Perspektif"Health Equity"Amartya Sen dan Kesehatan Reproduksi di Indonesia
Yeremias Jena
Gagasan tentang kesehatan sebagai hak merupakan jelas tampak dalam laporan 2010 lembaga Amnesti Internasional (AI) tentang hak akses ke layanan kesehatan reporduktif Laporan tersebut mendudukkan wanita sebagai korban diskriminasi kebijakan kesehatan. Masih ada lagi diskriminasi berkaitan dengan gaya hidup seperi sex yang konsensual kohabitas; aborsi dan isu-isu lain yang diyakini bisa merugikan wanita. Guna mempertahankan hak wanita akan layanan kesehatan, laporan AIpada 2010 menuntut pencabutan diskriminasi melawan hak kesehatan reproduktif wanita. Bertlasarkan pengertian Amyrta Sen tentang "keadilan kesehatan'; makalah ini mengedepankan pandangan bahwa (J) ketidakadilan dan diskriminasi yang sengaja diciptakan dalam komunitas harus ditiadakan karena menghalangi realisasi keberdayaan manusia; (2) Kendati ketidakadilan alami terjadi di masyarakat, manusia masih dapat merealisasikan keberdayaannya; (3) Pewujudan layanan kesehatan reporduktifdapat dilaksanakan melalui perjuangan mengeliminasi ketidakadilan yang sengaja diciptakan tanpa harus mengimplementasi layanan kesehatan sebagai hak yang dapat merusak nilai-nilai kultural dan kebijaksanaan lokal ABSTRAKSI:
KATA KUNCI:
kesehatan sebagai hak, diskriminasi perempuan
The idea ofhealth as a right is evident in the 2010 Amnesty International report on rights ofaccess to reproductive health services for Indonesian women. The report was to position women as victims ofdiscrimination in health policy as an addition to the restrictions ofcertain lift style such as consensual sex, cohabitation, abortion and others which are believed to allegedly harming women. Defending the position ofright to health care, 2010 Amnesty International report called for the elimination of discrimination against women's reproductive health rights. Based on Amartya Sen's notion of "health equity'; this paper defends the position that (J) ineql'ality and discrimination that are intentionally created in the community should be removed because it inhibits the realization ofhuman capabilities. (2) Although the natural inequalities exist in ABTRACT:
RESPONS volume 16 no. 02 (2011): 287 - 312
© 2011 PPE-UNIKA atma jaya, Jakarta
ISSN: 08S3-8689
RESPONS - DESEMBER 2011
society, people stillable to realize its capabilities. (3) Access to reproductive health services can be done with thefightfor the elimination ofinequalities that are created intentionally without having to implement health care as a right (rights to health care) that can destroy the cultural values and local wisdom ofa society.
KEy
1.
WORDS:
Health equality, health equity, health as a right, discrimination against women
PENDAHULUAN Laporan Amnesti Internasional tahun 2010 tentang hambatan akses
terhadap kesehatan r~produksi di Indonesia cukup mengejutkan. Laporan dengan judul Left Without a Choice itu menunjukkan adanya hambatan akses terhadap kesehatan reproduksi dan alasan-alasannya. Pembeberan fakta tentang tingginya angka aborsi di Indonesia yang mencapai lebih dati 2,6 juta orang di tahun 2010 menggambarkan kegentingan situasi sekaligus menegaskan penringnya akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi. Sarna seperri Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Amnesti Internasional memosisikan kesehatan sebagai hak. Kesehatan dipahami sebagai keadaan di mana seseorang berfungsi secara normal (normalfunctioning), yakni "tidak adanya patologi, baik mental maupun fisik."! Konstitusi WHO tahun 1946 mendefinisikan kesehatan sebagai "a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence ofdisease or infirmity." Definisi ini juga ditegaskan dalam pasal 2S ayat 1 Deklarasi Hak Asasi Manusia, "Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan, serra pelayanan sosial yang diperlukan ...."
Respons 16 (2011) 02
288
YEREMIAS JENA - PERSPEKTIF "HEALTH EQYITY" AMARTYA SEN DAN KESEHATAN REPRODUKSI Dr INDONESIA
Dalam konteks inilah hak kesehatan reproduksi dipahami. Pembatasan akses terhadap kesehatan reproduksi karena alasan gender, sosiologis, agama. dan alasan-alasan lainnya harus dihapus karena menghalangi seseorang untuk berfungsi seeara normal. Sejak tahun 1990-an banyak negara berjuang menghapus diskriminasi terhadap perempuan, termasuk pembatasan mengakses pelayanan kesehatan reproduksi. Tahun 1994. misalnya. 179 negara di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam International Conftrence on Population and Development (ICPD) di Kairo, bertekad memerangi berbagai
pembatasan akses terhadap kesehatan reproduksi. terutama akses informasi dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi. 2 Tekad ini kembali ditegaskan dalam konferensi dunia yang keempat tentang perempuan di Beijing tahun 1995. di mana para peserta mendesak negara-negara agar serius memerangi praktik aborsi ilegal dan tidak aman. 3 WHO sendiri mempunyai prinsip bahwa akses terhadap kesehatan reproduksi merupakan salah satu hak asasi manusia di samping hak-hak kesehatan lainnya seperti air minum yang bersih dan sanitasi. makanan yang sehat, nutrisi yang meneukupi, perumahan. kesehatan dan keselamatan kerja. kondisi lingkungan yang sehat. pendidikan yang berorientasi kepada kesehatan. informasi. dan sebagainya. WHO mendorong agar "semua negara harus berusaha menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi yang dapat segera digunakan oleh semua orang dari lapisan usia yang coeok melalui sistem pelayanan kesehatan seeepat mungkin dan paling lambat sudah harus terwujud pada tahun 2015."4 Inilah alasan mengapa kebijakan negara di bidang kesehatan, terutama hak pelayanan kesehatan reproduksi selalu dipantau dan diawasi. Laporan Am289
Respons 16 (20ll) 02
RESPONS - DESEMBER2011
nesti Internasional tahun 2010 tentang akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi di Indonesia mempakan bagian dati upaya PBB memastikan tidak adanya pembatasan terhadap pelayanan kesehatan reproduksi. apa pun alasannya. Pertanyaannya. apakah hambatan-hambatan terhadap akses pelayanan kesehatan reproduksi hams dilihat sebagai pembatasan secara sengaja dan sistematis. dan karena itu hams dilawan dan diakhiri? Atau. apakah mungkin hambatan-hambatan itu bersifat tidak-terelakkan karena berhubungan dengan "social determinant of health care"?' Jika hambatan-hambatan itu bersifat takterelakan. dapatkah seseorang memiliki kebebasan dalam mengakses pelayanan kesehatan yang terbatas itu? Sejauh manakah hambatan-hambatan itu dapat dijustifikasi secara etis dan sejauh mana pula hams ditolak? Tulisan ini menggunakan pemikiran Amartya Sen mengenai "health equity" untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk itu pertamatama akan dideskripsikan secara singkat laporan Amnesti Internasional dan identifikasi terhadap masalah-masalah etis yang ditimbulkannya. Pemooran Amartya Sen tentang "health equity" akan digunakan untuk memahami diskriminasi akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi di Indonesia.
2.
DIBIARKAN TANPA PILIHAN? Diskriminasi gender dan pembatasan informasi pelayanan kesehatan re-
produksi terhadap perempuan mempakan inti laporan Amnesti Internasional (2010). Laporan ini ditulis berdasarkan wawancara dan diskusi dengan individu atau kelompok perempuan Indonesia yang pernah menikah serta mjukan kepada survei yang dilakukan oleh Young Adult Reproductive Health terhadap Rescons 16 (2011) 02
290
YEREMIAS JENA - PERSPEKTIF "HEALTH EQYITY" AMARTYA SEN DAN KESEHATAN REPRODUKSI DI INDONESIA
para gadis usia 10-24 tahun yang belum pernah menikah, Hasilnya menunjuk-
kan bahwa telah terjadi diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. 6 Menurut laporan ini, diskriminasi terjadi secara masif sebegitu rupa sehingga perempuan dan gadis (girls) menghadapi "hambatan ganda" (multiple
barriers) dalam mewujudkan hak atas kesehatan reproduksi. Disebut "hambatan ganda" karena perempuan Indonesia didiskriminasi tidak hanya oleh masyarakat, tetapi juga oleh peraturan perundang-undangan dan hukum. Dengan kata lain, hak atas informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi dibatasi oleh nilai dan norma tertentu dalam masyarakat dan peraturan perundangundangan lainnya. Bagi Amnesti Internasional, pembatasan seperti ini tidak hanya melanggar hak-hak perempuan (perlindungan terhadap perempuan dari segala tindakan diskriminatif), tetapi juga Hak Asasi Manusia.Y Ketidaksetaraan gender seakan-akan telah menjadi hal lumrah di Indonesia. Perempuan tidak memiliki hak memutuskan sesuatu. Indentitas perempuan didefinisikan hanya melalui perkawinan dan menjadi ibu. Prinsip pendefinisian identitas perempuan adalah "semua perempuan seharusnya menikah, dan setiap perempuan yang memiliki anak seharusnya menikah."' Apa yang salah dengan prinsip ini? Bagi Amnesti Incernasional, hak kesehatan reproduksi meliputi hak seksual (sexual rights) dan hak reproduksi
(reproductive rights). Hak-hak apa saja yang dikategorikan sebagai hak seksual dan hak reproduktif dapac dilihac pada Tabel Hak-hak Seksual dan Reproduksi di bawah ini. Mengacu ke prinsip pendefinisian identitas perempuan Indonesia di atas, menjadi aktif secara seksual (sexually active) harus melalui ikatan perkawinan. Selain itu, hubungan seks berdasarkan suka sarna suka di luar perkawinan (consensual sex) tidak dapat dibenarkan. Apalagi hubungan seks
291
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER 2011
yang tidak mengarah ke reproduksi. Data tahun 2009 menunjukkan, terdapat 690.000 perkawinan yang melibatkan anak-anak di bawah umur 18 tahun, praktik yang tidak hanya salah secara hukum, tetapi juga merugikan perempuan sendiri. Secara biologis, perempuan di usia ini telah aktif secara seksual, tetapi mereka tidak memiliki kebebasan uncuk memilih apakah menjadi aktif secara seksual atau tidak, apalagi melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan. Perkawinan dini icu bisa jadi merupakan pengalaman pertama menjadi aktif secara seksual dan berhubungan seks. Secara medis perkawinan ,
yang terlalu dini mengakibatkan kelahiran bayi yang kurang berat badan, anemia, kelahiran prematur, kurang gizi, dan sebagainya. 9
Tabel Hak-hak Seksual dan Reproduksi
Kebebasan untuk memilih apakah menjadi
Akses terhadap pelayanan dan informasi menge·
aktif secara seksual atau tidak.
nai kontrasepsi dan keluarga herencana.
Keb~1iasal\'!l1I~ rerlibat da1ui> hubung.\n MOO' iethada i~rlid~ ~ seksual,.
SC\<;j~~SiIka.
:teritJ~uk bag! ~anakihn ~~g~a.'
Kebebasan untuk terlibat dalam hubungan
Akses terhadap sarana dan pelayanan untuk
seks yang tidak benujuan untuk menghasil·
meneegah kematian ibu yang dapat dihindarkan
kan keturunan.
dan morbiditas.
Me!ld'patkanpeneegahan dan pengobaun penyilit ktl.min yang bersifat tnenular. ie&:
~ yang bersit,it tidak~icrimill'l$"aras gob.ran" fertilira.~. " .
mas~IlrvtAtDS.
.J; •
Pengurangan perkawinan paksa (termasuk
'i!
Pemanfaatan teknologi reproduksi secara etis.
perkawinan dini) dan praktik.praktik tradisional yang membahayakan keseharan seksual dan reproduksi.
Sumber: Laporan Amnesti lnternasional, Left Without a Choict, 2010, hlm. 14.
1/'
l..,n1 1 \
n..,
, . " .
292
YEREMIAS ]ENA - PERSPEKTIF "HEALTH EQYITY" AMARTYA SEN DAN KESEHATAN REPRODUKSI DI INDONESIA
Menurur laporan Amnesti Inrernasional (2010), diskriminasi juga nyara dalam hak-hak reproduksi perempuan yang rerlibar dalam consensual sex (hubungan seks aras dasar suka sarna suka ranpa ikaran perkawinan) arau mereka yang hidup bersama ranpa ikaran pernikahan dan tidak berniar memiliki kerurunan. Peraruran perundang-undangan membarasi perempuan semacarn ini unruk mengakses informasi dan pelayanan keseharan reproduksi. Menurur UU Hukum Pidana, rerurama Pasal 284 KUHP, mereka yang mempraktikkan
consensualsex dapar dipenjara sampai 9 bulan. Di lain pihak, kumpul kebo pun ridak diakui secara hukum. UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan baru bisa dianggap legal apabila (1) dilakukan menurur hukurn rnasing-masing agama dan kepercayaan; dan (2) dicarar rnenurur peraruran perundang-undangan yang berlaku. Ini berimplikasi pada akses kepadakeseharan reproduksi. Undang-undang Perkernbangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga No. 52/2009 dan UU Keseharan No. 36/2009 menegaskan bahwa akses kepada pelayanan seksual dan keseharan reproduksi hanya bisa diberikan kepada pasangan yang rnenikah secara sah. Semenrara iru, UU Keseharan No. 36/2009, rerurama pasal 72 dan 78, rnernbarasi akses kepada pelayanan seksual dan keseharan reproduksi hanya kepada pasangan yang sah dan pasangan usia subur. Akibarnya, selain pasangan yang tidak sah (kurnpul kebo) tidak rnerniliki akses rerhadap pelayanan keseharan reproduksi, pembarasan juga dikenakan kepada perempuan yang rerlibar con-
sensual sex yang ingin rnengkonsulrasikan kehidupan seksualnya. Hal rerakhir ini berisiko pada kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi ilegal dan tidak aman, arau kernungkinan rerjangkirnya penyakir-penyakir kelamin, rermasuk HIV/ AIDS yang di Indonesia menunjukkan peningkaran yang rnengkhawarirkan. lO 293
Respons 16 (20ll) 02
RESPONS - DESEMBER2011
Produk UU yang disebutkan di atas tarnpak jelas mendisktiminasikan perempuan. Bahkan pelayanan Keluarga Betencana pun dibatasi hanya untuk pasangan yang telah menikah secara sah (UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, pasal2I:I). Sementara hak reproduksi dimiliki hanya oleh pasangan suarni istti yang sah atau calon suarni istri agar dapat merencanakan kehamilan dan kelahiran anak. Selain itu, pelayanan kontrasepsi hanya diberikan kepada pasangan suarni istti sah (UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Pasal24:1 dan Pasal25:2). Bagi Amnesti 'Jnternasional, pengakuan dan pelayanan terhadap hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan tidak hanya sekadar mendefinisikan kesetaraan geder, tetapi juga mencegah aborsi ilegal yang tidak arnan, dan menularnya penyakit kelamin, terutama HIV!AIDS. Akses informasi terhadap aborsi ilegal dan tidak arnan di Indonesia masih rendah terutama bagi mereka yang tinggal di pelosok, masyarakat miskin, dan masyarakat yang pembatasan atau pelarangan sosial atas perilaku seks mereka telah merugikan perempuan itu sendiri. Apalagi hak-hak informasi dan pelayanan seksual dan reproduksi bersifat disktiminati£ Angka aborsi di Indonesia yang mencapai 2-2,6 juta jiwa per tahun atau mencapai 43 aborsi per 100 keharnilan dengan angka kematian ibu mencapai 11 persen masih jauh dari proyeksi MDG Roadmap 2010 yang seharusnya mencapai 5 persen untuk kematian ibu. l l
Apakah disktiminasi terhadap akses pelayanan kesehatan reproduksi di Indonesia yang dialarni perempuan sungguh-sungguh membiarkan mereka tanpa pilihan selain menetima keadaan sebagaimana narnpak dari judullaporan Amnesti Internasional itu? Jawaban bisa "ya" dati perspektifkesetaraan pelayanan kesehatan (health equality), tetapi tidak demikian dati sudut pandang Respons 16 (2011) 02
294
YEREMIAS JENA - PERSPEKTIF "HEALTH EQ~JITY" AMARTYA SEN DAN KESEHATAN REPRODUKSI Dr INDONESIA
"health equity". Menuruc pendekacan health equity sebagaimana diperjuangkan Amartya Sen, keadaan diskriminatifyang cercipca secaca sengaja memang harus dihilangkan karena memuscahilkan kesempacan uncuk mewujudkan kapabilicas manusia. dalam konteks ini adalah akses kepada pelayanan kesehacan demi mewujudkan hidup yang sehac agar seseorang dapac merealisasikan ditinya. Meskipun demikian. apakah kecidaksecaraan dapac dihapus seluruhnya dati masyarakac? Bukankah hanya ketidaksecaraan secara sengaja saja yang dapac dientaskan? Merujuk ke pemikiran Amarcya Sen centang "health equity~ dapackah perempuan merealisa.sikan seluruh kapabilicasnya meskipun hidup dalam kecidaksecaraan a1amiah? Jawaban cerhadap percanyaan-percanyaan cersebuc sekaligus menegaskan posisi arcikel ini. Tesis yang dieksplorasi dalam culisan ini dapac dirumuskan sebagai berikuc. Tesis pertama. kecidaksecaraan yang secara sengaja dicipcakan dalam masyarakac harus diberancas karena menghambac manusia merealisasikan kapabilicasnya. Tesis kedua. ketidaksecaraan yang sifacnya a1amiah (human
condition) eksis sebagai fakca sosial yang cak-cerhindarkan. Sejauh kondisi cerpenuhi. manusia dapac merealisasikan kapabilicasnya meskipun ia hidup dalam kecidaksecaraan. Tesis ketiga. akses cerhadap pelayanan kesehacan reproduksi dapac dilakukan dengan memperjuangkan penghapusan kecidaksecaraan yang cercipca secara sengaja canpa harus menerapkan pelayanan kesehacan sebagai hak (rights to health care) yang juscru dapat menghancurkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal suacu masyarakac.
295
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER 2011
3. PENDEKATAN "HEALTH EQYITY» Temuan Amnesti Intemasional menggarisbawahi pentingnya kesehatan dalam hidup manusia. Penghapusan diskriminasi terhadap petempuan dalam mengakses pelayanan kesehatan akan memosisikan petempuan dan laki-laki sebagai sederajat dalam pelayanan kesehatan. Dalam konteks definisi yang diajukan WHO, bahwa kesehatan adalah "the well being of human being", yang meliputi tidak hanya absennya penyakit tetapi keadaan fisik, mental, dan sosial yang utuh;12 hams dikatakan bahwa pembatasan hak akses terhadap kesehatan akan mengganggu keutuhan hidup manusia (well-being) itu sendiri. Amartya Sen menegaskan hal yang kurang lebih sarna. Hanya saja Amartya Sen menghubungkannya dengan masalah keadilan sosial. Apa yang ditemukan Amnesti Intemasional di Indonesia sebenamya adalah "Kurangnya kesempatan yang barangkali dialami orang tertentu untuk mencapai kesehatan yang baik katena pengaturan sosial yang tidak memadai, dibandingkan dengan, katakanlah, keputusan pribadi untuk tidak khawatir secara khusus mengenai kesehatannya."13 Dalam arti itu, membatasi atau menyangkal hak perempuan mengakses pelayanan kesehatan hams dikategotikan sebagai ketidakadilan sosial (tesis pertama). Berbeda dengan Norman Daniels, misalnya, yang sangat menekankan health equality, Amartya Sen menegaskan pentingnya health equity dalam pelak-
sanaan pelayanan kesehatan sebagai hak. Baik Norman Daniels maupun Amartya Sen mengakui pentingnya equity dalam mengakses pelayanan kesehatan. 14 "Equity" dalam kesehatan dan pelayanan kesehatan sebenamya sudah menjadi topik diskusi sejak tahun 1978. Secara literer, "equity" (Latin: aequus berarti "quality
=pir)
of beingpir and impartial" "Equity" dalam dunia kesehatan
Respons 16 (2011) 02
296
YEREMIAS JENA - PERSPEKTIF "HEALTH EQYITY" AMARTYA SEN DAN KESEHATAN REPRODUKSI Dr INDONESIA
sendiri dimaknakan sebagai "the absence of systematic disparities in health or in major social determinants of health." Sementara itu, The International Soci-
etyfor Equity in Health berpendapat bahwa "equity" adalah "tidak adanya perbedaan-perbedaan sistematik yang berpeluang untuk dapat diperbaiki, dalam satu atau lebih aspek kesehatan bagi seluruh warga masyarakat atau kelompok yang melampaui keadaan sosio-ekonomi, demografi atau geografi~IS Hal yang sarna juga ditegaskan oleh penulis lain ketika mengatakan bahwa "equity" dalam pelayanan kesehatan merupakan kenyataan yangtak-terelakkan, dan bahwa "equity" t;lmpak jelas ketika "orang diperlakukan secara ftir dalam cara sebegitu rupa dengan tidak berpatokan pada perbedaan-perbedaan yang tidak relevan, tetapi menerima dan mengakui perbedaan-perbedaan yang memang relevan." 16 Mendiskriminasi pasien berdasarkan gender, ras, atau golongan termasuk perlakuan yang tidak ftir karena mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang tidak relevan dengan pelayanan kesehatan, sementara perbedaan-perbedaan karena letak geografis, kemampuan mengakses informasi dan sebagainya bersifat tak-terelakkan. Meskipun mengakui dan menerima "health equity", Norman Daniels menegaskan bahwa "health equity" seharusnya bertujuan "oo.membuat semua orang menjadi sehati, yakni membantu mereka berfungsi secara normal sepanjang usia normal mereka."I? Artinya, segala macam perbedaan yang menimbulkan ketidaksetaraan" harus dihapus. Dalam konteks pengingkaran terhadap hak kesehatan reproduksi di Indonesia, misalnya, Norman Daniels akan mengatakan bahwa keadaan ketidaksetaraan itu harus dihapus dengan cara "leveling-up" dalam arti "00. mengangkat semua orang di bawah tingkat kesehatan yang penuh ke status mereka yang sehat.""
297
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER 2011
Apa yang Norman Daniels maksudkan dengan leveling-up ini?
Jib
adanya keseraraan dalam mengakses pelayanan kesehatan disebut sebagai keadaan yang seimbang (eqUilibrium), maka diskriminasi dengan alasan apapun harus dihilangkan dengan membuka akses seluas-Iuasnya kepada pelayanan kesehatan. Karena kesehatan adalah hak, masyarakat yang terdiskriminasi haknya dalam pelayanan kesehatan seharusnya memperjuangkan hak-haknya tersebut demi terciptanya kesetaraan, dengan catatan bahwa kelompok yang menikmati fasilitas pelayanan kesehatan bersedia menurunkan standar-standar mereka demi tercipta'nya keadaan kesetaraan tersebut. 19 Di sinilah kita mengerti mengapa Norman Daniels dan pengikut-pengikutnya berpendapat bahwa keadaan well-being harus dimaknakan sebagai keadaan kesehatan yang egaliter di mana setiap individu memiliki "normal functioning" yang sarna dalam merealisasikan dirinya. Adalah tugas pemerintah sebagai pengarnbil kebijakan wajib menghasilkan kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan yang memarnpukan setiap warga negara untuk mencapai "ukuran agregat tertinggi bagi sumber daya yang diinvestasikan, terlepas dari bagaimana kesehatan didisrribusikan:"o Amartya Sen setuju dengan pendekatan equality dalam pelayanan kesehatan dalam artian pentingnya menghapus seluruh kebijakan diskriminatif yang menyulitkan pencapaian kesehatan atau perealisasian "functioning" (tesis
pertama). Bagi Amartya Sen, kesehatan adalah salah satu kondisi terpenting manusia, karena "health contributes to a person's basic capability to function:"o Meskipun demikian, status kesehatan individu tidak bisa diukur secara utilitaristik berdasarkan kriteria-kriteria eksternal tanpa memperhitungkan persepsi individu mengenai keadaannya sendiri. Bagi Amartya Sen, pendekatan leveling-
up jatuh ke dalam kalkulasi ekonomistis dan statistikal mengatasnamakan obRespons 16 (2011) 02
298
YEREMIAS JENA - PERSPEKTIF "HEALTH EQ!:JITY' AMARTYA SEN DAN KESEHATAN REPRODUKSI or INDONESIA
jektivitas demi mencapai "normal functioning" tertenru yang setata bagi setiap orang. Tentu im tidak berarti bahwa kita sebaiknya mentoletir ketidaksetaraan yang nyata-nyatanya menghambat perealisasian kapabilitas. Kesetaraan im penting dan perlu, tetapi kemampuan merealisasikan kesehatan yang baik (good
health) tetap membeda-bedakan orang (tesis kedua)Y Sejalan dengan Amattya Sen, Sudhir Anand berpendapat bahwa pendekatan health equality sebagaimana ditempuh Norma Daniel tidak mentoletir adanya inequality, padahal ini merupakan aspek yang penting dalam kesehatan, terutama dalam hal th~ capability tofunctioning. 22 Berangkat dati distingsi ini dapat dikatakan bahwa dalam konteks akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi di Indonesia, ketiadaan diskriminasi memang harus diperjuangkan demi tercapainya kesamaan kesempatan (tesis pertama). Meskipun demikian, ini tidak lantas berarti bahwa setiap individu memiliki kapabilitas yang sama dalam mengakses pelayanan kesehatan. Ambil contoh aborsi. Kalaupun abotsi bersifat legal di Indonesia sejauh kondisi legal-formal yang diprasyaratkan tetpenuhi,23 akses terhadap pelayanan aborsi tetap bersifat tidak merata atau tidak setara. Ketidaksetaraan akses pelayanan kesehatan reproduksi karena faktor kemiskinan, geografi, tingkat pendidikan, atau akses terhadap informasi merupakan kondisi tak-terelakan dalam pelayanan kesehatan. Dalam atti ini tidaklah mungkin menghindati keadaan tidak setara selaku kondisi manusiawi
(tesis kedua). 4.
MENGAKSES KESEHATAN REPRODUKSI DI INDONESIA Menurut Amartya Sen, health equality hatus ditempatkan sebagai salah
sam aspek penting dati health equity, dan bukan sebaliknya. Mengapa Ama-
299
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER 2011
rtya Sen memandang health equity sebagai yang lebih penting daripada health
equality? Tiga alasan dapar diberikan. 24 Alasan pertama, keseharan ridak hanya penting dan bernilai rerapi juga menjadi penenru kapabiliras manusia. Menjadi sehar iru penting dan perlu (memiliki kesemparan untuk berfungsi), rerapi kemampuan mencapaigood health juga ridak kalah penting. Dalam rnenilai akses rerhadap pelayanan keseharan, misalnya, harus dibedakan ridak hanya antara pencapaian (the achievement) dan kapabiliras, rerapi juga fasiliras yang rersedia bagi achievement iru (misalnya rersedianya pusar pelayanan kes~haran). Karena iru, runruran yang diajukan ridak sekadar bagaimana disrribusi pelayanan keseharan yang adil, karena faktor-faktor lain seperti kecenderungan-kecenderungan generis, penghasilan individual, kebiasaan mengkonsumsi makanan, gaya hidup, lingkungan epidemiologis, dan lingkungan kerja sering berada di luar kontrol pelayanan keseharan. Inilah alasannya mengapa Amartya Sen menegaskan pentingnya pemahaman yang repar mengenai pencapaian keseharan dan kapabiliras. Amartya Sen menulis, "Kira harus melarnpaui pengiriman dan disrribusi pelayanan keseharan unruk mendaparkan pengerahuan yang memadai mengenai pencapaian keseharan dan kapabiliras. Keseraraan keseharan tidak dapar dipahami dalam arti disrribusi pelayanan keseharan~25 Diposisikan dalam konteks akses rerhadap keseharan reproduksi di Indonesia, misalnya, dapar disimpulkan bahwa penilaian yangdilakukan Arnnesri Inrernasional rerhadap hak mengakses keseharan reproduksi di Indonesia ridak lebih dari penilaian yang sifarnya eksrernal dan rransendentalis. 26 Arnnesri Inrernasional memiliki alar ukur rersendiri yang dirumuskan secara imparsial dan
universalizable, yang melaluinya sebuah realiras dipahami. Alar ukur bernama Resanos 16 (20 II ) 02
300
YEREMIAS JENA - PERSPEKTIF "HEALTH EQYITY" AMARTYA SEN DAN KESEHATAN REPRODUKSI DI INDONESIA
sexual rights dan reproductive rights itu sebenarnya" diturunkan dari imperarif kesehatan sebagai hak asasi manusia, hal yang problematis tidak hanya secara teotetis tetapi juga praktik. 27 (bandingkan dengan kritik yang dikemukakan Daniel Callahan di atas). Di atas semuanya itu, pendekatan transendentalis terhadap realitas kesehatan di Indonesia tampaknya menganggap remeh konteks. historisitas. atau dunia kehidupan (society that already existed) yang memiliki "public reasoning" senditi mengenai dunia kehidupan. Memperjuangkan ditoleransinya consensualsex atau kumpul kebo sebagai "hak seksuaI petempuan" berpotensi bettabrakan dengaFi nilai dan norma yang telah ada. Memaksakannya sarna saja dengan menghancurkan tatanan dunia kehidupan yang telah ada. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa diskriminasi terhadap perempuan dan penegasian hak-haknya dapat dibenarkan. Kondisi-kondisi yang diprasyaratkan Amattya Sen seharusnya juga eksis daIam tatanan masyarakat sehingga pembatasan akses kepada kesehatan reptoduksi tidak menjadi diskriminatif (tesis ketiga). Kondisi-kondisi itu meliputi (1) sejauh manakah "life style" sepetti consensual sex atau kumpul kebo telah diwacanakan secara demokratis (public reasoning) sebagai nilai yangharus diterima atau ditolak dan bukan sekadar institusionalisasi nilai atau norma tradisi atau agama tettentu 1" (2) Sejauh manakah keputusan melalui public reasoning itu mengekspresikan kebebasan substantif (substantive fieedom) dalam pengettian "freedom for" menurut Isaiah Berlin129 Kedua aspek ini penting tidak hanya untuk menegaskan ptoses public
reasoning yangftir. tetapi juga memberi ruang bagi' pilihan lift style yang disenangi (kehiduapan manusia haruslah merupakan ekspresi dari substantivefiee-
dom yang memberi kesempatan untuk memilih apa yang ingin dilakukan dan 301
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER 2011
tanggungjawab terhadap segala tindakan).30 Dalarn arti itu, dapat disimpulkan bahwa laporan Amnesti Internasional itu meremehkan masyarakat Indonesia dengan nilai dan normanya yang sudah ada. Eksistensi nilai dan norma harus diterima sebagai fakta sosial yang mendefinisikan seseorang. Nilai dan norma adalah cara pandang dunia, termasuk juga membentuk konsep seseorang mengenai "sehat" dan "sakit". Norma - terutarna hukum positif - yang melarang praktik kumpul kebo, hubungan seksual suka sarna suka, hubungan seksual di luar nikah, perkawinan usia dini, dan semacarnnya sebetulnya berangkat dari ,
nilai luhur perkawinan dan penghormatan terhadap harga diri perempuan itu sendiri. Meskipun demikian, eksistensi nilai dan porma tidak bisa bersifat keka!. Nilai dan norma harus bisa diubah jika eksistensinya merendahkan martabat perempuan. Dalam komeks diskriminasi akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi terhadap perempuan Indonesia, UU yang membatasi tersebut memang seharusnya dihapus. Meskipun demikian, dua kondisi sebagaimana cliprasyaratkan Amartya Sen bagi perubahan ini harus dipenuhi, yakni "public reasoning" dan "substantive freedom". Usaha menghapus hambatan ganda hams dilakukan melalui public reasoning di mana anggota masyarakat memiliki kesempatan mengekspresikan pandangan-pandangannya, apakah kumpul kebo, hubungan seksual suka sarna suka, perkawinan dini, dan sebagainya itu hams dihapus atau sebaiknya dipertahankan? Apakah hambatan-harnbatan tersebut sungguh-sungguh membatasi kebebasan mereka dalarn merealisasikan diri? Apakah aborsi ilegal seharusnya dilegalkan dan hak akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi dapat diakses tanpa kondisi agar dapat mengurangi aborsi ilegal dan mencegah kematian ibu? u .. <"n ..... n~ lh(?011)O?
302
YEREMIAS JENA - PERSPEKTIF "HEALTH EQYITY' AMARTYA SEN DAN KESEHATAN REPRODUKSI DI INDONESIA
Kasus aborsi dapat diambil sebagai contoh upaya public reasoning
di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Guttmacher Institute mengenai aborsi di Indonesia menunjukkan bahwa agama dan doktrin-dokttinnya memiliki andil besar dalam membentuk kesadaran moral manusia mengenai aborsi. Meskipun demikian, tokoh-tokoh agama mulai memiliki pandangan yang lebih moderat bahkan mendukung praktik aborsi, terutama ketika janin yang dikandung betisiko terhadap keselamatan ibu. 31 Dalam arti itu, kalaupun kemudian aborsi diterima secara luas di Indonesia, keadaan ini dicapai bukan karena pemaksaan dati htar, tetapi karena hasil dati sebuah public reasoning yang mempertimbangkan kekayaan nilai dan norma masyarakat. Mengacu ke pemikiran Amartya Sen, dapat disimpulkan bahwa public reasoning yang bebas dari tekanan kelompok, politik, atau institusi manapun akan melahirkan nilai dan norma sosial yang memosisikan setiap orang sebagai "tuan" bagi tindakantindakannya (gagasan kebebasan positifmenurut Isaiah Berlin). Di sinilah kira melihat bahwa belum terpenuhinya kondisi yang diprasyaratkan Amartya Sen menyebabkan diskriminasi terhadap hak kesehatan reproduksi di Indonesia senantiasa bergerak dalam ketegangan antara "pelanggaran kebebasan proses" dalam arti public reasoning yang terdistorsi oleh berbagai kepentingan dengan "pelanggaran kesempatan yang tersedia bagi perealisasian diri sebagai ekspresi dati kebebasan positif (Isaiah Berlin) atau kebebasan substantif (substantive freedom) Amartya Sen."32 Alasan kedua, klaim kesehatan reproduksi sebagai hak tidak bisa me-
mentingkan hanya aspek proses dan prosedural sebagaimana diperjuangkan kaum egalitarian atau hanya mementingkan kapabilitas dalam mencapai kesehatan. Sebagai pembela pendekatan health equity, Amartya Sen bahkan me-
303
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER 2011
negaskan pentingnya basis informasional bagi keadilan (informational basis
ofjustice) yang tidak bisa hanya terdiri dari kapabilitas informasi, tetapi juga proses. Aspek kapabilitas informasi dan proses itu penting dalam menentukan luaran (outcome) yang bermutu. 33 Itu artinya pendekatan egalitarian yang menekankan proses dan prose-
dural dan pendekatan kapabilitas yang mementingkan luaran (outcome) hanya bisa merealisasikan kehidupan yang baik dan membahagiakan (well-being) jika proses dan kapabilitas informasi diberi tempat. Dalam konteks akses kepada kesehatan reproduksi
304
YEREMIAS JENA - PERSPEKTIF "HEALTH EQYITY' AMARTYA SEN DAN KESEHATAN REPRODUKSI DI INDONESIA
Alasan ketiga, bagi Amartya Sen, health equity ridak bisa hanya peduli pada keridakseraraan (enrah iru keseharan arau pelayanan keseharan), rerapi juga harus memperhirungkan alokasi sumber daya (resource allocation) dan pengaruran sosial
(social arrangement) yang menghubungkan masalah keseharan dengan hal-hal lain yang rerkair. Asumsikan saja bahwa health equality relah rercapai di Indonesia, jadi akses rerhadap pelayanan keseharan seksual dan keseharan reproduksi rerbuka secara S
equality dan health equity ridak bisa dipisahkan dari pengambil kebijakan publik. Bagi Amarrya Sen, health equality gagal jika melupakan health equity. Terapi
health equity juga gagal - dan iru berarti health equality pun gagal - jika ridak ada perjuangan pada tingkar pengambilan kepurusan unruk memajukan pelayanan keseharan. 34 Dalam arti iru, upaya mengakhiri diskriminasi akses rerhadap pelayanan keseharan reproduksi di Indonesia ridak cukup hanya diikuri oleh pentingnya kapabilitas dan kebebasan subsransial mengakses pelayanan keseharan reproduksi, rerapi juga advokasi, lobi arau semacamnya yang berrujuan menaikkan anggaran keseharan dan asuransi keseharan bagi semua orang. Semuanya ini masuk dalam wilayah pengaruran sosial.
5.
PENUTUP Bagaimana membaca dan menyikapi laporan Amnesti Inrernasional
mengenai diskriminasi akses pelayanan keseharan reproduksi rerhadap perempuan Indonesia? Dari perspekrif"healrh equity" menurur Amarrya Sen, kiranya dapar dikemukakan dua kesimpulan sebagai penurup rulisan ini.
305
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER2011
Pertama, temuan Amnesti Internasional menunjukkan fakta ketidakadilan sosial. Penyelesaiannya bukan melalui pendekatan "health equality" sebagaimana dicita-citakan Norman Daniels dan para pendukungnya. tetapi melalui perspektif "health equity". Pendekatan "health equity" senditi tidak hanya memperjuangkan penghapusan disktiminasi - dan dengan demikian menegakkan keadilan - tetapi juga menghormati public reasoning masyarakat setempat. Apa yang masyarakat lokal pikirkan mengenai "good health" mengindikasikan cita-cita well-being yang hendak mereka wujudkan sekaligus sikap objektif mereka terhadap kapabilitas yang dimiliki dalam mewujudkan citacita itu.
Kedua. pendekatan "health equity" menyisakan lubang besar soal bagaimana mengukur pencapaian (achievement) kesehatan sebuah masyarakat, bagaimana menakar "maximum good health" dan sebagainya. Hal ini tampak sulit dan tidak efisien dati segi pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Meskipun demikian, dati sudut pandang individu dan kebebasannya. pilihan untuk merealisasikan "good health" tidak hanya dipilih secara bebas. tetapi juga dengan menakar kapabilitasnya serra memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Pendekatan "health equality" yang ambisius mengusahakan kesetaraan tanpa batas akan menjadi slogan kosong. Sementara pendekatan "health equity" yang mempertahankan status quo keadaan ketidakadilan sosial hanya akan mampu menetiakkan pembebasan tanpa kekuatan pembebas. "Health equality" seharusnya diperjuangkan dalam konteks "health equity" dengan catatan bahwa "health equity is inescapably multidimensional as a concern."35 Dan, itulah keunggulan pendekatan "health equity" menurut Amarrya Sen. Respons 16 (2011) 02
306
YEREMIAS JENA - PERSPEKTIF "HEALTH EQYITY" AMARTYA SEN DAN KESEHATAN REPRODUKSI DI INDONESIA
CATATAN AKHIR "The absence ofpathology. mental or physicaL" Dikutip dari Daniels. Norman.
I
(2006), 'Equity and Population Health. Toward a Broadet Bioethics Agenda: Hastings
Center Report (July-August 2006). hIm. 23. E Fathalla. Mahmoud, W. Sinding. Steven. Rosenfiedl. Allan. M.E Fathalla,
2
Mohammed (2006). "Sexual and Reproductive Health for All: a call for action". The
Lancet Sexual dan Reproductive Health Series (October 2006). hIm. 1. Dickens. B.M.• Cook. R.]. (2007). "Reproductive Health and Public Health
3
Ethics". Internationaljournal ofGynecology and Obstetrics, 99. hIm. 75. "All countries shouid sttive to make accessible through the primary health care , system. reproductive health to all individuals of appropriate ages as soon as possible and 4
no later than the year 20 I 5."Ibid. , "Social determinant of health care" atau "health inequalities" dipahami sebagai "The social and economic circumstances in which people live their lives are critical in determining how long they live and with what burden of ill health.... the existence of health inequalities per se does not necessarily mean that the inequalities are unfair or unjust in a way that demands our moral attention.... Health inequalities which are the result of social circumstances which are themselves morally wrong (for example. poverty. educational disadvantage, or racial discrimination) are considered unjust." Rogers, Wendy
(2007), "Health Inequalities and the Social Determinants of Health~ dalam: Ashcroft. R.E.• Dawson. A., Draper, H. and McMillan. J.R. (Eds.) (2007). Principles ofHealth Care
Ethics.]ohn Willey & Sons. Ltd. hIm. 285. Amnesty International (2010). Left Without a Choice. Barriers to reproductive
6
Health in Indonesia. London: Amnesty International Publications, him. 12-13. 7
Ibid. hIm. 9.
8
"All women should be married and have children. and any women having a child
should be married." Ibid. hlm. 15.
, Ibid 10
Laporan Majalah TEMPO. 11 Desember 2011 menyebutkan bahwa kasus
HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 1987-201 I mencapai 71.437 kasus. Dalam setahun
307
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER2011
terakhir justru mengalarni penarnbahan sebesar 1,0 persen, yakni dati 4.917 kasus di tabun 2010 menjadi 1.805 kasus di tahun 2011. II
Amnesty International. (2010), Left Ulithout a Choice. Barriers to reproductive
Health in Indonesia, London: Amnesty International Publications., him. 33. IZ
Callahan, Daniel (1973), 'The WHO Definition of 'Health: The Hasting
Center Studies 1 (3), him. 77-84. Artikel ini lebih merupakan kritik Callahan terhadap definsi kesehatan WHO yang dianggap tidak hanya terialu luas dan kurang operasional, tetapi juga memosisikan tindakan medis sebagai satu-satunya jalar keluar mengatasi ketidakutuhan well-being. 13
'The lack ofopportunity that some may have
to
achieve good heath because of
the inadequate social arra~gements, as opposed to, say, a petsonal decision not to worry abour health in particular." Sen. Amartya (2004), 'Why Health Equity?', dalarn: Anand, Sudhir, Fabienne Peter and Amartya Sen (eds.), Public Health, Ethics, and Equity, New York: Oxford University Press., him. 23. 14
Daniels, Norman. (2006), 'Equity and Population Health. Toward a Broader
Bioethics Agenda'. Hastings Center Report (July-August 2006), Wm. 22-35. Lihat juga Sen, Amartya (2004), 'Why Health Equity?: dalarn: Anand, Sudhir, Peter, Fabienne and Sen, Amartya (eds.), Public Health, Ethics, and Equity, New York: Oxford University Press., hIm. 21-33. IS
'the absence of potentially remediable, systematic differences in one or more
aspects of health across socio-economically, demographically or geographically defined population groups of subgroups." ProE Trilochan Sahu (2009), 'Equity in Health: A Public Health Challenge',Journal of Community Medicine,S (2), him. 1. 16 Campbell,
Alastair, Hillett, Granr,Jones, Gareth (2003), MedicalEthics, Oxford
University Press, NY, him. 252. 17 ....
to
make all people healthy, that is,
to
help them function normally over a
normal lifespan." Daniels, Norman (2006), 'Equity and Population Health. Toward a Broader Bioethics Agenda: Hastings Center Report (July-August 2006), hIm. 23. 18 "...
bringing all those in less than full health to the status of the healthy." Ibid,
hIm. 23.
Respons 16 (2011) 02
308
YEREMIAS JENA - PERSPEKTIF "HEALTH EQ!!ITY" AMARTYA SEN DAN KESEHATAN REPRODUKSI DI INDONESIA 19
Gagasan semacam ini dalam teori politik Rawlsian disebut sebagai "rellective
equilibrium". Gagasan ini sendiri sebenarnya berfungsi sebagai prinsip penjustifikasi terhadap tuntntan perasaan keadilan (sense ofjustice), bahwa ketidaksetaraan hanya akan melahirkan ketidakseimbangan dalam masyarakat. Norman Daniels mengadopsi gagasan ini dan menerapkannya dalam konteks pelayanan kesehatan. Jika kesehatan adalah "well being" yang utuh tanpa gangguan penyakit fisik dan psikis, maka diskriminasi pelayanan kesehatan harus dihapus supaya setiap orangmemiliki peluangyang sama dalam mengakses pelayanan kesehatan tersebut. Lihat "Reflective Equilibrium" dalam http://en.wikipedia. org/wiki/Reflectiye equilibrium, diakses 7 Maret 2012. 20 Dikutip dariAnand,
Sudhit (2004), "The Concern for Equity in Health', dalam:
Anand, Sudhir, Fabienne Pete,r and Amartya Sen (eds.), Public Health, Ethics, and Equity, New York: Oxford University'Press, hIm. 18. 21
Sen, Amartya (2004), 'Health Achievement and Equity: External and Internal
Perspectives: dalam: Anand, Sudhir, Fabienne Peter and Amartya Sen (eds.), Public Health,
Ethics, and Equity, New York: Oxford University Press, hIm. 263-265; Sen, Amartya. (2004), 'Why Health Equity?: dalam: Anand, Sudhir, Fabienne Peter and Amartya Sen
(eds.), Public Health, Ethics, and Equity, New York: Oxford University Press., hIm. 21-23. 22
Anand, Sudhir (2004), "The Concern for Equity in Health: dalam: Anand,
Sudhir, Fabienne Peter and Amartya Sen (eds.), Public Health, Ethics, and Equity, New York: Oxford University Press, hIm. 15-16. 23
Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 mengatur tindakan aborsi,
menegaskan di pasall5 ayat I dan 2, bahwa (I) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu. (2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) hanya dapat dilakukan (a) berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut: (b) oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggungjawab profesi serra berdasarkan perrimbangan tim ahli; (c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya; dan (d) pada sarana kesehatan tertentu. 24
Sen, Amartya (2004), 'Why Health Equity?', dalam: Anand, Sudhir, Fabienne
Peter and Amarrya Sen (eds.), Public Health, Ethics, and Equity, New York: Oxford University Press., hIm. 23-26.
309
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER2011
" "We have to go well beyond the delivery and distribution of health cate to get an adequate understanding of health achievement and capabiliry. Health equaliry cannot be undestood in terms ofdistribution ofhealth care." Ibid. him. 23-24. Sen, Amartya (2009). 1he Idea ofjustice, Massachuserts, The Bellcnap Press of
26
Harvard Univetsiry Press., him 5-8. Bandinglcan dengan kritik yang dikemukakan Daniel Callahan, lihat endnote
27
nomor 12. 28
Ibid, him. 18-19.
29 Ibid,
him. 19; Lihat juga Sen, Amartya (2005), 'Human Rights and Capabilities',
journal ofHuman Development, 6 (2), hlm. 152. 30
Sen, Amartya (2009). 1he Idea
ofjustice, Massachusetts, The Bellcnap Press of
Harvard University Press., him. 19. 31
Lihat Gurrmacher Institute, Aborsi di Indonesia Seri 208 (2), him. 4-5.
32
Sen, Amartya (2005), 'Human Rights and Capabilities: journal
of Human
Development, 6 (2), hlm.152-157. 33
Sen, Amartya (2004), 'Why Health Equity?', dalam: Anand, Sudhir, Fabienne
Peter and Amarrya Sen (eds.), Public Health, Ethics, and Equity, New York: Oxfotd University Press., him. 24. 34
Sen, Amartya (2004), 'Why Health Equiry?', dalam: Anand, Sudhir, Fabienne
Peter and Amartya Sen (eds.), Public Health, Ethics, and Equity, New York: Oxford University Press., him. 25. 3S
Sen, Amarrya (2004), 'Why Health Equity?: dalam: Anand, Sudhir, Fabienne
Peter and Amattya Sen (eds.), Public Health, Ethics, and Equity, New York: Oxford University Press, him. 22.
DAFTAR PUSTAKA Amnesry International. (2010), Left Without a Choice. Barriers to reproductive
Health in Indonesia, London: Amnesty International Publications. .Anand, Sudhir. (2004), "The Concern for Equity in Health', dalam:Anand, Sudhir, Fabienne Peter and Amartya Sen (eds.), Public Health, Ethics, and Equity, New York: Oxford Universiry Press. Respons 16 (20ll) 02
310
YEREMIAS JENA - PERSPEKTIF "HEALTH EQ!!ITY" AMARTYA SEN DAN KESEHATAN REPRODUKSI DI INDONESIA Callahan, Daniel (1973), 'The WHO Definition of 'Health: The Hasting Center
Studies, Vol 1, No.3, pp. 77-87. Campbell, Alastair, Grant Gillett, & Gareth Jones. (2001). Medical Ethics, New York: Oxford University Press. Daniels, Norman. (2006), 'Equity and Population Health. Toward a Broader Bioethics Agenda: Hastings Center Report, July - August 2006, pp. 22-35. Dickens, B.M. and RJ. Cook (2007), 'Reproductive health and public ethics',
InternationalJournal ofGynecology and Obstetrics, Vol. 99, pp. 75-79. Fathalla, Mahmoud E, Steven W. SInding, Allan Rossenfield, Mohammed M. E Fathalla. (2006), Sexual and reproductive health for all: a cal for action,
Sexual and Reproductive Health, Vol. 6, pp. 1-6. Health Equity, dalam: http://en.wikipedia.org/wiki/Health equity (last access, 13 Desember 2011,5:50 PM). Reproductive Health, dalam: http://en.wikipedia.org/wiki/Reproductive health (last access, 13 Desember 2011, 5:50 PM). Robeyns, Ingrid, "The Capability Approach~ The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Summer 2011 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL =http:// plato.stanford.edu/archives/sum20 11 / entries I capability-approach/ (last access, 13 Desember 2011, 6:10 PM). Rogers, Wendy. (2007), 'Health Inequities and the Social Determinants ofHealth: dalam: Aschroft, R.E., A. Dawson, H. Draper and .R. McMillan, Principles
ofHealth Care Ethics, New Jersey: John Wiley & Sons, Ltd. Sahu, Trilochan. (2009), 'Equity in Health: A Public Health ChallengeJournalof
Community Medicine, Vol. 5 (2),July-Dec. 2009, pp. 1-5. Sen, Amartya. (2009). The Idea ofJustice, Massachusetts, The Belknap Press of Harvard University Press. Sen, Arnartya. (2004), 'Health Achievement and Equity: External and Internal Perspectives', dalam: Anand, Sudhir, Fabienne Peter and Amartya' Sen (eds.), Public Health, Ethics, and Equity, New York: Oxford University Press. 311
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER 2011
l04), 'Why Health Equity?: dalam: Anand, Sudhir, Fabienne Amartya Sen (eds.), Public Health, Ethics, and Equity, New ord University Press. .005), 'Human Rights and Capabilities', Journal
of Human
?nt, Vol. 6, No.2, pp. 151-166.
)79), Equity of What?, The Tanner Lecture on Human Values.
at Stanford University (May 22, 1979). ,nts of Health, dalam: http://en.wikipedia.org/wiki/Social nts of health (last access, 13 Desember 2011, 5:45 PM).
Dw HarianKol but tetap sa aran" di me filsafat dasa dilakukan 11 DPR-RI (k bruari 2011 yang melara Universe 20. RESPONS volurr
12
312
© 2011 PPE-UN