Tarmidi dan Lita Hadiati Wulandari
Prestasi Belajar Ditinjau dari Persepsi Siswa Terhadap Iklim...
PRESTASI BELAJAR DITINJAU DARI PERSEPSI SISWA TERHADAP IKLIM KELAS PADA SISWA YANG MENGIKUTI PROGRAM PERCEPATAN BELAJAR Tarmidi dan Lita Hadiati Wulandari P.S. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Intisari Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara persepsi siswa terhadap iklim kelas dengan prestasi belajar pada siswa yang mengikuti program percepatan belajar di SMU Negeri 1 Medan. Data diperoleh dari 28 siswa yang mengikuti program percepatan belajar. Untuk iklim kelas digunakan Adult Classroom Environment Scale (ACES) dari Darkenwald dan Valentine (1997) dimana dimensinya meliputi afiliasi, dukungan dari guru, orientasi pada tugas, pencapaian tujuan pribadi, pengorganisasian dan kejelasan, pengaruh teman sekelas dan keterlibatan siswa. Hasil menunjukkan ada hubungan antara persepsi siswa terhadap iklim kelas dan prestasi belajar (rxy= -0.202). Oleh karena penelitian ini adalah penelitian terhadap populasinya, maka level signifikansi tidak digunakan. Dapat juga disimpulkan bahwa hanya 4% prestasi belajar dipengaruhi oleh iklim kelas. Kata Kunci: Iklim kelas, Prestasi Belajar, Kelas Akselerasi Abstract This study examined the relationship between student’s perception of classroom environment and academic achievement of the acceleration students at SMU Negeri 1 Medan. The data were collected from all of the students of the acceleration class that 28 students by classroom environment scale that based on Adult Classroom Environment Scale (ACES) from Darkenwald dan Valentine (1997) that dimension are affiliation, teacher support, task orientation,personal goal attainnment, organization & clarity, student influence, and involvement. The result indicate that there are a correlation between student’s perception of classroom environment and their academic achievement. (rxy=0.20). Cause the study is population research, there is no significance level used.It can be said that only 4% of the their academic achievement are explained by classroom environment. Keywords : Classroom environment, academic achievement, acceleration class Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa untuk memperhatikan keberagaman peserta didik perlu diselenggarakan pendidikan khusus. Pendidikan khusus merupakan pendidikan
bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Widyastono (2001) menyatakan
19
PSIKOLOGIA • Volume I • No. 1 • Juni 2005
bahwa strategi penyelenggaraan pendidikan bersifat klasikal-massal yang selam ini dilakukan, memberikan perlakuan yang standar (tidak memperhatikan keberagaman peserta didik) kepada semua siswa padahal setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda. Akibatnya, siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di bawah ratarata, karena memiliki kecepatan belajar di bawah kecepatan belajar siswa lainnya, akan selalu tertinggal dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar; sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-rata, karena memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar siswa lainnya, akan merasa jenuh, sehingga sering berprestasi di bawah potensinya (under achiever). Agar siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dapat berprestasi sesuai dengan potensinya, diperlukan pelayanan pendidikan yang berdiferensiasi, yaitu pemberian pengalaman pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kecerdasan siswa; dengan menggunakan kurikulum yang berdifferensiasi, yaitu kurikulum standar yang diimprovisasi alokasi waktunya sesuai dengan kecepatan belajar dan motivasi belajar siswa. Pelayanan pendidikan berdifferensiasi bagi anak berbakat dapat diimplementasikan melalui penyelenggara-an program percepatan belajar (akselerasi). Program Percepatan Belajar diterapkan mulai jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU). siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa diberi peluang untuk dapat menyelesaikan studi di SD kurang dari 6 tahun (5 tahun), di SLTP dan SMU masingmasing kurang dari 3 tahun (2 tahun), dengan menyelesaikan semua target kurikulum tanpa meloncat kelas (Depdiknas, 2001). Program percepatan belajar bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dapat dijadikan salah satu strategi alternatif yang relevan; di samping bertujuan untuk memberikan pelayanan pendidikan sesuai dengan potensi siswa, juga bertujuan untuk mengimbangi
20
kekurangan yang terdapat pada strategi klasikal-massal. Proses belajar-mengajar menurut UU No. 20 Tahun 2003 adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Murray (dalam Hadiyanto & Subijanto, 2003) mengatakan bahwa tingkah laku peserta didik dalam proses belajar-mengajar dipengaruhi oleh individu (person) sendiri, maupun oleh lingkungan eksternal (environment). Dia mengajukan suatu model, yang terdiri dari kebutuhan (need) dan tekanan (press) yang dapat dianalogkan seperti halnya pribadi dan lingkungan. Kebutuhan pribadi (need) mengacu pada motivasi individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan tekanan lingkungan (press) merupakan situasi eksternal yang mendukung atau bahkan menyebabkan kekacauan dalam mengungkapkan kebutuhan pribadi. Dalam bahasan psikologi sosial perilaku ditentukan oleh lingkungan dan individu. Kurt Lewin, seorang ahli psikologi sosial merumuskan pengaruh lingkungan dalam perilaku. Penelitian yang dilakukan Walberg & Greenberg (dalam DePorter dkk, 2000) menunjukkan bahwa lingkungan sosial atau suasana kelas adalah penentu psikologis utama yang mempengaruhi belajar akademis. Segala sesuatu dalam lingkungan kelas menyampaikan pesan yang memacu atau menghambat belajar. Walberg (dalam Fathaigh, 1997) menyatakan bahwa kejadian-kejadian dan kondisi dalam lingkungan sosial dan persepsi pelajar tehadap iklim belajar sangat signifikan dalam memprediksi prestasi. Hal tersebut senada dengan pernyataan Fraser (dalam Yates, 2001) yang menyatakan bahwa iklim kelas dapat mempengaruhi pembelajaran siswa. Iklim kelas (classroom environment), menurut Bloom (dalam Hadiyanto & Subiyanto, 2003) adalah kondisi, pengaruh, dan rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh fisik, sosial, dan intelektual yang mempengaruhi peserta didik (Hadiyanto & Subiyanto, 2003). Di Indonesia, penelitian tentang iklim kelas belum dikembangkan, umumnya guru dan
Tarmidi dan Lita Hadiati Wulandari
Prestasi Belajar Ditinjau dari Persepsi Siswa Terhadap Iklim...
kepala sekolah belum mengenalnya. Padahal, iklim kelas diyakini berkorelasi dengan prestasi belajar siswa. Oleh karena itu memulai studi tentang iklim kelas dengan tujuan peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah menjadi sangat penting dan dibutuhkan (Hadiyanto & Subiyanto, 2003). Terlebih bagi anak berbakat yang memerlukan pelayanan khusus dalam pendidikannya. Dess (Dalam Suryabrata, 1995) menyatakan bahwa prestasi belajar merupakan muara dari proses/aktivitas belajar yang dilakukan seseorang. Dalam konteks pendidikan formal, Tirtonegoro (1984) menyatakan bahwa prestasi belajar merupakan penialain aktivitas belajar siswa yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai peserta didik dalam periode tertentu. Semiawan (1997) menyatakan bahwa prestasi belajar terkait dengan pengetahuan, kemajuan persekolahan ataupun data otentik yang diperoleh dari tes hasil belajar. Tes hasil belajar berfungsi untuk mengukur hasil perolehan belajar setelah menjalani proses pendidikan, latihan, atau program tertentu yang telah selesai diikuti seseorang. Suparno (2001) menyebutkan bahwa ada dua faktor yang berperan dalam mencapai prestasi, yang terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor internal in antara lain: 1. Kesulitan memahami pelajaran, terjadi karena pelajaran yang disampaikan tidak cukup ditunjang oleh pengetahuan sebelumnya. Bloom (dalam Suparno, 2001)menyatakan bahwa untuk belajar yang bersifat kognitif apabila pengetahuan atau kecakapan prasyarat dipenuhi, maka betapapun baiknya kualitas pembelajaran, tidak akan membantu siswa memperoleh hasil yang tinggi. 2. Kehilangan semangat belajar karena nilai yang diperolehnya rendah. Ini membuktikan bahwa umpan balik yang diberikan pada akhir masa pelajaran tidak memberikan kesempatan memperbaiki nilai.
3. Kesulitan untuk mendisiplinkan diri dalam belajar. Hal ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatur diri, waktu, memacu semangat belajar, dan memahami cara yang cocok untuk diri sendiri. 4. Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. Hal ini bisa saja disebabkan kondisi jasmani dan banyaknya pikiran yang mengganggunya. 5. Ketekunan dalam mendalami pelajaran. 6. konsep diri yang negatif. Seseorang yang mempunyai konsep diri yang positif cenderung untuk dapat belajar dengan baik. Konsep diri dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Konsep diri terbentuk dari pengamatan dan penialaian terhadap diri sendiri maupun respon orang sekitar. 7. Gangguan emosi. Ganguan emosi umumnya terjadi karena kehilangan kasih sayang Adapun faktor eksternal belajar terdiri dari: 1. Kemampuan atau keadaan sosial ekonomi 2. Kekurangmampuan guru menguasai materi dan strategi pembelajaran 3. Tugas-tugas non akademik yang dapat menyita waktu belajar sehingga porsi belajar lebIh sedikit 4. Kurang memperoleh dukungan dari orang sekitar 5. Lingkungan fisik yang mempenagruhi kualitas belajar seseorang 6. Kesulitan belajar yang berasal dari lembaga pendidikan sendiri, misalnya sarana belajar yang kurang, perbandingan siswa guru yang tidak seimbang. Sementara itu, Ysseldyke & Christenson (2000) menyebutkan ada dua belas komponen yang mendukung prestasi belajar siswa, yaitu: 1. Presentasi instruksional 2. Iklim kelas 3. Pengaharapan guru terhadap murid 4. Kemampuan kognitif siswa 5. Motivasi 6. Latihan yang sesuai 7. Lamanya waktu belajar 8. Umpan balik dari yang telah dipelajari
21
PSIKOLOGIA • Volume I • No. 1 • Juni 2005
9. Instruksi yang adaptif dan sesuai dengan peserta didik 10. Evaluasi yang berkesinambungan 11. Perencanaan pengajaran yang rapi 12. Pemahaman siswa terhadap pelajaran yang disampaikan. Bloom (dalam Elliot, dkk) dengan Model Bloom’s Theory Os School Learning menyatakan bahwa hasil belajar dipengaruhi oleh karakteristik kognitif dan perilaku afektif siswa berpadu dengan kualitas kegiatan belajar mengajar dalam kelas. Selanjutnya dikatakan oleh Chavez (1984) bahwa di dalam kelas terjadi interaksi antara sesama siswa dan siswa dengan guru. Walberg (dalam Fathaigh, 1997) mengklaim bahwa apapun yang terjadi dan kondisi yang terbentuk dalam kelas, akan memberikan iklim sosial tersendiri. Moos (dalam Baek & Choi, 2002) menyatakan bahwa seperti halnya manusia, lingkungan juga mempunyai kepribadian. Ia yakin bahwa lingkungan dapat memberikan kehangatan, semabagat atau sebaliknya, kaku dan menghambat. Dalam dunia pendidikan, Moos (dalam Baek & Choi, 2002) meyakini bahwa persepsi siswa mengenai lingkungan belajra, termasuk ruang kelas, dimana siswa menghabiskan sebagian besar waktunya, memberikan arti penting yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar. Walberg (dalam De Porter dkk, 2000) menyatakan bahwa siswa lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang, dan ramah, serta membuat mereka mempunyai suara dalam pengambilan keputusan. Dengan kondisi seperti itu para siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatann sukarela dalam belajar. Suasana yang dialami siswa dalam kelas lazim disebut iklim kelas. Ada beberapa istilah yang kadang-kadang digunakan digunakan secara bergantian untuk mendefenisikan iklim kelas. Climate, yang diterjemahkan dengan iklim, feel, atmosphere, tone, dan environment. Istilah iklim kelas digunakan untuk mewakili katakata tersebut diatas dankata-kata lain seperti learning environment, group climate dan
22
classroom environment (Subiyanto & Hadiyanto, 2003). Subiyanto & Hadiyanto (2003) mengutip beberapa ahli dalam mendefenisikan iklim kelas, diantaranya Bloom (1964) yang mendefenisikan iklim kelas sebagai kondisi, pengaruh, dan rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh fisik, sosial, intelektual yang mempengaruhi peserta didik. Hoy & Forsyth (1986) menyatakan bahwa iklim kelas adalah organisasi sosial informal dan aktivitas guru kelas yang secara spontan mempengaruhi tingkah laku. Hoy & Miskell (1982) menambahkan bahwa istilah iklim merupakan kualitas dari lingkungan/kelas yang terus-menerus dialami oleh guru-guru, mempengruhi tingkah laku, dan berdasar pada persepsi kolektif tingkah laku mereka. Selanjutnya, mereka menambahkan bahwa istilah iklim seperti halnya kepribadian apada manusia. Artinya, pada masingmasing kelas mempunyai ciri kepribadian yang tidak sama dengan kelas-kelas yang lain, meskipun kelas itu dibangun dengan fisik dan bentuk atau arsitektur yang sama. Moos (1979) juga menambhakan bahwa seperti halnya manusia, ikilim kelas ada yang sangat berorientasi pada tugas, demokratis, formal, terbuka atua tertutup. Berdasarkan pengertian dari beberpa ahli tersebut, Hadiyanto & Subiyanto (2003) menyimpulkan bahwa iklim kelas adalah segala situasi yang muncul akibat hubungan antara guru dan peserta didik atau hubungan diantara peserta didik yang menjadi ciri khusus suatu kelas dan mempengaruhi proses belajar-mengajar. Moss (dalam Bek & Choi, 2002) menggunakan konsep beta press Murray (persepsi individu terhadap situasi lingkungan yang diterimanya) dan hasil analisisnya terhadap berbagai lingkungan sosial seperti sekolah, keluarga, dan penjara, ia menyimpulkan bahwa lingkungan sosial terdiri dari tiga dimensi : Hubungan (relationship), pertumbuhan pribadi (personal growth), serta penagawasan dan perubahan sistim (system maintenance and change). Kemudian pada tahun 1987 Moss & Tricket (dalam Baek & Choi, 2002) mengembangkan skala untuk mengukur
Tarmidi dan Lita Hadiati Wulandari
Prestasi Belajar Ditinjau dari Persepsi Siswa Terhadap Iklim...
karakteristik psikososial lingkungan kelas yang disebut Classroom Environment Scale (CES). Dimensi hubungan mengukur sejauh mana keterlibatan peserta didik di dalam kelas, sejauh mana peserta didik saling mendukung dan membantu, dan sejauh mana mereka dapat mengekspresikan kemampuan mereka secara bebas dan terbuka. Dimensi pertumbuhan/perkembangan pribadi yang disebut juga pada dimensi yang berorientasi pada tujuan membicarakan tujuan utama kelas dalam membantu pertumbuhan/perkembangan pribadi dan motivasi diri. Skala-skala yang terkait dalam dimensi ini diantaranya adalah kesulitan (difficulty), kecepatan (speed), kemandirian (independence), kompetisi (competition). Dimensi perubahan dan perbaikan sistem membicarakan sejauh mana iklim kelas mendukung harapan, memperbaiki kontrol dan merespon perubahan. Skala-skala yang termasuk dalam dimensi ini diantaranya adalah formalitas (formality), demokrasi (democracy), kejelasan aturan (rule clarity), inovasi (innovation), kejelasan aturan (rule clarity). Skala formalitas, misalnya mengukur sejauh mana tingkah laku peserta didik di kelas berdasarkan aturan-aturan kelas. (Subiyanto & Hadiyanto, 2003). Darkenwald & Valentine (dalam Fathaigh, 1997) membuat alat ukur Adult Classroom Environment Scale (ACES) mengemukakan tujuh dimensi dalam mengukur iklim kelas yaitu: hubungan yang dibangun (affiliation), dukungan guru (teacher support) orientasi terhadap tugas (task orientation), pencapaian tujuan pribadi (personal goal attainment), pengorganisasian dan kejelasan (organization and clarity), pengaruh yang diberikan siswa (student influence), dan keterlibatan (involvement). 1. Hubungan yang dibangun (Affiliation) mencakup kesenangan siswa dalam berinteraksi secara positif dengan siswa lainnya. 2. Dukungan guru (Teacher support) mencakup bantuan, mendorong semangat, penuh perhatian, dan sikap guru yang bersahabat terhadap para siswa.
3. Orientasi terhadap tugas (Task orientation) mencakup bagaimana siswa dan guru secara bersama menjaga pemusatan terhadap tugas dan nilai suatu prestasi. 4. Pencapaian tujuan pribadi (Personal goal attainment) mencakup kejelasan dan pengorganisasian aktivitas dalam kelas. 5. Pengorganisasian dan kejelasan (Orgaization & Clarity) mencakup sejauh mana pengorganisasian dan kejelasan aturan dalam kelas. 6. Pengaruh yang diberikan siswa (Student influence) mencakup bagaimana guru berpusat pada siswa, dan melibatkan siswa dalam penagambilan keputusan dalam kelas. 7. Keterlibatan (Involvement) mencakup kepuasan siswa terhadap keadaan kelas dan berpartisipasi aktif dan penuh perhatian dalam tiap aktivitas. Istilah percepatan belajar berasal dari istilah akselerasi yang pertama sekali diperkenalkan oleh Presley (dalam Southern & Jones, 1991) pada tahun 1949, ia mendefenisikan akselerasi sebagai berikut: ” As progress through an educational program at rates faster or ages younger tahn conventional” Ia menegaskan bahwa pengertian akselerasi tidak harus selalu berarti siswa belajar lebih cepat dari waktu yang ditentukan, tetapi lebih kepada penyesuaian denga kecepatan belajar alami anak. Penyelenggaraan kelas akselerasi tidak terlepas dari dasar pembentukannya yaitu untuk melayani anak-anak yang mempunyai kecepatan belajar yang lebih dari anak-anak umumnya. Depdiknas (2001), peserta Program Percepatan Belajar adalah siswa yang mempunyai kecerdasan dan kemampuan luar biasa. Kecerdasan berhubungan dengan perkembangan intelektual. Dan pengertian kemampuan luar biasa pada dibatasi hanya pada kemampuan intelektual umum saja yang bisa diukur dengan dua acuan, yakni unidmensional yang dikemukakan oleh Lewis dan Terman yang hanya berdasarkan skor IQ (skor IQ diatas 125 pada skala Weschler). Acuan multidimensional, oleh
23
PSIKOLOGIA • Volume I • No. 1 • Juni 2005
Renzulli, Reis, dan Smith, selain kecerdasn intelektual juga mengharuskan adanya dimensi kreativitas (ditetapkan skor CQ dalam nilai baku cukup) dan pengikatan diri terhadap tugas baik (ditetapkan skor TQ dalam kategori nilai baku baik). Kurukulum Program Percepatan Belajar, memurut Buku Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar Depdiknas (2001) adalah kurikulum nasional dan kurikulum lokal, dengan penekana pada materi esensial, dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi integrasi antara pengembangan spiritual, lohgika, etika, dan estetika, serta dapat mengembangkan kemampuan berpikir holistik, kreatif, sistemik dan sistematis, linear dan konvergen. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Program Percepatan Belajar Menurut Widyastono (2001), ada delapan hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan Program Percepatan Belajar (dapat dilihat pada gambar 1)
Gambar 1. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Program Percepatan Belajar Pertama, masukan (input, intake) siswa diseleksi secara ketat dengan menggunakan kriteria tertentu dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria yang digunakan adalah: (a) prestasi belajar, dengan indikator: angka raport, Nilai Ebtanas Murni (NEM), dan/atau hasil tes prestasi akademik, berada 2 standar deviasi (SD) di atas Mean populasi siswa; (b) skor psiko-tes, yang meliputi: inteligency quotient (IQ) minimal 125, kreativitas, tanggung jawab terhadap tugas (task qommitment), dan 24
emotional quotient (EQ) berada 2 SD di atas Mean populasi siswa; (c) kesehatan dan kesemaptaan jasmani, jika diperlukan. Kedua, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional yang standar, namun dilakukan improvisasi alokasi waktunya sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang memiliki kecepatan belajar serta motivasi belajar lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan belajar dan motivasi belajar siswa seusianya. Dalam hal ini, misalnya SMU, yang biasanya memakan waktu selama 3 tahun, terdiri atas 9 catur wulan, setiap tahun 3 catur wulan; dipercepat menjadi selama 2 tahun, setiap tahun terdiri atas 4,5 (empat setengah) catur wulan; atau tahun pertama 5 catur wulan dan tahun kedua 4 catur wulan. Ketiga, tenaga kependidikan. Karena siswanya memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa, maka tenaga kependidikan yang menanganinya-pun terdiri atas tenaga kependidikan yang unggul, baik dari segi penguasaan materi pelajaran, penguasaan metode mengajar, maupun komitmen dalam melaksanakan tugas. Keempat, sarana-prasarana yang menunjang, yang disesuaikan dengan kemampuan dan kecerdasan siswa, sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan belajar serta menyalurkan kemampuan dan kecerdasannya, termasuk bakat dan minatnya, baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstra kurikuler. Kelima, dana. Untuk menunjang tercapainya tujuan yang telah ditetapkan perlu adanya dukungan dana yang memadai, termasuk perlunya disediakan insentif tambahan bagi tenaga kependidikan yang terlibat, berupa uang maupun fasilitas lainnya. Keenam, manajemen, bersangkut paut dengan strategi dan implementasi seluruh sumberdaya yang ada dalam sistem sekolah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, bentuk manajemen pada sekolah dengan sistem kelas percepatan, harus memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi, realistis, dan berorientasi jauh ke depan. Dengan demikian, pengelolaannya
Tarmidi dan Lita Hadiati Wulandari
Prestasi Belajar Ditinjau dari Persepsi Siswa Terhadap Iklim...
didasari oleh komitmen, ketekunan, pemahaman yang sama, kebersamaan antara semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini. Ketujuh, lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi keunggulan menjadi keunggulan yang nyata, baik lingkungan dalam arti fisik maupun sosial-psikologis di sekolah, di masyarakat, dan di rumah. Kedelapan, proses belajar-mengajar yang bermutu dan hasilnya selalu dapat dipertanggungjawabkan (accountable) kepada siswa, orang tua, lembaga, maupun masyarakat. METODE PENELITIAN Subjek penelitian ini adalah siswa SMU yang mengikuti Program Percepatan Belajar pada SMU Negeri 1 Medan, yang berjumlah 28 siswa, yang terdiri 20 laki-laki (71,43%) dan 8 perempuan. Teknik sampling yang digunakan adalah sampling jenuh, yaitu semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi relative kecil, kurang dari 30. istilah lain sampling jenuh adalah sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan sampel. (Sugiyono, 2002). Pengumpulan data dilakukan dengan skala iklim kelas dengan empat pilihan jawaban yang dimodifikasi dari Adult Classroom Environment Scale (ACES) dari Darkenwald & Valentine (dalam Fathaigh, 1997) yang mengemukakan tujuh dimensi dalam mengukur iklim kelas yaitu: hubungan yang dibangun (affiliation), dukungan guru (teacher support) orientasi terhadap tugas (task orientation), pencapaian tujuan pribadi (personal goal attainment), pengorganisasian dan kejelasan (organization and clarity), pengaruh yang diberikan siswa (student influence), dan keterlibatan (involvement). Setelah dilakukan uji coba dengan pendekatan konsistensi internal (Cronbach’s alpha coeffecient) deengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment program SPSS for windows 11.0 didapat koefesien alpha sebesar 0.923, reliabilitas butir item tersebut bergerak dari 0.313 sampai 0.670.
Sedangkan data prestasi siswa diperoleh dari nilai yang diperoleh siswa selama mengikuti pelajaran pada program percepatan belajar, nilai yang digunakan adalah nilai rapor. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya bias dalam penelitian karena perbedaan cara mengajar, maka nilai yang diambil sebagai data adalah nilai matematika saja. Nilai matematika yang diambil adalah nilai matematika pada semester terakhir yang diikuti subjek. HASIL PENELITIAN Dari hasil perhitungan dan pengujian korelasi dengan menggunakan Pearson product momen, diperoleh rxy = 0.202) Ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara persepsi siswa terhadap iklim kelas iklim kelas dengan prestasi matematika siswa Program Percepatan Belajar SMU Negeri 1 Medan, koefesien determinasi (r2=0.04) yang berarti sumbangan iklim kelas terhadap prestasi hanya 4 %, selebihnya oleh variabel variabel lain yang tidak menjadi perhatian dalam penelitian ini. DISKUSI Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa dugaan penulis mengenai adanya hubungan positif yang signifikan antara persepsi siswa terhadap iklim kelas dengan prestasi belajar siswa yang mengikuti Program Percepatan Belajar di SMU Negeri 1 Medan, ternyata tidak terbukti. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai rxy = 0.202 dan sumbangan efektif iklim kelas terhadap prestasi hanya 4 %. Bila dilihat dari persyaratan untuk mengikuti kelas akselerasi, SMU Negeri 1 Medan memilih calon akseleran yang IQnya berada pada kategori tinggi (antara 125-137). jika dibuat kurva normal, maka populasi siswa yang IQ-nya di atas 125 berada pada ujung kanan, artinya siswa yang mengikuti kelas akselerasi tergolong populasi khusus. Menurut Ward (dalam Semiawan, 1997) siswa dengan IQ antara 125-137 tergolong moderately gifted yang jumlahnya hanya 10% dari populasi. Hasil uji linearitas dengan mnggunakan diagaram pencar (scatter plot)
25
PSIKOLOGIA • Volume I • No. 1 • Juni 2005
menunjukkkan bahwa skor iklim kelas dan prestasi belajar siswa kelas akselerasi berada pada bagian atas garis regresi. Kecilnya sumbangan iklim kelas terhadap prestasi pada siswa kelas akselerasi ini bisa terjadi karena menurut Brody & Pollin (dalam Widyorini, 2002), siswa akselerasi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar di sekolah setiap harinya. Oleh karena itu, wajar apabila siswa akselerasi terbiasa dengan suasana belajar yang dialaminya, dan karena kebiasaan belajar di kelas yang terlalu lama tersebut, para siswa tidak terlalu mempedulikan bagaimana iklim kelas yang terbentuk, mereka akan mampu berprestasi. Selain itu banyak faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar siswa. Elliot dkk (1999) menyebut ada 11 faktor yang berhubungan dengan prestasi selain iklim kelas, yaitu: presentasi instruksional, harapan guru terhadap siswa, kemampuan kognitif siswa, cara guru memotivasi siswa, latiahnlatihan yang sesuai, banyaknya waktu yang dihabiskan untuk belajar, umpan balik, instruksi yang adaptif, evaluasi yang progresif, perencanaan cara pengajaran oleh guru, kepahaman siswa terhadap pelajaran dan tugas yang diberikan. Siswa berbakat cenderung mempunyai motivasi yang tinggi dan mempunyai keterikatan terhadap tugas yang tinggi. Dengan motivasi yang tinggi dan komitmen menyelesaikan tugas yang tinggi serta didukung kecerdasan yang tinggi pula, mereka mampu belajar dengan baik walaupun suasana yang dialaminya kurang memberikan stimulus yang baik. Cahyadi (2002) menyatakan bahwa siswa akselerasi memiliki AQ (Adversity Quotion) yang tinggi, sehingga walaupun suasana kurang mendukung, bahkan dengan beban yang banyak mereka akan tetap dapat berprestasi. SARAN Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara iklim kelas dengan prestasi termasuk rendah. Walaupun demikian disarankan kepada para guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, karena kalau dilihat dari hasil
26
prestasi belajar, rata-rata kelas hanya 7,43. sebenarnya banyak siswa yang prestasinya tinggi namun karena ada siswa yang berprestasi rendah, nilai rata-ratanya menjadi tidak terlalu tinggi. Ini membuktikan bahwa iklim kelas yang baik mungkin akan dapat membantu siswa yang berprestasi rendah tadi. Bagi sekolah dan insatnsi terkait, hendanya juga membuat program yang dapat mengemabngakan bakat-bakat lain selain potensi intelektual, karena siswa dengan performansi yang tinggi mempunyai potensi lain. Colemann (1985) mengungkapkan ada 4 potensi yang harus dikembangkan selain kemampuan intelektualnya, yaitu: kreativitas, kepemimpinan, seni, dan kemampuan psikomotor. DAFTAR PUSTAKA Baek, S.G., Choi, H.G. (2002). The relationship between student’s perception of classroom environment and their academic achievement in Korea. Asia Pasific Education Review, 3:1, 125135 Chavez, R.C. (1984). The use of high-inferences measure to study classroom climate. Review of Educational Research summer, Vol. 54, No. 2 : 237-261 De Porter. (2000). Quatum teaching: mempraktikkan quatum learning di ruang-ruan kelas. Bandung: Penerbit Kaifa Elliot, S.N., Kratochwill, T.R., Littlefileld, J., Travers, J.S. (1999). Educational psychology: effective teaching, effective learning. Singapore: Brown & Bencmark Publisher Fathaigh, M. (1997). Irish adult learner’s perception of classroom: some empirical finding. International Journal of University Adult Education. 36:3, 9-22 Hadiyanto & Subiyanto. (2003). Pengembalian kebebasan guru untuk mengkreasi iklim kelas dalam manajemen berbasis sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 040 Januari 2003. Jakarta: Depdiknas Pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar (SD, SLTP, SMU). (2001). Jakarta: Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Depdiknas Semiawan, C. (1997). Perspekif pendidikan anak berbakat. Jakarta: Grasindo
Tarmidi dan Lita Hadiati Wulandari
Prestasi Belajar Ditinjau dari Persepsi Siswa Terhadap Iklim...
Southern, W.T., Jones, E.D. (1991). Editor. The academic accelaration of gifted children. New York: Teacher College Press Sugiyono. (2002). Metode penelitian administrasi. Bandung: Penerbit Alfabeta Suparno. (2001). Membangun kompetensi belajar. Jakarta : Dirjen dikti Depdiknas Suryabrata, S.M. (1995). Psikologi pendidikan. Jakarta: PT. Grafindo Tirtonegoro. (1984). Anak supernormal dan program pendidikan. Jakarta: PT. Bima Aksara Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Depdiknas Widyastono, H. (2001). Sistem percepatan kelas (akselerasi) bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 032. Jakarta: Depdiknas Yates, S.M. (2001). Student’s achievement and perception of school climate during the transition from single sex education to co-education. Internasional Education Journal. Vol 2, No. 4
27