ARSITEKTUR HIJAU SUBLIMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL Tri Harso Karyono Harian Kompas, 10 Januari 2010
Kertas
pelapis nampan Mc Donalds di Inggris perlu mencantumkan label „tidak dibuat dari
material hutan tropis‟. Pembeli „merasa nyaman‟ tidak bersalah turut merusak hutan tropis sebagai andalan utama penyerap karbondioksida terbesar di dunia. Produk kosmetik perlu mencantumkan label „tidak menggunakan hewan percobaan‟ agar produk dibeli masyarakat. Warga berbelanja di pasar swalayan membawa kantung plastik bekas, merasa bangga turut ambil bagian dalam melestarikan lingkungan dengan menggunakan barang bekas. Warga menghindari penggunaan kendaraan pribadi untuk mengurangi tingkat emisi CO 2. Alat pencatat gas karbon yang dikembangkan ilmuwan Machassussete Institute of Technology (MIT) memperlihatkan data terbaru kandungan CO 2 atmosfir bumi pada bulan Juni 2009 mencapai 3,64 triliun ton, dan ini merupakan angka tertinggi dalam kurun 800 ribu tahun terakhir. Kandungan CO2 ini terus meningkat hingga 800 ton setiap detiknya. Meningkatnya jumlah kandungan CO2 di atmosfir sangat mencemaskan semua kalangan. Arsitekpun perlu ikut bertanggung jawab karena lebih dari 30% emisi CO 2 dihasilkan oleh bangunan. Prof Robert Vale, penulis buku laris Green Architecture perlu mematikan AC dan lampu di unit hotel tempat kami menginap di Jakarta selama empat hari. Membuka jendela siang hari, menyalakan lampu meja malam hari ketika perlu membaca. Suatu ketika listrik PLN padam dan lift tidak berfungsi ia menapak tangga ke lantai delapan dan bicara ke saya “Pemadaman semacam ini perlu dilakukan secara rutin agar semua orang dipaksa berhemat listrik”. Saya mengiyakan dengan tubuh bersimbah peluh. Berbagai seminar,
konferensi atau
hajatan terkait
arsitektur hijau
marak di
selenggarakan belakangan ini. Meskipun banyak pihak meragukan hajatan semacam ini hanya sekadar tren sesaat yang akan hilang ditelan tren-tren lain yang muncul dalam waktu dekat. Tren yang diikuti oleh mereka yang tidak sungguh-sungguh memahami „green‟ dan tidak berperilaku „green‟ akan mengaburkan makna „green‟ itu sendiri. Ada kecenderungan hajatan green diselenggarakan di gedung mewah ber-AC, diterangi seribu lampu di setiap sudut ruang. Sangat diragukan peserta hadir dengan moda transportasi green: transportasi umum, bersepeda atau berjalan kaki. Secara konsep semua ini bertentangan dengan jiwa green.
Tren Arsitektur Hijau Arsitektur hijau mulai mencuat ketika Komisi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan menelorkan deklarasi, populer dengan Brundtland Report (1987). Deklarasi ini syarat dengan kepentingan arsitek, melibatkan permasalahan lingkungan binaan: kota, bagian kota, maupun
1
bangunan, yang dituntut selaras dengan daya dukung lingkungan guna meminimalkan penurunan kualitas lingkungan.
Gambar 26.1. Atap Hijau: Penghijauan atap bangunan School of Arts, Design and Media, Nanyang University Technology of Singapore sebagai bagian dari konsep green architecture, membantu mengurangi efek „heat urban island‟ dan mengurangi emisi CO2 ke udara
Sumber: http://www.inhabitat.com/2008/01/23/amazing-green-roof-art-school-in-singapore/
Bagaimana arsitek mampu merancang karya arsitektur yang minim mengkonsumsi sumber daya alam, minim mengkonsumsi energi, air dan mineral, serta minim menimbulkan dampak negatif terhadap alam dan lingkungan, tanpa harus menurunkan kualitas hidup dan kenyamanan manusia dalam menyelenggarakan kehidupannya. Arsitektur yang mampu meningkatkan kualitas hidup manusia tanpa merusak lingkungan. Standarisasi dan penilaian tingkat hijau suatu bangunan dimulai di Inggris tahun 1990 ketika lembaga penelitian bangunan milik pemerintah, Building Research and Establishment (BRE) memformulasikan standar yang diberi nama Building Research and Establishment’s Environmental Assessement Method (BREEAM). BREEAM merupakan acuan penilaian tingkat hijau paling lengkap, paling ilmiah, dan paling banyak digunakan di dunia saat ini. Acuan ini membedakan delapan tipologi bangunan secara terpisah di dalam penilaian: bangunan pendidikan, bangunan industri, bangunan kesehatan, bangunan penjara, bangunan pengadilan, bangunan perkantoran, bangunan perdagangan, dan bangunan hunian termasuk rumah susun, apartemen dan hotel. Paramater yang dinilai oleh BREEAM meliputi 10 aspek bangunan: manajemen, kesehatan dan kualitas hidup, energi, transportasi, air, material, limbah, tata guna lahan dan ekologi, polusi, dan inovasi. Standar ini memberikan lima kategori hasil penilaian: Pass, Good, Very Good, Excelent, dan Outstanding. Meskipun diklaim dapat digunakan secara universal di seluruh dunia, namun standard ini tidak praktis digunakan di sejumlah negara berkembang
2
seperti Indonesia karena keterbatasan data dan standard bangunan pendukung lainnya yang dimiliki negara berkembang masih terbatas. Standar hijau lain adalah Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) dicetuskan oleh United States Green Building Council (USGBC) tahun 1994 mengadopsi dan mengembangkan konsep BREEAM untuk aplikasi lebih praktis. Demikian pula standard hijau lainnya, seperti the National Australian Building and Environment Rating System (NABERS) dikeluarkan pemerintah Australia, kemudian Green Stars, dicetuskan oleh Australia Green Building Council, dan Green Marks yang dikeluarkan oleh Singapore Green Building Council, mencoba secara lebih spesifik menghadirkan standard hijau yang lebih praktis dan mudah diaplikasikan di negara masing-masing.
Sumber: Tri H Karyono
Gambar 26.2. Rumah Susun Hijau: Proposal karya Tri Harso Karyono, dikembangkan oleh Balai Besar Teknologi Energi (B2TE) Serpong, memanfaatkan sel surya di atap dan sumber energi terbarukan lainnya, hemat energi, rendah emisi CO 2 dan penghijauan atap serta kawasan.
Gerakan membangun lembaga akreditasi atau rating arsitektur hijau di tanah air sudah dimulai, sementara penawaran produk arsitektur berlabel ‟hijau‟ seperti: rumah, apartemen dan lainya sudah lebih cepat mendahuluinya. Masyarakat beramai-ramai menggunakan label green agar tidak ketinggalan kereta tanpa perduli apakah label yang disandang memang sungguh hijau. Arsitektur Hijau sublimasi Arsitektur tradisional Sekelompok warga Baduy berjalan menyusuri semak, pematang, jalan berbatu, menyeberang sungai, mendaki bukit, menuruni lembah hingga sampai di tempat yang dituju. Tidak ada
3
kendaraan yang digunakan, tidak ada bahan bakar fosil pengemisi CO 2 yang dikonsumsi. Kegiatan di dalam maupun di luar rumahpun demikian. Hampir seluruh aktifitas, sengaja atau tidak, minim mengkonsumsi sumber daya alam, sumber daya energi, mineral dan lainnya, serta minim mencemari alam dan lingkungan di mana mereka bermukim. Bangunan tidak memerlukan AC, tidak memerlukan lampu listrik, menggunakan minyak tumbuhan untuk penerangan, menggunakan ranting, daun kering sebagai sampah organik untuk bahan bakar. Material bangunan dari kayu, bambu dan dedaunan, merupakan material terbarukan yang diambil dari lingkungan setempat.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes
Gambar 26.3. Perkampungan Baduy di kaki pegunungan Kendeng, Banten: Kehidupan sederhana menelorkan arsitektur yang menyatu dengan alam, hemat energi, tidak merusak lingkungan, merupakan bagian penting dalam konsep green architecture
Tidak diperlukan energi fosil untuk membuat material bangunan, atau untuk mengangkut dan untuk menyusun material menjadi bangunan. Secara keseluruhan aktifitas manusia dan bangunan sangat rendah mengemisi CO 2 dan tidak merusak lingkungan. Dari kriteria standar arsitektur hijau manapun, bangunan semacam ini memiliki rating ‟green‟ yang tinggi. Hampir semua arsitektur tradisional di Indonesia yang masih difungsikan memiliki ciri serupa Arsitektur Baduy. Suatu karya arsitektur yang minim mengkonsumsi sumber daya alam, minim mengkonsumsi energi, minim mengemisi CO 2, memanfaatkan material terbarukan, dan minim menimbulkan dampak negatif tehadap alam, lingkungan dan manusia, sebagaimana disyaratkan dalam konsep arsitektur hijau.
4
Sumber: Tri H Karyono
Gambar 26.4. Pondok Perkemahan Hijau: Proposal karya Tri Harso Karyono, dikembangkan oleh Balai Besar Teknologi Energi (B2TE) Serpong, memanfaatkan sel surya dan sumber energi terbarukan lainnya, hemat energi dan rendah emisi CO2.
Karena arsitektur tradisional lahir jauh sebelum istilah arsitektur hijau muncul, maka secara mendasar arsitektur hijau merupakan sublimasi arsitektur tradisional. Tren arsitektur hijau di Indonesia tidak harus membuntuti apa yang ada di negara maju. Tatap kembali dan bercermin kepada arsitektur tradisional di tanah air, tatap perilaku masyarakat tradisional yang hemat, tidak konsumtif sumber daya alam, minim menggunakan teknologi dan peralatan yang boros energi yang mencemari lingkungan dan mengakibatkan pemanasan global. Bercermin dari arsitektur tradisional tidak harus mengikuti sesuatu tepat sama atau kembali ke masa lalu. Mengutip pernyatan Pangeran Charles saat pembukaan lembaga pendidikan arsitektur 'Prince of Wales's Institute of Architecture' di London beberapa tahun silam yang ternyata tidak bermaksud mengembalikan kenangan arsitektur masa lampau: ”What I would like to be taught and explored and studied in my institute, is the fact that architecture that nourishes the spirit is not so much a traditional architecture, which resembles or apes the past, but rather a particular kind of architecture whose forms, plans, materials are based on human feeling” Untuk memahami arsitektur hijau diperlukan pemahaman jiwa masyarakat tradisional dan karya arsitektur mereka. Arsitektur hijau akan tercipta dengan sendirinya ketika manusia berpikir dan berperilaku hemat, tidak bermewahan, tidak boros energi, menggunakan sesuatu seperlunya dan secukupnya. Tanpa itu semua, arsitektur hijau hanya muncul sebagai label, sebagai semboyan tanpa makna.
5