Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial…
PRINSIP UMUM SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL OLEH BPJS MENURUT HUKUM EKONOMI ISLAM Oleh: Mairijani Dosen Prodi D4 Akuntansi Lembaga Keuangan Syari’ah Politeknik Negeri Banjarmasin
[email protected] Abstrak Jaminan kesehatan dan sosial lainnya merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karenanya melalui Program SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang dikelola oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) pemerintah berupaya mewujudkan cita-cita tersebut melalui program kesehatan dan program Ketenagakerjaan. Program SJSN oleh BPJS berdasarkkan prinsip asuransi sosial. Program ini bersifat wajib bagi seluruh rakyat sesuai dengan prinsip kepesertaannya. BPJS selaku pengelola, berwenang untuk menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang. Tulisan ini adalah library research, bersifat deskriptif-analitis. Tulisan ini berupaya menganalisa sistem jaminan sosial nasional yang bersifat asuransi sosial menurut normanorma yang ada dalam hukum ekonomi Islam -hukum Islam-. Kata Kunci: Prinsip asuransi sosial, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Hukum Ekonomi Islam PENDAHULUAN Kehidupan manusia pada zaman modern ini sarat dengan beragam resiko dan bahaya. Manusia sendiri tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok hari dan di mana dia akan meninggal dunia. Resiko yang mengancam manusia sangatlah beragam, mulai dari kecelakaan transportasi udara, kapal, hingga angkutan darat. Manusia juga menghadapi kecelakaan kerja, kebakaran, perampokan, pencurian, terkena penyakit, bahkan kematian itu sendiri. Ibnu Abidin berpendapat akan pentingnya asuransi untuk menjamin kemungkinan munculnya kerugian/resiko, karena muncul-
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
33
Mairijani
nya kerugiaan/resiko merupakan musibah yang tidak disengaja, oleh karenanya bisa menjadikan pihak ketiga (asuransi) sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab. Hal ini menegaskan akan pentingnya asuransi.1 Kesehatan dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada awal tahun 2014 tepat pada tanggal 1 Januari Pemerintah Indonesia mengoperasionalkan BPJS dengan Program SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) Program Jaminan Kesehatan dan Program Ketenagakerjaan sebagaimana yang diamanatkan dalam UndangUndang No. 24 Tahun 2011. Pelaksanaan SJSN diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial adalah mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan atau anggota keluarganya. Adapun yang dimaksud dengan prinsip ekuitas adalah tiap peserta yang membayar iuran akan mendapat pelayanan kesehatan sebanding dengan iuran yang dibayarkan. Artinya bahwa tiap-tiap masyarakat sesuai prinsip kepesertaan. Sejalan dengan ajaran Islam, di mana tujuan hukum Islam (Maqasid asy-Syari'ah) dapat dirinci kepada lima tujuan yang disebut al-maqasid al-khamsah atau al-kuliyyah al-khamsah.2 Lima tujuan itu adalah, memelihara agama (hifdz ad-din), memelihara jiwa (hifdz an-nafs), memelihara akal (hifdz al-'aql), memelihara keturunan (hifdz an-nasl), memelihara harta benda dan kehormatan (hifdz al-mal wa al-'irdh). Melihat akan pentingnya perlindungan kesehatan dan sosial lainnya - al-maqasid al-khamsah atau al-kuliyyah al-khamsah dalam Hukum Islam- , maka penulis menganggap penting untuk mengangkat pembahasan ini dengan tema “Bagaimanakah hukum dari prinsip asuransi sosial dalam SJSN oleh BPJS menurut hukum ekonomi Islam?” Khoril Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Maslahat, Cet 1, (Solo; Tiga serangkai, 2007), 24 2 Al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilmi al-‘Ushul, cet. 1, (Mesir: al‟‟Amiriyyah, 1322), 287. 1
34 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial…
ASAS HUKUM DALAM EKONOMI ISLAM Islam sebagai ajaran yang komprehensif telah memuat melalui sumber utamanya al-Qur‟an mengenai kegiatan ekonomi (bisnis). Seperti dilihat dalam beberapa ayat misalnya, QS. Al-Jumu‟ah (62) ayat 10 dan al-Qhashash (28) ayat 77. Kedua ayat tersebut mengisyaratkan bahwa manusia diperintahkan untuk melakukan kegiatan usaha untuk mencapai tujuan kehidupan. Namun bukan sematamata materi atau kekayaan sebagai tujuan melainkan ke-seimbangan antara materi dan rohani. Bisnis atau kegiatan ekonomi merupakan kegiatan di bidang usaha pemenuhan ke-butuhan individu, baik berupa produksi, konsumsi maupun distribusi yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Agama Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan ketentuan-ketentuan bagi umat manusia dalam melakukan aktivitasnya di dunia termasuk dalam bidang perekonomian. Semua ketentuan diarahkan guna agar setiap individu dalam melakukan aktivitasnya dapat selaras dengan nilai-nilai yang terdapat dalam alQur‟an dan al-Hadist. Dengan berpegang pada aturan-aturan Islam manusia dapat mencapai tujuan yang tidak semata-mata bersifat materi melainkan didasarkan pada falah (kesejahteraan). Dalam Islam, peningkatan spiritual adalah suatu unsur penting dari kesejahteraan manusia dan usaha apapun yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang bertentangan dengannya akan berarkhir dengan kegagalan.3 Dalam setiap ekonominya, manusia baik secara individu maupun kelompok harus diarahkan pada pencapaian tujuan tersebut. Kesejahteraan dalam Islam tersebut tidak hanya menyangkut kehidupan dunia (materi), akan tetapi menyangkut juga kehidupan akhirat yang antara keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.4 Al-Qur‟an bahkan telah menegaskan mengenai prinsip keseimbangan dalam memenuhi kehidupan dunia dan akhirat. 5 Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam Dalam Islam ditetapkan prinsip ekonomi Islam yang bertujuan untuk mengembangkan kebajikan masyarakat sebagai dinyatakan M. Umar Capra, Islam and The Economic Challenge, (Leicester: Islamic Foundation, 1995), 6. 4 Muhammad Nejatullah Siddiqi, Some Aspects of The Islamic Economy, (Lahore: Islamic Publication, tt.), 28-29. 5 QS. Al-Khashas (28): 77. 3
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
35
Mairijani
dalam al-Qur‟an. Prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur‟an dan Sunnah sebagai berikut: Prinsip Kebolehan (ibahah) Pada dasarnya Islam memberi kesempatan seluas luasnya bagi perkembangan bentuk kegiatan mu‟amalah (ekonomi) sesuai perkembangan kebutuhan manusia yang dinamis. Segala bentuk kegiatan muamalah adalah dibolehkan kecuali ada ketentuan lain yang menentukan sebaliknya. Prinsip ini berkaitan dengan kehalalan sesuatu yang dijadikan obyek dalam kegiatan ekonomi Islam memiliki konsep yang jelas mengenai halal dan haram. Konsep halal haram ini tidak saja pada barang yang dihasilkan dari sebuah hasil usaha melainkan juga pada proses dalam memperolehnya dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan. Hal inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi Kapitalis, yang dalam setiap kegiatan ekonomi motivasinya selalu didasarkan pada perolehan keuntungan semata (profit oriented). Berkaitan dengan prinsip ini Hamyah Ya‟qub,6 memberi garis besar larangan dalam perdagangan Islam menjadi tiga kategori: 1). Melingkupi barang atau zat yang terlarang untuk diperdagangkan; 2). Melingkupi semua usaha atau obyek dagang yang terlarang; dan 3). Melingkupi cara-cara dagang atau jual beli yang terlarang. Perdagangan yang jelas terlarang karena jenis barang atau zatnya, walaupun transaksi perdagangan itu dipandang sah. Meskipun telah terpenuhi syarat dan rukunnya, karena barang yang dijadikan obyek terlarang, maka ia terlarang untuk dilakukan oleh kaum Muslim. Seperti memperdagangkan babi, khamr, dan babi.7 Penerapan prinsip kebolehan (ibahah) sangat berkaitan dengan sesuatu yang menjadi obyek dalam bisnis, yang jelas halal dan tidak mengandung keraguan sedikitpun. Pelarangan ini dimaksudkan untuk melindungi salah satu pihak (konsumen) dalam mengkonsumsi produk maupun jasa kebutuhan yang haram atau masih diragukan kehalalannya. Salah satu caranya adalah labelisasi halal pada setiap produk. Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), cet. 1, (Bandung: Diponegoro, 1984), 111. 7 واالصنام والخنزير والميته الخمر بيع حرم ورسوله هللا ان: sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang jual beli khamr, mayat, babi, dan berhala. Al-Bukhari, Shahih Bukhari, II: 779. 6
36 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial…
Dalam kegiatan bisnis yang dikelola lembaga keuangan misalnya, maka investasi harus pada obyek yang halal dan mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Demikian juga alokasi penyaluran dana pada jenis usaha yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Prinsip Keadilan Keadilan merupakan prinsip dasar dan utama yang harus ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk kehidupan berekonomi. Prinsip ini mengarahkan setiap individu agar dalam melakukan aktivitas ekonominya tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Islam juga pada dasarnya menganut kebebasan terikat, maksudnya kebebasan dalam melakukan transaksi dengan tetap memegang nilai-nilai keadilan, ketentuan agama dan etika.8 Oleh karena itu, Islam melarang adanya transaksi yang mengandung unsur gharar yang berakibat keuntungan di satu pihak dan kesewenangwenangan serta penindasan (dhulm) di pihak lain. Keadilan sebagai pondasi perekonomian, dalam al-Qur'an banyak menyebutkan kata keadilan itu dengan beragai konteks. Dari semua pengertian dari berbagai kata itu bertemu dalam satu ide umum sekitar sikap teguh yang berkeseimbangan dan jujur'.9 Prinsip kehendak bebas Kehendak bebas merupakan kontribusi Islam yang paling orisinil. Manusia sebagai khalifah di muka bumi-sampai batas-batas tertentu-mempuyai kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya pada pencapaian kesucian diri. Berdasar pada aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, termasuk menepati maupun mengingkarinya.10 Sesungguhya kebebasan ekonomi yang disyari'atkan Islam bukanlah kebebasan mutlak yang terlepas dari ikatan seperti yang diduga oleh kaum Syu'ab "sesungguhnya kami berbuat dengan harta kami sesuka kami".11 Kebebasan itu kebebasan yang terbatas, terkendali dan Yusuf Qardlawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa Zainal Arifin dan Dahlia Husin, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 173. 9 Nur Khalis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, cet. 1, (Jakarta: Paramadina, 1992), 511. 10 Rafiq Isa Beekun, Islamic Bisnis Ethic. (USA: Virginia, 1997), 24 11 Hud: 87. 8
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
37
Mairijani
terikat dengan keadilan yang diwajibkan Allah. Hal ini disebabkan manusia dalam bermuamalah selalu memliki tabiat yang buruk dan kontradiktif yang dibuat oleh Allah dengan hikmah agar terwujud kemakmuran di muka bumi. Contoh sifat manusia itu adalah sangat mencintai harta,12 sangat kikir dan bakhil,13 dan senang terhadap kekal.14 Prinsip Kemanfaatan Dalam melakukan kegiatan muamalah harus didasarkan pada pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan madlarat, baik bagi pelakunya maupun masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, maka semua bentuk aktivitas perekonomian yang mendatangkan kerusakan bagi masyarakat tidak dibenarkan. Penerapan prinsip kemanfatan dalam kegiatan bisnis sangat berkaitan dengan obyek transaksi bisnis. Obyek tersebut tidak hanya berlabel halal tapi juga memberikan manfaat bagi konsumen. Hal ini juga berkaiatan dengan penggunaan obyek setelah adanya transaksi. Obyek yang memenuhi kriteria halal apabila digunakan untuk halhal yang dapat menimbulkan kerusakan, maka hal ini pun dilarang. a. Praktek yang dilarang dalam ekonomi Islam Praktek mal bisnis di sini artinya adalah mencakup semua perbuatan yang tidak baik, jelek, secara moral terlarang, membawa akibat kerugian bagi pihak lain, maupun yang meliputi aspek hukum pidana yang disebut bussines crimes atau business tourt.15 Al-Qur'an sebagai sumber nilai, memiliki nilai-nilai prinsipil untuk mengenali prilaku-prilaku yang bertentangan dengan nilainya. Oleh karenanya ada beberapa term yang digunakan dalam menyebut praktek mal bisnis, diantaranya al-bhatil, al-fasad, dan adz-dzalim sebagai landasan atau muara perbuatan-perbuatan yang dilarang 12 Al-Adiyat:
8. : 100 14 Thaha: 10-121 15 Business crimes adalah tindak pidana dalam bisnis, yaitu perbuatan-perbuatan tercela yang dilakukan oleh pebisnis atau pegawai suatu bisnis baik untuk keuntungan bisnisnya maupun yang merugikan bisnis pihak lain. Adapaun business tourt adalah perbuatan yang tidak terpuji yang dilakukan oleh usahawan yang merupakan pelanggaran terhadap pengusaha lain. Di Indonesia kedua praktek ini dianggap sebagai kejahatan bisnis. Lihat, Suwantoro (ed.) Aspek-aspek Pidana di Bidang Ekonomi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), 20-21. 13 An-Nisa'
38 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial…
oleh al-Qur'an. 16 Praktek mal bisnis disebabkan adanya ketiga hal ini: kebatilan, kerusakan, dan kedzaliman sekaligus atau bersamaan. Sebaliknya adanya salah satu dari ketiga landasan di atas sudah dapat memasukkan suatu aktivitas dalam kategori prakek mal bisnis. Diantara jenis-jenis mal bisnis adalah: 1. Riba Riba dari segi bahasa berarti ziyadah (kelebihan) atau tambahan. Sedangkan menurut istilah syara‟, berarti bertambahnya harta (dalam pelunasan hutang) tanpa imbalan jasa apapun. Dalam al-Qur‟an pengertian riba dipakai untuk istilah bunga. Tetapi dari segi ekonomi riba berarti surplus pendapatan yang diterima dari debitur sebagai imbalan karena menangguhkan untuk waktu atau periode tertentu.17 Riba dilarang bukan hanya di kalangan kaum Muslim saja tetapi juga dilarang di kalangan agama lain, terutama agama samawi. Islam menganggap riba sebagai kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan bagi masyarakat, baik itu secara ekonomis, moral, maupun sosial. Oleh karena itu al -Qur'an melarang kaum muslimin untuk memberi ataupun menerima riba. Dalam mengungkap rahasia makna riba dalam al-Qur‟an, arRazi18 menggali sebab dilarangnya riba dari sudut pandang ekonomi, dengan beberapa indikasi sebagai berikut; a). Riba tak lain adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai imbangan apapun. Padahal, menurut sabda Nabi harta seseorang adalah seharam darahnya bagi orang lain; b). Riba dilarang karena menghalangi pemodal untuk terlibat dalam usaha mencari rezeki. Orang kaya, jika ia mendapatkan penghasilan dari riba, akan bergantung pada cara yang gampang dan membuang pikiran untuk giat berusaha; c). Riba biasanya pemodal semakin kaya dan bagi pe-minjam semakin miskin, sekiranya dibenarkan maka yang ada orang kaya menindas orang miskin; dan d). Riba secara tegas dilarang oleh al-Qur‟an, dan Dapat dipahami bahwa kedzaliman pada hakikatnya membawa akibat kerugian baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Kedzaliman pada sesama dinilai oleh al-Qur'an sebagai kedzaliman pada Allah. 17 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa Suroyo dan Nastangin, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), III: 48. 18 Fakhruddin Muhammad ar-Razi, Tafsir al-Kabir, (Tuhran: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt.), II: 87. 16
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
39
Mairijani
kita tidak perlu tahu alasan pelarangannya. 2. Perjudian (qimar atau maisir) Adapun judi dalam bahasa arab disebut al-maisir, al-qimar, rahanahu fi al-qimar19 li'bun qimar, muqamarah, maqmarah (rumah judi). Termasuk dalam jenis judi adalah bisnis yang dilakukan dengan sistem pertaruhan.20 Perilaku judi dalam proses maupun pengembangan bisnis dilarang secara tegas oleh al-Qur'an. Judi atau al-maisir ditetapkan sebagai hal yang harus dihindari dan dijauhi oleh orang yang beriman bersama dengan larangan khamr dan mengundi nasib, karena termasuk perbuatan syetan.21 Firman pertama yang ditunjukkan pada kejahatan ini menyatakan bahwa kejahatan judi itu jauh lebih parah daripada keuntungan yang diperolehnya. Hal ini ditunjukkan oleh Q.S. alMaidah (5) ayat 90:
ياايها الذين امنوا انما الخمر والميسر واالصاب رجس من عمل الشيطن فاجتنبواه لعلكم
. 22تفلحون Ayat itulah pertama kali dibicarakan mengenai judi berupa celaan sebagai suatu kejahatan sosial. Langkah berikut dan final adalah melarang perjudian dilakukan bersama-sama. Sedangkan dalam ayat lain dijelaskan bahwa semua bentuk perjudian atau taruhan itu dilarang dan dianggap sebagai perbuatan dzalim dan sangat dibenci (Q.S. al-Baqarah (2) ayat 219). Kata maisir dalam bahasa Arab yang arti harfiahnya adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja, oleh karena itu disebut berjudi. 3. Probabilitas atau resiko (gharar) Gharar pada arti asalnya adalah al-khida’, yaitu sesuatu yang tidak diketahui pasti benar atau tidaknya. Dari arti itu, gharar dapat berarti sesuatu yang lahirnya menarik, tetapi dalamnya belum jelas
Bertaruh dalam perjudian, lihat Ahmad Warson al-Munawir, Kamus alMunawir (Yogyakarta: PP Krapyak, tt), 1698. 20 Taqiyyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, alih bahasa Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 200. 21 al-Maidah (5): 90-91. 22 Al-Maidah (5) : 90. 19
40 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial…
diketahui dan menimbulkan kebencian.23 Bisnis gharar dengan demikian adalah jual beli yang tidak memenuhi perjanjian yang tidak dapat dipercaya, dalam keadaan bahaya tidak diketahui harganya, barangnya, kondisi, serta waktu mem-perolehnya. Dengan demikian antara yang melakukan transaksi tidak mengetahui batas-batas hak yang di-peroleh melalui transaksi tersebut. Dalam konsepsi fiqh, termasuk didalamnya jenis gharar adalah membeli ikan dalam kolam, membeli buah-buahan yang masih mentah di pohon. Praktek gharar ini, tidak dibenarkan salah satunya dengan tujuan menutup pintu bagi perselisihan dan perebutan dua belah pihak. 24 Dalam satu hadist Rasulullah bersabda tentang gharar dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut;
هنى رسول اهلل صلى اهلل عليه و السلم عن بيع احلصاة وعن بيع الغرر: عن ايب هريرة قال
25
Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW menyatakan untuk melarang semua bentuk perdagangan yang tidak pasti, berkaitan dengan jumlah yang tidak ditentukan secara khusus atas barangbarang yang akan ditukarkan atau dikirimkan. Hal Ini adalah perdagangan yang melibatkan penjualan komoditi yang belum menjadi milik sang penjual, penjualan binatang yang belum lahir, penjualan hasil pertanian yang belum dipanen, dan lain-lain. 26 Rasulullah SAW, semoga Allah memberkati dan memberinya kedamaian, melarang penjualan buah-buahan tersebut, kecuali mulai masak. Ia melarang transaksi jual beli baik kepada pembeli maupun penjualnya.27 Tidak semua penjualan yang menyangkut sesuatu yang tidak pasti dilarang. Sebagai contoh, seseorang mungkin akan membeli rumah tanpa harus mengetahui apa yang ada di dalamnya. Apa yang dilarang adalah penjualan di mana terdapat unsur-unsur ketidakpastian yang jelas dapat menyebabkan perselisihan, konflik atau pengambilan uang orang lain secara tidak adil. Di dalam kontrak bisnis, gharar berarti melakukan sesuatu Wahbah az-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islami wa ‘adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 435-437. 24 Lihat Ahmad Muhammad al-Asad dan Fathi Ahmad Abd Karim, Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam, alih bahasa Imam Saefuddin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 93 dan 95. 25Muslim, Shahih Muslim, III: 1153 26 Yusuf al-Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Indianapolis, USA: American Trust Publications, t.t.), 253-254. 27 'Abdullah ibn Umar, al-Muwatha', hadist no. 31.8.10. 23
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
41
Mairijani
secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau megambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya. Dalam segala situasi tersebut, di situ selalu hadir suatu resiko. Gharar bisa tampil sebagai cermin ketidakadilan. Gharar dikaitkan dengan perjudian, sebab adanya unsur ketidakpastian yang berarti mirip dengan taruhan dalam perjudian, tentang akibat yang bakal terjadi, yang cenderung sepihak; salah satu pihak tidak tahu apa yang tersimpan atau akan diperolehnya pada akhir suatu transaksi. Sementara dalam perjudian, masing-masing pihak samasama menghadapi kosekuensi kalah atau menang. Jadi meskipun dari segi konsep dan praktek berbeda, keduanya, gharar dan judi memiliki akibat yang sama, yaitu salah satu pihak mendapatkan keuntungan yang tidak adil (menjadikan salah satu pihak menarik pihak lain ke posisinya yang dirugikan), yang berarti ada unsur memakan harta sesama dengan cara bathil. Disamping itu akibatnya terjadi kekecewaan dan kebencian, karena disamping prinsip keadilan yang harus ditegakkan dalam bisnis yang harus memperhatikan prinsip kerelaan 'antaradzin' antara pelaku bisnis.28 Tetapi ada beberapa gharar yang diperbolehkan dalan transaksi Islam, diantaranya: 1). Sesuatu yang tidak disebutkan dalam akad jual beli, tetapi termasuk dalam obyek akad. Sebagai contoh, susu yang ada dalam binatang ternak ketika seseorang menjualnya; 2). Akad yang mengandung gharar itu termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak. Dibolehkan melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut dibutuhkan orang banyak, sedangkan jika sebaliknya maka akad menjadi haram. Imam Nawawi mengatakan, “Bila akad yang mengandung gharar sangat penting, bila dilarang akan sangat menyusahkan kehidupan manusia, maka akadnya dibolehkan”; 3). Boleh melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut terjadi pada hibah/wasiat, sedangkan untuk akad jual-beli hukumnya dilarang; dan 4). Sesuatu yang menurut adat dapat dimaafkan atau ditolelir dalam akad baik karena sedikit jumlah atau karena sulit Imra'atul Azizah, Perjudian dan Spekulasi dalam Islam (Tinjauan Etika Bisnis Islam), Thesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tidak diterbitkan, 2001. 28
42 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial…
memisahkan dan menemukannya. Sewa yang terjadi pada kamar mandi umum susah untuk menentukan jumlah air yang dipakai.29 4. Penipuan (al-gabn dan tadlis) Al-gabn menurut bahasa bermakna al-khida' yang berarti penipuan. Dikatakan: Ghabanahu ghabnan fi al-bay' wa asy-syira'; khada'au wa ghalabahu (dia benar-benar menipunya dalam jual beli yaitu menipunya dan menekannya. Ghabana fulanan; naqashahu fittsaman wa ghayyarahu (dia menipu seseorang yaitu dengan mengurangi dan merubah harganya). Ghabn adalah membeli harga dengan lebih tinggi atau lebih rendah dari harga rata-rata. Penipuan model ghabn ini disebut penipuan bila sudah sampai taraf yang keji.30 Adapun penipuan (tadlis) adalah penipuan, baik pada pihak penjual maupun pembeli dengan cara menyem-bunyikan kecacatan ketika terjadi transaksi. Dalam bisnis modern perilaku ghabn atau tadlis bisa terjadi dalam proses mark-up yang melampaui kewajaran atau wanprestasi. Penipuan (bedrog), dalam KUHD Perdata Indonesia pengaturannya terdapat dalam pasal 1328. dengan penipuan dimaksudkan penyesatan dengan sengaja oleh salah satu pihak terhadap pihak lawan janji dengan memberikan keteranganketerangan palsu disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya agar memberikan perijinannya, dimana jelas bahwa kalu tidak karena tipu muslihat itu, dia tidak membuat perikatan yang bersangkutan atau paling tidak, tidak dengan syarat yang telah disetujuinya. Di sini pihak tertipu memang telah menyatakan perizinannya, namun merupakan perizinan dan kehendak yang tidak murni, kehendak yang sesat karena tindakan penipuan pihak lawan janji. Jadi di sini kehendaknya adalah cacat, yang disebabkan oleh perbuatan lawan janji yang melakukan tipu muslihat.31 Dasar penipuan ini dapat merujuk hadist riwayat Abu Hurairah; Dari Abu Hurairah (dilaporkan bahwa) Ia mengatakan; Rasulullah SAW pernah lewat pada seseorang yag sedang menjual bahan makanan, lalu Amin Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996) 30 Taqiyyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi, hlm. 203-205. 31 Syamsul Anwar, "Hukum Perjanjian dalam Islam: Kajian terhadap masalah cacat Kehendak (Wilsgebreken), dalam Jurnal Penelitian Agama, No. 21Th VII Januari April 1999. 29
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
43
Mairijani
Rasulullah memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan itu, lalu ternyata bahan makanan tersebut tipuan. Maka Rasulullah bersabda, "tidak termasuk golongan kami orang yang menipu." Dengan aksioma kebenaran ini, maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian dalam bisnis. al-Qur'an menegaskan agar dalam bisnis tidak dilakukan dengan cara-cara yang mengandung kebatilan, kerusakan dan kedzaliman, sebaliknya harus dilakukan dengan kesadaran dan kesukarelaan, dimana semua praktek mal bisnis ini bermuara pada ayat yang berbunyi; 32 ياايهاالذ ين امنوا ال تاكلوا اموالكم بينكم بالباطل اال ان تكون جتاراة عن تراض منكم. PEMBAHASAN Sebelum masuk pada jantung persoalan, maka perlu dikemukakan bahwa asuransi adalah praktek bisnis baru, yang belum ada pada masa silam. Oleh karena itu para ulama belum memikirkan lebih jauh mengenai konsep, bentuk, dan juga hal lain yang berkaitan dengannya. Di samping para teoritikus hukum Islam juga tidak membahasnya secara detail, oleh karenanya belakangan persoalan asuransi menjadi pembahasan yang menimbulkan perbedaan pendapat. Hukum Islam mengakui adanya kebebasan berkontrak. Nas-nas al-Qur'an dan Sunnah Nabi serta kaidah-kaidah fiqh menunjukkan bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berkontrak. Dalam alQur'an Allah berfirman : 33 ياايهالذين امنوا اوفوا بالعقود
Dari ayat ini disimpulkan tentang asas kebebasan berkontrak. Perintah dalam ayat ini menunjukkan wajib. Memenuhi akad-akad itu hukumnya wajib. Sehingga dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa akad apa saja, baik yang bernama maupun yang tidak bernama wajib untuk dipenuhi. Dalam hadis Nabi dinyatakan : 34
املسلمون على شروطهم اال سرطا حرم حللال او احل حراما
Sedangkan kaidah fiqh menyatakan : an-Nisa' (4): 29. Al-Maidah (5) : 1 34 Al-Hakim, al-Mustadrak (Riyadh: Maktabah wa Matabi' an-Nasyr al-Hadisah, tt.), II: 49. 32 33
44 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial… 35
اال صل فى اعلقد رضى المتعاقدين ونتجتو ما التزماه بالتعاقد
Kaidah di atas secara jelas menunjukkan kebebasan berkontrak karena perjanjian itu dinyatakan sebagai dasar kata sepakat para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang dibuat oleh para pihak sendiri melalui janji. Berdasarkan pada uraian di atas, maka jelaslah bahwa perjanjian asuransi dengan segala klausulnya sah adanya menurut asas kebebasan berkontrak (al-mabda’ huriyyah at-ta’aqud) dalam hukum Islam . Hal ini didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, dimana legalitasnya telah diakui oleh hukum Islam. Lalu bagaimanakah sifat asuransi sosial dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijalankan oleh BPJS menurut normanorma yang ada dalam hukum ekonomi Islam -hukum Islam-. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS pada Pasal 1, ayat 6 bahwa iuran sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah. Kemudian dalam PP No 12 Tahun 2013 bahwa iuran jaminan kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk program jaminan kesehatan. Berdasarkan ketentuan ini maka iuran yang dibayarkan peserta program SJSN adalah dianggap sebagai hibah. Berbeda dengan asuransi yang dikelola oleh perusahaan swasta dimana sifat dari pengelolaan asuransi pada perusahaan swasta adalah berorientasi pada profit, sementara pada program SJSN yang dikelola oleh BPJS sebagai badan hukum publik bahwa, hal ini dijelaskan pada pasal 7 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Kemudian dipertegas kembali pada pasal Pasal 4 UndangUndang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS bahwa kedudukan BPJS dalam menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional berdasarkan prinsip Nirlaba, dana amanat, hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk kepentingan peserta. Pada pasal 2 juga diterangkan bahwa program ini dijalankan atas asas : kemanusiaan, manfaat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan bagi masyarakat yang tergolong fakir miskin dan orang 35
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 44
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
45
Mairijani
yang tidak mampu maka pemerintah sebagai pihak yang membayarkan dan menyetorkan iurannya, hal ini bisa dilihat Pasal 19 ayat 4 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS dan pasal 3 ayat 1 PP RI No 12 Tahun 2013 tentang jaminan kesehatan. Jadi ketentuan iuran yang wajib dibayar oleh peserta asuransi manakala akad yang dilakukan adalah jual beli, sementara pada asuransi social dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijalankan oleh BPJS adalah dipersamakan dengan akad hibah, bahwa boleh melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut terjadi pada hibah/wasiat sebagaimana yang ada dalam kaidah hukum ekonomi Islam. Adapun mengenai denda sebagaimana yang tercantum pada pasal 17 ayat 4 PP RI No 12 Tahun 2013 tentang jaminan kesehatan atas keterlambatan pembayaran iuran dikenakan denda administratif sebesar 2% perbulan dari total iuran yang tertunggak. Mengenai aturan ini maka kita harus melihat kembali kebijakan apa sebenarnya yang diinginkan dari aturan ini, sehingga klaim akan munculnya celah menuju riba dapat diminimalisir. Ada beberapa Fatwa DSN yang menjelaskan terkait denda yang dikenakan oleh LKS terhadap nasabah. Tujuan dari ini semua adalah sebagai bentuk ta’zir yaitu agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Sebagaimana termaktub pada fatwa 17/DSN-MUI/IX/2000, pengenaan sanksi didasarkan pada prinsip Ta'zir. Kemudian dana yang di dapat hanya diperuntukkan sebagai dana sosial bukan sebagai pendapatan. Denda juga diberlakukan atas keterlambatan pembayaran kartu kredit, mengacu kepada Fatwa DSN No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran dan No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (taiwidh). Penilaian atas denda administratif sebesar 2% perbulan dari total iuran yang tertunggak pada asuransi social dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijalankan oleh BPJS maka penulis berkesimpulan bahwa hal itu tidak termasuk dalam kategori riba yang diharamkan. Kemudian motivasi dalam sistem ekonomi Islam tidak hanya didasarkan pada perolehan keuntungan semata (profit oriented). Tetapi juga didasarkan pada cara/proses mendapatkan keuntungan tersebut. Penerapan prinsip kebolehan (ibahah) sangat berkaitan dengan
46 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial…
kegiatan bisnis yang dikelola oleh suatu lembaga. Misalnya, investasi yang dilakukan harus pada obyek yang halal dan mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Demikian juga alokasi penyaluran dana pada jenis usaha yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pada Pasal 11 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS dijelaskan bahwa BPJS berwenang menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang, yang dalam hal ini ada kemungkinan bahwa dana iuran yang dibayarkan peserta disalurkan pada jenis usaha yang bertentangan dengan ajaran Islam, hal ini disebabkan karena tidak adanya ketegasan dan kejelasan kemana saja dana itu diinvestasikan. Dalam penyaluran dana untuk investasi maka hukum ekonomi Islam melarang penyaluran dana pada perusahaan yang jenis menjual barang-barang yang diharamkan, melakukan praktek riba, maysir, gharar, tadlis, zulm, dan lain sebagainya yang dilarang. Berdasarkan ketidakjelasan dalam praktek inilah maka ketentuan dalam penempatan dana yang dilakukan oleh BPJS tergolong syubhat. Hal ini didasarkan pada kaidah ushul yang mengatakan mencegah mafsadah dan menarik kemaslahatan. 36 KESIMPULAN Pelaksanaan SJSN yang diselenggarakan oleh pemerintah dalam hal ini BPJS bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat, hal itu sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan ajaran Islam, di mana tujuan hukum Islam (Maqasid asy-Syari'ah) dapat dirinci kepada lima tujuan yang disebut al-maqasid al-khamsah atau alkuliyyah al-khamsah. Aturannya berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS dan PP RI No 12 Tahun 2013 tentang jaminan kesehatan. Berdasarkan hasil analisa terhadap sifat asuransi sosial dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijalankan oleh BPJS maka dapat disimpulkan bahwa menurut ketentuan hukum ekonomi Islam – hukum Islam- terkait iuran sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta dianggap sebagai hibah, hukumnya adalah boleh. Adapun mengenai denda atas keterlambatan pembayaran iuran Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadzair, (Beirut: Dar alFikr, tt.), 54. 36
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
47
Mairijani
dianggap sebagai bentuk ta’zir yaitu agar peserta lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Adapun berkenaan menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang, maka seharusnya penyaluran dana untuk investasi yang dihalalkan menurut hukum ekonomi Islam.
48 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial…
DAFTAR PUSTAKA Afzalurrahman, 1996. Doktrin Ekoomi Islam, alih bahasa Suroyo dan M. Nastangin cet. 1. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. al-Asad, Ahmad Muhammad dan Fathi Ahmad Abd Karim. 1999. Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam, alih bahasa Imam Saefuddin, Bandung: Pustaka Setia. Al-Bukhari, Shahih Bukhari, II: 779. Al-Ghazali. 1322. al-Mustasfa min ‘Ilmi al-‘Ushul, cet. 1, Mesir: al‟‟Amiriyyah. al-Hakim. tt. al-Mustadrak. Riyadh: Maktabah wa Matabi' an-Nasyr alHadisah. al-Munawir, Ahmad Warson. tt. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: PP Krapyak. al-Qaradlawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa Zainal Arifin dan Dahlia Husin, cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press. _________. al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Indianapolis, USA: American Trust Publications. an-Nabhani, Taqiyyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, alih bahasa Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti. Anwar, Khoril, 2007. Asuransi Syariah Halal dan Maslahat, Cet 1, Solo: Tiga Serangkai. Anwar, Syamsul. 1999. "Hukum Perjanjian dalam Islam: Kajian terhadap Masalah Cacat Kehendak (Wilsgebreken), dalam Jurnal Penelitian Agama, No. 21Th VII Januari April. ar-Razi, Fakhruddin Muhammad. tt. Tafsir al-Kabir, Tuhran: Dar alKutub al-Ilmiyyah. ash-Siddiqie, M. Nejatullah. Some Aspects of The Islamic Economy, Lahore: Islamic Publication, tt. as-Suyuti, Jalaluddin. 1987/1407. al-asbah wa an-Nadair fi Qawaid alFuru’ asy-syafiiyyah, Beirut: Dar al-kitab al-„Arabi. Azizah, Imra'atul, 2001. Perjudian dan Spekulasi dalam Islam (Tinjauan Etika Bisnis Islam), Thesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tidak diterbitkan. az-Zuhaily, Wahbah. 1989. al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, juz. 4 Beirut: Dar al-Fikr. Bekun, Rafiq Isa. 1997. Islamic Bussiness Ethic, Herdon, Virginia, USA:
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
49
Mairijani
t.tp Capra, M. Umar. 1995. Islam and The Economic Challenge, Leicester: Islamic Foundation. Dahlan, Amin Aziz. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoever. Ibn Umar, 'Abdullah. al-Muwatha', hadist no. 31.8.10. Madjid, Nur Kholis. 1992. Islam, Doktrin dan Peradaban, cet. 1. Jakarta: Paramadina. Muslim. tt. Shahih Muslim, Beirut: Dar al-„Ihya‟ at-Turast al-„Arabi. Rahman, Asjmuni A. 1975. Qaidah-qaidah Fiqh Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Suwantoro. 1990 (ed.) Aspek-aspek Pidana di Bidang Ekonomi, Jakarta: Ghalia Indonesia. Ya‟qub, Hamzah. 1984. Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi). cet. 1.Bandung: Diponegoro
50 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014