PRAKTIK-PRAKTIK TRADISIONAL DAN KONSERVASI Agustrisno Abstract This article is the main sections of argumentation about conservation issues in traditional society. The conservation issues to be important and relevant discussed recently, especially when we are solving the problems of natural resources and environment damage as cause of development program that oriented for growth economy. It said that development program supported by modern technology is strongly often damage natural resources and environment. Based on the fact, we are motivated to return about traditional society known had well competent and experience about protected or took care of natural resources and environment continually by conservation methods traditionally. Keywords: conservation, traditional method, growth economy
Pendahuluan Hasil penelitian Rahail (1995); Nababan (1995), yang diseminarkan pada tanggal 7 Agustus 1995 di CSIS yang difokuskan pada tema tentang “Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan”, antara lain mengungkap beberapa contoh praktikpraktik konservasi tradisional yang didasarkan pada pengetahuan penduduk tentang lingkungan lokalnya. Salah satu makalah pada seminar itu membicarakan tentang orang Dani di Lembah Baliem (Pegunungan Jaya Wijaya), Papua. Orang Dani mengenal sistem bertani dengan menggunakan tongkat kayu sederhana sebagai alat pengolah lahan untuk menanam ubi jalar. Penggunaan alat sederhana ini dikatakan dapat mencegah erosi dan longsor di lereng bukit, sekitar lahan yang memang berbukit-bukit. Orang Dani juga mengenal sistem bera (mengistirahatkan lahan sampai 10 tahun), yang dilakukan setelah dua kali siklus penanaman secara berturut-turut. Cara ini terbukti berdampak baik dalam rangka mempertahankan kesuburan lahan di lereng bukit. Orang Dani merencanakan pembukaan lahan untuk bertanam ubi, sesuai dengan kecukupan pangan mereka dengan ternak babi peliharaannya. Contoh kedua adalah, praktik-praktik tradisional masyarakat negeri Haruku (Pulau Haruku) yang memiliki aturan hukum adat yang disebut sasi, yaitu larangan untuk mengambil
hasil alam tertentu. Pada masyarakat Haruku ada dikenal bermacam-macam sasi, antara lain sasi laut, sasi darat, sasi hutan, sasi sungai, dan sasi negeri, menjadi pembatas untuk tidak mengambil hasil alam pada jangka waktu tertentu. Sasi dilengkapi dengan mekanisme pengambilan keputusan dan penegakan aturanaturan adat untuk melindungi hasil alam dan kawasan tertentu, sehingga setelah tiga tahun, Lola (sejenis kerang laut) telah berkembang biak secara alamiah dan pada saat panen akan diperoleh hasil yang maksimum. Dalam contoh ini, masyarakat lokal menjadi pelaksana dan penerima manfaat dari praktik konservasi tradisional tersebut. Dua contoh praktik-praktik konservasi tradisional yang dikemukakan di atas, akan menjadi sangat menarik untuk dibahas dengan argumentasi dari Bulmer (1982) dan Pollunin (1984) yang mempertanyakan apakah praktik– praktik tradisional yang bermotifkan ekonomi subsistem dan tindakan-tindakan yang ada di dalamnya dapat disebut tindakan konservasi? Bulmer berpendapat, keberlanjutan dari sektor ekonomi subsistem, tidak hanya untuk mengkonservasi sumber-sumber alam saja, melainkan juga mencakup keahlian, pengetahuan lokal, dan sikap-sikap yang efektif untuk digunakan dalam pengelolaan sumber daya. Jadi konservasi adalah pengelolaan sumber daya yang dilakukan secara sadar, maka hasilnya akan berkelanjutan untuk jangka waktu yang tidak terbatas (lama). Bulmer dan Pollunin bersikap skeptis terhadap anggapan bahwa
Agustrisno adalah Dosen Departemen Antropologi Sosial FISIP USU 1
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2004, Volume 3, Nomor 1, Halaman 1 - 5
praktik–praktik tradisional signifikan dengan konservasi. Praktik–praktik tradisional tersebut secara sekunder memang bersifat konservasi, tetapi tujuan utamanya adalah untuk memperoleh hasil yang segera dan praktik tersebut seringkali dilaksanakan dengan motif yang mistis. Memaksimalkan hasil dengan segera tidak konsisten dengan konservasi, terlebih jika konteks berubah, misalnya perubahan ekonomi yang menuntut hasil yang lebih banyak sehingga alam bisa lebih dieksploitasi, dan perubahan agama yang akan mengikis motif-motif yang bersifat mistis tersebut. Sesuai dengan argumentasi di atas, maka pada sistem berladang orang Dani dan pengambilan hasil laut (Lola) tidak menimbulkan kerusakan berarti, karena praktik tersebut masih menggunakan teknologi sederhana, sehingga tidak dapat memberikan hasil yang maksimal. Namun jika ada perubahan dalam teknologi yang digunakan dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang bernilai ekonomis, dapat diprediksi bahwa kerusakan alam akan terlihat jelas. Tidak adanya teknologi modern untuk mengolah lahan dan alat untuk mengambil hasil hutan seperti peralatan navigasi modern, telah membatasi tindakan mereka untuk lebih mengeksploitasi lahan kebun dan laut. Disamping itu, larangan yang terdapat dalam sasi laut telah berdampak terhadap konservasi hasil-hasil laut, namun praktik–praktik tradisional tersebut tidak konsisten dengan prinsip konservasi yang ilmiah dan modern, karena konservasi yang terjadi hanya sebagai dampak tidak sengaja dari tindakan (paktekpraktik tradisional). Usaha konservasi yang dilakukan tidak disadari, dan bertujuan untuk memperoleh hasil yang segera, sehingga tidak akan adaptif dalam konteks jumlah penduduk yang besar dan terkonsentrasi. Sistem berladang berpindah-pindah dengan mengistirahatkan lahan dalam jangka waktu yang lama, akan berdampak konservasi, tetapi perladangan seperti ini tidak konsisten pada kondisi lahan yang sempit dan jumlah penduduk yang besar dan padat, karena tekanan jumlah penduduk akan mengakibatkan lahan terlalu cepat untuk ditanami kembali, sehingga akan menyebabkan keringkihan lahan yang susah dipulihkan dan akan menjadi padang alang–alang (Geertz, 1969). Tetapi penemuan sistem bera dan awal dilakukan pada masa 2
lampau, bisa saja menjadi cara yang adaptif atau sebagai respon yang sesuai dengan kondisi lingkungan alam pada masa itu. Pollunin (1984) juga berargumentasi, kurangnya penggunaan teknologi untuk mengelola kawasan laut dan belum berkembangnya ekonomi komersial dari hasil laut tertentu, telah berdampak konservasi terhadap sumber daya laut, tetapi jika nilai komersil hasil-hasil laut meningkat, dapat diramalkan akan ada usaha untuk memperoleh hasil yang lebih maksimal. Prinsip konservasi laut yang ada pada masyarakat tradisional, pemukim kawasan pantai hanya merupakan dampak konservasi yang tidak sengaja. Contoh yang relevan dengan penjelasan Pollunin, adalah hasil temuan S. Forman (1980) tentang pengetahuan para nelayan Coquiral (Brazil) yang bervariasi tentang daerah penangkapan ikan yang kurang bernilai komersil secara tidak sengaja telah mengkonservasi populasi ikan tertentu dan senantiasa memberikan keuntungan ekonomi bagi nelayan. Mekanisme penangkapan ikan dengan pengetahuan yang berbeda-beda dari setiap nelayan serta dengan peralatan rakit (jangada) tanpa peralatan navigasi modern dan boat bermotor, merupakan pembatas bagi para nelayan Coquiral untuk menangkap ikan dalam jumlah besar. Dengan demikian, spesies ikan tertentu yang berkualitas dan bernilai komersil tidak dieksploitasi secara besar-besaran, karena tempat penangkapan itu menjadi tempat rahasia bagi nelayan tertentu. Jadi kalau kita menempatkan praktik konsevasi tradisional dalam konteks perubahan, akan terlihat melemahnya dampak konservasi yang ditimbulkannya. Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan sumber-sumber daya alam untuk memenuhi permintaan pasar dunia (ekspor), telah merasuk sampai ke daerah–daerah terpencil dengan skala proyek yang besar. Dampaknya adalah terjadinya kerusakan lingkungan dan terkurasnya sumber daya ekonomi penduduk lokal. Contohnya hasil analisis Peluso (1983) tentang kemerosotan kualitas sumber daya rotan, tidak hanya disebabkan oleh perusakan hutan untuk dibuat areal pertanian, tetapi lebih disebabkan oleh berkembangnya jaringan perdagangan rotan (ekspor hasil hutan non kayu) dan masuknya intervensi pemerintah Indonesia dalam mengatur pemanfaatan dan perdagangan tersebut.
Agustrisno, Praktik-Praktik Tradisional …
Di lain pihak kebijaksanaan pemerintah dalam perdagangan rotan dan membatasi akses para eksportir, malah menyebabkan semakin gencarnya eksploitasi rotan, sehingga menurunkan kualitasnya, karena mengambil rotan-rotan yang masih muda. Masyarakat lokal dengan sistem ekonomi subsistem, tiba-tiba harus berhadapan dengan ekonomi pasar global yang sedemikian rumit. Akibatnya masyarakat lokal tenggelam ke dalamnya dan terperangkap, justru semakin memiskinkan mereka. Praktik-praktik konservasi tradisional tidak harus secara bulat kita terima, seperti menerima paham romantisme yang mengatakan bahwa masyarakat lokal mengikuti prinsip keharmonisan dengan alam yang menekankan pengawetan pengetahuan dan praktik-praktik tradisional. Sikap skeptis dari Bulmer dan Pollunin mengajak kita untuk lebih hati-hati melihat praktik-praktik konsevasi yang efisien dan efektif. Untuk itu dibutuhkan analisis tentang prinsip-prinsip konservasi dalam masyarakat tradisional, dengan tidak mengabaikan latar belakang ekologi, sosial dan budaya yang beraneka ragam, sehingga argumen konservasi yang ditawarkan dapat dipertanggungjawabkan. Prinsip konsevasi merupakan usaha-usaha yang secara sadar dilakukan untuk memelihara sumber-sumber daya untuk jangka waktu yang tidak terbatas, sehingga keberlanjutan sumberdaya akan dapat bertahan terhadap perubahan konteks sosial, ekonomi, politik, agama dan teknologi modern. Kenyataan ini menyadarkan kita bahwa praktik-praktik tradisional tidak konsisten untuk mencapai usaha konservasi secara maksimal. Persoalannya adalah, praktik-praktik tradisional mana yang dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan, sehingga perlu dipertahankan agar penduduk pemiliknya tidak kehilangan pegangan dan identitas. Praktikpraktik mana pula yang memberi keterbatasan, sehingga kurang efektif digunakan dalam program-program pembangunan. Barangkali program-program pendidikan dapat memberi pengertian, siasat, dan rumusan dari kebudayaan tradisional yang dapat men-dukung kebijakan konservasi baru. Masyarakat (penduduk lokal) manapun, mempunyai kapasitas pengetahuan untuk memanfaatkan sumber daya alam, yang secara tidak sengaja memberikan konsekuensi terhadap konservasi. Hanya saja, masyarakat lokal tidak
mempunyai modal kepercayaan dari pemerintah, sehingga seringkali kapasitas pengetahuan lokal tidak dikutsertakan dalam program-program pembangunan. Pemilik pengetahuan tersebut dianggap bodoh, primitif, sehingga tidak perlu diperhitungkan keberadaannya. Malah, kebudayaan tradisional dianggap sebagai penghalang pembangunan, sehingga perlu disingkirkan. Penduduk lokal juga dianggap sebagai penyebab rusaknya lingkungan alam. Kenyataan menunjukkan bahwa degradasi sumberdaya hutan dan laut terus berlanjut, yang pasti akan mempengaruhi sumber daya manusia. Walaupun tidak ada angka yang pasti, namun dapat diperkirakan faktor-faktor penyebab kerusakan hutan di Kalimantan, Maluku, dan daerah lain sebagai akibat pengeksploitasian terhadap alam, apalagi luasnya areal hutan yang dikonsesikan kepada perusahaan HPH. Sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh pemilik konsesi hutan jauh lebih berdampak degradasi, daripada yang dilakukan penduduk miskin pemukim kawasan hutan, yang sering diisukan sebagai penyebab utama kerusakan kawasan hutan, dengan mempraktikkan perladangan berpindah. Dove (1993) mengkritik pendapat di atas dengan mengatakan bahwa kerusakan kawasan hutan lebih disebabkan oleh faktor ketamakan akan uang atau dinamika politik ekonomi. Penggundulan hutan tropis adalah produk dari kesalahan penghitungan para pengusaha HPH, dimana areal hutan yang telah dibabat dibiarkan begitu saja, bukan oleh penduduk miskin. Persoalan lain yang juga sering muncul adalah timbulnya konflik antara penduduk pemukim kawasan hutan dengan perusahaan penebangan hutan atau dengan pemilik konsesi lainnya. Konflik-konflik ini telah muncul karena adanya tumpang tindih antara kawasan hutan dan laut yang dimiliki secara tradisional dengan konsesi yang diberikan pemerintah kepada perusahaan pemegang konsesi. Akhir dari konflik ini selalu peniadaan hak-hak penduduk lokal. Ketidakberdayaan penduduk lokal, juga diikuti oleh lemahnya institusi-institusi lokal, padahal program pembangunan yang berkelanjutan perlu bekerja dengan dukungan institusi lokal, agar sasaran pembangunan tercapai. Keberadaan institusi lokal telah menunjukkan kemampuannya dalam bentuk konservasi. Kasus konservasi hutan di Nepal telah mengikutsertakan institusi lokal yang secara sosial memproteksi kawasan hutan,
3
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Januari 2004, Volume 3, Nomor 1, Halaman 1 - 5
sehingga ada larangan untuk memotong atau mengambil daun yang masih hijau, sedang mengumpul daun sampah boleh. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara sejumlah norma dengan tindakan untuk mengkonservasi hutan (Fisher 1993). Strategi konservasi modern, perlu mengikutsertakan program pemberdayaan kapasitas pengetahuan lokal. Untuk itu pengetahuan lokal dan praktik-praktik tradisional perlu dilegitimasi sebagai kapa-sitas yang potensial untuk pembangunan. Pengetahuan lokal dapat dipandang sebagai substitusi atau komplemen bagi teknologi modern (Trupp, 1989). Harus diakui bahwa terdapat dilema antara memberdayakan atau mengakomodasi variasi-variasi pengetahuan lokal dan pranatapranata lokalnya di satu sisi, dengan kebijakan program pembangunan di sisi lain. Pembangunan itu sendiri menerapkan strategi pembangunan baru dengan teknologi modern, yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sudah tentu dengan mengandalkan kekayaan sumber daya alam. Jika demikian halnya, bagaimana dan kebijakan apa yang diperlukan agar program pembangunan juga memberdayakan dan mengakomodasi praktik-praktik tradisional yang bervariasi itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis setuju dengan pendapat Menteri Lingkungan Hidup yang mengatakan perlunya menciptakan jembatan–jembatan antara masyarakat masa depan yang akan kita raih dengan masyarakat tradisional, supaya kapasitas pengetahuan lokal mempunyai fungsi dalam peradaban modern, atas dasar pemetaan potensi pengetahuan lokal dan tanah-tanah adatnya dipetakan sehingga masyarakat adat mempunyai bargaining position (dalam analisis CSIS, 1995 ). Perlunya mendokumentasikan pengetahuan lokal yang fungsional, sebelum pengetahuan itu hilang, karena pengetahuan empirik penduduk lokal diturunkan lisan, selain itu dibutuhkan pengakuan formal atas hak-hak ulayat masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya alam secara komunal. Kepastian hukum atas hak-hak komunal membuat praktik konservasi mengikutsertakan partisipasi masyarakat lokal. Ketidakefektifan usaha konservasi yang selama ini bertumpu pada pemerintah, sebaiknya diperkaya dengan praktik konservasi tradisional agar usaha konservasi
4
tersebut efektif dan tidak mengabaikan keberadaan penduduk lokal. Perlu pendampingan terhadap pranata lokal untuk merubah penduduk lokal, bukanlah berarti pendewaan nativisme (yang dapat menyebabkan kantong-kantong penduduk yang tertinggal peradabannya). Prinsip pendampingan pranata lokal, diharapkan dapat lebih mengarahkan masyarakat untuk bertanggung jawab atas praktik-praktik yang didasarkan pada pengakomodasian pengetahuan mereka. Partisipasi aktif penduduk lokal dalam implementasi pembangunan, memungkinkan mereka untuk melakukan krontrol terhadap keberlanjutan sumberdaya di sekitarnya, karena secara langsung mereka mempunyai kepentingan terhadap alam, sebagai sumber kehidupannya. Untuk itu, adalah relevan untuk mengangkat kasus konservasi yang memberdayakan dan mengakomodasi kapasitas pengetahuan lokal, sehingga hasil tolehan dari suatu masyarakat dapat dikaitkan dengan masyarakat lain, sehingga peneliti dan praktik pembangunan dapat bertukar informasi agar perubahan yang diharapkan senantiasa berkelanjutan.
Daftar Pustaka Bulmer, R.N.H., 1982, Traditional Conservation Practices in New Gunie, dalam L.Morita, J.Pernetta, and W. Heany, eds., Traditional Consevation in New Guinea: Institute of Applied Social and Economic Research. Hal 59-77. Dove, M.R., 1993, Revisionist View of Tro-pical Deforestation and Development, Environmental Conservation. Hal 17-25. Fisher, B., 1993, Creating Space: Develop-ment Agencies and Local Institution in Resources Management, Forest Trees and People Newsletter 22: 4-11. Forman, S., 1980, Cognition and the Catch : The Locations of Fishing Spot in a Brazilian Coastal Villages, dalam A. Spoehr, ed. Maritime Adaptations Essays on Contemporary Fihsing Communities. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press. Hal. 15-24.
Agustrisno, Praktik-Praktik Tradisional …
Geertz, C., 1969, Two Types of Ecosystems, dalam A.P.Vayda, eds., Environment and Cultural Behaviour. Ecological Studies in Cultural Anhropology.NY: The Natural History Press.Hal. 121-129. Nababan, A., 1995, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Hidup Indo-nesia, dalam Analisis CSIS Tahun XXIV, No.6, November - Desember. Hal.422-439. Peluso, N.L.1983, Networking in the Commons: A Tragedy for Rattan Indonesia”, Hal 95108.
Pollunin, N.V.C., 1984, Do Traditional Marine Reserve Conserve? A View of Indonesian and New Guinean Evidence, dalam K. Ruddle and T. Akimichi, eds., Maritime Institutions in The Western Pacific (Ethnological Studies No.17). Osaka: National Museum of Ethnology. Hal. 267283. Rahail, J.P. 1995, Kearifan Budaya Masya-rakat Lokal Melestarikan Lingkungan, dalam Analisis CSIS, Tahun XXIV, N0. 6, November-Desember.Hal.417-420.
5