KHARISMA SULTAN DAN KONSERVASI ARSITEKTUR TRADISIONAL DI YOGYAKARTA Tri Harso Karyono Makalah Mata Kuliah Seminar Arsitektur, Departemen Arsitektur – ITB (Pengajar: Ir. Yuswadi Salya, M. Arch)
...............Di dalam suatu masyarakat yang mengalami perubahan-perubahan yang cepat, mendalam dan meluas, maka kekuasaan kharismatis akan mendapat kesempatan untuk tampil ke muka. Di dalam keadaan yang demikian itu tradisi tidak lagi mendapat penghargaan banyak dari masyarakat, lagipula norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman yang tegas bagi anggauta masyarakat...................................... (Selo Soemardjan & Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, UI, 1964, hal. 340)
Saat
terjadi
perubahan
sistem
pemerintahan
di
Yogyakarta
menjelang
Proklamasi
Kemerdekaan RI, masyarakat Yogyakarta yang pada mulanya tunduk pada kekuasaan monarki raja (Sultan), terpaksa atau dengan rela harus mengakui kekuasaan pemerintah yang baru yakni pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpusat di Jakarta. Keterikatan formal masyarakat terhadap tradisi ataupun keterikatan terhadap peraturan Kraton yang mentradisi sudah sewajarnya lepas atau hilang dengan sendirinya seiring dengan perubahan sistem pemerintahan yang menguasainya.
Sumber: Tri H. Karyono
Gambar 7.1. Stasiun Tugu Jogjakarta: Tempat bersejarah masa perjuangan kemerdekaan Indonesia
Dalam masa pengisian kemerdekaan negara yang baru berdiri (RI), arus modernisasi secara perlahan masuk ke seluruh sendi kehidupan masyarakat kota di Indnesia, termasuk
1
Yogya tentunya. Kian bulan, kian tahun dan kian waktu, segala bentuk kebudayaan negara maju - Barat terutama, masuk secara mudah ke dalam tata kehidupan masyarakat. Produk teknologi maju secara cepat membanjiri pasaran dan dengan rakusnya dilahap para konsumen terutama yang berada di kota-kota besar. Nilai-nilai dalam masyarakat kian waktu kian bergeser dan berubah. Segala sesuatu yang berbau tradisional mulai ditinggalkan, digeser oleh hal-hal yang lebih bernuansa modern, atau kebarat-baratan. Merambahnya budaya barat ke dalam tatanan budaya Indonesia dapat dicontohkan melalui pergerseran jenis permainan tradisional di Yogya seperti dakon, engklek, cublak-cublak suweng, egrang, gobak-sodor, gendongan, dan sebagainya, yang kian hari kian punah digantikan permainan modern watch game, video game, pinball, bilyard, ice-skating, bowling, dan lainnya. Kostum tradisional digeser oleh pakaian modern. Makanan tradisional seperti gethuk, wedang jahe, digeser hot dog, humberger, yoghurt, es teller, coca cola, dan sebagainya. Demikian selanjutnya pada aspek kehidupan lainnya. Uraian singkat di atas memperlihatkan kemungkinan terjadinya perubahan bentuk arsitektur tradisional di Yogyakarta yang diakibatkan oleh pergeseran nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, di antaranya adalah lepasnya keterikatan formal antara masyarakat Yogya terhadap Kraton karena kekuasaan Kraton telah digantikan oleh kekuasaan negara Republik Indonesia, sehingga ikatan terhadap tradisi-tradisi atau peraturan yang mentradisi yang dibuat oleh Kraton dapat diduga - dan sudah sewajarnya - akan hilang dengan sendirinya. Arus modernisasi atau masuknya budaya Barat ke dalam masyarakat kota Yogya akan dengan mudah menggeser nilai-nilai lama yang selama ini melekat di masyarakat
kota
tersebut. Karena telaah arsitektur dalam tulisan ini mengarah pada arsitektur rumah tinggal yang notabene adalah milik dari para individu yang bebas - terutama untuk menentukan dan memenuhi kebutuhannya sendiri, kiranya akan mudah diprediksi bagaimana kritisnya bentukan arsitektur bangunan tersebut untuk cenderung berubah sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan fungsi yang lebih modern, mengingat manusia si penghuni berada di dalam suasana tata nilai yang telah berubah atau bergeser seperti halnya yang telah diuraikan pada butir 1 dan 2 di atas. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, benarkah arsitektur tradisional (rumah tinggal) di Yogyakarta telah mengalami pegeseran, perubahan ataupun penyesuaian seperti yang dapat diduga melalui uraian-uraian di atas? Adakah suatu kekuatan atau kekuasaan yang mampu melawan pengaruh-pengaruh luar seperti disebut di atas guna mempertahankan eksistensi arsitektur tradisional di Yogyakarta? Adakah peran atau pengaruh Sultan Hamengku Buwono (HB IX) - sebagai ‘raja’ di mata masyarakat Yogya - dalam kaitan ini?
2
Kharisma sebagai suatu bentuk kekuasaan yang tersembunyi Kata charisma diterjemahkan sebagai daya-wibawa, atau dalam bahasa Jawa: pulung [Soemardjan & Soelaeman, 1964]. Sedangkan Max Weber menyatakan: The term of ‘charisma’ shall be understood to refer to an extraordinary quality of a person, regardless of whether this quality is actual, alleged, or presumed [Soemardjan & Soelaeman, 1964]. Dalam hal ini oleh Max Weber, kharisma diberi pengertian sebagai kualitas/kemampuan yang luar biasa dari seseorang, tanpa memandang apakah kemampuan itu nyata, dapat dibuktikan atau sekadar perkiraan. Weber juga menjelaskan tentang adanya dua macam kekuasaan [Soemardjan & Soelaeman, 1964], sebagai (1) kekuasaan yang bersifat kharismatik, yakni yang berdasar pada kharisma seseorang, dan (2) kekuasaan yang bersifat tradisional dan legal, yang berdasar atas hukum atau norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Pengertian kekuasaan sendiri dapat dibedakan dari apa yang disebut wewenang. Menurut Selo Soemardjan [Soemardjan & Soelaeman, 1964] beda antara kekuasaan dan wewenang adalah, bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang dengan mendapat pengakuan dari masyarakat. Karena memerlukan pengakuan dari masyarakat itu maka di dalam suatu masyarakat yang sudah kompleks susunannya dan sudah mengenal pembagian tugas yang terperinci, wewenang itu biasanya terbatas mengenai hal-hal yang diliputinya, waktunya, dan caranya menggunakan kekuasaan itu. Dari uraian tersebut dapat terlihat bahwa kekuasaan bukan merupakan sesuatu yang harus formal, sedangkan wewenang merupakan sesuatu yang cenderung formal. Tentang kekuasaan kharismatis, Weber menyatakan: Charismatic authority, hence, shall refer to a rule over men, whether predominantly external or predominantly internal, to which the governed submit because of their belief in the extraordinary quality of the specific person. The magical sorcerer, the prophet, the leader of hunting and booty expeditions, the warior chieftain, the so called of a party are such types of rulers for their disciplines, followings, enlisted troops, parties, et cetera [Soemardjan & Soelaeman, 1964]. Kemudian pada bagian lain dari tulisan yang sama Weber menyatakan: Charismatic rule is not managed according to general norms, either traditional or rational, but, in principles, according to concrete revelations and inspirations and in this sense, charismatic authority is ‘irrational’ [Soemardjan & Soelaeman, 1964]. Dapat disimpulkan bahwa kekuasaan kharismatik tidak dibentuk oleh aturan atau norma yang umum atau rasional, akan tetapi kekuasaan kharismatik adalah sesuatu yang irasional. Dan dapat kiranya diterima, bahwa kharisma merupakan suatu bentuk kekuasaan yang tidak nyata atau tersembunyi. Adakah kharisma Sultan HB IX di mata masyarakat Yogyakarta? Yogyakarta yang semula merupakan suatu kerajaan yang berdiri sendiri di bawah Sultan seperti halnya Surakarta (di bawah Sunan), setelah kemerdekaan RI 1945 merupakan satu dari
3
26 propinsi (DT-I) di Indonesia dengan Sultan sebagai Gubernur Kepala Daerah yang diangkat seumur hidup oleh Pemerintah RI. Lain halnya dengan Surakarta yang memiliki status sama seperti halnya Yogyakarta bahkan seharusnya memiliki pengaruh dan kekuasaan yang lebih besar dari Yogya, karena Surakarta merupakan kerajaan induk dari Mataram Islam, sedangkan Yogya merupakan hasil pecahan dari kerajaan tersebut ketika ditandatangani Perjanjiaan Giyanti 1755 - ternyata setelah Proklamasi RI tidak diberi daerah otonom sendiri sebagai suatu daerah istimewa (sejajar dengan propinsi) sebagaimana halnya dengan Yogyakarta. Pemberian otonomi daerah (sebagai wilayah bekas kerajaan) seperti pada kasus di atas dapat dilihat dari dua faktor. Pertama, faktor besarnya pengabdian terhadap negara RI, sehingga seseorang diberi anugerah jasa tertentu. Dalam hal ini dapat terjadi bahwa pemberian hak daerah istimewa kepada Yogyakarta dikarenakan oleh jasa Sultan HB IX yang sangat besar ketika perjuangan kemerdekaan RI. Kedua, faktor yang datang dari bawah - yakni rakyat atau masyarakat. Bagaimana persetujuan dan kesepakatan rakyat mengenai tipe pemerintahan yang akan menguasainya. Ada tidaknya daya yang dipancarkan oleh pemimpinnya (raja) untuk menguasai rakyat secara tidak langsung. Dalam aspek inilah peran kharisma memiliki peluang.
Sumber: Tri H. Karyono
Gambar 7.2. Keraton Jogjakarta dari Alun-Alun Selatan: Kediaman Sultan Jogja sebagai Penguasa Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
Dari kedua faktor tersebut di atas ternyata faktor kedua banyak memegang peran, sebab pada dasarnya pemerintah yang baru (RI), selalu menghormati kekuasaan kerajaan yang telah ada sebelum proklamasi RI. Sehingga hak otonomi daerah kerajaan selalu diserahkan pada rakyat yang ada di bawah kekuasaannya. Demikian pula halnya dengan daerah Surakarta dan Yogyakarta. Hal ini dapat ditangkap dari cuplikan Selo Soemardjan
4
[Soemardjan, 1968]: Pemerintah kabupaten baru yang didirikan oleh KNI-KNI (Komite Nasional Indonesia) setempat satu demi satu mengeluarkan pernyataan yang menolak kekuasaan Susuhunan maupun Mangkunegoro, mereka ingin memisahkan diri dari kerajaan Surakarta dan Mangunegoro, dan meminta agar diperintah langsung oleh pemerintahan pusat RI. Sementara itu hal ini tidak terjadi di Yogyakarta. Rakyat Yogya menerima kekuasaan Sultan sebagai pemimpin daerah otonomi sendiri di bawah pemerintah pusat. Sehingga jelas dalam hal ini, bahwa ada suatu pengaruh kekuasaan tersembunyi dari Sultan sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap keputusan masyarakat. Kekuasaan semacam inilah yang oleh Weber disebut sebgai charismatic authority (kekauaaasaan kharismatik). Suatu bentuk kekuasaan yang muncul ketika ‘tradisi’ sebetulnya sudah mulai tidak berperan lagi. Saat manusia sebagai individu mempuanyai hak (yang bebas) untuk menentukan dirinya sendiri tanpa harus terikat oleh tradisi-tradisi. Dari uraian di atas dapatlah kiranya diterima bahwa bagi masyarakat Yogyakarta, Sultan (HB IX) memiliki kharisma. Ada beberapa contoh lain yang dapat memberikan tanda-tanda bahwa kharisma Sultan tersebut ada di dalam pandangan rakyat Yogya: 1. Upaca-upacara Grebeg/Sekaten selalu dikunjungi masyarakat Yogya secara melimpah. Mereka datang dari tempat yang jauh secara bersusah payah misalnya dengan berjalan kaki, meskipun sesampainya di alun-alun akhirnya tidak dapatmenyaksikan karena jumlah pengunjung sudah demikian banyaknya, sedangkan kapasitas manusia yang dapat menyaksikan secara langsung sangat terbatas. Hal semacam itu sebenarnya sudah mereka sadari sebelumnya, tetapi mereka selalu mengulanginya. 2. Betapa para abdi dalem dengan rela dan senang hati, tanpa merasa terhina atau kekurangan dengan gaji yang sangat minim (jauh dari mencukupi kebutuhan hidup). Bahkan mereka merasa bangga karena seolah telah mendapat anugerah kepercayaan dari Kraton yang tidak sembarang orang dapat memperolehnya. Patut diingat bahwa mereka hidup di kota besar seperti Yogya dan mereka menyadari bahwa mereka memiliki hak individu untuk mencari tempat lain sebagi sumber penghidupan/nafkah, tetapi mereka tidak melakukan. Arsitektur Tradisional di Yogyakarta Pada hakekatnya arsitektur tradisional di Yogyakarta terbentuk karena sistem pemerintahan monarki/kerajaan pada masa Kasultanan Yogyakarta berkuasa. Dalam sistem pemerintahan semacam ini berlaku suatu keadaan di mana: 1. Masyarakat tunduk pada dogma-dogma kepercayaan yang dianut oleh sang raja. 2. Rakyat merasa bahwa mereka adalah bagian dari kerajaan, sehingga loyalitas dan rasa hormat terhadap raja/Sultan luar biasa besarnya. 3. Strafikisai sosial dalam masyarakat tumbuh dan bertahan dengan kuatnya tanpa dapat dielakkan lagi. Muncul golongan-golongan dalam masyarakat: Sentonodalem (bangsawan,
5
keluarga Kraton, atau pejabat Kraton), abdidalem (priyayi, pegawai Kraton), dan kawulodalem (wong cilik, rakyat biasa).
Sumber: Tri H. Karyono
Gambar 7.3. Beberapa rumah tradisional di Kota Gede – Yogya: Bentuk dan material bangunan mampu bertahan hingga puluhan bahkan ratusan tahun
Dalam pembahasan ini, uraian mengenai Arsitektur Tradisional ditujukan kepada Arsitektur Rumah Tinggal bangsawan atau priyayi, dan bukan Arsitektur Rumah Tinggal ‘wong cilik’ (rakyat biasa). Hal ini didasarkan pada sejumlah alasan, (1) bahwa arsitektur tradisonal yang masih dapat dikenali dengan mudah dan jelas pada saat ini adalah arsitektur rumah tinggal para Sentododalem. Hal ini diirasa wajar terjadi karena pada umumnya bangunan rumah tinggal ‘kaum cilik’ (rakyat biasa) lebih mudah berubah karena berbagai faktor, (2) kondisi komponen/bahan penyusun bangunan secara kualitatif kurang dapat dipertanggungjawabkan ketahanannya terhadap waktu, mudah rusak. Tidak demikian halnya dengan rumah kaum bangsawan atau priyayi, di mana komponen bangunan yang digunakan rata-rata memiliki mutu yang dapat diandalkan untuk dapat bertahan dalam kurun waktu yang relatif lebih lama, (3) faktor keterikatan peraturan bangunan pada masa pemerintahan raja/Sultan tentu lebih ketat diberikan kepada rumah-rumah kaum bangsawan/priyayi daripada rumah rakyat biasa., sehingga rumah bangsawan akan lebih sedikit mengalami perubahan dibandingkan dengan rumah rakyat biasa. Dengan kondisi seperti di atas sukar kiranya untuk dapat mengamati secara baik perkembangan arsitektur rumah tinggal ‘rakyat biasa’. Segala sesuatu yang ada dan nampak pada saat sekarang mungkin telah jauh dari pencerminan masa lalu. Arah perubahan yang terjadi sangat acak sifatny dan sukar ditelusuri pola serta kecenderungan perubahannya.
6
Demikian pula untuk dapat mengetahui faktor-faktor penyebab perubahan, barangkali diperlukan suatu studi tersendiri untuk dapat menjawabnya. Dengan melihat besarnya kemungkinan perubahan (secara acak) pada rumah tinggal tersebut maka riskan kiranya seandainya pengertian arsitektur tradisional ini ditujukan kepada golongan arsitektur rumah tinggal seperti di atas. Dan dengan alasan-alasan inilah maka pembahasan lebih ditujukan kepada golongan rumah tinggal bangsawan/priyayi atau Sentodalem/Abdidalem. Kharisma Sultan dan Konservasi Arsitektur Tradisional di Yogyakarta Dari pengamatan visual langsung serta studi literatur, diperoleh kenyataan bahwa arsitektur tradisional di Yogyakarta hingga saat ini masih mampu bertahan. Dalam arti secara fisik tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Hal ini tentunya menyimpang dari hipotesa yang dilemparkan pada awal tulisan ini, bahwa arsitektur tradisonal di Yogyakarta tentu tidak mampu bertahan terhadap pergeseran tata nilai yang hidup dalam masyarakat. Kemampuan bertahan tersebut dapat diamati terutama pada ruang yang menurut ‘ukuran’ sekarang (tata nilai pada masa kini) adalah kurang memenuhi syarat kesehatan atau tidak memenuhi persyaratan fungsional, akan tetapi ternyata tetap dipertahankan seperti sediakala. Sebagai contoh, Gandok (ruang tidur) tengah yang pengap dan geelap hingga kini tetap dibiarkan dalam keadaan demikian. Penghuni tidak berusaha merubah keadaan semacam itu, misalnya dengan memberikan ventilasi, atau merubah tata letak ruang secara keseluruhan di mana ruang tidur diusahakan ditempatkan pada bagian sisi bangunan agar memudahkan untuk memperoleh ventilasi dan pencahayaan matahari, sehingga masalah kesehatan dapat terjawab. Seandainya hal tersebut dipandang dari tingkat pengetahuan atau pendidikan si penghuni, tentunya janggal bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu, sebab mereka berada di tengah kota besar, status sosial mereka dalam masyarakat tidak dapat diremehkan. Pada umumnya mereka memiliki pesawat televisis dan secara rutin membaca surat kabar. Sehingga seandainya masalah rendahnya tingkat pengetahuan dijadikan titik yolak alasan mengapa mereka tidak melakukan perubahan dirasa tidak logis dalam hal ini. Contoh kedua adalah Pendopo, di mana menurut pemikiran masa kini tentunya Pendopo dapat dianggap sebagai pemborosan ruang karena tidak mempunyai fungsi yang jelas pada masa kini. Akan tetapi ternyata masih mampu bertahan untuk tidak disulap sebagai ruang tidur misalnya. Dari uraian di atas tidak berarti bahwa perubahan sama sekali tidak terjadi pada bangunan arsitektur tradisional di Yogya. Jika perubahan tersebut ada, maka sifatnya sangat kecil dan hampir tidak berarti bagi bangunan secara keseluruhan. Dari pengamatan visual di beberapa ‘dalem’ terlihat bahwa seandainya ada perubahan, maka yang terjadi hanyalah sekadar penambahan (misalnya pada serambi belakang/gadri, atau serambi samping/kupingan yang
7
diberi sekat dari papan atau plywood untuk tambahan ruang tidur misalnya. Sedangkan perubahan yang bersifat penggantian (karena alasan selera, bukan karena kerusakan) tidak pernah dilakukan. Dari kenyataan seperti di atas maka sangat jelas bahwa perubahan yang terjadi sangat kecil dan jika ada, maka perubahan itu letaknya tersembunyi (di daerah belakang) sehingga kesan keseluruhan bangunan tidak berubah. Lagipula pada umumnya orang luar hanya melihat dari bagian muka sehingga perubahan kecil tersebut lebih tidak terlihat lagi. Dari hasil wawancara (informal) dengan salah seorang anggauta ke luarga ‘dalem’ diperoleh suatu masukan, yang untuk sementara dapat dipergunakan untuk menjawab mengapa penghuni sangat hati-hati untuk melakukan perubahan pada bangunan tempat tinggalnya: 1. Sedapat mungkin mereka tidak akan melakukan perubahan pada rumah tinggal mereka kecuali jika terpaksa sekali, misalnya rusak, atau kebutuhan ruang yang tidak terelakkan lagi. Penambahan sekat misalnya bersifat tidak permanen )dari papan atau plywood). Alasan yang diberikan karena umumnya mereka mencontoh Kraton yang tetap dipertahankan demikian oleh Sultan. Sehingga mereka merasa tidak memiliki alasan untuk tidak mengikuti apa-apa yang menjadi kebijaksanaan Sultan. 2. Mengenai Pendopo dapat dijelaskan bahwa meskipun pendopo tersebut sudah tidak digunakan lagi sebagaimana fungsi masa lalu (tempat menghadap para ‘kawula’) akan tetapi sebaiknya dapat dimanfaatkan bagi fungsi atau kegiatan yang positif bagi masyarakat di lingkungan itu, yaitu misalnya sebagai tempat latihan ‘tari jawa’ atau tempat untuk tidur anakanak tetangga yang kurang mampu (karena rumahnya sempit). Hal semacam ini perlu dilakukan karena Sultan pernah memberi contoh, di mana sebagian Kraton dahulu dipergunakan sebagai ruang perkuliahan mahasiswa UGM (sebelum kampus Bulaksumur dibangun seluruhnya). Dari uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa eksistensi Arsitektur Tradisional di Yogyakarta hingga kini masih mampu bertahan terhadap pergeseran tata nilai yang terjadi di masyarakat. 2. Pergeseran tata nilai yang melanda masyarakat Yogya setelah Proklamasi RI, dalam batabatas tertentu masih sanggup dikendalikan oleh ‘penguasa-penguasa dalem’ (penghuni bangunan arsitektur tradisional). 3. Salah satu faktor ‘pengerem’ arus perubahan terhadap bangunan ‘dalem’ (arsitektur tradisional) adalah Sultan secara tidak langsung. ‘Pengereman’ terjadi bukan karena adannya suatu perintah nyata, tetapi atas dasar suatu pengaruh tertentu, yang oleh Weber dinyatakan sebagai kekuasaan kharismatis (charismatic authority), suatu bentuk kekuasaan di mana ketika ‘tradisi’ sudah mulai tidak berperan lagi. Saat manusia seebagai individu mempunyai hak untuk menentukan dirinya sendiri tanpa harus terikat oleh tradisi.
8
Sehingga sebagai kesimpulan akhir dapat dinyatakan bahwa Kharisma Sultan sedikit banyak turut ambil bagian dalam melestarikan Arsitektur Tradisional di Yogyakarta. Skema Kesimpulan Proklamasi RI (1945) Masa Pemerintahan Monarki
Masa Pemerintahan Demokrasi
(Kasultanan Yogyakarta)
(Negara RI)
TRADISI
KHARISMA
(Kekuasaan Tradisional)
(NON TRADISI) (Kekuasaan Kharismatis)
pembentukan
konservasi
ARSITEKTUR TRADISIONAL
ARSITEKTUR TRADISIONAL
9