PROSIDING KONSULTASI TEMATIK MENGENAI KONFLIK DAN KERENTANAN: PRAKTIK-‐PRAKTIK TERBAIK DAN PEMBELAJARAN UNTUK AGENDA PEMBANGUNAN PASCA 2015 HOTEL ROYAL KUNINGAN 13 MARET 2013
KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan dokumen hasil kegiatan Konsultasi Tematik Mengenai Konflik dan Kerentanan: Praktik-‐Praktik Terbaik dan Pembelajaran untuk Agenda Pembangunan Pasca 2015 yang terselenggara berkat kerjasama BRR Institute dan Perserikatan Bangsa-‐Bangsa di Indonesia melalui United Nations Country Team (UNCT). Apresiasi yang tulus dan penghargaan yang tinggi kami haturkan kepada para peserta, para fasilitator (Bapak Gegar Prasetya, Bapak Danny Hilman Natawidjaja, Bapak Kevin Evans dan Bapak Juanda Djamal) serta para notula (Ibu Fithri Abdullah, Ibu Takudaeng Parawansa dan Ibu Eva Fitrina) yang telah mengawal sesi breakout dari awal hingga akhir, memfasilitasi proses pengumpulan masukan dan pendapat dari para pemangku kepentingan yang berasal dari berbagai latar belakang, serta meluangkan waktu untuk menuliskan kembali hasil diskusi kelompok untuk disampaikan dalam prosiding ini. Tertanda BRR Institute
2
I. PENDAHULUAN Seiring dengan akan berakhirnya Millennium Development Goals, masyarakat dunia dipimpin Perserikatan Bangsa-‐Bangsa sedang merumuskan agenda untuk mencapai kesejahteraan dan pembangunan masyarakat pasca 2015. Presiden Republik Indonesia, bersama dengan Presiden Republik Liberia dan Perdana Menteri Inggris, telah ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal PBB sebagai co-‐chair dari sebuah panel tingkat tinggi (HLPEP) yang bertanggung jawab untuk mengonsolidasikan pemikiran-‐pemikiran dari masyarakat sipil dan berbagai ahli di seluruh dunia dalam menyusun Agenda Pembangunan Pasca 2015. Paralel dengan berbagai pertemuan HLPEP, berbagai konsultasi dan pertemuan yang ditujukan untuk mempengaruhi proses perumusan serta mengumpulkan masukan dan pendapat dari para pemangku kepentingan yang berasal dari berbagai latar belakang dilakukan, baik secara internasional, regional, maupun nasional. BRR Institute, didirikan oleh Dr. Kuntoro Mangkusubroto, mantan Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias, memfasilitasi terselenggaranya sebuah konsultasi tematik yang melibatkan institusi pemerintah, lembaga pembangunan internasional, PBB, organisasi masyarakat sipil, akademisi, lembaga riset serta sektor swasta. Harapannya, kegiatan ini akan menghasilkan rekomendasi yang bisa disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia kepada HLPEP sehingga pembangunan berkelanjutan, penanganan bencana, dan adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi visi dan agenda pembangunan dunia pasca 2015. BRR Institute melakukan pendekatan ganda untuk mencapai tujuan ini, yaitu dengan melaksanakan kegiatan pertemuan para ahli sebagai prakondisi pelaksanaan konsultasi tematik. Para ahli dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Institut Teknologi Bandung, Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal, SATGAS REDD+, UKP4, UNRCO dan ADB hadir dalam diskusi yang dilaksanakan pada 18 Januari 2013.1 Para ahli bersepakat mengenai pentingnya koordinasi yang lebih baik terhadap kebencanaan dan kerentanan serta kerjasama strategis antara sektor swasta, akademisi, kementrian dan masyarakat. Menggunakan data geologis canggih (pemetaan tiga dimensi) yang dimiliki oleh sektor swasta untuk sistem peringatan dini, bisa menjadi langkah awal yang nyata dari bentuk kerjasama strategis tersebut. Konfllik dan kerentanan terkait dengan berbagai faktor dan ditandai oleh hubungan yang kompleks antara lingkungan dan manusia. Indonesia, sebagai sebuah negara yang memiliki keragaman luar biasa dengan posisi geografis yang unik – merupakan daerah rawan gempa karena dilalui oleh jalur pertemuan lempeng Indo-‐Australia, Eurasia, dan Pasifik serta berada di jalur Pacific Ring of Fire-‐ menjadikan diskusi tematik mengenai konflik dan kerentanan relevan. Ini adalah alasan lain mengapa keterlibatan pemangku 1 Kegiatan Pertemuan Kelompok Ahli dalam Penyusunan Kerangka Rekomendasi untuk Agenda
Pembangunan Pasca 2015 di Bidang Penanganan Bencana dihadiri oleh Dr. Danny Hilman Natawidjaja, M. Sc; Dr. Ir. Rahman Hidayat, M. Eng; Dr. –Ing. Ir. Widjo Kongko, M. Eng; Dr. Ir. M. Dirhamsyah, MT; Dr. Gegar Prasetya; Dr. Suprayoga Hadi; Kevin Evans; William Sabandar; Drs. Eddy Purwanto, MPA; Satya Tripathi dan Chris Summer.
3
kepentingan dari berbagai sektor menjadi sangat penting. Namun, dan juga karena sifat multidimensi dan kompleks dari proses perumusan dan penyusunan Agenda Pembangunan Pasca 2015, masukan dari para ahli yang lebih obyektif juga dibutuhkan. II. RINGKASAN PROSES KONSULTASI 2.1. Hasil Diskusi Kelompok Peserta dibagi dalam tiga kelompok yaitu Pengurangan dan Manajemen Risiko Bencana, Aspek-‐Aspek Ekonomi Konflik dan Kerentanan, dan Aspek-‐Aspek Sosial Konflik dan Kerentanan. 2.1.1. Kelompok Pengurangan dan Manajemen Risiko Bencana Dengan latar belakang peserta yang beragam, terlihat bahwa sebagian peserta tidak siap dengan metode yang 'tidak diarahkan' atau yang tidak dipasangi rambu-‐rambu dengan kalimat-‐kalimat 'jargon' DRR. Diskusi seperti ini merupakan hal baru bagi sebagian peserta. Sebagian peserta mengharapkan diskusi berjalan dengan panduan (tidak cukup hanya dengan pancingan pertanyaan atau grafis dalam flipchart) sehingga di menit-‐menit awal cukup alot untuk melaksanakan curah pendapat yang 'murni' pendapat asli dari masing-‐masing peserta. Namun demikian, akhirnya terjadi curah pendapat yang intens dan setiap peserta merasa rileks dan bebas berbicara sesuai dengan pengalaman mereka sehari-‐hari. Dalam hal ini, perlu dilakukan lebih banyak lagi kegiatan sejenis yang memberikan peserta kesempatan untuk berbicara 'out of the box' dan 'tidak dipaksakan' sehingga diperoleh hasil-‐hasil diskusi yang 'genuine' atau alami. Konsep dan Teori DRR -‐ Lemah dalam Implementasi Dalam diskusi, jelas terlihat konsep dan teori pengurangan dan manajemen risiko bencana sangat dikuasai oleh peserta yang memiliki latar belakang atau bekerja di institusi pemerintah atau LSM-‐LSM besar. Semua susunan kalimat dan redaksi serta poin-‐poin pikiran yang dikemukan sempurna dan sesuai textbook. Di atas kertas, semua pihak terwakili di dalam DRR dan pentahapannya pun jelas hingga ke pengalokasian anggaran. Indikator keberhasilan pun sangat terukur dari sisi penyerapan anggaran, atau jumlah peserta dan keterwakilan namun indikator keberhasilan untuk implemensi sangat sulit karena baru diketahui berhasil atau tidak ketika bencana terjadi. Sebagai contoh, gempa bumi yang terjadi di Padang pada 2009 dan tsunami di Mentawai pada 2010. Kegiatan DRR telah banyak dilakukan, namun jumlah korban jiwa dan harta benda masih tinggi. Pembelajaran yang diambil dari peristiwa ini menunjukan bahwa DRR masih terkonsentrasi pada aspek early warning dan emergency response. Ketika pemangku kepentingan di lapangan memberikan tanggapan dan pandangan dalam pengurangan dan manajemen risiko bencana, disadari bahwa banyak hal yang secara teoritis dan komprehensif telah dituangkan pada tahap perencanaan serta telah memperoleh alokasi pendanaan, namun di dalam tahap pelaksanaannya menghadapi berbagai kendala. Kendala-‐kendala di tahap implementasi pengurangan dan manajemen risiko bencana ini menjadi sangat kritis dan penting. Kesenjangan antara perencanaan DRR dan implementasi didiskusikan lebih jauh dalam curah pendapat dan disimpulkan bahwa:
4
•
•
Di tingkat nasional: konsep dan teori pengurangan risiko bencana pada level institusi pemerintah di tingkat pusat telah dipahami secara komprehensif baik dalam perencanaan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Namun masih lemah dalam implementasi karena adanya ego sektoral. Indikator keberhasilan yang digunakan hanya sebatas angka kehadiran, jumlah peserta, dan keterwakilan daerah. Sedangkan indikator untuk mengukur kualitas dari aktivitas-‐aktivitas yang dilakukan tidak ada. Di tingkat daerah: lemahnya sumber daya manusia untuk penanganan pengurangan risiko dan manajemen bencana karena personil yang ditempatkan tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang cukup. Pejabat pemerintah yang membidangi sering berganti-‐ganti dan tidak memiliki bidang keahlian yang sesuai. Alokasi penganggaran pun masih lebih banyak untuk emergency response dan tidak untuk aktivitas-‐aktivitas mitigasi pengurangan risiko.
Peran Sains (Kearifan Lokal dan Modern Sains) dalam DRR Dalam diskusi, disadari bahwa peran ilmu pengetahuan dan teknologi sangat menentukan dan penting. Sebagai contoh, pengetahuan yang dimiliki oleh nenek moyang kita (kearifan lokal) menyebabkan masyarakat kita dahulu lebih tangguh dalam menghadapi bencana baik itu slow ataupun rapid on-‐set seperti konsep lumbung padi, cagar hutan dan mata-‐air/embung untuk menghadapi bencana kekeringan dan banjir, konsep rumah panggung dan dinding dari bambu dan atap alang-‐alang/ijuk untuk rumah tahan gempa dan tsunami/banjir. Integrasi dari kearifan lokal dan sains di dalam DRR menjadi mutlak, namun kendala yang dihadapi saat ini adalah tidak tersedianya pakar yang cukup. Masyarakat tidak tertarik untuk terjun ke bidang ini karena tidak kekurangan alokasi dana riset. Oleh karenanya, dibutuhkan insentif untuk generasi muda dalam mempelajari dan terjun di bidang sains yang berhubungan dengan kebencanaan. Generasi muda meyakini bahwa mendalami ilmu ini tidak memiliki jaminan pekerjaan di masa depan. Padahal bencana alam terjadi silih berganti di tanah air, karakterisasi sumber bencana perlu dilakukan dengan baik, sehingga perencanaan pembangunan dan antisipasi terhadap bencana dapat dilakukan dengan baik. Ini berarti bahwa lapangan pekerjaan bidang kebencanaan sangat banyak, namun masih termarjinalisasi karena ketidaktahuan para pemangku kepentingan. Adanya konsep lumbung padi, cagar hutan, dan rumah panggung adalah kearifan lokal yang bernilai sama dengan 'modern sains' yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-‐hari untuk mengurangi dan mengelola risiko bencana. Saran dan Rekomendasi 1. Perlunya pengarusutamaan DRR dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-‐2019 [Program dan Anggaran] 2. Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah untuk dapat mengintegrasikan DRR ke dalam proses pembangunan daerah secara holistik. 3. Mendayagunakan potensi dan peran lembaga dan forum DRR tingkat nasional, daerah dan komunitas (pemerintah, swasta, dan kelompok masyarakat) dalam praktek DRR. 4. Perlunya komitmen politik nasional dalam upaya pengarusutamaan DRR pada tingkat legislatif.
5
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Perlunya menyusun kebijakan tentang perlunya asuransi kebencanaan baik di tingkat pusat maupun daerah. Pendekatan holistik di dalam DRR sangat diperlukan karena kondisi saat masih terjadi ego-‐sektoral pada masing-‐masing stakeholders Meningkatkan partisipasi pihak swasta dalam penanganan DRR, khususnya dalam pre-‐disaster activity. Adanya knowledge gap antara nasional dan daerah tentang implementasi DRR Perlu adanya kaderisasi para pakar di bidang DRR dan harus ada insentif untuk riset bidang kebencanaan. Di dalam pengurangan risiko bencana, perlu adanya integrasi antara kearifan lokal dan science-‐based yang didukung dengan empowering local capacity dan pemanfaatan spiritual/informal leader dalam diseminasi DRR. Pentingnya pengamanan logistik/lifeline utility untuk pre-‐ and post-‐disaster, tidak terbatas hanya untuk emergency response. Pelaksanaan DRR sampai saat ini masih terbatas pada emergency response. Harmonisasi sosial dan budaya di dalam DRR. DRR untuk man-‐made atau on-‐set disaster seperti perubahan tata guna lahan, banjir, kebakaran, dan lain sebagainya memerlukan penanganan khusus yang menyangkut kebijakan/regulasi pemerintah Good governance yang dikombinasikan dengan best practices menjadi unsur penting bagi pengarusutamaan DRR
2.1.2. Kelompok Aspek-‐Aspek Ekonomi Konflik dan Kerentanan Pertimbangan di bawah diarahkan untuk mendiskusikan aspek-‐aspek ekonomi konflik dan kerentanan: • Bagaimana menertibkan pergeseran hak ekonomi dan aset yang selalu menyertai bencana besar dan konfllik? • Bagaimana menjamin/melindungi hak ekonomi dan aset kelompok rentan (perempuan miskin, minoritas, dan terasing)? • Bagaimana menjamin program rehabilitasi/rekonstruksi tidak mendiskriminasikan kepentingan ekonomi kelompok rentan? • Bagaimana menjamin penawaran dari donor berhasil dialihkan menjadi proyek di lapangan tanpa korupsi dan kemacetan birokrasi? Latar Belakang Singkat Dalam keadaan pasca konflik atau pasca bencana besar, dipastikan ada pergeseran, perubahan bahkan perampasan besar terhadap keadaan ekonomi anggota masyarakat setempat, utamanya menyangkut aset dan mata pencaharian. Pergeseran tersebut dapat termasuk perubahan dari hak milik pribadi menjadi hak milik negara dan sebaliknya, atau pergeseran hak milik dari satu orang ke orang yang lain, bahkan bisa saja ada pergeseran dalam keluarga. Ada juga perubahan besar dalam penguasaan hak guna antara aneka sektor dan komponen bangsa. Proses ini tidak mungkin dihindari, misalnya masyarakat harus dipindahkan dari satu tempat yang hancur/rawan ke tempat yang aman dan lain sebagainya. Namun jika tidak hati-‐hati, proses pergeseran hak tersebut dapat menimbulkan konflik, ketidakadilan, diskriminasi, korupsi bahkan kemacetan pemulihan dalam skala yang besar.
6
Hikmah dan Pembelajaran Keadaan konflik, pasca konflik dan pasca bencana besar merupakan keadaan yang tidak biasa (not usual). Oleh sebab itu tata kelola yang harus diberlakukan tidak bisa business as usual. Tata kelola harus lebih kreatif namun sangat peka terhadap dampak negatif yang menyertai perubahan atau pergeseran hak milik dan hak guna secara tiba-‐tiba. Dalam keadaan rawan dimana aturan main administrasi pemerintahan bahkan ekonomi dan pasar terganggu, maka potensi untuk penyalahgunaan wewenang termasuk perilaku korupsi menjadi lebih menonjol daripada keadaan normal. Oleh karenanya, perencanaan dan pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi harus berdasarkan kepekaan jeli terhadap potensi penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Saran dan Rekomendasi 1. Anak merupakan satu kelompok dalam masyarakat yang rentan dalam keadaan rawan. Agar hak mereka terlindungi, mereka harus diberikan “suara” dalam proses perencanaan. Untuk mendukung kapasitas mereka agar memiliki peran yang efektif maka proses pertemuan antara anak dari daerah lain yang sudah berpengalaman penting untuk dilakukan sebagai proses “peer learning” melalui semacam forum anak. 2. Pengembangan program kerjasama antara negara dan sektor swasta bersifat positif. Namun pengembangan kerja sama antara sektor swasta dengan masyarakat sipil perlu mendapat perhatian khusus. Sebagai model ekonomi, agar dipertimbangkan dukungan untuk model koperasi termasuk credit union sebagai tata kelola ekonomi yang mampu melibatkan banyak anggota masyarakat korban. 3. Proses pergeseran hak antara orang atau komponen bangsa dalam keadaan pasca konflik dan pasca bencana perlu dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Landasan keterbukaan informasi dan partisipasi diarahkan, antara lain, agar menjamin bahwa masing-‐masing pihak sadar akan potensi pergeseran hak ekonomi, aset dan hak guna yang akan muncul sebagai bagian dari proses rehabilitasi dan rekonstruksi. 4. Disertai proses keterbukaan dan partisipasi, mekanisme penegakan hukum harus didukung sebagai satu alat kuat untuk menjamin hak ekonomi, aset dan hak guna anggota masyarakat, termasuk hak warisan. 5. Sebagai bagian dari tahap persiapan/persiagaan untuk bencana, catatan terhadap status hak ekonomi dan hak guna yang berada di masyarakat agar ditertibkan dan diarsipkan secara efisien. Kelemahan atau ketiadaan data tersebut dalam kearsipan akan sangat mengganggu kecepatan dan proses pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi serta membuka potensi perampasan hak aset dan hak guna. 6. Agar mengurangi potensi konflik dan kecurigaan antara sesama masyarakat korban, maka keterbukaan dalam anggaran dan keterbukaan tentang proses seperti pelelangan dan penyaluran bantuan harus dijadikan bagian tak terpisahkan dari Standard Operating Procedures (SOP) untuk lembaga yang mengoordinasikan program rehabilitasi dan rekonstruksi.
7
7. Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi, instansi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pemulihan harus bekerja berlandaskan budaya “siap melayani masyarakat” dan “mengatasi masalah”, bukan “safety player yang birokratis”. Kelembagaan instansi rehabilitasi and rekonstruksi perlu disusun sedemikian rupa sehingga mampu mendorong stafnya agak bertindak kreatif dan pro pelayanan publik. 8. Sebagian dari peletakan budaya organisasi termasuk tata kelola dan peraturan yang mengikat. Untuk instansi yang harus mengelola keadaan pasca konflik dan bencana besar dibutuhkan aturan khusus yang perlu ditegakkan misalnya untuk kebijakan pelelangan dan audit (dengan real time bukan hanya post-‐fakto), bukan business as usual. 9. Pendistribusian hak ekonomi seperti tanah untuk korban yang harus dipindahkan membutuhkan kepekaan terhadap hak ekonomi orang asli setempat, termasuk keterlibatan masyarakat asli tersebut dalam program perencanaan. Salah satu pendekatan yang berguna untuk menjamin hak masyarakat setempat dilindungi dan ditegakkan adalah PADIATAPA (Free Prior Informed Consent). 10. Khusus untuk korban pasca konflik, maka prinsip-‐prinsip keadilan transisional perlu diperhatikan, misalnya untuk menelusuri perampasan hak yang terjadi selama konflik. Perampasan hak ini tidak terbatas hanya pada hak asasi manusia melainkan juga hak ekonomi dalam arti luas termasuk hak atas aset dan hak guna. 11. Sebagai bagian dari proses pemulihan masyarakat pasca konflik, dibutuhkan program pendidikan seperti pendidikan kewarganegaraan dan toleransi. Manfaat dari program ini tidak hanya terbatas pada aspek sosial-‐politik melainkan terhadap aspek ekonomi juga. Manusia yang merasa nyaman dan mampu secara budaya untuk bergaul dengan anggota masyarakat yang berbeda merupakan orang yang lebih mampu maju secara ekonomi baik secara pribadi maupun untuk masyarakatnya secara lebih luas. 12. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendukung upaya dalam negeri untuk menegakkan hukum adalah instrumen hukum internasional, misalnya UNCAC mendukung upaya dalam negeri untuk berpacu dengan agenda pemberantasan korupsi. Oleh sebab itu perlu dipikirkan kemungkinan untuk menyusun suatu kesepakatan internasional yang menyangkut jaminan hak ekonomi anggota masyarakat yang menjadi korban bencana dan konflik serta pencegahan ketidakadilan ekonomi. 2.1.3. Kelompok Aspek-‐Aspek Sosial Konflik dan Kerentanan Pemikiran Dasar Aspek sosial meninjau beberapa isu utama, yaitu konflik etnik dan kerentanan, konflik agama dan kerentanan, dan kohesi sosial. Peserta kemudian menambahkan satu isu lainnya yaitu konflik politik yang diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu ketidakadilan antara pusat dan daerah seperti kasus Aceh dan Papua. Khususnya Aceh, pasca
8
penandatanganan MoU Helsinki maka dinamika konflik masih berproses dalam era transisi perdamaian menuju pembangunan yang permanen. Identifikasi permasalahan dalam kelompok sosial diarahkan dengan menggunakan bagan CIVICUS, yaitu relasi antara negara, masyarakat dan pasar/kapital. Selain itu, bagan kuadran antara negara dan masyarakat merupakan acuan yang tepat untuk menciptakan posisi negara menjadi kuat (positif) dan masyarakat juga kuat (positif). Keadaan tersebut dapat menumbuhkan keseimbangan antara penyelenggaraan negara (governance) dan partisipasi masyarakat sipil dalam membangun negara yang maju dan berkeadilan. Pada penghujung MDGs pertama (2000-‐2015), Indonesia masih menghadapi permasalahan sosial yang sangat tinggi. Konflik agama, konflik etnis, kohesi sosial dan bahkan konflik politik akibat ketidakadilan (pusat-‐daerah) masih berlangsung di Papua. Tumbuhnya konflik dilatarbelakangi oleh faktor yang beragam, salah satunya diakibatkan oleh pengaruh kepentingan-‐kepentingan kelompok politik dan/atau pemilik modal untuk mempengaruhi pemerintah sebagai penyelenggara sistem kenegaraan. Kondisi ini mengakibatkan munculnya konflik sosial dan kecenderungannya menggunakan jargon agama, etnis dan simbol lainnya sebagai alat memapankan konflik. Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak stabil sangat rentan melahirkan kesenjangan sosial, apalagi pengaruh pasar/pemilik modal sangat tinggi dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Untuk kasus Papua, otonomi khusus tidak menjadi upaya penyelesaian konflik, bahkan menciptakan kesenjangan sosial yang semakin tinggi. Keadaan ini semakin memperkuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kemudian, seharusnya negara menjadi sumber kekuatan untuk masyarakat. Negara memiliki sistem yang menjamin tidak adanya korupsi sehingga penyelenggaraan pemerintahan menjadi optimal, dan di sisi lain menjamin masyarakat yang kuat, mampu bersaing secara sehat, yang pada akhirnya menguatkan negara itu sendiri. Maka sistem kenegaraan harus diarahkan untuk menjadikan masyarakat kuat dan cerdas. Negara harus mempunyai peran yang aktif untuk masyarakat, sehingga antara negara dan masyarakat bersinergi. Selain itu, melihat perkembangan konflik sosial khususnya konflik agama dan etnis, sebagian besar dipicu oleh pola relasi dan interaksi sosial yang semakin hari semakin negatif dan tidak komunikatif. Ruang komunikasi dan dialog antar etnis dan agama, maupun inter etnis dan agama semakin mendestruksikan nilai-‐nilai sosial budaya yang dimiliki oleh etnis dan agama itu sendiri. Sehingga pluralisme tidak lagi dijalankan dengan berpegang pada nilai-‐nilai toleransi yang saling menghargai dan menghormati perbedaan. Kasus seperti penutupan rumah ibadah bagi umat Kristen di beberapa propinsi menandakan kebijakan yang tidak relevan dengan pertumbuhan umat, sehingga agama dijadikan alat untuk memobilisasi massa dan mengakibatkan konflik sosial tidak terhindari. Begitu pula dengan jamaah Ahmadiyah, ataupun aliran yang mendapatkan label sesat, pada dasarnya tidak terlepas dari kecemburuan sosial yang tidak dapat menerima perbedaan maupun kemajuan itu sendiri.
9
Koflik sosial juga bisa diakibatkan oleh perebutan sumber daya, misalnya dalam kasus-‐ kasus batas wilayah, kasus pertanahan antara masyarakat dengan perusahaan, serta konflik yang berlangsung di daerah-‐daerah tambang. Kasus perkebunan sawit di Aceh antara masyarakat Kuala Tripa dengan PT. Kalista Alam, perkebunan karet di Sumatera Utara, serta illegal logging dan illegal mining juga menciptakan konflik sosial yang sangat tinggi. Pada dasarnya, permasalahan sosial selayaknya direspon melalui pendekatan kultural. Bhinneka Tunggal Ika merupakan fondasi kultural Indonesia yang sangat kokoh. Potensi kearifan dan budaya lokal dari 34 propinsi, ribuan etnis, enam agama dan beragam aliran kepercayaan harus didorong sebagai kebudayaan Indonesia yang dilindungi oleh negara karena semua itu merupakan kekuatan pembangunan dan menjadikan Indonesia memiliki posisi tawar dalam berhadapan dengan negara-‐negara lain di dunia. Pemerintah harus menjadi aktor utama dalam menerapkan nilai-‐nilai kebhinnekaan tersebut, dan hendaknya memberi suri tauladan bagi rakyatnya. Pemerintah dan aparaturnya wajib mempraktikkan perbuatan yang melindungi dan melayani kesejahteraan rakyat, menepati janjinya pada rakyat dan menjauhkan perbuatannya dari tradisi korupsi. Inilah cara membangun kembali kepercayaan masyarakat yang selama ini telah luntur. Untuk itu, banyak pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai motivasi baru menghadapi MDGS periode kedua (2015-‐2030). Media massa dapat menjadi alat distribusi informasi, menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjadi warga negara yang partisipatif, responsif dan mendukung program pembangunan untuk kemajuan negara. Pembelajaran penyelesaian konflik Aceh melalui pendekatan dialog telah berhasil menyepakati kesepahaman membangun Aceh dan Indonesia. Hanya saja, keberhasilan tersebut harus diperkuat terus oleh pemerintah Republik Indonesia sampai terwujudnya perdamaian positif dimana masyarakat dan pemerintahan Aceh dapat membangun Aceh dari semua sektor; sosial, budaya, ekonomi dan politik, dan menjamin tidak berulangnya konflik baru setelah 10-‐20 tahun mendatang. Begitu pula dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana gempa dan tsunami Aceh, good governance dengan pencapaian anggaran hingga 103% dan hanya 7 kasus korupsi menjadi pembelajaran penting dalam mentransformasikan budaya korupsi di Indonesia. Untuk itu, berangkat daripada pembelajaran di atas maka konflik Papua harus diselesaikan sebelum MDGs pertama berakhir (2015), begitu pula konflik etnis dan agama serta kasus-‐kasus yang disinyalir sebagai terorisme harus dicapai penyelesaiannya dalam tiga tahun ke depan. Pemerintah dan masyarakat dapat lebih proaktif merespon dan menyelesaikan konflik-‐konflik antar pemeluk agama serta berkomitmen untuk tidak lagi menciptakan keadaan yang bisa mempengaruhi terjadinya konflik baru atas kerentanan yang terjadi saat ini. Hal utama yang harus dijalankan oleh pemerintah adalah penegakan hukum secara adil; tanpa melihat kekuasaan jabatan dan materi (uang). Pemberantasan korupsi harus menjadi agenda utama dalam penegakan hukum. Untuk tingkat komunitas, maka hukum adat dapat menjadi alat yang lebih tepat untuk tegaknya keadilan. Maka,
10
struktur sosial harus dihidupkan secara aktif guna menumbuhkan kekuatan sosial bagi pembangunan. Memasuki MDGs kedua (2015-‐2030) maka pemerintah Indonesia dan masyarakatnya harus membangun kekuatan bersama untuk menyampaikan pembelajaran, memelopori konsep-‐konsep pembangunan ekonomi dan bisnis yang partisipatif dengan menghindari terjadinya konflik sosial, menciptakan ruang dialog yang komunikatif antar dan inter etnis dan agama. Akhirnya, sebagai aktor utama di kawasan Asia Tenggara maka Indonesia dapat memperkuat posisi tawarnya dengan memprakarsai sistem keadilan global dengan menjadikan relasi negara, masyarakat dan pasar sebagai mitra bersama pembangunan. Hikmah dan Pembelajaran Indonesia harus memperbaiki sistem penyelenggaraan negara, memperkuat masyarakat dengan meningkatkan pemahaman berkewarnegaraan yang benar, dan memperkuat fondasi/falsafah Bhinneka Tunggal Ika sebagai titik pemersatu sosial dan budaya yang berbeda-‐beda di Indonesia. Untuk itu, beberapa isu yang berhasil diidentifikasi selanjutnya dikembangkan sebagai indeks kebhinekaan dimana setiap tema tersebut ditentukan indikator keberhasilan agar memiliki kerangka pikir yang lebih jelas. Indeks Kebhinekaan
Kebhinekaan menjadi titik temu yang dapat mempertemukan perbedaan yang terdapat dalam etnis, agama, organisasi, kelompok sosial, dan komunitas. Untuk itu, nilai kebhinekaan perlu diperkuat oleh semua lapisan masyarakat, aparatur negara dan pemimpin negara. Penguatannya harus dititikberatkan pada penguatan kesadaran kewarganegaraan, sehingga memahami perannya sebagai warga negara yang benar dalam pembangunan. Harapannya, setiap warga negara dapat menghindari tindakan yang merusak dan tentunya berupaya untuk meningkatkan partisipasinya dalam melaksanakan program-‐program pembangunan.
11
Dari 12 tema yang dipetakan dalam diskusi, agar relevan dengan pola relasi kekuasaan (CIVICUS), maka pendekatannya adalah memperkuat pembahasan dua sektor yaitu negara dan masyarakat.
Gambar di atas memperlihatkan bahwa peran negara sangat besar dalam memperkuat masyarakat. Negara melakukan intervensinya melalui berbagai pembelajaran yang diperoleh dan sistemnya menjamin untuk tidak berulangnya kesalahan yang pernah dijalankan pada era sebelumnya. Pemerintah sebagai pelaksana negara wajib menyelenggarakan sistem birokrasi yang melayani rakyat, menciptakan sistem penyelenggaraan yang terbuka (transparent) dan mempertanggungjawabkan hasil kerja (accountable), serta melibatkan masyarakat mulai dari perumusan sampai dengan pelaksanaan program pembangunan (participatory). Kemudian penyelenggara negara menumbuhkan political will dalam merespon setiap konflik dan kerentanannya melalui pendekatan dialogis dan komunikatif. Konflik internal harus diselesaikan secara nir-‐kekerasan dan tidak mengedepankan kekuatan militer. Pendekatan kultural merupakan strategi yang tepat dengan menjadikan kearifan lokal sebagai alat resolusi konflik. Upaya tersebut menjamin kohesi sosial dapat dikelola secara benar sehingga menjadi kekuatan bagi pelaksanaan pembangunan. Untuk memperjelas capaian dari keempat tema penting di atas, maka ditentukan indikatornya masing-‐masing seperti dibawah ini. 1. Governance • Adanya perencanaan pembangunan yang sensitif terhadap konflik • Kuatnya sistem demokrasi (partisipasi, kesetaraan antar sesama) • Transparansi dan akuntabilitas • Pengarusutamaan gender • Adanya pembangunan yang berkelanjutan dengan mengacu pada budaya setempat
12
Regulasi yang berpihak pada masyarakat Memperkuat desentralisasi dengan mengacu pada budaya setempat Perencanaan pembangunan yang berdasarkan kebutuhan daerah/region (anggaran dan program). • Transparansi pemerintah dalam mendistribusikan dana pembangunan dari wilayah-‐wilayah yang berkontribusi besar. • Pengakuan terhadap aliran kepercayaan di luar 6 agama resmi di Indonesia • Pengakuan perlindungan terhadap hak ulayat masyarakat adat. • Penanganan korban pasca konflik terutama perempuan, anak serta kelompok diffable. • Penegakan hukum 2. Lesson Learnt • Leadership knowledge (tentang rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias), peacebuilding di Aceh, dan demokratisasi Indonesia. • Solidaritas bangsa dalam menangani tsunami di Aceh • Keterlibatan para pemangku kepentingan dalam membangun perdamaian • Undang-‐Undang No. 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial • Statement Perdamaian oleh Perempuan dan Anak di Aceh dan Ambon. 3. Social Cohesion • Membangun dialog inter dan antar etnik dan agama secara rutin • Memperkuat kearifan lokal sebagai modalitas dalam pembangunan nasional • Perlindungan terhadap aliran kepercayaan yang diyakini oleh kelompok masyarakat. • Penghargaan atas keragaman. • Pelibatan anak-‐anak dalam resolusi konflik dan penyembuhan terhadap anak-‐ anak yang terkena dampak konflik • Penguatan sosial mengenai multikulturalisme, toleransi, pluralisme dan perdamaian 4. Resolusi Konflik • Mengedepankan dialog/komunikasi konstruktif dalam penyelesaian konflik. • Menyelesaikan konflik Aceh hingga mencapai positive peace dan menggunakan pembelajarannya untuk penyelesaian konflik di Papua dan di kawasan Asia Tenggara. • Adanya partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan (terutama kelompok perempuan, tokoh agama dan tokoh adat) • Setiap aktor/kelompok diberikan kebebasan dalam mengutarakan ide dan gagasan dalam menyelesaikan masalah • Pendekatan sensitive peace • Setiap komunikasi dalam penyelesaian konflik mengedepankan kesetaraan seluruh pihak • Pendekatan yang sensitif terhadap kebutuhan kelompok anak-‐anak dalam konflik • Pendekatan Transitional Justice melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang merupakan milestone Indonesia Baru • • •
13
• Jurnalisme damai Saran dan Rekomendasi 1. Memperkuat proses perdamaian Aceh melalui pendekatan positive peace dan menyelesaikan konflik Papua dan konflik sosial lainnya sebelum MDGs pertama berakhir (2015), sehingga di awal MDGs kedua (2016-‐2030) rekonsiliasi menjadi milestone untuk mewujudkan Indonesia baru. 2. Mengembangkan Conflict Prevention Framework sebagai upaya untuk tidak lagi mengulang konflik baru pada MDGs kedua, dan merespon segala kerentanan secara komprehensif sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tumbuh secara kuat. 3. Mengembangkan kerangka pikir multikulturalisme, pluralisme, dan perdamaian sebagai upaya penguatan penyelenggaraan pemerintahan (governance), memperkuat masyarakat (society) dan mengelola segala konflik dan kerentanannya. 4. Mengembangkan Resource Center (RC) perdamaian dan resolusi konflik di daerah rentan konflik sebagai pusat pengembangan pendidikan masyarakat dan pemerintah. Hal tersebut untuk mempercepat transformasi Indonesia menjadi negara yang modern pada MDGs kedua. 5. Memobilisasi modal sosial sebagai modal utama pembangunan Indonesia baru melalui penyelenggaraan pemerintahan yang mengutamakan rakyat dan melibatkan masyarakat dari perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan.
14
LAMPIRAN: DAFTAR PESERTA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
MASYARAKAT SIPIL, LSM DAN ORGANISASI AKAR RUMPUT Pargito, Konsorsium Monitoring 17. Agusta Mukhtar, Aceh Judicial dan Pemberdayaan Institusi Publik Monitoring Institute, Banda Aceh (KOMPIP), Surakarta 18. Jan Tebai, Yayasan Pendidikan Budi Setiawan, Lembaga Persekolahan Gereja-‐Gereja Injili Penanggulangan Bencana PP (YPPGI), Jayapura Muhammadiyah, Yogyakarta 19. Frans Tugimin, Forum Teuku Muhammad Zulfikar, Pengurangan Risiko Bencana, WALHI, Banda Aceh Yogyakarta Muhammad Hakim, Konfederasi 20. Fatkhurohman, Yayasan Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Cakrawala Indonesia, Palangkaraya Jakarta 21. Yanto L. Adam, Kepala Desa Damairia Pakpahan, Koalisi Damang, Kecamatan Jabiren Raya, Perempuan Indonesia (KPI), Kabupaten Pulang Pisau, Yogyakarta Palangkaraya Surya Rahman Muhammad, 22. Farida Haryani, Pengembangan Humanitarian Forum Indonesia Aktivitas Sosial Ekonomi Aceh Isra Yandi, WANADRI, Jakarta (PASKA), Aceh Pidie Dedi Siswanto, Yayasan Cakrawala 23. J. Septer Manufandu, Jaringan Indonesia, Palangkaraya Papua Damai, Jayapura Ungu K. Ratu, Tokoh Adat Damang, 24. Mastuati, Forum Kelompok Kecamatan Jabiren Raya, Perempuan Dayak Madura untuk Kabupaten Pulang Pisau, Resolusi Konflik, Palangkaraya Palangkaraya 25. Caroline A. Tupamahu, Yayasan B. Kristia Nortie, Lembaga BAKTI, Makassar Pemberdayaan Perempuan dan 26. Mursalin, IBU Foundation, Anak (LAPPAN), Ambon Sumatera Barat Imelda Pingkan Moniaga, HOPE 27. Frisani, Sekretariat Bersama Indonesia, Jakarta Pencinta Alam, Sumatera Barat Eka Satrya, Solok Selatan 28. Ronaldi Putrawan, FK3I Sumatera Emergency Respons Team, Barat Sumatera Barat 29. Mardiana, Sekolah Perempuan Faisal Rasyid, Yayasan Bina Malei Lage – AMAN Indonesia, Poso Manajemen Informatika, Sumatera 30. Iqbal Faraby, Konsorsium Aceh Barat Baru, Banda Aceh Vincentius Oehtimue, Yayasan 31. Lidya Natalia Sartono, Komisi Pendidikan Persekolahan Katholik Kerasulan Awam, Keuskupan Agung (YPPK), Jayapura Kupang, NTT Jolanda H. Souhuwat, Yayasan 32. Mahir Takaka, AMAN, Jakarta Pendidikan Kristen (YPK), Jayapura 33. Vera Tallo, Damian Friends, Devi Mayulis, Karang Taruna Kota Jakarta Solok, Sumatera Barat 34. Rudiyanto, BRR Institute, Jakarta
15
35. Abdul Wahab, LAKPESDAM, 38. Twk. Mirza Keumala, BRR Jombang Institute, Jakarta 36. Reftalina Rachmah, Masyarakat 39. Badriyah Fayumi, Komisi Penanggulangan Bencana Indonesia Perlindungan Anak Indonesia (MPBI), Jakarta (KPAI), Jakarta 37. Ah Maftuchan, Perkumpulan Prakarsa, Jakarta SEKTOR SWASTA 1. Aulia Aruan, PT. Riau Andalan Pulp 2. Fachry Ramadyan, Amalgamated and Paper, Jakarta Solution and Research (ASR), Ltd., Jakarta AKADEMISI DAN PENELITI 1. M. Riza Nurdin, International 7. Fuad Mardhatillah, IAIN Ar-‐Raniry, Centre for Aceh and Indian Ocean Banda Aceh Studies (ICAIOS) – Universitas Syiah 8. Saifuddin Bantasyam, Pusat Studi Kuala, Banda Aceh Perdamaian dan Resolusi Konflik -‐ 2. Dadang Hilman, Indonesia Climate Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Change Center (ICCC), Jakarta 9. Iskandar Zulkarnain, Universitas 3. Dr. Ir. M. Dirhamsyah, MT, Malikussaleh, Lhokseumawe Tsunami and Disaster Mitigation 10. Prof. Dr. Ir. Syamsu Rizal, M. Eng, Research Center (TDMRC), Banda Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Aceh 11. Dr. Danny Hilman Natawidjaja, M. 4. Dr. Ir. Rahman Hidayat, M. Eng, Sc, Pusat Penelitian Geoteknologi Balai Pengkajian Dinamika Pantai LIPI, Jawa Barat BPPT, Yogyakarta 12. Prof. Dr. Kirbani Sri Brotopuspito, 5. Dr. –Ing. Ir. Widjo Kongko, M. Eng, Laboratorium Geofisika Universitas Ketua Tsunami Research Group, Gadjah Mada, Yogyakarta Yogyakarta 13. Pendeta Dr. Marko Mahin, MA, 6. Soesmarjanto Soesmoko, Tim Universitas Kristen Palangkaraya, Asistensi Rencana Aksi PB BNPB, Kalimantan Tengah Jawa Barat SEKTOR PUBLIK 1. Drs. Eddy Purwanto, MPA, Deputi Umum, Jakarta SESWAPRES Bidang Tata Kelola 4. Bambang Setyo H., Kementerian Pemerintahan, Jakarta Pembangunan Daerah Tertinggal 2. A. Mufti, Kantor Utusan Khusus (KPDT), Jakarta Presiden RI untuk MDGs (KUKP-‐RI 5. Isnadiati, Kementerian MDGs), Jakarta Pembangunan Daerah Tertinggal 3. R. Pamekas, Kementerian Pekerjaan (KPDT), Jakarta
16
1. 2. 3. 4.
1. 2.
PENGAMAT Douglas Broderick, United Nations 5. Maja M. Suhud, Conflict Prevention Resident Coordinator, Jakarta Cluster, Jakarta Kuntoro Mangkusubroto, Ketua 6. Rachmat Irwansjah, UNMC, Jakarta Komite Nasional untuk Agenda 7. Iwan Gunawan, World Bank, Pembangunan Pasca-‐2015, Jakarta Jakarta T. Nirarta Samadhi, UKP4, Jakarta 8. Suryani Amin, World Bank, Jakarta Syamsul Tarigan, Peace through 9. Chris Summer, _______, Jakarta Development in Disadvantaged Areas (PTDDA) Project, Jakarta FASILITATOR DAN NOTULA Kevin Evans, SATGAS REDD+, 3. Juanda Djamal, Konsorsium Aceh Jakarta Baru, Banda Aceh Gegar Prasetya, Amalgamated 4. Takudaeng (Keke) Parawansa, Solution and Research (ASR), Ltd., Jakarta Jakarta 5. Fithri Abdullah, Jakarta 6. Eva Fitrina, Jakarta
17