Jurnal Harmoni Sosial, Mei 2007, Volume I, No. 3 Nasution, Otoritas Pasar...
PERILAKU KONSERVASI PADA MASYARAKAT TRADISIONAL Rytha Tambunan Abstract: This article is the main sections of argumentation about conservation issues in traditional society. The conservation issues to be important and relevant discussed recently, especially when are efforting to solve the problems of natural resources and environment damage as cause of development program that oriented for growth economy.It said that development program supported by modern technology is strongly often damage natural resources and environment. Based on the fact, we are motivated to return about traditional society known had good competent and experience about protected or took care of natural resources and environment sustained by conservation method traditionally. Keywords: conservation, suistainable PENDAHULUAN Hasil penelitian Rahail (1995); Nababan (1995), yang diseminarkan pada tanggal 7 Agustus 1995 di CSIS yang difokuskan pada tema tentang Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan, mengungkapkan beberapa contoh praktik-praktik konservasi tradisional yang didasarkan pada pengetahuan penduduk tentang lingkungan lokalnya. Salah satu tema menulis tentang orang Dani di Lembah Baliem (Pegunungan Jayawijaya), Papua. Pada kehidupan sehari-hari orang Dani mengenal sistem bertani dengan menggunakan tongkat kayu sederhana sebagai alat pengolah lahan untuk menanam ubi jalar. Penggunaan alat sederahana ini dikatakan dapat mencegah erosi dan longsor di lereng bukit, sekitar lahan yang memang berbukit-bukit. Orang dani mengenal sistem bera (mengistirahatkan lahan sampai 10 tahun) setelah dua kali siklus penanaman secara berturut-turut, yang berdampak mempertahankan kesuburan lahan di lereng bukit. Orang Dani merencanakan pembukaaan lahan untuk bertanam ubi, sesuai dengan kecukupan pangan mereka dengan ternak babi peliharaannya. Contoh kedua adalah, praktik-praktik tradisional masyarakat negeri Haruku (Pulau Haruku), memiliki aturan hukum adat, yang disebut sasi yaitu larangan untuk mengambil hasil alam tertentu. Pada masyarakat Haruku ada dikenal bermacam-macam sasi antara lain sasi laut, sasi darat, sasi hutan, sasi hutan sasi sungai dan sasi negeri, menjadi pembatas untuk tidak mengambil hasil alam pada jangka waktu tertentu. Sasi dilengkapi dengan mekanisme
pengambilan keputusan dan penegakan aturanaturan adat untuk melindungi hasil alam dan kawasan tertentu, sehingga setelah tiga tahun, Lola (sejenis kerang laut) telah berkembang biak secara alamiah dan pada saat panen diperoleh hasil yang maksimum. Dalam contoh ini, masyarakat lokal menjadi pelaksana dan penerima manfaat dari praktik konservasi tradisional tersebut. PEMBAHASAN Dua contoh praktik–praktik konservasi tradisional yang dikemukakan di atas, akan menjadi menarik untuk dibahas dengan argumentasi dari Bulmer (1982) dan Pollunin (1984) yang dipertanyakan apakah praktik– praktik tradisional yang bermotifkan ekonomi subsistem dan tindakan–tindakan yang ada di dalamnya dapat disebut tindakan konservasi? Bulmer menyatakan, keberlanjutan dari sektor ekonomi subsistem, tidak hanya untuk mengkonservasi sumber–sumber alam saja, tetapi juga mencakup keahlian, pengetahuan lokal dan sikap-sikap yang efektif untuk digunakan dalam pengelolaan sumber daya. Jadi konservasi adalah pengelolaan sumber daya yang dilakukan secara sadar, maka hasilnya akan berkelanjutan (sustained) untuk jangka waktu yang tidak terbatas (lama). Bulmer dan Pollunin bersikap skeptis terhadap anggapan bahwa praktik– praktik tradisional signifikan dengan upaya konservasi alam. Praktik–praktik tradisional tersebut secara sekunder memang bersifat konservasi, tetapi tujuan utamanya dari praktik itu adalah untuk memperoleh hasil yang segera dan praktik
Rytha Tambunan adalah Dosen Departemen Antropologi FISIP USU
83 Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2
tersebut seringkali dilaksanakan dengan motif yang mistis. Memaksimalkan hasil dengan segera adalah tidak konsisten dengan konservasi, apalagi jika konteks berubah, apakah perubahan ekonomi yang menuntut hasil yang lebih banyak sehingga alam lebih dieksploitasi, ataukah perubahan agama yang akan mengikis motif–motif yang bersifat mistis tersebut. Pada sistem berladang orang Dani dan pengambilan hasil laut yang dikenal dengan sistem sasi tidak menimbulkan kerusakan besar, karena praktik tersebut masih menggunakan teknologi sederhana, sehingga tidak dapat memberikan hasil yang maksimal. Persoalannya akan berbeda, jika sistem berladang itu ada perubahan dalam teknologi yang digunakan dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang bernilai ekonomis, dapat diramalkan kerusakan alam akan terjadi. Tidak adanya teknologi dan alat–alat modern untuk mengolah lahan dan mengambil hasil hutan. Tidak adanya peralatan navigasi modern, telah membatasi tindakan mereka untuk lebih mengeksploitasi hasil-hasil laut. Disamping itu, larangan untuk tidak mengambil hasil laut pada musim tertentu yang terdapat dalam aturan–aturan Sasi laut, telah berdampak terhadap konservasi hasil–hasil laut, namun praktik–praktik tradisional tersebut tidak konsisten dengan prinsip konservasi yang ilmiah dan modern. Praktik dan perilaku konservasi yang terjadi sebenarnya hanya sebagai dampak tidak sengaja dari perilaku mereka terhadap alam. Usaha konservasi seperti ini dilakukan tanpa sengaja atau tidak disadari, dan tujuan perilaku yang dilakukan adalah untuk memperoleh hasil yang segera, sehingga tidak akan adaptif dalam konteks jumlah penduduk yang besar dan terkonsentrasi. Sistem berladang berpindah dengan mengistirahatkan lahan dalam jangka waktu yang lama, akan berdampak konservasi, tetapi perladangan seperti tidak konsisten pada kondisi lahan yang sempit dan jumlah penduduk yang padat, karena tekanan jumlah penduduk akan mengakibatkan lahan terlalu cepat untuk ditanami kembali, sehingga akan menyebabkan keringkihan lahan yang susah dipulihkan dan akan menjadi padang alang–alang (Geertz,1969). Perilaku berladang dengan sistem bera pada masa lampau, bisa saja menjadi cara yang adaptif atau sebagai respon yang sesuai dengan kondisi lingkungan alam pada masa itu Pollunin (1984) juga mengatakan, kurangnya penggunaan teknologi untuk
84
mengelola kawasan laut dan belum berkembangnya ekonomi komersial pada masyarakat tradisional, telah berdampak konservasi tradisional terhadap sumber daya laut. Dapat diprediksi, jika nilai komersial hasil-hasil laut meningkat, maka akan ada usaha untuk memperoleh hasil yang lebih maksimal. Prinsip konservasi laut yang ada pada masyarakat tradisional, yang bermukim di kawasan pantai hanya merupakan dampak konservasi tidak sengaja. Contoh yang relevan dengan penjelasan Pollunin, adalah hasil temuan Forman (1980) tentang pengetahuan para nelayan Coquiral (di Brazil). Mereka memiliki pengetahuan yang bervariasi tentang daerah penangkapan ikan yang kurang bernilai komersil secara tidak sengaja telah mengkonservasi populasi ikan tertentu dan senantiasa memberikan keuntungan ekonomi bagi nelayan. Mekanisme penangkapan ikan dengan pengetahuan yang berbeda-beda dari setiap nelayan serta dengan peralatan rakit tradisional (Jangada) tanpa peralatan navigasi modern dan perahu bermotor, merupakan pembatas bagi para nelayan Coquiral untuk menangkap ikan dalam jumlah besar. Perilaku ini akan menyebabkan, spesies ikan tertentu yang berkualitas dan bernilai komersil tidak dieksploitasi secara besar–besaran karena tempat penangkapan itu menjadi tempat rahasia bagi nelayan tertentu. Jadi kalau kita menempatkan praktik konservasi tradisional dalam konteks perubahan, akan terlihat melemahnya dampak konservasi yang ditimbulkannya. Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan sumber-sumber daya alam untuk memenuhi permintaan pasar dunia (ekspor), telah merasuk sampai ke daerah–daerah terpencil dengan skala proyek yang besar. Dampaknya adalah terjadinya kerusakan lingkungan dan terkurasnya sumber daya ekonomi penduduk lokal. Contohnya hasil analisis Peluso (1983) tentang kemerosotan kualitas sumber daya rotan, tidak hanya disebabkan oleh perusakan hutan untuk dibuat areal pertanian, tetapi lebih disebabkan berkembang jaringan perdagangan rotan (ekspor hasil hutan non kayu) dan masuknya intervensi pemerintah Indonesia dalam mengatur pemanfaatan dan perdagangan tersebut. Di lain pihak kebijaksanaan pemerintah dalam perdagangan rotan dan membatasi akses para eksportir, malah menyebabkan semakin gencarnya eksploitasi rotan, sehingga
Universitas Sumatera Utara
Tambunan, Perilaku Konservasi pada Masyarakat....
menurunkan kualitasnya, karena mengambil rotan–rotan yang masih muda. Masyarakat lokal dengan sistem ekonomi subsistem, tiba–tiba harus berhadapan dengan ekonomi pasar global yang sedemikian rumit. Akibatnya masyarakat lokal tenggelam ke dalamnya dan terperangkap, justru semakin memiskinkan mereka. Praktik–praktik konservasi tradisional tidak harus secara keseluruhan kita terima sebagai praktik konservasi yang sesungguhnya, seperti menerima paham romantisme yang mengatakan bahwa masyarakat lokal mengikuti prinsip keharmonisan dengan alam yang menekankan pengawetan pengetahuan dan praktik–praktik tradisional. Sikap skeptis dari Bulmer dan Pollunin mengajak kita untuk lebih hati–hati melihat praktik–praktik konservasi yang efisien dan efektif. Untuk itu dibutuhkan analisis tentang prinsip-prinsip konservasi dalam masyarakat tradisional, dengan tidak mengabaikan latar belakang ekologi, sosial dan budaya yang beraneka ragam, sehingga argumen konservasi yang ditawarkan dapat dipertanggungjawabkan. Prinsip konservasi merupakan usaha–usaha yang secara sadar dilakukan untuk memelihara sumber–sumber daya untuk jangka yang tidak terbatas, sehingga keberlanjutan sumber daya akan dapat bertahan terhadap perubahan konteks sosisl, ekonomi, politik, agama, dan teknologi modern. Kenyataan ini menyadarkan kita bahwa praktik-praktik tradisional tidak konsisten untuk mencapai usaha konservasi. Persoalannya adalah, praktik–praktik tradisional mana yang dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan, sehingga perlu dipertahankan agar penduduk pemiliknya tidak kehilangan pegangan dan identitas. Praktik–praktik mana pula yang memberi keterbatasan, sehingga kurang efektif digunakan dalam program–program pembangunan. Barangkali program–program pendidikan dapat memberi pengertian, siasat dan rumusan serta kebudayaan tradisional yang dapat mendukung kebijakan konservasi baru. Masyarakat (penduduk lokal) mana pun, mempunyai kapasitas pengetahuan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang secara tidak sengaja memberikan konsekuensi terhadap konservasi, hanya saja, masyarakat lokal tidak mempunyai modal kepercayaan dari pemerintah, sehingga seringkali kapasitas pengetahuan lokal tidak diikutsertakan dalam program–program pembangunan. Pemilik pengetahuan tersebut
dianggap bodoh, primitif, sehingga tidak perlu diperhitungkan keberadaannya. Kenyataannya kebudayaan tradisional sering dianggap sebagai penghalang pembangunan, sehingga perlu disingkirkan. Penduduk lokal juga dianggap sebagai penyebab rusaknya lingkungan alam. Kenyataan menunjukkan degradasi sumber daya hutan dan laut terus berlanjut, yang pasti akan mempengaruhi sumber daya manusia. Tidak ada angka yang pasti tentang besarnya jumlah kerusakan alam, tetapi dapat diperkirakan faktor–faktor penyebab kerusakan hutan di Kalimantan, Maluku dan daerah lain sebagai akibat pengeksploitasian terhadap alam, apalagi luasnya areal hutan yang dikonsesikan kepada perusahaan HPH. Sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh pemilik konsesi hutan jauh lebih berdampak degradasi daripada yang dilakukan penduduk miskin pemukim kawasan hutan yang sering diisukan sebagai penyebab utama kerusakan kawasan hutan, dengan mempraktikkan perladangan berpindah. Dove (1993) mengkritik pendapat ini dengan mengatakan bahwa kerusakan kawasan hutan lebih disebabkan oleh faktor ketamakan akan uang atau dinamika politik ekonomi. Penggundulan hutan tropis adalah produk dari kesalahan penghitungan para pengusaha HPH, dimana areal hutan yang telah dibabat dibiarkan begitu saja, bukan oleh penduduk miskin. Persoalan lain yang juga sering muncul adalah timbulnya konflik antara penduduk pemukim kawasan hutan dengan perusahaan penebangan hutan atau dengan pemilik konsesi lainnya. Konflik–konflik ini telah muncul karena adanya tumpang tindih antara kawasan hutan dan laut yang dimiliki secara tradisional dengan konsesi yang diberikan pemerintah perusahaan pemegang konsesi. Akhir dari konflik ini selalu hak–hak penduduk lokal. Ketidakberdayaan penduduk lokal, juga diikuti lemahnya institusi-institusi lokal, padahal program pembangunan yang berkelanjutan perlu bekerja dengan dukungan institusi lokal, agar sasaran pembangunan tercapai. Keberadaan institusi lokal telah menunjukkan kemampuannya dalam bentuk konservasi. Kasus konservasi hutan di Nepal telah mengikutsertakan institusi lokal yang secara sosial memproteksi kawasan hutan, sehingga ada larangan untuk memotong atau mengambil daun yang masih hijau, sedang mengumpul daun sampah boleh. Dengan demikian menunjukkan adanya hubungan antara
85 Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2
sejumlah norma dengan tindakan untuk mengkonservasi hutan (Fisher 1993). Strategi konservasi modern, perlu pemberdayaan kapasitas pengetahuan lokal. Untuk itu pengetahuan lokal dan praktik– praktik tradisional perlu dilegitimasi sebagai kapasitas yang potensial untuk pembangunan. Pengetahuan lokal dapat dipandang sebagai substitusi atau komplemen bagi teknologi modern (Trupp, 1989). Memang ada dilema antara memberdayakan atau mengakomodasi variasi– variasi pengetahuan lokal dan pranata–pranata lokalnya, dengan kebijakan program pembangunan. Pembangunan itu sendiri menerapkan strategi pembangunan baru dengan teknologi modern, yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sudah tentu dengan mengandalkan kekayaan sumber daya alam. Kalau demikian halnya bagaimana dan kebijakan apa yang diperlukan agar program pembangunan memberdayakan dan mengakomodasi praktik–praktik tradisional yang bervariasi? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya setuju dengan pendapat menteri lingkungan hidup yang mengatakan perlu menciptakan jembatan– jembatan antara masyarakat masa depan yang akan kita raih dengan masyarakat tradisional, supaya kapasitas pengetahuan lokal mempunyai fungsi dalam peradaban modern, atas dasar pemetaan potensi pengetahuan lokal dan tanahtanah adatnya dipetakan agar masyarakat adat mempunyai “bargaining position” (dalam analisis CSIS,1995). Perlunya mendokumentasikan pengetahuan lokal yang fungsional, sebelum pengetahuan itu
86
hilang, karena pengetahuan empirik penduduk lokal diturunkan secara lisan, selain itu dibutuhkan pengakuan formal atas hak–hak ulayat masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya alam secara komunal. Kepastian hukum atas hak-hak komunal membuat praktik konservasi mengikutsertakan partisipasi masyarakat lokal. Ketidakefektifan usaha konservasi yang selama ini bertumpu pada pemerintah, sebaiknya diperkaya dengan praktik konservasi tradisional agar usaha konservasi tersebut efektif dan tidak mengabaikan keberadaan penduduk lokal Perlu pendampingan terhadap pranata lokal untuk merubah penduduk lokal, bukanlah berarti pendewaan nativisme (yang dapat menyebabkan kantong-kantong penduduk yang tertinggal peradabannya). Prinsip pendampingan pranata lokal, diharapkan dapat lebih mengarahkan masyarakat untuk bertanggung jawab atas praktik-praktik yang didasarkan pada pengakomodasian pengetahuan mereka. Partisipasi aktif penduduk lokal dalam implementasi pembangunan, memungkinkan mereka untuk melakukan kontrol terhadap keberlanjutan sumber daya di sekitarmya, karena secara langsung mereka mempunyai kepentingan terhadap alam, sebagai sumber kehidupannya Untuk itu, adalah relevan untuk mengangkat kasus konservasi yang memberdayakan dan mengakomodasi kapasitas pengetahuan lokal, sehingga hasil tolehan dari suatu masyarakat dapat dikaitkan dengan masyarakat lain, sehingga peneliti dan praktik pembangunan dapat bertukar informasi agar perubahan yang diharapkan senantiasa berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
Tambunan, Perilaku Konservasi pada Masyarakat....
DAFTAR PUSTAKA Bulmer, R.N.H.,1982, Tradisional Conservation Practtices in New Guinea, dalam L.Morita, J. Pernetta, and W.Heany., eds. Tradisional Consevation in New Guinea: Institute of Applied Social and Economic Research. Hal 59-77 Dove, M.R., 1993, Revisinist View of Tropocal Deforestatin and Development, Environmental Conservation. Hal 17-25. Fisher, B., 1993. Creating Space Development Agencies and Lokal Institution in Resources Management, Forest Trees People. Newsletter 22: 4-11. Forman, B., 1980, Cognition and Catch: The Location of Fishsing Spot in a Brazilian Coastal Villages, dalam A. Soehr, ed. Maritime Adaptations Essays on Contemporary Fishing Communities. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press. Hal. 15-24. Geertz, C., 1969, Two Types of Ecosystems, dalam A.P. Vayda, eds., Environment and Cultural Behaviour. Acological Studies in Cultural Anthropology. NY: The Natural History Press. Hal. 121-129 Nababan, A., 1995, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan hidup Indonesia, dalam Analisis CSIS Tahun XXIV, No 6. November-Desember. Hal. 422-439 Peluso, N.L, 1983, Networking in the Commons: A Tragedy for Rattan Indonesia, Hal 95-108. Pollunin, N.V>C>, 1984. Do Traditional Marine Reserve Conserve? A View of Indonesian and New Guinean Evidence, dalam K Rudle and Akimichi, eds., Maritime Institution in the Western Pacific (Ethnological Studies No. 17) Osaka: National Museum of Ethnology. Hal 267-283. Rahail, J.P., 1995, Kearifan Budaya Masyarakat Lokal Melestarikan Lingkungan, dalam Analisis CSIS, Tahun XXIV, No. 6 November-Desember. Hal 417-420.
87 Universitas Sumatera Utara