ANGEL G
A STREET DREAM: THE EVERGREEN ARCHITECTURE
(Mimpi Jalanan: Arsitektur yang Hijau Abadi)
A Street Dream: The Evergreen Architecture Copyright © 2013 by Angel G. All rights reserved. No part of this book may be reproduced, distributed, or transmitted in any form or by any means, including photocopying, recording, or other electronic or mechanical methods, without the prior written permission of the author. All permission requests and inquiries should be addressed to:
[email protected] Cover by Angel G. Cover Illustration by Andreas Handoyo. Chapters Illustration by Pia Praptidita. Urban Fonts “Subway Graph” copyright © 2013 by Johan Waldenström. Used by permission. Published by: CV. Evergreen Creative House Bukit Raya III No.13 Bandung, Indonesia
[email protected] ISBN 978-602-14233-0-1 First Printing, September 2013 Printed in Indonesia This book is a work of fiction. Names, characters, places, and incidents either are products of the author’s imagination or are used fictitiously. Any resemblance to actual events or locales or persons, living or dead, is entirely coincidental.
Untuk sebuah kejujuran yang aku temukan di pinggiran kota...
If life is a building, then everyone should be a good architect… -Sean Walker-
DAFTAR ISI
Prelude 1. Three Different Sides 2. Richie Rich 3. Bunga yang Berganti dan Pria Tua Bertopi Fedora 4. White Beach and a Black Diary 5. Rahang Kriminal dan Mata Abu Pemimpi 6. Cerita tentang Kalung Dog Tag Interlude 1 7. Lemari di Bawah Tangga 8. Racing Team Interlude 2 9. College World Championship dan Soundlab UBT Interlude 3 10. Pelarian Berujung Bencana 11. The Street... That’s What Teaches You Everything 12. Craziest Offer Ever 13. Red Sexy Devil in the Club 14. Surprises in a Row 15. Don’t Call Him Like That 16. Billy Solomon Walker 17. Cerita tentang Sean Vincenzo Walker 18. Lost and Found 19. A New Home and a Not So New Stripper 20. Jadwal yang Tidak Memihak 21. Welcome to the City, Welcome to the Street 22. Semata Pelepas Stres 23. In Love with a Stripper 24. Don’t Blame Me, Blame the City
1 7 21 33 39 41 47 61 67 79 83 87 103 107 123 145 155 161 171 179 193 209 217 233 245 257 267 275
25. Gambler of Faith 26. The Unscheduled Schedule 27. Almost Out 28. Second Shot 29. Seperated in Two 30. The End of Nathan Samuel Evan 31. Filosofi Sirkuit 32. Spirit of a Child 33. The Day God Was Murdered Interlude 4 34. When Turntable Meets Harp Interlude 5 35. Evergreen Corporation 36. Memorabilia dan Makna Glossary About the Author Evergreen Honesty Campaign
281 293 303 311 315 327 357 383 407 423 431 451 455 471 481 501 502
1
Prelude
“BILLY, THIS IS PETER!” Sebuah mobil sport perak terparkir begitu saja di bahu kiri jalan. Walkie talkie yang tergeletak di dasbornya berkoar-koar seperti kehabisan napas. “Billy! This is! Peter! You copy me, Man? Mereka sudah kembali membuka jalan di kilometer 5 Blue Tourmaline. Polisi bisa melihat mobil kalian kapan saja.” “Whaddup, Pity? You worry me, huh?” Sean tertawa, mendekatkan mulutnya ke dasbor, “Wanna hold my hand now, Dude?” “Fuck you! Oh yeah, forgot that again. You’re both born from the street! My bad! Fuck you!” Terdengar keresak terputus saat Sean tergelak. Awal musim salju. Dini hari. Di balik kaca mobil, dataran tinggi berkabut Blue Tourmaline terbungkus es hingga ke papan penunjuk jalannya. Kegelapan berbaur bersama angin yang bersiul tinggi saat Sean berlari turun, menerobos desing hujan salju seukuran biji jagung yang menusuk kuping. “Kau berutang giliran minum padaku!” ia tertawa melompati beton pembatas jalan beraspal, tercakar ranting-ranting lodgepole pine saat menyeret sneaker-nya dalam selimut salju. “My time’s faster! I won the ghost battle, Mr. Champion!” serunya menengadah, batang-batang di kepalanya menciut ke langit gelap ketika ia menjelajah tirai pepohonan Sierran redwood raksasa yang selalu ia jumpai bertahun-tahun ini—tingginya tak kalah dari menara
2 ▪ Angel G. dua puluh lantai dan lebarnya setara ruang duduk berdiameter enam meter—membuatnya merasa seperti liliput yang terjebak di antara kaki-kaki makhluk dongeng penjembatan hutan dan kerajaan langit malam. “If only I get my own car, someday we can play that cat and mouse thing for this touge race, ya know?” “Ya!” Billy termakan tirai pepohonan, “And you’ll be the mouse, knocked out! Sudden death!” Gelak pecah Sean melukis asap di tengah bekunya malam yang mengeraskan pipi. Debur langkahnya mengarungi lautan salju berhenti saat menemukan Billy di tempat biasa, di depan tebing pengitar cekungan danau Lapiz Lazuli yang mengapungkan bongkah-bongkah es. “Here we go,” kata Billy, “My evergreen thing.” Sean tersenyum, menutup ritsleting bubble jacket gembungnya sampai ke dagu. Dinginnya cahaya lampu-lampu kuning tikungan membingkai seberang tebing dan jatuh seperti leret garis pudar di sebatang Sierran redwood yang mengelupas dan berumur puluhan tahun, kulit robeknya menusuk kepala cepak Sean saat menyandari si raksasa setinggi apartemen yang lingkar batangnya bisa disandari empat puluh orang dewasa itu—pohon yang tak pernah menggundul bahkan di musim salju dan melukis bercak purnama yang mengintip dedaunan ketika ia menengadah malam ini. “My evergreen too.” “And you know what, Sean? Someday you’re gonna miss this place.” “Ya know what, Billy?” cengirnya nakal, “Someday! I’m gonna beat. You. On the street!” “Not only the street, but a real circuit. You’re a great racer, Sean Walker.” “Nah, stop it! Hari ini aku memang pertama kalinya berhasil mengalahkan catatan waktumu. But I’m nothin’ like ya!” “That’s humble. I like it.” “No, Man! I mean, I’m better.” “You what?” tawa Billy pecah, “Shit!” Sean ikut tertawa. Selalu begitu. Tiada hari tanpa gelak dengan manusia aneh satu itu. Tapi hanya Sean, hanya Sean yang tahu kalau
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 3 Billy punya kisah layaknya melodrama di belakang layar. Tersembunyi di balik tirai merah teater extravaganza dunia. Tanpa penonton, tanpa dialog, tanpa nada. Saat Sean menyelami tatapan matanya, kornea Billy yang merah akibat kelelahan mengemudi bercampur kurang tidur tetap menyimpan bangga dan harapan besar. Sean selalu mencandu obat penenang dari sepasang mata abu itu, mata yang selalu berkilat di setiap podium penerimaan piala, tatapan yang mengejek atau justru memuji setiap melatihnya berkendara. Sepasang mata abu yang selalu bersinar seperti lagu pengantar tidur, selalu membuatnya merasa bahwa semua akan baik-baik saja. “I used to be a loser,” bau asap menyeruak saat Billy mengisap rokok yang menyalakan titik api dalam gelap, “Merasa sendirian dan tak tahu semua ini akan ke mana, seolah ingin berhenti saja ketika semua mencoba menembus kepalaku seperti halusinasi mengerikan. But whatever happen, keep telling yourself you’re almost there. Wake up, and fight. When you’re afraid, just walk! No fight will end, unless you’re the one who say give up first.” Semilir angin membekukan tengkuk Sean yang bersisik oleh es, Billy di sampingnya menerawang jauh, menyipit dengan asap rokok mengepul di depan wajahnya. “Seperti pohon-pohon raksasa di tempat ini,” Sean menyambar bungkus rokok Billy dan menyalakan sebatang, menatap bersit-bersit jeffrey pine dan hutan juniper yang melongok selimut salju di seberang danau, “Evergreen. Hijau sepanjang masa, tidak peduli musim apapun yang datang dan berganti,” lesung pipitnya mengembang bersama sebatang rokok yang berayun-ayun di gigi taringnya, “That’s what you always teach me.”
Lima Tahun Kemudian...
7
Chapter 1
Three Different Sides
Decit roda dan derum mesin 6.500 cc memecah kesunyian malam, membuyarkan gemerisik dedaunan dan hutan yang terlelap. Sebuah Lamborghini Murcielago LP 640 Versace hitam melesat seperti kelelawar berlampu, meluncur mengilap dengan graffiti tag merah api di kanan-kiri badannya. Sorot cahaya lampu tingginya memelototi tikungan-tikungan tajam dan turunan terjal, membelah dataran tinggi Blue Tourmaline Highway dengan raungan mesin dua belas silinder dan knalpot menggerung gagah. “One more time ya turn your steering wheel like that, ya ain’t tryna tell noone I’m the one who teach ya,” Sean menjepret sabuk kedua bahunya dengan gaya mencemoohnya yang khas–terkekeh miring menggigit rokok yang berayun-ayun di gigi taringnya, “It’s been two years, come on!” Blue Tourmaline Highway—jalan sempit di pertengahan jalur pendakian Moonstone Mountain yang bila dilewati dua mobil hanya akan menyisakan sedikit ruang untuk manuver, meliuk-liuk seperti naga hingga ke tebing Jacinth. Pinggiran jalan beraspalnya terbentang bak surga bagi pepohonan Sierran redwood—si pohon raksasa terbesar di dunia yang hijau sepanjang masa dan secara dramatis tampak seperti penghuni dari planet lain. Berdiameter setara mulut garasi yang bisa dimasuki empat mobil dan menjulang delapan puluh meter atau setara menara berlantai dua puluh. Inilah hutan penuh adrenalin di barat Larimar yang selalu jadi rumah kedua Sean setelah sirkuit, tantangan terbaiknya adalah tikungan-tikungan
8 ▪ Angel G. membunuhnya dan salah satu sisi jalannya yang berbatasan dengan jurang maut terjal pembingkai cekungan danau Lapiz Lazuli. “Baiklah, Tuan Walker. Kuakui kau yang terhebat dalam urusan ini. Oke! Ini harusnya tidak terlalu susah!” Rachel menginjak kopling, meraih perseneling dan menekan pedal gas. Spidometer menyala terang di angka 150 km/jam. “Lakukan lagi!” Sean menangkap tikungan tajam di balik kaca, “If you pass this one, you pass my test tonight.” “Here’s the magical turn!” Rachel mencengkeram kemudi, kulit pembungkus setir mengilap oleh keringat kepal tangannya. Kecepatan mobil melambat. “Play that, show the road who’s his momma!” Sean bolak-balik mengamati RPM dan spidometer, “Menyatu dengan liukan, rasakan belokan sialan itu, rasakan!” Sean melongok ke kolong kemudi, memperhatikan gerakan kaki Rachel. Decit tinggi memekik ketika mobil meliuk, dibarengi asap ban dan bau karet terbakar. “Lemme see!” katanya balik mengamati spidometer, “Nice!” angguknya, mendaratkan puntung rokoknya ke asbak kristal mobil, “Nggak siasia kau selalu ikut-ikutan aku selama ini.” Rachel tersenyum. Sound system berdentum-dentum memutar irama hip-hop ketika Sean mengencangkan video rapper membakar uang di tengah dasbor. “Hey, Sean. You think someday I’m gonna beat you on the street?” “Not only the street, but a real circuit.” “I’m not crazy enough to be a racer like you, Sir. It’s just amazing, I swear! But also, this thing is so wrong!” Sean hanya menurunkan kaca jendelanya saat Rachel tergelak. Malam ini, ia lagi-lagi menangkap ekspresi ambigu pada bagaimana sahabatnya itu tertawa, selalu remang-remang antara kesan meremeh kan atau senang yang ditutupi-tutupi karena gengsi. “Ya know what? Hal yang terlihat salah terkadang justru adalah hal paling benar,” Sean merapatkan sepasang anting ganja berlian penindik cuping kepala cepaknya, “Beberapa bulan lagi ada recruitment untuk pembalap trainee timku. Tertarik?” “Yang benar saja kau! Ajak Belle saja sana!”
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 9 “Ide bagus. Nenek-nenek bisa berkendara lebih baik dari dia.” Sekali lagi Rachel tergelak, mengiringi mobil melesat mengikuti garis pembatas beton. Danau Lapiz Lazuli di bawah tebing tak menampakkan warna birunya, terselubung hitam dan hanya duduk anggun dalam tenang, menonton mereka tertawa-tawa berisik hing ga akhirnya ban berdecit memekakkan di bahu kanan jalan. “Here we go, Sir,” Rachel turun saat spion Lamborghini berhenti sejengkal dari pembatas beton jalur beraspal. Pintu scissor-nya berpu tar, membuka ke atas. “Arrived safe and sound at your favorite transit stop,” katanya melompati pagar pembatas beton, menerobos belukar lodgepole pine yang batangnya memelintir macam dipuntir. “Just love it how to feel so small. Selalu menyadarkanku, bahwa kalau pun kita benar-benar sekecil debu di tengah angkasa, kehidupan masih menganugerahkan sesuatu untuk membuatmu tetap ada di sini, hingga saat ini,” Sean ikut turun, melompati pagar beton dan berkeresak mengarungi dedaunan kering dan ranting-ranting patah, melewati kawanan Sierran redwood yang tingginya lebih dari empat puluh kali badannya. “Just like us. Sejak bertahun-tahun lalu, aku dan sahabatku juga sering balapan sampai Blue Tourmaline atas. We always dropped by here. Smoked some cigars, chit chat and beer, talkin some shit to laugh about, ya know, that kinda things.” “Sahabatmu?” pimpin Rachel dalam gelap, “Yang pergi ke Italia itu?” “Ya.” “Why you guys so in love with this race?” Mendadak tersenyum, Sean berhenti di depan tebing, spontan meletakkan kepala di batang mengelupas Sierran redwood, merasa dirinya macam kurcaci menyandari raksasa gendut alam gaib dan kembali menemukan badannya mematung di antara pohon-pohon raksasa selebar petak kamar, mendengar bisik dedaunan hijau menari-nari berpuluh meter di atas kepalanya. Aroma daun busuk di hutan kayu raksasa itu menjepit tengkoraknya, cekungan danau licin tanpa riak di depannya seolah bergetar misterius dan membuatnya deja vu. “He wanted me to win, that’s it.”
10 ▪ Angel G. “Don’t you ever worry,” Rachel menjuntaikan kakinya di tebing. Danau Lapiz Lazuli menganga jauh di bawahnya, berkilau oleh titiktitik bintang. “Taruhan, kau pasti mengangkat piala lagi di National Grand Touring Tournament tahun ini. Kapan sih, Sean Walker pernah kalah?” “Loving somethin’ purely is much more than a trophy.” “Ya?” “Real champions ain’t only win a race, Rachel. They win a real life.” “Benar kata Belle. Kau seharusnya duduk di kelas filsafat.” “Still got a long night, Lady,” katanya tak merespon, “Kita lihat Nathan?” “Heh?” Rachel berjengit, “Bacchus Throne Club?” “Melihat hidup dari perspektif berbeda, selalu bagus. Dia spinning jam setengah tiga. Masih ada waktu,” Sean membungkuk, memasukkan celana besarnya ke lidah sneaker bengkak yang bermulut tinggi di atas mata kaki, “I’m drivin’!” Mereka kembali menerobos surga pepohonan raksasa. Sean menyibakkan ranting lodgepole pine di batas terluar, meloncati beton pembatas jalan beraspal dan kembali ke mobil. Mencengkeram kemudi dan kembali menderu selekas angin malam. Ketika walkie talkie di dasbor berkeresak. “Sean, this is Derrick! Sean, this is Derrick!” suara di ujung sambungan, “Aku di bawah. Mereka sudah menutup jalan di kilometer 5 Blue Tourmaline. Sudah melewatimu, beberapa kilometer di depan. No popo, promise. All clear now.” “Dammit. I’m a pro racer now, Man,” sebelah tangan Sean menjawab walkie talkie, tak urung menaikkan laju mobil, “What they got?” “Better than money. They’re all gold.” “Gold?” “Ya, emas dalam arti sesungguhnya. Dan mungkin, emas dalam arti, mereka bisa jadi kandidat kita.” “Sean!” Rachel menuding tiga mobil yang melaju beriringan di depan mereka—mengedip-ngedipkan lampu hazard—sinyal khas di arena street race, “Lampu itu, berarti?” Mobil paling belakang sedikit melambat, dari kaca kanannya
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 11 terjulur sepenggal lengan memegang balok emas. “Gold! I’m right behind ’em D!” Sean melempar walkie talkienya ke pangkuan Rachel, “This punkass chose a wrong man,” katanya nyengir, menembakkan lampu tinggi dan meningkatkan laju mobil. Moncongnya nyaris menabrak mobil di depannya, “Lemme school ya somethin’ ’bout cat and mouse, dickhead.” Sean menurunkan kaca jendela, mengacungkan jari tengahnya ke luar. Musik ikut berdentum saat knalpot menggerung galak. Perseneling naik. Dan mereka melesat seperti kilat. Another touge for tonight.
Nathan yang berkalung headphone berdiri di belakang sepasang turntable-nya, merasa kupingnya berdentum-dentum ditebas monitor speaker yang kekencangan malam ini. Percik-percik cahaya laser berbentuk hujan jarum hingga polkadot merah berulang kali meng hinggapi kepalanya. Sebelah bahunya menjepit corong headphone ke telinga sementara tangannya terbagi dua, yang kanan memutar-mutar piringan hitam timecoded Serato vinyl di bawah jarum turntable, yang kiri menggeser maju mundur tuas crossfader di mixer. Matanya tak meng acuhkan layar laptop yang memainkan Serato dengan absolute mode. Sementara di lantai dansa setinggi dada di hadapan DJ booth-nya, gadis-gadis berpakaian mini berdiri rapat-rapat beralas sepatu tumit tinggi, menggoyang-goyangkan badan seperti ular sensual sambil mengangkat gelas minuman. “Ada minuman untukmu, Sir.” Seorang bertender berkemeja putih meletakkan gelas berleher tinggi di samping turntable-nya, minuman berwarna cokelat keemasan di dalamnya berkilauan tersorot LED putih pembingkai meja. “Dari wanita cantik itu,” tunjuknya ke meja bar. Seorang gadis dengan tube dress berkesan kurang bahan duduk melipat kaki di kursi stool, menyeruakkan gumpal paha berisi dan tersenyum menggoda mengibaskan rambut ikal panjangnya, tampak sengaja menunduk tak wajar demi menumpahkan sepasang gunung bulat di dadanya,
12 ▪ Angel G. jelas sekali dada palsu suntikan silikon. “Bilang padanya, terima kasih minumannya,” senyum Nathan pada gadis itu. “Hanya itu?” “Ya, lalu apa lagi?” katanya menggeser pitch slider. Memutar mundur Serato vinyl di turntable kiri dan membiarkannya berputar bebas sebelum menjatuhkan jarumnya. “I’m here to beat match, to spin. Not to bang a slut.” Bertender spontan pergi membengkokkan bibir, berceletuk, “Wow, is he a gay,” dan menghilang di pintu backstage. Ketika Nathan menggeser crossfader ke kiri, lagu berganti dan pintu terbuka lagi. “Nice mixing, DJ Evan!” Sean yang muncul. Kakinya menari crip walk mengikuti musik, rahang kencangnya menggigit rokok dalam suasana club jadi terlihat dua kali lebih nakal. “Hot damn! This is view. These ladies got ass. Bomb!” dongaknya tengil pada kaki jenjang gadis-gadis yang menari di depannya, salah satu yang pirang mabuk berat hingga menungging-nungging, memompamompa pinggul seperti di film biru. “Shake! Shake it like a salt shaker.” “Well, single rich man! Tell them you have a Lamborghini and a penthouse, and they’re all yours, trust me.” “Whoa! That is harsh, Dude.” “Awas saja kalau ada yang mabuk dan rubuh ke DJ booth-ku,” geleng Nathan ketus, mengganti piringan Serato vinyl di turntable kanannya dengan regular vinyl record. “Let me guess. From Blue Tourmaline again? You walk everywhere huh, Mr. Walker? Sirkuit, kampus, dan sekarang sudah di sini lagi. Rachel bisa masuk tanpa sepatu tumit tinggi?” tatapnya pada DJ mixer di tengah turntable, memutar switch kanan atas ke pilihan phono. “Dua alasan kami bisa masuk. Satu, mereka pasti pernah melihatku di Sport TV, dan dua, aku membayar tiga kali lipat dan memesan banyak minuman paling mahal.” “Kau satu-satunya pembalap nasional yang merokok, dan sekarang, kau memesan minum?” “Racing ain’t just a sport. It’s having fun. And...” Sean tersenyum
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 13 miring dengan rokok di gigi taringnya, “Ya dare me to drink?” Gadis pirang mabuk di atas mereka mereka tiba-tiba membungkuk rendah pada Nathan. “I’m Alexa, Mr. DJ,” desahnya ngilu, “I’ll give you for free. Also for your handsome friend,” kedipnya pada Sean, “Love that dimple and jaw, so hot as fuck! You burn me.” “What the!” Sean spontan terbahak, “Sorry, I’m married.” “Hey,” Nathan berkelit dari elusan tangan si gadis, “Excuse me, Miss. You’re damn drunk.” “Omong-omong tentang mabuk, minumanku kukasih temanteman pemabukmu,” potong Sean, “Aku bisa ditendang dari tim kalau kadar alkoholku naik di masa pra-turnamen.” “Dan kau tinggalkan Rachel dengan mereka. Bagus.” Sean membuang puntung rokoknya ke lantai, “Oh, no.” “Always an idiot Sean,” geleng Nathan saat Sean lenyap. MC mengoarkan rap heboh di microphone ketika ia mengangkat piringan hitam Serato vinyl di turntable kiri, menggantinya juga dengan regular vinyl record, memutar switch kiri mixer dari pilihan line ke phono. Kedua tangannya lantas bermain lincah ke sana kemari, bolakbalik mengocok piringan hitam di sepasang turntable, menggeser maju mundur tuas crossfader di mixer tengah dengan gerakan cepat seolah menggaruk-garuk. Mengangguk-angguk mengikuti repetan MC, memperagakan beat juggling panjang dengan scratch-scratch rumit. Kepadatan lantai dansa berseru riuh mengangkat gelas ke udara. Nathan menutupnya dengan melempar senyum, meletakkan headphone-nya. “You’ve got a lot of fans tonight, Nathan,” seorang DJ lain nyengir menyebelahinya, “Absolute mode, nyaris tak melihat grafik suara, tak peduli di sampingmu sudah ada Serato. Moreover, that beat juggling, and that regular vinyl record. Wow, amazing closing. That is cool.” “I started four years ago just with turntables,” Nathan tertawa, “No Serato, no Traktor.” “You’re really a vinyl junkie.” “Not really. Turntablist bisa membunuhku kalau kau bilang begitu. Aku cuma punya dua lusin vinyl record. Mau bagaimana lagi, mana
14 ▪ Angel G. aku mampu membeli piringan hitam mahal itu?” cengirnya ramah, “Itulah nasib DJ serabutan, jadwal main tidak jelas dan bayarannya hanya seperlima bayaranmu.” “Many kids call themselves a DJ while they can’t even scratch,” gelak pria itu, “Sementara kau? I mean, you’re a great one.” Seketika rasa sesak membisukan Nathan, tak mampu apapun kecuali tersenyum balik, “Ada complimentary drink-ku di meja backstage, kasih saja buat anak-anak. Aku malas minum malam ini.” “Goin' home? No getting crunk tonight? Maybe join us, some p-dogs things after the party... You know, cocoa puff, blow that smoke...” “Nah. Thanks, Man,” katanya tertawa kecil, ber-pound hug dan masuk ke backstage. Ruang melorong penuh pengisi acara berpakaian ala superstar lagi-lagi membuatnya minder saat mendorong pintu di sudut ruangan. Keluar ke lantai dansa. Suasana club malam ini tak berbeda dari biasanya, seperti lautan manusia mandi laser beraroma panasnya gairah sex. Terselimut kabut fogmaker bau vanili campur asap rokok. Nathan harus menyempilnyempil dan bergesekan lengket dengan badan-badan berkeringat yang menari heboh, para pria yang meremas-remas bokong pasangan wanitanya saat berdansa, sofa-sofa penuh orang meracau yang tersungkur mabuk, hingga sepasang lesbian yang melakukan french kiss. Menyeruak susah payah mencari Sean. Ketika tatapannya menumbuk sesuatu. Gadis yang barusan mabuk di depan DJ booth-nya terkapar di sofa sudut, telentang menekuk lutut hingga rok pendeknya tersingkap tinggi dan kakinya macam telanjang, terkangkang mengapit seorang pria yang menimpanya. Beberapa pria lain merubung, menggerayangi dadanya hingga menyelusup ke balik gaun merosot yang menum pahkan putingnya. Minuman beralkohol tumpah-tumpah meluntur kan bedak pipinya seperti liur bocah ketika mereka mencekokinya. “Ya ampun,” Nathan memaki berang, menembus kerumunan yang berdentum dalam irama hip-hop bak meriam. “Back the fuck up, Man!” katanya menyibakkan bahu mereka, “She’s my girlfriend!” “What? You’re dating a bitch?” salah satu dari mereka mengisap
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 15 bibir gadis itu dan tertawa, “Kami membayar harga sama untuk setiap orangnya. Four man, one slut. Is that kinky enough? Wanna share her sugar ass? We’ve got a gangbang invitation. Please.” Lengan Nathan kontan macam keram, bertahan tidak meninju saat mereka berceloteh melecehkan dan memboyong si gadis. “Hei Nathan!” Sean berseru mengalahkan suara musik di balik punggungnya, “Ya ain’t have a girlfriend, Man!” “Setiap aku melihat gadis seperti dia, aku melihat adikku, Michelle!” Nathan mengejang, “Kau ngerti?” “Tapi ada yang lebih penting! Rachel mabuk! Dia jadi bercandaan George dan teman-temanmu!” “Heh?” “Sekarang biar kuantar pulang! Sebelum ada wartawan datang dan berkoar aneh-aneh membawa-bawa namaku!” “Kau, Nate!” lengan Rachel menggelayut di bahu kanan Sean. Ketika kepalanya mengintip naik, Nathan melihat matanya sudah berubah setipis garis. “Seperti yang kubilang dari dulu! Duniamu... memang tidak beres!” “Jadi aku yang salah?” jengitnya. Rachel keburu rubuh. Sean yang menangkapnya tertawa-tawa sampai berguncang-guncang, “Untung tewas duluan. Daripada kalian bertengkar lagi.” “Don’t ever bring her here again, Sean. All she knows is just architecture.”
Subuh merangkak pagi dan akhirnya siang. Sebuah mobil box berjalan dengan ketak-ketok gembok besar nya yang berayun-ayun memukul pintu bak yang sarat muatan saat membelah Spring Land, melewati tiang bertulis Wayne Drive dan berhenti di rumah bernomor 13. “Hannah! Bukakan pintunya!” Rachel berseru dari tempat tidurnya dengan kepala terbungkus bed cover ketika bel rumah memekik. “God! Hannah! Oke, kau menang!” katanya membuka pintu
16 ▪ Angel G. kamar, tersandung membentur dinding saking mengantuknya. “Pasti. Green Amazonite University. Kenapa kau selalu mengganggu hidupku?” Tercium aroma kue mentega lezat ketika Rachel berjalan. Tirai pastel ruang duduk sudah disibakkan dan meneroboskan cahaya silau yang jatuh memerciki lantai parket licin. Musim panas kota Larimar—kota lembah bayangan hujan di timur Moonstone Mountain ini sangat langka mendapat curahan air dan selalu kering di tengkuknya—sekalipun tidak pernah terlalu panas akibat efek Samudera Pasifik di beberapa ratus kilometer ke barat. “Ada apa...” katanya terpejam menguakkan pintu rumah, tak peduli rambut pirang semrawutnya, “Ya ampun...” Rasanya ingin mencabut tiang kotak pos dan melemparnya. Di depan pintu sudah tidak ada siapa-siapa. Mobil box itu sudah berputar seratus delapan puluh derajat dan berlalu. Meninggalkan sebuah bingkisan di samping kakinya. “Another same surprise, for every year, so cute,” pungutnya mengangkat ujung bibir. “Hannah! Sudah ada telepon dari Dad?” tanyanya melewati ruang tengah, memandang bercak putih di sofa bekas muntahnya kemarin, “Dan jangan lupa panggil tukang laundry! Dad’s gonna kill me if he know I was drunk!” Rachel melirik bingkisannya sesampainya di perapian. Terbungkus plastik transparan mengilap. Ujung terikatnya menyerupai kantung Santa Claus dengan pita hijau bertulis Green Amazonite University. Isinya cuma buku desain arsitektur macam landscape design dan urban design yang saking tebalnya bisa dipakai melempar anjing chihuahua hingga mati, buku-buku falsafah dan antropologi arsitektur, serta beberapa buku lain yang isinya lebih banyak gambar daripada tulisan. Sebuah kartu ucapan tertempel miring di plastiknya.
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 17 —Green Amazonite University— Kepada: Rachel Cordelia Scott, Seluruh tim pengajar mengucapkan selamat atas terpilihnya Anda sebagai salah satu mahasiswi terbaik di Departemen Arsitektur semester ini. Tuhan memberkati, semoga semakin sukses di semester berikutnya! -President of Green Amazonite University, Professor Albert Wilson“Buku-buku penuh istilah arsitektur dari zaman modern Le Corbuzier sampai kontemporernya O. Gehry. Even for summer,” katanya menelantarkan bingkisannya, menghampiri laptopnya ketika sebuah sambungan video call masuk. “Kau meneleponku tadi?” sapanya pada layar, “Aku belum bangun. Kapan kalian pulang?” Di balik lensa webcam, seorang pria lima puluh tahunan berjas abu-abu sibuk merapikan ikatan dasinya. Bradley Scott, ayah Rachel sekaligus salah satu pengusaha real estate paling ternama di negara bagian, menatap menyeringai ke setumpuk kertas seukuran spanduk di meja pertemuan. Sebuah proyek hotel di tepi pantai Karibia membuatnya sibuk menyeleksi konsep desain belasan arsitek. “Aku akan pulang secepat mungkin ketika kudapatkan arsitek yang tepat,” katanya. “Bagaimana kuliahmu? Kau masih yang terbaik tahun ini, kan? Kakekmu tidak pernah berhenti membicarakanmu pada teman-teman lanjut usianya.” “Ya, mereka baru saja mengirimkan paket yang sama. Membosankan!” “Tinggal satu tahun terakhir. Kau nanti bisa jadi arsitek untuk perusahaanku sendiri. Arsitek-arsitek di sini payah, semuanya menawarkan konsep itu-itu lagi. Butuh sesuatu yang baru.” “Bagaimana kalau aku tidak menjadi arsitek dan malah menjadi musisi seperti mimpi Nathan?” cengir Rachel memandang rambut licin Bradley yang selalu disisir ke belakang, “Sepertinya asyik, menjadi musisi seperti itu, tidak perlu segitu hebohnya mengutakatik garis yang membuat cacat mata bisa naik dua tingkat dalam
18 ▪ Angel G. hitungan minggu.” Bradley tertawa, “Kau yang terbaik, Nak! Anak tunggalku yang selalu terobsesi menjadi superhero sejak masa kecilnya. And that’s what you are. I’m so proud of you,” katanya melirik arlojinya, “Aku harus rapat. Selamat bermusim panas!” “Take care, Dad! Salam untuk Mom.” Sambungan video call terputus. Rachel baru hendak menutup layar laptop ketika sadar webcam tak sengaja masih membidiknya, menyorot mata biru dan rambut pirang lurusnya yang tak terasa sudah kembali menyentuh pinggang. Tetap sama dari tahun ke tahun—berpotongan rata, tanpa tingkat, tanpa poni. Sama monotonnya dengan pemandangan yang ia lihat saat berdiri mengangkat gelas limun di teras rumah siang ini—angin kering, langit trosposfer yang berpendar oleh mentari menyengat, atau gumpal-gumpal awan cumulus mirip cula badak. Lenyapnya tanaman musim semi dan bergerumbulnya semak bunga heather yang dipangkas mirip kembang gula wana-warni lezat di pinggir trotoar. Teriakan anak-anak kecil bersepeda santai, gerombolan remaja berjalan dengan seekor anjing rotweiller sambil melempar frisbee, dan truk tukang pizza keliling yang berjualan tiap siang. Pemandangan ini-ini lagi. Musim panas yang sama setiap tahunnya. “All the same old days.” Terdengar derum galak. Sebuah Lamborghini melaju mulus di persimpangan Wayne Drive. Cat hitamnya bermandi matahari, mempertontonkan graffiti tag merah api di kanan kiri badannya—graffiti desain Sean sendiri. “What up, Girl?” Sean menyapa ketika Rachel menghampiri. “How’s the hangover?” katanya melompat turun dari mobil. Kaus oversize tak berlengannya berkibar bersama celana baggy gedombrangan yang tertelan sneaker bengkak di atas mata kaki. Mata cokelat teduhnya yang terisap jauh ke dalam tulang alis berkedip tengil, bersamaan dengan lesung pipit yang selalu membentuk garis di antara tulang pipi dan rahang kencangnya sesedikit apapun ia berbicara.
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 19 “Aku yang terlalu cepat, atau,” cengirnya miring menggarukgaruk kepala cepak buzzcut tentaranya, anting daun ganja berlian di sepasang telinganya berkilat-kilat, “Atau mungkin, mereka yang agak sedikit lambat.” ia menuding sedan berwarna blue baby yang menghampiri. Dentum loudspeaker seketika menjalari jalan. “Tuan putri Scott yang pintar!” Belle McGill di belakang kemudi menurunkan kaca jendela, menghentikan mobilnya, “Kampus sudah mengirimkanmu bingkisan? Aku sampai hafal siapa yang harus kutulis di buletin kampus untuk profil mahasiswa-mahasiswa terbaik setiap semester. Kau jadi dosen privat Nathan saja, sana! Si DJ ini membuatku tuli.” turun menggosok-gosok telinga, ia menarik rok mini ketatnya dan merapikan jumbai blouse longgar yang menyembulkan belahan dadanya. Kibasan rambut bergelombang jatuh di punggungnya saat tumit tinggi sepasang betis mulusnya berketak-ketok. “Rachel,” jemari Nathan menyisiri poni ikal Julius Caesar-nya, turun bergemerincing dari mobil Belle dengan dog tag tentara yang mengalungi lehernya ke mana pun, “Kau dengar musik di mobil ini, kan?” “Bahkan tukang pizza keliling di persimpangan kompleks saja pasti bisa mendengarnya.” Rachel memaksakan tawanya. “Beat garapanku yang kesekian kalinya.” “Jadi, setelah menjadi DJ kapiran selama beberapa tahun, ini yang berikutnya akan kau lakukan?” geleng Rachel, “Diam di depan laptopmu berjam-jam untuk membuka YouTube atau panduan gratis online, belajar mengoperasikan Fruity Loop, Sonic Producer, Dub Turbo, Nuendo atau apapun itu?” “Rachel...” Sean menggumam tak jelas. “Bahkan,” Rachel tak mau diam, “Pernah sekali, hingga begadang seharian dan akhirnya terlambat bangun dan melewatkan ujian.” “Rachel—” gumam Sean lagi. “Luas rumah si miskin ini,” kelit Nathan, “Mungkin cuma sepersepuluh penthouse Sean. Tapi sekarang, dengan sepasang turntable, aku bisa membeli mixer, laptop, Serato, dan synthesizer sendiri, kan? Dan apa kau tahu, George akan memakai beat-ku untuk
20 ▪ Angel G. single terbarunya.” “You got my respect, Gentleman,” Sean mengompori. “Ini sepuluh kalinya kau mengulang cerita yang sama,” Rachel berjengit, “Sean! Kau seharusnya tidak pernah menghadiahkannya sepasang turntable dan DJ mixer, empat tahun lalu.” “Guys!” Belle meninggikan leher jenjangnya, “Jangan mulai!” “Hell! I don’t give a damn!” Sean mengangkat kedua lengannya ke udara, menurunkannya lagi mengusap-usap perut datarnya, “I’m hungry!” “Can you just think about anything but food and video games, Mr. Racer?” omel Rachel lagi. “Village Fresca, anyone?” Sean tak menggubris, memainkan kunci mobilnya di udara. “And Rachel,” Belle berdiri menggengam cermin, menepuknepuk pipinya dengan puf bedak, “It’s good if you have a free time. You might wanna hit the saloon soon. Rambut sepinggangmu sudah seperti gadis desa! Tanpa poni, tanpa tingkat, panjang, lurus, dan rata.” “If something already look good,” sambar Rachel, “Why should we bother changing it?” “Jesus Christ, Rachel!” Sean melompat balik ke mobilnya, “If I say I’m hungry, then I’m hungry.”
21
Chapter 2
Richie Rich
“I hate dust. No dust in my car, please.” Jok mirip mangkuk bersayap itu mengunci Sean yang melajukan mobilnya di sisi kanan jalan beraspal, tangannya berkali-kali mengusap kulit hitam-putih pembungkus jok dan motif greek key timbul di langit-langit hitam mobil—motif garis menekuk-nekuk membentuk labirin kotak-kotak, interior kulit khas Murcielago LP 640 Versace. “This two tone Gianni Versace leather needs a lil’ cleansing soon.” “Tapi tetap saja,” dengus Rachel di sampingnya, “Limited edition dengan desain interior kulit Versace yang cuma ada beberapa unit di seluruh dunia.” “And tell me ya ain’t forget that superfly graffiti, Girl. Desainku sendiri. My own thang, one and only, all over the world.” Sean menurunkan gigi enam mobil ke gigi lima, membelah Tockhill Scenic Parkway—hutan wisata sekaligus kawasan budidaya pertanian di barat kota Larimar, sebuah kaki bukit pembatas kota dan Blue Tourmaline Highway sekaligus gerbang sejuk yang memulai jalur pendakian Moonstone Mountain. “Semenjak pertama kalinya berkendara denganmu,” kata Rachel, “Setiap rambu dan setiap liukan. Kencangnya track lurus Tockhill, tikungan-tikungan mematikan Blue Tourmaline, sampai akhirnya tebing Jacinth. Hampir tidak ada yang berubah.” “Yeah, seperti kau yang selalu jadi mahasiswa terbaik, nggak pernah berubah seperti rambut ratamu. Tapi seenggaknya, kau
22 ▪ Angel G. berubah juga—sedikit. Kemampuan mengemudi cepatmu sekarang, yeah... fair enough.” “Still, all the same old days.” “A new day never starts with a morning sunshine, Miss. A new day comes when you finally wake up knowing what you really want, and really do it.” Sean menurunkan jendelanya. Tockhill. Tempat ini sekarang sudah berbeda. Di sisi jalan, batang-batang oranye pacific madrone mengelupas seperti ular berganti kulit, memperlihatkan warna hijau keperakan bak satin di balik kulit oranye sobek-sobeknya. Bigleaf maple juga beratraksi dengan daun jemari belang-belang khas musim panas, sebagian melambai dengan warna hijau, sebagian lagi kuning terang seperti jeruk nipis, menemani hamparan semak huckleberry yang merundukkan buah ungu pekat, bulat ranum siap dipanen. Kalau Rachel bilang semua tetap sama, Sean malah merasa semuanya tak akan lagi pernah sama. Bertahun-tahun lalu, Tockhill lebih mirip belantara dibanding lahan budidaya, hanya saja, jiwa dan memorinya tetap seperti dulu, selalu berhasil membuatnya menarik napas teriris bak duri tajam menyangkut di tenggorokannya. “Ya see that, Rachel?” Sean mencoba menepis nuansa melankolis yang tiba-tiba menyerbunya, menuding mobil-mobil dari arah berlawanan yang mengangakan jendela menelan udara sejuk perbukitan. “Coba kalau aku pelan sedikit saja,” cengirnya miring, “Orang-orang di mobil itu pasti mulai melongokkan kepala dan berteriak ‘Sean Walker - Sean Walker!’, God damn it. Gonn’ be good idea, move my ass to Hollywood instead.” “But ya, you’re handsome enough for it.” “Ain’t no need to mention it, Lady. Everyone say that too.” Rachel tertawa, “Jadi, sepulang dari sini, kita teruskan ke Blue Tourmaline?” “Da fuck?” Sean yang sekarang tertawa, “You’re the one who always I’m nuts and this shitty race is ass crack, Miss.” “Come on, Sean. Architecture’s temporarily off. This is summer.” “Nothin’ more boring than architecture, huh? Playlist Ipod-mu bisa memainkan seribu lagu sehari ketika kau bekerja, sampai tidak sadar
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 23 kalau kau melewati pagi hingga hari tanpa cahaya, dan dunia yang kau lihat hanyalah garis!” tawa Sean meledak makin keras, “Aku harus latihan cardio, sudah mulai masa pra turnamen sekarang.” Roda ber-velg emas Lamborghini-nya membelok ke pelataran berpapan Village Fresca. “Derrick sedang di sini?” tanyanya pada pelayan gempal yang mengantar mereka ke meja di teras luar, berlantai dek kayu dan berseberangan dengan jalan raya dan sebuah perkebunan bigleaf maple, “Aku temannya dari racing team.” “Tuan Fisher sedang menginap di Red Carnis,” pelayan itu tersenyum kikuk, “Dan apakah Anda perlu ruang V.I.P? Anda... Anda Sean Walker kan?” “Kau pelayan baru? Sejak kapan aku lebih suka duduk di ruang VIP?” Pasta dan air mineral yang jadi makan siang favorit pembalap kembali jadi pilihan Sean. Belle dan Nathan muncul beberapa puluh menit kemudian saat pelayan datang membawakan pesanan. “You guys heard ‘bout Summer Camp, yet?” Sean menghirup wangi bubuk keju di dua piring spagetinya, bubuk yang pantang ia makan seandainya sudah masuk pekan turnamen. “This year’s gonn’ be a kick. Jauh ke pantai barat di pesisir Samudera Pasifik. Kita semua ikut, kan?” “Ya benar, Sean,” kata Rachel ketus, “Kau selalu semangat urusan begitu. Tunggu saja sampai masa kuliah dan kau akan bolos sepanjang hari. Lagi.” “If you are, than you’ll see me,” senyum Nathan terkembang, “Profesor Rodman sudah menginzinkanku berbagi panggung dengan George dan anak-anak Departemen Musik.” “Hello, Mr. Evan,” Rachel memutar mata birunya, menyentak serbet makannya tak wajar, “You belong to Department of Architecture. Kami membutuhkan tanganmu dan kau ke mana saja?” “Tentang apa lagi ini?” sela Sean, “Tentang tim pembuat maket dari departemen kita, ya? Buat dipamerkan di Summer Camp nanti, kan? Kalau kalian nggak bisa menyelesaikannya, Stacey si ponytail bisa benar-benar berubah menjadi kuda,” ia memasang tampang
24 ▪ Angel G. pura-pura ngeri dengan membentuk bibirnya seperti huruf U, membuat pipi Nathan tergembung menahan tawa. “Nate!” Rachel mengacungkan garpu, “Jangan berani-beraninya tertawa di depanku. Seharusnya menjadi tim yang baik bisa memberimu kesempatan untuk bisa menambah nilai. Sekaligus... menyelamatkanmu.” “I’m with ya, Nate,” Sean tak menggubris Rachel, membubuhkan olive oil ke piring keduanya. “Kau hanya akan mengacau saja kalau ikut-ikutan membuat maket. Stacey bisa meledak. Dan setidaknya,” ia menuding Nathan sambil berpaling pada Rachel, “Nathan bisa menggambar orang dengan benar, Rachel. Sementara aku? Selalu menjiplak gambar manusia bila tidak mau bentuknya seperti orang kelainan tulang,” tangan kirinya menengadah pada Nathan, disambut Nathan yang menepuknya dari atas. “Nathan, sudah tahu ini semester terakhir masa percobaanmu,” Rachel merobek tenderloin-nya, “Tapi masih juga sibuk ke sana kemari.” “Aku tidak ke sana kemari. Aku melakukan sesuatu,” Nathan mengangkat mata kalung dog tag-nya, mengusap-usap persegi panjang logamnya dengan telunjuk, “This is for her.” “All right, whatever,” Belle menaikkan alis, menyeruput lime squashnya. “Whatever too,” kata Sean tak ambil pusing, sudah biasa dengan Rachel yang selalu mengomentari apapun seolah hidupnya paling benar. Menurutnya, gadis itu kalau berbicara mirip dosen yang gelarnya melebihi profesor, menganggap dia paling tahu dari semua orang seolah tindakan hidupnya bereferensi paling lengkap macam perpustakaan nasional. Karenanya Sean diam saja, malas berbicara. Kembali menyuap spagetinya saat Rachel berceletuk lagi. “Tuh, Sean, paparazimu.” Sekerumunan orang menghampiri meja. Sean mengangkat kepalanya, sudah tahu ini apa. Mereka yang menghampirinya berjumlah lima belas orang, bersenjata kamera, beramunisi catatan-catatan kecil, dan tampang— yang menurut pengalaman Sean—selalu seperti mengendus tak
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 25 wajar sewajar apapun ia mencoba bertingkah—wartawan. “Hai.” “Sean,” tanya salah seorang wartawan yang memegang catatan kecil, “Bagaimana komentarmu tentang National GT Tournament tahun ini? Apa saja persiapan sejauh ini?” “Tim sudah mulai bersiap,” katanya tersenyum, melipat lengan di meja, “Agar di musim gugur semua bisa terkendali dengan baik. Aku sendiri, saat ini masih menikmati liburan musim panas kampus, walau sudah mulai berlatih sesekali.” “Lalu,” tanya yang lain, “Apa tanggapanmu tentang siapa yang akan mengangkat piala tahun ini? Apa kau bisa memastikan untuk tetap mempertahankan gelar juara nasional untuk kelima kalinya?” “Hanya mencoba melakukan yang terbaik dengan hati,” Sean tertawa kecil, “Itu saja.” “Kau tak pernah kalah sejak tahun pertamamu. Apa rahasiamu?” “Bersenang-senang. Menurutmu?” “Dan isu tentang kau masih beredar di balapan liar?” “Ada yang salah dengan itu?” “Kau masih kuliah, apa komentarmu tentang itu?” “Aku memang sering bolos, terus kenapa?” “Bagaimana kau membagi waktu?” “Kalau kau jadi aku, kau pasti tahu.” Berikutnya ada beberapa kalimat lagi yang harus ia jawab, tak peduli kakinya di bawah meja sudah berkali-kali mengetuk dan ingin kembali ke santapan di piring keduanya secepat mungkin. Ia bersyukur saat sesi wawancara ditutup dengan pesta kilatan flash yang menjepret matanya. Menghela napas lega ketika semua wartawan itu akhirnya berlalu. “Kalau aku jadi kau,” ceplos Nathan ketika semua wartawan sudah menghilang, “Aku tidak akan mau repot-repot masih duduk di bangku universitas.” “Seperti yang kau katakan. I ain’t doin’ nothin’, I’m doin’ somethin’.”
26 ▪ Angel G. Sean Walker tinggal di Gateway Boulevard, sisi kota Larimar yang tidak pernah terlelap. Sesubuh apapun, selalu ada kaki-kaki kurus gelandangan berseliweran di Larimar City Square yang terapit menara-menara pencakar langit. Berandal-berandal kota yang bertransaksi menjual kokain di gang-gang belakang gedung bertingkat yang gudang lapuknya dijadikan tempat pelacuran kelas teri, atau mereka yang mengisap ganja di mana pun tak peduli polisi hanya berjarak empat kaki dari mereka. Sementara orang-orang kaya kota minum-minum di wine bar mentereng, atau tertawa-tawa meme san mixed drink di cocktail lounge yang pelayannya bertuksedo. Jalan beraspal selebar dua belas badan mobilnya selalu tergilas jejak-jejak ban yang tak henti berlalu lalang. Mulai dari gigolo berjubah bulu macan di Alfa Romeo, hingga supir taksi kuning kelelahan yang berwajah mengilat macam kilang minyak. Sepanjang hari, sepanjang malam. Di salah satu petak jalan itu, jam kota yang selalu ambigu perihal kapan harus bangun atau kapan harus tidur, diperlihatkan oleh megahnya dinding-dinding kaca unit Downtown Apartement yang masih menyalakan lampu bahkan membuka tirai. Memamerkan para penghuninya yang masih sibuk berketak-ketik di belakang laptop, ketiduran menelungkup di tempat tidur dengan jas kerja dan kaki menggantung, hingga yang mabuk telanjang dengan perempuan bayaran seharga mobil dan pil MDMA berspesies ekstasi bertebaran di karpet. Dari semua penghuni apartemen termahal nomor satu kota yang bahkan cleaning service-nya berkemeja licin itu, hanya peng huni bernama Sean Vincenzo Walker yang memiliki elevator pribadi hingga tak perlu berpapasan dengan siapapun dari lantai ke lantai. Itu karena seluruh lantai teratas Downtown Apartement dibabat habis hanya untuk satu hunian luxury raksasa yang jadi milik dan kediamannya secara eksklusif, mencakup hingga taman atap, jacuzzi, sampai kolam renang beratap langit lepas di balik dinding kacanya. Gold Porch penthouse, lantai delapan belas Downtown Apartement. Pagi ini, di hari keberangkatan Summer Camp, kamar utamanya yang sekelas hotel berbintang untuk orang penting Hollywood
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 27 terlihat seperti teraduk-aduk macam habis diperkosa pesta pora. Lusinan DVD Video Games berhamburan di permadani putih gading tebal, menemani sofa kulit hitam yang semarak oleh remahremah french fries, kemasan-kemasan cokelat Snickers, kertas hotdog yang teremas, kardus-kardus pizza, paper bag kosong berlogo toko donat, sampai kaleng-kaleng coke ringsek. Di dinding seberang pembaringan, sebuah plasma LCD selebar meja makan menyala tak digubris, memamerkan stasiun musik yang mengudara dua puluh empat jam penuh. Sean yang bertelanjang dada terkapar mencium bantal empuk, menelungkupkan punggung penuh tato yang berakhir dengan salib bersayap di tengkuk. Air conditioner yang menyala dengan suhu rendah sepanjang malam membuat kepala cepaknya mengerut dingin. Jemarinya menggapai-gapai selimut di permadani saat telepon apartemen berdering. “Selamat pagi, Tuan Walker,” suara itu terdengar di ujung sambungan. “Mohon maaf kami hanya mengingatkan—” “Damn morning call!” Sean melempar gagang teleponnya ke dinding, mencium bau saos tomat bekas euforia junk food dan soda kemarin malam—nikmatnya kehidupan urakan yang sebentar lagi akan berakhir, berganti musim turnamen penuh diet ketat. “OK, Billionaire,” ia menggaruk-garuk kepala cepaknya masuk ke kamar mandi, menutup pintunya dengan tendangan kaki, “Selamat pagi Tuan Sean Vincenzo Walke–” “Selamat pagi, Tuan Sean Vincenzo Walker,” sebuah monitor di cermin wastafel menyapanya, voice reminder yang menyala dengan sensor otomatis begitu pintu tertutup. “Yeah right.” “Appointment Anda hari ini adalah—” “Billy’s birthday,” katanya menekan tombol off monitor, “Kau pasti sedang jalan-jalan di Italia. Itu mimpimu dari dulu.” Sean tak bisa menahan dirinya menerawang saat busa pasta gigi memenuhi mulutnya, membayangkan Billy sedang bersenangsenang. Mengingatkannya bagaimana Billy dulu bilang; Kau tampak
28 ▪ Angel G. seperti kriminal tampan tak tertib sedang menggosok gigi—setiap ia terlambat bangun hingga harus menggosok gigi sambil berlari di tempat saking gelagapan dikejar-kejar waktu. Seperti kata Billy; kriminal tampan. Seperti itulah komentar siapapun tentang perpaduan ajaib di wajahnya. Rachel dan Nathan selalu bilang, kalau ada sesuatu membius dan tangguh tak terkalahkan di balik wajah penjahat seorang Sean Walker. Bahwa sekalipun ia punya lesung pipit lembut dan mata cokelat teduh meluluhkan—mata cekung yang dalam seperti tersedot di bawah tulang alis tegas dan datar, kelopak atasnya bahkan tak terlihat dan selalu terselubung romantis dalam bayangbayang—semuanya kontras dengan kepala cepak buzz cut cokelatnya yang lebih mirip tentara perang, rahang tegas menyerupai kriminal berdarah dingin yang bisa membuat gadis badboy fetish mana pun bergairah, dan akar-akar jambang kebiruan yang menambah kesan sangar. “Good morning, single survivor agent!” katanya menguap, anting ganja berliannya berkilat-kilat saat membolak-balik pipi, “Welcome to another lonely shit!”
Sean menguap belasan kali saat bersandar berantakan di dinding elevator pagi ini. Tali ranselnya beberapa kali tergelincir dari sebelah bahu berkaus oversize-nya, tali sneaker putih bengkaknya beberapa kali terinjak karena belum terikat, dan jeans baggy gedombrangannya melorot hingga setengah pantat karena ikat pinggangnya belum sempat ia pakai dan malah dikalungkan di bahu. Baseball cap New Era yang menempel asal di kepalanya merosot menutup sebelah mata saat ia keluar elevator, menghampiri Lamborghini Murcielago berlogo banteng emas yang moncong rendahnya nyaris mencium lantai beton. Bunyi remote control bergema arogan saat graffiti tag merah api di kanan kiri mobil membelah, sepasang pintu scissor-nya memutar ke atas. Sean melempar ranselnya ke jok samping. Ketika seberkas cahaya
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 29 silau menembak-nembak pelipisnya. “G’morning, Mr. Swagger!” Seruan berat berdialek African-American. Di balik jendela mobil, seorang pemuda berkepang cornrows nyengir, mengedip-ngedipkan lampu jauh motor tingginya. “Swag ain’t a Lamborghini, it’s attitude,” Sean terkekeh. “Whuzzup, G?” “Where’s Nathan?” George Thomas meninggalkan ranselnya di samping ban lebar motor, lengan berjaket baseball besarnya meng ibaskan CD berkotak transparan, “Aku tadi ambil hasil kerjaan ke Rob. Katanya Nathan mau ke studio kemarin, tapi aku sedang nggak di sana.” Ia melangkahkan jeans-nya yang tertelan sepasang Timberland boots bertali—semata kaki dan mengilap tengil dengan bahan suede cokelat muda bertekstur mirip beludru. Wangi parfum membahana ketika ia berjalan tegak memamerkan bahu bidang, bergemerincing ramai dengan kalung salib berkedip genit. “Hold up, Man,” ia menjawab cell phone-nya, “Halo, Sayang. Iya, telepon nanti lagi, ya. Luv ya, Baby.” “White rapper muda yang jadi musisi independent label terbesar di Larimar City, Basstrap Studio,” ejek Sean nyengir. Ia selalu bertemu George setiap menemani Nathan ke Basstrap Studio di komplek podium publik Downtown Apartement. Studio rekaman independent terbaik di kota Larimar dengan ruang duduk lapang berlemari minuman tak kalah lengkap dari bar night club kota, studio yang lewat tengah malam selalu bau asap rokok hingga ganja, serta semarak dengan lautan kertas bercorat-coret lirik di atas sofa. Markas besar ramai obrolan dengan ratusan kata fuck, tempat menginap ditemani botol-botol Jose Cuervo hingga Jim Beam, tertawa-tawa semalam suntuk, hingga tempat menungging-nungging mabuk mencari inspirasi. “Telepon pacarmu yang mana lagi?” “Ah, bukan pacar,” George mengantungi cell phone-nya, “Street hustla got no time for a bitch buggin’. What up with ya?” “A fly man ridin’ solo, too many girl to pick one, aight?” Sean tertawa, ber-pound hug dengan George. “So what we got? Konser rap di college
30 ▪ Angel G. Summer Camp dengan Nathan? Profesor Wilson pasti sibuk berceloteh di belakang panggung. Bilang lagu kalian seperti lagu pemujaan setan,” ia menirukan gaya rap George memegang microphone, membungkukkan badan dan memegang pesak selangkangan. “Come on, Man!” George tertawa. “Better check that one out. That’s gonn’ be off the hook. And by the way, your brotha from anotha motha is a cold blooded beast,” ia membentuk balon permen karet di mulutnya, mengibas-ngibaskan kotak CD-nya. “This beat. He’s the brain. Aku nggak tahu kenapa dia lebih memilih maket dan segala kertas gambar kalian. In music, he’s brilliant.” “That’s one of funniest thing ‘bout life. Know what I’m sayin’?” Sean nyengir miring menyembulkan lesung pipitnya, “When a fool think he’s brilliant, and a brilliant think he ain’t more than a fool.” “You’re takin the words out of my mouth. So, don’t forget to watch the show,” George kembali ke motornya, “And don’t forget your belt! Your pant looks like shit!” “Ha! Yes, Sir!” Sean memasukkan kepalanya ke mobil, sebelum kembali menegakkan punggung, “And don’t tryna bring weed, Dude!” “Memangnya kenapa?” kekeh George membalik punggung, “My grandma’s sometimes right, Son. Aku sudah selesai dengan ganja.” “Lalu sekarang apa? Naik ke kokain?” George tergelak. “Dua tahun kemarin mereka nggak pernah melakukan pemeriksaan,” kata Sean, “Jadi, bisa saja tahun ini, kan? Save your ass, Man.” “Nah. I’m done with it, Sean,” George naik ke motor tingginya, menggendong ransel dan mengenakan helm hitam, “Aku ke sana duluan. Ada yang harus kuurus. Naik motor saja.” “Motor? Kau yakin?” George mengangkat T-Shirt besar di balik baseball jacket-nya, memperlihatkan sebuah pistol 9 mm yang tersemat di pinggangnya. “Baju besar adalah penyamaran dan defense terbaik. A hand gun is enough. Dead hoes, gunshot, mother fucker gangsta. I used to live in the ghetto for years. Remember?” Sean malah tertawa, “Yeah, I got that one.”
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 31 “So, this shit is just a piece of cake. Ridin’ round with that nina! I’m the criminal, Baby.” George menurunkan kaca helmnya, “See ya, Richie Rich.” Sean nyengir, ada ganjalan tak enak setiap mendengar sahabatsahabatnya memanggilnya Richie Rich. Namun, sepanjang orang lain belum berjalan dalam sepatunya, mereka sama sekali tak salah berpikir apapun. “Be easy, G!” Sean hanya berseru, mengawasi George berlalu dengan derum berat motornya.
33
Chapter 3
Bunga yang Berganti dan Pria Tua Bertopi Fedora
Pagi ini Nathan terpaksa dikelilingi orang-orang heboh. Semua berawal dari Lamborghini Sean yang ditinggalkan di rumah Rachel karena dua joknya yang tidak cukup untuk empat orang dewasa, setumpuk barang bawaan yang diinvasi koper raksasa Belle, serta segudang makanan Sean yang lebih mirip cadangan makanan badai salju dibanding snack tiga hari. Akibatnya campur aduk, Nathan melihat wajah Belle yang pucat sepanjang perjalanan, Sean yang berkendara seolah di sirkuit, dan Rachel yang sibuk mengomel tentang pembuatan maket pameran. “Your suitcase is damn huge, Girl,” Sean memaki Belle, “I almost believe you bring Dora in it, in case we need a travel map or some shit.” “Dan kau! Luar biasa tolol memacu mobilku sekencang ini,” Belle di jok belakang menurunkan jendelanya, berlagak akan muntah ke jalan, “Keparat!” “You suck.” Sean tertawa-tawa dan Belle mengomel. Nathan hanya melorot diam di jok depan samping, mata di bawah tirai poni ikalnya mengawasi suasana pagi lewat jendela yang terbuka. Rasanya tak ada yang berubah dengan lembah asri Green Amazonite Parkway yang selalu ia lewati selama empat tahun berkuliah ini. Sebuah parkway luas nan teduh dengan jalur kendaraan yang diapit jalur pejalan kaki dan jalur sepeda. Keasrian yang terasing
34 ▪ Angel G. dari ingar-bingar metropolis kota Larimar, seperti garden city kecil yang terdampar di sebuah lembah. Di sisi parkway, terhampar avenue hijau tanpa terputus satu bangunan pun. Hanya ada jalan setapak bertabur dedaunan gugur tempat orang berjalan. Di tanah berumput rata di belakangnya, hidup damai segerombol coast live oak berumur puluhan tahun yang tinggi kekar dan tampak tumbuh melebar, ranting-rantingnya meliuk-liuk elastis seperti ular yang merayap ke sana kemari hingga menjalar berpuluh kaki dari batang tambunnya. Beberapa ranting malah menjalar horizontal seperti rentangan lengan yang hendak memeluk siapapun dan menyerupai jembatan gantung saking panjangnya, di antaranya ada yang sangat dekat dari tanah hingga bisa dibuat sandaran pinggang atau ayunan. Mirip tumbuhan dunia sihir yang sering digambar di buku dongeng. Apalagi di depannya ada aviary kubah raksasa berisi puluhan burung kolibri yang mengicaukan nyanyian terbaiknya. Nathan ingat, setiap siang merangkak sore, banyak mahasiswa duduk menyandarkan kepala pada ranting-ranting rendah coast live oak itu, berkawan sepoi angin dan menonton kicau burung sambil memangku buku atau mengunyah sandwich. “Nate,” Rachel menyentil bahunya, “Ingat tugasmu di sana, kan?” Nathan tidak menjawab. Ada satu lagi yang ingin ia lihat pagi ini, taman bunga cantik milik pemerintah kota yang terhampar di sela pepohonan coast live oak. Baginya, ini yang terbaik dari Green Amazonite Parkway, satu-satunya avenue di Larimar di mana walikota menanam bunga-bunga baru yang selalu berganti setiap musim, membuatnya selalu menerka-nerka bunga apa lagi yang akan ia lihat saat musim baru datang. “Dude,” katanya pada Sean, “Karnaval tulip kuning dan merah itu sudah berganti lagi.” “How romantic,” cengir Sean, “How come ya remember every single flower here, huh?” Nathan diam. Musim panas kali ini ia terpaku dengan hijau avenue yang cemerlang dengan warna kontras galak. Kaki pepohonan coast
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 35 live oak tenggelam dalam gagahnya selimut tanduk bulu putih yang ditumpahi cat biru—sekawanan pedang culver’s root yang mirip tempat lilin berlengan dari kapas putih ditabrakkan dengan kerumunan blue wild indigo mirip polong biru menyalak yang bergerumbul naik menyucuk udara. Berayun-ayun bersama lambaian rumput yang meliukkan cahaya matahari seperti pita menari. “Hei,” Rachel meraung, “Aku sedang berbicara denganmu dari tadi.” “Yeah, I’m not deaf,” Nathan masih mengawasi ke luar jendela dan... Ada pemandangan unik pagi ini. Ia melihat seorang pria tua bertopi fedora bundar sedang meluncur di atas kursi roda. Putaran rodanya tercetak di atas embun basah yang menempel pada jalan setapak avenue, meninggalkan jejak meliuk seperti badan ular merayap. Kulit gelapnya terbalut setelan jas tuksedo rangkap rompi macam tukang sulap. Sesekali ia memutar roda kursinya, menghindari barisan tiang lampu klasik berukir yang menghalangi jalannya. Ketika mobil melintasinya, Nathan mendengar suara berat pria itu bernyanyi, menggelegar hingga orang-orang bersepeda serempak berpaling padanya, bersemangat dan berapi-api, mirip suara Pavarotti atau seniman paduan suara gereja kuno namun lantang seperti mars perang. Nathan sampai melongok penasaran ke luar jendela. “I think he was a soldier,” Sean menggeleng-geleng, “Singin’ like he’s havin’ a war in amazone jungle.” “Tapi, dia kelihatan bahagia ya?” Nathan memandang kursi rodanya mengecil di cermin spion, suara keras si pria tua terdengar makin samar. “Bangun setiap pagi yang baru dengan semangat meletup-letup, walaupun itu hanya untuk bernyanyi sendirian. Sesederhana untuk bangun dan melakukan yang kau inginkan setiap pagi.” “Nate,” Rachel meracau, “Stop it!” Nathan menghela napas, merasa dirinya mendadak lebih tak berdaya dari orang tua lumpuh. Rasanya ia lebih mirip tiang-tiang lampu berkaca grafir berembun yang hanya bisa berjejer di sepanjang trotoar. Tiang-tiang yang hanya bisa diam menggigil menemani
36 ▪ Angel G. kursi-kursi kayu panjang berlengan besi ulir yang membatu kosong di pinggiran jalur sepeda. Membeku tanpa nyawa, seperti perasaannya bertahun-tahun melewati tempat ini. “Aku ingin seperti dia. Aku—” “Kita tepat waktu, kan?” Sean menyela. Selang beberapa puluh meter berseberangan dengan avenue, sebuah bangunan besar berdiri tegak di belakang taman air. Ujung atap datarnya bisa terintip dari sela-sela rindangnya coast live oak raksasa, terapit di tengah St. Monica Chapel yang berdinding batu tua berjamur dan lapangan golf Mc.Bride yang berkontur naik turun. Green Amazonite University.
Nathan di jok samping memandang pelataran parkir yang seolah mengkerut beberapa kali lebih sempit. Petak-petak berbatas garis kuning di kiri lapangan dipenuhi puluhan mobil dan bus-bus yang berdesakan miring. Di sekitar drop off gedung rektorat, beberapa panitia mengumumkan sesuatu sementara lautan mahasiswa lebih banyak merubung di sana-sini dan mengobrol satu sama lain. Beberapa cewek gang popular ikut hilir mudik seperti tontonan gratis, ke sana kemari bak di catwalk dengan baju macam kurang bahan. “Mumpung belum jadwal diet turnamen,” Sean mengunyah burger dari drive thru pagi tadi, “Apa sih, yang orang-orang tolol itu lakukan?” ia menjulurkan kepala cepaknya ke luar jendela, “With all due respect, Ladies!” teriaknya, “I ain’t here to see your boobies!” “Sean,” Belle memijit kening dengan kuku berkutek merahnya, “Show some attitude, please!” “No, they show their attitude! And by the way, they ain’t live in a jungle, assholes. Ain’t they think about sound system or somethin’? I can’t hear or see any fucking shit.” “Buat kasus saja sekali lagi, Sean!” Nathan membuang mukanya ke jendela, “Dan aku yang akan ikut dikeluarkan.” “Whoa, you’re way too uptight. Hang loose, Man,” Sean menjilat saus tomat di jemarinya, merogoh smartphone-nya, “Apa?” jawabnya
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 37 menekuk wajah, “Shit. What the hell!” “Telepon dari mana?” “Well I’m in a hurry, and all around me are these morons.” Nathan melihat Sean mengantongi smartphone-nya, turun dari mobil dan melompat berkali-kali menandingi bus dan kerumunan orang di sekelilingnya. Rahang kerasnya naik turun memaki jengkel, dan Nathan tahu, sesepele apapun, kalau Sean sudah terusik, ini bisa jadi masalah besar. Dan benar. “Kita pisah saja dari orang-orang tolol ini,” Sean meloncat balik ke mobil, melirik arloji dan memasang sabuk pengaman, “Gonn’ be a lil’ rush. Kita pergi duluan.” “Duluan apa?” Nathan berjengit pada kendaraan yang berjejal dan ratusan siswa tak bersalah. Sean sudah menggerungkan mesin mobilnya di tengah pelataran parkir. “Hei!” Rachel ikut-ikutan ribut, “Kau mau Nathan dikeluarkan lebih cepat?” Sean malah tersenyum, menggengam perseneling. Dan seketika saja, semua orang di mobil terbanting. Entakan kaki Sean di atas pedal gas membuat perut Nathan tiba-tiba tertinggal. “Not again, Sean!!” serunya tertahan. Mobil itu meliuk zig-zag lincah seperti banteng ingin menyeruduk kain merah. Melukis ruang kosong dan berputar tiga ratus enam puluh derajat seperti jarum jam, sebelum mendecit tak karuan dan membelah semuanya. Gerombolan cowok mengetuk-ngetuk badan mobil atau bahkan mencoba menendangnya ketika melintas. Seorang dosen gemuk sampai tersungkur rubuh menimpa mahasiswa dan sejumlah panitia gelagapan menjatuhkan spanduk raksasa kampus hingga tergilas ban sampai berwarna tanah. Sean terlihat sekali mengincar mahasiswi-mahasiswi cantik yang berjeritan histeris, sengaja menyerempet kurang dari satu inci ke baju kekecilan mereka. “Ya, Baby,” gumamnya cekikikan, “Who’s the bad ass?” Pantat mobil melewati gerbang keluar dan Sean menginjak rem tiba-tiba, membuat Nathan yang belum mengenakan sabuk pengaman terbanting mencium dasbor.
38 ▪ Angel G. “Sean...” Sean malah menjulurkan kepala cepaknya, melambailambai mengejek ke semua orang yang mengumpat di belakang, semakin tengil dengan ganja berlian kupingnya yang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. “See their faces?” tawanya lagi, mencengkeram kemudi memacu mobil, “Yay! That was funny!” “SEAN!” raung Belle pucat. Nathan hanya menggeleng-geleng menurunkan sandaran kursi, membiarkan Belle mengomel dan Sean tergelak makin keras. Berusaha menyimpan napas meradangnya sebentar, sebelum akhirnya... “Sean!” bentak Nathan tak tahan, “Jangan sampai kampus ikutikutan menyeretku dan mengeluarkanku lebih cepat, gara-gara kau!!” “Nate, chill—” “Walaupun aku miskin dan nyaris dikeluarkan, sementara kau orang kaya paling bahagia di dunia! PAKAI OTAK SEDIKIT! TOLOL!!” Dan Sean spontan berhenti tertawa.
39
Chapter 4
White Beach and A Black Diary
Sudah biasa. Seperti hari-hari lainnya, hari pertama Summer Camp jadi penuh masalah gara-gara Sean. Beberapa panitia yang mengamuk karena ulahnya di pelataran parkir mendatangi kamarnya dan Nathan, dan hal terakhir yang Rachel intip dari teras adalah Sean mengangkat tinjunya, terdengar bunyi “bak-buk” dan meja terjungkal, dan salah seorang panitia tiba-tiba keluar kamar dengan sebelah mata lebam dan ujung bibir berdarah. Belle diam berlama-lama di kamar Nathan dan Sean setelah panitia yang ribut-ribut bubar. Rachel sendiri tak mau ikut campur, sudah terbiasa dengan kelakuan Sean yang selalu ajaib. Ia lebih memilih kembali ke kamarnya di sebelah dan sama sekali tak menduga bahwa mungkin Sean bahkan lebih ajaib dari yang pernah ia kira sebelumnya. Itu berawal ketika Rachel membongkar kopernya sendirian, tak sengaja melirik sebuah travel bag mini di atas pembaringan... ...tas olahraga maskulin. Ritsletingnya setengah terbuka kepenuhan. “Vitamin, air mineral, dan...” dengus Rachel mengintipnya, “Video game. So kids. Must be Sean’s.” Diselempangkannya tas itu di bahunya ketika muatannya yang berlebihan malah mengangakan ritsletingnya. Isinya meluap, jatuh berceceran ke lantai. “Ya ampun!”
40 ▪ Angel G. Rachel memunguti jengkel dan sudut matanya malah tak sengaja membentur sesuatu. Sebuah agenda bersampul kulit hitam terjatuh dari tas, tergeletak membuka di bagian tengah dengan tulisan bertinta hitam. “Hidup ini tak ubah sepotong bias mimpi,” bacanya berjengit. “Halusinasi sepi yang bermetafor palsu. Seperti muka pasir rata tanpa terpijak sejejak kaki pun manusia beraga. Paru-paru bergelembung sesak, hingga senyuman bercermin muka danau.” “Masih tersisa ratusan mil di sana, dan aku butuh candu itu.” “Apapun itu, suntik aku. Aku tak mau mati. Tidak sekarang.” Getaran aneh menjalar di tengkuk Rachel, bulu kuduknya terbangun. Di lembar berikutnya hanya ada tulisan-tulisan bertinta luntur oleh bercak air, bercorat-coret tak jelas seperti digurat pena yang ditekan paksa. “Man, all that shit. Semua canda tawa itu. All’s gone. Aku bisa gila. Drunk and make a silly joke alone? Oh, crap...! But hell no, ain’t a fucking goodbye, neva... Fo’ sho... Someday... You’re gonn’ be proud of me... promise.” Rachel diam. Menatap tulisan itu berlama-lama sampai mendekatkannya ke hidungnya. Ketika ada suara datang. “Rachel!”
41
Chapter 5
Rahang Kriminal dan Mata Abu Pemimpi
Kepang cornrows George menyembul di ambang pintu, bersembunyi di balik kacamata cokelat, “You seen Sean?” “Sean?” dengus Rachel kaget, “Di kamar sebelah. Kenapa kau kayak hantu?” “Well, next time lock the door, Sweetheart. Profesor Wilson sudah mencari Sean dari pagi, tapi dia nggak ada. Aku di kamar sebelahmu, jadi aku yang disuruh memanggil, kukira kamarnya di sini.” “Dari pagi?” Rachel memungut diary dan barang Sean yang tercecer, menjinjing travel bag-nya, “Hebat sekali, Profesor Wilson sampai memanggilnya sendiri ke sini, begitu?” Menuruni tangga teras kayu, mereka melangkah ke kamar Sean di sebelah. “Sean,” siku Rachel menguakkan pintu, “Profesor Wilson memanggilmu.” “Yeah right,” Sean hanya nyengir miring, berjalan membusung bertelanjang dada dari balkon belakang. Boxer dan celana baggy-nya menggantung di bawah pinggang, memamerkan punggung bertato dan perut atletis mengilap berkeringat, gagah dengan perut sixpack dan postur khas pembalapnya—otot lengan kering tak berlebih, dada bidang tegap, serta tangan bawah kencang dan leher tertarik keras— menyempurnakan kesan berandalnya yang tak peduli apapun. “See?” omel Nathan, sibuk dengan laptop penuh grafik suara,
42 ▪ Angel G. “Kali ini kau pasti berhasil membuatku dikeluarkan dari kampus lebih cepat! Dan kau, George!” ia ikut-ikutan menyemprot George, “Jangan melangkah ke kamarku kalau kau bawa ganja!” “I’m clean now,” George menghampiri Nathan jengkel, “Kan kau sendiri yang selalu marah-marah gara-gara itu, sudah seperti neneknenek,” ejeknya melipat tangan seperti orang berdoa, merunduk dengan senyum manis dibuat-buat, “Thanks for saving me, Nathan Samuel Evan.” dengusnya, “Asal jangan razia senjata api saja.” “Shit!” Nathan berjengit, “Kau bawa-bawa handgun ke sini?” “Gangsters are everywhere, Man,” George mendecak dua kali, membentuk pistol dengan jemari dan telunjuknya, “Street taught me.” “Aku nggak ikut-ikutan.” “Hei?” Belle tidak menyadari kehadiran George, tetap sibuk memaki layar TV yang penuh bintik hitam, “What the...” George spontan melempar senyum genit. “Eh,” Belle mendadak memilin-milin rambutnya, “Aku mau ke pantai,” katanya keluar kamar. “Hey, Mr. Fabulous!” Sean melambai setinggi telinga, “I’m right here, hello!” “Damn!” siul George tengil, “That shawty’s hot,” ia memandang Sean lagi, wajahnya sok tahu, “Kau, sih! Nyaris bikin tewas seisi kampus dan main tinju orang. Profesor Wilson pasti memanggilmu karena itu.” “Ah, apa peduliku? Mereka juga sama tololnya bikin pengumuman separah itu. Berharap orang melakukan yang seharusnya, tapi mereka sendiri juga nggak melakukan yang seharusnya mereka lakukan. Melebihi bodohnya keledai.” Nathan menggeleng-geleng, menyiapkan koper turntable-nya untuk konser kampus malam nanti. Sementara Sean... ”Kalau mereka berani mengeluarkanku, akan kuacak-acak kampus ini,” malah itu yang Rachel dengar dari mulut Sean. Yang Rachel tahu, jangankan dengan presiden universitas, dengan balapan yang bisa mencopot nyawanya kapan pun, Sean tak pernah takut, seolah muka dan nyawanya ada sepuluh atau lebih. Mukjizat teraneh yang selalu Sean peroleh adalah ia selalu beruntung untuk tidak pernah
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 43 berhasil dikeluarkan dari kampus. Seburuk apapun kasusnya atau sesering apapun ia bolos. Melihat rahang tangguhnya seperti melihat perampok tampan di film Hollywood sekaligus pria hidung belang di scene yang menampilkan stripper bar atau pelacur aliran keras—membuat Rachel kadang iri—ingin sesekali saja, bertukar badan dengan seorang sahabat yang selalu tertawa konyol seolah kehidupan hanya lelucon dan adrenalin, di mana semua orang hanya perlu bersandar pada jok mobil, dan menikmati petualangan. “Satu lagi sebelum kau pergi,” Rachel melempar travel bag yang terkancing paksa ke pembaringan, “Tasmu.” “Smelled somethin’ in your voice,” kata Sean, “You read that diary, aight?” “Sorry... I ...” “Just chill!” Sean malah tertawa, “I’m cool with it.” “Maksudmu?” “Hey, G!” Sean tidak menjawab, sudah berdiri di depan pintu, “Cepat antarkan aku ke tempat Profesor Wilson! Biar cepat beres. Aku mau berselancar.”
Tak ada yang tahu sangsi apa yang Profesor Wilson berikan pada Sean gara-gara kasusnya yang hampir menabrak semua siswa tak berdosa dan meninju panitia. Ketika kembali ke kamar, ia cuma nyengir menggaruk-garuk rahang tegasnya, berkata bahwa semua baik-baik saja. Tak ada yang tak biasa di hari pertama hingga hari kedua datang. Tepatnya pukul tujuh malam, saat mentari masih menyinari kulit semua orang. “Aku sudah meneleponnya berkali-kali,” Rachel menyapa Sean lewat cell phone-nya, “Dia seperti lenyap ditelan bumi.” “Kau meneleponku cuma untuk menanyakan di mana Nathan? Aku sedang dengan Profesor Wilson. Kenapa nggak telepon nanti saja?” “Heh? Ngapain kau dengan dia? Terkena masalah lagi?” Terdengar nada putus-putus. Rachel hafal kebiasaan jelek Sean—selalu memutus telepon kalau
44 ▪ Angel G. sedang kumat penyakit kesalnya. Kembali menyusuri pesisir yang sedang bersolek menyambut pesta api unggun, ia melihat panggung yang batang-batang besi lantainya belum tertutup karpet, beberapa panitia dari Departemen Musik terlihat overacting saat mengeset selusin loudspeaker, kabel-kabelnya yang membelit kacau di manamana menandakan mulut mereka yang berkelakar keras-keras lebih banyak bekerja dibandingkan tangan. “Rachel!” George berseru dari atas panggung, bersendal jepit dan sudah terlihat mirip kera yang memanjat ke sana kemari menggantung lampu-lampu laser. Tato dan dada telanjang berkeringatnya ditonton segerombol gadis kampus yang sengaja mencuri-curi pandang dan terkikik-kikik tak wajar di bawah panggung. “How’s your day?” “Nathan mana?” “Mana aku tahu?” Rachel melengos. “Dan sampaikan salamku pada Belle!” teriakan George menyebut kata Belle membuat gerombolan cewek yang menontonnya spontan bubar. “Yeah, right.” Rachel menghampiri tenda peleton di sudut pesisir berpasir padat, masuk menyibakkan ambang terpalnya, “Sampai di mana pekerjaan kita?” katanya berkacak pinggang. Di dalam tenda yang ia masuki, terhampar maket seukuran petak kamar yang diletakkan di atas delapan meja gambar yang dirapatkan jadi satu. Di maket itu terbentang miniatur kota impian, mulai dari tiruan lautan pencakar langit, rumah-rumah, lanskap hijau dan taman kota, hingga tepi laut dan rel kereta api yang dalam versi miniatur jadi mirip track mainan mobil Tamiya. Mahasiswa-mahasiswa terbaik Departemen Arsitektur merubunginya, sementara beberapa junior Rachel memegangi ujung-ujung kertas gambar seukuran spanduk yang dibentangkan di udara. Salah satu dari mereka menggerakgerakkan telunjuk di kertas raksasa bergambar notasi dan garis simpang siur itu, melingkari atau menyilang bagian-bagian tertentu, mengecek ketepatan maket dengan gambar denah.
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 45 “Keren,” Rachel nyengir puas, mengipas-ngipas wajah saking panasnya tenda pengap itu, “Nggak sia-sia kita nggak tidur beberapa hari untuk menyelesaikan si keparat ini.” Stacey Johnson—mahasiswi terbaik di angkatan satu tahun lebih tua dari Rachel—menyampirkan ponytail-nya ke bahu, mengelupas telapak tangannya yang terbungkus lem kering, “Nathan mana? Dia sebenarnya masih terdaftar di tim atau bagaimana?” Pura-pura kabur tak mendengar Stacey, Rachel berlagak merunduk di sudut maket, menempelkan sebatang palma seukuran tusuk gigi dengan jepitan pinset. “Sudah kuduga. Kau pasti sudah di sini.” Rachel membalik punggung. Nathan muncul dengan leher berkalung headphone, menjinjing koper ceper besar yang ukurannya tidak kurang dari alat musik keyboard. Rachel ingat, Nathan selalu bilang koper besar itu namanya turntable coffin, berisi sepasang turntable dan sebuah DJ mixer yang diletakan di tengahnya, bisa dijadikan rak dan punya lubang-lubang untuk sambungan kabel. Rachel tidak mengerti dan—tidak peduli. Ia hanya ingin menumpahkan segalon lem kayu ke celana pendek army Nathan atau sneaker bengkaknya. “You always appear, at the last minute.” Mata abu Nathan memohon di bawah poni Julius Caesar-nya, “Aku mau bantu.” “Bantu! Bantu apa?” Stacey Johnson berhenti menempelkan pasir buatan, melirik Nathan lewat kacamata melorot, “Kukira kau malah sudah dikeluarkan dari Departemen Arsitektur.” Nathan balas mendelik, “Kukira kau malah sudah jadi asisten dosen.” “Nathan, jangan mulai,” geleng Rachel, “Kalau kau mau bantu, seenggaknya taruh dulu headphone dan turntable-mu. Nggak banyak ruang di sini, sedikit saja kau menyenggol, kau bisa buat semua orang mengamuk.” Ia memberi isyarat dengan melempar pandang ke sekeliling ruangan, luasnya maket membuat ruang sisa di sekitarnya terlampau sempit. Dua puluh mahasiswa Departemen Arsitektur harus selalu bertumbukkan bahu bila berpapasan. Rachel
46 ▪ Angel G. bisa mencium bau keringat dan yakin, dinding terpal sebentar lagi akan berembun akibat uap napas semua orang. “Oke.” Nathan mengangkat koper turntable-nya setinggi dada. “Aku taruh di mana?” tanyanya memutar bahu. Ketika koper turntable panjang di lengannya malah tak sengaja berpusing dan menyenggol ujung maket. Terdengar bunyi karton patah. Dan... Seisi tenda menjerit histeris.
47
Chapter 6
Cerita tentang Kalung Dog Tag
Rachel menciut dan Nathan melotot dengan rahang jatuh. Kota di pojok maket seketika amburadul mirip kota di filmfilm kiamat gara-gara sodokan turntable-nya. Puluhan pepohonan tumbang dan dua lusin terrace houses terhantam remuk seperti tersapu badai. “Oh, no!” Nathan mencoba menegakkan rumah-rumah remuk beratap copot dengan ujung kukunya, “No no!” “Would someone please get that idiot outta here?” Stacey sebagai ketua menunjuk-nunjuk Nathan dengan lipatan kaca matanya, menggelegar hingga semua orang diam, “Department of Architecture should’ve never had a student like you!” Wajah Nathan memerah. Jim Houston cekikikan puas di balik bahu Stacey. “Come on, Buddy!” Rachel mendorong bahu Nathan keluar tenda, “Kau cuma ke sini untuk mendapat nilai tambahan, kan? Stacey mencatat kalau kau sudah keseringan bolos dari jadwal kami.” Nathan diam, meletakkan koper turntable di pinggir kakinya. Graffiti merah-hitam berbunyi DJ Evan karya Sean di atasnya terbenam beberapa senti di dalam pasir. “Percuma, Nate. Stacey nggak akan mencantumkan namamu dan kau harus perjuangkan nilaimu sendiri di ujian nanti. Kau nggak akan mendapat nilai tambahan dari sini karena kau memang nyaris tidak membantu apapun.” “Ini semester terakhir masa percobaanku. Aku cuma berharap ini bisa membantu,” wajah Nathan tertekuk, memijati tengkuknya,
48 ▪ Angel G. “But, that’s just fine.” Mata kalung dog tag tentaranya berkedip memantulkan cahaya lampu panggung ketika ia merunduk mengangkat koper. Di kejauhan, bising musik mulai menjangkiti pesisir pantai dengan virus euphoria. Rachel tahu, sebentar lagi Nathan akan kembali tersedot ke alam asalnya, seolah dunianya di bawah percik laser adalah vacuum cleaner dan Nathan adalah debu pasrah yang ikut terisap tanpa sisa. Dan Rachel tidak akan pernah bisa mencegahnya. Entah sampai kapan. “Nate, aku bersih-bersih sebentar!” George Thomas melambai dari kejauhan, “Semua sudah beres, tinggal siapkan alatmu!” “Tempatku memang bukan di tendamu,” pandang Nathan ke panggung, “Lalu untuk apa aku di sini?” katanya pergi dengan langkah amblas di pasir, miring-miring ke koper besarnya. “Hey , Nathan!” seru Rachel lagi. “Ya,” Nathan membalik punggungnya, “Apa?” Tak urung, Rachel tetap melempar senyum, “Still! I’ll watch the show!” Nathan ikut tersenyum di kejauhan, senyum sama yang selalu ia tunjukkan setiap akan naik ke panggung dengan turntable hadiah Sean empat tahun lalu. Rachel tahu, kalau ia melihat mata Nathan dari dekat, ia juga akan menangkap warna abu-abu padam itu berkilat bahagia. Ia tak pernah membenci Nathan. Ia hanya terlalu peduli. Itu saja.
Beberapa jam kemudian, Rachel mulai berkeringat dingin memperbaiki maket yang Nathan rusak, berusaha tuli sesaat di depan Stacey yang hilir mudik mengomel hingga Rachel yakin bibirnya pasti biru sebentar lagi. Sementara itu, di bagian pesisir yang tak tersentuh keramaian pesta, Sean sedang bersantai menempelkan mata pada binocular sakunya. Mengeker mulai dari lampu mercusuar yang mirip garis berputar-putar, lampu-lampu rumah perkampungan nelayan, hingga lampu sorot kapal penjaring ikan. Alih-alih dentum loudspeaker pesta
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 49 di kejauhan, Sean lebih senang sensasi bau asin yang menempeli tengkuknya, mendengar gulungan angin menderu di telinganya dan mengibarkan pakaiannya. Ombak yang menyalak terdengar hebat, menghantam tebing yang membentengi pesisir dan mendesis pecah menjadi buih, merangkak seperti busa yang menggerus pasir hingga telapaknya terisap amblas. “Here you are,” Belle datang, “Kau sedang lihat apa?” “Melihat... kau,” dengus Sean, melihat Belle menghalangi lensanya, “Excuse me, Miss. You’re blocking my view.” Sean melepas binocular-nya. Merogoh saku celana setengah betisnya dan mengeluarkan botol kaca kecil—bersumbat gabus berisi gulungan perkamen usang. “Message in a bottle.” kata Belle, “Make a wish? We’re not in fairytale, Sean. Kau seperti anak kecil.” “Kalau kau mau belajar tentang mimpi dan kejujuran, kau memang harus belajar dari anak kecil, kan?” Sean nyengir, mencampakkan botolnya ke laut. “Kau memang seharusnya duduk di kelas filsafat,” Belle tak tertarik, menyeret Sean ke pesisir yang ramai kerumunan mahasiswa. Di sana pantai sudah dihiasi ratusan lampu pijar putih yang terangkai dalam untaian kabel-kabel transparan yang ujungujungnya diikatkan pada tiang-tiang bambu kuning. Belasan santapan berderet di meja buffet memanjang di gazebo mirip dermaga. Lilin-lilin harum di pinggiran meja menyempurnakan eksotisnya sejumlah api unggun kecil yang berkilat merah di berbagai penjuru. Mahasiswa-mahasiswa berbagai departemen bergerombol simpang siur. Beberapa panitia bertampang lelah berdiri di belakang mixer panggung, menganggukkan kepala mengikuti irama reggae dari pengeras suara atau mengutak-atik tombol pengatur lighting. Asapasap mengepul dengan wangi mentega lumer dan saus tiram kental dari panggangan-panggangan besar yang memerah panas, semuanya beratap langit malam dan ditemani koki-koki yang sibuk membalikbalik udang hingga sosis bakar. “We only had four hours for all this shit,” George muncul di balik punggung Sean, matanya yang tersembunyi baseball cap sesekali
50 ▪ Angel G. melirik Belle, “Aku heran, ke mana semua anak-anak arsitektur, bukannya mendekorasi semua ini.” “Mahasiswa arsitektur kampus ini,” cibir Sean, “Lebih suka membangun maket daripada panggung yang jelas-jelas akan orang injak. Lebih senang membangun yang tidak nyata daripada apa yang sebenarnya sudah ada.” “George!” Nathan beradu bahu dari balik kerumunan, “Backstage! Now!” Tak sempat mengobrol apapun, Nathan dan George sudah menghilang lagi ke balik panggung, persis ketika feedback dari loudspeaker berdenging berisik. “Inilah kota masa depan,” Adam Clapton berdiri di atas panggung, asyik berceloteh dengan microphone-nya, “Specially designed by the best students of Green Amazonite University, Department of Architecture.” Terdengar dengung rendah ketika Profesor Adam Clapton membungkuk, menyibakkan kain penutup gundukan besar yang terhampar persis di bawah panggung. Semua orang berjingkat, berlomba-lomba melihat maket raksasa itu. Di balik kotak kaca mengilapnya, terbentang miniatur kota impian gubahan Rachel dan kawan-kawannya, mulai dari pemukiman, pusat kota, promenade, hingga kota wisata pesisir dengan kapal-kapal pesiar. Bagian ujungnya tampak seperti kota tersapu badai gara-gara insiden bodoh Nathan beberapa jam lalu. “Dan,” suara melengking Profesor Clapton yang selalu jadi musuh besar Nathan berkoar-koar bersemangat lagi, cahaya lampu panggung mengilapkan kepala botak berkeringatnya hingga seperti cermin, “Inilah yang terbaik dari Green Amazonite University semester ini.” Rachel, Stacey Johnson, Jim Houston dan beberapa belas murid yang Sean kenal tapi tak tahu namanya, muncul di panggung. “Rachel,” komentar Belle, “Aku sampai bosan lihat wajah anak satu itu setiap tahun.” “Si jenius yang bisa mendapat A semudah menjentikkan jemari,” timpal Sean nyengir, mengawasi Profesor Clapton mengalungkan medali emas bertali hijau ke leher Rachel, “Ini tahun terakhirnya di
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 51 arsitektur, sementara Nathan entah kapan benar-benar bisa lulus.” Dari tengah kerumunan, Sean melihat Rachel mengangkat mata medalinya tanpa memedulikan tampang berjengit Jim Houston. Panggung berpendar ketika kilatan flash mengenai wajahnya bertubitubi. Gadis itu sampai harus menyipit sambil tetap tersenyum. Ya. Sean hafal bagaimana cara Rachel tersenyum. Di setiap panggung penganugerahan piala atau medali untuk siswa terbaik. Selalu. Setiap tahun. Setiap semester. “Setidaknya, Nathan tidak bolos sesering aku dan sketsa tangannya lebih baik dariku,” kata Sean, “Terakhir kalinya aku menggambar mobil di ujian gambar, bentuknya lebih mirip kotak sabun dengan distorsi perspektif paling parah dari gambar siswa semester awal mana pun.” Ia tersenyum miring, mengingat bagaimana seisi kelas terbahak-bahak ketika ia mengibarkan kertas gambarnya di udara pada hari pembacaan nilai ujian sketsa tangan. Membuat Profesor Clapton meledak karena menuduhnya menggambar seperti anak taman kanak-kanak dan sama sekali tak menyesal mendapat nilai D. “Dan,” Belle menimpali, “Itu pertama kalinya Nathan merasa ada yang lebih tolol dari dia di Departemen Arsitektur.” Sean tertawa, “Kalau mereka cuma menilaiku dari cara menggambar mobil, jadi guru menggambar saja!” Rachel mundur ke belakang panggung dan Sean ikut bubar ke sana kemari mencobai makanan. Ia sedang berhenti di depan kaki-kaki legam panggangan sosis dan udang ketika bunyi-bunyian bass dan treble memangil-manggil, ujung baseball cap New Era George muncul di atas panggung. Terburu-buru, Sean menerobos kerumunan, mengangkat piring wangi menteganya. Loudspeaker mengumandangkan repetan George melantunkan rima-rima kocak mengejek. Cowok itu menepuk-nepuk udara di panggung sambil membungkukkan punggung, menempelkan microphone-nya ke bibir dengan gagang terbalik. Tepuk tangan riuh memecah ketika ia mengangguk-angguk merentangkan lengan, menyelesaikan freestyle rap-nya. “That rhyme is dope, Man!” Sean mengunyah sosis panasnya, tak peduli lidahnya terpanggang. Matanya melihat Nathan di bawah
52 ▪ Angel G. percik laser ketika dua lampu strobo dinyalakan. “What’s up Green Amazonite University!” Nathan di belakang turntable berseru dengan microphone-nya, mengocok-ngocok piringan hitam dengan kepala terjepit headphone, “Now I wanna hear ya make some nooooiiiissee!!” Kerumunan berseru-seru heboh, mengangkat lengan ke udara saat Nathan memainkan beat juggling panjang. Ketika minus one dimainkan, giliran George yang mendongakkan dagu mengalunkan suara. “When I say I’ma doin’ somethin’ I do it,” katanya melantunkan lirik Eminem, “I don’t give a damn what you think. I’m doin’ this is for me, so fuck the world!” 1 Kerumunan di pesisir bergerombol rapat mendekati panggung. Sean menyeruak memegang piring mencari Belle, menerobos mahasiswi-mahasiswi pirang yang berjingkat-jingkat histeris melihat George, berceletuk “Damn he’s hot!’ sampai ”George, marry me!’ “I’m a be what I set out to be, without a doubt undoubtedly,” Sean ikut mengangguk-angguk melantunkan lirik, “And those who look down on me, I’m tearing your balcony. No ifs, ands or buts, don’t try to ask him why or how can he.” 2 Ketika ia menemukan Belle menjerit “George! George!” di tengah kebrutalan gerombolan cewek senior. “Pantas tadi nggak mau ikut cari makan,” sikut Sean, “You’re officially a member of George Thomas fans club now.” Belle tak menggubris. George masuk ke bagian refrein dan Nathan meningkahi dengan scratch-nya, sebelah tangannya memutarmutar piringan hitam sementara lima jari lainnya menggaruk-garuk tuas crossfader. “Well...” Sean menggigit udang bakarnya, “Guess I’ve bought that classy turntable for a right man.” Kerumunan berteriak-teriak, bertepuk tangan dan berceloteh kagum. Nathan di panggung hanya membalas dengan senyum simpul. Semua orang mengangguk-angguk bernyanyi di bagian 1 Eminem, “Not Afraid”. Recovery. Shady Records, Aftermath Entertainment, Interscope Records. 2010 2 Ibid.
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 53 refrein. Bahkan tak pernah ada sejarahnya mahasiswa Green Amazonite menyanyikan lagu mars kampus sekompak ini. “I’m not afraid, to take a stand, everybody come take my hand. We’ll walk this road together, through the storm, whatever weather cold or warm. Just lettin you know that, you’re not alone. Holla if you feel like you’ve been down the same road.” 3 “He’s got the talent, hasn’t he?” Rachel menyeruak membelah kerumunan, “Tapi, membantu Departemen Musik tampil di mana pun tidak akan pernah membantunya untuk bisa menambah nilai akademis. Dan Profesor Clapton, ia nggak sengaja melihat maket yang hancur beberapa saat setelah Nathan datang ke tenda. Ini memang ketidaksengajaan, tapi dia tetap mencatatkannya sebagai pelanggaran berat.” “Not fair,” Sean mengawasi Nathan menjepit headphone di sebelah telinga dan bahunya, “He looks so happy tonight. Kau dengan medalimu, dia dengan ini. Everyone’s born superstar in their own way. Am I right or I am right?” “Ya, terus saja membelanya,” omel Rachel, “Semester depan dia pasti dikeluarkan dari kampus kalau begini terus.” Belum habis gema suara Rachel, kerumunan yang masih tersihir pesona George dan Nathan mendadak berceloteh ramai dengan seruan-seruan kesal. Tanpa tanda apapun, lampu-lampu laser warnawarni yang tadinya berputar meriah mendadak tak ramah, cahayanya menyorot diam tanpa kedipan, memelototkan sinar putih silau ke kerumunan, menembak galak setinggi mata semua orang. “Damn!” Belle meletakkan telapaknya seperti ujung topi, “Ada apa?” Musik yang berdegup-degup ikut berhenti. Sean menangkap gerutu berbunyi “what the” dari gerakan bibir Nathan yang spontan menurunkan headphone-nya. Lengkingan denging feedback membuat semua orang serentak menutup kuping ketika Albert Wilson naik ke panggung menggengam wireless microphone. “Semua siswa kami harapkan untuk tidak beranjak ke manapun!” wajah Presiden Universitas itu merah menahan marah, “Kami harus 3 Eminem, op.cit.
54 ▪ Angel G. mengadakan pemeriksaan mendadak.” Di bawah panggung, Rachel mengalihkan pandangan ke arah panitia yang membariskan betis memagari pesisir. Dari arah cottage, semua staf dan pengajar kampus bermunculan, berkeliaran menyeruak di sela-sela kerumunan dengan wajah tertekuk dan menghampiri siswa satu persatu. Mereka berbicara kaku dan terburuburu, diikuti semua siswa yang latah merogoh saku baju atau celana. “Walker, ikut kami!” suara melengking Adam Clapton—Kepala Departemen Arsitektur—menyapa tiba-tiba dari balik punggung Sean, “Ini sudah keterlaluan!” Rachel melihat Profesor Clapton berulang kali mendengus, bola matanya bergerak-gerak liar. “Oke,” Sean menyelip di sela-sela kerumunan yang masih saling bertatapan, melewati barikade pagar betis panitia membuntuti Profesor Clapton. Menghilang di balik pepohonan palma botol yang membingkai jalan setapak menuju komplek cottage. Rachel tak mengerti apa yang terjadi, yang ia tahu, ia sepertinya sudah melewatkan adegan penting. Di atas panggung yang redup, Rachel menangkap siluet Nathan beradu mulut dengan seorang staf kampus. Nathan mengayun-ayunkan lengannya tidak sabar, menggeleng-geleng tak karuan sebelum akhirnya menunjuk-nunjuk hidung staf kampus di depannya. Detik berikutnya, Rachel melihat Nathan melepas kalung headphone-nya dengan satu hentakan keras, sebelum akhirnya menuruni tangga panggung dan menghilang di balik bahu semua orang yang ribut entah karena apa.
Keesokan harinya. Siang yang sama teriknya dengan hantaman cahaya surya menyengat kulit. Nathan menciut nyaris lenyap, mengerut seperti cucian yang diperas hingga tak berbentuk. Ia merasa dirinya tak ubahnya narapidana yang disidang tanpa seorang kuasa hukum pun. Tengkuknya berkeringat dingin dan pipinya memerah panas
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 55 dikeroyok belasan pasang mata yang menatapnya sangar. Profesor Albert Wilson, Profesor Adam Clapton dan dua belas pejabat rektorat Green Amazonite University duduk mengitari meja dengan setelan jas gelap formal, memasang wajah keras macam mengajak perang. “Seorang mahasiswa yang mungkin kau kenal—Chip Traisher dari Departemen Musik—mengalami overdosis heroin. Ditemukan telanjang tidak sadarkan diri di kamar pacarnya dan dilarikan ke rumah sakit kemarin malam. Beruntung naloxone dapat menyelamatkannya. Dan kukira, kau mungkin ada hubungannya dengan ini.” “For God’s sake, I’m not one of them,” Nathan berdiri gemetar, kedua kepal berkeringatnya menempel lengket di meja konferensi. Profesor Albert Wilson di seberang berayun-ayun di kursi kepala meja, rambut putihnya kusut acak-acakan. “Aku presiden universitas ini, Evan. Aku tahu seperti apa catatan kehidupanmu di luar dinding kampus.” “I play music in a club, doesn’t mean you’ll have right to enderestimate me! And this thing is not mine!” ia menyapu plastik-plastik kecil di depannya—berisi serbuk putih dan jarum suntik—meluncurkannya hingga menyeberang ke sisi meja di hadapan Profesor Wilson. “I don’t use drugs.” Dengung rendah menyelimuti ruang rapat, para pejabat kampus di dalamnya saling berbisik-bisik. “Tapi,” Profesor Wilson mengibas-ngibaskan tangannya, “Kami menemukan barang-barang ini persis di dalam koper, turntable—ah, entah apa namanya. Kopermu yang bertulis graffiti jalanan, merah hitam, berbunyi DJ Evan itu, kan?” “Why you so fussy about that? What’s so sinful about street art? Aku ada di panggung dan siapapun bisa menyelundupkan barang-barang itu tanpa sepengetahuanku.” “Kami sedang memproses hasil tes urinmu, dan sebelum kita mendapatkan bukti pasti, kumohon kau untuk diam, Nathan Evan!” Nathan mengangkat lengannya ke udara. Persis ketika pintu ruangan berderit, bergerak membuka. Profesor Sarah Rodman—Kepala Departemen Musik—muncul
56 ▪ Angel G. di balik pintu dengan tongkat dan rambut tergelung tinggi khasnya. “Dia bersih. Kemungkinan besar barang ini bukan miliknya, Albert.” “Kau tidak melakukannya untuk membela dia kan, Sarah?” “Aku tidak ingin mempertaruhkan reputasiku,” Profesor Rodman menatap dari balik kaca mata ovalnya, “Kita tidak perlu berbantah-bantahan untuk sebuah bukti autentik. Nathan Evan tidak menggunakan obat apapun. Dan dia benar, siapapun bisa menyelundupkan barang sekecil itu ketika semua orang sibuk berdesak-desakan.” “Kau...” Profesor Clapton di sudut meja menggeleng-geleng, “Selalu membela anak ini, lebih dari anak didikmu sendiri.” “Adam, ini bukan tentang Evan berkarya di Departemen Musik, atau Departemen Arsitektur-mu,” Profesor Rodman menghampiri Nathan, ketak-ketok tongkatnya menemani ketukan langkah boot semata kakinya, “Sit down, Kid!” senyumnya menepuk bahu Nathan, mengajaknya duduk di kursi di sampingnya, “Ini tentang memberikan semua anak didik kita hak yang sama untuk bebas berbicara.” “Dia,” Profesor Clapton memicing, telunjuknya menegang menuding Nathan, “Sudah menghancurkan maket anak-anakku.” “Ya, dengan tidak sengaja,” sahut Profesor Rodman, “Dan semua orang pernah melakukan hal bodoh tanpa bermaksud seperti itu, kan? Dan apa kau tahu kalau semua orang begitu terhibur atas permainan cantiknya malam ini, dan semua orang lebih menghargainya ketika dia berkalung headphone di bawah sorot lampu panggung, dan kau sama sekali tidak memuji keterampilannya itu hanya karena satu senggolan tak disengaja?” Profesor Rodman memandang lagi dari balik kaca mata melorot. “Itu hanya musik malam,” cengir mengejek Profesor Clapton hinggap di mata kalung dog tag Nathan, “Itu bukan kecerdasan.” “If you dare to say it one more time, you better ask Professor Albert Wilson to close our Department of Music soon!” kerutan pipi Profesor Rodman kontan menegang, “Jangan pernah menghakimi hal yang tidak kau mengerti, Adam.” “Anak ini!” Profesor Wilson serta merta berdiri, suara beratnya menggelegar meremukkan keheningan ruang, “Bermain musik
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 57 sepanjang hari, sepanjang malam. Hingga suatu malam di mana adik perempuannya sendiri tertembak dalam perkelahian antar gangster di sebuah club kota. Itu yang tidak aku mengerti, begitu?” serunya dengan bibir bergetar, “Hingga saat ini, hanya rektorat yang tahu. Kau tahu betapa sulitnya kita menutupi berita itu di depan semua mahasiswa dan media massa, ketika pers berulang kali mengejarku dengan kamera dan perekam suara untuk bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Michelle Evan?” Profesor Wilson bolak-balik memandang Profesor Rodman dan Nathan, “Gadis belia pintar dari kelas akselerasi, yang masuk universitas ini dengan beasiswa akademis, namun harus tewas mengenaskan bahkan ketika dia belum mencapai umur minimal untuk menginjak club malam?” Seketika Nathan merasa panas bersarang di paru-parunya, membuat napasnya tercekik di tenggorokannya. Ia menangkap reaksi puas Profesor Clapton memandang memojokan dari ujung meja. “If you wanna kick me out from this college, just do it!” Nathan tidak tahan lagi, bangkit menggeser mundur kursinya, “But don’t ever speak Michelle’s name again. She’s been happy in heaven now,” suaranya melembut hingga nyaris berbisik, denyut-denyut memompa pelipisnya, “You don’t know how it hurts.” Profesor Wilson kembali duduk. Semua orang kasak-kusuk canggung menatap meja. “Excuse me. I just wanna go home.” “Salam untuk ayahmu,” Profesor Rodman tersenyum, satusatunya yang memberi tatapan membela. Nathan pergi menyusuri koridor di balik pintu, berusaha keras mengusir ingatan perih yang menyelusup menyakitkan ke dalam setiap jengkal otaknya. “Nate, is everythin’ all good?” Sean menyapa dari belakang kemudi ketika ia sampai di mobil, “OK, we’re goin home, Ladies.” Belle dan Rachel di jok belakang tak berbicara apapun. Ketika Sean membelokkan mobil melewati gerbang cottage, Nathan hanya menempel di sandaran kursi, melipat lehernya memandang jendela samping.
58 ▪ Angel G. “Sudah satu tahun,” hanya Sean yang berani menyapanya, “Aku tahu, mahasiswa Green Amazonite yang tahu memang cuma kami di mobil ini. Tapi, come on, berhentilah tersakiti oleh rahasia itu.” “Aku seharusnya tidak pernah mengizinkannya ikut. Membiarkan nya tertembak tak sengaja di tengah-tengah club keparat itu,” Nathan membalik kepalanya menatap langit-langit, memijat-mijat hidung saat ludahnya seperti tak mau masuk ke kerongkongannya, “Dia pintar, kebanggaan semua orang. Cantik, sempurna. Dia seharusnya tidak pantas selalu membela kakak sepertiku.” “Jangan terus menyalahkan dirimu. Life is chaos. Forgive yourself, and move on.” “Berhenti ngoceh, Sean!” Nathan tak bisa menahan suara tinggi nya. Semuanya sampai menghening. “It’s still a long way to go, Man,” Sean menggemerincingkan mata kalung dog tag di dada Nathan, “Kau memulainya bersama orang yang kau harapkan ada selamanya. Tapi di tengah perjalanan, dia pergi, dan kau sendirian. Walaupun begitu, tak peduli siapapun pemain di lapangan, pertandingan tidak akan pernah berhenti untuk menunggu.” “Ya,” balasnya menantang Sean, “Kau nggak pernah tahu rasanya sendirian.” “Believe me. Aku sangat tahu rasanya,” Sean menyunggingkan senyum tak terbaca di antara dua lesung pipitnya, menarik napas panjang dan membelokkan kemudi mengikuti liukan jalan di antara hamparan hutan kayu, “Kehidupan tidak mengambil tongkat dari sepasang kakimu untuk melihatmu jatuh terduduk, tapi untuk membuktikan, bahwa kau masih cukup kuat untuk belajar berjalan, meskipun tertatih. Sebuah tongkat mungkin akan memapahmu untuk sementara waktu, tapi suatu saat kau akan mengerti, berjalan dengannya ke mana-mana tidak akan pernah benar-benar membebaskanmu untuk berlari kencang.” Nathan melihat sepasang mata cokelat cekung Sean memandangnya nyengir. Ia tahu, sekalipun selalu bertingkah ajaib, Sean yang selalu mengajarkannya untuk kuat. Mobil meluncur cepat, melarikannya menerobos hutan hijau di
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 59 bawah percik sinar mentari. Melesat bersama alunan rap dari DVD Sean yang menabuh-nabuh gendang telinganya. Rusuknya pengap saat ia mencoba terpejam. Menggengam mata kalung dog tag tentaranya.
61
Interlude 1
Malam itu, buruh-buruh bangunan dari Down North Road baru saja pulang dari lembur membangun sebuah gedung pencakar langit baru. Kebanyakan dari mereka kemudian singgah di sebuah coffee shop sederhana yang masih menyalakan lampunya di lorong Hummingbird Alley. Coffee shop itu sempit dengan langit-langit rendah, terletak persis di seberang barisan lampu kuning gang yang memanggang dinding dekat jendelanya hingga selalu jingga seperti dibakar matahari. Salah satu dinding sampingnya lapuk kehitaman tergerogoti udara lembap karena menempel dengan dinding bekas reruntuhan gedung tak berpenghuni yang sudah lama terbakar hangus dalam kerusuhan kota dan menyisakan cat berjelaga. Ruang dalamnya sendiri hanya berisi delapan meja termakan usia dengan masing-masing empat kursi mengitari. Gerah di musim panas karena tanpa mesin pendingin udara, hanya ada kipas angin berkarat menempel di langit-langit, berputar ringkih dengan bunyi mencicit baut tuanya yang sudah longgar. Jendela-jendelanya terbuka, meneroboskan angin malam musim panas yang meniupi ujung-ujung taplak meja. “Kau mau ke mana? Besok kau ujian perbaikan,” Joanne Evan menyapa Nathan yang menuruni tangga lipat setelah melumasi baut tua kipas angin dengan minyak goreng. “Aku nggak lama, hanya menyelesaikan pekerjaanku,” Nathan mengelap tangannya di meja counter berkayu kusam, “Don’t tell Dad. I’ll be fine.”
62 ▪ Angel G. “Hei!” seorang pria kekar berseragam proyek kumal berdebu mengangkat gelasnya dari tempat duduk pojok, berseru kasar pada Joanne dengan urat di lehernya, “Kau bilang ini kopi cream? Rasanya lebih mirip air! Coffee shop macam apa ini? Kau tak punya lidah, Pelacur Tua?” Nathan menghela napas melihat ibunya masih bisa tersenyum, tergopoh membawa gelas pria itu kembali ke bar. Nathan lantas mengambil alih gelasnya dan membawanya ke dapur, menggantinya dengan yang baru dan mengorek lebih banyak cream yang tinggal tersisa beberapa sendok di dasar stoples. Menyeringai sinis, ia meludah tiga kali ke dalam gelas. “Worse than any second hand drink! Tasty!” Dikembalikannya gelas itu ke meja si pria kekar, berkata datar, “Watch your mouth, Sir.” Berusaha tidak tertawa, ia kembali ke bar seolah tak ada apa-apa. “Aku tahu cream di dapurmu sudah hampir habis. Akan kubelikan dengan uang bayaranku malam ini,” katanya pada ibunya, “Aku tetap akan pergi. DJ serabutan yang dibayar sangat kecil, tapi setidaknya, aku melakukan sesuatu. Come on, Mom. It’s just a club. I don’t have any other place to play my music.” “Ayahmu bisa meledak kalau tahu kau masih juga bermain musik setiap malam.” “Dan aku akan memukulinya kalau dia sampai membentakmu lagi gara-gara aku.” “Nathan,” Joanne menggeser sebuah gelas gabus, “I know you have right to dream, but we’re not rich family.” Nathan meneguk capuccino latte encernya, menatap wanita tegar paling sabar yang pernah ia miliki di dunia. Malam ini, ada kerutan baru yang mulai nampak jelas di kening berflek hitamnya, catatan jejak kepenatan hidup dan kerja keras tiada henti. “Aku bawa kunci cadangan pintu depan. Nggak usah menungguku pulang. Kau perlu istirahat,” Nathan meletakkan gelas gabusnya yang masih setengah penuh, mengusap-usap bahu ibunya dan mengecup pipinya, “Dan jangan terlalu baik dengan buruh-buruh itu.” Ia melewati sekumpulan buruh yang tergelak-gelak bermain
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 63 kartu di dekat pintu keluar, sengaja memalingkan wajahnya dari tatapan Joanne Evan yang terkadang terlalu kuat untuk membuatnya merasa ingin kembali dan tidak menjejali ingar-bingar kegemerlapan dunia malam ini. Dunia yang bagi Nathan, tak ubahnya dongeng kristal dan limousine, sementara kenyataannya begitu keras seperti pabrik tempa panas atau kisah gelandangan mengais makanan sisa restoran hotel bintang lima. Baru beberapa langkah dari pintu keluar, suara riang berseru di belakang punggungnya. “Nathan!” “Michelle,” katanya membalik punggung, “Please.” “Ssshht,” gadis itu nyengir meletakkan telunjuk di bibirnya, “Aku mau ikut!” Nathan mendengus, meneruskan langkahnya di gang sempit Hummingbird Alley yang dipenuhi tebaran kerikil dan belum beraspal, menyusuri tembok tinggi dari slab beton kotak-kotak tanpa cat di sisi bahunya, “Jangan aneh-aneh! Kau bahkan belum cukup umur!” “Dan kau akan membiarkanku berkata pada Dad, kalau kau masih bermain musik di Bacchus Throne?” Nathan membalik punggung lagi. Michelle yang membuntutinya memamerkan sepasang mata berbinar. Tingginya jejeran lampu kuning sepanjang gang menyinari rambut cokelat panjangnya hingga terlihat merah. “Kau siswi kelas akselerasi pintar yang bisa masuk kuliah dua tahun lebih muda,” Nathan berjalan lagi, “Duniaku bukan duniamu.” “Hei!” langkah Michelle mengejar punggungnya, “Aku hanya ingin melihatmu bekerja seperti yang selalu kau ceritakan padaku. Kau selalu memberi sebagian uang sakumu hasil bermain di club. Lalu, kenapa aku tidak boleh ikut mendukungmu?” ia berdiri menghalangi jalan Nathan, “Apa kau tahu, aku ingin sepertimu. Aku selalu bercerita tentangmu pada semua teman-temanku.” Petikan dawai dingin seketika memutar memori Nathan. Ia tak pernah lupa bagaimana Michelle selalu membelanya ketika ayahnya memaki dengan sumpah serapah setiap ia akan pergi bermain
64 ▪ Angel G. musik. Bagaimana Michelle menahan tangan ayahnya yang pernah hendak menghajar kepalanya dengan teko kopi atau bagaimana ia membawakan baki sarapan sementara ayahnya menendang tempat tidurnya. Gadis yang mengendap-endap dengan masih berpiyama dan membukakannya pintu rumah ketika ia pulang dari club setiap subuh. Gadis yang menemaninya terkikik-kikik setiap ia traktir pizza murahan yang kejunya sangat tipis dan es krim dari truk pinggir jalan dengan uang hasil bermain musik. “Remember this necklace?” Michelle mengangkat mata kalung dog tag di dada Nathan, “Aku mengumpulkan semua uangku untuk membelinya. Aku sendiri yang mengalungkannya padamu di hari pertama kau benar-benar memperoleh pekerjaanmu di Bacchus Throne Club,” Ia menggerak-gerakkan logam persegi panjang itu, menyorotkan pantulan cahayanya ke mata Nathan, “You’re my soldier, Nathan. And you’ll always be!” Percik-percik cahaya kuning lampu gang menaungi mereka dalam hangatnya cahaya jingga bak suasana merah terowongan tambang. Nathan bisa menangkap bayangan tiang jatuh tepat di antara mata Michelle yang berkilat memohon. Menyerah oleh rasa sayang, ia mendekap adiknya lembut, menjewer telinganya pelan, “Tapi kau janji, selalu dekat-dekat denganku di sana! Dasar kau, gadis lollipop kecilku! Selalu ingin ikut aku ke mana-mana.” Michelle tersenyum mengecup pipi Nathan. Senyum yang sama semenjak gadis itu masih seorang kanak mungil dengan lollipop menempeli mulutnya ke mana pun, hingga sekarang, menjadi gadis cantik berlekuk dada yang selalu Nathan lindungi dari pria-pria yang mengencaninya. Gadis yang akan selalu menjadi malaikat kecilnya. “Do I look good enough to step to the club?” Michelle memandang sepatu kanvasnya yang usang pudar, “Aku sampai mencuci sepatu terbaikku malam ini agar tidak membuatmu malu.” “All is good, Baby,” Nathan tersenyum menempelkan kening mereka, mata di bawah poni ikal Julias Caesar-nya mendadak mengha ngat, “Come on, where’s my lil’ lollipop girl at?” katanya menjulurkan se pasang kelingkingnya. “I’m still here. Everything’s OK,” Michelle mengaitkan kedua
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 65 kelingkingnya sendiri pada kelingking Nathan, nyengir lebar, “We’ll get through this.” “Oke, sebelum ke club, kau ikut aku mengambil turntable di apartemen Sean. Tapi sebelumnya, kita balapan lari ke ujung gang ya?” Nathan menunjuk ujung mulut gang beberapa puluh meter di depannya. Siluet mobil-mobil mewah yang berlalu lalang kencang di Down North Road silih berganti meluncur seperti pusaran bayangan terang di tengah pekat malam, menghiasi lorong itu dengan cahaya hilang timbul setiap melintas di depannya, “Yang pertama sampai, harus mencuci piring semua orang selama dua hari berturut-turut.” Michelle tersenyum miring, “Siapa takut?” “Satu. Dua... Tiga!” Keduanya berkejaran, Nathan dengan sneaker bengkaknya disusul Michelle dengan sepatu kanvas merah mudanya. Sesekali mereka menginjak kerikil-kerikil kecil yang bertaburan di sepanjang gang dan nyaris tergelincir. Kepulan debu dan pasir halus berpusar setinggi betis ketika kaki-kaki itu berlari dengan baju berkibar. “Kau lihat mobil-mobil mewah di mulut gang?” Michelle berteriak mengejar Nathan, “Suatu saat kita akan duduk di dalamnya!” “Yeah!!” Nathan berlari zig-zag menggoda Michelle, “In the Ferrari one or Lamborghini like Sean’s!” Keduanya tertawa-tawa, sesekali Nathan harus menukik oleng saat Michelle menarik-narik ujung kemejanya untuk merebut tempat pertama. Tergelak-gelak menelan debu gang di bawah kubah langit musim panas yang berhias bintang. Membangunkan dunia dari lelapnya. Mencoba merenda tawa, ketika asa dipertaruhkan agar tak kehilangan nada.
67
Chapter 7
Lemari di Bawah Tangga
Cermin-cermin setinggi manusia menempel di tiga dinding gim nasium, memantulkan bayangan empat anak kecil yang menari-nari lincah di atas sneaker bertali yang berdecit-decit. Lantai vinyl-nya licin oleh tetes keringat, mengilap di bawah siraman cahaya lampu tabung langit-langit. Bass musik hip-hop berdentum lewat loudspeaker gantung, menggetarkan dinding kaca gimnasium yang memamerkan lukisan kota di bawah matahari terbenam. “Mana power kalian?” Nathan mengelap peluh keningnya, “Aku nggak akan memulangkan kalian sebelum kalian melakukannya dengan benar! Ayo! Orangtua kalian tidak ingin mendapatkan hasil tidak memuaskan dari anak-anak berbakat mereka. Berikan yang terbaik untuk pertemuan terakhir kita!” ia bertepuk tangan menye mangati, sesekali mencuci mata mengantuknya dalam dekapan men tereng Down North Road di balik dinding kaca, beberapa belas meter di bawah lantai kantilever gimnasium. Kalau saja tak perlu uang, rasanya ia sudah memilih pulang. Na mun hidup mengais pundi-pundi di dunia malam menuntutnya ber dandan sehebat mungkin. Nathan benci itu, dan ia tahu, itu semua mahal. “Apa seperti ini?” Lee, si kulit pucat berumur sebelas tahun, memutar-mutar tubuhnya di atas kepala berhelm, “Apa aku sudah melakukannya dengan benar?” “Kau hanya terlihat seperti orang tolol dengan headspin separah itu,” lelah bercampur geli, Nathan mengawasi tubuh anak didiknya
68 ▪ Angel G. yang miring-miring tidak karuan. “Kepalaku tidak tahan lagi,” Lee berhenti berputar-putar, mema sang tampang seperti mabuk darat, “Belasan kali aku berlatih meniru peragaanmu, dan yang kuperoleh hanyalah helm nyaris penyok!” ia tergeletak membuka helm, menepuk-nepuk mangkuknya. “Kalau kau punya pelatih baru yang menggantikanku nanti, kau harus lebih baik dari sekarang,” Nathan menghampiri tiga murid lainnya, “Kalian? Sudah selesai?” David, Brit, dan Chris mengangguk mantap, “Sedikit lebih baik.” Tiga anak berumur lima hingga dua belas tahun di depannya menari kejang seperti robot gemulai. Jentikan jari Nathan melantun kan irama seiring ketiganya yang memperagakan gerakan dasar popping yang menyentak patah-patah. Kaki-kaki lentur mereka me langkah bak Michael Jackson, seperti dipakaikan roda-roda licin kasat mata yang tak tersentuh gaya gesek. “Sentakannya masih agak lemah tadi,” komentar Nathan, “Dan, perhatikan musikalitasnya. Overall, good enough.” David, si mungil termuda berumur lima tahun, berkulit gelap dan paling pendek dari semuanya, kontan nyengir menggaruk-garuk kepang cornrows-nya, “Nathan, baru kali ini kau memuji kami.” “Kami harus pulang sekarang?” Lee mendadak memelas, pipi pucatnya memerah seperti tomat, “We’re gonna miss you, Nate.” “Me too.” “Bye, Nathan!” decit-decit sneaker memenuhi gimnasium. Anakanak itu mengemasi ransel, menghilang di pintu dorong. “Nathan,” David masih tinggal di gimnasium, mengelap keringatnya dengan handuk kebesaran hingga terinjak kakinya, “Apa ini benar-benar terakhir kalinya kau melatih kami?” “Sepertinya begitu. Ini semester terakhir percobaanku di kampus. Tak ada waktu main-main lagi.” “Tapi, Dad menanyakan, kau tetap akan mengajukan karyamu ke Soundlab, kan?” Nathan duduk meluruskan kaki linunya, menyandarkan punggung basahnya di dinginnya dinding kaca, “UBT yang hanya empat tahun sekali itu, ya? Awal musim dingin nanti, kan?”
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 69 “Ya. Dan... hanya untuk meyakinkan saja... Kau nggak pernah bilang pada Dad, kalau aku mengiyakan untuk bergabung dengan anak-anak street dancer itu, kan?” “Menurutmu?” “Come on, Nate. Real nigga do hip-hop and street things.” Nathan tertawa, menatap anak didik kesayangannya itu. Anak berumur lima tahun dengan kulit gelap dan kemampuan menari melebihi remaja secondary school, sudah berambut kepang cornrows sekalipun tinggi badannya hanya seperutnya dan kakinya bahkan lebih kecil dari lengan Nathan. Bocah yang mempertemukannya dengan DJ Rob, DJ senior pemilik Basstrap Studio yang memperbolehkannya menjadi satu-satunya DJ serabutan di Bacchus Throne club. “Memangnya kau ngapain dengan mereka?” “Mereka...” David sesaat berpaling, “Mereka hanya mengajakku bergabung. Ada kompetisi besar, di sekitar awal musim dingin juga.” “Hanya itu? Rob tidak akan pernah suka kalau kau bohong.” “Hei, kau nggak cerita apa-apa pada Dad, kan? Dia bisa menggantungku.” Nathan tertawa lagi, “Hanya bercanda,” katanya menarik buntut kepang cornrows David, “I know how it feels to want something. Aku nggak akan bilang apa-apa.” “Aight!” David tersenyum lebar, “Aku pulang. Sudah dijemput Mary. Ada latihan dengan teman-teman penari jalananku,” gerakan kepala sok dewasanya mengajak Nathan memandang ke balik dinding kaca. “Sering sekali dia menjemputmu.” Nathan memandang ke bawah. Ada seorang gadis yang sering ia lihat dari gimnasium, dari ketinggian lantai tiga ini ia tetap tampak menarik, bertubuh bagus, gadis yang selalu menunggu dekat pos sekuriti, berambut merah dengan celana training dan kaus besarnya, “You should take her upstair someday.” “You wanna know her more?” David tersenyum miring, “You like her?” Nathan tertawa mengacak-acak kepala David, “I mean. Maybe she
70 ▪ Angel G. can join us sometimes. Gonna be cool.” “She said this place is too damn good for a street kid.” “I’m from another part of the street too,” senyum Nathan, “Sampaikan salamku buat ayahmu!” “OK, senior!” David mengemasi ranselnya, ber-pound hug tengil dengan Nathan yang masih berselonjor, “See ya.” Punggung David menghilang di pintu saat Nathan menanggalkan T-Shirt longgarnya, menatap bayangan kembarnya di tiga dinding cermin ruangan. Musik hip-hop masih berdentum-dentum menemani penatnya ketika ia membuka dompet. “Tambahan untuk bulan ini. If you’re still here, Michelle. Kita pasti bisa makan piza dan ice cream lagi,” senyumnya terpaksa, mematikan mixer, “Dan, Soundlab UBT. Kalau kau ada, kau pasti bisa membelaku lagi di depan Dad,” Nathan merapatkan mata kalung dog tag dinginnya ke dadanya yang basah, “Ah, come on, Nathan!” Dengan kaki serasa dipasangi borgol berton-ton, ia meninggalkan gimnasium dan kembali ke St. John Alley, ke sebuah rumah kumuh yang pancuran kamar mandinya kembali menghujani badannya malam ini dengan air panas—yang seperti biasa—tidak bisa meman car keras. Semprotannya lebih mirip keran berair kecil akibat lubang pancuran yang tertutup karat dan sambungan besinya yang sudah melonggar. Sudah jam makan malam saat ia telentang dengan bath coat robek-robek di atas kasur yang busanya sudah tipis hingga ia bisa merasakan pegas besi menyentuh tulangnya. Urat-uratnya meronta linu ketika ia membalik punggung mencium bau lapuk kamar, menambatkan mata abu-abunya pada bercak-bercak hitam di langit-langit. “Anak ini, bermain musik sepanjang hari, sepanjang malam. Hingga suatu malam di mana adik perempuannya sendiri tertembak dalam perkelahian antar gangster di sebuah club kota. Itu yang tidak aku mengerti, begitu?” Kalimat Profesor Wilson terngiang lagi, mengingatkan Nathan untuk kembali mengutuk Summer Camp musim panas lalu. Pesta konyol dan tuduhan menyimpan heroin. Membuat semua pejabat kampus sukses mengobrak-abrik memori masa lalunya, memaparkan luka yang tadinya mulai mengendap kembali basah berdarah.
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 71 “Nathan! Kau sudah siap? Sebentar lagi, semua keluarga kita akan datang!” Ketukan sepatu Matthew Evan mondar-mandir di lantai bawah. Nathan rasanya ingin pura-pura sakit atau meminta Sean menculiknya hidup-hidup. “Aku ada urusan dengan Derrick. Penting sekali, tak bisa kutinggalkan. Telepon aku kalau acara di rumahmu selesai, kita ketemu di luar.” Justru itu yang bisa ia baca ketika membuka gambar amplop bertulis Sean Vincenzo Walker pada layar cell phone-nya. Paru-parunya menggelembung pengap, rasanya tak sudi bermanis-manis ketika yang ia inginkan hanyalah sendirian di kamar menghirup udara malam atau menenggak dua tiga shot tequila di tepi kolam renang penthouse Sean. Berjalan ke depan cermin, sesosok atletis berambut ikal balik memandangnya dengan mata kelabu redup. Dog tag itu menggantung di dadanya. “Nathan!” Matthew Evan berseru lagi dari bawah, “Aku mau kau berperilaku seperti anak dari tuan rumah yang baik! Bersikap manislah! Oke?” “Yeah, right!” dengusnya. Rasanya ingin meninju si rambut ikal yang memandangnya kusut itu hingga hancur seperti debu-debu kecil tajam. Bermimpi tolol, andai ia bisa keluar kamar setelahnya dengan wajah dan tubuh orang berbeda. “Nathan, bagaimana nilai-nilaimu?” celotehnya sendirian, “Masih tidak ada perubahan? Kau harus lihat bagaimana Tod memenangkan olimpiade matematikanya seminggu lalu,” sebulan lalu, kalimat itu yang terlontar dari mulut kakeknya ketika mereka makan malam bersama di rumah pamannya, William Evan. “Mereka selalu menertawakanku dan kau sama sekali nggak membelaku, Dad. Hanya Michelle yang bisa,” katanya menyeberangi pembaringan, menghampiri meja yang kayu lapisnya sudah mengelupas. Layar laptop di atasnya memamerkan grafik suara naik turun, berebutan tempat di antara loudspeaker tinggi, mixer dan Serato, synthesizer mirip piano dengan banyak tombol dan knop, serta sepasang turntable dengan piringan hitam yang terpasang di bawah
72 ▪ Angel G. jarum, menyebelahi headphone besar, dan koper turntable coffin bergraffiti merah hitam berbunyi, DJ Evan. Graffiti itu. Sean sendiri yang menggambarnya. Warnanya sudah pudar. Ketika ia merabanya, cat timbul aerosol keringnya menggerumbul mengelupas di bawah jemarinya. Empat tahun sudah. Dan semuanya tak beranjak ke mana-mana. Nathan menghela napas, tak tahu sampai berapa tahun lagi ia harus merasa seasing ini di rumahnya sendiri. Selama bertahuntahun semenjak high school, ia sudah muak dengan reaksi berjengit ayahnya setiap mendengar apapun yang ia lakukan jika itu berkaitan dengan bermain musik. Kepergian Michelle satu tahun lalu membuat semuanya semakin keruh, seperti air buangan sisa pabrik yang sudah kotor dan memburuk menjadi lumpur. Nathan ingat bagaimana ketika ia berumur sepuluh tahun, ayahnya menyiksanya hanya karena diam-diam menyelinap dan membuka pintu lemari tua di bawah tangga ruang tengah. Sampai sekarang Nathan tak tahu apa salahnya, waktu itu ia hanya ingin diam-diam menyentuh tuts sebuah piano tua di dalam lemari itu, belajar satu dua not balok dari buku yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Ketika ayahnya yang seharusnya lembur di luar kota tiba-tiba pulang lebih cepat, memergokinya memainkan piano dan berubah seperti orang gila. Ayahnya menyeret tangannya hingga bengkak lebam, mencengkeramnya hingga kukunya menancap di kulit, membanting pintu lemari bawah tangga itu hingga serpih-serpih kayu di ujungnya copot dan engselnya bengkok. Nathan masih bisa mendengar gelegar teriakan ayahnya sore itu, tepat dua inci di samping kupingnya. Gendang telinganya sampai terus berdenging semalaman saat ia terisak di bawah selimut, merasa kan sakit di pergelangan tangannya hingga Michelle harus mengoles kan balsam panas untuk menghilangkan nyerinya. Nathan melihat Michelle menangis melihat pergelangan bengkaknya, mendengar isak tertahannya di antara lampu kamar yang sengaja dipadamkan agar Matthew Evan tidak tahu kalau gadis kecilnya belum tertidur. Nathan merasa matanya panas. Ia benci mimpi itu. Kenapa ia
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 73 harus menginginkan semua itu. “Nathan!” Joanne Evan ikut memanggil dari bawah, “Turunlah dari kamarmu, Nak!” Memilih kaus besar tanpa lengan dan celana cargo sebetis, Nathan merapikan poni ikal keningnya ketika bel rumah berdering nyaring. “Apa kabar anakku!” suara Eric Evan, kakek Nathan yang mantan tentara, membahana di lantai bawah. Selalu sama lantangnya dengan prajurit zaman dulu. Obrolan ramai di balik dinding memaksa Nathan keluar kamar, menuruni anak-anak tangga yang seolah me rangkul pergelangan kakinya untuk tidak beranjak ke mana pun. “Hi, everyone!” sapanya dari sudut bibir, menatap selusin tamu keluarga yang memandangnya dengan kening mengkerut. “Nathan!” usir Matthew Evan, “Ganti pakaianmu!” Berusaha tetap tersenyum, Nathan mencambuk otaknya yang meronta-ronta untuk tidak meledak marah. “Sudahlah, Matthew!” potong Si Kakek, “Anak muda sekarang!” ia merangkul Nathan dengan lengan ringkihnya, mereka duduk di sofa yang sandarannya berdempetan dengan dinding bordes undakan. Semua orang mengobrol, tapi tak satu pun yang menanyai Nathan, membuatnya merasa tersempil seperti ganjalan tak berarti dan cuma bisa memainkan gerendel pintu lemari di belakang kepalanya. Dengan mata menahan kantuk, ia berusaha mematirasakan telinga nya, mengacuhkan semua mulut di depannya. “Tod, bagaimana kabarmu, anak pintar?” tanya William Evan, adik bungsu Matthew Evan, “Kau semakin kurus saja! Jangan terlalu banyak memikirkan pelajaran! Harusnya Nathan yang seperti itu. Bukankah begitu, anak muda?” Nathan menatap dongkol pada senyum bajing Tod yang luar biasa menjengkelkan dengan gigi depan mirip kelinci. “Kurasa Tod sudah banyak makan. Ada dua kemungkinan, makanannya terserap ke otak semua, atau dia cacingan. Kulihat perutmu tidak seatletis aku. Biologi bilang, orang cacingan agak sedikit kembung, kan?” Senyum Tod menghilang, diiringi Matthew Evan yang melotot, “Nathan, ya, dia memang selalu bercanda!”
74 ▪ Angel G. “Ya,” kata Tod, “Aku senang punya sepupu sehumoris dia.” Nathan melengos. “Well. Kau benar, Paman!” sambung Tod lagi, “Aku memang semakin kurus. Seleksi mahasiswa teladan beberapa minggu lalu benar-benar menguras tenagaku!” “Yeah?” tanya William antusias. Semua orang tersedot cerita Tod. “Ya,” jawab Tod bersemangat, “Aku harus belajar setiap hari, bahkan pada akhir pekan. Tidak sempat bermain sedikit pun.” Nathan berjengit. Membayangkan kata-kata Tod sungguh mengerikan. “Ceritakan mereka bagaimana hasilnya, Nak,” James Evan, ayah Tod, mulai ikut-ikutan. Tod menggeleng-geleng, berlagak kecewa, “Predikatku hanya mencapai A. Melenceng sedikit dari target A+.” William Evan bertepuk tangan, terkikik seperti siluman kuda jelek, “Itu sangat hebat. Coba Nathan? Si gaul ini bisa menghabiskan bertahun-tahun untuk mendapat nilai C!” Nathan tertusuk. Seperti ada yang menancapkan ladam panas ke bilik jantungnya. Ingin rasanya menampar bibir Paman William yang cekikikan mengejek. “Nathan!” William mengerutkan keningnya, “Aku mau tahu, cita-citamu itu apa?” Nathan mendengus menggaruk-garuk leher, “Dunia kalian hanya seluas perpustakaan kampus dan setinggi ujung toga,” katanya datar, kalimat itu meluncur begitu saja, “Bagi kalian, kebahagiaan mungkin cuma alat tukar kemapanan, atau prestige semu yang diterjemahkan sebagai materi atau kehormatan bermakna sempit. Kecerdasan yang diartikan dengan pukulan sama rata, serba seragam. Entah mengapa,” sambungnya memiringkan bibir. “Lalu, apa perlu aku menjelaskan cita-cita sebenarnya versi aku itu seperti apa? Aku katakan pun kalian nggak akan mengerti,” cerocosnya menghajar reaksi bingung Paman William. “Anak ini selalu bermain musik ke sana kemari,” Matthew Evan menimpali, menuangkan red wine ke gelas-gelas berleher tinggi di meja makan. Nathan tidak pernah habis pikir mengapa ayahnya
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 75 yang berpenghasilan pas-pasan menghabiskan banyak uang untuk berbotol-botol wine hanya untuk jamuan keluarga, “Kalian perlu nasihati dia.” “Kau itu ada-ada saja, Nate!” Si Kakek menyambar, “Kebanyakan anak muda zaman sekarang tidak punya visi jelas. Hal-hal yang kau kagumi saat ini hanya sementara, Cucuku!” Nathan menekuk-nekuk buku-buku jemarinya, berharap bisa secepat mungkin naik ke kamar, “Kenapa aku harus memaksa diri menelan berton-ton materi yang sama sekali tidak menarik perhatianku. Aku belajar setahun akan sama dengan orang lain belajar satu bulan,” ia menahan napas agar suaranya tidak meninggi. “Kau tidak bisa memaksa Mozart menjadi petinju.” “Nathan!” James Carter, ayah Tod, menjawab ketus, “Anak-anak zaman sekarang labil. Bagaimana mungkin kau berbicara tentang legendaris dunia? Hanya keajaiban. Satu di antara sejuta.” “Lalu apa yang kau mau? Menjadi seniman jalanan?” Matthew Evan meletakkan botol red wine-nya, berkacak pinggang menghampiri ruang tengah, “Kau bahkan tidak bisa membaca not balok apapun. Dan kau bermimpi seperti Mozart?” “Beethoven itu tuli!” Nathan tak kuasa mencegah nadanya naik, “Dan dia bisa menciptakan mahakarya tanpa bisa mendengar satu nada pun!” “Dan kau bukan Beethoven!” “Dan,” kini ia merasa urat lehernya mengeras, “Aku tidak bisa membaca not balok apapun karena kau! Kau yang memasukkanku ke Departemen Arsitektur!” makinya bangkit berdiri, meneriaki ayahnya tanpa peduli semua menatapnya, “Karena kau! Kau yang dulu mencengkeram tanganku!” ia mengacungkan tinjunya ke depan hidung Matthew Evan, “Mencengkeramnya hingga bengkak hanya gara-gara aku! Membuka! Lemari ini!!” Nathan tak bisa menahan diri lagi, tinjunya menghantam pintu lemari di bawah bordes tangga yang berimpitan dengan sandaran sofanya. Terdengar bunyi krak bersamaan dengan lekukan yang terlukis pada pintu lemari, cekung tipis seukuran kepalan tangannya yang memerah. Semua mata keluarga tertuju padanya. Ibunya hanya
76 ▪ Angel G. mengusap-usap bahunya dari belakang. “Kau selalu keras kepala, Nate!!” Matthew Evan menggelegar, menunjuk-nunjuk hidung Nathan, “Aku yang bekerja keras saja masih harus bekerja menjadi pegawai bergaji rendah dan ibumu harus bekerja keras di coffee shop kecil! Kita hanya punya rumah kumuh di gang sempit hingga pamanmu dan yang lain bahkan harus memarkirkan mobil mereka jauh di luar mulut gang! Tapi kau lihat keluargaku, kan? Mereka semua adalah sarjana-sarjana yang berhasil. Sebuah musik dan turntable tidak akan menghasilkan uang, status sosial, atau kehidupan yang lebih baik!” “Dad,” Nathan merasa tulang rusuknya berdegup. “Kami ingin kau jadi yang terbaik, Nathan!” teriak Matthew Evan dengan pangkal hidung mengkerut, “Putraku harus bisa membanggakanku. Kau harus belajar seperti Tod! Tak akan ada penghargaan untuk seorang seniman jalanan!!” Seruan Matthew Evan lagi-lagi meremukkan tempurung kepalanya, meyakinkannya bahwa ada yang salah dengan kelahirannya di dunia. Nathan benar-benar tak menemukan alasan untuk apa ia berada di sana, seperti badut yang berusaha tersenyum ketika dipaksa bersirkus hidup-hidup dengan wajah tersemprot air dan tepung roti, sementara tak seorang pun bisa menyaksikan air mata itu. Nathan menggeleng-geleng pada ayahnya, berlalu tanpa permisi dan membanting pintu keluar hingga berdebam. Disusurinya gang rumahnya yang belum beraspal dan mengepul kan debu setiap kali ia melangkah, berjalan di antara dindingdinding rumah dengan cat mengelupas dan lapisan luar yang hancur memamerkan lapisan batu bata. Di lapangan basket kumuh di tengahtengah dinding rumah yang telanjang dengan bata merah bercoratcoret graffiti, beberapa pemuda pengangguran berkumpul dengan bau asap lengket dan aroma alkohol menyedihkan, menghirup rokok dan berjongkok mabuk di dekat tong-tong sampah dari drum kaleng berkarat. Nathan ingat, jika kelewat mabuk, mereka sampai tak sadar meninggalkan jarum-jarum bertebaran di pinggiran gang sebelum besoknya tunggang langgang membongkar-bongkar tong sampah dan membakar jarumnya begitu menemukannya. Hari ini untung
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 77 tidak, mereka hanya mengawasinya melintas sambil tergelak-gelak meracau dan mengacung-acungkan botol minuman keras. Nathan menyebut mereka tipe “hippies ’don’t work, smoke weed all day in the park and don't really have anything to be mad about”. Salah satunya muntah di dekat kaki Nathan hingga bau menjijikannya masuk ke hidungnya. “What cha lookin’ at?” seru Nathan berang. Seorang pemuda dari mereka menghampiri sambil tipsy oleng. “I ain’t got no money with me, Man,” Nathan meradang, “Just take my cigarette and leave me alone,” ia mendorong bungkus rokoknya ke dada pemuda itu dan berjalan lagi. Terus menjelajah jauh ke pusat kota hingga akhirnya sampai di Down North Road. Di jalan itu ia menendangi daun-daun kering yang berguguran dari pohon-pohon sepanjang trotoar. Menatap rindu pada etalase toko musik Angel’s Harps yang memajang grand piano selebar tempat tidur king size. Melihat teriris pada anak-anak perempuan kecil yang memilih-milih mainan di balik dinding kaca Wonderland Toys. Dan terakhir... ...terakhir ia ke sini untuk berhenti di mulut lorong Hummingbird Alley yang menyempit di belakang jalan, menatap gang beralas beton kasarnya yang dikotori tebaran kerikil. Memandang sakit pada dinding slab beton kotak-kotak dan barisan tiang lampunya yang bercahaya kuning suram. Sekelebat wajah riang Michelle menari-nari di otaknya. Nathan melihat sepasang kaki mereka berlarian di lorong itu, berkejaran sambil tertawa menelan debu. Malam terakhir sebelum ia mendengar bunyi tembakan. Melihat Michelle tersungkur dengan kepala berlubang di tengah kerumunan yang berlarian di bawah lampu laser. Menjerit mendekap kepala Michelle yang basah ber lumur merah dan mencium amis darahnya yang menggenang hingga membasahi sneaker-nya. Hari di mana club memisahkan mereka selamanya.
“Nathan masih belum bangun?” Derrick Fisher mengangkat
78 ▪ Angel G. kuping cangkir menyeruput kopi mengepulnya, angin kencang roof garden di penthouse Sean mengibarkan kausnya, senada dengan permukaan kolam renang yang beriak tipis.
79
Chapter 8
Racing Team
“Kalian nggak akan terlambat ke kelas pagi ini, kan?” “Who cares,” Sean berendam menatap langit lepas kota dari taman atap apartemennya di lantai delapan belas. Gelembung hangat air jacuzzi beraroma lemon memijat jemari kaki hingga lehernya saat memandangi awan pagi dan lautan gedung pencakar langit, “Kau kembali saja ke markas. Nanti aku menyusul.” “Semua sudah beres. Tinggal masalah tim trainee. Kau punya rekomendasi?” “Not yet. Aku akan segera hubungi Peter kalau ada update terbaru. Talent scouts sudah disebar, tapi belum ada hasil memuaskan.” “Aku tahu kriteriamu memilih seperti apa. Just like Billy.” “I ain’t wanna work with a dead man walking, Man. I want ‘em who got soul,” Sean keluar dari jacuzzi, berbaring di bangku kayu kolam renang. “Lakukan sesuatu untuk orang lain dan suatu saat kau pasti akan berhenti. Lakukan sesuatu untuk cinta, dan kau tidak akan pernah berhenti. Itu kenapa, orang-orang terhebat di dunia selalu berawal dari orang yang mencintai apa yang mereka lakukan.” “See? Otak kalian benar-benar kloningan,” cengir Derrick, “Dan tentang turnamen tahun ini, kulihat persiapanmu sudah matang sekali. Aku sampai yakin kau bisa memenangkan sirkuit bahkan dengan mata tertutup.” “Billy memang nggak mendirikan tim untuk menghasilkan pembalap yang hanya berkendara dengan mata, kan? By the way, here’s the kickass thing.”
80 ▪ Angel G. “What?” Sean yang sekarang nyengir, berseru tinggi, “This year’s gonn’ be my last national tournament! Yay yay, Baby! Roll out to that international track soon!” “Jadi, tahun depan kau masuk kelas dunia? That is news. Man, this is sick.” Sean beradu kepal tinju dengannya, ikut tertawa-tawa. “You’re gonna love it, Billy,” katanya bangkit dari bangku. Di bawah pagar kaca penthouse, lautan mobil di sepanjang jalan protokol kota terlihat seperti semut mengantri, merangkak lambat merubung kakikaki gedung, “Imperial Topaz Circuit. Pertandingan pertama untuk turnamen tahun ini. Saatnya bersenang-senang.” “Kau masih yang terbaik di tim. Tapi tidak lama lagi, kau lihat saja aku. Next year!” “Noted! Tapi ngomong-ngomong,” Sean nyengir lagi, “Kau masih utang satu giliran minum waktu kalah balapan liar musim panas lalu, kan? Atau kau mau ganti dengan traktir menu paling mewah di Village Fresca-mu?” “Kau ini. Sudah tinggal di penthouse mewah, belum-belum mansion-mu di Red Carnis. Apa artinya satu giliran minum untukmu? Jangan-jangan tusuk gigimu saja kau buat dari emas!” Sean tertawa, namun tidak menjawab apapun. Ia memimpin Derrick menghampiri dinding kaca penthouse, mengarungi angin di rooftop yang menggulung betis basahnya hingga tergigit linu. Di dinding samping, anemometer digital menunjukkan kecepatan angin sudah naik beberapa knot, angka termometer di sebelahnya juga sudah turun sejak dua minggu kemarin. Surya di angkasa ber ganti warna menjadi lebih teduh, menandai musim gugur sudah sepenuhnya menggantikan musim panas. “Seperti seorang superstar girl yang terlihat sempurna di atas stiletto-nya,” Sean tersenyum menyusuri plaza batu marmer, melintasi kolam pancurnya yang dihinggapi patung Dewi Victoria—dewi ke menangan yang berdiri di kereta quadriga megah yang ditarik empat ekor kuda, mengembangkan sayap dan mengangkat lengan pe nakluknya ke langit kota.
A Street Dream: The Evergreen Architecture ▪ 81 “But deep inside,” Sean memasuki ruang makan berdinding kacanya yang fantastis dengan lantai kayu Brazilian rosewood sekelas kerajaan—kayu langka fenomenal termahal di dunia yang dipuja kecantikannya, mengilap kemerahan dengan corak urat meliuk-liuk anggun, berpasangan sepadan dengan satu set furnitur dari Brazilian mahogany, mulai dari kursi-meja makan dan kitchen set seukuran lapangan tenis, hingga bar dan meja billiard berukuran 9 kaki. “Ya deep inside,” Sean nyengir, “Kau nggak akan pernah tahu kehidupannya yang sebenarnya seperti apa.” “Come on, Man. Never take it personal,” Derrick menumbuk bahu Sean, “You’re doin’ great, Coach! Sampai ketemu di markas besar siang nanti,” katanya menyambar ransel dari meja bar, “Aku pergi! Salam buat Nathan!” Sean mengawasi Derrick menghilang, sebelum beranjak me nguakkan pintu kamar tamu. “Jesus!” alisnya terangkat melihat Nathan masih meringkuk, spontan menyentil telinganya, “It’s morning already, Sir.” “Heh,” Nathan malah meracau, menarik selimutnya ke leher. “Oh, shit!” Sean balik menariknya, “Wake the fuck up, Dude.” Nathan akhirnya bangun, memicing ke sana kemari, “Kenapa aku di sini?” “You were drunk, knuckle head,” Sean melengos, “Kau minum berapa banyak? Bernyanyi-nyanyi sendirian di pinggir Gateway Boulevard seperti orang gila. Untung aku menemukanmu, kalau nggak, uang melatih tarimu pasti sudah habis dicopet,” ia melempar sebuah dompet ke pembaringan, mendepak pelan kepala Nathan, “Kill that hangover, Soldier! Kelas Profesor Clapton, pukul sepuluh.” Nathan memukul-mukul kepalanya seperti hendak mengeluarkan air dari sebelah kuping, “Oh Man.”