Problematika Teori Keadilan dan Solusinya dalam Pandangan Amartya Sen Pretty Kusumaningrum, Donny Gahral Adian Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Teori keadilan memiliki dua tantangan serius yang tidak terselesaikan. Pertama, untuk menghasilkan keputusan yang rasional tanpa bertentangan dengan nilai-nilai moral yang tertanam dalam hati nurani. Kedua, adanya pluralitas nilai dan identitas dalam masyarakat sosial seringkali menjadi penyebab utama isu ketidakadilan seperti diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran HAM. Amartya Sen menawarkan solusi terhadap kedua permasalahan tersebut dalam argumen-argumen yang dibangun berdasarkan kritiknya terhadap Utilitarianisme, Intuisionisme, dan terutama Kontraktarianisme John Rawls. Dengan menggunakan pendekatan kapabilitas, demokrasi, dan imparsialitas terbuka untuk menciptakan ruang diskusi masyarakat bernalar, ketidakadilan niscaya dapat dikurangi. Kata kunci: rasional; komitmen; penalaran publik; kapabilitas; dan demokrasi
The Problems of Theory of Justice and its Solutions from Amartya Sen Abstract The theory of justice has always been faced with two problematic challenges. First, to make reasonable judgments that are not in conflict between rationality and moral values provided in sense of justice. Second, the ontological fact of plurality of values and identities in society is often seen as major cause of injustice issues, such as discrimination and human rights violations. Amartya Sen proposes the solutions to both problems in arguments build from his critics to Utilitarianism, Intuisionism, and especially, Rawlsian contractarianism. By using capability approach, democracy, and open impartiality to improve reasoned public discussion, the problem of injustice will eventually be reduce. Key words: rational; commitmen; public reasoning; capability; and democracy
Pendahuluan Pembahasan mengenai keadilan selalu hadir dengan dualitas tak terjembatani antara ranah teoritis dengan praktiknya. Konsep keadilan yang diperjuangkan seperti terselimuti oleh aura utopis yang membuat realisasinya hanya sebatas angan-angan. Berbagai filsuf dan aliran dalam filsafat mulai dari Aristoteles pada zaman yunani kuno, Immanuel Kant, hingga John Rawls telah merumuskan konsep keadilan ideal dan menawarkan tangga untuk mencapainya. Namun, perkembangan teori keadilan dari masa ke masa belum bisa
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
menyelesaikan permasalah keadilan dan pemerataan distribusi keadilan karena masih terpetak-petak dengan kondisi pluralitas budaya, ekonomi, hukum, dan institusi sosial. Bertolak dari basis pemikiran yang berbeda-beda, hadir ketiga mazhab pemikiran paling berpengaruh dalam sejarah teori keadilan, ketiganya adalah intuisionisme, utilitarianise, dan kontraktarianisme1. Namun keberagaman konsep keadilan yang ideal pada akhirnya menjadi dalil-dalil dogmatis yang bertabrakan antar satu dengan lainnya, sehingga seringkali lupa dengan semangat emansipatif untuk menyelesaikan persoalan ketidakadilan. Teori keadilan yang berlaku dalam ketiga aliran tersebut menghendaki adanya rumusan konsep definitif tentang keadilan yang bersifat final sebagai modal agar argumennya dapat diberlakukan. Pada utilitarianisme, dengan salah satu penggagas utamanya yaitu Jeremy Bentham, memiliki prinsip utama keadilan sebagai “Greatest happiness for the greatest number”2 yang berarti kebahagiaan/kenikmatan terbesar dihitung dari kuantitas dampak terbanyak, bagi orang maupun kepuasan. Utilitarian memiliki kalkulasi kenikmatan yang mengindikasikan bahwa kebahagiaan lebih besar ketika kenikmatan lebih banyak dari penderitaan (pleasure > Pain). Maka keadilan yang diungguli utilitarian mengandaikan bahwa adil menyamakan kedudukan kebahagiaan individu. Jadi tidak ada individu atau hak perorangan yang secara egois mendominasi kebahagiaan dan menyabotase kebahagiaan orang banyak apalagi memberi penderitaan kendati teorinya berimplikasi pada pengesampingan keadilan minoritas, karena lebih mementingkan kebahagiaan bagi orang terbanyak. Utilitarian mengkalkulasi keadilan sebagai yang maximal pleasure dengan menggunakan perhitungan logis terhadap rasa yang bersifat kualitatif.
1
Pemikiran John Rawls sering kali disebut sebagai ‘kontraktarianisme’ (termasuk teori keadilannya) karena berlandaskan pada ‘ teori sosial kontrak’ yang salah satu cirinya adalah mengibaratkan adanya situasi primordial kehidupan sosial manusia yang pada Rawls diistilahkan menjadi ‘original position’. Rawls dianggap sebagai tokoh kontraktarian paling berpengaruh pada filsafat kontemporer, Ia sendiri menyatakan teori keadilannya sebagai ‘a higher of abstraction the traditional theory of social contract as represented by Locke, Reousseau, and Kant”. John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press Edition, 1995), introduction 2
K.Bertens, Etika, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 248
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
Di lain kubu, intuisionisme menyatakan bahwa keadilan merupakan risalah moral yang merupakan panggilan dari hati nurani sehingga tidak dapat dimengerti sebagai rumusan kuantitatif. Keputusan adil maupun tidak sebenarnya telah terbatinkan dalam hati nurani yang dipostulatkan pasti dimiliki setiap manusia dan hukumannya harus dikembalikan pada yang moral pula. Namun pertanyaan besarnya, bagaimana mengatasi problem ketidakadilan dengan intuisi? Yang terjadi nantinya justru diskriminasi ketika hukuman tidak dibulatkan secara pasti (hukum karet). Keadilan dalam hal tersebut bersifat kualitatif, untuk memperjuangkan entitas hati nurani yang terberi. Kemudian munculah John Rawls yang mengeritik keduanya dengan teori paling aplikatif, dengan pisau analisis yang yang tepat, Rawls melihat kecacatan pada kedua dalil keadilan sebelumnya, kendati akhirnya terjerumus pada lubang yang sama. Pada kedua teori keadilan sebelumnya terdapat kecacatan karena memilah karakter unggul manusia antara hati nurani dengan rasio/logos. Rawls pada konsep keadilannya telah beranjak dari identitas manusia yang memiliki keduanya tanpa ada yang diungguli. “Rather, what is required is a formulation of a set of principles which, when conjoined to our beliefs and knowledge of the circumstances, would lead us to make these judgments with their supporting reasons were we to apply these principles conscientiously and intelligently.”3
Namun Rawls mengdefinisikan keadilan distributif, justice as fairness,
yang
mengidealkan sosial kontrak merupakan jaminan kesetaraan pada masyarakat yang telah dilegalisasi oleh negara. Padahal keadilan tidak semata persoalan kemerataan, karena belum tentu kebutuhan dan kenikmatan setiap warga negara sama. ketiga persoalan tersebutlah yang selanjutnya akan dibahas lebih lanjut dan diperbandingkan dengan pemikiran Amartya Sen. Rumusan Masalah Garis investigasi dari tulisan ini merupakan penelusuran beberapa definisi/konsep keadilan yang paling berpengaruh yaitu utilitarian, intuisionis, dan kontraktarian yang telah memfinalkan teori keadilan dan keberpihakan dalam pengambilan keputusan yang dinilai paling adil. Kerangka pikiran dari keadilan yang akan dibahas akan terbatasi oleh beberapa pertanyaan berikut: 1. Mengapa pembahasan mengenai keadilan selalu bermasalah? Hubungannya dengan sumber dari penarikan keputusan moral? 3
Rawls, (1995), Op. Cit., Hlm. 46
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
2. Mengapa
teori
keadilan
yang
berbasis
praktik
ketidakadilan
dibutuhkan?
Dibandingkan dengan teori keadilan yang bersifat transendental ideal? 3. Apakah ide dan solusi tentang keadilan Amartya Sen berkecukupan untuk menjadi alternatif teori untuk keadilan dunia? demi keharusan adanya working concept4 yang bersifat terbuka dan terus berkembang.
Tinjauan Penelitian Penulis mengkritisi adanya ketimpangan pada konsep keadilan ketiga mazhab karena dilandasi dengan demarkasi kategori yang tidak tepat, tapi telah dimantapkan sebagai teori keadilan yang telah beku sehingga berimplikasi pada perbenturan kepentingan ideologis tanpa benar-benar memperhatikan tujuan etis. Telaah kemudian dilengkapi dengan komparasi terhadap pemikiran Amartya Sen mengenai keadilan yang berupaya untuk lebih dekat dengan keadaan praktik dibandingkan dengan hanya merumuskan keadilan teoritis. Tinjauan penelitian diringkas menjadi beberapa poin: 1. Perenungan kritis pada aliran pemikiran besar teori keadilan yang final 2. Pengembalian
tujuan
gagasan
keadilan
yang
dapat
diaplikasikan
tanpa
memprioritaskan pihak tertentu dan tetap bermuara pada keputusan moral yang rasional. 3. Komparasi solusi dengan pemikiran Amartya Sen sebagai landasan teori.
Tinjauan Teoritis Penulis berusaha mengekplorasi pemikiran Sen mengenai keadilan, terutama yang telah teruraikan dalam buku The Idea of Justice sebagai basis teoritis yang akan digunakan. Amartya Sen dalam The Idea Of Justice menyuarakan argumen bahwa mencapai keadilan ideal adalah angan-angan utopis dan tidak perlu, tapi dengan berpijak pada pemberantasan dan minimalisasi ketidakadilan, setidaknya manusia bisa mendapatkan esensi keadilan yang dapat dipegang secara utuh tanpa keberpihakkan dan ekslusivitas dari pihak tertentu.
4
working concept dalam pembahasan ini mengandung maksud/merujuk pada konsep teori yang bersifat terbuka dan terus menerus berkembang namun paling relevan untuk digunakan saat ini (temporer). Bukan dalam artian semata-mata konsep yang dapat diaplikasikan. Pengertian tentang konsep adalah “fundamental category of existence”, merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol yang mewakili objek dengan karakteristik sama. (http://en.wikipedia.org/wiki/Concept#Etymology)
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
Amartya Sen tidak menggantungkan keadilan sebagai cita-cita yang sulit diraih, namun menggunakan basis ketidakadilan sebagai pijakan dan mencoba untuk menyelesaikan persoalan ketidakadilan, walaupun teorinya tetap bermuara pada tujuan pencapaian keadilan. Sen berusaha untuk mengembalikan keadilan sebagai hak yang memang sepatutnya dimiliki setiap individu untuk mencapai kondisi well-beingnya, terlepas dari perbedaan-perbedaan kultural dan kondisi yang melatarbelakanginya. Bagi Sen, ketika segala atribut yang menjadi pembeda antara manusia satu dengan lainnya dilepaskan, maka yang ada hanyalah manusia sebagai individu, sebagai human-being yang sama-sama membutuhkan keadilan. Amartya
Sen
menyuguhkan
pencapaian
keadilan
dengan
mereduksi
dan
menyelesaikan permasalahan ketidakadilan. Namun untuk mencapai suatu keadilan, diperlukan identifikasi bentuk substansial dari keadilan itu sendiri. Bagaimana membedakan yang adil dan yang tidak. John Rawls, filsuf yang menginspirasi Sen (walaupun Sen tidak setuju dengan penyimpulan teori keadilannya), mengemukakan prinsip keadilan yang berdasarkan fairness (justice as fairness) di mana alokasi keadilan jatuh pada pihak yang paling tidak beruntung dengan indeks yang ia istilahkan sebagai „Primary Goods‟ termasuk di antaranya pendapatan dan kekayaan5. Dengan demikian tingkat kesejahteraan masyarakat diasumsikan dapat ditinjau dari besarnya GNP (gross national product). Amartya Sen membantah hal tersebut. Menurutnya, pemuasan hak untuk memilih dan kebebasan tidak serta-merta datang bersamaan dengan pendapatan finansial, bahkan konsep pengorbanan pemenuhan keadilan saja menurut Sen merupakan hal yang absurd. Misalnya orang yang memiliki keterbatasan fisik (cacat) dengan penghasilan yang jauh lebih banyak dari orang yang lengkap fisiknya belum tentu bisa memiliki kebebasan yang lebih. Maka, pembuktian bahwa primary goods bisa dikonversikan menjadi good living dinyatakan tidak berhasil6. Happiness,
well-being,
freedom,
capabilities,
adalah
beberapa
term
yang
dipertimbangkan sebagai materi substansial dari keadilan. Freedom atau kebebasan barangkali merupakan komponen yang berperan penting dalam menjadikan manusia sejati. Tanpa nalar dan kebebasan, otentisitas manusia akan dipertanyakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih jalan yang dirasa dapat membawanya kepada well-being. Maka, kebebasan dan well-being merupakan suatu bangunan yang kongruen, kebebasan seolah 5
Rawls, op.cit., hlm 303 Amartya Sen, The Idea of Justice, (Cambridge, Mass: Belknap Press/Harvard University Press..2009), hlm. 66
6
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
menjadi prasyarat atas well-being7. Namun yang diajukan oleh Sen pada akhirnya adalah kapabilitas, yaitu suatu kemampuan untuk memiliki keberkuasaan dan keleluasaan yang beralasan (bernalar) atas pilihannya. Amartya Sen mengkritik John Rawls yang hanya menggunakan fairness sebagai kacamata tunggal dalam menyelesaikan ketidakadilan. Rawls mendambakan keadilan universal dan satu jurus pamungkas yang dapat digunakan di manapun dalam kondisi apapun untuk mencapai keadilan ideal. Dalam buku A Theory of Justice, Rawls mengangkat masyarakat berkeadilan (just society) yang di dalamnya keadilan telah dijamin oleh hukum yang diciptakan institusi pemerintahan. Seperti Immanuel Kant dan John Locke, Rawls mempercayai kontrak sosial antara negara dan masyarakat dapat berpengaruh pada keadilan global. Sebaliknya, menurut Sen, kontrak sosial hanyalah perjanjian imajiner yang justru dapat mendeprivasi hak individu. Berlindung dibawah payung intitusional sesungguhnya hanya dapat meratakan kepentingan saja, tidak benar-benar menjamin pemenuhan hak individual. Sen kemudian menawarkan formulasi pemecahan ketidakadilan, bukan dengan mengejar keadilan ideal secara teoritis, melainkan dengan mengkomparasikan kebijakan sosial satu dengan yang lain untuk dijadikan solusi untuk menanggulangi ketidakadilan. Bagi Sen, membuat perbandingan haruslah dengan ukuran yang sebanding. Membandingkan praktik keadilan dengan keadilan ideal bukanlah ukuran yang sesuai dan harus menempuh perjalanan panjang untuk mencapainya. Sen mengibaratkannya dengan contoh, apabila ditanya manakah yang lebih indah antara lukisan Picasso dan Dali, kemudian dijawab dengan lukisan Monalisa dari Da Vinci lah yang terbaik, adalah suatu kesesatan yang wajib dihindari. Barangkali lukisan Monalisa telah ditangguhnya sebagai lukisan terbaik sepanjang masa, namun menggunakannya sebagai perbandingan antara Dali dan Picasso tidak berguna 8. Adalah hal yang konyol jika berpikiran bahwa mengkomparasikan dua alternatif tidak dapat dilakukan tanpa adanya identifikasi ide absolut di luar keduanya. Metode Penelitian Metode penulisan yang akan digunakan adalah analisis-komparatif terhadap teks-teks terkait, terutama dari Amartya Sen seperti the Idea of Justice dan Inequality Reexamined dengan teori dari kontraktarianisme (Rawls), utilitarianisme, dan intuisionisme, yang 7 8
Ibid., hlm. 63 Ibid., hlm. 16
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
pembahasannya terdapat dalam buku Sen dan Rawls, menggunakan analogi yang dapat mempermudah penjelasan. A Theory of Justice yang diusung John Rawls, yang juga merupakan pemicu utama Sen untuk berjibaku pada permasalahan keadilan, akan diulas secara deskriptif untuk membentuk pemahaman yang lebih komprehensif. Hasil Penelitian Tradisi teori keadilan yang memiliki dua problem utama yaitu adanya pemisahan antara hati nurani dengan rasio dan konflik yang disebabkan oleh pluralitas sehingga keadilan menjadi tidak emansipatoris dan tidak aplikatif. Amartya Sen menyediakan solusi dengan pendekatan kapabilitas pada gagasan keadilannya. Pembahasan 1. Problematika Teori Keadilan Keputusan etis biasanya dilematis karena penentuan benar atau salah sebagian besar tidak bergantung sepenuhnya pada fakta (matter of fact), melainkan mengandung kedua unsur yaitu fakta dan moral. Contohnya9, 1. Perbuatan Jenifer yang merenggut nyawa michael adalah pembunuhan 2. Pembunuhan adalah salah 3. Maka, perbuatan Jenifer yang merenggut nyawa Michael adalah salah Premis pertama merupakan pernyataan fakta atau deskriptif sedangkan premis kedua adalah pernyataan moral, yang mengevaluasi dan mengkategori nilai atau sifat dari suatu tindakan, karenanya pernyataan tersebut sering dikatakan sebagai pernyataan normatif atau preskriptif. Premis pertama dapat diuji kebenarannya melalui investigasi fakta, apakah benar Jenifer yang membunuh Michael atau jika benar, apakah Jenifer memang berkeinginan atau secara sengaja membunuh Michael adalah pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijawab dengan melihat buktibukti pendukung nyata. Masalah muncul pada premis kedua yang lebih dapat diperdebatkan dan diargumentasikan karena mengandung pernyataan yang tidak memiliki kohenrensi dengan fakta, melainkan mengandung nilai bagaimana seharusnya suatu tindakan dilihat. Masalah pada premis kedua membuat penarikan kesimpulan pada nomor tiga menjadi sulit untuk dikatakan sahih sehingga keputusan moral selalu dapat diperdebatkan dan menimbulkan pro dan kontra.
9
Contoh diambil dan dialih bahasakan dari Daniel Bonevac, Today’s Moral Issue; Classic and Temporary Perspective, (McGrawHill Inc. 4th edition, 2001) Hlm.15
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
Pada pembahasan keadilan, perdebatan dan perselisihan pendapat yang terjadi dalam menilai keputusan terjadi karena dua hal. Pertama, adanya aturan pasti untuk menentukan sumber keputusan moral, yaitu secara rasional (rational) atau hati nurani/intuisi (intuitive/consience). Manusia memiliki kapasitas moral yang ditangguhkan dengan dua kualitas dalam sistem kemanusiaan, yaitu rasio dan hati nurani. Namun tradisi pada teori keadilan hanya mengunggulkan satu diantaranya dengan memilah maupun memilih sumber mana yang lebih bisa diandalkan dalam menentukan keputusan. Kedua, adanya relativitas nilai moral yang berasal dari perbedaan budaya atau kelompok. Pluralitas nilai dan identitas seringkali menjadi sumber utama masalah ketidakadilan. Pluralitas dalam masyarakat kontemporer merupakan kondisi ontologis, diwarnai dengan perbedaan identitas maupun nilai. Masyarakat dengan berbagai pembeda identitas seperti ras/etnis, agama, jenis kelamin, warna kulit, dan lainnya, hidup bersama dalam suatu wilayah yang sama namun dengan segala keberagamannya. Walaupun perbedaan identitas bukanlah wacana baru dalam diskusi kehidupan sosial manusia (perbedaan jenis kelamin sebagai contoh perbedaan dasar), globalisasi merupakan salah satu faktor utama penyebab terciptanya pluralitas. Berbagai gagasan muncul sebagai upaya untuk menegakkan keadilan dan mengurangi masalah yang hadir sebagai dampak dari perbedaan dan keberagaman. Rawls menghadirkan politik liberal sebagai jalan keluar yaitu dengan menyetarakan kebebasan dan meratakan keadilan (equality of liberty dan distribusi primary good). Setiap individu dipandang sama dengan dasar hak dan kewajiban yang harus ditaati dan terikat dalam suatu kontrak imajiner. Namun gagasan Rawls banyak dikritik oleh filsuf setelahnya, salah satunya Sen. Sen mempertanyakan kembali hal apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat secara setara dalam bukunya Inequality Reexamined dalam bagian pertama yaitu equality of what?10 kesetaraan seperti menjadi syarat dasar keadilan namun kesetaraan atas apa? Kesetaraan terhadap kebebasan seperti yang diutarakan Rawls bukanlah jawaban atas permasalahan masyarakat kontemporer, bagi Sen, kesetaraan tidak dapat dikualifikasi dalam satu ruang saja seperti kebebasan atau utilitas. Hal tersebut bukan berarti menandakan bahwa ia tidak setuju sepenuhnya dengan prioritas terhadap kebebasan (liberty) ia hanya tidak meminta kebebasan dalam bentuk ekstrim dengan mendahulukannya di atas segalanya. Namun Sen sepakat
10
Amartya Sen, Inequality Re-exemined, (Oxford University Press, 1992).
Hlm. 12
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
dengan kebebasan personal untuk diprioritaskan. Sen mengangkat isu-isu ketidakadilan global dengan meminta campur tangan semua pihak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengurangi angka kelaparan, kematian, dan kekerasan. Walaupun Sen menitikberatkan pembahasan keadilannya pada penalaran sebagai cara untuk memberantas ketidakadilan, tetapi Sen mengakui pentingnya hati nurani, sebagai sumber sense of justice. Akan tetapi, berbeda dengan Rawls yang mengangkat „toleransi‟ sebagai
syarat untuk
merangkum keberagaman di bawah payung institusi, Sen justru ingin merangkul perbedaan dengan menggunakan „komitmen‟ dan berpegang pada model imparsialitas terbuka, sehingga memungkinkan keputusan dan kebijakan untuk senantiasa diuji kembali. Menuju keadilan global, adalah upaya memecahkan masalah kedua dalam problematika teori keadilan dengan menggunakan kerangka pikir Amartya Sen. 2. Solusi Permasalahan Ketidakadilan 2.1 Solusi Dikotomi Rasio dan Hati nurani Di antara kritik yang ditujukan Amartya Sen terhadap John Rawls, Sen mengakui bahwa Rawls telah merumuskan teori keadilan dengan sangat baik, setidaknya, beberapa pemikiran Rawls dapat disetujui tanpa harus diubah. Salah satunya merupakan jawaban Rawls terhadap dikotomi sumber keputusan moral, dengan menggabungkan pemikiran ekonominya dengan filsafat moral, Sen ingin menunjukkan bahwa pemecahan masalah ketidakadilan tidak hanya persoalan rasionalitas saja, seperti yang diunggulkan oleh utilitarian maupun Rational Choice Theory. Dengan kembali berpedoman pada Adam Smith, Sen menunjukkan sikap manusia yang tidak dapat dijelaskan dengan analisis ekonomi saja, tindakan-tindakan yang dituduh tidak masuk akal. Sen mengangkat istilah komitmen. Berpijak dari Smith, Sen kemudian memberikan argumen untuk memperjelas masalah simpati dengan membandingkannya dengan yang ia sebut „komitmen‟. Simpati atau antipati merujuk pada kesejahteraan seseorang menjadi terpengaruh dengan posisi orang lain, misalnya ketika seseorang dapat menjadi depresi ketika melihat penderitaan orang lain. Sedangkan komitmen berarti diputuskannya keterikataan antara kesejahteraan individu (dengan atau tanpa simpati) dengan tindakan yang dipilihnya, sebagai contoh, seseorang membantu orang lain melepaskan penderitaannya kendati ia tidak mengalami penderitaan
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
orang lain tersebut11. Komitmen jelas terlepas dari kepentingan pribadi, berbeda dengan simpati yang masih memiliki keterkaitan. Sen sepakat dengan Rawls bahwa kedua kualitas manusia sebagai agen moral dan makhluk rasional dapat dijembatani dengan mengangkat sense of justice sebagai sumber keputusan dan motif di balik pilihan moral. Manusia dapat merasakan dan menilai suatu hal baik-buruk atau benar-salah dengan natural segera setelah mengalami tindakan tertentu. Namun, kurangnya stabilitas dari keputusan yang hanya diolah menggunakan sense of justice berdampak pada keragu-raguan, apalagi ketika berhadapan dengan orang yang berbeda pendapat. Maka, dengan menggunakan penalaran, manusia mencari pembuktian dan pertimbangan untuk menentukan prinsip mana yang paling bisa mengakomodasikan keputusan nuraninya. Rawls menyuguhkan metode yang ia gunakan dalam merumuskan teori keadilannya, dengan basis gagasan bahwa keadilan merupakan permasalahan yang kompleks, karenanya harus didukung dengan pertimbangan-pertimbangan yang saling menguatkan hingga menjadi satu pandangan utuh dan koheren. Metode tersebut adalah reflective equilibrium, yang berasal dari dua makna. Equilibrium yaitu ketika keputusan (dari sense of justice)12 dan prinsip pendukungnya mencapai titik temu. Sedangkan reflective mengacu pada keseluruhan keputusan yang diambil telah direnungkan kembali dan dipahami bahwa keputusan tersebut diderivasi dari premis-premis terkait. Metode reflective equilibrium memberikan ruang untuk mengamati dan memutuskan kembali apabila di kemudian hari muncul halangan-halangan yang membuat penilaian awal tidak lagi diyakini. Rumusan Rawls mengenai reflective equilibrium tidak ditolak oleh Amartya Sen. Ia memiliki cara pandang yang serupa dengan Rawls mengenai pentingnya hati nurani dalam mengambil keputusan keadilan, walaupun Sen menyatakan bahwa peran hati nurani juga perlu dibatasi dan sisanya diserahkan pada penalaran. Ilustrasi konflik antara Arjuna dengan Krisna yang diangkat oleh Sen dapat 11
“Sympathy (including antipathy when it is negative) refers to ‘one person’s welfare being affected by the position of others’ (for example, a person can feel depressed at the sight of misery of others), whereas ‘commitment’ is ‘concerned with breaking the tight link between individual welfare (with or without sympathy) and the choice of action (for example, being committed to help remove some misery even though one personally does not suffer from it)” merupakan ikhtisar dari tulisan Sen sebelumnya ‘Rational Fools: A Critique of Behavioral Fondation of Economic Theory’ dan dituliskan kembali dalam The Idea of Justice. Lihat: Amartya Sen, (Cambridge, Mass: Belknap Press/Harvard University Press..2009), Hlm. 188-189 12 Rawls juga menyebut peran intuisi bergantian dengan sense of justice yang mengindikasikan penggunaan term tersebut memiliki maksud yang sama. “this conception is also an intuitive notion that suggest its own elaboration, so that led on by it we are drawn to define more clearly the standpoint from which we can best interpret moral relationship.” Ibid., hlm. 20-22
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
dijadikan sebagai contoh pendorong bahwa sebenarnya konflik antara keputusan hati nurani dan rasio merupakan hal yang tidak asing lagi, bahkan telah ada dalam literatur kuno bangsa India. Arjuna merupakan perumpamaan hati nurani, sedangkan Krisna adalah wujud rasio. Arjuna mempertimbangkan rasa bersalah dan ikatan persaudaraan sebagai dasar keputusannya. Di lain pihak, Krisna teguh dengan pendiriannya sebagai bagian dari Pandawa dan mengingatkan Arjuna bahwa dirinya adalah ksatria yang harus membela kelompoknya. Pengaplikasian reflective equilibrium dapat diilustrasikan dengan kondisi di pengadilan (di Amerika, Jepang, atau pada kasus pengadilan luar biasa) yang untuk mengambil keputusan, hakim tidak sendiri, melainkan didukung oleh 10-12 juri. Para juri bisanya merupakan rakyat sipil yang belum tentu memiliki latar belakang pendidikan hukum. Sebelum proses pengadilan berlangsung juri bisa saja secara intuitif telah memiliki penilainya sendiri terhadap kasus tersebut, namun mereka sebisa mungkin tetap netral dan objektif agar menghasilkan keputusan seadil-adilnya sembari jaksa dan pengacara memaparkan bukti dan pertimbangan-pertimbangan yang dapat memperkuat atau justru mengubah penilaian juri. Kendati pada awalnya penilaian juri berbeda-beda, keputusan akhir yang diambil oleh hakim adalah suara bulat dari seluruh juri, bukan mayoritas, karenanya mereka akan mendiskusikannya bersama dengan memberikan argumen yang masuk akal. Dalam interpretasi yang disederhanakan, teori keadilan intuisionisme berhenti pada penilaian intuitif tanpa metode tambahan. Juri barangkali hanya melihat penampilan atau garis besar kasus saja untuk menentukan nasib terdakwa, hal tersebut akan menimbulkan perbedaan pendapat tak berujung, yang menurut Rawls merupakan problem pluralitas prinsip. Sedangkan pada utilitarian, juri datang ke pengadilan tanpa adanya penilaian terlebih dahulu, keputusannya didapatkan setelah proses berlangsung dengan pemikiran logis dan hakim bisa langsung mengetuk palu dengan dukungan penilaian juri terbanyak agar lebih efisien. Pada Rawls, penilaian hati nurani juri sangat diperlukan, misalnya dalam mengimajinasikan posisi korban atau motif terdakwa. Juri kemudian saling mengutarakan argumennya dan mendiskusikannya bersama hakim untuk mencapai konsensus. 2.2 Solusi Pluralitas Nilai dan Identitas Bagaimana masyarakat dapat menerima pluralitas terkandung dalam komitmen yang idenya diinspirasi (walaupun lebih berupa kritik) dari konsep simpati Adam Smith. Dengan komitmen, tindakan seseorang yang mempertimbangkan orang lain tidak perlu selalu dinilai
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
menguntungkan (memberi kesejahteraan) atau merugikan. Komitmen juga bukannya harus terjadi secara resiprokal antara individu yang setara. Sen justru mengkui relasi asimetris antar manusia ataupun terhadap kelompok yang justru membuat manusia saling membantu satu sama lain. Sen mengambil contoh dari Budha Gautama, yang dalam ajarannya mengajarkan manusia untuk memelihara lingkungan dan hewan karena manusia jauh lebih memiliki kuasa untuk membantu makhluk yang lebih lemah sehingga memiliki tanggung jawab yang lebih besar, bukan karena mengharapkan keuntungan bersama yang didapat dari hubungan simetris. Hal tersebut juga ditemukan pada hubungan ibu dan anak. Sang ibu membantu dan mengurus anaknya bukan berdasarkan keterikatan karena ia melahirkan anak tersebut, melainkan karena ia bisa melakukan hal-hal yang anaknya belum bisa lakukan sehingga dapat dicontoh. Sen menyatakan bahwa “mutual benefit, based on symmetry and reciprocity, is not the only foundation for thinking about reasonable behaviour toward others”13. Dengan mengakui hubungan asimetris, manusia justru menyadari kekuasan dan kewajibannya terhadap orang lain dan melampaui tindakan yang dimotivasi dari keuntungan bersama saja. Komitmen tidak hanya terbatas oleh kontrak saja, atau dalam hal ini dapat dikatakan negara. Masyarakat negara lain dapat terhubung dan peduli dengan apa yang terjadi di luar negaranya, mereka dapat memperjuangkan kepentingannya bersama dengan kelompoknya dari berbagai negara. Misalnya, kelompok dari negara dunia pertama beramal kepada anakanak di negara dunia ketiga. Hal tersebut terjadi bukannya karena kesejahteraan anak-anak tersebut akan membawa kebahagiaan kepada dirinya (walaupun bisa saja, karena dalam komitmen simpati bisa termasuk juga), melainkan karena mereka lebih berkuasa untuk membantu orang lain. Sen menyampaikan bahwa manusia tidak bisa hanya dilihat dari identitas tunggal saja karena manusia memiliki multiidentitas, seperti agama, gender, pandangan filosofis dan lainnya. Manusia bisa merasakan komitmen pada individu lain dengan identitas yang serupa, sedangkan identitas dapat tersebar di mana saja di belahan dunia manapun. Contoh lain dapat dilihat dari kelompok feminis yang peduli dan ingin membantu dalam mengurangi kekerasan atau diskriminasi pada kaum perempuan yang terjadi di Sudan, walaupun feminis tersebut di Amerika hidup sejahtera dan sama sekali tidak berhubungan 13
Amartya Sen, The Idea of Justice, (Cambridge, Mass: Belknap Press/Harvard University Press..2009). Hlm. 207
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
dengan korban-korban di India, mereka tetap ingin membantu. Mereka barangkali tidak mendapatkan keuntungan dengan membantu orang lain yang berjauhan, karenanya tindakan tersebut telah melampaui keuntungan mutual yang dibayangkan oleh Rawls dalam model imparsialitas tertutup. Sebaliknya, Sen menginginkan siapa pun dapat bersama-sama menjadi agen dalam pemberantasan ketidakadilan dan dapat selalu dimonitor oleh segala pihak untuk mengurangi kesalahan. Hal tersebut, menurut Sen, dapat lebih mudah tercapai apabila menggunakan demokrasi sebagai cara atau wadahnya. Pengertian sederhana, namun tepat sasaran mengenai demokrasi menurut Sen telah diutarakan oleh Walter Bagehot yaitu “government by discussion”, di mana John Stuart Mill juga turut berperan besar dalam perumusannya14. Sen meminjam rumusan tersebut untuk menjelaskan gagasan yang ingin dipromosikannya. Sen ingin mengembalikan makna yang lebih luas pada demokrasi sebagai pemerintahan dengan diskusi publik ketimbang pengertian peyorasi atas demokrasi yang lebih dikenal hanya sebagai keadilan prosedural saja yang terlihat melalui pemilihan umum15. Pandangan tersebut bagi Sen hanya dilihat dari sudut pandang niti saja yang lebih terfokus pada keadilan di tingkat institusi dan prosedural saja sehingga mereduksi makna besar di balik demokrasi. Pemilihan umum memang diakui sebagai cara yang paling efisien sebagai bentuk partisipasi rakyat apalagi dengan dilakukan secara terbuka (perhitungannya), adil, dan bebas. Seluruh lapisan warga negara dianggap setara dalam menggunakan hak pilihnya, yaitu satu orang mendapatkan hak satu suara. Dengan demikian, seorang profesor yang barangkali memiliki lebih banyak pengetahuan tentang calon presiden sama-sama memiliki satu hak suara dengan warga di pedalaman desa yang kurang informasi atau bahkan merasa tidak berkepentingan untuk mencari informasi mengenai calon yang akan dipilih. Menurut Sen, demokrasi bukan hanya perihal pemilihan suara sebagai prosedur yang diklaim paling adil dan efisien, melainkan jauh di balik kedua hal tersebut yaitu berbagai hal yang hadir berdampingan dengan pemilihan umum seperti kebebasan berbicara, akses terhadap informasi, dan kebebasan untuk memiliki pendapat yang berbeda dengan orang lain. Menyototi pemungutan suara saja belum tentu menuju pada praktik demokrasi yang sesuai dengan makna luasnya, bahkan dapat jatuh pada rezim otoritarian, seperti yang dapat dilihat pada Korea Utara saat ini, di mana hanya ada calon tunggal dalam „pemilihan umum‟nya 16. 14
Ibid., hlm. 324 Ibid., hlm. 326 16 Ibid., hlm. 327 15
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
Rakyat Korea Utara juga tidak memiliki unsur-unsur demokratik seperti akses terhadap informasi dan dimungkinkannya berbeda pendapat, serta yang paling penting, penalaran publik (public reasoning). Rakyat dibuat buta terhadap apa yang sesungguhnya terjadi dan tidak disediakan ruang diskusi yang sesungguhnya. Padahal penalaran publik bagi Sen merupakan unsur penting dalam praktik demokrasi (walaupun memang sistem pemerintahan Korea Utara bukan demokrasi). Oleh karena itu, model imparsialitas terbuka lebih sesuai dengan demokrasi, dibandingkan dengan imparsialitas tertutup tanpa mengurangi otonomi negara karena adanya keterlibatan warga negara lain. Penalaran publik berhubungan erat dengan ketersediaan akses untuk meningkatkan kesempatan sosial. Dalam hal ini, peran negara sebagai institusi adalah memberikan jaminan keterbukaan aksesibilitas, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, dan penyebaran informasi aktual. Pendidikan, bagi Sen sangat penting untuk membuka dan mengasah penalaran masyarakat agar keputusan dan kebijakan mengenai keadilan dapat didiskusikan dengan cermat, karenanya setiap warga negara harus memiliki hak yang sama atas pendidikan, tidak terkecuali pada perempuan untuk agar dapat mengurangi ketidaksetaraan atau diskriminasi terhadap perempuan dan membantu dalam pemberdayaan perempuan. Kesetaraan akses terhadap perawatan kesehatan juga penting untuk membantu meningkatkan harapan hidup dan mengurangi kematian dini. Dampak pendidikan dan jaminan kesehatan tidak hanya nyata pada masyarakat, tapi juga terasa pada individu. Keduanya membuka kapabilitas individu untuk berfungsi, dan peluang untuk mencapai keinginannya. Pers dan media informasi memiliki peran besar dan menjadi instrumen utama dalam penalaran publik. Pers seharusnya diberikan hak independen dari pemerintah untuk mencegah terjadinya keberpihakan dan menjaga transparansi untuk mengontrol dan mengurangi, contohnya, korupsi. Hal-hal seperti kontrol ketat terhadap pers dalam membuat berita tentang pemerintah, larangan untuk memberikan informasi tentang pihak oposisi, maupun pembatasan informasi dari luar negeri, harusnya tidak lagi menjadi penghalang. Sen menunjukkan beberapa peran utama pers dan media, yaitu17; pertama, sebagai kontribusi langsung (direct contribution) dalam hal kebebasan berbicara, sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat. Kedua, untuk menyebarkan informasi (informational role), untuk memberikan pengetahuan dan menjaga kecermatan publik seperti meliput berita tentang perkembangan sains, atau tentang apapun yang memungkinkan masyarakat untuk memantau
17
Ibid., hlm. 335-337
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
mengenai apa yang sedang terjadi di mana pun. Ketiga, sebagai fungsi perlindungan (protective function) dalam menampung suara pihak yang tidak beruntung, misalnya kelompok yang sedang mengalami bencana, kelaparan, atau mereka yang sering dilupakan. Hal tersebut akan mendorong pemerintah (atau mengajak siapapun) untuk segera mengambil tindakan untuk menanggulangi krisis. Keempat, menjaga keterbukaan komunikasi dan argumentasi sebagai pembentukan nilai-nilai (formation of values) dan menjembatani antara aturan mayoritas dengan perlindungan hak minoritas. Mayoritas dan minoritas, prioritas yang inklusif dan pengabaian ekslusif, selalu menjadi dilema utama dalam pembahasan demokrasi. Sen mengakui bahwa pencarian jawaban terhadap persoalan tersebut bahkan lebih sulit didapat daripada menanggulangi kelaparan dan membutuhkan perjalanan panjang untuk mencapainya. Bagi Sen, masyarakat tidak perlu selalu mengkotak-kotakkan rakyat dalam satu identitas tunggal seperti yang paling umum, agama. Pemikiran tersebut merupakan hasil dari observasinya pada India dan negara-negara di Asia lainnya sebagai perbandingan, selama bertahun-tahun. Penduduk India umumnya memiliki latar belakang ras yang sama, namun yang sangat membedakan adalah agama yang dianut sangat beragam. Namun, India telah beranjak dari konflik antaragama seperti yang dahulu pernah Sen saksikan sendiri sewaktu kecil, walaupun tentunya bukan berarti tidak ada sama sekali, hanya lebih berkurang dari waktu ke waktu. Masyarakat mulai mengakui perbedaan, dan menjalankan pemerintahan sekuler yang dapat dilihat dari latar belakang presiden yang memiliki agama berbeda-beda. That survival has not, however, prevented periodic outbursts of sectarian violence, often fed by political groups that benefit from such divisiveness. The effect of sectarian demagoguery can be overcome only through the championing of broader values that go across divisive barriers. The recognition of the multiple identities of each person, of which the religious identity is only one, is crucially important in this respect; for example, Hindus, Muslims, Sikhs and Christians in India not only share a nationality, but, depending on the individual, can share other identities, such as a language, a literature, a profession, a location and many other bases of categorization.18
Pandangan masyarakat dapat berbeda apabila mereka mau melihat orang lain dengan lebih meluas, tidak hanya agamanya saja, tapi bisa dari bahasa, pekerjaan, tempat tinggal, dan lainnya. Adanya komunikasi bernalar antara masyarakat memungkinkan mereka untuk memecahkan masalah dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Sen ingin
18
Ibid., Hlm. 353
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
menunjukkan bahwa “The practice of democracy can certainly assist in bringing out a greater recognition of the plural identities of human beings” 19 Sen mengakui bahwa masih banyak pembenahan yang harus dilakukan dalam praktik demokrasi, penerapan demokrasi sendiri tidak serta-merta langsung bisa menjadi solusi dalam berbagai hal, bahkan penanganannya bisa saja lebih lambat dan tidak efisien seperti dalam pemerintahan otoritatif yang dapat mengambil kebijakan tanpa peran media dan keikutsertaan masyarakat banyak. Seperti pemberian jaminan kesehatan dan pendidikan yang juga ada di negara-negara seperti Jepang dan Cina, terutama yang mulai dilakukan besarbesaran saat Restorasi Meiji, tidak harus dikatakan sebagai gerakan demokratik, pemerintah bisa mengambil keputusan bijaksana tanpa perlu demokrasi. Namun, demokrasi memberikan ruang agar masyarakat, dengan penalarannya, dapat memilih dan membantu membuat pemimpin atau pemerintahan yang bijaksana. Kesimpulan Konsep keadilan yang hanya bersumber pada rasio ataupun hati nurani saja merupakan kesalahan kategoris karena memilah keduanya dengan demarkasi yang tidak perlu sehingga justru bersifat reduksionis pada satu sama lain. Konsep keadilan menjadi pincang tanpa kehadiran hati nurani maupun rasionalitas. Teori keadilan yang mengunggulkan rasio saja, seperti utilitarian yang sangat terpengaruh dari teori pilihan rasional, sebagai sumber keputusan seringkali justru menjadi tidak adil karena lebih mendahulukan mayoritas dan menomorduakan subjek individu atau kelompok minoritas. Keputusan keadilan yang kuat membutuhkan titik temu antara penilaian hati nurani dengan alasan yang rasional (reflective equibibrium), bahkan terkadang membutuhkan perhitungan matematis sebagai pembuktian. Ruang publik di mana diskusi yang bernalar dapat berlangsung, tanpa perlu selalu terhambat oleh perbedaan identitas merupakan suatu tahapan yang seharusnya dapat dicapai melalui
demokrasi.
Demokrasi
dapat
menjadi
wadah
masyarakat
untuk
bebas
mengembangkan kapabilitasnya, tanpa dikekang oleh pihak manapun, juga untuk menggunakan kemudahan mengakses informasi untuk menyediakan berbagai pilihan hidup yang dinginkan. Kepustakaan Arrow, K.J. (1951, 1963). Social Choice and Individual Values. New York: John Wiley. 19
Ibid., Hlm. 356.
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014
Bertens, K. (1994). Etika. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Bonevac, Daniel. (2001). Today’s Moral Issue; Classic and Temporary Perspective. McGrawHill Inc. 4th edition. Hobbes, Thomas. (1894, 2002). Leviathan; or, The matter, form, and power of a commonwealth ecclesiastical and civil. London, Routledge and Sons. Johnston, David. (2011). A Brief History of Justice. Wiley-Blackwell. Michael Sandel. Justice: What The Right Thing To do; The Moral Side of Murder and The Case of Cannibalism. Harvard University Youtube Chanel. Diunggah pada 4 september 2009 Rawls, John. (1995). A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press Edition. Rawls, John. (1993, 1996). Political Liberalism. Colombia University Press. Sen, Amartya. (2009). The Idea of Justice. Cambridge, Mass: Belknap Press of Harvard University Press. Sen, Amartya. (2008). The Idea of Justice. Journal of Human Development vol.9 no.3 november – Routlegde. Sen, Amartya. (1992). Inequality Reexemined. Oxford University Press Sen, Amartya. How to judge globalism. The American Prospect vol.13 no 1, January 1, 2002January 14, 2002. Smith, Adam, (1759, 1976.) [TMS], The Theory of Moral Sentiments, D.D. Raphael and A.L. Macfie (eds.), Oxford: Oxford University Press. Truitt, Weasley B. (2008) .Greenwood Guides to Business and Economics: Globalization. Greenwood Press. W.D. Ross. (1930,2002). The Right and The Good. Oxford University Press.
Problematika teori..., Pretty Kusumaningrum, FIB UI, 2014