Problematika Pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah, Sebab-Sebab dan Solusinya Ni’matus Sholihah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak: Pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) bisa dikatakan sebagai proses pembangunan pondasi bagi pribadi siswa. Mengapa demikian? Karena MI adalah pendidikan pada jenjang dasar yang dilewati oleh siswa sebelum mereka menikmati jenjangjenjang pendidikan selanjutnya. Sebagai tahap dasar dan pondasi, maka sajian pendidikan yang well education di MI adalah sebuah keniscayaan. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan di MI tidak luput dari permasalahan, dan permasalahan tersebut harus dilacak penyebabnya sekaligus ditemukan solusinya, sehingga penyelenggarakan pendidikan tetap berlangsung dengan baik. Kata kunci: problematika pendidikan di MI, sebab, solusi. Abstract: Madrasah Ibtidayah is a basic education process to build foundation for student personal. Why? MI is a basic education level for student before they continue to next level. As the basis education phase, MI offers well education which is inevitability. However, there is always a problem to run education in MI level. The problem then, has to be finished, by finding the solution to get a good education for the children. Keyword: Basic education problem, cause and solution.
Religi: Jurnal Studi Islam Volume 6, Nomor 1, April 2015; ISSN: 1978-306X; 82-104
Problematika Pendidikan
Pendahuluan Tulisan ini akan menjelaskan tentang problemproblem pendidikan beserta sebab dan solusi terbaik pada permasalahan yang bergulir pada tahun-tahun ini. Mengapa penulis memilih studi kasus ini, karena problem-problem pada bidang pendidikan sering terjadi dan dapat kita jumpai dengan mudah pada lembaga pendidikan, terutama pendidikan dasar seperti MI. MI adalah lembaga pendidikan dasar yang mengutamakan pendidikan agama pada siswanya. Problem-problem di MI sangat kompleks dengan kehidupan beragama pada anak usia dini, jika pendidikan agama gagal maka siswa pun akan gagal dalam menerapkan nilai agama pada kehidupan sehari-hari. Dunia pendidikan saat ini menuai berbagai kritik tajam karena ketidakmampuannya menanggulani berbagai problem penting dalam kehidupan masyarakat.1 Bagaimana mau menanggulangi problem yang ada di masyarakat, jika problem yang ada dalam lembaga pendidikan tersebut saja belum mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di dalamnya. Problem yang terjadi kadang adalah dampak dari kurangnya perhatian serta kurangnya sikap antisipatif pada seorang guru. Sekolah dasar (baca, MI) yang notabene merupakan sekolah yang mengajarkan pelajaran pada tingkatan dasar atau bisa dikatakan pondasi adalah salah satu proses dasar untuk mengetahui, membaca dan mengenal kepribadian dan kemampuan diri.2 Pondasi yang harus dibangun secara perlahan dan telaten sehingga hasil pondasi akan kuat dan sanggup menghadapi derasnya perputaran roda zaman. Tapi
1Sutrisno,
Revolusi Pendidikan di Indonesia (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2005), 5. 2 Ibid., 6. Volume 6, Nomor 1, April 2015
83
Ni’matus Sholihah
terkadang pendidikan yang ada hanyalah proses transfer pengetahuan saja dan belum menyentuh akar yang lebih mendasar lagi, sehingga menyebabkan masalah pendidikan semakin banyak dan runyam, problem siswa kita yang semakin pragmatis-negatif, dan tidak bernilai dalam setiap tindakannya juga mewarnai problem pendidikan di Indonesia. Dari ilustrasi berbagai hal itulah tulisan ini hadir, untuk membedah apa dan bagaimana persoalan-persoalan yang ada di dunia pendidikan kita, dalam hal ini MI, serta menghadirkan solusinya. Problematika Pendidikan Di Madrasah Ibtidaiyah Berikut ini beberapa problem pendidikan yang sering terjadi di Madrasah Ibtidaiyah: 1. Perubahan Kurikulum di Indonesia yang Membingungkan Pembelajaran pada Siswa Madrasah Ibtidaiyah Krisis yang melanda bangsa Indonesia pada pertengahan tahun 1997 mengingatkan para pakar pendidikan di Indonesia untuk berpikir ulang tentang arah dan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui pemikiran panjang, akhirnya dapat ditemukan bahwa arah pendidikan kurang tepat, sehingga menyebabkan kualitas lulusannya kurang berkualitas.3 Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi krisis tersebut. Pemerintah mengadakan banyak reformasi dalam bidang pendidikan. Namun tidak memikirkan akibat dari perubahan-perubahan yang seenaknya diubah, terutama pada pendidikan di Madarasah Ibtidaiyah. Pola pembelajaran yang terus berubah-ubah akan membuat kebingungan pada murid dan menyebabkan murid cepat 3Ibid.,
106.
84
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
bosan dengan pengajaran yang terus berubah-ubah seperti itu. Hal ini akan menimbulkan masalah pada individu murid dan menyebabkan menurunnya tingkat semangat pada siswa. Sebut saja pada konteks yang paling akhir, hadirnya Kurikulum 2013 (K-13) yang banyak menyulut pro-kontra, mulai dari kejelasan konsep pelaksanaannya, kesiapan guru-guru, konsep penilaiannya, kesiapan siswa, hingga praktik kurikulum ganda di satuan pendidikan tertentu. Sebab terjadinya perubahan kurikulum ini memang karena banyak introspeksi dari lembaga pendidikan yang bersangkutan, hal ini memang baik untuk peningkatan pendidikan yang ada di Indonesia, namun jika ketetapan kurikulum belum bisa diterapkan di Madrasah Ibtidaiyah, bagaimana? Hal ini harus segera diatasi dengan kebijakan yang lebih mengutamakan pendidikan nasional yang berbasis hanya satu kurikulum saja. Dengan syarat kurikulum tersebut dapat beradaptasi dengan kompetensi yang ada, dan dapat mengembangkan potensi siswa Madrasah Ibtidaiyah menjadi lebih berkembang dengan terus berpegang pada nilai serta norma agama yang berlaku. Dan jika syarat itu terpenuhi maka kurikulum itu sudah siap ditetapkan dan diterapkan untuk menjadi acuan atau patokan belajar pada siswa Madrasah Ibtidaiyah. 2. Banyaknya Guru yang Mengarahkan untuk Menguasai Materi Sebanyak-banyaknya daripada Mencapai 4 Kompetensi Tertentu. Problem kedua ini bisa dipastikan memunculkan akibat langsung yaitu pendidikan tidak dapat
4Ibid,
107. Volume 6, Nomor 1, April 2015
85
Ni’matus Sholihah
menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi tertentu. Maksudnya, hasil dari pendidikan seperti ini hanya ingin mencari nilai yang bagus dengan cara apapun tanpa memikirkan hasil kompetensi tertentu. Guru sering berfikir bahwa murid akan pandai jika terus diberikan materi padahal hal itu tidak benar adanya. Menurut survey, materi yang banyak diberikan oleh guru hanya 20% diterima oleh muridnya, sedangkan yang lainnya adalah bagaimana murid itu mampu meracik sistem berfikirnya dan cara menyesuaikan kompetensi yang ia miliki sendiri.5 Dalam pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah tentunya penerapan dalam perilaku beragama sangatlah penting, oleh karena itu model pembelajaran yang bersifat “ceramah” harus kita modifikasikan dengan pengajaran yang lebih interaktif. Pembelajaran yang dilakukan guru selama ini cenderung kurang variatif, pembelajaran monoton dari waktu ke waktu mengakibatkan siswa kurang termotivasi untuk belajar. Dalam metode ceramah, interaksi terjadi satu arah, pada pembelajaran yang demikian fokus perhatian siswa berangsur berkurang sehingga pemahaman konsep menjadi rendah.6 Hal ini banyak disebabkan oleh guru yang tak mau membuat inovasi-inovasi terbaru dalam proses pembelajaran sehingga malah bertumpu pada model pembelajaran lama yaitu menguasai segala materi yang diberikannya. Pembelajaran yang terfokuskan pada hasil objektif tanpa memikirkan hasil subjektif juga sering terjadi di pendidikan tingkat Madrasah Ibtidaiyah, hal ini 5Mulyasa,
Menjadi Guru Profesional (Bandung: PT Remaja Rosadakarya, 2009), 38. 6Djoni Setiawan, “Whole Brain Teaching”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi XXIII Juli 2014), 38. 86
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
membuat siswa tidak memiliki kompetensi tertentu dibandinkan yang lainnya. Siswa seperti robot yang khusus hanya untuk diberi program tanpa melihat kompetensi yang lain yang dapat dikembangkan lagi dengan baik. Guru hanya mencekoki murid dengan materi yang berbelit dan tidak mengetahui secara subjektif seberapa besar murid itu mampu memahami materi tersebut. 3. Sulitnya Meningkatkan Madrasah Ibtidaiyah
Minat
Baca
Pada
Anak
Membaca merupakan salah satu aktifitas belajar yang efektif untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Minat baca yang tinggi akan memperkaya pengalaman, mengembangkan daya nalar, mengembangkan kreatifitas, memahami diri sendiri dan orang lain, serta dapat mengembangkan kepribadian. Namun ketika kita belum mampu memunculkan minat baca pada siswa, itu akan berakibat fatal dalam proses belajar. Kesulitan meningkatkan minat baca pada anak Madrasah Ibtidaiyah adalah masalah yang rumit untuk diselesaikan, karena pada masa usia Madrasah Ibtidaiyah, anak-anak masih sangat suka bermain. Proses untuk meningkatkan minat baca pada anak Madrasah Ibtidaiyah bisa dikatakan susah-susah gampang, susahnya ketika seorang guru harus mampu menyesuaikan keadaan dengan muridnya dan mampu memotivasi sedikit demi sedikit minat membaca itu.7 Pada saat itu guru diuji kesabarannya. Minat baca pada anak Madrasah Ibtidaiyah harus ditanamkan secara telaten, karena dengan membaca 7Solichan
Abdullah, “Membaca untuk Pengembangan Keprofesionalan Berkelanjutan”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi XX April 2014), 40. Volume 6, Nomor 1, April 2015
87
Ni’matus Sholihah
siswa akan mampu melihat kompetensi yang ada di luar, sehingga dirinya juga ikut terpacu untuk menyamai kompetensi yang ada di luar tersebut bahkan bisa lebih mengembangkan diri dari kompetensi yang ada. Kesulitan mengembangkan minat membaca itu harus segera diselesaikan, karena jika tidak diselesaikan minat membaca tidak akan pernah terngiang atau terpikirkan oleh generasi Madrasah Ibtidaiyah. Kesulitan-kesulitan ini harus segera dituntaskan dengan solusi-solusi yang terbaik. Tanpa membaca, siswa Madrasah Ibtidaiyah tidak akan mampu berkembang menjadi sosok yang berpengetahuan tinggi. Pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah adalah awal atau pondasi untuk membangun karakter. Karakter membaca harus ditanamkan pada anak Madrasah Ibtidaiyah,8 Karena murid yang mempunyai karakter suka membaca akan selalu mencari hal-hal yang baru atau antusias untuk mencari pengetahuan. Masalah kurang minatnya membaca ini terjadi karena media buku dalam pembelajaran sudah dianggap kuno atau jadul oleh para siswa, terobosan baru pada dunia modern ikut menggeser keberadaan buku seperti internet. Internet memuat banyak pengetahuan yang uptodate, sedangkan buku bersifat seperti teori yang informasinnya tidak elastis atau mengikuti peradaban zaman yang ada. Ada banyak cara untuk membuat siswa berminat untuk membaca, seperti dengan menggabungkan kegiatan membaca dengan menggambar, menjahit, membuat pembatas buku, boneka, topeng, kolase, bendera, dan lain-lain. Kegiatan ini dilakukan agar siswa 8Dian
Kristianti, “Menumbuhkan Minat Baca Pada Anak”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi XXIII Juli 2014), 44. 88
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
tidak mudah jenuh dan bersemangat untuk mengkreasikan apa yang dibaca. Membuat komentar dari apa yang dibaca juga membuat siswa akan terpacu untuk membaca dengan terperinci dan mencari inti dari apa yang dibaca.9 4. Sulitnya Menghapus Budaya Mencontek Pada Anak Madrasah Ibtidaiyah Mencontek adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan denagan cara-cara yang tidak jujur. Dapat kita simpulkan mencontek adalah sikap-sikap yang menggunakan cara yang tidak terhormat untuk memperoleh prestasi yang diinginkan. Untuk itu perilaku mencontek sangat tidak layak untuk dilakukan oleh kaum intelektual karena dapat merusak tujuan pendidikan nasional. Masalah ini hampir mengakar pada semua jiwa seseorang, mencontek adalah hal yang sudah biasa atau terbiasa dilakukan oleh semua orang.10 Hal ini juga sering terjadi pada murid Madrasah Ibtidaiyah. Budaya mencontek akan membuat murid tidak percaya diri atas jawaban yang dilakukannya. Mencontek adalah virus perusak, sungguh amat sulit sekarang ini mencari siswa yang tidak pernah mencontek. Benar kata banyak orang, “mencari orang pintar itu mudah karena sangat banyak, tapi mencari orang yang jujur dan dapat dipercaya amatlah sulit, karena semakin langka”. Menganggap mencontek sebagai sesuatu yang biasa sama halnya menganggap kecurangan adalah biasa. Jika mencontek ditradisikan berarti sama saja dengan mentradisikan kecurangan. 9Solichan
Abdullah, “Membaca untuk Pengembangan Keprofesionalan Berkelanjutan”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi XX April 2014), 41. 10Abdullah, “Masalah Mencontek (cheating) di Dunia Pendidikan”, http;//www.depdiknas.go.id/jurnal, diakses pada 22 Januari 2015. Volume 6, Nomor 1, April 2015
89
Ni’matus Sholihah
Akhirnya kecurangan yang bisa terjadi pada saat dewasa ialah melakukan korupsi dan manipulasi. Mencontek akan membuat murid malas dan tidak mandiri.11 Terlebih lagi mencontek akan menjadi sebuah kebiasaan yang mengakar terus ke generasi selanjutnya jika tidak dihilangkan. Keorisinalitasan suatu karya atau hasil belajar harus mulai ditegakkan, dengan begitu semua siswa akan mampu untuk mandiri dan percaya diri dengan hasil pekerjaannya. Salah satu solusi untuk menyiasati budaya mencontek yang saat ini mengakar adalah dengan menerapkan sistem soal yang berbeda-beda pada siswa. Selain itu, penanaman karakter kejujuran yang harus ditanamkan sejak dini, juga faktor kepercayaan diri yang harus ditingkatkan pada setiap individu siswa di Madrasah Ibtidaiyah. 5. Banyaknya Sistem Hafalan yang Memberatkan Murid di Madrasah Ibtidaiyah Sistem hafalan yang dianggap dapat menjadi sistem belajar terbaik malah menjadi bumerang dalam dunia pendidikan. Sistem ini membuat siswa tertekan, bisa dikatakan terpaksa melakukannya. Hal ini akan membuat siswa mudah depresi, dengan banyaknya hafalan yang belum diselesaikan, akan membuat siswa takut atau tidak mau bersekolah lagi karena bisa jadi takut dimarahi guru. Fase pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah adalah fase yang baru memulai untuk belajar tentang dasar pelajaran, yang mana tidak boleh dipaksa untuk berfikir 11Nine
Adin Maulana, “Menyegarkan Kembali Cara Pandang terhadap Penilaian Hasil Belajar”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi VI Februari 2013), 38. 90
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
terlalu keras, banyaknya hafalan akan membuat siswa makin terbebani dengan sederet tugas. Memang sistem hafalan telah diterapkan sajak dulu di beberapa Madrasah Ibtidaiyah, namun sistem itu juga harus direformasi dengan format yang lebih menarik, sehingga tidak terlihat membebani murid dengan beragam hafalan. Penyesuaian adalah hal yang penting dalam penerapan sistem ini. Sistem hafalan yang spontanitas harus dilakukan adalah termasuk hal yang membuat pikiran siswa terbebani. Banyak sistem pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah yang memakai sistem hafalan untuk menghafal doa-doa, dan lain-lain, hafalan-hafalan di sini benar-benar harus disesuaikan dengan porsi tingkatan atau kelas, agar tidak bersifat membebani. Kadang sistem hafalan juga dibarengi dengan sistem paksaan dan kekerasan. Ketidakmampuan siswa dalam menghafal menjadi bahan hukuman yang akan diterima siswa tersebut, banyak ejekan yang akan menghujani di kelas, sehingga siswa pun akan ketakutan dan trauma jika harus menghafal dengan beban yang harus ditanggung jikalau tidak mampu menghafal dengan baik. Lagipula sistem hafalan tidak berfungsi efektif dalam penerapan beberapa kegiatan sekolah. Sistem ini harus segera disegarkan atau direvisi dengan sistem yang lebih menyenangkan dan berbobot, seperti sistem tanya jawab setelah materi diajarkan, hal ini akan memudahkan siswa serta guru karena dengan begitu siswa akan belajar mengulangi pelajaran yang telah dijelaskan oleh guru, sedangkan keuntungan untuk guru adalah guru dapat berinteraksi dengan siswanya dan dapat menemukan kesulitan yang terpendam pada diri siswa. Volume 6, Nomor 1, April 2015
91
Ni’matus Sholihah
6. Kurangnya Kesadaran Guru untuk Memanfaatkan Fase Emas pada Murid di Madrasah Ibtidaiyah Anak usia 0 tahun sampai 8 tahun merupakan awal yang paling penting dan mendasar dalam kehidupan manusia. Pada usia ini, seluruh instrumen besar manusia terbentuk, yaitu kecerdasan, perilaku, watak dan kemampuan-kemampuan lainnya. Para ahli neurologi mengatakan bahwa saat lahir otak bayi mengandung 100 hingga 200 miliar neuron atau sel saraf yang siap melakukan sambungan antar sel. Selanjutnya sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80% terjadi ketika usia 8 tahun dan 100% terjadi ketika usia 8-18%. Karena masa keemasan hanya terjadi sekali dalam kehidupan manusia, betapa ruginya jika guru tidak manyadari fase emas itu pada siswa Madrasah Ibtidaiyah. Guru tidak boleh mengabaikan periode ini dengan begitu saja. Oleh karena itu agar mencapai hasil maksimal dalam pembentukan kecerdasan, perilaku, watak dan kecakapan lainnya, diperlukan jaminan layanan dasar yang menunjang perkembangan dan pertumbuhan siswa dengan pendidikan yang mendukung di lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah.12 Mempertimbangkan penting dan strategisnya pendidikan untuk fase emas di Madrasah Ibtidaiyah, hendaknya guru lebih mampu untuk mengembangkan setiap potensi yang ada pada siswa di usia emas (golden age) tersebut. Untuk menyiapkan generasi emas, guru harus siap untuk mengembangkan segala potensi siswa yang 12Pri
Adi, “Selamatkan Generasi Emas 2045”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi XIV Oktober 2013), 3. 92
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
meliputi aspek moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian kemampuan berbahasa, kognitif, fisik motorik dan seni. Hal ini harus dilakukan dengan menyenangkan dan telaten. 7. Media Pembelajaran Yang Kurang Mendukung Menurut teori perkembangan anak, anak usia dini (usia 0-8 tahun) berada dalam masa the golden age. The golden age atau usia emas merupakan periode yang amat penting bagi seorang anak. Anak pada rentang usia ini sedang dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik fisik maupun mental. Oleh karena itu, pada fase anak ini anak harus diberikan stimulasi yang dapat merangsang gairah belajarnya, beragam media pembelajaran harus tersedia guna memaksimalkan masa emas anak dan dapat menaikkan gairah untuk belajar. Mengingat media termasuk mainan, maka media harus dipilih secara teliti dan sesuai dengan tingkatan kompetensi. Media pembelajaran yang ada di Madrasah Ibtidaiyah selama ini kurang menunjang dengan perkembangan siswa pada fase emas ini, bahkan banyak media pembelajaran yang kurang tepat untuk dijadikan bahan praktik. Untuk membantu perkembangan siswa, dibutuhkan sarana dan prasarana yang menunjang. Salah satu sarana tersebut adalah buku. Media buku adalah media pertama yang menjadi acuan untuk menghasilkan pola pikir serta kerja praktik yang biasannya di lakukan di Madrasah Ibtidaiyah. Media pembelajaran yang baik akan membuat murid lebih faham dan menghayati atau istilahnya meresap sampai ke akar-akarnya. Media pembelajaran yang dibutuhkan dalam fase perkembangan golden age
Volume 6, Nomor 1, April 2015
93
Ni’matus Sholihah
adalah media yang mampu menyesuaikan dengan kondisi serta kompetensi yang sesuai tingkatan. Media pembelajaran dapat dibuat dengan bahan yang sederhana, baiknya suatu media pembelajaran tapi tidak diimbangi dengan kemampuan guru yang profesional juga akan gagal untuk diserap oleh siswa. Media pembelajaran adalah pelengkap untuk membuat siswa lebih kreatif dan dengan media pembelajaran siswa dapat bermain sehingga suasana belajar pun menyenangkan. 8. Siswa Madrasah Ibtidaiyah yang Mulai Terjangkit Virus Merokok dan Narkoba Globalisasi semakin liar menipiskan ketebalan iman kita, globalisasi membuat banyak perubahan pada siswa Madrasah Ibtidaiyah. Banyak kasus merokok dan narkoba yang akut yang dialami oleh generasi penerus bangsa ini. Banyak siswa Madrasah Ibtidaiyah terdeteksi narkoba, penyebaran narkoba yang semakin cepat ini membuat dunia pendidikan resah. Awalnya hanya mencoba-coba akhirnya ketagihan dan dapat menyebabkan kecanduan yang akut. Hal ini adalah sesuatu yang sering kita simpulkan dari kata ”narkoba”. Narkoba sangat berbahaya bagi tumbuh kembang anak pada usia emas seperti ini, otak yang seharusnya cepat menerima pengetahuan malah menjadi bodoh . Antisipasi selalu dilakukan oleh pihak sekolah, namun banyak juga yang masih kecolongan dengan munculnya siswa yang sudah kecanduan terhadap narkoba. Kalau sudah begitu mau bagaimana lagi?, hanya antisipasi saja tidak cukup untuk memberantas generasi narkoba, perlu diadakan acara penyuluhan
94
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
secara konsisten untuk menjadiakan siswa benar-benar tahu kalau narkoba itu sanagat berbahaya dan haram. 9. Jam Kosong yang Sia-sia di Madrasah Ibtidaiyah Kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah lekat dengan problem jam kosong. Problematika tersebut dialami hampir di semua sekolah baik negeri maupun swasta. Antisipasi yang dilakukan rata-rata di sekolah adalah dibentuknya Guru Piket. Pertayaannya, mampukah guru piket menggantikan guru mata pelajaran (mapel)?, cukupkah guru piket sekadar memberikan tugas dari guru mapel?, bagaimana kondisi psikologis siswa ketika menemui situasi seperti itu? Jam kosong dapat terjadi karena berbagai alasan. Guru sedang mengikuti tugas di luar lah, guru sedang sakit lah atau guru sedang ada kegiatan yang lain dengan terpaksa harus meninggalkan siswanya. Secara umum, ketika terjadi jam kosong dalam hati siswa akan berkata; horee, asyik...! Apalagi jika mata pelajaran tersebut kurang diminati dan lebih lengkap jika gurunya pun kurang dirindukan siswa karena memiliki cara mengajar yang membosankan. Memang ada juga siswa yang kecewa jika ada jam kosong, apalagi pelajaran itu favorit mereka, namun persentasenya jauh lebih kecil. Menyiasati jam kosong agar menumbuhkan kebermanfaatan dan kemenarikan siswa, sering diabaikan oleh guru piket. Guru piket sudah merasa melaksanakan tugas walau hanya datang dan menuliskan amanah dari guru yang sedang tidak bisa melaksanakan kewajiban. Efektif dan bermanfaatkah tugas yang diberikan oleh guru piket tersebut?. Bisa jadi, siswa juga tidak suka dengan guru piket karena sudah membuat dan menghilangkan perasaan asyik. Kebebasan yang Volume 6, Nomor 1, April 2015
95
Ni’matus Sholihah
seharusnya didapat, diganti dengan kewajiban mengerjakan tugas. Boleh jadi, siswa akan mengerjakan dengan asal-asalan karena yang terpenting cepat selesai dan segera dapat bermain-bermain, bahkan tidak jarang siswa mencuri-curi waktu pergi ke kantin atau warung sekolah. Guru adalah salah satu pilar penjaga nilai. Guru menjadi salah satu penentu masa depan bangsa. Kiranya guru dituntut untuk selalu memunculkan ide-ide dan inovasi baru bukan hanya saat melaksanakan KBM tetapi juga pada saat mengisi jam kosong. Beberapa ide alternatif berikut ini bisa diterapkan untuk mengisi jam kosong, antara lain sebagai berikut: a. Cerita Motivasi Guru piket harus mampu bercerita ketika mengisi jam kosong. Tentu saja cerita yang dimaksud adalah cerita-cerita yang inspiratif. b. Curah Gagasan Dalam forum ini siswa diajak untuk mencurahkan gagasannya seputar permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar sekolah. c. Membaca Di Perpustakaan Guru piket harus berinisiatif mengajak siswa ke perpustakaan untuk memanfaatkan jam kosong, hal ini dianjurkan karena dengan begitu murid akan mencoba untuk membaca buku. d. Diskusi Kelas Guru dan siswa bisa membuat kesepakatan untuk menemukan topik-topik diskusi yang ada di sekolah dan berdikusi mencari solusi bersama. e. Perjalanan Wisata Sekolah 96
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
Perjalanan wisata tentunya sangat menarik jika dilakukan di luar sekolah. Bagaimana jika perjalanan wisata itu dilakukan di sekolah? Jawabannya pasti tidak menarik dan tidak istemewa. Patut dicoba dulu, perjalanan wisata mulai dengan mengajak siswa melihat dan memperhatikan sekeliling sekolah.13 Sebab-sebab Problematika Pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Pendidikan mempunyai problem yang rumit dan kompleks, terutama pada pendidikan tingkat dasar seperti Madrasah Ibtidaiyah. Permasalahan-permasalahan yang terjadi sering disebabkan oleh penyebab umum yang tidak kita sadari, banyak hal yang kecil yang kita lewatkan yang dapat menjadi cikal bakal permasalahan. Secara garis besar ada dua penyebab munculnya permasalahan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah, yaitu: 1. Faktor Internal Faktor internal di sini berarti permasalah yang berada di dalam lingkungan sekolah yang menyebabkan timbulnya problematika pendidikan. Seperti kondisi media pembelajaran yang kurang menunjang untuk penerapan praktik, jam kosong yang sengaja diisi dengan pemberian tugas yang kurang efektif. Faktor internal di sini benar-benar murni permasalahan yang terjadi akibat ketidakmampuan pengajaran yang efektif dan efisien. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal dalam permasalahan ini berarti permasalahan atau problematika tidak berasal dari dalam lembaga pendidikan, namun berasal dari faktor 13Nanik
Masriyah, “Seni Menyiasati Jam Kosong”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi X Juni 2013), 29. Volume 6, Nomor 1, April 2015
97
Ni’matus Sholihah
dari luar lembaga pendidikan, contoh pergaulan di luar lingkungan sekolah seperti kegiatan merokok yang dilakukan siswa akibat bergaul dengan teman yang lebih dewasa yang suka merokok, sehingga siswa ikut-ikutan untuk merokok. Dan hal itu dapat mempengaruhi teman di sekolah, yang mana siswa akan mampu mengajak temantemannya untuk ikut merokok. Permasalahan ini diakibatkan oleh salah pergaulan serta kurangnya pengawasan orang tua di lingkungan masyarakat.14 Solusi Atas Problematika Pendidikan Di Madrasah Ibtidaiyah Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Dalam hal ini manusia dituntut untuk dapat memecahkan masalah atau problem yang sering terjadi di ranah pendidikan, terutama pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah. Permasalahan yang hampir terjadi harus segera cepat diatasi atau diselesaikan. Artinnya banyak permasalahan ini yang membuat pondasi buruk pada anak dan mengakibatkan kebiasaan buruk pula. Banyak problem yang membuat anak kurang dapat mengembangkan diri, sehingga kompetensi tidak dapat meningkat dan malah menurun. Problema seperti mencontek, kurangnya kesadaran para guru untuk mengembangkan setiap potensi anak pada Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2012). 14
98
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
usia emas di Madrasah Ibtidaiyah, perubahan kurikulum yang membingungkan siswa beserta permasalahan lainnya ikut mewarnai masalah-masalah yang ada di Madrasah Ibtidaiyah. Dan untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu: 1. Solusi Sistemik Solusi sistemik yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan. Menurut HAMKA dalam Samsul, peran politik negara (pemerintah) sangat menunjang tumbuhnya nilainilai edukasi yang ditanamkan di lembaga pendidikan formal. Kebijakan tersebut dalam wacana keislaman bukan hanya menyangkut persoalan politis, akan tetapi juga dalam tatanan moral dan kemanusiaan. Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan (Islam) pada gilirannya akan menunjang fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi.15 Kondisi ini akan terwujud manakala seluruh sistem sosial, secara kolektif, ikut melakukan kontrol terlaksananya proses pendidikan, khususnya pendidikan Islam, termasuk Madarasah Ibtidaiyah. Sikap social yang
15Samsul
Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 190. Volume 6, Nomor 1, April 2015
99
Ni’matus Sholihah
demikian ini merupakan perwujudan kesadaran setiap keluarga, seluruh anggota masyarakat, maupun pemerintah terhadap proses pendidikan dan pembentukan kepribadian peserta didik, sesuai dengan nilai moral yang mereka anut. Model kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara, baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi visi, misi, proses, dan bentuk pendidikan yang ada.16 Sistem pendidikan harus diubah alurnya menjadi lebih efektif dan efisien akan mempermudah proses belajar mengajar terutama pada tingkatan dasar seperti Madrasah Ibtidaiyah. Madarasah Ibtidaiyah adalah lembaga sekolah dasar yang melengkapi mata pelajarannya dengan nilai keagamaan yang sangat banyak dan kental. 2. Solusi Teknis Solusi teknis yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi 16Ibid.,
100
191. Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan saranasarana pendidikan, dan sebagainya. Solusi untuk pembelajaran pada Madrasah Ibtidaiyah adalah sistem memfokuskan kegiatan belajar dengan aktivitas. Adapun langkah-langkah kegiatan model pembelajarannya sebagai berikut: a.
Langkah pertama disebut “Class-Yess” Guru memusatkan perhatian siswa dengan mengucap kata ”Class” dengan intonasi tertentu. Siswa menjawab “Yess”. Guru dapat juga mengaplikasikan kata-kata yang lebih kreatif yang disepakati bersama. Tujuan langkah ini adalah untuk menyiapkan siswa secara fisik maupun psikis untuk mengikuti pembelajaran.
b.
Langkah kedua disebut “Micro Lecture” Guru menyampaikan materi pelajaran dalam waktu kurang dari 30 detik. Informasi yang dapat diterima oleh memori kerja tidak lebih dari 30 detik. Pada langkah ini dipastikan siswa memperhatikan dengan seksama. Guru menayangkan hal-hal yang penting di papan tulis. Tujuannya adalah memberikan fokus materi pelajaran dan memvisualkan konsep yang harus dipelajari oleh siswa.
c.
Langkah ketiga disebut “Teach-Oke” Langkah berikutnya adalah, guru mengucapkan kata “Teach”, agar lebih bersemangat jika perlu dengan tepuk tangan. Siswa menjawab dengan kata “Oke”. Siswa mengulang apa yang telah disampaikan guru secara berhadap-hadapan kepada siswa lain. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada
Volume 6, Nomor 1, April 2015
101
Ni’matus Sholihah
murid untuk mengulang apa yang dipahami dari materi pelajaran tersebut. d.
Langkah keempat disebut “Comprehention Check” Langkah ini hampir sama dengan langkah ketiga yaitu “Teach-Ok”, namun dalam langkah atau tahapan ini guru berkeiling untuk mengecek sekaligus menilai semua materi yang telah siswa pahami.17 Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang tinggi, berkepribadian Pancasila dan bermartabat. Tidak hanya dari solusi sistematik dan solusi teknis saja, tapi solusi untuk menghadapi problematika dalam pendidikan karakter bisa melalui salah satu cara sebagai berikut : a.
Menanamkan nilai agama sejak dini.
b.
Memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang baik.
c.
Memberikan contoh dan teladan implementasi akhlaq terpuji.
d.
Memberikan penguatan menghindari akhlaq tercela.
sikap
untuk
Kesimpulan Pendidikan yang bermutu merupakan cita-cita besar bangsa ini dan menjadi tumpuan utama untuk mewujudkan generasi penerus bangsa yang berprinsip Pancasila dan 17Djoni
Setiawan, “Whole Brain Teaching”, Majalah Suara Pendidikan (Edisi XXIII Juli 2014). 39. 102
Religi: Jurnal Studi Islam
Problematika Pendidikan
bermoral tinggi. Problematika yang ada di Madrasah Ibtidaiyah menyiratkan bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi oleh para pendidik tentang permasalahan yang seharusnya tidak menjadi rumit dan kompleks lagi. Solusi demi solusi telah membantu penyelesaian problematika di pendidikan tingkat dasar Madrasah Ibtidaiyah, yang mana akan juga membantu menyukseskan pendidikan bermutu. Problem yang terjadi kadang adalah dampak dari kurangnya perhatian serta kurangnya sikap antisipatif pada seorang guru. Terkadang pendidikan yang ada hanyalah proses transfer pengetahuan saja dan belum menyentuh akar yang lebih mendasar lagi, sehingga menyebabkan masalah pendidikan siswa kita yang semakin pragmatis-negatif dan tidak bernilai dalam setiap tindakannya. Permasalahan yang sering terjadi di ranah pendidikan, terutama pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah harus segera cepat diatasi atau diselesaikan. Karena banyak permasalahan ini membuat pondasi buruk pada anak dan mengakibatkan kebiasaan buruk pula. Banyak problem yang membuat anak kurang dapat mengembangkan diri, sehingga kompetensi tidak dapat meningkat dan malah menurun. Untuk menyiapkan generasi emas, guru harus siap untuk mengembangkan segala potensi anak yang meliputi aspek moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional, kemandirian, kemampuan berbahasa, kognitif, fisik motorik dan seni. Hal ini harus dilakukan dengan menyenangkan dan telaten.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
103
Ni’matus Sholihah
Daftar Pustaka Abdullah, Solichan. April 2014. “Membaca untuk Pengembangan Keprofesionalan Berkelanjutan”, Majalah Suara Pendidikan. Abdullah. 22 Januari 2015. “Masalah Menyontek (cheating) di Dunia Pendidikan”. http;//www.depdiknas.go.id/jurnal. Adi, Pri. Oktober 2013. “Selamatkan Generasi Emas 2045”. Majalah Suara Pendidikan. Masriyah, Nanik. Juni 2013. “Seni Menyiasati Jam Kosong”. Majalah Suara Pendidikan. Maulana, Nine Adin. Februari 2013. “Menyegarkan Kembali Cara Pandang terhadap Penilaian Hasil Belajar”. Majalah Suara Pendidikan. Mulyasa. 2009. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosadakarya. Mulyasa. 2012. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Muslich, Masnur. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: Bumi Aksara. Nizar,
Samsul. 2008. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Setiawan, Djoni. Juli 2014. “Whole Brain Teaching”, Majalah Suara Pendidikan. Sutrisno. 2005. Revolusi Pendidikan Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
104
Religi: Jurnal Studi Islam
di
Indonesia.