LITERAT No. 31 Tahun 2010
ISSN: 1411–2566
Prawacana Bismillahirrohmanirrohiim, Assalamu’alaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh, Pada bulan Maret tahun ini, Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas (JIKK) Akademi Kebidanan Ar Rahmah hadir dengan sejumlah hasil kajian dan penelitian para dosen, baik dosen AKBID Ar Rahmah maupun dosen perguruan tinggi lainnya, yang dengan senang hati berbagi wawasan dan pengetahuan mereka demi meningkatkan kualitas keilmuan di bidang kebidanan di bumi pertiwi ini. Mengawali JIKK edisi ke-7 ini, Iis Wahyuni memaparkan Karakteristik Ibu Hamil Yang Mengalami Kekurangan Energi Kronik (KEK). Tulisan selanjutnya, Irma Rosliani Dewi mengkaji tentang Hubungan Pengetahuan Mahasiswi Tingkat II Tentang Partograf Terhadap Pengisian Partograf. Tak kalah menarik, Diah Nurmayawati memaparkan Hubungan Kehamilan Lewat Waktu (Postterm) Dengan Kejadian Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir. Tulisan selanjutnya, Sundari memaparkan Karakteristik Balita Yang Mengalami Kejang Demam. Selanjutnya, Yuliati mengkaji tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Posyandu Di Desa Sukahaji RW 1 Kecamatan Babakan Ciparay Kota Bandung Tahun 2014, Selanjutnya Esti Hitatami Hubungan Pengetahuan, Status Ekonomi, Penyuluhan Dari Petugas Kesehatan Dengan Kepatuhan Ibu Hamil Trimester I Dalam Melakukan Kunjungan K1. Tulisan terakhir, Widyastuti mengkaji tentang Hubungan Pengetahuan Remaja Tentang Minuman Keras Terhadap Kebiasaan Konsumsi Minuman Keras. Tak hentinya kami mengajak pembaca dari semua kalangan untuk senantiasa menggunakan JIKK sebagai media publikasi hasil kajian dan penelitian. Kami yakin, setiap kegiatan ilmiah yang telah dilakukan akan terasa lebih bermanfaat tatkala dipublikasikan dan menjadi konsumsi masyarakat ilmiah. Oleh karena itu, kami tunggu karya Anda untuk edisi JIKK selanjutnya. Akhir kata, sajian JIKK edisi kali ini diharapkan bermanfaat dan senantiasa membuka cakrawala informasi bagi Anda. Selamat membaca! Billahittaufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh.
Penyunting.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 1
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 07 Tahun 2014
jikk Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Nomor 07 Tahun 2014, ISSN: 2356-5454 Diterbitkan oleh,
Ar Rahmah Press Akademi Kebidanan Ar Rahmah – Bandung Penanggung Jawab Hj. Diah Nurmayawati Ketua Penyunting Yuliati Wakil Ketua Penyunting Andi Laksana B Anggota Esti Hitatami Sundari Desra Amelia Irma Rosliani Dewi Iis Wahyuni Widyastuti Nunung Kanianingsih Winarni Ajeng Windyastuti JM Weking Yuliustina Mitra Bestari (Penyunting Ahli) Elvi Era Liesmayani (AKBID Panca Bhakti) Widyah Setyowati (STIKES Ngudi Waluyo U) Titiek Soelistyowatie (Unika Atma Jaya) Ari Murdiati (Univ. Muhammadiyah Semarang) Lingga Kurniawati (POLTEKKES Semarang) Frida Cahyaningrum (STIKES Karya Husada) Crismis Novalina Ginting (Univ. Gadjah Mada) Santy Deasy Siregar (Univ. Sumatera Utara) Deby Novita Siregar (STIKes Helvetia) Jupri Kartono (AKBID Panca Bhakti) Aries Cholifah (Univ. Negeri Surakarta) Setting Layout & Sirkulasi M. Andriana Gaffar Yadi Firmansyah Hamdan Hidayat Hamdani Fitriasukma Ekaputra
Hal | 2
Daftar Isi KARAKTERISTIK IBU HAMIL YANG MENGALAMI KEKURANGAN ENERGI KRONIK oleh Iis Wahyuni … 3 HUBUNGAN PENGETAHUAN MAHASISWI TINGKAT II TENTANG PARTOGRAF TERHADAP PENGISIAN PARTOGRAF oleh Irma Rosliani Dewi … 13 HUBUNGAN KEHAMILAN LEWAT WAKTU (POSTTERM) DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR oleh Diah Nurmayawati … 19 KARAKTERISTIK BALITA YANG MENGALAMI KEJANG DEMAM oleh Sundari … 26 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN POSYANDU DI DESA SUKAHAJI RW.1 KECAMATAN BABAKAN CIPARAY KOTA BANDUNG TAHUN 2014 oleh Yuliati ... 38 HUBUNGAN PENGETAHUAN, STATUS EKONOMI, PENYULUHAN DARI PETUGAS KESEHATAN DENGAN KEPATUHAN IBU HAMIL TRIMESTER I DALAM MELAKUKAN KUNJUNGAN K1 oleh Esti Hitatami … 43 HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG MINUMAN KERAS TERHADAP KEBIASAAN KONSUMSI MINUMAN KERAS oleh Widyastuti … 50
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
ISSN: 2356-5454
KARAKTERISTIK IBU HAMIL YANG MENGALAMI KEKURANGAN ENERGI KRONIK oleh Iis Wahyuni ABSTRAK Maternal mid-upper arm circumference (MUAC) is a potential indicator of maternal nutritional status. It can serve as a predictor of low birth weight and other health related indicators. It is used in Indonesia to select woman of reproductive age and pregnant woman for nutrition intervention. However, there are few studies in Indonesia to examine risk factors associated with low MUAC. The objective of the study is to determine characteristics of areas, family, pregnant woman, and morbidity associated with low MUAC (< 23.5 Cm), as a predictor of chronic energy deficiency. Data used for the analysis is Riskesdas (Baseline Health Research) 2007. A total of 8187 pregnant women were used for the analysis. The result showed that the prevalence of low MUAC in Indonesia was 21.6%, varied from 11.8% in Riau to 32.4% in East Nusa Tenggara. The prevalence is higher in rural than that in urban areas. The result also showed that high prevalence of low MUAC is associated with family characteristics (pregnant woman as dependent in the family, smaller and bigger household members, and poor quintiles of expenditure per capita). There was a negative association between the prevalence of low MUAC with age, education attainment, and height of mother. High prevalence of low MUAC was found for single mother, jobless, farmer, unskilled labor. There was no clear difference between low MUAC and morbidity or out-patient attendance in different type of health facilities. Keywords: pregnant woman, upper-arm circumference PENDAHULUAN Lingkaran lengan atas (LILA) sudah digunakan secara umum di Indonesia untuk mengidentifikasi ibu hamil risiko kurang energi kronis (KEK). Menurut Departemen Kesehatan1,2 batas ibu hamil yang disebut sebagai risiko KEK jika ukuran LILA kurang dari 23,5 Cm. Dalam pedoman Depkes tersebut disebutkan intervensi yang diperlukan untuk wanita usia subur (WUS) atau ibu hamil yang menderita risiko KEK. Kurang energi kronis pada orang dewasa dapat diketahui dengan indeks massa tubuh (IMT) yang diukur dari perbandingan antara berat dan tinggi badan. Jika IMT kurang dari 18,5 dikatakan sebagai KEK. Akan tetapi pengukuran IMT memerlukan alat pengukur tinggi badan dan berat badan. Dibandingkan dengan pengukuran antropometri lain, pita LILA adalah alat yang sederhana dan praktis yang telah digunakan di lapangan untuk mengukur risiko KEK. Berbagai penelitian baik di Indonesia3,4 maupun di luar negeri5 menunjukkan bahwa LILA merupakan salah prediktor yang cukup baik untuk menentukan risiko KEK. Selain itu LILA juga digunakan untuk prediktor
terhadap risiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR)3,4,5,, kematian neonatal dini (kurang dari satu minggu setelah dilahirkan)6,7, status gizi bayi sampai dengan umur 9 tahun8. Hubungan antara LILA dengan BBLR tersebut dapat dijelaskan karena kebutuhan energi untuk kehamilan yang normal perlu tambahan kira-kira 80.000 kalori selama masa kurang lebih 280 hari. Energi dalam protein ditaksir sebanyak 5180 kkal, dan lemak 36.337 Kkal. Agar energi ini bisa ditabung masih dibutuhkan tambahan energi sebanyak 26.244 Kkal, yang digunakan untuk mengubah energi yang terikat dalam makanan menjadi energi yang bisa dimetabolisir. Dengan demikian jumlah total energi yang harus tersedia selama kehamilan adalah 74.537 Kkal, dibulatkan menjadi 80.000 Kkal. Hal ini berarti perlu tambahan ekstra sebanyak kurang lebih 300 kalori setiap hari selama hamil9. Kebutuhan energi pada trimester I meningkat secara minimal. Kemudian sepanjang trimester II dan III kebutuhan energi terus meningkat sampai akhir kehamilan. Energi tambahan selama trimester II diperlukan untuk pemekaran jaringan ibu seperti penambahan volume
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 3
jikk
ISSN: 2356-5454 darah, pertumbuhan uterus, dan payudara, serta penumpukan lemak. Selama trimester III energi tambahan digunakan untuk pertumbuhan janin dan plasenta. Bila ibu mengalami risiko KEK selama hamil akan menimbulkan masalah, baik pada ibu maupun janin. KEK pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu antara lain: anemia, pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena penyakit infeksi. Pengaruh KEK terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum waktunya (prematur), pendarahan setelah persalinan, serta persalinan dengan operasi cenderung meningkat. KEK ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati dalam kandungan), lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Bila BBLR bayi mempunyai resiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan, dan gangguan perkembangan anak. Untuk mencegah resiko KEK pada ibu hamil sebelum kehamilan wanita usia subur sudah harus mempunyai gizi yang baik, misalnya dengan LILA tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila LILA ibu sebelum hamil kurang dari angka tersebut, sebaiknya kehamilan ditunda sehingga tidak beresiko melahirkan BBLR10. Bila sudah banyak penelitian yang menunjukkan risiko KEK pada ibu hamil dan dampaknya terhadap ibu, janin, bayi lahir dan anaknya sampai umur 9 tahun, maupun risiko kematian, belum banyak studi yang mengemukakan faktor-faktor yang mempunyai asosiasi dengan terjadinya risiko KEK pada ibu hamil. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor pada ibu hamil, baik karakteristik daerah, keluarga, ibu hamil, dan penyakit yang mempunyai asosiasi dengan kejadian risiko KEK. Bahan dan Cara Penelitian ini menggunakan data sekunder Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Hal | 4
Nomor 07 Tahun 2014
200711. Disain Riskesdas 2007 merupakan survei cross-sectional yang bersifat deskriptif. Populasi dalam Riskesdas 2007 adalah seluruh rumah tangga di seluruh pelosok Republik Indonesia. Sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga dalam Riskesdas 2007 dirancang identik dengan daftar sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga Susenas 2007. Berbagai ukuran sampling error termasuk didalamnya standard error, relative standard error, confidence interval, design effect dan jumlah sampel tertimbang menyertai setiap estimasi variabel. Dari total sampel individu Riskesdas 2007, dibuat file baru hasil seleksi ibu hamil yang didapatkan dari kuesioner rumahtangga RKD07RT blok IV kolom 9 (Khusus ART perempuan 10-54 tahun, apakah sedang hamil?). Data individu yang tidak sesuai dengan kriteria hamil dikeluarkan. Data yang sudah diseleksi tersebut dilakukan merging dengan file individu RKD07.IND dan file Susenas BPS07.RT dengan menggunakan variabel kunci. Dengan proses merging tersebut didapatkan gabungan antara variabel yang menyangkut karakteristik rumahtangga dan individu. Proses selanjutnya adalah melakukan verifikasi terhadap data dan variabel yang akan dianalisis. Nilai outliers dari variabel ukuran LILA, berat badan, tinggi badan, dan beberapa variabel kunci dikeluarkan dari proses analisis. Jumlah data bersih yang dianalisis sebanyak 8187 sampel ibu hamil. Analisis univariate dilakukan pada setiap variabel yang dianalisis untuk mengetahui sebaran nilai variabel tersebut. Re-coding beberapa variabel dilakukan untuk melakukan pengelompokan (umur, pekerjaan, jumlah anggota rumahtangga, tinggi badan). Ukuran LILA dikelompokkan menjadi dua yaitu kurang dari 23,5 Cm sebagai kelompok ibu hamil risiko KEK dan 23,5 Cm atau lebih sebagai kelompok bukan risiko KEK. Analisis bivariate berupa kros-tabulasi dilakukan untuk mengetahui perbedaan yang ada antara ibu hamil yang menderita risiko KEK pada berbagai variabel yang diuji. Uji yang dilakukan adalah uji Khi-kuadrat.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
ISSN: 2356-5454
HASIL Hasil analisis ibu hamil risiko KEK dapat dilihat pada Tabel 1 dengan jumlah sampel total untuk seluruh Indonesia sebanyak 8187 ibu hamil. Prevalensi ibu hamil risiko KEK di Indonesia sebesar 21,6 persen dengan prevalensi terendah terdapat di provinsi Riau (11,8%) dan tertinggi di Jawa
Barat (32,4%) dan Papua barat (30,4%). Bila dilihat menurut wilayah, prevalensi ibu hamil risiko KEK umumnya lebih rendah di Indonesia bagian barat dibanding di Indonesia bagian Timur. Di wilayah Sumatra, prevalensi risiko KEK tertinggi di provinsi Bengkulu (25,6%), sedangkan di wilayah Jawa Bali tertinggi di provinsi Banten (27,8%).
Tabel 1 Ibu hamil risiko KEK menurut provinsi
Provinsi NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali
n 392 512 370 212 222 241 121 195 140 146 133 548 683 51 868 151 181
% KEK 14,3 14,5 14,9 11,8 19,4 21,6 25,6 19,5 15,0 16,4 19,5 19,3 27,2 17,6 27,5 27,8 18,2
Bila dibandingkan dengan risiko KEK pada wanita usia subur (WUS) hasil Riskesdas 200711, terlihat bahwa prevalensi risiko KEK pada ibu hamil di tingkat nasional (21,6%) satu setengah kali lebih tinggi dibanding prevalensi risiko KEK pada WUS (13,6%). Hal ini menunjukkan bahwa ibu hamil memasuki masa kehamilan dengan risiko lebih tinggi dibanding pada WUS pada umumnya. Antara prevalensi risiko KEK pada ibu hamil dan pada WUS di tingkat provinsi terdapat
Provinsi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA
n 209 306 190 234 246 236 103 544 262 83 103 92 113 112 188 8187
% KEK 19,1 32,4 19,5 26,1 22,8 16,1 13,6 24,4 27,5 21,7 16,5 20,7 18,6 30,4 28,2 21,6
hubungan positif seperti terlihat pada Grafik 1. Analisis agregat tingkat provinsi pada Grafik 1 menunjukkan makin tinggi prevalensi risiko KEK pada WUS, makin tinggi prevalensi risiko KEK pada ibu hamil seperti terlihat pada trendline. Pola hubungan positif juga ditemukan antara prevalensi risiko KEK pada ibu hamil dan status gizi kurus pada orang dewasa yang diukur dengan indeks massa tubuh (IMT) seperti terlihat pada Grafik 2.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 5
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 07 Tahun 2014
35
Proporsi bumil risiko KEK
30 25 20 15 10 3
9
15
Proporsi WUS risiko KEK
21
27
Grafik 1. Hubungan antara prevalensi risiko KEK pada WUS dan ibu hamil di tingkat agregat provinsi
proporsi bumil risiko KEK
35 30 25 20 15 10 5
10
15
20
25
Prevalensi dewasa kurus (IM T <18,5)
Grafik 2. Hubungan antara prevalensi kurus (IMT < 18,5) pada orang dewasa dan ibu hamil di tingkat agregat provinsi 28
Prevalensi BBLR
24 20 16 12 8 4
10
15
20
25
30
35
Proporsi ibu hamil risiko KEK
Grafik 3. Hubungan antara prevalensi risiko KEK pada ibu hamil dan prevalensi BBLR di tingkat agregat provinsi
Pada Grafik 3 terlihat hubungan antara prevalensi risiko KEK pada ibu hamil dan prevalensi BBLR di tingkat provinsi sesuai dengan hasil Riskesdas 200711. Terlihat pada grafik, terdapat korelasi positif antara
Hal | 6
risiko KEK pada ibu hamil dan BBLR. Analisis agregat di tingkat provinsi memperlihatkan makin tinggi prevalensi risiko KEK pada ibu hamil, makin tinggi prevalensi BBLR seperti terlihat pada garis trendline.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
ISSN: 2356-5454
Pada Tabel 2 terlihat prevalensi risiko KEK pada ibu hamil menurut daerah tempat tinggal, yang menunjukkan perbedaan nyata prevalensi risiko KEK yang sedikit lebih tinggi di daerah perdesaan (22,8%) dibanding di
daerah perkotaan. Hal yang sama juga terjadi pada WUS hasil Riskesdas 200711 yang lebih tinggi prevalensi risiko KEK di daerah perkotaan.
Tabel 2 Ibu hamil risiko KEK menurut tipe daerah
Tipe daerah
n
Perkotaan Perdesaan
3204 4983
Proporsi KEK 19,8 22,8
Tidak KEK 80,2 77,2
Uji Khi X2= 10,680 p = 0,001
Tabel 3 Ibu hamil risiko KEK menurut karakteristik keluarga
Karakteristik keluarga Status dalam keluarga Kepala keluarga Istri Anak Menantu Lainnya Jml anggota rumahtangga < 3 orang 3-4 orang 5-6 orang 7-8 orang > 8 orang Tkt pengeluaran per kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
n
Proporsi KEK
Bukan KEK
127 5727 1485 653 192
14,2 18,3 31,8 27,9 27,6
85,8 81,7 68,2 72,1 72,4
X2= 151,306 p = 0,000
976 4073 2190 674 228
23,2 19,7 22,7 25,8 25,9
76,8 80,3 77,3 74,2 74,1
X2= 21,020 p = 0,000
1259 1493 1698 1708 1984
24,5 23,3 22,4 20,4 18,8
75,5 76,7 77,6 79,6 81,2
X2= 20,176 p = 0,000
Bila Tabel 1 dan 2 memperlihatkan variasi ibu hamil risiko KEK menurut karakteristik daerah, pada Tabel 3 terlihat ibu hamil risiko KEK menurut karakteristik keluarga. Karakteristik keluarga yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2007 dan dianalisis yaitu status ibu dalam keluarga, jumlah anggota rumahtangga, dan tingkat pengeluaran per kapita. Beberapa karakteris-tik keluarga lain yang dikumpulkan tidak diolah yaitu perumahan, air minum, sanitasi lingkungan, dan informasi tentang suami. Terlihat pada
Uji Khi
Tabel 3, ibu hamil mengalami risiko KEK tertinggi bila posisi ibu hamil adalah sebagai anak (31,8%) dan menantu (27,9%), sedangkan prevalensi terendah bila imu hamil sebagai kepala keluarga (14,2%). Perbedaan posisi dalam kluarga tersebut memperlihatkan risiko signifikan lebih dari dua kali lipat bila ibu hamil sebagai anak dibanding ibu hamil sebagai kepala keluarga. Hal ini menunjukkan ibu hamil yang mandiri dalam penghasilan lebih baik status gizinya dibanding ibu hamil
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 7
jikk
ISSN: 2356-5454 yang merupakan dependen kepada kepala keluarga. Jumlah anggota rumahtangga walaupun memperlihatkan hasil uji signifikan, tetapi tidak ada perbedaan terlalu jauh dalam prevalensi risiko KEK pada ibu hamil. Pada keluarga dengan jumlah anggota kurang dari 3 orang yang dapat berarti keluarga muda, prevalensi risiko KEK 23,2 persen, turun pada keluarga dengan anggota rumahtangga 3-4 orang, dan naik kembali prevalensinya pada rumahtangga dengan anggota rumahtangga banyak, hingga mencapai prevalensi 25,9 persen jika anggota rumahtangga lebih dari 8 orang. Tingkat pengeluaran per kapita sebagai cermin dari keadaan ekonomi rumahtangga juga mempunyai hubungan negatif yang signifikan dengan prevalensi risiko KEK. Makin tinggi pengeluaran per kapita, makin rendah prevalensi risiko KEK pada ibu hamil. Pada Tabel 3 terlihat prevalensi tertinggi risiko KEK terjadi pada kelompok kuintil-1 (24,5%) yaitu kelompok termiskin dan menurun dengan meningkatnya pengeluaran per kapita sampai kelompok kuintil-5 yaitu kelompok terkaya hanya sebesar 18,8 persen. Pola yang hampir sama pada prevalensi risiko KEK juga terjadi pada hasil Riskesdas 200711 pada WUS, prevalensinya 16,1 persen pada kuintil-1 dan menurun terus hingga menjadi 11,5 persen pada kuintil-5. Dari karakteristik rumahtangga tersebut, terlihat bahwa perhatian terhadap ibu hamil risiko KEK perlu ditujukan pada kelompok ibu hamil yang dalam keluarga berstatus sebagai anak atau menantu, jumlah anggota rumahtangga kecil atau besar, dan kelompok rumahtangga miskin. Selain karakteristik daerah dan keluarga, Tabel 4 menunjukkan variasi prevalensi risiko KEK pada ibu hamil menurut karakteristik ibu sendiri. Karakteristik ibu tersebut ditinjau dari umur ibu, pendidikan ibu, status kawin, pekerjaan ibu, dan tinggi badan. Terlihat pada Tabel 4 terdapat hubungan negatif yang signifikan antara prevalensi risiko KEK pada ibu hamil dengan umur ibu. Pada kelompok umur ibu
Hal | 8
Nomor 07 Tahun 2014
sangat muda, kurang dari 20 tahun, prevalensi risiko Kek paling tinggi yaitu 37,9 persen. Prevalensi tersebut menurun drastis menjadi 19,2 persen pada umur ibu 25-29 tahun, hanya setengahnya dari kelompok umur muda, dan penurunan terus terjadi tetapi agak landai menjadi 14,3 persen pada kelompok umur ibu 40 tahun atau lebih. Pola hubungan negatif yang signifikan juga terjadi antara tingkat pendidikan ibu dengan prevalensi risiko KEK pada ibu hamil. Makin tinggi pendidikan ibu, makin rendah prevalensi risiko KEK ibu hamil. Pada ibu hamil dengan pendidikan tidak sekolah, prevalensi risiko KEK 32,3 persen dan menurun pada kelompok pendidikan selanjutnya hingga hanya 19,4 persen pada ibu hamil dengan pendidikan tamat perguruan tinggi. Hubungan tersebut lebih nyata dibanding hasil Riskesdas 200711 pada WUS, dimana prevalensi risiko KEK pada WUS yang tidak sekolah 15,8 persen dan menurun terus hingga pada WUS dengan pendidikan perguruan tinggi prevalensinya 12,5 persen. Pada Tabel 4 juga terlihat perbedaan prevalensi risiko KEK yang nyata menurut status perkawinan. Pada ibu hamil dengan status menikah prevalensi risiko KEK 21,1 persen jauh lebih rendah dibanding status lainnya yaitu 30,5 persen. Perkawinan dengan status lainnya termasuk cerai hidup, cerai mati, dan belum kawin. Pekerjaan juga berperan dalam risiko KEK pada ibu hamil. Prevalensi risiko KEK pada ibu hamil bila tidak bekerja (31,9%) dan pekerjaan lainnya (25,7%),dan petani, nelayan atau buruh (24,1%), sedangkan prevalensi terendah bila pekerjaan ibu sebagai pegawai negri sipil, Polri, TNI atau pegawai BUMN (13,6%). Hubungan korelasi negatif selain terjadi pada tingkat pendidikan ibu dan risiko KEK, juga terjadi antara tinggi badan ibu dan risiko KEK. Makin tinggi ibu hamil, makin rendah prevalensi risiko KEK, sebaliknya makin pendek ibu makin tinggi risiko KEK. Pada ibu hamil dengan tinggi badan 165 Cm atau lebih, risiko KEK hanya 12,8 persen, dan semakin tinggi risiko KEK dengan semakin
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
ISSN: 2356-5454
pendek ibu. Pada ibu hamil dengan tinggi badan kurang dari 140 Cm risiko KEK tiga kali lebih besar yaitu 37,4 persen. Dengan hasil ini terlihat bahwa karakteristik ibu yang perlu mendapat perhatian adalah ibu hamil umur
kurang dari 20 tahun, tidak bersekolah, ibu tidak dalam ikatan pernikahan, ibu tidak bekerja atau pekerjaan yang menuntut aktivitas berat, dan ibu yang pendek.
Tabel 4 Ibu hamil risiko KEK menurut karakteristik ibu
Karakteristik ibu Umur ibu (tahun) Kurang dari 20 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 atau lebih Pendidikan ibu Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Status kawin Kawin Lainnya Pekerjaan ibu Tidak bekerja Ibu rumahtangga PNS/TNI/Polri/BUMN Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tinggi badan ibu (Cm) < 140,0 140 – 144,9 145 – 149,9 150 – 154,9 155 – 155,9 160 – 164,9 >= 165,0
n
Proporsi KEK
Bukan KEK
762 1916 2358 1722 1040 385
37,9 28,3 19,2 16,3 14,5 14,3
62,1 71,7 80,8 83,7 85,5 85,7
X2= 251,265 p = 0,000
235 903 2384 1848 2182 624
32,3 22,8 23,2 21,9 18,8 19,4
67,7 77,2 76,8 78,1 81,2 80,6
X2= 32,362 p = 0,000
7710 475
21,1 30,5
78,9 69,5
X2= 23,426 p = 0,000
508 4900 257 939 1207 374
31,9 20,8 13,6 18,0 24,1 25,7
68,1 79,2 86,4 82,0 75,9 74,3
X2= 58,530 p = 0,000
123 605 1801 2807 2052 627 172
37,4 36,2 25,5 20,9 17,2 14,0 12,8
62,6 63,8 74,5 79,1 82,8 86,0 87,2
X2= 193,963 p = 0,000
Uji Khi
Tabel 5 Ibu hamil risiko KEK menurut karakteristik penyakit dan pengobatan
Karakteristik penyakit dan pengobatan Sakit ISPA 1 bulan terakhir Ya Tidak
n
Proporsi KEK
Bukan KEK
620 7565
23,1 21,5
76,9 78,5
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Uji Khi X2= 0,792 p = 0,389 Hal | 9
jikk
ISSN: 2356-5454
Sakit diare 1 bulan terakhir Ya Tidak Sakit TB paru 1 tahn terakhir Ya Tidak Tempat berobat rawat jalan 1 tahun terakhir Rumah sakit Puskesmas Praktek nakes Tidak sakit Lainnya
570 7613
24,7 21,4
75,3 78,6
X2= 3,459 p = 0,063
65 8120
30,8 21,6
69,2 78,4
X2= 3,213 p = 0,073
444 1606 2040 3940 155
20,0 24,8 21,1 21,0 15,5
80,0 75,2 78,9 79,0 84,5
X2= 15,000 p = 0,005
Pada Tabel 5 terlihat risiko KEK pada ibu hamil menurut beberapa jenis penyakit dan pengobatan rawat jalan. Terlihat bahwa penyakit ISPA dan diare yang diderita ibu hamil dalam satu bulan terakhir dan TB paru dalam satu terakhir tidak banyak pengaruhnya terhadap risiko KEK. Walaupun prevalensi risiko KEK lebih tinggi pada ibu hamil yang menderita ketiga penyakit tersebut, tetapi perbedaan prevalensinya tidak terlihat nyata. Sebagian ibu hamil memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan rawat jalan dalam satu tahun terakhir, tetapi sebagian tidak memanfaatkan karena tidak mengalami sakit atau alasan lain. Dilihat dari hal tersebut, prevalensi risiko KEK pada ibu hamil tidak banyak menunjukkan perbedaan walaupun hasil uji statistik bermakna. Pada ibu hamil yang pernah memanfaatkan puskesmas untuk rawat jalan satu tahun terakhir menunjukkan prevalensi risiko KEK tertinggi yaitu 24,8 persen. Analisis multivariate dengan logistic regression menunjukkan semua variabel yang diuji dalam hubungannya dengan prevalensi risiko KEK pada ibu hamil menghasilkan signifikan kecuali daerah tempat tinggai, status perkawinan, menderita sakit ISPA atau diare. PEMBAHASAN Hasil analisis menunjukkan bahwa prevalensi risiko KEK pada ibu hamil di Indonesia sebesar 21,6 persen dengan variasi yang lebar antara 11.8 persen di Riau dan 32.4 persen in East Nusa Tenggara. Prevalensi Hal | 10
Nomor 07 Tahun 2014
risiko KEK tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian di 4 kabupaten pada tahun 1998 di Jawa Barat12 yang menemukan prevalensi risiko KEK pada ibu hamil sebesar 42,6 persen. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa KEK pada batas 23,5 Cm belum merupakan resiko untuk melahirkan BBLR walaupun resiko relatifnya cukup tinggi. Tetapi dengan batas 23,0 Cm risiko melahirkan bayi BBLR 2 kali lebih besar dibanding ibu hamil dengan LILA 23,0 Cm atau lebih. Penelitian lain di Bogor3 menunjukkan dengan batas LILA 22,5 Cm risiko ibu hamil melahirkan bayi BBLR 1,73 kali dan dengan batas LILA 23,7 Cm risiko bayi BBLR 1,84 kali lebih besar. Penelitian Rah8 di Bangladesh menunjukkan batas LILA 22,5 Cm risiko bayi BBLR 1,5 kali dibanding LILA di atas 22,5 Cm. Penelitian lain oleh Ricalde5 di Brazil tidak melakukan pembagian dalam dua kelompok menurut batas LILA tertentu, tetapi mencari hubungan korelasi antara usuran LILA dan berat lahir. Hasil penelitian tersebut menunjukkan korelasi positif (r=0,4) antara ukuran LILA dan berat bayi. Makin besar usuran LILA makin berat badan lahir bayi. Apabila penelitian sebelumnya tersebut mengaitkan antara risiko KEK pada ibu hamil dan BBLR di tingkat individu, analisis agregat tingkat provinsi pada penelitian ini menunjuk-kan pola yang serupa. Terdapat korelasi positif antara prevalensi risiko KEK pada WUS dan ibu hamil. Selain itu analisis agregat tingkat provinsi juga menunjukkan korelasi positif antara prevalensi risiko KEK pada ibu hamil dan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
prevalensi BBLR. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi untuk meningkatkan status gizi pada ibu hamil bukan hanya berlaku untuk tingkat individu, tetapi juga untuk daerah dengan tingkat prevalensi risiko KEK yang tinggi. Oleh karena itu target program gizi dan kesehatan perlu diprioritaskan di daerah dengan prevalensi KEK yang tinggi. Di tingkat individu target program gizi dan kesehatan perlu diprioritaskan langsung pada ibu hamil yang penderita KEK. Hasil Riskesdas 200711 menunjukkan prevalensi BBLR di Indonesia sebesar 11,5 persen. Dengan demikian dapat diharapkan dampak lanjutan sebagai akibat penurunan BBLR yaitu berupa penurunan angka kematian bayi, terutama kematian neonatal dini. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Katz6 di Sarlahi, Nepal yang menunjukkan penurunan angka kematian neonatal dini (OR = 0.88, 95% Cl = 0.81-0.95) pada ibu hamil dengan LILA bukan risiko KEK. Penelitian lain oleh Christiana7 di daerah perdesaan di Nepal menunjukkan penurunan kematian neonatal (OR 0.76, 95% CI 0.67–0.87) dan post-neonatal (OR 0.64, 95% CI 0.41–0.99). Analisis karakteristik daerah, rumah tangga, ibu hamil, pola penyakit dan pengalaman rawat jalan menunjukkan hampir semua variabel yang diuji memberi-kan hasil perbedaan signifikan tentang risiko KEK pada ibu hamil. Akan tetapi perlu untuk dicermati tingkat perbedaan signifikan dengan uji Khikuadrat dapat terjadi karena jumlah sampel ibu hamil yang besar. Perbedaan nyata prevalensi risiko KEK yang lebih tinggi pada ibu hamil di daerah perdesaan, posisi ibu hamil dalam keluarga masih ikut orangtua atau mertua yaitu sebagai anak atau menantu, jumlah anggota rumahtangga kecil (kurang dari 3 orang) atau besar, ibu hamil tidak dalam ikatan perkawinan, ibu yang bekerja sebagai petani, buruh tani, pekerjaan tidak menentu, atau tidak bekerja. Korelasi negatif yang signifikan terjadi antara kuintil pengeluaran per kapita, kelompok umur ibu, tingkat pendidikan ibu dan tinggi badan ibu. Semakin tinggi pengeluaran per kapita, semakin ibu bertambah umur, semakin tinggi
ISSN: 2356-5454 tingkat pendidikan ibu, dan semakin tinggi badan ibu, maka semakin rendah prevalensi risiko KEK pada ibu hamil. Hubungan korelasi tersebut tidak hanya terjadi pada tingkat individu. Hasil analisis agregat tingkat provinsi menunjukkan korelasi positif antara prevalensi risiko KEK pada WUS, prevalensi orang dewasa kurus dengan IMT kurang dari 18,5, prevalensi BBLR dengan prevalensi risiko KEK pada ibu hamil. Hasil tersebut memberikan makna bahwa untuk penajaman target intervensi gizi pada ibu hamil dengan risiko KEK lebih ditujukan untuk masyarakat di perdesaan, ibu hamil yang masih sebagai dependen dalam keluarga atau tanpa ikatan perkawinan, umur ibu masih muda di bawah 20 tahun, tingkat pendidikan ibu yang rendah, kelompok kuintil-1 atau masyarakat miskin, dan ibu hamil dengan tinggi badan kurang dari 145 Cm. Ibu hamil merupakan kelompok rawan gizi. Risiko KEK pada ibu hamil mempunyai dampak yang cukup besar terhadap proses pertumbuhan janin dan anak yang akan dilahirkan. Bila ibu hamil mengalami risiko KEK, akibat yang akan ditimbulkan antara lain: keguguran, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, dan bayi lahir dengan BBLR. Analisis data sekunder mengandung beberapa kekurangan yang perlu dicermati. Data yang ada tidak didesain khusus untuk melakukan analisis komprehensif faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian risiko KEK pada ibu hamil. Oleh karena itu sebagian variabel yang diduga berperan pada terjadinya KEK tidak ada dalam struktur data. Variabel yang diolah hanya variabel yang tersedia dalam data sekunder. Selain itu Riskesdas 2007 perlu dicermati beberapa hal yang mencakup non-random error antara lain: pembentukan kabupaten baru, blok sensus tidak terjangkau, rumah tangga tidak dijumpai, periode waktu pengumpulan data yang berbeda, estimasi tingkat provinsi untuk ibu hamil tidak bisa berlaku untuk semua indikator. Khusus untuk lima provinsi (Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 11
jikk
ISSN: 2356-5454 dan JABAR) pelaksanaan pengumpulan data baru dilaksanakan pada bulan AgustusSeptember 2008, sementara 28 provinsi lainnya telah selesai dilaksanakan pada tahun 2007 sehingga ada kemungkinan perbedaan. PENUTUP Prevalensi nasional risiko KEK pada ibu hamil sebesar 21,6 persen dengan variasi yang cukup lebar dengan prevalensi terendah 11,8 persen di provinsi Riau dan 32,4 persen di provinsi Jawa Barat. Analisis karakteristik daerah, rumah tangga, ibu hamil, pola penyakit dan pengalaman rawat jalan menunjukkan hampir semua variabel yang diuji memberikan hasil perbedaan signifikan tentang risiko KEK pada ibu hamil. Perbedaan nyata prevalensi risiko KEK yang lebih tinggi pada ibu hamil di daerah perdesaan, posisi ibu hamil dalam keluarga masih ikut orangtua atau mertua yaitu sebagai anak atau menantu, jumlah anggota rumahtangga kecil (kurang dari 3 orang) atau besar, ibu hamil tidak dalam ikatan perkawinan, ibu yang bekerja sebagai petani, buruh tani, pekerjaan tidak menentu, atau tidak bekerja. Korelasi negatif yang signifikan terjadi antara kuintil pengeluaran per kapita, kelompok umur ibu, tingkat pendidikan ibu dan tinggi badan ibu. REFERENSI Indonesia. Departemen Kesehatan, Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Pedoman penggunaan alat ukur lingkaran lengan atas (LILA) pada wanita usia subur. Jakarta: Depkes, 1994. Indonesia. Departemen Kesehatan, Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Petunjuk teknis penanganan rujukan wanita usia subur risiko kurang energi kronis di puskesmas. Jakarta: Depkes, 1994. Husaini JK, Husaini MA, Musa MS. Keterbatasan penggunaan LILA dalam
Hal | 12
Nomor 07 Tahun 2014
memonitor status gizi wanita hamil. Jakarta: Bulletin Penel Kesehatan, 2003, 35:14-24. Manik, R. Pengaruh Sosio Demografi, Riwayat Persalinan dan Status Gizi Ibu terhadap Kejadian BBLR, Studi Kasus di RSIA Sri Ratu Medan. Skripsi, Medan: FKMUSU, 2000. Ricalde AE, Velasquez-melandez G, Tanaka AC, de Siqueria AAR. Mid-upper arm circumference in pregnant women and its relation to birth weight. Rev Saude Publica, 1998, 32 (2). Katz J, LeClerq SC, Christian P, Khatry SK, Shrestha SR, West Jr KP, Pradhan EK. Risk factors for early infant mortality in Sarlahi district, Nepal. Bul. WHO, 2003, 81: 717-725. Christiana P, Katza J, Lee W., KimbroughPradhanb E, Khatryc SK, LeClerqa SC, West Jr KP. Risk factors for pregnancyrelated mortality: A prospective study in rural Nepal. Public Health, 2008, 122 (2): 161-172. Rah JH, et al. Circumference in Pregnancy as a Predictor of Low Birth-weight. 8th Commonwealth Congress on Diarrhoea and Malnutrition (CAPGAN) 2006: Scientific Session 13: Low Birth-weight. Nasution AH. Gizi untuk Kebutuhan Fisiologis Khusus. Terjemahan Jakarta: PT Gramedia, 1988. Lubis Z. Status gizi ibu hamil serta pengaruhnya terhadap bayi yang dilahirkan. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2003. Indonesia. Departemen Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia – Tahun 2007. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan, 2008. Sarawati E, Sumarno I. Risiko ibu hamil kurang energi kronis (KEK) dan anemia untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Penel Gizi Makanan,1998, 21: 41-49.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
ISSN: 2356-5454
HUBUNGAN PENGETAHUAN MAHASISWI TINGKAT II TENTANG PARTOGRAF TERHADAP PENGISIAN PARTOGRAF oleh Irma Rosliani Dewi ABSTRAK Partograf dapat digunakan untuk mendeteksi dini masalah dan penyulit dalam persalinan sehingga dapat sesegera mungkin menatalaksanakan masalah tersebut secara optimal. Pengetahuan dan pengisian partograf bagi mahasiswa kebidanan penting dilakukan untuk melaksanakan asuhan persalinan sesuai standar pelayanan kebidanan. Di Prodi D III Kebidanan Ar Rahmah ditemukan sebagian besar 64,5% mahasiswa TK II semester III kurang memiliki pengetahuan tentang partograf dan rendahnya pengisian partograf yang benar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan dengan pengisian partograf mahasiswa tingkat II Semester III Program Studi DIII Kebidanan Ar Rahmah tahun Akademik 2009/2010. Penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner terhadap sampel 75 mahasiswa kelas II Semester III yang sebelumnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas variabel pengetahuan. Pengolahan data dengan analisis univariat dan bivariat. Hasil penelitian pengetahuan partograf mahasiswa sebesar 85.7% dengan pengetahuan baik, pengisian partograf sebesar 88.0% dengan pengisian baik, dan ditemukan adanya hubungan antara pengetahuan dengan pelaksanaan partograf mahasiswa (ρ = 0.015). Saran yang diajukan adalah agar meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang pengisian partograf meliputi upaya praktek klinik kebidanan secara nyata dan pelatihan APN, serta menambah pengalaman dan wawasan mahasiswa sebagai bekal pengetahuan ketika mereka terjun ke sosial kemasyarakatan. Kata Kunci : Pengetahuan Partograf, PENDAHULUAN Tolak ukur keberhasilan dari kemampuan pelayanan kesehatan satu negara diukur dengan angka kematian ibu. Setiap tahun hampir sekitar setengah juta warga dunia harus meninggal karena persalinan, sehingga dilakukannya berbagai usaha untuk menanggulangi masalah kematian ibu. World Health Organisation (WHO) melaksanakan program menciptakan kehamilan yang lebih aman (Making Pregnancy Safer Program) atau Program Gerakan Sayang Ibu (Safe Motherhood Program) yang dilaksanakan oleh Indonesia sebagai salah satu rekomendasi dari konferensi Internasional di Mesir, Kairo tahun 1994 (www.rahima.or.id). Angka Kematian Ibu (AKI) menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2002-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka itu masih jauh dengan target yang ingin dicapai secara nasional pada tahun 2010 yaitu sebesar 150 per 100.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Profinsi Lampung, 2005).
Diperkirakan 90 % kematian ibu terjadi pada saat persalinan dan kira-kira 95 % penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetri yang sering tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Oleh karena itu saat memberikan asuhan kepada ibu yang sedang bersalin, penolong harus selalu waspada terhadap masalah atau penyulit yang mungkin terjadi. Menunda memberikan asuhan kegawatdaruratan akan meningkatkan resiko kematian dan kesakitan ibu (Depkes RI, 2004). Pengelolaan persalinan merupakan salah satu standar pelayanan kebidanan dimana bidan harus terampil dalam memantau kemajuan persalinan dan terampil dalam melakukan pertolongan persalinan yang bersih dan aman (Standar Pelayanan Kebidanan, 2001). Salah satu alat yang dapat digunakan dalam pengawasan kemajuan persalinan adalah partograf. Partograf merupakan grafik pemantauan kemajuan persalinan yang dapat menilai kondisi janin selama persalinan kala I. Dalam melaksanakan praktek, bidan harus mampu memberikan asuhan sesuai dengan kebutuhan terhadap wanita yang
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 13
jikk
ISSN: 2356-5454 sedang hamil, melahirkan dan post partum, maupun masa interval, melaksanakan pertolongan persalinan di bawah tanggungjawabnya sendiri dan memberi asuhan pada bayi baru lahir, bayi dan anak balita dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia atau generasi penerus yang berkualitas. Asuhan tersebut termasuk tindakan pemeliharaan, pencegahan, deteksi serta intervensi dan rujukan pada resiko tinggi termasuk kegawatan pada ibu dan anak (Depkes, 2002). Bidan sebagai pemberi asuhan dalam pemantauan persalinan harus terampil dan menguasai dalam penggunaan partograf sehingga diharapkan disetiap persalinan dapat mendeteksi kemungkinan komplikasi sedini mungkin (Manuaba, 1998). Prodi Kebidanan Ar Rahmah adalah salah satu institusi yang akan menghasilkan bidan. Dalam praktek dilapangan, modal utama bidan adalah harus mampu melakukan pertolongan persalinan yang bersih dan aman. Selain itu, bidan harus dapat memantau kemajuan persalinan untuk mendeteksi komplikasi dalam persalinan dengan sedini mungkin dengan menggunakan partograf. Belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengetahuan mahasiswa tentang partograf di Prodi Kebidanan Ar Rahmah. Selain itu, penerapan materi partograf yang sudah diberikan belum pernah teruji di lahan praktek. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti gambaran pengetahuan dan mahasiswa tingkat II tentang partograf di Prodi Kebidanan Ar Rahmah. PEMBAHASAN Partograf APN Partograf adalah catatan grafik mengenai kemajuan persalinan untuk memantau keadaan ibu dan janin, untuk menentukan adanya persalinan abnormal yang menjadi petunjuk untuk tindakan bedah kebidanan dan menemukan disproporsi kepala panggul (CPD) jauh sebelum persalinan menjadi macet (Sumapraja,1993).13 Sedangkan menurut (WHO,1994) partograf merupakan suatu sistem yang tepat untuk memantau keadaan
Hal | 14
Nomor 07 Tahun 2014
ibu dan janin dari yang dikandung selama dalam persalinan waktu ke waktu. Partograf WHO dapat membedakan dengan jelas perlu atau tidaknya intervensi dalam persalinan. Partograf WHO dengan jelas dapat membedakan persalinan normal dan abnormal dan mengidentifikasi wanita yang membutuhkan intervensi. Partograf APN (partograf WHO yang dimodifikasi / disederhanakan) adalah alat bantu yang digunakan hanya selama fase aktif persalinan.25,37 Tujuan utama dari penggunaannya adalah untuk mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan menilai pembukaan serviks dengan pemeriksaan dalam. Disamping itu untuk mandeteksi apakah proses persalinan berjalan secara normal sehingga dapat mendeteksi secara dini setiap kemungkinan terjadinya partus lama. Partograf juga dipakai untuk memantau kemajuan persalinan dan membantu petugas kesehatan (Spesialis Obgin, bidan, dokter umum, residen/PPDS obgin dan mahasiswa kedokteran). dalam mengambil keputusan klinik dan jika digunakan dengan tepat maka partograf akan membantu penolong persalinan untuk mencatat kemajuan persalinan, kondisi ibu dan janin, mencatat asuhan yang diberikan selama persalinan dan kelahiran, sebagai informasi untuk identifikasi dini penyulit persalinan serta informasi mengambil keputusan klinik yang sesuai dan tepat waktu. Penggunaan partograf baru ini mulai digunakan hanya pada pembukaan serviks 4 sentimeter (fase aktif) pada ibu yang sedang bersalin tanpa memandang apakah persalinan itu normal atau dengan komplikasi (Saifuddin, 2002). Penggunaan partograf merupakan Indikasi untuk semua ibu dalam fase aktif kala satu persalinan sebagai elemen penting asuhan persalinan. Secara rutin oleh semua tenaga penolong persalinan yang memberikan asuhan kepada ibu selama persalinan dan kelahiran. Kontraindikasi dari partograf tidak boleh digunakan untuk memantau persalinan yang tidak mungkin berlangsung secara normal seperti; plasenta previa, panggul sempit, letak lintang dan lain-lain. Untuk
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
mencegah terjadinya partus lama, APN mengandalkan penggunaan partograf sebagai salah satu praktek pencegahan dan deteksi dini. Menurut WHO (1994) pengenalan partograf sebagai protokol dalam manjemen persalinan terbukti dapat mengurangi persalinan lama dari (6,4%) menjadi (3,4%). Kegawatan bedah sesaria turun dari (9,9%) menjadi (8,3%), dan lahir mati intrapartum dari (0,5%) menjadi (0,3%). Kehamilan tunggal tanpa komplikasi mengalami perbaikan, kejadian bedah sesaria turun dari (6,2%) menjadi (4,5%).18,19,20 1.
Sejarah dan perkembangan partograf Sejak Friedman memperkenalkan kurva servikogram pada tahun 1954, banyak peneliti yang menggunakannya sebagai dasar dalam penatalaksanaan persalinan. Rosa dan Ghilaini (1959), menggunakan grafik kemajuan persalinan sederhana dengan memodifikasi cara pengukuran pembukaan serviks. Friedman (1967), mulai mengembangkan grafik analisa statistik dari berbagai tipe persalinan. Beazly dan Kurjak (1972), merancang suatu partograf berdasarkan data dari persalinan normal dengan cara periksa dalam yang dilakukan pada awal dan akhir persalinan. Dimana partograf ini tidak mengenal adanya fase laten. Phillpot (1972), membuat perobahan dalam merancang grafik catatan persalinan yang lebih detail, dengan memasukkan keadaan ibu dan janin pada selembar kertas. Dengan membuat dua garis skrining, yaitu garis waspada (ALERT LINE) dan garis aksi (ACTION LINE),yang sejajar dan terpisah empat jam setelah garis waspada. Partograf WHO (1988) merupakan sintesa dan implikasi dari berbagai model partograf dengan menelaah semua jenis partograf yang ada di dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, tahun 2000 partograf WHO dimodifikasi, untuk lebih sederhana dan lebih mudah digunakan. Dimana pada partograf yang dimodifikasi, fase laten dihilangkan dan penggambaran partograf dimulai dari fase aktif, pada saat pembukaan serviks 4 cm. Pada fase aktif persalinan, grafik pembukaan dihubungkan dengan waktu yang biasanya dimulai di sebelah kiri garis waspada, dan
ISSN: 2356-5454 apabila grafiknya memotong garis ini, itu merupakan tanda peringatan bahwa persalinan mungkin akan berlangsung lama. Garis tindakan adalah 4 jam ke sebelah kanan garis waspada, jika grafik mencapai garis tindakan harusnya diambil keputusan tentang penyebab kemajuan persalinan yang lambat dan mesti diambil tindakan yang tepat, kecuali wanita sudah menjelang melahirkan partograf ini tidak diindikasikan. Pada akhirnya, partograf WHO yang dimodifikasi inilah yang menjadi acuan dari partograf APN. 11,21,24 2.
Penggunaan partograf APN Penggunaan partograf secara rutin dapat memastikan bahwa ibu dan bayinya mendapatkan asuhan persalinan yang aman, adekuat dan tepat waktu serta membantu mencegah terjadinya penyulit yang dapat mengancam keselamatan jiwa mereka. Partograf APN dapat digunakan: a. Untuk semua ibu dalam fase aktif kala satu persalinan dan merupakan elemen penting dari asuhan persalinan. b. Selama persalinan dan kelahiran bayi di semua tempat (rumah, puskesmas, klinik bidan swasta, rumah sakit, dan lain-lain). c. Secara rutin oleh semua penolong persalinan yang memberikan asuhan persalinan kepada ibu dan proses kelahiran bayinya (dokter spesialis obstetrik, bidan, dokter umum, PPDS obgin dan mahasiswa kedokteran).3,4,12 3.
Cara pengisian partograf APN Menurut WHO (2000) dan Depkes (2004) cara pengisian partograf modifikasi WHO atau yang dikenal dengan partograf APN meliputi: a. Identitas pasien. Bidan mencatat nama pasien, riwayat kehamilan, riwayat persalinan, nomor register pasien, tanggal dan waktu kedatangan dalam "jam" mulai dirawat, waktu pecahnya selaput ketuban. Selain itu juga mencatat waktu terjadinya pecah ketuban, pada bagian atas partograf secara teliti.14
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 15
jikk
ISSN: 2356-5454 b. Kesehatan dan kenyamanan janin Bidan mencatat pada kolom, lajur dan skala angka pada partograf adalah untuk pencatatan: (1) Hasil pemeriksaan DJJ setiap 30 menit atau lebih sering jika ada tanda-tanda gawat janin. Setiap kotak menunjukkan waktu 30 menit. Skala angka di sebelah kolom paling kiri menunjukkan DJJ. DJJ dicatat dengan memberi tanda titik pada garis yang sesuai dengan angka yang menunjukkan DJJ. Kemudian hubungkan titik yang satu dengan titik lainnya dengan garis tidak terputus; (2) Warna dan adanya air ketuban, penilaian air ketuban setiap kali melakukan pemeriksaan dalam, dan nilai warna air ketuban jika selaput ketuban pecah. Mencatat temuantemuan ke dalam kotak yang sesuai di bawah lajur DJJ, menggunakan lambang-lambang seperti berikut: (a) U jika ketuban utuh atau belum pecah; (b) J jika ketuban sudah pecah dan air ketuban jemih; (c) M jika ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur mekonium; (d) D jika ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur darah; (e) K jika ketuban sudah pecah dan tidak ada air ketuban atau "kering"; (3) Molase atau penyusupan tulang-tulang kepala janin, menggunakan lambang¬lambang berikut ini: (a) 0 jika tulang-tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah dapat dipalpasi; (b) 1 jika tulang-tulang kepala janin hanya saling bersentuhan; (c) 2 jika tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih, tapi masih dapat dipisahkan; (d) 3 jika tulang-tulang kepala janin tumpang tindih dan tidak dapat dipisahkan. Hasil pemeriksaan dicatat pada kotak yang sesuai di bawah lajur air ketuban.14 c. Kemajuan persalinan Kolom dan lajur kedua pada partograf adalah untuk pencatatan kemajuan persalinan. Angka 0-10 yang tertera di tepi kolom paling kiri adalah besarnya dilatasi serviks. Setiap angka/kotak menunjukkan besarnya pembukaan serviks. Kotak yang satu dengan kotak yang lain pada lajur di atasnya, menunjukkan penambahan dilatasi sebesar 1 cm. Skala angka 1-5 menunjukkan seberapa jauh penurunan kepala janin. Masing-masing kotak di bagian ini menyatakan waktu 30
Hal | 16
Nomor 07 Tahun 2014
menit. Kemajuan persalinan meliputi: (1) Pembukaan serviks, penilaian dan pencatatan pembukaan serviks dilakukan setiap 4 jam atau lebih sering dilakukan jika ada tandatanda penyulit. Saat ibu berada dalam fase aktif persalinan, catat pada partograf hasil temuan dari setiap pemeriksaan dengan simbol "X". Simbol ini harus ditulis di garis waktu yang sesuai dengan lajur besarnya pembukaan serviks di garis waspada. Hubungkan tanda "X" dari setiap pemeriksaan dengan garis utuh atau tidak terputus; (2) Pencatatan penurunan bagian terbawah atau presentasi janin, setiap kali melakukan pemeriksaan dalam atau setiap 4 jam, atau lebih sering jika ada tanda-tanda penyulit. Kata-kata "turunnya kepala" dan garis tidak terputus dari 0-5, tertera di sisi yang sama dengan angka pembukaan serviks. Berikan tanda "--" pada garis waktu yang sesuai. Hubungkan tanda " " dari setiap pemeriksaan dengan garis tidak terputus. (3) Garis waspada dan garis bertindak, garis waspada dimulai pada pembukaan serviks 4 cm. dan berakhir pada titik dimana pembukaan lengkap, diharapkan terjadi laju pembukaan 1 cm per jam. Pencatatan selama fase aktif persalinan harus dimulai di garis waspada.14 d. Pencatatan jam dan waktu, meliputi: (1) Waktu mulainya fase aktif persalinan, di bagian bawah pembukaan serviks dan penurunan, tertera kotak-kotak yang diberi angka 1-16. Setiap kotak menyatakan waktu satu jam sejak dimulainya fase aktif persalinan; (2) Waktu aktual saat pemeriksaan dilakukan, dibawah lajur kotak untuk waktu mulainya fase aktif, tertera kctak-kotak untuk mencatat waktu aktual saat pemeriksaan dilakukan. Setiap kotak menyatakan satu jam penuh dan berkaitan dengan dua kotak waktu tiga puluh menit pada lajur kotak di atasnya ataii lajur kontraksi di bawahnya. Saat ibu masuk dalam fase aktif persalinan, catat pembukaan serviks di garis waspada. Kemudian catat waktu aktual pemeriksaan ini di kotak waktu yang sesuai. Bidan mencatat kontraksi uterus pada bawah lajur waktu yaitu ada lima lajur kotak dengan tulisan "kontraksi per 10 menit" di sebelah luar kolom
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
paling kiri. Setiap kotak menyatakan satu kontraksi. Setiap 30 men raba dan catat jumlah kontraksi daiam 10 menit dan lamanya kontraksi dalam satuan detik. Nyatakan jumlah kontraksi yang terjadi dalam waktu 10 menit menggunakan simbol:a). ░ bila kontraksi lamanya kurang dari 20 menit; b) bila kontraksi lamanya 20 menit sampai dengan 40 menit; c) I bila kontraksi lamanya lebih dari 40 menit. 14,19 e. Mencatat obat-obatan dan cairan intravena (IV) Yang diberikan dalam kotak yang sesuai dengan kolom waktu. Untuk setiap pemberian oksitosin drip, bidan harus mendokumentasikan setiap 30 menit jumlah unit oksitoksin yang diberikan per volume cairan (IV) dan dalam satuan tetesan per menit (atas kolaborasi dokter), catat semua pemberian obat-obatan tambahan dan/atau cairan IV.14 f. Kesehatan dan kenyamanan ibu ditulis dibagian terakhir pada lembar depan partograf berkaitan dengan kesehatan dan kenyamanan ibu, meliputi: (1) Nadi, tekanan darah dan temperatur tubuh, angka di sebelah kiri bagian partograf berkaitan dengan nadi dan tekanan darah ibu. Nilai dan catat nadi ibu setiap 30 menit selama fase aktif persalinan atau lebih sering jika dicurigai adanya penyulit menggunakan simbol titik (•). Pencatatan tekanan darah ibu dilakukan setiap 4 jam selama fase aktif persalinan atau lebih sering jika dianggap akan adanya penyulit menggunakan simbol pencatatan temperatur tubuh ibu setiap 2 jam atau lebih sering jika suhu tubuh meningkat ataupun dianggap adanya infeksi dalam kotak yang sesuai. (2) Volume urin, protein atau aseton, ukur dan catat jumlah produksi urin ibu sedikitnya setiap 2 jam atau setiap kali ibu berkemih spontan atau dengan kateter. Jika memungkinkan setiap kali ibu berkemih, lakukan pemeriksaan adanya aseton atau protein dalam urin.20 g. Asuhan, pengamatan dan keputusan klinik lainnya Catat semua asuhan lain, hasil pengamatan dan keputusan klinik di sisi luar
ISSN: 2356-5454 kolom partograf, atau buat catatan terpisah tentang kemajuan persalinan. Cantumkan juga tanggal dan waktu saat membuat catatan persalinan. Asuhan, pengamatan dan keputusan klinik mencakup: 1) jumlah cairan per oral yang diberikan; 2) keluhan sakit kepala atau pengelihatan kabur; 3) konsultasi dengan penolong persalinan lainnya (spesialis obgin, ataupun dokter umurn); 4) persiapan sebelum melakukan rujukan; 5) upaya rujukan. Formulir partograf yang digunakan di Puskesmas PONED kota Medan adalah partograf WHO yang dimodifikasi (APN). 14,16 Bidan dikatakan kompeten dalam melaksanakan suatu prosedur apabila penampilan keterampilan klinik mencapai (85% - 100%). Makin dipatuhi suatu protokol, maka indikator pencapaian yang ditetapkan adalah dengan pencatatan secara konsisten dan benar sesuai prosedur standar pelayanan obstetrik dan neonatal diatas pada formulir partograf sewaktu pemantauan kemajuan persalinan. KESIMPULAN Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut diciptakanlah Visi Indonesia Sehat 2010, yang merupakan cerminan masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia dengan ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku, dan dalam lingkungan sehat, serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan tersebut, dalam tiga dekade ini telah cukup berhasil meningkatkan derajat kesehatan. Namun demikian derajat kesehatan di Indonesia masih terhitung rendah apabila dibandingkan dengan negaranegara tetangga (Departemen Kesehatan RI, 2005 : 1). Berdasarkan paparan di atas, terdapat berbagai factor yang mempengaruhi
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 17
jikk
ISSN: 2356-5454 kemampuan mahasiswa tingkat II dalam nguasai kemampuan pengisian patograf. Factor-faktor tersebut diantaranya, umur, pendidikan, masa kerja, pelatihan. Sehingga ini dapat di simpulakn kemampuan mahasiswa akan dapat meningkat jika semua faktornya telah terpenuhi, hal ionin tidak terlepas dari kemaun mahasiswa itu sendiri dalam menggali berbagai ilmu dari berbagai sumber untuk menabah kemampuanya. REFERENSI http://4akbid.blogspot.com/2010/12/pengetahu an-mahasiswa-tingkat-ii.html http://ayurai.wordpress.com/2009/06/26/p artograf-persalinan/ http://bidandesa.blogspot.com/2009/09/partograf.ht ml http://bidanshop.blogspot.com/2010/04 /deteksi-dini-penyulit-persalinan.html. http://venasaphenamagna.blogspot.com/200 9_12_01_archive.html https://www.blogger.com/comment.g?b logID=1664524213584152975&postID=548 25558757533 Ida Bagus Gde Manuaba, 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, Jakarta : ECG. JNPK-KR, 2007. Asuhan Persalinan Normal, Jakarta : JHPIEGO. Menteri Kesehatan, 2009.
Hal | 18
Nomor 07 Tahun 2014
Temu Kader Posyandu : Kementrian Kesehatan Republic Indonesia (diakses pada tanggal 23 Maret 2010). Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi, dr. I.M.S. Murah Manoe, Sp.OG., dr. Syahrul Rauf, Sp.OG., dr. Hendrie Usmany, Sp.OG. (editors). Bagian / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Rumah Sakit Umum Pusat, dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar, 1999. Saifuddin Abdul Bari, 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Matrenal dan Neonatal,Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. Sarwono Prawirohardjo. Save Motherhood, Modul Persalinan Macet. Supriadi Pawik, 2010. Angka Kematian Ibu dan Bayi : Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim (diakses pada tanggal 23 Maret 2010). Ulfa, Ida Nikmatul, 2010. Kasus Kematian Ibu Sangat Mengkhawatirkan. Jombang: Jawa Pos (diakses pada tanggal 23 Maret 2010). Usmany DH, Manoe IMS, Manuputty J. Partograf. Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang,1995. http://d3kebidanan.blogspot.com/2010/ 08/kti-kebidanan-persepsimahasiswa.html.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
ISSN: 2356-5454
HUBUNGAN KEHAMILAN LEWAT WAKTU (POSTTERM) DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR oleh Diah Nurmayawati ABSTRAK Kehamilan lewat waktu merupakan salah satu kehamilan yang beresiko tinggi, dimana dapat terjadi komplikasi pada ibu dan janin. Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari dari Hari Pertama haid terakhir. Kehamilan lewat waktu juga biasa disebut serotinus atau postterm pregnancy, yaitu kehamilan yang berlangsung selama lebih dari 42 minggu atau 294 hari. Permasalahan yang terjadi pada kehamilan lewat waktu adalah plasenta yang tidak sanggup memberikan nutrisi dan pertukaran CO2 sehingga janin mempunyai resiko asfiksia sampai kematian dalam rahim. Makin menurunnya sirkulasi darah menuju sirkulasi plasenta dapat mengakibatkan pertumbuhan janin makin lambat, terjadinya metabolisme janin, air ketuban makin kental, berkurangnya nutrisi O2 ke janin yang menimbulkan asfiksia dan setiap saat dapat meninggal dalam rahim, saat persalinan janin lebih mudah mengalami asfiksia. Penyebab pasti kehamilan lewat waktu sampai saat ini belum kita ketahui. Diduga penyebabnya adalah siklus haid yang tidak diketahui pasti, kelainan pada janin (anenefal, kelenjar adrenal janin yang fungsinya kurang baik, kelainan pertumbuhan tulang janin/osteogenesis imperfecta; atau kekurangan enzim sulfatase plasenta). Kata Kunci : Kehamilan lewat waktu (Postterm), ibu hamil, janin PENDAHULUAN Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan aterm adalah usia kandungan antara 38-42 minggu dan ini merupakan periode terjadinya persalinan normal. Namun, sekitar 3,4-14% atau rata-rata 10% kehamilan berlangsung sampai 42 minggu atau lebih. Angka ini bervariasi dari bebearpa penelitian bergantung pada kriteria yang dipakai. Kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang melewati 294 hari atau 42 minggu lengkap dihitung dari hari pertama haid terakhir menurut rumus Neagle dengan siklus haid rata-rata 28 hari dan belum terjadi persalinan. Kehamilan postterm mempunyai resiko lebih tinggi daripada kehamilan aterm, terutama terhadap kematian perinatal (antepartum, intrapartum, dan postpartum) berkaitan dengan aspirasi mekonium dan asfiksia. Kehamilan postterm terutama berpengaruh terhadap janin, meskipun hal ini masih banyak diperdebatkan dan sampai sekarang masih belum ada persesuaian paham. Dalam kenyataannya kehamilan
postterm mempunyai pengaruh terhadap perkembangan janin sampai kematian janin. Ada janin yang dalam masa kehamilan 42 minggu atau lebih berat badannya meningkat terus, ada yang tidak bertambah, ada yang lahir dengan berat badan kurang dari semestinya, atau meninggal dalam kandungan karena kekurangan zat makanan dan oksigen. Kehamilan postterm mempunyai hubungan erat dengan mortalitas, morbiditas perinatal, atau makrosomia. Sementara itu, risiko bagi ibu dengan kehamilan postterm dapat berupa perdarahan pascapersalinan ataupun tindakan obstetrik yang meningkat. Berbeda dengan angka kematian ibu yang cenderung menurun, kematian perinatal tampaknya masih menunjukkan angka yang cukup tinggi, sehingga pemahaman dan penatalaksanaan yang tepat terhadap kehamilan postterm akan memberikan sumbangan besar dalam upaya menurunkan angka kematian, terutama kematian perinatal. PEMBAHASAN 1. Persalinan Postterm Persalinan postterm adalah persalinan melampaui umur hamil 42 minggu dan pada
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 19
jikk
ISSN: 2356-5454 janin terdapat tanda postmaturitas (Manuaba, 2007). Definisi standar untuk kehamilan dan persalinan lewat bulan adalah 294 hari setelah hari pertama menstruasi terakhir, atau 280 hari setelah ovulasi. Istilah lewat bulan (postdate) digunakan karena tidak menyatakan secara langsung pemahaman mengenai lama kehamilan dan maturitas janin ( Varney Helen, 2007). Persalinan postterm menunjukkan kehamilan berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari (Prawirohardjo, 2008). 2.
Etiologi Etiologi belum diketahui secara pasti namun faktor yang dikemukaan adalah hormonal, yaitu kadar progesteron tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup bulan sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang. Faktor lain seperti herediter, karena postmaturitas sering dijumpai pada suatu keluarga tertentu (Rustam, 1998). Menjelang persalinan terdapat penurunan progesteron, peningkatan oksitosin tubuh dan reseptor terhadap oksitosin sehingga otot rahim semakin sensitif terhadap rangsangan. Pada kehamilan lewat waktu terjadi sebaliknya, otot rahim tidak sensitif terhadap rangsangan, karena ketegangan psikologis atau kelainan pada rahim (Manuaba, 1998). Menurut Sujiyatini (2009), etiologinya yaitu penurunan kadar esterogen pada kehamilan normal umumnya tinggi. Faktor hormonal yaitu kadar progesterone tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup bulan, sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang. Factor lain adalah hereditas, karena post matur sering dijumpai pada suatu keluarga tertentu. Fungsi plasenta memuncak pada usia kehamilan 38-42 minggu, kemudian menurun setelah 42 minggu, terlihat dari menurunnya kadar estrogen dan laktogen plasenta. Terjadi juga spasme arteri spiralis plasenta. Akibatnya dapat terjadi gangguan suplai oksigen dan
Hal | 20
Nomor 07 Tahun 2014
nutrisi untuk hidup dan tumbuh kembang janin intrauterin. Sirkulasi uteroplasenta berkurang sampai 50%. Volume air ketuban juga berkurang karena mulai terjadi absorpsi. Keadaan-keadaan ini merupakan kondisi yang tidak baik untuk janin. Risiko kematian perinatal pada bayi postmatur cukup tinggi, yaitu 30% prepartum, 55% intrapartum, dan 15% postpartum. Beberapa faktor penyebab kehamilan lewat waktu adalah sebagai berikut : 1) Kesalahan dalam penanggalan, merupakan penyebab yang paling sering. 2) Tidak diketahui. 3) Primigravida dan riwayat kehamilan lewat bulan. 4) Defisiensi sulfatase plasenta atau anensefalus, merupakan penyebab yang jarang terjadi. 5) Jenis kelamin janin laki-laki juga merupakan predisposisi. 6) Faktor genetik juga dapat memainkan peran. 3.
Insiden Angka kejadian kehamilan lewat waktu kira-kira 10%, bervariasi antara 3,5-14%. Data statistik menunjukkan, angka kematian dalam kehamilan lewat waktu lebih tinggi ketimbang dalam kehamilan cukup bulan, dimana angka kematian kehamilan lewat waktu mencapai 5 7 %. Variasi insiden postterm berkisar antara 2-31,37%. 4.
Patofisiologi Pada kehamilan lewat waktu terjadi penurunan oksitosin sehingga tidak menyebabkan adanya his, dan terjadi penundaan persalinan. Permasalahan kehamilan lewat waktu adalah plasenta tidak sanggup memberikan nutrisi dan pertukaran CO2/O2 sehingga janin mempunyai resiko asfiksia sampai kematian dalam rahim (Manuaba, 1998). Sindroma postmaturitas yaitu kulit keriput dan telapak tangan terkelupas, tubuh panjang dan kurus, vernic caseosa menghilang, wajah seperti orang tua, kuku panjang, tali pusat selaput ketuban berwarna
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
kehijauan. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 34-36 minggu dan setelah itu terus mengalami penurunan. Pada kehamilan postterm dapat terjadi penurunan fungsi plasenta sehingga bisa menyebabkan gawat janin. Bila keadaan plasenta tidak mengalami insufisiensi maka janin postterm dapat tumbuh terus namun tubuh anak akan menjadi besar (makrosomia) dan dapat menyebabkan distosia bahu. 1.
Sebab Terjadinya Kehamilan Postterm Seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan, sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan. Beberapa teori diajukan antara lain sebagai berikut : a. Pengaruh Progesteron Penurunan hormon progesteron dalam kehamilan dipercaya merupakan kejadian perubahan endokrin yang penting dalam memacu proses biomolekuler pada persalinan dan meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin, sehingga beberapa penulis menduga bahwa terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesterone. b. Teori Oksitosin Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan postterm memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab kehamilan postterm. c. Teori Kortisol/ACTH Janin Dalam teori ini diajukan bahwa “pemberi tanda” untuk dimulainya persalinan adalah janin, diduga akibat peningkatan tiba-tiba kadar kortisol plasma janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen, selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan janin seperti anensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya kelenjar hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak
ISSN: 2356-5454 diproduksi dengan baik sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan. d. Saraf Uterus Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan di mana tidak ada tekanan pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian bawah masih tinggi kesemuanya diduga sebagai penyebab terjadinya kehamilan postterm. e. Herediter Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami kehamilan postterm mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan berikutnya. Mogren (1999) seperti dikutip Cunningham, menyatakan bahwa bilamana seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan postterm. 2.
Resiko Risiko kehamilan lewat waktu antara lain adalah gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, sampai kematian janin dalam rahim. Resiko gawat janin dapat terjadi 3 kali dari pada kehamilan aterm. Kulit janin akan menjadi keriput, lemak di bawah kulit menipis bahkan sampai hilang, lama-lama kulit janin dapat mengelupas dan mengering seperti kertas perkamen. Rambut dan kuku memanjang dan cairan ketuban berkurang sampai habis. Akibat kekurangan oksigen akan terjadi gawat janin yang menyebabkan janin buang air besar dalam rahim yang akan mewarnai cairan ketuban menjadi hijau pekat. Pada saat janin lahir dapat terjadi aspirasi (cairan terisap ke dalam saluran napas) air ketuban yang dapat menimbulkan kumpulan gejala MAS (meconeum aspiration syndrome). Keadaan ini dapat menyebabkan kematian janin. Komplikasi yang dapat mungkin terjadi pada bayi ialah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, polisitemia, dan kelainan neurologik. Kehamilan lewat bulan dapat juga menyebabkan resiko pada ibu, antara lain distosia karena aksi uterus tidak terkoordinir,
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 21
jikk
ISSN: 2356-5454 janin besar, dan moulding (moulage) kepala kurang. Sehingga sering dijumpai partus lama, kesalahan letak, inersia uteri, distosia bahu, dan perdarahan postpartum. Tanda bayi Postmatur (Manuaba, Ida Bagus Gde, 1998), yaitu : 1) Biasanya lebih berat dari bayi matur (> 4000 gram) 2) Tulang dan sutura kepala lebih keras dari bayi matur 3) Rambut lanugo hilang atau sangat kurang 4) Verniks kaseosa di badan kurang 5) Kuku-kuku panjang 6) Rambut kepala agak tebal 7) Kulit agak pucat dengan deskuamasi epitel Pada bayi akan ditemukan tanda-tanda lewat waktu yang terbagi menjadi : Stadium I : kulit kehilangan verniks kaseosa dan terjadi maserasi sehingga kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas. Stadium II : seperti Stadium I disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) di kulit. Stadium III : seperti Stadium I disertai pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat. 3.
Diagnosis Tidak jarang seorang dokter mengalami kesulitan dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm karena diagnosis ini ditegakkan berdasarkan umur kehamilan, bukan terhadap kondisi kehamilan. Beberapa kasus yang dinyatakan sebagai kehamilan postterm merupakan kesalahan dalam menentukan umur kehamilan. Kasus kehamilan postterm yang tidak dapat ditegakkan secara pasti diperkirakan sebesar 22%. Diagnosis kehamilan lewat waktu biasanya dari perhitungan rumus Naegele setelah mempertimbangkan siklus haid dan keadaan klinis. Bila ada keraguan, maka pengukuran tinggi fundus uterus serial dengan sentimeter akan memberikan informasi mengenai usia gestasi lebih tepat. Keadaan klinis yang mungkin ditemukan
Hal | 22
Nomor 07 Tahun 2014
ialah air ketuban yang berkurang dan gerakan janin yang jarang. Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm di samping dari riwayat haid, sebaiknya dilihat pula hasil pemeriksaan antenatal. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam mendiagnosis kehamilanlewat waktu, antara lain : 1) HPHT jelas. 2) Dirasakan gerakan janin pada umur kehamilan 16-18 minggu. 3) Terdengar denyut jantung janin (normal 10-12 minggu dengan Doppler, dan 19-20 minggu dengan fetoskop). 4) Umur kehamilan yang sudah ditetapkan dengan USG pada umur kehamilan kurang dari atau sama dengan 20 minggu. 5) Tes kehamilan (urin) sudah positif dalam 6 minggu pertama telat haid. 4.
Pemeriksaan Penunjang Menurut Sujiyatini dkk (2009), pemeriksaan penunjang yaitu USG untuk menilai usia kehamilan, oligohidramnion, derajat maturitas plasenta. KTG untuk menilai ada atau tidaknya gawat janin. Menurut Mochtar (1998), pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan, seperti pemeriksaan berat badan ibu, diikuti kapan berkurangnya berat badan, lingkaran perut dan jumlah air ketuban. Pemeriksaan yang dilakukan seperti : 1) Bila wanita hamil tidak tahu atau lupa dengan haid terakhir setelah persalinan yang lalu, dan ibu menjadi hamil maka ibu harus memeriksakan kehamilannya dengan teratur, dapat diikuti dengan tinggi fundus uteri, mulainya gerakan janin dan besarnya janin dapat membantu diagnosis. 2) Pemeriksaan Ultrasonografi dilakukan untuk memeriksa ukuran diameter biparietal, gerakan janin dan jumlah air ketuban. Bila telah dilakukan pemeriksaan USG serial terutama sejak trimester pertama, maka hampir dapat dipastikan usia kehamilan.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
Sebaliknya pemeriksaan yang sesaat setelah trimester III sukar untuk memastikan usia kehamilan. Pemeriksaan Ultrasonografi pada kehamilan postterm tidak akurat untuk menentukan umur kehamilan. Tetapi untuk menentukan volume cairan amnion (AFI), ukuran janin, malformasi janin dan tingkat kematangan plasenta. 3) Pemeriksaan berat badan ibu, dengan memantau kenaikan berat badan setiap kali periksa, terjadi penurunan atau kenaikan berat badan ibu. 4) Pemeriksaan Amnioskopi dilakukan untuk melihat derajat kekeruhan air ketuban menurut warnanya yaitu bila keruh dan kehitaman berarti air ketuban bercampur mekonium dan bisa mengakibatkan gawat janin (Prawirohardjo, 2005). Kematangan serviks tidak bisa dipakai untuk menentukan usia kehamilan. Yang paling penting dalam menangani kehamilan lewat waktu ialah menentukan keadaan janin, karena setiap keterlambatan akan menimbulkan resiko kegawatan. Penentuan keadaan janin dapat dilakukan : 1) Tes tanpa tekanan (non stress test). Bila memperoleh hasil non reaktif maka dilanjutkan dengan tes tekanan oksitosin. Bila diperoleh hasil reaktif maka nilai spesifisitas 98,8% menunjukkan kemungkinan besar janin baik. 2) Gerakan janin. Gerakan janin dapat ditentukan secara subjektif (normal rata-rata 7 kali/20 menit) atau secara objektif dengan tokografi (normal rata-rata 10 kali/20 menit), dapat juga ditentukan dengan USG. Penilaian banyaknya air ketuban secara kualitatif dengan USG (normal > 1 cm/bidang) memberikan gambaran banyaknya air ketuban, bila ternyata oligohidramnion, maka kemungkinan telah terjadi kehamilan lewat waktu. 3) Amnioskopi. Bila ditemukan air ketuban yang banyak dan jernih mungkin keadaan janin masih baik.
ISSN: 2356-5454 Sebaliknya air ketuban sedikit dan mengandung mekonium akan mengalami resiko 33% asfiksia. 5.
Penatalaksanaan Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin postterm sehingga setiap persalinan kehamilan posterm harus dilakukan pengamatan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di rumah sakit dengan pelayanan operatif dan perawatan neonatal yang memadai. Prinsip dari tata laksana kehamilan lewat waktu ialah merencanakan pengakhiran kehamilan. Cara pengakhiran kehamilan tergantung dari hasil pemeriksaan kesejahteraan janin dan penilaian skor pelvik (pelvic score). Ada beberapa cara untuk pengakhiran kehamilan, antara lain : 1) Induksi partus dengan pemasangan balon kateter Foley. 2) Induksi dengan oksitosin. 3) Bedah seksio sesaria. The American College of Obstetricians and Gynecologist mempertimbangkan bahwa kehamilan postterm (42 minggu) adalah indikasi induksi persalinan. Penelitian menyarankan induksi persalinan antara umur kehamilan 41-42 minggu menurunkan angka kematian janin dan biaya monitoring janin lebih rendah. Dalam mengakhiri kehamilan dengan induksi oksitosin, pasien harus memenuhi beberapa syarat, antara lain kehamilan aterm, ada kemunduran his, ukuran panggul normal, tidak ada disproporsi sefalopelvik, janin presentasi kepala, serviks sudah matang (porsio teraba lunak, mulai mendatar, dan mulai membuka). Selain itu, pengukuran pelvik juga harus dilakukan sebelumnya. Tatalaksana yang biasa dilakukan ialah induksi dengan Oksitosin 5 IU. Sebelum dilakukan induksi, pasien dinilai terlebih dahulu kesejahteraan janinnya dengan alat KTG, serta diukur skor pelvisnya. Jika keadaan janin baik dan skor pelvis > 5, maka induksi persalinan dapat dilakukan. Induksi persalinan dilakukan dengan Oksitosin 5 IU
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 23
jikk
ISSN: 2356-5454 dalam infus Dextrose 5%. Tetesan infus dimulai dengan 8 tetes/menit, lalu dinaikkan tiap 30 menit sebanyak 4 tetes/menit hingga timbul his yang adekuat. Selama pemberian infus, kesejahteraan janin tetap diperhatikan karena dikhawatirkan dapat timbul gawat janin. Setelah timbul his adekuat, tetesan infus dipertahankan hingga persalinan. Namun, jika infus pertama habis dan his adekuat belum muncul, dapat diberikan infus drip Oksitosin 5 IU ulangan. Jika his adekuat yang diharapkan tidak muncul, dapat dipertimbangkan terminasi dengan seksio sesaria. Tindakan operasi seksio sesarea dapat dipertimbangkan pada : 1) Insufisiensi plasenta dengan keadaan serviks belum matang 2) Pembukaan yang belum lengkap, persalinan lama dan terjadi gawat janin, atau 3) Pada primigravida tua, kematian janin dalam kandungan, preeklampsia, hipertensi menahun, anak berharga (infertilitas) dan kesalahan letak janin. Pada kehamilan yang telah melewati 40 minggu dan belum menunjukkan tanda-tanda inpartu, biasanya langsung segera diterminasi agar resiko kehamilan dapat diminimalis. 6.
Komplikasi Menurut Mochtar (1998), komplikasi yang terjadi pada kehamilan serotinus yaitu : a. Plasenta Kalsifikasi Selaput vaskulosinsisial menebal dan jumlahnya berkurang Degenerasi jaringan plasenta Perubahan biokimia b. Komplikasi pada Ibu Komplikasi yang terjadi pada ibu dapat menyebabkan partus lama, inersia uteri, atonia uteri dan perdarahan postpartum. c. Komplikasi pada Janin Komplikasi yang terjadi pada bayi seperti berat badan janin bertambah besar, tetap atau berkurang, serta dapat terjadi kematian janin dalam kandungan.
Hal | 24
Nomor 07 Tahun 2014
7.
Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kehamilan yang teratur, minimal 4 kali selama kehamilan, 1 kali pada trimester pertama (sebelum 12 minggu), 1 kali pada trimester ke dua (antara 13 minggu sampai 28 minggu) dan 2 kali trimester ketiga (di atas 28 minggu). Bila keadaan memungkinkan, pemeriksaan kehamilan dilakukan 1 bulan sekali sampai usia 7 bulan, 2 minggu sekali pada kehamilan 7-8 bulan dan seminggu sekali pada bulan terakhir. Hal ini akan menjamin ibu dan dokter mengetahui dengan benar usia kehamilan, dan mencegah terjadinya kehamilan serotinus yang berbahaya. Perhitungan dengan satuan minggu seperti yang digunakan para dokter kandungan merupakan perhitungan yang lebih tepat. Untuk itu perlu diketahui dengan tepat tanggal hari pertama haid terakhir seorang (calon) ibu itu. Pengelolaan selama persalinan adalah : a. Pemantauan yang baik terhadap ibu ( aktivitas uterus ) dan kesejahteraan janin. Pemakaian continous electronic fetal monitoring sangat bermanfaat b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan. c. Awasi jalannya persalinan d. Persiapan oksigen dan bedah sesar bila sewaktu-waktu terjadi kegawatan janin e. Cegah terjadinya aspirasi mekoneum dengan segera mengusap wajah neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur mekoneum. f. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas PENUTUP Kehamilan lewat waktu merupakan salah satu kehamilan yang beresiko tinggi, dimana dapat terjadi komplikasi pada ibu dan janin.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari dari Hari Pertama haid terakhir. Kehamilan lewat waktu juga biasa disebut serotinus atau postterm pregnancy, yaitu kehamilan yang berlangsung selama lebih dari 42 minggu atau 294 hari. Penyebab pasti kehamilan lewat waktu sampai saat ini belum kita ketahui. Diduga penyebabnya adalah siklus haid yang tidak diketahui pasti, kelainan pada janin (anenefal, kelenjar adrenal janin yang fungsinya kurang baik, kelainan pertumbuhan tulang janin/osteogenesis imperfecta; atau kekurangan enzim sulfatase plasenta). Kehamilan lewat bulan dapat juga menyebabkan resiko pada ibu, antara lain distosia karena aksi uterus tidak terkoordinir, janin besar, dan moulding (moulage) kepala kurang. Sehingga sering dijumpai partus lama, kesalahan letak, inersia uteri, distosia bahu, dan perdarahan postpartum. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kehamilan yang teratur, minimal 4 kali selama kehamilan, 1 kali pada trimester pertama (sebelum 12 minggu), 1 kali pada trimester ke dua (antara 13 minggu sampai 28 minggu) dan 2 kali trimester ketiga (di atas 28 minggu). Bila
ISSN: 2356-5454 keadaan memungkinkan, pemeriksaan kehamilan dilakukan 1 bulan sekali sampai usia 7 bulan, 2 minggu sekali pada kehamilan 7 – 8 bulan dan seminggu sekali pada bulan terakhir. Hal ini akan menjamin ibu dan dokter mengetahui dengan benar usia kehamilan, dan mencegah terjadinya kehamilan serotinus yang berbahaya. REFERENSI Manuaba. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran :EGC Prawiroharjo, Sarwono.2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Saifuddin, Abdul Bari. 2002. Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Varney, Helen Dkk.2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan ed.4 vo1. Jakarta.EGC Wiknjosastro. 2000. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. APN. 2008. Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta: Institusi DEPKES RI Sulaiman S dkk.2004.Obstetri patologi.Jakarta: EGC
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 25
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 07 Tahun 2014
KARAKTERISTIK BALITA YANG MENGALAMI KEJANG DEMAM oleh Sundari ABSTRAK Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Sekitar 2,2% hingga 5% anak mengalami kejang demam sebelum mereka mencapai umur 5 tahun. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini namun pendapat yang dominan saat ini kejang pada kejang demam tidak menyebabkan akibat buruk atau kerusakan pada otak namun kita tetap berupaya untuk menghentikan kejang secepat mungkin (Marlian L, 2005). Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% dan Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia lebih tinngi kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam komplek.Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang demam sederhana yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang demam komplek yang berlangsung lebih dari dari 15 menit, fokal atau multifel (lebih dari 1 kali kejang demam dalam 24 jam). Penyakit yang disebabkan oleh gangguan saraf telah menyerang sedikitnya 1 miliyar orang diseluruh dunia. Penyakit yang telah menyerang jutaan orang di seluruh dunia ini, tidak mengenal umur, jenis kelamin, status pendidikan, maupun pendapatan. Kata Kunci : balita, kejang demam PENDAHULUAN Anak adalah permata harapan keluarga. Setiap orang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak agar tumbuh sehat dengan baik, sehat walafiat baik tubuh maupun jiwanya. Masa kanak – kanak adalah masa yang rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Pada masa ini sering kali anak ditimpa berbagai macam gejala penyakit salah satu gejalanya adalah kejang demam. (Soetjiningsih, 2011). Menurut Abdoerrachman (2007) kejadian kejang demam banyak terjadi pada bayi dan anak yang berumur antara 6 bulan sampai 5 tahun, dimana kejang ini disebabkan oleh demam yang semakin tinggi (suhu mencapai 38oC atau lebih), waktu terjadinya tidak lebih dari 30 menit. Kejang demam ini terbagi menjadi Kejang Demam Sederhana (KDS) dan Kejang Demam Kompleks (KDK). Kejadian kejang demam ini sendiri tidak terlalu banyak hanya 2-5%. Walaupun penderita kejang demam hanya sedikit tetapi masyarakat kerap kali mengganggap remeh hal tersebut. Mereka percaya anak yang tibatiba kejang itu menderita epilepsi ataupun kerasukan bahkan beranggapan bahwa hal tesebut merupakan suatu hal yang wajar yang
Hal | 26
akan sembuh dengan sendirinya tanpa perlu mendapatkan pengobatan intensif dari tenaga kesehatan (Lumbantobing, 2007). Prevalensi kejang demam sekitar 2 - 5 persen pada anak balita. Umumnya terjadi pada anak umur 6 bulan sampai 5 tahun. Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi. Diantaranya; usia, jenis kelamin, riwayat kejang dan epilepsi dalam keluarga, dan normal tidaknya perkembangan neurologi. Menurut Nadirah (2011), di antara semua usia, bayi yang paling rentan terkena step atau kejang demam berulang. Risiko tertinggi pada umur di bawah 2 tahun, yaitu sebanyak 50 persen ketika kejang demam pertama. Sedang bila kejang pertama terjadi pada umur lebih dari 2 tahun maka risiko berulangnya kejang sekitar 28 persen. Selain itu, dari jenis kelamin juga turut mempengaruhi. Meskipun beberapa penelitian melaporkan bahwa anak laki-laki lebih sering mengalami kejang demam dibanding anak perempuan. Namun risiko berulangnya kejang demam tidak berbeda menurut jenis kelamin. Riwayat kejang dalam keluarga merupakan risiko tertinggi yang mempengaruhi berulangnya kejang demam,
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
yaitu sekitar 50 - 100 persen. Dan anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan neurologi meningkatkan risiko terjadinya kejang demam berulang (Ugart, 2011). Kejang dapat terjadi pada waktu demam. Dikatakan demam jika suhu mencapai 37,8 derajat celcius atau lebih yang diukur secara rektal. Kejang demam dapat dipicu karena faktor infeksi di bagian ekstrakranial (luar otak). Di antaranya karena penyakit diare, otitis media, pneumonia, faringitis. Beberapa penelitian, melaporkan kejang terjadi pada suhu 38 derajat celcius. Tapi ada juga demam suhu rendah, namun bisa membuat anak kejang (Teriosa, 2011). Komplikasi dari kejang demam ini masih kontraversi, ada beberapa peneliti mengatakan bahwa kejang demam ini tidak mengakibatkan kerusakan otak yang berarti seperti hasil penelitian dari The National Collaborative Perinatal Project di Amerika yang mengikuti 1706 anak kejang demam sampai berumur usia 7 tahun dan hasilnya tidak didapatkan adanya kematian sebagai akibat dari kejang demam. IQ anak kejang demam ini juga dibandingkan dengan saudara kandungnya yang normal dengan menggunakan WICS, hasilnya angka rata-rata untuk IQ pada setiap anak tidak berbeda dengan saudara kandung yang tidak menderita kejang demam, tetapi ada beberapa peneliti seperti Aicadi dan chevrie yang meneliti 402 anak yang menderita kejang demam dan didapat hasil 131 mendapatkan sekuele, yaitu : 114 penderita epilepsi, 54 retadansi mental, 37 menderita kelainan neurologi, 24 dengan hemiplegia (lumpuh sebelah). Mereka menderita skuele ini sebelum kejang demam adalah anak yang normal (Lumbantobing, 2007). Berdasarkan data yang diperoleh dari ruang Anak RSUD Al Ihsan Bandung tercatat pada tahun 2010 ditemukan sebanyak 789 anak dirawat, sedangkan pada tahun 2011 ditemukan sebanyak 934 anak dirawat di ruang Anak RSUD Al Ihsan. Sedangkan untuk kejang demam di RSUD Al Ihsan Bandung penyakit kejang demam termasuk 5 besar penyakit yang paling banyak diderita disana.
ISSN: 2356-5454 Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan jumlah kasus kejang demam pada anak yang terjadi pada tahun 2010 sebanyak 127 kasus sedangkan pada tahun 2011 tercatat sebanyak 140 kasus kejang demam. Dari 1 miliyar orang yang terkena ganguan saraf di seluruh dunia. Sebanyak 50 juta orang menderita epilepsi dan 24 juta orang menderita Alzheimer dan penyakit dimensia lainnya. Menurut WHO diperkirakan 6,8 juta orang meninggal tiap tahun akibat ganguan syaraf. Hemiparesis biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari setengah jam) baik bersifat umum maaupun fokal, kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula-mula kelumpuhannya bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu spasitisitas. Millichap (1968) melaporkan dari 1190 anak menderita kejang demam, hanya 0,2% saja yang mengalami hemiparesis sesudah kejang lama. Dari suatu penelitian terhadap 431 penderita dengan kejang demam sederhana, tidak mengalami kelainan IQ, tetapi pada penderita kejang demam yang sebelumnya telah terdapat ganguan perkembangan atau neorologis akan di dapat IQ yang lebih rendah dibanding dengan saudaranya (Millchap, 1968). Apabila kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang demam, retradasi mental akan terjadi 5 kali lebih besar (Nellson dan Ellenberg, 1978). Berdasarkan pengamatan penulis pada waktu mengadakan prasuprey pada tanggal 16 maret 2007 di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani di Ruang Rawat Inap terdapat 645 orang pengunjung pada tahun 2006. Diantaranya terdapat kejang demam dengan jumlah 41 balita terserang kejang demam. Dari 100% pengunjung ditemui 6,35% penderita kejang demam. Dari data yang didapat kejang demam termasuk 4 besar yang terbanyak ditemui di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro Pada Tahun 2006. Pada tabel diatas dapat kita lihat bahwa penderita kejang demam untuk untuk daerah Bandung pada dua tahun belakang ini mengalami kenaikan dari tahun 2010 yang jumlah penderita 127 meningkat menjadi 140
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 27
jikk
ISSN: 2356-5454 pada tahun 2011 sehingga dapat disimpulkan bahwa penderita kejang demam masih tinggi, untuk itu masih perlu dapat perhatian yang lebih dari tenaga kesehatan. Berdasarkan data yang diambil dari Ruang Lukmanul Hakim RSUD Al Ihsan Kota Bandung penyakit kejang demam masih cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya 23 anak yang menderita kejang demam pada tahun 2010 dan 32 anak terserang kejang demam pada tahun 2011 dengan rincian sebagai berikut : Pada tabel diatas dapat kita lihat bahwa penderita kejang demam pada dua tahun belakang ini mengalami kenaikan dari tahun 2010 yang jumlah penderita 23 meningkat menjadi 32 pada tahun 2011 sehingga dapat disimpulkan bahwa penderita kejang demam masih tinggi, untuk itu masih perlu dapat perhatian yang lebih dari tenaga kesehatan. PEMBAHASAN Konsep Kejang Demam 1. Pengertian Kejang Demam adalah kejang yang terjadi pada saat suhu badan tinggi, suhu badan yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranium (Lumbantobing, 2007). Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh rektal diatas 38°C ( Sujono Riyadi, 2009). Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya infeksi ataupun kelainan lain yang jelas di intrakranial (Abdoerrachman, 2007). 2. Etiologi Menurut Lumbantobing (2007) etiologi kejang demam adalah: a. Demam itu sendiri, demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, otitis media, pneumonia, gastroentritis dan infeksi saluran kemih. b. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme.
Hal | 28
Nomor 07 Tahun 2014
c.
Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi. d. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit. e. Ensefalitis viral ( radang otak akibat virus ) yang ringan . 3.
Anatomi Fisiologi Seperti yang dikemukakan Syaifuddin ( 1997) system saraf terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak) serta medulla spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral nervous system) yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib (autonomic nervous system) yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan parasymphatis (sistem saraf parasimpatis). Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan dibungkus oleh selaput otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko benturan atau guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan piamater. Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari : a. Cerebrum (otak besar) Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum cranialis anterior dan cavum cranialis media. Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan medulla cerebri. Fungsi dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat bicara, pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat penglihatan / visual, pusat pengecap dan pembau serta pusat pemikiran. Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah substansia alba sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi tepi sudah berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri inilah yang disebut sebagai ganglia basalis. Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
1)
Thalamus Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali impuls pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri. Fungsi thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik. Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri. 2)
Hypothalamus Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III hypothalamus terdiri dari beberapa nukleus yang masing-masing mempunyai kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus merupakan daerah penting untuk mengatur fungsi alat demam seperti mengatur metabolisme, alat genital, tidur dan bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi perubahan-perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat adanya proses-proses patologik ekstrakranium. 3)
Formation Reticularis Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang otak (superior dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan dikirim ke cortex cerebri. b.
Serebellum Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati fossa cranial posterior. Terletak di superior dan inferior dari cerebrum yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka. System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung keluar dari otak atau batang otak dan mensarafi organ tertentu. System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf pusat dan system saraf otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf aferent dan efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada 2 di mana keduanya
ISSN: 2356-5454 mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system simpatis dan parasimpatis. Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah : 1) Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya 2) Ganglion simpatis dan serabutserabutnya yang disebut trunkus symphatis 3) Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari ganglion kolateral. System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu : Serabut saraf yang dicabagkan dari medulla spinalis: 1) Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang otak 2) Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis. 4.
Patofisiologi Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paruparu dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida. Akobatnya konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion natrium rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 29
jikk
ISSN: 2356-5454 membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis dan kimiawi, perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnay sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak yang menderita kejang demam pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang terjadi pada suhu 38°C sedangkan anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih (Abdoerrachman, 2007). 5. Faktor resiko yang berhubungan dengan kejang demam a.
Faktor umur Faktor umur merupakan salah satu faktor resiko utama yang berhubungan dengan kejang demam karena hal ini erat kaitannya dengan kematangan otak, tingkat kematangan otak dalam bidang anatomi, fisiologi dan biokimiawi otak ( Lumbantobing,2007). Tahap perkembangan otak dibagi menjadi 6 fase, neurulasi, perkembangan prosensefali, proloferasi neuron, organisasi dan mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai pada fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi
Hal | 30
Nomor 07 Tahun 2014
dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun sampai pascanatal. Sehingga kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang terutama fase perkembangan organisasi meliputi: diferensiasi dan pemantapan neuron pada subplate, pencocokan, orientasi, dan peletakan neuron pada korteks, pembentukkan cabang neurit dan dendrit, pemantapan kontak di sinapsis, kematian sel terprogram, proliferasi dan diferensiasi sel glia. Pada proses diferensiasi dan pemantapan neuron pada subplate, terjadi diferensiasi neurotransmitor eksitator dan inhibitor. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan inhibitor. Pada proses pembentukkan cabangcabang akson ( dendrit dan neurit ) serta pembentukan sinapsis, terjadi kematian sel terprogram dan plastisitas. Terjadi proses eliminasi sel neuron yang tidak terpakai. Sinapsis yang dieleminasi sekitar 40%. Proses ini disebut regeresif.Sel neuron yang tidak terkena proses kematian program bahkan terjadi pembentukan sel baru disebut palstisitas. Proses tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun. Apabila masa proses regresif terjadi bangkitan kejang demam dapat mengakibtakan trauma pada sel neuron sehingga mengakibatkan modifikasi proses regresif. Apabila pada fase organisasi ini terjadi rangsangan berulangulang seperti kejang demam akan mengakibatkan aberran palstisity, yaitu penurunan fungsi GABA-ergic dan desensitisasi reseptor GABA dan serta sensitisasi reseptor esksitator. Pada keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat sebgaai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. Corticotropin realising hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi di hipokampus berpotensi untuk terjadi
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. Mekanisme homeostatis pada otak belum matang atau masih lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan usia, meningkatkan eksitabilitas neuron. Atas dasar uraian di atas, pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut developtmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan dibandingkan inhibitor sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan kejang pada usia awal developmental window mempunyai waktu lebih lama fase eskitabilitas neural dibandingkan anak yang mendapatkan serangan kejang demam pada usia akhir masa developmental window. Apabila anak mengalami stimulasi demam pada otak fase ekstabilitas akan mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental merupakan masa perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berusia kurang dari 2 tahun (Soetomenggolo, 2007 ). Umur dapat menentukan kemungkinan terjadinya penyakit tartentu sepanjang jangka hidup. Kerentanan terhadap infeksi berubah, bayi sangat rentan terhadap infeksi, lahir dengan hanya memiliki anti body dari ibu, sistem imunimatur bayi belum mampu menghasilkan immunoglobulin yang diperlukan. Kejang demam merupakan kelainan neorologis yg paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan anak 6 bulan sampai 5 tahun ( Ngastiyah 2007 ). Pada penelitian yang dilakukan oleh Lennox Buchthal didapatkan sebagian besar kejang demam yaitu 83,5% terjadi pada usia 0 bulan sampai 2 tahun dan 16,5 % terjadi pada usia diatas 2 tahun sampai 5 tahun (Lumbantobing, 2007). b.
Faktor suhu tubuh. Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai diatas 37,8°C aksila atau 38°C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan
ISSN: 2356-5454 faktor utama timbul bangkitan kejang demam. Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan ekstabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15% sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus skreb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan kekurangan energi, hal ini akan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkanmasuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Selain itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu ( Abdoerrachman, 2007). Friedrichsen dan Melchior dalam penelitiannya membagi anak yang demam dalam 2 kelompok yaitu yang mempunyai suhu dibawah 39°C dan yang di atasnya. Didapatkannya bahwa insiden kejang demam pada kelompok anak demam yang bersuhu dibawah 39°C adalah 24% dan di atas 39°C adalah 64%. Tingginya suhu tubuh pada keadaan demam sangat berpengaruh terjadinya bangkitan kejang demam karena pada suhu tubuh yang tinggi dapat
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 31
jikk
ISSN: 2356-5454 meningkatkan metabolisme tubuh sehingga terjadi perbedaan potensial membran di otak yang akhirnya melepaskan muatan listrik dan menyebar ke seluruh tubuh ( Lumbantobing, 2007). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam mempunyai peranan untuk terjadi perubahan potensial membran dan menurunkan fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang. Penurunan nilai ambang kejang memudahkan untuk timbul bangkitan kejang demam. c.
Faktor riwayat keluarga Tsuboi melaporkan penelitian terhadap 32 pasang anak kembar dan 673 kasus bersaudara kandung, didapatkan tingkat kesesuaian 56% pada monozigot dan 14% pada kembar dizigot. Pewarisan multifaktorial lebih banyak muncul pada kebanyakan keluarga, dan hanya sedikti yang melalui autosomal dominan. Walaupun demikian tsuboi mungkin sekali terdapat suatu sub kelompok anak yang mempunyai cara pewarisan autosomal dominan untuk kejang demam. Untuk mengetahui jenis gen dan linkage yang berpengaruh pada kejang demam amak perlu terlebih dahulu diketahui bebrapa sindrom yang terkait dengan kejang demam, karena masing-masing sindroma memiliki jenis mutasi gen yang berbeda. Mekanisme peranan faktor riwayat keluarga pada terjadinya kejang demam terutama disebabkan oleh adanya mutasi gengen tertentu yang mempengaruhi esktabilitas ion-ion pada membran sel. Mekanisme yang mempengaruhi peristiwa tersebut sangat kompleks. Secara teoritis defek yang diturunkan pada tiap-tiap gen pengkode protein yang menyangkut ekstabilitas neuron dapat mencetuskan bangkitan kejang (Lumbantobing,2007). Penelitian yang dilakukan oleh lumbantobing mendapatkan hasil bahwa 20-25% penderita kejang demam mempunyai riyawat keluarga yang juga pernah menderita kejang demam. d. Faktor usia saat ibu hamil Menurut Soetomenggolo(2007), usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status
Hal | 32
Nomor 07 Tahun 2014
kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan, komplikasi kehamilan diantaranya hipertensi dan eklampsia, sedangkan ggangguan pada persalinan adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai. e.
Lama demam sebelum kejang. Makin pendek jarak antar mulainya demam dengan terjadinya kejang demam, makin besar risiko berulangnya kejang demam. 6. Manifestasi Klinis Menurut Sujono (2009) manifestasi klinis yang muncul pada penderita kejang demam adalah : a. Suhu tubuh anak lebih dari 38°C. b. Timbul kejang yang bersifat tonik-klonik, klonik, fokal atau akinetik. Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persyarafan. c.
Terjadi penurunan kesadaran. Sedangkan menurut Arief Mansjoer (2008) umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral. Kejang yang lain juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Abdoerrachman (2007) mengklasifikasikan kejang demam menjadi: a. Kejang demam sederhana ( simple febrile seizures ) Merupakan kejang demam dengan karakteristik:
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk 1)
Nomor 07 Tahun 2014
Kejang demam yang berlangsung singkat, umumnya serangan akan berhenti sendiri dalam waktu kurang dari 15 menit. 2) Bangkitan kejang tonik atau tonikklonik, tanpa gerakan fokal. 3) Kejang akan terjadi dengan peningkatan suhu 37,8 0C sampai dengan 38 0C. 4) Tidak berulang dalam waktu 24 jam, atau hanya terjadi sekali dalam 24 jam. 5) Keadaan nurologi normal dan setelah kejang juga tetap normal. 6) EEG ( electro enchephalographyrekaman otak ) yang dibuat setelah tidak demam adalah normal. b. Kejang demam kompleks ( complex febrile seizures ) Merupakan kejang demam dengan karakteristik: 1) Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit. 2) Kejang fokal (parsial satu sisi), atau kejang umum didahului kejang parsial lebih dar 1 kali dalam 24 jam. 3) Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam dengan suhu dengan ambang kejang tinggi yaitu pada suhu 40 0C. 7. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium 1) Pemeriksaan darah perifer (tepi) lengkap 2) Elektrolit 3) Glukosa darah 4) Kalsium serum 5) Urinalisis 6) Biakan darah, urin, atau feses (tinja). b. Pemeriksaan Lumbal 1) Jika bayi < 12 bulan, sangat dianjurkan dilakukan pungsi lumbal karena gejala meningitis sering tidak jelas. 2) Jika bayi antara 12-18 bulan, dianjurkan pungsi lumbal kecuali pasti bukan meningitis. 3) Jika bayi > 18 bulan, tidak rutin. Bila pasti bukan meningitis, pungsi lumbal tidak dianjurkan.
ISSN: 2356-5454 c. Elektro Pemeriksaan foto kepala, CT Scan dan/ atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Indikasi pemeriksaan CT Scan dan MRI: 1) Dijumpai kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis). 2) Ada riwayat dan tanda klinis trauma kepala. 3) Kemungkinan terdapat lesi struktural di otak (mirosefali, spastik). 4) Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior menonjol, paresis saraf otak VI, edema papil) ( Arief Mansjoer, 2008). 8. Komplikasi Komplikasi tergantung pada : a. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga b. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita demam kejang c. Kejang berlangsung lama atau kejang tikal Bila terdapat paling sedikit 2 atau 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13 % dibandingkan bila hanya 1 atau tidak ada sama sekali faktor tersebut. Serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja. Hemiparesis biasanya terjadi pada klien yang mengalami kejang lama ( berlangsung lebih dari 30 menit) ( Ngastiyah, 2007). Dari suatu penelitian, demam kejang sederhana menyebabkan kelainan pada IQ tetapi pada klien demam kejang yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neurologist akan didapat IQ yang lebih rendah disbanding dengan saudaranya, jika demam kejang diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, retardasi mental akan terjadi 5 kali lebih besar. Demam kejang yang beralngsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsy.( Ngastiyah, 2007). 9. Penatalaksanaan Menurut Sujono Riyadi (2009)
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 33
jikk
ISSN: 2356-5454 a.
Penatalaksanaan di rumah sakit. 1) Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlahan dengan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, di atas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan dosis pemberian maksimal 5 mg pada anak yang kurang dari 5 tahun dan maksimal 10 mg anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan dosis yang sama, Apabila masih kejang maka tunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara intramuskuler. 2) Pembebasan jalan nafas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik dapat dilakukan intubasi endotrakel atau trakeostomi. 3) Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan. 4) Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24 jam perlu dilakukan, karena pada penderita yang berisiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial juga pemberian cairan yang mengandung natrium (NaCl) perlu dihindari. Kebutuhan cairan rata-rata untuk anak terlihat pada tabel sebagai berikut
Hal | 34
Nomor 07 Tahun 2014
5) Pemberian kompres air hangat untuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan metode konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat yang tinggi ke derajat yang lebih rendah. Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti anyaman kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan pemebrian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 kali pemberian. 6) Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi odema otak seperti deksametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik. Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan cara menaikkan tempat tidur bagian kepala lebih kurang 15 derajat. 7) Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan – 1 tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan teknik pemberian intramuskuler. b. Penatalaksanaan di rumah. 1) Saat anak mengalami kejang demam, letakkan anak di lantai atau tempat tidur. Jauhkan semua benda yang keras, tajam, yang bisa membahayakan atau dapat menimbulkan luka. 2) Jangan memasukkan atau menaruh apapun ke dalam mulut anak, misalnya jari tangan, sendok ataupun yang lain. 3) Jangan menguncang-guncang atau berusaha membangunkan anak . 4) Bila anak sudah berhenti kejang, miringkan tubuh anak atau palingkan kepalanya ke salah satu sisi sehingga
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
saliva atau muntah dapat mengalir keluar dari mulut. 5) Bila kejnag berlangsung lebih dari lima menit, penanganan gawat darurat harus dilakukan segera untuk mengehntikan kejang. Bila perlu panggil petugas medis untuk memberikan penanganan tersebut atau bawa anak ke rumah sakit ataupu pusat kesehatan masyarakat terdekat. 10. Pencegahan Untuk mencegah terjadinya kejang demam dan komplikasinya, dapat diberikan fenobarbital serta fenitoin dengan indikasi khusus yang dapat diberikan 2 tahun bebas kejang atau sampai usia 6 tahun. Jika anak sudah diketahui mempunyai riwayat kejang demam, hindarkan anak dari penyebabpenyebab yang memungkinkan demam, hindarkan juga anak dari anggota keluarga yang sedang demam, misalnya influenza. Memberikan imunisasi yang lengkap merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi resiko sakit. Jika anak mengalami demam, sesegera mungkin berikan obat penurun panas untuk mencegah kemungkinan terjadinya kejang ( Tejani, 2010 ). Kerangka Konsep Kerangka konsep pada suatu penelitian pada dasarnya adalah gabungan atau menghubungkan bebrapa teori sehingga membentuk sebuah pola pikir atau kerangka pikir penelitian yang akan dilakukan, lazimnya berbentuk skema ( Suyanto, 2011 ). Hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Lukmanul Hakim RSUD Al Ihsan Kota Bandung tahun 2011. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 23 balita (32,85%) yang berumur < 2 tahun menderita kejang demam dan yang tidak menderita kejang demam 15 balita ( 21,43% ). Sedangkan untuk balita yang berumur 2-5 tahun yang menderita kejang demam sebanyak 9 balita ( 12,86% ) dan yang tidak menderita kejang demam sebanyak 23 balita ( 32,85% ). Selanjutnya dari hasil analisis chi-
ISSN: 2356-5454 square diperoleh X2 Hitung : 6,101 > X2 tabel : 3,481 nilai r = 0,014 karena nilai r < 0,05 pada taraf signifikansi 5% (a = 0,05) sehingga hipotesis diterima dimana hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Lukmanul Hakim RSUD Al Ihsan tahun 2011. Pada penelitian ini diketahui sebagian besar kejadian kejang demam terjadi pada usia < 2 tahun sebanyak 23 balita (32,85%). Hal ini sesuai dengan pendapat Nadirah (2011) yang mengatakan bahwa resiko tertinggi untuk terjadi bangkitan kejang demam adalah pada anak usia dibawah 2 tahun sebanyak 50 %, sedangkan resiko terjadinya bangkitan kejang demam pada usia 2-5 tahun hanya 28%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lennox Bucthal yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi bangkitan kejang demam pada balita didapat hasil sebagian besar yaitu 83,5% terjadi pada usia 0 sampai 2 tahun dan 16,5% terjadi pada usia diatas 2 tahun sampai 5 tahun. Sedangkan penelitian oleh Prasojo Nugroho yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi kejang demam pada anak di RSUD Purworejo tahun 2010 didapatkan hasil sebagian besar kejang demam terjadi pada usia < 17 bulan ( 58,9 % ). Pada keadaan otak belum matang, reseptor asam glutamat baik ionotropik meliputi NMDA, AMPA dan KA maupun metabopropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang ekstitasi lebih dominan dibanding inhibisi. Corticotropin Realising Hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator , berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang demam apabila terpicu oleh demam. Mekanisme homeostatis pada otak belum matang dan masih lemah. Hal ini akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan umur. Masa perkembangan otak yaitu pada waktu anak berumur kurang dari 2 tahun. Sehingga anak yang berumur dibawah 2 tahun
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 35
jikk
ISSN: 2356-5454 mempunyai resiko bangkitan kejang demam (Soetomenggolo, 2007). Sedangkan untuk umur diatas 2-5 tahun bangkitan kejang demam bisa disebabkan oleh karena faktor riawayat keluarga. Lumbantobing ( 2007 ) mengatakan 20-25% penderita kejang demam mempunyai keluarga dekat (orang tua dan saudara kandung) yang juga pernah menderita kejang demam. Hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Lukmanul Hakim RSUD Al Ihsan Kota Bandung tahun 2011. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian kejang demam pada balita terjadi pada suhu ≥ 39°C sebanyak 23 balita (32,85%). Selanjutnya dari hasil analisis chisquare diperoleh didapat X2 Hitung : 12,699 > X2 tabel : 3,481 nilai r = 0,000 karena nilai r < 0,05 pada taraf signifikansi 5% (a = 0,05) sehingga hipotesis diterima dimana hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Lukmanul Hakim RSUD Al Ihsan tahun 2011. Hal ini sesuai dengan pendapat Abdoerrachman ( 2007 ) yang mengatakan bahwa kejang demam disebabkan oleh demam yang semakin tinggi, yakni suhu tubuh mencapai diatas 38°C. Pada penelitian yang dilakukan oleh Prasojo Nugroho ( 2010 ) didapat bahwa bangkitan kejang demam terjadi pada suhu rata-rata mencapai 38,8°C. Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam. Pada penelitian ini kami mengambil batas tinggi demam 39°C sebagai rata-rata. Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan ekstabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 1015% sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di
Hal | 36
Nomor 07 Tahun 2014
siklus skreb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan kekurangan energi, hal ini akan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkanmasuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Selain itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu ( Abdoerrachman, 2007). Sedangkan suhu dibawah 39°C terjadi bangkitan kejang demam bisa disebabkan oleh lamanya demam dan cepatnya suhu menaik. Penelitian yang dilakukan oleh wegman mendapatkan bila anak kucing diberikan kenaikan suhu yang cepat maka serangan kejang sering terjadi. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Lukmanul Hakim RSUD Al Ihsan Kota Bandung tahun 2011, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari 70 balita, sebagian besar mengalami kejang demam yaitu sebanyak 32 balita . 2. Dari 70 balita yang mengalami kejang demam umur < 2 Tahun yaitu 23 balita . 3. Dari 70 balita yang mengalami kejang demam pada suhu tubuh ≥39 0C yaitu sebanyak 23 balita.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
4. Terdapat hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Lukmanul Hakim RSUD Al Ihsan Kota Bandung tahun 2011. Semakin muda usia balita maka semakin tinggi resiko untuk menderita kejang demam. 5. Terdapat hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Lukmanul Hakim RSUD Al Ihsan Kota Bandung tahun 2011. Semakin tinggi suhu tubuh balita maka semakin tinggi resiko untuk menderita kejang demam Saran 1) Bagi Rumah Sakit. Diharapkan perawat dapat memberikan penyuluhan kepada orang tua balita tentang penanganan kejang demam karena pada balita sangat rentan untuk terjadi kejang demam. 2) Institusi Pendidikan. Diharapkan dapat melengkapi referensi tentang kejang demam pada perpustakaan D-3 Keperawatan Universitas Ratu Samban Arga Makmur. 3) Bagi Peneliti selanjutnya Peneliti lain hendaknya dapat mengembangkan penelitian ini dengan meneliti variabel lain seperti faktor riwayat keluarga, lama kejang dan faktor lainnya. REFERENSI Rusepno H, Husein A. Asfiksia neonatorum. Buku kuliah IKA 3.Bagian IKA FKUI 1985. h1072 Markum AH, Sofyan I, Husein A, Arwin A, Agus F, Sudigdo S. Asfiksia bayi baru lahir. Buku ajar IKA jilid 1.Bagian IKA FKUI Jakarta, 2002.h261-262.
ISSN: 2356-5454 Vera MM, Idham A. Gangguan fungsi multi organ pada bayi asfiksia berat. Sari Pediatri. 2003;5;(2):72-78. Angka kejadian asfiksia neonatorum menurut WHO, diunduh di : http://www.who.int/bulletin/volumes/86/4 /07-049924/en/ Lawn JE, Cousens S, Zupan J: Lancet Neonatal Survival Steering Team. 4 million neonatal deaths: When? Where? Why? Lancet 2005; 365 (9462):891 –900. London, Susan Mayor. Communicable disease and neonatal problems are still major killers of children. BMJ 2005;330:748 (2 April), doi:10.1136/bmj.330.7494.748-g. Adhie NR, MS Kosim, Heru M. Asfiksia neonatorum sebagai faktor risiko gagal ginjal akut. Sari Pediatri. 2009;13(5):30510. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2009.h. 323 Neneng YBS. Hubungan jenis persalinan dengan kejadian asfiksia di RSUD dr.M Soewandhie Surabaya. Diunduh di :http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfil e/59123815491_abs.pdf Indra JM, Dadang HS, Sjarif HE. Kesesuaian Skor New Ballard terhadap Hari Pertama Haid Terakhir Ibu pada Bayi Cukup Bulan yang Lahir Asfiksia dan Tidak Asfiksia. J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 10, Oktober 2011. Hendrick B. Premature births decline in US [Internet] 2010 ; diunduh 3 Februari 2011. Diakses dari: http://www.medscape.com/viewarticl e/721675. Dwi CF. Hubungan antara jenis persalinan seksio sesarea terhadap kejadian asfiksia pada bayi baru lahir. Diunduh di :http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfil e/44538815718_abs.pdf
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 37
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 07 Tahun 2014
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN POSYANDU DI DESA SUKAHAJI RW.1 KECAMATAN BABAKAN CIPARAY KOTA BANDUNG TAHUN 2014 oleh Yuliati ABSTRAK Pelayanan kesehatan merupakan salah satu determinan dalam mencapai masyarakat yang sehat, meskipun disadari bahwa peran lingkungan dan faktor perilaku merupakan determinan yang lebih besar pengaruhnya pada kesehatan. Secara umum pelayanan kesehatan terdiri dari empat upaya yaitu pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan kesehatan. Dalam kaitannya dengan peningkatan dan kemajuan masyarakat, pelayanan kesehatan ditujukan untuk mengatasi masalah kesehatan yang dialami atau dihadapi masyarakat. Secara formal pelayanan kesehatan dasar pada prinsipnya akan bertumpu pada upaya pelayanan kesehatan Puskesmas dan Puskesmas pembantu. Sejauh ini berbagai upaya telah dilakukan agar dapat memecahkan aneka masalah kesehatan yang demikian kompleks terutama dengan pendekatan peran serta masyarakat, yakni melibatkan masyarakat sebagai konsumer dalam bentuk partisipasi masyarakat. Kata Kunci : Pelayanan Kesehatan, Partisipasi Masyarakat, Kegiatan Posyandu PENDAHULUAN Pembangunan secara umum diartikan sebagai upaya multidimensi untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Sedangkan pembangunan kesehatan dimaknakan sebagai proses yang terus menerus dan progresif untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Sumarah dkk, 2009;15). Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Terciptanya masyarakat Indonesia seperti ini ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Indonesia. ( Adisasmito Wiku, 2010; 9-10) Kesehatan mempunyai peranan besar dalam meningkatkan derajat hidup masyarakat, maka semua negara mengupayakan menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya. Pelayanan kesehatan ini berarti setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
Hal | 38
meningkatkan kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, kelompok dan masyarakat (Adisasmito2010). Pelayanan kesehatan merupakan salah satu determinan dalam mencapai masyarakat yang sehat, meskipun disadari bahwa peran lingkungan dan faktor perilaku merupakan determinan yang lebih besar pengaruhnya pada kesehatan. Secara umum pelayanan kesehatan terdiri dari empat upaya yaitu pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan kesehatan. Dalam kaitannya dengan peningkatan dan kemajuan masyarakat, pelayanan kesehatan ditujukan untuk mengatasi masalah kesehatan yang dialami atau dihadapi masyarakat. Secara formal pelayanan kesehatan dasar pada prinsipnya akan bertumpu pada upaya pelayanan kesehatan Puskesmas dan Puskesmas pembantu. Sejauh ini berbagai upaya telah dilakukan agar dapat memecahkan aneka masalah kesehatan yang demikian kompleks terutama dengan pendekatan peran serta masyarakat, yakni melibatkan masyarakat sebagai konsumer dalam bentuk partisipasi masyarakat. (Tim Pengajar Poltekes Depkes Jakarta, 2008;59-60)Perilaku masyarakat harus bersifat produktif yaitu perilaku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
mencegah resiko terjadinya penyakit dan berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat menolong dirinya sendiri untuk mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan, mengupayakan lingkungan sehat, memanfaatkan pelayanan kesehatan serta mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM). (Yulifah Rita dkk, 2009; 9) Hal ini berarti kita lebih baik mengajarkan kepada mereka untuk menyelenggarakan fasilitas-fasilitas kesehatan mereka sendiri, daripada memberikan fasilitas kesehatan pada mereka. Sesungguhnya UKBM tak lain merupakan wujud nyata peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Secara yuridis, pentingnya peran serta masyarakat telah diakui oleh seluruh elemen masyarakat. (Tim Pengajar Poltekes Jakarta, 2008;60) Dalam dimensi kesehatan, pemberdayaan merupakan proses dilakukan oleh masyarakat (dengan atau tanpa campur tangan pihak lain) untuk memperbaiki kondisi lingkungan, sanitasi dan aspek lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh dalam kesehatan masyarakat. (Adisasmito Wiku, 2010; 175-176) Penggerakkan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan dapat menghasilkan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan, dengan demikian penggerakan dan pemberdayaan masyarakat merupakan proses sedangkan kemandirian merupakan hasil. Kemandirian masyarakat di bidang kesehatan dapat diartikan sebagai kemampuan dalam mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada dilingkungannya. (Ambarwati Retna, 2009; 129) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) salah satu bentuk upaya kesehatan masyarakat bersumber daya masyarakat (UKBM) dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan dan memudahkan masyarakat dalam memperoleh pelayanan dasar terutama mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi.
ISSN: 2356-5454 Sekretaris Kota Bandung, Edi Siswadi mengatakan, kualitas hidup masyarakat perlu semakin ditingkatkan dan ternyata secara fungsional tidak dapat tertangani oleh dinas kesehatan, padahal Posyandu sebagai ujung tombak selama ini mempunyai peranan yang sangat luar biasa karena kedekatannya dan kemudahan akses pada masyarakat. Menurut Edi, sejak mengalami krisis ekonomi tahun 1997 lalu semua infrastruktur kemasyarakatan lumpuh dan berpengaruh terhadap penurunan kinerja Posyandu yang berdampak pada menurunnya status gizi dan kesehatan masyarakat terutama kelompok masyarakat rentan seperti bayi, balita ibu hamil dan menyusui, sebagai upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan warga Kota Bandung,Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung akan merevitalisasi Posyandu dengan dana yang bersumber dari pemotongan dana program seperti perjalanan dinas,studi banding dan bantuan pada kelompok masyarakat. Mulai tahun ini Pemkot Kota Bandung kembali meningkatkan kelembagaan melalui Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Posyandu di tingkat kota,kecamatan dan kelurahan,”Pemerintah Kota akan mengalokasikan dana dengan melakukan restrukturisasi dengan memprioritaskan program-program inti yang dapat lansung dirasakan masyarakat dengan memotong program-program seperti mengurangi perjalanan dinas, studi banding, bantuanbantuan pada kelompok-kelompok yang secara sosial ekonomi dinilai sudah cukup mapan”. (Sosialisasi Pokjanal pembinaan Posyandu Tingkat Kota Bandung 2010 di Aula Dinas Kesehatan Kota Bandung) Edi menyatakan keprihatinan terhadap perhatian pemerintah sehingga akan turun langsung mengawasi kegiatan Posyandu meskipun ada keterbatasan sarana dan prasarana terkait dengan anggaran, “perhatian dari kita terhadap Posyandu masih belum optimal sampai alat timbangan saja masih kurang apalagi biaya operasional, dulu Posyandu mendapat 125 ribu setiap bulannya, sekarang tidak ada, tetapi bagaimana dengan keterbatasan fasilitas itu
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 39
jikk
ISSN: 2356-5454 dapat berperan optimal untuk back up sektor ketika dinas fungsional tidak dapat melayani sampai ketingkat individu terkecil di tingkat RT RW” ujarnya. Posyandu menurut Edi sebagai salah satu upaya meningkatkan kesehatan masyarakat yang berumber daya masyarakat (UKBM) keberadaannya dapat memberikan pengawasan ekstra pada gizi dan kesehatan anak-anak, khususnya usia golden age” meskipun kecil tetapi dampaknya luas untuk generasi yang akan datang” katanya. Sekretaris Kota Bandung memerintahkan para Sekretaris Camat sebagai ketua Pokjanal dapat membuat program kompetitif, menyusun langkah-langkah pemetaan dan program revitalisasi Posyandu jangka panjang dan pendek, dan melakukan chaneling dengan perusahaan-perusahaan, juga meningkatkan pentingnya peran Posyandu bagi pembangunan, “ Jika program pendidikan tanpa diimbangi kesehatan tidak akan menjadikan SDM berdaya, potensi SDA Indonesia yang melimpah jika tidak diimbangi SDM yang baik akan percuma, maka kita harus bisa mengejar ketinggalan, kita ingin Posyandu lebih maksimal lagi” lanjutnya. Krisis ekonomi berpengaruh terhadap penurunan kinerja Posyandu yang berdampak pada menurunnya status gizi dan kesehatan masyarakat terutama kelompok masyarakat rentan seperti bayi, balita,ibu hamil dan menyusui. Menyingkapi kondisi tersebut, tahun 2010 mendagri memerintahkan untuk meningkatkan fungsi dan kinerja Posyandu melalui revitalisasi Posyandu dengan tujuan terselenggara kegiatan Posyandu secara rutin berkesinambungan serta memberdayakan masyarakat melalui advokasi, orientasi, dan pelatihan. Saat ini Kota Bandung mempunyai 1940 Posyandu yang terdiri dari tingkat perkembangan Pratama 86 Posyandu, Madya 1279 Posyandu,Purnama 522 Posyandu, dan tingkat Mandiri 53 Posyandu dengan jumlah kader sebanyak 15788 orang, sedangkan jumlah Posyandu yang memiliki gedung sendiri sebanyak 72 Posyandu sisanya tidak mempunyai gedung sendiri 1688 Posyandu.
Hal | 40
Nomor 07 Tahun 2014
Sementara itu sekretaris kelompok kerja operasional (Pokjanal) pembinaan Posyandu Kota Bandung TB. Agus Mulyadi, mengatakan sejak tahun 2007 tim Pokjanal telah melaksanakn revitalisasi Posyandu untuk meningkatkan fungsi dan kinerja Posyandu “ sejak tahun 2007 melaksanakan bimbingan teknis bagi para kader Posyandu sebanyak 125 Posyandu Pratama sekota Bandung, saat itu dilaksanakan DPA BKPPM Kota Bandung kemudian diberikan dana hibah dari pemerintah Kota Bandung sebesar 1 juta untuk masing-masing Posyandu katanya.( http:/www.bandung.go.id/index.php). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam kegiatan Posyandu di Desa Sukahaji RW.1 Kecamatan Babakan Ciparay Kota Bandung Tahun 2014. PEMBAHASAN Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Posyandu Secara Keseluruhan Secara keseluruhan rata-rata partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu pada kategori mendukung(74%). Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007: 27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Mikkelsen (1999: 64) membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu: 1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan; 2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan; 3. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk 4.
5.
6.
Nomor 07 Tahun 2014
perubahan yang ditentukannya sendiri; Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu; Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampakdampak sosial; Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri,kehidupan dan lingkungan mereka.
Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Posyandu Dalam Bentuk Buah Pikiran Secara keseluruhan rata-rata partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandudalam bentuk buah pikiran berada pada kategori mendukung (64%). Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya.Partisipasi sosial diberikan oleh partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk berpartisipasi. Pada partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, masyarakat terlibat dalam setiap diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama. Sedangkan partisipasi representatif dilakukan dengan cara memberikan kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia.
ISSN: 2356-5454 Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Posyandu Dalam Bentuk Uang Secara keseluruhan rata-rata partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu dalam bentuk uang berada pada kategori mendukung (70%). Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan. Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program juga dapat berasal dari unsur luar atau lingkungan. Menurut Holil ada empat poin yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat yang berasal dari luar atau lingkungan yaitu komunikasi yang insentif antara sesama warga masyarakat, iklim sosial, ekonomi,politik, dan budaya,kesempatan untuk berpartisipasi serta kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Posyandu Dalam Bentuk Tenaga Secara keseluruhan rata-rata partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu dalam bentuk tenaga berada pada kategori mendukung (87%). Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program misalnya warga sekitar bersedia menyiapkan tempat dan membersihkan ruangan untuk kegiatan posyandu dan lain-lain. Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Posyandu Dalam Bentuk Harta Benda Secara keseluruhan rata-rata partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu dalam bentuk harta denda berada pada kategori mendukung (73%). Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja, perkakas atau kendaraan.Dalam kegiatan posyandu biasanya memerlukan alat-alat kerja seperti timbangan, meja, kursi dll, diharapkan masyarakat yang memiliki alat atau barang yang dapat digunakan untuk membantu
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 41
jikk
ISSN: 2356-5454 kegiatan tersebut partisipasinya.
dapat
memberikan
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Posyandu Di Desa Sukahaji RW 1 Kecamatan Babakan Ciparay Kota Bandung Tahun 2014 diketahui bahwa secara keseluruhan rata-rata berada pada kategori mendukung (74%). Berdasarkan tujuan khusus dari penelitian ini, kesimpulan yang dapat peneliti ambil diantaranya adalah: 1. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu dalam bentuk buah pikiran berada pada kategori mendukung (64%). 2. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu dalam bentuk uang berada pada kategori mendukung (70%). 3. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu dalam bentuk tenaga berada pada kategori mendukung (87%). 4. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu dalam bentuk harta benda berada pada kategori mendukung (73%). Saran Berdasarkan kesimpulan dan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis mengajukan saran kepada : Bagi Institusi Pendidikan Disaranakan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan dan informasi kepada peneliti selanjutnya Bagi Masyarakat Disarankan kepada masyarakat khususnya toko masyarakat, aparat yang terkait dan
Hal | 42
Nomor 07 Tahun 2014
tenaga kader untuk lebih mengotimalkan kegiatan posyandu,karena posyandu bersumber dari,untuk masyarakat terutama pertolongan kepada bayi,balita, ibu hamil dan menyusui. REFERENSI Adisasmito, Wiku. 2010. Sistem Kesehatan. Jakarta. Raja Gravindo Persada. Ambarwati Retna 2009, Asuhan kebidanan Komunitas Jogjakarta. Nuha Medika Alimul Aziz, 2007, Metoda Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta. Salemba Medika Arikunto, Suharsini 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Rineka Cipta. Azwar, 2011 Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya Jogjakarta. Pustaka Pelajar Budiarto,2002, Bio Statistik untuk kedokteran dan Kesehatan Masyarakat Jakarta. EGC Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Promosi Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta Sumarah, Dkk. 2009. Kebidanan Komunitas. Yogyakarta. Fitramaya Sabri, Luknis. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta. Rajawali pers Tim Pengajar Poltekes Depkes Jakarta, 2010. Keperawatan Komunitas. Jakarta. Trans Info Media. Yulifah, Rita. 2009. Asuhan Kebidanan Komunitas. Jakarta. Salemba Medika. http://www.antarjabar.com http://www.wikipedia.org http://Safafirmansyah.wordpress.com
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
ISSN: 2356-5454
HUBUNGAN PENGETAHUAN, STATUS EKONOMI, PENYULUHAN DARI PETUGAS KESEHATAN DENGAN KEPATUHAN IBU HAMIL TRIMESTER I DALAM MELAKUKAN KUNJUNGAN K1 oleh Esti Hitatami ABSTRAK Pemeriksaan antenatal care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil. Sehingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberiaan ASI dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar (Manuaba, 1998). Kunjungan Antenatal Care (ANC) adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan antenatal. Pemeliharaan kesehatan ibu hamil dapat dilakukan dengan pemeriksaan K1. Pelayanan kegiatan pelayanan antenatal terdapat dari tenaga medis yaitu dokter umum dan dokter spesialis dan tenaga paramedic yaitu bidan, perawat yang sudah mendapat pelatihan. Pelayanan antenatal dapat dilaksanakan di puskesmas, puskesmas pembantu, posyandu, Bidan Praktik Swasta, polindes, rumah sakit bersalin dan rumah sakit umum. Faktor-faktor yang berhubungan dengan antenatal care, yaitu: Umur, Pendidikan, Paritas, Pendapatan Perkapita dan Jarak. Kata Kunci : pemeriksaan antenatal care (K1), ibu hamil, puskesmas PENDAHULUAN A. ANTENATAL CARE 1. Pengertian Antenatal Care Pemeriksaan antenatal care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil. Sehingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberiaan ASI dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar (Manuaba, 1998). Kunjungan Antenatal Care (ANC) adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan antenatal. Pelayanan antenatal ialah untuk mencegah adanya komplikasi obstetri bila mungkin dan memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin serta ditangani secara memadai (Saifuddin, dkk., 2002). Pemeriksaan kehamilan atau ANC merupakan pemeriksaan ibu hamil baik fisik dan mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas, sehingga keadaan mereka post partum sehat dan normal, tidak hanya fisik tetapi juga mental (Wiknjosastro, 2005). Pelayanan antenatal terintegrasi merupakan integrasi pelayanan antenatal rutin dengan beberapa
program lain yang sasarannya pada ibu hamil, sesuai prioritas Departemen Kesehatan, yang diperlukan guna meningkatkan kualitas pelayanan antenatal. Program-program yang di integrasikan dalam pelayanan antenatal terintegrasi meliputi: a. Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) b. Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika) c. Pencegahan dan Pengobatan IMS/ISR dalam Kehamilan (PIDK) d. Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK) dan Frambusia e. Pencegahan dan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT) f. Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK) g. Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC) dan Kusta h. Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK) i. Penanggulangan Gangguan Intelegensia pada Kehamilan (PAGIN). (Depkes RI, 2009) 2. Tujuan Antenatal Care
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 43
jikk
ISSN: 2356-5454 Baru dalam setengah abad ini diadakan pengawasan wanita hamil secara teratur dan tertentu. Dengan usaha itu ternata angka mortalitas serta morbiditas ibu dan bayi jelas menurun. Tujuan pengawasan wanita hamil ialah menyiapkan ia sebaik-baiknya fisik dan mental, serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas, sehingga keadaan mereka postpartum sehat dan normal, tidak hanya fisik akan tetapi juga mental. Ini berarti dalam antenatal care harus diusahakan agar : a. Wanita hamil sampai akhir kehamilan sekurang kurangnya harus sama sehatnya atau lebih sehat; b. Adanya kelainan fisik atau psikologik harus ditemukan dini dan diobati, c. Wanita melahirkan tanpa kesulitan dan bayi yang dilahirkan sehat pula fisik dan metal (Wiknjosastro, 2005) 3. Tujuan Asuhan Antenatal yaitu : a. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan Ibu dan tumbuh kembang bayi; b. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental, dan sosial ibu dan bayi, c. Mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan pembedahan, d. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat, Ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin, e. Mempersiapkan peran Ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar dapat tumbuh kembang secara normal (Saifuddin, dkk., 2002). 4. Keuntungan Antenatal Care Dapat mengetahui berbagai resiko dan komplikasi hamil sehingga ibu hamil dapat diarahkan untuk melakukan rujukan kerumah sakit. (Manuaba,1998) 5. Fungsi Antenatal Care a. Promosi kesehatan selama kehamilan melalui sarana dan aktifitas pendidikan
Hal | 44
Nomor 07 Tahun 2014
b. Melakukan screening, identifikasi dengan wanita dengan kehamilan resiko tinggi dan merujuk bila perlu c. Memantau kesehatan selama hamil dengan usaha mendeteksi dan menangani masalah yang terjadi. 6. Cara Pelayanan Antenatal Care Cara pelayanan antenatal, disesuaikan dengan standar pelayanan antenatal menurut Depkes RI yang terdiri dari : a. Kunjungan Pertama 1) Catat identitas ibu hamil 2) Catat kehamilan sekarang 3) Catat riwayat kehamilan dan persalinan yang lalu 4) Catat penggunaan cara kontrasepsi sebelum kehamilan 5) Pemeriksaan fisik diagnostic dan laboratorium 6) Pemeriksaan obstetric 7) Pemberian imunisasi tetanus toxoid (TT) 8) Pemberian obat rutin seperti tablet Fe, calsium, multivitamin, dan mineral lainnya serta obat-obatan khusus atas indikasi. 9) Penyuluhan/konseling. b. Jadwal Kunjungan Ibu Hamil Setiap wanita hamil menghadapi resiko komplikasi yang bisa mengancam jiwanya. Oleh karena itu, wanita hamil memerlukan sedikitnya empat kali kunjungan selama periode antenatal: 1) Satu kali kunjungan selama trimester satu (< 14 minggu). 2) Satu kali kunjungan selama trimester kedua (antara minggu 14 – 28). 3) Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (antara minggu 28 – 36 dan sesudah minggu ke 36).(Saifudin, dkk.,2002) 4) Perlu segera memeriksakan kehamilan bila dilaksanakan ada gangguan atau bila janin tidak bergerak lebih dari 12 jam (Pusdiknakes, 2003:45). Pada setiap kunjungan antenatal, perlu didapatkan informasi yang sangat penting. a. Trimester pertama sebelum minggu ke 14
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
1) Membangun hubungan saling percaya antara petugas kesehatan dan ibu hamil. 2) Mendeteksi masalah dan menanganinya 3) Melakukan tindakan pencegahan seperti tetanus neonatorum, anemia kekurangan zat besi, penggunaan praktek tradisional yang merugikan 4) Memulai persiapan kelahiran bayi dan kesiapan untuk menghadapi komplikasi 5) Mendorong perilaku yang shat (gizi, latihan dan kebersihan, istirahat dan sebagainya b. Trimester kedua sebelum minggu ke 28 Sama seperti diatas, ditambah kewaspadaan khusus mengenai preeklampsia (tanya ibu tentang gejala – gejala preeklamsia, pantau tekanan darah, evaluasi edema, periksa untuk apakah ada kehamilan ganda c. Trimester ketiga antara minggu 28-36 Sama seperti diatas, dtambah palpasi abdominal untuk mengetahui apakah ada kehamilan ganda. d. Trimester ketiga setelah 36 minggu Sama seperti diatas, ditambah deteksi letak bayi yang tidak normal, atau kondisi lain yang memerlukan kelahiran di rumah sakit. (Saifuddin, dkk., 2002) 7. Tinjauan Tentang Kunjungan Ibu Hamil Kontak ibu hamil dan petugas yang memberikan pelayanan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan, istilah kunjungan tidak mengandung arti bahwa selalu ibu hamil yang ke fasilitas tetapi dapat juga sebaliknya, yaitu ibu hamil yang dikunjungi oleh petugas kesehatan (Depkes RI, 1997:57). 8. Pelaksana dan Tempat Pelayanan Antenatal Pelayanan kegiatan pelayanan antenatal terdapat dari tenaga medis yaitu dokter umum dan dokter spesialis dan tenaga paramedic yaitu bidan, perawat yang sudah mendapat pelatihan. Pelayanan antenatal dapat dilaksanakan di puskesmas, puskesmas pembantu, posyandu, Bidan Praktik Swasta,
ISSN: 2356-5454 polindes, rumah sakit bersalin dan rumah sakit umum. (Depkes RI, 1995) 9. Peran Serta Ibu Dalam Pelayanan Antenatal Peran serta ibu dalam hal ini ibu-ibu hamil di dalam memanfaatkan pelayanan antenatal dipengaruhi perilaku individu dalam penggunaan pelayanan kesehatan, adanya pengetahuan tentang manfaat pelayanan antenatal selama kehamilan akan menyebabkan sikap yang positif. Selanjutnya sikap positif akan mempengaruhi niat untuk ikut serta dalam pemeriksaan kehamilan. Kegiatan yang sudah dilakukan inilah disebut perilaku. (Fizben dan Ajzen, 1989). B. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANTENATAL CARE 1. Umur Adalah umur individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja (Nursalam 2001:133). Dengan bertambahnya umur seseorang maka kematangan dalam berpikir semakin baik sehingga akan termotivasi dalam memeriksakan kehamilan, juga mengetahui akan pentingnya Antenatal Care. Semakin muda umurnya semakin tidak mengerti tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan. Umur sangat menentukan suatu kesehatan ibu, ibu dikatakan beresiko tinggi apabila ibu hamil berusia dibawah 20 tahun dan di atas 35 tahun. Usia berguna untuk mengantisipasi diagnosa masalah kesehatan dan tindakan yang dilakukan. Menurut penelitian Woro Tri Hardjanti (2007) seorang wanita sebagai insan biologis sudah memasuki usia produksi beberapa tahun sebelum mencapai umur dimana kehamilan dan persalinan dapat berlangsung aman, yaitu 20-35 tahun, setelah itu resiko ibu akan meningkat setiap tahun. Wiknjosastro (2005), juga menyatakan bahwa dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia dibawah 20
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 45
jikk
ISSN: 2356-5454 tahunternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada usia 2029 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun. 2. Pendidikan Pendidikan adalah suatu proses ilmiah yang terjadi pada manusia. Menurut Crow, pendidikan adalah suatu proses dimana pengalaman atau informasi diperoleh sebagai hasil dari proses belajar. Menurut Dictionary of Education, pendidikan dapat diartikan suatu proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat dan kebudayaan. Pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin baik pula tingkat pengetahuannya (Notoatmodjo, 2003). Menurut Suparlan (2006) pendidikan dalam arti luas yaitu segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan kehidupan. Pendidikan dalam arti sempit yaitu seluruh kegiatan belajar yang direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan secara terjadwal dalam sistem pengawasan, dan diberikan evaluasi berdasarkan pada tujuan yang telah ditentukan. Tingkat pendidikan individu dan masyarakat dapat berpengaruh terhadap penerimaan pendidikan kesehatan (Uhu Suliha dkk, 2002:51). Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan, batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak (Achmad Munib, dkk, 2004:32). Menurut dictionary of Education dalam buku Achmad Munib, dkk (2004:33) pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat ia hidup, proses yakni orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga dia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan social dan kemampuan individu yang optimal.
Hal | 46
Nomor 07 Tahun 2014
Proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan penyempurnaan hidup dengan demikian pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap tingkah laku yang berpendidikan tinggi akan berbeda tinggi akan berbeda tingkah lakunya dengan orang yang hanya berpendidikan dasar.(Budioro, 2002). Wanita yang berpendidikan akan lebih terbuka terhadap ide-ide baru dan perubahan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang proposional karena manfaat pelayanan kesehatan akan mereka sadari sepenuhnya (Maulani, 1999). Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Pendidikan di Indonesia mengenal tiga jenjang pendidikan, yaitu pendidikan dasar (SD/MI/Paket A dan SLTP/MTs/Paket B), pendidikan menengah (SMU, SMK), dan pendidikan tinggi yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. 3. Paritas Paritas adalah keadaan seorang ibu yang melahirkan janin lebih dari satu orang. Sueheilif Paritas adalah status seorang wanita sehubungan dengan jumlah anak yang pernah dilahirkannya. Ibu yang baru pertama kali hamil merupakan hal yang sangat baru sehingga termotivasi dalam memeriksakan kehamilannya ketenaga kesehatan. Sebaliknya ibu yang sudah pernah melahirkan lebih dari satu orang mempunyai anggapan bahwa ia sudah berpengalaman sehingga tidak termotivasi untuk memeriksakan kehamilannya (Wiknjosastro, 2005). Paritas adalah jumlah janin dengan berat badan lebih dari 500 gram atau lebih, yang pernah dilahirkan, hidup atau mati. Bila berat badan tidak diketahui maka dipakai batas umur kehamilannya 24 minggu. Berdasarkan pengertian tersebut maka paritas mempengaruhi kunjungan kehamilan. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Resiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
asuhan obstetri lebih baik, sedangkan resiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro, 2005). 4. Pendapatan Perkapita Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendapatan perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata keluarga dari suatu keluarga yang diperoleh dari hasil pembagian pendapatan seluruh anggota keluarga tersebut. Pendapatan adalah hasil pencarian atau perolehan usaha (Departemen Pendidikan Nasional 2002:236). Menurut Mulyanto Sumardi dan Hans Diater Evers (1982:20), pendapatan yaitu seluruh penerimaan baik berupa uang maupun barang baik dari pihak lain maupun dari hasil sendiri. Jadi yang dimaksud pendapatan dalam penelitian ini adalah suatu tingkat penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan dari orang tua dan anggota keluarga lainnya. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang antenatal care yang baik dan kesadaran untuk periksa, karena dapat menyediakan semua kebutuhan dirinya baik yang primer maupun sekunder (Soetjiningsih, 1998:10). Menurut budioro (2002:108) keterbatasan sarana dansumber daya, rendahnya penghasilan, adanya peraturan atau perundangan yang menjadi penghambat akan membatasi keberdayaan orang perorang maupun masyarakat untuk merubah perilakunya. Pendapatan mempengaruhi kunjungan ANC. Hal ini disebabkan karena biaya penghidupan yang tinggi sehingga diperlukan pasien harus menyediakan dana yang diperlukan. Adapun tingkat ekonomi yang diteliti berdasarkan upah minimal regional (UMR) adalah penghasilan Rp 939.756,/bulan (BPS Semarang 2010). Menurut penelitian Shintha Kusumaning Pribadi (2008) meskipun faktor ekonomi bukan penentu utama ketidakpatuhan seseorang, terhadap saran tenaga kesehatan, namun kemapuan seseorang untuk membeli obat dari kantong sendiri sedikit banyak mempengaruhi kepatuhan seseorang terhadap
ISSN: 2356-5454 tenaga kesehatan. Biaya pembelian obat yang dirasa terlalu mahal untuk ukuran kemampuan ekonominya, cenderung tidak dibeli meskipun itu disarankan oleh tenaga kesehatan. Walaupun obat yang gratis tidak terlalu disukai karena dirasa kurang khasiatnya. 5. Jarak Menurut Deprtemen Pendidikan Nasional (2002:456) Jarak adalah ruang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau tempat yaitu jarak antara rumah dengan tempat pelayanan ANC. Menurut Koenger (1983) keterjangkauan masyarakat termasuk jarak akan fasilitas kesehatan akan mempengaruhi pemilihan pelayanan kesehatan. Demikian juga menurut Andersen, et all (1975) dalam Greenlay (1980) yang mengatakan bahwa jarak merupakan komponen kedua yang memungkinkan seseorang untuk memanfaatkan pelayanan pengobatan. Indonesia merupakan negara yang luas sayangnya luas wilayah ini belum diimbangi dengan kecukupan, ketersediaan saranasarana layanan public termasuk dibidang kesehatan. Di beberapa desa masih kesulitan mendapatkan akses pelayanan kesehatan, tidak semua desa mempunyai puskesmas dan tenaga medis seperti : dokter, bidan, perawat. Secara geografis masih banyak masyarakat yang tinggal jauh dari sarana kesehatan (Depkes RI, 2003). Menurut penelitian Elfi Rahmawati (2008) bahwa jarak tempat tinggal ketempat layanan kesehatan di ukur dengan kilometer dikelompokkan dalam jarak. C.
PENGETAHUAN TENTANG ANTENATAL CARE 1. Pengertian pengetahuan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003), pengetahuan didefinisikan segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal. Sedangkan Notoatmodjo (2003) mendefinisikan pengetahuan sebagai hasil dari tahu setelah seseorang seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 47
jikk
ISSN: 2356-5454 perasaan, dan perabaan. Pengetahuan juga dapat didefinisikan sebagai kumpulan informasi yang diperbarui yang didapat dari proses belajar selama hidup dan dapat dipergunakan sewaktu-waktu sebagai alat penyesuaian diri baik terhadap diri sendiri atau lingkungannya. 2.
Tingkat pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang tercakup dalam domain mempunyai 6 tingkatan, yaitu : a. Tahu (Know), Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. b. Memahami (Comprehension), Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi (Aplication), Aplikasi diartikan suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya. d. Analisis (Analysis), Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis., Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru dengan kata lain suatu kemampuan untuk menyusun suatu formula baru dan formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi (Evaluation), Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. PENUTUP Pemeriksaan antenatal care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik
Hal | 48
Nomor 07 Tahun 2014
ibu hamil. Sehingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberiaan ASI dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar (Manuaba, 1998). Kunjungan Antenatal Care (ANC) adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan antenatal. Pemeliharaan kesehatan ibu hamil dapat dilakukan dengan pemeriksaan K1. Pelayanan kegiatan pelayanan antenatal terdapat dari tenaga medis yaitu dokter umum dan dokter spesialis dan tenaga paramedic yaitu bidan, perawat yang sudah mendapat pelatihan. Pelayanan antenatal dapat dilaksanakan di puskesmas, puskesmas pembantu, posyandu, Bidan Praktik Swasta, polindes, rumah sakit bersalin dan rumah sakit umum. Faktor-faktor yang berhubungan dengan antenatal care, yaitu: Umur, Pendidikan, Paritas, Pendapatan Perkapita dan Jarak. Tujuan pengawasan wanita hamil ialah menyiapkan ia sebaik-baiknya fisik dan mental, serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas, sehingga keadaan mereka postpartum sehat dan normal, tidak hanya fisik akan tetapi juga mental. Ini berarti dalam antenatal care harus diusahakan agar :Wanita hamil sampai akhir kehamilan sekurang kurangnya harus sama sehatnya atau lebih sehat; Adanya kelainan fisik atau psikologik harus ditemukan dini dan diobati, Wanita melahirkan tanpa kesulitan dan bayi yang dilahirkan sehat pula fisik dan metal. REFERENSI Arali, 2008. Cakupan pelayanan ANC (K1 dan K4) salah dan tidak terkendali, Polewari Mandar Sulawesi Barat. Arikunto S, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Yogyakarta; Rineka Cipta. Azwar S, 2007. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta; Pustaka Pelajar Offset. Depkes RI, 2004, Penilaian K1 dan K4, Jakarta. Depkes RI, 2005, Standard Pelayanan Kebidanan, Jakarta.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
Kramer M S, 1987. Determinants of Low Birth Weights methodological Assesment and Meta-Analysis World Health Organization 65 (5): 663-737 Lemeshow, dkk, 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan (Terjemahan Pramono Dibyo ), Yogyakarta; Gadjah Mada University Press. Luthfiyati D, 2008. Pernikahan Dini pada Kalangan Remaja : file:///D:/ tesis 2012/ pernikahan-dini-pada-kalanganremaja (15-19 tahun). Manuaba, I B G. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, Jakarta; EGC. Muslihatun, dkk. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita, Yogyakarta; Fitramaya. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta; Rineka Cipta. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan, Jakarta; Rineka Cipta. Pantiawati Ika, 2010. Bayi dengan Bayi berat lahir rendah (BBLR), Yogyakarta; Nuha Medika. Pusat Kesehatan Masyarakat Medan Tuntungan, 2012. Profil Kesehatan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2011. Prawirohardjo, S. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Ridwan, 2008. Skala Pengukuran Variabel – Variabel Penelitian, Bandung; Alfa Beta. Riyanto A, 2012. Penerapan Analisis Multivariat dalam Penelitian Kesehatan, Yogyakarta; Nuha Medika
ISSN: 2356-5454 Rukiyah, dkk, 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita, Jakarta; Trans Info Media.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 49
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 07 Tahun 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG MINUMAN KERAS TERHADAP KEBIASAAN KONSUMSI MINUMAN KERAS oleh Widyastuti ABSTRAK Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu, sehingga orang dapat berperilaku sesuai keyakinan tersebut. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 87 responden, 40 orang (46%) mempunyai pengetahuan yang kurang tentang perilaku mengkonsumsi minuman keras baik itu tentang pengertian maupun dampak dari minuman keras itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian, mereka berpendapat bahwa semua jenis minuman yang mengandung alkohol memang merupakan minuman keras dimana pada saat mereka konsumsi akan memberikan sesuatu yang tidak dapat mereka rasakan atau alami seperti perasaan senang, keberanian untuk melakukan sesuatu, bahkan dapat memberikan kekuatan atau energi baru bagi mereka untuk beraktifitas. Selain itu, mereka berpendapat bahwa semua jenis minuman keras itu sama saja walaupun memiliki kadar alkohol yang berbeda sehingga jika dikonsumsi dalam jumlah yang banyak hanya akan menimbulkan pusing sesaat kemudian hilang, dan semua itu tidak akan menimbulkan dampak yang negatif bagi kesehatan mereka. Bahkan mereka berpendapat bahwa mengkonsumsi minuman keras dalam jumlah yang banyak dapat membuat mereka berimajinasi dan dapat menghilangkan segala beban hidup yang dirasakan sangat berat. Kata Kunci : pengetahuan, remaja, minuman keras PENDAHULUAN Penyalahgunaan minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup berkembang di dunia remaja dan menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ketahun, yang akibatnya dirasakan dalam bentuk kenakalankenakalan, perkelahian, munculnya genggeng remaja, perbuatan asusila, dan maraknya premanisme pada kalangan remaja. (http://metro-alkoholisme.co.id, diakses pada tanggal 6 Januari 2011 jam 20.00 WIB). Menurut Asisten Sosial Ekonomi Pemerintah Kota Bogor, H. Indra M Rusli (dalam Apriansyah, 2008), bahwa "Masalahmasalah yang saat ini berkembang di kalangan remaja diantaranya, penyebaran narkoba, penyebaran penyakit kelamin, kehamilan dini, serta ancaman HIV-AIDS. Yang juga mencemaskan, 20 % remaja kita ternyata sudah begitu akrab dengan rokok yang merupakan pintu masuk bagi narkoba dan MIRAS (minuman keras)." Data World Health Organization (WHO) mengeluarkan laporan terbaru tentang jumlah kematian didunia akibat minuman beralkohol.
Hal | 50
Sepanjang tahun 2009 kemarin, tercatat 775 ribu nyawa melayang di dunia akibat minuman keras tersebut. Angka itu sama dengan 5,3 % dari total jumlah kematian di seluruh dunia. Laporan itu juga menyebutkan angka 3,19 juta orang yang saat ini dalam kondisi kritis, dalam kasus yang sama. (http://metro-alkoholisme.co.id, diakses pada tanggal 12 Januari 2011 jam 20.00 WIB). Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tercatat 91 juta orang yang terjelas karena penggunaan alkohol pada tahun 2007. Dan pada penelitian yang dilakukan oleh Adisukarto (dalam Purnomowardani & Koentjoro, 2000) mengemukakan penyalahgunaan narkotika dan minuman keras adalah remaja, yang terbagi dalam golongan umur 14-16 tahun (47,7%); golongan umur 17-20 tahun (51,3%); golongan umur 21-24 tahun (31%). Tingkat pendidikan dan latar belakang status ekonomi keluarga, berdasarkan hasil survei Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) pemakai narkotika dan minuman keras di Indonesia
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
secara nasional terbanyak dari golongan pelajar SLTP, SLTA, dan mahasiswa, yang jumlahnya mencapai 70%, sedangkan yang lulusan SD hanya 30%, dan sebagian besar dari mereka berasal dari golongan menengah keatas. Demikian dengan hasil penelitian yang sudah dipaparkan pada pemakaian alkohol atau minuman keras maka akan berdampak tidak baik untuk remaja ataupun seseorang yang meminum-minuman keras. Kepala Satuan Reskrim Polrestro Jakarta Selatan Kompol Nurdil Sanuaji mengatakan jumlah korban tewas akibat minuman keras (miras) oplosan di Jagakarsa, Jakarta Selatan, menjadi 12 orang dalam perjalanan kerumah sakit. Belasan orang itu tewas dan kritis karena meminum miras oplosan, Sementara itu ditemukan kembali, jumlah data korban miras racikan dengan korbannya pemuda dan remaja warga RT 3 RW 6 Dukuh Karangpete Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir,Salatiga, Semarang, Jawa Tengah terus bertambah. Kepala Dinas Kesehatan Kota Salatiga melaporkan korban meninggal sebenyak 22 orang. Dari hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan terhadap 10 orang remaja di Rumah Sakit Ketergantungan Obat yang sering mengkomsumsi minuman keras 30 orang atau sebanyak 50% diantarannya tidak mengetahui bahaya minuman keras. Berdasarkan uraian data yang diatas peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan Karakteristik Dan Pengetahuan Remaja Tentang Bahaya Minuman Keras terhadap kebiasaan konsumsi minuman keras” PEMBAHASAN Data World Health Organization (WHO) mengeluarkan laporan terbaru tentang jumlah kematian didunia akibat minuman beralkohol. Sepanjang tahun 2009 kemarin, tercatat 775 ribu nyawa melayang di dunia akibat minuman keras tersebut. Angka itu sama dengan 5,3 % dari total jumlah kematian di seluruh dunia. Laporan itu juga menyebutkan angka 3,19 juta orang yang saat ini dalam kondisi kritis, dalam kasus yang sama.
ISSN: 2356-5454 (http://metro-alkoholisme.co.id, diakses pada tanggal 6 Januari 2011 jam 20.00 WIB). Kepala Satuan Reskrim Polrestro Jakarta Selatan Kompol Nurdil Sanuaji mengatakan jumlah korban tewas akibat minuman keras (miras) oplosan di Jagakarsa, Jakarta Selatan, menjadi 12 orang dalam perjalanan kerumah sakit. Belasan orang itu tewas dan kritis karena meminum miras oplosan, Sementara itu ditemukan kembali , jumlah data korban miras racikan dengan korbannya pemuda dan remaja warga RT 3 RW 6 Dukuh Karangpete Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir,Salatiga, Adisukarto (dalam Purnomowardani & Koentjoro, 2000) yang mengemukakan bahwa sebagian besar korban penyalahgunaan minuman keras adalah remaja, yang terbagi dalam golongan umur 14-16 tahun (47,7%); golongan umur 17-20 tahun (51,3%); golongan umur 21-24 tahun (31%). Tinjauan dari tingkat pendidikan dan latar belakang status ekonomi keluarga, berdasarkan hasil survei Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) Polri memperlihatkan bahwa pemakai narkotika dan minuman keras di Indonesia secara nasional terbanyak dari golongan pelajar, baik SLTP, SLTA, maupun mahasiswa, yang jumlahnya mencapai 70%, sedangkan yang lulusan SD hanya 30%, dan sebagian besar dari mereka berasal dari golongan menengah keatas. (http://metroalkoholisme.co.id, diakses pada tanggal 6 Januari 2011 jam 20.00 WIB). Hawari (dalam buku M. Ali, 2010) menambahkan beberapa alasan yang melatarbelakangi perilaku minum minuman keras yaitu, faktor predisposisi atau kondisi internal seperti kecemasan, ketakutan, depresi dan lainnya. Yang kedua adalah faktor kontribusi atau eksternal dan yang ketiga adalah faktor pencetus seperti pengaruh teman sebaya dan juga tersedianya minuman keras secara mudah. Kemudian Rice (dalam Sarsito, 2003) menambahkan dalam penelitiannya bahwa salah satu faktor keluarga penyebab penggunaan narkoba atau minuman keras oleh remaja adalah kurang
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 51
jikk
ISSN: 2356-5454 dekatnya hubungan remaja-orang tua dan kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi antara remaja-orang tua. Seperti yang telah diungkapkan Joewana (dalam Purnomowardani dan Koentjoro, 2000) bahwa penyimpangan perilaku biasanya terdapat pada orang yang mempunyai masalah yang lebih bersifat pribadi seperti keluarga yang tidak harmonis dan adanya komunikasi yang kurang baik antara keluarga dan anak. Alasan lain penggunaan minuman keras diungkapkan pula oleh Capuzzi (dalam Fuhrmann, 2003:23) bahwa penyebab penyalahgunaan obat dan minuman keras dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu : determinan sosial (termasuk didalamnya pengaruh keluarga, afiliasi religius, pengaruh teman sebaya dan pengaruh sekolah) dan determinan personal (termasuk didalamnya rendah diri, rasa ingin memberontak, dorongan untuk berpetualang, dorongan impulsif, rasa ingin bebas, dan kepercayan diri yang rendah). Dryfoos (Santrock, 2002) dalam penelitiannya bahwa 5% sampai 10% populasi remaja merupakan anak muda yang beresiko sangat tinggi (very high-risk youth). Salah satu perilaku anak muda yang beresiko adalah perilaku minum minuman keras. Berikut pernyataan yang lebih lengkap dari Dryfoos: “ Anak muda dengan perilaku bermasalah ganda meliputi remaja yang ditahan dalam penjara atau yang terlibat dalam kejahatan-kejahatan serius, putus sekolah atau nilai raportnya di bawah ratarata, pengguna obat-obatan keras, selalu minum minuman keras, menghisap rokok dan mariyuana, aktif dan teratur secara seksual tetapi menggunakan kontrasepsi“. Hal ini berarti bahwa remaja merupakan sumber daya manusia yang potensial menjadi tidak dapat berfungsi secara maksimal akibat semakin luasnya penyalahgunaan narkoba dan minuman keras. Salah satu temuan di atas ialah perkembangan remaja saat ini dalam menyikapi berbagai masalah, sangat memungkinkan jumlah yang sebenarnya jauh
Hal | 52
Nomor 07 Tahun 2014
lebih besar, di mana umumnya penggunaan narkoba atau minuman keras oleh remaja dilakukan sembunyi-sembunyi. Pendapat ini mendasarkan pada fenomena gunung es, di mana hanya sedikit fenomena yang tampak dan dapat diamati di permukaan, namun sesungguhnya terjadi lebih banyak dari yang tampak. Hal ini berarti bahwa kondisi penyalahgunaan narkoba dan minuman keras sudah berada pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Perkembangan masa remaja mempunyai arti yang sangat khusus, namun masa remaja juga mempunyai tempat yang tidak jelas di dalam rangkaian proses perkembangan seorang manusia. Pada masa tersebut, remaja belum mampu untuk mengendalikan fungsi fisik maupun psikologisnya. Perubahanperubahan yang terjadi sebagai bentuk perkembangan remaja, baik berupa fisik maupun psikologis seringkali menimbulkan masalah bagi diri remaja. Remaja dalam proses perkembangannya biasanya menghadapi masalah sosial dan biologis. Meningkatnya tekanan kehidupan individu menjadi pemicu individu untuk melakukan perilaku minum minuman keras sebagai salah satu pelarian. Hanya dengan cara inilah hidup individu terasa lebih bermakna dan membahagiakan. Era sekarang banyak tempat-tempat hiburan, sebut saja diskotik. Diskotik didentifikasikan dengan hal-hal yang negatif, minuman keras dan obat-obatan terlarang. Hal ini dapat dilihat dari tingkah laku anak-anak „gedongan‟, artis dan anak-anak tanggung atau remaja sering datang ke diskotik, para anak muda kalangan menengah keatas dan tidak sedikit kalangan remaja yang sering pergi ke tempat tersebut. Perubahan ini antara lain dipicu masuknya nilai baru yang menular dari para pendatang dan gaya hidup kota besar Penelitian Sa‟bah (dalam Prasetyo, 2006). Berdasarkan data kunjungan pasien NAPZA di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta pada tahun 2007 total pasien NAPZA yang berkunjung sebanyak 4088 orang baik rawat jalan maupun rawat inap
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
dengan jenis kelamin laki¬laki sebanyak 3720 orang dan perempuan sebanyak 368 orang, dan berdasarkan usia 12-19 tahun sebanyak 358 orang sedangkan usia 20-32 tahun sebanyak 3378 orang. Pada bulan JanuariSeptember 2008 terjadi penurunan jumlah pasien NAPZA di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, total pasien NAPZA yang berkunjung sebanyak 1124 orang baik rawat jalan maupun rawat inap dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 1009 orang dan perempuan sebanyak 115 orang, dan berdasarkan usia 12-19 tahun sebanyak 26 orang sedangkan usia 20-32 tahun sebanyak 1038 orang. Berdasarkan data tersebut menujukan bahwa jenis kelamin laki¬laki lebih beresiko tinggi dalam penyalahgunaan NAPZA, sedangkan usia dewasa awal 20-32 tahun merupakan usia yang dominan dalam penyalahgunanan NAPZA, tetapi tidak sedikit pula penguna NAPZA di usia remaja. Pendapat masyarakat ini juga didukung oleh penelitian Tucker, (2009), dimana dikatakan bahwa Alkohol tidak harus selalu dikaitkan dengan hal negatif. Tentunya jika diminum dalam takaran yang sesuai dan jenis yang tepat. Hal ini dibuktikan oleh sebuah studi yang dilakukan tim peneliti dari Tufts University. Mereka menemukan, minum 1 atau 2 gelas anggur atau bir setiap hari bisa membantu menguatkan tulang. Menurut Tucker, sangat sulit untuk membuat batas yang jelas antara manfaat positif dan risiko negatif alkohol. Alkohol sangat membingungkan bagi orang-orang, karena alkohol mempunyai dampak yang berbeda dalam hal yang berbeda, Misalnya alkohol bisa mencegah penyakit jantung tetapi alkohol juga meningkatkan risiko kanker payudara. Akan tetapi, dampak alkohol terhadap kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density) atau BMD, jauh lebih besar dibandingkan nutrisi lainnya termasuk kalsium. Pernyataan diatas juga sejalan dengan tulisan Tarigan, (2000) yang mengatakan bahwa pandangan masyarakat kalau alkohol
ISSN: 2356-5454 tidak baik bagi kesehatan tidaklah sepenuhnya benar. Alkohol bisa bermanfaat bagi kesehatan, tentu saja dalam jumlah yang tidak berlebih. Sebuah studi dari Belanda menemukan bahwa mengkonsumsi sedikit alkohol setiap hari bisa meningkatkan angka harapan hidup. Dengan cara mengurangi segelas anggur menjadi setengah gelas per harinya. Pernyataan diatas bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Harimurti, (2009) bahwa sekurang-kurangnya terdapat 200.000 kematian yang berhubungan dengan alkohol tiap tahunnya. Kelompok usia dengan persentase penggunaan alkohol tertinggi adalah antara 20 tahun hingga 35 tahun sedangkan dari jenis kelamin, laki-laki secara bermakna lebih mungkin menggunakan alkohol daripada wanita. Menurut Panjaitan, (2003) dalam Harimurti, (2009) Mengkonsumsi minuman beralkohol pada pria dapat mengakibatkan pengaruh buruk pada testis dan hipotalamus, yang pada akhirnya akan mengurangi produksi testosteron dan terjadinya feminisasi. Selain itu, pengaruh etanol pada organ reproduksi pria dapat berupa keterlambatan pubertas, atrofi testis, disfungsi ereksi, ginekomastia, gangguan proses spermatogenesis hingga infertilitas. Selain itu, Seseorang yang selalu membiasakan dirinya untuk mengkonsumsi minuman keras, kemungkinan besar dapat menyebabkan kerusakan pada hati dan menyebabkan kematian. Lebih lanjut, Harimurti menyatakan bahwa disadari ataupun tidak seseorang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi miuman keras akan memperoleh dampak yang sebagian besar sangat merugikan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Menurut Ismail (2005) orang yang mengkonsumsi alkohol 70% lama kelamaan dapat menyebabkan kecanduan dan akan menambah takaran yang lebih pada saat mengkonsumsi, hal ini dapat menyebabkan mata menjadi kabur atau rabun yang pada akhirnya bisa buta dan dapat menyebabkan kematian. Walaupun ada yang selamat maka
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 53
jikk
ISSN: 2356-5454 sudah pasti akan menyebabkan matanya buta karena menyerang saraf-saraf mata. Kalau sudah ada orang yang kecanduan alkohol, lama kelamaan mereka akan malas dan tidak bisa melakukan sesuatu pekerjaan kalau tidak minum alkohol atau ada rangsangan. Pernyataan Ismail juga didukung oleh Hutapea (1993), dimana alkohol digolongkan ke dalam zat adiktif karena dapat menimbulkan ketagihan (adiksi) dan ketergantungan (dependensi). Karena sifat adiktifnya ini maka seseorang yang mengkonsumsi alkohol dalam jangka waktu tertentu akan menambah takarannya sampai pada dosis yang dapat menimbulkan keracunan (intoksikasi) dan kemabukan. Keadaan ini bermula dari adanya perilaku (kebiasaan) seseorang untuk mengkonsumsi minuman beralkohol. Alkoholisme merupakan suatu penyakit yang sulit ditanggulangi oleh penderitanya. PENUTUP Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu, sehingga orang dapat berperilaku sesuai keyakinan tersebut. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan hasil penelitian terhadap 87 responden, 40 orang (46%) mempunyai pengetahuan yang kurang tentang perilaku mengkonsumsi minuman keras baik itu tentang pengertian maupun dampak dari minuman keras itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian, mereka berpendapat bahwa semua jenis minuman yang mengandung alkohol memang merupakan minuman keras dimana
Hal | 54
Nomor 07 Tahun 2014
pada saat mereka konsumsi akan memberikan sesuatu yang tidak dapat mereka rasakan atau alami seperti perasaan senang, keberanian untuk melakukan sesuatu, bahkan dapat memberikan kekuatan atau energi baru bagi mereka untuk beraktifitas. Selain itu, mereka berpendapat bahwa semua jenis minuman keras itu sama saja walaupun memiliki kadar alkohol yang berbeda sehingga jika dikonsumsi dalam jumlah yang banyak hanya akan menimbulkan pusing sesaat kemudian hilang, dan semua itu tidak akan menimbulkan dampak yang negatif bagi kesehatan mereka. Bahkan mereka berpendapat bahwa mengkonsumsi minuman keras dalam jumlah yang banyak dapat membuat mereka berimajinasi dan dapat menghilangkan segala beban hidup yang dirasakan sangat berat. REFERENSI Ahmadi, Abu. 2002. Psikologi Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. Arikunto, S. 2001. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Badan Narkotik Nasional Republik Indonesia. 2004. Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2004. Kependudukan. Kupang. Dirdjosisworo, S. 1984. Alkoholisme, Paparan Hukum Dan Kriminologi. Remaja Karya. Jakarta. Gultom, Batunahal. 1995. Mengobati Keracunan. Jakarta. Harimurti, 2009. Pengaruh Pemberian Minuman Beralkohol Terhadap Berat Testis. www.belajarislam.com. Diakses tanggal 19 juli 2010. Hawari, Dagang, Penyalagunaan dan Ketergantungan narkotika, alcohol dan Zat adiktif. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2006.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 07 Tahun 2014
Standar Prosedur Operasional Publikasi Karya Tulis dan Artikel Ilmiah Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas
ISSN: 2356-5454
JIKK Akademi Kebidanan Ar Rahman Ketentuan Umum 1. Topik dan tema karya tulis atau artikel (selanjutnya disebut naskah) memiliki keterkaitan dengan dunia kesehatan, khususnya bidang kebidanan; 2. Karya tulis ataupun artikel merupakan hasil penelitian lapangan (work-field study), penelitian pustaka (literature study) atau asah gagasan (proposition); 3. Karya tulis ataupun artikel ditulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia maupun English yang baik dan benar serta mengikuti aturan tata bahasa yang baku; 4. Setiap naskah yang masuk akan ditinjau ulang oleh Mitra Bestari yang memiliki kepakaran di bidangnya, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar institusi AKBID Ar Rahmah; 5. Penyerahan naskah dikirim selambatlambatnya dua bulan sebelum penerbitan reguler (bulan Februari dan Oktober) kepada redaksi JIKK; 6. Kepastian pemuatan atau tidaknya sebuah naskah akan diberitahukan secara tertulis, baik melalui surat ataupun email; 7. Naskah yang tidak dimuat dapat dikembalikan dengan sepengetahuan penulis naskah. Ketentuan Khusus 1. Naskah ditulis dengan menggunakan aplikasi Microsoft Office Word (baik itu XP, 2003 atau 2007); 2. Naskah ditulis menggunakan font Times New Roman atau Arial dengan ukuran font 12 (tanpa page number ataupun keterangan header/footer); 3. Panjang naskah maksimal 10 halaman dengan ukuran kertas A4 serta ukuran margin (kiri: 4, kanan: 3, atas: 3 dan bawah: 3). Sistematika Penulisan Judul (informatif, lugas, singkat dan jelas), Nama penulis (tanpa gelar), Abstrak/ Rangkuman eksekutif (ditulis dalam bentuk narasi dan terdiri atas 100-150 kata),
Kata kunci (istilah teknis/ operasional yang digunakan dalam artikel), Pendahuluan (deskripsi sekilas mengenai topik yang dibahas, status topik saat ini, perubahan yang terjadi berkaitan dengan topik, dan kontribusi naskah dalam topik yang dibahas; akhir pendahuluan memuat tujuan, metode, manfaat pembahasan topik, dan harapan yang dapat diambil dari topik yang dibahas), Isi/ Pembahasan (uraian, pemaparan ataupun penjabaran yang berkaitan dengan hasil temuan penelitian atau asah gagasan untuk naskah non-penelitian; isi/ pembahasan dapat terdiri atas beberapa subbahasan, tergantung pada topik/masalah yang dibahas serta penjelasan yang mendalam dari topik/ tema yang dibahas), Simpulan dan Saran, Daftar pustaka atau Pustaka Rujukan, dan Riwayat penulis (ditulis secara singkat).
Sistematika Penulisan Resensi Buku Buku yang diresensi harus aktual (up to date); buku berbahasa Indonesia terbitan satu tahun terakhir sedangkan buku berbahasa asing terbitan tiga tahun terakhir, Isi (content) buku yang diresensi berkontribusi signifikan bagi perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, Susunan resensi terdiri atas deskripsi formal buku, ringkasan (summary), evaluasi/ kritik/ komentar, dan simpulan. Penyerahan Naskah (karya tulis ataupun artikel ilmiah) Penyerahan naskah dapat dilakukan melalui, Email; naskah tidak ditulis dalam kotak pesan (message box) melainkan disisipkan (attachment) dan dikirimkan ke
[email protected] atau
[email protected] , Surat/ pos; naskah dimasukkan ke dalam amplop ukuran A4 dan pojok kanan atas ditulis JIKK AKBID Ar Rahmah, kemudian dikirimkan ke alamat Jalan Pasteur No. 21 A, Bandung– Jawa Barat.
Alamat Redaksi dan Tata Usaha JIKK Press – AKBID Ar Rahmah Jalan Pasteur no. 21, Bandung – Jawa Barat Telepon/ Faximile (022) 4214127 Email
[email protected] Website www.arrahmah.ac.id
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 55