LITERAT No. 31 Tahun 2010
ISSN: 1411–2566
Prawacana Bismillahirrohmanirrohiim, Assalamu’alaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh, Pada bulan September tahun ini, Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas (JIKK) Akademi Kebidanan Ar Rahmah hadir dengan sejumlah hasil kajian dan penelitian para dosen, baik dosen AKBID Ar Rahmah maupun dosen perguruan tinggi lainnya, yang dengan senang hati berbagi wawasan dan pengetahuan mereka demi meningkatkan kualitas keilmuan di bidang kebidanan di bumi pertiwi ini. Mengawali JIKK edisi ke-8 ini, Winarni mengkaji tentang Hubungan Antara Sikap Ibu Tentang ASI Eksklusif Terhadap Pemberian Asi Eksklusif Di Desa. Tulisan selanjutnya, JM Weking memaparkan tentang Hubungan Antara Dukungan Keluarga Terhadap Pemberian Kolostrum Oleh Ibu Post Partum Sectio Sesaria Di RSUD. Tak kalah menarik, Ajeng Widyastuti mendeskripsikan tentang Faktor-Faktor Pada Ibu Yang Berhubungan Dengan Pemberian Susu Formula Pada Bayi Usia 0-6 Bulan Di Desa. Selanjutnya, Nunung Kanianingsih memaparkan tentang Gambaran Pengetahuan Ibu Primigravida Tentang Teknik Meneran Yang Benar. Tulisan selanjutnya, Yuliustina mendeskripsikan Hubungan Antara Usia Ibu Dengan Kejadian Abortus Di RSUD. Tulisan Selanjutnya, Iis Wahyuni mendeskripsikan Hubungan Paritas Dengan Kejadian Plasenta Previa Di RSUD Ujung Berung. Tulisan Terakhir, Irma Rosliani Dewi Mengkaji tentang Pengetahuan Ibu Hamil Primipara Trimester Iii Tentang Perdarahan Pada Kehamilan Di RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta. Tak hentinya kami mengajak pembaca dari semua kalangan untuk senantiasa menggunakan JIKK sebagai media publikasi hasil kajian dan penelitian. Kami yakin, setiap kegiatan ilmiah yang telah dilakukan akan terasa lebih bermanfaat tatkala dipublikasikan dan menjadi konsumsi masyarakat ilmiah. Oleh karena itu, kami tunggu karya Anda untuk edisi JIKK selanjutnya. Akhir kata, sajian JIKK edisi kali ini diharapkan bermanfaat dan senantiasa membuka cakrawala informasi bagi Anda. Selamat membaca! Billahittaufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh.
Penyunting.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 1
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 08 Tahun 2014
jikk Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Nomor 08 Tahun 2014, ISSN: 2356-5454 Diterbitkan oleh,
Ar Rahmah Press Akademi Kebidanan Ar Rahmah – Bandung Penanggung Jawab Hj. Diah Nurmayawati Ketua Penyunting Yuliati Wakil Ketua Penyunting Andi Laksana B Anggota Esti Hitatami Sundari Desra Amelia Irma Rosliani Dewi Iis Wahyuni Widyastuti Nunung Kanianingsih Winarni Ajeng Windyastuti JM Weking Yuliustina Mitra Bestari (Penyunting Ahli) Elvi Era Liesmayani (AKBID Panca Bhakti) Widyah Setyowati (STIKES Ngudi Waluyo U) Titiek Soelistyowatie (Unika Atma Jaya) Ari Murdiati (Univ. Muhammadiyah Semarang) Lingga Kurniawati (POLTEKKES Semarang) Frida Cahyaningrum (STIKES Karya Husada) Crismis Novalina Ginting (Univ. Gadjah Mada) Santy Deasy Siregar (Univ. Sumatera Utara) Deby Novita Siregar (STIKes Helvetia) Jupri Kartono (AKBID Panca Bhakti) Aries Cholifah (Univ. Negeri Surakarta) Setting Layout & Sirkulasi M. Andriana Gaffar Yadi Firmansyah Hamdan Hidayat Hamdani Fitriasukma Ekaputra
Hal | 2
Daftar Isi HUBUNGAN ANTARA SIKAP IBU TENTANG ASI EKSKLUSIF TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI DESA oleh Winarni … 3 HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PEMBERIAN KOLOSTRUM OLEH IBU POST PARTUM SECTIO SESARIA DI RSUD oleh JM Weking … 10 FAKTOR-FAKTOR PADA IBU YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI USIA 0-6 BULAN DI DESA oleh Ajeng Widyastuti A … 15 GAMBARAN PENGETAHUAN IBU PRIMIGRAVIDA TENTANG TEKNIK MENERAN YANG BENAR oleh Nunung Kanianingsih … 21 HUBUNGAN ANTARA USIA IBU DENGAN KEJADIAN ABORTUS DI RSUD UJUNG BERUNG oleh Yuliustina … 28 HUBUNGAN PARITAS DENGAN KEJADIAN PLASENTA PREVIA DI RSUD oleh Iis Wahyuni … 32 PENGETAHUAN IBU HAMIL PRIMIPARA TRIMESTER III TENTANG PERDARAHAN PADA KEHAMILAN DI RSUD BAYU ASIH KABUPATEN PURWAKARTA oleh Irma Rosliani Dewi … 37
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
ISSN: 2356-5454
HUBUNGAN ANTARA SIKAP IBU TENTANG ASI EKSKLUSIF TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI DESA oleh Winarni ABSTRAK Air Susu Ibu Eksklusif (ASI Eksklusif) adalah pemberian ASI setelah lahir sampai bayi berumur 6 bulan tanpa pemberian makanan tambahan lainnya. Pemberian ASI merupakan metode pemberian makanan bayi yang terbaik terutama bayi berumur kurang dari 6 bulan. ASI mengandung berbagai zat gizi dan cairan yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan gizi bayi pada 6 bulan pertama setelah kelahiran. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan pengetahuan dan sikap Ibu-ibu terhadap pemberian ASI Eksklusif di Posyandu Arjasari Kuis Tahun 2010. Desain penelitian ini bersifat deskritif analitik dengan pendekatan cross sectional dengan besar sampel 45 orang dengan metode pengambilan sampel total sampling. Penelitian ini di lakukan pada tanggal 20 Februari 2010 sampai 30 Maret 2010. Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner yang meliputi data demografi dan kuesioner pengetahuan dan sikap terhadap pemberian ASI Eksklusif. Hasil penelitian menunjukan mayoritas Ibu-ibu berpengetahuan baik sebanyak 38 orang (82,6%) dan bersikap positif sebanyak 41 orang (89,1%) dalam pemberian ASI Eksklusif. Setelah dilakukan fisher's exact test disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap Ibu terhadap pemberian ASI Eksklusif dengan nilai p = 0,031. Dari penelitian ini di harapkan agar tenaga kesehatan lebih meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam memberikan konseling dan meningkatkan pemahaman dan informasi tentang pemberian ASI Eksklusif. Kata Kunci : Pengetahuan, Sikap, Pemberian ASI Eksklusif. PENDAHULUAN ASI merupakan makanan yang ideal untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama. Pemberian ASI eksklusif dianjurkan untuk jangka waktu minimal enam bulan (Roesli, 2008 : 87). Hingga saat ini ASI masih merupakan gizi terbaik untuk bayi, karena komposisi zat-zat gizi didalamnya secara optimal mampu menjamin pertumbuhan dan perkembangan pada kecerdasan bayi. Selain itu, ASI juga mengandung zat imonologik yang membantu melindungi bayi dari infeksi dan serangan penyakit khususnya usia 4 sampai 6 bulan pertama sejak kelahiran bayi (Depkes RI, 2005 : 53). Suatu penelitian di Eropa menunjukkan anak-anak berusia 9,5 tahun yang mendapatkan ASI, memiliki IQ 12,9 poin lebih tinggi dari pada anak-anak yang tidak mendapat ASI. Sementara peran lain dari ASI yaitu soal EQ (kemampuan sosialisasi) anak,
kedekatan dengan ibu waktu mendapat ASI dapat mempengaruhi dalam perkembangan emosi anak (Roesli, 2008: 87). ASI mengandung protein lebih dibanding Air Susu Sapi (ASS), protein ASI mempunyai nilai nutrisi yang tinggi dan lebih mudah dicerna. ASI mengandung karbohidrat relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan ASS, karbohidrat yang utama terdapat dalam ASI adalah laktosa. Kadar lemak dalam ASI merupakan sumber kalori yang utama bagi bayi dan sumber vitamin yang larut dalam lemak. ASI juga mengandung mineral yang lengkap dan merupakan bahan pembentuk tulang, ASI merupakan sumber air yang secara metabolik adalah aman (Soetjatiningsih, 2005: 98). Namun kenyataannya penggunaan ASI hingga saat ini belum menggembirakan. Berbagai studi dan pengamatan menunjukkan, bahwa dewasa ini terdapat
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 3
jikk
ISSN: 2356-5454 kecenderungan penurunan pemberian ASI dan menggantikan pemberian ASI dengan susu fomula di masyarakat. Adanya kenaikan tingkat partisipasi wanita dalam aktifitas kerja, peningkatan sarana komunikasi dan transportasi yang memudahkan periklanan susu formula serta luasnya distribusi susu formula, dapat menjadi kecenderungan menurunnya kesediaan menyusui maupun lamanya menyusui baik di pedesaan maupun di perkotaan (Soetjiningsih, 2004: 102). Banyak orang tua menganggap bahwa kebutuhan nutrisi bayi tidak cukup hanya dengan ASI, sehingga bayi perlu dibantu dengan memberikan makanan pendamping ASI. Pemberian makanan pendamping ASI berupa susu formula pada kalangan orang tua sudah menjadi hal yang biasa, dengan berbagai alasan yang diberikan seperti ASI yang keluar sedikit, kesibukan ibu, kurangnya pengetahuan ibu tentang pemberian ASI, hemat waktu, tergiur dengan kandungan susu formula yang ditawarkan. Kebanyakan orang tua menilai pemberian susu formula hampir setara dengan ASI dan dapat mencukupi kebutuhan gizi bayinya (Orzy, 2008 : 89) WHO (World Health Organization) merekomendasikan para ibu untuk menyusui secara ekslusif selama 6 bulan, melanjutkannya dengan memberikan makanan pendamping ASI dari bahan–bahan lokal yang kaya nutrisi sambil tetap memberikan ASI sampai anak berusia 2 tahun atau lebih (World Health Assembely Resolution, 2010). Data Unicef (2006) menyebutkan hanya 40% bayi mendapatkan ASI eksklusif pada 6 bulan pertama kehidupannya. Sedangkan menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 20072008 cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia nol hingga enam bulan di Indonesia menunjukkan penurunan dari 62,2 persen pada 2007 menjadi 56,2 persen pada 2008. Sementara cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai enam bulan turun dari 28,6 persen pada 2007 menjadi 24,3 persen pada 2008 dan jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16,7 persen pada 2002 menjadi 27,9 persen pada 2003 (Amanda, 2008).
Hal | 4
Nomor 08 Tahun 2014
Sedangkan di Kabupaten Bandung Barat untuk bayi berusia 1- 3 bulan hanya sebesar 52 % yang mendapat ASI dan yang berusia 3 – 6 bulan hanya 42 % (Dinkes Kab. Semarang, 2010). Pemberian makanan pendamping tambahan sebelum usia 6 bulan harus dengan petunjuk dokter, karena bayi yang berumur kurang dari 6 bulan apabila diberi makanan tambahan dapat berisiko tinggi terjadi berbagai gangguan tumbuh kembang sedangkan tujuan diberikannya makanan tambahan adalah sebagai pengganti ASI agar memperoleh energi, protein, dan zatzat gizi lain untuk tumbuh kembang secara normal (Sunartyo, 2008 : 95). Pemberian susu formula, selain cukup jumlah dan mutunya perlu diperhatikan pula kebersihannya karena dapat menyebabkan bayi menderita infeksi. Apabila susu formula sudah diberikan kepada bayi sejak dini (di bawah usia 6 bulan) maka asupan gizi yang dibutuhkan oleh bayi tidak sesuai dengan kebutuhannya, karena sebaik apapun jenis susu formula yang diberikan, ASI merupakan makanan yang paling cocok susunan dan komposisinya bagi bayi (Krisnatuti, 2000 : 64). Beberapa faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian MP-ASI diantaranya adalah pengetahuan ibu, sosial budaya, promosi susu formula umur, pendidikan, sikap ibu, ibu yang bekerja diluar rumah, dukungan keluarga, dan keterpaparan media (Wahyu, 2007 : 88) Berdasarkan hasil studi pendahuluan di BPS Heni Suharni Desa Langensari Kecamatan Ungaran barat Kabupaten Bandung Barat pada bulan Mei 2012 terdapat bayi usia 0-6 bulan sejumlah 37 bayi. Berdasarkan observasi dan wawancara langsung yang dilakukan peneliti pada 3 orang ibu yaitu 1 SMP dan 2 SMA, peneliti menemukan ibu yang memberikan makanan selain ASI pada bayi mereka yang masih berusia antara 1,5-2 bulan, dengan alasan karena bekerja sehingga tidak bisa menyusui anaknya selama 24 jam, karena air susu tidak keluar, dan agar anak mereka bertambah berat badannya. Padahal, kebiasaan masyarakat setempat menyusui bayi mereka harus sampai dua tahun, tetapi masih saja ditemukan ibu-
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
ibu yang sudah memberikan makanan selain ASI pada bayi mereka yang masih berusia dibawah enam bulan.
PEMBAHASAN Menurut WHO masa pemberian ASI diberikan secara Eksklusif pada 6 bulan pertama, kemudian dianjurkan untuk tetap diberikan setelah 6 bulan bersamaan dengan makanan pendamping ASI sampai anak 2 tahun. Melihat begitu unggulnya ASI Eksklusif maka sangat disayangkan bahwa pada kenyataan penggunaan ASI Eksklusif belum seperti yang kita harapkan, dimana pada saat ini terjadi kecenderungan menurunnya penggunaan ASI Eksklusif pada masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan suatu keadaan yang cukup serius dalam hal gizi bayi. Jumlah ibu dan lamanya menyusui telah menunjukkan penurunan karena berbagai alasan sosial ekonomi dan budaya (Pesrinasia,WHO/UNICEF, 1994). ASI merupakan makanan yang paling sempurna, dimana kandungan gizinya sesuai untuk kebutuhan bayi. Zat-zat gizi yang berkualitas tinggi pada ASI banyak terdapat dalam kolostrum. Kolostrum adalah ASI yang keluar pada hari-hari pertama setelah bayi lahir, berwarna kekuning-kuningan dan lebih kental dimana banyak mengandung nilai gizi yang tinggi seperti protein, vitamin A, karbohidrat dan lemak rendah. ASI juga mengandung asam amino essensial yang sangat penting untuk meningkatkan jumlah sel otak bayi yang berkaitan dengan kecerdasan bayi (Depkes RI, 2005). ASI juga mengandung zat kekebalan yang melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi serta zat antibodi. Zat antibodi didalam ASI paling banyak terdapat didalam kolostrum yang mengandung immunoglobulin terutama IgA. Kandungan zat anti bodi dalam ASI selain IgA juga terdapat zat laktoferin, lisozim, sel-sel darah putih serta faktor bifidus yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan virus berbahaya didalam tubuh.
ISSN: 2356-5454 Untuk pertumbuhan dan perkembangan yang baik serta menghindari dari berbagai penyakit infeksi bayi perlu diberikan ASI secara eksklusif. Asi Eksklusif adalah air susu ibu yang diberikan enam bulan pertama kelahiran tanpa terputus, pemberian ASI sudah harus dimulai setengah sampai satu jam sesudah bayi lahir. Setelah enam bulan bayi diberikan ASI Eksklusif dilanjutkan pemberian ASI sampai usia dua tahun bersamaan dengan pemberian makanan tambahan yang adekuat (www.Republika.co.id, 2012). Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini dapat mengganggu pemberian ASI Eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Selain itu tidak ditemukan data yang menyokong bahwa pemberian makanan tambahan pada usia 4-6 bulan dapat menguntungkan, bahkan sebaliknya. Hal ini dapat memberikan dampak yang negatif terhadap kesehatan bayi dan tidak ada dampak yang positif untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Bayi yang diberi susu selain ASI Eksklusif, mempunyai 17 kali lebih besar mengalami diare, dan 3 sampai 4 kali lebih besar kemungkinan terkena infeksi saluran pernafasan (ISPA) salah satu factor adalah karena buruknya pemberian ASI Eksklusif (Dep.Kes,RI, 2005). Pembangunan kesehatan di Propinsi Bengkulu diarahkan untuk mewujudkan pembangunan kesehatan, mengembangkan sumber daya manusia kesehatan dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, terjangkau, dan menciptakan lingkungan yang sehat serta mendorong peran serta aktif individu, keluarga, masyarakat dan swasta dalam mewujudkan kemandirian di bidang kesehatan mengingat adanya peningkatan dan harapan hidup. Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu melaporkan jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif pada tahun 2010 sebesar 3.455 bayi (55.34%), sedangkan data pemberian ASI Eksklusif Tahun 2009 mencapai 75.72%. Hal ini menunjukan terjadi penurunan jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif, (Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu, 2010).
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 5
jikk
ISSN: 2356-5454 Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menyebutkan di Indonesia hanya sepertiga (32%) bayi berumur dibawah enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif. Diantara sepuluh hanya empat bayi yang berumur dibawah empat bulan (41%) yang mendapatkan ASI eksklusif, dan hanya 48% anak umur kurang dari dua bulan mendapatkan ASI eksklusif. Menteri negara pemberdaya perempuan dinews Antara pada Peringatan Pekan Asi Sedunia 2007, mengatakan meskipun usaha meningkatkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) sangat gencar dilakukan, tapi kesadaran masyarakat untuk pemberian ASI Eksklusif di Indonesia masih memprihatinkan, berdasarkan data yang ada pada tahun 2002 – 2003 bayi dibawah usia 4 bulan yang diberikan ASI eksklusif hanya 55 % sementara itu pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 2 bulan hanya 64%, pada bayi berumur 2-3 bulan hanya 46 % dan pada bayi berumur 4-5 bulan haya 14 %. Dan berdasarkan hasil penelitian Ridwan Amirudin 2007, proporsi pemberian ASI Eksklusif pada bayi kelompok usia 0 bulan sebesar 73,1 %, usia 1 bulan sebesr 55,5 %, usia 2 bulan sebesar 43 %, usia 3 bulan sebesar 36%, dan usia 4 bulan 16,7% (Amiruddin, 2007). Berdasarkan data dari NSS yang bekerjasama dengan Balitbangkes dan Hellen Keller International permasalahan yang mengakibatkan masih rendahnya penggunaan ASI Eksklusif di Indonesia adalah faktor sosial budaya, kesadaran akan pentingnya ASI Eksklusif, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung PP-ASI, gencarnya promosi susu formula dan ibu bekerja. Berbagai macam faktor dapat mempercepat pemberian makanan tambahan, diantaranya adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, sosial budaya (tradisi), ekonomi dan sikap ibu dan umur ibu. Menurut penelitan Arifin Siregar 2004 dijelaskan alasan ibu tidak menyusui bayinya, di aspek kehidupan kota kurangnya pengertian dan pengetahuan ibu tentang manfaat ASI dan meyusui yang menyebabkan
Hal | 6
Nomor 08 Tahun 2014
ibu terpengaruh kepada susu formula. Kesehatan / status gizi bayi serta kelangsungan akan lebih baik pada ibu yang berpendidikan rendah. Hal ini karena ibu yang berpendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan yang luas serta kemampuan untuk menerima informasi lebih tinggi. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pemberian ASI Eksklusif adalah sikap ibu terhadap lingkungan sosialnya dan kebudayaan dan dilihat faktor intern dari ibu seperti terjadinya bendungan ASI, luka-luka pada puting susu, kelainan pada puting susu dan adanya penyakit tertentu seperti tuberkolose, malaria. (Arifin, 2004). Berkurangnya jumlah ibu yang menyusui bayinya dimulai di kota-kota, terutama pada warga yang berpenghasilan cukup yang kemudian menjalar ke daerah pinggiran kota, penelitian para ahli mengapa jumlah ibu yang menyusui bayinya cenderung menurun, semakin banyak ibu bekerja,adanya anggapan menyusui adalah lambang keterbelakangan budaya dan alasan estetika (M, Sjahnien, 2008). Dan berdasarkan hasil penelitian Ridwan Amirudin 2007 dengan bertambahnya usia bayi tejadi penurunan pola pemberian ASI Eksklusif sebesar 1,3 kali / 77,2 %. Hal ini memberikan adanya hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan sosial ekonomi ibu dimana ibu yang mempunyai sosial yang rendah mempunyai peluang 4,6 kali untuk memberikan ASI Eksklusif dibanding ibu dengan sosial yang tinggi bertambahnya pendapatan keluarga atau status sosial ekonomi yang tinggi serta lapangan pekerjaan bagi perempuan, berhubungan dengan cepatnya pemberian susu botol artinya mengurangi kemungkinan untuk menyusui bayi dalam waktu yang lama. (Amirudin, 2007). Pendidikan Responden Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 4.2 diketahui bahwa sebagian besar tingkat pendidikan responden adalah tamat SMA yaitu sebanyak 19 responden (51,4 %). Tingkat pendidikan responden yang setara dengan SMA termasuk dalam kategori tingkat
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
pendidikan tinggi sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap pemberian MP ASI pada sebagian besar responden. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk siap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan. Pekerjaan Dari Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden adalah bekerja yaitu sebanyak 22 responden (59,5 %) dan sebagian kecil responden tidak bekerja yaitu sebanyak 15 responden (40,5 %). Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu sehingga bagi ibu-ibu yang bekerja akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga. Semakin banyak waktu yang tersita untuk melakukan pekerjaan maka semakin besar kesempatan untuk memberikan makanan pendamping ASI.
Pengetahuan Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.5 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan dalam kategori baik yaitu sebanyak 22 responden (59,5 %) dan paling sedikit adalah responden dengan pengetahuan cukup yaitu sebanyak 7 responden (21,6 %). Dalam penelitian ini responden memiliki tingkat pengetahuan baik sebanyak 15 responden (48.4%). Diharapkan dengan memiliki pengetahuan yang baik,responden akan memiliki perubahan perilaku pada pemberian MP-ASI pada bayi 06 bulan. Responden memberikan MP-ASI saat bayi berusia mnimal 4 bulan. Walaupun ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi, dengan bertambahnya umur pada saat bayi yang sedang tumbuh cepat memerlukan energi dan zat-zat gizi yang melebihi jumlah yang didapat dari ASI saja. Pada umumnya setelah 4 bulan bayi memerlukan makanan tambahan (Pudjiadji, 2005 : 73). Sosial budaya
ISSN: 2356-5454 Dari Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa faktor sosial budaya sebagian besar mempunyai pengaruh yang kuat dalam pemberian MP ASI oleh responden yaitu sebanyak 20 responden (54,1 %) dan sebagian kecil faktor sosial budaya mempunyai pengaruh yang kurang kuat dalam pemberian MP ASI yaitu sebanyak 17 responden (45,9 %). Tradisi akan sangat berpengaruh pada perilaku responden terhadap pemberian MPASI. Pemberian MP ASI Dari Tabel. 4.4 distribusi frekuensi Pemberian MP ASI diketahui bahwa sebagian besar responden tidak memberikan MP ASI pada bayi usia 0-6 yaitu sebanyak 21 responden (56,8 %) dan sebagian kecil responden yang memberikan MP ASI pada bayi usia 0-6 yaitu sebanyak 16 responden (43,2 %), Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden menjadikan MP ASI makanan favorit bagi bayinya walaupun bayi masih berumur kurang dari 1 tahun. Sebagian besar responden sudah memberikan MP ASI bagi bayinya yang berusia kurang dari 6 bulan karena beranggapan bahwa pemberian ASI saja tidak cukup untuk memenuhi gizi bayinya sehingga harus di tambah MP ASI agar terpenuhi semua komponen gizi bayinya. PENUTUP Besarnya masalah kekurangan gizi pada balita merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian di Indonesia .Faktor-faktor yang terkait dengan status gizi balita diantaranya karakteristik ibu, karakteristik bayi , pengetahuan dan sikap ibu tentang pemberian ASI, peran kader posyandu dan bidan desa, media informasi serta riwayat pemberian ASI eksklusif dan susu non ASI dan Makanan Pendamping ASI (MP ASI). Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu tentang pemberian ASI serta pemberian ASI eksklusif dengan status gizi balita usia 6-24 bulan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi Penelitian adalah ibu dan balitanya berusia 6-
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 7
jikk
ISSN: 2356-5454 24 bulan di Kelurahan Kampung Kajanan. Jumlah populasi adalah 98 orang dan sampel berjumlah 78 orang, dengan teknik simple random sampling. Instrumen kuesioner untuk data pengetahuan, sikap dan pemberian ASI Eksklusif dan untuk status gizi balita digunakan data pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Pengujian hubungan keempat variabel dengan analisis Regresi Logistik. Hasil analisis hubungan pengetahuan dengan status gizi balita,ibu dengan pengetahuan baik tentang ASI maka status gizi balitanya di atas garis merah 25,196 kali lebih tinggi dari pada ibu dengan pengetahuan tidak baik. (p = 0,011 OR = 25,196; CI 95% = 2,087 hingga 304,158). Sikap ibu tentang ASI baik akan memiliki balita dengan status gizi di atas garis merah 21,656 kali lebih besar dari pada ibu dengan kategori sikap tidak baik. Hubungan tersebut secara statistik signifikan (p = 0,044; OR = 21,656; CI 95% = 1,081 hingga 434,028). Pada variabel pemberian ASI Eksklusif, ibu yang memberikan ASI Eksklusif akan memiliki balita dengan status gizi di atas garis merah 19,769 kali lebih besar dari pada bayi tanpa ASI eksklusif (p = 0,029; OR = 19,769; CI 95% = 1,361 hingga 287,238). Secara bersama semakin baik pengetahuan dan sikap ibu disertai pemberian ASI Eksklusif, maka status gizi balitanyapun berada diatas garis merah. (Nagelkerger R Square sebesar 68,2%). Terdapat hubungan positif signifikan antara pengetahuan dan sikap ibu tentang pemberian ASI serta pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita usia 6-24 bulan REFERENSI Almatzier, S. (2005). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Arifah, 2011. Psikologi bayi. Available from : http://arifahpratidina.blogspot.com Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktek (Edisi kelima). Jakarta: Rineka Cipta. Arisman. (2004). Gizi dalam daur kehidupan. Jakarta: EGC Depkes RI, 2005. Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak. Depkes: Jakarta
Hal | 8
Nomor 08 Tahun 2014
Hidayat, Azis Alimul, (2003). Pusat keperawatan & teknik penulisan ilmiah. Jakarta: Salemba Medika Hidayat, Azis Alimul, (2008). Pengetahuan Ilmu Kperawatan Anak. Jilid 1 : Salemba Medika. Jakarta. Krisnatuti, W. (2000). Pemeliharaan Gizi bayi dan balita. Jakarta : PT. Bhatara Niaga Media. Muchtadi, D. (2002). Gizi untuk bayi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Nerendra. (2005). Tumbuh kembang anak dan remaja. Jakarta: IDAI Notoadmojdo, S. (2002). Metodologi penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2007). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2005). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan: pedoman skripsi, tesis dan instrumen penelitian (edisi pertama). Jakarta: Salemba medika. Oryz, (2008). Promosi Susu Formula Menghambat Pemberian Asi Eksklusif Pada Bayi 6-11 Bulan Di Kelurahan Pa’baengBaeng Makassar Tahun 2007. from : http://lkpkindonesia.blogspot.com/20 07/03 Pudjiadji, S. (2005). Ilmu gizi klinis pada anak. Jakarta: FKUI. Retnowati (2008). Hubungan pengetahuan ibu tentang perkembangan bayi dengan pola pemberian makan pada bayi umur 6-12 bulan di kelurahan jenggrik. Available from : http://etd.eprints.ums.ac.id Roesli, U. (2000). Mengenal ASI eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya. Roesli, U. (2002). Inisiasi menyusui dini. Jakarta: Pustaka Bunda. Roesli, U. (2008). Inisiasi menyusui dini. Jakarta: Pustaka Bunda. Rohmawati, D. (2007) . Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Makanan Tambahan dengan Pertumbuhan. Available from : http://etd.eprints.ums.ac.id/63 95/1/J210050006.pdf.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
Siregar (2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi penberian ASI oleh ibu melahirkan. From: http://www.nakita.com. Soetjiningsih. (2002). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. Soetjiningsih. (2004). ASI untuk petunjuk tenaga kesehatan. Jakarta: EGC Sugiyono. (2003). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta. Sunartyo, Nano. (2008). Panduan merawat bayi dan balita. Jakarta: Diva Press.
ISSN: 2356-5454 Taufan. (2000). Cairan ajaib yang terkandung dalam ASI. From: http://www.yahoo.com. Widjadja. (2002). Gizi tepat untuk perkembangan otak dan kesehatan balita. Jakarta: Kawan Pustaka. Yayah, A., & Husaini, M., (2001).Makanan bayi bergizi. Bandung: Press. Yunisa, Nurheti (2010). Keajaiban ASI Makanan Terbaik Untuk Kesehatan Kecerdasan dan Kelincahan Si Kecil. Yogyakarta: CV Andi Offset.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 9
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 08 Tahun 2014
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PEMBERIAN KOLOSTRUM OLEH IBU POST PARTUM SECTIO SESARIA DI RSUD oleh JM Weking ABSTRAK Salah satu praktek pemberian ASI yang tepat dan sesuai dengan perkembangan fisiologis bayi adalah dengan pemberian kolostrum dan ASI ekslusif pada bayi sampai usia 4 bulan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu tentang ASI dengan pemberian kolostrum dan ASI ekslusif. Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang menjelaskan Explanatory research hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat melalui pengujian hipotesis. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan pendekatan cross sectional. Sampel adalah semua ibu yang mempunyai bayi antara 4-7 bulan dan tercatat sebagai penduduk Desa Tidu sebanyak 32 orang yang diambil secara purposive sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi serta pemberian kolostrum dan ASI ekslusif menggunakan metode wawancara berdasrkan kuesioner yang disusun sesuai tujuan penelitian. Uji yang digunakan adalah uji Fisher Exact Test. Hasil penelitian menunjukkan besar pendidikan responden tergolong rendah, pengetahuan ASI kurang, pada umumnya memberikan kolostrum, tetapi yang memberikan ASI eksklusif hanya 28,1%. tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dan pengetahuan tentang ASI dengan pemberian kolostrum, ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dan pengetahuan tentang ASI dengan pemberian ASI ekslusif. Saran yang dapat disampaikan adalah perlunya peningkatan kegiatan penyuluhan ASI ekslusif oleh bidan Desa maupun tenaga kesehatan ditingkat Posyandu serta Puskesmas guna mendorong ibu pada saan ANC (Ante Natal Care) agar nanti pada waktu bayinya lahir mau dan mampu memberikan ASI ekslusif. Kata Kunci : Pendidikan, Pengetahuan, Kolostrum, Asi Ekslusif PENDAHULUAN Garis–Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999–2004 dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) mengamanatkan bahwa pembangunan diarahkan pada meningkatnya mutu Sumber Daya Manusia (SDM). Modal dasar pembentukan manusia berkualitas dimulai sejak bayi dalam kandungan disertai dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) sejak usia dini, terutama pemberian ASI ekslusif yaitu pemberian hanya ASI kepada bayi sejak lahir sampai berusia 4 bulan (Depkes RI, 2001). Bagi bayi ASI merupakan makanan yang paling sempurna, dimana kandungan gizi sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan. ASI juga mengandung zat untuk perkembangan kecerdasan, zat kekebalan (mencegah dari berbagai penyakit). Konvensi hak – hak anak tahun 1990 antara lain menegaskan bahwa tumbuh kembang secara optimal merupakan salah satu hak anak. Berarti ASI selain merupakan
Hal | 10
kebutuhan, juga merupakan hak azasi bayi yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Pernyataan dan rekomendasi tentang makanan bayi dan anak oleh World Health Organization (WHO)/United Nations International Children Emergency Fund (UNICEF) tahun 1994 antara lain berisi : a. Menyusui merupakan bagian terpadu dari proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah merupakan dasar fisiologis dan psikologis yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, dan b. Memberi susu botol sebagai tambahan dengan dalih apapun juga pada bayi baru lahir harus dihindarkan (Suharyono, 1992). Melihat begitu unggulnya ASI maka sangat disayangkan bahwa pada kenyataannya penggunaan ASI belum seperti yang diharapkan. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, tetapi pencapaian ASI ekslusif Indonesia masih rendah. Berdasarkan data 52% Ibu memberikan ASI ekslusif itupun ASI ekslusif 4
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
bulan, dan 47% pemberian ASI ekslusif 6 bulan. Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan bahwa hampir semua bayi (96,3%) di Indonesia pernah mendapatkan ASI. Hasil berikutnya dari hasil SDKI 1997 adalah sebanyak 8% bayi baru lahir mendapatkan kolostrum dalam 1 jam setelah lahir dan 53% bayi mendapat kolostrum pada hari pertama. Padahal kolostrum yang diproduksi hari pertama sangat baik untuk bayi dan memberikan daya tahan terhadap penyakit infeksi dan kepada ibu memberi rangsangan untuk produksi ASI (Setyowati dan Budiarso, 1998). Untuk propinsi Jawa Barat, cakupan ASI ekslusif pada bayi 0 – 4 bulan adalah 41,41% atau 66.730 bayi dari jumlah bayi sebanyak 161.154 bayi. (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 2001). Program pemerintah untuk meningkatkan partisipasi Ibu dalam pemberian ASI sedini mungkin adalah juga merupakan program dari Rumah Sakit Umum (RSU) Pringsewu Tanggamus yang merupakan Rumah Sakit rujukan di Kabupaten Tanggamus, karena berbagai faktor program laktasi di RSU Pringsewu belum berjalan sebagaimana mestinya, terutama pada bayi dengan tindakan Sectio Caesarea (SC). Hasil SKDI tahun 2007 menunjukkan jumlah bayi dibawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16,7 pada tahun 2002 menjadi 27,9 % pada tahun 2007 (Depkes, 2007). Kegagalan ibu untuk menyusukan segera setelah lahir akan berpengaruh pada produksi ASI ibu. Karena menyusukan pertama kali sesudah lahir akan memberikan rangsangan pada hipofisis untuk mengeluarkan oksitosin. Oksitosin bekerja merangsang otot polos untuk memeras ASI pada alveoli, lobus serta duktus yang berisi ASI yang akan dikeluarkan melalui putting susu. Keadaan ini memaksa hormon prolaktin untuk terus memproduksi ASI. Sehingga semakin sering bayi menghisap putting susu ibu, maka pengeluaran ASI juga akan semakin lancar (Nugroho, 2011). Hasil wawancara dan pengamatan saat studi pendahuluan terhadap 10 orang ibu yang melahirkan dengan sectio caesaria dan ibu
ISSN: 2356-5454 yang melahirkan secara spontan di rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta didapatkan bahwa sebanyak 5 ibu post caesaria belum bisa menyusui sampai hari ke tiga setelah melahirkan, karena air susu yang belum keluar dan ibu mengeluh masih merasakan nyeri dan kondisinya belum stabil. Hanya 1 orang ibu yang dapat memberikan ASI nya tidak lebih dari satu jam setelah melahirkan. Air susu ibu (ASI) merupakan makanan yang terbaik bagi bayi karena mengandung semua zat gizi dalam jumlah dan komposisi yang ideal yang dibutuhkan oleh bayi untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, terutama pada umur 0 sampai 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif kepada bayi umur 0 – 6 bulan sangat dianjurkan dan memberikan makanan pendamping ASI secara benar setelah itu sampai bayi/anak berumur 2 tahun (Rinaningsih, 2007, Tedjasaputra, 2010, Fewtrell et al, 2007). Menyusui dibagi menjadi exclusive breastfeeding, predominant breastfeeding, complementary feeding, breastfeeding dan bottle-feeding. Exclusive breastfeeding yaitu pemberian ASI saja pada bayi berumur 0 – 6 bulan tanpa makanan dan minuman tambahan lain. Predominant breastfeeding yaitu pemberian ASI kepada bayi umur 0 – 6 bulan dengan diberikan makanan atau minuman tambahan dalam bentuk cair (air minum, dan minuman berbasis air, buah, jus, larutan rehidrasi oral). Complementary feeding yaitu pemberian pengganti ASI seperti makanan padat atau semi-padat dan cairan (vitamin, mineral, obat¬obatan dan susu formula). Breastfeeding yaitu pemberian ASI yang memungkinkan bayi untuk diberikan makanan atau cairan termasuk susu formula. Bottle-feeding yaitu pemberian ASI, makanan cair atau semi-padat dengan memakai botol dot. Exclusive Breastfeeding dan Predominant Breastfeeding merupakan “full breastfeeding” (menyusui penuh) (Kathrine A et al, 2004). Profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 menunjukkan bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif adalah 28,96%, terjadi sedikit peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya mencapai 27,35%. Hasil rekap laporan ASI eksklusif dari
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 11
jikk
ISSN: 2356-5454 seluruh Puskesmas Kota Semarang tahun 2006, menunjukkan cakupan ASI eksklusif 40,07%, turun menjadi 38,44%. pada tahun 2006 (DinKes, 2008) Cakupan tersebut masih sangat rendah bila dibandingkan dengan target nasional pencapaian ASI eksklusif tahun 2010, yaitu sebesar 80%. Banyak factor yang berhubungan dengan prakyek menyusui eksklusif, diataranya adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran ibu akan pentingnya pemberian ASI secara eksklusif, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung program Peningkatan Penggunaan Air Susu Ibu (PP-ASI), gencarnya promosi susu formula, rasa percaya diri ibu yang masih kurang, tingkat pendidikan ibu, dukungan suami dan rendahnya pengetahuan ibu tentang manfaat ASI bagi bayi dan ibu. Dukungan keluarga, terutama suami dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan menyusui, sebab dukungan suami akan menimbulkan rasa nyaman pada ibu sehingga akan mempengaruhi produksi ASI serta meningkatkan semangat dan rasa nyaman dalam menyusui (Adiningsih, 2004). Dalam kenyataan, masih banyak suami yang berpendapat bahwa menyusui adalah urusan ibu dengan bayinya, sehingga kurang peduli. PEMBAHASAN Kolostrum adalah, cairan pelindung yang kaya akan zat anti infeksi dan berprotein tinggi yang keluar dari hari pertama sampai hari keempat atau ketujuh setelah melahirkan. (Utami Roesli, 2004) Kolostrum adalah cairan pertama yang disekresi oleh kelenjar payudara (Soetjiningsih, 1997). Kolostrum adalah ASI stadium I dari hari pertama sampai hari keempat. Setelah persalinan komposisi kolostrum mengalami perubahan. Kolostrum berwarna kuning keemasan yang disebabkan oleh tingginya komposisi lemak dan sel-sel hidup (Purwanti, 1997). Kandungan kolostrum penuh dengan zat antibody (zat pertahanan tubuh untuk melawan zat asing yang masuk ke dalam tubuh) dan immunoglobulin (zat kekebalan tubuh untuk melawan infeksi penyakit).
Hal | 12
Nomor 08 Tahun 2014
Kolostrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih banyak dari susu matang (mature). Zat kekebalan yang terdapat pada ASI akan melindungi bayi dari penyakit diare. Tubuh ibu mulai memproduksi kolostrum pada saat usia kehamilan tiga sampai empat bulan. Tapi umumnya para ibu tidak memproduksinya kecuali saat ASI ini bocor sedikit menjelang akhir kehamilan. Pada tiga sampai empat bulan kehamilan, prolaktin dari adenohipofise (hipofiseanterior) mulai merangsang kelenjar air susu untuk menghasilkan kolostrum. Pada masa ini pengeluaran kolostrum masih dihambat oleh estrogen dan progesterone, tetapi jumlah prolaktin meningkat hanya aktivitas dalam pembuatan kolostrum yang ditekan. Sedangkan pada trimester kedua kehamilan, laktogen plasenta mulai merangsang pembuatan kolostrum. Keaktifan dari rangsangan hormon-hormon terhadap pengeluaran air susu telah didemonstrasikan kebenarannya bahwa seorang ibu yang melahirkan bayi berumur empat bulan dimana bayinya meninggal tetap keluar kolostrum Banyak wanita usia reproduktif ketika ia melahirkan seorang anak tidak mengerti dan memahami bagaimana pembentukan kolostrum yang sebenarnya sehingga dari ketidaktahuan ibu tentang pembentukan kolostrum ia akhirnya terpengaruh untuk tidak segera memberikan kolostrum pada bayinya. Kolostrum sangat penting bagi pertahanan tubuh bayi karena kolostrum merupakan imunisasi pertama bagi bayi. Manfaat kolostrum antara lain (Utami Roesli, 2004) : 1. Membantu mengeluarkan mekonium dari usus bayi karena kolostrum merupakan pencahar (pembersih usus bayi) yang membersihkan mekonium sehingga mukosa usus bayi yang baru lahir segera bersih dan siap menerima ASI. 2. Melindungi bayi dari diare karena kolostrum mengandung zat kekebalan tubuh 10-17 kali lebih banyak dibandingkan susu matang.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
3.
Melawan zat asing yang masuk ke tubuh bayi 4. Melawan infeksi penyakit oleh zat-zat kekebalan tubuh 5. Menghalangi saluran pencernaan menghidrolisis (menguraikan) protein 6. Mengeluarkan kelebihan bilirubin sehingga bayi tidak mengalami jaundice (kuning) dimana kolostrum mempunyai efek laktasif (Pencahar). 7. Berperan dalam gerak peristaltik usus (gerakan mendorong makanan) 8. Menjaga keseimbangan cairan sel 9. Merangsang produksi susu matang (mature) 10. Mencegah perkembangan kuman-kuman patogen Keseluruhan manfaat daripada kolostrum di atas banyak tidak diketahui oleh ibu-ibu setelah melahirkan. Padahal manfaat tersebut sudah seringkali diberitakan melalui media, ataupun melalui penyuluhan yang diberikan oleh bidan desa. Namun banyak ibu tetap tidak mau segera memberikan kolostrum kepada bayi baru lahir dengan alasan mereka belum diberitahu tentang manfaat kolostrum tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 62 orang ibu menyusui yang diteliti, hanya 9 ibu (14,5%) yang menyusui eksklusif. Sedang yang lain menyusui tidak eksklusif atau bahkan tidak menyusui, Temuan ini mencerminkan bahwa praktek pemberian ASI eksklusif di wilayah Puskesmas Telogosari masih sangat rendah, jika dibandingkan dengan target yang menjadi indikator Indonesia Sehat 2010 bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif adalah 80%.11 Ketentuan pemberian ASI eksklusif tertuang dalam Kepmenkes RI No.450/MENKES/ IV/2004. Program Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI) khususnya ASI eksklusif mempunyai dampak yang luas terhadap status gizi ibu dan bayi (Ali Khomsan, 2000). Hasil wawancara mengungkapkan bahwa alasan mereka yang dapat menyusui eksklusif adalah keinginan ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif, dengan
ISSN: 2356-5454 pemberian ASI saja sudah cukup kenapa harus diberikan yang lain, serta memberikan ASI mudah, murah dan praktis. Sedang alasan ibu-ibu yang tidak menyusui eksklusif adalah : ASI keluar terlambat atau ASI belum keluar sehingga bayi diberi susu formula terlebih dulu, bayi muntah bila diberi ASI, ASI saja tidak cukup dan bayi rewel bila hanya diberi ASI saja. serta ibu bekerja dan malas sebab menyusui akan membatasi ibu keluar rumah. Hasil wawancara dengan ibu-ibu mengungkapkan bahwa ibu yang dapat memberikan ASI eksklusif pada bayi, telah meminta petugas penolong persalinan untuk tidak memberikan makanan atau minuman apapun kepada bayi ketika ASI belum dapat diberikan (belum keluar) setelah bayi dilahirkan Permintaan tersebut biasanya disampaikan ibu ketika menjelang (sebelum) persalinan berlangsung. Ibu-ibu yang tidak menyampaikan permintaan tersebut kepada petugas penolong persalinan, maka setelah bayi dilahirkan dan ASI belum keluar, petugas penolong persalinan akan memberikan susu formula kepada bayi, sambil menunggu keluarnya ASI. Setelah beberapa jam kemudian ketika ASI sudah keluar bayi baru mulai disusukan, sering proses ini tidak sepenuhnya berhasil sehingga pemberian susu formula tidak dapat dihentikan sama sekali. Bila ASI belum keluar dan bayi segera diberi susu formula menggunakan botol dot, akan menyebabkan kegagalan menyusui secara eksklusif karena bayi sudah terbiasa menggunakan botol dot dan mengalami bingung putting. Ini menjadi salah satu penyebab kenapa ASI tidak dapat diberikan secara eksklusif. Keberhasilan pemberian ASI eksklusif sangat bergantung pada keberhasilan pelaksanaan menyusui dini. Sebagian besar ibu (74,2 %) memiliki pengetahuan yang kurang tentang ASI eksklusif. Hanya 11.3 % ibu yang memiliki pengetahuan yang baik tentang ASI eksklusif. Analisis logistic regresi linier, menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu, pendidikan ibu dan dukungan suami dengan praktek pemberian ASI eksklusif (p = 0,997). Ditemukan kenyataan bahwa 5 ibu dari 9 ibu yang
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 13
jikk
ISSN: 2356-5454 menyusui eksklusif berpengetahuan kurang. Mereka berhasil menyusui eksklusif lebih karena mengikuti anjuran menyusui dari penolong persalinan yang menumbuhkan niat pribadi untuk menyusui bayinya. Selain itu, didukung oleh kondisi dimana pada saat setelah persalinan, ASI segera keluar sehingga segera bisa diberikan kepada bayi dan bayi tidak sempat diberi susu formula. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil wawancara, berhasil tidaknya menyusui eksklusif berhubungan dengan pelaksanaan manajemen laktasi yang dilaksanakan oleh petugas penolong persalinan. Di dalam manajemen laktasi telah diatur Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM) yang dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan PP-ASI. Kedisiplinan petugas penolong persalinan terhadap LMKM akan lebih menentukan keberhasilan menyusui eksklusif. PENUTUP Dari hasil dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemberian kolostrum bagi bayi baru lahir pada Ibu di suku Karo di desa Sukanalu sudah cukup baik. Pengetahuan, sikap dan sumber informasi dengan kekuatan korelasi sedang dan lemah. Tingkat pendidikan dan sosial/budaya tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap perilaku pemberian kolostrum dengan kekuatan korelasi sangat lemah. Faktor dominan yang mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberian kolostrum pada suku Karo adalah pengetahuan dan sikap. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Karo agar promosi dan sosialisasi mengenai kolostrum, baik melalui PUSKESMAS, rumah sakit umum, POLINDES di setiap desa semakin ditingkatkan agar cakupan pemberian kolostrum di kabupaten Karo semakin meningkat dengan menggunakan berbagai media. Tiga variable yang diteliti (pengetahun ibu, pendidikan ibu dan dukungan suami) secara terpisah maupun bersamaan tidak
Hal | 14
Nomor 08 Tahun 2014
berhubungan dengan praktek pemberian ASI eksklusif. Praktek pemberian ASI eksklusif lebih ditentukan oleh keinginan pribadi ibu dan keberhasilan manajemen laktasi pada saat pertolongan persalinan di institusi pelayanan kesehatan, yangsangat diwarnai oleh komitmen petugas kesehatan (penolong persalinan) terhadap program peningkatan ASI Eksklusif REFERENSI Adiningsih. N.U. 2004. Menyusui, Cermin Kesetaraan Gender. Penggagas Forum Studi Pemberdayaan Keluarga. Jakarta. Ali Khomsan. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Arisman. 2004. Buku Ajar Ilmu Gizi Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: ECG : 32-36. Depkes RI. 2005. Manajemen Laktasi. Buku Panduan bagi Bidan dan Petugas Kesehatan di Puskesmas. Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta. Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2007. Profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2007 dan 2008. Semarang. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2008. Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2008. Semarang. Febriani Safitri. 2006. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu yang Bekerja di PT Perkebunan Nusantara VIII Ciater Subang Jawa Barat. Program S1 Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Fewtrell, Mary S, Morgan Jane B, Duggan Christopher, Gunnlaugsson, Hibberd Patricia L, Lucas Alan and Kleinman Ronal E. 2007. Optimal Duration of Exclusive Breast Feeding : What is the Evidence to Support Current Recommendations. American Journal of Clinical Nutrition. 85(2): 6355-6385.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
ISSN: 2356-5454
FAKTOR-FAKTOR PADA IBU YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI USIA 0-6 BULAN DI DESA oleh Ajeng Widyastuti A ABSTRAK Cakupan Pemberian ASI di Provinsi Jawa Barat Khususnya pada Puskesmas Maleber hanya mencapai 4,7%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi pemberian PASI pada bayi usia 0 – 6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Maleber Kota Bandung Jawa Barat Tahun 2013. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan cross sectional study. Populasi penelitian ini adalah bayi usia 7 – 11 bulan sebanyak 240 orang. Sampel diambil dengan teknik Systematic Random Sampling sebanyak 54 orang. Hasil penelitian bivariat menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan (p=0,039), mastitis (p=0,017), dukungan keluarga (p=0,021), dukungan lingkungan masyarakat (p=0.039), paparan media (p=0.048), penyuluhan (p=0,017) dengan pemberian susu formula, sedangkan pendidikan, pekerjaan dan estetika tidak ada hubungan dengan pemberian susu formula. Hasil penelitian multivariate, paparan media merupakan faktor yang paling dominan terhadap pemberian PASI dengan nilai Wald = 4,980. Perlu ditingkatkan pengetahuan ibu tentang susu formula dan mastitis, petugas kesehatan disarankan memberi penyuluhan bukan hanya kepada ibu saja tetapi kepada semua lapisan masyarakat, perlunya dukungan Pemerintah untuk membatasi produk-produk susu formula di sarana kesehatan. Kata Kunci : faktor pada ibu, susu formula, bayi usia 0-6 bulan PENDAHULUAN Badan Pusat Statistik (2007), menyatakan bahwa situasi pemberian ASI di Indonesia masih kurang menggembirakan. Berdasarakan data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tercatat bahwa cakupan ASI ekslusif sebesar 40,2% (SDKI, 2007), menurun dari kondisi tahun 2002 – 2003 yaitu 39,5 % dari keseluruhan bayi, sementara jumah bayi di bawah 6 bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16,7 % (SDKI, 2002 – 2003) menjadi 27,9 % (SDKI, 2007). Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa cakupan ASI eksklusif rata-rata Nasional baru sekitar 15,3%. Data DHS (Demographic Health Survey) 2007 mencatat 32,4% ASI Eksklusif 24 jam sebelum interview, ibu-ibu desa lebih banyak yang ASI Eksklusif. Ibu-ibu yang berpendidikan SMA lebih sedikit (40,2%) yang ASI-Eksklusif dibanding yang tidak berpendidikan (56%). Data yang menarik dari DHS bahwa ibu-ibu yang melahirkan ditolong oleh petugas kesehatan terlatih ASI Eksklusifnya lebih sedikit (42,7%) dari pada ibu-ibu yang tidak ditolong tenaga kesehatan (54,7%) (USAID Indonesian
Nutrition Assessment Report, 2010). Meskipun data-data diatas memerlukan validasi, yang jelas cakupan ASI Eksklusif masih jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015 yaitu sebesar 80% (RI, 2012). Data terakhir cakupan pemberian ASI eksklusif (0-6 bulan) di Indonesia sebesar 61,5% (Kemenkes RI, 2012). Propinsi dengan cakupan terendah adalah Aceh (49,6%). Sedangkan propinsi dengan cakupan tinggi diantaranya adalah Propinsi Nusa Tenggara Barat (79.7%), Nusa Tenggara Timur (77,4%) dan Bengkulu (77,5%). Laporan, dari 24 Dinas Kesehatan Provinsi tahun 2011, ada empat propinsi (15,4%) yang sudah mencapai target nasional yaitu 67%. Keempat propinsi tersebut yaitu Provinsi Sulawesi Barat (75,4%), Nusa Tenggara Barat (73,6%), Bengkulu (67,7%) dan Sumatera Barat (67%). Kemenkes RI (2012), mengatakan bahwa Cakupan pemberian ASI eksklusif 0 - 6 bulan, khususnya di Provinsi Jawa Barat yaitu 62,3%, sedangkan target nasional ASI eksklusif 0 – 6 bulan pada Tahun 2011 yaitu 67% dan Provinsi Jawa Barat masih berada di bawah target tersebut. Menurut Dinas
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 15
jikk
ISSN: 2356-5454 Kesehatan Provinsi Jawa Barat bidang Pelayanan Kesehatan menyatakan bahwa presentase bayi usia 0-6 bulan yang mendapat ASI eksklusif pada tahun 2011 dengan target 67% hanya mencapai 18%, sedangakan pada tahun 2012 dengan target 70% hanya mencapai 13%, sedangkan menurut Dinas Kesehatan Kota Bandung Jawa Barat, pencapaian ASI eksklusif pada Puskesmas Maleber pada tahun 2011 yaitu 2,4% dan pada tahun 2012 yaitu 4,7%. Dari data tersebut tergambarkan bahwa menurunnya pemberian ASI Eksklusif dan meningkatnya pemberian susu formula. Berdasarkan data tersebut maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi pemberian PASI pada bayi usia 0 – 6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Maleber Kota Bandung Jawa Barat Tahun 2013. Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan dari faktor yang mempengaruhi pemberian PASI pada bayi di bawah usia 6 bulan, faktor tersebut antara lain yaitu: pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, estetika, mastitis, dukungan keluarga, dukungan lingkungan masyarakat, paparan media dan penyuluhan. Bahan Dan Metode Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Maleber Kecamatan Sirimau Kelurahan Ausen. Penelitian dilaksanakan dari tanggal 01 Maret 2013–01 April 2013. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional study. Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki bayi usia 7 – 11 bulan yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Maleber pada tahun 2013 yang berjumlah 240 orang dengan sampel 54 orang pada saat penelitian dijadikan unit observasi. Pengambilan sampel yang digunakan yaitu dengan metode systematic random sampling. Pengumpulan data diperoleh dengan dua cara, data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder berupa data yang diperoleh dari instansi – instansi terkait, antara lain Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kesehatan Kota Bandung Jawa Barat, dan Puskesmas Christina
Hal | 16
Nomor 08 Tahun 2014
Marta Tiahahu. Data diolah dan dianalisis menggunakan program SPSS di computer dengan melakukan analisis univariat dan analisis hubungan dilakukan terhadap tiap variabel independen dengan variabel dependen dengan menggunakan uji yate’s correction dengan tingkat signifikan alfa (α) 0,05. Data disajikan dalam bentuk tabel yang disertai dengan narasi. PEMBAHASAN Hasil Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 20 – 29 tahun dengan presentasi 61,1%. Pendidikan terakhir ibu sebagian besar pada tingkat SMU sebanyak 66,7%. Untuk pekerjaan responden yang bekerja dan yang tidak bekerja sama persentasenya yaitu 50 %. Jenis pemberian makanan atau minum kepada bayi usia 0 – 6 bulan yaitu, pemberian ASI eksklusif sebanyak 24,07% lebih sedikit dibandingkan dengan pemberian PASI sebanyak 75,93%. Dari 54 responden terdapat 41 responden yang sudah memberikn PASI atau susu formula pada bayi mulai usia 0 – 6 bulan. Presentasi yang paling tertinggi yaitu pemberian susu formula pada bayi sejak usia 0 bulan sebesar 24,1%. Responden yang telah memberikan PASI kepada bayi usia 0 – 6 bulan dengan jenis PASI yaitu susu formula 80,49%, dan 19,51% responden memberikan susu formula dan ditambah dengan pemberian air putih. Dari 54 responden 43,9% responden telah memberi PASI dengan alasan air susu kurang, 34,1% memberi alasan karena bekerja dan 22% responden memberi alasan karena masalah pada payudara ibu. Hubungan antara variabel dependen (Pemberian PASI) dengan variabel independen (pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, estetika, mastitis, dukungan keluarga, dukunngan lingkungan masyarakat, paparan media, penyuluhan) dapat dilihat pada Tabel 2 diantaranya sebagai berikut : Responden yang memiliki pendidikan tinggi lebih lebih besar presentasinya (80%) memberikan susu formula pada bayi usia 0 – 6 bulan dibandingkan responden yang memiliki pendidikan sedang (77,8%) maupun
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
pendidikan rendah (33,3%). Dari hasil uji statistic diperoleh nilai p = 0,204 (p > 0,05) dengan demikian Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara pendidikan dengan pemberian PASI. Responden yang memiliki pengetahuan kurang lebih besar presentasinya (89,3%) dalam memberikan PASI kepada bayi usia 0 – 6 bulan dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan cukup (61,5%). Dari hasil uji statistic diperoleh nilai p = 0,039 (p < 0,05) dengan demikian Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian PASI. Besarnya keeratan hubungan dilihat dari koefisien 𝜑 (phi) sebesar 0, 324. Hal ini berarti hubungan sedang atau dapat dikatakan bahwa variabel pengetahuan berkontribusi sebesar 32,4% terhadap pemberian PASI. Responden yang tidak memiliki pekerjaan lebih besar persentasinya (77,8%) dalam memberikan PASI kepada bayi usia 0 – 6 bulan dibandingkan responden yang memiliki pekerjaan (74,1%). Dari hasil uji statistic diperoleh nilai p = 1.000 (p > 0,05) dengan demikian Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan pemberian PASI. Responden yang merasa tetap cantik atau tidak mengalami perubahan fisik ketika menyusui bayi lebih besar presentasinya (78,3%) dalam memberikan PASI kepada bayi usia 0 – 6 bulan dibandingkan dengan responden yang merasa ada perubahan fisik yang dialami ketika massa menyusui bayinya. Dari hasil uji statistic diperoleh nilai p = 0,981 (p > 0,05) dengan demikian Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara estetika dengan pemberian PASI. Responden yang mengalami mastitis lebih besar presentasinya (92,3%) sehingga memberikan PASI kepada bayi usia 0 – 6 bulan dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami mastitis (60,7%). Dari hasil uji statistic diperoleh nilai p = 0,017 (p < 0,05) dengan demikian Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara mastitis dengan pemberian PASI. Besarnya keeratan hubungan dilihat dari koefisien 𝜑 (phi) sebesar 0, 369. Hal ini berarti hubungan sedang atau dapat
ISSN: 2356-5454 dikatakan bahwa variabel mastitis berkontribusi sebesar 36,9% terhadap pemberian PASI. Responden yang mendapat dukungan keluarga lebih besar presentasinya (94,7%) dalam memberikan PASI kepada bayi usia 0 – 6 bulan dibandingkan dengan responden yang tidak mendapat dukungan dari keluarga (65,7%). Dari hasil uji statistic diperoleh nilai p = 0,021 (p < 0,05) dengan demikian Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pemberian PASI. Besarnya keeratan hubungan dilihat dari koefisien 𝜑 (phi) sebesar 0, 324. Hal ini berarti hubungan sedang atau dapat dikatakan bahwa variabel pengetahuan berkontribusi sebesar 32,4% terhadap pemberian susu formula. Responden yang memiliki dukungan dari masyarakat lebih besar presentasinya (89,3%) dalam memberikan PASI kepada bayi usia 0 – 6 bulan dibandingkan dengan responden yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan masyarakat (61,5%). Dari hasil uji statistic diperoleh nilai p = 0,039 (p < 0,05) dengan demikian Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara dukungan lingkungan masyarakat dengan pemberian PASI. Besarnya keeratan hubungan dilihat dari koefisien 𝜑 (phi) sebesar 0, 324. Hal ini berarti hubungan sedang atau dapat dikatakan bahwa variabel dukungan lingkungan masyarakat berkontribusi sebesar 32,4% terhadap pemberian PASI. Responden yang tinggi terpapar oleh media lebih besar presentasinya (81,8%) dalam memberikan PASI kepada bayi usia 0 – 6 bulan dibandingkan dengan responden yang rendah terpapar oleh media (50.0%). Dari hasil uji statistic diperoleh nilai p = 0,048 (p < 0,05) dengan demikian Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara paparan media dengan pemberian PASI. Besarnya keeratan hubungan dilihat dari koefisien 𝜑 (phi) sebesar 0, 289. Hal ini berarti hubungan sedang atau dapat dikatakan bahwa variabel paparan media berkontribusi sebesar 28,9% terhadap pemberian PASI. Responden yang kurang mendapat penyuluhan tentang PASI lebih besar
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 17
jikk
ISSN: 2356-5454 presentasinya (92,3%) sehingga memberikan PASI kepada bayi usia 0 – 6 bulan dibandingkan dengan responden yang cukup mendapat penyuluhan tentang PASI (60,7%). Dari hasil uji statistic diperoleh nilai p = 0,017 (p < 0,05) dengan demikian Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara penyuluhan dengan pemberian PASI. Besarnya keeratan hubungan dilihat dari koefisien 𝜑 (phi) sebesar 0, 369. Hal ini berarti hubungan sedang atau dapat dikatakan bahwa variabel penyuluhan berkontribusi sebesar 36,9% terhadap pemberian PASI. Berdasarkan hasil analisis, dari kesembilan variabel independen, faktor yang paling berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu paparan media, mastistis dan dukungan masyarakat, tetapi yang meilii pengaruh lebih besar terhadap pemberian PASI yaitu paparan media dengan nilai wald 4,980. Hasil analisi ini dapat dilihat pada Tabel 3. Pembahasan Hasil penelitian ini menujukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan pemberian PASI, hal ini disebabkan karena responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi lebih besar presentasinya dibandingkan dengan responden yang memiliki tingkat pendidikan sedang maupun rendah. Penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang dikemukaan oleh Campbell (2002) dan Kholid (2012), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seeorang maka semakin luas wawasan berfikirnya dan akan lebih banyak menerima informasi, sehingga dengan mudah menerima pemberian ASI Eksklusif dan menolak pemberian susu formula pada bayi usia dibawah 6 bulan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara pengetahuan dengan pemberian PASI, semakin kurang pengetahuan responden tentang PASI makin memberi efek negative dimana semakin meningkatnya pemberian PASI pada bayi usia dibawah 6 bulan. Berdasarkan hasil penelitian, masih banyak terdapat responden yang menganggap bahwa PASI atau susu formula boleh diberikan
Hal | 18
Nomor 08 Tahun 2014
kepada bayi dibawah usia 6 bulan, tidak tidak terlalu menimbulkan resiko gangguan kesehatan terhadap bayi mereka. Purwanti (2004), menyatakan pula bahwa ibu yang memiliki pengetahuan kurang tentang pemberian ASI eksklusif cenderung memiliki perilaku yang kurang baik dalam pemberian ASI eksklusif dan beranggapan makanan pengganti ASI (susu formula) baik diberikan kepada bayinya. Pekerjaan adalah segala sesuatu aktivitas rutin yang dilakukan oleh ibu yang mempunyai bayi guna memperoleh pendapatan. Berdasarkan hasil analisis statistic dengan uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan pemberian PASI. Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan dari hasil wawancara, responden yang tidak bekerja lebih banyak yang memberikan PASI dibandingkan dengan responden yang bekerja. Hal ini sangat tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardeyanti (2007) dan Ita S, et,all (2008), karena seperti yang diketahui bahwa ibu yang tidak bekerja lebih besar peluangnya untuk memberikan ASI eksklusif dan berpeluang kecil untuk memberikan PASI atau susu formula kepada bayinya. Estetika merupakan salah satu faktor sehingga ibu tidak menyusui secara eksklusif, hal ini dapat dilihat dari jawaban kuesioner yang dikemukakan oleh responden yang rata – rata menjawab bahwa dengan menyusui membuat badan ibu menjadi gemuk. Tetapi setelah dilakukan uji chi square diperoleh hasil nilai p = 0,981 artinya Ho diterima bahwa tidak ada hubungan antara estetika dengan pemberian PASI. Pendapat yang dikemukkan oleh responden tidak sejalan dengan yang dikemukkan oleh Roesli (2005), bahwa ibu tidak akang sukar untuk menurunkan berat badan, pada waktu hamil, badan telah mempersiapkan timbunan lemak untuk membuat ASI Mastitis atau kelainan pada payudara dapat menjadi salah satu faktor kegagalan pemberian ASI Eksklusif. Pada penelitian ini terbukti bahwa mastitis merupakan salah satu faktor ibu tidak memberikan ASI secara
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
eksklusif tetapi memberikan PASI pada bayi usia dibawah 6 bulan. Responden yang mengalami mastitis enggan untuk memberikan ASI kepada bayi mereka, dengan alasan akan terasa sakit pada saat menyusui, sehingga untuk sementara digantikan dengan susu formula, malahan ada yang responden yang menghentikan sama sekali pemberian ASI. Penelitian ini tidak sejalan dengan yang dikemukakan oleh Roesli (2005), bahwa tiga hari pasca persalinan payudara akan terasa penuh, tegang dan nyeri, bila ASI tidak diberikan maka akan penyembabkan payudara bertambah bengkak, mengkilat, dan lebih parah lagi ibu bisa mengalami demam. Secara proporsi menunjukkan bahwa proporsi ibu dengan pemberian PASI sebesar 94,7% responden mendapat dukungan dari keluarga untuk memberikan PASI. Keluarga mendukung pemberian PASI, hal ini disebabkan bahwa sebagian responden yang mengatakan bahwa ASInya kurang atau tidak ada ASI yang keluar atau alasan pekerjaan sehingga mau tidak mau keluarga mendukung pemberian PASI atau susu formula sebagai makanan atau minuman pengganti ASI. Dukungan keluarga yang tinggi terhadap pemberian PASI menimbulkan efek negative terhadap bayi untuk tidak sepenuhnya mendapatkan ASI Eksklusif. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardeyanti (2007), yang menyebutkan bahwa dukungan keluarga akan meningkatkan resiko untuk tidak memberikan ASI eksklusif. Secara proporsi responden yang mendapat dukungan dari lingkungan masyarakat sebesar 89,3% yang diperoleh dari teman sebayanya yang telah memberikan susu formula kepada anaknya, dari teman – teman kantor bagi responden yang bekerja, dan ada pula yang mendapat dukungan berupa informasi dari tetangga yang lebih dituakan, sehingga mereka tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya tetapi menggantinya dengan susu formula. Dari hasil penelitian diperoleh dukungan lingkungan masyarakat yang tinggi terhadap pemberian PASI menimbulkan efek negative dimana bayi pada saat usia 0 – 6 bulan tidak mendapat ASI dari
ISSN: 2356-5454 ibunya secara eksklusif. Penelitian ini sejalan dengan apa yang dikemukkan oleh Roesli (2005), bahwa pemberian PASI berupa susu formula atau sejenisnya merupakan kebiasaan dalam keluarga, anuran orang tua, anjuran tetangga serta pegalaman dari anak sebelumnya. Dari hasil penelitian diperoleh ibu memberikan PASI disebabkan oleh ibu sering mendapat informasi dari media terkait susu formula baik dari media elektronik maupun media cetak dan selain itu sebagain responden juga masih memiliki pemahaman bahwa semakin mahal susu formula semakin baik nilai gizinya. Penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukkan oleh Soetjiningsih (1997), yang menyatakan bahwa semakin bayak informasi yang diperoleh melalui media tentang susu formula, maka keterpaparan semakin tinggi dalam penggunaan susu formula. Hasil penelitian yang diperoleh, responden jarang atau tidak sama sekali mendapat penyuluhan tentang PASI dari petugas kesehatan, sehingga pengetahuan responden tentang PASI kurang, dan mempengaruhi perilaku responden di dalam tindakan pemberian PASI. Dari hasil penelitian masih ada responden yang menjawab bahwa pemberian PASI pada bayi usia 0 – 6 bulan tidak ada pengaruh terhadap kesehatan bayi mereka. Sebagian responden masih beranggapan bahwa pemberian susu formula pada bayi usia 0 – 6 bulan masih dibenarkan. Penelitian ini didukung pula oleh Riksani (2012), menyatakan bahwa tidak jarang, ada klinik, rumah sakit, ataupun tempat pelayanan keehatan lain, yang langsung menyarankan ibu untuk memberikan susu formula kepada bayi bahkan memberikan langsung susu formula kepada bayi tanpa sepengetahuan ibu. PENUTUP Hasil penelitian dan pembahasan mengenai faktor yang berhubungan dengan pemberian PASI pada bayi dibawah usia 6 bulan di Puskesmas Maleber Kota Bandung Jawa Barat, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan, mastitis,
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 19
jikk
ISSN: 2356-5454 dukungan keluarga, dukungan lingkungan masyarakat, paparan media dan penyuluhan dengan pemberian PASI, sedangkan yang tidak berhubungan yaitu pendidikan, pekerjaan dan estetika. Hasil penelitian ini menyarankan perlu ditingkatkan pengetahuan ibu tentang PASI dan mastitis, petugas kesehatan disarankan memberi penyuluhan bukan hanya kepada ibu saja tetapi kepada semua lapisan masyarakat, perlunya dukungan Pemerintah untuk membatasi produk-produk susu formula di sarana kesehatan. REFERENSI Badan Pusat Statistik. 2007. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2006-2007. Jakarta; Badan Pusat Statistik. Campbell K. 2002. Family Food environments of children : does sosioeconomics status make a difference. Asia Pasific Journal Clinical Nutrition 2002; 11 (3) : 553 – 561. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2011. Laporan Tahunan Bidang Pelayanan Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Ambon; Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat ----------, 2012. Laporan Tahunan Bidang Pelayanan Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Ambon; Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Dinas Kesehatan Kota Bandung Jawa Barat, 2011. Profil Kesehatan 2011 Pemerintah Kota Bandung Jawa Barat. Ambon; Dinas Kesehatan Kota Bandung Jawa Barat Ita S.E..Kasim.F. Suwindere.W. 2008. Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku BUTEKI
Hal | 20
Nomor 08 Tahun 2014
pada Kalangan Pekerja terhadap Pemberian ASI Eksklusif di Perusahaan X, Semarang Tahun 2007. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2008 ; 8 (1) : 59-77. UKMB. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.2012. Kinerja Kegiatan Pembinaan Gizi Tahun 2011Menuju Perbaikan Gizi Perseorangan Dan Masyarakat Yang Bermutu. Direktorat Bina Gizi. Jakarta; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kholid A. 2012. Promosi Kesehatan dengan Pendekatan Teori Perilaku, Media, dan Aplikasinya (untuk Mahasiswa dan Praktisi Kesehatan). Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.. Mardeyanti, 2007. Pengaruh Karakteristik dan Dukungan Keluarga Terhadap Pemberian ASI Ekslusif di Tanggerang, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 2007; 1(2) http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/20896/2/Reference.pdf ( Diakses pada tanggal 30 April 2013) jam 11.30 Wita. Purwanti, 2004. Konsep Penerapan ASI ekslusif. Jakarta; Buku Kedokteran. EGC. Republik Indonesia. 2012. Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Jakarta; Republik Indonesia. Riksani. R. 2012. Keajaiban ASI (Air Susu Ibu). Jakarta; Niaga Swadaya. Roesli. U. 2005. Mengenal Asi Esklusif. Jakarta; Trubus Agriwidya. Soetjiningsih. 1997. ASI Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta; EGC.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
ISSN: 2356-5454
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU PRIMIGRAVIDA TENTANG TEKNIK MENERAN YANG BENAR oleh Nunung Kanianingsih ABSTRAK Meneran merupakan sebuah refleks, dorongan instingtif yang disebabkan oleh tekanan kepala bayi pada dasar panggul dan dubur. Berdasarkan survei pendahuluan pada bulan February 2012, peneliti mewawancarai langsung ibu primigravida trimester III yang berjumlah 15 orang, dari 15 orang tersebut terdapat 11 orang tidak mengetahui cara meneran yang benar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingat pengetahuan ibu hamil primigravida trimester III tentang meneran dalam persalinan di Desa Cikalong Kecamatan Cikalongwetan Kabupaten Bandung Barat. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan waktu Cross Sectional. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 36 ibu hamil primigravida trimester III. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang terdiri dari 24 pertanyaan. Analisa data menggunakan analisis distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang mempunyai pengetahuan dalam kategori kurang dengan jumlah 14 orang (38,9%) dalam kategori baik dengan jumlah 10 orang (27,8 %), dan dalam kategori cukup dengan jumlah 12 orang (33,3%). Dengan hasil penelitian ini disarankan bagi bidan desa agar lebih mengaktifkan kelas ibu hamil. Dimana di kelas ibu hamil ini disampaikan materi seputar kehamilan dan persalinan termasuk di dalamnya tentang posisi meneran, sehingga pengetahuan ibu hamil tentang posisi meneran dapat bertambah. Kata Kunci : ibu primigravida, teknik meneran PENDAHULUAN Ibu-ibu hamil harus mengetahui beberapa tanda bahwa persalinan sudah dimulai seperti kontraksi menjadi lebih kuat dan lebih sering, adanya nyeri pada pinggang menuju perut, timbulnya tenaga mengejan karena kontraksi yang semakin kuat, serta keluarnya lendir bercampur darah yang bertambah banyak dari vagina. Dengan diketahuinya tanda-tanda di atas diharapkan ibu-ibu hamil terutama ibu hamil primigravida dapat mengetahui waktu dan cara yang tepat untuk mengejan sehingga diharapkan dapat mencegah kemungkinan terjadinya robekan perineum, perdarahan, oedema pada vagina dan kehabisan tenaga sebelum waktu persalinan tiba. Berdasarkan prasurvey pada bulan maret jumlah primigravida yang bersalin pada tahun 2010 periode januari – maret di BPS Hulaemah ada 24 orang, dan terdapat ibu yang mengalami robekan perineum 5 orang, oedema pada vagina 3 orang, dan kehabisan
tenaga pada saat persalinan 4 orang, dan dari wawancara langsung terhadap ibu primigravida yang datang ANC dengan usia kehamilan >28 minggu, dari 27 ibu 11 orang ibu tidak mengerti tentang teknik mengejan yang benar saat persalinan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tentang pengetahuan ibu primigravida tentang teknik mengejan yang benar saat persalinan di BPS KETU DANI. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan Crossectional, dengan populasi seluruh ibu primigravida yang ANC di BPS Hulaemah pada tanggal 15 juni–5 juli 2010, yaitu berjumlah 25 responden. Cara pengambilan sample menggunakan teknik accidental sampling. Pengumpulan data menggunakan data primer yang diperoleh dari angket yang di sebarkan langsung kepada responden. Hasil penelitian yang didapat adalah pengetahuan ibu primigravida tentang pengertian persalinan presentasi terbanyak dalam kategori baik (80 %), faktor – faktor yang menyebabkan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 21
jikk
ISSN: 2356-5454 persalinan presentasi terbanyak dalam kategori cukup (56 %), waktu yang tepat untuk mengejan saat bersalin presentasi terbanyak dalam kategori cukup (88 %), teknik mengejan yang benar saat bersalin presentasi terbanyak dalam kategori cukup (64 %). Saran dalam penelitian ini bagi tempat penelitian untuk tetap terus meningkatkan dan memberikan pendidikan kesehatan terhadap masyarakat, bagi institusi pendidikan diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan bacaan dan informasi bagi mahasiswa dan instansi pendidikan, dan bagi peneliti lain semoga dapat bermanfaat sebagai bahan perbandingan. PEMBAHASAN Angka Kematian Ibu (AKI) adalah jumlah kematian ibu karena kehamilan, persalinan, dan nifas pada tiap 1000 kelahiran hidup dalam wilayah dan waktu tertentu. Di Indonesia angka kematian ibu masih cukup tinggi sebanyak 228 / 100.000 kelahiran hidup atau 10.260 / th atau 855 orang / bulan atau setiap 3 jam terdapat satu kematian. (Depkes RI, 2008). Di Provinsi Jawa Barat AKI sebanyak 144 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2005 menjadi 117 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2006. (Dinkes Provinsi Jawa Barat, 2006). Penyebab kematian ibu di Indonesia yang utama adalah perdarahan 30%, eklampsia 25%, komplikasi aborsi 15%, partus lama 5%, dan infeksi 12%. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat sendiri angka kematian ibu tertinggi disebabkan oleh perdarahan 36%, eklampsia 24%, dan infeksi 11%. (Dhika indriani, 2006). Agar persalinan sehat dapat berjalan lancar, diperlukan berbagai persiapan baik sebelum hamil maupun selama kehamilan sehingga ibu dan janin selalu dalam keadaan sehat. Upaya Safe Motherhood merupakan upaya untuk menyelamatkan wanita agar kehamilan dan persalinannya dapat dilalui dengan sehat dan aman serta menghasilkan bayi yang sehat. (Saifuddin, 2002). Salah satu tujuan global dari MPS adalah Menurunkan Angka Kematian Ibu sebesar 75 persen pada tahun 2015 dan target dampak dari MPS adalah menurunkan AKI
Hal | 22
Nomor 08 Tahun 2014
menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk dapat mencapai tujuan dan target tersebut diatas telah diidentifikasikan empat strategi utama yang konsisten dengan “Rencana Indonesia Sehat 2010” antaranya adalah mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan untuk menjamin prilaku sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. (Depkes RI, 2001). Meningkatkan pengetahuan kesehatan masyarakat terutama pada ibu hamil, dimana pendidikan kesehatan ibu-ibu hamil dapat dilakukan pada waktu pengawasan hamil di Puskesmas atau Pondok Bersalin Desa dan Bidan Praktek Swasta, saat penyelenggaraan Posyandu, dan saat diadakannya pertemuan atau kegiatankegiatan di lingkungannya dan saat melakukan kunjungan rumah. (Manuaba, 1998). Selain itu ibu-ibu hamil harus mengetahui beberapa tanda bahwa persalinan sudah dimulai seperti kontraksi menjadi lebih kuat dan lebih sering, adanya nyeri pada pinggang menuju perut, timbulnya tenaga mengejan karena kontraksi yang semakin kuat, serta keluarnya lendir bercampur darah yang bertambah banyak dari vagina. Khususnya ibu hamil primigravida mereka terkadang tidak mengetahui tanda tersebut merupakan tanda-tanda persalinan karena bagi mereka semua merupakan pengalaman yang baru. Dengan diketahuinya tanda-tanda di atas diharapkan ibu-ibu hamil terutama ibu hamil primigravida dapat mengetahui waktu dan cara yang tepat untuk mengejan sehingga diharapkan dapat mencegah kemungkinan terjadinya robekan perineum, perdarahan, oedema pada vagina dan kehabisan tenaga sebelum waktu persalinan tiba. (Salamah.2006). Berdasarkan prasurvey pada bulan maret jumlah primigravida yang bersalin periode januari – maret tahun 2010 di BPS Hulaemah, SST ada 24 orang, dari 24 ibu bersalin tersebut yang mengalami robekan perineum 5 orang, oedema pada vagina 3 orang, dan kehabisan tenaga pada saat
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
persalinan 4 orang. Kemudian peneliti mewawancarai langsung ibu primigravida yang usia kehamilan ≥ 28 minggu yang ANC di BPS Hulaemah, SST pada bulan Maret tahun 2010 sebanyak 27 orang, dan dari 27 orang primigravida tersebut terdapat 11 orang tidak mengetahui cara mengejan yang benar. Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti pengetahuan ibu primigravida tentang tehnik mengejan yang benar saat persalinan di BPS Hulaemah, SST. Faktor – Faktor Yang Berperan Dalam Persalinan Passage (Jalan Lahir) Adalah jalan lahir yang harus dilewati oleh janin terdiri dari rongga panggul, dasar panggul, serviks dan vagina. Agar janin dan plasenta dapat melalui jalan lahir tanpa ada rintangan, maka jalan lahir tersebut harus normal. Rongga - rongga panggul yang normal adalah: pintu atas panggul hampir berbentuk bundar, sacrum lebar dan melengkung, promontorium tidak menonjol ke depan, kedua spina ischiadica tidak menonjol kedalam, sudut arcus pubis cukup luas (90-100), ukuran conjugata vera (ukuran muka belakang pintu atas panggul yaitu dari bawah simpisis ke promontorium) ialah 10 11 cm, ukuran diameter transversa (ukuran melintang pintu atas panggul) 12 - 14 cm, diameter oblique (ukuran serong pintu atas panggul) 12 - 14 cm, pintu bawah panggul ukuran muka melintang 10 - 10,5 cm. Jalan lahir dianggap tidak normal dan kemungkinan dapat menyebabkan hambatan persalinan apabila: panggul sempit seluruhnya, panggul sempit sebagian, panggul miring, panggul seperti corong, ada tumor dalam panggul. Dasar panggul terdiri dari otot-otot dan macam-macam jaringan, untuk dapat dilalui bayi dengan mudah jaringan dan otot-otot harus lemas dan mudah meregang, apabila terdapat kekakuan pada jaringan, maka otot-otot ini akan mudah ruptur.Kelainan pada jalan lahir lunak diantaranya disebabkan oleh serviks yang kaku (pada primi tua primer atau sekunder dan serviks yang cacat atau skiatrik), serviks gantung (OUE terbuka lebar, namun OUI
ISSN: 2356-5454 tidak terbuka), serviks konglumer (OUI terbuka, namun OUE tidak terbuka), edema serviks (terutama karena kesempitan panggul, sehingga serviks terjepit diantara kepala dan jalan lahir dan timbul edema Power (Kekuatan) Power adalah kekuatan atau tenaga untuk melahirkan yang terdiri dari his atau kontraksi uterus dan tenaga meneran dari ibu. Power merupakan tenaga primer atau kekuatan utama yang dihasilkan oleh adanya kontraksi dan retraksi otot-otot rahim. His adalah kontraksi otot-otot rahim pada persalinan. Kontraksi adalah gerakan memendek dan menebalnya otot-otot rahim yang terjadi diluar kesadaran (involuter) dan dibawah pengendalian syaraf simpatik. Retraksi adalah pemendekan otot-otot rahim yang bersifat menetap setelah adanya kontraksi. His yang normal adalah timbulnya mula-mula perlahan tetapi teratur, makin lama bertambah kuat sampai kepada puncaknya yang paling kuat kemudian berangsur-angsur menurun menjadi lemah. His tersebut makin lama makin cepat dan teratur jaraknya sesuai dengan proses persalinan sampai anak dilahirkan. His yang normal mempunyai sifat kontraksi otot rahim mulai dari salah satu tanduk rahim, kontraksi bersifat simetris, fundal dominan yaitu menjalar ke seluruh otot rahim, kekuatannya seperti memeras isi rahim, otot rahim yang berkontraksi tidak kembali ke panjang semula sehingga terjadi retraksi dan pembentukan segmen bawah rahim, bersifat involunter yaitu tidak dapat diatur oleh parturient. Tenaga meneran merupakan kekuatan lain atau tenaga sekunder yang berperan dalam persalinan, tenaga ini digunakan pada saat kala II dan untuk membantu mendorong bayi keluar, tenaga ini berasal dari otot perut dan diafragma. Meneran memberikan kekuatan yang sangat membantu dalam mengatasi resistensi otot-otot dasar panggul. Persalinan akan berjalan normal, jika his dan tenaga meneran ibu baik. Kelainan his dan tenaga meneran dapat disebabkan karena hypotonic/atonia uteri dan hypertonic/tetania uteri.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 23
jikk
ISSN: 2356-5454
Kelainan kekuatan his dan meneran dapat disebabkan oleh: 1. Kelainan kontraksi rahim a. Inersia uteri primer dan sekunder b. Tetania uteri dapat mengakibatkan partus presipitatus, asfiksia intrauterin sampai kematian janin dalam rahim c. Inkoordinasi kontraksi otot rahim yang disebabkan karena usia terlalu tua, pimpinan persalinan salah, induksi perrsalinan, rasa takut dan cemas 2. Kelainan tenaga mengejan a. Kelelahan b. Salah dalam pimpinan meneran pada kala II Passanger Passenger terdiri dari janin dan plasenta. Janin merupakan passanger utama, dan bagian janin yang paling penting adalah kepala, karena kepala janin mempunyai ukuran yang paling besar, 90% bayi dilahirkan dengan letak kepala. Psyche (Psikologis) Faktor psikologis ketakutan dan kecemasan sering menjadi penyebab lamanya persalinan, his menjadi kurang baik, pembukaan menjadi kurang lancar. Menurut Pritchard, dkk perasaan takut dan cemas merupakan faktor utama yang menyebabkan rasa sakit dalam persalinan dan berpengaruh terhadap kontraksi rahim dan dilatasi serviks sehingga persalinan menjadi lama. MEKANISME PERSALINAN Dalam proses persalinan terdiri dari empat kala, yaitu: Kala I atau Fase Pembukaan Fase ini dimulai dari proses persalinan (pembukaan awal) sampai pembukaan lengkap, yaitu 10 cm. Fase ini terbagi lagi menjadi dua fase yang disebut dengan: a) Fase laten : dimulainya pembukaan dari 0-3 cm, berlangsung selama 8 jam dan terjadi sangat lambat b) Fase aktif dibagi dalam 3 fase, yaitu:
Hal | 24
Nomor 08 Tahun 2014
1. Fase ekselerasi : berlangsung 2 jam, pembukaan menjadi 4 cm 2. Fase dilatasi maksimal : selama 2 jam pembukaan berlangsung cepat menjadi 9 cm 3. Fase deselerasi : berlangsung lambat, dalam waktu 2 jam pembukaan menjadi 10 cm atau lengkap. Pada fase ini akan timbul kontraksi, mulai dari kontraksi yang paling kecil dan sebentar sampai kontraksi yang makin kuat, sering, dan teratur. Kontraksi diawali dengan waktu 30 menit dari kontraksi pertama ke kontraksi berikutnya, sampai kontraksi yang makin kuat dan lama dengan selang waktu kurang lebih 3 - 5 menit selama 1 - 1.5 menit per kontraksinya. Pada fase pembukaan ini, mulai terjadi penipisan 2 segmen bawah rahim, yang diikuti oleh keluarnya lendir yang bercampur darah, sampai ke tahap terjadinya pembukaan jalan lahir dan pecahnya ketuban. Jika proses ini berjalan terbalik (ketuban pecah terlebih dahulu), persalinan itu dapat dikatakan tidak normal. Untuk anak pertama, proses terbukanya jalan lahir ini biasanya membutuhkan waktu lebih kurang satu jam untuk mencapai pembukaan 1 cm. Sementara itu, untuk kelahiran anak kedua dan seterusnya, biasanya dibutuhkan waktu lebih kurang satu jam untuk mencapai pembukaan 2 cm. Namun, seperti yang sudah dijelaskan, bahwa setiap proses kelahiran itu unik kadang kala pembukaan ini dapat terjadi lebih cepat atau malah lebih lambat. Air ketuban itu sendiri sebenarnya berfungsi dalam pembukaan jalan lahir, terutama pada fase pembukaan 0-6 cm. Namun, pada pembukaan di atas 6 cm pembukaan lebih dititik beratkan pada daya dorong kepala bayi itu sendiri. Tentunya, kepala bayi harus berada dalam posisi normal, yaitu kepala bayi masuk ke jalan lahir terlebih dahulu. Kala I selesai apabila pembukaan servik lengkap ( 10 cm ). Pada primigravida kala I berlangsung kira – kira 13 jam,
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
sedangkan pada multigravida kira – kira 7 jam.
ISSN: 2356-5454 c.
Perbedaan Primigravida dan Multigravida: Kala II atau Fase Pengeluaran Ini merupakan periode antara tercapainya pembukaan lengkap sampai saat bayi lahir. Biasanya pada wanita yang baru pertama kali melahirkan, proses ini berlangsung lebih kurang 2 jam, sedangkan pada wanita yang sudah pernah melahirkan berlangsung sekitar 1 jam. Namun pada kenyataannya proses ini berjalan lebih cepat dari pada perkiraan tersebut. Pada fase ini normalnya kepala janin keluar terlebih dahulu yang diikutii oleh bahu, dengan bantuan bidan atau dokter sampai bayi keluar seutuhnya. Pada kala II his menjadi lebih kuat dan cepat kira – kira 2 sampai 3 menit sekali, karena biasanya dalam hal ini kepala sudah masuk diruang panggul, maka pada his dirasakan tekanan otot – otot dasar panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengejan.
Cara Meneran : a.
b. c. d. e. f. g. h.
Tanda dan Gejala Persalinan Kala II adalah : a) Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi b) Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rektum c) Perineum menonjol d) Vulva, vagina, dan sfingter ani membuka e) Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah Posisi Ibu Saat Meneran : a. Posisi duduk atau setengah duduk: keuntungan dari posisi ini gaya gravitasi untuk membantu ibu melahirkan bayinya, dan dapat memberikan rasa nyaman bagi ibu dan memudahkan ibu beristirahat diantara kontraksi. b. Posisi jongkok atau berdiri: keuntungan dari posisi ini mempercepat kemajuan kala II dan mengerangi nyeri
Posisi merangkak atau berbaring miring ke kiri: keuntungan dari posisi ini membantu posisi oksiput yang melintang untuk berputar menjadi posisi oksiput anterior dan juga membantu ibu mengurangi nyeri punggung
i.
j. k.
l.
m.
Mengejan dimulai saat persalinan memasuki kala II yaitu saat pembukaan sudah lengkap, kontraksi kian kuat dan sakit, ada dorongan ingin mengejan. Mulai meneran setelah di perbolehkan oleh penolong persalinan Tarik napas panjang, dan mulai meneran Buang napas sedikit demi sedikit. Angkat kepala saat mengejan. Konsentrasikan mengejan pada daerah perut, bukan otot leher. Mata tetap terbuka, arahkan pandangan ke perut. Kaki dilemaskan, jangan tegang, apa pun posisi melahirkan Anda. Mulut ditutup, kemudian mengejan ke daerah perut. Jangan angkat panggul, kondisikan diri santai. Hindari berteriak karena justru akan menghabiskan tenaga. Berhenti mengejan saat penolong memerintahkan berhenti, yang disebut satu periode mengejan, lamanya antara beberapa detik sampai 1 menit. Jika satu periode mengejan ini efektif, bayi akan terdorong keluar cukup jauh. Istrirahat di sela periode mengejan dengan bernapas cepat (panting), hembuskan napas pendek - pendek dari mulut. Dengarkan lagi instruksi penolong persalinan. Berikutnya (biasanya saat kontraksi datang lagi). Lalu ulangi prosesnya dari awal. Proses mengejan sampai bayi lahir biasanya memakan waktu 30 menit.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 25
jikk
ISSN: 2356-5454 Kesalahan Yang Sering Dilakukan Ibu Saat Mengejan Berteriak Mungkin karena ingin menyalurkan emosi dan rasa sakit, namun hal ini tidak produktif. Selain membuang tenaga akan lebih bermanfaat jika disalurkan sepenuhnya untuk mengejan. Berteriak juga akan membuat tenggorokan kering, batuk, serak, membuat suasana jadi panik dan tegang. Jika sakit tak tertahankan saat kontraksi, lemaskan otot agar relaks, tarik napas panjang dan hembuskan perlahan.
Mata ditutup Dapat mengakibatkan tekanan pada mata, sehingga pembuluh darah di selaput bola mata pecah. Akibatnya mata memerah, meski akan sembuh dalam beberapa hari. Maka buka mata saat meneran, arahkan pandangan ke arah perut. Mengangkat panggul Dapat membuat robekan perineum lebih lebar sehingga memerlukan lebih banyak jahitan. Bernapas serabutan Tidak ada manfaatnya dalam proses mengejan. Tarik napas yang benar justru mengurangi rasa sakit dan menjadi sumber tenaga mengejan. Mengejan sebelum disarankan oleh penolong persalinan Sehingga pola mengejan jadi tidak teratur, tenaga terbuang percuma, dan jalan lahir membengkak karena saat mengejan terdapat cairan yang keluar di jalan lahir. Akibat lebih jauh jika vagina mengalami pembengkakan adalah menyulitkan penjahitan. Jika sudah tak tahan ingin mengejan sementara pembukaan belum lengkap dan belum dianjurkan penolong, lakukan pernafasan pendek-pendek dan cepat. Menahan mengejan Beberapa ibu menahan mengejan karena hawatir feses (kotoran) ikut keluar dari
Hal | 26
Nomor 08 Tahun 2014
anus. Agar tak terjadi kosongkan usus 24 jam sebelum persalinan. Kala III atau Fase Lahirnya Plasenta Fase ini terjadi setelah bayi dilahirkan sampai lahirnya placenta. Proses lahirnya placenta biasanya tidak lebih dari 30 menit. Mekanisme Pelepasan Placenta Kontraksi rahim akan mengurangi area uri, karena rahim bertambah kecil dan dindingnya bertambah tebal beberapa centimeter. Kontraksi – kontraksi tadi menyebabkan beberapa bagian yang longgar dan lemah dari uri pada dinding rahim, bagian ini akan terlepas, mula – mula sebagian kemudian seluruhnya dan tinggal bebas dalam kavum uteri. Kadang – kadang ada sebagian kecil uri yang masih melekat pada dinding rahim. Proses pengeluaran ini biasanya setahap demi setahap dan pengumpulan darah dibelakang uri akan membantu pelepasan uri. Bila pelepasan sudah komplit maka kontraksi rahim mendorong uri yang sudah lepas ke SBR, lalu ke vagina dan kemudian dilahirkan. Selaput ketuban pun dikeluarkan, sebagian oleh kontraksi rahim, sebagian sewaktu keluarnya uri. Fase Pelepasan Placenta Cara pelepasan placenta ada beberapa macam: a. Schultze : Lepasnya seperti kita menumbung payung, cara ini paling sering terjadi (80%). Terlebih dahulu bagian tengah terlepaslalu terjadi retroplasenter hematoma yang menolak uri mula–mula bagian tengah, kemudian seluruhnya. b. Duncan : Lepasnya uri mulai dari pinggir, darah akan mengalir keluar antara selaput ketuban. Serempak dari tengah dan pinggir placenta Tanda – Tanda Pelepasan Placenta a. Perubahan Bentuk dan Tinggi Fundus Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai berkontraksi, uterus berbentuk bulat penuh dan tinggi fundus biasanya di bawah
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
pusat. Setelah uterus berkontraksi dan placenta terdorong kebawah, uterus berbentuk segitiga atau seperti buah pear dan fundus berada diatas pusat ( sering kali mengarah ke sisi kanan ) b. Tali Pusat Memanjang Tali pusat terlihat menjulur keluar melalui vulva (tanda ahfeld) c. Semburan Darah Mendadak Dan Singkat Darah yang terkumpul dibelakang placenta akan membantu mendorong placenta keluar dibantu oleh gaya gravitasi. Apabila kumpulan darah dalam ruang di antara dinding uterus dan permukaan dalam placenta melebihi kapasitas tampungnya maka darah tersembur keluar dari tepi placenta yang terlepas. Setelah proses kelahiran selesai, rahim ibu akan mulai mengecil dengan sendirinya. Proses pengecilan ini masih disertai oleh kontraksi sehingga ibu masih akan merasa mulas walupun proses persalinan telah usai. Kala IV atau Fase Waspada Ini adalah masa setelah ibu selesai bersalin. Biasanya, setelah bayi dan plasenta keluar, ibu masih perlu diobservasi atau dipantau. Waktu pemantauan ini berlangsung sekitar 2 jam. Ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya perdarahan setelah persalinan (postpartum bleeding). Kadang kala ada ibu yang mengalami perdarahan lambat, yakni perdarahan yang baru terjadi 1-2 jam setelah bayi dan plasenta keluar. PENUTUP Dengan diketahuinya tanda-tanda di atas diharapkan ibu-ibu hamil terutama ibu hamil primigravida dapat mengetahui waktu dan cara yang tepat untuk mengejan sehingga diharapkan dapat mencegah kemungkinan terjadinya robekan perineum, perdarahan, oedema pada vagina dan kehabisan tenaga sebelum waktu persalinan tiba. Ibu-ibu hamil harus mengetahui beberapa tanda bahwa persalinan sudah dimulai seperti kontraksi
ISSN: 2356-5454 menjadi lebih kuat dan lebih sering, adanya nyeri pada pinggang menuju perut, timbulnya tenaga mengejan karena kontraksi yang semakin kuat, serta keluarnya lendir bercampur darah yang bertambah banyak dari vagina. REFERENSI Rusepno H, Husein A. Asfiksia neonatorum. Buku kuliah IKA 3.Bagian IKA FKUI 1985. h1072 Markum AH, Sofyan I, Husein A, Arwin A, Agus F, Sudigdo S. Asfiksia bayi baru lahir. Buku ajar IKA jilid 1.Bagian IKA FKUI Jakarta, 2002.h261-262. Vera MM, Idham A. Gangguan fungsi multi organ pada bayi asfiksia berat. Sari Pediatri. 2003;5;(2):72-78. Angka kejadian asfiksia neonatorum menurut WHO, diunduh di : http://www.who.int/bulletin/volumes/86/4 /07-049924/en/ Lawn JE, Cousens S, Zupan J: Lancet Neonatal Survival Steering Team. 4 million neonatal deaths: When? Where? Why? Lancet 2005; 365 (9462):891 –900. London, Susan Mayor. Communicable disease and neonatal problems are still major killers of children. BMJ 2005;330:748 (2 April), doi:10.1136/bmj.330.7494.748-g. Adhie NR, MS Kosim, Heru M. Asfiksia neonatorum sebagai faktor risiko gagal ginjal akut. Sari Pediatri. 2009;13(5):30510. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2009.h. 323 Neneng YBS. Hubungan jenis persalinan dengan kejadian asfiksia di RSUD dr.M Soewandhie Surabaya. Diunduh di :http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfil e/59123815491_abs.pdf Indra JM, Dadang HS, Sjarif HE. Kesesuaian Skor New Ballard terhadap Hari Pertama Haid Terakhir Ibu pada Bayi Cukup Bulan yang Lahir Asfiksia dan Tidak Asfiksia. J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 10, Oktober 2011.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 27
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 08 Tahun 2014
HUBUNGAN ANTARA USIA IBU DENGAN KEJADIAN ABORTUS DI RSUD UJUNG BERUNG oleh Yuliustina ABSTRAK Abortus merupakan suatu masalah kontroversi karena di satu pihak abortus ada di masyarakat. Sekitar 210 juta kehamilan yang terjadi setiap tahun, sekitar 46 juta (22%) berakhir karena abortus. Salah satu penyebab abortus adalah trauma. Penyebab paling umum dari trauma selama kehamilan adalah kecelakaan kendaraan bermotor (49%), jatuh (25%), kekerasan (18%), senjata api (4%), dan luka bakar (1%). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara riwayat trauma terhadap kejadian abortus pada ibu hamil di RSUD Ujung Berung 2011. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel diperoleh dari rekammedis di Rumah Sakit Ujung Berung tahun 2011. Didapatkan jumlahsampel sebanyak 251 orang dan jumlah control sebanyak 323 orang. Sampel yang memiliki riwayat trauma sebanyak 41 (16%) orang, dan tanpa riwayat trauma sebanyak 210 (84%). Hasil uji statistic chi-square menunjukkan terdapat hubungan antara riwayat trauma dengan kejadian abortus di RSUD Ujung Berung, didapatkan angka probabilitas sebesar 0,000 artinya kedua variable tersebut berhubungan karena angkanya < 0,05. Sedangkan prevalence odds ratio (POR) melalui uji koefisien korelasi didapatkan angkasebesar 7,688 yang berarti kekuatan hubungannya kuat. Kesimpulannya ada hubungan bermakna antara riwayat trauma dengan angka kejadian abortus. Kata Kunci : riwayat trauma, abortus, pijatperut PENDAHULUAN Abortus merupakan suatu masalah kontroversi karena di satu pihak abortus ada di masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan denganadanya jamu dan obat-obat peluntur serta dukun pijat untuk mereka yang terlambat bulan. Di lain pihak, abortus tidak dibenarkan oleh agama, bahkan dicaci, dimaki, dan dikutuk sebagai perbuatan tidak bermoral. Pembicaraan tentang abortus dianggap tabu. Sulit ditemukan seorang wanita yang secara sukarela mengaku bahwa ia pernah diabortus Karena malu (1). Sekitar 210 juta kehamilan yang terjadi setiap tahun, sekitar 46 juta (22%) berakhir karena abortus dan sebagian besar perempuan cenderung mendapatkan setidaknya satu abortus pada umur 45 tahun. Metode kontrasepsi yang efektif dan tersedia serta banyak digunakan, menyebabkan tingkat jumlah abortus menurun tajam, tetapi tidak menurun keangka nol karena beberapa alasan. Pertama, jutaan wanita dan j uga pria tidak memiliki akses ke metode kontrasepsi yang tepat, atau tidak memiliki informasi yang memadai dan
Hal | 28
dukungan untuk menggunakannya secara efektif. Kedua, tidak ada metode kontrasepsi yang 100% efektif. Ketiga, tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan termasuk di rumah dan di dalam perang menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan. Keempat, perubahan keadaan, seperti perceraian atau krisis lainnya, dapat mengakibatkan kehamilan yang diinginkan menjadi tidak diinginkan (2). Kematian karena abortus yang tidak aman menyebabkan 13% dari semua kematian ibu. Abortus tidak aman yang berhubungan dengan kematian telah berkurang menjadi 47.000 pada 2008 dari 56.000 pada tahun 2003 dan 69.000 pada tahun 1990, sesuai dengan penurunan jumlah keseluruhan kematian ibu menjadi 358.000 pada 2008 dari 546.000 di tahun 1990. Meskipun abortus tidak aman ini dapat dicegah, mereka terus menimbulkan risiko yang tidak semestinya terhadap kesehatan dan kehidupan wanita tersebut (3). Estimasi nasional menyatakan setiap tahun terjadi 2 juta kasus abortus di Indonesia. Artinya terdapat 43 kasus abortus per 100
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
kelahiran hidup (menurut hasil sensus penduduk tahun 2000, terdapat 53.783.717 perempuan usia 15-49 tahun )atau 37 kasus abortus per tahun per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun (berdasarkan Crude Birth Rate (CBR) sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup) (4). Kejadian trauma mempengaruhi proses kehamilan seorang ibu. Penyebab paling umum dari trauma selama kehamilan adalah kecelakaan kendaraan bermotor (49%), jatuh (25%), kekerasan (18%), senjata api (4%), danlukabakar (1%). Beberapa factor risiko yang berhubungan dengan trauma ialah usia yang sangat muda, penggunaan narkoba, alkohol, dan kekerasan rumah tangga. Kecelakaan sepeda motor dan mobil adalah penyebab umum dari trauma tumpul pada kehamilan (5, 6). Di Bandung, didapatkan 289 kejadian abortus pada tahun 2009 menurut buku tahunan SMF Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ujung Berung. Inilah yang membuat calon peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan riwayat trauma terhadap kejadian abortus (7). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh ibu hamil kurang dari 20 minggu di RSUD Ujung Berung tahun 2011. Sampel penelitian adalah seluruh populasi yang didapat di RSUD Ujung Berung tahun 2011. Sedangkan untuk data kontrol penelitian diambil dari data antenatal care (ANC) kurang dari 20 minggu di rekam medik RSUD Ujung Berung tahun 2011. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembaran kuesioner abortus yang dilakukan di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Ujung Berung tahun 2011 dan rekam medik ibu hamil kurang dari 20 minggu di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Ujung Berung tahun 2011. Analisis data dilakukan dengan uji statistik chi-square dengan tingkat kepercayaan 95%. Jika terjadi perbedaan bermakna, dilanjutkan dengan mendapatkan nilai prevalence odds ratio (POR).
ISSN: 2356-5454 PEMBAHASAN Pengambilan data telah dilakukan di Bagian Obstetri dan Ginekologi serta rekam medik RSUD Ujung Berung pada bulan Agustus sampai Desember 2012. Sampel yang didapat sebanyak 251 dari 262 total populasi karena ada beberapa data yang tidak diisi dengan lengkap sehingga tidak dapat digunakan, sedangkan data kontrol yang didapat sebanyak 323 orang.
Gambar Diagram Batang Distribusi Pasien Abortus dan Tidak Abortus di RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2011 Berdasarkan Riwayat Trauma Dari 251 data sampel pada Gambar menunjukkan bahwa ibu hamil dengan kejadian abortus di RSUD Ujung Berung, sebagian kecil memiliki riwayat trauma yaitu sekitar 41 (16%) orang, ini karena ibu hamil selalu menjaga keamanan dirinya dari kejadian yang membahayakan, namun bila terjadi dapat berakibat fatal bagi kandungannya. Untuk ibu yang mengalami abortus tanpa kejadian trauma didapatkan 210 (84%) orang, hal ini bisa disebabkan oleh faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan risiko abortus seperti usia ibu yang berisiko dan kurangnya gizi ibu pada saat hamil. Sedangkan untuk data kontrol yaitu ibu hamil yang tidak mengalami kejadian abortus di RSUD Ujung Berung sebagian besar tidak memiliki riwayat trauma sebanyak 315 orang (98%). Hanya 8 (2%) orang yang memiliki riwayat trauma, namun masih dapat mempertahankan kandungannya.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 29
jikk
ISSN: 2356-5454 Kekuatan hubungan diketahui dengan menghitung prevalence odds ratio (POR). POR yang diperoleh adalah sebesar 7,688 dengan IK 95% = 3,533 < OR < 16,727. Hasil analisis ini menjelaskan bahwa setiap orang yang memiliki riwayat trauma mempunyai risiko sekitar 8 kali lipat lebih besar untuk mengalami abortus disbanding pasien tidak memiliki riwayat trauma. Pada penelitian cohort yang dilakukan Kady et al. menyatakan kejadian trauma yang ringan dengan Injury Severity Score (ISS) kurang dari 10 pada ibu hamil dapat menyebabkan kematian janin sebanyak 2,7 kali lipat, sedangkan untuk kejadian trauma yang parah dengan ISS lebih dari 10, terjadi peningkatan yang signifikan yaitu 17 kali lipat (8). Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian oleh Srinarmwong di Suratthani Hospital yang menyatakan bahwa dari 31 ibu hamil yang mengalami trauma, 9 (29%) janin diantaranya meninggal sehingga mengalami abortus, dan 22 (71%) janin yang masih dapat bertahan hidup. Tingkat kematian janin berkisar antar 4% hingga 61% pada ibu hamil yang mengalami trauma tergantung pada mekanisme dan keparahan trauma tersebut (9). Mirza et al. menyatakan bahwa dari 441 kasus trauma tumpul pada kehamilan, tingkat kelangsungan hidup janin hanya 45%. Kematian janin intrauterin dikenal sebagai komplikasi dari trauma perut. Hal ini terjadi akibat solusio plasenta atau jenis lain cedera pada plasenta. Beberapa penelitian trauma yang pernah dilakukan sebelumnya juga menunjukkan sekitar 50% dari kematian janin dengan etiologi yang diketahui adalah akibat solusio plasenta (10). Untuk hasil akhir dari kejadian trauma, penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Al Mulhim et al. di Al Hofuf King Fahd Hospital menyatakan dari 426 ibu hamil yang mengalami trauma, terdapat 118 (28%) kasus abortus, dibagi menjadi 59 (50%) abortus spontan, 34 (28,8%) solusio plasenta, dan 25 (21,2%) kelahiran mati (11). Sedangkan hasil penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Karadas et al. dengan jumlah sampel 139 ibu hamil yang
Hal | 30
Nomor 08 Tahun 2014
mengalami trauma, didapatkan 9 (6%) ibu hamil yang mengalami abortus. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa, 55,5% penyebab kematian janin adalah kecelakan lalu lintas dan komplikasi seperti cedera janin secara langsung, hipoksia janin, dan abortus terapeutik (12). Dilihat dari 41 riwayat trauma yang didapat dalam kuesioner, pijat perut memegang peran penting dalam kejadian abortus yaitu sebanyak 30 (73%) sampel, sedangkan untuk trauma fisik didapatkan 6 (15%) sampel. Untuk ibu yang mengalami baik riwayat pijat perut maupun trauma fisik lainnya didapatkan 5 (12%) sampel. Pijat perut tidak hanya digunakan dengan tujuan abortus provokatus, di beberapa negara ada juga yang menggunakannya dengan tujuan untuk kesehatan ibu dan bayi yang dikandung itu sendiri, seperti meringankan gejala keram, nyeri punggung dan leher akibat perubahan postur tubuh saat hamil serta gejala-gejala lain yang berhubungan dengan kehamilan. Namun dengan catatan, tidak disarankan untuk melakukan pijat perut yang dalam pada semester 1, karena risiko abortus lumayan tinggi pada saat itu (13). PENUTUP Simpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah terdapatnya 262 kasus abortus pada ibu hamil di RSUD Ujung Berung tahun 2011, dengan rincian 41 (16%) orang abortus dengan riwayat trauma, sedangkan tanpa riwayat trauma sebanyak 210 (84%) orang di RSUD Ujung Berung tahun 2011. Antara riwayat trauma dan kejadian abortus di RSUD Ujung Berung tahun 2011 terdapat hubungan yang bermakna, yakni ibu hamil yang memiliki riwayat trauma dapat meningkatkan risiko kejadian abortus sebanyak 8 kali dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki riwayat trauma (p = 0,000, POR = 7,688) Saran untuk penelitian ini adalah agar hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk memberikan masukan kepada bagian – bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Ujung Berung untuk melakukan konseling terhadap pasiennya dalam melakukan antenatal care dan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
melakukan anamnesa yang akurat mengenai kejadian-kejadian yang dapat mengganggu kehamilan seperti kejadian trauma yang pada umumnya dianggap tidak serius oleh ibu hamil, seperti kejadian terjatuh, hingga pijat perut yang masih dilakukan hingga saat ini. REFERENSI Azhari. Masalah abortus dan kesehatan reproduksi perempuan. Palembang: Skripsi, Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNSRI, 2002. Anonymous. Safe abortion: technical and policy guidance for healthsystems. Geneva: WHO, 2003. Anonymous. Unsafe abortion: global and regional estimates of the incidence of unsafe abortion and associated mortality in 2008. 6th ed. Geneva: WHO, 2008. Utomo, Budi. Incidence and socialpsychologicalaspects of abortion in Indonesia: acommunity-basedsurvey in 10 majorcities and 6 districts, year 2000. Jakarta: Center for Health Research University of Indonesia, 2001. Sedgh G, Stanley Henshaw, Susheela Singh, et al. Induced abortion: estimated rates and trends world wide. Lancet 2007; 370: 1338-45. DeCherney AH, Lauren Nathan, T. Murphy Goodwin. Current diagnosis and
ISSN: 2356-5454 treatment in obstetrcis and gynecology. Stamford, Conn:McGraw-Hill, 2007. Tsuei BJ. Assessment of the pregnant trauma patient. Int J Care Injured 2006; 37: 36773. Kady DE, William M. Gilbert, John Anderson, et al. Trauma during pregnancy: an analysis of maternal and fetal outcomes in a large population. American Journal of Obstetrics and Gynecology 2004; 190: 1661-8. Srinarmwong, Chatchai. Trauma during pregnancy: a review of 38 cases. The Thai Journal of Surgery 2007; 28: 138-42. Mirza FG, Patricia C. Devine, Sreedhar Gaddipati. Trauma in pregnancy: a systematic approach. Am J Perinatol 2010; 27: 579-86. Al Mulhim AS, M.H. Balaha, F. Tudiver. Predictors of fetal demise after trauma in pregnant Saudi Arabian women. EMHJ 2010; 18(5): 439-45. Karadas S, Hayriye Gonollu, Mehmet Resit Oncu, et al. Pregnancy and trauma: analysis of 39 cases.J Turkish-German Gynecol Assoc 2012; 13: 118-22. Stager L. Nurturing massage for pregnancy: a practical guide to bodywork for perinatal cycle. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2009.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 31
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 08 Tahun 2014
HUBUNGAN PARITAS DENGAN KEJADIAN PLASENTA PREVIA DI RSUD oleh Iis Wahyuni ABSTRAK Plasenta previa adalah plasenta yang implantasinya tidak normal, sehingga menutupi seluruh atau sebagian ostium internum karena faktor predisposisi yang masih sulit dihindari, prevalensinya masih tinggi serta punya andil besar dalam angka kematian maternal dan perinatal yang merupakan parameter pelayanan kesehatan Prevalensi plasenta previa di negara maju berkisar antara 0,26-2,00% dari seluruh jumlah kehamilan. Sedangkan di Indonesia dilaporkan oleh beberapa peneliti berkisar antara 2,4-3,56% dari seluruh kehamilan, di kabupaten banyuwangi pada tahun 2002 jumlah kelahiran hidup 32 per 100.000 dengan komplikasi 50% eklampsi, 37,5% karena perdarahan dan 12,5% karena penyebab lain. Plasenta previa pada kehamilan prematur lebih bermasalah karena persalinan terpaksa; sebagian kasus disebabkan oleh perdarahan hebat, sebagian lainnya oleh proses persalinan. Prematuritas merupakan penyebab utama kematian perinatal sekalipun penatalaksanaan plasenta previa sudah dilakukan dengan benar. Di samping masalah prematuritas, perdarahan akibat plasenta previa akan fatal bagi ibu jika tidak ada persiapan darah atau komponen darah dengan segera, upaya yang dilakukan oleh tenaga medis melakukan konsultasi medik saat terjadi perdarahan pertama kali dan merujuk pasien saat terdeteksi plasenta previa terhadap Kehamilan lanjut Kata Kunci : Plasenta previa, Ibu hamil, kelahiran PENDAHULUAN Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi di ASEAN jika di bandingkan dengan angka kematian ibu dinegara tetangga seperti Filipina yaitu 170 per 100.000 kelahiran hidup, Thailand yaitu 44 per 100.000 kelahiran hidup, Malaysia yaitu 39 per 100.000 kelahiran hidup, Singapura 6 per 100.000 kelahiran hidup. (Depkes RI, 2006 tgl 29-04-2009) Menurut SDKI tahun 2000, dari tahun ke tahun mengalami penurunan yaitu angka kematian ibu (AKI) di Indonesia menurun Pada tahun 2002-2003 AKI sebesar 307/100.000 kelahiran hidup, menurun lagi Pada tahun 2005 – 2006 AKI sebesar 262/100.000 kemudian menurun lagi pada tahun 2007 sebesar 248/100.000 kelahiran hidup. Namun bila dibandingkan dengan target pada tahun 2009 menargetkan yaitu sebesar 226/100.000 kelahiran hidup, dan Pada tahun 2010 yaitu 125/100.000 kelahiran hidup, maka apabila penurunannya masih seperti tahun-tahun sebelumnya diperkirakan target tersebut dimasa mendatang sulit tercapai (Depkes RI, 2006 tgl 29-04-2009).
Hal | 32
Perdarahan (28%) karena Retensio plasenta (2 1%), Infeksi (11%), keracunan kehamilan/Eklampsi (24%), Anemia (20%) dan lain–lain (17%) (Depkes RI, 200624-042009) Adapun masih tingginya kejadian retensio plasenta maka perlunya upaya preventif disebabkan oleh retensio plasenta yaitu meningkatkan penerimaan keluarga berencana (KB), meningkatkan penerimaan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang terlatih, melaksanakan penanganan manajemen aktif kala III persalinan dan tidak diperkenankan untuk melakukan masase dengan tujuan mempercepat proses persalinan plasenta (Manuaba, 1998). RSUD adalah sebagai salah satu pusat rujukan di propinsi Banten dimana RSUD menangani kasus komplikasi persalinan sebanyak 1709 orang, yang terdiri dari Retensio Plasenta, PEB, Partus lama, Plasenta Previa. Angka kejadiannya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dimana pada tahun 2006 terdapat 8%, kemudian meningkat pada tahun 2007 sebesar 10%. Dibandingkan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
dengan RSUD Cengkareng pada tahun 2006 sebesar 5 %. PEMBAHASAN 1. Distribusi Data Jumlah Paritas Ibu Bersalin Di RSUD Genteng Banyuwangi Berdasarkan tabel 4.5 diatas dapat diketahui bahwa jumlah ibu bersalin di RSUD Genteng – banyuwangi dengan jumlah para 2 – 4 anak sebanyak 58,2 % ( 21 orang ), para 0 – 1 anak 41,8 % (23 orang). Menurut manuaba (1999) Paritas sedang atau multipara digolongkan pada hamil dan bersalin dua sampai empat kali. Pada paritas sedang ini, sudah masuk kategori rawan terutama pada kasus-kasus obstetrik yang jelek, serta interval kehamilan yang terlalu dekat kurang dari 2 tahun. Seorang wanita yang telah mengalami kehamilan sebanyak 6 kali atau lebih, lebih mungkin mengalami: Kontraksi yang lemah pada saat persalinan (karena otot rahimnya lemah), perdarahan setelah persalinan (karena otot rahimnya lemah), Plasenta previa (plasenta letak rendah) dan Pre eklampsi, plasenta previa meningkat pada grande multipara, primi gravida tua, bekas seksio secarea, bekas aborsi, kelainan janin, dan leiomioma uteri (Mansjoer, 2001 : 276 ), paritas 2 – 4 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 4) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal (Winkjosastro, 2002). Jumlah paritas pada suatu kehamilan mempunyai kecenderungan berpengaruh pada kehamilan berikutnya, hal ini bahwa semakin banyak anak yang telah dilahirkan maka akan semakin tinggi kecenderungan ibu untuk mengalami plasenta previa pada kehamilan selanjutnya 2. Distribusi Jumlah Persalinan Dengan Plasenta Previa Di RSUD Genteng – Banyuwangi Tahun 2008 – 2009 Menurut tabel 4.4 jumlah persalinan plasenta previa sebanyak 54,6% dan yang tidak mengalami plasenta previa atau perdarahan lainnya sebanyak 45,4%. Perdarahan pervaginam dapat terjadi setiap
ISSN: 2356-5454 saat pada masa hamil, dapat disebabkan oleh kondisi yang ringan seperti implasntasi, sevisitis, atau polip serviks atau koitus, atau oleh kondisi – kondisi serius yang bahkan mengancam kehidupan seperti plasenta previa dan solution plasenta (wheller, 2003, 123). Perdarahan antepartum merupakan kasus gawat darurat yang kejadiannya berkisar 3% dari semua persalinan, penyebabnya antara lain plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya (Sarwono, 2002 : 363). Beberapa kepustakaan mengatakan plasenta previa lebih sering pada wanita multipara, mungkin karena jaringan parut uterus akibat kehamilan berulang. Jaringan parut ini menyebabkan tidak adekuatnnya persediaan darah ke plasenta sehingga plasenta menjadi lebih tipis dan mencakup daerah uterus yang lebih luas. Konsekuensi perlekatan plasenta yang luas ini adalah meningkatnya risiko penutupan ostium uteri internum. Strassman menyatakan bahwa plasenta letak rendah terjadi karena endometrium bagian fundus belum siap menjadi tempat implantasi pada kehamilan yang sering. Seorang wanita dengan multiparitas, rawan mengalami kehamilan dengan plasenta previa dan perlu di waspadai hal itu sering terjadi pada multiparitas dengan usia 20 – 35 tahun 3. Distribusi Hubungan Paritas Dengan Plasenta Previa di RSUD Genteng – Banyuwangi Th 2008 – 2009 Berdasarkan tabel 4.6 diatas dapat diketahui primipara yang mengalami persalinan dengan plasenta previa sebesar 16,7 % (5 orang), multipara sebesar 83,3% (25 orang), sedangkan yang tidak mengalami persalinan dengan plasenta previa pada primipara sebesar 68 % ( 17 orang ), multipara 32 % (8 orang). Menurut sarwono (2002 : 367) Vaskularisasi yang berkurang atau perubahan desidua akibat persalinan yang lampau dapat menyebabkan terjadinya plasenta previa pada kehamilan selanjutnya, apabila aliran darah ke plasenta tidak cukup atau diperlukan lebih banyak seperti pada kehamilan kembar, plasenta yang letaknya normal sekalipun akan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 33
jikk
ISSN: 2356-5454 memperluas permukaannya, sehingga mendekati atau menutupi sama sekali jalan lahir. Menurut manuaba (1999) Paritas sedang atau multipara digolongkan pada hamil dan bersalin dua sampai empat kali. Pada paritas sedang ini, sudah masuk kategori rawan terutama pada kasus-kasus obstetrik yang jelek, serta interval kehamilan yang terlalu dekat kurang dari 2 tahun. Paritas dengan frekuensi sedang mempunyai kecenderungan mengalami plasenta previa serta didukung dengan komplikasi lainnya seperti kehamilan kembar, kurang suburnya endometrium (malnutrisi ibu hamil), terlambat implantasi (endometrium fundus kurang subur, terlambatnya tumbuh kembang hasil konsepsi dalam bentuk, blastula yang siap untuk nidasi). 4. Hasil pengujian data Menurut tabel 4.7 hasil penelitian hubungan peritas dengan kejadian plasenta previa di RSUD Genteng menunjukkan hasil yang signifikan (p = 0,05). Dalam uji Z dari Frank Wilcoxon dengan sample 55, mempunyai hasil Z Score -3,3634ª maka Ho di tolak yang berarti ada hubungan antara paritas dengan kejadian plasenta previa. Plasenta Previa adalah Plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir Etiologi. Mengapa Plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus tidak selalu dapat diterangkan, bahwasanya vaskularisasi yang berkurang atau perubahan atrofi pada dosidua akibat persalinan yang lampau dan dapat menyebabkan plasenta previa tidak selalu benar, karena tidak nyata dengan jelas bahwa plasenta previa didapati untuk sebagian besar pada penderita dengan paritas fungsi, memang dapat dimengerti bahwa apabila aliran darah ke plasenta tidak cukup atau diperlukan lebih banyak seperti pada kehamilan kembar. Plasenta yang letaknya normal sekalipun akan meluaskan
Hal | 34
Nomor 08 Tahun 2014
permukaannya, sehingga mendekati atau menutupi sama sekali pembukaan jalan lahir. 1. Gambaran klinis plasenta previa a. Perdarahan tanpa nyeri b. Perdarahan berulang c. Warna perdarahan merah segar d. Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah e. Timbulnya perlahan-lahan f. Waktu terjadinya saat hamil g. His biasanya tidak ada h. Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi i. Denyut jantung janin ada j. Teraba jaringan plasenta pada periksa dalam vagina k. Penurunan kepala tidak masuk pintu atas panggul l. Presentasi mungkin abnormal. 2. Diagnosis a. Anamnesis.Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pada pemeriksaan hematokrit. b. Pemeriksaan Luar. Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas panggul mengelak ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul. c. Pemeriksaan In Spekulo. Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari osteum uteri eksternum atau dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai. d. Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung. Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotope, dan ultrasonagrafi. Ultrasonagrafi penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
3.
4.
Nomor 08 Tahun 2014
ibu dan janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri. e. Pemeriksaan Ultrasonografi. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5 cm disebut plasenta letak rendah. f. Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif.. Dilakukan dengan PDMO yaitu melakukan perabaan secara langsung melalui pembukaan serviks pada perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu dengan anemia berat, tidak dianjurkan melakukan PDMO sebagai upaya menetukan diagnosis. Klasifikasi a. Plasenta Previa otalis, apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan Plasenta b. Plasenta Previa Parsialis, apabila sebahagian pembukaan tertutup oleh jaringan Plasenta c. Plasenta Previa Marginalis, apabila pinggir Plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan. d. Plasenta Letak Rendah, Plasenta yang letaknya abnormal pada segmen bawah uterus tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir Penatalaksanaan Tindakan pada plasenta previa : a. Tindakan dasar umum. Memantau tekanan darah, nadi, dan hemoglobin, memberi oksigen, memasang infuse, member ekspander plasma atau serum yang diawetkan. Usahakan pemberian darah lengkap yang telah diawetkan dalam jumlah mencukupi. b. Pada perdarahan yang mengancam nyawa, seksio sesarea segera dilakukan setelah pengobatan syok dimulai. c. Pada perdarahan yang tetap hebat atau meningkat karena plasenta previa totalis atau parsialis, segera lakukan seksio sesaria; karena
ISSN: 2356-5454 plasenta letak rendah (plasenta tidak terlihat jika lebar mulut serviks sekitar 4-5 cm), pecahkan selaput ketuban dan berikan infuse oksitosin; jika perdarahan tidak berhenti, lakukan persalinan pervagina dengan forsep atau ekstraksi vakum; jika perdarahan tidak berhenti lakukan seksio sesaria. d. Tindakan setelah melahirkan. 1) Cegah syok (syok hemoragik) 2) Pantau urin dengan kateter menetap 3) Pantau sistem koagulasi (koagulopati). 4) Pada bayi, pantau hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit. PENUTUP Plasenta atau ari-ari baru terbentuk sempurna pada usia kehamilan 17 minggu (sekitar 4 bulan). Setelah terbentuk lengkap, plasenta akan bertambah besar sesuai dengan proses pertumbuhan rahim dan penyakit yang diderita plasenta. Proses bergesernya plasenta bersifat pasif, artinya sangat tergantung dengan proses pembesaran rahim, dan ini dimulai pada kehamilan 28 minggu hingga kehamilan sekitar 36 minggu. Oleh karena itu keputusan untuk menegakkan diagnosis plasenta previa (plasenta menutupi lubang mulut rahim bagian atas) dan melakukan bedah sesar berencana pada usia kehamilan 36 minggu. Kecuali bila terjadi perdarahan banyak, maka operasi dapat dilakukan lebih awal. Saat ini diagnosis plasenta previa menjadi lebih mudah dengan adanya USG di mana tepi plasenta akan terlihat menutupi jalan lahir. Cara lain adalah dengan memeriksa fisik ibu. Semisal adanya kelainan letak janin atau bagian bawah janin belum masuk pintu atas panggul pada kehamilan 36 minggu. Pada perabaan forniks uteri (suatu daerah puncak vagina di sisi luar mulut rahim) saat kehamilan 28 minggu dan bagian terbawah janin adalah kepala, teraba bantalan lunak di sekitar kepala janin. Bantalan lunak tersebut adalah plasenta.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 35
jikk
ISSN: 2356-5454 Cara lain yang lebih invasif adalah melakukan periksa dalam di kamar operasi saat usia kehamilan 36 minggu atau taksiran berat janin 2500 gram. Kejadian plasenta previa dapat berulang pada kehamilan berikutnya. Apalagi bila si ibu pernah menjalani operasi sesar dan hal ini sangat sulit dicegah. Yang penting adalah diagnosis dini adanya plasenta previa. Bila terjadi plasenta previa kembali, maka Ibu harus membatasi aktivitas yang dapat merangsang kontraksi rahim. Di antaranya jangan bersanggama dan atasi kelainan yang ada sebaik-baiknya. Metode KB yang dapat Ibu pilih tergantung kondisi kesehatan secara keseluruhan, terutama kondisi rahim. Bila pernah menderita penyakit hati berat, memang tidak boleh memakai kontrasepsi ormonal. Bila sering mengalami infeksi vagina, sebaiknya jangan memilih spiral. Yang pasti, Ibu harus memeriksakan diri ke dokter kandungan sebelum ber-KB. Penyembuhan optimal luka operasi sesar antara 3 - 9 bulan setelah operasi, sehingga dianjurkan kembali hamil setelah satu tahun. Setelah satu tahun Ibu dapat mencoba
Hal | 36
Nomor 08 Tahun 2014
persalinan normal, kecuali ada larangan lahir normal, semisal panggul sempit. REFERENSI http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg49779.html Derek Liewellyn Johes. 2001. Dasar – dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : Hipokrates Manuaba, Ida Bagus Gede. 2006. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC Mochtar, Rustam. 2006. Sinopsis Obstetri Jilid 1. Jakarta : EGC Prawirohardjo, Sarwono. 2005. .Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Saifuddin, Abdul Bari. 2002. Buku Pedoman Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Nurhayati, Titik. 2008. Karakteristik Ibu Hamil Dengan Hiperemesis Gravidarum Di Ruang Kebidanan Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Menggala Kabupaten Tulang Bawang Tahun 2008.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
ISSN: 2356-5454
PENGETAHUAN IBU HAMIL PRIMIPARA TRIMESTER III TENTANG PERDARAHAN PADA KEHAMILAN DI RSUD BAYU ASIH KABUPATEN PURWAKARTA Oleh Irma Rosliani Dewi ABSTRAK Salah satu penyebab yang paling sering pada ibu saat kehamilan adalah solusio plasenta yang merupakan perdarahan dari plasenta yang letaknya tidak normal, insidensinya adalah 1:50 kehamilan. Lebih jarang perdarahan berasal dari plasenta previa-plasenta yang letaknya abnormal atau letaknya rendah. Insidensinya adalah 1:90 sampai 1:120 kehamilan. Hemoragi antepartum (perdarahan antepartum) di bagi dua plasenta previa dan solusio plasenta. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan ibu hamil primipara trimester III tentang perdarahan pada kehamilan di RSUD Bayu Asih Kab. Purwakarta, dilihat dari segi pengertian, tanda dan gejala, penyebab, Penatalaksanaan, dan Dampak . Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriftif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil primipara trimester III yang datang ke RSUD Bayu Asih Kab. Purwakarta pada bulan Januari – Pebruari 2012 sebanyak 110 orang, sedangkan sampelnya sebanyak 52 orang. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 52 responden mempunyai pengetahuan tentang pengertian di kategorikan Baik yaitu sebanyak 30 orang (58%), tanda dan gejala dikategorikan Baik yaitu sebanyak 21 orang (40%), penyebab dikategorikan Baik yaitu sebanyak 28 orang (54%), penatalaksanaan dikategorikan Baik yaitu sebanyak 39 orang (75%), dan Dampak dikategorikan baik yaitu sebanyak 41 orang (79%), pengetahuan ibu hamil primipara trimester III tentang perdarahan pada kehamilan di RSUD Bayu Asih Kab. Purwakarta dikategorikan Baik yaitu sebanyak 30 orang (58%). Karena itu, petugas kesehatan sebagai pelaksana pelayanan kesejahteraan ibu dan anak (KIA) mempunyai tugas untuk memberikan konseling kepada ibu hamil dan keluarganya mengenai pengetahuan perdarahan pada trimester III. Kata Kunci
: Pengetahuan, Primipara, Perdarahan
PENDAHULUAN Latar Belakang Profil Kesehatan Indonesia pada Tahun 2010, Menjelaskan angka kematian ibu masih berada pada angka 226/100.000 kelahiran hidup, Jika dibandingkan dengan angka kematian ibu tahun 2007 sebesar 248/100.000 kelahiran hidup, Angka kematian ibu tersebut sudah mengalami penurunan tetapi belum mencapai target nasional. (Depkes RI. 2010) Berdasarkan profil Kesehatan Indonesia AKI di Indonesia adalah 228 / 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009, sedangkan AKB di Indonesia sebesar 35 / 1000 kelahiran hidup penyebab maternal yang paling umum di Indonesia adalah perdarahan 28 %, eklamsi 24 %, dan infeksi 11 %. Penyebab kematian bayi yaitu BBLR 38,94 %, Asfiksia 27,97 %. Hal ini menunjukan bahwa 66,91 % kematian perinatal di pengaruhi oleh kondisi ibu saat melahirkan. (Profil Depkes RI, 2009)
Dalam Reproductive Health Librari no 5 terdapat data global mengenai kematian maternal. Setiap tahun terdapat 180 sampai 200 juta perempuan menjadi hamil dan 585.000 orang di antaranya meninggal akibat salah satu komplikasi sehubungan dengan kehamilan dan persalinan. Latar belakang kematian maternal adalah perdarahan obstetric (24,8 %), infeksi (14,9 %),eklamsi (12,9 %), partus tidak maju/distosia (6,9 %),abortus yang tidak aman (12,9 %), dan sebab-sebab langsung lain (7,9 %). (Sarwono Prawiroharjo, 2010) Di samping itu, setiap tahun di dunia terdapat kematian perinatal yang tinggi yaitu 3 juta kematian janin sebelum lahir (still-birth) dan 3 juta kematian neonatus dini (dalam usia ≤ 7 hari). Peristiwa tragis ini 99 % terjadi dinegara berkembang dan hanya 1 % di negara maju. Dari asfek prenatal care lebih 35 % dari perempuan hamil tersebut tidak memperoleh asuhan kehamilan, dan asfek intranatal care 50 % persalinan ditangani oleh
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 37
jikk
ISSN: 2356-5454 petugas yang tidak terlatih/terampil. ( Sarwono Prwiroharjo, 2010) Jika melihat latar belakang yang menyebabkan kematian maternatal dan perinatal di atas, sesungguhnya secara teknis medic kematian tersebut tidak harus terjadi. Namun kematian maternal dan perinatal terjadi juga. Salah satu faktor yang mempengaruhi mortalitas dan morbiditas maternal dan perinatal adalah faktor keterlambatan pasien menerima bantuan medic saat pertama pasien mulai sakit di rumah (delay in decision to seek care), kemudian keterlambatan dalam pengangkutan dan perjalanan (delay in reaching care), bahkan setelah tiba dirumah sakit pun masih terjadi keterlambatan (delay in receving care). (Sarwono Prawirohardjo, 2010 ) Frekwensi perdarahan antepartum sekitar 3 sampai 4% dari semua persalinan sedangkan kejadian perdarahan antepartum di rumah sakit lebih tinggi karena menerima rujukan. Penanganan perdarahan antepartum memerlukan perhatian karena dapat saling memengaruhi dan merugikan janin dan ibunya. Setiap perdarahan antepartum yang dijumpai oleh bidan, sebaiknya dirujuk kerumah sakit atau ketempat dengan fasilitas yang memadai, Karena memerlukan tatalaksana khusus. ( Manuaba, 2012) Sebab-sebab perdarahan yang penting ialah perdarahan antepartum (plasenta previa dan solusio plasenta) dan perdarahan postpartum (retensio plasenta, atonia uteri, trauma kalahiran); selanjutnya abortus dan kehamilan ektopik. Frekuensi kematian maternal dalam hal ini juga turun, terutama dengan penggunaan transfusi darah secara rutin pada kejadian itu. Selain itu ada faktorfaktor lain yang ikut membantu, yakni organisasi pelayanan kebidanan yang lebih baik sehingga pertolongan dapat diberikan dengan lebih cepat, kemajuan dalam penanganan dalam berbagai kelainan seperti plasenta previa, dan atonia uteri postpartum, paritas yang rendah pada wanita-wanita, serta keadaan sosial ekonomis yang lebih baik di negara-negara maju. (Sarwono Prawirohardjo, 2009) Salah satu penyebab yang paling sering pada ibu saat kehamilan adalah solusio plasenta yang merupakan perdarahan dari plasenta yang letaknya tidak normal, insidensinya adalah 1:50 kehamilan. Lebih jarang perdarahan berasal dari plasenta previa-plasenta yang letaknya abnormal atau
Hal | 38
Nomor 08 Tahun 2014
letaknya rendah. Insidensinya adalah 1:90 sampai 1:120 kehamilan. Hemoragi antepartum (perdarahan antepartum) di bagi dua plasenta previa dan solusio plasenta. (Janet medforth, dkk. 2012) Perdarahan setelah kehamilan 22 minggu, biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya dari pada sebelum kehamilan 22 minggu. Perdarahan antepartum yang berbahaya bersumber pada kelainan plasenta yaitu plasenta previa dan solusio plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan serviks biasanya tidak seberapa berbahaya. Oleh karena itu, klasifikasi klinis perdarahan antepartum dibagi sebagai berikut : Plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya. (Wiknjosastro, 2005) Di Jawa Barat pada AKI dan AKB melebihi rata-rata nasional yaitu AKI 284 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 26,9 per 1000 kelahiran hidup (Dinkes Jabar, 2007). Target penurunan AKI tahun 2015 adalah 118 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan target AKB adalah 15 per 1000 kelahiran hidup. Data kasus kematian ibu di kabupaten Purwakarta pada tahun 2010 sebanyak 30 orang (0,15%) dari 19.412 persalinan dengan penyebab yaitu: perdarahan 11 (44%), eklampsi 6 (24%), infeksi 1 (4%), lain-lain 7 (28%). Sedangkan data kasus kematian bayinya sebanyak 160 orang (0,82%) dari 19.412 persalinan (Dinkes Purwakarta, 2010). Sedangkan pada tahun 2011 kasus kematian ibu sebanyak 26 orang (0,11 %) dari 22.628 persalinan, sedangkan jumlah kasus kematian bayinya 52 orang (0,22 %) dari 22.628 persalinan. (Dinkes Purwakarta, 2011) Dari data register poliklinik kandungan Rumah Sakit Umum Bayu Asih Kabupaten Purwakarta jumlah ibu hamil pada tahun 2011 dari bulan januari sampai Desember sebanyak 2125 orang. Jumlah data ibu hamil dari bulan januari sampai bulan maret 2012 adalah 413 orang, diantaranya ibu hamil primipara trimester III 110 orang. Dari data ibu hamil tersebut terdapat berbagai macam keluhan salah satunya adalah perdarahan dengan plasenta previa dan solusio plasenta 20 orang (2 %). (Rekam medik RSUD, 2011) RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta yang terletak di jalan Veteran no 39 Purwakarta adalah Rumah Sakit Pemerintah Kabupaten Purwakarta yang berdiri pada tanggal 18 Oktober 1930 dan merupakan pusat
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
rujukan. RSUD Bayu Asih melayani Poliklinik Umum, Poliklinik Kandungan, Poliklinik Bedah, Poliklinik Penyakit Dalam, Poliklinik Anak, Poliklinik Saraf, Poliklinik Gigi, Poliklinik Orthopedi, Poliklinik THT, Radiologi, Rawat inap Umum (Baik dewasa, maupun anak dan bayi) dan Bersali. (Propil RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta, 2010) Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan memfokuskan pembahasan masalah dengan topik Pengetahuan Ibu Hamil Primipara Trimester III tentang Perdarahan Kehamilan di RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta. PEMBAHASAN Pengetahuan ibu hamil primipara trimester III tentang perdarahan pada kehamilan pada penelitian ini meliputi Pengertian , Tanda dan Gejala , penyebab, Penatalaksanaan, dan Dampak. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan yang berbeda-beda. (Notoatmodjo, 2010) Pengetahuan Ibu Hamil Primivara Trimester III Tentang Perdarahan Pada kehamilan (Plasenta Previa dan Solusio Plasenta) Dimensi Pengertian Plasenta Previa dan Solusio Plasenta Dari hasil penelitian tentang pengetahuan pengertian plasenta previa dan solusio plasenta mempunyai pengetahuan dengan kategori Baik yaitu sebanyak 30 orang (58%) , sedangkan pada kategori Cukup yaitu sebanyak 11 orang (21%), dan pada kategori Kurang yaitu sebanyak 11 orang (21%). Dari hasil yang didapat mengenai pengertian dapat dikategorikan Baik, dimana responden disini sudah pernah memperoleh
ISSN: 2356-5454 informasi dari tenaga kesehatan, tempat pelayanan kesehatan ataupun media masa mengenai pengertian ini. Namun demikian masih ada responden yang kurang mengetahui tentang pengertian . Maka untuk itu bagi tenaga kesehatan diharapkan dapat memberikan konseling pada saat ANC mengenai tanda bahaya kehamilan trimester III yang salah satunya mengenai perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta kepada Ibu-ibu hamil, sehingga Ibu hamil dapat lebih jelas dan mengerti dengan definisi perdarahan plasenta plasenta previa dan solusio plasenta tersebut. Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi rendah sehingga menutupi sebagian / seluruh ostium uteri internum. (Implantasi plasenta yang normal adalah pada dinding depan, dinding belakang rahim atau di daerah fundus uteri).( Yuni Kusmiyati, dkk.2009) Solutio plasenta adalah lepasnya plasenta sebelum waktunya. Secara normal plasenta terlepas setelah anak lahir. ( Yuni Kusmiyati, dkk. 2009) Dimensi Tanda dan Gejala Perdarahan Pada Plasenta Previa dan Solusio Plasenta Dari hasil penelitian tentang pengetahuan tanda dan gejala perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta mempunyai pengetahuan dengan kategori Baik yaitu sebanyak 21 orang (40%) , sedangkan pada kategori Cukup yaitu sebanyak 15 orang (29%), dan pada kategori Kurang yaitu sebesar 16 orang (31%). Tanda dan gejala dari plasenta previa adalah Gejala yang terpenting yaitu perdarahan tanpa rasa nyeri, bisa terjadi secara tiba-tiba dan kapan saja. Bagian terendah anak sangat tinggi karena plasenta terletak pada bagian bawah rahim sehingga bagian terendah tidak mendekati pintu atas panggul. Pada plasenta previa, ukuran panjang rahim berkurang maka pada plasenta previa lebih sering disertai kelainan letak.( Yuni Kusmiyati, dkk. 2009) Sedangkan tanda gejala dari solusio plasenta yaitu Darah dari tempat pelepasan keluar dari serviks dan terjadilah perdarahan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 39
jikk
ISSN: 2356-5454 tampak, Kadang-kadang darah tidak keluar, terkumpul di belakang plasenta. (perdarahan tersembunyi / perdarahan kedalam), Solutio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, Perdarahan disertai nyeri, juga diluar his, Nyeri abdomen pada saat dipegang, Fundus uteri makin lama makin naik, Palpasi sulit dilakukan, Bunyi jantung biasanya tidak ada. ( Yuni Kusmiyati, dkk. 2009) Dimensi Penyebab Plasenta Previa dan Solusio Plasenta Dari hasil penelitian tentang pengetahuan penyebab mempunyai pengetahuan dengan kategori Baik yaitu sebanyak 28 orang (54%) , sedangkan pada kategori Cukup yaitu sebanyak 18 orang (35%), dan pada kategori Kurang yaitu sebanyak 6 orang (12%). Dari hasil penelitian yang didapat mengenai penyebab dari plasenta previa dan solusio plasenta ini dapat dikategorikan Baik. Responden sudah pernah mendapat informasi tentang penyebab perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta. Namun masih ada responden yang kurang tahu mengenai penyebab dari plasenta previa dan solusio plasenta, maka dari itu banyak ibu hamil yang tidak tahu penyebab dini, karena penyebab perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta dapat meyebabkan komplikasi yang berbahaya pada ibu maupun janinnya Maka untuk itu diharapkan ibu hamil khususnya harus tahu dari penyebab perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta tersebut dan tenaga kesehatan lebih memberikan konseling pada saat ibu hamil melakukan ANC tentang perdarahan pada kehamilan trimester III tentang plasenta previa dan solusio plasenta tersebut Penyebab dari plasenta previa adalah Gangguan kesuburan endometrium sehingga perlu perluasan implantasi: a. Multiparitas dengan jarak hamil pendek b. Beberapa kali menjalani seksio sesarea c. Bekas dilatasi dan kuretase d. Ibu dengan gizi rendah e. Usia hamil pertama di atas usia 35 tahun Dan Pelebaran implantasi plasenta yang terjadi pada kehamilan ganda yang Memerlukan perluasan seperti plasenta untuk
Hal | 40
Nomor 08 Tahun 2014
memenuhi kebutuhan Nutrisi janin karena endometrium kurang subur. ( Manuaba, 2012) Sedangkan penyebab dari solusio plasenta adalah trauma langsung terhadap uterus hamil seperti: a. Terjatuh terutama telungkup. b. Tendangan anak yang sedang digendong. c. Atau trauma langsung lainnya. Dan trauma kebidanan, artinya solusio plasenta terjadi karena tindakan bidan yang dilakukan seperti: a. Setelah versi luar. b. Setelah memecahkan ketuban. c. Persalinan anak kedua hamil kembar. Juga dapat terjadi pada kehamilan dengan tali pusat yang pendek.(manuaba, 2012) Dimensi Penatalaksanaan Perdarahan Pada Plasenta Previa dan Solusio Plasenta Dari hasil penelitian tentang pengetahuan penatalaksanaan mempunyai pengetahuan dengan kategori Baik yaitu sebanyak 39 orang (75%) , sedangkan pada kategori Cukup yaitu sebanyak 7 orang (13%), dan pada kategori Kurang yaitu sebesar 6 orang (12%). Dari hasil penelitian yang didapat mengenai penatalaksanaan perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta dapat dikategorikan Baik. ibu sebelumnya sudah tahu tentang penatalaksanaan perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta dari tenaga kesehatan maupun dari media. Namun beberapa ibu masih ada yang kurang tahu dari penatalaksanaan perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta , maka dari itu diharapkan ibu hamil untuk lebih rajin dalam mencari informasi tetang penatalaksanaan perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta dari tenaga kesehatan maupun dari media dan menjalankan pola hidup yang sehat. Penatalaksanaan dari plasenta previa adalah perdarahan ringan sampai sedang : a. Pemeriksaan abdomen b. Kardiotograf untuk memantau kondisi janin c. Mulai infus intravena
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
d. Hitung darah lengkap dan uji silang unit darah e. Ultrasound untuk mengimformasi kesejahteraan janin dan posisi batas plasenta. f. Waktu dan cara pelahiran akan bergantung pada kondisi umum wanita, luas perdarahan dan gestasi. Sedangkan dengan Perdarahan hebat yaitu: a. Mulai cairan intravena dengan segera dan transfusikan darah dengan segera setelah darah tersedia. b. Stelah kondisi pasien stabil, lakukan persiapan untuk dilakukan seksio sesarea darurat. (Prawirohardjo, 2009) Sedangkan penatalaksanaan solusio plasenta adalah 1. Pada solusio plasenta ringan dengan tanda perut tegang sedikit, perdarahan tidak terlalu banyak, Keadaan janin masih baik dapat dilakukan penanganan secara konservatif. Bila perdarahan berlangsung terus, ketegangan semakin meningkat, dengan janin masih baik dilakukan seksio sesaria. Penanganan perdarahan yang berhenti dan keadaan yang baik pada kehamilan prematur dilakukan di rumah sakit. 2. Solusio plasenta tingkat sedang dan berat Penanganannya dilakukan di rumah sakit karena dapat membahayakan jiwa penderita. Tatalaksananya adalah pemasangan infus dan transfusi darah, memecahkanketuban, induksi persalinan atau seksio sesaria. Oleh karena itu, penanganan solusio plasenta sedang berat harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang mencukupi. (Manuaba, 2012) Dimensi Dampak Perdarahan Pada Plasenta Previa dan Solusio Plasenta. Dari hasil penelitian tentang pengetahuan dampak perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta mempunyai pengetahuan dengan kategori Baik yaitu sebanyak 41 orang (79%) ,
ISSN: 2356-5454 sedangkan pada kategori Cukup yaitu sebanyak 7 orang (13%), dan pada kategori Kurang yaitu sebesar 4 orang (8%). Dari hasil penelitian yang didapat mengenai Dampak perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta dapat dikategorikan Baik. Responden dikatakan Baik dalam pengetahuan perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta dikarenakan ibu sudah pernah mandapat informasi mengenai Dampak perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta tersebut dan masih ada ibuibu yang kurang tahu dari Dampak dari perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta tersebut, karena Dampak perdarahan pada plasenta previa dan solusio plasenta dapat membahayakan ibu dan janin bahkan dapat menyebabkan kematian ibu maupun janin. Untuk itu diharapkan bagi ibu hamil lebih aktif mencari informasi tentang kehamilan khususnya tentang tanda bahaya kehamilan yang salah satu contohnya perdarahan kehamilan trimester III tentang plasenta previa dan solusio plasentasehingga angka kematian ibu (AKI) menurun Dampak perdarahan pada plasenta previa yaitu: 1. Bahaya untuk ibu a. Perdarahan yang hebat dapat mengakibatkan syok dan kematian b. Infeksi 2. Bahaya untuk bayi a. Hypoxia b. Bila tidak cepat dilakukan tindakan akan mengakibatkan kematian Sedangkan Dampak solusio plasenta dapat terjadi pada ibu dan janin yaitu: 1. Dampak pada ibu: a. Perdarahan dapat menimbulkan 1. Variasi turunnya tekanan darah sampai keadaan syok. 2. Perdarahan tidak sesuai dengan keadaan penderita anemis sampai syok.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 41
jikk
ISSN: 2356-5454 3.
2.
Kesadaran bervariasi dari baik sampai koma. b. Gangguan pembekuan darah 1. Terjadi penurunan fibrinogen sehingga hipofibrinogen dapat mengganggu pembekuan darah. c. Oligouria. Terjadi sumbatan glomerulus ginjal dan dapat menimbulkan produksi urine makin berkurang . d. Perdarahan postpartum. Pada solusio plasenta sedang sampai berat terjadi infiltrasi darah ke otot rahim, sehingga mengganggu kontraksi dan menimbulkan perdarahan karena atonia uteri. Penyulit pada janin. Perdarahan yang tertimbun di belakang plasenta mengganggu sirkulasi dan nutrisi ke arah janin sehingga dapat menimbulkan asfiksia ringan sampai berat dan kematian dalam rahim. (Manuaba, 2012)
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Pengetahuan Ibu Hamil Primipara Trimester III Tentang Perdarahan Pada Kehamilan di RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta. Maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Pengetahuan ibu hamil tentang pengertian perdarahan pada primipara trimester III tentang Plasenta Previa dan Solusio Plasenta dapat disimpulkan bahwa dari 52 responden sebagian besar pengetahuannya Baik yaitu 30 orang (58%). 2. Pengetahuan ibu hamil tentang tanda dan gejala perdarahan pada primipara trimester III tentang Plasenta Previa dan Solusio Plasenta dapat disimpulkan bahwa dari 52 responden sebagian besar
Hal | 42
Nomor 08 Tahun 2014
pengetahuannya Baik yaitu 21 orang (40%). 3. Pengetahuan ibu hamil tentang penyebab perdarahan pada primipara trimester III tentang Plasenta Previa dan Solusio Plasenta dapat disimpulkan bahwa dari 52 responden sebagian besar pengetahuannya Baik yaitu 28 orang (54%). 4. Pengetahuan ibu hamil tentang Penatalaksanaan perdarahan pada primipara trimester III tentang Plasenta Previa dan Solusio Plasenta dapat disimpulkan bahwa dari 52 responden sebagian besar pengetahuannya Baik yaitu 39 orang (75%). 5. Pengetahuan ibu hamil tentang Dampak perdarahan pada primipara trimester III tentang Plasenta Previa dan Solusio Plasenta dapat disimpulkan bahwa dari 52 responden sebagian besar pengetahuannya Baik yaitu 41 orang (79%). Secara keseluruhan pengetahuan ibu hamil tentang perdarahan pada primipara trimester III tentang Plasenta Previa dan Solusio Plasenta dapat disimpulkan bahwa dari 52 responden sebagian besar pengetahuannya cukup yaitu 30 orang (58%). Saran Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tentang Pengetahuan Ibu Hamil Primipara Trimester III Tentang Perdarahan Pada Kehamilan di Rumah Sakit Umum Daerah Bayu Asih Kabupaten Purwakarta, maka peneliti menyarankan 1. Bagi Penulis Lebih bisa melakukan penelitian KTI dengan lebih baik lagi, dan sebagai bahan perbandingan dalam penyusunan KTI untuk kedepannya. 2. Bagi Institusi Pendidikan Kepada pihak institusi diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menambah sumber bacaan atau sebagai dokumentasi, informasi pengetahuan dan bahan referensi dalam pengembangan ilmu
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 08 Tahun 2014
ISSN: 2356-5454
pengetahuan dalam penelitian dan sebagai bahan perbandingan antara teori dan praktek sehingga dapat digunakan sebagai sumber inspirasi dan perbandingan studi kasus selanjutnya. 3. Bagi Lahan Praktek Sebagai bahan masukan dalam melaksanakan praktek pelayanan kebidanan dalam meningkatkan mutu pelayanan kebidanan, pengembangan ilmu pengetahuan dan upaya meningkatkan derajat kesehatan serta menurunkan angka kematian ibu dan bayi serta lebih intens dalam melakukan penyuluhan pada ibu hamil. REFERENSI Abdul Bari Saefudin, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta, Bina Pustaka, 2009 Alimul Aziz. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data, 2009 ____http://www. 2010”Depkes RI”. co.id Janet medforth, susan battersby, maggie evans, dll. Kebidanan Oxford, 2012 Manuaba. Ilmu Kebidanan,Penyakit Kandungan,dan KB, 2012 Profil Depkes RI, 2009 Profil Kesehatan Kabupaten Purwakarta , 2011 Propil RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta, 2010 Prawihardjo. Ilmu Kebidanan,2007 Rekam medik RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta, 2011 Sarwono Prawiroharjo. Ilmu Kebidanan, 2010 Sarwono Prawirohardjo. Ilmu Kebidanan, 2009 Soekidjo Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta, penerbit Rineka Cipta, 2010 Soekidjo Notoatmodjo. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data, 2005, Rineka Cipta. Wiknjosastro, Ilmu Kebidanan 2005 Yuni Kusmiyati, dan kk. Perawatan Ibu Hamil (Asuhan ibu hamil).Yogyakarta, Fitrayana, 2009
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 43
jikk
ISSN: 2356-5454 Standar Prosedur Operasional Publikasi Karya Tulis dan Artikel Ilmiah Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas
JIKK Akademi Kebidanan Ar Rahman Ketentuan Umum 1. Topik dan tema karya tulis atau artikel (selanjutnya disebut naskah) memiliki keterkaitan dengan dunia kesehatan, khususnya bidang kebidanan; 2. Karya tulis ataupun artikel merupakan hasil penelitian lapangan (work-field study), penelitian pustaka (literature study) atau asah gagasan (proposition); 3. Karya tulis ataupun artikel ditulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia maupun English yang baik dan benar serta mengikuti aturan tata bahasa yang baku; 4. Setiap naskah yang masuk akan ditinjau ulang oleh Mitra Bestari yang memiliki kepakaran di bidangnya, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar institusi AKBID Ar Rahmah; 5. Penyerahan naskah dikirim selambatlambatnya dua bulan sebelum penerbitan reguler (bulan Februari dan Oktober) kepada redaksi JIKK; 6. Kepastian pemuatan atau tidaknya sebuah naskah akan diberitahukan secara tertulis, baik melalui surat ataupun email; 7. Naskah yang tidak dimuat dapat dikembalikan dengan sepengetahuan penulis naskah. Ketentuan Khusus 1. Naskah ditulis dengan menggunakan aplikasi Microsoft Office Word (baik itu XP, 2003 atau 2007); 2. Naskah ditulis menggunakan font Times New Roman atau Arial dengan ukuran font 12 (tanpa page number ataupun keterangan header/footer); 3. Panjang naskah maksimal 10 halaman dengan ukuran kertas A4 serta ukuran margin (kiri: 4, kanan: 3, atas: 3 dan bawah: 3). Sistematika Penulisan Judul (informatif, lugas, singkat dan jelas), Nama penulis (tanpa gelar), Abstrak/ Rangkuman eksekutif (ditulis dalam bentuk narasi dan terdiri atas 100-150 kata),
Hal | 44
Nomor 08 Tahun 2014
Kata kunci (istilah teknis/ operasional yang digunakan dalam artikel), Pendahuluan (deskripsi sekilas mengenai topik yang dibahas, status topik saat ini, perubahan yang terjadi berkaitan dengan topik, dan kontribusi naskah dalam topik yang dibahas; akhir pendahuluan memuat tujuan, metode, manfaat pembahasan topik, dan harapan yang dapat diambil dari topik yang dibahas), Isi/ Pembahasan (uraian, pemaparan ataupun penjabaran yang berkaitan dengan hasil temuan penelitian atau asah gagasan untuk naskah non-penelitian; isi/ pembahasan dapat terdiri atas beberapa subbahasan, tergantung pada topik/masalah yang dibahas serta penjelasan yang mendalam dari topik/ tema yang dibahas), Simpulan dan Saran, Daftar pustaka atau Pustaka Rujukan, dan Riwayat penulis (ditulis secara singkat).
Sistematika Penulisan Resensi Buku Buku yang diresensi harus aktual (up to date); buku berbahasa Indonesia terbitan satu tahun terakhir sedangkan buku berbahasa asing terbitan tiga tahun terakhir, Isi (content) buku yang diresensi berkontribusi signifikan bagi perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, Susunan resensi terdiri atas deskripsi formal buku, ringkasan (summary), evaluasi/ kritik/ komentar, dan simpulan. Penyerahan Naskah (karya tulis ataupun artikel ilmiah) Penyerahan naskah dapat dilakukan melalui, Email; naskah tidak ditulis dalam kotak pesan (message box) melainkan disisipkan (attachment) dan dikirimkan ke
[email protected] atau
[email protected] , Surat/ pos; naskah dimasukkan ke dalam amplop ukuran A4 dan pojok kanan atas ditulis JIKK AKBID Ar Rahmah, kemudian dikirimkan ke alamat Jalan Pasteur No. 21 A, Bandung– Jawa Barat.
Alamat Redaksi dan Tata Usaha JIKK Press – AKBID Ar Rahmah Jalan Pasteur no. 21, Bandung – Jawa Barat Telepon/ Faximile (022) 4214127 Email
[email protected] Website www.arrahmah.ac.id
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung