banyak administrator publik yang sudah sholat, puasa bahkan haji tetapi masih juga terlibat dalam pelanggaran etika kepegawaian dan perbuatan melanggar hukum?. Yang salah bukan sholatnya, tetapi dia sendiri yang masih keliru tentang apa hakekat sholat yang sebenarnya?.Hakekat sholat yaitu membawa sifatsifat ketaatan dalam sholat ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sholat menutup aurat, dalam keadaan berwudhu‘, menjada pandangan, begitu juga diluar sholat seharusnya menutup aurat, senantiasa ada wudhu‘ dan menjada panca indra (mata, telinga, lidah, pikiran dan hati) dari perkara yang Allah SWT benci. Menurut Syeikh Zakariyya (2006), ada tiga hal yang harus ada dalam sholat; pertama ikhlas, yang akan membimbing kearah amal yang shalih. Kedua takut kepada Allah SWT yang akan menjauhkan diri dari perbuatan jahat. Ketiga dzikrullah yang akan mengajak kepada perbuatan baik dan mencegah kemungkaran. Jika dalam sholat tidak terdapat tiga hal tersebut maka bukan sholat namanya. Jika seorang pegawai pemerintah masih selalu sibuk bermaksiat kepada Allah SWT, hendaknya ia benar-benar menyibukkan diri dengan sholat yang benar, sehingga lambat laun perbuatan buruknya akan hilang. Setiap perbuatan buruk akan sulit dihilangkan dan memerlukan waktu yang lama. Namun dengan memperhatikan sholat dan menjaganya, maka akan dimudahkan meninggalkan kebiasaan buruk dalam waktu yang tidak lama. Dengan berkah sholat, dengan sendirinya kebiasaan buruk tersebut akan hilang. 4.
Memiliki Ilmu dan Kefahaman Ilmu Agama Untuk dapat mengambil manfaat dari Dzat Allah SWT secara langsung, maka perlu mematuhi semua
perintah Allah SWT menurut cara yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini bisa terwujud dengan cara berusaha mendapatkan ilmu Ilahi, yaitu memahami dengan sebenarnya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah SWT dari hambanya pada waktu dan keadaan. Hakekat ilmu yang dimaksud adalah bagaimana setiap administrator publik mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana perintah Allah SWT dan mana larangan Allah SWT. Hal ini merupakan prinsip yang sangat penting bagi setiap administrator publik, sehingga ia akan menjauhkan dirinya dari perkara yang melanggar etika dalam pelayanan publik . Apabila setiap pegawai menghindari diri mereka dari hal-hal yang dilarang oleh syariat agama berdasarkan ilmu yang mereka ketahui dan pahami, maka berbagai tindakan penyelewengan dan pelanggaran undang-undang akan dapat dihindari. Buah dari kefahaman ilmu adalah terdapat rasa takut di dalam hati terhadap azab dan kemarahan Allah SWT di dunia dan akhirat. 5.
Hati Selalu Ingat Kepada Allah SWT Mengingat Allah SWT setiap waktu dan keadaan merupakan prinsip utama yang harus di amalkan oleh
setiap administrator publik . Ingat kepada Allah SWT ketika ada atasan atau tidak, ada pegawai lain atau tidak, ada yang melihat atau dalam keadaan sendiri. Seseorang akan terhindar dari perbuatan tercela apabila hati selalu ingat kepada Allah SWT. Bagaimana mungkin seorang pegawai melakukan tindakan melanggar etika dan peraturan, korupsi, menerima uang sogok, penipuan dan sebagainya sedangkan hatinya ingat kepada Allah SWT. Berbeda dengan seorang administrator
publik
yang lupa kepada Allah SWT, lupa bahwa setiap
perbuatannya bukan hanya dalam pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetapi juga dalam pengawasan Allah SWT, maka ia akan melakukan berbagai tindakan yang merugikan Negara dan masyarakat. Buah dari hati yang selalu ingat kepada Allah SWT adalah datang rasa cinta kepada Allah SWT dan ada ketenangan dalam hati walaupun pangkat rendah dan gaji yang diterima kecil. 6.
Memuliakan Sesama Manusia dan Menduhulukan Kepentingan Orang Lain
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
349
Setiap administrator publik di tuntut untuk memiliki sifat memuliakan manusia lain dan mendahulukan kepentingan manusia lain, sehingga siapapun yang dating berurusan ke kantor, baik orang kaya maupun orang miskin, pejabat atau rakyat biasa, tetap akan dilayan dengan ramah dan kasih sayang. Tetapi apabila administrator publik lebih mendahulukan urusan orang kaya daripada urusan orang miskin, lebih mendahulukan kepentingan pejabat daripada kepentingan masyarakat, maka akan membuahkan kekecewaan bagi masyarakat atas ketidakadilan tersebut. 7.
Ikhlas Dalam Setiap Amal Perbuatan Syarat diterima suatu amal adalah ikhlas.Allah SWT tidak memandang kepada harta dan rupa
seseorang tetapi yang Allah SWT pandang adalah hati (keikhlasan) dan amal. Prinsip ini menekankan tentang kepentingan meluruskan niat dalam setiap pekerjaan yang dilaksanakan oleh administrator publik bahwa apa saja pekerjaan yang mereka lakukan adalah semata-mata untuk mencari keridhaan Allah SWT, bukan untuk mencari muka, mencari pujian dan sanjungan dari orang lain. Ciri-ciri seorang administrator publik yang ikhlas dalam pekerjaannya adalah tidak bangga dengan pujian yang datang dan tidak kecewa dengan kritikan orang lain. 8.
Mengajak Kepada Kebaikan dan Mencegah PerbuatanMungkar Setiap orang bertanggungjawab untuk selalu mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran.Tugas tersebut bukan hanya tanggungjawab ulama, ustazd, orang berilmu atau alumni sekolah agama, tetapi menjadi tugas setiap orang termasuk administrator publik. Diperlukan suasana kantor yang saling ingat mengingatkan tentang perkara kebaikan sehingga berbagai pelanggaran etika akan dapat dikurangkan. Apabila melihat pelanggaran etika yang dilakukan oleh administrator publik, maka pegawai lain perlu menasehati dengan lemah lembut dan kasih sayang. Tetapi apabila setiap administrator publik memiliki sifat tidak peduli dengan berbagai kecurangan, penyimpangan, korupsi malahan bekerja sama dalam mencuri uang Negara, bersepakat dalam kejahatan maka semakin hari Negara ini semakin dekat kepada kehancuran dan kebinasaan.
KESIMPULAN Reformasi birokasi dalam rangka mewujudkan tata pemerinatahan yang baik di Indonesia tanpa diiringi oleh kesadaran agama dan pengamalan ajaran agama sebagai sumber etika birokrasi, maka perbaikan kualitas pelayanan publik hanya akan menjadi cita-cita yang hampa. Mind set pegawai dalam bekerja akan dapat diperbaiki apabila ada usaha menyempurnakan keyakinan kepada Allah SWT, kesungguhan mengamalkan Sunnah Nabi Muhammad SAW, istiqomah mendirikan shalat, selalu belajar ilmu agama, hati selalu ingat kepada Allah SWT, sifat memuliakan orang lain, meluruskan niat dalam setiap perbuatan dan sifat mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran maka terbuka peluang bagi setiap pegawai untuk meningkatkan nilai-nilai integritas diri mereka. Apabila setiap pegawai pemerintah kesungguhan memperbaiki diri maka cita-cita reformasi administrasi dan birokrasi akan menjadi kenyataan di Indonesia. Dalam konteks Indonesia dengan mayoritas pegawai pemerintah beragama Islam, maka seharusnya menjadi kerisauan seluruh pihak terutama pihak akademisi untuk menyusun model etika birokrasi pelayanan publik dalam Islam.
350
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
DAFTAR PUSTAKA Abdun Noor 2007. Ethics, Religion and Good Governance. Journal of Administration &Governance 2: 62-77. Adang Budiman, Amanda Roan & Victor Callan. 2013. Rationalizing Ideologies, Social Identities and Corruption Among Civil Servants in Indonesia During the Suharto Era. Journal Bussiness Ethics 11(6):139-149. Ahmad Kilani Bin Mohamed & Mohd Ismail Bin Mustari.2004.Pemahaman Mengenai Perkembangan Fizikal Dan Mental Serta Keperluan Kepada Pemantapan Spiritual Dikalangan Remaja. Kebangsaan Psikologi Dan Masyarakat, gejala sosial dan masyarakat. Pusat Pengajian Psikologi dan Pembangunan Manusia UKM, Bangi. Chandler, R.C., & J.C. Plano. 1988. The Public Administration Dictionary. Second Edition: Santa Barbara, CA: ABC-CLIO Inc. Keban, Yeremias. 2001. Etika Pelayanan Publik. Pergeseran Paradigma, Dilema dan Implikasinya bagi Pelayanan Publik di Indonesia. Dalam Majalah Perencanaan Pembangunan Pembangunan Edisi 24. Khairil Anwar dan Khaidzir Hj. Ismail. 2009. Profil Mental - Kognitif dan Psiko -Sosial Islam Di Kalangan Remaja Beresiko, Prosiding International Seminar of Islamic though, Bangi:UKM. Miftah Thoha. 2012. Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Thafa Media. Muhammad Afif Hamka, Azima & Suhana. 2011. Etika kakitangan kerajaan terhadap reformasi perkhidmatan awam di Indonesia: Suatu telaah kritis. Makasar: Penerbit Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Muhammad Al Burey.1985. Administrative Development an Islamic Perspective.London: Kegan Paul International Limited. Shuriye, Abdi Omar & Jamal Ibrahim, Daoud 2010Islamic perspective of quality administration.Australian Journal of Islamic Studies 02 (01): 49-57. Syeikh Zakariyya. 2006. Himpunan Fadhilah Amal. Yogyakarta: Penerbit As Shaff. Wirman Syafri Sailiwa. 2012. Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri Sipil dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional. Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara 2 (2): 34-49.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
351
Penerapan „Good Governance‟ Dalam Penempatan Pekerja Migran Perempuan Antar Bangsa
Lely Indah Mindarti Dosen FIA-UB Malang [email protected] [email protected]
Abstrak: Riset tentang penerapan ‟good governance‟ dalam penempatan pekerja mi-gran perempuan antar bangsa ini, memfokuskan pada pesoalan penerapan ‟trans-paransi‟ (transparancy) dalam rangka pengembangan tatakelola sistem manajemen informasi penempatan TKI berbasis ‟on-line‟. Isu utama yang dikaji, berupa betulkah substansi paraturan perundangan dan praktek yang berlaku dalam penempatan TKIPRT selama ini, relevan dengan kebutuhan bagi mengembangkan sistem manajemen informasi penempatan TKI-PRT berbasis ‟on-line‟ yang makin transparan dan mem-perkuat perlindungan TKI-PRT. Riset dilakukan dalam bentuk studi kasis dan data hasil dianalisis dengan meng-gunakan teknik ‟analisis isi‟ (content analysis). Perlindungan terhadap TKI, ditegaskan dalam penjelasaan UU No. 39/2004 bahwa “kesempatan pertama dan terbaik bagai perlindungan harus muncul dari diri tenaga kerja itu sendiri‟. Implikasinya, penguatan transparansi dan perlin-dungan TKI pada hakikinya sangat lekat membutuhkan adanya penumbuhan tata-kelola sistem manajemen informasi penempatan TKI berbasis „self-governance model‟. Sebuah model tatakelola berwatak „citizen centricity‟ yang tumbuh melalui mekanisme „governance from the ground-up‟, yakni lekat berfokus dan berbasis sen-tral pada penguatan berkelanjutan terhadap kapasitas kemandirian TKIPRT untuk mampu proaktif berperan menjadi „an active agent of change‟, ter-utama „TKI as an active evaluator and creator of information‟ dalam keseluruhan proses pelaksanaan penempatan TKI-PRT ke luar negeri. Kapasitas kemandirian TKI ini, esensinya lekat bersifat „collective created‟, sehingga keberhasilannya sangat tergantung pada ko-mitmen segenap pemangku kepentingan saling bersinergi menebarkan dan mem-perkuat praktek-praktek „autonomy and integrity of all actors‟. Khusunya, melaku-kan „tri-otonomiasasi‟ TKI, yakni penguatan kapasitas kemandirian TKI di bidang „kultural, ekonomi dan politik‟. Berdaskan hasil riset, disimpulkan substansi pengaturan dan pelaksanaan pe-nempatan TKI-PRT di negara Malaysia selama ini, justru lekat berwatak „bureau-crtaic centricity‟ daripada „citizen centricity‟. Ditandai dengan 7 (tujuh) kecende-rungan dominan yang membuat fungsi transparansi dan perlindungan tidak dapat fungsional dan malah memperkuat potensi TKI-PRT mengamlami kerentanan pada keseluruhan tahapan proses pelaksanaan penempatan TKI-PRT ke luar negeri. Karena itu, pembaharuan substansi peraturan dalam penempatan TKI, termasuk dalam system manajemen informasi penempatan TKI, sangat urgen segera diperbaruhi. Sustansi peraturan dan pelaksanaan bepijak dan konsisten dengan kebutuhan bagi tumbuhnya kebangunan tatakelola berwatak emansipatory. Berupa tatanan „self-governance model‟ yang lekat menuntut
352
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
pemerintah benar-benar mam-pu berfungsi sebagai „enabler‟ bagi pe-nguatan dan pelembagaan praktekpraktek aautonomy and integrity of all actors‟. *** Kategori : Governance Keywords: Good Governance, Transparansi, Migran Perempuan (TKW)
Latar Belakang Penelitian Menguatnya globalisasi, pada satu sisi telah membuka kesempatan bagi ”ka-um perempuan dari Negara Berkembang untuk melakukan migrasi kerja ke luar negara” (ILO, 2004:iv). Namun migrasi kerja ke luar negeri yang dilakukan kaum perempuan, mayoritas lebih berada di sektor pekerjaan yang dikategorikan ‖3D‖ (dirty, dangerous and difficult). Implikasinya, kaum migran perempuan pun sering terperangkap dalam kondisi ”sangat rentan terhadap aneka bentuk diskriminasi, kekerasan, perlakuan sewenang-wenang, dan bahkan pelanggaran serius terha-dap hak-hak asasi manusia” (ILO, 2004:iv). Potensi kerentaan makin meningkat, mengingat selain kondisi sosial, ekonomi dan politik migran perempuan realtif le-mah, fenomena migrasi kerja lintas negara pun, senantiasa lekat dicirikan lebih se-bagai fenomena multi-dimensional, multiaktor dan sekaligus multi-kepentingan. Konfigurasi berbagai kondisi ini, akhirnya membuat terbukanya potensi kerentaan bagi para migran perempuan (TKI-PRT) dalam keseluruhan tahapan proses penem-patan TKI. Demi meningkatkan kualtas tatakelola penempatan dan perlindingan TKI, pada 04 Desember 2014 lalu ditetapkan peraturan terbaru Permenaker 22/2014. Pada
pada pasal 51 ditegaskan
bahwa ‘pelayanan
penempatan dan perlindungan TKI diselenggarakan secara terpadu melalui sistem ‟on-line‟ dan dapat diakses oleh publik, dilakukan oleh BNP2TKI yang terintegrasi dengan Kementerian Ketenaga-kerjaan dan kementerian/lembaga terkait lainnya. Penerapan sistem manajemen in-formasi penempatan TKI berbasis ‟online‟ ini, sangat urgen demi memicu terjadinya ‟transparansi‟ dalam tatakelola penempatan TKI ke luar negeri. Namun demikian, derajad ‘transparansi‘ tidaklah semata tergantung pada pe-nerapan sistem ‟on-line‟. Tetapi justru lekat tergantung pada format dasar tatakelola yang ditumbuhkan, khususnya yakni tatakelola yang benar-benar berpijak dan ber-orientasi pada kebangunan tatanan ‟self-governance model‟. Sebuah model tatakelola yang lekat berwatak ‟citizen centricity‟ dan bertumbuh melalui mekanisme ‘governance from the ground up‘. Atau, sebuah model tatakelola yakni lekat berfokus dan berbasis sentral penguatan berkelanjutan terhadap kapasitas kemandirian TKI untuk mampu proaktif menjadi ‟an active agent of cha-nge‟. Khususnya, kapasitas kemandiran TKI-PRT untuk mampu proaktif menjadi ‟an active evaluator and creator of information‟ dalam keseluruhan tahapan proses pelaksanaan penempatan TKI-PRT ke luar negeri. Kebangunan kapasitas kemandirian TKI-PRT dimaksud, merupakan basis fundamental bagi terjadinya penguatan transparansi dan sekaligus perlindungan TKI-PRT. Pada konteks inilah, riset tentang penataan tatakelola penempatan TKI di luar negeri, sangat relevan dan urgen makin intensif dilakukan secara berkelanjutan.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
353
Rumusan Masalah Penelitian Wajah penempatan dan perlindungan TKI-PRT di luar negeri, hingga kini masih sering diwarnai aneka bentuk kerentaan. Baik itu pada fase sebelum, selama, maupun saat pemulangan paska penempatan TKI-PRT di luar negeri. Upaya pe-nguatan perlindungan TKI-PRT ini dapat dilakukan signifikan, jika lekat berpijak pada aktualisasi prinsip fundamental bahwa „perlindungan pertama dan terbaik harus muncul dari TKI itu sendiri‟. Implikasinya, upaya penerapan sistem manejemen pelayanan penempatan TKI berbasis ‟on-line‟, hanya dapat memicu terjadinya transparansi dan penguatan perlindungan TKI, apabila fondasi tatakelola penempatan TKI benr-benar berpijak dan berorientasi pada kebangunan tatanan ‘self-governance model‘. Lekat berfokus dan berbasis sentral penguatan berkelanjut-an terhadap kapasitas kemandirian TKI untuk mampu proaktif menjadi‟an active evaluator and creator of information‟ dalam keseluruhan tahapan proses pelaksana-an penempatan TKI-PRT ke luar negeri. Berpijak pada argumen kritis di atas, permasalahan utama yang dikaji dalam riset ini, dirumuskan sebagai berikut: 1.
Betulkah aneka peraturan dasar dan pelaksanaan penempatan TKI-PRT di luar negeri, secara substantif telah sejalan dengan kebutuhan menjadikan ‟TKI as an active agent of change‟, khususnya ‘TKI as an active evaluator and creator of information) dalam keseluruhan tahapan proses pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri?
2.
Bagaimana kerangka substansi konseptual yang relevan dan strategis untuk memicu kebangunan tatakelola sistem informasi penempatan dan perlin-dungan TKI yang berfokus pada penguatan kepasitas kemandirian ‟TKI as an active evaluator and creator of information‘ dimaksud?
Kedua permasalahan krusial inilah yang akan menjadi fokus utama dalam kajian riset ini.
Tinjauan Pustaka dan Riset Terdahulu Esensi dan Misi Sentral Migrasi Kerja Migrasi kerja, secara ringkas dapat dimaknai sebagai aktivitas perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dengan sasaran sentral demi mendapat-kan/melakukan pekerjaan tertentu. Migrasi migrasi kerja ini, dapat berlangsung pa-da level domestik dan dapat pula berlangsung dalam level internasional, atau lintas negara. Terlepas dari level dilakukan, setiap migrasi kerja pada esensinya menuntut lekat dimaknai dan dipraktekkan lebih sebagai bagian integral dari ―human develop-ment process‖ (Hermono, 2014:2). Lebih fundamental lagi, sebagai bagian integral dari praktek aktualisasi „human emancipation process‟. Cara pandang fundamental ini, sangat relevan dengan esensi dari ‗bekerja‘. Dimana ‗pekerjaan‘ dan ‗bekerja‘, tidaklah sekedar menjadi sumber penghasilan seseorang, tetapi sekaligus “sarana fundamental bagi aktualisasi potensi dan harkat diri seseorang” (Penjelasan UU No. 39/2009). Karena itu, hak seseorang atas pekerjaan, merupakan bagian dari hak sangat azasi setiap orang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati segenap warga, masyarakat dan bangsa di seluruh dunia. Sejalan eksistensi pekerjaan sebagai bagian integral hak azasi bagi setiap war-ga, dalam UUD RI 1945 pada pasal 27 ayat (2) ditegaskan bahwa “setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan
354
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
penghidupan yang layak bagi kema-nusiaan”. Penegasan konstitusi ini sekaligus menuntut segenap elemen bangsa, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat sipil pada setiap lini dan level kepe-merintahan, saling memiliki komitmen dan profesionalisme menjamin terpenuhinya hak setiap orang atas pekerjaan. Pada konteks inilah, aneka bentuk kerentaan yang menimpa para migran, termasuk TKI-PRT, menuntut dipandang sebagai bentuk dari tindak kejahatan terhadap hak azasi manusia. Atau, tindak kerjahatan kemanusian yang mesti diperangi oleh segenap elemen masyarakat dan bangsa di dunia.
Aneka Bentuk dan Faktor Pemicu Kerentanan TKI-PRT Upaya penempatan TKI di luar negeri, merupakan sebuah fenomena multi-dimensional. Banyak faktor, aktor dan kepentingan yang terlibat dalam pelaksana-anya. Baik itu yang ada di ranah dalam negeri, maupun luar negeri. Ditambah lagi, latar sosial, ekonomi dan ploitik TKI-PRT yang relatif ‗lemah‘ dan sifat pekerjaan se-bagai PRT yang lekat dengan karakter ‗3D‘, telah banyak ditengarai menjadi sumber kerentanan berlipat ganda bagi para pekerja migran perempuan. Mulai dari aneka bentuk diskriminasi, eksploitasi dan perlakukan sewenang-wenang. Bahkan tidak ja-rang menjurus ke arah “terjadinya tindak pelanggaran serius terhadap hak azasi manusia (HAM) dan hak-hak mereka sebagai pekerja. Baik itu pada tahap pere-krutan, perjalanan, transit dan tinggal di negara tujuan” (ILO, 2004:2-3). UNIFEM (2005) mensarikan 7 (tujuh) bentuk kerentanan yang lekat menim-pa pekerja migran perempuan antar bangsa. Mulai dari: ‘kondisi kerja yang eksplo-itatif, masalah di bidang kontrak kerja, pembatasan kebebasan bergerak, diskri-minasi pasar tenaga kerja terhadap perempuan migran, kondisi kerja berbahaya, merendahkan keselamatan dan kesehatan, kekerasan berbasis gender di tempat ker-ja, rasisme dan xenofobia berbasis gender terhadap buruh migran perempuan‘. ILO (2004:10) selanjutnya mengungkapkan 8 (delapan) faktor khusus peyebab terjadi-nya kerentanan berlipat ganda bagi para pekerja migran perempuan yang menjadi PRT di luar negeri. Mulai dari: ‟strereotip gender yang terus berlangsung dalam la-pangan kerja, kurangnya perlindungan tenaga kerja dan perlindungan sosial, kebi-jakan-kebijakan keimgrasian yang diskriminatif, buta hukum dan ketakutan pada penguasa/pihak berwenang, hubungan kerja yang bergantung, lingkungan kerja yang menyendiri dan terisolasi, kurangnya organisasi dan perwakilan, serta xenofo-bia dan stigmatisasi‗.
’Governance’, ’Good Governance’ dan ’Self-Governance’ Munculnya pendekatan ‟governaance‟, telah membawa angin segar bagi pembaharuan teori dan praktek manajemen sektor publik. Dimana pemerin-tahan modern bukanlah sekedar mencapai efisiensi, tetapi juga adanya akunta-bilitas terhada warganya. Warga (citizen) tidak seharusnya sekedar diperlakukan sebagai ‘consummer and customer‘ tetapi lebih lekat sebai ‟citizen‟. Mereka me-miliki hak dilindungi hakhaknya, didengar suaranya, nilai dan preferensinya di-hargai. Demikian pula, warganegara memiliki hak untuk menilai, menolak dan bahkan menuntut mundur pejabat publik yang dinilainya gagal mengemban tang-gungjawabnya. World Bank (1992) mendefinisikan ‗governance‟ sebagai ―the way state po-wer is used in managing economic and social resources for development of so-ciety”. Suatu tatacara penggunaan kekuasaan negara dalam mengelola sumber-daya ekonomi dan sosial bagi pembangunan masyarakat. Makna serupa diajukan UNDP (1997) yang mendefinisikan ‗governance‟ sebagai ―the exercise of political,
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
355
economy, and administra-tive authority to manage a nations affair at all levels”. Pelaksanaan kekuasaan politik ekonomi dan administratif untuk mengelola masa-lah-masalah nasional pada keseluruhan jenjang pemerintahan (LAN & BPKP, 2000). Sehingga dalam konsep „governance‟, terdapat ‗three legs‘ ‗three domains‘. Tiga kaki berupa: ‗political governance, economic governance and administra-tive governance‟, serta tiga domain berupa: „negara (state), swasta (private sec-tor) dan masyarakat sipil (civil society)‘. Ketiga kaki dan domain ini, harus ber-hubungan secara harmonis demi tercapainya sinergi yang solid. Kondisi ideal ini kemudian popular disebut „good governance‟. UNDP (1997) memformulasikan prin-sip utama mewujudkan good governance, yaitu meliputi: ―participation, rule of law, responsiveness, consensus
orientation,
equity,
efficiency
and
effect-tiveness,
accountability,
strategy
vision”
(Mardiasmo:2002:24).
Bagan 1 Caracteritics of Good Governance
Sumber: ANSA-SAR, 2013:7.
Transparasi, dengan demikian merupakan bagian integral dari prinsip fun-damental bagi tumbuhnya ‗tatakelola yang baik‘ (good governance). Prinsip ‗transparansi‘ ini, terutama akan berkaitan dengan isu sentral seputar adanya ke-terbukaan yang dibangun berdasarkan kebebasan memperoleh informasi. Infor-masi yang berkaitan dengan kepentingan publik, dituntut untuk dapat diperoleh para pihak yang membutuhkan secara cepat, mudah dan tepat waktu. Pada konteks „human as citizen‟ ditandaskan bahwa “to be a citizen is not merely to be a consumer of rights, but to be responsible to other members of the community” (Karst:1977 dalam Hunter, 2011: 1963),
356
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
atau “as citizen, they ought to take responsibility for them-selves, for each other, and for the society to which they belong” (Bovenkamp, 2010: 10-19). Sejalan spirit „we are all citizen‟ baik secara individual dan kolektif, maka pribadi yang memiliki status sosial, politik dan ekonomi lebih tinggi, mereka justru lekat termasuk dalam golongan kaum „the excellent citizen” (Aristotle:335 BC dalam Block, 2012:135). Mereka adalah para pribadi yang memiliki amanah dan tanggungjawab lebih besar untuk terlibat pro-aktif memperkuat dan melembagakan aktualisasi fitrah „human as citizen‟. Karena itu, “responsibility of the individual must take responsibility in the first place” (Kamali, 2010:20) dan “community as a whole becomes responsible for the accomplishment of the trust (amanah)‖ (Haque:5). Pada konteks inilah, desain sentral tata kelola atau tata kepemerin -tahan pada berbagai sektor, termasuk dalam penempatan dan perlindun gan TKI, dituntut kian lekat ditujukan bagi terwujudnya “well-being by and for all” (Chambers, 2005:194). Berbasikan „rule of the game‟ utama yang berpusar pada “those with more wealth and power as a means to well-being” (Chambers, 2005:197). Implikasinya, tata kelola pada berbagai sektor, sangat urgen benar-benar dibangun berlandaskan konsep „selfgovernance‟ (Bruyn, 2011:150) sebagai sebagai ‗key perspective‟, „key factor analysis‟ dan „key indicator‟. Dimana tata kelola atau tata kepemerintahan, dibangan dengan berpijak pada konsepsi fundamental ―society as a body of self-governing associations” (Bruyn, 2011:151). Ditandai “self-governance was built-in at all phase of life and segments of the society” (Bruyn, 2011:12) dan “a whole society is finally seen as selfgoverning when it is an agent of us” (Bruyn, 2011:152). Konsepsi fundamental „self-governance‟ ini, sekaligus menunjukkan “the concept of self-governance, refers to more than individual self-reliance and auto-nomy. It refers also to the way people manage their lives together in the society as a whole” (Bruyn, 2011:150). Atau, lekat kede-pankan kebangunan “autonomy as a moral idea” (Kant:1797 dalam Bar-Am, 2008: 554), “autonomy as rational action according to universal laws‖ (Kant:1797 dalam Bar-Am, 2008:550). Tatanan „self-governance model‟ atau „self-governance state model‟ (Jorgen-sen, 1993:224), karenanya lekat dicirikan lebih bertumbuh dan berproses melalui mekanisme “governance of the ground-up” (Follett:1918/1923 dalam Elias, 2010: 13). Hubungan antar sektor, lini dan level kepemerintahan, lekat dilandasi spirit “self-governance through mutual governance” (Buyn, 2011:164). Atau, saling mem-perkuat kapasitas berkemandirian. Sehingga pada level mikro, tatanan „self-govern-ance dicirikan “the citizens not only have an essential impact on the services which the administration offers, but takepart in the production process itself‖ (Jorgensen, 1993:224). Sedangkan pada level makro, lekat “characterized with works by nur-turing and shaping the problem solving and self-steering capacities of both public and private, and both individual and collective selves” (Sørensen & Triantafllou, 2008:2). Tatanan ‗self-governance model‟, karenanya lebih sebagai sebuah model tatakelola yang berfokus dan berbasis sentral pada penguatan ‗kapasitas kemandi-rian warga‘ (citizen autonomous capacity). Khususnya, kapasitas kemandirian warga untuk mampu kian proaktif memecahkan aneka problem pribadi dan bersama, dengan tetap mengindahkan aturan dan kepentingan lebih besar. Kapasitas kemandirian warga ini, merupakan basis sentral bagi tumbuh dan berfungsinya tatanan „self-governance‟ pada berbagai lini dan level kepemerintahan (total self-governance). Berpijak pada konsepsi „self-governance model‟ di atas, maka ―if we want to understand any single social problem, we must comprehend the larger picture” (Bruyn, 2011:65). Demikian pula, kinerja tatakelola
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
357
menuntut lebih lekat diukur melalui indikator berpusar pada persoalan “what people are capable of doing and being” (Chambers, 2005:198), termasuk „what state are capable of doing and being‟. Sejalan urgennya dicapai sasaran lebih „meaningful‟ ini, maka sejak dini ditandas-kan bahwa “the pursuit of wealth is not an appropriate overall goal for a flourishing society” (Aristotle:335 BC dalam O‘Ferral, 2011:10). Dimana nilai-nilai ‗selfdetermination, self-sufficient and self-dignity‘, merupakan sasaran yang jauh lebih urgen dan ‗bermakna‘ untuk dicapai oleh segenap pemangku kepentingan. Nasib kehidupan warga dan sekaligus bangsa yang terjerat dalam perangkap “a vicious circle of dependency” (Bunt & Harris, 2010:30), seperti kerentaan yang menimpa TKI, bukan sekedar akibat dari “bad policy” (Schultz:1978 dalam Bates, 1981:2), maupun ―a crisis of governance‖ (World Bank:1989 dalam Santiso, 2001:5). Namun lebih berurat mengakar pada lekatnya tindakan ‗sustainable abuse‟ terhadap „the rights of citizen self-governnce‟, atau lekatnya fenomena „total self-governance decay‟. Dimana aneka pemangku kepentingan pada berbagai lini dan level kepeme-rintahan, telah gagal memperkuat sinergi yang membuahkan penguatan kapasitas kemandirian warga sebagai fokus dan basis sentral kepemerintahan. Karena itu, ditandaskan “human welfare and liberty are best managed by voluntary and demo-cratically self-governing associations” (Hirst:1993 dalam Moon, et.al., 2004:12). Tatanan „self-governance model‟ atau „self-governance state model‟ dimak-sud, dapat diwujudkan jika didukung adanya tindakan penguatan integratif terhadap “three orders of self-governance” (Bruyn, 2011:202). Mencakup, “the religi-ous/cultural, economic, and political or -ders” (Bruyn, 2011:202). Implika-sinya, “the struggle for self-governance is not solely related to the political econo-my. It is closely related to the whole culture” (Bruyn, 2011:65). Penguatan terhadap „cultural order‟, berkaitan penguatan penguasaan pengetahuan, skil, moralitas, men-talitas, teknologi, pemahaman hukum, hak, tanggungjawab, dan nilai-nilai universal. Penguatan terhadap „economic order‟, berkaitan peningkatan pemenuhan kebutuhan aneka sumberdaya (sarana dan prasaran) bagi terjadinya kemandirian. Sedangkan penguatan „political order‟, berkaitan penguatan kewenangan mengambil keputusan dan kontrol secara lebih mandiri. Tatanan tatakelola berbasis „self-governance mo-del‟ ini, lebih spesifik dapat di-sarikan pada bagan berikut. Bagan 2 Tatakelola Berbasis ‘Self-Governance Model
Sumber: Wiyoto, 2014:39.
358
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Melalui penguatan terhadap ketiga tatanan fundamental „self-governance‟ inilah, warga Sasaran dan segenap pemangku kepentingan, dapat diharapkan benar-benar saling mampu proaktif dan produktif berperan menjadi „an active agent of change„. Atau, mampu berperan proaktif menjadi “citizen as value creators” (Bourgon, 2009:10), “citizens as producers of the services” (Parks, et. al.:1986 dalam Needham, 2009:1), dan “citizen as users democracy” (Pestoff, 2010:10). Sehingga upaya penumbuhan „self-governance model‟, sangat lekat menuntut adanya tindakan ―devolving powers and resources away from central control towards frontline managers, local democratic structures and local consu-mers and communities” (Stoker:2005 dalam Pillora & McKinlay, 2011:12). Tindakan fundamental ini sangat urgen dilakukan demi menjamin terjadinya “a shift from equality of opportunity to equality of agency” (Rao & Walton:2004 dalam Boyte, 2008:2). Adanya tindaka devolusi benar-benar nyata, luas dan terintegratif hingga sampai ke warga sasaran ini, sekaligus merefleksikan kebutuhan bagi dilancarkannya gerakan baru „govern-ance relocalization‟, yakni gerakan „to rashape gavernance around the citizens and the communities that used them‟. Keberhasilan menumbuhkan tatanan „self-govern-ance model‟, karenanya lekatt tergantung pada ada tidaknya komitmen segenap pe-mangku kepentingan saling memperkuat dan melembagakan praktek-praktek “auto-nomy and integrity of all actors” (Nisbet:1967 dalam Tiihonen, 2004:89).
Tatakelola Berbasis ’e-Governance’ Pengembangan tatakelola berbasis „e-governance‟ di lingkungan pemerintah, kini makin marak dilakukan. Namun kecenderungan yang terjadi, “most of the state governments have developed from the view point of the government. They are pri-marily focused on how the government department wants to put it forward” (Cha-kravarti & Venugopal, 2008:3). Implikasinya, “the bureaucratic silo approach would not provide the result as expected from the computerization efforts used in the government” (Chakravarti & Venugopal, 2008:3). Sehingga praktek „e-governance‟, seringkali justru sekedar sebagai ‗new assesories‘ yang memicu ‗pemborosan‘ dari-pada ‗perbaikan kinerja‘ secara “radically more, for radicalle less” (CST, 2010:2). Pada konteks inilah sangat urgen ditegaskan penerapan „e-governance‟ me-nuntut tatakelola lekat berfokus dan berbasis sentral pada „citizen centricity‟ atau „citizen centric approach‟. Atau, diikuti adanya “shifting the focus of government around or from the view point of the citizen and businesses. The portal should take care of the needs of the citizen and business rather than operational or other impe-ratives inside the government machine” (Chakravarti & Venugopal, 2008:3).
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
359
Bagan 3 Primary Objectives of Citizen Centric Solution
Sumber: Chakravarti & Venugopal (2008:4).
Perubahan radikal dan transformatif dimaksud, misalnya terwujud dalam bentuk terjadinya “(a) improved quality of service, (b) transparent, efficient, and secured delivery, and (c) anytime, anywhere avaibility of service” (Chakravarti & Venugopal, 2008:4). Sehingga tatanan „e-governance‟ secara actual mampu ber-fungsi menjadi bagian integral dari „citizen centric solution‟. Sangiorgi (2011:9), lebih lanjut “identified seven key principles that seem to unify transformative practices in design”. Ketujuh prinsip dimaksud dapat disari-kan pada bagan berikut.
360
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Bagan 2.5 Transformative Desaign Principles
Sumber: Sangiorgi, 2011:9.
Berpijak pada bagan di atas, format tatanan „e-governance‟ hanya dapat fungsional jika lekat berfokus dan berbasis sentral pada pendayagunaan peran pro-duktif „active citizens as agent‟ (Sangiorgi, 2011: 9). Peran produktif warga ini, esen-sinya adalah “as a key resource to fundamentally change the traditional hierar-chical model of service delivery and the perception of citizens themselves” (Sa-ngiorgi, 2011:10). Peran produktif warga ini, dapat diwujudkan melalui serangkaian tindakan strategis, berupa adanya „intervention at community scale, building ca-pacity and research partnerships, redistributing of power, enhancing and hope, building infrastructur and enabling platform, evaluating process and impact‟. Aktualisasi penguatan kapasitas kemandirian „active citizens as agent‟, de-ngan demikian lekat bersifat ‗collective created‟. Diciptakan oleh segenap pemangku kepentingan. Pada konteks inilah, pemerintah dituntut benar-benar kian mampu berfungsi sebagai „enabling platform‟ bagi terjadinya kebangunan tatanan „total selfgovernance from the ground-up‟.
Kajian Riset Terdahulu Aneka riset tentang migras kerja migran perempuan PRT lintas negara, pada umumnya masih sarat terfokus pada persoalan latar sosial dan ekonomi, aneka bentuk kerentana, dan faktor yang mendasarinya. Sebaliknya, masih mengabaikan urgennya menkaji persoalan lebih krusial. Seperti, tatanan fundamenta seputar ‗governance model‟ maupun ‗e-governance‘ yang relevan dengan kebutuhan menumbuhkan kapasitas kemandirian migran PRT.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
361
Aneka penelitian terkait migran PRT perempuan lintas negara, secara ringkas dapat disarikan seperti pada tabel berikut. Tabel 1 Penelitian Terdahulu Migran PRT Antar Bangsa
Peneliti
Fokus Kajian
Hasil kajian
Rosenberg
Profil pekerja migran wanita
25 peratus migran wanita PRT berusia dibawah 15 tahun,
(2003)
PRT di Indonesia
majoriti berasal dari luar bandar, berpendidikan SD, belum berkahwin,
memiliki
sedikit
kemahiran
for-mal,
dan
bertanggungjawab terhadap keluarga Rosenrberg
Profil pekerja migran wanita
Sekitar 1400 000 hingga 2100 000 wanita Indonesia bekerja
(2003)
PRT asal Indonesia di luar
di luar negeri dan bekerja sebagai PRT. Kawan dan kenalan
negara
merupakan saluran utama untuk memperolehi seorang majikan yang baik.
Sayres
Profil pekerja wanita PRT di
Sebahagian besar PRT masih berusia muda, sekitar 19 tahun
(2004)
Filipina dan migran wanita
atau kurang, dengan majoriti berusia antara 15-19 tahun, atau
PRT asal Filipina di Hong
sekitar 59 peratus PRT berusia 15 dan 24 tahun.
Kong dan Singapura PRT Filipina di Hong Kong, usia rata-rata adalah 33 tahun, 62 peratus lulus pendidikan dasar. Survey di Singapura, separuh PRT Filipina menghabis-kan SMA, 43 peratus menyandang gelaran
perguruan
tinggi,
dan kebanyakan mereka berasal dari daerah kota dibanding yang bermukim di kota kecil Human
Perlindungan
terhadap
para
Right Watch
pekerja migran PRT dari luar
lindungan. Menawarkan perlindungan lebih rendah bagi PRT,
(HRW)
negara di Singapura
lebih memfokuskan pada masalah izin kerja daripada
(2005)
Undang-Undang
tidak
mengikutkan
PRT
dalam
per-
perlindungan. Meski memegang kontrak bertulis, PRT masih me-ngalami pencabulan atas hak-haknya. Hanya sedikit mekanisme yang berkesan
dan
cekap
untuk
membuat
majikan
bertanggungjawab. Para PRT juga mengalami penindasan dan eksploitasi selama pengambilan dan penempatan kerja. Wisnuwardi
Masalah migran wanita PRT
PRT Indonesia di Singapura setelah kontrak berakhir, banyak
ni,
Indonesia di Sangapura
majikan tidak bayar sepenuhnya.
dkk
Ejen tenaga kerja dan
kedutaan, kurang berkesan dalam memberi bantuan kepada
362
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
(2005)
PRT Indonesia yang mengalami penindasan dan eksploitasi.
Human
Perlindungan migran wanita
PRT kurang memperolehi perlindungan undang-undang,
Right
PRT
dibezakan secara `non-ahli`, menyerahkan penyelesaian
Whacht
Malaysia
asal
Indonesia
di
sebahagian besar kes penindasan kepada para ejen atau
(HRW)
penyalur yang berasaskan keuntungan.
(2004) Kebanyakan
negara
belum
miliki perundangan untuk
menangani perdagangan manusia. Selain itu, per-undangan imigrasi di Malaysia tidak membezakan anta-ra pekerja migran haram dan mereka yang meninggal-kan majikan akibat keadaan kerja yang menindas. PRT yang kembali daripada bekerja di luar negara juga menghadapi banyak kesulitan saat tiba di negara asal mereka. Di Indonesia, petugas di lapangan terbang juga pejabat imigrasi, penyedia pengangkutan dan orang awam yang meminta biaya amat tinggi, atau menipu mereka dalam perjalanan menuju kampung asal me-reka. ILO (2004)
Kajian tentang situas PRT di
Antara 70 peratus dan 90 peratus pekerja migran Indonesia
Negara-negara Arab
dan Filipina yang bekerja di Timur Tengah adalah wanita. Di Bahrain hanya 44 peratus kontrak
sebelum
PRT yang telah menandatangi
kedatangan.
PRT
juga
mengalami
penindasan fizikal, verbal atau seksual. Sekitar 51 peratus di Kuwait, 47 peratus di Bahrain, dan 50 peratus di Uni Arab Emirat, membuat PRT dijangkiti HIV/ AIDS dan penyakit menular lainnya. Asian
Pekerja migran wanita PRT
Sekitar 86 peratus PRT telah menandatangi kontrak kerja,
Migrant
Indonesia di Hongkong
namun hampir sepertiga di antaranya belum mendapatkan
Care (AMC)
penjelasan sepenuhnya tentang kontrak tersebut. Sementara
(2005)
itu, seperempatnya dibolehkan menyimpan salinan kontrak. Mereka umumnya kurang dilindung atas soal pem-berhentian kerja. Walaupun telah memegang kontrak bertulis, mereka masih mengalami pencabulan atas hak-hak mereka. Aspek mekanisme yang berkesan dan efisien mampu membuatkan majikan bertanggung jawab atas penindasan dan eksploitasi. Penindasan dan eksploitasi juga dialami PRT selama pengambilan, penempatan dan berada di tempat kerja. Survey 2005 menyatakan bahawa PRT Indonesia di Hong Kong, sekitar 77 peratus dari mereka telah mem-bayar wang
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
363
sebanyak 15 peratus. Kementerian
Situasi pekerja migran wanita
Sebanyak 96 peratus pekerja migran wanita berusia 20-49
Tenaga
PRT
dan
tahun dan 72 peratus bekerja di sektor per-khidmatan. Pekerja
Kerja
pengembangan
praktik
migran wanita dari Asia, me-nempati kedudukan terbesar,
Bahrain
pengurusan yang baik
di
Bahrain
iaitu mencapai 82 pera-tus.
(2005) Untuk tingkatkan perlindungan pada para pekerjaa mi-gran wanita, pemerintah Bahrain telah mengambil tindakan iaitu: (a) menetapkan keperluan pekerja domestik, (b) menetapkan jumlah gaji yang layak (c) menjamin pengguna memiliki catatan latar belakang peribadi yang baik dan tidak pernah memiliki rekod jenayah, (d) penyediaan tempat tinggal dan (e) pembuatan Smart Cards dalam bentuk pengambilan cap jari.
Kemente-
Kondisi
masalah
pekerja
rian Tenaga
migrant wanita PRT di Jordan
Pekerja migran sekitar 20 peratus daripada tenaga kerja Jordan. Jumlah pekerja migran wanita sebanyak 50 000
Kerja
orang, dan 98 peratus sebagai pekerja domestik (rumah
Jordania
tangga).
(2005) Dapatan kajian juga mengungkapkan pelbagai masalah yang dihadapi. Keadaan kerja di dalam (inside) dan di luar (outside) rumah tempat kerja. Masalah utama di rumah tempat kerja (a) upah tidak dibayar penuh; (b) jam kerja yang panjang; (c) pembatasan kebebasan bergerak; (d) penahanan fail identiti diri pekerja; dan
(e) pelanggaran hak fizikal
atau seksual
Permasalahan di luar tempat kerja mencakupi: (a) institusi pengambilan pekerja tidak teratur; (b) lemahnya mekanisme penerapan undang-undang; (c) pengawasan atau keamanan.
Kementerian
Pengembangan
Tenaga
yang
364
Kerja
baik
praktik
Pekerja wanita asing sekitar 150 000 orang yang
bagi
bekerja di sektor domestik. Berasal dari Bangla-desh,
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Singapura
perlindungan
pekerja
(2005).
migran wanita PRT
India, Indonesia, Malaysia, Myanmar dan Filipina.
Pemerintah
telah
menerapkan
pendekatan
ber-
lapis/ganda (multifaceted approach) untuk men-jamin kehidupan dan melindungi kepentingan pekerja asing. Pelbagai sarana dan langkah ini-siatif yang dilakukan: (a) menetapkan per-syaratan memasuki wilayah negara Singapura; (b) persyaratan pendidikan; (c) pengaturan ejen tenaga kerja; (d) penggubalan peraturan
per-undangan;
(e)
pengembangan
konsiliasi; (f) ker-jasama; dan (g) sarana pengurusan. Kementrian
Pelbagai isu terkait persoalan pekerja migran wanita
Sumberdaya
PRT
Manusia
menimbulkan masalah baik pada pihak ejen, majikan
Malaysia (2005)
mahupun migran wanita PRT. Selain itu, dipaparkan
yang
berkembang
selama
ini,
telah
sejumlah langkah yang telah diambil dan tindakan pembetulan yang disarankan oleh Kerajaan Malaysia. Lely
Indah
Mindarti (2012)
Kinerja dan Kerentanan TKI-PRT Malaysia
Permpuan
di
Kepuasaan
majikan
terhadap
kinerja
TKI-PRT
perempuan di Malasyia, masih relatif rendah. Khususnya terkait aspek/faktor ‗morlitas kerja‘ dari TKI-PRT
perempuan.
Implikasinya,
keren-tanan
tidak hanya berpeluang menimpa para TKI-PRT perempuan, tetapi kerentanan serupa dapat juga terjadi
pada
pihak
keluarga
majikan
sebagai
pengguna. Karena itu, pemberdayaan terhadap TKIPRT perempuan, tidak cukup dila-kukan pada tahapan pra-penempatan, namun juga sangat urgen dilakukan pada tahapan ‗se-lama penempatan‘ di tempat kerja majikan di luar negeri.
Aneka hasil riset yang relevan di atas, menunjukkan bahwa tatakelola penem-patan TKI-PRT di luar negeri, belum secara efektif memperkuat aksi perlindungan terhadap TKI-PRT perempuan. Baik pada fase sebelum penempatan, selama penempatan, dan fase pemulangan (paska penempatan). Sumber paling fundamentalnya, akibat tatakelola penempatan TKI-PRT perempuan, belum secara sungguh-sungguh dan nyata diberdayakan. Hingga para TKI-PRT mampu proaktif berperan sebagai ‟an active agent of change‟ dalam keseluruhan tahapan proses pelaksanan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
365
Tujuan dan Manfaat Penelitian Sejalan rumusan masalah yang diajukan, riset dengan topik sentral seputar persoalan penerapan ‟good governance‟, khususnya prinsip ‘transparansi‘ dalam penempatan TKI-PRT perempuan di luar negeri ini, memiliki tujuan utama, yaitu: 1.
Mengidentifikasi dan menganalisis relevansi aneka persyaratan yang berlaku dan dipraktekkan dalam proses penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, dengan kebutuhan bagi ditumbuhkannya sistem manajemen informasi penempatan TKI yang transparan berbasis ‟self-governance model‟. Tatakelo-la berfokus dan berbasis sentral pada penguatan kepasitas kemandirian ‟TKI as an active agent of change/evaluator and creator of information) dalam keseluruhan tahapan proses penempatan dan perlindungan TKI-PRT perempu-an di luar negeri;
2.
Menganalisis dan merumuskan substansi dasar konseptual yang relevan dan strategis bagi kebutuhan ditumbuhkannya sistem manajemen informasi pe-nempatan dan perlindungan TKI yang transparan berbasis ‟self-governance model‟ dimaksud.
Berpijak pada tujuan utama yang hendak dicapai dalam penelitian, maka hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat utama kepada stakeholders terkait. Manfaat bagi TKI dan Majikan, kelak kian mampu: memiliki kemu-dahan melakukan komunikasi dan menyampaikan informasi kepada segenap stakeholders; melakukan pemberdayaan diri dan upaya preventif mengurangi resiko kerentanan akibat tindakan stakeholders; meningkatkan peran emansipatif TKI menjadi evaluator dan kreator informasi yang utama dalam keselu-ruhan tahapan proses penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Manfaat bagi Institusi Penyedia (Agensi) TKI, kelak kian mampu: meningkatkan kualitas penempatan dan perlindungan TKI secara lebih kredibel, transparan, cepat, mudah dan murah; melakukan monitoring dan laporan periodik seputar kondisi TKI-PRT; mampu proaktif memperkuat kapasitas kemandirian lembaga, kinerja PRT, dan citra positip dirinya maupun pemangku kepentingan terkait. Manfaat bagi Pemerintah, kian mampu: memiliki referensi konseptual bagi kepentingan membangun sistem manajemen informasi TKI secara ‟on-line‟ berbasis ‘self-governance model‘, dan dapat diajadikan acuan merumuskan ‟enabler paltorm‟ yang lebih relevan, strategis dan bermanfaat bagi semua pihak.
Metode Penelitian Riset ini dilakukan dlambentuk studi kasus (case study), dengan pengum-pulan data yang dilakukan di level domestik (Indonesaia) dan luar negeri (Malaysia). Data utama berupa data kualitatif, dengan berbasis pada sumber data sekunder. Namun pada aspek persoalan tertentu, dipergunakan sumber data primer. Sumber data primer, diprioritaskan pada „stakeholder‟ tertentu, yakni .pihak ‗perwakilan Pe-merintah RI di Malaysia‘ sebagai pelaku sentral di lapangan selama TKI-PRT berada di negara tujuan. Data utama dikumpulkan melalui teknik dokumenter (documentary) yang tidak hanya terbatas yang ada di level domestik, tetapi juga yang di Malaysia. Ter-utama data yang ada di Kedubes Malaysia. Teknik analisis data dilakukan mellui teknik ‗analisis isi‘ (content analysis) berbasis ‗analisis deskriptif‘ (descpirtve ana-lysis).
366
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
TEMUAN RISET DAN PEMBAHASAN Kondisi Perkembangan Penempatan TKI-PRT Dinamikan kondisi domestik ketenagkerjaan, seperti di Jatim, masih menunjukkan adanya keterkaitan antara kesempatan kerja domestik dan intensitas perkembangan pengiriman TKI ke luar negeri. Meskipun kesempatan kerja baru yang tercipta meningkat, namun terus lekat diwarnai adanya ketimpangan gender. Kesempatan kerja baru yang tercipta bagi kaum pria mencapai sebesar 84,29%, sedangkan bagi kaum perempuan hanya sebesar 38,20%. Kesempatan kerja baru yang bisa gender ini, telah diikuti berlanjutnya dominasi kaum perempuan memilih menjadi TKI. Berlanjutnya dominasi kaum perempuan menjadi TKI, terutama menjadi PRT/PLRT, telah diikuti dominannya TKI-perempuan yang bermasalah ketika bera-da di negara tujuan. Seperti terjadi hingga September 2014, dimana dari sebanyak 598 TKI bermasalah yang ditampung di shelter KBRI Malaysia, sekitar 67,6% TKI adalah para TKI-PRT perempuan. Tabel 2 TKI Bermasalah Menurut Sektor Pekerjaan di Shelter KBRI Kuala Lumpur Periode Januari – September 2014
No
Sektor Pekerjaan
Jumlah
%
01
PLRT
398
67,6
02
Tidak Bekerja
37
6,30
03
Cleaner
28
4,80
04
Restoran
25
4,20
05
Tadika
25
4,20
06
Kedai
13
2,20
07
SPA
12
2,00
08
Kilang
10
1,70
09
Kontruksi
9
1,50
10
Pelancong
9
1,40
11
Stranded
6
1,00
12
PSK
5
0,80
13
Penjaga Orangtua
3
0,50
14
Salon
3
0,50
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
367
15
ABK
2
0,30
16
Ladang
2
0,30
17
Baby Sister
1
0,20
18
Bidan Kampung
1
0,20
19
Hotel
1
0,20
Jumlah
598
100,00
Sumber: KBRI di Malaysia, 2014:3. Ada pun aneka permasalahan yang dihadapi TKI yang ditampung di shelter KBRI Malaysia, dipaparkan pihak KBRI di Kuala Lumpur-Malaysia, mencakup: (a) eksploitasi kerja, penyiksaan, (c) gaji tidak dibayar, (d) paspor dipegang majikan, dan sejenisnya. Masih tingginya kerentaan TKI hingga kurun 2014, pada esensinya adalah tidak terlepas dari kecenderungan kuat dimana substansi pengaturan dan praktek tatakelola penempatan TKI di luar negeri, masih diwarna 7 (tujuh) kelemahan mendasar. Substansi pengaturan hak dan kewajiban TKI. Substansi pengaturan yang ada selama ini, masih sarat terpusat pada „hak-hak substantive TKI‟ daripada „hak-hak procedural TKI‘. Hak prosedural TKI ini, terutama yang berkaitan dengan ke-butuhan penguatan kapasitas kemandirian dan aktualisasi peran produktif „TKI as an active agent of change‟, khususnya „TKI as an active evaluator and creator of information‟ dalam keseluruhan tahapan proses pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri. Implikasinya, pengaturan hak dan kewajiban TKI yang ada, justru lebih banyak memposisikan TKI dalam „peran pasif‟ dan bukan pada „peran aktif‟. Substansi pengaturan terhadap peran dan tanggungjawab pemangku ke-pentingan di luar TKI. Substansi pengaturan yang ada, lebih lekat terfokus pada aspek ‗teknis manajemen‘ penempatan TKI daripada ‗aspek strategis manajemen‘ bagi penumbuhan ‗collective capacity‘ bagi segenap pemangku kepentingan untuk memicu kebangunan kapasitas kemandirian TKI sebagai fokus dan basis sentral sebagai ‗an active agent of change‘, khususnya ‗TKI as an active evaluator and creator of information‘ dalam keseluruhan tahapan proses pelakanaan penempatan TKI di luar negeri. Sehingga aktivitas manajemen penempatan dan perlindungan TKI, rentan didominasi peran dan kepentingan pihak pemangku kepentingan daripada memperkuat perlindungan TKI. Dampaknya, TKI terus berpotensi mengalami aneka bentuk kerentanan yang bersumber pada tindakan pemangku kepentingan itu sen-diri. Selain itu, substansi pengaturan peran dan tanggungjawab pemangku ke-pentingan di luar TKI, terlalu lekat terkonsentrasi pada fase ‗pra-penempatan‘ dan mengabaikan peran proaktif pemangku kepentingan pada fase ‗selama masa penem-patan TKI‘ di luar negeri. Pengaturan ini terlihat jelas, misalanya pada persoalan pelatihan terhdap TKI yang hanya ditegaskan dilakukan pada tahapan ‗pr-penempatan‘. Sebaliknya, tidak ada substnasi pengaturan yang menegaskan dan menekannya urgennya pelatihan TKI yang serupa selama berada di negara tujuan penempatan. Implikasinya, problem hubungan kerja majikan dan TKI, masih terus marak terjadi hingga kini. Seperti tercermin maih tingginya TKI-PRT bermasalh yang tertampung pada shelter KBRI di Malaysia hingga September 2014.
368
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Sementara itu, pengaturan pelatihan TKI pada fase ‗pra-penempatan‘, cende-rung terbatas pada penguatan ‗ketrampilan teknis‘ daripada penguatan kapasitas ‗kultural‘ (mora-litas/spirituaitas), ‗ekonomi‘ (infrastruktur dan akses komunikasi), dan ‗politik‘ (negosiasi dan komunikasi dengan segenap pemangku kepentingan). Implikasinya, prinsip perlindungan pertama dan terbaik datang dari TKI sendiri, tidak dapat berkembang-tumbuh seperti yang diharapkan, bahkan ditegaskan dalam peraturan perundangan. Substansi pengaturan struktur alokasi biaya yang menjadi beban majikan dan TKI, cenderung lebih bias ke pemangku kepentingan dan untuk membiaya kebutuhan administratif TKI. Sebaliknya, relatif minim untuk membiayai penguatan kapasitas kemandirian TKI agar mampu proaktif menjadi „an active agent of change‟. Seperti, penyediaan fasilitas sarana komunikasi, dokumentasi, dan sara-na/prasarana vital lainnya, maupun untuk mendukung pelaksanaan kewajiban PPTKIS dan mitranya di luar negeri untuk melakukan aktivitas strategis monitoring kondisi TKI-PRT selama berada di tempat kerja majikan.
Tabel 3 Struktur Biaya Penempatan TKI-PRT di Malasyia
No
Item
Amount (Rp)
Amount (RM)
1
AnnualLevy
1.245.000
415
2
Work process and document
255.000
85
3
Stamping,
1.935.000
645
airport
cleareance,
documentation,
service tax, food and lodging, insurance, etc. 4
Medical Check-up in Malaysia
570.000
190
5
Fees for Malaysia Agency
4.500.000
1.500
6
Transportation cost from the original point in
2.100.000
700
Indonesia to the place of empowernment in Malaysia 7
Airport tax and handling
300.000
100
8
Training (50%)
2.085.000
695
TOTAL
18.000.000
6.000
Sumber: KBRI di Malaysia (2014). Pada tabel di atas terlihat dimana dari total biaya yang menjadi beban kewa-jiban majikan sebesar Rp. 18.000.000,- yang menjadi bagian dari „fee for Malaysia agency‟ mencapai sebesar Rp.4.500.000,-. Besaran fee agensi ini, jauh lebih besar daripada porsi alokasi untuk membantu biaya pelatihan calon TKI-PRT yang hanya sebesar Rp. 2.085.000.-. Kondisi struktur alokasi biaya yang serupa terjadi pada struktur alokasi biaya yang dibebankan kepada pihak calon TKI-PRT. Dari total beban biaya yang harus ditanggung calon TKI-PRT sebesar
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
369
Rp. 5.400.000,- yang dialokasikan untuk membiayai training calon TKI yang dikelola pihak PPTKIS men-capai sebanyak Rp. 2.085.000.000,-.
Tabel 4 Struktur Fees Bear by Domestic Worker No
Item
Amount (Rp)
Amount (RM)
1
Medical check-up in Indonesia
700.000
233
2
Psycological Test
250.000
83
3
Visa imposed by the Malaysian Emabssy
45.000
16
4
Traveling document
120.000
40
5
Insurance
400.000
133
6
Training (50%)
2.085.000
695
7
Competency examination
150.000
50
8
Acomodation
1.650.000
550
TOTAL
5.400.000
1.800
Sumber: KBRI di Malaysia (2014). Struktur alokasi biaya penempatan TKI-PRT di Malaysia yang lebih biasa ke pihak pemangku kepentingan dan mengurus persyaratan administrative calon TKI ini, memili implikasi serius. Dimana pihak TKI terus terperangkap dalam kondisi tidak bisa berbuat banyak, ketika menghadapi situasi yang berpotensi menimbulkan kerentanan pada dirinya. Pihak pemangku kepentingan pun dihadapkan pada kondisi ketiadaaan dukungan sumberdaya yang memadai untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Seperti, melakukan pemberdayaan dan monitoring langsung secara periodic dan berkelanjutan terhadap perkembangan kondisi TKIPRT selama berada di tempat kerja majikan. Substansi pengaturan pengembangan sistem manajemen informasi TKI ber-basis „on-line‟. Substansi pengaturan yang ada masih lekat didasarkan pada sudut pandang dan kepentingan pemangku kepentingan di luar pihak TKI. Sebaliknya, bukan didasarkan pada sudut pandang dan kepentingan memperkuat aktualisasi peran „TKI as active agent of change‟, khususnya „TKI as active evaluator and creator of infor-mation‟. Misalnya, tercermin pada pengaturan yang tertuang dalam pasal 52 Permenaker 22/2014 yang menegaskan bahwa ―layanan data dan informasi TKI sekurang-kurangnya memuat: identitas TKI meliputi nama, tempat dan tanggal lahir, alamat dan pas photo; nomor paspor; nama dan alamat PPTKIS yang menempatkan TKI; nama dan alamat mitra usaha dan/atau pengguna; nomor perjanjian penempatan; nomor perjanjian kerja; tanggal keberangkatan; dan
kepersertaan asuransi TKI‖. Implikasinya, pengembangan „e-governance‟ dalam pe-
nenpatan dan perlindungan TKI, akan lebih banyak menimbulkan ‗pemborosan sumberdaya‘ dan kurang terasakan manfaat strategis dan jangka panjangnya bagi TKI maupun pemangku kepentingan terkait.
370
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Substansi pengaturan distribusi kewenangan, tugas dan tanggungjawab dalam tatakelola penempatan dan perlindungan TKI masih lekat bewajah „overlapping‟. Belum memisahkan dan menciptakan „check and balance‟ antar institusi yang meng-emban peran sebagai regulator, pelaksana dan pengawasan. Hampir semua pe-mangku kepentingan dari institusi pemerintah mulai dari pusat, sama-sama saling mengemban peran sebagai implementor dan pengawasan. Sementara itu, fungsi pengawasan terhadap perkembangan kondisi TKI selama berada di tempat kerja majikan, justru dilimpahkan pada pihak PPTKIS dan mitra kerjanya di negara tujuan. Implikasinya, fungsi monitoring, evaluasi, perlindungan dan inovasi dalam tatakelola pe-nempatan TKI, tidak banyak berkembang dari waktu ke waktu.
KESIMPULAN DAN SARAN Substansi pengaturan terhadap tatakela penempatan TKI di luar negeri, seperti TKI-PRT yang mayoritas terdiri atas kaum perempuan, masih lekat berwatak ‘bureacratic centricity‘ daripada ‘citizen centricity‘. Atau, masih lekat didominasi oleh sudut pandang dan kepentingan pemangku kepentingan, daripada berorientasi pada kebangunan tatanan ‘self-governance model‘ yang berfokus dan berbasis sentral pada penguatan kapasitas kemadirian TKI-PRT ‘as an active agent of change‘. Khususnya, penguatan kapasitas kemandirian ‘TKI as an active evaluator and creator of information‘ dalam keseluruhan tahapan proses pelaksanaan penempatan TKI ke luar negeri. Substansi pengaturan tatakelola penempatan TKI ke luar negeri yang lekat berwatak ‟bureaucratic centricity‟ ini, sangat bertentangan dengan esensi fundamental ‟migrasi kerja TKI‟, prinsip fundamental ‟perlindungan pertama dan terbaik muncul dari tenaga kerja itu sendiri‟, serta azas/prinsip utama tatakelola penempatan TKI yang harus dilandaskan pada ‟keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia‟, sebagaiaman diatur dalam UU No. 39/2004. Kondisi substansi pengaturan tatakelola penempatan TKI di luar negeri tersebut, berpotensi menjadi kendala serius dalam upaya mewujudkan system manajemen informasi berbasis ‗on-line‘ yang makin memperkuat transparansi maupun perlindungan TKI. Karena pembaharuan substnasi pengaturan menjadi sangat urgen dan mendesak dilakukan. Pembaharuan strategis yang urgen dilakukan, mencakup aneka dimensi penting tatakelola penempatan TKI seperti disarikan pada tabel berikut. Tabel 5 Substansi Konseptual Pembaharuan Tatakelola Sistem Informasi Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri
No
Aspek
Tateklola
Substanai Penguatan
TKI 01
Visi
Penempatan TKI sebagai bagian integral penguatan praktek „human development/ emancipation process‟, dan diplomasi bangsa yang ber-
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
371
‗Trisakti‘ 02
Penguatan kapasitas kemandirian TKI sebagai „an active agent of change‟
Fokus
(active evaluator and creator information) dalam tatakelola TKI 03
Prinsip
Kepemerintahan yang baik dan berkemandirian (good governance and selfgovernance)
04
Penguatan kapasitas kemandiran ‗kultural/spiritual, ekonomi dan politik‘
Faktor Kunci
segenap pemangku kepentingan (autonomy and integrity of all actors) 05
Penataaan Institusional
1. Pemisahan insitusi fungsi regulasi, pelaksana dan pengasan &
2. Kesimbangan distribusi kewenangan dan sumberdaya
manajemen 3. Penerapam ‟e-governance‟ berbasis „TKI centricity‟ (self-governance model) 4. Pembentukan unit ‗crises centre‘ pada segenap pemangku kepentingan di luar TKI dan manjikan 5. Restrukturisasi alokasi dana yang ditanggung majikan dan TKI 06
Tahap
Pra-
Penempatan
1. Perbarui standar minimal kelayakan majikan/pengguna TKI 2. Perbarui struktur alokasi biaya yang ditanggung majikan dan TKI; 3. Verifikasi lapangan kelayakan pengguna, agensi luar negeri, dan PPTKIS; 4. Identifikasi dan validasi contact person pengguna dan pemangku kepentingan terkait 5. Identifikasi dan validasi „personal contact‟ penangungjawab „crisis central‟ di setiap pemangku kepentingan dalam dan luar negeri; 6. Fasilitasi sarana dan akses komunikasi TKI di dalam negeri; 7. Monotoring lapang dan atau „e-monitoring‟ ke TKI dalam menjalani setiap aktivitas pra-penempatan dan hasil-hasilnya; 8. Verifikasi aneka dokumen, kontrak kerja, asuransi dan nomor rekening bank TKI di luar negeri
07
Tahap Penempatan
Masa
1. Fasilitasi sararan komunikasi & akes komunikasi TKI di luar negeri; 2. Perbarui format substansi KTLN sebagai bagian integral memperkuat akses informasi TKI 3. Verifikasi dan monitoring lapanga atau „e-monitoring‟ terhadap TKI secara periodik sejak kedatangan dan selama TKI berada di tempat tinggal majikan;
372
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
4. Verikasi dan monitoring lapangan atau ‗e-monitoring‘ terhadap majikan/pengguna tenang kinerja TKI; 5. Program pemberdayaan TKI berbasis kebutuhan TKI/majikan pengguna 08
Tahap
Paska
Penempatan
1. Informasi waktu berakhirnya kontrak kerja kepada TKI dan Majikan; 2. Verifikasi, monitoring lapang atau ‗e-monitoring‘ kesiapan kepulangan TKI dan segenap aspek terkait; 3. Verivikasi lapangan kelayakan Pos Layanan Kepulangan TKI; 4. ‗e-monitoring‘ terhadap TKI selama menjalani proses kepulangan hingga ke tempat asal
Aneka pembaharuan yang strategis tersebut, merefleksikan bahwa msa depan tatakelola penempatan TKI diluar negeri, menuntut lekat lekat dibangunan pada pendayagunaan peran prouktif TKI sebagai „an active agent change‟. Tatatanan baru ini hanya dapat diwujudkan jika dilandasi adanya „share vision‟, „collective capacity‟, dan komitmen segenap pemangku kepentingan untuk saling bersinergi memperkuat kebangunan tatanan „self-governance model‟ dalam tatakelola penempatan TKI, termasuk dalam pengembangan sistemmanajemen informasi penempatan TKI berbsis „on-line‟. Terutama melalui adanya tindakan otonomisasi yang nyata, luas dan terintegratif yang ditujukan untuk memperkuat dan melembagaan prakte-pratek „autonomy and integrity of all actors‟. Semoga!
DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab, Solichin. 1998. Ekonomi Politik dan Bisnis Indonesia Era Orde Baru, Malang : Universitas Brawijaya Press. Abimanyu, et al. 1995. Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan Rakyat. Yogja-karta : PAU-SE dan BPFEUGM. Anwar. 2007. Manajemen Pemberdayaan Perempuan. Bandung : Alfabeta. Ambar Teguh, S. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Jakarta Grava Media. Buang, Amriah. 2007 Memahami Masalah Gender. Bahan Kuliah. Malaysia : Universiti Kebangsaan Malaysia. Bhudeb Chakravarti & M. Venugopal, 2008, Delivery through e-Governance Portal - Present Scenario in India, Hyderabad, India: A White Paper published by National Institute for Smart Government. Biro Pusat Statistik. 2013. Jatim dalam Angka, Surabaya: BPS. Bryant, C. Dan White, L ,G..1987 . Managing Development in Third Worked Westview, Colorado : Press, Boulder. Creswell, John W. and Vickii L. Plano Clark. 2007. Designing ad Coducting Mixed Methods Research. London : Sage Publications.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
373
CSTransform, 2010, Citizen Centric Transformation: A Manifesto for Change in the Public Service Delivery System, London: Pul Mall. Denhardt, Robert B, and Denhardt, Janet Vinzant. 2000. The New Public Service : Serving rather than Steering. London : Sage Press. Friedmann, John. 1992 Empowerment: The Politics of Alternatif Development. Chambrige: Bllakwell.. Hermono, 2014, Evaluasi Penempatan dan Perlindungan TKI di Malaysia, Malaysia: Kedubes RI. Hermono, 2014, Dokumen Pengajuan Permitaan TKI-PRT di Malaysia, Malysia: Kedubes RI. Henry, Nicolas. 2004. Public Administrastion & Public Affairs. Ninth Edition. USA :. Pearson Prentice Hall. Islamy, M. Irfan. 1998. Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Ilmu Administrasi Brawijaya. Malang : Universitas Brawijaya. Islamy, M. Irfan. 2003. Dasar-Dasar Administrasi Publik dan Manajemen Publik, Malang : Univesitas Brawijaya. Ismail, Rahmah dan Mahbar, Zaini. 1996. Perempuan dan Pekerjaan. Bangi: Uni-versiti Kebangsaan Malaysia. Kantor Perburuhan Antarabangsa. 2006. Mencegah Diskriminasi, Exploitasi, Perla-kuan Sewenang-wenang terhadap Pekerja Migran Perempuan (Bekerja dan Tinggal di Luar Negeri). Jakarta : Press. Kantor Perburuhan Antarabangsa. 2006. Tinjauan Permasalahan terkait Pekerja Rumah Tangga di Asia Tenggara. Jakarta : Press Kantor Perburuhan Antarabangsa. 2006 Pekerja Rumah Tangga di Asia Tenggara : Prioritas Pekerjaan yang Layak. Jakarta : Press. Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta : CIDES. Kathy, Davis, Evans, Mary, and Lorber, Judith. 2006. Gender and Woman Studies. London : Sage Publications. Kepmenaker No. 22/2014 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Mindarti, Lely Indah. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Pengrajin Kompor Minyak (study tentang Pemberdayaan Pengrajin Kompor Minyak di Desa Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang). Thesis Master. Universitas Brawijaya Malang. Mindarti, Lely Indah. 2007, Revolusi Administrasi Publik : Aneka Pendekatan dan Teori. Malang : Bayumedia Publising. Moleong, Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Morgan. Mosley, Hugh and O‘really, Jaqueline. 2002 Labour Markets, Gender and Institu-tional Change. USA : Nortampthon Noor, Ismail dan Noor, Elisa. 2004. Empowerment: The Role of the Citizens. Kuala Lumpur : Fukuda Printing & Office Supplies. SDN. Benhard.
374
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Prijono, Onny S. dan A.M.W. Pranaka (eds).1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebi-jakan dan Implementasi. Jakarta : CSIS. Saptari, Ratna dan Holzer, Briggite. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta : Kalyanamitra. Singh, Shweta. 2007. Deconstructing Gender and Development for Identities of Women. International Journal of Social Welfare. Sumodiningrat, Gunawan. 1998. Membangun Perekonomian Rakyat. Yogjakarta : IDEA dan Pustaka Pelajar. Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Kemiskinan : Teori, Fakta dan Kebijakan . Jakarta : Impac. Susanto. 2003. Otonomi Daerah dan Kompetensi Lokal. Jakarta: PT. Dyatama Milenia. Sutoro, Eko. 2004. Reformasi politik dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogjakarta : APMD Press. Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Publik di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Undang-undang No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. UPT-P3TKI. 2013, Perkembangan Penempatan TKI ke Luar Negeri. Wiyoto, Budi, 2014, Manajemen Publik dan Good Governance, Surabaya: MIA-Pasca Sarjana Unitomo
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
375
E-Governance Sebagai Alternatif Solusi Menghilangkan Konflik Sengketa Tumpang Tindih Lahan Pertambangan Batu Bara Di Provinsi Kalimantan Timur
Himawan Nuryahya dan Secilia Fammy Rukhamah Email: [email protected] dan [email protected]
Abstrak: Konflik sengketa tumpang tindih lahan pertambangan batubara di Provinsi Kalimantan Timur sangat rentan terjadi. Berdasarkan hasil penelitian, Sering terjadinya konflik tumpang tindih lahan di area pertambangan dengan peruntukan lainnya. Biasanya melibatkan peruntukan lahan yang dikuasai oleh civil society. Dari segi Government, konflik tersebut sering disebabkan oleh kurangnya koordinasi antara instansi yang berwenang dalam mengeluarkan perizinan peruntukan lahan. Dari segi civil society, sering ditemukan sertifikat hak kepemilikan lahan ganda yang sering kali disebabkan dikarenakan masalah yang diakibatkan pemekaran wilayah, baik desa maupun kecamatan.
Lemahnya pengawasan sehingga memancing orang
memanfaatkan kesempatan untuk menguasai lahan yang telah dikuasai oleh pihak lain. Dari sektor privat, permasalahan tersebut diatas sangat menghambat iklim investasi serta kinerja perusahaan. Apabila Good Governance benar-benar dilaksanakan,maka seharusnya tidak akan terjadi konflik tumpang tindih lahan di area pertambangan denganperuntukan lainnya. Dari segi Government, bila koordinasi benar-benar dilaksanakan dengan baik, maka tidak akan terjadi tumpang tindih dalam pengeluaran perizinan peruntukan lahan. Dari segi civil society, apabila pemekaran wilayah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (tranparan, partisipatif dan akuntabel) maka tidak akan diketemukan kasus-kasus serttifikat hak kepemilikanlahan ganda yang seringkali disebabkan dikarenakan masalah yang diakibatkan pemekaran wilayah, baik desa maupun kecamatan.Dari sektor privat, dengan good governance permasalahan konflik tumpang tindih lahan tidak akan terjadi. Dengan good governance akan mendukung pertumbuhan iklim invetasi serta kinerja perusahaan. Studi ini dimaksudkan untuk mengkaji e-governance sebagai alternatif solusi dari berbagai permasalahan tumpang tindih lahan yang dihadapi sektor pertambangan. Kajian ini akan mengemukakan penyebab konflik tumpang tindih lahan yang terjadi pada sektor pertambangan disertai solusisolusi yang telah diambil dan koreksi-koreksi dari solusi-solusi tersebut. Metode Penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan instrumen penelitian mengumpulkan, mengelola, menganalisis, menafsirkan, dan memverifikasi setiap data dan informasi yang berasal dari berbagai sumber informan melalui wawancara untuk memperoleh validitas dan reliabilitas data, serta menggunakan proses triangulasi. Kata Kunci: e-governance, Konflik Sengketa Tumpang Tindih Lahan, Pertambangan Batu Bara.
376
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
A. LATAR BELAKANG Penelitian ini merupakan hasil penelitian yang saat ini masih berlangsung dan merupakan bagian dari disertasi yang saat ini penulis susun. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji dan mencari solusi dari berbagai permasalahan tumpang tindih lahan yang dihadapi sektor pertambangan batubara. Saat ini salah satu permasalahan utama yang terjadi dalam pertambangan adalah sering terjadinya konflik tumpang tindih lahan di area pertambangan batubara dengan peruntukan lainnya baik sektor bisnis lain yang sejenis seperti pertambangan maupun lintas sektor seperti kehutanan, pertanian, perkebunan dan peternakan dan juga dengan lahan yang dikuasai atau dipergunakan oleh pihak masyarakat atau civil society. Namun secara umum konflik sengketa lahan ini biasanya lebih banyak melibatkan peruntukan lahan yang dikuasai oleh civil society. Sehingga hipotesis awal yang penulis sampaikan adalah bahwa penulis berpendapat apabila sektor pertambangan dilakukan dengan tata kelola yang baik atau Good Governance benarbenar dilaksanakan, maka seharusnya tidak akan terjadi konflik tumpang tindih lahan di area pertambangan batubara dengan peruntukan lainnya. Kajian ini akan mengemukakan akar penyebab konflik tumpang tindi lahan yang terjadi pada sektor pertambangan batubara disertai solusi-solusi yang telah diambil dan koreksikoreksi dari solusi-solusi tersebut. Secara faktual Provinsi Kalimantan Timur merupakan salahsatu sentra pertambangan batubara di Indonesia, karenanya di sana dengan sendirinya sering terjadinya konflik tumpang tindih lahan di area pertambangan batubara dengan peruntukan lainnya. Salah satu contoh kasus konflik tumpang tindih lahan yang terjadi adalah pada kasus tumpang tindih lahan di kecamatan Sangasanga. Kecamatan Sangasanga merupakan salah satu wilayah penghasil minyak dan gas bumi di Kutai Kartanegara yang kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi hingga saat ini dikerjakan oleh PT.Pertamina EP UBEP Sangasanga berdasarkan Technical Assisstance Contract Nomor 0337/03/M.DJM/89 tanggal 27 Januari 1989 yang dioperasikan oleh operator migas, yang dalam hal ini Operator Migas telah melakukan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di wilayah kerja sanga-sanga Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur sejak tahun 1992. Salah satu perusahaan batubara sebagai pemegang kuasa lahan eksploitasi batu bara di kecamatan Sangasanga tersebut adalah PT. Indomining. PT. Indomining memulai kegiatan eksploitasi batubara di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur dengan luas lahan yang berada dalam Kuasa Pertambangan PT. Indomining seluas kurang lebih 683 Hektar. Kuasa Pertambangan ini didasarkan kepada Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/022/KP-Ep/DPE-IV/2007 sejak tanggal 21 Juni 2007. Masalah tumpang tindih lahan masih kerap terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara, sementara penyelesainya masih belum jelas.
Kasus ini pada dasarnya berlandaskan pada permasalahan yang ada pada
operator migas yang merupakan mitra PT. Pertamina EP di wilayah kerja Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Provinsi
Kalimantan
Timur
berdasarkan
Technical
Assisstance
Contract
Nomor
0337/03/M.DJM/89 tanggal 27 Januari 1989 yang dioperasikan oleh operator migas. Dalam hal ini operator migas telah melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di wilayah kerja Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur,sejak tahun 1992 sebelum izin Kuasa Pertambangan (KP) batubara diterbitkan kepada perusahaan batubara PT. Indomining. Dari seluas 683 Hektar KP Eksploitasi yang dijalankan oleh PT. Indomining sebagian wilayah tersebut tumpang tindih dengan wilayah kerja
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
377
PT.Pertamina EP. Pelaksanaan kegiatan eksploitasi batubara oleh perusahaan batubara di wilayah tumpang tindih lahan perlu diatur lebih lanjut, terutama demi terpeliharanya keselamatan serta aspek pemeliharaan lingkungan dari sisi operasional kegiatan esplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi oleh PT. Pertamina EP dan operator Migas maupun kegiatan eksploitasi batubara oleh perusahaan batubara sendiri. Berdasarkan kajian penulis yang didasarkan kepada penelitian yang dilakukan oleh Nurhayaty yang berjudul ―Tinjauan Yuridis Penyelesaian Senngketa Tumpang Tindih Lahan Pertambangan Migas dan Batubara‖ yang dipublikasikan pada Jurnal Beraja Niti, Vol. 2, No. 10 Tahun 2013, didapatkan keterangan bahwa faktor penyebab terjadinya permasalahan tumpang tindih lahan pertambangan antara PT. Pertamina EP UBEP Sangasanga dengan PT Indomining Sangasanga adalah salah satunya disebabkan oleh faktor kesengajaan dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam kajian tersebut Nurhayaty (2013:21) menyimpulkan bahwa faktor penyebab permasalahan tumpang tindih lahan antara PT. Pertamina UBEP Sangasanga dengan PT. Indomining Sangasanga ada 3 (tiga) hal, antara lain adalah: 1.
Adanya faktor kesengajaan dari Dinas Pertambangan dan Eergi karena diterbitkan dan dikeluarkannya izin kepada PT. Indomining pada tahun 2006 pada lahan yang telah berada dalam wilayah kerja PT. Pertamina EP UBEP yang diberikan izin beroperasi sejak tahun 1996. Alasan pemberian izin kepada PT. Indomining adalah dikarenakan pandangan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur berpendapat bahwa pemberian izin tersebut dikarenakan batubara merupakan devisa negara, merupakan pendapatan asli daerah, serta sebagai asas manfaat bagi kemakmuran rakyat.
2.
Tidak adanya koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan dengan Pemerintah Pusat, karena karena Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Pemeritah Daerah (Bupati) untuk menerbitkan Kuasa Pertambangan (KP). Pemerintah Provinsi hanya menangani izin untuk lokasi tambang
yang
berada di perbatasan dua provinsi. Ekspor batubara yang tidak jelas wilayah kuasa pertambangannya terlebih data jumlahnya dan semakin sulit dikontrol Pemerintah Pusat karena para Bupati tidak mengirimkan laporan ke pusat. 3.
Adanya pengoptimalan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) karena adanya upaya pemerintah dalam meningkatkan dan mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Pengelolaan Sumber Daya Alam Pertambangan Umum dan pelaksanaan Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Pnerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Penyetoran PNBP Sumber Daya Alam Pertambangan umum yang beupa Iuran Tetap dan Iuran Produksi (royalti) yang oleh Pemerintah Daerah ingin dioptimalkan untuk menjadi devisa bagi negara dan pendapatan daerah Dari paparan Nurhayaty tersebut penulis mendapatkan kesimpulan bahwa ternyata : 1.
Otonomi Daerah memiliki pengaruh terhadap munculnya konflik tumpang tindih lahan pertambangan. Hal tersebut terlihat dari penerbitan Kuasa Pertambangan PT.Indomining yang didasarkan kepada Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/022/KP-Ep/DPE-IV/2007 sejak tanggal 21 Juni 2007 seluas 683 Ha, yang ternyata sebagian dari lahan yang di berikan KP terhadap PT. Indomining tersebut
378
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
ternyata berada pada wilayah kerja PT. Pertamina EP UBEP Sangasanga yang telah mendapatkan izin sejak tahun 1992. Penerbitan Surat Keputusan Bupati tersebut didasarkan bahwa Bupati memiliki hak kewenangan untuk memberikan izin. Namun kenyataannya pemberian izin ini menimbulkan tumpang tindih lahan antara perizinan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat kepada PT. Pertamina EP UBEP dengan perizinan PT. Indomining yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah pada lahan yang sama. Walaupun sengketa tumpang tindih lahan ini bisa diselesaikan melalui proses mediasi, namun bukan berarti tumpang tindih lahan ini tidak berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari. 2.
Tidak adanya koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan dengan Pemerintah Pusat, karena karena Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah (Bupati) untuk menerbitkan Kuasa Pertambangan (KP). Pemerintah Provinsi hanya menangani izin untuk lokasi tambang yang berada di perbatasan dua provinsi. Ekspor batubara yang tidak jelas wilayah kuasa pertambangannya terlebih data jumlahnya dan semakin sulit dikontrol Pemerintah Pusat karena para Bupati tidak mengirimkan laporan ke pusat. Hal ini tentu saja suatu kondisi yang mencerminkan bahwa sesungguhnya telah terjadi permasalahan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam tatakelola pertambangan di Indonesia. Munculnya perizinan ganda dan lemahnya koordinasi antara pemerintah Daerah dan Pemerintah
Pusat dalam Tata Kelola pertambangan di Indonesia inilah yang menjadi fokus ketertarikan penulis untuk dikembangkan dalam penelitian ini. Latar belakang penulis sebagai pengusaha di bidang pertambangan batubara menggerakan hati penulis untuk menggali dan memahami apa yang sebenarnya terjadi pada good governance sektor pertambangan di Indonesia, serta mencari solusi terbaik untuk mengatasi kasus sengketa lahan pertambangan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa akar permasalahan konflik tumpang tindih lahan di Kalimantan Timur ditinjau dari aspek Good Governance adalah karena 5 hal utama yaitu : 1.
Permasalahan utama dari tumpang tindih lahan dari kasus-kasus yang dikemukakan diatas adalah bahwa telah terjadi munculnya surat hak pengelolaan ganda atas suatu lahan yang sama. Idealnya hal tersebut tidak boleh terjadi. Suatu lahan atau tanah hanya boleh dimiliki dan dikuasai oleh satu pemegang surat kepemilikan atau hak penggunaan dan pengelolaan tanah. Munculnya surat ganda tersebut di sebabkan instansi-instansi yang berwenang dalam pengelolaan perizinan tidak melakukan koordinasi terdahulu sebelum menerbitkan suatu surat yang sedang diajukan perizinannya. Hal ini dapat kita lihat pada kasus konflik tumpang tindih lahan antara PT. Pertamina UP UBEP Sangasanga dengan PT Indomining. Hal tersebut terlihat dari penerbitan Kuasa Pertambangan PT.Indomining yang didasarkan kepada Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/022/KP-Ep/DPEIV/2007 sejak tanggal 21 Juni 2007 seluas 683 Ha, yang ternyata sebagian dari lahan yang di berikan KP terhadap PT. Indomining tersebut ternyata berada pada wilayah kerja PT. Pertamina EP UBEP Sangasanga yang telah mendapatkan izin sejak tahun 1992. Penerbitan Surat Keputusan Bupati tersebut
didasarkan bahwa Bupati memiliki hak kewenangan untuk memberikan izin. Namun
kenyataannya
pemberian izin ini menimbulkan tumpang tindih lahan antara perizinan yang
dikeluarkan Pemerintah Pusat kepada PT. Pertamina EP UBEP dengan perizinan PT. Indomining yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah pada lahan yang sama. Perijinan ganda ini terjadi karena
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
379
kurangnya koordinasi pemerintah daerah yang melakukan pemekaran dengan instansi-instasi yang berwenang. 2.
Disamping mengalami kelemahan koordinasi di antara instansi-instansi pengelola perizinan lahan dan pengelolaan lahan tersebut, ternyata pemerintah belum memiliki pusat data yang terintegrasi yang bisa diakses oleh intra instansi pemerintah, lintas instansi pemerintah, maupun oleh para stakeholder.
3. Dari segi Government konflik tersebut sering disebabkan oleh kurangnya koordinasi antara instansi yang berwenang dalam mengeluarkan perizinan peruntukan lahan. 4. Dari segi civil society, sering ditemukan sertifikat hak kepemilikan lahan ganda yang sering kali disebabkan dikarenakan masalah yang diakibatkan pemekaran wilayah, baik desa maupun kecamatan. Lemahnya pengawasan sehingga memancing orang memanfaatkan celah hukum yang ada ( loop holes ) sebagai kesempatan untuk menguasai lahan yang telah dikuasai oleh pihak lain. 5. Dari sektor privat, permasalahan tersebut diatas sangat menghambat iklim investasi serta kinerja perusahaan. Berdasarkan kasus diatas merupakan sebagai kasus konflik tumpang tindih lahan yang terjadi, pemerintah seharusnya berupaya agar kasus konflik tumpang tindih lahan tidak terjadi lagi. Namun pada kenyataanya kasus tumpang tindih lahan masih terjadi hingga saat ini. Sehingga berdasarkan kasus yang ada tersebut penulis mencoba untuk membuat pemodelan e governance yang tepat untuk digunakan dalam sektor pertambangan.
B. RUMUSAN MASALAH Dari uraian yang telah di paparkan di atas, maka penulis mengemukakan ingin mengetahui lebih mendalam tentang bagaimanakah pengaruh e-governance dalam meredam konflik tumpang tindih lahan pertambangan.
C. MAKSUD DAN TUJUAN PENULISAN 1.
Penelitian ini diadakan dengan maksud untuk menelaah kemungkinan e-Governance dapat dijadikan alternatif solusi untuk mengatasi konflik tumpang tindih lahan pertambangan.
2.
Menemukan konsep baru tentang model e-Governance untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik tumpang tindih lahan pertambangan.
380
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
D. PEMBAHASAN D.1.
Model E-Governance sektor Pertambangan di Indonesia
Proses bisnis terhambat
Perijinan ganda
Konflik tumpang tindih lahan
Kerugian moril dan materil
Pada: Usaha industri pertambang an dan usaha pendukung/ usaha terkait
Sasaran e-governance Terjadi pada sisi Government : penurunan PAD Pengangguran Terjadi pada sisi Privat : Kegiatan usaha terhambat Terjadi pada sisi Civil Society : Pemerataan kesejateraan terganggu
Gambar 1. Pendekatan Privat
Sering terjadinya konflik tumpang tindih lahan di area pertambangan batubara dengan peruntukan lainnya. Salah satu contoh kasus konflik tumpang tindih lahan adalah pada kasus tumpang tindih lahan di kecamatan Sangasanga. Kecamatan Sangasanga merupakan salah satu wilayah penghasil minyak dan gas bumi di Kutai Kartanegara yang kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi hingga saat ini dikerjakan oleh PT.Pertamina EP UBEP Sangasanga berdasarkan Technical Assisstance Contract Nomor 0337/03/M.DJM/89 tanggal 27 Januari 1989 yang dioperasikan oleh operator migas, yang dalam hal ini Operator Migas telah melakukan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di wilayah kerja sanga-sanga Kabupaten Kutai
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
381
Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur sejak tahun 1992. Salah satu perusahaan batubara sebagai pemegang kuasa lahan eksploitasi batu bara di kecamatan Sangasanga tersebut adalah PT. Indomining. PT. Indomining memulai kegiatan eksploitasi batubara di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur dengan luas lahan yang berada dalam Kuasa Pertambangan PT. Indomining seluas kurang lebih 683 Hektar. Kuasa Pertambangan ini didasarkan kepada Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/022/KP-Ep/DPE-IV/2007 sejak tanggal 21 Juni 2007. Masalah tumpang tindih lahan masih kerap terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara, sementara penyelesainya masih belum jelas.
Kasus ini pada dasarnya berlandaskan pada permasalahan yang ada pada
opertor migas yang merupakan mitra PT. Pertamina EP di wilayah kerja Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Provinsi
Kalimantan
Timur
berdasarkan
Technical
Assisstance
Contract
Nomor
0337/03/M.DJM/89 tanggal 27 Januari 1989 yang dioperasikan oleh operator migas. Dalam hal ini operator migas telah melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di wilayah kerja Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur,sejak tahun 1992 sebelum izin Kuasa Pertambangan (KP) batubara diterbitkan kepada perusahaan batubara PT. Indomining. Dari seluas 683 Hektar KP Eksploitasi yang dijalankan oleh PT. Indomining sebagian wilayah tersebut tumpang tindih dengan wilayah kerja PT.Pertamina EP. Pelaksanaan kegiatan eksploitasi batubara oleh perusahaan batubara di wilayah tumpang tindih lahan perlu diatur lebih lanjut , terutama demi terpeliharanya keselamatan serta aspek pemeliharaan lingkungan dari sisi operasional kegiatan esplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi oleh PT. Pertamina EP dan operator Migas maupun kegiatan eksploitasi batubara oleh perusahaan batubara sendiri. Berdasarkan kajian penulis yang didasarkan kepada penelitian yang dilakukan oleh Nurhayaty yang berjudul ―Tinjauan Yuridis Penyelesaian Senngketa Tumpang Tindih Lahan Pertambangan Migas dan Batubara‖ yang dipublikasikan pada Jurnal Beraja Niti, Vol. 2, No. 10 Tahun 2013, didapatkan keterangan bahwa faktor peyebab terjadinya permasalahan tumpang tindih lahan pertambangan antara PT. Pertamina EP UBEP Sangasanga dengan PT Indomining Sangasanga adalah salah satunya disebabkan oleh faktor kesengajaan dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Kartanegara. Awal permasalahan terjadinya permasalahan ini yaitu ketika muncul permasalahan yang dialami oleh Operator Migas yang merupakan mitra PT. Pertamina EP di wilayah kerja Sangasanga Kabupaten Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Technical Assistance Contract Nomor 0337/03/M.DJM/89 tanggal 27 Januari 1989 yang dioperasikan oleh Operator Migas. Dalam Hal ini Operator Migas telah melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi Minyak dan Gas Bumi di wilayah kerja Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimanatan Timur sejak tahun 1992. Selama Operator Migas ini melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi Minyak dan Gas Bumi di wilayah kerja Sangasanga ini, kemudian terbit lagi Kuasa Pertambangan Eksplorasi berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/132/kp_Er/DPE_IV/XI/2006 tertanggal 24 November 2006 serta persetujuan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi berdasarakan Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/1410/IUP-OP/MB-PBAT/VI/2010 yang diterima oleh PT Indomining Site Sangasanga. PT. Indomining mendapatkan 683 Ha Kuasa Pertambangan Eksploitasi. Namun sebagian wilayah PT. Indomining tersebut ternyata tumpang tindih dengan wilayah kerja PT. Pertamina EP UBEP Sangasanga.
382
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Dalam kajian tersebut Nurhayaty (2013:21) menyimpulkan bahwa faktor penyebab permasalahan tumpang tindih lahan antara PT. Pertamina UBEP Sangasanga dengan PT. Indomining Sangasanga ada 3 (tiga) hal, antara lain adalah: 1.
Adanya faktor kesengajaan dari Dinas Pertambangan dan Energi karena diterbitkan dan dikeluarkannya izin kepada PT. Indomining pada tahun 2006 pada lahan yang telah berada dalam wilayah kerja PT. Pertamina EP UBEP yang diberikan izin beroperasi sejak tahun 1996. Alasan pemberian izin kepada PT. Indomining adalah dikarenakan pandangan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur berpendapat bahwa pemberian izin tersebut dikarenakan batubara merupakan devisa negara, merupakan pendapatan asli daerah, serta sebagai asas manfaat bagi kemakmuran rakyat.
2.
Tidak adanya koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan dengan Pemerintah Pusat, karena karena Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Pemeritah Daerah (Bupati) untuk menerbitkan Kuasa Pertambangan (KP). Pemerintah Provinsi hanya menangani izin untuk lokasi tambang yang berada di perbatasan dua provinsi. Ekspor batubara yang tidak jelas wilayah kuasa pertambangannya terlebih data jumlahnya dan semakin sulit dikontrol Pemerintah Pusat karena para Bupati tidak mengirimkan laporan ke pusat.
3.
Adanya pengoptimalan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) karena adanya upaya pemerintah dalam meningkatkan dan mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Pengelolaan Sumber Daya Alam Pertambangan Umum dan pelaksanaan Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Pnerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Penyetoran PNBP Sumber Daya Alam Pertambangan umum yang beupa Iuran Tetap dan Iuran Produksi (royalti) yang oleh Pemerintah Daerah ingin dioptimalkan untuk menjadi devisa bagi negara dan pendapatan daerah Berdasarkan penelitiannya tersebut, Nurhayati (2013:23) menyatakan bahwa sehubungan dengan pengotimalan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dalam hal ini Pemerintah Daerah (Bupati) ingin memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) semaksimal Mungkin yang bisa diraih oleh daerah, maka Nurhayaty menyarankan kepada Pemerintah Kutai Kartanegara untuk lebih bijak dalam mengambil keputusan untuk menerbitkan izin KP Batubara. Pada dasarnya pemerintahan akan berjalan efektif apabila ditunjang dengan adanya peran dan kesadaran dari aparat pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Hal ini sangat diperlukan karena aparat pemerintah yang akan melaksanakan tugas serta wewenangnya dalam menjalankan pemerintah disuatu daerah tidak akan semata-mata mempergunakan kewenangnnya secara berlebihan dan arogan dalam menerbitkan berbagai KP Batubara yang dapat merugikan masyarakat serta merusak lingkungan di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara sendiri. Nurhayaty sendiri mengharapkan Pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat dapat melakukan koordinasi yang baik dalam menjalankan kewenangan mereka dalam mengeluarkan dan menerbitkan Kuasa Pertambangan. Apabila terjadi pelanggaran terhadap Perjanjian Pemanfaatan Lahan secara Bersama yang telah disepakati oleh kedua perusahaan ini (antara PT.Pertamina EP UBEP dengan PT Indomining),agar Pemerintah, dalam hal ini
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
383
Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Kartanegara selaku fasilitator dalam perjanjian ini dapat menjembatani kepentingan tersebut. Nurhayaty menyebutkan bahwa diperlukan keijakan yang tepat dan komprehensif yang mampu mengoptimalkan pengembangan di sektor pertambangan yang ramah terhadap lingkungan. Kebijakan ini nantinya diharapkan juga dapat memberikan konsistensi, kejelasan, dan koordinasi (K3) dari Pemerintah kepada para pengusaha pertambangan dalam menjalakan usahanya. Dari paparan Nurhayaty tersebut penulis mendapatkan kesimpulan bahwa ternyata: 1.
Otonomi Daerah memiliki pengaruh terhadap munculnya konflik tumpang tindih lahan pertambangan. Hal tersebut terlihat dari penerbitan Kuasa Pertambangan PT.Indomining yang didasarkan kepada Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/022/KP-Ep/DPE-IV/2007 sejak tanggal 21 Juni 2007 seluas 683 Ha, yang ternyata sebagian dari lahan yang di berikan KP terhadap PT. Indomining tersebut ternyata berada pada wilayah kerja PT. Pertamina EP UBEP Sangasanga yang telah mendapatkan izin sejak tahun 1992. Penerbitan Surat Keputusan Bupati tersebut didasarkan bahwa Bupati memiliki hak kewenangan untuk memberikan izin. Namun kenyataannya pemberian izin ini menimbulkan tumpang tindih lahan antara perizinan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat kepada PT. Pertamina EP UBEP dengan perizinan PT. Indomining yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah pada lahan yang sama. Walaupun sengketa tumpang tindih lahan ini bisa diselesaikan melalui proses mediasi, namun bukan berarti tumpang tindih lahan ini tidak berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.
2.
Tidak adanya koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan dengan Pemerintah Pusat, karena karena Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah (Bupati) untuk menerbitkan Kuasa Pertambangan (KP). Pemerintah Provinsi hanya menangani izin untuk lokasi tambang yang berada di perbatasan dua provinsi. Ekspor batubara yang tidak jelas wilayah kuasa pertambangannya terlebih data jumlahnya dan semakin sulit dikontrol Pemerintah Pusat karena para Bupati tidak mengirimkan laporan ke pusat. Hal ini tentu saja suatu kondisi yang mencerminkan bahwa sesungguhnya telah terjadi permasalahan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam tatakelola pertambangan di Indonesia. Munculnya perizinan ganda dan lemahnya koordinasi antara pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat
dalam Tata Kelola pertambangan di Indonesia inilah yang menjadi permasalahan utama sektor pertambangan saat ini. Imbasnya tentu bagi kedua perusahaan atau pihak yang terlibat adalah kerugian baik materil maupun non materil. Sebagai gambaran lainnya adalah PT. Pancaran Surya Abadi di Muara Badak, Kutai Kartanegara. Konflik sengketa lahan sejak pertengahan tahun 2014 mengakibatnya berhentinya operasional tambang. Masalahnya tetap sama ada 2 dokumen tanah yang sama dengan dua pemilik yang berbeda. Meski secara yuridis formal salah satu pihak secara sah dan diputus memenangkan perkara, namun tetap saja dilapangan eksekusi hukum belum bisa dilakukan dengan alasan sosial dan keamanan karena menyangkut hak milik masyarakat sekitar. Karena masih belum ditemukan titik sepakat maka sengketa lahan menjadi berlarut – larut dan semakin kompleks. Akibatnya bisa ditebak kerugian sebenarnya menimpa semua pihak dengan pihak yang dirugikan pengelola pertambangan batubara sah. Kerugian materil tersebut yang bila dikalkulasikan secara materi sangat merugikan bagi pihak pengusaha maupun usaha yang terkait dengan pertambangan batubara. Karyawan
384
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
sejumlah 300 orang total berhenti, tidak dapat dipertahankan lagi akibat berhentinya produksi. Pendapatan karyawan perbulan secara akumulasi mencapai 1 milyar, kemudian biaya PHK sekitar 10 milyar, potensi pemasukan perusahaan perbulan sekitar 7 milyar rupiah menguap begitu saja, perusahaan pemasok BBM kehilangan sekitar 3 milyar perbulan karena tidak ada order produksi. Belum lagi imbas pemasukan bagi warga sekitar yang mendapatkan manfaat dari adanya kegiatan tambang batubara tersebut. Sehingga bila dikalkulasi perusahaan menderita kerugian hampir 50 hingga 100 milyar akibat sengketa lahan ini. Yang perlu dicatat hampir 100% karyawan perusahaan ini adalah warga lokal sekitar tambang, sehingga penutupan pertambangan berimbas pada kegiatan perekonomiannya dimana hampir semua terkena PHK. Sehingga bila dihitung sederhana saja kerugian yang diderita perusahaan tambang itu sekitar 84 milyar setahun akibat tidak berproduksi, dapat kita hitung besarnya potensi pajak PAD daerah dan royalti bagi pusat yang hilang juga. Itu dari satu perusahaan. Dalam kurun waktu tahun 2013 – 2014, di Kabupaten Kutai Kartanegara, telah ada 5 perusahan tambang batubara yang berhenti beroperasi dikarenakan konflik sengketa tumpang tindih lahan yang diakibatkan oleh surat perizinan ganda. Bila diasumsikan dengan kapasitas produksi, pendapatan dan kerugian yang sama dengan PT. Pancaran Surya Abadi, maka total kerugian yang dialami 5 perusahaan tambang di Kabupaten Kutai Kartanegara tersebut pada tahun 2014 berada pada kisaran angka Rp. 420 Milyar. Kita maklumi juga yang menderita dan menanggung kerugian tersebut tidak hanya satu pihak namun menjadi tripartit pengusaha sebagai pelaku usaha pertambangan, pemerintah dari sektor penerimaan pajak dan royalti pertambangan, dan civil society atau masyarakat baik sebagai pekerja, pemasok kebutuhan bagi perusahaan tambang atau penerima manfaat lainnya yang hidup dari sektor pertambangan batubara. Kerugian pemerintah bila penerimaan PAD terganggu bahkan berkurang akibat terhentinya produksi batubara maka anggaran pendapatannya akan berkurang pula. Ketika anggaran pendapatan berkurang maka anggaran pembangunan turut berkurang, sehingga kegiatan pembangunan juga berkurang atau bahkan terganggu sama sekali bila tidak tersedia dana yang diperlukan. Patut diingat meski besar 60 – 70% dana APBD terserap untuk biaya gaji dan pegawai apalagi bila jumlahnya terganggu atau berkurang maka semakin kecil pula prosentase biaya pembangunan yang ada. Ketika biaya pembangunan terganggu, berkurang atau terhenti sama sekali maka pembangunan itu sendiri tidak dapat dilakukan. Ketika pembangunan berkurang, mandek bahkan menurun maka roda perekonomian ikut berbanding lurus kegiatannya. Begitu perekonomian menurun, maka itu artinya kesejahteraan masyarakat berkurang, mandek bahkan bisa jadi menjadi menurun. Bukannya kesejahteraan masyarakat yang didapatkan tetapi malah kemiskinan yang dihasilkan. Bila kita lihat lebih mendetail terhadap struktur perekonomian Kalimantan Timur ternyata masih didominasi Lapangan Usaha berbasis sumberdaya alam, yaitu Pertambangan dan Industri Pengolahan ( Migas), yang terlihat dari besarnya peranan masing-masing Lapangan Usaha ini terhadap pembentukan PDRB Kalimantan Timur. Sumbangan terbesar pada tahun 2014 dihasilkan oleh Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian, kemudian Industri Pengolahan, Konstruksi dan Lapangan Usaha Perdagangan Kehutanan dan Perikanan. Sementara peranan Lapangan Usaha lainnya di bawah 5 persen.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
385
Tabel 1
Sumber : BPS Kalimantan Timur 2014 Lapangan Usaha yang lain pada tahun 2014 mencatat pertumbuhan yang positif, kecuali Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian yang mengalami pertumbuhan negatif, yaitu sebesar -0,11 persen. Rendahnya pertumbuhan ekonomi di lapangan usaha pertambangan dan penggalian terutama akibat melemahnya usaha pertambangan batubara. Kondisi harga batubara di pasaran dunia yang belum stabil dan masih di bawah Perekonomian Kalimantan Timur pada tahun 2014 mengalami perlambatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditandai dengan laju pertumbuhan PDRB Kalimantan Timur yang hanya mencapai 2,02 persen, sedangkan tahun 2013 sebesar 2,72 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi ekspektasi pengusaha membuat produksi batubara pada tahun 2014 tertahan. Akibatnya pertumbuhan lapangan usaha ini pun mengalami penurunan. Hal ini juga makin diperparah dengan banyaknya konflik sengketa lahan pertambangan batubara yang membuat perusahaan tambang berhenti berproduksi, investor menahan invstasinya bahkan beberapa tidak melanjutkan lagi bisnis batubaranya di Kalimantan Timur. Meskipun sumbangan lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta industri pengolahan dalam membentuk PDRB perkapita cukup besar, akan tetapi peranannya menurun dibandingkan pada tahun 2010. Pada tahun tersebut, peranan kedua lapangan usaha tersebut masing-masing 48,24 persen dan 23,46 persen. Data tersebut mengindikasikan bahwa selama periode tersebut terjadi perlambatan pertumbuhan PDRB perkapita secara berkelanjutan. Sebuah sinyal yang membutuhkan perhatian dari pelaku pembangunan ekonomi di Kalimantan Timur.
386
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Tabel 3
Sumber : BPS Kalimantan Timur 2014
Pada Kategori Pertambangan dan Penggalian, Lapangan Usaha yang berkontribusi terbesar adalah Pertambangan Batubara dan Lignit yaitu sebesar 68,45 persen pada tahun 2014, meningkat dari 54,01 persen di tahun 2010. Tabel 4
Sumber : BPS Kalimantan Timur 2014
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
387
Sehingga melihat besar dan sangat dominannya peranan pertambangan batubara terhadap sektor perekonomian di Kalimantan Timur yang berkisar diatas 50% dari Penerimaan Daerah Kalimantan Timur antara 54,01% samapai dengan 68,45%, maka sudah sewajarnya perhatian pemerintah dalam mencari solusi konflik sengketa lahan pertambangan batubara harus lebih serius lagi tidak hanya mengandalkan solusi konvensional yang menggunakan pendekatan normatif dan yuridis semata namun mencari terobosan yang lebih cepat akurat dan efektif dengan menggunakan pendekatan sosial budaya dan juga penggunaan teknologi informasi atau tata kelola elektronik ( e – Governance ).
• kurang koordinasi pemerintah pusat pemerintah daerah instansi terkait • data tidak akurat terintegrasi dan tidak sinkron • unsur kepentingan sektoral
Perizinan Ganda
Konflik Sengketa Tumpang Tindih Lahan
Sasaran egovernance
Gambar 2. Pendekatan Publik
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang mengandung nilai ekonomi dimulai sejak adanya usaha untuk mengetahui posisi, area, jumlah cadangan, dan letak geografi dari lahan yang mengandung mineral dan batubara. Setelah ditemukan adanya cadangan maka proses eksploitasi (produksi), angkutan, dan industri penunjang lainnya akan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi yang memerlukan pengaturan agar pemanfaatannya tetap dapat memberikan nilai yang optimal bagi pencapaian kesejateraan masyarakat. Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri yang padat modal (high capital), padat risiko (high risk), dan padat teknologi (high technology). Selain itu, usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi dimana cadangan bahan galian. Hal tersebut menyebabkan kegiatan usaha pertambangan merupakan industri yang spesifik yang membutuhkan modal besar sehingga setiap pihak yang hendak melakukan kegiatan pertambangan sangat membutuhkan kepastian berusaha. Dengan tidak disebutkannya bidang pertambangan sebagai urusan pemerintah (pusat) maka pada asasnya urusan pemerintahan di bidang pertambangan merupakan urusan kewenangan dari Pemerintah Daerah. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam memperoleh wewenang di bidang penerbitan perizinan melalui atribusi sebagai bagian dari pelayanan administrasi Negara yang mempunyai tugas mewujudkan kesejahteraan umum (bestuurzorg). Keunikan pengelolaan pertambangan dapat dimaknai bahwa kewenangan
388
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
urusan pertambangan bukan merupakan kewenangan mutlak dari pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota, melainkan suatu urusan yang bersifat ―pilihan ”, yaitu urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan kebijakan pengelolaan mineral dan batubara dikelola dengan berazaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan; keberpihakan pada kepentingan bangsa; partisipatif, transparansi dan akuntabilitas; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, maka tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah :
1. menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;
2. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
3. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
4. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
5. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan Negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; dan
6. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Berdasarkan tujuan di atas maka pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, selain penting untuk diperhatikan sistem perizinan dalam rangka otonomi daerah, juga keterkaitannya dengan izin lingkungan pada UUPPLH sebagai perkembangan baru yang juga merupakan perkembangan baru dari desentralisasi AMDAL. Dalam proses keputusan sistem perizinan di bidang mineral dan batubara, sebagian pelaksanaannya berada pada pemerintah daerah dan apabila periinan ini di bidang kehutanan terkait pula dengan hak pinjam pakai bagi lahan yang akan digunakan sebagai wilayah usaha pertambangan. Sehingga telah banyak menimbulkan pro dan kontra terhadap keberadaan kegiatan usaha pertambangan yang telah berjalan sebelum berlakunya Undang-undang Minerba yang baru tahun 2009, disamping sistem perizinan yang juga mengandung banyak masalah yang membawa perdebatan terhadap peningkatan investasi baru.bidang pertambangan. Meskipun begitu sisi positifnya tetap dirasakan lebih banyak sehingga ini menjadi tantangan dan dinamika yang baik untuk melakukan koordinasi dan kerjasama lintas sektoral pada semua stakeholder yang terlibat dalam sektor pertambanganbatubara diantaranya pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dinas pertambangan dan energi beserta kementrian pertambangan dan energi, pengusaha pertambangan dan masyarakat yang terlibat baik secara individu, kelompok maupun organisasi.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
389
Terkoordinasi dengan baik
Kurang koordinasi
Data: 1. tidak akurat 2. Tidak terintegrasi 3. Tidak sinkron
egovernance
Tidak Unsur kepentingan sektoral (diantaranya adalah Perilaku Koruptif)
Data : 1. akurat 2. terintegrasi 3. tersinkronisa si 4. real time
Tidak terjadi perijinan ganda
Unsur kepentingan sektoral Hilang
Gambar 3. Target e-governance
Dalam tataran nasional, pemerintah telah dan sedang mengembangkan suatu sistem perizinan satu atap yang dikenal dengan Program Nasional Single Window, sebagai upaya pelayanan terpadu dari Pemerintah bagi pelaku usaha dalam mengurus berbagai perizinan terkait kegiatan usaha yang hendak dilaksanakan. Namun dalam pelaksanaannya perizinan dalam bidang pertambangan belum dapat dilaksanakan dalam konsep pelayanan satu atap. Hal ini bertujuan untuk semakin memberikan kepastian hukum bilamana diperhatikan keterkaitannya dengan undang-undang lain. Salah satu contoh pelaksanaan undang-undang MINERBA yang baru adalah adanya masalah izin pertambangan terkait dengan Undang-undang kehutanan. Walaupun izin kegiatan usahanya telah diperoleh dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tetap tidak dapat dilaksanakan karena tidak keluarnya izin dari Kementerian Kehutanan. Dengan keterkaitan hukum antar sektor, sebagaimana diuraikan di atas, pelaksanaan pengaturan kebijakan pertambangan seharusnya juga menyentuh kebijakan secara lintas sektor yang mencakup teknis pelaksanaan maupun pendukung sarana dan prasarananya. Contoh lain keterkaitan hukum undang - undang MINERBA dalam sistem perizinan, dengan adanya ketentuan dalam UUPPLH yang mewajibkan ijin lingkungan sebagai syarat ijin kegiatan, termasuk kegiatan usaha pertambangan. Keharusan usaha pertambangan mendapatkan terlebih dahulu ijin lingkungan sebagai pra-syarat memperoleh izin usaha pertambangan, tidak saja menimbulkan masalah terhadap gagasan sistem ijin satu atap, tetapi juga karena hingga sekarang – setelah lebih dari satu tahun - keharusan
390
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
menetapkan peraturan pelaksanaannya sejak diundangkan, yaitu Peraturan Pemerintah pelaksana dari UUPPLH terkait dengan ijin lingkungan belum juga dilaksanakan. Permasalahan lain terkait dengan pengaturan tata ruang yang dalam pelaksanaan masih sering menimbulkan tumpang-tindih antar sektor bertalian dengan beragamnya jenis pemanfaat ruang kegiatan pertambangan dan perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga pada akhirnya nanti akan memberikan ketidakpastian berusaha bagi kegiatan usaha pertambangan. Perubahan kebijakan pelaksanaan kegiatan usaha dari kontrak kepada perizinan sesungguhnya memberikan harapan bagi peningkatan nilai manfaat bagi masyarakat Indonesia sesuai dengan amanah Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Hal ini disebabkan kedudukan pemerintah yang lebih dominan dalam kegiatan usaha pertambangan, sehingga memberikan kemudahan bagi pemerintah dalam menetapkan suatu kebijakan dalam kegiatan usaha pertambangan. Namun kedudukan yang dominan apabila tidak diikuti dengan aturan hukum yang jelas dan pelaksanaan yang konsisten dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang pada gilirannya nanti dapat meningkatkan konflik pada pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan. Akibatnya, sistem perizinan yang diharapkan dapat memberikan penguatan peran pemerintah, justru akan mengakibatkan menurunnya aktivitas pertambangan di Indonesia dan selanjutnya mengurangi kontribusi sektor pertambangan dalam meningkatkan perekonomian bangsa. Hal ini tidak lagi sejalan dengan tujuan pembaharuan Undang-undang Minerba yang secara konstitusional ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu pelaksanaan perizinan dalam kegiatan pertambangan di Indonesia sebaiknya didukung oleh suatu kebijakan yang terintegrasi yang menjamin pelaksanaan kegiatan pertambangan di Indonesia yang menjamin kepastian hukum bagi setiap pemangku kepentingannya dan yang paling penting berkontribusi bagi peningkatan kemakmuran rakyat. Apabila kebijakan pemerintah itu didasarkan pada tujuan yang sama antar pemangku kepentingan dan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan perizinan dapat dijalankan secara optimal, sebagaimana disampaikan oleh Charllote Sterck : ―While government and governance both refer to system of rule, the notion of government suggests activities that are backed by formal authority and police powers to ensure the implementation of policies. Governance refers to activities backed by shared goals that do not necessarily rely on the exercise of the authority to attain compliance”. Pemerintah sesungguhnya memiliki otoritas menjalankan kebijakan yang terintegrasi dalam membangun suatu sistem perizinan dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan di Indonesia. Persoalan lainnya adalah desentralisasi. Desentralisasi sendiri menagmbil lokus pada tingkat kabupaten/kota yang kemudian pemerintah kabupaten/kota sendiri menjadi lokus pertumbuhan dan maraknya korupsi. Berdasarkan undang-undang pemerintah daerah, seorang kepala daerah memiliki otoritas penuh untuk memberikan izin dan persetujuan pada investasi dengan berbagai bentuk di daerahnya (Rinaldi, 2007: 15). Dalam konteks itulah terjadi peralihan pemberian izin pertambangan dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Perubahan otoritas pemberian izin usaha pertambangan ke tangan pemerintah daerah/kota telah menghasilkan lebih dari 10.000 izin usaha pertambangan sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
391
1999 tentang Pemerintah Daerah (Dirjen Minerba Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, 2013). Perubahan kebijakan pemberian wewenang pemberian izin pertambangan kepada pemerintah daerah/kota ternyata banyak mengalami masalah yang belum pernah ditemui pada masa sentralisasi pemberian izin di masa lalu. Diperkirakan lebih dari separuh jumlah izin yang selama ini telah dikeluarkan pemerintah daerah/kota mengalami masalah (Dirjen Minerba Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, 2013). Pemerintah pusat, melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, menyadari hal itu sehingga kemudian melakukan inventarisasi terhadap seluruh izin usaha pertambangan dengan berlandaskan pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral kemudian melakukan proses evaluasi/seleksi yang sepenuhnya lebih didasarkan pada proses administratif (desk-based) terhadap izin-izin usaha pertambangan yang telah terinventarisir dengan menggunakan dua kategori kunci. Pertama, tidak terdapat masalah administratif dan tidak tumpang tindih dengan izin usaha pertambangan lain (clear and clean). Kedua, terdapat masalah administratif dan tidak tumpang tindih dengan izin usaha pertambangan lain (non clear and clean). Tujuan pemberian status clear and clean sendiri secara umum adalah: (1) Untuk koordinasi, verifikasi, dan koordinasi antar izin-izin usaha pertambangan yang diberikan oleh gubernur dan bupati seluruh Indonesia; (2) Untuk menarik investasi dan pendapatan negara, dan (3) Untuk menciptakan database sentral yang terintegrasi (Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, 2011). Izin-izin usaha pertambangan berstatus non clear and clean sampai dengan tanggal 26 Februari 2013 berjumlah 5.288 buah. Sedangkan izin-izin usaha pertambangan berstatus clear and clean berjumlah 5.502 (Dirjen Minerba Energi Sumber Daya Mineral, 2013). Izin-izin usaha pertambangan berstatus non clear and clean berdasarkan kategorisasi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tumpang tindih wilayah, tumpang tindih dengan komoditas yang sama, dan tumpang tindih dengan komoditas yang berbeda. Meskipun demikian, kategorisasi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral tersebut cenderung sedikit problematik karena tidak adanya prinsip ‖ekslusivisme‖ antara satu dengan lainnya dalam kategori tersebut. Izin usaha pertambangan yang dikategorikan sebagai non clear and clean karena tumpang tindih wilayah dapat juga terkandung di dalamnya tumpang tindih yang relevan dengan isu perbedaan atau persamaan komoditas, seperti izin usaha pertambangan yang diberikan untuk PT Sele Raya di Fakfak dengan Nomor 195 Tahun 2011, PT Sumber Rahayu Indah di Barito Timur dengan Nomor 526 Tahun 2009, PT Puspita Alam Kurnia Lestari di Barito Timur dengan nomor 306 Tahun 2011, dan lain-lain. Data-data di bawah ini menunjukkan total ringkasan kategorisasi izin usaha pertambangan non clear and clean beserta jumlah masing-masing (Dirjen Minerba, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, 2013):
392
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Beberapa contoh kasus tumpang tindih antar izin usaha pertambangan adalah tumpang tindih antara izin usaha pertambangan PT Tambang Batu Bara Bukit Asam Tbk dengan 16 perusahaan yang memperoleh izin usaha pertambangan baru di Lahat Sumatera Selatan, PT Aneka Tambang Tbk dengan satu izin usaha pertambangan baru di Konawe Utara Sulawesi Tenggara, PT Rio Tinto Indonesia dengan 14 izin usaha pertambangan baru di Morowali, Sulawesi Tengah, dan PT Inco Tbk dengan PT Hotman Internasional di Morowali, Sulawesi Tengah (hukumonline.com, 2009). Beberapa contoh kasus tersebut hanya sebagian saja dari 954 kasus tumpang tindih yang ada dalam catatan Dirjen Minerba Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Mungkin saja jumlah itu dapat bertambah atau berkurang karena proses inventarisasi dan seleksi oleh Dirjen Minerba Kementerian Energi Sumber Daya Mineral lebih didasarkan pada proses seleksi administratif ketimbang investigasi empiris. Selain masalah kelengkapan administratif, masalah tumpang tindih izin usaha pertambangan telah banyak menyita perhatian pemerintah. Pemberlakukan penghentian sementara penerbitan izin usaha pertambangan dan secara khusus izin usaha pertambangan eksplorasi sejak pemberlakuan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 sampai dengan tanggal 20 Mei 2013 harus disikapi sebagai bagian usaha keras pemerintah dalam menyelesaikan, mengevaluasi, dan menata kembali usaha pertambangan di Indonesia. Dengan demikian, penghentian sementara tersebut telah memberikan ruang rehat sejenak untuk mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola perizinan pertambangan di Indonesia ke depan. (Purwono and Partners, 2011). Namun, satu hal pasti adalah sumber kemunculan tumpang tindih izin usaha pertambangan dapat diasumsikan bersifat multi-dimensi ketimbang akibat dimensi tunggal (mono-dimensional). Artinya, sangat kompleks dan bertautan satu sama lain. Beberapa faktor penting adalah pemalsuan tanggal penerbitan dan pemberian izin usaha pertambangan dengan mengetahui bahwa telah terdapat izin usaha pertambangan lain dalam bidang pertambangan tersebut, sengketa perbatasan antarkabupaten, minimnya infrastruktur sistem informasi dan/atau sistem data manual, minimnya keterampilan dan pengetahuan aparat-aparat lokal dalam pencatatan dan pengelolahan perizinan secara profesional, pergantian kepala daerah dan ketidakcermatan dalam penerbitan izin-izin usaha pertambangan menjelang pemberlakuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 untuk
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
393
menhindari proses tender publik. (Purwono and Partners, 2011; The Jakarta Post, 12 Oktober 2012; Asmarini 2012; dunia-energi.com, 14 September 2014) Berikut adalah diagram mengenai sumber-sumber kemunculan tumpang tindih tersebut:1
Gambar 5. Akar Permasalahan Perizinan Pemanfaatan Lahan Ganda di Sektor Pertambangan Lahan
Secara khusus kita akan lebih fokus pada aspek dalam kaitan dengan isu penting yang muncul pascapemberlakuan desentralisasi, yaitu tumpang tindih izin usaha pertambangan. Dalam konteks pertambangan, euforia desentralisasi memberikan makna tersendiri bagi pemerintahan daerah bahwa tambang adalah merupakan milik dan hak daerah dan masyarakat setempat. Otoritas pengelolahan dan pemanfaatan tambang merupakan hak sepenuhnya masyarakat dan pemerintahan daerah. Di sisi lain, tuntutan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan keuangan daerah menjadikan pertambangan daerah sebagai salah satu sumber strategis untuk menggali pundi-pundi pendapatan daerah. Implikasi dari hal itu pemerintah daerah berlomba-lomba untuk menerbitkan izin pertambangan (Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan Batubara, 2012). Secara umum, sumber konflik tersebut dibagi menjadi dua, yaitu sumber antara (intervening/mediating causes), yaitu faktor pemekaran wilayah, korupsi kepala daerah, kecerobohan kepala daerah, dan/atau minimnya infrastruktur perekaman izin usaha pertambangan (IUP) secara digital, dan sumber akar/dasar (root causes),
394
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
yaitu sengketa wilayah, pemalsuan tanggal penerbitan izin usaha pertambangan (IUP), pergantian kepala daerah, dsb. Seringkali penerbitan izin pertambangan dilakukan tanpa koordinasi dengan instansi dan level pemerintahan lain serta tidak sesuai dengan standar administratif sehingga berujung pada munculnya beberapa permasalahan dalam pertambangan, seperti tumpang tindih lahan dan ketidak-lengkapan administratif (Dirjen Minerba Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, 2013) dan kerusakan lingkungan. Secara sosial-politik kondisi tersebut dapat mengarah pada munculnya konflik dan disharmoni sosial, baik antar masyarakat dan antar pengusaha pertambangan maupun antara masyarakat dengan penguasaha pertambangan dan minimnya komitmen dan tanggung jawab pengusaha pertambangan reklamasi pascatambang (Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan Batubara, 2012). Pada hal ini lah e-governance dapat berperan agar mismanajemen pada penerbitan IUP tidak terjadi lagi. Permasalahan pertambangan yang muncul saat ini, terutama berkaitan dengan tumpang tindih lahan, akar penyebabnya dapat digali dari masalah korupsi kepala daerah (Fadhillah, 2011). Jamak diketahui bahwa usaha pertambangan di daerah cenderung lebih banyak menguntungkan orang-orang tertentu ketimbang masyarakat daerah (Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan Batubara, 2012). Pertambangan menjadi salah satu sumber strategis bagi-bagi kue keuntungan (pie distribution) bagi eksekutif, balas budi politik atas pemenangan kandidat tertentu, dan sumber pengumpulan pundi-pundi keuangan dalam rangka menutupi ongkos politik saat pemilukada (Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan Batubara, 2012). Tidak heran jika banyak ditemui calo-calo pemegang dan pengurus izin usaha pertambangan yang selanjutnya diperjual belikan kepada para pengusaha (Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan Batubara, 2012). Berbagai aspek tersebut banyak berkontribusi dalam penerbitan izin usaha pertambangan tumpang tindih, yang pada saat bersamaan diakibatkan ketiadaan keharusan koordinasi dan konsultasi antara kepala daerah, pemegang otoritas penerbitan izin usaha pertambangan, kepala-kepala dinas dengan kepala daerah tingkat provinsi dan/atau pemerintah pusat. Dinas pertambangan daerah dapat dikatakan tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk mengontrol penerbitan izin usaha pertambangan. Konsekuensi dari hal itu terjadi, tumpang tindih bukan hanya antara satu pemegang izin usaha pertambangan dengan pemegang izin usaha pertambangan lain, tetapi juga antara lahan pertambangan dengan kehutanan, perkebunan, pertanian, dan sebagainya (Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan Batubara, 2012). Salah satu masalah penting yang banyak mendapatkan sorotan adalah kurangnya pengawasan pemerintah pusat dan/atau provinsi terhadap mekanisme penerbitan izin usaha pertambangan selama ini. Dalam konteks itu, Ketua Umum Asosasi Pengusaha Tambang Indonesia (APEMINDO) Poltak Sitanggang menegaskan bahwa masalah tumpang tindih lahan muncul sebagai konsekwensi dari tidak adanya kontrol dan pengawasan dari pemerintah pusat terhadap meknaisme penerbitan izin usaha pertambangan. Kepala daerah memiliki otoritas tunggal dan dominan dalam penerbitan izin usaha pertambangan selama ini. Selain itu, pemerintah dianggap lalai dalam memberikan bimbingan tehnis terhadap pemerintah daerah sehingga tidak ada kesepahaman antara pemerintah daerah dan pusat (hukumonline.com, 24 Juli 2012). Untuk menghindari
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
395
terjadinya hal-hal tersebut, maka e-governance harus segera diaplikasikan agar terealisasinya good governance dalam penerbitan IUP tersebut. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai pertambangan Mineral dan Batubara secara umum harus dimaknai sebagai respons terhadap berbagai permasalahan pertambangan yang muncul masa reformasi dan secara khusus untuk mengontrol perilaku koruptif kepala daerah dalam kegiatan pertambangan. Aspek utama dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah perubahan mekanisme penerbitan izin usaha pertambangan yang lebih terkontrol dan tertata dengan upaya pembentukan peta tunggal (one map) pertambangan di Indonesia. Perubahan kebijakan yang bersifat korektif ini dapat disamakan dengan upaya penerbitan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Perubahan kebijakan terhadap perijinan usaha pertambangan tersebut tidak berarti modus pemberian izin akan dikembalikan lagi ke model masa Orde Baru yang sentralistik. Akan tetapi, terdapat perubahan mengenai mekanisme dan kewenangan dalam pemberian izin pertambangan pada pemerintahan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Perilaku koruptif kepala daerah dalam kaitannya dengan penerbitan izin usaha pertambangan memiliki akar yang mendasar pada degredasi moral kepala daerah itu sendiri. Banyak kepala daerah yang disinyalir sengaja menerbitkan izin usaha pertambangan dalam suatu wilayah pertmbangan tertentu walaupun mereka sudah mengetahui bahwa telah terdapat izin usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan tersebut dengan berbagai alasan dan kepentingan, baik kepentingan dari pihak kepala daerah maupun pihak ketiga yang diberikan izin usaha pertambangan setelah itu. Dalam artian, kepala daerah mengeluarkan dan mencabut izin usaha pertambangan sekenanya. Kepala daerah dengan mudahnya menerbitkan izin usaha pertambangan, terutama ketika masa jabatannya akan berakhir. Perilaku koruptif penerbitan IUP inilah yang akan menimbulkan terjadinya potensi konflik sengketa tumpang tindih lahan. Pada titik ini e-governance akan menangkal perilaku koruptif tersebut dikarenakan sistem yang transparan dan akuntabel akan mempersulit ruang gerak para oknum dalam proses penerbitan surat IUP ganda..
396
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Puluhan izin usaha pertambangan biasanya akan diterbitkan. Mereka biasanya tidak peduli apakah izin usaha pertambangan yang diterbitkan itu mencaplok wilayah izin usaha pertambangan lain (hukumonline.com, 2009). Semakin prospektif suatu wilayah pertambangan, maka semakin besar kecenderung terdapat tumpang tindih izin usaha pertambangan di dalamnya. Perilaku koruptif semacam ini semakin meningkat lebih disebabkan oleh tidak adanya penyelesaian dan kepastian hukum (Purwono and Partners, 2011). Tidak mudah untuk menentukan bahwa suatu tumpang tindih izin usaha pertambangan disebabkan oleh perilaku koruptif semacam ini atau oleh kesengajaan dan pengetahuan kepala daerah sampai dilakukan verifikasi dan investigasi/penyelidikan secara khusus di lapangan. Proses seleksi izin usaha pertambangan clear and clean
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
397
(CnC) yang banyak didasarkan pada kelengkapan administrasi (desk-based) saja hanya akan memunculkan status dan kategorisasi tumpang tindih izin usaha pertambangan. Berbagai kajian yang ada mengenai sebab-sebab kemunculan tumpang tindih izin usaha pertambangan lebih banyak didasarkan pada argumentasi dan analisis asumtif, daripada verifikasi dan investigasi riil di lapangan. Resolusi tumpang tindih izin usaha pertambangan ini harus didasarkan pada fakta sebenarnya di lapangan mengenai akar masalah tiap-tiap izin usaha pertambangan yang tumpang tindih. Bentuk-bentuk resolusi tumpang tindih izin usaha pertambangan selanjutnya dibangun atas dasar penyeledikan fakta-fakta di lapangan yang kemudian diimplementasikan dalam kepastian legal (legal certainty) oleh menteri dalam negeri. Sebagai contoh, sejauh ini, diperkirakan sudah terdapat tujuh sampai delapan bupati dan walikota yang sedang dipantau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga telah menyalahgunakan pemberian izin tersebut. Di antara mereka dianggap telah melakukan pemalsuan terhadap izin usaha pertambangan (Yozami, 2012). Jika benar-benar ditemukan perilaku koruptif semacam ini dari kepala daerah dengan data yang kuat, sudah seharusnya proses hukum dilaksanakan secara tegas (rule of law) sebagai pertanggung-jawaban kepala daerah tersebut dan pelajaran berharga bagi kepala daerah lainnya. Begitu juga jika tumpang tindih izin usaha pertambangan tersebut disebabkan oleh perilaku semacam ini, maka resolusi yang paling tepat dan adil (fairly justified resolution) adalah solusi menang kalah (win-lose solution) karena akar masalahnya adalah perilaku koruptif bupati. Dengan kata lain, izin usaha pertambangan yang diterbitkan setelahnya harus dibatalkan (Purwono and Patners, 2011). Fenomena perilaku koruptif lain dari kepala daerah, yang menyebab- kan munculnya tumpang tindih izin usaha pertambangan adalah apa yang umum disebut dengan istilah back-dating atau pemalsuan tanggal pada tanggal penerbitan izin usaha pertambangan. Perilaku koruptif semacam ini banyak dilakukan oleh kepala daerah pada saat pemberlakukan (coming into force) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Pemberlakukan undang-undang ini menegaskan bahwa setelah tanggal 12 Januari 2009 kepala daerah tidak diperbolehkan lagi untuk menerbitkan izin usaha pertambangan, terutama izin usaha pertambangan eksplorasi pertambangan sampai dengan terbentuknya Wilayah Usaha Pertambangan (WUP). Jika Wilayah Usaha Pertambangan sudah terbentuk, izin usaha pertambangan akan diberikan melalui mekanisme tender publik. Untuk menghindari keharusan mengikuti mekanisme tender publik banyak kepala daerah yang dengan sengaja menerbitkan izin usaha pertambangan pertambangan yang pada dasarnya berlangsung setelah tanggal 12 Januari 2012 seolah-olah diterbitkan sebelum tanggal tersebut (Purwono and Partners, 2011). Pemalsuan tanggal penerbitan (back-dating) merupakan fenomena unik yang merupakan respons terhadap pemberlakuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Tidak heran jika pada awal minggu bulan Januari 2009 terdapat begitu banyak penerbitan izin usaha pertambangan yang dilakukan oleh kepala daerah juga seringkali diikuti oleh ketergesa-gesaan (rush) kepala daerah dalam penerbitan izin usaha pertambangan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (Purwono and Partners, 2011). Kejadian inilah yang memberikan kontribusi banyak munculnya tumpang tindih izin usaha pertambangan walaupun back-dating dan rush memiliki aspek moralitas dan konsekwensi hukum berbeda. Back-dating lebih berkaitan dengan moralitas dan/atau perilaku koruptif kepala daerah. Sedangkan rush lebih cenderung merupakan buah dari perilaku tidak profesional dan ceroboh kepala daerah.
398
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Proses administratif (desk-based) terhadap seleksi clear and clean oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, hanya akan melahirkan status dan kategorisasi klasik tumpang tindih izin usaha pertambangan. Harus diakui bahwa tidak mudah untuk menentukan bahwa suatu izin usaha pertambangan tertentu tumpang tindih dengan izin usaha pertambangan lain karena adanya back-dating yang telah dilakukan oleh kepala daerah sampai dilakukan verifikasi dan investigasi terhadap izin-izin usaha pertambangan yang tumpang tindih tersebut. Dalam proses investigasi dan verifikasi lapangan tersebut, misalnya perlu dilakukan usaha sinkronisasi atau cek dan ricek antara tanggal penerbitan izin usaha pertambangan dengan kenyataan waktu berlangsungnya usaha pertambangan tersebut (dunia-energi.com, 14 September 2012). Jika verifikasi lapangan menemukan bahwa back-dating telah dilakukan oleh kepala daerah tertentu, maka resolusinya bukan hanya membatalkan izin usaha pertambangan tersebut, tetapi juga harus diperlakukan proses hukum secara tepat dan tegas (rule of law) kepada kepala daerah tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban dan pelajaran untuk kepala-kepala daerah lain. (dunia-energi.com, 14 September 2012.48 Salah satu kasus besar tumpang tindih izin usaha pertambangan yang disinyalir disebabkan oleh backdating adalah pengelolahan pertambangan pada lahan yang dilepas oleh PT INCO Tbk di di Blok Malapulu, Torobulu, dan Lasolo, Sulawesi Tenggara. Berdasarkan Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Manusia Nomor 483.K/30/DJB/2010 tanggal 25 Oktober 2010 mengenai penciutan tiga Wilayah Kontrak Karya pada tahap kegiatan operasi produksi PT INCO Tbk, lahan yang dilepas meliputi Blok Malapulu 3.000 hektar (Bombana), Torobulu 13.000 hektar (Konawe Selatan), Lasolo 4.000 hektar (Konawe Utara), dan Lapao-pao 6.000 hektar (Kolaka). Seharusnya kegiatan pertambangan ketiga blok itu hanya dimungkinkan setelah pelepasan resmi lahan PT INCO Tbk tersebut tanggal 25 Oktober 2010 berdasarkan keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral. Akan tetapi, realitas di lapangan sudah berlangsung kegiatan pertambangan dengan izin usaha pertambangan yang diterbitkan kepala daerah setempat dengan tanggal sebelum pelepasan blok-blok tersebut oleh PT INCO Tbk. Fakta selanjutnya adalah izin usaha pertambangan ketiga blok pertambangan terebut telah mendapatkan status clear and clean dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (duniaenergi.com, 14 September 2012). Kasus tersebut memang perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut dan serius untuk benar-benar menentukan bahwa izin usaha pertambangan dalam ketiga blok tersebut merupakan bagian dari back-dating untuk mendapatkan status clear and clean. Dengan demikian, kasus tersebut membeberkan suatu fakta dan pelajaran berharga (lesson learned) mengenai back-dating dan mekanisme verifikasi lapangan yang diperlukan untuk memastikan suatu izin usaha pertambangan merupakan hasil back-dating. Harus diakui memang mekanisme itu tidak mudah dan membutuhkan biaya cukup cukup besar karena kita tidak akan pernah mengharapkan bahwa seorang kepala daerah akan mengakui dirinya telah melakukan back-dating atau ia akan berhadapan dengan proses hukum yang dapat membawa ke dalam jeruji penjara.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
399
e-Governance Model dalam Penerbitan IUP Ada 3 kelompok target utama dalam konsep e-governance, yakni: pemerintah, warga negara dan sektor bisnis/kelompok kepentingan. Strategi eksternal dalam e-governance model ini berfokus kepada warga negara dansektor bisnis/kelompok kepentingan. Sementara target internal berfokus kepada pemerintah itu sendiri. Nomenklatur seperti B2B (Bussiness to Bussiness) dan B2C (Bussiness to Consumer) digunakan seperti pada e-commerce, untuk mempermudah ilustrasi interaksi diantara kelompok tersebut. Adapun secara ringkas, interaksi-interaksi kelompok-kelompok utama pada e-governance tersebut terlihat pada model sebagai berikut ini:
Gambar 6. Interaksi diantara kelompok-kelompok utama e-governance Secara konkret, interaksi pada e-governance pada penerbitan IUP menuju good governance pada sektor pertambangan dengan salah satu akhir tujuan peredaman konflik sengketa tumpang tindih lahan adalah sebagai berikut: Gambar 7. Model e-mining governance untuk Sektor Pertambangan (Diadaptasi dari model e-governance John Sunday (2013))
e-Mobilization (pelaksanaan kebijakan IUP e-Participation ( (pelibatan tripartit pengusaha, pemerintah dan masyarakat ) e-Planning (Review kebijakan IUP )) e-Policing ( kebijakan IUP)
e-Consultation (FAQ tetang prosedur IUP )) e-Proper (clean and clear test ) e-Service Delivery (layanan IUP mobile)
e-governance cycle
e-Transaction ( pembayaran biaya IUP )
e-Coordination (lintas sektoral dengan kehutanan,petranian dsb.
e-Taxation ( Royalti dan pajak batubara) e-Registration (pendaftaran IUP) kuasa o e-Education (Sosialisasi UU Minerba tahun 2009 )
400
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Dengan model e-governance ini diharapkan terjadi good governance pada sektor pertambangan di provinsi Kalimantan Timur. Indikator utama keberhasilan dari sistem e-governance ini tidak terjadinya penerbitan IUP ganda pada lahan yang sama, terciptanya good governance dan well manage pada sektor pertambangan serta teredam dan hilangnya konflik sengketa tumpang tindih lahan yang dihitung sejak sistem egovernance ini di berlakukan.
DAFTAR PUSTAKA Asmarini, W. (2012). Governors Soon Get Legal Certaininity To Resolve Overlapping Permits. Diambil dari http://en.indonesiafinancetoday.com/read/25434/Governors-Soon-Get-Legal-Certainty-to-ResolveOverlapping-Permits, pada 23 Februari 2013. Azwar, Amahl S. (2012). Mining permit deadline draws criticism. Dalam The Jakarta Post (12 Oktober 2012). Ateng Syarifudin, Pengurusan Perizinan, Bandung: Pusat Pendidikan dan Pelatihan ST Aloysius, 1992 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta : PSH FH UII, 2005 Biro Keuangan Sekertariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2011). Kompendium Peraturan PNBP. (1th Edition). Jakarta : Biro Keuangan Sekertariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Biro Pusat Statistik. Kalimantan Timur dalam Angka. 2014 Biro Pusat Statistik. Pendapatan Daerah Regional Bruto. 2014 Burton, J. (1990). Conflict: practices in management, settlement and resolution. New York: St. Martin‘s Press
Charllote Sterck, Governments and Policy Network: Chances, Risks, and a Missing Strategy – a Handbook of Globalization and Environmental Policy, USA: Edward Elgar Publishing Limited, 2005 Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Mineral and Coal Tahun 2013, Jakarta, Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba). (2013), ESDM. Daftar IUP CnC dan non CnC. per-tanggal 26 Februari 2013. Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba). (2013), ESDM, Daftar IUP non CnC. Per-tanggal 26 Februari 2013. Dipowicaksono, Fiqi and Wibowo, Satya Aditya. (2013). Marketing Strategy For 3M PPE Products at Coal Mining in East Kalimantan. Jurnal Business Administration. Vol 2, No. 9. Jakarta. Dunia Energi. (2012). Proses Clear and Clean Mulia Bermasalah. Diambil dari http://www.duniaenergi.com/proses-clean-and-clear-iup-mulai-bermasalah/, pada 24 Januari 2013.Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 51 Fadhillah,
R.D.
(2011).
Overlapping
mining
areas
needs
fixing
soon.
Diambil
dari
http://www.thejakartapost.com/news/2011/05/28/overlapping-mining-areas-need-fixing-soongovt.html, pada 24 Januari 2013.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
401
Fisher, R. & Ury, W. (1991). Getting to yes: negotiating agreement without giving in. New York: Penguin Books. Fisher, R., Kopelman, E., & Schneider, A.K. (1994). Beyond Machiavelli: Tools for coping with conflict. Boston: Harvard College. Hasan Ansori, Mohammad. Desentralisasi, korupsi, dan kemunculan tumpang tindih izin usaha pertambangan di indonesia. Jurnal Demokrasi dan HAM vol. 10. Jakarta. 2013 Hukum Online.com. (2012). Tumpang Tindih Lahan Hambat Proses Clear and Clean. Diambil dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt500ec7dd812f0/tumpang-tindih-lahan-hambat-prosesclean-and-clear, pada 16 Februari 2013. Hukumonline.com. (2009). UU Minerba lahir, Masalah Tumpang Tindih Selesai?, 14 Januari 2009, diambil dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20902/uu-minerba-lahir-masalah-tumpang-tindih-
selesai, pada 10 Februari 2013. Indrawati. Franky Butar Butar. Kuntjoro Dibyo. Penerimaan Negara Sektor Pajak di Bidang Pertambangan., Kondisi Industri Pertambangan di Indonesia saat ini dalam menunjang pembangunan berkelanjutan Paper dipresentasikan pada Semiloka: Menuju Kegiatan Industri Ekstraktif yang Berwawasan Lingkungan, diselenggarakan di UNAS, Jakarta, 24 Oktober 2002. Isenhart, M.W. (2000). Collaborative approaches to conflict resolution. London: sage Publications. Jeong, H.W. (ed.). (1999). Conflict Resolution: dynamic, process and structure. New York: Ashgate Juniarso R dan Achmad S., Hukum Tata Ruang dalam Konsep Otonomi Daerah, Bandung: Nuansa, 2008 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata cara pengajuan pemrosesan pemberian kuasa pertambangan, izin prinsip, kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara Kementrian ESDM. (2012). Batubara: 373 perusahaan dinyatakan clear and clean. Diambil dari www.esdm.go.id/berita/batubara/44-batubara/5526-373-perusahaan-dinyatakan-clear-and-clean.html., pada 13 Februari 2013. Kementrian ESDM. (2011). Koordinasi Izin Usaha Pertambangan Nasional 2011. Diambil dari http://www.esdm.go.id/siaran-pers/55-siaran-pers/4550-koordinasi-pendataan-izin-usahapertambangan-nasional-2011.html, pada 14 Februari 2013. Kompas. (2007). Kecenderungan Korupsi: Eksekutif di Posisi Teratas, 25 Januari 2007. Laporan Tahunan PT. Pancaran Surya Abadi. Jakarta. 2014 Li Yanfeng, ZHAO Wenda, GUI Xiahui, ZHANG Xiaobo. (2012). Flotation Kinetics and Separation Selectivity of Coal
Size.
Jurnal
d
a
s
i
k
e
Physicochemical s
1
8
Problem M
a
of r
Mineral e
t
Processing. 2
0
1
Vol
4
http://www.ppmp.pwr.wroc.pl/sorpa/file/5609eea312404d80b37560585dc32840/download.
402
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
2, d
No. a
r
49, i
Ligaligo Abraham, Kejayaan Pertambangan “Darah Segar” Kemakmuran, www.majalahtambang.com, 2008. Mayer, B.S. (2000). The dynamics of conflict resolution: a practitioner‟s guide. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Michael S. Hamilton, Mining Environmental Policy, USA: Ashgate Publishing, 1988 Mining News Asia. (2012).
Clear and Clean Mining Business Permit (IUPs).
Diambil dari
http://www.miningnewsasia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=301:clean-andclear-mining-business-permits-iups&catid=1:indonesia&Itemid=62, pada 16 Februari 2013. Moore, Christopher W. (2003). The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict. San Francisco: Jossey-Bass, A Wiley Imprint. Nuryahya, Himawan. Makalah Analisa Penerimaan Daerah Regional Bruto Sumber Daya Alam Pertambangan Mineral dan Batubara Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2010-2014. FISIP UNPAD. Bandung. 2015 Nurhayati. La Sina. Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Tumpang Tindih Lahan Pertambangan Migas dan Batubara. Jurnal Beraja Niti vol 2. No. 10. Samarinda. 2013 Oberschall, A. (1978). Theories of social conflict. In Annual Review of sociology. Vol. 4, pp. 291-315. Pradipta, V.A. (2012). Clean and Clear Mining Permits to be Completed End of 2012. Diambil dari http://en.bisnis.com/articles/clean-and-clear-mining-permits-to-be-completed-end-of-2012,
pada
30
Januari 2013. Pradipta,
V.A.
(2011).
Baru
45%
IUP
Berstatus
Clear
and
Clean.
Diambil
dari
http://www.bisnis.com/articles/baru-45-percent-iup-berstatus-clean-and-clear, pada 17 Februari 2013. Peraturan Pemerintah (PP), Nomor 22 Tahun 2010, Tentang Wilayah Pertambangan (WP). Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan Prawira, Sutisna. (2010). REFLEKSI KINERJA SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TAHUN 2010.10 Februari 2014. http://www.esdm.go.id/siaran-pers/55-siaran-pers/4027- refleksi-kinerj asektor-energi-dan-sumber-daya-mineral-tahun-2010.html Purwono, C.T. & Sullivan, B. (2011). Overlapping mining concessions: a systematic problem not easily resolved. Dalam Coal Asia Magazine, July-August 2011. Riant N. D., Analisis Kebijakan, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2007 Robbins, Stephen P. / Coulter, Marry. (2009). Manajemen. (Edisi 8) Jilid 1. New Jersey: Pearson Education. Inc. Rinaldi, T., Purnomo, M., & Damayanti, D. (2007). Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah. World Bank Justice for the Poor Project.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
403
Sandole, D. J. & Merwe, H.V. (eds.). (1993). Conflict resolution theory and practice: integration and application. New York: Manchester University Press.Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center Schellenberg, J. (1996). Conflict resolution: theory, research and practice. New York: State University of New York Press. Simon Felix Sembiring, Jalan Baru Untuk Tambang: Mengalirkan Berkah Bagi anak Bangsa, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009 Silalahi, Daud, Hukum lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Bandung; Alumni, 2001 Silalahi, Daud dan Kristianto P H, Hukum Pertambangan Indonesia dalam Perkembangan Hukum Baru, (draft, 2011) Silalahi Daud. Kristianto. Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan di Indonesia Pasca Undang - Undang Minerba no. 4 tahun 2009. Law review volume xi no. 1 - . Jakarta. Juli 2011 Solichin A W, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1997 Sjahran Basah, Pencabutan Izin Sebagai Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi Negara, Surabaya: FH Unair, 1995 Sunday, John. E-Governance: An Imperative for Sustainable Grass Root Development in Nigeria. Journal of Public Admnistration and Policy Research, 2014. Susyanto.
(2012).
KINERJA
SEKTOR
KERJA
ESDM
TAHUN
2012.
21
Mei
2014.
http://www.esdm.go.id/siaran-pers/55-siaran-pers/6127-kinerja-sektor-esdm-tahun-2012- .html Sullivan, B. & Petromendo. (2012). Understanding the IUP National Reconciliation Process: Some progresses but many unresolved issues. Dalam Coal Asia Magazine, October-November 2012. Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan Batubara. (2012). Evaluasi Terhadap Kebijakan Penyelenggara Negara Berdasarkan Kerangka Umum Hukum Administrasi Negara, Jakarta. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan -ketentuan Pokok Pertambangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
404
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Widyastuti Paramita, Hery Gunawan. Analisa perencanaan, monitoring dan pengusulan penyaluran pnbp sumber daya alam pertambangan mineral dan batubara Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2010-2012. Yozami, M.A. (2012). Banyak Kepala Daerah Mengeluarkan Izin Palsu, dalam hukumonline.com, 16 Februari 2012. Diambil dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f3d02d9787d6/banyak-kepala-daerahkeluarkan-iup-palsu, pada 23 Februari 2013. Yuniarto, Agung. (2012). Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Bogor: Kementerian Keuangan Republik Indonesia Badan Pendidikan dan Pelatihan Zainul Basri Yuswan dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri,RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
405
Pengaruh Iklim Komunikasi Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Dan Penanaman Modal Kota Gorontalo
Zuchri Abdussamad Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo Telp. 08124467142 Email: [email protected]
Abstrak: Peningkatan kinerja pegawai di instansi pemerintah dapat ditempuh dengan beberapa cara, misalnya melalui pemberian kompensasi yang layak, pemberian motivasi, menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, serta pendidikan dan pelatihan. Selain itu, lingkungan kerja yang nyaman, koordinasi serta komunikasi pada dasarnya merupakan faktor yang mendukung kinerja para pegawai dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh iklim komunikasi organisasi terhadap kinerja pegawai
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil
Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode survey dan analisa korelasional. Hasil yang diharapkan yakni adanya model pengembangan kinerja pegawai melalui iklim komunikasi organisasi. Kategori : Ilmu Sosial Sub Tema
: Inovasi Pengembangan Pelayanan Publik
Kata Kunci
: Iklim Komunikasi Organisasi, Kinerja
PENDAHULUAN Kinerja aparat pemerintah pada dasarnya juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi tertentu, yaitu kondisi yang berasal dari dalam individu yang disebut dengan faktor individual dan kondisi yang berasal dari luar individu yang disebut dengan faktor situasional. Faktor individual meliputi jenis kelamin, kesehatan, pengalaman dan karakteristik psikologis yang terdiri dari motivasi, kepribadian, orientasi tujuan dan locus of control. Adapun faktor situasional meliputi kepemimpinan, prestasi kerja, hubungan sosial dan budaya organisasi dan komunikasi organisasi.
406
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Peneliti melakukan penelitian komunikasi organisasi lebih khusus dapat mengetahui proses iklim komunikasi organisasi dan pengaruhnya terhadap kinerja pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo dilandasi oleh identifikasi masalah tentang iklim komunikasi organisasi yaitu di dalamnya terdapat birokrasi (sistem kontrol dalam organisasi) yang cukup kompleks tetapi terstruktur dalam unit pembagian tugasnya yang terdiri dari bidang industri, perdagangan, koperasi dan bidang penanamanan modal sehingga dapat terlihat jelas aktifitas kerja yang kebanyakan pada banyak lingkungan kerja mengalami kendala-kendala sehingga kadang kurang kordinasi dalam pengorganisasian tugas, pesan atau informasi yang tengah menjadi kebutuhan semua lini pegawai dan kadang kala tidak berjalan efektif dan efisien, keadaan tersebut bisa menjadi terbiasa dan berlangsung lama sehingga bisa mempengaruhi kinerja pegawai. Seperti contoh apabila ada komunikasi yang tidak efektif antara bawahan dengan atasan maka akan tercipta iklim yang tidak kondusif dan tentunya akan mempengaruhi kinerja pegawai.
IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI DAN KINERJA Mengungkapkan istilah iklim disini merupakan kiasan (metafora), fase iklim komunikasi organisasi menggambarkan suatu kiasan bagi iklim fisik. Sama seperti cuaca membentuk iklim fisik untuk suatu kawasan, sedangkan cara orang berinteraksi terhadap aspek organisasi menciptakan suatu iklim komunikasi, maksudnya yaitu sebuah kiasan yang menggambarkan suasana dan apa yang dirasakan nyata dalam diridari orang-orang yang berhubungan dengan organisasi sehingga memungkinkan orang bereaksi dengan bermacam-macam cara terhadap organisasi melalui proses komunikasi. Falcione dalam Pace dan Faules (2001:149) menyatakan bahwa,―iklim komunikasi merupakan suatu citra makro, abstrak dan gabungan dari suatu fenomena global yang disebut komunikasi organisasi. Iklim berkembang dari interaksi antar sifat-sifat suatu organisasi dan presepsi individu atau sifat-sifat itu. Iklim dipandang sebagai suatu kualitas pengalaman subjektif yang berasal dari presepsi atas karakter-karakter yang relatif langgeng pada organisasi‖. Kinerja (performance) adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Istilah kinerja berasal dari Job Perfomance atau Actual Performance yang berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang (Prabu, 2005: 67). Hasibuan (2003: 94) mengemukakan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Kinerja adalah merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi ketiga faktor diatas, maka akan semakin besar pula kinerja dari pegawai yang bersangkutan. Menurut Mahsun (dalam Sinambela, 2012:187) mengatakan terdapat empat elemen pengukuran kinerja organisasi, yaitu: (1) menetapkan tujuan, sasaran dan strategi organisasi; (2) merumuskan indikator dan ukuran
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
407
kinerja; (3) mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran-sasaran organisasi; dan (4) evaluasi kinerja (umpan balik, penilaian kemajuan organisasi, meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas). Untuk menganalisis kinerja pegawai, Bernardin dan Russel dalam Sutrisno (2009:179-180), mengajukan enam poin penilaian kinerja yang digunakan untuk menganalisis masalah tersebut yaitu :1) Quality, 2) Quantity, 3) Timeliness, 4) Cost effekctiveness, 5) Need for supervisior, 6) Interpersonal impact.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa organisasi
koefisien regresi untuk variabel
iklim komunikasi
bernilai positif sebesar 0,359. Koefisien regresi yang positif ini menunjukkan bahwa iklim
komunikasi organisasi
mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja pegawai. Semakin baik iklim
komunikasi organisasi pada kantor Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo,
maka kinerja pegawai yang dihasilkan baik pula, sehingga akan
tercapai segala hal yang menjadi sasaran, target dan tujuan dari instansi ini. Namun berdasarkan pengamatan peneliti dalam hal saluran komunikasi formal dikantor ini utamanya aliran komunikasi vertikal yakni mencakup seluruh transaksi yg meliputi aliran informasi ke bawah maupun ke atas yg terjadi antara atasan dan bawahan dalam organisasi belum efektif, misalnya kurangnya pimpinan memberikan informasi tentang mengapa suatu pekerjaan harus dilaksanakan, terlalu banyak mengutus bawahan untuk mengikuti pertemuan di tingkat SKPD terutama ketika masyarakat sangat membutuhkan informasi harga bahan pokok, hanya dilayani staf, padahal yang sangat dibutuhkan adalah kebijakan dari kepala kantor untuk menjelaskan sehingga tidak multitafsir. Hipotesis dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh iklim komunikasi organisasi terhadap kinerja pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo (Perindagkop.UMKM dan PM) berdasarkan hasil penelitian hipotesis tersebut terbukti. Adapun pengaruh dari iklim komunikasi organisasi terhadap kinerja pegawai di Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo terlihat rendah, namun beberapa masih menjadi perhatian dan harus ditingkatkan agar kedepannya kinerja pegawai dapat ditingkatkan melalui iklim komunikasi organisasi antara lain dapat ditetapkan melalui model komunikasi linier, model komunikasi interaksional, model komunikasi transaksional. Sesuai pengamatan dan wawancara peneliti dengan kepala bidang perindustrian, bidang perdagangan, bidang koperasi, bidang penanaman modal di kantor ini terungkap masing-masing bidang ini memiliki ciri khas tersendiri dalam melaksanakan program kerja. Diantaranya untuk bidang perindustrian dan perdagangan bisa dikategorikan pada model transaksional, dimana pandangan ini menekankan bahwa semua perilaku adalah komunikatif. Modelnya didasarkan pada konsep komunikasi berikut. 1). Komunikasi menjelaskan evaluasi makna. 2). Komunikasi bersifat dinamis. 3). Komunikasi terus-menerus. 4). Komunikasi melingkar. 5). Komunikasi tidak dapat diulang/ditarik kembali. 6). Komunikasi tidak dapat dirubah. 7). Komunikasi yang kompleks. Untuk bidang koperasi lebih mirip kearah model interaksional, dimana komunikasi yang berlangsung bersifat dua arah dan ada dialog. Tiap partisipan memiliki peran ganda, satu saat bertindak sebagai komunikator, pada saat yang lain sebagai komunikan. Dan untuk bidang penanaman modal sesuai hasil wawancara dengan kepala bidang ini peneliti dapat mengkategorikan pada model komunikasi linier, dimana dalam model ini
408
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
komunikator memberi suatu stimuli dan komunikan melakukan respon yang diharapkan tanpa mengadakan seleksi dan interpretasi.
Industry Division
Linier Communicati on
Trade Division Cooperation Division
Interactional Communicati on Transactional Communicati on
Investment Division
Industry Division Trade Division Cooperation Division Investment Division
Gambar diatas merupakan model komunikasi yang berlangsung di kantor Dinas Perindagkop.UMKM dan PM Kota Gorontalo
PENUTUP Hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh iklim komunikasi organisasi terhadap kinerja pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo diperoleh nilai korelasi r sebesar 0,476 dan koefisien determinan komunikasi organisasi di
sebesar 0,227. Penerapan iklim
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan
Penanaman Modal Kota Gorontalo mempunyai hubungan yang rendah terhadap kinerja. Iklim komunikasi organisasi yang dijalankan oleh pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo dapat dilihat pada besarnya nilai determinasi atas pengaruh iklim komunikasi organisasi terhadap kinerja pegawai yakni sebesar 0,227; dengan kata lain iklim komunikasi organisasi memberikan pengaruh sebesar 22,7% terhadap kinerja pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo, yang kemudian sisanya 77,3% ditentukan oleh variabel lain yang tidak diuji dalam penelitian ini seperti budaya kerja, motivasi, koordinasi, kepemimpinan dan lain-lain. Dari data tersebut dapat dijelaskan bahwa kinerja pegawai secara signifikan dipengaruhi oleh iklim komunikasi organisasi
namun pengaruh
iklim komunikasi organisasi terhadap kinerja pegawai yang
ditunjukkan tersebut termasuk dalam kategori sedang. Kondisi ini, tentunya dapat dijadikan sebagai gambaran bahwa iklim komunikasi organisasi di kantor Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo aparat masih perlu ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA Hasibuan Malayu, 2003, Organisasi Dan Motivasi Dasar Peningkatan Produktifitas. Bumi Aksara. Jakarta Pace Wayne. R and Faules. F Don, 2001, Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Deddy Mulyana (Editor) Remaja Rosda Karya, Bandung
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
409
Prabu, Anwar Mangkunegara. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung Sinambela, P, 2012, Revormasi Pelayanan Publik. PT Bumi Aksara. Jakarta Sutrisno, Edi, 2009, Komunikasi Dalam Organisasi, KENCANA, Jakarta
410
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Meningkatkan Kemampuan Kelembagaan Untuk Menyongsong Asean Economic Community: Suatu Perspektif Administrasi Negara
ROZA LIESMANA, S.IP, M.Si Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang-Indonesia Tel: +628126641275 E-mail: [email protected]
Abstrak: Diakui bahwa administrasi negara kita memiliki berbagai kelemahan birokrasi transisional, diantaranya inefisiensi, produktivitas rendah dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan serta kurang terbuka dan kurang tanggap terhadap aspirasi masyarakat. Atas dasar itu disadari bahwa salah satu hambatan yang besar dalam pembangunan di negara berkembang, termasuk Indonesia adalah sistem administrasi negara yang belum memiliki kemampuan yang cukup memadai untuk melaksanakan berbagai tugas pembangunan yang cepat berubah dan semakin kompleks. Hambatan ini jika tidak diatasi maka akan semakin nyata pada saat pelaksanaan Asean Economic Community tahun 2015. Secara garis besar, dinegara Indonesia adminsitrasi pemerintah memiliki kedudukan sentral serta hegemonis karena lemahnya sektor swasta. Sementara disisi lain perubahan-perubahan yang cepat Ditingkat global dan nasional salah satunya pelaksanaan Asean Economic Community menjadi faktor pendorong kuat perubahan pada sistem administrasi negara agar mampu mendukung pembangunan yang bertambah kompleks tadi. Dalam kerangka pemikiran inilah pembangunan kualitas manusia harus mendapatkan penekanan oleh pemerintahan saat ini karena hanya dengan kualitas manusia yang tangguh segala tantangan global maupun nasional dapat dipecahkan. Dalam menghadapi AEC yang bertujuan meningkatkan kualitas manusia dan kualitas masyarakat itulah semakin diperlukan suatu sistem administrasi yang baru dan lebih berkemampuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Bagaimana sistem administrasi yang mampu untuk merangsang partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan AEC? Ada tiga aspek yang mendesak untuk dilaksanakan yakni: desentralisasi, perubahan orientasi dan proses, penciptaan lingkungan politik dan administrasi yang mendukung. Untuk mencapai kualitas manusia dieprlukan desentralisasi yang cukup mendasar dalam proses pembuatan keputusan. Desentralisasi tidak sekedar mencakup delegasi sebagian otoritas formal tetapi mencakup penyerahan otonomi yang lebih luas kepada daerah melalui peningkatan kapasitas masyarakat dalam perencanaan pembangunan, meningkatkan fungsi DPRD serta pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam perencanaan, pengelolaan dan pengendalian pembangunan daerah. Untuk memungkinkan terlaksananya desentralisasi
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
411
diperlukan perubahan orientasi dan proses karena selama ini hambatan dalam sistem administrasi Indonesia adalah hambatan proses dan orientasi berupa aspek prosedur dan struktur. Sedangkan pemciptaan lingkungan politik dan administrasi yang mendukung dapat dicapai melalui kebijakan-kebijakan negara perlu dirumuskan untuk menciptakan lingkungan dan kondisi yang mampu merangsang dan mendukung upaya masyarakat untuk menghasilkan kebutuhan serta untuk memecahkan sendiri masalah-masalah mereka. Pendekatan birokratis yang sering digunakan pemerintah seringkali membunuh inisiatif masyarakat dan telah menimbulkan beban keuangan yang amat besar bagi pemerintah. Selain itu menjadikan banyak program pembangunan menjadi tidak efisien dan tidak efektif. Keywords: Pembangunan Kelembagaan, Economic Community
Pendahuluan Era globalisasi menuntut banyak perubahan dalam sistem administrasi negara. Pasar yang semakin terbuka dan kompetisi yang ketat dalam sistem ekonomi yang semakin mengglobal menuntut birokrasi yang modern, yang dicirikan oleh efisiensi, transparansi dan berpertanggungjawaban yang tinggi. Sayangnya, sistem administrasi seperti itu masih jauh dari sistem administrasi negara Indonesia. Mengapa birokrasi menjadi begitu penting untuk di bahas?ada beberapa poin yang menjadi landasan. Pertama, birokrasi menduduki posisi strategis-instrumental untuk mewujudkan cita-cita pembangunan suatu negara artinya secara normatif semua elemen birokrasi harus mengacu kepada tujuan pembangunan nasional yang ingin diwujudkan. Kedua, karena dengan makin jauhnya tahapan pembangunan nasional, tujuan pembangunan nasional juga dapat berubah, maka sosok birokrasi seharusnya juga merefleksikan diri dalam perubahan tersebut. Tahun 2015 Indonesia paling tidak berhadapan dengan 3 tantangan besar (Eko Prasojo, 2015). Pertama tingkat perubahan harapan masyarakat yang sangat cepat dengan kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Kecepatan ini bergerak menurut deret ukur, sedangkan perubahan birokrasi menurut deret hitung. Kedua, Globalisasi yang semakin masif dan komprehensif. Tahun 2015 Indonesia akan berada dalam Asen Economic Community. Ketiga sumber daya alam yang semakin terbatas karena pemanfaatannya yang tidak terkontrol. Ketiga tantangan ini makin diperparah dengan situasi problematik birokrasi di Indonesia saat ini diantaranya: struktur, norma, nilai dan regulasi lebih berorientasi kepentingan penguasa (power culture), belum terbentuknya budaya melayani ( service culture), tingginya ketidakpastian (cost of uncertainty), budaya patronclient yang mengarah kepada moral hazard dan mentally corrupt dan rendahnya kapabilitas para biriokrat. Tulisan ini bermaksud memaparkan pemikiran-pemikiran awal mengenai perlunya pembangunan kelembagaan untuk mendukung pembangunan kualitas manusia dalam rangka menghadapi berbagai tantangan dan persoalan besar yang dihadapi negara Indonesia saat ini. Untuk itu tulisan akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama bagaimana bentuk birokrasi dalam konteks pembangunan nasional. Kedua, bagaimana kualitas sumber daya manusia dan kualitas masyarakat yang diperlukan untuk mendukung perubahan birokrasi seperti itu.
412
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Birokrasi Tanggap, Efisien dan Akuntabel Perdebatan mengenai birokrasi yang baik- efisien tanggap dan akuntabel sebenarnya telah lama berkembang dalam studi administrasi negara. Sejak beberapa dekade lalu, polemik sudah terjadi dikalangan pakar mengenai cara untuk mewujudkan birokrasi yang bersih dan efisien, tanggap dan akuntabel. Para ilmuwan politik telah memperdebatkan kemungkinan mengembangkan good government dan representative government (Mill, dalam Agus Dwiyanto, 1997). Dengan mengembangkan pemerintah yang representatif maka pemerintah akan lebih sensitif dan aspiratif terhadap kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya. Asumsinya adalah bahwa tindakan dan kebijakan dari pejabat birokrasi sangat dipengaruhi oleh ciri-ciri individunya seperti ras, gender, agama, dsb. Karenanya, pemerintah yang baik harus mewakili ciri-ciri dan variabilitas yang ada dalam masyarakatnya sehingga ia bisa lebih tanggap dan aspiratif terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya. Dikalangan pakar administrai negara, Finner dan Frederich berbeda pendapat mengenai cara yang paling efektif untuk membangun pemerintah yang tanggap dan akuntabel. Isunya adalah apa pilihan yang tepat untuk membangun birokrasi yang bersih dan akuntabel, control internal dan eksternal. Diantara sumber control internal adalah etika, standard an norma-norma profesi. Nilai-nilai semacam ini, seandainya dapat dilembagakan akan bias menjadi sumber tuntunan bagi para pejabat birokrasi dalam mengambil keputusan. Sedangkan sumber control eksternal yang penting diantaranya adalah control politik, regulasi, dan control dari pejabat atasan. Perdebatan mengenai pemerintahan yang baik, efisien tanggap dan akuntabel menjadi penting saat ini dengan semakin maraknya berbagai bentuk patologi birokrasi terutama lemahnya efektivitas pemerintahan dan kontrol terhadap korupsi. Kondisi ini mengharuskan pemerintah mencari formula khusus untuk mewujudkan pemerintah yang tanggap dan akuntabel. Di samping itu problem dasar yang harus dihadapi oleh pemerintah adalah merubah kultur di dalam birokrasi terutama incorruptibily dan budaya kinerja. Kesemua ini mengandung makna meskipun sampai saat ini perdebatan panjang mengenai cara perwujudannya masih terjadi namun yang perlu disepakati adalah bahwa mewujudkan pemerintahan yang baik, tanggap dan akuntabel, efektif dan efisien diyakini mutlak diperlukan bagi birokrasi di Indonesia saat ini.
Asean Economic Community Dan Birokrasi Di Indonesia Tantangan terberat bagi Indonesia selain carut marutnya birokrasi ternyata juga pada tahun ini akan berada pada Asean Economic Community dengan Asean Free Trade. Secara jelas kondisi umum birokrasi di Indonesia saat ini dapat digambarkan sebagai berikut: (Eko Prasojo, 2015):
Sumber: Prasojo, 2015
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
413
Dengan kondisi birokrasi seperti pada gambar di ataslah memaksa pemerintah harus segera memikirkan solusi agar bisa keluar dari lingkaran permasalahan birokrasi di atas. Karena ketidaksiapan Indonesia menghadapi Asean Economic Community dan Asean Free Trade salah satunya disebabkan oleh ketidaksiapan birokrasi menghadapi perubahan serta ketidaksiapan kualitas manusia Indonesia dalam menghadapi persaingan dengan warga negara lain. Dalam tulisan ini penulis mencoba menawarkan perbaikan kelembagaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Penulis menyakini bahwa dengan perubahan kedua aspek inilah maka akan mampu membuat Indonesia bias tegak sejajar dengan negara bangsa lain di Asean.
Pembangunan Kualitas Manusia Kalau diamati konsep dan strategi pembangunan nasional Indonesia sejak kemerdekaan dapat disimpulkan bahwa konsep tersebut tidaklah statis, tetapi bergeser dari pembangunan yang bias politik pada masa orde lama, pembangunan yang memiliki bias ekonomi yang besar pada masa orde baru serta pembangunan nasioanl yang memiliki bias politik sekaligus bias ekonomi yang sangat besar pada saat ini. Penampilan pembangunan nasional yang sangat tidak memuaskan sampai saat ini tampak pada kemerosotan ekonomi harus memaksa pemerintah memikir ulang strategi pembangunan nasional yang dilaksanakan. Secara normatif pembangunan nasional harus sanggup menjamin tercapainya tujuan yang tercantum dalam RPJM dan RKP. Salah satu
startegi yang urgent dilakukan adalah melalui pembangunan kualitas
manusia. Pembangunan kualitas manusia tidak identik dengan pembangunan ekonomi plus modernisasi. Lebih dari keduanya, pembangunan kualitas manusia adalah upaya meningkatkan kapasitas mereka untuk memperbarui dan mengatur masa depannya. Proses pembangunan ini mencakup keadaan (being) dan perbuatan (doing). Dengan demikian, program-program pembangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mencapai perubahan-perubahan fisik dan konkret dan sekaligus mampu meningkatkan kapasitas penduduk untuk mengantisipasi dan menjawab perubahan-perubahan tersebut. Selanjutnya, Soffian Effendi menyatakan ada empat aspek yang terkandung dalam pembangunan kualitas manusia sebagai upaya meningkatkan kapasitas mereka. Pertama, pembangunan harus memberikan penekanan pada kapasitas (capacity), kepada apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tersebut serta enerji yang diperlukan untuk itu. Kedua, pembangunan harus menekankan pemerataan (equity). Perhatian yang tidak merata pada berbagai kelompok masyarakat akan memecah belah masyarakat dan akan menghancurkan kapasitas mereka. Ketiga, pembangunan mengandung arti pemberian kuasa dan wewenang (empowerment) yang lebih besar kepada rakyat. Hasil pembangunan baru cukup bermanfaat bagi masyarakat apabila mereka memiliki wewenang yang sepadan. Keempat, pembangunan mengandung pengertian kelangsungan perkembangan (sustainable) dan interdependensi diantara negara-negara di dunia. Konsep pembangunan kualitas manusia sebenarnya cukup sederhana, yakni suatu upaya yang terencana untuk meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat suatu bangsa untuk dapat secara aktif menentukan masa depannya. Kapasitas itu mencakup lima spek yaitu: kapasitas untuk berproduksi, pemerataan, pemberian kekuasaan dan wewenang, kelangsungan untuk berkembang dan kesadaran akan interdependensi. Didefinisikan seperti ini, pembangunan kualitas manusia pada dasarnya adalah upaya untuk mengembangkan inisiatif yang kreatif dari penduduk sebagai sumber daya pembangunan yang utama dalam mencapai
414
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
kesejahteraan material dan spiritual. Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pada akhirnya faktor penentu yang paling utama dalam keberhasilan pelaksanaan pembangunan kualitas manusia adalah system pemerintahan kita, khususnya system administrasi yang menjadi pelaksana paling dominan. Bagaimana system administrasi yang mampu untuk merangsang partisipasi yang merupakan syarat mutlak bagi pembangunan kualitas manusia? Dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan sebagai upaya peningkatan kapasitas, sifat-sifat biokrasi pemerintah yang stabil-mekanis tidak mungkin dihilangkan secara keseluruhan. Sifat tersebut hanya dapat dikurangi dan diganti dengan organisasi yang lebih bersifat organisadaptif (Sofian Effendi, 1997) yaitu organisasi yang lebih terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas, serta yang mampu melaksanakannya. Struktur birokrasi yang organis-adaptif ini mempunyai pola hubungan yang lebih longgar dan terbuka terhadap pengaruh dari luar. Partisipasi dalam perumusan tujuan menjadi lebih besar sehingga terbuka kesempatan yang luas untuk keterlibatan dari bawah maupun dari atas.
Strategi Pembangunan Kelembagaan : Perspektif Administrasi Negara Belajar dari berbagai pengalaman pelaksanaan pembangunan yang pernah dilaksanakan di Indonesia maka modernisasi administrasi guna meningkatkan kapasitasnya untuk meningkatkan fungsi regulatif dan pelayanan publik adalah melalui pembangunan kelembagaan. Dalam memperkuat pembangunan kelembagaan (kemampuan sistem administrasi) dapat dilakukan melalui tiga aspek berikut: desentralisasi, perubahan orientasi dan proses serta penciptaan lingkungan politik-birokrasi yang mendukung.
Desentralisasi Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan kualitas manusia yaitu peningkatan kaasitas produksi, pemerataan, pemberian wewenang dan kekuasaan, kemampuan untuk membangun secara berkelangsungan dan kesadaran akan ketergantungan diperlukan desentralisasi yang cukup mendasar dalam proses pembuatan keputusan.. Desentralisasi ini tidak sekedar mencakup delegasi sebagian otoritas formal dalam bentuk dekonsentrasi dan devolusi tetapi mencakup penyerahan otonomi yang lebih luas kepada daerah. Pada akhirnya, yang memiliki kapasitas untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan kualitas manusia ini adalah masyarakat itu sendiri. Karena itu kewenangan pembuatan keputusan yang lebih besar harus diberikan kepada rakyat dengan meningkatkan fungsi DPRD. Selaras dengan itu kepada pemerintah daerah harus diberikan kewenangan yang lebih besar untuk perencanaan, pengelolaan dan pengendalian pembangunan daerah. Perubahan Orientasi dan Proses Untuk memungkinkan terlaksananya desentralisasi diperlukan perubahan-perubahan strukural dan prosedural yang cukup mendasar pada sistem administrasi. Perubahan dalam sistem pemerintahan amat penting karena sistem administrasi negara adalah pelaksana pembangunan kualitas manusia yang dominan. Dalam kaitannya dengan peranan sistem administrasi negara ini, terdapat beberapa hambatan pada sistem yang perlu dihilangkan agar pembangunan kualitas manusia dapat terlaksana dengan baik. Hambatan yang paling utama adalah semakin lestarinya rutinitas tugas-tugas pembangunan serta penekanan yang terlalu berlebihan pada
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
415
pertanggungjawaban kepada pejabat atasan dan penilaian prestasi kerja petugas pelaksana atas dasar keberhasilan dalam mencapai target. Secara garis besar hambatan-hambatan pada system administrasi pembangunan menurut Soffian Effendi, 1997 dapat dikelompokkan menjadi dua yakni hambatan proses dan hambatan orientasi. Hambatan proses mencakup baik aspek prosedur dan struktur. Birokrasi dan sentralisasi yang kuat dalam pengelolaan pembangunan telah menimbulkan struktur birokrasi yang amat hierarkhis. Peran birokrasi pemerintah yang kuat dan dominan dalam pengelolaan program pembangunan telah menimbulkan etos kerja yang memaksa para aparat untuk mempertahankan status quo. Kelemahan-kelemahan proses maupun orientasi yang terdapat pada sistem administrasi ini, menyebabkan semakin kerasnya tuntutan akan adanya upaya-upaya intervensi baik berupa tindakan debirokratisasi dll maupun peningkatan kapasitas birokrasi.
Lingkungan Politik-Birokrasi yang Mendukung Untuk mencapai tujuan pembangunan kualitas manusia dan sekaligus mempertahankan kestabilan nasional yang sehat dan dinamis, usaha pembangunan harus mencakup perubahan-perubahan structuralnormatif, serta pembinaan kemampuan sosial dan teknis yang baru dalam masyarakat. Untuk itu kebijakankebijakan negara baru perlu dirumuskan untuk menciptakan lingkungan dan kondisi yang mampu merangsang dan mendukung upaya masyarakat untuk menghasilkan kebutuhan mereka serta untuk memecahkan masalah sendiri masalah-masalah mereka. Untuk mencapai sasaran ini, dalam perumusan kebijakan pembangunan perlu diadakan programprogram yang semakin menekankan kontrol oleh masyarakat setempat serta manajemen sumber-sumber setempat. Dengan demikian kepada masyarakat diberikan insentif dan motivasi yang sebesar-besarnya guna memaksimalkan kapasitas pembangunan secara berkelanjutan. KESIMPULAN Pelajaran penting yang dapat dipetik oleh pemerintah Indonesia saat ini adalah bahwa programprogram pembangunan nasional belum dapat meningkatkan produktivitas nasional maupun kapasitas bangsa secara memadai. Karena itu dalam rancangan pola pembangunan lebih ditekankan kepada pembangunan kualitas manusia. Secara konseptual, pembangunan kualitas manusia dapat diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat Indonesia dalam menentukan masa depannya. Persyaratan pokok yang harus ada untuk menjamin pelaksanaan pembangunan kualitas ini adalah tersedianya peluang yang luas bagi segenap lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap tahap pembangunan. Paradigma pembangunan kualitas manusia ini juga mengantisipasi adanya reorientasi kebijakan yang cukup mendasar mengenai fungsi, struktur dan prosedur operasi system administrasi pembangunan. Fungsi birokrasi pemerintahan akan bergeser dari penyediaan pelayanan publik secara langsung ke arah fungsi sebagai pendukung untuk merangsang terciptanya kemandirian dan kemampuan daerah dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
416
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
REFERENSI. Dwiyanto, Agus, Pemerintah yang Efisien, Tanggap dan Akuntabel: Kontrol dan Etika, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Volume 1, Nomor 2 (Juli 1997) Hal. 1-14 Effendi, Soffian, Administrasi Publik, Pembangunan Nasional dan Kemajemukan Etnis, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Volume 3, Nomor 2 ( November 1999) Hal 1-10 Prasojo, Eko, Memperkuat Orkestra Pemerintahan melalui Reformasi Birokrasi, Kuliah Umum di Jurusan Ilmu Administrasi Negara. FISIP Universitas Andalas, 26 Agustus 2015
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
417
Membangun Kepercayaan Publik Pada Birokrasi
Desna Aromatica Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Andalas Tel : 085376536841 [email protected]
Abstrak: Entitas Pemerintah dalam Negara sebagai pemenuh kebutuhan Public goods tidaklah terbantahkan. Bukan hal yang mudah juga melaksanakannya bagi para birokrat yang terlibat didalamnya. Perlunya membangun empat pondasi utama yaitu etika dalam birokrasi, Kepemimpinan, Transparansi dan akuntabilitas dalam birokrasi agar dapat membangun public trust. Public trust yang tumbuh dalam Negara oleh masyarakatnya pada birokrasi akan mampu mendorong tumbuhnya partisipasi publik dalam segala sector dari Private and society. Karena saat ini pengelolaan Negara dalam mendorong tercapainya berbagai esensi penting diadakannya sebuah Negara tidaklah menjadi urusan pemerintah saja. Kolaborasi etics, leadership, accountability diperlukan. Namun kunci dari kolaborasi tersebut adalah leadership. Sehingga akan lahirlah kepercayaan publik Kategori : Public Trust Keywords
: public trust, Leadership, etics, accountability
Pendahuluan Pembangunan nasional meliputi berbagai aspek kehidupan Bangsa Indonesia untuk membentuk suatu masyarakat adil dan makmur, seimbang materil dan spirituil berdasarkan Pancasila dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Salah satu sektor yang dibangun adalah sektor pemerintahan, agar tugas-tugas pemerintahan dapat berjalan secara efisien dan efektif. Albrecht (1985:1) bahwa dalam sejarah setiap organisasi, tak peduli organisasi apapun, pada suatu saat pasti akan dialami satu situasi tidak selaras. Kondisi seperti itu semakin lama akan bermuara pada hilangnya kepercayaan publik. Mana kala organisasi pemerintah tidak sanggup menghadapi gempuran perubahan dan tuntutan lingkungan maka birokrasi akan terlihat menjadi tidak berdaya dimata publik. Muncullah ketidak percayaan dari publik pada birokrasi. Dan birokrasi tanpa trust tentu tidak akan dapat berjalan dengan efektif
418
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Lingkungan adalah segala sesuatu selain organisasi itu sendiri. Kekuatan lingkungan yang dapat mengganggu stabilitas organisasi menurut Gibson (1992:91-592) dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yakni pertama, lingkungan luar. Kekuatan lingkungan disini bisa mencakup pengaruh pasar, teknologi, serta perubahan sosial politik. Lingkungan luar cenderung memberikan dampak perubahan lebih lambat pengaruhnya pada eksistensi birokrasi. Kedua, lingkungan dalam. Lingkungan ini memberikan efek seketika pada entitas birokrasi. Disini bisa dipengaruhi oleh proses prilaku seperti kemacetan dalam pengambilan keputusan dan komunikasi, semangat kerja yang rendah, kemangkiran yang tinggi serta pergantian karyawan. Sehingga membuat publik tetap memiliki Trust adalah sebuah kondisi tak terbantahkan diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kolaborasi gempuran lingkungan dalam dan luar yang tidak mampu dimanajemen dengan baik oleh sebuah birokrasi akan melahirkan wajah birokrasi yang buruk rupa. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini begitu rendahnya kepercayaan publik pada ability birokrasi pemerintah dalam mengelola seluruh aspek kepentingan bangsa sungguh sangat dikhawatirkan. Birokrasi harus berdandan kembali. Bukannya belum tapi entah mengapa selalu saja tidak pernah memuaskan publik. Banyak tulisan yang berbicara soal bagaimana rendahnya kepercayaan publik pada pemerintah. Banyak tulisan tentang bagaimana pula harusnya kepercayaan publik itu dibangun. Namun berbicara dan mengurai soal kepercayaan publik tetap saja menarik dan dibutuhkan.
Kepercayaan Publik dalam bingkai etics, leadership, dan accountability Trust yang dalam tulisan ini dikemas dalam konsep kepercayaan publik adalah variable yang sangat penting dalam kinerja dari sebuah institusi terutama birokrasi. Trust diperlukan untuk mencapai efektifitas dan menciptakan akuntabilitas sistem dalam birokrasi. Kepercayaan publik tidak hanya melingkup kepercayaan dari masyarakat pada birokrasi Negara saja, tapi pada kepercayaan pada birokrasi Negara dari berbagai pihak, seperti privat. Trust menurut Dirks dan Ferrin dalam bukunya The role of trust in organizational settings (P:450) Relation between an interaction partners action and the trusters response by influencing ones interpretation of the action. Kepercayaan publik akan lahir dari interaksi yang baik tentunya dari pelaku birokrasi terhadap publiknya. Dengan melakukan aktifitas birokrasi yang baik maka akan lahir respon publik dalam bentuk Trust. Tidak sulit untuk membuat publik memberikan rasa percayanya pada birokrasi. Namun yang paling sulit adalah ketika menerapkan rumus trust akan bersinggungan dan berinteraksi dengan berbagai kepentingan yang tidak selalu atas nama kepentingan rakyat. Trust lahir dari kolaborasi cantik antara etika birokrasi, kepemimpinan, akuntabilitas dan transparasi birokrasi. Jika diilustrasikan bagaikan orang yang terkena penyakit diberikan obat, namun tidak mau meminumnya. Mungkin karena terlalu pahit. Ketidak percayaan publik bukanlah sebuah penyakit seperti kanker yang dapat membunuh birokrasi, karena kepercayaan publik sesungguhnya dapat menjadi antibodi yang bagus dalam tubuh birokrasi. Maka sebuah keharusan untuk membuat birokrasi menjadi : 1.
beretika,
2.
birokrasi yang punya leader yang hebat,
3.
birokrasi yang akuntabel
Etika birokrasi adalah sebuah konsep yang membuat birokrasi bekerja sesuai dengan tujuan dari entitasnya. Bahwa birokrasi diciptakan dalam pemerintahan untuk membantu penyelenggaran urusan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
419
pemerintahan menjadi efektif melalui serangkaian proses manajemen yang sehat. Bicara soal etika adalah bicara soal apa yang baik dan apa yang tidak baik dalam lingkungan birokrasi tentunya. Etik sendiri bersumber dari nilai-nilai yang hidup dan tumbuh disekitar lingkungan birokrasi. Etika dibangun dari nilai - nilai moralitas yang bersumber dari lingkungan tersebut dimana birokrasi itu tumbuh dan aturan yang mengatur birokrasi tersebut. Tentu saja sesuai dengan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan mengatur. Etika menjadi pembatas terhadap perilaku apa yang baik dan tidak baik dilakukan dalam birokrasi sebagai birokrat. Dimana etika birokrasi dibangun atas landasan etika adminisrtasi Negara yang mengutamakan nilai kepentingan umum. Etika birokrasi mempertanyakan persoalan moralitas para birokrat. Sehingga ketika tumbuh patologi birokrasi maka artinya birokrat sudah tidak lagi menerapkan etika birokrasi. Adapun kriteria Birokrat yang beretika adalah birokrat yang : a.
Mengutamakan kepentingan masyarakat
b.
Patuhan terhadap konstitusi dan hukum
c.
Memiliki integritas pribadi
d.
Menjunjung etika organisasi dengan bekerja profesional Namun persoalan kadang muncul ketika birokrat selaku individu mengalami dilemma etika dalam
bekerja. Ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang kemudian membuat banyak birokrat menjadi tak beretika. Seperti a.
status karir maupun non karir, senior atau junior bahkan sebagai atasan atau bawahan yang dibungkus dalam budaya euh pakewuh.
b.
Kultur lokal yang menjadi pemicu perilaku tak sejalan dengan etika dimana kultur lokal terbentuk dari watak yang dibangun dari darah dan lingkungan lokal yang sarat pertentangan dengan etika birokrasi. Seperti hubungan mamak dan kemenakan yang cenderung disalah artikan kedalam birokrasi di Sumatera Barat. Ketika struktur berubah secara sistemik namun kultur tak kunjung berubah seperti ditulis Mason C.Hoadley bahwa struktur memang berubah tetapi kultur tetap tidak berubah mulai dari abad kelima belas sampai 21 dalam wilayah yang bernama indonesia.
Maka perlu menggiatkan konsistensi pelaksanaan etika dalam birokrasi melalui komitmen. Bahkan menuangkan dalam sebuah kebijakan seperti Perda etika yang pernah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Solok Propinsi sumatera Barat. Namun komitmen pelaksanaan etika birokrasi seperti ini tentunya membutuhkan
sosok
pemimpin yang punya jiwa kepemimpinan. Karena seorang pemimpin belum tentu merupakan pimpinan yang punya kepemimpinan. Kepemimpinan adalah syarat lain yang dibutuhkan agar kepercayaan publik tumbuh. Pemimpin adalah orang yang berada didepan menjadi pemandu dan arah dari penyelenggaraan birokrasi. Pemimpin hebat adalah pemimpin yang punya jiwa kepemimpinan. Yang didefinisikan sebagai orang yang mampu mempengaruhi orang lain dalam suatu usaha bersama guna mencapai tujuan tertentu. Mampu mempengaruhi sehingga mampu menggerakkan birokrasi mencapai tujuannya. Pelaksanaan komitmen dari etika dalam birokrasi sangat tergantung pada perilaku kepemimpinan sang pemimpin. Namun terkadang menurut Tjahjono (2011:10) ada sebuah faktor yang disebut faktor titanic syndrome.
420
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Ini adalah sebuah sikap mental patologis yang menghinggapi pemimpin, bahwa organisasi tempat mereka bekerja tidak akan bisa tenggelam atau bangkrut. Dalam birokrasi, sikap ini lebih dilatar belakangi oleh karena sifat plat merah yang melekat. Dampak yang memprihatinkan dari titanic syndrome tersebut menurut Tjahjono (2011:11) antara lain adalah absennya semangat in search of excellent. Rendahnya motivasi untuk melakukan yang terbaik, dan miskinnya etos continuous improvement. Disini lahir para birokrat yang bekerja dibatasan standar, apa adanya, cenderung menghindari tantangan dan hal-hal baru. Artinya akan banyak tercipta tipe-tipe anggota organisasi bertipe X, yang pemalas dan tidak inovatif. Dan akan sedikit sekali bertipe Y yang tau akan tugas dan tanggungjawabnya tanpa diperintah. kewenangan memonopoli dalam sejumlah urusan dan layanan juga menjadi pemicu penting hilangnya budaya kinerja tinggi dalam birokrasi. Pemimpin dengan syndrome ini akan membahayakan penegakan etika birokrasi. Sehingga agar tidak tersediannya benih pemimpin yang tidak sehat seperti ini, rekruitmen dalam kepemimpinan pada birokrasi pemerintah harus diperbaiki. Bukan hal yang aneh jika banyak terjadi jual beli kursi jabatan didaerah Kabupaten kota diIndonesia. Hanya Kabupaten Kota tertentu dengan kepemimpinan hebat yang mampu menggerakkan birokrasi didaerahnya dibawah pemimpin-pemimpin inovatif karena melalui rekruitmen yang tepat. Meskipun sudah bekerjasama dengan perguruan tinggi dalam menyeleksi calon pejabat eselon 4 sampai 3 contohnya diKabupaten Kota dalam rangka uji kompetensi dalam psikologis, namun tidak jarang juga yang hasil rekomendasinya tidak diikuti, sehingga seolah-olah hanya kamuflase belaka. Ini pun sebenarnya jika dianalisa adalah salah satu dampak buruk mekanisme rekruitmen Kepala daerah. Lemahnya persyaratan dan proses kampanye yang tidak sehat, menyebabkan desain pemerintah daerah menjadi tidak rasional, sehingga proses pengorganisasian juga menjadi tidak tepat dengan berbagai alasan dan kepentingan. Artinya kinerja aparatur tentu menjadi tidak bagus karena kesalahan pengorganisasian. Dalam tulisan yang pernah penulis tulis dalam Jurnal ilmu politik no 1 vol 10 tahun 2010 tentang persyaratan calon kepala daerah dan implikasinya bagi birokrasi publik, lemahnya persyaratan calon kepala daerah berdampak pada semrawutnya birokrasi publik, karena pemimpin yang terpilih adalah pemimpin masa bukan pemimpin yang mampu jadi manajer dalam pemerintahan daerah. Hal-hal tersebut menyebabkan ketika memimpin, sipemimpin tidak mampu mendirect anggota organisasinya untuk berkinerja tinggi. Tentu hal yang sama akan terjadi dimana nilai budaya organisasi akan berbeda dengan value in actionnya. Bahkan disalah satu Kabupaten di Sumatera Barat, mantan Bupati yang merupakan pelaku korupsi yang telah menjalani masa tahanan kembali dapat mencalonkan diri menjadi Bupati. Sebuah pekerjaan rumah yang tidak mudah diselesaikan tentang bagaimana desain yang tepat untuk prosedur perekrutan calon Kepala Daerah sehingga dihasilkan Kepala daerah yang memang memiliki kemampuan memanajerial daerahnya. Dimana menurut Gallagher dalam Tjahjono (2011:94) punya karakteristik berikut ini;
a. The strategist b. The motivator for another c. Team builder d. The nimble e. The customer champions “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
421
f. The passionate The visionaries Kepemimpinan, sebagai salah satu fungsi dalam manajemen adalah inti dari suksesnya penyelenggaran birokrasi yang sarat dengan manajemen. Pengaturan dalam birokrasi membutuhkan sosok yang memiliki kemampuan memberikan dorongan untuk menggerakkan orang-orang untuk berbuat mencapai tujuan. Karena birokrasi pemerintah adalah sebuah wadah public maka tentu saja pemimpinnya adalah milik public yang berasal dari publik. Artinya, kepercayaan publik akan lahir dan tumbuh ketika pemimpin yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan adalah pilihan publik. Namun sayangnya public selalu dihadapkan pada pilihan yang minimal. Seringkali kepercayaan menjadi hilang dalam perjalanan pemerintahan ketika sang pemimpin justru lebih memposisikan dirinya sebagai pilihan partai atau kelompok dan golongan tertentu, bukan wakil dari pilihan public. Kesalahan inilah yang menciderai kepercayaan publik. Sikap ini ditampakkan sang pemimpin karena proses pencalonan pun sarat dengan kepentingan parpol dan golongan tertentu. Maka selama system pemilihan kepala daerah masih tidak berubah dengan jauh lebih baik tentu masalah ini akan selalu ada. Desain pemilihan kepala daerah adalah juga sebuah pekerjaan besar yang harus didesain dengan baik agar pada akhirnya, output dari pemilihan itu tidak menciderai kepercayaan publik. Jika sistem sudah mampu menghasilkan pemimpin dengan kepemimpinan manajerial yang hebat maka dengan sendirinya akuntabilitas pasti terwujud dalam pemerintahan. Akuntabilitas menurut Rasul (2002:8) adalah kemampuan memberikan jawaban kepada otoritas yang lebih tinggi atas tindakan seseorang/sekelompok orang terhadap masyarakat luas dalam suatu organisasi. Dengan kepemimpinan yang hebat maka akuntabilitas dalam segala dimensi kehidupan pemerintahan akan terwujud. Moralitas birokrat akan dapat dipertanggungjawabkan, keuangan, administrasi dan lain-lain akan terwujud dengan sendirinya.
Desain rekrutmen politik yang sehat
Kepemimpinan
Akuntabilitas
Kepercayaan Publik
Kesimpulan Sebuah bangsa dalam Negara membutuhkan pemerintah untuk menyelenggarakan kedaulatannya. Untuk itu perlu sebuah birokrasi yang efektif dalam menjalankan fungsinya melalui manajemen yang digerakkan oleh seorang pemimpin yang dihasilkan dari desain rekruitmen yang sehat. Pemimpin yang
422
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
dihasilkan dari sebuah desain rekrutmen yang sehat akan menjadi manajer yang handal bagi birokrasinya sehingga mampu mempertanggungjawabkan tugas-tugasnya. Maka terciptalah akuntabilitas. Kondisi ini dengan sendirinya akan membangun kepercayaan luar biasa dari publik
Daftar Pustaka Albrecht,karl.1985.Pengembangan Organisasi:Sistem yang menyeluruh untuk mencapai perubahan positif dalam setiap organisasi usaha.Angkasa:Bandung Gibson,James L dan Ivancevich,John..,1992.Organisasi dan manajemen.Erlangga:Jakarta Rasul,Syahrudin.2003. Pengintegrasian system akuntabilitas kinerja dan anggaran dalam perspektif UU no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.PNRI:Jakarta Tjahjono,Herry.2010.Culture based leadership;Menuju Kebesaran Diri dan Organisasi Melalui Kepemimpinan Berbasiskan Budaya dan Budaya Kinerja Tinggi.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama
Kementerian Koperasi dan UMKM. Statistik-Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) 2010-2011. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM. Badan Pusat Statistik. 2010. Sandingan Data UMKM 2009-2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Sudaryanto, Ragimun, dan Rahma Rina Wijayanti. 2014. Strategi Pemberdayaan UMKM Menghadapi Pasar Bebas Asean. Jakarta: Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Kementerian Keuangan. PT. Arah Cipta Guna. 2007. Laporan Akhir: Kajian Evaluasi dan Revitalisasi Kebijakan Pemerintah di Bidang KUKM. Jakarta: Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya KUKM. Prasetyo, P. Eko. 2008. Peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran. Yogyakarta: Akmenika UPY (2: 4-6). Badan Pusat Statistik. 2009. Sandingan Data UMKM 2005-2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Kementerian Koperasi dan UMKM. Statistik-Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) 2012-2013. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM. Hal 1. Sidabutar, Victor Tulus Pangapoi. 2014. Peluang dan Permasalahan yang Dihadapi UMKM Berorientasi Ekspor. Jakarta: Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia, Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional. “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
423
Kementerian Koperasi dan UMKM. Statistik-Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) 2012-2013. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM. Hal 2. Rahayu, Ayu Citra Sukma. 2012. Pertumbuhan UKM Jatim 10 Persen Tahun 2012. Diakses pada
21
Agustus
2015,
dari
http://www.antarajatim.com/
lihat/berita/79725/pertumbuhan-ukm-jatim-10-persen-tahun-2012 Aziz. 2014. UMKM Jawa Timur serap 11 juta tenaga kerja. Diakses pada 21 Agustus 2015, dari http://www.antaranews.com/berita/461929/umkm-jawa-timur-serap-11-juta-tenagakerja Wahyudiono. 2015. Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Sebagai Kekuatan Ekonomi Di Provinsi
Jawa
Timur.
Diakses
pada
tanggal
21
Agustus
2015,
dari
http://ukmjatim.net/umkm-sebagai-kekuatan-ekonomi-di-propinsi-jawa-timur/ Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Provinsi Jawa Timur. 2014. Keragaan
UMKM.
Diakses
pada
tanggal
21
Agustus
2015,
dari
http://diskopumkm.jatimprov.go.id/viewmedia. php?pages=content&id=9&bidang= Kuncoro, Mudrajad. 2010. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, Dan Kebijakan. Jakarta. Erlangga. Sumedi, Diananta P. 2013. BI: Pertumbuhan Kredit UMKM di Jawa Timur Rendah. Diakses pada 21 Agustus 2015, dari http://bisnis.tempo.co/ read/news/2013/05/17/090481133/bipertumbuhan-kredit-umkm-di-jawa-timur-rendah Bank Indonesia. 2014. Kajian Ekonomi Regional Jawa Timur. Triwulan II 2014. Surabaya: Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV. (2014:52). Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Provinsi Jawa Timur. 2014. Keragaan
UMKM.
Diakses
pada
tanggal
21
Agustus
2015,
dari
http://diskopumkm.jatimprov.go.id/viewmedia. php?pages=content&id=9&bidang= Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur. 2011. Minta Dilibatkan Dalam Pemberdayaan UMKM. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, dari http://bappeda.jatimprov.go.id/
2011/06/09/minta-dilibatkan-dalam-pemberdayaan-
umkm/ Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur. 2015. SMK Mini Jatim Dilirik Program AKAD Pemerintah Pusat. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, dari http://bappeda.jatimprov.go.id/
2015/04/10/smk-mini-jatim-dilirik-program-akad-
pemerintah-pusat/
424
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
425